JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE - · PDF fileJurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2,...

51
JURNAL K JURNAL K JURNAL K JURNAL K Akad Volume I, No. 2, Des KEPERAWATAN HKBP BA KEPERAWATAN HKBP BA KEPERAWATAN HKBP BA KEPERAWATAN HKBP BA Diterbitkan Oleh : demi Keperawatan HKBP Balige Sumatera Utara, Indonesia sember 2013 ISSN ALIGE ALIGE ALIGE ALIGE 2338-3690

Transcript of JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE - · PDF fileJurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2,...

JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE

Akademi Keperawatan HKBP Balige

Volume I, No. 2, Desember

JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE

Diterbitkan Oleh :

Akademi Keperawatan HKBP Balige

Sumatera Utara, Indonesia

Volume I, No. 2, Desember 2013 ISSN

JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE

ISSN 2338-3690

Volume 1, Nomor

JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEAKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE

SUSUNAN DEWAN REDAKSI

Penasihat:Prof. dr. Bistok Saing, SpA(K)

Pimpinan Redaksi:

Lamria Simanjuntak, S.Kep,M.Kes

Dewan Editor:

dr. Margaretha Sirait, M.Kesdr. Eddy Salmon Sirait, M.Kes

dr. Irwan Wirya, M.KesElfrida Nainggolan, SKMDaniel Tambunan, SSos.

Editor Pelaksana:

Carolina M Simanjuntak, S.Kep, NsJenti Sitorus, SST

Keuangan:Istin Tampubolon

Alamat Redaksi;Jl. Gereja No. 17, Balige, Tobasa

Sumatera Utara, 22314

www.akperhkbp.ac.idemail: [email protected]

omor 2, Desember 2013 ISSN 2338

JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGEJURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE

SUSUNAN DEWAN REDAKSI

Penasihat: Bistok Saing, SpA(K)

Pimpinan Redaksi: Lamria Simanjuntak, S.Kep, Ns,

Dewan Editor: r. Margaretha Sirait, M.Kes

r. Eddy Salmon Sirait, M.Kes r. Irwan Wirya, M.Kes

Elfrida Nainggolan, SKM Daniel Tambunan, SSos.

Editor Pelaksana: Carolina M Simanjuntak, S.Kep, Ns

Jenti Sitorus, SST

Keuangan: Tampubolon

Alamat Redaksi; Jl. Gereja No. 17, Balige, Tobasa

Sumatera Utara, 22314

www.akperhkbp.ac.id mail: [email protected]

Editorial

Kami bersyukur kepada Tuhan

jurnal keperawatan volume 1 nomor 2 ini

dapat terbit. Kami juga berharap bahwa

jurnal ini akan berguna bagi sivitas

Akademi Keperawatan HKBP Balige serta

bagi pembaca pada umumnya.

Pada volume dan nomor ini akan

menginformasikan enam

penelitian, studi pustaka maupun tulisan

ilmiah dari para dosen da

tentang keperawatan, kesehatan dan

kebidanan yang dapat dilihat pada daftar

isi.

Semoga isi jurnal volume 1 nomor

bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan

saran kami harapkan untuk perbaikan

selanjutnya.

Akhir kata kami mengharapkan kontribu

tulisan dari para akademisi dan praktisi

untuk dapat mengirimkan tulisannya pada

edisi-edisi selanjutnya.

Hormat Kami,

Pimpinan Redaksi

i

ISSN 2338-3690

Kami bersyukur kepada Tuhan YME karena

volume 1 nomor 2 ini

juga berharap bahwa

jurnal ini akan berguna bagi sivitas

Akademi Keperawatan HKBP Balige serta

bagi pembaca pada umumnya.

Pada volume dan nomor ini akan

tulisan hasil

, studi pustaka maupun tulisan

dari para dosen dan praktisi

tentang keperawatan, kesehatan dan

kebidanan yang dapat dilihat pada daftar

Semoga isi jurnal volume 1 nomor 2 ini

bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan

saran kami harapkan untuk perbaikan

Akhir kata kami mengharapkan kontribusi

tulisan dari para akademisi dan praktisi

untuk dapat mengirimkan tulisannya pada

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

ii

DAFTAR MITRA BESTARI

Ucapan terimakasih dan penghargaan disampaikan kepada para pakar yang

telah diundang sebagai Mitra Bestari/Penelaah oleh Jurnal Keperawatan

HKBP Balige dalam Volume 1 No.2 Tahun 2013. Berikut ini daftar nama

pakar yang telah berpartisipasi :

1. dr. David Simangunsong, M.Kes

Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen, Medan

2. dr. T. M. Panjaitan, SKM

Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen, Medan

3. dr. Novita Simanjuntak, MARS

Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen, Medan

4. S. Sihombing, Ssi. Apt

AKPER HKBP Balige, Tobasa

5. Jastro Situmorang, SKep, Ns

AKPER HKBP Balige, Tobasa

6. dr. Tihar Hasibuan, MARS

RSU HKBP Balige, Tobasa

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

iii

DAFTAR ISI

1. Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Lamanya Penyembuhan

Luka Passca Operasi Appendiktomi Di Zaal C Rumah Sakit

HKBP Balige Tahun 2013 98

Elfrida Nainggolan, SKM., Lamria Simanjuntak, S.Kep, Ns, M.Kes

2. Dampak Penggunaan Laptop Terhadap Motivasi Belajar

Mahasiswa Tingkat III Akademi Keperawatan HKBP Balige 106

dr. Irwan Wirya, M.Kes

3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Perawat

Tentang Pemenuhan Nutrisi Pada Pasien Dengan Gangguan

Kardiovaskuler Di Ruang E RSU HKBP Balige Tahun 2011 110

Jenti Sitorus, SST., Daniel Tambunan, MARS

4. Pengaruh Merubah Posisi Dan Massase Kulit Pada Pasien

Stroke Terhadap Terjadinya Luka Dekubitus Di Zaal F RSU

HKBP Balige 117

Carolina M. Simanjuntak, S.Kep Ns., dr. Margaretha Sirait, M.Kes

5. Pengetahuan Perawat Dalam Merawat Pasien TB Paru Di Rumah

Sakit HKBP Balige 126

Jastro Situmorang, S.Kep, Ns., dr. Edi Salmon Sirait, M.Kes

6. Pelaksanaan Pencegahan Infeksi Nosokomial Akibat Tindakan

Invasif Pemasangan Infus Oleh Perawat Pelaksana Tahun 2010

Di RSU Bethesda Serukam 135

Juliming Kenedy, SKM, Susito, SKM., M.Kes,

Ishak, Silvia, Thresiawati

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

98

HUBUNGAN MOBILISASI DINI DENGAN LAMANYA PENYEMBUHAN

LUKA PASCA OPERASI APPENDIKTOMI DI ZAAL C RUMAH SAKIT

HKBP BALIGE TAHUN 2013

Elfrida Nainggolan, SKM

Lamria Simanjuntak, S.Kep, Ns, M.Kes Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut

[email protected]

Abstrak Appendiktomi merupakan salah satu penanganan yang sering dilakukan pada pasien yang

mengalami appendiksitis. Pasca pembedahan sering sekali dijumpai pasien takut untuk

melakukan mobilisasi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Mobilisasi merupakan faktor

yang utama dalam mempercepat pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengetahu

hubungan mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka pasca operasi appendiktomi.

Penelitian ini dilakukan di RSU HKBP Balige pada bulan November 2012 s.d Maret 2013

dengan jumlah sampel 15 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

kuesioner. Dari hasil penelitian diperoleh uji Chi-square menunjukkan nilai p = 0,008 (p <

0,05). Artinya ada hubungan antara mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka paska

operasi appendictomy di ruang zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013.

Kata kunci : Mobilisasi, Apendiktomi, Rumah Sakit, HKBP Balige

1. PENDAHULUAN

Insiden apendisitis di negara maju

lebih tinggi daripada negara

berkembang, Amerika menangani 11

kasus/10.000 kasus apendisitis setiap

tahun. Menurut data RSPAD Gatot

Subroto tahun 2008 jumlah pasien yang

menderita penyakit apendisitis di

Indonesia adalah sekitar 32% dari

jumlah populasi penduduk Indonesia

(DEPKES RI, 2009).

Salah satu faktor yang

mempengaruhi proses penyembuhan

luka akibat operasi pembuangan

apendiks (apendektomi) adalah

kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi

dini. Mobilisasi merupakan faktor yang

utama dalam mempercepat pemulihan

dan mencegah terjadinya komplikasi

pasca bedah. Mobilisasi sangat penting

dalam percepatan hari rawat dan

mengurangi resiko karena tirah baring

lama seperti terjadinya dekubitus,

kekakuan atau penegangan otot-otot di

seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah,

gangguan pernapasan dan gangguan

peristaltik maupun berkemih (Carpenito,

2000). Namun, bila terlalu dini

dilakukan dengan teknik yang salah,

mobilisasi dapat mengakibatkan proses

penyembuhan luka menjadi tidak

efektif. Oleh karena itulah, mobilisasi

harus dilakukan secara teratur dan

bertahap, diikuti dengan latihan Range

of Motion (ROM) aktif dan pasif

(Roper, 2002).

Marlitasari (2010) meneliti tentang

gambaran penatalaksanaan mobilisasi

dini pada pasien apendektomi di RS

PKU Muhammadiyah Gombong.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh

data bahwa mobilisasi dini dapat

mengurangi rasa nyeri pasien,

mengurangi waktu rawat di rumah sakit

dan dapat mengurangi stress psikis pada

pasien. Kesimpulan dari penelitian ini

adalah adalah dengan bergerak

seseorang dapat mencegah kekakuan

otot dan sendi, mengurangi rasa nyeri,

menjaga aliran darah, memperbaiki

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

99

metabolisme tubuh, mengembalikan

kerja fisiologis organ-organ vital yang

pada akhirnya justru akan mempercepat

penyembuhan luka.

Keberhasilan mobilisasi dini tidak

hanya mempercepat proses pemulihan

luka pasca pembedahan namun juga

mempercepat pemulihan peristaltik usus

pada pasien pasca pembedahan (Israfi

dalam Akhrita, 2011). Hal ini telah

dibuktikan oleh Wiyono dalam dalam

Akhrita (2011) dalam penelitiannya

terhadap pemulihan peristaltik usus

pada pasien pasca pembedahan. Hasil

penelitiannya mengatakan bahwa

mobilisasi diperlukan bagi pasien pasca

pembedahan untuk membantu

mempercepat pemulihan usus dan

mempercepat penyembuhan luka pasien.

Berdasarkan survei pendahuluan

yang dilakukan oleh peneliti di Ruang

Zaal C RSU HKBP Balige, terdapat 25

orang pasien yang mengalami pasca

operasi apendiktomy. Peneliti

mendapatkan informasi bahwa dari 25

orang yang baru mengalami operasi

apendisitis 20 orang mengatakan bahwa

mereka sangat takut untuk melakukan

mobilisasi paska operasi. Hal ini

disebabkan karena pasien merasa sangat

kesakitan saat bergerak pasca efek

anestesi operasi tersebut hilang.

Disamping itu, pasien juga

mengungkapkan kekhawatiran jahitan

luka bekas operasi akan meregang atau

terbuka jika mereka melakukan

mobilisasi paska operasi. Mereka

beranggapan mobilisasi dapat

menyebabkan terjadinya ruam atau lecet

pada bagian abdomen bagian bawah,

kekakuan atau penegangan otot – otot di

seluruh tubuh, pusing dan susah

bernafas, juga susah buang air besar

maupun berkemih. Hal inilah yang

menyebabkan banyak diantara mereka

untuk lebih memilih diam atau tidak

bergerak diatas tempat tidur.

Berdasarkan data survei awal,

peneliti tertarik untuk meneliti tentang

hubungan mobilisasi dini dengan

lamanya penyembuhan luka paska

operasi appendiktomy di ruang zaal C

RSU HKBP Balige Tahun 2013.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Mobilisasi Dini

2.1.1Definisi

Mobilisasi merupakan kemampuan

individu untuk bergerak secara bebas,

mudah, dan teratur dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan aktifitas guna

mempertahankan kesehatannya (Alimul,

2009).

2.1.2 Tujuan Mobilisasi Dini

Mobilisasi dini bertujuan untuk

mengurangi komplikasi paska bedah,

terutama atelektasis dan pneumonia

hipostasis, mempercepat terjadinya

buang air besar dan buang air kecil

secara rasa nyeri pasca operasi (E.

Oswari, 2005). Mobilisasi yang

dilakukan untuk meningkatkan ventilasi,

mencegah stasis darah dengan

meningkatkan kecepatan sirkulasi pada

ekstremitas dan kecepatan pemulihan

pada luka abdomen (Suzanne C, 2005).

2.1.3 Jenis Mobilisasi

Menurut Alimul (2009), jenis

mobilisasi dibedakan berdasarkan

kemampuan gerakan yang dilakukan

oleh seseorang yaitu :

1. Mobilisasi penuh, merupakan

kemampuan seseorang untuk

bergerak secara penuh dan bebas

sehingga dapat melakukan interaksi

sosial dan menjalankan peran sehari-

hari. Mobilisasi penuh ini merupakan

fungsi saraf motorik dan sensorik

untuk dapat mengontrol seluruh area

tubuh seseorang.

2. Mobilisasi sebagian, merupakan

kemampuan seseorang untuk

bergerak dengan batasan jelas dan

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

100

tidak mampu bergerak secara bebas

karena dipengaruhi oleh gangguan

saraf motorik dan sensorik pada area

tubuh. Mobilitas sebagian dibagi

menjadi dua jenis yaitu:

a. Mobilitas sebagian temporer,

merupakan kemampuan individu

untuk bergerak dengan batasan

yang bersifat sementara, ini dapat

disebabkan oleh trauma pada

sistem musculoskletal.

b. Mobilitas sebagian permanen,

merupakan kemampuan individu

untuk bergerak dengan batasan

yang sifatnya menetap. Hal

tersebut disebabkan oleh rusaknya

sistem saraf, contoh terjadinya

hemiplegia karena stroke.

2.1.4 Latihan Rentang Gerak

(Range Of Motion/ROM)

Kemampuan sendi untuk

melakukan pergerakan pada pasien

berbeda sesuai dengan kondisi

kesehatannya. Latihan rentang gerak

merupakan gerakan yang mungkin

dilakukan sendi pada salah satu dari tiga

potongan tubuh yaitu, sagital, frontal,

dan transversal (Potter dan Perry, 2006).

Latihan rentang gerak ini dilakukan

pada masing-masing persendian dengan

melakukan gerakan yang tidak

membahayakan. Latihan ROM dapat

dilakukan secara aktif dan pasif. Latihan

ROM secara pasif merupakan latihan

dimana perawat menggerakkan

persendian pasien sesuai dengan rentang

geraknya. Sedangkan latihan ROM

secara aktif adalah ROM yang

dilakukan oleh pasien sendiri tanpa

bantuan perawat dan alat bantu.

Perbedaan latihan ROM pasif dan aktif

bergantung pada ada tidaknya bantuan

yang diberikan perawat pada pasien

dalam melakukan ROM (Asmadi,

2009).

2.2 Konsep Bedah Apendiktomi

2.2.1 Pengertian

Pembedahan adalah suatu

penanganan medis secara invasif yang

dilakukan untuk mendiagnosa atau

mengobati penyakit, injuri, atau

deformitas tubuh (LeMone & Burke,

2003). Apendiktomi adalah pembedahan

dengan cara pengangkatan apendiks.

Apendisitis merupakan indikasi

tersering pengangkatan apendiks,

walaupun pembedahan ini dapat juga

dilakukan untuk tumor, misalnya

karsinoid atau adenokarsinoma (Sylvia

A. Price, 2006).

2.2.2 Persiapan Pembedahan

Apendiktomi

a. Persiapan Fisik

Sebelum pembedahan dimulai,

lambung harus kosong dan dipuasakan

enam jam sebelum pembedahan. Kulit

tubuh, khususnya di daerah lapangan

operasi harus bersih. Penderita harus

mandi dengan sabun atau larutan

antiseptik. Suhu badan dipertahankan

normal. Hipertermi meningkatkan

metabolisme sehingga syok tidak dapat

dikompensasi seperti biasa. Sedangkan

hipotermi memperlambat metabolisme

sehingga misalnya pembekuan darah

melambat.

Keseimbangan cairan dan elektrolit

harus dikoreksi. Pada penderita diabetes

mellitus dilakukan kadar gula darah dan

ketonuria. Diuresis menjadi pegangan

penting dalam menentukan

keseimbangan cairan. Jika diuresis

mencapai 30 ml/jam, lidah lembab,

mukosa lain tampak basah dan turgor

kulit memadai, hidrasi penderita dapat

dianggap normal.

Penyulit pasca bedah paling banyak

terjadi di paru. Perokok harus

dianjurkan untuk berhenti merokok

sekurang-kurangnya satu minggu

sebelum rencana operasi. Gangguan faal

hati sering ditemukan dan, akibatnya,

seperti hipoalbuminemia, anemia dan

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

101

gangguan pembekuan darah, sedapat

mungkin dikoreksi. Pada obstruksi

saluran cerna harus dilakukan

dekompresi dengan memasang pipa

lambung (Sjamsuhidayat, 2005).

b. Persiapan Mental

Secara mental, pasien harus

dipersiapkan untuk menghadapi

pembedahan karena selalu ada cemas

atau takut terhadap penyuntikan, nyeri

luka, anastesia, bahkan terhadap

kemungkinan cacat atau mati

(Sjamsuhidayat, 2005). Untuk

kelancaran pembedahan pasien dan

keluarganya perlu mengetahui beberapa

informasi yang berkaitan dengan

prosedur pembedahan. Informasi

tersebut penting mengingat pasien

mempunyai hak untuk menyetujui atau

menolak intervensi yang akan diberikan.

Disamping itu perawat juga mempunyai

kewajiban untuk menyampaikan

informasi yang berkaitan dengan proses

penyembuhan pasien sesuai dengan

standar keperawatan.

Beberapa prosedur yang perlu

disiapkan secara kolaboratif antara

dokter dengan perawat sebelum pasien

menjalani pembedahan antara lain:

dokter menetapkan diagnosa media

pasien, melakukan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan dagnostik dan persiapan

lainnya seperti melakukan enema,

cukur, memberi dukungan psikologis

dan spiritual, serta memberikan

pendidikan kesehatan (Kozier, dkk,

2004).

