Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan -...

58
Editorial Mengelola Bencana di Sektor Kesehatan: Membutuhkan Pendekatan Ilmiah 51 Makalah Kebijakan Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang- Undang No. 9/2004 tentang Praktik Kedokteran Hargianti Dini Iswandari 52 Artikel Penelitian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Penempatan Dokter Spesialis Ikatan Dinas S. R. Mustikowati, Laksono Trisnantoro, Andreasta Meliala 58 Persepsi dan Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Pelayanan terhadap Kinerja Karyawan di Rumah Sakit Jiwa Madani Nofrinaldi, Adi Utarini, Andreasta Meliala 65 Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya dengan Work Sampling di Unit Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus Tahun 2005 M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito 72 Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis Balai Laboratorium Kesehatan Semarang sebagai Dasar Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Retno Wahyu Gayatri, Chriswardani Suryawati, L. Ratna Kartikawulan 80 Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak pada Sumber Daya Manusia Kesehatan di Daerah Terpencil: Studi Kasus Provinsi Lampung Dumilah Ayuningtyas 87 Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas Melalui Pelatihan Berjenjang pada Dokter dan Perawat Iwan Dwiprahasto 94 Resensi Buku Hard Facts, Dangerous Half-truths & Total Nonsense: Profiting From Evidence-Based Management 102 Korespondensi Dampak Ekonomi dari Penyakit Avian Influenza (H5n1) di Bali 104 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan The Indonesian Journal of Health Service Management Volume 09/Nomor 02/Juni/2006 Daftar Isi

Transcript of Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan -...

i

EditorialMengelola Bencana di Sektor Kesehatan: Membutuhkan Pendekatan Ilmiah 51

Makalah KebijakanAspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang No. 9/2004 tentang Praktik KedokteranHargianti Dini Iswandari 52

Artikel PenelitianFaktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Penempatan Dokter Spesialis Ikatan DinasS. R. Mustikowati, Laksono Trisnantoro, Andreasta Meliala 58

Persepsi dan Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Pelayanan terhadap Kinerja Karyawan diRumah Sakit Jiwa MadaniNofrinaldi, Adi Utarini, Andreasta Meliala 65

Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya dengan Work Sampling di Unit Layanan GiziPelayanan Kesehatan Sint Carolus Tahun 2005M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito 72

Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis Balai Laboratorium Kesehatan Semarang sebagaiDasar Pengembangan Pendidikan dan PelatihanRetno Wahyu Gayatri, Chriswardani Suryawati, L. Ratna Kartikawulan 80

Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak pada Sumber Daya Manusia Kesehatan di Daerah Terpencil:Studi Kasus Provinsi LampungDumilah Ayuningtyas 87

Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas Melalui Pelatihan Berjenjang pada Dokterdan PerawatIwan Dwiprahasto 94

Resensi BukuHard Facts, Dangerous Half-truths & Total Nonsense: Profiting From Evidence-Based Management 102

KorespondensiDampak Ekonomi dari Penyakit Avian Influenza (H5n1) di Bali 104

JurnalManajemen

Pelayanan KesehatanThe Indonesian Journal of Health Service Management

Volume 09/Nomor 02/Juni/2006

Daftar Isi

ii

Jurnal Manajemen Pelayanan KesehatanThe Indonesian Journal of Health Service Management

Diterbitkan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 4kali setahun (triwulan). Jurnal ini didukung oleh Program Pascasarjana UGM Ilmu Kesehatan Masyarakat yang mempunyaiberbagai minat utama dalam manajemen dan kebijakan pelayanan kesehatan. Minat-minat utama yang ada adalah Magis-ter Manajemen Rumah Sakit, Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Magister Manajemen dan KebijakanObat, Magister Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan.

Misi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan adalah perkembangan menyebarluaskan dan mendiskusikan berbagaitulisan ilmiah mengenai manajemen dan kebijakan dalam lingkup pelayanan kesehatan.

Jurnal ini ditujukan sebagai media komunikasi bagi kalangan yang mempunyai perhatian terhadap ilmu manajemen dankebijakan pelayanan kesehatan antara lain para manajer di organisasi-organisasi pelayanan kesehatan seperti rumah sakitpemerintah dan swasta, dinas kesehatan, departemen kesehatan pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat, BKKBN,pengelola industri obat, dan asuransi kesehatan serta para peneliti, pengajar, dan ilmuwan yang tertarik dengan aplikasiilmu manajemen dan kebijakan dalam sektor kesehatan.

Isi jurnal berupa artikel atau hasil penelitian yang berkaitan dengan manajemen rumah sakit, manajemen pelayanankesehatan, asuransi, visi, dan masalah-masalah yang relevan dengan manajemen dan kebijakan kesehatan.

Pemimpin Redaksi

Laksono Trisnantoro

Editor

Abdul Razak Thaha Tjahjono KuntjoroBhisma Murti Sri Werdati

Hasbullah Tabrany Yulita HendrartiniJohana E. Prawitasari Yodi Mahendradhata

I. Riwanto

Mitra Bestari (Peer Reviewer)

A.A.Gde Muninjaya Hari Kusnanto JosefM. Ahmad Djojosugito Mubasysyir Hasanbasri

Ali Ghufron Mukti Sri SuryawatiBambang Purwanto Triono Soendoro

Sekretaris Redaksi

Hilaria Lestari Budiningsih

Penerbit

Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, FK UGM, YogyakartaSTT: 2398/SK/DITJEN PPG/STT/1998

Harga langganan untuk satu tahun (4 kali terbit/triwulan)Pulau Jawa Rp100.000,00

Luar Pulau Jawa Rp125.000,00 (Sudah termasuk ongkos kirim)Bank BNI 46 Cabang UGM Yogyakarta No Rek.: 0038603369 a.n Laksono Trisnantoro/Seminar

Bukti Transfer mohon di fax sebagai bukti berlangganan

Alamat surat-menyurat menyangkut naskah, langganan keagenan dan pemasangan iklan:Sekretariat Redaksi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

d/a Gedung KPTU Lantai 3, Fakultas Kedokteran UGM, YogyakartaJl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281

Telp/Fax: 0274-547490,547489Email: [email protected]

Web-site: www.jmpk-online.net

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 51

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 51 - 51

Editorial

empa tektonik yang mengguncang Aceh diakhir tahun 2004 (26 Desember) dan DaerahIstimewa Yogyakarta (DIY)-Jawa Tengah di

tengah tahun 2006 (27 Mei) menyadarkan kita bahwaIndonesia merupakan daerah bahaya gempa. Bahayagempa tektonik ini berada dari ujung utara PulauSumatera ke selatan, ke pantai barat Sumatera, SelatSunda, pantai selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, JawaTimur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan Papua.Hampir semua provinsi di Indonesia berada dalam risiko.Kapan gempa akan tiba? Semua orang tidak tahu.Gempa bumi di DIY tahun 2006 membuktikan bahwakapan saja gempa bumi dapat terjadi. Dalam keadaanini, pilihan utama adalah melakukan preparedness,menyiapkan diri sebaik mungkin menghadapi gempayang akan datang setiap saat.

Pertanyaan penting dalam melakukan persiapanmenghadapi bencana adalah pendekatannya. Selamaini kita melihat bahwa pendekatan menghadapi bencanadan mengelola dampaknya dilakukan dengan pendekatansemangat dan niat baik. Akan tetapi menjadi pertanyaanapakah semangat dan niat baik cukup? Ataukah perludidukung hal lain, khususnya pendekatan ilmiah. Sebagaigambaran ketika terjadi kecelakaan, tindakan penolongankorban oleh pihak yang tidak menguasai teknikpertolongan mungkin justru memperparah keadaan.

Dua bencana besar di Aceh dan DIY-Jawa Tengahmenunjukkan bahwa bencana dan akibatnya terhadapkesehatan masyarakat merupakan hal serius. Pada saatemergency penderitaan korban dapat dikurangi apabilapenanganan mediknya baik. Di masa rekonstruksi,pembangunan fisik, sistem manajemen, dan peralatanfasilitas kesehatan yang biasanya didanai oleh donorsebaiknya dapat direncanakan dengan tepat agar efektifdan tidak membebani biaya operasional di kelakkemudian hari.

Pada intinya penanganan bencana membutuhkankoordinasi yang baik pada masa emergency, masatransisi, sampai ke masa pemulihan. Sebagai gambar-an dalam bencana diperlukan kecepatan dan mutupelayanan yang optimal dalam penanganan medik,kemampuan leadership dalam menangani persiapan,fase emergency, dan fase recovery, keterampilan dalaminformatika dan komunikasi dalam bencana, termasukmengelola NGO dalam negeri dan internasional; pengem-bangan sistem surveillance pascabencana, sampai kesistem logistik. Dalam hal ini manfaat ilmu manajemendiperlukan dalam preparedness, emergency, danrekonstruksi bencana.

Pengalaman dari Aceh dan DIY menunjukkanbahwa ilmu manajemen belum dipergunakan maksimal.Mengapa hal ini terjadi? Ada beberapa hal penting.Pertama masalah bencana di sektor kesehatan seringdiidentikkan dengan tim emergency klinik dan 118 saja,

MENGELOLA BENCANA DI SEKTOR KESEHATAN:MEMBUTUHKAN PENDEKATAN ILMIAH

tanpa keterlibatan pihak lain di sektor kesehatan.Berbagai pelatihan mengenai preparedness emergencyselama ini sebagian besar dilakukan untuk InstalasiGawat Darurat (IGD) rumah sakit dan 118, serta PalangMerah Indonesia (PMI). Sampai saat ini belum adapelatihan dengan standar nasional untuk manajemenbencana bagi dinas kesehatan provinsi dan kabupatenkota dan LSM terkait. Tentunya pelatihan manajemenini berbeda dengan pelatihan manajemen pada saatnormal yaitu faktor waktu dan koordinasi tidak begitumenjadi masalah.

Kedua, perhatian para ahli manajemen kesehatanpada bencana masih belum banyak. Saat ini paraahli manajemen kesehatan cenderung bergerak dibidang yang normal, seperti manajemen rumah sakit,manajemen asuransi kesehatan, dan sebagainya.Belum ada doktor ahli manajemen bencana di sektorkesehatan di Indonesia. Pada saat tsunami di Acehdan gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah,beberapa ahli manajemen pelayanan kesehatan terlibatlangsung dalam masa emergency dan rekonstruksidengan pengalaman terbatas.

Ketiga, perguruan tinggi kesehatan di Indonesiabelum menempatkan bencana sebagai salahsatu topikyang dapat didekati secara ilmiah. Mata kuliah mengenaibencana sudah ada diberbagai program studi pendidikantenaga kesehatan. Akan tetapi, belum ada pendidikanresmi atau pelatihan bersertifikat untuk pengelolaanbencana. Buku-buku dan artikel-artikel penelitianmengenai bencana belum banyak diterbitkan.

Berpijak pada pengalaman ini sudah selayaknyailmu manajemen dipergunakan untuk penangananbencana di sektor kesehatan. Pengembangan inisebaiknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Dalamworkshop lesson-learned bencana di Aceh dan DIYyang diselenggarakan oleh Pusat Manajemen PelayananKesehatan Fakultas Kedokteran, UGM, Yogyakartapada bulan Juni, tepat sebulan setelah bencana di-simpulkan bahwa ilmu manajemen mutlak diperlukandalam penanganan bencana. Sebagai gambaran bahwamanajer bencana perlu mempunyai pelatihan yang baikberdasarkan kurikulum tertentu. Dipertimbangkan pulasertifikasi khusus untuk para manajer bencana.

Untuk menghasilkan modul pelatihan yang baik,berbagai riset operasional dalam bencana alam perludilakukan. Diperlukan kegiatan untuk meneliti sistemlogistik dalam bencana, sistem telekomunikasi daninformatika dalam bencana, leadership dalam bencana,sistem pendanaan dan pembiayaan bencana, sampaike aspek komunikasi antarpelaku. Lebih lanjutdiharapkan pengembangan ini sampai pada pendidikanS2 dan penelitian di level S3 dalam manajemenbencana di sektor kesehatan. (Laksono Trisnantoro,[email protected])

G

Hargianti Dini Iswandari: Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran

52 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

ABSTRACTThe community is not just an object but also as a subject ofhealth services, therefor, the implementation of public healthservices is the responsibility of government and community. Astrategic public policy such as Medical Practice Act No. 29 of2004, is expected to overcome problems related to healthservices. Two basic issues of this regulation, firstly, to protectcommunity from an exploitative and unethical of medical practicewhich may decrease community trust toward medicalprofessions; secondly, to provide a legal certainty and legalprotection of medical profession against an excessivecommunity litigation.

Keywords: Medical Practice Act, medical ethic

ABSTRAKMasyarakat bukan hanya menjadi objek melainkan juga subjekpenyelenggaraan kesehatan, oleh karenanya, penyelenggara-an pelayanan kesehatan masyarakat merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Kebijakanpublik yang strategis seperti Undang-Undang No. 29/2004tentang Praktik Kedokteran (UUPK), diharapkan dapat meng-atasi permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraanpraktik kedokteran. Dua permasalahan yang mendasari pe-nyusunan Undang-Undang tersebut, yang pertama adalahmemberikan perlindungan bagi masyarakat terhadap praktikkedokteran yang ekploitatif dan tidak memenuhi etika kedokteransehingga mengakibatkan penurunan kepercayaan masyarakatterhadap profesi medik, yang kedua, memberikan kepastiandan perlindungan hukum bagi profesi dokter dari gugatanmasyarakat yang berlebihan.

Kata kunci: UUPK, etika kedokteran

PENGANTARUndang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK)

sering dipahami sebagai (sama dengan) hukumkedokteran atau juga hukum kesehatan (health law/medical law). Pandangan tersebut muncul bilahukum dimaknai �sebatas peraturan� untuk meme-nuhi kebutuhan praktis, yaitu untuk menyelesaikanpermasalahan yang dihadapi masyarakat dalamhubungannya dengan tenaga kesehatan yang intipermasalahannya berkaitan dengan penyeleng-

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 52 - 57

ASPEK HUKUM PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN:SUATU TINJAUAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 9/2004

TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN

LEGAL ASPECT OF MEDICAL PRACTICE:REVIEW BASED ON MEDICAL PRACTICE ACT NO.9/2004

Hargianti Dini IswandariProgram Magister Hukum Kesehatan

Univesitas Soegiopranoto Semarang, Jawa Tengah

garaan praktik kedokteran. Peraturan perundang�undangan merupakan salah satu wujud hukum,sementara hukum sendiri mengandung pengertianyang lebih luas dari sekedar wujud tersebut.Sekalipun segala hal telah ditata menurut ukuranperundang-undangan yang baik, di dalam praktiknyamasih terdapat berbagai kekurangan sehinggadiperlukan pemahaman yang memadai dan masihdimungkinkan pengubahan peraturan perundang-undangan tersebut. Hermien1 menyatakan bahwaketentuan dalam Undang-Undang (UU) No.23/1992tentang Kesehatan (UUK) serta peraturan pelak-sanaannya, belum mencerminkan hukum kesehat-an. Selanjutnya Van der Mijn2 menyatakan bahwa�Hukum Kesehatan� meliputi ketentuan yang secaralangsung mengatur masalah kesehatan, penerapanketentuan hukum pidana, hukum perdata, sertahukum administratif yang berhubungan denganmasalah kesehatan.

� ��a body of rules that relates directly tothe case for health as well as to the applica-tion of general civil, criminal and adminis-trative law�

Hukum kedokteran memiliki ruang lingkupseperti di bawah ini:a. Peraturan perundang�undangan yang secara

langsung dan tidak langsung mengatur masalahbidang kedokteran, contohnya: UUPK

b. Penerapan ketentuan hukum administrasi,hukum perdata dan hukum pidana yang tepatuntuk hal tersebut

c. Kebiasaan yang baik dan diikuti secara terus-menerus dalam bidang kedokteran, perjanjianinternasional, serta perkembangan ilmu penge-tahuan dan teknologi yang diterapkan dalampraktik kedokteran, menjadi sumber hukumdalam bidang kedokteran

Makalah Kebijakan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 53

d. Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatanhukum tetap, menjadi sumber hukum dalambidang kedokteran.

Uraian di atas menunjukkan bahwa UUPKhanya salah satu aspek hukum yang berkaitandengan penyelenggaraan praktik kedokteran dantidak dapat disebut sebagai hukum kedokteranataupun hukum kesehatan.

UNDANG-UNDANG PRAKTIK KEDOKTERAN(UUPK)

Pengaturan penyelenggaraan praktik kedok-teran dilandaskan pada asas kenegaraan, keilmuan,kemanfaatan, kemanusiaan dan keadilan.3 Ke-beradaan UUPK dimaksudkan untuk: (1) memberikanperlindungan kepada pasien, (2) mempertahankandan meningkatkan mutu pelayanan medis yangdiberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan (3)memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,dokter dan dokter gigi.4 Untuk mencapai tujuantersebut, diatur pembentukan dua lembaga inde-penden yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) danMajelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia(MKDKI), masing-masing dengan fungsi, tugas dankewenangan yang berbeda.

Keberadaan KKI yang terdiri dari Konsil Kedok-teran dan Konsil Kedokteran Gigi, dimaksudkanuntuk melindungi masyarakat pengguna jasapelayanan kesehatan dan meningkatkan mutupelayanan dokter dan dokter gigi. Fungsi KKI meliputifungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, danpembinaan. Sebagai implementasi dari fungsitersebut maka KKI mempunyai tugas5:a. Melakukan registrasi dokter dan dokter gigib. Mengesahkan standar pendidikan profesi dokter

dan dokter gigic. Melakukan pembinaan terhadap penyeleng-

garaan praktik kedokteran.

Dalam menjalankan tugas tersebut KKI memilikikewenangan6 untuk:a. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi

dokter dan dokter gigib. Menerbitkan dan mencabut surat tanda regis-

trasi dokter dan dokter gigic. Mengesahkan standar kompetensi dokter dan

dokter gigid. Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedok-

teran dan kedokteran gigie. Melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan

etika profesi yang ditetapkan oleh organisasiprofesi

f. Melakukan pencatatan terhadap dokter dandokter gigi yang melanggar etika profesi.

Keanggotaan KKI meliputi unsur-unsur dariorganisasi profesi, asosiasi terkait, wakil dari peme-rintah (departemen kesehatan dan departemenpendidikan nasional), serta wakil tokoh masyarakat.7

Selanjutnya, untuk melaksanakan ketentuan dalamUUPK, KKI diberi kewenangan untuk menjabar-kannya dalam peraturan KKI. Dalam hubungannyadengan penyelenggaraan registrasi dokter dan doktergigi, saat ini KKI telah mengeluarkan Peraturan KKINo. 1/2005 tentang Registrasi Dokter dan DokterGigi serta Keputusan KKI No. 1/2005 tentangPedoman Registrasi Dokter dan Dokter Gigi.

Dari pengertian dan lingkup hukum kedokteransebagaimana diuraikan di atas, berikut ini akandiuraikan aspek hukum administrasi, hukum perdata,dan hukum pidana berkaitan dengan penyeleng-garaan praktik kedokteran.

Aspek Hukum Administrasi dalam Penyeleng-garaan Praktik Kedokteran

Setiap dokter/dokter gigi yang telah menyelesai-kan pendidikan dan ingin menjalankan praktikkedokteran dipersyaratkan untuk memiliki izin. Izinmenjalankan praktik memiliki dua makna, yaitu: (1)izin dalam arti pemberian kewenangan secara formil(formeele bevoegdheid), dan (2) izin dalam artipemberian kewenangan secara materiil (materieelebevoegdheid). Secara teoretis, izin merupakanpembolehan (khusus) untuk melakukan sesuatuyang secara umum dilarang.8 Sebagai contoh: dokterboleh melakukan pemeriksaan (bagian tubuh yangharus dilihat), serta melakukan sesuatu (terhadapbagian tubuh yang memerlukan tindakan denganpersetujuan) yang izin semacam itu tidak diberikankepada profesi lain.

Pada hakikatnya, perangkat izin (formal ataumaterial) menurut hukum administrasi adalah:a. Mengarahkan aktivitas artinya, pemberian izin

(formal atau material) dapat memberi kontribusi,ditegakkannya penerapan standar profesi danstandar pelayanan yang harus dipenuhi olehpara dokter (dan dokter gigi) dalam pelaksanaanpraktiknya

b. Mencegah bahaya yang mungkin timbul dalamrangka penyelenggaraan praktik kedokteran,dan mencegah penyelenggaraan praktikkedokteran oleh orang yang tidak berhak9

c. Mendistribusikan kelangkaan tenaga dokter/dokter gigi, yang dikaitkan dengan kewenanganpemerintah daerah atas pembatasan tempatpraktik dan penataan Surat Izin Praktik (SIP)

Hargianti Dini Iswandari: Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran

54 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

d. Melakukan proses seleksi, yakni penilaian ad-ministratif, serta kemampuan teknis yang harusdipenuhi oleh setiap dokter dan dokter gigi

e. Memberikan perlindungan terhadap wargamasyarakat terhadap praktik yang tidak dilaku-kan10 oleh orang yang memiliki kompetensitertentu.

Dari sudut bentuknya, izin diberikan dalambentuk tertulis, berdasarkan permohonan tertulisyang diajukan. Lembaga yang berwenang menge-luarkan izin juga didasarkan pada kemampuan untukmelakukan penilaian administratif dan tekniskedokteran. Pengeluaran izin dilandaskan padaasas�asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian,keputusan yang baik, persamaan hak, kepercayaan,kepatutan dan keadilan. Selanjutnya apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi (lagi) maka izin dapatditarik kembali.

Telah terjadi beberapa perubahan mendasaryang berkaitan dengan perizinan di dalam UUPK,yaitu:a. Digunakan terminologi Surat Tanda Registrasi

(STR) yang diterbitkan oleh KKI11, sebagaipengganti terminologi Surat Penugasan (SP)

b. Untuk mendapatkan STR pertama kali dilakukanuji kompetensi oleh organisasi profesi (dengansertifikat kompetensi)12

c. Surat Tanda Registrasi (STR) diberikan oleh KKIdan berlaku selama lima tahun serta dapatdiperpanjang melalui uji kompetensi lagi13

d. Masa berlaku SIP sesuai STR. Dengan katalain, bila masa berlaku STR sudah habis makaSIP juga habis.14

Sebagai implementasi dari UUPK, telahdikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelengga-raan Praktik Dokter dan Dokter Gigi untuk menatalebih lanjut masalah perizinan, termasuk aturanperalihan yang bertujuan untuk menyelesaikanpermasalahan yang mungkin timbul.

Aspek Hukum Perdata dalam PenyelenggaraanPraktik Kedokteran

Setelah seorang dokter memiliki izin untukmenjalankan praktik, muncul �hubungan hukum�dalam rangka pelaksanaan praktik kedokteran yangmasing-masing pihak (pasien dan dokter) memilikiotonomi (kebebasan, hak dan kewajiban) dalammenjalin komunikasi dan interaksi dua arah. Hukummemberikan perlindungan kepada kedua belah pihakmelalui perangkat hukum yang disebut informed

consent. Objek, dalam hubungan hukum tersebutadalah pelayanan kesehatan kepada pasien.Dikaitkan dengan UUPK, perangkat hukum informedconsent tersebut diarahkan untuk:a. Menghormati harkat dan martabat pasien

melalui pemberian informasi dan persetujuanatas tindakan yang akan dilakukan

b. Meningkatkan kesadaran, kemauan dankemampuan hidup sehat

c. Menumbuhkan sikap positif dan iktikad baik,serta profesionalisme pada peran dokter (dandokter gigi) mengingat pentingnya harkat danmartabat pasien

d. Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanansesuai standar dan persyaratan yang berlaku.

Suatu hubungan hukum dianggap sah apabilamemenuhi syarat subjektif dan objektif, yaitukesepakatan untuk saling mengikatkan diri (vandegeenen die zich verbinden), dan kecakapan untuksaling memberikan prestasi (dengan berbuat atautidak berbuat) mengenai suatu hal atau suatu sebabyang diperbolehkan (bekwaamheid om eeneverbintenis aan te gaan).15 Dari sudut kecakapan(bekwaam), ketidakseimbangan pengetahuan dankemampuan (different of knowledge and ability)mungkin akan menempatkan pasien pada posisiyang �lemah�. Oleh sebab itu, yang harus diutamakandalam hubungan ini adalah terbentuknya salingpercaya dalam usaha membangun kesederajatan diantara kedua belah pihak.

Hak individu di bidang kesehatan bertumpu padadua prinsip, yaitu: 1) hak atas pemeliharaan kese-hatan (right to health care) dan 2) hak untuk menen-tukan (nasib) sendiri (right to self determination). Hakyang pertama berorientasi pada nilai sosial dan hakyang kedua berorientasi pada ciri atau karakteristikindividual.16 Hak dan kewajiban yang timbul dalamhubungan pasien dengan dokter (dan dokter gigi)meliputi penyampaian informasi dan penentuantindakan. Pasien wajib memberikan informasi17 yangberkaitan dengan keluhannya dan berhak menerimainformasi18 yang cukup dari dokter/dokter gigi (rightto information), selanjutnya pasien berhak meng-ambil keputusan untuk dirinya sendiri (right to selfdetermination). Dokter berhak mendapatkan infor-masi yang cukup dari pasien19 dan wajib memberikaninformasi20 yang cukup pula sehubungan dengankondisi ataupun akibat yang akan terjadi. Se-lanjutnya dokter berhak mengusulkan yang terbaiksesuai kemampuan dan penilaian profesionalnya(ability and judgement) dan berhak menolak bilapermintaan pasien dirasa tidak sesuai dengan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 55

norma, etika serta kemampuan profesionalnya.Selain hal di atas, dokter wajib melakukan pen-catatan (rekam medik) dengan baik dan benar.21

Secara tegas UUPK telah mengatur materimuatan:A. Prinsip keahlian dan kewenangan, diwujudkan

dalam materi pengaturan bahwasanya dokter(dan dokter gigi) harus menjalankan praktiksesuai standar profesi, dan merujuk bila kondisiyang terjadi, di luar keahlian dan kewena-ngannya.22 Terdapat lima unsur standar profesimedik yang meliputi23:1. Ketelitian dan kecermatan2. Standar medis3. Kemampuan rata�rata4. Tujuan tindakan5. Proporsionalitas tindakan.

Batasan tersebut sangat penting untukpenilaian terjadinya penyimpangan (atau tidak).Terminologi lain yang kurang lebih identikdengan standar profesi, menurut Pozgar24 adalah4 D yaitu, apakah dokter (dan dokter gigi) men-jalankan sesuai tugasnya (duty), apakah adapenyimpangan terhadap tugasnya (derelictionof duty), apakah ada kerugian (damage), danapakah ada hubungan sebab-akibat antaratindakan dan kerugian yang ditimbulkan (directcaution)

B. Prinsip otoritas pasien, diwujudkan denganpengaturan bahwasanya setiap tindakankedokteran atau kedokteran gigi harusmendapat persetujuan. Persetujuan pasien barudapat diberikan setelah menerima informasi danmemahami segala sesuatu yang menyangkuttindakan tersebut.25

C. Prinsip pencatatan (rekam medik)26 yangwajib dibuat oleh dokter. Beberapa literaturmenyatakan bahwa rekam medik mempunyainilai Administration, Legal, Finance, Research,Education, dan Documentation (ALFRED).Dalam hukum acara perdata maupun pidanadikenal: alat bukti dengan tulisan, bertolak darihal tersebut maka, selama ini rekam mediksebagai catatan yang dibuat dokter (dan doktergigi) dianggap dapat digunakan sebagai: alatbukti dengan tulisan, meskipun di dalamperkembangan selanjutnya, pendapat tersebutmasih mungkin ditinjau kembali. Rekam medikbukan alat bukti menurut undang-undang,meskipun dapat digunakan sebagai petunjuk

pembuktian sepanjang dilakukan dengan benarsesuai ketentuan yang berlaku27.

D. Prinsip perlindungan kepada pasien berupakewajiban dokter menyimpan rahasia pasienyang diketahui baik secara langsung maupuntidak langsung.28 Sebenarnya masalah rahasiakedokteran telah diatur dalam Peraturan Peme-rintah No. 10/1966, jauh sebelum UUPK diundang-kan. Menurut Keneth Mullan29, terdapat tigakomponen yang menjadi persyaratan dalampenyimpangan dari pengungkapan rahasia,sebagai berikut:

� � first the information must have thenecessary quality of confidence about it.Secondly the information must have beenimparted in circumstances importing andobligation of confidence. And finally, theremust be an unauthorized use of theinformation�.�

Rahasia pasien yang diketahui dokter (dandokter gigi) dapat diungkap (dibuka) bila:1. Ada izin dari pasien yang dinyatakan secara

tegas ataupun tidak2. Didasarkan pada perjanjian pasien, kepada

siapa rahasia boleh diungkapkan3. Kewajiban membuka rahasia didasarkan

pada kekuatan suatu undang-undang4. Pembukaan rahasia atas perintah hakim5. Individu yang merupakan public figur.30

E. Berbeda dengan hubungan hukum pada umum-nya, hubungan hukum antara pasien dengandokter (dan dokter gigi) tidak diatur secarakhusus dalam Kitab Undang-Undang HukumAcara Perdata (KUHAP). Pada dasarnyahubungan hukum antara pasien dengan dokter(dan dokter gigi) adalah upaya maksimal untukpenyembuhan pasien yang dilakukan dengancermat dan hati-hati (met zorg en inspanning),sehingga hubungan hukumnya disebut perikatanikhtiar (inspanning verbintenis). Pada awalnyahal ini dipahami sebagai konstruksi hukum,yang kemudian ditinjau kembali oleh PemerintahBelanda dengan memasukkan masalahinspanningverbintenis ke dalam BW baru yangmenata hubungan hukum dokter dengan pasien.

Praktik kedokteran diselenggarakanberdasarkan kesepakatan antara dokter (ataudokter gigi) dengan pasien dalam upaya untukpemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,peningkatan kesehatan, pengobatan penyakitdan pemulihan kesehatan.31 Terma berdasarkankesepakatan menunjukkan bahwa hubungan

Hargianti Dini Iswandari: Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik Kedokteran

56 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

hukum antara dokter (dan dokter gigi) denganpasien tidak ditekankan pada hasilnya (resultaatverbintenis) melainkan pada upaya yang harusdilakukan. Meskipun demikian, tersirat batasanbahwa �upaya yang harus dilakukan� adalah�upaya yang sesuai dengan standar yangberlaku�.

