JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan...

86
ISSN 1410 – 9565 Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010 Tanggal : 6 Mei 2010 JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional J. Tek. Peng. Lim. Vol. 13 No. 1 Hal. 1-79 Jakarta Juni 2010 ISSN 1410-9565

Transcript of JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan...

Page 1: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

ISSN 1410 – 9565 Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010

SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010 Tanggal : 6 Mei 2010

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

J. Tek. Peng. Lim. Vol. 13 No. 1 Hal. 1-79 Jakarta Juni 2010 ISSN 1410-9565

 

Page 2: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

 

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

  

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998

Penanggung Jawab / Pengarah

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc.

(Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor

Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)

Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)

Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi

Endang Nuraeni, S.T. Yanni Andriani, S.T. Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927

e-mail : [email protected]

Page 3: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

i  

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010

  

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998

Penanggung Jawab / Pengarah

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc.

(Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor

Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)

Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)

Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi

Endang Nuraeni, S.T. Yanni Andriani, S.T. Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927

e-mail : [email protected]

Page 4: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

 ii

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010  

 

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Pengantar Redaksi

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 13 Nomor 1, Juni 2010. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah memuat karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah pada tahun ini melakukan proses Re-akreditasi dan telah mendapatkan kembali Sertifikat Akreditasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) No. 284/AU1/P2MBI/05/2010, SK Kepala LIPI Nomor :

452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010 dengan Akreditasi B. Harapan dari Dewan Redaksi semoga akreditasi ini akan memberikan gairah baru serta dapat memacu kreativitas bagi para fungsional untuk menulis dan memasukkan karya tulis ilmiah di masa yang akan datang.

Semoga penerbitan jurnal ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan limbah.

Jakarta, Juni 2010

Page 5: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

  iii

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010  

 

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Daftar Isi Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi ( 1-13 ) Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif Bentonix Terhadap Karakterisasi Hasil Sementasi ( 14-21 ) Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter Pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi ( 22-29 )

Sucipta, B.Setiawan, Pratomo B.S., D.Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial Untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya ( 30-42 ) Budi Setiawan : Interaksi Radiocesium Dengan Host Rock Dibawah Pengaruh pH dan Kekuatan Ion Larutan ( 43-48 ) Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS., Budiawan, Djarot S Wisnubroto ; Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri Oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri Dalam Air ( 49-62 ) Muh. Nurdin, Maulidiyah ; Particle Size Analysis of Titanium Dioxide By Atomic Force Microscopy ( 63-71 )

Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di Perairan Pesisir Semenanjung Muria ( 72-79 )

Page 6: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

 iv

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010  

 

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun.

Ketentuan penulisan naskah : 1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau

studi literatur. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan

margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,

3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan.

4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.

5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.

6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:

i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ………………………………… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan …………………………. (ditulis di bawah Gambar)

8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],...

9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut: Buku referensi : [1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997). Artikel yang terdapat dalam buku referensi:

[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990).

Artikel dari jurnal :

[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding [4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the

Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. 11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna. 12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. 13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS

Word.

Page 7: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

1

PENGELOLAAN SUMBER RADIASI BEKAS RADIOTERAPI

Aisyah Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN

Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK PENGELOLAAN SUMBER RADIASI BEKAS RADIOTERAPI. Saat ini beberapa rumah sakit di

Indonesia telah memanfaatkan sumber radiasi dalam bidang radioterapi baik untuk diagnostik maupun untuk terapi. Pemanfaatan sumber radiasi tertutup dalam radioterapi antara lain dalam brachyterapy, teleterapy, bone densitometry, whole blood irradiation ataupun pada gamma radiosurgery knife. Sejalan dengan ini tentu saja akan ditimbulkan limbah radioaktif yang berupa sumber radiasi bekas. Sumber radiasi bekas ini harus dikelola dengan benar agar terjamin keselamatan manusia dan lingkungan hidup. Sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1997, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif merupakan pusat pengelolaan limbah radioaktif secara nasional. Pada umumnya limbah radioterapi yang diterima Pusat Teknologi Limbah Radioaktif dari rumah sakit berupa sumber radiasi tertutup 60Co, 137Cs, dan 226Ra. Perlu dikembangkan beberapa opsi dalam strategi pengelolaan sumber radiasi bekas, yaitu pengembalian ke pemasok, pengiriman ke pemasok yang lain, pengiriman ke pengguna lain ataupun pengiriman ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif. Pengelolaan sumber radiasi bekas yang dilakukan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif melalui beberapa tahapan proses, yaitu kondisioning, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning. Kondisioning sumber radiasi bekas non 226Ra. dilakukan dalam shell drum 200 liter, shell beton 950 ataupun 350 liter tergantung dari aktivitas dan dimensi sumber radiasi bekas. Sumber radiasi bekas 226Ra dikondisioning dalam tabung baja tahan karat, Long Term Storage Shield dan kemudian dimasukkan dalam drum 200 liter. Penyimpanan sementara sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning dilakukan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Radioaktif Aktivitas Rendah dan Sedang. Tahapan paling akhir dari pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi adalah penyimpanan lestari sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro menengah, penyimpanan lestari dilakukan pada penyimpanan tanah dangkal, sedangkan untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro panjang penyimpanan lestari dilakukan pada penyimpanan tanah dalam.

Kata kunci: Sumber radiasi, radioterapi, limbah radioaktif.

ABSTRACT MANAGEMENT OF SPENT RADIATION SOURCE FROM RADIOTHERAPY. Nowadays the

use of radioactive source for both radiodiagnostic and radiotherapy in Indonesian hospital increases rapidly. Sealed source used in radiotherapy such as for brachytherapy, teletherapy, bone densitometry, whole blood irradiation and gamma knife (radiosurgery). Caused the waste of spent radiation sources were generated. These spent radiation sources must be treated correctly in order to maintain the safety of both the public and the environment. According to the Act No.10/1997, Radioactive Waste Management Center is the national appointed agency for the management of radioactive waste. The option for waste management by hospitals needs to be expound, either by re-exporting to the supplier of origin, re-exporting to other supplier, re-use by other licensee or sending to the Radioactive Waste Management Center. Usually the waste sent by the hospitals to the center comprises of sealed radiation source of 60Co, 137Cs or 226Ra. The management of spent radiation source in the center is carried out in several steps i.e. conditioning, temporary storage, and long-term storage (final disposal). The conditioning of non 226Ra is carried out by placing the waste in a 200 litter drum shell, 950 or 350 litter concrete shells, depends on the activity and dimension of the spent radiation source. The conditioning of 226Ra is carried out by encapsulating the waste in a stainless steel container for long-term storage shield which then placed in a 200 litter drum shell. The temporary storage of the conditioned spent radiation source is carried out by storing it in the center’s temporary storages, either low or medium activity waste. Finally, the conditioned spent radiation source is buried in a disposal facility. For medium half-life spent radiation source , the final disposal is burial it in a shallow-land disposal; mean while, for long half-life spent radiation source, the final disposal is burial it in a deep geological disposal .

Keywords: Radiation source,radiotheraphy, radioactive waste.

Page 8: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

2

PENDAHULUAN

Aplikasi teknik nuklir dalam bidang kedokteran untuk tujuan diagnostik maupun terapi dirasakan sangat bermanfaat, baik dengan menggunakan sumber radiasi terbuka maupun sumber radiasi tertutup (sealed radiation sources). Pemanfaatan radiasi pengion dalam bidang radioterapi sudah berjalan cukup lama di beberapa rumah sakit di Indonesia. Radioterapi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengobati penyakit dengan memanfaatkan kemampuan radiasi pengion yang dapat membunuh sel-sel yang tumbuh abnormal seperti tumor atau kanker. Pada umumnya radionuklida berumur paro pendek dimanfaatkan sebagai sumber radiasi terbuka, sedangkan dalam sumber radiasi tertutup memanfaatkan radionuklida berumur paro pendek, menengah maupun panjang tergantung dari maksud penggunaannya.

Berbeda dengan sumber radiasi terbuka, sumber radiasi tertutup dikemas dalam kapsul dengan integritas yang tinggi dimana didalam kapsul mengandung radionuklida spesifik dengan derajad kemurnian yang tinggi. Untuk setiap penggunaan, dipilih jenis radioisotop dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan tujuan yang dimaksud. Untuk sumber dengan aktivitas tinggi, biasanya dikemas menggunakan dua buah kapsul baja tahan karat. Radioisotop yang digunakan pada umumnya berupa sumber pemancar gamma tetapi dapat juga sumber beta untuk keperluan kalibrasi ataupun sumber alfa untuk penandaan anatomi.

Setiap tahun pemanfaatan sumber radiasi tertutup dalam bidang radioterapi terus meningkat, sehingga akan menimbulkan sumber radiasi bekas sebagai limbah radioaktif. Sumber radiasi bekas ini harus dikelola dengan benar agar terjamin keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup baik untuk generasi saat ini yang sedang menikmati pemanfaatan iptek nuklir maupun untuk generasi mendatang.

Dimasa lampau Indonesia banyak menggunakan 226Ra sebagai sumber radiasi yang dipakai dalam brakhiterapi. Sumber radiasi 226Ra merupakan radionuklida yang berumur panjang, sehingga akan menyulitkan dalam pengelolaan sumber bekasnya. Oleh karena itu beberapa negara maju telah menghentikan pemakaian sumber radiasi 226Ra sejak sekitar tahun 1960. Atas rekomendasi International Atomic Energy Agency (IAEA), Indonesia juga telah menghentikan pemakaian sumber radiasi 226Ra, sehingga beberapa saat yang lalu terdapat sumber radiasi bekas 226Ra yang masih tersebar di beberapa rumah sakit. Namun demikian saat ini Departemen Kesehatan (DEPKES) telah berupaya menarik sumber radiasi bekas tersebut dan dikirim ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) untuk dikelola, sehingga hanya tinggal sebagian saja sumber radiasi bekas 226Ra yang masih tersimpan di rumah sakit.

Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana, dalam hal ini Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sedangkan dalam pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan, mengelompokkan atau menyimpan sementara limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana [1]. Dari kedua pasal ini jelas bahwa pihak penimbul limbah (dalam bidang radioterapi adalah rumah sakit) yang mempunyai sumber radiasi bekas wajib menyimpan sementara limbah yang dihasilkannya dengan memenuhi standar keselamatan sebelum dikirim ke PTLR- BATAN. Adanya kendala dalam pengiriman sumber radiasi bekas ke PTLR, maka dengan seizin Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) maka pihak pengguna dapat memperpanjang waktu penyimpanan sementara sumber radiasi bekasnya.

Sampai dengan saat ini banyak rumah sakit di Indonesia telah mengirimkan sumber radiasi bekas radioterapi ke PTLR untuk dilakukan pengelolaan. Sumber radiasi bekas radioterapi yang diterima PTLR berupa sumber tertutup dengan radionuklida 60Co, 137Cs, dan 226Ra [2]. Selain melakukan pengiriman sumber radiasi bekas ke PTLR, terdapat beberapa opsi yang dapat dilakukan oleh pihak pengguna dalam pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi. Perlu diterapkan strategi pengelolaan sumber radiasi bekas yang efisien dan efektif agar pengelolaan limbah dapat berjalan dengan baik. Pengelolaan sumber radiasi bekas meliputi proses kondisioning, penyimpanan sementara dan penyimpanan akhir.

Tulisan ini menjelaskan tentang pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi yang telah dilakukan oleh PTLR dan juga hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam pengelolaan sumber radiasi bekas terkait dengan kemajuan pemanfaatan iptek nuklir saat ini. Tulisan ini dibuat pada Tahun 2009 yang merupakan perpaduaan antara kajian dan pengalaman PTLR selama ini dalam menangani sumber radiasi bekas radioterapi .

PEMANFAATAN SUMBER RADIASI DALAM RADIOTERAPI

Radioterapi merupakan pemanfaatan teknik nuklir dalam bidang kedokteran dengan menggunakan radionuklida dalam bentuk sumber radiasi terbuka maupun tertutup. Sumber radiasi

Page 9: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

3

terbuka biasanya digunakan dalam aktivitas rendah, sedangkan sumber radiasi tertutup digunakan dalam radiologi dengan aktivitas rendah sampai sedang. Tabel 1 dan 2 menyajikan pemanfaatan sumber radiasi terbuka dan tertutup dalam radioterapi [3].

Sumber radiasi terbuka biasanya digunakan melalui metode in vitro dan in vivo. Pada in vitro biasanya digunakan cairan radionuklida seperti 25I, 57Co, 58Co dan 14C untuk mempelajari dinamika fungsi tubuh manusia dengan sampel berada diluar tubuh manusia, sedangkan pada metode in vivo digunakan untuk mengamati fungsi tubuh menggunakan gamma kamera. Dalam metode in vivo digunakan radionuklida sebagai tracer dalam memonitor fungsi-fungsi tubuh. Sebagai contoh dosis untuk 99mTc adalah 40 – 800 MBq, sedangkan untuk pemakaian radionuklida 67Ga,111In, 201Tl dosis diatur antara 40 – 400 MBq. Yodium -131 telah dipakai secara luas dalam pengobatan thyrotoxicosis dan ablasi jaringan thyroid atau dalam pengobatan penyakit kanker dengan dosis individu 200 MBq -11 GBq [3,4]. againya

Sumber radiasi tebungkus telah digunakan secara luas dalam beberapa terapi dan diagnosis, seperti dalam brachyterapy secara manual, remote after-loading brachyterapy, teleterapy, blood irradiation dan untuk maksud lainnya. Dalam penggunaannya, ada beberapa sumber radiasi tertutup seperti 192I, 137Cs dan 198Au yang ditempelkan langsung pada pasien seperti pada terapi eye plaques. Brachyiterapy dilakukan dengan cara penyinaran pada jarak sangat dekat bahkan pada kondisi tertentu sumber radiasi tertutup dimasukkan kedalam tubuh pasien. Sumber radiasi yang digunakan adalah 226Ra, 137Cs, 60Co dan 192Ir. Sebelum ada rekomendasi IAEA, penggunaan sumber radiasi 226Ra dalam brachyterapy cukup popular. Saat itu sumber 226Ra yang digunakan mempunyai aktivitas maksimum 4 GBq (100 mg) dengan aktivitas rata-rata sumber sekitar 200 MBq (5,6 mg) untuk yang berbentuk jarum dan sekitar 260 MBq (7mg) untuk yang berbentuk kapsul. Saat ini penggunaan sumber radiasi 226Ra dalam brachyterapy telah dihentikan dan diganti dengan sumber radiasi 60Co, 137Cs. Sumber radiasi tertutup 60Co juga digunakan dalam teleterapi, dalam pisau pembedahan (gamma radiosurgery knife) dimana kira-kira 200 buah sumber 60Co diarahkan pada bagian yang sangat kecil dari tubuh pasien. Selain untuk terapi, beberapa sumber radiasi tertutup seperti 137Cs dan 60Co juga digunakan dalam iradiator sel darah (whole blood irradiation). Saat ini sumber radiasi tertutup juga digunakan dalam stenosis untuk pelengkap pada angioplasty selama kateterisasi [3,4].

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER RADIASI BEKAS RADIOTERAPI

Dalam setiap pemanfaatan iptek nuklir yang menggunakan bahan radioaktif termasuk pemanfaatan dalam bidang radioterapi, akan ditimbulkan limbah radioaktif. Limbah radioaktif akan muncul tatkala sumber radiasi yang digunakan dalam radioterapi menjadi tidak efektif, yaitu ketika: a) Aktivitas sumber telah meluruh sampai pada aktivitas yang tidak lagi dapat digunakan seperti

tujuan yang dimaksud b) Prosedur klinis atau program eksperimen menggunakan sumber radiasi ini dihentikan c) Sumber radiasi bocor ataupun peralatan pendukung operasional untuk sumber radiasi menjadi

kadaluarsa atau sulit dioperasikan.

Sumber radiasi yang sudah tidak efektif dalam pemakainnya, biasanya dikategorikan sebagai sumber radiasi bekas dan diperlakukan layaknya seperti limbah radioaktif. Limbah radioaktif ini harus dikelola dengan benar sesuai dengan standar yang berlaku agar terjamin keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Tabel 1. Pemanfaatan Sumber Radiasi Terbuka dalam Radioterapi [3]

Radionuklida Waktu Paro Penggunaan Dosis setiap penggunaan22Na 2,605 tahun Diagnosis medis Sampai 1MBq 32P 14,3 jam Terapi klinis Sampai 200MBq

42K dan 43K 12,4 dan 22,2 jam Pengukuran klinis Sampai 5MBq 45Ca 4,54 hari Diagnosis medis Sampai 100 MBq 51Cr 27,7 hari Pengukuran klinis Sampai 5 MBq 57Co 271,7 hari Pengukuran klinis Sampai 50 MBq 59Fe 45,5 hari Pengukuran klinis Sampai 50 MBq 67Ga 3,3 hari Pengukuran klinis Sampai 200 MBq 67Cu 2,6 hari Terapi klinis Sampai 1 GBq

Page 10: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

4

75Se 119,78 hari Pengukuran klinis Sampai 10 MBq

75 Br, 76Br 98 menit, 16,2 jam Diagnosis medis - 77Br 57 jam Pengukuran klinis Sampai 5 MBq 85Sr 64,8 hari Diagnosis medis Sampai 50 MBq 89Sr 50,5 hari Terapi klinis Sampai 300 MBq 90Y 2,7 hari Terapi klinis Sampai 300 MBq

99mTc 6,0 jam Pengukuran klinis Sampai 100 MBq 111In 2,8 hari Pengukuran klinis Sampai 50 MBq 124I 4,2 hari Diagnosis medis Sampai 500 MBq 125I 60,1 hari Pengukuran klinis Sampai 500 MBq 131I 8,0 hari Terapi klinis Sampai 11,1 GBq

127Xe 36,4 hari Diagnosis medis Sampai 200 MBq 133Xe 5,3 hari Pengukuran klinis Sampai 400 MBq 153Sm 47 jam Terapi klinis Sampai 8 GBq 169Er 9,3 hari Terapi klinis Sampai 500 MBq

186Re, 188Re 3,8 hari, 17 jam Terapi klinis Sampai 500 MBq 198Au 2,7 hari Pengukuran klinis Sampai 500 MBq 201Tl 3,0 hari Pengukuran klinis Sampai 200 MBq

Tabel.2. Pemanfaatan Sumber Radiasi Tertutup dalam Radioterapi [3]

Radionuklida Waktu Paro Penggunaan Dosis Setiap Penggunaan 241Am 153Gd

125I

433 tahun 244 hari 60.1 hari

Bone densitometry 1 – 10 GBq 1 – 40 GBq 1 – 10 GBq

198Au 137Cs 226Ra 60Co 90Sr

103Pd 125I 192Ir

106Ru 90Y

2.7 hari 30 tahun

1600 tahun 5.3 tahun 29.1 tahun 17 tahun 60.1 hari 74 hari

1.01 tahun 2.7 hari

Manual brachyterapy 50-500 MBq 30-300 MBq 50-500 MBq

50-1500 MBq 50-1500 MBq 50-1500 MBq 200-1500 MBq

5-100 MBq 10-20 MBq

50-500 MBq 32P 89Sr 192Ir

14.3 hari 50.5 hari 74 hari

Vaskular brachyterapy 200 MBq 150 MBq 0.1-1 TBq

137Cs 192Ir

30 tahun 74 hari

Remote after loading brachyterapy

0.03-10 MBq 0.1-200 TBq

60Co 137Cs

5.3 tahun 30 tahun

Teletherapy 0.1-200 TBq 500 TBq

137Cs 60Co

30 hari 5.3 tahun

Whole blood irradiation 2-100 TBq 50-1000 TBq

60Co 5.3 tahun Gamma radiosurgery knife Sampai 220 TBq

Page 11: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

5

Tiap Negara di dunia dapat mempunyai strategi pengelolaan limbah radioaktif termasuk sumber radiasi bekas yang berbeda-beda tergantung dari tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir yang dimilikinya. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh BATAN. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif yang merupakan salah satu institusi di BATAN memiliki tugas pokok mengelola limbah radioaktif yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Dengan kemajuan iptek nuklir saat ini, khususnya dalam bidang radioterapi akan ditimbulkan limbah radioaktif yang berupa sumber radiasi bekas yang beragam. Oleh karena itu PTLR perlu menerapkan strategi pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi. Strategi pengelolaan sumber radiasi bekas yang diterapkan seperti yang disajikan pada Gambar 1. Strategi ini diterapkan sebagai acuan bagi pengelola sumber radiasi bekas baik di tempat pengguna maupun di pusat pengelolaan limbah radioaktif, agar pengelolaan sumber radiasi bekas dapat terlaksana dengan efektif dan efisien [3,5]. Seperti yang tertera pada Gambar 1, strategi pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi dilakukan sebagai berikut: 1. Sumber radiasi bekas dengan waktu paro pendek (< 100 hari). Pengelolaan dilakukan dengan

memasukan sumber radiasi bekas dalam wadah guna peluruhan sampai aktivitasnya mencapai tingkat kliren, untuk selanjutnya sumber radiasi bekas dapat dilepas dari pengawasan sebagai limbah non radioaktif. Dalam hal ini pengelolaan sumber radiasi bekas dilakukan di tempat pengguna (rumah sakit) dengan pengawasan BAPETEN

2. Sumber radiasi bekas dengan waktu paro menengah (< 30 Tahun). Pengelolaan dilakukan dengan kondisioning sumber radiasi bekas dalam wadah, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dekat permukaan (Near Surface Disposal). Pengelolaan sumber radiasi bekas ini dilakukan di PTLR dibawah pengawasan BAPETEN

3. Sumber radiasi bekas dengan waktu paro panjang (>30 tahun). Pengelolaan dilakukan dengan kondisioning sumber radiasi bekas dalam Long Term Storage Shield (LTSS), penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari pada tanah dalam (Deep Geological Disposal). Pengelolaan sumber radiasi bekas ini dilakukan di PTLR dibawah pengawasan BAPETEN.

Pemanfaatan sumber radiasi dalam radioterapi berada dalam perijinan dan pengawasan BAPETEN, dimana BAPETEN selalu mendorong agar sumber radiasi yang berasal dari luar negeri maka tatkala menjadi sumber radiasi bekas sebaiknya dikembalikan ke negara asalnya (pemasok).

Gambar 1 Strategi Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi di PTLR [3,5]

Page 12: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

6

KONDISIONING SUMBER RADIASI TERTUTUP BEKAS RADIOTERAPI Sampai dengan saat ini banyak rumah sakit di Indonesia telah mengirimkan sumber radiasi

tertutup bekas radioterapi ke PTLR untuk dilakukan pengelolaan seperti yang disajikan pada Tabel 3. Pada umumnya sumber radiasi bekas radioterapi yang berasal dari rumah sakit adalah sumber radiasi tertutup yaitu 60Co, 137Cs dan 226Ra. Pengelolaan sumber radiasi bekas meliputi kondisioning, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari hasil kondisioning.

Kondisioning sumber radiasi bekas radioterapi dilakukan dengan mempertimbangkan fakta bahwa sampai dengan saat ini belum ada kriteria yang spesifik dalam pengelolaan sumber radiasi tertutup bekas. Oleh karena itu, sebaiknya mempertimbangkan ide retrievability dan reversibility, sehingga teknik kondisioning diupayakan tidak menyulitkan penanganan suatu saat nanti. Misalnya harus dihindari kesulitan atau biaya yang tinggi untuk rekondisioning sumber radiasi bekas tersebut. Perlu dihindari juga pengolahan sumber radiasi bekas dengan imobilisasi langsung dalam matriks tertentu (semen) karena hal ini dirasa belum tentu kompatibel dengan langkah pengolahan dimasa mendatang. Oleh karena itu kondisioning harus dilakukan dengan prinsip kemudahan membongkar kembali sumber radiasi bekas terkondisioning tersebut di masa mendatang. Kondisioning limbah sumber radiasi bekas ini diperlukan sebelum penyimpanan jangka panjang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lepasnya bahan radioaktif ke lingkungan dan untuk meminimalkan paparan radiasi.

Ada beberapa metode kondisioning sumber radiasi bekas radioterapi yang telah dilakukan PTLR [5,6,7]: 1. Sebelum proses kondisioning, dilakukan proses prekondisioning yaitu melakukan dismantling

secukupnya dengan sumber radiasi tetap berada dalam kontainernya. Hal ini untuk mencegah paparan radiasi yang terlampau tinggi.

2. Untuk limbah sumber radiasi bekas dengan waktu paro pendek, kondisioning dilakukan dengan menempatkan sumber radiasi bekas dalam wadah shell drum 200 liter, shell beton 350 atau 950 liter tergantung dimensi dan aktivitas sumber radiasi bekas tersebut. Kemudian wadah yang telah berisi sumber radiasi bekas tersebut disimpan dalam tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang sampai aktivitasnya meluruh dan memenuhi tingkat kliren. Selanjutnya sumber radiasi bekas tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai limbah non radioaktif.

3. Sumber radiasi bekas non 226Ra yang mempunyai waktu paro panjang dan aktivitasnya cukup tinggi, kondisioning dilakukan dengan menempatkan sumber radiasi bekas dalam wadah yang berupa kotak baja tahan karat yang berukuran 120x80x60 cm atau drum baja tahan karat 60 liter atau drum baja 100 liter untuk kemudian dilakukan penyimpanan di tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT) dengan maksud untuk proses peluruhan sampai aktivitasnya terkategorikan sebagai limbah aktivitas rendah/sedang. Selanjutnya dilakukan kondisioning sumber radiasi bekas ini dalam shell beton 950 atau 350 liter tergantung dari dimensi dan aktivitas sumber radiasi bekas tersebut. Hasil kondisioning kemudian disimpan dalam tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah dan Sedang.

4. Khusus untuk sumber radiasi bekas 226Ra yang merupakan radionuklida dengan waktu paro panjang yaitu 1600 tahun, sumber radiasi bekas ini harus dikelola dengan tingkat keselamatan yang tinggi (strong safe), karena sumber radiasi bekas ini dalam masa peluruhannya senantiasa memproduksi gas radon yang berbahaya bagi kesehatan.

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif telah melakukan kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra sesuai dengan standar IAEA dengan proses sebagai berikut [8,9]:

Sejumlah tertentu sumber 226Ra yang berupa jarum atau kapsul dimasukkan kedalam tabung baja tahan karat dengan dimensi tabung 110 x 20x 0,8 mm.

Sumber 226Ra merupakan radionuklida yang dalam masa peluruhannya mengeluarkan gas radon yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia, sehingga tabung baja tahan karat yang telah berisi sumber radiasi bekas 226Ra dilas rapat, agar gas radon tidak lepas ke lingkungan.

Pengelasan tabung baja tahan karat dilakukan dengan tungsten inert gas (TIG) dan dilakukan pengujian kebocoran hasil lasan dengan metode Vacum buble test

Tabung baja tahan karat yang telah terisi sumber bekas 226Ra dan telah lolos uji pengelasan , kemudian dimasukkan dalam Long Term Storage Shield (LTSS) yang terbuat dari Pb dengan maksud sebagai perisai radiasi untuk membatasi paparan radiasi yang cukup tinggi

Long Term Storage Shield kemudian dimasukkan dalam shell drum 200 liter untuk kemudian disimpan sementara di tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang.

Page 13: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

7

Tabel 3. Sumber Radiasi Bekas Radioterapi yang Telah Dikelola PTLR (2004-2007) [5]

No. Asal Limbah Jenis Radionuklida Jumlah (buah)

1 RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta 60Co 2 137Cs 13 226Ra 30

2 RSUD Dr Soetomo, Surabaya 60Co 1 137Cs 1 226Ra 62

3 RS Elizabet, Medan 60Co 1 137Cs 1 226Ra 39

4 RS Syaiful Anwar, Malang 60Co 1 226Ra 2

5 RS Karyadi, Semarang 60Co 1 226Ra 40

6 RS DR Wahidin SH, Makasar 60Co 1 137Cs 1

7 RS Dr Mohamad Hoesin,.Palembang 60Co 1 137Cs 8 226Ra 12

8 RS Hasan Sadikin, Bandung 60Co 1 137Cs 1

9 RS Dr Sarjito, Yogjakarta 60Co 1 137Cs 1

10 RS Sanglah, Denpasar 60Co 1 11 RS Telogo Rejo, Semarang 60Co 1 12 RSU Pringadi, Medan 60Co 1

137Cs 3 226Ra 1

13 Depkes 137Cs 15 226Ra 21

Gambar 2 menyajikan kondisioning sumber radiasi bekas dalam tabung baja tahan karat tempat wadah sumber radiasi bekas 226Ra, pengelasan tutup tabung yang telah berisi sumber radiasi bekas 226Ra dalam wadah Pb, LTSS dan penempatan LTSS dalam drum 200 liter. Sedangkan Gambar 3A menyajikan kondisioning sumber radiasi bekas tertutup non 226Ra dalam shell drum 200 liter dan Gambar 3B menyajikan kondisioning sumber radiasi bekas tertutup non 226Ra dalam shell beton 950 atau 350 liter. PENYIMPANAN SUMBER RADIASI TERTUTUP BEKAS RADIOTERAPI

Terdapat dua tahapan dalam penyimpanan sumber radiasi bekas radioterapi yang telah terkondisioning, yaitu penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari. Tempat penyimpanan sementara dimaksudkan sebagai fasilitas untuk menempatkan sumber radiasi bekas dalam suatu sistem yang memungkinkan suatu saat untuk diambil kembali baik untuk maksud pemanfaatan lain maupun untuk penanganan lebih lanjut. Penyimpanan sementara ini termasuk didalamnya menyimpan sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning, dimana suatu saat sumber tersebut masih dapat diambil kembali secara utuh.

Page 14: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

8

Gambar 2 Kondisioning Sumber Radiasi Bekas 226Ra [8,9]

A. Tabung Baja Tahan Karat Wadah Sumber Radiasi Bekas 226Ra B. Pengelasan Tabung Baja Tahan Karat C. LTSS Untuk Memuat Tabung Baja Tahan Karat D. Pemuatan LTSS dalam Drum 200 Liter

Hasil kondisioning sumber radiasi bekas non 226Ra baik dalam wadah shell drum 200 liter, shell

beton 350 atau 950 liter yang telah dilakukan PTLR disimpan sementara ditempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang, sedangkan untuk hasil kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra terdapat dua opsi penyimpanan sementara, yaitu: - Long Term Storage Shield dimasukkan dalam shell drum 200 liter untuk kemudian disimpan di

Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah dan Sedang. - Long Term Storage Shield dimasukkan dalam drum baja tahan karat 60 liter untuk kemudian

dimasukkan dalam lubang PSLAT. Sesuai dengan rekomendasi IAEA, PTLR memilih menyimpan sumber radiasi bekas 226Ra dalam shell drum 200 liter dan kemudian disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang [9,10].

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif memiliki dua tipe tempat penyimpanan sementara, yaitu [6]: 1. Tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang. Tempat penyimpanan

sementara ini diperuntukkan sebagai tempat penyimpanan limbah radioaktif dengan aktivitas rendah dan sedang yang berupa sumber radiasi bekas radioterapi yang telah terkondisioning, limbah radioaktif non sumber bekas baik limbah sebelum diolah maupun limbah hasil kondisioning. Tempat penyimpanan ini memiliki kapasitas tampung 520 shell beton 950 atau 350 liter dan 1700 drum 200 liter atau drum 100 liter. Mengingat adanya peningkatan dalam pemanfaatan Iptek Nuklir di bidang radioterapi, maka jumlah limbah radioaktif juga meningkat. Sementara itu kondisi fasilitas penyimpanan sementara untuk limbah aktivitas rendah /sedang yang ada saat ini telah penuh.

A B

C D

Page 15: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

9

Oleh karena itu PTLR telah membangun Fasilitas Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas rendah/sedang yang baru.

Gambar 3. Kondisioning Sumber Radiasi Tertutup Bekas Non 226Ra dalam [5,6,7] Shell Drum 200 liter Shell Beton 950 atau 350 liter

2. Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi. Tempat ini diperuntukkan sebagai tempat peluruhan limbah radioaktif yang berumur paro panjang ataupun limbah berumur paro pendek namun mempunyai paparan radiasi yang cukup tinggi. Fasilitas ini merupakan sistem penyimpanan kering yang memiliki 2 bentuk yaitu bentuk persegi dan sumuran. Ada 20 buah sumuran dengan kapasitas total 120 drum 100 liter atau drum 60 liter.

Gambar 4A menunjukkan Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah/Sedang di PTLR dan Gambar 4B menunjukkan PSLAT di PTLR [6]. Selama sumber radiasi bekas berada dalam tempat penyimpanan sementara, harus selalu dipertimbangkan ketahanan paket kondisioning termasuk tanda identititas yang harus tetap jelas selama periode penyimpanan atau lebih lama lagi. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa penyimpanan harus aman, khususnya yang berkaitan dengan radiasi, kontaminasi, resiko kebakaran dan keselamatan fisik lainnya dengan secara kontinyu dilakukan pengontrolan. Penyimpanan akhir merupakan bagian ujung akhir dari tahapan pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pemilihan tipe penyimpanan lestari, diantaranya adalah jenis radionuklida dalam sumber radiasi bekas, aktivitas dan waktu paronya. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro pendek (<100 hari), maka sumber radiasi bekas ini hanya memerlukan penyimpanan sementara guna proses peluruhan sampai tingkat kliren, untuk selanjutnya dapat dilepaskan dari kontrol regulasi sehingga tidak memerlukan penyimpanan akhir. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro menengah (<30 tahun), maka penyimpanan sementara untuk proses peluruhan sampai tingkat aman memerlukan waktu kurang lebih 10 kali waktu paro. Selanjutnya penyimpanan akhir sumber radiasi bekas ini dilakukan pada penyimpanan dekat permukaan dengan kedalaman beberapa meter sampai puluhan meter. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro panjang (>30 tahun), penyimpanan lestari dilakukan pada penyimpanan tanah dalam dengan kedalaman antara 500-1000 meter, sehingga dapat memproteksi dan mengisolasi sumber radiasi bekas dari lingkungan hidup selama ribuan tahun [11]. PEMBAHASAN

Pemanfaatan sumber radiasi dalam bidang radioterapi disamping bermanfaat bagi manusia, juga terdapat resiko dan bahaya yang timbul. Tingkat bahaya yang timbul tergantung pada jenis sumber radiasi, bentuk, jenis pemakaian, kondisi sumber yang ada, karakteristik fisik, radionuklida, aktivitas dan jumlah. Pengontrolan jumlah sumber radiasi bekas yang dimiliki harus senantiasa dilakukan agar tidak terjadi bahaya akibat adanya insiden jumlah. Sebagai contoh adanya insiden jumlah sumber radiasi bekas, dimana akhirnya sumber radiasi bekas tersebut ditemukan berada di pedagang logam

Sumber radiasi tertutup

Drum baja dengan

Lubang pemuatan sumber

A

Drum baja dengan lapisan dinding dalam semen

Sumber radiasi tertutup bekas

Lubang pemuatan sumber radiasi bekas

B

Sumber radiasi tertutup

shell beton 950 atau 350 liter

Page 16: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

10

bekas, sehingga terjadi kontaminasi pada publik. Pengamanan dan proteksi fisik dari sumber radiasi bekas menjadi masalah yang sangat serius terutama di fasilitas pengguna seperti rumah sakit, dimana pengamanan fasilitas rumah sakit pada umumnya tidak seketat seperti lazimnya pengamanan di fasilitas nuklir. Oleh karena itu pengelolaan sumber radiasi bekas harus mendapat perhatian yang serius terutama di tempat pengguna.

