Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

114

description

Hak Cipta sesuai dengan pengelola Dentino. Ini bukan karya saya, hanya mengupload untuk share jurnal. Terima Kasih

Transcript of Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

Page 1: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino
Page 2: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

Vol II. No 1. Maret 2014 ISSN : 2337-5310

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI

Terbit setiap Maret dan September

PENGELOLA JURNAL DENTINO

Pelindung :

Prof. Dr. dr. H. Ruslan Muhyi, Sp. A (K)

(Dekan Fakultas Kedokteran Unlam)

Pembina :

Dr. dr. H. Zairin NH, Sp.OT (K), MM, SPINE, FICS

(Pembantu Dekan I - Fakultas Kedokteran Unlam)

dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd

(Pembantu Dekan II - Fakultas Kedokteran Unlam)

dr. H. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes

(Pembantu Dekan III - Fakultas Kedokteran Unlam)

Penasehat :

Dr. drg. H. RosihanAdhani, S.Sos., MS

(Ketua Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

Ketua :

drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM

(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

Sekretaris :

drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc

(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

Penyunting :

drg. Maharani L.A., Sp.PM (Oral Medicine - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Didit

Aspriyanto (Pedodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Amy Nindia C. (Biologi Oral -

Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc. (Biologi Oral - Fakultas

Kedokteran Unlam); drg. Deby Kania T.P. (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg.

M.Y. Ichrom N., Sp KG (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Bayu Indra

Sukmana (Bedah Mulut - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Widodo (Ortodonsia - Fakultas

Kedokteran Unlam); drg. Fajar D.K., Sp Orto (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam);

Dr. drg. H. Rosihan Adhani, MS (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran

Unlam); drg. Cholil, M.Kes.M.M (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran

Unlam); drg. Debby Saputera, Sp. Prosto (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran

Unlam); drg. I Wayan Arya K.F (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam) ;

drg. Beta Widya Oktiani (Periodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam)

Administratif :

Hastin Atas Asih, AMKg

(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

Page 3: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

Vol II. No 1. Maret 2014 ISSN : 2337-5310

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI

DAFTAR ISI

1. Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu (Morinda Citrifolia Liin)

100% Dan Povidone Iodine 1% Terhadap Streptococcus Mutans In Vitro

Nur Rifdayani, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindia Carabelly ……………………. 1-6

2. Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia Di Panti Sosial

Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru

Ayu Asih P, Maharani L. Apriasari, Siti Kaidah ……………………………….. 7-12

3. Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat Pada Remaja Di

Ponpes Darul Hijrah Martapura

Rizal Hendra Kusuma, Rosihan Adhani, Widodo, Sapta Rianta ……………… 13-17

4. Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat

di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar

Basuni, Cholil, Deby Kania Tri Putri ………………………….…………….….. 18-23

5. Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir dan Bengkuang Terhadap

Penurunan Indeks Plak Tinjauan Pada Siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar

Kasma Ernida Haida, Cholil, Didit Aspriyanto ………………………………… 24-28

6. Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih (Camellia Sinensis l.)

Seduh Konsentrasi 100 % Dengan 50 % Dalam Meningkatkan Ph Saliva

Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo …………………………………………..….. 29-33

7. Peranan Penyuluhan Demonstrasi Terhadap Rasa Takut Dan Cemas Anak Selama

Perawatan Gigi Di Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin

Noor Hamidah, Didit Aspriyanto, Cholil ………………….………………..…… 34-38

8. Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah Mengkonsumsi

Makanan Manis Dan Lengket

Shandy Hidayat, Rosihan Adhani, I Wayan Arya ……………………..……….. 39-45

9. Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan Oleh Induk Tikus Pengidap

Diabetes Mellitus Gestasional

Nurdiana Dewi ………………………………….………………………………… 46-50

10. Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol Terhadap

Peningkatan Ph Saliva

Nina Annisa Hidayati, Siti Kaidah, Bayu Indra Sukmana ………….………… 51-55

11. Efektivitas Menyikat Gigi Disertai Dental Floss Terhadap Penurunan Indeks Plak

Azizah Magfirah, Widodo, Priyawan Rachmadi ………………………….……. 56-59

12. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa l.)

Terhadap Pertumbuhan Streptococcusmutansin Vitro

Achmad Riwandy, Didit Aspriyanto, Lia Yulia Budiarti ..……………………. 60-64

Page 4: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

13. Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80% Terhadap Stabilitas

Dimensi Cetakan Alginat

Nisa Yanuarti Hasanah, I Wayan Arya, Priyawan Rachmadi ……….……….. 65-69

14. Deskripsi Kasus Temporomandibular Disorder Pada Pasien Di Rsud Ulin

Banjarmasin Bulan Juni– Agustus 2013

Najma Shofi, Cholil, Bayu Indra Sukmana ……………………………………. 70-73

15. Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat Setelah Dilakukan

Penyemprotan Infusa Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav) 50%

Sebagai Desinfektan

Valdina Najifa Parimata, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya………………... 74-78

16. Indeks Kebersihan Rongga Mulut Pada Anak Retardasi Mental

Nadya Nuryati Azzahra, Siti Wasilah, Didit Aspriyanto ………………………. 79-82

17. Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer Setelah Disemprot

Menggunakan Sodium Hipoklorit

Tommy Agustinus Ongo, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya ………………... 83-88

18. Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit Pada Dentin Dengan Sistem Adhesif

Self Etch 1 Tahap (One Step) Dan 2 Tahap (Two Step)

Dewi Puspitasari ………………………………………………..………………… 89-94

19. Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal Pada Wanita Hamil Trimester 3 di

RSUD Ulin Banjarmasin

Putri Dwi Andriyani, Maharani Lailyza Apriasari, Deby Kania Tri Putri …... 95-101

20. Hubungan Pelaksanaan Ukgs Dengan Status Kesehatan Gigi Dan Mulut Murid

Sekolah Dasar Dan Sederajat Di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota

Banjarmasin

Ringga Setiawan, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana,

Teguh Hadianto ………………………………………………………………….. 102-109

Page 5: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

1

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

PERBANDINGAN EFEK BAKTERISIDAL EKSTRAK MENGKUDU (Morinda

citrifolia Liin) 100% DAN Povidone Iodine 1% TERHADAP Streptococcus mutans IN

VITRO

Nur Rifdayani, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindia Carabelly

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Researches had shown that noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v had antibacterial

effect against Streptococcus mutans because it contains flavonoid. These day, the therapies that have been given

to reduce the colonies of Streptococcus mutans in oral cavity, one of that is Povidone iodine 1%. Purpose: The

aim of this research was to prove the bactericidal effect of noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v equal

to Povidone iodine 1% against Streptococcus mutans in vitro. Methods: This research was an experimental

method laboratory (true experimental), with a post-test only design, using a completely randomized design,

consisting of four treatments: noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%, positive

control (ethanol) and negative control (aquadest). Each treatment be repeated 7 times. The rated bactericidal

effect of the inhibition zone formed on Muller Hinton media with diffusion method. Results: One Way ANOVA

test showed that inhibition zone had a significant difference, noni extract (Morinda cirifolia Liin) 100% with a

mean inhibition zone of 13,71 mm and Povidone iodine 1% with a mean inhibition zone of 9,71 mm.

Conclusion: Noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% had bactericidal effect higher than Povidone iodine

1% against Streptococcus mutans in vitro.

Keywords: Bacterisidal effect, noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100%, Povidone iodine 1%, Streptococcus

mutans.

ABSTRAK

Latar Belakang: Penelitian telah membuktikan bahwa ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%

berat/volume (b/v) memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus mutans karena mengandung flavonoid.

Terapi yang selama ini diberikan untuk mengurangi koloni Streptococcus mutans dalam rongga mulut, salah

satunya adalah Povidone iodine 1%. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan efek bakterisidal

ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v setara dengan Povidone iodine 1% dalam membunuh

pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental

laboratorik murni (true experimental), dengan post-test only design, menggunakan rancangan acak lengkap

terdiri dari 4 perlakuan, antara lain: ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%,

kontrol positif (etanol) dan kontrol negatif (akuades). Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan

sebanyak 7 kali. Efek bakterisidal dinilai dari zona hambat yang terbentuk pada media Muller Hinton dengan

metode difusi. Hasil: Uji One-Way ANOVA menunjukkan bahwa zona hambat memiliki perbedaan yang

bermakna, ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus

mutans dengan rata-rata zona hambat sebesar 13,71 mm dan Povidone iodine 1% dengan rata-rata zona

hambat sebesar 9,71 mm. Kesimpulan: Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek

bakterisidal lebih tinggi dibandingkan Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in vitro.

Kata kunci: efek bakterisidal, ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%, Povidone iodine 1%,

Streptococcus mutans.

Korespondensi: Nur Rifdayani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

Laporan Penelitian

Page 6: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

2

PENDAHULUAN

Karies gigi merupakan salah satu masalah

kesehatan rongga mulut yang dapat menimbulkan

rasa sakit dan mengganggu aktivitas serta

mengurangi kualitas hidup penderita. Berdasarkan

Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun

2007, menunjukkan prevalensi karies aktif sebesar

50,7% dan yang mempunyai pengalaman karies

sebesar 83,4%.1 Salah satu bakteri utama penyebab

karies gigi adalah Streptococcus mutans yang

memproduksi enzim glucosyltransferase (GTF),

sehingga bakteri ini dapat membentuk koloni yang

melekat dengan erat pada permukaan gigi.

Streptococcus mutans menghasilkan polisakarida

ekstraseluler lengket dari karbohidrat makanan dan

mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam.

Jika kadar keasaman pada suatu gigi berada di

bawah pH 5,5 dapat menimbulkan proses

demineralisasi yaitu hilangnya sebagian atau

seluruh mineral dari jaringan keras gigi yang diikuti

oleh kerusakan bahan organik gigi karena terlarut

dalam asam sehingga terjadi karies gigi.2,3

Ada banyak cara untuk mencegah karies gigi,

salah satunya penggunaan obat kumur antiseptik.

Tujuan berkumur dengan antiseptik yaitu

menurunkan jumlah koloni bakteri patogen dalam

rongga mulut, mengurangi terjadinya plak, dan

karies gigi.4 Berbagai jenis obat kumur telah

beredar di masyarakat, salah satu yang banyak

digunakan yaitu obat kumur dengan kandungan

Povidone iodine 1%.5 Hasil penelitian terdahulu

menyebutkan bahwa Povidone iodine memiliki

kemampuan dalam membunuh mikroorganisme in

vitro.6 Dilaporkan bahwa tingkat absorpsi yodium

dari Povidone iodine 1% tidak baik untuk

penggunaan jangka panjang dalam rongga mulut,

karena dapat menyebabkan masalah sensitivitas

yodium.7 Adapun efek samping yang dapat timbul

setelah pemberian Povidone iodine antara lain

berupa sensitivitas, eritema lokal, nyeri, erosi

mukosa, dan risiko utama yang terkait dengan

fungsi tiroid.8

Berbagai efek samping yang ditimbulkan dari

pemakaian bahan kimia dalam obat kumur cukup

banyak dan signifikan, sehingga diperlukan

alternatif lain sebagai bahan baku pembuatan obat

kumur dengan efek samping seminimal mungkin,

ekonomis, dan berkhasiat. Alternatif yang

memenuhi syarat tersebut adalah bahan dari herbal.9

Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa

penggunaan tanaman obat herbal relatif lebih aman

dibandingkan obat sintesis. Pakar dari Universitas

Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sudarsono Apt,

menyatakan bahwa obat-obatan dari herbal terbukti

berkhasiat. Kecenderungan peningkatan

penggunaan herbal untuk pengobatan tidak lagi

didasarkan atas pengalaman turun menurun tetapi

dengan dukungan dasar ilmiah.10 Salah satu

tanaman obat yang banyak dimanfaatkan sebagai

obat herbal adalah mengkudu.11

Berdasarkan hasil penelitian Sibi (2012),

dilaporkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak

mengkudu, mendukung penggunaan obat

tradisional yang dihubungkan dengan kondisi

mikroorganisme pada manusia dan sebagai

dampaknya dapat melawan mikroba multi

resisten.12 Menurut Rajarajan et al. (2009), ekstrak

buah mengkudu matang memiliki aktivitas Minimal

Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum

Bactericidal Concentration (MBC) yaitu sebesar

0,375 µg/ml hingga 24 µg/ml.13 Demikian pula,

dari hasil penelitian Dharmawati (2011) diketahui

efek ekstrak mengkudu terhadap pertumbuhan

Streptococcus mutans in vitro, ektrak mengkudu

konsentrasi 100% b/v (berat/volume) mempunyai

daya hambat lebih baik dari 50% b/v.14 Namun,

belum diketahui apakah ekstrak mengkudu 100%

b/v mempunyai efek bakterisidal setara dengan obat

kumur Povidone iodine 1% dalam membunuh

pertumbuhan Streptococcus mutans, sehingga perlu

dilakukan penelitian mengenai perbandingan efek

bakterisidal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia

Liin) 100% b/v dan Povidone iodine 1% terhadap

Streptococcus mutans in vitro.

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat

diambil suatu permasalahan yaitu apakah ekstrak

mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v

mempunyai efek bakterisidal setara dengan

Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans

in vitro. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk

membuktikan efek bakterisidal ekstrak mengkudu

(Morinda citrifolia Liin) 100% b/v setara dengan

Povidone iodine 1% dalam membunuh

pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk

mengukur zona hambat ekstrak mengkudu

(Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dan zona

hambat Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus

mutans. Hasil penelitian ini diharapkan

memberikan bukti ilmiah tentang efek bakterisidal

ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%

b/v setara dengan Povidone iodine 1% dalam

membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans in

vitro, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai

salah satu dasar penelitian lebih lanjut untuk

menghasilkan antiseptik oral dengan bahan herbal

mengkudu.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental

laboratorik murni (true experimental), dengan

rancangan post-test only design berupa rancangan

acak lengkap yang terdiri dari 4 perlakuan, meliputi

ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%

b/v, Povidone iodine 1%, kontrol positif (etanol)

dan kontrol negatif (akuades).

Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu

Page 7: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

3

Masing-masing perlakuan dilakukan

pengulangan sebanyak 7 kali pengulangan. Jumlah

pengulangan untuk setiap kelompok perlakuan,

didapat dari hasil perhitungan rumus Federer.

Alat penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah neraca analitik, meja Laminary

flow, pisau (stainless), blender, cawan petri, lampu

bunsen, ose steril, kapas lidi steril, kertas saring,

corong, gelas beker, gelas Erlenmeyer, tabung

reaksi kecil, rak tabung reaksi, pipet, pinset, rotary

evaporator, autoclave, inkubator anaerob, batang

pengaduk kaca dan calliper. Bahan penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak

mengkudu 100% b/v, Povidone iodine 1%,

akuades steril, etanol 96%, aluminium foil, kapas,

isolat Streptococcus mutans, media agar Muller

Hinton (MHA), media Brain Heart Infusion (BHI),

media agar darah, paper disk kosong, larutan

standar Mc Farland I sebesar 3.108 cfu/ml.

Cara pembuatan ekstrak mengkudu 100%

adalah menyiapkan buah mengkudu yang matang,

putih, transparan, dan ukuran buahnya relatif besar.

Ekstrak mengkudu dibuat dengan metode maserasi.

Buah mengkudu sebanyak ± 5 kg dicuci bersih

kemudian ditiriskan dan dipotong-potong tipis.

Potongan buah selanjutnya dijemur di bawah sinar

matahari, dengan naungan kain hitam. Penjemuran

dilakukan beberapa hari, sampai potongan buah

benar–benar kering, mudah dipatahkan dengan

tangan. Potongan buah yang sudah kering,

berbentuk kepingan, dipisahkan antara daging buah

dengan bijinya. Daging buah yang sudah kering

selanjutnya dibuat serbuk (simplisia) dengan cara

dihancurkan dengan blender, simplisia yang

dihasilkan ± 325 gram. Simplisia siap dimaserasi

dengan merendam ke dalam pelarut etanol 96%

sampai terendam seluruhnya selama ± 24 jam,

kemudian disaring dengan kertas penyaring. Residu

kembali dimaserasi lagi dengan cara yang sama,

sampai tiga kali. Ekstrak atau filtrat hasil maserasi

ditampung menjadi satu dan diuapkan untuk

memisahkan pelarutnya. Penguapan dilakukan

dengan menggunakan alat rotary evaporator pada

suhu 45-50oC, sampai pelarut habis menguap,

sehingga didapatkan ekstrak kental buah

mengkudu. Ekstrak kental buah mengkudu dibuat

konsentrasi 100% b/v dengan menggunakan etanol.

Konsentrasi 100% b/v dibuat dengan memasukkan

100 gram ekstrak mengkudu dalam tabung

ditambahkan etanol sampai volume 100 ml.

Tahapan prosedur selanjutnya adalah

sterilisasi alat. Alat-alat yang diperlukan dicuci

bersih kemudian dikeringkan dan disterilisasikan

dalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit.

Melakukan persiapan bakteri dengan menggoreskan

Streptococcus mutans pada media agar darah

kemudian didiamkan dalam inkubator 37oC selama

24 jam.

Setelah diinkubasi, dideteksi Streptococcus

mutans akan berupa koloni bulat kecil dan

berdiameter 1-2 µm. Koloni bakteri hasil

pertumbuhan selama 24 jam disuspensikan ke

dalam 0,5 ml BHI cair dan dilakukan inkubasi

selama 5-8 jam pada suhu 37oC. Dilakukan

penambahan akuades steril pada suspensi bakteri

pada BHI, sehingga kekeruhan sesuai standar

konsentrasi bakteri Mc Farland I sebesar 3x108

cfu/ml. Setelah itu dilakukan Persiapan larutan

Povidone iodine. Larutan Povidone iodine 1% yang

digunakan adalah obat kumur merek Betadine

konsentrasi 1% dan diambil dengan menggunakan

pipet sebanyak 1cc.

Uji efek bakterisidal ekstrak mengkudu

(Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dilakukan

dengan mengambil suspensi bakteri yang telah

distandarkan dengan Mc Farland I sebesar 3x108

cfu/ml dengan kapas lidi steril dan dioleskan pada

media agar Muller Hinton. Kemudian meletakkan

paper disk (kertas samir) yang telah direndam

ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%

b/v selama 3 jam sebagai perlakuan 1, meletakkan

paper disk yang telah direndam Povidone iodine

1% selama 3 jam sebagai perlakuan 2, meletakkan

paper disk yang telah direndam etanol selama 3 jam

sebagai perlakuan 3 (kontrol positif) dan

meletakkan paper disk yang telah direndam

akuades selama 3 jam sebagai perlakuan 4 (kontrol

negatif).

Proses selanjutnya, diinkubasi pada suhu 37oC

selama 24 jam. Pengujian efek bakterisidal

dilakukan dengan pengamatan yang dilakukan

setelah pengeraman 24 jam. Pengamatan efek

bakterisidal dilakukan dengan mengukur diameter

zona hambat di sekitar paper disk. Zona hambat

yang terbentuk diukur dengan calliper (mm).

HASIL PENELITIAN

Penelitian dengan judul “Perbandingan Efek

Bakterisidal Ekstrak Mengkudu (Morinda citrifolia

Liin) 100% dan Povidone iodine 1% terhadap

Streptococcus mutans in vitro” telah dilakukan

dengan menggunakan 4 perlakuan, yaitu ekstrak

mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v,

Povidone iodine 1%, kontrol positif (etanol), dan

kontrol negatif (akuades).

Masing-masing perlakuan diuji secara difusi,

menggunakan paper disk dan dilakukan dalam 7

kali pengulangan. Hasil pengukuran zona hambat

dari masing-masing perlakuan terhadap

Streptococcus mutans dapat dilihat pada Gambar 1.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 1- 6

Page 8: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

4

Gambar 1. Zona Hambat (mm) dari

Setiap Perlakuan

Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat

variasi zona hambat yang terbentuk dari masing-

masing kelompok perlakuan. Perlakuan ekstrak

mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v

memperlihatkan rata-rata zona hambat sebesar

13,71 mm dan Povidone iodine 1% sebesar 9,71

mm. Kontrol positif (etanol) memiliki rata-rata

zona hambat sebesar 4,85 mm dan kontrol negatif

(akuades) sebesar 0 mm.

Masing-masing perlakuan dilakukan uji

normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah data kurang

dari 50 buah, untuk mengetahui sebaran data

penelitian pada tingkat kepercayaan 95% (p >

0,05). Hasil uji normalitas memperlihatkan sebaran

data yang normal, yaitu nilai signifikasi (p) pada

kelompok perlakuan ekstrak mengkudu (Morinda

citrifolia Liin) 100% b/v adalah 0,064 dan Povidone

iodine 1% adalah 0,099. Sedangkan nilai signifikasi

(p) kontrol positif (etanol) adalah 0,099 dan kontrol

negatif (akuades) adalah konstan. Data penelitian

selanjutnya diuji homogenitas data menggunakan

uji varians Levene’s test (α = 0,05). Hasil uji

homogenitas menunjukkan varians data yang tidak

homogen dengan nilai signifikasi sebesar 0,003

(Sig. < 0,05), sehingga perlu dilakukan transformasi

data. Hasil transformasi data menunjukkan varians

data homogen dengan nilai signifikasi sebesar

0,249 (Sig. > 0,05).

Masing-masing perlakuan dilakukan uji One

Way ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% (α =

0,05) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan

penyebaran data. Syarat digunakannya uji One Way

ANOVA adalah data yang terdistribusi normal dan

homogen.30 Hasil uji One Way ANOVA didapatkan

nilai p = 0,000 (p < 0,05), yang berarti terdapat

perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan.

PEMBAHASAN

Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin)

100% b/v memiliki efek bakterisidal terhadap

Streptococcus mutans dengan rata-rata zona hambat

sebesar 13,71 mm, sedangkan Povidone iodine 1%

sebesar 9,71 mm. Zona hambat pada ekstrak

mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% lebih

tinggi dibandingkan Povidone iodine 1% secara

signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak

mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% lebih

baik dibandingkan Povidone iodine 1% dalam

membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans.

Perlakuan Povidone iodine 1% memberikan

efek rata-rata zona hambat sebesar 9,71 mm

terhadap Streptococcus mutans. Hal ini dapat

membuktikan bahwa Povidone iodine 1% sebagai

obat kumur mempunyai sifat bakterisidal terhadap

Streptococcus mutans sebagai salah satu bakteri

utama penyebab karies gigi. Povidone iodine dalam

kedokteran gigi biasanya digunakan sebagai obat

kumur yang mampu mengurangi jumlah

mikroorganisme di dalam rongga mulut. Cara kerja

Povidone iodine terkait dengan kandungan iodine

yang mampu dengan cepat berkontak langsung

terhadap permukaan sel bakteri yang

mengakibatkan hilangnya materi sitoplasmik dan

deaktivasi enzim sehingga terjadi kerusakan

struktur dan fungsi sel bakteri.27 Povidone iodine

bereaksi kuat dengan ikatan rangkap dari asam

lemak tak jenuh dalam dinding sel bakteri dan

membran organel bakteri yang menyebabkan

pembentukan pori permanen dan lisisnya sel

bakteri.24

Perlakuan ekstrak mengkudu (Morinda

citrifolia Liin) 100% b/v dalam penelitian ini

menunjukkan efek bakterisidal terhadap

Streptococcus mutans dengan menghasilkan rata-

rata zona hambat sebesar 13,71 mm. Hasil

penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian

terdahulu yang dilakukan oleh Dharmawati (2011),

yaitu ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin)

100% memiliki daya hambat kuat terhadap

pertumbuhan Streptococcus mutans.14

Mengkudu dikenal sebagai anti bakteri, anti

virus, anti jamur, anti tumor, anti inflamasi,

anthelmintic, memiliki efek anti TBC, analgesik,

hipotensif, dan aktivitas imunologinya dapat

meningkatkan kekebalan tubuh.16 Beberapa jenis

senyawa fitokimia dalam buah mengkudu adalah

acubin, alizarin, antraquinon. xeronine,

proxeronine, saponin, minyak atsiri, dan alkaloid.

Acubin, alizarin, dan antrakuinon terbukti

mempunyai aktivitas anti bakteri terhadap P.

aeruginosa, Proteus morgaii, Straphylococcus

aerus, Bacillus subtilis, E. Coli, Salmonella, dan

Shigela.15 Mengkudu terdiri dari berbagai zat

nutrisi seperti protein, vitamin, dan mineral penting.

Salah satunya adalah selenium yang memiliki efek

anti oksidan. Kandungan lainnya, terpenoid

13,71

9,71

4,85 0

Zona Hambat (mm) dari Setiap

Perlakuan

Ekstrak

Mengkudu 100%

Povidone iodine

1%

Kontrol (+)

Kontrol (-)

Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu

Page 9: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

5

berguna untuk membantu proses sintesis organik

dan pemulihan sel-sel tubuh. Asam Karbonat

merupakan sumber vitamin C dan anti oksidan, juga

berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap

mikroorganisme. Mengkudu juga mengandung

scolopetin yang efektif sebagai unsur anti

peradangan dan anti alergi.14,15,31

Mengkudu mengandung senyawa fenolik,

yaitu tannin dan flavonoid yang merupakan anti

oksidan primer. Mekanisme tannin sebagai anti

bakteri belum diketahui secara pasti, tapi

diperkirakan berkaitan dengan kemampuannya

menghentikan sintesis glukan oleh Streptococcus

mutans.32 Ferrazano et al (2011), melaporkan

bahwa anti bakteri tannin berinteraksi secara

langsung dengan membran protein bakteri sehingga

menghambat perlekatan sel bakteri pada permukaan

gigi dan menghambat kerja enzim

glukosiltranferase dan amilase yang dihasilkan oleh

Streptococcus mutans.33 Berdasarkan penelitian

Dewi (2010), dilaporkan bahwa aktivitas antibakteri

flavonoid pada buah mengkudu cenderung lebih

aktif membunuh bakteri Gram positif, seperti

Streptococcus mutans. Kandungan senyawa aktif

flavonoid pada ekstrak mengkudu bersifat polar

sehingga lebih mudah menembus lapisan

peptidoglikan yang juga bersifat polar pada bakteri

Gram positif.18 Dinding sel bakteri Gram positif

mengandung polisakarida (asam terikoat)

merupakan polimer yang larut dalam air berfungsi

sebagai transfor ion positif. Sifat larut inilah yang

menunjukkan bahwa dinding sel bakteri Gram

positif bersifat lebih polar. Mekanisme kerja

flavonoid sebagai bakterisidal terhadap

pertumbuhan Streptococcus mutans yaitu

mengganggu fungsi dinding sel sebagai pelindung

dari lisis osmotik sehingga berakibat pada kematian

sel bakteri.18

Adapun keterbatasan penelitian ini, yaitu

peneliti hanya menggunakan ekstrak mengkudu

(Morinda citrifolia Liin) 100% dan belum

mengetahui konsentrasi optimum ekstrak

mengkudu (Morinda citrifolia Liin) yang paling

efektif membunuh Streptococcus mutans

dibandingkan dengan Povidone iodine 1%. Peneliti

menggunakan metode ekstraksi maserasi dengan

pelarut etanol untuk menyaring zat aktif dari buah

mengkudu dan belum mengetahui metode ektraksi

lain yang dapat digunakan. Penelitian ini dilakukan

secara in vitro, sehingga peneliti belum mengetahui

efek samping dari penggunaan antiseptik oral

dengan bahan herbal ekstrak mengkudu (Morinda

citrifolia Liin) 100% terhadap rongga mulut.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak mengkudu

(Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek

bakterisidal yang lebih tinggi dibandingkan

Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans

secara in vitro.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui efek bakterisidal ekstrak mengkudu

(Morinda citrifolia Liin) pada konsentrasi lain

terhadap Streptococcus mutans dibandingkan

dengan Povidone iodine 1%. Penelitian selanjutnya

juga dapat diarahkan untuk mengetahui metode

ekstraksi lain yang lebih sederhana dan dapat

menyaring lebih banyak komponen zat aktif dari

buah mengkudu untuk membunuh pertumbuhan

Streptococcus mutans. Perlu dilakukan penelitian

mengenai efek samping dari penggunaan ekstrak

mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% terhadap

rongga mulut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Republik Indonesia. Riset

kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Republik Indonesia; 2008. p. 142.

2. Imaculata R, Tedjosasongko U, Cornelia S.

Pemberian minyak wijen (Sesamum

indicum, L) terhadap Streptococcus mutans

(in vitro). Indonesian Pediatric Dental

Journal 2010; 2(3): 2.

3. Dharsono VA, Mooduto L, Prasetyo EP.

Perbedaan jumlah koloni Streptococcus

mutans pada saliva penderita pria dan wanita

dengan karies tinggi. Conservative Dentistry

Journal 2013; 3(1): 2.

4. Sumono A, Wulan A. Kemampuan air

rebusan daun salam (Eugenia polyantha W)

dalam menurunkan jumlah koloni bakteri

Streptococcus sp. Majalah Farmasi

Indonesia 2009; 20(3): 112-113.

5. Primalia DR, Yuliati A, Soebagio.

Perlekatan Streptococcus mutans pada

semen hibrid ionomer setelah direndam

dalam larutan antiseptik. Material Dental

Journal 2009; 1(1): 1.

6. Apriasari ML. Uji bakteriosid ekstrak daun

sirih 35% terhadap Streptococcus viridans

pada stomatitis aftosa rekuren dan patch test

dengan ekstrak daun sirih 35%. Karya Tulis

Akhir. Surabaya: Program Pendidikan

Dokter Gigi Spesialis Bidang Studi Ilmu

Penyakit Mulut Universitas Airlangga; 2010.

p. 15.

7. Kumar S, Babu R, Reddy J, Uttam.

Povidone iodine–revisited. Indian Journal of

Dental Advancements 2011; 3(3): 617-619.

8. Andini AR. Pengaruh pemberian Povidone

iodine 1% sebagai oral hygiene terhadap

jumlah bakteri orofaring pada penderita

dengan ventilator mekanik. Jurnal Media

Medika Muda 2012; 1(1): 13-14.

9. Victor BC, Indrawati R, Sidarningsih.

Perbedaan daya hambat obat kumur ekstrak

teh hijau (Camellia sinensis) dan metil

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 1- 6

Page 10: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

6

salisilat terhadap pertumbuhan bakteri

rongga mulut. Oral Biology Dental Journal

2011; 3(2): 1.

10. Harsini W. Penggunaan herbal di bidang

kedokteran gigi. Majalah Kedokteran Gigi

2008; 15(1): 61.

11. Purbaya RJ. Mengenal dan memanfaatkan

khasiat buah mengkudu. Bandung: Penerbit

Pionir Jaya; 2002. p. 19-22, 40.

12. Sibi G, Chatly P, Adhikari S, Ravikumar

KR. Phytoconstituents and their influence on

antimicrobial properties of Morinda

citrifolia L. Research Journal of Medicinal

Plant 2012; 6(6): 445.

13. Rajarajan S, John NK, Shanthi S. In vitro

bacterisidal activities of extracts from ripe

and unripe fruit of noni. P.G & Research

Department of Microbiology &

Biotechnology 2009; 1(1): 4.

14. Dharmawati IGA. Efek ekstrak mengkudu

menghambat pertumbuhan Sreptococcus

mutans penyebab dental plak secara in vitro.

Tesis. Denpasar: Program Studi Ilmu

Biomedik Universitas UDAYANA; 2011. p.

12-16, 23-27, 38, 42-47.

15. Singh DR. Morinda citrifolia L. (Noni) a

review of the scientific validation for its

nutritional and therapeutic properties.

Journal of Diabetes and Endocrinology

2012; 3(6): 77-79.

16. Nagalingam S, Sasikumar CS, Cherian KM.

Extraction and preliminary phytochemical

screening of active compounds in Morinda

citrifolia fruit. Asian Journal of

Pharmaceutical and Clinical Research 2012;

5(2): 179.

17. Soenanto H. 100 resep sembuhkan

hipertensi, asam urat, dan obesitas. Jakarta:

Penerbit PT. Alex Media Komputindo

Kelompok Gramedia; 2009. p. 82.

18. Dewi FK. Aktivitas antibakteri ekstrak

etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia,

L) terhadap bakteri pembusuk daging segar.

Skripsi. Surakarta: Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas

Maret; 2010. p. 26.

19. Harvey RA, Champe PC, Fisher BD.

Microbiology. 2nd Ed. Philadelphia:

Lippincott's Illustrated Reviews; 2007. p. 79.

20. Deng DM, Urch JE, ten Cate JM, Rao VA,

van Aalten DM, Crielaard W. Streptococcus

mutans SMU.623c codes for a functional,

metal-dependent polysaccharide deacetylase

that modulates interactions with salivary

agglutinin. American Society for

Microbiology 2009; 191(1): 394.

21. Lueckel HM, Paris S, Ekstrand KR. Caries

management science and clinical practice.

New York: Thieme Medical Publishers;

2013. p. 32.

22. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu

pencegahan penyakit jaringan keras dan

jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC;

2010. p. 74.

23. Farah CS, Mclntosh L, McCullough MJ.

Mouthwash. Australian Prescriber 2009;

32(6): 163.

24. Bathla S. Periodontics revisited. Jaypee

Brothers. New Delhi: Medical Publishers;

2011. p. 284.

25. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan

anak. Edisi 15. Jakarta: EGC; 1996. p. 859.

26. Pratiwi, ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta:

Penerbit Erlangga; 2008. p. 188.

27. Sibbald RG, Leaoer DJ, Queen D. Iodine

made easy. Wounds International 2011;

2(2): 1-6.

28. Astawan M, Kasih AL. Khasiat warna-warni

makanan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia

Pustaka Utama; 2008. p. 31.

29. Yunianita D, Carabelly AN, Apriasari ML.

Perbandingan efek bakterisidal jus stroberi

(Fragaria x ananassa) 50% dan Povidone

iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in

vitro. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi 2013;

I(1): 40.

30. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan

kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba

Medika; 2012. p. 89.

31. Sholehah DN. Pengukuran kandungan

skopoletin pada beberapa tingkat

kematangan buah mengkudu (Morinda

citrifolia Liin) dengan metode KLT

densitometri. Agrovigor 2010; 3(1): 4.

32. Goyal D, Sharma S, Mahmood A. Inhibition

of dextransucrase activity in Streptococcus

mutans by plant phenolics. Indian Journal of

Biochemistry and Biophysics 2013; 50(1):

53.

33. Ferrazano GF, Amato I, Ingenito A, Zarrelli

A, Pinto G, and Pollio A. Plant polyphenols

and their anti cariogenic properties : A

Review. Multidisciplinary Digital Publishing

Institude 2011; 16: 1486.

Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu

Page 11: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

8

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

GAMBARAN KLINIS KELAINAN MUKOSA RONGGA MULUT PADA LANSIA DI

PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI SEJAHTERA BANJARBARU

Ayu Asih P, Maharani L. Apriasari, Siti Kaidah

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Indonesia

ABSTRACT

Background: The aging process decreased function of organs and other physical changes. One of the

changes that occur in the elderly as a result of the decline in organ function and decreased cell function is a

change in the oral mucosa such as the mucosa looks slick shiny (no stipling on the gingiva), pale, dry, easily

irritated, bleeding and swelling. Purpose: The purpose of this study was to determine the clinical features of

oral mucosal abnormalities in the elderly in Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home Banjarbaru.

