Jurnal Konstitusi Pak Iwan

26
1 A. Judul : KEDUDUKAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM HAL PEMBERHENTIAN PRESIDEN SEBELUM MASA JABATANNYA BERAKHIR (Kajian Normatif Berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003) B. Nama Pengarang : Iwan Permadi, SH,MH. C. Abstrac As one of the guard of constitution and interpreter of UUD 1945, existence of the Constitutional Court in system of state structure in Indonesia is of vital importance once to guard against absolute power by an state institute, both for conducted by President and also by Parliament. As state institute, position this of the Constitutional Court very unique, that is although of the Constitutional Court lifted by President through Decision of President, but of the Constitutional Court can check, judging and breaking opinion of DPR that President have done violation of law as arranged by UUD 1945. Legal status of the Constitutional Court like arranged in UUD 1945 that is section 24 C sentence ( 2) junto section 7 B sentence ( 1) and also section 10 sentence ( 2) act of Number 24 year 2003 about of the Constitutional Court is as one of the state institute representing performer of judicial power which can only check, judging and breaking opinion of council that President have done collision is such as those which arranged in UUD 1945, furthermore DPR perform a plenary conference to going on to MPR. The Constitutional Court cannot dismiss President, what can dismiss President is MPR at the instance of DPR. Become, dimiciling of the Constitutional Court in the case of cessation of President is as examiner and taking decision of opinion of DPR about transgression conducted by President.

description

CSDF

Transcript of Jurnal Konstitusi Pak Iwan

  • 1

    A. Judul :

    KEDUDUKAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM HAL PEMBERHENTIAN PRESIDEN SEBELUM MASA JABATANNYA BERAKHIR

    (Kajian Normatif Berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003) B. Nama Pengarang : Iwan Permadi, SH,MH.

    C. Abstrac As one of the guard of constitution and interpreter of UUD 1945, existence

    of the Constitutional Court in system of state structure in Indonesia is of vital

    importance once to guard against absolute power by an state institute, both for

    conducted by President and also by Parliament.

    As state institute, position this of the Constitutional Court very unique, that

    is although of the Constitutional Court lifted by President through Decision of

    President, but of the Constitutional Court can check, judging and breaking

    opinion of DPR that President have done violation of law as arranged by UUD

    1945.

    Legal status of the Constitutional Court like arranged in UUD 1945 that is

    section 24 C sentence ( 2) junto section 7 B sentence ( 1) and also section 10

    sentence ( 2) act of Number 24 year 2003 about of the Constitutional Court is as

    one of the state institute representing performer of judicial power which can only

    check, judging and breaking opinion of council that President have done collision

    is such as those which arranged in UUD 1945, furthermore DPR perform a

    plenary conference to going on to MPR. The Constitutional Court cannot dismiss

    President, what can dismiss President is MPR at the instance of DPR. Become,

    dimiciling of the Constitutional Court in the case of cessation of President is as

    examiner and taking decision of opinion of DPR about transgression conducted

    by President.

  • 2

    D. Pendahuluan Studi normatif ini berangkat dari pemikiran bahwa ternyata sesuai dengan

    kedudukan dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan

    Undang-Undang No. 24 tahun 2003, Mahkamah Konstitusi merupakan salah

    satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan

    penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai

    dengan tugas dan wewenangnya, khususnya dapat memeriksa, mengadili dan

    memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil

    Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.

    Pada tanggal 17 Agustus 1945 diadakan proklamasi kemerdekaan

    Indonesia yang merupakan tonggak awal ketatanegaraan Indonesia, karena

    Proklamasi adalah jembatan emas pembangunan Indonesia. Sebagai tonggak

    awal kemerdekaan yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan UUD 1945

    dan sampai saat ini sudah empat kali terjadi perubahan, yaitu perubahan

    pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 200, perubahan ketiga

    pada tahun 2001 dan perubahan keempat pada tahun 2002. dalam empat kali

    perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-

    besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar.

    Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan

    kostitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama seklai, meskipun tetap

    dinamakan sebagai Undang-Undang dasar 1945.1 Dari perubahan UUD 1945

    inilah, lahir lembaga tinggi yang baru yang dikenal dengan nama Mahkamah

    Konstitusi.

    Salah satu pemikiran pentingnya keberadaan Mahkamah Konstitusi,

    dilatarbelakangi suatu kondisi bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan

    yang berbentuk Republik (Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945) dan Indonesia

    berdasar hukum (rechtstaat). Secara kontitusional kekuasaan pemerintahan

    tidak bersifat absolut. Jika dilihat berdasarkan teori Montesquie atau yang lebih

    dikenal dengan trias politica, terlihat bahwa terjadi pembagian kekuasaan yaitu

    1 Jimly Asshiddiqie, Mahkamah konstitusi Dalam Sistem ketatanegaraan RI, Malang, 29

    september 2005.

  • 3

    legislatif, eksekutif dan yudikatif. Akan tetapi, di Indonesia bukan menggunakan

    teori kekuasaan melainkan menggunakan checks and balances system, yang

    berarti antar lembaga negara kedudukannya adalah sama dan saling

    mengontrol.

    Dengan kedudukan yang sejajar, tentunya akan terbuka peluang

    terjadinya konflik antara lembaga tinggi negara. Untuk itu, perlu dibentuk

    lembaga yang bisa menengahi permasalahan yang timbul antar lembaga negara.

    Sebelum diadakan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kekuasaan tertinggi

    kehakiman terdapat pada Makhkamah Agung (MA), tetapi setelah diadakan

    perubahan yang ketiga, maka terbentuklah suatu lembaga tinggi hukum lainnya

    yakni Mahkamah Konstitusi.

    Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan terhadap

    pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-28,

    sedangkan Indonesia saat itu keberadaan Mahkamah Konstitusi tercatat sebagai

    negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi dan negara pertama pada

    abad ke-21 dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi.

    Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan amanat dari Undang-

    Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga pada tahun 2003. Sebelum adanya

    perubahan UUD 1945 tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

    mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi

    Konstitusi (Tap MPR No. I/MPR/2002) yang salah satu tujuannya membentuk

    suatu komisi konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara

    komperhensif tentang perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia.2

    Keputusan pembentukan komisi konstitusi ini merupakan hasil dari Sidang

    Tahunan MPR pada tahun 2002 pada tanggal 1 sampai 11 Agustus 2002 yang

    kemudian disusun Ketetatapan MPR Nomor IV/MPR/2003 tentang Susunan,

    Kedudukan, Kewenangan, dan Kedudukan Kewenangan Komisi Konstitusi (Tap

    MPR No. IV/MPR/2003). Sejalan dengan hal tersebut, dari hasil perubahan UUD

    1945 ketiga yang tertuang pada Pasal 24C UUD 1945, dibentuklah suatu

    2 Pasal 1 Tap MPR No. 1/MPR/2002

  • 4

    lembaga tinggi baru dibidang kehakiman, yakni Mahkamah Konstitusi melalui

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

    Melalui perubahan ketiga UUD 1945 yang dilakukan pada sidang tahunan

    MPR tahun 2001, Mahkamah Konstitusi yang semula sekedar wacana sistem

    ketatanegaraan Indonesia, kini telah menjadi dasar konstitusional yang kuat

    untuk eksistensi, kedudukan, kewenangan, kewajiban, dan komposisi para

    hakimnya dalam UUD dengan pengaturan sebagai berikut:3

    1. Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia dapat

    dilihat dalam ketentuan 7B, Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 24C UUD 1945

    (perubahan ketiga)

    2. Kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai bagian dari kekuasaan

    kehakiman dengan posisi sejajar dengan Mahkamah Agung (Pasal 24 ayat

    (2));

    3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (1)

    sebagai berikut: Mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

    bersifat final untuk :

    a. Menguji UU terhadap UUD (Judicial Review).

    b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

    diberikan oleh UUD.

    c. Memutus pembubaran partai politik, dan

    d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

    4. Selain itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban (yang sebenarnya

    juga berarti kewenangan meskipun keputusannya tidak bersifat final)

    memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran

    oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD, seperti tersebut

    dalam Pasal 24C ayat (2) (vide juncto Pasal 7B UUD 1945/perubahan

    ketiga)

    5. Komposisi Hakim Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 orang yang ditetapkan

    oleh Presiden berdasarkan usulan masing-masing tiga orang dari

    3 A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Transisi Paradugmatik, Intrans, Malang,

    2003. hal.124-125.

  • 5

    Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden dengan ketua dan wakilnya dipilih

    dari dan oleh Hakim Konstitusional (Pasal 24 ayat (3) dan (4).

    6. Pasal 24C ayat (5) memuat persyaratan bagi Hakim Konstitusi yaitu:

    a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;

    b. Adil;

    c. Negarawanan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan;

    d. Tidak merangkap sebagai pejabat negara

    7. Sedangkan mengenai prosedur pengangkatan dan pemberhentian Hakim

    Konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi masih diatur dengan UU

    (Pasal 24C ayat (6).

    Dari fungsi dan tugasnya, salah satunya adalah memberikan putusan

    terhadap dugaan DPR mengenai pelanggaran konstitusi oleh Presiden.4 Dalam

    sistem Presidensiil antara pemerintah dengan DPR kedudukannya sejajar dan

    tidak bertanggungjawab kepada DPR serta legislatif dan eksekutif sama-sama

    kuat. Dalam sistem Presidensiil masa jabatan Presiden tidak dibuat permanen

    tetapi dengan batasan antara 4 sampai 7 tahun .

    Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, maka sistem negara demokrasi

    akan lebih terarah karena dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai

    penafsir UUD 1945 maka akan terjaga dari kekuasaan yang absolut oleh suatu

    lembaga negara, baik yang dilakukan oleh Presiden maupun oleh Dewan

    Perwakilan Rakyat (DPR). Karena keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan

    pengawal Konstitusi (The Guardian of constitution and The Interpreter of The

    Constitustion) sehingga Mahkamah Konstitusi sangat berperan dalam sistem

    ketatanegaraan Indonesia, meski di Indonesia merupakan lembaga baru,

    peranan Mahkamah Konstitusi sangat penting sekali.

    Salah satu konflik yang dapat terjadi antar lembaga tinggi negara adalah

    perselisihan antara legislatif dan eksekutif yakni DPR dan Presiden, karena

    kedua lembaga tinggi negara ini mempunyai peranan yang sangat vital, Presiden

    sebagai pelaksana pemerintahan dan pelaksana undang-undang dalam

    membuat kebijakan yang ada, selain itu kekuasaan Presiden harus didukung

    4 Lihat Pasal 7B ayat (1) UUD 1945

  • 6

    oleh kekuatan di DPR dalam menjalankan kebijakannya karena kedudukan

    eksekutif dan legislatif adalah sejajar dan saling mengontrol.

    DPR sebagai lembaga representative dari suara rakyat, sebagaimana

    yang telah diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, mempunyai fungsi kontrol,

    budgeting, penyusunan undang-undang. Diantara fungsi badan legislatif yang

    paling penting adalah:

    a. Menentukan Policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk itu

    DPR diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap

    rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan hak budget.

    b. mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga semua tindakan badan

    eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijakasanaan yang telah

    ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat

    diberi hak-hak kontrol khusus.5

    Selain itu anggota DPR mempunyai hak-hak istimewa yakni hak angket,

    hak interpelasi dan bertanya kepada Presiden. Hak-hak inilah yang dapat

    menjadikan batu ganjalan terhadap perjalanan kekuasaan Presiden, apalagi

    Indonesia menggunakan sistem Presidensiil bukan sistem parlementer, yang

    artinya Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR, serta kedudukan

    eksekutif dan legislatif adalah sejajar.

    Karena posisi tersebut dan hak yang dipunyai oleh DPR maka

    dimungkinkan terjadinya perubahan politik yang tidak mendukung kekuasaan

    Presiden sehingga Presiden diminta untuk turun dari jabatannya karena

    kesalahan tertentu.6

    Salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan negara atau

    pemerintahan adalah pertanggungjawaban dan pengawasan.7 Dalam praktek

    kenegaraan yang berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggungjawab tersebut

    tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga pemberhentian

    Presiden dari jabatannya.

    5 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2003, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

    hal. 182-183. 6 Pasal 7B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 7 H. Bagir Manan, SH Mcl, Lmbaga KePresidenan, FHUII Press, Jogjakarta, 2003, hal. 106.

  • 7

    Dalam pasal 7B ayat (1) UUD 1945 Presiden dapat diberhentikan karena

    suatu pelanggaran hukum yaitu pengkhianatan terhadap bangsa dan negara,

    korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela apabila

    terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.8

    Tidaklah mudah merumuskan substansi yang ada pada rumusan tersebut.

    Misalnya saja, dalam proses impeachment sesuai pasal 7B UUD 1945

    disebutkan beberapa jenis pelanggaran yang menjadi dasar DPR untuk meminta

    Mahkamah Konstitusi memeriksa pelanggaran yang diduga dilakukan Presiden/

    Wakil Presiden, yaitu pengkhianatan kepada negara, korupsi, penyuapan, tindak

    pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.

    Secara hukum masih belum jelas pelanggaran hukum berupa tindakan

    pidana berat lainnya. Apakah pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan

    beberapa orang meninggal karena ditabrak oleh kendaraan yang dikemudikan

    sendiri oleh Presiden termasuk dalam kualifikasi tindakan berat lainnya?