Gambar 4. A). Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah danSedang [10] B). Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi [10]

Sesuai dengan strategi pengelolaan sumber radiasi bekas yang disajikan pada Gambar 1

tampak bahwa hanya terdapat dua opsi dalam pengelolaan sumber radiasi bekas yaitu dikembalikan ke pemasok ataupun di kelola oleh PTLR. Pemilihan salah satu opsi untuk suatu jenis sumber radiasi bekas tergantung dari beberapa faktor seperti aktivitas, kandungan radioisotop, kontrak pembelian dan kondisi fisik dari sumber radiasi bekas. Perlu dipertimbangkan bahwa biaya penyimpanan lestari dari beberapa sumber radiasi bekas yang memiliki aktivitas yang rendah bisa lebih besar dari harga pengadaan sumber radiasi awal. Sedangkan pengembalian sumber radiasi bekas pada pemasok tidak selalu menjadi pilihan, karena pengembalian ke pemasok kadang terhambat akibat persoalan dalam mendapatkan persetujuan yang tepat atau problem kontainer pengangkutan. Pada umumnya dalam situasi tertentu lebih disukai untuk mengembalikan sumber radiasi bekas pada pemasok, apalagi jika hal ini sudah termasuk dalam perjanjian saat pembelian sumber radiasi tersebut. Namun demikian, terkadang timbul kendala tatkala pemasok tidak lagi mampu untuk menerima sumber radiasi bekas tersebut, atau kendala dalam pengangkutan sumber radiasi bekas tersebut ke tempat asal pemasok . Dalam kasus seperti ini akan lebih baik jika sumber dikirim ke pusat pengelolaan limbah radioaktif. Sumber radiasi bekas yang dikembalikan ke pemasok dimungkinkan oleh pemasok untuk didaur ulang dan dijadikan sumber radiasi baru untuk keperluan tertentu. Pengiriman sumber radiasi bekas ke pemasok yang lain merupakan salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan. Banyak institusi diluar negeri (pemasok lain) yang secara rutin memperbaharui sumber radiasi bekas ini dengan alasan agar lebih ekonomis. Sumber bekas yang akan dikirim ke pemasok atau ke pusat pengolahan limbah radioaktif harus dikemas dan diangkut dengan kontainer khusus seperti kontainer timbal yang dilengkapi dengan overpack. Pengangkutan harus memenuhi standar peraturan yang telah ditetapkan standar internasional (IAEA`transport regulation). Sebelum pengangkutan, harus dipastikan bahwa sumber tidak bocor dan integritas penahan radiasi harus kuat selama pengangkutan. Pengangkutan harus disertai dengan dokumen sumber radiasi tersebut termasuk hasil tes usap untuk mengetahui apakah ada kebocoran kemasan. Jika didapati adanya kebocoran kemasan, maka harus dilakukan pengepakan kembali untuk menghindari terjadinya kontaminasi pada kontainer pengangkutan. Dilakukan tes usap kembali pada kemasan sumber untuk memastikan bahwa sudah tidak terjadi kebocoran kemasan. Opsi pemindahan sumber radiasi bekas ke pengguna lain sangat dimungkinkan, yaitu ketika aktivitas sumber tidak lagi cocok untuk pemakaian semula namun sumber masih tetap memiliki aktivitas yang dapat digunakan untuk pemakaian yang lain. Hal ini khusus terdapat pada sumber radiasi dengan aktivitas yang tinggi sepert 137Cs dan 60Co. Sumber radiasi yang tidak dapat digunakan lagi sebagai

A B

Page 17: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

11

terapi klinis mungkin masih dapat digunakan untuk pemakaian yang lain dengan persyaratan tingkat aktivitas yang lebih rendah. Pemindahan sumber ke pengguna lain yang disetujui baik didalam maupun diluat negeri merupakan opsi yang menguntungkan secara ekonomi baik dari sisi cara mendapatkan sumber maupun pengelolaan sumber radiasi bekas tersebut. Dalam kasus ini terdapat dua pengguna yang pada saat yang sama mempunyai status pemanfaatan sumber radiasi yang berbeda. Pengguna pertama menganggap sumber tersebut sebagai sumber radiasi bekas sedang pengguna ke dua menganggap bahwa sumber radiasi tersebut masih dipakai.

Kejelasan status sumber radiasi menjadi sangat penting, apalagi tatkala menyangkut status sumber radiasi yang masih potensiil namun pemanfaatannya dihentikan. Sebagai contoh sumber 226Ra yang berumur paro panjang yang telah digunakan dalam dunia kedokteran pada waktu lampau, dan saat ini pemakaiannya diganti dengan radionuklida yang berumur paro pendek dan mempunyai kestabilan kimia yang lebih baik seperti 137Cs. Pihak pengguna tidak mengangap bahwa sumber radiasi 226Ra sebagai sumber radiasi bekas dengan alasan pasien tidak mau melepaskan terapi dengan sumber 226Ra yang telah lama dilakukannya dan juga pasien ingin backup terapi dengan sumber 226Ra terhadap penggantian terapi dengan 137Cs, sehingga beberapa sumber 226Ra oleh rumah sakit tidak dianggap sebagai sumber radiasi bekas atau limbah radioaktif. Sumber radiasi ini disimpan selama beberapa dekade dalam kontainer dan beberapa diantaranya dalam kondisi yang buruk. Tingginya biaya penyimpanan sementara/akhir atau tidak adanya opsi yang cocok terhadap sumber radiasi tersebut menjadi penghalang untuk penanganan sumber radiasi tersebut sepantasnya, sehingga sumber radiasi tersebut tetap disimpan walaupun sampai waktu yang belum dapat dipastikan. Sumber radiasi tersebut disimpan di gudang sehingga akuntabilitas dari sumber radiasi tersebut bisa buruk atau sumber radiasi bekas tersebut menjadi tak bertuan atau dapat terjadi pencurian. Untuk memperjelas status, maka sumber radiasi tersebut dikategorikan sebagai sumber bekas yang tidak terpakai lagi (disused sealed radioactive sources), sehingga segala dokumen dari sumber ini dikategorikan sebagai sumber radiasi yang tidak terpakai atau sumber radiasi bekas dan sebagai limbah radioaktif

Pengiriman sumber radiasi bekas ke PTLR pada umumnya menjadi pilihan bagi pengguna karena hal ini dianggap cukup efisien dan ekonomis. Seperti yang disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa banyak rumah sakit yang telah mengirimkan sumber radiasi bekasnya ke PTLR yang berupa 60Co, 137Cs dan 226Ra. Diantara ke tiga sumber radiasi bekas tersebut yang perlu mendapat perhatian lebih penting adalah sumber radiasi 226Ra yang memiliki waktu paro 1600 tahun dan dalam masa peluruhannya mengeluarkan gas radon yang sangat berbahaya bagi manusia. Oleh karena itu kondisioning sumber radiasi 226Ra.dilakukan dengan konsep strong safe conditioning. Direkomendasikan oleh IAEA bahwa kondisioning sumber radiasi bekas tersebut dilakukan dengan enkapsulasi yang mempunyai tingkat integritas yang tinggi sehingga dapat mengatasi masalah emanasi gas radon yang timbul dari peluruhan Ra-226 tersebut. Oleh karena itu digunakan tabung baja tahan karat yang dilas rapat sebagai wadah sumber radiasi bekas 226Ra. Disamping pengujian kebocoran hasil lasan, maka perlu memperhitungkan kekuatan tabung baja tahan karat wadah sumber radiasi bekas 226Ra dengan cara menghitung jumlah gas radon 222Rn yang selalu terbentuk setiap saat peluruhan. Setiap peluruhan 226Ra menghasilkan 1 atom gas Rn-222 dan juga 5 atom gas helium. Pembentukan gas-gas ini akan mengakibatkan tekanan berlebih pada rongga jarum atau kapsul 226Ra, sehingga memungkinkan terjadinya deformasi plastis pada sumber radiasi 226Ra dan bahkan dapat terjadi penekanan pada tabung baja tahan karat wadah sumber radiasi bekas 226Ra tersebut. Tekanan dalam tabung ini tergantung dari aktivitas sumber radiasi bekas 226Ra yang terkungkung didalamnya dan juga volume bebas dalam tabung. Tekanan yang diakibatkan oleh gas 222Rn hasil peluruhan 226Ra sekitar 0,2 atmosfir per tahun untuk 1 gram 226Ra.. Berdasarkan pada hasil perhitungan untuk tabung wadah 226Ra dengan dimensi tabung 110x20x0,8 mm, volume bebas dalam tabung 10 cm3, aktivitas sumber bekas 226Ra dalam tabung 4 GBq (≈ 1Ci), tegangan belah sebesar 1,084x102 kN/cm2 dan tegangan putus 1,1 x 103 kN/cm2, maka tabung baja tahan karat wadah sumber radiasi bekas 226Ra dapat bertahan sampai 5,42x106 tahun [12]. Oleh karena itu harus selalu dipertimbangkan ketahanan paket kondisioning termasuk tanda identititas yang harus tetap jelas selama periode penyimpanan atau lebih lama lagi. Disamping itu perlu pengontrolan terhadap paparan dosis yang diterima personil selama tahapan proses kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra. Dalam tahapan proses tersebut penerimaan dosis paparan dominan terjadi pada tahap pewadahan sumber radiasi bekas 226Ra ke dalam tabung baja tahan karat, pengelasan dan pada saat uji kebocoran tabung akibat pengelasan. Aktivitas total dalam satu tabung yang direkomendasikan IAEA adalah 4 GBq atau setara dengan 100 mg226Ra. Namun dengan memperhatikan aspek keselamatan radiasi dan kondisi fasilitas kerja di IPLR maka setiap tabung hanya mempunyai aktivitas total 2 GBq atau setara dengan 50 mg 226Ra sehingga setiap tabung rata-rata berisi 10 buah sumber 226Ra. Berdasarkan hasil pemantauan penerimaan dosis pada pekerja pada saat kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra di PTLR, memang terjadi kenaikan

Page 18: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi

12

penerimaan dosis pekerja pada saat kondisioning sumber bekas226Ra, namun kenaikan ini masih dibawah nilai batas dosis (NBD) yang diijinkan [13]. Dengan demikian peningkatan penerimaan dosis tersebut tidak akan memberikan dampak radiologis terhadap pekerja dan program proteksi radiasi yang dilakukan selama proses kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra dapat berjalan sesuai dengan prosedur yang direncanakan. Tahap berikutnya setelah kondisioning sumber radiasi bekas adalah penyimpanan sementara yang kemudian dapat diikuti dengan penyimpanan akhir. Tempat Penyimpanan sementara untuk maksud peluruhan dari sumber radiasi bekas dengan waktu paro yang pendek harus ditetapkan waktu yang cukup untuk meluruhkan aktivitas sumber sampai batas dimana sumber sudah dapat dikategorikan sebagai bahan tidak aktif dan dapat dibuang sebagai limbah non radioaktif. Dalam hal ini harus dipastikan bahwa sisa aktivitas sumber radiasi dibawah tingkat kliren dan semua label yang ada dalam sumber harus dihilangkan. Penentuan waktu penyimpanan sementara yang tepat akan mengurangi biaya pengamanan sumber radiasi bekas tersebut. Adanya masalah biaya dan kesulitan pengiriman sumber radiasi bekas PTLR, dapat mengakibatkan sejumlah sumber radiasi bekas tertahan di fasilitas pengguna, sehingga memerlukan pengawasan, pengamanan dan dokumentasi terhadap seluruh sumber radiasi bekas yang disimpan. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997, pihak pengguna dapat menyimpan sendiri limbah radioaktif termasuk sumber radiasi bekasnya untuk sementara waktu ataupun dapat diperpanjang dengan ijin BAPETEN. Untuk itu pihak pengguna harus menjaga integritas kemasan sumber, proteksi fisik dan dibutuhkan pencatatan yang teliti selama penyimpanan sumber radiasi bekasnya. Selama sumber radiasi bekas disimpan di tempat penyimpanan sementara, maka perlu memperhatikan hal-hal berikut [10]: 1. Seluruh informasi teknik terkait dengan sumber seperti jenis sumber, aktivitas sumber, tanggal

produksi dan sebagainya harus akurat . 2. Harus dilakukan inspeksi dan pengamanan fisik seperti kunci pengaman, sistem alarm, kemasan

yang berat dan sebagainya 3. Jadwal perawatan gedung, kunci dan peralatan penanganan perlu dilakukan 4. Program pelatihan operator harus dilakukan dengan memperbaharui pelatihan secara berkala 5. Untuk antisipasi perpanjangan penyimpanan, maka harus dilakukan tes usap secara berkala

sesuai dengan persyaratan pengawasan. Untuk sumber radiasi bekas yang berumur paro menengah dan panjang setelah penyimpanan sementara suatu saat nanti perlu dilakukan penyimpanan akhir . Penyimpanan akhir sumber radiasi bekas ini masih perlu penelitian yang lebih jauh lagi, diantaranya perlunya dikembangkan sistem penyimpanan lestari terhadap sumber radiasi bekas yang memenuhi standar keselamatan terutama dengan kondisi host rock yang memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai fasilitas penyimpanan akhir. Selain itu aspek ekonomi, serta aspek keamanan untuk mencegah kemungkinan intrusi oleh pihak yang tidak dikehendaki (terorisme atau kejahatan lainnya), baik untuk penyimpanan dekat permukaan (near surface disposal) maupun penyimpanan tanah dalam (geological disposal) juga perlu dipertimbangkan dengan seksama [11]. KESIMPULAN

Pemanfaatan sumber radiasi terbuka dan tertutup dalam radioterapi telah berjalan cukup lama di beberapa rumah sakit baik untuk maksud diagnostik maupun terapi. Sumber radiasi tertutup yang digunakan dalam radioterapi yang digunakan pada umumnya 60Co, 137Cs dan 226Ra. Sejalan dengan hal ini tentu akan ditimbulkan limbah radioaktif yang berupa sumber radiasi bekas. Menurut UU No.10 Tahun 1997, PTLR merupakan badan pengelola limbah radioaktif tingkat nasional termasuk mengelola sumber radiasi bekas radioterapi. Untuk itu maka dalam strategi pengelolaan sumber radiasi bekas terdapat dua opsi bagi penimbul sumber radiasi bekas, yaitu mengembalikan sumber radiasi bekasnya ke pemasok atau mengirimkan sumber radiasi bekasnya ke PTLR untuk dilakukan pengelolaan. Adanya kendala dalam pengiriman sumber radiasi bekas ke pemasok ataupun pengiriman ke PTLR, maka perlu dipertimbangkan opsi lain yaitu pemanfaatan kembali sumber radiasi bekas tersebut dengan mengirimkan sumber radiasi bekas ke pemasok lain untuk diperbaharui ataupun dikirim ke pengguna lain untuk dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan kondisi sumber radiasi bekas tersebut..

Pengelolaan sumber radiasi bekas meliputi kondisioning, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari. Sumber radiasi bekas non 226Ra, kondisioning dilakukan dalam shell drum 200 liter, shell beton 950 liter ataupun shell beton 350 liter tergantung dari aktivitas dan dimensi sumber radiasi bekas tersebut. Sedangkan untuk sumber bekas 226Ra kondisioning dilakukan dalam LTSS dan kemudian LTSS dimasukkan dalam drum 200 liter. Sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning

Page 19: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

13

selanjutnya disimpan dalam tempat penyimpanan sementara dan selanjutnya dilakukan penyimpanan akhir.

Dalam rangka mempertimbangkan penyimpanan akhir yang ekonomis dengan tetap memenuhi standar keselamatan dan keamanan sumber radiasi bekas dari intrusi pihak yang tidak dikehendaki maka perlu dikembangkan sistem penyimpanan akhir baik untuk penyimpanan dekat permukaan maupun untuk penyimpanan tanah dalam. Untuk sumber radiasi bekas yang berumur paro menengah seperti sumber radiasi bekas 60Co dan 137Cs, penyimpanan akhir dilakukan pada penyimpanan dekat permukaan sedangkan untuk sumber radiasi bekas yang berumur paro panjang seperti226Ra, penyimpanan akhir akan dilakukan pada penyimpanan tanah dalam. DAFTAR PUSTAKA [1] Republik Indonesia: Undang- Undang No.10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran (1997). [2] Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, Data Penerimaan Limbah Radioaktif dari BATAN, Industri

dan Rumah Sakit.dari Tahun 2004 – 2006, PTLR-BATAN, Serpong (2007). [3] IAEA: Management of Waste from The Use of Radioactive Material in Medicine, Industry,

Agriculture, Research and Education, Safety Guide No.WS-G-2.7, IAEA-Vienna (2005). [4] IAEA: Handling and Processing of Radioactive Waste From Nuclear Applications, Technical

Series Report No. 402 A, IAEA-Vienna (2001). [5] Pusat Teknologi Limbah Radioaktif: Pengelolaan Llimbah dari Industri di BATAN, P2PLR-BATAN,

Serpong (2002). [6] Pusat Teknologi Limbah Radioaktif: Laporan analisis Keselamatan Rev.5, PTLR-BATAN, Serpong

(2006). [7] IAEA: Handling,Conditioning and Storage of Spent Sealed Radioactive Sources , IAEA-

TECDOC-1145, IAEA-Vienna (2000). [8] IAEA: Conditioning and Interim Storage of Spent Radium Sources, IAEA-TECDOC-886, IAEA-

Vienna (1996). [9] Al-Mughrabi,M.: Technical Manual for Conditioning of Spent Radium Sources, IAEA-Vienna

(1998). [10] IAEA: Interim Storage of Radioactive Waste Packages, Technical Reports Series No. 390, IAEA-

Vienna (1999). [11] IAEA: Disposal of Radioactive Waste, DS 354 draft 1, 2006-02-07, Vienna. [12] Suryantoro, Nurokhim: Pengaruh Pembentukan Gas Terhadap Ketahanan Kapsul Stainless

Steel Penampung Sumber Tertutup Bekas Radium, Prosiding Hasil Penelitian Dan Kegiatan Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif Tahun 2004, P2PLR-BATAN, Serpong, 113-118 (2005)

[13] Untara, dkk.: Evaluasi Penerimaan Dosis Radiasi Eksterna Terhadap Pekerja Dalam Pengolahan Limbah Radium, Prosiding Hasil Penelitian Dan Kegiatan Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif Tahun 2004, P2PLR-BATAN, Serpong, 137-141 (2005).

[14] IAEA: Borehole Facilities for Disposal of Radioactive Waste, Safety Standar Series DS 335, Vienna (2005).

[15] IAEA: Safety Consideration in The Disposal of Disused Sealed Radioactive Sources in Borehole Facilities, IAEA-TECDOC 1368, IAEA-Vienna (2003).

Page 20: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

14

PENGARUH KANDUNGAN LIMBAH RESIN DAN BAHAN ADITIF (BETONMIX)

TERHADAP KARAKTERISTIK HASIL SEMENTASI

Heru Sriwahyuni, Suryantoro Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN

Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK PENGARUH KANDUNGAN LIMBAH RESIN DAN BAHAN ADITIF (BETONMIX) TERHADAP

KARAKTERISTIK HASIL SEMENTASI. Telah dilakukan penelitian pengaruh kandungan limbah resin dan bahan aditif terhadap karakteristik hasil sementasi. Limbah resin yang berasal dari RSG-GAS disementasi dengan penambahan bahan aditif untuk meningkatkan ketahanan fisika kimia hasil sementasi. Dibuat sampel dengan variasi kandungan limbah antara 10 – 60 % berat dengan penambahan bahan aditif sebanyak 2 %, diameter sampel adalah 45 mm dan tinggi 50 mm. Kemudian hasil sementasi dengan penambahan bahan aditif dibandingkan dengan hasil sementasi tanpa penambahan bahan aditif. Uji kualitas blok semen meliputi uji pelindihan, uji kuat tekan dengan menggunakan alat Paul Weber dan pengukuran densitas hasil sementasi ditentukan dengan cara menimbang dan mengukur volume sampel. Hasil percobaan menunjukkan bahwa hasil optimal diperoleh pada sampel dengan penambahan bahan aditif aditif betonmix 2 % dan kandungan limbah 30% berat. Hasil pengukuran densitas optimal adalah 1,493 g/cm3 dengan kuat tekan 10,69 N/mm2. Hasil dari percobaan ternyata lebih kecil dibandingkan dengan standar IAEA untuk hasil sementasi.

Kata kunci : Limbah resin, bahan aditif, karakteristik sementasi

ABSTRACT THE EFFECT OF SPENT RESIN LOADING AND ADDITIVE MATERIAL MIXTURE TO

CHARACTERISTIC OF CEMENTATION RESULT. Experiment of the effect of spent resin-additive material mixture to the characteristic of cementation result has been done. Resin wastes originated from RSG facility were immobilized with cementation method by adding additive material to increase chemico-physical durability of cementation results. Samples were varied from 10 – 60 % weight of waste loading with 2% addition of additive material. Sample dimension was 46 mm dia and 50 mm height. Cementation result and then were compared among without added and with added additive material. Qualities of samples were tested with leaching test, compression strength test by using paul weber apparatus and density measurement was determined by weighting and measuring of sample’s volume. The experiment results showed that optimal result of sample with 2% adding additive material was in 30% of waste loading with density of sample was 1,493 g/cm3 and compression strenght was 10,69 N/mm2. Experiment results were less than IAEA standard for cementation result testing.

Keywords : Resin waste, additive, characteristics of cementation

PENDAHULUAN Kegiatan operasi Reaktor Serba Guna G. A. Siwabessy telah menyebabkan air pendingin

primer reaktor menjadi radioaktif. Unsur radioaktif tersebut berasal dari hasil reaksi fisi bahan bakar nuklir dengan netron yang sebagian besar tertahan oleh kelongsong dan sebagian lagi terlepas secara difusi menembus dinding kelongsong kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi air pendingin primer. Unsur radioaktif dapat pula terjadi akibat reaksi aktivasi air pendingin primer. Untuk menurunkan aktivitas air pendingin tersebut digunakan resin penukar ion. Akibat penangkapan radionuklida yang terus menerus, resin menjadi jenuh dan tidak dapat digunakan lagi sehingga diperlakukan sebagai limbah radioaktif. Pada bulan Mei tahun 2008 PRSG mengirimkan limbah resin sebanyak 7000 liter dengan aktivitas total sebesar 345076199.9 Bq atau sebesar 49296,59998 Bq/7000 liter (1,331008 .10-3 Ci/m3 ) ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) [1].

Secara umum resin adalah senyawa hidrokarbon terpolimerisasi sampai tingkat yang tinggi yang mengandung ikatan-ikatan hubung silang (cross-linking) serta gugusan yang mengandung ion-ion yang dapat dipertukarkan [2,3]. Berdasarkan gugus fungsionalnya, resin penukar ion terbagi menjadi dua yaitu resin penukar kation dan resin penukar anion. Resin penukar kation mengandung kation yang

Page 21: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif (Betonmix) Terhadap Karakteristik Hasil Sementasi

15

dapat dipertukarkan, sedang resin penukar anion mengandung anion yang dapat dipertukarkan. Secara umum rumus struktur resin penukar kation dapat dilihat pada Gambar 1 dan resin penukar anion Gambar 2 [2].

Limbah resin ini kemudian diolah melalui pemadatan (solidifikasi) menggunakan matriks semen sehingga diperoleh hasil pemadatan sebagai blok beton. Matriks semen yang merupakan campuran dari material semen, pasir dan air akan bereaksi secara kimia dan mengeras, memberikan hasil pemadatan berupa beton [4]. Untuk meningkatkan kekuatan hasil sementasi maka ditambahkan bahan aditif. Bahan aditif yang digunakan dalam penelitian ini adalah betonmix (Merk dagang). Betonmix merupakan cairan yang tidak berwarna dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas blok beton, sehingga kualitas pengungkungan imobilisasi unsur radioaktifnya meningkat.

Gambar 1. Resin Penukar Kation

Gambar 2. Resin Penukar Anion

CH CH2 CH CH2 CH

SO3-H+

CH2 CH CH2 SO3

-H+

CH2 CH CH2 CH

SO3-H+SO3

-H+

CH CH2 CH2 CH

CH2NMe3+Cl-

CH CH2

CH2NMe3+Cl-

CH2 CH2

CH2 CH CH2 CH

CH2NMe3+Cl- CH2NMe3

+Cl-

Page 22: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

16

TATA KERJA Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah resin berasal dari Pusat Reaktor

Serba Guna, bahan aditif (betonmix), semen portland tipe I, aquades, pot polietilen diameter 45 mm dan tinggi 50 mm. Peralatan yang digunakan antara lain mixer, neraca analitik, gelas arloji, spatula, gelas ukur, wadah plastik 1800 ml, alat uji tekan Paul Weber, alat cacah Multi Channel Analyzer (MCA). Kegiatan ini seluruhnya dilakukan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif pada tahun 2009.

METODE

Pembuatan blok semen dengan kandungan limbah 10 sampai dengan 60 %, dimana dicampurkan air/semen dengan perbandingan 35% berat, dan kandungan limbah divariasi antara 10% sampai 60 %, ditambahkan bahan aditif sebanyak 2% berat. Adonan diaduk dengan menggunakan mixer elektrik sampai campuran terlihat homogen. Adonan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam cetakan pot polietilen berdiameter 45 mm dan tinggi 50 mm dan didiamkan selama 28 hari (curing time). Penentuan densitas dan kuat tekan dilakukan setelah sampel didiamkan selama 28 hari. Sampel ditimbang dan diukur dimensinya untuk memperoleh densitas sampel, densitas sampel dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (1). Selanjutnya sample diuji tekan dengan menggunakan alat buatan Paul Weber dan kekuatan tekan ditentukan dengan persamaan (2).

ρ=mV (1)

P= FA (2)

dimana : ρ = densitas (g/cm3), P = kuat tekan (N/cm2), m = massa (g), V = volume (cm3), dan A = luas area (cm2).

Pengukuran laju pelindihan dilaksanakan setelah didapat hasil sementasi berupa blok semen

dengan kandungan limbah yang optimum. Uji pelindihan dilakukan dengan cara merendam sampel ke dalam gelas beker berisi air demin sebanyak 1000 ml yang berperan sebagai media pelindih. Pada hari ke-2, 3, 5, 7, 9 sampai hari ke-60 air pelindih diambil sebanyak 500 ml dan dicacah menggunakan alat cacah MCA.

Pengukuran konduktivitas larutan pelindih di ukur dengan menggunakan alat ukur konduktivitimeter. Pengukuran konduktivitas dilakukan pada minggu ke 1 sampai minggu ke 13.

Dan yang terakhir adalah pengukuran langsung aktivitas radionuklida pada blok beton hasil imobilisasi yang dilakukan dengan menggunakan alat cacah MCA, dengan jarak antara MCA dan sampel adalah 5 cm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Limbah resin yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pusat Reaktor Serba Guna yang disimpan di Interm Storage 1 dalam drum no. 50 dengan paparan radiasi dalam jarak 1 m adalah 0,7 µSv/jam. Limbah resin yang belum diolah, dicacah menggunakan MCA untuk mengetahui kandungan dan aktivitas radionuklida dalam limbah tersebut. Dari hasil pencacahan terlihat ada beberapa radionuklida yang terdeteksi yaitu : Mn-54 dengan aktivitas 9,74. 10-5 (µCi/ml), Co-60 dengan aktivias 2,57. 10-3 (µCi/ml) dan Cs-137 dengan aktivitas 6,99. 10-5 (µCi/ml).

Penentuan densitas dan kuat tekan blok semen

Penentuan densitas dilakukan untuk mengetahui karakteristik campuran semen dengan penambahan bahan aditif dan limbah resin. Hasil pengukuran densitas dari penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1, dibuat grafik densitas versus kandungan limbah yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Secara umum dari Gambar 3. dapat dilihat bahwa penambahan kandungan resin telah mengakibatkan terjadinya penurunan densitas beton limbah secara linier. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi ikatan antara resin dan semen merupakan interaksi ikatan fisika. Dengan pendekatan persamaan regresi linier maka penurunan densitas terhadap persen berat kandungan limbah pada blok semen tanpa penambahan bahan aditif adalah f(x)=-0,02x + 1,82 dan pada blok semen dengan penambahan bahan aditif adalah f(x) = -0,02x + 1,97.

Page 23: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif (Betonmix) Terhadap Karakteristik Hasil Sementasi

17

Tabel 1. Pengukuran Densitas Blok Semen No Kandungan

Limbah (%)

Densitas (g/cm3)

Tanpa Aditif Ditambah aditif

1 0 1,838 2,035

2 10 1,670 1,776

3 20 1,592 1,515

4 30 1,159 1,493

5 40 1,079 1,380

6 50 0,956 1,122

7 60 0,943 0,931

Gambar 3. Pengaruh kandungan resin bekas terhadap densitas beton-limbah Penambahan bahan aditif betonmix pada hasil sementasi telah mampu menurunkan viskositas

campuran beton, resin dan air sehingga campuran menjadi lebih keras. Dari data yang diperoleh, penambahan bahan aditif mampu meningkatkan densitas blok semen limbah sebesar 8,24%. Densitas yang diperoleh pada kondisi optimal dengan kandungan limbah 30% adalah 1,493 g/cm3 dan ternyata nilai tersebut belum memenuhi standar yang ditetapkan olehIAEA (International Atomic Energy Agency), dimana untuk standar IAEA mempunyai nilai antara 1,70 – 2,50 g/cm3 [5].

Dari percobaan pengaruh perbandingan kandungan limbah resin dengan semen terhadap kuat tekan didapat data yang ditampilkan pada Tabel 2.

0 10 20 30 40 50 60 700

0.5

1

1.5

2

2.5

f(x) = -0.02x + 1.97

f(x) = -0.02x + 1.82

Tanpa bahan aditifLinear Regression for Tanpa bahan aditifDitambah bahan aditifLinear Regression for Dita-mbah bahan aditif

Kandungan Limbah (%)

Den

sita

s (g

/cm

3)

Page 24: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

18

Tabel 2. Pengukuran Kuat Tekan Blok Semen

No

Kandungan Limbah (%)

Kuat Tekan (N/mm3)

Tanpa Aditif Dengan aditif

1 0 12,58 14,47

2 10 10,69 13,21

3 20 6,29 12,58

4 30 1,26 10,69

5 40 0,63 4,40

6 50 0,63 1,26

7 60 0,32 0,63

Berdasarkan data dari Tabel 2, dibuat grafik hubungan kuat tekan versus kandungan limbah

resin yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pengaruh kandungan resin bekas terhadap kuat tekan beton-limbah Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa semakin tinggi kandungan resin mengakibatkan

penurunan kuat tekan baik untuk blok semen tanpa penambahan bahan aditif maupun dengan blok semen dengan penambahan bahan aditif. Pada blok semen tanpa penambahan bahan aditif pada kandungan limbah 10% sampai 20 % penurunan kuat tekan belum signifikan, selanjutnya pada kandungan limbah 30% sampai 40% terjadi penurunan kuat tekan secara signifikan. Penurunan kuat tekan cenderung linier pada blok semen antara 50% sampai 60%. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada blok semen tanpa penambahan bahan aditif dengan kandungan limbah antara 10% sampai 20 % menunjukkan bahwa ikatan semen masih mampu mengungkung limbah resin dengan baik, sehingga tekanan swelling dari limbah resin masih dapat ditahan oleh kekuatan ikatan semen. Pada kandungan limbah resin 30% sampai 40% porsi kekuatan swelling menjadi meningkat seiring peningkatan kandungan limbah, sehingga kemampuan kekuatan semen untuk mengimbangi kekuatan swelling

0 10 20 30 40 50 60 700

2

4

6

8

10

12

14

16

Tanpa bahan aditifDitambah bahan aditif

Kandungan Limbah (%)

Kua

t Te

kan

(N/m

m2)

Page 25: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif (Betonmix) Terhadap Karakteristik Hasil Sementasi

19

menurun. Pada kandungan limbah 50% sampai 60 % kekuatan semen hanya berfungsi sebagai pengikat antar butiran resin sehingga kuat tekan sampelnya menjadi rendah.

Pada sampel blok semen dengan penambahan bahan aditif, kuat tekan yang diperoleh lebih besar besar dibandingkan dengan kuat tekan tanpa aditif. Penurunan kuat tekan tidak begitu signifikan antara kandungan limbah 10% sampai 30%, dan menjadi signifikan setelah kandungan limbah 30%. Penambahan bahan aditif meningkatkan kuat tekan blok semen limbah dikarenakan aditif mampu meningkatkan kekerasan dari blok semen limbah sehingga ikatan blok semen limbah menjadi lebih kuat.

Dari data yang diperoleh, blok semen dengan kandungan limbah 30 % dengan penambahan bahan aditif 20% mempunyai kuat tekan yang paling tinggi yaitu 10,69 N/mm2 tetapi harga tersebut belum memenuhi kriteria standar IAEA, dimana standar IAEA untuk kuat tekan adalah 20 – 50 N/mm2

[5].

Pengukuran laju pelindihan Pada percobaan uji pelindihan blok semen selama hampir 2 bulan, seluruh larutan pelindih

setelah dicacah dengan MCA tidak terdeteksi adanya lepasan radionuklida. Hal ini dikarenakan radionuklida Co-60, Cs-137 dan Mn-54 terikat oleh resin penukar kation, dan resin telah terimobilisasi dalam matriks semen. Pada keadaan tersebut sangat sukar terjadi pelindihan radionuklida yang telah terikat oleh resin yang telah terimobilisasi dalam matriks semen.

