Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

173

Transcript of Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Page 1: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...
Page 2: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...
Page 3: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...
Page 4: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...
Page 5: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

165

STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN

PROFESIONALISME GURU

(STUDI PADA SMP NEGERI 21 KOTA MALANG)

Dyah Sawitri

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, PPs. Magister Manajemen Universitas Gajayana Malang

e-mail: [email protected]

Andarwati

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Malang

e-mail: [email protected]

Sri Winaryati

SMP Negeri 23 Malang, Kota Malang

e-mail: [email protected]

ABSTRAKSI

Fokus penelitian ini adalah: Peran kepala sekolah SMPN 21 Kota Malang dalam

meningkatkan profesionalisme guru; Faktor-faktor yang menjadi pendukung dan kendala

dalam peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang; Strategi kepala sekolah

SMPN 21 Kota Malang menangani kendala dalam peningkatan profesionalisme guru. Metode

penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif dengan metode pengambilan data melalui

wawancara, observasi dan dokumentasi kepada informan.

Temuan penelitian terkait dengan fokus penelitian: Kepala sekolah dalam meningkatkan

pofesionalisme guru SMPN 21 Kota Malang. Pertama, dengan mengoptimalkan fungsi

kepala sekolah sebagai pemimpin, pendidik, supervisor, pencipta iklim sekolah dan

wirausahawan. Kedua, Faktor kendala dalam peningkatan profesionalime guru antara lain:

masih adanya tenaga pendidik yang merangkap tugas, rendahnya semangat tenaga pendidik

dalam meningkatkan kompetensinya, menumpuknya beban tugas yang diberikan kepada

tenaga pendidik dan sarana prasarana pendukung proses kegiatan belajar mengajar yang

belum memadai. Sedangkan faktor pendukung meliputi: dukungan Dinas Pendidikan Kota

Malang dalam hal penciptaan sekolah unggulan, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat

sekitar sekolah dan partisipasi Komite Sekolah yang maksimal. Ketiga, kepala sekolah

memberikan pembinaan kedisiplinan, memberikan penghargaan (reward), memberikan

motivasi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, memberikan persepsi yang baik terhadap

prestasi kerja para tenaga pendidik.

Kata kunci: Strategi, kepala sekolah, profesionalisme guru.

Page 6: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

166

PENDAHULUAN

Sejak tahun 2005, isu mengenai profesionalisme guru gencar dibicarakan di

Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting,

yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga faktor tersebut

merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru profesional

yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses

dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten

dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai

menurut ukuran Indonesia. Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi

yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi.

Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2)

kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian (Undang-

Undang No 20 Tahun 2005). Persoalan yang muncul kemudian, bahwa guru yang

diasumsikan telah memiliki kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka

telah tersertifikasi, tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat

dipertanggungjawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru adalah kondisi

sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah sertifikasi.

Oleh karena sertifikasi erat kaitannya dengan proses belajar, maka sertifikasi tidak bisa

diasumsikan mencerminkan kompetensi yang unggul sepanjang hayat.

Manajemen pengembangan kompetensi guru dapat diartikan sebagai usaha yang

dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan

keterampilan guru demi kesempurnaan tugas pekerjaannya. Sehingga penelitian tentang

strategi kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru penting dilakukan karena

beberapa alasan: Pertama, kepala sekolah adalah sebagai pengelola instansi pendidikan tentu

saja mempunyai peran yang teramat penting, karena ia sebagai designner, pengorganisasian,

pelaksana, pengelola tenaga kependidikan, pengawas, pengevaluasi program pendidikan dan

pengajaran di lembaga yang dipimpinnya. Kedua, secara operasional kepala sekolah

memiliki standar kompetensi untuk, menyusun perencanaan strategis, mengelola tenaga

kependidikan, mengelola kesiswaan, mengelola fasilitas, mengelola sistem informasi

manajemen, mengelola mutu pendidikan, mengelola kelembagaan, mengelola kekompakan

kerja (team work) dan pengambil keputusan. Ketiga, gurupun memepunyai peranan yang

sangat penting yaitu sebagai ujung tombak pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar,

dilapangan guru berperan sebagai transformator (orang yang memindahkan) ilmu

pengetahuan, teknologi, menanamkan keilmuan, ketaqwaan dan membiasakan peserta didik

berakhlakul karimah serta mandiri. Keempat, guru dalam melaksanakan tugas yaitu

membantu murid/ siswa dalam proses pembelajaran masih banyak kendala diantaranya:

masih adanya guru yang merangkap tugas, rendahnya guru dalam meningkatkan kompetensi,

menumpuknya beban tugas, kurangnya sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran.

Oleh karena itu diperlukan sistem kerja sama yang baik antara kepala sekolah, guru, staff tata

usaha dan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan pendidikan di sekolah.

Page 7: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

167

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Apa sajakah Strategi yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan

profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang?

2. Apa saja factor-faktor yang menjadi kendala dan pendukung dalam peningkatan

profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam menangani faktor kendala

peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang?

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut :

1. Untuk menggambarkan dan mengetahui peran yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam

meningkatkan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang.

2. Untuk mengetahui factor-faktor yang menjadi kendala dan pendukung dalam peningkatan

profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang.

3. Untuk mengetahui strategi yang dilakukan kepala sekolah dalam menangani faktor

kendala peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang.

LANDASAN TEORI

Manajemen Sumber Daya Manusia

Untuk menghadapi persaingan dalam organisasi dituntut adanya kemampuan dalam

mengadakan perubahan. Setiap perubahan saharusnya harus memiliki unsur keunggulan

kualitas. Dalam dunia pendidikan terlebih di organisasi Perguruan tinggi, pengendalian

kualitas merupakan suatu keharusan. Seperti pernyataan Pannen (1997) bahwa, pengendalian

kualitas pendidikan berfungsi guna membina peraturan-peraturan pendidikan dan standar

pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan tujuan pembangunan

bangsa. Apa sebenarnya kualitas itu?, dikatakan oleh Evan dan Dean, (2003) dalam

Nursya’bani Purnama, (2006:9) kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari

suatu produk atau layanan menyangkut kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang telah

ditentukan dan atau bersifat laten.

Cushway (1994:13) menyatakan bahwa sumber daya manusia didefinisikan sebagai

“Part of the process that helps the organizational achieve its objectives”. Karena sumber

daya manusia adalah potensi yang merupakan asset penting yang berfungsi sebagai modal

dalam organisasi.karena itu pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi dapat

meningkatkan keahlian, ilmu pengetahuan dan sikap karyawan. Ungkapan ini telah

dinyatakan oleh Lusthaus dkk. (2002:48) yang menyatakan: “Developing human resources in

an organization means improving employee performance by increasing or improving their

skills, knowledge and attitudes”. Selain itu juga sumber daya manusia adalah merupakan

potensi manusiawi sebagai penggerak orgasisasi, hal ini telah dikatakan oleh (Nawawi,

2005).

Kepemimpinan Sekolah Masa Depan

Tantangan nyata bagi pemimpin sekolah dalam dekade mendatang menurut Neil

Shipman, Direktur dari Interstate School Leaders Licensure Consertium (ISLLC), adalah

lebih menitik beratkan pada proses belajar mengajar dari pada sekedar menjadi seorang

manajer (Hoy & Miskel, 1987).

Page 8: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

168

The Interstate School Leaders Licensure Consortium (ISLLC) (konsorsium

kewenangan pemimpin sekolah antar negara bagian) of the Council of Chief State School

Officer (dalam Suyitno 2008) menjelaskan pentingnya kepemimpinan dalam proses belajar

mengajar dan menjelaskan enam standar. Seorang kepala sekolah sebagai pemimpin

pembelajaran dapat menaikkan tingkat keberhasilan semua siswa melalui:

a. Memberi fasilitas pengembangan, memberikan gagasan, implementasi, dan

pengurusan visi pembelajaran yang dibuat bersama dan didukung

masyarakat sekolah.

b. Memberi anjuran, memelihara, dan mendukung budaya sekolah dan

program pengajaran yang kondusif bagi pembelajaran siswa dan

pertumbuhan profesional bagi staff / guru.

c. Menjamin manajemen organisasi, pelaksaaan dan sumber-sumber dalam

rangka mencapai lingkungan belajar yang aman, efektif dan efisien.

d. Melakukan kerja sama dengan keluarga, anggota masyarakat, menanggapi

minat dan kebutuhan masyarakat, dan memanfaatkan sumber-sumber pada

masyarakat.

e. Berperilaku secara integritas, penuh kejujuran dan beretika.

f. Memahami, menanggapi pengaruh politik, sosial dan ekonomi, dan konteks

budaya. (ISLLC 1997)

Profesionalisme Guru

Sebenarnya apakah seorang guru itu harus profesional? Dalam pasal 35 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional dinyatakan bahwa standar nasional pendidikan yang terdiri atas standar isi, standar

proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan

prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan harus

ditingkatkan secara berencana dan berkala.

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

mengisyaratkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

megajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada

pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan

menengah. Profesional dalam pendidikan perlu dimaknai bahwa guru haruslah orang yang

memiliki instink sebagai pendidik, mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus

menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap

integritas profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen

pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Yang dimaksud

dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain

sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi

belajar bagi peserta didik.

Kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang

Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui

pendidikan profesi.

Page 9: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

169

Secara utuh sosok kompetensi guru meliputi (a) pengenalan peserta didik secara

mendalam; (b) penguasaan bidang studi baik disiplin ilmu (diciplinary content) maupun

bahan ajar dalam kurikulum sekolah (pedagogical content); (c) penyelenggaraan

pembelajaran yang mendidik yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,

evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan pengayaan; dan (d)

pengembangan kepribadian dan profesionalitas secara berkelanjutan.

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005

menyatakan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang

dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

“Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; memiliki komitmen

untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak

mulia; memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai

dengan bidang tugas; memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan

bidang tugas; memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas

keprofesionalan; memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan

prestasi kerja; memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan

secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; memiliki jaminan

perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan memiliki

organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang

berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru”. (Pasal 7 (ayat 1) UU No 14

Tahun 2005)

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan

menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau

kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan

profesi. Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat

dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat

pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu

(Suyitno, 2008). Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:

a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang

bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi

secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan seni;

c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis

kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang

keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik

guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. (Suyitno, 2008).

Page 10: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

170

Kerangka Pikir

Berdasarkan masalah, tujuan, dan kajian teori, maka kerangka pikir pada penelitian

ini adalah, sebagai berikut:

Sumber: Kementerian Dikbud ( 2012), Sergiovanni (1991), diolah peneliti, Tahun 2013

Gambar 1.

Strategi Kepala Sekolah Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Didasarkan pada cakupan dan realitas yang ingin dikaji strategi kepala sekolah dalam

upaya peningkatan profesionalisme guru yang cenderung dapat didekati secara studi kasus,

maka penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini disesuaikan

dengan permasalahan yang muncul dan tujuan penelitian yang ingin memperoleh gambaran

menyeluruh tentang strategi kepala sekolah dalam upaya peningkatan profesionalisme guru.

Hal ini juga ditegaskan (Suyitno 2006) bahwa metode kualitatif cocok digunakan untuk

memperoleh gambaran menyeluruh mengenai suatu fenomena. Pemilihan metode kualitatif

ini akan memiliki berbagai implikasi dalam penelitian yang akan dilakukan berdasarkan

ketergantungan logis pada aksioma-aksioma sebagaimana yang diungkapkan oleh Lincoln

dan Guba (1985).

Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian kualitatif sebagaimana dinyatakan Arikunto (1998) dapat

berupa orang (person), tempat (place), dan simbol (paper). Sedangkan menurut Spradley

(Sugiono, 2006; Faisal, 1990) menunjuk pada tiga kategori, yakni pelaku (actor), aktivitas

(activity), dan tempat (place). Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka sumber data

penelitian ini terdiri dari empat kategori sebagai berikut:

Strategi Kepala Sekolah

Supervisor, administrator, motivator, leader dan manager

Faktor Kendala Faktor Pendukung

Upaya-upaya Menangani

Pembinaan disiplin, memberi motivasi, penghargaan dan

persepsi

Peningkatan Profesional Guru

Page 11: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

171

1. Sumber data berupa orang/pelaku sebagaimana telah diuraikan sebelumnya meliputi

kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, komite sekolah dan pihak lain terkait yang

memiliki peran dalam upaya-upaya kearah optimalisasi potensi dalam pengembangan

kinerja gueu di SMPN 21 Kota Malang. Penentuan sumber data pihak-pihak tersebut

dilakukan secara purposive dan snowball dengan pertimbangan tertentu. Penetapan

kepala sekolah, wakil kepala sekolah, komite sekolah sebagai informan dengan

menggunakan teknik purposive sampling didasarkan pada pertimbangan peran mereka

yang spesifik sesuai job kerjanya sehingga dipandang representatif untuk dijadikan

sumber data. Pertimbangan lain, bahwa subyek cukup lama dan intensif menyatu dengan

kegiatan dan menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat keterlibatannya, subyek

masih terlibat secara penuh/aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi perhatian

peneliti, dan subyek mempunyai cukup waktu untuk diwawancarai. Berikutnya snowball

sampling merupakan teknik penentuan sumber data yang semula jumlahnya sedikit lama-

lama menjadi besar sehingga spesifikasi sampel tidak dapat ditentukan sebelumnya.

Teknik ini menurut Lincoln & Guba (1985), memiliki karakteristik, yakni desain sampel

sementara, pemilihan unit sampel yang menggelinding seperti salju, pemilihan sampel

disesuaikan kebutuhan, dan dipilih sampai jenuh. Dalam penelitian ini mula-mula

peneliti menentukan kepala sekolah dan salah seorang guru untuk diminta informasi

mengenai upaya peningkatan profesionalisme guru, program dan kegiatan-kegiatan yang

mendukung upaya optimalisasi potensi guru berikut aspek-aspek yang melingkupinya.

Setelah wawancara berlangsung ternyata banyak informasi mengenai permasalahan

tersebut yang dapat digali pada guru-guru lainnya, sehingga peneliti menggali informasi

kepada guru lain yang dimaksud oleh guru pertama, demikian seterusnya seterusnya.

2. Sumber data berupa tempat, yakni SMPN 21 Kota Malang sebagai institusi pendidikan

yang melaksanakan pengembangan kompetensi guru untuk mendukung peningkatan

profesionalisme guru.

3. Sumber data berupa aktivitas, dalam hal ini merujuk pada berbagai kegiatan yang relevan

dengan fokus masalah penelitian. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gagasan,

konsep, pemikiran, maupun aktivitas dalam arti practical. Lebih spesifik sumber data

dalam bentuk kegiatan ini diantaranya kegiatan rapat-rapat, kegiatan monitoring dan

evaluasi kinerja, kegiatan supervisi, rapat komite sekolah, pertemuan rutin pagi (briefing)

dan sebagainya. Peneliti mengamati berbagai kegiatan tersebut sambil merekam dalam

bentuk catatan, gambar dan rekam suara.

4. Sumber data berupa simbol (paper) dalam penelitian ini antara lain simbol-simbol

kelembagaan, atribut sekolah, atribut guru dan sebagainya yang manjadi karakteristik

SMPN 21 Kota Malang. Termasuk dalam sumber ini, yakni suasana lingkungan sekolah,

keberadaan sarana pendidikan, dan slogan-slogan yang mengarah pada peningkatan

kompetensi guru untuk mendukung peningkatan mutu SMPN 21 Kota Malang yang

terpasang di lingkungan sekolah.

Metode Pengumpulan Data

Untuk dapat mengungkap pelaksanaan pengelolaan pembiayaan pendidikan, dalam

penelitian ini memerlukan beragam teknik pengumpulan data. Teknik yang akan

dipergunakan untuk mengungkap permasalahan secara holistik, antara lain teknik observasi

partisipatif (participant observation), yang taraf partisipasinya menyesuaikan konteks,

wawancara mendalam (in-depth interview) dan dokumentasi (documentation). Sebagaimana

dinyatakan (Suyitno 2007), bahwa dalam penelitian kualitatif dengan natural setting lebih

banyak menggunakan ketiga teknik tersebut.

Page 12: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

172

Teknik Pengamatan Partisipatif

Teknik pengamatan partisipatif digunakan untuk menyelidiki berbagai keadaan dan

kegiatan yang relevan dan memiliki makna penting bagi pencapaian tujuan penelitian ini.

Teknik pengamatan partisipatif digunakan untuk mengamati implementasi pengelolaan

lembaga pendidikan yang berorientasi pada pelayanan publik.

Teknik Wawancara Mendalam

Dalam teknik wawancara mendalam (indepth interview) ini, peneliti melakukan

wawancara kepada kepala sekolah dan guru serta komite sekolah sebagai informen utama

(key informan), dilanjutkan dengan pihak terkait yang lain secara berkelanjutan,

menggunakan pertanyaan-pertanyaan non-terstruktur yang mengarah pada fokus penelitian

(focused interview), namun pada latar tertentu dilakukan pendalaman (probing question).

Teknik ini dimaksudkan agar subyek terteliti dapat memberikan informasi sebanyak mungkin

serta dapat mengemukakan pemikiran, gagasan dan tindakannya seluas dan sebebas mungkin

dalam kaitannya dengan ketrampilan manajerial kepala sekolah dalam mengawal sekolah

sebagai organisasi pelayanan publik. Teknik wawancara ini dilakukan juga kepada kepala

sekolah, guru, komite sekolah atau wali murid.

Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi dalam penelitian ini dipergunakan untuk menggali berbagai

data, peristiwa dan kebijakan yang terdokumentasikan dan sesuai dengan tujuan penelitian.

Berdasarkan jenis-jenis dokumentasi tersebut secara umum dapat di bedakan menjadi dua,

yakni dokumen yang sifatnya internal dan eksternal. Dokumen internal diantaranya Surat

Keputusan Kepala Sekolah, dan Komite Sekolah, sumber-sumber pembiayaan sekolah, tata

kerja, instruksi, tata tertib kedisiplinan, laporan rapat, keputusan pimpinan dan semacamnya

yang digunakan internal sekolah sendiri. Sedangkan dokumen eksternal adalah segala macam

peraturan dan perundang-undangan serta kelengkapan lain yang terkait dengan

penyelenggaraan satuan pendidikan.

Definisi Operasional

Untuk lebih jelas dan terhindar dari kesalahan dalam memahami istilah-istilah yang

dipergunakan dalam penelitian ini, maka dibawah ini akan dirumuskan dan dijelaskan definisi

dari istilah-istilah tersebut.

1. Strategi yang dimaksud di sini adalah cara dan seni yang dipakai kepala sekolah dalam

merumuskan rencana yang cermat dan menetapkan kebijakan sekolah khususnya dalam

membina dan meningkatkan profesional guru dengan memanfaatkan sumber daya.

2. Kepala sekolah adalah seorang guru yang memimpin suatu sekolah. Kepala sekolah pada

SMPN 21 Kota Malang berperan sebagai manajer, sebagai leader, sebagai administrator,

sebagai supervisor (pengawas utama), sebagai climate maker (pembina iklim kerja),

sebagai educator (pendidik) dan sebagai entrepreneur atau wiraswastawan (Dit. Dasmen.

Standar Kompetensi 2002:8).

3. Profesionalisme guru adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan

menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau

kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan

pendidikan profesi. Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan

guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik,

kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan

jenjang pendidikan tertentu (Suyitno, 2008).

Page 13: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

173

Metode Analisis Data

Mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (dalam Suyitno 2007) bahwa penelitian

ini dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sehingga datanya sampai

pada titik jenuh, lebih jelasnya ditunjukkan pada Gambar 2 sebagai berikut:

Sumber : Diadopsi dari Miles dan Huberman 1984, dioleh peneliti, Tahun 2013.

Gambar 2.

Analisa Data Model Interaktif

Setelah data tentang strategi kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru

direduksi selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk tertentu yang lazim dinamakan

display data (penyajian data) sehingga terlihat sosoknya secara lebih utuh. Display data

dalam penelitian ini antara lain disajikan dalam bentuk uraian, bagan, hubungan antar

kategori dan matriks. Tujuannya untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan

kesimpulan (display dan verifikasi).

Siklus analisis data prosesnya tidak sekali jadi, melainkan berinteraktif secara bolak-

balik, disajikan pada Gambar 3.

Sumber: Diolah peneliti, Tahun 2013

Gambar 3.

Siklus Analisis Data

Penjelajahan, Pelacakan Kenyataan

Lapangan

Pola-Pola Tema-tema

Konsep-konsep Kategori-kategori

Ikhtisar dan Pilihan Data

Pemahaman Teoritis Deskripsi

Reduksi Data

Penyajian Data Pengumpulan Data

Kesimpulan: Penggambaran/

Verifikasi

Page 14: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

174

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Peran Kepala Sekolah dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru SMPN 21

Malang

Peran kepemimpinan yang diterapkan oleh Kepala SMPN 21 Kota Malang meliputi:

sebagai peran sebagai pengelola, pemimpin, pendidik, administrator, penyelia, pencipta iklim

kerja dan wirausahawan diharapkan mampu membawa lembaga pendidikannya kearah

perkembangan yang lebih baik dan sanggup untuk berkompetisi di masa depan.

Hal yang sama juga peneliti temukan dalam dokumentasi sekolah di antaranya

berbunyi sebagai berikut :

Kepala sekolah sebagai manajer, meliputi aspek-aspek di antaranya:

1. Kemampuan menyusun program, dengan indikator:

a. Memiliki proram jangka panjang (8 tahun)

b. Memiliki program jangka menengah (4 tahun)

c. Memiliki program jangka pendek (1 tahun)

2. Kemampuan menyusunorganisasi/personalia, dengan indikator:

a. Memiliki susunan program sekolah

b. Memiliki personalia pendukung

c. Menyusun personalia untuk kegiatan temporer

3. Kemampuan menggerakkan staf, guru,dan karyawan, dengan indikator:

a. Memiliki program pembinaan

b. Mengkoordinasikan staf yang sedang melaksanakan tugas

4. Kemampuan mengoptimalkan sumber daya sekolah.

a. Memanfaatkan sumber daya manusia secara optimal

b. Memanfaatkan sarana prasarana

c. Membuat sarana prasarana menjadi milik sekolah.

(Dok. Profil SMPN 21 Kota Malang tahun 2012/2013)

Menjalankan peran sebagai seorang manajer, Kepala SMPN 21 Kota Malang dengan

selalu mengutamakan asas musyawarah melakukan perencanaan, pengorganisasian dan

memimpin, serta mengendalikan program yang telah menjadi ketetapan bersama.

Sedangkan dalam menjalankan perannya sebagai leader (pemimpin), Kepala SMPN 21

Kota Malang, tampak mengayomi, mengutamakan kerjasama, saling percaya mempercayai,

dan menganggap bahwa kepemimpinannya adalah sebagai suatu seni, yang dapat dilihat dari

gaya, tehnik, dan kiat-kiat memimpinnya. Itulah makanya kepala sekolah sengaja

menerapkan gaya kombinasi antara gaya kepemimpinan mendikte, menjual dan

mendelegasikan. Hal ini untuk menyikapi sebuah fakta bahwa kondisi para tenaga pendidik

di sekolah tersebut memiliki tingkat profesionalisme yang tidak sama.

Menjalankan perannya sebagai leader ini, Kepala SMPN 21 Kota Malang selalu

memimpin, mengarahkan, mengayomi, mengutamakan kerja sama, saling percaya

mempercayai. Dan menganggap bahwa kepemimpinannya adalah sebagai suatu seni, yang

dapat dilihat dari gaya, tehnik, dan kiat-kiat memimpinnya. Sebaliknya sangat jauh dari kesan

memanfaatkan kekuasaannya untuk menakut-nakuti, anak buah serba salah, menjadikan

suasana kerja menjadi tegang dan menakutkan.

Peran kepemimpinan kepala sekolah sebagai seorang tenaga pendidik (educator),

Kepala SMPN 21 Kota Malang menggunakan strategi yang tepat untuk meningkatkan

profesionalisme para tenaga pendidik/guru, memberikan pembinaan kepada semua tenaga

pendidik baik melalui rapat sekolah secara rutin maupun yang bersifat situasional, misalnya

Page 15: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

175

simulasi pembelajaran yang baik, model-model pembelajaran yang menarik, seperti team

teaching dan moving class.

Demikian juga dalam menjalankan perannya sebagai administrator kepala SMPN 21

Kota Malang secara spesifik telah melakukan pengelolaan administrasi yang bersifat

pencatatan, penyusunan dan pendokumenan seluruh program sekolah, meskipun kegiatan-

kegiatan tersebut telah dibagi habis dengan tenaga kependidikan lain yang terkait. Yang

meliputi pengelolaan kurikulum, pengelolaan administrasi peserta didik, pengelolaan

administrasi personalia, pengelolaan administrasi sarana dan prasarana, pengeloaan

administrasi kearsipan, dan pengelolaan administrasi keuangan.

Sedangkan dalam pelaksanaan perannya sebagai supervisor, kepala SMPN 21 Kota

Malang telah melakukan pengawasan serta pengendalian terhadap kinerja tenaga pendidik

yang merupakan kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah bisa terarah pada tujuan yang

telah ditetapkan, sekaligus sebagai tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga

pendidik tidak melakukan penyimpangan dalam melaksanakan pekerjaannya. Kegiatan

tersebut dilakukan dengan melalui program kunjungan kelas, pembicaraan individual, diskusi

kelompok dan simulasi pembelajaran, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan

pembinaan untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi oleh para tenaga pendidik.

Meski masih belum dapat menggunakan sistem organisasi tenaga pendidik modern, yakni

dengan memanfaatkan seorang supervisor secara khusus yang lebih independen, kepala

sekolah telah berusaha memberikan layanan yang lebih baik kepada para tenaga pendidik.

Hal ini dilakukannya sebagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja

tenaga pendidik.

Pelaksanaan dalam menjalankan perannya sebagai supervisor ini, Kepala SMPN 21

Kota Malang, sangat memperhatikan prinsip-prinsip kolegial, konsultatif dan sangat

demokratis serta memposisikan dirinya sebagai orang yang berada di tengah-tengah para

bawahannya, tidak tampak seperti layaknya seorang diktator yang selalu mendominasi setiap

kegiatan kependidikan. Hubungan kepala sekolah dengan para tenaga pendidik bukan sebagai

atasan dan bawahan, namun menampilkan dirinya sebagai kolega dalam bekerja yang

mengutamakan sharing dari pada memberi perintah secara langsung.

Page 16: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

176

Sumber: Data Primer diolah peneliti, Tahun 2013

Gambar 4.

Peran Kepala Sekolah dalam Peningkatan Profesionalisme Guru

TUJUAN

Merencanakan

Mengorganisa sikan

Memimpin

Mengndalikan

Program

Sarana

SDM

Dana

Informasi

1. MANAGER

2. LEADER

Gaya

Mengayomi

Kerjasama

Saling percaya

Menerima kritik

Seminar, diklat, lokakarya

Bimbingan model pembelajran

Team teching

Moving kelas

Memnfaatkan Sarpras yang tepat

Memberdayakan media Elektronik

Memberikan Kesempatan Olahraga

Memanfaatkan Gedung

Membina Mental

3. EDUCATOR

Membina Fisik

4. ADMISTRATOR Menyusun Proker

Pencatatan Proker

Mengarsip Proker Kunjungan kelas

Bimbingan Individual

Diskusi kelompok

Simulasi Pembelajaran

5. SUPERVISOR Pengawasan

Pengendalian

6. PENCIPTA IKLIM Pemenuhan Kebutuhan Sosio,Psiko, Fisik

Kegiatan Menarik dan Menyenangkan

Wisata sambil Belajar

Menginformasikan Program Sekolah

7. WIRAUSAHAWAN Training teacher exellent

Inservise training guru

Smart teaching

Page 17: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

177

Penciptaan iklim kerja yang kondusif agar para tenaga pendidik lebih termotivasi untuk

menunjukkan kinerjanya secara unggul yang disertai usaha untuk meningkatkan

kompetensinya, juga dilakukan oleh kepala SMPN 21 Kota Malang dengan memperhatikan

prinsip-prinsip bahwa: para tenaga pendidik akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang

dilakukannya menarik dan menyenangkan, maka kepala sekolah mengadakan wisata sambil

belajar di Perpustakaan Pemerintah Daerah Kota Malang sekali waktu yang diikuti oleh

semua siswa dan didampingi oleh guru-gurunya.

Kepala sekolah selalu menginformasikan semua tujuan pendidikan kepada para tenaga

pendidik, agar mereka mengetahui tujuan dia bekerja serta melibat-kan para tenaga pendidik

dalam penyusunan tujuan pendidikan. Dan yang lebih menarik lagi bahwa kepala sekolah

menjanjikan sebuah hadiah (reward) bagi setiap tenaga pendidik yang berprestasi dalam

melaksanakan tugasnya. Namun demikian juga kadang-kadang harus memberi hukuman

kepada para guru yang dinilai melanggar aturan/tata tertib lembaga.

Sedangkan dalam hal pelaksanaan peran kepemimpinan kepala sekolah sebagai

wirausahawan, kepala SMPN 21 Kota Malang telah melakukan pembaharuan-pembaharuan

yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan

proses pembelajaran siswa beserta kompetensi para tenaga pendidik, di antaranya inservise

training guru minimal sekali dalam setahun, antara lain yang pernah dilakukan kerja sama

dengan Universitas Negeri Malang mengadakan “Training Teacher Exellent”, dengan tema “

Smart Teaching pendekatan Neo Psikologi”, dan lain-lain.

Temuan mengenai peran kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru dapat

dilihat pada Gambar 4. Temuan mengenai kendala dan pendukung dalam peningkatan

profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang dapat dilihat pada Gambar 5, sebagai

berikut:

Sumber : Data Primer diolah peneliti, Tahun 2013

Gambar 5.

Faktor Kendala dan Pendukung dalam Peningkatan Profesionalisme Guru

Peningkatan

profesionalisme

guru

Faktor kendala:

1. Pendidik yang rangkap tugas

2. Rendahnya semangat untuk

meningkatkan kompetensi

3. beban kerja pendidik yang

terlalu banyak. 4. Sarana prasarana yang kurang

memadai

Guru Profesional

Faktor pendukung:

1. Dukungan dari Dinas

Pendidikan menuju sekolah

unggulan.

2. Tingkat sosioekonomi

masyarakat sekitar sekolah

3. partisipasi komite sekolah

Upaya

menangani

kendala

Page 18: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

178

Temuan mengenai upaya-upaya menangani kendala-kendala dalam peningkatan

profesionalisme guru dapat dilihat pada Gambar 6, sebagai berikut:

Sumber : Data Primer diolah peneliti, Tahun 2013

Gambar 6.

Upaya Menangani Faktor Kendala Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru

Pembahasan

Dalam pembahasan ini, terdapat (tiga) buah tema yang akan dibahas secara berturut-

turut sebagaimana yang tercantum dalam fokus penelitian, yaitu: (1) Peran Kepala Sekolah

dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. (2) Kendala dan Pendukung Dalam Peningkatan

Profesionalisme Guru. (3) Strategi Kepala Sekolah menangani Faktor Kendala Peningkatan

Profesionalisme Guru.

Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Kinerja kepala sekolah SMPN 21 Kota Malang dalam pengelolaan pemberdayaan

guru dapat ditegaskan bahwa dari hasil penelitian, kepala sekolah telah mampu mengelola

dengan baik meskipun ada kendala, namun kendala tersebut dapat diatasi dengan kemampuan

mengelola, memimpin, dan mengarahkan yang mengutamakan kerjasama serta saling

percaya-mempercayai. Aktifitas proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses

pendidikan, guru sebagai salah satu pemegang utama di dalam menggerakkan kemajuan dan

perkembangan dunia pendidikan. Tugas utama seseorang guru ialah mendidik, mengajar,

membimbing, melatih, oleh sebab itulah tanggung jawab keberhasilan pendidikan berada di

pundak guru.

Guru sebagai juru mudi dari sebuah kapal, mau kemana arah dan haluan kapal

dihadapkan, bila juru mudinya pandai dan terampil, maka kapal akan berlayar selamat

ditujuan, gelombang dan ombak sebesar apapun dapat dilaluinya dengan tenang dan

tanggungjawab. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang juru mudi harus melalui pendidikan

dan latihan khusus serta dengan memiliki keahlian khusus. Manajemen sekolah tidak lain

berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan

secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung

jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda

Kinerja Guru

Meningkat

Upaya Menangani

Kendala

Peningkatan

Kinerja Guru

Pembinaan Disiplin

Pemberian Motivasi

Penghargaan/Reward

Persepsi

Page 19: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

179

terdepan dan dapat diukur keberhasilannya (Xaviery 2004). Hal tersebut di atas sejalan

dengan hasil penelitian ini yang dirumuskan dalam proposisi sebagai berikut:

Proposisi minor I : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai manager

dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari

strategi peningkatan profesionalisme guru.

Proposisi minor II : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai pemimpin

dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari

strategi peningkatan profesionalisme guru.

Sedangkan dalam menjalankan perannya sebagai leader (Pemimpin), Kepala SMPN

21 Kota Malang tampak mengayomi, mengutamakan kerja sama, saling percaya

mempercayai. Dan menganggap bahwa kepemimpinannya adalah sebagai suatu seni, yang

dapat dilihat dari gaya, tehnik, dan kiat-kiat memimpinnya.

Menjadi guru profesional juga memerlukan pendidikan dan pelatihan serta pendidikan

khusus. Manajemen berbasis sekolah merupakan suatu model manajemen yang memberikan

otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang

melibatkan secara langsung semua warga sekolah guru, siswa, kepala sekolah, karyawan,

orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan

pendidikan nasional (Norma Sitepu 2006).

Hal tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian ini yang dirumuskan dalam

proposisi sebagai berikut:

Proposisi minor III : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai edukator baik

mental maupun fisik dalam organisasi pendidikan maka hal ini

merupakan perwujudan dari strategi peningkatan profesionalisme guru.

Proposisi minor IV : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai administrator

dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari

strategi peningkatan profesionalisme guru.

Proposisi minor V : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai supervisor

dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari

strategi peningkatan profesionalisme guru.

Proposisi minor VI : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai pencipta

iklim dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan

dari strategi peningkatan profesionalisme guru.

Perubahan peran guru yang tadinya sebagai penyampai pengetahuan dan pengalihan

pengetahuan dan pengalih keterampilan, serta merupakan satu-satunya sumber belajar,

berubah peran menjadi pembimbing, pembina, pengajar, dan pelatih. Dalam kegiatan

pembelajaran, guru akan bertindak sebagai fasilisator yang bersikap akrab dengan penuh

tanggung jawab, serta memperlakukan peserta didik sebagai mitra dalam menggali dan

mengolah informasi menuju tujuan belajar mengajar yang telah direncanakan.

Faktor-Faktor Kendala dan Pendukung Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru

Yang dimaksud dengan profesionalisme disini adalah kemampuan dan keterampilan

guru dalam merencanakan, melaksanakan pengajaran dan keterampilan, merencanakan dan

melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa.

Beberapa kendala dalam melaksanakan peningkatan professional guru, adalah dari

factor internal yang menjadi sangat penting dan utama. Hal ini seperti yang ditunjukkan

dalam proposisi sebagai berikut:

Page 20: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

180

Proposisi minor I : jika dalam organisasi pendidikan terdapat pendidik yang rangkap tugas,

rendahnya semangat untuk meningkatkan kompetensi, beban kerja

pendidik yang terlalu banyak, sarana prasarana yang kurang memadai

maka upaya peningkatan profesionalisme guru akan terhambat.

Tugas pemerintah (pusat dan daerah) memberikan fasilitas dan bantuan kepada

sekolah. Hal ini senada dengan proposisi sebagai berikut:

Proposisi minor II : Jika dalam organisasi pendidikan terdapat dukungan dari Dinas

Pendidikan menuju sekolah unggulan, tingkat sosioekonomi masyarakat

sekitar sekolah yang tinggi dan partisipasi komite sekolah maka akan

mendukung upaya peningkatan profesionalisme guru.

Strategi Kepala Sekolah Menangani Kendala Dalam upaya Peningkatan

Profesionalisme Guru

Sekarang ini, guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari

sebelumnya lebih bersifat physical asset menuju paradigma knowledge based competition.

Perubahan paradigma tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya

guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan, sehingga mereka

mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Pemantapan sumber daya guru sebagai

intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap

kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah

perubahan yang terjadi. Strategi pemberdayaan merupakan salah satu cara pengembangan

guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran (Wahibur Rokhman 2003), dapat

dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk memberikan

wewenang dan tanggung jawab yang proporasional, menciptakan kondisi saling percaya, dan

pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan.

Kedisiplinan juga menjadi unsur penting bagi seorang guru. Kedisiplinan ini memang

menjadi kelemahan bangsa Indonesia, yang perlu diberantas sejak bangku sekolah dasar.

Untuk itu hanya mungkin bila guru hidup dalam kedisiplinan sehingga anak didik dapat

meneladaninya. Kedisiplinan adalah salah satu faktor yang penting dalam suatu organisasi.

Dikatakan sebagai faktor yang penting karena disiplin akan mempengaruhi kinerja pegawai

dalam organisasi. Semakin tinggi disiplin pegawai, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat

dicapai. Disiplin adalah merupakan cerminan besarnya tanggungjawab seseorang dalam

melakukan tugas – tugas yang diberikan kepadanya yang mendorong gairah dan semangat

kerja seseorang. Pada umumnya disiplin yang baik apabila pegawai datang ke kantor ataupun

perusahaan dengan teratur dan tepat waktu. Mereka berpakaian serba baik pada tempat

bekerjanya. Mereka menggunakan bahan-bahan dan perlengkapan dengan hati-hati. Mereka

menghasilkan jumlah dan kualitas pekerjaan yang memuaskan dan mengikuti cara kerja yang

ditentukan oleh perusahaan dan menyelesaikan dengan sangat baik (Hasibuan, 2000).

Dari hasil penelitian di lapangan sering terlihat beberapa guru tidak disiplin waktu,

seenaknya bolos, tidak disiplin dalam koreksi pekerjaan siswa sehingga siswa tidak mendapat

masukan dari pekerjaan mereka. Ketidakdisiplinan guru tersebut membuat siswa ikut-ikutan

suka bolos dan tidak tepat mengumpulkan perkerjaan rumah. Yang perlu diperhatikan di sini

adalah, meski guru sangat disiplin, ia harus tetap membangun komunikasi dan relasi baik

dengan siswa. Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah mengupayakan dengan memberikan

pembinaan kedisiplinan terhadap para tenaga pendidik yang meliputi perihal pengembangan

pola perilaku tenaga pendidik, peningkatan standar perilaku tenaga pendidik serta

menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat. Hal ini sejalan dengan temuan dalam

penelitian ini dalam bentuk proposisi sebagai berikut:

Page 21: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

181

Proposisi mayor : Jika kepala sekolah berusaha untuk menumbuhkan disiplin,

memberikan penghargaan sesuai dengan prestasi, memotivasi dan

memberikan persepsi yang baik kepada guru maka akan mengurangi

hambatan dalam upaya peningkatan profesionalisme guru.

Manajemen peningkatan kompetensi guru bermuara pada pertumbuhan manusiawi

dan profesionalisme guru (Mantja, 2002). Dalam hal ini, hubungan antara kepala sekolah dan

guru bersifat proaktif mengupayakan perbaikan, pengembangan, peningkatan keefektifan dan

didasarkan atas kekuatan persepsi, bakat/potensi, dan minat individu. Artinya, kepala sekolah

hendaknya memiliki kepedulian terhadap kebutuhan manusiawi dan profesionalisasi guru

dalam tiga perspektif. Pertama, keterlibatan guru dengan segala keunikan kepribadiannya,

bakatnya, mengupayakan promosi yang wajar berdasarkan kemampuan kerja guru. Kedua,

kepedulian kepala sekolah terhadap pengembangan guru. Ketiga, program peningkatan

profesionalisme guru dilakukan secara kolaboratif antara kepala sekolah dan guru dalam

rangka meningkatkan keefektifan sekolah. Keempat, perspektif tersebut dalam proses

manajemen bersifat interdependensi dinamis.

Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai

agen perubahan. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam

mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Cara ini, di satu sisi

merupakan proses kaderisasi, di sisi lain adalah untuk mengakomodasi proses peningkatan

kompetensi guru secara berkelanjutan. Untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan

guru, dapat digunakan model pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003) dengan

beberpa paradigma, diantaranya paradigma desire, trust, confident, credibility, accountability,

communication.

Paradigma desire merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan

kepada guru untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang, (b)

memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru, (c) mendorong

terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi untuk meningkatkan kinerja, dan

(d) menggambarkan keahlian team dan melatih guru untuk melakukan self-control.

Paradigma trust mencakup upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan

kepada guru untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu dan

sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja, (c)

menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d)

menghargai perbedaan pandangan dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e)

menyediakan akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja.

Paradigma Confident merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) mendelegasikan

tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan mengakomodasi gagasan

dan saran guru, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan dengan sekolah dan instansi

lain, dan (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong munculnya win-win

solution.

Beberapa upaya kepala sekolah terkait dengan paradigma credibility, adalah (a)

memandang guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peningkat standar tinggi di

semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada guru

lain untuk melakukan perubahan secara partisipatif, dan (d) menggagas win-win solution

dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan tujuan dan penetapan prioritas.

Paradigma accountability merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) menggunakan

jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas yang terdefinisikan

secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran kinerja, (d)

Page 22: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

182

memberikan bantuan dan saran kepada guru dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e)

menyediakan periode dan waktu pemberian feedback.

Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a) menetapkan

kebijakan open door communication, (b) menyediakan waktu untuk memperoleh informasi

dan mendiskusikan permasalah secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk cross-

training.

SIMPULAN

1. Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru SMPN 21 Kota

Malang

a. Kepala sekolah selalu mengutamakan asas musyawarah dalam menyusun

perencanaan, pengorganisasian dan kepemimpinan, serta dalam mengendalikan

program yang telah menjadi ketetapan bersama.

b. Dalam hal menjalankan perannya sebagai leader, kepala sekolah selalu memimpin,

mengarahkan, mengayomi, mengutamakan kerja sama, saling percaya mempercayai

dan memberdayakan tenaga pendidik melalui kerja sama, dan mendorong keterlibatan

seluruh tenaga pendidik dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.

c. Dalam menjalankan perannya sebagai leader (pemimpin) ini, kepala sekolah

menggunakan gaya kombinasi antara gaya kepemimpinan mendikte, menjual dan

mendelegasikan.

d. Dalam menjalankan perannya sebagai seorang tenaga pendidik (educator), kepala

sekolah menggunakan strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme para

guru, memberikan bimbingan baik melalui rapat sekolah secara rutin maupun yang

bersifat situasional.

e. Dalam menjalankan perannya sebagai supervisor, kepala sekolah telah melakukan

pengawasan serta pengendalian terhadap kinerja guru yang merupakan kontrol agar

kegiatan pendidikan di sekolah bisa terarah pada tujuan yang telah ditetapkan,

memperhatikan prinsip-prinsip kolegial, konsultatif dan sangat demokratis serta

memposisikan dirinya sebagai orang yang berada di tengah-tengah para bawahannya.

f. Dalam menjalankan perannya sebagai menciptakan iklim kerja yang kondusif agar

para guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul yang disertai

usaha untuk meningkatkan kompetensinya, dengan selalu menginformasikan semua

tujuan pendidikan kepada para guru.

g. Dalam menjalankan perannya sebagai wirausahawan kepala sekolah melakukan

pembaharuan-pembaharuan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam

hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi para

guru.

2. Faktor-Faktor Kendala dan Pendukung dalam Peningkatan Profesionalisme Guru

di SMPN 21 Kota Malang

Faktor Kendala

Faktor Kendala dalam upaya peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota

Malang meliputi:

a. Masih adanya tenaga pendidik yang merangkap tugas di lembaga lain yang hal ini

dinilai dapat mengganggu konsentrasi dalam bekerja.

b. Rendahnya semangat tenaga pendidik dalam meningkatkan kompetensinya juga dapat

berpengaruh pada kinerjanya.

Page 23: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

183

c. Menumpuknya beban tugas yang diberikan kepada tenaga pendidik dapat

menimbulkan rasa jenuh dalam tugasnya yang berakibat menurunnya semangat dan

gairah bekerja secara maksimal.

d. Sarana prasarana pendukung proses kegiatan belajar mengajar yang belum memadai.

Faktor Pendukung

Sedangkan faktor pendukung dalam upaya peningkatan profesionalisme guru di SMPN

21 Kota Malang meliputi:

a. Dukungan Dinas Pendidikan Kota Malang dalam hal penciptaan sekolah unggulan.

b. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar sekolah yang memiliki tingkat

pendidikan dan pengetahuan akan memberikan kontrol baik secara langsung maupun

tidak langsung terhadap penyelenggaraan sekolah.

c. Partisipasi Komite Sekolah yang maksimal baik dalam pemberian ide/gagasan,

koreksi serta terlibat dalam perumusan-perumusan kebijakan sekolah.

3. Strategi Kepala Sekolah dalam Menangani Kendala-Kendala dalam Peningkatkan

Profesionalisme Guru SMPN 21 Kota Malang

Upaya-upaya yang dilakukan oleh kepala SMPN 21 Kota Malang, untuk menangani

kendala-kendala dalam peningkatan profesionalisme guru antara lain:

a. Berusaha untuk menumbuhkan disiplin guru sebagai tenaga pendidik untuk

mengembangkan pola perilaku, meningkatkan standar perilakunya.

b. Pemberian motivasi, baik motivasi yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.

c. Pemberian penghargaan (reward). Dalam hal ini kepala sekolah secara terbuka

menawarkan sebuah penghargaan (reward), yang dikhususkan bagi para tenaga

pendidik yang berhasil meraih prestasi yang ada hubungannya dengan kegiatan

akademik dilembaganya.

d. Persepsi, dalam upaya untuk meningkatkan kinerja guru, juga dilakukan oleh kepala

sekolah dengan memberikan perhatian penuh terhadap prestasi kerja para tenaga

pendidik dengan menggunakan panca indera langsung. Hal ini dilakukan oleh kepala

sekolah dengan didasari oleh asumsi bahwa dengan pemberian persepsi yang baik

diyakini akan dapat menimbulkan iklim kerja yang lebih kondusif serta akan mampu

meningkatkan produktivitas kerja.

KETERBATASAN PENELITIAN

Keterbatasan penelitian ini pada metode pengambilan sampelnya, karena tidak semua

guru menjadi sampel sehingga belum bisa digunakan untuk menarik kesimpulan secara

general. Untuk memperjelas hasil penelitian ini, diharapkan ada peneliti lebih lanjut untuk

hasil yg bisa digeneralisasikan dalam strategi yang terkait dengan profesional guru.

SARAN BAGI PENELITI BERIKUTNYA

Dari proses pengolahan data dapat diketahui bahwa hasil penelitian yang terkait

dengan strategi kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru, ditemukan

beberapa faktor penghambat dalam upaya tersebut . Sehingga perlu dikaji lebih lanjut

temuan pada penelitian-penelitian lain yang sejenis sehingga bisa didapatkan

penyempurnaan-penyempurnaan temuan dan akan dapat dijadikan referensi untuk

penelitian berikutnya.

Page 24: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

184

DAFTAR REFERENSI

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka

Cipta

Bogdan, R. C & S. J Taylor. 1993. Introduction to Qualitative Research Method; A

Phenomenological Approach to the Social Science, Alih Bahasa Arief F, John Wiley

and Sons-Usaha Nasional, New York- Surabaya.

Bogdan, R. C., & Biklen,.S.K. 1998. Qualitative Research In Education: An Introduction to

Theory and Methods. Boston : Allyn and Bacon.

Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi, Mmanajemen dan Kepemimpinan Pendidikan.

Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Cipta. Jakarta.

Cushway, Barry. 1994. Human resource management Fast-track MBA series

Kogan Page: Pennsylvania State University

Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi pendidikan: Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme

Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Depdiknas. 2004. Pola Pembinaan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan PGSD. Jakarta:

Depdiknas.

Depdiknas. 2005. Undang-Undang RI Nomor 14 Tentang Guru dan Dosen.Jakarta:

Depdiknas.

Dimyati, H M. 2004. Paradigma dan Prinsip-Prinsip Penelitian Kualitatif. Makalah

Lokakarya Metodologi Peneliitian Kualitatif. Lembaga Penelitian UM Malang

Echols, John M. dan Hasan Shadily. 1997. Kamus Inggris-Indonesia: An English-Indonesian

Dictionary. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.

Faisal, Snapiah. 1990. Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya: PT. Usaha-

Usaha Nasional.

Fathan, A. 2005. Konsep dan Metode Penelitian Kualitatif beserta contoh proposal

penelitiannya. Malang: PPs-UM Prodi Pendidikan Geografi Tidak dipublikasikan..

Fattah, N. 2003. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah MBS. dan Dewan Sekolah. Bandung :

Pustaka Bani Quraisy.

Fullan. 2001. The Meaning of Educational Change. New York: Teachers College Press.

Hasballah. 1999. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Hasibuan, Malayu SP. 2001. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: Bumi

Aksara.

Hoy & Miskel, 1987. Education Administration.: Theory, Research and Practice. New

York: Random Hause.

Page 25: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

185

King, Patricia. 1993. Performance Planning and Appraisal. New York: McGraw-Hill Book

Company.

Lamatenggo. 2001. “Kinerja Guru: Korelasi antara Persepsi Guru terhadap Perilaku

Kepemimpinan Kepala Sekolah, Motivasi Kerja dan Kinerja Guru SD di Gorontalo”.

Tesis. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Lincoln, Y. S & Guba E. G, 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hill: SAGE Publication. Inc.

Luthans, F. 2002. Positive organizational behavior: Developing and managing

psychological strengths. Academy of Management Executive , 16(1): 57-72

Malhotra, N.K. 1996. Marketing Research An Applied Orientation. Prentice Hall

International. London

Mantja, W. 2007. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan

Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas.

Moedjiarto. 2001. Sekolah Unggul: Metodologi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan.

Jakarta: Duta Graha Pustaka.

Moleong, L. J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan kedua. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Mudhoffir, 1993. Prinsip-prinsip Pengelolaan Pusat Sumber Belajar. Bandung: Remaja

Karya.

Mulyana, D. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan

Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung:

PT. RajaGrafindo Persada.

Nunung Chomzanah dan Atingtedjasutisna. 1994. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung :

Penerbit Armico.

Pannen dan Purwanto. 1997. Punulisan Bahan Ajar. Jakarta: Depdikbud

Purnama, Nursya’bani. 2006. Manajemen Kualitas: Perspektif Global.

Yogyakarta: Ekonisia.

Purwanto, Ngalim. 1998. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Penerbit PT.

Remaja Rosdakarya.

Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang

Guru dan Dosen serta UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS. Bandung:

Penerbit Citra Umbara.

Robbins, Stephen R. 2003. Perilaku Organisas Jilid I. Terjemahan Tim Indeks. Jakarta: PT.

Ineks Kelompok Gramedia.

Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan

Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sahertian. 2000. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan: Dalam Rangka

Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sawitri, Dyah. 2008. Program Pelatihan dan Pengembangan manajemen Sumber daya

Manusia: Perspektif Teori Strategik. Jurnal Sosio-Religia Vol 7 No 4. Agustus 2008.

Page 26: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Sri Winarti

186

Sergiovanni, T. J. 1991. The Principalship: A Reflective Practice Perspective.

Massachusetts: Alyn and Bacon.

Siagian, Sondang P. 1992. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Siagian, Sondang P. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Bumi

Aksara.

Silahahi, Ulbert. 2002. Studi tentang Ilmu Administrasi: Konsep, Teori, dan Dimensi.

Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sitepu, Bintang P. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Steers, Richard M. 1985. Efektivitas Organisasi, Erlangga, Jakarta

Strengthening Educational Leadership; The ISLLC Standards. Murphy, Joseph;

Shipman, Neil; Pearlman, Mari Streamlined Seminar, v16 n1 p1-4 Sep

1997

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Adminitrasi. Edisi Kelimabelas. Bandung:

CV. Alfabeta.

Supriadi, D. 2000. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah.Yogyakarta:

Adicita.

Sutopo 1999. Administrasi, Manajemen dan Organisasi. Jakarta: Lembaga Administrasi

Negara.

Suyitno dan Tanzeh, 2007. Dasar-Dasar Penelitian, Surabaya. Elkhaf

Suyitno, 2008. Kepemimpinan Pendidikan dalam Orientasi Efektivitas Organisasi,

Surabaya, Elkhaf.

Suyitno, 2011. Model Pembinaan dan Supervisi Pendidikan. Malang, Sinar Akademika

Malang.

Tim Penyusun. 2010. Pedoman Format Penulisan Tesis, Program Pascasarjana Univ.

Gajayana Malang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional

Wahibur, Rokhman, J. 2003. Pemberdayaan dan komitmen: Upaya mencapai kesuksesan

organisasi dalam menghadapi persaingan global. Dalam Usmara, A Ed..: Paradigma

baru manajemen sumber daya manusia. 121-133. Yogyakarta: Amara Book.

Wahjosumidjo. 1999. Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik dan

Permasalahannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Xaviery. 2004. Benarkah Wajah Sekolah Ada Pada Kepala Sekolah. Diambil dari

www.diknas.go.id.

Page 27: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

187

Testing the Existence of January Effect in Indonesia and Kuala Lumpur Shari’ah

Compliance

Helma Malini

Faculty of Economy

Department of Management

Tanjungpura University

West Kalimantan

Indonesia

Mohamad Jais

Faculty of Economics and Bussines

University Malaysia Sarawak

Department of Management and Finance

Sarawak

Malaysia

Abstract

This paper investigates the existence of January Effect in Indonesia and Malaysia

Shari’ah stock market and the implication for stock market efficiency. Shari’ah Compliance

is relatively a new industry both for Indonesia and Malaysia, although the growth is

continously increasing over the year. There are significant differences between investing in

Shari’ah compliant than the conventional stock market, since Shari’ah capital market have to

followed a set of rules form the stock exchange and also followed Islamic capital market law

and principles. Study that focusing about Shari’ah compliance both for Indonesia and

Malaysia is still rare, that is why this study taking one step further by examining the january

effect in Indonesia and Malaysia Shariah compliance. Regression model with dummy

variables and monthly price of companies that classified in the Indonesia and Malaysia

Shari’ah compliance from January 2000 to December 2012 to test the Janaury effect in the

stock return of Indonesia Shari’ah compliance and Kuala Lumpur Shari’ah compliance. It

was empirically found that, although Janaury anomaly does not exist in Indonesia Shari’ah

compliance and in Kuala Lumpur Shari’ah compliance. Other result showed that both

Shari'ah compliance also enjoyed significant return in other month beside January which is

July for Indonesia and September, October and November for Malaysia, which raises

question against Efficient Market Hypothesis (EMH).

