jurnal perubahan iklim

7
Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011 1 UPAYA SEKTOR PERTANIAN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Elza Surmaini, Eleonora Runtunuwu, dan Irsal Las Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 Telp. (0251) 8323012, Faks. (0251) 8311256, E-mail: [email protected] Diajukan: 17 Maret 2008; Diterima: 27 Oktober 2010 V ariabilitas dan perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global (global warming) merupakan salah satu tantangan terpenting pada milenium ketiga. Sejumlah bukti baru hasil berbagai studi mutakhir memperlihatkan bahwa faktor antropogenik, terutama perkem- bangan industri yang sangat cepat selama 50 tahun terakhir telah memicu terjadinya pemanasan global secara signifikan. Perubahan iklim berdampak terhadap kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim, perubahan pola hujan, serta peningkatan suhu dan permukaan air laut. ABSTRAK Perubahan iklim (climate change) merupakan hal yang tidak dapat dihindari akibat pemanasan global (global warming) dan diyakini akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian. Perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem, serta kenaikan suhu udara dan permukaan air laut merupakan dampak serius dari perubahan iklim yang dihadapi Indonesia. Pertanian merupakan sektor yang mengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim. Di tingkat global, sektor pertanian menyumbang sekitar 14% dari total emisi, sedangkan di tingkat nasional sumbangan emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO 2 e) dari total emisi sebesar 436,90 juta ton CO 2 e, bila emisi dari degradasi hutan, kebakaran gambut, dan dari drainase lahan gambut tidak diperhitungkan. Apabila emisi dari ketiga aktivitas tersebut diperhitungkan, kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 8%. Walaupun sumbangan emisi dari sektor pertanian relatif kecil, dampak yang dirasakan sangat besar. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun secara signifikan. Kejadian iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan menyebabkan tanaman yang mengalami puso semakin luas. Peningkatan permukaan air laut menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas. Dampak perubahan iklim yang demikian besar memerlukan upaya aktif untuk mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Teknologi mitigasi bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan pertanian melalui penggunaan varietas rendah emisi serta teknologi pengelolaan air dan lahan. Teknologi adaptasi yang dapat diterapkan meliputi penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air. Kata kunci: Perubahan iklim, pertanian, mitigasi, adaptasi ABSTRACT Efforts of agricultural sector in dealing with climate change Climate change as an inevitable consequence of global warming is believed to be widely impact on various aspects of life and development sectors. Changes in precipitation patterns, increase in frequency of extreme climate events, and rise in temperatures and sea level were serious impacts of climate change faced by Indonesia. Agriculture is most vulnerable sector to impacts of climate change. At the global level, agricultural sector contributes about 14% of total emissions, while at the national level agricultural sector contributes 12% (51.20 million tons CO 2 e) of the total CO 2 e emissions, if the emissions from forest degradation and peatland were not accounted. If the emissions from these sectors be included, agricultural sector contributes only about 8%. Although the contribution of agricultural sector to the total emissions is relatively small, the impact is very serious. Changes in rainfall patterns and rising temperatures cause a significant reduction in agricultural production. Climate extreme events such as floods and droughts cause more extensive damaged plants. Increasing sea water causes reduction of agricultural land in the coastal areas and damages to crops due to salinity. Impact of climate change requires an active effort to anticipate it through mitigation and adaptation strategies. Mitigation technologies aim to reduce glasshouse gas (GHG) emissions from agricultural lands through the use of low-emission varieties, water management, and land management technologies. Adaptation technologies include adjusting planting time, use of varieties resistant to drought, soaking, and salinity, and development of water management technologies. Keywords: Climate change, agriculture, mitigation, adaptation

description

dampak perubahan iklim bumi

Transcript of jurnal perubahan iklim

Page 1: jurnal perubahan iklim

Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011 1

UPAYA SEKTOR PERTANIAN DALAM MENGHADAPIPERUBAHAN IKLIM

Elza Surmaini, Eleonora Runtunuwu, dan Irsal Las

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123Telp. (0251) 8323012, Faks. (0251) 8311256, E-mail: [email protected]

Diajukan: 17 Maret 2008; Diterima: 27 Oktober 2010

Variabilitas dan perubahan iklimsebagai akibat pemanasan global

(global warming) merupakan salah satutantangan terpenting pada mileniumketiga. Sejumlah bukti baru hasil berbagai

studi mutakhir memperlihatkan bahwafaktor antropogenik, terutama perkem-bangan industri yang sangat cepat selama50 tahun terakhir telah memicu terjadinyapemanasan global secara signifikan.

Perubahan iklim berdampak terhadapkenaikan frekuensi maupun intensitaskejadian cuaca ekstrim, perubahan polahujan, serta peningkatan suhu danpermukaan air laut.

ABSTRAK

Perubahan iklim (climate change) merupakan hal yang tidak dapat dihindari akibat pemanasan global (globalwarming) dan diyakini akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian.Perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem, serta kenaikan suhu udara dan permukaanair laut merupakan dampak serius dari perubahan iklim yang dihadapi Indonesia. Pertanian merupakan sektor yangmengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim. Di tingkat global, sektor pertanian menyumbang sekitar14% dari total emisi, sedangkan di tingkat nasional sumbangan emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO2e) dari totalemisi sebesar 436,90 juta ton CO2e, bila emisi dari degradasi hutan, kebakaran gambut, dan dari drainase lahangambut tidak diperhitungkan. Apabila emisi dari ketiga aktivitas tersebut diperhitungkan, kontribusi sektor pertanianhanya sekitar 8%. Walaupun sumbangan emisi dari sektor pertanian relatif kecil, dampak yang dirasakan sangatbesar. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun secarasignifikan. Kejadian iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan menyebabkan tanaman yang mengalami pusosemakin luas. Peningkatan permukaan air laut menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakantanaman akibat salinitas. Dampak perubahan iklim yang demikian besar memerlukan upaya aktif untukmengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Teknologi mitigasi bertujuan untuk mengurangi emisi gasrumah kaca (GRK) dari lahan pertanian melalui penggunaan varietas rendah emisi serta teknologi pengelolaan airdan lahan. Teknologi adaptasi yang dapat diterapkan meliputi penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietasunggul tahan kekeringan, rendaman dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air.

