Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

download Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

of 62

Transcript of Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Ukuran dan Warna seperti contoh

jurnalUkuran dan Warna seperti contoh

ISSN 1410-6515Ukuran dan Warna seperti contoh Ukuran dan Warna seperti contoh

ManajemenPelayanan KesehatanThe Indonesian Journal of Health Service ManagementVolume 09/Nomor 03/September/2006EDITORIALPercepatan Pendidikan Dokter Spesialis: Salah Satu Cara Penting untuk Mengatasi Masalah Pemerataan Pelayanan Kesehatan

Vol 09. No. 03 h.107-165 9 3 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 2006

MAKALAH KEBIJAKANContracting Out Pelayanan Kesehatan: Sebuah Alternatif Solusi Keterbatasan Kapasitas Sektor Publik

ARTIKEL PENELITIANDecision Space dalam Program Kesehatan Ibu dan Anak Tahun 2006 Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000: Studi Kasus di Dua RSUD Provinsi Jawa Timur Studi Kasus Deskriptif Efektivitas Pelaksanaan Regulasi Perizinan Rumah Sakit Umum Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Kesehatan Daerah Bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2006 Determinan Distribusi Dokter Spesialis di Kota/Kabupaten Indonesia Regulasi Dokter Spesialis: Studi Komparasi Regulasi Pelayanan Kesehatan di Kota Medan Indonesia dan Negeri Pulau Pinang Malaysia

Ukuran dan Warna seperti contoh

RESENSIHealthcare Outcomes Management: Strategies for Planning and Evaluation

KORESPONDENSIFaktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Penempatan Dokter Spesialis Ikatan DinasJMPK Tahun 09 Nomor 03 Hlm. Yogyakarta 107-165 September 2006 ISSN 1410-6515 Terakreditasi Ditjen Dikti No.: 45/DIKTI/Kep./2006

Diterbitkan oleh/Published by: Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Center for Health Services Management Faculty of Medicine Gadjah Mada University

Ukuran dan Warna seperti contoh

Jurnal Manajemen Pelayanan KesehatanThe Indonesian Journal of Health Service Management

Diterbitkan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 4 kali setahun (triwulan). Misi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan adalah menyebarluaskan dan mendiskusikan berbagai tulisan ilmiah mengenai manajemen dan kebijakan dalam lingkup pelayanan kesehatan. Dengan demikian jurnal ini ditujukan sebagai media komunikasi bagi kalangan yang mempunyai perhatian terhadap ilmu manajemen dan kebijakan pelayanan kesehatan antara lain para manajer dan pengambil kebijakan di organisasi-organisasi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit pemerintah dan swasta, dinas kesehatan, Departemen Kesehatan, pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat, BKKBN, pengelola industri obat, dan asuransi kesehatan, serta para peneliti, pengajar, dan ilmuwan yang tertarik dengan aplikasi ilmu manajemen dan kebijakan dalam sektor kesehatan. Isi jurnal berupa artikel kebijakan atau hasil penelitian yang berkaitan dengan manajemen rumah sakit, manajemen pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan, dan masalah-masalah yang relevan dengan manajemen dan kebijakan kesehatan.

Pemimpin Redaksi Laksono Trisnantoro

Editor Abdul Razak Thaha Bhisma Murti Johana E. Prawitasari I. Riwanto Tjahjono Kuntjoro Sri Werdati Yulita Hendrartini Yodi Mahendradhata

Mitra Bestari (Peer Reviewer) A.A.Gde Muninjaya M. Ahmad Djojosugito Ali Ghufron Mukti Bambang Purwanto Hari Kusnanto Josef Mubasysyir Hasanbasri Sri Suryawati Triono Soendoro

Sekretaris Redaksi Hilaria Lestari Budiningsih

Penerbit Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, FK UGM, Yogyakarta STT: 2398/SK/DITJEN PPG/STT/1998 Harga langganan untuk satu tahun (4 kali terbit/triwulan) Pulau Jawa Rp100.000,00 Luar Pulau Jawa Rp125.000,00 (Sudah termasuk ongkos kirim) Bank BNI 46 Cabang UGM Yogyakarta No Rek.: 0038603369 a.n Laksono Trisnantoro/Seminar Bukti Transfer mohon di fax sebagai bukti berlangganan Alamat surat-menyurat menyangkut naskah, langganan keagenan dan pemasangan iklan: Sekretariat Redaksi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan d/a Gedung KPTU Lantai 3, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281 Telp/Fax: 0274-547490, 549425 Email: [email protected] Web-site: www.jmpk-online.net

ii

The Indonesian Journal of Health Service Management Volume 09/Nomor 03/September/2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Daftar IsiEditorialPercepatan Pendidikan Dokter Spesialis: Salah Satu Cara Penting untuk Mengatasi Masalah Pemerataan Pelayanan Kesehatan 107

Makalah KebijakanContracting Out Pelayanan Kesehatan: Sebuah Alternatif Solusi Keterbatasan Kapasitas Sektor Publik Bhisma Murti109

Artikel PenelitianDecision Space dalam Program Kesehatan Ibu dan Anak Tahun 2006 Dewi Marhaeni Diah HerawatiPenerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000: Studi Kasus di Dua RSUD Provinsi Jawa Timur Hanevi Djasri Studi Kasus Deskriptif Efektivitas Pelaksanaan Regulasi Perizinan Rumah Sakit Umum Inni Hikmatin, Hanevi Djasri, Adi Utarini Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Kesehatan Daerah Bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2006 Tisa Harmana, Wiku B. Adisasmito Determinan Distribusi Dokter Spesialis di Kota/Kabupaten Indonesia Yaslis Ilyas Regulasi Dokter Spesialis: Studi Komparasi Regulasi Pelayanan Kesehatan di Kota Medan Indonesia dan Negeri Pulau Pinang Malaysia Zulfendri Resensi Buku Healthcare Outcomes Management: Strategies for Planning and Evaluation Korespondensi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Penempatan Dokter Spesialis Ikatan Dinas 118

121

129

134

146

156

163

164

i

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 09 No. 03 September l 2006 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Halaman 107 - 108 Editorial

PERCEPATAN PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS: SALAH SATU CARA PENTING UNTUK MENGATASI MASALAH PEMERATAAN PELAYANAN KESEHATAN

Saat ini di Indonesia terdapat kekurangan akut dalam hal jumlah spesialis yang merupakan paradoks dalam sistem pelayanan kesehatan. Dalam konteks paradoks, sistem pelayanan kesehatan diharapkan sebagai sektor sosial yang penuh nilai kemanusiaan, namun sekaligus dipengaruhi oleh hukum pasar. Keduanya dapat bertentangan. Sebagai gambaran paradoks ada kenyataan bahwa semakin besar kekuatan ekonomi di suatu wilayah, maka semakin banyak tersedia dokter spesialis. Sementara itu, dihubungkan dengan persentase penduduk miskin justru didapatkan hasil hubungan yang negatif. Semakin banyak masyarakat miskin, maka semakin sedikit jumlah spesialis. Derajad asosiasi sekitar 0.9. Sebagai gambaran timpangnya penyebaran, data IDAI (2005) menunjukkan bahwa jumlah dokter spesialis anak (Sp.A) di DKI Jakarta adalah 443 (5.29 Sp.A per 100.000 penduduk) sementara di Provinsi Papua hanya 7 (0.32 Sp.A per 100.000 penduduk). Harapan menyatakan bahwa dokter seharusnya seperti Ibu Teresa yang dekat dengan masyarakat miskin. Kenyataan menyatakan sebaliknya seperti yang diteliti oleh Ilyas1. Paradoks penyebaran dokter spesialis ini merupakan hal serius karena membahayakan pemerataan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin yang saat ini didanai pemerintah pusat melalui program Askeskin. Dikhawatirkan dana pelayanan rumah sakit bagi masyarakat miskin akan terserap di daerah yang ada spesialis dan peralatan mediknya. Hal ini akan memperbesar kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa. Bagaimana cara mengatasi paradoks penyebaran spesialis ini? Salah satu cara adalah percepatan pendidikan dokter spesialis. Cara ini dianggap penting karena pendidikan spesialis saat ini dirasakan lambat dan lulusannya banyak yang tidak cocok untuk bekerja di daerah-daerah yang kekurangan spesialis. Dalam konteks pendidikan spesialis untuk daerah-daerah tertentu ada beberapa pertanyaan penting: (1) Apa yang disebut sebagai kompetensi spesialis dalam suasana global yang mempunyai teknologi tinggi dengan kekurangan dokter spesialis yang terutama di daerah terpencil atau yang

ekonominya kurang; (2) Apakah ada suatu kompetensi medik yang minimal mengingat kebutuhan yang berbeda di berbagai daerah?; (3) Apakah ada kompetensi perilaku dan budaya yang perlu dibahas dalam pendidikan?; dan (4) Bagaimanakah metode pendidikan untuk percepatan penambahan jumlah spesialis. Secara kompetensi medik, Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) menganjurkan setiap program pendidikan dokter spesialis mengacu pada Global Standards in Postgraduate Medical Education yang dikeluarkan oleh World Federation for Medical Education (WFME, 2003). Walaupun ada perbedaan dalam tradisi mengajar, budaya, kondisi sosial ekonomi, spektrum kesehatan dan penyakit, serta berbagai macam sistem pelayanan kesehatan pada tiap negara, namun dasar Ilmu Kedokteran dan evidence based medicine dalam praktik klinisnya harus tetap mengacu pada pedoman universal. Standar internasional dapat dimodifikasi berdasarkan kebutuhan dengan prioritas regional, nasional dan institusional. Modifikasi boleh dilakukan dengan catatan setiap negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa Postgraduate Medical Training Program (PMPT) ini mendukung tujuan nasional pelayanan kesehatan. Dalam praktiknya, penyesuaian standar global dengan local wisdom sangat bervariasi. Dalam standar global WFME rasio antara kurikulum inti dengan kurikulum pilihan dapat berkisar antara 60% 80% dengan 20% 40%2. Dengan mengingat pedoman gobal ini maka ada dua standar yang perlu dipertimbangkan yaitu: basic standard yang harus dipenuhi dan terlihat pada proses evaluasi, dan standard for quality development. Dalam konteks ini maka terbuka peluang untuk pengembangan kurikulum yang dapat memenuhi kebutuhan dasar dan mutu pelayanan di berbagai daerah. Diharapkan akan ada percepatan pendidikan residensi dengan mengacu pada kebutuhan lokal namun tidak mengabaikan kompetensi dasar klinik sesuai dengan standar internasional. Salah satu hal penting adalah kebijakan pemerintah daerah dan pusat dalam hal rekrutmen calon spesialis dan kerja sama dengan perguruan tinggi dan rumah sakit pendidikan. Diharapkan ada

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

107

Andreasta Meliala: Peranan Pemerintah Daerah Dalam Mengatasi Maldistribusi Tenaga Dokter

kebijakan yang merekrut spesialis berdasarkan kecocokan profil individu dokter dengan keadaan ekonomi dan budaya rumah sakit yang akan ditempatinya. Dengan kecocokan ini diharapkan seumur hidup dokter spesialis akan berkarier di tempatnya tanpa harus pindah ke daerah lain. Kerja sama antara pemerintah daerah/pusat dengan fakultas kedokteran diharapkan mampu untuk melakukan inovasi-inovasi yang baik agar hasil pendidikan dokter spesialis tersebut dapat cocok bekerja di tempatnya, termasuk kompeten dalam

berinteraksi dengan sistem sosial dan budaya setempat. (Laksono Trisnantoro, [email protected]) KEPUSTAKAAN 1. Ilyas Y., Determinan Distribusi Dokter Spesialis di Kota/Kabupaten Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatn. Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta 2006; 09(03)/ September: 145-54. 2. Sunarto, Y., Emilia, O. Tantangan Pendidikan Spesialis Anak. Mimeo. 2005.