Keywords: Calendar effects, Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance, January Effect,

Efficient Market Hypothesis

Page 28: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

188

I. Introduction

For almost ten years after the publication of Fama’s classic exposition in 1970, the Efficient

Markets Hypothesis (EMH) dominated the academic and business scene. According to this

hypothesis the market is efficient if its price are formed on the basis of all available

information. Stock market is efficient not only if all relevant information about the company

are incorporated into stock price, but also influence investor rationality in taking investment

decisions.

The assumption that investors are rational and therefore value investments rationally – that is,

by calculating the net present values of future cash flows, appropriately discounted for risk –

has not been supported by empirical evidence. Rather the evidence shows that investors are

affected by herd instinct, a tendency to “churn” their portfolios, and a tendency to under-react

or over-react to news or asymmetrical judgements about the causes of previous profits and

losses. Furthermore, many alleged anomalies have been detected in the patterns of historical

share prices. The best known are calendar anomalies.

The objective of this study is to investigated the existence of “turn-of-the-year” or

January effect in Islamic capital market or familiar with the term of Shari’ah compliant. The

January effects a seasonal irregularity of the financial market where tock prices tend to fall

towards the end of December and then recuperate quickly in the first month of the New year,

i.e., January.

Monthly value of Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance for ten years from 2000

to 2012, has been employed for detecting January effect of Shari’ah compliance from both

countries. Regression modles coupled with dummy variables is used to test the existence of

January effect. The reason for choosing Shari’ah compliant as the backgorund of study is

looking at the growth of the industry both in Indonesia and Malaysia. In Indonesia about

86.1% of 230 million of population are Muslim, which makes Indonesia the biggest Muslim

majority country in the world. Therefore, Indonesia offers bright prospects for the

development of Islamic capital market. Based on the 2012 Indonesian Islamic Capital Report,

the development of Shari’ah stocks on the Indonesia Shar’iah Securities List shows an

increasing number from 173 in 2007 to 253 Shari’ah stocks in 2012. As March 2012, the

percentage of Shari’ah stocks have exceeded the percentage of conventional stocks at 50.7%.

While in Malaysia the growth of Shari’ah compliance is very significant showed by number

of listed companies in 2012 were 766 and the percentage of exceeded the percentage of

conventional stocks at 82.3%. Thus making comparison between Indonesia and Malaysia

Shari’ah compliance are appropriate since not only both countries are geographically closed

but also of the strong correlation and integration of Shari’ah stock market in both countries.

II. Literature Review

The January effect is a calendar-related market anomaly in the financial market where

financial security prices increase in the month of January. This creates an opportunity for

investors to buy stock for lower prices before January and sell them after their value

increases. Therefore, the main characteristics of the January Effect are an increase in buying

securities before the end of the year for a lower price, and selling them in January to generate

profit from the price differences. The recurrent nature of this anomaly suggest that the market

is not efficient, as market efficiency would suggest that this effect should disappear. Keim

Page 29: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

189

(1983) shows that a large part of the year return is due to January effect and especially to the

excess return obtained in the first days of trading in January; the relation between the

company size and the excess return being negative. Horowitz, Loughran and Savin (2000) are

consistent with the existence of January effect - the existence of higher average return in

January in comparison with the average returns for the rest of the year's months, but their

paper does not support the negative relation between the excess return in January and the

company's size.

January effect has also been detected in Canada (Berges, McConnell, & Schlarbaum,

1984), Japan (Kato & Schallheim, 1985), Malaysian (Nassir & Mohammad, 1987), U.K.

(Mills & Coutts, 1995), Greece (Mills, Siriopoulos, Markellos & Harizanis, 2000), Chile,

Greece, Korea, Taiwan and Turkey (Fountas & Segredakis, 2002), India (Pandey, 2002),

Sweden (Hellstrom, 2002), Nepal (Bahadur & Joshi, 2005), Poland, Romania, Hungary and

Slovakia (Asteriou & Kovetsos, 2006), Argentina (Rossi, 2007). However, conflicting results

are also available. For instance, January effect in Jordon (Maghayereh, 2003), Greece (Flores,

2008), Brazil, Chile and Mexico (Rossi, 2007) wasn’t detected.

December, and new information effect. Tax-loss selling hypothesis (Branch, 1977)

asserts that in December, i.e., end of tax year, investors tend to sell out the stocks held to

realize capital losses. This helps them in reducing tax paid by them on their gains. As a result

of this downward trend in market, stock prices go down. As the new tax year starts in

January, investors again start to buy stocks and this upward drift pushes the stock prices up.

Window dressing hypothesis (Haugen & Lakonishok, 1988) posits that, to manipulate their

performance, fund managers, avoid showing losers at their credit at year end, and thus start

selling loser stocks from their fund and let only the winners stay in their portfolio. However,

on January, fund managers reverse their action and start selling winners and put small stocks

back in the portfolio. These window dressing actions by the fund managers create artificial

downward pressure (and low returns) in December and upward pressure in the market (and

high returns) in January.

III. Research Method

3.1 Data

This Section offers a brief description of the research method and the data set. Using

daily closing price of Indonesia Shari’ah compliance and Malaysia shari’ah compliance from

the period of 2000 : 1 to 2012 : 12. The companies that classified as Shari’ah in Indonesia are

214 companies while in Malaysia there are 766 companies.

Since Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance has experienced major structural

changes with the potential for affecting market efficiency, we divide our chosen sample

period into three following sub periods of differing market stages :

1. January 1, 2000 – 2004; periods during its early stages of Indonesia Shar’iah

compliance and Malaysia Shari’ah compliance development. In the early stages

showed that many turbulances influence the establishment of shari’ah indices in both

countries specially in term of policy and socialization.

Page 30: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

190

2. January 1, 2005 – 2008; periods during which the Indonesia Shari’ah Compliance and

Kuala Lumpur Shari’ah compliance stock market grew significantly in size and

number. The growth of Indonesia Shari’ah Compliance and Malaysia Shari’ah

compliance are because both countries has implemented and formulated socialization

process.

3. January 1, 2009 – 2012 periods after market crash. The period after market crash

showed that both shari’ah index in Indonesia and Malaysia are reluctant to several

crisis such as Subprime mortgage crisis in US and debt crisis in Europe.

The stages allowed us to test for the presence of January effect over shorts period of time.

It also enables us to determine whether there was January effect in the Indonesia and

Malaysia Shari’ah compliant.

3.2 Methodology

Monthly return of DSI Index is calculated as the natural log of [today’s Index Value /

previous day’s Index Value]:

Rt = In( ) (1)

Where:

Rt = Monthly return of ISC and KLSC

Pt = Closing value of ISC and KLSC Index at time t.

Pt-1= Closing value of ISC and KLSC Index at time t-1.

The reasons to choose logarithm returns over general return are justified by both theoretically

and empirically. Theoretically, logarithmic returns are analytically more tractable when

linking together sub-period returns to form returns over longer intervals. Empirically,

logarithmic returns are more likely to be normally distributed which is prior condition of

standard statistical techniques (Strong, 1992).

To test the existence of monthly seasonality, the following basic regression model is used:

Rt = C + β2Dfeb + β3Dmar +β4Dapr + β5Dmay +β6Djun + β7Djul + β8Daug

+ β9Dsep + β10Doct + β11Dnov + β12Ddes+ μᵗ (2)

Where, Rt is the monthly return and the intercept term, C , indicates the average return for

January. Di is a dummy variable that takes the value of 1 in month and i zero otherwise. For

instance, DFeb = 1 if the return is on February and 0 otherwise; DMar = 1 if the return is on

March and 0 otherwise; DDec = 1 if the return is on December and 0 otherwise and so on.

The OLS coefficients β2 to β12 indicate the difference in return between January and the i th

month of the year. The stochastic disturbance term is denoted by μᵗ

Page 31: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

191

IV. Result and Discussion

Figure 1. ISC (Indonesia Shari’ah Compliance) Monthly Return from 2000-2012

Figure 1 showed the monthly return for Indonesia Shariah compliance from the year

2000-2012. The monthly return from the January until December showed volatility. The

graphics noted in certain months Indonesia having increasing and decreasing towards their

monthly return. On average month of the year showing stability of monthly return. May 2007

showed increasing of the monthly return at 208.29, while on December 2003, July 2005, and

July 2010 are showing decreasing in the monthly return with average point of -99.00. From

the behavioural investor perspective we can see that investor the movement related to

investor behaviour particularly during crisis and the increasing of oil prices in Indonesia that

happened in 2004, which was the first democration general election in Indonesia, continoued

with the increasing of oil price in 2006 and subprime mortgage crisis in 2008.

Figure 2. KLSC (Kuala Lumpur Shariah Compliance) Monthly Return From 2000-2012

Figure KLSC (Kuala Lumpur Shari’ah Compliance) monthly return from 2000-2012

Page 32: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

192

Monthly return for Kuala Lumpur Shari’ah compliance was showing stability although

in year 2008 and 2010 there was some decreasing point. Looking back at that year there was

national election in Malaysia (2008) and several bombing that happened in praying places

(2010), although Malaysian society is very sensitive towards the increasing of oil prices, the

monthly return showed no reaction at 1.74 point. From the behavioural perspective we can

see that investor in Kuala Lumpur Shari’ah Compliance were more prone to the social and

political condition in their country including global financial crisis that surely bring severe

impact to the investing condition.

Return data has been tested for unit roots employing the augmented Dickey-Fuller (ADF)

test. The results of the ADF test, presented in table 1, leads to rejection of the hypothesis of a

unit root, so that the monthly in Indonesia and Kuala Lumpur Shari’ah compliance returns

series can be taken to be stationary.

Table 1

Test for unit roots for Indonesia Shari’ah Compliance (ISC) and Kuala Lumpur Shari’ah

compliance (KLSC)

ADF With Constant ADF Without Constant

1 Lag

ISC KLSC

-09.5882 -10.5643

(6.339e-024)*** (6.738e-028)***

ISC KLSC

-11.7343 -9.9836

(7.683e-025)*** (9.764e-034)***

5 Lag -6.38915 -8.23940

(1.726e-011)*** (1.834e-001)***

-3.96975 -5.674543

(9.861e-007)*** (8.872e-016)***

-7.46633 -6.56453

(1.71e-011)*** (1.71e-043)***

10 Lag -5.02877 -5.08733

(1.782e-005)*** (1.756e.004)*** Note: figures in the parentheses show p-values. *** indicates significant at 1% level.

Table 2

Summary Statistics of Monthly Returns Indonesia Shari’ah compliance

Statistics Observations Mean t-stats Variance Skewness Kurtosis

January 289 -0.0186 -0.2213 0.5576 1.2512 4.2594

February 231 -0.0221 -0.1626 0.2183 -2.8137 11.2397

March 242 -0.0022 -0.2893 0.3134 -0.0844 1.8952

April 231 -0.0125 -0.2344 0.2137 -0.2885 1.7653

May 242 0.0252 -0.0831 0.2396 1.0748 2.3908

June 231 0.0506 -0.0804 0.2859 1.0064 1.4775

July 220 -0.0081 -0.1431 0.1879 0.6904 0.3974

August 187 0.0109 -0.1566 0.1696 0.016 1.7085

September 242 0.0271 -0.0618 0.3159 2.7519 10.188

October 241 0.0413 -0.1521 0.5692 2.9903 12.9692

November 242 0.0191 -0.1714 0.2546 0.6453 0.4085

December 231 -0.0046 -0.2671 0.1469 -2.6359 11.4431

Table 2 provides a summary of statistics on the mean returns for each month of Indonesia

Shari’ah compliance. The descriptive statistics run for the whole periods : 2000-2010. The

results showed that mean return for Indonesia is positive in the month of May, June, August,

September, October and November while the rest of the month is showed negative returns,

while March suffers lowest return, June observes the highest return in stock market in

Page 33: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

193

Indonesia Shari’ah Market. Returns exhibit negative skewness (i.e., data are skewed to the

left) for four months and positive skewness (i.e., data are skewed to the right) for eight

months. Five months have kurtosis greater than three which represents leptokurtic

distribution, i.e., flatter tails than the normal distribution.

Table 3

Summary Statistics of Monthly Returns Kuala Lumpur Shari’ah compliance

Statistics Observations Mean t-stats Variance Skewness Kurtosis

January 198 0.03226 -0.02603 0.02124 -0.7388 7.8385

February 209 -0.01322 -0.01350 0.01378 -0.3467 5.3195

March 231 -0.01444 -0.01211 0.00872 -0.5260 10.797

April 242 -0.01327 -0.07890 0.01210 -0.1227 5.7002

May 242 -0.01704 0.02123 0.01316 -0.2084 6.1468

June 231 -0.00550 0.03271 0.01295 -0.0804 7.5173

July 220 -0.01062 0.01791 0.01486 -0.8530 7.2839

August 209 -0.01421 0.01867 0.01731 -0.3603 7.6900

September 231 0.01295 0.01951 0.00886 -0.4229 7.1434

October 242 0.01286 0.04460 0.01583 -0.4008 8.4188

November 231 0.01731 0.02112 0.01173 -0.1519 11.346

December 165 0.00686 -0.01622 0.01568 -0.4416 5.8470

Table 3 provides a summary of statistics on the mean returns for each month of Malaysia

Shari’ah compliance. The descriptive statistics run for the whole periods : 2000-2010. The

results showed that mean return for Malaysia Shari’ah compliance is positive in the month of

January, September, October, November and December. while the rest of the month is

showed negative returns, while June suffers lowest return, January observes the highest return

in stock market in Malaysia Shari’ah compliance. Returns exhibit negative skewness (i.e.,

data are skewed to the left) for four months and positive skewness (i.e., data are skewed to

the right) for eight months. Five months have kurtosis greater than three which represents

leptokurtic distribution, i.e., flatter tails than the normal distribution.

Table 4

Regression analysis for period 2000-2012 (dependent variable: logarithmic return) Indonesia

Shariah Compliance

Note: *** indicates significant at 1% level;** indicates significant at 5% level; * indicates significant at 10% level.

Coefficient Std. Error t-ratio p-value

Intercept (C) -0.0332656 0.0214116 -0.5163 0.26295

DFebruary -0.0233915

0.0312119

-0.0112227

-0.0313121

-0.0233192

0.0120816

0.0454851

-0.0232023

0.0480856

-0.0310151

-0.0321086

0.1321742

0.0325412 -0.6374 0.41281

DMarch

DApril

DMay

DJune

DJuly

DAugust

DSeptember

DOctober

DNovember

DDecember

R-squared

0.0125851

0.0140731

0.0340714

0.0060752

0.693472

0.0342541

0.0340752

-0.0340752

0.0360752

0.0875114

0.2205

-0.0612

-1.0508

-0.4865

0.7944

-0.1163

-0.0140

1.0432

-0.7100

-1.3249

Adjusted R-squared

0.42111

0.83204

0.25460

0.65810

0.48119

0.59969

0.88991

0.20911

0.35473

0.12942

0.02225

Page 34: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

194

Table 4 shows regression results for the partial sample period January, 2000 to December,

2012. In this sample period, the mean return for January is negative while the July effect is

positively stand out and reliable. This result showed that January effect is not exist in

Indonesia Shari’ah compliance and investor were not influence to effect and event that

happened around december until January. The result also parallel with the theory of Efficient

Market Hypothesis where is no investor could earn abnormal profit during certain month or

taking advantages towards new information that arrives in certain month.

Table 5

Regression analysis for period 2000-2012 (dependent variable: logarithmic return) Kuala

Lumpur Shariah Compliance

Coefficient Std. Error t-ratio p-value

Intercept (C) -0.00892203 0.0322269 -0.3082 0.65272

DFebruary -0.00633712

-0.00611287

0.00236818

0.01332322

0.543435623

0.0123706

0.0251077

0.024021

0.0564435

0.5644554

-0.8383415

0.34804

0.1310779 -0.3231 0.70715

DMarch

DApril

DMay

DJune

DJuly

DAugust

DSeptember

DOctober

DNovember

DDecember

R-squared

0.1210778

0.0310889

0.0411779

-0.021077

0.0332779

0.0410877

0.0210669

-0.0210669

0.0891669

0.0326196

-0.2358

-0.0653

-0.6692

0.0448

-0.0220

0.3833

1.0241

1.5430

0.3428

-0.0956

Adjusted R-squared

0.81377

0.54915

0.34657

0.04165

0.88043

0.56939

0.21251

0.65290

0.54357

0.9237

0.00289

Note: *** indicates significant at 1% level; ** indicates significant at 5% level; * indicates significant at 10% level.

Table 5 shows regression result for the partial sample period January, 2000 to December,

2012. In this sample period, the mean return for January is negative while the September,

October and November effect positively stand out and reliable. The result of Kuala Lumpur

Shari’ah compliance also the same with Indonesia Shari’ah compliance that the existence of

January effect is non existence, although in July, august, september and november investor

could earn profit above abnormal return, which also against the Efficient Market Hypothesis.

Through the period of 2000-2012, January anomaly in Indonesia Shari’ah Compliance

is not found. Although during the sample period, mean stock return in December to April was

negative. April is the first month of the financial year in Indonesia, and the absence of

significant positive return in July rejects usefulness of tax-loss selling hypothesis. The same

result also came from the Kuala Lumpur Shari’ah compliance where January effect is not

found, although first month of the financial year start at January in Malaysia.

However, there are significant positive June anomaly in Indonesia Shari’ah Compliance

and April anomaly for Kuala Lumpur Shari’ah compliance. Both result are parallel with

Efficient Market Hypothesis. The existence of significicant positive in July for Indonesia

Shari’ah Complianve and September, October and November for Kuala Lumpur Shari’ah

compliance showed that investor enables to forecast future stoc prices by observing the

current trend in stock market and can devise investment strategies which may help them to

outperform the market.

Page 35: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

195

V. Conclusion

To explain the non existence of January effect in Indonesia Shari’ah compliance, we

can give several explanation; First, from behavioural perspective or more known as holiday

pyschology, this term more related or against to the Efficient Market Hypothesis, where

during holiday investor tend to taking a break from investing activity which is happened in

christmas holiday followed with the new year holiday, and after the break, January would be

a proper month to start investing, while in Indonesia and Malaysia investor tend to react

normally during the holiday season. Second, investing in Shari’ah compliance meaning that

this compliance is more sensitive to riba or interest rather than tax, although tax is great

motivation to earn benefit at the ehnd of the year, but the wash rule of 30 days expiration date

does not interest investor in Shariah compliance.

References

Asteriou, D., & Kovetsos, G. 2006. Testing for the existence of the January effect in

transition economies. Applied Financial Economic Letters, 2(6), 375-381.

http://dx.doi.org/10.1080/17446540600706817

Bahadur, K. C. F., & Joshi, N. K. 2005. The Nepalese stock market: efficiency and

calendar anomalies. Economic Review, 17(17).

Berges, A., Mcconnel, J. J., & Schlarbaum, G. G. 1984. The turn of the year in Canada.

Journal of Finance, 39(1), 185-192. http://dx.doi.org/10.1111/j.1540-6261.1984.tb03867.x

Branch, B. 1977. A tax loss trading rule. Journal of Business, 50(2),

198-207. http://dx.doi.org/10.1086/295930 Fama, E. F. 1970. Efficient capital markets: A review of theory and empirical work.

Journal of Finance, 25(2), 383-417. http://dx.doi.org/10.2307/2325486 Floros, C. 2008. The monthly and trading month effects in Greek stock market returns:

1996-2002. Managerial Finance, 34(7), 453-464.

http://dx.doi.org/10.1108/03074350810874415 Fountas, S., & Segredakis, K. N. 2002. Emerging stock markets return seasonalities: the

January effect and The tax-loss selling hypothesis. Applied Financial Economics, 12(4),

291-299. http://dx.doi.org/10.1080/09603100010000839

Haugen, R. A., & Lakonishok, J. 1988. The incredible January effect: the stock market’s

unsolved mystery. Homewood, Illinois: Dow Jones-Irwin.

Hellstrom, T. 2002. Trends and calendar effects in stock returns (Working Paper).

Retrieved from http://www.citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?

Horowitz, J.L., T. Loughran, and N.E. Savin, 2000, “Three Analyses of the Firm Size

Premium,” Journal of Empirical Finance, 7, 143-153.

Kato, K., & Schallheim, J. S. 1985. Seasonal and size anomalies in the Japanese stock

market. The Journal Of Financial and Quantitative Analysis, 20(2), 243-260.

http://dx.doi.org/10.2307/2330958

Keim, D. 1983. Size-related anomalies and stock return seasonality: Further empirical

evidence. Journal of Financial Economics, 12(1), 12-32. http://dx.doi.org/10.1016/0304-

405X(83)90025-9

Page 36: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

196

Maghayereh, A. 2003. Seasonality and January effect anomalies in an emerging capital

market. The Arab Bank Review, 5(2), 25-32.

Mills, T. C., & Coutts, J. A. 1995. Calendar effects in the London Stock Exchange FT-SE

Indices. European Journal of Finance, 1(1), 79-94.

http://dx.doi.org/10.1080/13518479500000010

Mills, T. C., Siriopoulos, C., Markellos, R. N., & Harizanis, D. 2000. Seasonality in the

Athens Stock Exchange. Applied Economics Letters, 10(2), 137-142.

Nassir, A., & Mohammad, S. 1987. The January effect of stocks traded on the Kuala

Lumpur stock exchange: an empirical analysis. Hong Kong Journal of Business

Management, 5, 33-50.

Pandey, I. M. 2002. Is there seasonality in the SENSEX monthly returns? Working

Paper, No.WP 2002-09-08. Retrieved from http://www.iimahd.ernet.in/publications

Rossi, M. 2007. Calendar anomalies in stock returns: evidence from South America.

Bachelor Thesis, Lappeenranta University of Technology.

Strong, N. 1992. Modelling abnormal returns: a review article. Journal of Business,

Finance and Accounting, 19 (4), 533-553.

Page 37: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

197

Perancangan Knowledge Management System

pada Bagian Diklat PT Dirgantara Indonesia

Joeliaty

Ajeng Pritha Aryani

Program Studi Manajemen Dan Bisnis

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis

Universitas Padjadjaran

Abstract

The problem that emerged on every organization now days especially company is how to

increase sustainable knowledge from their human resources that suitable with the challenges

faced. However, a lot of organizations such as PT Dirgantara Indonesia is not yet or have not

discovered hidden knowledge within their employees. Therefore, the objective of this

research is to find a constructive plan, implementation and evaluation of Knowledge

Management System (KMS) that should be applied to PT Dirgantara Indonesia. Research

method used on this paper is descriptive qualitative methodology, 10-step knowledge

management roadmap, and differentiation quantitative test. The results from this research are

implementations on business startegy of PT Dirgantara Indonesia on their Training and

Education Department, with personal approach. Knowledge that needs to be followed is

career analysis method, English language ability, SAP creation and system analysis. Those

implementations are running through online forum such as intranet portal and offline forum

such as scheduled formal forum.

Keywords : knowledge management strategy, knowledge management system, 10 steps

roadmap, SECI model, MOODLE

I.Pendahuluan

Perubahan dunia ini mengarah ke fenomena bahwa sumber ekonomi bukan lagi dalam bentuk

money capital atau sumber daya alam, tapi ke arah knowledge capital. Persaingan ini oleh

Peter F. Drucker disebut sebagai “knowledge to knowledge competition”. Artinya, semakin

kuat pengetahuan dari SDM suatu organisasi, semakin kuat daya saingnya. Maka, masalah

yang dihadapi setiap organisasi, khususnya perusahaan, pada saat ini adalah bagaimana agar

perusahaan mampu meningkatkan pengetahuan secara berkelanjutan dari SDM-nya yang

sesuai dengan tuntutan tantangan yang dihadapi.

Namun, banyak organisasi belum atau tidak mengetahui potensi pengetahuan tersembunyi

yang dimiliki oleh karyawannya. Setiap orang mengetahui bahwa organisasinya mengetahui

sesuatu, tetapi seringkali tidak tahu bagaimana mendapatkan informasi tersebut atau

mendapatkan nama ahli terkait informasi tersebut (Burk 1999). Hal ini didukung oleh Riset

Delphi Group yang menunjukkan bahwa pengetahuan dalam organisasi tersimpan dalam

struktur : 42% dipikirkan (otak) karyawan, 26% dokumen kertas, 20% dokumen elektronik,

12% knowledge base elektronik. Fakta umum ini memang terjadi dimana-mana, bahwa aset

pengetahuan sebagian besar tersimpan dalam pikiran kita yang disebut tacit knowledge. Oleh

karena itu, knowledge management ada untuk menjawab persoalan ini yang proses mengubah

Page 38: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

198

tacit knowledge menjadi knowledge yang mudah dikomunikasikan dan didokumentasikan

(explicit knowledge).

Kesadaran untuk menerapkan pendekatan knowledge management ke dalam strategi bisnis

diperlukan karena terbukti perusahaan yang menjadikan pengetahuan sebagai sumber daya

utamanya senantiasa mampu mendorong perusahaan lebih inovatif yang bermuara pada

kepemilikan daya saing perusahaan. Posisi pengetahuan yang sedemikian penting dalam

konteks daya saing perusahaan saat ini membuat Komite Malcolm Baldrige memasukkan

kriteria knowledge management ke dalam salah satu dari tujuh kriteria penilaiannya.

PT Dirgantara Indonesia atau Indonesian Aeorospace (IAe) adalah industri pesawat terbang

yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Perusahaan ini

dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. PT DI didirikan pada 26 April 1976 dengan nama PT

Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direktur. Industri

Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang

Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah

nama menjadi Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000. PT DI didukung oleh 3.720

tenaga kerja yang semula berjumlah 9.670 orang.

Dalam rangka menyediakan sumber daya teknisi pendukung produksi part pesawat terbang

pada tahun 1978 dibentuklah PUSDIKLAT di bawah Direktorat Umum. Dalam

perkembangannya PUSDIKLAT berubah menjadi Diklat yang merupakan pusat

penyelenggaraan training baik teknis maupun nonteknis di bawah Departemen Pelatihan dan

Pengembangan SDM. Diklat kini hanya memiliki 12 orang karyawan setelah adanya lay off

massal.

Bagian Diklat yang merupakan pusat penyelenggaraan training memiliki peran penting dalam

proses operasional di PT Dirgantara Indonesia. Dengan jumlah karyawan yang sedikit, Diklat

harus terus mampu menjadi ‘penyedia kompetensi’ bagi karyawan PT DI secara terus

menerus dan berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, masing-masing individu menjadi

spesialis dan tidak adanya pendistribusian pengetahuan antarkaryawan.

Dengan banyaknya pengetahuan yang terus mengalir, maka perlu ditangkap, diklasifikasi,

disimpan, disebarkan, dan diaplikasikan sehingga menjadi nilai pengetahuan yang bermanfaat

untuk meningkatkan kualitas pekerjaan karyawan dan keberlangsungan training di Diklat.

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijabarkan diatas, maka dirumuskan

masalah yang akan dianalisis sebagai berikut : Bagaimana perbandingan metodologi

knowledge management secara teori dan praktek? Bagaimana perancangan knowledge

management system yang sebaiknya diterapkan di bagian Diklat PT Dirgantara Indonesia

yang mencakup pemilihan infrastruktur teknologi, penerapan model SECI, rancangan

implementasi KMS, portal intranet, pengelolaan implementasi (perubahan, budaya, dan

reward), dan instrumen evaluasi KMS? Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk

mendapatkan perbandingan metodologi knowledge management secara teori dan praktek dan

untuk mendapatkan rancangan knowledge management system yang sebaiknya diterapkan di

bagian Diklat PT Dirgantara Indonesia yang mencakup pemilihan infrastruktur teknologi,

penerapan model SECI, rancangan implementasi KMS, portal intranet, pengelolaan

implementasi (perubahan, budaya, dan reward), dan instrumen evaluasi KMS.

Page 39: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

199

II. Kajian Pustaka

Tiwana (2000) mendefinisikan knowledge management sebagai pengelolaan knowledge

perusahaan dalam menciptakan nilai bisnis (business value) dan menghasilkan keunggulan

kompetitif yang berkesinambungan (sustainable competitive advantage) dengan

mengoptimalkan proses penciptaan, pengomunikasian, dan pengaplikasian semua knowledge

yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan bisnis. Davidson dan Voss (2002)

mendefinisikan knowledge management sebagai sistem yang memungkinkan perusahaan

menyerap pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas para stafnya untuk perbaikan kinerja

perusahaan. Sementara menurut Karl-Erick Sveiby (1998) knowledge management adalah

seni penciptaan nilai dari intangible asset.

Menurut Paul L. Tobing (2007), knowledge management system adalah mekanisme dan

proses yang terpadu dalam penyimpanan, pemeliharaan, pengorganisasian informasi bisnis

dan pekerjaan yang berhubungan dengan penciptaan berbagai informasi menjadi aset

intelektual organisasi yang permanen.

Michel Polanyi (1966) membedakan pengetahuan dalam dua bentuk yaitu tacit dan explicit

knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang masih berada dalam otak atau pikiran

manusia/individu yang tersimpan dalam pengalaman individu dan faktor-faktor tak berwujud,

seperti kepercayaan pribadi, perspektif, dan sistem nilai. Tacit knowledge sulit untuk

diartikulasikan dengan bahasa formal. Isinya mencakup pemahaman pribadi, intuisi, dan

firasat. Sebelum dikomunikasikan, tacit knowledge harus diubah dalam bentuk kata-kata,

model, atau angka-angka yang dapat dipahami. Explicit knowledge atau terkadang disebut

pengetahuan formal adalah pengetahuan yang dapat diartikulasikan dan telah dikodifikasikan

sehingga bisa disampaikan dalam bahasa, juga termasuk nomor dan kata, tanda matematika,

spesifikasi, manual, dal lainnya. Pengetahuan eksplisit juga siap disebar pada yang lainnya.

Selain itu pengetahuan eksplisit bisa dengan mudah diproses oleh komputer, alat elektronik,

atau basis data penyimpanan.

Nonaka dan Takeuchi (The Knowledge Creating Company, 1995 : 63-69) lebih lanjut

mendiskusikan empat gaya konversi atau ciptaan pengetahuan yang diperoleh dari kedua

macam pengetahuan. Keempat gaya konversi ini disebut model SECI (S:Sosialization,

E:Externalization, C: Combination, ,dan I:Internalization). Model pertama diberi nama oleh

Nonaka dan Takeuchi (1995) dengan istilah sosialisasi. Sosialisasi meliputi kegiatan berbagi

pengetahuan tacit antar individu. Model kedua adalah eksternalisasi. Eksternalisasi

membutuhkan penyajian pengetahuan tacit ke dalam bentuk yang lebih umum sehingga dapat

dipahami oleh orang lain. Model yang ketiga, kombinasi meliputi konversi pengetahuan

eksplisit ke dalam bentuk himpunan pengetahuan eksplisit yang lebih kompleks. Model

terakhir, internalisasi pengetahuan baru merupakan konversi dari pengetahuan eksplisit ke

dalam pengetahuan tacit organisasi.

Hansen dan kawan-kawan (1999) mengemukakan bahwa ada dua jenis strategi knowledge

management, yakni strategi kodifikasi dan personalisasi. Strategi kodifikasi adalah salah satu

strategi KM yang menitikberatkan perhatian sistem knowledge management organisasi

terhadap pengelolaan explicit knowledge, termasuk di dalamnya penggunaan database

pengetahuan yang tersimpan dalam storage komputer/server. Strategi personalisasi adalah

strategi KM yang meniktikberatkan sistem knowledge management organisasi terhadap

Page 40: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

200

konektivitas antar individu. Strategi ini biasanya dipakai pada organisasi yang memerlukan

penggunaan tacit knowledge yang tinggi di dalam suatu organisasi.

III.Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT Dirgantara Indonesia bagian Diklat , yang terdiri dari 12

karyawan , sebagai populasi. Untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode

penelitian deskriptif kualitatif untuk melakukan prosedur penyusunan rancangan knowledge

management system, yang mengacu pada metodologi 10-step Knowledge Management

Roadmap sebagai berikut :

Sumber : Amrit Tiwana (2000 : 101)

Page 41: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

201

Sedangkan untuk mengetahui strategi penerapan manajemen pengetahuan yang dilakukan PT

Dirgantara , digunakan metode uji beda antara strategi personalisasi dan strategi kodifikasi.

IV.Hasil dan Pembahasan

Berikut adalah langkah-langkah metodologi 10 step roadmap yang dilaksanakan PT

Dirgantara Indonesia Bagian Diklat.

Langkah 1 : Analisis Infrastruktur

Keadaan infrastruktur Diklat :

• Telah memiliki jaringan LAN dan dimanfaatkan untuk keperluan internet (128 Kbps)

dan intranet (100 Mbps)

• Topologi jaringan LAN : star dan peer to peer

• Hardware yang dimiliki : 5 komputer di ruangan kelas, 12 komputer utk masing-

masing karyawan, 2 laptop, 7 printer, dan 5 unit telepon

• Software yang dimiliki : OS, Ms. Office, Visual Basic, PHP, MySql, Camtasia,

CATIA, Adobe Acrobat, Browser

• Keperluan intranet menggunakan Ms. Outlook dengan email add masing-masing yang

telah diberikan perusahaan

• Keperluan internet menggunakan 2 user id yang digunakan secara bergantian

• Secara keseluruhan para karyawan sudah merasa cukup dengan infrastruktur yang ada

tetapi masih merasa kurang pada memory komputer terutama untuk keperluan

explorasi database dan penggunaan CATIA Advance.

Gambar 1 Topologi jaringan LAN di Diklat

Sumber : Data primer yang diolah, 2010

Page 42: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

202

Langkah 2 Mengintegrasikan Knowledge Management Dengan Strategi Bisnis

Tabel 2 Analisis SWOT

Strength (S) Weakness (W)

1. Diklat memiliki trainer

yang semuanya telah

bersertifikat TOT

2. Trainer adalah para ahli di

bidangnya dengan

pengalaman yang lebih

dari 20 tahun sebagai

trainer

3. Menjadi tumpuan

pelaksanaan training (efek

regulasi) untuk seluruh

unit di perusahaan

4. Memiliki fasilitas kelas,

bengkel dan laboratorium

lengkap

5. Trainer multi tasking baik

secara struktural maupun

bidang pengajaran

1. Diklat hanya memiliki

sedikit karyawan yaitu 12

orang

2. Hampir semua karyawan

Diklat mendekati masa

pensiun

3. Tidak jelasnya batas

waktu policy tentang

regenerasi

4. Kurang adanya dukungan

keuangan dari perusahaan

5. Operasional kurang

leluasa karena birokrasi

yang cukup panjang

Opportunity (O) Threat (T)

1. Hubungan yang harmonis

dengan seluruh unit

2. Masih sangat sedikitnya

sekolah/pendidikan

industri penerbangan

3. Beberapa airliner dan

bandara sudah melakukan

lobi untuk melakukan

kerjasama dalam

pemenuhan kebutuhan

tenaga mekanik pesawat

terbang berlisensi

1. Adanya kebijakan zero

recruitment pada bagian

non produksi

2. Kebijakan dukungan

pemerintah yang masih

belum jelas, karena

eksistensi sebuah industry

pesawat terbang sangat

tergantung pada campur

tangan pemerintah

(industry strategis perlu

dukungan dan biaya yang

besar)

Sumber : Data primer yang diolah, 2010

Dengan memperhatikan kekuatan (S), kelemahan (W), peluang (O), dan ancaman (T), maka

strategi yang dapat dilakukan Diklat PT DI adalah :

1. Analisis kekuatan (S) dan peluang (O) :

mengembangkan Diklat sebagai training center pencetak tenaga mekanik

pesawat terbang yang berlicense

Page 43: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

203

2. Analisis kekuatan (S) dan ancaman (T) :

Meningkatkan pembelajaran para trainer dengan penyediaan sumber-sumber

atau tools pembelajaran

Mengadakan forum-forum untuk mengevaluasi metode pelatihan yang ada

agar kualitasnya bisa meningkat dan tetap hemat biaya

3. Analisis kelemahan (W) dan peluang (O) :

Mengadakan kerja sama dengan pihak eksternal untuk menyelenggarakan

sekolah/training center

Memanfaatkan hubungan yang harmonis dengan seluruh unit untuk

melancarkan kegiatan operasional

4. Analisis kelemahan (W) dan ancaman (T) :

Memaksimalkan potensi karyawan yang ada dengan melakukan training dan

pemberian insentif

Melakukan kodifikasi pengetahuan untuk meminimalisir pengetahuan yang

keluar

Setelah mengolah hasil kuesioner strategi bisnis dengan uji beda independen/bebas hasilnya

adalah sebagai berikut :

Tabel 3 Hasil uji beda strategi bisnis

Group Statistics

Strategi

Bisnis N Mean

Std.

Deviation

Std. Error

Mean

Total Kodifikasi 12 24.5833 3.20393 .92489

personalisasi 12 32.0833 4.88892 1.41131

Sumber : Data primer yang diolah, 2010

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa fokus pengembangan KMS di bagian Diklat adalah

personalisasi yaitu lebih fokus pada pertukaran pengetahuan tacit antarkaryawan.

Berdasarkan hasil kuesioner, knowledge gap yang ada di bagian Diklat adalah

, pengetahuan yang perlu ditindaklanjuti karena memiliki knowledge gap tinggi, yaitu >1

adalah :

- Career analysis method

- Bahasa inggris

- Cara pembuatan satuan pelajaran

- Analisis sistem

- Administrasi umum

Langkah 3 : Merancang Infrastruktur KM

Untuk mendukung penerapan Knowledge Management di bagian Diklat perlu dilakukan

bebrapa pengembangan diantaranya :

Topologi yang digunakan diubah dari peer to peer menjadi client and server

Penyediaan satu buah komputer server dengan spesifikasi :

Intel® Core™2 Duo Processor E7500 (3M Cache, 2.93 GHz, 1066 MHz FSB), HDD

2x 72GB, Gigabyte G31M-ES2C, dan Kingston 2GB PC6400 DDR2 (Spesifikasi

komputer server harus lebih tinggi dari spesifikasi komputer client)

Page 44: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

204

Penambahan RAM dan HD pada komputer client menjadi

Kingston 1GB PC6400 DDR2 dan HDD 2x 80GB

Software Linux/Windows Server 2003/2008

Software XAMPP dan MOODLE

Langkah 4 : Memeriksa dan Menganalisis Pengetahuan

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwan kondisi dokumen dan pengetahuan di bagian

Diklat adalah sebagai berikut :

• Pengetahuan karyawan sebagian besar berupa tacit knowledge

• Hardcopy dokumen-dokumen yang ada sulit ditemukan dan disimpan karena tidak

terklasifikasi sehingga terkadang kerja para karyawan tidak efisien

• Dokumen masih belum dikelola dengan baik sehingga sering terjadi duplikasi hasil

pekerjaan

• Bagian Diklat memiliki “bank data” tetapi data yang ada tidak update (banyak data-

data dan knowledge yang terdokumentasi pada masing-masing individu)

• Belum ada mekanisme untuk saling berbagi informasi dan knowledge

• Tidak adanya sistem penghargaan/reward

Langkah 5 : Mendesian tim KM

Dalam penelitian kali ini, karena objek penelitiannya adalah bagian dari perusahaan maka

yang dirancang bukanlah tim/divisi Knowledge Management tetapi dalam penerapannya di

Diklat hanya membutuhkan seorang administrator yang fungsinya sebagai berikut :

Melakukan perancangan sistem dokumentasi dan implementasinya

Menjamin beroperasinya portal intranet

Mengatur hak akses setiap individu dalam portal

Mengelola administrasi sistem

Mengelola konten yang akan diupload ke portal

Melakukan evaluasi rutin atas implementasi Knowledge Management

Menjalankan program knowledge sharing melalui forum tatap muka yang bervariasi

Menyediakan fasilitator untuk setiap forum

Langkah 6 : Membuat cetak biru KM

Penerapan model SECI bagian diklat adalah :

Page 45: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

205

Gambar 2 Penerapan model SECI di Diklat

Socialization

- Knowledge Sharing

- Mempelajari

pengetahuan/ketrampilan baru

dan mempraktekan langsunng

- Rapat formal secara berkala

- Evaluasi kerja

- Diskusi informal

Externalization

- Dokumentasi hasil rapat

- Dokumentasi bahan mengajar

- Penyimpanan bahan mengajar

dalam database diklat

Internalization

- Pelatihan untuk karyawan diklat

- Buletin/surat edaran dari

perusahaan

- Papan pengumuman di bagian

diklat

Combination

- Penggunaan fasilitas internet

dan intranet

- Diskusi masalah atau hal terkait

pekerjaan melalui milis

Sumber : data primer yang diolah, 2010

Langkah 7 : Mengembangkan sistem KM

Untuk menerapkan KMS maka perlu dibuat forum online berupa portal intranet dan forum

offline berupa forum knowledge sharing secara formal dan berkala. Bentuk forum offline

dapat berupa evaluasi pelatihan yang ada dan knowledge sharing materi-materi pelatihan.

Portal online yang dibuat menggunakan software MOODLE.

C

E

I

S

Page 46: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

206

Gambar 3 user interface portal online

Sumber : Data primer yang diolah, 2010

Langkah 8 : Rencana Implementasi KMS

Dalam implementasinya, seperti yang telah dipaparkan peneliti, tahapan yang harus

dilakukan adalah:

1. Mengembangkan infrastruktur yang ada dengan menambahkan komputer server,

mengubah topologi yang ada dan menambah software server dan MOODLE

2. Mengangkat seorang administrator yang berasal dari bagian Diklat sendiri yaitu

orang yang selama ini bertanggung jawab atas pengelolaan IT.

3. Mengimplementasikan KMS yang berupa portal intranet yang telah dibuat oleh

peneliti

4. Menjalankan forum tatap muka secara reguler satu bulan sekali

Forum tatap muka yang dapat dilakukan :

- evaluasi metode mengajar

- evaluasi pelatihan yang ada

- knowledge sharing materi-materi baru yang dapat ditambahkan

- knowledge sharing mengenai buku-buku, ilmu-ilmu baru yang relevan dengan

pekerjaan

5. Mengimplementasikan model penerapan SECI yang telah dibuat oleh peneliti

6. Melakukan evaluasi atas penerapan knowledge management yang ada

Langkah 9 : Rencana Pengelolaan Perubahan, Budaya Dan Reward

Tabel 7 Pengelolaan Perubahan

Kondisi saat ini Perubahan yang perlu dilakukan

Jarang melakukan rapat Melakukan rapat secara rutin

Belum ada mekanisme

knowledge sharing

Melakukan knowledge sharing baik

secara formal dan informal lewat

forum tatap muka dan forum online

Pengetahuan sebagian besar

berupa tacit knowledge

Melakukan dokumentasi data

Page 47: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

207

Hardcopy yang ada sulit

ditemukan

Melakukan pengklasifikasian data

Data terdokumentasi pada

masing-masing individu

Menyerahkan data-data untuk

didokumentasikan pada “bank data”

Tidak adanya sitem reward Menerapkan KMS berbasis reward

Dokumentasi rapat hanya

pada beberapa individu

Melakukan dokumentasi notulen

rapat pada portal

Karyawan sudah tidak

pernah mengupdate “bank

data”

Melakukan update data pada “bank

data”

Tidak menggunakan portal

intranet

Membiasakan penggunaan portal

intranet untuk pekerjaan sehari-hari

Sumber : Data primer yang diolah, 2010

Dalam rangka mendorong terbentuknya budaya knowledge sharing tersebut, bagian Diklat

harus memenuhi berbagai persyaratan organisasional atau kultural berikut:

Adanya komitmen dari manajemen melalui kebijakan, anjuran dan memberi teladan

(contoh) knowledge sharing dalam berbagai kesempatan. Keteladanan dapat

dilakukan melalui pembuktian bahwa dengan saling berbagi pengetahuan dan

pengalaman, semua masalah dapat dipecahkan secara lebih mudah, efisien dan cepat.

Kepemimpinan dalam KM adalah secara terus menerus dan konsisten memberi

inspirasi kepada karyawan tentang aktivitas dan manfaat KM secara nyata bagi semua

elemen organisasi. Pemimpin harus menciptakan iklim bahwa seorang karyawan tidak

lagi merasa sendirian dalam memecahkan masalah apapun dalam pekerjaan.

Budaya perusahaan yang memberikan iklim kepercayaan dan keterbukaan

Adanya kemauan dari pemimpin divisi untuk mempromosikan knowledge sharing dan

kolaborasi

Divisi menghargai knowledge, pembelajaran, dan inovasi

Memiliki struktur informal yang fleksibel

Membangun kepercayaan antar karyawan

Dalam penerapannya, di bagian Diklat belum ada penilaian kerja dan tindaklanjutnya seperti

reward ataupun insentif.

Rancangan bentuk reward yang dapat diterapkan adalah :

• Forum tatap muka

Setiap kontribusi yang dapat dijadikan perbaikan dan tambahan serta sebagaibahan

pengambilan keputusan akan mendapat reward 5% gaji tetap

• Forum online

Tabel 8 Rancangan reward KMS

Bentuk

kontribusi

Frekuensi Reward

Akses ke

portal

> 30x/bulan 1% gaji tetap

Menyimpan,

updating

materi dalam

database

Minimal tiap

adanya

pelatihan

3% gaji tetap

Page 48: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

208

Knowledge

sharing

> 5x /bulan 5% gaji tetap

Interaksi di

forum

>10x/bulan 4% gaji tetap

Kontribusi

terbaik

Diberikan

training/seminar

sesuai bidangnya

Sumber : Data primer yang diolah, 2010

Langkah 10 : Membuat instrumen evaluasi KMS

Untuk membuat instrumen evaluasi Knowledge Management System, peneliti mengacu pada

pendekatan indikator dari Department of The Navy (DON) Amerika Serikat.

Tabel 9 Indikator performansi KM DON

Inisiatif KM Indikator Sistem Indikator

Output

Indikator Outcome

Special Interest

Group

• Jumlah Kontribusi

• Frekuensi Update

• Jumlah Anggota

• Rasio jumlah

kontributor dengan

jumlah anggota

• Jumlah

masalah

yang

diselesaikan

• Peningkatan

mutu dan

efisiensi

• Pengetahuan

yang di

capture

Direktori

Expertis

• Jumlah akses ke

situs

• Frekuensi

penggunaan

• Jumlah kontribusi

• waktu

penyelesaian

masalah

• waktu untuk

mencari

expert

• peningkatan

mutu dan

efisiensi

• waktu dan

uang yang

dihemat

melalui

pemanfaatan

knowledge

expert

Sistem

Kolaborasi

• Jumlah Pengguna

• Jumlah Paten

yang dihasilkan

• Jumlah artikel dan

presentasi yang

dihasilkan

• Jumlah

proyek

• Jumlah

produk baru

• Rata-rata

learning

curve

• Pengurangan

jumlah delay

• Waktu

tanggap yang

lebih cepat

terhadap

proposal

• Pengurangan

learning curve

bagi karyawan

baru

Sumber : metric guide for KM Intitiatives DON, 2005

Page 49: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

209

a. Evaluasi forum online

Tabel 10 Form evaluasi forum online

No. Nama Karyawan Waktu

akses

Informasi/bentuk

kontribusi

Jumlah

Kontribusi

Sumber : Data primer yang diolah, 2010

Selain itu MOODLE dalam fiturnya jg terdapat menu reports yang dapat menunjukkan

aktivitas pengguna pada web. Berikut contoh laporannya :

Gambar 4 Fitur report di MOODLE

Page 50: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

210

Gambar 5 Live Log MOODLE

b. Evaluasi forum offline

Tabel 11 Form evaluasi forum offline

No. Nama Karyawan kehadiran Informasi Jumlah

Kontribusi

Rencana pengukuran ROI KMS di bagian Diklat :

Tabel 12 Rencana pengukuran ROI KMS

No. Deskripsi Jumlah Unit

Cost

1 Biaya Pengembangan

a. Perangkat Lunak dan Keras yang

Baru

1. Pengembangan Hardware

Server

2. Server Operating System

3. Pengembangan Hardware

Client

1 unit

1 unit

1 paket

12 unit

b. Biaya Lain

Page 51: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

211

1. Pelatihan bagi operator dan

manajemen

2. Maintanance perangkat dan

jaringan

Benefit

1. Peningkatan produktivitas karyawan

2. Efisiensi biaya training

3. Lebih sedikit kesalahan yang terjadi

4. Efisiensi biaya operasional

5. Efisiensi waktu karyawan menjadi

level produktif setelah pelatihan

Benefit yang disebutkan pada tabel di atas bisa terjadi karena dengan penerapan knowledge

management system para karyawan diberi fasilitas lengkap untuk mendapatkan ilmu dan

pembelajaran sehingga kualitas dan produktivitas pekerjaannya akan meningkat. Dengan

demikian biaya training dan operasional akan bisa semakin ditekan. Kemudian, adanya

dokumentasi data dengan klasifikasi data yang baik akan menurunkan tingkat kesalahan yang

dilakukan karyawan. Selain itu, dengan metode konversi pengetahuan yang tepat akan

memperpendek kurva belajar para karyawan sehingga waktu karyawan menjadi level

produktif akan menjadi semakin cepat pula.

VI.Kesimpulan Dan Saran

4.1.Kesimpulan

metodologi knowledge management pada dasarnya terdiri dari menyelaraskan strategi

KM dan strategi perusahaan, merancang infrastruktur, merancang tim atau struktur,

implementasi yang harus terdapat portal intranet yang mengacu pada seven layers,

dan terakhir evaluasi penerapan KM yang menyeluruh.

Strategi bisnis bagian Diklat adalah strategi personalisasi yaitu lebih fokus pada

pertukaran pengetahuan tacit antarkaryawan.

Pengetahuan yang perlu ditindak lanjuti karena memiliki knowledge gap yang

besar adalah career analysis method, bahasa inggris, cara pembuatan SAP , dan

analisis sistem.

Perlu dilakukan pengembangan infrastruktur yaitu pengubahan topologi LAN dari

peer to peer menjadi client and srever, penyediaan komputer server, penambahan

RAM dan HD pada komputer client, dan penggunaan software windows server,

xampp, dan MOODLE

Kondisi pengetahuan yang ada di bagian Diklat adalah sebagian besar berupa tacit

knowledge dan pengelolaan dokumen kurang baik sehingga kerja karyawan kurang

efektif dan efisien

Kebutuhan karyawan tehadap IT tinggi terlihat dari nilai kumulatif jawaban

responden mengenai perlunya penambahan beberapa tools IT untuk mendukung

pekerjaan sebesar 531 dari 662 yang berarti berada dalam interval kategori setuju.

Skill karyawan terhadap teknologi tinggi terlihat dari nilai kumulatif jawaban

responden mengenai pemahaman menggunakan teknologi sebesar 455 dari 600

yang berarti berada dalam interval kategori setuju.

Penerapan KMS dilakukan dengan melaksanakan forum online berupa portal

intranet dan forum offline berupa forum formal secara berkala

Page 52: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

212

4.2.Saran

Strategi bisnis Diklat adalah strategi personalisasi maka lebih dibutuhkan berbagai

forum tatap muka yang sebagai media knowledge sharing dan knowledge creation.

Perlu dilakukannya pelatihan untuk menangani pengetahuan yang memiliki

knowledge gap yaitu career analysis method, bahasa inggris, cara pembuatan SAP ,

dan analisis sistem agar gap tersebut dapat hilang

Melakukan implementasi KMS secara menyeluruh

Mendeklarasikan peran dan value yang ditawarkan kepada perusahaan. Hal ini

penting di samping untuk meyakinkan manajemen dan anggota organisasi lainnya

akan perlunya implementasi KM.

Adanya dukungan atasan dan budaya yang kondusif untuk menciptakan adanya

knowledge sharing yang efektif

Page 53: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

213

V.Daftar Pustaka

Burk, M. 1999. Knowledge Management : Everyone Benefit by Sharing Information. Public

roads Vol 63 No. 3.

Davidson, Carl & Philip Voss. 2002. Knowledge Management : An Introducing to Creating

Competitive Advantage From Intelectual Capital. New Zealand : Tandem Press.

Hansen et al. 1999. What’s your strategy for managing knowledge? Harvard Business

Review, March–April, pp. 106–115.

Nonaka, Ikoujiro and Hirotaka Takeuchi. 1995. The Knowldedge Creating Company – How

Japanese Create The Dynamics of Innovation . New York : Oxford University Press.

Paul L. Tobing. 2007. Knowledge Management : Konsep, Arsitektur, dan Implementasi.

Yogyakarta : Graha Ilmu.

Ross, MV dan Schulte, WD. 2005. Knowledge management in a Millitary Enterprise.

Elsevier Inc.

Sveiby, K.E. 1998. Measuring Intangible and Intellectual Capital.

www.sveiby.com/article/MeasuringIntangibleandIntellectualCapital

Tiwana, Amrit. 2000. The Knowledge Management Toolkit : Practical Techniques for

Building A Knowledge Management System. New Jersey : Prentice Hall.

Page 54: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

214

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY:

ANALISIS VARIABEL ANTESEDEN DAN KONSEKUENSI

Masmira Kurniawati

Sri Hartini

Lilik Rudianto

Departemen manajemen FEB Universitas Airlangga

Email : [email protected]

ABSTRACT

This study is exploratory in nature and tries to explain buying consumer behavior of

environmental friendly product. Specifically, this study focuses on the antecedents and

consequences of corporate social responsibility (CSR) strategy and its impact on marketing

outcome using qualitative method. Information on identification of consumer’s buying

decision process of green marketing products, types of CSR, and marketing outcomes based

on customer’s perspectives are gathered through in-depth interview.

Nine propositions in relation to the antecedents and consequences of corporate social

responsibility strategy from customer perspectives proposed from this study are: (1)

consumer perception of CSR activity objectives influences consumer evaluation on CSR

activity; (2) consumer evaluation on CSR activity influences consumer buying decision; (3)

CSR activity influences customer value; (4) CSR activity creates consumer skepticism

toward company; (5) product-related CSR activity which directly impact on consumer will

increase consumer attitude toward product; (6) CSR activity influences consumer perception

on company’s and product’s image and increase company as well as brand reputation; (7)

consumer judgment on CSR activity influences consumer loyalty; (8) consumer

characteristics strengthen the impact of CSR toward consumer buying decision; (9) consumer

culture of collectivism influences their attitude toward CSR activity and buying decision of

environmental friendly product.

Keywords: corporate social responsibility, green marketing, marketing outcome, qualitative

method

PENDAHULUAN

Pada pasar global seperti sekarang ini persaingan antar perusahaan semakin tinggi.