Methods: This study was descriptive observational with descriptive analysis. Samples were taken by using

purposive sampling technique as many as 56 elderly. The data were obtained by direct interview and clinical

examination using a dental mirror. Results: The results showed that the clinical features of oral mucosal

abnormalities were found fissured tongue, coated tongue, xerostomia, geographic tongue, sublingual

varikositis, angular chelitis, and denture hyperplasia. The most commonly clinical features of oral mucosal

abnormalities were fissured tongue (51.78%) and coated tongue (48.21%). Conclusion: Based on the research

conducted, it was concluded that the clinical features of oral mucosal abnormalities most commonly found in the

elderly in Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home Banjarbaru was fissured tongue.

Key words: clinical features of mucosal abnormalities, elderly, Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home

Banjarbaru

ABSTRAK

Latar belakang : Pada proses penuaan terjadi penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai perubahan

fisik lainnya. Salah satu perubahan yang terjadi pada lansia akibat dari penurunan fungsi organ tubuh dan

penurunan fungsi sel adalah perubahan pada rongga mulut seperti mukosa tampak licin mengkilap (tidak ada

stipling pada gingiva), pucat, kering, mudah mengalami iritasi, perdarahan dan pembengkakan. Tujuan:

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti

Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

observasional. Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling sebanyak 56 lansia. Data

diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan kaca

mulut. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran

klinis kelainan mukosa rongga mulut yang ditemukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi

Sejahtera Banjarbaru adalah fissured tongue, coated tongue, xerostomia, geographic tongue, sublingual

varikositis, angular chelitis, and denture hiperplasia. Gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut yang

paling banyak ditemukan adalah fissured tongue (51,78%) dan coated tongue (48,21%). Kesimpulan:

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa gambaran klinis kelainan mukosa

rongga mulut yang paling banyak ditemukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera

Banjarbaru adalah fissured tongue.

Kata kunci: gambaran klinis kelainan mukosa, lansia, Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru

Korespondensi : Ayu Asih P., Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat. Jalan Veteran Banjarmasinn 128 B Kalsel, [email protected]

Laporan Penelitian

7

Page 12: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

8

PENDAHULUAN

Keberhasilan pembangunan di bidang

kesehatan telah meningkatkan kualitas kesehatan

masyarakat dan usia harapan hidup. Kondisi

demikian memungkinkan penduduk untuk

menikmati usia lebih panjang.1 Indonesia adalah

salah satu negara berkembang yang berhasil dalam

pembangunan khususnya pembangunan bidang

kependudukan, keluarga berencana dan kesehatan.

Salah satu yang menonjol adalah semakin

meningkatnya usia harapan hidup penduduk

Indonesia.2

Jumlah lansia pada tahun 1970 diperkirakan

hanya sekitar 2 juta, sedangkan pada tahun 1990

telah mengalami peningkatan hampir 6 kali lipat

atau berkisar 11,3 juta dari jumlah penduduk yang

ada. Tahun 2000 jumlah lansia mengalami

peningkat lagi menjadi 15,3 juta, dan pada tahun

2010 yang lalu jumlah lansia diperkirakan telah

sama dengan jumlah anak balita, yaitu sekitar 24

juta atau hampir 10 persen dari seluruh jumlah

penduduk Indonesia. Menurut perkiraan badan

kesehatan dunia WHO, tahun 2020 jumlah

penduduk lansia di Indonesia akan mengalami

kenaikan yang sangat besar, sehingga pada tahun

tersebut jumlah lansia di Indonesia diperkirakan

mencapai 11,34 persen dari jumlah pendudukan

yang ada, atau sekitar 28,8 juta (2). Populasi lansia

di Provinsi Kalimantan Selatan seluruhnya

mencapai 53.880 orang tersebar di 13

kabupaten/kota.3

Bersamaan dengan bertambahnya usia terjadi

pula penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai

perubahan fisik. Penurunan ini terjadi pada semua

tingkat seluler, organ, dan sistem. Hal ini

mengakibatkan terjadinya peningkatan kejadian

penyakit pada lansia, baik akut maupun kronik.

Meningkatnya gangguan penyakit pada lansia dapat

menyebabkan perubahan pada kualitas hidup.4

Penelitian yang dilakukan oleh Mozafari, dkk

terhadap 237 lansia di Mashhad Iran menemukan

bahwa pada 98% lansia memiliki satu lesi mukosa,

yang paling umum terjadi adalah fissured tongue

66,5%, atrophic glossitis 48,8%, sublingual

varicosity 42% dan xerostomia 38%. Xerostomia

lebih banyak mengenai usia 70-79 tahun di

bandingkan usia 60-69 tahun.5 Penelitian Mayvira S

terhadap 100 lansia di Medan menunjukan seluruh

lansia mengalami lesi-lesi mukosa mulut. Lesi

mukosa mulut yang terbanyak ditemukan pada

lansia adalah pigmentasi sebesar 77%, sublingual

varikositis 76%, coated tongue 69%, fissured

tongue 55%, keratosis 17%, granula fordyce 14%,

atropi papila lidah 10 %, traumatic ulcer 7 %,

angular cheilitis 4 %, stomatitis 4 %, median

rhomboid glossitis 1 %, black hairy tongue 1 % dan

fibroma 1 %.6

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera

adalah panti sosial untuk lansia yang berada di

bawah naungan pemerintah Provinsi Kalimantan

Selatan. Sampai saat ini belum ada penelitian

tentang kelainan mukosa rongga mulut pada lansia

di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera

Banjarbaru. Berdasarkan survei lapangan, seminggu

sekali para lansia di Panti Sosial Tresna Werdha

Budi Sejahtera Banjarbaru hanya diperiksa

kesehatannya saja bukan kesehatan mulut, sehingga

perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui

kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti

Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui gambaran klinis kelainan mukosa

rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna

Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif

observasional yang diperoleh dari anamnesa dan

pemeriksaan klinis pada rongga mulut lansia.

Populasi pada penelitian ini adalah semua lansia

yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi

Sejahtera Banjarbaru. Sampel pada penelitian ini

diambil dengan purposive sampling. Sampel adalah

populasi di Panti Sosial Tresna Werdha Budi

Sejahtera Banjarbaru yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi : Usia ( ≥ 60

tahun), bersedia menandatangani informed consent,

sehat berdasarkan anamnesis. Kriteria eksklusi :

Lansia yang tidak kooperatif, mengalami kesulitan

dalam membuka mulut, hanya bisa berbaring

ditempat tidur.

Variabel yang diteliti pada penelitian ini

adalah kelainan mukosa rongga mulut pada lansia.

Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna

Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Peneliti datang

ke Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera

Banjarbaru dan memberikan penjelasan tentang

manfaat dan prosedur penelitian yang akan

dilakukan. Peneliti memberikan lembar persetujuan

(informed consent) sebagai tanda persetujuan

menjadi subyek penelitian. Kemudian dilakukan

anamnesa dan pemeriksaan klinis pada rongga

mulut lansia dengan menggunakan kaca mulut.

Kelainan mukosa rongga yang ditemukan di catat di

formulir penilaian. Data yang sudah terkumpul

kemudian ditabulasi dan analisis data dilakukan

dengan cara perhitungan persentase setiap lesi-lesi

mukosa mulut yang terlihat pada lansia.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian gambaran klinis kelainan

mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru, pada

bulan Juni dan Juli 2013. Diperoleh subjek

penelitian sebanyak 56 orang lansia, berdasarkan

jenis kelamin, subjek penelitian yang berjenis

Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia

Page 13: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

9

kelamin laki-laki berjumlah 24 orang dan

perempuan berjumlah 32 orang.

Kelompok usia berdasarkan WHO adalah

lansia (elderly) berjumlah 38 orang yaitu 20 orang

laki-laki dan 18 orang perempuan, kelompok usia

tua (old) 15 orang, 4 orang laki-laki dan 11 orang

perempuan, sedangkan untuk kelompok usia sangat

tua (very old) berjumlah 3 orang semuanya

perempuan.

Pada penelitian ini, didapatkan dari 56 orang

lansia yang diperiksa 47 orang diantaranya

(83,92%) memiliki kelainan mukosa rongga mulut.

Kelainan mukosa rongga mulut pada lansia yang

terbanyak terjadi pada lidah, yaitu fissured tongue

dialami 29 orang (51,78%), diikuti coated tongue

dialami 27 orang (48,21%) dan yang paling sedikit

ditemukan kelainan mukosa rongga mulut pada

lansia adalah denture hyperplasia dialami 1 orang

(1,78%).

Gambar 1. Gambaran klinis fissured tongue

Gambar 2. Gambaran klinis coated tongue

Gambar 3. Diagram gambaran klinis kelainan

mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial

Tresna Werda Budi Sejahtera Banjarbaru

PEMBAHASAN

Seiring dengan menurunnya fungsi sistem

imun terjadi peningkatan respon autoimun tubuh.7

Berat dan ukuran kelenjar timus mengalami

penurunan dengan bertambahnya usia, seperti

halnya kemampuan diferensiasi sel T. Hilangnya

proses diferensiasi sel T menyebabkan tubuh salah

mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai

benda asing sehingga tubuh menyerang sel tersebut.

Penuaan menyebabkan sel limfosit T kurang

merespon terhadap adanya antigen sehingga jumlah

sel limfosit sitotoksik yang melawan suatu infeksi

lebih sedikit.8,9

Pertahanan tubuh pada lansia terhadap

organisme asing akan mengalami penurunan,

seiring dengan bertambahnya usia baik dari fungsi

organ tubuh maupun dari perubahan fisik. Hal

tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan

kejadian penyakit yang dapat menyertai lansia.

Penyakit sistemik ini dapat menjadi salah satu

faktor predisposisi timbulnya kelainan mukosa

rongga mulut. 4,7

Mukosa mulut manusia dilapisi oleh sel epitel

yang memiliki fungsi utama sebagai barier terhadap

pengaruh-pengaruh lingkungan baik dalam maupun

luar mulut. Saliva pada orang tua mengandung total

protein dalam jumlah lebih sedikit dan protein

kualitatif serta elektrolit yang berbeda, dengan pH

dan kemampuan serta bufer yang lebih kecil

dibandingkan orang yang lebih muda. Pertambahan

usia menyebabkan sel epitel pada mukosa mulut

mulai mengalami penipisan, berkurangnya

keratinasi, berkurangnya kapiler dan suplai darah

serta penebalan serabut kolagen pada lamina

propia. Hal ini dapat menyebabkan perubahan

secara klinis pada mukosa dan dapat menyebabkan

29 27

63 3 3 1

05

101520253035

Ju

mla

h

Kelainan Mukosa Rongga Mulut

Dentino (Jur.Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 7- 12

Page 14: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

10

penurunan senstivitas mukosa rongga mulut

terhadap iritasi.10

Menurut Cebeci, dkk prevalensi kelainan

mukosa rongga mulut lebih banyak ditemukan pada

lansia dibandingkan dengan orang yang lebih muda,

meskipun usia bukan merupakan faktor utama

penyebab terjadinya kelainan mukosa rongga

mulut.12 Adanya kebiasan seperti merokok, dan

menyirih juga dapat berpengaruh dalam timbulnya

kelainan mukosa rongga mulut. Kebiasaan merokok

yang sering dilakukan lansia dimasa lalunya dapat

mempengaruhi fungsi aliran saliva sehingga

menyebabkan xerostomia, hal ini terjadi karena

interaksi antara asap rokok dan aliran saliva

sehingga aliran saliva menjadi berkurang.13

Kelainan mukosa rongga mulut yang

terbanyak ditemukan adalah fissured tongue

(51,78%) dan coated tongue (48,21%). Jumlah

kelainan mukosa rongga mulut yang banyak

ditemukan pada lansia berjumlah 1 kelainan

mukosa rongga mulut, ditemukan pada 27 orang

lansia atau (48,21%). Hasil penelitian ini berbeda

bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Mayvira S di Medan yang

menemukan bahwa dari 100 orang lansia yang

diperiksa seluruhnya menunjukan adanya kelainan

mukosa rongga mulut, dan kelainan mukosa

rongga mulut yang paling banyak dijumpai pada

lansia adalah pigmentasi sebesar 77% dan

sublingual varikositis sebesar 76%.6 Diduga

perbedaan ini karena kebiasaan dari lansia di panti

jompo tersebut yang memiliki kebiasaan merokok

cukup tinggi yang dapat menyebabkan persentase

pigmentasi jauh lebih tinggi.

Penyebab banyaknya fissured tongue yang di

alami oleh lansia selain di duga dikarenakan

pertambahnya usia, termasuk juga adanya faktor

hiposalivasi, diabetes melitus, kandidiasis dan

kekurangan vitamin B, yang dapat berkontribusi

dalam perkembangan fissured tongue. Fissured

tongue umumnya terjadi pada penderita sindrom

down, acromegaly, psoriasis, sindrom sjögren dan

sindrom Melkersson - Rosenthal yang ditandai oleh

fissuring parah, edema orofacial dan kelumpuhan

saraf wajah. Sebagian besar penderita fissured

tongue tidak mengalami gejala, namun gejala

seperti nyeri saat makan asam dan minum dapat

terjadi jika celah fissured dalam. Celah tersebut

dapat berperan sebagai tempat penumpukan partikel

makanan dan bakteri yang dapat menyebabkan

peradangan di lidah.15,16

Lokasi kelainan mukosa rongga mulut yang

terbanyak dijumpai adanya kelainan pada penelitian

ini adalah di lidah sebesar 78,57%. Hasil ini sama

seperti penelitian yang dilakukan oleh Mayvira S di

Medan yang menemukan bahwa lokasi terbanyak

dari kelainan mukosa rongga mulut adalah pada

lidah.6 Pada dasarnya lidah adalah organ kompleks,

otot yang ditutupi oleh epitel dan melakukan

banyak fungsi seperti berbicara, menelan,

menyusui, persepsi sensasi rasa, termasuk

perubahan termal, rangsangan rasa sakit, serta

membantu dalam perkembangan rahang.16

Kelainan pada lidah memiliki proporsi yang

cukup besar dari kelainan mukosa yang lain.

Penelitian epidemiologi telah menunjukkan tingkat

prevalensi yang bervariasi di berbagai belahan

dunia. Diduga perbedaan dalam tingkat prevalensi

berhubungan dengan etnis atau faktor ras,

kebiasaan merokok dan perbedaan gender antara

populasi yang diteliti, di samping status kesehatan

umum dan kriteria diagnostik yang digunakan di

setiap penelitian. Lesi pada lidah dilaporkkan lebih

umum terjadi pada orang yang memiliki penyakit

hematologis, diabetes mellitus, dermatologis dan

beberapa penyakit gastrointestinal.16,17

Berdasarkan penelitian ini didapat bahwa

perempuan lebih banyak memiliki jumlah kelainan

mukosa rongga mulut dibandingkan dengan laki-

laki, dan jenis kelainan mukosa rongga mulut yang

banyak dialami oleh perempuan adalah fissured

tongue. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil

yang diperoleh Cebeci et al yang menyatakan

bahwa fissured tongue lebih banyak dialami oleh

perempuan dibandingkan laki-laki.12 Dari berbagai

penelitian ada yang menyebutkan bahwa fissured

tongue banyak di alami oleh laki-laki dan ada juga

yang menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak

mengalami kelainan tersebut. Contohnya penelitian

yang dilakukan oleh Jainkittivong tentang lesi pada

lidah yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih

banyak mengalami fissured tongue dan kelainan

lidah lain nya di bandingkan perempuan, sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh Al Mobeeriek dan

Aldosari menemukan bahwa fissured tongue lebih

banyak pada wanita. Sebenarnya untuk kasus

fissured tongue tidak ada perbedaan jenis kelamin

yang signifikan, untuk kemungkinan terjadi

kelainan tersebut.18,19,20

Kasus keganasan tidak dijumpai dalam

penelitian ini, karena penelitian ini hanya dilakukan

dengan menggunakan pemeriksaan klinis saja.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Cebeci dan Mujica yang menemukan lesi-lesi

keganasan seperti squamous sel karsinoma,

adenokarsinoma dan leukoplakia dengan prevalensi

yang cukup rendah.12,14 Hasil penelitian ini juga

menemukan bahwa pada 9 orang lansia atau

(16,07%) tidak ditemukan adanya kelainan mukosa

rongga mulut. Hal ini disebabkan karena penuaan

bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab

terjadinya kelainan mukosa rongga mulut, tetapi

ada faktor lain yang dapat mempengaruhi

timbulnya kelainan mukosa rongga mulut seperti

trauma, efek obat, kebersihan rongga mulut,

budaya, sosial ekonomi, dan tingkat pengetahuan.14

Fissured tongue adalah suatu keadaan variasi

dari anatomi lidah normal yang terdiri atas fisura

garis tengah, fisura ganda atau multiple pada

permukaan lidah yang membujur dari depan ke

Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia

Page 15: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

11

belakang dan memiliki berbagai pola. Adanya celah

fisur tersebut dapat menyebabkan peradangan

sekunder dan halitosis sebagai akibat dari

penumpukan makanan, sehingga dianjurkan untuk

selalu menjaga kebersihan lidah.11

Coated tongue adalah suatu keadaan dimana

permukaan lidah terlihat berwarna putih atau

berwarna lain yang merupakan tumpukan dari

debris, sisa-sisa makanan dan mikroorganisme yang

terdapat pada permukaan dorsal lidah.12

Dari hasil penelitian ini ditemukan beberapa

kelainan rongga mulut yang persentasenya lebih

tinggi dibandingkan dengan penelitian Cebeci di

Turki terutama untuk kelainan pada lidah yaitu

coated tongue sebesar 2,1%, fissured tongue 1%,

geographic tongue 0,3%.12 Dari perbandingan ini

dapat terlihat bahwa angka kejadian kelainan

mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru cukup

tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya

menjaga kebersihan rongga mulut dan kurangnya

pengetahuan mengenai cara menjaga kesehatan

rongga mulut.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa gambaran klinis kelainan

mukosa rongga mulut yang didapat di Panti Sosial

Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah

fissured tongue, coated tongue, xerostomia,

geographic tongue, sublingual varikositis, angular

chelitis, dan denture hiperplasia. Kelainan mukosa

rongga mulut yang paling banyak ditemukan adalah

fissured tongue (51,78%) dan coated tongue

(48,21%).

Data penelitian ini hendaknya memotivasi

pengurus Panti Sosial Tresna Werdha Budi

Sejahtera Banjarbaru agar dapat menghimbau para

penghuni panti untuk lebih menjaga dan

memperhatikan kesehatan gigi dan mulut, serta

diharapkan dapat bekerjasama dengan dokter gigi

atau tenaga medis daerah setempat dalam rangka

meningkatkan kesehatan rongga mulut lansia. Hal

ini diharapkan dapat menurunkan terjadinya

kelainan mukosa rongga mulut pada lansia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hendrizal. Lansia dan agenda ke depan.

Harian umum pelita [internet]. 2008 [akses

2013 Mar 8]; Available from:

http://www.pelita.or.id/baca.php/id=45106

2. Prawirno MD. Usia harapan hidup

bertambah panjang. Ed 137. Jakarta:

Gemari; 2012. p. 56.

3. Sumarno S, Naenggolan T, Gunawan, Mumi

R. Evaluasi program jaminan sosial lanjut

usia (JSLU). Jakarta: P3KS Press (Anggota

IKAPI); 2011. p. 16 – 27.

4. Wangsarahardja K, Olly VD, Eddy K.

Hubungan status kesehatan mulut dan

kualitas hidup pada lanjut usia. Jakarta: FK

Universitas Trisakti; 2007;26(4): 188.

5. Mozafari PM, Dalirsani Z, Delavarian Z,

Amirchaghmaghi M, Shakeri, Esfandyari A,

et al. Prevalence of oral mucosal lesion in

institutionalized elderly people in Mashhad

Northeast Iran. Gerodontology. 2011;1-3.

6. Mayvira S. Prevalensi dan distribusi lesi-lesi

mukosa mulut pada manusia lanjut usia di

Panti Jompo Abdi Darma Asih Binjai

Sumatera Utara [skripsi]. Medan: FKG

Universitas Sumatera Utara; 2009.

7. Stanley M, Beare P G. Buku ajar

keperawatan gerontik. 2th ed. Jakarta: EGC;

2006. p. 11-17.

8. Sue E M. Gerontologic nursing founth

edition. 4th ed. America: Elseviar Mosby;

2011. p.19.

9. Arina YMD. Pengaruh aging terhadap

sistem imun. JKM. 2003;3(1): 54-56.

10. Barnes IE, Angus W. Perawatan gigi terpadu

untuk lansia. Jakarta: EGC; 2006. p. 43-53.

11. Pindborg J.J. Atlas penyakit mukosa mulut.

Jakarta: Binarupa Aksara; 2009. p. 58 – 222.

12. Cebeci ARI, Gulsahi A, Kamburoglu K,

Orhan BK, Oztas B. Prevalence and

distribution of oral mucosal lesions in an

adult Turkish population. Med Oral Pato.

2009;1;14 (6):E272-7.

13. Thomson WM, Lawrence HP, Broadbent

JM, Poulton R. The impact of xerostomia on

oral health–related quality of life among

younger adults. Health Qual Life Outcomes.

2006;4:86.

14. Mujica V, Rivera H, Carrero M. Prevalence

of oral soft tissue lesion in an elderly

Venezuelan population. Med Oral Pato.

2008;1;3(5):E270-4.

15. Patil S, Kaswan S, Rahman F, Doni B.

Prevalence of tongue lesions in the Indian

population. J Clin Exp Dent. 2013;5(3):E

128-32.

16. Byahati SM, Ingafou MS. The prevalence of

tongue lesions in Libyan adult patients. J

Clin Exp Dent. 2010;2(4):E 163-8.

17. Darwazeh AM, Almelaih AA. Tongue lesion

in a Jordanian population. Prevalence,

symptoms, subject’s knowledge and

tretment provided. Med Oral Pato.

2011;16(6):E 745-9.

18. Gaphor SM, Abdullah MJ. Prevalence sex

distribution of oral lesions in patients

attending an oral diagnosis clinic in

Sulaimani University. J Bagh College Den.

2011;23(3):67-69.

19. Jainkittivong A, Aneksuk V, Langlais RP.

Tongue lesions: prevalence and association

with gender, age and health-affected

behaviors. Cu Dent J. 2007;30:269-78.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 7- 12

Page 16: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

12

20. Al-Mobeeriek A, Aldosari AM. Prevalence

of oral lesions among Saudi dental patients.

Ann Saudi Med [internet]. 2009 [cited 2014

Feb 5]; 29(5);365-8. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/P

MC3290046/

Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia

Page 17: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

13

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

PERBEDAAN INDEKS KARIES ANTARA MALOKLUSI RINGAN DAN BERAT

PADA REMAJA DI PONPES DARUL HIJRAH MARTAPURA

Rosihan Adhani, Rizal Hendra Kusuma, Widodo, Sapta Rianta

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACK

Background: Malocclusion is a big problem in oral health and taking of third position after dental

caries and periodontal disease. Malocclusion is deviation in dento-facial growth that may interfere chewing

process, swallowing, speech, and facial harmony. The data shows malocclusion prevalence at adolescences was

still high, which is in the age group 10-14 years by 29,9 % and the age group 15-24 years by 30,6 %. According

to some studies there is a relationship between dental caries and malocclusion especially in teeth crowding.

Purpose: The purpose of this study was to determine differences in caries index between mild malocclusion and

severe malocclusion. Methods: This research was descriptive study with cross sectional analytic. Samples were

adolescents (13-17 years old) in Ponpes Darul Hijrah Martapura and randomly selected. The sample were 100

students consisting of 50 adolescents with mild malocclusion and 50 adolescents with heavy malocclusion.

Results: The results showed that adolescents with mild malocclusionin in very low category of caries index had

the largest score 1,7 whereas adolescents with severe malocclusions in very high category of caries index had

the largest score 36. Conclusion: The conclusion, there was difference of caries index between mild

malocclusion and severe malocclusion in adolescents at Darul Hijrah Boarding School Martapura.

Keywords: malocclusion, dental caries, DMF-T index

ABSTRAK

Latar Belakang: Maloklusi merupakan masalah yang cukup besar dalam kesehatan gigi dan mulut,

maloklusi berada pada urutan ketiga setelah karies gigi, serta penyakit periodontal. Maloklusi adalah suatu

penyimpangan dalam pertumbuhan dento-fasial yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan, penelanan,

bicara, dan keserasian wajah. Data menunjukan angka remaja yang bermasalah dengan gigi dan mulut masih

tinggi, yaitu pada kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 29,9% dan 15-24 tahun sebanyak 30,6%. Menurut

beberapa penelitian terdapat hubungan antara karies gigi dengan maloklusi khususnya pada gigi berjejal.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan indeks karies antara maloklusi ringan dan

maloklusi berat. Metode: Jenis penelitian adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel

adalah remaja dengan usia 13-17 tahun dari Ponpes Darul Hijrah Martapura yang diambil secara acak.

Sampel penelitian ini berjumlah 100 orang siswa-siswi yang terdiri dari 50 remaja dengan maloklusi ringan dan

50 remaja dengan maloklusi berat. Hasil: Hasil penelitian indeks karies terbanyak pada remaja dengan

maloklusi ringan adalah kategori sangat rendah 17 orang, sedangkan indeks karies terbanyak pada remaja

dengan maloklusi berat adalah kategori sangat tinggi 36 orang. Kesimpulan: Terdapat perbedaan indeks karies

gigi antara maloklusi ringan dan maloklusi berat pada remaja di Ponpes Darul Hijrah Martapura.

Kata-kata kunci: maloklusi, karies gigi, indeks DMF-T

Korespondensi: Rizal Hendra Kusuma, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:

[email protected]

Laporan Penelitian

Page 18: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

14

PENDAHULUAN

Ortodontik merupakan salah satu cabang ilmu

kedokteran gigi yang mempelajari pertumbuhan

wajah, perkembangan gigi, dan oklusi, serta

mempelajari diagnosis, pencegahan, dan perawatan

anomali oklusi1. Oklusi merupakan hubungan

antara permukaan oklusal gigi-geligi atas dan

bawah. Penyimpangan terhadap oklusi normal

disebut maloklusi2. Maloklusi merupakan suatu

penyimpangan dalam pertumbuhan dento-fasial

yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan,

penelanan, bicara, dan keserasian wajah3. Maloklusi

merupakan masalah yang cukup besar dalam

kesehatan gigi dan mulut, maloklusi berada pada

urutan ke tiga setelah karies gigi, serta penyakit

periodontal. Beberapa peneliti di bidang ortodonti

mengatakan bahwa maloklusi pada remaja

Indonesia usia sekolah menunjukkan angka yang

tinggi3. Prevalensi maloklusi remaja Indonesia

mulai tahun 1983 sebesar 90% dan pada tahun 2006

sebesar 89%4.

Persentase penduduk bermasalah gigi dan

mulut di Kalimantan Selatan adalah sebesar 29,2%.

Kabupaten Banjar merupakan daerah yang

memiliki persentase cukup besar dalam kasus

kesehatan gigi dan mulut (31,6%). Data

menunjukan angka remaja bermasalah gigi-mulut

pada kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 29,9%

dan 15-24 tahun sebanyak 30,6%, dengan penduduk

umur 12 tahun ke atas yang memiliki fungsi gigi

tidak normal sebanyak 16,6%. Karies atau gigi

berlubang merupakan salah satu masalah kesehatan

gigi dan mulut yang cukup tinggi di Kalimantan

Selatan, hal ini dapat dilihat dengan tingginya

angka karies aktif remaja di Kalimantan Selatan

pada umur 12 tahun (39,6%), 15 tahun (52,3%), dan

18 tahun (62,9%). Salah satu cara menentukan

angka pengalaman karies gigi seseorang adalah

dengan indeks Decayed Missing Filled-Tooth

(DMF-T). Angka indeks DMF-T Kabupaten Banjar

cukup tinggi dibandingkan daerah lainnya di

Kalimantan Selatan yaitu sebanyak 7,85.

Prevalensi maloklusi pada anak-anak pedesaan

menurut penelitian Agusni (2007) sedikit lebih

tinggi dibandingkan anak-anak di kota. Tingginya

prevalensi maloklusi tersebut dikarenakan sulitnya

mendapatkan informasi mengenai kesehatan dan

kurangnya pengawasan dari orang tua atau

pengasuh terhadap kesehatan anak asuhnya3.

Menurut Margherita (2009), karies gigi dapat

disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.

Maloklusi merupakan salah satu faktor internal

yang dapat menyebabkan terjadinya karies gigi,

seperti pada hasil penelitian Gabris (2006),

beberapa anomali gigi seperti gigi berjejal

menyebabkan retensi plak dan memicu terjadinya

karies6.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian

deskriptif analitik dengan pendekatan cross

sectional. Bahan yang digunakan adalah air

mineral, pasta gigi, alginat dan gips stone/ gypsum

tipe III. Alat yang digunakan dalam penelitian ini,

antara lain indeks HMAR, indeks DMF-T, kaca

mulut, sonde, masker, sarung tangan, alat tulis,

formulir, sliding caliver, sikat gigi, sendok cetak,

spatula, dan bowl.

Populasi penelitian ini adalah semua remaja

yang berstatus pelajar di Ponpes Darul Hijrah

Martapura dengan rentang usia 13 – 17 tahun.

Teknik pengambilan sampel adalah purposive

sampling. Jumlah sampel yang diambil pada

penelitian ini adalah 100 dengan rincian 50 sampel

pada kategori maloklusi ringan dan 50 sampel pada

kategori maloklusi berat dengan kriteria inklusi:

menyetujui informed consent, sehat, tidak terdapat

kelainan sistemik saat anamnesa, dan terdapat

maloklusi ringan atau berat. Kriteria eksklusi dalam

penelitian ini adalah remaja yang masih terdapat

gigi desidui atau gigi susu, remaja dengan oklusi

normal, dan sedang menggunakan peranti ortodonti.

Variabel yang diteliti pada penelitian ini

adalah indeks karies antara maloklusi ringan dan

berat remaja Ponpes Darul Hijrah Martapura.

Pengambilan sampel dari populasi dengan cara

acak. Sampel diperiksa maloklusinya secara

observasi, kemudian dilakukan pencetakan rahang

atas dan bawah.

Selanjutnya dilakukan pengisian cetakan

dengan gips stone/stone tipe III dengan segera,

untuk menentukan maloklusi ringan atau berat

model gigi-geligi sampel di hitung menggunakan

indeks HMAR. Berikutnya dilakukan pemeriksaan

DMF-T untuk menentukan indeks karies. Hasil

pemeriksaan dicatat dalam lembar perhitungan dan

dilanjutkan pengumpulan data. Analisis data yang

digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan

analisis deskriptif.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian perbedaan indeks karies

antara maloklusi ringan dan berat pada remaja di

Ponpes Darul Hijrah Martapura dapat dilihat pada

Gambar 1., Gambar 2., dan Gambar 3.

Kusuma : Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat

Page 19: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

15

Gambar 1. Data Insidensi Maloklusi Ringan dan Berat

pada Remaja di Ponpes Darul Hijrah

Martapura Berdasarkan Usia

Gambar 2. Data Insidensi Maloklusi berdasarkan Jenis

Kelamin pada Remaja di Ponpes Darul Hijrah

Martapura

Gambar 3. Hubungan Karies Gigi pada Remaja yang

Mengalami Maloklusi di Ponpes Darul Hijrah

Martapura

Gambar 1 diketahui bahwa usia 13 tahun

merupakan usia dengan jumlah sampel paling

banyak pada kelompok maloklusi ringan sebanyak

21 orang (42 %). Usia 14 tahun merupakan usia

dengan jumlah sampel paling banyak pada

kelompok maloklusi berat sebanyak 24 orang (48

%). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa

maloklusi lebih banyak terjadi pada remaja dengan

usia 13-14 tahun.

Data pada Gambar 2 menunjukkan remaja

laki-laki lebih sering mengalami maloklusi berat

(72%), sedangkan remaja perempuan sebagian

besar mengalami maloklusi ringan (56%). Hasil

penelitian menunjukkan dari 100 sampel, remaja

laki-laki lebih sering mengalami maloklusi. Remaja

laki-laki yang mengalami maloklusi sebanyak 58

orang dan remaja perempuan sebanyak 42 orang.

Gambar 3 menunjukkan dari 100 sampel yang

diperiksa. Frekuensi untuk kelompok maloklusi

ringan dengan kategori indeks karies sangat rendah

sebanyak 17 orang, kategori rendah sebanyak 13

orang, kategori sedang sebanyak 11 orang, kategori

tinggi sebanyak 7 orang, dan kategori sangat tinggi

sebanyak 2 orang. Frekuensi untuk kelompok

maloklusi berat dengan kategori indeks karies

sangat rendah sebanyak 2 orang, kategori rendah

sebanyak 2 orang, kategori sedang sebanyak 2

orang, kategori tinggi sebanyaak 10 orang, dan

kategori sangat tinggi sebanyak 34.

Gambar 4. Salah satu pemeriksaan maloklusi pada

sampel penelitian

Gambar 5. Pemeriksaan indeks karies pada sampel

penelitian

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan

laki-laki sedikit lebih banyak mengalami maloklusi.

Salah satu penyebabnya adalah remaja perempuan

lebih memperhatikan penampilan mereka

dibandingkan dengan remaja laki-laki. Hal ini

berkaitan dengan pentingnya penampilan mereka

saat bersosialisasi dengan teman sebaya. Selain itu,

anak laki-laki juga acuh atau kurang

memperhatikan penampilan mereka7.

0

20

40

60

Mal Ringan Mal Berat

13 Tahun

14 Tahun

15 Tahun

16 Tahun

17 Tahun

0

20

40

60

80

Mal Ringan Mal Berat

Laki-laki

Perempuan

0

10

20

30

40

Mal Ringan Mal Berat

Sangat Rendah

Rendah

Moderat

Tinggi

Sangat Tinggi

Maloklusi

Ringan Maloklusi

Berat

Per

sen

tase

(%

) P

erse

nta

se (

%)

Maloklusi

Ringan

Maloklusi

Berat

Jum

ah (

ora

ng

)

Maloklusi

Ringan Maloklusi

Berat

Indeks DMF-T

Usia

Jenis Kelamin

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 13 - 17

Page 20: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

16

Seperti penelitian Ahangar (2007) yang

meneliti prevalensi maloklusi pada anak umur 6-18

tahun, prevalensi maloklusi pada usia 12-14 tahun

cukup tinggi yaitu 83,4 %. Remaja adalah usia yang

dalam tahapan perkembangan baik fisik maupun

psikologinya. Semakin dewasa seseorang,

kesadarannya terhadap kesehatan dan penampilan

saat bersosialisasi akan bertambah8. Menurut

Rochadi (2001), ada dua konsep yang mendasar

dalam hal ini yaitu konsep kebutuhan yang

dirasakan. Konsep ini menjelaskan bahwa

seseorang melakukan perawatan karena adanya

kesadaran dan perubahan psikososial pada diri

remaja yang menginginkan penampilan yang lebih

menarik. Konsep yang kedua adalah konsep

komparatif. Konsep ini menjelaskan perilaku

kesehatan seseorang berdasarkan pernah tidaknya

mendapatkan promosi atau pengetahuan yang

mendalam tentang kesehatan gigi secara umum9.

Berdasarkan hasil penelitian Oktavia Dewi

(2007), diketahui terdapat hubungan antara jenis

kelamin dan kualitas hidup. Perbedaan ini

disebabkan remaja perempuan lebih sensitif

terhadap perubahan hidupnya, mereka akan lebih

mudah mengeluh dibandingkan remaja laki-laki.