Pengukuran konduktivitas dan kerapuhan blok semen

Untuk mengetahui bahwa blok semen limbah mengalami pelindihan juga digunakan metode lainnya yaitu dengan cara mengukur konduktivitas cairan penlindih dengan alat konduktivitimeter yaitu mengukur secara total ion-ion yang terlarut kedalam larutan pelindih. Dari Gambar 5, dapat diketahui bahwa semakin lama waktu pelindihan, pelepasan ion-ion terlarut ke larutan pelindih akan mengalami kejenuhan.

Dari hasil penelitian, blok semen tanpa penambahan bahan aditif mempunyai kelarutan lebih tinggi dibandingkan blok semen dengan penambahan bahan aditif. Hal ini menunjukkan penambahan bahan aditif dapat menurunkan pelepasan unsur-unsur semen-limbah ke dalam larutan pelindih.

Pada sampel tanpa aditif dan dengan penambahan bahan aditif, semakin tinggi kandungan limbah resin kelarutannya semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin tinggi limbah resin kemampuan kekuatan swelling yang melawan kekuatan ikatan semen semakin besar sehingga blok semen hasil imobilisasi menjadi lebih rapuh.

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

10/7

/200

9

10/1

4/20

09

10/2

1/20

09

10/2

8/20

09

11/4

/200

9

11/1

1/20

09

11/1

8/20

09

11/2

5/20

09

12/2

/200

9

12/9

/200

9

12/1

6/20

09

12/2

3/20

09

12/3

0/20

09

1/6/

2010

Tanggal

kond

uktiv

itas

(mik

rosi

emen

/cm

)

TA-0%TA-10%A-0%A-10%A-20%A-30%

Gambar 5. Pengaruh bahan aditif dan waktu pelindihan

terhadap konduktivitas larutan pelindih blok semen Hasil pengamatan secara visual disajikan pada Gambar 6, dimana blok semen hasil sementasi

mulai dari kandungan limbah 30% sampel hasil imobilisasi terlihat merekah pecah dari atas sampai

Page 26: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

20

bawah. Dan rekahan semakin melebar dengan meningkatnya kandungan limbah 40 % sampai 50%, dikhawatirkan kondisi seperti ini pada hasil sementasi yang sebenarnya dapat menyebabkan ion-ion logam dan radionuklida yang ada di blok semen akan mudah terlepas ke lingkungan. Tentunya hal seperti ini sangat penting untuk dihindari.

Gambar 6. Blok Semen dengan variasi kandungan limbah 30% - 50%

Pengaruh aditif terhadap atenuasi beton-limbah

Pengukuran langsung aktivitas radionuklida dalam blok semen dengan hasil seperti yang tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Pengukuran Blok Semen Dengan alat MCA (Multy Channel Analyzer)

No

Kandungan Limbah

(%)

Aktivitas Radionuklida Dalam Blok Semen (µCi/ml)

Tanpa Bahan Aditif Ditambah Bahan Aditif

Mn-54 Co-60 Cs-137 Mn-54 Co-60 Cs-137

1. 0 ----- ------- ------ ----- ------- ------

2. 10 ------ 5,04.10-4 ------- ----- 4,78 .10-4 ------

3. 20 ------ 9,14 .10-4 ------- ----- 8,19 .10-4 ------

4. 30 5,30.10-5 1,38 .10-3 ------ ----- 5,77 .10-4 ------

5. 40 7,46 .10-5 1,79 .10-3 4,66 .10-5 2,42 .10-5 5,39 .10-4 ------

6. 50 7,52 .10-5 1,83 .10-3 4,90 .10-5 1,93 .10-5 4,72 .10-4 ------

7. 60 8,30 .10-5 1,96 .10-3 3,96 .10-5 8,98 .10-5 1,97 .10-3 5,99 .10-5

Dari Tabel 3. dapat dilihat bahwa penambahan bahan aditif meningkatkan atenuasi dari blok

semen, hal ini disebabkan karena penambahan bahan aditif mampu meningkatkan densitas blok semen limbah. Semakin tinggi densitas blok semen, maka kemampuan atenuasi terhadap paparan radiasinya semakin tinggi pula.

KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Semakin tinggi kandungan limbah menyebabkan penurunan densitas dan kuat tekan blok semen 2. Penambahan aditif betonmix sebanyak 2 % mampu meningkatkan densitas dan kuat tekan blok

semen 3. Hasil optimal diperoleh pada sampel dengan penambahan aditif 2 % dan kandungan limbah 30 %

dengan densitas 1,493 g/cm3, kuat tekan 10,69 N/mm2, dan hasil ini ternyata lebih kecil dari standard yang diterapkan oleh IAEA untuk hasil sementasi.

4. Dilihat dari hasil yang diperoleh disarankan agar imobilisasi limbah resin perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode lainnya yang lebih efektif dibandingkan imobilisasi secara sementasi.

Page 27: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif (Betonmix) Terhadap Karakteristik Hasil Sementasi

21

DAFTAR PUSTAKA [1] Nugraha, H., Unggul, H., Y. Sumarno, Tri Anggono dan A. Fahmi Muslimu: Analisis Limbah Resin

Di Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy Tahun 2008, Prosiding Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir. STTN – Yogyakarta. 545-553 (2008).

[2] Gokhle,A.S., Mathor, P.K., and Venkateswarhu, K.S.: Ion Exchange Resin for Water Purification: Properties and Characterization”, Water Chemistry Division Bhabha Atomic. Research Centre. Bombay, India (1987).

[3] International Atomic Energy Agency: Management of Spent Resin Ion-Exchange Resin From Nuclear Power Plants, TECDOC-238, IAEA-Vienna (1981).

[4] BATAN-Technicatome: System Note : Solid, Semi Solid, Liquid Waste Treatment, WSPG 330 NSN 9001, Paris (1986).

[5] International Atomic Energy Agency: Chemical Durability and Related Properties of Solidified High Level Waste Form, Technical Report Series No. 257, IAEA-Vienna (1985).

Page 28: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

22

TAHANAN JENIS GELAS-LIMBAH DAN KAPASITAS PANAS UNTUK OPERASI MELTER PADA VITRIFIKASI

LIMBAH CAIR AKTIVITAS TINGGI

Wati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN

Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK TAHANAN JENIS GELAS-LIMBAH DAN KAPASITAS PANAS UNTUK OPERASI

MELTER PADA VITRIFIKASI LIMBAH CAIR AKTIVITAS TINGGI. Pengaruh suhu dan frekuensi terhadap tahanan jenis gelas-limbah dan perhitungan kapasitas panas untuk operasi melter pada vitrifikasi limbah cair aktivitas tinggi telah dipelajari. Komposisi limbah ditentukan dengan computer code ORIGEN 2 berdasarkan atas bahan bakar bekas dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) jenis PWR (Pressurized Water Reactor) 1.000 MWe, fraksi bakar 45.000 MWD/MTU, pengkayaan uranium 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4 tahun. Kandungan produk fisi dalam gelas limbah ditentukan sebesar 9,20 % berat dan kandungan limbah 25 % berat. Pembentukan gelas-limbah dilakukan pada suhu 1150 °C selama 2,5 jam, annealing dilakukan pada 510 °C selama 2 jam dalam crucible grafit dan selanjutnya dilakukan pendinginan dengan laju 16,7 °C/jam sampai suhu kamar. Tahanan jenis gelas-limbah ditentukan dengan elektrode platina yang telah diketahui tetapan selnya. Tahanan jenis gelas-limbah pada frekuensi tertentu, jika suhu bertambah maka tahanan jenisnya berkurang. Sedangkan pada suhu tertentu, jika frekuensi bertambah maka tahanan jenisnya bertambah. Pada suhu 1150 °C dan frekuensi 100 kHz, tahanan jenis gelas-limbah adalah 5,20 ohm cm. Data tahanan jenis ini diperlukan untuk sistem pemanas Joule dalam melter. Peleburan gelas-limbah sebanyak 300 kg, dengan densitas 2,74 g/cm3, sehingga volumenya 110 liter. Untuk volume melter yang ditempati 110 liter gelas-limbah diperoleh kedalaman, lebar, dan panjang melter masing-masing adalah 24, 48, dan 96 cm. Dari perhitungan panas, maka diperoleh tenaga panas sebesar 116,45 kW. Panas ini belum cukup untuk melebur 300 kg gelas-limbah dan perlu ditambahkan panas dari heater atau microwave.

Kata kunci : tahanan jenis, kapasitas panas, gelas-limbah, vitrifikasi, limbah cair aktivitas tinggi ABSTRACT SPECIFIC RESISTANCE OF WASTE-GLASS AND HEAT CAPACITY FOR MELTER OPERATION IN VITRIFICATION OF HIGH LEVEL LIQUID WASTE. The effect of temperature and frequency on the specific resistance of waste-glass and calculation of heat capacity for melter operation in vitrification of high level liquid waste have been studied. The composition of waste was determined by computer code ORIGEN 2 based on spent fuels from NPP-PWR 1.000 MWe, burn up 45.000 MWD/MTU, 4,5 % uranium enrichment, specific power 38 MW/MTU and cooling time for 4 years. The contents of fission products in waste-glass were determined 9,20 % of weight and waste loading 25 % of weight. The waste-glass formation were conducted at temperature 1150 °C for 2,5 hours, annealing at 510 °C for 2 hours in grafit crucible and cooling with rate 16,7 °C/hour until room temperature. Specific resistance of waste-glass is determined by platina electrode knowing its cell constant. The specific resistance of waste-glass at certain frequency as the temperature increases so the specific resistance decreases. At certain temperature, as the frequency increases so the specific resistance increases. Specific resistance of waste-glass at the temperature of 1150 °C and the frequency of 100 KHz is 5,20 ohm cm. The specific resistance data is used for Joule heating system in the melter. The amount of melted waste-glass is 300 kg, with density of 2,74 g/cm3, so its volume is 110 liters. Volume of melter contains 110 liters of waste-glass, can be determined on depth, width, and length of melter are 24, 48, and 96 cm respectively. From the calculation of energy, Joule heat is 116,45 kW. This heat capacity was not enough for melting 300 kg and must be added of heat from heater or microwave. Keywords : specific resistance, heat capacity, waste-glass, vitrification, high level liquid waste. PENDAHULUAN

Limbah Cair Aktivitas Tinggi (LCAT) dihasilkan dari ekstraksi siklus I proses olah-ulang bahan bakar nuklir bekas. Pada ekstraksi siklus I proses olah-ulang dilakukan pemisahan U, Pu, dan unsur aktinida yang lain dari hasil belah. Larutan yang mengandung U, Pu, unsur aktinida , dan sedikit hasil belah diproses lebih lanjut untuk mengambil U dan Pu, sedangkan larutan yang banyak mengandung hasil belah dan sedikit aktinida serta mempunyai keasaman yang tinggi antara 6 – 8 M sebagai LCAT.

Page 29: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi

23

Negara yang melakukan proses olah ulang dapat memanfaatkan U sisa dan Pu yang terjadi dalam bahan bakar untuk bahan bakar reaktor pembiak cepat (fast breader reactor). Imobilisasi limbah cair aktivitas tinggi dari ekstraksi siklus I proses olah ulang dapat dilakukan dengan synroc, vitromet dan gelas. Gelas dipilih karena relatif lebih mudah membuatnya dari pada synroc dan vitromet serta gelas mempunyai stabilitas dalam jangka panjang. Pada saat ini gelas borosilikat secara luas telah digunakan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Inggris, India, Pakistan dan teknik pembuatannya telah digunakan dalam skala industri. Di Korea gelas digunakan untuk imobilisasi limbah aktivitas rendah dengan tujuan untuk meningkatkan aspek keselamatan dan ekonomi. Komposisi limbah dapat ditentukan dengan analisis atau dengan computer code ORIGEN-2 berdasarkan atas sejarah elemen bahan bakar nuklir bekas seperti pengkayaan uranium, fraksi bakar (burn–up), tenaga spesifik dan lama pendinginan. Hasil perhitungan LCAT simulasi sangat penting untuk aplikasi penelitian proses imobilisasi LCAT skala laboratorium. Untuk mempelajari proses vitrifikasi skala laboratorium, disamping harus ditentukan komposisi LCAT simulasi juga harus ditentukan komposisi bahan pembentuk gelas (glass frit) sehingga diperoleh komposisi gelas-limbah yang memenuhi persyaratan standar. Pada makalah ini komposisi limbah ditentukan dengan computer code ORIGEN-2 [1] berdasarkan atas bahan bakar bekas dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) jenis PWR (Pressurized Water Reactor) 1.000 MWe, fraksi bakar 45.000 MWD/MTU, pengkayaan uranium 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4 tahun yang ditunjukkan pada Tabel 1[1].

Komposisi gelas-limbah dalam percobaan di laboratorium dirancang mempunyai titik lebur 1150 ºC karena pertimbangan korosi bata tahan api dari melter pada penerapan dalam skala industri. Makin tinggi titik lebur makin cepat laju korosi bata tahan api, yang berarti umur melter lebih pendek dan lebih banyak menimbulkan limbah radioaktif padat sekunder. Titik lebur gelas yang mempunyai struktrur amorf adalah suhu dimana viskositas lelehan gelas-limbah 100 poise. Sebagai contoh gelas-limbah dengan titik lebur 1150 ºC ditunjukkan pada Tabel 2. Dimana penentuan komposisi gelas-limbah dilakukan dengan cara penetapan kandungan hasil belah dalam gelas-limbah 9,20 %, kandungan limbah 25 % dan Na2O sekitar 10 % berat. Bahan pembentuk gelas (glass frit) yang digunakan adalah SiO2 62,3; B2O3 19,0; Al2O3 6,7; Li2O 4,0; CaO 4,0; dan ZnO 4,0 % berat.

Tabel 1. Komposisi LCAT dari bahan bakar bekas PWR 1.000 MWe, fraksi bakar 45.000 MWD/MTU, pengkayaan U235 4,5 %, tenaga spesifik 38 MW/MTU dan pendinginan selama 4 tahun[1].

Oksida Rasio dalam limbah Oksida Rasio dalam limbah Na2O Fe2O3 NiO Cr2O3 P2O5 SeO2 Rb2O SrO Y2O3 ZrO2 MoO3 Tc2O7 RuO2 Rh2O3 PdO Ag2O CdO SnO2 Sb2O3

0,16480 0,09047 0,01473 0,01683 0,00947 0,00114 0,00557 0,01446 0,00852 0,06991 0,07192 0,01672 0,04121 0,00736 0,02204 0,00104 0,00176 0,00153 0,00037

TeO2 Cs2O BaO La2O3 CeO2 Pr6O11 Nd2O3 Pm2O3 Sm2O3 Eu2O3 Gd2O3 ZrO2 Gd2O3 UO3 NpO2 PuO2 Am2O3 Cm2O3

0,00843 0,03905 0,02575 0,02051 0,04192 0,01936 0,06766 0,00068 0,01218 0,00248 0,00192 0,02557 0,12129 0,03806 0,00809 0,00146 0,00525 0,00047

Page 30: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

24

Pada pembuatan gelas-limbah secara simulasi, unsur Tc diganti oleh Mn, aktinida (U, Np, Am, Cm) diganti oleh Ce dan Pm diganti oleh Nd. Hasil perhitungan komposisi gelas-limbah ditunjukkan pada Tabel 2. Beberapa unsur yang menentukan sifat gelas-limbah, yaitu : 1. Unsur Mo, Zr, dan Cr dapat membentuk fase pemisah dan mempengaruhi kekentalan gelas-

limbah. 2. Unsur Fe, Si, dan Al akan menaikkan suhu pembentukan gelas-limbah. Pada umumnya gelas

borosilikat dengan kandungan SiO2 lebih besar dari 40 % mempunyai sifat yang baik [2]. 3. Adanya unsur boron (kandungan B2O3 ± 15%) dapat menstabilkan gelas-limbah serta dapat

menurunkan suhu pembentukan dan kekentalan gelas-limbah. 4. Unsur Na menurunkan suhu pembentukan dan kekentalan gelas-limbah, tetapi menaikkan laju

pelindihan. 5. Unsur Pu lebih sukar disatukan dengan gelas dari pada unsur U. Fase pemisah akan terjadi jika

konsentrasi PuO lebih dari 4 % di dalam gelas-limbah [2]. 6. Unsur-unsur grup platina (Ru, Rh, Pd) adalah tidak larut di dalam gelas-limbah, dan akan

mengganggu aliran listrik yang timbul pada melter dengan pemanas joule. Pembentukan gelas-limbah dilakukan pada suhu 1150 °C selama 2,5 jam, annealing

dilakukan pada 510 °C selama 2 jam dalam crucible grafit dan selanjutnya dilakukan pendinginan dengan laju 16,7 °C/jam sampai suhu kamar.

Solidifikasi LCAT dengan gelas borosilikat yang dikenal dengan proses vitrifikasi dilakukan di dalam melter. Melter dengan pemanas Joule, tenaga panas lebih efisien dan umur melter lebih lama dibanding melter dengan pemanas induksi. Salah satu karakteristik gelas-limbah hasil vitrifikasi adalah tahanan listrik (electrical resistivity) atau tahanan jenis (specific resistance). Tahanan listrik gelas-limbah ditentukan dengan alat pengukur tahanan listrik dengan memasukkan elektrode platina yang telah ditentukan tetapan selnya dan dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut [3] :

K = ρR

(1)

K = tetapan sel (ditentukan menggunakan gelas standar = 0,766 cm-1), R = tahanan listrik (ohm) dan ρ = tahanan jenis (ohm cm). Berdasarkan persamaan 1 tersebut di atas, apabila tahanan listrik gelas-limbah pada berbagai suhu dan frekuensi dapat diukur, maka tahanan jenisnya (specific resistance) dapat dihitung.

Tabel 2. Komposisi gelas-limbah simulasi dalam prosen berat dengan kandungan produk fisi dalam gelas-limbah sebesar 9,20 % berat dan kandungan limbah 25 % berat.

Oksida Prosen Berat (% Berat) Oksida Prosen Berat (% Berat)

SiO2 B2O3 Al2O3 Li2O CaO ZnO Na2O P2O5 Fe2O3 Cr2O3 NiO

Gd2O3 Sb2O3 Rb2O Cs2O SrO BaO ZrO2

46,55 14,20 5,01 2,99 2,99 2,99 9,99 0,17 1,65 0,31 0,27 2,26 0,01 0,10 0,71 0,26 0,47 1,75

MoO3 MnO2 RuO2 Rh2O3 PdO Ag2O CdO SnO2 SeO2 TeO3 Y2O3 La2O3 CeO2 Pr6O11 Nd2O3 Sm2O3 Eu2O3

1,31 0,31 0,75 0,13 0,40 0,02 0,03 0,03 0,02 0,15 0,16 0,38 1,76 0,35 1,25 0,22 0,05

Page 31: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi

25

Tahanan jenis gelas-limbah ini diperlukan untuk operasi melter yang menggunakan sistem pemanas Joule. Pada suhu tinggi gelas merupakan penghantar listrik yang dapat menimbulkan panas. Pada pengukuran tahanan listrik, grup platina karena mengganggu dalam pengukuran maka diganti dengan unsur-unsur yaitu Ru diganti oleh Fe, Rh oleh Co dan Pd oleh Ni. Melter dengan pemanas joule Melter dengan pemanas Joule, yaitu melter keramik pada suhu tinggi dengan pemanasan menggunakan arus listrik yang melewati lelehan gelas-limbah. Lelehan gelas pada suhu di atas 600 °C dapat menjadi penghantar listrik yang menimbulkan panas. Elektrode yang digunakan adalah paduan nikel-krom yang dikenal dengan inconel 690. Melter dengan pemanas Joule mengharuskan adanya gelas-limbah dalam melter, sampai sekitar 10 mm di atas elektrode, walaupun melter tidak dalam keadaan operasi. Adanya gelas-limbah dalam melter ini digunakan untuk operasi berikutnya. Untuk operasi melter, ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu [1,4] :

Pemanas awal, yang dilakukan dengan heater (pemanas) dan microwave yang frekuensinya 915 MHz dan kapasitas maksimumnya 50 kW. Pemanasan awal ini dilakukan sampai pada suhu 600 °C.

Pemanasan dengan elektrode yang menimbulkan aliran listrik. Pada suhu 600 °C atau lebih, lelehan gelas-limbah dapat menghantarkan arus listrik. Aliran arus listrik melalui lelehan gelas-limbah antara 2 elektrode yang tercelup dapat menimbulkan panas sampai 1150 °C.

Pembentukan gelas-limbah, dilakukan pada 1150 °C. Setelah pengumpanan selesai dan permukaan lelehan gelas-limbah dalam keadaan puncak panas, maka lelehan gelas-limbah siap untuk dikeluarkan dari melter ke canister dari baja tahan karat 304.

Selanjutnya canister yang berisi gelas-limbah ditutup, kemudian tutup dilas, permukaan canister didekontaminasi, dan selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan sementara dengan pendingin udara selama 30-50 tahun.

Skema melter dengan sistem pemanas Joule ditunjukkan pada Gambar 1 [1], dimana : h = tinggi gelas-limbah yang akan dikeluarkan, l1 = panjang melter antara dua elektrode, l2 = kedalaman melter pada bagian berbentuk kerucut dan 10 mm adalah batas gelas-limbah yang harus ada di dalam melter walaupun melter tidak dioperasikan.

Gambar 1. Skema melter dengan sistem pemanas Joule [1].

Panas Joule adalah energi yang dilengkapi dengan supply tenaga listrik. Untuk melter, panas Joule dinyatakan sebagai berikut [5] :

P = i2 R = z (CD)2 L (W) D (2)

dimana : z = specific resistance (tahanan jenis) gelas-limbah (ohm cm), CD = electrode current density (densitas arus elektrode), L = panjang melter (4 kali kedalaman), W = lebar melter (2 kali kedalaman) dan D = kedalaman melter. Pada makalah ini disajikan pengaruh suhu dan frekuensi terhadap tahanan jenis gelas-limbah dan perhitungan kapasitas panas Joule untuk operasi melter pada vitrifikasi limbah cair aktivitas tinggi.

Page 32: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

26

Tahanan jenis gelas-limbah dan kapasitas panas untuk operasi melter pada vitreifikasi limbah cair aktivitas tinggi Hasil pengukuran tahanan listrik lelehan gelas-limbah pada berbagai suhu dan frekuensi dapat dilihat pada Tabel 3 [1].

Tahanan listrik gelas-limbah pada suhu 1205 ºC dan frekuensi 100 kHz adalah 3,195 ohm, maka berdasarkan persamaan 1 tersebut di atas, tahanan jenisnya (specific resistance) adalah 3,195 ohm/0,776 cm-1 = 4,17 ohm cm. Dengan cara yang sama, apabila tahanan listrik gelas-limbah pada berbagai suhu dan frekuensi dapat diukur, maka tahanan jenisnya (specific resistance) dapat dihitung. Hubungan antara tahanan jenis, frekuensi dan suhu ditunjukkan oleh Tabel 4 dan dapat digambarkan seperti pada Gambar 2. Tabel 3. Tahanan listrik gelas-limbah pada berbagai suhu dan frekuensi [1]. FREKUENSI

(kHz) TAHANAN LISTRIK GELAS-LIMBAH (ohm)

Suhu gelas-limbah (ºC) 1205 1100 1001 900 801 701

1 3,422 5,084 8,210 16,186 40,56 139,02 2 3,358 4,996 8,085 15,930 39,68 135,46 5 3,297 4,714 7,958 15,662 38,80 131,72 10 3,260 4,865 7,880 15,490 38,22 129,50 20 3,232 4,823 7,812 15,328 37,72 127,61 50 3,205 4,780 7,739 15,157 37,21 125,40

100 3,195 4,780 7,701 15,064 36,90 124,04

Tabel 4. Tahanan jenis gelas-limbah pada berbagai temperatur dan frekuensi.

Frekuensi (kHz) Tahanan Jenis (ohm.cm)

Temperatur Gelas-Limbah (°C) 1205 1100 1001 900 801 701

1 4,47 6,64 10,72 21,13 52,95 181,49 2 4,38 6,52 10,55 20,80 51,80 176,84 5 4,30 6,15 10,39 20,45 50,65 171,96

10 4,25 6,35 10,29 20,22 49,89 169,06 20 4,22 6,30 10,20 20,018 49,24 166,59 50 4,18 6,24 10,10 19,797 48,58 163,70 100 4,17 6,21 10,05 19,66 48,17 161,93

Gambar 2. Hubungan antara tahanan jenis, suhu dan frekuensi dari gelas-limbah.

Page 33: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi

27

Tabel 5. Karakteristik gelas-limbah dibanding standar PNC[1].

Karakteristik gelas-limbah Standar PNC Gelas-limbah Densitas 2,74 g/cm3 2,75 g/cm3

Koefisien muai panjang 83 x 10-7 °C-1 (pada 30-300 °C)

88 x 10-7 °C-1 (pada 30-300 °C)

Titik transformasi 501 °C 502 °C

Daya Hantar Panas 0,87 kkal/m2.jam °C (pada 100 °C)

1,025 – 1,099 kkal/m2.jam °C (pada 100 °C)

Titik pelunakan 604 °C 616 °C

Tahananan jenis 4,8 ohm.cm (pada 1150 °C)

5,20 ohm cm (pada 1150 °C)

Kekentalan 40 poise (pada 1150 °C)

43 poise (pada 1150 °C)

Laju pelindihan (statik, 100 °C, 24 jam) 2,3 x 10-5 g/cm2hari 2,1 x 10-5 g/cm2hari

Panas jenis 0,21 kal/g °C (pada 100 °C) -

Pada frekuensi tertentu, jika suhu bertambah maka tahanan jenisnya berkurang. Pada

suhu tertentu, jika frekuensi bertambah maka tahanan jenisnya bertambah. Pada suhu tinggi tahanan jenisnya rendah sehingga tenaga listrik yang diberikan elektrode juga rendah. Tahanan jenis pada suhu 1150 ºC dan frekuensi 100 kHz adalah 5,20 ohm cm, dimana nilai ini sedikit lebih besar dibandingkan dengan standar Power Reactor and Nuclear Fuel Development Corporation (PNC) yaitu 4,80 ohm cm pada suhu dan frekuensi yang sama, seperti ditunjukkan pada Tabel 5 [1]. Oleh karena itu tenaga listrik yang diberikan elektrode sedikit lebih tinggi. Untuk sistem pemanas Joule perlu dipilih gelas dengan tahanan jenis rendah sehingga gelas merupakan konduktor listrik yang baik dan menimbulkan panas yang besar.

Tahanan jenis gelas pada suhu kamar sangat tinggi yaitu 1014 – 1018 ohm cm. Oleh karena itu gelas-limbah pada suhu rendah sebagai isolator, dan pada suhu tinggi di atas 600 ºC dapat menghantarkan arus listrik yang menimbulkan panas. Panas yang timbul tersebut dapat dimanfaatkan untuk proses vitrifikasi limbah cair aktivitas tinggi skala industri. Tahanan listrik gelas-limbah dipengaruhi oleh unsur Na. Makin tinggi kandungan Na dalam gelas-limbah, maka makin tinggi hantaran listriknya, ini berarti makin rendah tahanan listriknya [1]. Walaupun Na berperan dalam hantaran listrik, namun keberadaannya dalam gelas-limbah dibatasi karena menurunkan ketahanan kimia dan kandungan Na2O melebihi 10 % berat akan menimbulkan pemisahan fase [1]. Tahanan listrik gelas-limbah dipengaruhi juga oleh suhu, karena pada suhu yang lebih tinggi mobilitas atom dan ion akan lebih cepat. Dari Tabel 3 dan 4 dapat dilihat bahwa makin tinggi suhu, maka tahanan listrik maupun tahanan jenis gelas-limbah makin kecil.

Electrode current density (densitas arus elektrode) dibatasi disebabkan korosi elektrode, karena biasanya gelas-limbah radioaktif sebagai pengoksidasi. Elektrode yang biasanya digunakan dalam industri gelas komersial (yaitu molibdenum), tidak sesuai untuk digunakan dalam vitrifikasi limbah cair aktivitas tinggi. Paling sedikit umur elektrode sesuai dengan umur refractory (bata tahan api). Kelebihan ketahanan oksidasi paduan nikel-krom telah diuji dan digunakan lebih 3 tahun operasi, tanpa adanya korosi yang berarti. Pengujian tersebut dilakukan dengan pendinginan elektrode dan densitas arus dipertahankan pada harga rendah (0,30-0,45 A/cm2). Joule Heated Ceramic Melter milik JNC-Jepang menggunakan elektrode dari paduan nikel-krom yang disebut inconel 690. Inconel 690 mempunyai ketahanan korosi yang tinggi dalam lelehan gelas-limbah. Laju korosi inconel 690 yaitu 0,024 mm/hari, lebih rendah dibanding logam yang lain. Fenomena fisika yang terjadi dalam Joule Heated Ceramic Melter saling berkaitan dan sangat kompleks. Dimensi rongga peleburan selalu dianggap : panjang sebanding dengan 4 kali kedalaman dan lebar sebanding 2 kali kedalaman (persamaan 2). Pada proses vitrifikasi skala industri, kandungan limbah dalam gelas-limbah adalah 25 % berat. Densitas gelas-limbah 2,7-3,0 g/cm3. Elektrode yang digunakan adalah paduan nikel-krom yang disebut inconel 690, yang tahan korosi. Electrode current density (densitas arus elektrode) yang digunakan agar inconel 690 tahan korosi adalah 0,30-0,45 A/cm2. Densitas arus elektrode ini merupakan fungsi volume melter, kedalaman melter, dan bentuk umpan yaitu cair atau padat. Umpan bentuk cair, densitas arus elektrodenya lebih besar daripada umpan bentuk padat. Volume melter yang makin besar akan menghasilkan densitas arus elektrode yang makin kecil. Electrode current density sebagai fungsi ukuran melter untuk umpan cair ditunjukkan pada Tabel 6 [5].

Melter dengan sistem pemanas Joule berisi 750 kg gelas-limbah, dengan 450 kg gelas-limbah harus selalu ada dalam melter untuk pembangkit panas pada operasi berikutnya.

Page 34: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

28

Pemanasan awal digunakan heater atau microwave dengan frekuensi 915 MHz sampai suhu 600 ºC. Selanjutnya elektrode dihidupkan, sehingga terjadi aliran listrik dalam gelas-limbah. Heater dan microwave juga berfungsi untuk menambah panas jika pemanas Joule kurang. Selanjutnya umpan dimulai untuk membuat 300 kg gelas-limbah, dengan komposisi 25 % berat limbah cair aktivitas tinggi dan 75 % berat bahan pembentuk gelas (glass frit). Lelehan gelas-limbah 300 kg tersebut selanjutnya dituang dari melter ke canister. Densitas gelas-limbah tersebut 2,74 g/cm3 (2740 kg/m3), maka volume melter yang ditempati gelas-limbah adalah 300 kg/2740 kg/m3 = 110 liter. Dari Tabel 4, suhu gelas-limbah yang dioperasikan pada 1150 ºC maka tahanan jenis (specific resistance) gelas-limbah adalah 5,20 ohm cm. Dari Tabel 6, untuk volume melter 110 liter diperoleh kedalaman melter (D) adalah 24 cm dan electrode current density (CD) untuk umpan limbah cair adalah 0,45 A/cm2. Dengan diketahui kedalaman melter, maka panjang dan lebar melter dapat ditentukan. Panjang melter = 4 X kedalaman melter = 4 X 24,00 cm = 96 cm, sedangkan lebar melter = 2 X kedalaman melter = 2 X 24,00 cm = 48 cm. Skema melter dengan sistem pemanas Joule berdasarkan perhitungan tersebut ditunjukkan pada Gambar 3. dimana : D = kedalaman melter, W = lebar melter dan L = panjang melter.

Berdasarkan persamaan (2) besarnya panas Joule adalah : P = z (CD)2 L (W) D = 5,20 ohm.cm (0,45 A/cm2)2 (96 cm) (48 cm) (24 cm) = 116,45 kW. Pada melter dengan kapasitas 300 kg, besarnya kebutuhan panas adalah [1,6] :

Panas untuk penguapan air = 9,74 kW Panas untuk kalsinasi = 25,00 kW Panas untuk peleburan = 42,86 kW Panas yang hilang untuk pendingin elektrode, hilang bersama gas buang, dan melalui dinding melter = 40,66 kW

Panas total yang digunakan = 118,26 kW

Panas Joule tersebut ternyata masih belum cukup untuk melebur 300 kg gelas-limbah. Jika panas Joule tidak cukup, maka ditambahkan panas dari heater atau microwave.

KESIMPULAN

Tahanan listrik gelas-limbah pada frekuensi tertentu, jika suhu bertambah maka tahanan jenisnya berkurang. Sedangkan pada suhu tertentu, jika frekuensi bertambah maka tahanan jenisnya bertambah. Pada suhu 1150 °C dan frekuensi 100 KHz, tahanan jenis gelas-limbah adalah 5,20 ohm cm, sedikit lebih tinggi dari pada gelas-limbah standar Power Reactor and Nuclear Fuel Development Corporation (PNC) – Jepang yaitu 4,8 ohm cm pada suhu dan frekuensi yang sama. Data tahanan jenis ini diperlukan untuk sistem pemanas Joule dalam melter. Untuk 300 kg gelas-limbah ukuran melter yang digunakan yaitu dalam, lebar dan panjang masing-masing 24, 48, dan 96 cm. Peleburan gelas-limbah dilakukan pada 1150 °C, maka tahanan jenis gelas-limbah 5,20 ohm cm. Untuk 300 kg (110 liter) gelas-limbah dan untuk umpan cair diperoleh densitas arus elektrode 0,45 A/cm2

. Panas Joule yang diperoleh sebesar 116,45 kW. Panas ini belum cukup untuk melebur 300 kg gelas-limbah dan perlu ditambahkan panas dari heater atau microwave.

Tabel 6. Densitas arus elektrode fungsi ukuran melter untuk umpan cair [5].

Volume melter (liter) Kedalaman melter (cm) Densitas arus elektrode (A/cm2)

30 16 0,64 60 20 0,56 100 24 0,50 200 29 0,42 400 37 0,40 700 44 0,37

Page 35: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi

29

Gambar 3. Skema melter dengan sistem pemanas Joule dengan ukuran

D = 24 cm, W = 48 cm dan L = 96 cm.

DAFTAR PUSTAKA

[1] MARTONO H., Characterization of Waste-Glass and Treatment of High Level Liquid Waste, Report at Tokai Work, JNC-Japan, Juli 1988.

[2] IAEA, Characteristics of Solidified High Level Waste Products, Technical Report Series No. 187, IAEA, Vienna, (1979).

[3] IAEA, Chemical Durability and Related Properties of Solidified High Level Waste Forms, Technical Report Series No. 257, IAEA, Vienna, (1985).