Kata kunci: Perubahan iklim, pertanian, mitigasi, adaptasi

ABSTRACT

Efforts of agricultural sector in dealing with climate change

Climate change as an inevitable consequence of global warming is believed to be widely impact on various aspectsof life and development sectors. Changes in precipitation patterns, increase in frequency of extreme climateevents, and rise in temperatures and sea level were serious impacts of climate change faced by Indonesia. Agricultureis most vulnerable sector to impacts of climate change. At the global level, agricultural sector contributes about14% of total emissions, while at the national level agricultural sector contributes 12% (51.20 million tons CO2e)of the total CO2e emissions, if the emissions from forest degradation and peatland were not accounted. If theemissions from these sectors be included, agricultural sector contributes only about 8%. Although the contributionof agricultural sector to the total emissions is relatively small, the impact is very serious. Changes in rainfallpatterns and rising temperatures cause a significant reduction in agricultural production. Climate extreme eventssuch as floods and droughts cause more extensive damaged plants. Increasing sea water causes reduction ofagricultural land in the coastal areas and damages to crops due to salinity. Impact of climate change requires anactive effort to anticipate it through mitigation and adaptation strategies. Mitigation technologies aim to reduceglasshouse gas (GHG) emissions from agricultural lands through the use of low-emission varieties, water management,and land management technologies. Adaptation technologies include adjusting planting time, use of varietiesresistant to drought, soaking, and salinity, and development of water management technologies.

Keywords: Climate change, agriculture, mitigation, adaptation

Page 2: jurnal perubahan iklim

2 Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011

Hasil kajian the IntergovernmentalPanel on Climate Change (IPCC 2007)menunjukkan bahwa sejak tahun 1850,tercatat ada 12 tahun terpanas berdasarkandata suhu permukaan global. Sebelas dari12 tahun terpanas tersebut terjadi dalamwaktu 12 tahun terakhir. Kenaikan suhutotal dari tahun 1850−1899 sampai dengan2001−2005 mencapai 0,76°C. Permukaan airlaut rata-rata global juga meningkat denganlaju rata-rata 1,80 mm/tahun dalam kurunwaktu tahun 1961−2003. Kenaikan total per-mukaan air laut yang berhasil dicatat padaabad ke-20 diperkirakan mencapai 0,17 m.

Di banyak tempat di dunia, frekuensidan intensitas bencana cenderung me-ningkat (Sivakumar 2005). Banjir dan badaimengakibatkan 70% dari total bencana,dan sisanya 30% disebabkan kekeringan,longsor, kebakaran hutan, gelombangpanas, dan lain-lain. Laporan IPCC jugamenunjukkan bahwa kegiatan manusia ikutberperan dalam pemanasan global sejakpertengahan abad ke-20.

Pemanasan global akan terus mening-kat dengan percepatan yang lebih tinggipada abad ke-21 apabila tidak ada upayamenanggulanginya. Banjir adalah bencanayang paling sering terjadi (34%), diikutilongsor (16%). Kemungkinan pemanasanglobal akan menimbulkan kekeringan dancurah hujan ekstrim, yang pada gilirannyaakan menimbulkan bencana iklim yanglebih besar (IPCC 2007). Laporan UnitedNations Office for the Coordination ofHumanitarian Affairs (UNOCHA) meng-indikasikan bahwa Indonesia merupakansalah satu negara yang rentan terhadapbencana akibat perubahan iklim.

Perubahan iklim diyakini akan berdam-pak buruk terhadap berbagai aspek kehi-dupan dan sektor pembangunan, teruta-ma sektor pertanian, dan dikhawatirkanakan mendatangkan masalah baru bagikeberlanjutan produksi pertanian, ter-utama tanaman pangan. Pada masa men-datang, pembangunan pertanian akan di-hadapkan pada beberapa masalah serius,yaitu: 1) penurunan produktivitas danpelandaian produksi yang tentunya mem-butuhkan inovasi teknologi untuk meng-atasinya, 2) degradasi sumber daya lahandan air yang mengakibatkan soil sick-ness, penurunan tingkat kesuburan, danpencemaran, 3) variabilitas dan peru-bahan iklim yang mengakibatkan banjirdan kekeringan, serta 4) alih fungsi danfragmentasi lahan pertanian.

Perubahan iklim merupakan prosesalami yang bersifat tren yang terus-

menerus dalam jangka panjang. Olehkarena itu, strategi antisipasi dan penyi-apan teknologi adaptasi merupakan aspekkunci yang harus menjadi rencana stra-tegis Kementerian Pertanian dalam rangkamenyikapi perubahan iklim dan mengem-bangkan pertanian yang tahan (resilience)terhadap perubahan iklim.

Besarnya dampak perubahan iklim ter-hadap pertanian sangat bergantung padatingkat dan laju perubahan iklim di satusisi serta sifat dan kelenturan sumber dayadan sistem produksi pertanian di sisi lain.Untuk itu, diperlukan berbagai penelitiandan pengkajian tentang perubahan iklimdan dampaknya terhadap sektor perta-nian, baik sumber daya, infrastruktur,maupun sistem usaha tani/agribisnis danketahanan pangan nasional.