Pendidikan kesehatan merupakan

hal yang sangat penting untuk

dipersiapkan sebelum pembedahan,

mengingat pengalaman menjalani

operasi merupakan peristiwa kompleks

yang sangat menegangkan. Informasi

melalui pendidikan kesehatan yang

perlu disampaikan sebelum apendiktomi

diharapkan dapat membantu

menurunkan kecemasan dan rasa nyeri

dengan tehnik nafas dalam, batuk

efektif, miring kanan dan miring kiri,

latihan mengerakkan tungkai, dan

melatih turun dari tempat tidur (Carol,

1997).

c. Perawatan Apendiktomi

Perawatan pasca apendiktomi

umumnya sama dengan perawatan

pasien lain yang menjalani

operasi/laparatomi. Perkembangan

kondisi pasien harus diobservasi dengan

baik untuk mencegah terjadinya

peritonitis dan komplikasi lain setelah

pembedahan. Mobilisasi diawali segera

pada hari pertama post operasi, dan diet

diberikan sesuai dengan toleransi kerja

usus.

Mobilisasi mengacu pada

kemampuan seseorang untuk bergerak

dengan bebas. Mobilisasi adalah

kemampuan seseorang untuk bangkit,

berdiri dan berjalan, kembali ke tempat

tidur, kursi (Lewis S, 2000) yang dapat

diperoleh dari kepatenan pernafasan,

sirkulasi dan kontrol terhadap nyeri.

Obat anastesi tertentu dapat

menyebabkan depresi pernafasan.

Sehingga perawat perlu waspada adanya

pernafasan yang dangkal dan lambat

serta batuk yang lemah. Salah satu

kekhawatiran terbesar perawat adalah

obstruksi jalan nafas akibat aspirasi

muntah, ukumulasi sekresi mukosa di

faring, atau bengkaknya spasme laring

(Odom, 1993 dalam Kozier, 2004).

Pencegahan awal statis sirkulasi

sebagai komplikasi sirkulasi yang tidak

adekuat adalah dengan meningkatkan

aliran darah balik vena dan aliran darah

normal. Perawat menganjurkan klien

melakukan latihan kaki dan ambulasi

lebih awal.

3. KERANGKA KONSEP

Lamanya Penyembuhan

Luka Pasca Operasi

Apendiktomi

1. Lambat

2. Cepat

Mobilisasi dini

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

102

3.1. Hipotesis Penelitian

Ha : Ada hubungan antara mobilisasi

dini dengan lamanya penyembuhan luka

pasca operasi Appendictomy di ruang

zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013.

Ho : Tidak Ada hubungan antara

mobilisasi dini dengan lamanya

penyembuhan luka pasca operasi

Appendictomy di ruang zaal C RSU

HKBP Balige Tahun 2013.

3.2 Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan

adalah bersifat analisis dengan

pendekatan cross sectional, yaitu untuk

mengetahui hubungan mobilisasi dini

dengan lamanya penyembuhan luka

pasca operasi appendiktomi di ruangan

Zaal C RS HKBP Balige tahun 2013.

3.3 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruangan

Zaal C Rumah Sakit HKBP Balige

Tahun 2013.

3.4 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan

Nopember 2012 – Februari 2013.

3.5 Populasi

Populasi adalah seluruh pasien yang

operasi appendiktomi di Ruangan Zaal

C Rumah Sakit HKBP Balige 24

Desember 2012 sampai 3 Maret 2013

adalah 15 orang.

3.6 Sampel

Teknik pengambilan sampel pada

penelitian ini menggunakan teknik

Acsidental sampling.

3.7 Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan

cara Data primer yaitu menggunakan

kuesioner untuk pasien, dimana peneliti

terlebih dahulu memberikan penjelasan

singkat tentang pengisian kuesioner

yang telah disediakan dengan

menggunakan instrument yang telah

disediakan. Data sekunder yaitu data

yang diperoleh dari Ruangan Zaal C RS

HKBP Balige.

3.8 TehnikPengolahan Data

Setelah data terkumpul dilakukan

beberapa proses pengolahan data yaitu :

1. Editing Kegiatan ini dilakukan untuk

mengevaluasi kelengkapan,

konsistensi dari setiap jawaban yang

di berikan responden, sehingga tidak

ditemui jawaban yang kosong dari

responden.

2. Coding Pada tahap ini dilakukan dengan cara

mengolah hasil jawaban dari setiap

pertanyaan diberi kode sesuai

petunjuk untuk memudahkan peneliti

dalam mengolah data

3. Entery atau processing Dimana pada tahap ini jawaban

responden dimasukkan semua data

dalam computerisasi kedalam

program Excel dan SPSS 17.

3.9 Analisa Data Setelah dilakukan pengolahan data

maka dilakukan analisa data. Analisa

data yang digunakan adalah analisa

univariat dan analisa bivariat

independen dan dependen.

3.9.1 Analisa Univariat Untuk mengetahui distribusi dan

persentasi variabel mobilisasi dini

dengan lamanya penyembuhan luka

responden.

3.9.2 Analisa Bivariat Untuk mengetahui hubungan dua

variabel tersebut digunakan uji statistik

Chi-Square melalui komputerisasi

dengan tingkat kemaknaan P < 0,05.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Penelitian ini telah dilaksanakan mulai

tanggal 24 Desember 2012 sampai 3

Maret 2013. Penelitian ini melibatkan

15 orang responden

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

103

Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Di Ruang Zaal C RSU HKBP

BaligeTahun 2013

No Karakteristik Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Umur

15-25 tahun 7 46.7

26-36 tahun 5 33.3

37-47 tahun 2 13.3

> 47 tahun 1 6.7

Jumlah 15 100

2 Jenis Kelamin

Laki – laki 10 66.7

Perempuan 5 33.3

Jumlah 15 100

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat

bahwa responden mayoritas berusia 15-

25 tahun (46,7%) dan minoritas berusia

> 47 tahun (6,7%). Responden

mayoritas laki laki (66,7%) dan

minoritas perempuan (33,3%)

Tabel 4.2

Distribusi Frekuensi Mobilisasi Dini Responden Di Ruang Zaal C RSU HKBP

BaligeTahun 2013

No Mobilisasi Dini Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Tidak teratur 13 86.7

2 Teratur 2 13.3 Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat

bahwa mayoritas responden tidak teratur

dalam mobilisasi dini (86,7%) dan

minoritas teratur (13,3%).

Tabel 4.3

Distribusi Frekuensi Penyembuhan Luka Responden Di Ruang Zaal C RSU

HKBP BaligeTahun 2013

No Penyembuhan Luka Frekuensi (F) Persentase (%)

1 Lambat 14 93.3

2 Cepat \1 6.7

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat

bahwa penyembuhan luka responden

mayoritas lambat (93,3%) dan

minoritas cepat (6,7%).

Tabel 4.4

Tabulasi Silang Antara Mobilisasi Dini Dengan Penyembuhan Luka Responden

Di Ruang Zaal C RSU HKBP BaligeTahun 2013

No Mobilisasi

Dini

Penyembuhan Luka Total P value

Lambat Cepat

F % F % F %

0,008 1 Tidak Teratur 13 86,6 0 0 13 86,6

2 Teratur 1 6,7 1 6,7 2 13,4

Total 14 93,3 1 6,7 15 100

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

104

Berdasarkan tabel 4.4, dari 86,6%

responden yang mobilisasi dini tidak

teratur, 86,6 % penyembuhan lukanya

lambat, 0% cepat. Dan dari 13,4 %

responden yang mobilisasi dini teratur,

6,7% penyembuhan lukanya lambat dan

6,7% cepat.

Dari hasil uji Chi-square

menunjukkan nilai p = 0,008 (p < 0,05).

Artinya ada hubungan antara mobilisasi

dini dengan lamanya penyembuhan luka

paska operasi appendictomy di Ruang

Zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013.

4.2 Pembahasan

Hasil penelitian yang dilakukan di

Ruang Zaal C RSU HKBP Balige

mengenai hubungan mobilisasi dini

dengan penyembuhan luka, diperoleh

hasil bahwa terdapat hubungan

mobilisasi dini dengan penyembuhan

luka yang dibuktikan dengan adanya

proses penyembuhan luka pada pasien

pasca operasi appendiktomi.

Hasil uji statistik Chi-Square

ditemukan bahwa ada perubahan pada

pasien pasca operasi setelah dilakukan

mobilisasi dini dengan nilai p = 0,008 (p

< 0,05), sehingga dapat disimpulkan

bahwa hipotesis (Ho) ditolak dan

hipotesisalternatif (Ha) diterima.

Artinya ada hubungan antara mobilisasi

dini dengan lamanya penyembuhan luka

pasca operasi Appendictomy di ruang

zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013.

Hampir pada semua jenis operasi

setelah 24-28 jam operasi, pasien

dianjurkan meninggalkan tempat tidur

untuk melakukan mobilisasi dini untuk

mencegah komplikasi, luka operasi

cepat sembuh bila pasien cepat jalan,

karena sikap pasien yang selalu tidur di

tempat tidur pasien operasi dapat

menimbulkan pneumonia karena paru-

paru tidak berhubungan dengan baik,

dan pneumonia karena bergerak dapat

menimbulkan decubitus karena

peredaran darah terganggu semua ini

dapat memperlambat penyembuhan

operasi dan efek mobilisasinya pada

penyembuhan luka terjadi hematoma,

infeksi, dehisens dan eviserasi.

Hasil penelitian ini dibuktikan

dengan teori bahwa mobilisasi secara

teratur dan bertahap serta diikuti dengan

istirahat dapat membantu penyembuhan

luka (Nada,2007), mobilisasi dilakukan

untuk meningkatkan ventilasi,

mencegah statis darah dengan

meningkatkan kecepatan sirkulasi pada

ekstremitas dan kecepatan pemulihan

pada luka abdomen (Suzanne C, 2005).

Salah satu faktor yang mempengaruhi

proses penyembuhan luka akibat operasi

pembuangan apendiks yang mengalami

peradangan adalah mobilisasi dini.

Mobilisasi merupakan faktor yang

utama dalam mempercepat pemulihan,

mencegah terjadinya komplikasi pasca

bedah dan mencegah terjadinya

trombosis vena (Carpenito, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Riana (2010) di Ruang

Cenderawasih 1 RSUD Arifin Achmad

Pekanbaru, didapatkan data bahwa

keadaan luka primer pada penyembuhan

luka yang baik sebanyak 12 responden

(80%) sedangkan pada kelompok

kontrol tampilan luka primer pada

penyembuhan luka yang baik hanya

sebanyak 6 responden (60%) dalam hal

ini terlihat bahwa Mobilisasi pada

kelompok A mempengaruhi proses,

lama dan kesesuaian penyembuhan luka

pada luka apendisitis.

Hasil penelitian ini juga sesuai

dengan penelitian Wiyono dalam

Akhrita (2011), yang dalam

penelitiannya terhadap pemulihan

peristaltik usus pada pasien pasca

pembedahan. Hasil penelitiannya

mengatakan bahwa keberhasilan

mobilisasi dini tidak hanya

mempercepat proses pemulihan luka

pasca pembedahan namun juga

mempercepat pemulihan peristaltik usus

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

105

pada pasien pasca pembedahan (Israfi

dalam Akhrita, 2011).

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian hubungan

antara mobilisasi dini dengan lamanya

penyembuhan luka pasca operasi

Appendictomy di ruang zaal C RSU

HKBP Balige Tahun 2013, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Mobilisasi responden tidak teratur

(86,7%) dan mobilisasi teratur

(13,3%).

2. Penyembuhan luka responden

lambat (93,3%) dan penyembuhan

luka cepat (6,7%).

3. Ada hubungan yang signifikan

antara mobilisasi dini dengan

lamanya penyembuhan luka paska

operasi Appendictomy di ruang zaal

C RSU HKBP Balige Tahun 2013

(p = 0,008) (p < 0,05).

DAFTAR PUSTAKA

Admin, Pengertian Luka dan Proses

Penyembuhan Luka. http:

www.admin.com. 02 Februari 2009.

Alimul A, 2006. Pengantar Kebutuhan

Dasar Manusia. Surabaya: Salemba

Medika.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian

suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

EGC

Asmadi. 2009. Konsep dan Aplikasi

Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta:

Salemba Medika.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar

Keperawatan Medikal Bedah. Edisi

8 Vol. 1 diterjemahkan oleh Waluyo

A. Jakarta: EGC.

------- Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah. Edisi 8 Vol. 2 diterjemahkan

oleh Hartono, A. Jakarta: EGC.

Hidayat,A. 2007. Metodologi Penelitian

Kebidanan Teknik Analisa Data .jakarta: Salemba Medika.

Kazier, B. 2009. Fundamental Of

Nursing, Seventh,Edition.

Vol 2. Jakarta: EGC

Kusmawan, S. Luka dan Komplikasi.

http://www.kusmawan.com. 2010.

Lukman,N. 2009. Asuhan Keperawatan

Pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.Jilid 1.

Jakarta: Salemba Medika.

Mansjoel,A. Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media

Aesculapias FKUI.

Mayo, J. 2003. Manajemen Luka.

Jakarta: EGC.

Mubarak, Wahit. 2007. Buku Ajar

Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2000. Metode

Penelitian Kesehatan. Jakarta:

Rineka Cipta.

Nursalam. 2003. Konsep dan

Penerapan Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Salemba

Medika.

Oswari, E. 2000. Bedah dan

Perawatanya. Jakarta: EGC

Patricia, A. 2005. Buku Ajar

Fundamental Keperawatan. Ediai 4

Vol 1. Jakarta: EGC

Potter, & Perry, 2005. Buku Ajar

Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta:

EGC.

Reeves,J. 2001. Keperawatan Medikal

Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Roper, Nancy. 2002. Prinsip-Prinsip

Keperawatan. Yogyakarta: Yayasan

Esensia Media dan Penerbit Abadi.

Sjamsuhidayat. 2005. Buku Ajar Ilmu

Bedah. Jakarta: EGC

Schaffer. 2000. Pencegahan Infeksi

dan Praktik yang Aman. Jakarta..

Suriadi. 2004. Perawatan Luka. Edisi I.

Jakarta: Sagung Seto.

Suzanne, dkk.. 2001. Buku Ajar

Keperawatan Medikal Bedah. Vol

1.. Jakarta: EGC.

Wahit,M. 2007. Buku Ajar Kebutuhan

Dasar Manusia Teori dan Aplikasi dalam Praktek. Jakarta : egc.

****

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

106

DAMPAK PENGGUNAAN LAPTOP TERHADAP MOTIVASI BELAJAR

MAHASISWA TINGKAT III AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE

dr. Irwan Wirya, M.Kes

Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut

[email protected]

Abstrak

Belajar merupakan proses perubahan perilaku karena pengalaman dan latihan. Arti lain

dari belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang terjadi dalam interaksi aktif

pada lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan

pengertian. Media pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

dalam proses belajar, melalui media proses belajar mengajar akan semakin optimal

pencapaiannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan

laptop terhadap motivasi belajar mahasiswa tingkat III AKPER HKBP Balige, dengan

menggunakan desain cross sectional study. Dari hasil penelitian didapat hasil sebagian

besar motivasi belajar mahasiswa tingkat III naik 75% (15 orang) apabila adanya

penggunaan laptop saat belajar di kelas.

Kata kunci : motivasi belajar, mahasiswa, Akper HKBP Balige

1. LATAR BELAKANG

Di era globalisasi, teknologi

informasi berperan sangat penting,

sebab dengan menguasai teknologi dan

informasi, kita memiliki modal yang

cukup untuk menjadi pemenang dalam

persaingan global. Di era globalisasi,

tidak menguasai teknologi informasi

identik dengan buta huruf. Teknologi

informasi dan multimedia telah

memungkinkan mewujudkan

pembelajaran yang efektif dan

menyenangkan, yang melibatkan

mahasiswa secara aktif. Kemampuan

tehnologi informasi dan multimedia

dalam menyampaikan pesan dinilai

sangat besar. Dalam bidang pendidikan,

teknologi informasi dan multimedia

telah mengubah paradigma

penyampaian materi perkuliahan kepada

peserta didik. Computer Assisted

Instruction (CAI) bukan saja dapat

membantu dosen mengajar, melainkan

sudah bersifat stand alone dalam

memfasilitasi proses belajar.

Manusia dengan pendidikan adalah

dua dunia yang tidak dapat terpisahkan.

Manusia memerlukan pendidikan untuk

mengembangkan diri dan memberikan

arahan yang tepat untuk hidupnya.

Sedangkan pendidikan sendiri tidaklah

berarti tanpa adanya subyek yang

menghidupi obyek pendidikan itu

sendiri. Diperlukan pendidikan yang

tepat dalam melahirkan individu yang

memiliki kemampuan (skill), mental

yang kuat disertai karakter yang baik.

Dunia pendidikan, khususnya perguruan

tinggi merupakan sarana dalam

melahirkan individu yang lengkap dan

berkualitas. Tetapi hal yang terpenting

adalah motivasi dan kemauan dari setiap

pribadi, dalam hal ini peneliti

membahas mahasiswa itu sendiri dalam

mencapai tingkat tertinggi dalam

pendidikan.

Notebook dan laptop merupakan sesuatu

kebutuhan di era globalisasi ini.

Notebook atau laptop dapat membantu

mahasiwa mengerjakan tugas di kelas

dan menemukan hal baru yang belum

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

107

mahasiwa ketahui, dalam hal ini adalah

kaitan dengan motivasi belajar

mahasiswa sebagai indicator. Peneliti

membahas mengenai pengaruh

notebook atau laptop sebagai sarana

yang mempengaruhi minat belajar

mahasiswa. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/08/riset-akuntansi-

5/

Laptop dirancang dengan bentuk

flip untuk melindungi layar dan

keyboard, namun semakin

berkembangnya teknologi, sekarang ada

beberapa laptop hanya berbentuk layar

saja dan memiliki layar touchscreen.

Laptop sangat cocok bagi seseorang

yang memiliki mobilitas yang tinggi dan

selalu bekerja dengan laptop setiap saat.

Ada juga beberapa orang memiliki

laptop hanya untuk fashion atau gaya

jaman sekarang, sehingga kadang

sebagian orang tidak mengerti

bagaimana cara merawat laptop yang

mereka miliki. Namun, tak hanya itu,

banyak pula yang membutuhkan tapi tak

bisa merawat, sehingga laptop yang

dimiliki mudah rusak. Untuk itu laptop

memerlukan perawatan yang berkala

agar kerja laptop tetap terjaga seperti

baru. Seperti kata pepatah, “merawat

lebih baik dari pada mengobati”, karena

jika rusak tak sedikit biaya yang harus

dikeluarkan

2. TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Motivasi

Motivasi adalah suatu dorongan

kehendak yang menyebabkan seseorang

melakukan suatu perbuatan untuk

mencapai tujuan tertentu. Motivasi

berasal dari kata motif yang berarti

"dorongan" atau rangsangan atau "daya

penggerak" yang ada dalam diri

seseorang.

Motivasi dapat berupa motivasi

intrinsic dan ekstrinsic. Motivasi yang

bersifat intinsik adalah manakala sifat

pekerjaan itu sendiri yang membuat

seorang termotivasi, orang tersebut

mendapat kepuasan dengan melakukan

pekerjaan tersebut bukan karena

rangsangan lain seperti status ataupun

uang atau bisa juga dikatakan seorang

melakukan hobbinya. Sedangkan

motivasi ekstrinsik adalah manakala

elemen elemen diluar pekerjaan yang

melekat di pekerjaan tersebut menjadi

faktor utama yang membuat seorang

termotivasi seperti status ataupun

kompensasi.

