JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN...
-
Upload
trinhhuong -
Category
Documents
-
view
230 -
download
2
Transcript of JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN...
68 � Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011
Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...
REDESIGN PELAYANAN FARMASIDENGAN METODE FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS
REDESIGN PHARMACEUTICAL SERVICE USING FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS METHODE
Eri Supriyanti1, Erna Kristin2, Hanevi Djasri3
1Magister Manajemen Rumah Sakit, FK UGM, Yogyakarta2Bagian Farmakologi dan Toksikologi, FK UGM, Yogyakarta
3Bagian Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta
ABSTRACTBackground: Pharmacy service is a high risk area in thesupport of health service quality. PKU Muhammadiyah Hospitalis a hospital that respons to systematic movement in servicesthat focus on patient safety such as minimizing the incidenceof medication error that often happens. This condition requiresnew design that can minimize risk for the incidence of medicationerrorr by implementing Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)method as a systematic and proactive method that improvesquality of hospital service.Objective: To design new service quality at PKUMuhammadiyah Hospital Yogyakarta by identifying risk formedication error in the process of drug use, factors that caninduce the incidence of medication error in the process druguse and make new design that can minimize risk for medicationerror of PKU Muhammadiyah Hospital Yogyakarta.Method: This study used action research. This design waschosen to involve subject of the study more actively in doing theredesign of pharmacy service using FMEA method to minimizerisk for the incidence of medication error. Subject of the studywere all incidents of medication error in the process of drug useincluding related health staff involved in the process of druguse. Primary were data obtained from indepth interview, groupdiscussion, focuses group discussion, and workshop.Result: Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) method wasexpected to minimize errors in drug use system at outpatientpharmacy service at PKU Muhammadiyah Hospital Yogyakarta.Through FMEA method it was identified that the highest RiskPriority Number (RPN) was failure in confirmation with doctors(294), failure in identifying drug name (216). In this study newdesigns proposed as pilot project were change of layout ofdrug identification color sticker according to therapy class; thedetermination of standard operating procedure ofcommunication with doctors giving prescription, confirmationwith doctors for non cito prescription and procedure ofimplementation of outpatient pharmacy service supervision.Trial of layout of drug identification color sticker was carriedbecause it did not need high cost and was relatively easy tosocialize and do. The result of evaluation after new designintervention was declining value of RPN for failure incommunication with doctors (from 294 to 196) and failure inidentifying drug name (from 216 to 144).Conclusion: The new design implemented was relativelyeffective in minimizing errors in identifying drug name andminimizing failure in communication with doctors.
Keywords: medication error, failure mode and effect analysis,redesign
ABSTRAKLatar belakang: Pelayanan farmasi merupakan wilayahberisiko tinggi dalam menunjang mutu sebuah pelayanankesehatan. Rumah Sakit (RS) PKU Muhammadiyah merupakanrumah sakit yang merespons gerakan sistematis dalampelayanan yang berfokus pada keselamatan pasien dan salahsatunya adalah menekan kejadian medication error yang masihsering terjadi. Melihat hal tersebut dibutuhkan desain baru yangdapat meminimalkan risiko kejadian medication error denganmenerapkan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)sebagai metode yang sistematis dan proaktif dalam memperbaikimutu pelayanan di rumah sakit.Tujuan: Merancang desain mutu pelayanan yang baru di RSPKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan mengidentifikasi risikomedication error pada proses penggunaan obat, faktor-faktoryang dapat memicu munculnya medication error pada prosespenggunaan obat, serta membuat desain baru sistempenggunaan obat yang dapat meminimalkan risiko kejadianmedication error di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.Metode: Penelitian ini menggunakan jenis penelitian actionresearch. Penelitian action research dipilih untuk lebihmelibatkan secara aktif subyek penelitian dalam melakukandesain ulang pelayanan farmasi dengan menggunakan metodeFMEA untuk meminimalkan risiko kejadian medication error.Subyek penelitian adalah semua kejadian medication error padaproses penggunaan obat termasuk didalamnya tenagakesehatan yang terkait dalam proses penggunaan obat. Dataprimer diperoleh melalui wawancara mendalam, wawancarakelompok, kelompok diskusi terarah, dan workshop.Hasil: Metode FMEA diharapkan dapat meminimalkan kesalahandalam sistem penggunaan obat pada pelayanan farmasi rawatjalan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Melalui metode FMEAini diketahui tingkat RPN tertinggi yaitu pada kegagalan dalamkonfirmasi ke dokter sebesar 294, dilanjutkan dengan kegagalandalam mendeteksi nama obat sebesar 216. Pada penelitian inidibuat disain baru dalam bentuk perubahan layout stiker warnapenandaan obat sesuai kelas terapi dan pembuatan SOPkomunikasi ke dokter penulis resep, konfirmasi ke dokter untukresep non cito dan prosedur pelaksanaan supervisi pelayananfarmasi rawat jalan. Uji coba layout stiker warna penandaanobat ini dilakukan karena tidak membutuhkan biaya yang cukuptinggi dan mudah disosialisasikan dan dilakukan. Hasil evaluasisetelah dilakukan intervensi desain baru adalah berkurangnyanilai RPN untuk kegagalan komunikasi ke dokter menjadi 196,untuk kegagalan mendeteksi nama obat nilai RPN menjadisebesar 144.
JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 14 No. 02 Juni ��2011 Halaman 68 - 77
Artikel Penelitian
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 � 69
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Kesimpulan: Pada penelitian ini desain yang diterapkan dapatmeminimalkan kesalahan dalam mendeteksi nama obat danmengurangi kegagalan berkomunikasi dengan dokter.