Remaja perempuan lebih memperhatikan masalah

yang menyangkut estetis termasuk kesehatan gigi,

ini dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang

melakukan perawatan keadaan maloklusinya,

dibandingkan laki-laki karena merasa tidak nyaman

dengan bentuk wajahnya7. Salah satu faktor yang

menyebabkan remaja perempuan lebih sedikit

mengalami maloklusi adalah orang tua. Orang tua

cenderung lebih memperhatikan kesehatan gigi dan

mulut anak perempuan mereka dibandingkan

dengan laki-laki. Menurut Yaghma (2013),

disebutkan bahwa orangtua lebih banyak mencari

perawatan ortodontik untuk anak perempuan

mereka dibandingkan dengan anak laki-laki9.

Beberapa karakteristik maloklusi khususnya

gigi berjejal berpengaruh dalam terjadinya karies

gigi permanen. Kondisi gigi-geligi yang berjejal

mengakibatkan makanan terselip disela-sela gigi

dan menyebabkan kesulitan dalam pembersihan

gigi, hal ini terus berlanjut hingga sisa makan

tersebut diakumulasikan oleh bakteri menjadi plak

yang lebih sulit dibersihkan. Plak yang tidak

dibersihkan pada permukaan gigi akan

menyebabkan terbentuknya karies atau gigi

berlubang10.

Beberapa kasus anterior open bite juga dapat

menyebabkan karies gigi. Remaja dengan kondisi

ini cenderung bernafas lewat mulut dan

menyebabkan penurunan aliran saliva. Keadaan

mulut yang kering akibat penurunan aliran jumlah

saliva memudahkan mikroorganisme kariogenik

penyebab karies gigi berkembang biak9.

Beberapa sampel juga mengeluhkan gangguan

sendi rahang. Gangguan sendi rahang dapat

menyebabkan kelainan mengunyah pada satu sisi

rahang yang memicu terjadinya karies gigi di sisi

yang tidak melakukan pengunyahan. Gigi geligi

pada sisi rahang yang tidak melakukan aktivitas

pengunyahan makanan terjadi penurunan aliran

jumlah saliva yang akan menyebabkan gigi-geligi

rentan terjadi karies11. Maloklusi juga berkaitan erat

dengan penyakit periodontal. Kelainan hubungan

vertikal dan horizontal gigi-geligi anterior rahang

atas dan bawah, pergeseran gigi, serta kelainan

oklusi gigi-geligi posterior dapat menyebabkan

kerusakan jaringan periodontal, sehingga dapat

menyebabkan karies gigi pada daerah servikal gigi-

geligi12.

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan terdapat perbedaan indeks karies

antara maloklusi ringan dan berat. Indeks karies

terbanyak pada maloklusi ringan termasuk dalam

kategori sangat rendah. Indeks karies terbanyak

pada maloklusi berat termasuk dalam kategori

sangat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dolce, C. Orthodontics: a review. Florida:

American Dental Association Chemistry

Education Research and Practice. 2012. p. 2-3.

2. Koesoemahardja H, Indrawati A, Jenie I.

Tumbuh Kembang Kraniodentofasial. Jakarta:

Fakutas Kedokteran Gigi Trisakti. 2009. p. 29-

39.

3. Adzimah FS. Gambaran Derajat Keparahan

Maloklusi Menggunakan Handicapping

Malocclusion Assessment Record pada Siswa

SMPN 1 Paciran Kabupaten Lamongan.

Orthodontic Dental Journal. 2011; 2(2): 19-24.

4. Dinatal G, Djajasaputra W, Koesoemahardja H.

Studi Epidemiologis Tingkat Keparahan

Maloklusi pada Anak-Anak Sekolah Usia 12-15

Tahun di DKI Jakarta. Majalah Kedokteran

Gigi. 2002; 39: 381-387.

5. Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi Kalimantan

Selatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007.

Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007. p

119-133.

6. Stahl F, Grabowski R. Malocclusion and caries

prevalence: is there a connection in the primary

and mixed dentitions? Clinical Oral Investig.

2004; 8(2): 86–90.

7. Dewi O. Analisis Hubungan Maloklusi dengan

Kualitas Hidup pada Remaja SMU Kota Medan

Tahun 2007. Skripsi. Medan. Indonesia.

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera

Utara. 2007. p.73.

8. Ahangar A. Prevalence of Malocclusion in 13-

15 Year-old Adolescents in Tabriz. Iran: Journal

of Dental Research. 2007. p. 14.

9. Sandhi A. Multidisciplinary Approach in

Treating Undiagnosed Severe Temporo

Kusuma : Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat

Page 21: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

17

Mandibular Joint Ankylosis : A Case Report.

Jakarta. Jurnal Plastik Rekonstruksi. 2012.

p.315.

10. Alexander, KN. Genetic and Phenotypic

Evaluation of The Class III Dentofacial

Deformity: Comparisons of Three Populations.

Thesis. Carolina. Georgia. University of North

Carolina. 2007; 14.

11. Marquezan M, Feldens CA. Association

Between Occlusal Anomalies and Dental Caries

In 3-5 Years Old Brazilian Children. Journal of

Orthodontics 2011; 38(1): 8-14.

12. Mtaya M, Prongsi B. Prevalence of

Malocclusion and Its Relationship With

Sociodemographic Factors, Dental Caries, and

Oral Hygiene In 12-14 Years Old Tanzanian

Schoolchildren. European Journal of

Orthodontics. 2009; 31(5): 474-475.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 13 - 17

Page 22: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

18

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

GAMBARAN INDEKS KEBERSIHAN MULUT

BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT

DI DESA GUNTUNG UJUNG KABUPATEN BANJAR

Basuni, Cholil, Deby Kania Tri Putri

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Education is the socio-economic factors that influence health status. The level of

education is very influential on the knowledge, attitudes and healthy behavior. A person with a higher education

degree would have good knowledge and attitudes about health that would affect behavior for a healthy life.

Purpose: This research aimed to determine the relationship of education level on oral hygiene index of

community at Guntung Ujung village in Banjar District. Methods: This study used a descriptive survey research

methods. To determine the level of education used interview method and oral hygene index performed by

measuring the level of oral hygiene and scoring. Results: Respondents who had good oral hygiene index

criterian were 30 peoples (33.3%). Respondents who had medium oral hygiene index criterian were 54 peoples

(60.0%). While respondents who had poor oral hygiene index criterian were only 6 peoples (6.7%). Conclusion:

Senior high school was level of education that had best criterian of oral hygiene index, while no school

education was level of education that had worst criterian of oral hygiene index, and medium criterian was the

most criterian of oral hygiene index in Guntung Ujung village in Banjar District.

Key words: Level of education, oral hygiene index, oral health

ABSTRAK

Latar belakang: Pendidikan adalah faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi status kesehatan.

Tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku hidup sehat.

Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan

yang akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui hubungan

tingkat pendidikan terhadap indeks kebersihan mulut masyarakat di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei deskriptif. Untuk mengetahui tingkat pendidikan

menggunakan metode wawancara dan untuk indeks kebersihan mulut dilakukan dengan mengukur tingkat

kebersihan mulut dan dilakukan penilaian (scoring). Hasil: Responden yang memiliki kriteria indeks kebersihan

mulut yang baik yaitu sebanyak 30 orang (33,3%). Responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang

sedang yaitu sebanyak 54 orang (60,0%), sedangkan responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang

buruk hanya sebanyak 6 orang (6,7%). Kesimpulan: Tingkat pendidikan lulus SMA adalah tingkat pendidikan

yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling baik, sedangkan tingkat pendidikan tidak sekolah adalah

tingkat pendidikan yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling buruk, dan indeks kebersihan mulut

dengan kriteria sedang adalah indeks kebersihan mulut yang paling banyak di Desa Guntung Ujung Kabupaten

Banjar.

Kata-kata kunci : Tingkat pendidikan, indeks kebersihan mulut, kesehatan rongga mulut

Korespondensi : Basuni, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected].

Laporan Penelitian

Page 23: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

19

PENDAHULUAN

Pengetahuan, kesadaran, dan perilaku

masyarakat terhadap pemeliharaan kesehatan gigi

masih kurang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor-

faktor sosial demografi, antara lain faktor

pendidikan, lingkungan, tingkat pendidikan,

ekonomi, tradisi, dan kehadiran sarana pelayanan

kesehatan gigi.1 Pendidikan seseorang dapat

mempengaruhi tingkat kebersihan gigi dan

mulutnya, seseorang yang pendidikannya rendah

mempunyai pengetahuan yang kurang dalam

memelihara kebersihan gigi dan mulutnya. Orang

yang memiliki pendidikan tinggi akan mampu

menjaga kebersihan gigi dan mulutnya lebih tinggi

karena mereka lebih memperhatikan kondisi

mulutnya. Pendidikan tidak menjadi faktor yang

utama tetapi cukup mempengaruhi kebersihan gigi

dan mulut seseorang.1 Kebersihan mulut adalah

salah satu masalah penting yang perlu mendapat

perhatian dalam rongga mulut selain masalah

karies. Kebersihan mulut yang baik

menggambarkan keadaan kesehatan umum yang

baik, sebaliknya Kebersihan mulut yang buruk

menggambarkan kondisi kesehatan yang buruk

pula.2

Tingkat sosial ekonomi mempengaruhi

kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan

gizi, pemilihan macam makanan tambahan,

kebiasaan hidup sehat, dan kualitas sanitasi

lingkungan, oleh karena itu gizi buruk merupakan

masalah yang mengancam masyarakat berstatus

ekonomi rendah.2 Pendidikan merupakan faktor ke

dua terbesar dari faktor sosial ekonomi yang

mempengaruhi status kesehatan seseorang.3 Tingkat

pendidikan sangat berpengaruh terhadap

pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup sehat.

Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan

memiliki pengetahuan dan sikap yang lebih baik

tentang kesehatan yang akan mempengaruhi

perilakunya untuk hidup sehat. Perbedaan tingkat

pendidikan berpengaruh terhadap kecenderungan

orang menggunakan pelayanan kesehatan

sehubungan dengan variasi mereka dalam

pengetahuan mengenai kesehatan gigi. Kurangnya

pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan

ketidaktahuan akan bahaya penyakit gigi karena

rendahnya tingkat pendidikan akan

menyebabkan masyarakat tidak memanfaatkan

pelayanan kesehatan gigi yang ada. Rendahnya

tingkat pemanfaatan terhadap pelayanan

kesehatan gigi ini akan memberikan kontribusi

terhadap buruknya status kesehatan gigi

masyarakat.3

Hasil Riset Kesehatan Dasar/RISKESDAS

tahun 2007, ada lima provinsi dengan prevalensi

masalah gigi-mulut tertinggi, yaitu Gorontalo

(33,1%), Sulawesi Tengah (31,2%), Aceh (30,5%),

Sulawesi Utara (29,8%) dan Kalimantan Selatan

(29,2%).4 Riskesdas 2007 juga melaporkan indeks

DMF-T provinsi Kalimantan Selatan sebesar 6,83

meliputi komponen D-T 1,31, komponen M-T 5,52

dan komponen F-T 0,12. Hal ini berarti rerata

jumlah kerusakan gigi per orang (tingkat keparahan

gigi per orang) adalah 6,83 gigi meliputi 1,31 gigi

yang berlubang, 5,52 gigi yang dicabut dan 0,12

gigi yang ditumpat. Ada lima kabupaten di

Kalimantan Selatan dengan tingkat keparahan gigi

(indeks DMF-T) di atas rerata adalah Hulu Sungai

Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Banjar, dan

Hulu Sungai Selatan. Kabupaten Banjar adalah

kabupaten yang termasuk memiliki tingkat

keparahan gigi yang tinggi sebesar 7,80 meliputi

5,88 gigi yang dicabut/indikasi pencabutan, 1,62

gigi karies/berlubang, dan 0,34 gigi ditumpat.5

Kebersihan mulut yang tidak dipelihara

dengan baik akan menimbulkan penyakit di rongga

mulut. Penyakit periodontal (seperti gingivitis dan

periodontitis) dan karies gigi merupakan akibat

kebersihan mulut yang buruk. Penyakit periodontal

dan karies gigi merupakan penyakit di rongga

mulut yang dapat menyebabkan hilangnya gigi

secara patologis.10 Kebersihan mulut mempunyai

peran penting di bidang kesehatan gigi, karena

kebersihan mulut yang buruk dapat mengakibatkan

timbulnya berbagai penyakit baik lokal maupun

sistemik.6 Pengukuran kebersihan gigi dan mulut

merupakan upaya untuk menentukan keadaan

kebersihan gigi dan mulut seseorang. Umumnya

untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut

digunakan suatu indeks. Indeks adalah suatu angka

yang menunjukan keadaan klinis yang didapat pada

waktu dilakukan pemeriksaan, dengan cara

mengukur luas dari permukaan gigi yang ditutupi

oleh plak maupun kalkulus.12 Secara klinis tingkat

kebersihan mulut dinilai dengan kriteria Oral

Hygiene Index Simplified (OHI-S). Kriteria ini

dinilai berdasarkan keadaan endapan lunak atau

debris dan karang gigi atau kalkulus.6

Kebanyakan debris makanan akan segera

mengalami liquifikasi oleh enzim bakteri dan bersih

5-30 menit setelah makan, tetapi ada kemungkinan

sebagian masih tertinggal pada permukaan gigi dan

membran mukosa. Aliran saliva, aksi mekanisme

lidah, pipi, dan bibir serta bentuk dan susunan gigi

dan rahang akan mempengaruhi kecepatan

pembersihan sisa makanan. Pembersihan ini

dipercepat oleh proses pengunyahan dan viskositas

ludah yang rendah.13

Kalkulus merupakan suatu masa yang

mengalami kalsifikasi yang terbentuk dan melekat

erat pada permukaan gigi, misalnya restorasi dan

gigi-geligi tiruan. Berdasarkan hubungannya

terhadap margin gingiva, kalkulus dikelompokkan

menjadi supragingiva dan subgingiva.13 Kalkulus

supragingiva adalah kalkulus yang melekat pada

permukaan mahkota gigi mulai puncak margin

gingiva dan dapat dilihat. Kalkulus ini berwarna

putih kekuning-kuningan, konsentasinya keras

seperti batu tanah liat dan mudah dilepaskan dari

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 18 - 23

Page 24: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

20

permukaan gigi dengan skeler. Warna kalkulus

dapat dipengaruhi oleh pigmen sisa makanan atau

dari merokok. Kalkulus subgingiva adalah kalkulus

yang berada dibawah batas margin gingiva,

biasanya pada daerah saku gusi dan tidak dapat

terlihat pada waktu pemeriksaan. Untuk

menentukan lokasi dan perluasan yang harus

dilakukan probing dengan eksplorer. Biasanya

padat dan keras, warnanya coklat tua atau hijau

kehitam-hitaman, konsistensinya seperti kepala

korek api, dan melekat erat ke permukaan gigi.13

Penyakit jaringan pendukung gigi diawali dari

rendahnya kualitas kebersihan gigi dan mulut yang

dapat menyebabkan radang gusi pada bagian

margin gingiva. Proses ini berlanjut ke dalam

jaringan penyangga gigi di bawahnya menjadi

periodontitis marginalis.9

Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar

mempunyai fasilitas pendidikan yang kurang

memadai sehingga berdampak pada sosial ekonomi

masyarakat termasuk tingkat pendidikan

masyarakat di desa tersebut. Desa Guntung Ujung

dengan luas 1.231,130 Ha/m2 hanya mempunyai 2

buah fasilitas pendidikan SD dan 1 buah fasilitas

pendidikan SMP. Pekerjaan yang paling dominan di

desa ini adalah petani dan buruh. Angkatan kerja

usia 18-56 tahun pada tahun 2011 di Desa Guntung

Ujung Kabupaten Banjar adalah buta aksara 75

orang, tidak tamat SD 158 orang, tamat SD 162

orang, tamat SLTP 142 orang, tamat SLTA 61

orang, tamat Perguruan tinggi 20 orang.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu

dilakukan penelitian tentang gambaran indeks

kebersihan mulut berdasarkan tingkat pendidikan

masyarakat di Desa Guntung Ujung Kabupaten

Banjar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimanakah gambaran indeks kebersihan mulut

berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat di Desa

Guntung Ujung Kabupaten Banjar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian

survei deskriptif dengan pendekatan Cross

Sectional yaitu suatu penelitian dengan cara

pengamatan, observasi atau pengumpulan data

sekaligus pada suatu saat atau point time approach.

Proses pengambilan sampel dilakukan dengan

teknik simple random sampling. Penelitian ini

dilaksanakan di Desa Guntung Ujung Kabupaten

Banjar pada bulan Juli 2013. Alat yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kaca mulut, sonde,

pinset, ekskavator, probe periodontal, nierbeken,

informed consent, tisu, kalkulator, alat tulis, lap

putih, handuk kecil, alkohol 70%, kapas, aqua

gelas, cholorine, dan detergen.

Penelitian dilakukan dari rumah ke rumah.

Peneliti membagikan surat persetujuan menjadi

subjek penelitian (informed consent) yang akan

ditanda tangani subjek penelitian didampingi

peneliti. Tingkat pendidikan diketahui melalui

wawancara. Index kebersihan mulut diketahui

dengan mengukur tingkat kebersihan mulut dan

dilakukan penilaian (scoring). Hasil penelitian

dicatat pada lembar pemeriksaan OHI-S. Tingkat

kebersihan rongga mulut dinilai dalam suatu

kriteria penilaian khusus yaitu Oral Hygiene

Indeks Simplified (OHI-S). Kriteria ini dinilai

berdasarkan keadaan endapan lunak atau debris

dan karang gigi kalkulus (11). Pemeriksaan pada

6 gigi yaitu gigi 16, 11, 26, 36, 31, dan 46. Pada

gigi 16, 11, 26, 31 yang dilihat permukaan

bukalnya sedangkan gigi 36 dan 46 permukaan

lingualnya. Indeks debris yang dipakai adalah

Debris Indeks (D.I) Greene dan Vermillion (1964)

dengan kriteria

0 = tidak ada debris lunak

1 = terdapat selapis debris lunak menutupi

tidak lebih dari1/3 permukaan gigi

2 = terdapat selapis debris lunak menutupi

lebih dari 1/3 permukaan gigi tetapi tidak

lebih dari 2/3 permukaan gigi

3 = terdapat selapis debris lunak menutupi

lebih dari 2/3 permukaan gigi

Kriteria penilaian debris mengikuti ketentuan

sebagai berikut.

Penilaian debris indeks adalah sebagai berikut:

Baik (good), apabila nilai berada diantara 0-0,6;

Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 0,7-1,8;

Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 1,9-3,0.

Sedangkan indeks kalkulus yang digunakan

adalah Calculus Indeks (C.I) Greene dan Vermillion

(1964) yaitu:

0 = tidak ada kalkulus

1 = kalkulus supragingiva menutupi tidak

lebih dari ⅓ permukaan gigi

2 = kalkulus supragingiva menutupi lebih

dari ⅓ permukaan gigi tetapi tidak lebih

dari ⅔ permukaan gigi atau kalkulus

subgingival berupa bercak hitam di

sekitar leher gigi atau terdapat keduanya

3 = kalkulus supragingiva menutupi lebih

dari ⅔ permukaan gigi atau kalkulus

subgingiva berupa cincin hitam di

sekitar leher gigi atau terdapat keduanya

Basuni : Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat

Page 25: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

21

Kriteria penilaian kalkulus mengikuti

ketentuan sebagai berikut.

Penilaian kalkulus indeks adalah sebagai

berikut: Baik (good), apabila nilai berada diantara

0-0,6; Sedang (fair), apabila nilai berada diantara

0,7-1,8; Buruk (poor), apabila nilai berada diantara

1,9-3,0.

Kriteria penilaian OHI-S mengikuti ketentuan

sebagai berikut.

Kriteria skor OHI-S adalah sebagai berikut:

Baik (good), apabila nilai berada diantara 0-1,2;

Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 1,3-3,0;

Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 3,1–6,0.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1

Gambar 1.1 Distribusi Frekuensi Menurut Tingkat

Pendidikan.

Berdasarkan Gambar 1.1 didapatkan

responden yang tidak sekolah yaitu sebanyak 6

orang (6,7%). Responden yang tidak lulus SD

sebanyak 16 orang (17,8%). Responden yang lulus

SD sebanyak 31 orang (34,4%) dan responden yang

lulus SMP sebanyak 26 orang (28,9%), serta

responden yang lulus SMA sebanyak 11 orang

(12,2%).

Gambar 1.2 Distribusi Frekuensi Menurut Kriteria

Indeks Kebersihan Mulut (OHI-S)

Berdasarkan Gambar 1.2 didapatkan data

bahwa sebagian besar responden memiliki kriteria

indeks kebersihan mulut yang baik yaitu sebanyak

30 orang (33,3%). Responden memiliki kriteria

indeks kebersihan mulut yang sedang yaitu

sebanyak 54 orang (60,0%). Sedangkan responden

memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang

buruk hanya sebanyak 6 orang (6,7%).

Gambar 1.3 Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan

Tingkat Pendidikan.

0

5

10

15

20

25

30

35

Tidak

Sekolah

Tidak

Lulus

SD

SD SMP SMA

Ju

mla

h R

esp

on

den

Tingkat Pendidikan

0

10

20

30

40

50

60

Baik Sedang Buruk

Ju

mla

h R

esp

on

en

Indeks Kebersihan Mulut (OHI-S)

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

baik

sedang

buruk

Ind

eks

Keb

ersi

han

Mu

lut

Tingkat Pendidikan

OHI-S = Nilai D.I + Nilai C.I

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 18 - 23

Page 26: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

22

Berdasarkan Gambar 1.3 didapatkan data

bahwa pada masyarakat dengan tingkat pendidikan

tidak sekolah ada 6 orang (6,7%) yang terdiri dari 5

orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang dan

1 orang memiliki indeks kebersihan mulut buruk.

Masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak lulus

SD ada 16 orang (17,8%) yang terdiri dari 4 orang

memiliki indeks kebersihan mulut baik, 11 orang

memiliki indeks kebersihan mulut sedang, dan 1

orang memiliki indeks kebersihan mulut buruk.

Masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus SD ada

31 orang (34,4%) yang terdiri dari 9 orang memiliki

indeks kebersihan mulut baik, 19 orang memiliki

indeks kebersihan mulut sedang, dan 3 orang

memiliki indeks kebersihan mulut buruk.

Masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus SMP

ada 26 orang (28,9%) yang terdiri dari 10 orang

memiliki indeks kebersihan mulut baik dan 16

orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang.

Pada masyarakat dengan tingkat pendidikan lulus

SMA ada 11 orang (12,2%) yang terdiri dari 7

orang memiliki indeks kebersihan mulut baik, 3

orang memiliki indeks kebersihan mulut sedang,

dan 1 orang memiliki indeks kebersihan mulut

buruk.

PEMBAHASAN

Pada hasil penelitian didapatkan tingkat

pendidikan memiliki pengaruh terhadap indeks

kebersihan mulut, karena pada penelitian ini

diketahui indeks kebersihan mulut paling baik

terdapat pada tingkat pendidikan SMA dan indeks

kebersihan mulut paling buruk terdapat pada tingkat

pendidikan tidak sekolah. Hal ini sesuai dengan

Penelitian Pintauli, yaitu seseorang yang memiliki

tingkat pendidikan rendah kemungkinan akan

memiliki pengetahuan yang kurang mengenai

kesehatan gigi dan mulut. Pendidikan sebagai

sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan

sikap dikarenakan keduanya meletakan dasar

pengertian dan konsep moral dalam diri

individu, pemahaman yang baik dan buruk, boleh

atau tidak boleh dilakukan. Semakin tinggi

pendidikan seseorang, maka orang tersebut akan

memiliki pemahaman yang lebih baik sehingga

akan berpengaruh terhadap sikap.3

Pendidikan adalah faktor sosial ekonomi

yang mempengaruhi status kesehatan. Tingkat

pendidikan sangat berpengaruh terhadap

pengetahuan, sikap dan perilaku hidup sehat.

Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan

memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang

kesehatan yang akan mempengaruhi perilakunya

untuk hidup sehat. Perbedaan tingkat pendidikan

berpengaruh terhadap kecenderungan orang

menggunakan pelayanan kesehatan sehubungan

dengan variasi mereka dalam pengetahuan

mengenai kesehatan gigi. Kurangnya pengetahuan

mengenai kesehatan gigi dan ketidaktahuan akan

bahaya penyakit gigi karena rendahnya tingkat

pendidikan akan menyebabkan masyarakat tidak

memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi yang

ada.3 Menurut Sariningrum (2009) tingkat

pendidikan merepresentasikan tingkat kemampuan

seseorang dalam memperoleh dan memahami

informasi kesehatan. Semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang diasumsikan semakin baik

tingkat pemahamannya terhadap informasi

kesehatan yang diperolehnya.8

Menurut Said (2011), pendidikan seseorang

dapat mempengaruhi tingkat kebersihan gigi dan

mulutnya, seseorang yang pendidikannya rendah

mempunyai pengetahuan yang kurang dalam

memelihara kebersihan gigi dan mulutnya. Berbeda

dengan orang yang lebih tinggi kemampuan dalam

menjaga kebersihan gigi dan mulutnya lebih tinggi

karena mereka lebih memperhatikan kondisi

mulutnya. Pendidikan tidak menjadi faktor yang

utama tetapi cukup mempengaruhi kebersihan gigi

dan mulut seseorang.1 Menurut Sayuti (2010)

kebersihan mulut sangat ditentukan oleh perilaku.

Pemeliharaan kebersihan mulut yang tidak benar

akan menyebabkan mudahnya penumpukan plak,

material alba, dan kalkulus yang pada akhirnya

akan merugikan kesehatan periodontal.7 Kebersihan

mulut yang jelek dapat menyebabkan terjadinya

komplikasi seperti tonsilitis, gingivitis, halitosis,

xerostomia, pembentukan plak dan karies gigi.

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara infeksi pada rongga

toraks dengan kebersihan mulut yang jelek.11

Kesehatan rongga mulut memegang peranan

yang penting untuk masalah satu komponen hidup

sehat yang penting. Kebersihan mulut yang tidak

dipelihara dengan baik akan menimbulkan penyakit

di rongga mulut. Penyakit periodontal (seperti

gingivitis dan periodontitis) dan karies gigi

merupakan akibat dari kebersihan mulut yang

buruk. Penyakit periodontal dan karies gigi

merupakan penyakit di rongga mulut yang dapat

menyebabkan hilangnya gigi secara patologis.10

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa tingkat pendidikan

memiliki pengaruh terhadap indeks kebersihan

mulut. Tingkat pendidikan lulus SMA adalah

tingkat pendidikan yang memiliki kriteria indeks

kebersihan mulut paling baik, sedangkan tingkat

pendidikan tidak sekolah adalah tingkat pendidikan

yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut

paling buruk, dan indeks kebersihan mulut dengan

kriteria sedang adalah indeks kebersihan mulut

yang paling banyak di Desa Guntung Ujung

Kabupaten Banjar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Said F, Ida R, Sri H, Rina H. Hubungan

perilaku memelihara gigi dengan penyakit

pulpa pada pasien di poliklinik gigi puskesmas

Basuni : Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat

Page 27: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

23

Sungkai Kalimantan Selatan. Banjarmasin:

Kesehatan Gigi Poltekkes Kemenkes

Banjarmasin. 2011; 4(1): 5-7.

2. Nurlindah H dan Mughny R. Perbandingan

status gizi dan karies pada murid SD Islam

Athirah dan SD Bangkala III Makassar.

Skripsi. Makassar: Fakultas Kedokteran gigi.

Universitas Hasanuddin. 2009; 8(1): 27-34.

3. Pintauli S, Melur T. Hubungan tingkat

pendidikan dan skor DMF-T pada ibu-ibu

rumah tangga berusia 20-45 tahun di

Kecamatan Medan Tuntungan. Dentika dent J.

2004; 9(2): 78-83.

4. Soendoro T. Riset kesehatan dasar 2007.

Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan. 2009: 131-

132.

5. Soendoro T. Riset kesehatan dasar 2007.

Banjarmasin: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen

Kesehatan. 2009:116-118.

6. Santoso O, Wildam ASR, Dwi R. Hubungan

kebersihan mulut dan gingivitis ibu hamil

terhadap kejadian bayi berat badan lahir rendah

kurang bulan di RSUP Dr. Kariadi Semarang

dan Jejaringnya. Semarang: Media Medika

Indosiana. 2009; 43(6): 288-290.

7. Sayuti M. Hubungan faktor sosial ekonomi

perilaku, dan oral hygiene terhadap karies gigi

pada anak usia remaja umur 15-16 tahun di

SMA Negeri 1 Galesong Utara. Jurnal ilmiah

media kesehatan gigi. Makassar: Politeknik

Kesehatan Makassar Jurusan Kesehatan Gigi.

2010; 1(1): 32-42.

8. Sariningrum E, dan Irdawati. Hubungan tingkat

pendidikan, sikap dan pengetahuan orang tua

tentang kebersihan gigi dan mulut pada anak

balita 3–5 tahun dengan tingkat kejadian karies

di Paud Jatipurno.Surakarta: Berita Ilmu

Keperawatan. 2009; 2(3): 119-124.

9. Mumpuni WP. Kebersihan rongga mulut dan

gigi pasien stroke. Yogyakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Indonesia.

2011;182: 37-40.

10. Mitra M. Hubungan status karies dan gingivitis

dengan oral hygiene pada anak usia 6-12 tahun

di Desa Ujung Rambung Kecamatan Pantai

Cermin Kabupaten Serdang Bedagai. Skripsi.

Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara. 2010: 7-15.

11. Satku K. Nursing Management of Oral

Hygiene : Guidelines and Recommendations.

MOH Nursing Clinical Practice Guidelines

1/2004. Singapura: Ministry of Health. 2004:

14 – 24.

12. Paavola M, Vartiainen, Erkki, and Haukkala,

Ari. Smoking From Adolescence to Adulthood,

the Effects of Parental and Own

Socioeconomic Status. Finland: European

Journal of Public Health. 2004; 14(4): 417-420.

13. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjanah N. Ilmu

pencegahan penyakit jaringan keras dan

jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2010:

85-87.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 18 - 23

Page 28: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

24

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS MENGUNYAH BUAH PIR DAN BENGKUANG

TERHADAP PENURUNAN INDEKS PLAK

Tinjauan pada Siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar

Kasma Ernida Haida, Cholil, Didit Aspriyanto

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Oral health has been improved in the 21st century, but the prevalence of dental caries in

children remains as significant clinical problem. Oral health goal is to remove plaque regularly. One of method

to clean plaque is chewing the fruits such as pear and jicama. Pear and jicama have a pulp which are rough,

dense, and hard, as well as fiber and high enough of water. Chewing these fruit will mechanically stimulate the

teeth to erode and destroy it, so it can clean the dental plaque naturally. Purpose: To find out the comparison of

chewing effectiveness of pear fruit and jicama to reduced dental plaque index at student of SDN Gambut 9 in

Banjar District. Methods: It was a quasi experimental study with pre and post-test group design and used

purposive sampling with 80 peoples sample and consisted of two treatment groups. Group 1 was given the

treatment to chewed pear and group 2 to chewed jicama. Each fruit weigths were 100 grams and it were chewed

with both sides of the jaw about 32 times. Results: An average of plaque index before and after chewing a pear

reduced by 1.3831 and chewing a jicama reduced by 1.1076. Paired T test analysis results showed the value of p

= 0.000 (p < 0.05) between before and after treatment in each treatment groups. Unpaired T test analysis results

showed the value of p = 0.104 (p > 0.05) between the treatment groups. Conclusion: Pear and jicama could

significantly reduce dental plaque index score, but there was no significant differences in effectiveness between

the two.

Keywords: pear, jicama, reduce of dental plaque index

ABSTRAK

Latar belakang: Kesehatan gigi dan mulut telah mengalami peningkatan pada abad ke-21, tetapi

prevalensi karies gigi pada anak tetap merupakan masalah klinis yang signifikan. Tujuan kesehatan gigi dan

mulut adalah menghilangkan plak secara teratur. Salah satu cara membersihkan plak adalah mengunyah buah

seperti pir dan bengkuang. Buah pir dan bengkuang memiliki daging buah yang kasar, padat, keras, serat dan

kadar air yang cukup tinggi. Mengunyah kedua buah ini secara mekanis akan merangsang geligi untuk

menggerus dan menghancurkannya, sehingga dapat membersihkan gigi dari plak secara alami. Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas mengunyah buah pir dan bengkuang terhadap penurunan indeks plak gigi

pada siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experiment dengan pre

and post-test group design yang menggunakan purposive sampling dengan jumlah sampel 80 orang dan terdiri

dari 2 kelompok perlakuan. Kelompok 1 diberikan perlakuan mengunyah buah pir dan kelompok 2 mengunyah

buah bengkuang. Masing-masing buah memiliki berat 100 gram dan dikunyah dengan kedua sisi rahang

sebanyak 32 kali. Hasil: Rata-rata indeks plak sebelum dan sesudah mengunyah buah pir mengalami penurunan

sebesar 1,3831 dan mengunyah buah bengkuang mengalami penurunan sebesar 1,1076. Hasil analisis uji T

berpasangan menunjukkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) antara sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-

masing kelompok perlakuan. Pada uji T tidak berpasangan menunjukkan nilai p = 0,104 (p > 0,05) antar

kelompok perlakuan. Kesimpulan: Buah pir dan bengkuang dapat menurunkan nilai indeks plak gigi secara

bermakna, tetapi tidak terdapat perbedaan efektivitas yang bermakna antara keduanya.

Kata-kata kunci: pir, bengkuang, penurunan indeks plak gigi

Korespondensi: Kasma Ernida Haida, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, email: [email protected]

Laporan Penelitian

Page 29: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

25

PENDAHULUAN

Masalah kesehatan gigi dan mulut menjadi

perhatian yang sangat penting dalam pembangunan

kesehatan, dan salah satunya disebabkan oleh

rentannya kelompok anak usia sekolah terhadap

gangguan kesehatan gigi. Usia sekolah merupakan

masa untuk meletakkan landasan kokoh bagi

terwujudnya manusia yang berkualitas. Faktor

penting yang menentukan kualitas sumber daya

manusia adalah kesehatan.1

Kesehatan gigi dan mulut telah mengalami

peningkatan pada abad ke-21, tetapi prevalensi

terjadinya karies gigi pada anak tetap merupakan

masalah klinis yang signifikan.1 World Health

Organization (WHO) melaporkan prevalensi karies

gigi pada anak usia sekolah sebesar 60% sampai

90%.2 Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS)

2007 melaporkan bahwa di Indonesia prevalensi

karies gigi pada murid sekolah dasar sebesar

72,1%.3 Masalah gigi dan mulut di wilayah

Kalimantan Selatan pada anak berusia 5-9 tahun

sebesar 28,6% dan 10-14 tahun sebesar 29,9%.

Kabupaten Banjar menduduki peringkat ke empat

indeks DMF-T (Decay, Missing, Filling) di

Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 7,8. Fakta ini

menunjukkan untuk menurunkan angka tersebut

diperlukan juga upaya promotif dan preventif, tanpa

mengabaikan kuratif dan rehabilitatif yang sesuai

dengan paradigma kesehatan.4

Plak gigi merupakan salah satu faktor yang

dominan dalam perkembangan suatu karies. Plak

adalah deposit lunak, tidak berwarna, mengandung

bakteri, dan melekat pada permukaan gigi.