F. Aspek perdata lainnya adalah tuntutan ganti rugiberdasarkan perbuatan melanggar hukum(onrechtmatige daad).32 Beberapa syarat yangharus dipenuhi untuk penerapan aspek iniadalah: 1) adanya perbuatan (berbuat atau tidakberbuat), 2) perbuatan itu melanggar hukum(tidak hanya melanggar undang-undang),kebiasaan dan kesusilaan, 3) ada kerugian, 4)ada hubungan sebab akibat antara perbuatandengan kerugian, serta 5) ada unsur kesalahan.Ukuran yang digunakan adalah kesesuaiandengan standar profesi medik, serta kerugianyang ditimbulkan. Pengertian di atas menun-jukkan bahwa sekalipun hubungan hukumantara dokter (atau dokter gigi) dengan pasienadalah �upaya secara maksimal�, tetapi tidaktertutup kemungkinan timbulnya tuntutan gantirugi yang didasarkan pada perbuatan melanggarhukum yang dokter (atau dokter gigi) harusmempertanggungjawabkan perbuatan tersebutdari segi hukum perdata.

Aspek Hukum Pidana dalam PenyelenggaraanPraktik Kedokteran

Penataan hukum pidana dibutuhkan dalamupaya melindungi masyarakat.Hakikat ketentuanpidana adalah meminta pertanggungjawaban melaluituntutan pidana untuk hal-hal yang telah ditentukanterlebih dahulu29. Dalam Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP) telah disebutkan bahwa:dasar penambahan ketentuan pidana harus denganundang-undang. Bertolak dari pengertian di atasmaka beberapa ketentuan pidana yang berkaitandengan penyelenggaraan praktik kedokteran telahdiatur dalam KUHP, namun masih dibutuhkanbeberapa penambahan sesuai dengan kemajuan ilmupengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran.Oleh sebab itu, beberapa perbuatan yang dapatdikenai pidana dicantumkan di dalam UUPK.

PENUTUPUndang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK)

akan (dan harus) ditindaklanjuti dengan berbagaiperaturan pendukung, misalnya Peraturan MenteriKesehatan dan Peraturan KKI. Sebelum diterbitkanpengaturan lebih lanjut, tetap digunakan peraturan

perundang-undangan yang ada untuk mencegahkekosongan hukum. Beberapa hal yang sudah (danbelum) dilaksanakan, menyertai pelaksanaan UUPKadalah sebagai yang disebut di bawah ini:a. Telah dibentuk KKI melalui Keputusan Presiden,

selanjutnya KKI dapat mengeluarkan peraturanpelaksanaan UUPK.

b. Telah diatur mekanisme registrasi supayapelayanan dokter dan dokter gigi tetap dapatberjalan selama masa peralihan.

c. Telah diterbitkan Peraturan Menteri KesehatanNo. 1419/MENKES/PER/X/2005 tentangPenyelenggaraan Praktik Dokter dan DokterGigi, yang berkaitan dengan peralihan SPmenjadi STR, SIP yang lama menjadi SIPmenurut UUPK, serta kejelasan pengaturan tigatempat praktik.

d. Belum tersusun Majelis Kehormatan DisiplinKedokteran Indonesia yang sangat pentinguntuk penegakan aturan dan ketentuanpelayanan oleh dokter atau dokter gigi.

SARANa. Pencantuman ketentuan pidana di dalam UUPK

seyogyanya tidak hanya dipandang dari �sisikepentingan� dokter (dan dokter gigi) melainkanlebih kepada upaya menciptakan ketertibanterhadap ketentuan yang sudah ada dan mem-berikan kepastian hukum bagi masyarakat,seperti yang tertuang dalam tujuan disusunnyaUUPK.

b. Masih diperlukan ketentuan-ketentuan lainsebagai �upaya pemaksa� untuk memenuhiaspek perlindungan serta aspek administratif,misalnya:1. Kewajiban menyusun dan melaksanakan

peraturan-peraturan internal rumah sakit(hospital bylaws dan medical staff bylaws)dan institusi kesehatan lainnya.

2. Kewajiban melaksanakan audit medik danaudit manajemen secara berkala denganbaik dan benar pada setiap institusi kese-hatan, termasuk didalamnya, transparansipertanggungjawaban (accountability)publik, serta pelaksanaan pelayanan medikberdasarkan bukti (evidence based medi-cine).

Sekalipun pada awalnya kewajiban�kewajibantersebut akan dirasakan sebagai tekanan bagiprofesional kesehatan, tetapi membiasakan danmeningkatkan perilaku positif akan berdampak positifpula bagi masyarakat sebagai pengguna jasamaupun bagi profesional sebagai pelayanankesehatan.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 57

KEPUSTAKAAN1. Hermien Hadiati Koeswadji, Undang Undang No

23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Asas � Asasdan Permasalahan Dalam Implementasinya. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.1996:13.

2. Hermien Hadiati Koeswadji, loc cit, halaman 14.3. Pasal 2, Undang-Undang Republik Indonesia No

29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.4. Pasal 3, Undang-Undang Republik Indonesia No

29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.5. Pasal 7, Undang-Undang Republik Indonesia No

29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.6. Pasal 8, Undang-Undang Republik Indonesia No

29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.7. Pasal 14, Undang-Undang Republik Indonesia

No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.8. Bruggink, Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit

de Rechtstheorie, Deventer, Kluwer. 1993: 72.9. Yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan

secara formil maupun materiil.10. Yang bersangkutan tidak memberikan

pelayanan sesuai standar kompetensi.11. Pasal 29 (1,2), Undang-Undang Republik

Indonesia No 29 Tahun 2004 Tentang PraktikKedokteran.

12. Pasal 29 (3), Undang-Undang RepublikIndonesia No 29 Tahun 2004 Tentang PraktikKedokteran.

13. Pasal 29 (4), Undang-Undang RepublikIndonesia No 29 Tahun 2004 Tentang PraktikKedokteran.

14. Pasal 29 (4), Undang-Undang RepublikIndonesia No 29 Tahun 2004 Tentang PraktikKedokteran.

15. Pasal 1320, Kitab Undang-Undang HukumPerdata, Burgelijk Wetboek, Diindonesiakanoleh: Prof R Subekti SH dan R Tjitrosudibio, PTPradnya Paramita, Jakarta.2002;32: 339.

16. Leenen, Handboek Gezonheidsrecht, Rechtenvan Mensen in de Gezondheidszorg, SamsonUitgeverij, Alpheen aan den Rijn, Nederland.1981: 20.

17. Pasal 53, Undang-Undang Republik IndonesiaNo 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

18. Pasal 52, Undang-Undang Republik IndonesiaNo 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

19. Pasal 50, Undang-Undang Republik IndonesiaNo 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

20. Pasal 51, Undang-Undang Republik IndonesiaNo 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

21. Pasal 46, Undang-Undang Republik IndonesiaNo 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

22. Pasal 51, Undang-Undang Republik IndonesiaNo 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

23. Leenen dalam Gezondheidszorg en Recht,Alpheen aan den Rijn, Brussel.1981:36.

24. George D Pozgar, Legal Aspect of Health CareAdministration, Aspen Systems Corporation,London.1979:19-20.

25. Pasal 45, Undang-Undang Republik IndonesiaNo 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

26. Pasal 46,47, Undang-Undang RepublikIndonesia No 29 Tahun 2004 Tentang PraktikKedokteran.

27. Bambang Purnomo, Hukum Kesehatan,Program Pendidikan Pascasarjana FakultasKedokteran, Universitas Gadjah Mada, AdityaMedia. Yogyakarta. Tanpa Tahun: 44.

28. Pasal 47, 48, Undang-Undang RepublikIndonesia No 29 Tahun 2004 Tentang PraktikKedokteran.

29. Kenneth Mullan, Pharmacy Law & Practice,Blackstone Press Limited, London. 2000: 316.

30. Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran,Grafikatama Jaya, Jakarta. 1991: 49.

31. Pasal 39, Undang-Undang Republik IndonesiaNo 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

32. Pasal 1365, Kitab Undang-Undang HukumPerdata, Burgelijk Wetboek, diindonesiakanoleh: Prof R Subekti SH dan R Tjitrosudibio, PTPradnya Paramita, Jakarta.2002; 32: 346.

S.R. Mustikowati, dkk: Faktor-faktor yang Mempengaruhi

58 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

ABSTRACTBackground: The problem of specialist doctor availability iscomplicated at present due to limited number of specialistdoctors and their preference for working in big cities. Somepolicies have been implemented to spread out specializedservices such as providing scholarship for participants ofspecialist doctor�s education program in 7 fields (4 basic and 3supports). Although they have been bound to a contract, somerefuse to be placed at they specified region after theygraduated.Objective: To identify affecting placement of specialist doctors.Methods: The research was an analytical type which usedcross sectional design. Independent variables consisted ofpredisposing factors (motivation, commitment, social culturalcondition, safety and knowledge about region of placement),enabling factors (revenue and facilities of the specified region,reward and post contract career), reinforcing factors (policies,sanctions). Dependent variable was the placement ofcontracted specialist doctors. Subject of the study weregraduates of contracted specialist doctor education programregistered at Personnel Bureau of Ministry of Health from Julyto December 2003 who refused placement. Data were attainedthrough questionnaire, interview and secondary data. Resultof the study derived from analysis of both quantitative andqualitative data.Result: result of the study showed that most respondent hadlow motivation and commitment due to limited facilities of thespecified region so that they could not develop their career.Reward had not yet been as expected. Respondents lackedinformation about the specified region so that they lackedacceptance of the region. They did not mind paying back themoney for their education 6 � 20 folds on condition that theycould break the of contract agreement which meant that theywere unaffected by punishment.Conclusion: Most contracted specialist doctors refusedplacement due to low commitment and motivation. Out of factorsof predisposing, enabling and reinforcing, the most dominantwas predisposing, i.e. commitment and motivation.

Keywords: acceptance to placement, officially contractedspecialist doctors

ABSTRACTLatar Belakang: Masalah ketersediaan dokter spesialis saatini dialami cukup kompleks. Hal ini disebabkan oleh kurangnyaketersediaan tenaga dokter spesialis dan adanyakecenderungan para dokter spesialis untuk bekerja di kota-kota besar. Beberapa kebijakan telah dilaksanakan dalampemerataan pelayanan spesialistik antara lain pemberianbantuan beasiswa bagi peserta Program Pendidikan Dokter

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 58 - 64

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAANPENEMPATAN DOKTER SPESIALIS IKATAN DINAS

INFLUENCING FACTORS TO THE PLACEMENTOF CONTRACTED SPECIALIST DOCTORS

S. R. Mustikowati1, Laksono Trisnantoro2, Andreasta Meliala2

1 Biro Kepegawaian, Departemen Kesehatan Republik Indonesia2 Magister Manajemen Rumahsakit, UGM, Yogyakarta

Spesialis (PPDS) 7 bidang (4 dasar dan 3 penunjang).Walaupun telah terikat kontrak, ada beberapa lulusan spesialispeserta program ikatan dinas yang menolak untuk ditempatkandi lokasi yang ditetapkan.Tujuan: Penelitian untuk menggambarkan faktor-faktor yangmempengaruhi penempatan dokter spesialis.Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik denganrancangan cross sectional, variabel bebas adalah pre-disposing factor (motivasi, komitmen, keadaan sosial budaya,rasa aman dan pengetahuan daerah yang akan ditempati),enabling factor (penerimaan daerah tujuan, sarana di daerahtujuan, reward, karier pascaikatan dinas), reinforcing factor(peraturan kebijakan, sanksi). Variabel tergantung adalahpenempatan dokter spesialis ikatan dinas.Subjek penelitian para lulusan PPDS Ikatan Dinas yang terdaftardi Biro Kepegawaian Depkes Juli-Desember 2003 yang menolakpenempatan. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisiankoisoner, wawancara, dan data sekunder. Hasil penelitianadalah dengan menganalisis data kuantitatif dan kualitatif.Hasil: Sebagian besar responden mempunyai motivasi dankomitmen rendah karena sarana daerah dalam menunjangpekerjaan tidak memadai, sehingga tidak dapat mengembangkankarir. Reward yang diberikan juga belum sesuai denganharapan. Responden kurang informasi tentang daerah yangakan dituju, sehingga penerimaan daerah kurang. Respondentidak keberatan mengembalikan uang pendidikan 6-20 kali asalterlepas dari perjanjian ikatan dinas berarti punishment yangdiberikan tidak berpengaruh pada subjek.Kesimpulan: Sebagian besar dokter spesialis ikatan dinasmenolak untuk penempatan karena komitmen dan motivasirendah. Dari faktor predisposing, enabling, reinforcing yangpaling dominan adalah faktor predisposing yaitu: komitmen danmotivasi

Kata Kunci: faktor�faktor penerimaan, dokter spesialis ikatandinas

PENGANTARMasalah ketersediaan dokter spesialis saat ini

cukup kompleks. Hal ini disebabkan kurangtersedianya tenaga dokter spesialis dan adanyakecenderungan para dokter spesialis untuk bekerjadi kota-kota besar. Dari data yang ada diketahuibahwa 65% dari dokter spesialis menghendakibekerja di Jawa dan Bali. Permasalahan distribusidokter spesialis terlihat bahwa 29% dari Rumah Sakit(RS) kelas C atau 66 RS dari 229 RS kelas C tidakmempunyai dokter spesialis 4 dasar. Beberapa

Artikel Penelitian

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 59

kebijakan telah dilaksanakan dalam pemerataanpelayanan spesialistik antara lain dengan pemberianbantuan beasiswa bagi peserta Program PendidikanDokter Spesialis (PPDS) 7 bidang terdiri dari 4 dasardan 3 penunjang.

Walaupun telah terikat kontrak, ada beberapalulusan spesialis peserta program ikatan dinas yangmenolak untuk ditempatkan di lokasi yangditetapkan. Saat ini dirasakan penolakan para lulusandokter spesialis ikatan dinas tersebut cenderungmeningkat. Mereka menolak dengan berbagai alasanantara lain: alasan keluarga, pengembangan karir,tidak tersedia fasilitas, penolakan oleh daerah danlain-lain.

Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintahtelah mengeluarkan beberapa rambu-rambu yaitubagi peserta program dokter spesialis ikatan dinasyang telah lulus tetapi tidak melaksanakan tugasharus mengembalikan bantuan biaya pendidikan.Besarnya jumlah biaya yang harus dikembalikansebesar enam kali dari yang telah diterimanya.Ternyata bagi para lulusan spesialis terutama empatbidang dasar, sanksi mengembalikan enam kali daribantuan yang telah diterima kurang bermakna.Setelah mereka lulus penghasilan yang diperolehdapat menutupi sanksi tersebut. Agar pendaya-gunaan tenaga tersebut dapat sesuai sasaran makamelalui Keputusan Menteri Kesehatan(Kepmemkes) No. 351/Menkes/SK/III/1998 dilakukanbeberapa penyesuaian antara lain bagi yang tidakmelaksanakan tugas jumlah biaya yang harusdikembalikan ditingkatkan menjadi dua puluh kalidari yang diterimanya.

Penelitian ini bertujuan untuk:a. Mengidentifikasi alasan para dokter spesialis

ikatan dinas menolak penempatan atau ber-tugas di lokasi yang ditentukan.

b. Mengidentifikasi faktor predisposing (motivasi,komitmen, keadaan sosial budaya, rasa amandan pengetahuan daerah yang akan ditempuh)yang mempengaruhi penempatan spesialisikatan dinas.

c. Mengidentifikasi faktor enabling (penerimaandaerah tujuan, sarana di daerah tujuan, reward,karir pascaikatan dinas), yang mempengaruhipenempatan spesialis ikatan dinas.

d. Mengidentifikasi faktor reinforcing (peraturankebijakan, punishment/sanksi) yangmempengaruhi penempatan spesialis ikatandinas.

Bagi Departemen Kesehatan Republik Indonesia(Depkes RI) hasil penelitian ini dapat digunakansebagai salah satu masukan untuk menentukan

kebijakan tentang program pendidikan dokterspesialis ikatan dinas. Untuk mengetahui strategiatau intervensi apa yang dapat meningkatkankepatuhan tenaga spesialis untuk melaksanakantugasnya.

Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangkakonsep penelitian di atas maka diajukan pertanyaanpenelitian sebagai berikut: Apa alasan para dokterspesialis ikatan dinas menolak penempatan ataubertugas di lokasi yang ditentukan. Apakah faktor-faktor predisposing yang mempengaruhipenempatan spesialis ikatan dinas. Apakah faktor-faktor enabling yang mempengaruhi penempatanspesialis ikatan dinas. Apakah faktor-faktor reinforcingyang mempengaruhi penempatan spesialis ikatandinas. Apa faktor-faktor yang paling dominan yangmempengaruhi penolakan dokter spesialis ikatandinas untuk ditempatkan di lokasi yang ditentukan.

BAHAN DAN CARA PENELITIANJenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian survei dengan menggunakan metodekualitatif, deskriptif. Subjek penelitian ini para lulusanPPDS Ikatan Dinas yang terdaftar di BiroKepegawaian Depkes tahun 2003, yang menolakpenempatan/bertugas dilokasi yang telah ditentukan.

Variabel bebas adalah predisposing factor,enabling factor, dan reinforcing factor. Definisioperasional adalah:a. Faktor predisposing yaitu faktor karakteristik

individu yang menjadi dasar bagi perilaku yaitumotivasi, komitmen, keadaan sosial ekonomibudaya, rasa aman dan pengetahuan tentangdaerah tujuan.

b. Faktor enabling yaitu faktor yang diperlukanuntuk menunjang perilaku kesehatan yaitupenerimaan daerah tujuan, sarana di daerahtujuan dan reward.

c. Faktor reinforcing merupakan faktor penyertaperilaku yang mendukung atau menghambatyang berperan menetapkan atau melenyapkanperilaku tersebut yaitu peraturan kebijakan danpunishment.

Variabel tergantung adalah penempatandokter spesialis ikatan dinas. Definisi operasionalpenempatan dokter spesialis ikatan dinas adalahmenempatkan subjek setelah lulus spesialis sesuaidengan perjanjian yang telah disepakati. Penem-patan dokter spesialis ikatan dinas dengan meng-gunakan data sekunder dan dari data yang adadikoding.

S.R. Mustikowati, dkk: Faktor-faktor yang Mempengaruhi

60 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANHasil Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam sebuah penelitianmerupakan langkah penting. Langkah yang diguna-kan untuk penelitian ini adalah wawancara dankuesioner untuk pengumpulan data primer dan telaahdokumen untuk data sekunder. Responden sebanyak24 orang baik wawancara maupun kuesioner.Wawancara dilakukan sendiri oleh penelitisedangkan pada kuesioner diisi langsung oleh paralulusan PPDS ikatan dinas yang terdaftar di BiroKepegawaian Depkes tahun 2003, sedangkan datasekunder merupakan informasi dari permohonanpenempatan 84 dokter spesialis ikatan dinas yangperjanjian ikatan dinas yang telah disepakati di tahun2001-2003.

Hasil WawancaraBerdasarkan hasil wawancara sebagian besar

responden ikut PPDS ikatan dinas karena berharapdapat mengembangkan karir sebagai dokterspesialis, tempat kerja layak dan fasilitas terpenuhi.Faktor yang memotivasi para dokter ikut programpendidikan dokter spesialis ikatan dinas karenamendapat beasiswa, sehingga mereka tidak perlumengeluarkan biaya pendidikan sendiri.

Sebagian besar responden mengatakan bahwabeasiswa yang diberikan tidak setimpal denganpenempatan yang telah ditetapkan setelah selesaipendidikan karena rata-rata daerah penempatanikatan dinas terpencil, tidak diminati dan tempatbekerja tidak menjanjikan nominal secara finansial.

Dari hasil wawancara 11 responden mempunyaikomitmen dengan perjanjian ikatan dinas dan tidak adaalasan untuk tidak menepatinya, dan 13 responden tidakkomitmen dengan yang telah disepakati dengan alasan:ada pilihan lain yang lebih menjanjikan, otonomi daerah,pengembangan karir kurang, insentif kecil, fasilitas tidak

memadai, lingkungan tidak mendukung, keluarga tidakmenyetujui dan RS telah terisi spesialis bidang yangsama dengan lingkup kerja yang terbatas.

Kendala yang membuat responden menolakpenempatan ikatan dinas karena waktu ikatan dinaslama minimal 4-5 tahun, situasi, kondisi danlingkungan tempat kerja tidak sesuai, fasilitas tidakmemadai, faktor keluarga, ditarik jadi staf pengajar,dan kurangnya informasi tentang daerah penempatan.Menurut sebagian responden, sanksi yang diberi-kan sangat berat dan tidak sesuai dengan beasiswayang diberikan sehingga perlu adanya evaluasitentang kebijakan yang sekarang berlaku.

Dalam mengembangkan karir sebagianresponden mengatakan sulit mengembangkan karirkarena kondisi RS yang tidak memungkinkan, didaerah terpencil, RS yang dituju telah terisi dokterspesialis yang sama dan pengembangan karirmacet. Masalah insentif, menurut sebagian besarresponden belum mengetahui adanya insentif ditempat daerah yang dituju.

Tanggapan masyarakat dengan adanya penem-patan dokter spesialis menurut responden sebagaianbesar mengatakan baik dan sebagian lagi belumdapat menilai tanggapan masyarakat karenaresponden belum bekerja di tempat yang telahdisepakati

Hasil KuesionerKuesioner disusun berdasarkan aspek perilaku

yang dipengaruhi oleh tiga faktor dari Green1 yaitu:predisposing factor (motivasi, komitmen, keadaansosial budaya, rasa aman dan pengetahuan daerahyang akan ditempati), enabling factor (penerimaandaerah tujuan, sarana di daerah tujuan, reward, karirpascaikatan dinas), reinforcing factor (peraturankebijakan, sanksi) sebanyak 20 item (Tabel 1).

Tabel 1. Deskripsi Data Penelitian

Variabel Nilai

Terendah Nilai

Tertinggi Rata-Rata Standar Deviasi

Motivasi 4 20 12 3 Komitmen 4 20 14 3 Sosial budaya 2 10 6 1 Penerimaan daerah 3 15 9 2 Sarana daerah 2 10 5 1 Reward 1 5 3 1 Karir 2 10 6 1 Punishment 2 10 7 1

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 61

Kategorisasi variabel motivasi, komitmen, sosialbudaya, penerimaan daerah, sarana daerah, reward,karir, dan punishment, dikelompokkan dalam tigakategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah.Kategorisasi yang digunakan adalah model distribusinormal dengan batasan kategori skala berdasarkanmean skor skala (M), deviasi standar dengan (s),skor minimum (Xmin) dan skor maksimum (Xmaks).2

a. Kategori Variabel MotivasiKategorisasi motivasi tergambar pada Tabel 2,bahwa motivasi dengan kategorisasi tinggi tidakdidapatkan dan sebagian besar motivasiresponden rendah yaitu 91,7%.

Tabel 2. Kategori Variabel Motivasi

Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)

Tinggi 17-20 0 0 Sedang 14-16 2 8,3 Rendah <13 22 91,7

Jumlah 24 100

b. Kategori Variabel KomitmenKategorisasi komitmen tergambar pada Tabel3, bahwa komitmen dengan kategorisasi tinggitidak didapatkan dan sebagian besar komitmenresponden rendah yaitu 58,3%.

Tabel 3. Kategori Variabel Komitmen

Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)

Tinggi 17-20 0 0 Sedang 14-16 10 41,7 Rendah <13 14 58,3

Jumlah 24 100

c. Kategori Variabel Sosial BudayaKategorisasi sosial budaya tergambar pada Tabel4, bahwa sosial budaya dengan kategorisasitinggi tidak didapatkan dan sebagian besar sosialbudaya responden rendah yaitu 62,5%:

Tabel 4. Kategori Variabel Sosial Budaya

Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)

Tinggi 9-10 - - Sedang 7-8 9 37,5 Rendah <6 15 62,5

Jumlah 24 100

d. Kategori Variabel Penerimaan DaerahKategorisasi penerimaan daerah tergambarpada Tabel 5, bahwa penerimaan daerah dengan

kategorisasi tinggi tidak didapatkan dansebagian besar penerimaan daerah respondenrendah yaitu 62,5%.

Tabel 5. Kategori Variabel Penerimaan Daerah

Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)

Tinggi 13-15 0 0 Sedang 10-12 9 37,5 Rendah <9 15 62,5

Jumlah 24 100

e. Kategori Variabel Sarana DaerahKategorisasi sarana daerah tergambar padaTabel 6, bahwa sarana daerah dengan kate-gorisasi tinggi tidak didapatkan dan sebagianbesar sarana daerah responden rendah yaitu87,5%.

Tabel 6. Kategori Variabel Sarana Daerah

Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)

Tinggi 9-10 0 0 Sedang 7-8 3 12,5 Rendah <6 21 87,5

Jumlah 24 100

f. Kategori Variabel RewardKategorisasi reward tergambar pada Tabel 7,sebagian besar reward responden sedang yaitu62,5%.

Tabel 7. Kategori Variabel Reward

Kategori Rentang Skor Jumlah Frekuensi (%)

Tinggi 4-5 6 25 Sedang 2-3 15 62,5 Rendah 1 3 12,5

Jumlah 24 100

g. Kategori Variabel KarirKategorisasi karir tergambar pada Tabel 8,bahwa karir dengan kategorisasi tinggi tidakdidapatkan dan sebagian besar karir respondenrendah yaitu 83,3%.

Tabel 8. Kategori Variabel Karir

Kategori Rentang skor Jumlah Frekuensi (%) Tinggi 9-10 - - Sedang 7-8 4 16,7 Rendah <6 20 83,3

Jumlah 24 100

S.R. Mustikowati, dkk: Faktor-faktor yang Mempengaruhi

62 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

h. Kategori Variabel PunishmentKategorisasi punishment tergambar pada Tabel9, bahwa sebagian besar punishment respondensedang yaitu 50% dan rendah yaitu 45,8%:

Tabel 9. Kategori Variabel Punishment

Kategori Rentang skor Jumlah Frekuensi (%)

Tinggi 9-10 1 4,2 Sedang 7-8 12 50 Rendah <6 11 45,8

Jumlah 24 100

Hasil Data SekunderBerdasarkan data dari Depkes tentang

permasalahan penempatan dokter spesialis ikatandinas tahun 2001 � 2003 bahwa dari 361 orang dokterspesialis peserta program bantuan ikatan dinas yangmengajukan permohonan penempatan, terdapat 84orang yang mengajukan permohonan untukditempatkan di luar tempat tugas sebenarnya (Tabel10).

Motivasi berdasarkan kebutuhan bersifat jenjangdari kebutuhan paling primer sampai kebutuhansekunder.4 Jenjang kebutuhan motivasi dari Maslow4

mulai dari yang terendah adalah kebutuhan fisiologis,rasa aman, cinta dan rasa memiliki, penghargaandan aktualisasi diri. Kebutuhan untuk merealisasibakat, potensi dan minat, pertumbuhan, pengem-bangan diri sangat berperan dalam diri responden.Hal ini berarti kebutuhan fisiologis, rasa aman, cintadan rasa memiliki bagi responden telah terpenuhisehingga yang dibutuhkan responden saat ini adalahpenghargaan dan aktualisasi diri.

Berdasarkan hasil analisis wawancara dankuesioner sebagian besar responden mempunyaikomitmen rendah. Hal ini sangat mempengaruhi pararesponden untuk tidak melaksanakan ikatan dinaspada tempat sesuai dengan tempat tujuan yang telahdisepakati. Berbagai penyebab antara lain kurangnyainformasi daerah yang dituju, kondisi lingkungan tidakkondusif untuk pengembangan karir, lamanya waktuikatan dinas, insentif dan fasilitas kurang memadai,

Tabel 10. Data Permasalahan Permohonan Penempatan Dokter Spesialis Ikatan DinasTahun 2001 � 2003

PEMBAHASANBerdasarkan hasil analisis kuesioner me-

nunjukkan motivasi dari responden sangat rendah.Hal ini berarti adanya proses yang buruk padaseseorang untuk berperilaku dalam rangka mencapaitujuan.3 Dengan demikian, motivasi berhubungan eratdengan perilaku dan prestasi kerja.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwamotivasi para dokter spesialis ikatan dinas rendahkarena kekurangan dorongan dari diri mereka untukmelaksanakan penempatan ikatan dinas. Hal inidisebabkan karena tempat tujuan pelaksanaan tugasbukan merupakan tujuan akhir yang diinginkan olehmereka.

faktor keluarga, otonomi daerah dan tempat tujuantelah terisi dokter spesialis yang sama. Hasilpenelitian ini tidak selaras dengan pendapat Wiener5

berpendapat bahwa dengan dimilikinya komitmen,maka Sumber Daya Manusia (SDM) akan relaberkorban demi kemajuan organisasi, bersediamemberikan perhatian yang besar pada perkem-bangan organisasi dan memiliki tekad yang kuatuntuk menjaga eksistensi organisasi di dalamlingkungan kerja. Hal ini berarti responden rendahkomitmennya terhadap yang telah disepakatikarena tidak mempunyai ikatan psikologis terhadaporganisasi (Depkes, dinas kesehatan dan RS)

Alasan Jumlah Faktor individu : - Orang tua / anak / istri / suami / sakit - Sakit ginjal kronik / jantung - Ikut suami / istri / keluarga - Mengikuti pendidikan lanjutan Faktor daerah tujuan - Situasi kemanan - RS telah terisi spesialis yang sama - RS yang dituju memerlukan spesialis Faktor kebijakan / program - Ikut tim kesehatan gabungan / khusus - Disetujui oleh pemerintah daerah setempat / tujuan - Selama pendidikan gaji dibayar oleh Pemerintah daerah tujuan - Masa bakti ikatan dinas terlalu lama - Bersedia mengembalikan uang pendidikan / biaya ikatan dinas

12 3 2 1 1 8 8

15 18 4 5 7

Total 84

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 63

dan pada awal perjanjian ikatan dinas tidakdilaksanakan orientasi, membangun kepecayaan danpenyelesaian tujuan organisasi atau kejelasan peran.

Hasil kuesioner sebagian besar responden tidakpaham akan sosial budaya tempat mereka akanbekerja. Hal ini disebabkan karena kurang informasitentang daerah yang akan ditempati dalam bekerja.Demikian juga masalah penerimaan daerah,responden merasa tidak dibutuhkan dan tidakditerima di tempat bekerja nanti. Salah saturesponden dari hasil wawancara mengatakan:

�Untuk bidang spesialis penunjang (anestesi,radiologi, patologi) masyarakat belummemandang perlu�

Hal ini berhubungan dengan otonomi daerahdalam SDM. Ilyas5, menyatakan bahwa otonomidaerah bukan wacana baru dalam sistem pemerintahRI, namun kenyataan yang dihadapi sektorkesehatan selama orde baru, yang masih tersisasampai sekarang adalah sentralisasi programkesehatan, termasuk dalam hal manajemen proyek-proyek besar yang diharapkan akan memberikandampak signifikan bagi kesehatan masyarakat. Halini berarti responden kurang informasi tentang daerahyang dituju, sehingga mempengaruhi minat respondenuntuk bekerja sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.