    Untuk menghindari kekuasaan yang bersifat tirani karena jabatan

    Presiden yang disandangnya cukup lama, maka DPR dapat memberhentikan

    Presiden di tengah masa jabatannya (bersifat politis)9 dengan cara meminta

    putusan Mahkamah Konstitusi atas dugaan pelanggaran yang dilakukan

    Presiden/wakil Presiden. Pemberhentian Presiden sebelum masa jabatannya

    berakhir ini disebut sebagai impeachment. 10

    Pemberhentian Presiden sebelum masa jabatannya didasari oleh UUD

    1945. Maka proses impeachment yang ada harus prosedural, kembali lagi

    bahwa harus prosedural. Karena Indonesia adalah menganut sistem Presidensiil

    maka tidak serta-merta DPR/MPR dapat menjatuhkan Presiden tetapi dengan

    adanya Mahkamah Konstitusi maka DPR dapat mengajukan perkara yang

    diduga telah dilanggar oleh Presiden, kemudian Mahkamah Konstitusi akan

    memberi putusan yang selanjutnya diberikan ke DPR untuk diajukan kepada

    MPR oleh DPR bila terbukti terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Presiden.

    8 Ibid, hal. 107. 9 Pasal 27 UU No. 22 Tahun 2003, tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan

    DPRD. 10 Dalam UUD 1945 tidak disebutkan secara eksplisit tentang impeachment

  • 8

    Dalam teori hukum tata negara ada dua konsep pemecatan Presiden.

    Yang pertama adalah impeachment dan yang kedua adalah konsep forum

    prevelegiatum. Konsep impeachment lahir di jaman Mesir Kuno dengan istilah

    ieasangelia, yang pada abad ke-17 diadopsi pemerintahan Inggris dan

    dimasukkan ke dalam Konstitusi Amerika Serikat di akhir abad ke-18. secara

    konsep impeachment tidak hanya berarti prosedur pemberhentian Presiden

    ditengah masa jabataannya, tetapi juga pemecatan bagi para pejabat tinggi

    negara lainnya termasuk hakim angung karena melakukan kejahatan atau

    pelanggaran hukum.11

    Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa UUD 1945 tidak

    mengenal lembaga impeachment seperti dalam Konstitusi Amerika Serikat. Dari

    sudut bahasa saja pernyaataan itu sudah terang keliru, karena dikira pengertian

    impeachment sama dengan pemberhentian atau removal from office.12

    Kaitannya dengan impeachment merupakan permintaan pertanggung

    jawaban dari Presiden yaitu permintaan pertanggungjawaban ini terdapat dalam

    penjelasan UUD 1945, yaitu ........jika DPR menganggap bahwa Presiden

    sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan dalam UUD atau oleh MPR,

    maka Majelis itu dapat diundangkan untuk persidangan istimewa agar supaya

    bisa diminta pertanggunganjawab kepada Presiden13 serta dalam ketetapan

    MPR No. III/MPR/1978 diatur juga mekanisme pertanggungjawaban Presiden.

    Apabila DPR berpendapat Presiden melanggar Garis-garis Besar Haluan

    Negara (GBHN) dan UUD 1945 maka DPR dapat menggelar sidang istimewa

    dengan memberikan peringatan (memorandum) sebanyak 3 kali. Dengan dasar

    dan fakta-fakta tersebut DPR-GR menganggap bahwa Presiden setidak-tidaknya

    melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan TAP Sidang

    Umum MPR IV/MPRS14 sehingga saat itu Presiden Soekarno ditolak

    pertanggungjawabannya oleh MPRS atas pidato NAWAKSARA.

    11 Deni Indrayana, Problema Konstitusi Pemberhentian Presiden, Kompas 27 Juli 2001. 12 Nimatul Huda., Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Tehadap Dinamika Perubahan

    UUD 1945, FH-UII Press, Jogjakarta, 2003, Hal. 196. 13 Penjelasan UUD 1945 Tentang System Pemerintahan Negara Angka VII. 14 Inosentius Samsul Menorandum DPR Ri Dalam Praktek Kenegaraan RI, Kumpulan

    Tulisan Dalam Buku Perspektif Tentang Memorandum Kepada Presiden, Suatu Studi Terhadap

  • 9

    Begitu pula era Abdurrachman Wahid terdapat dua pelanggaran haluan

    negara yang dituduhkan DPR. Hal ini tertuang dalam memorandum DPR tetapi

    tidak ditanggapi oleh Abdurrachman Wahid sehingga diajukan kepada sidang

    MPR dan diberhentikan.

    Kesalahan Presiden Soekarno bersifat politis karena Presiden Soekarno

    telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS, sebagimana layaknya

    seorang mandataris MPRS15 sedangkan Presiden Abdurrachman Wahid unsur

    utama yang dijadikan pemberhentian Presiden adalah adanya pelanggaran

    haluan negara yang dilakukan oleh Presiden, apakah itu pelanggaran terhadap

    Konstitusi, pelanggaran terhadap ketetapan-ketetapan MPR maupun

    pelanggaraan terhadap undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya.16

    Dari apa yang telah terurai pada pendahuluan di atas, maka dapat kita

    ketahui betapa pentingnya peranan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu salah satu

    masalah yang dapat dirumuskan adalah bagaimana kedudukan hukum

    Mahkamah Konstitusi dalam hal pemberhentian Presiden sebelum habis masa

    jabatannya.

    E. Pembahasan 1. Sejarah Pemberhentian Presiden Di Indonesia

    Berhentinya empat Presiden negara Republik Indonesia (Soekarno,

    Soeharto, Habibie dan Abdurrachman Wahid) dari enam Presiden hingga saat ini

    dari jabatannya masing-masing terjadi dengan cara yang tidak normal yaitu

    berhenti sebelum berakhir masa jabatannya. Presiden Soekarno berhenti karena

    diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)17 tahun

    1967. karena mendapat memorandum DPR-GR18 yang menuduh Presiden

    Soekarno terlibat Gerakan 30 September 1965.

    Pemberian Memorandum RI Kepada Presiden Abdulrachman Wahid, Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI, 1982, Hal. 80.

    15 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2003, Hal. 97.

    16 Ibid., Hal. 104. 17 Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 18 Resolusi dan memorandum DPR-GR tanggal 9 dan 23 Februari 1967.

