Jurnal Tekno Oktober 2011

57
ISSN. 1907-4964 JURNAL TEKNO – INSENTIF Volume 5 Nomor 2, Oktober 2011 Jurnal Tekno-Insentif adalah wadah informasi bidang ilmu Teknik berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah yang terkait. Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi terbit dua kali setahun. Penanggung Jawab Koordinator Kopertis Wilayah IV Ketua Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah IV Dewan Redaksi Ir. Robertus Wahyudi Triweko, M.Eng., Ph.D. Redaksi Pelaksana: Drs. Tia Sugiri, ST, M.Pd. Heni Hermina, S.H., M.Si. Ir. Nefli Yusuf, M.Eng. Dra. Maimunah Entin Hartini, S. Sos., M.Si. Aminatun, S. Sos. Penyunting Ahli: Prof. Dr. Ir. Eddy Yusuf Sapardi, M.Sc. . Prof. Dr. Ir. Rochim Suratman Prof. Dr. Ir. Wimpy Santosa Alamat Redaksi Kopertis Wilayah IV Jl. Penghulu Hasan Mustafa No. 38 Telepon: (022) 7275630 e-mail: [email protected]

Transcript of Jurnal Tekno Oktober 2011

Page 1: Jurnal Tekno Oktober 2011

ISSN. 1907-4964

J U R N A L

T E K N O – I N S E N T I F

Volume 5 Nomor 2, Oktober 2011

Jurnal Tekno-Insentif adalah wadah informasi bidang ilmu Teknik berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun

tulisan ilmiah yang terkait. Terbit pertama kali tahun 2006 dengan frekuensi terbit dua kali setahun.

Penanggung Jawab Koordinator Kopertis Wilayah IV

Ketua

Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah IV

Dewan Redaksi Ir. Robertus Wahyudi Triweko, M.Eng., Ph.D.

Redaksi Pelaksana:

Drs. Tia Sugiri, ST, M.Pd. Heni Hermina, S.H., M.Si.

Ir. Nefli Yusuf, M.Eng. Dra. Maimunah

Entin Hartini, S. Sos., M.Si. Aminatun, S. Sos.

Penyunting Ahli:

Prof. Dr. Ir. Eddy Yusuf Sapardi, M.Sc. . Prof. Dr. Ir. Rochim Suratman

Prof. Dr. Ir. Wimpy Santosa

Alamat Redaksi Kopertis Wilayah IV

Jl. Penghulu Hasan Mustafa No. 38 Telepon: (022) 7275630

e-mail: [email protected]

Page 2: Jurnal Tekno Oktober 2011

ISSN. 1907-4964

Jurnal TEKNO-INSENTIF

Volume 5 Nomor 2, Oktober 2011

DAFTAR ISI

1 DESIGN OF TYPE-2 FUZZY CONTROLLER FOR TRUCK BACKER-UPPER PROBLEM ..................................................................................................................... Oleh: Muhammad Aria, Electrical Engineering, Indonesian Computer University

1

2 PENGARUH BENTUK PENGUAT (WIND BRACE) PADA MENARA Studi Kasus Menara Segi Tiga Berpenumpu-Sendiri (Self-Support) .......................Oleh: Nefli Yusuf, Teknik Mesin, STT Mandala Bandung

9

3 ALGORITMA SEQUENTIAL INSERTION UNTUK MENGATASI MASALAH RUTE KENDARAAN DENGAN BACKHAUL, RUTE MAJEMUK DAN TIME WINDOW ........................................................................................................................ Oleh: Johan Oscar Ong, Teknik Industri, Institut Teknologi Harapan Bangsa

16

4 PENGARUH PENGGUNAAN CANGKANG KELAPA SAWIT TERHADAP MUTU BETON RINGAN ……………………………………………………………. Oleh: Ike Pontiawaty, Teknik Sipil, Universitas Pakuan – Bogor

28

5 PENDEKATAN HOLISTIK PADA ARSITEKTUR VERNAKULAR, Studi kasus: Kampung Adat Sunda, Jawa barat ........................................................Oleh: Marcus Gartiwa, Universitas Langlangbuana Bandung

37

6 TATANAN MASSA DAN BENTUK BANGUNAN YANG KONTEKSTUAL DAN KONTRAS TAPAK PADA KORIDOR JALAN SOEKARNO HATTA ....... Oleh: Dewi Parliana, Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Nasional, Bandung

45

Page 3: Jurnal Tekno Oktober 2011

1

Jurnal Tekno Insentif Kopwil4, Volume 5 No.2, Oktober 2011

ISSN: 1907-4964, halaman 1 s.d. 8

PERANCANGAN PENGENDALI FUZZY BERTIPE-2

UNTUK MASALAH BACKER-UPPER TRUK

Oleh: Muhammad Aria

Teknik Eletro, Universitas Komputer Indonesia

Abstraksi – Pengendalian backer-upper truk merupakan permasalahan kendali non-linear. Tujuannya adalah untuk memasukkan sebuah truk ke dalam suatu terminal pengangkut secepat dan seakurat mungkin. Selama ini, permasalahan backer-upper truk telah menjadi standar permasalahan dalam bidang kendali. Makalah ini menyajikan desain dan hasil simulasi dari implementasi pengontrol Fuzzy bertipe 2 (T2FC) untuk kasus backer-upper truk. Pengontrol yang dirancang terdiri dari modul fuzzy backward truck dan modul fuzzy forward truck. Kumpulan aturan fuzzy untuk masing-masing modul dibangun berdasarkan pengalaman pakar dan data-data numeric. Perangkat lunak berbasis LabVIEW dibuat untuk melakukan simulasi kasus ini. Perangkat lunak ini digunakan sebagai sarana evaluasi dari T2FC yang dirancang. Performansi dari T2FC kemudian dibandingkan dengan performansi Fuzzy bertipe 1 (T1FC). Hasil simulasi menunjukkan bahwa T2FC memiliki performansi yang lebih baik daripada T1FC. Waktu parking yang dibutuhkan oleh T2FC 16% lebih cepat daripada T1FC. Tetapi waktu komputasi Logika Fuzzy bertipe 2 lebih kompleks daripada Logika Fuzzy bertipe 1, T2FC lebih lambat 1,8 kali dari pada T1FC. Pada aplikasinya T2FC membutuhkan 1788 unit memori, sedangkan T1FC hanya membutuhkan 1303 unit memori. Kata Kunci: Pengendali Fuzzy Bertipe 2, Algoritma Karnik-Mendel, Permasalahan backer-upper Truk,

Modul Fuzzy Backward Truck, Modul Fuzzy Forward Truck. Abstract – The truck backer-upper control is a typical nonlinear control problem. The goal is to back up a truck to a loading dock from any initial position as quickly and precisely as possible. For a number of years, truck backer-upper problem has served as a benchmark for control among the practitioners of computational intelligence. This paper presets the design and simulation of Type 2 Fuzzy Controller (T2FC) for truck backer-upper problem. The controller contains fuzzy backward truck module and fuzzy forward truck module. The rules of each module have been obtained from heuristic knowledge and numerical data. A simulator software based LabVIEW has been developed to simulate this problem. The simulation software was used to facilitate the evaluation of the proposed T2FC. Performance of T2FC is compared with Type 1 Fuzzy Controller (T1FC). The simulation result show that the T2FC has better performance than T1FC. Parking duration of T2FC 16% better than T1FC. But Type 2 Fuzzy computation time is more complex than Type 1 Fuzzy algorithm, so T2FC takes 1.8 times slower than T1FC. In application, T2FC needs 1788 units of memory, while T1FC just need 1303 unit memory. Keywords: Type 2 Fuzzy Controller, Karnik-Mendel algorithm, Truck Backer-Upper Problem, Fuzzy

Backward Truck Module, Fuzzy Forward Truck Module. 1. Pendahuluan

Masalah backer-upper truk, yang diperkenalkan pertama kali oleh Nguyen dan Widrow [1], telah banyak dijadikan kasus penelitian oleh banyak peneliti. Tujuannya adalah untuk merancang pengendali yang dapat memasukkan sebuah truk dari sembarang posisi awal ke dalam suatu terminal pengangkut secepat dan seakurat mungkin.

Studi perancagan pengendalian kasus backer-upper truk telah dilakukan oleh banyak peneliti. Pada [1], Nguyen dan Widrow mengembangkan suatu pengendali yang terdiri dari dua Jaringan Saraf Tiruan (JST) untuk masalah ini

dimana gerakan truk hanya pada arah maju saja. Keuntungan dari pendekatan Nguyen-Widrow ini, adalah pengendali mampu perbaikan parameter-parameternya secara otomatis. Di dalam [2], solusi pengendali oleh Plumer terdiri dari sebuah JST arah maju. Di dalam [3], Kinjo menggunakan Algoritma Genetik untuk menentukan parameter-parameter dari JST.

Sistem Fuzzy sudah digunakan secara luas sebagai sistem yang efektif untuk memodelkan sistem non-linear dan sistem kompleks. Sistem pengendali Fuzzy menyediakan suatu algoritma yang dapat memindahkan pengalaman dari seorang pakar menjadi strategi pengendali otomatik. Pengendali Fuzzy mempunyai beberapa kelebihan,

Page 4: Jurnal Tekno Oktober 2011

2

seperti struktur yang sederhana, ketelitian yang baik, dapat diterapkan pada sistem yang tidak linear serta tidak terikat pada suatu model matematik. Selain itu kaidah-kaidah pada sistem fuzzy juga dapat mudah dimodifikasi karena kaidah disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami.

Pada [4], Riid mempresetasikan implementasi sistem fuzzy sebagai sistem supervisi pada pengendali PID untuk mengurangi kompleksitas dari sistem. Pada [5], Kong dan Kosko menggunakan JST dan sistem fuzzy untuk menyelesaikan masalah backing-upper truk ini. Mereka menunjukkan bahwa penggunaan fuzzy ini menghasilkan trajektori truk yang lebih halus dibandingkan dengan menggunakan dua buah JST. Dan pada [6], Pourya menyajikan sistem fuzzy tunggal yang dapat mengendalikan truk ditambah dua gandengannya.

Kaidah-kaidah pada pengendali fuzzy dapat diperoleh berdasarkan pengalaman dari seorang pakar [7], ataupun dapat dibangun berdasarkan kumpulan pasangan data numerik [8]. Pada penelitian ini, kami membangun kaidah sistem logika fuzzy berdasarkan survei dari beberapa pakar. Dari kasus ini akan mengakibatkan beberapa masalah ketidakpastian.

1) Kata-kata yang digunakan pada antecedent untuk setiap kaidah fuzzy dapat memiliki arti yang berbeda untuk setiap pakar.

2) Consequent diambil berdasarkan pendapat para pakar, yang memungkinkan munculnya perbedaan, karena para pakar belum tentu memiliki pendapat yang sama untuk setiap kaidah fuzzy.

Sistem logika fuzzy bertipe 1 (T1FC) yang

memiliki fungsi keanggotaan bertipe 1, tidak mampu untuk mengatasi masalah ketidakpastian ini. Sedangkan sistem logika fuzzy bertipe 2 (T2FC) yang memiliki fugsi keanggotaan antecedent dan atau consequence-nya bertipe 2, mampu untuk mengatasi ketidakpastian ini. Kemampuan T2FC dalam menangani ketidakpastian ini menyebabkan kinerja T2FC cenderung lebih baik dari kinerja sistem T1FC.

Unsur utama T2FC hampir sama dengan T1FC. Tetapi ada dua unsur yang membedakannya. Pertama yaitu adanya pengolahan keluaran terdiri atas type-reducer (proses pengubahan himpunan fuzzy bertipe 2 menjadi beberapa himpuan fuzzy bertipe 1) dan defuzzifier). Yang kedua adalah himpunan keanggotaan antecedent dan atau consequent-nya adalah bertipe-2. Dikarenakan adanya proses type-reduction ini, maka proses komputasi sistem logika fuzzy bertipe-2 lebih berat daripada komputasi sistem logika fuzzy bertipe-1. Tetapi jika fungsi keanggotaan sekundernya adalah himpunan interval, maka komputasi akan menjadi lebih sederhana.

Makalah ini menyajikan studi simulasi implementasi sistem pengendali fuzzy bertipe-2 interval untuk masalah backer-upper truk, dimana fuzzy bertipe 2 diketahui memiliki kemampuan yang baik dalam mengatasi ketidakpastian [9]. Telah banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan implementasi fuzzy bertipe-2 ini.

Implementasi pada pembuatan keputusan telah dilakukan oleh Chaneau pada [11]. Implementasi pada robot telah dilakuan oleh Wu pada [13]. Dan implementasi pada pemrosesan data dilakukan oleh John pada [14]. Tetapi sepanjang yang penulis ketahui, belum ada yang mengimplementasikan fuzzy bertipe 2 ini pada masalah backer-upper truk. Kontribusi dari penelitian ini adalah menyajikan model pengedali berbasis logika fuzzy bertipe 2 yang dapat diterapkan pada masalah backer-upper truk. Selain itu perbandingan performansi fuzzy bertipe 2 juga dilakukan terhadap fuzzy bertipe 1.

Makalah ini diorganisasikan sebagai berikut. Pada bagian 2 dijelaskan mengenai Sistem Fuzzy Bertipe 2. Pada bagian 3 dijelasan mengenai permasalahn pengontrolan backer-upper truk. Desain pengendali Fuzzy bertipe-2 yang dapat diimplementasikan pada kasus backer-upper truk dijelaskan pada bagian 4. Pada bagian 5 disajikan hasil simulasi. Bagian 5 menyimpulkan makalah ini. 2. Sistem Fuzzy Bertipe 2

Konsep Sistem logika fuzzy bertipe-2 telah diperkenalkan oleh Zadeh pada 1975. Tetapi teori lengkap mengenai logika fuzzy bertipe 2 agar dapat menangani ketidakpastian barulah diperkenalkan oleh Mendel dan Liang pada tahun 1999.

Dua sistem logika fuzzy yang sering digunakan saat ini adalah sistem Mamdani dan sistemm Takagi-Sugeno-Kang (TSK). Keduanya memiliki kesamaan pada struktur antecedent dan kaidah JIKA-MAKA yang digunakan. Perbedaannya dalah pada bagian konsekuen. Dimana bagian konsekuen pada sistem Mamdani berupa set fuzzy, adapun bagian konsekuen pada sistem TSK berupa fungsi [15].

Untuk model fuzzy TSK bertipe 2, terdapat tiga kemungkinan struktur [16] :

1. Bagian antecedents berupa set fuzzy bertipe 2 dan bagian consequent adalah set fuzzy bertipe 1. Struktur ini disebut Model I.

2. Bagian antecedents berupa set fuzzy bertipe 2 dan bagian consequent adalah nilai crisp. Struktur ini disebut Model II.

3. Bagian antecedents berupa set fuzzy bertipe 1 dan bagian consequent adalah set fuzzy bertipe 1. Struktur ini disebut Model III.

Pada penelitian ini akan digunakan Model I untuk desain sistem Fuzzy TSK bertipe 2 (T2TSK). Skematik diagram dari T2TSK yang diusulkan

Page 5: Jurnal Tekno Oktober 2011

3

disajikan pada Gambar 1., yang terdiri dari i variabel masukan dan m kaidah.

Gambar 1. Struktur sistem dari Fuzzy TSK bertipe 2 Model I

A. Kumpulan Kaidah

Pada sistem fuzzy TSK bertipe 2 Model I, maka kumpulan kaidah dari m kaidah dan n variabel masukan, dituliskan sebagai berikut.

IF is AND K AND is

THEN is (1)

dimana dan . Parameter bagian consequent , adalah set fuzzy bertipe-1 dan dituliskan sebagai berikut.

(2)

Fungsi keanggotaan , , ...,

juga adalah interval dimana dituliskan sebagai berikut.

(3)

Dimana adalah fungsi keanggotaan batas

bawah dan adalah fungsi keanggotaan batas atas. B. Fuzzifikasi

Proses ini mentransformasikan masukan crisp menjadi variabel dalam bentuk fuzzy bertipe 2. Fungsi keanggotaan untuk setiap bagian antecedent adalah sistem fuzzy bertipe-2 interval menggunakan fungsi keanggotaan Gaussian yang dituliskan sebagai berikut.

(4)

dimana adalah rata-rata nilai ketidakpastian, dengan a = (1,…,n) adalah jumlah dari bagian antecedent, b = (1,…,m) adalah jumlah dari kaidah yang digunakan dan adalah standar deviasi.

Pada fungsi keanggotaan, terdapat dua alternatif set fuzzy tipe-2 yang dapat digunakan. Pertama adalah fungsi keanggotaan Gaussian tipe-2 dengan derajat keanggotaan adalah gaussian tipe-1

Page 6: Jurnal Tekno Oktober 2011

4

yang berinterval antara 0 dan 1. Kedua adalah fungsi keanggotaan dengan derajat keanggotaan bernilai crisp yang disebut juga fuzzy bertipe 2 interval. Gambar 2. menunjukkan contoh fungsi keanggotaan fuzzy tipe-2 interval gaussian dengan ketidakpastian nilai tengah.

Gambar 2. Fungsi keanggotaan Gaussian untuk

fuzzy bertipe 2 interval dengan ketidakpastian nilai tengah

Fungsi keanggotaan batas atas didefinisikan sebagai

(5)

dengan

(6)

Dan fungsi kenggotaan batas bawah didefinisikan sebagai

(7)

C. Sistem Inferensi Fuzzy Mekanisme inferensi fuzzy pada bagian antecedent menggunakan operasi algebraic product, sehingga suatu kaidah dapat dituliskan sebagai berikut. (8)

dan (9)

Gambar 3. Menunjukkan ilutrasi dari inferensi fuzzy yang terdiri dari dua variabel masukan. Nilai interval pada bagian consequent adalah:

, dimana

(10)

dengan dan menunjukkan batas bawah dan atas dari nilai keluaran bagian consequent dari kaidah ke b. D. Type Reduction

Algoritma Karnik-Mendel digunakan untuk menentukan nilai dan . Langkah-langkah yang digunakan untuk menentukan adalah sebagai berikut [17] :

[1] Inisialiasi berdasarkan persamaan:

(11)

(12)

[2] Menentukan agar

(13)

[3] Set:

(14)

Dan menghitung:

(15)

[4] Jika maka berhenti dan .

Jika tidak, maka lanjut ke [5]

[5] Set dan kembali ke langkah [2]

Page 7: Jurnal Tekno Oktober 2011

5

Gambar 3. Ilustrasi dari mekanisme inferensi fuzzy bertipe 2 dengan operator algebraic product

Untuk menentukan , sama dengan

prosedur sebelumnya, kecuali pada langkah 3, diset

(16)

sehingga:

(17)

E. Keluaran fuzzy

Karena keluaran dari type-reduction berupa set fuzzy interval bertipe 1, maka nilai keluaran fuzzy dapat dicari berdasarkan persamaan.

(18)

3. Masalah Backer-Upper Truk

Gambar 4 menunjukkan ilustrasi dari truk dan terminal pengangkut. Posisi truk ditentukan berdasarkan tiga variabel yaitu , and , dimana adalah derajat arah truk terhadap horizontal. Koordinat ( , ) menunjukkan posisi tengah truk. Tartget dari permasalahan backer-upper truk adalah untuk memasukkan truk dari posisi awal ke dalam suatu terminal pengangkut pada arah ( ). Gerakan truk kedepan maupun kebelakang diatur pada kecepatan yang konstan. Area yang digunakan berukuran 10 10. Maka pengontrol harus bisa menentukan arah truk untuk setiap posisinya agar truk dapat masuk ke terminal pengangkut dari sembarang posisi awal dengan secepat dan seakurat mungkin.

Gambar 4. Diagram dari truk dan terminal

pengangkut

Untuk mensederhanakan, kami mengasumsikan bahwa jarak vertikal antara truk dengan terminal pengangkut ( ) tidak digunakan sebagai masukan pengontrol. Sistem kontrol akan terdiri dari dua sistem fuzzy, yaitu sistem fuzzy untuk arah maju dan sistem fuzzy untuk arah mundur. Arah maju dan mundur truk akan ditentukan berdasarkan nilai .

Maka variabel masukan memiliki rentang dan dan

variabel keluaran memiliki rentang , sehingga keadaan akhir truk

adalah . Untuk simulasi gerakan truk, maka kami

menggunakan persamaan-persamaan berikut [18]:

(19)

(20)

(21)

Dengan ( , ) adalah koordinat truk dan adalah panjang truk.

Page 8: Jurnal Tekno Oktober 2011

6

4. Perancangan Sistem Fuzzy Bertipe-2

Terdapat dua sistem fuzzy yang digunakan yaitu

sistem fuzzy untuk truk maju (Forward Truck Module) dan sistem fuzzy untuk truk mundur (Backward Truck Module) seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur pengendali Fuzzy untuk

kasus backer upper truk

Parameter masukan fuzzy yang digunakan adalah arah sudut truk terhadap horizontal yaitu dan posisi horizontal truk yaitu . Sedangkan parameter keluaran fuzzy yang digunakan adalah arah setir pada truk yaitu . Nilai positif pada menunjukkan arah putaran kekanan. Sedangkan nilai negatif menunjukkan arah putaran kekiri. Untuk meringankan beban komputasi, maka resolusi dari dan masing-masing adalah satu derajat. Dan resolusi dari adalah

Himpunan fuzzy posisi truk terbagi menjadi 5 variabel linguistik yaitu kanan (R), kanan-tengah (RC), tengah (C), kiri tengah (LC) dan kiri (L). Himpunan fuzzy arah truk terbagi menjadi 7 variabel linguistik, yaitu kanan-bawah (RD), kanan (R), kanan-atas (U), atas (U), kiri-atas (LU), kiri (L) dan kiri-bawah (LD). Sedangkan himpunan fuzzy arah setir terbagi menjadi 7 variabel linguistik, yaitu positif-besar (PB), positif-sedang (PM), positif kecil (PS), nol (Z), negatif-kecil (NS), negatif-sedang (NM) dan negatif-besar (NB.)

Fungsi keanggotaan fuzzy dari variabel masukan dan keluaran yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 6 - Gambar 8.

Gambar 6. Fungsi keanggotaan untuk posisi

truk

Gambar 7. Fungsi keanggotaan untuk arah truk

Gambar 8. Fungsi keanggotaan untuk arah setir

Karena terdapat lima variabel linguistik untuk posisi truk dan tujuh variabel liguistik untuk arah truk, maka akan terdapat 35 kaidah yang akan digunakan. Karena hanya terdapat dua variabel masukan pada fuzzy, maka basis kaidah yang digunakan dapat didokumentasikan dalam bentuk matriks seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Setiap kombinasi dari baris dan kolom masukan akan menunjukkan variabel keluaran yang berkaitan. Sebagai contoh jika masukan posisi truk adalah C dan arah truk adalah RU, maka konsekuensnya adalah PS.

Truck Orientation

LD L LU U RU R RD

Tru

ck

Posi

tion

L NS PS PM PM PB PB PB LC NM NS PS PM PM PB PB C NM NM NS Z PS PM PM

RC NB NB NB NM NM NS NS R NB NB NB NM NM NS NS

Gambar 9. Kaidah-kaidah pada Fuzzy Backward Truck Module

Truck Orientation

LD L LU U RU R RD

Tru

ck

Posi

tion

L PB PB PM PM PS NS NB LC PB PB PM PM PS NS NM C PM PM PS Z NS NM NM

RC PM PS NS NM NM NB NB R PM PS NS NM NM NB NB

Gambar 10. Kaidah-kaidah pada Fuzzy Forward Truck Module

5. Simulasi

Performansi dari pengendali fuzzy bertipe 2 (T2FC) yang dirancang akan dibandingkan dengan pengendali fuzzy bertipe 1 (T1FC) menggunakan studi simulasi. Posisi awal truk ditentukan secara acak. Sedangkan perbandingan performansi dilakukan berdasarkan bentuk trajektori, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai terminal, waktu komputasi dan memori yang digunakan.