Para pemasar harus mempertimbangkan peran yang semakin luas, antara lain tanggung jawab

etis dan lingkungan. Dengan kata lain masyarakat menuntut dunia bisnis tidak hanya

memikirkan keuntungan perusahaannya, namun harus memperhatikan pihak-pihak lain di

sekitarnya. Corporate social responsibility (CSR) yang ada di perusahaan sangat beragam,

seperti green product, philanthropy dan cause-related Marketing.

Banyak teori yang menyatakan bahwa strategi perusahaan, termasuk strategi CSR,

bertujuan untuk meningkatkan marketing outcome yakni respon positif konsumen, baik

kognitif, afektif maupun konatif seperti loyalitas, word of mouth, dan pembelian ulang

(Kotler & Keller, 2012). Banyak studi empiris yang mendukung teori tersebut, antara lain

Rahim et al. (2011) membuktikan bahwa philanthropic responsibility akan berpengaruh pada

perilaku konsumen dan Ali & Israr (2012) membuktikan bahwa organization green image

berpengaruh signifikan terhadap niat pembelian konsumen. Namun banyak pula studi empiris

Page 55: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

215

yang tidak sejalan dengan teori tersebut (Ali et al., 2010; Becker-Olsen et al., 2006). Ide

penelitian ini didasarkan adanya theoritical gap pada hubungan kausal antara corporate

social responsibility terhadap marketing outcome perusahaan. Penelitian ini dimaksudkan

untuk menjembatani theoritical gap tersebut. Adapun temuan yang ditargetkan dalam

penelitian ini adalah kejelasan teori mengenai corporate social responsibility, baik kejelasan

mengenai variabel anteseden maupun variabel konsekuensi dari strategi tersebut. Untuk

menjelaskan teori corporate social responsibility digunakan pendekatan kualitatif untuk

menggali/mengeksplorasi variabel-variabel anteseden dan konsekuensi.

LANDASAN TEORI

Green Marketing

Menurut American Marketing Asociation (AMA) green marketing merupakan strategi

pemasaran suatu produk yang diasumsikan sebagai produk ramah lingkungan, pengembangan

produk yang didesain untuk meminimalisasi dampak negatif pada lingkungan alam, dan

meningkatkan kualitasnya. Green marketing merupakan usaha perusahaan dalam

memproduksi, mempromosikan, dan mengemas produk dengan cara yang sensitif atau

responsif pada masalah lingkungan.

Strategi green marketing meliputi: 1) menawarkan produk yang etis; 2) memproduksi

produk yang tidak hanya bertujuan komersil, tapi juga memenuhi kebutuhan konsumen; 3)

berkomunikasi dengan jujur dan menyampaikan pesan yang bertanggung jawab; 4)

mengembangkan transportasi dan sistem logistik yang tidak menyebabkan polusi serta ramah

lingkungan; 5) melakukan advertising dengan jelas dan benar; dan 6) memahami kebutuhan

konsumen dan stakeholder di masa depan. Implementasi green marketing melibatkan banyak

faktor seperti ecological, political, humanitarian, equality, sustainability, eco-conscious

consumers, conservation, fair trade, dan CSR (corporate social responsibility) (Ashok, 2004)

Corporate Social Responsibility

Terdapat konsep pemasaran baru terkait perhatian pada lingkungan yang dikenal

dengan Holistic marketing. Holistic marketing didasarkan pada pengembangan, desain, dan

implementasi program pemasaran, proses, dan segala aktivitas yang menunjukkan keluasan

dan saling ketergantungan di antaranya (Kotler & Keller, 2012). CSR (Corporate Social

Responsibility) merupakan salah satu bentuk aplikasi dari holistic marketing. Di Indonesia,

CSR dinyatakan dalam UU Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007. Pasal 74 ayat 1 undang-

undang tersebut menyatakan bahwa “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di

bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab

sosial dan lingkungan. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang penanaman Modal

pasal 15 (b) juga menyatakan bahwa “setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan

tanggung jawab sosial perusahaan.”

CSR merupakan bentuk perhatian dari kalangan pebisnis untuk berbagi kepada pihak

luar yang membutuhkan. Terdapat beberapa cara untuk mengimplementasikan inisiatif CSR

seperti cause-related marketing, phylanthropy, atau green product. CSR dapat menurunkan

sikap skeptis konsumen terhadap perusahaan dan meningkatkan sikap positif dan pada

akhirnya dapat mempengaruhi niat membeli (Szykman et al., 1997).

CSR sebagai strategi perusahaan tentu diharapkan akan membawa dampak positif

pada pemasaran (marketing outcome). Green & Peloza (2011) menunjukkan bahwa CSR

berpengaruh terhadap loyalitas. Penelitian yang dilakukan di negara-negara maju seperti di

Amerika Serikat maupun Eropa menemukan bahwa perusahaan yang melaksanakan tanggung

jawab sosialnya berhasil membuat pelanggan mereka menjadi loyal.

Page 56: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

216

Berkaitan dengan perilaku pembelian konsumen, ada beberapa faktor yang

mempengaruhi konsumen dalam membeli suatu produk, antara lain faktor eksternal dan

faktor internal konsumen ataupun strategi pemasaran perusahaan (Schifman & Kanuk, 2007;

Kotler & Keller, 2012). Faktor eksternal konsumen antara lain meliputi budaya, kelompok

referensi, dan strategi pemasaran perusahaan. Faktor internal konsumen antara lain meliputi

persepsi, proses pembelajaran, dan sikap konsumen. Pemahaman mengenai tahapan

keputusan yang dilalui konsumen ini penting dalam penyusunan strategi pemasaran termasuk

strategy corporate social responsibility.

Terdapat beberapa bentuk program CSR yang dapat diimplementasikan oleh

perusahaan seperti cause promotion, cause-related marketing (CRM), corporate social

marketing, corporate philanthropy, corporate volunteering dan socially responsible business

(Kotler & Nancy, 2005). Pada cause promotion, perusahaan menggunakan isu tertentu untuk

mendapatkan atau meningkatkan perhatian (awareness) dari konsumen. Isu yang digunakan

oleh perusahaan tidak harus sesuai dengan bidang bisnis yang dilakukan oleh perusahaan,

disini perusahaan berusaha mengajak konsumen (masyarakat) untuk meluangkan waktu atau

dana mereka untuk membantu suatu permasalahan yang terjadi.

Dalam CRM, perusahaan akan mengajak konsumen (masyarakat) untuk

menggunakan atau membeli produk dari perusahaan, yang nantinya sebagian dari keuntungan

hasil penjualan produk tersebut akan disumbangkan pada instansi tertentu atau untuk

mengatasi dan mencegah suatu masalah tertentu di masyarakat. Corporate social marketing

merupakan kegiatan dimana perusahaan berusaha untuk merubah kebiasaan-kebiasaan di

masyarakat (yang kurang baik) dalam suatu isu tertentu, misalnya isu kesehatan seperti

bahaya kanker akibat kebiasaan-kebiasaan tidak sehat (merokok, dsb.), atau isu di bidang

lingkungan hidup dan juga di bidang sosial dan kemanusiaan. Pada program CSR yang

berbentuk corporate philanthropy ini, perusahaan memberikan sejumlah bantuan dalam

bentuk dana, jasa atau barang pada pihak-pihak lain yang membutuhkan, baik itu perorangan,

lembaga atau organisasi tertentu. Pada community volunteering, perusahaan berusaha

mengajak segala elemen di dalam perusahaan (karyawan) untuk turut serta berpartisipasi

pada kegiatan corporate social responsibility yang sedang dijalankan oleh perusahaan. Dalam

socially responsible business, perusahaan melakukan perbaikan dalam sistem kerja maupun

supply chain miliknya dengan tujuan mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat dan

lingkungan.

Program CSR sudah mulai bermunculan di Indonesia seiring telah disahkannya

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Adapun isi undang-undang tersebut yang

berkaitan dengan CSR, yaitu: Pada pasal 74 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,

berbunyi: 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; 2)

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang

pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; 3) Perseroan

yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada pasal 25 (b)

Undang–Undang Penanaman Modal menyatakan kepada setiap penanam modal wajib

melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dari kedua pasal diatas dapat kita lihat

bagaimana pemerintah Indonesia berusaha untuk mengatur kewajiban pelaksanaan CSR oleh

perusahaan atau penanam modal

Page 57: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

217

Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan

keberlanjutan (sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost

centre) melainkan sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre). Program CSR

merupakan komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya pembangunan

berkelanjutan (sustainable development). Di sisi lain masyarakat mempertanyakan apakah

perusahaan yang berorientasi pada usaha memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis

memiliki komitmen moral untuk mendistribusi keuntungan-keuntungannya membangun

masyarakat lokal, karena seiring waktu masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk

menyediakan barang dan jasa yang diperlukan, namun juga menuntut untuk bertanggung

jawab sosial.

Penerapan program CSR juga merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep

tata kelola perusahaan yang baik (good coporate governance). Diperlukan tata kelola

perusahaan yang baik agar perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk

dengan mengatur hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) yang

dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi

korporasi dan memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.

Keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan program-program CSR secara

berkelanjutan pada dasarnya merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi

program-program CSR akan menimbulkan efek lingkaran emas yang akan dinikmati oleh

perusahaan dan seluruh stakeholder-nya. Melalui CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial

ekonomi masyarakat lokal maupun masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada

gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta

pemasaran hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan

alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan

baku produksi yang diambil dari alam.

Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau

meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas,

altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar

terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat

meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam

proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan

kejahatan.

Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui

pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-

aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan

sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara

keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif,

maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat

ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi

perusahaan untuk memupuk modal sosial.

Perilaku Pembelian Konsumen

Banyak tahapan yang dilalui konsumen dalam keputusan pembelian yaitu tahap

pengenalan masalah, mengumpulkan informasi, mengevaluasi alternatif, memilih alternatif

dan yang terakhir post consumption (Kotler & Keller, 2012). Post consumption ini penting

bagi manajer karena terkait dengan respon konsumen untuk pembelian ulang produk yang

ditawarkan. Perusahaan harus memahami tahapan keputusan pembelian tersebut. Tahapan

Page 58: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

218

pembelian tersebut tidak baku untuk setiap proses namun tergantung pada jenis produk yang

akan dibeli maupun banyak tidaknya pertimbangan yang diperlukan dalam proses

pengambilan keputusan pembelian (high involvement/low involvement product).

Tujuan utama pemasar adalah melayani dan memuaskan kebutuhan dan keinginan

konsumen. Oleh karena itu, pemasar perlu bagaimana memahami bagaimana konsumen

berperilaku dalam usaha memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Perilaku konsumen

merupakan serangkaian aktivitas konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk meliputi

proses menyeleksi, membeli dan mempergunakan barang dan jasa sehingga memuaskan

kebutuhan dan hasratnya. Beberapa aktivitas melibatkan mental dan proses emosional,

sebagai tambahan dalam reaksi fisik. Perilaku konsumen berkaitan erat dengan proses

pengambilan keputusan dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang dan jasa untuk

memenuhi kebutuhannya. Perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti

fakotr budaya dan sosial maupun faktor-faktor internal seperti faktor personal dan

psikologis. Secara lebih rinci, yang termasuk dalam dalam faktor-faktor eksternal adalah

faktor sosial budaya, faktor ekonomi, faktor teknologi, faktor politik, dan strategi bauran

pemasaran (marketing mix) yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Sedangkan yang tergolong

faktor internal secara lebih rinci meliputi faktor-faktor dari dalam diri konsumen sendiri

seperti kebutuhan, motivasi, persepsi, sikap, dan kepribadian terhadap suatu jenis produk atau

jasa.

Secara sederhana pengambilan keputusan konsumen terdiri dari tiga komponen

utama, yaitu: input, proses dan output (Shiffman & Kanuk, 2007:443). Input adalah pengaruh

eksternal yang dapat berupa informasi mengenai suatu produk dan pengaruhnya terhadap

nilai, sikap dan perilaku konsumen. Proses menjelaskan bagaimana konsumen membuat

keputusan. Proses tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu pengenalan kebutuhan(need

recognition), pencarian sebelum pembelian (prepurchase search) dan evaluasi alternatif

(evaluation of alternatives). Tahap pengenalan kebutuhan dimulai dengan adanya motif yang

menimbulkan ketegangan dalam diri. Pada tahap pencarian sebelum pembelian, konsumen

merasakan adanya kebutuhan yang harus dipuaskan melalui pembelian produk atau jasa.

Output dari proses pembelian adalah perilaku membeli dan evaluasi setelah pembelian.

Dalam melakukan pembelian ada dua macam, yaitu: trial atau percobaan yakni bila

konsumen membeli produk atau merek untuk pertama kalinya. Bila konsumen mendapat

kepuasan maka, ia cenderung untuk melakukan pembelian ulang. Evaluasi pembelian

berguna untuk mengurangi ketidakpastian konsumen.

Dalam melakukan pembelian, konsumen melewati beberapa tahap, dimulai dengan

adanya masalah, kemudian konsumen mencari informasi, menyeleksi alternatif pemecahan

masalah, kemudian mengambil keputusan. Pada tahap ini konsumen dipengaruhi oleh adanya

motivasi yang merupakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan tindakan dan

merupakan kekuatan yang bersifat internal dan eksternal yang mengarahkan perilaku demi

pencapaian tujuan. Dasar dari motivasi adalah mencari kesenangan, pemenuhan kebutuhan

dasar dan kebutuhan yang lebih tinggi, serta bila kebutuhan telah terpenuhi, konsumen akan

mengurangi atau dapat pula meningkatkan tegangan. Tugas pemasar adalah mengenali

kebutuhan pasar sasaran dan menciptakan stimulus yang akan memberikan motivasi kepada

konsumen agar ia melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan. Setelah konsumen

menyadari adanya masalah, konsumen akan menuju pembelian, untuk itu tahap selanjutnya

dari proses pembelian konsumen adalah mencari alternatif pemecahan masalah. Konsumen

akan mencari informasi baik secara internal maupun eksternal. Para ahli psikologi

menggambarkan proses belajar sebagai proses perubahan pikiran serta perilaku manusia yang

bersifat cenderung permanen yang diakibatkan dari pengalaman yang dialaminya.

Page 59: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

219

Konsumen mendasarkan pilihan yang dipengaruhi oleh sikap yang telah terbentuk,

termasuk di dalamnya adalah sikap terhadap merek-merek yang tersedia dalam membuat

keputusan pembelian. Sikap adalah kecendrungan yang dipelajari dalam menanggapi suatu

obyek secara konsisten, apakah menyukai atau tidak menyukai. Para psikolog dan pemasar

berkeyakinan bahwa sikap konsumen merupakan campuran dari kepercayaan, perasaan dan

kecenderungan terhadap perilaku. Sikap merupakan hasil proses belajar seseorang. Proses

pengolahan informasi akan menimbulkan keinginan untuk membeli walaupun keinginan

tersebut belum tentu harus dilaksanakan. Pemasar menggunakan promosi dan strategi harga

untuk mempengaruhi konsumen agar membeli produk yang ditawarkannya. Manusia selalu

termotivasi untuk berperilaku ke arah pemenuhan kebutuhan dan pemuasan keinginan yang

belum terpenuhi. Rasa puas tersebut dapat dirasakan apabila nilai produk melebihi dari apa

yang diharapkan konsumen. Apabila konsumen merasa puas dari produk yang dikonsumsinya

maka, ia akan melakukan pembelian ulang (repeat purchase). Namun, apabila sebaliknya

apabila produk tersebut tidak memberikan kepuasan maka, ia akan berpaling ke produk lain

yang memberikan kepuasan lebih dari produk sebelumnya.

Menurut Kotler & Keller (2012) konsumen akan menjalani sejumlah proses dalam

pengambilan keputusan. Berikut ini adalah proses–proses pada saat sebelum dan setelah

melakukan pembelian suatu produk, yaitu problem recognition, information source,

alternatives evaluation, purchase decision, post-purchase evaluation.

Problem recognition merupakan sebuah proses dimana konsumen akan membeli

sebuah produk sebagai solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapinya. Konsumen

tidak dapat menentukan produk apa yang akan dibeli, jika tidak ada pengenalan masalah yang

muncul. Information source merupakan sebuah proses lanjutan dari pengenalan masalah

dimana konsumen akan termotivasi untuk mencari informasi dalam menyelesaikan

permasalahan yang sedang dihadapinya. Proses pencarian informasi tersebut dapat berasal

dari dalam memori (internal) maupun berdasarkan pengalaman orang lain (eksternal).

Alternative evaluation merupakan sebuah proses lanjutan dari pencarian informasi, dimana

setelah konsumen tersebut mendapatkan berbagai macam informasi konsumen tersebut akan

mengevaluasi alternatif–alternatif strategis apa saja yang akan dipilih untuk mengatasi

permasalahan yang dihadapinya. Purchase decision merupakan sebuah proses lanjutan dari

evaluasi alternatif dimana konsumen akan membuat keputusan pembelian suatu produk yang

diinginkan. Terkadang konsumen memerlukan waktu yang cukup lama sebelum konsumen

tersebut memutuskan untuk membeli produk yang diinginkan, karena adanya hal-hal yang

masih perlu dipertimbangkan. Post-purchase evaluation merupakan sebuah proses setelah

konsumen membeli suatu produk dimana konsumen akan mengevaluasi apakah produk

tersebut sesuai dengan keinginannya. Didalam proses ini, dapat terjadi kepuasan dan

ketidakpuasan konsumen. Konsumen akan merasa puas jika produk yang telah dibeli sesuai

dengan keinginannya dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan terhadap merek produk

tersebut pada masa yang akan datang. Tetapi sebaliknya, konsumen akan merasa tidak puas

jika barang yang telah dibeli tidak sesuai dengan keinginannya dan hal ini akan menurunkan

permintaan konsumen pada masa yang akan datang.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang bertujuan untuk mengembangkan teori

dengan menjelaskan hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan

kualitatif yakni in-depth interview mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen

Page 60: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

220

dalam pembelian green product, bagaimana proses pembelian konsumen dalam green

product, serta respon konsumen.

Penelitian ini ingin mengeksplorasi dan menginvestigasi perilaku konsumen dengan

menggunakan grounded theory. Grounded theory adalah proses investigasi secara induktif

dimana peneliti merumuskan sebuah teori tentang fenomena dengan mengumpulkan dan

menganalisis data yang relevan secara sistematis. Grounded theory menurut Goulding (2003)

merupakan metode dimana teori didasarkan pada perkataan dan tindakan individual dalam

suatu penelitian, metode ini cocok untuk mempelajari tindakan individu yang memiliki

elemen interaksi dalam tindakannya. Pengembangan teori merupakan tujuan dari peneliti

sesuai dengan relevansi yang muncul dari data. Keuntungan dari penggunaan metode ini

adalah peneliti dapat melihat permasalahan melebihi apa yang terlihat di permukaan,

memungkinkan intrepretasi sebelum mengembangkan konsep terakhir, dan dapat

menunjukkan penjelasan dengan data pendukung. Penelitian bertujuan mengeksplorasi dan

mengidentifikasi bagaimana strategi green marketing yang merupakan salah satu bentuk CSR

yang dilakukan oleh perusahaan akan mempengaruhi proses keputusan pembelian dan respon

konsumen terkait produk yang ramah lingkungan.

Sumber dan Teknik Pengambilan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapat

langsung dari hasil wawancara responden. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian

ini diperoleh dari sumber eksternal seperti media, buku, dan literatur lainya.

Penelitian ini menggunakan non probabilty sampling dengan sumber data dipilih

secara accidental sampling yang mana partisipan dipilih secara kebetulan kepada konsumen

yang menggunakan produk ramah lingkungan atau produk yang diproduksi oleh perusahaan

yang melakukan kegiatan corporate social responsibility yang secara kebetulan ditemui dan

bersedia untuk dijadikan partisipan

In-depth interview pada responden terpilih dipilih sebagai teknik wawancara yang

dipilih. Burns & Bush (2010) menjelaskan bahwa teknik ini merupakan satu rangkaian

penyelidik yang diajukan satu persatu kepada responden dengan pewawancara langsung

untuk mendapatkan ide dari apa yang dipikirkan oleh subyek tentang sesuatu atau kenapa

subyek melakukan suatu hal dengan cara tertentu. Teknik ini dilakukan secara intens

langsung face to face dan mendalam untuk menghasilkan informasi yang berkualitas. Dalam

penelitian ini digunakan semi-structured in-depth interview dalam pengambilan data karena

dengan demikian wawancara dapat dilakukan secara lebih fleksibel dan data yang tidak

tampak bisa diobservasi. Pengambilan data dilakukan terus menerus sampai peneliti

mencapai theoretical saturation, yakni pada saat tidak ada data tambahan yang dapat

ditemukan yang akan ditambahkan kedalam kategori yang dikembangkan dan diuji maka

pengambilan data kemudian dihentikan (Pace, 2003).

Jarratt (1996) menyatakan bahwa keuntungan dari menggunakan teknik semi-

structured in-depth interview antara lain peneliti dapat menyelidiki, menanyakan banyak

pertanyaan tambahan, dan menggali sedalam mungkin subyek sehingga informasi yang

didapat sangat kaya, dalam dan mengandung banyak informasi. Kelemahanya teknik ini

kurang terstruktur sehingga respon yang didapat bisa sangat bermacam macam. Untuk itu

peneliti membutuhkan guideline pertanyaan untuk memfokuskan interview dengan

responden.

Page 61: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

221

Variabel penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah aktivitas corporate social

responsibility, proses keputusan pembelian, dan respon konsumen. Agar tidak terjadi

kesalahpahaman dalam mendefinisikan variabel yang digunakan dalam penelitian ini maka

variabel penelitian tersebut didefinisikan sebagai berikut :

1. Aktivitas Corporate Social Responsibility adalah aktivitas yang dilakukan perusahaan

yang terkait dengan kegiatan kegiatan yang relevan dengan masalah lingkungan sosial

maupun lingkungan alam.

2. Proses Keputusan Pembelian adalah tahapan yang dilalui konsumen dalam memutuskan

penggunaan suatu produk. Tahapan tersebut meliputi a) identifikasi kebutuhan, b)

pencarian informasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, c) evaluasi berbagai alternatif

yang memungkinkan, d) pemilihan alternatif/keputusan pembelian, e) post consumption.

3. Respon Konsumen adalah tanggapan konsumen atas aktivitas–aktivitas yang dilakukan

perusahaan terkait kegiatan corporate social responsibility. Respon bisa berupa kognitif,

afektif, konatif, dan perilaku.

Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji reliabilitas berhubungan dengan seberapa konsisten peneliti dalam melakukan

penelitian dengan menggunakan teknik yang diulang-ulang pada obyek yang sama akan

memberikan hasil yang sama (Gremler, 2004). Untuk mendapatkan data yang andal

tergantung pada kemampuan penilai atau pemberi kode untuk tetap konsisten

mengklasifikasikan data pada spesifik kategori, dimana diskusi penilai ini terjadi antara

intrajudge reliability dan interjudge reliability. Intrajudge reliability merupakan seberapa

konsisten seorang penilai membuat keputusan kategori selama penelitian sedangkan

interjudge reliability merupakan tingkatan dimana dua atau lebih penilai setuju bahwa

observasi harus diklasifikasikan dengan cara tertentu.

Validitas data dalam pendekatan kualitatif didapat dari cara triangulasi (Creswell &

Miller, 2000; Guion, Diehl, & McDonald, 2011) dengan mengkombinasi sumber data yang

berbeda untuk melihat data. Triangulasi dilakukan dengan melakukan cek silang data kepada

sumber yang berbeda. Dalam penelitian ini data diperoleh dengan wawancara pada konsumen

lalu dicek dengan sumber pada akademisi dan sumber media.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Hasil Penelitian

Penelitian ini berfokus membahas tentang bagaimana perilaku pembelian konsumen

khususnya produk yang diproduksi oleh perusahaan yang melakukan kegiatan CSR, dan

bagaimana respon konsumen terhadap aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan. Data

didapatkan oleh peneliti dengan melakukan wawancara kepada 14 orang dengan durasi

masing-masing sekitar 45 menit wawancara. Adapun karakteristik demografi dari informan

adalah sebagai berikut.

Tabel 1

Karakteristik Informan Penelitian

Informan Umur Pekerjaan Pendidikan Produk yang dibeli

1 29 Karyawan Bank

Niaga

Sarjana Teknik

Lingkungan

The Bodyshop

2 47 Karyawan Hotel SMA Lampu Philips

Page 62: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

222

Garden

3 36 Karyawan Carefour D3 Ekonomi Batik Mangrove, The Bodyshop

4 48 Ibu rumah tangga Sarjana Lampu philips, sayuran organik

5 27 Karyawan Bank

Bukopin

Sarjana Psikologi Tas dari eceng gondok, batik

pewarna alami

6 47 Wiraswasta Sarjana ekonomi AC low watt

7 47 Dosen unesa S3 AC low watt, lampu Philips

8 38 Karyawan swasta

(Teh Botol Sosro)

Sarjana ekonomi AC low watt

9 18 Mahasiswa SMA Gelas daur ulang, sabun mandi

eco green

10 38 Guru SMA Sarjana AC low watt

11. 29 Wiraswasta Sarjana ekonomi AC low watt, lampu Philips

12 31 Karyawan swasta

(Granito)

Sarjana teknik Produk The Bodyshop

13 38 Wiraswasta Sarjana teknik Sabun mandi

14 32 Karyawan swasta Sarjana Pemanas surya

Peneliti kemudian menganalisis hasil wawancara dengan menemukan pola dari

transkip hasil wawancara dan merumuskannya dalam laporan. Mengadopsi pendapat Gremler

(2008), uji reliabilitas dilakukan dengan berfokus pada interjudge reliability, yaitu sejauh

mana satu atau dua juri setuju dengan cara peneliti mengklasifikasikan dan memberi kode

dengan cara tertentu. Satu juri didatangkan dan menyaksikan peneliti melakukan coding.

Uji validitas dalam penelitian ini mengadopsi pendapat Shah & Corley (2006) yaitu

memperpanjang waktu observasi, triangulasi sumber data, dan hasil wawancara diteliti oleh

subyek. Dalam penelitian ini validasi dicapai dengan triangulasi berupa pengumpulan data

yang lebih dari satu sumber, wawancara dilakukan terus menerus dan berhenti ketika data

yang didapat secara garis besar sudah sama. Data yang didapat juga diperkuat dengan peer

debriefing yaitu dengan membicarakan masalah penelitian dengan tanya jawab kepada teman

sejawat yang cukup mengerti dengan permasalahan penelitian. Setelah data terkumpul dan

sudah melalui uji reliabilitas dan validitas ringkasan hasil wawancara terangkum dalam tabel

berikut

Tabel 2

Ringkasan Hasil Wawancara

Tema Pertanyaan Kategori Frek.

Karakteristik

responden

terkait

lingkungan

Bagaimana kepedulian

anda pada sesama

Orang seharusnya membantu orang lain

yang kurang beruntung

6

Menolong orang yang dalam kesulitan

adalah sangat penting

4

Bagaimana kepedulian

anda pada lingkungan

alam

Saya tidak khawatir kondisi lingkungan di

masa depan, generasi yang akan mampu

menjaganya dengan baik

5

Bagaimana sikap anda

pada keadilan

Orang butuh menjaga diri sendiri, tanpa

perlu mengkhawatirkan orang lain

5

Setiap orang di dunia harus diperlakukan

sama

6

Setiap orang harus tinggal di lingkungan

yang aman

5

Page 63: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

223

Pemahaman

CSR

Apa yang anda fahami

tentang CSR

Perusahaan memproduksi produk tidak

berbahaya

10

Perusahaan mengelola limbahnya 6

Perusahaan ikut membantu masalah

masyarakat

6

Perusahaan menjaga lingkungan alam 9

Perusahaan menggunakan bahan dari alam 9

Alasan perusahaan

melakukan CSR

Bentuk promosi yang baru 1

Bentuk promosi terselubung 4

Kewajiban perusahaan untuk menutupi rasa

bersalahnya

1

Untuk menarik simpati masyarakat 1

Ide CSR Bentuk –bentuk CSR

bagaimana yang

diharapkan/dipandang

positif konsumen

Membuka lapangan pekerjaan baru 3

Memberikan fasilitas/kegiatan untuk

masyarakat

7

Memberi beasiswa 8

Menjaga kelestarian alam 6

Membuat barang yang berkualitas 10

Membuat barang yang ramah

lingkungan/tidak bahaya

4

Membantu orang miskin 2

Proses

Keputusan

Pembelian

Kebutuhan apa yang

membuat anda membeli

Produk tersebut

Barangnya berkualitas 9

Efisiensi biaya operasional 4

Barangnya unik 3

Ikut menjaga lingkungan 5

Dihargai teman-teman 3

Menjadi konsumen yang cerdas 3

Barang yang aman/tidak bahaya 2

Bagaimana anda

mendapatkan informasi

ttg produk dan kegiatan

CSR perusahaan

Aktif mencari informasi 10

Sumber informasi media 7

Sumber informasi teman 2

Sumber informasi brosur dari perusahaan 2

Evaluasi alternatif Dasar evaluasi adalah dana 7

Dasar evaluasi kualitas barang 8

Dasar evaluasi adalah manfaat 7

Dasar evaluasi adalah pendapat teman 5

Dasar evaluasi adalah keterlibatan perasaan

bangga/senang

2

Bagaimana evaluasi

setelah konsumsi

Akan rekomendasi ke teman teman 7

Akan membeli lagi 5

Puas, telah melakukan pilihan dgn benar 5

Kecewa, barang terlalu mahal 2

Respon atas

CSR aktivity

dan green

product

Bagaimana respon

terhadap CSR aktivity

yang dilakukan

perusahaan

Curiga harga barang dinaikkan 7

Curiga itu hanya kebohongan publik 6

Tidak sebesar yang diberitakan 7

Suka pada aktivitas CSR 2

Membeli produk yang melakukan aktivitas

CSR sama artinya ikut melakukan kegiatan

CSR

3

Perusahaan yang melakukan aktivitas CSR

adalah perusahaan besar/bereputasi baik

2

Page 64: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

224

Bagaimana respon

terhadap keberadaan

green product

Produk bermanfaat bagi lingkungan 8

Produk bermanfaat bagi diri sendiri 11

Suka mengkonsumsi karena merasa menjadi

konsumen yang cerdas

2

Suka mengkonsumsi karena menjadi orang

yang peduli lingkungan

3

Diskusi

Penelitian ini berfokus pada penemuan pola tentang bagaimana perilaku pembelian

konsumen terkait produk yang dihasilkan perusahaan yang melakukan aktivitas CSR. Berikut

adalah proposisi sebagai hasil intrepretasi peneliti.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan melakukan CSR sebagai “bentuk

promosi yang terselubung”, “aktivitas untuk menarik simpati masyarakat”, “bentuk promosi

baru” atau merupakan “kewajiban perusahaan untuk menutupi rasa bersalahnya”. Namun ada

pula informan yang menyatakan bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan

“menjaga lingkungan” atau sebagai salah satu bentuk kebaikhatian membantu masyarakat.

Sedangkan di Indonesia terdapat aturan yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan

aktivitas CSR. Demikan pula dengan informan akademisi yang menyatakan bahwa alasan

utama perusahaan melakukan aktivitas CSR adalah keberadaan undang-undang dan

keinginan perusahaan untuk menjaga image perusahaan dalam masyarakat. Dengan demikian

disusun proposisi 1: Persepsi konsumen tentang tujuan aktivitas CSR mempengaruhi

evaluasi konsumen tentang kegiatan CSR tersebut. Dalam penelitian ini semua informan adalah para konsumen produk ramah lingkungan

atau produk dari perusahaan yang melaksanakan kegiatan CSR. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa para informan tersebut telah memiliki pemahaman yang baik mengenai

konsep CSR, bahwa CSR merupakan “aktivitas perusahaan dengan memproduksi produk

tidak berbahaya”, “perusahaan mengelola limbahnya”, “perusahaan ikut membantu masalah

masyarakat” atau “perusahaan menjaga lingkungan alam”. Terkait dengan hal tersebut Kotler

& Keller (2012) menyatakan salah satu dari empat komponen yang menjadi karakteristik

pemasaran holistik adalah pemasaran kinerja (performance marketing). Di dalam pemasaran

kinerja (performance marketing) dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh perusahaan tidak

hanya berasal dari program dan aktivitas pemasaran yang mereka lakukan, namun juga

sebagai hasil dari perusahaan yang memberikan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan terkait

dengan kepatuhan mereka terhadap hukum, etika dan kepedulian terhadap masyarakat dan

lingkungan. Lee & Shin (2010) ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif

antara kesadaran konsumen akan aktivitas CSR terhadap minat pembelian (purchase

intention). Berdasar uraian di atas disusunlah proposisi 2: Evaluasi konsumen atas aktifitas

CSR yang dilakukan perusahaan mempengaruhi keputusan pembelian

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa informan menyatakan alasan

pembelian produk ramah lingkungan dengan alasan ekonomis, antara lain: “efisiensi biaya

operasional” atau “barangnya berkualitas”. Alasan kedua adalah alasan emosional, seperti

dinyatakan oleh informan “merasa menjadi konsumen yang cerdas” atau “merasa ikut

menjaga lingkungan alam”. Selain itu terdapat pula alasan sosial seperti “dihargai teman-

teman” atau “barangnya unik”. Dan alasan terakhir adalah alasan fungsioanal, yaitu

mendapatkan “barang yang aman/tidak berbahaya”. Menurut Ali et al. (2010), aktivitas CSR

secara potensial dapat menciptakan nilai tambah bagi perusahaan karena CSR

mengkombinasikan aspek sosial dan lingkungan dalam menjalankan bisnisnya. Jika dikelola

dengan baik, pendekatan CSR dapat menciptakan nilai bagi dua pihak, yaitu bisnis itu sendiri

Page 65: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

225

dan masyarakat secara simultan. Menurut Green & Peloza (2011) yang penting untuk

diperhatikan oleh manajer adalah kemampuan untuk membedakan nilai CSR yang akan

diterjemahkan dalam pengaruh yang berbeda pada isu sosial dan lingkungan. Ketika seorang

pelanggan memilih produk yang mengandung CSR dalam bentuk nilai fungsional,

tersebarnya produk secara luas di antara ribuan atau jutaan konsumen akan memberikan

dampak yang lebih besar kepada masyarakat. Ketika CSR ditambahkan pada fitur produk,

maka konsumen akan selalu mengingat manfaat fungsional CSR yang menciptakan tingkat

kesadaran dan keterlibatan yang lebih tinggi akan akibat dari konsumsi. Dapat disusun

proposisi 3: Aktivitas CSR berdampak pada nilai yang diterima konsumen, baik nilai

ekonomis, nilai fungsional, nilai emosional, maupun nilai sosial.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar informan menunjukkan

kecurigaan terhadap akitivitas CSR yang dilakukan perusahaan. Diantaranya “curiga harga

barang dinaikkan”, “curiga bahwa aktivitas itu hanya kebohongan publik”, dan kegiatan CSR

yang diinformasikan “tidak sebesar yang diberitakan”. Dalam hal ini Trudel & Cotte (2009)

menemukan bahwa konsumen bervariasi pada keinginan untuk membayar untuk sebuah

produk etis dari perusahaan di dasarkan pada ekspektasi mereka terkait dengan perilaku etis

dari perusahaan ini. Dengan demikian dapat disusun proposisi 4: Aktivitas CSR membuat

konsumen menjadi skeptis pada perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan semua informan merasa bahwa produk yang ramah

lingkungan “bermanfaat bagi diri sendiri” karena “barang aman/tidak berbahaya”. Lebih

lanjut Hasil dari pelaksanaan aktifitas CSR terhadap tanggapan pelanggan meliputi evaluasi

yang bersifat positif terhadap perusahaan (Brown & Dacin, 1997), tingginya niat beli

konsumen (Mohr & Webb, 2005). Dengan demikian dapat disusun proposisi 5: Aktivitas

CSR terkait produk yang langsung dapat dirasakan konsumen meningkatkan sikap

positif konsumen terhadap produk. Hasil penelitian menunjukkan informan merasa bahwa perusahaan yang melakukan

aktivitas CSR adalah “perusahaan besar atau perusahaan yang bereputasi [baik]”. Hellen et al.

(2006) mengatakan bahwa aktivitas CSR meningkatkan kredibilitas merek/perusahaan.

Corporate social responsibility seringkali digunakan sebagai kriteria penting untuk

mengendalikan reputasi perusahaan, dimana reputasi perusahaan juga berhubungan dengan

corporate credibility yang dimiliki oleh perusahaan. Ahmad & Buttle (2001) menyatakan

sekarang ini diyakini bahwa menjadi perusahaan yang memiliki tanggungjawab sosial dapat

meningkatkan reputasi dan citra yang lebih baik di pasar. Maka disusun proposisi 6:

Aktifitas CSR berdampak pada persepsi konsumen atas citra perusahaan dan produk

serta meningkatan kredibilitas perusahaan dan merek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan dalam mengevaluasi keputusan

pembeliannya menyatakan akan “merekomendasikan ke teman”, “akan membeli lagi”, karena

merasa “puas, telah melakukan dengan benar”. Namun informan yang berpemahaman negatif

terhadap CSR, seperti “[CSR merupakan] bentuk promosi terselubung”, “[CSR hanya] untuk

menarik simpati masyarakat” membuat konsumen merasa curiga pada aktivitas CSR tersebut

sehingga dalam evaluasi atas keputusan pembeliannya, informan merasa kecewa karena

“barang terlalu mahal”. Aktivitas CSR akan menambah nilai produk yang dirasakan

konsumen. Aktivitas CSR ini akan menciptakan loyalitas (Onlaor & Rotchanakitumnuai,

2010; Zdravkovic et al., 2010; Mohr, Webb, & Harris, 2001). Dengan demikian disusun

proposisi 7: Penilaian konsumen atas aktivitas CSR mempengaruhi loyalitas konsumen.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informan memiliki tingkat kepedulian pada

lingkungan yang bervariasi. Beberapa informan mengatakan “orang harus diperlakukan

sama”, namun beberapa orang lagi menyatakan bahwa “orang butuh menjaga diri sendiri

Page 66: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

226

tanpa perlu mengkhawatirkan orang lain”. Sedangkan apabila dilihat dari karakteristik

pendidikan informan, hampir semua informan berpendidikan tinggi (Sarjana) dan berada

pada usia produktif (29-47 tahun) di mana hampir semuanya adalah karyawan. Menurut

informan akademisi, karakteristik konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian

produk ramah lingkungan adalah konsumen yang “berusia 30-45 tahun, berpendidikan tinggi,

tingkat ekonomi yang cukup”. Lebih lanjut informan akademisi tersebut menyatakan bahwa

antara karakteristik demografi dengan kepedulian lingkungan ini dapat berinteraksi dalam

mempengaruhi keputusan pembelian. Sen & Bhattacharya (2001) menyatakan bahwa ketika

konsumen altruistic mempersepsikan merek yang mencoba untuk memproyeksikan citra CSR

dengan mengasosiasikannya melalui suatu social cause, konsumen akan berusaha membuat

penilaian pada kredibilitas merek tersebut berdasarkan attribution of motivation, dimana tetap

meyakinkan konsumen bahwa brand tersebut sesuai dengan personal identities konsumen

dan untuk memuaskan kebutuhan dasar definisi personal. Altruistic value yang ada pada diri

konsumen akan mempengaruhi perilaku mereka dalam merespon aktivitas CSR, seperti yang

disampaikan oleh Stren, Kalof & Mohamed (2009). Maka dapat disusun proposisi 8:

Karakteristik konsumen (umur, pendidikan, pendapatan dan kepedulian pada

lingkungan memperkuat pengaruh CSR terhadap keputusan pembelian konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan memiliki budaya

kebersamaan, yaitu mereka mengatakan bahwa “setiap orang seharusnya membantu orang

lain yang kurang beruntung”, atau “adalah sangat penting menolong orang lain yang dalam

kesulitan”. Rojanasak & Ken (2009) mengatakan bahwa pengaruh inisiatif CSR terhadap

brand preference dipengaruhi oleh nilai budaya. Dengan demikian dapat disusun proposisi 9:

Budaya konsumen yang kolektivism (lebih mengutamakan kebersamaan)

mempengaruhi sikap atas kegiatan CSR dan keputusan pembelian produk ramah

lingkungan. Sembilan proposisi tersebut merupakan suatu hubungan kausal antara proposisi satu

dengan proposisi lainya. Keterkaitan semua proposisi hasil penelitian satu dengan proposisi

lainya dapat dilihat dalam gambar berikut

Gambar 1

Model CSR: Variabel Anteseden dan Konsekuensi

Tujuan CSR

- Peraturan

- Kebaikan

hati

- promosi

Aktivitas CSR

- Bagi diri

konsumen

- Bagi

lingkungan

Respon

Konsumen

- Value

- Loyalitas

- Skeptis

- Sikap

- Image

- Kredibilitas

- Budaya

konsumen

- Karakteristik

(demografi

dan

kepedulian)

Page 67: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

227

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Terdapat 9 proposisi sebagai hasil penelitian ini, yaitu: 1) persepsi konsumen tentang

tujuan aktivitas CSR mempengaruhi evaluasi konsumen tentang kegiatan CSR tersebut; 2)

evaluasi konsumen atas aktifitas CSR yang dilakukan perusahaan mempengaruhi keputusan

pembelian; 3) aktivitas CSR berdampak pada nilai yang diterima konsumen baik nilai

ekonomis, nilai fungsional, nilai emosional, maupun nilai sosial; 4) aktivitas CSR membuat

konsumen menjadi skeptis pada perusahaan; 5) aktivitas CSR terkait produk yang langsung

dapat dirasakan konsumen meningkatkan sikap positif konsumen terhadap produk; 6)

aktivitas CSR berdampak pada persepsi konsumen atas citra perusahaan dan produk serta

meningkatan kredibilitas perusahaan dan merek; 7) penilaian konsumen atas aktivitas CSR

mempengaruhi loyalitas konsumen; 8) karakteristik konsumen (umur, pendidikan,

pendapatan dan kepedulian pada lingkungan memperkuat pengaruh CSR terhadap keputusan

pembelian konsumen; 9) budaya konsumen yang kolektivism (lebih mengutamakan

kebersamaan) mempengaruhi sikap atas kegiatan CSR dan keputusan pembelian produk

ramah lingkungan.

Ditemukan variabel moderasi pada hubungan aktivitas CSR dan respon konsumen

pada CSR yaitu karakteristik konsumen berupa demografi dan kepedulian pada lingkungan

yang pada awalnya dianggap sebagai varienel anteseden. Hasil penelitian kualitatif yang

berupa proposisi-proposisi penelitian ini perlu dijabarkan dalam bentuk hipotesis yang

nantinya perlu diuji secara kuantitif. Agar hasil penelitian lebih terfokus, maka penelitian

lanjutan perlu dilakukan dengan objek penelitian yang spesifik.

DAFTAR REFERENSI

Ahmad R., Buttle F. 2001. Customer retention: a potentially potent marketing management

strategy. Journal of Strategic Marketing, 9 (1), 29-45.

Ali A., Israr A. 2012. Environtment friendly product: factors that influence the green

purchase intentions of Pakistani Consumers. Pakistani Journal Technology Science, pp

84-117.

Ali I., Rehman KU., Yilmaz, AK., Nazir S., Ali JF. 2010. Effects of corporate social

responsibility on consumer retention in cellular industry of Pakistan. African Journal of

Business management, Vol.4(4), pp. 475-485.

Ashok R. 2004. Marketing Strategies: A Contemporary Approach. New Jersey: Prentice Hall.

Becker-Olsen KL., Cudmore BA., Hill, RP. 2006. The impact of Perceived Corporate Social

Responsibility on Consumer Behavior. Journal of Business Research, 59, pp. 46-53.

Brown TJ., Dacin PA. 1997. The company and the product: corporate associations and

consumer product responses. The Journal of Marketing, 68-84.

Burns AC., Bush RF. 2010. Marketing Research. New Jersey: Prentice Hall.

Creswell JW., Miller DL. 2000. Determining validity in qualitative inquiry. Theory Into

Practice, 39 (3), 124-130.

Goulding, C. 2003. Issues in representing the postmodern consumer”, Qualitative Market

Research: An International Journal, 6 (3), 152-159.

Green T., Peloza J. 2011. How does corporate social responsibility create value for

consumers? Journal of Consumer Marketing, 28/1, pp. 48-56.

Gremler DD. 2004. The critical incidence technique in service research. Journal of Service

Research, 7 (1), 65-89.

Page 68: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Lilik Rudianto

228

Guion LA., Diehl DC., McDonald D. 2011. Triangulation: Establishing the Validity of

Qualitative Studies. Working paper: University of Florida.

Jarratt DG. 1996. A comparison of two alternative interviewing techniques used within an

integrated research design: a case study in outshopping using semi-structured and non-

directed interviewing techniques. Marketing Intelligence & Planning, 14 (6), 6-15.

Kotler P., Keller KL. 2012. Marketing Management. New Jersey: Prentice Hall.

Kotler P., Nancy L. 2005. Corporate social responsibility: doing the most good for your

company and your cause. Resource Policy, 27, 61-75.

Lee, KH., Shin D. 2010. Consumers’ responses to CSR activities: The linkage between

increased awareness and purchase intention. Public Relation Review, 36, pp. 193-195

Mohr LA., Webb DJ., Harris KE. 2001. Do Consumers expect companies to be socially

responsible? The impact of Corporate Social responsibility of buying behavior. Journal

of Consumer Affairs, 35, pp. 45-72.

Mohr LA., Webb DJ. 2005. The effects of corporate social responsibility and price on

consumer response. Journal of Consumer Affairs, 39, 121-147.

Onlaor W., Rotchanakitumnuai S. 2010. Enhancing Customer Loyalty towards CSR of Thai

Mobile Service Provider. World Academy of Science, Engineering and Technology, 66,

1574-1578.

Pace S. 2004. A Grounded Theory of the Flow Experiences of Web Users. International

Journal of Human-Computer Studies, 60, 327–363.

Rahim R., Jalaludin F., Tajuddun K. 2011. The Importance Of Corporate Responsibility On

Consumer Behaviour In Malaysia. Asian Academy of Management Journal, 16, pp 119-

139.

Schifman, LG., Kanuk LL. 2007. Consumer Bahavior. International Edition. New Jersey:

Pearson Education Inc.

Sen S., Bhattacharya CB. 2001. Does doing good always lead to doing better? Consumer

reactions to corporate social responsibility. Journal of marketing Research, 38 (2), 225-

243.

Shah SK., Corley KG. 2006. Building Better Theory by Bridging the Quantitative–

Qualitative Divide. Journal of Management Studies, 43 (8), 1821-1835.

Trudel R., Cotte J. 2009. Does it pay to be good. MIT Sloan Management Review, 50 (2), 61-

68.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Webb & Mohr. 1998. Do Consumer Expect Companies to be Socially Responsible? The

Impact of CSR on Buying Behavior. The Journal of Consumer Affairs, Vol. 35, No. 1

Zdravkovic S., Magnusson P., Stanley, SM. 2010. Dimensions of fit between a brand and a

social cause and their influence on attitudes. International Journal of Research in

Marketing, 27(2), 151-160.

Page 69: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

229

BUDAYA ORGANISASI, KOMPETENSI DAN KINERJA KARYAWAN PADA PT.

ANGKASA PURA II (PERSERO) KANTOR CABANG BANDAR UDARA SULTAN

SYARIF KASIM II PEKANBARU

Raden Lestari Garnasih

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau

[email protected]

ABSTRACT

ORGANIZATIONAL CULTURE , COMPETENCE AND EMPLOYEES PERFORMANCE

IN ANGKASA PURA II (LIMITED) AIRPORT BRANCH SULTAN SYARIF KASIM II

PEKANBARU

This study aims to determine how the variables influence organizational culture and

competencies on the performance of employees at PT Angkasa Pura II (Limited) Branch Airport

Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru.

This study uses primary data is data obtained from interviews and questionnaires giving

to all employees at PT Angkasa Pura II (Limited) Branch Airport Sultan Syarif Kasim II

Pekanbaru. Secondary data relating to the object and organizational structure. The population is

the entire workforce of about 291 employees and 74 employees were sampled. The method of

analysis used in this study is the method of multiple linear regression.

From the results of testing that has been done, the results of the partial test (t test)

showed that the variables of organizational culture and competence partially significant effect on

employee performance. The results of the calculation of the coefficient of determination (R2) is

equal to 0.538 which means that the culture of the organization and competence variables jointly

affect the performance of employees by 53.8%, while the remaining 46.2% is influenced by other

variables were not examined in the study this.

Keywords: organizational culture, competencies, and employee performance

Pendahuluan

Kinerja organisasi yang merupakan akumulasi dari kinerja karyawan selalu menjadi

tujuan setiap organisiasi. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena kinerja yang dihasilkan akan

menentukan keberlangsungan hidup organisasi. Sebaliknya kinerja yang buruk akan

mempengaruhi organisasi dalam mengembangkan dirinya, seperti melakukan ekspansi

perusahaan, pengembangan produk, perbaikan sistem dan teknologi, dan sebagainya. Oleh

sebab itu kinerja karyawan akan selalu menjadi tujuan dari setiap aktifitas di dalam

organisasi.

Kinerja merujuk pada tingkat pencapaian tujuan di tempat kerja yang ditetapkan

dalam kerja karyawan (Cascio 2006). Peneliti-peneliti lain memiliki pikiran yang berbeda

mengenai kinerja. Banyak para peneliti menggunakan istilah kinerja untuk mengekspresikan

tingkatan ukuran dari efisiensi transaksi input dan output (Stannack 1996).

Page 70: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

230

Banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja antara lain adalah

budaya organisasi. Setiap organisasi memiliki budaya atau kumpulan nilai sendiri yang unik

dan organisasi yang berbeda memiliki makna yang lengkap tentang budayanya. Agar supaya

tujuan-tujuan organisasi dan mencapai persaingan kompetitif, semua organisasi yang sedang

berkembang merekrut individu-individu yang berkinerja tinggi. Di lain sisi, individu

membutuhkan dukungan budaya organisasi untuk membantu mereka mencapai tujuan-tujuan

individu. Oleh karena itu, sebuah organisasi dengan sadar mengkoordinasikan sistem yang

dikarakteristikkan dengan interaksi individu, kelompok, dan organisasi satu sama lain dan

berinteraksi efektif tergantung pada budaya organisasi yang mempertajam kinerja karyawan

(Kozlowski & Klein, 2000).

Budaya organisasi merupakan perilaku bersama karyawan organisasi, yang terbentuk

dari nilai-nilai organisasi, visi, bahasa kerja, sistem dan simbol-simbol ( Saher, et al 2012).

Selanjutnya Schein menyatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi cara orang dan

kelompok berinteraksi satu sama lain, klien, dan stakeholder yang lainnya. Hofstede (1991)

menyatakan bahwa budaya mempengaruhi bagaimana orang berperilaku dan berpikir , jadi

sangat penting untuk memahami budaya organisasi dalam organisasi. Jim Grives (2000)

mendukung dengan kuat bahwa pengembangan organisasi dapat meningkatkan nilai-nilai

kemanusiaan. Agar dapat mencapai budaya dengan berhasil, pimpinan tidak boleh

mengabaikan budaya organisasi karena budaya organisasi dapat digunakan sebagai

keunggulan bersaing selama pengembangan organisasi (Sun 2008). Pada dasarnya fungsi-

fungsi budaya organisasi mencerminkan budaya dalam dua tujuan yakni pertama, penciptaan

perasaan identitas di dalam individu dan komitmen terhadap organisasi; kedua, penciptaan

sebuah persaingan pada para anggota (terutama karyawan baru) di dalam organisasi untuk

dapat memahami perilaku dengan baik dan kestabilan sistem sosial (Martins 2000).

Kompetensi merupakan faktor yang berperan dalam menghasilkan kinerja karyawan.

Kompetensi merupakan karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinkannya

memberikan kinerja yang unggul dalam pekerjaan. Apabila karyawan memiliki kompetensi

yang terdiri pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang baik maka akan memiliki

kinerja yang baik pula ( McCleland dalam Yuniarsih dan Suwatno 2009).

Kompetensi juga memberi manfaat yang besar bagi suatu organisasi. Jika kompetensi

ini dimiliki oleh para karyawan , maka organisasi akan lebih mudah untuk mencapai kinerja

yag diharapkan. Beberapa manfaat kompetensi tersebut adalah (Manopo 2011) ; pertama,

manfaat proses seleksi berbasis kompetensi antara lain; meminimalkan biaya investasi atas

merekrut orang-orang yang ternyata tidak memenuhi harapan perusahaan, menyediakan

gambaran yang jeals mengenai peryaratan jabatan Kedua, manfaat pelatihan dan

penegembangan berbasis kompetensi, antara meliputi; menjadikan organisasi untuk fokus

pada perilaku dan keterampilan yang relevan, menjadikan kegiatan pelatihan dan

pengembangan llebih efektif, dan menyediakan kerangka bagi atasan untuk melakukan

bimbingan.

PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II

Pekanbaru merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di

bidang jasa kebandarudaraan dan pelayanan lalu lintas udara Angkasa Pura II sebagai Air

Navigation Service Provider (ANSP) senantiasa berupaya meningkatkan kualitas

pelayanannya baik dari fasilitas, prosedur kerja maupun kemampuan personil, sehingga

mampu melaksanakan misinya untuk mengelola jasa pelayanan lalu lintas udara yang

mengutamakan keselamatan penerbangan dan kepuasan pelanggan.

Page 71: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

231

Pengukuran kinerja karyawan PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar

Udara Sultan Syarif kasim II Pekanbaru dilakukan dengan menggunakan konsep KPI (Key

Performance Indicator). Penilaian dilakukan oleh atasan langsung dari karyawan yang

dinilai.

Berdasarkan data yang diperoleh penulis, secara umum KPI di perusahaan ini belum

mampu mencapai standar perusahaan dengan nilai 4, dengan rincian :

a. Nilai 4, untuk hasil kerja di atas 90% dan menemukan hal baru yang dikategorikan sebagai

inovasi

b. Nilai 3, untuk hasil kerja di ata 90%

c. Nilai 2, untuk hasil kerja 70% - 90%

d. Nilai 1, untuk hasil kerja kurang dari 70%.

Perusahaan juga masih menghadapi berbagai persoalan yang sangat mengganggu

keberlangsungan pencapaian kinerja yang diharapkan, yakni : masih terdapatnya perilaku

karyawan yang melanggar Standard Operating Procedure (SOP) yang ada. Internalisasi

kejujuran, masih belum dapat dijalankan oleh semua karyawan. Masih banyak karyawan

yang tidak jujur dengan diri sendiri ketika menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya.

Terutama kejujuran dalam bidang tugasnya, jika ada pekerjaan yang salah selalu mengelak

dan beralasan dengan bekerja untuk mengamankan dirinya. Dalam pelaksanaan pekerjaan

masih sering terjadi konflik kecil yang terkait dengan dengan persoalan perilaku karyawan.

