Jurnal Riset Akuntasi Indonesia dg tabel.doc

download Jurnal Riset Akuntasi Indonesia dg tabel.doc

of 44

Transcript of Jurnal Riset Akuntasi Indonesia dg tabel.doc

Eksistensi Laporan Nilai Tambah Syariah Berbasis Rezeki

Pengaruh Rasio Camel terhadap Praktik Manajemen Laba

Di Bank Syariah

ZAHARA*

Politeknik Universitas Andalas

SYLVIA VERONICA SIREGAR**

Universitas Indonesia

(

1. Pendahuluan

Informasi akuntansi yang tersaji dalam laporan keuangan merupakan yang salah satu informasi utama yang dapat diakses oleh investor, kreditur maupun pemegang saham untuk menilai kinerja manajer dalam mengelola dana perusahaan. Manajer dapat saja melakukan praktik manajemen laba (earnings management) untuk tujuan tertentu. Healy (1985), Mc Nichols and Nillson (1988), Dechow et al. (1995), Bernard dan Skinner (1996) menemukan bukti adanya tindakan manager dalam melakukan manajemen laba terutama yang terkait dengan transaksi accrual. Praktik manajemen laba ini juga ditemukan di sektor perbankan seperti Robb (1998) yang mendapatkan bukti adanya indikasi pengelolaan laba pada sektor perbankan. Penelitian Bertrand (2000) menemukan bukti secara empiris bank di Swiss yang sedikit kurang atau mendekati ketentuan batasan kecukupan modal cenderung untuk meningkatkan ratio kecukupan modal (CAR) mereka agar memenuhi persyaratan. Penelitian Betty et al (2002) menemukan bahwa, public banks cenderung memiliki insentif lebih besar untuk melaporkan adanya kenaikan laba dibandingkan private bank secara lebih konsisten. Penelitian Naciri (2002) mendapatkan bukti empiris adanya indikasi pengelolaan laba pada sektor perbankan. Beberapa penelitian pada bank konvensional di Indonesia, juga menunjukkan adanya indikasi praktik manajemen laba yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Setiawati dan Naim (2001) yang menemukan bank-bank yang mengalami penurunan score tingkat kesehatannya cenderung melakukan earnings management. Susanto (2003) menemukan adanya indikasi praktek pengelolaan laba (earnings management) yang dilakukan oleh kelompok bank tidak sehat dan salah satu faktor dominan yang mendorong bank melakukan pengelolaan laba tersebut adalah motif meningkatkan kinerja bank. Endriani (2004) menemukan adanya indikasi earnings management pada bank dalam usahanya memenuhi ketentuan kecukupan CAR (Capital Adequancy Ratio) yang ditetapkan oleh BI. Arnawa (2006) juga menemukan adanya indikasi praktik manajemen laba dengan cara meningkatkan laba pada perbankan nasional pasca program rekapitalisasi, dan motif meningkatkan kinerja bank juga merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi bank melakukan manajemen laba.

Bank syariah yang merupakan salah satu bentuk operasional bank yang ada di Indonesia, dimana seperti bank konvensional, juga terikat dengan peraturan baik yang ditetapkan oleh pemerintah maupun Bank Indonesia (BI), serta ditambah dengan aturan syariah. Penilaian kinerja bank syariah juga tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Oleh karena itu penelitian pada bank syariah untuk melihat indikasi praktik manajemen laba yang dipengaruhi oleh kinerjanya menjadi hal yang menarik untuk dibahas.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat indikasi praktik manajemen laba pada bank syariah dan apakah kinerja bank syariah dengan rasio CAMEL mempunyai pengaruh terhadap praktik manajemen laba. Kontribusi penelitian ini adalah menginvestigasi praktek manajemen laba di bank syariah, sedangkan penelitian sebelumnya mengenai praktek manajemen laba di sektor perbankan di Indonesia umumnya mengambil sampel bank konvensional. Manfaat dari penelitian ini antara lain memberikan informasi kepada pengguna laporan keuangan untuk mengenai apakah terdapat indikasi manajemen laba di bank syariah, sehingga pengguna dapat lebih teliti dalam membaca laporan keuangan. Adanya indikasi manajemen laba diperbankan juga perlu mendapat perhatian dari BI sebagai penyusun regulasi yang terkait dengan perbankan di Indonesia.

2. Telaah Literatur dan Pengembangan HipotesisBeberapa penelitian pada bank konvensional di Indonesia, menunjukkan adanya indikasi praktik manajemen laba (earnings management) seperti penelitian yang dilakukan oleh Setiawati dan Naim (2001), Susanto (2003), Endriani (2004) dan Arnawa (2006) menemukan adanya indikasi praktik manajemen laba dengan cara meningkatkan laba pada perbankan nasional pasca program rekapitalisasi, dan motif meningkatkan kinerja bank juga merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi bank melakukan manajemen laba.

Bank syariah yang dalam operasionalnya memiliki fungsi yang lebih luas dari bank konvensional seperti yang diuraikan dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) 2003 yaitu sebagai Manajer Investasi, Investor, Penyedia Jasa Keuangan dan Lalu Lintas Pembayaran, serta Pengembangan Fungsi Sosial. Khan (1992), dalam Sofie (2005), mengidentifikasikan tujuan laporan keuangan akuntansi syariah antara lain adalah penentuan laba rugi yang tepat dan melaporkan dengan benar dan adaptable terhadap perubahan. Syahatah (2001) membagi tujuan akuntansi keuangan (laporan keuangan) diantaranya membantu pengambilan keputusan yang lebih baik dan menentukan besarnya penghasilan yang wajib dizakati.

Karena penilaian kinerja bank syariah umumnya tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, maka diduga penilaian kinerja bank syariah dengan rasio CAMEL juga mempunyai pengaruh terhadap praktik manajemen laba. Rasio CAMEL dan proksinya yang digunakan dalam penelitian ini merujuk kepada penelitian Nasser (2003), yang sebelumnya juga sudah digunakan oleh Payamta dan Machfoedz (1999) serta Nasser dan Aryati (2000).

Rasio C (Capital) pada rasio CAMEL dalam penelitian ini, diproksi dengan nilai rasio CAR (Capital Adequacy Ratio. Penelitian Endriani (2004) ditemukan bahwa bank melakukan earnings management dalam upaya memenuhi ketentuan rasio kecukupan modal minimum (CAR) yang telah ditetapkan BI. Earnings management dilakukan oleh bank semakin intensif dengan arah yang terbalik dengan tingkat CAR, dimana bank yang memiliki nilai CAR lebih rendah dari ketentuan minimum BI cenderung lebih intensif (tinggi) melakukan praktik earnings management dan sebaliknya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai rasio CAR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.Karena nilai minimum CAR juga merupakan salah satu peraturan BI yang harus dipenuhi oleh bank syariah, maka diduga praktik manajemen laba yang dipengaruhi oleh rasio CAR ini juga terjadi pada bank syariah. Hipotesis yang diuji adalah:

H1a : Rasio CAR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.

Rasio A (Assets quality) pada rasio CAMEL, dimana kualitas aset ini dapat dilihat dari kemampuan aktiva produktif dalam menghasilkan laba. Sehingga rasio ini diproksi dengan nilai rasio RORA (Return On Risked Assets) yang diperoleh dari perbandingan laba sebelum pajak dengan aktiva produktif. Rasio RORA ini merupakan salah satu rasio yang menunjukkan profitabilitas bank. Secara teori diketahui bahwa perusahaan yang memiliki profitabilitas yang rendah lebih termotivasi untuk melakukan earnings management. Penelitian Robb (1998) juga membuktikan secara empiris bahwa bank cenderung melakukan praktik pengelolaan laba dengan cara meningkatkan laba, jika diperoleh laba yang lebih rendah dari yang diinginkan. Sehingga disimpulkan profitabilitas bank berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba. Berdasarkan dugaan ini disusun hipotesis:

H1b : Rasio RORA berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.Sedangkan rasio M (Management) pada rasio CAMEL, diproksi dengan nilai rasio ROA (Return On Assets). Penelitian Arnawa (2006) menggunakan rasio Return On Assets (ROA) sebagai salah satu proksi untuk menilai kinerja bank. Dimana nilai rasio ROA yang rendah juga diduga akan lebih memotivasi bank untuk melakukan manajemen laba dengan cara meningkatkan laba. Maka berdasarkan uraian di atas, dibangun hipotesis untuk melihat pengaruh rasio ROA terhadap prkatik manajemen laba di bank syariah sebagai berikut :

H1c : Rasio ROA berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.Rasio E (Earning) pada rasio CAMEL, diproksi dengan nilai rasio NPM (Net Profit Margin) yang diperoleh dari perbandingan laba operasi dengan pendapatan. Sama halnya dengan rasio RORA dan ROA sebelumnya, rasio NPM juga menunjukkan kemampuan bank menghasilkan laba dari aktivitas operasionalnya. Dimana laba operasi yang digunakan dalam rasio NPM ini jika ditambah dengan laba (rugi) bersih non operasional akan diperoleh nilai laba sebelum pajak yang digunakan dalam rasio RORA dan jika laba sebelum pajak ini dikurangi dengan perkiraan beban pajak penghasilan akan diperoleh nilai laba bersih yang digunakan dalam rasio ROA. Karena itu rasio NPM ini diasumsikan juga akan bersifat sama dengan rasio RORA dan ROA sebelumnya, dimana rasio-rasio tersebut dirujuk kepada rasio ROA dalam penelitian Arnawa (2006). Berdasarkan asumsi ini dirumuskan hipotesis :

H1d : Rasio NPM berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.