108

l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 09 No. 03 September l 2006 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Halaman 109 - 117 Makalah Kebijakan

CONTRACTING OUT PELAYANAN KESEHATAN: SEBUAH ALTERNATIF SOLUSI KETERBATASAN KAPASITAS SEKTOR PUBLIKCONTRACTING OUT FOR HEALTH SERVICE; AN ALTERNATIVE SOLUTION TO THE CAPACITY CONSTRAINT OF PUBLIC SECTORBhisma Murti Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa TengahABSTRACTContracting out is the practice of public sector or private firms of employing and financing an outside agent to perform some specific task rather than managing it themselves. The rationale for contracting is that public providers lack the incentive to use resources efficiently, and that private (or autonomous) providers are more efficient than public providers. Contracting out clearly separates the roles of purchaser and provider, and tightly links payment to performance of the provider. According to classical economic theory, contracting stimulates competition among providers in managed markets, induces cost awareness among providers and purchasers, and enhances transparency in negotiations. Providers are forced to minimize production cost and adjust the prices to meet the demand and requirements of purchasers. All these factors contribute to efficiency. In addition, contracting would promote decentralization managerial responsibility, a shift that would translate in efficiency gains in contrast to the old highly-centralized, bureaucratic structure, considered insensitive of the cost implications of allocative decisions. As is the case with any model, contracting out approach is not a panacea to all health problems. But in light of the limited absorptive capacity of the public sector, it is an alternative strategy worth considering for increasing the coverage and the quality of services in developing countries such as Indonesia. Monitoring and evaluation is an indispensible instrument for contracting out to exhibit its relative advantages. keperluan pembeli pelayanan. Semua ini memberikan sumbangan ke arah efisiensi. Selain itu, contracting meningkatkan tanggung jawab manajerial desentralisasi, suatu pergeseran yang akan menghasilkan efisiensi dibandingkan dengan struktur birokratik lama yang sangat sentralistis, yang tidak peka terhadap implikasi biaya dari setiap keputusan alokasi. Sebagaimana model penyediaan pelayanan kesehatan apapun, pendekatan kontrak bukan merupakan panasea (=obat mujarab bagi segala penyakit) untuk semua masalah kesehatan. Tetapi sehubungan dengan keterbatasan kapasitas absorbsi di sektor pemerintah, contracting out merupakan sebuah alternatif strategi yang pantas dipertimbangkan untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Monitoring dan evaluasi merupakan instrumen penting untuk menunjukkan keunggulan relatif contracting out. Kata kunci: contracting, pelayanan kesehatan, pemerintah, swasta, managed competition

Keywords: contracting, health services, public, private, managed market

ABSTRAKContracting out merupakan praktik yang dilakukan pemerintah atau perusahaan swasta untuk mempekerjakan dan membiayai agen dari luar untuk menyediakan pelayanan tertentu daripada mengelolanya sendiri. Alasan mengontrakkan adalah bahwa penyedia pelayanan publik kurang memiliki motivasi untuk menggunakan sumber daya dengan efisien, dan bahwa penyedia swasta (atau mandiri) lebih efisien daripada penyedia publik. Contracting memisahkan dengan jelas peran sebagai pembayar atau pembeli dan peran sebagai penyedia pelayanan, serta mengaitkan pembayaran dengan kinerja penyedia pelayanan. Menurut teori ekonomi klasik, contracting merangsang kompetisi di antara penyedia pelayanan dalam pasar terkelola, mendorong kesadaran biaya di antara penyedia maupun pembeli pelayanan, dan memperbaiki transparansi dalam negosiasi. Penyedia pelayanan dipaksa untuk meminimalkan biaya produksi, serta menyesuaikan harga-harga untuk memenuhi permintaan dan

PENGANTAR Sejak dekade 1980-an terdapat dorongan kebijakan internasional yang kuat untuk memperkenalkan mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang dan mengurangi peran negara. Alasan yang melatari dorongan itu adalah tidak memadainya sumbersumber daya pemerintah untuk menyediakan pelayanan kesehatan universal. Selain itu, struktur tipikal di sektor pemerintah atau publik di negaranegara berkembang tidak selalu kondusif untuk memperluas akses, meningkatkan kualitas pelayanan, maupun memastikan efisiensi penggunaan dana.1 Upaya untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik umumnya gagal karena terbentur oleh keterbatasan kapasitas pemerintah, campur tangan politik, sumber daya yang tidak memadai, kekakuan pemanfaatan tenaga kerja.1,2,3,4 Sebagai contoh, sebagian besar fasilitas kesehatan di Kamboja menunjukkan kinerja yang buruk karena kekurangan dana, manajemen tidak adekuat, penggunaan sumber daya tidak efisien, dan motivasi yang buruk di kalangan pegawai negeri.5 Di sisi lain,

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

109

Bhisma Murti: Contracting Out Pelayanan Kesehatan: ...

sektor swasta berkembang dengan pesat dalam penyediaan pelayanan kesehatan. Timbul minat untuk memobilisasi sumber-sumber daya sektor swasta dalam rangka memperluas dan meningkatkan skala pelayanan kesehatan (misalnya, Global Fund, PEPFAR, MDGs).3 Dengan konteks keterbatasan kapasitas pemerintah di satu pihak dalam memperluas akses pelayanan kesehatan dan pesatnya perkembangan sektor swasta di lain pihak, salah satu isu kebijakan reformasi kesehatan yang hangat dibicarakan akhirakhir ini adalah model penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang disebut contracting out. Dengan contracting out, pihak pemerintah tidak menyediakan sendiri pelayanan kesehatan, melainkan melakukan kontrak dengan agen luar yang disebut kontraktor untuk menyediakan barang atau pelayanan kesehatan kepada penerima pelayanan (beneficiary).6 Dengan contracting out, pemerintah dapat memobilisasi sumber daya sektor swasta untuk kepentingan tercapainya tujuan-tujuan kesehatan nasional. Secara teoretis contracting out memberikan sejumlah keuntungan, dengan cara mengaitkan pembiayaan pemerintah dan kinerja penyedia pelayanan dalam memberikan pelayanan.7 Mengontrakkan pelayanan sektor publik merupakan praktik lumrah di negara-negara maju. Pertanyaannya, dapatkah model contracting out diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia untuk menyediakan pelayanan kesehatan? Jika ya jawabannya, untuk kondisi permasalahan dan jenis pelayanan bagaimana contracting out tepat untuk diterapkan? Makalah ini menyajikan definisi contracting, mengupas alasan rasional melakukan contracting, menyajikan jenis pelayanan, serta kemampuannya untuk dikontrakkan, menguraikan sejumlah kasus pengalaman implementasi contracting di negaranegara lain, dan mengulas sejumlah isu berkaitan dengan contracting pelayanan kesehatan. DEFINISI Harding dan Preker8 mendefinisikan contracting a purchasing mechanism used to acquire a specified service, of a defined quantity, quality, at an agreedon price, from a specific provider, for a specified period. Artinya, contracting adalah suatu mekanisme pembelian yang digunakan untuk mendapatkan pelayanan tertentu, dengan kuantitas dan kualitas tertentu, dan harga yang disepakati, dari suatu penyedia pelayanan tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Berbeda dengan transaksi sesaat antara pembeli dan penjual, istilah contracting mengandung arti sebuah hubungan

terus - menerus selama suatu periode, didukung dengan kesepakatan kontrak. Kontrak formal (formal contracting) menyebutkan dengan eksplisit jenis, kuantitas, dan periode waktu pemberian pelayanan oleh sebuah penyedia pelayanan swasta atas nama pemerintah, disertai aturan pembayaran, dalam format yang mengikat secara hukum. 6 Tetapi menurut Palmer sebagaimana dikutip Waters, et al.6 ada juga kontrak informal (informal contracting) yang berisikan perjanjian implisit antara pemerintah dan agen sektor swasta, biasanya berdasarkan kepercayaan (trust) dan hubungan jangka panjang. Gambar 1 menyajikan pola umum contracting pelayanan.Depkes

Kontrak

Pembayaran

M&E

Mengelola & membayar

NGO

MPelayanan Penerima pelayanan (Beneficiary)

Mengelola & membayar

Gambar 1. Contracting Pelayanan

Berdasarkan jenis pelayanan kesehatan yang dikontrakkan, contracting dapat dibedakan menjadi (Rosen seperti dikutip Waters et al.,6: (1) pelayanan kesehatan; (2) pelayanan penunjang (ancillary services); dan (3) manajemen. Mills2 membagi dua jenis pelayanan yang dikontrakkan: (1) pelayanan klinis; (2) pelayanan nonklinis. Berdasarkan desain perjanjian kontrak itu sendiri, contracting dibedakan menjadi1,9: (1) contracting out; (2) contracting in; (3) franchising; (4) leasing. Pavignani dan Colombo10 memberikan batasan contracting out the practice of public sector or private firms of employing and financing an outside agent to perform some specific task rather than managing it themselves. Artinya, contracting out adalah praktik yang dilakukan oleh sektor pemerintah atau perusahaan swasta untuk mempekerjakan dan membiayai agen dari luar untuk melakukan sejumlah tugas-tugas tertentu daripada mengelolanya sendiri. Liu, et al.3 mendefinisikan contracting out the implementation of an agreement between the government (purchaser) and providers in which providers are paid for the provision of defined services to specified target populations for defined results.

110

l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Artinya, contracting out adalah implementasi dari suatu perjanjian antara pemerintah (pembeli) dan penyedia pelayanan yaitu penyedia pelayanan dibayar untuk memberikan pelayanan tertentu kepada populasi sasaran tertentu dengan hasil - hasil tertentu. Sebagai contoh, pemerintah mengontrakkan fungsi-fungsi dinas kesehatan seperti pelayanan preventif dasar, atau kampanye pendidikan kesehatan, kepada organisasi swasta, yang beroperasi di luar fasilitas pemerintah atau publik. Gambar 2 menyajikan desain dan mekanisme kerja contracting.Elemen-elemen kontrak: 1. Jenis pelayanan 2. Kuantitas pelayanan 3. Kualitas pelayanan 4. Penerima pelayanan (beneficiary) 5. Syarat pembayaran 6. Metode pembayaran 7. Harga 8. Waktu pembayaran 9. Sistem M&E 10. Durasi 11. Pemecahan masalah perselisihan 12. Syarat penghentian kontrak Pembayar

Pembayaran Kontrak Pemberi pelayanan M&E

Pelayanan Penerima pelayanan (beneficiary)