Penelitian variabilitas dan perubahaniklim yang dilakukan oleh berbagai lem-baga penelitian dan perguruan tinggimasih terbatas, serta belum terintegrasidan bersinergi dengan baik sehingga ha-silnya belum dapat menjawab tantangandan permasalahan secara efektif. Di sisilain, persepsi dan pemahaman tentangperubahan iklim dari berbagai kalanganmasih beragam karena adanya senjanginformasi antara peneliti/ilmuwan denganpara pemangku kebijakan, penyuluh, danpetani. Oleh karena itu, perlu dilakukanpenelitian dan pengkajian yang kompre-hensif dan terpadu terhadap dampakperubahan iklim, serta strategi antisipasidan teknologi adaptasinya. Tulisan inimemaparkan secara garis besar posisisektor pertanian dalam perubahan iklim,baik sebagai emitter, sink (rosot) maupunsektor yang rentan terhadap dampakperubahan iklim (victim).

KONTRIBUSI SEKTORPERTANIAN TERHADAPPERUBAHAN IKLIM

Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca(GRK), yaitu CO2, CH4, N2O, SF6, HFC, danPFC terjadi akibat aktivitas manusiaseperti pemanfaatan bahan bakar fosil,pengembangan industri, limbah, usahapertanian dan peternakan, dan konversilahan yang tidak terkendali. Aktivitas ter-sebut mengakibatkan terperangkapnyaradiasi di atmosfer sehingga meningkatkansuhu permukaan bumi secara global.

Indonesia pernah dituding sebagainegara terbesar ketiga penghasil GRK

dunia, terutama akibat perubahan tataguna lahan dan penggundulan hutan.Namun, berdasarkan hasil inventori GRKyang dilakukan oleh UNFCCC (2006),Indonesia berada dalam urutan ke-16 dari20 negara pengemisi GRK terbesar didunia (Gambar 1).

Sektor pertanian melepaskan emisiGRK ke atmosfer dalam jumlah yang cukupsignifikan, yaitu berupa CO2, CH4, danN2O (Paustian et al. 2004). CO2 sebagianbesar dilepaskan dari proses pembusuk-an oleh mikroba, pembakaran serasahtanaman, dan dari bahan organik tanah(Janzen 2004; Smith 2004). Metana (CH4)dihasilkan apabila dekomposisi bahanorganik terjadi pada kondisi kekuranganoksigen, terutama pada proses fermentasipencernaan ruminansia, kotoron ternak,dan lahan sawah (Mosier 2001). N2O di-hasilkan dari transformasi mikroba padatanah dan kotoran ternak dan meningkatapabila ketersediaan nitrogen melebihikebutuhan tanaman, terutama padakondisi basah (Smith dan Conen 2004;Oenema et al. 2005).

Di tingkat dunia, sektor pertanian me-nyumbang sekitar 14% dari total emisipada tahun 2000. Pada tingkat global,sumber emisi tertinggi sektor pertanianberasal dari penggunaan pupuk, peter-nakan, lahan sawah, limbah ternak, danpembakaran sisa-sisa pertanian (WRI2005). Emisi dari kegiatan produksi padidan pembakaran biomassa sebagianbesar merupakan kontribusi dari negaraberkembang, yaitu masing-masing 97%dan 92%, di mana emisi metana dari padiumumnya berasal dari Asia Selatan danAsia Timur (82%). Emisi dari pembakaransabana di Afrika, Amerika Latin, danKaribia menyumbang 74% emisi. Darinegara maju, emisi dari peternakan adalahyang tertinggi (52%) dibanding darinegara berkembang (US-EPA 2006).

Menurut US-EPA (2006), emisi sektorpertanian Indonesia pada tahun 2005mencapai 141 juta ton karbon ekuivalen(Mt CO2e). Dibandingkan dengan negaralain seperti Amerika Serikat yang men-capai 442 Mt CO2e, China 1.171 Mt CO2e,Brasil 598 Mt CO2e, dan India 442 Mt CO2epada tahun yang sama, emisi dari sektorpertanian Indonesia termasuk kecil.

Hasil inventori GRK Indonesia dariSecond National Communication (UNDPIndonesia 2009) menunjukkan kontribusiemisi sektor pertanian yang jauh lebihrendah, yaitu 51,20 Mt CO2e atau hanya12% dari total emisi Indonesia (436,90 Mt

Page 3: jurnal perubahan iklim

Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011 3

CO2e), apabila emisi dari degradasi hu-tan, kebakaran gambut, dan dari drainaselahan gambut tidak diperhitungkan.Apabila emisi dari sektor tersebut di-perhitungkan maka kontribusi sektorpertanian hanya sekitar 8% (Gambar 2).

Emisi GRK diprediksi akan terusbertambah pada masa mendatang karena

meningkatnya kebutuhan akan pangan.Peningkatan emisi tersebut antara laindisebabkan oleh penggunaan lahan mar-ginal, peningkatan konsumsi daging, dankebijakan perdagangan internasionalyang menyebabkan peningkatan peng-gunaan energi untuk transportasi. Olehkarena itu, selain tetap peduli denganberusaha mengurangi emisi GRK darisektor pertanian melalui strategi mitigasi,secara simultan juga perlu dilakukanpengkajian dan analisis tentang kapasitasdan laju penyerapan GRK pada sektorpertanian, serta penilaian multifungsipertanian terhadap iklim dan lingkungan.