Rasio L (Liquidity) pada rasio CAMEL, diproksi dengan nilai rasio LDR (Loan to Deposit Ratio). Kinerja bank dalam penelitian Arnawa (2006) juga diproksi dengan rasio LDR. Semakin rendah nilai LDR yang juga menunjukkan rendahnya penghasilan bank akan memotivasi bank untuk melakukan manajemen laba dengan cara meningkatkan laba. Dan hasil penelitiannya juga menunjukkan hal yang sama yaitu rasio LDR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba secara signifikan. Karena rasio LDR dalam penelitian ini sama dengan rasio LDR yang digunakan dalam penelitian Arnawa (2006), berdasarkan uraian di atas hipotesis yang diajukan adalah :

H1e : Rasio LDR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba.3. Metode Penelitian

Hipotesis diuji dengan menggunakan regresi berganda sebagai berikut:ADit = + 1CARit + 2 RORAit + 3NPMit + 4ROAit + 5LDRit + 6BUSit + (1)

Keterangan :

ADit = Akrual Diskresioner (akrual abnormal) bank syariah i pada tahun t

CARit = nilai rasio CAR (Capital Adequacy Ratio) bank syariah i pada tahun t

RORAit = nilai rasio RORA (Return On Risked Assets) bank syariah i pada tahun t

NPMit = nilai rasio NPM (Net Profit Margin) bank syariah i pada tahun t

ROAit = nilai rasio ROA (Return On Assets) bank syariah i pada tahun tLDRit = nilai rasio LDR (Loan to Deposit Ratio) bank syariah i pada tahun t

BUSit = nilai Dummy bank syariah i pada tahun t, dimana 1 = BUS (Bank Umum syariah) dan 0 = UUS (Unit Usaha Syariah)Pada model regresi di atas juga dimasukkan variabel kontrol BUS yang dimaksudkan untuk mengontrol kemungkinan adanya perbedaan akrual diskresioner antara bank syariah yang berbentuk BUS dengan UUS dengan ekspektasi 6 0.

3.1. Pengukuran Variabel3.1.1 Variabel Independen: Akrual Diskresioner

Penghitungan total akrual sama dengan yang dilakukan Healy (1985) dan Jones (1991) yang telah disesuaikan dengan karakteristik perbankan, dengan rumus:

TAit = (PMADit + BDDit +UMPit - BYDit - UPit BAPit - Depit)/(Ait-1)

Keterangan: TAit = total akrual bank syariah i pada tahun t, PMADit = selisih pendapatan masih akan diterima bank syariah i pada tahun t dengan t-1, BDDit = selisih beban dibayar dimuka bank syariah i pada tahun t dengan t-1, UMPit = selisih uang muka pajak bank syariah i pada tahun t dengan t-1, BYDit = selisih beban yang harus dibayar bank syariah i pada tahun t dengan t-1, UPit = selisih utang pajak bank syariah i pada tahun t dengan t-1, BAPit = beban penyisihan aktiva produktif bank syariah i pada tahun t, Depit = beban depresiasi bank syariah i pada tahun t, Ait-1 = total aktiva bank syariah i pada tahun t-1.Selanjutnya, dilakukan estimasi dengan menggunakan model :

TAit / Ait-1 = a1(1/Ait-1) + b1(POit /Ait-1) + b2(PPEit /Ait-1) + it

Keterangan: TAit = total akrual bank syariah i pada tahun t, Ait-1 = total aktiva bank syariah i pada tahun t-1, POit = selisih pendapatan operasi bank syariah i pada tahun t dengan t-1, PPEit = property, plant, and equipment (aktiva tetap) bank syariah i pada tahun t. Perkiraan error (it) dalam persamaan di atas menunjukkan akrual diskresioner (discretionary accruals).

3.1.2 Variabel Dependen: Rasio CAMEL

Capital diukur dengan CAR = ekuitas/total aktiva; Asset Quality diukur dengan RORA = laba sebelum pajak/aktiva produktif, dimana aktiva produktif adalah semua aktiva baik dalam rupiah maupun valuta asing yang dimiliki bank syariah dengan maksud untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya; Management diukur dengan ROA = laba bersih/total aktiva; Earnings diukur dengan NPM = laba operasi/pendapatan; dan Liquidity diukur dengan LDR = jumlah kredit yang diberikan/jumlah dana pihak ketiga, dimana dana pihak ketiga adalah dana yang diterima oleh bank dari nasabah maupun dari pinjaman.

3.2 Prosedur Pengumpulan Data

Data yang akan diolah dalam penelitian ini diambil dari laporan keuangan publikasi tahunan bank syariah yang terpilih sebagai sampel penelitian, yang dapat diperoleh dari media massa yang memuat publikasi tersebut ataupun dari Direktori Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh BI.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah semua perbankan syariah di Indonesia, yang terdiri dari 3 kelompok yaitu Bank Umum Syariah (BUS, Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS. Karena tujuan dan operasional BUS dan UUS relatif sama dan peraturan BI untuk kedua kelompok bank syariah ini juga sama, maka yang dijadikan sampel dari penelitian ini hanya kelompok BUS dan UUS untuk tahun 2005 hingga 2006. Total sampel yang diolah adalah sebanyak 42 buah. Tetapi karena adanya beberapa UUS yang berdiri tahun 2005 sehingga data tahun 2004 belum ada, maka data sampel final yang diolah adalah sebanyak 38 buah.

4. Analisis Hasil Penelitian4.1. Analisis Indikasi Praktik Manajemen Laba Pada Bank Syariah

Statistik deskriptif komponen total akrual pada bank syariah dari sampel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1, yang menunjukkan jumlah data sampel yang diolah (N), nilai minimum dan maksimum, nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi dari variabel sampel, yang nilai TA, PO dan PPE telah dibagi dengan Total Aset tahun sebelumnya.

Dari Tabel 1 juga terlihat nilai rata-rata (mean) dari TA adalah -0,02750, AND -0,01922 dan AD -0,00828. Nilai rata-rata dari TA, AND dan AD yang kecil ini menunjukkan bahwa nilai akrual yang ada pada bank syariah cukup kecil karena memang perkiraan yang bersifat akrual pada bank syariah tidak begitu banyak. Sedangkan nilai rata-rata yang negatif menunjukkan bahwa nilai akrual yang ada pada bank syariah cenderung bersifat income decreasing (penurunan laba). Model regresi yang digunakan telah memenuhi semua asumsi klasik dan uji normalitas seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3, sehingga model sudah valid.

Tabel 1

Statistik Deskriptif Komponen Total Akrual pada Bank Syariah

NMinimumMaksimumMeanStd. Deviation

TA38-0,115980,03000-0,027500,03413

PO38-0,052194,366930,219970,70187

PPE380,000000,309030,038150,05029

AND38-0,128220,01460-0,019220,02185

AD38-0,104820,05562-0,008280,03186

TA=Total Akrual, PO=Perubahan Pendapatan Operasional, PPE=Aktiva Tetap, AND=Akrual Non Diskresioner, AD=Akrual Diskresioner.Tabel 2

Uji Asumsi Klasik Model Regresi Total Akrual pada Bank Syariah

ToleranceVIF

PO0,1695,934

PPE0,4362,296

Durbin-WatsondLdUArea No Serial Correlation

1,7791,3731,5941,594 - 2,406

PO=Perubahan Pendapatan Operasional, PPE=Aktiva Tetap4.2. Analisis Pengarah Kinerja Bank Syariah dengan Rasio CAMEL terhadap Praktik Manajemen Laba4.2.1. Statistik Deskriptif Sampel Kinerja Bank Syariah

Statistik deskriptif kinerja bank syariah dengan variabel Akrual Diskresioner (AD), CAR, RORA, ROA, NPM dan LDR dapat dilihat pada Tabel 5 yang menunjukkan jumlah data sampel yang diolah (N), nilai minimum dan maksimum, nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi dari variabel sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam model regresi penelitian ini dimasukkan juga variabel kontrol BUS dengan nilai dummy 1 untuk BUS yang jumlah datanya sebanyak 6 buah atau 16% dan nilai dummy 0 untuk UUS yang jumlah datanya sebanyak 32 buah atau 84%. Dari Tabel 5 juga terlihat nilai rata-rata (mean) dari AD adalah sekitar -0,00828, dimana nilai rata-rata AD yang sangat kecil (mendekati 0).Nilai rata-rata rasio CAR terlihat sangat rendah yaitu sebesar 0,00941 atau sekitar 0,9%, yang jauh dibawah batasan minimum nilai CAR yang ditetapkan BI yaitu 8%. Nilai rata-rata rasio CAR yang rendah dalam penelitian ini diperkirakan dipengaruhi oleh cara penghitungan nilai CAR yang diperoleh perbandingan nilai modal sendiri (ekuitas) atau nilai saldo laba pada UUS dengan nilai total aktiva. Sedangkan dalam ketentuan BI, nilai CAR dihitung dari perbandingan ekuitas (modal inti + modal pelengkap) dengan nilai aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR), dimana nilai ATMR ini tentu lebih kecil dari total aktiva. Tetapi karena cukup sulit untuk menghitung komposisi ATMR ini, maka digunakan perhitungan rasio CAR di atas, seperti yang digunakan Naser (2003) dalam penelitiannya. Disamping itu nilai pembilang (nilai ekuitas) dalam penelitian ini sebagian besar (84%)

Tabel 3

Uji Normalitas Model Regresi Total Akrual pada Bank Syariah

Discretionary Accrual

N38

Kolmogorov-Smirnov Z0,857

Asymp. Sig. (2-tailed)0,455

Tabel 4

Uji Indikasi Praktik Manajemen Laba pada Bank Syariah

Test Value = 0

t

Df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

LowerUpper

Discretionary Accrual -1,602370,118-0,00828-0,018750,00219

Tabel 5

Statistik Deskriptif Kinerja Bank Syariah

NMinimumMaksimumMeanStd. Deviation

AD38-0,104820,05562-0,008280,03186

CAR38-0,429750,144210,009410,09023

RORA38-0,310120,13030-0,003610,06593

ROA38-0,204890,05594-0,004520,04711

NPM38-1,079390,515350,044610,33815

LDR380,000000,967430,632970,24569

AD=Akrual Diskresioner, CAR=Capital Adequancy Ratio, RORA=Return On Risked Assets, ROA=Return On Assets, NPM=Net Profit Margin, LDR=Loan to Deposit Ratiomerupakan nilai saldo laba pada UUS, dimana nilai saldo laba ini ten5# hMU): :(-yM)Inj.PM yang cukup baik juga.

4.2.2. Pengujian Asumsi Klasik Model Regresi Kinerja Bank Syariah

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa nilai VIF dari variabel independen RORA dan ROA lebih besar dari 10 yang berarti terdapat multikolinearitas antara kedua variabel tersebut. Untuk menghilangkan multikolinearitas ini, dilakukan pemisahan kedua variabel tersebut untuk dibuat model regresi baru dengan menggunakan masing-masing variabel secara terpisah yaitu dengan menggunakan variabel RORA dan model regresi baru yang menggunakan variabel ROA. Kedua model regrasi yang baru ini masing-masing akan diolah kembali dengan program SPSS.