Gambar 2. Desain dan Mekanisme Kerja Contracting Out

menyediakan barang atau pelayanan. Dengan kata lain, kontraktor dalam contracting in adalah bagian atau divisi dari organisasi itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah rumah sakit pemerintah mengontrak sebuah organisasi swasta untuk menyediakan prosedurprosedur rutin (pelayanan laboratorium), atau pelayanan spesialistik (radiologi) di dalam rumah sakit, untuk melengkapi pelayanan yang dilakukan oleh rumah sakit sendiri. Tetapi contracting in bisa juga berarti memasukkan manajemen swasta dari luar untuk menjalankan pelayanan pemerintah. Sebagai contoh, sebuah rumah sakit menyewa perusahaan swasta untuk menjalankan pekerjaan kebersihan dan penyediaan makanan (catering) di dalam fasilitas rumah sakit tersebut. Franchising adalah suatu bentuk contracting yaitu pemerintah memberikan hak kepada kontraktor (hak tersebut bisa eksklusif atau noneksklusif), untuk memberikan pelayananpelayanan tertentu yang akan dibayar oleh pasien dari suatu populasi.9 Leasing adalah bentuk contracting yaitu pemerintah mengadakan fasilitas atau peralatan dari sumber luar berdasarkan persetujuan sewa, bukan memiliki fasilitas atau peralatan itu.1 MENGAPA CONTRACTING OUT? Terdapat sejumlah alasan teoretis untuk melakukan contracting out. Pertama, contracting out memisahkan dengan jelas peran sebagai pembayar atau pembeli dan peran sebagai penyedia pelayanan, serta mengaitkan pembayaran dengan kinerja penyedia pelayanan. Di banyak negara berkembang, yang selama ini kerap terjadi adalah sebagian besar fasilitasfasilitas kesehatan khususnya rumah sakit pemerintah, dibiayai melalui alokasi anggaran (disebut global budget) yang tidak secara langsung berhubungan dengan jumlah maupun kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Meskipun fasilitas-fasilitas itu diawasi departemen kesehatan, tetapi biasanya bersifat sangat umum, normatif, dan tidak efektif. Hukuman terhadap kinerja buruk merupakan kejadian langka.11 Akibatnya, staf di sektor pemerintah tidak berkepentingan untuk menunjukkan kinerja yang baik. Model contracting out membedakan dengan jelas peran pihak pembayar dan penyedia pelayanan, sehingga tanggung jawab dan akuntabilitas manajerial di pihak pemberi pelayanan maupun di pihak pembayar akan meningkat.7,10,11 Desentralisasi pengambilan keputusan membuat para penyedia pelayanan kesehatan lebih leluasa untuk membuat keputusan alokasi yang lebih efisien daripada yang dihasilkan

Perhatikan, karakteristik kunci dalam contracting adalah adanya pernyataan eksplisit tentang elemen-elemen kontrak yang disepakati oleh pihak pemberi kontrak dan kontraktor untuk diwujudkan dalam periode waktu tertentu. Kontraktor memiliki tanggung jawab penuh dalam hal manajemen internal untuk menyediakan pelayanan, baik dalam mengangkat pekerja, memecat pekerja, menentukan upah dan gaji, maupun mengadakan dan mendistribusikan barang dan pelayanan. Karakteristik penting lainnya adalah adanya keterikatan yang jelas antara pembayaran (payment) dan kinerja (performance) pemberi pelayanan3, yang didukung oleh sistem monitoring dan evaluasi (M&E). Indikator kinerja mencakup akses, efisiensi, kualitas, dan keadilan, yang ditunjukkan oleh kontraktor, tercantum dalam perjanjian kontrak. Dengan demikian, M&E merupakan instrumen yang sangat vital dalam contracting out. Pavignani dan Colombo10 mendefinsikan contracting in a subdivision of the parent organization (such as a hospital, a number of doctors, etc) subcontracted for the provision of goods or services. Artinya, contracting in adalah melakukan subkontrak kepada sebuah divisi yang berada di bawah struktur organisasi yang bersangkutan (misalnya sebuah rumah sakit, sejumlah doktor, dan sebagainya) untuk

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

111

Bhisma Murti: Contracting Out Pelayanan Kesehatan: ...

melalui birokrasi yang sangat sentralistis dan kurang peka terhadap implikasi biaya dari keputusankeputusan alokasi.4,10 Keterikatan pembayaran dengan kinerja membuat penyedia pelayanan kesehatan bekerja dengan lebih keras.11 Dengan cara demikian, contracting out mendorong terjadinya efisiensi alokatif, yaitu situasi yang input ataupun output digunakan sebaik mungkin dalam ekonomi sedemikian sehingga tidak mungkin lagi dicapai pertambahan output ataupun kesejahteraan yang lebih baik.12 Kedua, contracting out memaparkan para penyedia pelayanan kepada pasar kompetitif. Struktur pasar memberikan pengaruh besar terhadap perilaku penyedia pelayanan. Menurut teori ekonomi klasik, kompetisi menimbulkan tekanan kepada pemberi pelayanan pemerintah maupun swasta untuk meningkatkan kinerja, baik dalam pelayanan maupun harga.8,10,13 Kompetisi memaksa pemberi pelayanan untuk menyesuaikan harga (disebut price taking, bukannya price setting seperti dalam situasi monopoli), sesuai dengan permintaan dan kebutuhan pembeli pelayanan. Hubungan kontraktual dalam contracting out mendorong para manajer penyedia maupun pembeli pelayanan untuk sadar terhadap biaya tinggi. Tanpa menurunkan kualitas yang sudah disepakati dalam perjanjian kontrak, para manajer akan berusaha meminimalkan biaya produksi. Dalam pasar kompetitif sempurna, bidding kompetitif akan menghasilkan tingkat harga yang secara sosial optimum, artinya optimum dari perspektif masyarakat keseluruhan. Contoh, penelitian Keeler et al., seperti dikutip Waters dan Hussey14 menunjukkan, harga pelayanan medik rumah sakit lebih murah di California, sebab tingkat konsentrasi rumah sakit di California lebih rendah daripada negara bagian lainnya. Salah satu cara penyedia pelayanan meminimalkan biaya produksi adalah mengadopsi teknologi inovatif. Gambar 3 menyajikan perubahan biaya produksi sebagai implikasi penerapan teknologi inovatif, dengan asumsi tidak ada perubahan kualitas pelayanan.12,15 Gambar 3A menunjukkan keadaan yang adopsi teknologi menurunkan biaya produksi, sehingga barang atau pelayanan yang dihasilkan menjadi lebih murah. Sebaliknya, Gambar 3B menunjukkan keadaan yang adopsi teknologi membuat produk menjadi lebih mahal tanpa meningkatkan kualitas.

Modal (K)

Isocost= Rp 1,000,000

Modal (K)

Isocost= Rp 1,200,000

E E

E

E

Isocost= Rp 750,000 0

Q=100 Q=100Pekerja (L)

Isocost= Rp 1,000,000

Q=100 Q=100Pekerja (L)

0

A. Teknologi menurunkan biaya produksi

B. Teknologi meningkatkan biaya produksi

Gambar 3. Perubahan Teknologi Mengakibatkan Penurunan (A) atau Peningkatan (B) Biaya Produksi

Manajer penyedia pelayanan tentu memilih teknologi yang menurunkan, bukannya meningkatkan ongkos produksi, untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Dengan demikian, contracting out mendorong terjadinya efisiensi teknis, yaitu keadaan yang kuantitas output tertentu diproduksi dengan kombinasi biaya terendah.16 Implikasi dari efisiensi teknis di tingkat mikro, contracting out dalam lingkungan pasar kompetitif membawa kepada alokasi sumber daya yang lebih efisien daripada yang dapat diharapkan dari ekonomi terpimpin (command economy) ataupun solusi nonpasar di tingkat makro. 13 Di sisi lain, contracting juga menumbuhkan pasar dan merangsang kompetisi.3 Ketiga, contracting out mendorong perencanaan yang lebih baik, di pihak pembayar/ pembeli pelayanan maupun kontraktor penyedia pelayanan. Sebab dengan contracting, kuantitas pelayanan, kualitas pelayanan, daya tanggap (responsiveness), populasi sasaran pelayanan, kebutuhan kesehatan, dan berbagai isu lainnya, perlu diidentifikasi dengan jelas. Baik pemberi kontrak maupun kontraktor memfokuskan kepada pencapaian hasil-hasil yang terukur dengan objektif. Implikasinya, pemberi kontrak maupun kontraktor terdorong untuk membuat perencanaan dengan lebih baik. Keempat, contracting out mengurangi kerepotan pemerintah dalam pemberian pelayanan, sehingga pemerintah dapat lebih memfokuskan kepada peran penting stewardship , seperti perencanaan, penetapan standar mutu, regulasi, dan pembiayaan.4 Pemerintah dapat memanfaatkan contracting out untuk penyediaan pelayanan kelompok masyarakat rawan di daerah-daerah yang kurang atau tidak mendapatkan pelayanan (unserved atau underserved). Dengan demikian memperbaiki keadilan akses pelayanan.2,17 Kelima, contracting membantu pemerintah mengatasi keterbatasan

112

l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

absorptive capacity 3,18 Victora et al . 19 mendefinisikan kapasitas absorpsi, the degree to which additional funds can be effectively spent. Artinya, kapasitas absorpsi adalah derajat kemampuan membelanjakan tambahan dana dengan efektif. Asumsi yang digunakan lembaga donor, aliran bantuan luar negeri memberikan dampak positif terhadap laju pertumbuhan negara resipien. Demikian pula Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) mengasumsikan, tujuan-tujuan pembangunan kesehatan dapat dicapai dengan lebih cepat jika skala intervensi kesehatan ditingkatkan (scaling-up).20 Tetapi benarkah demikian? Temuan kontroversial akhir-akhir ini menunjukkan, efektivitas bantuan luar negeri terhadap pertumbuhan tergantung kualitas institusi dan kebijakan negara penerima donor.21 Sebagaimana disajikan Gambar 4, sampai pada titik saturasi tertentu, aid saturation point, yaitu sekitar 15% - 45% dari PDB, manfaat marginal dari pertambahan aliran bantuan akan menjadi negatif!20 Menurut de Renzio20, makin besar dan cepat peningkatan aliran bantuan, makin cepat pula terjadi dampak marginal yang makin menurun (diminishing return), dan makin cepat terjadi saturasi (kejenuhan), sebab hujan bantuan akan membuat sistem berada di bawah tekanan alias kewalahan atau kedodoran.Tingkat pertumbuhan

Kurva datar, dampak nol Dampak negatif Dampak positif, tetapi pertambahan marginal menurun 15% 45%

(3) Hambatan teknis dan manajerial; (4) Hambatan yang ditimbulkan oleh perilaku donor. Contoh hambatan teknis dan manajerial, Oliviera-Cruz et al.22 mengatakan, kapasitas absorpsi berhubungan erat dengan beberapa isu institusional dan administratif, seperti bertele-telenya (over-cumbersome) aturan, regulasi, dan prosedur, rendahnya kemampuan dan motivasi staf, larangan rekrutmen (kekakuan penggunaan tenaga kerja), kontrak yang tidak memungkinkan pemecatan staf, dan rendahnya komitmen manajer. Pertanyaannya, apakah karena efektivitas penggunaan dana menjadi negatif setelah titik saturasi, lalu aliran sumber daya perlu dikurangi atau distop? Vademoortele dan Roy 23 tidak berpendapat demikian. Penyerapan dana yang tidak memadai memang mengakibatkan inefisiensi. Tetapi, kapasitas absorpsi, seperti disebutkan di muka, dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidak bersifat tetap, bisa berubah dalam jangka pendek. Reformasi struktural dan peningkatan kapasitas institusi yang dibutuhkan untuk memperbaiki manajemen dan melawan korupsi, yang diperlukan untuk memperbaiki kapasitas absorpsi, semuanya membutuhkan uang ekstra. Ketidakmemadaian penyerapan dan inefisiensi bukan merupakan keadaan yang berdiri sendiri, melainkan sangat saling tergantung. Artinya, hambatan kapasitas absorpsi terjadi juga karena kurangnya dana. Jadi, tambahan sumber daya merupakan prasyarat untuk mengurangi keterbatasan kapasitas absorbsi, bukan sebaliknya, kapasitas absorpsi dapat ditingkatkan dengan mengurangi sumber daya.23 JENIS PELAYANAN DAN TINGKAT KEMAMPUANNYA UNTUK DIKONTRAKKAN Menjawab pertanyaan di awal artikel ini tentang dapatkah model contracting out diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia untuk menyediakan pelayanan kesehatan, dan jika ya, untuk kondisi permasalahan dan jenis pelayanan bagaimana contracting out tepat untuk diterapkan. Berikut disajikan Tabel 1 tentang jenis pelayanan dan kemampuannya untuk dikontrakkan.2,3

Titik saturasi bantuan Aliran bantuan (%PDB)

Gambar 4. Kapasitas Absorpsi Aliran Bantuan Oleh Sektor Publik

De Renzio20 menyebut sejumlah kemungkinan faktor penyebab keterbatasan kapasitas absorpsi: (1) hambatan makroekonomi (misalnya, Dutch Disease Effect); (2) hambatan institusional dan kebijakan;

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

113

Bhisma Murti: Contracting Out Pelayanan Kesehatan: ...

