Jurnal Reading Mata

21
Pendahuluan Keratitis jamur adalah salah satu penyebab utama hilangnya penglihatan dan kebutaan, terutama pada negara-negara berkembang, yang ditandai dengan ulkus, proses supuratif, rusaknya jaringan bahkan perforasi pada kornea. Patogen penyebab tersering pada keratitis jamur antara lain Fussarium spp, Aspergilus spp, dan Candida albicans yang bervariasi sesuai daerah geografisnya. Fussarium spp dan Aspergilus spp adalah penyebab tersering di negara bagian timur yang beriklim tropis dan subtropis dan Amerika selatan. Candida albicans sering ditemukan pada daerah yang beriklim seperti Amerika utara. Insidensi terbaru dari keratitis yang disebabkan oleh Fussarium berhubungan dengan peningkatan pemakaian lensa kontak yang meningkatkan insidensi dari keratitis jamur. Pada beberapa penelitian, faktor resiko yang paling sering didapatkan adalah trauma pada mata, terutama karena bahan vegetatif. Faktor resiko lainnya termasuk penggunakan lensa kontak, operasi mata, penyakit pada permukaan mata, penggunakan kortikosteroid sebelumnya, immunocompromise, daerah tropis dan daerah yang beriklim lembab. Keratitis jamur masih merupakan tantangan bagi dokter spesialis mata dalam mendiagnosis dan memberikan penatalaksanaan yang masih sulit dilakukan, karena infeksi jamur pada kornea sering menyebabkan kerusakan kornea, gangguan penglihatan dan kerusakan mata jika tidak didiagnosa

description

mata

Transcript of Jurnal Reading Mata

PendahuluanKeratitis jamur adalah salah satu penyebab utama hilangnya penglihatan dan kebutaan, terutama pada negara-negara berkembang, yang ditandai dengan ulkus, proses supuratif, rusaknya jaringan bahkan perforasi pada kornea. Patogen penyebab tersering pada keratitis jamur antara lain Fussarium spp, Aspergilus spp, dan Candida albicans yang bervariasi sesuai daerah geografisnya. Fussarium spp dan Aspergilus spp adalah penyebab tersering di negara bagian timur yang beriklim tropis dan subtropis dan Amerika selatan. Candida albicans sering ditemukan pada daerah yang beriklim seperti Amerika utara. Insidensi terbaru dari keratitis yang disebabkan oleh Fussarium berhubungan dengan peningkatan pemakaian lensa kontak yang meningkatkan insidensi dari keratitis jamur. Pada beberapa penelitian, faktor resiko yang paling sering didapatkan adalah trauma pada mata, terutama karena bahan vegetatif. Faktor resiko lainnya termasuk penggunakan lensa kontak, operasi mata, penyakit pada permukaan mata, penggunakan kortikosteroid sebelumnya, immunocompromise, daerah tropis dan daerah yang beriklim lembab. Keratitis jamur masih merupakan tantangan bagi dokter spesialis mata dalam mendiagnosis dan memberikan penatalaksanaan yang masih sulit dilakukan, karena infeksi jamur pada kornea sering menyebabkan kerusakan kornea, gangguan penglihatan dan kerusakan mata jika tidak didiagnosa secara dini dan ditatalaksana secara adekuat, sehingga diperlukan metode diagnosis yang lebih sensitif dan spesifik untuk deteksi dini dan deteksi awal pada keratitis jamur. Anti jamur yang efektif dan dapat menembus jaringan kornea adalah hal yang diperlukan untuk hasil yang lebih baik. Jurnal ini mengulas tentang penatalaksanaan terbaru dari keratitis jamur.DiagnosisKasadaran akan kondisi dan perkembangan keadaan klinis merupakan kunci penting untuk mendiagnosa secara dini. Faktor predisposisi (tabel 1) bersama dengan manifestasi klinis yang tampak pada pemeriksaan biomikroskopik slitlamp. Ulkus dengan hifa bercabang, batas yang tidak teratur, tekstur yang kasar dan kering, lesi berpigmen dan lesi satelit merupakan temuan yang medukung keratitis jamur. Namun, pada kasus yang lebih lanjut, keratitis jamur mungkin menunjukkan plak endotel, hipopion, dan infiltrasi yang berbentuk cincin, supuratif stroma keratitis, dan kemungkinan perforasi kornea.Untuk memastikan diagnosa sebelum dilakukan penanganan awal, diindikasikan untuk melakukan tindakan pengikisan kornea dengan menggunakan pisau steril untuk mengikis tepi kornea yang mengalami ulkus. Kemudian hasilnya diletakkan pada slide mikroskop yang steril. Staining test merupakan metode yang sederhana, cepat, dan murah untuk mendukung diagnosis. Contohnya Kalium Hidroksida (KOH) 10%, yang memungkinkan kita untuk melihat secara langsung dinding sel jamur dengan dicernanya komponen protein dari sel inang dan stroma kolagen pada kornea secara parsial, tetapi meninggalkan polisakarida yang mengandung dinding sel jamur tersebut.Tabel 1. Faktor resiko (predisposisi) keratitis jamurTrauma Mata

