Jurnal Riding

download Jurnal Riding

of 30

Transcript of Jurnal Riding

Abstrak: Sindrom ovarium polikistik (PCOS) adalah kelainan endokrin yang paling sering terjadi pada wanita. Gejala klinis dari PCOS bervariasi mulai dari gangguan menstruasi yang ringan sampai gangguan fungsi reproduksi dan metabolik yang berat. Penatalaksanaan dari wanita dengan PCOS bergantung kepada gejala penderita. Gejala bisa berupa disfungsi ovulasi yang menuju kepada infertilitas, gangguan menstruasi, atau gejala yang berkaitan dengan hormon androgen. Penurunan berat badan meningkatkan profil endokrin dan meningkatkan kemungkinan dari ovulasi dan kehamilan. Normalisasi dari siklus menstruasi dan ovulasi bisa terjadi pada penurunan berat badan sebanyak 5 persen dari berat badan inisial. Terapi dari obesitas mencakup modifikasi gaya hidup ( diet dan latihan ), obat-obatan maupun dengan pembedahan. Pada PCOS, anovulasi berkaitan dengan rendahnya konsentrasi hormon FSH dan terhambatnya pertumbuhan folikel antral pada tahap terakhir dari maturasi. Masalah ini bisa diterapi dengan medikasi seperti clomiphene citrate, tamoxifen, aromatase inhibitors, metformin, glukokortikoids, atau gonadotropins atau secara pembedahan melalui pemboran ovarium dengan laparoskopi. Pembuahan invitro akan tetap menjadi pilihan terakhir untuk mendapatkan kehamilan ketika cara yang lainnya gagal. Anovulasi kronis selama waktu yang panjang juga berkaitan dengan peningkatan resiko dari hyperplasia endometrium dan keganasan, yang sebaiknya ditelusuri dan diterapi secara serius. Terdapat gejala androgenic yang akan bervariasi pada tiap-tiap pasien seperti hirsutisme, tumbuhnya jerawat, dan atau alopesia. Terdapat penampakan yang menyulitkan pada pasien dan memerlukan terapi yang adekuat. Pengobatan alternatif telah dipublikasikan sebagai obat yang diteliti secara

umum

untuk

berbagai

masalah

kesehatan,

seperti

PCOS.

Tinjauan

ini

menitikberatkan pada kontribusi penatalaksanaan dari gejala yang berbeda. Keywords: Terapi, sindrom ovarium polikistik

Pendahuluan Sindrom ovarium polikistik adalah gangguan endokrin yang paling sering dijumpai pada wanita. Prevalensinya diantara wanita infertile adalah 15%-25%. Penyebab dari PCOS masih belum jelas, akan tetapi banyak penelitian member kesan bahwa PCOS adalah kondisi yang berhubungan dengan X dominan. Wanita dengan PCOS mempunyai metabolisme dari androgen dan estrogen yang abnormal serta gangguan pengaturan produksi androgen. Konsentrasi yang tinggi dari serum hormon androgen, seperti testosterone, androstenedione, and dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS), bisa terjadi pada pasien ini. Akan tetapi, sangat mungkin terjadi variasi antar individu, dan beberapa pasien mungkin mempunyai kadar androgen yang normal. PCOS juga berhubungan dengan resistensi insulin perifer dan

hiperinsulinemia, dan obesitas meningkatkan derajat dari kedua kelainan tersebut. Resistensi insulin pada PCOS bisa terjadi sekunder karena defek pada jalur sinyal reseptor insulin, dan kenaikan kadar insulin bisa meningkatkan efek gonadotropin pada fungsi ovarium. Sebagai tambahan, resistensi insulin pada PCOS juga mempunyai hubungan dengan adiponektin, yaitu hormon yang disekresikan oleh adiposity yang mengatur metabolism lemak dan kadar glukosa. Wanita dengan PCOS baik yang kurus maupun gemuk mempunyai kadar adiponektin yang rendah bila dibandingkan dengan wanita yang tidak mempunyai PCOS. Mekanisme yang banyak diusulkan adalah anovulasi dan kenaikan kadar androgen memiliki kesan bahwa dibawah peningkatan efek stimulasi dari hormon LH yang disekresi oleh kelenjar pituitary anterior, stimulasi sel theka ovarium mengalami peningkatan. Pada