4.2.3. Model Regresi Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA dan ROA

Model regresi kinerja bank syariah yang baru dengan menggunakan variabel RORA dan mengeluarkan variabel ROA dari model regresi awal yaitu :

DAit = + 1CARit + 2 RORAit + 3NPMit + 4LDRit + 5BUS + (1a)

Sedangkan model regresi kinerja bank syariah yang baru dengan menggunakan variabel ROA setelah mengeluarkan variabel RORA dari model regresi awal yaitu :

DAit = + 1CARit + 2 ROAit + 3NPMit + 4LDRit + 5BUS + (1b)

4.2.4. Uji Asumsi Klasik Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA dan ROAPengujian asumsi klasik dan uji normalitas terhadap model regresi dengan variabel RORA dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8, serta pada Tabel 9 dan Tabel 10 untuk model regresi dengan variabel ROA. Kedua model tersebut telah memenuhi semua uji asumsi klasik, sehingga model regresi tersebut sudah valid.4.2.5. Hasil Pengujian Hipotesis 2 (H2) Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA dan Variabel ROA

Pengujian hipotesis 1 (H1a-H1e) terlihat pada Tabel 11 dan Tabel 12. Secara umum terlihat bahwa hasil regresi dengan kedua model tidak jauh berbeda. Nilai adjusted R2 dari model dengan variabel RORA adalah sebesar 0,081 atau sekitar 8,1%, dan dengan model variabel ROA sebesar 0,078 atau sekitar 7,8%, yang menggambarkan kemampuan variabel independen menjelaskan variabel dependen.Nilai slope (B) rasio CAR yang negatif seperti terlihat pada Tabel 11 dan Tabel 12 dapat diketahui bahwa rasio CAR berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap akrual diskresioner, seingga hipotesis 1a (H1a) ditolak. Hal ini mungkin disebabkan oleh nilai rata-rata rasio CAR secara keseluruhan yang kecil yaitu hanya 0,00941 atau 0,9% seperti yang terlihat pada statistik deskriptif sebelumnya, sehingga diduga tidak cukup kuat untuk mempengaruhi akrual diskresioner atau praktik manajemen laba secara signifikan.

Nilai rata-rata rasio CAR yang sangat rendah ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal seperti yang telah diuraikan dalam statistik deskriptif sebelumnya. Disamping itu kewajiban pemenuhan batasan nilai minimum CAR yang ditetapkan oleh BI adalah pada Tabel 6

Uji Multikolinearitas Model Regresi Kinerja Bank SyariahToleranceVIF

CAR0,3782,648

RORA0,03727,092

ROA0,02835,993

NPM0,4132,423

LDR0,4182,395

BUS0,6141,630

CAR=Capital Adequancy Ratio, RORA=Return On Risked Assets, ROA=Return On Assets, NPM=Net Profit Margin, LDR=Loan to Deposit Ratio,

BUS=Bank Umum Syariahtingkat banknya bukan pada tingkat cabang atau unit usaha. Maka UUS yang berjumlah 84% dari data dalam penelitian ini, yang merupakan cabang dari bank induk konvensionalnya, tidak wajib memenuhi batasan nilai minimum CAR ini, sehingga hal ini diduga juga mempengaruhi tidak signifikannya rasio CAR dalam mempengaruhi akrual diskresioner.

Dugaan ini dapat diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa variabel kontrol BUS yang berpengaruh signifikan terhadap akrual diskresioner, yang menunjukkan bahwa praktik manajemen laba biasanya terjadi pada tingkat bank, untuk penilaian kinerja bank secara keseluruhan. Sehingga pada tingkat cabang diduga lebih cenderung untuk memperhatikan penilaian kinerja operasional.Rasio RORA berpengaruh positif dan tidak sisgnifikan seperti terlihat pada Tabel 11, yang berarti tidak konsisten dengan dugaan hipotesis (H1b ditolak). Diduga rasio RORA juga bukan merupakan orientasi utama UUS yang berstatus cabang dari bank induk konvensional. Dimana rasio keuangan untuk menilai kualitas assets bank ini juga terpusat pada bank induknya, sehingga UUS yang merupakan 84% dari sampel penelitian ini memberikan dampak terhadap kemungkinan berbedanya pengaruh dan tidak signifikannya rasio RORA mempengaruhi akrual diskresioner atau manajemen laba. Hasil penelitian ini juga sejalan atau dapat disamakan dengan hasil penelitian Arnawa (2006) sebelumnya yang juga menemukan pengaruh positif dari rasio ROA dan tidak signifikan terhadap pengelolaan laba.Disamping itu nilai rata-rata rasio RORA yang cukup rendah yaitu sebesar -0,00361 atau 0,4% seperti yang terlihat pada statistik deskriptif, juga diduga tidak cukup kuat untuk mempengaruhi akrual diskresioner secara signifikan. Nilai laba sebelum pajak yang digunakan dalam rasio RORA pada beberapa bank syariah sampel cukup rendah dan bahkan ada yang bernilai negatif, walaupun laba operasinya cukup tinggi, karena besarnya nilai rugi dari aktivitas non operasional.

Hipotesis H1c ditolak, karena hasil pengujian pada Tabel 12 menunjukkan rasio ROA berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap akrual diskresioner. Nilai rata-rata rasio ROA yang rendah yaitu sebesar -0,00452 atau 0,5% seperti yang terlihat pada statistik deskriptif sebelumnya, juga diduga tidak cukup kuat untuk mempengaruhi akrual diskresioner secara signifikan. Nilai rasio ROA ini diperolah dari perbandingan laba setelah pajak dengan total aktiva. Nilai laba setelah pajak diperoleh dari laba sebelum pajak setelah

Tabel 7

Uji Asumsi Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA\

ToleranceVIF

CAR0,4372,288

RORA0,7851,274

NPM0,5211,921

LDR0,7551,324

Durbin WatsondLdUArea No Serial Correlasion

1,8571,2611,7221,722 2,278

CAR=Capital Adequancy Ratio, RORA=Return On Risked Assets, NPM=Net Profit Margin, LDR=Loan to Deposit RatioTabel 8

Uji Normalitas Model Regresi Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA

Unstandardized Residual

N38

Kolmogorov-Smirnov Z0,408

Asymp. Sig. (2-tailed)0,996

Tabel 9

Uji Asumsi Klasik Kinerja Bank Syariah dengan Variabel ROA

ToleranceVIF

CAR0,4182,392

ROA0,5911,693

NPM0,5101,961

LDR0,6541,530

Durbin WatsondLdUArea No Serial Correlation

1,8571,2611,7221,722 - 2,278

CAR=Capital Adequancy Ratio, ROA=Return On Assets, NPM=Net Profit Margin, LDR=Loan to Deposit RatioTabel 10

Uji Normalitas Model Regresi Kinerja Bank Syariah dengan Variabel ROA

Unstandardized Residual

N38

Kolmogorov-Smirnov Z0,333

Asymp. Sig. (2-tailed)1,000

Tabel 11

Pengujian Hipotesis H2 Kinerja Bank Syariah dengan Variabel RORA

Ekspektasi slopeBStd. ErrorBetatSig.

(Constant)-0,0040,015 0,801

CAR--0,0580,084-0,163-0,684 0,250

RORA-0,0690,0860,1420,797 0,216

NPM-0,0360,0210,3791,736 0,046**

LDR--0,0150,024-0,119-0,656 0,259

BUS0,0290,0160,3321,786 0,084*

Adjusted R20,081

CAR=Capital Adequancy Ratio, RORA=Return On Risked Assets, NPM=Net Profit Margin, LDR=Loan to Deposit Ratio, BUS=Bank Umum Syariah ** Sigifikan pada = 5% Sigifikan pada = 10%Tabel 12

Pengujian Hipotesis H2 Kinerja Bank Syariah dengan Variabel ROA

Ekspektasi slopeBStd. ErrorBetatSig.

(Constant)-0,0020,016 -0,121 0,905

CAR--0,0610,086-0,173-0,708 0,242

ROA-0,1010,1390,1490,725 0,237

NPM-0,0340,0210,3621,639 0,055**

LDR--0,0180,025-0,139-0,715 0,240

BUS0,0290,0160,3421,815 0,079*

Adjusted R20,078

CAR=Capital Adequancy Ratio, ROA=Return On Assets, NPM=Net Profit Margin,

LDR=Loan to Deposit Ratio, BUS=Bank Umum Syariah** Sigifikan pada = 5%* Sigifikan pada = 10%dikurangi dengan pajak penghasilan. Tetapi karena mayoritas (84%) sampel bank syariah adalah berbentuk UUS yang merupakan cabang dari bank induk konvensional, sehingga pajak penghasilan dibebankan pada kantor pusat, sehingga sebagian besar laba setelah pajak yang digunakan dalam rasio ROA ini sama dengan laba sebelum pajak yang digunakan dalam perhitungan rasio RORA sebelumnya. Disamping itu rasio ROA biasanya juga dihitung ditingkat pusat untuk bank secara keseluruhan. Sejalan dengan kondisi rendahnya nilai rasio RORA yang juga berbeda pengaruh dan tidak signifikan terhadap akrual diskresioner seperti diuraikan sebelumnya, diduga hal yang sama juga mempengaruhi rasio ROA. Hasil penelitian ini tetap sejalan dengan hasil penelitian Arnawa (2006) sebelumnya.