[4] SASAKI N., Solidification of The High Level Liquid Waste From The Tokai Reprocessing Plant, Power Reactor and Nuclear Fuel Development Corporation (PNC)-Japan, (1994).

[5] CHRIS C. C, Nuclear Waste Glass Melter Design Including The Power and Control System, IEEE Transactions on Industry Applications, (1992).

[6] MARTONO H., dkk, Rotary Calciner Metallic Melter dan Slurry-Feed Ceramic Melter Untuk Pengolahan Limbah Cair Aktivitas Tinggi, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, Yogyakarta, (2007).

Page 36: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

30

PEMILIHAN WILAYAH POTENSIAL UNTUK DISPOSAL LIMBAH RADIOAKTIF DI PULAU JAWA DAN SEKITARNYA

Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK

PEMILIHAN WILAYAH POTENSIAL UNTUK DISPOSAL LIMBAH RADIOAKTIF DI PULAU JAWA DAN SEKITARNYA. Telah dilakukan kegiatan kajian, survey literatur dan checking lapangan dalam rangka pemilihan wilayah potensial untuk disposal limbah radioaktif. Studi wilayah mencakup aspek-aspek geomorfologi, litostratigrafi, seismotektonik, vulkanologi, hidrologi, hidrogeologi, cebakan tambang, demografi, kawasan penting dan situs bersejarah. Penelitian dilakukan dengan metode evaluasi deskriptif dari hasil pengkajian data sekunder (literatur dan hasil penelitian terdahulu) dan interpretasi data primer dari checking lapangan. Wilayah yang menjadi obyek kegiatan berada dalam wilayah Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura. Dari evaluasi yang telah dilakukan berhasil diperoleh beberapa wilayah di daerah kabupaten Serang, Subang, Sumedang, Rembang dan Tuban memiliki kesesuaian sebagai wilayah potensial untuk disposal limbah radioaktif.

Kata kunci : pemilihan, wilayah potensial, disposal, limbah radioaktif.

ABSTRACT

SELECTION OF POTENSIAL REGION FOR RADIOACTIVE WASTE DISPOSAL IN JAVA ISLAND AND THE SURROUNDING.. Research activity, literature survey and field checking to select the potential region for radioactive waste disposal have been done. Regional study includes geomorphology, lithostratigraphy, seismotectonic, volcanology, hydrology, hydrogeology, mineral resources, demography, important place and hystorical situs. Research was conducted by descriptive evaluation method based on the results of secondary data assessment and the interpretation of primary data obtained from field survey. The covering area of the study are Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban and Madura. Based on the evaluation, some part of the study area have suitability as potential region for radioactive waste disposal, such as Serang, Subang, Sumedang, Rembang and Tuban.

Keywords : selection, potential region, radioactive waste, disposal

PENDAHULUAN

Penyiapan tapak disposal limbah radioaktif di Pulau Jawa dan sekitarnya dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan tersedianya disposal untuk limbah radioaktif dari kegiatan aplikasi iptek nuklir di bidang industri, kesehatan dan riset, serta bidang energi yang masih dalam tahap perencanaan. Wilayah studi difokuskan di Pulau Jawa dan sekitarnya, dengan pertimbangan bahwa sebagian besar kegiatan yang berpotensi menimbulkan limbah radioaktif ada di Pulau Jawa. Hal tersebut sekaligus juga mempertimbangkan masalah transportasi dan keselamatan.

Pemilihan wilayah potensial ini merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya yang berupa pengembangan konsep dan rencana penyiapan tapak, yang kemudian akan dilanjutkan dengan pemilihan tapak potensial dan terpilih pada tahapan-tahapan berikutnya. Tahapan-tahapan tersebut mengacu pada sistematika pemilihan tapak disposal yang direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) [1].

Tujuan disposal limbah radioaktif ialah untuk mengisolasi limbah sehingga tidak ada akibat paparan radiasi terhadap manusia dan lingkungan. Tingkat pengisolasian yang diperlukan dapat diperoleh dengan mengimplementasikan berbagai metode penyimpanan, di antaranya dengan model near surface disposal (NSD) dan deep geological disposal (DGD) sebagai pilihan yang umum dan digunakan di beberapa negara[1].

Opsi near surface disposal telah diterapkan selama beberapa dekade dengan variasi yang luas dalam hal tapak, tipe dan kuantitas limbah, serta desain fasilitasnya. Pengalaman telah menunjukkan bahwa isolasi limbah yang efektif dan aman tergantung pada unjuk kerja sistem disposal secara keseluruhan, yaitu terbentuk dari tiga komponen atau penghalang (barrier) : tapak, fasilitas

Page 37: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

31

disposal dan kemasan limbah. NSD perlu juga dilengkapi dengan kontrol institusional aktif secara kontinyu, seperti pemantauan dan pemeliharaan.

Kesesuaian tapak terutama tergantung pada kapasitasnya untuk mengungkung limbah radioaktif dalam periode waktu yang dibutuhkan, dan untuk membatasi laju pelepasan radionuklida, dan kemampuannya untuk membatasi potensi penyebaran dampak dari sistem disposal terhadap manusia dan lingkungan [1].

Tujuan dari pemilihan tapak ialah untuk mencari suatu tapak, yang apabila dilengkapi dengan desain, bentuk limbah, tipe dan kuantitas kemasan limbah, penghalang rekayasa dan kontrol institusional yang memadai, akan menjamin proteksi radiasi terhadap persyaratan yang telah ditentukan oleh badan pengawas. Standard IAEA [2], dan rekomendasi serta petunjuk internasional yang telah ada dapat dipertimbangkan.

Seperti pada umumnya kegiatan di dunia, seleksi tapak diawali dengan studi wilayah yang mempertimbangkan banyak aspek. Pada tahun 2008 dan 2009 telah dilaksanakan kegiatan seleksi wilayah berdasarkan aspek-aspek geomorfologi, litostratigrafi, seismotektonik, volkanologi, hidrologi, hidrogeologi, cebakan tambang, demografi, kawasan penting dan situs bersejarah. Berdasarkan tipe batuan (lempung dan batuan beku) wilayah-wilayah potensial telah dipilih untuk dilakukan studi lebih lanjut, yang meliputi Serang, Bogor, Krawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura.

TATA KERJA Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) pada tahun 2009, sebagai bagian dari kegiatan penelitian yang berjudul “Penyiapan Tapak Penyimpanan Lestari Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya”.

B a h a n

Daerah penelitian untuk pemilihan wilayah potensial disposal limbah radioaktif meliputi wilayah Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura. Bahan penelitian berupa peta topografi, peta rupa bumi, peta geologi, peta hidrogeologi, peta seismotektonik, peta gunungapi, peta penggunaan lahan dan data terkait lainnya. Metode

Dalam pemilihan tapak, idealnya perlu menerapkan prosedur sistematis yaitu dengan sistem penapisan dari wilayah yang luas ke tapak spesifik. Pemilihan tapak sistematis untuk fasilitas NSD meliputi empat tahapan yaitu : 1) tahap konsep dan perencanaan; 2) tahap survey daerah; 3) tahap karakterisasi tapak; dan 4) tahap konfirmasi tapak [3].

Pemilihan wilayah potensial dilakukan dengan metode deskriptif, pengharkatan (scoring) dan atau tumpang-susun (overlay), untuk mendapatkan wilayah potensial dari beberapa wilayah studi. Pemilihan wilayah potensial didasarkan pada kriteria tapak yang telah ditetapkan pada tahap penyusunan konsep dan rencana.

Berbagai faktor penting yang wajib dipertimbangkan dalam pemilihan tapak disposal limbah radioaktif adalah sebagai berikut :

- Geologi Tata geologi dari tapak harus mampu mengisolasi limbah dan membatasi lepasnya

radionuklida ke biosfer. Tata geologi juga harus menunjang stabilitas sistem disposal, dan menjamin volume yang cukup serta sifat-sifat teknis yang memadai untuk implementasi disposal.

- Hidrogeologi Tata hidrogeologi dari tapak harus dengan aliran air tanah yang rendah dan memiliki jalur

pengaliran yang panjang untuk menghambat transportasi radionuklida.

- Geokimia Aspek kimia air tanah dan media geologi menunjang pembatasan lepasnya radionuklida dari

fasilitas disposal dan tidak mengurangi keawetan penghalang rekayasa (engineered barrier) secara nyata.

Page 38: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

32

- Tektonik dan kegempaan Tapak seharusnya ditempatkan dalam suatu daerah dengan aktivitas tektonik dan kegempaan

yang rendah sehingga kemampuan mengisolasi sistem disposal tidak akan terancam bahaya.

- Proses-proses permukaan Proses-proses permukaan seperti banjir, tanah longsor atau erosi pada daerah tapak

seharusnya tidak terdapat dengan frekuensi dan intensitas yang dapat mempengaruhi kemampuan sistem disposal memenuhi standar/persyaratan keselamatan.

- Meteorologi Meteorologi daerah tapak harus dikarakterisasi secara cukup memadai sehingga adanya

pengaruh kondisi meteorologi ekstrim yang tidak diharapkan dapat dipertimbangkan secara seksama dalam desain dan perijinan fasilitas disposal.

- Man-induced events Tapak harus terletak pada daerah dimana aktivitas generasi saat ini maupun yang akan

datang, pada atau dekat dengan tapak, tidak akan mempengaruhi kemampuan isolasi sistem disposal.

- Transportasi limbah Tapak seyogyanya terletak sedemikian rupa sehingga jalur akses akan memudahkan

transportasi limbah dengan resiko minimal terhadap masyarakat.

-Penggunaan lahan Penggunaan lahan dan kepemilikan lahan harus dipertimbangkan terhadap pengembangan

masa depan dan perencanaan wilayah.

- Distribusi penduduk Tapak seharusnya terletak pada lokasi tertentu sehingga potensi bahaya dari sistem disposal

terhadap penduduk saat ini dan proyeksi masa depan masih dalam batas yang dapat diterima.

- Proteksi lingkungan Tapak seyogyanya ditempatkan sedemikian rupa sehingga lingkungan akan terlindungi

secara cukup memadai sepanjang umur fasilitas disposal, dan dampak penyebaran secara potensial dapat ditanggulangi ke dalam tingkat yang aman, dengan memperhitungkan aspek teknis, ekonomi dan lingkungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Geomorfologi

Secara regional, menurut PANEKOEK, 1949 [6], daerah penelitian Serang termasuk dalam wilayah Karang-Merak yang merupakan bekas tubuh gunungapi Karang dan Gede. Daerah Bogor, Karawang, Subang dan Majalengka merupakan bagian dari wilayah Lipatan Utara Jawa Barat, yang memanjang dari selatan Rangkasbitung hingga Kuningan. Daerah Rembang merupakan bagian dari wilayah Pegunungan Kapur Pantai Utara, sedangkan daerah Tuban termasuk ke dalam wilayah Lipatan Utara dan sebagian merupakan dataran rendah Tuban. Daerah Madura termasuk dalam wilayah Lipatan Madura. Menurut Van BEMMELEN, 1949 [7], daerah penelitian Bogor, Karawang, Subang dan Majalengka berada pada jalur zona Antiklinorium Bogor yang termasuk zona utara dari Jawa Barat. Zona Bogor merupakan suatu antiklinorium akibat intensitas perlipatan yang sangat kuat dari perlapisan-perlapisan yang terbentuk pada subzaman Neogen, dengan beberapa intrusi hypabyssal volcanic necks, stocks dan bosses. Daerah Rembang dan Tuban termasuk dalam Antiklinorium Rembang.

Selain daerah Serang (Bojonegara) yang merupakan daerah berbukit, secara umum daerah penelitian merupakan daerah dataran bergelombang dengan kemiringan lereng antara 0 – 13% dengan beda tinggi antara 0 – 50 m, yang dapat dikategorikan sebagai satuan dataran bergelombang (ZUIDAM, R.A., et al., 1979) [8].

Page 39: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

33

Kondisi proses geomorfologi permukaan seperti erosi dan gerakan tanah relatif tidak intensif, karena kondisi topografi yang berupa dataran bergelombang. Secara morfogenesa daerah penelitian merupakan daerah yang dipengaruhi oleh struktur geologi berupa lipatan dan patahan. Oleh karena itu daerah penelitian (selain Serang) dapat diklasifikasikan sebagai satuan dataran bergelombang struktural berbatuan lempung/napal.

Berdasarkan aspek geomorfologi, daerah penelitian memiliki kesesuaian sebagai wilayah potensial untuk fasilitas disposal limbah radioaktif. Untuk memperkuat kesimpulan maka diperlukan penelitian lebih lanjut dan wajib diintegrasikan dengan aspek-aspek lain seperti litostratigrafi, seismotektonik, hidrogeologi, hidrologi, volkanologi, cebakan tambang, kawasan penting, situs bersejarah, demografi, tata ruang dan penggunaan lahan.

B. Litostratigrafi 1. Serang

Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) hasil gunungapi Gede, tufa Banten, batugamping koral dan endapan aluvium (Gambar 1). Hasil gunungapi Gede berupa lava, lahar dan breksi termampatkan, yang berumur Plistosen. Penyebaran hasil gunungapi Gede paling luas di daerah penelitian meliputi luas lebih kurang 70%. Tufa Banten terdiri dari tufa, tufa batuapung dan batupasir tufaan, yang berumur sedikit lebih muda daripada hasil gunungapi Gede. Penyebaran tufa Banten mencakup luas kurang lebih 20% dari daerah penelitian.

Batugamping koral terdiri dari koloni koral, pecahan cangkang dan moluska; dengan umur Holosen Awal, yang tersebar di P. Panjang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, yang mencakup luas sekitar 5%. Endapan aluvium berupa kerakal, pasir, lanau dan lumpur, yang tersebar di sepanjang pantai daerah penelitian dengan luas sebaran mencapai 5%. Stratigrafi daerah penelitian yang hanya terdiri dari dua satuan batuan dapat disimpulkan relatif sederhana. Batuan yang dapat dipilih sebagai batuan potensial adalah batuan beku andesit dari hasil gunungapi Gede. Ketebalan batuan tersebut diduga mencapai lebih dari 500 m, dengan luas pelamparan mencapai 10x10 km2.

2. Bogor

Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) Formasi Jatiluhur, Formasi Klapanunggal, batuan terobosan andesit, breksi dan lava gunung Kancana dan gunung Limo (kelompok batuan gunungapi Gede), kipas aluvium dan endapan aluvium. Formasi Jatiluhur tersusun oleh napal dan serpih lempungan, dan sisipan batupasir kuarsa, bertambah pasiran ke arah timur. Bagian atas dari formasi ini menjemari dengan Formasi Klapanunggal.

Gambar 1. Peta geologi daerah gunung Gede, Serang, Banten [9]

0

U Hasil Gunungapi Gede Hasil Gunungapi Gede

Tufa Banten Hasil Gunungapi Gede

10 km

Page 40: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

34

Penyebaran formasi ini di daerah penelitian meliputi luas sekitar 50%. Formasi Klapanunggal

terutama tersusun oleh batugamping terumbu padat dengan foraminifera besar dan fosil-fosil lainnya. Penyebaran formasi ini di daerah penelitian meliputi luas sekitar 10%.

Batuan terobosan andesit yang dijumpai di G. Pancar dan bukit kecil di timurlautnya, mengandung oligoklas-andesin, augit, hipersten dan hornblenda, membentuk sumbat dan retas. Breksi dan lava gunung Kancana dan gunung Limo tersusun dari bongkahan andesit dan breksi andesit dengan banyak sekali fenokris piroksen dan lava basal. Satuan batuan ini tersebar terutama di bagian selatan daerah penelitian seluas lebih kurang 20%.

Kipas aluvium tersusun oleh lanau, batupasir, kerikil dan kerakal dari batuan gunungapi kuarter yang terendapkan kembali sebagai kipas aluvium. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal endapan sungai.

Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif adalah napal dan serpih lempungan dari Formasi Jatiluhur. Berdasarkan penampang geologi regional, ketebalan formasi tersebut diperkirakan mencapai > 2000 m, dengan luas singkapan di daerah penelitian sekitar 6x15 km2.

3.Karawang

Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) Formasi Jatiluhur, anggota Pasirgombong, Formasi Parigi, Formasi Subang dan anggota Tanjakan Pacol, Formasi Kaliwungu dan Formasi Cihoe. Endapan permukaan yang dijumpai berupa satuan batupasir konglomeratan dan batulanau, satuan batupasir tufan dan konglomeratan, endapan dataran banjir dan endapan sungai muda.

Penyebaran Formasi Jatiluhur di daerah penelitian meliputi luas lebih kurang 5%. Anggota Pasirgombong mencakup luas kurang lebih 2% dari daerah penelitian. Formasi Parigi memiliki pelamparan hingga 5%, sedangkan anggota Tanjakan Pacol meliputi luas kurang lebih 5%. Formasi Subang tersingkap dalam luasan sekitar 40%, Formasi Kaliwungu dan Formasi Cihoe masing-masing 1% dan 10%. Endapan permukaan secara keseluruhan menutup area seluas 33% dari daerah penelitian.

Stratigrafi daerah penelitian yang hanya terdiri dari 5 formasi dan endapan permukaan dapat disimpulkan relatif sederhana. Batuan yang dapat dipilih sebagai batuan potensial untuk hostrocks disposal limbah radioaktif adalah batulempung Formasi Subang. Ketebalan batuan tersebut diduga mencapai lebih dari 1000 m, dengan luas pelamparan mencapai 9x13 km2 dan 6x6 km2.

4.Subang

Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) anggota batulempung Formasi Subang, anggota batupasir Formasi Subang, Formasi Kaliwungu, Formasi Citalang, batupasir tufan-lempung dan konglomerat, dan endapan sedimen dalam.

Batuan gunungapi daerah Subang yang terbentuk pada jaman Kuarter meliputi hasil gunungapi lebih tua, dan hasil gunungapi lebih muda tak teruraikan. Sedangkan endapan permukaan terdiri dari aluvium. Dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

Anggota batulempung Formasi Subang tersusun oleh batulempung, beberapa mengandung batugamping napalan yang keras, napal dan batugamping abu-abu tua. Kadang-kadang juga dijumpai sisipan batupasir glaukonit hijau. Mengandung fosil foraminifera. Penyebaran formasi ini di daerah penelitian meliputi luas sekitar 40%. Anggota batupasir Formasi Subang terutama tersusun oleh batupasir andesit, batupasir konglomerat, breksi, lapisan batugamping dan batulempung. Ketebalan satuan ini 0-300 m. Penyebaran formasi ini di daerah penelitian meliputi luas sekitar 5%.

Formasi Kaliwungu tersusun oleh batupasir tufan, konglomerat, batulempung dan kadang-kadang lapisan-lapisan batupasir gampingan dan batugamping. Selain itu terdapat lapisan-lapisan tipis gambut dan lignit. Pada batupasir dan konglomerat banyak dijumpai fosil moluska. Ketebalan formasi ini sekitar 600 m, dengan pelamparan mencapai sekitar 10%. Formasi Citalang tersusun oleh lapisan-lapisan napal tufan, diselingi batupasir tufan dan konglomerat. Ketebalan formasi ini berkisar antara 500-600 m, dengan pelamparan mencapai sekitar 5%.

Batupasir tufan-lempung dan konglomerat secara rinci berupa batupasir tufan, kadang-kadang mengandung batuapung, lempung mengandung sisa-sisa tumbuhan, konglomerat, breksi dan pasir halus. Satuan batuan ini berlapis-lapis mendatar dan membentuk dataran (hampir datar) di bagian utara daerah penelitian seluas 40%. Endapan sedimen dalam tersusun oleh lempung tufan, batupasir, konglomerat dan breksi, dengan ketebalan 0-100 m.

Page 41: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

35

Hasil gunungapi lebih tua (600 m) tersusun oleh breksi, lahar dan pasir tuff berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil. Sedangkan hasil gunungapi muda tak teruraikan tersusun oleh pasir tufan, lapili, breksi, lava, dan aglomerat. Sebagian berasal dari G. Tangkubanperahu dan sebagaian berasal dari G. Tampomas. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal endapan sungai sekarang.

Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif adalah batulempung dari anggota batulempung Formasi Subang. Menurut TJIA (1963) [13] tebal dari anggota batulempung ini 2900 m., dengan luas singkapan di daerah hulu sungai Cilamaya sekitar 6x13 km2, di daerah selatan Jalupang sekitar 6x3,5 km2 dan di daerah Wanareja-Nagrak lebih kurang 6x24 km2.

Gambar 2. Geologi daerah Jelupang dan sekitarnya, Subang, Jawa Barat [12]

Gambar 3. Peta geologi daerah Buahdua dan sekitarnya, Sumedang, Jawa Barat [12]

0

U

10 km

Batulempung Formasi Subang Formasi Kaliwungu

Formasi Citalang

0 10 km

Formasi Kaliwungu

Formasi Citalang U

Batulempung Formasi Subang

Page 42: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

36

5.Majalengka Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) anggota

batulempung Formasi Subang, Formasi Kaliwungu, lensa batugamping Formasi Citalang, Formasi Citalang, batupasir tufan-lempung-konglomerat dan breksi terlipat. Batuan gunungapi yang tersingkap adalah hasil gunungapi muda tak teruraikan. Batuan terobosan yang tersingkap adalah andesit hornblenda. Endapan permukaan berupa aluvium.

Anggota batulempung Formasi Subang tersusun oleh batulempung mengandung lapisan batugamping napalan abu-abu tua dan batugamping. Setempat juga dijumpai sisipan batupasir glaukonit hijau. Penyebaran formasi ini di daerah penelitian meliputi luas sekitar 30%.

Formasi Kaliwungu tersusun oleh batulempung dengan sisipan batupasir tufan, konglomerat, setempat ditemukan lapisan-lapisan batupasir gampingan dan batugamping. Ketebalan formasi ini sekitar 600 m, dengan pelamparan mencapai sekitar 5%. Formasi Citalang tersusun oleh batupasir tufan, lempung tufan, konglomerat dan setempat-setempat ditemukan lensa-lensa batupasir gampingan yang keras. Ketebalan formasi ini berkisar antara 500-600 m, dengan pelamparan mencapai sekitar 10%.

Batupasir tufan-lempung dan konglomerat secara rinci berupa batupasir tufan, pasir, lanau tufan, lempung, konglomerat, breksi tufan mengandung batuapung. Satuan batuan ini tersingkap sangat luas membentuk dataran bergelombang lemah di bagian utara daerah penelitian seluas 30%. Breksi terlipat tersusun oleh breksi gunungapi bersifat andesit, breksi tufan, batupasir kasar, lempung tufan, dan graywacke. Penyebaran breksi terlipat hanya meliputi luas ± 1% dari daerah penelitian.

Hasil gunungapi muda tak teruraikan tersusun oleh breksi, lava bersifat andesit dan basal, pasir tufan dan lapili. Sebagian berasal dari G. Cerme dan sebagaian berasal dari G. Tampomas. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal endapan sungai Holosen.

Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif adalah batulempung dari anggota batulempung Formasi Subang.

Menurut TJIA (1963) [13] tebal dari anggota batulempung ini 2900 m., dengan luas singkapan di daerah hulu sungai Majalengka 2x4,5 km2, dan di daerah Sumedang lebih kurang 6-10x21 km2.

6.Rembang

Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok dan Formasi Mundu. Di atas formasi-formasi tersebut ditumpangi secara takselaras oleh anggota Selorejo dan Formasi Lidah pada jaman Plistosen. Formasi-formasi tersebut diterobos dan ditumpangi oleh andesit dan breksi hasil dari gunungapi Lasem. Di atas formasi-formasi tersebut diendapkan aluvium (Gambar 4).

Formasi Ngrayong tersusun oleh batupasir, serpih, batulempung, batulanau dengan sisipan batugamping, batubara dan lignit. Formasi Bulu tersusun oleh batugamping putih abu-abu, pasiran, kadang-kadang berlapis tipis, di bagian tengah terdapat sisipan tipis napal. Formasi Wonocolo tersusun oleh batu lempung dengan sisipan tipis batugamping, bagian bawah dicirikan oleh batupasir glaukonitan.

Gambar 4. Peta geologi daerah selatan Rembang, Jawa Tengah [15]

U

0 10 km

Formasi Mundu Formasi

Lidah

Aluvium

Page 43: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

37

Formasi Ledok secara rinci berupa batulempung abu-abu, napal dan batugamping (kalkarenit)

berlapis tipis, kadang-kadang mengandung batupasir glaukonit. Formasi Mundu tersusun oleh napal masif, abu-abu keputihan, kaya akan foraminifera plankton. Anggota Selorejo terdiri dari perselingan batugamping dan batupasir, kaya akan fosil rombakan foraminifera plankton. Fosil berfungsi sebagai butiran pasir (kalkarenit).

Gambar 5. Peta geologi daerah Sedan-Sale Rembang, Jawa Tengah [16] Formasi Lidah tersusun oleh batulempung abu-abu kehitaman bersisispan batupasir

bermoluska. Batuan ini kadang-kadang mengandung horizon yang kaya akan moluska (Ostrea) dan lapisan tipis batubara. Andesit dari gunungapi Lasem berupa lava andesit, dan breksi hasil aktivitas Lasem berupa breksi, konglomerat dan batupasir tufan. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal endapan Holosen.

Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Selatan Rembang adalah napal masif dari Formasi Mundu yang memiliki ketebalan 250-1500 m, dan batulempung dari Formasi Lidah dengan ketebalan > 200 m. Luas singkapan di daerah penelitian Selatan Rembang masing-masing 12x24 km2 dan 6x15 km2.

Di sebelah utara dan timur Sedan, batuan potensial dari Formasi Mundu dan Formasi Wonocolo tersingkap secara blok-blok dengan tebal sekitar 200 m dan luas ± 2x5 km2. Di sebelah selatan Sale tersingkap Formasi Mundu dengan ketebalan ± 200 m luas sekitar 2,5x9 km2, sedangkan di sebelah utaranya tersingkap Formasi Wonocolo setebal 250 m dan luas pelamparan sekitar 5x10 km2.

7.Tuban

Batuan yang tersingkap di daerah penelitian meliputi (urut dari tua ke muda) anggota Tawun Formasi Tuban, anggota Ngrayong Formasi Tuban, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu dan Formasi Paciran. Di atas formasi-formasi tersebut ditumpangi secara takselaras oleh Formasi Lidah pada jaman Plistosen. Formasi-formasi tersebut diterobos dan ditumpangi oleh

U

0 8 km

Formasi Mundu

Aluvium

Formasi Wonocolo

Anggota Ngrayong

Anggota Tawun

Formasi Bulu

Formasi Ledok

Breksi Gunungapi

Page 44: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

38

andesit dan breksi hasil dari gunungapi Lasem. Di atas formasi-formasi tersebut diendapkan aluvium (Gambar 5).

Anggota Tawun Formasi Tuban tersusun oleh napal pasiran berselingan dengan batugamping bioklastik. Anggota Ngrayong tersusun oleh batupasir kuarsa berselingan dengan batugamping dan batulempung. Formasi Bulu tersusun oleh batugamping pasiran dan batunapal pasiran. Formasi Wonocolo tersusun oleh napal pasiran berselingan dengan batugamping pasiran.

Formasi Ledok secara rinci berupa batupasir glaukonitan dengan sisipan batugamping pasiran. Formasi Mundu tersusun oleh batunapal, batulempung lanauan dan batugamping napalan. Formasi Paciran tersusun oleh batugamping pejal dan batugamping dolomitan. Formasi Lidah tersusun oleh batulempung, lempung hitam dan batupasir. Andesit dari gunungapi Lasem berupa lava andesit, dan breksi hasil aktivitas Lasem berupa breksi, konglomerat dan batupasir tufan. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, dan kerikil.

Gambar 6. Peta geologi daerah Jatirogo Tuban, Jawa Timur [16] Stratigrafi daerah penelitian dapat dikatakan relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa

dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Tuban sebelah selatan Bancar adalah napal pasiran dari Formasi Wonocolo yang memiliki ketebalan sekitar 250 m luas sekitar 3x5 km2. Batuan potensial lainnya adalah batunapal dan batulempung dari Formasi Mundu di daerah sebelah utara Jatirogo dengan ketebalan > 200 m dan luas singkapan kurang lebih 3x21 km2. 8.Madura a. Madura Barat

Menurut SUKARDI (1992) [17], secara geologi regional daerah Madura Barat terdiri dari formasi-formasi yang secara urut dari tua ke muda adalah Formasi Tawun (umur Miosen Awal), Formasi Watukoceng (umur Miosen Tengah), Formasi Madura (umur Miosen-Pliosen), Formasi Pamekasan (umur Plistosen) dan aluvium.

Formasi Tawun tersusun oleh batulempung gampingan di bagian bawah, dan napal pasiran bersisipan batugamping dan batupasir gampingan. Formasi Watukoceng tersusun oleh batupasir kuarsa berselingan dengan batugamping orbitoid dan batupasir berlapis tipis (di bagian bawah), serta selang-seling napal pasiran dengan batugamping (di bagian atas).

Formasi Madura tersusun oleh batugamping kapuran dan batugamping terumbu. Formasi Pamekasan tersusun oleh batupasir, batulempung dan konglomerat berfragmen utama batugamping. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal, secara setempat dijumpai fragmen fosil.

Stratigrafi daerah penelitian relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Madura Barat adalah selang-seling napal pasiran dengan batugamping dan batupasir kuarsa dari Formasi Watukoceng.

Batuan potensial lainnya adalah dari Formasi Tawun yang berupa batulempung gampingan dan napal pasiran bersisipan batugamping dan batupasir gampingan.

U

Anggota Ngrayong

Anggota Tawun

15 km

Formasi Mundu

Formasi Wonocolo

Formasi Ledok 0

Page 45: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

39

Formasi Tawun dan Formasi Watukoceng bertumpangan secara selaras dan memiliki ketebalan sekitar 200 m dan luas sekitar 15x18 km2. b. Madura Tengah

Menurut AZIS dkk (1992) [18], secara geologi regional daerah Madura Tengah terdiri dari formasi-formasi yang secara urut dari tua ke muda adalah Formasi Tawun (umur Miosen Awal), Formasi Ngrayong (umur Miosen Tengah), Formasi Bulu (umur Miosen Tengah), Formasi Pasean (umur Miosen Akhir), Formasi Madura (umur Mio-Pliosen), Formasi Pamekasan (umur Plistosen) dan aluvium.

Formasi Tawun tersusun oleh batulempung bersisipan batupasir, batugamping dan konglomerat. Formasi Ngrayong tersusun oleh batupasir bersisipan batulempung, napal dan batugamping. Formasi Bulu merupakan perselingan antara batugamping dan napal, sedangkan Formasi Pasean merupakan perselingan antara napal pasiran dengan batugamping lempungan dan batugamping pasiran.

Formasi Madura tersusun oleh batugamping pasiran dan batugamping terumbu pejal. Formasi Pamekasan tersusun oleh batulempung, batupasir kuarsa dan konglomerat. Endapan aluvium terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal.

Stratigrafi daerah penelitian relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Madura Tengah adalah batulempung bersisipan batupasir, batugamping dan konglomerat dari Formasi Tawun yang memiliki ketebalan sekitar 500 m dan luas sekitar 4-11x43 km2.

c. Madura Timur

Menurut SITUMORANG dkk (1992) [19], secara geologi regional daerah Madura Timur terdiri dari formasi-formasi yang secara urut dari tua ke muda adalah Formasi Tawun (umur Miosen Awal), Formasi Ngrayong (umur Miosen Tengah), Formasi Bulu (umur Miosen Tengah), Formasi Pasean (umur Miosen Akhir), Formasi Madura (umur Mio-Pliosen), Formasi Pamekasan (umur Plistosen) dan aluvium.

Formasi Tawun tersusun oleh batulempung, napal, batugamping lempungan dengan sisipan batugamping orbitoid. Formasi Ngrayong tersusun oleh perselingan batupasir kuarsa dengan batugamping orbitoid dan batulempung. Formasi Bulu tersusun oleh batugamping pelat dengan sisipan napal pasiran, sedangkan Formasi Pasean merupakan perselingan antara napal pasiran dengan batugamping lempungan, batugamping pasiran dan batugamping oolitan.

Formasi Madura tersusun oleh batugamping terumbu dan batugamping dolomitan. Formasi Pamekasan tersusun oleh konglomerat, batupasir, batulempung dan batugamping. Endapan aluvium terdiri dari pasir kuarsa, lempung, lumpur, kerikil dan kerakal.

Stratigrafi daerah penelitian relatif sederhana. Batuan potensial yang bisa dipilih sebagai hostrocks untuk pengungkung limbah radioaktif di wilayah Madura Timur adalah batulempung, napal, batugamping lempungan dengan sisipan batugamping orbitoid dari Formasi Tawun, serta perselingan antara napal pasiran dengan batugamping lempungan, batugamping pasiran dan batugamping oolitan dari Formasi Pasean. Tebal formasi-formasi tersebut sekitar 200-250 m dan luas sekitar 2-4x35 km2.

C. Seismotektonik

Daerah penelitian Serang berada pada daerah dengan percepatan batuan dasar yang relatif rendah, yaitu sekitar 0,2 g [20]. Daerah penelitian Bogor, Karawang, Subang dan Majalengka berada pada daerah dengan percepatan batuan dasar relatif rendah, yaitu sekitar 0,15 g. Wilayah Rembang, Tuban dan Madura berada pada daerah dengan percepatan batuan dasar yang rendah, yaitu sekitar 0,1 g. Percepatan ini sangat dipengaruhi oleh kemasifan/kerapatan jenis batuan di daerah tersebut, selain dipengaruhi oleh struktur pelapisan dan ketebalannya. Kondisi-kondisi yang seperti ini sangat menguntungkan bagi suatu wilayah yang nantinya akan digunakan sebagai fasilitas disposal limbah radioaktif.

Untuk aspek seismotektonik berdasarkan peta wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun, peta zona sumber gempa bumi di Indonesia, dan peta sebaran lokasi kejadian tsunami di kawasan Asia Pasifik secara umum daerah penelitian berada pada wilayah dengan bahaya goncangan gempa bumi rendah sebesar 100-150 gal(<400gal), dan wilayah yang sangat kecil potensi terjadinya tsunami. Menurut peta wilayah rawan bencana gempa bumi Indonesia (KERTAPATI dkk, 2001) [21], daerah Serang masuk dalam kategori skala MMI IV-V dari maksimum skala XII, daerah Bogor masuk dalam skala MMI IV-VI, daerah Karawang dan Subang

Page 46: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

40

masuk skala MMI < IV, dan daerah Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura berada dalam skala MMI IV-V.