Tabel 1. Jenis Pelayanan dan Kemampuannya untuk DikontrakkanKarakteristik pelayanan Pelayanan tunggal versus pelayanan majemuk Tingkat kebutuhan Lebih mudah dikontrakkan Pelayanan tunggal (misalnya, imunisasi dengan antigen tunggal, program DOTS untuk tuberkulosis) Pelayanan yang kuantitas kebutuhannya dapat didefinisikan dengan jelas (misalnya, ANC) Lebih sulit dikontrakkan Pelayanan majemuk yang melibatkan berbagai penyakit (misalnya, MTBS, manajemen terpadu balita sakit) Pelayanan yang kuantitas kebutuhannya tidak dapat didefinisikan dengan jelas (misalnya, kunjungan rawat jalan) Pelayanan yang penyediaan maupun hasilnya sulit diukur Pelayanan tanpa protokol yang jelas dan standar Pelayanan yang secara teknis kompleks (misalnya, pelayanan klinis)

Korelasi pelayanan dengan hasil Ketersediaan petunjuk teknis Kompleksitas teknis

Pelayanan yang berhubungan erat dengan hasil Pelayanan yang memiliki protokol yang jelas dan standar Pelayanan yang secara teknis sederhana (misalnya, pelayanan nonklinis)

PENGALAMAN CONTRACTING DI NEGARA LAIN Mengontrakkan pelayanan kesehatan merupakan hal lumrah di negara-negara maju, misalnya AS, Finlandia, Kanada, Belanda, dan Inggris. Sebagai contoh, sejak 1948 National Health Service (NHS) di Inggris telah melakukan negosiasi, merumuskan dan membuat perjanjian kontrak dengan General Practitioners (GP) sebagai kontraktor independen, untuk memberikan pelayanan kesehatan primer.24 Demikian pula pendekatan kontrak pelayanan kesehatan merupakan model yang lumrah dilakukan dalam sistem managed care di AS . Dalam 15 tahun terakhir, contracting pelayanan kesehatan mulai dilakukan di sejumlah negara berpendapatan menengah maupun rendah. Sebagai contoh, Senegal dan Madagascar mengontrak NGO untuk memberikan program pelayanan gizi komunitas dalam skala besar di daerah sangat miskin perkotaan maupun pedesaan yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta. 6,25 Kedua proyek bertujuan memperbaiki keadilan akses pelayanan, dengan fokus pemberian pelayanan untuk populasi rawan, seperti anak-anak, wanita hamil, dan wanita menyusui. Di Senegal dan Madagascar, NGO lokal dikontrak melalui tender, dengan kriteria eligibilitas yang jelas. Proses bidding mencakup tiga area: (1) Pelaksanaan keseluruhan proyek; (2) Seleksi NGO/ GIE yang akan melakukan supervisi; (3) Seleksi

pekerja gizi komunitas ( Community Nutriition Workers, CNW). Di Senegal, Agetip ditunjuk melalui tender nonkompetitif sebagai pelaksana proyek keseluruhan atas nama pemerintah. Di Madagascar, sebuah unit proyek dibentuk oleh pemerintah dengan nama Secaline sebagai pelaksana proyek keseluruhan. Kontrak yang diberikan kepada NGO dan GIE menyebutkan dengan eksplisit pekerjaan yang harus dilakukan dan kinerja yang diharapkan. Untuk memonitor kualitas pelayanan dibangun sistem informasi manajemen yang sederhana tetapi efektif, dengan indikator monitoring antara lain: (1) persen anak yang ditimbang setiap bulan di antara kohor penerima pelayanan; (2) persen wanita yang menghadiri tes mingguan pendidikan kesehatan dan gizi. Tabel 2 menyajikan, jenis pelayanan yang dikontrakkan tidak hanya pelayanan kesehatan tetapi juga manajemen, supervisi, pelatihan, dan riset. Di Senegal, pelayanan nutrisi dikontrakkan kepada Groupement dInteret Economique (GIE), Tiap-tiap GIE terdiri dari empat kawula muda, biasanya tidak memiliki pekerjaan, tinggal di lingkungan komunitas sasaran. Di Madagaskar, pelayanan nutrisi dikontrakkan kepada CNW, biasanya seorang wanita dari desa sasaran, yang dilatih oleh staf proyek (di Madagaskar), konsultan lokal atau lembaga pelatihan lokal (di Senegal).Tabel 2. Jenis Pelayanan yang Dikontrakkan pada Masing-Masing Proyek

Jenis pelayanan yang dikontrakkan Pemberian pelayanan Pelatihan

Senegal GIE Konsultan lokal, lembaga pelatihan lokal GIE atau NGO Konsultan lokal, lembaga penelitian lokal

Madagascar CNW -

Supervisi Riset operasional

NGO

Konsultan lokal, lembaga penelitian lokal, universitas Manajemen proyek Agetip Secaline keseluruhan (Projects Unit) GIE= Groupement dInteret Economique; CNW= Commnity Nutrition Worker; NGO= Non-Government Organization (Sumber: Marek et al)25

Menurut Marek et al . 25 contracting out di Senegal dan Madagaskar berhasil menurunkan malnutrisi dan memanfaatkan keterlibatan masyarakat. Kedua proyek membuktikan bahwa pelayanan gizi preventif dapat dikontrakkan kepada tenaga kerja nonspesialis. Tulis Marek, et al.25 tentang faktor-faktor yang melatari keberhasilan proyek contracting out di kedua negara tersebut, In

114

l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

many African countries, competition for service providers exists, especially in urban areas where unemployment rates are high, and the unemployed are often highly educated and can put their skills to the service of the community if they are given a chance. In Madagsacar, for example, 40% of medical doctors are unemployed. This untapped pool of human resources, as well as local associations, institutions, and traditional NGOs, can be mobilized and organized if the rules of the game are clear, understood, and transparent. Marek et al.,25 menyimpulkan, meskipun pendekatan kontrak bukan merupakan panasea (=obat mujarab bagi segala penyakit) untuk memecahkan masalah nutrisi yang dihadapi Afrika, pendekatan tersebut memberikan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan. Bagaimanapun, klaim keberhasilan proyek di Senegal dan Madagascar tersebut harus ditanggapi dengan kritis, sebab secara metodologis kesimpulan tersebut ditarik berdasarkan survei cross-sectional tanpa kontrol. Di bagian Afrika lainnya, Mills et al . sebagaimana dikutip Waters et al . 6 membandingkan biaya dan kualitas di dua rumah sakit pemerintah dan dua rumah sakit misi di pedalaman yang menerima hibah jumlah besar dari pemerintah. Eksperimen terkontrol menunjukkan, kedua rumah sakit misi memberikan pelayanan dengan kualitas serupa dengan rumah sakit pemerintah, tetapi dengan unit cost yang jauh lebih rendah. Artinya, rumah sakit misi yang dikontrak pemerintah bekerja dengan lebih efisien. Di Asia Tenggara, pada tahun 1999 Departemen Kesehatan di Kamboja melakukan contracting out dan contracting in dengan NGO dan perusahaan swasta nirlaba untuk memberikan paket pelayanan kesehatan esensial di 12 rumah sakit distrik, menggunakan desain eksperimen random . 1,5,6 Pemberi pelayanan swasta dipilih melalui bidding kompetitif berdasarkan proposal teknis dan proposal keuangan, dan dibayar per kapita yang diliput sesuai harga bidding. Bukti awal menunjukkan, pelayanan yang dikontrakkan menghasilkan cakupan antenatal, cakupan imunisasi, penggunaan pelayanan kesehatan, dan kualitas pelayanan, yang lebih tinggi, serta biaya out-of-pocket yang lebih rendah daripada pelayanan pemerintah. Di Amerika Tengah, pemerintah El Salvador dan Guatemala melakukan eksperimen, menandatangani kontrak dengan NGO dan organisasi swasta sukarela (Private Voluntary Organizaion, PVO) untuk penyediaan pelayanan kesehatan primer di daerah dengan cakupan pelayanan kesehatan formal rendah.6 Di El Salva-

dor, Project Management Unit (PMU) membuat kontrak atas nama pemerintah dan Bank Pembangunan dengan NGO untuk penyediaan pelayanan kesehatan primer. Sebuah lembaga riset independen, PHRplus, melakukan evaluasi apakah contracting out memberikan pelayanan lebih banyak dan berkualitas untuk dana yang dikeluarkan. 17 Temuan evaluasi menunjukkan, NGO memberikan pelayanan lebih banyak, tetapi dengan biaya lebih banyak pula. Selain itu ditemukan kelemahan M&E internal oleh kontraktor dan keengganan pemerintah untuk mempertahankan model. Project Management Unit (PMU) tidak menganalisis data yang diperoleh dari NGO, dan pembayaran dilakukan otomatis tanpa mengaitkan dengan kinerja. Kesimpulannya, M&E perlu diperbaiki jika model contracting out akan diteruskan. Dana Asuransi Sosial Costa Rica (CCSS) membeli pelayanan kesehatan primer dari Koperasi Costa Rica, disebut COOPESALUD.26 Abramson26 menganalisis M&E yang dilakukan CCSS. Temuantemuan Abramson menunjukkan, data M&E yang dikumpulkan CCSS tidak mampu memberikan kepada pembeli pelayanan informasi yang langsung berkaitan dengan tujuan kontrak maupun kinerja kontraktor. Indikator dalam kontrak tidak mengukur hasil secara kuantitatif. Abramson26 menyimpulkan, M&E yang dilakukan CCSS superfisial, didasarkan pada cakupan populasi, bukan pada efektivitas dan kualitas perlakuan, maupun efisiensi penggunaan sumber daya. Di Republik Dominika, tahun 1999 tiga buah direktorat kesehatan provinsi mengontrak NGO untuk mendistribusikan alat kontrasepsi, melakukan program kampanye pendidikan keluarga berencana, dan melatih petugas kesehatan dalam kesehatan reproduksi. Mengontrakkan fungsi pelatihan petugas kesehatan kepada NGO terbukti efektif. Sebuah perusahaan swasta yang didanai oleh USAID melakukan supervisi terhadap kontrak, atas nama pemerintah.1 BEBERAPA ISU DALAM CONTRACTING Pengalaman penerapan contracting out di negara-negera berkembang beragam. Para kritikus mencatat beberapa masalah berkaitan dengan contracting out 6,10,14,27: (1) biaya transaksi; (2) kapasitas pemerintah; (3) kapasitas pemberi pelayanan; (4) kompleksitas penentuan harga; (5) monitoring dan evaluasi (M&E). Pertama, menurut teori, dengan adanya kompetisi, penyedia

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

115

Bhisma Murti: Contracting Out Pelayanan Kesehatan: ...

