Jurnal Konservasi Wilayah Pesisir Dan Laut
-
Upload
dean-andreas-togatorop -
Category
Documents
-
view
57 -
download
13
Transcript of Jurnal Konservasi Wilayah Pesisir Dan Laut
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN YANG BERBASIS MASYARAKAT November 12, 2009
Filed under: Lingkungan Sosial — Urip Santoso @ 2:25 am Tags: masyarakat, pembangunan berkelanjutan, wilayah pesisir
LUKITA PURNAMASARI
E2A 009025
ABSTRAK
Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62% dari luas wilayah nasional. Luas wilayah pesisir Indonesia dua per tiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang kedua di dunia. Dengan berbagai kekayaaan keanekaragaman hayati dan lingkungan, sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang serbesar-besarnya kepada semua stakeholders’ terutama masyarakat pesisir, dan menimbulkan dampak serta konflik yang berpotensi terjadi.
Kata kunci : pesisir, pengelolaan, berkelanjutan
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.508 dan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 Km (DKP, 2008). Keadaan ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi andalan sumber pendapatan masyarakat Indonesia. Secara umum, wilayah pesisir dapat didefenisikan sebagai wilayah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan (Beatly et al, 2002).
Menurut Kay dan Alder pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh lagi, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Departemen Kelauatan dan Perikanan dalam rancangan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu mendefenisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terletak antara batas sempadan kea rah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari daratan. Wilayah pesisir memilikinilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan.
Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi “nilai” wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir (Nurmalasari, 2001)
Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara historis, kota-kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Alasannya, kawasan ini memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta memudahkan terjadinya perdagangan antar daerah, pulau dan benua. Selain itu, wilayah pesisir juga merupakan daerah penghambat masuknya gelombang besar air laut ke darat, yaitu dengan keberadaan hutan mangrove (Muttaqiena dkk, 2009).
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana melakukan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan yang berbasis masyaraka. Disamping itu juga untuk mengetahui manfaat, masalah dan konsep pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri.
1. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK WILAYAH LAUT DAN PESISIR
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia mencakup :
1. Laut territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia,
2. Perairan Kepulauan, adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai,
3. Perairan Pedalaman adalah semua peraiaran yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup
Menurut Dayan, perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebig dari 24 mil laut dan di pelabuhan. Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Laut meruapakan sumber dar “common property resources” (sumber daya milik bersama), sehingga kawasan memiliki fungsi public/kepentingan umum.
2. Laut merupakan “open access regime, memungkinkan siapa pun untuk memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan.
3. Laut persifat “fluida”, dimana sumber daya (biota laut) dan dinamika hydrooceanography tidak dapat disekat/dikapling.
4. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki trografi yang relative mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan.
5. Pesisir merupakan kawasan yang akan sumber daya alam, baik yang terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah :
1. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan dating.
2. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengolahan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
3. Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan financial yang sangat besar.
4. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap pembentuka PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.
5. Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen (exporter) sekaligus sebagi simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik. Hal ini menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%)
6. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lauatan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan dengan diketahuinya 60% cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan di dunia, (c) pariwisata bahari yang diakui duniadengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”.
7. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut tripis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.
8. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan antar Negara maupun antar daerah yang sensitive dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
1. PENGERTIAN PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN YANG BERBASIS MASYARAKAT
3.1. Pengelolaan Pesisir Terpadu
Menurut Sain dan Krecth Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T) adalah proses yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima secara politis.
3.2. Pengelolaan Pesisir Secara Berkelanjutan
Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (dekratisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Wiyana, 2004).
3.3. Pengelolaan Pesisir Berbasis Masyarakat
Pengelolaan berbasisi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu system pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang terkandung didalamnya (Nurmalasari, 2001). Di Indonesia pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebenarnya telah ditetapkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber daya alam khususnya sumber daya pesisir dan lautan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai.
1. KEWENANGAN DAERAH DI BIDANG KELAUTAN
Luas wilayah pesisir Indonesia dua per tiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang kedua di dunia (Muttaqiena dkk, 2009). Pada masa Orde Baru, pengaturan wilayah pesisir dan laut lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 24 1992 tentang Penataan RUang Pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan bahwa wilayah lautan wilayah udara diatur secara terpusat menurut undang-undang. Namun dimasa reformasi dengan kelahiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis Pantai.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah :
Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut
Pengaturan kepentingan administratif Pengaturan ruang Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Bantuan penegakan keamanandan kedaulatan Negara.
Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan. Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah pesisir merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota.
Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem darat ekosistem alut berada dalam kewenagan daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan Undang-Undang 22/1999 yang menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Propinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka wilayah pesisir berada dalam kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat.
Selain itu juga diterbitkan Undang-Undang Nomor 2007 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai Negara kepulauan, wilayah pesisir dimiliki oleh seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Berdasarkan data jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia pada tahun 2002, sebanyak 219 Kabupaten/Kota (68%) diantaranya memiliki wilayah pesisir. Kabupaten/Kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda didalam pengelolaan wilayah pesisir. Akan tetapi hingga akhir 2004, perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah lebih banyak bersifat sektoral (Muttaqiena dkk, 2009).
1. PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN POTENSI PESISIR DI DAERAH
Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutukan hidupnya. Pada umumnya potensi pesisir dan kelautan yang di manfaatkan oleh nelayan terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak disektor pariwisata.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di daerah.
Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan ang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.
1. PERMASALAHAN PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN PESISIR
Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi daerah pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.
Kebijakan reklamasi yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak lingkungan pada beberapa daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem dipesisir. Perizinan pengembangan usaha bagi kelangan dunia usaha selama ini sebagian besar menjadi kewenangan pusat. Kadangkala dalam hal ini pemberian izin tersebut tanpa memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat setempat.
Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah belum diatur dengan peraturan perundang-ungan yang jelas, seingga daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan sesuatu kebijakan.
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cendrung bersifat sektoral, sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.
Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar daerah
Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap sector timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
Menurut APKASI isu-isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :
Adanya kesan bahwa sebagian daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut da pantainya. Utuk itu perlu diterapkan oleh pusat pedoman bagi pelaksanaan kewenangan daerah di bidang kelautan.
Pemanfaatan daearah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosisitem yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administrative pemerintahan.
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara alami dan berkelanjutan.
1. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PERENCANAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
Menteri Kimpraswil dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-34 menyatakan beberapa kebijakan nasional yang terkait dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir adalah sebagai berikut :
1. Revitalisasi kawasan berfunsi lindung, mencakup kawasan-kawasan lindung yang terdapat di wilayah darat dan wilayah laut/pesisir, daalm rangka menjaga kualitas lingkungan hidup sekaligus mengamankan kawasan pesisir dari ancaman bencana alam. Salah satu factor penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir adalah hilangnya fungsi lindung kawasan-kawasan yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung, termasuk kawasan lindung di wilayah daratan yang mengakibatkan pendangkalan perairan pesisir, kerusakan padang lamun, dan kerusakan terumbu karang (coral bleaching).
2. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi sosial budaya setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir merupakan salah satu kunci dalam mengurangi tekanan terhadap ekosistem laut dan pesisir dari pemanfaatan sumber daya yang tidak terkendali.
3. Peningkatan pelayanan jaingan prasarana wilayah untuk menunjang pengembangan ekonomi di wilayah laut dan pesisir. Ketersediaan jaringan prasrana wilayah yang memadai akan menunjang pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir secara optimal serta menunjang fungsi pesisir sebagai simpul koleksi-distribusi produk kegiatan ekonomi masyarakat.
Menurut Nurmalasari, strategi pengembangan masyarakat pesisir dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non structural. Pendekatan structural dalah pendekatan makro yang menekankan pada penataan sisitem dan struktur sosial politik. Pendekatan ini mengutamakan peranan instansi yang berwenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir laut. Dalam hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang kuat karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan, paling tidak pada tahap awal. Dilain pihak pendekatan non struktural adalah pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental dalam rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling melengkapi dan dilaksanakan secara integratif.
Sasaran utama pendekatan structural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan system kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek structural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Selain itu penataan struktur dan sisitem hubungan sosial dan ekonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang dating baik dari dalam maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus-menerus menempatkan masyarakat (lokal) pada posisi yang sulit.
Pendekatan subyektif atau non-struktural adalah pendekatan yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam sekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk ebrbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya penanggulangan maslah kerusakan sumber daya alam tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternative sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain yaitu :
Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan Pengembangan keterampilan masyarakat Pengembangan kapasitas masyarakat Pengembangan kualitas diri Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperan serta Penggalian dan pengembangan nilai tradisional masyarakat.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan pengelolaan wilayah adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Strategi dan kebijakan yang diambil didasarkan pada karakteristik pantai, sumberdaya, dan kebutuhan
pemanfaatannya. Oleh karena itu dadalam proses perencanaan wilayah pesisir, dimungkinkan pengambilan keputusan diarahkan pada pemeliharan untuk generasi yang akan dating (pembangunan berkelanjutan). Idealnya, dalam sebuah proses pengelolaan kawasan pesisir yang meliputi perencanaan, implementasi dan evaluasi, harua melibatkan minimal tiga unsure yaitu ilmuawan, pemerintah, dan masyarakat. Proses alam lingkungan pesisir dan perubahan ekologi hanya dapat dipahami oleh ilmuan dan kemudian pemahaman tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku dan tujuan meningkatkan sosial ekonomi kawasan. .
Menurut Muttaqiena dkk, perencanaan pembangunan pesisir secara terpadu harus memperhatikan tiga prinsip pembnagunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir yang dapat diuraikan sebagai berikut ;
Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat analisis biaya manafaat (cost benefit analysis). Misalnya pembangunan pabrik di wilayah pesisir harus memperhitungkan tingkat pencemarannya terhadap laut, perlunya pengelolaan limbah ikan di Tempat Pelelangan Ikan, dan lain-lain.
Isu lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan.
Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan dating, termasuk didalamnya adalah sarana pendidikan bagi masyarakat pesisir, penyediaan fasilitas kesehatan dan sanitasi yang memadai, dan mitigasi bencana.
Strategi pengelolaan tersebut merupakan upaya-upaya pemecahan masalah-masalah wilayah pesisir yang yang harus dipecahkan melalui program-program pembangunan. Lebih lanjut lagi dapat disimpulkan bahwa factor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan sumberdaya pesisir yaitu;
Pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan.
Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayah perairan dan wilayah darat)
Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan.
1. KESIMPULAN
Wilayah pesisir memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan dan perusakan. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan yang
bijaksana dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Strategi pengembangan masyarakat dapat dilakukan melalui dua pendekatan yatu, yang bersifat struktural dan non-struktural.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan berfokus pada karakteristik ekositem pesisir yang bersangkutan, yan dikelola dengan memperhatikan aspek parameter lingkungan, konservasi, dan kualitas hidup masyarakat, yang selanjutnya diidentifikasi secara komprehensif dan terpadu melalui kerjasama masyarakat, ilmuan da pemerintah, untuk menemukan strategi-strategi pengelolaan pesisir yang tepat
DAFTAR PUSTAKA
Akil, Sjarifuddin. 2002. Kebijakan Kimpraswil Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Makalah Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan perikanan Tahun 2002. Jakarta.Nurmalasari, Y. Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisr Berbasis Masyarakat. www. Stmik-im.ac.id/userfiles/jurnal%20yessi.pdf.
Asosiasi Pemeritah Kabupaten Seluruh Indonesia (APAKASI). 2001. Permasalahan dan Isu Pengelolaan dan Pemanfaatan Pesisir Di Daerah. http://aplikasi.or.id/modules.php?name=news&files=article&sid=106.
Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management Concepts dan Practices. Island Press. Washington, DC.
Coztanza, R. 1991. Ecological economics: The Science and Management of Sustainability. Columbia University Press. New York.
Depatemen Kelautan dan Perikanan. Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP).
DKP. 2008. Urgensi RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Atrikel on-line Dinas Kelautan dan Perikanan.
Haryandi. 2007. Pemberdayaan Masyarakat Terhadap Pengelolaan Lahan Wilayah Pesisir di Pantai Timur kabupaten Lampung Selatan. http://pustakailmiah.unila.ac.id./2009/07/06/pemberdayaan-masyarakatterhadap-pengelolaan-lahan-wilayah-pesisir-dipantaitimur-kabupatenlampung-selatanTimothy Beatly, David J. Bower, dan Anna K. Schwab. 2002. An Introduction to Coastal Zone Management. Island Press. Washington, DC.
Kay, R. dan Alder, J. 1999. Coastal Management and Planning. E & FN SPON. New York.
La, An. 2008. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dengan Memenfaatkan Sistem Informasi Geografi dan Data Penginderaan Jarak Jauh. http://mbojo.wordpress.com.
Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Tinjauan Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir. Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-34. Surabaya. http://www.penataanruang.net/taru/makalah/men_prlautpesisir-TTS43.pdf..
Muttaqiena, dkk. 2009. Makalah Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Pasca Tsunami Desember 2004. http://slideshare.net/abida/pengelolaan-pesisir.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Wiyana, Adi. 2004. Faktor Berpengaruh Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T). http://rudyct.com/PPS702-ipb/07134/afi_wiyana.htm.