D. Vulkanologi Dari aspek vulkanologi, gunungapi aktif terdekat dari daerah Serang adalah Gunung Krakatau

(gunungapi tipe A) yang berjarak 70 km arah baratdaya. Lokasi penelitian daerah Bogor berjarak sekitar 25 km dari gunungapi terdekat yaitu G. Gede dan G. Salak (gunungapi tipe A). Daerah Karawang berjarak minimal 45 km dari gunungapi aktif terdekat yaitu G. Gede dan G. Tangkubanperahu (gunungapi tipe A). Daerah penelitian Subang berada pada jarak 30 km dari gunungapi aktif terdekat yaitu G. Tangkubanperahu. Daerah penelitian Majalengka berada pada jarak sekitar 22.5 km dari gunungapi terdekat yaitu G. Cerme (gunungapi tipe A). Daerah penelitian Rembang dan Tuban relatif jauh dari gunungapi terdekat G. Lawu dan G. Ungaran (gunungapi tipe B) yaitu > 100 km. Daerah penelitian Madura secara umum jauh dari gunungapi aktif yang ada di Pulau Jawa yaitu lebih dari 60 km terhadap G. Kelud, G. Arjuna-Welirang, G. Bromo, G. Lamongan dan G. Argopuro.

Sebagai gambaran perlu disampaikan bahwa gunungapi tipe A adalah gunungapi yang pernah mengalami erupsi magmatik atau proses-proses lain yang berhubungan sekurang-kurangnya sekali setelah tahun 1.600 M [23]. Gunungapi tipe B merupakan gunungapi yang berada dalam tahap solfatara dan fumarola, dan tidak ada erupsi magmatik yang diketahui/tercatat sejak tahun 1.600 M.

Berdasarkan aspek volkanologi, kiranya daerah penelitian Bogor dan Majalengka memiliki jarak terhadap gunungapi aktif hanya sekitar 22,5 – 25 km, dikhawatirkan akan terancam dari bahaya aktivitas dan letusan gunung-gunung Gede dan Cerme, sehingga tidak memenuhi syarat untuk disposal limbah radioaktif.

E. Hidrogeologi

Hidrogeologi mempelajari penye-baran, pergerakan air tanah dalam tanah dan batuan di kerak bumi (umumnya dalam akuifer) serta kondisi produktifitas aquifer/air tanah. Secara umum daerah penelitian Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura termasuk dalam wilayah bukan cekungan air tanah. Daerah penelitian rata-rata batuannya tersusun dari batuan tua dan lempungan sehingga mempunyai kondisi akuifer langka dan batuannya memiliki kelulusan air sangat rendah [24-27].

F. Hidrologi

Aspek hidrologi yang menjadi fokus penelitian dalam pemilihan wilayah potensial untuk PL-LR adalah adanya pola aliran sungai dan aliran air dengan debit yang terlalu besar akibat curah hujan yang tinggi yaitu banjir.

Berdasarkan peta daerah rawan banjir dan longsor P. Jawa periode 2006 dan peta zona kerentanan gerakan tanah, daerah penelitian Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura termasuk dalam daerah [28] : a. tingkat aman terhadap rawan banjir dan longsor, b. tingkat rendah terhadap kerentanan gerakan tanah.

G. Demografi

Berdasarkan laporan BPS masing-masing pemerintah kabupaten dari daerah penelitian ditemukan fenomena kepadatan penduduk yang kurang dari 1000 jiwa/km2 di daerah Serang, Subang, Rembang, Tuban dan Madura. Daerah penelitian Bogor, Karawang dan Majalengka memiliki kepadatan penduduk yang relatif tinggi yaitu melebihi 1000 jiwa/km2.

H. Cebakan Tambang

Potensi cebakan tambang atau sumberdaya mineral dari suatu daerah merupakan aset yang sangat berharga bagi pemasukan daerah setempat. Potensi cebakan tambang tersebut tentunya juga sangat menentukan bagi kesejahteraan rakyat. Untuk itu daerah yang memiliki cadangan sumberdaya alam terutama yang bernilai strategis dan vital (golongan A dan B) perlu dihindari untuk tidak dipertimbangkan sebagai calon wilayah potensial disposal limbah radioaktif.

I. Kawasan Penting dan Situs Bersejarah

Yang dimaksud dengan kawasan penting dan situs bersejarah meliputi 1) kantor pemerintahan, 2) fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), 3) pangkalan militer, 4) tempat peribadatan, 5) fasilitas pendidikan (SD s/d PT), 6) prasarana transportasi dan telekomunikasi, 7)

Page 47: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Sucipta, Budi Setiawan, Pratomo B. Sastrowardoyo, Dadang Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya

41

pemakaman umum, 8) wisata dan hiburan, 9) kebudayaan, 10) sarana perekonomian dan industri, 11). situs bersejarah (meliputi: candi, pemakaman tokoh terkenal dan bangunan-bangunan bersejarah lain).

Kawasan penting biasanya merupakan kawasan yang penggunaan lahannya telah diatur oleh pemerintah daerah setempat dan merupakan wilayah untuk kepentingan publik (umum). Situs bersejarah berupa suatu benda atau tapak yang merupakan peninggalan bersejarah yang harus dilindungi oleh undang-undang atau peraturan. Dalam pemilihan wilayah potensial untuk fasilitas disposal limbah radioaktif, maka wilayah yang terdapat kawasan penting dan situs bersejarah perlu dihindari.

KESIMPULAN Telah dilakukan studi dalam rangka penyiapan tapak untuk disposal limbah radioaktif di Pulau

Jawa dan sekitarnya, yang dilakukan di daerah Serang, Bogor, Karawang, Subang, Majalengka, Rembang, Tuban dan Madura. Aspek-aspek yang dipertimbangkan sebagai dasar pemilihan wilayah potensial meliputi geomorfologi, litostratigrafi, seismotektonik, vulkanologi, hidrologi, hidrogeologi, cebakan tambang, demografi, kawasan penting dan situs bersejarah.

Di sejumlah daerah penelitian terutama yang berbatuan lempung dan batuan beku, dari aspek geomorfologi memiliki kesesuaian yang cukup sebagai wilayah potensial disposal limbah radioaktif.

Secara litostratigrafi menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memiliki stratigrafi yang relatif sederhana, dan terutama tersusun dari batuan sedimen berupa batulempung dan asosiasinya, kecuali di daerah Serang yang tersusun oleh batuan beku (lava) andesit piroksen. Daerah penelitian Madura yang secara litologi sulit ditentukan sebagai wilayah potensial karena tidak ditemukan batuan lempungan atau batuan beku dengan homogenitas yang memadai.

Berdasarkan peta wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun, daerah Serang berada pada wilayah 4 dengan percepatan

0,2 g. Daerah Bogor, Karawang, Subang dan Majalengka berada pada wilayah 3 dengan percepatan gempa 0,15 g. Daerah Rembang, Tuban dan Madura berada pada wilayah 2 dengan percepatan 0,1 g.

Untuk aspek seismotektonik ber dasarkan peta wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun, peta zona sumber gempa bumi di Indonesia, dan peta sebaran lokasi kejadian tsunami di kawasan Asia Pasifik seluruh daerah studi berada pada wilayah dengan bahaya goncangan gempa bumi sebesar 100-150 gal(<400gal), dan merupakan daerah dengan potensi ancaman bahaya tsunami yang sangat kecil.

Keberadaan struktur geologi yang kompleks juga menjadi bahan pertimbangan untuk tidak dipilihnya daerah Bogor, sebagian daerah Subang dan Madura, karena banyak dijumpai patahan dan lipatan.

Dari studi data sekunder dan peninjauan ke lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya daerah penelitian Serang, Karawang, Subang, Rembang, Tuban dan Madura berada jauh (>30 km) dari gunung api aktif tipe A atau tipe B. Hanya daerah Bogor dan Majalengka yang relatif dekat (jarak < 25 km) dengan gunungapi aktif tipe A.

Dari aspek hidrogeologi/keterdapatan air tanah menunjukkan bahwa semua daerah penelitian termasuk daerah bukan cekungan air tanah dengan kelulusan batuan sangat rendah. Daerah penelitian pada umumnya berada pada daerah aman terhadap potensi banjir dan longsor (kerentanan gerakan tanah tingkat rendah).

Daerah penelitian Serang, Subang, Rembang, Tuban dan Madura memiliki tingkat kepadatan penduduk kurang dari 1000 jiwa/km2, sedangkan daerah Bogor, Karawang dan Majalengka memiliki tingkat kedapatan penduduk > 1000 jiwa/km2.

Berdasarkan pola tata guna lahan, sebagian wilayah studi yang merupakan daerah cebakan tambang maupun kawasan penting dan situs bersejarah, perlu dipertimbangkan dalam pemilihan wilayah potensial untuk disposal limbah radioaktif.

Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas daerah penelitian Serang, Subang, Sumedang (hasil ekstrapolasi Majalengka dan Subang), Rembang dan Tuban memiliki kesesuaian sebagai calon wilayah potensial untuk PL-LR di Pulau Jawa dan sekitarnya, sedangkan daerah penelitian Bogor, Karawang, Majalengka dan Madura kurang sesuai untuk dipertimbangkan sebagai wilayah potensial.

DAFTAR PUSTAKA : [1] IAEA: Siting of Near Surface Disposal Facilities, Safety Series No. 111 G-3.1, IAEA-Vienna

(1994).

Page 48: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

42

[2] IAEA: Near Surface Disposal of Radioactive Wastes, Safety Series No. 111-S.3, IAEA-Vienna (1994).

[3] IAEA: Site Investigations for Repositories for Solid radioactive Wastes in Shallow Ground, Technical Reports Series No. 216, IAEA-Vienna (1982).

[4] IAEA: Criteria for Underground Disposal of Solid Radioactive Wastes, Sefety Series No. 60, IAEA-Vienna (1983).

[5] Squires, D.J.: Siting of Shallow Land Repositories, Regional Training Course on National Infrastructure for Radioactive Waste Management, Jakarta, Indonesia (1991).

[6] Panekoek: The Outline of Geomorphology, (1949) [7] Bemmelen, R.W. Van: The Geology of Indonesia, Vol. 1A, Martinus Nijhoff, The Hague (1949). [8] Zuidam, R.A., et al.: Terrain Analysis and Classification Using Aerial Photographs : A

Geomorphological Approach, ITC, Netherland (1979). [9] Rusmana, E., Suwitodirdjo, K. dan Suharsono: Peta Geologi Lembar Serang, P3G ESDM,

Bandung, (1991). [10] Effendi A.C., Kusnama dan B. Hermanto: Peta Geologi Lembar Bogor, P3G ESDM, Bandung,

(1998). [11] Achdan dan Sudana: Peta Geologi Lembar Karawang, P3G ESDM, Bandung (1992). [12] Silitonga: Peta Geologi Lembar Bandung, P3G ESDM, Bandung (2003).. [13] Tjia, H.D.: Peta Geologi Bersistem Djawa, lembar 35 Subang. Field Report 1, Field Report 2, Field

Report 3, Field Report 4, Unpublished Report, Geological Survey of Indonesia (1963). [14] Djuri: Peta Geologi Lembar Arjawinangun, P3G ESDM, Bandung (1995). [15] Darwin, K. & Sudijono: Peta Geologi Lembar Rembang, P3G DESDM, Bandung (1993). [16] Situmorang, R.L.: Peta Geologi Lembar Jatirogo – Jawa, Puslitbang Geologi, Dept. ESDM,

Bandung (1992). [17] Sukardi: Peta Geologi Lembar Surabaya dan Sapulu, P3G ESDM, Bandung (1992). [18] Azis, S., Sutrisno, Noya, Y dan Brata, K.: Peta Geologi Lembar Tanjungbumi-Pamekasan, P3G

DESDM, Bandung (1992). [19] Situmorang, R.L., Agustiyanto, D.A dan Suparman, M.: Peta Geologi Lembar Waru-Sumenep,

P3G ESDM, Bandung (1992). [20] Kertapati, E.K., Setiawan, Y.B. & Ipranta: Peta Bahaya Goncangan Gempabumi Indonesia, P3G

DESDM, Bandung (1999). [21] Sebaran lokasi kejadian tsunami di kawasan Asia Pasifik [22] http://ciptakarya.pu.go.id/peta/list-at.php, diunduh Desember 2008 [23] Dir. Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Peta Sebaran Gunungapi Aktif di Indonesia,

DVMBG DESDM, Bandung, 2001. [24] Sukrisna, A., Murtianto, E. & Ruchijat, S.: Peta Cekungan Air Tanah Propinsi Banten, PLG ESDM

Bandung (2008). [25] Sukrisna, A., Murtianto, E., Ruchijat, S. & Setiadi, H.: Peta Cekungan Air Tanah Propinsi DKI dan

Jawa Barat, PLG ESDM Bandung (2008). [26] Setiadi, H.: Peta Cekungan Air Tanah Propinsi Jawa Tengah, PLG ESDM Bandung (2008). [27] Arifin, M.B., Peta Cekungan Air Tanah Propinsi Jawa Timur, PLG ESDM Bandung, 2008. [28] KEMENEG. LINGKUNGAN HIDUP, Peta daerah rawan banjir dan longsor P. Jawa, 2006.

Page 49: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

43

INTERAKSI RADIOCESIUM DENGAN HOST ROCK DIBAWAH PENGARUH pH dan KEKUATAN ION LARUTAN

Budi Setiawan

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

ABSTRAK INTERAKSI RADIOCESIUM DENGAN HOST ROCK DIBAWAH PENGARUH pH dan

KEKUATAN ION LARUTAN. Telah dilakukan penelitian tentang interaksi radiocesium dengan host rock pada kondisi pH dan kekuatan larutan yang bervariasi. Identifikasi keandalan suatu host rock dari suatu calon wilayah untuk fasilitas penyimpanan akhir limbah radioaktif perlu diperoleh. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan data spesifik karakter sorpsi-desorpsi radiocesium ke dalam batuan host rock dari calon wilayah untuk fasilitas penyimpanan akhir limbah radioaktif. Kondisi larutan/air tanah seperti pH dan kekuatan ion larutan dipertimbangkan akan berpengaruh pada interaksi radiocesium-batuan, untuk itu cara catu diadopsi pada percobaan ini. Sampel percobaan diambil secara periodik, ditentukan dan dihitung koefisien distribusinya/Kd. Variasi pH dan kekuatan ion di larutan diperkirakan akan berpengaruh pada nilai Kd. Hasil menunjukkan bahwa perubahan pH larutan tidak berpengaruh terhadap nilai Kd radiocesium karena kuatnya sifat buffer dari batuan host rock. Berubahnya kekuatan ion larutan memberikan pengaruh pada nilai Kd radiocesium, kompetisi antara ion garam latar dengan cesium menyebabkan terjadinya penurunan nilai Kd radiocesium ke host rock.

Kata kunci : Radiocesium, host rock, pH, I

ABSTRACT INTERACTION OF RADIOCESIUM WITH HOST ROCK UNDER THE EFFECTS OF pH AND

IONIC STRENGTH OF SOLUTION. Experiments of radiocesium interaction with host rock under the variation of pH and I of solution conditions have been done. Reliability identification of a host rock was taken out from a candidate of potentially area for a radwaste disposal was important to be obtained. Objective of the experiment is to find out specific data of sorption-desorption of radiocesium onto host rock from a candidate of potentially area for a radwaste disposal. Solution/groundwater conditions such as pH and I of solution were considered will affect to radiocesium-rock interaction, for that reason batch method was adopted on the experiments. Sample was taken out periodically, measured and then calculated their distribution coefficients/Kd. Variation of pH and I of solution are predicted affect to Kd values. Results showed that pH changing in solution did not effect to Kd values due to buffer character of host rock was strong. However changing of I in solution affects on Kd value, completion between background salt ion with cesium made decreasing of Kd value of radiocesium to host rock.

Keywords : Radiocesium, host rock, pH, I

PENDAHULUAN Penyimpanan akhir limbah radioaktif (PA-LRA) merupakan bagian ujung akhir (back-end) dari

sistem siklus bahan bakar nuklir (nuclear fuel cycle) maupun pengelolaan limbah radioaktif (radwaste management). Limbah-limbah yang selesai diolah dapat berwujud kemasan drum 200 L maupun shell beton dengan ukuran yang bervariasi akan disimpan secara lestari pada suatu fasilitas PA-LRA. Badan tenaga atom dunia (International atomic energy agency/IAEA) telah merekomendasikan kepada seluruh anggotanya agar menimbun limbah-limbah radioaktif yang beraras rendah (low-level waste/LLW) ke dalam fasilitas PA-LRA jenis dekat permukaan (near surface disposal facility) dengan kedalaman beberapa meter sampai puluhan meter [1]. Limbah radioaktif ini harus dikelola dengan baik dan benar agar tidak membahayakan lingkungan dan menjamin keselamatan serta tidak membebani masyarakat dan lingkungan hidup baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Untuk alasan seperti itu, biasanya pada fasilitas PA-LRA digunakan suatu sistem keselamatan yang berlapis untuk meminimalisir kemungkinan adanya dampak sebaran radionuklida dari fasilitas ke lingkungan yang diwujudkan sebagai suatu sistem penghalang yang terintergrasi: penghalang buatan dan penghalang alami [2,3].

Penghalang buatan adalah sistem penghalang yang dibuat oleh manusia yang dimaksudkan untuk memperkuat/memperbaiki kemampuan sistem penghalang yang telah ada di alam atau lingkungan tempat fasilitas PA-LRA berada. Host rock dari PA-LRA merupakan sistem penghalang

Page 50: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Budi Setiawan : Interaksi Radiocesium dengan Host Rock di Bawah Pengaruh Ph dan Kekuatan Ion Larutan

44

alami yang juga merupakan penghalang terakhir kemungkinan penyebaran kontaminan ke lingkungan akan berperan mengontrol aliran air tanah menuju fasilitas dan menghambat kemungkinan adanya penyebaran radionuklida atau kontaminan dari suatu fasilitas PA-LRA ke lingkungan hidup.

Air tanah dikenal sebagai media pengemban (carrier) bagi penyebaran unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman, ion logam maupun kontaminan baik yang bersifat radioaktif maupun non-radioaktif. Radionuklida terlarut dari fasilitas PA-LRA yang berhasil lepas ke air tanah kemudian bersama-sama dengan aliran air tanah menuju ke biosfer. Selama bergerak bersama air tanah radionuklida akan berinteraksi dan bereaksi dengan tanah/batuan host rock di sepanjang pathway yang dilaluinya. Tanah dan batuan sebagai host rock yang ada disepanjang pathway akan berperan penting untuk menahan dan memperlambat mobilitas radionuklida bersama air tanah melalui mekanisme sorpsi. Sebagian konsentrasi radionuklida diperkirakan akan terserap oleh tanah/batuan karena adanya interaksi tersebut, sehingga parameter-parameter yang berpengaruh dengan sifat air tanah seperti kondisi keasaman/pH dan kekuatan ion/I larutan perlu dipelajari. Keasaman air tanah akan berpengaruh pada perubahan spesiasi ion logam/radionuklida yang ada di larutan sehingga diperkirakan akan merubah nilai Kd dari radionuklida ke padatan/host rock. Sorpsi radionuklida dari larutan ke host rock juga akan tergantung pada besarnya konsentrasi garam latar dari larutan [4-6].

Radionuklida cesium/Cs-137 digunakan sebagai model ion logam karena radionuklida tersebut merupakan radionuklida yang mendominasi inventori limbah radioaktif beraras rendah dan sedang bahkan tinggi, kemudian mempunyai waktu paro panjang (t1/2 ~30 tahun) dan merupakan radionuklida acuan (selain Sr-90 dan Co-60) dalam penelitian interaksi RN aras rendah dengan batuan [7].

Hasil akhir yang akan diperoleh dari percobaan ini adalah tersedianya informasi pengaruh kondisi larutan seperti pH dan I larutan terhadap interaksi radionuklida-host rock, kemudian dari sini akan dapat diketahui karakter sorpsi radionuklida oleh tanah/batuan host rock pada bermacam kondisi yang dapat mempengaruhi proses sorpsi. Informasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk mendukung kegiatan pengkajian keselamatan fasilitas penyimpanan limbah, dan hasilnya dapat digunakan pada pembuatan konsep disain penyimpanan limbah di masa yang akan datang.

TATA KERJA Bahan dan Peralatan

Sampel host rock diambil dari beberapa lokasi di daerah Tuban-Jawa Timur. Sebelum dipreparasi, sampel dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran (batu, akar, daun), dipanaskan dengan oven, digerus, diayak menjadi 100 mesh dan dikeringkan kembali di udara terbuka. Padatan/sampel yang dihasilkan itu kemudian disimpan dalam wadah plastik dan siap untuk di gunakan dalam penelitian ini.

Bahan kimia yang digunakan adalah CsCl, NaCl, MES (2-(N-morpholino)ethanesulfonic acid) dan THAM (tris(hydroxymethyl) aminomethane) 0.01M sebagai pengatur variasi keasaman larutan, sedangkan radionuklida Cs-137 digunakan sebagai pengemban.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, penggerus keramik, ayakan, alat roller sebagai pencampur Cs-137 dengan sampel, Nalgene filter with syringe, alat cacah MCA dan alat gelas/plastik sebagaimana digunakan pada lab kimia umumnya.

Prosedur

Sampel ditimbang dengan berat tertentu, kemudian dikontakkan di dalam vial PE 20 ml dengan larutan yang mengandung CsCl 1x 10-4 dan 1x 10-8 M dengan ratio 10-2 g/ml. Setelah itu pengemban Cs-137 diberikan ke dalam campuran tersebut. Keasaman dan kekuatan ion larutan diberikan sebagai pemberi pengaruh pada interaksi CsCl dengan sampel. Rentang pH larutan dibuat berkisar antara 3-9, sedangkan kekuatan ion direntang antara 0; 0,1 dan 1,0 M NaCl. Campuran sampel dan larutan CsCl dirolling sampai mencapai kondisi setimbang dan pengaruh pH dan I larutan terhadap interaksi CsCl-sampel dapat diketahui dengan cara mengukur konsentrasi CsCl yang ada di larutan. Pemisahan fasa padat-cair dilakukan dengan menggunakan cara filtrasi dan larutan hasil pemisahan diambil untuk diukur aktivitas γ-nya dengan menggunakan detektor NaI(Tl) jenis sumuran. Larutan sisanya digunakan untuk mengukur pH larutan. Nilai koefisien distribusi/Kd radionuklida dapat dihitung dengan persamaan [8],

Kd=C0− Ct

Ct

Vm (1)

dimana C0 dan Ct masing-masing adalah konsentrasi awal Cs dan konsentrasi akhir Cs di larutan, V adalah volume total larutan (ml), m adalah massa lempung (g) dan Kd adalah distribusi koefisien Cs-

Page 51: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

45

137 di padatan dan di larutan saat mencapai kondisi kesetimbangan. Kegiatan penelitian ini seluruhnya dilaksanakan pada tahun fiskal 2009 di Lab Kimia Bidang Teknologi Penyimpanan Lestari-PTLR-BATAN, Serpong-Tangerang, Banten.

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi kimia dari sampel

Hasil analisis dari masing-masing sampel mempunyai komposisi kimia unsur makro seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis fisika-kimia sampel host rock [9].

Unsur Sampel 1 Sampel 2K 0,06 % 0,22 Ca 0,10 % 0,55 Mg 0,17 % 1,10 Na 0,08 % 0,15 Fe 1,97 % 3,02 Al 4,70 % 6,99 Mn 145 ppm 499 ppm Silikat kasar 91,60 % 75,34

Sedangkan hasil analisis sampel mineral liat dari masing-masing sampel ditunjukkan pada

Tabel 2, dimana informasi kandungan mineralnya diperoleh melalui cara difraksi sinar X. Tabel 2. Hasil analisis mineral sampel host rock [10].

Sampel Kaolinit Muskovit (Ba) Monmorilonit Meta haloisit Kuarsa Kelas mineralogi

Sampel 1 + +++ Kaolinitik Sampel 2 +++ ++ Haloistik

Catatan: ++++ dominan, +++ banyak, ++ sedang, + sedikit, (+) sangat sedikit

Pengaruh pH larutan Perubahan kondisi larutan diperkirakan akan mempengaruhi kondisi penyerap (sampel host

rock) dan spesiasi ion logam/radionuklida yang akan berinteraksi dengan sampel. Interaksi sampel dan larutan dengan kondisi keasaman tertentu menyebabkan terjadinya pergantian ion-ion pertukaran (ion H, Na, Mg, Ca) yang ada di permukaan batuan dengan ion hidroksida di larutan. Radionuklida yang ada di larutan kemudian berinteraksi dengan batuan sampel [11]. R-H + OH- <---------> R- + H2O (2) R adalah matrik yang tak larut dari sampel batuan. Radiocesium merupakan radionuklida yang cukup mobile pada lingkungan, tidak terspesiasi, mudah berasimilasi dengan organisme-organisme yang ada di larutan maupun tanah sehingga cukup efisien terserap oleh binatang pada sistem rantai makanan [12]. Secara umum dengan kondisi seperti diatas, keberadaan Cs di tanah/host rock atau di air tanah akan ditentukan oleh kapasitas serap fase padatnya/host rock [12-14]. Host rock yang baik bersifat menyerap kontaminan sehingga diharapkan mampu mencegah terjadinya penyebaran kontaminan dari fasilitas PA-LRA ke biosfer.

Page 52: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Budi Setiawan : Interaksi Radiocesium dengan Host Rock di Bawah Pengaruh Ph dan Kekuatan Ion Larutan

46

3 4 5 6 7 8 9 10

0

2000

4000

6000

8000

10000

Kd (m

l/g)

pH3 4 5 6 7 8 9 10

0

50

100

150

200

250

300

Kd (m

l/g)

pH

3 4 5 6 7 8 9 10

0

2000

4000

6000

8000

10000

Kd (m

l/g)

pH3 4 5 6 7 8 9 10

0

50

100

150

200

250

300

Kd (m

l/g)

pH

Gambar 1. Pengaruh perubahan pH larutan terhadap nilai Kd, (a) (b) Sampel 1, (c) (d) Sampel 2 (a) (c) 1 x 10-8 M (b) (d) 1 x 10-4 M CsCl

Pengaruh pH larutan terhadap interaksi radiocesium dengan sampel host rock ditunjukkan

pada Gambar 1. Nilai Kd radiocesium yang dihasilkan relatif tetap terhadap adanya perubahan pH di larutan. Kuatnya sifat penyangga (buffer) dari sampel ditengarai menyebabkan adanya penambahan atau perubahan sifat asam atau basa di larutan terhadap sampel tidak memberikan pengaruh yang nyata pada perubahan nilai Kd radiocesium ke sampel. Kondisi ini terlihat disepanjang rentang pH yang dikenakan terhadap sampel. Walaupun ada sedikit perbedaan pada nilai Kd yang dihasilkan, dimana pada Gambar 1(a) sampel host rock memberikan nilai yang l ebih tinggi dibandingkan dengan hasil Kd sampel lainnya/1(c). Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan komposisi kimianya yang berbeda antara sampel satu dengan lainnya.

Hasil sorpsi CsCl pada Gambar 1(a)(c) memberikan hasil yang lebih tinggi dari pada hasil sorpsi pada Gambar 1(b)(d). Perbedaan konsentrasi CsCl di larutan telah memberikan nilai Kd radiocesium yang berbeda. Meningkatnya konsentrasi CsCl di larutan akan segera menjenuhkan kapasitas serap host rock, dan CsCl tersisa di larutan akan menurunkan perhitungan nilai Kd radiocesium.

Pengaruh Kekuatan ion ( I )

Hasil perhitungan nilai Kd radiocesium akibat pengaruh kekuatan ion/I larutan ditunjukkan pada Gambar 2. Penurunan nilai Kd yang diakibatkan oleh bertambahnya konsentrasi garam latar/NaCl telah diamati oleh beberapa peneliti [15] walaupun penyelidikan secara sistematik belum pernah dilakukan terhadap fenomena seperti ini.

(a) (b)

(c) (d)

Page 53: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

47

Kemungkinan terjadinya perubahan sifat elektrostatis larutan akibat meningkatnya kekuatan ion di larutan dapat menyebabkan berkurangnya sifat selektifitas terhadap suatu kation monovalen seperti cesium pada suatu sistem pertukaran yang heterogen seperti tanah/batuan [16-18].

Atau cara ini dapat dijelaskan dengan teori lapisan ganda elektrik (electrical double layer theory) yang ada di sekeliling batuan host rock, dimana site aktif yang ada disekeliling batuan host rock akan melakukan reaksi netralisasi dengan ion-ion Na sebagai garam latar. Akibatnya ion-ion logam yang ada disekitar batuan bila akan berinteraksi dan beraksi dengan batuan sampel dikontrol secara kompetisi antara garam latar/Na+ dan Cs+. Sehingga meningkatnya konsentrasi garam NaCl di larutan akan menyebabkan meningkatnya ion-ion Na di daerah pertukaran luar bahan penukar kation yang dapat menyebabkan meningkatnya kompetisi antara ion-ion logam yang berada di daerah pertukaran luar bahan penukar ion seperti sampel host rock.

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

Kd (m

l/g)

I (M NaCl)0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

0

50

100

150

200

250

300

Kd (m

l/g)

I (M NaCl)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

Kd (m

l/g)

I (M NaCl)0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

0

50

100

150

200

250

300

Kd (m

l/g)

I (M NaCl)

Gambar 2. Pengaruh perubahan kekuatan ion di larutan terhadap nilai Kd, (a)(b) Sampel 1, (c) (d) Sampel 2, (a)(c) 1 x 10-8 M (b) (d) 1 x 10-4 M CsCl

KESIMPULAN

Telah dilakukan penelitian tentang interaksi radiocesium dengan host rock pada kondisi pH dan kekuatan larutan yang bervariasi. Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan pH di larutan tidak mempengaruhi perhitungan nilai Kd radiocesium ke host rock karena kuatnya sifat buffer dari batuan host rock. Berubahnya kekuatan ion larutan memberikan pengaruh pada nilai Kd radiocesium, hal ini kompetisi antara ion garam latar dengan cesium telah menyebabkan terjadinya penurunan nilai Kd radiocesium ke host rock.

Page 54: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Budi Setiawan : Interaksi Radiocesium dengan Host Rock di Bawah Pengaruh Ph dan Kekuatan Ion Larutan

48

UCAPAN TERIMA KASIH Kegiatan ini telah dibiayai oleh Kementerian Pendidikan Nasional melalui Program Insentif

Riset DIKNAS-BATAN Tahun 2009. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Sdr. Teddy Sumantry BSc. dan Sdri. Nurul Efriekaningrum SST. dari Bidang Teknologi Penyimpanan Lestari, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN atas bantuan preparasi dan pekerjaan radiokimianya.

DAFTAR PUSTAKA [1] IAEA: Operational Experience in Shallow Ground Disposal of Radioactive Wastes, Technical

Report Series no. 69, IAEA-Vienna (1985). [2] IAEA: Siting of Near Surface Disposal Facilities, SS no. 111-G-3.1, IAEA-Vienna (1994). [3] IAEA: Siting of Geological Disposal Facilities, SS no. 111-G-4.1, IAEA-Vienna (1994). [4] Wahlberg, JS., Fishman, MJ.: Adsorption of Cesium on Clay Mineral, USGS Bull 1140-A (1962). [5] McBride, MB.: An Interpretation of Cation Selectivity Variations in M+-M+ Exchange on Clays,

Clays and Clay Minerals 27, 417-422 (1979). [6] Di Toro et.al.: Effects of Nonreversibility, Particle Concentration and Ionic Strength on Heavy Metal

Sorption, Environ. Sci. Technol 20, 55-61 (1986). [7] Suryanto: Radionuklida Acuan Pada Analisis Keselamatan Penyimpanan Limbah Radioaktif,

Prosid. Pertemuan dan Presentasi Ilmiah I, PTPLR-BATAN, Serpong, 138-142 (1997). [8] Erten, HN., et.el.: Sorption of Cesium and Strontium on Montmorillonite and Kaolinite, Radiochim.

Acta 44/45,147 (1988). [9] BALIT TANAH, Hasil Analisis Contoh Tanah, Sertifikat Pengujian, Departemen Pertanian-Bogor

(2009). [10] BALIT TANAH, Hasil Analisis Mineral Liat, Sertifikat Pengujian, Departemen Pertanian-Bogor

(2009). [11] IAEA: Use of Local Mineral in The Treatment of Radioactive Waste, Technical Report Series

no.136, IAEA-Vienna (1972). [12] Coughtrey, PJ., Thorne, MC.: Radionuclide Distribution and Transport in Terrestrial and Aquatic

Ecosystems Vol.1, Rotterdam: A.A. Balkema Publ., 496 (1983). [13] Livens, FR., Loveland, PJ.: The Influence of Soil Properties on The Environmental Mobility of

Cesium in Cumbria, Soil Use Manage. 4, 69-75 (1988). [14] Kirk, GJD., Staunton, S.: On Predicting The Fate of Radioactive Cesium in Soil Beneath

Grassland, J. Soil Sci. 40, 71-84 (1989). [15] Staunton, S., Roubaud, M.: Adsorption of 137Cs on Montmorillonite and Illite: Effect of Charge

Compensating Cation, Ionic Strength, Concentration of Cs, K and Fulvic Acid, Clays and Clay Minerals 45, No.2, 251-260 (1997).

[16] M. Ding et.al.: Sorption Characteristics of Radionuclides on Clays in Yucca Mountain Alluvium, Presented to 2006 IHLRWM, April 30 - May 4, 2006, Las Vegas, Nevada.

[17] MV. Mironenko et.al.: Experimental Study of Sorption of Np(V) on Kaolinite, Herald of the Department of the Earth Sciences RAS, 2004.

[18] WY Um, and C. Papelis: Sorption Mechanisms of Sr and Pb on Zeolitized Tuffs From The Nevada Test Site as a Function of pH and Ionic Strength, American Mineralogist, Vol. 88, 2028–2039 (2003).