Kata kunci: medication error, Failure Mode and EffectAnalysis, redesaign
PENGANTARPelayanan farmasi merupakan wilayah paling
berisiko dalam lingkup kegiatan di rumah sakit yangmenunjang mutu sebuah pelayanan kesehatan.1
California Health Care Foundation (CHCF) padatahun 2001 melaporkan setidaknya ada 7000 kasuskematian tiap tahunnya di Amerika Serikatdiakibatkan medication error.2 Penelitian yangdilakukan di RS PKU Muhammadiyah mengenaikejadian yang terkait dengan potensi masalahperesepan dengan menggunakan pendekatananalisis Drug Related Problem (DRP) ditemukan5,60% atau 435 resep dari 7706 resep yang potensialmengalami kesalahan atau biasa disebut PotentialDrug Related Problem. Pada tahun 2007 di UnitPelayanan Farmasi Rumah Sakit PKUMuhammadiyah Yogyakarta, Laporan KejadianTidak Diinginkan (KTD) yang diambil berdasarkanlaporan kegiatan harian Instalasi Farmasi ditemukandata bahwa selama bulan Oktober–Desember 2007terjadi sejumlah 12 laporan KTD yang merupakankejadian dispensing error seperti kesalahanpengambilan obat, kesalahan pengetikan, kesalahanpemberian dan kesalahan transkripsi resep.3
Salah satu metode yang telah dikembangkanuntuk mengidentifikasi, mengukur dan mencegahterjadinya medication error adalah Failure Modes andEffect Analysis (FMEA).4 The Institute of Health CareImprovement mendefinisikan FMEA sebagai metodesistematis dan proaktif untuk mengevaluasi suatuproses untuk mengidentifikasi di mana danbagaimana suatu proses dapat gagal danmemperkirakan faktor kegagalan yang lain, sehinggadiketahui bagian mana dari suatu proses itu yangpaling memerlukan pengembangan.5 Dalampenelitian ini dilakukan pengembangan penelitiantentang bagaimana membuat desain baru pelayananfarmasi untuk meminimalkan risiko kejadianmedication error dengan penerapan metode FMEAdi RS PKU Yogyakarta.
BAHAN DAN CARA PENELITIANPenelitian mengenai redesign pelayanan farmasi
dengan metode FMEA di RS PKU MuhammadiyahYogyakarta adalah penelitian action research.Penelitian ini menggunakan action research karenamemenuhi persyaratan sebagai penelitian actionresearch yaitu unsur penelitian (research), unsur
partisipasi (participation) dan unsur tindakan(action).6 Subjek penelitian ini adalah seluruh risikomunculnya kejadian medication error yang potensialdalam sistem penggunaan obat (medication usesystem) dan tenaga kesehatan yang terlibat padaproses penggunaan obat di RS PKU MuhammadiyahYogyakarta yaitu dokter, apoteker, asisten apotekerdan perawat. Adapun pada tahap pengukuran subjekyang diteliti adalah semua risiko munculnya kejadianmedication error yang potensial meliputi prosesperesepan dan tindakan yang terkait denganpemilihan, penyiapan, dan penggunaan obat. Jenisdata yang dikumpulkan adalah data primer dan datasekunder. Data primer diperoleh dari hasil workshopdengan tim FMEA RS PKU MuhammadiyahYogyakarta. Tim FMEA tersebut terdiri dari KetuaKomite Medis, Ketua PFT, Kepala Instalasi Farmasisekaligus sebagai Sekretaris PFT, Ketua PatientSafety, Ketua Quality Management Representatif,Perwakilan Dokter Umum dan Dokter Spesialis,Supervisor Farmasi Rawat Inap dan Rawat Jalan,serta Ketua Keperawatan. Data sekunder diperolehdari data kejadian medication error dalam sistempenggunaan obat, peresepan dan catatan tindakanyang terkait pemilihan, penyiapan, penggunaan obatserta laporan kegiatan harian di Instalasi Farmasiyang mencatat KTD pada bulan Januari - Desember2008. Cara pengambilan sampel dengan nonprobability sampling (purposif sampling) dengan jenismaximum variation sampling yaitu mencari danmengidentifikasi berbagai variasi untuk mengetahuisemua kejadian medication error dalam sistempenggunaan obat di RS PKU MuhammadiyahYogyakarta.
Instrumen yang dipergunakan untuk mengukurmutu pelayanan dalam penelitian ini adalah metodeFMEA dengan menerapkan ke-8 langkah FMEA,mengkaji data sekunder dengan membuat formskoring untuk setiap jenis medication error dalamsistem penggunaan obat.5,6 Adapun pengumpulandata dengan menggunakan workshop, KelompokDiskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD),wawancara mendalam dan observasi. Jalannyapenelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Tahap “Diagnosing”
FMEA langkah 1-5
Tahap “PlanningAction” FMEA
langkah 6
Tahap “Taking Action”
FMEA
langkah 7
Tahap “Evaluating Action” FMEA
langkah 8
Gambar 1.Jalannya penelitian dengan menggunakanAction Research dan FMEA
70 � Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011
Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANPenelitian action research tentang redesign
pelayanan farmasi di RS PKU MuhammadiyahYogyakarta ini menggunakan metode FMEA diawalidengan melakukan tahap diagnosing, dilanjutkandengan tahap planning action, selanjutnya tahaptaking action dan diakhiri dengan tahap evaluating.Adapun hasil dari proses action research padasistem pelayanan farmasi dengan menerapkanmetode FMEA dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tahap DiagnosingTahap diagnosing merupakan tahap untuk
mengetahui apakah kejadian medication error padaproses pelayanan farmasi secara umum telah terjadi,dan pada tahap ini dilakukan langkah FMEA 1 sampaidengan 5 yaitu mulai dari memilih faktor yang berisikotinggi dan membentuk tim, menyusun flowchartproses pelayanan, menentukan kemungkinanpenyebab kegagalan, menetapkan kemungkinantingkat keparahan dan efek kegagalan dengan skoring(Risk Priority Number), dan melakukan identifikasimasalah dengan fishbone. Pengumpulan data denganmelakukan workshop Tim FMEA tersebut terdiri dariKetua Komite Medis, Ketua PFT, Kepala InstalasiFarmasi sekaligus sebagai Sekretaris PFT, KetuaPatient Safety, Ketua Quality ManagementRepresentatif, Perwakilan Dokter Umum dan DokterSpesialis, Supervisor Farmasi Rawat Inap dan RawatJalan, serta Ketua Keperawatan. Hasil yangdidapatkan bahwa dari data sekunder diketahui bahwadata mengenai KTD selama 1 tahun yaitu pada tahun2008, diketahui bahwa yang tercatat paling potensialterjadi kesalahan adalah pada unit farmasi rawat jalandengan kesalahan obat terjadi 16 kali, salah serahobat 10 kali dan salah pemberian etiket 7 kali. Darikejadian ini maka ditetapkan bahwa unit pelayananfarmasi rawat jalan memiliki potensial risiko yang tinggidengan setidaknya lima sebab yaitu pelayananfarmasi rawat jalan menimbulkan komplain yang lebihbesar, setiap proses pelayanan farmasi tergantungintervensi dari petugas farmasi, langkah-langkah dalamproses penyiapan obat terkait satu sama lain, apabilaada kesalahan dalam proses penyiapan obat padapelayanan farmasi rawat jalan tidak dapat langsungditangani, dan kontrol yang rendah dari petugasfarmasi karena langsung berhadapan dengan pasien.Adapun dapat dilihat pada Gambar 2.