  • 10

    Presiden Soeharto berhenti di tengah masa jabatannya setelah berkuasa

    selama enam periode jabatan, yaitu dengan mengundurkan diri karena tekanan

    dari demonstrasi mahasiswa yang didukung oleh elemen reformasi pada tahun

    1998 dan permintaan pimpinan DPR/MPR kemudian Presiden BJ. Habibie yang

    semula menjadi wakil Presiden kemudian dilantik menjadi Presiden

    menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri juga berhenti dari jabatannya

    karena pertanggungjawabannya ditolak oleh DPR. Presiden Abdurrahman Wahid

    berhenti di tengah masa jabatannya dalam sidang istimewa MPR karena

    dianggap karena dianggap melanggar UUD dan Tap MPR tanggal 23 Juni

    2001.19

    Dilihat dari sudut tata negara, studi mendalam untuk menganalisis proses

    dan prosedur pemberhentian Presiden mempunyai makna akademis dan praktis

    yang sangat penting.20 Disamping itu, hal yang penting lagi adalah alasan

    seorang Presiden dapat diberhentikan sebagai seorang Presiden dalam masa

    jabatannya menurut UUD 1945. Pengalaman ketatanegaraan Negara Republik

    Indonesia yang sangat menarik untuk dikaji adalah bagaimana pemberhentian

    Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrachman Wahid dalam masa jabatannya.

    Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya karena

    pertanggungjawabannya ditolak oleh MPRS berkaitan dengan pemberontakan

    G30S/PKI 1965 yang merupakan tindak pidana makar. Presiden Abdurrachman

    Wahid diberhentikan oleh MPR karena memorandum DPR yang menuduh

    Presiden Abdurrachman Wahid terlibat dalam penyalahgunaan uang milik

    Yayasan Dana Kesejahteraan Bulog yang merupakan tindak pidana korupsi.

    Walaupun kedua Presiden tersebut tidak dilakukan peradilan pidana terhadap

    mereka.

    Kedudukan Presiden dalam sistem pemerintahan Presidensil sangat kuat

    karena memang sistem ini dimaksudkan untuk melahirkan suatu pemerintahan

    yang relatif adil dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu dalam sistem

    pemerintahan seperti ini, ditentukan masa jabatan Presiden dalam jangka waktu

    19 Tap MPR No. II/MPR/2001 20 Sabar Sitanggang, at al editor, Catatan kritis dan Percikan Pemikiran Yuzril Ihza

    Mahendra, Bulan Bintang, Jakarta, 2001, hal 231.

  • 11

    tertentu (fix term office periode) Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa

    jabatannya apabila Presiden itu melakukan pelanggaran hukum yang secara

    tegas diatur dalam Konstitusi. Berbeda dengan sistem pemerintahan

    Parlementer dimana kepala pemerintahan atau perdana menteri yang memimpin

    kabinet setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.

    UUD 1945 sebelum diadakan perubahan tidak memberikan aturan yang

    terperinci tentang pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya, baik

    alasan-alasan maupun prosedurnya. Satu-satunya ketentuan dalam UUD 1945

    sebelum perubahan, yang secara implisit mengatur kemungkinan pemberhentian

    Presiden di tengah masa jabatannya adalah Pasal 8 UUD 1945. yang berbunyi:

    Jika Presiden Mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya

    dalam masa kewajibannya dalam masa jabatannya ia diganti oleh Wakil

    Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam penjelasan Undang-Undang

    Dasar 1945 angka VII Alenia ketiga,21 menentukan: Jika Dewan Menganggap

    bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh

    Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka

    Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa

    meminta pertanggunganjawab Presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai

    pelaksanaan Sidang Istimewa ini diatur dalam ketetapan Majelis

    Permusyawaratan Rakyat Nomor III Tahun 1978 Jo. Ketetapan Majelis

    Permusyawaratan Rakyat No. VII Tahun 1973. Jadi berdasarkan ketentuan

    tersebut, Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan

    Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh

    Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

    Perubahan Ketiga UUD 1945, telah merubah sistem ketatanegaraan

    Indonesia secara mendasar, terutama yang terkait dengan pengangkatan dan

    pemberhentian Presiden, yaitu22 : Pertama tidak lagi menempatkan Majelis

    Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang

    21 Berdasarkan ketentuan II Aturan Tambahan yang ditetapkan dalam Perubahan Keempat UUD

    1945, Penjelasan UUD 1945 bukan lagi bagian dari UUD 1945. 22 Dahlan Thaib, H., Teori Dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004.

  • 12

    sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2), artinya MPR

    tidak lagi sebagai sumber kekuasaan negara yang tertinggi dan mendistribusikan

    kekuasaan negara itu pada lembaga-lembaga negara yang lainnya termasuk

    tidak lagi memiliki kekuasaan tunggal untuk mengangkat Presiden dan Wakil

    Presiden, kedua, memberikan penguatan dan mempertegas sistem

    pemerintahan Presidensiil yang dianut yaitu dengan menentukan bahwa

    Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat serta Presiden dan

    Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dalam jabatannya apabila baik

    terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghinaan terhadap

    negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,

    maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau

    Wakil Presiden Republik Indonesia (Pasal 7A UUD 1945).

    Perubahan ini membawa dampak yuridis yang sangat luas bagi jalannya

    proses ketatanegaraan Indonesia ke depan, Presiden tidak lagi tunduk dan

    bertanggungjawab kepada MPR dan tidak lagi dapat diberhentikan oleh MPR

    karena alasan Presiden telah melanggar haluan negara sebagaimana yang

    terjadi dalam praktik ketatanegaraan Indonesia selama ini.

    Memperhatikan ketentuan Pasal 7A UUD 1945, ada 5 jenis pelanggaran

    hukum yang dapat dijadikan alasan (dasar) untuk memberhentikan Presiden di

    tengah masa jabatannya, yaitu: a) pengkhianatan kepada negara; b) korupsi; c)

    penyuapan; d) tindak pidana berat lainnya; dan e) perbuatan tercela. Karena

    terminologi yang digunakan dalam Perubahan Ketiga UUD ini adalah terminologi

    pidana, maka persoalan hukum yang muncul adalah apa yang dimaksud dengan

    kelima jenis perbutan melanggar hukum tersebut dan bagaimana proses

    pembuktiannya sehingga seorang Presiden dapat dinyatakan terbukti melakukan

    perbuatan melanggar hukum dan dapat diberhentikan dari jabatannya itu.

    Pemberhentian seorang Presiden sejalan dengan perubahan UUD 1945

    berdampak luar biasa dari sisi hukum, maupun dari sisi politik dan kehidupan

    bernegara. Dari sisi kepastian hukum pemahaman kelima jenis perbuatan

    melanggar hukum tersebut sangat penting agar tidak menimbulkan multitafsir

    dari ketidakpastian hukum. Selain itu proses pembuktian dalam kasus

  • 13

    pelanggaran hukum tersebut sangat penting untuk dipelajari sehingga prosedur

    hukum sebagai landasan beracara bagi tindak pidana yang dituduhkan kepada

    seorang Presiden menjadi tidak jelas dan pasti.