gilirannya, sel ini akan meningkatkan produksi dari hormon androgen ( testosterone, androstenedione). Dikarenakan terjadi penurunan kadar hormon FSH relative terhadap LH, sel granul ovarium tidak bisa mengaromatisasi androgen menjadi estrogen, yang akan akan menuntun pada penurunan kadar estrogen dan anovulasi sebagai konsekuensi. Growth hormon and faktor pertumbuhan insulin 1 kemungkinan juga memiliki efek terhadap fungsi ovarium.1,2 Pada tinjauan kali ini, didiskusikan seni dalam merawat aspek-aspek yang berbeda dalam PCOS, dari anovulasi sampai hiperandrogenisme, dengan sedikit penekanan pada modalitas terapi yang baru seperti terapi alternatif. Diagnosis PCOS Manifestasi klinis dari PCOS bervariasi mulai dari gangguan mestruasi ringan sampai gangguan fungsi metabolik dan reproduksi yang berat. Wanita dengan PCOS merupakan predisposisi untuk menjadi penderita Diabetes Mellitus tipe 2 atau mengalami proses penyakit kardiovaskular.3

Faktor yang terlibat dalam tingkat

kesuburan yang rendah pada pasien ini meliputi anovulasi, peningkatan resiko keguguran dini, dan komplikasi obstetri lanjut. Gejala klinis meliputi gangguan menstruasi dan tanda-tanda hiperandrogenisme. Walaupun tidak universal dan tidak merupakan bagian dari definisi, resistensi insulin dan obesitas juga merupakan penyerta yang sangat umum terdapat pada sindrom ini.4

Uniformitas fenotip dan

variasi dari gambaran penyakit menyebakan kesulitan dalam menentukan sindroma ini. Tabel 1. Kriteria Diagnostik Organisasi/ GrupNational Institutes of Health

Tahun 1990

KriteriaBaik hiperandrogenisme maupun anovuloasi kronik5

Rotterdam European 2003 Society for Human Reproduction/American Society of Reproductive Medicine-sponsored PCOS consensus workshop group Androgen Excess Society Rotterdam European 2006 Society for Human Reproduction/American Society of Reproductive Medicine-sponsored PCOS consensus workshop group Androgen Excess Society Singkatan : PCOS, polycystic ovary syndrome.

Dua dari kondisi berikut : Hiperandrogenisme, anovulasi kronik, polikistik ovarium6 Hiperandrogenisme dan disfungsi ovarium (termasuk ovulasi yang infrekuen atau ireguler atau anovulasi) dan atau polikistik ovarium7

Konferensi Institut Kesehatan Nasional 1990 mengatakan bahwa, untuk definisi memerlukan oligo-ovulasi, klinis maupun biokimia hiperandrogenisme, dan eliminasi daripada penyakit lain, seperti hiperplasia adrenal kongenital onset lambat dan sindroma Cushing5 (Tabel 1). Kriteria diagnosis dari sindroma telah direvisi oleh organisasi Rotterdam Eropa untuk reproduksi manusia dan organisasi amerika untuk obat reproduksi,(ASRM) yang mensponsori konsensus workshop grup PCOS pada tahun 2003, dimana kriteria tersebut telah ditetapkan : oligo/amenorea, tanda klinis dan biokimia dari hiperandrogenisme, dan PCOS yang telah dikonfirmasi oleh sonograph. 6 Dua dari tiga kriteria diperlukan untuk diagnosis (setelah menyingkirkan kemungkinan dari penyakit lain seperti hiperplasia adrenal kongenital, tumor yang

mensekresi androgen, atau sindroma Cushing). Gambaran Sonograph dari PCOS meliputi adanya 12 atau lebih folikel di tiap ovarium dengan ukuran diameter 2-9 mm dan atau peningkatan volume ovarium (10 ml). hal ini tidak tergantung pada distibusi folikel atau echogenicitas dari stroma ovarium. Satu ovarium yang memenuhi definisi tersebut sudah cukup untuk menentukan PCOS.2,7