Rasio NPM yang positif dan signifikan seperti terlihat pada Tabel 11 dan Tabel 12, menunjukkan bahwa rasio NPM berpengaruh positif dan signifikan terhadap akrual diskresioner yang juga tidak sejalan dengan dugaan hipotesis 2d (H2d) semula. Pengaruh positif dan signifikan rasio NPM terhadap akrual diskresioner juga memperkuat dugaan sebelumnya bahwa kinerja operasional sangat diperhatikan dan lebih menjadi prioritas dari rasio lainnya. Sehingga rasio NPM ini kemungkinan akan sangat diperhatikan nilainya dan menjadi orientasi utama bank syariah, terutama UUS yang tidak terbebani oleh target nilai rasio-rasio lainnya. Rasio NPM yang berbeda dari hipotesis awal, mungkin dapat dipengaruhi oleh aktivitas big bath karena sekitar 53% sampel mengalami penurunan laba yang cukup besar. Sedangkan rasio LDR yang negatif dan tidak signifikan seperti terlihat pada Tabel 11 dan Tabel 12, menunjukkan bahwa hipotesis H1e juga ditolak. Nilai rata-rata rasio LDR tinggi dibandingkan dengan rasio-rasio kinerja bank syariah lainnya yaitu 0,63297 atau 63% seperti yang terlihat pada statistik deskriptif sebelumnya. Rasio LDR diperoleh dari perbandingan jumlah kredit yang diberikan dengan jumlah dana pihak ketiga yang ada pada bank syariah. Nilai rata-rata rasio LDR yang tinggi ini juga dapat menunjukkan baiknya bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan (kredit) kepada masyarakat, dimana bagi hasil dari pembiayaan ini merupakan pendapatan utama bank syariah. Sehingga diduga orientasi utama dari sampel adalah untuk meningkatkan pendapatan sebagai penilaian utama kinerja bank yang dalam penelitian ini sejalan dengan baiknya nilai rasio NPM, jadi bukan untuk memenuhi kecukupan rasio LDR yang juga ditetapkan BI untuk tingkat bank. Hal ini juga diduga membuat rasio LDR tidak memotivasi manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba sehingga rasio LDR ini tidak berpengaruh signifikan terhadap akrual diskresioner.Sedangkan untuk variabel kontrol BUS, seperti yang terlihat pada Tabel 4.10, menunjukkan bahwa variabel BUS positif dan signifikan pada = 10%. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk bank syariah sebagai BUS memang memiliki akrual diskresioner yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk bank syariah sebagai UUS. Hal ini berarti bahwa kecenderungan praktik manajemen laba secara signifikan lebih tinggi pada tingkat bank (BUS) dari pada tingkat cabang (UUS).5. Simpulan , Implikasi, Keterbatasan, dan saran5.1. Simpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bukti empiris secara rata-rata tidak terdapat indikasi praktik manajemen laba yang signifikan pada bank syariah di Indonesia berdasarkan laporan keuangan publikasi tahun 2005 hingga 2006. Walaupun secara rata-rata tidak terdapat indikasi praktik manajemen laba, ada kemungkinan pada beberapa bank syariah masih terdapat praktik manajemen laba tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik manajemen laba yang dihipotesiskan bahwa rasio CAMEL, yang diproksi dengan rasio CAR, RORA, ROA, NPM dan LDR, berpengaruh negatif dan signifikan terhadap praktik manajemen laba, tetapi hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa semua variabel tersebut tidak ada yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap praktik manajemen laba tersebut.Rasio CAR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba, tetapi tidak signifikan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti cara perhitungan rasio yang sedikit berbeda dengan cara yang ditetapkan BI, nilai saldo laba pada UUS yang digunakan sebagai pengganti nilai ekuitas dalam menghitung rasio CAR dan pemenuhan batasan minimum rasio CAR bukan kewajiban UUS yang berstatus cabang dari bank induk konvensional, sehingga UUS tidak termotivasi untuk melakukan manajemen laba untuk mencapai nilai CAR tertentu. Sedangkan UUS merupakan mayoritas sampel (84%) dalam penelitian ini. Rasio RORA dan ROA berpengaruh positif terhadap praktik manajemen laba dan juga tidak signifikan. Tidak signifikannya pengaruh kedua rasio ini juga diduga karena kedua rasio ini juga biasanya dihitung ditingkat bank (BUS) bukan cabang (UUS), sedangkan 84% sampel adalah UUS. Tetapi hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Arnawa (2006) yang menggunakan rasio ROA sebagai salah satu proksi kinerja bank dengan pengaruh positif dan juga tidak signifikan terhadap praktik manajemen laba.Rasio NPM berpengaruh positif dan signifikan terhadap praktik manajemen laba. Rasio NPM yang menunjukkan kinerja operasional bank syariah ini diperkirakan menjadi orientasi utama dibandingkan rasio-rasio lainnya, terutama oleh UUS yang tidak dibebani dengan pemenuhan target nilai rasio keuangan tertentu karena rasio-rasio tersebut bersifat terpusat pada tingkat bank induk konvensionalnya.Sedangkan rasio LDR berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba dan juga tidak signifikan. Dimana rasio LDR yang tinggi menunjukkan banyaknya pembiayaan yang dikucurkan bank syariah sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja operasional seperti yang tercermin dalam baiknya rasio NPM, jadi bukan untuk mencapai target nilai rasio LDR tertentu, sehingga rasio ini tidak memotivasi manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba di bank syariah.

Sedangkan variabel kontrol BUS yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap akrual diskresioner, menunjukkan bahwa praktik manajemen laba pada Bank Umum Syariah (BUS) lebih tinggi dari pada pratil manajemen laba di Unit Usaha Syariah (UUS).5.2. Implikasi Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini secara empiris membuktikan bahwa secara rata-rata pada bank syariah tidak terdapat praktik manajemen laba adalah suatu keharusan yang perlu dipertahankan. Tetapi hasil pengujian hipotesis rasio NPM yang menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba, menunjukkan ada beberapa bank syariah yang masih melakukan praktik manajemen laba tersebut.

Beberapa bank syariah yang masih melakukan praktik manajemen laba ini, sebaiknya ke depan memperbaikinya dan tidak melakukan pratik manajemen laba tersebut. Karena walaupun manajemen laba dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan IAI dan BI dalam menyusun laporan keuangan bank, tetapi karena informasi yang dihasilkan dari laporan keuangan yang mengandung unsur manajemen laba dapat menyesatkan pembacanya, dimana secara syariah hal ini juga tidak diperbolehkan (dilarang).

Disamping itu BI selaku regulator juga harus memperhatikan praktik manajemen laba oleh perbankan ini terutama yang dilakukan oleh bank dalam upaya memenuhi ketentuan regulasi yang ditetapkan BI seperti Ketentuan Pemenuhan Modal Minimum (rasio CAR). Karena BI tentu tidak menginginkan bank dapat memenuhi regulasi di atas kertas karena melakukan praktik manajemen laba untuk memenuhinya.

5.3. KeterbatasanTerdapat beberapa keterbatasan yang ditemui dalam penelitian ini. Pertama jangka waktu data sampel yang digunakan relatif singkat yaitu hanya 2 tahun dan jumlah sampel yang dapat diolah juga sedikit yaitu hanya 38 buah data. Kedua, laporan keuangan BUS tersedia lengkap dengan catatan atas laporan keuangannya, tetapi laporan keuangan publikasi UUS yang digunakan sebagai sumber data sampel dalam penelitian ini tidak dilengkapi dengan catatan atas laporan keuangannya. Sehingga untuk beberapa perkiraan yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut untuk diterjemahkan ke dalam rumus perhitungan, merujuk kepada PAPSI sebagai salah satu pedoman akuntansi yang digunakan oleh bank syariah. Dan ketiga model yang digunakan untuk melihat indikasi praktik manajemen laba pada bank syariah adalah model Jones (1991) yang telah disesuaikan dengan karakteristik perbankan. Model Jones dan modifikasi model Jones belum diyakini dapat memisahkan komponen akrual non diskresioner dan akrual diskresioner dengan tepat. Oleh karena itu, ada kemungkinan kesalahan pengklasifikasian akrual non diskresioner dan akrual diskresioner.

5.4. SaranDengan berbagai keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini dapat direkomendasikan beberapa hal berikut. Pertama penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan jangka waktu lebih lama dan sampel yang lebih besar serta menggunakan model yang berbeda untuk melihat indikasi praktik manajemen laba pada bank syariah. Kedua, akan lebih baik apabila menggunakan data sampel yang berdasarkan kepada laporan keuangan yang lengkap dengan catatan atas laporan keuangan, Ketiga penelitian selanjutnya dapat menggunakan modifikasi model Jones yang lebih akurat dan lebih sesuai dengan karakteristik bank syariah.

Eksistensi Laporan Nilai Tambah Syariah Berbasis RezekiAJI DEDI MULAWARMAN*

Universitas Brawijaya Malang(

1. Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih jauh eksistensi Laporan Nilai Tambah Syariah sebagai bagian dari Laporan Keuangan Syariah. Pengembangan laporan keuangan syariah banyak dilakukan misalnya oleh Gambling dan Karim (1991); Baydoun dan Willett (1994; 2000); perluasan Baydoun dan Willett (1994) oleh Sulaiman (2000; 2001); Sulaiman dan Willett (2003); dan Mulawarman (2006; 2007a; 2007b). Pengembangan laporan keuangan syariah oleh Mulawarman (2007c) disebut Laporan Keuangan Syariah. Laporan Keuangan Syariah terdiri dari Laporan Nilai Tambah Syariah (Mulawarman 2006), Neraca Syariah (Mulawarman 2007a) dan Laporan Arus Kas Syariah (Mulawarman 2007b). Khusus mengenai Laporan Nilai Tambah Syariah (2006) terdiri dari laporan kuantitatif dan kualitatif yang saling terikat satu sama lain dan bersifat mandatory (wajib). Laporan kuantitatif mencatat aktivitas finansial-sosial-lingkungan (akun kreativitas) dan bersifat halal-thoyib-bebas riba (akun ketundukan) (Tabel 1). Laporan kualitatif berupa catatan laporan yang tidak dapat dimasukkan dalam laporan kuantitatif serta berkenaan dengan bentuk transaksi batin-spiritual.Namun terpisahnya laporan kuantitaif dan kualitatif tersebut, dapat memberi peluang perusahaan mementingkan penyampaian akuntabilitas dan informasi kuantitatif. Laporan kualitatif meskipun bersifat mandatory akhirnya kembali menjadi laporan pseudo-mandatory. Pseudo-mandatory di sini dapat diartikan bahwa laporan kualitatif secara substansial bersifat mandatory, tetapi praktiknya di lapangan menjadi mandul, bahkan akan tergeser menjadi laporan voluntary. Dengan demikian, perlu penyesuaian bentuk laporan nilai tambah syariah secara teknologis menjadi satu kesatuan tak terpisah secara konkrit, agar tidak lagi bersifat pseudomandatory.