TATA KELOLA KELAUTAN BERDASARKAN INTEGRATED COASTAL AND OCEAN MANAGEMENT UNTUK PEMBANGUNAN KELAUTAN BERKELANJUTAN
Dina Sunyowati
Fakultas Hukum
Universitas Airlangga Surabaya
Abstrak
Pembangunan Kelautan pada dasarnya harus memperhatikan lingkungan laut secara keseluruhan, termasuk wilayah pesisir, karena lingkungan laut yang menjadi komponen penting dalam mendukung kehidupan sistem global dan aset positif dirinya untuk kesempatan oleh pembangunan berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan, diimbangi pembangunan ekonomi dan lingkungan yang mendukung kapabilitas baik di pantai atau di laut, berdasarkan Agenda 21 Bab 17. Kebijakan laut nasional meliputi 2 (dua) dimensi kepentingan nasional dan otoritas kedaulatan dan yurisdiksi, dan bunga Indonesia dan keterlibatan pada peraturan global dalam hukum internasional. Dicari aturan akan terwujud dalam bentuk tata kelola laut sebagai instrumen kebijakan laut. Tujuan yang ingin dicapai dalam konsolidasi pemerintahan laut adalah pembentukan pemerintahan laut baik di tingkat nasional, sehingga akan dapat koordinasi dan sinkronisasi pembangunan laut dalam setiap sektor, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Kata Kunci: Lingkungan Laut, Good Governance Samudra, Pesisir dan Lautan Terpadu Manajemen
Abstract
Marine development basically must pay attention to marine environment as a whole, including its coastal zones, because marine environment that become the important component of global life support system and positive asset itself to opportunity by sustainable development. Sustainable marine development, balanced out economic development and support capability environment whether in coastal or in the marine, based on Agenda 21 Chapter 17. National ocean policy includes 2 (two) dimensions is national interest and authority of sovereignty and jurisdiction, and Indonesian interest and involvement at global regulations in international law. Wanted rules will be realized in the form of ocean governance as the instrument of ocean policy. The purpose that want to be reached out in consolidation of ocean governance is the establishment of good ocean governance in the national level, therefore it will be able to coordination and synchronize the ocean development in every sector, start from its planning, implementation, monitoring and evaluation.
Key words: Marine Environment, Good Ocean Governance, Integrated Coastal and Ocean Management
Pendahuluan
Pada tanggal 11 -15 Mei 2009 World Ocean Conference (WOC/Konferensi Kelautan Dunia)
diadakan Manado, Sulawesi Utara. WOC didakan di Indonesia dengan dukungan penuh dari Pemerintah
Indonesia, UNEP dan organisasi internasional lainnya yang bergerak di bidang lingkungan. Konferensi ini
merupakan acara yang sangat prestisius dan akan membawa pengaruh dan image dunia terhadap
perkembangan kelautan dan lingkungan laut di Indonesia. Konferensi membahas mengenai kebijakan
kelautan global, khususnya draft Manado Ocean Declaration (MOD) dan dihadiri oleh para Kepala
Negara, para Menteri terkait di bidang kelautan, utusan Negara-negara, Wakil Diplomatic dan Konsuler
Negara-negara sahabat serta organisasi internasional yang terkait dengan kelautan, seperti USAID,
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), World Wide Foundation (WWF), The Nature
Conservancy (TNC), Conservancy International (CI), dan UNESCO.
Manado Ocean Declaration (MOD) terdiri atas 14 paragraf pembuka inti dan 21 poin
kesepakatan operatif. Isi deklarasi antara lain berupa komitmen negara-negara peserta untuk
melakukan konservasi laut jangka panjang, menerapkan manajemen pengelolaan sumber daya laut dan
daerah pantai dengan pendekatan ekosistem, serta memperkuat kemitraan global untuk pembangunan
berwawasan lingkungan.
Kesepakatan yang tertuang dalam MOD akan menyatukan tujuan negara-negara peserta
konferensi untuk menjadikan laut sebagai arus utama dalam setiap pembahasan dan negosiasi terkait
perubahan iklim, kerja sama riset ilmiah untuk merumuskan strategi adaptasi yang tepat dalam rangka
mengurangi dampak perubahan iklim terhadap laut dan mekanisme pendanaan dalam upaya adaptasi
dan mitigasi dampak perubahan iklim terhadap laut dan sebaliknya. Selain itu diperlukan strategi
nasional untuk pengelolaan ekosistem laut dan kawasan pantai serta penerapan pengelolaan laut dan
daerah pantai secara terpadu, penerapan kebijakan terpadu yang ramah lingkungan dalam pengelolaan
laut dan daerah pantai dengan memperhatikan kehidupan masyarakat yang paling rentan, yakni mereka
yang hidup di pesisir atau pantai dengan menekankan pada dukungan finansial dan insentif untuk
mewujudkan lingkungan yang baik.
Menyadari pentingnya pembangunan kelautan di Indonesia dan sebagai implementasi
kesepakatan MOD, tulisan ini dibuat sebagai sumbang saran dalam upaya menata kelola laut di
Indonesia berdasarkan konferensi-konferensi yang diadakan oleh Negara-negara sejak tahun 1992
tentang pembangunan berkelanjutan termasuk didalamnya pembangunan kelautan berkelanjutan.
Salah satu hasil United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de
Janeiro tahun 1992, adalah Agenda 21. UNCED memasukkan Ketentuan yang terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut (integrated coastal and ocean management) dalam Agenda 21
Chapter 17 sebagai rencana kerja di Abad 21 dengan judul “Protection of the Oceans, All Kinds of Seas,
including Enclosed and Semi-enclosed Seas, and Coastal Areas, and the Protection, Rational Use and
Development of Their Living Resources”.
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (integrated coastal and ocean
management) merupakan pendekatan baru bahwa lingkungan laut (the Marine Environment)
merupakan komponen penting sistem penyangga kehidupan global. (Rochmin Dahuri I;2001;5) Chapter
17, program (a) tentang “Integrated management and sustainable development of coastal areas,
including exclusive economic zones”, menjadi fokus utama dan kesepakatan negara –negara maritim
dengan mengembangkan pengelolaan pesisir dan laut secara integral dan berkelanjutan, dalam arti
tidak hanya mengelola pesisir dan laut dengan sebagian lautnya, tetapi juga mengelola dan melindungi
wilayah laut keseluruhannya seperti terdapat dalam United Nations Convention on the Law of The Sea
(UNCLOS ) 1982, mulai dari perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif,
landas kontinen, area/kawasan dan laut bebas sesuai dengan integrated coastal management dan
sustainable development.
Kebutuhan akan perlunya pengaturan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut di
Indonesia muncul setelah dituangkannya Agenda 21 Global dalam Agenda 21 Indonesia Tahun 1996.
Implementasi integrated coastal and ocean management relatif masih kurang dilaksanakan dalam
pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut Indonesia. Sedangkan pembangunan
sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui
pendekatan holistik dan terintegasi.
Kebijakan dan strategi dalam pembangunan sumberdaya kelautan berdasar pada integrated
coastal and ocean management, dihasilkan dari suatu proses politik, dalam pengertian bahwa kebijakan
tersebut tersusun dan diimplementasikan melalui proses negosiasi antar berbagai stakeholders. Oleh
karena itu, keberhasilan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan yang baik sangat tergantung pada
kemauan dan komitmen segenap stakeholders, baik dalam lingkup nasional maupun lintas batas.
Kerangka kebijakan kelautan berkelanjutan Indonesia disusun dengan pendekatan pada tata
kelola kelautan (ocean governance) dan integrated coastal and ocean management. Pengertian ocean
governance diarahkan untuk dapat mewujudkan bentuk rancang bangun dan upaya yang dilakukan
dalam mengatur kegiatan publik pada wilayah laut beserta pemanfaatan sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya.
Integrated coastal and ocean management berisi prinsip-prinsip yang terkait dengan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, integrasi peraturan perundang-undangan dan integrasi antar
sektor. Tata kelola kelautan dibangun secara sistemik melalui pengembangan dan pemahaman
keterpaduan antara pengelola di wilayah pesisir dan laut dengan pihak-pihak terkait, adanya tujuan dan
sasaran, nilai dan etika dalam pembangunan, serta upaya penyelesaian sengketa dan kerjasama diantara
masyarakat pesisir, pemerintah dan stakeholders.
Berdasarkan Agenda 21 – Chapter 17 Program (a), Pengelolaan wilayah pesisir dan laut
bertumpu pada prinsip-prinsip dalam integrated coastal and ocean management, dan harus dirumuskan
dalam suatu bentuk aturan hukum. Untuk itulah bentuk/formulasi aturan hukum pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut harus berdasarkan pada prinsip good ocean governance. Keberadaan
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
(selanjutnya disebut PWP-PK) harus menjadi acuan bagi pembentukan perangkat hukum pelaksanaan
pengelolaan sumberdaya kelautan yang terintegrasi, baik dalam kebijakan, maupun pengaturan dan
kelembagaan.
Terdapat 15 prinsip dasar yang patut diperhatikan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Kelima belas prinsip dasar ini sebagian besar mengacu pada J.R. Clark (1992): “(1)resources system;(2)
the major integrating force;(3)integrated.; (4) focal point;(5)the boundary of coastal zone;
(6)conservation of common property resources ;(7) degradation of conservation ;(8) inclusion all levels
of government;(9) character and dynamic of nature; (10) economic benefits; (11) conservation as main
purpose; (12) multiple-uses management; (13) multiple-uses utilization;(14)traditional management;
(15)environment impact analysis”. (J.R. Clark, 1992, 327)
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut juga mengindahkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dalam The Rio Declaration on Environment and Development (selanjutnya disebut Rio
Declaration 1992). Rio Declaration 1992 menetapkan 21 prinsip dengan 7 prinsip utama untuk
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu: “(1)principles of interrelationship and
integration; (2) inter-and intra-generational equity principles; (3) principles of right to
develop;environmental safeguards principles; (4) precautionary principle; (5) polluter pays principle; (6)
transparency principle and (7) other process-oriented principles”. (Billiana Cicin-Saint and Robert
W.Knecht;1998;53)
Selain implementasi prinsip integrated coastal and ocean management dan prinsip sustainable
development tersebut, sistem nilai dan etika sangat diperlukan sebagai upaya menyelesaikan sengketa
yang terjadi baik secara vertikal maupun horizontal. Implementasi Good Ocean Governance
memerlukan partisipasi publik dan kerjasama antar lembaga dan stakeholders.
Kebijakan kelautan nasional dalam Draft Kebijakan Kelautan Indonesia, Tahun 2005, mencakup 2
(dua) dimensi: “Pertama, kepentingan dan kewenangan nasional terhadap wilayah kedaulatan dan
yurisdiksi, dan kedua, kepentingan dan keterkaitan Indonesia terhadap peraturan global di perairan laut
internasional.” (Draft Kebijakan Kelautan Indonesia, 2005)
Oleh karena itu dalam menjalankan kedua dimensi kepentingan tersebut diperlukan suatu
kebijakan yang mengatur ruang laut beserta sumberdaya yang terdapat didalamnya. Pengaturan yang
diinginkan diwujudkan dalam bentuk tata kelola kelautan sebagai instrumen kebijakan kelautan (ocean
policy). Pembangunan kelautan di Indonesia dilakukan dengan melakukan koordinasi dan integrasi di
seluruh sektor yang terkait dengan pengelolaan laut, baik Pemerintah maupun sektor swasta. Seperti
disebutkan dalam Draft Kebijakan Kelautan Indonesia, bahwa kebijakan kelautan Indonesia dibawah
koordinasi Dewan Maritim Indonesia (DMI) melakukan perencanaan, pemantauan dan evaluasi
kebijakan kelautan Indonesia.
Selanjutnya tata kelola kelautan (ocean governance) dibangun secara sistematik melalui:
pemahaman bahwa pengelolaan pesisir dan laut beserta sumberdaya yang dikandungnya dilakukan
secara terpadu; penetapan tujuan dan sasaran pembangunan berkelanjutan; pengembangan nilai dan
etika; pengembangan kemampuan menyelesaikan perselisihan (conflict resolution capacity);
pengembangan kemampuan perencanaan, pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara sinergi;
pengembangan partisipasi aktif pemangku kepentingan;penyiapan dan penyelarasan peraturan
perundang-undangan terkait dengan pengelolaan kelautan; pengembangan kerjasama regional dan
internasional berdasarkan prinsip kesetaraan; penguatan dan penataan kelembagaan. Tulisan ini
ditekankan pada upaya Indonesia dalam melakukan tata kelola kelautan berdasarkan integrated coastal
and ocean management pada pembangunan kelautan berkelanjutan.
Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut dalam Tata Kelola Kelautan
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara efektif dan efisien membutuhkan perangkat peraturan
perundang-undangan agar memiliki sifat yuridis-normatif maupun yuridis–sosiologis. (Barry M.Hager,
2000;3) Berlakunya aturan hukum menjadi sesuatu yang sangat substansial secara teoritis dan
paradigmatis bagi pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam seluruh segmen
penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan melalui sarana perangkat hukum, pengelolaan pesisir dan
laut diharapkan akan terbangun suatu kondisi bermuatan ketertiban, kepastian dan keadilan.
Untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut berdasarkan integrated coastal and ocean management maka prinsip-prinsip dalam
integrated coastal and ocean management perlu dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan
nasional serta peraturan daerah yang mengatur mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Aturan hukum pengelolaan wilayah pesisir dan laut berisi ketentuan yang bersifat preventif dan
represif. Banyaknya pemanfaatan di wilayah pesisir dan laut memungkinkan banyak sekali konflik yang
muncul baik yang sifatnya horisontal maupun vertikal. Untuk mengatasi konflik tersebut diperlukan
management conflict yaitu melakukan usaha untuk menyelesaikan konflik dengan menggunakan
pendekatan proactive strategy dan reactive strategy. (Adalberto Vallega; 1999;176-177)
Peraturan perundang-undangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut disusun sebagai upaya
pencegahan terhadap konflik yang terjadi diantara pengguna. Upaya penyelesaian konflik dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan laut dengan pendekatan reactive strategy, yaitu menyelesaikan konflik
yang terjadi melalui cara: (a)administrative and juridical procedure dan (b)agreements, arbitration and
other similar tools.
Aturan yang sesuai dengan kerangka hukum integrated coastal and ocean management lebih
difokuskan pada pendekatan kewenangan daerah dan aspek administrasi. Secara alternatif
penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui persetujuan atau perjanjian di antara para pihak, atau
penyelesaian melalui arbitrase yang ditunjuk dan disepakati seperti yang diatur dalam undang-undang.
Karakteristik pendekatan demikian digunakan dalam penyusunan kerangka hukum untuk pengaturan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut sesuai dengan integrated coastal and ocean management yang
berisi komponen-komponen hukum, sebagai berikut: (Adalberto Vallega; 1999;187)
It consists of two main components, international and national law; (1)The justification of
international law derives from the consensus by states, which is technically expressed by conventions,
treaties and agreements of various kinds; (2)The justification of national law derived from the national
sovereignty; (3)As a result, international law is applied in the single country only if the state resolves to
incorporate it, through ratification, in its own legal system; (4)The juridical rules are based on the
principle of hierarchy according to which the rules included in the lower level cannot derogate from the
rules included in the higher level, while the latter may modify the former
Kerangka hukum dalam penyusunan pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di setiap
Negara memadukan dan menyelaraskan antara hukum nasional (sesuai dengan struktur hirarkhi
perundang-undangan yang berlaku), dan hukum internasional (seperti konvensi, perjanjian
internasional, protocol dan lainnya) yang telah diratifikasi dalam bentuk Undang-undang atau yang
telah menjadi bagian dalam sistem hukum nasional.
Sementara itu disadari bahwa antara sistem hukum nasional dan hukum internasional terdapat
perbedaan mengenai daya ikat atau daya berlakunya. Walaupun merupakan bagian dari hukum pada
umumnya tapi hukum nasional merupakan sistem hukum yang subordinatif sedangkan pada hukum
internasional menggunakan pendekatan koordinatif. Hukum internasional dapat berlaku dan mengikat
sebagai suatu undang-undang di suatu negara jika telah dilakukan tranformasi dalam bentuk ratifikasi
Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dapat dibagi dalam beberapa tingkatan, yaitu
pada tingkat yang pertama, berisi prinsip-prinsip umum dari pengelolaan pesisir yang dapat ditemukan
dalam konstitusi negara, instrumen kebijakan negara dan rencana pembangunan nasional jangka
pendek, menengah dan panjang yang merupakan pedoman dalam pelaksanaan peraturan pengelolaan
pesisir dan laut (national policy instruments). Sedangkan tingkatan kedua, merupakan peraturan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam kerangka tata kelola kelautan (basic law) dan undang-
undang terkait lainnya. Tingkatan ketiga, merupakan peraturan pelaksana Undang-undang dalam
bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan lainnya (procedural laws) terkait dengan penyelesaian
sengketa dan ganti rugi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, dan tingkatan keempat adalah
Peraturan Daerah mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut di daerah (local legislation on coastal
and ocean management). (GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of
Marine Pollution in the East Asian Seas, 1999;101-107).
Sebagian Negara melaksanakan integrated coastal management dalam bentuk peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut dengan penekanan pada sistem
kewenangan kewilayahan/zonasi baik di tingkat nasional dalam bentuk Undang-undang ataupun di
tingkat lokal dalam bentuk Peraturan Daerah. (Billiana Cicin-Sain and Robert W.Knecht, 1998;33)
Program integrated coastal and ocean management terdiri atas 4 (empat) elemen hierarkhi
perencanaan, yaitu rencana strategi, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi. Negara-
negara (57 negara) yang telah menerapkan integrated coastal and ocean management untuk mengatasi
situasi-situasi khusus di negaranya terus bertambah. Salah satu elemen penting dalam program
integrated coastal and ocean management adalah penyusunan suatu rencana zonasi yang mengacu
pada penetapan daerah administratif. Penetapan daerah administratif untuk zonasi wilayah pesisir dan
laut selain mengacu pada Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK juga memperhatikan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 26
tahun 2004 tentang Penataan Ruang.
Mengacu pada zonasi untuk wilayah pesisir dan laut, maka rejim laut menurut UNCLOS 1982
membaginya ke dalam: (a)Wilayah laut pada kedaulatan negara meliputi Perairan Pedalaman, Perairan
Kepulauan dan Laut Territorial; (b)Wilayah laut dengan hak-hak berdaulat (souvereign rights) yang
dimiliki oleh negara untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber
kekayaan alam baik hayati maupun non-hayati meliputi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan Landas
Kontinen; (c)Wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi negara meliputi Laut Lepas dan Kawasan
Dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, selain mengacu kepada integrated
coastal and ocean management juga memperhatikan rejim hukum yang berlaku di wilayah laut suatu
negara. Jika terdapat perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional, maka yang
diberlakukan adalah Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK dan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat
oleh kedua negara.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut dalam Pengaturan Penataan Ruang
Dalam tata kelola kelautan /Ocean Governance ( dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
digunakan istilah ’pentadbiran lautan’) hal yang penting dalam pelaksanaannya adalah menata kelola
ruang lautan untuk beragam penggunaan (multiple use of ocean space ) dengan maksud untuk (a)
menghindari konflik penggunaan ruang lautan dan (b) untuk menjaga kelestarian sumberdaya yang
dikandung di dalamnya. Berkaitan dengan Ocean Governance tersebut Jacub Rais mengemukakan 3
konsep penataan ruang lautan: (Jacub Rais, 2005;113) (1)Konsep keterpaduan menata ruang lautan dan
daratan melalui pendekatan DAS (Daerah Aliran Sungai); (2)Konsep keterpaduan menata ruang pulau-
pulau kecil dan lautan dengan pendekatan bioregionisme yang mengkaitkan karakter fisik oseanografi,
atmosfer, perubahan iklim dengan karakter demografi, sosial, ekonomi, budaya yang hidup di pulau-
pulau kecil; dan (3)Penataan ruang lautan di luar Laut Teritorial, khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif
menjadi kewajiban negara yang diperoleh dari UNCLOS 1982 untuk pemanfaatan yang lestari dari
sumberdaya hayati, khususnya menetapkan penyelenggaraan konservasi sumberdaya hayati dengan
menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) seperti yang terdapat dalam
Pasal 61 ayat (1) UNCLOS 1982, maupun jenis species yang boleh diambil dengan tujuan untuk
memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari serta
menetapkan kawasan-kawasan konservasi sumberdaya hayati lautan serta tindakan-tindakan
manajemennya, seperti yang diatur dalam dalam Pasal 61 ayat (2) UNCLOS 1982.
Penanganan berbagai isu dan pemanfaatan di wilayah pesisir dan laut merupakan salah satu
aspek dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Sebagai langkah awal yang seharusnya dilakukan oleh
negara adalah menatakelola wilayah pesisir dan laut sesuai dengan peraturan perundangan-undangan
terpadu mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam
penataan ruang wilayah nasional memerlukan pemahaman yang mendalam. Ketentuan Umum UU
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “ruang”
merupakan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata
ruang didefinisikan sebagai “wujud struktur ruang dan pola ruang”. Untuk memberikan manfaat yang
luas dan berkelanjutan terhadap suatu ruang atau wilayah diperlukan perencanaan terhadap penataan
ruang, yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Berdasarkan pengertian tersebut
maka penataan ruang, dengan ruang sebagai obyek, harus secara integratif mencakup ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara.
Pada hakikatnya penataan ruang adalah suatu kebijakan publik yang bermaksud untuk
mengoptimalkan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan para pelaku pembangunan secara
terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, selaras, seimbang dan berkelanjutan.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada faktanya baru terkait
dengan tata ruang daratan, sehingga Pasal 6 ayat (5) dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa ruang laut dan ruang udara pengelolaannya diatur dengan
undang-undang tersendiri. Menurut Haris Syahbuddin, (Haris Syahbuddin, 2007;1) bahwa:“ ... meski
secara aktual penataan terhadap ruang laut dan ruang udara hampir tidak pernah dilakukan, namun
pencantuman kedua ruang tersebut dalam Undang-undang perlu dilakukan, karena secara geopolitik
ketiganya merupakan satu kesatuan geografis yang tidak dapat dipisahkan dan berkait dengan
kedaulatan negara.”
Sementara itu, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18 Ayat (3)
menyatakan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain pengaturan tata ruang (butir c). Selanjutnya, Pasal 18 Ayat
(4) menyatakan bahwa kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/ kota.
Penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuan
tersebut, dilakukan upaya pengelolaan kawasan melalui pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat
pada kawasan-kawasan budidaya dan pelestarian kawasan-kawasan lindung, termasuk yang terdapat di
ruang lautan dan kawasan pesisir.
Perencanaan tata ruang merupakan satu tahapan yang sangat penting dalam penyelenggaraan
penataan ruang, karena rencana tata ruang merupakan dasar bagi pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Implementasi proses-proses penataan ruang tersebut di atas
diselenggarakan berdasarkan fungsi utama kawasan, dan wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan
nilai strategis kawasan yang diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 26 Nomor 2007 tentang Penataan Ruang.
Integrated coastal and ocean management selalu terkait dengan zonasi atau penentuan batas-
batas pengelolaan wilayah pesisir dan laut di suatu negara. Undang–Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang merupakan ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya dalam
kerangka penataan ruang. Pasal 8 Ayat (2) mengatur mengenai Penataan ruang wilayah nasional,
penataan ruang wilayah Propinsi dan penataan ruang wilayah Kabupaten/kota dilakukan secara
berjenjang dan komplementer. Pada Ayat (3) menyebutkan bahwa Penataan ruang wilayah nasional
meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang
laut , dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
Setiap daerah di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai hak
untuk memanfaatkan ruang lautan sesuai dengan peraturan ini. Dalam Pasal 33 Ayat (1) dan Ayat (3)
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa Pemanfaatan ruang
dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, baik pemanfaatan
ruang secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi.
Pemanfaatan dan pengelolaan ruang wilayah pesisir dan laut secara optimal dapat dilakukan
secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai dengan perencanaan ruang wilayah, seperti diatur dalam
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Berdasarkan integrated
coastal and ocean management, maka untuk penetapan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut di
Indonesia seharusnya didasarkan pada Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
dengan maksud untuk mengatasi konflik pemanfaatan sumberdaya, memandu pemanfaatan zonasi
wilayah pesisir dan laut jangka panjang, rencana pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.
Klasifikasi zona-zona untuk kawasan pesisir pada dasarnya mengikuti Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan modifikasi dan terminologi yang disesuaikan menurut
kebutuhan dan ketentuan yang disepakati oleh pemerintah. Dalam Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menetapkan 2 zona pengelolaan yang dinamakan
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pemanfaatan wilayah pesisir sesuai dengan zona yang
ditetapkan menjelaskan tujuan utama pemanfaatan sumberdaya yang ada dalam satu wilayah geografis
sesuai dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal yang ada di wilayah zona tersebut.
Perencanaan tata ruang pesisir dan laut harus diletakkan dalam satu kerangka sistem
perencanaan wilayah darat, laut dan udara yang disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Batas wilayah perencanaan, termasuk batas laut, disesuaikan dengan batas kewenangan Daerah
Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
disebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola
sumberdaya di wilayah laut. Sedangkan, menurut Pasal 18 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 (dua
belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan /atau ke arah perairan kepulauan untuk
provinsi dari 1/3 (sepertiga) dan wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
Untuk memelihara konsistensi legislatif, Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia dalam penyusunan peraturan pengelolaan wilayah pesisir dan penetapan
zonasi pesisir mengikuti aturan sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK hanya mengamanatkan bahwa dalam
perencanaan zonasi wilayah pesisir harus diserasikan dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang
wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota dan tidak diuraikan tentang
pembagian zonasi. Sementara itu zona dan sub-sub zona yang ditetapkan di wilayah pesisir diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SumberDaya Alam dan Ekosistemnya dan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Pembagian zonasi pada suatu wilayah tertentu, secara keseluruhan memperhatikan batas-batas
secara visual untuk pemanfaatan setiap zona yang ditentukan dengan garis yang jelas antara dua atau
tiga pulau, semenanjung, bidang dari karang atau garis pantai, serta habitat pesisir dan laut atau
struktur yang permanen seperti tiang atau menara telekomunikasi yang merupakan batas dari Negara,
antar Provinsi, Kabupaten/Kota yang berhadapan atau berdampingan akan memperkecil potensi konflik
kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut. (MCRMP, 2005;22)
Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya pesisir dan laut yang ada serta
karakteristik wilayah pesisir dan laut yang “open access” sehingga mendorong wilayah pesisir dan laut
menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan beberapa sektor pembangunan (multi – use).
Selain itu, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar pengguna, yakni sektoral dalam pemerintahan
dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga antar pengguna.
Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan pemanfaatan
wilayah pesisir dan laut akan muncul sebagai konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan
yang terbagi menurut administrasi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan kepentingan
wilayah pesisir dan laut tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom. Konflik kewenangan antar
Undang-Undang juga terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut Di dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa ruang laut dan udara
pengelolaannya diatur dengan Undang-Undang tersendiri (Pasal 6 Ayat 5), sebaliknya, di dalam Pasal 18
ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa
pengelolaan sumberdaya di wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan provinsi. Wilayah
pengelolaan di setiap daerah diatur dan ditata sesuai dengan RTRW Propinsi/kabupaten atau Kota,
sehingga kewenangan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota dapat ditata sesuai dengan penataan ruang
wilayah.
Konflik kewenangan antar undang-undang ini akan berpengaruh pada rendahnya tingkat
kesejahteraan masyarakat pesisir yang bermatapencaharian di sektor–sektor non-perkotaan, karena
ketiadaan peraturan perundangan sebagai pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat dan
Provinsi/Kabupaten/Kota.
Lemahnya perangkat hukum pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut serta penegakan
hukumnya menyebabkan masih banyaknya pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali. Perlunya
keterpaduan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut akan
menentukan keberhasilan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Tata Kelola Kelautan dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan
Fungsi Pesisir dan Laut dalam Pembangunan Kelautan Berkelanjutan
Menyadari bahwa konflik yang terjadi antara kepentingan pembangunan ekonomi dengan
pelestarian lingkungan di dunia selama ini tidak pernah selesai, PBB melalui The World Commission on
Environment and Development (Brundtland Commission), 1987, (WCED,1987) memberikan pengertian
dan prinsip-prinsip untuk pembangunan berkelanjutan. Menurut Brundtland Commission, bahwa
sustainable development is vital to the well-being of humanity not only today but in the context of the
future generations. (Munro,R.D.;1986;xi)
Pembangunan berkelanjutan mengandung 3 (tiga) unsur utama yang meliputi dimensi ekonomi,
ekologi, dan sosial. (Rohmin Dahuri I, 2003;89) Pembangunan suatu kawasan dapat dikatakan
berkelanjutan, apabila secara ekonomis dapat efisien serta layak, secara ekologis lestari (ramah
lingkungan), dan secara sosial berkeadilan.
Dalam mengelola laut sebagai wilayah ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan (DKP, 2005;3),
yaitu, secara eksternal adalah menata batas-batas maritim dengan negara-negara tetangga sesuai
dengan ketentuan internasional yang berlaku dan kedua, secara internal adalah menata wilayah laut
khususnya batas-batas peruntukan ruang laut sebagai suatu langkah pengaturan untuk menghindari
konflik pemanfaatan ruang laut antar sektor yang memiliki kepentingan dalam mengelola sumberdaya
kelautan.
Pembangunan kelautan berkelanjutan bersifat multidimensi, yaitu mewujudkan kelestarian
pembangunan suatu kawasan baik secara politik, ekonomi, sosial dan budaya secara berkelanjutan. Laut
dipandang sebagai pemersatu bangsa Indonesia dengan wilayah kedaulatan yang harus dijaga,
dilindungi dan dipertahankan secara bersama .
Perwujudan ketiga dimensi pembangunan kelautan berkelanjutan tersebut secara seimbang
dapat diintegrasikan dengan konsep integrated coastal and ocean management. Implementasi
pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan pembangunan sumberdaya kelautan, secara teknis
dapat diartikan bahwa ”pembangunan kelautan berkelanjutan” (sustainable marine development)
adalah suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat dalam
kawasan pesisir dan laut untuk kesejahteraan manusia, terutama stakeholders, sehingga laju (tingkat)
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, tidak melebihi daya dukung (carrying capacity)
yang mampu disediakan oleh kawasan pesisir dan laut.
Wilayah pesisir dan laut selain menyediakan berbagai manfaat seperti yang disebut diatas, juga
digunakan untuk aktivitas pembangunan. Penggunaan wilayah pesisir dan laut secara berlebihan akan
mengalami menimbulkan degradasi fisik habitat sehingga kemampuan wilayah pesisir dan laut sebagai
penyangga kehidupan global akan mengalami penurunan.
Seperti disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK bahwa
tujuan dilakukannya pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam rangka pembangunan kelautan
berkelanjutan adalah : (a)melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;
(b)menciptakan keharmonisan dan sinergi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Tata Kelola Kelautan Dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional
Pembangunan kelautan merupakan perwujudan amanat Pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD)
1945, terkandung upaya pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam secara lestari, dan berkelanjutan
serta mendayagunakan sumberdaya manusia (SDM), modal, dan IPTEK, yang ditujukan bagi sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Pembangunan kelautan diarahkan untuk mampu dalam mengelola dan
memanfaatkan kekayaan perairan Indonesia serta menggunakannya sebagai sarana dan media
perdagangan antar wilayah ataupun antar negara bagi kepentingan bangsa.
Dalam mewujudkan cita-cita nasional tersebut perlu adanya komitmen pihak pemerintah.
Komitmen ini disusun dalam suatu Kebijakan Kelautan Indonesia pada Tahun 2005. Kebijakan ini
merupakan langkah awal dalam pelaksanaan dan meletakkan kerangka dasar pembangunan kelautan
Indonesia di masa datang.
Kebijakan Kelautan Indonesia dapat mewujudkan pembangunan kelautan yang multisektoral
melalui kesamaan visi, misi, strategi pembangunan nasional dengan mengelola aset lingkungan dan
sumberdaya kelautan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia di masa kompetisi global antar bangsa.
Kebijakan Kelautan Indonesia juga harus disinergikan dengan pembangunan ekonomi yang
mengembangkan potensi kelautan (Ocean economics) dan ocean governance yang mendorong
terjadinya demokratisasi dan good governance. (Harsono, 2007; 23)
Dengan adanya otonomi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dan pelaksanaan program Marine And Coastal Resources Management
Project (MCRMP), dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK diharapkan menjadi
payung hukum dan dapat menjadi guideline bagi Pemerintah Daerah dan sekaligus mensinergikan
pembangunan kelautannya dengan Pemerintah Pusat, sehingga implementasi pembangunan kelautan
dapat dilakukan oleh daerah dalam kerangka NKRI .
Kebijakan Kelautan Indonesia disusun dengan memperhatikan asas-asas pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) sebagai berikut: asas kedaulatan, keterpaduan, berbasis
ekosistem dan ekologi, kemandirian, kepribadian, kerakyatan, kepentingan nasional, dan berkeadilan.
Selain itu juga kebijakan kelautan di Indonesia juga memperhatikan asas-asas yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.
Berdasarkan asas tersebut, pemerintah menetapkan tujuan Kebijakan Kelautan Indonesia
adalah: (1)Mewujudkan Indonesia menjadi negara kelautan yang maju, kuat, mandiri, berbasiskan
kepentingan nasional, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara
berkelanjutan dengan mempertimbangkan generasi mendatang; (2)Meningkatkan kapasitas SDM yang
berwawasan kelautan sehingga mampu mendukung pembangunan kelautan di Indonesia secara
optimal; (3)Menumbuhkan dan mengembangkan budaya dan wawasan bahari bagi masyarakat dan
pemerintah serta seluruh anak bangsa agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan (marine
based socio-economic development); (4)Menerapkan, melindungi, memelihara dan mengamankan
kedaulatan dan kepentingan Indonesia atas kesatuan wilayah, politik, ekonomi dengan memperhatikan
kewajiban-kewajiban sesuai ketentuan internasional.
Kebijakan Kelautan Indonesia didasarkan pada pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut
terpadu (integrated coastal and ocean management), mengintegrasikan berbagai perencanaan yang
disusun dan melibatkan pemerintah pusat dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling
penguatan (alignment) pemanfaatannya. Kebijakan kelautan berkelanjutan diharapkan dapat
mengharmonisasikan antara kepentingan pembangunan ekonomi dan pelestarian sumberdaya laut
dengan memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah untuk kepentingan generasi sekarang dan
generasi mendatang.
Kebijakan Kelautan Indonesia disusun sebagai arahan strategis dan komprehensif dalam rangka
mewujudkan visi dan misi pembangunan kelautan nasional hingga Tahun 2025. Pembangunan kelautan
ke depan diarahkan pada pembangunan berkelanjutan berdasarkan pada pengelolaan sumberdaya laut
berbasiskan ekosistem yang meliputi aspek-aspek politik, ekonomi, lingkungan, sosial budaya,
pertahanan keamanan, teknologi, SDM dan kelembagaan.
Untuk mewujudkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan menghindari konflik
kepentingan seperti di atas, maka diperlukan kebijakan yang menyeluruh dan terpadu terhadap
peraturan perundang-undangan sektoral di bidang kelautan.
Tata Kelola Kelautan dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan
Sumberdaya kelautan di Indonesia hingga saat ini belum dapat dimanfaatkan dengan maksimal.
Sumberdaya kelautan dapat dikelola dan dimanfaatkan melalui berbagai jenis kegiatan seperti komoditi,
usaha dan jasa, seperti perikanan tangkap dan budidaya, transportasi, pertambangan, wisata bahari,
dan pembangkit energi.
Namun demikian pengelolaan sumber daya kelautan juga memerlukan kebijakan pemerintah
dalam hal investasi, dukungan teknologi dan sumberdaya manusia (SDM) yang memadai. Disamping itu
juga bahwa pengelolaan sumberdaya kelautan tidak dapat lepas dari peraturan hukum internasional,
karena laut Indonesia merupakan bagian dari laut dunia. Beberapa kebijakan pengelolaan sumberdaya
kelautan yang memerlukan status hukum yang jelas, yaitu:
Penataan Batas Maritim
Penataan batas maritim bagi NKRI merupakan tantangan nyata dan tanggung jawab besar untuk
menyelesaikannya, karena penataan batas maritim terkait dengan kedaulatan dan yurisdiksi negara.
Sesuai dengan konsep integrated coastal and ocean management, harus ada suatu pewilayahan (zonasi)
pembangunan sesuai dengan kondisi fisik alam, potensi pembangunan (sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan) yang tersedia dan kondisi sosio-kultural masyarakatnya.
Atas dasar karakteristik biofisik dan sejalan dengan otonomi daerah sebagaimana tertuang
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK,
maka guna mewujudkan pembangunan kelautan secara berkelanjutan sesuai dengan tata kelola
kelautan, Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) sesuai dengan kewenangan wilayah masing-
masing difasilitasi oleh Pemerintah Pusat mengadakan (Subandono Diposaptono,2005;12) inventarisasi
dan pemetaan, menyusun rencana investasi dan menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan
Pemanfaatan Ruang di Laut
Ruang laut memungkinkan pemanfaatan lebih dari satu peruntukan. Permukaan laut dapat
dimanfaatkan sebagai jalur pelayaran. Ruang kolom air dapat dijadikan sebagai lokasi penangkapan ikan,
lokasi selam wisata bahari, atau wilayah konservasi. Ruang di permukaan dasar laut dapat dimanfaatkan
sebagai lokasi peletakan jalur kabel ataupun jalur pipa bawah air, disamping dapat pula dimanfaatkan
sebagai lokasi penambangan juga perikanan (untuk jenis sedenter).
Pemanfaatan ruang laut yang tidak terintegrasi akan menimbulkan konflik pemanfaatan.
Penataan ruang laut di Indonesia masih belum ditetapkan secara tegas dan tercermin pada kebijakan
terkait dengan pengelolaan laut yang berkembang saat ini. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang belum menjawab secara jelas mengenai penataan ruang wilayah laut di
Indonesia dan masih akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Laut di Indonesia pada kenyataannya
dikelola oleh beberapa institusi yang belum menunjukkan kebijakan pengaturan yang selaras. Produk
hukum yang ada, sebagian besar disusun untuk mengatur sektor dalam pemanfaatan sumberdaya laut
dengan penekanan pada masing-masing kepentingan sektoral.
Otonomi Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan
dalam pelaksanaan pemerintahan baik di pusat dan daerah, seperti diungkapkan oleh Arif Satria, (Arif
Satria, 2002; 1-5) bahwa: ”Perubahan paradigma pembangunan yang bersifat terpusat (sentralistik)
telah mengalami koreksi dengan munculnya lingkungan strategi baru berupa pendekatan pembangunan
yang bersifat desentralistik.”
Perubahan ini membawa konsekuensi berupa pendelegasian kewenangan pemerintah dari
pusat ke daerah, yang lebih dikenal sebagai otonomi daerah. Kebijakan pelimpahan wewenang ini
berdampak signifikan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan. Makna
kewenangan merujuk pada pemberian hak dalam pengelolaan dan pemanfaatan. Pemahaman ini berarti
bahwa batasan 12 mil bagi provinsi dan 1/3 nya bagi kabupaten/kota bukan batasan teritorial yang
bersifat kedaulatan, tetapi hanya batasan dalam arti kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Seperti yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menentukan bahwa daerah diberi
kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga)
dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
Dengan demikian, tidak ada kedaulatan atas wilayah laut bagi daerah yang bersifat parsial
karena secara yuridis formal kedaulatan teritorial atas wilayah lautan Indonesia merupakan kedaulatan
NKRI. Pelimpahan kewenangan ini memiliki dampak yang berkaitan langsung dengan kelembagaan, baik
di pusat maupun di daerah.
Penguatan dan pengembangan kelembagaan terpadu di tingkat nasional, lokal/tradisional dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan sangat diperlukan agar menjadi signifikan dalam
konteks implementasi otonomi daerah.