Pembersihan gigi yang kurang baik dapat

menyebabkan plak semakin melekat. Akumulasi

plak yang terjadi ini dapat diukur dengan

menggunakan suatu metode, yaitu indeks plak.5

Tujuan kesehatan gigi dan mulut adalah

menghilangkan plak secara teratur untuk mencegah

agar plak tidak tertimbun. Upaya pencegahan ini

disebut kontrol plak. Kontrol plak dapat dilakukan

secara mekanik, kimia dan biologik. Kontrol plak

juga dapat dilakukan dengan mengombinasikan

metode mekanik dan kimia, yaitu dengan

mengunyah buah yang segar dan berserat. Buah

merupakan makanan yang baik untuk kesehatan

gigi dan bisa digunakan untuk penyikatan gigi

secara alami.6,7

Penduduk Kabupaten Banjar, Kalimantan

Selatan, yang berusia 10 tahun ke atas yang kurang

mengonsumsi buah dan sayur sebesar 94,2%.

Sebagian besar angka persentase tersebut

dipengaruhi oleh besarnya prevalensi mengenai hal

serupa pada daerah pedesaan, yaitu 96,1%.4 Hal ini

sangat disayangkan mengingat bahwa

memperbanyak konsumsi sayuran dan buah-buahan

yang berserat dan berair dapat membantu

membersihkan rongga mulut dan merangsang

sekresi saliva yang berguna untuk melindungi gigi.8

Pir dan bengkuang merupakan buah yang

termasuk pembersih alami rongga mulut (self

cleansing), namun belum banyak orang yang

mengetahui hal tersebut. Sebagian besar

masyarakat hanya mengetahui bahwa kedua buah

tersebut dapat bermanfaat untuk kesehatan tubuh

secara umum, tetapi tidak untuk kesehatan rongga

mulut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

Ramdhani pada tahun 2007 dan Budiati pada tahun

2008 diketahui bahwa ternyata buah pir maupun

bengkuang memiliki efek mekanis yang dapat

menurunkan indeks plak gigi.9,10

Prevalensi masalah gigi dan mulut di pedesaan

pada wilayah Kalimantan Selatan sebesar 28,9%

dengan pengalaman karies di Kabupaten Banjar

sebesar 86% pada usia 12 tahun ke atas.4 SDN

Gambut 9 Kabupaten Banjar merupakan sekolah

dasar yang terletak di Jalan Selokan Raya, Irigasi,

Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar. Sekolah ini

dipilih menjadi lokasi penelitian karena

berdasarkan studi pendahuluan, hampir semua

siswa-siswi sekolah ini memiliki pengalaman

karies. Siswa-siswi di sekolah ini juga belum

mengetahui bahwa buah pir dan bengkuang

memiliki manfaat terhadap kesehatan rongga mulut,

meskipun pernah mengonsumsi kedua buah

tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

perbandingan efektivitas mengunyah buah pir dan

bengkuang terhadap penurunan indeks plak pada

siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian

quasi experiment dan rancangan pre and post-test

group design. Perlakuan yang diberikan pada

penelitian ini adalah sampel diminta mengunyah

buah pir atau bengkuang. Pengukuran indeks plak

dilakukan sebelum dan sesudah pemberian

perlakuan. Populasi pada penelitian ini adalah siswa

SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar. Pengambilan

sampel dilakukan dengan teknik purposive

sampling dengan kriteria inklusi. Adapun kriteria

inklusi tersebut adalah siswa kelas 4, 5, dan 6 SDN

Gambut 9 Kabupaten Banjar, bersedia untuk

dijadikan sampel, kooperatif, memiliki gigi insisif,

premolar, dan molar yang tumbuh sempurna, tidak

memiliki kalkulus yang menutupi lebih dari 2/3

mahkota gigi, dan tidak menggunakan alat

orthodonti baik cekat atau lepasan. Jumlah sampel

pada penelitian ini adalah 80 orang dengan tiap-tiap

kelompok masing-masing berjumlah 40 orang. Alat

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat

diagnostik, dappen glass, masker, sarung tangan,

gelas kumur, nierbeken, tempat buah, timbangan

digital, formulir penilaian indeks TQHPI, dan

informed consent. Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu buah pir, buah bengkuang,

disclosing agent, cotton bud, alkohol 70%, tisu, dan

air mineral.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 24 - 28

Page 30: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

26

Sampel diidentifikasi sesuai dengan kriteria

inklusi yang telah ditentukan,. Sampel penelitian

yang telah memenuhi kriteria kemudian dibagi

menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah

kelompok yang mengunyah buah pir, sedangkan

kelompok ke dua adalah kelompok yang

mengunyah buah bengkuang. Semua sampel

penelitian dilakukan pemeriksaan awal yaitu

pemeriksaan akumulasi plak menggunakan

disclosing agent dengan indeks plak dari Quigley

dan Hein yang dimodifikasi oleh Turesky, Gilmore,

dan Glickman (indeks plak TQHPI). Gigi yang

lebih bersih memiliki skor plak yang lebih banyak

mendapat skor 1 atau 2 daripada gigi yang memiliki

skor plak yang lebih banyak mendapat skor 4 atau 5

pada saat pemeriksaan dilakukan. Sampel

kemudian diinstruksikan agar mengunyah buah pir

atau bengkuang yang memiliki berat masing-

masing 100 gram dengan kedua sisi rahang

sebanyak 32 kali. Pemeriksaan akhir dilakukan

setelah perlakuan, yaitu pemeriksaan indeks plak

seperti pada pemeriksaan awal. Hasil pemeriksaan

baik sebelum dan sesudah perlakuan dicatat dan

dihitung dalam formulir penilaian indeks TQHPI.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis

menggunakan uji T dengan derajat kepercayaan

sebesar 95% untuk mengetahui perbandingan

efektivitas antara kelompok yang mengunyah buah

pir dan bengkuang terhadap penurunan indeks plak.

HASIL PENELITIAN

Berikut ini adalah karakteristik sampel

penelitian berdasarkan jenis kelamin dan usia.

Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar sampel

adalah laki-laki sebanyak 44 orang (55%) dan

perempuan sebanyak 36 orang (45%). Berdasarkan

usia, sampel yang berusia 9 tahun sebanyak 11

orang (13,75%), usia 10 tahun sebanyak 28 orang

(35%), usia 11 tahun sebanyak 30 orang (37,5%),

dan usia 12 tahun sebanyak 9 orang (11,25%),

sedangkan sampel yang berusia 13 dan 14 tahun

masing-masing sebanyak 1 orang (1,25%).

Hasil perbandingan efektivitas dari penelitian

yang telah dilakukan terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil Rata-Rata Nilai Penurunan Indeks Plak

Sebelum dan Sesudah Mengunyah Buah Pir

dan Bengkuang Pada Siswa SDN Gambut 9

Kabupaten Banjar

Kelom-

pok

Rata-Rata

Indeks Plak Rata-

Rata

Penu-

runan

Selisih

Rata-

Rata

Penu-

runan

Sebe-

lum

Sesu-

dah

1 2,756 1,373 1,383 0,275

2 2,415 1,307 1,108

Tabel 1 menunjukkan rata-rata penurunan

nilai indeks plak pada kedua kelompok perlakuan,

yaitu kelompok pertama memiliki nilai rata-rata

penurunan indeks plak sebesar 1,383 dan kelompok

ke dua sebesar 1,108. Berdasarkan data tersebut

dapat dilihat bahwa kelompok pertama memiliki

nilai rata-rata penurunan indeks plak yang lebih

besar daripada kelompok ke dua. Besar selisih

antara kelompok pertama dan ke dua yang terjadi

yaitu 0,275. Hasil yang diperoleh tersebut

selanjutnya dianalisis menggunakan uji T. Pada uji

T berpasangan didapatkan hasil p = 0,000 (p <

0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang

bermakna antara sebelum dan sesudah perlakuan

pada masing-masing kelompok perlakuan, baik

pada kelompok yang mengunyah buah pir ataupun

bengkuang. Pada uji T tidak berpasangan

didapatkan hasil p = 0,104 (p > 0,05) yang

menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna

antar kelompok perlakuan.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat

adanya variasi penurunan indeks plak antara

sebelum dan sesudah mengunyah buah pada kedua

kelompok perlakuan. Variasi pada penelitian ini

dapat terjadi karena kondisi gigi yang berbeda-beda

pada setiap subyek penelitian. Siswa dengan

kondisi gigi yang lebih bersih akan mengalami

penurunan nilai indeks plak yang lebih sedikit

daripada kondisi gigi yang tidak bersih. Besar

tekanan pengunyahan setiap subyek penelitian juga

dapat memengaruhi penurunan nilai indeks plak.

Menurut Van der Bilt A et al (2006) dalam Lemos

et al (2006) dan Koc et al (2010), tekanan kunyah

dapat dipengaruhi oleh kekuatan otot pengunyahan,

geligi, dan tekanan gigit yang bergantung faktor,

antara lain morfologi cranio-facial, umur, jenis

kelamin, jaringan periodontal yang mendukung

gigi, temporomandibular disorder, dan status gigi

seperti jumlah dan posisi gigi, serta ada tidaknya

tambalan dan gigi tiruan.11,12 Cara mengunyah buah

(menggunakan kedua sisi rahang secara bersamaan)

dan jumlah kunyah yang dikendalikan (sebanyak 32

kali) seperti pada penelitian yang dilakukan juga

dapat mempengaruhi penurunan indeks plak gigi

yang terjadi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil

penelitian yang telah dilakukan Ramdhani (2007)

dan Budiati (2008) yang membuktikan bahwa

mengunyah buah pir dan bengkuang memberikan

efek mekanis dalam menurunkan indeks plak

gigi.9,10 Menurut Meishi (2011), pir dan bengkuang

adalah buah yang mempunyai sifat sebagai

pembersih alami. Kedua buah ini dapat membantu

terjadinya self cleansing dalam rongga mulut,

sehingga dapat meningkatkan kebersihan gigi dan

mulut setiap individu.13

Haida : Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir Dan Bengkuang

Page 31: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

27

Menurut Firdaus et al (2008) dan Ehizele et al

(2009), penurunan indeks plak dapat terjadi karena

mengonsumsi makanan berserat dan padat

mengakibatkan meningkatnya intensitas dan lama

pengunyahan yang dilakukan. Gerakan mengunyah

akan merangsang sekresi saliva yang mengandung

agen antibakteri. Saliva juga dapat menghilangkan

sisa-sisa makanan atau membilas gigi, menetralisasi

zat-zat asam yang ada, dan melarutkan komponen

gula dari sisa makanan yang terperangkap dalam

sela-sela pit dan fisur permukaan gigi, namun saliva

saja belum mampu menghilangkan plak pada gigi.

König et al (1995) dan Lingstrom et al (2003)

dalam Schwartz et al (2012), menyatakan bahwa

sifat mekanis dari mengunyah makanan berserat

membantu menimbulkan efek seperti sikat

(menggerus) yang dapat menghilangkan plak

(terutama plak supragingiva) dari permukaan gigi

sebelum mengeras menjadi kalkulus. 7,14,15

Salah satu cara pengontrolan plak adalah

dengan mengunyah buah yang segar dan berserat.

Menurut Vaswani (2005) dalam Eka et al (2007),

mengonsumsi makanan berserat tidak akan bersifat

merangsang pembentukan plak, melainkan berperan

sebagai pengendali plak alamiah atau pembersih

alamiah pada permukaan gigi. Pembersihan

alamiah ini seperti membantu menyingkirkan

partikel-partikel makanan dan gula selama proses

pengunyahan terjadi.16

Hasil uji statistik yang telah dilakukan

menunjukkan terjadinya penurunan indeks plak

yang bermakna pada masing-masing kelompok

perlakuan. Hal ini juga terbukti secara klinis pada

saat penelitian, bahwa mengunyah buah pir dan

bengkuang memiliki efek mekanis dalam

menurunkan indeks plak gigi. Penurunan ini terlihat

dari kondisi gigi siswa yang diperiksa sebelum dan

sesudah perlakuan mengalami perubahan dari

kondisi gigi yang tidak bersih (plak yang menempel

lebih banyak mendapat skor 4 atau 5) menjadi

kondisi yang lebih bersih (plak yang menempel

lebih banyak mendapat skor 1 atau 2).

Kelompok yang mengunyah buah pir dan

yang mengunyah buah bengkuang secara statistik

terbukti memiliki keefektivitasan yang sama dalam

menurunkan indeks plak. Hal ini disebabkan kedua

buah ini memiliki beberapa persamaan yang dapat

membantu menghilangkan plak yang melekat pada

permukaan gigi. Persamaan tersebut adalah sama-

sama memiliki kandungan serat dan air yang tinggi,

serta tekstur daging buah yang kasar, padat, dan

keras.13 Kesimpulan yang dapat diambil dari

penelitian ini adalah bahwa mengunyah buah pir

dan bengkuang dapat menurunkan angka indeks

plak gigi, tetapi tidak terdapat perbedaan efektivitas

jika dibandingkan antara mengunyah buah pir dan

bengkuang.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

salah satu upaya preventif dalam menurunkan

prevalensi karies gigi, terutama di Kabupaten

Banjar, Kalimantan Selatan dengan cara agar

kegiatan UKGS (Usaha Kesehatan Gigi Sekolah),

UKGMD (Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat

Desa), dan posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) baik

posyandu balita maupun posyandu lansia,

menyampaikan penyuluhan tentang manfaat

mengonsumsi buah-buahan untuk kesehatan rongga

mulut, terutama buah-buahan yang berserat dan

berair sesudah makan, misalnya pir, bengkuang,

apel, dan jambu. Orang tua siswa dan ibu-ibu

termasuk ibu hamil juga diharapkan mengenalkan

anaknya pada buah dan sayur sejak kecil, sehingga

anak terbiasa mengonsumsi jenis makanan ini.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

manfaat lain dari buah pir dan bengkuang terhadap

kebersihan rongga mulut selain ditinjau dari efek

mekanis dan kimia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Warni L. Hubungan perilaku murid SD kelas V

dan VI pada kesehatan gigi dan mulut terhadap

status karies gigi di wilayah Kecamatan Deli

Tua Kabupaten Deli Serdang tahun 2009.

Tesis. Medan: Program Magister Ilmu

Kesehatan Masyarakat FKM USU; 2009. p. 1,

3.

2. Gathecha G, Anselimo M, Peter W, Jared O,

Perry S. Dental caries and oral health practices

among 12 year old children in Nairobi West

and Mathira West Districts, Kenya. Pan Afr

Med J. 2012; 12; 42.

3. Darwita RR, Herry N, Budiharto, Puspa DP,

Rizky A, Sandy RA. Efektivitas program sikat

gigi bersama terhadap risiko karies gigi pada

murid sekolah dasar. J Indon Med Assoc.

2011; 61 (5); 204-209.

4. Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi Kalimantan

Selatan. Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas)

Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2007.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007;

118-169.

5. Putri MH, Eliza H, Neneng N. Ilmu

pencegahan penyakit jaringan keras dan

jaringan pendukung gigi. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC. 2011. p. 56-60.

6. Sugano N. Biological plaque control: novel

therapeutic approach to periodontal disease. J

Oral Sci. 2012; 54 (1); 1-5.

7. Firdaus T, Eriska R, Dede H. Index plaque

differences between before and after chewing

apples. Proceeding Asian Oral Health Care and

2nd ASEAN Meeting on Dental Public Health.

2008; 13-9.

8. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang

beresiko karies tinggi. Majalah Kedokteran

Gigi. Dent J. 2005; 38 (3); 130-134.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 24 - 28

Page 32: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

28

9. Ramdhani AR. Efektivitas pengunyahan buah

apel (Pyrus malus) dan buah pir (Pyrus

communis L.) terhadap penurunan plak. KTI.

Yogyakarta: FK UMY; 2007.

10. Budiati RE. Pengaruh konsumsi bengkoang

terhadap penurunan debris serta plak indeks,

perubahan pH saliva, pH plak dan penurunan

skor plak lama serta plak baru. Skripsi.

Semarang: FKM UNDIP; 2008.

11. Lemos AD, Flávia RG, Marcia DS, Rafael de

LP, Maria BDG. Chewing performance and

bite force in children. Braz J Oral Sci. 2006; 5

(18); 1101-1108.

12. Koc D, Arife D, Bulent B. Bite force and

influential factors on bite force measurements:

a literature review. Eur J Dent. 2010; 4; 223-

232.

13. Meishi PRL. Hubungan tingkat konsumsi

makanan kariogenik dengan karies gigi pada

anak sekolah dasar swasta Muhammadiyah 08

Medan tahun 2011. Skripsi. Medan: FKM

USU; 2011. p. 6.

14. Ehizele AO, Ojehanon PI, Akhionbare O.

Nutrition and oral health. J Postgrad Med.

2009; 11 (1); 76-82.

15. Schwartz N, Elizabeth KK, Martha EN, Avron

S, Raul IG. High-fiber foods reduce

periodontal disease progression in men aged 65

and older the veterans affairs normative aging

study/ dental longitudinal study. J Am Geriatr

Soc. 2012; 60 (4); 676-683.

16. Eka C, Eriska R, Feny F. Perbedaan tingkat

kebersihan gigi dan mulut antara anak

vegetarian dan non vegetarian di Vihara

Maitreya Pusat Jakarta. Jurnal Kedokteran

Gigi Indonesia Edisi Khusus PIN IKGA II.

2007; 79-84.

Haida : Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir Dan Bengkuang

Page 33: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

29

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BERKUMUR LARUTAN

TEH PUTIH (Camellia sinensis L.) SEDUH KONSENTRASI 100 %

DENGAN 50 % DALAM MENINGKATKAN pH SALIVA

Tinjauan pada Mahasiswa PGPAUD FKIP Angkatan 2010

Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Synthetic mouthwash has many side effects, therefore, some research developed

mouthwash with natural ingredient, such as tea. Some research proved that cathechinand flavonoid ,the

contents of tea has antibacterial effects to some cariogenic bacteria. Cariogenic bacteria can ferment

carbohydrate that causes the decrease in salivary pH which leads to quicken demineralitation process of the

teeth . White tea has higher cathechin and flavonoid than green tea, black tea, and oolong tea. Purpose: This

study aimedto explore theeffectiveness comparison between gargling with 100% white tea solution and 50%

white tea solution to increase pH of saliva. Methods: This study was a quasi experimental with pretest –postest

group design. Sixty six subjects of this study were divided into two groups, one group were gargling with 100%

white tea and another group were gargling with 50% white tea. The salivarypH of both groups were measured

before and after treatment. Result: The statistical analysis showed a significant increase in salivary pH of both

groups, but there was no significant difference between the 100% white tea group and the 50% white tea group.

Conclusion: Based on the study results, it can be concluded that both 100% and 50% white tea increased

salivary pH, but there was no significant difference in the effectiveness of them.

Keywords: white tea, salivary pH, mouthwash

ABSTRAK

Latar Belakang: Penggunaan obat kumur sintesis yang tidak tepat dapat menimbulkan efek samping

sehingga beberapa penelitian telah mengembangkan obat kumur bahan alami seperti teh. Beberapa penelitian

membuktikan bahwa kandungan teh berupa cathechin dan flavonoid memiliki efek antibakteri terhadap

beberapa bakteri kariogenik yang dapat memfermentasi karbohidrat sehingga menurunkan pH saliva yang

mempercepat proses demineralisasi gigi. Teh putih memiliki kandungan cathehin dan flavonoid tertinggi

dibandingkan teh hijau, teh hitam dan teh oolong. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

perbandingan efektivitas teh putih seduh konsentrasi 100% dengan 50% sebagai obat kumur terhadap

peningkatan pH saliva. Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi experimental dengan pretest-postest

group design. Subjek penelitian 66 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang berkumur teh

putih seduh konsentrasi 100% dan konsentrasi 50%. Dua kelompok tersebut diperiksa pH sebelum dan sesudah

diberi perlakuan.Hasil: Berdasarkan hasil uji T-berpasangan untuk teh putih 100% dan uji Wilcoxon pada teh

putih 50% sama-sama efektif dalam meningkatkan pH saliva. Hasil uji T-tidak berpasangan menunjukkan tidak

ada perbedaan bermakna antara kelompok yang berkumur teh putih seduh konsentrasi 100% dengan kelompok

teh putih seduh konsentrasi 50%.Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil

kesimpulan bahwa teh putih seduh konsentrasi 100% maupun 50% dapat meningkatkan pH saliva, tetapi

tidakterdapat perbedaan efektivitas antarakeduanya.

Kata kunci: teh putih, pH saliva, obat kumur

Laporan Penelitian

Page 34: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

30

Korespondensi: Nida Amalia, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) Depkes tahun 2007 menunjukkan bahwa

secara umum prevalensi penyakit gigi dan mulut

tertinggi meliputi 72,1% penduduk, dan 46,6%

diantaranya merupakan karies aktif.1 Prevalensi

karies yang tinggi ini menjadi bukti kurangnya

kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjaga

kesehatan gigi dan mulutnya.2Terdapat empat

faktor utama yang berperan dalam proses

terjadinya karies, yaitu host, mikroorganisme,

substrat, dan waktu. Faktor-faktor tersebut bekerja

bersama dan saling mendukung satu sama lain.3

Saliva sebagai salah satu faktor primer risiko

karies memiliki peranan penting dalam kesehatan

rongga mulut. Saliva sebagai sistem penyangga

untuk menjaga pH optimal mulut, yaitu pH yang

cenderung basa. Jika tanpa saliva, maka setiap kita

makan akan terbentuk lingkungan yang asam yang

akan mendukung pertumbuhan bakteri kariogenik.

Makanan yang kita konsumsi sehari-hari terutama

makanan yang bersifat asam dapat mempengaruhi

pH saliva di dalam rongga mulut, pH saliva

menjadi turun dan bersifat asam. Selain itu, hasil

metabolisme karbohidrat oleh mikroorganisme

dalam rongga mulut juga menghasilkan asam yang

akan memicu proses demineralisasi email dan

dentin, sehingga terjadi karies.4,5

Penggunaan larutan kumur adalah salah satu

cara yang cukup berhasil dalam menjaga

kebersihan mulut.6 Obat kumur yang sering

digunakan adalah obat kumur antiseptik, akan

tetapi penggunaan antiseptik dalam obat kumur

dewasa ini diduga dapat berefek karsinogenik

terhadap penggunanya. Hal ini didukung oleh hasil

penelitian McCullough dan Farah yang menyatakan

bahwa pemakaian mouthwash dengan kandungan

antiseptik berupa alkohol dapat memicu terjadinya

kanker mulut.7,8 Dewasa ini telah berkembang

penggunaan obat tradisional sebagai alternatif yang

lebih aman dibandingkan zat kimia.9

Teh merupakan minuman paling popular di

antara berbagai minuman.Selain nikmat, minum teh

dalam bentuk seduhan juga mempunyai banyak

manfaat yang baik untuk kesehatan termasuk

kesehatan rongga mulut.Minuman dari pucuk daun

teh(Camellia sinensis) ini dapat memperkuat gigi,

melawan bakteri dalam mulut, dan mencegah

terbentuknya plak gigi.10Teh memiliki kandungan

kaya sumber polifenol (katekin) yang merupakan

bagian dari flavonoid. Empat katekin utama adalah

epigalocathechin-3-gallate (EGCG) yang kira-kira

59% dari total katekin, epigalocathecin (EGC)

19%, epicatechin-3-gallate (ECG) 13,6%,

epicatechin (EC), dan 6,4% kafein.11

Katekin terutama EGCG dapat menghambat

bakteri (bakteriostatis) dan sebagai bakterisid

terhadap Streptococcus mutans, Streptococcus

sobrinus dan laktobasillus, yang merupakan bakteri

penyebab utama terjadinya karies.2,11,12 Hasil

penelitian Adrianto tentang antibakteri biji kakao

yang mengandung polifenol dan didominasi oleh

katekin dan epigalokatekin, menunjukkan

kandungan polifenol dengan kadar 100% mampu

menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus

mutans lebih baik dibandingkan polifenol

konsentrasi 50%.11 Melalui peranannya ini, katekin

dapat menghambat proses fermentasi gula oleh

enzim glukosiltransferase yang dapat memproduksi

asam.12

Teh putih memiliki jumlah flavonoid

terbanyak, disusul teh hijau, teh oolong, dan teh

hitam.13 Teh putih adalah tipe teh yang paling

sedikit diproses dan memiliki kandungan katekin

yang paling tinggi, dibuat dari daun teh muda

(pucuk) yang diuapkan segera setelah dipanen

untuk menonaktifkan oksidasi polifenol, yaitu

enzim yang menghancur katekin. Proses ini

menghasilkan teh putih yang lebih kaya

akankatekin dibanding teh hijau.14

Penelitian ini peneliti bertujuan

membandingkan efektifitas larutan teh putih seduh

konsentrasi 100% dan 50% terhadap peningkatan

pH saliva sebagai obat kumur dalam usaha menjaga

kebersihan rongga mulut dan mencegah karies.

BAHAN DAN METODE

Rancangan penelitian yang digunakan adalah

studi QuasiExperimental dengan Pretest-Posttest

Group Design. Penelitian dilakukan pada

mahasiswa Pendidikan Guru Pendidik Anak Usia

Dini angkatan 2010 FKIP UNLAM Banjarmasin.

Sebanyak 66 subjek dibagi menjadi 2

kelompok.Kelompok pertama berkumur dengan teh

putih seduh konsentrasi 100% dan kelompok kedua

berkumur dengan teh putih seduh konsentrasi 50%.

Bahan yang digunakan adalah larutan teh

putih seduh konsentrasi 100%, larutan teh putih

seduh konsentrasi 50%, air/akuades, dan kertas

label. Alat yang digunakan adalah, gelas kecil

untuk menampung saliva, gelas kumur, gelas ukur,

pH meter, termometer, heater, sarung tangan dan

masker.Cara pembuatan teh putih seduh

konsentrasi 100% dalam penelitian ini yaitu 100

gram teh putih yang diseduh dengan 100 ml air.

Sebelumnya air dididihkan, kemudian didiamkan

sebentar, agar suhunya turun ke temperatur

optimum.Temperatur optimum dalam penyeduhan

teh adalah 70-80oC. Penggunaan temperatur

optimum bertujuan untuk menjaga agar kadar

Amalia : Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih

Page 35: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

31

polifenol dalam teh tidak berkurang. Pembuatan teh

putih seduh konsentrasi 50% dibuat dengan

caralarutan teh putih seduh konsentrasi 100%

dicampurkan dengan air pada temperatur optimum

sebanyak 100 ml.

Tahapan prosedur kerja selanjutnya adalah

subjek diinstruksikan agar tidak menyikat gigi,

makan dan minum minimal 1 jam sebelum

penelitian.Subjek masing-masing kelompok

dipersilahkan mengeluarkan saliva ke dalam

sebuah gelas kecil penampung saliva yang sudah

diberi label, ± 2 ml per sampel.pH saliva diukur

dengan menggunakan pH meter. Setelah

pengambilan data awal, subjek diinstruksikan

tentang perlakuan yang akan diberikan sesuai

kelompok. Kelompok pertama berkumur dengan

larutan teh putih seduh konsentrasi 100%, selama

30 detik dan kelompok kedua berkumur dengan

larutan teh putih seduh konsentrasi 50% selama 30

detik.

Subjek masing-masing kelompok kemudian

dipersilahkan mengeluarkan saliva ke dalam

sebuah gelas ukur yang sudah diberi label, ± 5 ml

per sampel.pH saliva masing-masing kelompok

diukur dengan pH meter. Data dikumpulkan dan

dilakukan analisis data serta penyimpulan hasil

analisis data.

Data yang didapat dari tiap kelompok

dilakukan uji normalitas menggunakan uji Shapiro

Wilk.Data yang terdistribusi normal dilanjutkan

dengan t-Test berpasangan untuk mengetahui

perbandingan pH saliva sebelum dan sesudah

perlakuan tiap kelompok.Data yang tidak

terdistribusi normal dilakukan uji Wilcoxon. Lalu

dilanjutkan t-Test tidak berpasangan untuk

membandingkan antara kedua kelompok perlakuan

dengan tingkat kepercayaan 95% (p<0,05).

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata pH Saliva Sebelum dan Sesudah

Berkumur Teh Putih Seduh Konsentrasi 100

% dan Teh Putih Seduh Konsentrasi 50%.

pH Saliva Rata-rata

Teh putih

konsentrasi

100%

Teh putih

konsentrasi

50%

Sebelum

berkumur

6,922 6,991

Sesudah

berkumur

7,053 7,082

Selisih 0,131 0,091

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa

pada kelompok berkumur dengan teh putih

konsentrasi 100%, rata-rata pH saliva sebelum dan

sesudah berkumur adalah 6,922 dan 7,053.Terdapat

peningkatan rata-rata pH sebesar 0,131.Pada

kelompok yang berkumur dengan teh putih seduh

50% rata-rata pH saliva sebelum dan sesudah

berkumur adalah 6,991 dan 7,082.Terdapat

peningkatan pH saliva sebesar 0,091.

Hasil uji Shapiro Wilkmenunjukkan data

pada kelompok yang berkumur teh putih dengan

konsentrasi 100% terdistribusi normal. Analisis

data dilanjutkan dengan t - Test berpasangan.Pada t

-Test berpasangan didapatkan hasil p = 0,043

(p>0,05) yang menunjukkan peningkatan pH saliva

yang signifikan sebelum dan sesudah berkumur teh

putih seduh konsentrasi 100%.

Analisis dilanjutkan pada data pH saliva

kelompok berkumur teh putih konsentrasi 50%.

Pada uji normalitas, sebaran data kelompok

berkumur teh putih konsentrasi 50% tidak normal,

sehingga digunakan uji alternatifWilcoxon. Pada uji

Wilcoxon didapatkan hasil p = 0,037 yang berarti

terdapat peningkatan pH saliva yang signifikan.

Analisis dilanjutkan dengan Uji T tidak

berpasangan berdasarkan selisih pengukuran pH

sebelum dan sesudah berkumur setiap kelompok

untuk mengetahui apakah ada perbedaan perubahan

pH saliva antar kelompok yang berkumur teh putih

konsentrasi 100% dengan 50%. Pada setiap

kelompok didapatkan sebaran data terdistribusi

normal. Pada uji T tidak berpasangan didapatkan

hasil p = 0,661 (p>0,05) yang menunjukkan tidak

terdapat perbedaan signifikan antara kelompok

perlakuan.

PEMBAHASAN

Hasil analisis dalam penelitian ini

menunjukkan terjadinya peningkatan pH saliva

yang signifikan setelah berkumur dengan teh putih

seduh konsentrasi 100% maupun teh putih seduh

konsentrasi 50%. Peningkatan pH saliva setelah

berkumur dengan teh putih kemungkinan terjadi

karena kandungan katekin dan polifenol yang

terdapat pada teh putih. Teh putih mengandung

katekin terutama EGCG yang berfungsi sebagai

bakteriostatis dan bakterisid terhadap bakteri

kariogenik salah satunya Streptococcus mutans.15

Katekin bekerja dengan cara mencegah terjadinya

adhesi Streptococus mutans menyebabkan

penghambatan aktivitas enzim glukosiltransferase

sehingga pembentukan asam dihambat.16Katekin

juga dapat merusak dinding sel bakteri dan

membran sitoplasma serta menyebabkan denaturasi

protein.17

Aktivitas biologis senyawa flavonoid terhadap

bakteri dilakukan dengan merusak sel bakteri. Sel

bakteri yang terdiri atas lipid dan asam amino akan

bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa

flavonoid sehingga dinding sel akan rusak dan

senyawa tersebut dapat masuk ke dalam inti sel

bakteri. Senyawa ini juga akan kontak dengan

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 29 - 33

Page 36: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

32

DNA pada inti sel bakteri. Adanya perbedaan

kepolaran antara lipid penyusun DNA dengan

gugus alkohol pada senyawa flavonoid

menyebabkan terjadinya reaksi sehingga akan

merusak struktur lipid DNA bakteri serta inti sel

bakteri akan lisis dan mati. Selain itu tannin yang

terkandung dalam teh putih dapat mengkerutkan

dinding sel atau membran sel sehingga

mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Sel tidak

dapat melakukan aktivitas hidup sehingga

pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati.18

Peningkatan pH saliva terjadi akibat adanya

peningkatan sekresi saliva. Adanya peningkatan

sekresi saliva menyebabkan peningkatan ion-ion

bikarbonat sehingga pH saliva akan meningkat.

Peningkatan sekresi saliva dapat terjadi karena

adanya rangsangan mekanis dan kimiawi terhadap

kelenjar saliva.Peningkatan pH pada penelitian ini

kemungkinan terjadi akibat peningkatan sekresi

saliva yang berasal dari rangsangan kandungan

seduhan teh putih yaitu tannin yang terasa

pahit.Hal ini sesuai dengan penelitian Permatasari

(2011), yang menunjukkan adanya peningkatan

sekresi saliva pada kelompok kontrol karena

rangsangan mekanis terhadap kelenjar saliva

(berkumur).Sekresi saliva yang dihasilkan pada

kelompok perlakuan lebih banyak karena terjadi

dua rangsangan pada kelenjar saliva, yaitu

rangsangan mekanik (berkumur) dan rangsangan

kimiawi (rasa pahit dari tannin) sehingga ion-ion

bikarbonat yang dihasilkan lebih

banyak.Akibatnya, pH saliva pada kelompok

perlakuan meningkat secara signifikan

dibandingkan kelompok kontrol.20Pada penelitian

ini tidak dilakukan pengukuran volume saliva

sehingga peningkatan sekresi saliva tidak bisa

dinilai.

Berdasarkan hasil analisis yang telah

dilakukan, dapat dilihat bahwa tidak terdapat

perbedaan peningkatan pH saliva yang signifikan

antara kelompok yang berkumur teh putih seduh

konsentrasi 100% dengan 50%. Penelitian

Sakanaka yang dikutip dari Wiria menyatakan

bahwa konsentrasi hambat minimum katekin yang

diperlukan untuk menghambat pembentukan

glukan dengan bantuan enzim glukosiltransferase

adalah 0,025 – 0.030 mg/ml. Pada penelitian Wiria

(2008) yang membandingkan efektivitas berkumur

larutan teh hijau seduh konsentrasi 100% dengan

50% terhadap pembentukan plak gigi menunjukkan

nilai KHM pada teh hijau konsentrasi seduh 100%

kira-kira 1,3 – 2,533 mg/ml dan pada konsentrasi

50% yaitu 0,65-1,265 mg/ml. Konsentrasi tersebut

menunjukkan nilai yang lebih besar dari pada

KHM katekin. Hasil penelitian Wiria menunjukkan

tidak adanya perbedaan bermakna. Hal tersebut

dimungkinkan karena kadar atau konsentrasi

katekin dalam kedua larutan teh seduh ini jauh

lebih besar dari KHM (konsentrasi hambat

minimum) katekin, sehingga perbedaan

efektivitasnya tidak terlalu terlihat.19 Hal seperti ini

kemungkinan juga terjadi pada teh

putih.Konsentrasi maksimum katekin yang

dibutuhkan untuk memicu peningkatan pH saliva

mungkin sudah dicapai atau dilampaui pada teh

seduh konsentrasi 50%, sehingga tidak ada

perbedaan bermakna antara teh putih seduh

konsentrasi 100% dan konsentrasi 50% terhadap

peningkatan pH saliva.