DAMPAK PERUBAHANIKLIM PADA SEKTORPERTANIAN

Pertanian, terutama subsektor tanamanpangan, paling rentan terhadap perubahaniklim terkait tiga faktor utama, yaitu bio-fisik, genetik, dan manajemen. Hal inikarena tanaman pangan umumnya meru-pakan tanaman semusim yang relatifsensitif terhadap cekaman, terutama

kelebihan dan kekurangan air. Secarateknis, kerentanan sangat berhubungandengan sistem penggunaan lahan dan sifattanah, pola tanam, teknologi pengelolaantanah, air, dan tanaman, serta varietastanaman (Las et al. 2008). Tiga faktorutama yang terkait dengan perubahan iklimglobal, yang berdampak terhadap sektorpertanian adalah: 1) perubahan pola hujan,2) meningkatnya kejadian iklim ekstrim(banjir dan kekeringan), dan 3) pening-katan suhu udara dan permukaan air laut(Salinger 2005).

Perubahan pola hujan telah terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia sejakbeberapa dekade terakhir, seperti awalmusim hujan yang mundur pada beberapalokasi, dan maju di lokasi lain. PenelitianAldrian dan Djamil (2006) menunjukkan,jumlah bulan dengan curah hujan ekstrimcenderung meningkat dalam 50 tahunterakhir, terutama di kawasan pantai.Hasil analisis pada 26 stasiun hujan diJawa Timur dengan periode data 25−40tahun mengindikasikan telah terjaditren penurunan curah hujan musimandan tahunan (Boer dan Buono 2008).Runtunuwu dan Syahbuddin (2007)menyatakan bahwa pada periode 1879−2006, telah terjadi penurunan jumlahcurah hujan dan perubahan pola hujan diTasikmalaya, Jawa Barat, yang mengaki-batkan pergeseran awal musim dan masatanam dan menurunkan potensi satuperiode masa tanam padi (Gambar 3).

Perubahan pola curah hujan juga me-nurunkan ketersediaan air pada waduk,terutama di Jawa. Sebagai contoh, selama10 tahun rata-rata volume aliran air dariDAS Citarum yang masuk ke wadukmenurun dari 5,70 miliar m3/tahun menjadi4,90 miliar m3/tahun (PJT 2 2009). Kondisitersebut berimplikasi terhadap turunnyakemampuan waduk Jatiluhur mengairisawah di Pantura Jawa. Kondisi yang samaditemui pada waduk lain di Jawa Tengah,seperti Gajah Mungkur dan KedungOmbo. Dengan kondisi perubahan curahhujan tersebut, jika petani tetap mene-rapkan pola tanam seperti kondisi normalmaka kegagalan panen akan semakinsering terjadi. Dengan penurunan curahhujan dan ketersediaan air waduk, petanijuga perlu mengubah pola tanam padi-padimenjadi padi-nonpadi.

Hasil analisis global terhadap indeksperubahan iklim, yaitu suatu indeks yangmengukur penyimpangan iklim di masadatang dibandingkan yang terjadi saatini, yang dilakukan oleh Baettig et al.

Gambar 2. Kontribusi emisi dari sektorpertanian di Indonesia.

Negara industri dan ekonomi dalam transisiBukan negara industri dan ekonomi dalam transisiKelompok negara

Penggunaan lahan,perubahan penggunaanlahan, dan kehutanan34%

PembaharuanBBM39%

Limbah9%

Pertanian8%

Industri danpenggunaan produk

6%

Emisisementara

39%

Gambar 1. Dua puluh negara penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi (UNFCCC2006).

0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000

Amerika SerikatEropa BaratChina

Eropa TimurRusia

BrasilIndia

JepangJerman

KanadaInggris

AustraliaMeksiko

PrancisItaliaIndonesia

UkrainaIran

SpanyolAfrika SelatanPolandia

Thailand

Gas-gas berikut ini adalah yang dilaporkan:CO2 = Karbon dioksidaCH4 = Gas metanaN2O = Oksida nitratPFCs = Per flourokarbonHFCs = HidroflourokarbonSF6 = Sulfur heksaflourida

Data tahun terbaru yang tersedia

Total emisi gas rumah kaca (juta ton CO2 ekuivalen)

s

2003200319941999199919941994199520032004200320031990200320031994200319942003199420021994

Page 4: jurnal perubahan iklim

4 Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011

Kerusakan tanaman padiakibat kekeringan

(ribu ha)

Gambar 4. Luas kerusakan tanaman padi akibat banjir dan kekeringan (datadiolah dari Ditlin Tanaman Pangan).

Kerusakan tanaman padiakibat banjir

(ribu ha)

Tahun

(2007) mengindikasikan bahwa nilaipenyimpangan iklim di Indonesia akanmeningkat pada masa mendatang sebesar7 dan 8. Nilai tersebut menunjukkanbahwa Indonesia akan mengalami pe-ningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrimseperti banjir dan kekeringan pada masadatang. Dampak kejadian banjir dankekeringan terhadap kerusakan tanamanpadi sawah pada periode tahun 1989−2007menunjukkan tren peningkatan yangcukup signifikan (Gambar 4).

Peningkatan suhu udara global se-lama 100 tahun terakhir rata-rata 0,57°C(Runtunuwu dan Kondoh 2008). Boer(2007) menggambarkan perubahan su-hu udara di Jakarta dalam periode 1860−2000 yaitu 1,40°C pada bulan Juli dan1,04°C pada bulan Januari (Gambar 5).

Peningkatan suhu menyebabkan ter-jadinya peningkatan transpirasi yangselanjutnya menurunkan produktivitastanaman pangan (Las 2007), meningkatkankonsumsi air, mempercepat pematanganbuah/biji, menurunkan mutu hasil, danmendorong berkembangnya hama penya-kit tanaman. Berdasarkan hasil simulasitanaman, kenaikan suhu sampai 2°C didaerah dataran rendah dapat menurunkanproduksi sampai 40%, sedangkan didataran sedang dan tinggi penurunanproduksi sekitar 20% (Surmaini et al.2008). Hasil penelitian Peng et al.(2004), setiap kenaikan suhu minimal 1°Cakan menurunkan hasil tanaman padisebesar 10%. Matthews et al. (1997)menunjukkan bahwa kenaikan suhu 1°Cakan menurunkan produksi 5−7%.Penurunan tersebut disebabkan ber-kurangnya pembentukan sink, lebihpendeknya periode pertumbuhan, danmeningkatnya respirasi (Matthews danWassman 2003).