Implementasi dari penguatan kelembagaan akan melahirkan pluralisme dalam menyusun
peraturan-peraturan di daerah yang langsung berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah laut. Hal ini karena ada perbedaan sistem nilai, sistem
sosial-budaya, kondisi sosial ekonomi, dan politik yang berkembang di suatu daerah. Dengan demikian,
sistem yang terbangun dalam otonomi daerah mampu meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai
subyek pembangunan untuk mencapai kemandirian secara ekonomi dan politiknya.
Penutup
MOD yang dihasilkan dalam WOC merupakan langkah awal yang harus diikuti dengan tindak
lanjut, sehingga memberikan manfaat bagi semua negara, khususnya kepada negara kepulauan yang
sedang berkembang. Implementasi MOD masih bergantung pada pertemuan negara-negara dalam
United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC di Kopenhagen, Denmark, Desember
2009 mendatang yang merupakan kelanjutan UNFCCC di Bali 2007.
Konferensi Kelautan Dunia (WOC) 2009 di Manado merupakan awal yang sangat menentukan
bagi masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Mengingat Indonesia merupakan
salah satu Negara kepulauan yang terbesar di dunia, maka perhatian terhadap laut hendaknya dimulai
dari sekarang. Tidak ada kata terlambat untuk memulai kebaikan jika untuk keselamatan dan keutuhan
wilayah NKRI. Pemanasan global menyebabkan permukaan suhu panas bumi, sehingga akan berakibat
pada naiknya permukaan air laut. Kondisi ini akan sangat membahayakan bagi wilayah Indonesia yang
2/3 wilayahnya adalah laut. Terutama keberadaan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan titik
koordinat dan /atau sebagai base point pengukuran lebar laut wilayah suatu negara.
Tata kelola kelautan sebagai bagian dari Ocean Policy disusun dalam suatu kerangka hukum
pengelolaan wilayah pesisir dan laut dengan menggunakan konsep integrated coastal and ocean
management. Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan kelautan berkelanjutan sesuai
kebijakan kelautan perlu untuk menuangkan prinsip-prinsip dalam Integrated Coastal and ocean
Management dan Sustainable Development, dalam undang-undang sektoral terkait yang mengatur
mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mengatasi konflik dalam pemanfaatan atau eksploitasi
sumberdaya pesisir dan laut yang berlebihan. Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut
memadukan dan menyelaraskan antara aturan-aturan hukum internasional dan hukum nasional untuk
mewujudkan pembangunan kelautan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Buku :
Cicin-Saint, Billiana and Robert W.Knecht. (1998). Integrated Coastal and Ocean Management, Concept and Practices, Island Press, Washington, D.C, Covelo, California
Dahuri, Rochmin ,et.al. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta
Dahuri, Rokmin. (2003). Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Orasi Ilmiah, Institut Pertanian Bogor
M.Hager, Barry. (2000). The Rule of Law: A Lexicon for Policy Makers, the Mansfield Center for Programs of Direct the Public Policy and Outrech Programs of The Maureen and Mike Mansfield Foundation
Munro, R.D. & Lammers, J.G. (1986). Environmental Protection and Sustainable Development, Legal Principles and Recommendation, Graham & Trotman/Martinus Nijhoff, Members of the Kluwer Academic Publichers Group, London/Dordrecht/Boston
Satria, Arif, et al. (2002). Menuju Desentralisasi Kelautan, Pusat Kajian Agraria ITB, Partnership for Governance Reform in Indonesia, dengan PT. Pustaka Cidesindo
Vallega, Adalberto. (1999). Fundamental of Integrated Coastal Management, Kluwer Academic Publishers
Buku Saku MCRMP. (2005). Sekilas Biodata PMO dan Konsultan MCRMP, Biodata KPA Propinsi dan Kabupaten/Kota, Jakarta,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Coastal Resources Management Project. (2005). Narasi, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta
Draft Kebijakan Kelautan Indonesia, DKP, Tahun 2005.
Manual on Strategis. (1999). Tools and Techniques for Implementing International Conventions on Marine Pollution in the East Asian Region, GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas, Philippines,
Agenda 21, Earth’s Action Plan. (2002). IUCN Environmental Policy and Law Paper No.27, Nicholas A. Robinson, editor, Under the auspices of The Commission on Environmental Law of IUCN-The World Conservation Union,
Agenda 21 Indonesia. (1997). Publikasi Awal, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
WCED. ((1987). dalam publikasi “Our Common Future”
Makalah, Jurnal, Internet :
Diposaptono, Subandono. (2005). Rencana Zonasi, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Makalah, Proyek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Syahbuddin, Haris. (2007). ”Penataan Ruang Wilayah : Perjalanan Panjang Bangsa”, Inovasi Online, Edisi Vol.7/XVIII/Juni
Soepardjo, Harsono. (2007). Kebijakan Kelautan Indonesia, cdc.eng.ui.ac.id/articleview/2437/1/2
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea/Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319
USAHATANI KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN SUMBERDAYA ALAM May 4, 2009
Filed under: Sumberdaya — Urip Santoso @ 7:45 am Tags: air, erosi, konservasi, sumberdaya alam, tanah
Oleh: Damanhuri
Mahasiswa Program Pascasarjana PSL Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
ABSTRAK
Untuk terwujudnya pembangunan pertanian yang berkelanjutan perlu diperlukan rdsa memiliki sumber daya afam dengan Cara mengelolanya secara tepat dan lestari, konservasi tanah tidak berarti penundaan atau pelarangan penggunaan tanah tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemarnpuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara lestari. Teknologi usaha tani konservasi merupakan paket teknologi usaba tani yang bertujuan meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui pengolahan tanah dengan baik. Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil teijadinnya erosi seperti: tanpa olah tanah, pengolahan tanah minimal dan pengolahan tanah menurut kontur. Pergiliran tanaman dengan menggilirkan antara tanaman pangan dan tanaman penutup tanah/ pupuk hijau adalah salah satu yang penting dalarn konservasi tanah, selain itu juga berfungsi
sebagai menekan populasi hama penyakit karena dapat memutuskan siklus hidup harna tersebut karena mengurangi sumber makanan dan tempat hidupnya. Tidak ada larangan bagi kita untuk menjamah dan mengelola serta memnfaatkan sumber daya alam tetapi kita dituntut untuk melestarikannya dengan tetap memperhatikan kaidah kaidah konservasi tanah sehingga sumber daya alam kita dapat menjadi warisan kepada generasi mendatang.
Pendahuluan
Apabila pentumbuhan jumlah penduduk dunia, industrialisasi, pencemaran lingkungan, produksi bahan pangan, dan pengurasan bahan bahan mentah alamiah yang saat ini sedang berlangsung diteruskan tanpa perubahan, maka batas batas pertumbuhan absolut di bumi akan tercapai seratus tahun lagi (Dennis Meadow). Mencermati pernyataan di atas, timbul pertanyaan sudah sejauh manakah kita mengelksploitasi alam ini? Apakah selama ini manusia hanya memanfaatkan alam demi keperluannya tanpa menghiraukan akibat akibatnya bila tidalk ada usaha untuk memeliharanya? dan apakah ada usaba penghuni bumi ini untuk melestarikan sumberdays alam? Manusia tetap bisa menggunakan alam untuk tujuannya dengan cara menjadi bagian dari alam dengan cara menjadi bagian dari alam dengan seakan-akan memasuki proses proses itu sendiri. Rasa memiliki sumberdaya alam di planet bumi ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara tepat dan lestari, demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Belum dipahaminya secara baik hubungan struktur antara masalah¬masalah degradasi tanah dengan bentuk bentuk institusi, norma, kaidah dan tata nilai sosial yang bersifat spesifik lokasi telah menyebabkan berbagai kekeliruan dalam alokasi sumberdaya alam sehingga terjadi berbagai inefisiensi dan kurang efektifnya upaya upaya konservasi sumberdaya alam. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang relatif besar menyebabkan kebutuhan akan lahan baik kuantitas maupun kwalitas akan semakin besar, sehingga dibeberapa daerah yang penduduknya padat, tekanan terhadap tanah sangat besar. Apabila pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan lahan tidak diimbangi dengan pemanfaatan yang baik dan benar menurut kaidah konservasi tanah dan air, maka keadaan itu akan mengancam kehidupan manusia dimasa yang akan datang, dan tujuan untuk pembangunan berkelanjutan semakin jauh dari jangkauan. Dalam melaksanakan pembangunan, sumber sumber daya alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Hal ini merupakan penjabaran dari UUD 1945 pasal 33. Sumber daya alam harus diolah tanpa merusak lingkungan dan pengolahan sumberdaya alam harus dalam kerangka kebijakan pembangunan nasional secara menyeluruh dan mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang. Untuk mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan, maka dalam memilih teknologi konservasi tanah dan air untuk diterapkan oleh petani di lahan pertaniannya, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu teknologinya harus sesuai untuk petani, dapat diterima dan dikembangkan sesuai sumberdaya (pengetahuan) lokal. Kegagalan penerapan teknologi konservasi tanah selama ini karena pembuat kebijakan bertindak hanya berdasarkan pikiran sendiri tanpa memahami keinginan ataupun kemampuan petani. Dengan kata lain dalam pembangunan pertanian berkelanjutan perlu ada bottom up planning. Pemilihan teknologi dengan melibatkan pendapat petani adalah salah satu cara untuk mencapai pertanian berkelanjutan.
Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsjad, 2000). Dikatakan selanjutnya bahwa konservasi tanah tidaklah berarti penundaan atau pelarangan pengunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan pelakuan sesuai dengan syarat syarat yang diperlukan , agar tanah dapat berfungsi secara lestari. Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu lahan. Laju erosi yang masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan merupakan masalah yang bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling memiskinkan. Tindakan konservasi tanah merupakan cara untuk melestarikan sumberdaya alam.
Tehnologi Usahatani Konservasi
Pada dasarnya usahatani konservasi merupakan suatu paket teknologi usahatani yang bertujuan meningkatkan produksi dan pendapatan petani, serta melestarikan sumberdaya tanah dan air pada DAS DAS kritis (Saragih, 1996). Akan tetapi penyerapan teknologi tersebut masih relatif lambat disebabkan antara. lain : 1. Besarnya modal yang diperlukan untuk penerapannya (khususnya untuk investasi bangunan konservasi) 2. Kurangnya tenaga penyuluh untuk mengkomunikasikan teknologi tersebut kepada petani 3. Masih lemahnya kemampuan pernahaman petani untuk menerapkan teknologi usahatani konservasi sesuai yang diintroduksikan. 4. Keragaman komoditas yang diusahakan di DAS DAS kritis 5. Terbatasnya sarana/prasarana pendukung penerapan teknologi usaha tani konservasi. Hal hal tersebut diatas menunjukkan bahwa teknologi usahatani konservasi yang ada sekarang ini masih belum memadai sehingga perlu dicari teknologi yang lebih sesuai melalui kegiatan : 1. Penelitian komponen komponen teknologi yang dapat mendukung paket teknologi usa¬ha tatani konservasi 2. Penelitian pengembangan teknologi yang sudah ada guna memodifikasi teknologi tersebut sesuai dengan kondisi agrofisik dan sosial ekonomi wilayah setempat. Tehnik konservasi tanah seperti pembuatan kontur, teras, penanaman dalam strip, tanaman penutup tanah, pemilihan pergiliran tanah yang cocok, penggunaan pupuk yang teratur dan drainase dalam literatur sering dijabarkan sebagai tehnik yang melindungi atau memperbaiki tanah pertanian secara keseluruhan, akan tetapi perlu ditekankan bahwa tehnik tehnik dapat efektif apabila penggunaan lahannya sudah cocok. Tidak ada agroteknologi yang memungkinkan tanaman dapat tumbuh dengan baik dan tidak ada tehnik konservasi yang mencegah erosi kalau kondisi tanahnya tidak cocok untuk pertanian (Sinukaban, 1989. Dalam tulisan ini dibabas beberapa agroteknologi dapat diterapkan petani di lahan pertaniannya. Beberapa diantaranya merupakan traditional wisdom, atau kearifan lokal.
Pengolahan Tanah Konservasi
Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan dalam pertanian modern. Pengolahan tanah bagaimana yang tepat untuk kelestarian sumberdaya tanah? Arsjad (2000), mendefinisikan pengolahan tanah sebagai setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenarnkan sisa tanaman, dan
membrantas gulma. Soepardi (1979), mengatakan mengolah tanah adalah untuk menciptak sifat olah yang baik, dan sifat ini mencerminkan keadaan fisik tanah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baiki yang terbentuk karena penetrasi akar atau fauna tauna, apabila pengolahan tanah terIalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berle¬bihan dimana tanah diolah sampai bersih pennukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan surface sealing yaitu butir tanah terdispersi oleh butir hujan , menyumbat pori pori tanah sehingga terbentuk surface crusting. Untuk mengatasi pengaruh buruk peng olahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi. Cara yang dimaksud adalah: 1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa sisa tanaman sebelumnva dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal. Gulma diberantas dengan menggunakan herbisida, 2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah 3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur jalur tumpukan tanah dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanarnan menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah. Sebagian dari praktek pengolahan tanah seperti ini sebenarnya sudah ada sejak dulu dan telah dilakukan oleh petani di beberapa daerah di Indonesia. Petani mungkin menganggapnya sebagai tradisi nenek moyangnya yang perlu dipertahankan. Walaupun saat itu belum ada penyuluh pertanian ataupun literatur tentang konservasi tanah, tetapi para petani telah menerapkan cara bertani yang berasaskan konservasi tanah. Mengolah tanah secara konservasi telah dilakukan oleh orang jaman dulu dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari usahataninya guna memenuhi kebutuhan hidup jangka pendek, dan mungkin belum terpikirkan oleh mereka untuk melestarikan sumber daya tanah.