Penggunaan lensa kontak

Pembedahan mata

Penyakit permukaan mata

Penggunaan kortikosteroid topikal sebelumnya

Immunocompromise ( HIV, diabetes)

Daerah tropis dan beriklim lembab

Pewarnaan gram digunakan untuk mengidentifikasi bakteri dan mengklasifikasikannya ke dalam kelompok gram positif dan gram negatif. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi jamur pada 35-90% kasus dengan hasil kultur positif. Sensitifitas dan spesifisitas dari preparat KOH berkisar antara 62-99% dan 73-99% yang dilaporkan secara retrospektif. Pewarnaan giemsa dan Gomori methenamine silver stain berguna untuk melihat fragmen hifa jamur. Calcofluor white stain mengikat chitin dan selusosa pada dinding sel jamur dan memberikan warna fluoresensi hijau terang dibawah sinar matahari. Kombinasi dari pewarnaan giemsa dan Calcofluor white stain bersama dengan pewarnaan KOH dapat meningkatkan akurasi diagnostik. Kultur pada beberapa media kultur selektif seperti Sabourauds agar, Blood agar, Chocolate agar merupakan gold standar untuk mengidentifikasi patogen penyebab.Biopsi KorneaPada kasus dengan hasil kultur negatif namun menunjukkan progresifitas dari keratitis mikroba meskipun telah diberikan antimikroba yang intensif, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi kornea. Biopsi kornea memiliki peranan penting untuk mendiagnosis keratitis jamur karena evaluasi histopatologi dari kornea yang terinfeksi menunjukkan bahwa jamur lebih sering ditemukan pada stroma kornea. Kultur dari spesimen jaringan biopsi sangat praktis dan dapat mengubah terapi antimikroba yang sudah digunakan sehingga memberikan hasil yang lebih baik.Modalitas ImagingTeknologi baru telah menyediakan alat yang lebih cepat dan noninvasif untuk mendeteksi keratitis mikroba, terutama keratitis jamur. Mikroskop Confocal, menggunakan titik pencahayaan dan pinhol spasial untuk mengeleminasi cahaya yang berada di luar jangkauan sehinggga dapat dilakukan pemeriksaan in vivo dengan seluruh ketebalan kornea. Ada beberapa jenis mikroskop confocal dari generasi pertama sampai generasi yang paling mutakhir termasuk Tandem Scanning Confocal Microscope (TSCM), Slit Scanning Confocal Microscope (SSCM), Laser Scanning Confocal Microscope (LSCM). TSCM tidak lagi diperjual belikan oleh karena kurangnya batas transmisi cahaya yang memproduksi gambar dengan kontras yang lebih jelek jika dibanding dengan confocal mikroskop lainnya. SCCM seperti confoscan 3 dan confoscan 4 memiliki bukaan celah yang lebih lebar sehingga dapat mentransmisikan cahayan yang lebih banyak, yang memperbaiki kecerahan dan kontras dari gambar dan meningkatkan kedalaman lapangan pandang. Heidelberg Retina Tomography- Rostock Cornea Modul Laser Mikroskop Confocal (HRT-II / RCM dan HRT-III / RCM), menggunakan sinar laser pada 670 nm panjang gelombang, tersedia dengan kontras tinggi dan gambar yang berkualitas tinggi.[22] Banyak penelitian menunjukkan bahwa alat ini menyajikan sensitivitas yang lebih tinggi dan jarak spesifikasi dengan rentang 88,3-94% dan 78-91,1%. Walaupun pemeriksaan kultur dan pewarnaan merupakan gold standar diagnostik untuk keratitis jamur, namun teknik dari microbiologi ini membutuhkan waktu dan keahlian yang lebih. Untuk memulai terapi antijamur dibutuhkan identifikasi dari patogen penyebabnya. Teknologi ini dapat memberikan diagnostik yang cepat dan berguna terutama pada kondisi lanjutan seperti infiltrat pada stroma yang dalam, paska operasi LASIK. Terlebih lagi IVCM dapat digunakan untuk mengawasi respon pengobatan terhadap keratitis jamur. Keterbatasan dari microskop confocal adalah aksesnya terbatas, biaya dan kualitas gambarnya tergantung dari pengalaman operatornya.