Page 9: Jurnal Tekno Oktober 2011

7

Hasil simulalsi T2FC ditunjukkan pada Gambar 11 dan Gambar 12. Gambar 11 menunjukkan hasil trajektori untuk posisi awal

, dan . Waktu untuk parkit membutuhkan 78 satuan. Gambar 12 menunjukkan hasil trajektori untuk posisi awal

, dan . Waktu untuk parkit membutuhkan 72 satuan.

Gambar 11. Trajektori truk menggunakan

T2FC dari posisi awal (-20,18.4,60o)

Gambar 12 Trajektori truk menggunakan T2FC

dari posisi awal (17.5,8,162o)

Gambar 13 menunjukkan hasil simulasi dari pengendali fuzzy bertipe 1 untuk kondisi yang sama dengan Gambar 11, tetapi waktu yang dibutuhkan adalah 93 satuan. Sedangkan Gambar 14 menunjukkan hasil simulasi dari pengendali fuzzy bertipe 1 untuk kondisi yang sama dengan Gambar 12, dengan waktu yang dibutuhkan adalah 86 satuan.

Hasil simulasi ini menunjukkan keunggulan dari pengendali fuzzy bertipe 2 dimana bisa menghasilkan trajektori yang lebih halus. Hal ini mengakibatkan waktu yang dibutuhkan truk ke terminal menggunakan pengendali fuzzy bertipe 2 lebih cepat dari pada menggunakan pengendali fuzzy bertipe 1.

Gambar 13. Trajektori truk menggunakan

T1FC dari posisi awal (-20,18.4,60o)

Gambar 14 Trajektori truk menggunakan T1FC

dari posisi awal (17.5,8,162o)

Tetapi waktu komputasi dari pengendali fuzzy bertipe 2 (T2FC) lebih kompleks dari pengendali fuzzy bertipe 1 (T1FC). Tabel 11 menunjukkan perbandingan antara waktu komputasi T2FC dibandingkan T1FC. Maka T2FC lebih lambat 1,8 kali dibandingkan T1FC. Dan dalam aplikasinya, T2FC membutuhkan 1788 unit memori, dimana T1FC hanya membutuhkan 1303 unit memori.

Tabel 1. Waktu Komputasi

Waktu komputasi rata-

rata (micro detik)

Pengendali Fuzzy Bertipe 1 (T1FC)

18750

Pengendali Fuzzy Bertipe 2 (T2FC)

33854

6. Kesimpulan

Pengendali fuzzy bertipe-2 telah dipresentasikan untuk menyelesaikan masalah backer-upper truk. Jika dibandingkan dengan T1FC, T2FC memiliki performansi yang lebih baik. Trajektori untuk parkir truk mengunakan T2FC lebih pendek dibandingkan trajektori parkir menggunakan T1FC.

Page 10: Jurnal Tekno Oktober 2011

8

Waktu parking yang dibutuhkan oleh T2FC 16% lebih cepat daripada T1FC. Tetapi waktu komputasi Logika Fuzzy bertipe 2 lebih kompleks daripada Logika Fuzzy bertipe 1, T2FC lebih lambat 1,8 kali daripada T1FC. Pada aplikasinya T2FC membutuhkan 1788 unit memori, sedangkan T1FC hanya membutuhkan 1303 unit memori.

Daftar Pustaka [1] D. Nguyen and B. Widrow, “The Truck

Backer-Upper: An Example of Self-Learning in Neural Network”, IEEE Contr. Syst. Mag., vol. 10, no. 2, pp. 18-23, 1990

[2] E. S. Plumer, “Neural Network Structure for Navigation Using Potential Fields”, in Proc. IJCNN092 Int. Joint Conf. Neural Networks, vol. 1, pp 327-332, 1992

[3] B. Wang, H. Kinjo, K. Nakazono and T. Yamamoto, “Design of Backward Movement Control for a Truck System with Two Trailers Using Neurocontrollers Evolved by Genetic Algorithms”, Transactions of the Institute of Electrical Engineers of Japan, Vol. 123, no. 5, pp. 983 – 990, 2003

[4] A. Riid and E. Rustern, ”Fuzzy Logic in Control : Truck Backer-Upper Problem Revisited”, Proc. 10th IEEE International Conference on Fuzzy Systems, Melbourne, Bol. 1, pp 513 – 516, 2001

[5] S.-G. Kong and B. Kosko, “Comparison of Fuzzy and Neural Truck Backer-Upper Control Systems”, in Proc. IJCNN-90, vol. 3, pp 349 – 358, 1990

[6] Pourya Shahmaleki, Mojtaba Mahzoon, Designing a Hierarchical Fuzzy Controller for Backing-up a Four Wheel Autonomous Robot, American Control Conference, pp. 4893 – 4897, 2008

[7] S.-G. Kong, B. Kosko, “Adaptive Fuzzy Systems for Backing up a Truck and Trailer”, IEEE Trans. On Computational Intelligence, pp. 720-723, 1992

[8] L.-X. Wang and J. M. Mendel, “Generating Fuzzy Rules by Learning From Example”, IEEE Trans. On System, Man, and Cybernetics, vol 22, no. 6, pp. 1414 – 1427, 1992

[9] Jerry M. Mendel, “Type-2 Fuzzy Sets and Systems : An Overview”, IEEE Computational Intelligence Magazine, vol 2, no. 1, pp. 20-29, 2007

[10] N.N. Karnik and J.M. Mendel, “Introduction to Type-2 Fuzzy Logic Systems”, University of Southern California, 1998

[11] J. L. Chaneau, M Gunaratne and A.G. Altschaeffl, “An Application of Type-2 Sets to Decision Making in Engineering”, Analysis of Fuzzy Information – Vol. II: Artificial Intelligence and Decision Systems, 1987

[12] M. Wagenknecht and K. Hartmann, “Application of Fuzzy Sets of Type 2 to The Solution of Fuzzy Equation Systems”, Fuzzy Sets Syst., vol. 25, pp 183-190, 1988

[13] K.C. Wu, “Fuzzy Interval Control of Mobile Robots”, Comput. Elect. Eng., vol. 22, no. 3, pp. 211-229, 1996

[14] R.I. John, P.R. Innocent and M.R. Barnes, “Type 2 Fuzzy Sets and Neuro-Fuzzy Clustering of Radiograhic tibia images”, Proc. IEEE Int. Conf. Fuzzy Systems, pp 1373 – 1376, 1998

[15] Qilian Liang and Jerry M. Mendel, “An Introduction to Type-2 TSK Fuzzy Logic Systems”, IEEE International Fuzzy System Conference Proceedings, pp III-1534 – III-1539, 1999

[16] Salman Mohagheghi, “An Interval Type-II Robust Fuzzy Logic Controller for a Static Compensator in a Multimachine Power System”, International Joint Conference on Neural Networks, pp. 2242 – 2244, 2006

[17] Jerry M. Mendel and Hongwei Wu, “New Results About the Centroid of An Interval Type-2 Fuzzy Set, Including the Centroid of a Fuzzy Granule”, Information Sciences an International Journal, pp 360 – 377, 2007

[18] L.X. Wang and J.M. Mendel, “Generating Fuzzy Rules from Numerical Data, With Application”, USC SIPI Rep. no. 169, Univ. Southern Calif., Los Angeles, 1991

Riwayat Penulis

Nama : Muhammad Aria HP : +62 813 212 71554 Alamat : Haruman no 8, Malabar, Bandung 40262 Kantor : UNIKOM Dipati Ukur 112 Email : [email protected] Muhammad Aria menyelesaikan Magister Teknik

dalam bidang sistem kendali di STEI ITB. Minat peneliannya meliputi Sistem Fuzzy, Jaringan Saraf Tiruan, Pengendali PID, Algoritma Genetik dan Robot.

Page 11: Jurnal Tekno Oktober 2011

9

Jurnal Tekno Insentif Kopwil4, Volume 5 No. 2, Oktober 2011

ISSN: 1907 - 4964, halaman 9 s.d 15

PENGARUH BENTUK PENGUAT (WIND BRACE) PADA MENARA

Studi Kasus Menara Segi Tiga Berpenumpu-Sendiri (Self-Support)

Oleh: Nefli Yusuf

Teknik Mesin, STT Mandala Bandung Abstrak – Menara berpenumpu sendiri banyak digunakan untuk menumpu antena telekomunikasi disamping juga kadang digunakan untuk menumpu wadah (torn) air. Untuk meminimumkan berat baja profil yang digunakan, sesuai dengan beban utama yang akan disangga, maka penguat antara tiang utama diikat dengan bentuk penguat yang bermacam-macam. Bentuk penguat ini akan berpengaruh terhadap distribusi aliran gaya pada struktur, akhirnya mempengaruhi kekakuan menara dan tegangan elemen batangnya. Pada makalah ini akan dibandingkan pengaruh bentuk penguat terhadap kekakuan menara dan tegangan elemen batang tiang utama akibat beban luar. Bentuk penguat yang disimulasikan menyangkut tiga bentuk standar yaitu: bentuk selempang, silang dan segi tiga. Sedangkan beban luar terdiri dari: gaya vertikal, gaya horizontal dan momen puntir di puncak menara yang perhitungannya menggunakan metoda elemen hingga (finite element method). Struktur mempunyai pembagian segmen dengan ketinggian sama. Struktur terbuat dari baja profil pipa dengan diameter bervariasi, semakin kebawah semakin besar diameter pipanya karena menumpu beban lebih besar. Hasil simulasi menunjukkan bahwa model penguat silang memberikan massa, kekakuan dan tegangan tekan elemen batang yang terbaik, tetapi terjadi beda tegangan yang cukup besar diantara sambungan elemen batang tiang utamanya. Kata Kunci: menara berpenumpu sendiri, bentuk penguat, tegangan dan kekakuan Abstract – Self-support tower is widely used to place the telecommunications antenn, and also is used to place the water-torn. To minimize the weight of steel profile, in accordance with the main load of the wind brace to be supported between the main poles, is tied by various wind brace form. The shape of this wind brace will affect to the distribution of flow-forces on the structure, finally will affect the tower rigidity and rod element stress. In this paper will be compared the influence of wind-brace form to the tower rigidity and rod element stress due to external loads. Wind brace form that was simulated involves three standard forms, namely: an oblique, cross and triangle. While the external load consisted of vertical force, horizontal forces and torques at the top of the tower and calculated using finite element method. This structure has the same height of segments. The structure is made of steel pipes profile with varies diameters, the more downward the greater of pipe diameter because it will support a larger load. The simulation results show that wind brace of cross model gives the best value of mass, rigidity and compress stress of element rods, but there was a large stress difference between the connection elements of the main pole rods. Keywords: self support tower, wind brace form, stress and rigidity 1. Pendahuluan

Pada mulanya perhitungan terhadap kekuatan menara dilakukan secara manual dengan menganggap menara sebagai sebuah batang kantilever. Nilai besaran gaya dan momen yang terjadi ditransformasikan terhadap tiang utama dengan memperhatikan lebar bentangannya. Sedangkan pendistribusian beban akibat pengaruh bentuk penguat sulit untuk diperkirakan atau dihitung secara manual, ditambah lagi dengan akumulasi pengaruh perpindahan posisi beban yang juga mempengaruhi momen pada tumpuan. Untuk itu diperlukan suatu metoda agar perhitungan dapat dilakukan secara lebih teliti.

Metoda Elemen Hingga adalah metoda yang menggunakan prosedur numerik untuk menghitung berbagai persoalan teknik termasuk persoalan struktur. Penerapan perumusan dasar terhadap elemen dasar dari bentuk model yang jelimet dapat menghasilkan perhitungan yang cukup teliti. Pengujian terhadap pembagian elemen kecil dari bentuk struktur yang standar memberikan kesalahan yang cukup kecil berkisar antara 0–10% bergantung kepada jumlah pembagian elemen [3]. Walaupun pembagian elemen yang semakin kecil membutuhkan memori dan waktu pemprosesan yang lama, perkembangan teknologi komputer sekarang ini sudah begitu baik sehingga tidak begitu menjadi masalah. Jumlah elemen yang

Page 12: Jurnal Tekno Oktober 2011

10

besarpun juga dapat diatasi dengan penyederhanaan dan identifikasi model yang mewakili.

Bentuk penguat yang akan dibandingkan dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 1a berbentuk selempang, sedangkan untuk Gambar 1b berbentuk silang x, sedangkan Gambar 1c berbentuk segitiga.

Ketiga bentuk diatas dimodelkan pada

menara ketinggian 55 meter dengan membaginya menjadi 26 segmen. Selanjutnya ketiga model ini disimulasi menggunakan perangkat lunak ANSYS 5.4 untuk mencari pengaruh gaya horizontal, gaya vertikal dan momen puntir pada puncak menara terhadap defleksi yang dianggap sebagai parameter kekakuan serta tegangan tekan pada kaki utama yang mencerminkan aliran beban pada tiang utama. Bahan dan profil pipa ketiga model dibuat sama untuk setiap segmennya. 2. Landasan Teori

Perhitungan dilakukan dengan asumsi bahwa

beban yang diberikan merupakan beban statik. Setiap elemen batang diwakili oleh matrik elemen kekakuan dengan variabel beban dan defleksi. Selanjutnya perhitungan dilakukan dengan menggunakan program komputasi metoda elemen hingga (Finite Element Methode). Rangka menara tersusun atas gabungan batang lentur (beam) dalam ruang tiga dimensi menggunakan koordinat Cartesian dengan sumbu X, Y dan Z. Sedangkan beban diberikan terhadap titik puncak yang terletak di pertengahan segmen..

Untuk kondisi statik harga beban (gaya dan torsi, disebut juga momen putar/momen rotasi), perpindahan, tegangan dan regangan dihitung dengan menyelesaikan persamaan hukum Hookes berikut [4].

{ } [ ]{ }δKF = dan { } [ ]{ }eD=σ Dengan:

{F} adalah vektor gaya dan momen [K] adalah kekakuan batang

{δ} adalah vektor perpindahan {σ} adalah vektor tegangan [D] adalah matrik elastisitas {e} adalah vektor regangan

Perhitungan pembebanan statik berguna untuk menentukan perpindahan dan tegangan setiap elemen batang yang selanjutnya dibandingkan terhadap fenomena yang terjadi pada batang utama akibat dari bentuk penguat (wind brace).

Penggunaan software Ansys dilakukan dengan tiga langkah berikut: membuat model [PREP7], memberi beban dan tumpuan [SOLU] dan mengkaji hasil simulasi [POST]. Pada PREP7 dilakukan pendefinisian elemen, dimensi, sifat bahan dan model geometri, setelah lengkap dilakukan perhitungan SOLU sesuai jenis formulasi yang diinginkan. Pada bagian ketiga dibutuhkan keterampilan untuk memunculkan parameter yang ingin dianalisis, yang berhubungan dengan keluaran umum POST1 dan yang berhubungan dengan time history POST26 [1]. Disarankan untuk memahami formulasi metoda elemen hingga terlebih dahulu sebelum menggunakan software.

3. Data dan Perhitungan

Menara yang dikaji mempunyai spesifikasi sebagai berikut: tinggi 55 m dengan bentangan (lebar) menara dipuncak dan di landasannya sama sehingga kemiringan tiang utama juga akan sama; bahan pipa baja diameter 2–4 inch, semakin kebawah semakin besar dengan setiap segmennya terbuat dari ukuran pipa yang sama. Bahan terbuat dari baja SS-55 dengan sifat mekanik sbb. [5]; modulus elastisitas (E) sebesar 2,1x106 [kg/cm2], modulus elastisitas geser (G) 0,81 x106 [kg/cm2], poison ratio (ν) 0,3, dan massa jenis (γ) adalah 7,85 [kg/dm3].

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terjadi perbedaan massa dan centriod untuk masing masing tipe seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Massa dan centroid masing-masing tipe

menara

No. model Massa [kg]

Centroid [m]

1 Selempang (1) 3005.18 23,635 2 Silang (2) 3483.09 24,553 3 Segi tiga (3) 3501.41 24,564

Tipe selempang (model 1) mempunyai massa

yang paling kecil serta centroid terendah, tipe segi tiga memiliki massa dan centroid terbesar, sedang perbedaan massa dan centroid dari tipe silang dan segi tiga tidak begitu signifikan.

Gambar 1. Model bentuk penguat

(b) (c) (a)

Page 13: Jurnal Tekno Oktober 2011

11

Gambar 1. Model menara dengan penguat selempang

Pada makalah ini hanya ditunjukkan model

menara dengan penguat selempang (Gambar 1) yang merupakan hasil keluaran dari permodelan menggunakan software ANSYS 5.4. Untuk tipe penguat silang dan segi tiga kira-kira bentuknya akan mirip, hanya penguatnya akan lebih ramai. Pondasinya diberi tumpuan jepit yang dapat menahan gaya dan momen, sedangkan puncaknya diberi beban. Gambar model kurang bagus sehingga tanda tumpuan dan beban kurang terlihat jelas, rangka berwarna hitam tumpuan berwarna orange dan gaya berwarna biru.

Pengaruh beban yang diberikan kepada ketiga model penguat menara, model selempang, silang dan segi tiga dengan variasi beban vertikal, horizontal dan momen puntiran. Beban yang diberikan yaitu beban gaya vertikal kebawah sebesar 500 N, gaya horizontal sebesar 50 N dan momen puntiran sebesar 50 Nm. Nilai defleksi pada puncak menara, merupakan defleksi yang terbesar, yang terjadi untuk ketiga variabel beban dan bentuk menguat dapat dilihat pada Tabel 2.

Lambang F menunjukkan gaya, M adalah momen sedangkan y dan z menunjukkan arah koordinat. Arah beban yang diberikan diupayakan supaya terjadi beban tekan pada tumpuan batang, dimana menara diasumsikan kritis terhadap beban tekan karena nantinya akan terjadi kegagalan tekuk (buckling).

Tabel 2. Defleksi di puncak menara akibat

beban

model Fy 500 N Fz 50 N My 50 Nm

[mm] [mm] [mm] 1 1.43 2.20 1.18 2 0.92 1.59 0.80 3 1.56 2.09 1.34

Model silang memberikan hasil yang paling

kecil terhadap variasi beban diatas, sedangkan bentuk penguat segi tiga adalah yang terlemah, kecuali untuk pengaruh gaya horizontal bentuk penguat segi tiga lebih baik dari bentuk penguat selempang.

Perlu juga ditegaskan bahwa kaki menara ini terbuat dari pipa dengan dimensi yang sama untuk ketiga macam tipe. Yang berbeda hanyalah bentuk penguat (wind brace) sedangkan dimensi penguat pada setiap segmennya terbuat dari pipa dengan diameter yang sama.

Selanjutnya simulasi akan memperlihatkan bentuk perpindahan dan besar tegangan yang terjadi pada salah satu tiang utama menara. Pemilihan tiang utama diantara ketiga kaki itu didasarkan kepada besar tekanan yang terjadi yaitu kaki yang mendapatkan tekanan paling besar, hal ini

Page 14: Jurnal Tekno Oktober 2011

12

dimaksudkan agar sesuai dengan fenomena gagal yang diasumsikan.

Hasil perhitungan simulasi terhadap defleksi untuk satu tiang utama diperlihatkan pada Gambar 2, 3, dan 4 defleksi yang ditunjukkan adalah akumulasi defleksi, penjumlahan vektor, dalam arah sumbu x, arah sumbu y dan arah sumbu z. Distribusi defleksi dalam arah x, y dan z pada ketiga model memberikan bentuk yang mirip kecuali untuk model 1 dimana defleksi pada bagian tengah menara cukup membesar.

Bentuk Model Selempang

0.04.08.0

12.016.020.024.028.032.036.040.044.048.052.056.0

0 0.0005 0.001 0.0015 0.002 0.0025

Defleksi [m]

Ketin

ggia

n [m

]

Gaya vertikal Gaya horizontal

Momen Puntiran

Gambar 2. Kurva defleksi terhadap ketinggian dari model selempang

Bentuk Model Silang

0.04.08.0

12.016.020.024.028.032.036.040.044.048.052.056.0

0 0.0005 0.001 0.0015 0.002 0.0025

Defleksi [m]

Ketin

ggia

n [m

]

Gaya vertikal Gaya horizontal

Momen puntiran

Gambar 3. Kurva defleksi terhadap ketinggian

dari model silang

Bentuk Model Segi Tiga

0.04.08.0

12.016.020.024.028.032.036.040.044.048.052.056.0

0 0.0005 0.001 0.0015 0.002 0.0025

Defleksi [m]

Ketin

ggia

n [m

]

Gaya vertikal Gaya horizontal

Momen Puntiran

Gambar 4. Kurva defleksi terhadap ketinggian

dari model segi tiga

Karena Tabel 2 dan Gambar 2, 3, 4 merupakan penjumlahan vektor maka Tabel 3. diperlihatkan kuantitas dari nilai perpindahan akibat dari beban, gaya vertikal Fy, gaya horizontal Fz dan momen My, untuk model 1, model 2 dan model 3. defleksi arah x dan z untuk model 1 cukup mencolok dibandingkan dengan yang ada pada model 2 dan model 3.

Tabel 3. Defleksi titik puncak dalam arah x,y

dan z

Model Beban Defleksi dalam Arah

x [μm] y [μm] z [μm]

1 Fy 500 N 130.58 -1226.70 -226.20 Fz 50 N 119.84 -1160.00 -1867.90 My 50 Nm 97.94 -1160.50 -169.49

2 Fy 500 N 0.01 -813.94 -0.10 Fz 50 N -0.01 -789.05 -1380.20 My 50 Nm -12.97 -798.41 22.36

3 Fy 500 N 0.00 -1392.80 -0.02 Fz 50 N -0.01 -1325.80 -1616.60 My 50 Nm -14.71 -1337.30 25.47

Gambar 5, 6 dan 7 memperlihatkan tegangan

tekan ultimate yang terjadi pada batang utama untuk masing-masing pembebanan dan model. Tegangan ultimate tekan ini merupakan akumulasi dari tegangan akibat gaya arah sumbu x, y dan z serta momen dalam arah x, y dan z. Ketiga macam gaya dan ketiga macam momen memberikan kecenderungan bentuk dan nilai yang relatif sama.

Page 15: Jurnal Tekno Oktober 2011

13

Tegangan Tekan Batang UtamaFY 500 N

1

8

15

22

29

36

43

50

-18 -15 -12 -9 -6 -3 0

Tegangan [MPa]

Ket

ingg

ian

[m]

model 1model 2model 3

Gambar 5. Kurva tegangan terhadap ketinggian

beban vertikal

Tegangan Tekan Batang Utama FZ 50 N

1

8

15

22

29

36

43

50

-21 -18 -15 -12 -9 -6 -3 0

Tegangan [MPa]

Ket

ingg

ian

[m]

model 1model 2model 3

Gambar 6. Kurva tegangan terhadap ketinggian

beban horizontal

Tegangan Tekan Batang UtamaMZ 50 Nm

1

8

15

22

29

36

43

50

-18 -15 -12 -9 -6 -3 0

Tegangan [MPa]

Ket

ingg

ian

[m]

model 1model 2model 3

Gambar 7. Kurva tegangan terhadap ketinggian

beban horizontal

Nilai yang terjadi pada batang yang menumpu pondasi dapat dilihat pada Tabel 4. Perbedaan terjadi pada digit di belakang koma, keadaan ini memang disengaja untuk mendapatkan pengaruh tegangan yang terjadi pada batang yang sama dari ketiga macam gaya tersebut. Tabel 4. Tegangan tekan yang terjadi pada

tumpuan (kaki menara)

Beban Model 1 Model 2 Model 3 [MPa] [MPa] [MPa]

Fy 500 N -17.05 -5.64 -11.25 Fz 50 N -17.30 -5.92 -11.50 My 50 Nm -16.89 -5.60 -11.11

4. Analisis dan Pembahasan

Baik kekakuan maupun tegangan yang terjadi model silang (model 2) mempunyai nilai yang terbaik. Perbedaan massa terhadap model selempang (model 1) cukup besar yaitu 477.91 kg. lebih besar dan terhadap model segi tiga (3) tidak banyak yaitu 18.32 kg. lebih kecil. Model 2 dan model 3, lihat Tabel 1, sebenarnya mempunyai pola yang sama hanya untuk segmen keduanya berbentuk pola segi tiga yang saling berlawanan sehingga kaki segi tiga untuk model ke 3 menjadi lebih besar dan mengakibatkan massanya sedikit lebih besar. Centroid (pusat berat) model 2 lebih

Page 16: Jurnal Tekno Oktober 2011

14

rendah sebesar 11 mm. Dari segi struktur nilai massa yang lebih ringan lebih baik berhubungan dengan material yang digunakan, begitu juga ketinggian centroid dimana lebih rendah akan membuat struktur lebih stabil.