Ini dikenali bahwa beberapa

wanita dengan pemeriksaan sonograph PCOS mungkin mempunyai siklus normal tanpa tanda klinis maupun biokimia dari hiperandrogenisme. Walaupun ini adalah definisi kerja, banyak pihak lain meyakini bahwa hiperandrogenisme seharusnya merupakan bagian integral dari definisi. Siklus ovulasi wanita dengan PCOS kelihatanyya memiliki resistensi insulin yang lebih rendah daripada wanita anovulasi dengan PCOS;8 lebih lanjut, penelitian yang dipublikasikan pada 2007 memberi kesan bahwa wanita dengan PCOS,9

anovulation kronis, dan kadar androgen normal tidak memiliki resistensi insulin. Observasi ini membatasi penggunaan dari kriteria Rotterdam, dan menurut ahli dari organisasi Androgen berlebih / Androgen Excess Society (AES) merekomendasikan bahwa PCOS seharusnya dipertimbangkan sebagai penyakit kelebihan androgen dan seharusnya kriteria diagnostik Institut Kesehatan Nasional dipergunakan. 7 AES juga merekomendasikan bahwa wanita dengan hiperandrogenisme, PCOS, dan siklus ovulasi sebaiknya dipertimbangkan sebagai PCOS phenotipe;dengan demikian, hiperandrogenisme dan ovulasi yang ireguleratau infrekuen , sama halnya dengan hiperandrogenisme, ovulasi regular, dan PCOS, dalam hal memenuhi kriteria AES untuk PCOS.

Penatalaksanaan PCOS Penatalaksanaan wanita dengan PCOS bergantung kepada gejala. Gejala ini bisa berupa disfungsi ovarium yang berkaitan dengan kemandulan, gangguan menstruasi, atau gejala yang terkait dengan hormon androgen. Pengurangan berat badan Terdapat beberapa bukti bahwa PCOS yang terkait hiperandrogenisme menyebabkan obesitas sentral dengan pinggang tinggi/ ratio panggul independen dari indeks massa tubuh (IMT). Telah ditetapkan bahwa obesitas berhubungan dengan anovulasi, keguguran, atau komplikasi kehamilan lanjut (seperti preeklamsia dan diabetes gestasional).10,11 Obesitas telah diobservasi pada 35%-60% wanita dengan PCOS dan ini berhubungan dengan lambat atau tertundanya respon dari terapi yang berbeda seperti clomiphene citrate (CC), gonadotropins, dan terapi bedah of diathermi via laparoskopi.12 Penurunan berat badan meningkatkan fungsi endokrin dan meningkatkan kemungkinan ovulasi dan kehamilan. Normalisasi dari siklus menstruasi dan ovulasi bisa terjadi pada penurunan berat badan sekitar 5% dari berat badan inisial.13 Penurunan berat badan nisa meningkatkan tidak hanya androgen sirkulasi dan kadar glukosa namun juga kemungkinan ovulasi dan kehamilan pada wanita yang mempunyai PCOS dengan obesitas; akan tetapi, penurunan berat badan hanya direkomendasikan pada pasien overweight dengan BMI > 2527 kg/m2. Penatalaksanaan obesitas meliputi modifikasi gaya hidup (diet dan latihan), serta