Misalnya, dalam hal keterlambatan pelaporan pekerjaan ke kantor pusat sering terjadi yang

disebabkan kurang adanya kerjasama antar bagian. Rata-rata keterlambatan laporan ke kantor

pusat sampai satu minggu. Karyawan juga belum mampu beradaptasi dengan budaya kerja

yang berorientasi pada prestasi. Masih ditemukan banyak karyawan yang bekerja dengan

caranya sendiri padahal budaya kerja sudah ditetapkan oleh perusahaan untuk dijadikan

pedoman. Namun banyak karyawan yang tidak menjalankan pekerjaannya sesuai dengan

Standar Operating Procedure (SOP) yang ada. Masih ditemukan karyawan yang enggan

menanggapi perubahan terhadap sistem pelaksanaan pekerjaan baru. Karyawan masih banyak

yang menolak terhadap proses pembaharuan dalam sistem manajemen. Sebagai contoh,

ketika diperlakukan ketentuan baru tentang perlunya karyawan menilai diri sendiri, mereka

umumnya enggan untuk merubah kebiasaan.

Dari uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apakah budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan PT.

Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sutan Syarif Kasim II Pekanbaru.

2. Apakah kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan PT.

Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sutan Syarif Kasim II Pekanbaru.

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaruh budaya organisasi dan kompetensi

terhadap kinerja karyawan PT. Angkas Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sutan

Syarif Kasim II Pekanbaru.

Page 72: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

232

Landasan Teori

1. Kinerja Karyawan

Kinerja merujuk pada kepada kemampuan (physical dan psychologiacal) untuk

melakukan sebuah tugas khusus di dalam sebuah pola yang dapat diukur sebagai skala tinggi,

menengah atau rendah . Kata kinerja dapat digunakan untuk menjelaskan aspek-aspek seperti

kinerja sosial, kinerja organisasi, kinerja karyawan, dan kinerja individu., dan sebagainya.

Para peneliti (Roe, 1999; Campbell, Mc.Cloy. Oppler, & Sager, 1993; Campbell,

1990; Kanfer, 1990) cenderung mengidentifikasikan dua dimensi kinerja, yakni sebagai

dimensi kegiatan (aspek perilaku) dan dimensi hasil (aspek prestasi). Kinerja karyawan

didefenisikan sebagai produktivitas dan output karyawan sebagai hasil pengembangan

karyawan yang pada akhirnya akan berdampak pada efektivitas organisasi. (Hameed,

Waheed 2011).

Suatu perusahaan tentu membutuhkan karyawan sebagai tenaga kerjanya guna

meningkatkan produk dan jasa yang berkualitas. Mengingat karyawan merupakan asset

penting bagi perusahaan, banyak hal yang perlu diperhatikan terkait dengan peningkatan

kinerjanya. Kinerja (performance) berasal dari akar kata ‘to perform” yang mempunyai

beberapa pengertian : (1) to do or carry out execute, (2) to discharge of fulfill as a vow, (3) to

portray, as character in a play, (4) to tender by the voice or musical instrument, (5) to

execute or complete an undertaking (6) to act a part in a play, (7) to perform music, (8) to do

what is expected of a person or machine. (The Scribner Bantam English Dictionary, (1979)

dalam Sedarmayanti (2011). Artinya: (1) melakukan, menjalankan,melaksanakan, (2)

memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar, (3) menggambarkan suatu karakter

dalam suatu permainan, (4) menggambarkannya dengan suara atau alat music (5)

melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab, (6) melakukan suatu kegiatan dalam

suatu permainan (7) memainkan (pertunjukan) music, (8) melakukan sesuatu yang

diharapkan oleh sesorang atau mesin.

Ivansevich mendefenisikan kinerja karyawan sebagai tingkat keberhasilan dalam

melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Sementara itu menurut Rivai (2011) kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok

orang untuk melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan

tanggungjawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Kinerja karyawan didefenisikan

sebagai produktivitas dan output karyawan sebagai hasil pengembangan karyawan yang pada

akhirnya akan berdampak pada efektivitas organisasi. (Hameed, Waheed, 2011).

Robbins&Judge (2011) mendefinisikan kinerja karyawan sebagai ukuran hasil kerja,

yaitu ukuran dari hasil yang menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam

melaksanakan tugas dan berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pemenuhan kebutuhan karyawan akan berdampak pada produktivitas karyawan.

Karyawan yang produktif dan kompeten akan menghasilkan output berkualitas yang

berdampak pada peningkatan pendapatan perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan

kinerja perusahaan. Kinerja karyawan merujuk pada tingkat pencapaian tujuan di tempat

kerja yang ditetapkan dalam kerja karyawan (Cascio 2006). Peneliti-peneliti lain memiliki

pikiran yang berbeda mengenai kinerja. Banyak para peneliti menggunakan istilah kinerja

karyawan untuk mengekspresikan tingkatan ukuran dari efisiensi transaksi input dan output

(Stannack,1996)

Page 73: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

233

2. Budaya Organisasi

Budaya organisasi dikonsepkan sebagai nilai-nilai dan keyakinan yang tersebar di

dalam organisasi untuk mempertajam pola-pola perilaku karaywan (Kotter and Haskett,

1992). Gordon and Cummins (1979) mendefenisikan budaya organisasi sebagai dorongan

yang memperkenalkan usaha-usaha dan kontribusi anggota organisasi dan menyediakan

pemahaman-pemahaman yang tinggi tentang apa dan bagaimana sesuatu dicapai, bagaimana

tujuan saling dihubungkkan dan bagaimana setiap karyawan dapat mempertahankan tujuan-

tujuannya.

Banyak pakar telah mengemukakan definisi dan dimensi yang berkenaan dengan

budaya perusahaan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa Corporate Culture telah menjadi

topik yang populer pada banyak literatur Manajemen sejak tahun 1980-an. Hofstede

menyimpulkan bahawa budaya organisasi sebagai proses kolektif pemikiran yang

membedakan anggota-anggota organisasi dengan organisasi lain. Selanjutnya budaya

organisasi dapat bermakna dapat menjaga karyawan untuk tetap berada dalam garis dan

berakselearasi terhadap tujuan- tujuan organisasi.

Peters dan Watermans (1982) bahkan mengemukakan bahwa Budaya Perusahaan

merupakan konsep yang sederhana, namun menyeluruh dan memiliki konsekuensi yang

tinggi. Lebih lanjut Peters dan Watermans (1982) mengemukakan bahwa budaya yang kuat

akan lebih efektif daripada budaya yang lemah. Budaya organisasi dirancang oleh Schein

(1990) sebagai keseluruahn fenomena seperti pengelolaan alami, ritual, iklim dan nilai-nilai

perusahaan. Didasarkan pada Martins dan Terblanche (2003), budaya secara mendalam

dihubungkan dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang tersebar di dalam sebuah

organisasi. Budaya organisasi menghubungkan karyawan dengan nilai-nilai organisasi,

norma-norma, cerita-cerita, keyakinan dan prinsip-prinsip serta memasukkan semua hal

tersebut sebagai standar perilaku dan aktivitas. Klein, et.el (1995) memposisikan budaya

organisasi sebagai nilai inti kegiatan organisasi yang secara menyeluruh berdampak pada

efektivitas menyeluruh dan kualitas produk dan jasa. Schein (2004) myawan dan bentuk

mamanjemen, mendefenisikan budaya organisasi sebagai kekuatan dinamis di dalam

organisasi yang melibatkan, menguatkan dan berinteraksi, serta dipertajam melalui karyawan

dan gerak manajemen, perilaku dan kebiasaan.

Budaya yang kuat dianggap merupakan budaya yang relatif lebih efektif sedangkan

budaya yang lemah relatif lebih homogen Menurut hasil penelitian Institute for Research on

Intercultural Cooperation (IRIC) bahwa budaya yang kuat memiliki korelasi yang signifikan

dengan budaya yang berorientasi pada hasil. Selanjutnya, Graham (2004) mengungkapkan

bahwa budaya organisasi yang berbasis kinerja mengakui bahwa kesuksesan mereka

bergantung pada keberhasilan kinerja karyawan mereka. Kemampuan organisasi untuk

melaksanakan misinya dan mencapai tujuan organisasi, bergantung pada kompetensi, inovasi,

dan produktivitas karyawannya. Manajemen dalam organisasi ini berkomitmen kuat untuk

menciptakan kondisi dan konsekuensi yang mendukung dan mempertahankan kinerja yang

baik dan berkelanjutan. Organisasi dengan budaya yang berbasis kinerja menghasilkan hasil

yang lebih baik dan pelanggan yang lebih puas. Perusahaan juga memiliki karyawan yang

lebih bahagia.

Gordon dan DiTomaso dan Denison (1990) berpendapat bahwa karakteristik budaya

bisa mempengaruhi kinerja tetapi dikendalikan atau dikondisikan dengan conteks khusus.

Mereka lebih jauh berargumen bahwa budaya dapat mengarahkan kepada kinerja yang lebih

tinggi dengan jika terdapat kepastian perubahan-perubahan faktor lingkungan. Akhir-akhir

ini, para peneliti berargumentasi bahwa sifat-sifat budaya dicopy dan pada akhirnya menjadi

sumber keberlangsungan organisasi. Pandangan yang didasarkan pada sumber daya (RBV)

Page 74: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

234

(Barney 1986 dan 1991) menyarankan bahwa keberlangsungan bergantung kepada nilai-nilai,

kelangkaan dan keberlangsungan perhatian pada budaya.

Terdapat hubungan antara budaya organisasi dan kinerja (Ogbonna dan Harris 2000).

Penelitian lain menyatakan bahwa budaya yang kuat memiliki andil dalam mencapai

kesuksesan organisasi (Deal and Kennedy 1982). Penelitian ini menyatakan bahwa hasil

study mengindikasikan bahwa dua bentuk budaya , yakni birokrasi dan komunitas tidak

memiliki hubungan langsung terhadap kinerja. Menariknya, birokrasi dan komunitas

memiliki masing-masing karakteristik integrasi, kohesif internal, dan kemantapan kesamaan

yang menciptakan budaya yang kuat. Hasil studi lain menyatakan bahwa budaya organisasi

memiliki pengaruh yang mendalam pada variasi proses organisasi, karyawan dan kinerjanya

(Sahzad, Luqman, Khan, Shabbir 2012). Penelitian ini lebih lanjut menyatakan bahwa jika

karyawan komitmen dan memiliki kesamaan norma-norma dan nilai-nilai sebagaimana yang

dimiliki organisasinya, maka akan dapat meningkatkan pencapaian tujuan organisasi secara

menyeluruh. Penelitian lain menyatakan terdapat hubungan positif antara budaya organisasi

dengan kinerja dengan variable antara adaptation (Stoica dan Minet 1999). Kekuatan budaya

berkorelasi secara signifikan dan positif dengan kepuasan kerja. Temuan ini mengungkapkan

bahwa organisasi yang memiliki kekuatan budaya kerja yang lebih tinggi, lebih mungkin

untuk memiliki kepuasan pekerjaan yang lebih tinggi dan berimplikasi terhadap kinerja

organisasi yang lebih baik. (Mallack dkk. 2003).

Selanjutnya, Graham (2004) mengungkapkan bahwa budaya organisasi yang berbasis

kinerja mengakui bahwa kesuksesan mereka bergantung pada keberhasilan kinerja karyawan

mereka. Kemampuan organisasi untuk melaksanakan misinya dan mencapai tujuan

organisasi, bergantung pada kompetensi, inovasi, dan produktivitas karyawannya.

Manajemen dalam organisasi ini berkomitmen kuat untuk menciptakan kondisi dan

konsekuensi yang mendukung dan mempertahankan kinerja yang baik dan berkelanjutan.

Organisasi dengan budaya yang berbasis kinerja menghasilkan hasil yang lebih baik dan

pelanggan yang lebih puas. Perusahaan juga memiliki karyawan yang lebih bahagia.

Budaya organisasi yang diterapkan pada PT. Angkasa Pura II (Persero) meliputi:

(Buku Perjanjian Kerja Sama , PKB, PT. Angkasa Pura II) : dapat dipercaya, kejujuran,

kepedulian, kelugasan, integritas, bebas dari konflik kepentingan, kelancaran aliran, perilaku

etikal, keinsanan korporasi yang baik, kehati-hatian dan pengendalian resiko.

3. Kompetensi

Kompetensi merupakan karakteristik individu yang mendasari kinerja atau perilaku di

tempat kerja (Wibowo 2007) . Pendapat lain dikemukakan oleh Lucia dan Lepsinger dalam

Manopo (2011:12) menyatkan bahwa kompetensi menggambarkan kombinasi perilaku antara

pengetahuan , keterampilan, dengan karakteristik yang diperlukan untuk menunjukkan

perannya dalam organisasi secara efektif dan kinerja yang sesuai di dalam organisasi.

Ada dua istilah yang muncul dari dua aliran yang berbeda tentang konsep kesesuaian

dalam pekerjaan. Istilah tersebut adalah Competency (kompetensi) yaitu deskripsi mengenai

perilaku, dan Competence (kecakapan) yang merupakan deskripsi tugas atau hasil pekerjaan.

(Palan, 2007:5). Walau perbedaan arti kedua istilah tersebut diterima secara umum, namun

penggunaannya masih sering dipertukarkan, yang menyebabkan setiap orang memiliki

pengertian yang berbeda-beda. Umumnya orang menggunakan istilah kompetensi dan

sejenisnya menciptakan pengertian sendiri sesuai dengan kepentingannya.

Page 75: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

235

Kompetensi didefenisikan oleh Miller (1990) sebagai mengetahui bagaimana

melakukan sesuatu. Defenisi lain dari kompetensi adalah merupakan kombinasi dari

pengetahuan, keterampilan dan prestasi, kemampuan untuk menerapkan pengetahuan,

keterampilan dan penyesuaian dalam praktek (Sanford, 1989). ..

Kompetensi merupakan suatu karakteristik yang mendasar dari seseorang individu,

yaitu penyebab yang terkait dengan acuan kriteria tentang kinerja yang efektif. (Spencer &

Spencer, 1993:9). Penyesuaian tekonologi dalam komunikasi di Perusahaan kecil untuk

meningkatkan kompetensi sebagai upaya peningkatan kinerja. (Wainwright dkk. 2005). Di

dalam buku Human Resources Development PT. Angkasa Pura II (Persero) disebutkan

bahwa indikator kompetensi adalah sebagai berikut : orientasi kepada prestasi, adaptasi,

bertindak proaktif, komunikasi, memimpin perubahan, membangun jaringan dan orientasi

pada keuntungan.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa kinerja karyawan dan kompetensi

berhubungan langsung dan menjadi penting dalam sektor ekonomi. Di samping itu banyak

faktor yang memiliki hubungan positif terhadap kinerja dan kompetensi. Hasil penelitian

Ainon (2003) menyatakan ada individu-individu yang memiliki tingkat kompetensi tinggi

tetapi rendah kinerja disebabkan tidak menggunakan kompetensinya. Oleh sebab itu kinerja

yang lebih tinggi juga dihasilkan melalui disiplin dan kerja keras. Kompetensi

mempengaruhi kinerja juga dinyatakan oleh Ismail dan Abidin (2010)

Dari pemaparan di atas maka, kerangka berpikir pada penelitian ini adalah :

Hipotesis yang dirumuskan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja

karyawan pada PT. (Persero) Angkasa Pura II Cabang Kantor Bandar Udara Sultan Syarif

Kasim II Pekanbaru.

2. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara kompetensi terhadap kinerja karyawan pada

PT. (Persero) Angkasa Pura II Cabang Kantor Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II

Pekanbaru.

Metode Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar

Udara Sultan Syarif Kasim II , jalan Perhubungan Udara, Kelurahan Maharatu, Kecamatan

Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru , Propinsi Riau.

Budaya

Organisasi

Kompetensi

Kinerja Karyawan

Page 76: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

236

Sampel pada penelitian ini adalah 74 orang karyawan dari 291 populasi. Metode

penarikan sampel dilakukan dengan stratified random sampel. Pengambilan sampel dilakukan

dengan metode stratified Random Sampling . Penulis mengelompokkan populasi berdasarkan

divisi yang ada di PT (Persero) Angkasa Pura II dengan perhitungan sebagai berikut

Tabel 1 Jumlah Populasi dan Sampel Berdasarkan Divisi

No. Divisi Populasi Sampel

1 Pelayan Operasi 178 45

2 Teknik 60 15

3 Keuangan Administrasi dan

Komersial

53 14

Jumlah 291 74

Sumber: Data Olahan PT. Angkasa Pura II (Persero) Bandar Udara

Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru

Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan penyebaran

kuesioner, dimana kuesioner yang disebarkan berisi pertanyaan-pertanyaan dengan

menggunakan skala Likert.

Operasional Variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 2 : Operasional Variabel Penelitian

Variabel Indikator Skala Pengukuran

Kinerja Karyawan (Y) adalah

hasil atau tingkat

keberhasilan seseorang

secara keseluruhan selama

periode tertentu pada PT.

Angkasa Pura II Cabang

Kantor Bandar Udara Sultan

Syarif Kasim II Pekanbaru

a. komitmen pada perusahaan,

b. orientasi pada pelanggan,

c. kerjasama,

d. keteraturan dan keakuratan,

e. jiwa kepemimpinan,

f. pengembangan,

g. pengambilan keputusan

(Human Resources

Development PT. Angkasa

Pura II)

Ordinal

Budaya Organisasi (X1)

adalah nilai-nilai yang

diterima bersama oleh

anggota organisasi yang

menjadi dasar berperilaku

karyawan PT. Angkasa Pura

II Cabang Kantor Bandar

Udara Sultan Syarif Kasim II

pekanbaru

a. dapat dipercaya,

b. kepedulian,

c. kelugasan,

d. integritas,

e. bebas dari konflik

kepentingan,

f. kelancaran aliran ,

g. perilaku etikal,

h. keinsanan korporasi yang

baik,

i. kehati-hatian,

j. pengendalian resiko

Ordinal

Page 77: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

237

(Perjanjian Kerja

Bersama/PKB PT. Angkasa

Pura II)

Kompetensi (X2) adalah

karakteristik dasar seseorang

yang mempengaruhi cara

seseorang berpikir dan

bertindak dalam bekerja di

PT. Angkasa Pura II Cabang

Kantor Bandar Udara Sultan

Syarif Kasim II Pekanbaru.

a. orientasi pada pelanggan,

b. adaptasi,

c. bertindak proaktif,

d. komunikasi,

e. memimpin perubahan,

f. membangun jaringan,

g. orientasi pada keuntungan

(Human Resources

development PT. Angkasa

Pura II (Persero).

Ordinal

Uji instrumen yang dilakukan meliputi uji validitas, reliabilitas, normalitas data,

heterokedasitas, multikorelasi, dan autokorelasi. Metode analisis data yang digunakan untuk

menganalisis pengaruh antara variabel bebas dan terikat adalah dengan menggunakan

analisis regresi berganda.

Hasil data yang berhasil dikumpulkan akan diubah terlebih dahulu dari data yang

berbentuk ordinal kepada data yang berbentuk interval dengan menggunakan metode MSI

(Method of Successive Interval). Hal ini dilakukan untuk memenuhi sebagian syarat analisis

parametrik.

Hasil dan Pembahasan

1. Profil Responden

2.

Dari hasil penyebaran kuesioner, maka dihasilkan profil responden meliputi jenis

kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan masa kerja yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :

Tabel 3: Profil Responden

No. Profil responden Persentase

1. Jenis Kelamin :

Laki – laki

Perempuan

68,92

31,08

2. Usia :

< 30 tahun

30- 40 tahun

>40 tahun

18,92

52,70

28,38

3. Tingkat

Pendidikan:

SMA/SMK

Diploma

Sarjana

22,97

31,08

45,95

Page 78: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

238

4. Masa Kerja

<5 tahun

5 – 10 tahun

>10 tahun

29,73

43,24

27,03

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa dari identitas jenis kelamin, responden didominasi

oleh laki-laki (68,92%). Hal ini merupakan hal yang lumrah mengingat PT. Angkasa Pura II

merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa kebandarudaraan yang menuntut para

pekerja untuk bekerja di lapangan sehingga karyawan lebih banyak laki-laki. Usia para

karyawan didominasi oleh usia 30 – 40 tahun, yakni 52,70%, yang artinya sebagian besar

karyawan berada pada usia produktif. Hal ini memberi nilai positif bagi perusahaan, karena

usia produktif adalah usia yang diharapkan mampu menyelesaikan setiap pekerjaan sesuai

dengan targetnya masing-masing. Dari aspek tingkat pendidikan, sebagian besar

karyawan berpendidikan sarjana (S1) (45,95%). Hal ini menunjukkan bahwa organisasi

memiliki karyawan yang memiliki tingkat intelektualnya yang cukup baik, sehingga

diharapkan para karyawan memiliki kemampuan dan mampu dengan baik menyerap dan

mengimplementasikan nilai-nilai budaya organisasi yang ada sehingga mampu menciptakan

kinerja karyawan sesuai target yang ditetapkan. Masa kerja karyawan sebagian besar berada

pada 5-10 tahun, dan hanya 27,93% berada pada masa kerja di bawah 5 tahun. Kondisi ini

menunjukkan kan karyawan memiliki loyalitas yang baik, dan semakin lama mereka bekerja

pada perusahaan maka semakin baik kompetensi mereka dalam mengerjakan setiap pekerjaan

yang diberikan oleh perusahaan. Semakin lama karyawan bekerja pada organisasinya juga

akan berdampak pada kemampuan mereka untuk lebih memahami nilai-nilai budaya tempat

mereka bekerja, yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja optimalnya.

3. Hasil Uji Instrumen

1. Uji Validitas Pada uji validitas, sampel yang digunakan sebanyak 74 responden. Pengujian validitas

dilakukan dengan membandingkan nilai korelasi r hitung dengan r tabel, dengan kriteria

pengujian:

Jika r hitung ≥ r tabel maka item-item pernyataan dinyatakan valid

Jika r hitung < r tabel maka item-item pernyataan dinyatakan tidak valid.

Untuk menetukan nilai r tabelnya df = jumlah sampel – 2, yang berarti df = 74 – 2 = 72.

Dari tabel r dengan alpha 5% diketahui nilai df sebesar 0,229 dan nilai ini dibandingkan dengan

nilai r hitung. Nilai r hitung dalam uji ini adalah pada kolom Item –Total Statistics (Corrected

Item – Total Correlation). Nilai uji validitas dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4 : Hasil Uji Validitas Instrument

Variabel Item r hitung t tabel Keterangan

Kinerja 1 0.832 0.299 Valid

2 0.774 0,299 Valid

3 0.665 0,299 Valid

4 0.738 0,299 Valid

5 0.706 0,299 Valid

6 0.674 0,299 Valid

7 0.625 0,299 Valid

Page 79: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

239

Budaya

Organisasi

1 0.657 0,299 Valid

2 0.708 0,299 Valid

3 0.702 0,299 Valid

4 0.611 0,299 Valid

5 0.717 0,299 Valid

6 0.735 0,299 Valid

7 0.693 0,299 Valid

8 0.605 0,299 Valid

9 0.433 0,299 Valid

10 0.608 0,299 Valid

Kompetensi 1 0.631 0,299 Valid

2 0.654 0,299 Valid

3 0.712 0,299 Valid

4 0.767 0,299 Valid

5 0.734 0,299 Valid

6 0.716 0,299 Valid

7 0.539 0,299 Valid

Hasil uji validitas menunjukkan nilai r hitung berkisar antara 0,433 sampai 0,832,

sedangkan r tabel adalah 0,299, (r hitung > r tabel), dan ini berarti bahwa semua data saduah

valid. Sedangkan uji reliabilitas menujukkan hasil yang reliabel, dimana nilai reliabilitasnya

adalah lebih 0,6. Dan ini berarti alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini reliabel.

4. Uji Reliabilitas

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keandalan dan instrumen pernyataan yang

valid. Pengujian dilakukan dengan menggunakan cronbach’s alpha. Batsan nilai dalam uji

adalah 0.6. Jika nilai reliabilitas kurang dari 0.6, maka tingkat keandalannya kurang baik.

Tabel 5: Hasil Uji Reliabilitas Instrument

Variabel Cronbach’s Alpha Keterangan

Kinerja 0.902 Reliabel

Budaya Organisasi 0.898 Reliabel

Kompetensi 0.887 Reliabel

Dari tabel 5 diketahui hasil pengujian nilai reliabilitas ketiga variabel berada di atas 0.6.

Artinya adalah bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini reliabel.

5. Analisis Regresi Linear Berganda

Dari hasil tanggapan responden data kemudian diolah untuk mengetahui bagaimana

pengaruh faktor-faktor tersebut dapat dilihat dengan menggunakan analisis regresi linear

berganda. Berikut adalah hasil olahan data :

Page 80: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

240

Tabel 6 : Hasil Analisis Regesi Linear Berganda

Model Unstandarized

Coeficients

Standardized

Coeficient

t Sig

B Std Error Beta

(Constant)

Budaya Organisasi

Kompetensi

.092

.310

.528

.375

.120

.115

.286

.508

.245

2.592

4.602

.807

.012

.000

Sumber : Data Olahan

Dari hasil pada tabel 6 dibuat persamaan regresi linear berganda sebagai berikut :

Y = 0.092 + 0.310 X1 + 0.528 X2

Makna dari persamaan di atas adalah :

a. Nilai konstanta sebesar 0.092 bermakna bahwa apabila budaya organisasi dan kompetensi

diasumsikan konstan atau nol, maka kinerja karyawan bernilai 0.092

b. Nilai koefisien regresi variabel budaya organisasi sebesar 0.310, bermakna bahwa setiap

peningkatan budaya organisasi sebesar satu satuan, akan meningkatkan kinerja sebesar 0.310

dengan asumsi variabel lain tetap.

c. Nilai koefisien regresi kompetensi sebesar 0.528 bermakna setiap peningkatan variabel

kompetensi sebesar satu satuan , akan meningkatkan kinerja sebesar 0.528 dengan asumsi

variabel lain tetap.

6. Uji t ( Parsial )

Hasil uji t (parsial) dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel. Dengan α =

5% t tabel sebesar 1,994. Hasil uji t sebagai berikut :

1. Variabel budaya organisasi (X1) memiliki t hitung (2,592) > t tabel (1,994) dengan sig 0,012

< 0,05. Artinya variabel budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan.

2. Variabel kompetensi (X2) memiliki t hitung (4,602) > t tabel (1,994), dengan sig. (0,000) <

0,05. Artinya variabel kompetensi berpengaruh terhadap kinerja karyawan.

7. Uji Koefisien Determinasi (R )

Analisis determinasi dalam regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui persentase

sumbangan pengaruh variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen.

Berikut adalah hasil olahan data SPSS: :

Tabel 7 : Koefisien Determinasi Berganda ( R ² )

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of

The Estimated

Durbin

Watson

.733 .538 .525 .515824 1.755

Page 81: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

241

Dari tabel 7 nilai R Square sebesar 0.538. Artinya adalah bahwa sumbangan

pengaruh variabel independen (budaya organisasi dan kompetensi) terhadap variabel

dependen (kinerja karyawan) adalah sebesar 53,8%, sedangkan sisanya sebesar 46,2 %

dipengaruhi oleh variabel yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.

Pembahasan

1. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja karyawan

Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dilihat bahwa

hipotesis yang menyatakan “Diduga terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja

karyawan pada PT (Persero) Angkasa Pura II Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif

Kasim II Pekanbaru”, dapat diterima. Budaya organisasi yang merupakan seperangkat nilai-

nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar merupakan landasan bagi karyawan untuk

berperilaku. Nilai budaya yang mengkristal dalam diri setiap karyawan akan memberikan

dampak positif bagi pencapaian kinerja.

Dari hasil jawaban responden, implementasi nilai-nilai budaya pada perusahaan ini

berada pada kategori baik. Karyawan memiliki komitmen untuk peduli terhadap tumbuh

kembang perusahaannya. Kelugasan karyawan dalam mengambil keputusan yang cerdas,

cermat, cepat dan tegas juga diiplementasikan dengan baik oleh karyawan. Karyawan

memiliki integritas yang baik, selalu menciptakan kelancaran pekerjaan . Sebagai perusahaan

jasa, karyawan juga menjunjung tinggi etika dalam bekerja , selalu berhati-hati dalam

menjalankan tugas, dan memiliki perhatian terhadap resiko dari pengambilan keputusan yang

dilakukan.

Hasil penelitian ini didukung oleh Ogbonna da haris (2000) yang menyatakan terdapat

hubungan antara budaya organisasi dan kinerja. Penelitian lain juga menyatakan bahwa

budaya yang kuat memiliki andil dalam mencapai kesuksesan organisasi (Deal and Kennedy

1982). Hasil penelitian ini juga didukung oleh Kotter dan Heskett (1992) yang

mengemukakan bahwa budaya organisasi mempunyai dampak positif terhadap kinerja

karyawan. Hasil studi lain menyatakan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh yang

mendalam pada variasi proses organisasi, karyawan dan kinerjanya (Sahzad, Luqman, Khan,

Shabbir 2012). Penelitian ini lebih lanjut menyatakan bahwa jika karyawan komitmen dan

memiliki kesamaan norma-norma dan nilai-nilai sebagaimana yang dimiliki organisasinya,

maka akan dapat meningkatkan pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh. Penelitian

lain yang mendukung hasil penelitian ini dikemukakan oleh Nugroho (2006) hasil penelitian

menyimpulkan bahwa secara parsial budaya organisasi memiliki pengaruh signifikan

terhadap kinerja karyawan. Rashid (2003) juga menyimpulkan bahwa budaya organisasi

memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

2. Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan.

Hipotesis yang menyatakan “Diduga terdapat pengaruh dari variabel kompetensi

terhadap kinerja karyawan pada PT (Persero) Angkasa Pura II Kantor Cabang Bandar Udara

Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru”, dapat diterima.

Berdasarkan hasil deskriptif kompetensi karyawan berada pada kategori baik atau sesuai

dengan yang ditetapkan perusahaan, walaupun belum mencapai tingkat sangat baik/sangat

sesuai. Para karyawan sudah mampu berpikir dan bertindak dengan cepat. Kemampuan

Page 82: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

242

karyawan menjalin kerjasama dengan jejaring kerja untuk kelancaran dan keberhasilan

pekerjaan juga sudah dimiliki karyawan dengan baik. Karyawan juga sudah mampu bekerja

dengan berorientasi pada keuntungan perusahaan dengan memaksimalkan kontribusi dari unit

kerja.

Hasil penelitian ini didukung oleh Wainwright, dkk (2005) yang menyatakan bahwa

kompetensi dapat digunakan sebagai upaya peningkatan kinerja melalui penyesuaian

kemampuan komunikasi (Wainwright dkk. 2005). Pengaruh kompetensi terhadap kinerja ini

juga didukung oleh Winanti (2011) yang menyimpulkan bahwa secara parsial kompetensi

memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Penelitian lain juga dilakukan oleh

Sumarno (2008) hasil penelitian menyimpulkan bahwa secara parsial kompetensi memiliki

pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

Penelitian yang dilakukan ini memiliki keterbatasan yang diharapkan dapat

disempurnakan oleh para peneliti berikutnya. Penilaian kompetensi dan kinerja karyawan

masih bersifat persepsi. Peneliti tidak melakukan penilaian terhadap hasil kinerja karyawan

yang bersifat kuantitatif, misalnya pada para pekerja lapangan (divisi teknis), mereka

memiliki penilaian kinerja seperti berapa kali melakukan kesalahan, berapa kali karyawan

melakukan ketidaktepatan waktu pengerjaan tugas. Peneliti-peneliti berikutnya dapat

menguji bagaimana pengaruh kepemimpinan yang dilihat dari aspek keteladanan dan

komitmen mereka terhadap penerapan budaya organisasi. Kepemimpinan akan

mempengaruhi budaya organisasi yang pada akhirnya akan berdampak pada pencapaian

kinerja karyawan. Hal ini menjadi penting karena nilai-nilai budaya akan mengkristal dalam

diri setiap karyawan manakala adanya keteladanan dan komitmen dari pimpinan dalam

menjalankan nilai-nilai budaya tersebut.

Simpulan

Implementasi nilai-nilai budaya pada perusahaan berada pada kategori baik. Namun

demikian, ada beberapa nilai-nilai budaya yang harus diperkuat oleh pimpinan perusahaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai “ dapat dipercaya dengan melaksanakan transaksi

secara jujur dan memegang teguh janji” berada pada kategori cukup baik. Karyawan juga

masih belum terbebas dari konflik-konflik kepentingan untuk tidak menyatukan kepentingan

pribadi dan perusahaan. Sekalipun secara umum implementasi nilai budaya berada pada

kategori baik, tetapi perusahaan harus tetap terus meningkatkan pengkristalan nilai-nilai

tersebut dalam diri setiap karyawannya, sehingga diharapkan PT. Angkasa Pura II (Persero)

Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru akan menjadi perusahaan

yang mampu memberikan pelayanan prima baik kepada eksternal maupun internal

konsumennya.

Walaupun kompetensi berpengaruh pada kinerja dan dikategorikan pada tingkat

baik/sesuai dengan yang ditetapkan organisasi. Namun demikian terdapat beberapa

kompetensi yang masih harus ditingkatkan, karena dari hasil penelitian deskriptif terdapat

kompetensi karyawan yang belum optimal atau berada pada kategori “cukup”. Kompetensi

tersebuat adalah: karyawan belum terlalu mampu bekerja dengan berorientasi pada prestasi,

karyawan belum bisa dengan cepat beradaptasi dengan individu atau kelompok, komunikasi

antar karyawan juga belum menunjukkan hasil yang optimal, dan terakhir karyawan juga

belum mampu dengan baik mengikuti perubahan yang dilakukan perusahaan. Pimpinan

perusahaan harus lebih memberikan perhatian yang besar pada kemampuan-kemampuan

Page 83: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

243

tersebut. Dengan demikian diharapkan peningkatan kualitas karyawan dapat meningkat dan

pada akhirnya akan menghasilkan kinerja yang diharapkan.

Page 84: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

244

Daftar Referensi

Ainon, M., 2003. Psikologi Kejayaan. PTS Publication and Distribution Sdn, Bhd, Pahang

Barney, J. B. 1986. Organizational Culture: Can it be a Source of Sustained Competitive

Advantage? Academy of Management Review, 11, 656-665.

Cascio, W. F. 2006. Managing Human Resources: Productivity, Quality of Life, Profits.

McGraw-Hill Irwin

Deal, TE. And kennedy, A.A . 1982. Corporate Cultures : The Rites and Ritual of Corporate

Life, Reading, MA : Addison-Wesley

Denison, D. R., & Mishra, A. K. 1995. Towards a theory of organizational culture and

effectiveness. Organisation Science, 6(2), 204-23.

Gordon G., & Cummins W. 1979. Managing management climate. Toronto, Canada,

Lexington Books.

Graham, Julia. Spring 2004. Developing a Performance-Based Culture , The Journal for

Quality and Participation 27.1 : 4-8.

Gordon G., & DiTomaso N. 1992. Predicting corporate from performance organizational

culture. Journal of Management Studies, 29, 783-798.

Hameed, Abdul; Waheed, Aameer, 2011. Employee Development and Its Affect on Employee

Performance A Conceptual Framework, Journal of Business and Social Science . Vol. 2 No.

13/Special Issue-July

Hofstede and Hofstede, 2005 Cultures and Organizations, 2nd Edition

Ismail, Rahmah; Abidin, Zainal, Syahida. 2010. Impact of workers’ competence on their

performance in the malaysian private service sector, BEH, Business and Economic Horizons

Volume 2 July pp 25-36

Klein, A. 1996. Validity and reliability for competency-based systems: reducing litigation

risks. Compensation and Benefits Review, July/August, 31-7.

Kotter, J. P., & Heskett, J. L. 1992. Corporate Culture and Performance New York: Free

Press.

Kozlowski, S. W. J., & Klein, K. J. 2000. A multilevel approach to theory and research in

organizations: Contextual, temporal, and emergent processes. In K.J. Klein & S. W. J.

Kozlowski (Eds.), Multilevel theory, research, and methods in organizations (pp. 3-90). San

Francisco: Jossey-Bass.

Legge, K. 1994. Managing Culture: Fact or Fiction. In Sisson, K. (ed.), Personnel

Management: A Comprehensive Guide to Theory and Practice in Britain (pp. 397-433).

Oxford: Blackwell.

Page 85: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

245

Mallack, Larry A; Lyth, David M; Olson, Suzan D; Ulshafer, Susan M;Sardone, Frank J.

2003. Culture, the Built Environment and Healthcare Organizational Performance .

Managing Service Quality 13.1 : 27-38.

Martin, E. C., & Terblanche F. 2003. Building organizational culture that stimulates

creativity and innovation. European Journal of Innovation Management, 6(1), 64-74.

Manopo, Christine. 2011. Competency Based Talent and Performance Magement System.

Jakarta: Salemba Empat.

Miller, G. 1990 . The assessment of clinical skills/competence/performance. Academic

Medicine, 65(9):S63 ,7.

Nugroho, Bambang. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja (Studi

Empiris pada PT. Bank Tabungan Negara Cabang Bandung), Thesis.

Ogbonna and Harris, 2000. Leadership Style, Organizational Culture and Performance;

Emprical evidence from UK Companies. Int. J. Of Human Resource Manegement 11;4

August 2 766-788

Peters, T. J., & Waterman, R. H. 1982. In Search of Excellence. New York, NY: Harper &

Row.

Rashid, Abdul, Zahid. 2003. The Influence of Corporate Culture and Organizational

Commitment on Performance. Journal of Management Development< Vo. 22 iss;8 pp.708-

728

Saher, Noreen; Podsiadlowski, Astrid; Khan, Amanullah, Muhammad. 2012. Organizational

Culture and Organizational Sustainainability in the Liberalized Economy of Pakistan; A case

Study of Service Sector Firm. Interdiciplinary Journal Of Contemporary Reserch In

Business, Vol. 3, No. 11, March.

Sanford, B. (Ed.). 1989. Strategies for maintaining professional competence: A manual

for professional associations and faculty. Toronto, Canada: Canadian Scholars Press, Inc.

Schein, E. M. 2004. Organizational culture and leadership (3rd ed.). Jossy-Bass.

Sedarmayanti. 2011, Manajemen Sumber Daya Manusia

Shahzad, Fakhar; Luqman, Adeel; Khan, Rashid; Shabbir,Lalarukh. 2012. Impact of

Organizational Culture on Organizational Performance: An Overview. Indiciplinary Journal

of Contemporary Research In Business, Vol. 3, No. 9 January.

Spencer & Spencer. 1993 A competency is an underlying characteristic of an individual that

is causally related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job or

situation.

Stannack, p. 1996. Perspective on employees Performance. Management Research News,

119 (4/5), 38-40

Page 86: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

246

Stoica, Michael; Minet Schindehutte. 1999. Understanding Adaptation in Small firms: Links

to Culture and Oerformance. Journal of Developmental Entrepreneurship 4.1: 1-18.

Su, Shili, Organizational Culture and It Themes. 2008. International Journal of Busines and

Management, Vol 3, No. 12 Dec,, Scholl of Foreign Language, Ludong University, Shandong

Province, China

Wainwright, David ; Green, Gill; Mitchel, Ed;Yarrow,David. 2005. Toward a Framework

For Benchmarking ICT Practice, Competence and Performance in Small Business

Wibowo. 2011. Manajemen Kinerja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 7.

Willmott, H. 1993. Strength is Ignorance: Slavery is Freedom: Managing Culture in Modern

Organizations. Journal of Management Studies, 30(4), 515-51.

Winanti, Marliana Budhiningtias, Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja karyawan pada

PT.Frisian Flag Indonesia wilayah Jawa Barat. http://jurnal.unikom.ac.id/ jurnal/pengaruh-

kompetensi-terhadap.24 Vol.7, No. 2

Yuniarsih, Tjutju dan Suwatno. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia Teori, Aplikasi dan

Isu Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Page 87: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

247

BIBLIOGRAFI PENULIS

Nama : Raden Lestari Garnasih

Tempat/Tgl. Lahir ; Pekanbaru/13 Juni 1968

NIP : 19680613 199403 2002

Jabatan ; Lektor

Instansi : Fakultas Ekonomi Universitas Riau,

Jurusan : Manajemen

Hasil Penelitian (4 tahun terakhir) :

1. Analisis Pengaruh Disiplin, pembinaan dan Pengawasan terhadap Prrestasi Kerja PNS pada

Kantor Lurah di Pekanbaru. (research grantt)

2. Pemakalah pada seminar regional Syariah Accounting a Jorney t Madanism Society

3. Pengaruh kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional dan komitmen

organisasional terhadap kinerja dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau

4. Kajian dan Profil UKM di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau

5. Pengaruh Kompetensi dan Kecerdasan Emosional terhadap kinerja guru SMAN 8 Pekanbaru.

6. Persepsi Profesi Sales di Mata Freshgraduate Universitas Riau.

==================================================================

=

Page 88: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

248

KETEPATAN DAN KESALAHAN PERSEPSI KONSUMEN

TERHADAP PIONIR DAN PEMIMPIN PASAR

Ervina Triandewi dan Fandy Tjiptono

Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Email: [email protected]

ABSTRACT

Pioneer and market leader positions are sources of unique differentiation and

competitive advantages. Empirical studies have suggested that pioneer or leader brands tend

to be evaluated more favourably than follower brands. However, consumers’ ability to

recognize pioneer or market leader brands accurately is limited. In fact, their perception and

misperception of market pioneership and market leadership may affect their beliefs and

decision making processes.

The present study aims to investigate consumers’ ability to identify pioneer and

market leader brands across three product categories representing high-tech products, low

involvement goods, and services. It also analyzes consumer evaluation, attitude, and

purchase intention of brands perceived as market leaders, pioneers, and followers. Data

were collected using self-administered questionnaires from a convenient sample of 225

college students in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Four hypotheses adapted from

Kamins et al. (2003) were examined using F-tests, post-hoc tests with Tukey and Duncan

Multiple Range Test (DMRT), and pairwise t-tests.

The results indicate that consumers have lower ability to recognize pioneer brands

than market leader brands (70.89% versus 29.95%). In general, consumers have more

favourable evaluation, attitude, and purchase intention of brands perceived as pioneers or

market leaders than those perceived as followers.

Keywords: Market pioneer, market leader, pioneer advantages, misperception, follower.

PENDAHULUAN

Menjadi yang pertama dan memimpin pasar dalam sebuah kategori produk

merupakan salah satu bentuk diferensiasi ekstrinsik yang mampu membedakan sebuah merek

dengan me-too brands (Carpenter dan Nakamoto 1989; Golder dan Tellis 1993; Trout dan

Rivkin 2008; Kamins et al. 2003). Status pionir pasar (market pioneer) merefleksikan

kemampuan perusahaan untuk berinovasi dalam pasar produk yang dimasuki, sedangkan

status pemimpin pasar (market leader) diasosiasikan dengan kualitas produk yang unggul

(Kamins dan Alpert 2004). Sejumlah riset empiris mengindikasikan bahwa status pionir dan

pemimpin pasar berpotensi memberikan keunggulan kompetitif bagi merek bersangkutan

(Carpenter dan Nakamoto 1989; Kalyanaram dan Urban 1992; Min et al. 2006).

Status pionir dan pemimpin pasar merupakan diferensiasi yang unik karena umumnya

hanya terdapat satu pionir dan satu pemimpin pasar dalam sebuah kategori produk spesifik.

Kendati demikian, dalam praktik, konsumen acapkali keliru mempersepsikan mana yang

merupakan merek pionir atau merek pemimpin pasar dan mana yang bukan (Alpert dan

Kamis 1995; Turnbull et al. 2000). Ketika dihadapkan dengan begitu banyak alternatif merek

dan produk, konsumen sering mengalami situasi yang disebut tyranny of choice (Trout dan

Rivkin 2008) dan akibatnya mereka mengalami kebingungan atau consumer confusion (Leek

dan Kun 2006; Walsh et al. 2007; Edward dan Sahadev 2012). Tantangan bagi pemasar

Page 89: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

249

adalah bahwa persepsi konsumen (baik akurat maupun tidak akurat) tentang status pionir dan

pemimpin pasar berpengaruh signifikan terhadap evaluasi, sikap, dan niat beli konsumen atas

merek yang dipersepsikan (Kamins dan Alpert 1995; Kamins et al. 2003).

Kamins et al. (2003) secara spesifik menguji kemampuan konsumen di Amerika

Serikat dalam mengidentifikasi pemimpin pasar dan pionir pasar pada kategori produk high-

tech dan low-involvement. Mereka menemukan bahwa mayoritas responden keliru

mengidentifikasi pionir dan pemimpin pasar. Menariknya, merek-merek yang dipersepsikan

sebagai pionir dan pemimpin pesar mendapat keuntungan berupa evaluasi, sikap, dan niat beli

yang lebih besar dibandingkan merek-merek yang dipersepsikan sebagai merek pengikut

(follower brands). Riset ini bermaksud mereplikasi dengan beberapa modifikasi penelitian

yang dilakukan Kamins et al. (2003). Selain konteks merek yang beredar atau tersedia di

Indonesia, riset ini juga menambahkan satu kategori jasa, yaitu bank umum. Secara spesifik,

rumusan masalah dalam penelitian ini ada dua, yaitu (1) bagaimana kemampuan konsumen

dalam mengidentifikasi merek pionir dan pemimpin pasar? dan (2) bagaimana evaluasi,

sikap, dan niat beli konsumen terhadap merek-merek yang dipersepsikan sebagai merek

pionir, pemimpin pasar, maupun follower?

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Pionir Pasar Istilah pionir pasar (market pioneer) seringkali diinterpretasikan secara berbeda-beda

(Tjiptono 2011). Schmalensee (1982), misalnya, mendefinisikan pionir sebagai merek yang

pertama kali muncul dalam sebuah kategori baru. Robinson dan Fornell (1985) menegaskan

bahwa pionir merupakan perusahaan yang pertama kali masuk ke sebuah pasar baru. Urban et

al. (1986) merumuskan bahwa pionir adalah produk pertama yang memasuki sebuah pasar.

Golder dan Tellis (1993) mengkritisi bahwa definisi-definisi tersebut memungkinkan ada

beberapa inventor sebuah kategori produk, karena sebuah produk yang benar-benar baru bisa

saja direalisasikan menggunakan beberapa gagasan dan proses. Padahal, belum tentu semua

inventor tersebut memasarkan produknya pertama kali. Oleh karena itu, Golder dan Tellis

(1993) mendefinisikan pionir secara lebih spesifik sebagai merek yang pertama kali

dikomersialisasikan dalam sebuah kategori produk baru.

Sebuah merek pionir diyakini memiliki keunggulan spesifik yang dikenal dengan

istilah first-mover advantages (Lieberman dan Montgomery 1988). Keunggulan tersebut

meliputi dua aspek, yakni consumer-based advantages dan producer-based advantages

(Golder dan Tellis 1993; lihat Tabel 1 untuk rangkuman hasil riset terdahulu tentang

keunggulan pionir). Keunggulan berbasis pelanggan mencakup sejumlah aspek, di antaranya

konsumen cenderung lebih loyal dan enggan beralih merek karena telah familiar dan

memiliki pengalaman dengan merek pionir (Schmalensee 1982; Lieberman dan Montgomery

1988; Alpert et al. 1992), merek pionir menjadi standar industri dan prototype dalam kategori

produk bersangkutan (Schmalensee 1982; Carpenter dan Nakamoto 1989; Carson et al.

2007), konsumen memiliki perilaku, persepsi, niat beli, dan perilaku pembelian yang positif

serta dapat mengingat status merek pionir daripada merek lain (Kamins dan Alpert, 1995;

Rettie dan Hillar 2002), dan merek pionir cenderung lebih diingat, dikenal, dipilih, dan dapat

meningkatkan niat beli konsumen (Kardes et al. 1993; Rettie dan Hillar 2002).

Sementara itu, keunggulan berbasis produsen meliputi hambatan masuk bagi later

entrants dalam bentuk pengendalian aset langka berupa akses pasokan bahan mentah dan

bahan baku, karyawan potensial, dan jejaring distribusi, peluang mendapatkan perlindungan

hak paten, kesempatan menjadi monopolis sementara, potensi melakukan perluasan merek,

Page 90: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

250

dan raihan pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan pesaing (Robinson dan Fornell 1985;

Lieberman dan Montgomery 1988; Kalyanaram dan Urban 1992; Schnaars 1994).

Tabel 1. Keunggulan Pionir

No. Peneliti Tujuan Penelitian Metode/Konteks Temuan Utama

1. Schmalensee

(1982)

Mengeksplorasi perilaku

rasional konsumen dalam

menanggapi keterbatasan

informasi mengenai

kualitas produk.

Studi eksploratoris Later entrants lebih sulit bersaing,

terutama jika merek pionir mampu

membuktikan kualitas dan

memuaskan konsumen.

2. Robinson dan

Fornell (1985)

Mengidentifikasi sumber-

sumber keunggulan pionir.

Analisis 371

consumer products

Urutan memasuki pasar (order of

entry) merupakan determinan utama

pangsa pasar.

3. Urban et al.

(1986)

Meneliti pengaruh urutan

memasuki pasar terhadap

pangsa pasar.

82 merek pada 24

kategori.

Urutan memasuki pasar berbanding

terbalik dengan pangsa pasarnya.

Merek yang pertama kali masuk akan

mendapatkan pangsa pasar terbesar,

sedangkan yang paling lambat

mendapatkan pangsa pasar yang

paling kecil.

4. Lambkin (1988) Meneliti pengaruh order of

entry terhadap tingkat

kinerja pionir, early

followers, dan late

entrants.

129 bisnis yang

masih baru mulai

dan 187 bisnis yang

berkembang.

Pionir memiliki keuntungan jangka

panjang dan pangsa yang lebih tinggi

dibandingkan early followers dan

later entrants.

5. Lieberman dan

Montgomery

(1988)

Meneliti keunggulan dan

kerugian potensial pionir.

Survei literatur

mengenai

keunggulan dan

kerugian

perusahaan-

perusahaan first

mover.

Keunggulan pionir:

Pionir memiliki keleluasaan dalam

mendapatkan sumber daya dan

menentukan strategi ceruk pasar

yang belum terjamah.

Keengganan konsumen untuk

berpindah berkaitan dengan

switching costs dan loyalitas.

Kelemahan pionir:

Kehadiran para pesaing (late

movers) dapat mengurangi

keunggulan pionir.

Kebutuhan konsumen yang

dinamis menciptakan kesempatan

bagi late movers, kecuali jika

pionir dapat segera meresponnya.

6. Robinson

(1988)

Meneliti keunggulan

pangsa pasar pionir pada

industrial goods.

1.209 industri bisnis

manufaktur dari

data PIMS.

Pionir memiliki pangsa pasar,

kualitas produk, lini produk, dan

pasar yang lebih besar/luas

dibandingkan later entrants.

7. Carpenter dan

Nakamoto

(1989)

Meneliti pengaruh urutan

memasuki pasar terhadap

preferensi dan proses

pembelajaran konsumen.

Eksperimen

48 mahasiswa S2.

Merek pionir lebih dipilih oleh

konsumen dan menjadi prototype

dalam kategori produk bersangkutan.

8. Golder dan

Tellis (1993)

Menganalisis kesuksesan

dan kegagalan pionir

berdasarkan tingkat

kesuksesan, pangsa pasar,

dan kepemimpinan pasar.

Analisis 500 merek

dalam 50 kategori.

Hampir setengah (47%) pionir

pasar gagal dan memiliki pangsa

pasar (rata-rata 10%) yang jauh

lebih rendah daripada yang

ditemukan di studi lain.

Hanya 11% pionir yang juga

merupakan pemimpin pasar

Page 91: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

251

No. Peneliti Tujuan Penelitian Metode/Konteks Temuan Utama

Pemimpin pasar memiliki

kesuksesan jangka panjang dan

rata-rata memasuki pasar 13 tahun

setelah pionir.

9. Kardes, et al.

(1993)

Menginvestigasi pengaruh

status pionir pada proses

pengambilan keputusan

konsumen.

Eksperimen

115 mahasiswa

MBA.

Merek pionir lebih diingat, dikenal,

dan dipilih oleh konsumen

dibandingkan dengan follower

brands.

10. Kamins dan

Alpert (1995)

Menginvestigasi perilaku

konsumen berdasarkan

memori, sikap, dan

persepsi terhadap

keunggulan merek pionir.

Survei

560 rumah tangga

di AS.

Konsumen memiliki perilaku,

persepsi, niat berperilaku, dan

perilaku pembelian yang positif

terhadap merek pionir.

Konsumen mengingat merek

pionir lebih baik daripada merek

lain.

11. Kerin et al.

(1996)

Menjelaskan hubungan

antara order of entry, tipe

merek, dan pangsa pasar.

Analisis 2.500 scan

perilaku panelis.

Keunggulan pionir lebih besar dalam

kategori produk baru dan brand

extensions. Kombinasi kedua hal

tersebut adalah yang terbaik.

12. Song (1999) Meneliti keuntungan pionir

dengan membandingkan

industri jasa dan

manufaktur.

Survei

2.419 manajer

perusahaan

manufaktur dan jasa

dari 9 negara.

Manajer dari semua negara

menganggap bahwa pionir

berhubungan dengan pangsa pasar

dan keuntungan yang lebih tinggi.

Risiko pionir lebih dirasakan

penting oleh manajer perusahaan

manufaktur daripada jasa.

Keuntungan biaya dan diferensiasi

pionir lebih dirasakan oleh manajer

perusahaan manufaktur daripada

jasa.

13. Bohlmann et al.

(2002)

Mengkaji potensi

keunggulan pangsa pasar

yang mungkin diraih

pionir.

Studi pada 36

kategori produk (18

high-tech & 18 low-

involvement goods).

Pionir lebih baik pada kategori

produk yang menonjolkan

keragaman produk daripada

kategori produk yang menonjolkan

kualitas.

Pionir pada ketegori produk

dengan high vintage effects

(terutama pada high-tech goods)

menunjukkan pangsa pasar yang

lebih rendah dan tingkat kegagalan

yang lebih tinggi.

14. Rettie dan

Hillar (2002)

Meneliti keunggulan

merek pionir berdasarkan

perspektif konsumen.

Survei

560 rumah tangga

di Inggris.

Konsumen dapat mengingat status

merek pionir daripada merek lain.

Komunikasi mengenai status

pionir meningkatkan niat beli.

Page 92: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

252

No. Peneliti Tujuan Penelitian Metode/Konteks Temuan Utama

5. Carson, et al.

(2007)

Meneliti pengaruh evolusi

desain produk secara

simultan pada

kelanggengan keunggulan

pionir sebagai prototype.