Hasil penelitian Putri (2011) tentang pengaruh

campuran madu dan teh hijau dalam perubahan

derajat keasaman (pH) saliva anak terlihat bahwa

kenaikan pH saliva terjadi pada menit pertama

sampai pada menit ke -15 dan turun pada menit ke-

30 pada semua kelompok.19 Penelitian Afifah

(2010) tentang uji beda dalam pemberian teh hijau

dan teh hitam terhadap pH saliva secara in vivo

menunjukkan terjadi perbedaan waktu kenaikan pH

saliva.pH saliva turun pada menit ke-2 kemudian

naik pada menit ke-6 dan kembali turun pada menit

ke-10. Adapula yang mengalami perlambatan,

menurun sampai menit ke- 6 kemudian baru

meningkat pada menit ke-10.10 Pada penelitian ini

hanya dilakukan pengukuran saliva langsung

setelah berkumur dan tidak dilakukan perentang

waktu, sehingga efek teh putih seduh konsentrasi

100% dengan 50% tidak diketahui sampai kapan

efektifnya dalam merubah atau meningkatkan pH

saliva.

Tidak adanya perbedaan peningkatan pH

saliva antar kelompok kemungkinan disebabkan

oleh beberapa faktor yang tidak dapat peneliti

kendalikan, seperti kepatuhan diet atau pola makan

seseorang dan karies.Menurut Toda M yang dikutip

dari Nur Afifah orang yang memiliki kebiasaan

mengunyah makanan yang banyak mengandung

serat seperti buah-buahan dan sayur-sayuran

mempengaruhi pH saliva dengan secara tidak

langsung melalui peningkatan sekresi saliva.pH

dan kapasitas buffer saliva juga akan berpengaruh

setelah makan. pH saliva menjadi asam 10 menit

setelah makan karbohidrat dan proses untuk

menormalkan pH saliva setelah makan memerlukan

waktu 30-60 menit.10 Pada penelitian ini responden

diminta agar tidak mengkonsumsi makanan

minimal 1 jam sebelum penelitian. Kemungkinan

masih terdapat responden yang tidak mematuhi

instruksi untuk tidak makan sebelum perlakuan

sehingga berpengaruh terhadap pH saliva setelah

pemberian seduhan teh putih untuk berkumur.

Faktor lainyang dapat berpengaruh terhadap

penelitian adalah karies. Pada hasil kuesioner

didapatkan faktor perancu yang bisa mempengaruhi

hasil seperti gigi berlubang. Gigi berlubang akan

mempermudah makanan/minuman menempel

sehingga terdapat banyak bakteri yang dapat hidup

dan dapat menghasilkan asam.Hal ini

menyebabkan potensi pembentukan asam lebih

tinggi.10 Pada penelitian ini faktor karies tidak

dikendalikan, sehingga adanya gigi karies pada

Amalia : Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih

Page 37: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

33

responden dapat mempengaruhi pH

saliva.Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik

kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan

efektifitas antara teh putih (Camellia sinensis. L)

seduh konsentrasi 100% dan 50% sebagai obat

kumur terhadap peningkatan pH saliva.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riset

Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2007.

Hal: 141-142.

2. Simanjuntak CMK. Hubungan Keadaan Saliva

dengan Risiko Karies pada Siswa X SMK

Negeri 9 Medan. Repository USU 2011. Hal:

1, 16, 54-55.

3. Soesilo D, Rinna ES, Indeswati D. Peranan

Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan

pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies.

Majalah Kedokteran Gigi (Dental Journal)

2005; 38: 25-28.

4. Mgowan K. The Biology of Saliva

2005;(online),(http://discovermagazine.com/20

05/oct/ the - biology - of - saliva), diakses 24

Januari 2013).

5. Stookey GK. The Effect of Saliva on Dental

Caries. JADA. 2008; 139(S):11-17.

6. Endarti, Fauzia, Eeli Z. Manfaat Berkumur

dengan Larutan Ekstrak Siwak (Savadora

Persica). Majalah Kedokteran Nusantara 2007;

40(1): 29-37.

7. McCullough MJ, Farah CS. The Role of

Alcohol in Oral Carsinogenesis with Particular

Reference to Alcohol-containing

mouthwashes. AustDent J 2008; 53:302-305.

8. Rahmah N, Aditya RKN. Uji Fungistatik

Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap

Candida albicans. BIOSCIENTIAE 2010;

7:17-24.

9. Sundari D, Budi N, M. Wien W. Toksisitas

Akut (LD50) dan Uji Gelegat Ekstrak Daun

Teh Hijau (Camellia sinensis (Linn.) Kunze)

pada Mencit. Media Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan 2009; XIX: 198-

203.

10. Afifah N. Uji Beda Pemberian Teh Hijau dan

Teh hitam terhadap Perubahan pH Saliva

Secara In Vivo. Skripsi. Surakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2010.

Hal: 12-42.

11. Adrianto, Kiki. Efek Antibakteri Polifenol Biji

Kakao pada Streptococcus mutans. Skripsi.

Jamber: Fakultas Kedokteran Gigi. 2012.

12. Ukra M. The Miracle of Tea. Bandung: Qanita,

2011. Hal:53.

13. Jighisa A, Rai N, Kumar N, Gautam P. Green

Tea : A Magical Herb with Miraculous

Outcomes. International Research Journal of

Pharmacy 2012; 3(5): 139-148.

14. Bestbook.1001 Teh – Dari Asal Usul, Tradisi,

Khasiat Hingga Racikan Teh. Yogyakarta:

Andi Publisher, 2010. Hal: 50-74.

15. Wiria F. Perbandingan Efektvitas Berkumur

dengan Larutan Teh Hijau Seduh Konsentrasi

100% dan 50% dalam Menghambat

Pembentukan Plak Gigi Secara Klinis pada

Enam Permukaan Gigi. Skripsi. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Indonesia, 2008. Hal: 43.

16. Suprastiwi E. Efek Antimikroba Polifenol dari

Teh Hijau Jepang terhadap Streptococcus

mutans. Skripsi. Dep.I Konservasi Gigi

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Indonesia, 2007. Hal: 7.

17. Amelia R, Sudomo P, Widasari L.

Perlindungan Uji Efektivitas Ekstrak Teh

Hijau (Camellia Sinensis) sebagai Alat Anti

Bakteri terhadap Bakteri Staphylococcus

Aureus dan Escherichia coli Secara In Vitro.

Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional

Veteran Jakarta. Bina Widya: Majalah Ilmiah

2013; 23(4); 177-182.

18. Noorhamdani, Yully E, Hendra PS. Ekstrak

Daun Teh Putih (Camellia sinensis) sebagai

Antibakteri Terhadap Streptococcus mutans

Secara In Vitro.Skripsi. Program Studi

Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya, 2013. Hal: 9.

19. Putri DKT. Pengaruh Campuran Madu dan

Teh Hijau Terhadap Perubahan Derajat

Keasaman (pH) Saliva Anak (Kajian Secara In

vitro). Laporan Penelitian. Banjarmasin:

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas

Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat,

2011. Hal: 35-36.

20. Permatasari N, Miftakhul C, Felix A.

Efektivitas Berkumur Infusum Teh Hijau Pada

Perubahan pH Saliva pada Anak SD Berusia 9-

11 Tahun di SDN Dinoyo II Malang. Skripsi.

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya, 2011. Hal:

4.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 29 - 33

Page 38: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

34

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

PERANAN PENYULUHAN DEMONSTRASI TERHADAP RASA TAKUT DAN

CEMAS ANAK SELAMA PERAWATAN GIGI DI PUSKESMAS CEMPAKA PUTIH

BANJARMASIN

Noor Hamidah, Didit Aspriyanto, Cholil

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background : The fear and anxiety toward dental treatment was a barrier for dentists in improving

dental health, especially in children. It was important to treat children who feel scared and anxious toward

dental treatment, because the fear and anxiety were the cause of 15 % of dental treatment failure. One of the

efforts to prevent the fear and anxiety of children to dental treatment by given demonstration counseling.

Purpose : The purpose of this study was to determine the role of demonstrations counseling toward children

fear and anxiety during dental treatment at cempaka putih public health center in Banjarmasin. Methods : This

research was a quasi experimental with posttest-only with control group design, with one group given no

treatment as controls. Children fear and anxiety was measured with CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-

Dental subscale). Results : Chi-square test results showed that the children who were not given demonstrations

counseling had fear higher sense of fear and anxiety, while children who were given demonstrations counseling

had a lower sense of fear and anxiety (P<0,05). Conclusion : Based on the research can be concluded that

there was significant differences between children who were given demonstrations counseling and were not

given demonstrations counseling.

Keywords: fear, anxiety, demonstrations counseling

ABSTRAK

Latar Belakang : Rasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi merupakan hambatan bagi dokter

gigi dalam usaha peningkatan kesehatan gigi, terutama pada anak-anak. Penting untuk merawat anak yang

merasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi, karena takut dan cemas merupakan penyebab dari 15%

kegagalan perawatan gigi. Salah satu upaya untuk mencegah rasa takut dan cemas anak terhadap perawatan

gigi yaitu dengan memberikan penyuluhan demonstrasi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui peranan penyuluhan demonstrasi terhadap rasa takut dan cemas anak selama perawatan gigi di

Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental

dengan posttest-only with control group design, dengan satu kelompok yang tidak diberikan perlakuan sebagai

kontrol. Rasa takut dan cemas diukur dengan CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-Dental Subscale).

Hasil : Hasil uji chi-squere menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan penyuluhan demonstrasi memiliki

rasa takut dan cemas yang tinggi, sedangkan anak yang diberi penyuluhan memiliki rasa takut dan cemas

rendah (P<0,05). Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat

perbedaan yang bermakna antara anak yang diberikan penyuluhan demonstrasi dan tidak diberikan

penyuluhan demonstrasi.

Kata kunci: takut, cemas, penyuluhan demonstrasi

Korespondensi : Noor Hamidah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email: [email protected]

Laporan Penelitian

Page 39: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

35

PENDAHULUAN

Masalah kesehatan gigi anak di Indonesia

masih sangat memprihatinkan. Laporan hasil riset

kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007

menunjukkan bahwa prevalensi penduduk

Kalimantan Selatan usia 5-14 tahun yang memiliki

masalah gigi dan mulut sebanyak 58,5%.

Banjarmasin sendiri angka kerusakan gigi sebanyak

1,11 gigi perorang yang mengalami karies.1 Hal ini

disebabkan masih banyak orang tua yang

berpendapat bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat,

karena mereka tidak tahu akibat yang akan terjadi

bila gigi sulung tidak dirawat dengan baik. Upaya

yang dapat dilakukan untuk mempertahankan gigi

sulung adalah melakukan perawatan rutin ke dokter

gigi.2,3

Kebanyakan anak memiliki rasa takut dan

cemas terhadap perawatan gigi, sehingga hal

tersebut menjadi hambatan bagi dokter gigi dalam

usaha meningkatkan kesehatan gigi masyarakat

khususnya anak-anak, karena kecemasan pasien

memberikan efek negatif terhadap prosedur

perawatan yang akan dilakukan.3,4 Belladom (2009)

menyatakan pasien anak yang memiliki rasa takut

dan cemas sulit untuk diatur dan diberi perlakuan

sehingga penting merawat anak yang merasa takut

dan cemas. Rasa takut dan cemas merupakan

penyebab dari 15% kegagalan perawatan gigi.

Beberapa ahli juga melaporkan bahwa pada

umumnya rasa takut dan cemas timbul akibat

perawatan gigi semasa kanak-kanak. Oleh karena

itu perlu diperhatikan bahwa pencegahan terhadap

timbulnya rasa takut dan cemas anak harus dimulai

pada usia dini, sehingga membuat seorang anak

menjadi lebih berani dan memperkuat kebiasaan

perawatan gigi yang baik untuk selanjutnya.5,6,7

Salah satu upaya untuk mencegah rasa takut

dan cemas anak terhadap perawatan gigi yaitu

dengan penyuluhan.6 Penyuluhan kesehatan

diartikan sebagai kegiatan pendidikan kesehatan

yang dilakukan dengan cara menyebarluaskan

pesan dan menanamkan keyakinan. Dengan

demikian masyarakat tidak hanya sadar, tahu, dan

mengerti, tetapi juga dapat melakukan anjuran yang

berhubungan dengan kesehatan.8

Media penyuluhan yang digunakan untuk

mencegah rasa takut dan cemas anak selama

perawatan gigi dalam penelitian ini adalah dengan

metode demonstrasi. Metode demonstrasi

merupakan suatu penyajian pengertian atau ide

yang dipersiapkan dengan teliti untuk

memperlihatkan bagaimana cara melaksanakan

suatu tindakan, adegan, atau menggunakan suatu

prosedur dengan alat bantu yang digunakan dalam

menyampaikan bahan pendidikan.9 Metode

demonstrasi juga merupakan cara mengajar dimana

seorang struktur atau tim menunjukkan,

memperlihatkan, suatu proses sehingga audience

dapat melihat, mengamati, mendengar, dan

memahami proses yang ditunjukkan.10 Manusia

hanya memahami 20% dari apa yang mereka lihat,

dan 30% dari apa yang mereka dengar. Mereka

mampu mengingat informasi sebanyak 50% dari

apa yang mereka lihat dan dengar, dan sebanyak

80% informasi yang mereka peroleh jika mereka

melihat, mendengar, dan melakukan informasi

tersebut secara bersama-sama.10

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli

2013 di Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin.

Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi

experimental, dengan rancangan penelitian

posttest-only with control group design, dengan

satu kelompok yang tidak diberikan perlakuan

sebagai kontrol. Instrumen pada penelitian ini

menggunakan kuesioner yang di ukur dengan

CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-Dental

Subscale) yang terdiri dari 15 pertanyaan masing-

masing mencakup aspek yang berbeda pada

perawatan gigi.

Tingkat kecemasan dan rasa takut pada anak

dibagi menjadi skala 5 poin yaitu, tidak takut sama

sekali dengan skor = 1, agak takut = 2, cukup takut

= 3, takut skor = 4 dan sangat takut skor = 5. Nilai

total CFSS-DS (Children Fear Survey Schedule-

Dental Subscale) memiliki rentang skor antara 15-

75, tingkat kecemasan dan rasa takut yang rendah

mempunyai nilai 15-37, sedangkan tingkat

kecemasan dan rasa takut yang tinggi mempunyai

nilai 38-75.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu, alat diagnosa, model pantom, lembar

penilaian rasa takut dan cemas, formulir informed

consent, dan alat tulis. Pertama yang dilakukan

adalah penetapan sampel yang diambil secara

accidental sampling. Sampel harus memenuhi

kriteria inklusi yang telah ditetapkan.

Sebelum dilakukan penyuluhan demonstrasi,

responden meminta izin pada orang tua untuk

pengisian data diri anak, kemudian dilakukan

wawancara kepada anak tentang pengalaman ke

dokter gigi sebelumnya. Penyuluhan demonstrasi

diberikan dengan cara, pengenalan alat diagnostik

(kaca mulut, sonde, eskavator, pinset),

memperlihatkan atau menunjukkan fungsi dan cara

menggunakan alat diagnostik dengan menggunakan

model pantom, memberikan kesempatan pada anak

untuk bertanya jika anak tersebut tidak mengerti

dengan apa yang kita jelaskan, langkah selanjutnya

adalah melakukan pemeriksaan dan perawatan gigi

pada anak. Observasi selama pemeriksaan dan

perawatan gigi oleh dokter gigi. Setelah selesai

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 34 - 38

Page 40: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

36

dilakukan pemeriksaan dan perawatan gigi,

dilakukan wawancara terpimpin pada anak dengan

panduan kuesioner yang telah dibuat. Analisis data

dilakukan dengan pengujian statistik menggunakan

uji chi-square, dengan tingkat kepercayaan 95%

(α= 0,05).

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian tentang peranan penyuluhan

demonstrasi terhadap rasa takut dan cemas anak

selama perawatan gigi di puskesmas cempaka putih

Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 perbedaan rasa takut dan cemas pada anak yang

diberikan penyuluhan demonstrasi dan tidak diberikan

penyuluhan demonstrasi.

PD

Rasa Takut dan Cemas Total

Tinggi Rendah

f % F % f %

TP 11 73,3 4 26,7 15 100

DP 1 6,7 14 93,3 15 100

Keterangan

PD : Penyuluhan Demonstrasi

TP : Tanpa Penyuluhan Demonstrasi

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa anak

yang tidak diberikan penyuluhan demonstrasi

memiliki rasa takut dan cemas tinggi sebanyak 11

orang (77,3%) dan rendah 4 orang (26,7%). Anak

yang diberi penyuluhan memiliki rasa takut dan

cemas tinggi sebanyak 1 orang (6,7%) dan yang

memiliki rasa takut dan cemas rendah 14 orang

(93,3%).

Perbedaan rasa takut dan cemas anak pada uji

chi-square diperoleh nilai signifikansi 0,01 (P <

0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

bermakna antara anak yang diberikan penyuluhan

demonstrasi dan tanpa penyuluhan demonstrasi.

Tabel 2 Perbedaan rasa takut dan cemas anak

berdasarkan usia.

Usia

Rasa takut dan cemas Total

Tinggi Rendah

f % f % f %

6 5 62,5 3 37,5 8 100

7 6 60,0 4 40,0 10 100

8 1 20,0 4 80,0 5 100

9 0 0,0 7 100,0 7 100

Berdasarkan Tabel 2 responden usia 6 tahun

dengan kategori tinggi sebanyak 5 orang (62,5%)

dan kategori rendah 3 orang (37,5%). Usia 7 tahun

dengan kategori tinggi sebanyak 6 orang (60%) dan

kategori rendah 4 orang (40%). Usia 8 tahun

dengan kategori tinggi sebanyak 1 orang (20%) dan

kategori rendah 4 orang (80%). Usia 9 tahun

dengan kategori tinggi tidak ada dan kategori

rendah sebanyak 7 orang (100%).

Tabel 3 Perbedaan rasa takut dan cemas berdasarkan

jenis kelamin.

Jenis

kelamin

Rasa takut dan cemas Total

Tinggi Rendah

f % f % f %

laki-laki 5 35,7 9 64,3 14 100

perempuan 7 43,8 9 56,3 16 100

Berdasarkan Tabel 3 anak laki-laki yang

memiliki rasa takut dan cemas tinggi sebanyak 5

orang (35,7%), rasa takut dan cemas rendah 9

orang (64%). Anak perempuan yang memiliki rasa

takut dan cemas tinggi sebanyak 7 orang (43,8%),

rasa takut dan cemas rendah 9 orang (56,3%). Dari

data tersebut diketahui anak laki-laki memiliki

tingkat rasa takut yang rendah dibandingkan anak

perempuan.

PEMBAHASAN

Rasa takut adalah emosi pertama yang

diperoleh bayi setelah lahir. Rasa takut merupakan

suatu mekanisme protektif untuk melindungi

seseorang dari bahaya dan pengrusakan diri.

Definisi lain menyebutkan takut (fear) merupakan

suatu luapan emosi individu terhadap adanya

perasaan bahaya atau ancaman yang merupakan

gabungan dari beberapa faktor antara lain, perilaku

yang tidak menyenangkan seperti ancaman yang

menakutkan yang akan terjadi.12

Rasa takut pada anak yang hendak melakukan

perawatan ke dokter gigi merupakan suatu

kecemasan yang dapat juga diartikan suatu

kekhawatiran atau ketegangan yang berasal dari

sumber yang tidak diketahui.6 Rasa takut pada

anak seringkali diikuti dengan adanya perubahan

fisiologis, kognitif, dan tingkah laku. Bentuk

ekspresi ketakutan itu sendiri bisa bermacam-

macam, biasanya lewat tangisan, jeritan,

bersembunyi atau tidak mau berpisah dari orang

tuanya.13

Rasa takut dalam bidang perawatan gigi anak

merupakan salah satu sikap emosional yang paling

sering ditemukan dan merupakan salah satu

Hamidah : Peranan Penyuluhan Demonstrasi

Page 41: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

37

komponen dari tidak kooperatifnya anak terhadap

perawatan gigi, sehingga dapat menghalangi

keberhasilan perawatan gigi anak. Ketakutan

terhadap perawatan gigi dinyatakan dengan adanya

penolakan terhadap perawatan gigi. Baik penolakan

secara total terhadap dokter gigi yang bersangkutan

ataupun menolak beberapa jenis prosedur

perawatan gigi yang dilakukan.5,1 Rasa cemas

artinya khawatir, gelisah, dan takut. Rasa cemas

merupakan salah satu tipe gangguan emosi yang

berhubungan dengan situasi tak terduka atau

dianggap berbahaya. Kecemasan juga dapat

didefinisikan sebagai suatu kekhawatiran atau

ketegangan yang berasal dari sumber yang tidak

diketahui. Kecemasan pada anak dapat

dimaksudkan sebagai rasa takut terhadap perawatan

gigi.2,13

Rasa cemas banyak ditemukan pada anak

yang baru pertama kali ke dokter gigi, beberapa

diantaranya mengatakan cemas terhadap

pencabutan dan penambalan walaupun mereka

tidak pernah mempunyai riwayat pencabutan dan

penambalan sebelumnya.7 Kecemasan merupakan

kondisi emosional yang tidak menyenangkan,

ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti

ketakutan, ketegangan serta kekhawatiran terhadap

situasi yang dianggap berbahaya. Karena

kecemasan sering memicu anak menjadi tidak

kooperatif terhadap perawatan gigi sehingga waktu

perawatannya lebih lama dan tidak memberikan

hasil yang memuaskan.14

Rasa takut dan cemas menghadapi perawatan

gigi merupakan reaksi yang pada umumnya

dirasakan pasien baik anak maupun dewasa. Rasa

takut pada pasien anak muncul akibat adanya

perasaan cemas dan khawatir melihat peralatan dan

obat-obatan yang digunakan dalam perawatan gigi,

seperti takut dan cemas melihat bor, jarum suntik

dan tang gigi.3,16 Kecemasan dan rasa takut

terhadap perawatan gigi menyebabkan penderita

merasa enggan untuk berobat ke unit pelayanan

kesehatan gigi.15

Rasa takut dan cemas sering berhubungan

erat, saat orang merasa takut akan sesuatu, orang

tersebut akan merasa cemas. Walaupun perasaan

cemas dan takut keduanya berhubungan erat, tetapi

keduanya berbeda. Rasa cemas merupakan suatu

perasaan gelisah terhadap suatu yang diharapkan.

Perasaan cemas berhubungan dengan harapan

seseorang dalam menghadapi sesuatu yang

mengerikan atau menakutkan. Rasa cemas sering

berhubungan erat dengan masa depan dan sering

dapat diantisipasi. Sebaliknya rasa takut merupakan

respon terhadap sesuatu bahaya yang timbul pada

saat ini atau masa kini.4

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

dapat disimpulkan bahwa anak yang diberikan

penyuluhan demonstrasi memiliki tingkat rasa takut

dan cemas yang lebih rendah dibandingkan anak

yang tidak diberikan penyuluhan demonstrasi.

Anak usia 6-7 tahun memiliki tingkat rasa takut

dan cemas yang tinggi, karena masih memerlukan

orang tua dan pada usia tersebut merupakan

periode tidak kooperatifnya anak serta emosi yang

belum terkontrol dengan baik, sedangkan anak usia

8-9 tahun memiliki tigkat rasa takut dan cemas

rendah, karena sudah bisa menerima berbagai

situasi yang tidak menyenangkan dan

perkembangan emosinya sudah semakin baik.

Umumnya anak usia 8-9 tahun bersifat toleran, bisa

diajak kerja sama dan senang memperagakan

sesuatu.16 Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

Amrullah (2012) yang menyebutkan bahwa anak

usia 9 tahun memiliki tingkat rasa takut yang lebih

rendah, karena anak usia 9 tahun lebih bertanggung

jawab, mandiri, patuh, dan mudah bergaul dengan

orang lain.7

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Depertemen Kesehatan Republik

Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan

Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan

Selatan Tahun 2007. Jakarta: Depkes RI. 2009.

Hal: 119-120.

2. Soeparmin S, Suarjaya, dan Melati PT.

Peranan Musik dalam Mengurangi Kecemasan

Anak Selama Perawatan Gigi. Interdental

Jurnal Kedokteran Gigi 2008; 1: 1-5.

3. Mappijah N. Rasa Takut dan Cemas Anak

Terhadap Perawatan Gigi di SDN 20 Panyula

Kab. Bone tahun 2010. Media Kesehatan Gigi

2010; 2: 28-36.

4. Pasetyo EP. Peran Musik Sebagai Fasilitas

dalam Praktek Dokter Gigi untuk Mengurangi

Kecemasan Pasien. Surabaya: Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. 2005.

Hal: 41-42.

5. Soeparmin S. Distraksi Sebagai Salah Satu

Pendekatan yang Dilakukan dalam Mencapai

Keberhasilan Perawatan Gigi Anak. Journal

Dentika Dental 2010; 15(1): 91-95.

6. Hariyani N, Setyo L, dan Soedjoko. Mengatasi

Kegagalan Penyuluhan Kesehatan Gigi pada

Anak dengan Pendekatan Psikologi. Journal

Dentika Dental 2008; 1(3):80-84

7. Amrullah AA. Tingkat Kecemasan Anak

Sekolah Dasar Usia 6, 9, dan 12 Tahun

Terhadap Perawatan Gigi. Fakultas

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 34 - 38

Page 42: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

38

Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin

2012. Hal: 1-10.

8. Maulana dan Heri. Promosi Kesehatan.

Jakarta: EGC. 2009. Hal: 12-13.

9. Hastuti S dan Annisa A. Perbedaan Pengaruh

Pendidikan Kesehatan Gigi dalam

Meningkatkan Pengetahuan Tentang

Kesehatan Gigi pada Anak di SD Negeri 2

Sambi Kesamba Kabupaten Boyolali. Gaster,

Agustus 2010; 7(2): 624-632.

10. Kumboyono. Perbedaan Efek Penyuluhan

Kesehatan Menggunakan Media Cetak dengan

Media Audio Visual Terhadap Peningkatan

Pengetahuan Pasien Tuberculosis. Jurnal

Ilmiah Kesehatan Keperawatan 2011; 7(1): 10.

11. Wibawa C. Perbedaan Efektifitas Metode

Demonstrasi dengan Pemutaran Video Tentang

Pemberantasan DBD Terhadap Peningkatan

Pengetahuan dan Sikap Anak SD di

Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati.

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia 2007;

2(2): 117.

12. Nugraha PY, I ketut S, dan Aya SA. Aplikasi

Komunikasi Terapeutik dalam Mengatasi Rasa

Takut Anak Terhadap Perawatan Gigi.

Interdental Jurnal Kedokteran Gigi 2009; 6(1):

1-7.

13. Soeparmin S, Suarjaya K, dan Antara W. Rasa

Takut Anak dalam Perawatan Gigi. Jurnal

Kedokteran Gigi Mahasaraswati 2004; 2(1):

30-34.

14. Belladonna NM, Supartinah A, dan Emut L.

Pengelolaan Rasa Cemas dengan Metode

Modeling pada Pencabutan Gigi Anak

Perempuan Menggunakan Anatesi topical.

Jurnal Kedokteran Gigi 2009; 1: Hal: 80-88.

15. Soeparmin S, I Ketut S, Putri MS. Midazolam

Sebagai Sedasi Secara Oral dalam Mengurangi

Kecemasan pada Perawatan Gigi Anak.

Denpasar: Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Mahasaraswati 2011. Hal: 4-5

16. Swastini IGAAP, Regina T, dan Maria MN.

Gambaran Rasa Takut Terhadap Perawatan

Gigi Pada Anak Usia Sekolah yang Berobat ke

Puskesmas IV Denpasar Barat. Interdental

Jurnal Kedokteran Gigi 2007; 5(1): 54-57.

Hamidah : Peranan Penyuluhan Demonstrasi

Page 43: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

39

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

PERBEDAAN pH SALIVA MENGGOSOK GIGI SEBELUM DAN SESUDAH

MENGKONSUMSI MAKANAN MANIS DAN LENGKET

Pengukuran Menggunakan pH Meter pada Anak Usia 10-12 Tahun

di SDN Melayu 2 Banjarmasin

Rosihan Adhani, Shandy Hidayat,, I Wayan Arya

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Brushing teeth was the cheapest and the easiest preventive action to do. However, the

maximal result was difficult to obtain. The sweet and sticky food was cariogenic and the characteristic of South

Borneo’s food. Purpose: This research aims to determine the difference of salivary pH from brushing teeth

before and after eating the sweet and sticky food measured by pH meter at 10-12 years old children in SDN

Melayu 2 Banjarmasin. Methods: This study used a quasi experimental with pretest-posttest two group design.

The test of hypothesis was done by using a wilcoxon test. The sample was 60 children with purposive sampling

technique. Results: This study showed that the salivary pH average of group who brushed teeth before eating the

sweet and sticky food at 5th, 15th and 30th minute was 7,3. And the salivary pH average of group who brushed

teeth after eating the sweet and sticky food was 7,1. Conclusion: There was a significant difference of salivary

pH from brushing teeth before and after eating the sweet and sticky food measured by pH meter at 10-12 years

old children in SDN Melayu 2 Banjarmasin at 5th minute with p= 0,007, at 15th minute with p= 0,008 and at 30th

minute with p= 0,002 that used wilcoxon test.

Keywords: salivary pH, brushing teeth, sweet and sticky food, caries, cariogenic.

ABSTRAK

Latar belakang: Menggosok gigi adalah tindakan preventif yang paling mudah dan murah dilakukan.

Namun selama ini hasil yang maksimal sukar didapat. Makanan manis dan lengket merupakan makanan

kariogenik dan ciri khas makanan di Kalimantan Selatan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket yang

diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. Metode: Metode

yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental semu (quasi experimental) dengan pretest-posttest two

group design. Uji hipotesa menggunakan wilcoxon test. Sampel berjumlah 60 anak diambil dengan tekhnik

purposive sampling. Hasil: Hasil penelitian ini adalah rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi

sebelum mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30 adalah 7,3. Dan Rata-rata pH

saliva pada kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15

dan 30 adalah 7,1. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa

terdapat perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket

yang diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin pada menit ke-

5 dengan nilai p= 0,007, pada menit ke-15 dengan nilai p=0,008, dan pada menit ke-30 dengan nilai p= 0,002

menggunakan wilcoxon test.

Kata-kata kunci: pH saliva, menggosok gigi, makanan manis dan lengket, karies, kariogenik.

Korespondensi: Shandy Hidayat, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected].

Laporan Penelitian

Page 44: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

40

PENDAHULUAN

Kesehatan gigi dan mulut masih merupakan

hal yang perlu diperhatikan, hal ini terlihat bahwa

90% penduduk Indonesia menderita penyakit gigi

dan mulut, adapun karies gigi merupakan masalah

utamanya. Menurut hasil pemeriksaan RIKESDAS

tahun 2007, prevalensi DMF-T berdasarkan

provinsi, yang memiliki nilai tertinggi adalah

provinsi Kalimantan Selatan sebesar 96,1%,

dengan indeks DMF-T di provinsi Kalimantan

Selatan sebesar 6,83 meliputi komponen D-T 1,31,

komponen M-T 5,52 dan komponen F-T 0,12. Hal

ini berarti rerata jumlah kerusakan gigi per orang

(tingkat keparahan gigi per orang) adalah 6,83 gigi,

meliputi 1,31 gigi yang berlubang, 5,52 gigi yang

dicabut dan 0,12 gigi yang ditumpat. Hal tersebut

masih sangat tinggi menurut WHO1,2,3.

Makanan khas di Kalimantan Selatan

khususnya kue dominan dengan rasa manis dan

mengandung santan. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian RISKESDAS tahun 2007, prevalensi

penduduk dengan umur 10 tahun ke atas di

Provinsi Kalimantan Selatan dengan konsumsi

makanan beresiko, tertinggi dalam mengkonsumsi

makanan yang manis 83,5% (rentang: 70,8-95,9%)

dan penyedap (84,7%). Selain itu dilaporkan bahwa

prevalensi penduduk yang berperilaku benar

menggosok gigi di Provinsi Kalimantan Selatan

10,3% (3,7-18,9%)1,2,3.

Menyikat gigi adalah tindakan preventif yang

paling mudah dan murah dilakukan. Walaupun

kegiatan pembersihan gigi secara mekanik ini

dipandang mudah tetapi selama ini hasil yang

maksimal sukar didapat, baik dari aspek kebersihan

gigi dan faktor kerusakan lainnya. Berdasarkan

penelitian Riyanti (2005), kemampuan menyikat

gigi secara baik dan benar merupakan faktor yang

cukup penting untuk pemeliharaan kesehatan gigi

dan mulut. Keberhasilan pemeliharaan kesehatan

gigi dan mulut juga dipengaruhi oleh faktor

penggunaan alat, metode penyikatan gigi, serta

frekuensi dan waktu penyikatan yang tepat4,5,6.

Waktu kegiatan menyikat gigi yang selama ini

sering dilakukan adalah setelah makan dan

sebelum tidur. Setelah dilakukan penelitian,

terdapat kerugian dari waktu tersebut karena

ditemukan banyak keluhan nyeri secara primer

diawali dengan adanya nyeri karena abrasi atau

erosi gigi. Hal ini tidak dapat diabaikan karena

banyak pasien yang mengeluhkan keluhan tersebut

sampai pada tahap perawatan jaringan pulpa5.

Berdasarkan hasil penelitian Thomas Attin,

menyikat gigi setelah mengkonsumsi minuman

bersoda (minuman ringan) tidak boleh, karena

dapat mengerosi gigi. Menyikat gigi sebaiknya

menunggu 30 menit setelah mengkonsumsi

minuman bersoda ataupun sebelum mengkonsumsi.

Hal ini dikarenakan, minuman bersoda

mengandung zat asam dan memiliki pH 3,0 atau

lebih rendah sehingga dapat menyebabkan

demineralisasi pada jaringan keras gigi7,8.

Setelah makan khususnya makanan karbo-

hidrat, akan terjadi fermentasi terhadap glukosa

makanan. Hasilnya berupa senyawa bersifat asam

dan membuat lingkungan sekitar gigi bersuasana

asam. Dalam beberapa menit derajat keasaman tadi

akan meningkat atau pH-nya turun. Bila berlanjut,

penurunan nilai pH akan sampai ke nilai pH kritis,

yaitu nilai pH yang dapat memicu dekalsifikasi

(hilangnya garam kalsium) pada email gigi.

Keberadaan perubahan suasana pH setelah makan

ini akan kembali normal setelah 20-30 menit

kemudian. Selama 5-10 menit pertama setelah

makan adalah saat-saat kritis pH (sekitar 5,2-5,5)5.

Sayuti (2010) menyatakan bahwa adanya

pengaruh makanan manis dan lengket terhadap

terjadinya karies pada gigi anak-anak. Makanan

manis dan lengket yang digunakan pada penelitian

ini adalah coklat, karena termasuk jenis makanan

manis dan lengket serta lebih lunak dibandingkan

dengan permen, biskuit, roti, dan wafer. Menurut

penelitian Diana (2004), semakin besar kekuatan

mastikasi maka semakin besar saliva yang

dihasilkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi

gerakan mastikasi yaitu konsistensi makanan. Saat

mengkonsumsi makanan dengan konsistensi cair

(lunak) organ mastikasi kurang menjalankan fungsi

pengunyahan. Namun sebaliknya, saat

mengkonsumsi makanan dengan konsistensi padat

(keras) organ mastikasi bekerja sangat keras1,9.