Mulai
Apoteker/Asisten Apoteker
Apoteker/Asisten Apoteker
SesuaiApoteker/Asisten Apoteker
Apoteker/Asisten Apoteker
Bon
Sesuai
Apoteker/Asisten Apoteker
Menyerahkan resep
Proses Penerimaa
Prose bon/piutang
A/1
Apoteker/Asisten Apoteker
Apoteker/Asisten Apoteker
Menyerahkan oba kebagian
Asisten Apoteker
Asisten Apoteker
Sesuai
Apoteker/Asisten Apoteker
Apoteker/Asisten Apoteker
selesaiA/2
Y
T
T
Y
T
Y
Gambar 2. Flowchart pelayanan farmasi rawat jalan
Selanjutnya menentukan failure mode dari alurproses pelayanan farmasi dapat dilihat pada Tabel 1.Kemudian dilanjutkan dengan menetapkankemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan(Risk Priority Number). Pada langkah menetapkantingkat keparahan dan efek kegagalan ini timmemulai menentukan tingkat keparahan (saverity)dengan berupa skor untuk masalah sistem utamadan menengah dan juga luka ringan dan berat,selanjutnya melakukan skor frekuensi terjadinyasuatu kemungkinan kegagalan (occurance) yaitu bilakemungkinannya kecil diberi skor 1 dari 100.000kesempatan atau kemungkinannya terjadi tinggidiberi skor 1 dari 10. Kemudian tim melanjutkandengan melakukan skor terhadap kemudahan untukdi deteksi (detectable). Adapun hasil yangdidapatkan, RPN tertinggi adalah pada kegagalandalam komunikasi ke dokter dengan nilai sebesar294 (occurance =7, saverity = 7,dan detectable 6),dan untuk validasi resep yaitu pada kegagalan dalammendeteksi nama obat memiliki nilai skoring RPNsebesar 216 (occurance =6, saverity=6 dandetectable =6). Kedua proses ini yang akan menjadiprioritas untuk melakukan desain yang harapannyadapat meminimalkan risiko terjadinya kesalahandalam proses pelayanan farmasi rawat jalan. Secararinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 � 71
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Pr
oses
(la
ngka
h)
Failu
re m
ode
Cau
se fa
ilure
Ef
fect
failu
re
Kep
arah
an
Frek
uens
i ke
jadi
an
Kem
ungk
inan
di d
etek
si
1.M
ener
ima
rese
p Ap
otek
er g
agal
men
dete
ksi k
esal
ahan
id
entit
as p
asie
n (s
alah
nam
a pa
sien
, ter
tuka
r res
ep p
asie
n)
Tida
k di
laku
kan
skrin
ing
iden
titas
pa
sien
, res
ep la
ngsu
ng d
leta
kkan
di
kota
k,tid
ak a
da ta
tap
muk
a,tid
ak a
da
kom
unik
asi
Tida
k ad
a pe
tuga
s ja
ga y
ang
di lo
ket
pene
rimaa
n
Pasi
en m
enda
patk
an o
bat
yang
, wak
tu tu
nggu
pas
ien
lam
a
Pros
es la
in ti
dak
berja
lan
Sed
ang
Jara
ng
Susa
h di
dete
ksi
2.Va
lidas
i res
ep
1. K
egag
alan
dal
am m
emba
ca n
ama
obat
2.
Keg
agal
an d
alam
men
dete
ksi j
umla
h ob
at
3. K
egag
alan
dal
am m
ende
teks
i car
a
peng
guna
an
4. K
egag
alan
dal
am m
ende
teks
i pe
tunj
uk k
husu
s 5.
Keg
agal
an d
alam
per
hitu
ngan
dos
is
Tulis
an d
okte
r yan
g tid
ak je
las,
pet
ugas
ya
ng k
uran
g b
erpe
ngal
aman
(kom
pete
nsi
kura
ng),
kura
ng t
eliti
Sala
h da
lam
pen
yiap
an
obat
, ter
api t
idak
sem
purn
a,
kesa
laha
n da
lam
pen
ggun
aan
dosi
s
Par
ah
Jara
ng
Mud
ah d
idet
eksi
3. K
onfir
mas
i ke
dokt
er p
enul
is
rese
p Ke
gaga
lan
kom
unik
asi d
enga
n do
kter
Ada
nya
rasa
sun
gkan
dan
ket
akut
an o
leh
petu
gas
apot
ek u
ntuk
kon
firm
asi k
e do
kter
D
okte
r lup
a ka
rena
ban
yak
seka
li pa
sien
Akan
terja
di s
alah
inte
rpre
tasi
re
sep
sehi
ngga
men
gaki
batk
an
sala
h do
sis,
sala
h ob
at, s
alah
at
uran
pak
ai
Par
ah
Jara
ng
Susa
h di
dete
ksi
4. B
uat n
ota
1. K
egag
alan
dal
am e
ntri
data
2.