Kekakuan dari model 2 lebih baik dari model 1 maupun model 3 terlihat dari nilai perpindahan puncak menara pada Tabel 2., lebih lanjut akan terlihat pada Gambar 2, 3 dan 4. Menara dengan penguat selempang, Gambar 4, terjadi lendutan yang besar pada pertengahan menara. Hal ini disebabkan oleh penguatnya yang sejajar mengakibatkan puntiran pada batang utama walaupun diberi beban gaya vertikal dan gaya horizontal. Keadaan ini dipengaruhi oleh distribusi gaya untuk arah horizontal (dalam arah x dan z), Tabel 3., cukup besar sehingga defleksinya juga besar dibandingkan dengan model 2 dan 3. Dapat dikatakan bahwa pembebanan untuk model 1 sudah masuk ke daerah modus getaran ke dua sedang untuk pembebanan untuk model 2 dan 3 masih dalam modus pertama. Untuk bentuk penguat model 2 dan model 3 pada intinya sama hanya saja model 2 lebih kaku karena ada penerusan gaya langsung dari satu kaki ke kaki lainnya sedangkan untuk model 3 tidak langsung, Gambar 1.

Kekakuan akibat beban horizontal memberikan fenomena yang berbeda dengan fenomena akibat beban vertikal dan beban momen, dimana beban horizontal akan memberikan defleksi yang semakin memperbesar pada puncak menara. Dengan kata lain slope perpindahan didaerah puncak cukup sensitif, sehingga dapat dikatakan bahwa menara kritis terhadap beban horizontal dibanding beban vertikal ataupun beban momen, Gambar 5.

Tegangan pada elemen batang dapat dilihat pada Gambar 5, 6 dan 7 untuk masing-masing beban yang diberikan. Bentuk distribusi aliran gaya dari elemen yang di puncak sampai ke tumpuan mirip untuk ke tiga macam beban. Hal ini dapat dimaklumi karena beban luar yang diberikan berasal dari pertengahan bidang puncak menara. Garis tegangan sedikit bergelombang hal ini disebabkan oleh perubahan ukuran batang yang digunakan, makin ke bawah ukuran batang pipa yang dipakai makin besar. Pada perubahan ukuran akan terjadi penurunan/kenaikan tegangan. Hal yang menarik terjadi pada model 2 dimana terjadi perbedaan tegangan yang cukup mencolok diantara batang utama yang satu dengan yang di atas atau di bawahnya, Gambar 5, hal ini disebabkan karena pemindahan aliran gaya antar kaki utama pada ketiga kaki menara. Pada Tabel 4 terlihat perbedaan tegangan yang mencolok untuk model 2 tetapi kalau diambil batang yang berikutnya perbedaan antara model 2 dan model 3 tidak begitu besar berkisar 10%.

Kekakuan maupun kekuatan model 2 lebih baik dari model 1 dan model 3, tetapi ada

perbedaan tegangan yang cukup besar diantara elemen batang utama satu dengan yang diatas atau yang di bawahnya. Untuk selanjutnya perlu dilakukan analisis apakah perbedaan tegangan ini akan berakibat buruk terhadap beban yang berubah atau beban dinamik? 5. Kesimpulan dan Saran

Sebagai kesimpulan dari menara dengan bentangan pondasi segi tiga ini dapat diperoleh kesimpulan yaitu:

- Bentuk penguat model 1 memiliki massa yang lebih kecil sebesar 477,91 kg tetapi kekatannya berkurang sebesar 50%-nya.

- Kekakuan batang utama dari bentuk penguat model silang (2) sedikit lebih baik dari model segi tiga (3) begitu juga dengan massa batang sedikit lebih kecil.

- Tegangan batang utama yang terjadi pada model 2 juga lebih baik dari model 3, hanya saja perubahan besaran tegangan di batang utama cukup besar untuk elemen satu dengan elemen disampingnya.

Sebagai saran diperlukan analisis terhadap

fenomena tegangan yang zigzag yang terjadi pada batang utama model 2. Apakah berpengaruh besar terhadap perubahan pembebanan atau beban dinamik.

6. Kepustakaan [1] ------, (1997) “Commands Reference Release

5.4” 9th edition, SAS IP, Inc. [2] ------,(1997) “Ansys Basic Analysis Procedure

Guide 000856 Release 5.4” 2nd edition, SAS IP, Inc.

[3] Cook, R.D, (1981) “Concepts and Application of Finete Element Analysis”2nd edition, John Willey &Sons, New York.

[4] Kohnke, P.,(1997) “Ansys Theory Reference. 000855 Release 5.4” 8th edition, SAS IP, Inc.

[5] Niemann, G.,(1978), Machine Elements: Design and Calculation in Mechanical Engineering Volume II”, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg New York.

7. Riwayat Penulis Ir. H. Nefli Yusuf, M.Eng. adalah dosen Kopertis Wilayah IV yang diperbantukan (dpk.) pada STT Mandala. Jl. Soekarno-Hatta No. 597 Bandung. Lulusan program S1 Teknik Mesin ITB Bandung pada tahun 1987, Master Engineer of Mechanial System Engineering in Muroran Institute of Technology, Japan pada tahun 1995. Sebelum menjadi dosen dpk., beliau bekerja di Puslitbang Telimek (Tenaga Listrik dan Mekatronik) LIPI dan PT. LEN Industri Bandung dari tahun 1988 sampai

Page 17: Jurnal Tekno Oktober 2011

15

tahun 2001. Menjadi dosen dpk. semenjak 2001 sampai sekarang walaupun sebelumnya sudah menjadi dosen honorer. Mengajar di beberapa PTS dilingkungan Kopertis Wilayah IV dan Jurusan Teknik Mesin UPI (Universitas Pendidikan Indonesia). Beliau juga konsultan dalam bidang konstruksi perancangan, mekanikal-elektrikal bangunan, mekatronik dan sistem-sistem mekanik pada rancangan produk untuk meningkatkan unjuk kerja (performance), efektifitas, efisiensi, keandalan dan faktor keamanan.

Page 18: Jurnal Tekno Oktober 2011

16

Jurnal Tekno Insentif Kopwil4, Volume 5 No.2, Oktober 2011

ISSN: 1907-4964, halaman 16 s.d. 27

ALGORITMA SEQUENTIAL INSERTION UNTUK MENGATASI MASALAH RUTE

KENDARAAN DENGAN BACKHAUL, RUTE MAJEMUK DAN TIME WINDOW

Oleh: Johan Oscar Ong

Teknik Industri, Institut Teknologi Harapan Bangsa

Abstrak - Efisiensi dan efektifitas dalam suatu sistem rantai suplai merupakan kunci utama perusahaan dalam meningkatkan daya saing. Dalam struktur biaya suatu sistem rantai suplai, biaya transportasi mendominasi keseluruhan biaya yang dikeluarkan. Perencanaan yang baik akan memberikan penghematan yang signifikan terhadap total biaya yang dikeluarkan perusahaan. Makalah ini menyajikan solusi dengan penyisipan sekuensial dari masalah penentuan rute kendaraan yang mempertimbangkan adanya backhaul, rute majemuk, dan jendela waktu (VRP with backhauls, multiple trips, and time window, VRPB-MTTW). Solusi yang dihasilkan dalam model ini menggunakan empat kriteria awal dalam pemilihan pelanggan awal, yaitu earliest deadline, earliest ready time, shortest time window, dan longest travel time. Solusi akhir model VRP ini digunakan multi kriteria, yaitu jumlah kendaraan yang dibutuhkan, waktu durasi total, dan range of duration time dengan melakukan pemeriksaan terhadap kendala kapasitas kendaraan dan jendela waktu. Hasil pengujian dengan 9 data hipotetik menunjukkan kriteria awal earliest deadline menghasilkan solusi yang lebih baik dari kriteria pelanggan awal lainnya dengan melihat nilai rata-rata jumlah kendaraan paling kecil dibandingkan dengan ketiga kriteria lainnya. Kata kunci: masalah rute kendaraan, penyisipan sekuensial, backhaul, rute majemuk, jendela waktu Abstract - Efficiency and effectiveness in a supply chain system is a key element in improving enterprise competitiveness. In the cost structure of a supply chain system, transportation costs dominate the overall cost. Good planning will deliver significant savings to the total cost incurred by the company. This paper presents a solution to the sequential insertion of vehicle routing problem that considers the backhaul, multiple trips, and time window (VRP with backhauls, multiple trips, and time window, VRPB-MTTW). Solutions produced in this model uses four criteria in the selection of early customers, ie earliest deadline, earliest ready time, shortest time window, and longest travel time. Final solution is to use multi-VRP model criteria, ie the number of vehicles required, total duration of time, and the range of duration time to conduct an examination of the vehicle capacity constraints and time window. Test results with the 9 hypothetical data showing the initial criteria earliest deadline produce better solutions than other early customer criteria that have the smallest value of average number of vehicle. Keywords: vehicle routing problem, sequential insertion, backhaul, multiple trips, time window. 1. Pendahuluan

Dalam struktur biaya suatu sistem logistik, komponen biaya transportasi mendominasi keseluruhan biaya yang dikeluarkan. Dalam sebuah laporan yang disiapkan oleh National Council of Physical Distribution Management (NCPDM), Kearney (1984) mengestimasi biaya distribusi di US sebesar $650 milyar dalam setahun [1].

Efisiensi pada biaya transportasi akan memberikan kontribusi pada penurunan ongkos total yang pada akhirnya akan memberikan peningkatan daya saing perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan suatu solusi untuk menekan biaya transportasi dengan menggunakan kapasitas kendaraan. Setelah kendaraan melakukan pengantaran maka kapasitas kendaraan dapat digunakan untuk melakukan pengambilan barang. Salah satu permasalahan perencanaan transportasi

adalah penentuan rute dan jadwal kendaraan yang secara umum dikenal dengan istilah masalah penentuan rute kendaraan (vehicle routing problem).

Vehicle Routing Problem atau VRP berkaitan dengan penentuan rute optimal untuk permasalahan lebih dari satu kendaraan dengan kapasitas tertentu untuk mengunjungi sejumlah pelanggan dengan permintaannya masing-masing [3].

Berbagai varian model VRP telah dikembangkan untuk mengakomodasi berbagai situasi nyata yang terjadi. Suprayogi menjelaskan berbagai varian dari VRP diantaranya model VRP yang mengakomodasi time windows di setiap pelanggan dikenal dengan istilah vehicle routing problem with time windows (VRPTW), model VRP yang mengakomodasi rute majemuk untuk setiap kendaraan dikenal dengan istilah vehicle routing problem with multiple trips (VRPMT), model VRP

Page 19: Jurnal Tekno Oktober 2011

17

yang mengakomodasi permintaan pengantaran dan pengambilan barang setiap pelanggan dikenal dengan istilah vehicle routing problem with pickup delivery (VRPPD) [4]. Varian yang khusus membahas pemisahan antara pelayanan pengantaran dan pengambilan dikenal dengan istilah vehicle routing problem with backhauls (VRPB).

Menurut Oscar Ong dan Suprayogi, model VRPB ini harus disesuaikan dengan kondisi nyata dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti rute majemuk dan jendela waktu atau dikenal dengan istilah vehicle routing problem with backhaul, multiple trips and time windows (VRPB-MTTW) [3]. Contoh nyata model ini adalah penentuan rute kendaraan yang dihadapi oleh distributor bahan kimia. Distributor mendistribusikan produk ke sejumlah agen-agen dan pedagang eceran yang tersebar dalam suatu wilayah serta melakukan pengambilan bahan kimia di sejumlah supplier. Pemisahan antara pengantaran dan pengambilan ini disebabkan adanya bahan kimia berbahaya yang tidak dapat disatukan dalam setiap kendaraan. Sejumlah kendaraan ditugaskan untuk melakukan pengantaran produk dan setelah pelanggan antar dilayani, maka kendaraan ditugaskan untuk melakukan pengambilan produk. Pelayanan yang dilakukan ini dalam selang waktu dan dalam suatu horison perencanaan tertentu, serta kendaraan diperkenankan bolak-balik ke distributor untuk bongkar-muat produk.

Tujuan dari makalah ini adalah untuk meminimalkan jumlah kendaraan dan durasi total untuk melayani semua pelanggan tanpa melanggar

kapasitas kendaraan dan batas waktu pelayanan (time window) setiap pelanggan [5]. 2. Model

Model yang digunakan adalah model

konseptual untuk menentukan rute kendaraan dalam mendistribusikan produk yang mempertimbangkan prioritas pengambilan setelah pengantaran, rute majemuk, dan jendela waktu (Vehicle Routing Problem with backhauls, multi trips, dan time windows, VRPB-MTTW), yang diadopsi dari Oscar Ong dan Suprayogi [3].

Tujuan dari model VRPB-MTTW ini yaitu meminimisasi jumlah tur, meminimisasi waktu durasi tur total, meminimisasi range of duration time. Ketiga tujuan tersebut dipenuhi secara lexicographic atau alphabetic order, dimana secara berurutan tujuan pertama memiliki prioritas yang lebih tinggi dibandingkan fungsi tujuan kedua dan ketiga. Secara lengkap, deskripsi model operasional dapat dilihat pada lampiran.

Variabel keputusan dalam model ini adalah jumlah tur, urutan pelanggan yang dilayani pada rute dan tur, saat kedatangan, saat dimulai pelayanan, saat akhir pelayanan dan saat keberangkatan pada tiap pelanggan. Parameter model terdiri dari jumlah pelanggan antar, jumlah pelanggan ambil, jumlah permintaan antar, jumlah permintaan ambil, jarak antar pelanggan dengan depot, kecepatan kendaraan, kapasitas kendaraan, jendela waktu pelanggan, dan horison perencanaan. Gambar 1 menunjukkan arsitektur sistem secara keseluruhan.

Gambar 1. Arsitektur Sistem

Page 20: Jurnal Tekno Oktober 2011

18

Beberapa pembatas-pembatas yang terdapat dalam masalah penentuan rute kendaraan ini adalah sebagai berikut [3]: a) Tiap rute dimulai dan diakhiri pada depot, b) Kendaraan dibatasi horison perencanaan yang

menandai dimulai dan diakhiri aktivitasnya, c) Permintaan pelanggan dipisahkan antara antar

dan ambil serta bersifat deterministik dan diketahui,

d) Aktivitas pengantaran barang dilayani terlebih dahulu sebelum dilakukan pengambilan ,

e) Tiap pelanggan hanya dapat dikunjungi satu kali oleh satu kendaraan,

f) Muatan kendaraan pada saat pengantaran dan pengambilan tidak melebihi kapasitas kendaraan,

g) Saat pelayanan hanya dapat dimulai pada saat paling awal dan sebelum atau sama dengan saat paling akhir,

h) Range of Duration Time (RDT) dalam penelitian ini adalah selisih waktu durasi terpanjang dan waktu durasi durasi terpendek.

Adapun asumsi-asumsi yang digunakan

dalam model ini diantaranya:

a) Jenis kendaraan bersifat homogen dengan kapasitas tertentu,

b) Jumlah kendaraan tidak dibatasi, c) Kecepatan dalam perhitungan merupakan

kecepatan rata-rata kendaraan, d) Jarak antar pelanggan simetris.

3. Hasil dan Pembahasan

Adapun algoritma sequential insertion (SI) yang dimodifikasi dari Imawati [2] untuk permasalahan VRPB-MTTW adalah sebagai berikut: Langkah 1

Input data jumlah pelanggan beserta permintaannya, interval waktu pelayanan, horison perencanaan, kapasitas kendaraan, kecepatan kendaraan, dan jarak antar pelanggan. Buat daftar pelanggan antar (i) dan daftar pelanggan ambil (i+n). Iterasi dimulai dari tur pertama (t=1) dan rute pertama (r=1) dimulai dari depot.

Gambar 2. Model Konseptual

Langkah 2

Selama masih ada pelanggan antar i yang belum dilayani, maka lanjutkan langkah ini. Bila semua pelanggan antar i sudah dilayani maka lanjutkan langkah 9. Untuk pertama kali, t=1 dan r=1, pilih pelanggan antar yang belum dijadwalkan sebagai pelanggan awal (seed customer) berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria pemilihan dalam penelitian ini yaitu earliest deadline, earliest ready time, shortest time window, longest travel time. Kemudian dilanjutkan pada langkah 4. Jika r ≠ 1 maka iterasi dilanjutkan ke langkah 3.

Langkah 3 Untuk setiap pelanggan antar i yang belum

dijadwalkan, pilih waktu durasi minimum sebagai pelanggan awal untuk rute baru. Kemudian susun kemungkinan pelanggan antar i yang bisa disisipkan. Periksa jumlah permintaan antar rute saat ini. Jika pelanggan antar i memenuhi kapasitas kendaraan (Q), maka lanjutkan ke langkah 4. Sebaliknya lanjutkan langkah 7. Langkah 4

Periksa kelayakan time window pelanggan antar i. Jika layak, maka pelanggan i disisipkan dan

Page 21: Jurnal Tekno Oktober 2011

19

hitung muatan saat keluar dari pelanggan i (Mij). Kemudian lanjutkan ke langkah 5. Jika time window pelanggan i tidak layak maka kembali ke langkah 2, buat tur baru ( t+1) dan rute (r=1). Langkah 5

Lakukan pembaharuan informasi mengenai rute dan tur yang terbentuk. Periksa apakah masih ada pelanggan antar i yang belum dilayani. Jika masih ada pelanggan antar i yang belum dijadwalkan maka kembali ke langkah 2. Jika semua pelanggan antar i telah dijadwalkan, maka lanjutkan langkah 6. Langkah 6

Hitung waktu durasi tur dan rute yang telah terbentuk. Pilih waktu durasi tur minimum untuk menjadwalkan rute pelanggan ambil i+n. Perbaharui kembali informasi waktu tur minimum yang dipilih. Kemudian lanjutkan pada langkah 7. Langkah 7

Periksa apakah ada pelanggan ambil i+n yang belum dijadwalkan. Jika semua pelanggan ambil telah dijadwalkan, maka lanjutkan ke langkah 9. Jika masih ada pelanggan ambil yang belum dijadwalkan, maka buat kemungkinan penyisipan pelanggan ambil ke dalam rute. Periksa jumlah permintaan ambil rute saat ini. Jika pelanggan ambil i+n memenuhi kapasitas kendaraan (P), maka lanjutkan ke langkah 8. Jika permintaan pelanggan ambil i+n melampaui kapasitas kendaraan, maka buat rute baru , r=r+1 dan ulangi kembali langkah 7. Langkah 8

Periksa kelayakan time window pelanggan ambil. Bila memenuhi, pelanggan ambil i+n disisipkan dan kemudian hitung muatan saat kendaraan keluar dari pelanggan ambil i+n. Kemudian ulangi langkah 7. Langkah 9

Hitung waktu durasi rute yang terbentuk. Pilih waktu durasi rute yang minimum. Jika semua pelanggan antar dan ambil telah dijadwalkan dan hentikan prosedur ini.

Adapun kesembilan langkah di atas dapat dilihat dalam flowchart pada Gambar 3 dan 4. Sistem akan mencari pelanggan antar terlebih dahulu sesuai dengan kriteria yang dipilih sebelumnya. Selanjutnya, menyisipkan pelanggan tersebut ke dalam rute awal (depot-depot). Setelah dilakukan pengecekan dan pelanggan antar tidak dapat memenuhi kelayakan time window maupun kapasitas kendaraan. Jika rute sementara memenuhi kelayakan, maka perbaharui informasi rute. Jika sebaliknya, maka sistem akan mencari apakah masih ada pelanggan antar yang belum dilayani. Jika ada, sistem akan memilih pelanggan antar kembali. Jika tidak ada, sistem mencari rute dengan durasi paling minimum dan mencari pelanggan ambil serta menyisipkan pelanggan ambil ke dalam rute yang telah terbentuk.

Kemudian sistem akan melakukan proses yang sama dengan pelanggan antar seperti mengecek kelayakan time window, kapasitas kendaraan, dan masih ada pelanggan ambil yang belum dilayani. Lalu, dilakukan pengecekan apakah time window yang dimiliki rute masih memenuhi horison perencanaan. Jika masih, maka dapat dibentuk rute baru (multiple trips). Jika tidak maka akan dilakukan pengecekan masih adakah pelanggan yang belum dilayani. Jika masih ada, maka akan dibuat rute untuk kendaraan atau tur baru. Jika semua pelanggan telah dilayani, maka sistem akan berhenti.

Dalam menentukan pelanggan yang akan dikunjungi digunakan forward pass. Sedangkan backward pass digunakan untuk menghitung waktu durasi tur setelah forward pass. Kegunaan backward pass ini adalah untuk mengoptimalkan efisiensi waktu setiap kendaraan, dimana waku tunggu kendaraan diminimumkan sehingga kendaraan datang pada konsumen tepat saat pelayanan dapat dimulai. Contoh penggunaan forward pass dan backward pass dapat dilihat pada Gambar 2.

Pengujian dilakukan dengan menggunakan data hipotetik yang dikelompokkan menurut jumlah pelanggan ambil (backhaul) serta time window dimana permintaan dan jarak antar pelanggan dengan depot bersifat random, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Page 22: Jurnal Tekno Oktober 2011

20

Gambar 3. FlowChart Sequential Insertion

Page 23: Jurnal Tekno Oktober 2011

21

Gambar 4. FlowChart Sequential Insertion (lanjutan)

Page 24: Jurnal Tekno Oktober 2011

22

O OA C H

10 20 30 40 50 602515

Depot (O)

A

H

C

38

Depot (O)

49 54 7063

Waktu tunggu

Waktu durasi tur

Gambar 2. Contoh Forward Pass dan Backward Pass

Contoh kasus yang digunakan dalam makalah ini terdiri dari 100 pelanggan dan sebuah depot. Pelanggan dibagi ke dalam dua bagian, antar dan ambil. Pengujian dilakukan kepada 9 data hipotetik yang terdiri dari 10% pelanggan backhaul dengan durasi time window sempit, lebar, campuran, 30% pelanggan backhaul dengan 3 durasi time window yang berbeda, dan 50% pelanggan backhaul dengan ketiga kemungkinan durasi time window pula.

Tabel 1. Pengelompokkan data hipotetik

Sempit Lebar Campuran

10% Backhaul Sempit10 Lebar10 Campuran10

30% Backhaul Sempit30 Lebar30 Campuran30

50% Backhaul Sempit50 Lebar50 Campuran50

Jumlah PelangganTime Window

Terdapat empat kriteria yang digunakan untuk menentukan pelanggan awal antara lain:

1. Earliest Deadline merupakan pemilihan pelanggan berdasarkan batas akhir time window terkecil;

2. Earliest Ready Time merupakan pemilihan pelanggan dengan batas awal time window terkecil;

3. Shortest Time Window merupakan pemilihan pelanggan dengan lebar time window terkecil;

4. Longest Travel Time merupakan pemiilhan pelanggan berdasarkan waktu perjalanan terlama dari depot.

Keseluruhan solusi awal yang dihasilkan dengan algoritma sequential insertion dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tiga jenis time window yang dilakukan pengujian terdapat beberapa hasil diantaranya:

a. Untuk time window sempit kriteria kedua (Earliest ready Time) dinilai paling baik dikarenakan jumlah kendaraan (NV) 38;

b. Sedangkan untuk pengujian time window lebar kriteria pertama (Earliest Deadline) yang memiliki nilai paling baik dengan nilai jumlah kendaraan 25;

c. Untuk time window campur, Earliest Deadline m mempunyai nilai jumlah kendaraan 41;

d. Untuk time window rata-rata, aturan yang pertama (earliest deadline) memberikan rata-rata nilai fungsi tujuan yang terkecil untuk permasalahan VRPB-MTTW. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata jumlah kendaraan (tur) yang terkecil, dimana jumlah kendaraan (NV) rata-rata sebesar 10.67, Waktu durasi total (TDT) rata-rata sebesar 2103.12, dan range of duration rata-rata sebesar 446.20;

Oleh sebab itu kriteria Earliest Deadline menjadi kriteria pemilihan pelanggan awal paling baik.