Penelitian mengenai makanan manis dan

lengket sebagai makanan kariogenik telah diketa-

hui. Namun penelitian mengenai pH saliva jika

menggosok gigi sebelum atau sesudah mengkon-

sumsi makanan manis dan lengket belum diketahui

maka peneliti ingin mengetahui perbedaan pH

saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah

mengkonsumsi makanan manis dan lengket yang

diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-

12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin. Tujuan

penelitian ini adalah mengetahui perbedaan pH

saliva menggosok gigi sebelum dan sesudah

mengonsumsi makanan manis dan lengket yang

diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-

12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah

eksperimental semu (quasi experimental).

Rancangan penelitian yang dipergunakan adalah

Hidayat : Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah

Page 45: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

41

pretest-posttest two group design. Populasi

penelitian ini adalah semua siswa SD yang berusia

10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin.

Sampel pada penelitian ini diambil dengan

purposive sampling. Sampel adalah semua siswa

SD yang berusia 10-12 tahun di SDN Melayu 2

Banjarmasin dan memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi. Kriteria inklusi: bersedia menjadi

responden, siswa yang berhadir di sekolah pada

saat pemeriksaan, siswa SD berusia 10-12 tahun di

SDN Melayu 2 Banjarmasin yang memiliki pH

saliva asam (pH 5-6 dengan skala pH indikator),

dan responden belum mengkonsumsi makanan dan

minuman perasa 1 jam sebelum pemeriksaan.

Kriteria eksklusi: responden tidak bersedia (sakit),

responden alergi coklat, siswa mempunyai penyakit

sistemik seperti diabetes, responden tidak sedang

berpuasa.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pH indikator, pH meter, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

coklat, sikat gigi, pasta gigi, dan air mineral.

Variable bebas dalam penelitian ini adalah

makanan manis dan lengket, dan menggosok gigi.

Variabel terikatnya adalah pH saliva. Dan variable

penganggunya adalah perilaku dan usia. Penelitian

ini dilakukan di kelas IV-VI. SDN Melayu 2

Banjarmasin. Setelah itu dicatat nama, umur, jenis

kelamin, dan alamat. Subjek diperiksa satu persatu

pH salivanya menggunakan kertas lakmus.

Kemudian subjek yang diperiksa harus memenuhi

syarat yaitu satu jam sebelum pemeriksaan tidak

boleh mengkonsumsi makanan dan minuman

perasa. Subjek yang pH salivanya asam

dikumpulkan kemudian diambil menjadi 60 orang

menjadi sampel penelitian. Sampel penelitian harus

memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. pH saliva

subjek diukur sebelum diberikan perlakuan

menggunakan pH meter. Kemudian subjek dipisah

menjadi 2 kelompok yang terdiri dari 30 orang

perkelompok. Kelompok pertama diberikan

perlakuan menggosok gigi sebelum mengkonsumsi

coklat kemudian diukur pH salivanya

menggunakan pH meter pada menit ke 5, 15 dan

30. Kelompok kedua diberikan perlakuan

menggosok gigi setelah mengkonsumsi coklat

kemudian diukur pH salivanya menggunakan pH

meter pada menit ke 5, 15 dan 30.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian perbedaan pH saliva

menggosok gigi sebelum dan sesudah

mengkonsumsi makanan manis dan lengket yang

diukur menggunakan pH meter pada anak usia 10-

12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin dapat

dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.

Tabel 1 Rata-Rata pH Saliva Berdasarkan Umur pada

Anak Usia 10-12 Tahun di SDN Melayu 2

Banjarmasin

No. Umur Jumlah

Individu pH Rata-rata

1 10 Tahun 17 6.9

2 11 tahun 23 6.9

3 12 Tahun 20 6.8

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pH

saliva rata-rata pada umur 10 tahun adalah 6.9 dari

17 orang anak. pH saliva rata-rata pada umur 11

tahun adalah 6.9 dari 23 orang anak. pH saliva rata-

rata pada umur 12 tahun adalah 6.8 dari 20 orang

anak.

Grafik 1 Rata-rata pH Saliva pada Kelompok

Menggosok Gigi Sebelum Mengkonsumsi

Makanan Manis dan Lengket.

Berdasarkan data pada Grafik 1 diketahui

bahwa rata-rata pH saliva pada kelompok

menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan

manis dan lengket pada menit ke-5, 15, dan 30

adalah 7,3. pH saliva tertinggi pada menit ke-5

adalah 8,2 sedangkan pH saliva terendah pada

menit ke-5 adalah 6,5. pH saliva tertinggi pada

0 2 4 6 8 10

1

3

5

7

9

11

13

15

17

19

21

23

25

27

29

pH Saliva

S

i

s

w

a

pH SesudahPerlakuan 30menit

pH SesudahPerlakuan 15menit

pH SesudahPerlakuan 5menit

pH SebelumPerlakuan

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 39 - 45

Page 46: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

42

menit ke-15 adalah 8,2 sedangkan pH saliva

terendah pada menit ke-15 adalah 6,8. pH saliva

tertinggi pada menit ke-30 adalah 7,9 sedangkan

pH saliva terendah pada menit ke-30 adalah 6,5.

Berdasarkan data Grafik 2 diketahui bahwa

rata-rata pH saliva pada kelompok menggosok gigi

sesudah mengkonsumsi makanan manis dan

lengket pada menit ke-5, 15, dan 30 adalah 7,1. pH

saliva tertingi pada menit ke-5 adalah 7,8

sedangkan pH saliva terendah pada menit ke-5

adalah 6,2. pH saliva tertinggi pada menit ke-15

adalah 7,6 sedangkan pH saliva terendah pada

menit ke-15 adalah 6,5. pH saliva tertinggi pada

menit ke-30 adalah 7,7 sedangkan pH saliva

terendah pada menit ke-30 adalah 6,5. Grafik 2 Rata-rata pH Saliva pada Kelompok

Menggosok Gigi Setelah Mengkonsumsi

Makanan Manis dan Lengket

Mengetahui ada tidaknya perbedaan pH

saliva antara menggosok gigi sebelum dan sesudah

mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada

menit ke-5, 15 dan 30, maka dilakukan uji statistik

dengan SPSS 20 for Windows. Sebelum

menganalisis perbedaan statistik dari data yang

diperoleh, terlebih dahulu dilakukan pengujian

normalitas dan homogenitas. Uji normalitas data

dilakukan dengan uji Saphiro-Wilk karena jumlah

sampel kecil (n < 50). Hasil uji normalitas

didapatkan sebaran data yang tidak normal pada

data perlakuan menggosok gigi sesudah

mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada

menit ke-5, 15 dan 30, karena nilai signifikansi (p)

pada data tersebut adalah 0,005, 0,005 dan 0,038.

Nilai p pada perlakuan menggosok gigi sesudah

mengkonsumsi makanan manis pada menit ke-5, 15

dan 30 kurang dari 0,05 yang artinya data tidak

terdistribusi normal. Kemudian dilakukan

transformasi data dengan Log dan Sqrt, tetapi

hasilnya tetap menunjukkan data yang tidak

terdistribusi normal. Karena data berasal dari

kelompok yang berpasangan, maka tidak dilakukan

uji homogenitas data. Syarat digunakannya uji T

berpasangan adalah data yang digunakan harus

terdistribusi normal dan homogen. Sedangkan dari

hasil perhitungan, didapatkan data tidak normal

sehingga uji T berpasangan tidak dapat digunakan

sehingga dilakukan uji alternatif yaitu uji

nonparametrik Wilcoxon dengan kepercayaan 95%.

Tabel 2 Hasil Uji Perbedaan dengan Uji Wilcoxon pada

Perbedaan pH Saliva antara Menggosok Gigi

Sebelum dan Sesudah Mengkonsumsi

Makanan Manis dan Lengket pada Menit ke-5,

15 dan 30.

No. Kategori Nilai

Signifikansi

1

Perbandingan

pH saliva

menggosok gigi

sebelum dan

sesudah

mengkonsumsi

makanan manis

dan lengket pada

menit ke-5

0,007

2

Perbandingan

pH saliva

menggosok gigi

sebelum dan

sesudah

mengkonsumsi

makanan manis

dan lengket pada

menit ke-15

0,008

3

Perbandingan

pH saliva

menggosok gigi

sebelum dan

sesudah

mengkonsumsi

makanan manis

dan lengket pada

menit ke-30

0,002

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa hasil

uji statistic Wilcoxon pada perbandingan pH saliva

menggosok gigi sebelum dan sesudah

mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada

menit ke-5 menunjukkan nilai p = 0,007,

0 2 4 6 8 10

1

3

5

7

9

11

13

15

17

19

21

23

25

27

29

pH saliva

S

i

s

w

a

pH SesudahPerlakuan 30menit

pH SesudahPerlakuan 15menit

pH SesudahPerlakuan 5menit

pH SebelumPerlakuan

Hidayat : Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah

Page 47: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

43

perbandingan pada menit ke-15 menunjukkan nilai

p = 0,008 dan perbandingan pada menit ke-30

menunjukkan nilai p = 0,002, karena nilai p < 0.05

maka H0 ditolak dan Ha diterima sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara pH saliva menggosok gigi

sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan

manis dan lengket pada menit ke-5, 15 dan 30 yang

diukur menggunkan pH meter pada anak usia 10-12

tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon dan rata-rata

pH saliva setelah perlakuan pada kedua kelompok

maka dapat dipahami bahwa hasil penelitian ini

sesuai dengan hipotesis peneliti yang menunjukkan

adanya perbedaan bermakna antara kedua

kelompok yaitu kelompok menggosok gigi sebelum

mengkonsumsi makanan manis dan lengket dan

kelompok menggosok gigi sesudah mengkonsumsi

makanan manis dan lengket. Rata-rata pH saliva

menggosok gigi sebelum mengkonsumsi makanan

manis dan lengket lebih tinggi (basa) daripada rata-

rata pH saliva menggosok gigi sesudah

mengkonsumsi makanan manis dan lengket. Hal ini

sesuai dengan saran dari hasil penelitian

Praptiningsih dan Ningtyas yang menganjurkan

agar menggosok gigi pada suasana rongga mulut

tidak dalam keadaan asam. Berdasarkan hasil

penelitian Thomas Attin tentang perbedaan pH

saliva menyikat gigi sebelum dan sesudah

mengkonsumsi minuman bersoda menyatakan

menyikat gigi setelah mengkonsumsi minuman

bersoda (minuman ringan) tidak boleh, karena

dapat mengerosi gigi. Menyikat gigi sebaiknya

menunggu 30 menit setelah mengkonsumsi

minuman besoda ataupun sebelum mengkonsumsi.

Hal ini dikarenakan, minuman bersoda

mengandung zat asam dan memiliki pH 3,0 atau

lebih rendah sehingga dapat menyebabkan

demineralisasi pada jaringan keras gigi 4,7,8.

Derajat keasaman pH dan kapasitas buffer

saliva ditentukan oleh susunan kuantitatif dan

kualitatif elektrolit di dalam saliva terutama

ditentukan oleh susunan bikarbonat, karena

susunan bikarbonat sangat konstan dalam saliva

dan berasal dari kelenjar saliva. Derajat keasaman

saliva dalam keadaan normal antara 5,6–7,0 dengan

rata-rata pH 6,7. Derajat keasaman (pH) saliva

optimum untuk pertumbuhan bakteri 6,5–7,5 dan

apabila rongga mulut pH-nya rendah antara 4,5–5,5

akan memudahkan pertumbuhan kuman asidogenik

seperti Streptococcus mutans dan Lactobacillus

4,12.Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

perubahan pada pH saliva antara lain rata-rata

kecepatan aliran saliva, mikroorganisme rongga

mulut, dan kapasitas buffer saliva. Selain itu ada

faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan

asam, antara lain: jenis karbohidrat yang terdapat

dalam diet, konsentrasi karbohidrat dalam diet,

jenis dan jumlah bakteri di dalam plak, keadaan

fisiologis bakteri tersebut dan pH di dalam plak12.

Makanan manis dan lengket mengandung

karbohidrat yang merupakan sumber energi utama

bagi bakteri mulut dan secara langsung terlibat

dalam penurunan pH. Jenis karbohidrat yang paling

cocok bagi produksi asam oleh bakteri di dalam

plak adalah gula-gula sederhana, seperti sukrosa,

glukosa, fruktosa, maltosa, dan lain-lain. Gula-gula

ini mempunyai molekul yang kecil sehingga mudah

berdifusi ke dalam plak dan dengan cepat akan

dipecah oleh bakteri menjadi asam. Karbohidrat

jenis polisakarida (pati) mempunyai molekul lebih

besar akan sulit masuk ke dalam plak sehingga

lebih sulit dipecah oleh bakteri (13,14).

Makanan manis dan lengket yang digunakan

pada penelitian ini adalah coklat karena termasuk

jenis makanan manis dan lengket serta lebih lunak

dibandingkan dengan permen biskuit, roti, dan

wafer. Menurut penelitian Diana (2004), semakin

besar kekuatan mastikasi maka semakin besar

saliva yang dihasilkan. Salah satu faktor yang

mempengaruhi gerakan mastikasi yaitu konsistensi

makanan. Saat mengkonsumsi makanan dengan

konsistensi cair (lunak) organ mastikasi kurang

menjalankan fungsi pengunyahan. Sebaliknya, saat

mengkonsumsi makanan dengan konsistensi padat

(keras) organ mastikasi bekerja sangat keras1,9.

Kegiatan menggosok gigi adalah tindakan

preventif yang paling mudah dan murah dilakukan.

Menggosok gigi bertujuan untuk mencegah

terjadinya penyakit pada jaringan keras maupun

jaringan lunak dengan menghilangkan plak dan

membersihkan gigi dan mulut dari sisa makanan

dan debris. Hal ini dikarenakan dalam pasta gigi

terkandung bahan-bahan abrasif, pembersih, bahan

penambah rasa dan warna, serta pemanis. Dapat

juga ditambahkan bahan pengikat, pelembab,

pengawet, fluor, dan air. Bahan abrasif dapat

membantu melepaskan plak dan pelikel tanpa

menghilangkan lapisan email12.

Pada kelompok menggosok gigi sebelum

mengkonsumsi makanan manis dan lengket

memiliki rata-rata pH saliva lebih tinggi (basa)

daripada kelompok menggosok gigi sesudah

mengkonsumsi makanan manis dan lengket. Hal ini

dikarenakan, pada kelompok menggosok gigi

sebelum mengkonsumsi makanan manis dan

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 39 - 45

Page 48: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

44

lengket lingkungan rongga mulut telah dibasakan

dan akumulasi plak dan bakteri juga mengalami

penurunan akibat menggosok gigi. Sehingga

kemampuan bakteri untuk metabolisme karbohidrat

menjadi asam menurun. Di rongga mulut terdapat

terdapat bakteri Veillonella yang menggunakan

asam laktat sebagai bahan awal metabolisme yang

menghasilkan energi untuknya. Asam laktat ini

akan diubah oleh bakteri tersebut menjadi CO2

sehingga dalam hal ini Veillonella dapat dianggap

sebagai organisme penghalang karies12.

Sedangkan pada kelompok menggosok gigi

sesudah makan, rata-rata pH saliva lebih asam. Hal

ini dikarenakan kondisi mulut saat makan lebih

asam dibandingkan dengan kelompok menggosok

gigi sebelum makan dan jumlah akumulasi plak

dan bakteri di rongga mulut lebih banyak

dibandingkan dengan kelompok menggosok gigi

sebelum makan. Kemampuan bakteri

memetabolisme makanan menjadi asam lebih besar

dibanding kelompok yang menggosok gigi sebelum

makan karena kondisi lingkungan yang mendukung

dan total bakteri di rongga mulut jauh lebih

banyak12.

Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil

penelitian yang telah dilakukan bahwa pH saliva

kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi

makanan manis dan lengket dan kelompok

menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan

manis dan lengket menunjukan pH netral atau

sama-sama bagus yaitu rata-rata di atas 7.

Dianjurkan untuk menggosok gigi sebelum dan

sesudah mengkonsumsi makanan manis dan

lengket. Hal ini dikarenakan menggosok gigi

sebelum mengkonsumsi makanan manis dan

lengket dapat mempertahankan pH saliva dalam

keadaan normal (tidak dalam pH kritis) saat kita

makan sampai 30 menit sesudah makan sehingga

gigi tidak mengalami demineralisasi. Perlu

menggosok gigi sesudah mengkonsumsi makanan

manis dan lengket agar dapat mencegah akumulasi

plak sesudah makan, yang merupakan sumber

bahan makanan bagi bakteri kariogenik.

Berdasarkan data dari Tabel 5.3 tentang rata-

rata pH saliva berdasarkan umur menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan. Hal ini dikarenakan

anak usia 10-12 tahun tidak teralu memiliki

perbedaan yang jauh, baik dari fisik maupun

tingkah laku. Secara anatomi, muskuluskeletal

cranium anak usia 10-12 tahun tidak terdapat

perbedaan yang signifikan. Sistem mastikasi sangat

berpengaruh dengan produksi saliva. Menurut

penelitian Diana (2004), semakin besar kekuatan

mastikasi maka semakin besar saliva yang

dihasilkan9.

Berdasarkan teknik pengambilan sampel, pada

penelitian ini tekhnik yang digunakan dalam

pengambilan sampel adalah purposive sampling.

Purposive sampling adalah pengambilan sampel

secara purposive didasarkan pada suatu

pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti,

berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang

sudah diketahui sebelumnya. Pada penelitian ini

mempunyai kreteria inklusi dan ekslusi yang

mempengaruhi besar atau kecilnya pH saliva

sampel. Adapun kreteria inklusi yang

mengakibatkan tidak ada perbedaan yang bermakna

pada rata-rata pH saliva berdasarkan umur adalah

siswa SD berusia 10-12 tahun di SDN Melayu 2

Banjarmasin yang memiliki pH saliva asam (pH 5-

6 dengan skala pH indikator).

Faktor yang menyebabkan terjadinya

perubahan pada pH saliva antara lain rata-rata

kecepatan aliran saliva, mikroorganisme rongga

mulut, dan kapasitas buffer saliva. Selain itu ada

faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan

asam, antara lain: jenis karbohidrat yang terdapat

dalam diet, konsentrasi karbohidrat dalam diet,

jenis dan jumlah bakteri di dalam plak, keadaan

fisiologis bakteri tersebut dan pH di dalam plak9.

Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil

penelitian yang dilakukan bahwa umur dan jenis

kelamin tidak berpengaruh terhadap besar atau

kecilnya pH saliva. Hal ini sesuai penelitian yang

telah dilakukan oleh Motoc dkk(2003) bahwa tidak

ada perbedaan rata-rata pH saliva berdasarkan

umur dan jenis kelamin. pH saliva dapat

dipengaruhi oleh aliran saliva dan diet17.

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa rata-rata pH saliva pada

kelompok menggosok gigi sebelum mengkonsumsi

makanan manis dan lengket pada menit ke-5, 15

dan 30 adalah 7,3 (netral), sedangkan rata-rata pH

saliva pada kelompok menggosok gigi sesudah

mengkonsumsi makanan manis dan lengket pada

menit ke-5, 15 dan 30 adalah 7,1 (netral). Selain itu

tidak terdapat perbedaan rata-rata pH saliva

berdasarkan umur 10-12 tahun. Serta terdapat

perbedaan pH saliva menggosok gigi sebelum dan

sesudah mengonsumsi makanan manis dan lengket

yang diukur menggunakan pH meter pada anak

usia 10-12 tahun di SDN Melayu 2 Banjarmasin.

Melalui Dinas Kesehatan dan lembaga

pendidikan khususnya Fakultas Kedokteran

Hidayat : Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah

Page 49: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

45

Program Studi Kedokteran Gigi Universitas

Lambung Mangkurat disarankan untuk merubaha

pola waktu menggosok gigi, yaitu menggosok gigi

sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan

khususnya makanan manis dan lengket melalui

pelaksanaan UKGS dan pelaksanaan bakti sosial.

Selain itu disarankan juga untuk menambahan label

menjaga kesehatan gigi dan mulut pada produk

makanan khususnya yang mengandung gula yang

tinggi, melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM), agar meminta produsen makan dan

minuman khususnya makanan yang berkadar gula

tinggi (manis) dan lengket seperti coklat

mencantumkan peringatan untuk “menggosok gigi

sebelum dan sesudah mengkonsumsi makanan

manis dan lengket” karena dapat menyebabkan

karies serta pemerintah untuk menganjurkan juga

agar semua restoran dan rumah makan agar

menyediakan tempat dan poster untuk menggosok

gigi sebelum dan sesudah makan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suyuti M. Pengaruh makanan serba manis dan

lengket terhadap terjadinya karies gigi pada

anak usia 9-10 tahun di SD Negeri

Monginsidi II Makassar. Media Kesehatan

Gigi. 2010;2:14.

2. Jovina TA. Pengaruh kebiasaan menyikat gigi

terhadap status pengalaman karies Riskesdas

2007. Jakarta: Universitas Indonesia; 2010.

p1-2.

3. Anonimous. Laporan hasil riset kesehatan

dasar RIKESDAS provinsi Kalimantan

Selatan tahun 2007. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI; 2009. p116-(7).

4. Praptiningsih RS, Ningtyas EAE. Pengaruh

metode menggosok gigi sebelum makan

terhadap kuantitas bakteri dan pH saliva.

Jurnal Ilmiah Sultan Agung. 2010;48:123:55-

62.

5. Oktarianda B. Hubungan waktu, tekhnik

menggosok gigi dan jenis makanan yang

dikonsumsi dengan kejadian karies gigi pada

murid SDN 66 Payakumbuh di wilayah kerja

PUSKESMAS Lampasi Payakumbuh tahun

2011. Padang: FK Universitas Andalas; 2011.

p4.

6. Lund AE. Wait to brush your teeth after

drinking soda. JADA. 2003;134:1176-8.

7. Alamsyah RM. Efek perbedaan cara

meminum softdrink (minuman ringan)

terhadap penurunan pH saliva pada siswa

SMP Raksana Medan. Medan: FKG

Universitas Sumatera Utara; 2010. p1-2;9.

8. Ningsih DS. Pengaruh mastikasi terhadap

kecepatan aliran saliva. Medan: FKG

Universitas Sumatera Utara; 2004. p12;29.

9. Rahmawati I. Perilaku kesehatan gigi dan

mulut pada anak sekolah dasar di kabupaten

Banjar. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada;

2012. p1.

10. Riyanti E, Chemiawan E, Rizalda RA.

Hubungan pendidikan penyikatan gigi dengan

tingkat kebersihan gigi dan mulut siswa dan

siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT)

Imam Bukhari Desa Sayang Kecamatan

Jatinangor Kabupaten Sumedang. Bandung:

FKG Universitas Padjadjaran; 2005. p4.

11. Soesilo D, Santoso RE, Diyatri I. Peranan

sorbitol dalam mempertahankan kestabilan

pH saliva pada proses pencegahan karies.

Majalah Kedokteran Gigi. Dent. J.

2005;38:1:25–8.

12. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu

pencegahan penyakit jaringan keras dan

jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC; 2010.

p64;168.

13. Warni L. Hubungan perilaku murid SD kelas

V dan VI pada kesehatan gigi dan mulut

terhadap status karies gigi di wilayah

Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Serdang

tahun 2009. Medan: FKM Universitas

Sumatera Utara; 2009. p29.

14. Bajeng NRKR. Studi pengaruh penambahan

semi refined carageenan (Eucheuma cottonii)

dan bubuk bungkil kacang tanah terhadap

mutu permen cokelat (chocolate). Makassar:

Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin;

2012. p9.

15. Putri IN. Efek penyuluhan kesehatan gigi dan

mulut dengan demonstrasi cara menyikat gigi

terhadap penurunan indeks plak pada murid

kelas VI Sekolah Dasar (penelitian dilakukan

di Desa Padang Loang Kecamatan

Patampanua Kabupaten Pinrang). Makassar:

FKG Universitas Hasanuddin; 2012. p33-44.

16. Kasjono HS, Yasril. Teknik sampling untuk

penelitian kesehatan. Ed 1. Yogyakarta; 2009.

p129-130.

17. Motoc M, Samoila C, Sfrijan F, Ardelean L,

Verdes D, Andrei M, Anghel M, Popescu A.

The variation of some salivary components in

corelation wth sex and age at puberty. TMJ.

2003;53:3(4):255.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 39 - 45

Page 50: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

46

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

LEBAR BENIH GIGI ANAK TIKUS YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK TIKUS

PENGIDAP DIABETES MELLITUS GESTASIONAL

Nurdiana Dewi

Bagian Biologi Oral, Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin-Indonesia

ABSTRACT

Background : Gestational Diabetes mellitus ( DM ) is glucose intolerance that begins or first detected

during pregnancy. Gestational diabetes mellitus can cause complications to mother and offspring . The janin

are at risk for nutritional deficiency. Nutritional deficiencies can cause decrease in the size of the tooth tissue.

Purpose : This study aimed to determine the width of the first molar tooth germ in rat pups born to female rat

with DM. Methods : This study used a true experimental method with post -test only design and completely

randomized design. Sixteen female rats aged 2.5-3 months, body weight 150-200 g were mated and treated on

day 0 of pregnancy. Group A was the control group, injected intraperitoneally with citrate buffer. Group B was

DM group, injected intraperitoneally with streptozotocin (STZ) 40 mg / kg BW. Two rat pups born from each

female rat were decapitated on day 5 after birth and taken first mandibular molar tooth germ. Histopathology

procedure were performed with HE staining and tooth germ width were measured. Results: The average and

standard deviation of of width tooth germ in the control group was ( 921.97 ± 85.16 ) µm , while the average

and standard deviation of width of tooth germ in the DM group was ( 886.54 ± 92.76 ) µm. Student T - test

results showed p = 0.41 ( p < 0.05 ), which means there was no significant difference in the size of the

mandibular molar tooth germ offspring. Conclusion : There was no difference in the width of rat pups tooth

germ which born to diabetic and control female rat.

Keywords : Gestational diabetes mellitus , width of tooth germ , rat

ABSTRAK

Latar belakang: Diabetes mellitus (DM) gestasional merupakan intoleransi glukosa yang terjadi atau

baru terdeteksi selama kehamilan. Diabetes mellitus gestasional dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada

ibu maupun janin. Janin yang dikandung oleh ibu pengidap diabetes mellitus beresiko mengalami kekurangan

nutrisi. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan penurunan ketebalan jaringan gigi. Tujuan: Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui lebar gigi pada anak tikus yang dilahirkan oleh induk tikus pengidap diabetes DM.

Metode : Penelitian ini menggunakan metode true experimental dengan post test only design dan rancangan

acak lengkap. Enam belas ekor tikus betina usia 2,5-3 bulan, berat badan 150-200 g dikawinkan dan diberi

perlakuan pada hari ke-0 kehamilan. Kelompok A merupakan kelompok kontrol, diinjeksi buffer sitrat

intraperitoneal . Kelompok B merupakan kelompok DM diinjeksi streptozotocin 40 mg/kg BB intraperitoneal.

Tikus yang lahir diambil secara acak 2 ekor dari masing-masing induk tikus dan didekapitasi pada hari ke-5

setelah dilahirkan kemudian diambil benih gigi molar 1 rahang bawah. Dilakukan pembuatan sediaan

histopatologi, pewarnaan HE dan pengukuran lebar benih gigi. Hasil: Nilai rata-rata dan standar deviasi lebar

benih gigi pada kelompok kontrol adalah (921,97 ± 85,16) µm, sedangkan rata-rata dan standar deviasi lebar

gigi pada kelompok DM adalah (886,54 ± 92,76) µm. Hasil Student T-test menunjukkan p=0,41 (p <0,05), yang

berarti tidak terdapat perbedaan bermakna pada ukuran benih gigi molar rahang bawah anak tikus.

Kesimpulan :Tidak terdapat perbedaan pada lebar benih gigi anak tikus yang dilahirkan oleh induk tikus DM

dan kontrol.

Keyword: Diabetes mellitus gestasional, lebar benih gigi, tikus

Laporan Penelitian

Page 51: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

47

Korespondensi: Nurdiana Dewi, Bagian Biologi Oral, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran

Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Veteran No. 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected] PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit

metabolik ditandai dengan peningkatan kadar

glukosa darah yang disebabkan gangguan sekresi

insulin, kerja insulin, maupun keduanya.

Peningkatan kadar glukosa darah kronis dapat

menyebabkan berbagai kerusakan maupun

disfungsi organ. Diabetes mellitus gestasional

merupakan intoleransi glukosa yang terjadi atau

baru terdeteksi selama kehamilan.1 Diabetes

mellitus gestasional dapat menyebabkan berbagi

komplikasi pada ibu maupun janin yang

dikandungnya.2 Janin yang dikandung oleh ibu

pengidap diabetes mellitus beresiko untuk

kekurangan nutrisi. Janin akan beradaptasi terhadap

kekurangan nutrisi dengan cara merubah

metabolisme tubuh, sehingga mempengaruhi

produksi hormon dan sesitivitas jaringan,

meredistribusi aliran darah, serta memperlambat

pertumbuhannya. Adaptasi terhadap kekurangan

nutrisi yang terjadi pada saat perkembangan akan

mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh secara

permanen.3

Perkembangan gigi merupakan proses

kompleks yang melibatkan berbagai mekanisme

antara lain induksi, morfodiferensiasi dan

histodiferensiasi. Proliferasi, diferensiasi,

apoptosis, dan interaksi sel berhubungan dengan

mekanisme-mekanisme tersebut.4 Pembentukan

dan mineralisasi gigi dimulai pada saat

perkembangan janin. Kondisi intrauterin termasuk

status nutrisi berperan penting dalam pembentukan,

perkembangan gigi, dan mineralisasi. Penelitian

sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara

malnutrisi dengan perkembangan dan erupsi gigi

serta perkembangan karies selanjutnya.5,6

Kekurangan nutrisi juga dapat menyebabkan

penurunan ketebalan jaringan gigi. Hal ini

kemungkinan disebabkan karena adanya perubahan

komposisi email dan dentin.7 Diabetes gestasional

dapat menyebabkan terjadinya hipoplasia email,

keterlambatan erupsi gigi serta penurunan panjang

tulang alveolar.8,9

Jumlah pengidap diabetes mellitus di Indo-

nesia tergolong tinggi. Berdasarkan RISKESDAS

2013, jumlah penduduk Indonesia umur ≥ 15 tahun

yang mengidap diabetes mellitus adalah sebesar

6,9%. Berdasarkan RISKESDAS 2007, penduduk

Kalimantan Selatan yang memiliki kadar glukosa

140-200 mg/dL adalah sebesar 14,7% dan memi-

liki kadar glukosa >200 mg/dL adalah sebesar

5%.10,11 Belum terdapat penelitian terhadap jumlah

pengidap diabetes mellitus gestasional di Indonesia

dan Kalimantan Selatan. Penelitian yang dilakukan

di Kalifornia Selatan pada tahun 1995-2005

menunjukkan bahwa 1,3% wanita hamil mengidap

diabetes mellitus sejak sebelum hamil, dan 7,6%

wanita hamil mengidap diabetes mellitus

gestasional.12 Penelitian ini bertujuan untuk menge-

tahui lebar gigi pada anak tikus yang dilahirkan

oleh induk tikus pengidap diabetes mellitus.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian ekspe-

rimental murni dengan post test only design dan

rancangan acak lengkap. Perlakuan terhadap hewan

dilakukan di Lembaga Penelitian dan Pegujian

Terpadu Unit IV Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta dilanjutkan dengan pemeriksaan

histologis di Laboratorium Histologi dan Biologi

Sel Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, serta

dinyatakan laik etik oleh Unit Etika dan Advokasi

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah

Mada melalui surat keterangan No. 415/KKEP/

FKG-UGM/EC/2013. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini antara lain benih gigi molar

satu rahang bawah anak tikus, streptozotocin

(Sigma, USA), buffer sitrat (0,05 M, pH 4,5), eter,

ketamin (Ketamil Injection, Australia), Povidone

iodine (One Med, Indonesia), NaCl 0,09%,

Phosphat Buffer Saline (PBS), Paraformaldehid

4%, EDTA 10%, Harrys haematoxylin, eosin dan

pakan tikus standar. Alat yang digunakan adalah

kandang tikus, spuit injeksi, gunting bedah, alat

monitor gula darah (ACCU-CHECK, Germany),

strip tes gula darah (ACCU-CHECK, Germany),

pinset anatomis, pinset chirurgis, nierbekken,

microwave (Sharp, UK), micropippete (Eppendorf,

UK), tip micropippete (Eppendorf, UK), mikrotom,

mukroskop cahaya (Olympus, America), dan

kamera yang dihubungkan dengan komputer

(Optilab, Indonesia). Enam belas Tikus Wistar betina berumur 2,5-

3 bulan dengan berat badan 150-200 g dipelihara

dalam kandang besi selama 1 minggu, dan

mendapat makanan serta minuman standar ad

libitum. Cahaya diatur supaya tikus berada dalam

kondisi 12 jam terang dan 12 jam gelap, dengan

suhu 22-24°C. Tikus kemudian dikandangkan

dengan tikus betina dengan perbandingan tikus

jantan : tikus betina yaitu 1:4. Pada hari saat

ditemukan sperma pada vaginal smear (kehamilan

hari 0), 8 tikus diinjeksi secara intraperitoneal 40

mg streptozotocin (Sigma, USA) / kg BB yang

dilarutkan dalam 50 mM buffer sitrat pH 4,5.

Delapan ekor tikus kontrol diberi perlakuan yang

sama dengan injeksi medium (buffer sitrat). Tikus

ditimbang dan diukur kadar gukosa darahnya pada

kehamilan hari ke 0, 7, 14, dan 19 serta dipuasakan

minimal selama 8 jam sebelum diukur kadar

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 46 - 50

Page 52: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

48

glukosanya. Tikus dinyatakan diabetes bila kadar

glukosa darah lebih dari 120 mg/dL dan

menunjukkan tanda-tanda polidipsi, poliuri,

polifagi, serta astenia. Dua ekor anak tikus diambil

dari masing-masing induk tikus secara acak dan

didekapitasi pada hari ke-5 setelah dilahirkan.

Benih gigi molar diambil dan difiksasi dengan

PBS formalin 4 % (4% paraformaldehid yang

dilarutkan dalam phosphate-buffer saline) selama

24 jam, didekalsifikasi dengan EDTA 10% pada

suhu 4°C selama 14 hari dan ditanam dalam

parafin. Blok parafin kemudian dipotong melintang

dengan ketebalan 6µm dan diletakkan dalam gelas

obyek. Potongan jaringan dalam gelas obyek

dideparafinisasi dengan xylol dan didehidrasi

dengan serial alkohol, dilanjutkan dengan

pewarnaan menggunakan hematoksilin eosin (HE).

Gelas obyek yang berisi potongan jaringan

dimasukkan dalam larutan hematoksilin, dicuci

dengan akuades, diberi acid alcohol, dicuci dengan

air mengalir dan akuades, diwarnai dengan eosin

1%, dan dicuci kembali dengan akuades. Dehidrasi

dilakukan sampai jaringan terlihat jelas di bawah

mikroskop, kemudian gelas obyek ditutup.

Jaringan dilihat dengan mikroskop perbesaran

40x, kemudian benih gigi difoto menggunakan

kamera yang dihubungkan dengan mikroskop

(Optilab, Indonesia). Pengukuran lebar benih gigi

dilakukan dari batas benih gigi sebelah bukal

sampai mesial menggunakan ImageJ software.

Data yang didapat diuji normalitasnya

menggunakan Shapiro Wilk dan dianalisa dengan

Student T-test.