Page 55: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

49

BIOAKUMULASI MERKURIA ANORGANIK DAN METIL MERKURI OLEH Oreochromis mossambicus:

PENGARUH KONSENTRASI MERKURI ANORGANIK DAN METIL MERKURI DALAM AIR

Heny Suseno*, Sumi Hudiyono PWS**, Budiawan**, Djarot S Wisnubroto*** *) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310

**) Departemen Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus Depok ***) Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kantor Pusat BATAN Jl Kuningan Barat, Mampang Prapatan-

Jakarta Selatan

ABSTRAK BIOAKUMULASI MERKURI ANORGANIK DAN METIL MERKURI OLEH Oreochromis

mossambicus: PENGARUH KONSENTRASI MERKURI ANORGANIK DAN METIL MERKURI DALAM AIR. Telah dilakukan studi bioakumulasi Hg2+ dan CH3HgCl oleh O. mossambicus menggunakan radiotracer. Penelitian dilakukan dilaboratorium menggunakan radiotracer dan kedua kontaminan tersebut divariasikan pada berbagai konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan nilai Faktor Konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl masing-masing berkisar antara 134,5 - 176,7 ml.g-1 dan 1013,4 sampai dengan 1284,1 ml.g-1. Peningkatan konsentrasi kedua kontaminan tersebut dalam medium air menyebabkan penurunan nilai CF tetapi perhitungan menggunakan model Uptake – Depuration Toxicity menunjukkan O. mossambicus toleran terhadap peningkatan konsentrasi kedua senyawaan merkuri tersebut.

Kata kunci: Bioakumulasi, merkuri, metil merkuri, O. mossambicus, radiotracer

ABSTRACT BIOACCUMULATION INORGANIC MERCURY AND METHYL MERCURY BY O.

mossambicus: THE INFLUENCES OF INORGANIC AND METHYL MERCURY CONCENTRAION ON WATER. The study of Bioaccumulation Hg2+ and CH3HgCl by O. mossambicus using the radiotracer have been done. Laboratory study was conducted using the radiotracer and the both of contaminanst was varied at different concentrations. The Results of experiment was shown that the Concentration Factor (CF) of Hg2+ and CH3HgCl ranged from 134.5 to 176.7 ml.g-1 and 1013.4 to 1284.1 ml.g-1. Increasing concentrations of both contaminants in water medium caused a decrease in the value of CF but calculations using the model Uptake - Depuration Toxicity shows O. mossambicus tolerant at these experiment conditions.

Keywords: Bioaccumulation, mercury, methyl mercury, O. mossambicus, radiotracer

PENDAHULUAN Sebagai salah satu zat pencemar, merkuri bersifat neutrotoksin dan masuk ke ekosistem

akuatik melalui deposisi atmosferik maupun bersumber dari eksternalisasi limbah industri [1,2]. Pada lingkungan akuatik, merkuri mudah membentuk senyawaan kompleks sehingga mempunyai mobilitas yang tinggi dan dominan sebagai Hg2+. Disisi lain merkuri dapat dimetilasi oleh bakteri membentuk senyawaan organomerkuri yang mempunyai toksisitas lebih besar dibandingkan dengan bentuk anorganik [3,4]. Organomerkuri selain metil merkuri cepat terdekompoisisi kembali menjadi merkuri anorganik [5]. Merkuri mempunyai afinitas terhadap lipid dalam tubuh organism sehingga merkuri cenderung lebih terakumulasi dan terbiomagnefikasi dibandingkan bentuk logam berat lainnya [6]. Oleh organisme akuatik merkuri diakumulasi dalam bentuk metil merkuri atau ion Hg2+ pada seluruh tingkatan jejaring makanan.

Tilapia (O. mossambicus ) dibudidayakan di perairan tawar dan payau karena mempunyai nilai ekonomis dan kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan saliitas yang cukup ekstrim serta dapat bertahan pada kondisi kekurangan oksigen [7]. Budidaya ikan tersebut di daerah pesisir terancam oleh berbagai macam jenis polutan termasuk merkuri. Walaupun wilayah pesisir dan muara sungai sangat kecil memainkan peranan dalam siklus global merkuri, tetapi wilayah ini menunjukkan tingkatan konsentrasi merkuri yang sangat tinggi yang diakibatkan oleh inputan dari sungai. Pada wilayah pesisir merkuri terdeposisi dalam sedimen dan kurang mempunyai bioavailabilitas dibandingkan dengan lingkungan laut tetapi tetap berada dalam rantai makanan lokal dengan derajad

Page 56: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

50

yang signifikan [8]. Sebagai salah satu predator puncak dalam jejaring makanan akuatik, O. mossambicus berpotensi mengakumulasi merkuri/metil merkuri dan memberikan kontribusi terhadap paparan kedua kontaminan tersebut pada manusia. Ikan ini mempunyai toleransi yang besar terhadap kadar garam/salinitas dan mudah ditemui di tambak-tambak pada berbagai daerah pesisir. Disisi lain kemampuan akumulasi merkuri/metil merkuri dalam berbagai kondisi lingkungan belum banyak diketahui [9-13].

Bioakumulasi merupakan proses yang kompleks dan dinamis, tetapi dapat dijelaskan melalui model yang dikontruksi dari hasil eksperimen. Model kompartemen tunggal secara luas paling banyak digunakan untuk beragam spesies akuatik. Model kompartemen ini memberikan penjelasan matematis kuantitas senyawaan kimia termasuk Hg2+/CH3HgCl yang ditentukan oleh kecepatan pengambilan dan pelepasannya [14]. Model kompartemen tunggal lebih realistik merupakan keseimbangan antara proses pelepasan dan pengambilan serta dikuantisasi dengan model multi paparan. Pada model kompartemen tunggal proses bioakumulasi juga didekontruksi berdasarkan mekanistik pada setiap komponen dan direkontruksi kembali menjadi suatu prianti prakiraan bioakumulasi untuk daerah spesifik [15]. Seperti halnya jenis ikan lainnya, jalur utama bioakumulasi merkuri O. mossambicus adalah melalui jalur pakan [15]. Walaupun demikian jalur air juga berkontribusi dalam proses bioakumulasi karena proses bioakumulasi merupakan keseimbangan antara 3 mekanisme yaitu: pengambilan Hg2+/CH3HgCl dari jalur air, ingesi dan pelepasan. Menggunakan radiotracer, model ini dapat direalisasikan melalui eksperimen secara kontinyu dan terkontrol dengan berbagai konsentrasi serta simulasi kondisi lingkungan [15].

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi prilaku merkuri dan metil merkuri yang meliputi bioakumulasi, dan eliminasi dalam tubuh Oreochromis mossambicus. Prilaku tersebut dipengaruhi oleh berbagai kondisi eksternal salah satunya adalah perubahan konsentrasi dan lama paparan kedua senyawaan merkuri tersebut dalam medium air payau. TATA KERJA

Bioakumulasi merkuri dan metil merkuri mengikuti prinsip-prinsip masuknya xenobiotik kedalam organisme hidup, yaitu: absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi. Pendekatan proses absorpsi dan eliminasi menggunakan model biokinetika kompartemen tunggal. Studi bioakumulasi Hg2+ dan CH3HgCl oleh Oreochromis mossambicus dilakukan dua jalur paparan yaitu melalui jalur air dan jalur ingesi (pakan). Pada penelitian ini dilakukan simulasi bioakumulasi melalui jalur aii meliputi: (a) Akalimatisasi hewan percobaan, pembuatan media paparan dengan variasi konsentrasi (0,4 sampai dengan 20µg.l-1 Hg dan 0,021 sampai dengan 1,832µg.l-1 untuk CH3HgCl (b) ioakumulasi Hg2+ dan CH3HgCl dilakukan dengan memberikan paparan O. mossambicus masig-masing dalam media Hg2+ dan CH3HgCl secara terpisah dalam interval waktu 1 - 30 hari. Radiotracer 203Hg2+ dan (CH3)2Hg203 1 Bq.ml-1 ditambahkan ke masing-masing media secara terpisah. Rasio konsentrasi 203Hg2+ atau CH3Hg203Cl dalam ikan dibandingkan konsentrasinya dalam air merupakan nilai Faktor Konsentrasi (CF, ml.g-1). Nilai slope yang berasal dari plot nilai CF terhadap waktu merupakan konstanta kecepatan pengambilan (ml.g-1.hari-1). Nilai CFss diperoleh dari CF pada kondisi tunak (c) Pelepasan Hg2+ dan CH3HgCl dari tubuh O.mossambicus dilakukan dengan menempatkan ikan yang telah terakumulasi akuarium berisi air payau yang tidak ditambahkan Hg2+ dan CH3HgCl. Persentase kedua kontaminan tersebut yang tertinggal dalam tubuh O. mossambicus ditetapkan setaip hari, nilai slope yang berasal dari plot nilai persentase kontaminan yang tertahan CF terhadap waktu merupakan konstanta kecepatan pelepasan (hari-1) HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses bioakumulasi Hg2+ dan CH3HgCl oleh O. Mossambicus dari medium air dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi kedua senyawaan tersebut. Pada percobaan ini O.mossambicus disimulasikan berada dalam kondisi lingkungan perairan yang mengandung Hg2+ dan atau CH3HgCl dari konsentrasi rendah sampai dengan menengah. Konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl yang digunakan adalah pada kisaran seperlimaratus sampai dengan sepersepuluh dari nilai LC50-96h pada O. Mossambicus[7] . Pengaruh perubahan konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl terhadap kemampuan akumulasi oleh O. mossambicus yang direpresentasikan oleh nilai CF ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2

Page 57: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

51

0 5 10 15 20 25 30 350

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

0,4 µg.l-1

2,0 µg.l-1

10,0 µg.l-1

20,0 µg.l-1Fakt

or k

onse

ntra

si, C

F (m

l.g-1

)

Lama Paparan (hari) Gambar 1. Pengambilan Hg2+ oleh O. mossambicus melalui jalur air pada kisaran konsentrasi

Hg2+ dalam media air 0,40 sampai dengan 20 µg.l-1

0 5 10 15 20 25 30 350

200

400

600

800

1000

1200

1400

Fakt

or K

onse

ntra

si, C

F (m

l.g-1

)

Lama Paparan (hari)

0,021 µg.l-1

0,105 µg.l-1

0,361 µg.l-1

1,832 µg.l-1

Gambar 2. Pengambilan CH3HgCl oleh O. mossambicus melalui jalur air pada kisaran konsentrasi 0,021 sampai dengan 1,832 µg.l-1

Gambar 1 dan 2 menunjukkan peningkatan konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl tidak dibarengi dengan bertambahnya kemampuan O. mossambicus mengakumulasi kedua kontaminan tersebut. Setelah hari ke 30, nilai Faktor Konsentrasi (CF) Hg2+ berkisar antara 134,5 sampai dengan 176,7 ml.g-1 . Nilai CF untuk CH3HgCl berkisar antara 1013,4 sampai dengan 1284,1 ml.g-1. Hasil eksperimen juga menunjukkan, nilai CF pada medium Hg2+ berkonsentrasi rendah (0.4 µg.l-1 ) 31,38% lebih besar dibandingkan dengan medium Hg2+ konsentrasi tinggi (20 µg.l-1). Disisi lain didalam medium CH3HgCl 0,021 µg.l-1, kemampuan O. mossambicus mengakumulasi sebesar 26,71% lebih besar dibandingkan jika berada dalam konsentrasi CH3HgCl 1,832 µg.l-1.

Perbedaan kemampuan akumulasi senyawaan merkuri dalam medium dengan konsentrasi yang bervariasi juga ditemui pada organism akuatik lainnya. Sebagai perbandingan, kemampuan akumulasi CH3HgCl oleh spesies cyprinid pada berbagai konsentrasi(0,1 sampai dengan 1 µg.l-1) menunjukkan perbedaan nilai CF sebesar 109%. Peningkatan konsentrasi CH3HgCl dalam medium air menyebabkan penurunan kemampuan cyprinid megakumulasi kontaminan tersebut. Disisi lain

Page 58: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

52

kenaikan konsentrasi Hg2+ dalam medium air meningkatkan kemampuan bioakumulasi Hg. Ikan jenis salmonid juga menunjukkan kecenderungan yang sama, tetapi pada moluska peningkatan konsentrasi medium justru menurunkan kemampuan bioakumulasi Hg [16].

Pada ikan Plectorhinchus gibbosuaik kenaikan konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl dalam medium air justru dibarengi dengan peningkatan kemampuan bioakumulasi Hg2+ maupun CH3HgCl [17]. Namun demikian percobaan hanya dilakukan beberapa jam dan kondisi tunak belum tercapai. Tidak terdapat informasi nilai CF kedua kontaminan tersebut pada kondisi tunak. Pada ikan mosquitofish (Gambusia affinis) dan redear sunfish (Lepomis microlophus ) BCF sebesar 7,6 X 103 ml.g-1 dan 9,8 X 104 bertutur-turut untuk Hg2+ dan CH3HgCl [18]. Berdasarkan Gambar 1 dan 2, hasil eksperimen membuktikan kemampuan O. mossambicus mengakumulasi CH3HgCl lebih besar dibandingkan kemampuannya mengakumulasi Hg2+. Nilai CF dari CH3HgCl menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan nilai CF dari Hg2+. Setelah berada dalam medium Hg2+ dan CH3HgCl selama 30 hari, kemampuan akumulasi CH3HgCl oleh O. mossmbicus 7,3 sampai dengan 7,99 kali lebih besar dibandingkan dengan akumulasi Hg2+. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Daphina magna sejenis krustase mengakumlasi Hg2+ dan CH3HgCl 3 sampai 4 kali dibandingkan konsentrasinya dalam medium air [19]. Akumulasi CH3HgCl yang lebih besar dibandingkan Hg2+ disebabkan oleh metil merkuri lebih terakumulasi di dalam sel darah merah dibandingkan dengan plasma darah ikan. Metil merkuri bersifat lifofilik dan cepat terabsorposi dari air melalui insang dan masuk kedalam plasma darah selanjutnya diikat olah sel darah merah [20]. Disamping sifat lifofilik tersebut, CH3HgCl mempunyai afinitas yang sama dengan Hg2+ terhadap gugus tiol yang terkandung dalam biomolekul seperti glutation (GSH), sistein (Cys), homosistein (Hcy), N-asetilsistein (NAC), metalotionin (MT) dan albumin [20,21].

Pengangkutan metil merkuri melalui membrane biologi diatur oleh ikatan yang kuat dengan gugus tiol dan kapasitasnya membentuk spesi netral Cl dan OH- sehingga dapat terdifusi secara pasif melalui membral seluler. Secara actual metil merkuri diangkut melewati membrane sel dimediasi oleh glutation dan ligan-ligan tiol kecil. (Rouleu). Dalam tubuh internal merkuri meniru struktur asam amino, Konjugasi (Cys) S metilmerkuri (CH3Hg-S-Cys) mirip strukturnya dengan asam amino metionin. Hal serupa ditunjukkan oleh konjugasi S Cys-merkuri anorganik (Cys-S-Hg-S-Cys) dengan asam amino sistin, konjugasi homosistein (Hcy) S-merkuri anorganik (Hcy-S-Hg-S-Hcy) mirip dengan homocystine. Konjugasi merkuri-asam amino (seperti Cys dan Hcys) dapat bertindak sebagai molekul meniru struktur yang asam-asam amino. Gambar 8 dan 10 juga menunjukkan akumulasi CH3HgCl dan Hg2+ pada medium berkonsentrasi rendah lebih besar dibandingkan dengan medium berkonsentrasi yang tinggi. Hal ini karena ion Hg2+ dan CH3HgCl merupakan senyawaan Endocrine disruptors yang mempunyai sifat menggangu sintesis, sekresi, pengangkutan dan pengikatan atau kerja serta berhentinya hormon-hormon di dalam tubuh yang berfungsi untuk mempertahankan homeostasis (dalam sel normal), reproduksi, perkembangan dan atau prilaku [22].

Internalisasi Hg2+ atau CH3HgCl dari air ke dalam tubuh ikan pertama-tama melalui insang dimana air dan darah memasuki insang dengan arah yang berlawanan dan memfasilitasi pertukaran gas dan pempertahankan osmosis homeostatis. Ion Hg2+ dan CH3HgCl yang terkandung didalam air masuk ke jaringan internal ikan melalui epitel insang selama berlangsungnya respirasi. Insang bertindak sebagai antarmuka selektif antara lingkungan internal dan lingkungan luar [23]. Insang juga sangat penting untuk osmolit volume dan regulasi asam basa dan pengambilan ion melawan kehilangan ion akibat difusi. Absorsi zat-zat tertentu dari lingkungan eksternal dan sekresi produk-produk katabolik juga melalui filamen insang. Epitelium insang dilapisi oleh sisi ikatan yang bermuatan negatif yang terdiri dari fosfat, karboksil, amino dan gugus sulfat. Merkuri dan logam lainnya diikat oleh sisi ikatan negatif tersebut kemudian diinternalisasi melalui difusi pasif pada lubang-lubang hidrat dan melalui mekanisme mediasi transportasi.

Dalam sel insang terdapat sel klorida atau yang dikenal dengan sel yang kaya akan mitokondria mengatur fluks ion antara organism dan lingkungan sekitar. Sel klorida merupakan sisi aktif dimana ion dipompakan kedalam sel dari luar tubuh, Energi untuk aktivitas ini diperoleh dari ATP yang dikonversikan menjadi ADP untuk mentransfer ion Na+ dari sel dan K+ dari luar sel. Aktivitas enzim Na+, K+-ATP ase meningkat dalam sel insang ketikda berada dalam lingkungan bersalinitas tinggi. Ketika gradient konsentrasi logam yang masuk dipertahankan secara pasif melalui afinitas tinggi dari pengikatan secara antar sel, gradient konsentrasi logam lainnya membutuhkan energi untuk berikatan dengan membrane. Ion Na+ dan K+ tidak mempunyai afinitas yang tinggi pada protein pengompleks dan tetap dalam bentuk ion. Enzim Na+K+ATPase pada membrane sel insang menjaga konsentrasi rendah Na+ intraseluler sehingga dapat masuk kedalam melalui saluran sodium (sodium chanel). Demikian halnya dengan pengambilan Ca2+ melalui kanal kalsium dipertahankan melalui

Page 59: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

53

pemompaan ion Ca2+ keluar [24]. Ion Hg2+ dan CH3HgCl masuk ke dalam insang dari air melalui rute yang sama dengan pengambilan Na+ yaitu melalui kanal Na yang dipicu oleh gradient elektrik yang difasilitasi oleh enzim H+ATPase. Selanjutnya Hg terakumulasi sementara di dalam insang untuk masuk ke dalam jaringan tubuh lainnya. Transportasi Hg sepajang membrane basolateral insang ke dalam darah. Respon terhadap zat toksik (termasuk merkuri) adalah enzim Na+K+ATPase yang terdapat pada membrane basolateral sel insang. Enzim ini berfungsi untuk memindahkan ion Na+ dalam pergantian ion K+ sepanjang membrane basolateral kedalam cairan intraseluler. Paparan Hg menghambat aktivitas enzim ini sehingga pengambilan Na+ dan Cl- pada insang mengalami gangguan. Gangguan pengaturan ion menyebabkan kematian pada ikan.

Berdasarkan uraian diatas insang merupakan organ pertama yang bersentuhan dalam proses akumulasi melalui jalur air. Kemampuan insang mentoleransi keberadaan Hg2+ dan CH3HgCl merupakan tahapan penting dalam proses akumulasi Hg2+ dan CH3HgCl melalui jalur air. Inhibisi enzim-enzim yang bekerja pada insang secara umum dipandang sebagai efek kritis yang menyebabkan kematian. Inhibisi enzim-enzim ini disebabkan oleh pengambilan Hg2+ maupun CH3HgCl dari medium air. Inhibisi enzim ATP-ase dan mortalitas tergantung pada dosis dan lamanya paparan terhadap O. mossambicus. Peningkatan konsentrasi Hg dan CH3HgCl menyebabkan kerusakan insang dan berakibat pada kegagalan atau gangguan pengaturan ostomik. Efek toksik yang dihasilkan oleh merkuri adalah mengurangi ion-ion dalam darah dan meningkatkan permeabilitas ion dengan menggantikan Ca2+ dari kanal paraselular dan menginhibisi enzim Na+K+ ATP ase serta karbonil anhirase. Disisi lain organism juga mempunyai kemampuan mentoleransi kontaminan (termasuk Hg2+ dan CH3HgCl) sampai batasan konsentrasi sublethalnya [25]. Nilai CL,50 tercapai ketika konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl dalam tubuh mencapai kesetimbangan dengan konsentrasinya di dalam air. Perbandingan dan prediksi proses akumulasi Hg2+ dan CH3HgCl oleh O. mosammbicus ditunjukkan pada Gambar 3 sampai dengan 6.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

10

100

1000

10000

CFt =1727,06 (1- e-0,0507t)

CFt =218,45 (1- e-0,0675t)

Fakt

or K

onse

ntra

si, C

F (m

l.g-1

)

Lama Paparan (Hari)

Prediksi CH3HgCl

CH3HgCl 0,021 µg.l-1

Prediksi Hg2+

Hg2+ 0,2 µg.l-1

Gambar 3. Pengambilan Hg oleh O. mossambicus dari medium air yang mengandung Hg2+ 0,2

µg.l-1 dan CH3HgCl 0,021µg.l-1

Page 60: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

54

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

10

100

1000

10000

CFt =1905 (1- e-0,0404t)

CFt =211,75 (1- e-0,055t)

Fakt

or K

onse

ntra

si, C

F (m

l.g-1

)

Lama Paparan (Hari)

Prediksi CH3HgCl

CH3HgCl 0,105 µg.l-1

Prediksi Hg2+

Hg2+ 2,0 µg.l-1

Gambar 4. Pengambilan Hg oleh O. mossambicus dari medium air yang mengandung Hg2+ 2,0

µg.l-1 dan CH3HgCl 0,105µg.l-1

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

10

100

1000

10000

CFt =172,44 (1- e-0,0707t )

CFt =1772,06 (1- e-0,0425t )

Fakt

or K

onse

ntra

si, C

F (m

l.g-1)

Lama Paparan (Hari)

Prediksi CH3HgCl

CH3HgCl 0,361 µg.l-1

Prediksi Hg2+

Hg2+ 10 µg.l-1

Gambar 5. Pengambilan Hg oleh O. mossambicus dari medium air yang mengandung Hg2+ 10,0 µg.l-1 dan CH3HgCl 0,361µg.l-1

Page 61: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

55

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

10

100

1000

10000

CFt =159.88 (1- e-0,0766t )

CFt =1445,41 (1- e-0,0483t )

Fakt

or K

onse

ntra

si (m

l.g-1

)

Lama Paparan (Hari)

Prediksi CH3HgCl

CH3HgCl 1,832 µg.l-1

Prediksi Hg2+

Hg2+ 20 µg.l-1

Gambar 6. Pengambilan Hg oleh O. mossambicus dari medium air yang mengandung Hg2+

20,0 µg.l-1 dan CH3HgCl 1,832 µg.l-1

Mengacu pada Gambar 3 sampai dengan 6, kondisi tunak akumulasi Hg2+ dan CH3HgCl tidak dicapai dalam waktu yang bersamaan. Berdasarkan eksperimen, dalam medium Hg2+ 0,4µg.l-1 kondisi tunak akumulasi Hg2+ dicapai setelah 23 hari. Nilai nilai CF pada kondisi tunak tersebut sebesar sebesar 176,67 ml.g-1. Berdasarkan hasil eksperimen tersebut maka setelah 23 hari terpapar 0,4µg.l-1 kadar Hg2+ dalam tubuh O. mossambicus mencapai 0,0707µg.g-1 . Kondisi tunak akumulasi Hg2+ setelah terpapar medium masing-masing pada konsentrasi 2, 10 dan 20µg.l-1 berturut turut dicapai setelah 24, 23 dan 18 hari dan nilai CF berturut- turut 163,59; 142,8; dan 131,2 ml.g-1. Berdasarkan eksperimen tersebut maka pada kondisi tunak setelah terpapar medium Hg2+ 2, 10 dan 20µg.l-1 maka kadar Hg2+ dalam tubuh O. mossambicus berturut-turut 0,327; 1,482 dan 2,624 µg.g-1. Berbeda dengan hasil eksperimen, estimasi kondisi tunak berdasarkan prediksi persamaan non linier dicapai setelah 68 hari dan estimasi CF berturut-turut sebesar 211,75; 172,44; dan 159,88 ml.g-1. Kondisi tunak akumulasi CH3HgCl dicapai dalam waktu 29 hari dan nilai CF 1284,06; 1199; 1144,73 dan 1013,368 ml.g-1

berturut-turut setelah terpapar dalam medium yang mengandung CH3HgCl 0,021; 0,105; 0,361 dan 1,832µg.l-1. Kalkulasi pada kondisi tersebut, diperoleh konsentrasi CH3HgCl dalam O. mossambicus sebesar 0,02697; 0,259; 0,4132 dan 1,8569µg.g-1. Disisi lain estimasi kondisi tunak menggunakan persamaan non linier berturut-turut sebesar 1727,06; 1905; 1772,06 dan 1445,41 ml.g-1.

Nilai CF Hg menurut rekomendasi IAEA secara umum untuk seluruh ikan adalah 3 x 104 ml.g-1 yang diperoleh dari perairan di Teluk Persia dan laut Arabia dengan konsentrasi merkuri sebesat 5ng.l-1 [26]. Namun demikian bioakumulasi logam tergantung pada spesies organsme akuatik dan kondisi lokasi akuatik yang spesifik. Nilai CF Hg2+ pada kerang Pecten maximus sebesar 228 setelah terpapar Hg selama 7 hari [27]. Studi bioakumulasi menggunakan radiotracer 203Hg membuktikan nilai CF yang diperoleh dari bioakumulasi pada ikan Liza aurata sebesar 178 ml.g-1

dan pada ikan Plectorhinchus gibbosuaik sebesar 48 sampai dengan 110 ml.g-1 [17]. Hasil penelitian lainnya juga melaporkan CF Hg2+pada sotong Sepia officinalis merkuri sebesar 260 ml.g-1 [29] . NIlai CF pada Mosquitofish (Gambusia affinis) dan Redear Sunfish (Lepomis microlophus) berturut-turut sebesar 8500 – 12738 ml.g-1 dan 8000-10909 ml.g-1. Hasil eksperimen membuktikan menunjukkan nilai CF Hg2+ berada dibawah nilai rekomendasi IAEA. Namun demikian jika dibandingkan dengan hasil-hasil eksperimen yang dilakukan peneliti lain membuktikan kisaran nilai CF pada berbagai jenis biota sangat luas dan nilai CF yang diperoleh masih berada pada kisaran tersebut.

Nilai CF CH3HgCl pada ikan bervariasi, namun IAEA merekomendasika nilai tersebut pada kisaran 5000 sampai dengan 500000 ml.g-1. Nilai CF Ch3HgCl yang diperoleh dari eksperimen ini berkisar 1013,368 sampai dengan 1284,06 ml.g-1. Nilai tersebut berada jauh dibawah dari rekomendasi IAEA namun demikian berbagai hasil penelitian lain menunjukkan nilai CF CH3HgCl sangat bervariatif tergantung dari jenis speciesnya. Ikan Plectorhinchus gibbosuaik mempunyai nilai CF sebesar 350 – 800 ml.g-1 [17]. Ikan dari spesies Gambusia affinis mengakumulasi CH3HgCl pada kisaran nilai CF

Page 62: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

56

3714 sampai dengan 18777 ml.g-1 [18] ). Ikan O. notilicus yang masih dalam satu keluarga dengan O. mossambicus mengakumulasi Hg2+ dan CH3HgCl dari medium air dengan nilai CF berturut-turut sebesar 2205,13 ml.g-1.hari-1 dan 66000 ml.g-1.hari-1. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nilai CF hasil eksperimen ini ini jauh kecil dibandingkan dengan nilai CF O. notilicus [29]. Namun demikian hasil penelitian tidak selalu dapat dibandingkan karena eksperimen tersebut dilakukan pada konsentrasi yang sangat rendah ( 3,3 – 100 ng.l-1 untuk Hg2+ dan 1,1 – 130 ng.l-1 untuk CH3HgCl) ) dan waktu yang sangat singkat (8 jam).

Pelepasan Hg2+ dari jaringan tubuh O. mossambicus setelah terpapar Hg atau CH3HgClselama 30 hari ditunjukkan pada Gambar 7.

0 2 4 6 850

60

70

80

90

100

Frak

si te

rtaha

n da

lam

tubu

h (%

)

Lama depurasi (Hari)

0,4 µg.l-1Hg2+ 10 µg.l-1Hg2+ 10µg.l-1Hg2+

20µg.l-1Hg2+ 0,021µg.l-1CH3HgCl,

0,015µg.l-1CH3HgCl 0,361µg.l-1CH

3HgCl

1,832 µg.l-1CH3HgCl

Gambar 7. Pelepasan Hg dari tubuh O. Mossambicus setelah terpapar Hg2+ dan CH3HgCl selama 30

hari Kecepatan pelepasan dihitung dari slope grafik persentase Hg2+ atau CH3HgCl yang tertahan dalam tubuh versus lamanya pelepasan (depurasi). Kecepatan pelepasan Hg2+ adalah 0,0227 sampai dengan 0,0238 hari-1 dan kecepatan pelepasan CH3HgCl dari tubuh O. mossambicus adalah 0,01064 hari-1 sampai dengan 0,01098 hari-1. Perbedaan kecepatan pelepasan pada setiap perlakuan eksperimen untuk Hg2+ dan CH3HgCl masing-masing sebesar 11,2% dan 3,1%. Kecepatan pelepasan Hg2+ dan CH3HgCl oleh O. niloticus berturut-turut adalah 0,039 hari-1 dan 0,0055 hari-1. Ikan musqito melepas Hg2+ keluar tubuh dengan kecepatan 0,021 sampai dengan 0,042 hari-1 dan CH3HgCl dengan kecepatan 0,018 sampai dengan 0,019 hari-1. Ikan reader sunfish melepas Hg2+ keluar tubuh dengan kecepatan 0,03 sampai dengan 0,035 hari-1 dan CH3HgCl dengan kecepatan 0,021 hari-1. Kemampuan ikan Plectorhinchus gibbosuaik melepas Hg2+ yang terakumulasi dalam tubuhnya sebesar 0,02878 sampai dengan 0,0722. hari-1 dan melepas CH3HgCl sebesar 0,0103 sampai dengan 0,0116 hari-1

Berdasar eksperimen, maka pada Hg2+ dilepas dari tubuh O. mossambicus sebesar 2,27 sampai dengan 2,38% dari per hari dari total Hg2+ yang telah terakumulasi. Disisi lain, persentase CH3HgCl dilepas dari tubuh O. mossambicus sebesar 1,064 sampai dengan 1,098% dari per hari dari total Hg2+ yang telah terakumulasi. Berdasarkan data tersebut maka CH3HgCl 2,13 sampai dengan 2,16 kali ditahan lebih lama dalam tubuh ikan tersebut dibandingkan dengan Hg2+. Data tersebut memenuhi persyaratan dapat dibandingkan karena hasil penelitian lainnya menunjukkan kemampuan menahan CH3HgCl dalam tubuh berbagai jenis ikan bervariatif. Ikan mosquito maksimal menahan CH3HgCl 1,17 kali lebih lama dibandingkan Hg2+. Ikan sunfinsh menahan CH3HgCl 1,43 sampai dengan 1,667 kali lebih lama dibandingkan Hg2+. Ikan nila menahan CH3HgCl 7,2 kali lebih lama dibandingkan Hg2+.

Ikan menahan CH3HgCl lebih lama dibandingkan Hg2+ karena jalur pelepasannya multi tahapan. Jalur utama pelepasan CH3HgCl melalui biotransformasi menjadi bentuk anorganik untuk selanjutnya diekresikan sebagai ion Hg2+. Jalur lainnya adalah sekresi CH3HgCl kedalam empedu, berikatan dengan berbagai macam senyawaan sulfhidril nonprotein. Sebagai tambahan pelepasan CH3HgCl juga dapat melalui system pernafasan. Metil merkuri bersaifat lifofilik dan cepat diserap insang dari medium air. Ultrafilktrasi atau fraksi CH3HgCl yang tidak terikat oleh darah merah dan tetap

Page 63: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

57

berada dalam plasma darah dapat kembali kedalam insang untung selanjutnya diekskresikan keluar tubuh [20].

Pengaruh konsentrasi medium air terhadap nilai CF Hg2+ dan CH3HgCl ditunjukkan pada Gambar berikut.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 10 20100

1000

10000

CFCH3HgCl=-124,497[CH3HgCl] + 1232,467

Fakt

or K

onse

ntra

si, C

F (m

l.g-1

)

Konsentrasi (µg.l-1)

CH3HgCl

Hg2+

CFHg=-15,72[Hg2+] + 192,8

Gambar 8. Pengaruh konsentrasi Hg2+ dan atau CH3HgCl di dalam medium air terhadap kemampuan bioakumulasinya oleh O. mosaambicus Gambar 8 mengindikasikan peningkatan konsentrasi Hg2+ maupun CH3HgCl menurunkan kemampuan O. mossambicus mengakumulasi kedua senyawaan tersebut. Konsentrasi Hg2+ sebesar 20µg.l-1 (sepersepuluh dari LC50 pada ikan), CF yang dicapai 73,188% dari nilai CF yang terpapar medium berkonsentrasi Hg 0.4µg.l-1. Peningkatan konsentrasi kedua senyawaan tersebut dalam medium air mengarah pada LC50 yang akan menimbulkan efek toksik terhadap O. mossambicus (Liao et.al, 2003). Nilai LC50 98h pada ikan adalah ukuran kerentanan dan potensi kelangsungan hidup organisme terhadap zat-zat toksik termasuk merkuri. O. mosammbicus mempunyai kemampuan mengatur konsentrasi logam pada tubuh melalui kombinasi mekanisme absorpsi, ekresi detoksifikasi dan penyimpanan. Kecepatan pengambilan logam pada setiap organisme adalah spesifik dan bergantung pada waktu [15]. Berdasarkan hasil eksperimen, CF ditentukan pada kondisi tunak dimana kecepatan pengambilan dan pelepasan merkuri dari tubuh ikan setimbang. Dalam kondisi tersebut ikan akan beradaptasi meminimisasi efek toksik yang diakibatkan akumulasi kedua senyawaan tersebut dalam jaringan tubuh. Pada konsentrasi tinggi kedua kontaminan tersebut berusaha diekresikan keluar tubuh sehingga residu dalam jaringan masih dapat ditorelansi efek toksiknya.

Pengaruh peningkatan konsentrasi Hg2+ maupun CH3HgCl dalam medium air terhadap kemampuan akumulasinya dalam berbagai jenis biota sangat bervariasi. Peningkatan konsentrasi Hg menyebakan kenaikan kecepatan mortalitas pada tinca tinca, sejenis ikan karper yang dapat hidup diair tawar dan payau. Pada ikan jenis P. Gibbosus peningkatan konsentrasi Hg2+ mengakibatkan kemampuan akumulasi senyawaan tersebut menurun, tetapi peningkatan konsentrasi CH3HgCldalam medium air justru memberikan efek yang berlawanan.