pelayanan akan berusaha meminimalkan biaya produksi, sehingga mendorong terjadinya efisiensi teknis. Tetapi jika terjadi biaya transaksi yang tinggi, berkaitan dengan desain, penulisan, negosiasi, implementasi, M&E kontrak, ataupun penyelesaian masalah perselisihan, maka pemerintah tidak dapat memperoleh efisiensi yang diharapkan dari contracting. Kedua, M&E merupakan instrumen vital dalam contracting. Jika pemerintah tidak mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk M&E terhadap kinerja kontraktor, pemerintah tidak akan dapat menegakkan kontrak dengan efektif, dan tidak memperoleh hasil strategis yang diharapkan. Sebagai contoh, pelaksanaan contracting out pelayanan preventif di Senegal dan Madagaskar, menganggarkan 13%-17% dari anggaran total proyek untuk membiayai monitoring dan evaluasi.25 Ketiga, jika jumlah penyedia pelayanan sedikit, maka sifat kompetisi terbatas. Keterbatasan kompetisi bisa terjadi karena faktor politis, ekonomi, dan manajerial. Sebagai contoh, biaya modal (startup cost) yang besar untuk memenuhi kebutuhan pelayanan sesuai perjanjian kontrak, kualifikasi pendidikan tinggi yang dibutuhkan dari petugas kesehatan profesional, dan lisensi regulasi, merupakan barier pendatang baru untuk memasuki maupun keluar dari pasar kompetitif. Implikasi dari rendahnya kompetisi, kontrak akan diberikan kepada penyedia pelayanan yang suboptimal, dan penyedia pelayanan menggunakan kekuatan monopolinya untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi daripada jika terdapat sejumlah kompetitor. Keempat, hubungan kontraktual biasanya bersifat jangka panjang agar biaya transaksi dapat ditekan rendah. Akibat yang tidak diharapkan, pemberi pelayanan dapat menunjukkan perilaku oportunistik (aji mumpung), misalnya, pilih-pilih pasien (disebut adverse selection ), atau mengendorkan semangat untuk berkinerja efisien. Kontrak jangka panjang juga berarti mengunci danadana publik hanya untuk suatu penggunaan tertentu, dan membatasi fleksibilitas realokasi untuk keperluan lain pada keadaan tidak terduga (misalnya, terjadinya epidemi, bencana alam), sehingga mempengaruhi efisiensi dan keadilan alokasi sumber daya. Kelima, di banyak negara berkembang, pemberi kontrak tidak memiliki informasi yang cukup tentang unit cost, volume kerja, dan biaya total pelayanan yang akan dikontrakkan.14 Jika pemerintah menaksir terlalu tinggi kebutuhan sumber daya yang

diperlukan untuk menyediakan suatu pelayanan, maka pemerintah akan terlalu tinggi membayar kontraktor, dengan demikian membuang-buang sumber daya. Jadi diperlukan studi biaya sebelum perjanjian kontrak pelayanan. Keenam, dalam contracting pelayanan bukan tidak mungkin terjadi hubungan yang tidak diinginkan atau kolusi antara pembeli dan penyedia pelayanan, tipikal di negara-negara berkembang dengan tingkat korupsi tinggi.3 KESIMPULAN Contracting out merupakan praktik yang dilakukan pemerintah atau perusahaan swasta untuk mempekerjakan dan membiayai agen dari luar untuk menyediakan pelayanan tertentu daripada mengelolanya sendiri. Dengan menggunakan paradigma pasar terkelola (managed market), secara teoretis mengontrakkan pelayanan publik kepada penyedia swasta membawa kepada efisiensi yang lebih baik daripada dilakukan sendiri oleh pemerintah. Sebab contracting memisahkan dengan jelas peran sebagai pembayar/ pembeli dan peran sebagai penyedia pelayanan, serta mengaitkan pembayaran dengan kinerja penyedia pelayanan. Penawaran kompetitif akan memaksa pemberi pelayanan untuk meminimalkan biaya dalam memproduksi pelayanan dengan kualitas yang sudah ditetapkan. Pemerintah dapat memanfaatkan model contracting out untuk penyediaan pelayanan kesehatan populasi rawan, khususnya yang bertempat tinggal di daerah terpencil, dengan demikian memperbaiki keadilan akses pelayanan. Sebagaimana model penyediaan pelayanan kesehatan apapun, pendekatan kontrak memang bukan merupakan panasea (=obat mujarab bagi segala penyakit) untuk semua masalah kesehatan. Tetapi fakta keterbatasan kapasitas absorpsi pemerintah di banyak negara berkembang dan tersedianya teori yang kuat, merupakan alasan yang rasional untuk mempertimbangkan pendekatan tersebut sebagai sebuah model alternatif untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan. Mengontrakkan penyediaan jenis pelayanan tertentu, misalnya pelayanan nonklinis atau pelayanan klinis yang tunggal dan sederhana, merupakan opsi yang feasible untuk penerapan tahap awal contracting out. Monitoring dan evaluasi merupakan instrumen penting untuk menunjukkan keunggulan relatif contracting out.

116

l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

KEPUSTAKAAN 1. Marek, T., Yamamoto, C., Ruster J . Private health: Policy and regulatory options for private participation. The World Bank Group Private Sector and Infrastructure Network. 2003. 2. Mills, A . To contract or not to contract? Issues for low and middle income countries. Health Policy and Planning, 1998; 13(1): 32-40. 3. Liu, X., Hotchkiss, D., Bose, S., Bitran, R. Contracting out for primary health services: evidence of its effects and a framework for evaluation. PHRPlus Project unded by USAID. http://www.phrplus.org. 2004. 4. Loevinsohn, B. Contracting for the delivery of primary health care in Cambodia: Desaign and initial experience of a large pilot-test. Washington, DC: The World Bank. 2006. 5. Soeters, R., Griffiths, F . Improving government health services through contract management: a case from Cambodia. Health Policy and Planning, 2003; 18(1): 74-83. 6. Waters, H., Hatt, L., Peters, D. Working with the private sector for child health. Health Policy and Planning, 2003; 18(2): 127-37. 7. Mc. Pake, B., Banda, N.E. Contracting Out of Health Services in Developing Countries. Health Policy and Planning. 1994;9(1):25-30. 8. Harding, A., Preker, A., Private Participation in Health Services. Washington DC. 2003. 9. Ruster, J., Yamamoto, C., Rogo, K. Franchising in health: Emerging models, experiences, and challenges in primary care. The World Bank Group Private Sector and Infrastructure Network. 2003. 10. Pavignani, E., Colombo, A. Contracting for Health Services.2006. www.who.org. Diakses April 2006. 11. Gauri, V., Cercone, J., Briceno, R. Separating financing from provision: evidence from 10 years of partnership with health cooperatives in Costa Rica. Health Policy and Planning, 2004; 19(5): 292-301. 12. Folland, S., Goodman, A.C., Stano, S. The economics of health and health care. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc. 1993. 13. Preker, A.S., Harding, A., Travis, P. Make or buy decisions in the production of health care goods and services: new insights from institutional economics and organizational theory. Bulletin of World Health Organization, 2000; 78(6): 779-790.

14. Waters, H.R., Hussey, P. Pricing health services for puirchasers- a review of methods and experiences. Health Policy, 2004; 70: 175-84. 15. Clewer, A., Perkins, D. Economics of health care management. London: Prentice Hall. 1998. 16. Bitran, R. Contracting-out of primary health care: Rationale and evidence from of El Salvador. PHRplus Project (USAID funded). 2006. 17. Folland, S., Goodman, A.C., Stano, S. The economics of health and health care. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc. 2001. 18. Hanson, K., Ranson, M.K., Oliviera-Cruz, V., Mills, A. Expanding access to priority health interventions: A framework for understanding the constraints to scaling up. International Journal of Development, 2003; 15: 1- 14. 19. Victora, C.G., Hanson, K., Bryce, J., Vaughn, J.P. Achieving universal coverage with health interventions. Lancet, 2004; 364: 1563-48. 20. De Renzio, P. Scaling up versus absortive capacity: Challenges and opportunities for reaching the MDGs in Africa. Briefing Paper. Overseas Development Institute. www.odi.org.uk. Diakses Oktober 2005. 2005. 21. Burnside, C., Dollar, D. Aids, policies, and growth: Revising the evidence. Policy Research Working Paper 3251. Washington, DC: World Bank. 2004 22. Oliviera-Cruz, V., Kurowski, C., Mills, A. Delivery of priority health services: searching for synergies within the vertical versus horizobtal debate. Journal of International Development, 2003; 15: 67-86. 23. Vandermoortele, J., Roy, R. Making sense of MDG costing. New York: Bureau for Development Policy. 2004. 24. Sheaff, R., Lloyd, A. From compeition to cooperation: service agreements in primary care. Manchester, UK: The University of Manchester. 1999. 25. Marek, T., Diallo, I., Ndiaye, B., Rakotosalama, J. Successful contracting of prevention services: fighting malnutrition in Senegal and Madagascar. Health Policy and Planning, 1999; 14(4): 382-9. 26. Abramson, W.B. Monitoring and evaluation of contracts for health service delivery in Costa Rica. Health Policy and Planning, 2001; 18(4): 404-11. 27. World Bank. Contracting. The World Bank Group. 2006.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

117

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 09 No. 03 September l 2006 Dewi Marhaeni Diah Herawati: Decision Space dalam Program ... Halaman 118 - 120 Artikel Penelitian

DECISION SPACE DALAM PROGRAM KESEHATAN IBU DAN ANAK TAHUN 2006DECISION SPACE IN MATERNAL AND CHILD HEALTH PROGRAM, 2006Dewi Marhaeni Diah Herawati Dinas Kesehatan Bantul, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

ABSTRACTBackground: The central government recently drew up a budget from deconcentration fund for health sector in 2005, and budgeted for maternal and child health services since 2006. Departement of Health has established special menu for maternal and child health program activities, and determining allocation of its funds for provinces. As a consequence of this strict rule, districts or towns have limited decision space, cause theyre simply act as implementer of activities. Subjects and methods: The subject of this study was budget of deconcentration fund for maternal and child health programme, and the method was a case study in Bantul District, Yogyakarta Special Territory. In-depth interviews and informal discussions were conducted with head of health service of Bantul District, maternal and child health programmer, and head of public health service. Result: Centers, Province of Yogyakarta Spesial Territory and District of Bantul have wide, moderate and narrow decision space, respectively. This was consistent with the study conducted by PMPK FK UGM, Yogyakarta. Conclusion: Centralization of budget occurred within decentralization era. District, within deconcentration budget for maternal and child health programme, had strict or pressed decision space. Districts simply act as an implementer of activities. The activities presented was not consistent with their need.