Berdasarkan hasil kuesioner sarana daerahatau fasilitas tidak memadai dirasa menghambatdalam melakukan pekerjaan. Sebenarnya masalahsarana yang kurang memadai karena faktorkemampuan daerah dan kebutuhan akan dokterspesialis tertentu belum dibutuhkan di beberapadaerah. Jadi setiap usaha perencanaan, yang palingmendesak adalah penyediaan SDM dalam jumlahyang tepat dan dengan kemampuan yang dibutuh-kan. Perencanaan SDM adalah proses yang dilaku-kan manajemen untuk menentukan bagaimanaorganisasi harus bergerak dan kondisi SDM saat inimenuju kondisi yang diinginkan. Perencanaan inimerupakan proses menganalisis kebutuhan SDMsuatu organisasi pada kondisi yang berubah danmengembangkan aktivitas yang diperlukan untukmemenuhi kebutuhan ini.

Dari hasil wawancara dan kuesioner ternyataresponden merasa reward bukan suatu masalahdalam penempatan ikatan dinas. Hasil penelitian iniberbeda dengan pendapat Gluek6 bahwa tujuanpemberian reward akan membuat seseorang tertarikuntuk bekerja dan termotivasi untuk bekerja denganbaik untuk organisasi atau instansi.

Sebagian besar responden dari hasil kuesionermerasa bahwa punishment dari DepartemenKesehatan tidak berpengaruh terhadap kontrak kerja

yang telah disepakati, terbukti mereka maumengembalikan biaya pendidikan 6-20 kali lipat biayapendidikan yang mereka terima. Punishmentsebenarnya belum tentu membuat seseorang patuhatau takut pada suatu komitmen yang telahdisepakati. Punishment yang efektif adalah punishmentyang harus tepat atau disesuaikan dengan situasidan kondisi dari seseorang tersebut. Hasil penelitianini sejalan dengan hasil penelitian Lekatompessy7

bahwa penempatan dokter spesialis belum meratakarena tidak ada sanksi yang tegas.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Sebagian besar dokter spesialis ikatan dinasmenolak untuk penempatan karena motivasi, dankomitmen rendah. Faktor predisposing yang palingdominan berpengaruh pada penempatan dokterspesialis ikatan dinas yaitu komitmen dan motivasi,sedangkan keadaan sosial budaya, pengetahuantentang daerah tujuan, serta rasa aman pengaruh-nya tidak sebesar komitmen dan motivasi. Faktorenabling yang paling dominan berpengaruh padapenempatan dokter spesialis ikatan dinas yaitupenerimaan masyarakat di tempat tujuan danpengembangan karir, sedangkan reward tidak telaluberpengaruh. Faktor reinforcing yang paling dominanadalah kebijakan pengurangan masa bakti untukdaerah konflik dan punishment untuk mengembalikanbiaya ikatan dinas. Dari faktor prediposing, enabling,reinforcing yang paling dominan adalah faktor pre-disposing yaitu komitmen dan motivasi.

SaranPada awal rekrutmen peserta program pendidik-

an dokter spesialis ikatan dinas, departemenkesehatan perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya penyiapan lokasi sesuai dengankebutuhan, penyiapan fasilitas penunjang untukoptimasliasi pekerjaan, serta kejelasan informasitentang situasi keamanan dan sosial budaya daerahyang akan dituju.

Rekrutmen peserta program pendidikan dokterspesialis ikatan dinas dilaksanakan oleh pemerintahdaerah, pembiayaan bagi daerah yang mampudibiayai melalui APBD, sedangkan daerah yangkurang mampu dapat bekerjasama dengan peme-rintah pusat. Tujuannya adalah agar para pesertaprogram pendidikan dokter spesialis mempunyaiikatan yang lebih nyata.

Agar dapat diidentifikasi daerah yang mampudan yang kurang mampu, perlu adanya peta kemam-puan daerah sehingga pemerintah pusat dapat lebih

S.R. Mustikowati, dkk: Faktor-faktor yang Mempengaruhi

64 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

mengkonsentrasikan pada pengembangan daerah-daerah yang kurang mampu.

Keberhasilan departemen kesehatan untukmengisi kekosongan dokter spesialis pada daerah-daerah konflik, bencana harus terus dijaga. Keber-hasilan strategi pengisian tenaga spesialis di daerahkonflik dan bencana, dapat diberlakukan bagi daerah-daerah yang kurang diminati oleh para dokterspesialis. Strategi ini perlu diterapkan bersamadengan pemerintah daerah dan institusi pendidikan.

KEPUSTAKAAN1. Green, L.W. Health Education Planning, a

Diagnostic Approach, Mayfield PublishingCompany, California.1980.

2. Azwar, S. Sikap Manusia dan Pengukurannya.Edisi 2. Pusaka Pelajar Yogyakarta. 1999.

3. Robbin, Steven.P. Perilaku Organisasi. PenerbitGramedia. Jakarta.2003.

4. Maslow, A.H. Motivasi Dan Kepribadian. PT.Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. 1993;1(3).

5. Ilyas, Y. Desentralisasi Dan Manajemen TenagaKesehatan. Perencanaan SDM Rumah Sakit,Jakarta. 2000.

6. Gluek, W.F. Personnel: a Diagnostic Approach.Plano Tex: Business Publications. 1982.

7. Lekatompessy, F. Analisis KebijakanPenempatan Dokter Spesialis Empat dan TigaPenunjang di Depkes RI, Tesis S-2, UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta.1999.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 65

ABSTRACTBackground: The revised incentive system started in June2004 has triggered many complaints, especially from paramedicand others staff the incentive system it was perceived to beunfair and more benefit for doctors.Objective: The objective of the study was to evaluate theimpact of revised incentive system at Madani Mental Hospitaland the correlation between staff perception and performance.Method: This was a quasi experimental study with pre andpost test design. The subjects were all hospital staff (n=202).The independent variables were the revised incentive systemand staff perception on the incentive system, while thedependent variables were doctors� performance (i.e.,attendance, number of patients served, number of visits) andstaff performance (i.e., quality of work and workload, costeffectiveness and initiatives). Questionnaires and documentswere used. Data were analyzed descriptively and using pairedt-test and product moment correlation test.Result: The revised incentive system caused a significantdecrease (1.7%) of the overall perception on the incentivesystem and a significant increase (6.7%) of doctors�performance. Staff perception had significant relationship(0.49) with staff performance, with the highest correlationamong doctors (0.88). For nurses, the revised incentive systemdecreased their perception on fairness and the overallperception, and the incentive system did not affect theirperformance.Conclusion: The revised incentive system decreased staffperception which in turn correlated with their performance.

Keywords: incentive system, staff performance, perception

ABSTRAKLatar belakang: Revisi sistem insentif yang diterapkan padabulan Juni 2004 telah memicu berbagai keluhan, terutama dariperawat dan tenaga kesehatan lainnya. Menurut persepsimereka, revisi sistem insentif tersebut tidak adil dan cenderunglebih menguntungkan para dokter.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampakrevisi system insentif di Rumah Sakit Jiwa Madani dan korelasiantara persepsi dan kinerja staf setelah revisi sistem insentif.Metode: Penelitian kuasi-eksperimental ini menggunakanrancangan pre dan post test, tanpa kelompok kontrol. Subjekadalah seluruh staf rumah sakit (n=202). Variabelindependennya adalah revisi sistem insentif dan persepsi stafterhadap sistem insentif tersebut, sedangkan variabeldependennya adalah kinerja dokter (yaitu presensi, jumlahpasien, jumlah visite) dan kinerja staf (kualitas pekerjaan, bebankerja, efektivitas biaya dan inisiatif). Instrumen penelitian

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 65 - 71

PERSEPSI DAN PENGARUH SISTEM PEMBAGIAN JASA PELAYANANTERHADAP KINERJA KARYAWAN DI RUMAH SAKIT JIWA MADANI

PERCEPTION AND IMPACT OF AN INCENTIVE SYSTEMTO STAFF PERFORMANCE AT MADANI MENTAL HOSPITAL

Nofrinaldi1, Andreasta Meliala2, Adi Utarini2,3

1Rumah Sakit Jiwa Madani, Sulawesi Tengah2Minat Manajemen Rumahsakit, UGM, Yogyakarta

3Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta

menggunakan kuesioner dan dokumen yang tersedia. Analisisdeskriptif dan uji paired t-test dan product moment correlationdigunakan dalam analisis data.Hasil: Revisi sistem insentif menyebabkan penurunan bermaknapersepsi keseluruhan terhadap sistem insentif (1,7%) danpeningkatan bermakna dalam kinerja dokter sebesar 6.7%.Persepsi staf berkorelasi bermakna dengan kinerja staf, dengankorelasi tertinggi pada dokter (r 0,88). Pada perawat, revisisistem insentif tersebut justru menurunkan persepsi merekaterhadap aspek keadilan dan persepsi keseluruhan, sertasistem insentif tersebut tidak mempengaruhi kinerjanya.Kesimpulan: Revisi sistem insentif menurunkan persepsi staf,yang selanjutnya berkorelasi dengan kinerjanya.

Kata Kunci: sistem insentif, persepsi dan kinerja staf

PENGANTARDesentralisasi merupakan tantangan berat bagi

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk tetap eksis dalammemberikan pelayanan kesehatan padamasyarakat. Pasien jiwa umumnya membutuhkanperawatan yang panjang dan bahkan sampai seumurhidup. Dampak ekonomi bagi keluarga sangat beratdan dapat menyebabkan kesulitan pembiayaanperawatan.

Rumah Sakit Jiwa Madani (RSJM) mulaimelakukan pengembangan pelayanan. Sejak tahun2001 RSJM dikembangkan menjadi RSJ �plus�dengan beberapa tambahan pelayanan seperti: (1)pelayanan gawat darurat 24 jam, (2) pelayanan rawatjalan yang terdiri dari pelayanan poliklinik empatpelayanan dasar spesialistik, poliklinik gigi danmulut, konsultasi psikologi, serta pelayanan rawatinap dengan kapasitas 120 tempat tidur (tt) danpelayanan penunjang lainnya.

Bertambahnya jenis pelayanan akan menambahtenaga dokter terutama dokter spesialis. Denganbertambahnya jumlah ketenagaan dengan berbagaikeahlian, timbul masalah di RS, terutama padasistem pembagian jasa pelayanan, seperti adanyarasa ketidakpuasan dengan apa yang diterima, biladibandingkan dengan kontribusinya terhadap RS.

Artikel Penelitian

Nofrinaldi, dkk: Persepsi dan Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

66 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

Sistem yang diterapkan sejak tahun 1999adalah sistem pembagian dengan menggunakansistem indeks tertentu. Indeks telah disepakatibersama. Dengan melihat sistem pembagian sepertidi atas, ada kemungkinan seorang pegawaistruktural akan mendapatkan jasa lebih besar dariyang diterima oleh dokter dan paramedis yang hanyaberperan sebagai tenaga fungsional di RS. Padahaldi beberapa RS tenaga dokter mendapatkan jasapelayanan lebih besar. Dalam perspektif yangberkembang, peran dokter sangat menentukankarena pasien datang ke RS untuk mendapatkanpelayanan dokter, di samping pelayanan tenagakesehatan lainnya.

Di samping rasa ketidakpuasan terhadap sistemindeks yang digunakan dalam pembagian jasapelayanan, terdapat beberapa faktor lain yangmenyebabkan penolakan dokter terhadap jasapelayanan yang diterima: (1) waktu pembayaran jasapelayanan tidak jelas, (2) tidak adanya transparansidalam mekanisma pembagian dan penetapanindeks, (3) ketidakadilan dan ketidaktahuan akansistem pembagian karena dokter spesialis belumterlibat dalam perumusan sistem pembagian jasapelayanan yang telah digunakan sebelumnya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pada bulanJuni 2004 pihak RS melakukan revisi sistempembagian jasa pelayanan. Revisi dilakukan denganmenyerahkan secara langsung 60% dari total jasayang berkaitan dengan jasa pemeriksaan, jasatindakan medis, serta jasa visite kepada dokterbersangkutan. Sisanya, 40%, dibagi bersamadengan menggunakan sistem indeks yang berlakuselama ini, sehingga dokter sebagai karyawan jugamemperoleh haknya. Revisi sistem pembagian jasapelayanan tersebut menimbulkan ketidakpuasanpada perawat dan karyawan lain karena lebihmenguntungkan dokter dan proporsi pembagian jasapelayanan yang diterimanya berkurang dibandingkansebelum direvisi.

Bila sistem pembagian jasa pelayanan dianggapbernilai bagi karyawan, maka akan mendatangkanpersepsi yang positif terhadap sistem pembagianjasa pelayanan tersebut.1,2 Siagian3 menyebutkanbahwa apabila persepsi karyawan terhadap imbalanyang diterimanya tidak memadai, makakemungkinan karyawan tersebut akan berusahamemperoleh imbalan yang lebih besar ataumengurangi intensitas usaha dalam melaksanakantanggung jawabnya. Dengan demikian, persepsinyaterhadap insentif dapat berpengaruh terhadapkinerjanya.

Silalahi4 di RS HKBP Balige tidak menemukanhubungan yang kuat antara insentif dengan kepuasankerja. Akan tetapi, Djaelani5 menemukan peningkatan

kinerja dokter spesialis setelah dilakukan perubahaninsentif. Perubahan insentif pembayaran dokter darifee-for-service menjadi sistem kapitasi dapatmenurunkan biaya pengobatan, akan tetapi menurutStearns6, dokter meresponnya dengan meningkat-kan penggunaan sumber daya agar penghasilannyatetap meningkat.

Tujuan penelitian ini adalah: a) untukmengetahui perbedaan antara persepsi dan kinerjakaryawan sebelum dengan sesudah revisi sistempembagian jasa pelayanan, b) untuk mengetahuiperbedaan antara persepsi dan kinerja karyawansebelum dengan sesudah revisi sistem pembagianjasa pelayanan berdasarkan ciri individu, c) untukmengetahui hubungan antara persepsi karyawanterhadap revisi sistem pembagian jasa pelayanandengan kinerja karyawan berdasarkan jenispekerjaan.

BAHAN DAN CARA PENELITIANPenelitian kuasi eksperimental ini menggunakan

rancangan pre dan post study design without controlgroup. Subjek penelitian adalah seluruh karyawanRSJ M (202), terdiri dari: (a) 15 dokter (dokter umum6 orang, dokter gigi 2 orang, dokter spesialis 7 orang),(b) 130 paramedis, (c) 58 karyawan lain.

Variabel bebasnya adalah: 1) revisi sistempembagian jasa pelayanan, dan 2) persepsi terhadapsistem pembagian jasa pelayanan, meliputi keadilan,transparansi, waktu pemberian. Variabel terikatadalah: (1) kinerja dokter, meliputi presensi,kunjungan rawat jalan, serta jumlah visite, (2) kinerjadokter, paramedis, dan karyawan sebelum dansetelah revisi sistem jasa pelayanan, meliputi mutupekerjaan, jumlah pekerjaan, efektivitas pembiayaan,dan inisiatif. Ciri-ciri individu yaitu jenis kelamin, umur,masa kerja, golongan, dan jenis pekerjaan jugadikumpulkan datanya.

Sumber data menggunakan data primer dan datasekunder. Data sekunder berasal dari catatan medikdan kepegawaian RSJ M untuk mengumpulkan datakinerja dokter enam bulan sebelum dan enam bulansesudah revisi sistem jasa pelayanan. Data primerpersepsi dan kinerja dokter, paramedis dan karyawandiperoleh melalui kuisioner. Kuisioner terdiri dari tigabagian yaitu ciri karakteristik individu, persepsikaryawan terhadap sistem pembagian jasapelayanan dan kinerja seluruh karyawan.

Kuisioner sistem pembagian jasa pelayananmemuat 24 pertanyaan mengenai transparansi,keadilan, dan pertanyaan mengenai waktu pemberianjasa pelayanan. Penilaian menggunakan skala in-terval model Likert, skor penilaian berkisar antara 1(sangat tidak setuju) hingga 4 (sangat setuju).Kuesioner kinerja dokter dan karyawan mempunyai

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 67

25 item pertanyaan yang mengukur mutu pekerjaan,jumlah pekerjaan, efektivitas, dan inisiasi.Pertanyaan menggunakan skala likert dengan skala1 (tidak pernah melakukan) hingga 5 (selalumelakukan).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANResponden mempunyai proporsi yang sama

menurut jenis kelamin, berusia muda (<33 tahun)dengan lama kerja terbanyak <10 tahun dan sebagianbesar berpendidikan diploma. Golongan I-IImendominasi karyawan RS. Perawat merupakanproporsi terbesar karyawan RS (hampir mencapai65%). Rasio tt dengan perawat di RS ini sebesar 1:1,8, sedangkan untuk dokter 1: 8,57. (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik Responden (n=202)

Karakteristik n %

Jenis Kelamin · Laki-laki · Perempuan

101 101

50,0 50,0

Umur · < 33 tahun · 33 � 45 tahun · ? 46 tahun

103 78 21

51,0 38,6 10,4

Pendidikan · SD/SMP · SLTA · Diploma · S1/S2

20 42

117 23

9,9 20,8 57,9 11,4

Golongan · Kontrak · I-II · III-IV

52 81 69

25,7 40,1 34,2

Jenis Pekerjaan · Dokter · Paramedis · Karyawan Lain

14

130 58

6,9 64,4 28,7

Masa Kerja · < 9 tahun · 10 � 10 tahun · > 20 tahun

124 64 14

61,4 31,7 6,9

Perbandingan rata-rata persepsi respondenterhadap sistem pembagian jasa pelayanan dankinerja responden sebelum dan sesudah revisisistem pembagian jasa pelayanan diuji dengan ujistatistik paired t-test (Tabel 2).

Nilai positif (+) pada kolom selisih berartipenurunan, sedangkan nilai negatif (-) berartipeningkatan persepsi setelah revisi sistempembagian jasa pelayanan. Perbedaan skor rata-rata persepsi tentang sistem pembagian jasapelayanan yang signifikan (p<0,05) terjadi padaaspek transparansi dan keadilan, dengan selisihsebesar 0,41 untuk aspek transparansi ataupenurunan persepsi transparansi sebesar 2,5%.Penurunan yang lebih besar terdapat pada aspekkeadilan dengan selisih sebesar 0,47 atau 3,3%.Secara keseluruhan, persepsi juga menurun secarasignifikan (selisih 0,91 atau 1,7%). Artinya revisipembagian jasa pelayanan justru dianggap kurangtransparansi dan adil, sedangkan waktupembagiannya tidak ada perbedaan.

Secara total skor kinerja hanya mengalamipenurunan sebesar 0,06% dari rata-rata skor kinerjasebelum revisi sistem pembagian jasa pelayanan.Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kelompok dokter,terdapat peningkatan persepsi secara keseluruhandan keadilan yang bermakna (p<0,05) antarasebelum dan setelah revisi sistem pembagian jasapelayanan (selisih 3,57 atau meningkat 6,8% padapersepsi keseluruhan dan selisih 3,50 ataumeningkat 6,7% pada aspek keadilan). Kinerjadokter juga mengalami peningkatan yang signifikan(p<0,05) setelah revisi sistem pembagian jasapelayanan, walaupun hanya pada aspek jumlah kerjadan efektivitas biaya serta kinerja keseluruhan. To-tal peningkatan kinerja secara keseluruhan sebesar3,64 atau meningkat sekitar 10%.

Tabel 2. Perbandingan Rata-rata Persepsi dan Kinerja Responden Sebelumdan Setelah Revisi Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

Sebelum (a) Sesudah (b) Variabel

Rerata SD Rerata SD

Selisih (a-b)

t-paired P

Persepsi 1. Transparansi 2. Keadilan 3. Waktu Total

Kinerja 1. Mutu Pekerjaan 2. Jumlah Pekerjaan 3. Efektivitas Biaya 4. Inisiatif Total

16,05 14,11 21,12 51,29

31,33 13,12 15,10 23,11 82,66

3,81 2,78 3,03 7,65

4,18 2,34 2,82 3,54 8,92

15,64 13,64 21,10 50,38

31,35 13,32 14,93 23,01 82,60

4,11 2,89 3,27 7,50

4,45 2,37 3,08 3,70 9,68

0,41 0,47 0,02 0,91

-0,02 -0,20 0,17 0,10 0,06

2,18 2,56 0,17 3,04

-0,14 -1,14 0,99 0,72 0,14

0,03* 0,01* 0,87 0,00* 0,89 0,26 0,33 0,47 0,89

Nofrinaldi, dkk: Persepsi dan Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

68 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

Tabel 3. Perbandingan Rata-rata Persepsi dan Kinerja Dokter dan Paramedis Sebelum dan Setelah Revisi Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

Responden paramedis secara bermaknamenurun persepsinya tentang keadilan dan persepsisecara keseluruhan sebelum dan setelah revisisistem pembagian jasa pelayanan (selisih 1,3462atau menurun 2,6%). Kinerja paramedis tidakberbeda bermakna sebelum dan setelah revisi sistempembagian jasa pelayanan.

Semua hasil uji korelasi (Tabel 4) menunjukanhubungan yang signifikan antara persepsi terhadapsistem pembagian jasa pelayanan dengan kinerjasetelah dilakukan revisi sistem pembagian jasapelayanan. Namun demikian, korelasinya relatiflemah, kecuali pada persepsi dan kinerjakeseluruhan (r 0.49). Tabel 5 menunjukkan korelasipada berbagai latar belakang profesi karyawan.

Persepsi dokter tentang transparansi sistempembagian jasa pelayanan berkorelasi bermaknadengan mutu pekerjaan (r 0,73) dan kinerja secarakeseluruhan (r 0,62), sedangkan aspek waktupembagian berhubungan dengan inisiatif dan kinerjadokter keseluruhan. Persepsi secara keseluruhanberhubungan bermakna dengan mutu kerja, inisiatifkerja, dan kinerja secara keseluruhan dan korelasiterhadap mutu dan total kinerja kuat (r >0,8).

Pada kelompok paramedis, semua persepsiberkorelasi dengan semua kinerja, meskipunkorelasinya lemah. Persepsi secara keseluruhanberkorelasi cukup kuat dengan kinerja secarakeseluruhan.

Kinerja

Mutu Jumlah Kerja Efektivitas Inisiatif Total Persepsi

r p r p r p r P r P

Transparansi Keadilan Waktu Pembagian Total

0,29 0,19 0,28 0,35

0,000* 0,006* 0,000* 0,000*

0,24 0,23 0,26 0,33

0,001* 0,001* 0,000* 0,000*

0,20 0,23 0,35 0,35

0,005* 0,001* 0,000* 0,000*

0,27 0,22 0,26 0,35

0,000* 0,001* 0,000* 0,000*

0,36 0,31 0,40 0,49

0,000* 0,000* 0,000* 0,000*

Tabel 4. Korelasi Persepsi dan Kinerja RespondenSetelah Revisi Sistem Pembagian Jasa Pelayanan (n=202)

Sebelum (a) Sesudah (b) Jenis Pekerjaan

Rerata SD Rerata SD

Selisih (a-b)

t-paired P

Dokter Persepsi

1. Transparansi 2. Keadilan 3. Waktu Total

Kinerja 1. Mutu Pekerjaan 2. Jumlah Pekerjaan 3. Efektivitas Biaya 4. Inisiatif Total

15,57 14,86 22,29 52,71

32,43 10,43 13,29 24,93 81,07

3,79 3,98 3,19 9,14

4,36 1,99 1,38 3,50 9,01

15,50 18,36 22,43 56,29

32,36 15,57 16,93 24,86 89,71

4,49 2,13 2,82 4,55

4,45 1,45 1,69 3,82 7,71

0,07 -3,50 -0,14 -3,57

0,07

-5,14 -3,64 0,07

-8,64

0,08 -2,4

-0,17 -2,22

0,21

-6,62 -10,20

0,17 -8,61

0,94 0,03* 0,87 0,05* 0,84 0,00* 0,00* 0,87 0,00*

Paramedis Persepsi

1. Transparansi 2. Keadilan 3. Waktu Total

Kinerja 1. Mutu Pekerjaan 2. Jumlah Pekerjaan 3. Efektivitas Biaya 4. Inisiatif Total

15,76 13,80 21,16 50,72

31,47 13,26 15,20 22,90 82,83

3,49 2,53 2,95 6,93

4,11 2,21 2,77 3,76 8,58

15,31 13,01 21,05 49,38

31,41 13,19 14,85 23,00 82,45

3,80 2,62 3,23 7,13

4,54 2,18 3,16 3,90 9,66

0,45 0,79 0,11 1,35

0,06 0,07 0,35

-0,10 0,38

1,78 4,45 0,64 3,85

0,25 0,40 1,69

-0,56 0,83

0,08 0,00* 0,53 0,00* 0,80 0,69 0,09 0,58 0,41

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 69

PEMBAHASANRevisi sistem pembagian jasa pelayanan

merupakan upaya manajemen RS untukmeningkatkan kinerja dokter yang dianggap masihlemah. Lemahnya kinerja dikarenakan dokter merasainsentif yang diterima tidak sebanding denganbesarnya kontribusi mereka. Dokter merasamempunyai kontribusi terbesar dalam pelayanankesehatan, walaupun jumlah dokter hanya kurangdari 10% dari jumlah seluruh karyawan. Dalampenelitian jumlah sampel dokter juga kecil (n=15).

Secara keseluruhan, dampak revisi kebijakantersebut justru menimbulkan kecemburuan padakaryawan lain. Hal tersebut terbukti denganpenurunan persepsi perawat terhadap sistempembagian jasa pelayanan. Penurunan tersebutterjadi pada persepsi tentang keadilan dan trans-paransi sistem pembagian jasa pelayanan. Perawatdan karyawan secara keseluruhan menganggapsistem pembagian jasa pelayanan yang direvisikurang adil dan kurang transparan. Namun, kinerjamereka relatif tetap karena tidak ada perbedaan yangsignifikan kinerja semua perawat sebelum dengansetelah revisi sistem pembagian jasa pelayanan.

Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhilemahnya kekuatan hubungan antara persepsiterhadap sistem pembagian jasa pelayanan dengankinerja adalah teknik atau pendekatan dalampengukuran kinerja tersebut. Pengukuran kinerjayang dilakukan oleh individu bersangkutan adalahsalah satu dari banyak teknik dalam mengukurkinerja karyawan. Setiap teknik pengukuranmempunyai kelebihan dan kelemahan. Penilaiankinerja oleh karyawan sendiri merupakan teknik yangsudah lama diterapkan di berbagai perusahaan dinegara industri.7 Penilaian diri sendiri seringdigunakan pada bidang manajemen SDM, sepertipengukuran kebutuhan pelatihan, analisis peringkat

jabatan, penilaian hasil kerja, inisiatif, perilaku, danlain-lain.

Edwards & Klockars (cit Ilyas)7 mengembangkanteori interaksi simbolik yaitu pengembangan konsepsendiri dan membuat penilaian sendiri berdasarkanpada keyakinan tentang bagaimana orang lainmenilai, memahami dan mengevaluasi diri sendiri,sedangkan menurut Ilyas7 penilaian sendiridipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti faktorkepribadian, pengalaman, dan pengetahuan, sertasosio-demografis, seperti suku dan pendidikan. Padapenilaian sendiri juga akan memungkinkanpemberian skor yang tinggi diberikan oleh karyawantersebut untuk menilai pekerjaan mereka sendiri.Fenomena tersebut terlihat pada hasil penelitian,seperti ditemukan adanya penurunan persepsiterhadap sistem insentif pada kelompok paramedisdan karyawan lainnya akan tetapi hanya berdampakpada penurunan kinerja yang relatif kecil. Bias per-sonal juga memungkinkan terjadinya hasil yangberbeda antara penilaian diri sendiri dengan penilaianoleh orang lain, nilai budaya, cemburu dan harapanpersonal, serta ketidakpahaman individu terhadapapa yang dinilai.

Keuntungan penilaian sendiri dengan kuisioneradalah dapat dilakukan dalam waktu singkat danmurah, jika dibandingkan dengan penilaian observasiatau penilaian oleh tim. Penelitian denganpendekatan observasi tentu tidak dapat dilakukanuntuk mengukur persepsi yang telah lalu.

Sangat ideal kalau penilaian diri sendiridikombinasikan dengan teknik penilaian 360°, sertapenilaian hasil kerja secara obyektif. Penilaian 360°akan memberikan data yang lebih baik dan dapatdipercaya karena dilakukan penilaian silang olehbawahan, mitra dan atasan di organisasi kerja. Datapenilaian merupakan kumulasi dari total skor padaketiga penilaian yang dilakukan baik itu penilaian

Aspek Kinerja

Mutu Jumlah Kerja Efektivitas Inisiatif Total Kinerja P e r s e p s i

r p r p r p r p r p

Dokter (n=14) Transparansi Keadilan Waktu Total

0,73 -0,33 0,48 0,86

0,003* 0,248 0,080

0,000*

-0,07 -0,12 -0,42 -0,39

0,810 0,682 0,134 0,171

0,34

-0,36 0,39 0,41

0,233 0,212 0,162 0,141

0,29 0,20 0,58 0,74

0,311 0,482

0,031* 0,002*

0,62

-0,19 0,57 0,88

0,017* 0,516

0,033* 0,000*

Paramedis (n=130) Transparansi Keadilan Waktu Total

0,18 0,18 0,20 0,25

0,041* 0,038* 0,022* 0,004*

0,22 0,17 0,23 0,28

0,014* 0,050

0,009* 0,001*

0,24 0,22 0,25 0,33

0,006* 0,012* 0,003* 0,000*

0,26 0,22 0,19 0,31

0,003* 0,012* 0,027* 0,000*

0,32 0,28 0,31 0,41

0,000* 0,001* 0,000* 0,000*

Tabel 5. Korelasi Persepsi dan Kinerja Dokter, ParamedisSetelah Revisi Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

Nofrinaldi, dkk: Persepsi dan Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Pelayanan

70 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

diri sendiri, penilaian mitra dan penilian oleh atasan.Hasil dari penilaian silang ini akan bisa mengurangikemungkinan terjadinya penilaian yang bias ataukecenderungan untuk menilai diri sendiri denganpenilaian tinggi.