Eksperimen

97 mahasiswa S1

4 merek

Pionir memiliki keunggulan

prototype setelah pengenalan awal

di pasaran dibandingkan dengan

me-too brands.

Keunggulan prototype yang

dimiliki oleh pionir akan menurun

jika produk pionir tersebut tidak

melakukan inovasi (stagnan).

Keunggulan prototype yang

dimiliki oleh merek pionir akan

meningkat apabila pionir secara

aktif melakukan inovasi yang

mendahului/selangkah di depan

me-too brands.

Kepemimpinan Pasar

Kamins et al. (2003) mendefinisikan pemimpin pasar sebagai merek dalam sebuah

kategori yang memiliki pangsa pasar paling besar di antara semua merek lain dalam kategori

tersebut, didasarkan pada hasil penjualan. Menurut Pleshko dan Heiens (2012), tingkat

kepemimpinan pasar diasosiasikan dengan kinerja sebuah perusahaan. Kepemimpinan pasar

dipandang tidak hanya sekedar pangsa pasar, melainkan juga termasuk atribut kinerja, seperti

teknologi, inovasi, kualitas, dan reputasi (Simon 2009).

Status pionir pasar tidak selalu berkaitan dengan posisi sebagai pemimpin pasar,

apalagi dalam jangka panjang. Riset Golder dan Tellis (1993) dan Schnaars (1994)

menunjukkan dengan gamblang bahwa banyak di antara pionir yang berguguran. Dari total

212 perusahaan yang memasarkan produk yang benar-benar baru, 66 di antaranya adalah

pionir, dan hanya 23%-nya saja yang mampu bertahan selama kurang lebih 12 tahun, namun

pada pionir yang memulai sebuah pasar baru disertai peningkatan inovasi dapat bertahan

selama kurang lebih 12 belas tahun sebanyak 61% (Min et al. 2006). Trout (2001)

mengingatkan bahwa kesuksesan dapat menimbulkan arogansi sehingga perusahaan menjadi

kurang objektif, terlalu cepat puas diri, dan meremehkan kemajuan pesaing.

Pengembangan Hipotesis

Kesalahan Persepsi Konsumen

Persepsi merupakan suatu proses memilih, memilah, mengatur, dan

menginterpretasikan informasi dari dunia luar melalui reseptor sensorik (pancaindera)

terhadap stimulus dasar (cahaya, warna, dan suara) yang memengaruhi tindakan, keputusan,

dan kebiasaan dalam berbelanja (Schiffman dan Kanuk 2010; Solomon et al. 2012). Setiap

individu memiliki persepsi yang unik didasarkan pada pengalaman, kebutuhan, keinginan,

hasrat, dan ekspektasi masing-masing (Schiffman dan Kanuk 2010). Implikasinya, persepsi

dalam pemasaran bahkan sering lebih penting daripada realitas karena persepsi dapat

memengaruhi tindakan konsumen selanjutnya (Kotler dan Keller 2012). Ries dan Trout

(2000) bahkan menegaskan bahwa pemasaran bukan mengenai pertarungan produk,

melainkan pertarungan persepsi.

Jacoby dan Hoyer (1982) menguraikan bahwa kesalahan persepsi konsumen terjadi

ketika penerima pesan membuat kesimpulan secara tidak benar atau mendapatkan arti yang

membingungkan dari suatu komunikasi. Dalam konteks pionir dan pemimpin pasar,

Kalyanaram et al. (1992) menemukan bahwa urutan memasuki pasar memengaruhi

pembelajaran dan menciptakan bias pada penentuan preferensi terhadap pionir. Sayangnya,

Page 93: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

253

dalam praktik, tidak sedikit pionir dan pemimpin pasar yang tidak mengkonfirmasi status

pionir dan pemimpin pasarnya. Akibatnya, para pesaing berpeluang merebut klaim tersebut

melalui media iklan, logo, dan kemasan yang pada akhirnya menimbulkan misleading

advertising. Kamins et al. (2003), misalnya, menemukan bahwa sebesar 81,9% responden

keliru mengidentifikasi merek pionir yang bukanlah pemimpin pasar saat ini. Dengan

demikian, H1a dan H1b dirumuskan sebagai berikut:

H1a: Mayoritas responden akan mengalami kesalahan persepsi dalam mengidentifikasi

pemimpin pasar.

H1b: Mayoritas responden akan mengalami kesalahan persepsi dalam mengidentifikasi

merek pionir.

Keuntungan Dipersepsikan Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar

Trout dan Rivkin (2008) dan Denstadli et al. (2005) menyatakan bahwa merek yang

pertama kali ‘menancap’ dalam ingatan konsumen dianggap sebagai merek superior

sedangkan sisanya adalah merek kelas dua. Berdasarkan fenomena double jeopardy, merek

besar dan terkenal memiliki atribut yang kuat, seperti pada merek pionir dan pemimpin pasar,

yang cenderung menikmati keuntungan dengan memiliki lebih banyak pelanggan dan tingkat

loyalitas yang lebih tinggi (Ehrenberg et al. 1990). Dengan demikian, H2a dan H2b

dirumuskan sebagai berikut:

H2a1: Evaluasi konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pemimpin

pasar dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.

H2a2: Sikap konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pemimpin

pasar dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.

H2a3: Niat beli akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pemimpin pasar

dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.

H2b1: Evaluasi konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pionir

dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.

H2b2: Sikap konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pionir

dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.

H2b3: Niat beli akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pionir dibandingkan

jika diidentifikasi sebagai follower.

Keuntungan Kesalahan Persepsi Konsumen Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar

Banyak merek follower yang berusaha memposisikan diri dan menciptakan kesan

pada konsumen bahwa mereknya adalah pionir dan pemimpin pasar. Ironisnya, terdapat

beberapa pemimpin pasar yang justru tidak mengkomunikasikan kepemimpinan mereka

(Trout dan Rivkin 2008). Padahal dari sisi konsumen, posisi perusahaan sebagai pemimpin

pasar diasosiasikan sebagai produk yang berkualitas, dipercaya dan dapat diandalkan

(Kamins dan Alpert 2004). Persepsi yang akurat memang akan memberikan keuntungan lebih

pada pemegang status yang sesungguhnya, namun persepsi yang keliru justru akan

memberikan keuntungan bagi merek-merek follower yang dianggap sebagai pionir dan

pemimpin pasar (Kamins et al. 2003). Oleh sebab itu, hipotesis H3a dan H3b dirumuskan

sebagai berikut:

H3a1: Evaluasi konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai

pemimpin pasar akan sama/ekuivalen dengan evaluasi konsumen yang mampu

mengidentifikasi pemimpin pasar sejati (true market leader).

Page 94: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

254

H3a2: Sikap konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pemimpin

pasar akan sama/ekuivalen dengan sikap konsumen yang mampu mengidentifikasi

pemimpin pasar sejati.

H3a3: Niat beli konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai

pemimpin pasar akan sama/ekuivalen niat beli konsumen yang mampu

mengidentifikasi pemimpin pasar sejati.

H3b1: Evaluasi konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir

akan sama/ekuivalen dengan evaluasi konsumen yang mampu mengidentifikasi pionir

sejati (true pioneer).

H3b2: Sikap konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir

akan sama/ekuivalen dengan sikap konsumen yang mampu mengidentifikasi pionir

sejati.

H3b3: Niat beli konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir

akan sama/ekuivalen niat beli konsumen yang mampu mengidentifikasi pionir sejati.

Persepsi Konsumen Terhadap Pemimpin Pasar vs. Pionir

Hellofs dan Jacobson (1999) meneliti pengaruh pangsa pasar pada perceived quality

dan menemukan bahwa konsumen mempersepsikan produk dengan pangsa pasar besar

memiliki kualitas unggul, terutama pada merek dengan harga premium. Berdasarkan

psikologi kepemimpinan pasar, Trout dan Rivkin (2008) menegaskan bahwa konsumen

memiliki tendensi untuk mengagumi, memercayai, dan menyukai merek besar yang

diasosiasikan dengan kesuksesan, status, dan kepemimpinan. Kamins et al. (2003)

menyatakan bahwa market pioneership merupakan prestasi masa lalu, sedangkan

kepemimpinan pasar adalah prestasi saat ini. Oleh karena itu, mereka berargumen bahwa

informasi saat ini (kepemimpinan pasar) lebih bermanfaat bagi informasi masa lalu

(pioneership). Dengan demikian, H4a, H4b, dan H4c dirumuskan sebagai berikut:

H4a: Sebuah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan dievaluasi secara lebih

baik daripada jika dipersepsikan sebagai pionir.

H4b: Sebuah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan memiliki sikap

konsumen yang lebih baik daripada jika dipersepsikan sebagai pionir.

H4c: Sebuah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan memiliki niat beli

konsumen yang lebih baik daripada jika dipersepsikan sebagai pionir.

METODE PENELITIAN

Konteks Penelitian

Penelitian ini merupakan replikasi studi Kamins et al. (2003) yang meneliti produk

high-tech dan low-involvement. Obyek penelitian dalam riset ini mencakup produk high-tech,

low-involvement goods, dan jasa. Sektor jasa diwakili bank umum (BRI = pionir, Bank

Mandiri = pemimpin pasar, BNI, dan BCA), produk high-tech diwakili smartphone android

(HTC = pionir, Samsung = pemimpin pasar, Sony, dan LG), dan produk low-involvement

diwakili minyak angin aromatherapy roll-on (Safe Care = pionir, Fresh Care = pemimpin

pasar, Herborist, dan V Fresh). Sumber konfirmasi status dalam setiap kategori produk

berasal dari peraturan perundang-undangan, data publikasi konvensional Bank Indonesia,

serta artikel dari website-website resmi yang reliabel.

Instrumen Pengukuran

Riset ini menerapkan survei dengan kuesioner berupa 75 pertanyaan tertutup yang

diadaptasi dari Kamins et al. (2003). Jumlah pertanyaan per kategori produk adalah 4 item

Page 95: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

255

identifikasi pionir dan pemimpin pasar, 5 item evaluasi, 3 item sikap, dan 1 item niat beli.

Skala yang dipergunakan untuk pertanyaan mengenai identifikasi dan variabel evaluasi

adalah dengan check point. Sedangkan untuk variabel sikap dan niat beli menggunakan 7

point Likert scale. Pada identifikasi pionir dan pemimpin pasar, responden diminta untuk

menjawab merek dalam ketiga kategori produk yang mereka persepsikan sebagai pionir dan

pemimpin pasar. Responden kemudian diminta menjawab seberapa yakinkah bahwa jawaban

mereka jawaban tepat. Pada variabel evaluasi, sikap, dan niat beli, responden diminta

mengevaluasi keempat merek dalam ketiga kategori produk. Pada variabel evaluasi,

responden diminta membandingkan 4 merek dalam ketiga kategori produk yang diteliti

berdasarkan lima atribut (paling dapat diandalkan, paling terpercaya, berteknologi paling

tinggi, nilai terbaik (best value), dan bercitra terbaik). Mereka diminta memberi tanda

centang () pada salah satu merek yang mereka anggap terbaik untuk setiap atribut. Oleh

sebab itu, setiap merek berkemungkinan mendapat tanda centang antara 0 dan 5. Indeks

evaluasi adalah 0 (tanpa centang), 0,2 (1 centang), 0,4 (2 centang), sampai 1 (5 centang).

Pada variabel sikap, meliputi: sangat tidak baik (unfavorable)-sangat baik (favorable), sangat

tidak suka-sangat suka, dan sangat negatif-sangat positif (skoring 1-7). Pada variabel niat

beli, responden diberi pertanyaan seberapa inginkah mereka membeli merek-merek tersebut

(skoring 1-7).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Responden

Sebanyak 255 kuesioner didistribusikan pada mahasiswa/i di enam perguruan tinggi

swasta dan negeri, yaitu UAJY, UKDW, USD, ISI, UMY, dan UGM. Namun, hanya 213

kuesioner yang terisi lengkap dan dapat dianalisis lebih lanjut (response rate 83,53%).

Mayoritas responden adalah pria (60,6%), memiliki uang saku per bulan kurang dari Rp 1

juta (53,1%), dan berusia antara 18-20 tahun (70,4%).

Reliabilitas dan Validitas

Multiple-item scales yang digunakan adalah evaluasi dan sikap. Kedua-duanya

reliabel dengan Cronbach’s Alpha masing-masing 0,802 (evaluasi) dan 0,917 (sikap). Semua

item individual juga valid, dengan nilai r-hitung yang lebih besar daripada r-tabel (0,134).

Variabel niat beli tidak diuji reliabilitas dan validitas karena hanya memiliki 1 item

pertanyaan.

Kesalahan Persepsi Konsumen Terhadap Merek Pionir dan Pemimpin Pasar

Statistika deskriptif digunakan untuk menganalisis kesalahan persepsi konsumen

terhadap pionir dan pemimpin pasar (lihat Tabel 2). Berdasarkan rata-rata kesalahan persepsi

konsumen pada ketiga kategori produk, mayoritas responden cenderung keliru

mengidentifikasi pionir dibandingkan pemimpin pasar (70,89% vs. 29,95%). Persentase

kesalahan persepsi konsumen terhadap pionir tertinggi terdapat pada kategori smartphone

android, yaitu 85,33% dan terendah pada bank umum, yaitu 56,19%. Untuk kesalahan

persepsi konsumen terhadap pemimpin pasar, persentase tertinggi terdapat pada kategori

bank umum (67,78%) dan terendah pada smartphone android (9,05%). Dengan demikian, H1a

ditolak dan H1b diterima.

Page 96: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

256

Tabel 2. Kesalahan Persepsi Responden Berdasarkan Kategori Produk

Kategori

Kesalahan Persepsi terhadap

Pionir

Kesalahan Persepsi terhadap

Pemimpin Pasar

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Bank Umum 107/188* 56,91% 122/180 67,78%

Smartphone Android 157/184 85,33% 18/199 9,05%

Minyak Angin

Aromatherapy Roll-on 116/164 70,73% 25/172 14,53%

Rata-rata 380/536 70,89% 165/551 29,95%

Catatan: * Jumlah responden yang keliru dalam mengidentifikasi merek pionir dan pemimpin pasar namun

yakin bahwa jawabannya tepat. Contoh pada kategori bank umum kolom kesalahan persepsi terhadap

pionir tertulis angka 107/188. Artinya, dari total sampel 213 orang, terdapat 188 responden yang

keliru mengidentifikasi merek pionir bank umum dan sebanyak 107 orang di antaranya merasa yakin

bahwa jawabannya tepat.

Terdapat tiga faktor yang mungkin menyebabkan responden mengalami kesalahan

persepsi terhadap tiga kategori produk tersebut. Pertama, faktor historis berkenaan dengan

usia kategori produk dapat menyebabkan kekeliruan persepsi. Usia kategori produk yang

cukup tua (bank umum) cenderung membuat responden sulit untuk mengingat sang pionir,

terlebih jika responden tidak berada di era yang sama ketika kategori produk tersebut pertama

kali muncul. Hal tersebut kemudian dapat memicu adanya primary effect yang tidak selaras

dengan fakta sesungguhnya.

Kedua, faktor similarity juga dapat disinyalir menjadi penyebab kesalahan persepsi.

Pada kategori minyak angin aromatherapy roll-on, merek pionir (Safe Care) dan pemimpin

pasar (Fresh Care) memiliki kemiripan baik dari nama merek maupun kemasan, sehingga

responden mengalami kebingungan dalam mengidentifikasi dan kemudian muncullah

kesalahan persepsi dalam proses identifikasi (Kocyigit dan Ringle 2011).

Ketiga, status pionir dan pemimpin pasar yang tidak diklaim oleh sebuah merek juga

dapat berpotensi membuat responden keliru dalam mengidentifikasinya, sehingga responden

hanya sekedar menebak berdasarkan merek yang sering didengar atau terkenal (Kamins dan

Alpert 1995). Hal itu kemudian menimbulkan recency effect, dimana responden cenderung

mempersepsikan merek yang lebih familiar, memiliki pamor, dan sering muncul dalam

aktivitas pemasaran sebagai pionir. Faktor popularitas merek, familiaritas, kekuatan jejaring

distribusi, dan intensitas komunikasi pemasaran berkontribusi pula pada tingginya akurasi

identifikasi pemimpin pasar.

Keuntungan Dipersepsikan Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar

Uji F-test dan post-hoc test digunakan untuk menguji H2a dan H2b. Dari 36 kasus,

terdapat 13 hasil F-test yang tidak signifikan. Hasil uji yang tidak signifikan mencerminkan

tidak adanya perbedaan pada ketiga status merek (pionir, pemimpin pasar, dan follower).

Hasil uji yang tidak signifikan banyak ditemukan pada kategori high-tech, khususnya pada

variabel sikap dan niat beli. Hal tersebut mengindikasikan bahwa secara umum tidak terdapat

perbedaan sikap dan niat beli konsumen yang mempersepsikan merek-merek smartphone

android (HTC, LG, Samsung, dan Sony) sebagai pionir, pemimpin pasar, maupun follower.

Untuk 23 hasil F-test yang signifikan diuji lebih lanjut menggunakan Tukey dan Duncan

Multiple Range Test (DMRT) (lihat Tabel 3a, 3b, dan 3c).

Page 97: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

257

Tabel 3a. Hasil Uji Tukey Untuk Perbedaan Evaluasi Konsumen

No. Kategori Produk

Merek Mean difference

P-L P-F L-P L-F F-P F-L

1. Bank umum (jasa)

BCA 0,0164

(p=0,939) 0,440***

(p=0,000) -0,0164

(p=0,939) 0,424***

(p=0,000) -0,440*** (p=0,000)

-0,424*** (p=0,000)

BNI -0,231*** (p=0,005)

0,081 (p=0,112)

0,231*** (p=0,005)

0,311*** (p=0,000)

-0,081 (p=0,112)

-0,311*** (p=0,000)

BRI -0,068

(p=0,268) 0,087***

(p=0,008) 0,068

(p=0,268) 0,154***

(p=0,001) -0,087*** (p=0,008)

-0,154*** (p=0,001)

Mandiri -0,015

(p=0,963) 0,185***

(p=0,002) 0,015

(p=0,963) 0,200***

(p=0,000) -0,185*** (p=0,002)

-0,200*** (p=0,000)

2. Smartphone android (high-

tech)

HTC 0,039

(p=0,773) 0,107*

(p=0,000) -0,039

(p=0,773) 0,067

(p=0,418) -0,107*** (p=0,000)

-0,067 (p=0,418)

LG -0,137

(p=0,106) 0,115***

(p=0,001) 0,137

(p=0,106) 0,252***

(p=0,000) -0,107*** (p=0,001)

-0,252*** (p=0,000)

Sony -0,087

(p=0,637) 0,108***

(p=0,008) 0,087

(p=0,637) 0,196

(p=0,094) -0,108*** (p=0,008)

-0,196 (p=0,094)

3. Minyak angin aromatherapy roll-on (low-involvement

Fresh Care

0,009 (p=0,990)

0,387*** (p=0,010)

-0,009 (p=0,990)

0,378*** (p=0,007)

-0,387*** (p=0,010)

0,378*** (p=0,007)

Herborist 0,105

(p=0,107) 0,184***

(p=0,000) -0,105

(p=0,107) 0,079

(p=0,200) -0,184*** (p=0,000)

-0,079 (p=0,200)

Safe Care 0,102

(p=0,401) 0,277***

(p=0,000) -0,102

(p=0,401) -0,379*** (p=0,000)

-0,277*** (p=0,000)

0,379*** (p=0,000)

V Fresh -0,124**

(p=0,017) 0,079***

(p=0,009) 0,124**

(p=0,017) 0,204***

(p=0,000) -0,079*** (p=0,009)

-0,204*** (p=0,000)

Catatan: 1. Uji Tukey hanya dilakukan pada merek-merek yang sikap konsumennya berbeda signifikan pada uji F-test. Oleh sebab

itu, untuk merek Samsung tidak dilakukan uji Tukey.

2. ** signifikan pada = 5%; *** signifikan pada = 1%; P = merek dipersepsikan sebagai pionir; L = merek dipersepsikan sebagai pemimpin pasar; F = merek dipersepsikan sebagai follower.

Tabel 3b. Hasil Uji Tukey Untuk Perbedaan Sikap Konsumen

No. Kategori Produk

Merek Mean difference

P-L P-F L-P L-F F-P F-L

1. Bank umum (jasa)

BCA 0,253

(p=0,711) 4,222***

(p=0,000) -0,253

(p=0,711) 3,968***

(p=0,000) -4,222*** (p=0,000)

-3,968*** (p=0,000)

BRI -0,578**

(p=0,047) 0,285

(p=0,181) 0,578**

(p=0,047) 0,863***

(p=0,001) 0,285

(p=0,181) -0,863*** (p=0,001)

Mandiri -0,053

(p=0,980) 0,563

(p=0,070) 0,053

(p=0,980) 0,616***

(p=0,002) 0,563

(p=0,070) -0,616*** (p=0,002)

2. Minyak angin aromatherapy roll-on (low-involvement

Fresh Care

-0,034 (p=0,989)

1,281** (p=0,016)

0,034 (p=0,989)

1,315*** (p=0,007)

-1,281** (p=0,016)

-1,315*** (p=0,007)

Herborist 0,108

(p=0,973) 0,724**

(p=0,012) -0,108

(p=0,973) 0,615

(p=0,324) -0,724**

(p=0,012) -0,615

(p=0,324)

Safe Care -0,052

(p=0,984) 0,552***

(p=0,006) 0,052

(p=0,984) 0,603

(p=0,085) -0,552*** (p=0,006)

-0,603 (p=0,085)

Catatan: 1. Uji Tukey hanya dilakukan pada merek-merek yang sikap konsumennya berbeda signifikan pada uji F-test. Pada

kategori smartphone android, tak satupun merek yang berbeda nilai sikap konsumennya. Demikian pula halnya dengan BNI dan V Fresh.

2. ** signifikan pada = 5%; *** signifikan pada = 1%; P = merek dipersepsikan sebagai pionir; L = merek dipersepsikan sebagai pemimpin pasar; F = merek dipersepsikan sebagai follower.

Page 98: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

258

Tabel 3c. Hasil Uji Tukey Untuk Perbedaan Niat Beli

No. Kategori Produk

Merek Mean difference

P-L P-F L-P L-F F-P F-L

1. Bank umum (jasa)

BCA 0,378

(p=0,382) 1,378***

(p=0,000) -0,378

(p=0,382) 1,000***

(p=0,000) -1,378*** (p=0,000)

-1,000*** (p=0,000)

BRI -0,565

(p=0,199) 0,285

(p=0,392) 0,565

(p=0,199) 0,851**

(p=0,026) -0,285

(p=0,392) -0,851**

(p=0,026)

Mandiri -0,191

(p=0,832) 0,690

(p=0,062) 0,191

(p=0,832) 0,882***

(p=0,000) -0,690

(p=0,062) -0,882*** (p=0,000)

2. Minyak angin aromatherapy roll-on (low-involvement)

Fresh Care

0,164 (p=0,852)

2,500*** (p=0,000)

-0,164 (p=0,852)

2,336*** (p=0,000)

-2,500*** (p=0,000)

-2,336*** (p=0,000)

Herborist -0,235

(p=0,913) 0,709**

(p=0,015) 0,235

(p=0,913) 0,944

(p=0,189) -0,709**

(p=0,015) -0,944

(p=0,189)

Safe Care 0,098

(p=0,963) 0,962***

(p=0,000) -0,098

(p=0,963) 0,864**

(p=0,036) -0,962*** (p=0,000)

-0,864** (p=0,036)

Catatan: 1. Uji Tukey hanya dilakukan pada merek-merek yang sikap konsumennya berbeda signifikan pada uji F-test. Pada

kategori smartphone android, tak satupun merek yang berbeda nilai sikap konsumennya. Demikian pula halnya dengan BNI dan V Fresh.

2. ** signifikan pada = 5%; *** signifikan pada = 1%; P = merek dipersepsikan sebagai pionir; L = merek dipersepsikan sebagai pemimpin pasar; F = merek dipersepsikan sebagai follower.

Pada kategori bank umum, smartphone android, maupun minyak angin aromatherapy

roll-on, terdapat perbedaan evaluasi antara merek yang dipersepsikan sebagai pionir maupun

pemimpin pasar dengan merek yang dipersepsikan sebagai follower pada ketiga kategori

produk. Sebanyak 10 dari 11 kasus menunjukkan perbedaan yang signifikan antara merek

yang dipersepsikan sebagai pionir dengan follower dengan nilai antara 0,000 sampai 0,010.

Terdapat 8 dari 11 kasus yang menunjukkan perbedaan signifikan antara merek yang

dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dengan follower dengan nilai antara 0,000 sampai

0,007 pada variabel evaluasi. Skor P-F dan L-F menunjukkan nilai mean difference positif,

artinya ketika merek-merek tersebut dipersepsikan sebagai pionir maupun pemimpin pasar,

evaluasi konsumen terhadap merek tersebut lebih baik jika dibandingkan ketika merek-merek

tersebut dipersepsikan sebagai follower.

Hasil uji Tukey untuk sikap konsumen menunjukkan bahwa secara umum terdapat

perbedaan signifikan antara merek yang dipersepsikan sebagai pionir maupun pemimpin

pasar dengan merek yang dipersepsikan sebagai follower pada jenis kategori bank umum

(jasa) dan smartphone android (low-involvement). Perbedaan signifikan antara merek yang

dipersepsikan sebagai pionir dengan follower dijumpai pada 4 dari 6 kasus ( antara 0,000

sampai 0,016). Begitu pula dengan merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar

dengan follower ( antara 0,000 sampai 0,007). Skor positif pada P-F dan L-F

mengindikasikan bahwa sikap konsumen yang mempersepsikan merek-merek tersebut

sebagai pionir maupun pemimpin pasar lebih baik dibandingkan sikap konsumen yang

mempersepsikan merek-merek bersangkutan sebagai follower. Untuk kategori high-tech

(smartphone android), tidak dilakukan uji lanjut karena tidak ditemukan perbedaan yang

signifikan berdasarkan variabel sikap pada hasil F-test.

Perbedaan signifikan juga dijumpai pada merek yang dipersepsikan sebagai pionir

versus follower (4 dari 6 kasus) dan pemimpin pasar versus follower (5 dari 6 kasus) pada

kategori jasa dan low-involvement product. Hasil pada Tabel 3c menunjukkan bahwa niat beli

konsumen yang mempersepsikan merek-merek tersebut sebagai pionir dan pemimpin pasar

lebih besar dibandingkan ketika merek-merek tersebut dipersepsikan sebagai follower.

Page 99: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

259

Khusus untuk kategori high-tech product, tidak dijumpai perbedaan signifikan dalam

hal sikap konsumen dan niat beli. Sementara untuk evaluasi konsumen, perbedaan signifikan

ditemukan pada 3 merek, kecuali Samsung. Tampaknya status pionir, pemimpin pasar, dan

follower tidak berkaitan erat dengan sikap dan niat beli konsumen untuk smartphone android.

Faktor-faktor lain, seperti harga, fitur, dan desain, mungkin lebih dipertimbangkan konsumen

dalam memilih produk ini. Dengan demikian, H2a1 dan H2b1 mengenai evaluasi diterima,

untuk H2a2 dan H2b2 mengenai sikap diterima untuk kategori produk bank umum dan minyak

angin aromatherapy roll-on, serta H2a3 dan H2b3 mengenai niat beli diterima untuk kategori

produk bank umum dan minyak angin aromatherapy roll-on.

Keuntungan Kesalahan Persepsi Konsumen Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar

Hipotesis ketiga menyatakan bahwa penilaian konsumen terhadap follower brands

yang keliru diidentifikasi sebagai pemimpin pasar atau pionir akan sama dengan penilaian

konsumen terhadap pemimpin pasar atau pionir sejati. Dengan kata lain, merek-merek yang

keliru dipersepsikan akan mendapatkan manfaat atau keuntungan yang sama dengan merek-

merek yang dipersepsikan secara akurat. Pengujian dilakukan dengan membandingkan rata-

rata skor evaluasi, sikap, dan niat beli untuk kasus accurate identification dan kesalahan

persepsi untuk merek pemimpin pasar dan pionir.

Hasil uji pairwise t-test untuk kepemimpinan pasar pada Tabel 4 menunjukkan

perbedaan penilaian konsumen dijumpai pada 5 dari 9 kasus. Dalam hal ini, pemimpin pasar

sejati mendapatkan penilaian lebih tinggi daripada follower brands yang keliru dipersepsikan

sebagai pemimpin pasar. Sementara itu, merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai

pemimpin pasar menikmati evaluasi yang sama dengan pemimpin pasar sejati pada

smartphone android dan minyak angin aromatherapy, sikap yang sama pada bank umum,

serta niat beli yang sama pada minyak angin aromatherapy. Dengan demikian, H3a1 diterima

untuk kategori smartphone android dan minyak angin aromatherapy, H3a2 diterima untuk

bank umum, serta H3a3 diterima untuk minyak angin aromatherapy.

Untuk market pioneership, hanya 1 dari 9 kasus yang menunjukkan bahwa pionir

sejati mendapatkan penilaian lebih baik daripada merek follower yang keliru dipersepsikan

sebagai pionir. Sisanya, merek-merek yang keliru dipersepsikan justru menikmati keuntungan

yang sama dalam hal evaluasi, sikap, dan niat beli konsumen. Jadi, H3b1 dan H3b3 diterima

untuk semua kategori, sedangkan H3b2 diterima untuk bank umum dan minyak angin

aromatherapy roll-on. Hal ini merefleksikan kekuatan persepsi konsumen dalam

mempengaruhi penilaiannya terhadap sebuah merek. Keuntungan merek pionir dan pemimpin

pasar sejati dapat direbut oleh merek-merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir

atau pemimpin pasar.

Tabel 4. Keuntungan Accurate Identification versus Misperception

No. Kategori Produk

Kepemimpinan Pasar Market Pioneership

Pemimpin Pasar Sejati

Follower Dipersepsikan

Sebagai Pemimpin

Pasar

t-test Pionir Sejati

Follower Dipersepsikan

Sebagai Pionir

t-test

Skor Rata-rata Evaluasi

1. Bank umum 0,389 0,116 4,529

(=0,020)** 0,314 0,116

2,358

(=0,100)

2. Smartphone android 0,349 0,440 -0,634

(=0,571) 0,302 0,440

-1,053

(=0,370)

3. Minyak angin aromatherapy roll-on

0,297 0,226 0,435

(=0,693) 0,320 0,226

0,673

(=0,549)

Page 100: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

260

Skor Rata-rata Sikap

1. Bank umum 5,680 4,149 1,881

(=0,157) 5,498 4,149

2,358

(=0,100)

2. Smartphone android 5,401 5,037 3,565

(=0,038)** 5,394 5,037

4,748

(=0,018)**

3. Minyak angin aromatherapy roll-on

5,295 4,532 4,122

(=0,026)** 5,186 4,532

2,589

(=0,081)

Skor Rata-rata Niat Beli

1. Bank umum 5,714 4,877 10,392

(=0,002)*** 5,526 4,877

2,358

(=0,100)

2. Smartphone android 5,267 4,642 7,098

(=0,006)*** 5,190 4,642

2,561

(=0,083)

3. Minyak angin aromatherapy roll-on

5,128 3,954 2,959

(=0,060) 4,972 3,954

1,875

(=0,158)

Catatan: Evaluasi dinilai dengan skor antara 0-1, sikap dan niat beli menggunakan skoring antara 1 sampai 7.

** Signifikan pada = 5%; *** Signifikan pada = 1%.

Persepsi Konsumen Terhadap Pemimpin Pasar vs. Pionir

Untuk menguji apakah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dinilai

lebih baik daripada merek yang dipersepsikan sebagai pionir, pengujian dilakukan dengan

mengacu pada kolom L-P pada Tabel 3a, 3b, dan 3c. Hasilnya, hanya terdapat 3 dari 23 kasus

yang mengindikasikan bahwa merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dinilai lebih

baik daripada pionir. Dapat disimpulkan bahwa secara umum persepsi konsumen (evaluasi,

sikap, dan niat beli) terhadap pemimpin dan pasar dan pionir tidak berbeda signifikan. Ini

mungkin dikarenakan status pionir dan pemimpin pasar merupakan hal yang ambigu bagi

sebagian konsumen. Bisa jadi mereka mempersepsikan pemimpin pasar saat ini adalah juga

pionir di kategori bersangkutan. Itu juga sebabnya tingkat kesalahan persepsi konsumen

terhadap pionir lebih tinggi dibandingkan tingkat kesalahan persepsi konsumen terhadap

pemimpin pasar. Konsekuensinya, H4a, H4b, dan H4c ditolak.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI MANAJERIAL

Simpulan

Riset ini menemukan bahwa kekeliruan persepsi konsumen terhadap pionir lebih

tinggi dibandingkan pemimpin pasar (70,89% vs. 29,95%). Tidak terdapat perbedaan persepsi

(evaluasi, sikap, dan niat beli) yang signifikan antara merek yang dipersepsikan sebagai

pionir dan pemimpin pasar, baik pada kategori jasa, high-tech, maupun low-involvement

product. Akan tetapi, secara umum merek-merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar

atau pionir mendapatkan penilaian yang lebih baik dibandingkan merek follower, terutama

untuk bank umum dan minyak angin aromatherapy.

Implikasi Manajerial

Perusahaan penyandang status pionir perlu mengkomunikasikan statusnya agar

keunggulan pionir dapat dimaksimalkan. Selain itu, melihat dari kemampuan mayoritas

responden yang lebih baik dalam mengidentifikasi pemimpin pasar, maka akan lebih bagus

jika merek pionir mampu meraih posisi sebagai pemimpin pasar. Dalam hal ini tidaklah

cukup hanya menjadi pionir saja, tetapi merek pionir harus berusaha menjadi pemimpin

pasar, sehingga posisi akan semakin kuat dengan dua kemenangan yang diperoleh (Trout dan

Rivkin 2008).

Bagi pemimpin pasar, berbagai upaya dalam rangka mengkomunikasikan dan/atau

mengklaim status perlu dilakukan, misalnya mencantumkan prestasi-prestasi yang diraih pada

Page 101: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

261

kemasan atau menginformasikan pada konsumen melalui media massa mengenai capaian

pangsa pasar. Bila klaim status tidak dilakukan, maka merek follower siap menikmati

keuntungan pionir dan pemimpin pasar lewat misperception effects.

DAFTAR REFERENSI

Alpert, F.H., A.M. Kamins, dan J.L. Graham. 1992. An Examination of Reseller-Buyer

Attitudes toward Order of Brand Entry. Journal of Marketing 56: 25-37.

Bohlmann, J.D., P.N. Golder, dan D. Mitra. 2002. Deconstructing the Pioneer’s Advantage:

Examining Vintage Effects and Consumer Valuations of Quality and Variety.

Management Science 48/9: 1175-1195.

Carpenter, G.S. dan K. Nakamoto. 1989. Consumer Preference Formation and Pioneering

Advantage. Journal of Marketing 26: 285-298.

Carson, S.J., R.D. Jewell, dan C. Joiner. 2007. Prototypically Advantages for Pioneer over

Me-Too Brands: The Role of Evolving Products Designs. Journal of the Academy of

Marketing Science 35: 172-183.

Denstadli, J.M., R. Lines, dan K. Gronhaug. 2005. First Mover Advantages in the Discount

Grocery Industry. European Journal of Marketing 39/7-8: 872-884.

Edward, M. dan S. Sahadev. 2012. Modeling the Consequences of Customer Confusion in a

Service Marketing Context: An Empirical Study. Journal of Services Research 12/2:

127-146.

Ehrenberg, A.S., G.J. Goodhardt, dan T.P. Barwise. 1990. Double Jeopardy Revisited.

Journal of Marketing 54: 82-91.

Golder, P.N. dan G.J. Tellis. 1993. Pioneer Advantage: Marketing Logic or Marketing

Legend? Journal of Marketing Research 30: 158-170.

Hellofs, L.L. dan R. Jacobson. 1999. Market Share and Customer's Perceptions of Quality:

When Can Firms Grow Their Way to Higher Versus Lower Quality? Journal of

Marketing 63: 16-25.

Jacoby, H. dan W.D. Hoyer. 1982. Viewer Miscomprehension of Televised Communication:

Selected Findings. Journal of Marketing 46: 12-26.

Kalyanaram, G. dan G.L. Urban. 1992. Dynamic Effects of the Order of Entry on Market

Share, Trial Penetration, and Repeat Purchases for Frequently Purchased Consumer

Goods. Marketing Science 11/3: 235-250.

Kamins, M.A. dan F.H. Alpert. 1995. An Empirical Investigation of Consumer Memory,

Attitude, and Perceptions Toward Pioneer and Follower Brands. Journal of Marketing

59: 34-45.

Kamins, M.A. dan F.H. Alpert. 2004. Corporate Claims as Innovator or Market Leader:

Impact on Overall Attitude and Quality Perceptions and Transfer to Company Brands.

Corporate Reputation Review 7/2: 147-159.

Kamins, M.A., F.H. Alpert, dan L. Perner. 2003. Consumers' Perception and Misperception

of Market Leadership and Market Pioneership. Journal of Marketing 19: 807-834.

Kardes, F.R., G. Kalyanaram, M. Chandrashekaran, dan R. Dornoff. 1993. Brand Retrieval,

Consideration Set, Composition, Consumer Choice, and Pioneering Advantage. Journal

of Consumer Research 20: 62-75.

Kerin, R.A., G. Kalyanaram, dan D.J. Howard. 1996. Product Hierarchy and Brand Strategy

Influences on the Order of Entry Effect for Consumer Packaged Goods. Journal of

Product Innovation and Management 13: 21-34.

Page 102: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

262

Kocyigit, O. dan C.M. Ringle. 2011. The Impact of Brand Confusion on Sustainable Brand

Satisfaction and Private Label Proneness: A Subtle Decay of Brand Equity. Journal of

Brand Management 19/3: 195-212.

Kotler, P. dan K.L. Keller. 2012. Marketing Management, 14th

ed. Upper Saddle River, NJ:

Pearson Education, Inc.

Lambkin, M. 1988. Order of Entry and Performance in New Markets. Strategic Management

Journal 9: 127-140.

Leek, S. dan D. Kun. 2006. Consumer Confusion in the Chinese Personal Computer Market.

Journal of Product and Brand Management 15/3: 184-193.

Lieberman, M.B. dan D.B. Montgomery. 1988. First-Mover Advantages. Strategic

Management Journal 9: 41-58.

Min, S., M.U. Kalwani, dan W.T. Robinson. 2006. Market Pioneer and Early Follower

Survival Risks: A Contigency Analysis of Really New versus Incrementally New

Product-Markets. Journal of Marketing 70: 15-33.

Pleshko, L.P. dan R.A. Heiens. 2012. The Market Share Impact of the Fit Between Market

Leadership Efforts and Overall Strategic Aggressiveness. Business and Economics

Research Journal 3/3: 1-15.

Ries, A. dan J. Trout. 2000. Positioning: The Battle for Your Mind, 20th

Anniversary Edition.

New York: McGraw-Hill, Inc.

Rettie, R. dan S. Hillar. 2002. Pioneer Brand Advantage with UK Consumers. European

Journal of Marketing 36/7-8: 895-911.

Robinson, W.T. 1988. Sources of Market Pioneer Advantages: The Case of Industrial Goods

Industries. Journal of Marketing Research 25: 87-94.

Robinson, W.T. dan C. Fornell. 1985. Sources of Market Pioneer Advantages in Consumer

Goods Industries. Journal of Marketing Research 22: 305-317.

Schiffman, L.G. dan L.L. Kanuk. 2010. Consumer Behavior, 10th

ed. Upper Saddle River,

NJ: Pearson Education, Inc.

Schmalensee, R. 1982. Product Differentiation Advantages of Pioneering Brands. The

American Economic Review 72/3: 349-365.

Schnaars, S.P. 1994. Managing Imitation Strategies: How Later Entrants Seize Markets from

Pioneers. New York: The Free Press.

Simon, H. 2009. Hidden Champions of the 21st Century: Success Strategies of Unknown

World Market Leaders. New York: Springer.

Solomon, M.R., G.W. Marshall, dan E.W. Stuart. 2012. Marketing: Real People, Real

Choices, 7th

ed. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.

Song, X.M., C.A. Benedetto, dan Y.L. Zhao. 1999. Pioneering Advantages in Manufacturing

and Service Industries: Empirical Evidence from Nine Countries. Strategic

Management Journal 20: 811-836.

Tjiptono, F. 2011. Manajemen & Strategi Merek. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Trout, J. 2001. Big Brands Big Trouble: Lessons Learned the Hard Way. New York: John

Wiley & Sons, Inc.

Trout, J. dan Rivkin, S. 2008. Differentiate or Die: Survival in Our Era of Killer

Competition, 2nd

ed. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.

Turnbull, P.W., S. Leek, dan G. Ying. 2000. Customer Confusion: The Mobile Phone Market.

Journal of Marketing Management 16: 143-163.

Urban, G.L., T. Carter, S. Gaskin, dan Z. Mucha. 1986. Market Share Reward to Pioneering

Brands: An Empirical Analysis and Strategic Implications. Management Science 32/6:

645-659.

Page 103: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

263

Walsh, G., T. Hennig-Thurau, dan V.W. Mitchell. 2007. Consumer Confusion Proneness:

Scale Development, Validation, and Application. Journal of Marketing Management

23/7-8: 697-721.

BIBLIOGRAFI PENULIS

Ervina Triandewi adalah alumnus Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana, Universitas

Atma Jaya Yogyakarta. Topik riset yang diminatinya adalah perilaku konsumen, khususnya

dalam hal pembelian merek orisinal dan merek tiruan, persepsi konsumen terhadap status

pionir dan pemimpin pasar, dan isu-isu terkait lainnya.

Fandy Tjiptono adalah staf akademik di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya

Yogyakarta. Ia telah menerbitkan sejumlah buku, di antaranya Pemasaran Strategik,

Pemasaran Global, Manajemen & Strategi Merek, Pemasaran Jasa, dan Total Quality

Management. Selain itu, beberapa tulisan ilmiahnya telah dipublikasikan dan forthcoming di

beberapa jurnal internasional bergengsi, seperti Journal of Business Ethics, Marketing

Intelligence & Planning, Journal of Promotion Management, dan Social Responsibility

Journal.

Page 104: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

264

PEMETAAN STORE DESIGN DAN VISUAL MERCHANDISING DISTRO

DI KOTA BANDUNG

Jurry Hatammimi & Brhiyawan RH Cendekia

Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Telkom

Jl. Telekomunikasi, Terusan Buah Batu, Dayeuh Kolot, Bandung 40257

[email protected] / [email protected]

ABSTRACT

One of the evidence of creative industry growth in fashion sector in the city of Bandung is the

establishment of many distro or distribution outlet. There are 4 distro that has the highest

sales level, i.e Ouval Research, Unkl347, Dloops, and Black Id. The four distro were trying to

show differentiation in terms of store design and visual merchandising to make up the store

uniqueness and influencing buying behavior. Beside there is no research about the mapping

of distro in the city of Bandung yet, especially about their store design and visual

merchandising, this study will also show the difference of the four distro even though they

have some similarities. This study aims to determine the perceptual map of store design and

visual merchandising which applied by each distro. By using Multi Dimensional Scaling,

there are consumer assessment in making perceptual maps include shopping convenience,

easy to find goods, shopping experience, signage, entrance, cash wraps, promotional aisle,

windows, fitting room, traffic flow, alignment rack with the theme, the attractiveness of

presentation techniques, and impulse purchase. The research shows Ouval Research superior

in largely indicators namely shopping convenience, easy to find goods, shopping experience,

signage, entrance, promotional aisle, windows, fitting room, the attractiveness of

presentation techniques, and impulse purchase. Unkl347 win in two indicators namely cash

wraps and alignment rack with the theme. Dloops only win in the traffic flow indicator. Black

Id ranks fourth at all indicators.

Keywords: Perceptual Map, Store Design, Visual Merchandising, Distribution Outlet

Page 105: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

265

PENDAHULUAN

Distribution store atau Distro yang dikenal oleh masyarakat kota besar di Indonesia

lebih dimaknai sebagai tempat dijualnya pakaian dengan merek tertentu dan dijual dalam

jumlah yang terbatas. Menurut Bank Indonesia (2008:1-2), distro bermula dari Bandung

sejak tahun 1993 namun baru berkembang pada tahun 1998.

Kota Bandung pada tahun 2012 memiliki jumlah penduduk sebesar 2.455.517 orang

(BPS Kota Bandung 2013). Menghubungkan dengan target utama pasar distro yaitu mereka

yang berusia sekitar 15 – 29 tahun, data menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota

Bandung di rentang usia tersebut adalah berjumlah 264.190 orang atau 10,76 % dari total

penduduk Kota Bandung. Dengan melihat persentase tersebut, usaha distro masih dianggap

berpotensi untuk terus dikembangkan.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Daerah 2010 (BPS Kota Bandung 2012),

tingkat rata-rata konsumsi pakaian per kapita sebulan penduduk Kota Bandung pada tahun

2010 sebesar 2,67% dari total pengeluaran atau Rp. 23.783. Tingkat konsumsi itu berada di

posisi ke-3 jumlah pengeluaran terbanyak dari sub golongan bukan makanan.

Jumlah konsumsi pakaian tersebut jika dihitung per tahun maka bernilai Rp. 285.396

per orang. Jika menghitung proyeksi konsumsi pakaian khusus bagi penduduk Kota Bandung

yang berusia 15 - 29 tahun, maka akan tercatat nilai sebesar Rp. 75.398.769.240 dalam satu

tahun. Hal ini jelas merupakan potensi ekonomi yang sangat besar.

Sektor pariwisata pun memiliki andil meningkatkan potensi ekonomi bagi distro.

Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, pada tahun 2011 terdapat

6.712.824 wisatawan yang berkunjung ke Bandung. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa

wisata belanja (fashion) adalah jenis wisata yang paling diminati. Tercatat 2.401.312

wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung melakukan wisata belanja (fashion). Data

tersebut menunjukkan bahwa potensi pasar bidang fashion di kota Bandung adalah sangat

besar.

Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (KUKM & Perindag) Kota

Bandung mencatat ada tujuh jenis tempat yang dikategorikan sebagai pasar modern yang

merupakan saluran distribusi bidang fashion seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1

Data Potensi Pasar Modern di Kota Bandung

No. Kategori Jumlah

1. Supermarket 27

2. Hypermarket 9

3. Departement Store 16

4. Pusat perdagangan 7

5. Mall 22

6. Distro 135

7. Factory Outlet 98

Jumlah 314

Sumber: Dinas KUKM dan Perindag Kota

Bandung, 2012

Seluruh fashion retail yang tercatat dalam Tabel 1 memiliki cara dan strategi khusus

untuk bersaing satu sama lain tentunya demi memenangkan persaingan. Persaingan yang ada

terjadi lebih kuat lagi di dalam kategori yang sama.

Penelitian Dewi (2010:6) menyebutkan paling tidak ada 32 distro di kota Bandung

yang memiliki umur lebih dari 4 tahun pada tahun 2009. Selain itu diketahui pula tingkat

Page 106: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

266

permintaan produk distro di Kota Bandung pada tahun 2009 adalah sebagaimana tercantum

pada Tabel 2. Empat distro di Kota Bandung yang memiliki jumlah permintaan terbanyak.

Distro tersebut adalah Ouval Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id.

Distro merupakan fashion store yang menjual produknya sendiri dan sangat

menonjolkan sisi eksklusifitas store design. Setiap distro memiliki cara masing-masing

dalam menarik konsumen dari segi layout toko, display produk, desain interior maupun

eksterior.

Penelitian Nento (2005:92) menjelaskan bahwa ada korelasi yang kuat antara visual

merchandising dengan minat beli konsumen pada Flexi Center Dago, begitu juga Stiefi

(2012:87) menambahkan terdapat hubungan yang sangat kuat antara store layout dengan

minat beli. Hasil penelitian Nento (2005) & Stiefi (2012) sejalan dengan teori yang

dikatakan oleh Levy & Weitz (2009:507) bahwa ada pengaruh yang signifikan antara

perilaku membeli dengan store design & merchandise presentation.

Dibandingkan fashion retail lainnya, keberadaan distro di Kota Bandung adalah yang

terbanyak dengan jumlah 135 distro (Dinas KUKM & Perindag Kota Bandung 2012).

Mengingat perkembangan distro yang pesat dan sebagai fashion retail di Kota Bandung

dengan jumlah terbanyak saat ini, penelitian terkait store design dan visual merchandising

perlu dilakukan terhadap distro. Empat distro dengan permintaan terbanyak (Ouval

Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id) dapat dijadikan obyek penelitian tersebut.

Tabel 2

Permintaan Produk Distro Per 2009

No. Nama Distro Jumlah Permintaan (unit)

1 Ouval Research 38.401

2 Unkl 347 37.579

3 Dloops 36.230

4 Black Id 30.237

5 Blankwear 26.720

6 Kuya Gaya 26.375

7 Air Plane System 25.632

8 Cosmic 23.651

9 Skaters 23.348

10 Green Light 22.654

11 Flashy 21.935

12 Yodium Freedom 21.206

13 Evil 20.671

14 Order 19.721

15 Wadezig 18.810

16 3 Second 18.237

17 Proshop 17.997

18 Coffee Park 16.325

19 Provider 15.190

20 Diery 14.237

21 Invictus 14.197

Page 107: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

267

Sumber: Dewi (2010:6)

Keempat distro tersebut dipilih juga karena memiliki kesamaan segmentasi berdasarkan usia,

tingkat ekonomi, kedekatan wilayah penjualan, dan kesamaan dalam konsep yang

mengusung tema urban. Selain karena belum adanya penelitian yang melakukan pemetaan

terhadap distro di Kota Bandung khususnya terhadap empat distro dengan permintaan

terbanyak pada unsur store design dan visual merchandising-nya, penelitian ini ingin pula

menunjukkan perbedaan posisi keempat distro tersebut berdasarkan persepsi konsumennya

meskipun keempatnya memiliki beberapa kesamaan.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta

persepsi konsumen terhadap store design dan visual merchandising distro Ouval Research,

Unkl347, Dloops, dan Black Id.

LANDASAN TEORI

Retail Strategy

Levy & Weitz (2009:134) menjelaskan arti retail strategy adalah pernyataan yang

mengidentifikasikan target pasar yang dituju retailer, format retail yang di desain untuk

memuaskan kebutuhan target pasarnya, serta perencanaan dalam membuat sustainable

competitive advantage yang bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama serta tidak mudah

ditiru oleh pesaing. Menurut Levy & Weitz (2009:134) retail format menjelaskan tentang

operasional perusahaan berkaitan dengan retail mix, antara lain tipe merchandise dan jasa

yang ditawarkan, penetapan harga, program promosi dan periklanan, desain toko dan visual

merchandising, tipe lokasi, serta customer service.

Store Design dan Visual Merchandising

Store design dan visual merchandising termasuk ke dalam bagian store management

yang mempengaruhi keunikan toko. Perusahaan sebisa mungkin memberikan keunikan

tersendiri serta membuat desain yang menarik agar suasana toko yang tercipta mendukung

proses belanja konsumen. Levy & Weitz (2009:508) menjelaskan bahwa store design

memiliki peran yang penting dalam membuat serta memperkuat brand image.

Menurut Levy & Weitz (2009:508) tujuan dari desain toko adalah untuk

mengimplementasikan strategi retailer, mempengaruhi perilaku membeli, memberikan

fleksibilitas, mengontrol biaya desain dan perawatan, serta memenuhi aspek legal.

22 Mountly 13.590

23 Volta Folks 13.436

24 Omnium 13.001

25 Gummo 12.826

26 Black Jack 11.110

27 Rock Star 10.798

28 God Inc 10.540

29 Badger 8.208

30 Frontline 8.125

31 Rollink 6.761

32 Tee Company 6446

Page 108: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

268

a. Implementasi strategi retailer

Desain toko harus selaras dengan kebutuhan target pasar yang ditentukan karena desain

toko merupakan salah satu bagian dari positioning untuk membentuk image perusahaan

dalam pikiran konsumen.

b. Mempengaruhi perilaku pembeli

Menurut Levy & Weitz (2009:509) desain toko yang baik akan menarik konsumen

untuk berkunjung, mempermudah konsumen untuk menemukan barang yang dicari,

memotivasi dan memberi dorongan kepada konsumen untuk melakukan pembelian lain

yang tidak direncanakan sebelumnya, serta memuaskan konsumen dengan pengalaman

berbelanja yang menyenangkan.

c. Fleksibilitas

Fleksibilitas yang dimaksud dalam hal ini adalah kemudahan untuk mengganti

komponen didalam toko jika sewaktu-waktu ada perubahan konsep toko, kehadiran

barang baru, serta promo-promo yang diadakan retailer.

d. Mengontrol biaya

Perbedaan produk yang dijual berarti berbeda pula desain toko yang dibuat. Hal ini akan

mempengaruhi kebijakan perusahaan dalam mengimplementasikan desain toko. Sebagai

contoh Levy & Weitz (2009:510) menjelaskan dengan mengeluarkan biaya lebih pada

faktor pencahayaan berarti akan membuat produk yang dipajang lebih menarik. Hal ini

diharapkan akan meningkatkan penjualan produk tersebut.

e. Aspek legal

Beberapa negara menetapkan kebijakan perlindungan terhadap orang dengan kebutuhan

khusus. Hal ini tentu saja berpengaruh pada desain toko yang harus dapat

mengakomodir semua golongan tak terkecuali orang dengan kebutuhan khusus.

f. Design trade-offs

Trade-offs ini berkaitan dengan mengimplementasikan alternatif desain yang

menguntungkan dengan menghilangkan beberapa keuntungan lain.

Levy & Weitz (2009:512) memberikan salah satu contoh trade-off yang dihadapi oleh

retailer yaitu memberi dorongan kepada konsumen untuk lebih konsumtif atau memberi

kemudahan dalam mencari produk. Sebagai contoh barang Z yang memiliki penjualan

tinggi ditaruh di ujung toko dengan harapan konsumen yang ingin membeli barang Z

berjalan melewati beberapa rak produk agar ada hasrat untuk membeli produk lain,

namun hal ini justru akan mengurangi kenyamanan konsumen yang hanya ingin

membeli barang Z. Alternatif lain bisa diimplementasikan dengan menaruh barang Z di

depan toko untuk memberikan kenyamanan kepada konsumen dengan pertimbangan

tidak akan ada konsumen yang berkeliling toko terlebih dahulu sebelum membeli barang

Z.