Bantul mempunyai decision space yang sempit. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh PMPK FK UGM, Yogyakarta. Kesimpulan: Pada era desentralisasi ini ternyata terjadi sentralisasi anggaran. Kabupaten mempunyai decision space yang sempit dalam anggaran dekon program KIA. Kabupaten hanya sebagai pelaksana kegiatan, sehingga kegiatan yang ada tidak sesuai dengan kebutuhannya. Kata Kunci: dana dekonsentrasi, kesehatan ibu dan anak, decision space

Keywords: deconsentration fund, material and child health, decision space

ABSTRAKLatar Belakang: Pada tahun 2006 program kesehatan ibu dan anak mendapat anggaran dana dekonsentrasi yang paling besar di antara program-program yang lain. Departemen kesehatan telah menentukan menu utama kegiatan program kesehatan ibu dan anak serta penetapan alokasi dana untuk provinsi. Hal ini bisa dilihat dari draf Surat Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pengelolaan Anggaran Dana Dekonsentrasi Program Upaya Kesehatan Masyarakat Dalam Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Tahun Anggaran 2006. Adanya aturan yang cukup rigid ini membuat kabupaten/kota tidak mempunyai decision space yang lebar, karena mereka hanya sebagai pelaksana kegiatan saja. Subjek dan metode: Subjek penelitian adalah anggaran dana dekonsentrasi program KIA. Metode penelitian adalah case study di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta/DIY (Kabupaten Bantul). Dilakukan wawancara mendalam dan diskusi informal kepada Kepala Dinas, Programmer KIA Dinas dan Kepala Puskesmas. Hasil: Pusat mempunyai decision space yang lebar, Provinsi DIY mempunyai decision space yang sedang dan Kabupaten

PENGANTAR Status kesehatan masyarakat Indonesia khususnya angka kematian ibu dan bayi masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan negaranegara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan lain lain. Oleh karenanya, pemerintah memberikan prioritas utama dalam akselerasi penurunan angka kematian ibu dan bayi, selain itu juga merupakan program dalam MDG. Target yang akan dicapai untuk angka kematian ibu tahun 2015 adalah 125 per 100.000 kelahiran hidup, sedang angka kematian bayi adalah 23 per 1000 kelahiran hidup. Untuk itu, pada tahun 2006, pemerintah mengalokasikan dana yang sangat besar dalam bentuk dana dekonsentrasi kepada provinsi. Dana tersebut akan dialokasikan dan didistribusikan kepada kabupaten/kota dan dipergunakan untuk membiayai kegiatan nonfisik. Berdasar konsep perimbangan keuangan pusat dan daerah1 dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi. Dana tersebut dialokasikan untuk membiayai kegiatan nonfisik. Penentuan besaran dana dekonsentrasi dilakukan oleh menteri keuangan dengan memperhatikan pertimbangan menteri teknis dan atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, gubernur dan atau perangkat pusat di daerah yang mendapat pelimpahan wewenang.2 Aturan keuangan pusat dan daerah dalam satu sisi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan

118

l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

nasional, sedang di sisi lain untuk memfasilitasi proses pembangunan di daerah yang dijalankan di bawah skema otonomi daerah. Proses pengaturan oleh pusat tidak dimaksudkan untuk mengembalikan sentralisme otoriter. Konsep perimbangan dimaksudkan agar terjadi keadilan dalam pembagian sumber daya bagi kepentingan nasional dan daerah. Dalam era desentralisasi ini idealnya daerah harus mempunyai kewenangan dan decision space yang luas dalam transfer anggaran kesehatan, karena hal ini akan menunjukkan derajat desentralisasi daerah. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Bossert3 yang digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi kesehatan di berbagai negara. Decision space adalah berbagai macam fungsi dan kegiatan yang daerah tersebut mempunyai kewenangan yang dapat meningkatkan pilihan mereka. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini merupakan kajian studi kasus dengan analisis deskriptif dengan lokasi penelitian di Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Unit analisis adalah anggaran dana dekonsentrasi kabupaten. Objek penelitian adalah Kepala Dinas dan Programmer KIA. Dilakukan triangulasi kepada Programmer KIA Provinsi dan Kepala Puskesmas, serta Koordinator KIA Puskesmas. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan adanya dana dekonsentrasi yang sangat besar cukup mengejutkan bagi Kabupaten Bantul, meskipun jumlah alokasi anggaran itu tidak dapat diketahui secara pasti. Provinsi membagi anggaran mulai dari menu kegiatan, subkegiatan bahkan sampai satuan anggaran. Kriteria atau dasar provinsi dalam membagi anggaran ke kabupaten tidak jelas, terlebih pada subkegiatan. Kabupaten hanya sebagai pelaksana kegiatan saja, pengaturan yang sedemikian rigid ini membuat kabupaten tidak dapat mengalokasikan untuk kegiatan yang menjadi kebutuhannya. Artinya, dana dekonsentrasi yang besar itu pun ternyata masih belum dapat membiayai semua kebutuhan kegiatan dalam akselerasi angka kematian ibu dan bayi. Bahkan ada beberapa kegiatan yang justru double funding, seperti voucher ibu hamil (bumil) yang sasarannya adalah keluarga miskin (gakin). Hasil di atas didukung oleh beberapa pernyataan responden tentang dana dekonsentrasi program KIA, seperti pernyataan di bawah ini:

..... kabupaten hanya sebagai pelaksana, semua yang ngatur provinsi.... kegiatan yang ada tidak sesuai kebutuhan .... bahkan ada kegiatan yang pembiayaannya sudah ada dari gakin mendapat anggaran lagi dari dana dekonsentrasi..., sementara kegiatan lain tidak terbiayai... untuk setiap kegiatan yang akan dilakukan di kabupaten, kita akan minta TOR-nya pada provinsi..., supaya kita tahu tujuan dan output yang diharapkan. Kita akan usulkan pada provinsi agar pengelolaan dana dekonsentrasi tahun depan tidak seperti sekarang... ( responden 1 ) ...... selaku programmer di kabupaten saya pusing....., jika ada pelatihan provinsi sering mendadak memberi tahu...., sehingga saya sering dimarahi oleh teman puskesmas.... kabupaten benar-benar nggak punya kewenangan dalam dana dekonsentrasi ini..., semua yang ngatur provinsi..., kami hanya memanggil puskesmas sebagai peserta pelatihan.. dan mencarikan tempat untuk pertemuan..., semua narasumber dari provinsi... (responden 2) ..... program voucher bumil membingungkan...., karena di lapangan voucher itu dibagikan juga kepada bumil yang mempunyai askeskin, serta bumil yang mampu...., hampir setiap hari kami didatangi perangkat desa, puskesmas maupun bumilnya sendiri untuk menanyakan program tersebut..... (responden 3) ......mengapa dinas provinsi selalu mendadak memberi tahu jika ada pelatihan...., puskesmas khan tempat pelayanan ....., katanya provinsi sudah mensosialisasikan program voucher bumil ke BPS....., tapi faktanya BPS di wilayah kami belum ada yang tahu tentang program tersebut..... (responden 4) ...... Provinsi terpaksa membagi dana dekonsentrasi ke setiap kabupaten seperti itu....., karena pada waktu itu pemberitahuan dari pusat juga sangat mendadak dan waktu yang diberikan untuk usulan kegiatan juga tidak lama...., (responden 5)

Jika dilihat dari peta decision space, dapat diketahui bahwa decision space Kabupaten Bantul sempit, Provinsi DIY sedang dan pemerintah pusat (Departemen Kesehatan) lebar. Hal ini jelas menunjukkan bahwa derajat otonomi Kabupaten Bantul dalam dana dekonsentrasi program KIA kecil. Idealnya dalam era desentralisasi ini ruang keputusan dan kewenangan yang dimiliki daerah harus lebar, karena itu akan menunjukkan derajat desentralisasi mereka. Adapun variabel yang dinilai meliputi penentuan pagu anggaran dan menu kegiatan, seperti Tabel 1.

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

119

Dewi Marhaeni Diah Herawati: Decision Space dalam Program ...

Tabel 1. Peta Decision Space Dana Dekonsentrasi Program KIA di Provinsi DIY Tahun 2006Transfer Dana Dekon Program KIA Pusat

Tabel 2. Peta Decision Space Dana Dekonsentrasi Program KIA di Provinsi DHS Tahun 2006Provinsi/ Kabupaten Provinsi Riau Kabupaten Kampar Sempit Sebagai pelaksana Sedang Menentukan pagu anggaran dan menu kegiatan Menentukan pagu anggaran Lebar -

Narrow

Moderate

Wide

-

-

Provinsi

-

Kabupaten/Kota

Pelaksana

Merubah menu, Menentukan kegiatan, sub kegiatan sampai satuan anggaran -

Menentukan menu dan pagu anggaran -

Provinsi Bengkulu Kabupaten Rejang Lebong dan Bengkulu Utara Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten Parigi Moutong

-

Mengelola sepenuhnya (Block grant)

-

-

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh PMPK FK UGM4 di enam provinsi proyek DHS yaitu Provinsi Riau, Bengkulu, Sulawesi Utara, Sulawsi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Bali. Gambaran decision space dalam anggaran dana dekonsentrasi di kabupaten/kota dari enam provinsi tersebut sebagai berikut: tiga kabupaten mempunyai decison space sempit dua kabupaten mempunyai decision space sedang satu kabupaten mempunyai decision space lebar Provinsi mempunyai decision space sedang Adapun mapping tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pada era desentralisasi ini jelas terlihat adanya sentralisasi anggaran dalam dana dekonsentrasi program KIA. Kewenangan dan decision space yang dimiliki kabupaten sempit, sehingga derajat otonomi kabupaten dalam dana dekonsentrasi program KIA juga sempit. Kabupaten hanya sebagai pelaksana kegiatan, yang kegiatan itu diterima tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Ada kegiatan yang double funding, sementara kegiatan yang lain tidak terbiayai. Saran Pemerintah pusat agar mendesain kembali mekanisme transfer dana dekonsentrasi yang lebih memberdayakan kabupaten. Alokasi anggaran dekon diubah menjadi anggaran desentralisasi yang bisa langsung ke sektor kesehatan di kabupaten/ kota seperti DAK. Pembagian anggaran untuk setiap jenis transfer anggaran sebaiknya mempunyai dasar atau kriteria yang jelas dalam bentuk formula agar unsur pemerataan dan keadilan dapat terpenuhi.

Menentukan pagu anggaran dan menerima usulan kabupaten Mengajukan usulan kegiatan dan anggaran Menentukan pagu anggaran dan menu kegiatan Menentukan pagu anggaran dan menerima usulan dari kabupaten Membuat usulan menu kegiatan KIA Menentukan pagu anggaran dan menu kegiatan

-

-

-

Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Provinsi Sulawesi Utara Kabupaten Bolaang Mongondow

Sebagai pelaksana

-

-

-

Provinsi Bali Kabupaten Buleleng Sebagai pelaksana

-

KEPUSTAKAAN 1. Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat & Pemerintah Daerah, Penerbit Fermana, Bandung.2004. 2. Yani, A. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002. 3. Bossert, T. Analyzing the Decentralization Of Health Systems in Developing Countries: Decision Space, Innovations And Performance, Soc. Sci. Med. 1998;47(10). 4. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gadjah Mada. Review Pasca Pelatihan Perencanaan dan Penganggaran Program KIA Di Provinsi Proyek DHS.2006.

120

l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 09 No. 03 September l 2006 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Halaman 121 - 128 Artikel Penelitian

PENERAPAN CLINICAL GOVERNANCE MELALUI ISO 9000: STUDI KASUS DI DUA RSUD PROVINSI JAWA TIMURCLINICAL GOVERNANCE IMPLEMENTATION USING ISO 9000: CASE STUDIES IN TWO PUBLIC HOSPITALS IN EAST JAVAHanevi Djasri Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, FK UGM, Yogyakarta

ABSTRACTBackground: Clinical governance implementation to improve clinical quality can be done through integration of organizational management and clinical management. There is a possibility that hospital with a comprehensive quality management system like ISO 9000 has succeeded to put in place the basic concept of clinical governance into practice. Objective: Determine the impact of an ISO 9000 quality management system implementation on the clinical governance implementation and on clinical quality improvement activity in the hospital. Method: Case study in two public hospital at East Java Province. Interview and document analysis were used for data collection. Result: The two hospitals had comparable result. All basic clinical governance standard: (1) clinical care accountability; (2) policy and strategy; (3) organizational structure; (4) resources allocation; (5) communication; (6) professional development; (7) effective measurement, were implemented and were supported by ISO 9000 quality management system. Conclusion and suggestion: ISO 9000 quality management system implementation with focus to clinical care can help to present clinical governance in hospital.