Diingatkan oleh Triyuwono (2007) bahwa konsep nilai tambah syariah merupakan nilai tambah ekonomi, mental dan spiritual yang diperoleh, diproses dan didistribusikan dengan cara yang halal. Pemaknaan nilai tambah syariah dari Triyuwono (2007) dapat dijadikan source tambahan penjelasan bentuk laporan nilai tambah syariah. Meskipun penjelasan tersebut baru melihat pembentukan, proses dan distribusi nilai tambah harus memenuhi prinsip halal. Mulawarman (2006) sendiri sebenarnya telah menjelaskan bahwa pembentukan, proses dan distribusi nilai tambah tidak hanya berkenaan dengan masalah halal, tetapi juga harus bersifat thoyib (baik halal dan thoyib lebih berkenaan dengan produk) dan bebas riba (lebih berkenaan dengan kontrak atau akad). Dengan demikian pembentukan, proses dan distribusi nilai tambah syariah (baik ekonomi, mental dan spiritual) harus memenuhi prinsip halal, thoyib dan bebas riba. Konsep nilai tambah syariah Triyuwono (2007) bila dilihat lebih jauh juga masih melihat shariate enterprise theory sebagai basis akuntansi syariah idealis yang memiliki asumsi dasar manusia sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi). Dijelaskan Mulawarman (2007b) bahwa shariate enterprise theory bila memang memiliki substansi akuntansi berpasangan, maka harus melihat asumsi dasar manusia dalam substansi akuntansi berpasangan pula. Asumsi dasar manusia dalam Islam di samping sebagai khalifatullah fil ardh juga memiliki asumsi Tabel 1

Laporan Nilai Tambah Syariah Kuantitatif

Penciptaan VAFinansialSosial-LingkunganCombined

Output Ketundukan PrimerXa-Xa

Ketundukan PrimerXb-Xb

Kreativitas Primer-YaYa

Kreativitas Sekunder-YbYb

Jumlah OutputXcYcZa

Input Ketundukan SekunderXd-Xd

RevaluationKreativitas PrimerXe-Xe

VA KotorXfYdZb

TAZKIYAH (Zc)

Pembayaran Zakat kepada 8 Asnaf (Zd)

VA HALAL DAN THOYIB (Ze)

Distribusi VAFinansialSosial &

LingkunganCombined

Internal

Karyawan Ketundukan SekunderXg-Xg

Ketundukan PrimerXhXh

OwnersKreativitas PrimerXi-Xi

Reinvestment FundsKreativitas SekunderXj-Xj

Eksternal

PemerintahKetundukan Primer YeYe

Kreativitas SekunderYfYf

ResidentsKetundukan Sekunder-YgYg

MasyarakatKreativitas Sekunder-YhYh

dasar pasangannya, yaitu manusia sebagai abd Allah (konsep kepatuhan dan ketundukan manusia kepada Allah). Prinsip berpasangan abd Allah dan khalifatullah fil ardh telah memberikan solusi implementasi konsep teknologi akuntansi syariah yang memiliki dua akun utama, yaitu akun ketundukan (representasi abd Allah) dan akun kreativitas (representasi khalifatullah fil ardh).Laporan Nilai Tambah Syariah juga perlu diuji secara empiris atas kesesuaiannya dengan realitas masyarakat muslim Indonesia. Desain Laporan Nilai Tambah Syariah

sebenarnya masih menyisakan masalah berkaitan realitas akuntansi, terutama realitas masyarakat Muslim Indonesia. Artinya, nilai tambah syariah sebagai basis konseptual laporan perlu dilihat secara kontekstual dari nilai-nilai masyarakat Muslim Indonesia. Mulawarman (2007c) telah melakukan studi empiris bahwa terdapat keserasian antara sirah Muhammad saw. dan realitas empiris saat ini yang dapat dijadikan source bentuk Trilogi Laporan Keuangan Syariah. Trilogi Laporan Keuangan Syariah merupakan kesatuan konsep maisyah (bekerja) untuk mencari rezeki (rizq) sehingga berdampak pada maal (kekayaan) penuh barokah. Konsep maisyah dijadikan sebagai basis aliran kas syariah, rizq basis nilai tambah syariah, dan maal basis neraca syariah. Untuk memudahkan lihat Gambar 1.

Berdasarkan latar belakang di atas diperlukan penyesuaian lebih lanjut bentuk Laporan Nilai Tambah Syariah. Pertanyaannya kemudian, apakah memang nilai tambah syariah secara kontekstual memiliki eksistensinya dalam realitas bisnis dan akuntansi masyarakat Muslim Indonesia? Bila memang eksis, apakah konsep rezeki memang dapat dijadijan sebagai bentuk Laporan Nilai Tambah Syariah sesuai tradisi bisnis dan akuntansi masyarakat Muslim Indonesia? Terumuskannya Laporan Nilai Tambah Syariah yang sesuai eksistensi bisnis dan akuntansi masyarakat Muslim Indonesia diharapkan; (1) akuntansi syariah yang masih berada pada tataran filosofis-teoritis segera dapat diimplementasikan; (2) memberi kontribusi praktis bagi para akuntan melakukan praktik sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan syariah; (3) memberi bukti empiris masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya masih melakukan aktivitas akuntansi sesuai nilai-nilai syariah yang dapat dijadikan source pengembangan laporan keuangan; (4) memberi kontribusi konstruktif penyusunan standar akuntansi keuangan perbankan maupun perusahaan syariah.

2. Laporan Nilai Tambah Syariah: In The Beginning

Konsep nilai tambah berasal dari implementasi penghitungan GNP (Gross National Product) ekonomi makro, dan diterapkan dalam dunia akuntansi (Staden 2000; Glautier dan Underdown 1992, 409). Beberapa pemikir ekonomi kritis seperti Ormerod (1998), Daly dan Cobb (1989) dalam Ormerod (1998), Axelrod (1984) dalam Ormerod (1998), dan banyak lainnya memandang bahwa pengukuran GNP hanya dapat memotret ekonomi dan kemakmuran masyarakat suatu negara secara kuantitatif. GNP tidak dapat melihat transaksi non ekonomi seperti pencemaran lingkungan dan pekerjaan rumah tangga, maupun black economy. Mudahnya GNP hanya dapat mengukur pertumbuhan ekonomi tetapi tidak dapat mengukur yang dikatakan Dixon (2004) sebagai overall social well-being, seperti degradasi sosial dan lingkungan akibat aktivitas perusahaan. Ketidakmampuan GNP mengukur kepentingan sosial dan lingkungan menurut Bev (2007) karena GNP hanya didasarkan pada pengukuran kuantitatif. Perkembangan terbaru berkenaan pengukuran tingkat kemakmuran suatu negara memerlukan bentuk baru disebut Gross National Happiness (GNH) . GNH mengadopsi baik pendekatan kuantitatif maupun kualitatif dan berbasis perspektif holistik. Pendekatan tersebut disebut Bev (2007) sebagai pendekatan keseimbangan yang baik antara pikiran dan hati. GNH memiliki empat pilar utama, yaitu: promotion of equitable and sustainable socio-economic development; preservation and promotion cultural values; conservation of natural development; and esthablishment of good-governance (lihat juga misalnya Hirata 2005; Frey and Stutzer 2007; Revkin 2005 dan banyak lainnya). Perubahan pola pengukuran nilai tambah dalam konteks ekonomi makro dapat kita lihat telah berubah dari pengukuran bersifat ekonomi dan kuantitatif menuju model pengukutan bersifat holistik dan mengadopsi secara kuantitatif-kualitatif. Demikian pula konsep nilai tambah dari domain akuntansi. Penggunaan konsep nilai tambah biasanya digunakan oleh aliran akuntansi sosial-lingkungan. Hanya masalahnya terdapat dua aliran akuntansi sosial-lingkungan, yaitu aliran middle ground dan non middle ground (Gray et al. 1995; 1996). Aliran middle ground menggunakan konsep nilai tambah berbasis kepentingan perusahaan, sehingga mengkreasi informasi dan pertanggungjawaban ekonomi-sosial-lingkungan juga berbasis kepentingan keuntungan stockholders. Aliran non middle ground di sisi lain menggunakan nilai tambah untuk informasi dan akuntabilitas sosial lingkungan berbasis kuantatif maupun kualitatif, untuk kepentingan lebih luas, yaitu stakeholders. Meskipun seperti ditegaskan Mulawarman (2006) penggunaan konsep nilai tambah berbasis stakeholders oleh aliran non-middle ground, ternyata masih menekankan kepentingan bersifat materi. Aliran non middle ground tidak dapat memotret realitas di luar materi. Memaknai laba akuntansi tanpa terjebak materialitas sebenarnya telah digali secara mendalam oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004). Penafsiran ini pada dasarnya merupakan konsepsi atas ekspresi kebebasan manusia dari sebuah interaksi sosial yang menghasilkan nilai lebih (value added/VA). Laba, sebagaimana merupakan ekspresi kebebasan manusia, merupakan representasi nilai kebebasan manusia yang sekaligus menjunjung tinggi hakikat manusia dari esensi kemanusiaannya. Mengembalikan hakikat manusia tidak saja berpedoman pada aspek fisiologis dan psikologis, tetapi juga pada aspek religius.

Konsep nilai tambah lebih operasional disebut Mulawarman (2006) sebagai nilai tambah syariah (Shariate Value Added/SVA). Konsep nilai tambah syariah berasal dari perlakuan tawil (metafora) atas konsep zakat. SVA secara definitif menurut Mulawarman (2006, 292-303) adalah pertambahan nilai (zaka) material (baik finansial, sosial dan lingkungan) yang telah disucikan (tazkiyah) mulai dari pembentukan, hasil sampai distribusi (zakka), kesemuanya harus halal dan tidak mengandung riba (spiritual) serta thoyib (batin). Implikasinya, pertama, proses pembentukan VA dalam batas-batas yang diperbolehkan syara (halal) dan bermanfaat/menenangkan batin (thoyib). Sebaliknya aktivitas ekonomi yang melanggar ketentuan adalah Haram. Kedua, pertumbuhan harta dan mekanisme usaha harus dilakukan untuk menghilangkan sifat berlebihan dalam perolehan harta dan menjalankan aktivitas usaha bebas riba. Ketiga, distribusi VA harus dilakukan secara optimal untuk kebaikan sesama, merata dan tidak saling menegasikan. Seberapapun keikutsertaan harus dicatat dan diakui sebagai potensi mendapat hak pembagian VA.3. Konsep Rezeki dalam IslamMencari rezeki dalam perspektif Islam adalah bentuk maisyah setiap Muslim yang berdampak kekayaan penuh berkah. Perolehan rezeki berbentuk uang atau harta jika tanpa niatan untuk beribadah menuju ketakwaan, maka niat tersebut hanya sebatas keuntungan yang didapat. Ketika mencari rezeki diniatkan dan diibadahkan untuk selalu mengharap ridha Allah, maka rezeki tersebut memberi keuntungan atau laba dalam arti bernilai lebih dan barakah.Bila dilihat lebih lanjut, sifat Allah yang Maha memberi Rahmat, Rahman dan Berkah hanya diperuntukkan bagi manusia yang memang bekerja dengan orientasi ketakwaan. Sedangkan sifat Allah yang Maha memberi Rahim memang diperuntukkan untuk seluruh manusia. Artinya, bila manusia mencari rezeki tetapi tidak disertai takwa, mereka tetap mendapatkan rezeki sesuai dengan kerjanya, tetapi tidak mendapatkan berkah, rahmat dan rahman dari Allah.Konsep Rezeki sebenarnya bersandarkan pada kata utama dari satu nama Allah, yaitu Rabb. Kata Rabb dapat ditemukan misalnya dalam Al Quran Surat Al Fathihah ayat 2, Rabb yang berada dalam satu kalimat Rabbilalamin, menunjuk Tuhan sebagai Tuhan Yang Ditaati, Yang Memiliki, Yang Mendidik dan Yang Memelihara. Sedangkan dalam etimologi Arab dapat berarti dua hal, yaitu Penguasa (Sovereign) dan Pemberi Rezeki (Sustainer) (Muslehudin 2004, 100).