    Perubahan posisi Presiden dalam sistem pemerintahan Negara RI, baik

    mengenai posisinya diatur dalam struktur pemerintahan negara maupun

    mekanisme pengangkatan dan pemberhentian, termasuk pembahasan alasan-

    alasan pemberhentian Presiden, menimbulkan beberapa persoalan yuridis yang

    harus dipecahkan lebih mendalam. Terutama yang perlu diatur adalah tentang

    posisi DPR yang bisa mencampuri dan menjatuhkan Presiden. Apabila kondisi

    ini dibiarkan dan tidak segera diatur batas-batasnya dalam konstitusi, maka apa

    yang terjadi di Jerman dan ditakutkan oleh rakyat Jerman sebelum Perang Dunia

    II bahwa tirani parlemen dan constitutional hazard juga akan terjadi di Indonesia.

    Oleh karena itu DPR dalam menjalankan tugas dan wewenangnya perlu diawasi

    dengan ketat.23

    2. Norma Pemberhentian Presiden

    Pasal 7A UUD 1945, berbunyi sebagai berikut: Presiden dan atau

    Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis

    Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat baik apabila

    terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

    negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan

    tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

    dan atau Wakil Presiden.

    Memperhatikan ketentuan tersebut di atas, ada 5 jenis pelanggaran

    hukum yang dapat dijadikan alasan (dasar) untuk memberhentikan Presiden

    dalam masa jabatannya, yaitu: a) pengkhianatan kepada negara; b) korupsi;

    c) penyuapan; d) tindak pidana berat lainnya; dan e) perbuatan tercela.

    23 Benny K. Harman. (Ed) Indra Surya Lubis. Bahaya Tirani DPR masukan Bagi Proses

    Amandemen Konstitusi, dalam Bahaya Tirani DPR Konflik DPR vs Presiden. Lembaga Studi Politik Merdeka, Jakarta. 2001. hal.54

  • 14

    Karena itu, terdapat dua alasan pemberhentian Presiden menurut

    UUD 1945 yaitu karena terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum dan

    terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Rumusan

    pemberhentian Presiden dalam Pasal 7A UUD 1945 tersebut sangat ringkas,

    tanpa penjelasan yang rinci dan hanya mengatur tentang hal-hal pokok yang

    tentunya sangat terbuka untuk adanya berbagai penafsiran yang bisa

    berbeda. Ketentuan tersebut hampir sama dengan impeachment yang diatur

    dalam Konstitusi dan praktik ketatanegaraan Amerika Serikat walaupun

    dalam beberapa hal ada perbedaan.

    Konstitusi Amerika Serikat menjelaskan secara tegas apa yang

    dimaksud dengan Treason24 sedangkan dalam perubahan Ketiga UUD

    1945 tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud

    dengan melakukan pengkhianatan terhadap negara. Dalam Undang-undang

    Makhkamah Konstitusi,25 memberikan penjelasan tentang pengertian

    pengkhianatan terhadap negara adalah kejahatan terhadap keamanan

    negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.

    Istilah korupsi dan penyuapan adalah istilah yang sudah tegas diatur

    dalam perundang-undangan pidana di Indonesia. Dalam Undang-Undang

    Nomor 31 Tahun 1999 Junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, delik

    penyuapan terhadap penyelenggara negara atau pegawai negeri sudah

    dimasukkan sebagai delik korupsi, namun tidak termasuk penyuapan yang

    dimaksud dalam UU No. 11 Tahun 1980.

    Mengenai istilah kejahatan berat lainnya dan istilah perbuatan

    tercela tidak diberikan pengertian maupun penjelasan UUD 1945. Pasal 10

    ayat (3) butir b Undang-undang Mahkamah Konstitusi memberikan

    keterangan yang sangat ringkas mengenai istilah tindak pidana berat

    lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima

    tahun atau lebih. Dengan ketentuan undang-undang tersebut rumusan

    24 Konstitusi Amerika Serikat, Artikel III, Section 3, berbunyi sebagai berikut: Treason against the United States, Shall consist only in levying War against them, or, in adhering to their enemies, giving them Aid and Comfort, No person shall be convicted of the Treasonss unless on the testimony of Two Witness to the same overt act or Confession in open Court.

    25 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Makhkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3) butir a.

  • 15

    kejahatan berat menjadi sangat tegas. Yang menjadi masih belum tegas

    adalah pengertian istilah perbuatan tercela. UU Mahkamah Konstitusi hanya

    menegaskan bahwa perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat

    merendahkan martabat Presiden dan atau Wakil Presiden. Penjelasan ini

    masih menimbulkan banyak tafsir.

    Istilah yang hampir sama dipergunakan dalam Konstitusi Amerika

    Serikat yaitu: high crimes dan misdemeanors. Kedua istilah ini merupakan

    istilah yang baku dalam praktik hukum di AS, walaupun Black26 masih

    mengajukan beberapa pertanyaan yang mendasar mengenai high crimes

    dan misdemeanors itu dalam Konstitusi Amerika.

    3. Teori Pemberhentian Presiden (Impeachment)

    Impeachment berarti accusation atau charge27 impeacment adalah

    pengawasan legislatif yang luar bisa (an extraordinary legislative check) baik

    terhadap eksekutif maupun yudikatif. Impeachment adalah tindakan politik

    dengan hukuman berhenti dari jabatan dan kemungkinan larangan untuk

    memegang suatu jabatan, bukan hukuman pidana (criminal conviction) atau

    pengenaan ganti kerugian perdata.28 Proses impeachment bukan hanya

    mengenai penggantian seorang pimpinan yang sedang menurun

    kredibilitasnya dalam suatu jajak pendapat (polling) atau partainya tetapi juga

    menyangkut hukuman (punishment) dan ketidakpercayaan yang permanen

    dari suatu jabatan publik kepada orang yang melakukan kesalahan berat

    terhadap negara.29

    Menurut Black proses impeachment apakah judicial, criminal, atau

    non-criminal, adalah resemble the judicial tribunalThe House of

    Representatives and the Senateand that in these bodies are duty bound to

    act on their own of the law and the fact, as free as may be of partisan political

    26 Black JR Charles, Impeachment, a Hand Book, Yale University Press, New Haven and London, 1995, p. 37-40.

    27 Black, JR Charles L, ibid, p.5 28 Michael, Nelson., (ed), Guide to Precidency, Second Edition, Kongres Quarterly Inc.,

    Washington D.C., 1996. p. 441 29 Amar, Akhil Reed, dalam kata pengantar atas terbitan kedua buku Black, JR Charles,

    Log.Cit.,p.x

  • 16

    motives and pressures. Jadi impeachment adalah seperti layaknya suatu

    peradilan pidana dimana menurut amanat Konstitusi Badan Perwakilan

    Rakyat (House of Representative) dan Senate melaksanakan suatu

    pengadilan yang dapat dipertanggung jawabkan dan badan ini terikat untuk

    melakukan tindakan menurut pandangan mereka tentang hukum dan fakta-

    fakta yang sedapat mungkin bebas motif dan tekanan politik partisan.30

    Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia terdapat tiga

    Presiden (Soekarno, Soeharto, Abdurrachman Wahid) yang berhenti sebelum

    masa jabatannya berakhir. Soekarno dan Abdurrachman Wahid karena

    melanggar Konstitusi, sedangkan Soeharto mundur secara sepihak31 karena

    mendapat tekanan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia (people

    power).