Kenaikan permukaan air laut juga ber-dampak serius pada sektor pertanian.Dampak paling nyata adalah penciutanlahan pertanian di pesisir pantai (Jawa,Bali, Sumatera Utara, Lampung, NusaTenggara Barat, dan Kalimantan), ke-rusakan infrastruktur pertanian, danpeningkatan salinitas yang merusak ta-naman (Las 2007).

Meiviana et al. (2004) mencatat selamaperiode tahun 1925−1989, permukaan airlaut di Jakarta naik 4,38 mm/tahun, diSemarang 9,27 mm/tahun, dan di Surabaya5,47 mm/tahun. Parry et al. (1992) me-nyatakan bahwa pasokan beras daridaerah Karawang dan Subang, Jawa Barat,berkurang sekitar 300.000 ton karena

40

30

20

10

0

70

60

50

40

30

20

10

0

1989 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

1989 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

Gambar 3. Perubahan pola hujan di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, 1879−2006.

0

20

4060

80100120

140

160180

200

Curah hujanrata-rata (mm)

Tahun

1879 1890 1901 1912 1923 1934 1945 1956 1967 1978 1989 2000 2006

Page 5: jurnal perubahan iklim

Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011 5

naiknya permukaan laut. Naiknya per-mukaan air laut yang terjadi bersamaandengan berkurangnya pasokan air daridaerah hulu pada musim kemarau men-dorong terjadinya intrusi air laut. Salinitasair di daerah pesisir akan meningkat yangmengakibatkan tingginya salinitas tanah.

Potensi kehilangan luas lahan sawahakibat naiknya permukaan air laut berkisarantara 113.000−146.000 ha, lahan keringareal tanaman pangan 16.600−32.000 ha,dan lahan kering areal perkebunan 7.000−9.000 ha. Menjelang tahun 2050, tanpaupaya adaptasi perubahan iklim secaranasional, diperkirakan produksi tanamanpangan strategis akan menurun 20,30−27,10% untuk padi, 13,60% untuk jagung,12,40% untuk kedelai, dan 7,60% untuktebu dibandingkan produksi tahun 2006.Potensi penurunan produksi padi tersebutterkait dengan berkurangnya lahan sa-wah di Jawa seluas 113.003−146.473 ha,di Sumatera Utara 1.314−1.345 ha, dan diSulawesi 13.672−17.069 ha (Handoko etal. 2008).

UPAYA MENGHADAPIPERUBAHAN IKLIM

Dampak perubahan iklim yang begitubesar merupakan tantangan bagi sektorpertanian. Peran aktif berbagai pihakdiperlukan untuk mengantisipasi dampakperubahan iklim melalui upaya mitigasi

dan adaptasi. Upaya antisipasi ditujukanuntuk menyiapkan strategi mitigasi danadaptasi.

Pengkajian dampak perubahan iklimtelah dilakukan antara lain terhadap 1)sumber daya pertanian, seperti pola curahhujan dan musim (aspek klimatologis),sistem hidrologi dan sumber daya air(aspek hidrologis), serta keragaan danpenciutan luas lahan pertanian di sekitarpantai, 2) infrastruktur/sarana dan prasa-rana pertanian, terutama sistem irigasi danwaduk, 3) sistem produksi pertanian, ter-utama sistem usaha tani dan agribisnis,pola tanam, produktivitas, pergeseran jenisdan varietas dominan, produksi, serta 4)aspek sosial-ekonomi dan budaya. Ber-dasarkan kajian dampak tersebut telahdihasilkan berbagai teknologi mitigasiuntuk mengurangi emisi GRK, perbaikanaktivitas/praktek dan teknologi pertanian,serta teknologi adaptasi dengan mela-kukan penyesuaian dalam kegiatan danteknologi pertanian. Teknologi mitigasiuntuk mengurangi emisi GRK dari lahanpertanian antara lain adalah penggunaanvarietas rendah emisi serta teknologipengelolaan air dan lahan.

Teknologi adaptasi bertujuan mela-kukan penyesuaian terhadap dampak dariperubahan iklim untuk mengurangi risikokegagalan produksi pertanian. Teknologiadaptasi meliputi penyesuaian waktutanam, penggunaan varietas unggul tahankekeringan, rendaman, dan salinitas, sertapengembangan teknologi pengelolaan air.

Teknologi Mitigasi

Penggunaan varietas padi rendah emisi.Padi sawah dikenal sebagai sumber utamaemisi gas metana, yaitu antara 20−100Tg CH4/tahun (IPCC 1992). Emisi gasmetana ditentukan oleh perbedaan sifatfisiologi dan morfologi varietas padi.Kemampuan varietas padi mengemisi gasmetana bergantung pada rongga aeren-khima, jumlah anakan, biomassa, polaperakaran, dan aktivitas metabolisme.Pawitan et al. (2008) telah mengompilasiberbagai varietas padi dan tingkat emisi-nya dan merekomendasikan penggunaanbeberapa varietas rendah emisi, antara lainMaros dengan emisi 74 kg CH4/ha/musim,Way Rarem 91,60 kg CH4/ha/musim,Limboto 99,20 kg CH4/ha/musim, danCiherang dengan emisi 114,80 kg CH4/ha/musim.