Keg
agal
an d
alam
pem
beria
n ha
rga
obat
3.
Keg
agal
an m
embe
rikan
har
ga
kate
gori
pasi
en
Kur
ang
telit
i pet
ugas
Bi
aya
tingg
i, bi
aya
tidak
te
rtagi
hkan
Ti
dak
para
ah
Jara
ng
Mud
ah d
idet
eksi
5. P
enye
raha
n re
sep
ke b
agia
n pe
raci
kan
Kega
gala
n da
lam
pen
yera
han
rese
p
Kes
alah
an p
enga
mbi
lan
urut
an
peng
erja
an re
sep
La
ma
wak
tu tu
nggu
, sal
ah
pera
cika
n Ti
dak
para
h Ti
dak
serin
g M
udah
did
etek
si
6. A
A m
enga
mbi
l/mer
acik
oba
t 1.
Keg
agal
an d
alam
men
gam
bil o
bat
2. K
egag
alan
dal
am m
erac
ik o
bat
3. K
egag
alan
dal
am m
enim
bang
dan
m
engu
kur
4. K
egag
alan
dal
am p
engg
unaa
n pe
laru
t 5.
Keg
agal
an d
alam
pem
bagi
an o
bat
raci
kan
Leta
k ob
at y
ang
berd
ekat
an, n
ama
obat
ya
ng h
ampi
r sam
a, k
uran
gnya
kom
pete
nsi
petu
gas
Le
tak
peny
impa
nan
yang
bel
um ra
pi, t
idak
ad
a pe
nand
a na
ma
obat
yan
g m
irip,
ala
t tid
ak d
ikal
ibra
si
Kega
gala
n pe
ngob
atan
/tera
pi,
peny
embu
han
yang
tida
k be
rhas
il, a
dany
a ef
ek s
ampi
ng
Para
h Se
ring
Mun
gkin
det
eksi
7. M
embu
at e
tiket
1.
Keg
agal
an d
alam
men
ulis
atu
ran
paka
i 2.
Keg
agal
an d
alam
men
empe
l etik
et
3. K
egag
alan
dal
am p
embe
rian
labe
l
Kur
ang
kom
pete
nsi,r
uang
an y
ang
gela
p,tu
lisan
terla
lu k
ecil,
petu
gas
kura
ng
telit
i
Kesa
laha
n do
sis
pem
akai
an
obat
, kes
alah
an a
tura
n pa
kai
Para
h Ja
rang
M
udah
did
etek
si
8. A
pote
ker/A
A m
enye
rahk
an
obat
keb
agia
n pe
nyer
ahan
Ke
gaga
lan
dala
m p
enye
raha
n ob
at k
e ba
gian
pen
yera
han
B
eban
ker
ja y
ang
tingg
i, tid
ak t
eliti
D
apat
terja
di s
alah
pa
sien
, ter
tuka
r oba
t Ti
dak
para
h Ja
rang
M
udah
did
etek
si
9. K
orek
si o
leh
apot
eker
Tida
k di
laku
kan
kore
ksi
Kel
elah
an k
aren
a pr
oses
yan
g cu
kup
panj
ang,
beb
an k
erja
ting
gi
Dap
at te
rjadi
sal
ah o
bat,
sala
h pa
sien
, sal
ah e
tiket
, sal
ah
pe
mbe
rian
obat
Para
h Ja
rang
M
udah
did
etek
si
10. A
pote
ker m
enye
rahk
an
oba
t kep
ada
pasi
en
1. K
egag
alan
dal
am m
embe
rikan
in
form
asi
2. K
egag
alan
dal
am m
embe
rikan
oba
t(s
alah
oba
t) 3.
Keg
agal
an d
alam
pem
beria
n ke
pa
sien
(sa
lah
pasi
en)
Kur
ang
telit
i apo
teke
r, n
ama
yang
miri
p,
beba
n ke
rja y
ang
tingg
i Ke
gaga
lan
peng
obat
an,p
asie
n se
mak
in p
arah
, pas
ien
tidak
se
mbu
h, p
asie
n tid
akm
enda
patk
an in
form
asi
Para
h S
erin
g Su
lit d
idet
eksi
Tabe
l 1.
Kem
ungk
inan
pen
yeba
b ke
gaga
lan
di s
etia
p al
ur p
rose
s pe
laya
nan
farm
asi
raw
at j
alan
72 � Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011
Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...
Langkah terakhir pada proses diagnosing adalahmelakukan identifikasi masalah dari kegagalandengan RPN yang tertinggi dengan model diagramfish bone yaitu untuk menentukan penyebabkegagalan setiap proses pelayanan farmasi rawatjalan akan dilakukan identifikasi masalah denganmetode fish bone. Curah pendapat untuk melakukan
identifikasi penentuan penyebab dibatasi pada aspekpetugas (personal), metode, pasien, lingkungan,sarana dan prasarana, dan material. Adapunidentifikasi masalah dengan menggunakan metodefish bone untuk setiap failure mode dapat dilihat padaGambar 3.