    Berbeda dengan sistem yang ada di Amerika Serikat (AS) dalam

    pelaksanaan impeachment, karena di Amerika sistem parlemennya

    menganut sistem dua kamar atau bicameral System. Dalam Pasal 2

    Konstitusi AS dijelaskan secara eksplisit bahwa bila anggota kongres tidak

    menyukai prediden karena dengan jelas melanggar Konstitusi, maka dapat

    dilakukan impeachment terhadap Presiden meski jabatannya belum berkhir.32

    Dengan kesamaan sistem pemerintahan Presidensiil antara Indonesia dan

    Amerika serikat, maka impeachment merupakan jalan satu-satunya untuk

    memberhentikan Presiden sebelum masa jabatannya berakhir.

    Bagaimana dengan posisi Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY),

    apakah Presiden SBY dapat diimpeach atau diberhentikan di tengah jalan ?

    Menurut penulis dapat saja Presiden SBY diberhentikan ditengah jalan

    sebelum masa jabatannya berakhir apabila hak angket BBM yang sekarang

    digulirkan di DPR menetapkan bahwa Presiden dianggap telah melanggar

    30 Hamdan Zoelva Op Cit., hal. 14. 31 Presiden Soeharto mundur sepihak karena sebelumnya tidak mengajukan pengunduran diri

    kepada MPR, karena Presiden sebagai mandataris MPR dan diangkat serta diberhentikan oleh MPR sehingga sepatutnya sebelum mengundurkan diri meminta pertimbangan dari MPR.

    32 Taufiqurrohman Syahuri, . Hukum Kostitusi Prosedur Dan Perubahan UUD Di Indonesia 1948-2002 Serta Perbandingannya Dengan Konstitusi Negara Lain Di Dunia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.

  • 17

    konstitusi seperti yang ditetapkan dalam UUD 1945. Hal ini dipertegas oleh

    analisa Yusril Ihza Mahendra, yaitu di DPR dengan suara mayoritas telah

    menyetujui penggunaan hak angket untuk menyelidiki hal-hal yang terkait

    dengan kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM beserta implikasi-

    implikasinya. Keberadaan hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD

    1945 dan kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 27 UU Nomor 22 Tahun

    2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD dan

    Pasal 176-183 Peraturan Tata tertib DPR. Walaupun Pasal 20A ayat (4) UUD

    1945 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak DPR itu akan

    diatur dalam undang-undang, namun UU Nomor 22 Tahun 2003 tidak

    mengatur secara rinci tentang pelaksanaan dari hak angket itu.

    Undang-undang yang mengatur penggunaan hak angket ialah UU

    Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. UU ini

    berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah UUD

    Sementara Tahun 1950, namun sampai sekarang belum pernah dicabut.

    Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 telah

    menegaskan bahwa UU Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan

    ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada

    keraguan apapun untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU

    Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket DPR.

    Penerapannya tentu harus mempertimbangkan sistem pemerintahan

    Presidensial yang kini berlaku di bawah UUD 1945.

    Hak Angket disebut juga sebagai hak penyelidikan, karena hak ini

    memang dimiliki oleh DPR untuk menyelidiki sesuatu yang lazimnya terkait

    dengan hal-hal yang terkait dengan masalah keuangan yang menjadi

    kebijakan Pemerintah. Namun ketentuan Pasal 176 ayat (1) Peraturan Tata

    Tertib DPR menegaskan bahwa hak angket digunakan untuk menyelidiki

    kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada

    kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan

    peraturan perundang-undangan. Rumusan ini memang sangat luas, karena

    setiap gerak langkah dan keputusan yang diambil Pemerintah pada dasarnya

  • 18

    dapat dikatakan sebagai kebijakan. Jadi tidak spesifik terkait dengan

    masalah keuangan negara sebagaimana pemahaman teoritis tentang asal

    muasal hak angket. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah mengurangi

    subsidi BBM dengan sendirinya dapat dijadikan sebagai obyek dari hak

    angket DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan

    bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan negara.

    Namun apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan undang-

    undang sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus dibuktikan melalui

    penggunaan hak angket itu.

    Apabila di DPR akan menggunakan hak interplasi, maka sesuai

    ketentuan Pasal 174 Peraturan Tata Tertib DPR, DPR menyampaikan daftar

    pertanyaan yang harus dijawab oleh Presiden. Presiden dapat menunjuk

    seorang menteri untuk mewakilinya memberikan jawaban atas pertanyaan

    itu. Terhadap jawaban itu, angota-anggota DPR dapat mengajukan usul

    pernyataan pendapat DPR atas sesuatu masalah yang dikemukakan dalam

    interplasi. Pelaksanaan angket berbeda dengan pelaksanaan interplasi.

    Angket bukan sekedar mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh Presiden

    atau menteri yang mewakilinya, melainkan DPR melakukan penyelidikan

    terhadap sesuatu masalah yang disepakati menjadi angket DPR.

    Karena itu para anggota DPR yang duduk di dalam Panitia Angket,

    akan bertindak seperti seorang penyelidik sebagaimana dilakukan oleh

    penyelidik dari kepolisian dan kejaksaan dalam menyelidik suatu dugaan

    tindak pidana. Bedanya, penyelidikan itu dilakukan oleh politisi untuk

    menemukan fakta dan bukti dari suatu kasus yang mereka selidiki, dan

    bukan penyelidikan pro yustisia sebagaimana dilakukan penyelidik polisi

    dan jaksa. Jadi, menghadapi Panitia Angket DPR, Pemerintah tidak dapat

    berpikir sederhana dengan mengatakan telah siap menjawab pertanyaan

    DPR seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri ESDM

    Purnomo Yusgiantoro. DPR bukan bertanya dan Pemerintah menjawab,

    melainkan DPR menyelidiki dan menghimpun fakta-fakta dan bukti-bukti.