Pengelolaan Tanaman Untuk Konservasi
Tanah Vegetasi sampai sekarang masih dianggap sebagai cara konservasi tanah yang paling jitu dalam mengontrol erosi tanah seperti yang diyakini sejumlah ahli konservasi bahwa “a bag offertilizer is more effective than a bag of cement” (Hudson, 1989). Erosi yang terjadi akan berbeda pada setiap penggunaan tanah, variasi ini tergantung pada pengelolaan tanaman. Contoh sederhana seperti yang dikemukakan Hudson (1957) cit. Hudson (1980), kehilangan tanah dari 2 plot percobaan yang ditanami jagung, plot yang pengelolaannya tanamannya buruk kehilangan tanahnya 15 kali lebih besar dari plot yang pengelolaan tanahnya baik. Secara alamiah, tanaman rumput cenderung melindungi tanah, dan tanaman dalam barisan memberikan perlindungan lebih kecil, tetapi pendapat umum ini berobah oleh pengelolaan. Pengelolaan tanaman akan sangat menentukan besar kecilnya erosi. Penelitian menunjukkan bahwa pertanaman jagung yang dikelola dengan baik akan bertumbuh baik dan dapat menekan laju erosi dibanding padang rumput yang pengelolaannya buruk. Secara singkat dikatakan oleh Hudson bahwa erosi tidak tergantung pada tanaman apa yang tumbuh, tetapi bagaimana tanaman itu tumbuh. Pengaruh tanaman dan pengelolaannya terhadap erosi tidak dapat dievaluasi secara terpisah karena pengaruhnya lebih ditentukan apabila keduanya dikombinasikan. Tanaman yang sama dapat ditanam secara terus menerus atau dapat juga digilir atau tumpang sari dengan tanam an lain.
Pergiliran tanaman dengan menggilirkan antara tanaman pangan dan tanaman penutup tanah/pupuk hijau adalah salah satu cara penting dalarn konservasi tanah. Pergiliran tanaman mempengaruhi lamanya pergantian penutupan tanah oleh tajuk tanaman. Selain berfungsi sebagai pencegahan erosi, pergiliran tanaman memberikan keuntungan keuntungan lain seperti 1. Pemberantasan hama penyakit, menekan populasi hama dan penyakit karena memutuskan si klus hidup hama dan penyakit atau mengurangi sumber makanan dan tempat hidupnya 2. Pemberantasan gulma, penanaman satujenis tanaman tertentu terus menerus akan meningkatkan pertumbuhan jenis jenis gulma tertentu 3. Mempertahankan dan memperbaiki sifat sifiatfisik dan kesuburan tanah, jika sisa tanaman pergiliran dijadikan mulsa atau dibenamkan dalam tanah akan mempertinggi kemampuan tanah menahan dan menyerap air, mempertinggi stabilitas agregat dan kapasitas infiltrasi tanah dan tanaman tersebut adalah tanaman leguminosa akan menambah kandungan nitrogen tanah, dan akan memelihara keseimbangan unsur hara karena absorpsi unsur dari kedalaman yang berbeda. Ciri alam penting di daerah tropis seperti Indonesia adalah adanya intensitas penyinaran dan curah hujan yang tinggi dan hampir merata sepanjang tahun. Faktor geologi dan dibentuk oleh kondisi tersebut dan menghasilkan suatu proses yang cepat dari pembentukan tanah baik dari pelapukan serasah maupun baban induk. Sebagai hasil dari proses tersebut, sebagian besar hara tanah tersimpan dalam biomassa vegetasi, dan hanya sedikit yang tersimpan dalam lapisan olah tanah. Hal yang berbeda dengan kondisi di daerah iklim sedang dimana proses pertumbuhan vegetasi lambat dan sebagian besar hara tersimpan dalam lapisan olah tanah. Oleh karena itu pengangkutan vegetasi ataupun sisa panen tanaman keluar lahan pertanian akan membuat tanah mengalami proses pemiskinan. Sisa sisa panen tanaman dapat ditebar ke permukaan tanah, dicampurkan dekat permukaan tanah, atau dibajak dan dibenamkan dan dapat berfungi sebagai mulsa atau sebagai pupuk or ganik. Efektivitas pengelolaan sisa sisa tanaman ini dalam mengontrol erosi akan tergantung pada banyaknya sisa tanaman yang tersedia. Pemanfaatan sisa sisa panen sebagai sebagai pupuk juga telah dilakukan sebagian petani di beberapa daerah sejak jaman dulu. Sisa sisa panen yang dibiarkan atau ditinggalkan di lahan pertanian mempunyai banyak fungsi dalam menunjang usaha tani, diantaranya adalah sebagai mulsa yang dapat menghindarkan pengrusakan permukaan tanah oleh energi hujan, mempertahankan kelembaban tanah mengurangi penguapan, sisa panen lambat laun akan terdekomposisi terjadi mineralisasi yaitu perubahan bentuk organik menjadi anorganik sehingga unsur hara yang dilepaskan akan menjadi tersedia untuk tanaman. Disamping itu asam asam organik yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai bahan pembenah tanah atau soil conditioner. Praktek pertanian dengan berbagai jenis pupuk buatan pabrik semakin intensif digunakan sehingga mulai muncul kekuatiran kehabisan bahan baku pembuat pupuk, mulai mahal dan langkanya ketersediaan pupuk buatan, serta kekuatiran pencemaran tanah dan perairan oleh residu pupuk buatan, membuat sebagian orang kembali tertarik untuk melakukan praktek organic farming yang meminimalkan penggunaan bahan kimia dalam usahatani, dengan menggunakan bahan alami seperti pupuk hijau. Praktek yang dulu telah dilakukan petani walaupun tanpa disadarinya berfungsi untuk konservasi tanah, saat ini dilakukan lagi dengan kesadaran sebagai pelestarian sumber daya alam. Saat ini pemanfaatan sisa sisa panen, pupuk hijau, maupun limbah pengolahan produk pertanian (seperti limbah pabrik gula ) mulai diminati sebagai teknologi dalam usahatani yang ramah lingkungan dan merupakan appropriate inputfor sustainable agriculture (AISA) yaitu suatu sistern pertanian berkelanjutan dengan input yang sesuai agar meningkatkan pendapatan petani dari usahataninya dan menjamin kelestariaii ,sumberdaya alam. Dalam konsep ini lebih ditekankan pada memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan. Dengan mengaplikasikan sisa sisa. panen ataupun bahan organik lainnya
ke lahan pertanian maka akan memecahkan 2 masalah yaitu pengadaan pupuk organik dan masalah tempat pembuangan (berhubungan dengan pencemaran lingkungan). Dari bahasan diatas dapat dikatakan bahwa usaha untuk melestarikan sumberdaya alam sebenamya telah ada sejak dulu walaupun yang melakukannya tidak menyadarinya. Yang perlu dilakukan sekarang oleh adalah memberikan pemahaman bagi masyarakat petani akan manfaat usahatani konservasi.
PENUTUP
Tanah dan air merupakan sumberdaya alam karunia Tuhan. Manusia diberikan mandat untuk memeliharanya, bukan dengan tidak menjamahnya tetapi mengelola dan memanfaatkan sumberdaya almn tersebut berdasarkan azas kelestarian untuk mencapai kemakmuran yang da¬pat memenuhi kebutuhan sekarang dan generasi yang akan datang. Hal ini sesuai dengan inti dari pembangunan berkelanjutan, yang adalah isu pokok seluruh permasalahan pembangunan, yaitu. pembangunan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, pemanfaatan sum¬berdaya alam secara bijaksana, kelestarian produksi terhadap konsumsi dan penanggulangan kerniskinan. Sebagai suatu bangsa yang mendapat karunia, maka bangsa Indonesia mempun¬yai kewajiban untuk memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan asas kelestarian untuk mencapai sebesar besamya kemakmuran rakyat, kesejahteraan masyarakat dan negara. Disamping kesadaran masyarakat/petani utituk melakukan konservasi tanah dan air, perlu adanya kaidah kaidah konservasi tanah yang diwujudkan dalwn suatu kebijakan pernerintah yang secara operasional dapat diterapkan di lapangan. Apabila pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan lahan tidak diimbangi dengan pemanfaatan yang baik dan benar menurut kaidah kaidah konservasi tanah dan air, maka hal ini akan mengancam kehidupan manusia untuk masa yang akan datang
DAFAR PUSTAKA
Anonim, 1996. Naskah Akademis Rancangan Undang Undang Konservasi Tanah dan Air. en. Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Dep. Kehutanan Arsjad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press. Bogor. Hudson, N. 1989. Soil Conservation. BT Batsf6rd Ltd. London
Saragih, B. 1993. Pemantapan Perangkat Kelembagaan Sosial Ekonomi : Suatu Upaya Penanggulangan Kemiskinan di DAS Kritis. Dalam. : Sinukaban dkk (Ed). Konservasi Tanah dan Air Kunci Pemberdayaan Petani dan Pelestarian Sumberdaya Alam. Prosiding Kongres 11 dan Seminar Nasional MKTI, Yogyakarta.
Schwab, G.O., Frevert R.K., Edminster T.W. and Barnes K.K.1981. Soil and Water Conserva¬. Engineering. 3rd edition. John Wiley and Sons. Inc. Toronto Sinukaban, N. 1989. Manual Inti tentang Konservasi Tanah dan Air di Daerah Transmi¬grasi.Dit. Pendayagunaan Lingkungan Pemukiman. Dep. Transmigrasi Rep. Indonesia
Supardi, G. 1979. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor Suseno, F.M. 1995. Kuasa dan Moral. Penerbit PT Gramedia. Jakarta
Tarumingkeng, R.C. 1995. Dinamika Perkotaan: Acuan Penelitian Ukrida. Makalah pada Seminar Lokakarya Penyegaran dan Peningkatan Dalam Penelitian. FE UKRIDA
KonservasiDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, (Inggris)Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.[1]
Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah [2]:
Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia atau
transformasi fisik. Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-
ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya.
Di Indonesia, berdasarkan peraturan perundang-undangan, Konservasi [sumber daya alam hayati] adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Cagar alam dan suaka margasatwa merupakan Kawasan Suaka Alam (KSA), sementara taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Cagar alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tunbuhan, satwa, atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Suaka margasatwa mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwanya.
Taman nasional mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman hutan raya untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Taman wisata alam dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Konflik
Di ekosistem hutan, biasanya konflik konservasi muncul antara satwa endemik dan pengusaha HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Karena habitatnya menciut dan kesulitan mencari sumber makanan, akhirnya satwa tersebut keluar dari habitatnya dan menyerang manusia. Konflik konservasi muncul karena:
1. Penciutan lahan & kekurangan SDA (Sumber Daya Alam)2. Pertumbuhan jumlah penduduk meningkat dan permintaan pada SDA meningkat (sebagai
contoh, penduduk Amerika butuh 11 Ha lahan per orang, jika secara alami)3. SDA diekstrak berlebihan (over exploitation) menggeser keseimbangan alami.4. Masuknya/introduksi jenis luar yang invasif, baik flora maupun fauna, sehingga mengganggu
atau merusak keseimbangan alami yang ada.
Kemudian, konflik semakin parah jika :
1. SDA berhadapan dengan batas batas politik (mis: daerah resapan dikonversi utk HTI, HPH (kepentingan politik ekonomi)
2. Pemerintah dengan kebijakan tata ruang (program jangka panjang) yang tidak berpihak pada prinsip pelestarian SDA dan lingkungan.
3. Perambahan dengan latar kepentingan politik untuk mendapatkan dukungan suara dari kelompok tertentu dan juga sebagai sumber keuangan ilegal.
Kawasan konservasi mempunyai karakteristik sebagaimana berikut:
Karakteristik, keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan tropis/'tropical rain forest' yang meliputi pegunungan, dataran rendah, rawa gambut, pantai)
Habitat penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan fauna) khusus: endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka bumi), langka, atau terancam punah (seperti harimau, orangutan, badak, gajah, beberapa jenis burung seperti elang garuda/elang jawa, serta beberapa jenis tumbuhan seperti ramin). Jenis-jenis ini biasanya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
Tempat yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami. Lansekap (bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik. Fungsi perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global. Pengusahaan wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar yang menarik).
Kebijakan
Di Indonesia, kebijakan konservasi diatur ketentuannya dalam UU 5/90 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini memiliki beberpa turunan Peraturan Pemerintah (PP), diantaranya:
1. PP 68/1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)2. PP 7/1999 terkait pengawetan/perlindungan tumbuhan dan satwa3. PP 8/1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar/TSL4. PP 36/2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa (SM), taman nasional
(TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman wisata alam (TWA).
KONSERVASI WILAYAH PESISIR May 19, 2013
Filed under: lingkungan — Urip Santoso @ 11:23 pm Tags: konservasi pantai, mangrove
Oleh : Amelia
ABSTRAK
Kata kunci dari konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan, pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan. Hal tersebut dilakukan karena sumberdaya pesisir baik flora, fauna, dan ekosistem memiliki kegunaan dan nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang penting.