Teknik Molekular DiagnostikDiagnosis molekuler dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi telah menarik perhatian lebih dari teknik mikologi konvensional. Berbagai teknik molekuler berdasarkan amplifikasi, seperti nested PCR [9,26], real-time PCR [27-29], loop-mediated isothermal amplification [30,31], dan nucleic acid hybridization [32]. PCR merupakan metode diagnostik yang ideal untuk keratitis jamur karena hanya memerlukan bahan sampel kecil untuk melakukan tes. Baru-baru ini, hampir semua studi menargetkan DNA ribosom jamur, seperti 18S rRNA, 28S rRNA dan internal yang ditranskrip sebagai target amplifikasi [26]. Beberapa studi telah melaporkan untuk mendeteksi DNA jamur pada sampel kornea oleh amplifikasi berbasis PCR menggunakan panfungal primer yang umum dan lebih spesifik, kemudian identifikasi jamur dengan sekuensing DNA jamur yang diperkuat; penelitian lain telah melaporkan identifikasi molekular dari jamur yang diisolasi pada kultur dari kerokan kornea [26]. Keuntungannya adalah tingkat deteksi lebih tinggi dan identifikasi jamur patogen lebih spesifik [33,34] hal ini dapat menyebabkan penggunaan PCR sebagai standar acuan untuk diagnosis keratitis jamur. Namun, beberapa peneliti menyebutkan bahwa mikroorganisme non-patogen dapat diperkuat dengan teknik ini namun menyebabkan kebingungan tentang diagnosis yang sebenarnya [35]. Biaya melakukan PCR mungkin lebih mahal daripada menggunakan metode mikrobiologi konvensional dan membutuhkan bahan dan alat yang lebih spesifik. Metode ini mungkin dapat diterapkan untuk pasien dengan tes konvensional tetapi tidak memberikan hasil yang positif.Nested PCR adalah metode yang sangat sensitif tetapi dapat memberikan hasil positif palsu [9,36]. Saat ini, real-time PCR adalah metode tercepat dari teknik yang berbasis PCR [29]; Namun, metode ini biasanya membutuhkan instrumen canggih dan staf medis yang terlatih. Nucleic acid hybridization adalah metode molekular lainnya, yang menggunakan test DNA yang menentukan apakah ada atau tidaknya suatu organisme tertentu. Hal tersebut efektif melokalisasi DNA dan RNA dari agen infeksi pada jaringan dan tidak ada ekstraksi DNA yang diperlukan[36]. Meskipun pengujian ini cepat dan mudah untuk dilakukan, namun sensitivitasnya lebih rendah daripada teknik molekuler lainnya [37,38].Teknik diagnostik molekuler, memberikan sensitivitas yang lebih tinggi, lebih besar dan cepat sehingga diharapkan memiliki peran penting pada diagnosis keratitis jamur di masa yang akan datang [32,39].PenatalaksanaanSaat diagnosa keratitis jamur ditegakkan, terapi medis harus segera dilakukan. Jamur sebagai patogen penyebabnya dapat diidentifikasi dengan analisa laboratorium dari pengikisan kornea, pewarnaan dan kultur mikroba. Diagnosa awal yang cepat dan penatalaksanaan yang efektif penting untuk mencegah hilangnya