Tabel 2. Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalankepada pasien tersebut (critical index)
Tahapan Proses Kegagalan OCC SEV DET RPN Prioritas 1 Menerima resep oleh
AA/Apoteker 1. Apoteker/AA gagal mendeteksi kesalahan
identitas pasien (salah nama pasien, tertukar resep pasien)
2 5 3 30
2 Validasi resep 1. Kegagalan dalam mendeteksi nama obat 6 6 6 216 2 2. Kegagalan dalam mendeteksi jumlah obat 1 2 7 14 3. Kegagalan dalam mendeteksi cara
penggunaan 4 5 6 120
4. Kegagalan dalam mendeteksi petunjuk khusus 7 3 6 126 5. Kegagalan dalam perhitungan dosis 5 5 6 150
3 Konfirmasi ke dokter penulis resep
1. Kegagalan komunikasi dengan dokter 7 7 6 294 1
4 Buat Nota 1. Kegagalan dalam entri data 5 3 2 30 2. Kegagalan dalam pemberian harga obat 2 3 2 12 3. Kegagalan memberikan harga kategori pasien 3 2 2 12
5 AA menyerahkan resep kebagian peracikan
1. Gagal dalam menyerahkan resep ke bagian peracikan
1 1 1 1
6 AA mengambil/meracik obat 1. Kegagalan dalam mengambil obat 4 7 6 168 5 2. Kegagalan dalam meracik obat 5 3 3 45 3. Kegagalan dalam menimbang dan mengukur 2 5 7 70 4. Kegagalan dalam pembagian obat racikan 2 6 3 36
7 Membuat etiket 1. Kegagalan dalam menuliskan aturan pakai 3 4 6 72 2. Kegagalan dalam menempel etiket 2 2 2 8
8 AA menyerahkan obat kebagian penyerahan
1. Kegagalan dalam penyerahan obat ke bagian penyerahan
2 2 2 8
9 Koreksi oleh Apoteker 1. Tidak dilakukan koreksi 7 5 2 70 10 Apoteker menyerahkan obat
kepada pasien 1. Kegagalan dalam memberikan informasi 4 6 7 168 3
2. Kegagalan dalam memberikan obat (salah obat)
3 8 7 168 4
3. Kegagalan dalam pemberian ke pasien (salah pasien)
3 8 4 96
SDM/Man
Dokter
� Dokter tidak maudikonfirmasi oleh AA
� Sifat Dokter terkadang emosional
� Dokter pergi tanpa menunjukdokter pengganti sehingga sulit/tidak bisa dikonfirmasi oleh petugasAA
Petugas Farmasi� Karakter petugas yangtergesa-gesa
� Petugas takut konfirmasi dokter
PASIEN
Prosedur Konfirmasitidak jelas
� Prosedur penerimaan resepdidalam box mengakibatkanresep tidak diverifikasisehingga pada saat adaketidakjelasan dokter sudahmeninggalkan poli SOP
� SOP komunikasi denganDokter belum ada
METODE SARANA/PRASARANA
� Telp poli rusak
LINGKUNGAN
� HP dokter tidak bisadihubungi
Kegagalan Konfirmasi keDokter Penulis Resep
Gambar 3a.Kegagalan konfirmasi ke dokter
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 � 73
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
2. Tahap Planning ActionTahap planning action adalah tahap melakukan
langkah FMEA yang ke-6 yaitu pada tahap inipengumpulan data dilakukan dengan cara untukmelakukan design ulang pada setiap failure mode.Adapun desain ulang yang akan dilakukan adalahmemperbaiki komunikasi dengan dokter yaitudengan dibuatnya SOP komunikasi dengan dokterdan SOP konfirmasi ke dokter untuk resep-resepnon cito. Standard Operating Procedure (SOP) inidiharapkan dapat meminimalkan risiko akan resepyang tidak terbaca, karena dengan SOP ini petugasfarmasi dapat segera menghubungi dokter untukdapat melakukan konfirmasi. Untuk kegagalan dalammendeteksi nama obat ditetapkan membuat labelingobat dengan menggunakan stiker warna yangberbeda di setiap kelas terapi. Untukpendokumentasian dan pencatatan sertapemantauan yang baik dibuat SOP pelaksanaansupervisi pada pelayanan farmasi rawat jalan.Standard Operating Procedure (SOP) ini bertujuanagar pemantauan kejadian kesalahan dapat dideteksidengan baik.
3. Tahap Taking ActionPada tahap ini dilakukan langkah FMEA yang
ke-7 adalah uji coba desain yang berfokus padakegagalan dalam konfirmasi ke dokter penulis resepdan proses kegagalan dalam mendeteksi nama obat.Uji coba desain ini diawali dengan terlebih dahulumelakukan sosialisasi kepada supervisor farmasirawat jalan dan asisten apoteker. Desain ini akandiawali dengan pelatihan dan pencegahan medicationerror dan serta melaksanakan pelatihan good
dispensing practise yang difokuskan bagi seluruhasisten apoteker RS PKU MuhammadiyahYogyakarta. Design baru yang akan diujicobakanadalah pembuatan SOP tata cara berkomunikasidengan dokter, prosedur konfirmasi farmasi ke dokterpenulis resep, prosedur melakukan supervisipelayanan farmasi rawat jalan serta pembuatanlayout stiker warna penandaan obat. Tahap ini diawalidengan pembuatan instrumen layout stiker warnayang berbeda di setiap kelas terapi. Kemudiandilanjutkan dengan pembuatan SOP komunikasidengan dokter penulis resep, SOP konfirmasi kedokter, SOP pelaksanaan supervisi pelayananfarmasi rawat jalan.
4. Tahap EvaluasiTahap evaluasi ini dilakukan setelah
implementasi desain baru yaitu SOP dan penandaanobat. Tahap ini dilakukan observasi tingkatkeberhasilan desain baru dengan melakukanwawancara dengan asisten apoteker untukmengetahui apakah dengan penandaan obat tersebutmengurangi kesalahan dalam hal pengambilan obatdan mempermudah asisten apoteker dalampelayanan obat ke pasien. Untuk evaluasi desainSOP, dilakukan dengan melihat kepatuhan terhadapSOP tersebut apakah dilaksanakan sesuai langkah-langkah yang ada. Pada evaluasi desain penandaanobat dengan menggunakan stiker warna diperkuatdengan wawancara dengan asisten apoteker. Dariwawancara dapat ditarik kesimpulan bahwa desainpenandaan obat dapat diterima dengan baik, namunpada tahap melakukan adaptasi dengan desain yangbaru untuk minggu pertama yaitu membiasakan mata
SDM/Man
� Petugas farmasi kurangteliti
� Karakter yang tergesa-gesa
PASIEN
Prosedur Validasitidak jelas
� Tidak adanya mekanismekroscek antar petugasfarmasi
METODE SARANA/PRASARANA
� Informasi tentang obatbaru kurang memadai
LINGKUNGAN
� Suhu ruangan kurangnyaman
Kegagalan Konfirmasi keDokter Penulis Resep
MATERIAL/OBAT
� Belum baiknya penandaanobat yang memiliki namadan kemasan yang mirip(LASA)
Petugas Farmasi
� Kurang mengenali nama obat
� Kurang kompetensi
� Tulisan dokter tidak terbaca
� Petugas salah interpretasi
� SOP tidak dijalankan dengan baik
� (LASA)
Look Like Sound Like
Gambar 3b. Kegagalan mendeteksi nama obat
74 � Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011
Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...