Berdasarkan konsep residu pada seluruh tubuh, organism akuatik mengalami kematian jika batasan maksimal konsentrasi internal toksikan dilampaui. Menggunakan pendekatan residu dalam seluruh tubuh sebagai pengganti dari residu pada organ sasaran akan mempersingkat pemahaman toksitas secara keseluruhan dibandingkan dengan pendekatan yang berkaitan dengan konsentrasi eksternal terhadap aktivasi metabolism, distribusi internal, jenis lemak dan kandungannya dan factor biologis secara umum. Terdapat 3 model untuk menjelaskan pendekatan toksisitas tersebut pada ikan, salah satu diantaranya adalah model Uptake – Depuation Toxicity model. Model ini menjelaskan mekanistik untuk prediksi toksisitas akibat paparan dengan variasi waktu. Hubungan nilai LC50 terhadap Faktor Biokonsentrasi (BCF) yang ditunjukkan pada persamaan

Berdasarkan persamaan tersebut maka CL50 tersebut konstan dan disisi lain nilai LC50 tercapai pada saat konsentrasi internal mencapai kesetimbangan dengan konstanta konsentrasi eksternal.

Page 64: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

58

Mengacu pada teori reseptor, intensitas toksik tergantung pada derajat kemampuan receptor (degree of receptor occupation). Interaksi reseptor dapat terjadi secara reversible maupun irreversible. Penurunan gugus sulfhidril memicu pembentukan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel [30]. Inhibisi enzim-enzim yang bekerja pada insang secara umum dipandang sebagai efek kritis yang menyebabkan kematian. Inhibisi enzim-enzim ini disebabkan oleh pengambilan Hg2+ maupun CH3HgCl. Inhibisi enzim ATP-ase dan mortalitas tergantung pada dosis dan lamanya paparan terhadap O. mossambicus. Nilai CL,50 tercapai ketika konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl dalam tubuh mencapai kesetimbangan dengan konsentrasi di dalam air. Peningkatan konsentrasi Hg dan CH3HgCl menyebabkan kerusakan insang dan berakibat pada kegagalan atau gangguan pengaturan ostomik. Pengaruh konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl terhadap nilai LD50 yang dihitung menggunakan model uptake – depuration model ditunjukkan pada Gambar 9 dan 10.

0 5 10 15 20 25 30

1

10

LC50

(mg.

l-1)

Lama Paparan (Hari)

0.4 µg.l-1 Hg2+ dalam medium air2,0 µg.l-1 Hg2+ dalam medium air 10,0µg.l-1Hg2+ dalam medium air 20,0µg.l-1 Hg2+ dalam medium air

Gambar 9. Prediksi nilai LC50t

Hg2+ menggunakan model Uptake Depuration

0 5 10 15 20 25 30

0.1

1

LC50

(mg.

l-1)

Lama Paparan (Hari)

0,021 µg.l-1 CH3HgCl dalam medium air

0,105 µg.l-1 CH3HgCl dalam medium air

0,361 µg.l-1 CH3HgCl dalam medium air

1,832 µg.l-1 CH3HgCl dalam medium air

Gambar 10. Prediksi nilai LC50t

CH3HgCl menggunakan model Uptake Depuration

Page 65: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

59

Gambar 9 dan 10 menunjukkan nilai LC50

mengalami penurunan terhadap waktu. Pada hari pertama nilai LC50 untuk Hg2+ dan CH3HgCl (konsentrasi medium air masing-masing 20 µg.l-1 dan 1,816 µg.l-1) berturut-turut sebesar 7,56 dan 1,7 mg.l-1 dan hari ke 30 menjadi 0,36 dan 0.068 mg.l-1. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan ikan masih mampu beradaptasi atau tolrean terhadap peningkatan konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl. Untuk menghindari efek toksik O. mossambicus menurunkan kecepatan pengambilan dan menaikan kecepatan pelepasan pada saat konsentrasi senyawaan Hg tersebut dalam medium air meningkat.

Kecepatan pengambilan (ku) Hg2+ dan CH3HgCl oleh O. Mossambicus merupakan nilai slope dari plot CF terhadap waktu. Kecepatan pengambilan kedua jenis senyawaan merkuri tersebut yang dipengaruhi oleh konsentrasinya dalam medium air ditunjukkan pada Gambar 11.

0.1 1 10 20

10

100

ku CH3HgCl= -7,979[CH3HgCl] + 58,6223

ku Hg= -0.16774[Hg2+]+9,1814

k u (ml.g

-1.h

ari-1

)

Konsentrasi(µg.l-1)

Hg2+

CH3HgCl

Gambar 11. Pengaruh konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl dalam air terhadap kecepatan pengambilan (ku)

Gambar 11 menunjukkan ku cenderung menurun pada kenaikan konsentrasi Hg yang

mendekati nilai LC50. Pengaruh Kecepatan pengambilan berdasarkan hasil eksperimen berkisar antara 6,09 sampai dengan 8,79 ml.g-1.hari-1. Nilai ku Hg oleh ikan P. Gibbosus 195 ml.g-1.hari-1 dan ku untuk mosquitofish (Gambusia affinis) 52-78 ml.g-1.hari-1 dan Redear Sunfish (Lepomis microlophus) 38 – 51 ml.g-1.hari-1. Variasi ku disebakan oleh konsentrasi paparan merkuri yang berbeda dan jenis ikan/organisme yang berbeda. Penelitian menggunakan O. niloticus menunjukkan kecepatan pengambilan Hg2+ dan CH3HgCl berturut-turut sebesar 86 ml.g-1.hari-1 dan 333 ml.g-1.hari-1. Nilai ku yang diperoleh dari hasil eksperimen jauh lebih kecil dibandingkan dengan berbagai jenis ikan tersebut diatas. Lebih spesifik lagi sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai ku kedua senyawaan merkuri tersebut dibandingkan dengan O. niloticus yang masih satu keluarga dengan O. mossambicus. Namun demikian nilai ku hasil eksperimen dihitung setelah berada dalam medium Hg2+ atau CH3HgCl selama lebih dari 20 hari. Disisi lain nilai ku O. notilicus dan pembanding lainnya tersebut diatas ditetapkan berdasarkan eksperimen yang dilakukan hanya 8 jam. Mengacu teori model kompartemen tunggal dimana bioakumulasi diasumsikan sebagai kompartemen homogen sehingga kontaminan yang masuk kedalam jaringan tubuh akan bercampur secara homogen dalam satu kompartemen. Namun demikian pada kenyataannya tidaklah sesederhana itu dan kontaminan mengalir dalam satu kompartemen ke kompartemen tubuh lainnya memerlukan waktu yang cukup.

Untuk memprediksi pengambilan Hg2+ dan CH3HgCl secara realistis, masing-masing senyawaan logam tersebut harus dinyatakan dalam satuan konsentrasi pengamilan persatuan waktu. Model biokinetika memprediksi bioakumulasi dari keseimbangan antara influks pengambilan dan effluks pelepasan merkuri dibawah kondisi geokimia yang spesifik . Influks pengambilan merupakan perkalian antara kecepatan pengambilan dengan konsentrasi merkuri dalam air yang ditunjukkan pada persamaan berikut:

Page 66: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

60

wu CkI .= Dimana I merepresentasikan influks Hg ke dalam tubuh O. mossambicus (µg.g-1.hari-1), ku adalah kecepatan pengambilan (ml.g-1.hari-1) dan Cw adalah konsentrasi Hg dalam air (µg.ml-1). Hasil perhitungan influk merkuri kedalam tubuh O. mossambicus ditunjukkanpada Gambar 12.

0.0 0.5 1.0 1.5 10 200.01

0.1

1

10

100

IHg2+=1,3393[Hg2+] + 0,04431

ICH3HgCl=1,0028 [CH3HgCl] + 0,0243

Influ

ks (µ

g.g-1

.har

i-1)

Konsentrasi (µg.l-1)

Hg2+

CH3HgCl)

Gambar 12. Pengaruh konsentrasi Hg terhadap influks dalam tubuh O. mossambicus Hasil perhitungan influks Hg2+ dari medium 0,4 sampai dengan 20 µg.l-1 kedalam tubuh O. mossaambicus sebesar 0,0707 µg.g-1 hari-1sampai dengan 2.701 µg.g-1 hari-1. Influks CH3HgCl berkisar 0,027 µg.g-1 hari-1sampai dengan 1,85649 µg.g-1 hari-1. Gambar 12 menujukkan pengaruh kecenderungan kenaikan masuknya Hg ke dalam tubuh O. mossambicus akibat dari peningkatan konsentrasi Hg2+ atau CH3HgCl dalam air. Hal ini sangat bertolak belakang dengan penurunan kecepatan pengambilan (ku) akibat dari peningkatan konsentrasi Hg di dalam air. Namun demikian menggunakan model korelasi antara nilai ku terhadap konsentrasi Hg2+ (ku =- 0,16774[Hg2+] + 9,814), nilai ku menjadi negatif pada konsentrasi Hg2+ dalam medium air sebesar 50µg.l-1 . Berpijak pada perhitungan tersebut maka pada konsentrasi Hg2+ dalam medium air 50µg.l-1, senyawaan tersebut tidak masuk kedalam tubuh O. mossambicus atau telah mengalami lethal. Hal yang sama dilakukan pada model korelasi antara nilai ku terhadap konsentrasi CH3HgCl (ku =- 7,97[CH3HgCl] + 58,6223), nilai ku menjadi cenderung mengalami penurunan secara gradual. Pengaruh paparan konsentrasi Hg terhadap kecepatan pelepasan tinggal biologis ditunjukkan pada Gambar 13.

0 1 2 101214161820220.01

0.012

0.014

0.016

0.018

0.02

0.022

0.024

0.0260.028

0.03

ke = 1,465 10-4 [CH3HgCl] + 0,01057

ke = 1,906. 10-4 [Hg2+] + 0,02298

k e (h

ari-1

)

Konsentrasi (µg.l-1)

Hg2+

CH3HgCl

Gambar 13. Pengaruh konsentrasi Hg dan CH3HgClterhadap ke

Page 67: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

61

Mengacu pada Gambar 13, kecepatan pelepasan Hg2+ oleh O. mossambicus setelah terpapar dalam berbagai medium berkonsentrasi 0,4 sampai dengan 20 µg.l-1 menunjukkan kecenderungan meningkat. Hal disebabkan paparan Hg dari jalur air menyebabkan Hg terakumulasi di tubuh ikan dan konsentrasinya mencapai 0,09 – 2,18µg.g-1. Paparan pada konsentrasi yang rendah, Hg yang terakumulasi dilepas dengan kecepatan pelepasan sebesar 0,238 hari-1. Paparan konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan kecepatan pelepasan meningkat hingga 0,0227 hari-1. Hal ini disebakan oleh semakin besar konsentrasi paparan Hg yang berasal dari air,residu Hg dalam tubuh ikan semakin tinggi. Ikan tersebut berusaha mengeluarkan residu Hg dalam tubuhnya untuk menghindari efek toksik yang mengarah pada kondisi kematian. KESIMPULAN Peningkatan konsentrasi Hg2+ dan CH3HgCl tidak dibarengi dengan bertambahnya kemampuan O. mossambicus mengakumulasi kedua kontaminan tersebut. Nilai Faktor Konsentrasi (CF) Hg2+ berkisar antara 134,5 - 176,7 ml.g-1 . Nilai CF untuk CH3HgCl berkisar antara 1013,4 -1284,1 ml.g-1. Hasil eksperimen juga menunjukkan, nilai CF pada medium Hg2+ berkonsentrasi rendah (0.4 µg.l-1 ) 31,38% lebih besar dibandingkan dengan medium Hg2+ konsentrasi tinggi (20 µg.l-1). Disisi lain didalam medium CH3HgCl 0,021 µg.l-1, kemampuan O. mossambicus mengakumulasi sebesar 26,71% lebih besar dibandingkan jika berada dalam konsentrasi CH3HgCl 1,832 µg.l-1. Kecepatan pelepasan Hg2+ adalah 0,0227- 0,0238 hari-1 dan kecepatan pelepasan CH3HgCl dari tubuh O. mossambicus adalah 0,01064 hari-1 - 0,01098 hari-1. Perbedaan kecepatan pelepasan pada setiap perlakuan eksperimen untuk Hg2+ dan CH3HgCl masing-masing sebesar 11,2% dan 3,1%. Peningkatan konsentrasi kedua kontaminan tersebut dalam medium air menyebabkan penurunan nilai CF tetapi perhitungan menggunakan model Uptake – Depuration Toxicity menunjukkan O. mossambicus toleran terhadap peningkatan konsentrasi kedua seyawaan merkuri tersebut. DAFTAR PUSTAKA [1] WHO , Guidance for identifying populations at risk from mercury exposure, Issued by UNEP

DTIE Chemicals Branch and WHO Department of Food Safety, Zoonoses and Foodborne Diseases Geneva, Switzerland, (2008)

[2] Gochfeld, M. Cases of mercury exposure, bioavailability, and absorption, Ecotoxicology and Environmental Safety 56 : 174–179 , ( 2003)

[3] Paasivirta, J.K. Long-term Effects of Bioaccumulation in Ecosystems. The Handbook of Environmental Chemistry,Vol. 2 Part J Bioaccumulation (ed. by B. Beek) © Springer-Verlag Berlin Heidelberg, (2000)

[4] Morel, F.M.M., Kraepiel, AM.L., Amyot, M. The Chemical Cycle and Bioaccumulation of Mercury Annu. Rev. Ecol. Syst. 1998 (29):543–66, ( 2008)

[5] Booth, S., Zeller, D. Mercury. Food Webs, and Marine Mammals: Implications of Diet and Climate Change for Human Health. Environmental Health Perspectives 113(5):521-526, (2005)

[6] Ravichandran, M. Interactions between mercury and dissolved organic matter a review Chemosphere 55:319–331, 2004

[7] Ishikawa, N.M., Ranzani-Paiva., M.J.T., Lombardi, J.V., Ferreira., C.M. Hematological Parameters in Nile Tilápia, Oreochromis niloticus Exposed to Sub-letal Concentrations of Mercury, Brazilian Archives of Biology and Technology, 50(4): 619-626, (2007)

[8] Arcos, J.M., Ruiz,X., Bearhop, S., Furness, R. W. Mercury levels in seabirds and their fish prey at the Ebro Delta (NW Mediterranean): the role of trawler discards as a source of contamination Mar Ecol Prog Ser 232: 281–290, (2002)

[9] Kojadinovic, J. Potier, M. Le Corre, R.P. Cosson and Bustamante, P Mercury content in commercial pelagic fish and its risk assessment in the Western Indian. Ocean Science of the Total Environment 366: 688–700, (2006).

[10] Chasar, L. Scudder, B. Stewart, A.R. Bell, A.B. Aiken, R. Mercury Cycling in Stream Ecosystems. 3. Trophic Dynamics and Methylmercury Bioaccumulation. Environ. Sci. Technol. (43): 2733–2739 (2009)

[11] Schwindt, R.A. Fournie, J.W. Landers, D.H. Schreck, C.B. Kent M. Mercury Concentrations in Salmonids from Western U.S. National Parks and Relationships With Age and Macrophage Aggregates Environ. Sci. Technol. 2: 1365–1370 (2008)

[12] Baker, M., Shindler,D., Holtgrieve, G., Louis, V. ST. Bioaccumulation and Transport of Contaminants: Migrating Sockeye Salmon As Vectors of Mercury. Environ. Sci Tech 43: 8840–

Page 68: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS, Budiawan, Djarot S Wisnubroto : Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri dalam Air

62

8846 (2009) [13] Choya, C.A., Popp, B.N., Kanekoc, J., Draze , J.C. The influence of depth on mercury levels in

pelagic fishes and their prey. PNAS. 106( 33): 13865–13869, (2009) [14] Luoma, S.N., Rainbow, P . Why Is Metal Bioaccumulation So Variable? Biodynamics as a

Unifying Concept Critical Review. Environmental Science & Technology 39(7):1921-1931, (2005) [15] Liao, C.M., Lin, M.C. Acute Toxicity Modeling of Rainbow Trout and Silver Sea Bream Exposed

to Waterborne Metals , Environ Toxicol 16: 349-60, (2001) [16] McGeer, J.C., Brix, K.V., Skeaff, J.M., Deforest, D.K.,Brigham, S.I., Adams, W.J. Inverse

relationship between bioconcentration factor and exposure concentration for metals: implications for hazard assessment of metals in the aquatic environment. Environmental Toxicology and Chemistry, 22(5):1017-1037, ( 2003)

[17] Wang, W.X., Wong, R.S. Bioaccumulation kinetics and exposure pathways of inorganic mercury and methylmercury in a marine fish, the sweetlips Plectorhinchus gibbosus Mar Ecol Prog Ser 261: 257–268,( 2003)

18 Pickhardt, P.C., Stepanova, M., Fisher, NS., Contrasting Uptake Routes and Tissue Distributions of Inorganic and Methylmercury in Mosquitofish (Gambusia affinis) and Redear Sunfish (Lepomis microlophus) Environ. Toxicol. Chem. 25(8): 2132–2142, (2006)

[19] Tsui, K.M., Wang, W-X. Uptake and Elimination Routes of Inorganic Mercury and Methylmercury in Daphnia magna, Environ. Sci. Technol. 38: 808-816

[20] Schultz, I. R., Peters, E. L., And Newman, M. C. (1996).Toxicokinetics and Disposition of Inorganic Mercury and Cadmium in Channel Catfish after Intravascular Administration. Toxiicol. Appl. Pharmacol. 140: 39–50.

[21] Bridges, C.C., Zalups, R.K. Review molecular and ionic mimicry and the transport of toxic metals. Toxicology and Applied Pharmacology 204: 274– 308 , (2005)

[22] Alvarez , M.C., Murphy, C.A., Rose , K.A., McCarthy, I.D., Fuiman , L.A. Maternal body burdens of methylmercury impair survival skills of offspring in Atlantic croaker (Micropogonias undulatus) a Aquatic Toxicology 80 :329–337, (2006)

[23] Carvalho, R.C., Benfield, M.C., Santschi, P.H. Comparative bioaccumulation studies of colloidally complexed and free-ionic heavy metals in juvenile brown shrimp Penaeus aztecus (Crustacea: Decapoda: Penaeidae). Limnol. Oceanogr., 44(2): 403–414, (1999)

[24] P. S. Rainbow, P.S. Review article Trace metal bioaccumulation: Models, metabolic availability and toxicity. Environment International 33 : 576–582 (2007)

[25] Yap, C.K., Ismail, A. Tan, S.G., Omar, H., Koyoma, J. Tolerance of High Inorganic Mercury of Perna viridis: Laboratory Studies of Its Accumulation, Depuration and Distribution, J. Appl. Sci. Environ. Manage. September, 2007 Vol. 11(3) 119 – 125

[26] IAEA, Sediment distribution coefficients and concentration factors for biota in the marine environment. Technical reports series no. 422 Vienna, International Atomic Energy Agency, (2004)

[27] Metian, M., . Warnau, M., Cossonc, R.P., Oberhänslia, F., Bustamante, P. Bioaccumulation and detoxification processes of Hg in the king scallop Pecten maximus: field and laboratory investigations, Aquatic Toxicology 90, 3 : 204-213,(2008)

[28] Lacoue-Labarthe, T., Warnau, M., Oberhänsli, F., Teyssié, J.-L. ., Pustamante. Bioaccumulation of Inorganic Hg by the Juvenile Cuttlefish Sepia officinalis Exposed to 203Hg Radiolabelled Seawater and Food, Aquat Biol 6: 91–98 (2009)

[29] Wang, R., Wong, M.H. Wang, X-W. Mercury exposure in the freshwater tilapia Oreochromis niloticus Environmental Pollution 158: 2694-2701, (2010)

[30] Stohs, S.J., Bagchi, D. Oxidative mechanisms in the toxicity of metal ions Free Radical. Biology & Medicine, 18(2):321-336, (1995)

Page 69: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

63

PARTICLE SIZE ANALYSIS OF TITANIUM DIOXIDE BY ATOMIC FORCE MICROSCOPY

Muh. Nurdin, Maulidiyah Department of Chemistry, Haluoleo University Kampus Bumi Tridharma Andounohu, Kendari

ABSTRACT PARTICLE SIZE ANALYSIS OF TITANIUM DIOXIDE BY ATOMIC FORCE MICROSCOPY.

In this paper will be presented surface characterization of nanomaterial photocatalyst titanium dioxide (TiO2) nanostructure film by Atomic Force Microscopy (AFM). Nanostructure thin film of TiO2 was prepared by applying the sol-gel dipping technique using titanium isopropoxide (TIP). The resulting particle size, roughness, and surface complexity of the TiO2 films was investigated. Section analysis values and lower roughness were observed for TiO2 film derived from TIP, which is suitable for practical applications in any purposes.

Keywords: Nanostructure, photocatalyst, TiO2, AFM, characterization

ABSTRAK ANALISIS UKURAN PARTIKEL TITANIUM DIOKSIDA SECARA ATOMIC FORCE

MICROSCOPY. Pada paper ini akan dipresentasikan tentang karakterisasi permukaan lapisan fotokatalis titanium dioksida (TiO2) nanostructure dengan menggunakan Atomic Force Microscopy (AFM). Lapis tipis nanostructure TiO2 telah dipreparasi dengan menerapkan metode Sol-Gel Dipping-Coated menggunakan titanium isopropoksida (TIP). Hasil dari ukuran particle, roughness, dan kompleksitas permukaan lapisan TiO2 yang terbuat dari TIP adalah cocok secara praktis pada berbagai tujuan aplikasi.

Kata kunci: Nanostructure, fotokatalist, TiO2, AFM, karakterisasi

INTRODUCTION Nanomaterials have been a core focus of nanoscience and nanotechnology - which is

multidisciplinary field of study attracting tremendous interest in research and development around the world. Nanostructure materials possess unique surface, porous, and bulk properties that underline their important uses in various fields such as ion exchange, separation, sensor, biological molecular, purifications catalysis and photocatalyst. Nanostructure or nanoporous materials are also of scientific and technological importance because of their vast ability to adsorb and interact with atoms, ions and molecules on their large interior surfaces and in the nanometer sized pore space. They offer new opportunities in areas of inclusion chemistry, synthesis and molecular manipulations and reaction in the nanoscale for making nanostructure or nanoparticles. The development of metal oxide thin films of controlled surface roughness and complexity presents a significant theoretical and technological importance, offering an exciting opportunity for developing a new class of materials with unique physical, chemical, optical and electronic properties [1]. Titanium dioxide (TiO2) thin films have recently attracted a particularly increased attention because of their extended use in multitude of applications including photosensitized solar cells [1–5], photocatalytic systems [6-8], biomolecules [9], and electrochromic displays [10]. In all the above applications the usual points raised are related to the shape and order of the nanoparticles that make up the films [11, 12], as well as the surface texture, morphology, spatial extension, roughness, particle size and thickness of the films. These parameters might influence many of the film properties such as chemical adsorption, light absorption and conductivity. Production of open highly porous structures is important because of their high surface area, which allows extensive contact with the reaction medium. At the same time, continuity should exist between nanoparticles in order to prevent traps and dead spots that would deplete the efficiency of the film [13]. The size of the nanoparticles is an additional important parameter that affects the electronic properties and the absorption onset of the nanocrystallites and should be carefully taken into account [14]. It then obvious that the performance and efficiency of the devices based on TiO2 thin films will strongly depend on the semiconductor surface properties and especially on the preparation conditions. Among the existing thin film fabrication methods, the sol-gel coating technique has been receiving

Page 70: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Muh. Nurdin, Maulidiyah : Particle Size Analysis of Titanium Dioxide by Atomic Force Microscopy

64

renewed interest, largely attributed to the fact that it combines a number of specific advantages, such as the potential for large area coverage, simplicity, reproducibility, low cost and good mechanical properties [15]. TiO2 thin films can be prepared by the sol-gel technique, where metal alkoxides Ti(OR)4 (R=alkyl groups) are generally used as principal precursors. There have been several reports about the formation of sol-gel TiO2 thin films and it is now well established. A variety of Ti-containing organic precursor materials have been used, and Ti-isopropoxide (TIP) is among the most promising of them. Thus, it has been confirmed that the chemical reactivity of the ligand groups initially coordinated on the titanium precursor plays a decisive role in the structure development of as-deposited sol-gel TiO2 films [16]. However, no special attention was paid to the improvement and optimization of the obtained films in terms of roughness, nanostructure and surface complexity, parameters which control the optical and electronic properties and account for the performance of the material in a number of potential applications. In this contribution, we emphasize on the preparation and characterization of rough, section, particle analysis, large surface area nanocrystalline TiO2 thin films with highly controllable parameters derived from TIP precursors trying to determine, especially by atomic force microscopy (AFM) [17-20]. In this work, we present results of investigations on processing and nanostructural characteristics of TiO2 porous thin films deposited on glass substrate through the sol–gel technology using Triton X-100 as a surfactant. The measurement of roughness, section and particle size were involved in this study because the morphologies of porous films are sensitive to the future application as a biomaterial purposes. EXPERIMENTAL Titanium (IV) isopropoxide, Triton X-100, Cyclohexane were purchased from Aldrich Sigma and Wako, respectively. Milli-Q water was used in all experiment. The chemical formulae are shown in Fig. 1.

Figure. 1. Chemical formulae of Triton X-100 and Titanium isopropoxide.

All preparations and measurements were made at room temperature. The solutions in cyclohexane were made by mixing the necessary ingredients. The water/surfactant ratio was kept relatively low in order to reduce the alkoxide hydrolysis rate and obtained transparent gels. TIP was added to TritonX-100, and the resulting global concentration was always 0.2 M. Triton X-100 solutions are turbid below 30o C, but they clarify after addition of the alkoxide. Gelation start immediately after alkoxide addition. Film was made by dip-coating at an early stage of gelation and at a withdrawal speed of 40 mm min-1. The films were left to dry in air. Prior to dipping, the slides were cleaned in aceton, ethanol, milli-Q water and dried in oven for 100oC. To obtain the final product, the film was sintered in air up to 450oC and left at the maximum temperature for 1

Page 71: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

65

hour. The TiO2 crystallinity was analyzed with an X-ray diffractometer (RINT, Rigaku, Japan, CuKα, 40 keV, 30 mA). Atomic force microscopy images were obtained with Nanoscope III, Digital Instrument, in the tapping mode as detailed below. Atomic force microscopy In order to investigate the surface topography of TiO2 surfaces, tapping mode AFM was used. The AFM was performed on a commercial Nanoscope III (Digital Instruments, Veeco, Metrology Group) using optical beam deflection to monitor the displacement of a microfabricated silicon cantilever having a spring constant of 42 Nm-1 and resonance frequency of 300 kHz. It was performed with silicon probes mounted on cantilevers in tapping mode. This method significantly improves the lateral resolution on surfaces and thin films. The AFM images were obtained under ambient laboratory conditions at a scan rate of 1 Hz and all the scans were 1.0 x 1.0 µm2 in size. The roughness of the surface was determined by measuring the root-mean-square (RMS) roughness parameter, defined as the root-mean-square average of the height (z) taken from mean data plane, expressed as:

were zi is the current z value and N is the number of points within the box cursor. RESULT AND DISCUSSION Dip-coating method was used in making thin film in the glass substrate. By this method, TiO2 films exhibiting very good adherence on the glass substrates were obtained. Films made by using Triton X-100 and TIP consist of uniformly sized, quasi spherical nanoparticles of a diameter of a few tens of nanometer.

0

200

400

600

800

1000

20 25 30 35 40 45 50

2 Theta (degrees)

Inte

nsity

Figure. 2. X-ray diffraction pattern of a TIP precursor sintered at 450oC. By X-ray diffraction it has been confirmed that TIP exhibit behavior in thermal treatment. Fig. 2 shows the x-ray diffraction pattern of the TiO2 as prepared by TIP precursor using Triton X-100 as a surfactant. It can be seen that the pattern it seems to be anatase. In fact, under this specific preparation conditions, the films are comprised of single anatase and no trace of rutile phase was detected in the XRD pattern in this temperature treatment, 450oC. Fig. 3 and 4 show the AFM image of such film, top view and three dimensional surface plots (1.0×1.0 µm2), respectively. AFM, a mechanical technique following the surface morphology has been demonstrated to be a very versatile and powerful tool for surface imaging at the nanometer to submicrometer level and the revelation of surface characteristics of TiO2 thin films [17,18].

Page 72: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Muh. Nurdin, Maulidiyah : Particle Size Analysis of Titanium Dioxide by Atomic Force Microscopy

66

Figure. 3. Top view AFM image (tapping mode) of sol-gel TiO2 film (scan range 1.0×1.0 µm2, vertical scale: 20 nm) sintered at 450oC.

By using surfactant allows the nanostructure of the film to be controlled through several parameters, such as surface raughness analysis: root mean square (RMS), mean roughness (Ra), height of particle (Rmax), surface area and surface area different between two dimensional image and three-dimensional image, as can be seen in Table.1. Another parameter is section analysis including height distance, surface distance, horizontal distance, RMS and Ra along the line marked, as can be seen in Fig. 5 and Table 1.

Figure 4. Three dimensional AFM images (tapping mode) of sol-gel TiO2 film

(scan range 1.0×1.0 µm2 , vertical scale: 20 nm) sintered at 450oC.

Table 1. Roughness Analysis of TiO2 Surface

Parameters RMS (nm)

Ra (nm)

Rmax (nm)

Surf. Area(µm2)

Surf. Area. Diff(%)

Surface distance

(nm)

Horizontal distance

(nm) Roughness 2.377 1.860 35.430 1.155 15.48 - - Section 2.759 2.043 12.722 - - 519.58 476.56

Surfactant containing a polyethylene oxide polar head is a preference for selecting a surfactant, since it is strongly hydrated, thus strongly competing with alkoxide hydrolysis. Hydrolysis of an alkoxide follows the general scheme M(OR)4 + 4H2O → M(OH)4 + 4ROH [in our case, M= Ti and R= CH(CH3)2]. Retaining water by hydration of surfactant polar group result in relatively slow hydrolysis rates, even for transition metal alkoxides, which are otherwise known to hydrolyze rapidly. Slow hydrolysis is always parallel by inorganic polymerization and oxide formation, i.e. M(OH)4 → MO2 + 2H2O.

Page 73: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

67

Figure 5.Topography and Section analysis AFM image of TiO2 thin film

(scan range 1.0×1.0 µm2 , vertical scale: 20 nm) sintered at 450oC. Thus, the original sol is slowly transformed into a gel (sol-gel process). The gelation process can be followed by visual inspection. It was found necessary, in order to obtain thin transparent and uniform films, to coat slides at an early stage of gelation. The fundamental chemical process involved in solgel is based on hydrolytic and condensation reactions, which lead to the formation of macromolecular networks. If hydrolysis proceeds slowly (e.g., in dilute solutions) or the dipping is performed in a “premature” stage, the resultant films are very thin, relatively smooth, non-light absorbing and improper for biomaterial applications. On the other hand, very high hydrolysis rates are also unfavorable since they lead to the formation of large aggregates and consequently to quick precipitation. Moreover, by this means, the sol reaches the gelation stage very fast, which is unfavorable for industrial coating applications (low “shelf life”). These observations clearly imply that the films properties and surface roughness derive from a balance of some factors playing a competing role.

Figure 6. Particle size distribution (height histogram) for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450oC, (substrate depth = 10.970 nm, threshold height = 0 nm, particle height = 10.970 nm).

The TIP films are composed of relatively large interconnected particles and pores, building up high “mountains” and deep “valleys”, forming a rather flat but more complex surface texture which is consistent with a much less rough topography. Particle size analysis has shown that height distributions of surface characteristics for film is Gaussian-like. Fig. 6 shows two histograms, the top is correlation histogram data in height for

Page 74: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Muh. Nurdin, Maulidiyah : Particle Size Analysis of Titanium Dioxide by Atomic Force Microscopy

68

measuring the threshold height of particle size. Generally, the TIP film present surface characteristics of greater height. The height distribution histogram of the TIP films is obviously broader.

Figure 7. Particles isolated by height for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450oC: A. threshold height: 2 nm, B. threshold height: 4 nm, C. threshold height: 6 nm, D. threshold

height: 8 nm.

The height distribution maximum of TIP displays a broad maximum. Such a difference can be reflected in the RMS roughness values (the standard deviation of the Z values, Z being the total height range analyzed) of the films. Therefore it can be concluded that the broader the size distribution is, the rougher the resulting film. This important observation can be explained by considering that in the case of mono-dispersed particles, a better packing of the particles is favored, leading to the formation of a less porous structure and morphology of TiO2 film.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Mean Minimum Maximum Std dev

Particle s ize dis tribution

Scal

e in

nan

omet

er

Height

Diameter

Length

Width

05

101520253035404550

Mean Minimum Maximum Std dev

Particle size dis tribution

Scal

e in

nan

omet

er

Height

Diameter

Length

Width

A B

A B

C D

Page 75: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

69

0

5

10

15

20

25

30

35

40

M ean M inimum M aximum Std dev

Par t icle s iz e d ist r ib ut io n

HeightDiameterLengthWidth

0

5

10

15

20

25

Mean Minimum Maximum Std dev

Particle s ize distribution

Scal

e in

nan

omet

er

Height

Diameter

Length

Width

Figure 8. Particle size distribution in nanometer scale for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450oC:

A. threshold height: 2 nm, B. threshold height: 4 nm, C. threshold height: 6 nm, D. threshold height: 8 nm.

Fig. 7 and 8 show the particle isolated by height and histogram of particle size distribution, respectively. The film of TiO2 formed by TIP precursor was sintered at 450oC. Particle was isolated by different threshold height: 2 nm, 4 nm, 6 nm and 8 nm. This method has been demonstrated to be a very good isolated particles and particle size distribution for different threshold at the nanometer level. The particle analysis method used in this experiment defines particles based on the height of the data obtained. This analysis was designed for analyzing well isolated particles. Particles may be analyzed singly or in quantities. Particles in this context are conjoined above a given threshold height.

020406080

100120140160

Mean Minimum Maximumx 10

Std dev

Area dis tribution

Scal

e in

nan

omet

er s

quar

e

Area, Th:2nm

Area, Th:4nm

Area, Th:6nm

Area, Th:8nm

Figure 9. Area distribution in nanometer square scale for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450oC, threshold height: 2 nm (blue), 4 nm (red), 6 nm (yellow), 8 nm (green).