HASIL PENELITIAN

Rata-rata kadar glukosa darah puasa induk

tikus dapat dilihat pada Gambar 1. Kadar glukosa

darah puasa pada kelompok diabetes meningkat di

atas 120 mg/kg BB setelah injeksi streptozotocin

(STZ). Terjadi penurunan rata-rata kadar glukosa

darah pada hari ke 19, namun masih tetap di atas

120 mg/kg BB. Tidak terdapat peningkatan kadar

glukosa darah pada kelompok kontrol.

Gambar 1. Rata-rata kadar glukosa darah puasa

induk tikus (mg/dL)

Rata-rata berat badan induk tikus dapat dilihat

pada Gambar 2. Berat badan badan induk tikus

meningkat baik pada kelompok kontrol maupun

pada kelompok diabetes. Peningkatan berat badan

pada kelompok kontrol lebih besar dibandingkan

kelompok diabetes.

Gambar 2. Rata-rata berat badan induk tikus (g)

Hasil palpasi positif pada perut induk tikus

pada hari ke-13 kehamilan menunjukkan adanya

pembesaran pada daerah rahim yang menandakan

tikus telah hamil. Induk tikus juga menunjukkan

tanda klinis DM. Induk tikus mengalami polifagia,

polidipsia, poliuria, dan astenia.

Gambar 3 menunjukkan rata-rata lebar benih

gigi anak tikus. Berdasarkan hasil pengukuran

didapatkan rata-rata dan standar deviasi lebar benih

gigi anak tikus kelompok kontrol adalah (921,97 ±

85,16) µm, sedangkan rata-rata lebar benih gigi

anat tikus kelompok diabetes adalah (886,54 ±

92,76) µm. Rata-rata lebar benih gigi anak tikus

kelompok DM lebih kecil dibandingkan kelompok

kontrol. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa

kedua kelompok memiliki distribusi data yang

normal (p>0,05). Hasil Student T-test menunjukkan

p=0,41 (p>0,05). Hal ini berarti tidak terdapat

perbedaan bermakna antara lebar benih gigi

kelompok kontrol dan kelompok DM.

Gambar 3. Rata-rata lebar benih gigi tikus (µm)

,000

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

0 7 14 19Kad

ar G

luko

sa D

arah

(m

g/d

L)

Hari

Kontrol

DM

0

100

200

300

0 7 14 19Be

rat

bad

an in

du

k ti

kus

(g)

Hari

Kontrol

DM

0

200

400

600

800

1000

1200

Kontrol DM

Leb

ar b

en

ih g

igi (

µm

)

Perlakuan

Dewi : Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan

Page 53: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

49

PEMBAHASAN

Terdapat peningkatan kadar glukosa darah

pada kelompok DM menjadi di atas 120 mg/dL

pada pengamatan hari ke 7, 14, dan 19. Kadar

glukosa darah pada kelompok kontrol tidak

mengalami peningkatan. Peningkatan kadar

glukosa darah kemungkinan disebabkan kematian

sel beta pankreas. Streptozotocin (STZ)

menyebabkan kematian sel beta pankreas secara

selektif dengan metilasi DNA. Nitrosuria pada STZ

menyebabkan toksisitas sel dengan menurunkan

jumlah. NAD+ dan produksi radikal bebas. Radikal

bebas yang dilepaskan oleh STZ menyebabkan

kerusakan DNA. Streptozotocin juga dapat

memproduksi Reactive Oxygen Species dan

menyumbangkan Nitric Oxide (NO). Kematian sel

beta pankreas menyebabkan menurunnya

kemampuin pankreas untuk memproduksi insulin,

sehingga terjadi penumpukan glukosa dalam darah

yang terdeteksi dengan peningkatan kadar glukosa

darah.13

Pengamatan visual yang dilakukan pada

tikus menunjukkan tikus mengalami tanda-tanda

DM seperti penelitian Carvalho et al., yaitu

polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak

kencing), polifagia (banyak makan) dan astenia

(lemas).14 Jumlah makanan dan minuman tidak

dikur secara khusus dengan timbangan, namun

dapat dilihat dari jumlah dan frekuensi makan pada

kelompok DM lebih banyak dibandingkan

kelompok kontrol. Volume urin juga tidak diukur

dengan alat ukur, namun dapat dilihat dari tempat

kotoran tikus kelompok DM yang lebih banyak dan

lebih basah dibandingkan kelompok kontrol.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

terdapat peningkatan berat badan induk tikus baik

pada kelompok DM maupun pada kelompok

kontrol. Peningkatan berat badan tikus pada

kelompok kontrol lebih besar dibandingkan

kelompok DM. Hal ini kemungkinan disebabkan

kondisi DM yang dialami tikus. Frekuensi dan

jumlah konsumsi makan tikus DM lebih banyak

dibandingkan kelompok kotrol, namun adanya

gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan

protein menyebabkan tubuh tikus tidak dapat

menggunakan makanan yang dikonsumsi menjadi

sumber nutrisi.15,16 Peningkatan berat badan pada

DM yang lebih rendah dibandingkan kontrol dapat

juga disebabkan karena jumlah janin yang lebih

sedikit dibandingkan kontrol.13 Pada penelitian ini

jumlah tikus yang dilahirkan oleh induk tikus

kelompok DM lebih sedikit dibandingkan yang

dilahirkan oleh induk tikus kelompok kontrol.

Kehamilan pada induk tikus diketahui dengan

adanya peningkatan berat badan pada tiap

pengamatan dan palpasi positif pada bagian perut

tikus pada kehamilan hari ke-13. Pembesaran pada

bagian perut tikus menandakan bahwa terdapat

sejumlah janin pada rahim tikus.17

Hasil pengukuran lebar benih gigi tikus

menunjukkan bahwa lebar benih gigi tikus pada

kelompok DM lebih kecil dibandingkan kelompok

kontrol, namun hasil statistik dengan Student T test

tidak menunjukkan adanya perbedaan yang

bermakna. Hal ini kemungkinan disebabkan karena

peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok

DM tidak terlalu tinggi, sehingga tidak terlalu

berpengaruh terhadap proses pembentukan ukuran

benih gigi tikus. Malnutrisi yang dialami tikus pada

penelitian ini tidak parah sehingga tidak

mempengaruhi ukuran benih gigi. Anak tikus yang

dilahirkan oleh induk tikus DM pada penelitian ini

mengalami malnutrisi terlihat dengan ukuran dan

berat badan yang lebih kecil, namun anak tikus

yang mengalami malnutrisi parah sebagian besar

mati setelah dilahirkan. Anak tikus yang hidup

mengalami malnutrisi yang tidak parah.

Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah

akan menyebabkan malnutrisi yang semakin parah,

karena peningkatan kadar glukosa darah

menandakan kemampuan tubuh dalam

memetabolisme karbohidrat, lemak, dan protein

sebagai sumber energi semakin rendah. Gangguan

metabolisme yang dialami induk tikus dapat

menyebabkan malnutrisi energi protein pada anak

tikus. Malnutrisi dapat mempengaruhi proses

pembentukan gigi. Nutrisi diperlukan pada masa

pre erupsi dalam maturasi gigi, penentuan

komposisi gigi, serta penentuan bentuk dan ukuran

gigi.18 Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Garn

et al. yang menunjukkan adanya peningkatan

ukuran gigi pada tikus yang dilahirkan oleh induk

tikus DM. Pada penelitian Garn et al., anak tikus

yang dilahirkan memiliki berat dan ukuran badan

yang lebih besar, disebabkan karena banyaknya

glukosa yang ditransfer ke janin pada saat hamil.19

Terjadi peningkatan GLUT-1 dalam plasenta pada

kasus diabetes mellitus gestasional. GLUT-1 juga

berperan dalam pembentukan benih gigi, sehingga

peningkatan GLUT-1 dapat meningkatkan ukuran

benih gigi.20,21

Tidak adanya perbedaan bermakna pada

ukuran benih gigi kemungkinan disebabkan

pengukuran dilakukan pada benih gigi pada tahap

bell akhir. Pada tahap ini bentuk dan ukuran gigi

belum sempurna. Pada tahap bell akhir terjadi

pembentukan email dan dentin. Pembentukan benih

gigi masih akan berlanjut sampai tahap aposisi

selesai dan gigi mulai erupsi.22,23 Kesimpulan yang

dapat diambil dari penelitian ini yaitu tidak terdapat

perbedaan pada lebar benih gigi anak tikus yang

dilahirkan oleh induk tikus DM. Perlu dilakukan

penlitian lebih lanjut dengan kadar glukosa induk

tikus yang lebih tinggi dan pengukuran langsung

pada gigi anak tikus yang telah erupsi.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 49 - 50

Page 54: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

50

DAFTAR PUSTAKA

1. ADA. Diagnosis and classification of diabetes

mellitus. Diabetes Care 2008 ; 21(1): s55-60

2. Vedavathi KJ, Swamy RM, Kanavi RS,

Venkatesh G, Veeranna HB. Influence of

gestational diabetes mellitus on fetal growth

parameter. Int J Biol Med Res 2011; 2(3): 832-

834

3. Barker DJP. The malnourished baby and

infant. British Medical Buletin 2001; 60: 69-88

4. Grisaru D, Sternfeld M, Eldor A, Glick D,

Soreq H. Structural roles of

acaetylcholinesterase variants in biology and

pathology. Eur J Biochem 1999; 264: 672-686

5. Tanaka K, Miyake Y, sasaki S, Hirota Y.

Dairy products and calcium intake during

pregnancy and dental caries in children.

Nutrition Journal 2012; 11: 33-40

6. Alvarez JO. Nutrition, tooth development, and

dental caries. Am J Clin Nutr 1995; 61(suppl):

410s-6s

7. Rocha JS, Baldani MH, Lopes CMDL. Impact

of prenatal ptotein-calorie malnutrition on the

odontogenesis of wistar rats. Braz Dent Sci

2013; 16(3): 63-9

8. Dewi N. Pengaruh diabetes mellitus

gestasional terhadap ekspresi amelogenin dan

histomorfologi benih gigi anak tikus. Tesis.

2013

9. Villarino ME, Goya JA, De Lucca RC, Ubios

AM. Alterations of tooth eruption and growth

in pup suckling from diabetic dams. Pediatr

Res 2005; 58(4): 695-9

10. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian Kesehatan Kesehatan

RI. Riset kesehatan dasar 2013

11. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Riset kesehatan dasar

(RISKESDAS) 2007. 2008

12. Lawrence JM, Contreras R, Chen W, Sacks

DA. Trends in the prevalence of preexisting

diabetes and gestasional diabetes mellitus

among a racially/ethnically diverse population

of pregnant women, 1999-2005. Diabetes Care

2008; 31:899-904

13. Lenzen S. The mechanisms of alloxan- and

streptozotocin-induced diabetes. Diabetolgia

2008; 51:216-226

14. Carvalho EN, Carvalho NAS, Ferreira LM.

Experimental model of induction of diabetes

mellitus in rats. Acta Cir Braz 2003; 18:60-64

15. Kiss ACI, Lima PHO, Sinzato YK, Takaku M,

Takeno MA, Rudge MVC, Damasceno DC.

Animal Models for Clinical and Gestational

Diabetes : Maternal and Fetal Outcomes.

Diabetol Metab Syndr 2009; 1:21

16. Hall JE. Insulin, Glucagon, and Diabetes

Mellitus. In: Guyton and Hall Text Book of

Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia :

Elseviers Saunders; 2011. p.939-954

17. Ypsilantis P, Deftereos S, Prassopoulos P,

Simopoulos C. Ultrasonographic Diagnosis of

Pregnancy in Rats. J Am Assoc Lab Anim Sci

2009; 48(6):734-739

18. Goncalves LA, Boldrini SC, Capote TSO,

Binotti CB, Azeredo RA, Martini DT, et al.,

Structural and ultra-structural features of the

first mandibular molar of young rats submitted

to pre and postnatal protein deficiencies. The

Open Dentistry Journal 2009; 3:125-131

19. Garn SM, Osborne RH, Alvesalo L, Horowitz

SL. Maternal and gestational influences on

deciduous and permanent tooth. J Dent Res

1980; 59(2): 142-143

20. Ida-Yonemochi H, Nakatomi M, Harada H,

Takana H. Glucose uptake mediated by

glucose transporter 1 is essential for early

tooth morphogenesis and size determination of

murine molars. Developmental Biology 2012;

363: 52-61

21. Desoye G and Haugel-de Mouzon S. The

human placenta in gestational diabetes

mellitus. Diabetes Care 2007; 30(2): 120-6

22. Bath-Balogh M and Fehrenbach MJ. Dental

Embriology, Histology, and Anatomy. 2nd ed.

St Louis: Elseviers Saunders. 2006. p.61-91

23. Nanci A. Ten Cate’s Oral histology. 7th ed. St

Louis: Elseviers Saunders. 2008

Dewi : Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan

Page 55: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

51

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

EFEK PENGUNYAHAN PERMEN KARET YANG MENGANDUNG

XYLITOL TERHADAP PENINGKATAN pH SALIVA

Tinjauan pada Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi

Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Banjarmasin Angkatan 2010-2012

Nina Annisa Hidayati, Siti Kaidah, Bayu Indra Sukmana

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRACT

Backgroud: Xylitol is a simple alcohol sugar (polyols) which is non-asidogenik and non-cariogenic

that is added in the chewing gum as a sugar substitute. Previous study have shown that chewed the xylitol

chewing gum 3 to 5 times a day for 5 minutes after meals inhibited plaque accumulation and enamel

demineralization. Purpose: The purpose of this study was to evaluate the effect of chewing the xylitol chewing

gum on the increase of salivary pH. Methods: This study designed in a pre-experimental with one group pretest-

posttest used purposive sampling technique. Thirty-five subjects were given 3 x 2 pieces of chewing gum (3 x 2 x

1242mg) per day which were chewed after breakfast (at 08.00 am), at lunch (01.00 pm) and at dinner (07.00

pm) for 2 weeks. Each subject chewed the xylitol chewing gum with two chewing sides for a maximum of 5

minutes or until the taste of the gum lost. Result: The mean salivary pH before chewed the xylitol chewing gum

was 6.9086 and after chewed xylitol chewing for 2 weeks was 7.6571. Statistical analysis showed an increase

in salivary pH after chewed the gum which containing 7452 mg xylitol per day for two weeks (p = 0.000).

Conclutions: Chewed the xylitol chewing gum increased the salivary pH.

Keyword: xylitol, chewing gum, salivary pH

ABSTRAK

Latar Belakang: Xylitol adalah gula alkohol sederhana (polyol) yang bersifat non-asidogenik dan

non-kariogenik sebagai bahan pengganti gula yang disertakan dalam kandungan permen karet. Penelitian

terdahulu membuktikan bahwa pemberian permen karet xylitol 3 sampai 5 kali sehari selama 5 menit setelah

makan dapat menghambat akumulasi plak dan demineralisasi enamel. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui efek pengunyahan permen karet yang mengandung xylitol terhadap peningkatan pH saliva sebelum

dan sesudah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian

pre eksperimental dengan one group pretest-posttest design, menggunakan teknik purposive sampling.

Perlakuan yang diberikan adalah mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dua sisi maksimal 5 menit

atau sampai rasanya hilang dengan cara pemberian 3 x 2 butir (3 x 2 x 1242mg) perhari setelah makan pagi

(jam 08.00), makan siang (13.00) dan makan malam (19.00) selama dua minggu. Hasil: Rerata pH saliva

sebelum perlakuan mengunyah permen karet yang mengandung xylitol adalah 6,9086 dan sesudah mengunyah

permen karet yang mengandung xylitol selama 2 minggu adalah 7,6571. Uji T berpasangan diperoleh hasil p =

0,000 (p<0,05) menunjukkan terjadi peningkatan pH saliva setelah mengunyah permen karet yang mengandung

7452 mg xylitol perhari selama dua minggu. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat

diambil kesimpulan bahwa mengunyah permen karet yang mengandung xylitol dapat meningkatkan pH saliva.

Kata-kata kunci: xylitol, permen karet, pH saliva

Korespondensi: Nina Annisa Hidayati, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

Laporan Penelitian

Page 56: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

52

PENDAHULUAN

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun

2007 yang dilakukan Depkes menunjukkan bahwa

secara umum prevalensi penyakit gigi dan mulut

tertinggi meliputi 72,1% penduduk, 46,6%

merupakan karies aktif.1 Laporan Hasil Riset

Kesehatan Dasar Provinsi Kalimantan Selatan

tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi karies

aktif di provinsi Kalimantan Selatan adalah 50,7%.2

Etiologi karies gigi adalah multifaktor, terdiri dari

akumulasi dan retensi plak, frekuensi konsumsi

karbohidrat, frekuensi terhadap diet asam, faktor

pelindung dari pelikel, saliva, dan fluoride serta

elemen-elemen lain yang mengontrol

perkembangan karies. Saliva berperan penting pada

proses pertahanan terhadap serangan karies.

Mekanisme fungsi perlindungan saliva meliputi: (1)

aksi pembersihan bakteri, (2) aksi buffer, (3) aksi

antibakteri dan (4) remineralisasi. Saliva juga

mengandung urea dan buffer lain yang membantu

melarutkan asam dalam plak.3,4

Derajat keasaman (pH) saliva sangat

dipengaruhi oleh irama sirkadian, diet dan stimulasi

sekresi saliva. Diet yang mengandung karbohidrat

akan menyebabkan turunnya pH saliva yang dapat

mempercepat terjadinya demineralisasi email gigi.

Sepuluh menit setelah makan karbohidrat akan

menghasilkan asam melalui proses glikolisis dan

pH saliva akan menurun sampai mencapai pH kritis

(5,5-5,2) dan untuk kembali normal dibutuhkan

waktu 30-60 menit.5

Pencegahan penurunan pH saliva dapat

dilakukan dengan cara menggunakan bahan

pengganti gula yang dapat meningkatkan pH saliva

antara lain sorbitol, mannitol dan xylitol. Xylitol

paling popular digunakan karena efeknya terhadap

kesehatan gigi dan rasanya yang manis hampir

sama dengan sukrosa, namun memiliki kalori yang

lebih kecil (40% dari sukrosa). Xylitol merupakan

sejenis pemanis polyols yang bersifat non-

asidogenik dan non-kariogenik.4,6,7 Xylitol dewasa

ini sudah disertakan dalam kandungan permen

karet. Permen karet bermanfaat untuk merangsang

sekresi saliva, meningkatkan pH plak dan saliva,

sehingga sangat baik digunakan sebagai pembersih

rongga mulut.8

Menurut Penelitian Burt (2006) pemberian

permen karet xylitol 3 sampai 5 kali sehari

dikunyah minimal selama 5 menit setelah makan

dapat menghambat akumulasi plak dan

demineralisasi enamel, meningkatkan

remineralisasi pada karies awal dan mengurangi

jumlah Streptococcus mutan.9 Streptococcus

mutans menghasilkan asam yang dapat merusak

email gigi. Bakteri ini berkembang pada pH asam.

Xylitol menghambat pertumbuhan Streptococcus

mutans dengan meningkatkan pH mulut, membuat

keadaan rongga mulut kurang menguntungkan

untuk pertumbuhan Streptococcus mutan.10

Studi lain oleh Makinen et al dalam Adopted

(2006) menunjukkan bahwa asupan xylitol yang

konsisten menghasilkan hasil yang positif dengan

kisaran konsumsi 4-10 g perhari di bagi 3-7

periode. Jumlah yang lebih besar tidak

menghasilkan reduksi yang lebih besar pada insiden

karies dan dapat membawa ke berkurangnya hasil

antikariogenik.11 Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui efek pengunyahan permen karet yang

mengandung xylitol terhadap peningkatan pH saliva

sebelum dan sesudah mengunyah permen karet

yang mengandung xylitol pada Mahasiswa Program

Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung

Mengkurat Angkatan 2010-2012

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode pre-

experimental design. Rancangan penelitian ini

menggunakan one group pretest-posttest design.

Kontrol dalam penelitian ini adalah pH sebelum

mengunyah permen karet xylitol. Alat-alat yang

digunakan dalam penelitian antara lain masker dan

sarung tangan, nierbekken, diagnostic set, pH

meter, gelas penampung saliva, alat tulis, form

penelitian, informed consent dan stopwatch. Bahan

dalam penelitian ini yang digunakan adalah permen

karet yang mengandung xylitol, tisu dan kapas.

Pengambilan data awal dimulai dengan

pemberian informed consent kepada responden.

Responden kemudian diinstruksikan untuk

mengumpulkan saliva selama 30 detik pada dasar

mulut, lalu ditampung dalam gelas penampung

saliva. pH saliva diukur menggunakan pH meter

dan dicatat pada form penelitian. Selanjutnya

responden diinstruksikan untuk mengunyah permen

karet dua sisi yang mengandung xylitol dengan cara

pemberian 3 x 2 butir perhari setelah makan pagi

(Jam 08.00), makan siang (jam 13.00) dan makan

malam (jam 19.00) selama 2 minggu. Permen karet

xylitol dikunyah maksimal selama 5 menit atau

sampai rasa dari permen karet sudah tidak ada lagi.

Responden juga diinstruksikan untuk menjaga

kebersihan mulut. Pengambilan data akhir

dilakukan setelah 2 minggu, dengan cara

pemeriksaan pH saliva seperti pada pengambilan

data awal.

HASIL PENELITIAN

Perbedaan rerata pH Saliva sebelum dan

sesudah perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.

Hidayati : Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol

Page 57: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

53

Gambar 1 Rerata±SD pH Saliva Sebelum dan

Sesudah Mengunyah Permen Karet

yang Mengandung Xylitol.

Gambar 1 menunjukkan adanya peningkatan

pH saliva sebelum dan sesudah mengunyah permen

karet yang mengandung xylitol. Pada penelitian ini

didapatkan rata-rata pH saliva sebelum mengunyah

permen karet yang mengandung xylitol sebesar

6,9086±0,22928, sedangkan rata-rata pH saliva

sesudah mengunyah permen karet yang

mengandung xylitol sebesar 7,6571±0,22789. Hasil

normalitas data dengan Shapiro-Wilk menunjukkan

data pH sebelum mengunyah permen karet xylitol

(p = 0,185) dan pH setelah mengunyah permen

karet xylitol (p = 0,130) berdistribusi normal (p >

0,05).

Hasil uji T berpasangan diperoleh hasil p =

0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan terdapatnya

peningkatan bermakna pH saliva setelah

mengunyah permen karet yang mengandung 7452

mg xylitol per hari selama dua minggu pada

mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi

Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Angkatan 2010-2012.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

permen karet yang mengandung xylitol dapat

meningkatkan pH saliva. Hal tersebut disebabkan

sifat dan cara kerja xylitol yang tidak dapat di

fermentasi oleh Streptococcus oral dan

mikroorganisme lainnya sehingga tidak dihasilkan

asam yang dapat menurunkan pH saliva.12 Xylitol

dapat menetralkan pH saliva yang rendah dengan

efek menguntungkan untuk kesehatan rongga

mulut. Konsumi xylitol secara teratur, pada dosis

cukup dapat mengurangi tingkat Streptococcus

mutans pada plak dan saliva. Streptococcus mutans

mengambil xylitol ke dalam sel melalui sistem

fruktosa phosphotransferase (PTS) dan xylitol

dimetabolisme menjadi xylitol-5-fosfat, yang tidak

dapat dimanfaatkan lebih lanjut dan bahkan dapat

menjadi racun bagi bakteri.13

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian-

penelitian lain sebelumnya. Penelitian yang

dilakukan Soderling et al (1989) dalam Milgrom et

al (2006) menyebutkan bahwa konsumsi 10,9 g

xylitol/hari selama 14 hari pada pasien usia 19-35

tahun menghasilkan reduksi Streptococcus mutans

pada plak dan saliva, juga penurunan jumlah plak

hingga 29,4% dan meningkatkan resistensi terhadap

penurunan pH yang diinduksi oleh asupan sukrosa

(14). Penelitian lain oleh Kumar (2010)

menunjukkan terjadi peningkatan pH Saliva yang

signifikan pada anak usia 10-12 tahun setelah

mengkonsumsi permen karet xylitol.15

Tindakan pencegahan resiko karies lebih

menekankan pada pengurangan konsumsi dan

pengendalian frekuensi asupan gula yang tinggi.

Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara nasehat diet

dan bahan pengganti gula. Nasehat diet yang

dianjurkan adalah memakan makanan yang cukup

jumlah protein dan fosfat yang dapat menambah

sifat basa dari saliva, memperbanyak makan

sayuran dan buah-buahan yang berserat dan berair

yang akan bersifat membersihkan dan merangsang

sekresi saliva, menghindari makanan yang manis

dan lengket. Xylitol merupakan bahan pengganti

gula yang sering digunakan, berasal dari bahan

alami serta mempunyai kalori yang sama dengan

glukosa dan sukrosa. Xylitol dapat dijumpai dalam

bentuk tablet, permen karet, pasta gigi, dan

mouthwash.16, 17

Pemberian permen karet yang mengandung

xylitol mempunyai efek menstimulasi produksi

saliva, komposisi saliva berubah dan meningkatkan

konsentrasi bikarbonat, fosfat dan kalsium.

Perubahan komposisi ini menstimulasi peningkatan

kemampuan saliva untuk mencegah penurunan pH

saliva. 8,18 Pengaruh pengganti gula pada perubahan

angka terjadinya karies telah dievaluasi dalam

beberapa studi observasional serta uji klinis dengan

hasil konsisten menunjukkan adanya efek

perlindungan dari xylitol pada insiden karies.19

Kandungan karbohidrat 75% dan kalori 40%

dalam xylitol lebih rendah dibandingkan gula pasir.

Xylitol dapat diaplikasikan dalam bentuk permen

karet mengandung furonan dan kalsium phosphate

yang akan memberikan efek positif apabila

dikonsumsi setelah makan, sikat gigi, dan sebelum

tidur. Ketika dikonsumsi dalam bentuk solid

(seperti permen karet) xylitol memberikan sensasi

segar dan dingin karena high endhotermic heat

solution yang dimilikinya.20,17 Sifat lain dari xylitol

yang menguntungkan adalah fermentasinya oleh

mikroba plak gigi yang berlangsung lebih lambat

dari fermentasi sukrosa, sehingga menghasilkan

produksi asam yang sangat sedikit atau tidak sama

sekali. Hal ini dapat mendukung pengembalian

asam basa dalam mulut sehingga proses

demineralisasi gigi dapat dicegah.21

0123456789

10

Sebelum Sesudah

pH

sa

liv

a

Waktu Pengukuran

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 51 - 55

Page 58: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

54

Xylitol terbukti dapat meningkatkan pH saliva,

dengan demikian dapat membantu proses

remineralisasi. Remineralisasi dapat terjadi apabila

kondisi rongga mulut mendukung, yaitu tingkat

kalsium dan fosfat cukup, pH yang tinggi, matriks

organik dan inorganik yang tepat untuk

pembentukan kristal, faktor-faktor yang pendukung

dalam saliva, serta adanya kontrol terhadap faktor-

faktor penghambat pembentukan kristal.9,22 Salah

satu faktor dalam xylitol yang mendukung

remineralisasi adalah strukturnya yang dapat

membentuk ikatan kompleks dengan kalsium, yaitu

C5H12O5Ca(OH)2.4H2O. Proses peningkatan

terbawanya kalsium ke gigi dan membantu proses

remineralisasi. Kalsium dikelilingi oleh molekul air

di dalam saliva. Ketika xylitol dikonsumsi, maka

akan terjadi kompetisi antara xylitol dan molekul air

sehingga terbentuk lapisan hidrasi yang baru. Hal

ini dapat menyebabkan kalsium dapat bertahan

lebih lama dalam mulut sehingga dapat digunakan

kemudian.9,22

Xylitol juga dapat menstabilkan kadar

kalsium dan fosfat dalam saliva, yang penting

dalam menciptakan kondisi ideal untuk

remineralisasi.9,22 Konsumsi permen karet yang

mengandung xylitol 4-10 g perhari dengan

frekuensi minimal 3 kali sehari selama 14 hari

menghasilkan penurunan Streptococcus mutans

pada plak dan saliva, juga penurunan jumlah plak

hingga 29,4 % dan meningkatkan resistensi

terhadap penurunan pH saliva yang diinduksi oleh

asupan sukrosa.11,23,24 iHasil penelitian ini telah

membuktikan bahwa mengunyah permen karet

yang mengandung 7452 mg xylitol dengan cara

pemberian 3 x 2 butir (3 x 2 x1242 mg) perhari

selama 2 minggu menunjukkan adanya peningkatan

pH saliva.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset

Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2007.

2. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan

Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan

RI, 2009.

3. Mcintyre JM. Dental Caries – The Major

Cause of Tooth Damages. In Graham J. Mount

& W. R. Mount (ed). Preservation and

Restoration of Tooth Structure 2nd ed.

Queensland: Knowledge Book and Software,

2005:21-33.

4. Putri H, Eliza H, Neneng N. Ilmu Pencegahan

Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan

Pendukung Gigi. Jakarta: EGC, 2008:56-77.

5. Hartini E. Serba Serbi Ilmu Konservasi Gigi.

Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,

2005:69-59.

6. Amelda PD, Ana MT, Maria AN, Antonio AS,

Luciana RA. Saliva Composition and Function:

A Comprehensive Review. Journal

Contemporary Dental Practice 2008; 9(3) :5-2.

7. Sulistiyani, Pradopo S. The Average Saliva pH

Level After Comsuming Fresh Cow Milk,

Sweetened Condensed Milk, and Soyabean

Milk. Dental Journal 2003; 36(1-37) :6-4.

8. Resti, Auerkari EI, Sarwono AT. Pengaruh

Pasta Gigi yang Mengandung Xylitol terhadap

Pertumbuhan Streptococcus Mutans Serotif E

(In Vitro). Indonesian Journal of Dentistry

2008; 15(1) :22-15.

9. Burt BA. The Use of Sorbitol and Xylitol-

Sweetened Chewing Gum in Caries Control.

American Dental Assosiation. JADA 2006;

137 :190-196.

10. Sari NN. Permen Karet Xylitol yang Dikunyah

Selama 5 Menit Meningkatkan dan

Mempertahankan pH Saliva Perokok Selama 3

Jam. Tesis. Denpasar: Program Studi Ilmu

Biomedik Program Pascasarjana Universitas

Udayana, 2011. Hal 22-23.

11. Adopted. Policy on the Use of Xylitol in

Caries Prevention. Oral Health Policies.

Council on Clinical Affairs 2006 ;31-32.

12. Moynihan P, Lingstrom P, Rung-Gunn AJ,

Birkhed D. The Role of Dietary Control. In:

Fejerskov Ole, A.M Kidd Edwina (ed). Dental

Caries The Disease and Its Clinical

Management. Blackwell Munksgaard 2003;

235-7.

13. Bahador, Lesan, Kashi. Effect of Xylitol on

Cariogenic and Beneficial Oral Streptococci: a

randomized, double-blind crossover trial. IJM

Iranian Journal of Microbiology 2012; 4:75-81.

14. Milgron P, Ly KA, Roberts MC, Rothen M,

Mueller G, Yamaguchi DK. Mutans

Streptococci Dose Response to Xylitol

Chewing Gum. J Dent Res 2006 February;

85(2): 177-181.

15. Kumar S. Estimation of Salivary pH and

Dental Plaque pH In Children Before and after

consumtion of Sugared and Sugar-Free

(Xylitol) Chewing Gum An In Vivo Study.

Nehru Nagar. Belgaum: Dissertation Submitted

to The KLE University, 2010. p. 53.

16. Angela A. Pencegahan Primer pada Anak yang

Berisiko Karies Tinggi (Primary Prevention in

Children With High Caries Risk). Maj. Ked.

Gigi. (Dent. J.) 2005; 38(3) :130–134.

17. Soderling EM. Xylitol, Mutans Streptococci,

and Dental Plaque. Adv Dent Res 2009; 21

:74-78

18. Holgeston PL. Xylitol And It’s Effect on Oral

Ecology. Umea: Dentistry Faculty of Medicine

2007; 16-20.

Hidayati : Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol

Page 59: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

55

19. Hayes C. The Effect of Non-Cariogenic

Sweeteners on the Prevention Of Dental

Caries: A Review Of The Evidence. Boston:

Department of Oral Health Policy and

Epidemiology, 2003. p. 9.

20. Lukitaningsih A. Perbedaan Jumlah Bakteri

Streptococcus Viridians Sebelum dan Sesudah

Mengunyah Permen Karet yang Mengandung

Xylitol pada Penghuni Wisma Melati no. 101

Pedalangan Banyumanik Semarang Tahun

2009. Skripsi. Semarang: Politeknik Kesehatan

Depkes Semarang, 2009; 4.

21. Kidd, Edwina AM. Essential of Dental Caries

The Disease and Its Management. New York:

Oxford, 2005.

22. Tapiainen T, Tero K, Laura S, Irma I, Markku

K, Matti U. Effect of Xylitol on Growth of

Streptococcus Pneumoniae in the Presence of

Fructose and Sorbitol. Antimicrobial Agents

and Chemotherapy 2001; 166-169.

23. Milgrom P, Ly KA, Rothen M. Xylitol and Its

Vehicles for Public Health Needs. Adv Dent

Res 2009; 21: 44-47.

24. Milgron P, Ly KA, Roberts MC, Rothen M,

Mueller G, Yamaguchi DK. Mutans

Streptococci Dose Response to Xylitol

Chewing Gum. J Dent Res 2006; 85(2): 177-

181.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 51 - 55

Page 60: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

56

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

EFEKTIVITAS MENYIKAT GIGI DISERTAI DENTAL FLOSS

TERHADAP PENURUNAN INDEKS PLAK

Tinjauan pada Siswa SMAN 1 Sungai Pandan Kecamatan Sungai Pandan

Azizah Magfirah, Widodo, Priyawan Rachmadi

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background : Toothbrushing is a common method used to removing plaque on the whole surface of the

tooth, but it is not completely clean the interproksimal sect. The removal of interproximal plaque is considered to

be important for the maintence of gingival health, caries prevention and periodontal disease. Dental floss is

made of nylon filaments yarn or plastic monofilament, waxed or unwaxed that used to remove debris and plaque

at the interproximal. Purpose: The purpose of this study uses to determine the effectiveness of toothbrushing

with dental floss to decrease plaque index. Methods: This study was a pre-experimental with one group pretest-

posttest design, used purposive sampling technique. The treatments were toothbrusing twice a day in the

morning and evening using toothbrush and toothpaste, and using dental floss once a day at night for two weeks.

Plaque index that used in this study was the Quigley and Hein plaque index modified by Tureskey, Gilmore, and

Glickman. Results:The mean of plaque index before treatment was 1.97 and after treatment of toothbrushing

with dental floss was 0.45. Paired t-test results obtained p = 0.000 (p <0.05) demonstrated a significant

reduction of plaque index after tootbrushing with dental floss for two weeks. Conclusion: It can be concluded

that toothbrushing followed by the use of dental floss effective to decrease plaque index.