Store Design

Store design menurut Levy & Weitz (2009:508) mencakup layout, signage, serta feature

areas.

a. Layouts

Layout mencakup susunan bagian toko yang terbagi atas wilayah tertentu yang

memisahkan jenis produk atau fungsi tertentu. Dari penjelasan yang dikemukakan oleh

Levy & Weitz (2009:512-515) layout dibuat untuk memudahkan konsumen dalam

mencari barang, mengefisiensikan biaya melalui penggunaan ruang yang optimal,

mengarahkan konsumen pada lokasi tertentu di dalam toko, memberikan kenyamanan

berbelanja, serta memberikan pengalaman belanja yang menyenangkan.

Layout toko dapat merepresentasikan tema toko serta image yang ingin dimunculkan.

Layout dapat di sesuaikan dengan kebutuhan toko berdasarkan barang yang dijual.

Page 109: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

269

Menurut Levy & Weitz (2009:512-515) Layout toko dapat dibuat seperti lorong-lorong,

dibentuk asimetris, atau dikondisikan seperti jalur agar konsumen melewati seluruh

bagian toko mengikuti layout yang dibentuk.

b. Signage & Graphics

Signage merupakan penanda suatu produk atau penanda arah yang menunjukan suatu

tempat di dalam toko. Menurut Levy & Weitz (2009:516) selain dapat membantu

konsumen mencari bagian departemen, produk, dan informasi, graphics seperti panel foto

juga harus mencirikan karakteristik sebuah toko.

Ada beberapa fungsi komunikasi visual dalam implementasi di sebuah toko, antara lain

seperti yang diungkapkan Levy & Weitz (2009:516-517):

(1) Lokasi

Signage dapat digunakan untuk menunjukan lokasi suatu tempat atau produk tertentu.

Biasanya signage penunjuk lokasi digunakan oleh toko yang memiliki lahan yang

luas seperti mall atau suatu gedung.

(2) Category signage

Category signage digunakan untuk menunjukan tempat sesuai dengan tipe produk.

Levy & Weitz (2009:516) menjelaskan bahwa category signage digunakan antar

sektor yang ada dalam toko untuk membedakan tipe produk, category signage

biasanya ditempatkan dekat dengan barang yang ditawarkan.

(3) Promotional signage

Tipe signage ini untuk menunjukan promosi atau diskon yang sedang

diselenggarakan oleh toko. Levy & Weitz (2009:516) menjelaskan biasanya

promotional signage ditempatkan di jendela depan toko agar orang-orang tahu

mengenai promo yang sedang berlangsung.

(4) Point of sale

Point of sale ditempatkan di dekat produk sehingga konsumen dengan mudah

mengetahui harga dan informasi detail produk, seperti diskon dan lain sebagainya

(Levy & Weitz 2009:516).

(5) Lifestyle image

Levy & Weitz (2009:517) menjelaskan bahwa lifestyle image dapat bervariasi seperti

gambar orang atau suatu tempat. Jenis signage ini bertujuan untuk membuat mood

yang mendorong konsumen untuk membeli.

Saat ini signage tidak hanya dalam bentuk media konvensional tetapi juga dalam bentuk

digital. Media digital dapat lebih menarik konsumen karena sifatnya yang dinamis.

Beberapa contoh digital signage antara lain video clip serta penunjuk harga digital (Levy

& Weitz 2009:517)

c. Feature Areas

Feature areas menurut Levy & Weitz (2009:518) adalah area di dalam toko yang

dibentuk agar menarik perhatian konsumen. Feature areas juga bisa dijadikan sebagai

petunjuk arah bagi konsumen. Feature areas dibagi menjadi entrances (jalan masuk),

freestanding display, cash wraps (kasir), end caps, promotional aisle/area (area promosi),

walls (tembok), windows (jendela/etalase toko), dan fitting rooms (ruang ganti) (Levy &

Weitz 2009:518-521).

(1) Entrances (jalan masuk)

Pada bagian ini biasanya dipajang hal-hal mengenai produk yang dijual di toko. Toko

ponsel memajang ponsel dengan teknologi terkini, toko pakaian memajang baju

keluaran terbaru, dan seterusnya. Fetterman & O’Donnel (2006) dalam Levy & Weitz

(2009:518) menerangkan bahwa area ini disebut area decompression zone karena

merupakan tempat orang berpindah dari lingkungan luar ke lingkungan dalam toko.

Page 110: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

270

Entrances area juga merupakan tempat untuk menarik konsumen agar mau

berkunjung.

(2) Freestanding displays

Bagian ini merupakan rak atau manekin yang dipajang pada lorong untuk tujuan

menarik konsumen (Levy & Weitz 2009:518). Levy & Weitz (2009:518)

menambahkan freestanding displays bisa merupakan boneka (manekin), barang

terbaru, atau barang paling menarik yang dimiliki toko. Sifat freestanding display

hampir sama dengan bagian entrances yaitu untuk menarik konsumen.

(3) Cash wraps (kasir)

Tempat ini merupakan tempat di mana orang-orang melakukan pembayaran atas

barang yang dibelinya. Seringkali pengunjung mengantri dan menunggu cukup lama

untuk melakukan pembayaran. Menurut Levy & Weitz (2009:518-519) dikarenakan

banyak pengunjung yang menunggu maka dibagian ini retailer biasanya memajang

produk-produk yang mendorong konsumen untuk membelinya seperti permen,

majalah, serta pisau cukur.

(4) End caps

Menurut Levy & Weitz (2009:519) end caps merupakan bagian yang ada di ujung

rak, bisa berupa pajangan, produk-produk promosi, atau poduk musiman. Retailer

memanfaatkan bagian ini juga untuk mendorong konsumen melakukan pembelian

lebih banyak.

(5) Promotional aisle / area (area promosi)

Area ini merupakan area khusus yang disediakan retailer untuk barang-barang yang

sedang dalam masa promosi atau barang yang bersifat musiman. Area ini dapat

berganti setiap minggu atau dalam periode yang singkat sesuai dengan jangka waktu

promosi yang berlaku.

(6) Walls (tembok)

Area tembok juga dapat dijadikan untuk memajang produk yang dijual. Kelebihan

dari penggunaan tembok adalah retailer dapat menyisakan banyak ruang untuk

dijadikan tempat hilir mudik konsumen atau dimanfaatkan sebagai display produk

lain.

(7) Windows (jendela)

Jendela merepresentasikan produk yang dijual di toko. Dengan desain dan display

yang unik, jendela bisa dijadikan alat untuk menarik konsumen (Levy & Weitz

2009:520).

Menurut Levy & Weitz (2009:520) yang perlu diperhatikan dalam menata sebuah

jendela toko adalah bahwa yang terpajang di jendela merupakan barang yang juga

dijual di toko sehingga konsumen tidak merasa tertipu dengan apa yang dipajang di

jendela.

(8) Fitting rooms (ruang ganti)

Retailer yang bergerak dalam bidang fashion umumnya memiliki fitting room untuk

mencoba pakaian yang akan dibelinya. Grant (2007) dalam Levy & Weitz (2009:521)

mengatakan bahwa fitting room merupakan tempat yang krusial yang menjadi salah

satu penentu keputusan konsumen dalam pembelian. Fitting room dengan suasana

yang baik akan menambah nilai dari pengalaman berbelanja.

Levy & Weitz (2009:520) menambahkan bahwa kondisi fitting room haruslah cukup

luas, bersih dan nyaman.

Page 111: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

271

Visual Merchandising

Visual merchandising berkaitan dengan penyajian produk dan toko untuk menarik

konsumen. Yang termasuk dalam faktor visual merchandising adalah (Levy & Weitz

2009:527):

a. Fixture

Fixture merupakan rak atau gantungan untuk menaruh produk yang dijual agar dengan

mudah dapat diketahui oleh konsumen. Levy & Weitz (2009:527) menjelaskan fungsi rak

salah satunya adalah untuk memperlihatkan produk (display merchandise) serta untuk

mendukung traffic flow sehingga konsumen tertarik untuk melihat dan berkeliling ke tiap-

tiap rak. Levy & Weitz (2009:527) juga menambahkan penggunaan rak harus serasi

dengan tema/desain toko secara keseluruhan.

Terdapat empat jenis fixture yang umum digunakan oleh toko fashion yaitu straight rack,

rounder, dan four-way, sedangkan untuk barang lain pada umumnya menggunakan tipe

gondola (Levy & Weitz 2009:527).

b. Presentation techniques

Teknik penyajian menjadi salah satu faktor yang ada dalam visual merchandising.

Menurut Levy & Weitz (2009:528-530) ada beberapa teknik penyajian produk yang bisa

diterapkan dalam retail business, antara lain sebagai berikut:

(1) Idea-oriented presentation

Teknik penyajian ini menekankan pada ide atau gagasan produk yang dibuat oleh

retailer. Retailer sebisa mungkin menunjukan bagaimana seharusnya produk ini

dipakai serta mendeskripsikan bagaimana produk ini terlihat jika sedang digunakan.

(2) Style / item presentation

Style presentation menyajikan produk sesuai dengan tipe dan jenis produk. Tipe ini

menurut Levy & Weitz (2009:529) paling banyak diimplementasikan oleh para

retailer. Selain itu Levy & Weitz (209:529) juga menambahkan style presentation

akan memudahkan konsumen mencari barang dalam satu bagian.

Retailer mengumpulkan seluruh barang yang berjenis sama dalam satu bagian,

dengan begitu konsumen dapat dengan mudah membandingkan produk yang

memiliki jenis sama. Sebagai contoh fashion retailer mengumpulkan kaos lengan

panjang dalam satu rak.

(3) Color presentation

Teknik penyajian menggunakan kesamaan warna dari produk yang ada. Penyusunan

ini bisa diimplementasikan pada ritel fashion dengan mengurutkan produk

berdasarkan warna.

Teknik ini juga bisa mencirikan toko pada image tertentu, sebagai contoh jika suatu

fashion retail pria menjual produk untuk digunakan saat suasana formal maka toko

tersebut bisa menggunakan warna dominan netral seperti krem atau coklat.

(4) Price lining

Price lining berarti mengurutkan produk berdasarkan harga yang menunjukan

klasifikasi produk (Levy & Weitz 2009:529).

(5) Vertical merchandising

Teknik ini menyajikan produk secara vertikal dengan susunan produk yang sama

pada satu garis lurus. Levy & Weitz (2009:529) menjelaskan bahwa teknik ini

didasari pada pergerakan alamiah mata (eye’s natural movement) yang selalu melihat

secara berurutan dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah.

(6) Tonnage merchandising

Tonnage merchandising merupakan teknik penyajian dimana satu jenis barang dalam

jumlah yang banyak dikumpulkan pada satu tempat. Dengan teknik ini retailer

Page 112: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

272

berusaha untuk meningkatkan citra harga dengan meyakinkan konsumen bahwa stok

sedang banyak sehingga harga lebih terjangkau (Levy & Weitz 2009:529).

(7) Frontal presentation

Teknik penyajian ini menampilkan dan mengekspos produk dengan sangat terbuka

(frontal) untuk menarik konsumen. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menyajikan

produk secara lebih intens. Sebagai contoh retailer membuat replika produk dengan

ukuran yang lebih besar dari biasanya atau juga bisa dibuat gambar dengan ukuran

yang besar jika ingin meningkatkan penjualan suatu produk.

Kerangka Pemikiran

Store design menurut Levy & Weitz (2009:508) mencakup layout, signage, serta

feature areas. Layout mencakup susunan bagian toko yang terbagi atas wilayah tertentu yang

memisahkan jenis produk atau fungsi tertentu. Signage merupakan penanda suatu produk

atau penanda arah yang menunjukan suatu tempat di dalam toko. Feature areas adalah area

di dalam toko yang dibentuk agar menarik perhatian konsumen dan juga bisa dijadikan

sebagai petunjuk arah bagi konsumen. Feature areas dibagi menjadi entrances (jalan

masuk), freestanding display, cash wraps (kasir), end caps, promotional aisle/area (area

promosi), walls (tembok), windows (jendela / etalase toko), dan fitting rooms (kamar pas)

(Levy & Weitz 2009:518-521).

Visual merchandising berkaitan dengan penyajian produk dan toko untuk menarik

konsumen (Levy & Weitz 2009:527). Fixture merupakan rak atau gantungan untuk menaruh

produk yang dijual agar dengan mudah dapat diketahui oleh konsumen, unsurnya adalah

traffic flow dan keselarasan dengan tema. Teknik penyajian Menurut Levy & Weitz

(2009:528-530) terdiri dari Idea-oriented presentation, Style/item presentation, Color

presentation, Price lining, Vertical merchandising, Tonnage merchandising, dan Frontal

presentation. Sebagai empat distro dengan permintaan terbanyak, Ouval Research, Unkl347,

Dloops, dan Black Id akan dibuatkan peta 3 aspek store design dan 2 aspek visual

merchandising-nya berdasarkan persepsi konsumen sebagaimana tertera pada gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Sumber: pengolahan data penulis

Peta Posisi:

1. Ouval Research

2. Unkl347

3. Dloops

4. Black ID

Page 113: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

273

METODE PENELITIAN

Agar dapat membandingkan antara masing-masing store design dan visual

merchandising, maka indikator yang diambil dalam penelitian ini merupakan indikator yang

sama-sama dimiliki tiap distro yang menjadi objek penelitian. Indikator yang diambil

dicocokan dengan kondisi lapangan penerapan store design dan visual merchandising tiap

distro. Penjelasan sub variabel dan indikatornya tertera pada tabel 3.

Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah orang yang pernah mengunjungi

Ouval Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id pada satu tahun terakhir. Dikarenakan

populasi tidak diketahui pasti jumlahnya, maka untuk menentukan jumlah sampel yang akan

diteliti penulis menggunakan persamaan Bernoulli. Tingkat kepercayaan yang digunakan

pada penelitian ini adalah sebesar 95 %, tingkat ketelitian (α) 5%. Dari tabel distribusi

ditemukan bahwa Error! Reference source not found. = 0,025 sehingga Z = 1,960. Tingkat

kesalahan ditentukan sebesar 10% dengan probabilitas kuesioner benar (diterima) atau salah

(ditolak) 0,5. Berdasarkan kriteria tersebut, persamaan Bernoulli untuk mencari sampel

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Variabel Operasional

Sumber: pengolahan data penulis

Hasil dari perhitungan sampel di atas menunjukan jumlah sampel minimum adalah 97 buah

yang kemudian penulis bulatkan menjadi 100 buah.

Variabel Sub Variabel Indikator

Store Design

Layout

Kenyamanan berbelanja

Kemudahan dalam mencari barang

Shopping Experience

Signage & Graphic Signage yang merepresentasikan

karakteristik toko

Feature Areas

Entrances

Cash Wraps

Promotional Aisle

Windows

Fitting Rooms

Visual

Merchandising

Fixture Traffic flow

Keselarasan dengan tema

Presentation

techniques

Kemenarikan teknik penyajian

Impulse purchase

Page 114: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

274

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling

dengan menggunakan metode convenience sampling. Teknik pengambilan sampel dengan

non-probability sampling menurut Cooper & Schindler (2011:388) dianggap lebih

menghemat biaya. Convenience sampling merupakan pengambilan sampel yang dilakukan

secara bebas kepada siapapun yang ditemui. Walaupun convenience sampling tidak memiliki

pengawasan untuk memastikan keakuratan, tetapi metode ini masih merupakan prosedur

yang dapat digunakan (Cooper & Schindler 2011:385).

Uji validitas dalam penelitian Multi Dimensional Scaling (MDS) dilakukan dengan

memperhatikan R Square (RSQ). Maholtra (1999) dalam Simamora (2005:268)

menyebutkan RSQ yang dapat diterima adalah yang lebih besar dari sama dengan 0,6 (RSQ

≥ 0,6). Semakin besar RSQ yang didapat maka semakin baik pula model MDS yang

dihasilkan (Simamora, 2005:268). Setelah dilakukan pre test dengan menyebarkan kuesioner

kepada 30 responden dan pengolahan data menggunakan SPSS maka didapatkan RSQ =

0,991 yang berarti data yang dihasilkan adalah valid.

Uji reliabilitas dalam penelitian MDS menggunakan stress measure. Hasil data yang

dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan tabel 4 berikut.

Tabel 4. Indikator Stress

Stress (persen) Goodness of Fit

20 Poor

10 Fair

5 Good

2,5 Excelent

0 Perfect

Sumber: Simamora (2005:269)

Dari hasil pre test yang dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 30 responden dan

pengolahan data menggunakan SPSS maka didapatkan Stress sebesar 13% yang berarti fair.

Teknik analisis data menggunakan Multi Dimensional Scaling (MDS) adalah untuk

mengetahui persepsi responden terhadap suatu objek dibandingkan dengan objek lain.

Penyajian data menggunakan diagram yang memperlihatkan pemetaan persepsi responden.

Menurut Hair, Jr et al (2010:568) MDS yang juga biasa disebut perceptual mapping

merupakan teknik analisis untuk mengolah pendapat konsumen yang memiliki kesamaan

pada bidang multidimensional.

Penelitian ini memaparkan bagaimana tiap distro berkompetisi dalam hal store design

dan visual merchandising. Penilaian dilakukan oleh responden untuk membandingkan tiap-

tiap distro. Hasil dari penelitian ini nantinya akan memaparkan peta persaingan yang terjadi

diantara distro berdasarkan atribut store design dan visual merchandising.

Selain akan memperlihatkan peta persaingan masing-masing distro dari segi store

design dan visual merchandising, grafik MDS akan memperlihatkan distro mana yang

unggul dalam salah satu indikator serta memperlihatkan distro mana yang tidak memiliki

penilaian baik dari responden. Penilaian dihitung berdasarkan kedekatan jarak antara

indikator dan objek yang digambarkan pada grafik MDS.

Penghitungan jarak dilakukan dengan menggunakan jarak euclidean (euclidean

distance). Jarak euclidean dapat menunjukan perbandingan secara pasti jarak antara setiap

objek. Menurut Hair, Jr et al (2010:506) euclidean distance adalah cara mengukur panjang

garis lurus antara dua objek yang ada di grafik. Berikut rumus euclidean distance menurut

Hair, Jr et al (2010:523):

Page 115: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

275

Gambar 2. Euclidean Distance Sumber: Hair, Jr et al (2010:523)

Dari perhitungan menggunakan rumus tersebut, semakin kecil angka yang dihasilkan maka

semakin dekat pula jarak antara objek yang berarti semakin ketat pula persaingannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang diolah menghasilkan peta persepsi yang akan memperlihatkan posisi

masing-masing objek penelitian dengan variabel store design dan visual merchandising.

Gambar 3. Peta Persepsi Store Design dan Visual Merchandising

Sumber: pengolahan data penulis

Output yang dihasilkan dari pengolahan data di SPSS 20 merangkum seluruh posisi

objek dan item penilaian kedalam satu peta persepsi. Semakin dekat jarak antara objek

penelitian dengan titik indikator maka semakin unggul pula objek tersebut pada indikator itu.

Kenyamanan Berbelanja

Ouval Research dinilai paling unggul dalam hal kenyaman berbelanja yang dihasilkan dari

layout yang terbentuk. Dloops dan Unkl347 berada di posisi kedua dan ketiga, sedangkan

Black Id berada pada peringkat keempat.

Page 116: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

276

Kemudahan Mencari Barang

Dalam indikator ini Ouval Research menempati urutan pertama sebagai distro dengan layout

yang paling memudahkan dalam mencari barang. Sementara itu urutan berikutnya ditempati

oleh Dloops, Unkl347, serta Black Id.

Shopping Experience

Pada indikator shopping experience Ouval Research berada pada posisi pertama. Responden

menilai layout toko yang diterapkan oleh Ouval Research memberikan pengalaman

berbelanja yang paling menyenangkan dibanding ketiga distro yang lain. Posisi dua, tiga, dan

empat secara berurut ditempati oleh Dloops, Unkl347, dan Black Id.

Signage yang Merpresentasikan Karakter Toko

Responden memilih Ouval Research sebagai distro dengan signage yang paling representatif

dibanding ketiga distro yang lain. Posisi selanjutnya disusul oleh Dloops, Unkl347, serta

Black Id.

Entrance

Pada indikator entrance responden menilai Ouval Research memiliki desain pintu masuk

yang paling mendorong rasa ingin berkunjung ke dalam toko. Ouval Research berada di

posisi pertama disusul Dloops, Unkl347 serta Black Id.

Cash Wraps

Menurut penilaian responden penataan cash wraps yang paling mendorong rasa ingin

membeli barang yang dipajang di meja kasir selagi menunggu transaksi adalah Unkl347.

Sedangkan posisi dua, tiga, dan empat ditempati oleh Ouval Research, Dloops, serta Black

Id.

Promotional Aisle

Berdasarkan atribut promotional aisle yang paling unggul adalah Ouval Research dengan

euclidean distance sebesar 0,6388. Posisi selanjutnya ditempati oleh Unkl347, Dloops, serta

Black Id.

Windows

Dari penilaian responden dapat dilihat bahwa Ouval Research menduduki peringkat pertama

dalam indikator windows. Responden menganggap Ouval Research paling unggul dalam

menarik konsumen melalui etalase toko. Peringkat kedua, ketiga, dan keempat ditempati

Unkl347, Dloops, lalu Black Id.

Fitting Rooms

Dari keempat distro yang diteliti, responden menilai Ouval Research memiliki fitting room

paling nyaman dibanding distro lainnya. Peringkat kedua yang memiliki fitting room

ternyaman adalah Dloops, disusul Unkl347, serta Black Id.

Traffic Flow

Pada indikator traffic flow responden menilai Dloops merupakan distro dengan pengaturan

rak yang paling menarik sehingga membuat konsumen memiliki ketertarikan untuk terus

berkeliling toko. Posisi dua, tiga, dan empat secara berurut adalah Ouval Research, Unkl347,

serta Black ID.

Keselarasan Rak dengan Tema Toko

Hasil dari penilaian responden terhadap indikator ini adalah bahwa Unkl347 merupakan

distro yang dianggap paling memiliki keserasian antara penggunaan rak dengan desain toko.

Posisi dua, tiga, dan empat secara berurut diisi oleh Dloops, Ouval Research, dan Black Id .

Kemenarikan Teknik Penyajian

Penilaian responden memilih Ouval Research sebagai distro yang paling menarik dalam

teknik penyajian. Posisi kedua dengan teknik penyajian yang menarik adalah Dloops.

Selanjutnya posisi ketiga dan keempat ditempati oleh Unkl347 dan Black Id.

Page 117: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

277

Impulse Purchase

Berdasarkan indikator impulse purchase, distro yang paling unggul dalam teknik penyajian

yang mendorong rasa ingin membeli adalah Ouval Research. Peringkat dua, tiga, dan empat

secara berurut ditempati oleh Unkl347, Dloops, serta Black ID.

Pembahasan

Pemetaan store design dan visual merchandising berdasarkan persepsi konsumen

yang telah dibahas di atas menunjukan keunggulan distro di masing-masing indikator. Peta

persepsi terbentuk dari penilaian konsumen terhadap penerapan store design dan visual

merchandising distro sesuai fakta di lapangan. Walaupun ada persamaan segmentasi

berdasarkan usia, tingkat ekonomi, letak lokasi penjualan, serta konsep yang sama-sama

mengusung tema urban, namun tiap distro tetap memiliki perbedaan pada desain produk

sesuai ciri khas masing-masing. Selain itu tiap distro juga dapat memiliki segmen yang

berbeda dalam hal lain seperti pekerjaan, hobi, komunitas tertentu, dan lain sebagainya.

Secara keseluruhan peta persepsi yang terbentuk sesuai dengan data jumlah

permintaan yang disusun oleh Dewi (2010:6). Jika diakumulasikan lalu diurutkan

berdasarkan perolehan peringkat satu dalam tiap indikator, maka keempat distro

mendapatkan peringkat yang sama dengan peringkat jumlah permintaan seperti tercantum

pada Tabel 5.

Tabel 5.

Perbandingan Jumlah Permintaan dengan

Hasil Pemetaan Store Design dan Visual Merchandising

No. Nama Distro Jumlah Permintaan

Tahun 2009 (unit)

Akumulasi perolehan peringkat satu

pemetaan store design dan visual

merchandising

1 Ouval Research 38.401 10 Indikator

2 Unkl 347 37.579 2 Indikator

3 Dloops 36.230 1 Indikator

4 Black Id 30.237 0 Indikator

Sumber: Dewi (2010) & Pengolahan Data Penulis

Unkl347, Dloops, dan Black Id hampir dalam setiap indikator selalu kalah dibandingkan

Ouval Research. Hal ini bisa saja terjadi karena Unkl347, Dloops, dan Black Id memiliki

segmen khusus yang lebih sempit selain segmentasi berdasarkan usia.

SIMPULAN

Berdasarkan peta persepsi konsumen mengenai store layout dan visual merchandising:

1. Ouval Research unggul dalam sebagian besar indikator dibanding dengan distro lainnya.

Dari 13 indikator yang dinilai oleh responden, ada 10 indikator di mana Ouval Research

berada pada posisi pertama sebagai distro yang dipersepsikan lebih baik dibandingkan

ketiga distro lainnya, indikator tersebut adalah kenyamanan berbelanja, kemudahan

mencari barang, shopping experience, signage yang mewakili karakteristik toko,

entrance, promotional aisle, windows, fitting rooms, kemenarikan teknik penyajian, serta

impulse purchase.

2. Unkl347 memiliki keunggulan dalam indikator cash wraps serta keselarasan rak dengan

tema toko secara keseluruhan, karena dipersepsikan lebih baik dibanding dengan ketiga

distro lainnya.

Page 118: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

278

Penataan cash wraps yang dimiliki Unkl347 dianggap oleh responden adalah yang paling

menarik sehingga memunculkan rasa ingin membeli barang yang dipajang dimeja kasir.

Hal ini menjadi keuntungan bagi Unkl347 untuk mengoptimalkan profit dari penjualan

barang yang dipajang di meja kasir.

3. Berdasarkan 13 indikator yang dinilai, Dloops hanya unggul pada satu indikator yakni

traffic flow yaitu pengaturan rak yang paling menarik. Pengaturan rak yang Dloops

terapkan dinilai paling membuat konsumen tertarik untuk terus berkeliling toko.

4. Black Id dalam keseluruhan indikator menempati urutan keempat. Pengaturan store

design dan visual merchandising yang dilakukan oleh Black Id mendapat penilaian yang

paling tidak baik dibanding tiga distro lainnya. Oleh karena itu pada peta persepsi posisi

Black Id berada jauh dari seluruh atribut yang dinilai.

5. Berdasarkan akumulasi perolehan peringkat satu dari tiap indikator distro yang dinilai,

urutan hasil penelitian ini ternyata sesuai dengan urutan jumlah permintaan distro yang

dijelaskan oleh Dewi (2010:6). Ouval Research di peringkat pertama, Unkl347 di

peringkat kedua, Dloops di peringkat ketiga, dan Black Id di peringkat keempat. Hasil ini

berbanding lurus dengan Teori Levy & Weitz (2009:507) yang mengatakan bahwa ada

pengaruh yang signifikan antara perilaku membeli dengan store design & visual

merchandising. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Nento (2005:92)

dan Stiefi (2012:87) yang mengatakan ada korelasi kuat antara visual merchandising dan

store layout dengan minat beli konsumen.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Ouval Research hendaknya membenahi pemakaian rak yang saat ini digunakan. Hal ini

dikarenakan penilaian responden yang menyatakan bahwa penggunaan rak di Ouval

Research kurang sesuai dengan tema toko secara keseluruhan. Dari empat distro yang

diteliti, Ouval Research berada di posisi tiga di bawah Unkl347 dan Dloops.

Penyelarasan rak dengan tema toko secara keseluruhan nantinya akan membuat desain

toko menjadi lebih berkarakter sehingga pembentukan image dan persepsi konsumen akan

menjadi lebih kuat.

2. Unkl347 mendapatkan penilaian yang tidak terlalu baik di delapan indikator. Indikator itu

antara lain adalah kenyamanan berbelanja, kemudahan mencari barang, shopping

experience, signage yang merepresentasikan karakter toko, entrance, fitting room, traffic

flow, serta kemenarikan teknik penyajian. Namun dari keseluruh indikator tersebut

Unkl347 sebaiknya terlebih dahulu memperbaiki teknik penyajian produknya agar lebih

menarik lagi. Teknik penyajian produk bisa diurutkan misalnya berdasarkan warna agar

konsumen lebih tertarik untuk membeli. Selain itu Unkl347 juga hendaknya membenahi

layout toko agar dapat memudahkan konsumen dalam mencari barang yang dibutuhkan.

Dua perbaikan ini disarankan oleh penulis karena tidak terlalu membutuhkan banyak

biaya dan waktu. Dalam jangka panjang tentunya perbaikan secara menyeluruh lebih

dianjurkan demi mendapatkan penilaian konsumen yang lebih baik.

3. Dloops memiliki empat indikator yang mendapat penilaian tidak terlalu baik dari

konsumen, antara lain cash wraps, promotional aisle, windows, serta impulse purchase.

Sebaiknya Dloops terlebih dahulu memperbaiki tempat barang promosi serta penataan

barang yang dipajang di meja kasir. Perbaikan tersebut bertujuan untuk memaksimalkan

profit dengan mengoptimalkan tampilan barang agar konsumen mau membeli produk

yang sedang dalam masa promosi maupun yang dipajang di meja kasir.

4. Black Id adalah satu-satunya distro yang selalu menduduki peringkat empat di setiap

indikator. Dalam hal ini pembenahan menyeluruh untuk meningkatkan penilaian

konsumen sangat diperlukan. Namun begitu perbaikan jangka pendek yang dapat

Page 119: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

279

diterapkan adalah melalui pembenahan pada aspek kemudahan mencari barang,

kemenarikan teknik penyajian, serta impulse purchase. Ketiga aspek itu hendaknya lebih

diperhatikan agar produk yang dipajang tetap menarik untuk dibeli.

5. Walaupun peta persepsi memperlihatkan distro mana yang paling unggul dalam atribut

tertentu namun tiap distro harus tetap memperhatikan segmentasi dan target pasar yang

dituju sehingga pengembangan store design dan visual merchandising selanjutnya akan

tetap terfokus dan tidak terpengaruh oleh pesaing dengan target pasar yang berbeda.

6. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan mengenai perumusan strategi store design dan

visual merchandising yang diinginkan oleh konsumen serta pemetaan strategi lokasi yang

diterapkan distro berdasarkan persepsi konsumen.

DAFTAR REFERENSI

BPS Kota Bandung. (2013). Kota Bandung Dalam Angka 2013. Bandung: BPS.

BPS Kota Bandung. (2012). Survey Sosial Ekonomi Daerah 2010. Bandung: BPS.

Bank Indonesia. (2008). Pola Pembiayaan Usaha Kecil Distro. Jakarta: Bank Indonesia.

Dewi, Hanni Puspita. (2010). Pengaruh Fitur, Promosi, dan Pangsa Pasar, Terhadap

Permintaan Kaos, Kemeja, dan Celana pada Industri Kreatif di Kota Bandung (Studi

pada Distro di Kota Bandung). Tugas Akhir UPI: tidak diterbitkan.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung. (2012). Rekapitulasi Data Potensi

Pariwisata di Kota Bandung Tahun 2011 Triwulan IV. Bandung: Disbudpar.

Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan Kota Bandung. (2012). Data Potensi

Pasar Modern / Pasar Tradisional. Bandung: Dinas KUKM & Perindag

Cooper, Donald R., & Schindler, Pamela S. (2011). Business research method (eleventh

edition). New York, America: McGraw-Hill Education.

Hair Jr, Joseph F., Black, William C., Babin, Barry J., Anderson, Rolph E. (2010)

Multivariate Data Analysis A Global Perspective. New Jersey: Pearson Education Inc.

Levy, Michael., & Weitz, Barton A. (2009). Retailing Management -7/E. Boston: McGraw

Hill-Irwin.

Nento, Prima R. Susanti. (2005). Hubungan Visual Merchandising Display dengan Minat

Beli Konsumen (Studi Kasus pada Flexi Center Dago Bandung). Skripsi STMB Bandung:

tidak diterbitkan.

Simamora, Bilson. (2005). Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Stiefi, Deswitha Arvinci. (2012). Pengaruh Store Layout Terhadap Minat Beli (Studi Pada

Toko Sepatu Payless di Margocity). Tugas Akhir Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.

Page 120: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

280

ANALYSIS ON THE PREPARATION OF INTERNATIONAL STANDARD

IMPLEMENTATION TO INDONESIA AUTOMOTIVE INDUSTRY EXPECTED

PERFORMANCE FACING ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015

Muhammad Ikhsan, Nila K. Hidayat, Linus Pasasa

[email protected], [email protected], [email protected]

Management Study Program - Swiss German University

Abstract

This is largely due to the substantial range of networking and interconnectivity brought on by

the positive surge of development in global trade that enables companies to expand their

business overseas and reach out to more than just domestic markets scene. The ASEAN

Economic Community 2015 is a challenge to make a single barrier free market all through of

the 10 (ten) member countries, devoid of barriers its services, capital, and allowing goods,

and skilled labor to move freely across borders. ASEAN Member States are agreed to

implementing UNECE Wp. 29 for to be a basis harmonization automotive technical

regulation in ASEAN region. The purpose of this thesis is to measure a correlation between

UNECE International Automotive Standard and The Indonesia Automotive Industry

(expected) performance. As a result it has been concluded that correlations between UNECE

International Automotive Standard and Indonesia Automotive Industry performance does

exists. Implementing UNECE International Standard bring technologies, economic and

social benefits into the country and the manufacturing and it will helps to contribute an

improvement in Automotive Industry in Indonesia. Process documentation and control is the

major influence towards improving the performance of Automotive Industry in Indonesia and

Supplier Related Benefits is the factor that gives a significant influence for improvement

Indonesia Automotive Industry performance.

Keywords : AEC 2015, UNECE International Automotive Standard, ASEAN MRA,

Indonesia Automotive Industry.

INTRODUCTION

In conjunction with the globalization in the automotive industry, it is required international

harmonization of technical requirements for motor vehicles. The goals are reducing the cost

and time of development of the automotive industry and avoid a repeat of an administrative

procedure in the national automotive industry.

ASEAN has three top automotive producers: Thailand, Malaysia, and Indonesia, and all used

an advantage of the government schemes to promote prosperous automotive industry and that

report for 90% of motor vehicle output (passenger vehicles and truck) in ASEAN.

Page 121: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

281

Table 1 ASEAN Top Three Automotive Production and Sales

Source: ASEAN Automotive Federation (AAF)

All of ASEAN members have agreed to achieve economic integration by establishing the

ASEAN Economic Community (AEC), including for automotive sector. The establishment of

AEC is intended as a means to enhance the competitiveness of the ASEAN region, to boost

economic growth, to reduce poverty and to improve the living standard of the ASEAN

countries (Sosesatro, 2008).

ASEAN Member States have agreed that UN Regulations set up in the UNECE 1958

Agreement should be the basis for the harmonization of technical regulations for automotive

products in the region. The ASEAN Mutual Recognition Agreement provide a mutual frame

of recognition for the conformity assessment results (testing, inspection and certification) of

the 19 automotive systems that divided by two, which are 14 regulations for automobile and 5

regulations for motorcycle systems (EIBD, 2012).

Indonesian automotive industry has SNI (Standar Nasional Indonesia) as their based

technical regulation for domestic product. In this case, SNI already adopt some international

standard for the product, but is not 100% (a hundred percent) complying with UNECE

international standard for automotive. To make Indonesia automotive industry competitive in

the region facing ASEAN Economic Community 2015, they should make UNECE

international automotive standard as a basis technical regulation in the region. Indonesia

automotive industry has not implementing full international standard yet for their technical

regulation, thus in this study the researcher analyzes the impact by implementing full

standardization to the expected performance of Indonesia automotive industry.

PRODUCTION OF MOTOR VEHICLES

Country 2011 2012 2013 January -

November

Thailand 1.457,795 2.453,717 2.298,193

Indonesia 837.948 1.065,557 1.113,555

Malaysia 533.515 569.620 548.420

SALES OF MOTOR VEHICLES

Country 2011 2012 2013

January - November

Thailand 794,081 1,436,335 1,216,751

Indonesia 894,164 1,116,212 1,132,174

Malaysia 600,123 627,753 595,300

Page 122: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

282

LITERATURE REVIEW AND HYPOTHESIS

Globalization

At the present time, there are vast opportunities for business expansion especially overseas.

This is largely due to the substantial range of networking and interconnectivity brought on by

the positive surge of development in global trade that enables companies to expand their

business overseas and reach out to more than just domestic markets scene. As mentioned

before in literature review, since early 1990s there has been a significant increase in global

strategy and organization as so many different issues has been addressed in a range of

perspectives resulting in various methods of keeping up with global competitive market, and

also develop the general understanding of the intrigue of competing in global market.

No clear definition exists to what defines the Internationalization process (Fillis, 2001) gives

a broad definition about the Internationalization process as explained; “Internationalization is

a continuous process of choice between policies which differ maybe only marginally from the

status quo. It is perhaps best conceptualizes in terms of the learning curve theory. Certain

stimuli tempt a firm to shift to a higher export phase, the experience (or learning) that is

gained then modifies the firm’s insights, prospects and indeed managerial capacity and

competence. ); and new stimuli then induce the firm to move to the next higher export stage,

and so on” (Cunningham and Homse, 1982; cited by Ajdari, 2007; p. 3).

Other opinions posit that globalization goes together with an internationalization concept and

the core question is whether the firm should internationalize its activities along a variety of

dimensions including where it sells its products or services, where it produces these products

or services, where it outsources key inputs and where it obtains the know-how or technology

to produce these products or services (Lessard, D. 2003).

ASEAN Economic Community 2015

The ASEAN Economic Community 2015 is a challenge to make a single barrier free market

all through of the 10 member countries, devoid of barriers its services, capital, and allowing

goods, and skilled labor to move freely across borders. Although ASEAN as a whole will

likely benefit from becoming a single, fully integrated economy, the definition and means of

achieving it have not been clearly defined (Lloyd 2005; Hew and Soesastro 2003).

The ASEAN Economic Community Blueprint, established to fast – track the ASEAN

Economic Community (AEC) establishment by 2015, envisioned ASEAN as a highly

competitive region, fully integrated into the global economy, possessing a single market

production base, and characterized by equitable economic development (Goh, 2008).

The ASEAN Leaders at their Summit in Kuala Lumpur in December 1997 decided to

transform ASEAN into a stable, prosperous, and highly competitive region with equitable

economic development, and to reduce poverty and socio-economic disparities (ASEAN

Vision 2020). At the Bali Summit in October 2003, ASEAN Leaders declared that the

ASEAN Economic Community (AEC) shall be the goal of regional economic integration

(Bali Concord II) by 2020. In addition to the AEC, the ASEAN Security Community and the

ASEAN Socio-Cultural Community are the other two integral pillars of the envisaged

ASEAN Community. All the three pillars are expected to work in tandem in establishing the

ASEAN Community in 2020 (ASEAN Economic Blueprint).

According to Soesastro (2008), The idea of a single market and production base is essentially

about providing consumers in the region with an expended market from which they can fulfill

their consumption needs and producers in the region with an expended space in which they

Page 123: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

283

can undertake their production activities without having to worry about national

(administrative) boundaries in the region.

The AEC meant to be a single market and production base, with a free movement of goods,

services, investment, skilled labor and free flow of capital. The AEC should also foster

equitable economic development in the region and reduce poverty and socio-economic

disparities by the year 2020 (ASEAN Secretariat, 2007).

ASEAN Mutual Recognition Agreement

MRA is an agreement from all ASEAN countries to mutually recognize or accept some or all

aspects of the assessment results such as test results or certificates (Soesastro, 2008).

Through MRAs, products that are tested and certified before export can enter the importing

country directly without having to undergo similar conformity assessment procedures in the

importing country. With the increasing importance of standardization and conformity

assessment in international trade, MRAs have emerged as a key strategy to facilitate trade by

reducing the need for multiple testing and certification that incur unnecessary costs to exports

and delay delivery to market (MRA Framework Agreement).

ASEAN Mutual Recognition Arrangement identify for conformity assessment activities

could be an important means of eliminating Technical Barriers to Trade and enhancing

market access and that such mutual recognition could be of particular interest to small and

medium-sized businesses in ASEAN and MRAs could contribute positively in encouraging

greater international harmonization of standards and regulations and that any such MRAs

would require confidence in the other Member States' capacity and competence to test or

assess conformity to a Member State's own requirements.

The harmonization of automotive product standards is essential as basis for a single

manufacturing base. As work has begun within ASEAN on the alignment of technical

requirements, 50 UNECE regulations have been identified where 19 of those have been

prioritized and will form part of the Mutual Recognition Arrangement (MRA) for automotive

products in ASEAN. This research has limitation from 19 UNECE regulations to be only

focused on 14 regulations for 4-wheels components. This are the list of 14 regulations will

adopt by ASEAN Member States by UNECE:

ITEM NEEDED

R13 Series 11 (Braking system)

R13H Series 00 (Braking for passenger car)

R14 Series 06 (Seatbelt anchorage)

R16 Series 06 (Seatbelt)

R17 Series 07 (Seat)

R25 Series 04 (Head restraint)

R30 Series 05 (Pneumatic tyre – passenger)

R43 Series 02 (Safety glass)

R46 Series 02 (Rear – view mirror)

Page 124: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

284

R49 Series 05 (Emission for heavy vehicle)

R51 Series 02 (Noise emission at least 4 – wheel)

R54 Series 00 (Pneumatic tyre – commercial)

R79 (Steering Equipment)

R83 (Emission for light vehivle)

International Standard Organization

To facilitate the international coordination and unification of industrial standards” was the

primary reason behind the meetings between delegates from 25 countries that took place at

the Institute of Civil Engineers in London in 1946. Short of a year later, the new organisation

ISO was officially up-and-running.

More than 19,500 international standards have been published since then, standards that

cover virtually all of technology and manufacturing aspects that has been taken care of by

members from 164 countries and 3,368 technical bodies from all around the world and

accommodated by over 150 full-time workers in the ISO’s headquarter in Geneva,

Switzerland.

Ensuring safe, reliable, environmentally friendly and good quality products and services is

the primary intentions of the ISO international standards. These standards may also be

considered as strategic tools to achieving efficient process and in the way also minimize

errors and waste, and ultimately reducing costs for businesses, and increasing productivity.

Furthermore, these international standards will be of a great help in facilitating free and fair

global trade by accommodating companies to access new markets, and level the playing field

for companies and businesses from developing countries.

International Standards bring technological, economic and societal benefits. They help to

harmonize technical specifications of products and services making industry more efficient

and breaking down barriers to international trade. Conformity to International Standards

helps reassure consumers that products are safe, efficient and good for the environment.

International Standards are strategic tools and guidelines to help companies tackle some of

the most demanding challenges of modern business. They ensure that business operations are

as efficient as possible, increase productivity and help company access new markets. The

benefits includes: cost savings, enhanced customer satisfaction, access to new markets,

increased market share, environmental benefits.

Industrial Organizational Theory

Coming back to the global strategy it is needed to mention that according to Zou and

Cavusgil (1996) the literature regarding global strategy is mainly dominated by the industrial

organization (IO) perspective (Bartlett and Ghoshal, 1991).

While the IO approach has enriched understanding of the external market and industry forces

which drive globalization, it generally has neglected a business’s idiosyncratic internal

characteristics (Bartlett and Ghoshal, 1991). It means that business performance is not solely

determined by global strategy and that internal organizational characteristics also play an

important role. As a result, domination by the IO perspective can lead to incomplete

explanation of global strategy and performance.

In the IO-based model, competitive advantage is viewed as a position of superior

performance that a business attains through offering undifferentiated products at low prices or

Page 125: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

285

offering differentiated products for which customers are willing to pay a price premium (see

Porter, 1980).

It can be said that Porter (1980; 1985) made the most influential contribution to the field

employing IO economics. Using a structural analysis approach, (Porter, 1980) outlines an

analytical framework that can be used in understanding the structure of an industry. (Porter,

1980; 1985) suggested generic strategies (low cost leadership, differentiation, and focus) that

can be used to match particular industry foci and, thereby, build competitive advantage (cited

in Hoskisson, Hitt, Wan, &Yiu, 1999).

United Nations Economic Commissions for Europe Working Parties 29 (ENECE Wp.

29)

One of the five United Nations’ regional commissions is the United Nation Economic

Commissions for Europe (UNECE) was formed in 1947. Environmental policy, Inland

transport, Sustainable energy, European statisticians, Trade, Timber, Housing and land

management, Economic cooperation and integration are the areas that is covered by the

expertise of UNECE that comprises 56 countries in Europe, North America, Regions of

Caucasus, and Central Asia.

Resolution No. 45 of the Subcommittee on Road Transport (SC.1) of the Economic

Commission for Europe of the United Nations (UNECE) established World Forum for

Harmonization of Vehicle Regulations (WP.29), which previously known as the Working

Party on the Construction of Vehicles. In order to instigate the general technical provisions

set in the Convention on Road Traffic adopted in Geneva in 1949, the resolution called for

the establishment of a working party of experts competent in the field of technical

requirements for vehicles, and in the end, those provisions identified vehicle characteristics as

a major cause of road traffic crashes, deaths and injuries.

The United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) envisioned to eliminate

technical barriers to the trade in motor vehicles internationally, and subsequently develops

harmonized requirements for the systems used for motor vehicles between the Contracting

Parties to the Revised 1958 Agreement and ensuring that such vehicles and systems offer a

high level of safety and environmental protection.

Generic Strategy

Michael Porter (1980) detailed the three generic strategies available to a firm: cost leadership,

differentiation, and focus strategies. Firms must make a choice if the firm is to attain a

competitive advantage vis-à-vis its rivals. Modern manufacturing systems and technologies

support global mass customization, which in turn supports the strategic position the firm has

chosen. The key is to align business process with customers’ need using mass customization

(Salvador, Martin de Holan, and Piller, 2009).

Generic strategy is a core idea about how a firm can best compete in the marketplace. From a

scheme developed by Michael Porter, many planners believe that any long term strategy

should derive from a firm’s attempt to seek a competitive advantage based on one of three

generic strategies:

a. Striving for overall low-cost leadership in the industry. Low-cost leaders depend on some

fairly unique capabilities to achieve and sustain their low-cost position. Examples of such

capabilities are having secured suppliers of scarce raw materials, being in a dominant

market share position, or having a high degree of capitalization. Low-cost leadership are

maximize economies of scale, implement cost-cutting technologies, stress reductions in

Page 126: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

286

overhead and in administrative expenses, and use volume sales technique to propel

themselves up the earning curve.

b. Striving to create and market unique products for varied customer groups through

differentiation. Strategies dependent on differentiation are designed to appeal to

customers with a special sensitivity for a particular product attribute. By stressing the

attribute above other product qualities, the firm attempts to build customer loyalty. The

product attribute also can be the marketing channels through which it is delivered, its

image for excellence, the features it includes, and the service network that supports it.

c. Striving to have special appeal to one or more groups of consumer or industrial buyers,

focusing on their cost or differentiation concerns. A focus strategy, whether anchored in a

low-cost base or a differentiation base, attempts to attend to the needs of a particular

market segment. Likely segments are those that are ignored by marketing appeals to

easily accessible markets, to the “typical” customer, or to customers with common

applications for the product. A firm pursuing a focus strategy is willing to service isolated

geographic areas; to satisfy the needs of customers with special financing, inventory, or

servicing problems; or to tailor the product to the somewhat unique demands of the small-

to medium-sized customer.

HYPHOTHESIS

Hypothesis 1: There is a correlation between International Automotive Standard

implementation dimensions and Indonesian Automotive Industry

(expected) performance parameters.

Hypothesis 2: Continuous improvement is the major significant influence of UNECE

International Standard implementation dimensions.

Hypothesis 3: Business related benefits are the major significant influence of Indonesia

Automotive Industry (expected) performance parameters.

RESEARCH METHODOLOGY

This study conducted in 30 medium to large scale automotive manufacturing companies in

Indonesia which is in the midst of implementing UNECE international standard.

Primary and secondary data are gathered from various sources. Questionnaire and interviews

from Indonesia Automotive Industry while keeping the focus on braking system are the

method by which the primary data are gathered with the intention to determine the obstacles

of the preparation of implementing International Automotive Standard (UNECE Wp. 29)

based on ASEAN MRA Agreement for facing ASEAN Economic Community 2015.

A sampling method is used to collect the data. The sampling method selected only a handful

part of the population to represent the whole population. In this case, the survey was

conducted with the help of 30 manufacturing companies that are members of GAIKINDO

(Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia or Association of Indonesian Automotive

Industry).

Page 127: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

287

Data Estimate of True

Proportion 0.9

Sampling Error 0.05

Confidence Level 95%

Intermediate Calculations

Z Value -1.9600

Calculated Sample Size 138.2925

Result

Sample Size Needed 139

Finite Populations Population Size 37

Calculated Sample Size 29.3577

Sample Size Needed 30

The result from the questionnaire helps to recognize the success factor for the international

standard implementation in Indonesian automotive standard particularly on the safety system

implementation manufacturing industry. Member companies of GAIKINDO and random

samplings from randomly researcher-selected companies with better possibility of relation

with the study are the samples from which the survey is conducted, and with the members of

GAIKINDO, the interview was performed several times in order to gather the qualitative

information required to understand the research issues better.

In this research the research using Structural Equation Modelling (SEM) for analyze the data

because the model needs more data and have a high level of complexity. Structural Equation

Modelling (SEM) is a statistical technique using a combination of statistical data for testing

and estimating causal relationships between observed (measured) and unobserved (latent)

variables, and also the relationship between two or more variables (Burns & Bush, 2006).

To demonstrate the relationship between observed and unobserved variables, and also the

define the interconnections between the two, examiners used the path diagram as a SEM tool.

The visual model and the way that the hypotheses are connected to the problem can be

explained by the diagram. The path diagram in this research is constructed by using AMOS

Software (Analysis of Moment Structures). The correlation coefficient is an index number,

constrained to fall between the range of -1.0 and +1.0 that communicates both the strength

and the direction of a linear relationship between two variables (Burns & Bush, 2006).

Page 128: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

288

RESULT AND DISCUSSION

Path Diagram

From the model above showing that there are 14 factors will influence regarding an

improvement for Indonesia automotive industry by implementing UNECE international

automotive standard. This study will examine the most factors from UNECE International

automotive standard and also from Indonesian automotive industry will contribute towards

improving for Indonesian automotive industry.

Hypothesis 1: There is a correlation between International Automotive Standard

implementation dimensions and Indonesian Automotive Industry

(expected) performance parameters.

Factor Correlation r Correlation r2

Association

UNECE International

Automotive Standard

Implementation

0.77 52.29% Moderate

Expected Indonesia

Automotive Industry

Performance

Page 129: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

289

Based on analysis using AMOS, the percentage in table above shown that UNECE

International Automotive Standard have a strong correlation with Indonesia Automotive

Industry with coefficient correlation 0.77 or contribute 52.29% and moderate association.

Therefore, hypothesis 1 above is accepted.

The interpretation table above that shown UNECE International Automotive Standard has a

strongest correlation Indonesia Automotive Industry performance. It means that international

standardization have a significant contribution on improvement Indonesia Automotive

Industry performance.

Hypothesis 2: Continuous improvement is the major significant influence of UNECE

International Standard implementation dimensions.

Factor Correlation r Correlation r2

Association

Continuous

improvement

0.60 36.00% Moderate

Based on analysis using AMOS, the percentage in table above shown that continuous

improvement is not a strongest influence of UNECE International Automotive Standard with

coefficient correlation 0.60 or contribute 36.00% and of moderate association.

Therefore, hypothesis 2 above is rejected.

The interpretation of table above, showing that continuous improvement factor is not

significantly influence UNECE International Automotive Standard on contributing to

improve Indonesia Automotive Industry performance.

Hypothesis 3: Business related benefits are the major significant influence of Indonesia

Automotive Industry parameters.

Factor Correlation r Correlation r2

Association

Business related

benefits

0.67 44.89% Moderate

Based on analysis using AMOS, the percentage in table above shown that business related

benefits factor is not a strongest correlation with coefficient correlation 0.67 or contribute

44.89% and moderate association. Therefore, hypothesis 3 above is rejected.

The interpretation of table above that shows business related benefits is not a strongest

correlation on implementing UNECE International Automotive Standard. In this research that

business related benefits is not significantly improved by implementing UNECE International

Standard.

Analysis of implementing the International Automotive Standard for the Indonesia

Automotive Industry

Benefits in economy, technology, and society are just some of the advantage that

international standard can bring into any industry. Compliance to international standard may

help to synchronise technical specifications of any products and services and therefore

Page 130: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

290

removing any trade barriers, which will eventually makes the industry more effective and

consumers are encouraged to think that the products are safe and environmentally friendly

because it has passed the international standard, of which will ultimately resulting in

increased customer satisfaction and sales.

Supported by some facts and result from the questionnaire, below are the researcher’s

analyses of the benefits of implementing International Standard for Indonesia Automotive

Industry for facing ASEAN Economic Community 2015.

Figure above shows that the most profitable benefit nominated by Indonesian automotive

companies in Indonesia is the ability to access new market or make the companies itself to be

ready more globally, and it supposed to be chance for Indonesian automotive companies to

increase their market share.

The other benefits are by implementing international standard would be enhanced quality and

customer satisfaction, because nowadays the customer awareness about quality of safety is

increased following many traffic accidents. By implementing International Standard the

exporter could be reduce their cost of doing process fit and proper test in destination export

country. This process is rather expensive and could be entirely eliminated if Indonesia

implements the international standards, and could ultimately be highly profitable in terms of

cutting the cost for the companies because the companies do not need to perform those tests

before exporting anymore.

Economic Implication of UNECE International Standard Implementation to the

Indonesian’s automotive industry

Even Indonesia is still based on SNI (Standard National Indonesia) but the roadmap to

implement UNECE as international standard will bring a great benefits including economic

implication. The International Standard will make Indonesia automotive industry competitive

in the region facing ASEAN Economic Community 2015. Thus, it relates with the increasing

volumes of export. The manufacture will gain a potential access to new global market and as

well reducing any technical trade barriers. Technical barriers for each country it would be

different because each government apply different technical requirements to protect their

domestic market. Implementing international standard also will bring new technological

Page 131: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

291

benefits for Indonesian domestic production and it would definitely be an advantage for

Indonesian Industry.

Conclusion

To achieve the goals of ASEAN Economic Community, ASEAN Member States should

liberalize trade in goods, service, investment, and labor. ASEAN Mutual Recognition

Arrangement (MRA) is one of several ASEAN mechanisms to facilitate trade liberalization.

To facilitate the liberalization of trade in ASEAN Region, the main efforts is to harmonize

standard of existing as well as on trade in goods. The ASEAN Member States have agreed

that the UNECE International Standard especially in Wp. 29 for Automotive Standard should

be the basis for harmonization of the automotive technical regulation in ASEAN. In the

agreement there are 14 standards that should be harmonized for the ASEAN Member States,

but in this research only focus on safety system.