Fig. 9 shows the area distribution of the TiO2 as prepared by TIP precursor using Triton X-100 as a surfactant. It can be seen that the area it seems to be well distributed in the mean range of around 60-90 nm2 . In fact, under this specific preparation conditions, the films are comprised of nano size was measured by AFM with different threshold height for TIP sol-gel TiO2 films sintered at 450oC. CONCLUSION

An investigation of the conditions under which uniform nanocrystalline thin TiO2 films are formed via the solgel dipping method using titanium isopropoxide precursor has led to the following conclusions: • The surface properties (parameters, such as size of nanoparticles, surface roughness, morphology,

grain size, particle and section analysis) of the films strongly depend on the preparation and alkoxide. The roughness of the deposited films can be tailored by controlling the hydrolysis rate. A narrow size distribution of the film particles leads to relatively smooth films while a large poly-dispersed one leads to more rough and textured films.

• The films surface complexity derives from a competitive balance of a number of factors, one of them being the alkoxide precursor. The use of TIP leads to films with a good grain size. This is very important for applications where large surface area films are required.

C D

Page 76: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Muh. Nurdin, Maulidiyah : Particle Size Analysis of Titanium Dioxide by Atomic Force Microscopy

70

In fact, novel applications and/or more efficient devices based on light absorption or chemical adsorption, which will take into advantage the self-similar character of surfaces, will be developed in biomaterial application.

ACKNOWLEDGMENT Financial support from Grant of Strategic Reserch (2009-2010) DP2M- Directorate General of Higher Education, Ministry of National Education The Republic of Indonesia and Jasso are greatly acknowledged. The authors are indebted to Prof. Atsushi. Ikai, Prof. Takashi Tatsumi H. Sekiguchi, T.Yokoi for their invaluable assistance and discussion in sample preparation and instrument measurement including XRD and AFM. REFERENCES [1] Zakeeruddin, S.M., Nazzeeruddi, ,M.K., Echy, P.P. , Rotzinger, F.P. Humphrybaker, R.

Kalyanasundaram, K.. Gratzel, M Shklover V. and Haibach, T.: Molecular Engineering of Photosensitizers for Nanocrystalline Solar Cells: Synthesis and Characterization of Ru Dyes Based on Phosphonated Terpyridines. Inorg. Chem. 36 , 937-5946, (1997).

[2] Zaban, A... Micic, O. I. Gregg and B. A. Nozik, A. J: Photosensitization of Nanoporous TiO2 electrodes with InP Quantum Dots. Langmuir 14, 3153-3156, (1998).

[3] Fessender , R. W. and Kamat, P. V.: Rate Constants for Charge Injection from Excited Sensitizer into SnO2, ZnO, and Ti02 Semiconductor Nanocrystallites. J. Phys. Chem. 99, 12902-12906, (1995)

[4] Argazzi, R.. Bignozzi C. A,. Heimer, T. A Castellano, F . N.and. Meyer ,G. J: Light-Induced Charge Separation across Ru(II)-Modified Nanocrystalline TiO2 Interfaces with Phenothiazine Donors. J. Phys. Chem.B 101, 2591-2597, (1997).

[5] Cao, G. Oskam and P . C. Searson: A Solid State, Dye Sensitized Photoelectrochemical Cell.J. Phys. Chem.B. 99, 17071-17073, (1995).

[6] Fujishima, A.Hashimoto, K and T. Watanabe, “TiO2 Photocatalysis, Fundamentals and Applications” (Bkc Inc, Tokyo, 1999).

[7] Fujishima, N. Rao and d. A. Tryk: Titanium Dioxide Photocatalysis. J. Photochem. Photobiol. C: Photochem. Rev. 1,

) 121, (2000). [8] Yu, J. G. Yu and J. C. Zhao: Enhanced Photocatalytic Activity of Mesoporous and ordinary TiO2

thin films by sulfuric acid reatment. Appl. Catal. B: Environ. 36, 31–43, (2002),

[9] Cosnier, A. Senillou, m. Gratzel, P . Comte, N. Vlachopoulos, N. J . Renault and C. Martelet: A Glucose Biosensor Based

On Enzyme Entrapment Within Polypyrrole Films Electrodeposited on Mesoporous Titanium Dioxide J. Electronal

Chem. 469, 176-181, (1999). [10] Dinh, , N. T. T. Oanh, , P. D. Long, , M. C. Bernard. and G.A. Hugot-Le: Electrochromic

properties of TiO2 anatase thin films prepared by a dipping sol–gel method. Thin Solid Films. 423, 70–76, (2003).

[11] Blesic, , Z. V. Saponjic, , J. M. Nedeljkovic and, D. P. Uskokovic: TiO2 Films Prepared by Ultrasonic Spray Pyrolysis of Nanosize Precursor. Mater. Lett. 54, 298–302, (2002).

[12] Buscema., , C. Malibert and, S. Bach: Elaboration and Characterization of Thin Films of TiO2 Prepared by Sol–Gel Process. Thin Solid Films.418, 79–84, ( 2002).

[13] Greene, C. R. Kinser, D. E. Kramer, L. S.C. Pingree, And M. C. Hersam: Application of Scanning Probe Microscopy to the Characterization and Fabrication of Hybrid Nanomaterials, Microscopy Research and Technique. 64, 415–434, (2004)

[14] Franta, I. Idal, P. Klapetek and P. Pokorny: Characterization of The Boundaries of Thin Films of TiO2 by Atomic Force Microscopy and Optical Methods. Surf. Interface Anal. 34, 759–762,( 2002).

[15] Trigwell, R. D. Hayden, K. F. Nelson and G. Selvaduray: Effects of Surface Treatment on The Surface Chemistry of Niti Alloy for Biomedical Applications. Surf. Interface Anal. 26, 483-489, (1998).

[16] Randolph, A. J. Mcevoy, M. Gratzel: Influence of Precursors on the Morphology and Performance of TiO2 Photoanodes. Journal of Materials Science. 26 3305-3308, (1991).

[17] Sato, N. Tsukamoto, T. Shiratori, T. Furusawa, N. Suzuki and S. Tougaard: Quantification and

Page 77: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

71

IMFP Determination of Multilayer Langmuir–Blodgett Films by AFM And XPS Measurements. Surf. Interface Anal. 38, 604–609, (2006)

[18] Franta1, I Ohloadal, and P. Klapetek: Analysis of Slightly Rough Thin Films by Optical Methods and AFM. Mikrochim. Acta. 132 , 443-447, (2000).

[19] Zhang, DL. Tao, Z. Deng, J. Zhang, L. Chen: Surface Morphologies and Properties of Pure and Antimony-Doped Tin Oxide Films Derived by Sol–Gel Dip-Coating Processing. Materials Chemistry and Physics. 100, 275–280, (2006)

[20] Advincula, M.C., D. Petersen, F. Rahemtulla, R. Advincula, J. E. Lemons: Surface Analysis and Biocorrosion Properties of Nanostructured Surface Sol–Gel Coatings on Ti6Al4V Titanium Alloy Implants, Journal of Biomedical Materials Research Part B: Applied Biomaterials.DOI 10.1002/jbmb.

Page 78: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 13 Nomor 1 Juni 2010 (Volume 13, Number 1, June, 2010) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

72

POLA SEBARAN SEDIMEN TERSUSPENSI MELALUI PENDEKATAN PENGINDERAAN JAUH

DI PERAIRAN PESISIR SEMENANJUNG MURIA-JEPARA

Heni Susiati*, Eko Kusratmoko**, Aris Poniman*** *) Pusat Pengembangan Energi Nuklir – BATAN

Jl. Kuningan Barat, Mampang Prapatan-Jakarta Selatan *) Departemen Geografi, FMIPA-UI,

Kampus Universitas Indonesia, Depok *) PUJASINFO – BAKOSURTANAL

Komplek Cibinong Science Center, Cibinong-Bogor

ABSTRAK POLA SEBARAN SEDIMEN TERSUSPENSI MELALUI PENDEKATAN PENGINDERAAN

JAUH DI PERAIRAN PESISIR SEMENANJUNG MURIA, JEPARA. Dalam persiapan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, kondisi keberadaan sumber daya kelautan, khususnya distribusi sedimen tersuspensi (TSS) di wilayah perairan sekitar calon tapak PLTN sangat penting untuk dievaluasi. Telah dilakukan penelitian pola distribusi TSS di perairan Semenanjung Muria sebagai rencana lokasi tapak untuk fasilitas infrastruktur pendingin PLTN. TSS memainkan peran penting dalam manajemen kualitas air, khususnya berkaitan dengan sumber air yang diperlukan sebagai air pendingin dan kondensasi uap pembangkit listrik. Tujuan dari penelitian adalah menentukan pola distribusi TSS di Semenanjung Muria, Jepara, dengan posisi 110056’06,7”─110044’01,7” Bujur Timur dan 06023’99,3”─06025’49,1’’ Lintang Selatan. Evaluasi pola distribusi sedimen tersuspensi telah dilakukan dengan pengukuran lapangan dan penginderaan jauh. Penelitian menggunakan data Landsat (data citra tahun 1989, 2001, 2004) dan SPOT (2008). Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi sebaran sedimen tersuspensi di perairan Semenanjung Muria menunjukkan pola dinamis, namun secara keseluruhan telah terjadi peningkatan luasan pada konsentrasi sedimen tersuspensi. Konsentrasi TSS di perairan Semenanjung Muria berkisar antara 1,5 sampai 2.140 mg/ liter dengan rata-rata 55,18 mg/ liter. Umumnya rata-rata konsentrasi TSS masih di bawah ambang batas yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri KLH No. 51/ 2004.

Kata kunci: PLTN, sedimen tersuspensi, pendingin, dan penginderaan jauh.

ABSTRACT DISTRIBUTION PATTERNS OF TOTAL SUSPENDED SEDIMENT WITH REMOTE SENSING

APPRAISAL ON MURIA PENINSULA COAST, JEPARA. During the preparation of Nuclear Power Plant (NPP) construction at Muria Peninsula, the existing ocean resources, especially sediment distribution around NPP site candidate, should be evaluated. Total Suspended Sediment (TSS) distribution pattern analysis in Muria Peninsula region as the site plan of NPP cooling infrastructure facility has been conducted in this study. TSS plays an important role in water quality management, especially in relation to water source that is needed for cooling and condensing the steam in the power plant. The purpose of this research is to determine the distribution pattern of TSS in the coast of Muria Peninsula, Jepara, located between 110056’06,7” - 110044’01,7” east longitudes and 06023’99,3” - 06025’49,1’’ south latitudes. The evaluation of TSS distribution is performed using field sampling and remote sensing appraisal. The research was carried out using Landsat (dataset received in 1989, 2001, 2004) and SPOT (dataset received in 2008) satellite images. Based on the result of this study, TSS concentration distribution in Muria Peninsula shows dynamic pattern. However, in total there has been an increase in the area of TSS distribution. TSS concentration in Muria Peninsula region varied in the range of 1,5 – 2.140 mg/ liter, with an average concentration of 55,18 mg/liter. In general, the average concentration of TSS is still less than the treshold for TSS in sea water as stipulated in the Ministry of Environment regulation No. 51/2004.

Keywords: NPP, TSS, cooling, and remote sensing.

Page 79: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di Perairan Pesisir Semenanjung Muria-Jepara

73

PENDAHULUAN Pemantauan lingkungan pesisir sehubungan dengan penyediaan data baseline dalam

persiapan pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jepara sebagai calon tapak lokasi PLTN perlu dipersiapkan sejak dini. Hal ini sangat penting karena data lingkungan yang diperoleh pada waktu dilaksanakan studi kelayakan oleh konsultan pada tahun 1996 tentunya sudah berubah banyak akibat perubahan rona lingkungan di sepanjang perairan pantai Semenanjung Muria. Salah satunya adalah semakin meningkatnya konsentrasi sedimen tersuspensi (Total Suspended Solid/TSS).

Peningkatan konsentrasi TSS menyebabkan kekeruhan yang dapat mengganggu penetrasi cahaya ke dalam perairan. Keberadaan TSS dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan yang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia, seperti pendangkalan pelabuhan, punahnya beberapa ekosistem perairan, dan kerusakan lingkungan [1].

Untuk memetakan sebaran TSS, pendekatan pengambilan sampel dan penggunaan teknik penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Data penginderaan jauh tidak hanya dipakai untuk data atau inventarisasi saja tapi sekaligus untuk fungsi pemantauan. Hal ini dimungkinkan karena data penginderaan jauh dapat diperoleh secara multitemporal [2]. Penginderaan jauh sistem satelit merupakan salah satu sistem penginderaan jauh yang sudah dikembangkan Landsat TM dan SPOT. Penginderaan jauh sistem satelit sering digunakan dalam berbagai penelitian karena di samping kemampuan multispektral dari sensornya, juga karena begitu pesat perkembangan pengolahan dan analisis datanya. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut telah dilakukan penelitian tentang sebaran konsentrasi TSS berdasarkan informasi spektral data digital Landsat TM, ETM + dan SPOT. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran distribusi sebaran TSS di wilayah perairan Semenanjung Muria dalam persiapan pembangunan PLTN.

METODOLOGI Daerah Studi

Daerah studi dalam penelitian ini adalah perairan pesisir Semenanjung Muria, yang masuk dalam 2 wilayah kabupaten, yaitu Jepara dan Pati. Gambar 1 menunjukkan perairan Semenanjung Muria yang menjadi daerah studi dalam penelitian.

Citra yang digunakan 1. Citra Landsat 5 TM path/row 119 - 120/ 064 - 065 yang diakuisisi tanggal 8 September tahun 1989, 2. Citra Landsat 7 ETM+ path/row 119 - 120/ 064 - 065 yang diakuisisi tanggal 8 September tahun

2001, 3. Citra Landsat 7 ETM+ path/row 119 - 120/ 064 - 065 yang diakuisisi tanggal 4 Agustus tahun 2001

dan 2004, dari Global Land Cover Facilities, Institute of Applied Computer Science, University of Maryland, USA (http://glcf.umiacs.umd.edu/data/landsat) [3],

Gambar 1. Daerah Studi Semenanjung Muria

Jepara

Rembang

Semarang

Page 80: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

74

4. Citra SPOT path/row 293- 363 yang diakuisisi 19 Oktober tahun 2008, data diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN), Jakarta.

Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini ada 4 buah citra yang mencakup wilayah perairan Semenanjung Muria. Citra Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+, dan SPOT 293-363 diolah menggunakan software ER Mapper 7.0 untuk mendapatkan nilai konsentrasi TSS. Kajian citra penginderaan jauh ini menggunakan data multi temporal yang mempunyai karakteristik spectral yang hampir sama. Untuk itu citra Landsat MSS TM dan ETM digunakan. Data citra Landsat Ortho tahun 2001 digunakan sebagai acuan dalam georeferensi atau penyamaan sistem koordinat citra-citra Landsat yang digunakan dan dalam menganalisis konsentrasi TSS.

Algoritma Penelitian untuk Pemetaan TSS

Di dalam penelitian ini digunakan algoritma untuk mendapatkan nilai konsentrasi TSS. Sebelum mengaplikasikan algoritma untuk pemetaan TSS, terlebih dahulu dilakukan land-sea masking terhadap citra yang telah terkoreksi[4]. Tujuannya adalah untuk memisahkan agar wilayah daratan tidak masuk dalam penghitungan TSS. Agar diperoleh peta sebaran TSS yang akurat diperlukan real time data lapangan dan citra yang dianalisis. Karena tidak didapatkan data lapangan konsentrasi TSS wilayah perairan Semenanjung Muria yang sama dengan waktu akuisisi citra Landsat dan SPOT, maka dalam penelitian ini hanya diaplikasikan algoritma yang telah dibangun oleh peneliti sebelumnya, yaitu [5,6]:

Konsentrasi TSS = 0,6432*(ETM1+ETM3)/2-5,9063 dengan ETM1, ETM3 = band 1 dan band 3 citra Landsat ETM+, sedangkan untuk citra SPOT4 HRVIR menggunakan algoritma yang telah dikembangkan oleh Syarif Budiman [7], yaitu TSS (mg/liter) = 7,9038*exp(23,942*Red Band) dengan Red band = Reflektans band 2

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Geografis dan Iklim Daerah Penelitian

Daerah penelitian pola sebaran sedimen tersuspensi yang ditinjau dalam studi ini terletak di perairan Semenanjung Muria berada di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa. Secara administratif daerah penelitian berada di wilayah kabupaten Jepara dan Pati, propinsi Jawa Tengah, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

o Sebelah barat : Laut Jawa o Sebelah timur : Kab. Rembang dan Kab. Kudus o Sebelah utara : Laut Jawa o Sebelah selatan : Kabupaten Demak

Wilayah Jepara dan Pati memiliki ketinggian yang bervariasi antara 0 – 1.301 meter di atas permukaan laut, dengan kondisi alam pegunungan, berbukit, berdataran rendah dan berpantai landai. Dataran tinggi terletak di sebelah Timur membentang sampai selatan yang merupakan lereng di sebelah barat dan utara dari Gunung Muria. Dari daerah ini mengalir sungai besar yang mengairi Kabupaten Jepara [4,8].

Iklim daerah penelitian yang terletak di pantura umumnya sangat terkait dengan posisi Indonesia yang berada di daerah katulistiwa. Terkait dengan posisi, maka iklim di daerah penelitian termasuk iklim tropis. Adapun didasarkan atas ketinggian tempat yang merupakan daerah dataran, lokasi yang berhadapan dengan laut terletak di wilayah pesisir, maka sangat dipengaruhi oleh angin muson (angin musim). Angin ini akan selalu berganti arah setiap setengah tahun sekali. Angin yang bertiup di wilayah ini adalah angin musim bertiup ke barat disebut angin timur, dan sebaliknya bila angin berarah ke timur bertiup angin barat. Dengan demikian, maka wilayah ini memiliki kondisi iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson [4,8].

Pemetaan Sebaran TSS (Total Suspended Sediment)

Pengamatan sebaran dan konsentrasi TSS di perairan Semenanjung Muria sebenarnya dapat dilakukan secara optik (remote sensing) dengan pendekatan statistik yang sederhana. Namun hal ini mensyaratkan adanya data konsentrasi TSS insitu yang diambil pada waktu yang sama dengan saat satelit melintas. Dengan regresi linier maka dapat dilakukan perbandingan antara nilai digital number dengan konsentrasi TSS insitu pada lokasi yang sesuai. Selanjutnya dibangun suatu algoritma untuk menentukan sebaran konsentrasi TSS. Sehingga sebenarnya algoritma untuk TSS ini bersifat sangat spesifik untuk tempat dan waktu tertentu. Namun demikian algoritma yang telah dibangun tersebut masih dapat diterapkan untuk tempat dan waktu yang berbeda walaupun hasilnya kurang akurat. Tetapi setidaknya algoritma tersebut masih dapat memberikan gambaran pola sebaran TSS [9].

Page 81: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di Perairan Pesisir Semenanjung Muria-Jepara

75

Pada penelitian ini karena tidak adanya data konsentrasi TSS insitu yang sama dengan waktu akuisisi citra, maka sebaran konsentrasi TSS didapatkan dengan mengaplikasikan algoritma untuk TSS dari Ambarwulan, dkk. [5]. Data TSS hasil analisis laboratorium digunakan sebagai data pembanding.

Pada Gambar 2 ditunjukkan sebaran konsentrasi TSS di perairan Semenanjung Muria berdasarkan algoritma Ambarwulan, dkk. [5] untuk citra Landsat TM 1989 dan Landsat ETM+ tahun 2001, 2004 dan SPOT 2008. Secara visual keempat gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai TSS untuk tahun 1989 masih tergolong rendah, tetapi perhitungan untuk tahun 2001 dan tahun 2004 terdapat peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini dapat dikaitkan dengan aktivitas masyarakat pesisir pada waktu itu, yang menunjang besarnya penambangan pasir pada tahun 1989 dan sebelumnya masih sedikit, tetapi meningkat drastis ketika direkam pada tahun 2001 dan 2004.

6 mg/liter 45 mg/liter

Citra Landsat Tahun 1989

9 mg/liter 39 mg/liter

Citra Landsat Tahun 2001

8 mg/liter 42 mg/liter

Citra Landsat Tahun 2004

5 mg/liter 72 mg/liter

Citra SPOT Tahun 2008 Gambar 2. Pola Sebaran TSS

Berdasarkan peta sebaran TSS yang dihasilkan dari citra satelit Landsat TM, ETM+, dan

SPOT dari Gambar 2, maka pengolahan menggunakan program ArcView diperoleh data konsentrasi TSS di Semenanjung Muria dengan nilai yang dicantumkan pada Tabel 1.

Page 82: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

76

Tabel 1. Nilai Konsentrasi TSS dari Citra Satelit

Jenis Citra Satelit

Nilai Konsentrasi TSS (mg/liter) Minimum Maksimum Rata-Rata

Landsat TM 1989 6,716 44,046 18,020 Landsat ETM+ 2001 9,965 38,285 24,529 Landsat ETM+ 2004 8,056 41,529 24,405 SPOT 2008 27,862 158,110 55,179

Dari Tabel 1 terlihat bahwa nilai konsentrasi rata-rata dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Sebagai hasil perbandingan maka pada penelitian ini juga digunakan nilai konsentrasi TSS hasil pengukuran lapangan. Berdasarkan hasil pengukuran lapangan pada bulan April 2008 dan bulan Oktober 2009, diperoleh nilai minimum, nilai maksimum dan nilai rata-rata konsentrasi TSS seperti yang tercantum pada Tabel 2 [4].

Tabel 2. Nilai Konsentrasi TSS dari Hasil Analisis Laboratorium [4]

Hasil Sampling Nilai Konsentrasi TSS (mg/liter) Minimum Maksimum Rata-Rata April 2008 1,5 31,4 22,4 Oktober 2009 14 4.488 412

Pemetaan Hasil Klasifikasi Sebaran TSS

Untuk melihat luasan sebaran konsentrasi TSS dilakukan klasifikasi sebaran sedimen secara unsupervised sehingga dihasilkan luasan konsentrasi TSS dengan membagi kelas-kelas konsentrasi sedimen yang sama. Gambar 3 menunjukkan hasil klasifikasi unsupervised berdasarkan algoritma Ambarwulan dkk. (2003) untuk citra Landsat TM 1989, Landsat ETM+ 2001, 2004 dan citra SPOT 2008.

Luasan tingkatan konsentrasi TSS berdasarkan klas-klas konsentrasi yang ditentukan diberikan dalam Tabel 3 sampai dengan Tabel 6.

Page 83: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di Perairan Pesisir Semenanjung Muria-Jepara

77

Gambar 3. Klasifikasi Konsentrasi TSS di perairan Semenanjung Muria

Tabel 3. Luasan Klasifikasi Sebaran Konsentrasi TSS berdasarkan citra Landsat TM 1989

Tabel 4. Luasan Klasifikasi Sebaran Konsentrasi TSS berdasarkan citra Landsat ETM+ 2001

Tabel 5. Luasan Klasifikasi Sebaran Konsentrasi TSS berdasarkan citra Landsat ETM+ 2004

Tabel 6. Luasan Klasifikasi Sebaran Konsentrasi TSS berdasarkan citra SPOT 2008

Berdasarkan Tabel 3 sampai Tabel 6, terlihat dinamika perubahan atas perkembangan luasan

konsentrasi TSS di perairan Semenanjung Muria. Hasil analisis nilai TSS dari interpretasi citra menunjukkan bahwa nilai kandungan sedimen

tersuspensi di dekat garis pantai pada umumnya mempunyai nilai yang lebih tinggi, dan di bagian paling timur wilayah penelitian mempunyai nilai yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hal ini juga sesuai dengan hasil analisis laboratorium.

Kandungan sedimen tersuspensi di perairan sangat dipengaruhi oleh pasokan sedimen tersuspensi dari darat yang terbawa oleh sungai. Selain itu juga karena pengaruh musim yang terjadi. Hal ini diperkuat dengan terbentuknya daratan baru atau delta di sebelah Timur wilayah penelitian.

Hubungan Pola Sebaran TSS dengan Pendekatan Penginderaan Jauh

Secara garis besar dalam penelitian ini pola sebaran TSS yang dihasilkan dari tahun 1989, 2001, 2004, dan 2008 terlihat bahwa pola sebaran tidak merata ke semua bagian namun dari tahun ke tahun terlihat rata-rata pola sebaran semakin lama terdistribusi semakin luas. Demikian pula kandungan TSS tertinggi dari tahun ke tahun berada pada posisi yang sama yaitu terkonsentrasi di bagian utara dan timur di ujung kanan peta pola sebaran dari wilayah penelitian. Jadi pola sebaran TSS terkonsentrasi dan terakumulasi di daerah tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan penggunaan lahan di daerah pesisir yaitu kebanyakan difungsikan sebagai kawasan tambak. Terjadinya perbedaan sebaran konsentrasi TSS di Semenanjung Muria, tentunya sangat terkait dengan proses dinamika perairan di wilayah penelitian. Di samping itu juga didukung oleh perubahan arus musiman, pasang surut dan gelombang yang dapat mempengaruhi pola sebaran TSS. Selain itu masuknya muatan sedimen (sediment load) dari daratan ke perairan juga berpengaruh terhadap konsentrasi TSS di perairan.

No Klasifikasi Konsentrasi TSS (mg/liter) Luas (Ha) % 1. 0 - 15 24.136,1 14 2. 16 - 25 54.475,8 32 3. 26 - 35 55.156,5 33 4. > 36 34.726,4 21

No Klasifikasi Konsentrasi TSS (mg/liter) Luas (Ha) % 1. 0 - 15 78.567,80 47 2. 16 - 25 24.254,74 15 3. 26 - 35 23.338,00 14 4. > 36 40.622,97 24

No Klasifikasi Konsentrasi TSS (mg/liter) Luas (Ha) % 1. 0 - 15 97.563,00 54 2. 16 - 25 28.450,09 16 3. 26 - 35 14.156,23 8 4. > 36 41.224,54 22

No Klasifikasi Konsentrasi TSS (mg/liter) Luas (Ha) % 1. 0 – 15 91.263,2 51 2. 16 – 25 38.307,8 21 3. 26- 35 24.297,9 14 4. > 36 25.390,3 14

Page 84: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), Vol.13 No.1 2010 ISSN 1410-9565

78

Hubungan TSS dan Rencana Pembangunan PLTN

Dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria direncanakan akan dibangun di daerah pesisir pantai Semenanjung Muria, Jepara. Pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut telah banyak dilakukan, salah satunya adalah hasil studi kelayakan tapak PLTN oleh konsultan NEWJEC sehingga wilayah tersebut layak untuk dibangun PLTN. Namun demikian studi lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih menyakinkan sehubungan dengan perkembangan situasi saat ini di daerah tersebut, khususnya paska terjadinya gempa di Yogyakarta. Seiring dengan program tersebut perlu dipersiapkan sumberdaya lokal yang nantinya dapat mendukung operasi PLTN. Salah satu sumberdaya lokal yang penting adalah air laut di sekitar tapak yang merupakan media untuk membuang panas dari kondensor ke lingkungan. Analisis kelaikan air laut Muria menjadi perhatian awal sebelum digunakan sebagai pendingin tersier PLTN [10]. Salah satu kegiatan penting dalam penyiapan tapak PLTN adalah tersedianya tapak yang aman dari faktor eksternal, dan salah satu faktor eksternal yang penting adalah kondisi faktor geologi khususnya kondisi sedimen yang ada di tapak tersebut. Kondisi kualitas perairan pesisir Semenanjung Muria, Jepara memainkan peran sangat penting dalam persiapan pembangunan PLTN. Hal ini terkait dengan kondisi sedimen yang sangat diperlukan dalam bidang rekayasa pantai (coastal engineering), seperti pembuatan desain, konstruksi dan pemanfaatan air laut untuk pendingin PLTN.

Pantai utara daerah Jepara sebagai lokasi tapak PLTN terbaik saat ini mempunyai genesis pantai yang dipengaruhi kuat oleh struktur gunungapi Muria dan Lasem. Salah satu aspek geologi yang penting di daerah penelitian adalah keberadaan gunung api Muria dan Genuk. Kedua gunung api ini merupakan gunung api Kuarter dan merupakan gunung api kunci dalam menentukan perkembangan tektonik dan subduksi di perairan Laut Jawa sejak ditemukannya jalur subduksi Kapur yang memotong perairan Laut Jawa arah baratdaya – timur laut dan berakhir di Pegunungan Meratus [11].

Di samping itu dengan keberadaan kedua gunung api tersebut sebagai sumber sedimen terhadap daerah sekitarnya, dengan pendekatan penginderaan jauh dapat diperoleh data pola distribusi sebaran sedimen di perairan Semenanjung Muria yang sangat bermanfaat dalam persiapan pembangunan PLTN Muria.

Sedimen yang tersuspensi dalam air dapat berpengaruh terhadap sistem dan peralatan pendingin yang diakibatkan adanya pengendapan, penyumbatan pipa dan jika mempunyai sifat abrasif maka akan merusak sistem peralatan dan pipa-pipa pendingin. TSS yang berdiameter kurang dari 0,10 mm seperti lumpur atau lanau umumnya tidak abrasif tetapi akan menyebabkan pengendapan di dalam struktur intake, sistem pemipaan, dan alat penukar panas, yang akan mengganggu operasional pembangkit [12]. Beberapa contoh kasus lokasi pendingin yang berada di perairan pesisir dan muara sungai telah terjadi gangguan oleh sedimen. Kondisi sedimen di perairan merupakan input yang sangat penting dalam pemilihan konfigurasi sistem pendingin. Adanya sedimen yang tersuspensi dalam perairan laut apabila digunakan sebagai air pendingin akan memerlukan pengolahan khusus untuk mengurangi dampak bahaya terhadap sistem air pendingin. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang lebih lanjut melalui observasi lapangan sehubungan dengan permasalahan sedimen tersuspensi tersebut.

Untuk menentukan kesesuaian antara kondisi sebaran sedimen di perairan laut Jepara dan persyaratan bangunan fisik PLTN, diperlukan penelitian lanjut. Demikian juga untuk penelitian evaluasi terhadap pondasi infrastruktur PLTN. Untuk itu kondisi hidrodinamika dan transport sedimen perlu dievaluasi lebih lanjut setelah dilakukan analisis terhadap kondisi sedimen di lokasi tapak PLTN.

Desain pendingin PLTN memerlukan persyaratan kualitas air, salah satunya seperti yang tertuang pada Tabel 7 [13].

Tabel 7. Parameter Fisik Dasar Kualitas Air dan Batasan Konsentrasi untuk Air Pendingin PLTN [13]

Unsur Satuan Batasan TDS TSS

mg/lt mg/lt

70.000 <100 (dengan film fill)

<300 (dengan open fill)

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

Page 85: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di Perairan Pesisir Semenanjung Muria-Jepara

79

1. Secara spasial pola sebaran TSS dari tahun 1989 sampai 2008 tidak menunjukkan adanya perbedaan, namun demikian ada kecenderungan wilayah dengan konsentrasi TSS antara > 36 mg/liter meningkat, khususnya di sisi timur perairan Semenanjung Muria. Arus laut dan morfologi pantai daerah penelitian mempengaruhi pola sebaran konsentrasi yang terjadi.

2. Dari sisi proses sedimentasi yang terjadi di Semenanjung Muria, lokasi sebelah timur laut dari lokasi penelitian menunjukkan lokasi perairan kurang memenuhi syarat sebagai sumber air pendingin karena proses sedimentasi yang lebih besar dibandingkan daerah sisi barat.

DAFTAR PUSTAKA [1] Ritchie J.C. and Cooper, C.M.: Comparison of Measured Suspended Sediment Concentrations

With Suspended Sediment Concentrations Estimated From Landsat MSS Data, Int. J. Remote Sensing (1988).

[2] Abu Daya, M.I.: Coastal Water Quality Monitoring with Remote Sensing in (East Kalimantan) Makasar Strait-Indonesia, International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation, Enschede, The Netherlands (2004).

[3] Citra Landsat: http://glcf.umiacs.umd.edu/data Landsat [4] Susiati, H., Pandoe, W. & Wijarnako A.: “Studi Dinamika Transport Sedimen Menggunakan

Perunut Radioisotop dan Citra Satelit untuk Evaluasi Rekayasa Perlindungan Pantai Tapak PLTN, Laporan Teknis Program Insentif, Pusat Pengembangan Energi Nuklir – BATAN, Jakarta (2008).

[5] Ambarwulan W.: Mapping of TSM Concentrations From SPOT and Landsat TM Satellite Images for Integrated Coastal Zone Management in Teluk Banten, Indonesia, MSc Thesis, International Institute for Geo-information Science and Earth Observation (2002).

[6] Ambarwulan, W.: Struktur Spasial Parameter Bio-Fisik Perairan Delta Mahakam, Pusat Sumber Daya Laut, Bakosurtanal (2004).

[7] Budhiman, S.: Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in Turbid Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta, Indonesia. Master of Science Thesis, ITC, Enschede, The Netherlands (2004) .

[8] DKP.: Laporan Akhir Penyusunan Rencana Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Jepara, Departemen Kelautan dan Perikanan, Propinsi Jawa Tengah, Semarang (2006).

[9] Azis Rifai: Kajian Perubahan Kerapatan Vegetasi Mangrove dan Kaitannya dengan Total Suspended Matter (TSM) di Wilayah Delta Mahakam Berdasarkan Citra Satelit, Tesis Program Studi Magister Sains Kebumian, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB (2008).

[10] Ambarwulan, W., Hartini, S., dan Cornela, M.I.: Citra Satelit Landsat untuk Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut di Delta Mahakam, Pusat Sumber Daya Laut, Bakosurtanal (2003).

[11] Sumijanto & Dibyo, S.: Analisis Kelaikan Air Laut Muria Sebagai Pendingin Tersier PLTN Jenis PWR Menggunakan Watercycle Software, Prosiding Seminar Penelitian dan Pengelolaan Perangkat Nuklir, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Maju, Yogyakarta (2005).

[12] Katili, J.A.: Geotectonics of Indonesia, A Modern View, Directorate General of Mines, Jakarta (1980).

[13] Veil, J.A. Use of Reclaimed Water for Power Plant Cooling, Environmental Science Division, Argonne National Laboratory, Canada (2007).

Page 86: JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH - … vol 13 1... · Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir ... yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, ... nuklir dalam bidang

  

Akreditasi B No. 284/AU1/P2MBI/05/2010 SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010  

 

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun.

Ketentuan penulisan naskah : 1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau

studi literatur. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan

margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,

3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan.

4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.

5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.

6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:

i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ………………………………… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan …………………………. (ditulis di bawah Gambar)

8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],...

9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut: Buku referensi : [1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997). Artikel yang terdapat dalam buku referensi:

[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990).

Artikel dari jurnal :

[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding [4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the

Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. 11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna. 12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. 13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS

Word.