Page 25: Jurnal Tekno Oktober 2011

23

Tabel 2. Perbandingan hasil solusi dengan algoritma Sequential Insertion Aturan Sempit10 Sempit30 Sempit50 lebar10 lebar30 lebar50 campur10 campur30 campur50 Rata-rata S. deviasi

NV 19 12 9 12 9 4 12 12 7 10.67 4.18TDT 2825.33 3010.45 2381.03 1562.08 1531.85 1519.8 2364.98 1920.74 1811.78 2103.12 566.58RDT 416.01 478.04 490.36 449.79 435.27 400.26 467.91 453.59 424.59 446.20 29.81

NV 18 10 10 18 10 4 18 11 6 11.67 5.24TDT 2547.11 2724.27 2363.78 1516.17 1535.12 1522.86 1835.78 1878.3 1824.21 1971.96 460.94RDT 416.01 459.28 478.7 433.17 427.75 399.07 262.85 468.83 474.47 424.46 66.66

NV 20 14 12 18 9 4 17 16 12 13.56 4.95TDT 2866.34 2652.79 2609.78 1542.77 1554.53 1512.42 1892.15 1780.19 1812.1 2024.79 534.26RDT 374.23 431.94 426.21 413.38 441.37 349.65 433.49 423.82 418.4 412.50 30.45

NV 21 13 11 19 8 4 18 14 9 13.00 5.61TDT 2873.27 2436.12 2721.78 1542.92 1567.13 1508.77 2446.74 2203.08 1805.71 2122.84 530.82RDT 278.36 348.02 370.32 430.19 434.04 354.84 375.03 391.91 437.07 379.98 51.17

2

3

4

1

4. Kesimpulan

Penelitian ini mengembangkan algoritma penyisipan sekuensial yang disesuaikan pada model VRPB-MTTW dengan kriteria pemilihan pelanggan awal yang berbeda-beda. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan metode ini dan kriteria earliest deadline sebagai penetu pelanggan awal memiliki rata-rata jumlah kendaraan terkecil. Hal ini menyebabkan biaya transportasi yang dikeluarkan dapat ditekan. Penelitian selanjutnya dapat digunakan algoritma lain sebagai pembanding. 5. Daftar Pustaka [1] GOETSCHALCKX, Mark and Charlotte

JACOBS-BLECHA, “The vehicle routing problem with backhauls”, Material Handling Research Center, School of Industrial and System Engineering, Georgia Institute of Technology, Atlanta, USA.

[2] Imawati, D. " Pemecahan Vehicle Routing Problem with Multiple Trips and Time Window dengan Menggunakan Pendekatan Local Search dan Simulated Annealing", Tugas Akhir, Departemen Teknik dan Manajemen Industri Institut Teknologi, Bandung, 2004.

[3] Oscar ong, Johan dan Suprayogi, “Vehicle Routing Problem with Backhaul, Multiple Trips,

and Time Windows”, Proceeding of 4th International Seminar on Industrial Engineering and Management, vol.4 pp.143-151, 2010.

[4] Suprayogi, Vehicle routing problem: definition, variants, and application, Proceeding Seminar Nasional Perencanaan Sistem Industri 2003 (SPNS 2003), Bandung, 2003.

[5] Thangiah, Sam R. dan Tong Sun, “Heuristic Approaches to Vehicle Routing with Backhauls and Time Windows”, Artificial Intelligence and Robotics Laboratory, Computer Science Department Slippery Rock University, Slippery Rock, USA.

Riwayat Singkat Penulis Johan Oscar Ong dilahirkan di Jambi, pada tanggal 21 Januari 1982. Ia bergabung dengan departemen Teknik Industri Institut Teknologi Harapan Bangsa Bandung sejak 2010. Ia memperoleh gelar master dari Institut Teknologi Bandung, jurusan Teknik dan Manajemen Industri pada bidang supply chain system. Minat penelitiannya pada sistem rantai pasok, pengembangan produk dan perencanaan pengendalian produk. Alamat kantor Jalan Dipatiukur 80-84, telepon 022 2506636/2507901, email: [email protected]; [email protected]

Page 26: Jurnal Tekno Oktober 2011

24

LAMPIRAN Notasi Indeks: t = tur (t = 1,2,...) r = rute (r = 1,2,...) k = posisi (k = 1,2,...) i = titik (i = 0 adalah depot, i=1, 2,...,n adalah pelanggan antar, i= n+1, n+2, ...,n+m adalah pelanggan ambil) Variabel-variabel keputusan: NT = jumlah tur NR(t) = jumlah rute dalam tur t NL(t,r) = jumlah posisi dalam rute r dari tur t NLa(t,r) = jumlah posisi pelanggan antar dalam rute r dari tur t NLb(t,r) = jumlah posisi pelanggan ambil dalam rute r dari tur t L(t, r, k) = lokasi pada posisi k dalam rute r dari tur t α (t, r, k) = saat kedatangan kendaraan pada titik di posisi k dalam rute r dari tur t αe (t, r, k) = saat kedatangan paling awal kendaraan pada titik di posisi k dalam rute r dari tur t αl (t, r, k ) = saat kedatangan paling akhir kendaraan pada titik di posisi k dalam rute r dari tur t δ (t, r, k) = saat keberangkatan kendaraan pada titik di posisi k dalam rute r dari tur t δe (t, r, k) = saat keberangkatan paling awal kendaraan pada titik di posisi k dalam rute r dari tur t δl (t, r, k) = saat keberangkatan paling akhir kendaraan pada titik di posisi k dalam rute r dari tur t σ (t, r, k) = saat mulai pelayanan kendaraan pada titik di posisi k dalam rute r dari tur t σe (t, r, k) = saat mulai pelayanan paling awal kendaraan pada titik di posisi k dalam rute r dari tur t σl (t, r, k) = saat mulai pelayanan paling akhir kendaraan pada titik di posisi k dalam rute r dari tur t w (t, r, k) = waktu menunggu kendaraan pada posisi k dalam rute r dari tur t TD(t,r) = Total muatan yang diantar dalam rute r dari tur t TP(t,r) = Total muatan yang diambil dalam rute r dari tur t TL(t, r, k) = Total muatan kendaraan pada posisi k dalam rute r dari tur t s(t, r, k) = waktu bongkar-muat dari kendaraan pada posisi k dalam rute r dari tur t Parameter: t(i,j) = waktu perjalanan antara titik i dan j e(i) = saat siap dari jendela waktu (time window) waktu pada titik i l(i) = saat akhir dari jendela waktu (time window) waktu pada titik i d(i) = permintaan pengantaran pada titik i (dengan d(0) = 0) p(i) = permintaan pengambilan pada titik i (dengan d(0) = 0) Q = kapasitas kendaraan γ = waktu pelayanan n = jumlah pelanggan antar m = jumlah pelanggan ambil Ukuran performansi: NV = jumlah kendaraan TDT = waktu durasi total RDT = selisih antara waktu durasi total maksimum dengan minimum Tiap lokasi L(t, r, k) untuk t, r, dan k tertentu merujuk pada suatu titik i, yaitu : L(t, r, k)= i (1) Untuk menjamin bahwa tiap titik hanya dikunjungi satu kali, maka tiap i hanya dapat muncul satu kali pada t, r dan k tertentu, kecuali untuk i = 0 karena tiap rute diawali dan diakhiri oleh depot. Sehingga, L(t, r, 0)= 0 t = 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) (2) L[t, r, NL(t,r)]= i = 0 t = 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) (3) Total muatan pada saat pengantaran dan pengambilan untuk tiap rute masing-masing adalah jumlah pengantaran dan pengambilan pada rute tersebut, yaitu:

Page 27: Jurnal Tekno Oktober 2011

25

TD(t,r) = t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) (4)

TP(t,r) = t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) (5) Total muatan yang terdapat dalam kendaraan pada saat pengantaran dan saat pengambilan di setiap lokasi dinyatakan dengan hubungan rekursif : TL(t, r, k) = TL(t, r, k-1) - d(L(t, r, k)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1,2,..., NLa(t,r) (6) TL(t, r, k) = TL(t, r, k) + p(L(t, r, k)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = NLa(t,r) +1, NLa(t,r) +2,..., NLb(t,r) (7) dan

TL(t, r, k) = TD(t,r) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1 (8)

TL(t, r, k) = 0 t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = NLa(t,r) +1 (9)

Kelayakan kapasitas kendaraan dijamin dengan hubungan-hubungan sebagai berikut: TD(t,r )≤ Q t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) (10) TP(t,r ) ≤ Q t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) (11) TL(t, r, k) ≤ Q t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1,2,..., NL(t,r)-1 (12) Saat kedatangan, mulai pelayanan dan keberangkatan paling awal pada suatu lokasi ditentukan dengan perhitungan maju sebagai berikut: αe (t, r, k) = δe (t, r, k) + t [L(t, r, k-1), L(t, r, k)] t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1,2,..., NL(t,r) (13) σe (t, r, k) = max { αe (t, r, k), e(L(t, r, k)) } t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1,2,..., NL(t,r) (14) δe (t, r, k) = σe (t, r, k) + s(L(t, r, k)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1,2,..., NL(t,r) (15) dengan αe (t, r, k) = 0 t= 1,2, ...,NT ; r = 1; k = 0 (16) αe (t, r, k) = δe (t, r-1, NL(t,r)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 0 (17) Kelayakan jendela waktu dinyatakan dengan saat akhir pelayanan atau saat keberangkatan kendaraan yang paling awal pada setiap lokasi tidak boleh melewati saat akhir dari jendela waktu dari titik pada lokasi tersebut, yaitu: δe (t, r, k) ≤ l (L(t, r, k)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 0, 1,..., NL(t,r) (18) Waktu pelayanan pada tiap titik pelanggan antar merupakan total permintaan antar di titik tersebut, yaitu:

Page 28: Jurnal Tekno Oktober 2011

26

s(L(t, r, k)) = d(L(t, r, k)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1,2,..., NLa(t,r) (19) Waktu pelayanan pada tiap titik pelanggan ambil merupakan total permintaan ambil di titik tersebut, yaitu: s(L(t, r, k)) = p(L(t, r, k)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1,2,..., NLa(t,r) (20) Khusus untuk titik depo, waktu muat kendaraaan berangkat dari depo pertama kalinya dan waktu pelayanan saat kendaraan kembali ke depo dinyatakan: s(L(t, r, k)) = TD(t,r) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 0 (21) s(L(t, r, k)) = TP(t,r) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = NL(t,r) (22) Saat kedatangan, mulai pelayanan dan keberangkatan paling akhir pada suatu lokasi ditentukan dengan perhitungan mundur dengan pertama-tama menetapkan: δl (t, r, NL(t,r)) = δe (t, r, NL(t,r)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) (23) Selanjutnya, saat kedatangan, mulai pelayanan dan keberangkatan paling akhir pada suatu lokasi ditentukan secara rekursif dengan ketentuan bahwa: δl (t, r, NL(t,r)) = αl (t, r+1, 0) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t)-1 (24) Dalam perhitungan rekursif mundur, untuk menjamin kelayakan jendela waktu pada tiap lokasi, jika δl (t, r, k) > l (L(t, r, k)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = NL(t,r)-1,...,0 (25) maka δl (t, r, k) = l (L(t, r, k)) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = NL(t,r)-1,...,0 (26) Saat kedatangan, mulai pelayanan dan keberangkatan pada suatu lokasi ditentukan sebagai saat paling akhir dari masing-masing yang dinyatakan dengan: α (t, r, k )= αl (t, r, k ) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 0, 1,..., NL(t,r) (27) σ (t, r, k) = σl (t, r, k) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 0, 1,..., NL(t,r) (28) δ (t, r, k) = δl (t, r, k) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 0, 1,..., NL(t,r) (29) Waktu menunggu kendaraan pada tiap lokasi adalah:

t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1,2..., NL(t,r) (30) Waktu durasi tur merupakan selisih waktu saat kendaraan mengakhiri pelayanan bongkar di depo untuk terakhir kalinya dengan saat pemuatan dari depo untuk pertama kali, yaitu: DT(t) = δ [t, NR(t), NL(t,r)] - α (t, 1, 0 ) t= 1,2, ...,NT ; r = 1,2,..., NR(t) ; k = 1,2..., NL(t,r) (31) Total waktu durasi merupakan penjumlahan dari waktu durasi seluruh tur yang dinyatakan dengan:

(32)

Page 29: Jurnal Tekno Oktober 2011

27

Range of Duration Time (RDT) merupakan selisih waktu durasi maksimum dan minimum yang dinyatakan dengan:

(33) Tiap kendaraan melayani satu tur. Oleh karena itu, jumlah kendaraan yang dibutuhkan sama dengan jumlah tur yang terbentuk, yaitu: (34) Masalah penentuan rute kendaraan yang terkait dengan penentuan urutan kunjungan L(t, r, k) dan jadwal α (t, r, k ), σ (t, r, k) dan δ (t, r, k) untuk setiap t, r, dan k sehingga meminimumkan NV, TDT, dan RDT. Dalam hal ini, meminimumkan NV mempunyai prioritas lebih tinggi dari TDT dan juga meminimumkan TDT mempunyai prioritas lebih tinggi dari RDT.

Page 30: Jurnal Tekno Oktober 2011

28

Jurnal Tekno Insentif  Kopwil4, Volume 5 No.2, Oktober  2011

ISSN: 1907‐4964, halaman  28  s.d.  36

PENGARUH PENGGUNAAN CANGKANG KELAPA SAWIT TERHADAP MUTU

BETON RINGAN

Oleh: Ike Pontiawaty

Teknik Sipil, Universitas Pakuan – Bogor

Abstrak - Penelitian merupakan studi eksperimental kuat tekan dan kuat tarik belah spesimen silinder beton menggunakan agregat cangkang kelapa sawit, yaitu limbah industri minyak sawit. Cangkang kelapa sawit mempunyai keunggulan, yaitu tebal 2-8 mm dan lebar 10-20 mm, bersifat keras dan liat karena banyak kandungan silika dioksida (SiO2) dan mempunyai berat volume + 600 kg/m3, sehingga dapat digunakan sebagai pengganti kerikil yang menghasilkan beton berbobot ringan yang signifikan. Studi dilakukan dengan mempertahankan nilai slump antara 50 – 75 mm, kandungan HRWR bervariasi, antara 1.0% dan 1.2%. Pada setiap variasi HRWR, kandungan abu terbang bervariasi dari 0%, 15%, 20%, dan 25% terhadap berat semen Portland untuk mendapatkan kadar optimum abu terbang dari setiap persentasi HRWR yang menghasilkan kuat tekan maksimum pada umur 28 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat volume beton 1700-1800 kg/m3, sehingga tergolong sebagai beton ringan. Pada semua kadar HRWR, peningkatan kadar abu terbang akan meningkatkan kuat tekan sampai kadar abu terbang 10%, kemudian kekuatan akan menurun. Pemakaian HRWR 1,0% meningkatkan kuat tekan, dan kadar 1,2% kuat tekan menurun tetapi masih lebih baik dari kadar HRWR 0%. Kata kunci: agregat kasar ringan, cangkang kelapa sawit, High Range Water Reducer Abstracts – This research is an experimental study of compressive strength and split tensile strength of concrete cylinder specimens using oil palm shell aggregate, ie, palm oil industry waste. Palm shells have the advantage, that is 2-8 mm thick and 10-20 mm wide, with the characteristics of hard and viscous due to its content of silica dioxide (SiO2) and has a volume of 600 kg/m3, in which it can be used instead of gravel that produce a significant light weight concrete. Studies carried out by maintaining the slump values between 50-75 mm, HRWR content varies which are 1.0%, and 1.2%. In each variation of HRWR, fly ash content varied from 0%, 15%, 20%, and 25% by weight of Portland cement to obtain optimum levels of fly ash from each percentage of HRWR that generates the maximum compressive strength at 28th day. The result of the research shows the concrete volume of 1700 – 1800 kg/m3, thus classified as lightweight concrete. At all levels of HRWR, the elevated levels of fly ash will increase the compressive of its strength content up to 10%, in which the power will diminish afterwards. The use of 1.0% HRWR increase compressive strength and 1.2% compressive strength levels decreased but still better that 0% HRWR levels. Key words : lightweight coarse aggregate, oil palm shell, High Range Water Reducer 1. Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan beton sebagai bahan konstruksi dengan tingkat penggunaan yang cukup tinggi dibandingkan dengan bahan konstruksi lainnya. Beton merupakan salah satu bahan konstruksi yang banyak digunakan untuk pembangunan, karena mempunyai sifat-sifat fisik dan karakter tertentu yang bervariasi sesuai dengan perubahan proporsi komponen material penyusunnya. Secara umum, beton merupakan penggabungan dari material-material semen portland, air, agregat kasar dan agregat halus yang membentuk massa padat.

Beton mempunyai kekurangan yang harus diperhatikan, yaitu berat mati yang besar. Untuk mengatasi hal tersebut, bobot beton perlu direduksi dengan menggunakan agregat ringan. Sifat beton sangat dipengaruhi oleh komposisi dan kualitas material penyusunnya. Agregat sebagai bahan pengisi, menempati 70% dari volume beton, yang terdiri dari 30% agregat halus dan 40% agregat kasar. Agregat kasar yang umum digunakan adalah agregat kasar alam, yaitu batu pecah (split) atau kerikil. Eksplorasi batu sebagai bahan bangunan akan sangat merusak alam. Selain itu di beberapa daerah seringkali kerikil sulit didapat, sehingga harus

Page 31: Jurnal Tekno Oktober 2011

29

mendatangkan dari daerah lain yang membutuhkan biaya besar.

Penggunaan bahan lokal yang tersedia, akan mengurangi harga bangunan. Di beberapa tempat di Indonesia terdapat cangkang kelapa sawit yang dapat menjadi bahan pengganti kerikil

Menurut data Statistik Perkebunan dalam Komoditas (2000), perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan perkebunan terbesar di Indonesia, mencapai 14.164.439 hektar, yang tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Pertumbuhan perkebunan rakyat pada periode 30 tahun terakhir mencapai 45% per tahun, sementara areal perkebunan negara tumbuh 6,8% per tahun, dan perkebunan swasta 12,8% per tahun. Rata-rata produktivitas kelapa sawit mencapai 1,396 ton/hektar/tahun untuk perkebunan rakyat, dan 3,50 ton/hektar/tahun untuk perkebunan besar. Bagian tanaman kelapa sawit yang bernilai ekonomi tinggi adalah buahnya yang tersusun dalam sebuah tandan, disebut TBS (tandan buah segar). Pabrik rata-rata mampu memproses 1.200 ton TBS per hari, yang beroperasi selama 300 hari per tahun. Buah sawit di bagian sabut (mesocarp) menghasilkan minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO) sebanyak 20-24%, dan bagian inti sawit (kernel) menghasilkan minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO) sebanyak 3-4%. Limbah industri minyak sawit terdiri dari 22% TKKS (tandan kosong kelapa sawit), yang dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan bahan pulp kertas, 12,5% serat, yang dimanfaatkan sebagai pengisi jok mobil, dan 5-6% tempurung, yang hanya dimanfaatkan untuk bahan bakar dan campuran perkerasan jalan.

Cangkang kelapa sawit adalah limbah industri minyak sawit yang umumnya kurang dimanfaatkan. Cangkang kelapa sawit memenuhi syarat gradasi agregat kasar, bersifat keras dan liat, sehingga dapat digunakan sebagai pengganti agregat kasar alam, yaitu kerikil yang mempunyai berat volume +1300 kg/m3, menghasilkan beton berbobot ringan yang signifikan. Beton ringan struktural menyebabkan beban mati struktur menjadi lebih ringan. Oleh karena bobot struktur beton lebih ringan, maka struktur kolom maupun pondasi dapat lebih sederhana, sehingga resiko sosial dan ekonomis dapat diminimalkan.

Cangkang kelapa sawit dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengganti atau penambah agregat kasar. Tempurung kelapa sawit mempunyai keunggulan, yaitu tebal 2-8 mm dan lebar 10-20 mm, bersifat keras dan liat karena banyak kandungan silika dioksida (SiO2) dan memiliki berat volume +600 kg/m3, sehingga beton agregat tempurung kelapa sawit yang dihasilkan mempunyai berat volume lebih ringan dari beton agregat alam, yaitu lebih kecil dari 1850 kg/m3, atau disebut beton ringan, sedangkan

beton normal mempunyai berat volume berkisar 2000–2500 kg/m3.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan untuk menggunakan material beton agregat cangkang kelapa sawit yaitu penambangan split sebagai agregat kasar secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau bahkan kerusakan ekologi yang parah. Dari sisi pandang kelestarian lingkungan, penggunaan agregat cangkang kelapa sawit merupakan jalan keluar untuk masalah limbah industri yang semakin menumpuk dan dapat mengganggu lingkungan. Selain itu cangkang kelapa sawit merupakan bio-material yang tidak akan pernah habis. 1.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: 1. Melalui studi eksperimental diperoleh proporsi

campuran (mix design) beton ringan dengan agregat kasar cangkang kelapa sawit;

2. Memperoleh informasi pemanfaatan dan pengembangan bahan lokal, yang merupakan limbah, untuk menjadi bahan bangunan yang bermanfaat; dan

3. Memperkenalkan bahan bangunan baru di Indonesia untuk penggunaan komponen bangunan struktural.

Pengertian Beton

Beton adalah campuran dari beberapa bahan batu-batuan, disebut agregat, yang diikat oleh suatu bahan yang terdiri dari semen dan air sehingga menjadi benda padat. Campuran ini diharapkan dapat menahan beban konstruksi yang diterapkan kepadanya, sehingga dapat digunakan sesuai dengan sifat dan perilaku benda tersebut. Karena itu, beton yang direncanakan untuk dapat menahan beban harus ada perbandingan optimal antara agregat dan bahan ikat sesuai dengan kebutuhan campuran yang dikehendaki.

Sejalan dengan perkembangan teknologi bahan beton, bermacam-macam jenis material dengan sifat fisik yang berbeda terus ditemukan dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat fisik yang ada pada beton. Misalnya, untuk meningkatkan kuat tekan beton atau untuk menambah keawetan digunakan mineral tambahan (admixture), atau penggunaan material ringan untuk mengurangi massa bangunan.

Material Pembentuk Beton a. Agregat

Karena agregat menempati bagian terbesar dari isi total beton, maka sifat-sifat agregat ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku

Page 32: Jurnal Tekno Oktober 2011

30

beton. Agregat yang digunakan yaitu: agregat halus pasir dan agregat kasar tempurung kelapa sawit.