Revisi sistem pembagian jasa pelayananberkaitan dengan imbalan yang diterima oleh masing-masing karyawan di luar gaji. Persepsi tentangketidakadilan revisi tersebut dikarena revisi tersebutlebih menguntungkan sekelompok karyawan, yaitudokter. Persepsi individu terhadap imbalan yangditerima berhubungan dengan karakteristik demografiseperti umur, jenis kelamin, status perkawinan,pendidikan, masa kerja, tingkatan di dalamorganisasi tempat bekerja.1

Berdasarkan jenis pekerjaan, perbandingan skorrata-rata persepsi sebelum dan setelah revisi sistempembagian jasa pelayanan menunjukkan adanyaperbedaan hasil uji statistik. Dokter menganggapsistem pembagian jasa pelayanan yang direvisicukup adil, namun paramedis menganggap revisisistem pembagian tersebut tidak adil. Rasa keadilanpada karyawan perlu diperhatikan. Henderson1

berpendapat persepsi tentang keadilan terhadapimbalan atau sistem pembagian jasa pelayananyang diterima dapat berpengaruh kepada kepuasandan prestasi kerja karyawan dan akhirnya akanmempengaruhi kinerja organisasi. Hal tersebutdikarenakan kinerja organisasi tidak hanyadipengaruhi oleh kinerja dokter namun dipengaruhioleh kinerja seluruh karyawan, baik karyawanparamedis maupun karyawan lainnya.

Kepuasan dokter terhadap revisi sistempelayanan telah meningkatkan kinerja dokterkhususnya jumlah pekerjaan dan efektivitas, sertakinerja keseluruhan. Jumlah kerja meningkat karenarevisi tersebut berkaitan dengan jumlah pasien yangdilayani. Jika pasien yang dilayani semakin banyakmaka insentif yang diterima dokter semakin besar.Djaelani5 menemukan peningkatan kinerja dokterspesialis di RSPKT Bontang setelah dilakukanperubahan insentif bagi mereka. Penelitian Lanier,dkk.,8 menemukan bahwa dokter di Amerikameningkat kinerjanya karena besarnya insentif yangmemadai.

Hasil uji korelasi product moment antara semuaaspek persepsi dan aspek kinerja pada seluruhkaryawan menunjukkan hasil yang signifikan. Padakelompok dokter secara keseluruhan persepsiterhadap sistem pembagian jasa pelayananberhubungan dengan kinerja, kecuali pada aspekkeadilan. Fenomena tersebut kemungkinandisebabkan karena belum semua dokter

menganggap revisi tersebut cukup adil. Dokter diRSJM terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dandokter gigi. Pembagian jasa pelayanan yangdiperoleh diberikan kepada dokter spesialis dan akandibagikan ke anggota SMF-nya. Oleh karena itu,kinerja dokter justru berhubungan dengan persepsitentang transparansi dan waktu pembagian sertapersepsi secara keseluruhan. Hal tersebutkemungkinan disebabkan pula karena penentuanrevisi hanya melibatkan dokter.

Di samping itu, untuk meningkatkan kinerjabanyak faktor yang mempengaruhinya sistempemberian jasa atau kompensasi hanya merupakansalah satu faktor yang bisa berpengaruh terhadapkinerja seseorang sesuai dengan pendapat Steersdan Porter9 yang berpendapat bahwa kompensasimerupakan salah satu faktor yang mempengaruhikinerja.

Bagi paramedis, revisi tersebut hanyamenurunkan persepsinya terhadap keadilan sistempembagian jasa pelayanan, namun tidakmenyebabkan penurunan kinerja. Semua aspekpersepsi berhubungan dengan semua aspek kinerjadalam kelompok ini, namun korelasi tersebuttermasuk kategori lemah. Hal tersebut berartiwalaupun terjadi penurunan persepsi tidakmenyebabkan kinerja paramedis menurun secaradrastis. Fenomena tersebut bisa disebabkan karenapenilaian dilakukan dengan penilaian sendiri,sehingga individu cenderung memberikan penilaianyang tinggi.7

Upah atau imbalan yang langsung terikatdengan kinerja dapat memotivasi perbaikan darikinerja individu karyawan.10 Akan tetapi pemberianimbalan langsung terkait dengan kinerja juga bisamengakibatkan rusaknya motivasi kerja atau kinerjakaryawan apabila sistem penilaian kinerja tidak adilatau keabsahan cara penilaian kinerja yang tidakjelas. Steers dan Porter9 menyatakan bahwa antarausaha dan kinerja tidak selalu mempunyai hubungansebab akibat yang pasti. Artinya kinerja individualdipengaruhi beberapa faktor, seperti motivasi danharapan akan usaha yang dikerjakan. Hubunganantara kinerja dan kepuasan dipengaruhi oleh banyakfaktor didalamnya. Sistem reward merupakan salahsatu faktor yang mempengaruhi kinerja.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Revisi sistem pembagian jasa pelayananmenimbulkan penurunan persepsi terhadap sistempembagian jasa pelayanan secara signifikan,sedangkan kinerja karyawan relatif tetap. Revisi

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 71

sistem pembagian jasa pelayanan telahmeningkatkan kinerja dokter secara signifikanterutama pada aspek jumlah pekerjaan dan efektivitasbiaya, dan kinerja secara keseluruhan. Persepsiterhadap sistem pembagian jasa pelayananberhubungan dengan kinerja secara signifikan dancukup kuat. Korelasi antara persepsi dengan kinerjapada kelompok dokter sangat kuat, sedangkan padakelompok paramedis kekuatan korelasi antarapersepsi dengan kinerja dalam kategori cukup kuat.

SaranKepada pihak manajemen rumah sakit

disarankan supaya meninjau kembali revisi sistempembagian jasa pelayanan, terutama peninjauandalam aspek keadilan dan transparansi dalam sistempembagian jasa pelayanan. Perubahan yangdilakukan haruslah dengan melibatkan perwakilansetiap kelompok karyawan, serta sebelumditerapkan harus disosialisasikan terlebih dahulu.Maka dengan demikian akan diharapkanterbentuknya satu persepsi yang sama terhadapsistem pembagian jasa pelayanan pada seluruhkaryawan, sehingga tidak akan menimbulkanmasalah dengan sistem pembagian jasa pelayananyang diterapkan. Pihak manajemen perlu melakukanevaluasi secara berkala terhadap sistem pembagianjasa pelayanan yang diterapkan. Hal ini bisadilakukan dengan komunikasi yang aktif dan terbukadengan semua kelompok karyawan yang ada,dengan begitu akan diketahui diketahui aspek manadari ketiga aspek tersebut yang masih relevan atauditerima semua karyawan serta akan menjadi acuandalam penentuan kebijakan baru. Dapat dilakukanpenelitian lebih lanjut dalam hal kinerja dokter danparamedis dengan metode penilaian dan instrumenlain.

UCAPAN TERIMA KASIHTerima kasih kepada WHO-Alliance for Health

Policy and Systems Research, Young ResearcherGrants tahun 2004-2005 (YR-21) yang telahmendanai penelitian ini.

KEPUSTAKAAN1. Henderson, R.I. Compensation Management,

Rewarding Performance, Prentice Hall, NewJersey.1994.

2. Schuler, R.S., and Huber, V.L. Personal andHuman Resource Management, St. Paul,Minesota.1993.

3. Siagian, S.P. Manajemen Sumberdaya Manusia,Bumi aksara, Jakarta.2004.

4. Silalahi, H.E. Hubungan Persepsi MengenaiSistim Pembagian Insentif dan Kepuasan KerjaKaryawan di RS HKBP Balige, Tesis, MMR-UGM, Yogyakarta.1999.

5. Djaelani, M. Pengaruh Sistem Insentif JasaMedik Dokter Residen/Spesialis terhadapKinerja Rumah Sakit di RS Pupuk KaltimBontang, Tesis, MMR-UGM, Yogyakarta.1999.

6. Stearns, Sally C. Physician Responses to Fee-for-Service and Capitation Payment, 1992;29:416-25.

7. Ilyas, Y. Kinerja, Teori, Penilaian, dan penelitian.Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI,Depok. 2002.

8. Lainer DC, Roland M, Burstin H dan Knottnerus.Doctor Performance and Public Accountability,The Lancent, 2003;362, 1404-1408.

9. Steers, R., and Porter, L.W.Motivation and WorkBehavior, Mc Grawhill Book Company, NewYork. 1996.

10. Dessler. Human Resource Management.Prentice � Hall, Inc.,A Simon & Schuster Com-pany, New Jersey.1997.

M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito: Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya

72 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

ABSTRACTBackgrounds: The most important components in the hospitalservices are human resources. Professional management isneeded to determine the type as well as the quality of thehuman resources to assure the quality productive hospitalservices. This study aimed at finding out of the optimal numberof support staff needed in The Nutritional Services Unit at St.Carolus Health Services 2005Methods: This was a time motion study with work samplingmethod. Samples were all workers (13 people) in The NutritionalServices Unit. Data were collected through observation ofworker activities in The Nutritional Services Unit in 7 consecutivedays (9-15 June 2005). The data were analyzed using WorkloadIndicators of Staffing Need (WISN) method.Results: The analysis showed that using productive time ofthe activities time total in one working shift is 53,36% andusing productive time of working hours is 43,57%. 24,93% isused for direct activities in morning working hours and 17,94%is used for direct activities in afternoon working hours. It wasconcluded that the productive use of the support was stillvery low. Based on the use of the productive working hours,eight people of support staff are needed, and based on theWISN method, only seven people of support staff are needed.Conclusions: The optimal number of support staff needed inThe Nutritional Services Unit at St. Carolus Health Services isseven people. This means that there are an excessive numberof support staff i.e. six people.

Keywords: workload, work sampling

ABSTRAKLatar Belakang: Sumber daya manusia merupakan salah satukomponen penting dalam pelayanan rumah sakit. Manajemenprofesional sangat dibutuhkan untuk menentukan kualitassumber daya manusia dalam memberikan pelayanan rumahsakit yang berkualitas. Penelitian bertujuan untuk mengetahuijumlah optimal kebutuhan tenaga pekarya di Unit Layanan GiziPelayanan Kesehatan Sint Carolus tahun 2005.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif denganmenggunakan metode work sampling. Sampel penelitian adalahseluruh pekerja (13 orang) di Unit Layanan Gizi PelayananKesehatan Sint Carolus. Pengumpulan data dilakukan melaluipengamatan terhadap kegiatan pekerja di Unit Layanan GiziPelayanan Kesehatan Sint Carolus selama 7 hari berturut-turut(9-15 Juni 2005). Data dianalisis dengan menggunakan metodeWorkload Indicators of Staffing Need (WISN).Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa produktifitas ataupenggunaan waktu produktif terhadap waktu kerja dalam satu

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 72 - 79

ANALISIS JUMLAH KEBUTUHAN TENAGA PEKARYA DENGANWORK SAMPLING DI UNIT LAYANAN GIZI PELAYANAN KESEHATAN

ANALYSIS OF THE OPTIMAL NUMBER OF SUPPORT STAFF NEEDED USINGWORK SAMPLING IN THE NUTRITIONAL SERVICES UNIT

M.Waseso Suharyono1, Wiku B.B Adisasmito2

1 Bagian Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, Jakarta2Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta

shift kerja adalah 43,57 % dan penggunaan waktu produktifterhadap total waktu kegiatan dalam satu hari kerja 53,36 %.Kegiatan langsung tenaga pekarya di layanan gizi PelayananKesehatan Sint Carolus pada waktu pagi hari 24,93%,sedangkan pada waktu kerja sore lebih rendah sebesar17,94%. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan waktu produktiftenaga pekarya masih rendah. Berdasarkan penggunaan waktuproduktif dibutuhkan 8 tenaga pekarya, dan berdasarkanmetode WISN hanya dibutuhkan 7 tenaga pekarya.Kesimpulan: Jumlah optimal kebutuhan tenaga pekarya yangdibutuhkan di Unit Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan SintCarolus sebanyak 7 orang tenaga pekarya. Hal ini menunjukkanadanya kelebihan jumlah tenaga pekarya Unit Layanan GiziPelayanan Kesehatan Sint Carolus sebanyak 6 orang.

Kata Kunci: beban kerja, work sampling

PENGANTARLayanan jasa Rumah Sakit (RS), merupakan

suatu layanan masyarakat yang penting dandibutuhkan dalam upaya pemenuhan tuntutankesehatan. Banyak unsur yang berperan dan men-dukung berfungsinya operasional RS. Salah satu unsurutama pendukung tersebut adalah Sumber DayaManusia (SDM) yang padat karya dan berkualitastinggi, disertai kesadaran akan penghayatanpengabdian kepada kepentingan masyarakatkhususnya dalam pemenuhan kebutuhan layanankesehatan. Unit Layanan Gizi RS yang merupakansalah satu unit penunjang umum, juga memerlukanSDM yang berkualitas untuk menjamin produksilayanan yang bermutu tinggi. Perencanaan SDM ataumenurut beberapa referensi disebutkan sebagaimanajemen personalia,1,2 dikaitkan dengan rencanastrategis RS, sehingga kajian terhadap jumlah personilpendukung yang diperlukan sejalan dengan arahperencanaan pengembangan bisnis satuan kerja unitlayanan gizi. Hasil kajian akan didapatkan kuantitas,kualitas, dan alokasi penempatan personil yangdiperlukan. Perencanaan ketenagaan tersebut jugamenganalisis job title, job description, job spesificationyang tetap dan optimal. 3

Artikel Penelitian

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 73

Salah satu temuan saat melaksanakan residensidi Unit Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus(PKSC) tersebut pada pertengahan Desember 2004sampai dengan akhir Januari 2005 bahwa berdasarkaninformasi data wawancara dan penelusuran dokumen,didapatkan jumlah tenaga pelaksana di unit tersebutdirasakan berlebih. Salah satu kategori tenaga yangdirasakan berlebihan tersebut adalah tenaga pekarya(15,6% dari total jumlah tenaga di unit layanan gizi).Adapun jumlah keseluruhan tenaga penunjang umumRS pada kategori tenaga pekarya tersebut termasukdidalamnya sebesar 53,31% (tahun 2005). Besarnyajumlah tenaga penunjang umum ini berdampaklangsung terhadap beban biaya personel yangmencapai 47% dari total biaya operasional (tahun 2005).

Kondisi ini yang mendasari penelitian untukmengkaji jumlah optimal kebutuhan tenaga pekaryakhususnya di unit layanan gizi. Di samping itu,manajemen PKSC belum pernah melaksanakankajian kebutuhan jumlah tenaga khususnya tenagapenunjang umum berdasarkan beban kerja nyata.

BAHAN DAN CARA PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian kuantitatif

dengan menggunakan metode work sampling.Penelitian bertujuan untuk mengetahui jumlah opti-mal kebutuhan tenaga pekarya yang sesuai dengankegiatan sesungguhnya di Unit Layanan Gizi PKSCtahun 2005.

Penelitian dilakukan selama tujuh hari mulai 9Juni � 15 Juni 2005. Sebagai populasi penelitianadalah seluruh tenaga pekarya yaitu sebanyak 13orang di Unit Layanan Gizi PKSC. Pengumpulan datadibagi menjadi data primer yang dikumpulkan melaluipengamatan langsung terhadap kegiatan yangdilakukan oleh tenaga pekarya selama jam kerja dandata sekunder yang diperoleh melalui data yangberasal dari Unit Layanan Gizi PKSC.

Pengamatan kegiatan dilaksanakan oleh tenagapengamat yang sudah dilatih sebelumnya.Pencatatan hasil pengamatan yang dilakukanselama tujuh hari kerja penuh dicatat di dalaminstrumen pengumpulan data yaitu formulir pen-catatan kegiatan tenaga pekarya. Pengamatan danpencatatan dilakukan setiap lima menit selamawaktu kerja dalam satu hari terhadap seluruh tenagapekarya yang bekerja pada hari itu.

Setiap hari setelah pencatatan selesai, segeradilakukan analisis data. Pertama dengan menge-lompokkan pola kegiatan atas kegiatan langsung,kegiatan tidak langsung, kegiatan lain produktif,kegiatan lain tidak produktif, dan kegiatan pribadi.Kemudian rekapitulasi data waktu kegiatan tersebutdikelompokkan lagi pada waktu kerja pagi dan waktu

kerja sore. Dari masing-masing data yangterkelompok tersebut dikalikan lima karenapengamatan dilakukan setiap lima menit. Akhirnyadidapatkan data jumlah waktu dalam menit darimasing-masing pola kegiatan tersebut di atas terbagidalam kelompok waktu kerja pagi dan sore. Segeradidapatkan data jumlah waktu produktif tenagapekarya. Selanjutnya, data waktu kerja produktifbersama dengan data-data sekunder yang telahdisebutkan di atas dimasukkan ke dalam rumusperhitungan jumlah tenaga dari Workload Indicatorsof Staffing Need (WISN). 4 Langkah perhitungankebutuhan tenaga berdasarkan WISN ini meliputi 5langkah, yaitu5:1. Menetapkan waktu kerja tersedia2. Menetapkan unit kerja dan kategori SDM yang

dihitung3. Menyusun standar beban kerja4. Menyusun standar kelonggaran5. Menghitung kebutuhan tenaga perunit kerja.

Adapun rumus waktu kerja tersedia yaitu:Waktu kerja tersedia = (A � (B+C+D+E)) X F

A = Hari kerja (6 hari kerja/minggu)B = Cuti tahunanC = Pendidikan dan pelatihanD = Hari libur nasionalE = Ketidakhadiran kerja (sesuai data rata-rata

ketidakhadiran kerja selama kurun waktu satutahun, karena alasan sakit, tidak masuk kerjadengan atau tanpa pemberitahuan atau izin).

F = Waktu kerja (waktu kerja dalam satu hariadalah 7 � 8 jam)

Beban kerja masing-masing kategori SDM diunit kerja RS meliputi:1. Kegiatan pokok yang dilaksanakan oleh

masing-masing kategori tenaga2. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan tiap kegiatan pokok3. Standar beban kerja per satu tahun masing-

masing kategori SDM

Dari hasil perhitungan didapatkan hasil jumlahoptimal tenaga pekarya yang dibutuhkan. Untukmempertajam perhitungan jumlah tenaga pekaryatersebut, maka penelitian ini juga menghitung jumlahoptimal kebutuhan tenaga berdasarkan pendekatanpenggunaan waktu produktif tenaga pekarya terhadapjumlah tenaga pekarya yang ada saat ini.6,7,8

Penggabungan kedua pendekatan perhitungan di atas,didapatkan jumlah tenaga pekarya yang optimal.

M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito: Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya

74 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN1. Jumlah Waktu Setiap Pola Kegiatan

Tenaga PekaryaPengamatan terhadap penggunaan waktu pada

setiap pola kegiatan tenaga didahului denganmencermati karakteristik seluruh kegiatan yangberhasil diamati dan kemudian dikelompokkan kedalam masing-masing pola kegiatan.9 Banyaknyakelompok pola kegiatan tersebut dapat bervariasi dandikombinasikan, sesuai dengan kebutuhanketajaman penelitian yang diperlukan.6 Kelompokkegiatan yang diamati tersebut terdiri dari kegiatanlangsung, kegiatan tidak langsung, kegiatannonproduktif dan kegiatan pribadi.6 Penelitian inimengembangkan atau menambahkan satu kelompokkegiatan pengamatan lagi, yaitu kegiatan lain yangproduktif. Kegiatan lain yang produktif ini, mengamatiseluruh kegiatan yang dilakukan oleh tenaga pekaryayang tidak berhubungan langsung atau berdampaklangsung terhadap proses produksi layanan, tetapi

kegiatan-kegiatan tersebut tetap bermanfaat bagipengembangan atau kepentingan tenaga yangbersangkutan maupun unit satuan kerja. Penelitianini, tidak memasukkan penggunaan waktu kegiatanlain yang produktif tersebut ke dalam kelompokkegiatan produktif yang terdiri dari kegiatan langsungdan kegiatan tidak langsung, dengan maksud untukmendapatkan hasil pengamatan yang lebih tajamtentang penggunaan waktu produktif yangsesungguhnya atau yang berhubungan langsungdengan proses produksi layanan Rowland 1980.10, 11

Selanjutnya dengan mendapatkan besaranwaktu kerja produktif tenaga pekarya tersebut, akandapat menghitung jumlah kebutuhan optimal tenagapekarya berdasarkan rumus perhitungan WISN.4

Dari hasil penelitian selama tujuh hari di UnitLayanan Gizi PKSC, didapatkan jumlah waktu setiappola kegiatan tenaga pekarya menurut waktu tugasseperti dalam Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Waktu Kegiatan Tenaga Pekaryadalam Tujuh Hari Kerja di Unit Layanan Gizi PKSC Tahun 2005

Hari Kerja Pagi Sore Kegiatan

f % f % Langsung - Menerima bahan makanan mentah - Membersihkan bahan makanan - Mengolah bahan makanan

350

1400 1610

2,60

10,39 11,94

105 805 980

0,99 7,65 9,30

Subtotal 3.360 24,93 1.890 17,94 Tidak Langsung - Mendistribusikan makanan siap olah - Membersihkan alat masak/ makan - Membersihkan ruang kerja - Menempel etiket menu

770

1.610 1.050

280

5,71

11,95 7,79 2,08

840

1.960 805 245

7,97

18,60 7,64 2,33

Subtotal 3.710 27,53 3.850 36,54 Kegiatan lain yang Produktif - Diskusi - Pembinaan - Membaca buku ilmiah gizi

280 1.155

245

2,07 8,57 1,82

0 140 105

0 1,33 0,99

Subtotal 1.680 12,46 245 2,32 Kegiatan lain yang tidak Produktif - Istirahat - Mengobrol - Menonton TV

1.190 1.155

245

8,83 8,57 1,82

1.085 980 665

10,30 9,30 6,31

Subtotal 2.590 19,22 2.730 25,91 Kegiatan pribadi - makan / minum - Sembayang / mandi

1.295

840

9,62 6,24

455

1.365

4,32

12,97 Subtotal 2.135 15,86 1.820 17,29

T O T A L 13.475 100 10.535 100

f = frekuensi, jumlah kegiatan dalam satuan menit.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 75

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwakegiatan langsung tenaga pekarya di Unit LayananGizi PKSC, terbanyak pada waktu kerja pagi(24,93%), waktu kerja sore lebih rendah (17,94%).

Pada waktu kerja pagi kegiatan langsung yangdilakukan oleh tenaga pekarya mempunyai kategoriyang berkaitan langsung dengan kegiatan pokok unitlayanan gizi. Pada waktu kerja pagi, kegiatanlangsung tenaga pekarya mencakup kegiatanmenerima bahan makanan mentah, membersihkanbahan makanan, dan mengolah bahan makanan.

Kegiatan langsung tenaga pekarya pada waktukerja sore hari secara umum mengalami penurunanpersentasenya dibandingkan dengan kegiatanlangsung tenaga pekarya pada waktu kerja pagi hari.Salah satu alasan sebab penurunan tersebut karenasebagian besar pesanan menu sore dan malam harisudah disiapkan oleh tenaga pekarya yang bekerjapada waktu kerja pagi hari. Pada waktu kerja sore,kegiatan langsung tenaga pekarya meliputi menerimabahan makanan mentah, membersihkan bahanmakanan dan mengolah bahan makanan.

Kegiatan tidak langsung tenaga pekarya padawaktu kerja sore persentasenya lebih tinggi daripadawaktu kerja pagi, yaitu meningkat sebesar 3,8 %.Hal ini disebabkan karena sebagian besar kegiatan

pencucian alat masak/makan serta kegiatanmendistribusikan bahan makan mentah maupunmakanan siap saji tidak dapat diselesaikan secarakeseluruhan pada waktu kerja pagi, walaupunkegiatan pengolahan bahan makanan menjadi siapsaji dapat diselesaikan pada waktu kerja pagi.

Kegiatan lain yang porduktif dilakukan tenagapekarya pada waktu kerja sore hari persentasenyajauh lebih rendah daripada waktu kerja pagi hari, yaitumenjadi sebesar 2,33 %. Hal ini disebabkan karenasebagian besar kategori kegiatan ini sebagian besardialokasikan pada waktu kerja pagi hari berhubungtenaga pembimbing atau pembina lebih banyakbekerja pada waktu kerja pagi hari.

Kegiatan lain yang tidak produktif tenaga pekaryapada waktu kerja sore hari ternyata meningkatpersentasenya sebesar 5,40% dari kegiatan yangsama pada waktu kerja pagi hari. Hal ini disebabkan,setelah tenaga pekarya dapat menyelesaikankegiatan sisa pencucian alat masak atau makan,serta distribusi bahan makan siap saji, maka merekamemilki banyak waktu luang sampai jam pulangkerja.

Bila digambarkan dalam diagram maka kegiatantenaga pekarya pada pagi hari dan sore hari selamatujuh hari kerja dapat dilihat pada Diagram 1 dan 2.

Diagram 2. Kegiatan Sore Hari Tenaga Pekarya dalam Tujuh Hari Kerjadi Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

Diagram 1. Kegiatan Pagi Hari Tenaga Pekarya dalam Tujuh Hari Kerja di Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

3360 3710

1680 2590 2135

0 500

1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

Jumlah (menit)

Kegiatan Langsung Kegiatan Tidak Langsung Kegiatan Lain Produktif Kegiatan Lain Tidak Produktif Kegiatan Pribadi

1890

3850

245

2730 1820

0 500

1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

Jumlah (menit)

Kegiatan Langsung Kegiatan Tidak Langsung Kegiatan Lain Produktif Kegiatan Lain Tidak Produktif Kegiatan Pribadi

M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito: Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya

76 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

Pada waktu kerja pagi terdiri dari kegiatanlangsung 24,93%, kegiatan tidak langsung 27,53%,kegiatan lain produktif 12,46%, kegiatan lain tidakproduktif 19,22%, dan kegiatan pribadi 15,86%.

Pada waktu kerja sore hari, kegiatan langsung17,94%, kegiatan tidak langsung 36,54%, kegiatanlain produktif 2,32%, kegiatan lain tidak produktif25,91%, dan kegiatan pribadi 17,29%.

2. Penggunaan Waktu ProduktifPenggunaan waktu produktif tenaga pekarya

pada waktu kerja pagi dan sore sebesar 1.830 menitatau 53,36% dari jumlah keseluruhan waktu kegiatandalam satu hari kerja, seperti disajikan dalam Dia-gram 3.

Penggunaan waktu produktif/kerja produktiftenaga pekarya dalam satu shift kerja terhadapwaktu kerja tersedia sebesar 43,57%, sepertidisajikan pada Diagram 4.

satu komponen yang harus dihitung lebih dahuluadalah besarnya penggunaan waktu produktiftenaga yang bersangkutan.4 Waktu produktifdipakai untuk menghitung besarnya standarbeban kerja yaitu dengan membagi waktu kerjatersedia dengan rata-rata waktu produktif yangdiperlukan untuk menyelesaikan satu satuanproduk layanan. Selanjutnya untuk menghitungjumlah tenaga yang dibutuhkan adalah denganmengukur waktu kerja produktif yang harusdilaksanakan12, kemudian dengan mentransferatau memproyeksikan beban waktu kerjaproduktif tersebut kepada jumlah tenaga yangnyata/terkini, didapatkan jumlah optimalkebutuhan tenaga.6

Produktivitas tenaga kerja tidak mungkinmencapai 100%, karena adanya faktor kelelahandan kejenuhan dari tenaga kerja tersebut sebesar15%, sehingga produktivitasnya hanya 85%,12

sedangkan menurut International Labour Orga-

Diagram 4. Penggunaan Waktu Produktif terhadap Waktu Kerja Tersedia Per Tenaga Pekaryadalam Satu Shift Kerja di Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

Diagram 3. Penggunaan Waktu Produktif terhadap Total Waktu Kegiatan Tenaga Pekaryadalam Satu Hari Kerja di Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

3. Perhitungan Jumlah Kebutuhan TenagaPekarya

a. Perhitungan jumlah kebutuhan tenaga pekaryaberdasarkan pengamatan terhadap pengguna-an waktu produktif.Untuk dapat menghitung jumlah tenaga yangdibutuhkan dalam suatu unit kerja, maka salah

nization (ILO)13 faktor minimal kelonggarantenaga kerja yang mencakup keletihan dankejenuhan, untuk pria mencapai 9% sedangkanuntuk wanita 11%. Tenaga kerja dianggapproduktif bila mampu menyelesaikan 80% daribeban tugasnya.6

1830 1600

1400 1500 1600 1700 1800 1900

Jumlah (menit)

53,36 % Waktu Produktif 46,64 % Waktu Kegiatan Lain

183 160

77

0

50

100

150

200

Jumlah (menit)

43,57 % Waktu Produktif 38,09 % Waktu Kegiatan Lain 18,34 % Sisa Waktu Tidak Terpakai

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 77

Penggunaan waktu produktif tenaga pekaryaterhadap seluruh jumlah waktu kegiatan yangtelah dilakukan dalam satu hari kerja adalahsebesar 53,36%. Kenyataan tenaga pekaryayang sekarang berjumlah 13 orang, sehinggaberdasarkan konsep Hellwig12 dibutuhkan tenagapekarya sebanyak 8,1 orang. Berdasarkankonsep ILO13 dibutuhkan tenaga pekaryasebanyak 7,7 orang, sedangkan berdasarkankonsep Ilyas6 dibutuhkan tenaga pekaryasebanyak 8,6 orang. Rata-rata kebutuhantenaga pekarya berdasarkan penggunaan waktuproduktif terhadap total waktu kegiatan pekaryaadalah sebanyak 8,1 orang.

Penggunaan waktu produktif bekerja persatu tenaga pekarya terhadap waktu kerjatersedia per satu shift kerja dalam satu harikerja adalah sebesar 43,57 %. Waktu kerjaproduktif satu orang tenaga pekarya per satushift atau satu hari kerja sebesar 1.830 menitdibagi 10 orang tenaga pekarya yang diamatisetiap hari pengamatan, yaitu sebesar 183menit. Waktu kerja tersedia bagi tenagapekarya dalam satu hari kerja adalah sebesar7 jam atau 420 menit, sehingga rata-rata peng-gunaan waktu kerja produktif per hari adalahsebesar 43,57 %. Pola kegiatan waktu produktiftenaga pekarya hasil penelitian ini dapatdikatakan masih rendah.6,12,13

Rendahnya tingkat produktivitas tenagapekarya ini dapat juga dikatakan masih lebihrendah bila dibandingkan dengan hasil penelitianGempari11 di RS Islam Jakarta dengan metodepenelitian yang sama, didapatkan hasil waktukegiatan produktif perawat sebesar 60,1%(kegiatan langsung ditambah kegiatan tidaklangsung), kegiatan lain yang produktif 3,9%,kegiatan lain yang tidak produktif 29% dankegiatan pribadi 7%.