  • 19

    Fakta dan bukti itu bukan saja didapatkan dari kalangan Pemerintah,

    namun dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap

    ahli mengenai suatu masalah yang diselidiki. Mereka yang diperlukan itu

    wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan wajib menjawab semua

    pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan

    semua dokumen yang diminta oleh Panitia Angket, kecuali apabila

    penyerahan dokumen-dokumen itu akan bertentangan dengan kepentingan

    negara. Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah,

    dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 UU Nomor 6

    Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat meminta Pengadilan untuk

    memerintahkan seorang pejabat yang tidak mau menyerahkan dokumen

    negara yang mereka minta agar menyerahkannya.

    Karena anggota Panitia Angket itu akan bertindak sebagai seorang

    penyelidik, maka status mereka haruslah resmi, yakni dibentuk oleh DPR dan

    diumumkan dalam Berita Negara, agar diketahui oleh semua orang. Demikian

    pula berapa besar anggaran yang akan digunakan oleh Panitia Angket itu.

    Keharusan mengumumkan penggunaan Hak Angket, nama-nama anggota

    panitianya serta anggarannya dalam Berita Negara itu, merupakan syarat

    formal keabsahan Panita Angket, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU

    Nomor 6 Tahun 1954 dan Pasal 181 Peraturan Tata Tertib DPR. Dalam

    sejarah penggunaan hak angket, Presiden Abdurrahman Wahid pernah

    menuduh keberadaan Panitia Angket DPR dalam kasus Bulog Gate dan

    Dana Bantuan Sultan Brunei sebagai Pansus illegal karena tidak

    diumumkan dalam Berita Negara. Tudingan Presiden Abdurrahman Wahid

    ketika itu, didukung oleh penasehat hukumnya yang tersohor, Professor

    Harun Al Rasjid. Sebab itu, untuk memenuhi syarat formal pembentukan

    panitia angket sekarang ini, Sekretariat Jenderal DPR harus segera

    menyampaikan segala hal yang terkait dengan keputusan DPR tentang

    penggunaan hak angket ini kepada Menteri Hukum dan HAM, agar

    menempatkannya di dalam Berita Negara. Menteri Hukum dan HAM tidak

  • 20

    dapat menolak mengumumkan dalam Berita Negara itu, karena hal itu adalah

    kewajibannya yang diperintahkan undang-undang.

    Kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangatlah kuat dilihat

    dari sudut hukum. Dalam sistem parlementer, keberadaan panitia angket

    tidaklah otomatis bubar dengan pembubaran parlemen. Seperti kita maklum

    dalam sistem parlementer, Pardana Menteri dapat membubarkan parlemen

    setiap waktu dan menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan umum.

    Meskipun parlemen dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai

    terbentuknya parlemen yang baru, yang akan menentukan nasib panitia

    angket itu. Dalam sistem Presidensial, hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali

    Presiden telah berubah menjadi diktator dengan membubarkan DPR. Suatu

    hal yang dapat dijadikan sebagai pegangan dari ketentuan UU Nomor 6

    Tahun 1954 yang relevan dengan situasi sekarang ialah, pekerjaan panitia

    angket tidaklah terhalang oleh adanya reses dan penutupan masa sidang. 33

    4. Kedudukan Hukum Mahkamah Konstitusi Untuk memberhentikan

    Presiden Sebelum Habis Masa Jabatannya.

    Pengertian kedudukan sering dipadukan dengan susunan. Menurut

    Bagir Manan,34 dari segi bahasa dan pengertian hukum, kedudukan

    merupakan inti norma yang memberikan status hukum atau tempat suatu

    obyek dalam lalu lintas hukum. Susunan adalah norma untuk mengisi

    kedudukan, dari kedudukan lahirlah susunan.

    Menurut Philipus Mandiri Hadjon,35 kedudukan dideskripsikan dalam

    dua pengertian. Pertama, kedudukan diartikan sebagai posisi suatu lembaga

    negara dibandingkan dengan lembaga negara lainnya. Kedua, posisi suatu

    lembaga negara didasarkan pada fungsi utamanya.

    33 Yusril Ihza Mahendra.com, Tanggal 29 Juni 2008. 34 Bagir Manan, DPR, DPD, MPR dalam UUD 1945, Baru, cetakan I, FH-UII Press

    Yogyakarta, 2003, h: 66. 35 Philipus Mandiri Hadjon, Lembaga Tertinggi Dan Lembaga Tinggi Negara Menurut

    UUD 1945, Suatu Analisa Hukum Dan Kenegaraan, PT. Bina Ilmu Yogyakarta, 1992, hal : 3.

  • 21

    Posisi suatu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya (apakah

    sederajat, lebih tinggi dan atau lebih rendah) sangat tergantung dari aturan

    hukum yang mengaturnya. Secara fungsional, kedudukan sering dikaitkan

    dengan tugas dan wewenang.

    Menurut UUD 1945 yaitu pasal 24 C ayat (2) yang menyatakan bahwa

    Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

    Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

    Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

    Selain pasal 24 C ayat (2) UUD 1945, pada pasal 7 B ayat (1) UUD

    1945 juga dinyatakan bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

    Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan rakyat kepada Majelis

    Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan

    permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan

    memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau

    Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

    terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

    perbuatan tercela; dan atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil

    Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

    Presiden.

    Hal ini dipertegas lagi dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 24

    tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa

    Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa

    Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran

    hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak

    pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi

    syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud

    dalam UUD 1945.

    Berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan ketiga, pada Pasal 24C

    terdapat lembaga hukum tinggi yang baru dibentuk yakni Mahkamah

    Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir Konstitusi

  • 22

    merupakan hal baru dalam ketatanegaraan Indonesia.36 Tujuan dari hal

    tersebut adalah menjaga agar terjadi kontrol terhadap lembaga tinggi negara

    yang mendapat tugas sesuai dari amanat Konstitusi, sehingga tidak terjadi

    penguasaan yang mendominasi, karena akan mematikan iklim demokrasi.

    Tugas dari Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap

    UUD 1945, memutus sengketa antar lembaga negara, memutus pembubaran

    partai politik, memutus sengketa hasil pemilu, selain itu Mahkamah Konstitusi

    mempuyai kewajiban memberikan keputusan kepada DPR atas pendapat

    DPR tentang dugaan penyimpangan konstitusional oleh Presiden sehingga

    harus di-impeachment.