Pada saat ini program/strategi konservasi wilayah pesisir menjadi agenda penting mengingat kerusakan sumberdaya pesisir akibat pencemaran yang berasal dari wilayah pesisir dan sekitarnya. Dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dapat membahayakan kelestarian ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang rusak dapat mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia, spesies lain dan lingkungannya. Fenomena kerusakan wilayah pesisir dapat dipantau baik melalui media cetak dan elektronik maupun dapat dilihat secara langsung di lapangan. Kerusakan wilayah pesisir bukan hanya oleh penduduk wilayah pesisir saja, tetapi juga oleh penduduk sekitarnya.
Ancaman utama pada keanekaragaman hayati di wilayah pesisir adalah terjadinya kerusakan lingkungan dan kepunahan habitat. Oleh karena itu, cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati yaitu dengan cara melakukan konservasi.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Konservasi wilayah pesisir yang dimaksud adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan kesinambungan sumberdaya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman hayati (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007: 3).
Kata kunci dari konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan, pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan. Hal tersebut dilakukan karena sumberdaya pesisir baik flora, fauna, dan ekosistem memiliki kegunaan dan nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang penting.
Kualitas dan keanekaragaman hayati wilayah pesisir harus terus dikonservasi sehingga keanekaragaman hayatinya terus meningkat dan kondisi ekosistem dalam keadaan homeostatis. Sebaliknya, jika suatu ekosistem pesisir menunjukkan keanekaan hayatinya mengalami
penurunan harus diwaspadai sebagai tanda perlunya upaya untuk pemulihan kembali. Sebab jika tidak dilakukan konservasi bukan saja ekosistem pesisir yang rusak, tetapi juga nasib manusia (masyarakat pesisir) yang terancam.
Pada saat ini program/strategi konservasi wilayah pesisir menjadi agenda penting mengingat kerusakan sumberdaya pesisir akibat pencemaran yang berasal dari wilayah pesisir dan sekitarnya. Dari daerah sekitarnya berupa pencemaran limbah domestik, limbah industri, bahkan adanya erosi dari lahan pertanian yang topografinya curam. Sedangkan dari wilayah pesisir berupa pencemaran yang berasal dari pertanian, perikanan, serta kegiatan lainnya.
Dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dapat membahayakan kelestarian ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir yang rusak dapat mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia, spesies lain dan lingkungannya. Seperti dengan keanekaragaman hayati menurun menunjukkan terjadinya kepunahan spesies tertentu. Kepunahan spesies tertentu dapat mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir, karena akan menyebabkan spesies lain akan melimpah sehingga rantai makanan terganggu. Padahal dalam sistem rantai makanan sebelumnya sudah demikian teratur.
2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran pelaksanaan konservasi wilayah pesisir sesuai dengan tujuan kelestarian ekosistem wilayah pesisir
2. Tujuan Khusus
Agar masyarakat lebih memahami dan mengetahui seberapa penting kelestarian lingkungan di wilayah pesisir bagi kehidupan ekosistem pantai, laut dan masyarakat pesisir.
3. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan pemikiran pada masyarakat dalam upaya meningkatan kelestarian wilayah pesisir
2. Untuk mengetahui apakah dengan konservasi dapat meningkatkan keanekaragaman hayati dan kondisi ekosistem dalam keadaan baik atau sebaliknya
4. Metode penulisan
Dalam penulisan karya tulis ini untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis menggunakan metode penulisan sebagai berikut. Studi Kepustakaanyaitu penulis membaca buku-buku, literatur, internet, dan sumber-sumber yang dapat dipercaya berkaitan dengan penelitian ini.
TINJAUAN PUSTAKA
Saat ini degradasi lingkungan wilayah pesisir sudah mengancam kehidupan dan penghidupan manusia serta ekosistemnya. Rusaknya ekosistem pesisir mengakibatkan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai guna pilihan, serta nilai guna konsumtif tidak berfungsi lagi. Otomatis fungsi lingkungan hidup dari wilayah pesisir pun terganggu. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan tersebut maka jawabanya adalah konservasi, karena konservasi dapat melindungi, melestarikan dan memanfaatkan ekosistem wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Ancaman Kerusakan Wilayah Pesisir
Fenomena kerusakan wilayah pesisir dapat dipantau baik melalui media cetak dan elektronik maupun dapat dilihat secara langsung di lapangan. Kerusakan wilayah pesisir bukan hanya oleh penduduk wilayah pesisir saja, tetapi juga oleh penduduk sekitarnya. Penduduk pesisir biasanya membuang limbah domestik (sampah, hasil pengolahan ikan, dan kegiatan lainnya). Sedangkan penduduk sekitarnya tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi, termasuk dalam kegiatan pertanian sehingga menimbulkan erosi. Erosi dan limbah dari daerah sekitarnya akan masuk ke sungai dan mengalir ke wilayah pesisir. Oleh karena itu, wilayah pesisir sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan.
Wilayah pesisir tergolong sumberdaya milik bersama, harus tetap lestari dan berkelanjutan. Dengan telah terjadinya perubahan kondisi lingkungan berupa erosi dan pencemaran akan dapat mengancam keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam. Menurut Hardin (1968: 162) bahwa pemanfaatan sumberdaya milik bersama harus mempertimbangkan faktor internalitas lingkungan dan faktor ekstenalitas lingkungan. Yang dimaksud dengan internalitas lingkungan adalah mengambil peran (bertanggungjawab) untuk mengelola dampak lingkungan yang dapat merugikan keselamatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan eksternalitas lingkungan adalah perilaku yang tidak bertanggungjawab atas kegiatan yang dilakukannya sehingga dapat merugikan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Sumberdaya yang ada di wilayah pesisir sebagai sumberdaya milik bersama memiliki manfaat ekologis yakni (1) nilai guna langsung; (2) nilai guna tidak langsung; (3) nilai guna pilihan; dan (4) nilai guna nonkonsumtif (Wiratno et. al, 2004:144). Nilai guna langsung, meliputi komoditas pangan yang dihasilkan kawasan, produk-produk hutan atau laut dan manfaat rekreasi. Nilai guna tidak langsung, meliputi manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologis yang secara terus menerus memberikan perannya kepada masyarakat maupun ekosistem. Nilai guna pilihan, meliputi manfaat sumberdaya alam yang tersimpan atau dipertahankan bagi kepentingan masa depan, misalnya sumber daya hutan yang menyimpan plasma nutfah atau
sumber genetik. Nilai guna nonkonsumtif, meliputi nilai keberadaan, yaitu nilai yang diberikan masyarakat kepada kawasan konservasi atas manfaat spiritual, estetika dan kultural; serta nilai warisan, yaitu nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini terhadap suatu sumber daya tertentu agar tetap utuh dan bisa dimanfaatkan oleh generasi mendatang.
Oleh karena itu, apabila terjadi kerusakan lingkungan yang parah, diduga sumberdaya milik bersama ini akan kehilangan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai guna pilihan dan nilai guna nonkonsumtif seperti yang diuraikan sebelumnya. Terjadinya kerusakan lingkungan mengakibatkan habitat alami rusak.
Menurut Primack (1998: 59) bahwa di banyak wilayah kepulauan atau tempat-tempat yang banyak penduduknya, hampir semua habitat alami telah rusak, 47 negara dari 57 negara tropik di Afrika dan Asia telah kehilangan 50% atau lebih habitat hutan tropiknya. Bahkan di Asia, 65% habitat hutan tropiknya telah musnah.
Berdasarkan uraian di atas, ancaman utama pada keanekaragaman hayati di wilayah pesisir adalah terjadinya kerusakan lingkungan dan kepunahan habitat. Oleh karena itu, cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati yaitu dengan cara melakukan konservasi.
Tipologi Wilayah Pesisir
Kondisi fisik habitat wilayah pesisir banyak dipengaruhi oleh perubahan yang ada di daratan maupun lautan. Wilayah pesisir dalam Undang-undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Dahuri (2003: 26- 143) membagi wilayah pesisir secara garis besar ke dalam dua kelompok ekosistem, yakni ekosistem yang tidak tergenang air dan ekosistem yang tergenang air. Ekosistem yang tidak tergenang air mencakup (1) formasi pescaprae dan (2) formasi barringtonia.
1) Ekosistem yang tidak tergenang air
(1) Formasi Pescaprae dikenal dengan sebutan gosong pantai berpasir. Formasi ini didominasi tumbuhan pionir, terutama kangkung laut (Ipomoea pescaprae). Orang kebanyakan melihat tumbuhan ini terkadang dianggap mengganggu pemandangan di pantai, padahal tumbuhan ini berfungsi sebagai pelindung pantai. yang dapat menahan ombak.
(2) Formasi barringtonia ditandai dengan komunitas rerumputan dan belukar yang ada di pantai berbatu tanpa pasir (gravvel). Formasi ini ditumbuhi cemara laut (Casuarina equisitifol) dan Callophyllum innophyllum.
2) Ekosistem yang tergenang air
Ekosistem yang tergenang air meliputi (1) terumbu karang (2) padang lamun (3) hutan mangrove (4) estuaria dan (5) rumput laut. Berikut ini diuraikan sepintas tentang ekosistem pesisir yang tergenang air.
(1) Terumbu karang
Terumbu karang berkembang baik hanya di daerah tropik. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang (filum Scnedaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1986: 25). Hewan karang termasuk kelas Anthozoa berarti hewan berbentuk bunga (Antho artinya bunga; zoa artinya hewan).
Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Nilai produksi bersih terumbu karang berkisar 300-5000 g C (Carbon) m2 per tahun, lebih tinggi dari ekosistem sekitarnya (Nybakken, 1986: 27)
Secara ekologis, terumbu karang dapat berfungsi melindungi komponen ekosistem pesisir lainnya dari gempuran gelombang dan badai. Terumbu karang termasuk ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia. Apabila rusak, terumbu karang memerlukan pemulihan dengan kurun waktu yang cukup lama.
Adapun yang menjadi parameter ekosistem terumbu karang yaitu tingkat kejernihan air laut, temperatur, salinitas, sirkulasi arus dan sedimentasi. Faktor sedimentasi dapat menutupi permukaan terumbu karang, sehingga berdampak negatif terhadap hewan karang dan biota yang berasosiasi dengan habitatnya.
(2) Padang lamun
Padang lamun. Tumbuhan lamun (seagrasses) termasuk tumbuhan berbunga (Angiospemae) yang telah sepenuhnya beradaptasi hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini mempunyai sifat yang memungkinkan hidup yakni karena (1) mampu hidup pada media air asin; (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam; (3)mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik; (4) mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan terbenam. Tanaman lamun memiliki bunga dan buah yang kemudian berkembang menjadi benih.
Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, patahan karang mati dengan kedalaman sampai empat meter. Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal, tersusun atas satu jenis lamun yang tumbuh membentuk padang lebat, sedangkan vegetasi campuran terdiri dari dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thalassia henprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cynmodocea serrulata, dan Thalassodendrom ciliatum. Pada substrat berlumpur di daerah mangrove ke arah laut, sering dijumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi
tinggi (Dahuri, 2003: 39). Adapun yang menjadi parameter pertumbuhan ekosistem lamun mencakup tingkat kejernihan air laut, temperatur, salinitas, substrat dan kecepatan arus perairan.
(3) Hutan mangrove
Hutan mangrove ada yang menyebut sebagai hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Bakau sebenarnya menunjukkan kepada salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp. Pemberian istilah hutan bakau dinilai kurang tepat, namun sebutan yang tepat adalah hutan mangrove.
Hutan mangrove termasuk hutan tropika dan subtropika yang tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai serta dipengaruhi pasang surut air laut. Mangrove banyak tumbuh pada wilayah pesisir yang dapat menahan ombak serta berada pada daerah yang landai. Pertumbuhan yang optimal dari mangrove spesies Rhyzophora spp terutama pada wilayah pesisir yang memiliki sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur.
Pertumbuhan mangrove mengikuti pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti kondisi tanah (lumpur, pasir, gambut), keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas serta pengaruh pasang surut. Pembentukan zonasi dimulai dari arah laut menuju daratan, yang terdiri dari zona Avicennia dan Sonneratia yang berada paling depan serta berhadapan dengan laut. Zona dibelakangnya berturut-turut Rhizhopora, Bruguiera, dan Ceriops (Dahuri, 2003: 60).
Adapun yang menjadi parameter lingkungan utama dalam menentukan pertumbuhan mangrove antara lain suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien, dan stabilitas substrat. Berdasarkan parameter tersebut, menunjukkan bahwa adanya sungai yang bermuara ke laut yang membawa air tawar yang diikuti dengan sejumlah nutrien merupakan faktor kunci pertumbuhan mangrove.
Ekosistem hutan mangrove secara ekologis memiliki fungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara berbagai macam biota perairan (ikan, udang, dan kerang-kerangan). Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa, baik sebagai habitat pokok maupun habitat sementara, penghasil sejumlah detritus, dan perangkap sedimen. Dari segi ekonomi, vegetasi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku kertas, kayu bakar, arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain, seperti tannin dan pewarna (Mukkhtasor, 2007: 36).
Hasil penelitian MacFarlane et. al. (2003: 139-151) menunjukkan bahwa akar mangrove spesies Avicennia marina atau sebutan masyarakat adalah api-api digunakan sebagai indikator biologis lingkungan yang tercemar logam berat terutama tembaga (Cu), timbal (Pb), dan seng (Zn) melalui monitoring secara berkala. Hal ini menunjukkan spesies Avicennia marina memiliki toleransi yang besar serta mengakumulasi berbagai jenis logam. Sementara spesies mangrove jenis lainnya kurang toleran terhadap logam berat.