penglihatan dan kebutaan pada pasien. Keratitis jamur selalu membutuhkan pengobatan jangka lama dengan antimikroba karena aktivitas fungistatik dan bioavailabilitas yang rendah.PolyenesPolyenes mengikat langsung ke sterol (terutama ergosterol) membran jamur dan membuat saluran ion pada membran, menyebabkan gangguan osmotik dengan meningkatkan permeabilitas membran. Polyenes juga mengganggu membran terkait fungsi enzim oksidatif pada jamur. Kedua tindakan tersebut menyebabkan kematian sel [40-42]. Natamycin, menjadi satu-satunya antijamur topikal pada mata yang tersedia, yang memiliki spektrum luas terhadap aktivitas organisme berfilamen, seperti Fusarium spp, Aspergillus spp, Curvularia spp. Natamycin tersedia sebagai suspensi topikal 5% dan merupakan terapi lini pertama untuk keratitis jamur. Amfoterisin B, polyenes lain, aktif melawan jamur dan menjadi pengobatan lini pertama pada keratitis yang disebabkan oleh Candida spp, umumnya diberikan sebagai topikal 0,15-0,30% [43]. Selain itu, intracameral, intrastromal, intravitreal, dan injeksi amfoterisin subconjuctival B telah dilaporkan sebagai pengobatan tahap lanjut. Polyenes ini merupakan molekul besar dengan berat molekul yang tinggi dan memiliki keterbatasan penetrasi ke dalam stroma kornea dan COA. Intracameral, intrastromal, dan subconjuctival injeksi amfoterisin B belum dievaluasi secara ekstensif. Namun, uji klinis beberapa telah melaporkan hasil yang baik untuk pengobatan keratitis jamur. Shao Y et al. mengevaluasi efek terapi injeksi amfoterisin intracameral B dibandingkan dengan 0,15% topikal amfoterisin B pada 60 pasien dengan keratitis jamur. Perbandingan mengungkapkan bahwa intracameral injeksi amfoterisin B mengarah ke penyembuhan lebih cepat dari keratomycosis dan menghilangkan hypopyon lebih cepat [44]. Yoon KC et al. melaporkan bahwa injeksi amfoterisin intracameral B dikombinasikan dengan pengobatan konvensional lebih baik daripada pengobatan konvensional saja dalam mempercepat hilangnya hypopyon dan memberikan hasil yang lebih baik [45]. Selanjutnya, Intracameral amfoterisin B memiliki efek lanjutan pada beberapa kasus keratitis jamur yang tidak respon terhadap pengobatan konvensional [46]. Salah satu kasus melaporkan intrastromal yang dikombinasikan dengan injeksi amfoterisin intravitreal B dapat berhasil memberantas keratitis jamur berulang dengan endophthalmitis yang disebabkan oleh Candida glabrata [47]. Studi toksisitas okular menunjukkan bahwa injeksi Intrastromal amfoterisin B pada konsentrasi kurang dari 10 ug per 0,1 ml aman pada kornea kelinci [48]. Terapi amfoterisin B Subconjuctival juga telah dilaporkan dalam beberapa kasus kecil sebagai pengobatan lanjutan pada pasien dengan keratitis jamur yang berat tetapi dapat memberikan efek samping berupa nodul subconjunctival dan nekrosis [49,50].AzolesTarget