dengan warna-warna yang beraneka ragam. Untukminggu-minggu selanjutnya asisten apoteker sudahterbiasa dengan warna. Kemudian akhir dari tahapevaluasi ini adalah berkurangnya angka RPN dariFMEA pada failure mode kegagalan dalamkomunikasi dengan dokter dan kegagalan dalammengambil obat. Adapun hasil RPN evaluasi failuremode setelah dilakukan desain ulang dapat dilihatpada Tabel 3.
waktu terbatas.8 Langkah selanjutnya adalahmengidentifikasi failure mode, efek failure modeyang berpotensi terjadi. Hasil identifikasi sebagaifailure mode yang potensial adalah kegagalan dalammendeteksi nama obat, kegagalan dalammendeteksi jumlah obat, cara penggunaan obat danperhitungan dosis. Pada setiap failure mode tersebutmemiliki efek yaitu pasien akan diberi obat yangsalah, dosis yang salah, pasien akan mendapatkan
Tabel 3. Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan setelahdiimplementasikan desain baru pelayanan farmasi rawat jalan
No Tahapan proses Kegagalan Nilai RPN sebelum
desain baru Nilai RPN setelah
desain baru Prioritas OCC SEV DET RPN OCC SEV DET RPN
1. Konfirmasi ke dokter penulis resep Penulis resep
Kegagalan komunikasi dengan dokter
7 7 6 294 7 7 4 196 1
2. Kegagalan dalam membaca nama obat
6 6 6 216 6 6 4 144 2
PEMBAHASANAction research pada penelitian redesign
pelayanan farmasi dengan menerapkan metodeFMEA ini memiliki keunggulan dibandingkan denganyang lainnya karena pada action research memilikiempat siklus yang harus dilakukan secara bertahap,di mana setiap siklus selalu melibatkan partisipasiaktif dari subyek yang diteliti dalam memperbaikisistem dan pengembangan pengetahuan baru.
1. Tahap DiagnosingPenelitian ini diawali dengan tahap diagnosing
yang menurut Campbell disebut sebagai tahap untukmemahami perspektif dari para stakeholder. Disamping itu tahap ini bermanfaat untuk menilaibaseline situation.7 Pada tahap diagnosing inidilakukan langkah melakukan redesain pelayananfarmasi dengan metode FMEA yang diawali denganmenentukan proses yang berisiko tinggi melaluiworkshop. Secara umum hasil kesepakatanworkshop menunjukkan bahwa pelayanan farmasirawat jalan merupakan faktor yang berisiko tinggidikarenakan pelayanan yang termasuk menimbulkankomplain yang lebih besar , pelayanannya komplekskarena terkait satu dengan yang lain, apabila adakesalahan tidak dapat langsung tertangani karenakontrol yang rendah,dan bergantung pada faktorpetugas farmasi. Hasil kesepakatan workshop inisejalan dengan karakteristik proses berisiko tinggiyang dikeluarkan oleh JCAHO yaitu memiliki inputyang bervariasi, pelayanan kesehatan cenderungmemiliki tahap yang banyak dan kompleksitas yangtinggi, kurang standar, prosesnya berkaitan erat,bergantung campur tangan manusia, dan memiliki
jumlah obat yang lebih atau kurang. Melalui curahpendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa padasetiap proses ternyata memiliki failure mode lebihdari satu dan setiap failure mode memiliki satu ataulebih efek yang akan didapatkan oleh pasien.
Pada proses penentuan tingkat keparahan danefek kegagalan kepada pasien, hasil darikesepakatan yang dibuat oleh tim FMEA adalahbahwa kegagalan dalam komunikasi ke doktermemiliki tingkat Risk Priority Number (RPN) tertinggiyaitu sebesar 294 dengan nilai occurance (seringtidak terjadi) sebesar 6 yaitu menurut Tim FMEApada satu tahun kejadian untuk kegagalan dalamkomunikasi ke dokter terjadi, namun jarang,sedangkan untuk tingkat kefatalan dankeparahan,tim FMEA memberikan skor 7 dan untuknilai detectable (mudah dideteksi) tim memutuskanmemberikan skor 6 yaitu kemungkinan terdeteksisedang karena langsung bisa dilihat pada lembaranresep. Untuk nilai RPN pada proses validasi resepyaitu dalam proses kegagalan dalam mendeteksi/membaca nama obat yang berakibat salahpengambilan obat adalah sebesar 216, dengan nilaioccurance adalah 6, saverity sebesar 6 dandetectable sebesar 6. Hal ini senada denganpenelitian yang mengatakan bahwa 88% dari totalkejadian error berupa penyerahan obat yang salah,kesalahan kekuatan obat sebagai akibat dari salahambil.9 Pada tahap melakukan penggalian penyebabdengan metode diagram fish bone, tim menyepakatibahwa faktor penyebab dari setiap kegagalan adabeberapa faktor yaitu petugas atau SDM, metode(work method), sarana dan prasarana, material,lingkungan. Dari tahap diagnosis ini secara
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 � 75
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
mengerucut pada intinya adalah mendorong untukdibuatnya sistem yang baik dalam mendeteksitimbulnya medication error dengan menggali lebihdalam penyebab terjadinya kegagalan sehinggadapat meminimalkan dan mencegah risikokesalahan- kesalahan dalam pelayanan pemberianobat di unit farmasi rawat jalan RS PKUMuhammadiyah Yogyakarta.