The findings of this research are there strong correlations between UNECE International

Standard and Expected Indonesia Automotive Industry Performance. The result from

statistical method shows that UNECE International Standard will enhance Indonesia

Automotive Industry performance. There are 7 factors will influence UNECE International

Standard on affecting Indonesia Automotive Industry performance parameters, such as:

management commitment, resources issues, customer orientation, process documentation and

control, quality function, feed-back control and auditing, and continuous improvement. From

this validates shown that process documentation and control has a biggest impact for the

Indonesia Automotive Industry for enhancing company performance.

From the Indonesia Automotive Industry side, there are 7 factors as an indicator for

performance parameters such as: business related benefits, technological benefits, operational

benefits, production benefits, supplier related benefits, employee related benefits, customer

related benefits. This validates shown that supplier related benefits are the major factors

would be affected on implementing UNECE International Standard. Supplier related benefits

can effectively contribute for the Indonesia Automotive Industry in realization implementing

UNECE International Standard.

There are many benefits for Indonesia Automotive Industry on implementing UNECE

International Standard. Based on the questionnaire results include an open answer question,

this research reveals that the main benefits for the manufacturing companies are prepared

them into global market and it supposed to be chance for Indonesia Automotive Industry for

increase market share. To support manufacturing companies ready for global, implementing

international standard also helping to reduce trade barriers. Implementation international

standard will reduce cost of doing proper and test because the manufacturing company

already fulfil the requirement standard for global. There are many benefits for manufacturing

companies if implementing International Standard. The findings suggest that effective of

UNECE International Standard implementation can significantly contribute towards

realization of strategic manufacturing performance improvement for competing in the highly

dynamic global market place.

Page 132: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

292

References

Ajdari, B. (2007). Impact of e-commerce on internationalization of Iranian’s SMEs, Master

Thesis, Luleå University of Technology, Department of Business Administration and Social

Sciences.

Amit, R., & Schoemaker, P. J. H. (1993). Strategic assets and organizational rent. Strategic

Management Journal, 14(1), 33-46. http://dx.doi.org/10.1002/smj.4250140105

ASEAN Economic Blueprint, www.asean.org/archive/5187-10.pdf . Accessed on

14th

November 2013)

ASEAN Secretariat. ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta, November 2007

Bartlett, C. and Ghoshal, S. (1991). Global strategic management: impact on the new

frontiers of strategy research, Strategic Management Journal, Vol. 12, pp. 5-16

Burns, A. C., & Bush, R. F. (2006). Marketing Research (5th Edition ed.). Pearson

International Edition.

Caves, R. and Williamson, P. (1985). What is Product Differentiation, Really? The Journal of

Industrial Economics (34), 1985, pp. 113 132.

Collis, D.J. (1991). A resource-based analysis of global competition: the case of the bearings

industry. Strategic Management Journal, Vol. 12, pp. 49-68. Revised April 18th, 2010

Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2011). Business Research Methods (11th Edition ed.).

McGraw Hill.

Crook, T. R., Ketchen, D. J., Combs, J. G., & Todd, S. Y. (2008). Strategic resources and

performance: a meta-analysis. Strategic Management Journal, 29(11), 1141-1154.

http://dx.doi.org/10.1002/smj.703

Daft, R. (1983). Organization Theory and Design. West. New York, NY. Revised April 18th

,

2010.

Fillis, I. (2001). Small firm internationalization: an investigative survey and future research

directions, Management decision, Vol. 39 No. 9, pp. 767-783. Revised April 17th, 2010

Goh, C. Y. (2008). ASEAN Infrastructure Financing Mechanism: Concepts and progress.

Paper presented at the ASEAN Infrastructure Financing Mechanism Conference, Kuala

Lumpur, Malaysia, 10 November 2008.

Grant, R. M. (2002). Contemporary Strategy Analysis, (4th ed.). Oxford: Blackwell

Publishers Inc.

Hew, D. and Soesastro, H. (2003). Realizing the ASEAN Economic Community

by2020:ISEAS and ASEAN-ISIS Approaches, ASEAN Economic Bulletin, IS-EAS.

Hoskisson, Hitt, Wan & Yiu, (1999). Theory and Research in Strategic Management:

Swings of a Pendulum, Journal of Management, 25(3): 417-465.

Jain, Sanjiv Kumar; Inderpreet Singh Ahuja. (2012). An evaluation of ISO 9000 initiatives in

Indian industry for enhanced manufacturing performance,

http://search.proquest.com/docview/1095558499/fulltextPDF/1429AE385B83E3EE7D2/1?ac

countid=48290. Accessed on November 12th

, 2013.

Kogut, B. (1988). Joint ventures: theoretical and empirical perspectives. Strategic

Management Journal, 9, 319–32.

Page 133: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

293

Lessard D. (2003). Frameworks for global strategic analysis. Journal of Strategic

Management Education 1, Senate hall Academic Pusblishing (1). pp. 8-10 Revised May 30th,

2010

Lloyd PJ (2005). What is a single market? An application to the case of ASEAN. ASEAN

Econ Bull 22:251–265

Newbert, S. L. (2007). Empirical research on the resource based view of the firm: an

assessment and suggestions for future research. Strategic Management Journal, 28(2), 121-

146. http://dx.doi.org/10.1002/smj.573

Newbert, S. L. (2008). Value, rareness, competitive advantage, and performance: a

conceptual-level empirical investigation of the resource-based view of the firm. Strategic

Management Journal, 29(7), 745-768. http://dx.doi.org/10.1002/smj.686

Pearce, J. A., & Robinson, R. B. (2013). Strategic Management: Planning for Domestic and

Global Competition (13th Edition ed.). McGraw Hill.

Porter, M. (1980). Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and

Competitors. New York: Free Press.

Porter, M. E. 1985. Competitive Advantage. New York: The Free Press.

Salvador, F., Martin de Holan, P., & Piller, F. (2009). Cracking the code of mass

customization. MIT Sloan Management Review, 50(3), 71-78.

Schwandt, (1997). Qualitative Inquiry: A Dictionary of Terms Sage.

Sekaran, U., & Bougie, R. (2009). Research Methods for Business A Skill Building Approach

(5th Edition ed.). John Wiley & Sons Ltd.

Sekaran, U., & Bougie, R. (2012). Research Methods for Business. A Skill Building

Approach. Forth Edition. John Wiley & Sons

Soesastro, H. (2008). Implementing the ASEAN Economic Community Blueprint. The ASEAN

Community: Unblocking the Roadblocks (pp.30-38). Singapore: Institute for Southeast Asian

Studies.

Thee, K. W. (1990). Indonesia: Technology Transfer in the Manufacturing Industry, In

Soesastro, H. and M. Pangestu (eds.), Technological Challenge in the Asia-Pacific Economy,

Sydney: Allen & Unwin.

Zikmund, W., & Babin, B. (2012). essentials of marketing research , 5th

Ed. Ohio:Cengage

Learning

Zou, S. and Cavusgil C (1996). Global strategy: a review and an integrated conceptual

framework. European Journal of Marketing,Vol.30, pp. 52. Revised April 18th, 2010

Zou, S. and Cavusgil C (1996). Global strategy: a review and an integrated conceptual

framework. European Journal of Marketing,Vol.30, pp. 52. Revised April 18th, 2010

Page 134: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

Linus Pacasa

294

Web References

EIBD 2012 Recommendation, http://eibd-

conference.com/assets/files/Recomendation2012/EIBD%20Recommendation%20Book%20C

ontent%20FINAL%20for%20web.pdf (Accessed on 7th

November 2013)

http://www.asean.org/news/item/asean-framework-agreement-on-mutual-recognition-

arrangements (Accessed on 15th

November 2013)

http://www.asean.org/news/item/asean-vision-2020 (Accessed on 18th

November 2013)

http://www.asean.org/news/item/asean-vision-2020 (Accessed on 18th

November 2013)

http://www.iso.org/iso/home/about.htm (Accessed on 19hNovember 2013)

http://www.iso.org/iso/home/standards.htm (Accessed on 19hNovember 2013)

http://www.iso.org/iso/home/standards/benefitsofstandards.htm (Accessed on 19hNovember

2013)

http://www.unece.org/fileadmin/DAM/trans/main/wp29/wp29wgs/wp29gen/wp29inf/121/blu

ebook.pdf (Accessed on 19hNovember 2013)

http://www.unece.org/trans/main/wp29/meeting_docs_wp29.html (Accessed on

19hNovember 2013)

United Nations Economic Commission for Europe – UNECE, http://www.unece.org/

(Accessed on 19hNovember 2013)

Page 135: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

295

Pengaruh Kesadaran Nilai, Integritas, Gratifikasi Personal, dan Penghindaran Risiko

terhadap Sikap dan Perilaku pada Produk Lagu Bajakan

Sony Kusumasondjaja & Syahrial Ashari,

Universitas Airlangga

Abstract

The increasing adoption of pirated music products in Indonesia intesifies the needs to

understand factors influecing consumers to buy pirated music products. This study examines

the impact of value consciousness, personal integrity, risk avoidance, and personal

gratification on consumer attitude toward pirated music products and their intention to buy

the products. Data was collected through mall-intercept survey distributed on several music

concerts involving 150 music lovers. Findings suggest that consumers who are aware of

product value tend to have favorable attitued and intention toward pirated music products,

meanwhile consumers whose high level of personal integrity, risk avoidance, and personal

gratification also have positive attitude and intention toward the pirated music products.

Research contributions and implications are also discussed.

Kata Kunci: kesadaran nilai, risiko, sikap, niat konsumen, online marketing

1. Latar Belakang Masalah

Produk musik di Indonesia tidak saja berada pada ranah seni karena saat ini sudah

berkembang menjadi industri yang cukup besar. Awal perkembangan industri musik di

Indonesia ditandai dengan munculnya rekaman musik dalam pita kaset pada tahun 1967

setelah pada masa sebelumnya piringan hitam menjadi media rekaman produk musik. Kaset

segera menggantikan peran piringan hitam karena alasan kepraktisan dan harga jual yang

lebih murah. Dan alasan yang sama pula yang membuat konsumen Indonesia saat ini lebih

memilih mendengarkan musik melalui Compact Disc daripada pita kaset. Penjualan fisik

album CD di pasar Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup bagus. Menurut

laporan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) Januari 2009, 85% total penjualan

produk musik Indonesia tahun 2008 dikuasai musik dalam negeri. Pada tahun 2006, total

penjualan produk musik sebesar 26 juta kopi, tahun 2007 sebesar 19 juta kopi, sedangkan

tahun 2008 total penjualan sebesar 15 juta kopi. Walaupun mengalami penurunan, penjualan

musik Indonesia lebih besar dibandingkan penjualan musik luar negeri (Kompas, 2012).

Potensi industri musik juga berkembang seiring kemajuan teknologi saat munculnya

peralihan dari teknologi analog ke digital pada awal tahun 2000. Perubahan teknologi

tersebut membuat musisi lebih mudah merekam dan mengolah sendiri musiknya dengan lebih

cepat. Kemajuan teknologi Internet juga memudahkan produser rekaman untuk

mempromosikan dan mendistribusikan produk musik. Sayangnya, perkembangan teknologi

digital dan Internet tidak hanya membantu perkembangan industri musik Indonesia karena

pada saat yang bersamaan juga menciptakan musuh besar industri tersebut yang berwujud

kemudahan pembajakan lagu. Asiri mencatat, sejak 2007 angka pembajakan produk rekaman

musik mencapai lebih dari 90%. Rasio peredaran album CD musik bajakan dan legal di tahun

2007 mencapai 96% : 4%, angka ini diprediksikan terus bertambah (Sindo, 2010). Hal ini

berarti bahwa dari 10 kaset atau CD yang beredar hanya satu buah yang original dan legal.

Asiri menghitung, setidaknya tiap tahun kerugian dari pembajakan ini mencapai Rp 1-2

triliun (Sindo, 2010).

Page 136: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

296

Salah satu hal yang mendorong semakin menjadi-jadinya transaksi pembajakan musik di era

digital adalah kemudahan untuk memperoleh produk musik yang diinginkan. Konsumen

tidak perlu pergi ke penjual CD pinggir jalan dan membayar 5000 rupiah. Cukup

bermodalkan komputer dan koneksi Internet, konsumen dapat dengan mudah mengunduh dan

mendengarkan lagu apapun yang diinginkan sebanyak apa pun melalui situs-situs file sharing

dengan gratis. Bila dibandingkan dengan biaya memperoleh produk musik secara legal yang

berkisar mulai Rp 25.000 hingga Rp 150.000 per keping CD, kemudahan dalam memperoleh

dan menggunakan lagu bajakan menjadi alternatif menarik bagi konsumen Indonesia.

Selain itu, ukuran file lagu yang relatif lebih kecil daripada ukuran file film atau software

membuat pembajakan lagu relatif lebih mudah dilakukan dan lebih sulit dihentikan daripada

pembajakan film atau software. Apalagi, kemunculan lagu-lagu baru jauh lebih sering

daripada kemunculan film atau software baru. Lagu-lagu tersebut biasa disimpan di

perangkat-perangkat handheld terbaru seperti telepon genggam dan pemutar musik mobile

untuk didengarkan sambil beraktivitas. Lebih-lebih lagi, saat ini sungguh mudah menemukan

situs-situs Internet penyedia lagu-lagu populer yang dapat diunduh secara cuma-cuma.

Tingginya kebutuhan dan adanya kemudahan inilah yang mendorong kegiatan pembajakan

lagu melalui teknologi digital dan Internet.

Sebenarnya ada sebagian konsumen yang tidak meyakini atau tidak memahami bahwa

tindakan tersebut termasuk perbuatan ilegal. Mereka yang memahami pun seringkali tidak

peduli pada aturan hukum karena melihat tidak ketatnya sanksi hukum yang diberikan pada

konsumen produk bajakan. Itulah sebabnya sebagian dari mereka tidak segan menggunakan

musik gratis di tempat umum, memutarnya terang-terangan tanpa rasa takut, bahkan dengan

eksplisit menyarankan atau menawarkan kepada teman-teman mereka yang lain untuk

menggunakan lagu atau musik tersebut. Faktor yang lain yaitu tentang daya beli konsumen

musik Indonesia yang cukup rendah, sehingga besar sekali keinginan konsumen untuk

membayar lebih murah sebuah produk musik bajakan meskipun mendapatkan kualitas yang

lebih rendah dibandingkan dengan produk yang asli. Dengan perbandingan harga yang sangat

jauh, banyak konsumen musik Indonesia yang lebih memilih membeli produk bajakan

daripada produk resmi.

Penelitian Gupta et al (2004) menemukan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi

konsumen untuk melakukan pembajakan produk secara ilegal. Faktor yang ditemukan

mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembajakan produk secara ilegal adalah

kesadaran akan nilai produk (value consciousness), kecenderungan untuk menjaga sikap jujur

dan sikap positif diri sendiri (integrity), kebutuhan untuk memperoleh pengakuan sosial

(personal gratification), dan kecenderungan untuk menghindari kegiatan yang berisiko (risk

aversion). Penelitian ini mengadaptasi penelitian Gupta et al. (2004) tersebut karena hasil

penelitian empiris tentang sikap terhadap musik bajakan di Indonesia masih jarang ditemukan

padahal hal ini marak terjadi. Penelitian ini berusaha untuk memberikan pemahaman tentang

bagaimana kesadaran nilai produk, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko

berpengaruh pada sikap terhadap musik bajakan konsumen musik Indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pertanyaan yang dijawab oleh

penelitian ini adalah (1) apakah kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan

penghindaran risiko berpengaruh secara simultan terhadap sikap pada produk lagu bajakan?

dan (2) apakah sikap pada produk musik bajakan berpengaruh terhadap niat menggunakan

produk lagu bajakan ?

Page 137: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

297

2. Landasan Teori

2.1. Manajemen Pemasaran dan Konsep Pemasaran

Pemasaran menurut Kotler dan Keller (2012) dapat dibedakan atas definisi sosial serta

manajerial. Definisi sosial dari pemasaran, yaitu suatu proses sosial dimana individu dan

kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,

menawarkan, dan menukar produk yang mempunyai nilai secara bebas dengan pihak lain.

Sedangkan menurut definisi manajerial, pemasaran seringkali diartikan sebagai seni dalam

menjual produk. Namun penjualan bukanlah hal yang paling penting dalam pemasaran itu

sendiri. Peter Drucker dalam Kotler dan Keller (2012) menambahkan bahwa tujuan

pemasaran adalah untuk mengetahui dan memahami konsumen dengan baik, sehingga produk

yang dihasilkan dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen, yang selanjutnya dapat

meningkatkan penjualannya. Sedangkan The American Marketing Association memberikan

definisi pemasaran sebagai proses dari perencanaan dan pelaksanaan konsep, penetapan harga,

promosi, dan distribusi dari ide, barang, dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan

tujuan individual maupun organisasional (Kotler dan Keller, 2012).

Perusahaan sekarang ini sudah banyak yang bergeser dari product-centered, dimana

perusahaan hanya membuat dan menjual produk, ke customer-centered, dimana perusahaan

berusaha untuk memahami dan merespon apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh

konsumen. Tugas dari pemasaran sendiri bukanlah mencari konsumen yang tepat bagi

produk, namun membuat produk yang tepat bagi konsumen. Kebutuhan dan keinginan

konsumen menjadi fokus utama bagi perusahaan, dan filosofi consumer-oriented inilah yang

kemudian dikenal dengan konsep pemasaran (Schiffman dan Kanuk, 2013).

Konsep pemasaran sendiri menurut Kotler dan Keller (2012) mengacu pada konsep yang

menyatakan bahwa kunci untuk meraih tujuan organisasional adalah dengan menjadi lebih

efektif daripada pesaing dalam menciptakan, mengantarkan, dan mengkomunikasikan nilai

produk lebih tinggi kepada konsumen yang menjadi target pasarnya. Senada dengan yang

dikemukakan oleh Kotler, Schiffman dan Kanuk (2013) menyatakan bahwa asumsi kunci

yang mendasari konsep pemasaran adalah, untuk mencapai kesuksesan perusahaan harus

menentukan kebutuhan dan keinginan konsumen dari target pasar yang spesifik dan

memberikan kepuasan yang diharapkan dengan lebih baik dibandingkan dengan pesaing.

2.2. Nilai Pelanggan dan Kesadaran Nilai

Kotler dan Keller (2012) menyatakan bahwa customer value atau nilai pelanggan merupakan

kombinasi kualitas pelayanan, harga dari suatu produk. Berdasarkan konsep ini, nilai

pelanggan bersumber dari benefit ekonomi, benefit pelanggan dan benefit emosional. Buttle

(2004) mengatakan bahwa pelanggan menggunakan istilah nilai untuk empat pengertian yang

berbeda, yaitu:

1. Nilai adalah harga yang murah. Beberapa pelanggan mengatakan bahwa harga yang

paling murah adalah nilai yang terbaik.

2. Nilai adalah mendapatkan apa yang diinginkan dari suatu produk atau jasa. Pelanggan ini

mendefinisikan nilai dalam artian manfaat yang mereka terima dan bukannya harga yang

mereka terima melainkan harga yang harus pelanggan bayar.

3. Nilai adalah kualitas yang didapatkan atas harga yang dibayar. Pelanggan menganggap

nilai sebagai pertukaran antara harga yang mereka bayarkan dan kualitas yang mereka

dapatkan.

Page 138: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

298

4. Nilai adalah semua yang didapatkan atas semua pengorbanan yang telah diberikan.

Perbedaan pandangan tentang nilai dapat ditangkap dalam sebuah definisi tentang nilai yaitu

nilai adalah persepsi pelanggan tentang keseimbangan antara manfaat yang diterima dengan

pengorbanan yang diberikan untuk mendapatkan manfaat tersebut. Kotler dan Keller (2012)

mengatakan bahwa “Customer perceived value is difference between the perspective

customer’s evaluations of all beenfits and all the costs of an offering and the perceived

alternatives”. Bisa diartikan bahwa perceived value sebagai trade – off yang dihadapi

konsumen antara kualitas dan harga yang dirasakan ketika mengevaluasi sebuah merek atau

dengan kalimat lain bahwa customer value dihasilkan dari evaluasi konsumen atas

keterkaitan antara harga yang harus mereka bayarkan dari kualitas yang akan mereka

dapatkan dari produk yang akan mereka konsumsi.

Menurut Cateora dan Graham (2007) price-quality relationship dianggap ideal jika

memenuhi harapan dasar dan tidak lebih, memungkinkannya untuk diberi harga secara

kompetitif. Dalam beberapa situasi, konsumen mengembangkan harapan mengenai price-

quality relationship (Mowen dan Minor, 2001:107). Secara umum, keterkaitan harga dan

kualitas mendorong konsumen untuk mengharapkan produk berkualitas tinggi pada saat

harga yang harus mereka bayarkan tinggi, begitu pula sebaliknya.

Bagi kebanyakan konsumen Indonesia yang menganggap harga sebagai komponen yang

sangat penting dalam keputusan pembelian produk, faktor kesadaran pada nilai pelanggan

(value consciousness) berperan penting dalam proses pengambilan keputusan tersebut.

Lichtenstein et al. (1990) mendefinisikan value consciousness sebagai perhatian untuk

membayar harga yang lebih rendah dengan kendala kualitas. Dalam konteks produk

bajakan, penelitian sebelumnya menemukan bahwa harga merupakan elemen utama yang

menentukan kecenderungan konsumen untuk membelinya (Maldonado dan Hume,

2005:110). Bloch et al. (1993) juga menambahkan bahwa ketika harga barang dari barang

bajakan mempunyai keungggulan terhadap barang asli, maka konsumen akan lebih

memilih barang bajakan. Menurut Shaari dan Halim (2006) produk bajakan biasanya akan

sedikit mengabaikan kualitas barang. Mereka tidak mengharapkan kualitas yang tinggi

dari barang bajakan, melainkan lebih pada manfaat fungsionalnya.

2.3. Integritas Personal

Teori psikoanalitik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan bahwa perilaku manusia

dikuasai oleh kepribadiannya. Mowen dan Minor (2001) menjelaskan bahwa kepribadian

atau personality sendiri berasal dari perjuangan dinamis antara dorongan fisiologis dalam diri

dan tekanan sosial untuk menaati hukum, aturan , dan kode moral. Tekanan sosial untuk

menaati hukum, aturan, dan kode moral timbul dari sistem superego seseorang. Superego

adalah sesuatu yang ideal yang ada dalam diri manusia serta dapat menjadi motivasi untuk

bertindak secara bermoral dan menaati hukum. Pernyataan diatas didukung oleh moral

competence theory dari Kohlberg (1976), yang menyatakan bahwa perilaku konsumen dapat

dipengaruhi oleh perasaan terhadap hukum (personal sense of justice) dari konsumen itu

sendiri.

Integrity berkaitan dengan standar etika dan kepatuhan konsumen terhadap hukum (Wang et

al., 2005:342). Steenhaut dan Van Kenhove (2006) dalam Phau dan Teah (2009) menyatakan

bahwa pengaruh nilai dasar seperti integrity dapat mempengaruhi keputusan untuk tidak

bertindak tidak etis. Dijelaskan oleh Ang et al. (2001) dalam penelitiannya di konteks

konsumsi produk bajakan, konsumen yang lawful-minded dan memiliki integritas tinggi

cenderung untuk tidak berhubungan dengan barang bajakan. Sebaliknya konsumen yang

Page 139: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

299

mempunyai integritas yang rendah cenderung untuk merasa tidak bertanggung jawab dengan

tindakannya dalam mengkonsumsi produk bajakan.

2.4. Gratifikasi Personal

Personal gratification berkaitan dengan keinginan konsumen untuk memperoleh pemenuhan

atas apa yang diinginkan, mendapatkan pengakuan sosial, serta menikmati kenyamanan

dalam hidup (Phau dan Teah, 2009). Dijelaskan oleh Phau dan Teah (2009) bahwa konsumen

yang memiliki perasaan mengenai personal gratification yang tinggi mempunyai

kecenderungan yang rendah untuk dapat menerima produk dengan kualitas sedikit rendah.

Dalam konteks penelitian produk bajakan, konsumen yang memiliki personal gratification

yang tinggi cenderung untuk mengkonsumsi produk berkualitas tinggi karena memberikan

jaminan kenyamanan lebih besar bagi diri mereka dalam proses konsumsinya (Phau dan

Teah, 2009). Sebaliknya, konsumen yang membeli barang bajakan bersedia untuk

mengorbankan kualitas dan jaminan kenyamanan yang diasosiasikan dengan barang asli.

Konsumen dengan personal gratification rendah tidak menilai kenikmatan dengan memiliki

barang dengan kualitas yang lebih baik, serta tidak memiliki perasaan memperoleh prestasi

atau penghargaan dengan memiliki barang asli (Ang et al., 2001:224).

2.5. Risk Avoidance

Fraedrich dan Ferrell (1992) mengukur dampak risiko yang dirasakan dan filsafat moral pada

pembuatan keputusan secara etis. Hal ini diringkas enam aspek risiko, yaitu keuangan,

kinerja, fisik, psikologis, sosial, dan risiko secara keseluruhan, dari literatur masa lalu.

Menurut Tan (2002), keuangan, kinerja, sosial, dan penuntutan adalah aspek yang paling

penting dari risiko yang berlaku di konteks pembajakan perangkat lunak. Begitu pun pada

pembajakan musik, berfokus pada efek risiko penuntutan sikap pembajakan untuk alasan

berikut. Pertama, karenabiaya pembelian CD musik bajakan tidak sangat mahal, risiko

keuangan sangat rendah. Kedua, seperti yang disebutkan, dengan munculnya era digital,

performance CD bajakan biasanya dapat memiliki kualitas sebagus asli satu. Oleh karena itu,

risiko performance tidak sangat kuat. Akhirnya, konsep risiko sosial sangat mirip dengan

konsep konsensus sosial di literatur intensitas moral. Untuk mempermudah, konsep risiko

pengaruh sosial akan dimasukkan di bagian berikutnya tentang intensitas moral. Hampir sama

dengan pendapat Tan (2002), Chiou, Huang dan Lee (2005) mengusulkan bahwa risiko

sangat penting dalam mempengaruhi sikap pembajakan konsumen. Perilaku membeli CD

musik bajakan adalah melanggar hak cipta. Konsumen akan menanggung risiko tindakan

hukum oleh pemegang hak cipta.

2.6. Sikap Konsumen

Peter dan Olson (1999:120) mendefinisikan sikap secara umum sebagai evaluasi menyeluruh dari

seseorang terhadap sebuah konsep. Secara spesifik, Schiffman dan Kanuk (2013:253)

menyatakan, “In a consumer behavior context, an attitude is a learned predisposition behave in a

consistenly favorable or unfavorable way with respect to a given object.” Artinya adalah dalam

konteks perilaku konsumen, sikap merupakan pembelajaran dari kecenderungan seseorang untuk

berperilaku dengan cara menyukai atau tidak menyukai secara konsisten terhadap suatu objek.

Sikap terdiri dari tiga komponen penting, yaitu komponen kognitif (cognitive component),

komponen afektif (affective component), dan komponen konatif (conative component), yang

disebut tricomponent attitude model (Schiffman dan Kanuk, 2013:256). Komponen pertama

adalah kognisi, yaitu pengetahuan dan persepsi yang didapat dari kombinasi antara

pengalaman dari sikap terdahulu dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber.

Page 140: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

300

Pengetahuan dan pengalaman tersebut diperoleh dari bentuk kepercayaan (beliefs), dimana

konsumen percaya bahwa sikap memiliki berbagai atribut dan perilaku tertentu yang akan

mengarah pada hasil tertentu pula. Kedua, afeksi adalah emosi atau perasaan dari konsumen

tentang produk atau merek. Emosi dan perasaan tersebut seringkali diperlakukan oleh para

peneliti sebagai evaluasi dasar, maksudnya adalah emosi dan perasaan tersebut merupakan

penilaian umum seseorang terhadap sesuatu. Dan, komponen ketiga adalah konatif yang

berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak secara khusus terhadap sesuatu.

Attitude Towars Piracy merupakan bentuk dari attitude-toward-object model yang

merupakan salah satu tipe dari multiattribute attitude models. Multiattribute attitude models

menggambarkan sikap dari konsumen terhadap sesuatu yang merupakan fungsi dari persepsi

konsumen dan penilaian atribut-atribut atau kepercayaan pada objek khusus (Schiffman dan

Kanuk, 2013:259). Schiffman dan Kanuk (2013:259) mengatkan bahwa attitude-toward-

object model merupakan model yang sesuai untuk mengukur sikap terhadap suatu kategori

produk (atau jasa) atau merek tertentu. Berdasarkan model tersebut, sikap konsumen terhadap

suatu kategori produk (atau jasa) atau merek tertentu. Berdasarkan model tersebut, sikap

konsumen terhadap sebuah produk atau merek tertentu merupakan fungsi dari kehadiran (atau

ketidakhadiran) serta evaluasi dari kepercayaan dan atau atibut-atribut yang ada dalam

produk tertentu. Dengan kata lain, konsumen secara umum bersikap suka terhadap suatu

produk yang mereka percaya mempunyai atribut-atribut yang dinilai positif, sebaliknya

konsumen akan bersikap tidak suka terhadap suatu produk yang mereka anggap idak

mempunyai atribut-atribut yang dapat memberi kepuasan.

Menurut Ang et al. (2001) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi attitude toward

piracy dari konsumen yaitu kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran

risiko. Mowen dan Minor (2010) mengemukakan dua model dari multiattribute models untuk

mengidentifikasi bagaimana konsumen mengkombinasikan kepercayaan mereka tentang

atribut produk untuk membentuk sikap terhadap berbagai alternative merek, korporasi, atau

objek lainnya. Dua model tersebut adalah model sikap terhadap objek, atau model Fishbein

dan model keinginan berperilaku.

2.7. Niat untuk Menggunakan Produk

Seluruh tindakan konsumen dalam memutuskan untuk menggunakan dan tidak menggunakan

suatu produk berawal dari niat. Niat berkaitan dengan keinginan terhadap suatu hal yang

biasanya diikuti oleh tingkah laku yang mendukung keinginan tersebut. Niat (intention)

merupakan keinginan berperilaku yang didefinisikan sebagai keinginan konsumen untuk

berperilaku menurut cara tertentu dalam rangka memiliki, membuang, dan menggunakan

produk atau jasa. Jadi, konsumen dapat membentuk keinginan untuk mencari informasi,

memberitahukan orang lain tentang pengalamannya dengan sebuah produk, membeli produk

atau jasa tertentu, atau membuang produk dengan cara tertentu (Mowen dan Minor,

2002:322).

Dalam penelitiannya, Ajzen dan Fishben (1980) mengasumsikan behavioral intention sebagai

“the motivational factors that influence a behavior, they are indications of how hard people

are willing to try, of how much of an effort they are planning to exert, in order to perform the

behavior.” Berdasarkan Theory of Reasoned Action, faktor yang mempengaruhi niat adalah

sikap pada tindakan, dan norma subyektif menyangkut persepsi seseorang, apakah orang lain

yang dianggap penting akan mempengaruhi perilakunya (Schiffman dan Kanuk, 2013).

Berdasarkan penelitian dari Ajzen (1998), Schiffman dan Kanuk (2013) mendefinisikan niat

berperilaku (intention) sebagai kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau

Page 141: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

301

tidak melakukan suatu pekerjaan. Niat untuk menggunakan produk diawali oleh adanya

kesadaran akan kebutuhan dan adanya sikap positif terhadap suatu produk.

3. Pengembangan Hipotesis

Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal,

dan penghindaran risiko terhadap niat untuk menggunakan melalui sikap terhadap produk

bajakan dilakukan oleh Phau dan Ng (2009), dalam penelitian yang berjudul “Predictors of

Usage Intention of Pirated Software”. Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk

mengetahui perbedaan sikap antara konsumen yang menggunakan dan tidak menggunakan

software bajakan. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

pengaruh antara kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko

terhadap sikap pada software bajakan. Selain itu, juga meneliti apakah sikap pada software

bajakan berpengaruh terhadap niat untuk menggunakan software bajakan. Hasil dari

penelitian ini menyatakan bahwa sikap pada software bajakan dipengaruhi positif oleh

kesadaran nilai dan dipengaruhi secara negatif oleh penghindaran risiko. Sedangkan integritas

dan gratifikasi personal bukan merupakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap

sikap pada software bajakan. Hasil lainnya adalah bahwa sikap pada software bajakan

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap niat untuk menggunakan software bajakan.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ian Phau dan James Ng

(2009), adalah variabel yang dipakai seluruhnya sama. Penelitian ini juga menggunakan

kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal dan penghindaran risiko sebagai variabel

bebas, sikap terhadap produk bajakan sebagai variabel intervening, dan niat untuk

menggunakan produk bajakan sebagai variabel terikat. Sedangkan perbedaan penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menggunakan musik sebagai obyek

penelitian. Phau dan Ng (2009) menggunakan software sebagai obyeknya. Selain itu

penelitian ini tidak menambahkan dua faktor yang ditambahkan Phau dan Ng (2009) yaitu

normative dan informative susceptibility sebagai variabel bebas, karena pada penelitian

tersebut tidak memiliki pengaruh pada sikap terhadap produk bajakan.

Kesadaran nilai adalah persepsi konsumen terhadap harga dan kualitas produk, apakah harga

yang konsumen bayarkan sesuai dengan kualitas produk yang didapatkan (Zeithaml 1988, p.

14). Orang yang mempunyai kesadaran nilai tinggi diperkirakan mempunyai sikap terhadap

produk bajakan yang positif. Hal ini disebabkan oleh persepsi konsumen yang menganggap

produk bajakan mempunyai manfaat fungsional yang sama dengan produk versi asli, dengan

harga yang lebih murah (Wang et al., 2005:342). Berdasarkan penjelasan ini, diajukan

hipotesis sebagai berikut:

H1: Kesadaran nilai berpengaruh positif terhadap sikap pada produk lagu bajakan.

Integritas berkaitan dengan etika dan kepatuhan konsumen terhadap hukum. Cordell et al.

(1996) dalam Ang et al. (2001) berpendapat bahwa konsumen yang lebih lawful-minded

mempunyai kecenderungan yang rendah untuk membeli barang bajakan. Sedangkan

konsumen yang mempunyai standar etika yang rendah lebih tidak mempunyai tanggung

jawab apabila membeli barang bajakan. Sehingga mereka tidak menganggap bahwa tindakan

mereka tidak etis. Jadi, dengan membandingkan dengan konsumen yang mempunyai

integritas rendah, maka konsumen yang memiliki integritas tinggi diperkirakan mempunyai

sikap negatif terhadap sikap pada produk bajakan (Ang et al., 2001:224). Berdasarkan

penjelasan ini, diajukan hipotesis sebagai berikut:

Page 142: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

302

H2: Integritas diri berpengaruh negatif terhadap sikap pada produk lagu bajakan.

Gratifikasi personal berhubungan dengan kebutuhan konsumen untuk mendapatkan

pemenuhan atas apa yang diinginkan, mendapatkan pengakuan sosial, serta menikmati

kenyamanan dalam hidup Ang et al., (2001). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh

Bloch et al., (1993), konsumen yang membeli barang bajakan memiliki kepercayaan diri

yang rendah, kurang sukses, dan merasa statusnya rendah sehingga kebutuhan untuk

memberikan gratifikasi untuk dirinya sendiri pun rendah. Maka, konsumen yang lebih ingin

memperoleh gratifikasi personal yang tinggi diperkirakan mempunyai sikap negatif terhadap

produk bajakan.

H3: Gratifikasi personal berpengaruh negatif terhadap sikap pada produk lagu bajakan.

Penghindaran risiko dalam konteks ini mengacu pada tingkat toleransi risiko individu untuk

terlibat dalam aktivitas ilegal yang berhubungan dengan produk bajakan. Karakteristik

pribadi konsumen tentang risk aversion merupakan komponen yang cukup penting dalam

pengambilan keputusan konsumen. Hal ini dapat disimpulkan dari apa yang dikatakan

Hofstede dan Bond, (1984) tentang definisi risk aversion yakni sejauh mana seseorang

merasa dirinya terancam oleh situasi yang tidak pasti, dan kemudian menciptakan

keyakinannya sendiri yang bertujuan untuk mencoba menghindari kondisi ketidakpastian

tersebut. Oleh karena pengambilan keputusan konsumen sudah pasti tidak dapat dihindarkan

dari adanya faktor risiko, (Cunningham et al. 2005) maka konsumen secara otomatis akan

menciptakan suatu perilaku tertentu sebagai bentuk pertahanan diri untuk menghindari segala

bentuk risiko yang dapat muncul dari keputusannya tersebut. Sementara kepedulian terhadap

kesadaran nilai dapat mempengaruhi individu untuk menggunakan produk bajakan, takut

terhadap hukuman pidana juga harus dapat mencegah perilaku tersebut (Albers-Miller, 1999).

Literatur menyelidiki keterlibatan konsumen dalam perilaku terlarang telah menunjukkan

bahwa ada hubungan terbalik antara keseriusan dari hukuman dan tindak kriminal. Penelitian

juga telah membuktikan bahwa ada juga hubungan terbalik antara kemungkinan tertangkap

yang dirasakan dan perilaku kriminal (Hollinger and Clark, 1983). Sebaliknya, dapat juga

dikatakan bahwa ada kecenderungan yang lebih tinggi untuk terlibat dalam kegiatan “gelap”

jika ada anggapan resiko tertangkap yang lebih rendah. Oleh karena itu, keuntungan yang

didapatkan dalam hal sikap terhadap musik bajakan mungkin dibatasi oleh rasa takut

tertangkap dan dihukum oleh hukum. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukum hak cipta dan

beratnya hukuman menempatkan kontrol perilaku individu atas niat untuk menggunakan

produk bajakan. Kemudian disimpulkan dalam Phau dan Ng (2009) bahwa seseorang yang

lebih menghindari risiko lebih cenderung memiliki sikap negatif terhadap produk lagu

bajakan.

H4: Penghindaran risiko berpengaruh negatif terhadap sikap pada produk lagu bajakan.

Teori perilaku terencana (TPB) yang mencakup sikap, norma subyektif, dan kendali perilaku

jelas memiliki pengaruh terhadap niat seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Beck dan Ajzen (1991), bahwa TPB secara akurat

mampu memprediksi perilaku tidak jujur seseorang. Sehingga, landasan seseorang untuk

menggunakan musik secara ilegal juga dapat diprediksi menggunakan TPB seperti halnya

yang dilakukan peneliti sebelumnya untuk meneliti hal-hal yang mendahului pembajakan

musik (Wang dkk., 2009). Unsur pertama dalam TPB ialah sikap. Sikap dijelaskan melalui

tindakan seseorang pada suatu perilaku tertentu merupakan faktor penting yang mendahului

niat (Ajzen, 1985). Pembentukan sikap terjadi akibat pengaruh yang kuat oleh pengalaman

pribadi, pengaruh keluarga dan teman, pemasaran langsung, dan media massa (Schiffman dan

Page 143: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

303

Kanuk, 2013). Kemudian disimpulkan dalam Wang dkk. (2009) bahwa semakin positif sikap

seseorang terhadap sesuatu, maka makin besar juga niat seseorang dalam melakukan hal

tersebut.

H5: Sikap pada produk lagu bajakan berpengaruh positif terhadap niat menggunakan musik

bajakan.

Berdasarkan uraian pengembangan hipotesis di atas, model analisis yang digunakan pada

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Model Analisis

4. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif eksplanatori yang bertujuan untuk

menjelaskan pengaruh kesadaran nilai, integritas diri, penghindaran risiko, dan gratifikasi

terhadap sikap konsumen terhadap produk musik bajakan serta niat konsumen untuk

mengkonsumsinya. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek

yang mempunyai kuantitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari (Malhotra, 2006). Populasi dari penelitian ini ialah Generasi Y yang berdomisili di

Surabaya, dikarenakan Generasi Y lebih heterogen dalam istilah rasial dan sosioekonomis

daripada Generasi X (Mowen and Minor, 2001). Generasi Y adalah 72 juta anak-anak dari

Generasi X, di mana yang pertama akan mencapai dewasa pada tahun 2000. Generasi Y

adalah mereka yang lahir antara tahun 1978 dan 2000 (Yarrow and O’Donnell, 2009), yang

berarti saat ini mereka berusia 13 tahun sampai dengan 35 tahun, yang mewakili 28 persen

dari populasi sekarang dan menyaingi 30 persen Generasi X yang dilahirkan antara tahun

1965 dan 1980 (Mowen and Minor, 2001). Sampel penelitian ini adalah konsumen musik

Indonesia yang pernah membeli atau mengunduh musik bajakan dalam kurun waktu satu

tahun terakhir.

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah kuesioner yang disebarkan pada

beberapa acara konser musik di Surabaya untuk memperoleh responden yang memang secara

intensif mengkonsumsi musik. Terdapat sejumlah 150 responden yang berpartisipasi pada

Kesadaran Nilai (X1)

Integritas (X2)

Gratifikasi Personal (X3)

Penghindaran Risiko (X4)

Sikap pada produk lagu

bajakan (Z)

Niat

menggunakan

produk lagu

bajakan (Y)

(Y)

Page 144: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

304

penelitian ini. Karakteristik responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 52% pria,

75% berusia di bawah 30 tahun, 35% berstatus mahasiswa, 33% memiliki pendapatan per

bulan di atas Rp 3.500.000,-.

Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel kesadaran nilai diadaptasi dari

Lichtenstein et al. (1990), sedangkan indikator variabel integritas dikembangkan dari

penelitian Vinson et al (1997), ). indikator gratifikasi personal dikembangkan dari Ang et al.

(2001:227), dan indikator variabel penghindaran risiko dalam penelitian ini dikembangkan

dari penelitian Donthu and Gilliland (1996). Untuk mengukur variabel sikap pada produk

musik bajakan digunakan indikator yang diadaptasi dari Kwong et al (2003), sementara

pengukuran yang digunakan untuk menilai niat untuk menggunakan produk musik bajakan

diadaptasi dari Wang et al. (2005:350). Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur

variabel penelitian tersaji pada Tabel 1.

Item di kuesioner disajikan dengan menanyakan tingkat kesetujuan responden atas

pernyataan-pernyataan yang tersaji. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert

1-5, di mana 1 menunjukkan sangat tidak setuju dan 5 menunjukkan sangat setuju. Pengujian

reliabilitas dan validitas menunjukkan bahwa semua item di kuesioner dinilai reliabel dan

valid. Untuk menganalisis data, menguji hipotesis, dan menguji model penelitian, penelitian

ini menggunakan program SPSS versi 18.

Tabel 1

Indikator Variabel Penelitian

Variabel Indikator Referensi

Kesadaran Nilai a. Saya sangat peduli tentang harga murah,

tapi saya juga peduli tentang kualitas

produk.

b. Ketika berbelanja, saya membandingkan

harga produk dari merek yang berbeda

untuk memastikan saya mendapatkan

harga terbaik.

c. Ketika membeli sebuah produk, saya

selalu mencoba untuk mendapatkan

kualitas yang maksimal untuk uang yang

saya habiskan.

d. Ketika saya membeli produk, saya ingin

memastikan bahwa saya menjadikan uang

saya bernilai.

e. Saya biasanya berbelanja untuk harga

yang lebih murah, tapi masih harus

memenuhi persyaratan kualitas tertentu

sebelum saya akan membelinya.

f. Saat saya berbelanja, saya biasa

membandingkan informasi harga setiap

barang untuk merek yang saya beli

biasanya.

g. Saya selalu memeriksa harga produk di

toko kelontong, untuk memastikan bahwa

saya mendapatkan nilai terbaik untuk uang

yang saya habiskan.

Lichtenstein et al (1990)

Page 145: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

305

Integritas Personal a. Saya tidak mau menggunakan produk

bajakan.

b. Saya menghargai hasil kerja orang lain

dengan cara tidak menggunakan produk

bajakan

c. Saya lebih suka menggunakan produk lagu

asli meski harganya lebih mahal.

Vinson et al. (2000)

Gratifikasi Personal a. Penting bagi saya untuk mendapatkan

hidup yang nyaman.

b. Penting bagi saya untuk mendapatkan

hidup yang menyenangkan.

c. Penting bagi saya untuk mendapatkan apa

yang saya inginkan.

d. Saya adalah orang yang menghargai

kesenangan diri.

e. Saya adalah orang yang menghargai

pengakuan sosial.

Ang et al. (2001)

Penghindaran risiko a. Saya lebih suka menjadi aman daripada

menyesal karena menggunakan produk

bajakan.

b. Saya ingin memastikan risiko yang bisa

saya hadapi sebelum menggunakan produk

bajakan

c. Saya menghindari hal-hal yang berisiko

karena menggunakan produk bajakan.

Donthu and Gilliland

(1996)

Sikap a. Saya pikir itu adalah positif bagi saya untuk

membeli produk bajakan jika kebanyakan

orang melakukannya.

b. Saya pikir itu adalah positif bagi saya untuk

membeli produk bajakan jika saya tidak

akan membeli satupun yang asli dalam

kondisi apapun.

c. Saya pikir itu adalah positif bagi saya untuk

membeli produk bajakan

Kwong et al. (2003)

Niat Menggunakan

Produk Bajakan

a. Saya akan merekomendasikan untuk

menggunakan produk lagu bajakan kepada

orang lain.

b. Bila ada permintaan, saya akan

mempertimbangkan untuk memberikan

produk lagu bajakan untuk digunakan oleh

orang lain.

c. Saya akan mempertimbangkan untuk

menggunakan produk lagu bajakan sebagai

alternatif pilihan.

d. Saya akan menggunakan produk lagu bajakan.

Wang et al. (2003)

5. Hasil dan Pembahasan

Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen, dalam hal ini adalah pengaruh variabel Kesadaran

Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) dengan

Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z). Berikut akan dipaparkan hasil pengujian regresi linier

berganda :

Page 146: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

306

Tabel 1.

Besarnya Pengaruh Variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi

Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) Terhadap Sikap Pada Produk Lagu

Bajakan (Z)

Model Summary

,443a ,196 ,174 1,138

Model

1

R R Square

Adjusted

R Square

Std. Error of

the Est imate

Predictors: (Constant), Penghindaran Risiko, Gratif ikasi Personal, Kesadaran Nilai, Integritasa.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat diperoleh beberapa bahwa kolom R menunjukkan bahwa

korelasi/hubungan antara variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal

(X3) dan Penghindaran Risiko (X4) dengan Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z) sebesar

0,443 atau sebesar 44,3% atau kurang kuat. Kolom R square atau koefisien determinasi

adalah 0,196. Hal ini berarti bahwa 19,6% variasi variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas

(X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) Terhadap Sikap Pada Produk

Lagu Bajakan (Z) sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Standard error of

estimate (SEE) adalah 1,138. makin besar SEE akan membuat model regresi kurang tepat

dalam memprediksi variabel dependen.

Tabel 2.

Hasil Pengujian Regresi Linier Berganda

Coefficientsa

20,442 1,513

,091 ,031 ,219

-,164 ,058 -,216

-,111 ,043 -,193

-,223 ,053 -,323

(Constant)

Kesadaran Nilai

Integritas

Gratif ikasi Personal

Penghindaran Risiko

Model

1

B Std. Error

Unstandardized

Coeff icients

Beta

Standardized

Coeff icients

Dependent Variable: Sikap pada produk lagu bajakania.

Berdasarkan Tabel 2 di atas maka persamaan regresi linier berganda yang diperoleh dalam

penelitian ini serta bermanfaat untuk mengetahui arah perubahan variabel kesadaran nilai

(X1), integritas (X2), gratifikasi personal (X3) dan penghindaran risiko (X4) terhadap sikap

pada produk lagu bajakan (Z) adalah sebagai berikut :

Y = 20,442 + 0,091X1 - 0,164X2 - 0,111X3 - 0,223X4 + e

Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen, dalam hal ini adalah pengaruh variabel sikap pada

produk (Z) terhadap Niat untuk Menggunakan Produk Lagu Bajakan (Y). Berikut akan

dipaparkan hasil pengujian regresi linier berganda :

Page 147: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

307

Tabel 3

Besarnya Pengaruh Variabel Sikap Pada Produk (Z) Terhadap Niat Untuk

Menggunakan Produk Lagu Bajakan (Y)

Model Summary

,195a ,038 ,031 1,321

Model

1

R R Square

Adjusted

R Square

Std. Error of

the Est imate

Predictors: (Constant), Sikap pada produk lagu bajakania.

Berdasarkan Tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa kolom R menunjukkan bahwa

korelasi/hubungan antara variabel sikap pada produk (Z), dengan niat untuk menggunakan

produk lagu bajakan (Y) sebesar 0,195 atau sebesar 19,5% atau kurang kuat. Kolom R square

atau koefisien determinasi adalah 0,038. Hal ini berarti bahwa 38% variasi variabel sikap

pada produk (Z), sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Standard error of

estimate (SEE) adalah 1,321. makin besar SEE akan membuat model regresi kurang tepat

dalam memprediksi variabel dependen.

Tabel 4.

Hasil Pengujian Regresi Linier Berganda

Coefficientsa

14,210 1,402

,209 ,086 ,195

(Constant)

Sikap pada produk

lagu bajakani

Model

1

B Std. Error

Unstandardized

Coef f icients

Beta

Standardized

Coef f icients

Dependent Variable: Niat untuk menggunakan produka.

Berdasarkan Tabel 4 di atas maka persamaan regresi linier berganda yang diperoleh dalam

penelitian ini serta bermanfaat untuk mengetahui arah perubahan variabel sikap pada produk

(Z), terhadap niat untuk menggunakan produk lagu bajakan (Y) adalah sebagai berikut :

Y = 14,210 + 0,209 X1 +e

Tabel 5.

Hasil Pengujian Hipotesis (Uji F)

ANOVAb

45,821 4 11,455 8,851 ,000a

187,672 145 1,294

233,493 149

Regression

Residual

Total

Model

1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Penghindaran Risiko, Gratif ikasi Personal, Kesadaran Nilai,

Integritas

a.

Dependent Variable: Sikap pada produk lagu bajakanib.

Page 148: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

308

Berdasarkan tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa besarnya nilai F hitung adalah 8.851 dengan

taraf signifikan sebesar 0,000 dan dapat diketahui bahwa pada kolom sig/significance

mempunyai angka signifikansi di bawah 0,05. Oleh karena itu secara simultan variabel

Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4)

berpengaruh Terhadap Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z). Berdasarkan hasil pengujian

maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan kesadaran nilai (X1), integritas (X2),

gratifikasi personal (X3) dan penghindaran risiko (X4) dapat meningkatkan sikap pada produk

lagu bajakan (Z).

Tabel 6.

Hasil Pengujian Hipotesis (uji t)

Coefficientsa

10,135 ,000

2,415 ,017 ,195 ,195 ,195

(Constant)

Sikap pada produk

lagu bajakani

Model

1

t Sig. Zero-order Part ial Part

Correlations

Dependent Variable: Niat untuk menggunakan produka.

Dari hasil uji t yang tersaji pada Tabel 6 diketahui besarnya nilai koefisien korelasi (r) antara

sikap pada produk lagu bajakan dengan niat untuk menggunakan produk lagu bajakan adalah

sebesar 0,195 sedangkan besarnya koefisien determinasi yang menunjukkan pengaruh antara

sikap pada produk lagu bajakan terhadap niat untuk menggunakan produk lagu bajakan

adalah sebesar (0,195)2 = 0,0380 atau 3,80 %, Nilai t hitung variabel antara sikap pada produk

lagu bajakan adalah 2.415 dengan tingkat signifikansi 0,017 dimana nilainya kurang dari

0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial antara sikap pada produk

lagu bajakan berpengaruh signifikan terhadap niat untuk menggunakan produk lagu bajakan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa secara bersama-sama kesadaran nilai,

integritas, gratifikasi personal, penghindaran resiko, berpengaruh signifikan terhadap sikap

pada produk bajakan. Hasil ini didasarkan pada hasil pengujian regresi linier berganda

dengan signifikansi sebesar 0.000 yang berarti secara bersama-sama kesadaran nilai,

integritas, gratifikasi personal, penghindaran resiko, berpengaruh terhadap sikap pada produk

bajakan. Hal ini berarti bahwa hipotesis H1 terdukung.

Berpengaruh positif dan signifikan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa apabila

semakin baik secara bersama-sama kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, penghindaran

resiko maka sikap pada produk bajakan juga akan meningkat. Konsumen yang mempunyai

kesadaran nilai tinggi diperkirakan mempunyai sikap terhadap produk bajakan. Hal ini

sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa persepsi konsumen yang

menganggap produk bajakan mempunyai manfaat fungsional yang sama dengan produk versi

asli, dengan harga yang lebih murah (Wang et al., 2005:342).

Konsumen yang mempunyai standar etika yang rendah lebih tidak mempunyai tanggung

jawab apabila membeli barang bajakan. Sehingga mereka tidak menganggap bahwa tindakan

mereka tidak etis. Jadi, dengan membandingkan dengan konsumen yang mempunyai

integritas rendah, maka konsumen yang memiliki integritas tinggi diperkirakan mempunyai

sikap negatif terhadap sikap pada produk bajakan (Ang et al., 2001).

Page 149: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

309

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Bloch et al., (1993), konsumen yang membeli

barang bajakan memiliki kepercayaan diri yang rendah, kurang sukses, dan merasa statusnya

rendah sehingga kebutuhan untuk memberikan gratifikasi untuk dirinya sendiri pun rendah.

Maka, konsumen yang lebih ingin memperoleh gratifikasi personal yang tinggi diperkirakan

mempunyai sikap negatif terhadap produk bajakan. Selain itu penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Ian Phau dan James Ng (2009), hasil dari penelitiannya

tersebut adalah bahwa ada pengaruh antara kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal,

dan penghindaran risiko terhadap niat untuk menggunakan melalui sikap terhadap produk

bajakan.

Hofstede dan Bond, (1984) mengatakan tentang definisi risk aversion yakni sejauh mana

seseorang merasa dirinya terancam oleh situasi yang tidak pasti, dan kemudian menciptakan

keyakinannya sendiri yang bertujuan untuk mencoba menghindari kondisi ketidakpastian

tersebut. Oleh karena pengambilan keputusan konsumen sudah pasti tidak dapat dihindarkan

dari adanya faktor risiko, maka konsumen secara otomatis akan menciptakan suatu perilaku

tertentu sebagai bentuk pertahanan diri untuk menghindari segala bentuk risiko yang dapat

muncul dari keputusannya tersebut. Sementara kepedulian terhadap kesadaran nilai dapat

mempengaruhi individu untuk menggunakan produk bajakan, takut terhadap hukuman pidana

juga harus dapat mencegah perilaku tersebut (Albers-Miller, 1999). Keuntungan yang

didapatkan dalam hal bersikap terhadap musik bajakan mungkin dibatasi oleh rasa takut

tertangkap dan dihukum oleh penegak hukum dan akan dijatuhi hukuman. Hal ini dapat

dikatakan bahwa hukum hak cipta dan beratnya hukuman menempatkan kontrol perilaku

individu atas niat untuk menggunakan produk bajakan. Kemudian disimpulkan dalam Ian

Phau dan James Ng (2009) bahwa seseorang yang lebih menghindari risiko lebih cenderung

memiliki sikap negatif terhadap produk lagu bajakan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sikap pada produk bajakan berpengaruh

terhadap niat menggunakan produk. Hasil ini didasarkan pada hasil pengujian regresi linier

sederhana dengan signifikansi sebesar 0.017 yang berarti sikap pada produk bajakan

berpengaruh signifikan terhadap niat menggunakan produk. Berpengaruh positif dan

signifikan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa apabila semakin baik sikap pada

produk bajakan maka niat menggunakan produk lagu bajakan akan meningkat.