Rezeki dalam kata Rabb di sini bermakna bahwa Allah adalah tempat dan pusat dari rezeki itu sendiri. Hanya Allah pemilik dan pemberi Rezeki atau kenikmatan baik dunia maupun akhirat. Rezeki dengan demikian terikat dengan konteks spiritualitas. Kita tidak dapat memisahkan konteks rezeki atau kehidupan dunia yang penuh kenikmatan misalnya dengan kehidupan di akherat. Artinya, dalam makna rezeki itu sendiri telah melekat dua prinsip akuntansi yang tak terpisahkan. Dalam nash Quran makna rezeki atau penghidupan seperti tertulis dalam Surat An-Naba ayat 11 Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan Dari penelusuran konsep Quran tersebut dapat dimaknai bahwa sebenarnya konsep rezeki atau penghidupan memang sangat sarat dengan nilai-nilai Ketuhanan (Ilahiyyah), sarat-sarat nilai kesucian atas apa yang kita lakukan dalam menjalani hidup. Semua ini menurut Muslehudin (2004, 102) merupakan implementasi dari Keadilan Ilahi yang bertujuan untuk keadilan sosial yang diupayakan oleh Hukum Ilahi. Allah menjanjikan penghidupan kepada semua makhlukNya bahkan membagi berdasarkan kebutuhan dan kapasitasnya. Kepada sebagian orang, Allah memberi kelimpahan, sementara kepada sebagian lainnya memberikan keterbatasan, tetapi dengan janji Allah bahwa Allah akan menjaga semua bertahan dengan tidak mengalami pengurangan. Prinsip keadilan dalam akuntansi seperti juga dijelaskan (Irianto 2003; 2006) adalah bentuk perilaku bisnis dan pencatatan dalam melihat perolehan keuntungan harus tetap mengedepankan amanat Tuhan, dan bahkan menghadirkanNya dalam proses pencatatan transaksi bisnis itu sendiri. 4. Metode Penelitian: Hyperphenomenology MethodsPenelitian ini menggunakan Hyperphenomenology Methods, yaitu salah satu pengembangan lanjut metode fenomenologi untuk menggali lebih jauh makna aksiologis Nilai Tambah Syariah dalam akuntansi syariah. Artinya fenomenologi di sini tidak hanya berpaku pada Paradigma Interpretif yang diturunkan dari Germanic Philosofical Interests yang menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman atas subyek materi dan mental (Hardiman 2003, 60). Metode fenomenologi tidak melakukan pemaknaan subyek yang masih bersifat materi dan mental saja, atau bahkan hanya terpaku pada nilai spiritualitas postpatriarkal dari Capra misalnya (1999). Interpretif yang dipakai di sini adalah melakukan Pemaknaan Laba lebih dari memaknai bentuk subyektivitas materi dan mental. Memaknai laba dari konsepsi Islam memang lebih menerobos makna nilai dan gagasan yang muncul dari substance of spirituality, substance of Gods Values. Inilah yang disebut dengan Hyperphenomenology. Langkah-langkahnya adalah sebagai Intentional Analysis, Epoche, Eidetic Reduction.Menurut Sanders (1982) esensi analisis intensional adalah analisis korelasi antara obyek yang dipersepsikan (Noema) dan pemahaman subyekif (Noesis) pada obyek atau pengalaman. Intensionalitas merupakan arti keseluruhan dari obyek, dimana yang biasanya hanya dipahami atau dipersepsikan secara parsial. Intensionalitas adalah bentuk langsung dan internal dari pengalaman atau kesadaran. Dalam penelitian ini akan dilakukan pemahaman konsep laba (Noema) dalam pengalaman bisnis (Noesis). Meskipun hal itu perlu dilakukan Analisis pelampauan (Hyper Analysis) ekspektasi dan bentuk pengalaman yang masih berbasis nilai obyek laba yang materi saja. Hal itu hanya kana menggali makna laba materi (obyek) dan tidak dapat menggali makna laba yang bersifat non materi (non obyek) seperti aspek Realitas Absolut (Allah) sebagai pintu utama masuknya teori dan pengetahuan (akuntansi) dan makna Tazkiyah An Nafs (Pensucian) setiap individu. Pemaknaan teknis SVA adalah Realitas Absolut dan Tazkiyah An Nafs dalam konsep Rezeki. Berkaitan dengan perilaku peneliti dalam melakukan penggalian data lapangan menurut Sanders (1982) disebut Epoche atau disebut Husserl sebagai Bracketing (Prasenjit 2002). Epoche adalah prosedur dan perilaku (attitude) peneliti yang digunakan dalam bentuk pertanyaan yang harus dimunculkan berkaitan dengan masalah metafisika yang sebenarnya terikat dalam mental individu. Eidetic reduction adalah proses abstraksi esensi dari kesadaran atau pengalaman dengan menggunakan intuisi dan refleksi. Eidetic berasal dari kata Eidos yang berarti idea atau form (essence). Eidetic Reduction adalah aksi yang berasal dari ekspresi konkret pada fenomena khusus (particular phenomenon) menjadi esensi murni yang universal (universal pure essences) (Sanders 1982).

Terdapat tiga komponen fundamental dalam desain riset fenomenologi, yaitu menetapkan batasan apa dan siapa yang diinvestigasi, koleksi data dan analisis fenomenologis data (Sanders 1982). 4.1. Penetapan Batasan

Konsep laba digali secara empiris di lapangan dengan informan pemilik (Pak Abbas) sebuah perusahaan di Malang yang bergerak di bidang real estat dan pertambangan batubara, leveransir bahan bangunan di Malang (Pak Ishar), produsen alat bantu mebelair di Jepara (Pak Aziz), manajer BMT di Pasuruan (Pak Dumairi). Disamping itu juga akan dilakukan penggalian makna laba dalam konteks rezeki dari konteks nash Al Quran dan Sunnah. 4.2. Koleksi DataKoleksi data dilakukan dengan tiga langkah (Stone 1979 dalam Sanders 1982):

1. Interview historis langsung dengan cara semistruktur dengan subyek menggunakan tape recorder dan pencatatan.

2. Studi dokumentasi apa yang telah ditulis dari hasil wawancara (langkah pertama) dengan subyek untuk menderivasikan makna.

3. Teknik observasi sebagai partisipan, yaitu observasi subyek dalam situasi aktual di lapangan untuk melihat secara langsung perilaku yang berhubungan dengan fenomena yang diinvestigasi. Hal ini juga menggunakan interview untuk mengeksplorasi perilaku secara mendalam.4.3. Analisis Fenomenologis Data

Tahap ketiga fenomenologi adalah melakukan analisis isi transkripsi hasil koleksi data. Terdapat empat langkah yang harus dilakukan:

1. Deskripsi fenomena berdasarkan hasil interview yang direkam dalam tape recorder. Pencatatan narasi berhubungan dengan identifikasi dan deskripsi kualitas pengalaman dan kesadaran manusia yang memunculkan keunikan identitas dan pandangan subyek.

2. Identifikasi tema-tema atau invariants yang muncul dalam deskripsi. Tema-tema merujuk pesan-pesan umum yang muncul di dalam dan antar narasi. Tema-tema diidentifikasi berbasis pada kepentingan sentral pemikiran subyek.

3. Pengembangan korelasi noetic/Noematic. Korelasi tersebut merupakan refleksi tema-tema yang muncul. Korelasi noetic/Noematic merepresentasikan persepsi individual atas realitas dari fenomeman yang diinvestigasi. Interpretasi korelasi merupakan langkah yang penting untuk mengidentifikasi esensi fenomena atau apa yang menjadi esensi dari pengalaman.

4. Abstraksi esensi atau universalitas dari korelasi noetic/Noematic. Langkah ini memerlukan kemampuan intuitif dan refleksi atau eidetic reduction. Jika Noema adalah melakukan deskripsi what of experience dan Noesis melakukan how of experience, maka kemudian yang harus dilakukan kemudian adalah esensi why of experience.5. Pembahasan: Rezeki sebagai Basis Nilai Tambah SyariahGagasan tentang konsep rezeki sebagai dasar penetapan nilai tambah masih dianut banyak masyarakat muslim di Indonesia, seperti ketika ditemui peneliti saat melakukan wawancara dengan pak Abbas dan pak Dumairi. Pak Abbas melihat bahwa prinsip berusaha keras dari pak Abbas dianggap sebagai kewajiban melaksanakan amanah Allah sebagai abdi-Nya, untuk mendapatkan rezeki yang bernilai tambah. Hal ini nampak ketika pak Abbas menjelaskan makna rezeki:

Rezeki menjadi bermanfaat bagi kita ketika kita melihat kebahagiaan, kebaikan bagi kita di dalamnya. Sekaligus kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain.