Tempurung kelapa sawit digunakan sebagai salah satu alternatif pengganti atau penambah agregat kasar. Tempurung kelapa sawit adalah bio-material produk limbah industri minyak kelapa sawit. Penggunaan tempurung kelapa sawit akan menguntungkan pelestarian lingkungan. Tempurung kelapa sawit mempunyai keunggulan sebagai agregat kasar, yaitu tebal 2-8 mm dan lebar 10-20 mm, sehingga memenuhi syarat gradasi agregat, serta bersifat keras dan liat karena banyak kandungan silika dioksida (SiO2). Selain itu tempurung kelapa sawit memiliki berat volume yang lebih kecil dari kerikil, sehingga beton yang dihasilkan mempunyai berat volume lebih ringan dari beton agregat alam (kerikil), yaitu lebih kecil dari 1850 kg/m3, atau disebut beton ringan.

b. Semen

Semen merupakan salah satu komponen dalam beton yang fungsinya sebagai bahan pengikat. Semen yang umum dikenal adalah semen portland (Ordinary Portland Cement, OPC), yang dihasilkan dari pembakaran bahan-bahan batu kapur, pasir silika, dan tanah liat hingga suhu 15000C. Produksi semen menghabiskan banyak bahan, terutama batu kapur (80% dari bahan), yang tidak dapat diperbarui. Pembakaran batu kapur (clinker) pada suhu tinggi akan menghasilkan CO2 yang diemisikan ke udara sebagai polutan. Produksi semen juga mengkonsumsi energi yang besar, khususnya untuk pembakaran clinker, menggunakan bahan bakar batubara dan/atau BBM yang tidak dapat diperbarui pula.

Selain itu, penggunaan semen sebagai bahan pengikat mengakibatkan pula dampak yang merugikan terhadap kinerja beton, antara lain:

(i). panas hidrasi, yang berpotensi retak termal, dan (ii). susut beton, yang berpotensi retak susut,

sehingga retak-retak mikro tersebut akan menurunkan keawetan, mengurangi kekedapan, dan menyebabkan beton lebih getas.

Blended cement adalah semen dengan campuran bahan limbah mineral yang berupa pozzolan. Cara pencampuran dengan mengurangi kadar semen dan mengganti dengan bahan limbah mineral yang bersifat cementitious, seperti silica fume, fly ash, blast furnace slag, dan sebagainya. Limbah dari proses produksi metal, seperti mikrosilika (silicafume) atau terak metal yang dihaluskan (ground granulated blast furnace slag, GGBFS), atau limbah pembakaran batubara, yaitu abu terbang (fly ash), dapat digunakan sebagai bahan cementitious (dapat berperilaku seperti semen) untuk campuran beton, dan efektif pula untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja beton.

Portland composite cement (PCC) merupakan semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menambahkan bahan aditif mineral bersifat cementitious ke dalam semen portland, sehingga PCC termasuk sebagai salah satu jenis blended cement. PT. Indocement memproduksi PCC dengan memilih bahan aditif mineral yang digunakan adalah limestone dan abu terbang. Kandungan aditif mineral dalam PCC Indocement sebesar 20–25%, sedangkan menurut European Standard EN 197-1: 2000, CEM IIA-M sebesar 6–20% dan CEM IIB-M sebesar 21–35%. Keunggulan PCC dibandingkan dengan OPC tipe I dalam konstruksi adalah:

a. mengurangi panas hidrasi dan susut beton, sehingga memperbaiki kinerja beton;

b. meningkatkan ketahanan terhadap sulfat; c. mempunyai kekedapan dan daktilitas yang lebih

baik; d. mengurangi konsumsi semen berarti menghemat

konsumsi energi untuk produksi semen, yang akan mengurangi emisi gas CO2; dan

e. memakai bahan limbah abu terbang berarti menerapkan teknologi berkelanjutan, dan akan menguntungkan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.

c. Air

Air mempunyai pengaruh dalam menentukan kekentalan campuran beton. Makin tinggi kadar air maka makin encer campuran beton yang diperoleh, sehingga mudah dikerjakan tetapi akan menurunkan mutu beton. Karena itu perlu pembatasan kadar air melalui rasio air-semen.

d. Abu Terbang (Fly Ash)

Abu terbang (fly ash), adalah butiran halus yang merupakan produk limbah dari proses pembakaran batubara, dan bersifat pozzolana. Bentuk butiran abu terbang tidak beraturan dan cenderung membulat, dengan diameter butiran antara 0,3–20 μm. Butiran abu terbang yang sangat kecil ini akan mengisi pori antara agregat kasar dan halus sehingga dapat memperkuat pori dan meningkatkan kekuatan beton. Pozzolana memiliki sifat cementitious jika bereaksi dengan kalsium hidroksida dan air. Penambahan abu terbang pada campuran beton tidak mengurangi kekuatan beton, tetapi pencapaian kekuatan di awal lebih rendah karena reaksi hidrasi yang terjadi lebih lambat sesuai sifat dari reaksi pozzolanic. Kekuatan akan terus meningkat dan pada umur 28 hari dapat mencapai kekuatan rencana, bahkan masih terus terjadi setelah 28 hari.

e. Admixture

Di samping agregat, semen, dan air, bahan lain yang dikenal sebagai bahan tambahan (admixture)

Page 33: Jurnal Tekno Oktober 2011

31

dapat ditambahkan pada campuran beton. Kegunaan bahan tambahan ini yaitu untuk merubah sifat dari beton agar dapat berfungsi lebih baik atau agar lebih ekonomis.

Menurut ASTM 494-92 “Standard Specification for Chemical Admixtures for Concrete”, ada 7 (tujuh) tipe bahan tambahan kimia untuk campuran beton, yaitu: (i). Tipe A “water reducing admixtures”, berfungsi

mengurangi jumlah air untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu.

(ii). Tipe B “retarding admixtures”, berfungsi memperlambat pengikatan beton.

(iii). Tipe C “accelerating admixtures”, berfungsi mempercepat pengikatan beton dan pengembangan kekuatan awal beton.

(iv). Tipe D “water reducing and retarding admixtures”, berfungsi ganda, yaitu mengurangi jumlah air untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu dan memperlambat pengikatan beton.

(v). Tipe E “water reducing and accelerating admixtures”, berfungsi ganda, yaitu mengurangi jumlah air untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu dan mempercepat pengikatan beton.

(vi). Tipe F “water reducing, high range admixtures”, berfungsi mengurangi jumlah air pencampur untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu.

(vii). Tipe G “water reducing, high range and retarding admixtures”, berfungsi ganda, yaitu mengurangi jumlah air untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu dan memperlambat pengikatan beton.

Kekuatan beton dapat ditingkatkan dengan

cara mengurangi jumlah air pada komposisi campuran beton. Untuk menghindari penggumpalan adukan akibat kekurangan air, maka digunakan bahan tambahan kimia jenis pereduksi air, yaitu high range water reducer jenis superplasticizer yang berfungsi mendispersikan butiran-butiran semen sehingga tidak terjadi penggumpalan adukan dan kelecakan yang diinginkan dapat diperoleh dengan perbandingan air-semen sekecil mungkin. Penambahan superplasticizer dapat mengurangi kandungan air 20%–30% tanpa menurunkan kelecakan. 2. Metodologi

Penelitian ini dilakukan melalui studi

eksperimental. Spesimen uji berupa silinder beton berukuran diameter 150 mm dan tinggi 300 mm. Material yang digunakan adalah:

1. agregat kasar cangkang kelapa sawit limbah industri minyak sawit, dengan gradasi maksimum 12,5 mm;

2. agregat halus pasir alam; 3. semen portland jenis PCC (Portland Composite

Cement), yaitu semen portland yang dalam proses pencampurannya ditambah abu terbang sebanyak 6–20%;

4. abu terbang limbah proses pembakaran batubara dari PLTU Suralaya; dan

5. admixture tipe F, yaitu HRWR (high range water reducer) jenis SP, dengan merk dagang Sikament LN.

Cangkang kelapa sawit dimanfaatkan sebagai

pengganti agregat kasar alam, yang diharapkan akan menghasilkan beton ringan. Dengan mempertahankan slump 50–75 mm, kandungan HRWR divariasi yaitu 0,0%, 1,0% dan 1,2%. Setiap variasi HRWR, kandungan abu terbang divariasi dari 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% untuk mendapatkan kadar abu terbang optimum setiap kadar HRWR. Sedangkan untuk mendapatkan kadar air optimum, dibuat campuran dengan faktor air semen (FAS) sesuai yang didapat dari koreksi air akibat penambahan HRWR, tetapi campuran tersebut tanpa menggunakan HRWR dan abu terbang.

Standar perencanaan campuran yang digunakan adalah ACI 211.2-91 (Standard Practice for Selecting Proportions for Structural Lightweight Concrete) dan ACI 211.4R-93 (Guide for Selecting Proportions for High-Strength Concrete with Portland Cement and Fly Ash). 3. Hasil Dan Pembahasan Perencanaan Campuran Beton

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan data sifat fisik material, dibuat rencana campuran dengan menggunakan metode ACI 211.2-91 dan ACI 211.4R-93, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rencana campuran berdasarkan ACI

211.2-91 dan ACI 211.4R-93 METODE ACI 211.2-91 ACI 211.4R-93 Mass

(kg) Volume

(m3) Mass Volume

(m3) PCC 354,33 0,12 352,46 0,12 Agregat kasar

450,91 0,33 457,64 0,42

Agregat halus

790,43 0,31 519,05 0,23

Air 216,55 0,22 215,00 0,22 Udara - 0,03 - 0,02

Page 34: Jurnal Tekno Oktober 2011

32

Abu terbang

0% - 25% 0% - 25%

SP 0,0%, 1,0%, dan 1,2%

0,0%, 1,0%, dan 1,2%

Dari hasil perencanaan campuran, didapat: a. ACI 211.2-91: massa agregat halus 790,43 kg

dan agregat kasar 450,91 kg, sedangkan spesific gravity agregat halus 2,674 dan agregat kasar 1,478, sehingga dihasilkan volume agregat kasar 0,33 m3 dan agregat halus 0,31 m3 dari 1 m3 beton.

b. ACI 211.4R-93: massa agregat halus 519.05 kg dan agregat kasar 457.64 kg, sehingga dihasilkan volume agregat kasar 0.42 m3 dan agregat halus 0.23 m3

. c. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan

beton ringan. Terlihat bahwa volume agregat kasar berdasarkan ACI 211.4R-93 lebih besar dari ACI 211.2-91, sehingga digunakan ACI 211.4R-93.

Berdasarkan rencana campuran ACI 211.4R-93, dibuat variasi campuran, yaitu: a. Campuran A: campuran beton dengan FAS 0,42,

tanpa SP, kadar abu terbang bervariasi 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%.

b. Campuran B: campuran beton dengan FAS 0,42, menggunakan SP 1,0%, kadar abu terbang bervariasi 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%. Kadar air dikoreksi akibat penggunaan SP, sehingga FAS menjadi 0,32. Tujuan untuk mendapatkan kadar abu terbang optimum pada beton dengan menggunakan SP 1,0%

c. Campuran C: campuran beton dengan FAS= 0,42, menggunakan SP 1,2%, kadar abu terbang bervariasi, yaitu 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%. Kadar air dikoreksi akibat penggunaan SP, sehingga FAS menjadi 0,23. Tujuan untuk mendapatkan kadar abu terbang optimum pada beton dengan menggunakan SP 1,2%

d. Campuran D: campuran beton dengan FAS bervariasi, yaitu 0,42, 0,32, dan 0,23 tanpa abu terbang dan SP. Tujuan untuk mengetahui

pengaruh pengurangan air terhadap kekuatan beton tanpa menggunakan SP.

Pengujian Slump

Hasil pengukuran slump menunjukkan bahwa pada perencanaan campuran tanpa SP (campuran A), pemakaian air masih dapat dikurangi sampai batas tertentu menurut ukuran kelecakan yang dikehendaki karena nilai slump lebih besar dari rencana. Hal ini terjadi karena kandungan air pada cangkang kelapa sawit cukup besar akibat direndam 24 jam. Pada perencanaan campuran dengan menggunakan SP 1,0% (campuran B) dan 1,2% (campuran C), membuat jumlah air yang dapat dikurangi lebih besar. Hasil pengukuran slump dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Uji slump beton segar

KODE CAMPURAN

FAKTOR AIR - SEMEN

FLY ASH [%]

HRWR [%]

SLUMP [mm] awal Koreksi

A420000 A420005 A420010 A420015 A420020 A420025

0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42

0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

135 130 125 120 115 105

B321000 B321005 B321010 B321015 B321020 B321025

0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42

0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

75 75 75 75 75 75

C231200 C231205 C231210 C231215 C231220 C231225

0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42

0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20

75 75 75 75 75 75

D420000 D320000 D230000

0,42 0,32 0,23

0,42 0,32 0,23

0,00 0,00 0,00

0,00 0,00 0,00

135 65 50

Pengujian Berat Volume

Hasil pengukuran berat volume dengan berbagai kadar FAS, abu terbang, dan SP dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Uji berat volume spesimen silinder beton pada umur 28 hari

KODE CAMPURAN

FAKTOR AIR - SEMEN FLY

ASH[%] HRWR

[%] BERAT

[kg]

BERAT VOLUME

[kg/m3] awal koreksi A420000 A420005 A420010 A420015 A420020 A420025

0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42

0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

9,23 9,23 9,24 9,26 9,17 9,04

1740,34 1742,22 1745,99 1734,68 1729,02 1704,51

Page 35: Jurnal Tekno Oktober 2011

33

Rata-rata 1732,79 B321000 B321005 B321010 B321015 B321020 B321025

0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42

0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

9,53 9,54 9,55 9,42 9,36 9,35

1796,90 1798,79 1800,67 1776,16 1764,85 1762,96

rata-rata 1782,39 C231200 C231205 C231210 C231215 C231220 C231225

0,42 0,42 0,42 0,42 0,42 0,42

0,23 0,23 0,23 0,23 0,23 0,23

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20

9,46 9,47 9,52 9,32 9,25 9,24

1783,70 1785,59 1795,02 1757,31 1744,11 1730,91

Rata-rata 1766,11 D420000 D320000 D230000

0,42 0,32 0,23

0,42 0,32 0,23

0,00 0,00 0,00

0,00 0,00 0,00

9,28 9,37 9,50

1740,34 1766,73 1791,25

Dari Tabel 3 terlihat bahwa berat volume

semua campuran adalah 1700–1800 kg/m3, dan berat volume rata-rata adalah 1762,59 kg/m3, yang lebih kecil dari 1850 kg/m3, sehingga dapat digolongkan sebagai beton ringan. Berat volume rata-rata terbesar pada campuran B disusul campuran C. Bila dibandingkan dengan kuat tekannya, menunjukkan bahwa peningkatan kuat tekan akan meningkatkan berat volume. Peningkatan kuat tekan terjadi karena pengurangan kadar air. Dapat disimpulkan bahwa pengurangan kadar air akan meningkatkan kuat tekan dan berat volumenya. Pengujian Kuat Tekan

Hasil pengamatan pola keruntuhan pada beton dengan agregat kasar cangkang kelapa sawit ternyata adalah keruntuhan belah. Biasanya keruntuhan belah terjadi pada beton dengan mutu tinggi. Tetapi pada kenyataan, kekuatan tekan hancur beton yang dicapai tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan karena kehancuran terjadi pada interface agregat akibat volume agregat kasar lebih besar dari agregat halus, sehingga ikatan antar agregat kasar dan mortar kurang. Oleh karena itu dapat diupayakan mempertinggi mutu beton dengan cara meningkatkan volume mortar. Hasil uji kekuatan tekan beton dapat dilihat pada Tabel 4 serta Gambar 1 dan 2.

Tabel 4. Uji kuat tekan [MPa] spesimen silinder beton pada umur 28 hari CAMPURAN A CAMPURAN B CAMPURAN C CAMPURAN D

Umur 7 hari A420000 A420005 A420010 A420015 A420020 A420025

9,2202 9,5890 9,9578 8,7592 8,4000 7,6929

B321000 B321005 B321010 B321015 B321020 B321025

11,5960 12,0598 12,5236 11,0162 10,6061 9,4747

C231200 C231205 C231210 C231215 C231220 C231225

10,2949 10,7067 11,1185 10,7475 10,4881 9,7802

A420000 D320000 B321000 D230000 C231200

9,2202 11,0303 11,5960 10,4081 10,2949

umur 28 hari A420000 A420005 A420010 A420015 A420020 A420025

15,5838 16,8305 17,9214 16,6747 14,3960 13,7172

B321000 B321005 B321010 B321015 B321020 B321025

19,2606 20,8014 22,1496 20,8014 17,3091 16,0929

C231200 C231205 C231210 C231215 C231220 C231225

16,8283 18,1746 19,3525 18,6101 18,0063 17,5636

A420000 D320000 B321000 D230000 C231200

15,5838 17,1960 19,2606 16,5455 16,8283

Page 36: Jurnal Tekno Oktober 2011

34

Gambar 1. Perbandingan kuat tekan spesimen setiap variasi campuran

A420000A420020

B321010

C231210

A420000

B321000

B321025

02468

1012141618202224

Campuran A Campuran B Campuran C Campuran D

Tega

ngan

Tek

an [M

Pa]

Gambar 2. Perbandingan kuat tekan spesimen setiap variasi campuran

Dari Tabel 4 dan Gambar 1, kuat tekan

terbesar yang dihasilkan hanya mencapai 89% dari kuat tekan rencana, yaitu 25 MPa. Terlihat bahwa kekuatan tekan beton pada umur 7 dan 28 hari akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar abu terbang hingga 10%, sedangkan kadar abu terbang lebih besar dari 10% menunjukkan penurunan kuat tekan. Kuat tekan terbesar pada kadar HRWR 0,0%, yaitu 17,92 MPa, pada kadar HRWR 1,0% yaitu 22,15 MPa, dan pada kadar HRWR 1,2% yaitu 19,35 MPa. Dapat disimpulkan bahwa kadar abu terbang optimum yaitu 10%, dan kadar HRWR optimum yaitu 1,0% yang menyebabkan air dikoreksi sehingga FAS berubah dari 0,42 menjadi 0,32.

Dari Tabel 4 dan Gambar 2, yaitu pada perbandingan campuran D terlihat bahwa memperkecil FAS akan meningkatkan kuat tekan beton. Hal ini terjadi karena air yang terkandung dalam agregat cangkang kelapa sawit cukup besar akibat perendaman selama 24 jam. FAS diperkecil karena penggunaan HRWR. Terlihat bahwa FAS yang sama akan menghasilkan kuat tekan yang lebih besar pada campuran yang menggunakan HRWR. Dengan FAS tanpa menambah HRWR akan mempersulit pengerjaan sehingga beton yang dihasilkan akan menurun kekuatannya.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

22

24

0% 5% 10% 15% 20% 25%kadar abu terbang

kuat

teka

n [M

Pa]

HRWR 0,0% FAS 0,42 HRWR 1,0% FAS 0,32 HRWR 1,2% FAS 0,23

28 hari

7 hari

Page 37: Jurnal Tekno Oktober 2011

35

Pengujian Kuat Tarik Belah Pengujian tarik belah dilakukan pada beton

umur 28 hari. Hasil pengujian dapat dilihat pada

Tabel 5. Kuat tarik belah rata-rata sebesar 8,5% dari kuat tekannya

Tabel 5. Uji kuat tarik belah [MPa] spesimen silinder beton

CAMPURAN A CAMPURAN B CAMPURAN C CAMPURAN D A420000 A420005 A420010 A420015 A420020 A420025

1,3081 1,4390 1,5412 1,4173 1,2515 1,1737

B321000 B321005 B321010 B321015 B321020 B321025

1,6051 1,7473 1,8827 1,4540 1,4354 1,3518

C231200 C231205 C231210 C231215 C231220 C231225

1,4424 1,5358 1,6450 1,5626 1,7182 1,4990

A420000 D320000 B321000 D230000 C231200

1,3081 1,5343 1,6051 1,5768 1,4424

4. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Agregat kasar cangkang kelapa sawit adalah

material yang mudah menyerap air. Hal ini terlihat dari besarnya penyerapan air, yaitu sekitar 24% pada perendaman 24 jam. Kekuatan agregat cangkang kelapa sawit yang digunakan pada penelitian cukup baik. Hal ini terlihat pada percobaan pengujian keausan, yaitu sebesar 23.25% pada kondisi kering, sedangkan SNI 03-1750-1990 mensyaratkan maksimum sebesar 32%. Gradasi agregat juga memenuhi syarat, tetapi ukuran agregat maksimum hanya 12.5 mm.

2. Hasil pengujian kadar lumpur menunjukkan bahwa kadar lumpur sangat tinggi, karena itu perlu perlakukan khusus, yaitu dicuci. Setelah dilakukan pencucian, hasil akhir kadar lumpur adalah 5%, sesuai batas maksimum yang ditetapkan SNI, tetapi menyebabkan kandungan air pada pasir sangat tinggi yaitu 27%. Hal ini sangat mempengaruhi hasil mix design.

3. Penggunaan air pada pencampuran beton segar harus sangat diperhatikan, karena specific gravity cangkang kelapa sawit sangat kecil, sehingga bila penggunaan air berlebihan akan menyebabkan cangkang kelapa sawit terapung, terutama pada pencampuran menggunakan superplasticizer. Karena itu digunakan tepung mineral bentonit untuk mencegah terapungnya agregat.

4. Slump pada variasi campuran A melebihi rencana. Hal ini terjadi karena kandungan air pada agregat halus sangat tinggi. Pada saat menggunakan SP (campuran B dan C) dan slump dipertahankan sesuai rencana (50–75 mm), terjadi koreksi air yang cukup banyak, sehingga terlihat perubahan w/c ratio yang sangat besar, yaitu dari 0.61 menjadi 0.32 dan 0.23

5. Berat volume beton agregat ringan cangkang kelapa sawit adalah 1700–1800 kg/m3, dengan rata-

rata 1754 kg/m3, sehingga beton dapat dikelompokkan sebagai beton ringan. Berat volume optimum didapat pada kadar abu terbang 25% tanpa SP. Hal ini identik dengan kekuatan tekannya.

6. Kehancuran pada pengujian tekan terjadi pada mortar dan interface agregat. Hal ini disebabkan karena volume agregat kasar lebih besar dari agregat halus, sehingga ikatan antar agregat kasar dan mortar kurang.

7. Kekuatan tekan Kuat tekan beton dengan kadar abu sebagai variabel, tanpa superplasticizer, faktor air semen w/c 0.61, adalah pada kadar abu terbang 0%. Kenaikan kadar abu terbang menyebabkan penurunan kuat tekan.

Kuat tekan beton dengan kadar abu terbang sebagai variabel, superplasticizer 1.0%, faktor air semen w/c 0.61 tetapi dikoreksi dengan mempertahankan slump 75 mm, adalah pada kadar abu terbang 0%. Kenaikan kadar abu terbang menyebabkan penurunan kuat tekan.

Kuat tekan beton dengan kadar abu terbang sebagai variabel, superplasticizer 1.2%, faktor air semen w/c 0.61 tetapi dikoreksi dengan mempertahankan slump 75 mm, adalah pada kadar abu terbang 20%. Kenaikan kadar abu terbang menaikkan kuat tekan, tetapi kadar abu terbang 25% terjadi penurunan kuat tekan.

Kuat tekan beton dengan kadar w/c sebagai variabel, tanpa abu terbang dan tanpa superplasticizer, adalah pada w/c 0.32, yaitu w/c yang didapat dari hasil koreksi air pada variasi campuran B. Tetapi kuat tekan yang dihasilkan tidak sebesar variasi campuran B, karena tidak menggunakan superplasticizer.

Kuat tekan beton terbesar adalah 19.26 MPa, yaitu kuat tekan beton dengan campuran kode B611000, atau campuran dengan kadar w/c 0.61 dikoreksi, abu terbang 0%, superplasticizer 1.0%, slump 75 mm.

Page 38: Jurnal Tekno Oktober 2011

36

8. Kuat tarik belah terbesar adalah 1.72 MPa. Hasil tersebut didapat pada pengujian benda beton dengan campuran kode C611220, atau campuran dengan kadar w/c 0.61 dikoreksi, abu terbang 20%, superplasticizer 1.2%, slump 75 mm.