Niat seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal. Seperti yang telah dikemukakan oleh

Beck dan Ajzen (1991), bahwa TPB secara akurat mampu memprediksi perilaku tidak jujur

seseorang. Sehingga, landasan seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal juga dapat

diprediksi. Apabila semakin kuat sikap seseorang dalam menggunakan lagu bajakan maka

niat akan menggunakan produk music bajakan akan semakin kuat pula.

Pembentukan sikap terjadi akibat pengaruh yang kuat oleh pengalaman pribadi, pengaruh

keluarga dan teman, pemasaran langsung, dan media massa. Kemudian disimpulkan dalam

Wang dkk. (2009) bahwa semakin positif sikap seseorang terhadap sesuatu, maka makin

besar juga niat seseorang dalam

6. Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat

diambil adalah bahwa pengaruh secara simultan antara kesadaran nilai, integritas, gratifikasi

personal, penghindaran risiko, terhadap sikap pada produk lagu bajakan. Penghindaran risiko

memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap sikap pada produk lagu bajakan

Page 150: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

310

dibandingkan tiga faktor yang lain yang diamati. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan

bahwa sikap pada produk lagu bajakan berpengaruh terhadap niat menggunakan produk lagu

bajakan.

Diharapkan bagi masyarakat untuk mencintai dan menghargai produk asli dari bidang musik

yaitu lagu dengan tidak melakukan pembajakan dan mengkonsumsi musik secara legal, selain

itu diharapkan bagi konsumen untuk mempertimbangkan dan memastikan risiko sebelum

menggunakan lagu bajakan dan akan merugikan industri musik untuk lebih berkembang.

Bagi pihak musisi dan pihak-pihak yang terkait dalam usaha mengurangi perilaku

mengkonsumsi musik secara ilegal yang semakin meluas di masyarakat, untuk lebih gencar

dalam memberikan informasi serta penyuluhan kepada konsumen mengenai dampak negatif

dan risiko yang akan dialami oleh baik industri musik Indonesia juga oleh konsumen sendiri.

Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian di luar variabel bebas yang

digunakan dalam penelitian ini mengingat terdapat pengaruh dari variabel lain, ataupun

mengkombinasikan variabel sikap pada produk nilai, integritas, gratifikasi personal,

penghindaran resiko dengan variabel lain di luar variabel dalam penelitian ini.

Referensi

Ajzen, I. dan Fishbein, M. 1977. Attitude-Behavior Relations: A Theoretical Analysis

and Review of Empirical Research, Psychology Bulletin, Vol. 84: 888-918.

Albers-Miller, N.D. 1999. Consumer Misbehavior: Why People Buy Illicit Goods. Journal of

Consumer Marketing, Vol. 16/3: 273-287

Ang, S.H., Cheng, P.S., Lim, E.A.C., dan Tambyah, S.K. 2001. Spot the Difference:

Consumer Responses towards Counterfeits. Journal of Consumer Marketing, Vol. 18/3: 219-

235

Bao, Y., Zhou, K.Z., dan Su., C. 2003. Face Consciousness and Risk Aversion: Do They

Affect Consumer Decision-Making?. Psychology & Marketing, Vol. 20/8, 2003: 733-755.

Bloch, P.H., Bush, R.F., dan Campbell, L. 1993. Consumer ‘accomplices’ in Product

Counterfeiting: A Demand-side Investigation. Journal of Consumer Marketing. Vol. 10/4: 27-

36.

Buttle, F. 2004. Customer Relationship Management. Oxford: Elsevier/Butterworth-

Heinemann.

Chiou, J-S., Huang, C-Y., dan Lee, H-H. 2005. The Antecedents of Music Piracy Attitudes

and Intentions. Journal of Business Ethics, Vol. 57: 161-174.

Cordell, V.V., Wongtada, N., dan Kieschnick, Jr., R.L. 1996. Counterfeit Purchase

Intentions: Role of Lawfulness Attitudes and Product Traits as Determinants. Journal of

Business Research, Vol.35: 41-53.

Page 151: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

311

Cunningham, L.F., Gerlach, J.H., Harper, M.D., dan Young, C.E. 2004. Perceived Risk and

the Consumer Buying Process: Internet Airline Reservations. International Journal of Service

Industry Management, Vol. 16/4: 357-372.

Donthu, N. dan Gilliland, D. 1996. The Informecial Shopper. Journal of Advertising

Research, Vol. 36: 69-76.

Fraedrich, J.P. dan Ferrell. O.C. 1992. The Impact of Perceived Risk and Moral Philosophy

Type on Ethical Decision Making in Organization. Journal of Business Research, Vol. 24:

283-295.

Gupta, P., Gould, S., dan Pola, B. 2004. To pirate or not to Pirate: A Comparative Study of

the Ethical Versus Other Influences on the Consumer’s Software Acquisition Mode Decision.

Journal of Business Ethics, Vol. 55/3: 255-274.

Hofstede, G. dan Bond, M. 1984. The Need for Synergy among Cross-Cultural Studies.

Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 15: 417-433.

Hollinger, R.C., dan Clark, J.P. 1983. Deterrence in the Workplace: Perceived Certainty,

Perceived Severity, and Employee Theft. Social Forces, Vol. 62/2: 398-418.

Kotler, Philip, and Kevin Lan Keller. 2012. Marketing Management 14th

Edition. Prentice

Hall. Upper Saddle River, New Jersey.

Kohlberg, L. 1976. Moral Stages and Moralization: The Cognitive Development Approach in

Moral Development and Behaviour Theory. Research and Social Issues, Lickona, T. (ed.)

Holt, Rinehart, and Winston: New York: 31-53.

Kwong, K.K., Yau, O.H.M., Lee, J.S.Y., Sin, L.Y.M., dan Tse, A.C.B. 2003. The Effects of

Attitudinal and Demographic Factors on Intention to Buy Pirated CDs: The Case of Chinese

Consumers. Journal of Business Ethics, Vol. 47: 223-235

Linchestein, Donald R., Richard G. Netemeyer, dan Scot Burten. 1990. Distinguishing

coupon proneness from value consciousness: an acquisition-transaction utility theory

perspective. Journal of Marketing. Vol. 54/3: 54-67.

Maldonado, C., dan Hume, E.C. 2005. Attitudes toward Counterfeit Products: An Ethical

Perspective. Journal of Legal, Ethical, and Regulatory Issues, Vol. 8/2: 105-115.

Malhotra, Naresh K. 2006. Marketing Research An Applied Application 5th

edition. Prentice

Hall. Upper Saddle River, New Jersey.

Mowen, John C. and Michael Minor. 2001. Perilaku Konsumen Jilid I edisi kelima

(terjemahan). PT. Penerbit Erlangga.

Phau, I dan Teah, M., 2009. Devil Wears (Counterfeit) Prada: A Study of Antecedents and

Outcomes of Attitudes Toward Counterfeits of Luxuary Brands, Journal of Consumer

Marketing, Vol. 26/1: 15-27.

Page 152: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

312

Phau, I. dan Ng, J. 2009. Predictors of Usage Intentions of Pirated Software. Journal of

Business Ethics, Vol. 94: 23-37.

Schiffman, L. G. dan Kanuk, L. 2013. Consumer Behavior, International edition, New Jersey:

Prentice Hall Inc.

Sekaran, U. 2003. Research Methodes for Business: A Skill-Building Approach 4th

edition.

John Willey & Son, Inc. United States of America.

Shaari, H. dan Halim, F. 2006. Consumer Purchase or Pirated VCD: Do Non-Price Factors

Matter? International Journal of Business and Society, Vol. 7/2: 119-131.

Steenhaut, S. dan Van Kehove, P. 2006. An Empirical Investigation of the Relationships

among a Consumer’s Personal Values, Ethical Ideology, and Ethical Beliefs. Journal of

Business Ethics, Vol. 64/2: 137-155.

Tan, B. 2002. Understanding Consumer Ethical Decision Making with Respect to Purchase

of Pirated Software. Journal of Consumer Marketing, Vol. 19/2: 96-111.

Vinson, D. E., Munson, J.M., dan Nakanishi, M. 1977. ‘An Investigation of the Rokeach

Value Survey for Consumer Research Application’, in W. E. Perreault (ed.), Advances in

Consumer Research, Vol. 4 (The Association for Consumer Research, Provo, UT): 247-252.

Wang, F., Zhang, H., Zang, H., dan Ouyang, M. 2005. Purchasing Pirated Software: An

Initial Examination of Chinese Consumers, Journal of Consumer Marketing, Vol. 22/6: 340-

351.

Yarrow, K. dan O’Donnell, J. 2009. Gen Buy: How Tweens, Teens, and Twenty-Somethings

are Revolutionizing Retail. Jossey-Bass, San Francisco, CA Zeithaml et al 1988

Zeithaml, V.A. 1988. Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: A Means-End

Model and Synthesis of Evidence. Journal of Marketing, Vol. 52/3: 2-22.

Page 153: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

313

Pengungkapan Intellectual Capital, Reputasi Underwriter dan IPO Underpricing

Zulhawati

[email protected]

UTY Yogyakarta

Abstract

This study examines the effect of Intellectual Capital Disclosure and Underwriter

Reputation to IPO Underpricing the company public on Indonesia Stock Exchange 2007-

2012. The Results of research on the observation period there was 80% of companies

experiencing IPO underpricing. Underpricing phenomenon is deliberately done to get the

attention of the company's stock price increases in the first day listing or may occur due to

information asymmetries between issuers and underwriters among and investors who have

information about the issuer's prospects. Information asymmetry can be reduced by

presenting financial information and non-financial information in the prospectus, one of

non- financial information to be presented is intellectual capital. Information about the

underwriter's reputation is also required by investors as a measure of financial information

that is relevant and reliable. The results of multiple regression statistical test indicates that

intellectual capital disclosure and underwriter reputation negatively affect the level of

underpricing. This suggests that the higher intellectual capital disclosure can reduce IPO

underpricing, as well as a good underwriter reputation can reduce IPO underpricing.

Keywords: IPO underpricing, intellectual capital disclosure, underwriter reputation, infor-

mation asymmetries

1. Pendahuluan

Peningkatan kebutuhan dana perusahaan dapat dipenuhi dengan memilih salah satu dari

berbagai alternatif pendanaan yang dapat digunakan. Sumber pendanaan bisa berasal dari

internal perusahaan maupun berasal dari external perusahaan. Sumber pendanaan yang

berasal dari internal perusahaan dengan memanfaatkan laba yang tidak dibagi. Sedangkan

sumber pendanaan yang berasal dari external perusahaan dapat berasal dari utang atau

menerbitkan saham. Sumber pendanaan melalui penerbitan saham yang dijual kepada

masyarakat umum dikenal dengan penawaran umum atau go public.

Perusahaan melakukan go public menjadi salah satu alternatif bagi perusahaan guna

memperoleh dana tambahan untuk kegiatan ekspansi atau operasi perusahaan sedangkan

bagi investor di pasar modal sebagai salah satu alternatif tempat berinvestasi. Tahapan

dalam proses go public, sebelum diperdagangkan di pasar skunder, saham terlebih dahulu

dijual di pasar primer atau pasar perdana yang biasa disebut dengan Initial Public Offering

(IPO). Investor membeli saham di pasar perdana dengan harapan akan mendapatkan

keuntungan yang diperoleh dari selisih harga lebih antara harga di pasar skunder dengan di

pasar perdana atau initial return. Diperolehnya initial return berarti investor menerima

abnormal return melalui IPO yang di lakukan perusahaan. Menurut Jogiyanto (2010:566)

investor yang dapat kesempatan untuk membeli sekuritas yang undervalued ini akan dapat

menikmati abnormal return yang ada hanya terjadi dengan waktu yang cepat dan tidak

Page 154: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

314

berkepanjangan. Ini berarti bahwa investor yang membeli beberapa saat setelah pengu-

muman IPO sudah tidak akan memperoleh abnormal return lagi, karena harga sekuritas

sudah mencapai keseimbangan baru.

Pada saat perusahaan melakukan IPO yang dilaksanakan di pasar primer (primary

market), tidak ada harga pasar saham sampai dimulainya penjualan di pasar sekunder. Pada

saat tersebut umumnya investor memiliki informasi terbatas seperti yang diungkapkan

dalam prospektus. Dengan demikian investor yang ingin menanamkan modalnya hanya

memiliki informasi tentang perusahaan sebatas yang diinformasikan pada prospectus

tersebut. Prospectus merupakan suatu laporan yang disyaratkan Bapepam kepada peru-

sahaan yang ingin listing di pasar modal, yang berisikan gambaran umum perusahaan yang

memuat keterangan secara lengkap dan jujur keadaan perusahaan dan prospeknya di masa

mendatang serta memuat informasi-informasi yang diperlukan sehubungan dengan pe-

nawaran umum.

Salah satu masalah saat IPO adalah berapa harga yang tepat untuk selembar saham

yang akan ditawarkan, dimana harga jual saat IPO ditentukan oleh emiten (perusahaan pe-

nerbit) dengan underwriter (penjamin emisi), sedangkan harga saham yang dijual pada

pasar skunder ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran. Bila

harga saat IPO lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar skunder pada

hari pertama, maka disebut dengan overpricing, sebaliknya bila harga saat IPO lebih rendah

dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar skunder pada hari pertama, maka disebut

dengan underpricing.

Kondisi underpricing sebenarnya merugikan perusahaan, karena secara financial

perusahaan tidak mendapatkan dana secara maksimal, tapi menguntungkan bagi investor

karena akan menerima initial return dari selisih harga beli di pasar primer dengan harga jual

di pasar skunder. Underpricing yang terjadi di Bursa Efek Indonesia sangat tinggi; pada

tahun 2007 dari 22 emiten 20 emiten mengalami underpricing, tahun 2008 dari 19 emiten

16 emiten mengalami underpricing, tahun 2009 dari 13 emiten 8 emiten mengalami

underpricing, tahun 2010 dari 23 emiten 21 emiten mengalami underpricing, tahun 2011

dari 25 emiten 16 emiten mengalami underpricing, tahun 2012 dari 23 emiten 22 emiten

mengalami underpricing. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 diketahui ada 125 emiten

yang melakukan IPO ada 100 emiten mengalami underpricing.

Permasalahan penting yang dihadapi emiten pada saat melakukan penawaran saham

perdana adalah penutupan besarnya harga saham perdana. Sedangkan sebagai pihak yang

membutuhkan dana, emiten menginginkan harga yang tinggi. Di sisi lain, harga yang tinggi

akan mempengaruhi respon calon investor untuk membeli saham yang ditawarkan.

Sebaliknya, penjamin emisi berusaha untuk meminimalkan risiko yang ditanggungnya.

Tipe penjaminan yang berlaku di Indonesia adalah full commitment, dimana pihak

penjamin emisi akan membeli saham yang tidak habis terjual saat penawaran perdana.

Keadaan ini membuat penjamin emisi berupaya untuk meminimalkan risiko dengan

melakukan negosiasi dengan emiten agar harga saham-saham tersebut tidak terlalu tinggi,

bahkan cenderung underprice.

Fenomena underpricing dapat terjadi karena adanya asimetri informasi, dimana

asimetri informasi dapat terjadi antara emiten dengan underwriter, maupun antar investor

yang memiliki informasi tentang prospek emiten (Trisnaningsih 2005). Emiten me-

nginginkan harga perdana yang tinggi agar memperoleh dana sebesar yang diharapkan,

disisi lain underwriter berusaha meminimalkan risiko penjaminan dengan menentukan

harga yang dapat diterima oleh investor.

Page 155: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

315

Pada proses penawaran perdana, emiten membutuhkan keterlibatan penjamin emisi

sebagai perantara dalam penjualan saham dengan investor. Tinggi rendahnya harga perdana

saham yang akan dibeli investor tergantung kesepakatan antara emiten dengan underwriter,

walaupun emiten dan underwriter bersama-sama dalam penentuan harga perdana saham,

namun sebenarnya masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda. Reputasi

underwriter menjadi menjadi tolok ukur bagi para investor untuk mendapatkan informasi

yang relevan dan dapat dipercaya sebagai pertimbangan investasi.

Fakta fenomena underpricing lebih banyak terjadi pada perusahaan yang melakukan

penawaran umum perdana. Meskipun perusahaan telah menggunakan lembaga penjamin

dan profesi penunjang yang bereputasi tinggi untuk menilai prospektus yang disediakan

oleh perusahaan, hal ini tidak menjamin bahwa underpricing akan turun. Underpricing

dapat dikurangi dengan cara menyajikan informasi akuntansi dan informasi non akuntansi

dalam prospectus. Informasi akuntansi adalah laporan keuangan yang terdiri atas neraca,

perhitungan laba/rugi, laporan arus kas dan penjelasan laporan keuangan. Informasi non

akuntansi adalah informasi selain laporan keuangan, salah satu informasi non akuntansi

yang perlu disajikan adalah intelektual capital (Lang dan Russel 2000).

Meskipun studi tentang underpricing telah banyak dilakukan, namun penelitian ini

masih menarik karena tingginya tingkat underpricing, yang secara teori seharusnya tingkat

underpricing dapat diminimalisir dengan research gap antar peneliti disamping itu beberapa

penelitian hasilnya tidak konsiten. Berdasarkan permasalahn tersebut, maka penelitian ini

akan menguji kembali pengaruh Intellectual Capital Disclosure dan Underwriter

Reputation terhadap IPO Underpricing. Penelitian dilakukan pada perusahaan yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2007 sampe 2012.

2. Landasan Teori dan Hipotesis

2.1 Signaling Theory

Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada

hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu,

saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan suatu perusahaan dan

bagaimana efek pasarnya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat waktu sangat

diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk pengambilan keputusan

investasi.

Teori ini didasarkan pada premis bahwa manajer dan pemegang saham tidak

mempunyai akses informasi perusahaan yang sama. Ada informasi tertentu yang hanya

diketahui oleh manajer, sedangkan pemegang saham tidak tahu informasi tersebut. Jadi, ada

informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara manajer dan pemegang saham.

Akibatnya, ketika struktur modal ataupun kondisi perusahaan mengalami perubahan, hal itu

dapat membawa informasi kepada pemegang saham yang akan mengakibatkan nilai

perusahaan berubah. Dengan kata lain, terjadi pertanda atau sinyal (signalling).

Signalling teory menjelaskan bagaimana seharusnya sinyal-sinyal keberhasilan atau

kegagalan manajemen (perusahaan) disampaikan kepada pemilik (investor). Berdasarkan

teori ini perusahaan dituntut memberikan pengungkapan penuh kondisinya agar investor

dapat memperoleh informasi yang mendorong keputusan investasi mereka. Informasi

merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi yang lengkap,

akurat dan tepat waktu bermanfaat sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi.

Apabila pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan

bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar.

Page 156: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

316

Reaksi pasar ditunjukkan dengan adanya perubahan harga saham pada waktu informasi

diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi tersebut, dimana pelaku pasar

terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai sinyal baik

(good news) atau sinyal buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai

sinyal baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam harga saham, dimana harga saham

menjadi naik dan sebaliknya. Dengan demikian informasi akuntansi maupun non akuntansi

dapat mempengaruhi ekspektasi investor terhadap intial return setelah IPO.

Teori ini yang paling memungkinkan untuk menjelaskan fenomena IPO underpricing

secara komprehensif. Dalam teori ini, diasumsikan bahwa emiten memiliki informasi yang

sempurna tentang nilai perusahaan dan investor adalah entitas uninformed. Investor kemudian

menilai perusahaan sebagai fungsi dari mekanisme signaling yang berbeda-beda. Dalam

sebuah penelitian oleh Leland dan Pyle pada 1977, kesimpulan yang didapatkan adalah

bahwa perusahaan dapat memberikan sinyal nilai perusahaan kepada pihak luar dengan

menahan beberapa sahamnya (Karlis 2000).

Hipotesis ini menegaskan bahwa perusahaan dengan sengaja menurunkan nilai

penerbitannya yang memiliki tujuan spesifik untuk mendapatkan perhatian dari kenaikan

harga saham pada hari pertama saat listing. Hal tersebut memberikan publikasi tambahan dan

eksposur media bagi perusahaan dengan menyediakan nilai perusahaan kepada investor.

Teknik ini dianggap sebagai grandstanding IPO dan biasanya akan dilakukan oleh

perusahaan yang lebih kecil dan belum lama berdiri yang membutuhkan perhatian investor

dan yang nilainya dianggap sangat tidak pasti oleh investor potensial. Oleh karena itu, tingkat

undepricing akan berbanding terbalik dengan ukuran atau nilai perusahaan emiten.

Willenborg (dalam Karlis 2000) menemukan bahwa meskipun semua perusahaan

mendapatkan keuntungan dari reputasi auditor, perusahaan yang memiliki ukuran berbeda-

beda memilki alasan yang berbeda-beda juga dalam memilih underwriter dan auditor yang

presitisius. Jika sebuah perusahaan menggunakan jasa auditor yang memiliki reputasi baik,

sinyal yang diberikan kepada investor adalah bahwa perusahaan akan mendapatkan

keuntungan dengan hasil analisis laporan keuangan yang lebih akurat (proses audit oleh

auditor). Menurut Karlis 2000, teori ini juga mengasumsikan bahwa underwriter mengetahui

efek signaling dan menggunakannya saat menyetujui kontrak IPO.

Untuk menurunkan risiko penurunan (overpricing), underwriter akan menurunkan

harga saham perdana pada saat IPO. Dengan melakukan hal demikian, mereka menurunkan

risiko yang dapat merusak reputasi mereka dengan penawaran yang undersubscribed dan

overpriced, atau menyeret mereka dalam proses pengadilan efek yang melibatkan investor

dalam emiten yang memiliki risiko tinggi. Ketidakpastian perusahaan dalam melakukan emisi

saham dan motif perusahaan untuk menjaga dan meningkatkan kredibilitas perusahaan adalah

katalis-katalis di balik tujuan underwriter untuk menurunkan harga penawaran saham

perdana.

Determinan yang paling penting dalam ketidakpastian adalah nilai pasar emiten yang

disetujui dan ukuran perusahaan emiten. Oleh karena itu, teori ini memprediksi bahwa jika

nilai pasar emiten berkurang, maka tingkat underpricing akan meningkat. Karena, di dalam

banyak kasus, nilai nilai pasar emiten berhubungan secara langsung dengan nilai dan ukuran

perusahaan penerbit, teori ini memenuhi tren yang sebelumnya disebutkan tentang

underpricing pada masa sekarang. Dalam teori ini juga disebutkan bahwa jika ukuran dan

reputasi underwriter semakin besar, maka underwriter akan cenderung untuk menurunkan

nilai penerbitan.

Page 157: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

317

2.2 Asimetri Informasi

Asimetri informasi adalah kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi

antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan

stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi. Asimetri informasi terjadi karena

sifat dasar manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri, manusia memiliki daya pikir

terbatas mengenai persepsi masa mendatang dan manusia selalu menghindari risiko.

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, menyebabkan informasi yang dihasilkan

manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya

informasi yang disampaikan. Emiten, underwriter (penjamin emisi), masyarakat pemodal

adalah pihak-pihak yang terlibat dalam penawaran perdana pada saat terjadinya underpricing

karena adanya asimetri informasi yang menjelaskan perbedaan informasi. Model Baron

(1982), menganggap underwriter memiliki informasi lebih mengenai pasar modal, sedangkan

emiten tidak memiliki informasi mengenai pasar modal. Oleh karena itu, underwriter

memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk membuat kesepakatan harga IPO yang

maksimal, yaitu harga yang memperkecil risikonya apabila saham tidak terjual semua.

Karena emiten kurang memiliki informasi, maka emiten menerima harga yang murah bagi

penawaran sahamnya. Semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga

sahamnya, maka lebih besar permintaan terhadap jasa underwriter dalam menetapkan harga.

Sehingga underwriter menawarkan harga perdana sahamnya dibawah harga ekuilibrium.

Oleh karena itu akan menyebabkan tingkat underpricing semakin tinggi (Murni 2004).

2.3 Underpricing

Underpricing adalah suatu keadaan dimana harga saham yang diperdagangkan di pasar

perdana lebih murah dibandingkan ketika diperdagangkan di pasar skunder dan me-

mungkinkan investor memperoleh initial return positif. Fenomena underpricing inilah yang

menarik investor untuk membeli saham perusahaan yang menjanjikan keuntungan bila

dijual di pasar skunder. Fenomena underpricing terjadi karena adanya asimetri informasi

sebagai akibat tidak seimbangnya informasi antara underwriter dengan emiten.

Harga saham yang terjadi di pasar skunder ditentukan oleh mekanisme kekuatan

penawaran dan permintaan. Sedangkan harga saham yang dijual di pasar perdana (IPO)

telah ditentukan lebih dahulu berdasarkan kesepakatan antara emiten dan penjamin emisi.

Perbedaan penentuan harga ini terjadi karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan

yang berbeda. Emiten menginginkan dana yang banyak sesuai kesepakatan harga yang telah

ditentukan, sementara underwriter berusaha menjual di pasar perdana dengan harga lebih

murah untuk menarik investor, hal ini dilakukan untuk memperkecil risiko karena saham

tidak laku dijual.

Emiten akan menerima harga yang murah bagi penawaran sahamnya karena kurang

memiliki informasi tentang investor. Implikasinya semakin sedikitnya informasi yang

dimiliki emiten dan semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga saham

untuk investor, maka lebih besar permintaan jasa underwriter dalam menetapkan harga.

Sebagai kompensasi atas informasi yang diberikan oleh underwriter, emiten mengijinkan

underwriter menawarkan harga sahamnya dibawah harga ekuilibrium. Dengan demikian

semakin besar ketidakpastian akan semakin besar risiko yang dihadapi underwriter, maka

tingkat underpricing semakin tinggi.

Underpricing merupakan biaya tidak langsung bagi perusahaan yang melakukan IPO.

Artinya, bila harga saham dapat diterima di pasar dengan harga yang lebih tinggi, kenapa

tidak dijual dengan harga tersebut, yaitu harga pada saat penutupan hari pertama dipasar

sekunder. Para pemilik perusahaan menginginkan agar dapat meminimalisir underpricing

Page 158: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

318

karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran dari pemilik kepada

investor (Beatty 1989).

Mc Donald dan Fisher (1973) dalam Nyoman dan Suad (2004:426) menyatakan bahwa

pada saat terjadinya underpricing, perbedaan antara offering price dengan harga pasar setelah

penawaran perdana merupakan “rent” atau bayaran yang didistribusikan oleh penjamin emisi

kepada pembeli awal saham, sehingga IPO akan meningkat dengan tajam setelah

diperdagangkan di pasar sekunder.

Investor tidak akan membeli saham jika informasi yang didapat tidak cukup

meyakinkan untuk mendapatkan keuntungan pada pembelian saham perdana. Sedangkan

biaya penyebaran informasi perusahaan yang sempurna pada calon pembeli tidak murah,

sehingga untuk mengkompensasikan informasi yang kurang tersebut perusahaan melakukan

underpricing. Semakin tinggi ketidakpastian semakin tinggi pula tingkat underpricing yang

ditanggung perusahaan.

2.4 Pengungkapan Intelektual Capital

Intelektual capital adalah intelektual yang diformalkan, ditangkap, dan dimanfaatkan untuk

menghasilkan asset senilai lebih tinggi (Guthrie dan Richard 2000). Menurut Bontis (2001)

saat ini belum ada standar akuntansi yang mengatur secara sistematis tentang

pengidentifikasian, pengukuran, dan pelaporan intelektual capital sehingga pengungkapan

masih bersifat sukarela. Intellectual capital disclosure akan meningkatkan relevansi dan

reliabilitas laporan keuangan terutama untuk memprediksi kinerja keuangan perusahaan

dimasa yang akan datang. Intellectual capital sering didefinisikan sebagai sumber daya

pengetahuan dalam bentuk karyawan, pelanggan, proses atau teknologi yang dapat

digunakan perusahaan dalam proses penciptaan nilai bagi perusahaan (Bukh et al. 2005).

Singh dan Van der Zahn (2007; 2008) dalam penelitiannya menggunakan indeks pe-

ngungkapan intellectual capital yang dikembangkan dari indeks penelitian sebelumnya oleh

Bukh et al. (2005). Indeks pengungkapan tersebut dari 84 item yang membagi intellectual

capital menjadi 6 komponen, yaitu: karyawan ada 28 item, pelanggan ada 16 item, teknologi

informasi ada 6 item, proses ada 9 item, riset dan pengembangan (R&D) ada 9 item, serta

pernyataan strategis ada 16 item.

2.5 Reputasi Underwriter

Penjamin emisi efek adalah pihak yang membuat kontrak dengan emiten untuk melakukan

penawaran umum bagi kepentingan emiten dengan atau tanpa kewajiban membeli sisa efek

yang tidak terjual (Jogiyanto 2010). Sedangkan menurut Tandelilin (2011) penjamin emisi

berperan sebagai lembaga perantara emisi yang menjamin penjualan sekuritas yang

diterbitkan emiten. Penjamin emisi merupakan mediator yang mempertemukan emiten dan

investor.

Underwriter harus membuat strategi untuk mengalokasikan saham kepada investor

dan harus dapat memberikan informasi berharga mengenai harga IPO. Adanya hubungan

antara investor (investor institusi) dengan underwriter dimasa lalu, memungkinkan

underwriter mengalokasikan saham lebih besar untuk investor yang sama dalam industri

yang sama. Pengalokasian saham yang besar kepada investor institusi, akan mempengaruhi

besarnya underpricing karena adanya kepentingan underwriter dalam menyukseskan

penjualan saham perdana yang dijaminnya serta kontrol yang dimiliki oleh investor institusi

dalam mempengaruhi level aktivitas IPO dan dalam membentuk level underpricing.

2.6 Modal Intelektual dan Underpricing

Page 159: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

319

Berdasarkan teori signaling, emiten dan underwriter biasanya dengan sengaja akan

menurunkan harga penawaran saham perdana dengan tujuan untuk mengkompensasi

investor atas adanya informasi asimetri yang terjadi. Teori ini juga menjelaskan bagaimana

informasi asimetri dapat dikurangi dengan cara salah satu pihak memberikan signal

informasi kepada pihak lain. Agar sinyal tersebut efektif, maka harus dapat ditangkap pasar

dan dipersepsikan baik, serta tidak mudah ditiru oleh perusahaan yang berkualitas buruk.

Salah satu informasi yang dapat dijadikan sinyal adalah pengumuman yang dilakukan oleh

emiten. Peningkatan pengungkapan informasi keuangan dan non-keuangan dalam pros-

pectus dianggap sebagai mekanisme potensial untuk mengurangi asimetri informasi yang

terjadi pada saat IPO (Bukh 2003).

Pengungkapan intelektual capital menjadi salah satu komponen penting dalam

pengungkapan di dalam prospectus. Dengan adanya pengungkapan intelektual capital,

diharapkan dapat mengurangi terjadinya informasi asimetri sehingga investor dapat

menerima sinyal positif dengan memperoleh lebih banyak informasi mengenai perusahaan

dan menilai perusahaan dengan lebih baik. Ketidakpastian yang dapat mempengaruhi

tingkat underpricing dapat berkurang dan underpricing akan lebih rendah. Dari paparan

tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H1: Pengungkapan intelektual capital berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing

2.7 Reputasi Underwriter dan Underpricing

Semakin besar ketidakpastian akan semakin besar risiko yang dihadapi underwriter, maka

akan menyebabkan tingkat underpricing semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena

underwriter menggunakan kesanggupan penuh (full commitment underwriting) sehingga

underwriter mengikatkan diri untuk menawarkan saham kepada publik dan membeli sisa

saham. Keadaan ini membuat underwriter berusaha menjual di pasar perdana kemudian

membeli saham yang tidak laku dengan harga sama dengan penawaran di pasar perdana.

Agar saham habis terjual, maka underwriter berusaha menekan harga.

Reputasi penjamin emisi dapat digunakan sebagai sinyal untuk mengurangi tingkat

ketidakpastian yang tidak dapat diungkapkan oleh informasi yang terdapat dalam

prospectus dan memberi sinyal bahwa informasi privat dari emiten mengenai prospek

perusahaan di masa yang akan datang. Pasar percaya bahwa underwriter yang bereputasi

baik tidak akan menjamin perusahaan yang berkualitas rendah. Sehingga semakin tinggi

reputasi underwriter maka mencerminkan risiko perusahaan IPO tersebut rendah serta

rendah pula tingkat ketidakpastian harga saham di masa yang akan datang, sehingga tingkat

underpricing juga rendah (Carter dan Steven 1990). Dari paparan tersebut, maka hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H2: Reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap IPO underpricing

3. Metoda Penelitian

Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling,

yaitu seluruh perusahaan yang melakukan IPO dan mengalami underpricing di Bursa Efek

Indonesia periode Januari 2007- Desember 2012. Data yang diperlukan meliputi data

kuantitatif berupa data harga penawaran saham perdana (offering price) saham, harga

penutupan (closing price) saham hari pertama di pasar skunder. Data kualitatif yang

diperlukan berupa data pengungkapan intelektual capital dan underwriter. Data tersebut

diperoleh dari www.idx.co.id, IDX Fact book, IDX Statistic 2007 – 2012, ICMD 2007 –

Page 160: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

320

2012, PDEB UGM, Media masa, internet serta publikasi lain yang dapat membantu

penelitian ini.

Berikut jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini:

Tabel 1 Sampel penelitian

Keterangan Jumlah

Perusahaan yang melakukan IPO periode 2007 - 2012 125

Perusahaan yang tidak underpricing (22)

Perusahaan yang laporannya keuangannya negatif (3)

Sampel yang digunakan 100

Untuk menjawab hipotesis digunakan model sebagai berikut:

UNDί = α + β1ICi + β2URi + β3SIZEi + ε

α = Konstan

β = Koefisien regresi

ε = residual error

UNDi = Tingkat underpricing perusahaan i

ICi = Modal Intellectual perusahaan i

RUi = Reputasi Underwriter perusahaan i

SIZEi = Ukuran perusahaan i

Tingkat underpricing perusahaan (notasi UND)

Underpricing diukur dengan menggunakan initial return atau return awal yaitu selisih antara

harga saham pada hari pertama penutupan (closing price) pada pasar skunder dikurangi harga

di pasar perdana dibagi dengan harga di pasar perdana

closing price – offering prices

Initial Return = -------------------------------------- x 100% ………… (1)

offering prices

Intellectual Capital (notasi IC)

Pengungkapan intelektual capital digunakan indek untuk menentukan persentase

pengungkapan dalam prospectus dengan content analysis. Content analysis dilakukan dengan

membaca laporan prospectus atau annual report setiap perusahaan sampel dan memberi kode

dikotomi tanpa mempertimbangkan bobot masing-masing yaitu memberi skor 1 jika atribut

intelektual capital diungkapkan, dan skor 0 jika atribut intelektual capital tidak diungkapkan.

Selanjutnya, indeks pengungkapan dihitung dengan cara berikut;

Jumlah IC yang diungkapkan dalam prospectus

Indek intelektual capital = ---------------------------------------------------------- x 100% … (2)

Jumlah IC yang seharusnya diungkapkan

Page 161: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

321

Jumlah pengungkapan intelektual capital yang seharusnya dalam penelitian ini ada 84 item yang

digunakan oleh Singh dan Van der Zahn (2007) dengan menggunakan indeks pengungkapan

intellectual capital yang dikembangkan dari indeks penelitian sebelumnya oleh Bukh et al.

(2005). Indeks pengungkapan tersebut dari 84 item yang membagi intellectual capital

menjadi 6 komponen, yaitu: karyawan ada 28 item, pelanggan ada 16 item, teknologi

informasi ada 6 item, proses ada 9 item, riset dan pengembangan (R&D) ada 9 item, serta

pernyataan strategis ada 16 item.

Reputasi Underwriter (notasi RU)

Reputasi underwriter diukur dengan memberi kode 1 untuk penjamin emisi yang masuk

peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total trading frequency dan kode 0 untuk

penjamin emisi yang tidak masuk peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total

trading frequency.

Ukuran perusahaan (sebagai variabel control = notasi size)

Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan logaritma natural (ln) dari total asset yang

dimiliki perusahaan pada periode terakhir sebelum melakukan IPO. Menurut Martani dan

Chastina 2005, perusahaan dengan asset besar akan memberikan sinyal bahwa perusahaan

memiliki prospek bagus dan dapat mengurangi ketidakpastian dimasa yang akan datang. Hal

ini mengindikasikan bahwa ada hubungan antara ukuran perusahaan dengan tingkat

underpricing.

4. Hasil dan Pembahasan

Tabel 2 Deskripsi data

Variabel N Minimum Maksimum Mean Deviasi Std.

IPO Underpricing 100 0,014 0,710 0,297 0.211

IC Disclosure 100 .071 0,675 0,341 0.157

Size 100 18,718 31,519 27.644 2.078

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata underpricing saham dari pengamatan terhadap 100

perusahaan lebih dari 25%, rata-rata pengungkapan modal intelektual pada perusahaan

kurang dari 50%. Emiten yang mengalami underpricing terendah 1,4% adalah PT Elang

Mahkota Teknologi Tbk, sedangkan emiten dengan tingkat underpricing tertinggi adalah

71% terjadi pada perusahaan Bekasi Asri Pemula Tbk, Triwira Insanlestari Tbk, Destinasi

Tirta Nusantara Tbk, PT Bank Sinarmas Tbk, dan PT Multifiling Mitra Indonesia Tbk, Tri

Bayan Tirta Tbk, dan Waskita Karya Tbk. Pengungkapan modal intelektual terendah 7,1%

oleh PT Golden Retalindo Tbk dan pengungkapan modal intelektual tertinggi 67,5% PT

Indofood CBP Sukses Makmur Tbk.

Tabel 3 Deskripsi data berdasar kelompok pengungkapan

Keterangan Sampai 50% Lebih dari 50%

Jumlah sampel Rata-rata Jumlah sampel Rata-rata

IPO Underpricing 84 19,22% 16 65,19%

IC Disclosure 86 29,59% 14 61,79%

Page 162: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

322

IC Disclosure Sampai

50%

IC Disclosure lebih dari

50%

IPO Underpricing 29,5% 27,45%

Pada tabel 3 terlihat bahwa dari 100 sampel perusahaan yang diamati dengan tingkat

underpricing kurang dari 50% lebih banyak daripada perusahaan yang mengalami

underpricing lebih dari 50%. Perusahaan dengan tingkat pengungkapan intellectual capital

kurang dari 50% juga lebih banyak dari perusahaan dengan tingkat pengungkapan intellectual

capital lebih dari 50%. Perusahaan yang mengungkapkan intelektual capital sampai 50%

mengalami underpricing lebih besar dari perusahaan yang mengungkapkan intellectual

capital lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan

intellectual capital akan semakin rendah tingkat underpricing saham.

Tabel 4: Deskripsi data untuk reputasi underwriter

Keterangan Frekuensi Persen

Tidak masuk peringkat 42 42

Masuk Peringkat 58 58

Total 100 100

Pada tabel 4 tersebut terlihat bahwa penjamin emisi yang masuk peringkat 20 dari 50 most

active IDX members in total trading frequency lebih dari 50%. Hal ini mengindikasikan

bahwa lebih dari 50% penjamin emisi dalam perusahaan sampel adalah penjamin emisi

yang berkualitas termasuk dalam peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total

trading frequency.

Hasil Analisis Regresi untuk menguji hipotesis dapat dilihat pada tabel 5 berikut:

Tabel 5 Hasil uji hipotesis

Koefisien T Sig VIF

Constant 0.474 1.783 0.078

Modal Intelektual -0.292 -2.163 0.033 1.040

Reputasi Underwriter -0.144 -3.561 0.001 1.017

Ukuran Perusahaan 0.00 0.023 0.982 1.047

ependen Variabel: Underpricing Durbin-Watson; 1.805

F Statistik: 6.341 Signifikansi: 0,001

R2 : 0,165 Adjusted R

2 : 0,139

signifikan pada

α = 5%, R

2 dan Adjusted R

2 untuk menguji besarnya

korelasi, F Statistik untuk menguji model

Pada tabel 5 dapat dilihat hasil uji asumsi klasik gejala multikolonearitas data dengan VIF

(Variance Inflation Factor) kurang dari 10 menunjukkan bahwa model regresi terbebas dari

gangguan multikolinearitas (Ghozali 2007). Hasil uji autokolerasi menujukkan nilai Durbin-

Watson berada diantara nilai du – 4 du atau antara 1,6819 – 2,3181 berarti tidak terjadi gejala

autokorelasi dalam model regresi. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 16,5% dan

adjusted R2 sebesar 13,9%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel modal intelektual dan

Page 163: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

323

reputasi underwriter hanya dapat menjelaskan 16,5% (13,9%), sehingga masih banyak

variabel yang bisa diteliti berkaitan dengan underpricing saham saat IPO.

Hasil regresi berganda menunjukkan nilai F statistik kurang dari 5%, hal ini

menunjukkan bahwa model dalam penelitian ini dapat digunakan. Hasil uji hipotesis pada

tabel 5 terlihat bahwa nilai signifikansi untuk variabel intellectual capital disclosure dan

reputasi underwriter signifikan dibawah 5% dengan angka t negative. Hal ini menunjukkan

bahwa intellectual capital disclosure dan reputasi underwriter secara negative mempengaruhi

tingkat underpricing. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intellectual capital

disclosure, maka dapat mengurangi underpricing, begitu juga reputasi underwriter yang baik

dapat mengurangi underpricing.

Intellectual capital disclosure dapat mengurangi asimetri informasi antara investor

dengan agen perusahaan yang dapat mempengaruhi tingkat underpricing. Intellectual capital

disclosure dapat menjadi salah satu sumber informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap perusahaan dalam proses pembuatan keputusan, karena intellectual

capital disclosure dapat membuat laporan keuangan menjadi lebih relevan dan reliabel

terutama untuk memprediksi kinerja keuangan di masa yang akan datang. Hal ini

menunjukkan bahwa investor mulai mempertimbangkan intellectual capital disclosure

sebagai salah satu hal yang diperhatikan untuk pengambilan keputusan dalam membeli saham

perdana.

Reputasi underwriter merupakan sinyal bagi pasar. Underwriter dengan reputasi

yang baik akan memberikan sinyal positif terhadap pasar karena underwriter dengan

reputasi yang baik memiliki banyak informasi di pasar modal dan lebih memiliki

kemampuan dalam mengelola harga saham. Dengan adanya sinyal positif yang diberikan

oleh underwriter dengan reputasi yang baik, maka tingkat underpricing dapat dikurangi.

5. Simpulan

Pengujian menggunakan analisis regresi memperoleh hasil bahwa intellectual capital

disclosure dan reputasi underwriter berpengaruh negative terhadap underpricing saham.

Hal ini mengindikasikan bahwa intellectual capital disclosure yang tinggi dan reputasi

underwriter yang baik dapat mengurangi underpricing saham saat IPO di Bursa Efek

Indonesia. Hasil pengujian koefisien determinasi dalam penelitian ini masih rendah

sehingga perlu menguji dengan menambah variabel lain seperti leverage, ROE, kondisi

perekonomian, struktur kepemilikan, rata-rata kurs, jenis industry, karakteristik investor

dan reputasi auditor. Penelitian selanjutnya juga dapat menguji intellectual capital

disclosure dengan cara memisahkan pengungkapan yang wajib (mandatory) dengan

pengungkapan yang sukarela (voluntary).

Page 164: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

324

Daftar Referensi

Baron. 1982. A Model of the Demand for Investment Banking Advising and Distribution

Services for New Issues. Journal of finance 37/4: 955-976.

Beatty, Randolph P. 1989. Auditor Reputation and the Pricing of Initial Public Offerings.

The Accounting Review. Vol 64/4: 693-709.

Bontis, Nick. 2001. Assessing Knowledge Assets: A Review of the Models Used to Measure

Intellectual Capital. International Journal of Management Reviews. Vol. 3/1: 41-60.

Bukh, Per Nikolaj. 2003. The Relevance of Intellectual Capital Disclosure: A Paradox?.

Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol. 16/1: 49-56.

Bukh, Per Nikolaj. Christian Nielsen. Peter Gormsen. dan Jan Mouritsen. 2005. Disclosure

of Information on Intellectual Capital in Danish IPO Prospectuses. Accounting,

Auditing, and Accountability Journal. Vol. 18/6: 713-732.

Carter, Richard dan Steven Manaster. 1990. Initial Public Offerings and Underwriter

Reputation. The Journal of Finance. Vol. 45/4: 1045- 1067.

Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Guthrie, James dan Richard Petty. 2000. Intellectual Capital Literature Review;

Measurement, reporting, and Management. Journal of Intellectual Capital, Vol 1, No.

2: 156-176

Jogiyanto, Hartono. 2010. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Ketujuh.

Yogyakarta: BPFE

Karlis, Peter L. 2000. IPO Underpricing. The Park Place Economist. Vol. 8: 81-89.

Lang, Mark H. dan Russel J. Lundholm. 2000. Voluntary Disclosure and Equity Offerings:

Reducing Information Asymmetry or Hyping the Stock?. Contemporary Accounting

Research. Vol. 17/4: 623-662.

Martani, Dwi dan Yolana, Chastina. 2005. Variabel-variabel yang Mempengaruhi

Fenomena Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana di BEJ Tahun 1994 –

2001. Proceedings. Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo, Indonesia: 538-553.

Murni, Siti Asiah. 2004. Pengaruh Luas Ungkapan Sukarela dan Asimetri Informasi

Terhadap Cost of Equity Capital pada Perusahaan Publik di Indonesia. Jurnal Riset

Akuntansi Indonesia. Vol. 7/2: 192-206.

Nyoman, T dan Suad Husnan. 2004. Perbandingan Abnormal Return Emisi Saham

Perdana Perusahaan Keuangan dan Non-keuangan di Pasar Modal Indonesia:

Pengujian Terhadap Hipotesis Informasi Asimetri. Sosiosains. XVII/3

Page 165: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

325

Singh, Inderpal dan Mitchell Van der Zahn. 2007. Does Intellectual Capital Disclosure

Reduce an IPO’s Cost of Capital? The Case of Underpricing. Journal of Intellectual

Capital, Vol. 8/3: 404-516.

Singh, Inderpal dan Mitchell Van der Zahn. 2008. Determinants of Intellectual Capital

Disclosure in Prospectuses of Initial Public Offerings. Journal of Accounting and

Business Research. Vol. 38/5: 409-431.

Tandelilin, Eduardus. 2011. Analisis Investasi & Manajemen Portofolio. Yogyakarta: BPFE

Yogyakarta.

Trisnaningsih. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing

pada Perusahaan yang Go Public di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Akuntansi dan

Keuangan. Vol/2: 195–210

Lampiran

Daftar Perusahaan Sampel

No CODE Emiten IPO Date

1 BISI Bisi Internasioanal Tbk 28-Mei-07

2 WEHA Panorama Transportasi Tbk 31-Mei-07

3 BKDP Bukit Dramo Property Tbk 15-Jun-07

4 SGRO Sampoerna Agro Tbk 18-Jun-07

5 MNCN Media Nusantara Citra Tbk 22-Jun-07

6 MCOR Bank Windu Kentjana Internasional Tbk 3-Jul-07

7 PKPK Perdana Karya Perkasa Tbk 11-Jul-07

8 LCGP Laguna Capital Griya Tbk 13-Jul-07

9 DEWA Darma Henwa Tbk 26-Sep-07

10 BACA Bank Capital Indonesia Tbk 04-Okt-07

11 GPRA Perdana Gapuraprima Tbk 10-Okt-07

12 WIKA Wijaya Karya ( persero) Tbk 9-Jul-07

13 ACES Ace Hardware Indonesia Tbk 6-Nov-07

14 PTSN Sat Nusapersada Tbk 8-Nov-07

15 JSMR Jasa Marga( Persero) Tbk 12-Nov-07

16 JKON Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk 04-Des-07

17 CSAP Catur sentosa Adiprana Tbk 12-Des-07

18 ASRI Alam Sutera Reality Tbk 18-Des-07

19 ITMG Indo Tambangraya Megah Tbk 18-Des-07

20 COWL Cowell Development Tbk 19-Des-07

21 ADRO Adaro Energy Tbk 16-Jul-08

21 BAEK Bank Ekonomi Raharja Tbk 8-Jan-08

23 BAPA Bekasi Asri Pemula Tbk 14-Jan-08

24 DBSDE Bumi Serpong Damau Tbk 6-Jun-08

Page 166: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

326

25 YPAS Yanaprima Hastpersada Tbk 5-Mar-08

26 ELSA Elnusa Tbk 6-Feb-08

27 GZCO Gosco Plantations Tbk 15-Mei-08

28 TPIA Candrha Asri Putra chemical Tbk 26-Mei-08

29 TRAM Trada Maritime Tbk 10-Sep-08

30 TRIL Triwira Insanlestari Tbk 28-Jan-08

31 KOIN Kokoh Inti Arebama Tbk 9-Apr-08

32 SIAP Sekawan Inti Pratama Tbk 17-Okt-08

33 HOME Hotel Manadarin Regency Tbk 17-Jul-08

34 INDY Indika Energy Tbk 11-Jun-08

35 PDES Destinasi Tirta Nusantara Tbk 8-Jul-08

36 BWPT BW Plantation Tbk 27-Okt-09

37 DSSA Dian Swastatika Sentosa Tbk 10-Des-09

38 INFC Inovisi Invracom Tbk 3-Jul-09

39 TRIO Trikomsel Oke Tbk 14-Apr-09

40 BBTN Bank Tabungan Negeri ( persero) Tbk 17-Des-09

41 BCIP Bumi Citra Permai Tbk 11-Des-09

42 BPFI Batavia Prosperindo Finance Tbk 1-Jun-09

43 MKPI Metropolitan Kentjana Tbk 10-Jul-09

44 EMTK PT Elang Mahkota Tbk 12-Jan-10

45 PTPP PT Pembangunan Perumahan ( persero) Tbk 9-Feb-10

46 BIPI PT Benakat Petroleum Energy Tbk 11-Feb-10

47 ROTI PT Nippon Indosari Corporindo Tbk 28-Jun-10

48 GOLD PT Golden Retailendo Tbk 7-Jul-10

49 SKYB PT Skybee Tbk 7-Jul-10

50 BCBR PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk 8-Jul-10

51 IPOL PT Indopoly Swakarsa Industri Tbk 9-Jul-10

52 GREEN PT Evergreen Invesco Tbk 9-Jul-10

53 BUVA PT Bukit Uluwatu Villa Tbk 12-Jul-10

54 BRAU PT Brau Coal Energy Tbk 19-Agust-10

55 HRUM PT Harum Energy Tbk 06-Okt-10

56 ICBP PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk 07-Okt-10

57 TBIG PT Tower Bersama Infrastructur Tbk 25-Okt-10

58 KRAS Krakatau Steel Tbk 10-Nop-10

59 APLN PT Agung Podomoro Land Tbk 11-Nop-10

60 MIDI PT Midi utama Indenesia Tbk 30-Nop-10

61 BSIM PT Bank Sinarmas Tbk 13-Des-10

62 MFMI PT Multi Feeling Mitra Indonesia Tbk 29-Des-10

63 MBSS Mitrabahtera Segara Sejati Tbk 6-Apr-11

64 SRAJ Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk 11-Apr-11

65 HDFA HD Finance Tbk 10-Mei-11

Page 167: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...

Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

Vol.1, Nomor 2, Feb 2014

327

66 BULL Buana Listya Tama Tbk 23-Mei-11

67 SIMP Salim Ifomas Pratama Tbk 9-Jun-11

68 TIFA Tifa Fince Tbk 8-Jul-11

69 PTIS Indo Straits Tbk 12-Jul-11

70 ALDO Alkondo Naratama Tbk 12-Jul-11

71 STAR Star Petrocem Tbk 13-Jul-11

72 SUPR Solusi Tunas Pratama 11-Okt-11

73 ARII Atlas Resources Tbk 08-Nop-11

74 GEMS Golden Energy Mines Tbk 17-Nop-11

75 FIFA Fisi Media Asia Tbk 21-Apr-11

76 ABMM ABM Investama Tbk 06-Des-11

77 SDMU Sidomulyo Selaras Tbk 12-Jul-11

78 BAJA Saranacentral Bajatama Tbk 21-Des-11

79 PADI Minna Padi Investama Tbk 9-Jan-12

80 TELE Tipnone Mobile Indonesia Tbk 12-Jan-12

81 ESSA Surya Essa Perkasa Tbk 1-Feb-12

82 BEST Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk 10-Apr-12

83 RANC Supra Boga Lestari Tbk 7-Jun-12

84 TRIS Trisula Internasional Tbk 28-Jun-12

85 KOBX Kobexindo Tractors Tbk 5-Jul-12

86 TOBA Toba Bara Sejahtera Tbk 6-Jul-12

87 MSKY MNC Sky Vision Tbk 9-Jul-12

88 ALTO Tri Bayan Tirta Tbk 10-Jul-12

89 GLOB Global Teleshop Tbk 10-Jul-12

90 GAMA Gading Develop Tbk 11-Jul-12

91 BJTM Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk 12-Jul-12

92 IBST Inti Bangun Sejahtera Tbk 31-Aug-12

93 NIRO Nirvana Development Tbk 13-Sep-12

94 PALM Provident Agro Tbk 08-Okt-2012

95 NELY Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk 11-Okt-2012

96 TAXI Express Transindo Utama Tbk 2-Nov-12

97 BSSR Baramulti Suksesarana Tbk 8-Nov-12

98 ASSA Adi Sarana Tbk 12-Nov-12

99 WIIM Wismilak Inti Makmur Tbk 18-Nov-12

100 WSKT Waskita Karya Tbk 19-Nov-12

Page 168: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...
Page 169: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...
Page 170: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...
Page 171: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...
Page 172: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...
Page 173: Jurnal Manajemen dan Bisnis Indonesia Vol. 1 NO. 2Hal. 165 ...