terapi medis maupun bedah. Semua terapi tersebut harus dilakukan selama periode keraguan dan tidak bersamaan dengan terapi reproduksi. Diet Diet yang direkomendasikan untuk pasien PCOS dengan obesitas adalah rendah kalori dengan pengurangan intake karbohidrat, dan semua bentuk diet ini akan menghasilkan penurunan berat badan sekitar 5%-10% yang diperlukan untuk membangun kembali fungsi ovarium pada pasien ini. Pada tahun 2005, Reaven mengatakan bahwa diet rendah lemak menghasilkan penurunan hiperinsulinemia, yang mana akan meningkatkan efek metabolik.14 Olahraga Banyak penelitian yang mencoba menentukan peran olahraga dalam penatalaksanaan pasien PCOS dengan obesitas.15 Tidak ada yang menemukan perubahan bermakna ketika diet berbeda, dihubungkan dengan atau tanpa olahraga, dibandingkan, walaupun ditemukan hubungan terhadap lamanya waktu pemeliharaan penurunan berat badan. Peningkatan aktivitas fisik dianjurkan bagi para pasien PCOS, walaupun sering memerlukan batasan.16 Pembedahan Bariatrik Baru-baru ini, pembedahan bariatrik telah dianjurkan sebagai strategi penurunan berat badan pada obesitas. Sebagai tambahan, jika penurunan berat badan secara spontan tidak bisa dicapai melalui diet dan olahraga, bisa ditawarkan pembedahan bariatrik. Dua pendekatan utama, yaitu restriktif dan restriktif kombinasi, dan prosedur malabsorbsi, pengaturan jilitan lambung, dan bypass Roux-

en-Y, sering dilakukan. Tidak mengejutkan bahwa, 17 pasien PCOS dengan rata-rata BMI 50.7 kg/m2, pembedahan bariatrik menghasilkan penurunan berat badan sebanyak 4 9 kg dalam 12 bulan dan peningkatan dalam hal ovulasi, resistensi

insulin, hiperandrogenisme, dan hirsutisme.17 Dalam kumpulan 12 pasien PCOS yang tersedia untuk follow-up setelah pembedahan bariatrik atas indikasi obesitas, siklus kembali normal pada semua pasien ini.17 Namun sebagai catatan, wanita yang telah menjalani pembedahan bariatrik mempunyai peningkatan resiko dalam hal defisiensi nutrisi, meliputi protein, besi, vitamin B12, asam folat, vitamin D, dan kalsium; akan tetapi, tidak ada consensus yang menyoroti screening nutrisi optimal dan suplemen. Induksi ovulasi Pada PCOS, anovulasi berhubungan dengan kadar FSH yang rendah dan terhambatnya pertumbuhan folikel antral pada tahap akhir dari pematangan. Kelebihan LH, androgen, and insulin secara individual maupun kolektif mungkin mempunyai peran secara langsung maupun tidak langsung pada proses, memacu steroidogenesis namun menahan pertumbuhan folikel. Pada banyak wanita, tidak adanya ovulasi merupakan keluhan yang sering muncul. Medikasi dan pilihan lain yang tersedia untuk menginduksi ovulasi akan dibahas pada bagian berikutnya. CC CC merupakan satu dari pengobatan lini pertama untuk induksi ovulasi pada pasien ini, dikarenakan ekonomis, jelas, mempunyai sedikit efek merugikan, dan hanya memerlukan sedikit pengawasan.18 CC adalah antagonis reseptor estrogen yang mengganggu dumpan balik negatif jalur sinyal estrogen, menghasilkan peningkatan

availabilitas dari FSH. Peningkatan FSH akan menuju pada pertumbuhan folikel, yang akan diikuti dengan gelombang LH dan ovulasi. CC diindikasikan pada pasien PCOS dan anovulasi dengan kadar FSH yang normal, tapi ini memiliki batasan pasti pada pasien dengan BMI > 30 dan umur yang sudah tua. Legro dan kawan-kawan menemukan perbedaan bermakna pada tingkat kehamilan pasien dengan BMI > 30 bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki BMI < 30.19 Dosis 50150 mg diberikan selama 5 hari, dimulai pada hari ke 3 atau 5 dari siklus spontan yang diinduksi progestin. CC menghasilkan ovulasi pada 75%80% pasien PCOS, walaupun tingkat gestasi telah diperkirakan, ini mendekati 22% per siklus ovulasi.20 Perbedaan hasil ini mempunyai hubungan dengan efek antiestrogen dari CC, terutama pada endometrium dan mukus serviks.18 Tingkat kelahiran hidup dalam follow up selama 6 bulan pada clomiphene berkisar antara 20%-40%. Lebih lanjut, mayoritas kehamilan terjadi dalam 6 siklus ovulasi pertama setelah terapi inisiasi.19 Tingkat kehamilan ganda dibawah 10%, dan sindrom hiperstimulasi jarang ditemukan. Tamoxifen adalah agen ovulatori lain yang serupa dengan CC dalam hal mekanisme aksi, namun efek antiestrogennya kurang pada serviks dan endometrium. Obat ini bisa digunakan sebagai terapi alternatif CC dalam kasus kegagalan atau resistensi CC. Metformin Metformin adalah derivat biguanide yang digunakan sebagai agen antihiperglikemik oral dan telah dietujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) untuk mengatur diabetes mellitus tipe 2. Penggunaan metformin berhubungan