Banyak teori motivasi yang

dikemukakan oleh para ahli yang

dimaksudkan untuk memberikan uraian

yang menuju pada apa sebenarnya

manusia dan manusia akan dapat

menjadi seperti apa. Landy dan Becker

membuat pengelompokan pendekatan

teori motivasi ini menjadi 5 kategori

yaitu teori kebutuhan, teori penguatan,

teori keadilan, teori harapan, dan teori

penetapan sasaran.

B. Teori Motivasi

B.1. Teori motivasi Abraham Maslow

Abraham Maslow (1943;1970)

mengemukakan bahwa pada dasarnya

semua manusia memiliki kebutuhan

pokok. Ia menunjukkannya dalam 5

tingkatan yang berbentuk piramid.

• Kebutuhan fisiologis (rasa lapar,

rasa haus, dan sebagainya)

• Kebutuhan rasa aman (merasa aman

dan terlindung, jauh dari bahaya)

• Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa

memiliki (berafiliasi dengan orang

lain, diterima, memiliki)

• Kebutuhan akan penghargaan

(berprestasi, berkompetensi, dan

mendapatkan dukungan serta

pengakuan)

• Kebutuhan aktualisasi diri

B.2. Teori Motivasi Herzberg

Menurut Herzberg (1966), ada dua

jenis faktor yang mendorong seseorang

untuk berusaha mencapai kepuasan dan

menjauhkan diri dari ketidakpuasan.

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

108

Dua faktor itu disebutnya factor higiene

(faktor ekstrinsik) dan faktor motivator

(faktor intrinsik). Faktor higiene

memotivasi seseorang untuk keluar dari

ketidakpuasan, termasuk didalamnya

adalah hubungan antar manusia,

imbalan, kondisi lingkungan, dan

sebagainya (faktor ekstrinsik),

sedangkan faktor motivator memotivasi

seseorang untuk berusaha mencapai

kepuasan, yang termasuk didalamnya

adalah achievement, pengakuan,

kemajuan tingkat kehidupan, dan

sebagainya (faktor intrinsik).

3. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini menggunakan

desain studi cross-sectional dengan

metode deskriptif yaitu menggambarkan

keadaan yang sebenarnya berdasarkan

data dan fakta yang ada pada saat

penelitian karena bermaksud untuk

mengungkapkan hubungan atau korelasi

antara variabel bebas dengan variabel

terikat. (Nursalam, 2003)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis hasil penelitian meliputi

analisis univariat dan bivariat. Analisis

univariat meliputi analisis deskriptif

untuk variable karakteristik individu dan

deskripsi variable independen/bebas.

Tabel 1

Distribusi frekuensi dampak

penggunaan laptop terhadap motivasi

belajar mahasiswa tingkat III

Akper HKBP Balige

Motivasi Belajar Frequency Percent

Naik

Turun

Total

15

5

20

75

25

100

Dari tabel 1 menunjukkan sebagian

besar responden, yaitu 75% (15 orang)

memiliki dampak motivasi belajar

terhadap penggunaan laptop di kelas.

Tabel 2

Distribusi frekuensi naik turunnya

motivasi belajar mahasiswa tingkat III

Akper HKBP Balige terhadap

penggunaan laptop saat belajar di kelas

Dampak

penggunaan

laptop Frequency Percent

Berdampak

Tidak

Berdampak

Total

15

5

20

75

25

100

Tabel 2 menujukkan sebagian besar

motivasi belajar mahasiswa tingkat III

naik 75% (15 orang) apabila adanya

penggunaan laptop saat belajar di kelas.

Setelah melakukan penelitian

terhadap 20 (dua puluh) orang

responden dengan menggunakan

kuisoner, maka hasil analisa data dari

kuisoner adalah sebagai berikut.

1. Bahwa penggunaan laptop di kelas,

sebanyak 75% responden memiliki

dampak pada motivasi belajar.

2. Bahwa 75% responden memiliki

peningkatan motivasi belajar apabila

dapat menggunakan laptop saat

belajar di kelas.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa dan

pembahasan hasil penelitian maka

peneliti menyimpulkan bahwa dampak

penggunaan laptop pada saat belajar di

kelas adalah meningkatkan motivasi

belajar mahasiswa tingkat III Akper

HKBP Balige.

KEPUSTAKAAN

Fadhil, 2012, Sejarah Laptop dan

Perkembangannya,

http://fadhilgalery.blogspot.com

Hengki Riawan, 2012, Pengertian

Prestasi Belajar,

http://hengkiriawan. blogspot.com

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

109

Anonim, 2012, Pengertian Laptop,

http://id.shvoong.com/how-

to/writing/2163179-pengertian

laptop/#ixzz2BDYzP5pp diakses

04/05/2013 jam 10.53 wib

Pamuncar, 2012, Definisi-Peran-dan-

Fungsi Mahasiswa,

http://pamuncar.

blogspot.com/2012/06/definisi-

peran-dan-fungsi mahasiswa.html

12.25

Anonim, 2009, Redefinisi-Arti

Mahasiswa, http://sajak-

rakyat.blogspot.com/

2009/01/redefinisi-arti-

mahasiswa.html214311/16/12

Suci Nurhani, 2011, Dampak Positif

Negatif,

http://sucinurhani.blogspot.com

Anonim, 2010, Riset Akutansi,

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/

2010/08/riset-akuntansi-5/ diakses

04/05/13 jam 10.40 wib

Anonim, Fungsi Laptop bagi

Mahasiswa,

http://www.google.co.id/search?q=f

ungsi+laptop+bagi+mahasiswa&ie

=utf-8&oe=utf-

8&aq=t&rls=org.mozilla:en-

US:official&client=firefox-a

diakses 17.33 07/05/13

Anonim, 2011, Prestasi Belajar,

http://www.sarjanaku.com/2011/02/

prestasi-belajar.html22.0011/16/12

Anonim, 2012, Pengertian Belajar,

www.Cumanulisaja.blogspot.com/2

012/05/pengertian-belajar.html?=1

****

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

110

FAKTOR– FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGETAHUAN PERAWAT

TENTANG PEMENUHAN NUTRISI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN

KARDIOVASKULER DI RUANG E RSU HKBP BALIGE TAHUN 2011

Jenti Sitorus, SST

Daniel Tambunan, MARS Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut

[email protected]

Abstrak Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang sangat vital dan memegang peranan

sangat penting dalam kehidupan manusia, karena berfungsi untuk memompa dan mengalirkan

darah ke seluruh bagian tubuh, termasuk ke jaringan dan organ tubuh yang lain, seperti otak,

ginjal, usus, paru-paru, hati, dll. Aliran darah tersebut sangat penting sekali, karena nutrisi dan

oksigen yang diperlukan oleh seluruh tubuh dapat di transportasi ke sel untuk kehidupan sel

jaringan dan organ tubuh itu sendiri. Tanpa nutrisi dan oksigen yang cukup, maka sel jaringan

atau organ tubuh akan mati, sehingga fungsi sel dalam jaringan atau organ akan terganggu, dan

inilah yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai faktor–faktor yang

mempengaruhi pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien yang dirawat di

ruang E Tahun 2011. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui

bagaimana faktor –faktor yang mempengaruhi pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi

pada pasien yang dirawat di ruang E RSU HKBP Balige Tahun 2011. Hasil penelitian yang

dilakukan terhadap 10 orang responden didapat bahwa 7 orang berpengetahuan baik, 2 orang

(15%) berpengetahuan cukup dan 1 orang berpengetahuan kurang.

Kata kunci: pengetahuan, perawat, nutrisi, kardiovaskuler, RSU HKBP Balige

1. LATAR BELAKANG

Nutrisi adalah semua makanan yang

mengandung zat-zat gizi yang

dibutuhkan oleh tubuh baik untuk

mempertahankan keseimbangan

metabolisme ataupun sebagai

pembangun. Untuk membangun tubuh

yang sehat, dan lebih penting lagi

mempertahankannya, pemasukkan gizi

yang baik diperlukan. Pola makan sehat

juga penting untuk membantu

melindungi seseorang dari penyakit

seperti penyakit jantung dan kanker.

Nutrisi atau lebih mudah disebut zat

gizi adalah inti dari makanan. Makanan

mengandung berbagai macam nutrisi

atau zat gizi. Zat gizi berfungsi

membantu tubuh menjalankan

metabolisme dengan benar, dan

berfungsi dengan benar, menyediakan

energi, memastikan pertumbuhan dan

pemeliharaan tubuh dan melindungi

tubuh.

Kesalahan pola makan dewasa ini

menyebabkan nutrisi makanan yang

masuk ke dalam tubuh kita menjadi

tidak seimbang sehingga tidak jarang

ditemui orang dengan kelebihan zat gizi

atau obesitas dan juga orang dengan

kadar gizi yang kurang atau mal nutrisi.

Data statistik dari WHO mengatakan

bahwa 70 % kematian dini disebabkan

penyakit jantung, kanker, diabetes dan

stroke dan 50 % kematian diatas

berhubungan dengan pola makan yang

tidak baik (http ://adipatria.wordpress.

com/).

Peran perawat seharusnya

mengobservasi respon klien terhadap

pemberian nutrisi, memperhatikan

apakah pasien menghabiskan diet yang

disediakan, adakah pantangan yang

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

111

dilanggar, habis tidaknya makanan yang

dianjurkan. Karena pasien dengan

penyakit kardiovaskuler mempunyai

syarat-syarat tertentu dalam pemenuhan

nutrisinya.

Memperhatikan keadaan tersebut

akhirnya penulis ingin mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi

pengetahuan perawat tentang

pemenuhan nutrisi pada pasien yang

dirawat di Zaal E RSU HKBP Balige

tahun 2011.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengetahuan

2.1.1. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil tahu

dari manusia, ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan (sebagian

besar di peroleh melalui mata dan

telinga) terhadap suatu objek tertentu.

Pengetahuan merupakan domain yang

paling penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang (overt behavior) dan

pengetahuan dapat di ukur dengan

melakukan wawancara perilaku yang

didasari dengan pengetahuan dan

kesadaran akan lebih bertahan lama

daripada perilaku yang tidak di dasari

ilmu pengetahuan dan kesadaran.

(Notoatmodjo, 2007:143-144).

2.1.2. Faktor-faktor Yang

Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoadmojo (2007:20 )

faktor-faktor yang mempengaruhi

pengetahuan adalah :

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses

belajar, proses pertumbuhan/

perkembangan dan perubahan ke arah

yang lebih baik pada individu,

kelompok dan masyarakat. Mendidik

dan pendidikan adalah dua hal yang

saling berhubungan. Dari segi bahasa,

mendidik adalah kata kerja dan

pendidikan adalah kata benda.

(Notoadmojo, 2007:20).

Semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang, maka semakin mudah

seseorang tersebut untuk menerima dan

menyerap dan memahami pengetahuan

yang mereka peroleh dan kemauan

untuk mengetahui informasi akan

semakin tinggi. Menurut pendapat

beberapa ahli tentang pendidikan :

1) Jhon Dewey

Pendidikan adalah proses

pembentukan kecakapan-kecakapan

fundamental secara intelektual dan

emosional ke arah alam dan sesama

manusia.

2) Lavengeld

Mendidik adalah mempengaruhi

anak dalam usaha membimbingnya

supaya menjadi dewasa. Usaha

membimbing adalah usaha yang

disadari dan dilaksanakan dengan

sengaja. Pendidikan hanya terdapat

dalam pergaulan yang sengaja

antara orang dewasa dan alam.

3) Rosseau

Pendidikan adalah member

perbekalan yang tidak ada pada

masa anak-anak akan tetapi

dibutuhkan pada waktu dewasa.

b. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu yang

pernah dialami, dilihat, didengar oleh

seseorang yang dapat menjadi acuan.

Pengetahuan dapat diperoleh dari

pengalaman sendiri ataupun oang lain.

Seseorang anak memperoleh

pengetahuan bahwa api itu panas setelah

memperoleh pengalaman dimana tangan

dan kakinya terkena api dan terasa

panas (Notoadmojo, 2007).

c. Sumber informasi

Informasi adalah data yang di

proses dalam suatu bentuk yang

mempunyai arti bagi si penerima.

Dengan adanya informasi, dapat

meningkatkan pengetahuan bagi yang

menerima. Jenis informasi ada dua yaitu

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

112

informasi masa lalu (informasi

mengenai peristiwa lampau) dan

informasi masa sekarang (informasi

mengenai peristiwa yang terjadi

sekarang) (Notoadmojo, 2007: 163).

Informasi erat kaitannya dengan

pengetahuan dimana jika seseorang

mendapatkan banyak informasi seperti

televisi, media cetak, media massa,

radio dan surat kabar maka dapat

meningkatkan pengetahuannya.

2.2.Nutrisi

2.2.1. Pengertian Nutrisi

Nutrisi atau lebih mudah disebut zat

gizi adalah inti dari makanan. Makanan

mengandung berbagai macam nutrisi

atau zat gizi. Zat gizi berfungsi

membantu tubuh menjalankan

metabolism dengan benar,

menyediakan energi, memastikan

pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh.

Zat gizi dalam produk nutrisi

terbagi menjadi dua yaitu zat gizi makro

dan mikro. Zat gizi makro terdapat

dalam makanan dalam jumlah besar

terdiri dari karbohidrat, protein, lemak

dan air. Zat gizi mikro terdapat dalam

makanan dalam jumlah kecil terdiri dari

vitamin dan mineral. Kedua macam zat

gizi dari produk nutrisi makanan

tersebut baik makro maupun mikro

harus di konsumsi oleh tubuh dalam

keadaan yang seimbang baik dari segi

jumlah maupun jenisnya.

Dengan produk nutrisi makanan

seimbang membuat proses metabolisme

tubuh menjadi lebih baik dan

berkualitas, tubuh tidak akan

kekurangan salah satu zat gizi yang

diperlukan. Kesalahan pola makan

dewasa ini menyebabkan nutrisi

makanan yang masuk ke dalam tubuh

kita menjadi tidak seimbang sehingga

tidak jarang ditemui orang dengan

kelebihan zat gizi atau katakanlah

obesitas dan juga orang dengan kadar

gizi yang kurang atau mal nutrisi. Pola

makan yang salah menyebabkan orang

mengkonsumsi makanan tinggi

karbohidrat dan lemak, banyak bahan

pengawet, pewarna, penyedap, banyak

garam dan gula, makanan siap saji,

alkohol dan lain sebagainya, disisi lain

banyak juga orang yang kekurangan

zat–zat gizi esensial seperti vitamin,

mineral, asam lemak, asam amino, serat,

air (Patria, 2008).

Berdasarkan kegunaannya bagi

tubuh, zat gizi dibagi dalam tiga

kelompok besar yaitu

1. Kelompok zat energi, temasuk

kedalam kelompok ini adalah :

- Bahan makanan yang

mengandung karbohidrat seperti

beras, jagung, gandum, ubi, roti,

singkong dan lain-lain, selain itu

dalam bentuk gula seperti gula,

sirup, madu dan lain-lain.

- Bahan makanan yang

mengandung lemak seperti

minyak, santan, mentega,

margarine, susu dan hasil

olahannya.

2. Kelompok zat pembangun

Kelompok ini meliputi makanan –

makanan yang banyak mengandung

protein, baik protein hewani

maupun nabati, seperti daging, ikan,

susu, telur, kacang-kacangan dan

olahannya.

3. Kelompok zat pengatur

Kelompok ini meliputi bahan-bahan

yang banyak mengandung vitamin

dan mineral, seperti buah-buahan

dan sayuran.

2.2.2. Gangguan Kardiovaskuler

Penyakit kardiovaskular merupakan

penyebab utama kematian dan

kecacatan di seluruh dunia. Fakta dari

WHO menyebutkan bahwa terjadi satu

kematian akibat penyakit kardiovaskular

setiap dua detik, serangan jantung setiap

lima detik dan akibat stroke setiap enam

detik. Setiap tahunnya diperkirakan 17

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

113

juta orang meninggal akibat penyakit

kardiovaskular.

Penyakit kardiovaskular merupakan

suatu istilah untuk gangguan yang

menyebabkan penyakit jantung (kardio)

dan pembuluh darah (vaskular). Ada

tiga bentuk penyakit kardiovaskular,

yakni penyakit jantung koroner,

penyakit serebrovaskular, dan penyakit

vaskular perifer. Penyakit jantung

koroner adalah penyakit pembuluh

darah yang mensuplai jantung.

Implikasinya meliputi infark miokard

(serangan jantung), angina (nyeri dada),

dan aritmia (irama jantung abnormal).

Penyakit serebrovaskular adalah

penyakit pembuluh darah yang

mensuplai otak. Implikasinya meliputi

stroke (kerusakan sel otak karena

kurangnya suplai darah) dan transient

ischaemic attack (kerusakan sementara

pada penglihatan, kemampuan

berbicara, rasa atau gerakan). Penyakit

vaskular perifer adalah penyakit

pembuluh darah yang mensuplai tangan

dan kaki yang berakibat rasa sakit yang

sebentar datang dan pergi, serta rasa

sakit karena kram otot kaki saat olah

raga.

Serangan jantung dan stroke

terutama disebabkan oleh aterosklerosis

(penumpukan lemak) pada dinding

arteri pembuluh darah yang mensuplai

jantung dan otak. Deposit lemak yang

bertumpuk menyebabkan terbentuknya

lesi yang lama kelamaan akan

membesar dan menebal sehingga

mempersempit arteri dan menghambat

aliran darah. Akhirnya pembuluh darah

akan mengeras dan bersifat kurang

lentur.

Gangguan kardiovaskular yang

disebabkan aterosklerosis dikaitkan

dengan berkurangnya aliran darah

karena jantung dan otak tidak menerima

suplai darah yang cukup. Hambatan

aliran darah selanjutnya dapat berakibat

pada episode kardiovaskular yang lebih

serius termasuk serangan jantung dan

stroke. Adanya sumbatan darah juga

dapat menyebabkan terjadinya robekan

jaringan di arteri yang kemudian akan

membengkak dan dapat menghambat

seluruh pembuluh darah sehingga

mengakibatkan serangan jantung atau

stroke.

2.2.3. Nutrisi Pada Pasien Dengan

Gangguan Kardiovaskuler

Penyakit jantung terjadi akibat

proses berkelanjutan, dimana jantung

secara berangsur kehilangan

kemampuannya untuk melakukan fungsi

secara normal. Pada awal penyakit,

jantung mampu mengkompensasi

ketidakefisiensian fungsinya dan

mempertahankan sirkulasi darah normal

melalui pembesaran dan peningkatan

denyut nadi.