9. Modulus elastisitas terbesar adalah 12205 MPa, dari hasil pengujian benda uji beton dengan campuran kode C611200, atau campuran dengan kadar w/c 0.61 dikoreksi, abu terbang 0%, superplasticizer 1.2%, slump 75 mm. Modulus elastisitas hasil pengujian besarnya 80 – 95% dari hasil perhitungan menurut ACI 363R-23.

5. Daftar Pustaka ACI Committee 211, Standard Practice for Selecting

Proportions for Lightweight Concrete (ACI 211.2-91) & Guide for Selecting Proportions for High-Strength Concrete with Portland Cement and Fly Ash (ACI 211.4R-93), ACI Manual of Concrete Practice, part I, Detroit, 1995.

ASTM, “Concrete and Aggregates,” Annual Book of ASTM Standards vol. 04.02, American Society for Testing and Materials, Philadelphia, 1993.

Artiningsih, Titik P., Ike Pontiawaty, Kajian Eksperimental Penggunaan Pozzolanic Material pada Beton Ringan Mutu Tinggi, LPP Universitas Pakuan, Bogor, 2006.

Artiningsih, Titik P., Soerjono Soerjokoesoemo, Analisis Pengaruh Penggunaan Tempurung Kelapa sebagai Alternatif Agregat Tambahan pada Beton, LPP Universitas Pakuan, Bogor, 2007.

Artiningsih, Titik P., Ike Pontiawaty, Tempurung Kelapa Sawit sebagai Alternatif Agregat pada

Beton Ringan, Joint Research PT. Indocement, Bogor, 2007.

Fauzi, Yan, Yustina E. W., Iman S., Rudi H., Kelapa Sawit: Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah – Analisa Usaha dan Pemasaran, Seri Agribisnis, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta, 2006.

Quality Assurance & Research Division PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Konsep, Bahan Aditif Mineral, Karakteristik dan Pengendalian Kualitas PCC Tiga Roda, Seminar Indocement, 14 Agustus 2007

Sunarko, Petunjuk Praktis Budidaya & Pengolahan Kelapa Sawit, Penerbit Agromedia Pustaka, Jakarta, 2007.

Tjiptobroto, Prijatmadi, Harrys Napitupulu, PCC dan Aplikasinya, Seminar Indocement, 14 Agustus 2007’

Riwayat Singkat Ir. Ike Pontiawaty, MT., lahir di Bogor, 08 Desember 1960, menamatkan kuliah S1 Teknik Sipil di Universitas Trisakti pada tahun 1986, S2 Teknik Sipil jurusan Manajemen Konstruksi di Universitas Indonesia pada tahun 2004. Sebagai dosen kopertis IV dpk di Universitas Pakuan mengampu mata kuliah Mekanika Rekayasa 1, Mekanika Rekayasa 2, Manajemen Konstruksi 1 dan Manajemen Konstruksi 2. Aktif mengikuti seminar, lokakarya dalam negeri. Beberapa judul penelitian antara lain Pemetaan Penelitian Perumahan Sederhana, Kajian Eksperimental Penggunaan Pozzolanic Material Pada Beton Ringan Mutu Tinggi, Kajian Aspek Perizinan Pada Perumahan. Alamat kantor Jl. Pakuan PO.Box 452, Ciheuleut, Bogor, telepon (0251-8311007). Email: [email protected].

Page 39: Jurnal Tekno Oktober 2011

37

Jurnal Tekno Insentif  Kopwil4, Volume 5 No.2, Oktober  2011

ISSN: 1907‐4964, halaman  37  s.d.  44

PENDEKATAN HOLISTIK PADA ARSITEKTUR VERNAKULAR,

Studi kasus: Kampung Adat Sunda, Jawa barat

Oleh: Marcus Gartiwa

Universitas Langlangbuana Bandung

Abstrak - Arsitektur Vernakular, khususnya Arsitektur Vernakular Indonesia memiliki pendekatan holistik dalam perwujudan lingkungan binaannya sebagai pencerminan nilai-nilai universal kehidupan, mencakup: simbolik, ritual, etika, realisasi-fisik, serta rekayasa ekosistem. Pewujudannya berupa perancangan yang memiliki karakteristik: 1) lingkungan binaan adalah pencerminan proses ekosistem, 2) perancangan asitektur sebagai proses sosial, 3) perancangan arsitektur sebagai perwujudan interdependensi berbagai aspek kehidupan. Hal ini dapat dikaji pada berbagai Kampung Adat Sunda di Jawa Barat, yang didekati dengan pendekatan kualitatif-deskriptif. Kampung-kampung adat tersebut merupakan pencerminan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainainbility), yang mencakup: 1) manusia sebagai makhluk-spiritual, 2) lingkungan binaan, khususnya bangunan secara fisik memiliki keberlangsungan yang tinggi.

Kata kunci: Arsitektur Vernakular, Pendekatan Holistik Abstract - Vernacular Architecture, in particular Indonesia has a holistic approach to the realization of environmental proxies as a reflection of the universal values of life, including: symbolic, ritual, ethics, physical-realization, and ecosystems engineered. The realization is in the form of design which has characteristics: 1) Built environment is a reflection of ecosystem processes, 2) Architecture design as a social process, 3) Design as a manifestation of interdependence of various life aspects. This can be assessed on a variety of Sudanese Indigenous kampong (Kampung Adat) in West Java, which approached by a qualitative-descriptive. Such Indigenous kampong is a reflection of the principles of sustainability which consist of: 1) human beings - spiritual, 2) the built environment, particularly the physical building has a high sustainability. Keywords: Vernacular Architecture, Holistic Approach. 1. Pendahuluan Kata ὅλος holos, yunani yang berarti total menyeluruh, yang merujuk pada sistem yang menyeluruh, tidak bersifat bagian/parsial (partial). Hal ini nampak terasa pada kehidupan modern sekarang ini, dimana penyelesaian lingkungan binaan, khususnya arsitektur sering didekati secara parsial, hanya dilihat pada satu sisi, sehingga menimbulkan permasalahan–permasalahan kehidupan, khususnya diperkotaan. Oleh sebab itu ada baiknya meninjau kembali kinerja (performansi) arsitektur vernacular yang memiliki pendekatan holistik, yaitu pendekatan yang menyeluruh mencakup aspek-aspek simbolik, ritual, etika, realisasi-fisik, serta rekayasa ekosistem dalam perwujudan lingkungan binaannya, khususnya bangunan maupun organisasi spatial lingkungannya. Dalam hal ini, aspek-aspek simbolik, ritual, etika, realisasi-fisik, serta rekayasa ekosistem arsitektur vernacular terangkai dalam satu sistem yang membawa satu pesan yaitu nilai-nilai kepercayaan, adat istiadat masyarakat yang dianutnya.

Aspek utama nilai-nilai holistik adalah kesatuan manusia dengan lingkungan alamnya. Hal ini mencakup: Eksplisit mencerminkan implicit, ekstrinsik mencerminkan intrisik, yang teraga (tangable) menceminkan yang tidak teraga (intangible). Aspek-aspek fisik menunjukkan symbol-simbol yang mengandung makna berupa kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Perwujudan dan penggunaan bentuk-bentuk fisik bangunan dan organisasi spatial sering berkaitan erat dengan ritual, yang mencerminkan nilai-nilai kepercayaan yang dianut masyarakatnya. Etika-etika mengikat perilaku masyarakatnya dalam perwujudannya maupun penggunaannya, sehingga semua kebidupan masyarakat vernacular terikat dalam satu sistem yang disebut holistic. 2. Metoda Penelitian

Lingkup pembahasan adalah kampung-kampung adat Sunda di Jawa Barat yang mencakup: kampung Naga, kampung Ciptagelar, kampung Baduy, dan desa Dukuh. Metoda yang digunakan

Page 40: Jurnal Tekno Oktober 2011

38

adalah kualitatif–deskriptif, bersifat komparatif yaitu studi banding berbagai desa tersebut, kemudian diperoleh kesamaan prinsip kampung-kampung adat tersebut, yang mencerminkan nilai-nilai holistik rancang bangun lingkungan binaannya. 3. Pembahasan 3.1 Holistik -Metafisik Holistik metafisik berupa keyakinan/ kepercayaan masyarakat kampung adat akan kesinambungan (sustainability) lingkungan, yang mana lingkungan binaan merupakan bagian tidak terpisahkan lingkungan ekologi/alam, yang berfungsi untuk kesinambungan generasi. Dalam hal ini kampung adat berevolusi sesuai dengan interaksinya dengan lingkungan alam. Kebudayaan berkembang sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan indidvidu dan masyarakatnya. Pendekatan holistik metafisik adalah berupa organisasi spatial kampung adat sunda yang menekankan harmonisasi alam, manusia dan teknologi, yang mencakup: 1) Jiwa (spirit) yaitu kesadaran akan dinamika keberlanjutan (sustainability): ekologi, budaya dan teknologi, 2) aturan-aturan yaitu tradisi sebagai aturan utama melaksanakan keberlanjutan (sustainability) tersebut, 3) lembaga (institusi) berupa intitusi adat menerapkan aturan-aturan untuk menjaga keberlangsungan (sustainability) tersebut.

Esensi pendekatan holitik-metafisik adalah pendekatan-kebijakan ekologi, yang menekankan bahwa lingkungan, khususnya lingkungan binaan diperuntukkan bagi keberlangsungan generasi yang akan datang, bukan semata-mata untuk generasi sekarang, sehingga lingkungan binaan berevolusi secara dinamis sebagai respon terhadap lingkungan alam. Konsekuensinya adalah teknologi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat, berfungsi menjaga harmoni dengan lingkungan. Kebijakan ekologi tersebut mencakup: 1) Kesadaran akan dinamika interaksi ekologi,

budaya dan teknologi. Ekologi mencakup interaksi manusia dengan lingkungan, budaya mencakup ide-ide, kepercayaan, kebiasaan, serta kemampuan. Teknologi mencakup cara dan metoda dalam menata lingkungan binaannya. Tiga aspek tersebut terjalin terpadu menghasilkan lingkungan binaan dan bangunan yang berkesinambungan, yaitu asset bagi manusia sekarang dan yang akan datang.

2) Tradisi sebagai aspek utama pengendali keberlanjutan lingkungan binaan. Hal ini dilakukan dalam bentuk aturan adat berupa pantangan-pantangan dalam menata lingkungan binaannya. Hal ini menyangkut mana yang boleh, mana yang tidak boleh, serta yang harus dikerjakan. Tradisi berupa nilai-nilai tersebut harus dipatuhi serta dilestarikan

warga/masyarakat secara turun menurun, generasi demi generasi.

3) Struktur/lembaga adat kampung. Struktur/ lembaga adat dipegang oleh dewan ketua adat yang disebut sebagai kokolot lembur, yang diketuai sesepuh, berfungsi menjaga tradisi sehingga keberlanjutan lingkungan terpelihara.

Pendekatan holistic metafisik terangkum dalam pola/kerangka pikir seperti Diagram 1, yang menunjukkan bahwa organisasi spatial kampong adat terbentuk melalui suatu mekanisme tertentu.

tradisi Feedback

Diagram 1. Holistik-Metafisik

3.2 Holistik-Etika Pendekatan Holistik–etika adalah etika (ethic code) yang diterapkan dalam penataan lingkungan binaannya, yang tercermin dalam prinsip-prinsip spesifikasi spatial, berupa: 1) Keyakinan/kepercayaan masyarakat bahwa

Tuhan sebagai pencipta alam semesta, yang menuntun masyarakat harus menjaga ciptaan Tuhan, terutama lingkungan alam, dan menjaga harmonisasi manusia, lingkungan binaan serta alam.

2) Keberlanjutan (sustainability) dalam pemukim-an: sistem pengelolaan air, harmoni alam, konstruksi bangunan dan bahan bangunan.

3) Prinsip-prinsip spesifikasi spatial: dimensi tertentu, konfigurasi spatial, perbedaan perlakuan dan gradasi ruang.

4) Implementasinya berupa: mempertahankan kontur lahan/tanah apa adanya sehingga terjadi keseimbangan alam, membagi kampung dalam tata ruang berdasarkan aktifitasnya (zoning), serta memperlakukan penataan khusus berdasarkan pada kebiasaan/adat nenek moyangnya, serta penghormatan yang tinggi pada leluhur.

Kecerlangan ditunjukkan pada pembagian wilayah (zoning) peruntukkan Kampung, yang secara garis besar dibagi dalam: area pemukiman dan hutan. Pembagian wilayah dan semua aktifitasnya dikendalikan oleh dewan ketua adat, berdasarkan keyakinan adat/agama sunda, yang berupaya melindungi lingkungan alam kampung. Hal ini mencakup: 1) penataan fisik dikaki gunung /lembah untuk memberi jaminan bagi pasokan air, 2)

ekologi teknologi

kebudayaan

Institusi adat

kampung

Spirit: Kesadaran akan keberlanjutan

Lingkungan binaan

Page 41: Jurnal Tekno Oktober 2011

39

penataan fisik pada gunung, untuk keamanan dari musuh dan binatang, 3) penataan fisik berkaitan dengan lokasi sungai, 4) perlindungan terhadap polusi air, dan erosi.

Beberapa spesifikasi spatial, yaitu: 1) klasifikasi bangunan-bangunan berdasarkan dimensi tertentu, seperti konstruksi tunggal vs arsitektur ruang terbuka, pondasi tatapakan vs pondasi yang ditanam, kayu vs batu, bentuk lingkar vs kotak, komunal vs pribadi, 2) bangunan secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai konfigurasi bentuk spatial yang diversifikasi dan ditandai, 3) desain dan prinsip-prinsip bangunan mungkin dibedakan sebagai relevan pada spesifikasi spatial ini dan gradasinya, mekanisme budaya berupa metapora bentuk manusia dan binatang, atau kosmos seperti matahari, bumi dan perahu. Secara sosial hasil spesifikasi spatial ini berupa gradasinya ruang yang mencakup: 1) privat ke public, 2) laki kepada wanita, 3) suci menuju profane, 4) status rendah menuju status tinggi, 5) hubungan consanguinal menuju cognatic, 6) kelompok keluarga menuju keluarga tunggal. Holistik–etika tersebut tercermin dalam pandangan desain (desain-view), berupa perbedaan-perbedaan perlakuan melalui: 1) ruang terbuka vc struktur tunggal, 2) bangunan yg berornamen dan yang tidak, 3) horizontal dan vertical, 4) centripetal. Prinsip-prinsip budaya, sosial dan perancangan digunakan untuk demarkasi dalam segala bentuk dalam berbagai perbedaan ruang yang selalu intricate, bertahap, terikat pada situasi. Kadang-kadang beberapa prinsip yang berbeda dikombinasikan seperti: perahu, kerbau, burung, atau spesifikasi ruang yang dualist dan kosmologis, tetapi satu interperetasi tunggal yang tegas/jelas. Perlakuan terhadap perbedaan ruang, dapat dilihat pada kategori-kategori manusia yang diijinkan masuk pada ruang-ruang tertentu, khususnya ruang-ruang terbuka, serta perilaku yang dituntut dalam memasuki ruang tersebut.

Jumlah penghuni kampung adat biasanya dibatasi bergantung pada kompleksitasnya, kadang-kadang terdapat desa yang konstan jumlahnya seperti suku Kanekes Baduy yang dibatasi 40 keluarga, juga kampong Naga (pengurangan jumlah selama 5 tahun). Namun jumlah penduduk yang relatif luas adalah kampung Ciptagelar. Namun secara prinsip kampung adat memiliki aturan agar ratio penduduk dengan daya dukung alam seimbang, sehingga kesinambungan (sustainability) alam dan masyarakat terjaga. Masyarakat kampung adat punya keyakinan bahwa kampung adalah wasiat/titipan leluhur, sehingga mereka mereka berupaya menjaga desanya tetap bersih. Dengan demikian, mereka tidak memperbolehkan

penggunaan mobil, dokar, dalam lokasi kampong adat, untuk menjaga kampungnya dari polusi dan kerusakan lingkungan. Bahkan beberapa desa kampong adat tidak menggunakan listrik, hanya menggunakan lampu petromak. Masyarkat kampung adat berpendapat kesesuaian perilaku mereka dengan leluhurnya, maka desa akan terasa sehat dan baik. Masyarakat kampung adat memiliki upacara khusus mingguan, tahunan bergantung pada kepercayaan leluhurnya, seperti kampung Naga, memiliki 3 hari, selasa, kamis, dan jum’at, sebagai hari-hari Nyepi. Orang-orang harus nyepi yang menjaga pikiran dan aktifitas mereka benar dan baik, mereka tidak boleh bicara jelek dan kotor. Kebiasaan nyepi adalah populer dikalangan masyarakat sunda, sebagai penghormatan terhadap spatial dengan disiplin dalam bicara. Tiga elemen tata guna lahan: rumah, supply air, lahan (hortikultura, pertanian, kolam ikan). Hal ini tercermin pada diagram 2. Daerah bersih mencakup: rumah tinggal, granary, bangunan komunal, bumi ageung (rumah pusaka). Daerah yang kotor adalah sungai dan batas-batas desa. Bangunan-bangunan di daerah ini adalah tempat mencuci, kandang-kandang, penggilingan padi, dan kolam.

Diagram 2. Tiga elemen tata guna lahan

Tradisi kampung adalah Life Cycle

Assessment (diagram 2), yang prosesnya adalah mengevaluasi beban lingkungan yang berkaitan dengan produk, proses atau aktifitas dengan mengindentifikasi dan menghitung energi dan bahan-bahan yang dilepaskan kepada lingkungan, untuk mengurangi akibat sampingan dari energi tersebut yang digunakan pada lingkungan, dan perbaikan lingkungan perolehan tersebut mencakup siklus hidup dari produksi, proses atau aktifitas, memisahkan, mengolah bahan baku, mengolah, mentransportasi dan mendistribusi, menggunakan ulang.

Page 42: Jurnal Tekno Oktober 2011

40

Diagram 2. Life Cycle Assessment

Gambar 1. Penerapan Life Cycle Assessment

dalam organisasi spatial dan aktifitas kehidupan Ruang terbuka sepanjang sungai sampai

dengan sisi bukit, yang diperlakukan terlarang bagi orang. Kondisi tanah dikampung relatif sama, kondisi ini memeperlihatkan kebutuhan manusia dalam penggunaan air. Kampung dikelilingi oleh hutan, juga padi. Masyarakat belum pernah mengubah kondisi ini ketika membangun desanya. Mereka berusaha mempertahankan tanah desa dalam kondisi asli, seperti menjaga kontur tanah untuk pemukiman, sebagai implementasi kepercayaannya.

Keyakinan mereka berpedoman pada Tuhan sebagai pencipta yang bersifat ngahiang (tidak terlihat), yang mengajarkan dua aspek penting: 1)ajaran yang mempercayai Tuhan sebagai pencipta manusia, yang menuntun manusia untuk menghormati dan menjaga ciptaan Tuhan, terutama lingkungan, 2) mengajarkan untuk menjaga hubungan yang harmoni antara manusia dengan

makhluk lain yaitu tumbuhan dan binatang (biodiversity), diimplementasikan dalam pola spatial kampung adat, yaitu: 1) menjaga kontur tanah sebagai upaya untuk

memperoleh keseimbangan dengan alam, menuju kesinambungan lingkungan, seperti; pondasi setempat-panggung (tatapakan) sebagai struktur bawah bangunan. Sistem struktur seperti ini memungkinkan membangun rumah tinggal tanpa mengganggu kontur, meminimalkan penggunaan tanah untuk bangunan, sehingga kerusakan habitat akibat pendirian bangunan akan mampu dikurangi sekecil mungkin. Sistem struktur bangunan juga mampu mengantisipasi banjir dan berbagai gangguan alam maupun binatang.

2) Sistem bangunan dirakit, serta dapat dibongkar pasang, serta ringan, menggunakan bahan local yang bisa diperbaharui secara terkendali, sehingga keseimbangan alam terjaga.

3) Membagi tempat-tempat berdasarkan basis aktifitasnya, sebagai upaya memperbaiki interaksi aktifitas, menuju kesinambungan sosial, oleh sebab itu diterapkan aturan adat.

4) Aturan ini mencakup pola-pola pembagian ruang berdasarkan aktifitasnya. Masyarakat membagi ruang–ruang berdasarkan aktifitasnya: pemukiman, daerah lumbung padi, sawah/huma. Tiga area ini dibedakan oleh lokasi, karena prinsip ketuhanan mengajarkan mereka membedakan daerah bersih dan daerah kotor. Daerah lumbung adalah daerah untuk supply makanan, dinilai sebagai daerah terbersih yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Daerah permukiman adalah daerah peralihan dari daerah bersih dan kotor, sebagai daerah untuk aktifitas manusia sehari-hari. Area huma adalah area untuk bekerja, diklasifikasikan sebagai daerah kotor, karena daerah ini dihubungkan dengan daerah kerja, serta kerja keras, namun bagaimanapun kontur tanah tetap terjaga.

Salah satunya berupa pembagian adalah: Zone hutan terlarang, zone rumah puun, zone bale, zone rumah warga, zone saung lisung, membentuk garis imanjiner dari utara ke selatan, tanpa melibatkan zone yang lainnya. Zone rumah warga dilokasikan pada sisi garis imajiner. Garis imajiner merupakan sumbu utama kampung adat.

Berdasarkan kepercayaan masyarakat, Pulau Jawa adalah bumi utama, terutama kepercayaan suku baduy, pencerminannya pada orientasi timur-barat. Bumi tempat mereka tinggal adalah sebagai naga. Bagian barat adalah kepala naga, bagian timur adalah kakinya, desa ditempatkan pada tulang punggung Naga. Mereka percaya orientasi timur-barat terlarang bagi pemukiman. Kaum baduy sangat memegang adat leluhur terutama orientasi rumah. Mereka memiliki orientasi ke utara sebagai

Page 43: Jurnal Tekno Oktober 2011

41

orientasi profane, sehingga entrance rumah selalu dari utara

Area pemukiman memiliki orientasi utara-selatan, dari profane menuju suci. Area paling selatan adalah daerah hutan terlarang adalah daerah paling suci untuk masyarakat karena daerah tersebut merupakan tempat bagi para leluhur yang telah meninggal sebelumnya, hanya ada berupa rumah puun di bale Saung lisung,

Dalam penyusunan tata letak sungai menempati posisi baik untuk acara keagamaan. Rumah puun adalah semi-suci, sehingga bisa dicapai oleh beberapa orang, hanya orang-orang tertentu terutama tetua adat yang bisa masuk daerah tersebut. Zone bale merupakan daerah profan, dapat diakses oleh semua orang. Bale adalah tempat untuk digunakan bagi pertemuan dan acara keagamaan, atau pertemuan social. Daerah yang paling profan adalah saung lisung. Area ini digunakan oleh kaum wanita untuk menumbuk padi untuk menjadi beras, disimpan dalam gudang, lumbung padi disebut leuit. Acara menumbuk padi (nutu) biasanya dilakukan bersama-sama kaum wanita.