Berdasarkan konsep Hellwig12 proyeksibesaran penggunaan waktu produktif sebesar43,57% terhadap jumlah tenaga pekarya yang adasekarang, jumlah optimal kebutuhan tenagatersebut hanya sebanyak 6,7 orang. Menurut ILO13

jumlah optimal tenaga yang dibutuhkan hanya 6,2orang dan berdasarkan konsep Ilyas6 hanyadibutuhkan 7,1 orang, sehingga rata-rata jumlahkebutuhan optimal tenaga pekarya berdasarkankedua pendekatan besaran penggunaan waktuproduktif di atas sebanyak 7,4 atau 8 orang.

Penelitian ini menggunakan teknik worksampling, yaitu kajian terhadap pola kegiatantenaga yang diamati dan dicatat secara randomatau acak. Penelitian ini menggunakan teknik

yang sama dengan beberapa penelitian yang telahdilakukan sebelumnya10,11,14 Ketiga penelitiantersebut juga mengukur waktu kerja produktif daritenaga yang diamati. Yang membedakan denganpenelitian ini adalah dalam penggunaan rumusperhitungan jumlah kebutuhan tenaga. Ketigapenelitian tersebut menggunakan rumus menurutGillies (1989), rumus Nina (1990), dan rumusLokakarya Depkes RI (1989). Ketiga rumus ter-sebut dirancang khusus untuk menghitungkebutuhan tenaga paramedis dan medis, tetapilebih sering untuk pengukuran kebutuhan tenagaperawat, karena pengukuran beban kerjaberdasarkan asuhan keperawatan yang merekalakukan lebih jelas batasannya berdasarkanstandar operasi prosedur, sehingga hasil peng-ukurannya lebih mudah dilakukan, sedangkanpenelitian ini yang menggunakan rumus WISNmenurut Shipp4 harus mengukur volume bebankerja dan standar beban kerja tenaga penunjangdi luar tenaga medis atau paramedis, yaitu dalamhal ini tenaga pekarya.

Penelitian lain yang pernah dilakukan danmempunyai kemiripan dengan penelitian inidalam hal konsep dasar perhitungan beban kerjatenaga yang diamati adalah penelitian menurutPersi.15 Perbedaannya adalah bahwa penelitianPersi15 tersebut menggunakan tehnik time study,karena mengamati kegiatan tenaga analis yangmempunyai siklus kerja yang pendek danberulang-ulang, sehingga lebih tepat dalampengamatan waktu kerja tenaga dalam satugaris pendek proses produksi layanan secaraindividual. Penelitian Persi15 tersebut lebihmenggambarkan pengamatan pada tenagasecara individual bukan secara berkelompokseperti pada penelitian dengan work sampling,sehingga salah satu keunggulan teknik worksampling adalah kemampuan untukmendapatkan informasi atau gambaran umumpola kegiatan yang ada secara cepat dandengan biaya yang relatif lebih hemat.

Dengan mengetahui besaran penggunaanwaktu produktif tenaga pekarya dapat disusun/ditetapkan jumlah tenaga pekarya yangsesungguhnya yang dibutuhkan 6, 7,16,17 di UnitLayanan Gizi PKSC dalam rangka upayapeningkatan efisiensi dan efektivitas pengguna-an SDM, khususnya tenaga pekarya, sepertidijelaskan pada Tabel 2.

Berdasarkan pendekatan penggunaanwaktu produktif tenaga pekarya dalam melak-sanakan atau menyelesaikan beban kerjanya,dibutuhkan delapan orang.

M. Waseso Suharyono, Wiku B.B Adisasmito: Analisis Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya

78 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

b. Perhitungan jumlah kebutuhan tenaga pekaryaberdasarkan indikator beban kerja (MetodeWISN).Perhitungan jumlah kebutuhan tenaga ber-dasarkan rumus WISN, sesuai dengan tahap-an langkahnya adalah:1. Waktu kerja tersedia dalam satu tahun bagi

tenaga pekarya adalah sebesar 1.820menit/tahun.

2. Subunit kerja tenaga pekarya adalah unitlayanan gizi PKSC

3. Standar beban kerja dalam satu tahundidapatkan sebesar 91.000 porsi makanan/tahun

4. Gambaran kelonggaran tenaga pekaryadalam satu tahun didapatkan 0,074

5. Jumlah tenaga yang dibutuhkan adalahtotal kuantitas produk layanan yaitu489.203 porsi makanan dalam satu tahun,dibagi dengan 91.000 porsi makananpertahun, ditambah dengan 0,074, dandidapatkan hasil sebesar 6

Berdasarkan perhitungan rumus WISN,dibutuhkan jumlah optimal tenaga pekaryasebesar 6 orang. Berdasarkan keduapendekatan perhitungan yang sudah dijelaskandi atas, jumlah optimal kebutuhan tenagapekarya adalah sebesar 7 orang.

Saat ini jumlah tenaga pekarya yangbertugas di Unit Layanan Gizi PKSC berjumlah13 orang, sehingga perlu diupayakan lebih lanjutmengenai pemindahan dan penempatankelebihan tenaga pekarya tersebut. Inefisiensiatau pemborosan penggunaan tenaga pekaryadi unit layanan gizi tersebut, akan sangat terasa

krusial bila dikaitkan dengan realisasikomponen biaya personel di unit layanan gizitersebut untuk kurun waktu April 2004 sampaidengan Maret 2005 yaitu sebesar 47% dari to-tal biaya untuk kurun waktu yang sama. Tenagapekarya di unit layanan gizi tersebut mempuyaiproporsi sebesar 16% dari total tenaga di unityang sama, hal ini dapat diargumentasikanbahwa tenaga pekarya di unit gizi tersebutberkontribusi sebesar 16% terhadap total biayapersonel di unit yang sama pada kurun waktuyang sama. Dengan menggunakan jumlah op-timal tenaga pekarya di unit layanan gizi sesuaihasil penelitian yaitu sebesar tujuh orang, makadapat diargumentasikan bahwa manajemenakan melakukan penghematan atau efisiensibiaya sebesar 8%, dalam hal ini, argumentasitersebut didasarkan hanya pada analisis biayapersonel saja, di Unit Layanan Gizi PKSC.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Kegiatan langsung tenaga pekarya di UnitLayanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Caroluspada waktu pagi hari 24,93%, sedangkan pada waktukerja sore lebih rendah sebesar 17,94%.Produktivitas atau penggunaan waktu produktifterhadap waktu kerja dalam satu shift kerja adalah43,57% dan penggunaan waktu produktif terhadaptotal waktu kegiatan dalam satu hari kerja 53,36%.

Jumlah optimal kebutuhan tenaga pekaryaberdasarkan pendekatan perhitungan penggunaanwaktu kerja produktif dan berdasarkan perhitunganrumus WISN adalah sebanyak tujuh orang tenagapekarya.

Tabel 2. Kebutuhan Jumlah Tenaga Pekarya Berdasarkan Penggunaan Waktu Produktifdi Unit Layanan Gizi PKSC, Tahun 2005

Jumlah Kebutuhan Tenaga Penggunaan waktu produktif terhadap total

waktu kegiatan

Jumlah tenaga

saat ini

Hellwig 12 I L O 13 Ilyas 6 Rata-rata

53,36 %

8,1 7,7 8,6 8,1

Penggunaan waktu produktif terhadap waktu kerja tersedia

Hellwig I L O Ilyas

43,57 %

13

6,7

6,2 7,1 6,7

Rata-Rata Jumlah Kebutuhan Tenaga Pekarya 7,4 atau 8

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 79

SaranHasil penelitian dengan metode work sampling,

sebaiknya dilakukan ulang secara berkala dandilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkangambaran sesungguhnya terhadap pola penggunaanwaktu kegiatan/kerja tenaga yang diamati danmeneliti faktor-faktor penyebab rendahnyaproduktivitas tenaga pekarya. Untuk mengurangi biasdari hasil pengamatan kegiatan, waktu penelitiansebaiknya dilakukan lebih dari tujuh hari. Karenamungkin saja ada kegiatan yang tidak terpantau dantercatat.

Dengan didapatkannya hasil perhitunganjumlah tenaga pekarya sebanyak tujuh orang,sebaiknya dapat dijadikan bahan pertimbanganmanajemen RS untuk segera mengambil kebijakanyang sesuai.

KEPUSTAKAAN1. Dessler, G. Manajemen Personalia. Ed. 3.

Penerbit Erlangga. 1984; 3: 697.2. Handoko, H. Manajemen Personalia Dan

Sumber Daya Manusia. BPFE, Yogyakarta.1996; 2: 258.

3. Aditama, T.Y. Manajemen Administrasi RS.Ed.2. Universitas Indonesia. Jakarta. 2002: 371.

4. Shipp, P.J. Workload Indicators of Staffing Need(WISN). Manual for Implementation. Initiatives.Inc, Boston USA. 1998; 1: 165.

5. Departemen Kesehatan RI. Statistik RS di In-donesia: Ketenagaan. 2004.

6. Ilyas, Y. Perencanaan Sumber Daya ManusiaRumah Sakit. Pusat Kajian Ekonomi KesehatanFKM UI. Depok. 2000; 1: 163.

7. Martoyo, S. Manajemen Sumber Daya Manusia.BPPE, Yogyakarta. 2000; 4: 298.

8. Sinungan, M. Produktivitas Dan Bagaimana.Bumi Aksara, Jakarta. 2003; 5: 154.

9. Barnes, R.M. Motion and Time Study Designand Measurement of Work. John Wiley &Sons,Inc. 1980; 7: 659.

10. Achmad, K. Analisis Jumlah KebutuhanTenaga Keperawatan di Puskesmas denganTempat Tidur Perawatan Dinas KesehatanKabupaten Daerah Tingkat II Bandung.Tesis.1998: 89.

11. Gempari, R. Analisis Pola Waktu KerjaProduktif Pada Unit Rawat Inap RS IslamJakarta.Tesis. 1993: 89.

12. Hellwig, K. Sepuluh Langkah MenujuPengukuran Hari Kerja Yang Berhasil DalamMengelola Waktu. A.Dale Timpe-PTElekkomputindo. Jakarta. 1991; 380.

13. International Labour Organization (ILO).Penelitian Kerja dan Produktifitas. Erlangga,Jakarta. 1986; 2: 54.

14. Sariasih, A. Analisis Jumlah KebutuhanTenaga Keperawatan di Instalasi Rawat InapRS kanker Dharmais. Jakarta. Tesis. 1996.

15. Persi, Faadly. Analisis Kebutuhan TenagaAnalis Berdasarkan Beban Kerja di UnitLaboratorium Klinik RS Santo BorromeusBandung. Tesis. 2000.

16. Niebel, B.W. Motion And Time Study. Ed. 7.Richard D. Irwin Inc, Homewood, Illinois. 1982:756.

17. Ravianto, J. Produktifitas Dan Manusia Indone-sia. Ed. 1. Sarana Informasi Usaha danProduktifitas, Jakarta. 1985; 150.

Retno Wahyu Gayatri, dkk: Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis

80 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

ABSTRACTBackground: Office of Health Laboratory Jawa TengahProvince in Semarang has 76 employees, which consists of42 (56%) technical officers (health controller, analyst,pharmacy controller, and health personnel) and 34 (46%) non-technical or administrative officers. According to LocalRegulation of Central Java Province No. 1/2000, as a functionalinstitutions under Office of Ministry of Health Central JavaProvince, job analysis (job description and job specification)should be developed according to identify education andtraining program to promote the technical officers skills.Methods: This research was descriptive case study in 2003.The objectives of this study were described characteristicsof technical officers based on educational background,knowledge and proficiency of technical skills in performingjob. Interview and observation was conducted to explore jobdescription and job specification of 10 health controller, 5analyst, 1 pharmacy controller and 2 health personnels. CrossThe validation of the data was conducted by interviewed headmanager, head of administrative affairs and 3 head of divison(Chemical, Microbilogy and Pathology).Results: Health controllers coordinate all laboratoryobservation both technical and administrative activities in 3division. Analyst examines all laboratory tests in 3 divisions.The pharmacy responsible to the validity of laboratory testresult in chemical division. Health personnel�s help analyst toperform laboratory test in pathology and chemical division. Jobrelations in this office were vertical and horizontal approach.Technical officers could be injured by hazardous chemicaland pesticide. Not all of working condition matches to thestipulation. Job description and specification is flexible due tothe situation of the organization.Conclusions: It is recommended to socialized job descriptionsand job specifications towards all technical officers, continuingeducation especially SMAK/SMF/SPK, conducting technicaltraining and improving job safety and standard of job quality.This research should be completed research of training needassessment and technical officer�s job burden analysis.

Keywords: job analysis, job description, job specification,health laboratory.

ABSTRAKLatar balakang: Balai Laboratorium Kesehatan Semarangadalah UPT Dinkes Provinsi Jawa Tengah 2002 mengalamiperubahan struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi sesuaiPeraturan Daerah No.1 tahun 2000. Jumlah tenaga sebanyak

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 80 - 86

ANALISIS PEKERJAAN PEGAWAI BAGIAN TEKNISBALAI LABORATORIUM KESEHATAN SEMARANG

SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

JOB ANALYSIS OF TECHNICAL OFFICERS AT OFFICE OF HEALTH LABORATORY FORDEVELOPING EDUCATION AND TRAINING

Retno Wahyu Gayatri 1, Chriswardani Suryawati 2, L. Ratna Kartikawulan 2

1 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah2 Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro,

Semarang, Jawa Tengah

76 orang, 42 orang (56%) adalah tenaga teknis dan 34 orang(44%) tenaga non teknis (administrasi). Tenaga teknis di BLKSemarang terdiri dari 4 jenis yaitu Pengawas Kesehatan,Pelaksana Analis, Pengawas Farmasi dan PelaksanaKesehatan. Selama ini belum pernah dilakukan analisis pekerjaanyang menghasilkan deskripsi dan spesifikasi pekerjaan tenagateknis. Dengan adanya analisis pekerjaan diharapkan setiappegawai mendapatkan tugas pokok dan fungsi sesuaipendidikan dan ketrampilan yang dimiliki dan dapat direncanakanpendidikan dan pelatihan mereka.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.Pengumpulan data dengan wawancara mendalam, observasidengan check list dan studi dokumen/data sekunder. Respondenpenelitian adalah 10 orang tenaga Pengawas Kesehatan, 5orang tenaga Pelaksana Analis, 1 orang tenaga PengawasFarmasi dan 2 orang tenaga Pelaksana Kesehatan. Sebagairesponden triangulasi adalah Kepala Balai LaboratoriumKesehatan, Kepala Sub Bag TU dan 3 orang Kepala Seksi(Kimia, Mikrobiologi dan Patologi).Hasil: Pengawas Kesehatan bertugas mengkoordinasikansemua kegiatan pemeriksaan laboratorium di bidang teknis danadministrasi pada Seksi Patologi, Mikrobiologi dan Kimia.Pelaksana Analis bertugas melakukan kegiatan pemeriksaanlaboratorium pada ketiga seksi dan bertanggung jawab atashasil pemeriksaan laboratorium. Pengawas Farmasi bertugasmengkoordinasikan semua kegiatan pemeriksaan laboratoriumdi Seksi Kimia. Pelaksana Kesehatan bertugas membantuPelaksana Analis dalam melakukan pemeriksaan laboratoriumyang berada di Seksi Patologi dan Kimia. Hubungan kerjabersifat vertikal dan horizontal. Risiko kerja yang mungkin terjadiyaitu keracunan bahan kimia dan pestisida. Sebagian kondisilingkungan kerja masih belum memenuhi persyaratan. Deskripsidan spesifikasi pekerjaan empat tenaga teknis yang telahdisusun bersifat fleksibel.Saran: Deskripsi pekerjaan yang sudah disusun agardisosialisasikan kepada tenaga teknis untuk pedoman dalammenjalankan tugas, perlu peningkatan pendidikan SMAK/SMF/SPK ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, segera dilakukanpelatihan tenaga teknis yang belum dijalankan, perlu tindaklanjut untuk menangani standar keamanan kerja dan standarpenyelengggaraan pemantapan mutu. Masih diperlukanpenelitian tentang training need assessment tenaga teknisdan analisis beban kerja tenaga teknis.

Kata kunci: analisis pekerjaan, deskripsi pekerjaan,spesifikasi pekerjaan, laboratorium kesehatan.

Artikel Penelitian

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 81

PENGANTARBalai Laboratorium Kesehatan (BLK) Semarang

merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatanyang berkewajiban memberikan pelayanan yangbermutu kepada para pelanggannya. Tugas ini tidakdapat terlaksana dengan sempurna apabila tidakdidukung oleh ketersediaan sumber dana, sumberdaya manusia maupun fasilitas kerja yang memadai.

Sejak diberlakukan desentralisasi, secaraadministratif BLK Semarang berada di bawahkoordinasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengahseperti yang tercantum dalam Peraturan DaerahGubernur Jawa Tengah No. 1 tahun 2002 tanggal 2April 2002 Pasal 179 1 tentang Kedudukan, TugasPokok dan Fungsi BLK. Balai LaboratoriumKesehatan (BLK) Semarang adalah UPT dinaskesehatan provinsi dengan struktur organisasi terdiridari satu orang kepala balai, satu orang kepalasubbagian TU dan tiga orang kepala seksi yaituSeksi Mikrobiologi, Patologi dan Kimia.

Tenaga di Balai Lankes Semarang terdiri dari42 orang tenaga teknis (56%) dan 34 orang tenaganonteknis (44%). Tenaga teknis mempunyai tugasmemberikan pelayanan langsung kepadamasyarakat di bawah koordinator ketiga seksi yangada, sedangkan tenaga nonteknis yang bekerja dibidang administrasi di bawah koordinator KepalaSubbagian Tata Usaha (Kasubag TU). Tenaga teknisyang ada memiliki berbagai latar belakangpendidikan setingkat SLTA (SMAK/SPK/SMF), D3(AAK) serta S1 (dokter, biologi, teknik lingkungandan apoteker). Tenaga teknis dibagi menurut bidangpekerjaan, yaitu pengawas kesehatan, pelaksanaanalis, pengawas farmasi, dan pelaksana kesehatan.

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkaninformasi mengenai deskripsi pekerjaan danspesifikasi pekerjaan. yang dilakukan melaluianalisis pekerjaan tenaga teknis pada BLKSemarang, sedangkan tujuan khususnya yaitu:1. Menyusun deskripsi pekerjaan sesuai dengan

bidang pekerjaan2. Menyusun spesifikasi pekerjaan sesuai dengan

standar yang ditetapkan3. Menyusun rencana pengembangan tenaga

teknis BLK Semarang dengan pendidikan danpelatihan.

BAHAN DAN CARA PENELITIANJenis penelitian ini adalah studi kasus yang

bersifat deskriptif eksploratif 2 dengan pendekatankualitatif untuk penyusunan deskripsi pekerjaanmasing-masing pegawai serta rencana pendidikandan pelatihan untuk pengembangan sumber dayamanusia bagian teknis di BLK Semarang..

Unit analisis dalam penelitian ini adalah BLKSemarang, dengan populasi penelitian adalah semuatenaga teknis yang berjumlah 42 orang. Subjekpenelitian adalah tenaga teknis berjumlah 18 orangdengan pertimbangan bahwa subjek penelitiantersebut memiliki kesamaan jenis bidang pekerjaan.Responden penelitian adalah 10 orang tenagaPengawas Kesehatan, 5 orang tenaga PelaksanaAnalis, 1 orang tenaga Pengawas Farmasi, dan 2orang tenaga Pelaksana Kesehatan. Sebagairesponden triangulasi adalah Kepala Balai Labo-ratorium Kesehatan, Kepala Subbagian TU dan 3orang Kepala Seksi. Analisis data dilakukan denganmengikuti pola berfikir induktif. Data kualitatif yangterkumpul diolah sesuai tujuan penelitian danselanjutnya diverifikasi serta disajikan dalam bentukdeskripsi. 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANAnalisis pekerjaan adalah proses pengumpulan

dan pemeriksaan atas aktivitas kerja di dalam sebuahposisi serta kualifikasi (keahlian, kemampuan,pengetahuan serta sifat-sifat individu lainnya) yangdiperlukan untuk melaksanakan aktivitas pekerjaan.4

Perilaku atau tindakan yang dapat diamati dalamanalisis pekerjaan yaitu: elemen pekerjaan, tugas,kewajiban, posisi, pekerjaan dan jabatan.5 Analisispekerjaan mencakup tiga komponen yaitu: desksipsipekerjaan, spesifikasi pekerjaan dan standar kinerjapekerjaan.6 Tujuan analisis pekerjaan adalahmengumpulkan jawaban atas pertanyaan: apa yangdilakukan pekerja, bagaimana ia melakukannya,kapan pekerjaan harus diselesaikan, dimanapekerjaan harus dilaksanakan, bantuan/saranapekerjaan apa yang diperlukan dan apa sajakahpersyaratan yang harus dipenuhi.5 Hasil dari analisispekerjaan adalah deskripsi dan spesifikasipekerjaan.

Spesifikasi (syarat) pekerjaan antara lainpengetahuan, keterampilan dan kemampuan tertentuyang berbeda-beda antara pekerjaan yang satudengan pekerjaan yang lain. Spesifikasi pekerjaanadalah uraian kualitas minimum seseorang yang bisaditerima agar dapat menjalankan suatu pekerjaandengan baik dan kompeten, yang meliputipengetahuan, keterampilan dan kemampuanpegawai yang didasarkan pada pendidikan formaldan pelatihan tambahan yang telah diikuti olehpegawai tersebut.7

Proses analisis pekerjaan sebenarnyamerupakan suatu pengumpulan data dan metodeyang biasa dipergunakan yaitu dengan menggunakankuesioner, menuliskan cerita singkat, pengamatandan wawancara.8

Retno Wahyu Gayatri, dkk: Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis

82 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

Tahap-tahap analisis pekerjaan yaitu:pengenalan organisasi dan tipe pekerjaan secaraumum, identifikasi pekerjaan, penyusunan daftarpertanyaan, pengumpulan dan penyempurnaan data,penyusunan deskripsi, spesifikasi dan standarpekerjaan serta penerapan hasil dalam sisteminformasi SDM.9

Berdasarkan Peraturan Daerah Gubernur JawaTengah No. 1 tanggal 1 April 2002 tentangPembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsidan Susunan Organisasi Unit Pelaksana TeknisDinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, susunanOrganisasi BLK Semarang terdiri dari jabatanstruktural, yaitu: 1 orang Kepala BLK, 1 orangSubbagian TU, 3 orang Kepala Seksi (Mikrobiologi,Kimia dan Patologi), dan jabatan non strukturalumum yang terdiri dari tenaga teknis dan tenaganonteknis/administrasi.

Tenaga teknis di BLK Semarang dibagi menjadiempat jabatan (pengawas kesehatan, pelaksanaanalis, pengawas farmasi, dan pelaksana kesehatan)yang bertugas langsung di bagian pemeriksaanlaboratorium dengan berbagai latar belakangpendidikan (analis kesehatan, SMAK, SPK, SMF,dokter, sarjana biologi, sarjana teknik lingkungan danapoteker). Tenaga nonteknis/administrasi adalahtenaga/pegawai yang bekerja di bagian TU.

1. Gambaran Umum Responden PenelitianBila dibandingkan dengan standar persyaratan

jabatan yang ditetapkan, dari sepuluh orangpengawas kesehatan masih ada empat orang yangbelum memenuhi tingkat pendidikannya, satu orangbertugas di seksi patologis, dua orang di seksimikrobiologis dan satu orang di seksi kimia..Pendidikan mereka adalah Sekolah Menegah AnalisKesehatan (SMAK) sementara persyaratannyaadalah D3 Analis Kesehatan (AAK). Dari lima orangyang bertugas sebagai pelaksana analis, hanya satuorang yang memenuhi tingkat pendidikannya yaituD3 AKK, yang lainnya berpendidikan SMAK. Satuorang tenaga pengawas farmasi sudah mempunyaipendidikan yang sesuai yaitu S1 apoteker. Dua or-ang tenaga pelaksana kesehatan juga telahmemenuhi tingkat pendidikannya yaitu SMF/SPK/SMAK.

2. Tata KerjaBalai Laboratorium Kesehatan (BLK) Semarang

dipimpin oleh seorang Kepala Balai dengan dibantuoleh tiga orang Kepala Seksi yaitu: Seksi

Mikrobiologi, Seksi Patologi dan Seksi Kimia serta1 orang Kasubag TU. Kepala BLK melaksanakansebagian tugas teknis Dinas Kesehatan ProvinsiJawa Tengah dan melaksanakan tugas teknisoperasional laboratorium kesehatan masyarakat danlaboratorium lingkungan.

Seksi mikrobiologi bertanggung jawab kepadaKepala BLK dalam hal menyiapkan bahan, rencanakegiatan teknis operasional pemeriksaanbakteriologi, parasitologi, pemeriksaan BTA yangberasal dari puskesmas mokroskopis di JawaTengah dan melaporkan hasilnya kepada KepalaBLK dan memberikan umpan balik kepadapuskesmas serta melakukan bimbingan kepadasiswa/mahasiswa yang melakukan PKL danmenerima aporan kegiatan seksi mikrobiologi.

Seksi Kimia Klinik bertanggung jawab kepadaKepala BLK dalam hal menyiapkan bahan, rencanakegiatan teknis operasional pemeriksaan di bidankimia klinik, yaitu: hematologi, serologi danimmunologi, menyiapkan materi kegiatan bimbinganteknis kepada laboratorium di puskesmas maupunlaboratorium di kabupaten/kota serta pelaporankegiatan seksi kimia klinik.

Seksi Kimia bertanggungjawab kepada KepalaBLK dalam hal menyiapkan bahan, rencana kegiatanteknis operasional pemeriksaan di bidang kimiaklinik, meliputi pemeriksaan air dan toksikologi sertamelakukan bimbingan kepada peserta magan dariintitusi pendidikan seperti: FKM, AAK/AAF/Akafarma, SMF, SAA dan SMAK serta memberikanpelaporan kegiatan di seksi kimia.

3. Hubungan KerjaHubungan kerja vertikal dengan atasan langsung

dalam hal konsultasi/bimbingan dalam menjalankantugas, sedangkan hubungan horizontal dilakukanterhadap sesama tenaga teknis dalam wujud kerjasama dalam melaksanakan tugas/pekerjaan.Pertemuan koordinasi dalam seksi biasanyadilakukan dua minggu sekali.

4. Risiko KerjaRisiko kerja yang mungkin terjadi pada tenaga

yang bertugas pada BLK antara lain: keracunanbahan kimia maupun pestisida. Salah satu carauntuk menghindari bahaya kerja yaitu setiap petugasharus melakukan pemeriksaan sampel di dalamlaboratorium diwajibkan memakai sarung tangan danjas laboratorium, serta menjaga kebersihan ruanganmaupun peralatan yang dipergunakan.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 83

5. Kondisi Lingkungan KerjaBerdasarkan pengamatan dengan memakai

pedoman check list disimpulkan bahwa kondisi yangada di masing-masing laboratorium (patologi,mikrobiologi dan kimia) secara umum sudahmemenuhi syarat luas ruangan serta peralatanstandar yang seharusnya ada dalam masing-masinglaboratorium, hanya kondisi penataan masih kurangrapi (misal almari/rak penyimpanan tabung, dindingagak kotor (kena cairan kimia, dekat dengan ruangpencucian alat atau kamar mandi) dan tempatpenyimpanan jas lab dan sarung tangan tidak rapi.Ruang laboratorium kimia belum memakai AC. Selainitu juga petunjuk/prosedur untuk masing-masingpemeriksaan tidak semuanya dituliskan.

Sebagian besar responden berharap agar kondisilingkungan kerja (fisik) agar ditingkatkan bersama-sama. Mereka juga mengharapkan adanyahubungan kerja yang harmonis antara staf danpimpinan, serta antara sesama rekan kerja.

6. Keadaan Dibandingkan dengan StandarPelayanan BlkSebagian besar responden penelitian belum

mengikuti pelatihan baik penjenjangan maupun yangberhubungan dengan tugas pegawai teknis yangdipersyaratkan untuk memangku masing-masingtugas teknisnya.

Dalam penelitian ini juga dilakukan pengamatandengan check list terhadap standar keamanan kerja,pengelolaan spesimen, pencatatan dan pelaporandan standar kemampuan penyelenggaraanpemantapan mutu yang semuanya diperbandingkandengan standar pelayanan BLK. Dari semua itemyang ada, yang paling banyak belum dilakukan(belum ada) yaitu pada standar keamanan kerja danpenyelengaraan pemantapan mutu.

7. Hasil Analisis Pekerjaan Tenaga Teknis BLKBerikut ini hasil analisis pekerjaan keempat

tenaga teknis di BLK Provinsi Jawa Tengah (Tabel 1).

Tabel 1 Deskripsi Pekerjaan Tenaga Teknis BLK Jawa Tengah di Semarang

Pengawas Kesehatan Pelaksana Analis Pelaksana Kesehatan Pengawas Farmasi

Tanggung jawab

1. Melaksanakan

delegasi tugas dari kepala seksi

2. Membuat laporan hasil pemeriksaan dengan benar

3. Melaporkan hasil pemeriksaan kepada kepala seksi

4. Mengkoordinasi kegiatan pemeriksaan di masing-masing seksi secara teknis maupun administrasi

1. Melaksanakan

delegasi tugas dari Kepala seksi

2. Melaksanakan pengambilan sampel dengan benar

3. Menulis data pasien dan hasil pemeriksaan dengan benar

4. Menyusun laporan hasil pemeriksaan dan melaporkan kepada kepala seksi

1. Membantu

melaksanakan pemeriksaan yang dilakukan oleh pelaksana analis

2. Melaksanakan dan menulis hasil pemeriksaan dengan benar dengan bimbingan pelaksana analis

3. Melaporkan hasil kepada Kepala Seksi masing-masing melalui pelaksana analis

4. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh kepala seksi

1. Melaksanakan

delegasi tugas dari kepala seksi kimia.