Varietas padi yang dominan ditanampetani adalah IR64. Namun, saat ini petanimulai mengganti IR64 dengan varietasyang serupa, yaitu Ciherang. Selain lebihtahan terhadap hama dan penyakit,varietas Ciherang juga lebih rendah meng-emisi gas metana. Dengan demikian,penanaman varietas Ciherang yang makinluas akan mengurangi emisi GRK darilahan sawah.

Penggunaan pupuk ZA sebagai sum-ber pupuk N. Sumber pupuk N sepertiZA dapat menurunkan emisi gas metana6% dibandingkan dengan urea bila pupukdisebar di permukaan tanah, dan menu-runkan emisi metana hingga 62% jikapupuk ZA dibenamkan ke dalam tanah(Lindau et al. 1993). Namun, cara ini tidakdapat dipraktekkan pada semua lokasi,dan sebaiknya diterapkan pada tanahkahat S dan atau pH tinggi. Emisi gasmetana dengan menggunakan pupuk ZAmencapai 157 kg CH4/ha/musim (Mulyadiet al. 2001), lebih rendah 12% diban-dingkan bila menggunakan pupuk ureayang mengemisikan metana 179 kg CH4/ha/musim (Setyanto et al. 1999).

Aplikasi teknologi tanpa olah tanah.Pengolahan tanah secara kering dapatmenekan emisi gas metana dari tanahdibandingkan dengan pengolahan tanahbasah atau pelumpuran. Hal ini karenaperombakan bahan organik berlangsungsecara aerobik sehingga C terlepas dalambentuk CO2 yang lebih rendah tingkatpemanasannya dibanding CH4. Namun,pembasahan tanah setelah kering dapat

Gambar 5. Tren perubahan suhu Jakarta periode 1860−2000 (Boer 2007).

24,5

25,0

25,5

26,0

26,5

27,0

27,5

28,0

1860 1880 1900 1920 1940 1960 1980 2000

Juli: 1,40°C/100 tahun

Januari: 1,04°C/100 tahun

y = 0,1039x + 58,901

y = 0,1424x – 9,9843

Tahun

°C

Page 6: jurnal perubahan iklim

6 Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011

memacu emisi gas N2O. Olah tanah minimalatau tanpa olah tanah mampu menurunkanlaju emisi gas metana sekitar 31,50−63,40%dibanding olah tanah sempurna. Olahtanah minimal dapat dilakukan pada tanahyang bertekstur remah dan sedikit gulma(Makarim et al. 1998).

Teknologi irigasi berselang. Selainmenghemat air, teknologi irigasi berselang(intermittent) dapat mengurangi emisi gasmetana dari lahan sawah. Penghematan airirigasi dapat dilakukan dengan carapengairan berselang (mengairi lahan danmengeringkan lahan secara periodik dalamjangka waktu tertentu), dan sistem leb(mengairi lahan kemudian dibiarkan airmengering, lalu diairi lagi). Cara ini me-mengaruhi sifat fisiko-kimia tanah (pHdan Eh) yang lebih menguntungkan bagipertumbuhan tanaman karena meng-hilangkan zat-zat yang bersifat toksikbagi tanaman, seperti asam-asam organikdan H2S, selain dapat menekan emisigas metana hingga 88% (Sass et al.1990). Setyanto dan Abubakar (2005)melaporkan, emisi gas metana padavarietas padi IR64 dengan irigasi terus-menerus dan berselang masing-masingsebesar 254 kg dan 136 kg CH4/ha, ataudapat menekan emisi sebesar 49%.

Teknologi Adaptasi

Penyesuaian waktu dan pola tanam.Penyesuaian waktu dan pola tanam meru-pakan upaya yang sangat strategis gunamengurangi atau menghindari dampakperubahan iklim akibat pergeseran musimdan perubahan pola curah hujan. Kemen-terian Pertanian telah menerbitkan AtlasPeta Kalender Tanam Pulau Jawa skala1:1.000.000 dan 1:250.000. Peta tersebutdisusun untuk menggambarkan potensipola dan waktu tanam bagi tanaman pa-ngan, terutama padi, berdasarkan potensidan dinamika sumber daya iklim dan air(Las et al. 2007). Peta kalender tanam

disusun berdasarkan kondisi pola tanampetani saat ini (eksisting), dengan tigaskenario kejadian iklim, yaitu tahunbasah (TB), tahun normal (TN), dan tahunkering (TK). Dalam penggunaannya, petakalender tanam dilengkapi dengan pre-diksi iklim untuk mengetahui kejadianiklim yang akan datang, sehingga peren-canaan tanam dapat disesuaikan dengankondisi sumber daya iklim dan air.

Penggunaan varietas unggul tahankekeringan, rendaman, dan salinitas.Dalam mengantisipasi iklim kering,Kementerian Pertanian telah melepasbeberapa varietas/galur tanaman yangtoleran terhadap iklim kering, yaitu padisawah varietas Dodokan dan Silugonggo,dan galur harapan S3382 dan BP23;kedelai varietas Argomulyo dan Burang-rang serta galur harapan GH SHR/WIL-60dan GH 9837/W-D-5-211; kacang tanahvarietas Singa dan Jerapah; kacang hijauvarietas Kutilang dan galur harapan GH157D-KP-1; serta jagung varietas Bima 3Bantimurung, Lamuru, Sukmaraga, danAnoman.

Salah satu dampak dari naiknya per-mukaan air laut adalah meningkatnyasalinitas, terutama di daerah pesisir pantai.Salinitas pada padi sangat erat kaitannyadengan keracunan logam berat, terutamaFe dan Al. Sejak tahun 2000 telah dilepasbeberapa varietas padi yang tahan ter-hadap salinitas, yaitu varietas Way ApoBuru, Margasari, dan Lambur, dan di-peroleh beberapa galur harapan GH TS-1dan GH TS-2.