2. Tahap Planning ActionTim FMEA membuat kesepakatan bahwa untuk
menurunkan frekuensi kejadian kegagalan dalamkomunikasi ke dokter adalah dengan memperbaikikomunikasi antar petugas farmasi baik asistenapoteker, apoteker dengan dokter. Untuk itudisepakati membuat SOP komunikasi ke dokterpenulis resep, SOP konfirmasi ke dokter untuk resepnon cito. Untuk kegagalan dalam mendeteksi/mengambil obat tim membuat desain pelebelandengan stiker warna pada setiap kelas terapi obatdengan menggunakan warna-warna yang berbeda,begitu juga untuk obat-obat yang fase moving. Untukmeningkatkan detectable tim membuat SOPpelaksanaan supervisi pelayanan farmasi rawat jalanyang memiliki tujuan melakukan pengawasan setiapharinya pada pelaksanaan SOP dan melakukanpengendalian terhadap terjadinya medication errorpada pelayanan farmasi rawat jalan denganmelakukan pengecekan kesesuaian obat denganresep, memantau obat-obat yang tidak terlayani padabuku laporan obat tentang oabt-obat yang tidakterlayani, melakukan cek stok obat setiap hari danmelakukan pemantauan kejadian tidak diharapkanpada buku pelaporan harian KTD.
3. Tahap Taking ActionImplementasi desain kegagalan dalam
berkomunikasi dengan dokter: Tahap ini dilakukandengan menerapkan SOP bagaimana berkomunikasiyang baik dengan dokter dengan terlebih dahulumemberikan pelatihan pentingnya pencegahanmedication error kepada asisten apoteker, dandilanjutkan dengan melatih bagaimanaberkomunikasi dengan baik dengan melakukan SOPcara berkomunikasi dengan baik. Dari pengamatandesain SOP sudah mulai terlihat dapatmeminimalkan risiko kegagalan dalamberkomunikasi dengan dokter karena dari 50 resepyang diamati tidak ada yang gagal dalam melakukankonfirmasi, untuk 5 resep yang tidak dapat terbaca,dapat langsung dikonfirmasi tanpa ada hambatan.Namun menurut peneliti, yang lebih efektif dalammeminimalkan terjadinya resep yang tidak terbacaatau meminimalkan konfirmasi ke dokter adalah
dengan menggunakan electronic prescribing dansistem barcode.
Implementasi kegagalan dalam mendeteksinama obat: Pada tahap ini dilakukan pembuatandesain labeling obat dengan menggunakan stikerwarna yang berbeda untuk setiap kelas terapi yangada pada unit pelayanan farmasi rawat jalan. Hal inisenada dengan konsep perubahan designpengelolaan obat-obatan dan anaestesi yang lebihaman banyak diminati peneliti. Royal Collage ofAnaesthetist dan Departement of Health UK padatahun 2004 telah berkolaborasi mengusulkan adanyastandarisasi label warna sesuai standardinternasional di Inggris untuk obat-obat injeksianestesi. Dari 242 responden rumah sakit di Inggris,227 (94%) rumah sakit setuju untuk menggunakankode warna dan label terstandar untuk injeksianaestesi. Penandaan warna pada golongan obatinjeksi anaestesi secara internasional bisa dibacapada standardized colour coding for syringe druglabels. Misalkan induction agents (thiopental)berwarna kuning, sedatif (midazolam) berwarnaoranye, antagonis sedatif (flumazenil) berwarnaoranye dengan strip putih, opioid (morphine) berwarnadasar biru, dan antagonis opioid (naloxone) berwarnabiru dengan strip putih.10
Setelah dilakukan pelabelan sebelumpengukuran untuk melakukan evaluasi, terlebih dahuludilakukan sosialisasi dan pelatihan good dispensingsystem. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikanpengetahuan kepada asisten apoteker bagaimanamelakukan penyiapan obat yang baik dan memberikansosialisasi terkait dengan warna-warna labeling obat.Dari hasil pengamatan desain ini sudah menunjukkandapat meminimalkan kesalahan. Hal ini terlihat padadari 100 resep yang diamati untuk minggu pertama,15 kali kesalahan pengambilan obat, untuk mingguke-2 dan ke-3 sudah tidak ada kesalahan.
Implementasi SOP pelaksanaan supervisipelayanan farmasi rawat jalan: SOP pelaksanaansupervisi pelayanan farmasi rawat jalan ini digunakanuntuk mendetesi setiap adanya kesalahan dalampelayanan farmasi rawat jalan. Melalui pelaksanaansupervisi harian diharapkan pendokumentasian dapatdilakukan dengan baik dan memberikan pencatatanyang baik. Pendokumentasian unit farmasi rawatjalan masih tidak baik, diharapkan dengan adanyasupervisi harian dapat memberikan pelaporan yangtersistem. Hal ini diperkuat dengan penelitian yangmengatakan dokumentasi tentang kejadian yangtidak diharapkan secara umum berpengaruh terhadapkualitas data, sehingga perbaikan sistem pencatataninsiden sangat penting.11
76 � Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011
Eri Supriyanti, dkk.: Redesign Pelayanan Farmasi ...