2. Membuat laporan pelaksanaan delegasi.

3. Membimbing siswa/ mahasiswa yg melakukan PKL di lingkungan seksi kimia dan melaporkan kegiatan kepada kepala seksi kimia

Wewenang

1. Menandatangani

hasil pemeriksaan 2. Memberi saran dan

masukan tentang hal-hal yang teknis maupun administrasi sesuai seksinya

1. Menandatangi hasil

pemeriksaan dengan benar

2. Memberi saran dan masukan mengenai hal-hal yang berkaitan dg teknis pemeriksaan laboratorium kepada kepala seksi

3. Mengkoordinasikan kegiatan pelaksana kesehatan

1. Menandatangani

hasil pemeriksaan dengan benar

2. Memberikan masukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bidang pemeriksaannya kepada pelaksana analis

1. Memberi saran dan

masukan secara teknis dan administrasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bidang pemeriksaan kepada kepala seksi Kimia

Retno Wahyu Gayatri, dkk: Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis

84 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

Hasil Kerja

1. Tersusunnya topik

program kerja dan rencana pelaksaaan kerja pada masing-masing seksi

2. Terlaksananya kegiatan pemeriksaan sesuai rencana

3. Tersedianya data pemeriksaan secara lengkap

4. Terlaksananya kegiatan bimbingan teknis bagi siswa/ mahasiswa yang melakukan praktik kerja lapngan (PKL) di BLK

5. Terlaksananya tugas yang diberikan kepala seksi

6. Terkoordinasinya kegiatan pemeriksaan di masing-masing seksi

1. Terlaksananya

kegiatan pemeriksaan secara tepat dan benar sesuai prosedur pemeriksaan

2. Terlaksananya kegiatan pemeriksaan sesuai yang direncanakan

3. Tersedianya informasi tentang hasil pemeriksaan yang dilakukan

4. Tersusunnya laporan untuk pemeriksaan yg menjadi tanggung jawabnya

1. Terlaksananya

kegiatan pemeriksaan secara tepat dan benar sesuai prosedur pemeriksaan

2. Tersedianya informasi tentang hasil pemeriksaan yang dilakukan

3. Tersusunnya laporan untuk semua pemeriksaan yang menjadi tanggungjawabnya

1. Tersusunnya topik-

topik program kerja di seksi kimia

2. Terlaksananya kegiatan pemeriksaan sesuai rencana

3. Tersedianya data pemeriksaan kimia secara lengkap

4. Tersedianya jadwal kegiatan di seksi kimia

5. Terlaksanya kegiatan bimbingan teknis bagi siswa/ mahasiswa yang melalukan PKL khususnya di seksi kimia

6. Terkoodinasinya kegiatan pemeriksaan di seksi kimia

Bahan Kerja

1. Program kerja

masing-masing seksi

2. Jadwal kerja masing-masing seksi

3. Data-data kegiatan masing-masing seksi

4. Data hasil kegiatan pemeriksaan laboratorium

5. Sampel peemriksaan (air, udara, darah, faeses, urine)

6. Bahan-bahan kimia (reagen)

7. Jenis kegiatan pemriksaan di masing-masing seksi

8. Data masing-masing jenis pemeriksaan

1. Sampel

pemeriksaan (darah, urine,faeses, air, udara, makanan)

2. Bahan-bahan kimia (reagen)

3. Arahan pempinan 4. Uraian tugas

Pelaksana Kegiatan

1. Sampel pemeriksaan

(darah, urine, faeses,air, udara, makanan)

2. Bahan-bahan kimia (reagen)

3. Arahan dari pimpinan, pengawas kesehatan, pengawas farmasi dan pelaksana analis

1. Sampel

pemeriksaan (air, makanan,bahan-bahan toksik)

2. Program kerja masing-masing seksi

3. Jenis kegiatan di seksi kimia

4. Jadwal kerja masing-masing seksi

5. Data hasil pemeriksaan laboratorium

Perangkat Kerja

1. Standar pelayanan

laboratorium kesehatan (labkes)

2. Kebijakan-masing program BLK

3. Petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan Labkes

4. Peralatan pemeriksaan (tabung, gelas, pipet dan lain-lain)

5. Alat-alat elektornik pendukung pemeriksaan.

6. Alat tulis kantor

1. Prosedur

pemeriksaan untuk masing-masing jenis pemeriksaan

2. Sarung tangan dan peralatan laboratorium pendukung

3. ATK 4. Buku, referensi

pendukung lainnya 5. Petunjuk

pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis)

1. Prosedur

pemeriksaan untuk masing-masing jenis pemeriksaan

2. Sarung tangan dan peralatan laboratorium pendukung

3. ATK 4. Buku, referensi

pendukung lainnya 5. Petunjuk

pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) pemeriksaan

1. Standar pelayanan

Labkes 2. Kebijakan-kebijakan

program Balabkes, buku dan referensi pendukung

3. Peralatan pemeriksaan (tabung gelas, pipet, gelas ukur dan lain-lain)

4. Alat-alat elektronik pendukung pemeriksaan bidang kimia

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 85

Senada dengan penelitian Aziz Ajarat10 danTugiman11, dalam penelitian ini juga ditemukanbahwa secara umum responden belum mengetahui/memahami secara jelas tugas dan tanggung jawabdalam pekerjaan mereka. Selama ini yang dilakukanoleh atasan langsung (kepala seksi) adalah berusahamembuat uraian tugas dan diusahakan tidak terjadioverlapping antara pekerjaan yang satu dengan yanglain, tetapi hal ini sulit dilakukan dan diakui masihbanyak kelemahannya.

Pertemuan koordinasi di dalam seksi biasanyadilakukan dua minggu sekali untuk membahaspermasalahan yang ada. Supervisi/pembinaansecara langsung pada pekerjaan tenaga teknis tidakpernah dilakukan lagi selama tiga bulan terakhir.

Permasalahan lain dalam hal pengembanganSDM yaitu: terbatasnya anggaran untuk diklat,informasi pelatihan yang diterima seringkaliterlambat, kriteria peserta diklat tidak sesuai dengantenaga yang ada. Diklat SDM khususnya tenagateknis yang telah disusun oleh Kepala BLK untukjangka menengah (tiga tahun) menjadi lebih terarahdengan berhasil disusunnya deskripsi dan spesifikasipekerjaan ini.

8. Identifikasi Kebutuhan Pendidikan danPelatihan Tenaga Teknis Blk Pelatihan tenaga teknis BLK Jawa Tengah yang

masih diperlukan untuk waktu mendatang yaitu:a. Seksi Mikrobiologi: pelatihan mikroskopis ma-

laria, pelatihan mikroskopis pemeriksaan telurcacing dan faeses, pelatihan TB,

b. Seksi Kimia: pelatihan penanganan limbah,penanganan keracunan makanan

c. Seksi Patologi: pelatihan patologi anatomi,otomatisasi kimia klinik dan hematologi.

Semua tenaga teknis memerlukan tambahanpengetahuan dan ketrampilan sesuai bidangtugasnya dari berbagai seminar dan workshop yangberkaitan dengan bidang pekerjaannya, pelatihanmanajemen mutu, serta pelatihan penanganankeselamatan kerja di laboratorium.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

Telah dilakukan analisis pekerjaan empat jenistenaga teknis di BLK Jawa Tengah yaitu: PengawasKesehatan, Pelaksana Analis, Pengawas Farmasidan Pelaksana Kesehatan. Jabatan PengawasKesehatan, Pelaksana Analis, Pengawas Farmasidan Pelaksana Kesehatan. Jabatan tenaga teknistersebut ditentukan berdasarkan pangkat, golongandan jenjang pendidikan formal.

Deskripsi pekerjaan berisi tentang rumusantugas, hasil kerja, bahan kerja, perangkat kerja,tanggung jawab, wewenang dan kondisi pelaksanaanpekerjaan kerja dengan mempertimbangkan bidangpekerjaan yang ada dan dapat ditinjau kembalisesuai dengan tuntutan organisasi.

Spesifikasi pekerjaan yang berisi tentangpersyaratan untuk menduduki jabatan masing-masingtenaga teknis tersebut disesuaikan dengan pendidikanformal, pangkat/golongan, jenis pelatihan yang pernahdiikuti, pengalaman kerja dan persyaratan fisik yangharus dimiliki oleh tenaga teknis.

SaranDeskripsi pekerjaan tenaga teknis yang telah

disusun diharapkan dapat segera disosialisasikanuntuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugassesuai bidang pekerjaannya, perlu tindak lanjut untukmenangani standar keamanan kerja dan standarpenyelengggaraan pemantapan mutu, kesempatantenaga teknis dengan pendidikan SMAK/SMF/SPKuntuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dansegera dilakukan pelatihan tenaga teknis yang belumdilakukan. Penelitian lebih lanjut yang dapatdilakukan yaitu penelitian tentang training need as-sessment tenaga teknis dan analisis beban kerjatenaga teknis.

KEPUSTAKAAN1. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.1

tahun 2002, Pembentukan, Kedudukan, TugasPokok, Fungsi dan Susunan Organisasi UnitPelaksana Teknis Dinas Kesehatan, Semarang,2002.

2. Arikunto, S, Prosedur Penelitian, Edisi Revisi,Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

3. Moleong, Lexy J. Metodologi PenelitianKualitatif, edisi kedua, Permaja Rosdakarya,Bandung, 2002.

4. Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI,Analisis Jabatan, Pusat pembinaan Pendidikandan Latihan Teknis Fungsional, Jakarta, 1993.

5. Moekijat, Manajemen Personalia dan SumberDaya Manusia, Mandar Maju, Bandung, 1995.

6. Simamora, Henry, Manajemen Sumber DayaManusia, Edisi kedua, Bagian Penerbitan STIEYKPN, Yogyakarta, 1999.

7. Hasibuan, HMSP. Manajemen Sumber DayaManusia, Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta,2000.

8. Heidjrahman dan Suad Husnan, ManajemenPersonalia, Edisi keempat cetakan kesembilan,BPFE Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,2000.

Retno Wahyu Gayatri, dkk: Analisis Pekerjaan Pegawai Bagian Teknis

86 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

9. Handoko, T. Hani. Manajemen Personalia danSumber Daya Manusia, Andi Offset, Yogyakarta,2000.

10. Tugiman, Analisis Jabatan Sebagai DasarPengembangan Sumber Daya Manusia di BalaiPelatihan Kesehatan (Bapelkes) Gombongdalam Era Desentralisasi, tesis pada MagisterManajemen Pelayanan Kesehatan (MMPK)Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta, 2002.

11. Ajarat, Aziz, Analisis Jabatan Sebagai DasarPengembangan Sumber Daya Manusia diAkademi Keperawatan Departemen Kesehatandi Ternate, tesis pada Magister ManajemenPelayanan Kesehatan (MMPK) PascasarjanaUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 87

SISTEM PEMBERIAN INSENTIF YANG BERPIHAK PADA SUMBER DAYAMANUSIA KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL:

Studi Kasus Provinsi Lampung

A PRO WORKER INCENTIVE/PAY SCHEME FOR HEALTH CARE MANPOWER IN REMOTE AREAS:Case Study in Lampung Province

Dumilah AyuningtyasFakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia,

Jakarta

ABSTRACTBackground: This qualitative study seeks to identify problemsand their implications on health care manpower in ProvinsiLampung by analyzing relevant documents, holding in-depthinterviews, FGD, CDMG for decision-makers and keystakeholders with the aim of producing a consensus.          Method: Primary and secondary data collection as well astriangulation of data was carried out in ways that ensurequality. The study covers provincial, district and municipal healthoffices (dinkes provinsi/kabupaten/kota), community healthcenters (puskesmas), hospitals and other health facilities.Result and Conclusions:The study shows that almost all ofProvinsi Lampung health offices and work units at district andmunicipality levels experience a shortage of health caremanpower. The ratio of health workers (medical doctors,dentists, midwives, nurses and others) to every 100,000 peopleis below the national figure. The ratio of doctors to the populationhere is 5.6 (the national figure is 10.73). Informants haveidentified the absence of an adequate system of compensationfor health workers (midwives, nurses, general practitioners)in the municipality of and in districts in Provinsi Lampung. Amonthly incentive of Rp250,000,00 and Rp1 million is availablefor specialists only in North Provinsi Lampung and West ProvinsiLampung respectively. There are differences in ProvinsiLampung Districts� financial ability, but there has yet to be ascheme that accommodates the differences. The study showsthe possibility of implementing a scheme that covers bothmaterial and in-kind incentives that are based on the region�scharacteristics and the provincial government�s financial ability.

Keywords: incentive, modification of incentives, the patternof incentive and ability of the region

ABSTRAKLatar belakang: Untuk mengidentifikasi permasalahan danimplikasi ketenagaan kesehatan, termasuk sistem insentif, bagiSDM Kesehatan Provinsi Lampung, studi kualitatif inimenganalisis dokumen terkait, wawancara mendalam,FGD,CDMG di antara para pengambil keputusan, tokoh kunciuntuk melahirkan konsensus bersama.Metode: Pengambilan data primer, sekunder dan triangulasidata dilakukan untuk menjamin kualitas hasil. Studi meliputidinkes provinsi/kabupaten dan kota, puskesmas, rumah sakitdan instasi kesehatan lain.Hasil dan Kesimpulan: Studi memperlihatkan hampir di semuaunit kerja dan dinkes kabupaten/kota di Provinsi Lampungkekurangan jumlah SDM kesehatan. Rasio antara jenis tenagakesehatan (dokter, dokter gigi, bidan, perawat dan lain-lain)

terhadap seratus ribu penduduk yang harus dilayani masihkurang dan di bawah rasio nasional. Seperti angka rasio dokter5,6 (nasional 10,73). Informan menyepakati belum terbangunsistem pemberian insentif. Tidak ada kebijakan pemberianinsentif bagi berbagai jenis tenaga kesehatan (bidan, perawat,dokter umum) di kota dan kabupaten di Provinsi Lampung. Hanyaada pemberian insentif yang ditujukan khusus bagi dokterspesialis di Provinsi Lampung Utara sebesar Rp250.000,00/bulan dan Provinsi Lampung Barat Rp1.000.000,00/ bulan.Meski terdapat perbedaan situasi kemampuan antarkabupaten/kota di Provinsi Lampung namun belum ada pembedaanpemberian insentif yang akomodatif. Pemberian insentifmaterial dan atau nonmaterial dengan mendasarkan padakarakteristik daerah dan kemampuan pemda muncul sebagaistrategi implementasi sistem pemberian insentif

Kata Kunci: prinsip pemberian insentif, modifikasi insentif,pemberian insentif, kemampuan daerah

PENGANTARBerbagai permasalahan Sumber Daya

Manusia (SDM) kesehatan dijumpai di daerah-daerah di era desentralisasi, seperti masih rendahnyamutu tenaga kesehatan dan kesesuaian antarakompetensi dengan tuntutan pekerjaannya, jugakurangnya jumlah SDM kesehatan di daerahpedesaan. Gambaran tersebut dijumpai pula diProvinsi Lampung. Pelaksanaan otonomi daerahharus dipandang sebagai sebuah kesempatankewenangan untuk mengelola SDM kesehatandaerah dengan lebih baik.

Manajemen SDM kesehatan perlu mendapatperhatian khusus di Provinsi Lampung mengingatmasih rendahnya status kesehatan masyarakat,sementara kualitas SDM kesehatannya pun masihharus ditingkatkan. Representasi kualitas dankuantitas SDM kesehatan Provinsi Lampung yangtercermin dari laporan provinsi memperlihatkanbahwa sebagian besar SDM kesehatan masihmemiliki latar belakang pendidikan setingkat SMU.Kebanyakan SDM kesehatan pada unitadministrasi untuk tingkat provinsi memiliki latar

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 87 - 93

Artikel Penelitian

Dumilah Ayuningtyas: Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak

88 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

belakang pendidikan hanya sampai tingkat sekolahmenengah atas dan akademi dengan mayoritaskomposisi sebagai petugas administrasi umumdibandingkan petugas teknik.1 Oleh karena itu,dilakukan studi dan pengkajian manajemen,pengembangan SDM kesehatan di Provinsi Lampungdengan tujuan antara lain mengidentifikasipermasalahan dan implikasi ketenagaan kesehatan,termasuk pada sistem insentif bagi SDM kesehatan.

BAHAN DAN CARA PENELITIANTelah dilakukan studi dan pengkajian manajemen

dan pengembangan SDM kesehatan di ProvinsiLampung dengan tujuan antara lain mengidentifikasipermasalahan dan implikasi ketenagaan kesehatan,termasuk pada sistem insentif bagi SDM kesehatan.Studi kualitatif dilakukan untuk mendapatkandeskripsi rinci dan analisis mendalam tentangmanajemen dan proses pengembangan SDMkesehatan Provinsi Lampung. Oleh karena itu,analisis dokumen terkait, wawancara mendalam,FGD,CDMG di antara para pengambil keputusan,tokoh kunci, dan stake holder lain untuk melahirkankonsensus bersama dengan dasar �expert judge-ment by good intuitive� menjadi bagian penting padastudi ini. Pengambilan data primer, sekunder, untukkemudian dilakukan triangulasi data dilakukan untukmenjamin keakuratan dan validitas hasil studi.Pelaksanaan studi meliputi dinas kesehatan(dinkes) provinsi/kabupaten dan kota, puskesmas,rumah sakit dan beberapa instasi kesehatan lainyaitu balai pelatihan kesehatan, AKPER dan AKL.Informan ditetapkan dengan memperhatikan prinsipadequacy dan appropiatness mulai dari kadinkes,kasubdin, kasie, kepala puskesmas, direktur.

Informan dalam studi ini adalah: direktur rumahsakit, kadinkes/wakadinkes provinsi dan kabupaten,

organisasi profesi, staf dinkes yang berhubungandengan studi ini (kasubbag perencanaan, kasubdinSDK, kabag TU, kasie pendayagunaan nakes, pokjaprovinsi, kasubdin, akademisi, bapelkes, pusdiklat,pusdiknakes), kepala puskesmas.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANSituasi Ketenagaan Kesehatan: Jumlah danJenis SDM Kesehatan

Pada Tabel 1 disajikan peta ketenagaanberdasarkan tingkat pendidikan di Dinkes ProvinsiLampung tahun 2002.

Dari Tabel 1, terlihat bahwa 58,41% adalahtenaga kesehatan yang berpendidikan setingkatSLTA, tenaga kesehatan yang berpendidikan DIIIkesehatan sebesar 15,89% dan S1 kesehatan hanya5,43%. Persentase terbesar tingkat pendidikan SDMkesehatan Provinsi Lampung adalah SLTA sebesar67,31%. Persentase pendidikan S2 (2,5%) ternyatalebih rendah dari persentase pendidikan SD (2,7%).

Dari segi jumlah tenaga kesehatan, semua unitkerja yang dikunjungi menyatakan bahwa jumlahSDM yang dimiliki kurang. Dari segi jenis tenagaberdasarkan pendidikan jumlahnya juga kurangkecuali Dinkes Provinsi Lampung Utara kelebihantenaga AKL dan ATRO dan Dinkes Bandar ProvinsiLampung kelebihan tenaga perawat dan Bapelkeskelebihan tenaga staf. (Tabel 2).

Dalam skala provinsi jumlah yang ada dirasakanmasih sangat kurang. Rasio antara jenis tenagakesehatan (dokter, dokter gigi, bidan, perawat danlain-lain) terhadap 100.000 penduduk yang dilayanimasih kurang dan di bawah rasio nasional. Indikatorketersediaan tenaga kesehatan yang berperansebagai ujung tombak pelayanan kesehatanditunjukkan oleh angka rasio dokter, bidan, danperawat pada Tabel 3.

Tabel 1. Peta ketenagaan Kesehatan Provinsi Lampung Berdasarkan Komposisi Tahun 2002

Sumber: Bima SDK Dinkes Provinsi Lampung,2003

Kesehatan Nonkesehatan Total

Ketenagaan Pendidikan Jumlah % Jumlah % Jumlah %

S2 160 2.30 14 0.20 174 2.50 S1 378 5.43 209 3.00 587 8.43 D3 1,107 15.89 22 0.32 1,129 16.21 SLTA 4,069 58.41 620 8.90 4,689 67.31 SLTP 34 0.49 165 2.37 199 2.86 SD - - 188 2.70 188 2.70

Total 5,748 82.52 1,218 17.48 6,966 100.00 Total Nakes: 6,966

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 89

Sumber : Data primer dari unit kerja yang dikunjungi, tahun 2003

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kesehatan Pada Unit Kerja yang Dikunjungi Tahun 2003

Jumlah Unit Kerja Nakes Nonkes Total

Kekurangan

Kelebihan

Dinkes Provinsi 125 162 287 - - Dinkes Bandar Provinsi Lampung

622 96 718 Tenaga analis (lab), tenaga gizi Tenaga perawat

Dinkes Metro 95 54 149 Medis, paramedis, gizi, analis kesehatan, tenaga statistik, operator komputer

Tidak ada

Dinkes Provinsi Lampung Utara

670 72 742 Medis (dokter spesialis, dokter gigi) Paramedis (S1 keperawatan, bidan, gizi, analis kesehatan, Asisten Apoteker, perawat gigi dan fisioterapi)

- ATRO - AKL - Anestesi

Dinkes Provinsi Lampung Tengah

560 38 598 - -

Dinkes Provinsi Lampung Timur

399 - 399 Semua jenis tenaga -

Dinkes Provinsi Lampung Selatan

496 55 551 - -

Dinkes Tulang Bawang

468 6 474 Dr, Drg, Parawat, bidan -

RS Dr. Abdul Moeloek

593 306 899 Spesialis penyakit dalam, mata, THT, kulit, radiologi urologi, forensik dan dokter umum. S1 dan D3 keperawatan, perawat jiwa

Spesialis bedah, obsgin dan kesehatan anak

Bapelkes 33 15 48 Widiaiswara, tenaga pramu, sopir Staf Diknakes 148 142 290 Tenaga struktural dirangkap

tenaga fungsional Tidak ada

Jumlah 4209 946 5155

Tabel 3. Rasio tenaga dokter, bidan dan perawat terhadap pendudukdi Provinsi Lampung tahun 1998 � 2002

R A S I O 1998 1999 2000 2001 2002

Dokter/100 ribu penduduk 4,03 4,73 7,51 6,53 5,60

Bidan/100 ribu penduduk 40,28 31,12 19,42 - -

Perawat /100 ribu penduduk 40,18 31,25 35,90 - -

Sumber: laporan Kinerja Dinkes Provinsi Lampung Tahun 1998 � 2002

Hasil pengkajian memperlihatkan hampir disemua unit kerja dan Dinkes Kabupaten/Kota diProvinsi Lampung masih kekurangan jumlah SDMkesehatan. Rasio antara jenis tenaga kesehatan(dokter, dokter gigi, bidan, perawat dan lain-lain)terhadap 100.000 penduduk yang harus dilayanimasih sangat kurang bila dibandingkan dengan rasionasional. Angka rasio tenaga dokter misalnya 5,6masih jauh di bawah angka nasional yaitu 10,73.Beratnya beban kerja karena harus merangkaptugas/jabatan, tingginya angka turn over, jauhnyarasio antara tenaga kesehatan (nakes) dengan

populasi atau dengan sarana kesehatandibandingkan dengan standar nasional, kekosongantenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatanterutama di daerah yang terpencil atau semi terpencilterungkap dari temuan di lapangan. Para informanmenyepakati belum terbangun sistem bakupemberian insentif. Tidak ada kebijakan pemberianinsentif bagi berbagai jenis tenaga kesehatan (bidan,perawat, dokter, dan lain-lain) di seluruh kota dankabupaten yang ada di Provinsi Lampung. Hanyaada pemberian insentif pada saat studi dilakukan ditahun 2003, yang ditujukan khusus bagi dokter

Dumilah Ayuningtyas: Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak

90 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

spesialis di Provinsi Lampung Utara sebesarRp250.000,00/bulan dan Provinsi Lampung BaratRp1.000.000,00/bulan. Meski terdapat perbedaansituasi kemampuan antar kabupaten/kota di ProvinsiLampung, namun belum ada pembedaan pemberianinsentif yang mengakomodasi perbedaan-perbedaantersebut. Para informan juga menyepakati klasifikasiperbedaan kota/kabupaten di Provinsi Lampungsebagai berikut.1. Dari sisi keterpencilannya

Daerah terpencil: Provinsi Lampung Barat, WayKananSemi terpencil: Tanggamus, Provinsi LampungTimur, Tulang Bawang. Daerah kategori biasaadalah : kabupaten/ kota sisanya

2. Dari sisi kemampuan pendanaan pemerintahdaerah (miskin atau tidaknya)Kabupaten miskin di Provinsi Lampung adalahWay Kanan, Tulang Bawang, dan ProvinsiLampung Barat. Pendapatan Asli Daerah (PAD)teratas adalah Bandar Provinsi Lampung,Provinsi Lampung Selatan, Provinsi LampungTengah, dan Metro.

PEMBAHASANKonsep,Prinsip Pemberian dan BerbagaiAlternatif Bentuk Insentif

Insentif adalah penghargaan kepada karyawanatas segala jerih payahnya dalam meningkatkantugas dalam memberikan pelayanan kepada cus-tomer di luar gaji yang diterima setiap bulan denganbesaran berubah-ubah sesuai dengan hasil kinerja.Beberapa ahli mengatakan bahwa pemberian gajipokok (basic salary) hanya dapat membuat parapekerja merasa aman, namun tidak mampumemberikan motivasi. Upah yang dikaitkan dengankinerja (insentif) dikatakan mampu memberikanmotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjakaryawan.2 ,3

Secara resmi telah ada batasan tentang insentifyang ditetapkan oleh biro kepegawaian departemenkesehatan. Insentif adalah pemberian imbalan, di luargaji, baik yang bersifat material dan nonmaterial padatenaga kesehatan sebagai kompensasi ataskesediaannya ditempatkan pada suatu daerah, ataukesediannya melakukan pekerjaan tertentu, ataupenghargaan atas pencapaian prestasi kerja dalamjangka waktu tertentu.4

Pada prinsipnya pemberian insentif harusmemenuhi kejelasan tujuan dan sasaran, prinsipkeadilan dan prinsip kompensasi itu sendiri yangbersifat penghargaan dan keterbukaan, dan prinsipkejelasan skala waktu. Bila bentuk insentif sesuaidengan kebutuhan atau harapan tenaga kesehatan,

serta dapat mengeliminir kekurangan pada kondisigeografi, sarana dan fasilitas, maka insentif tersebutdapat meningkatkan minat dan motivasi tenagakesehatan untuk bekerja di daerah yang kurangdiminati, terpencil atau sangat terpencil.5,6,7

Berbagai Alternatif Bentuk InsentifInsentif yang diberikan dapat berupa material

dan atau nonmaterial. Pemilihan bentuk insentifdidasarkan pada karakteristik daerah dankemampuan pemda. Bentuk insentif yang dipilihdapat berupa bentuk tunggal atau kombinasi daricontoh berikut.1. Material. Beberapa insentif berbentuk material

yang diminati tenaga kesehatan:l Uang: tunjangan bulanan, asuransi jiwa,

tunjangan cutil Perumahan: rumah dinas, atau disediakan

uang kontrakl Kendaraan: roda dua, roda empat,

kendaraan dinas, Kendaraan operasionall Fasilitas komunikasi: telepon, internetl Fasilitas hiburan: televisi, VCD

2. Nonmaterial. Beberapa bentuk insentifnonmaterial yang paling diminati oleh tenagakesehatan:l Peluang pendidikan lanjutan atas biaya

pemerintahl Peluang mengikuti pendidikan dan latihanl Peluang mendapatkan kenaikan pangkat

istimewa (untuk PNS)l Peluang untuk diangkat menjadi pegawai

negeri atau pegawai tetapl Peluang peningkatan karir

3. Kombinasi. Insentif diberikan dalam bentukkombinasi antara material dan nonmaterialsebagai yang paling sering digunakan.

Dasar dan Langkah Penetapan StrategiImplementasi Pola Insentif1. Identifikasi masalah

Identifikasi masalah dimaksudkan untukmenjawab pertanyaan sebagai berikut:a. Daerah mana saja yang kurang diminati

tenaga kesehatanb. Jenis tenaga apa yang kurang diminatic. Pada fasilitas kesehatan apa saja yang

mereka kurang diminatiBeberapa pertimbangan dasar dalam melakukan

identifikasi masalah adalah sebagai berikut:1) Keterpencilan suatu daerah menjadi hal yang

sangat mendasar pada pemberian insentif, dandiklasifikasikan berdasarkan daerah biasa, semiterpencil, terpencil, dan sangat terpencil

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 91

2) Keadaan daerah yang tergolong miskin dankaya dan bantuan departemen kesehatanmengenai hal ini

3) Pertimbangan risiko keamanan dan kerawanan,diklasifikasikan sedang, tinggi, dan amat tinggi

4) Peminatan pada daerah yang dituju, diklasifikasidiminati, biasa, dan kurang diminati. Suatudaerah kurang diminati yaitu suatu daerah, baikdesa, kecamatan, kabupaten,kota, atau provinsitertentu yang kurang diminati oleh jenis tenagakesehatan tertentu (atau semua jenis tenagakesehatan). Hal ini ditandai dengan sedikitnyapermintaan atau lamaran dari tenaga kesehatanuntuk bekerja pada daerah tersebut atautingginya permintaan untuk dipindahkan daridaerah tersebut.Beberapa faktor penyebab kurang diminatinya

suatu daerah biasanya berkaitan dengan situasigeografi, sosial budaya, adat istiadat, kondisiekonomi daerah dan penduduknya, peluang karir,kelengkapan sarana, fasilitas transportasi dankomunikasi, pelayanan administrasi, peluangmengikuti pendidikan dan pelatihan ataupendidikan lanjutan, lama waktu penugasan, sertacitra tentang daerah tersebut. Minat tinggi dapatdiketahui dari banyaknya permintaan untukditempatkan di kecamatan tersebut, sertakemudahan untuk menempatkan tenaga. Minatsedang tidak terlalu sulit untuk menempatkantenaga di kecamatan, namun tenaga tersebut tidakdapat bertahan lama, atau cukup tingginyapermintaan untuk pindah. Minat Kurang ditandaidengan sulitnya mendapatkan tenaga yangbersedia ditempatkan, serta tingginya permintaanuntuk pindah dari kecamatan tersebut. Padakecamatan yang kurang diminati kemudiandilakukan analisis desa-desa yang kurang diminatidengan metode analisis yang sama.

2. Analisis situasi(1) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

minat tenaga kesehatan:a. Rumah sakit swastab. Kemampuan ekonomi rata-rata

masyarakatc. Kemungkinan berpraktik sored. Perumahan yang disediakane. Kemungkinan melanjutkan pendidikan

dengan biaya pemerintahf. Kemungkinan mengikuti seminar dengan

biaya pemerintahg. Kemungkinan mengikuti diklath. Kemungkinan diangkat jadi pegawai

negeri/ tetap

(2) Fasilitas kerja yang tersedia(3) Sarana transportasi dan komunikasi yang

tersedia(4) Sarana hiburan yang tersedia(5) Kondisi geografik, iklim, dan jumlah penduduk(6) Risiko pekerjaan yang ada(7) Peraturan tentang ketenagaan yang ada

Identifikasi semua peraturan baik yang berasaldari pusat maupun Perda yang berkaitandengan ketenagaan seperti:- Pengangkatan, penempatan dan pem-

berhentian- Bentuk ikatan kerja: PNS, honorer, tenaga

kontrak- Penggajian- Tunjangan-tunjangan- Hak pegawai: pendidikan, cuti, asuransi- Kewajiban pegawai

(8) Kemampuan keuangan dan fasilitas yang dimilikipemda.- Berapa PAD sekarang- Berapa persen atau berapa rupiah dana

dialokasikan untuk kesehatan- Adakah kemungkinan daerah meningkatkan

alokasi anggaran kesehatan- Adakah upaya terobosan yang mungkin

dilakukan untuk meningkatkan anggarankesehatan

- Apakah daerah masih memiliki aset untukperumahan

- Fasilitas apa saja yang dimiliki daerah yangmungkin digunakan sebagai insentif.