utama Azoles adalah jalur biosintesis ergosterol dengan menghambat sitokrom P450 (CYP)-dependent C-14 demethylase yang mengkonversi lanosterol ke ergosterol, yang merupakan komponen penting dari dinding sel jamur [40]. Triazoles tertentu, misalnya; flukonazol, itraconazole dan voriclonazole, dapat berinteraksi dengan target sekunder pada jalur biosintesis ergosterol tetapi afinitas untuk target sekunder ini bervariasi antara agen dan patogennya [51]. Di antara jenis triazoles mempunyai variasi dalam menghambat target utama (14 demethylase) dan target sekunder pada jalur biosintesis ergosterol, yang dapat menyebabkan perbedaan dalam aktivitas antijamur. Azoles diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, Imidazole termasuk ekonazol, miconazole, dan ketoconazole; triazoles termasuk flukonazol, itraconazole, vorikonazol, dan posaconazole. Ketoclonazole merupakan obat oral spectum luas pertama yang sukses diabsorbsi sebagai antijamur. Antijamur azole, saat ini digunakan sebagai pil (oral) dan ketoclonazole bentuk topikal 1-2% digunakan untuk pengobatan pasien dengan keratitis jamur [51-54]. Miconazole 1% dan miconazole subconjuctival (10 mg / 0,5 ml) telah dilaporkan dalam 2 kasus sebagai pengobatan keratitis jamur yang disebabkan oleh jamur yang berfilamen dan Candida [55,56]. Ekonazol 2% ditemukan seefektif Natamycin 5% dalam uji coba terkontrol secara acak pada 112 pasien keratitis jamur tapi kombinasi keduanya belum mendapatkan manfaat lebih [57,58]. Itrakonazol diberikan secara oral (200-400 mg / hari) atau suspensi bentuk topikal 1% dalam terapi jamur pada mata [59-61]. Subconjunctival atau flukonazol topikal ditambah dengan Natamycin topikal menunjukkan hasil positif dalam mengobati keratitis jamur yang berat [62,63]. Flukonazol Subconjuctival dalam kombinasi dengan topikal amfoterisin B telah dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik [64,65]. Jika tidak di kombinasi, flukonazol topikal saja harus digunakan dengan hati-hati karena dalam satu percobaan klinikal acak untuk keratitis jamur yang menggunakan monoterapi menunjukkan respon klinis yang sangat rendah [66-68]. Vorikonazol, generasi baru antijamur agen triazol, memiliki spektrum yang sangat luas terhadap aktivitas dermatofit dan jamur. Banyak penelitian menunjukkan konsentrasi aquos humor dan vitreous humor yang adekuat setelah pemberian terapi topikal dan pengobatan oral vorikonazol untuk berbagai patogen jamur [69,70]. Sebuah studi besar menilai kerentanan jamur yang berfilamen yang diisolasi dari mata pada 221 kasus keratitis di India selatan diungkapkan bahwa secara umum organisme memiliki MICs rendah untuk vorikonazol daripada Natamycin, tapi isolat Fusarium kurang rentan terhadap vorikonazol dan isolat Aspergillus flavus ternyata memiliki kerentanan yang lebih rendah pada Natamycin