Dalam organisasi spatial tercermin pula cara hidup masyarakatnya secara spesifik, yaitu: 1) Menghindari penggunaan bahan-bahan anorganik sebagai upaya menjaga keberlanjutan lingkungan alam. Penggunaan bahan-bahan anorganik sebagai tabu, sehingga lingkungan alam lestari sebagai investasi jangka panjang generasi berikutnya, 2) Penggunaan bahan-bahan organik digunakan untuk makan, minum, rumah dan juga kebutuhan sekunder dan tertier, 3) Penggunaan pakaian sangat sederhana terutama dari dua warna: hitam dan putih, warna putih merupakan warna dasar dan warna hitam merupakan warna dari tumbuhan sekitarnya, 4) bahan bangunan terbuat dari bahan local, 4) waktu dibagi dua yaitu waktu bekerja pada siang hari di huma/sawah dan istirahat pada malam hari, 5) pekerjaan di dapur pada umunya dikerjakan oleh wanita, namun ada juga peran laki-laki, 6) huma/sawah merupakan pekerjaan utama dan menggunakan cangkul, bedog, kujang, baliung, 7) pemeliharaan binatang agak dikurangi, terkecuali budidaya tani ikan, namun beberapa masyakat memelihara dalam kapasitas terbatas untuk menghindari petengkaran diantara mereka. 3.3 Pengendalian tanah Adat dan hutan

Kebijakan kolonial untuk populasi asli diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda, memberikan pengaruh besar pada masyarakat asli, khususnya masyarakat kampung adat. Sistem ekonomi kapitalis yang menekankan sistem pertanian/perkebunan bertentangan dengan sistem pertanian masyarakat asli. Kampung adat harus membersihkan sejumlah hutan mereka untuk pemukiman dan pertanian untuk menghindari polemik tersebut, walaupun pada akhirnya pada

abad ke-19 hak-hak adat mereka dilindungi oleh undang-undang hukum adat. Dengan demikian sistem perkebunan Belanda, sejumlah operasi perkebunan dan kehutanan, termasuk upaya-upaya konservasi, berjalan berdampingan, serta diterapkan pada tanah adat dan hutan milik masyarakat. Hal ini berlangsung hingga Indonesia merdeka.

Tata guna lahan berupa batas yang jelas serta perbedaan-perbedaan penggunaan/peruntuk-kan, mengikuti konsep manajemen hutan masyarakat vernakular. Persetujuan dengan pihak ketiga dalam pengelolaan diperkenalkan tetapi tidak diformalkan dalam tulisan. Lahan-lahan digunakan untuk rumah tinggal dan yang berada disekitar rumah merupakan hak milik, namun apabila pindah maka warga masyarakat kampung yang lain bisa mengambil alih. Hal ini berbeda dengan kepemilikan sawah dan talon, walaupun mereka sudah pindah, namun kepemilikan tetap. Kepemilikan akan berubah apabila dipindahkan melalui persetujuan, dengan pembayaran uang tunai.

3.4 Status kepemilikan tanah

Perbedaan mendasar antara tanah desa dan tanah adat untuk masyarakat Kampung adat Sunda. Masyarakat adat sunda, seperti desa Ciptagelar, tanah adat merujuk pada kepemilikan bersama/masyarakat desa, yang memiliki batas yang jelas dan penggunaannya diatur berdasarkan hukum adat. Dengan demikian, tidak ada kepemilikan pribadi. Namun tanah desa adalah tanah yang dikendalikan oleh pribadi, dikelola pribadi dan secara formal aturan kepemilikannya mengikuti Hukum Agraria 1960. Sejak 1970-an Pemerintah mengeluarkan sertifikat kepemilikan pribadi untuk petanian yang mencakup: 1) Tanah tidak boleh diperjual-belikan, tidak boleh diklaim oleh pemerintah terkecuali dengan kompensasi, pemilik lahan harus membayar pajak, 2) Solusi untuk pertentangan dalam masyarakat diselesaikan dengan aturan adat, contohnya tanah yang digunakan untuk rumah dan jalan, mesjid, atau sekolah, kemudian diajukan kepada pemerintah untuk mendapat persetujuan, sehingga berubah kepemilikan menjadi kepemilikan umum.

3.5 Holistik Metodologis

Pendekatan Holistik Metodologis mencakup: 1) Sikap terhadap sumber daya alam dan manajemennya, 2) Manajemen sumber daya alam secara berkesinambungan, 3) Aturan dan mekanisme pengelolaan sumber daya alam, 4) perumahan. 1) Sikap terhadap sumber daya alam dan

manajemennya, mencakup: 1) falsafah dasar alam dan manajemennya. Dalam hal ini, masyarakat asli percaya bahwa manusia merupakan salah satu mahluk hidup di dunia.dalam system nilai mereka, manusia

Page 44: Jurnal Tekno Oktober 2011

42

harus menghargai ibu bumi dan surga bapak sebagaimana mereka menghormati orang tua mereka. Persepsi tentang alam harus selalu dihubungkan dengan persepsi mereka tentang manusia. Konsep dasar adalah Jagat Leutik, Jagat Gede–Jagat Leutik Sanubari, Jagat Gede Bumi Langit yaitu kesadaran akan dunia kecil, serta kebesaran (immensity) alam semesta. Alam dengan segala elemennya dilihat sebagai variasi berbagai wujud kehidupan, serta interaksi dengan manusia, merupakan hal yang sangat penting. Manusia tidak punya hak untuk menguasai/mengeksploitasi mahluk hidup yang lainnya. Prinsip tersebut berarti manajemen sumber daya alam harus didasari pada kesadaran diri. Hal ini ditunjukkan oleh cara hidup masyarakat desa dalam mengelola alam. Masyarakat menempatkan secara sungguh-sungguh keseimbangan manusia dan alam. Mereka yakin bahwa alam memberikan pertanda, apabila manusia mampu membacanya, maka alam tersebut dapat dipelihara kelestariannya. Falsafah ini mereka terapkan dalam pengelolaan pertanian dan hutan, 2) Manusia mengenal beberapa constellations dan signifikansinya untuk praktek pertanian, mereka menyebutnya ‘Guru desa” mereka menaruh perhatian pada dua contellations dan menggunakannya dalam pertanian: Kereti dan Kidang, yang saling mengikuti dari timur ke barat tiap tahun. Apabila Kereti constellation muncul awal bulan agustus adalah persiapan peralatan pertanian, apabila kidang yang muncul maka merupakan tahap panen padi, mereka berhenti menuai panen pada musim mei, karena biasanya musim seranga dan tikus, 3) Masyarakat tidak memandang hutan mereka sebagai hutan produksi. Malahan mereka menilai bahwa lingkungan alam memberikan mereka segala hal, khususnya kehidupan, seperti: sumber air, keseimbangan iklim, habitat untuk binatang, konservasi. Mereka memandang bahwa generasi sekarang hanya meminjam alam untuk dipersiapkan bagi generasi yang akan datang, oleh sebab itu mereka dituntut untuk bersikap baik dalam mengelola alam, serta berkesinambungan. Masyarakat melakukan upacara-upacara untuk menunjukkan hormat mereka pada alam sebelum memulai dan mengakhiri kegiatan mengelola alam.

2) Manajemen sumber daya alam secara berkesinambungan. Dalam masyarakat sunda, tanah diatur berdasarkan fungsinya, hutan berada pada tanah yang memiliki kemiringan tajam, tanah dengan kemiringan tajam diperlihara dengan bambu, area hutan pertanian, persawahan dan kolam ikan. zoning ini mencakup: 1) pesawahan untuk tanaman

padi, 2) ladang untuk berkebun palawija, 3) hutan terbuka; hutan produksi, 4) kolam ikan. Hutan produksi digunakan untuk konsumsi sendiri dan dijual, serta obat-obatan. Biasanya ada kecenderungan sawah digunakan pada daerah-daerah rendah, sementara daerah-daerah pegunungan untuk budidaya hutan. Hutan dibagi dalam tiga katagori: 1) hutan lindung (leuweung titipan) kurang lebih berkisar 60% dari total huran, adalah dilindungi oleh masyarakat serta ruh leluhur, dilarang untuk memasuki area ini tanpa ijin pemimpin adat, 2) hutan tertutup yaitu berkisar 20% dari luas total hutan, yang berfungsi sebagai area penyangga, juga pelindung konservasi lingkungan desa. Warga desa boleh menggunakan hutan ini dalam kapasitas terbatas, namun bukan kayu, 3) hutan terbuka, yaitu hutan dengan luas kurang lebih 20% dari luas total hutan, digunakan masyarakat untuk pesawahan, pertanian rotasi, hutan-pertanian, perumahan, jalan fasilitas umum, fasilitas social, kuburan, gudang, serta kebutuhan-kebutuhan lain.

3) Aturan dan mekanisme pengelolaan sumber daya alam, mencakup: 1) Ritual yang mencakup: a) upacara yang dirayakan pada hari tertentu pada setiap bulan, khususnya pada bulan Islam. Ritual ini menyambut bulan purnama, sehingga jiwa mereka merasa dipenuhi dengan cahaya, implementasinya berupa kegiatan mendatangi tempat-tempat sakral nenek-moyang mereka, upacara mencakup makan dan doa tengah malam, dengan diikuti tarian-tarian tradisional ketika kaum laki-laki membicarakan berbagai aspek kehidupan, maka kaum wanita mempersiapkan makanan, buah-buahan untuk uapacara, sebelum mereka melakukan aktifitas pengelolaan sumber daya alam, mereka akan berkunjung ke makam leluhur, b) ngaseuk, merupakan awal musim tanam, c) mipit adalah acara persiapan memanen padi, d) nganyaran adalah ritual memasak nasi yang baru dipanen, e) serah pongokan, adalah komunitas meminta maaf ibu bumi untuk mengganggunya selama aktifitas pertaniannya, f) seren taun adalah puncak ritual, upacara syukuran kepada Tuhan Yang maha Esa, dimana seluruh anggota masyarakat terlibat dalam acara tersebut, biasanya berbarengan dengan acara pernikahan, 2) Aturan adat, masyarakat memandang hutan mereka sebagai sesuatu spesial yang harus dihormati. Mantra-mantra tertentu diucapkan sebelum memasuki dan meninggalkan hutan, juga menebang pohon untuk membangun rumah, selalu disertai pemimpin adat/masyarakat sebagai rasa hormat kepada alam sebagai makrokosmos. Menebang pohon secara semena-mena adalah terlarang,

Page 45: Jurnal Tekno Oktober 2011

43

biasanya tertentu waktunya. Aturan-aturan bersifat tidak tertulis, namun diketahui umum. Mereka hanya boleh menggunakan hutan terbuka. Eksploitasi hutan adalah terlarang. Umumnya mata air berada pada hutan tertutup/terlarang. Tanah desa digunakan apabila kebutuhan pertanian meningkat secara tradisional kayu hanya digunakan untuk konsumsi membangun rumah warga desa. kebun talon (kebun buatan) adalah hutan yang diperuntukkan untuk kebutuhan konsumsi bangunan warga desa, hal itu juga hanya kayu-kayu tertentu saja, 3) Penerapan hukum adat dan sangsi, aturan adat yang paling mendasar adalah falsafah hidup mereka didasarkan pada tiga pilar: tekad, ucap, lampah. Harmoni akan tercapai melalui tiga aspek tersebut baik secara pribadi maupun masyarakat.

4) Organisasi spatial perumahan (Gambar 2), mencakup: 1) Rumah panggung untuk memungkinkan kontur tanah tidak terganggu, 2) Orientasi rumah adalah utara-selatan, dengan entrance masuk dari Utara. Orientasi tersebut memungkinkan bangunan memperoleh cahaya secara maksimum, sehingga sinar matahari yang tinggi intensitasnya akan memberikan sedikit pengaruh pada suhu udara. Ventilasi silang memungkinkan udara dalam ruang mengalir dengan baik, dan segar, sehingga terjadi harmoni antara iklim lingkungan alam dengan kenyaman ruangan, 3) Penggunaan rumah panggung pada desa-desa terisolir misalnya suku Baduy menggunakan sistim sambungan pasak dan ikatan tali bambu. Mereka melarang menggunakan bahan-bahan dari luar lingkungan, bahkan pondasi menggunakan sistem setempat dari bahan batu. Konstruksi ringan dengan sistem struktur tersebut merupakan upaya mengatasi masalah gempa.

Gambar 2. Organisasi spatial perumahan dan bentuk bangunan rumah tinggal

4. Kesimpulan Masyarakat vernacular, khususnya

masyarakat kampung adat memiliki pendekatan holistik dalam penataan lingkungan binaannya, khususnya kampungnya, yaitu kemampuan memadukan aspek-aspek simbolik, ritual, etika, realitas fisik, rekayasa secara terpadu, sebagai implementasi dari kepercayaan masyarakatnya, yaitu: 1) keyakinan akan Tuhan pencipta alam semesta, 2) hubungan yang harmonis antara manusia dan ciptaanNya . Pendekatan holistik tersebut menghasilkan desain yang memiliki tiga prinsip, yaitu: 1) lingkungan binaan adalah pencerminan proses ekosistem, 2) desain sebagai proses sosial, 3) interdependensi berbagai aspek kehidupan, khususnya mahluk hidup, sehingga menghasilkan lingkungan binaan yang berkesinambungan . 5. Daftar Pustaka Blust , R . (1976). Austronesian Culture History:

Some Linguistic Inferences and Their Relations to the archaeological record . World Archaeology 8 (1): 19 - 43.

Dorst , M.J van & Duijvestein, CAJ 2004, Concept of Sustainable Development. In The International Sustainable Development Research Conference– Conference

Proceedings 29–30 March, University of Manchester , UK .

Domenig, G. (1996). Features of Traditional Architecture of Western Indonesia. IAP –Discussion Paper 2, May 24, 1996.

Francis, Mark. (2003) Village Homes: A Community by Design, Washington DC: Landscape Architecture Foundation, Island Press.

Kukreja, CP. ( 1978 ), Tropical Architecture, Tata McGraw–Hill Publishing Company Limited, New Delhi.

Larasati, Dwinita, TU Delf ( 2006 ), Guideline For Sustainable Housing In Indonesia Using The DCBA-Method

McGee , T,G . (1967 ). The Southeast Asian City: A Social Geography of Primate cities of Southeast Asia. New York/Washington : Frederick A Praeger.

McGee, T.G. and Ira M. Robinson, eds. (1995) The mega-urban regions of Southeast Asia.Vancouver: UBC Press.

Nas, PJM (1998) The House Between Globalization and Localization, Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde 154–2: 335 – 360.

Sustainable Architecture: Efficient Livable Housing http://www.aloha.net/~laumana/elh.html +++++ Go Green +++++

Page 46: Jurnal Tekno Oktober 2011

44

Dawson, Barry & Gillow, John (1994), the Traditional Architecture of Indonesia, London: Thames & Hudson

Rapoport, A. (1969), House, Form and Culture. London: Prentice-Hall International, Inc.

Riwayat Singkat Ir. Marcus Gartiwa, M.T. adalah dosen Kopertis Wilayah IV dpk. Pada Universitas Langlangbuana Bandung, lahir di Bandung tanggal 12 Maret 1960. Lulus S1 dari Teknik Arsitektur ITB dan S2 Manajemen Rekayasa Konstruksi, Teknik Sipil ITB.

Page 47: Jurnal Tekno Oktober 2011

45

Jurnal Tekno Insentif  Kopwil4, Volume 5 No.2, Oktober 2011

ISSN: 1907‐4964, halaman  45  s.d.  55

TATANAN MASSA DAN BENTUK BANGUNAN YANG KONTEKSTUAL DAN

KONTRAS TAPAK PADA KORIDOR JALAN SOEKARNO HATTA

Oleh: Dewi Parliana

Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Nasional, Bandung

Abstrak - Penelitian ini mengkaji mengenai bentuk dan tatanan massa bangunan yang terbentuk di sepanjang koridor jalan Arteri Pimer, yang terjadi oleh karena bentukan kapling-kapling iregular yang terpotong oleh jalan Soekarno-Hatta. Bentukan tata massa bangunan yang terjadi di beberapa segmen di jalan tersebut, sangat berbeda dan beragam, disebabkan kondisi fisik bentuk dan ukuran kapling yang berbeda pada setiap segmen. Pada segmen sebelah timur jalan Soekarno-Hatta, yaitu segmen Kiaracondong-Cibiru, terbentuk pada saat jalan Soekarno-Hatta dibangun, kawasan tersebut masih relatif kosong. Sedangkan pada segmen timur, Jalan Soekarno-Hatta dibangun setelah terbangun kampung. Bentukan tatanan massa dan bangunan yang terjadi pada setiap segmen jalan akan dianalisa secara acak. Kasus-kasus yang dipilih didasarkan pada bentuk-bentuk adaptasi bangunan yang kontekstual dengan bentuk kapling dan orientasi jalan, juga pada bentuk-bentuk adaptasi bangunan yang tidak kontekstual dengan bentuk kapling dan orientasi pada jalan.Adaptasi bangunan tersebut meliputi seluruh fungsi-fungsi yang ada di koridor jalan, fungsi hunian kampung, fungsi perkantoran pemerintah, fungsi ruko, dan pada kapling-kapling di simpul jalan. Hasil penelitian memperlihatkan tatanan massa dan bentuk bangunan di segmen Timur koridor Soekarno Hatta pada umumya kontektual dengan bentuk tapak, karena segmen tersebut dibangun pada kapling kosong. Sedangkan di segmen Barat koridor Soekarno Hatta pada umumnya tidak kontekstual dengan tapak dan jalan, yang disebabkan oleh kondisi existing kapling kampung yang sulit dikembangkan. Kata kunci: Massa Bangunan, Kapling, Adaptasi, Kontekstual, Kontras

Abstract - This research asses building form and massing that formed along Primary Arterial Road, occuring by Soekarno-Hatta Road irregular truncated lot. In several segment, formation of mass building layout are different and diverse, this is due to lot variety physical and structure in each segment. On the eastern segment that is Kiaracondong-Cibiru Segment, was formed during Soekarno-Hatta Road was built while the region is still vacant. Meanwhile on the western segment, Soekarno-Hatta Road was built after being populated. The order of formation that occur on each road segment will be analyzed randomly. Selected case based on building contextual adaptation forms with lot form and street orientation, and also building contrast adaptation form with lot form and street orientation. Building adaptation cover entire function that exist in street coridor, kampong occupancy function, goverment office complex function, shop function, and on plots in node path. The result show that in general order mass on east segment Soekarno-Hatta corridor was contextual with plot form, because it was built on vacant plots. Whereas in West corridor of Soekarno Hatta segment generally not contextual to the tread and the road, this is caused by the existing condition of kampong plots are difficult to develop. Keywords: Building Mass, Kaveling, Adaptation, Contextual, Contrast

1. Pendahuluan

Disain dan konteks merupakan suatu proses

disain yang terkait erat karena berhubungan langsung dalam analisa fisik. Konteks tapak dipengaruhi oleh lingkungan alam, lingkungan binaan dan lingkungan arsitektural.

Konteks alam yang mempengaruhi disain adalah: topografi, tanah, energi matahari, air, vegetasi, alam, (geologi, hidrologi, vegetasi, klimat mikro, alam). Konteks buatan manusia adalah: drainage, jalan, saluran air bersih. Sedangkan

konteks arsitektural adalah: konteks kota, bentuk tapak, bentuk bangunan sekitar, garis langit, vista.

Fasade bangunan atau dalam istilah Indonesia wajah bangunan, merupakan elemen penting pada koridor jalan, karena selain sebagai dinding pelingkup ruang koridor jalan, fungsi utama lainnya adalah sebagai elemen visual, pemandangan pemuas mata, dan sebagai citra sebuah kota. Fasade bangunan merupakan bagian dari penampilan bangunan yang menyangkut konteks dan kontras dalam hal tekstur, warna,

Page 48: Jurnal Tekno Oktober 2011

46

bahan, gaya yang dapat menampilkan bentuk dan massa bangunan.

Disain individual bangunan yang merupakan produk arsitektur, konstribusinya sangat besar bagi koridor kota, karena ia dapat memberikan sumbangan yang baik atau buruk bagi citra kota. Wajah suatu kota adalah tergantung dari konfigurasi tatanan bentuk dan fasade bangunan pada jalannya, selain ruang dan massa bangunan pada koridor, faktor yang penting dalam pembentukan visual koridor adalah gaya bangunan dan komposisi bentuk yang harmonis.

Selain disain bangunan yang kontekstual dengan bentuk tapak, bangunan juga sebaiknya kontektual dengan jalan yang ada disekeliling tapak., terutama jalan utama. Oleh karenanya bentuk tapak merupakan faktor yang menentukan baik atau buruknya suatu bentuk massa bangunan..

2. Metodologi Penelitian

Untuk mempelajari perubahan kawasan dipakai pendekatan studi a) tipologi morfologi, yaitu metoda yang mengamati fisik kota yang mengalami perubahan karena pembangunan jalan baru b) Kota diamati dan dipandang dari sudut arsitektur yaitu mempelajari fenomena perubahan artefak dan ruang c) Dalam mengamati perubahan struktur kawasan dapat digunakan pendekatan teori figure ground, linkage, dan place.

Metodologi penelitian yang dilakukan adalah dengan membaca fenomena yang terjadi di beberapa kasus bagian-bagian kota, khususnya pada transformasi kawasan-kawasan yang terkena intervensi pembangunan jalan baru. Karena penelitian ini juga merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memberi penjelasan (explanatory), maka cara yang diambil dalam penelitian ini melalui penalaran induktif, yaitu memperoleh kesimpulan-kesimpulan umum dari sejumlah kasus tunggal. Pendekatan penelitian yang dipakai dalam melaksanakan penelitian ini adalah dengan grounded theory, yaitu jenis penelitian kualitatif yang mempunyai sasaran secara induktif menghasilkan sebuah teori dari hasil data-data yang didapat. Pada model penelitian ini peneliti membangun substantive theory yang berbeda dari grand atau formal theory.

3. Hasil Dan Pembahasan

A. Tatanan massa dan bentuk yang

kontekstual dengan bentuk kapling

Adaptasi bangunan yang kontekstual terhadap tapak/kapling, adalah adaptasi yang mempertimbangkan bentuk tapak yang ada, sehingga bentuk massa bangunan sesuai dengan bentuk tapak, dan orientasi muka bangunan sejajar dengan jalan utama.

Jalan Soekarno-Hatta memotong cadaster yang ada secara lengkung dan miring, akibatnya terbentuk kapling-kapling yang miring di sepanjang jalan tersebut. Bentuk tapak yang miring tersebut menjadinya konteks bagi terbentuknya bangunan kemudian. Dengan konteks bentuk tapak seperti terlihat gambar dibawah, penataan massa bangunan mengalami adaptasi.

Gambar 1 Bentukan kapling yang terpotong

jalan

Bentuk tapak yang iregular dan tidak sejajar dengan jalan, akan menyulitkan bangunan untuk berorientasi kepada jalan, sehingga fasade bangunan tidak dapat ditampilkan dengan baik.

Adaptasi bangunan pada konteks bentuk tapak di jalan Soekarno-Hatta, terdapat beberapa tipologi, 1) kapling dengan fungsi bangunan industri (multi massa, atau massa tunggal) 2) kapling dengan fungsi bangunan kantor (multi massa atau tunggal) 3) kapling dengan fungsi bangunan komersial (multi massa atau tunggal) 4) kapling dengan fungsi bangunan pemerintah dan pelayanan umum 5) kapling dengan fungsi bangunan rumah tinggal (multi massa atau tunggal)

Bentuk dasar dalam arsitektur adalah segiempat, segi tiga, bulat, dan kombinasi dari ketiganya, segi empat adalah bentuk yang paling baik menghasilkan ruang yang efisien, sehingga dalam merancang bangunan bentuk dasar yang dipilih untuk bentuk tapak dan bentuk bangunan adalah segi empat, bentuk segi tiga dan bulat merupakan elemen-elemen additive dan subtractive untuk memperkaya bentuk.

Page 49: Jurnal Tekno Oktober 2011

47

Gambar 2 Bentukan massa bangunan di koridor

Soekarno-Hatta (Kiaracondong-Metro)

Pada gambar diatas terlihat bagaimana

adaptasi bangunan pada kapling-kapling yang terpotong miring. Pada umumnya tata massa bangunan tetap mengikuti bentuk tapak, dan muka bangunan tidak sejajar jalan Soekarno-Hatta. Hanya sebagian kecil saja adaptasi bentuk massa bangunan didisain dengan muka bangunan sejajar jalan Soekarno-Hatta

Bentuk bangunan yang sesuai untuk fungsi pabrik, kantor, bengkel, pendidikan, dan pasar, adalah bentuk yang efisien dan fungsional, sehingga seringkali dipilih bentuk segi empat dan atau bujur sangkar. Pada umumnya arsitek jarang memilih bentuk segi tiga untuk fungsi-fungsi tersebut, hal ini disebabkan karena bentuk segi tiga kurang meruang dan kurang bisa di tata dengan baik.