    Dalam pelaksanaan impeachment, Mahkamah Konstitusi sangat

    diperlukan sebagai pemeriksa dan pemutus dugaan yang diberikan oleh DPR

    atas dugaan penyimpangan oleh Presiden, dalam hal ini keputusan

    Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan tidak bisa dibanding atau yang

    lain, karena hal ini adalah proses hukum awal dan akhir dari pemeriksaan

    Mahkamah Konstitusi untuk merekomendasikan apakah terjadi

    penyimpangan atau tidak. Dalam putusan yang diberikan Mahkamah

    Konstitusi kepada DPR nantinya diajukan kepada MPR, dalam MPR yang

    terdiri dari keanggotaan DPR dengan anggota DPD maka diadakan rapat

    untuk menentukan apa Presiden layak atau tidak untuk di-impeacht bila telah

    memenuhi persyaratan yang tertuang pada Pasal 7B ayat (7) UUD 1945

    yakni dihadiri 3/4 anggota MPR dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir.37

    Pengajuannya oleh anggota DPR harus mendapat dukungan 2/3

    anggota DPR. Pelaksanaan pengajuan ini didasari atas tindakan Presiden

    dalam menjalankan tugasnya karena melanggar apa yang tertuang dalam

    Pasal 7B UUD 1945 sehingga dianggap tidak dapat menjalankan tugasnya,

    kesalahan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara/pemerintahan maupun

    secara personal sehingga dengan usulan pemberhentian Presiden dapat

    dilakukan dalam sidang DPR dan mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi

    36 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

    37 Sulardi,., Tata Negara Indonesia Menuju Pembaruan, Penerbit IKIP Malang, 1999.

  • 23

    untuk memeriksa dugaan tersebut, dengan segala bukti yang ada maka

    Presiden dapat dibawa ke sidang MPR untuk bertanggunggjawab.

    F. Kesimpulan

    1. Kedudukan hukum Mahkamah Konstitusi seperti diatur dalam UUD 1945

    yaitu pasal 24 C ayat (2) junto pasal 7 B ayat (1) serta pasal 10 ayat (2)

    Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah

    sebagai salah satu lembaga negara yang merupakan pelaku kekuasaan

    kehakiman yang hanya dapat memeriksa, mengadili dan memutus

    pendapat dewan bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran seperti

    yang diatur dalam UUD 1945, selanjutnya DPR mengadakan sidang

    paripurna untuk meneruskannya kepada MPR. Jadi Mahkamah Konstitusi

    tidak bisa memberhentikan Presiden, yang bisa memberhentikan Presiden

    adalah MPR atas usul DPR.

    2. Keputusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan tidak bisa

    dibanding atau yang lain, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi langsung

    memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya

    hukum yang dapat ditempuh, dengan amar putusan sebagai berikut, yaitu:

    a. menyatakan permohonan tidak dapat diterima;

    b. menyatakan membenarkan pendapat DPR;

    c. menyatakan permohonan ditolak.

    G. Saran

    Sesuai dengan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 24 tahun 2003

    tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Presiden dapat

    mengajukan 3 (tiga) calon hakim konstitusi, maka sebaiknya untuk memimpin

    persidangan yang mengadili perkara atas pendapat DPR bahwa Presiden

    telah melakukan pelanggaran hukum, sebaiknya hakim konstitusi yang

    ditunjuk untuk memimpin persidangan adalah hakim konstitusi yang bukan

    berasal dari calon yang diajukan oleh Presiden. Hal ini untuk menjaga

    kenetralan dan independensi dari hakim tersebut.

  • 24

    Daftar Pustaka A. Mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Reformasi, In-

    Trans, Malang, 2003. Bagir Manan, Lembaga KePresidenan, FH-UII Press, Jogjakarta, 2003. -----------------, DPR, DPD, MPR dalam UUD 1945, Baru, cetakan I, FH-UII Press

    Yogyakarta, 2003. ----------------, Usulan Pembentukan Komisi Konstitusi Untuk Perubahan UUD

    1945 Dan Usulan Rancangan Perubahan UUD 1945, Ide Indonesia, Jakarta, 2002.

    Black, Jr Charles L, Impeachment, A Hand Book, Yale University Press, New

    Haven And London, 1995 Benny K. Harman. (Ed) Indra Surya Lubis. Bahaya Tirani DPR Masukan Bagi

    Proses Amandemen Konstitusi, Dalam Bahaya Tirani DPR, Konflik DPR Vs Presiden. Lembaga Studi Politik Merdeka, Jakarta. 2001.

    Dahlan Thaib, H., Teori Dan Hukum Konstitusi, Pt. Raja Grafindo, Jakarta,

    2004. Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana

    Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

    Inosentius Samsul Memorandum DPR Ri Dalam Praktek Kenegaraan Ri,

    Kumpulan Tulisan Dalam Buku Perspektif Tentang Memorandum Kepada Presiden, Suatu Studi Terhadap Pemberian Memorandum Ri Kepada Presiden Abdulrachman Wahid, Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR Ri, 1982

    Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai

    Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. ------------------------, Makalah : Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem

    Ketatanegaraan RI, Malang, 29 September 2005 Michael, Nelson., (Ed), Guide To Precidency, Second Edition, Congres

    Quarterly Inc., Washington D.C., 1996. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,

    Jakarta, 2003.

  • 25

    Moh. Mahfud Md, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cet II, Rineka Cipta, Jakarta, 2001

    Nimatul Huda, Politik Kenegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika

    Perubahan Uud 1945, FH-UII Press, Jogjakarta, 2003. Philipus Mandiri Hadjon, Lembaga Tertinggi Dan Lembaga Tinggi Negara

    Menurut UUD 1945, Suatu Analisa Hukum Dan Kenegaraan, PT. Bina Ilmu Yogyakarta, 1992.

    Sabar Sitanggang, et. al Editor, Catatan Kritis Dan Percikan Pemikiran Yuzril

    Ihza Mahendra, Bulan Bintang, Jakarta, 2001. Sulardi, Tata Negara Indonesia Menuju Pembaruan, Penerbit IKIP Malang,

    1999. Taufiqurrohman Syahuri,. Hukum Konstitusi Prosedur Dan Perubahan UUD

    Di Indonesia 1948-2002 Serta Perbandingannya Dengan Konstitusi Negara Lain Di Dunia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.

    Koran Dan Internet. Deni Indrayana, Problema Konstitusi Pemberhentian Presiden, Kompas 27

    Juli 2001. Yusril.Ihzamahendra.Com [29 Juni 2008]. Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Perubahan Dalam Satu Naskah Ketetapan MPR. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan

    MPR, DPR, DPD, Dan DPRD Undang-Undang Nomor 24Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

    Perundang-Undangan

  • 26

    BIODATA PENULIS

    Nama : Iwan Permadi, SH.MH NIP : 132300228 Pangkat/gol : III C Jabatan : Lektor Pengalaman mengajar : Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara Pengalaman Menulis : Penulis artikel di beberapa majalah/jurnal hukum

    dan ekonomi diantaranya Arena Hukum, Yuridika, Maksigama, JAM, Jurnal Ilmu Sosial, dll.