dengan peningkatan siklus menstruasi, memacu ovulasi, dan mengurangi kadar androgen sirkulasi.21 Keuntungan Metabolik adalah memperbesar kemungkinan penurunan berat badan, dan penurunan berat badan itu sendiri kemungkinan karena pemakaian metformin. Aksi klinis utamanya adalah menghambat produksi glukosa hepar, walaupun ini juga berarti mengurangi ambilan glukosa usus dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin pada jaringan perifer.22 Metformin sepertinya memainkan perannya dalam memacu induksi ovulasi pada wanita dengan PCOS melalui berbagai mekanisme, meliputi pengurangan kadar insulin dan mengganggu efek dari insulin terhadap biosintesis androgen ovarium, proliferasi sel theka, dan pertumbuhan endometrium. Sebagai tambahan, mempunyai potensi melalui efek langsung, obat ini menghambat glukoneogenesis dan selanjutnya ovarium. Banyak rejimen terapi yang telah diajukan.23 Dalam tujuan untuk meningkatkan toleransi pasien, metformin dimulai dengan dosis 500 mg sehari dengan makanan. Setelah 1 minggu, dosis dinaikkan menjadi 1000 mg untuk minggu selanjutnya dan kemudian menjadi 1500 mg sehari. Dosis target adalah 15002550 mg/hari (500 atau 850 mg 3 kali sehari). Respon klinis biasanya muncul pada dosis 1000 mg sehari. Pada beberapa pasien PCOS yang tidak berespon pada metformin dengan dosis 1500 mg sehari akan berespon dengan baik pada 2000 mg sehari. Efek samping yang sering muncul dari metformin adalah diare dan nausea. Asidosis laktat telah dilaporkan pada pasien dengan gangguan ginjal, gagal jantung kongestif, dan sepsis. Secara tradisional, agen hipoglikemik oral telah ditetapkan sebagai mengurangi produksi androgen

teratogenik, dan penggunaannya adalah kontrindikasi pada kehamilan. Akan tetapi, terdapat peningkatan jumlah data yang mendukung keamanan obat ini ketika digunakan dalam kehamilan. Glueck dkk melaporkan tidak adanya defek kelahiran yang bermakna dan tidak ada gangguan pada perkembangan motorik dan sosialdari bayi pada umur 3 dan 6 bulan.24 Bila dibandingkan dengan grup control pada wanita yang tidak mendapat terapi metformin, insidensi dari diabetes gestasional pada grup yang mendapat terapi adalah lebih rendah secara bermakna. Untuk menentukan peranan pasti metformin dalam induksi ovulasi, sangatlah penting untuk membedakan 2 indikasi yang berbeda. Pada PCOS murni, metformin, bila dibandingkan dengan plasebo, terlihat meningkatkan tingkat ovulasi, namun metformin tidak terlalu berbeda dengan CC dalam ovulasi kumulatif, kehamilan, atau tingkat kelahiran hidup.25 Pendekatan kombinasi metformin dengan CC tidaklah lebih baik bila dibandingkan dengan monoterapi metformin atau CC pada penderita PCOS murni.26 Pada pasien dengan resistensi CC, metformin sebagai agen tunggal tidak mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan placebo dalam hal ovulasi, kehamilan, maupun tingkat kelahiran hidup, namun kombinasi dari metformin dan CC secara bermakna meningkatkan ovulasi dan kehamilan bila dibandingkan dengan terapi CC saja. Terapi kombinasi tidak mengingkatkan kecacatan pada kelahiran hidup.27 Metformin sebagai pre-terapi meningkatkan efikasi dari CC pada pasien PCOS dengan resistensi CC.28 Troglitazone adalah obat insulin- sensitizing lain yang telah diperlihatkan dapat memacu ovulasi dan meningkatkan tingkat kehamilan. Akan tetapi,