1. Pabrik Obat Propan Raya 2. Jasa Raharja

Bentuk bangunan pada kedua kapling ini mengikuti kemiringan sisi kapling yang terpotong jalan Soekarno-Hatta, akibatnya terbentuk massa bangunan yang berbentuk jajaran genjang.

Konsultan Arsitek Bangunan Jasa Raharja: PT. Atelier Enam Profesio, dibangun pada tahun 1996. Bentuk bangunan jajaran genjang membentuk

denah jajaran genjang yang menggabungkan bentuk segi empat dan segi tiga.

Gambar 3 Lokasi kasus 1(no: b) dan 2(no: c) di

koridor Soekarno-Hatta

Gambar 4 Kasus 1 dan 2 Bentukan massa

bangunan yang kontekstual dengan bentuk kapling

Disini bentuk tapak sebagai konteks diikuti

secara kuat tanpa mempertimbangkan fungsi ruang sebagai satu hirarki yang utama, sehingga menghasilkan disain dalam konteks tapak yang sesuai. Bentuk jajaran genjang pada bagian muka, dimanfaatkan untuk fungsi utilitas, sementara ruang-ruang kantor lainnya tetap berbentuk persegi empat.

Kantilever yang dirancang pada bagian muka bangunan menampilkan kemiringan denah, sehingga tampak menarik. Konsep arsitek bangunan Jasa Raharja ini mengutamakan jalan Soekarno-Hatta sebagai jalan utama, dan kapling yang berbentuk segi empat terpotong miring pada bagian mukanya.

3. Cipaganti Rental Car 4. Forflift Rental

Page 50: Jurnal Tekno Oktober 2011

48

Fungsi bangunan dibawah ini adalah rental mobil dan rental forklift dengan satu kepemilikan yaitu Cipaganti. Kedua bentuk tapak yang berbeda membentuk massa bangunan yang berbeda yaitu persegi empat panjang, dan persegi empat ditekuk. Fungsi-fungsi bangunan ini membutuhkan lahan yang luas untuk memarkir forklift dan mobil rental.

Gambar 5 Kasus 3(no: b) dan 4(no: b) Bentukan

massa bangunan yang kontekstual dengan bentuk kapling

5. Satkorlak

Bangunan pemerintah Satkorlak, berada pada lokasi jalan Soekarno-Hatta yang menghadap kearah utara, bentuk tapak miring kearah jalan Soekarno-Hatta, dan sebelah selatan dibatasi oleh sungai yang berliku-liku. Orientasi bangunan ke arah jalan Soekarno-Hatta, dan mengikuti bentuk tapak yang miring.

Agar Garis Sempadan Bangunan bisa dipenuhi dengan baik, maka massa bangunan ini mundur kebelakang, dengan membentuk L pendek.

Gambar 6 Kasus 5(no: c) Bentukan massa

bangunan yang kontekstual dengan bentuk kapling

Kekurangan dari disain bangunan Satkorlak ini adalah pada jarak antar bangunan samping, yang kurang dari ketentuan yang seharusnya. Jarak yang terlalu dekat ini, seringkali menimbulkan masalah apabila bangunan disebelahnya sudah dibangun.

6. Kantor Swasta

Gambar 7 Kasus 6(no: a) Bentukan massa

bangunan yang kontekstual dengan bentuk kapling

Fungsi bangunan kantor, dengan bentuk

kapling persegi empat, terpotong miring disisi jalan Soekarno-Hatta. Muka bangunan menghadap ke utara, disain bangunan dan tata massa bangunan ini berupaya untuk sesuai konteks bentuk tapak, yaitu persegi panjang yang terpotong miring pada satu sisi pendeknya. Sehingga dibentuk 3 massa bangunan yang menempel ber-trap, dengan bentang yang pendek untuk memperoleh penghawaan dan pencahayaan alami.

Disain bentuk seperti ini, merupakan disain bentuk lain yang lebih kreatif dari pada persegi panjang, yang monoton dan membosankan, dan kelebihannya terjadi ruang-ruang sisa yang lebih hidup dan fungsional untuk vegetasi dan parkir.

7. Rumah Sakit Al Islam

Bentuk kapling pada bangunan dengan fungsi Rumah Sakit ini adalah segi empat iregular, dan mengantung kearah panjangnya. Arsitek dari RS Al Islam ini adalah Prof. Dr. Sandi A. Siregar.

Dengan lebar kapling yang cukup lebar di bagian depan, kemudian menyempit, dan melebar

Page 51: Jurnal Tekno Oktober 2011

49

lagi di bagian belakangnya, penataan massa bangunan mengalami kesulitan.

Penataan bangunan rawat jalan, ditempatkan pada bagian sempit kapling, sehingga massa bangunan berbentuk segi empat panjang kearah belakang.

Bagian rawat inap lebih mudah untuk ditata, oleh karena ditempatkan di bagian belakang kapling yang cukup lebar. Bangunan mesjid berada pada area muka bersama dengan parkir kendaraan mobil.

Bentuk dan tatanan massa bangunan cukup kontekstual terhadap bentuk kapling, dan muka bangunan sejajar dengan jalan.

Gambar 8 Kasus 7 Bentukan massa bangunan

yang kontekstual dengan bentuk kapling

8. PO Parahyangan Bus 9. Kantor PKS

Pada segmen jalan ini banyak kapling-kapling yang terpotong miring, sehingga terdapat berbagai tipe bangunan yang mengadaptasi pada konteks bentuk tapak secara berbeda-beda. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa bentuk kapling berorientasi utara selatan, dengan bentuk persegi panjang, dengan sisi lebar pada jalan Soekarno-Hatta.

Penyelesaian disain tata letak massa bangunan pada umumnya tetap mengikuti bentuk tapak yang ada, dan jalan Soekarno-Hatta tidak dijadikan sebagai orientasi utama., dalam artian garis sisi jalan tersebut tidak dijadikan acuan utama dalam menentukan bentuk massa bangunan.

Terdapat beberapa bangunan yang mengambil sikap yang lain dari konteks lingkungan sekitarnya, yaitu perusahaan bus PO Parahyangan.

Kedua bangunan kantor ini berhadap-hadapan pada jalan Soekarno-Hatta, fungsi bangunan A sebagai kantor satu perusahaan bus PO Parahyangan, dan bangunan B berfungsi sebagai kantor partai PKS. Kedua bentuk kapling dapat dikatakan sama dan sebangun, hanya luasnya saja

bangunannya didisain sangat mengikuti bentuk tapak yang miring dimuka, sejajar dengan jalan Soekarno-Hatta membentuk massa bangunan jajaran genjang, sedangkan bangunan B massa bangunannya didisain dengan memberikan tekukan trap pada bagian muka bangunan sehingga dapat dikatakan sejajar dengan jalan Soekarno-Hatta.

Gambar 9 Kasus 8(no: a) dan 9(no: d)

ang g

Dalam mengambil keputusan disain, banyak

sintesa

Bentukan massa bangunan ykontekstual dengan bentuk kaplin

-sintesa yang harus dipertimbangkan sehingga menghasilkan disain yang optimal, diantaranya jalan sebagai orientasi bangunan, bentuk tapak yang miring, dan banyak lainnya. Ada yang menjadi prioritas utama dan ada yang menjadi prioritas ke sekian, sehingga hal itu juga yang menjadi faktor utama atau tidak. Dalam kasus diatas ini, arsitektur lebih memprioritaskan fungsi sebagai faktor utama dalam mengambil keputusan akhir, bentuk tapak dan jalan sebagai orientasi bangunan dapat menjadi faktor berikutnya, sehingga bentuk akhir dapat sesuai dengan fungsinya.

yang berbeda. Pada bangunan A massa

Page 52: Jurnal Tekno Oktober 2011

50

0. Restoran Andalas 1

Gambar 10 Kasus 10 (no: b) Bentukan massa

n

disain bentuk massa bangunan

yang t

1. Kampus Uninus h perguruan tinggi swasta

biasany

bangunan yang kontekstual dengabentuk kapling

Penyelesaian idak sesuai dengan konteks bentuk kapling

diatas, seringkali terjadi pada bangunan yang dibangun bertahap sedikit demi sedikit, yang kemudian pada akhirnya menjadi tidak menyatu. 1

Membangun sebuaa dilakukan secara bertahap,

pengembangan-pengembangan terus dilakukan sejalan dengan bertambahnya jumlah mahasiswa. Demikian halnya dengan Uninus yang menggabungkan 5 buah kapling untuk mendapatkan luas yang layak untuk sebuah kampus universitas.

Gambar 11 Kasus 11(no: e) Bentukan massa

an

Lahan kosong di kawasan jalan Soekarno-Hatta

ma

bangunan yang kontekstual dengbentuk kapling

sih tersedia secara leluasa, karena transformasi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, sehingga banyak sawah–sawah yang berubah fungsi. Komposisi dan tata letak bangunan

Uninus ini cukup menciptakan ruang luar yang luas, serta mengikuti sisi sejajar Soekarno-Hatta dan sisi tapak yang miring. Penataan massa kampus ini cukup baik. 12. Ruko

Gambar 12 Kasus 12(no: a) Bentukan massa

bangunan yang kontekstual dengan bentuk kapling

Penyelesaian bentuk disain yang unik pada

bangunan yang terletak pada simpul jalan Soekarno-Hatta dan Buahbatu ini berfungsi sebagai ruko. Dengan setback yang dalam dan tata letak massa yang miring, bentuk bangunan ruko ini makin mengecil pada lebar bangunan dan atapnya.

Terdapat 8 buah ukuran atap yang disebabkan lebar bangunan yang berbeda-beda, membentuk façade bangunan yang bertrap dan membentuk skyline menurun. Penyelesaian disain seperti ini benar-benar memperhatikan konteks bentuk tapak yang miring, dan konteks lingkungan yang berada pada simpul jalan, dan sebagai bangunan sudut pada jalan arteri primer. Tapak yang berbentuk segi tiga, diselesaikan dengan massa bangunan yang berbentuk segi tiga tidak murni, yang merupakan gabungan dari segi empat-segi empat yang ber-trap.

13. Bangunan Graha Sucofindo/Kantor

Pegadaian

Page 53: Jurnal Tekno Oktober 2011

51

14. Bangunan Rumah Tinggal dan Kantor

Gambar 13 Kasus 13(no: b) dan 14(no: d)

Bentukan massa bangunan yang ling

Kedu berhadapan pada segm an Soekarno-Hatta yang m

nteks tapak yang miring terpoto

5. Pusat Khitanan

kontekstual dengan bentuk kap

a bangunan diatas ini beradaen jal

iring. Bentuk tapak yang merupakan hasil penggabungan dua buah kapling yang berbentuk iregular pada bangunan A terdiri dari dua massa bangunan, yaitu bangunan utama bangunan pegadaian dan penunjangnya. Ruang sisa yang ada berbentuk iregular, dan merupakan ruang sisa yang masih fungsional dan menyatukan berfungsinya kedua massa bangunan.

Pada bangunan B penyelesaian disain bangunan mengikuti ko

ng jalan Soekarno-Hatta. Penyelesaian miring dengan cara membuat trap seperti ini adalah penyelesaian disain untuk menghindari bentuk segi tiga.

1

Gambar 14 Kasus 15(no: a) Bentukan massa

bangunan yang kontekstual dengan

Bang ngsi sebagai pusat khitanan, dan mempuny i bentuk kapling bujur sangka

ulatan Arsitek dan Kontraktor

PT. konsultan Arsitek dan kontraktor ini te

bentuk kapling

unan yang berfu

ar ini membentuk bangunan yang metaphor

sesuai dengan fungsinya. Bentuk kapling yang miring akibat terpotong Garis Sempadan Bangunan diselesaikan dengan disain bujur sangkar terpotong, dengan innercourt pada bagian tengahnya. Tekukan-tekukan di bagian façade merupakan sikap terhadap jalan Soekarno-Hatta, dan sebagai tanda bahwa bangunan tersebut tidak berbentuk segi empat murni, tetapi segi empat yang terpotong. Kaitan bentuk bangunan dengan fungsi bangunan yaitu klinik khitanan yang sifatnya untuk kesehatan tidak tercapai, karena pada umumnya bentuk bangunan klinis adalah linier. 16. Bangunan Kantor Kons

Bangunan yang berfungsi sebagai kantor Husin Latif,

rletak pada segmen akhir jalan Soekarno-Hatta, yaitu dekat simpang jalan Soedirman. Arsitek gedung konsultan ini adalah Ir. Husin Latief.

Page 54: Jurnal Tekno Oktober 2011

52

Gambar 15 Kasus 16 Bentukan massa

bangunan yang kontekstual dengan bentuk kapling

Perancangan bangunan sangat kontekstual

dengan bentuk kapling, kapling yang berbentuk iregular, yaitu di bagian muka sejajar dengan jalan Soekarno-Hatta, dan menekuk dibagian belakang, diadaptasi dengan bentuk sejajar di bagian muka, dan berbentuk trap di bagian belakang. Ketinggian bangunan 4 lantai pada bagian tengah, dan 3 lantai dan 2 lantai pada bagian sayap.

Konsep gaya mengikuti gaya gedung sate, dengan bagian tengah sebagai puncak bangunan (paling tinggi). Misi dari arsitek pada saat itu, bahwa bangunan ini diharapkan menjadi generator peningkatan kualitas kawasan, yang pada saat itu masih kumuh. Garis Sempadan Bangunan sudah ditentukan oleh DTK yaitu 15 meter, juga jarak belakang, dan samping bangunan yaitu 2 meter. Ketinggian bangunan yang ditentukan oleh DTK, adalah diatas 4 lantai. Fungsi bangunan yang direncanakan, adalah rental office, untuk show room mobil, dan kantor.

17. Pabrik dan Kantor Segmen jalan ini didominasi oleh fungsi

indutri non polusi. Pabrik-pabrik yang memiliki lahan yang besar tersebut banyak yang terpotong miring oleh intervensi pembangunan jalan Soekarno-Hatta. Diantaranya seperti kasus dibawah ini, bentuk dua massa bangunan yang tidak persegi empat digabungkan menjadi satu, sehingga menghasilkan bentuk pabrik yang aneh.

Gambar 16 Kasus 17(no: c) Bentukan massa

bangunan yang kontekstual dengan bentuk kapling

Bentuk kapling pada awalnya berbentuk

iregular, dengan batas alam sungai dibagian belakang. Setelah terpotong bagian sisi mukanya, kapling menjadi semakin tidak geometris, dengan intervensi oleh jalan Soekarno-Hatta, adaptasi bangunan pabrik tersebut dilakukan secara pragmatis.

Bangunan kantor pabrik ditempelkan dibagian muka bangunan pabrik, yang berbentuk persegi panjang, mengikuti garis sempadan bangunan, sepertinya penyelesaian ini dilakukan sebagai bagian adaptasi pada saat terjadinya intervensi.

Page 55: Jurnal Tekno Oktober 2011

53

18. Bandung Bowling and Bilyard Center Orientasi bangunan kearah jalan utama

adalah salah satu kriteria disain, walaupun ada akses jalan lain. Tetapi jalan Soekarno-Hatta adalah jalan arteri primer yang mempunyai kekuatan yang besar untuk bangunan berorientasi. Pada kasus diatas ini terdapat 6 kapling yang mempunyai akses jalan tersendiri menuju jalan Soekarno Hatta, tetapi orientasi muka bangunan tetap menghadap kearah Soekarno-Hatta.

Dengan fungsi sebagai pabrik, sebetulnya orientasi bangunan tidak penting menghadap kearah mana. Lain halnya dengan bangunan komersial Bandung Bowling, Bilyar Center yang berada paling ujung, bangunan ini memerlukan akses langsung ke jalan Soekarno-Hatta.

Gambar 17 Kasus 18 Bentukan massa

bangunan yang kontektual dengan bentuk kapling

19. Pabrik

Pada kasus pabrik dibawah ini, bentuk kaplingnya miring, sedangkan lingkungan sekitarnya tidak miring. Pada segmen ini jalan Soekarno-Hatta tidak memotong miring, tetapi tiba-tiba kapling ini berbentuk miring sendiri. Kemungkinan terbentuknya kapling dipengaruhi oleh drainase disampingnya.

B. Tatanan massa dan bentuk yang

tidak kontekstual (kontras) dengan bentuk kapling

Adaptasi bangunan yang tidak kontekstual terhadap tapak/kapling, adalah adaptasi yang tidak mempertimbangkan bentuk tapak yang ada, sehingga bentuk massa bangunan tidak sesuai dengan bentuk tapak, dan orientasi muka bangunan tidak sejajar dengan jalan utama.

Gambar 18 Kasus 19 Bentukan massa

bangunan yang kontekstual dengan bentuk kapling

1. Pasar Gede Bage

Pasar Gedebage adalah pasar induk Kota Bandung yang melayani kota Bandung bagian timur. Pasar ini milik pemerintah dan dibangun sekitar tahun 1992, dengan dana dari APBD Pemkot Bandung. Arsitek: Ir. Soewito dan Ir. Sumargo

Bentuk tapak pasar Gedebage secara keseluruhan adalah persegi empat panjang, menghadap ke jalan Soekarno-Hatta. Penyelesaian disain tata massa bangunan pasar ini tidak mengikuti bentuk persegi empat tapak, tetapi lebih mengikuti sisi jalan Soekarno-Hatta. Sehingga terjadi ruang-ruang sisa berbentuk segi tiga pada bagian kiri dan kanan nya.

Adaptasi bangunan (massa) seperti ini bertujuan untuk memperlakukan jalan Soekarno-Hatta sebagai orentasi yang penting, tetapi disisi lain ruang-ruang dalam tapak menjadi tidak efisien, dan menjadi ruang sisa.

Sementara konteks lingkungan (tata-massa) disekitarnya bersikap sebaliknya, mereka membuat penyelesaian disain tata letak massa bangunan, dengan tetap mengikuti bentuk tapak yang agak miring kearah jalan Soekarno-Hatta, sehingga sisa ruang yang terjadi, tidak membentuk segi tiga tetapi segi empat. Ruang segi tiga yang terjadi terbentuk dimuka bangunan, sebagai ruang setback bangunan.

Page 56: Jurnal Tekno Oktober 2011

54

Perancangan tapak dengan konteks bentuk tapak yang miring seperti ini, mengakibatkan sulitnya untuk mengadakan pengembangan, atau perluasan kearah belakang.

Gambar 19 Kasus 20(no: a) Bentukan massa

bangunan yang tidak kontekstual dengan bentuk kapling

2. Kantor dan gudang Teh Botol Sosro

Dibawah ini terdapat kasus penggabungan kapling yang bentuknya tidak geometris. Fungsi bangunan-bangunan kantor yang ada dalam satu kepemilikan, sertifikat tanah yang tercatat di BPN adalah 2 kapling tahun 1978, 1 kapling tahun 1987, 1 kapling tahun 2000, dan 2 kapling tahun 2002.

Dengan bentuk kapling hasil dari penggabungan yang cukup besar dan dalam, massa bangunan tidak didisain dan tidak ditata dengan baik. Untuk memasuki bangunan kantor ini orang harus masuk melalui bagian tengah 2 bangunan yang sempit, terutama bagi pengunjung yang mengendarai mobil akan terasa tidak nyaman memasukinya.

Gambar 20 Kasus 21(no: a) Bentukan massa

bangunan yang tidak kontekstual dengan bentuk kapling

3. Gudang kayu

Bangunan yang dipaksakan bentuknya sesuai dengan konteks bentuk tapak, dan memenuhi seluruh kapling dengan sisa ruang terbuka kira-kira 10–20%. GSB hanya sekitar 3 meter pada salah satu sisinya, dan 8 meter pada bagian tengahnya.

Gambar 21 Kasus 22(no: a) Bentukan massa

bangunan yang tidak kontekstual dengan bentuk kapling

Page 57: Jurnal Tekno Oktober 2011

55

4. Bangunan gudang Honda Kapling bangunan gudang Honda yang

terpotong jalan Soekarno-Hatta ini, dibiarkan begitu saja tanpa ada adaptasi apapun. Yang dilakukan adalah menutup bagian muka bangunan agar tidak terbuka, tanpa pengolahan façade muka bangunan yang berarti.

Gambar 22 Kasus 23 Bentukan massa bangunan

yang tidak kontekstual dengan bentuk kapling

4. Kesimpulan

Adaptasi bangunan yang terbentuk pada

kapling-kapling yang berbentuk iregular di jalan Arteri primer Soekarno-Hatta terdiri dari beberapa kategori: Pada kawasan yang masih kosong, pada segmen Kiaracondong-Cibiru:

Pada jalan yang terpotong miring: 1. Kategori 1 adalah muka bangunan sejajar

dengan jalan yang miring, dengan tatanan massa bangunan sejajar atau mengikuti sisi panjang kapling

2. Kategori 2 adalah muka bangunan sejajar dengan jalan yang miring, tetapi ber-trap, dan tatanan bangunan mengikuti sisi panjang kapling

3. Kategori 3 adalah muka bangunan tidak sejajar dengan jalan yang miring, dengan tatanan massa bangunan sejajar atau mengikuti sisi panjang kapling Dari ke 3 kategori adaptasi bangunan diatas,

pada koridor jalan arteri Soekarno-Hatta yang paling dominan adalah adaptasi bangunan kategori 3. Sedangkan adaptasi bangunan kategori 1 dan 2 hanya terdapat beberapa saja, yaitu kurang dari 10 kasus.

Pada jalan yang terpotong lurus:

Hanya terdapat 1 Kategori yaitu muka bangunan sejajar dengan jalan yang lurus, dengan

tatanan massa bangunan sejajar atau mengikuti sisi panjang kapling. Pada kawasan terbangun hunian kampung: orientasi muka bangunan pada umumnya dipindahkan menghadap ke jalan arteri, dan sisa kapling seluruhnya dibangun. 1. Kategori 1 adalah muka bangunan sejajar

dengan jalan yang miring, dengan tatanan massa bangunan mengikuti bentuk sisa kapling (jajaran genjang segi empat iregular, segi tiga, segi banyak)

2. Kategori 2 adalah muka bangunan sejajar dengan jalan yang miring, tetapi ber-trap, dengan tatanan massa bangunan mengikuti bentuk sisa kapling (jajaran genjang segi empat iregular, segi tiga, segi banyak)

5. Daftar Pustaka

1. Bacon, Edmund N, 1975 Design of Cities

London: Thames and Hudson Ltd. 2. Bishop, Kirk, no year. Designing Urban

Corridors: Planning Advisory Service Report Number 418. American Planning Association.

3. Douglas, James 2002 Building Adaptation Oxford University Press Inc Butterworth-Heinemann

4. Echols, John M, Shadily, Hassan 1975 Kamus Inggris Indonesia

5. Hakim, Rustam, 2006 Rancangan Visual Lansekap Jalan Panduan Estetika Dinding Penghalang Kebisingan Jakarta: Sinar Grafika Offset

6. Hedman, Richard with Jaszewski, Andrew 1984 Fundamentals of Urban Design Washington DC: Planner Press American Planning Association

7. Hertzberger, Herman. 1988 Lessons For Students In Architecture Rotterdam : Uitgevery 010 Publishers

8. Leupen, Bernard. Et. Al. 1997 Design and Analysis Van Nostrand Reinhold, NY.

9. Marshall, Stephen 2005 Streets and Patterns London, New York: Spon Press Taylor and Francis Group

10. Moughtin, James Clifford. 1992 Urban Design: Street and Square Oxford Architectural Press

11. Siregar, Sandi A. 1990 Bandung- The Architecture of a City in Development Disertasi S3 Katholieke Universiteit Leuven

6. Riwayat Penulis

Dr. Ir. Dewi Parliana, MSP. Adalah dosen Kopertis Wilayah IV yang dipekerjakan pada Jurusan Teknik Arsitektur ITENAS Bandung sejak tahun 1990, S1 Teknik Arsitektur Unpar, S2 PWK ITB, S3 Arsitektur Unpar, No. hp 0818432196