Dalam keadaan tidak

terkompensasi, sirkulasi darah yang

tidak normal menyebabkan sesak nafas,

rasa lelah, dan rasa sakit di daerah

jantung. Berkurangnya aliran darah

dapat menyebabkan kelainan pada

fungsi ginjal, hati, otak serta tekanan

darah, yang berakibat terjadinya

resorpsi natrium yang akhirnya

menimbulkan edema. Penyakit jantung

menjadi akut bila disertai infeksi, gagal

jantung, setelah miocard infarc, dan

setelah operasi jantung.

Syarat-syarat diet penyakit jantung

adalah sebagai berikut :

1. Energi cukup, untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan nomal.

2. Protein cukup yaitu 0,8 g/kgBB.

3. Lemak sedang, yaitu 25-30% dari

kebutuhan energi total, 10% berasal

dari lemak jenuh, dan 10-15% lemak

tidak jenuh.

4. Kolesterol rendah, terutama jika

disertai dengan dislipidemia.

5. Vitamin dan mineral cukup. Hindari

penggunaan suplemen kalium,

kalsium, dan magnesium jika tidak

dibutuhkan.

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

114

6. Garam rendah, 2-3 g/hari, jika

disertai hipertensi atau edema.

7. Makanan mudah cerna dan tidak

menimbulkan gas.

8. Serat cukup untuk menghindari

konstipasi.

9. Cairan cukup, ± 2 liter/hari sesuai

dengan kebutuhan.

10. Bentuk makanan disesuaikan

dengan keadaan penyakit, diberikan

dalam porsi kecil.

11. Bila kebutuhan gizi tidak dapat

dipenuhi melalui makanan dapat

diberikan tambahan berupa makanan

enteral, parenteral atau suplemen

gizi.

2.2.4. Jenis Diet / Nutrisi dan

Indikasi Pemberian

Diet Jantung I

Diet jantung I diberikan kepada

pasien penyakit jantung akut seperti

Myocard Infarct (MCI) atau

Dekompensasio Kordis berat. Diet

diberikan berupa 1-1,5 liter cairan/hari

selama 1-2 hari pertama bila pasien

dapat menerimanya. Diet ini sangat

rendah energi dan semua zat gizi,

sehingga sebaiknya diberikan selama 1-

3 hari.

Diet Jantung II

Diet jantung II diberikan dalam

bentuk makanan saring atau lunak. Diet

diberikan sebagai perpindahan dari Diet

Jantung I, atau setelah fase akut dapat

diatasi. Jika disertai hipertensi atau

edema, diberikan sebagai Diet Jantung

II garam rendah. Diet ini rendah energi,

protein, kalsium, dan tiamin.

Diet Jantung III

Diet jantung III diberikan dalam

bentuk makanan lunak atau biasa. Diet

diberikan sebagai perpindahan dari diet

jantung II atau kepada pasien jantung

dengan kondisi yang tidak terlalu berat.

Jika disertai hipertensi atau edema,

diberikan sebagai diet jantung III garam

rendah. Diet ini rendah energi dan

kalsium, tetapi cukup zat gizi lain.

Diet Jantung IV

Diet jantung IV diberikan dalam

bentuk makanan biasa. Diet diberikan

sebagai perpindahan dari Diet Jantung

III atau kepada pasien jantung dengan

keadaan ringan. Jika disertai hipertensi

atau edema, diberikan sebagai Diet

Jantung IV garam rendah. Diet ini

cukup energi dan zat lain, kecuali

kalsium ( Sunita, 2005).

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Jenis dan Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan

adalah desain penelitian cross sectional

yaitu suatu metoda yang merupakan

rancangan penelitian dengan melakukan

pengukuran atau pengamatan pada saat

bersamaan. Jenis penelitian deskriptif

yang bertujuan untuk mengetahui

gambaran pengetahuan perawat tentang

pemenuhan nutrisi pada pasien dengan

gangguan kardiovaskuler yang dirawat

di ruang E RSU HKBP BaligeTahun

2011.

3.2.2. Tempat dan Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan di ruang E

RSU HKBP Balige, dilakukan mulai

bulan Mei sampai Juli 2011.

3.2.3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah kumpulan elemen-

elemen yang memiliki sejumlah sifat-

Faktor-faktor yang

mempengaruhi pengetahuan

- Pendidikan

- Lama bekerja

- Pelatihan

- informasi

- Baik

- Cukup

- Kurang

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

115

sifat tertentu. Populasi dalam penelitian

ini adalah perawat di ruang E RSU

HKBP Balige tahun 2011.

b. Sampel

Sampel merupakan bagian dari

populasi yang di anggap mewakili

populasi. Sampel dalam penelitian ini

diambil secara eksidental.

3.3. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah

wawancara dengan penyebaran

kuesioner sedangkan dengan observasi

menggunakan observasi check list.

4. HASIL PENELITIAN

Dari hasil penelitian mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi

pengetahuan perawat tentang

pemenuhan nutrisi pada pasien dengan

gangguan kardiovaskuler yang dirawat

di Zaal E RSU HKBP Balige, maka

diperoleh :

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi perawat di Zaal E

berdasarkan tingkat pendidikan

Di RSU HKBP Balige Tahun 2011

No Pendidikan

terakhir

Jlh Persentase

1 DIII 8 80%

2 SPK 2 20%

Jumlah 40 100%

Berdasarkan tabel 4. 1 di atas dapat

dilihat bahwa jumlah responden

berdasarkan tingkat pendidikan adalah

DIII sebanyak 8 orang (80%),

responden yang berpendidikan SPK

berjumlah 2 orang (20%).

Tabel 4. 2

Distribusi Frekuensi Perawat di

Ruangan E berdasarkan Masa Kerja Di

RSU HKBP BaligeTahun 2011

No Lama

bekerja

Jlh Persentase

( %)

1 > 3 tahun 4 40%

2 1 – 3 5 50%

3 <1 tahun 1 10%

Jumlah 10 100%

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat

dilihat bahwa jumlah responden yang

masa kerja >3 tahun sebanyak 4 orang

(40%), responden yang masa kerjanya

1-3 tahun sebanyak 5 orang (50%) dan

responden yang masa kerjanya <1 tahun

yaitu 1 orang (10%).

Tabel 4. 3

Distribusi frekuensi perawat di ruangan

E berdasarkan pernah tidaknya

mengikuti pelatihan / seminar tentang

pemenuhan nutrisi pada pasien dengan

gangguan kardiovakuler yang dirawat di

RSU HKBP Balige Tahun 2011

No Mengikuti

Pelatihan/

Seminar

Jlh (%)

1 Pernah 2 20%

2 Tidak

pernah

8 80%

Jumlah 10 100%

Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat

dilihat bahwa jumlah responden yang

pernah mengikuti pelatihan/ seminar

sebanyak 2 orang (20%) dan yang tidak

pernah mengikuti pelatihan yaitu 8

orang (80%)

Tabel 4. 4

Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan

perawat tentang pemenuhan nutrisi

berdasarkan pernah tidaknya mengikuti

pelatihan/ seminar tentang pemenuhan

nutrisi

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

116

No

Pernah

tidaknya

mengikuti

Pelatihan/

Seminar

Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang

Jlh Jlh Jlh

1 Pernah 2 - -

2 Tidak

pernah

5 3 1

Jumlah 7 3 1

Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat

dilihat bahwa dari 10 orang responden

7 orang (70%) adalah yang

berpengetahuan baik dan 2 orang (20%)

yang berpengetahuan cukup dan 1

(10%) orang yang berpengetahuan

kurang

Tabel 4. 5

Tingkat pengetahuan perawat tentang

pemenuhan nutrisi pada pasien dengan

gangguan kardiovaskuler yang dirawat

di ruang E RSU HKBP Balige tahun 2011

Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat

dilihat bahwa tingkat pengetahuan

perawat tentang pemenuhan nutrisi pada

pasien dengan gangguan kardiovaskuler

yang dirawat diruang E RSU HKBP

Balige tahun 2011 yang mendapat nilai

≥76-100% yaitu sebanyak 7 orang

(70%) dengan kategori baik, nilai ≥56-

75% sebanyak 2 orang (20%) dengan

kategori cukup dan nilai ≥40-55%

sebanyak 1 orang (10%) dengan

kategori kurang.

5. KESIMPULAN

1. Tingkat pengetahuan perawat tentang

pemenuhan nutrisi pada pasien yang

dirawat di ruang E RSU HKBP

Balige pada umumnya adalah baik

sebanyak 7 orang (70%) dan

pengetahuan cukup 2 orang (20%)

dan pengetahuan kurang 1 orang

(10%).

2. Perawat yang tingkat pengetahuan

baik berdasarkan pelatihan adalah

perawat yang pernah mengikuti

pelatihan sebanyak 2 orang (20%)

dan yang tidak pernah mengikuti

pelatihan sebanyak 8 orang (80%).

3. Perawat dengan tingkat pengetahuan

baik berdasarkan sumber informasi

adalah perawat yang mendapatkan

informasi dari buku sebanyak 10

orang (100%).

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz, 2007. Metode Penelitian

Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Salemba Medika. Jakarta.

Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur

Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Budiarto, Eko, 2002. Biostatistika

Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. EGC.

Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Ilmu

Kesehatan Masyarakat. Rineka

Cipta. Jakarta

Nursalam, 2003. Konsep Dasar

Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba

Medika. Jakarta.

Politeknik Kesehatan Medan, 2006.

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI) , Medan.

Hartono, Ardi, 2000, Asuhan Nutrisi

Rumah Sakit. EGC. Jakarta

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar

Keperawatan Medikal Bedah,

EGC, Jakarta.

Almatsier sunita, 2005, Penuntun Diet,

Gramedia. Jakarta

http:// Adipatria, 2010, Konsep Dasar

Nutrisi, www.konsepdasarnutrisi. Com.

No Nilai Kategori

tingkat

pengetahuan

Jlh %

1 ≥76-100% Baik 7 70%

2 ≥56-75% Cukup 2 20%

3 ≥40-55% Kurang 1 10%

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

117

PENGARUH MERUBAH POSISI DAN MASSASE KULIT PADA PASIEN

STROKE TERHADAP TERJADINYA LUKA DEKUBITUS DI ZAAL F

RSU HKBP Balige

Carolina. M. Simanjuntak, S.Kep, Ns

dr. Margaretha Sirait, M.Kes Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut

[email protected]

Abstrak

Salah satu intervensi keperawatan untuk mencegah terjadinya luka dekubitus pada

pasien stroke yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai merubah posisi dan

massase kulit. Yang bertujuan untuk mempertahankan fungsi dari berbagai sistem dan

mempertahankan integritas kulit. Namun sejauh mana pengaruh intervensi

keperawatan merubah posisi dan massase kulit ini masih belum diketahui. Untuk itu

penulis tertarik untuk meneliti “Apakah ada pengaruh yang signifikan merubah posisi

dan massase kulit pada pasien stroke terhadap terjadinya luka dekubitus di Zaal F RSU

HKBP Balige. Desain yang digunakan adalah Quasi Eksperimen, dengan populasi

seluruh pasien stroke yang dirawat di Zaal F RSU HKBP Balige. Responden dalam

penelitian ini sebanyak 10 orang. Analisa data dilakukan secara bertahap yaitu analisa

univariat untuk mengetahui karakteristik responden dan analisa bivariat untuk melihat

pengaruh antara variabel dependent dan independent dengan menggunakan uji One

Sampel T Test . Kemudian didapatkan hasil nilai p = 0,000 (<α ). Hasil penelitian ini

didapatkan bahwa kemampuan merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke

dapat mencegah terjadinya luka dekubitus. Kesimpulan yang didapat adalah ada

pengaruh merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke terhadap terjadinya luka

dekubitus di di Zaal F RSU HKBP Balige.

Kata kunci : merubah posisi, massase kulit, pasien stroke, luka dekubitus

1. LATAR BELAKANG

Luka dekubitus merupakan suatu

ancaman yang sangat besar bagi

populasi pasien yang dirawat di rumah

sakit ataupun rumah perawatan lainnya.

Hal ini dapat terjadi pada setiap tahap

umur dan merupakan masalah,

khususnya pada mereka dengan

immobilitas yaitu pada pasien stroke,

injuri tulang belakang atau penyakit

degenerative. Pasien-pasien tersebut

memiliki resiko untuk mengalami

terjadinya luka dekubitus selama

perawatan (Marison, 2003).

Menurut Potter (2005) yang

mengutip pendapat Hoff (1989)

menyatakan pencegahan dekubitus

merupakan prioritas utama dalam

perawatan klien. Dekubitus merupakan

masalah akut yang terus menerus terjadi

pada situasi perawatan pemulihan. Salah

satu aspek utama dalam pemberian

asuhan keperawatan adalah

mempertahankan integritas kulit.

Intervensi perawatan terencana dan

konsisten merupakan intervensi penting

untuk menjamin perawatan yang

berkualitas tinggi (Agoes, 2008).

Beberapa penelitian tentang

intervensi keperawatan untuk mencegah

terjadinya luka dekubitus terdiri dari

pengaturan posisi baring (mobilisasi),

massase kulit, yang dapat mereduksi

penekanan jaringan dan dapat menjadi

tindakan yang efektif untuk mencegah

terjadinya luka dekubitus. Intervensi

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

118

dengan melakukan masase kulit pada

bagian tubuh tertentu sebagai tambahan

dari jadwal perubahan posisi yang rutin

serta intervensi perubahan posisi secara

berkala setiap 2 jam ( Noviestari, 2005).

Merubah posisi dapat melancarkan

peredaran darah serta memperbaiki

pengaturan metabolisme tubuh

mengembalikan kerja fisiologi organ-

organ vital dan mempercepat

penyembuhan luka yang terjadi dan

lebih lanjut perubahan posisi juga

memungkinkan kulit yang tertekan ter-

ekspose udara, sehingga kelembaban,

temperature, dan pH kulit (microclimate

condition) bisa dipertahankan dalam

kondisi yang optimal (Kusmawan

2008).

Massase kulit dapat

menghancurkan myogelosis atau

timbunan dari sisa-sisa pembakaran

yang terdapat pada otot dan

menyebabkan pengerasan serabut otot,

serta memperlancar sirkulasi darah, dan

merawat kelembaban kulit (Wijanarko,

2010). Massase kulit juga dapat

membantu memperlancar proses

penyerapan sisa-sisa pembakaran yang

berada dalam jaringan, dengan adanya

manipulasi/penekanan dan peremasan

pada jaringan maka darah dan sisa-sisa

pembakaran yang tidak diperlukan

terperas keluar dari jaringan masuk

kedalam pembuluh vena (Pupung,

2009).

Prevalensi luka dekubitus

bervariasi, dilaporkan bahwa 5-10%

terjadi ditatanan perawatan akut/acute

care, 15-25% ditatanan perawatan

jangka panjang, 7-12% ditatanan

perawatan rumah/ home health care

serta 8-40% di ICU karena penurunan

imunitas tubuh (Enie, 2005). Hasil

penelitian menunjukan insidens

dekubitus Indonesia sebesar 33,3%

(Suriady, 2006) angka ini sangat tinggi

bila dibandingkan dengan insiden

dekubitus di ASEAN yang hanya

berkisar 21-31,3% (Sugama 1992;

Seonggsok 2004; Kwong 2005).

Insiden dan prevalensi terjadinya

dekubitus pada penderita stroke di

Amerika cukup tinggi, untuk

mendapatkan perhatian dari kalangan

tenaga kesehatan yang mencapai 15%,

di Indonesia hampir 25% penderita

stroke terkena dekubitus

Berdasarkan data dan uraian diatas

maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan penerapan intervensi

keperawatan merubah posisi dan

massase kulit dalam upaya mencegah

terjadinya luka dekubitus dan

mengidentifikasi sejauh mana pengaruh

dari intervensi keperawatan tersebut

pada pasien stroke yang dirawat di di

zaal F RSU HKBP Balige tahun 2011.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Merubah Posisi

2.1.1. Defenisi

Merubah posisi merupakan

kemampuan individu untuk bergerak

secara bebas, mudah, dan teratur dengan

tujuan untuk memenuhi kebutuhan

aktivitas guna mempertahankan

kesehatannya (Hidayat, 2006).

2.1.2. Jenis-Jenis Merubah Posisi

Menurut Hidayat (2006) ada

beberapa jenis merubah posisi yang

terdiri atas :

a) Merubah Posisi Penuh merupakan

kemampuan seorang untuk

bergerak secara penuh dan bebas

sehingga dapat melakukan

interaksi sosial dan menjalankan

peran sehari-hari. Merubah posisi

penuh ini merupakan fungsi saraf

motoris volunter dan sensoris

untuk dapat mengontrol seluruh

area tubuh seseorang.

b) Merubah Posisi Sebagian

merupakan kemampuan seseorang

untuk bergerak dengan batasan

yang jelas, sehingga tidak mampu

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

119

bergerak secara bebas karena

dipengaruhi oleh gangguan saraf

motoris dan sensoris pada area

tubuhnya.

2.2. Konsep Massase Kulit

2.2.1 Pengertian

Massase adalah suatu pemijatan/

ditepu k-tepuk pada bagian tubuh

tertentu dengan tangan atau alat-alat

khusus untuk memperbaiki sirkulasi,

metabolisme, melepaskan pelekatan dan

melancarkan peredaran darah sebagai

cara pengobatan (Pupung, 2009).

2.2.2 Tujuan

a. Meningkatkan sirkulasi pada daerah

yang di masase.

b. Meningkatkan relaksasi.

c. Menjaga keadaan kondisi kulit.

2.2.3 Komponen Massase

Ada beberapa komponen dalam

menerapkan massase, yaitu: arah

gerakan tangan massase, dosis dan

frekuensi dari manipulasi yang

diberikan.

1. Arah gerakan Massase

Tujuannya adalah untuk

mempercepat aliran darah atau

sirkulasi darah venosa ke jantung.

2. Dosis dan frekuensi massase

Pada pasien stroke dibutuhkan

waktu sekitar 5-15 menit karena

dilakukan dibagian tubuh tertentu

dengan jangka waktu dua kali

sehari yaitu pada waktu pasien

dimandikan atau setelah mandi.

2.2.4 Efek Massase

a. Efek massase terhadap kulit

1. Melonggarkan pelekatan dan

menghilangkan penebalan-

penebalan kecil yang terjadi

pada jaringan dibawah kulit.

2. Kulit menjadi lunak dan elastis

3. Perasaan kulit menjadi sensitif

b. Efek Massase Terhadap Jaringan

Menbantu memperlancar proses

penyerapan sisa-sisa pembakaran

yang berada dalam jaringan

sehingga dengan adanya

manipulasi/penekanan dan

peremasan pada jaringan maka

darah dan sisa-sisa pembakaran

yang tidak diperlukan terperas

keluar dari jaringan masuk

kedalam pembuluh vena (Pupung,

2009).