Apabila suatu daerah pesisir yang tercemar logam berat, seperti yang diuraikan di atas maka hanya mangrove spesies Avicennia marina saja yang dapat bertahan. Artinya spesies mangrove lainnya tidak dapat bertahan karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
(4) Estuaria
Estuaria adalah wilayah sungai yang ada di bagian hilir dan bermuara ke laut, sehingga memungkinkan terjadinya pencampuran antara air tawar dan air laut. Estuaria didominasi oleh substrat lumpur yang berasal dari endapan yang dibawa oleh air tawar sehingga bersatu dengan air laut. Partikel yang mengendap kebanyakan bersifat organik, substrat dasar estuaria kaya akan bahan organik. Bahan organik tersebut sebagai cadangan makanan utama, bagi pertumbuhan mangrove dan organisme lainnya. Komponen fauna estuaria dihuni oleh biota air laut dan air tawar. Komponen fauna estuaria didominasi hewan stenohaline dan hewan eurihaline. Hewan stenohaline adalah hewan yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas sampai 30 permil. Sedangkan hewan eurihaline adalah hewan khas laut yang mampu mentolerir penurunan salinitas hingga di bawah 30 permil.
Parameter lingkungan utama ekosistem estuaria antara lain sirkulasi air, partikel tersuspensi dan kandungan polutan. Dengan demikian ekosistem estuaria ini sangat sensitif terhadap perubahan sirkulasi air, tersuspensinya partikel dan polutan.
(5) Rumput laut
Rumput laut (seaweed) dapat hidup pada perairan yang cukup cahaya. Nutrien yang diperlukan oleh rumput laut diperoleh langsung dari air laut. Nutrien tersebut dihantarkan melalui upwelling, turbulensi dan masukan dari daratan.
Rumput laut memiliki produktivitas yang cukup besar, dan hewan pemangsa langsung rumput laut relatif sedikit. Diperkirakan produksi bersih rumput laut yang memasuki jaring makanan melalui pemangsaan hanya 10 %, sisanya 90 % masuk melalui rantai bentuk detritus atau bahan organik terlarut (Nybakken, 1986: 61).
Berdasarkan uraian di atas tentang ekosistem pesisir yang tidak tergenang air dan yang tidak tergenang air menunjukkan bahwa ekosistem tersebut memiliki nilai yang sangat penting bagi manusia dan lingkungannya. Terpeliharanya ekosistem pesisir dapat memberikan manfaat bukan hanya untuk saat ini saja, tetapi untuk masa yang akan datang. Ekosistem pesisir memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan terutama dalam bidang jasa-jasa lingkungan. Jasa-jasa lingkungan tersebut anatar lain kegiatan parisiwata, pendidikan dan penelitian wilayah pesisir.
Konservasi Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan
Konservasi wilayah pesisir di sini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan yang berkelanjutan dilaksanakan tanpa mengurangi fungsi lingkungan hidup. Lingkup pembangunan berkelanjutan meliputi aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial yang diterapkan secara seimbang serasi selaras dengan alam. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 32 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat 3, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
Purba ed. (2002: 18-20) mengemukakan lima prinsip utama pembangunan berkelanjutan yakni dengan menggunakan prinsip (1) keadilan antar generasi; (2) keadilan dalam satu generasi; (3) pencegahan dini; (4) perlindungan keanekaragaman hayati; dan (5) internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif.
Kelima prinsip di atas, mengandung arti bahwa pembangunan harus memberikan jaminan supaya serasi, selaras dan seimbang dengan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, daya dukung lingkungan yang ada di wilayah pesisir seharusnya tetap terpelihara dan terjaga baik sehingga dapat dimanfaatkan secara terprogram secara lestari bagi kesejahteraan generasi mendatang.
Kerusakan lingkungan telah terjadi di wilayah pesisir yang diakibatkan oleh perilaku manusia di wilayah pesisir dan di daerah sekitarnya. Kerusakan lingkungan tersebut dapat mengancam fungsi lingkungan hidup wilayah pesisir. Fungsi lingkungan hidup akan mengancam kelestarian tipologi ekosistem pesisir, yang meliputi ekosistem yang tidak tergenang air dan ekosistem yang tergenang air. Konservasi wilayah pesisir sebagaimana telah diuraikan sebelumnya adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan dan kesinambungan sumberdaya pesisir dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman hayati (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007: 3).
Dalam konservasi ada aspek yang tidak boleh diabaikan yaitu kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Lingkungan yang dimaksud mencakup tumbuhan dan hewan harus sesuai dengan habitatnya sehingga dapat tumbuh optimal. Ekonomi yang dimaksud bahwa untuk melakukan konservasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Konservasi harus memperhitungkan faktor biaya penanaman, biaya perawatan, dan biaya pengamanan. Faktor sosial yang dimaksud adalah bahwa dalam konservasi selayaknya melibatkan masyarakat. Karena dengan melibatkan masyarakat, tumbuhan dipelihara, dijaga dan dirawat sesuai dengan kearifan budayanya.
Manfaat konservasi wilayah pesisir yaitu manfaat biogeografi, keaneka-ragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemik dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturism, dan peningkatan produktivitas perairan (Fauzi dan Anna (2005: 73). Manfaat konservasi tersebut, mencakup manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat konservasi wilayah pesisir tidak hanya bersifat terukur (tangible), tetapi ada juga yang tidak terukur (intangible). Manfaat yang terukur mencakup manfaat kegunaan baik untuk dikonsumsi maupun tidak. Sedangkan manfaat tidak terukur lebih tertuju pada manfaat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang.
Kegiatan pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian di wilayah pesisir, selayaknya dengan menggunakan pendekatan secara bottom up. Pendekatan ini, sudah mengakomodir kebutuhan masyarakat yang ada di lapangan. Dengan kata lain pendekatan ini sudah sesuai dengan program yang sudah disusun komunitas (masyarakat pesisir).
Strategi Konservasi Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan
Untuk melaksanakan konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, diajukan beberapa strategi sebagai berikut.
1) Strategi pemanfaatan secara lestari dengan cara:
(a) Merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir yang berkelanjutan:
(1) Membuat aturan atau ketentuan dalam pemanfaatan wilayah pesisir.
(2) Menerapkan kearifan lokal masyarakat adat dalam pemanfaatannya.
(3) Memberikan insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan.
(b) Membuat mekanisme kordinasi antara perencanaan dan pemanfaatan wilayah pesisir:
(1) Membuat analisis situasi wilayah pesisir.
(2) Membuat perencanaan program pemanfaatan
(3) Membuat rencana pemanfaatan wilayah pesisir.
(4) Monitoring dan evaluasi kesesuaian antara perencanaan dan pemanfaatan.
(c) Mengembangkan kemitraan dalam pemanfaatan pesisir:
2) Strategi perlindungan dengan cara:
(a) Menetapkan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan mendesak (urgen):
(1) Identifikasi tipologi wilayah pesisir yang telah mengalami kerusakan;
(2) Merumuskan langkah-langkah berkelanjutan dalam melindungi wilayah pesisir.
(b) Menetapkan zonasi perlindungan wilayah pesisir
(1) Memetakan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan;
(2) Menetapkan spesies tumbuhan dan hewan yang dilindungi
3) Strategi pelestarian yang diajukan:
(a) Menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pelestarian.
(b) Membangun sarana dan prasarana pelestarian in situ untuk melestarikan keanekaragan hayati wilayah pesisir.
(c) Meningkatkan apresiasi dan kesadaran nilai dan kebermaknaan keanekaragaman hayati wilayah pesisir:
(1) Membangun kesadaran masyarakat tentang nilai keanekaragaman hayati dalam budaya kontemporer
(2) Menggunakan sistem pendidikan formal di dalam kelas
(3) Menggunakan kegiatan-kegiatan di luar sekolah
Berdasarkan uraian di atas, konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan stategi yang tepat. Strategi pemanfaatan yang lestari antara lain merumuskan kebijakan konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, membuat mekanisme kordinasi antara perencanaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan mengembangkan kemitraan dalam pemanfaatan pesisir; Strategi perlindungan, meliputi menetapkan wilayah pesisir yang membutuhkan perlindungan mendesak (urgen), dan menetapkan zonasi perlindungan; serta Strategi pelestarian antara lain menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pelestarian, membangun sarana dan prasarana pelestarian in situ untuk melestarikan keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan meningkatkan apresiasi dan kesadaran nilai dan kebermaknaan keanekaragaman hayati wilayah pesisir.
Untuk melaksanakan strategi konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, harus didukung komitmen dari stakeholder (pihak-pihak yang terkait) wilayah pesisir diiringi dengan penerapan etika lingkungan berdasarkan prinsip ekosentrisme. Sebagaimana yang diungkapkan Keraf (2010: 93) bahwa prinsip ekosentrisme lebih memfokuskan kepada komunitas ekologis secara holistik. Termasuk didalamnya pengembangan prinsip moral untuk kepentingan seluruh komunitas ekologis. Oleh karena itu, keberhasilan dalam menerapkan strategi konservasi wilayah pesisir perlu didukung penerapan cara pandang, nilai dan perilaku hidup berdasarkan prinsip ekosentrisme. Dengan demikian, gaya hidup yang kita lakukan semestinya selaras, serasi dengan alam, sehingga kesadaran pentingnya ramah lingkungan harus terus dikumandangkan diberbagai kesempatan, kegiatan dan secara merata di berbagai pelosok wilayah.
KESIMPULAN
Konservasi wilayah pesisir mencakup pemanfaatan, perlindungan, pelestarian, serta terjaminnya ekosistem yang berkesinambungan. Konservasi wilayah pesisir di sini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan kebutuhan generasi mendatang.
Untuk melaksanakan strategi konservasi wilayah pesisir yang berkelanjutan, harus didukung komitmen dari stakeholder (pihak-pihak yang terkait) wilayah pesisir diiringi dengan penerapan etika lingkungan berdasarkan prinsip ekosentrisme.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan Karya Ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam proses penulisan karya ilmiah ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :1. Rekan-rekan Pegawai di Bidang Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu,
yang selalu mensuport kuliah ini dan yang senantiasa membantu dikala saya meninggalkan tugas.
2. Rekan-rekan Kulia di PSDAL yang membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini3. Ucapan tulus buat suami dan anak-anak tersayang yang telah memberikan semangat dan
dorongan hingga terselesainya karya ilmiah ini. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada saya dan semoga penulisan karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang berkepentingan.
DAFTAR PUSTAKA
Cincin-Sain B., and Robert W.B. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management. Concepts and Practices. Island Press Washington, DC. Covello,California
Dahuri, R., 2000. Analisis Kebijakan dan Program Penglolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Pelatihan Menajemen Wilayah Pesisir. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor.
Dahuri, H.R., J. Rais, S.P. Ginting dan H.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prandya Paramita, Jakarta.
Dahuri, (2003 : 26-143)
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007. Program pengembangan Wilayah Pesisir di Indonesia, 2007. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan, 2012. Statistik Perikanan Tangkap, 2012. Bengkulu.
Hermawan, M.2006.Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal. Disertai S3 Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Fauzi,A. Dan S. Anna.2002.Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan Vol.4 (3).pp: 43-55.
Fauzi dan Anna, 2005.
Hartrisari, H.H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas Teknologi Pertanian. Jurusan Teknik dan Teknologi Industri. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Munasinghe, M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. The International Bank for Reconstruction and Development/THE WORD BANK. Washintong D.C. 20433. U.S.A.
Purba ed, 2002 : 18-20)
Rangkuti, F.1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Supriharyono. 2000. Pelestarian Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.
Wiratno et al, 2004 :144
Persepsi Masyarakat Sekaran Tentang Konservasi Lingkungan Abstract: Isu konservasi lingkungan menjadi sebuah studi yang menarik belakangan ini karena
efek dari global warming sudah semakin dirasakan oleh manusia. Kebijakan nasional dan
international dengan perspektif konservasi lingkungan semakin dikuatkan, begitu pula dengan
Unnes dengan visi kampus konservasinya. Selain kebijakan tersebut, komunitas lokal
sebenarnya memiliki persepsi sendiri tentang konservasi lngkungan dari sistem nilai dan
pengetahuannya. Tujuan penelitian ini adalah melihat persepsi masyarakat tentang konservasi
lingkungan dan penerapan persepsi dalam aktivitas masyarakat. Metode yang digunakan
adalah kuliatatif untuk memperoleh data yang akurat dan valid. Hasil penelitian menunjukkan
persepsi masyarakat tentang konservasi lingkungan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas
masyarakat sebagai petani. Tingkat ketergantungan pada lingkungan membentuk persepsi
akan konservasi melekat pada pola hidup keseharian mereka. Tapi persepsi tersebut berubah
seiring dengan perubahan sosial di masyarakat. Interaksi antara msyarakat Sekaran dengan
mahasiswa sebagai pendatang mendorong perubahan pandangan tentang alam dan mata
pencaharian. Ketika sistem mata pencaharian mereka tidak lagi tergantung sepenuhnya pada
manajemen sumber daya alam, begitu pula percepsi akan konservasi lingkungan turut berubah.
Hal ini dibuktikan dengan pola aktivitas mereka yang tidak lagi berkomitmen sepenuhnya pada
konservasi lingkungan. Ritual kolektif yang dahulu berfungsi untuk pemeliharaan lingkungan,
kini digantikan oleh aktivitas personal dengan makna yang sempit.
Keywords: environmental conservation; perception; society