4. Tahap Evaluation Action Adapun hasil yang didapatkan untuk failure
mode kegagalan dalam berkomunikasi dengandokter RPN awal memiliki nilai 294, setelah adanyaintervensi desain nilai RPN menjadi 196. Kegagalandalam mendeteksi nama obat RPN awal memilikinilai 216, setelah adanya intervensi desain nilai RPNmenjadi 144. Kesepakatan tim FMEA dalamworkshop, evaluasi terakhir menyepakati bahwa nilaioccurance belum bisa diturunkan dikarenakan belummemberikan penurunan yang signifikan dan hanyadilakukan selama 1 pekan pengukuran dengan 50sampel resep. Namun, beberapa tim mengatakanoccurance sudah dapat diturunkan menjadi 6 untukkegagalan dalam komunikasi ke dokter yang padaawalnya nilai occurance 7, dengan pertimbangandengan 50 sampel resep, 5 kali resep dikonfirmasike dokter karena tidak terbaca, dan dokter langsungbisa di hubungi. Jadi sebenarnya tidak terjadikegagalan konfirmasi. Pada akhir kesepakatan timmemutuskan tidak dapat diturunkan. Untuk nilaidetecteble dapat dinaikkan dari 7 menjadi 4.Kesimpulannya tim menyepakati dengan desain barumempermudah melakukan deteksi dengan cepatdan baik. Hal ini senada untuk kegagalan dalammendeteksi nama obat, tim menyepakati untukoccurance tidak dapat diturunkan tetap pada nilai 6,detectabele dari 6 menjadi 4. Untuk saverity timmemberikan nilai yang tetap dengan alasan saveritytidak dapat turun karena yang diintervensi adalahsistem pelayanan pemberian obatnya. Jika terjadikesalahan akan tetap berefek sama kefatalannyakepada pasien. Untuk nilai saverity pendapat tim tidaksenada dengan literatur mengatakan bahwa nilaisaverity dapat turun atau berubah sesuai denganskenario desain yang akan diintervensi.
Menurut peneliti desain yang lebih efektif untukmeningkatkan detectable adalah denganmenambahkan pelabelan warna yang berbedadengan membuat koding pada setiap jenis obat. Jadidapat dicontohkan untuk antibiotik menggunakanwarna merah (A) dengan amoxixilin codingnya (A.1),amoxan codingnya (A.2) dan seterusnya. Hal inisesuai dengan Institute for Healthcare Improvement(IHI) dalam Institute for Safe Medication Practices12
mengenai Color Coding: Best Practices for Labelingof Intravenous Lines for Patients with MultipleSimultaneous Infusions. Selain itu perlu dilakukanperbaikan penggunaan warna. Obat-obat yangberlawanan efek farmakologinya memiliki warna yangsama tetapi dibedakan dengan strip pada efekantagonisnya. Misalkan sedatif (midazolam)berwarna oranye, antagonis sedatif (flumazenil)
berwarna oranye dengan strip putih, opioid (morphine)berwarna dasar biru, dan antagonis opioid (naloxone)berwarna biru dengan strip putih. Prinsip inimengadopsi pewarnaan yang digunakan pada obat-obat injeksi anaestasi yang telah terstandarinternasional dan telah diterapkan di Amerika serikat,Canada, New Zealand, dan Australia.13
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan
Pada penelitian ini desain yang diterapkan dapatmeminimalkan kesalahan dalam mendeteksi namaobat dan mengurangi kegagalan berkomunikasidengan dokter.
SaranMembuat standar baku mengenai pola
hubungan kesejawatan antara sesama tenaga profesiyaitu apoteker dan dokter untuk meningkatkankomunikasi. Standar baku tersebut mengaturbagaimana sistem yang baik berkomunikasi antarsesama tenaga profesi.
KEPUSTAKAAN1 Anacleto TA, Perini E, Rosa MB, Cesar CC. Drug
dispensing error in the hospital pharmacy, J ClinSci, 2007; 62(3):243-50.
2 Nelson KM, Talbert RL. Drug Related HospitalAdmission Pharmacoterapy, 1996. Availablefrom: < http//www.hcp.nlm.nih.gof/pubmed/8840382> Diakses pada 31 Juli 2009.
3 Anonim. Laporan Kejadian Tak Diinginkan UnitFarmasi RS PKU Muhammadiyah YogyakartaTahun 2004-2005, Tim Keselamatan Pasien RSPKU Muhammadiyah Yogyakarta, Unpublished,Yogyakarta. 2006
4 Sharon, Cornrow, Comden, Carley MM, MarxD, Young J. Risk Models to Improve Long-TermCare Medication Safety, ASQ, World Conferenceon Quality Improvement Proceedings, ABI/Informal Global. 2004
5 Institute for Healtcare Improvement (IHI) IntensiveSafety Effort Cuts Falls, Ulcers, and Drug Errorsat Once Disgraced FL Hospital. ClinicalResource Management. 2000; Oct 1(10):148-51.
6 Greenwood DJ, Levin M. Introduction to ActionResearch: Social Research for Social Change,Sage Publication, London. 1998.
7 Campbell SM, Brasbenning I, Hutchinson A,Marshall M. Research Methods Used inDeveloping and Applying Quality in Indicatorsin Primary Care, Qual. Saf. Health Care.2002;11:358-64.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011 � 77
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
8 Joint Commision on Accreditation of HealthcareOrganization. Failure Mode and Effect Anallysisin Health Care, Proactive risk reduction, JointCommission Resources, Oakbrook. 2005.
9 Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS. To Err isHuman: Building A Safer Health System, NationalAcademy Press, Washington D.C. 1999.
10 Institute for Healthcare Improvement (IHI). ColorCoding:pBest Practices for Labeling ofIntravenous Lines for Patients with MultipleSimultaneous Infusions dalam Institute for SafeMedication Practices. 2009;Oct 1(10):148-51.
11 Perneger R, MacKinnon NJ, David U, HartnellNR, Levy AR, Gurnham ME, Nguyen TT.Development of Canadian Safety Indicator forMedication Use, Healtcare Quarterly. 2008;11,Special Isseu:47-53.
12 Valley H, Pennsylvania. Color Coding: BestPractices for Labeling of Intravenous Lines forPatients with Multiple Simultaneous Infusions,Institute for Safe Medication Practices (ISMP),USA. 2008.
13 Christie IW, Hill MR. Standardized Colour Codingfor Syringe Labels: a National Survey. 2004.