Menurut Potter dan Perry (2005)

sebagai hasil ukur yang tetapkan dalam

massase adalah :

a) Baik : jika massase dilakukan

sesuai standar dan luka

dekubitus tidak terjadi.

b) Cukup : jika massase dilakukan

sesuai standar tapi tidak sesuai

jadwal dan luka dekubitus tidak

terjadi.

c) Kurang: jika massase dilakukan

tidak sesuai standar dan luka

dekubitus terjadi kurang satu

minggu.

2.3. Konsep Stroke

2.3.1 Pengertian

Stroke merupakan sindrom klinis

akibat gangguan pembuluh darah otak,

timbul mendadak dan biasanya

mengenai penderita usia 45-80 tahun.

Umumnya laki-laki sedikit lebih sering

terkena daripada perempuan. Biasanya

tidak ada gejala dini, dan muncul begitu

mendadak. Secara defenisi WHO

(World Health Organization)

menetapkan bahwa defisit neurologik

yang timbul semata-mata karena

penyakit pembuluh darah otak dan

bukan oleh sebab yang lain (Misbach

2007).

2.3.2 Gejala stroke

Gejala stroke antara lain rasa

kesemutan atau kelumpuhan diseparuh

badan, kebingungan mendadak,

gangguan bicara atau sukar memahami

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

120

pembicaraan orang lain, gangguan

penglihatan pada satu atau kedua mata,

sulit melangkah, pusing, gangguan

keseimbangan atau koordinasi, atau

nyeri kepala yang hebat tanpa sebab.

2.3.3 Jenis-jenis stroke

Stroke dibagi dua kategori besar

yaitu; stroke iskemik dan stroke

hemoragik. Yang pertama akibat

penyumbatan aliran darah dan yang

kedua karena pecahnya pembuluh

darah. Delapan puluh persen kasus

stroke disebabkan oleh iskemia, dan

sisanya disebabkan oleh perdarahan.

2.3.4 Akibat/Dampak Stroke

Akibat stroke ditentukan oleh

bagian otak mana yang cedera, tetapi

perubahan–perubahan yang terjadi

setelah stroke, baik yang mempengaruhi

bagian kanan atau kiri otak pada

umumnya adalah sebagai berikut:

a. Lumpuh ;

Kelumpuhan sebelah bagian tubuh

(hemiplegia) adalah cacat yang

paling umum akibat stroke. Bila

stroke menyerang bagian kiri otak,

terjadi hemiplegia kanan.

Kelumpuhan terjadi dari wajah

bagian kanan hingga kaki sebelah

kanan termasuk tenggorokan dan

lidah. Bila dampak lebih ringan

biasanya bagian yang terkena

dirasakan tidak bertenaga

(hemiperesis kanan). Bila yang

terserang adalah bagian kanan dan

lebih ringan disebut hemiparesis

kiri. Bila kerusakan terjadi pada

bagian bawah otak (cerebelum).

Kemampuan seseorang untuk

mengkoordinasikan gerakan

tubuhnya akan berkurang (Vita,

2006).

b. Perubahan Mental

Stroke tidak selalu membuat mental

penderita menjadi merosot dan

beberapa perubahan biasanya

bersifat sementara. Setelah stroke

memang dapat terjadi perubahan

pada daya pikir, kesadaran,

konsentrasi, kemampuan belajar

dan fungsi intelektual lainnya.

c. Gangguan Komunikasi

Seperempat dari semua pasien

stroke mengalami gangguan

komunikasi, yang berhubungan

dengan mendengar, berbicara,

membaca, menulis ,dan bahkan

bahasa isyarat dengan gerakan

tangan. Ketidakberdayaan ini

sangat membingungkan orang yang

merawatnya.

d. Disartia (dysartia)

Melemahkan otot-otot muka, lidah

dan tenggorokan yang membuat

kesulitan berbicara, walaupun

penderita memahami bahasa verbal

maupun tulisan. Cedera ini salah

satu pusat pengendalian bahasa

diotak sangat berdampak pada

cuping temporal dan pariental otak

sebelah kiri.

e. Afrasia

f. Gangguan Emosional

g. Kehilangan indera perasa.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak ada pengaruh intervensi

keperawatan merubah posisi dan

masase kulit terhadap

pencegahan terjadinya luka

dekubitus pada pasien stroke.

Ha : Ada pengaruh intervensi

keperawatan dengan merubah

posisi dan masase kulit terhadap

- Merubah Posisi

(miring kiri, kanan

dan telentang setiap

2 jam)

- Massase Kulit

Luka Dekubitus

pada pasien

stroke

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

121

pencegahan terjadinya luka

dekubitus pada pasien stroke.

3.3. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian

deskriptif korelasi yang bertujuan untuk

menemukan hubungan antar variabel

dengan desain penelitian adalah quasi

eksperimen yang bertujuan untuk

mengetahui pengaruh intervensi

keperawatan merubah posisi dan

massase kulit pada pasien stroke

terhadap pencegahan terjadinya luka

dekubitus.

3.4 Populasi

Populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri dari objek atau

subjek yang mempunyai kuantitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulan

(Sugiyono, 2004). Populasi pada

penelitian ini adalah pasien stroke yang

peneliti dapatkan selama tahun 2011.

3.5 Sampel Kriteria sampel pada penelitian ini

adalah pasien stroke yang baru dirawat

dan tidak mengalami dekubitus dengan

jenis kelamin laki-laki dan perempuan

yang berusia mulai 45 s/d 80 tahun dan

baru pertama kali dilakukan teknik

merubah posisi, tehnik pengambilan

sampling dengan cara Accidental

dilakukan berdasarkan kebetulan siapa

saja yang ditemui dan sesuai dengan

persyaratan data yang diinginkan.

Menurut Arikunto (2006) bila populasi

lebih dari 100, maka pengambilan

sampel 10-15% atau 20-25% dari

jumlah populasi. Maka jumlah sampel

dalam penelitian ini adalah 10 orang.

3.6 Jenis dan Metode Pengumpulan

Data

3.6.1. Data primer

Data primer dalam penelitian ini

diperoleh dengan melakukan observasi

dan tatap muka kepada pasien stroke

dengan menggunakan kuesioner dan

intervensi keperawatan di Zaal F RSU

HKBP Balige.

3.6.2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian

ini diperoleh dari Medikal Record di

Rumah Sakit HKBP Balige.

3.7 Analisa Data

3.7.1. Anilisis Univariat

Analisis ini untuk mendeskripsikan

atau menjelaskan distribusi masing-

masing variabel yang diteliti yaitu

intervensi keperawatan merubah posisi

dan massase kulit, tanda terjadinya luka

dekubitus serta karakteristik responden

dalam bentuk proporsi atau persentase.

Setelah diolah selanjutnya disajikan

dalam bentuk tabel dan diagram.

3.7.2. Analisis Bivariat

Analisis ini untuk menguji hipotesa

asosiatif yaitu menguji hubungan

variabel independen (merubah posisi

dan massase kulit) dengan variabel

dependen (pencegahan luka dekubitus)

pada pasien stroke yang dirawat dengan

bedrest total. Analisis ini dilakukan

untuk mengetahui pengaruh merubah

posisi dan massase kulit pada pasien

stroke terhadap terjadinya luka

dekubitus. Uji statistik yang digunakan

dalam analisis ini adalah Uji t ( uji One

Sampel T Test) dengan prasyarat uji

normalitas data. Jika data terdistribusi

normal maka uji yang digunakan adalah

uji One Sampel T Test dan jika data

tidak terdistribusi normal maka uji yang

digunakan adalah uji t wilcoxon.

Tingkat kepercayaan yang digunakan

adalah 95% dengan tingkat kemaknaan

α (alpha) = 0,05 (Sabri & Hastono,

2006; Sugiyono, 2004).

Keputusan uji statistik dalam

penelitian ini berdasarkan pendekatan

probabilistik dengan program statistik

komputer yang tersedia. Peneliti

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.

menggunakan nilai α

dengan kriteria hasil:

• Jika P value > nilai

keputusannya Ho diterima.

• Jika P value < nilai

keputusannya Ho ditolak.

4. HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi

Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di

Rumah Sakit HKBP Balige.

kesehatan di ruang rawat inap penyakit

dalam Zaal F ditangani oleh dokter

spesialis, dokter umum, dan perawat

dengan kualifikasi pendidikan D3

keperawatan, dan SPK.

4.2. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan oleh peneliti dari bulan Juli

s/d Agustus 2011 terhadap 10 pasien

Stroke di Zaal F di Rumah Sakit HKBP

Balige maka diperoleh data yang

ditampilkan dalam bentuk diagram,

tabel distribusi dan grafik sebagai

berikut:

1. Karakteristik Responden

1.1 Jenis Kelamin

Gambar 4.1 Distribusi frekuensi

berdasarkan Jenis Kelamin pada

Responden Stroke di Zaal F RSU

HKBP Balige.

Dari gambar di atas diketahui

bahwa responden yang berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 7 orang

(70%) dan perempuan sebanyak 3 orang

(30%).

Pere

m

pua…3

orang7

orang

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013

122

(alpha) 0,05

Jika P value > nilai α, maka

keputusannya Ho diterima.

alue < nilai α, maka

keputusannya Ho ditolak.

4. HASIL PENELITIAN

ambaran Umum Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di

HKBP Balige. Pelayanan

kesehatan di ruang rawat inap penyakit

Zaal F ditangani oleh dokter

dokter umum, dan perawat

dengan kualifikasi pendidikan D3

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan oleh peneliti dari bulan Juli

s/d Agustus 2011 terhadap 10 pasien

Zaal F di Rumah Sakit HKBP

maka diperoleh data yang

ditampilkan dalam bentuk diagram,

tabel distribusi dan grafik sebagai

Karakteristik Responden

Distribusi frekuensi

enis Kelamin pada

di Zaal F RSU

Dari gambar di atas diketahui

bahwa responden yang berjenis

laki sebanyak 7 orang

(70%) dan perempuan sebanyak 3 orang

1.2 Umur

Gambar 4.2 Distribusi frekuensi

berdasarkan Usia pada responden stroke

di zaal F RSU HKBP Balige

Dari Gambar 4.2 di atas diketahui

bahwa responden yang berumur antara

20-40 tahun (dewasa muda)

berumur antara 40-55 tahun (dewasa

menengah) sebanyak 4 orang (40%) dan

berumur lebih dari 55 tahun sebanyak 6

orang (60%).

2. Analisis Bivariat

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui

pengaruh merubah posisi dan masase

kulit pada pasien Stroke terhadap

terjadinya Luka Dekubitus di

RSU HKBP Balige dengan

menggunakan uji One Sampel T Test.

Tabel 4.1 Distribusi

responden berdasarkan

dekubitus setelah diberikan

posisi dan masase kulit di

HKBP Balige

N

o

Kejadian Luka

Dekubitus Frek

1 Terjadi

2 Tidak Terjadi

Total 10

Laki-

laki

70%

orang

0

2

4

6

Dws Muda Dws

Menengah

ISSN 2338-3690

Distribusi frekuensi

berdasarkan Usia pada responden stroke

di zaal F RSU HKBP Balige.

ri Gambar 4.2 di atas diketahui

bahwa responden yang berumur antara

40 tahun (dewasa muda) tidak ada,

55 tahun (dewasa

menengah) sebanyak 4 orang (40%) dan

berumur lebih dari 55 tahun sebanyak 6

sis ini dilakukan untuk mengetahui

pengaruh merubah posisi dan masase

kulit pada pasien Stroke terhadap

terjadinya Luka Dekubitus di Zaal F

RSU HKBP Balige dengan

uji One Sampel T Test.

Distribusi frekuensi

erdasarkan kejadian luka

etelah diberikan perubahan

ulit di zaal F RSU

Frek Persentase

(%)

2 20.0

8 80.0

10 100

Menengah

Dws Tua

> 55 Thn

40-55 Thn

20-40 Thn

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

123

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di

atas diketahui bahwa terdapat responden

yang tidak mengalami luka dekubitus

yaitu sebanyak 8 orang (80%) setelah

diberikan perubahan posisi dan masase

kulit dan sebanyak 2 (20%) responden

yang mengalami luka dekubitus setelah

dilakukan intervensi keperawatan

merubah posisi dan massase kulit.

Tabel 4.2 Hasil analisa pengaruh

merubah posisi dan masase kulit pada

pasien stroke terhadap terjadinya luka

dekubitus di Zaal F RSU HKBP Balige

Variabel P Value (CI 95%)

Merubah Posisi

dan Masase Kulit 0,000

Berdasarkan tabel di atas diketahui

bahwa hasil uji One Sampel T Test

didapatkan P Value sebesar 0,000 <

α=0,05 yang berarti ada pengaruh

merubah posisi dan masase kulit pada

pasien Stroke terhadap terjadinya Luka

Dekubitus di Zaal F RSU HKBP Balige.

5. PEMBAHASAN

Luka dekubitus merupakan dampak

tekanan yang terlalu lama pada area

permukaan tulang yang menonjol dan

mengakibatkan berkurangnya sirkulasi

darah pada area yang tertekan dan lama

kelamaan jaringan setempat mengalami

iskemik, hipoksia dan berkembang

menjadi nekrosis. Tekanan yang normal

pada kapiler adalah 32 mmHg. Apabila

tekanan kapiler melebihi tekanan darah

dan struktur pembuluh darah pada kulit,

maka akan terjadi kolaps. Dengan

terjadinya kolaps akan menghalangi

oksigenisasi dan nutrisi kejaringan

selain itu area yang tertekan

menyebabkan terhambatnya aliran

darah. Dengan adanya peningkatan

tekanan arteri kapiler terjadi

perpindahan cairan kekapiler, ini akan

menyokong untuk terjadinya edema dan

konsekkuensinya terjadi otolisis. Hal

lain juga bahwa aliran limpatik

menurun, ini juga menyokong terjadi

edema dan mengkontribusi untuk

terjadinya nekrosis pada jaringan.

(Barbara, 2005).

Berdasarkan hasil uji Statistic yaitu

uji One Sampel T Test didapatkan P

Value sebesar 0,000 < α=0,05 sehingga

Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti

ada pengaruh merubah posisi dan

masase kulit pada pasien Stroke

terhadap terjadinya Luka Dekubitus di

Zaal F RSU HKBP Balige Tahun 2011.

Berdasarkan hasil penelitian ini

didapatkan bahwa mayoritas responden

tidak mengalami luka dekubitus yaitu

sebanyak 8 orang (80%) setelah

diberikan perubahan posisi dan masase

kulit dan terdapat 2 orang (20%) yang

mengalami luka dekubitus setelah

dilakukan intervensi keperawatan

merubah posisi dan massase kulit. Hal

ini terjadi karena adanya ketidaktepatan

dalam hal melakukan perubahan posisi

dan massase kulit pada pasien stroke,

sehingga hasilnya tidak maksimal yaitu

masih terdapatnya 2 orang responden

yang mengalami luka dekubitus selain

itu alasan yang lain adalah bahwa

responden yang mengalami luka

tersebut berada dalam batsan usia

dewasa menengah dan dewasa tua.

Dari jenis kelamin bahwa mayoritas

responden mengalami luka dekubitus

berjenis kelamin laki laki yaitu

sebanyak 2 orang (20%), ini

membuktikan bahwa kejadian dekubitus

pada laki-laki lebih sering terjadi

daripada perempuan hal ini disebabkan

oleh karena pola hidup laki-laki berbeda

dengan wanita terutama dalam hal

mengkonsumsi makanan dan minuman,

sehingga berpengaruh terhadap

kerentanan terjadinya luka dekubitus

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

124

dan juga kadar albumin yang dibawah

normal.

Dari segi umur didapatkan hasil

setelah dilakukan intervensi

keperawatan merubah posisi dan

massase kulit pada pasien stroke

terhadap terjadinya luka dekubitus

terdapat 2 orang (20%) responden yang

mengalami luka dekubitus yang berusia

lebih dari 55 tahun atau dewasa tua. Hal

Ini membuktikan bahwa umur seseorang

berpengaruh terhadap percepatan

terjadinya luka dekubitus pada bagian

tubuh tertentu terutama pada bagian

tulang yang menonjol yang mengalami

penekanan secara terus-menerus, sebab

responden stroke yang berusia lebih dari

55 tahun atau lansia telah mengalami

kemunduran dari sistem dan fungsi

tubuh.

6. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan

pembahasan hasil penelitian maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Intervensi keperawatan merubah

posisi dan massase kulit pada

pasien stroke dapat mencegah

terjadinya luka dekubitus pada

pasien stroke. Hal ini dibuktikan

dengan uji statistik dengan hasil P

Value 0,000, berarti ada pengaruh

signifikan dari intervensi

keperawatan merubah posisi dan

massase kulit terhadap terjadinya

luka dekubitus.

2. Responden yang tidak mengalami

luka dekubitus yaitu sebanyak 8

orang (80%) setelah diberikan

intervensi keperawatan merubah

posisi dan masase kulit dan yang

mengalami sebanyak 2 orang

(20%).

3. Terdapat 2 orang Responden

(20%) berjenis kelamin laki-laki

yang mengalami luka dekubitus.

Hal ini menjelaskan bahwa luka

dekubitus akan lebih terjadi pada

laki-laki daripada perempuan hal

ini didukung oleh fakor pola hidup

dalam mengkonsumsi makanan

dan minuman.

4. Ada pengaruh Umur terhadap

pembentukan luka dekubitus pada

pasien stroke hal ini dibuktikan

dengan terjadinya luka dekubitus

pada responden yang berusia

dewasa menengah dan dewasa tua.

Terjadinya luka tersebut oleh

karena kondisi tubuh serta sistem

dan fungsi tubuh mereka telah

mengalami penurunan.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes Azwar, et al 2008, Penyakit di

usia Tua, EGC, Palembang.

Alimul A, 2007. Riset Keperawatan

Tehnik Penulisan Ilmiah. :

Salemba Medika. Surabaya

Alimul A, 2006. Pengantar Kebutuhan

Dasar Manusia : Salemba

Medika. Surabaya

Alimul A, 2004. Buku Saku Praktikum

Kebutuhan Dasar Manusia .

EGC. Jakarta..

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur

Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

Bayly, Doreen E. 2002. Pijat Refleksi.

Bandung : Pionir Jaya.

Brunner & Suddarth. 2002.

Keperawatan Medikal Bedah,

Vol. 1. Jakarta : EGC.

--------------------------. 2002.

Keperawatan Medikal Bedah,

Vol. 2. Jakarta : EGC.

Elisabet J, (2000), Buku Saku

Patofisiologi, Jakarta: EGC

Hinchliff, Sue. 2000. Kamus

Keperawatan. Jakarta : EGC.

Hidayat Djunaedi,dkk (2009). Ulkus

Dekubitus (cermin Dunia

kedokteran No 64,) diakses dari

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

125

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/fi

les/10_Ulkus Dekubitus. pdf.html

pada tanggal 10 juli 2009

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita

Selekta Kedokteran, Jilid 2.