3. Identifikasi hal strategis yang diperlukanIdentifikasi hal-hal yang perlu dilakukan pemdauntuk meningkatkan daya tarik suatu daerah/fasilitas kesehatan. Strategi ini setidaknyameliputi:l Dana yang dibutuhkan serta sumbernya

Hitung perkiraan dana yang dibutuhkan untukinsentif. Identifikasi pula dari mana sumberdananya dan cara mendapatkannya.

l Fasilitas yang perlu disediakanRumuskan jenis dan jumlah serta kondisifasilitas yang diperlukan untuk insentif.Termasuk di dalamnya adalah fasilitas yangtelah ada dan yang belum ada. Rumuskanpula bagaimana cara untuk mengadakanfasilitas yang belum tersedia.

l Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yangmenjadi prioritas insentifTentukan jenis dan jumlah tenaga kesehatanyang diprioritaskan untuk mendapat insentif.Jenis tenaga kesehatan ini dapat dilihat dari

Dumilah Ayuningtyas: Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak

92 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

analisis minat kerja. Identifikasi pula darimana jenis tenaga kesehatan tersebutdidapatkan, apakah dari pasar bebas? Ataudari daerah tertentu?

l Daerah atau sarana kesehatan yang disiapkaninsentifnyaTentukan daerah mana saja (desa, kecamatan,kota), serta fasilitas apa saja yang perludisiapkan insentifnya.

l Waktu dan lama pemberian insentif.Tentukan waktu insentif ini diberikan sertauntuk berapa lama insentif tersebut diperlu-kan. Hal ini penting untuk mengetahuikemampuan daerah dalam menyediakanpembiayaannya.

4. Penentuan paket insentifSetelah strategi pemberian insentif dibuat,kemudian tentukan paket insentif tersebut.Paket insentif untuk satu jenis tenagakesehatan relatif berbeda dengan jenis tenagakesehatan lainnya. Untuk itu, perlu dirumuskanpaket insentif untuk masing-masing tenaga.Paket insentif ini meliputi:l Sarana dan tujuan paket insentif

Sebutkan jenis tenaga kesehatan yangberhak mendapat paket ini. Misalnya: paketinsentif untuk dokter puskesmas; paketinsentif untuk bidan desa, dan sebagainya.Sebutkan pula apa tujuan pemberian insentifini, jenis, besarnya, waktu pemberian insentifdan kondisi objektifnyaContoh di atas adalah matriks untuk insentifberbentuk material dan nonmaterial dan caramengisinya.

l Lama masa tugasSebutkan berapa lama jenis tenaga tersebutharus bertugas pada tempat yang ditentukanatau batas minimal yang disyaratkan agarberhak mendapat insentif.

l Cara pemberian insentifTentukan cara atau mekanisme pemberianpaket insentif. Termasuk di sini adalahmekanisme administrasi serta teknispelaksanaannya. Sebagai contoh tata carapemberian insentif berbentuk uang: alokasianggaran di dana alokasi umum, uang ditransfer ke bank tertentu setiap tanggal 10.

l Hal-hal yang membatalkan insentifRumuskan hal-hal apa yang dapatmembatalkan pemberian suatu insentif. Halini perlu agar tenaga kesehatan yangbersangkutan mengetahui hak dankewajibannya.

l Penyusunan peraturan daerahAgar memiliki dasar hukum, paket insentifini kemudian dibuatkan Perda-nya. Perda inidapat ditinjau dan diubah sesuai kebutuhan.

5. Sosialisasi dengan tujuan adalah agarkeberadaan Perda diketahui secara luas, dapatdilakukan melalui seminar, iklan, dansebagainya.

6. Evaluasi dapat dilakukan pada waktu-waktutertentu dan kebijkaan insentif perlu dievaluasiuntuk mengetahui keefektifannya.

Strategi Implementasi Pengembangan PolaInsentif di Provinsi Lampung

Dengan memperhatikan berbagai alternatifbentuk insentif, dasar-dasar serta langkah-langkahpenetapan insentif maka disusun strategiimplementasi pengembangan pola insentif di ProvinsiLampung. Pengembangan pola insentif tersebutdiharapkan dapat memperbesar minat dan motivasiserta meningkatkan �daya tahan� SDM kesehatanuntuk ditempatkan di daerah terpencil. Tentu dituntutpula komitmen dari Pemda untuk memberikandukungan finansial ataupun kepastian hukum agarpola insentif yang telah dibangun dapat diberlakukandalam mekanisme kompensasi/ reward dan sanksisecara efektif.

Penerapan pola insentif ini diharapkan tak hanyaberlaku di kabupaten tertentu seperti ProvinsiLampung Selatan dan Utara. Seperti yang ditemuidi lapangan, namun dapat dicoba diberlakukan diberbagai kabupaten/kota yang memiliki kemampuanserupa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:a. Pemberian insentif di Provinsi Lampung yang

terdiri dari dua kota dan enam kabupaten,dilakukan dengan mempertimbangkan aspekkeadaan daerah, yaitu daerah biasa, daerahsemi terpencil, daerah terpencil, dan daerahsangat terpencil, seperti: Kabupaten ProvinsiLampung Barat dan Kabupaten Way Kananyang tergolong kabupaten terpencil yangmungkin memiliki kemampuan terendahdaripada kabupaten yang lain. Untuk KabupatenTanggamus, Kabupaten Provinsi LampungTimur, dan Kabupaten Tulang Bawang yangmerupakan daerah semi terpencil, dalampemberian insentif juga sangat minim samaseperti pada daerah terpencil.

b. Insentif yang diberikan dapat berupa materialdan atau non-material.Material, beberapa insentif berbentuk materialyang diminati tenaga kesehatan adalah uang

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 93

(tunjangan bulanan, asuransi jiwa, tunjangancuti), perumahan (rumah dinas, atau disediakanuang kontrak), kendaraan (roda dua, rodaempat, kendaraan dinas, kendaraanoperasional), fasilitas komunikasi (telepon,internet), fasilitas hiburan (televisi, VCD).Nonmaterial, beberapa bentuk insentifnonmaterial yang paling diminati oleh tenagakesehatan adalah peluang pendidikan lanjutanatas biaya pemerintah, peluang mengikuti diklat,peluang mendapatkan kenaikan pangkatistimewa (untuk PNS), peluang untuk diangkatmenjadi PNS atau pegawai tetap. Peluangpeningkatan karir atau dapat pula memberikaninsentif dalam bentuk yang paling seringdigunakan yaitu kombinasi antara material dannon-material.

c. Gunakan pola-pola atau format yang telahdibuat sebagai kesepakatandengan mengacupada pedoman pemberian insentif, langkah-langkah penetapan serta dasar pertimbanganseperti minat, keterpencilan, srana prasaranadan sebagainya ( format dan pola terlampir)

PENUTUPPemberlakuan pola insentif yang memperlihatkanapresiasi dan keberpihakan terhadap tenagakesehatan yang berada di daerah terpencil akanmenjadi sebuah upaya untuk memenuhi tuntutanasas keadilan dalam sistem kompensasi.Penetapan pola insentif tersebut diharapkan dapatmemperbesar minat dan motivasi sertameningkatkan �daya tahan� SDM Kesehatan untukditempatkan di daerah terpencil. Tentu dituntut pulakomitmen Pemerintah Propinsi dan Kabupaten untukmemberikan dukungan kuat. Berbagai deskripsi dantemuan lapangan serta prinsip-prinsip dalampemberian insentif yang telah dikemukakan akansekedar menjadi catatan documenter belaka tanpa

adanya komitmen bersama dari semua pihak untukmewujudkannya. Cita-cita indah seperti ternyatakandalam visi baru Departemen Kesehatan:"masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat",dengan grand strategy: "meningkatkan aksesmasyarakat terhadap pelayanan kesehatan yangberkualitas" dan salah satu inidikatornya adalah disetiap desa tersedia SDM kesehatan yangberkompeten niscaya akan tetap menjadi mimpibelaka tanpa adanya reformasi dalam manajemenkesehatan khususnya sistem insentif yang berpihakbagi SDM kesehatan yang berada di medan sulitdan daerah-daerah terpencil.

KEPUSTAKAAN1. Profil Kesehatan Provinsi Lampung , Tahun

2002.2. Finlay, W., Martin, J., Roman, P.M., dan Blum,

T.C. Organizational Structure and JobSatisfaction: Do Bureaucratic OrganizationProduce More Satisfied Employees ?. Journalof administration and Society. 1995; 27 (3): 427-50.

3. DeSantis, V.S. Comparing Job SatisfactionAmong Public and Private Sector Employee.American Review of Public Administration.1996; 23 (3): 427-450.

4. Dessler, Manajemen Sumber Daya Manusiajilid II. 1998: 85.

5. Pedoman Insentif bagi Tenaga Kesehatan. BiroKepegawaian Departemen Kesehatan danKesejahteraan Sosial. Jakarta. 2001

6. Schuler, RS. Personal & Human ResourceManagement (5th Ed.), St Paul, Minessota:West Publishing Company, Chapter 9. 1993.

7. Supardal, Agus. Burhannudin A. Tajibnapis,dkk. Pedoman Insentif bagi Tenaga Kesehatan.Biro Kepegawaian Departemen Kesehatan danKesejahteraan Sosial. Jakarta. 2001.

Iwan Dwiprahasto: Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas

94 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

ABSTRACTBackground: inappropriate use of drugs for the treatment ofacute respiratory infections (ARI) has been reportedworldwide. Patients present at health centres are commonlyprescribed with unnecessary antibiotics. Inappropriateprescribing may result in the occurrence of adverse drugevent.Objective: this study aims (1) to assess prescribing patternfor ARI and muscle ache (myalgia) at health centres in 8districts of West Sumatra Province, and (2) to improve qualityof prescribing for ARI and muscle ache in health centres.Method: A cross sectional study was carried out to addressobjective (1). Drug use data were collected retrospectively athealth centres in 8 districts of West Sumatra Province forbaseline information on prescribing. To address objective (2) atraining intervention on rational use of drugs was carried out,involving primary health care (PHC) physicians and paramedicsfrom 15 randomly selected primary health centres. Trainingwas characterized as motivational, interactive, problem-basedapproach for both doctors and paramedics, and on the jobtraining for paramedics.Result: Forty three health centres participated in the study.The average number of drugs prescribed for children with ARIwas similar to that prescribed by paramedics, i.e. 3.62 and3.69 respectively. Patients present at health centres with muscleache received an average of 3.24 drugs. Antibiotic prescribingin several districts accounted for more than 90%. Only a fewhealth centres reported the use of antibiotics of less than70%. Six months after training intervention on rational use ofdrugs for PHC physicians and paramedics, the use of drugsincluding antibiotics and injection decreased significantly. Theaverage number of drugs for children with ARI decreasedfrom 3.74 + 0.58 to 2.47 + 0.67 (p<0.05) (doctor) and from 3.67+ 0.49 to 2.39 + 0.73 (p<0.05) (paramedics). For adult patients,the average number of drugs for ARI also decreasedsignificantly from 4.11 + 0.63 to 3,21 + 0,71 (p<0.05) (doctor)and from 3.78 + 0.51 to 2.37 + 0.57 (paramedics). A significantreduction in the use of antibiotics for children with ARI wasonly detected in paramedics, i.e. from 81.37% to 42.40%.Proportion of adult patients with ARI who received antibioticssignificantly lower after intervention, i.e from 89.18% to 44.15%(p<0.05) (doctor) and from 91.22% to 38.71% (p<0.05)(paramedics). The training intervention carried out in the studycould also reduce the use of injection significantly for patientswith muscle ache, i.e. from 69.11% to 31.89% (p<0.05) (doctor)and from 79.56% to 62.91% (p<0.05) (paramedics).Conclusion: the use of drugs for ARI and muscle ache atPHC were found to be excessive and mostly multipleprescribing. The use of injection for muscle ache was alsohigh, i.e. more than 40%. Training on rational use of drugs forPHC could significantly reduce the use of antibiotics for ARI

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 94 - 101

Artikel Penelitian

PENINGKATAN MUTU PENGGUNAAN OBAT DI PUSKESMAS MELALUIPELATIHAN BERJENJANG PADA DOKTER DAN PERAWAT

IMPROVING THE QUALITY OF PRESCRIBING AT PRIMARY HEALTH CENTRESTHROUGH A TRAINING INTERVENTION FOR DOCTORS AND PARAMEDICS

Iwan DwiprahastoBagian Farmakologi & Toksikologi Fakultas Kedokteran

UGM Yogyakarta

and the use of injection for muscle ache, 6 months afterintervention.

Keywords: inappropriate prescribing, acute respiratoryinfection, primary health centres

ABSTRAKLatar belakang: berbagai studi menemukan bahwa peng-gunaan obat untuk infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)cenderung berlebih. Sebagian besar pasien yang datang kepelayanan kesehatan dengan ISPA cenderung mendapat anti-biotika. Berbagai bukti juga menunjukkan bahwa ketidak-rasionalan peresepan dapat meningkatkan risiko terjadinya efeksamping obat.Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk (1) menilai pola peresepanuntuk ISPA dan myalgia di puskesmas di 8 kabupaten/kota,provinsi Sumatra Barat, dan (2) meningkatkan mutu pengguna-an obat untuk ISPA dan myalgia di puskesmas.Metode: Studi cross sectional dilakukan untuk menjawabtujuan (1). Data peresepan dikumpulkan dari 43 puskesmassecara retrospektif sebagai data dasar. Untuk menjawab tujuan(2) dilakukan intervensi pelatihan penggunaan obat yangrasional dengan melibatkan dokter dan perawat di 15 puskesmasyang dipilih secara acak ciri pelatihan adalah motivasional,interaktif, dan berbasis masalah, baik untuk dokter dan perawat,sedangkan khusus untuk perawat, pelaksanaan dilakukan onthe job training.Hasil: 43 puskesmas ikut serta dalam penelitian. Jumlah rata-rata obat yang diresepkan untuk anak dengan ISPA relativesama dengan dewasa, yaitu masing-masing 3.62 dan 3,69.Pasien myalgia mendapat rata-rata 3.24 jenis obat. Di sebagianbesar kabupaten penggunaan antibiotika untuk ISPA mencapailebih dari 90%. Hanya beberapa puskesmas yang meresepkanantibiotika kurang dari 70%. Enam bulan setelah intervensi peng-gunaan obat yang rasional untuk dokter dan perawat puskesmas,penggunaan obat termasuk antibiotika dan injeksi menurunsecara bermakna. Rata-rata jumlah obat untuk ISPA pada anakturun dari 3.74 + 0.58 menjadi 2.47 + 0.67 (p<0.05) (dokter)dan dari 3.67 + 0.49 menjadi 2.39 + 0.73 (p<0.05) (perawat).Untuk pasien dewasa juga terjadi penurunan yang bermaknadari 4.11 + 0.63 menjadi (p<0.05) (dokter) dan dari 3.78 + 0.51menjadi 2.37 + 0.57 (perawat). Penurunan penggunaanantibiotika pada anak dengan ISPA secara bermakna hanyaditemukan pada perawat, dari 81.37% menjadi 42.40%.Proporsi pasien dewasa dengan ISPA yang mendapatantibiotika secara bermakna lebih rendah pascaintervensi, yaitudari 89.18% menjadi 44.15% (p<0.05) (dokter) dan dari 91.22%menjadi 38.71% (p<0.05) (perawat). Intervensi pelatihan jugamenurunkan penggunaan injeksi secara bermakna pada pasienmyalgia, yaitu dari 69.11% menjadi 31.89% (p<0.05) (dokter)dan dari 79.56% menjadi 62.91% (p<0.05) (perawat).

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 95

Kesimpulan: penggunaan obat untuk ISPA dan myalgia dipuskesmas cenderung berlebihan dan umumnya dalam bentukpolifarmasi. Penggunaan injeksi untuk myalgia juga sangat tinggi,rata-rata lebih dari 40%. Pelatihan penggunaan obat yangrasional untuk puskesmas dapat secara bermakna menurunkanpenggunaan antibiotika pada ISPA dan penggunaan injeksi padamyalgia, enam bulan setelah pelatihan.

Kata Kunci: penulisan resep yang tidak tepat, infeksi saluranpernapasan akut, puskesmas

PENGANTARPeresepan dan penggunaan obat merupakan

salah satu andalan utama pelayanan kesehatan dipuskesmas. Mengingat terbatasnya jumlah dokteryang ada, sebagian besar puskesmas di Indonesia,khususnya di daerah pedesaan terpaksa meman-faatkan pula tenaga perawat untuk memberikanpelayanan pengobatan. Akibatnya, variasi peresepanantar petugas pelayanan kesehatan tidak dapatdihindarkan.

Beberapa penelitian menemukan bahwa peng-gunaan obat di pusat pelayanan kesehatan cen-derung berlebih. Pada berbagai penyakit yang ringandan dapat sembuh sendiri seperti misalnya infeksisaluran pernapasan akut (ISPA) dan diare, peng-gunaan antibiotika cenderung tinggi. Di samping itu,jenis obat yang diresepkan juga sangat beragam.1

Terdapat dua penyebab utama tingginyapenggunaan obat di pelayanan kesehatan. Pertama,berkaitan dengan keterbatasan pengetahuan petugasprofesional kesehatan mengenai bukti-bukti ilmiahterkini, sehingga tidak jarang tetap meresepkan obatyang tidak diperlukan (misalnya antibiotika dan ste-roid untuk common cold). Kedua, keyakinan danperilaku pasien sangat berperan dalam penetapan jenisobat yang diberikan.2 Kebiasaan memberikan injeksipada pasien dengan gejala pada otot dan sendi adalahsalah satu contoh nyata pengaruh pasien terhadapperilaku pemberian injeksi oleh dokter atau perawat.3

Situasi ini sangat paradoksikal dengan hasil system-atic review yang dilakukan oleh Haynes, et al.4 yangmelaporkan bahwa ketaatan pasien untuk minum obatsangatlah rendah, meskipun obat yang diminum adalahatas permintaan atau pilihan pasien sendiri.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsi-kan pola penggunaan obat untuk ISPA dan myalgia di8 kabupaten/kota, Provinsi Sumatera Barat, dan (2)mengukur dampak intervensi pelatihan penggunaanobat yang rasional pada dokter dan perawat puskesmasterhadap mutu peresepan pada ISPA dan myalgia.

BAHAN DAN CARA PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera

Barat dengan dua desain. Desain cross sectionaldigunakan untuk menjawab tujuan penelitian (1), yaitupola penggunaan obat pada ISPA dan myalgia. Untuk

menjawat tujuan penelitian (2) digunakan desain kuasieksperimental dengan jenis rancangan the one grouppretest-postest design. Unit analisis untuk tujuanpenelitian (1) adalah resep untuk ISPA dan myalgia,sedangkan untuk tujuan penelitian (2) subyek penelitianadalah dokter dan perawat yang memberikan pelayan-an pengobatan di puskesmas. Untuk mendapatkangambaran tentang pola peresepan maka secara acakdipilih 43 puskesmas di 8 kabupaten/kota di ProvinsiSumatera Barat, sedangkan untuk keperluan intervensipelatihan dipilih 15 puskesmas secara acak di 3 dari 8kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Solok, Pasaman, danPayakumbuh.

Pengumpulan data penggunaan obat dilakukansecara retrospektif yaitu selama kurun waktu satubulan terakhir, sebelum dilakukannya intervensipelatihan. Data penggunaan obat untuk ISPA danmyalgia dilacak melalui catatan medik atau familyfolder yang terdapat di puskesmas.

Selanjutnya, intervensi pelatihan penggunaanobat yang rasional dilaksanakan dalam dua tahap.Pelatihan tahap pertama ditujukan kepada dokterpuskesmas. Pelatihan tahap pertama dilakukan ditingkat kabupaten dengan melibatkan seluruh dokterpuskesmas di masing-masing kabupaten. Pelatihanbersifat interaktif, berbasis pada masalah riilpuskesmas (problem-based) dan lebih berfokus padapembahasan kasus (case-based), serta mengguna-kan pendekatan team building untuk mencapaikesepakatan di antara para peserta. Pelatihanbersifat terstruktur, menggunakan modul pelatihanyang terdiri dari: (1) pedoman untuk pelatih (trainer�sguide) dan (2) materi pelatihan, sedangkan lamapelatihan adalah tiga hari (18 jam).

Pelatihan tahap ke dua ditujukan untuk perawatyang bertugas di balai pengobatan puskesmas.Pelatihan dilakukan dengan metode on the job train-ing yang diikuti oleh perawat yang bertugas di balaipengobatan puskesmas. Pelatihan dilakukan dipuskesmas masing-masing, dengan metode case-based, serta memanfaatkan kasus-kasus yangdijumpai sehari-hari di puskesmas. Selain meng-gunakan modul terstruktur untuk pola latihan 18 jam,peserta juga mendapat buku Pedoman PengobatanBerdasarkan Gejala. Periode penelitian adalah Aprilhingga November 1997.

Untuk menilai perubahan pola penggunaan obatmaka pengumpulan data peresepan dilakukan dua kaliyaitu sebelum periode intervensi (sebagai data dasar)dan 6 bulan setelah intervensi. Data peresepan diambilsecara acak dari 15 puskesmas yang berada di 3kabupaten yang menjadi area penelitian. Pemilihanpuskesmas ditetapkan secara acak dengan komposisimasing-masing 2 puskesmas di daerah perkotaan dan2 puskesmas di daerah pedesaan.

Iwan Dwiprahasto: Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas

96 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

Data peresepan dikumpulkan menggunakanformulir indikator peresepan dalam bentuk structuredform. Data dikumpulkan dari seluruh puskesmasinduk yang berada dalam wilayah kabupaten terpilih,menggunakan formulir indikator peresepan untukdata dasar. Sumber data adalah buku register harianpasien dan lembar resep pasien, serta kartu obatuntuk konfirmasi.

Data peresepan yang diambil meliputi duadiagnosis, ISPA pada balita dan dewasa, sertapenyakit jaringan otot (myalgia/rematik).

HASIL PENELITIAN DAN PAMBAHASAN1. Karakteristik Unit Analisis Penelitian

Data resep obat yang digunakan sebagai datadasar sebelum intervensi berjumlah 3750 resep yangdiambil secara acak sistematik dari 43 puskesmas.Sedangkan untuk pascaintervensi data resep yangdikumpulkan berjumlah 2543. Dari 15 puskesmasyang dipilih secara acak untuk evaluasi hasilintervensi terdapat 15 dokter dan 29 perawat.

Tabel 1. Karakteristik unit observasi

Karakteristik frekuensi

Untuk tujuan penelitian (1)- Jumlah kabupaten/kota 8- Jumlah puskesmas 43- Jumlah resep ISPA 2400- Jumlah resep myalgia 1350Untuk tujuan penelitian (2)- Jumlah kabupaten/kota 3- Jumlah puskesmas 15- Jumlah dokter 15- Jumlah perawat 29- Jumlah resep- Preintervensi 1328- Pascaintervensi 1215

a. Rata-rata jumlah item obat per kasus ISPAPenelitian ini menemukan bahwa rata-ratajumlah item obat yang diberikan pada pasienISPA balita sebanyak 3.62, sedangkan untukISPA dewasa relatif sama, yaitu 3.69. Dibeberapa kabupaten, balita dengan ISPAumumnya justru mendapat rata-rata jumlah itemobat yang lebih tinggi daripada pasien ISPAdewasa. Hal ini terlihat di puskesmas yangterdapat di 5 kabupaten, yaitu Bukit Tinggi,Kabupaten Solok, Kodia Padang, KabupatenPasaman, dan Payakumbuh. Kodia Padangmencatat jumlah item obat per pasien balitaterbanyak (4,57) dibandingkan dengankabupaten yang lain, sedangkan jumlah itemobat terbanyak untuk dewasa dengan ISPAditemukan di Kodia Solok (4,36). Dibandingkandengan kabupaten yang lain peresepan obattersedikit baik untuk ISPA dewasa maupunbalita ditemukan di Kabupaten Sawahlunto,yaitu masing-masing 3 jenis untuk balita dan3,42 jenis untuk dewasa.

b. Rata-rata jumlah item obat per kasus MyalgiaPada Gambar 2 dipresentasikan rata-rata jumlahitem obat per kasus Myalgia. Meskipun tidaklebih banyak dibandingkan dengan ISPA, namunrata-rata jumlah obat lebih dari 4 ditemukan diKabupaten Solok (4,2). Kabupaten PadangPanjang mencatat paling sedikit rata-rata jumlahitem obat yang diresepkan untuk myalgia, yaitu3,07.

3.82 3.7

4.31 4.11

4.57

3.84

3.63

4.36

3.65 3.82

4.1

3.45

4.31 4.19

3

3.42

0

1

2

3

4

5

ISPA Balita ISPA Dewasa

Gambar 1. Rata-rata Jumlah Item Obat Per Kasus ISPA pada Balita dan Dewasa di Puskesmasdi 8 Kabupaten, Provinsi Sumatera Barat

Bukit TinggiKab Solok

PadangKodia Solok

Padang Panjang

PasamanPayakumbuh

Sawah Lunto

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 97

c. Penggunaan antibiotika untuk ISPA dipuskesmas di delapan kabupaten, ProvinsiSumatera BaratPeresepan antibiotika untuk pasien ISPAdewasa terlihat tinggi di puskesmas-puskesmasdi Kabupaten dan Kotamadia Solok, sertaKotamadia Padang, yaitu rata-rata di atas 90%.

Selain kabupaten di atas pemberian antibiotikapada penderita ISPA dewasa kurang dari 85%.Di Kabupaten Sawah Lunto penggunaanantibiotika pada penderita ISPA dewasaterendah dibanding kabupaten lainnya yaitumencapai kurang dari 70% baik untuk balitamaupun dewasa.

Gambar 2. Rata-rata Jumlah Item Obat Per Kasus Myalgia di Puskesmasdi 8 Kabupaten, Provinsi Sumatera Barat

3.54

4.2 3.94

3.48 3.07 3.15

3.58 3.51

0

1

2

3

4

5

Bukit T

inggi

Kab S

olok

Padan

g

Kodia

Solok

Padan

g Pan

jang

Pasam

an

Payak

umbu

h

Sawah

Lun

to

Gambar 3. Penggunaan Antibiotika untuk ISPA pada Balita dan Dewasa di Puskesmasdi 8 Kabupaten, Provinsi Sumatera Barat

79.25

83.19

87.5 92.6

86.4

94.7

86.4

94.4

69.22

79.65

72.88

81.45 83.15 81.75

66.78 69.22

0

20

40

60

80

100

ISPA Balita ISPA Dewasa

Bukit TinggiKab Solok

PadangKodia Solok

Padang Panjang

PasamanPayakumbuh

Sawah Lunto

Iwan Dwiprahasto: Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas

98 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

d. Penggunaan injeksi untuk kasus myalgia dipuskesmas di delapan kabupaten, ProvinsiSumatera BaratKebiasaan memberikan injeksi untuk kasusMyalgia tampaknya tidak terhindarkan. Initerbukti dari tingginya persentase penggunaaninjeksi untuk keluhan otot dan jaringan ikat.Penggunaan injeksi tertinggi ditemukan dikabupaten Pasaman (83.83%), disusul olehPadang Panjang (72.1%), dan Kodia Bukit Tinggi(68.4%) (Gambar 4).

DAMPAK INTERVENSI PELATIHAN TERHADAPMUTU PENGGUNAAN OBAT

Enam bulan setelah intervensi pelatihan ber-jenjang, penggunaan obat menurun secara bermakna,pada yang diresepkan oleh dokter maupun olehperawat. Untuk balita dengan ISPA penggunaan obatoleh dokter menurun dari rata-rata 3,74 item menjadi2,47 item, sedangkan yang diresepkan oleh perawatjuga menurun, yaitu dari rata-rata 3,67 menjadi 2,39item. Penurunan keduanya bermakna secara statistik(p<0,05). Hal yang sama juga terjadi pada penderitaISPA dewasa yang rata-rata jumlah obat per pasienmenurun secara bermakna pascaintervensi dibandingsebelum intervensi, baik yang diresepkan oleh dokter(p=0,041) maupun perawat (p=0,038). (Tabel 2).

Tabel 2. Penurunan Penggunaan Obat Antibiotikapada Penderita ISPA Enam Bulan Setelah Intervensi Pelatihan Berjenjang

Indikator Pre intervensi Pascaintervensi p

Jumlah item obat per pasien ISPA balita ñ Dokter 3,74 + 0,58 2,47 + 0,67 t-test, 0,021 ñ Perawat 3,67 + 0.49 2,39 + 0,73 t-test, 0,045 Jumlah item obat per pasien ISPA dewasa ñ Dokter 4,11 + 0,63 3,21 + 0,71 t-test, 0,041 ñ Perawat 3,78 + 0,51 2,37 + 0,57 t-test, 0,038 % antibiotika untuk ISPA balita ñ Dokter 72,75 67,18 X2=0,82

P=0,05 ñ Perawat 81,37 42,40 X2=32,12

P=0,00 % antibiotika untuk ISPA dewasa ñ Dokter 89,18 44,15 X2=45,45

P=0,00 ñ Perawat 91,22 38,71 X2=61,34

P=0,00 Jumlah item obat per pasien myalgia ñ Dokter 4,39 + 0,66 2,33 + 0,76 ñ Perawat 4,68 + 0,79 3,18 + 0,47 % injeksi untuk pasien myalgia ñ Dokter 69,11 31,89 X2=27,38

P=0,00 ñ Perawat 79,56 62,91 X2=2,03

P=0,15

Gambar 4. Penggunaan Injeksi untuk Kasus Myalgia di Puskesmasdi 8 Kabupaten, Provinsi Sumatera Barat

68.4

59.14

39.12 37.89

72.1

83.83

67.28 64.34

0

20

40

60

80

Bukit TinggiKab Solok

PadangKodia Solok

Padang PanjangPasaman

Payakumbuh

Sawah Lunto

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 99

Penurunan penggunaan antibiotika secarabermakna untuk pasien balita dengan ISPA ternyatahanya terjadi pada perawat (p<0,05), sedangkan padadokter, meskipun juga terjadi perbaikan, tetapi halini tidak bermakna secara statistik (p=0,82). Tidakdemikian halnya dengan pasien dewasa denganISPA. Pada kelompok ini penggunaan antibiotika olehdokter turun hingga setengahnya (p<0,05), sedang-kan pada perawat penurunan bahkan mencapaihingga tinggal sepertiga dari peresepan antibiotikasebelum intervensi (p<0,05).