dikarenakan efek hepatotoksiknya, obat ini telah ditarik dari pasaran.29 Obat lain dari kategori yang sama, rosiglitazone (8 mg/hari), mampu memacu baik ovulasi spontan maupun yang diinduksi oleh clomiphene pada wanita dengan PCOS dengan rerata BMI 35.5-38.5 kg/m2. Pioglitazone juga sama efektifnya; akan tetapi, penelitian yang membahasnya masih terbatas. Walaupun baik rosiglitazone dan pioglitazone mempunyai sedikit resiko jangka pendek, keamanan pada janin masih belum dipastikan (kehamilan kategori C dari guideline US FDA). Ketika digunakan, kedua obat ini sebaiknyha dihentikan ketika kehamilan telah ditetapkan. Baru-baru ini, Tang dkk menambah informasi mengenai tinjauan Cochrane mengenai obat insulinsensitizing (metformin, rosiglitazone, pioglitazone, d-chiro-inositol) untuk wanita dengan PCOS, oligo/amenorrhea, dan subfertilitas dan menyhimpulkan bahwa

metformin tetap memiliki keuntungan dalam meningkatkan kehamilan dan tingkat ovulasi. Akan tetapi, tidak terdapat bukti bahwa metformin meningkatkan kelahiran hidup baik saat digunakan sebagai agen tunggal maupun kombinasi dengan clomiphene, atau ketika dibandingkan dengan clomiphene. Oleh karena itu, penggunaan metformin dalam meningkatkan reproduksi pada wanita dengan PCOS masih dibatasi.30 Aromatase inhibitor Beberapa aromatase inhibitor selektif seperti anastrozole dan letrozole adalah agen induksi ovulasi yang menjanjikan. Mereka reversible dan sangat potensial. Tidak seperti CC, yang memiliki waktu paruh 57 hari, waktu paruh anastrozole dan letrozole hanya 45 jam. Seiring berjalannya waktu, letrozole lebih banyak diteliti

secara lebih ekstensif daripada anastrozole.31 Letrozole diperkenalkan sebagai pendamping terapi reproduksi setelah munculnya banyak efek balik dari CC, kesuksesan terapi CC yang rendah, dan kompleksitas terapi gonadotropin. Letrozole menghambat produksi estrogen pada axis hipotalamus-hipofisis, yang berefek pada peningkatan kadar gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dan FSH. Telah diyakini bahwa adanya penurunan relative aromatase pada wanita dengan PCOS, yang mana akan menurunkan produksi folikel dan bertanggung jawab terhadap lancarnya ovulasi. Untuk menangani deficit relative ini, aromatase inhibitor digunakan untuk memacu ovulasi, karena aksi selektif mereka dalam memblok jalur perifer androgen menjadi estrogen mengurangi kuantitas dari estrogen, dengan demikian menghasilkan umpan balik positif pada hipofisis, meningkatkan FSH, dan mengoptimalkan ovulasi. Keuntungan dari letrozole adalah obat ini terhindar dari efek antiestrogenik perifer pada endometrium saat merangsang pertumbuhan monofollicular.32 Letrozole dengan dosis 2.55 mg diberikan selama 5 hari dan bisa dibantu dengan FSH (pada dosis normal untuk pasien PCOS) dan human chorionic gonadotropin (hCG; 10,000 IU) ketika diameter folikel mencapai 18 mm dengan tujuan untuk mengatur ovulasi. Akan tetapi, penelitian prospective randomized trial yang membandingkan letrozole dengan clomiphene, tingkat kehamilannya adalah serupa. Walaupun Novartis

Pharmaceuticals (Basel, Switzerland) telah memperingatkan penggunaan letrozole untuk induksi ovulasi (dikarenakan kemungkinan teratogenitasan), perbandingan dengan clomiphenetidak menunjukkan adanya peningkatan malformasi baik mayor maupun minor.33