Kesimpulan dan saran: Penerapan sistem manajemen mutu ISO 9000 secara sungguh-sungguh di bidang pelayanan klinis dapat membantu terwujudnya clinical governance di rumah sakit. Kata Kunci: clinical governance, ISO 9000, sistem manajemen mutu, mutu pelayanan klinis

Keywords: clinical governance, ISO 9000, quality management system, clinical care quality

ABSTRAKLatar belakang: Peningkatan mutu pelayanan klinis melalui penerapan clinical governance dilakukan dengan cara memadukan pendekatan manajemen organisasi dan manajemen klinis secara bersama. Terdapat kemungkinan bahwa rumah sakit yang telah memiliki sistem manajemen mutu yang komprehensif seperti sistem manajemen mutu ISO 9000 telah berhasil menerapkan dasar-dasar clinical governance. Tujuan: Menilai apakah sistem manajemen mutu ISO 9000 di rumah sakit dapat mendukung penerapan konsep dasar clincial governance dan mendukung terlaksananya kegiatan-kegiatan clinical governance. Metode: Studi kasus di dua Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi Jawa Timur dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan studi dokumen mutu rumah sakit. Analisis dan penyajian hasil dilakukan secara deskriptif. Hasil: Kedua RSUD menunjukkan hasil yang mirip. Seluruh standar clinical governance yang terdiri dari standar: (1) Akuntabilitas pelayanan klinis; (2) Kebijakan dan strategi; (3) Struktur organisasi; (4) Alokasi sumber daya; (5) Komunikasi; (6) Pengembangan dan pelatihan profesional; dan (7) Pengukuran efektivitas, secara umum telah diterapkan dan mendapat dukungan dari sistem manajemen mutu ISO 9000.

PENGANTAR Rumah Sakit (RS) adalah lembaga yang terutama memberikan pelayanan klinik, sehingga mutu pelayanan klinik merupakan indikator penting bagi baik-buruknya RS. Baik dan buruknya proses pelayanan klinik dipengaruhi oleh penampilan kerja para dokter, perawat dan tenaga klinik yang lain. Sebagaimana sistem governance di manajemen, saat ini dikembangkan sistem governance di bidang klinik. Pengembangan ini dipelopori oleh National Health Service (NHS) Inggris pada dekade 90-an dengan menggunakan istilah clinical governance.1 Clinical governance timbul karena berbagai kenyataan buruk dalam sistem pelayanan kesehatan seperti tingginya kasus malpraktik. Di samping itu, clinical governance muncul karena putus-asanya pemerintah dan manajer sarana pelayanan kesehatan di Inggris dalam mengimplementasi pendekatan total quality management (TQM) atau continuous quality improvement (CQI) untuk pelayanan kesehatan dengan alasan tidak dapat diterima secara luas karena para staf klinik menilai TQM dan CQI tersebut terlalu berbau manajemen tanpa identifikasi peran yang jelas untuk para kliniki dalam meningkatkan mutu tersebut.2 Konsep dasar dari clinical governance adalah: (1) accountability, yaitu bahwa setiap upaya medis harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, etik, moral dan berbasis pada bukti terkini dan terpercaya ( evidence-based medicine ); (2) continuous quality improvement, yaitu bahwa upaya peningkatan mutu harus dilaksanakan secara sistematik, komprehensif dan berkesinambungan;

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

121

Hanevi Djasri: Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000

(3) high quality standard of care , yang mengisyaratkan agar setiap upaya medis selalu didasarkan pada standard tertinggi yang diakui secara profesional; dan (4) memfasilitasi dan menciptakan lingkungan yang menjamin terlaksananya pelaksanaan pelayanan kesehatan yang bermutu.3 Kegiatan untuk menerapkan konsep dasar clinical governance terdiri dari kegiatan: audit klinik, menyediakan data klinik dengan mutu yang baik, pengukuran outcome, manajemen risiko klinik, praktik berdasarkan evidens, manajemen kinerja klinik yang buruk, dan mekanisme untuk memonitor outcome pelayanan.4 Di Indonesia belum terdapat catatan resmi tentang RS yang telah menerapkan konsep dasar clinical governance , atau apabila ada, belum diketahui bagaimana cara penerapannya. Namun apabila dilihat bahwa prinsip dasar dalam penerapan clinical governance adalah melalui pengembangan sebuah sistem manajemen mutu, dengan cara memadukan pendekatan manajemen organisasi dan manajemen klinik secara bersama-sama5, maka terdapat kemungkinan bahwa ada beberapa RS di Indonesia yang telah menerapkan dasar-dasar clinical governance, yaitu RS yang telah memiliki sistem manajemen mutu yang komprehensif, yang mendukung peningkatan mutu seluruh pelayanan, termasuk pelayanan klinik, melalui penerapan sistem manajemen mutu ISO 9000. Studi kasus di dua buah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dilakukan untuk menilai apakah sistem manajemen mutu ISO 9000 yang dikembangkan di sebuah RS dapat mendukung penerapan konsep dasar clincial governance. Secara spesifik, apakah sistem manajemem mutu ISO 9000 dapat memberikan dasar-dasar bagi terlaksananya kegiatan clinical governance. Hasil studi ini diharapkan dapat digunakan oleh para pengambil keputusan di RS dalam menetapkan kebijakan implementasi clinical governance maupun implementasi sistem manajemen mutu ISO 9000. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penilaian penerapan konsep dasar clinical governance dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, melalui pengumpulan data yang bertumpu pada wawancara mendalam serta analisis dokumen. Data RS di Indonesia yang telah memiliki sertifikasi ISO 9000 tidak tersedia, sehingga pemilihan RS yang telah menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9000 pada penelitian ini dipilih secara purposive sebanyak dua buah RSUD, yaitu RSUD A dan RSUD B. Keduanya terletak di Provinsi 122

Jawa Timur dan telah menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9000 untuk seluruh unit pelayanannya. Dasar pemilihan keempat RS tersebut adalah sama-sama RS milik pemerintah daerah (kabupaten/ kota) dengan kelas yang sama, berada dilokasi yang relatif dekat, sehingga memiliki sumber daya dan pasar yang mirip. Subjek atau peserta wawancara mendalam juga dipilih secara purposive, yaitu para staf RS yang bertanggung jawab (key person) terhadap satu atau lebih unit pelayanan klinik (pelayanan klinik yang dimaksud adalah pelayanan: rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, kamar bedah, kamar bersalin, ICU, farmasi, laboratorium, radiologi, dan sebagainya) yang terdiri dari: direktur, ketua komite medis, kepala atau koordinator unit pelayanan klinik, dokter spesialis, perawat senior dan wakil manajemen (management representatif). Instrumen untuk wawancara dikembangkan dari standard clinical governance untuk Western Australian Health Service.6 Instrumen wawancara ini terdiri dari 7 standar, masing-masing standar terdiri dari 2-5 pertanyaan. Setiap pertanyaan terdiri dari pertanyaan untuk menilai sejauh mana standar clinical governance telah tercapai dan apa peran dari sistem manajemen mutu ISO 9000. Istilah clinical governance disetiap pertanyaan diganti dengan istilah peningkatan mutu pelayanan klinik karena tidak seluruh staf telah memahami arti dari clinical governance (sehingga istilah clinical governance dan peningkatan mutu pelayanan klinik digunakan secara bergantian dalam artikel ini). Standar tersebut terdiri dari: 1) akuntabilitas pelayanan klinik, 2) kebijakan dan strategi, 3) struktur organisasi, 4) alokasi sumber daya yang dibutuhkan, 5) komunikasi, 6) pengembangan dan pelatihan profesional, 7) pengukuran efektivitas. Untuk memperkuat pengambilan data yang diperoleh dari wawancara mendalam, maka dilakukan triangulasi dengan membandingkan hasil yang didapat pada wawancara terhadap data yang terdapat dalam dokumen dan rekaman/catatan RS yang terkait kegiatan clinical governance. Dokumen terutama berasal dari dokumen-dokumen ISO 9000 milik RS yang terdiri dari dokumen manual mutu, dokumen prosedur kerja dan dokumen rekaman mutu. Data yang berasal dari wawancara dan analisis dokumen diolah secara kualitatif untuk menilai sejauh mana konsep dasar clinical governance di dua RSUD tersebut telah diterapkan dan sejauh mana sistem manajemen mutu ISO 9000:2000 membantu penerapan tersebut.

l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan di dua RSUD di Provinsi Jawa Timur pada bulan Juli-Agustus 2005, RSUD A telah menerapkan sistem manajemen ISO 9000 sejak 1,5 tahun lalu serta telah mendapatkan sertifikat sejak 6 bulan lalu dan RSUD B telah menerapkan sistem manajemen ISO 9000 sejak 1 tahun lalu dan pada saat penelitian dilakukan sedang mempersiapkan diri untuk mendapatkan sertifikat. Kedua RSUD menunjukkan hasil yang hampir sama, kemungkinan besar karena kedua RSUD menggunakan konsultan ISO 9000 yang sama. Penilaian penerapan standar clinical governance dan sejauh mana sistem manajemen ISO 9000 berperan dalam hal tersebut di kedua RSUD disajikan sebagai berikut: Standar 1. Akuntabilitas pelayanan klinik Tanggung jawab dari direktur untuk peningkatan mutu pelayanan klinik (menerapkan clinical governance) tidak terlihat secara khusus, namun terdapat tanggung jawab direktur untuk meningkatkan mutu pelayanan secara umum. Bila dilihat dari pemetaan

proses pelayanan yang menjadi dasar untuk merencanakan peningkatan mutu, maka sebenarnya peningkatan mutu pelayanan klinik telah menjadi kegiatan utama dan menjadi tanggung jawab direktur (Gambar 1: Peta Proses Pelayanan RSUD). Pemetaan tersebut muncul setelah RSUD menerapkan ISO 9000. Staf khusus yang diberikan tanggung jawab untuk menerapkan dan mengorganisir kegiatan peningkatan mutu pelayanan klinik (penerapan clinical governance) terdapat di komite medis yaitu di panitia peningkatan mutu. Staf ini masih merangkap tugas sebagai staf medis fungsional. Uraian tugas dari panitia peningkatan mutu ini tidak mencakup tanggung jawab penerapan dan pengorganisasian dari seluruh kegiatan clinical governance, hanya terbatas pada kegiatan audit klinik dan penyusunan standar pelayanan medis yang bersifat evidence-based. Panitia peningkatan mutu terbentuk sejak RSUD mengikuti program akreditasi KARS Depkes RI beberapa tahun lalu, ISO 9000 hanya membakukan dokumen-dokumen yang diperlukan.