dibandingkan untuk organisme lain [71]. Selain itu, sejumlah kasus cukup menjanjikan keberhasilan penatalaksanaannya dari keratitis jamur yang ringan hingga berat dengan topikal, intrastromal, dan oral vorikonazol [72-75]. Sebaliknya, beberapa uji klinis secara acak tidak menemukan perbedaan yang signifikan dari hasil pengobatan antara vorikonazol dan Natamycin [76-78]. Sebuah uji kontrol randomized double-masked bernama The Mycotic Maag Pengobatan Trial (MUTT) pada 368 pasien untuk membandingkan vorikonazol topikal 1% dibandingkan Natamycin topikal dalam pengobatan keratitis jamur berfilamen. Studi ini menemukan bahwa Natamycin topikal lebih unggul dibandingkan dengan vorikonazol topikal dan vorikonazol monoterapi tidak direkomendasikan untuk keratitis jamur berfilamen [79]. Sharma N et al. menemukan bahwa vorikonazol topikal berpotensi menambah manfaat bagi Natamycin topikal pada keratitis jamur yang resisten [80]. Ramakrishnan et al. melaporkan 50% keberhasilan terapi pada kombinasi topikal, oral, dan/atau intracameral, intrastromal vorikonazol dengan Natamycin [81,82]. Posaconazole lain adalah agen triazol terbaru lainnya. Posaconazole Topikal dan oral telah digunakan dalam terapi keratitis jamur, pada satu kasus yang dilaporkan telah berhasil sebagai pengobatan keratitis jamur yang disebabkan oleh Fusarium yang resisten terhadap vorikonazol [83,84].EchinocandinsEchinocandin merupakan sintesis lipopeptida turunan dari derivat produk permentasi dari beberapa jenis jamur. Agen ini mengganggu sintesis dinding sel dengan menghambat sintesis 1,3-D-glucan dan memberikan efek antifungi spektrum sempit yaitu pada Candida spp, dan beberapa Aspergillus spp. Echinocandins termasuk di dalamnya caspofungin, micafungin dan anidulafungin. Sebuah kasus yang dilaporkan belakangan ini oleh Hurtado-Sarrio et al, menunjukkan keberhasilan terapi dengan menggunakan caspofungin topical pada keratitis yang disebabkan oleh Candida albicans yang sulit diatasi dengan voriconazole. Tu EY melaporkan tiga kasus keratitis Alternaria yang sulit diatasi dengan voriconazole dan natamycin berhasil di obati dengan menggunakan caspofungin topikal dan fluconazole topikal. AllylaminesAllylamines mengganggu sintesis jalur ergosterol dengan menghambat enzim squalene epoxidase secara reversibel. Terbinafine, merupakan satu-satunya agen pada golongan ini, yang menunjukkan aktivitas fungisida in vitro yang baik terhadap banyak dermatofit tetapi memiliki aktivitas yang rendah pada beberapa jamur (Tabel 2 dan 3). Serangkaian kasus retrospektif pada 90 pasien keratitis jamur yang berfilamen menemukan bahwa terbinafine topikal sama efektifnya dengan Natamycin topikal tetapi mungkin memakan durasi pengobatan yang lebih lama [88].Tabel 2. Uji klinis pengobatan keratitis jamur menunjukkan perbedaan hasil pada pengobatan antijamur