Glukokortikoids Glukokortikoids seperti prednisone dan dexamethasone telah digunakan untuk menginduksi ovulasi. Elnashar dkk mendemonstrasikan bahwa induksi ovulasi

dengan menambahkan dexamethasone (dosis tinggi, short course) kepada CC dalam kasus resistensi CC pada pasien PCOS dengan kadar DHEAS normal adalah berhubungan dengan tidak adanya efek antiestrogenik yang merugikan pada endometrium dan terjadi peningkatan ovulasi dan kehamilan pada pasien dalam jumlah bermakna.34 Pada pasien PCOS dengan kadar androgen adrenal yang tinggi,

dexamethasone dosis rendah (0.250.5 mg) saat tidur bisa digunakan.35 Dalam suatu penelitian terhadap 230 wanita dengan PCOSyang telah gagal untuk ovulasi dengan menggunakan 200 mg of CC selama 5 hari,penambahan 2 mg dexamethasone mulai hari ke 514 dihubungkan dengan tingkat ovulasi yang lebih tinggi dan tingkat kehamilan kumulatif.36 Antusiasme penggunaan obat ini mengecil, dikarenakan potensi efek merugikan terhadap sensitifitas insulin; oleh karena itu, penggunaan jangka panjang perlu dicegah. Gonadotropins Kemungkinan lini kedua terapi yang mungkin setelah resistensi CC dan telah didemonstrasikan pada wanita dengan PCOS adalah gonadotropins eksogen.37 mekanisme aksi dari gonadotropins adalah untuk menginduksi ovulasi, memacu dan memelihara pertumbuhan folikel yang optimal melalui pengaturan penyebaran FSH,

dan menghasilkan folikel yang mampu untuk di fertilisasi. Tidak seperti CC, gonadotropin tidak menekan efek antiestrogenik perifer. Kekurangan utama dari gonadotropins adalah bahwa mereka memacu perkembangan banyak folikel, yang mana akan meningkatkan resiko terjadinya sindroma hiperstimulasi ovarium (OHSS) dan kehamilan multipel. Terapi dengan FSH memerlukan biaya yang mahal, memerlukan waktu lama, dan memerlukan keahlian dan monitoring yang tinggi. OHSS mempunyai hubungan dengan produksi mediator vasoaktif yang dimediasi oleh hCG setelah induksi perkembangan multifolikular dengan gonadotropin.38 Banyak protocol terapi yang telah diajukan, seperti step-up, step-up dosis rendah, dan regimen step-down. ASRM menyarankan protocol dosis rendah gonadotropin.39 Pendekatan dosis step-up yang memacu perkembangan unifolikular telah direkomendasikan. Regimen step-up dimulai dengan dosis minimum (37.550 IU/hari), yang ditingkatkan berdasarkan kurangnya respon folikel. Kontrol dilakukan dengan menggunakan USG, dan regimen diubah setelah 1 minggu jika tidak ada pertumbuhan folikel dengan pertambahan waktu sebanyak 50% setiap waktu selama diperlukan. HCG digunakan sebagai pengganti untuk gelombang LH, yang akan menuju pada maturitas oosit, ruptur dari folikel, dan formasi dari corpus luteum. Regimen step-down regimen dimulai dengan pemberian dosis maksimum yang direkomendasikan, yang akan mengurangi respon folikel. Dosinya diturunkan sebanyak 50% setiap pergantian regimen terapi. Penelitian terbaru

mendemonstrasikan keamanaan yang lebih besar pada pasien yang menggunakan regimen step-up.40

Pada tahun 2006, ASRM mengusulkan perhatian dan control ketat ketika kadar estradiol dalam darah melebihi 2500 pg/mL selama induksi.39 rekomendasikan terkini merekomendasikan untuk menahan pemberian hCG pada kemunculan 2 atau lebih folikel berukuran >16 mm atau lebih dari 1 folikel >16 mm dan 2 folikel tambahan berukuran >14 mm, atau jika kadar estradiol serum adalah diantara 1000 dan 2500 pg/mL, terutama sekali pada wanita