Tanggung jawab manajemenVisi, Misi dan Kebijakan Mutu Komunikasi internal Sasaran Mutu Job Descreption

Rapat tinjauan manajemen

Manajemen sumber dayaPengelolaan pegawai Penetapan kompetesi karyawan Pendidikan dan pelatihan Pemeliharaan sarana Sanitasi lingkungan

Pengukuran, analisa dan perbaikanEvaluasi data dan pelaporan Audit mutu internal Pengukuran kepuasan pasien Penanganan pasien pulang paksa Tindakan koreksi dan pencegahan

Proses Realisasi Pelayanan Kesehatan

Pelayanan radiologi Pelayanan radiologi Pelayanan laboratorium Pelayanan laboratorium

Persyaratan pelanggan

Pelayanan kamar operasi Pelayanan adm terpadu Pelayanan rawat jalan Pelayanan ICU Pelayanan rawat inap Penanganan jenasah Pelayanan rawat darurat Pelayanan kamar operasi Pelayanan adm terpadu

Kepuasan pelanggan

Perbaikan mutu berkelanjutanGambar 1: Peta Proses Pelayanan di RSUD

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

123

Hanevi Djasri: Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000

Uraian tugas dan tanggung jawab untuk kegiatan peningkatan mutu pelayanan klinik terdapat di seluruh unit pelayanan klinik (rawat jalan, rawat inap, laboratorium, radiologi, kamar operasi, dan sebagainya). Namun secara umum uraian tugas dan tanggung jawab kegiatan peningkatan mutu pelayanan ada pada wakil manajemen (management representative) yang bertugas menjamin kesesuaian dan efektivitas kegiatan peningkatan mutu, termasuk di unit-unit pelayanan klinik. Uraian tugas dan tanggung jawab peningkatan mutu pelayanan termasuk di pelayanan klinik disusun setelah penerapan ISO 9000. Keterlibatan para staf dalam kegiatan clinical governance terbatas pada kegiatan yang telah berjalan, yaitu kegiatan audit klinik dan penyusunan standar praktik berdasarkan evidence-based . Kegiatan ini telah rutin dijalankan oleh komite medis jauh sebelum penerapan ISO 9000. Namun dengan ISO 9000 keterlibatan tersebut menjadi lebih baik karena adanya prosedur komunikasi internal yang lebih baik. Standar 2. Kebijakan dan strategi Meskipun belum terdapat dokumen kebijakan dan strategi yang dikhususkan untuk penerapan clinical governance, namun telah terdapat dokumen kebijakan dan strategi untuk peningkatan mutu pelayanan secara umum termasuk peningkatan mutu pelayanan klinik. Kebijakan dan strategi ini disusun pada saat implementasi ISO 9000. Kebijakan dan strategi tersebut telah sesuai/ relevan dengan tujuan dan sasaran dari organisasi, namun keempat pilar dari kerangka kerja clinical governance secara menyeluruh belum diterapkan, yaitu: Fokus kepada pelanggan. Beberapa kebijakan dan prosedur telah memperlihatkan penerapan pilar ini, antara lain adanya prosedur: pendokumentasian persetujuan pasien (consent), manajemen komplain pasien dan penyusunan feedback dari kuesioner pasien, namum belum terdapat prosedur untuk melepaskan informasi pasien, membuka informasi kepada pasien dan keluarga mengenai serious clinical incident atau sentinel events. Penerapan pilar ini telah dimulai sejak proses akreditasi RS. Namun lebih dikuatkan dengan penerapan ISO 9000. Pengukuran dan evaluasi kinerja klinik. Kebijakan dan prosedur yang mendukung penerapan pilar ini antara lain: prosedur

penyusunan standar pelayanan medis yang telah mempertimbangkan adanya evidencebased dan standar pelayanan yang dikeluarkan oleh organisasi profesi, dan prosedur pengukuran sasaran mutu pelayanan klinik, akan tetapi belum terdapat prosedur untuk: audit klinik ataupun review rekam medis, dan prosedur untuk mendapatkan informasi terkini seperti protokol medis ataupun clinical pathways . Penerapan pilar ini khususnya untuk pengukuran dan evaluasi kinerja klinik (sasaran mutu pelayanan klnik) banyak didorong penerapan ISO 9000. Manajemen risiko klinik. Di kedua RSUD ini belum terdapat kebijakan dan prosedur yang terkait dengan manajemen risiko klinik seperti: prosedur pelaporan adanya clinical incident, sentinel event dan analisisnya menggunakan root cause analysis atau kerangka kerja yang lain, dan prosedur identifikasi risiko klinik beserta analisis dan tindak lanjutnya. Sebenarnya ISO 9000 memiliki pesyaratan tentang pengendalian produk/pelayanan tidak sesuai (terkait dengan manajemen risiko) namun di kedua RSUD hal ini baru diterapkan untuk pelayanan nonklinik saja. Pengembangan dan pengelolaan staf profesional. Telah terdapat prosedur untuk orientasi, training staf, dan prosedur kredensial, namun belum terdapat prosedur untuk pengukuran kinerja klinik untuk masing-masing staf. Beberapa prosedur yang ada tersebut telah disusun sejak proses akreditasi, sedangkan proses ISO 9000 hanya membakukan format penulisan yang berbeda dan dorongan yang lebih kuat untuk pelaksanaannya.

Standar 3. Struktur organisasi Meskipun telah ada komite medis yang bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu pelayanan klinik (penerapan clinical governance) dengan uraian tugas yang menggambarkan tanggung jawab komite medis yang cukup luas dalam penerapkan konsep clinical governance namun tidak seluruh kegiatan clinical governance masuk di dalam uraian tugas tersebut. Struktur komite medis yang terdiri dari para kliniki (dokter, perawat, dan kliniki lain) serta perwakilan dari staf manajemen telah tersusun sejak sebelum penerapan sistem manajemen mutu ISO 9000. Komite medis melaporkan dan memberikan rekomendasi kepada direktur untuk perbaikan mutu pelayanan klinik.

124

l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Standar 4. Alokasi sumber daya yang diperlukan Kedua RSUD telah menyediakan sumber daya yang ditetapkan untuk mendukung kegiatan peningkatan mutu pelayanan klinik, namun sumber daya dalam bentuk informasi (sistem informasi) masih dalam proses pengembangan, sehingga tidak seluruh data-data yang terkait dengan pelayanan klinik dapat diperoleh. Sistem manajemen ISO 9000 berperan dalam memberikan kerangka kerja yang jelas untuk menetapkan sumber daya yang dibutuhkan. Standar 5. Komunikasi Belum terdapat bukti bahwa kebijakan peningkatan mutu pelayanan klinik dan strategi pencapaiannya dikomunikasikan dengan tepat kepada para staf dan juga kepada publik (masyarakat/pasien). Hal ini berakibat tidak seluruh staf mengerti dan mematuhi kewajiban untuk menerapkan clinical governance . Sebenarnya dokumen mutu ISO 9000 milik RS temasuk dokumen rekaman mutu ISO 9000 dapat menjadi referensi mengenai penerapan peningkatan mutu pelayanan klinik yang ada di RS. Standar ISO 9000 sebenarnya mensyaratkan agar RS mempunyai sistem komunikasi yang diatur dengan baik untuk memastikan bahwa konsep peningkatan mutu pelayanan (termasuk pelayanan klinik) telah di sosialisasikan kepada seluruh staf RS, namun komunikasi belum dilakukan kepada para stakeholders dan konsumen (pasien/keluarga). Standar 6. Pengembangan dan pelatihan profesional Seluruh staf klinik, terutama dokter spesialis telah mendapatkan informasi yang cukup mengenai pelatihan ataupun pengembangan profesi, namun keputusan untuk menghadiri kegiatan tersebut diserahkan kepada mereka dan RS hanya mendukung dalam bentuk pemberian izin. Pelatihan dan pengembangan profesional yang diikuti umumnya mengenai pengetahuan klinik dan sangat jarang mengenai manajemen klinik. Tidak tersedia catatan tentang keikutsertaan dalam program pelatihan dan pengembangan serta tindak lanjut sesudah pelatihan, yang tersedia hanya catatan kehadiran untuk perawat. Terdapat program orientasi bagi staf baru, namun program ini terbatas, tidak meliputi para dokter dan dokter spesialis. Materi program orientasi juga tidak memuat konsep clinical governanace. Program pengembangan dan pelatihan telah ada sejak akreditasi RS, namun dengan penerapan ISO

9000 maka program ini ditata ulang kembali sesuai dengan klausul ISO 9000 tentang sumber daya manusia termasuk penentuan program pelatihan dan monitoring dan evaluasinya bagi para staf. Standar 7. Pengukuran efektivitas Kedua RSUD telah memiliki sasaran mutu untuk setiap unit pelayanannya, termasuk pelayanan klinik. Beberapa indikator klinik yang digunakan seperti: angka kematian, waktu tunggu (respon time) di instalasi gawat darurat, ketepatan hasil pemerikasaan di laboratorium, dan angka infeksi nasokomial di rawat inap. Sasaran mutu pelayanan klinik tersebut telah ditentukan targetnya dan diukur pencapaiannya secara berkala. Hasil pencapaian dianalisis untuk kemudian disusun rencana tindak lanjut, sehingga proses countinuous improvement berjalan. Hasil dari pencapaian kinerja klinik ini telah dimasukkan ke dalam laporan tahunan kegiatan RS, namun belum diletakkan secara khusus pada bagian clinical governance. Peran ISO 9000 adalah dengan mewajibkan seluruh unit/bagian memiliki sasaran mutu dengan target pencapainnya masing-masing, dengan adanya kewajiban menjalankan proses audit internal maka ISO 9000 mendorong adanya laporan dan tindak lanjut dari pencapaian sasaran mutu atau indikator kinerja. PEMBAHASAN Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 di RS Pandangan RS terhadap mutu pelayanannya telah mengalami evolusi, yang semula mutu pelayanan tidak diperhatikan (era tanpa mutu) hingga kini menjadi hal yang utama (era manajemen mutu terpadu) yaitu keterlibatan manajemen puncak sangat besar dan menentukan. Era ini dapat didefinisikan sebagai sistem manajemen strategi dan integratif yang melibatkan semua manajer dan karyawan, serta menggunakan metode-metode kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan proses-proses RS agar dapat memenuhi dan melebihi kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan, dikenal sebagai TQM. Rumah sakit (RS) yang benar-benar akan melaksanakan TQM harus berusaha menyusun sistem manajemen mutu yang baik yang dapat dikembangkan dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengadopsi standar sistem manajemen mutu ISO 9000. Standar ini telah dikembangkan sejak tahun 1970-an hingga diterbitkannya standar sistem manajemen mutu versi pertama yaitu standar ISO 9000:1987 yang memuat peraturan dan model

Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l

125

Hanevi Djasri: Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000

yang ketat dan cepat untuk dapat diikuti oleh sebuah organisasi.7 Versi terbaru standar sistem manajemen mutu yaitu standar ISO 9000:2000 didasarkan pada delapan prinsip manajemen mutu yang berintegrasi dalam klausul-klausulnya8 dan dapat diterapkan di RS, yaitu: fokus kepada pelanggan, kelangsungan hidup RS sangat tergantung bagaimana pandangan pelanggan/pasien terhadap RS. Perlu dipastikan adanya keseimbangan antara kepuasan pelanggan dengan pihak lain yang berkepentingan, seperti pemilik, karyawan, pemasok, pemodal, masyarakat, dan negara. Kepemimpinan, merupakan kemampuan dari pemimpin RS untuk menciptakan visi, serta menciptakan dan memelihara lingkungan internal agar semua staf tetap terlibat dalam mencapai sasaran. Keterlibatan staf, dalam semua tingkatan untuk aktif dalam melihat peluang dalam peningkatan kompetensi, pengetahuan, dan pengalaman. Pendekatan proses, didefinisikan sebagai kumpulan aktivitas yang saling berhubungan atau mempengaruhi yang terdapat perubahan dari input menjadi output. Ada hal-hal yang harus diperhatikan yaitu apakah input memadai, apakah proses yang dilakukan efektif dan efisien dan adakah langkah penambahan nilai dari input, serta apakah output yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan pelanggan. Pendekatan sistem untuk pengelolaan, sistem merupakan kumpulan dari proses, sehingga diperlukan pengidentifikasian, pemahaman, dan pengelolaan sistem dari proses yang saling terkait untuk mencapai dan meningkatkan sasaran organisasi. Peningkatan berkesinambungan, untuk menjamin adanya peningkatan yang terus-menerus setelah terlebih dahulu dilakukan proses stabilisasi terhadap hasil yang telah dicapai. Pembuatan keputusan berdasarkan fakta, keberadaan data dan informasi yang akurat, dapat dipercaya, mudah diakses, serta kegiatan menganalisis data dan informasi dengan menggunakan metode dan teknik statistik yang benar akan membuat keputusan yang tepat. Hubungan saling menguntungkan dengan pemasok, dimulai dengan mengidentifiaksi dan menyeleksi pemasok, hingga memberikan masukan serta menghargai adanya peningkatan presetasi d