Jakarta : Media Aesculapius.

Nursalam, 2008. Konsep dan

Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta;

Salambe Medika.

Pupung. 2010. Efek Massage pada

Peredaran Darah, Lympa, Kulit dan Jaringan Otot.

http://www.pupung.com .

______,(2010). Luka dekubitus, diakses

dari http://blog.ilmu keperawatan.

com/ luka-decubitus-dan-

penatalaksanaan-perawatan.html

pada tanggal 5 juli 2010

Politeknik kesehatan Medan, (2006).

Panduan penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI), Medan.

Potter, Patricia A, (2006). Fundamental

Keperawatan, Jakarta ; EGC

Priharjo Robert, (2005), Pemenuhan

Aktivitas Istrahat Pasien, Yogyakarta;

EGC

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

126

PENGETAHUAN PERAWAT DALAM MERAWAT PASIEN TB PARU DI

RUMAH SAKIT HKBP BALIGE

Jastro Situmorang, S.Kep, Ns

dr. Edi Salmon Sirait, M.Kes

Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut

[email protected]

Abstrak

Penyakit TB Paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru yang

disebabkan oleh bakteri Mycobakterium Tuberkulosis. Penyakit ini sudah sangat

menjamur di masyarakat terutama di negara – negara berkembang yaitu sebesar 95 %.

Pada umumnya penderita TB Paru mendapat pengobatan melalui rawat inap dan rawat

jalan. Dalam hal ini tenaga perawat merupakan tenaga kesehatan terbanyak di rumah

sakit dan memiliki kontak paling lama dengan pasien, untuk itu pengetahuan tenaga

kesehatan, khususnya perawat sangat berpengaruh dalam perawatan TB Paru. Desain

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif, dimana tujuan

penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan perawat dalam merawat

pasien TB paru. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 65,21 % dari responden

masuk dalam kategori pengetahuan sedang dan 34 % masuk dalam kategori

pengetahuan baik.

Kata kunci: Pengetahuan perawat, TB Paru, Rumah Sakit HKBP Balige

1.1. Latar Belakang Tuberkulosis paru adalah penyakit

infeksi kronik yang sudah sangat lama

dikenal pada manusia. Permulaan abad

19 insiden penyakit TB di Eropa dan

Amerika serikat sangat besar. Angka

kematian cukup tinggi yakni 400 per

100.000 penduduk. Maret 1993 WHO

mendeklarasikan TB sebagai global

health emergency. Pada tahun 1998 ada

3.617.047 kasus TB tercatat di seluruh

dunia. Sebagian kasus TB terjadi di

negara–negara berkembang, diantara

mereka 75% berada pada usia

produktif, yaitu 20-49 tahun.

Diperkirakan 95% penderita TB berada

di negara berkembang sejalan dengan

munculnya epidemik HIV\AIDS.

Alasan utama meningkatnya beban

TB global ini disebabkan : kemiskinan

pada berbagai penduduk, adanya

perubahan demokgrafik, perlindungan

kesehatan yang tidak mencukupi pada

penduduk di negara-negara miskin,

tidak memadainya pendidikan

mengenai TB, terlantar, kurangnya

biaya, dan adanya epidemic HIV AIDS.

Di Indonesia penyakit TB

merupakan masalah utama kesehatan

masyarakat. Hasil survei kesehatan

rumah tangga tahun 1995 menunjukkan

bahwa TBC merupakan penyebab

kematian nomor 3 setelah

kardiovaskular dan penyakit saluran

nafas pada semua kelompok umur.

Dalam hal perawatan penderita

TB, perawat merupakan orang

terpenting yang mempunyai peranan

besar dalam proses penyembuhan

penyakit. Tingkat pengetahuan perawat

menjadi acuan bagaimana bisa

terpenuhinya kebutuhan pasien.

Pengetahuan tenaga kesehatan terutama

perawat sangat berpengaruh dalam

perawatan pasien TB paru, guna

menghindari penularan.

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

127

Rumah Sakit HKBP Balige

merupakan rumah sakit yang memberi

pelayanan yang menjungjung tinggi

kode etik keperawatan dan melayani

atas dasar kasih. Insiden penderita TB

Paru di RS HKBP Balige sekitar 35%.

Banyak penderita TB Paru yang rawat

jalan dan rawat inap.

1.2. Tujuan Penelitian

a.Tujuan umum

untuk mengetahui tingkat

pengetahuan perawat dalam merawat

pasien TB Paru di RS HKBP Balige

b.Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi pengetahuan

perawat RS HKBP Balige tentang

cara merawat pasien TB Paru

2. Mengidentifikasi bagaimana cara

parawat member perawatan terhadap

pasien TB Paru di RS HKBP Balige

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat memberikan

kontribusi bagi praktek keperawatan

dan penddikan keperawatan. Hasil

penelitian juga dapat sebagai

pengembangan penelitian lebih lanjut.

1. Penelitian Keperawatan

Menjadi dasar penelitian lebih lanjut

yang berhubungan dengan

perawatan TB Paru

2. Praktik keperawatan

Penelitian ini menjadi suatu acuan

yang berguna dalam meningkatkan

kemampuan perawat merawat

penderita TB Paru dan menghindari

penularan

3. Pendidikan keperawatan

Informasi yang di dapat sebagai

masukan untuk pengembangan

pelajaran terutama riset keperawatan

yang berhubungan dengan

perawatan TB Paru

2. TINJAUAN TEORITIS

2.1. Konsep Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah

sesuatu yang hadir dan terwujud dalam

jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan

adanya reaksi persentuhan dan

hubungan dengan lingkungan alam

sekitarnya (Isyraq)

Dalam pengetahuan, ada 2 aspek yang

berbeda antara lain :

1. Hal-hal yang diperoleh

Pengetahuan seperti ini mencakup

tradisi, keterampilan, informasi,

pemikiran-pemikiran dan kaidah-

kaidah yang diyakini oleh seseorang

dan diaplikasi dalam semua kondisi

dan dimensi penting kehidupan

2. Realitas yang terus berubah

Seseorang mengetahui secara

khusus perkara-perkara yang

beragam kemudian membandinkan

hal tersebut satu sama lain dan

memberi pandangan atasnya

2.1.2 Pembagian Pengetahuan

Pada umumnya pengetahuan dibagi

menjadi :

1. Pengetahuan Langsung (Immediate)

merupakan pengetahuan langsung

yang hadir dalam jiwa tanpa melalui

proses penafsiran dan pikiran

2. Pengetahuan Tidak langsung

(Mediate)

merupakan hasil dari pengaruh

interpretasi dan proses berpikir serta

pengalaman yang lain

3. Pengetahuan indrawi (Perceptual)

sesuatu yang dicapai dan diraih

melalui indra-indra lahiriah

4. Pengetahuan Konseptual

merupakan pikiran manusia secara

langsung tidak dapat membentuk

suatu konseptual tentang objek-

objek dan perkara-perkara ekstarnal

berhubungan dengan alam eksterm

5. Pengetahuan Particular

berkaitan dengan satu individu,

objek-objek tertentu atau realitas

khusus

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

128

2.1.3 Domain Pengetahuan

Ada 6 tingkatasn domain pengetahuan

1. Tahu (know)

diartikan sebagai mengingat suatu

memori yang telah di pelajari

sebelumnya

2. Memahami (comprihension)

diartikan sebagai suatu kemampuan

untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui dan

dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar

3. Aplikasi (Aplication)

aplikasi adalah suatu kemampuan

untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau

kondisi real

4. Analisis

suatu kemampuan untuk

menjabarkan materi atau subjek

dalam komponen-komponen

5. Sintesis (Synthesis)

sintesis menunjukkun kepada suatu

kemampuan untuk melakukan atau

menghubungkan bagian-bagian

dalam suatu teknik keseluruhan

yang baru

6. Evaluasi

evaluasi ini berkaitan dengan

kemampuan untuk melakukan

yudifikasi atau penilaian terhadap

suatu materi atau objek

2.2. Defenisi Perawat

2.2.1. Defenisi

Perawat adalah mereka yang memiliki

kemampuan dan kewenangan

melakukan tindakan keperawatan

berdasarkan ilmu yang

dimilikinya,yang diperoleh melalui

pendidikan keperawatan (UU RI No

23, 1992)

2.2.2. Peran Perawat

Peran perawat menurut CHS,1989

• Pemberi asuhan keperawatan

• Pembela pasien

• Pendidik tenaga perawat dan

masyarakat

• Koordinator dalam pelayanan

masyarakat

• Kolaborator dalam membina

kerja sama dengan profesi lain

• Konsultan / Penasehat pada

tenaga kerja dan klien pembaharu

system

2.2.3. Fungsi Perawat

Fungsi adalah pekerjaan yang harus

dilaksanakan sesuai dengan

peranannya:

1. Melaksanakan instruksi dokter

(fungsi dependen)

2. Observasi gejala dan respon pasien

yang berhubungan dengan penyakit

dan penyebabnya

3. Membantu pasien menyusun dan

memperbaiki rencana keperawatan

4. Supervisi semua pihak yang ikut

terlibat dalam perawatan pasien

5. Mencatat dan melaporkan keadaan

pasien

6. Melaksanakan prosedur dan teknik

keperawatan

7. Memberikan pengarahan dan

penyuluhan untuk meningkatkan

kesehatan fisik dan mental

2.3. Konsep Penyakit

2.3.1 Defenisi TB Paru

Tuberculosis paru adalah penyakit

infeksius yang terutama menyerang

parenkim paru (Smelzer, 2002)

2.3 2. Klasifikasi Tuberkulosis

� Pembagian secara Patologis

1. Tuberculosis primer

Penularan Tuberkulosis paru

terjadi karena kuman dibatukkan

atau dibersinkan keluar menjadi

droplet dalam udara sekitar kita

2. Tuberkulosis post primer

Kuman yang dormant pada

tuberculosis primer akan muncul

bertahun-tahun kemudian sebagai

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

129

infeksi endogen menjadi

tuberculosis dewasa

� Pembagian secara aktivitas

radiologis Tuberkulosis paru

(Koch Pumonum) aktif, nonaktif,

dan quiescent (bentuk aktif yang

mulai menyembuh)

� Pembagian secara radiologist (luas

lesi)

- Tuberkulosis minimal

terdapat sebagian kecil

infiltrate nonkafitas pada satu

paru maupun kedua paru tetapi

jumlahnya tidak melebihi satu

lobus paru.

- Moderately advanced

tuberculosis

Ada kavitas dengan diameter

tidak lebih dari 4 cm. Jmlah

infiltrate bayangan halus tidakl

lebih dari satu bagian paru.

- Far advanced Tuberculosis

Terdapat infiltrate dan kavitas

yang melebihi keadaan pada

moderately advanced

Tuberculosis

� Pada tahun 1974 American

thoracic Society memberikan

klasifikasi baru yang diambil

berdasarkan aspek kesehatan

masyarakat

- Kategori 0

Tidak pernah terpajan dan tidak

terinfeksi, riwayat kontak

negative, test tuberculin

negative

- Kategori I

Terpajan tuberculosis, tetapi

tidak terbukti ada infeksi,

riwayat kontak positif, test

tuberculin negative

- Kategori II

Terinfeksi tuberculosis, tapi

tidak sakit, test tuberculin

negative, radiologist dan

sputum negative.

- Kategori III

Terinfeksi tuberculosis dan sakit

2.3.3 Etiologi

Penyebab tuberculosis adalah

mycobacterium tuberculosis, yang

bersifat aerob. Kuman ini lebih

menyerang jaringan yang tinggi

kandungan O2 pada bagian apical paru-

paru lebih tinggi dari orang lain

sehingga bagian ini merupakan tempat

prediksi penyakit tuberculosis paru

(Suyono,2001)

2.3.4 Penularan dan faktor-faktor

resiko

Cara penularan kebanyakan melalui

ninhalasi kuman tuberculosis yang

terdapat di udara.

Yang berisiko tinggi untuk tertular

Tuberculosis adalah:

• Mereka yang kontak dekat

dengan seseorang yang

mempunyai TB aktif

• Individu imunosupresif (lansia,

pasien dengan kanker, mereka

dalam terapi kortikosteroid)

• Setiap individu tanpa perawatan

kesehatan yang adekuat

• Setiap individu dengan gangguan

medis yang ada sebelumnya(mis:

DM, gagal ginjal kronik)

• Individu yang tinggal di daerah

perumahan substandart kumuh

• Petugas kesehatan

2.3.5 Patofiologi

Individu rentan yang menghirup basil

tuberculosis dan menjadi terinfeksi,

bakteri pindah melalui jalan nafas ke

alveoli. Basil juga dipindahkan melalui

system limfe dan aliran darah bagian

tubuh lainya (ginjal, tulang, korteks

serebra dan area paru lainnya).

2.3.6 Manisfestasi klinik

Secara umum gejala penyakit TB

adalah:

� Demam tingkat rendah

� Keletihan

� Anoreksia

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

130

� Nyeri dada

� batuk menetap

� Keringat malam

� Penurunan berat badan

� Batuk darah

Gejala Respiratorik:

� Batuk kurang lebih dua

minggu

� Sesak nafas

� batuk darah

� Nyeri dada

Gejala sistemik:

� Demam

� malaise

� Keringat malam

� Anoreksia

� Berat badan menurun

2.3.7 Pemeriksaan Diagnostik/

laboratorium

1.Pemeriksaan diagnostic:

• Pada awal pemeriksaan penyakit,

gambaran radilogis adalah berupa

bercak-bercak seperti awan

dengan batas-batas tidak jelas

• Pada tahun lanjut, bercak-bercak

awan menjadi padat dan jelas

batasnya

• Bila lesi diikuti dengan jaringan

ikat dan kelihatan bayangan

terlihat bulat

• adanya bayangan lesi pada photo

dada menunjukkan suatu infiltrasi

yang betul-betul nyata

• Pemeriksaan khusus yang di

perlukan seperti broncografi,

yakni untuk melihat kerusakan

bronkus atau paru

• Gambaran tuberculosis miler

dapat berupa bercak-bercak halus

tersebar merata pada seluruh

lapangan paru

2.Pemeriksaan laboratorium

• Darah: LED, LED meningkat

pada proses aktif, tetapi LED

normal tidak dapat

mengesampingkan proses

tuberculosis paru aktif

• Leukosit, sedikit meningkat pada

proses tuberculosis paru aktif

• HB: Pemeriksaan darah lain

didapatkan juga anemia ringan,

gamma globuli meningkat dan

kadar natrim menurun

• Tes PAP (Peroksidase Anti

perksidasi): merupakan uji

serologi imunoperoksidase

memakai alat histogen

imunoperoksidase staining untuk

menentukan adanya Ig G spesifik

terhadap basil TB

• Tes mantoux atau tuberculin: Tes

kulit yang digunakan untuk

menentukan atau

mengindikasikan adanya infeksi,

tetapi belum tentu dapat penyakit

secara klinis.

• Pemeriksaan sputum BTA:

memastikan diagnopsa TB paru

namun, pemeriksaan ini tidak

spesifik karena hanya 30-70%

pasien TB yang dapat di

diagnosis.

2.3.8 Penatalaksanan

Pengobatan Tuberculosis terutama

berupa pemberian obat anti mikroba

dalam jangka waktu yang lama selama

periode 6-12 bulan.

Obat- obat untuk pengobatan TB pada

dewasa

Obat Lini Pertama:

� Isoniazid(INH)

Efek samping: Kemerahan, kadar

enzim hepatic, Hepatitis, neuropati

ferifer. Efeknya system saraf pusat

ringan

� Rifamfisin(RIF)

Efek samping: Gangguan

pencernaan, hepatitis, masalah-

masalah pendarahan, kemerahan,

gagal ginjal, dan demam.

� Rifabutin(RFB)

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

131

Efek samping: Kemerahan,

Hepatitis, demam, dan

trombositopeni

� Pirazinamid(PZA)

Efek samping: Hepatitis,

hiperurisemia, gangguan

pencernaan.

� Etambutol(EMB)

Efek samping: neuritis, kemerahan

� Sterptomicin

Efek samping: keracunan pada

ginjal

Obat Lini Kedua :

� Kapreonimisin

Efek samping: keracunan pada

auditorius, vestibular ginjal

� Etinamid

Efek samping: ganguan

pencernaan, hepatotoksis,

hipersensivitas

� Sikloserin

Efek samping: keracunan pada

auditorius, vestibular, ginjal

� Kanamisin

Efek samping: keracunan pada

auditorius, vestibular, dan ginjal

(prince, 2006)

2.3.9 Directly Observed Treatment

Shortcourse (DOTS)

DOTS adalah nama suatu strategi yang

dilaksanakan di pelayanan kesehatan di

dunia untuk mendeteksi dan

menyembuhkan pasien TB.

Strategi ini terdiri dari 5 komponen

yaitu:

Dukungan politik para pemimpin

wilayah di setiap jenjang

Mikroskop sebagai komponen

utama untuk mendiagnosa TB

melalui pemeriksaan sputum

langsung

Pengawasan minum obat

Pencatatan dan pelaporan dengan

baik dan benar

Paduan obat anti TB jangka

pendek yang benar, termasuk

dosis dan jangka waktu yang

tepat sangat penting untuk

keberhasilan pengobatan

3. KERANGKA KONSEP

4. METODE PENELITIAN

4.1 Desain penelitian

Desain penelitian ini menggunakan

metode deskriptif yang dilakukan

dengan tujuan membuat gambaran

tentang suatu keadaan objektif.

4.2 Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh

perawat yang bekerja di RS HKBP

Balige yang berlatang belakang

pendidikan SPK sejumlah 23 orang.

4.3 Sampel penelitian

Sampel dipilih dengan menggunakan

total sampling, yaitu semua populasi

yang ada dijadikan sampel penelitian

ini karena populasi kurang dari 100

yaitu 23 orang.

4.4 Waktu penelitian

Penelitian dilakukan mulai tanggal 01

Agustus s.d 15 Agustus 2013.

4.5 Analisa data

Setelah data terkumpul, maka peneliti

melakukan analisa data dengan cara di

periksa terlebih dahulu (editing) untuk

memeriksa apakah pernyataan dalam

kuesioner telah diisi sesuai dengan

petujuk, setelah itu diberikan tanda

kode terhadap pernyataan yang telah

• Defenisi

• Etiologi

• Klasifikasi

• CaraPenularan

• Manifestasi klini

• Pengobatan

• Asuhan

Keperawatan

Baik

Sedang

Buruk

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

132

diajukan untuk mempermudah

tabulasi. Setelah di tabulasi, diberi nilai

sesuai dengan jawaban yang diberikan

responden. Jawaban yang benar di beri

nilai 1 dan yang salah di beri nilai 0.