Nilai tambah kebaikan sekaligus nilai tambah materi. Hal ini nampak ketika pak Abbas mendefinisikan rezeki yang mirip dengan konsep nilai tambah syariah: Rezeki menjadi tidak bermanfaat ketika hanya mengejar keuntungan semata. Rezeki menjadi bermanfaat bagi kita ketika kita melihat kebahagiaan, kebaikan bagi kita di dalamnya. Sekaligus kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain. Contohnya, ketika saya didatangi kontraktor untuk melakukan penelitian dan eksplorasi awal areal batubara di Tenggarong. Saya selalu mengatakan, mas jangan dilihat apakah kerjasama kita ini bermanfaat bagi saya aja atau menguntungkan anda saja. Tapi kerjasama ini harus memberi manfaat dan rezeki yang barokah bagi anda juga dan terutama bagi penduduk sekitar. Saya dapat berapa dari situ ya tergantung hitungan dan studi anda di lapangan. Saya juga sudah ketemu dengan lurah dan teman-teman dayak di sana, mereka mau membantu di lapangan asal jangan seperti MHU yang tugasnya Cuma ngeruk batu bara terus tinggal gelanggang colong playu. Ditegaskan pak Abbas:

Setiap orang harus kaya, setiap orang harus berbagi dengan sesamanya, dan setiap orang harus menjalankannya dengan berorientasi pada hari akhir. Pandangan mirip Pak Abbas dijelaskan oleh Pak Ishar:

Kalo cari rejeki itu memang untuk usaha memperoleh kekayaan ya memang itu kan tujuan kita usaha, bisnis, bekerja, meskipun itu tetap berpedoman pada tujuan ibadah kita kepada Allah.Pandangan menarik mengenai konsep rezeki yang lebih dekat dengan konsep nilai tambah adalah komentar dari Pak Aziz . Menurutnya rezeki adalah:

Rejeki yang saya dapat dari usaha saya jelas harus memiliki nilai tambah yang penting karena menjalankan aktivitas berdasarkan ibadah yang saya lalukukan setiap waktu. Ibadah itu semoga saja berdampak pada nilai tambah usaha saya, keluarga, orang-orang yang memanfaatkan produk saya . Nah kalo sudah gitu artinya ibadah saya memang bermanfaat secara sosial kan?Lebih lanjut Pak Aziz melihat bahwa rezeki itu tidak hanya berbasis tumpukan materi:

Cari rejeki itu karena Allah, jadi gak perlu ngoyo. Yang penting lumintu, dapat rejeki supaya ada nilai tambah yang bisa ditabung dan dibelikan perangkat pabrikan. tetapi tidak serakah dan harus tetap bernilai barokah. Gak etis kalo misalnya sudah punya langganan untuk memasok barang saya, tapi hanya karena perbedaan price lebih menguntungkan terus langsung pindah. Itu namanya memutus silaturrahim.. asal cukup untuk biaya makan, anak sekolah, keperluan sehari-hari, ya syukur Alhamdulillah. Pak Aziz memandang mencari rejeki sebagai bentuk pengabdian kepada Allah perlu mendapat aset, ekuitas dan keuntungan bersifat nilai tambah. Pendapat mengenai rezeki lebih konkrit dalam bentuk akuntansi diungkapkan Pak Dumairi, mengenai kesatuan dakwah-bisnis dalam laporan keuangan:

laporan keuangan penting untuk mengaplikasikan pencatatan sebagai kalkulasi bisnis sekaligus untuk aktivitas dakwah di dunia kerja orientasinya harus mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Prinsip pelaporan berhubungan dengan kesatuan bisnis-dawah mirip gagasan rezeki bernilai tambah. Bahwa bisnis sekaligus dakwah adalah kesatuan antara materi-spiritual untuk mendapatkan rezeki bernilai tambah bagi semua, bukan hanya kita, tetapi masyarakat luas sebagai bentuk ketundukan menjalankan dakwah bil-haal (dakwah langsung). Hal menarik adalah dimasukkannya qardh hassan dalam struktur pembiayaan dan bukan struktur laporan tambahan seperti tertuang dalam PSAK 59 maupun SAK 101-106 dari IAI. Dalam ketentuan syariah menurut Pak Dumairi lagi:

...orientasi sosial tidak dapat dipisahkan dengan orientasi keuntungan. Qardhul hasan (hutang untuk kebajikan) dianggap pembiayaan dan pendapatan yang harus masuk masing-masing dalam neraca dan laba rugi. Karena qardhul hasan bukanlah aktivitas bisnis yang terpisah. Bahkan disitulah pusat pemberdayaan masyarakat dan target pengentasan masyarakat atau pedagang pasar dari bahaya rentenir.

Qardh dalam fiqh sebenarnya lebih berorientasi sosial, meskipun sosial tidak berarti merugikan pemberi pinjaman. Di sini ada kelonggaran untuk menetapkan keuntungan meski keuntungan tersebut harus berdasarkan keridhaan peminjam. Sehingga jelas bahwa dalam qardh yang penting adalah nadzarnya harus produktif dan bukan qardhnya yang produktif. Berdasarkan praktik bisnis di atas dapat ditarik benang merah, bahwa rizq (rezeki) merupakan bentuk nilai tambah aktivitas bisnis (maisyah) bernilai barakah yang didapatkan sesuai ketentuan syariah untuk kesejahteraan bersama (mashlaha). Rizq merupakan nilai tambah syariah nilai tambah yang didapatkan (baik finansial, sosial dan lingkungan) dan telah disucikan/tazkiyah (secara halal, thoyib dan bebas riba) mulai dari pembentukan, hasil sampai distribusinya.

Substansi nilai tambah syariah seperti bila diturunkan lebih teknis sebagai konsep akuntansi berimplikasi pada, pertama, proses pembentukan nilai tambah syariah harus selalu tersucikan secara konsisten. Caranya adalah melaksanakan aktivitas ekonomi dalam batas-batas yang diperbolehkan syara (halal) dan bermanfaat/menenangkan batin (thoyib). Sebaliknya aktivitas ekonomi yang melanggar ketentuan adalah Haram. Kedua, pertumbuhan harta dan mekanisme usaha yang sehat, hasil dari didapatkannya rezeki, harus dilakukan untuk menghilangkan sifat berlebihan (halal dan thoyib) dan menjalankan aktivitas usaha bebas riba dalam segala bentuknya. Dari sisi finansial, bebas riba adalah melakukan proses kerja sama berdasar keseimbangan antara intermediasi (jual beli), produktif dan ekstraktif (seperti dikembangkannya model muzaraah dan musaqah). Dari sisi kepentingan sosial dan lingkungan, reduksi riba dilakukan dengan melakukan relasi sosial dan lingkungan alam secara pro-aktif berlandaskan prinsip shadaqah. Ketiga, implikasi bentuk distribusi rezeki bernilai tambah, harus dilakukan secara optimal pada kebaikan sesama, merata dan tidak saling menegasikan. Seberapapun keikutsertaan harus dicatat dan diakui sebagai potensi yang berhak mendapatkan bagian dalam pembagian nilai tambah. Artinya, bukan meletakkan prinsip keadilan berdasarkan etika Barat (berdasar utilitas, konsensus dan disahkan melalui hukum positif). Tetapi keseimbangan dan keadilan berdasar Adalah/Keadilan Ilahi yang berwujud kesejahteraan sosial untuk semua dan harus selalu melalui proses tazkiyah.

Nilai tambah syariah dari nilai-nilai empiris telah memberikan gambaran sesuai nilai tambah syariah secara normatif. Nilai tambah berpusat pada konsep tazkiyah, yaitu penyucian proses pencarian rezeki untuk mendapat barokah baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Inilah yang disebut dengan Rizq Income. Nilai tambah syariah memang tidak menganut model economic income atau accounting income, tetapi dapat disebut menganut model income yang khas Islam, rizq income.Konsep nilai tambah syariah (shariate value added/SVA) berbasis rizq income jelas berbeda dengan pandangan akuntansi secara umum (konvensional). Seperti diketahui konsep nilai tambah konvensional (value added/VA) berbasis pada konsep dasar teoritis usulan Suojanen (1954), yaitu Enterprise Theory. VA didefinisikan Belkaoui (2000) sebagai peningkatan kesejahteraan yang dihasilkan dari penggunaan sumber daya perusahaan yang produktif sebelum dialokasikan kepada pemegang saham, pemegang obligasi, pegawai dan pemerintah. Konsep VA menurut Glautier dan Underdown (1991) berdampak pada pendistribusian income di antara perusahaan yang kemudian mengarah pada distribusi income pada entitas yang terlibat dalam proses produksi seperti manajemen dan karyawan. Pendekatan VA memang lebih cenderung pada pembentukan kekayaan yang berorientasi pada income ekonomi daripada income akuntansi (untuk definisi lebih lanjut dapat dilihat dalam Meek dan Gray 1988; Staden 2000; Morley 1979; Diefenbach 2003; Hendriksen dan Breda 2000; Mathews dan Perera 1996; Haller dan Stolowy 1995; Firrer 2004).

SVA maupun VA berbeda dengan pendekatan mainstream akuntansi berkenaan dengan konsep laba. Laba biasanya berkaitan dengan prinsip penandingan (matching), pengakuan biaya pada dasarnya sejalan dengan pengakuan pendapatan. Pendapatan merupakan hasil yang dituju perusahaan, sementara biaya untuk memperoleh pendapatan merupakan upaya yang dilakukan perusahaan. Dengan demikian, pendapatan harus ditandingkan dengan biaya yang diperkirakan telah menghasilkan pendapatan tersebut, agar dihasilkan besarnya laba yang tepat. Pendekatan pendapatan dan biaya dalam konteks seperti ini menurut Mulawarman (2006) masih memunculkan tiga hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah. Pertama, pengakuan pendapatan yang berkaitan dengan realisasi pendapatan yang akan berimplikasi pada sifat dasar halal (permitted). Kedua, pengakuan pendapatan dalam proses pembentukan pendapatan yang berbasis akrual dan ditetapkannya time value of money berujung pada riba (interest). Ketiga, prinsip penandingan pendapatan dan biaya juga masih belum sesuai dengan tujuan syariah. Dalam penandingan tidak nampak aspek keadilan sosial, tetapi hanya muncul sifat egositik akuntansi (Triyuwono 2004). Pengakuan hanya berkaitan dengan biaya dan manfaat yang bersifat privat. Privat di sini diartikan sebagai pencatatan biaya dan pendapatan dari sudut pandang kepentingan perusahaan. Dapat dikatakan pendekatan yang dilakukan adalah dalam kerangka Entity Theory. Sedangkan pendapatan dan biaya yang sifatnya publik sama sekali tidak disajikan. Sifat egoistik akuntansi berimplikasi pada masalah ketimpangan keadilan dan tidak sesuai dengan tujuan akuntansi syariah dan terutama tujuan syariah. Untuk memudahkan ditampilkan Tabel 2 berkenaan perbedaan tiga konsep laba seperti dijelaskan di atas . Konsep laba seperti di atas jelas berpengaruh terhadap bentuk laporan kinerja keuangan yang dihasilkan. Perbandingannya dapat dilihat di Tabel 3.