Tabel 3. Kumpulan terapi antijamur pada keratitis jamur

Corneal collagen cross linkingCorneal collagen cross linking adalah teknik baru yang menarik yang menggunakan fotosensitizer riboflavin (vitamin B2) dan ultraviolet A (UVA) iradiasi pada 370 nm untuk menginduksi peningkatan kekuatan dan kekakuan jaringan kornea [89]. Awalnya, intervensi ini diperkenalkan untuk pengobatan ectasias kornea seperti keratoconus. Efek dari radiasi UV pada riboflavin kornea menghasilkan oksigen dan anion superoksida radikal [90] yang menginduksi intra dan/atau interhelical kolagen cross-link, Radikal yang aktif bisa menonaktifkan mikroba patogen [91]. Beberapa studi menunjukkan aktivitas antimikroba in-vitro dari Corneal collagen cross linking pada beberapa patogen [92-96]. Anwar et al. pertama kali melaporkan keberhasilan pengobatan Aspergillus keratitis dengan UVA-riboflavin CXL, bersama dengan pengobatan antijamur di mata manusia [97]. Saglik et al. melaporkan pengobatan Riboflavin/UVA berguna sebagai pengobatan tambahan lanjutan untuk vorikonazol topikal pada keratitis jamur [98]. Zhiwei Li et al. melaporkan 6 kasus keratitis jamur (Aspergillus spp, Fusarium spp) berhasil diobati dengan Riboflavin/UVA dan terapi antimikroba [99]. Riboflavin/UVA sebagai terapi antimikroba lanjutan tampaknya menjadi teknik yang menjanjikan untuk pengobatan keratitis jamur. Uji klinis acak lebih lanjut diperlukan untuk mengurangi risiko dan manfaat dari CXL.Debridement KorneaKebanyakan antijamur memiliki bioavailibilitas yang rendah dan keterbatasan untuk penetrasi ke dalam lapisan kornea khususnya pada kasus keratitis jamur dengan epitelium kornea yang intaq. Debridement berkala pada epitelium kornea berguna untuk meningkatkan penetrasi dari obat tersebut. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa dokter mata lebih banyak melakukan pengikikisan ulang selama pengobatan keratitis jamur dengan Natamycin daripada vorikonazol [87]. Sebaliknya, satu percobaan randomized double-masked terkontrol yang mengikutsertakan 120 pasien yang diacak untuk memakai Natamycin topikal atau vorikonazol topikal dan kikisan epitel berulang atau tidak. Perbandingan ini gagal menunjukkan manfaat intervensi ini, tetapi menunjukkan hasil yang lebih buruk pada kelompok kikisan.Terapi PembedahanMeskipun terapi obat antijamur banyak tersedia saat ini, infeksi jamur yang parah dapat menyebabkan perforasi akut, scleritis, endophthalmitis, dan kebutaan. Perawatan bedah mencoba untuk menghilangkan infeksi dan juga jaringan nekrotik dan debris lainnya, yang dapat menghalangi penyembuhan lesi. Dalam kasus descemetocele, perforasi kornea, atau keratitis jamur resisten yang tidak responsif terhadap terapi obat yang sudah maksimal, manajemen bedah harus dipertimbangkan. Prosedur pembedahan tertentu tergantung pada beratnya penyakit. Flaps permanen konjungtiva [100,101] atau transplantasi membran amnion [102], dan penggunaan perekat jaringan [100,103] adalah beberapa metode bedah yang lain digunakan untuk pengobatan berbagai jenis ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur. Keratoplasty penetrasi adalah prosedur pembedahan utama untuk mengembalikan integritas anatomi dan membasmi infeksi, tetapi infeksi jamur yang berulang dapat terjadi. Hypopyon, perforasi kornea, infeksi kornea yang meluas ke limbus, atau infeksi pada lensa adalah faktor risiko utama untuk kekambuhan infeksi [104]. Pada beberapa kasus di mana infeksi tidak sampai menginfeksi seluruh ketebalan kornea, lamellar keratoplasty dapat dipertimbangkan [105].KesimpulanKeratitis jamur merupakan penyebab utama hilangnya penglihatan dan kebutaan di dunia. Kondisi ini merupakan tantangan bagi dokter spesialis mata dalam mendiagnosis dan memberikan penatalaksanaan yang masih sulit dilakukan. Kasadaran akan kondisi dan perkembangan keadaan klinis merupakan kunci penting untuk mendiagnosa secara dini. Seringnya keterlambatan atau salah diagnosis pada keratitis jamur, upaya diagnostik yang agresif dan strategi terapi yang maksimal harus dilakukan. Area penelitian dan pengembangan metode diagnostik dan terapeutik dapat menginisiasi pengobatan yang spesifik dan meningkatkan prognosis dengan manajemen infeksi jamur yang lebih baik.