Lahan rawa memiliki potensi danprospek yang besar untuk pengembanganpertanian, khususnya dalam mendukungketahanan pangan nasional. Lahan ter-sebut sepanjang tahun atau selama waktutertentu selalu jenuh air (saturated) atautergenang (waterlogged) air dangkal.Dalam upaya mengoptimalkan peman-faatan lahan tersebut, telah diperolehbeberapa galur harapan padi yang toleranterhadap genangan, seperti GH TR 1,

IR69502-6-SRN-3-UBN-1-B-1-3, IR70181-5-PMI-1-2-B-1, IR70213-9-CPA-12-UBN-2-1-3-1, dan IR70215-2-CPA-2-1-B-1-2.

Teknologi panen hujan. Teknologi inimerupakan salah satu alternatif teknologipengelolaan air dengan prinsip menam-pung kelebihan air pada musim hujan danmemanfaatkannya pada musim kemarauuntuk mengairi tanaman. Teknologi panenhujan yang sudah banyak diterapkanadalah embung dan dam parit.

Teknologi irigasi. Teknologi irigasiyang sudah dikembangkan untuk meng-atasi cekaman air pada tanaman adalahsumur renteng, irigasi kapiler, irigasi tetes,irigasi macak-macak, irigasi bergilir, danirigasi berselang. Penerapan teknik irigasitersebut bertujuan memenuhi kebutuhanair tanaman pada kondisi ketersediaan airyang sangat terbatas dan meningkatkannilai daya guna air.

KESIMPULAN

Perubahan iklim tidak lagi sebagai isu,tetapi telah menjadi kenyataan yang me-merlukan tindakan nyata secara bersamapada tingkat global, regional maupunnasional. Dalam menyikapi perubahaniklim, Kementerian Pertanian telah me-nyusun suatu strategi yang meliputi tigaaspek, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adap-tasi. Strategi antisipasi dilakukan denganmelakukan pengkajian terhadap peru-bahan iklim untuk meminimalkan dampaknegatifnya terhadap sektor pertanian.Adaptasi merupakan tindakan penye-suaian sistem alam dan sosial untuk meng-hadapi dampak negatif perubahan iklim.Upaya tersebut akan bermanfaat dan lebihefektif bila laju perubahan iklim tidakmelebihi kemampuan upaya adaptasi. Olehkarena itu, perlu diimbangi dengan upayamitigasi, yaitu mengurangi sumber mau-pun peningkatan rosot (penyerap) gasrumah kaca.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E. and S.D. Djamil. 2006. Long termrainfall trend of the Brantas catchment area,East Java. Indones. J. Geogr. 38: 26−40.

Baettig, M.B., M. Wild, and D.M. Imboden.2007. A climate change index: where climate

change may be most prominent in the 21st

century. Geophys. Res. Lett. 34: 6.

Boer, R. 2007. Fenomena perubahan iklim:Dampak dan strategi menghadapinya. Pro-siding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan

dan Lingkungan Pertanian, Bogor, 7−8November 2007. Balai Besar LitbangSumberdaya Lahan Pertanian.

Boer, R. and A. Buono. 2008. Current and futureclimate variability of East Java and its impli-

Page 7: jurnal perubahan iklim

Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011 7

cation on agriculture and livestock. Tech-nical Report Submitted to UNDP.

Handoko, I., Y. Sugiarto, dan Y. Syaukat. 2008.Keterkaitan Perubahan Iklim dan ProduksiPangan Strategis: Telaah kebijakan independendalam bidang perdagangan dan pembangunan.SEAMEO BIOTROP untuk Kemitraan.

IPCC. 1992. Climate Change 1992: The Supple-mentary Report to the IntergoverenmentalPanel on Climate Change (IPCC) ScientificAssessment. In J.T. Houghton, B.A. Calen-dar, and S.K. Varney (Eds.). CambridgeUniversity Press, Cambridge, 200 pp.

IPCC. 2007. Climate Change 2007: Impacts,Adaptation and Vulnerability. Contributionof Working Group II to the Fourth Assess-ment Report of the IntergoverenmentalPanel on Climate Change (IPCC), M.L.Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J.van der Linden, and C.E. Hanson (Eds.).Cambridge University Press, Cambridge.

Janzen, H.H. 2004. Carbon cycling: A measureof ecosystem – a soil science perspective.Agric. Ecosyst. Environ. 104: 399−417.

Las, I. 2007. Menyiasati Fenomena AnomaliIklim bagi Pemantapan Produksi PadiNasional pada Era Revolusi Hijau Lestari.Jurnal Biotek-LIPI. Naskah Orasi Pengu-kuhan Profesor Riset Badan LitbangPertanian, Bogor, 6 Agustus 2004.

Las, I., A. Unadi, K. Subagyono, H. Syahbuddin,dan E. Runtunuwu. 2007. Atlas KalenderTanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan1:250.000. Balai Penelitian Agroklimat danHidrologi, Bogor. 96 hlm.

Las, I., H. Syahbuddin, E. Surmaini, dan A.M. Fagi.2008. Iklim dan tanaman padi: Tantangandan peluang. Dalam Buku Padi: InovasiTeknologi dan Ketahanan Pangan. BalaiBesar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Lindau, C.W., P.K. Ballick, R.D. De Laune, A.R.Mosier, and K.F. Bronson. 1993. Methanemitigation in flooded lousiana rice field. Biol.Fert. Soils 15: 174−178.

Makarim, A.K., Handoko, I. Las, M. Yacob, H.Pawitan, and J.S. Baharsjah. 1998. Mitigationoptions of green-house gases (GHG) foragriculture. J. Agromet. 13: 14−25.

Matthews, R.B., M.J. Kropff, T. Horie, and D.Bachelet. 1997. Simulating the impact ofclimate change on rice production in Asiaand evaluating options for adoption. Agric.Syst. 54: 399−425.