Tabel 2

Perbandingan Konsep Laba

Konsep LabaKonsep Dasar TeoritisMekanismePenciptaan LabaPenerima Laba

Shariate Value AddedShariate Enterprise TheoryTazkiyah ConceptRizq IncomeStakeholders sesuai Keadilan Ilahi

Value AddedEnterprise TheoryOutput-Input ConceptEconomic IncomeStakeholders sesuai Keadilan Barat

Laba KonvensionalEntity TheoryMatching ConceptAccounting IncomeShareholders

Tabel 3

Perbandingan Substansi Laporan Kinerja KeuanganAkuntansi KonvensionalAkuntansi Sosial LingkunganAkuntansi Syariah PragmatisAkuntansi Syariah Idealis

Tujuan UtamaLabaVALaba sebagai penentu zakatZakat sebagai penentu VA

Laporan KinerjaIncome Statement; VAS additionVAS / SVASExpanded Income StatementVAS berbasis zakat

Posisi LabaBottom LineBagian dari VASetelah dikurangi zakatBagian dari VA dikurangi zakat

Sasaran UtamaShareholders;

Stakeholders additionStakeholdersShareholders; Stakeholders additionShareholders dan Stakeholders

Konsep TeoritisEntity TheoryEnterprise TheoryEntity TheoryShariate Enterprise Theory

Bentuk LaporanKuantitatif; Kualitatif additionKualitatif KuantitatifKuantitatifKuantitatif Kualitatif

Berdasarkan laporan nilai tambah syariah awal (Mulawarman 2006) dilakukan penyesuaian dari sesuai realitas empirisnya, yaitu secara konseptual dan bentuk laporannya. Bentuk laporan nilai tambah syariah juga mengalami penyesuaian atas pemisahan laporan kuantitatif dan kualitatif menjadi penyatuan laporan kuantitatif dan kualitatif. Kedua bentuk laporan tersebut bersifat mandatory (wajib). Penggabungan laporan kuantitatif dan kualitatif seperti telah dijelaskan di atas untuk menghindari perilaku pragmatis perusahaan. Laporan kualitatif meskipun bersifat mandatory, bila disajikan terpisah akan mengarah pada sifat pseudo-mandatory. Pseudo-mandatory di sini dapat diartikan laporan kualitatif secara substansial memang bersifat mandatory, tetapi praktiknya di lapangan menjadi mandul, bahkan akan tergeser kembali menjadi laporan voluntary. Tabel 4

Penyesuaian Shariate Value Added Statement Berbasis Rizq

Penciptaan VAKuantitatifKualitatif

Output Ketundukan X1Y1

Kreativitas

Jumlah OutputX2Y2

Input Ketundukan X3Y3

RevaluationKreativitas

VA KotorX4Y4

TAZKIYAH (Za)

Pembayaran Zakat kepada 8 Asnaf (Zb)

VA HALAL DAN THOYIB (Zc)

Distribusi VAKuantitatifKualitatif

Internal

Karyawan Ketundukan X5Y5

OwnersKreativitas

Reinvestment FundsKreativitas

Eksternal

PemerintahKetundukan X6Y6

Kreativitas

ResidentsKetundukan

MasyarakatKreativitas

Sementara pembagian akuntabilitas tetap mengacu pada Mulawarman (2006), yaitu akuntabilitas ketundukan (spiritual) dibagi menjadi ketundukan primer dan ketundukan sekunder. Akuntabilitas kreativitas (mental dan material) juga dibagi menjadi primer dan sekunder. Lengkapnya lihat Tabel 4 (Lampiran).

Penjelasan elemen-elemen laporan nilai tambah syariah di atas adalah sebagai berikut. Pencatatan bentuk output ketundukan primer secara finansial dan sosial/lingkungan dari pencapaian halal atas aktivitas ekonomi, yaitu berkaitan dengan pencapaian produk halal dan peningkatan kualitas karyawan. Pencapaian halal dapat berupa Sertifikasi Halal yang dikeluarkan LPPOM MUI untuk perusahaan obat, kosmetik, makanan/minuman, restoran dan peternakan, atau Sertifikasi Syariah yang dikeluarkan DSN MUI untuk lembaga perbankan syariah dan pasar modal syariah. Untuk keperluan implementasi output ketundukan proses Sertifikasi Halal perusahaan obat, kosmetik, makanan/minuman, restoran dan peternakan atau pencapaian kualitas karyawan berupa peningkatan skill/kemampuan, kursus serta training berkaitan pencapaian produk halal.

Pencatatan bentuk ketundukan sekunder secara finansial (halal zamany) dan sosial/lingkungan (halal makany) untuk pencapaian halal atas aktivitas ekonomi. Bentuknya merupakan input berupa proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan yang harus memenuhi Sistem Jaminan Halal dan Standar Operasi Prosedur Halal (SOP) Halal sebagai implementasi Total Quality Management (TQM) perusahaan.

Akuntabilitas kreativitas (mental dan material) dibagi menjadi output kreativitas primer dan output kreativitas sekunder. Pencatatan bentuk kreativitas primer secara finansial yaitu reduksi riba ekonomi berbentuk bai, dan sosial/lingkungan yaitu reduksi riba sosial berbentuk Profit Loss Sharing System. Bentuknya dapat berupa reduksi bunga/interest, reduksi prinsip time value of money dalam penentuan penyusutan aset, tidak melakukan penimbunan, penipuan, monopoli, oligolopi, judi dan kepastian penentuan bagi hasil saham preference maupun saham biasa. Serta menjalankan aktivitas perusahaan dalam penyuluhan dan kursus maupun peningkatan kemampuan masyarakat sekitar dalam memahami kesadaran bersama menjaga keseimbangan ekologis dan menjaga keserasian hubungan dengan masyarakat sekitar perusahaan. Pencatatan bentuk kreativitas sekunder yaitu dalam bentuk kreativitas sosial dan lingkungan, seperti hasil dari pengolahan limbah, berupa lingkungan bersih.

Kekurangan informasi kuantitatif finansial dan sosial/lingkungan baik material, mental dan spiritual harus dijelaskan dalam laporan kualitatif. Laporan kualitatif seperti penjelasan keharaman dari aspek, haram karena faktor eksternal dan proses relasi sosial dan penanganan lingkungan. Laporan kualitatif juga berisi tentang ketenangan melaksanakan ibadah mahdah di dalam lingkungan perusahaan, keselarasan hubungan antar stakeholders (pemilik, pemegang saham, manajemen, karyawan, masyarakat sekitar, konsumen dan lingkungan), maupun kenikmatan atas hasil aktivitas bisnis halal, reduksi riba dan gharar.

6. Simpulan

Konstruksi khusus laporan nilai tambah syariah dalam penelitian ini merupakan implementasi kedua dari trilogi laporan keuangan syariah berbasis maisyah-rizq-maal (Mulawarman 2007c). Laporan nilai tambah syariah diturunkan dari salah satu trilogi, yaitu rizq. Rizq merupakan bentuk laba yang disebut rizq income sebagai penjelasan lebih lanjut dari konsep nilai tambah syariah (shariate value added/SVA). Meskipun konsep rizq di sini memang lebih mengakomodasi realitas empiris. Meskipun rizq tergali dari realitas masyarakat Muslim Indonesia, ternyata hal tersebut memiliki kesesuaian dengan konsep SVA.

Hasilnya adalah bahwa rizq income sebagai konsep rezeki bernilai tambah (sebagai basis laporan nilai tambah syariah dalam perspektif akuntansi syariah) merupakan nilai tambah yang didapatkan (baik finansial, sosial dan lingkungan) dan telah disucikan/tazkiyah (secara halal, thoyib dan bebas riba) mulai dari pembentukan, hasil sampai distribusinya. Oleh karena itu, SVAS terdiri dari elemen kuantitatif dan kualitatif yang menjadi satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan.

3

2

1

Trilogi Teknosistem Laporan Keuangan Syariah

Nilai Tambah Syariah Berbasis Rizq

Neraca Syariah Berbasis Maal

Aliran Kas Syariah Berbasis Maisyah

( Alamat korespondensi: Politeknik Universitas Andalas, Kampus Limau manis, Padang. Emai: HYPERLINK "mailto:[email protected]" [email protected].

** Email: [email protected].

( Alamat korespondensi: Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Jl. Mayjen Haryono 165, Malang, Jawa timur. Email: [email protected]

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Aliran pragmatis biasanya menyepakati Entity Theory (lihat Syahatah 2001, Zaid 2004, Adnan 2005).

Teknologi akuntansi syariah berbentuk laporan keuangan syariah (Mulawarman 2007c), yang memiliki tiga laporan utama, yaitu Laporan Arus Kas Syariah (Mulawarman 2007a), Laporan Nilai Tambah Syariah (2006) dan Neraca Syariah (Mulawarman 2007b)

GNH diusulkan pertama kali oleh Raja Bhutan Jigme Singye Wangchuck tahun 1972 untuk menyatukan perencanaan ekonomi dan pembangunan secara holistik.

Dari sisi finansial, bebas riba adalah kerja sama berdasar prinsip bai atau bagi hasil. Dari sisi kepentingan sosial dan lingkungan, bebas riba dengan melakukan relasi sosial dan lingkungan alam secara pro-aktif berlandaskan prinsip shadaqah.

Beberapa konsep kunci penting mengenai rezeki menurut Al Quran, pertama, rezeki berasal dari Allah (QS. 51: 22, Huud: 6, Az Zukhruf: 32). Kedua, rezeki harus dihitung sesuai akhlak Islami (QS. 14: 34). Ketiga, semua perolehan rezeki berkaitan dengan penegasan keimanan dan ketakwaan seseorang (QS. 7:96). Keempat, rezeki yang berorientasi ketakwaan akan memunculkan berkah (QS. Huud: 73; QS. 7: 96) dan kemenangan yang besar (QS. Al Ahzaab: 70-71).

Muslehudin (2004) menghubungkan dua makna tersebut sebagai sebuah hubungan antara konteks ekonomi dan politik, tetapi dalam konteks penelitian ini tidak akan membahas hal tersebut lebih jauh. Yang jadi perhatian di sini adalah menekankan salah satu makna yang berhubungan dengan konsepsi ekonomi, yaitu pemberi rezeki.

MHU singkatan dari PT. Multi Harapan Utama

Dalam praktik, disebutkan Kam (1990, 283-286) ada tiga dasar penandingan yang umum digunakan untuk mencari hubungan antara biaya dengan pendapatan dalam suatu periode tertentu. Dasar penandingan tersebut, pertama, hubungan sebab-akibat; kedua, alokasi sistematis dan rasional; ketiga, pembebanan segera. Prinsip ini masih mengidap masalah karena substansi dari prinsip penandingan merupakan kepentingan akuntansi konvensional untuk menghasilkan laba atau lebih tegas merupakan turunan dari konsep laba akuntansi (lihat Belkaoui 2001; Kusumawati 2004; Triyuwono dan Asudi 2001) dan lebih dekat dengan prinsip dasar akrual (lihat Kam 1990, 296; Kusumawati 2004, 25).