Untuk pengobatan myalgia penurunan rata-ratajumlah item obat juga secara signifikan ditemukanbaik pada dokter maupun perawat, meskipun secarafaktual perbaikan ini lebih tinggi pada dokter di-banding perawat. Hal ini sangat berbeda denganpenggunaan injeksi. Kelompok dokter menganti-sipasi perbaikan peresepan secara lebih baik danbermakna, yaitu dari 61,11% sebelum intervensimenjadi 31,89% setelah intervensi, sedangkan padakelokmpok perawat meskipun juga bermakna secarastatistik, penurunan penggunaan injeksi untuk myalgiarelatif kecil, yaitu dari 79,56% sebelum intervensimenjadi 62,91% setelah intervensi.

PEMBAHASANMeskipun penelitian ini hanya difokuskan pada

dua jenis diagnosis yaitu ISPA dan myalgia, tetapihasil studi menggambarkan tingginya tingkatpenggunaan obat yang tidak perlu pada kedua diag-nosis tersebut di puskesmas. Polifarmasi sangatumum dijumpai untuk mengatasi ISPA dan myal-gia. Hasil ini tidak berbeda dengan peresepan olehdokter umum praktek swasta, yang juga cenderungmeresepkan obat dalam bentuk polifarmasi padaISPA.5,6 Berbagai penelitian menemukan bahwaperesepan yang berlebih dan tidak rasionalcenderung meningkatkan terjadinya adverse drugevent (ADE). 7,8 Terdapat hubungan linear antarajumlah obat yang diresepkan dengan terjadinya ADE,yaitu semakin banyak obat yang diresepkan makasemakin tinggi pula risiko untuk terjadinya ADE ini.Beberapa peneliti mengemukakan bahwa polifarmasiumumnya didasarkan pada berbagai faktor, antaralain: (1) ketidakyakinan dokter akan diagnosispasien,9,10 (2) dorongan pasien untuk meresepkanobat lain yang tidak diperlukan,10 (3) persepsi dokterbahwa dari berbagai obat yang diberikan, beberapadi antaranya pasi akan memberikan efek yangdiharapkan,10,11 dan (4) kurangnya pengetahuan dokterterhadap bukti-bukti ilmiah terbaru tentangpenggunaan berbagai jenis obat.11,12,13

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa sebagianbesar pasien yang datang ke puskesmas dengandiagnosis ISPA, baik balita maupun dewasacenderung mendapat antibiotika. Berbagai studimenunjukkan bahwa ISPA umumnya disebabkanoleh virus dan bersifat dapat sembuh sendiri tanpaterapi medikamentosa (self limiting disease),sehingga antibiotika tentu tidak diperlukan padasebagian besar ISPA.14,15,16 Penggunaan antibiotikauntuk ISPA ini ternyata juga ditemukan tidak saja dipuskesmas dan di negara sedang berkembang saja,tetapi juga di praktik swasta dan bahkan di negara-negara maju.15,16,17.

Penggunaan injeksi di puskesmas untuk myalgiaditemukan relatif sangat tinggi dalam penelitian ini.Secara farmakologi pemberian obat per injeksidimaksudkan untuk beberapa tujuan, antara lain18:(1) diperlukan efek yang cepat, (2) obat tidak dapatdiabsorpsi pada pemberian per oral, (3) untuk kondisikegawatdaruratan yang tidak memungkinkanpemberian obat secara oral. Pemberian injeksi untukmyalgia tentu tidak rasional, karena tidak memenuhisalah satu kaidah farmakologi. Terapi simtomatisuntuk myalgia seharusnya cukup diberikan per oralyang relatif lebih aman.

Penelitian ini dilakukan dalam upaya mening-katkan mutu penggunaan obat di puskesmas,melalui intervensi pelatihan penggunaan obat yangrasional. Sasaran intervensi adalah dokter danperawat yang bertugas di balai pengobatanpuskesmas. Target dari intervensi adalahmenurunkan penggunaan antibiotika untuk ISPAnonpneumonia serta menurunkan penggunaaninjeksi untuk kasus myalgia. Hasil penelitian me-nunjukkan bahwa pelatihan yang bersifat motiva-sional, interaktif, berbasis pada masalah, dan meng-gunakan modul terstruktur dapat menurunkanpraktek polifarmasi, serta menurunkan penggunaanantibiotika pada ISPA nonpneumonia secarabermakna. Penggunaan injeksi untuk myalgia, baikoleh dokter maupun perawat yang bertugas dipuskesmas, juga menurun secara bermakna. Inter-vensi penggunaan obat di pelayanan kesehatandapat dilakukan dalam berbagai cara, antara lainadalah academic detailing, pelatihan terstruktur,supervisi dan umpan balik, dan kursus terfokus. 19-22

Intervensi pelatihan ternyata mampumemperbaiki pola penggunaan obat di puskesmasserta menurunkan penggunaan obat dan injeksi yangtidak perlu. Hal ini juga dilaporkan oleh beberapapeneliti sebelumnya.19,21,22 Namun demikian, pene-litian ini belum dapat menjamin apakah perbaikan

Iwan Dwiprahasto: Peningkatan Mutu Penggunaan Obat di Puskesmas

100 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

peresepan dapat dipertahankan dalam jangka yanglama, karena evaluasi hanya dilakukan sekali, yaitu6 bulan pasca intervensi. Selama ini diketahui bahwadi sebagian besar puskesmas turn-over dokterumumnya tinggi, yaitu rata-rata 3-5 tahun. Keadaanini tentu menjadi kendala tersendiri untuk menjaminkesinambungan (sustainability) dari hasil intervensi.Hal yang sama juga dikemukakan oleh penelitilain.21,22 Namun demikian, jika diamati lebih jauh, daripenelitian ini terlihat bahwa perbaikan mutu peng-gunaan obat secara konsisten terjadi pada kelompokperawat. Mereka ini umumnya adalah pegawai negerisipil yang bertempat tinggal di sekitar puskesmas,dengan masa tinggal yang relatif panjang, sehinggaisu turn-over pun relatif minimal. Pada kelompokinilah perbaikan mutu peresepan di puskesmas dapatditargetkan secara berkesinambungan.

Penelitian ini juga menemukan bahwa metodepelatihan harus dirancang secara spesifik berdasar-kan populasi target yang dijadikan sasaran inter-vensi. Pelatihan yang bersifat interaktif, motivasional,berdasarkan pada masalah (problem-based ap-proach), dan menggunakan modul terstrukturternyata paling sesuai untuk memperbaiki mutuperesepan pada dokter, sedangkan untuk perawatyang bertugas di balai pengobatan, pelatihan yangsifatnya interaktif, berbasis pada masalah riil sehari-hari, dan dilaksanakan secara on the job training,tampaknya lebih cocok untuk mengubah perilakuperesepan yang mungkin sudah berlangsung hinggapuluhan tahun. Namun demikian, perlu pula disadaribahwa intervensi yang hanya dilaksanakan sekalitentu belum tentu menjamin kesinambungan per-baikan peresepan.18 Diperlukan upaya lain yang lebihsistematik, terencana dan terstruktur agar perbaikanmutu penggunaan obat di pelayanan kesehatan dapatberlangsung secara konsisten, antara lain denganmengembangkan mekanisme supervisi dan umpanbalik serta monitoring yang terus-menerus ke unit-unit pelayanan kesehatan yang ada.

KESIMPULANPenggunaan obat di puskesmas, khususnya

untuk ISPA dan myalgia cenderung berlebih danbiasanya dalam bentuk polifarmasi. Intervensipelatihan, baik untuk dokter maupun perawat yangbertugas di balai pengobatan puskesmas, dapatmenurunkan penggunaan antibiotika pada ISPA,menurunkan jumlah rata-rata item obat pada ISPAdan myalgia, serta menurunkan penggunaan injeksipada myalgia.

KEPUSTAKAAN1. Dwiprahasto I. Ketersediaan obat di kabupaten

dan mutu peresepan di pusat pelayanankesehatan primer. BIKed, 2004;36(2), 89-96.

2. Britten N, Ukoumunne O, Boulton MG. Patients�attitudes to medicines and expectations for pre-scriptions. Health Expectations 2002;5:256�69.

3. Kane A, Lloyd J, Zaffran M, Simonsen L, KaneM. Transmission of hepatitis B, hepatitis C andhuman immunodeficiency viruses throughunsafe injections in the developing world: model-based regional estimates. Bull WHO1999;77(10):801-807.

4. Haynes RB, McDonald H, Garg AX, MontagueP. Interventions for helping patients to followprescriptions for medications. The CochraneDatabase of Systematic Reviews 2002, Issue2. Art. No.: CD000011. DOI: 10.1002/14651858.CD000011.

5. Pavin, M., Nurgozhin, T., Hafner, G. et al.Prescribing practices of rural primary health carephysicians in Uzbekistan. Tropical Medicine andInternational Health 8, 2003:182�90.

6. Jain, N., Lodha, R. & Kabra, S. Upper respiratorytract infections. Indian Journal of Pediatrics 68,2001:1135�8.

7. Bates DW, Cullen DJ, Laird N. Incidence ofadverse drug and potential adverse drug events.JAMA 1995; 274:29-34.

8. Gurwitz JH, Field TS, Harrold LR, et al.Incidence and preventability of adverse drugevents among older persons in the 2E1, Canada.ambulatory setting. JAMA. 2003; 289 (9): 1107-16

9. Schwartz RK, Soumerai SB, Avorn J. Physicianmotivations for nonscientific drug prescribing.Soc Sci Med. 1989;28(6):577-82.

10. Hemminki E. Review of literature on the factorsaffecting drug prescribing. Soc Sci Med1975;9:111-5.

11. Stimson GV. Doctor�patient interaction andsome problems for prescribing. J R Coll GenPract. 1976;26(1):88-96.

12. Britten N, Ukoumunne O. The influence ofpatients� expectations of receiving prescriptionson doctors� perceptions and the decision toprescribe. BMJ.1997;315:1506-10.

13. Cockburn J, Pit S. Prescribing behaviour inclinical practice: patients� expectations anddoctors� perceptions of patients� expectations� a questionnaire study. BMJ. 1997;315:520-3.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 101

14. Cars, H. & Hakansson, A. To prescribe�or notto prescribe�antibiotics. District physicians�habits vary greatly, and are difficult to change.Scandinavian Journal of Primary Health Care.1995; 13, 3�7.

15. Pechere, J. (2001). Patients� interviews andmisuse of antibiotics. Clinical InfectiousDiseases. 2002; 33, Suppl. 3: S170�3.

16. Macfarlane, J., Holmes, W., Macfarlane, R. etal. Influence of patients� expectations onantibiotic management of acute lower respiratorytract illness in general practice: questionnairestudy. British Medical Journal 315, 1997: 1211�4.

17. Arroll B, Kenealy T. Antibiotics for the commoncold and acute purulent rhinitis. The CochraneDatabase of Systematic Reviews 2002, Issue4. Art. No.: CD000247. DOI: 10.1002/14651858.CD000247.

18. Dicko M, Oni A-Q Q, Ganivet S, Kone S, PierreL, Jacquet B. Safety of immunization injectionsin Africa: not simply a problem of logistics.Bulletin of the World Health Organization. 2000;78: 163-9.

19. Zwar N, Wolk J, Sanson-Fisher R, Kehoe L.Influencing antibiotic prescribing in generalpractice: a trial of prescriber feedback andmanagement guidelines. Fam Pract,1999;16:495-500.

20. Turnidge J, Zwar N. Minimising inappropriateprescribing of antibiotics. Med Today, 2000;1:70-81.

21. Soumerai SB, Avorn J, Taylor WC, Wessels M,Maher D, Hawley SL. Improving choice ofprescribed antibiotics through concurrentreminders in an educational order form. MedCare. 1993;31:552-8.

22. May FW, Rowett DS, Gilbert AL, McNeece JI,Hurley E. Outcomes of an educational outreachservice for community medical practitioners:non-steroidal anti-inflammatory drugs. Med JAust, 1999;170:471-471.

102 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 102 - 103

Resensi

Judul buku : Hard facts, dangerous half-truths & total nonsense: profiting from evidence-based man-agement

Penulis : Jeffrey Pfeffer dan Robert SuttonPenerbit : Harvard Business School PressTahun : 2006Tebal : 276 halaman

A pabila pengambilan keputusan paradokter mengikuti pola yang diterap-kan para manajer sekarang ini maka

jumlah pasien yang meninggal dan tuntutan legalakan meningkat drastis. Pernyataan yangprovokatif ini digunakan oleh Pfeffer dan Suttondalam buku Hard facts, half truths and total non-sense untuk mengilustrasikan masalahpemanfaatan evidence dalam pengambilankeputusan manajerial dewasa ini. Konsep evi-dence-based practice tentunya sangat familiar bagipembaca yang berlatar belakang medis karenamemang diadopsi dari konsep evidence-basedmedicine. Kedua penulis juga mengakui bahwaevidence-based management sendiri bukansebuah konsep baru, sebelumnya pada tahun 1990Richard Pascale mengupas hal yang serupa dalambuku Managing on the Edge dan pada tahun 2003Sydney Finkelstein mengupasnya pula dalam WhySmart Executives Fail. Meskipun demikian, lebarnyakesenjangan antara evidence dan praktik dalammanajemen hingga kini nampaknya mengusikkedua professor dari Universitas Stanford ini untukmengangkatnya kembali dalam diskursusmanajerial.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Dalam bagianpertama, Setting the stage, kedua penulis menyam-paikan argumentasi mengapa setiap organisasimemerlukan evidence-based management danbagaimana organisasi dapat menerapkannya.Yang menarik dalam bagian ini diuraikan tiga praktikpengambilan keputusan yang buruk dan palingsering diumpai di dunia bisnis, yaitu: (1) casualbenchmarking; (2) melakukan apa yang nampak-nya memadai di masa lalu; dan (3) memberlakukansuatu konsep (misal: TQM, Re-engineering, BalanceScore Card) sebagai suatu ideologi yang kemudiandiikuti secara fanatis. Kedua profesor inimenggarisbawahi bahwa sebagian besar konsepmanajemen merupakan half-truths dalam artibahwa meskipun ada benarnya dan bisabermanfaat namun upaya untuk mengadopsi haruslebih hati-hati karena sebagian besar konsep

tersebut bersifat kondisional dan sebagaimana setiapgagasan mesti ada kelemahan selain kelebihan.Sebagai solusinya Pfeffer dan Sutton menawarkantujuh pertanyaan kritis yang perlu kita ajukan sebelummengadopsi suatu gagasan manajerial. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada prinsipnya berupaya untukmengkritisi asumsi-asumsi yang mendasari gagasanyang akan diadopsi.

Di bagian kedua, dangerous half-truths aboutmanaging people and organizations, Pfeffer danSutton mendemonstrasikan upaya analisis kritisterhadap beberapa gagasan manajerial yang telahdiadopsi banyak organisasi seperti: (1) organisasiyang terbaik memiliki SDM yang terbaik; (2) insentiffinansial akan meningkatkan kinerja; (3) pemimpinmenentukan hidup matinya organisasi, dan (4)keharusan untuk perubahan. Dalam mengupas per-ubahan, change or die, kedua penulis menganalisisbukti-bukti dari berbagai inisiatif perubahan seperti:(1) merger dan akuisisi; (2) adopsi perangkat lunakbaru; (3) re-engineering; dan (4) perbaikan mutu.State of Reengineering Report yang disusun olehCSC Index pada tahun 1994 misalnya menunjukkanbahwa dari 99 inisiatif reengineering, 67%menunjukkan hasil yang mediocre, marginal ataugagal. Pencetus konsep reengineering sendiri,Michael Hammer, sekarang mengakui bahwa hanya30% dari proyek reengineering yang mencapaitujuannya. Kedua penulis mengakhiri pembahasanbukti-bukti empirik perubahan ini dengan menyajikandelapan pertanyaan kritis yang perlu kitapertimbangkan sebelum memulai suatu upayaperubahan.

Bagian ketiga, From Evidence to Action,nampaknya merupakan bagian yang nampaknyaakan mengecewakan banyak pembaca. Judul danpenempatan bagian ini mengundang harapan bahwakedua penulis dalam klimaks buku ini akanmenyajikan usulan-usulan praktis dan brilyan untukdapat mejembatani jurang antara bukti-bukti danpraktek manajerial. Dengan ekspetansi yangsedemikian tinggi bagian ini terasa terlalu singkat

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 103

meskipun masih menyajikan beberapa gagasanyang menarik. Yang paling menarik adalah menurutPfeffer dan Sutton pada akhirnya salah satu upayayang dapat menyebarluaskan upaya implementasievidence-based management adalah mengikutipola yang mendasari menyebarluasnya praktikpengambilan keputusan yang tidak berbasis bukti,yakni melalui advokasi para pakar dan konsultanmanajerial terpandang.

Ada dua pertanyaan yang mengusik benaksetelah membaca buku ini. Pertama, apakahmanajer yang berlatar belakang medis dan familiardengan evidence based-medicine (misal dokter yang

menjadi direktur RS), lebih cenderungmempraktekkan evidence-based management?Kedua, bagaimana dengan hard evidence bahwapenerapan evidence-based management dapatmeningkatkan kinerja manajerial? Semoga di antarakita ada yang tertarik untuk menulis buku yang dapatmenjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Yodi Mahendradhata([email protected])

104 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

VOLUME 09 No. 02 Juni l 2006 Halaman 104 - 105

Korespondensi

Email ditujukan ke [email protected]

Dampak Ekonomi dari Penyakit Avian Influenza (H5n1)

di Bali

Setelah saya membaca tulisan Saudara A.A.I.Nirmala Trisna, dari Unit Penelitian dan LatihanEpidemiologi Komunitas, Fakultas KedokteranUniversitas Udayana, Bali, yang berjudul DampakEkonomi Dari Penyakit Avian Influenza (H5N1) diPropinsi Bali dan dimuat di Jurnal ManajemenPelayanan Kesehatan Vol.9/No 01/Maret 2006, makaperkenankanlah saya memberikan tanggapan danmasukan.

Judul di atas yang disajikan merupakan temamenarik untuk dikaji lebih dalam dan merupakan isuterkini dalam dunia ekonomi khususnya ekonomikesehatan. Beberapa tahun belakangan ini munculsuatu kejadian luar biasa yang berupa wabah (out-break) dan bencana alam (disaster) yang seringterjadi di negeri kita ini. Banyak peneliti yang men-coba menganalisis kejadian-kejadian tersebut darisudut pandang keilmuan masing-masing. Ilmu yangpaling umum dikaji untuk meneliti dampak kejadiantersebut adalah ilmu ekonomi. Tetapi setelahmembaca lebih teliti judul di atas, maka tanggapanpertama yang muncul dari pikiran awam dan (apa-lagi) seorang ekonom adalah bahwa judul tulisantersebut masih sangat luas.

Ketika berbicara masalah ekonomi, maka yangterlintas pertama kali adalah pertanyaan sebagaiberikut; ekonomi yang mana? Mikro? Makro?Manajemen? Industri? dan sebagainya, sehinggajudul yang disampaikan harus lebih mendalam dandetail, tentang suatu hal yang akan dikaji. Ilmuekonomi sendiri merupakan bidang keilmuan yangsangat luas. Pada perkembangannya, kajian ilmuekonomi berkembang menjadi beberapasubkeilmuan. Baik yang sifatnya pengembangan kedalam, seperti bisnis manajemen, teori ekonomimurni, dan akuntansi keuangan moneter, sedangkanpengembangan ke luar, ekonomi telah terintegrasidengan keilmuan lainnya, seperti ekonomi sosial,ekonomi politik, ekonomi kesehatan, ekonomi per-tanian, ekonomi industri, dan sebagainya.1 Olehsebab itu, sekiranya penulis dapat lebih meng-kerucutkan judul penelitian di atas ke dalam �sub�keilmuan ekonomi yang lebih tepat.

Pada latar belakang dan pendahuluan tulisantersebut dijelaskan mengenai dampak dari penyakitAvian Influenza (AI) yang dirasakan oleh peternakandan industri terkait lainnya. Biaya dari penyakit AI

dianalisis untuk mengidentifikasi urgensi danpentingnya strategi pencegahan dan pengendalianAI secara terpadu, sedangkan pada bahan dan carapenelitian, disebutkan bahwa yang dilihat adalah costof illness. ini menunjukkan bahwa bahasan yangdikaji masih sangat luas atau umum. Jika dilihat dariLatar Belakang, menunjukkan bahwa tulisan ini dikajisecara makroekonomi (dampak AI terhadap industri),tetapi pada cara penelitian ternyata lebih ke arahMikroekonomi (penghitungan cost/biaya).

Jika penulis ingin mengkaji masalah ini denganpendekatan ekonomi makro, maka sebaiknya pene-litian ini memilih untuk menggunakan analisisvariabel-variabel ekonomi makro, seperti konsumsi(dampak ekonomi terhadap rumah tangga), investasi(dampak ekonomi terhadap industri dan perananperusahaan swasta), pengeluaran pemerintah, ataunetto perdagangan luar negeri atau ekspor-impor(dampak ekonomi terhadap pariwisata/wisatawan).Tulisan ini sedikit menyinggung masalah ekonomimakro, ketika penulis menyajikan gambaran tentangdampak AI ini yang dapat menganggu kestabilanekonomi baik secara forward linkage maupun back-ward linkage.2

Tulisan ini dapat menjadi pembahasan yangtajam, apabila ditambahkan data tentang berapapersen ketergantungan ekonomi bali (secara umum)terhadap sektor perternakan (backward linkage).Bagaimana pola penyebaran AI (kajian secaraepidemiologi) di Bali? Apakah sudah menyebarsecara luas? Apakah sudah menjadi wabah lokal(local outbreak) atau masih terkonsentrasi di daerahtertentu saja, sehingga penghitungan kerugianekonomi tidak bisa di-aggregat dengan hanyamenghitung seluruh jumlah unggas di Bali yang(apabila semuanya) terkena AI. Perlu dikaji lebihmendalam untuk melihat secara backward linkageini.

Hal serupa juga disampaikan penulis ketikamembahas dampaknya melalui pendekatan forward-linkage. Tulisan ini tidak disertai data yang menunjuk-kan apakah adanya wabah AI ini cukup signifikanyang dibuktikan secara empiris terhadap sektor/industri yang lain, misalnya pengolahan makanan,pariwisata, dan sebagainya. Atau hanya masihsebatas wacana. Apakah ada data mengenai berapapersen penurunan pertumbuhan ekonomi industri-

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 2 Juni 2006 l 105

industri tersebut Bali akibat wabah ini? Bagaimanafaktor-faktor yang lain? Disinilah perlu diberikannyaasumsi-asumsi yang relevan terkait dampak ekonomiini untuk melbih menyederhanakan permasalahanyang ada. Teori ekonomi tidak akan bermakna apabilatidak ada asumsi-asumsi yang menyertainya.

Apabila membaca dari cara penelitian, hasilpenelitian, dan pembahasan, maka terlihat bahwatulisan tersebut mengarahkan pembaca untukmemahami dampak ekonomi akibat AI secara mikro-ekonomi, yaitu dengan menganalisis cost (biaya)dan melihat sisi permintaan dan penawaran secaramikroekonomi. Secara umum cost analysis (ter-masuk pula cost of illness) harus memasukkanlandasan teori dasarnya, yaitu teori biaya. Teori biayayang paling umum dilakukan misalnya analisis biayadan manfaat (cost and benefit), analisis efektifitasbiaya (cost effectiveness), dan lain-lain.3 Hal tersebutbelum terbaca secara eksplisit dalam tulisan ini,hanya melihat dampak AI dari sisi biaya langsungdan tidak langsung yang ditanggung oleh penderita.Tulisan tersebut sudah mengarah kepada analisisbiaya dan manfaat serta menggunakan konsep biayaoportunitas dan biaya yang hilang. Perlu dipertim-bangan untuk menggunakan salah satu konseptersebut, supaya tulisan menjadi lebih spesifik.

Pada bagian pembahasan juga disinggungperan media dalam rangka menghindari ataumengurangi dampak kerugian akibat AI. Hal ini jugatidak disebut dalam awal penelitian, sehingga munculsuatu opini apakah yang berpengaruh penurunkanpertumbuhan ekonomi di Bali itu penyakitnya atauberita atas penyakit AI tersebut.

Secara umum, kesimpulan juga belum dituliskansecara sistematis penelitian ilmiah, bahkan secaraawam ada kesan yang mengarah kepada penelitian

yang bersifat hipotesis. Perlu kajian empiris dengandata riil dan alat analisis ekonomi yang lebih tepat.Saran penelitian yang diajukan masih sebatas sa-ran kebijakan umum, bukan spesifik untuk daerahbali dengan karakteristik ekonominya yang spesifikpula.

Pada bagian akhir korespondensi ini, adabeberapa inti masukan yang diharapkan bermanfaatbagi pengembangan penelitian sejenis:ñ Metodologi, alat analisis, data yang digunakan,

dan asumsi merupakan kerangka utama yangpaling penting dalam penelitian empiriskhususnya penelitian ekonomi.

ñ Batasan permasalahan perlu diperjelas,mengingat luasnya definisi ekonomi yangdigunakan dalam penelitian ini.

ñ Spesifik ekonomi daerah dan faktor-faktorpenentu pertumbuhan daerah perlu dipertajamdalam analisis dan kesimpulan, sehingga usulankebijakannya tidak bersifat terbuka atau umumtetapi lebih terarah untuk spesifik daerah.

KEPUSTAKAAN1. Toddaro, Michael. Economic Development,

Eight Edition, Addison-Wesley, USA. 2002.2. Kuntjoro, Mudrajad. Ekonomi Pembangunan,

AMP-YKPN, Yogyakarta, 2003.3. Parkin, Michael, Bade, Robin. Modern

Macroeconomic, Sixth Edition, Prentice-Hall,Canada.2004.

Deni HarbiyantoPusat Manajemen Pelayanan Kesehatan

FK UGM, Yogyakarta

Misi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan adalah untuk menerbitkan, menyebarluaskan, danmendiskusikan berbagai tulisan ilmiah mengenai manajemen dan kebijakan dalam lingkup pelayanankesehatan, yang membantu pembuat kebijakan, peneliti, dan praktisi agar lebih efektif. Hal tersebutbertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan dalam menerima naskah akan menyaring untuk keaslian,relevansi penelitian dan praktisi manajemen pelayanan kesehatan. Setelah penyaringan awal naskahakan dikirimkan kepada reviewer untuk meninjau ulang isi naskah. Editor akan memutuskan penerimaannaskah dengan mempertimbangkan rekomendasi dari reviewer yang telah ditunjuk. Editor berhak untukmerubah naskah apabila dipandang perlu, misal dengan memperpendek isi naskah atau menghilangkanbagan dan tabel. Deskripsi lebih lanjut mengenai jenis-jenis naskah yang dimuat oleh JMPK diuraikan dibawah.

PETUNJUK BAGI PENULIS

1. ARTIKEL PENELITIANa. Naskah yang memuat hasil penelitian yang

berkaitan dengan manajemen pelayanankesehatan.

b. Naskah tidak lebih dari 3000 kata.c. Naskah disertai abstrak bahasa Inggris dan

bahasa Indonesia baik tul isan yangberbahasa Inggris maupun tulisan berbahasaIndonesia dengan bentuk terstruktur(backgrounds, methods, results, conclusion),dan disertai kata kunci (key words). Abstrakhendaknya tidak melebihi 200 kata.

d. Tidak lebih dari 50 referensi

2. MAKALAH KEBIJAKANa. Artikel review, pembahasan atau hipotesis.b. Naskah tidak lebih dari 3000 kata.c. Pada dasarnya sama dengan tata cara

penulisan artikel penelitian. Hanya saja,untuk abstrak dapat menggunakan bentuktidak terstruktur.

d. Tidak lebih dari 50 referensi

3. ROUND TABLESa. Terdiri dari suatu artikel utama (2000 kata)

atas suatu pokok permasalahan manajemenpelayanan kesehatan yang diikuti denganpembahasan (500 kata) oleh pakar-pakaryang relevan.

4. RESENSIa. Review buku, web-site, cd-rom, yang relevan

dengan permasalahan manajemen pelayan-an kesehatan

b. Menggunakan 400-850 kata, tanpa referensi

5. KORESPONDENSIa Tanggapan atas suatu naskah yang diterbit-

kan di Jurnal Manajemen PelayananKesehatan pada edisi sebelumnya ataugagasan-gagasan orisinil dari pembaca.

b. Menggunakan 400-850 katac. Maksimal 6 refensi

6. ACUAN UMUMa Menyertakan surat pernyataan bahwa

naskah yang dikirim belum pernah dan tidaksedang dalam proses untuk publikasi, sertatidak akan dipublikasikan di tempat lain dalambentuk cetakan.

b. Karangan berupa ketikan komputer, meng-gunakan perangkat lunak yang umum (MS-WORD) dan diserahkan dalam bentukelektronik (melalui email atau disket) maupunprint out (rangkap 2). Karangan diketikdengan spasi 1,5 cm pada ukuran kertaskwarto serta tidak bolak-balik (1 kolom).

c. Judul karangan tidak melebihi 14 kata danharap disertai ringkasan judul untuk kepalahalaman (header).

d. Nama pengarang tidak disertai gelar danharap disertai alamat kerja yang jelas.

e. Tabel dan ilustrasi harus diberi judul dan kete-rangan yang cukup, sehingga tidak ter-gantung pada teks. Judul tabel diletakkan diatas tabel. Judul gambar diletakkan di bawahgambar.

f. Penulisan rujukan memakai sistem nomor(vancouver style dapat dilihat di www.jmpk-online.net) sesuai dengan urutan penampil-an dalam karangan. Misal:��.sudah pernah dilaporkan1�....���.Menurut Sardjito2�....���.Winstein and Swartz3 pernah melakukan��oleh Avon et al4�....�

g. Pernyataan terima kasih diletakkan di ataskepustakaan. Nama-nama yang diutarakandalam pernyataan harus disertai dengangelar, jabatan, dan alamat kerja.

h. Para pengarang diharapkan sedapatmungkin mengikuti Index Medicus dan Indexof Indonesian Learned Periodicals (PDIN1974) untuk singkatan nama berkala.

k. Mencantumkan nama, nomor telepon dan HP,alamat instansi yang jelas, dan email.