Matthews, R.B. and R. Wassman. 2003.Modelling the impact of climate change andmethane reduction on rice production: Areview. Eur. J. Agron. 19: 573−598.

Meiviana, A., D.R. Sulistiowati, M.H. Soejach-moen. 2004. Bumi makin panas, ancamanperubahan iklim di Indonesia. KementerianLingkungan Hidup dan Yayasan PelangiIndonesia. Jakarta. 61 hlm.

Mosier, A.R. 2001. Exchange of gaseous nitrogencompound between agricultural system andthe atmosphere. Plant Soil 228: 17−27.

Mulyadi, Suharsih, J.J. Sasa, dan H. Suganda.2001. Penurunan emisi gas metan melaluipemilihan varietas, bahan organik, danpupuk nitrogen pada padi walik jerami. hlm.469−478. Seminar Nasional PengelolaanLingkungan Pertanian. Pusat Penelitian danPengembangan Tanah dan Agroklimat.

Oenema, O., N. Warage, G.L. Velthof, J.W. vanGronigen, J. Dolfing, and P.J. Kuikman.2005. Trends in global nitrous oxide emissionfrom animal production systems. Nutr. Cycl.Agroecosyst. 72: 51−65.

Parry, M.L., A.R. Magalhaes, and N.H. Nih. 1992.The potential socio-economic effects ofclimate change: A summary of three regionalassessments. United Nations EnvironmentProgramme (UNEP), Nairobi, Kenya.

Paustian, K., B.A. Babcock, J. Hatfield, R. Lal,B.A. McCarl, S. Maclaughin, A. Mosier, C.Rice, G.P. Robertson, and D. Zilbermen. 2004.Agricultural Mitigation of Greenhouse Gases:Science and Policy option. CAST Report R141 2004. 120 pp.

Pawitan, H., A.K. Makarim, I. Anas, P. Setyanto,I. Amien, Wahyunto, E. Surmaini, dan H.L.Susilowati. 2008. Update dan penajamandata emisi dan penyerapan gas rumah kacasubsektor tanaman pangan. Laporan akhirKP3I. Balai Besar Penelitian dan Pengem-bangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

Peng, S., J. Huang, J.E. Sheelhy, R.C. Laza, R.M.Visperas, X. Zhong, G.S. Centeno, G.S. Khush,and K.G. Cassman. 2004. Rice yields declinewith higher night temperature from globalwarming. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2004;101: 9971−9975.

PJT2. 2009. Neraca Air Sungai Citarum. http://jasatirta2.co.id/. [17 April 2009]

Runtunuwu, E. dan H. Syahbuddin. 2007. Peru-bahan pola curah hujan dan dampaknyaterhadap periode masa tanam. Jurnal Tanahdan Iklim. 26: 1−12.

Runtunuwu, E. and A. Kondoh. 2008. Assessingglobal climate variability and change undercoldest and warmest periods at differentlatitudinal regions. Indones. J. Agric. Sci.9(1): 7−18.

Salinger, M.J. 2005. Climate variability andchange: past, present, and future over view.Climate Change 70: 9−29.

Sass. R.L., F.M. Fisher, Y.B. Wang, and F.T.Turner. 1990. Methane emission from ricefields: the effect of flood water management.Global Biogeochem Cycles (6): 249−262.

Setyanto, P., Suharsih, A. Wihardjaka, dan A.K.Makarim. 1999. Pengaruh pemberian pupukanorganik terhadap emisi gas metan padalahan sawah. hlm. 36−43. Risalah SeminarHasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca danPeningkatan Produktivitas Padi di LahanSawah.

Setyanto, P. dan R. Abubakar. 2005. Methaneemmision from paddy field as influenced bydifferent water regimes in Central Java.Indonesian Journal of Agricultural Science6(1): 1−9.

Sivakumar, M.V.K. 2005. Impacts of naturaldisasters in agriculture, rangeland andforestry: An overview. p. 1−22. In M.V.K.Sivakumar, R.P. Motha, and H.P. Das (Eds.).Natural Disasters and Extreme Events inAgriculture. Springer, Berlin.

Smith, P. 2004. Engineered biological sinks onland. p. 479−491. In C.B. Field and M.R.Raupach (Eds.). Global Carbon Cycle. Integ-rating humans, climate and the natural world.SCOPE 62, Island Press. Washington, D.C.

Smith, K.A. and F. Conen. 2004. Impact of landmanagement on fluxes of trace greenhousegases. Soil Use Manag. (20): 255−263.

Surmaini, E., Rakman, dan R. Boer. 2008.Dampak perubahan iklim terhadap produksipadi: Studi kasus pada daerah dengan tigaketinggian berbeda. Prosiding SeminarNasional dan Dialog Sumberdaya Lahan Per-tanian. Balai Besar Penelitian dan Pengem-bangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

UNDP Indonesia. 2009. Indonesian NationalGreenhouse GAS Inventory under theUNFCCC: Enabling activities for the pre-paration of Indonesia’s Second NationalCommunication to the UNFCCC. UnitedNations Development Programme (UNDP)Indonesia, Jakarta.

UNFCCC. 2006. Greenhouse Gas Inventory Sub-mission. Data compillation available onUNEP’s Geodata Portal (geodata.grid.unep.ch). The United Nations FrameworkConvention on Climate Change (UNFCCC),Bonn.

US-EPA (United States Environmental Protec-tion Agency). 2006. Global AnthropogenicNon-CO2 Greenhouse Gas Emission: 1990−2020. EPA 430-R-06-003, June 2006. Was-hington D.C.

WRI. 2005. Navigating the number. WorldResources Institute (WRI), Washington,D.C.