Kemudian skor yang di peroleh di

tetepkan proporsinya untuk

menentukan berapa nilai responden

dengan menggunakan rumus

Nilai=SC/ST x100%

dimana SC: Score responden

ST: Jumlah keseluruhan

Jumlah responden yang menjawab

benar>85% adalah pengetahuan baik,

menjawab benar 75-85% adalah

pengetahuan sedang dan menjawab

<75% adalah pengetahuan buruk.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Karakteristik Responden

No

Karakteristik

Responden

Frekuen

si

Persentase

(%)

1 Umur

Responden

24 – 30 Thn

31 – 35 Thn

36 – 40 Thn

13

7

3

56,5

30,5

13

2 Jenis

Kelamin

Laki – Laki

Perempuan

4

19

17,4

82,6

3 Lama

Bekerja

2 – 3 Thn

3 – 4 Thn

4 – 5 Thn

> 5 Thn

-

13

5

15

-

13

21,7

65,3

5.1.2 Pengetahuan perawat dalam

merawat Pasien TB Paru

Pengetahuan responden dinilai dari

kemampuan responden dalam

menjawab kuesioner yang meliputi

defenisi TB Paru, etilogi, klasifikasi,

cara penularan, tanda dan gejala,

pemeriksaan diagnostic, pengobatan,

komplikasi, pengkajian, diagnose

keperawatan, intervensi dan

implementasi. Dalam hal ini

pengetahuan responden dianggap baik

apabila menjawab benar paling tidak

85% dari kuesioner.

5.2. Pengetahuan Perawat

Dalam Merawat Pasien TB Paru

Tabel 5.1 Distribusi Pengetahuan

Perawat Dalam merawat Pasien TB

Paru No Pengetahuan Perawat Frekuensi/Persentasi

Baik Sedang Buruk

1 Pengetahuan

Perawat tentang

defenisi TB Paru

20 (86,9%)

3 (13,04%)

-

2 Pengetahuan

Perawat tentang

Etilogi TB Paru

23 (100%)

- -

3 Pengetahuan

Perawat tentang

klasifikasi TB Paru

4 (17,4%)

- 19 (82,6%)

4 Pengetahuan Perawat

tentang cara

penularan TB Paru

23 (100%)

- -

5 Pengetahuan

perawat tentang

tanda dan gejala

23 (100%)

- -

6 Pengetahuan Perawat

tentang Pemeriksaan

diagnostik

23 (100%)

- -

7 Pengetahuan Perawat

tentang pengobatan

TB Paru

9 (39,1%)

14 (60,9%)

-

8 Pengetahuan Perawat

tentang Komplikasi

14 (60,9%)

- 9 (39,1%)

9 Pengetahuan perawat

tentang Pengkajian

keperawatan TB

Paru

9 (39,1%)

12 (52,2%)

2 (8,7%)

10 Pengetahuan perawat

tentang diagnose

keperawatan

16 (69,6%)

- 7 (30,4%)

11 Pengetahuan perawat

tentang Intervensi

keperawatan

13 (56,5%)

- 10 (43,5%)

12 Pengetahuan perawat

tentang

Impolementasi

keperawatan

10 (43,5%)

13 (56,5%)

-

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

133

Tabel 5.2 Distribusi Pengetahuan

Perawat dalam merawat pasien kategori

baik, sedang dan buruk. Kode

Respon

den

Skor Persentase

(%)

Kemampuan

Baik Sedang Buruk

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

23

23

23

24

24

25

25

28

23

25

27

26

26

25

24

26

26

25

27

27

24

25

26

76,6

76,6

76,6

80

80

83,3

83,3

83,3

76,6

83,3

90

86,6

86,6

83,3

80

86,6

86,6

83,3

90

90

80

83,3

86,6

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Baik

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

5.2. Pembahasan

Pengetahuan perawat mengenai definisi

TB Paru cukup baik, yaitu sekitar 86,9%

perawat berpengetahuan baik. Dalam

hal ini perawat sudah mengalami apa itu

TB Paru. Begitu juga dengan etiologi,

cara penularan, tanda dan gejala,

pemeriksaan diagnostic, perawat sudah

berpengetahuan baik yaitu100%.

Mengenai klasifikasi TB Paru

pengetahuan perawat masih buruk yaitu

sekitar 82,6%. Dalam hal ini perawat

perlu mengetahui klasifikasi TB. Dalam

hal pengobatan sekitar 60,86% perawat

adalah berpengetahuan sedang. Perawat

harus mengetahui benar mengenai

pengobatan karena perawat harus

menjelaskan kepada klien bahwa

pengobatan TB Paru di berikan secara

rutin setiap hari selama 6 bulan untuk

regimen 6 bulan dan 9 bulan untuk

regiomen 9 bulan.

Mengenai komplikasi TB Paru sekitar

60,86% perawat berpengetahuan

sedang. Dalam hal pengkajian, dan

implementasi keperawatan 52,17%

perawat berpengetahuan sedang.

Sebagai seorang perawat,harus

memahami proses keperawatan yaitu:

mulai dari pengkajian, diagnose

keperawatan, intervensi, implementasi

dan evaluasi keperawatan. Pengetahuan

perawat mengenai diagnose

keperawatan adalah baik yaitu sekitar

69,56%. Begitu juga dengan

pengetahuan mengenai intervensi

keperawatan adalah berpengetahuan

baik yaitu 56,52%.

Evaluasi pengetahuan responden

terhadap keseluruhan konsep medis dan

keperawatan TB Paru menunjukkan

hasil berpengetahuan sedang. Dimana

65,21% dari responden berpengetahuan

sedang dan 34,78% responden

berpengetahuan baik. Tidak ada

responden berpengetahuan buruk.

6. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisa dan

pembahasan dapat di ambil kesimpulan

dan saran mengenai tingkat pengetahuan

perawat dalam merawat pasien TB Paru

di RS HKBP Balige.

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang

dilaksanakan pada tanggal 01 agustus

sampai 15 agustus 2013 di RS HKBP

Balige dan dari hasil pembahasan dapat

di ambil kesimpulan bahawa tingkat

pengetahuan perawat dalam merawat

pasien TB Paru berpengetahuan sedang

yaitu sekitar 65,21%.

Meskipun 65,3% dari responden lama

berkerja >5 tahun, namun berdasarkan

hasil penelitian dan pembahasan bahwa

65,21% dari responden mempunyai

pengetahuan sedang mengenai

perawatan TB Paru.

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

134

DAFTAR PUSTAKA

Amin. 2007. Ilmu Penyakit Dalam

.Jakarta: EGC

Arikunto,S.2007.Manajemen

Penelitian. Jakarta : PT Rineka

Cipta

Alimul. 2002. Pengantar Pendidikan

Keperawatan. Jakarta : EGC

Ali.Z. 1999. Konsep Dasar

Keperawatan. Jakarta : EGC

Corwin.J. Elisabeth.2001. Buku Saku

Patofisiologi Untuk

Keperawatan. Jakarta : EGC

Doengoes. 2000. Rencana Asuhan

Keperawatan. Jakarta : EGC

Jumadi,1999.Keperawatan

Profesional. Jakarta : EGC

Mansjoer. 2001. Kapita Selecta

Kedokteran Jilid 1. Jakarta :

Media Aesculapius FKUI

Notoadmojo. 2003. Metodologi

Penelitian Kesehatan. Jakarta :

EGC

Smeltzer.2002.Keperawatan Medikal

Bedah. Jakarta :EGC

Suyono, Salamet.2001. Ilmu Penyakit

Dalam.Jakarta : EGC

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

135

PELAKSANAAN PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL

AKIBAT TINDAKAN INVASIF PEMASANGAN INFUS

OLEH PERAWAT PELAKSANA TAHUN 2010

DI RSU BETHESDA SERUKAM

Juliming Kenedy, SKM,

Susito, SKM., M.Kes,

Ishak, Silvia, Thresiawati

Akademi Keperawatan Serukam, Kabupaten Bengkayang

Abstrak

Rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan, juga merupakan depot bagi berbagai

macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus

karier. Data menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi nosokomial akibat

pemasangan infus rata-rata di setiap ruangan perawatan di Rumah Sakit Umum

Bethesda Serukam, Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang sekitar 30-40%.

Data tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi nosokomial akibat tindakan

invasif pemasangan infus masih cukup tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan

mengumpulkan data dari sejumlah responden untuk mengetahui pelaksanaan

pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus yang

dilakukan oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam,

Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang. Dari hasil penelitian diperoleh

informasi bahwa pengetahuan perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda

Serukam tentang pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan

infus diperoleh nilai rata-rata 83,65%,keterampilan perawat dalam pencegahan infeksi

nosokomial yang berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus diperoleh

nilai rata-rata 76,92 dan fasilitas yang mendukung terhadap pelaksanaan pencegahan

infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus dengan nilai rata-rata

ketersediaan sarana yaitu 74.

Kata kunci : Pencegahan, Infeksi Nosokomial, Pemasangan Infus, RSU Bethesda

1. LATAR BELAKANG

Rumah sakit merupakan suatu

tempat dimana orang yang sakit dirawat

dan ditempatkan dalam jarak yang

sangat dekat. Di tempat ini pasien

mendapatkan terapi dan perawatan

untuk dapat sembuh. Tetapi, rumah

sakit selain untuk mencari kesembuhan,

juga merupakan depot bagi berbagai

macam penyakit yang berasal dari

penderita maupun dari pengunjung yang

berstatus karier. Kuman dari suatu

penyakit dapat hidup dan berkembang

di lingkungan rumah sakit, seperti;

udara, air, lantai, makanan dan benda-

benda medis maupun non medis

(Utama, 2006).

Infeksi ini dapat disebabkan oleh

mikroorganisme yang didapat dari orang

lain (cross infection) atau disebabkan

oleh flora normal dari pasien itu sendiri

(endogenous infection). Kebanyakan

infeksi yang terjadi di rumah sakit ini

lebih disebabkan karena faktor

eksternal, yaitu penyakit yang

penyebarannya melalui makanan dan

udara dan benda atau bahan-bahan yang

tidak steril.

Umumnya 50% penderita yang

dirawat di rumah sakit memerlukan

tindakan pemasangan infus sebagai

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

136

sarana pemberian terapi melalui jalur

intravena. Beberapa faktor dibawah ini

berperan dalam meningkatkan

komplikasi kanula intravena yaitu: jenis

kateter, ukuran kateter, pemasangan

melalui venaseksi, kateter yang

terpasang lebih dari 72 jam, kateter

yang dipasang pada tungkai bawah,

tidak mengindahkan prinsip anti sepsis,

cairan infus yang hipertonik dan darah

transfusi karena merupakan media

pertumbuhan mikroorganisme, peralatan

tambahan pada tempat infus untuk

pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu

sering pada kanula. Kolonisasi kuman

pada ujung kateter merupakan awal

infeksi tempat infus dan bakteremia

(Garner, 1996).

Setiap tahun diperkirakan 2 juta

pasien mengalami infeksi saat dirawat

di Rumah Sakit. Hal ini terjadi karena

pasien yang dirawat di Rumah Sakit

mempunyai daya tahan tubuh yang

melemah sehingga resistensi terhadap

mikroorganisme penyebab penyakit

menjadi turun, adanya peningkatan

paparan terhadap berbagai

mikroorganisme dan dilakukannya

prosedur invasif terhadap pasien di

rumah sakit. Golongan yang paling

rentan tehadap infeksi dari rumah sakit

adalah mereka yang berumur lebih dari

64 tahun dan diikuti oleh bayi kurang

dari satu tahun. Lokasi infeksi tersering

adalah saluran kemih (30%), luka

(20%), saluran pernafasan (20%) dan

lokasi lain (30%) (Nursing Times,1984).

Di Rumah Sakit Umum Bethesda

Serukam, Kecamatan Samalantan

Kabupaten Bengkayang, terdapat 5

ruang perawatan yang terdiri dari:

Instalasi Gawat Darurat, Ruang

Kebidanan, Ruang Rawat Umum,

Ruang Intencive Care Unit, dan Ruang

Rawat Umum Atas, berdasarkan sensus

harian dan sensus bulanan tahun 2010

pada masing-masing ruangan tersebut,

diperoleh data bahwa yang paling

banyak jumlah pasien yang dirawat

setiap bulannya berkisar 70-90 orang

pasien khususnya di ruang rawat umum

bawah dan ruang rawat umum atas dan

ruang kebidanan, sekitar 90% dari

jumlah pasien yang dirawat tersebut

memerlukan tindakan invasif berupa

pemasangan infus untuk keperluan

pemberian terapi medis maupun nutrisi

parenteral. Kemudian didapatkan data

bahwa angka kejadian infeksi

nosokomial akibat pemasangan infus

rata-rata di setiap ruangan perawatan di

Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam,

Kecamatan Samalantan Kabupaten

Bengkayang sekitar 30-40%, artinya

setiap bulannya dari +60 orang pasien

yang dirawat dengan menggunakan

infus terdapat 20-26 orang pasien yang

mengalami infeksi pada infusnya. Data

tersebut menunjukkan bahwa angka

kejadian infeksi nosokomial akibat

tindakan invasif pemasangan infus

masih cukup tinggi pada rumah sakit

tersebut (Rumah Sakit Umum Bethesda

Serukam SMF, 2010).

Selama 10-20 tahun belakangan ini

telah banyak perkembangan yang telah

dibuat untuk mencari masalah utama

terhadap meningkatnya angka kejadian

infeksi nosokomial di banyak negara,

dan dibeberapa negara, kondisinya

justru sangat memprihatinkan. Keadaan

ini justru memperlama waktu perawatan

dan perubahan pengobatan dengan obat-

obatan mahal, serta penggunaan jasa di

luar rumah sakit. Karena itulah, di

negara-negara miskin dan berkembang,

pencegahan infeksi nosokomial lebih

diutamakan untuk dapat meningkatkan

kualitas pelayanan pasien dirumah sakit

dan fasilitas kesehatan lainnya (Utama,

2006).

Upaya pencegahan infeksi

melibatkan berbagai unsur, mulai dari

peran pimpinan sebagai pengambil

kebijakan sampai petugas kesehatan

sendiri. Kemampuan untuk mencegah

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

137

transmisi infeksi di rumah sakit, dan

upaya pencegahan infeksi adalah

tingkatan pertama dalam pemberian

pelayanan yang bermutu. Untuk seorang

petugas kesehatan, kemampuan

mencegah infeksi memiliki keterkaitan

yang tinggi dengan pekerjaan, karena

mencakup setiap aspek penanganan

pasien. Dimana peran petugas adalah

sebagai pelaksana dalam upaya

pencegahan infeksi. Namun setiap

petugas kesehatan wajib memperhatikan

kesehatan dirinya. Petugas kesehatan

wajib melindungi dirinya misalnya

dengan mengikuti seluruh prosedur

universal precaution ketika bertugas.

(Orel, 2001).

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif dengan pendekatan cross

sectional yaitu suatu cara penelitian

yang dilakukan dengan mengumpulkan

data dari sejumlah responden pada saat

itu atau data pada saat dilakukan

penelitian untuk mengetahui

pelaksanaan pencegahan infeksi

nosokomial akibat tindakan invasif

pemasangan infus yang dilakukan oleh

perawat pelaksana di Rumah Sakit

Umum Bethesda Serukam, Kecamatan

Samalantan, Kabupaten Bengkayang.

Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh perawat pelaksana di Rumah

Sakit Umum Bethesda Serukam,

Kecamatan Samalantan, Kabupaten

Bengkayang yang berjumlah 60 orang,

yang terdiri dari 3 orang lulusan

Sekolah Perawat Kesehatan 55 orang

lulusan Diploma III keperawatan dan 2

orang lulusan Sarjana kesehatan

masyarakat.

Sampel yang diambil adalah

perawat pelaksana di Rumah Sakit

Umum Bethesda Serukam dengan

kriteria inklusi :

1. Perawat pelaksana ruang Instalasi

Gawat Darurat, ruang kebidanan,

ruang rawat umum, Intensive Care

Unit, dan ruang rawat umum Atas.

2. Tidak sedang cuti besar.

3. Bersedia menjadi responden

Banyaknya jumlah sampel yang

diambil ditentukan dengan mengikuti

pedoman dari Tabel Penentuan Jumlah

Sampel oleh Krejcie dan Morgan (1970)

dalam Uma Sekaran (1992) yaitu

sebagai berikut: jumlah populasi 60

orang maka jumlah sampel sebanyak 52

orang.

Instrumen yang digunakan pada

penelitian ini adalah kuesioner dengan

pertanyaan tertutup dan pedoman

observasi yang dibuat oleh peneliti.

Kuesioner dibagikan kepada responden

untuk diisi setelah responden bersedia

untuk diteliti. Cara pembuatan

kuesioner dilakukan sendiri oleh peneliti

dengan modififikasi, karena tidak ada

sumber kuesioner yang baku.

Pedoman observasi digunakan

untuk mengukur keterampilan perawat

dalam tindakan keperawatan serta

alat/sarana yang tersedia di ruangan

perawatan. Pedoman observasi dengan

checklist untuk skala keterampilan

memiliki kriteria : dilakukan dengan

sempurna (nilai 2), dilakukan tetapi

tidak sempurna (nilai 1) dan tidak

dilakukan (nilai 0), sedangkan untuk

skala alat/sarana dengan kriteria:

tersedia dengan baik (nilai 2), tersedia

tidak lengkap/kondisi kurang baik (nilai

1) dan tidak tersedia (nilai 0).

3. HASIL PENELITIAN

Analisis hasil penelitian meliputi

analisis univariat. Analisis univariat

meliputi analisis deskriptif untuk

variabel karakteristik individu dan

pelaksanaan pencegahan infeksi

nosokomial akibat tindakan invasif

pemasangan infus oleh perawat

pelaksana di Rumah Sakit Umum

Bethesda Serukam, Kecamatan

Samalantan Kabupaten Bengkayang.

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

138

Karakteristik individu pada

penelitian ini meliputi nama, jenis

kelamin dan ruangan. Karakteristik jenis

kelamin diukur dalam skala nominal,

dilakukan analisis deskriptif dan

disajikan pada tabel.

Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin

Responden di Rumah Sakit Umum

Bethesda Serukam Tahun 2010

No Jenis Kelamin Jlh Persentase

1 Perempuan 34 65,3

2 Laki-laki 18 34,7

Total 52 100

Tabel 2. Distribusi Pendidikan

Responden di Rumah Sakit Umum

Bethesda Serukam Tahun 2010

No Pendidikan Jumlah Persentase

1 SPK 1 2

2 DIII

Keperawatan 50 96

3 S-1

Keperawatan 1 2

Total 52 100

Tabel 3. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pencegahan Infeksi Nosokomial

Akibat Pemasangan Infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010

Kategori IGD Bidan Z. Umum ICU Z. Atas Total

Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % Jlh %

Sangat

Baik 7 58,33 10 90,90 10 90,90 3 42,86 7 63,64 37 71,16

Baik 5 41,67 0 0 1 9,01 4 57,14 2 18,01 12 23,08

Cukup 0 0 1 9,01 0 0 0 0 2 18,01 3 5,76

Kurang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 12 100 11 100 11 100 7 100 11 100 52 100

Tabel 4. Distribusi Keterampilan Responden Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial

Akibat Pemasangan Infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010

Kategori IGD Z.Bidan Z.Umum ICU Z. Atas Total

Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % Jlh %

Sangat

Baik 5 41,67 6 54,55 5 45,45 5 71,42 4 36,36 25 48,08

Baik 4 33,33 3 27,27 4 36,37 2 28,58 4 36,37 17 32,70

Cukup 2 16,67 2 18,18 2 18,18 0 0 2 18,18 8 15,38

Kurang 1 8,33 0 0 0 0 0 0 1 9,09 2 3,84

12 100 11 100 11 100 7 100 11 100 52 100

Berdasarkan table 4. Diatas dapat

diinterpretasikan bahwa keterampilan

responden dalam mencegah infeksi

noskomial akibat pemasangan infus

dengan kategori sangat baik adalah

sebagian dari responden yaitu sebanyak

25 orang (48,08%), dan 17 orang yang

mendapat kategori baik (32,70%) dan

responden dengan kategori cukup yaitu

sebanyak 8 orang (15,38%), serta yang

kategori kurang adalah 2 orang (3,84%).

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

139

Tabel 5. Distribusi Ketersediaan Sarana Pencegahan Infeksi Nosokomial Akibat

Pemasangan Infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010

No Ruang Skor StandarNilai Kategori

< 50 50-74 75-100 Kurang Cukup Baik

1 IGD 80 � �

2 Z.Bidan 70 � �

3 Z.Umum 70 � �

4 ICU 80 � �

5 Z.Atas 70 � �

Rata-Rata 74 � �

Tabel 5 diatas menunjukkan

distribusi penyediaan sarana untuk

pelaksanaan pencegahan infeksi

nosokomial akibat pemasangan infus di

Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam

tahun 2010 dengan kriteria cukup.

4. PEMBAHASAN

Berdasarkan karakteristik jenis

kelamin responden di Rumah Sakit

Umum Bethesda Serukam menunjukkan

distribusi terbesar dari responden adalah

perempuan yaitu sebanyak 34 responden

atau 65,3% dari total keseluruhan

responden. Namun sejauh ini belum ada

penelitian yang menjelaskan tentang

adanya perbedaan jenis kelamin

mempengaruhi pengetahuan dan

ketrerampilan seorang perawat dalam

memberikan pelayanan keperawatan

khususnya yang berhubungan dengan

pencegahan infeksi nosokomial akibat

pemasangan infus.

Distribusi pendidikan responden di

Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam

tahun 2010 yang terbesar adalah

responden dengan latar belakang

pendidikan Diploma III Keperawatan

yaitu sebanyak 50 orang atau (96 %).

Pendidikan merupakan salah satu hal

yang menentukan pengetahuan

sebagaimana menurut Kuncoroningrat

(1997), makin tinggi pendidikan

seseorang makin mudah menerima

informasi sehingga makin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya

pendidikan yang kurang akan

menghambat perkembangan sikap

seseorang terhadap nilai - nilai yang

baru diperkenalkan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat

dilihat bahwa dari 50 responden yang

mempunyai latar belakang pendidikan

Diploma III Keperawatan 35 orang

memperoleh tingkat pengetahuan dalam

kategori sangat baik, 10 orang mendapat

nilai dalam kategori baik, 3 orang

memperoleh nilai kategori cukup, 2

orang perawat memperoleh nilai dengan

kategori kurang hal ini menunjukan

bahwa sebagian besar perawat yang ada

di Rumah Sakit Umum Bethesda

Serukam dengan latar belakang

pendidikan Diploma III keperawatan

sebagian besar memiliki tingkat

pengetahuan yang sudah sangat baik.

Distribusi pengetahuan responden

di Rumah Sakit Umum Bethesda

Serukam tentang pencegahan infeksi

nosokomial akibat pemasangan infus

dengan kriteria sangat baik adalah

sebagian dari responden yaitu sebanyak

37 orang (71,16%). Responden yang

mendapatkan nilai pengetahuan dengan

kategori sangat baik tersebut,

mempunyai jenis kelamin, ruangan,

pendidikan yang bervariasi. Ruangan

perawatan yang mendapatkan nilai rata-

rata pengetahuan tentang pencegahan

infeksi nosokomial akibat infus yang

tertinggi adalah ruang rawat umum

dengan nilai 90,90 % sedangkan yang

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

140

mendapatkan nilai rata-rata terendah

adalah ruang rawat umum atas dengan

nilai 63,64 %. Selanjutnya merujuk

pada teori Notoatmodjo (2003),

pengetahuan merupakan dominan yang

sangat penting dalam membentuk

perilaku seseorang, artinya dalam hal ini

semakin baik pengetahuan responden

tentang infeksi nosokomial maka

semakin baik pula kemampuan mereka

dalam melakukan pencegahan terhadap

infeksi nosokomial tersebut. Pada

umumnya semua responden pernah

mendengar dan mempelajari tentang

infeksi nosokomial saat dibangku

sekolah atau kuliah. Informasi mengenai

infeksi nosokomial selain didapat saat

sekolah atau kuliah juga melalui dokter,

atau bahkan melalui media dimana

infeksi nosokomial merupakan problem

klinis yang sangat penting pada saat

sekarang ini, terbukti dari banyaknya

laporan/berita tentang kejadian infeksi

nosokomial di rumah-rumah sakit, baik

di luar maupun di dalam negeri, dengan

konsekwensi meningkatnya angka

kesakitan dan kematian. Rumah sakit

merupakan tempat untuk melakukan

prosedur dan tindakan medis serta

keperawatan baik itu untuk membantu

diagnosa maupun memonitor perjalanan

penyakit dan terapi, yang selain untuk

mendapatkan kesembuhan juga dapat

menyebabkan pasien rentan terkena

infeksi nosokomial. Pengetahuan

perawat dalam hal pencegahan infeksi

nosokomial khususnya yang

berhubungan dengan pemasangan infus

diperlukan dalam pemberian pelayanan

berkualitas kepada masyarakat.

Pengetahuan yang dimiliki oleh perawat

pelaksana di Rumah Sakit Umum

Bethesda Serukam tersebut secara

umum belumlah cukup memadai, hal ini

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

faktor enabling/pendukung seperti

tersedianya sarana dan prasarana, faktor

penguat/reinforcing seperti sikap dan

perilaku perawat, serta faktor

predisposisi seperti pendidikan,

kepercayaan dan sosial ekonomi dari

para perawat tersebut. Dengan latar

belakang tersebut diatas, tentu saja

untuk melakukan pencegahan atau

pengendalian infeksi nosokomial di

Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam

diperlukan pengetahuan yang baik dari

tiap personil perawat, yang menjadi

dasar dari tiap pelaksanaan setiap

tindakan keperawatan yang dilakukan

terhadap pasien yang sesuai dengan

standar dan prosedur yang berlaku di

institusi tersebut.

Keterampilan responden di Rumah

Sakit Umum Bethesda Serukam dalam

mencegah infeksi noskomial akibat

pemasangan infus dengan kategori

sangat baik yaitu sebanyak 25 orang

(48,08%). Responden yang mempunyai

keterampilan dalam pencegahan infeksi

pada infus dengan kategori sangat baik

mempunyai latar belakang pendidikan,

ruangan, jenis kelamin yang berbeda-

beda. Ruangan perawatan yang

mendapatkan nilai rata-rata

keterampilan tentang pencegahan

infeksi nosokomial akibat infus yang

tertinggi adalah Ruang Intensive Care

Unit dengan nilai 71,42 % sedangkan

yang mendapatkan nilai rata-rata

terendah adalah ruang rawat umum atas

dengan nilai 36,36 %. Responden

dengan latar belakang pendidikan.

Sekolah Perawat Kesehatan yang

memiliki masa kerja yang cukup lama

ternyata cukup terampil dalam

melaksanakan tindakan pencegahan

infeksi, hal ini disebabkan karena

mereka memiliki cukup banyak

pengalaman dalam merawat pasien

dengan menggunakan infus, karena

sebagian besar pasien yang dirawat di

Rumah Sakit Umum Bethesda

Serukamm enggunakan infus untuk

pemberian obat-obatan. Keterampilan

mereka dalam ketepatan insersi jarum

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

141

kateter infus cukup baik terbukti dengan

jarang melesetnya insersi abbocath

dalam vena pada tusukan pertama, yang

terlihat selama peneliti melakukan

kegiatan observasi. Pada umumnya

perawat pelaksana di Rumah Sakit

Umum Bethesda Serukam sudah

mempunyai ketrampilan yang memadai

dalam hal pencegahan infeksi yang

berkaitan dengan pemasangan infus,

tetapi terkadang dalam pelaksanaannya

menemukan kendala yang berkaitan

dengan kurangnya alat dan fasilitas

penunjang ataupun pengetahuan dari

perawat itu sendiri yang masih belum

baik dalam hal pencegahan infeksi

nosokomial.Berdasarkan pengamatan

peneliti, sebagian besar responden tidak

mencuci tangan terlebih dahulu sebelum

melakukan tindakan, cuci tangan hanya

dilakukan setelah selesai melakukan

tindakan. Hampir sebagian dari

responden juga tidak memakai sarung

tangan steril pada saat melakukan

tindakan, mereka lebih sering

menggunakan sarung tangan non steril

atau bahkan tidak menggunakan sarung

tangan sama sekali. Pada dasarnya

transmisi penyakit melalui tangan dapat

diminimalisasi dengan menjaga hiegene

dari tangan. Tetapi pada kenyataannya,

hal ini sulit dilakukan dengan benar,

karena banyaknya alasan seperti

kurangnya fasilitas cuci tangan, dan

waktu mencuci tangan yang lama serta

mungkin sudah terbiasa tidak mencuci

tangan terlebih dahulu sebelum

melakukan tindakan keperawatan.

Padahal diketahui bahwa tingkat

pengetahuan perawat di Rumah Sakit

Umum Bethesda Serukam rata-rata

sangat baik mengenai hal ini, tapi pada

prakteknya dirasa kurang. Hal ini

mungkin disebabkan karena faktor

kesalahan yang tidak disadari yang

sudah menjadi budaya dan kebiasaan

sehari-hari mereka.Kebiasaan tidak

mencuci tangan ataupun tidak memakai

sarung tangan sebelum melakukan

tindakan, mungkin tidak disadari oleh

perawat dapat meningkatkan insiden

infeksi nosokomial. Mungkin kebiasaan

ini lebih dominan disebabkan oleh

budaya mencucitangan yang belum

terlalu melekat dalam kehidupan sehari-

hari perawat sehingga terbawa dalam

pekerjaannya. Padahal mencuci tangan

dan memakai sarung tangan sangat

dianjurkan bila akan melakukan

tindakan apapun yang berhubungan

dengan pasien. Maka dari itu perlu

adanya suatu proses berubah untuk

memperbaiki kebiasaan tersebut

menjadi berkurang atau hilang sehingga

timbul kebiasaan baru yang jauh lebih

baik, walaupun untuk melakukan ini

tidaklah mudah dan memerlukan waktu

yang cukup panjang untuk melakukan

suatu perubahan.

Distribusi penyediaan fasilitas/

sarana untuk pelaksanaan pencegahan

infeksi nosokomial akibat pemasangan

infus di ruangan perawatan yang

terdapat di Rumah Sakit Umum

Bethesda Serukamyaitu yang dapat

dikategorikan baik adalah Instalasi

Gawat Darurat dan Intensive Care Unit.

Sedangkan secara keseluruhan

ketersedian sarana di rumah sakit

tersebut dikategorikan cukup.Fasilitas

penunjang berupa sarana dan prasarana

guna pencegahan infeksi nosokomial

khususnya yang berhubungan dengan

pemasangan infus di Rumah Sakit

Umum Bethesda Serukam yang secara

umum dapat dikategorikan cukup,

ditunjukkan dengan tersedianya

berbagai sarana/fasilitas untuk

pemasangan dan perawatan infus di

tiap-tiap ruangan perawatan dengan

cukup lengkap, namun demikian masih

terdapat beberapa kekurangan dan

kerusakan alat diantaranya sarana cuci

tangan dengan air mengalir, set

instumen steril, handscoen steril,

tourniquet dan tiang infus. Di ruangan

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

142

perawatan dengan jumlah pasien yang

cukup banyak seperti di ruang rawat

umum atas, jumlah tiang infus kadang-

kadang tidak mencukupi saat pasien

sedang penuh sehingga terpaksa infus

digantung di dinding dengan

menggunakan paku sehingga beresiko

infus terjatuh dan terlepas atau bahkan

secara estetika tidak sedap dipandang

mata. Rata-rata di tiap ruangan jumlah

tempat sampah medis maupun non

medis masih kurang banyak atau hanya

menggunakan botol bekas cairan intra

vena atau botol aqua, sehingga sering

tampak sampah yang berserakan dan

berceceran hingga ke lantai dan tentu

saja merupakan media yang sangat baik

bagi mikroorganisme untuk berkembang

dan menyebarkan penyakit.

Menurut hasil pengamatan peneliti,

setiap ruangan perawatan terdapat

wastafel sebagai sarana untuk mencuci

tangan dengan air mengalir, Tetapi

terdapat beberapa kendala yaitu aliran

air keran yang kadang mati sehingga

kadang-kadang tidak ada air mengalir

yang keluar melalui keran. Masing-

masing ruangan tersedia dalam jumlah

yang cukup bahan pencuci tangan

berupa sabun yang mengandung larutan

antiseptik yang dapat menghambat

aktivitas atau membunuh

mikroorganisme pada kulit sehingga

mikro-organisme terlepas dari

permukaan kulit dan mudah terhalau

oleh air, handuk atau kain untuk

mengeringkan tangan juga tersedia

dengan jumlah yang cukup. Persedian

larutan antiseptik dan desinfektan

seperti alkohol 70%, baik di tiap-tiap

ruangan sehingga dapat menunjang

dalam pelaksanaan pencegahan infeksi.

Fasilitas/sarana yang dianggap kurang

adalah penyediaan alat pelindung diri/

universal precaution yaitu sarung

tangan steril yang masih terbatas

jumlahnya sehingga terbatas juga

penggunaannya. Jumlah permintaan dari

apotik hanya 5-10 set handscoen steril

saja setiap ruangan perhari. Sehingga

petugas lebih sering menggunakan

handscoen dalam kemasan kotak non

steril ataupun handscoen bekas pakai

yang disterilkan kembali. Sehingga hal-

hal tersebut dapat dikatakan sebagai

faktor-faktor yang mempengaruhi

insiden terjadinya infeksi nosokomial di

Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam

khususnya yang berkaitan dengan

pemasangan infus. Tersedianya fasilitas/

sarana dengan kondisi baik dan lengkap

merupakan hal yang harus diperhatikan

oleh pihak pengelola institusi karena

akan sangat mempengaruhi dan

menunjang kualitas pelayanan yang

diberikan oleh petugas. Penyediaan

sarana yang masih belum memadai di

Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam

yang merupakan rumah sakit milik

swasta ini mungkin disebabkan karena

minimnya anggaran untuk pengelolaan

dan pembangunan rumah sakit tersebut,

dan mungkin adanya sebab lain yaitu

sistem manajemen rumah sakit itu

sendiri yang belum berjalan dengan

maksimal. Sehingga perlu adanya

kajian ulang dan pembenahan dari pihak

yang mempunyai wewenang dalam hal

ini.

5. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan dapat diambil simpulan

sebagai berikut

1. Pengetahuan perawat pelaksana di

Rumah Sakit Umum Bethesda

Serukam tentang pencegahan infeksi

nosokomial akibat tindakan invasif

pemasangan infus diperoleh nilai

rata-rata 83,65 yang jika

dikategorikan termasuk dalam

kriteria sangat baik.

2. Keterampilan perawat di Rumah

Sakit Umum Bethesda Serukam

dalam pencegahan infeksi

nosokomial yang berhubungan

Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690

143

dengan tindakan invasif pemasangan

infus diperoleh nilai rata-rata 76,92

yang jika dikategorikan termasuk

dalam kriteria baik.

3. Fasilitas atau sarana yang

mendukung terhadap pelaksanaan

pencegahan infeksi nosokomial

akibat tindakan invasif pemasangan

infus di Rumah Sakit Umum

Bethesda Serukam dengan nilai rata-

rata ketersediaan sarana yaitu 74

yang jika dikategorikan termasuk

dalam kriteria cukup.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2004) Infeksi Nosokomial

(Internet) Tersedia dalam:

http://bankdata.depkes.go.id/data

%20intranet/Sharing%20Folder/D

ITJEN%20YANMEDIK/seri%20

3/Bab%204.htm, diakses 07

Oktober 2010

Brunner, Suddarth. (2002) Keperawatan

Medikal Bedah, Edisi 8, EGC

Kedokteran, Jakarta.

Danim, Sudarwan. (2003) Riset

Keperawatan : Sejarah dan Metodelogi, EGC, Jakarta.

Depkes, RI. (2003) Pedoman

Pelaksanaan Kewaspadaan

Universal di pelayanan Kesehatan, Depkes RI, Jakarta.

Depkes, RI. (2003) Dasar-dasar

Pencegahan Infeksi Depkes RI: Jakarta (Internet) Tersedia

dalam:http://www.member/giyarti

@litbang.depkes.go.id/badanlitba

ngkesehatan, diakses 10

September 2010.

http://www.infeksi.com/articles.php?ing

=in.diakses 19 september 2010.

Notoadmojo, S. (1993) Pengantar

Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Andi Offset,

Yogyakarta

Nursalam, (2001) Pendekatan Praktis

Metodologi Riset Perawatan,

Infomedika, Jakarta.

Potter, Patricia. A, ed all. (1997)

Fundamentals of Nursing,

concept, process and practice,

mosby : Philadhelphia.

Potter, Perry . (2000) Keterampilan dan

Prosedur dasar, edisi 3, EGC,

Jakarta.

Purwandari, R. (2005) Pengontrolan

Infeksi (Internet) Tersedia

dalam:http://elearning.unej.ac.id/c

ourses/IKU13236c49/document/P

ENGONTROLAN_INFEKSI-

handout.doc?cidReq=IKU13239d

c2, diakses 02 Oktober 2010.

Roper, Nancy. (1996) Prinsip-Prinsip

Keperawatan, edisi 1, Yayasan

Essentia Medica, Yogyakarta.

Saroso, Sulianti. (2002) Kewaspadaan

Universal Pengendalian Infeksi Nasokomial (Kupin) (Internet),

Jakarta : Rumah Sakit Penyakit

Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.

Utama, H.W. (2006) Infeksi Nosokomial

(Internet) Tersedia dalam

:http://id.klikharry.wordpress.co

m20061221infeksi-nosokomial/,

diakses15 Oktober 2010

* * * *