Keywords: toothbrushing, dental floss, plaque index

ABSTRAK

Latar belakang: Menyikat gigi merupakan metode yang umum digunakan dalam membersihkan plak

pada seluruh permukaan gigi, tetapi tidak dapat sepenuhnya membersihkan bagian interproksimal. Pembersihan

plak pada bagian interproksimal dianggap penting untuk memelihara kesehatan gingiva, pencegahan karies dan

penyakit periodontal. Dental floss atau benang gigi adalah benang yang terbuat dari nilon filamin atau plastik

monofilament tipis, berlilin maupun tidak berlilin yang digunakan untuk menghilangkan sisa makanan dan plak

di bagian interproksimal. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas menyikat gigi disertai

dental floss terhadap penurunaan indeks plak. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pre eksperimental

dengan one group pretest-posttest design, menggunakan teknik purposive sampling. Perlakuan yang diberikan

adalah menyikat gigi dua kali sehari pada pagi dan malam hari menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, serta

menggunakan dental floss satu kali sehari sebelum menyikat gigi pada malam hari selama dua minggu. Indeks

plak yang dipakai adalah indeks plak Quigley dan Hein yang dimodifikasi oleh Tureskey, Gilmore, dan

Glickman. Hasil: Rerata indeks plak sebelum dilakukan perlakuan adalah 1,97 dan sesudah perlakuan menyikat

gigi disertai dental floss adalah 0,45. Uji t-berpasangan diperoleh hasil p = 0,000 (p < 0,05) menunjukkan

terjadinya penurunan indeks plak yang signifikan sesudah menyikat gigi disertai dental floss selama dua

minggu. Kesimpulan: Menyikat gigi disertai dental floss efektif terhadap penuruan indeks plak.

Kata kunci: menyikat gigi, dental floss, indeks plak

Korespondensi: Azizah Magfirah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jl. Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, e-mail: [email protected]

Laporan Penelitian

Page 61: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

57

PENDAHULUAN

Kondisi kesehatan gigi dan mulut di Indonesia

masih sangat memprihatinkan, 90% penduduk

Indonesia masih menderita penyakit gigi dan

mulut.1,2 Karies gigi dan penyakit periodontal

merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai

di rongga mulut sehingga penyakit ini merupakan

masalah utama kesehatan gigi dan mulut.2

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2007, diperoleh

data proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut

sebesar 29,2%, prevalensi karies aktif sebesar

50,7%, dan indeks DMF-T sebesar 6,83. Hulu

Sungai Utara merupakan salah satu dari lima

kabupaten yang memiliki prevalensi karies aktif

diatas angka provinsi untuk penduduk umur 12

tahun ke atas yaitu sebesar 52,8%, dan indeks

DMF-T tertinggi yaitu sebesar 8,97.3

Faktor yang memegang peranan penting

dalam terjadinya penyakit karies dan periodontal

adalah plak (5). Plak merupakan suatu deposit

lunak berwarna keabu-abuan atau kuning yang

melekat erat pada permukaan gigi. Jika jumlah plak

sedikit maka plak tidak dapat terlihat, kecuali

diwarnai dengan larutan disclosing.4,5

Data Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan

menunjukkan bahwa hanya sekitar 8,5%

masyarakat berumur 10 tahun ke atas yang

berperilaku benar dalam menyikat gigi di

Kabupaten Hulu Sungai Utara. Data tersebut

menunjukkan bahwa masih sedikit masyarakat

yang berperilaku benar dalam menyikat gigi

termasuk masyarakat di Kecamatan Sungai Pandan,

Hulu Sungai Utara. Hal ini akan menyebabkan

pembersihan plak yang tidak efektif pada

permukaan gigi, sehingga akan mempengaruhi

status oral hygiene yang dapat menyebabkan karies

dan penyakit mulut lainnya. Plak gigi harus

dibersihkan secara menyeluruh dan teratur untuk

mencegah terjadinya karies dan penyakit mulut

lainnya.3

Metode yang umum digunakan dalam

membersihkan plak adalah menyikat gigi. Sikat

gigi dapat membersihkan plak pada permukaan

bukal, lingual, dan oklusal, tetapi tidak dapat

sepenuhnya membersihkan bagian interproksimal.6

Pembersihan plak pada bagian interproksimal

dianggap penting untuk memelihara kesehatan

gingiva, pencegahan karies dan penyakit

periodontal.7

Salah satu cara untuk membersihkan bagian

interproksimal gigi adalah dengan menggunakan

alat yang dapat menembus sela-sela gigi yang

berdekatan. Banyak produk yang dirancang untuk

membantu dalam membersihkan bagian

interproksimal gigi, salah satunya adalah dental

floss.6 Dental floss atau benang gigi adalah benang

yang terbuat dari nilon filamin atau plastik

monofilamen tipis, berlilin maupun tidak berlilin

yang digunakan untuk menghilangkan sisa

makanan dan plak di bagian interproksimal.8

Dental floss mulai direkomendasikan untuk

pembersihan bagian interproksimal pada akhir

tahun 1960.9

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui

efektivitas menyikat gigi diserta dental floss

terhadap penurunan indeks plak pada siswa SMAN

1 Sungai Pandan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode pre-

eksperimental dengan rancangan one group pretest-

postest design. Penelitian ini dilakukan di SMAN 1

Sungai Pandan pada bulan Juni – Juli 2013. Alat

yang digunakan antara lain diagnostic set,

nierbekken, sikat gigi, dental floss, kain putih,

formulir penilaian indeks plak. Bahan dalam

penelitian ini yang digunakan adalah pasta gigi,

disclosing agent, alkohol 70%, kapas, tisu, dan air

mineral.

Pertama yang dilakukan adalah penetapan

sampel penelitian yang diambil dari semua

populasi. Semua sampel harus memenuhi kriteria-

kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Setiap sampel

yang memenuhi kriteria dikumpulkan di ruang

pemeriksaan, setelah itu dilakukan pemeriksaan

dan perhitungan indeks plak pada sampel penelitian

menyikat gigi tanpa disertai dental floss.

Pemeriksaan indeks plak dilakukan pada gigi

16, 21, 24, 36, 41, dan 44 dengan menggunakan

indeks plak Quigley dan Hein yang dimodifikasi

oleh Turesky, Gilmore, dan Glickman. Sampel

diinstruksikan untuk menyikat gigi dengan

menggunakan sikat gigi dan pasta gigi sebanyak 2

kali sehari yaitu sesudah makan pada pagi hari dan

sebelum tidur pada malam hari, dan memakai

dental floss sekali sehari sebelum menyikat gigi

pada malam hari selama 2 minggu, kemudian

dilakukan pemeriksaan dan perhitungan indeks

plak pada sampel penelitian menyikat gigi disertai

dental floss.

Hasil pemeriksaan dicatat pada formulir yang

sudah tersedia. Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah uji normalitas dan uji T

berpasangan dengan bantuan software komputer.

Tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95%

dengan tingkat kesalahan 5%.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian efektivitas menyikat gigi

disertai dental floss terhadap penurunan indeks

plak pada siswa SMAN 1 Sungai Pandan adalah

sebagai berikut.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 56 - 59

Page 62: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

58

Perlakuan Jumlah

(orang)

Rata-rata

indeks plak

Menyikat gigi tanpa

disertai dental floss 44 1,97

Menyikat gigi diserta

dental floss 44 0,45

Penurunan Indeks Plak

1,52

Tabel 1. Rata-rata indeks plak dan penurunan indeks

plak

Berdasarkan Tabel 1, diketahui rata-rata

indeks plak menyikat gigi tanpa disertai dental

floss sebesar 1,97, rata-rata indeks plak menyikat

gigi disertai dental floss sebesar 0,45. Penurunan

indeks plak antara menyikat gigi tanpa disertai

dental floss dengan menyikat gigi disertai dental

floss sebesar 1,52 (77,2%). Data hasil penelitian

yang diperoleh kemudian diolah menggunakan

analisis statistik. Data diuji normalitasnya terlebih

dahulu, kemudian dilakukan uji t berpasangan. Uji t

berpasangan dilakukakan untuk mengetahui

penurunan indeks plak antara menyikat gigi tanpa

disertai dental floss dengan menyikat gigi disertai

dental floss.

Diperoleh hasil penurunan indeks plak antara

menyikat gigi tanpa disertai dental floss dan

menyikat gigi disertai dental floss yaitu p = 0,000

(p < 0,05). Secara statistik terjadi penurunan indeks

plak yang signifikan antara menyikat gigi tanpa

disertai dental floss dengan menyikat gigi disertai

dental floss. Hal ini berarti menyikat gigi disertai

dental floss efektif terhadap penurunan indeks plak

pada siswa SMAN 1 Sungai Pandan.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata indeks

plak menyikat gigi disertai dental floss lebih rendah

dari indeks plak menyikat gigi tanpa disertai dental

floss. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Ramona dan Mindra (2006), dimana

sampel penelitian yang menyikat gigi disertai

dental floss, indeks plaknya lebih rendah

dibandingkan menyikat gigi tanpa disertai dental

floss terutama indeks plak pada bagian

interproksimalnya. Hal ini menunjukkan bahwa

dengan menyikat gigi saja pembersihan plak pada

permukaan gigi masih kurang efektif termasuk

pembersihan plak pada bagian interproksimal.7

Menurut beberapa penelitian, penurunan plak

pada permukaan gigi bagian interproksimal dengan

menyikat gigi lebih sedikit dibandingkan dengan

menyikat gigi disertai alat bantu pembersih bagian

interproksimal seperti dental floss.7,12 Dental floss

dapat membersihkan bagian yang sulit dijangkau

oleh sikat gigi, seperti daerah interproksimal.8

Dental floss dapat membersihkan daerah yang sulit

dicapai oleh sikat gigi karena dental floss berupa

benang yang dapat disisipkan diantara gigi-gigi

yang berdekatan. Gerakan gergaji naik turun

sepanjang sisi gigi menyebabkan plak yang

menempel pada bagian tersebut dapat dibersihkan

terutama bagian interproksimal.8,13

Efektivitas dental floss dalam menghilangkan

plak dipengaruhi oleh waktu dan teknik

penggunaan.9 Beberapa penelitian menunjukkan

penurunan plak yang signifikan terjadi pada

pengguna dental floss secara teratur.14,15 Waktu

penggunaan dental floss yang dianjurkan adalah

sebelum menyikat gigi, karena daerah interdental

yang tidak bisa dicapai oleh sikat gigi akan dapat

dibersihkan dan fluor yang terkandung dalam pasta

gigi yang digunakan pada saat menyikat gigi lebih

mudah mencapai bagian interproksimal sehingga

dapat membantu melindungi permukaan gigi dari

terbentuknya plak.7,8 Dental floss digunakan satu

kali sehari sesuai dengan rekomendasi American

Dental Association (ADA). Penggunaan dental

floss tidak direkomendasikan lebih dari sekali

sehari karena dapat menghilangkan efektivitas dan

dapat menyimpan bakteri didalam mulut.8

Teknik penggunaan merupakan salah satu hal

yang mempengaruhi efektivitas dental floss dalam

mereduksi plak. Terdapat dua teknik penggunaan

dental floss yaitu teknik manual (manual finger

flossing) dengan menggunakan dental floss tanpa

pegangan dan teknik penggunaan dental floss

dengan pegangan. Beberapa penelitian melaporkan

bahwa penggunaan dental floss dengan teknik

manual maupun dental floss dengan menggunakan

pegangan dapat menurunkan skor indeks plak.

Walaupun demikian, teknik penggunaan dental

floss dengan pegangan lebih disukai daripada

teknik manual.16 Dental floss dengan pegangan

khusus dianggap lebih praktis untuk digunakan

karena dapat langsung dimasukkan ke dalam

daerah interproksimal melalui titik kontak.6

Berdasarkan data hasil penelitian, terlihat

bahwa penurunan indeks plak sebesar 1,52 atau

sebesar 77,2%. Penelitian ini sejalan dengan

penelitian Ramona dan Mindra (2006) yang

meneliti 58 orang, terjadi penurunan plak sekitar

58,1% pada sampel yang menyikat gigi disertai

dental floss. Perbedaan hasil yang didapatkan

disebabkan pada penelitian ini responden yang

diteliti merupakan orang-orang yang tidak memiliki

keluhan pada gigi dan mulut (normal). Penurunan

indeks plak yang terjadi pada orang-orang yang

tidak memiliki keluhan (normal) lebih besar, hal ini

disebabkan pada orang-orang yang tidak memiliki

keluhan (normal), penggunaan dental floss sebelum

menyikat gigi mampu mencapai interdental

sulcular area. Hal ini sesuai dengan laporan ADA

yang menyatakan bahwa dengan menggunakan

dental floss dapat membersihkan plak pada bagian

interproksimal hingga lebih dari 50%.7,17

Magfirah : Efektivitas Menyikat Gigi Disertai Dental Floss

Page 63: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

59

Mekanisme penurunan indeks plak yang

terjadi pada penelitian ini merupakan kombinasi

dari hasil tindakan menyikat gigi dan penggunaan

dental floss sebelum menyikat gigi. Menyikat gigi

dapat membersihkan bagian labial, bukal, lingual,

palatal, dan oklusal. Dental floss mampu

membantu membersihkan bagian interproksimal.8,13

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil uji

statistik, menyikat gigi disertai dental floss efektif

dalam menurunkan indeks plak karena penurunan

indeks plak lebih dari 50%. Selain itu, berdasarkan

kriteria Greenee dan Vermillion yang terdiri dari

kriteria baik dengan indeks plak 0-0,6, sedang

dengan indeks plak 0,7-1,8, dan buruk dengan

indeks plak 1,9-3,0, indeks plak menyikat gigi

disertai dental floss termasuk dalam kriteria baik,

sedangkan indeks plak menyikat gigi tanpa disertai

dental floss termasuk dalam kriteria buruk. Hal ini

menunjukkan bahwa dengan menyikat gigi disertai

dental floss terjadi perubahan status kebersihan

mulut dari buruk menjadi baik.5,18 Tindakan

menyikat gigi disertai dental floss merupakan salah

satu pilihan untuk dapat membersihkan plak pada

permukaan gigi secara lebih menyeluruh, sehingga

dapat dijadikan salah satu cara untuk mencegah

terjadinya karies dan penyakit periodontal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anitasari S dan Liliwati. Pengaruh frekuensi

menyikat gigi terhadap tingkat kebersihan

gigi dan mulut siswa-siswi sekolah dasar

negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya

Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.

Majalah Kedokteran Gigi. Dentika Dent J

2005; 38(2):88.

2. Rifki A. Perbedaan efektivitas menyikat gigi

dengan metode roll dan horizontal pada anak

usia 8 dan 10 tahun di Medan. Skripsi.

Medan: Universitas Sumatera Utara. 2010.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Laporan hasil riset kesehatan dasar

provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007.

Jakarta: Balitbang Kesehatan Depkes RI.

2009. Hal: 116-125.

4. Carranza FA, MG Newman and HH Takei.

Clinical periodontology. 9th Ed.

Philadelphia:WB Saunders Company.

2002.p.110-112.

5. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjanah N.

Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan

jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2008.

Hal: 56-77.

6. Slot DE, Dorfer CE and Van der W. The

efficacy of interdental brushes on plaque and

parameters of periodontal inflammation: a

systematic review. Int J Hygiene 6, 2008;

254.

7. Avram R and Badea ME. Efficacy of using

dental floss to improve oral hygiene and

gingival status. OHDMBSC 2006; 5(4): 3-6.

8. American Dental Association. Floss & other

interdental cleaners. Available from URL;

http://www.ada.org/1318.aspx Accessed on

Februari 2013.

9. Sarner B. On approximal caries prevention

using fluoridated toothpicks, dental floss and

interdental brushes. Thesis. Sweden:

Department of Cariology Institute of

Odontology at Sahlgrenska Academy

University of Gothenburg. 2008.

10. Darwita RR, Novrinda H, Budiharto, Pratiwi

PD, Amalia R dan Asri SR. Efektivitas

program sikat gigi bersama terhadap risiko

karies pada murid sekolah dasar. J Indon Med

Assoc 2011; 61(5): 204-209.

11. Eley BM and JD Manson. Periodontics. 5th

Ed. UK : Elsevier. Ltd. 2004.p.138.

12. Sambunjak D, Nickerson JW, Poklepovic T,

Johnson TM, Imai P, Tugwell P and

Worthington HV. Weak, unreliabl evidence

suggests flossing floss toothbrushing may be

associated with a small reduction in plaque.

Evidence-Based Dentistry 2012; (13): 5-6.

13. American Dental Association. How to Floss.

Available from URL;

http://www.ada.org/sections/publicResources/

pdfs/watch_materials_floss.pdf Accessed on

Februari 2013.

14. Mohammed AH and Al-Bahadli BDS. Effect

of super dental floss on oral hygiene in

patient with fixed orthodontic appliances. J

Bagh College Dentistry 2011; 23(3).

15. Genovesi A, Antonio B, Chiara L and Ugo C.

Experimentation in plaque control in the

interproximal space using dental floss. Trial

Report. Genoa: Genoa University.2004.p.1-5.

16. Hiremath. Textbook of preventive and

community dentistry. India: Elsavier.

2007.p.128.

17. Asadoorian J. Flossing. Canadian Journal of

Dental Hygiene 2006; 40(3): 2.

18. Asadoorian J. CDHA position paper on tooth

brushing. Canadian Journal Of Dental

Hygiene 2006; 40(5): 232-248.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 56 - 59

Page 64: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

60

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR KELOPAK BUNGA ROSELLA

(Hibiscus sabdariffa L.) TERHADAP PERTUMBUHAN

Streptococcusmutans IN VITRO

Achmad Riwandy, Didit Aspriyanto, Lia Yulia Budiarti

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Dental caries is an infectious disease that localized attack the hard tissues of the oral

cavity that are dental, and involving Gram-positive bacteria, namely Streptococcus mutans. Water extract of

Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals has antibacterial power against gram-positive bacteria, namely

Staphylococcus aureus and Streptococcus pyogenes. Purpose:This study aims to determine whether there was

antibacterial activity of water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals against Streptococcus

mutans bacteria. Methods:This study was an experimental study with 11 treatment groups of water extract of

Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals (concentration with 1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%,

40%, 45% and 50%); negative control; and positive control (Tetracycline hydrochloride 25 mg/ml). Each

treatment was done with 5 times repetition. Testing of antibacterial activity used the diffusion method by

measuring the inhibition zone around the growth of Streptococcus mutans on Muller Hinton media. Data were

analysed using One-Way ANOVA 95% (α = 0.05)continued with LSD.Result: LSD test results showed that the

water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals had antibacterial activity to Streptococcus

mutans. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) on 1% concentration and hadeffective inhibitory

concentration on 15 % concentration. Conclusion: There was an antibacterial activity of the water extract of

Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower petals against Streptococcus mutans bacteria that caused caries in vitro.

Keywords: Antibacterial, Tetracycline Hydrochloride, water extract of Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) flower

petals, diffusion method,Streptococcus mutans

ABSTRAK

Latar belakang: Karies gigi merupakan penyakit infeksi terlokalisir yang menyerang jaringan keras

rongga mulut yaitu gigi, dan melibatkan bakteri Gram Positif yaitu Streptococcus mutans. Ekstrak air kelopak

bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai daya antibakteri terhadap bakteri gram positif

yaituStaphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

aktivitas antibakteri ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap bakteri Streptococcus

mutans.Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental terdiri dari 11 kelompok perlakuan yaitu kelompok ekstrak

air kelopak bunga Rosella (konsentrasi 1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45% dan 50%);

kontrol negatif; dan kontrol positif (Tetrasiklin hidroklorida25 µg/ml). Masing-masingperlakuan dilakukan 5

kali pengulangan. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi dengan mengukur zona hambat

disekitar pertumbuhan Streptococcus mutans pada media Muller Hinton. Data dianalisis menggunakan One-Way

Anova 95% (α = 0,05) dilanjutkan dengan LSD. Hasil: Berdasarkan uji LSD didapatkan bahwa ekstrak

airkelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap Streptococcus mutans.

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) sebesar 1% dan konsentrasi efektifnya terdapat pada konsentrasi ekstrak

airkelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) 15%.Kesimpulan: Ekstrak airkelopak bunga Rosella

(Hibiscus sabdariffa L.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri penyebab karies Streptococcus mutans in

vitro.

Laporan Penelitian

Page 65: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

61

Kata-kata kunci: Antibakteri, tetrasiklin hidroklorida, ekstrak airkelopak bunga Rosella(Hibiscus sabdariffa L.),

metode difusi,Streptococcus mutans

Korespondensi: Achmad Riwandy, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas KedokteranUniversitas Lambung

Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Masalah kesehatan gigi yang umum terjadi di

Indonesia adalah karies gigi. Berdasarkan hasil

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

Departemen Kesehatan RI tahun 2004, prevalensi

karies gigi mencapai 90,05%.Indeks karies

Kalimantan Selatan mencapai 6,83%.1Karies gigi

merupakan penyakit gigi terlokalisir yang merusak

jaringan keras gigi, terbentuk dari akumulasi plak

pada permukaan gigi dan aktifitas biomekanis

kumpulan mikro kompleks. Streptococcus mutans

(S. mutans) merupakan salah satu bakterigram

positif patogen penyebab karies yang menyebabkan

korosi pada email gigi.2Penelitian Keyes dan

Fitzsgerald tahun 1960 pada binatang bebas kuman

memperlihatkan bahwa plak yang didominasi oleh

kuman S.mutans dan Lactobacillus menyebabkan

terbentuknya karies.Streptococcus mutans akan

mengubah karbohidrat yang dikonsumsi dan terurai

menjadi sukrosa yang merupakan media terbaik

bagi tumbuh kembang bakteri tersebut.

Streptococcus mutans mempunyai kemampuan

memetabolisme sukrosa menjadi asam, yang dapat

mengakibatkan demineralisasi email sehingga dapat

menyebabkan awal terjadinya karies gigi.3

Pertumbuhan Streptococcus mutans harus

dihambat agar tidak menjadi patogen dan

menyebabkan karies dengan pemberian bahan

antibakteri.4 Pencegahan karies sangat penting

dilakukan sejak masa anak-anak.5Salah satu cara

pencegahan karies adalah mengusahakan agar

pembentukan plak pada permukaan gigi dapat

dibatasibaik dengan cara mencegah

pembentukannya atau dengan pembersihan plak

secara teratur. Pengendalian plak dapat dilakukan

dengan cara pembersihan plak secara mekanis dan

kimia yang mengandung bahan anti kuman dan

dapat menekan pertumbuhan S. mutans.3

Telah banyak dilakukan penelitian dengan

memanfaatkan bahan alam yang bertujuan untuk

menghasilkan obat-obatan dalam upaya mendukung

program pelayanan kesehatan gigi, khususnya

untuk mencegah dan mengatasi penyakit karies

gigi. Kembalinya perhatian ke bahan alam (back to

nature), dianggap sebagai hal yang sangat

bermanfaat karena selain sejak dahulu masyarakat

telah percaya bahwa bahan alam mampu mengobati

berbagai macam penyakit, pemanfaatan bahan alam

yang digunakan sebagai obat juga jarang

menimbulkan efek samping yang merugikan

dibandingkan obat yang terbuat dari bahan sintetis.6

Salah satu bahan alam yang banyak

dikonsumsi masyarakat adalah kelopak bunga

rosella (Hibiscus sabdariffa L.). Penggunaan

kelopak bunga rosella di masyarakat yaitu sebagai

sediaan teh dengan cara diseduh dengan air

panas.Manfaat air seduhan kelopak Bunga Rosella

antara lain sebagai diuretik (melancarkan air seni),

memperlancar buang air besar (menstimulasi gerak

peristaltik), juga dapatmenurunkan panas dan

sebagai antibakteri.7

Bunga rossela memiliki beberapa kandungan

antibakteri terhadap bakteri penyebab plak.7

Kandungan kimia kelopak bunga rosella terdiri dari

asam organik, senyawa fenol, flavonoid dan

antosianin.1Zat-zat tersebut mempunyai aktivitas

antibakteri terhadap bakteri gram positif dan gram

negatif.8Hasil penelitian Limyati dan Soegianto

(2008) menyebutkan bahwa sediaan ekstrak air

kelopak bunga rosella pada konsentrasi 10%

dengan metode difusimampu menghambat bakteri

gram positif Staphylococcus aureus dan

Streptococcus pyogenes.9

Belum ada informasi mengenai khasiat

tanaman obat ini sebagai antibakteri terhadap

Streptoccocus mutans. Pada penelitian ini akan

diteliti aktivitas antibakteri ekstrak air kelopak

bunga rosella secara invitro sebagai antibakteri

terhadap Streptococcus mutans. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas

antibakteri ekstrakair kelopak bunga rosella

terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus

mutans.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan rancangan acak

lengkap yang terdiri dari 13 perlakuan (11

konsentrasi ekstrak air kelopak bunga Rosella yaitu

1%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40%,

45%, 50%; Tetrasiklin hidroklorida (25µg/ml)

sebagai kontrol (+); dan air suling steril (akuades)

sebagai kontrol (-). Masing-masing perlakuan

dilakukan 5 kali pengulangan.Alat-alat penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan

pentri, tabung reaksi (Pyrex, Jerman), ose bulat,

autoclave (All American, America), inkubator

anaerob (Carbolite, United Kingdom), gelas erlen-

meyer (Iwaki, Jerman), pipet tetes, caliper, kapas

lidi steril, neraca analitik, kertas saring, rak tabung

reaksi, cotton bud steril, rotary evaporator,

waterbath, aluminium foil 1 gulungan, tisu, alat

pengaduk, dan meja laminary flow. Alat-alat yang

diperlukan dicuci bersih kemudian disterilisasi

dengan autoclave yang dipanaskan sampai suhu

121oC selama 15 menit.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 60 - 64

Page 66: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

62

Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah ekstrak air kelopak bunga

rosella (Hibiscus sabdariffa. L) 1%, 5%, 10%, 15%,

20%, 25%, 30%, 35%, 40%, 45%, 50%, Tetrasiklin

hidroklorida (25 µg/ml), isolat Streptococcus

mutans, media nutrienagar, media agar Muller

Hinton (MH), akuades steril, media Brain Heart

Infusion (BHI), paper disc kosong, dan larutan

standar Mc Farland I sebesar 3.108 CFU/ml.

Kelopak bunga rosella kering dibuat serbuk,

ditimbang ± 100 gram, ditambah 300 ml air 75oC

dan dikocok selama 1 jam, kemudian disaring

dengan kertas saring dan filtrat diambil. Residu

ditambah lagi 300 ml air 75oC dan dikocok selama

1 jam, kemudian filtratnya diambil. Filtrat pertama

dan kedua dicampur, dipekatkan dengan rotary

evaporationdengan suhu 100oC sampai

memperoleh ekstrak yang kental.Suspensi bakteri

yang telah distandarkan dengan Mc Farland I

sebesar 3x108 CFU/ml diambil dengan kapas lidi

steril dioleskan pada media agar Muller Hinton,

kemudian diletakan paper disc(kertas samir) yang

telah direndam ke dalam perlakuan. Selanjutnya

media pengujian diinkubasi pada suhu 37oC selama

24 jam. Pembacaan hasil dilakukan dengan

mengukur zona radikal pertumbuhan bakteri

dengan caliper.

Data yang didapat dari penelitian ini

dikumpulkan berdasarkan pengamatan mengenai

hasil pengukuran zona hambat pertumbuhan bakteri

setelah pemberian ekstrak air kelopak bunga

Rosella berbagai. Data kemudian dievaluasi secara

statistik dengan melakukanuji normalitas

Kolmogorov-Smirnovdan homogenitas varians

dengan Levene’s test. Selanjutnya, dilakukan

analisis parametrik dengan One-Way Anova 95% (α

= 0,05) dan dilanjutkan dengan uji LSD.

HASIL PENELITIAN

Hasil pengukuran zona hambat dari masing-

masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram Hasil Pengukuran Zona Hambat

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air

Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus

Sabdariffa L.) terhadap Pertumbuhan

Streptococcus mutansIn Vitro

Hasil pengujian menunjukkan bahwa

konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35%,

40%, 45%, dan 50% ekstrak air kelopak bunga

Rosella memiliki aktivitas antibakteri terhadap

pertumbuhan Streptococcus mutans. Aktivitas

penghambatan ini ditunjukkan dengan adanya zona

hambat di sekitar cakram kertas. Gambar 1

menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi

perlakuan dapat meningkatkan sensitivitas

Streptococcus mutans, yang ditunjukkan dengan

bertambahnya diameter zona hambat. Menurut

Pratama, zona bening di sekitar paper disc

menunjukkan adanya aktivitas antibakteri. Luas

zona bening sangat dipengaruhi oleh daya

antibakteri fraksi tersebut.Hasil uji homogenitas

didapatkan nilai p=0,187 (p>0,05), yang

menyatakan bahwa sebaran datapenelitian

homogen. Hasil uji normalitas diperoleh nilai

p>0,05, yang menunjukan bahwa distribusi data

normal.

Hasil analisis statistik dengan uji One-Way

Anova dari 13 perlakuan didapatkan nilai p=0,000

(p<0,05), berarti terdapat perbedaan bermakna pada

masing-masingkelompok perlakuan. Hal ini

memperlihatkan bahwa ekstrak air kelopak bunga

Rosella dapat menghambat pertumbuhan

Streptococcus mutans secara in vitro.Berdasarkan

hasil uji LSD dapat diketahui bahwa zona hambat

Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (EAKBR) pada

konsentrasi 1%, 5% dan 10% tidak berbeda

bermakna secara statistik, konsentrasi 20% dengan

25% tidak berbeda bermakna secara statistik,

konsentrasi 25% dengan konsentrasi 20% dan 30%

tidak berbeda bermakna secara statistik, dan juga

konsentrasi 30% terhadap konsentrasi 20% dan

35% tidak berbeda bermakna secara statistik.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa

ekstrak air kelopak bunga Rosella dapat

menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans

secara in vitro. Zat aktif yang terkandung dalam

ekstrak air bunga Rosella pada berbagai konsentrasi

dapat menghasilkan efek antibakteri. Hal ini

disebabkan pelarut air dalam penelitian ini

berfungsi melarutkan zat aktif dalam kelopak bunga

Rosella yang berupa flavonoid dan antosianin. Zat

aktif antosianin yang menyebabkan warna merah

pada tanaman ini mengandung delfinidin-3-

siloglukosida, delfinidin-3-glukosida, sianidin-3-

siloglukosida, sedangkan flavonoidnya

mengandung gosipetin dan mucilago

(rhamnogalakturonan, arabinogalaktan,

arabinan).11

Menurut Somaatmadja (1963), antosianin

dapat menginhibisi oksidasi glukosa dan mengikat

zat besi yang dibutuhkan oleh bakteri sehingga

menghambat metabolisme bakteri.4 Mekanisme

antibakteri bekerja dengan mengganggu proses

0 1 25 7 8 9 11 13 15

18

6

005

101520

1%

5%

10

%

15

%

20

%

25

%

30

%

35

%

40

%

45

%

50

%

TCX

(+)

Aq

(-)

Rer

ata

Zon

a H

amb

at

Perlakuan

Riwandy : Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella

Page 67: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

63

respirasi sel, menghambat aktivitas enzim bakteri,

menekan terjemahan dari regulasi produk gen

tertentu, dan menghalangi sintesis normal dinding

sel bakteri. Sintesis yang tidak normal

menyebabkan tekanan osmotik dalam sel bakteri

lebih tinggi daripada di luar sel, maka terjadi

kerusakan dinding sel bakteri yang akan

menyebabkan kebocoran sel bakteri.12Flavonoid

dalam tumbuhan Rosella memiliki gugus hidroksil

yang dapat menyebabkan perubahan komponen

organik dan transpor nutrisi yang akan

mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap

bakteri.6Tetrasiklin hidrokloridayang digunakan

sebagai kontrol positif dalam penelitian ini

memiliki diameter rerata zona hambat 6 mm (< 14

mm). Hal ini menunjukan bahwa aktivitas

antibakteri Tetrasiklin hidroklorida terhadap bakteri

Streptococcus mutans dalam penelitian ini bersifat

resisten.10

PenelitianLimyati dan Soegianto (2008),

menyebutkan bahwa sediaan ekstrak air kelopak

bunga Rosella dengan metode difusi terhadap

bakteri gram positif Staphylococcus aureus pada

konsentrasi 30% lebih besar dari zona hambat

Ampisilin (20 µg/ml),pada konsentrasi yang sama

terhadap bakteri Streptococcus pyogenes

memperlihatkan zona hambat lebih

kecildibandingkan dengan Ampisilin (20

µg/ml).13Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa

aktivitas antibakteri terendah dihasilkan oleh

perlakuan ekstrak air 10% terhadap Streptococcus

pyogenes dengan zona hambat sebesar 7,79 mm.14

Zona hambat dari masing-masing perlakuan

pada penelitian Limyati dan Soegianto (2008)

relatif berbeda dengan hasil penelitian ini.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air

kelopak bunga Rosella sebagai antibakteri terhadap

Streptococcus mutans memiliki Kadar Hambat

Minimum (KHM) sebesar 5%. Hal ini ditunjukan

dengan zona hambat rata-rata berdiameter 1 mm

dan tidak ada lagi konsentrasi dibawah kadar

hambat minimum yang menunjukkan daya hambat

terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans.

Konsentrasi efektif terdapat pada konsentrasi

ekstrak air Rosella 45% dan 50% yang memiliki

diameter sama dengan daya hambat Tetrasiklin

hidroklorida yang berukuran antara 15-18 mm

sesuai standar CLSI 2011.

Dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak air

kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)

mempunyai efek antibakteri terhadap bakteri

penyebab karies (Streptococcus mutans) in

vitro.Ekstrak inimemiliki Konsentrasi Hambat

Minimum (KHM) sebesar 5% dan konsentrasi

efektifnya terdapat pada konsentrasi ekstrak air

Rosella 45% dan 50%. Diharapkan dilakukan

penelitian lanjut mengenai efektivitas antibakteri

ekstrak air kelopak bunga Rosella (Hibiscus

sabdariffa L.) terhadap Streptococcus mutans in

vivo.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hendrickson DA. Wound Care Management

for The Equine Practitioner. New York:

Teton New Media 2005; 34.

2. Agustina A, Tjahajani A, Auerkari E.

Pengaruh Pasta Gigi Mengandung Xylitol

terhadap Pertumbuhan Streptococcus mutans

Serotip C In Vitro. J Dent 2007; 14 (3): 204-

205.

3. Pratiwi R. Perbedaan Daya Hambat

Terhadap Streptococcus mutans dari

Beberapa Pasta Gigi yang Mengandung

Herbal. (online),

(http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrack/

MKG%2038%202%202005%20;%20Rini%

20;%20Perbedaan%202.pdf), diakses

28Februari 2013.

4. RhodesPL. Antimicrobial Factor from

Grapes. University of Auckland 2004;

(online),

(http://researchspace.auckland.ac.nz/bitstrea

m/2292/335/8/01front.pdf), diakses 21

Oktober 13.

5. Dewo AT, Sutadi H, Suharsini M. Koloni

Streptococcus mutansdalam Saliva Anak

yang Menggunakan Pasta Gigi Daun Sirih

dan Pasta Gigi Siwak. J PDGI 2007; 182.

6. Sabir A. Aktifitas Antibakteri Flavanoid

Propolis Trigona sp terhadap Bakteri

Streptococcus mutans (In Vitro). Dent J

2005; 38 (3): 135.

7. Maryani H. Khasiat dan Manfaat Rosella.

Jakarta: Agromedia Pustaka 2005; 3-33.

8. Sasmita IS, Pertiwi ASP, Halim M.

Gambaran Efek Pasta Gigi yang

Mengandung Herbal terhadap Penurunan

Indeks Plak. J PDGI 2007; 37.

9. Limyati D, Soegianto L. Aktivitas

Antibakteri Ekstrak Kelopak Rosella

(Hibiscus sabdariffa L.) terhadap

Staphylococcus aureus dan Streptococcus

pyogenes. Jurnal Obat Bahan Alam 2008;

7(1): 47-53.

10. Rosyidah K, Nurmuhaimina SA, Komari N,

dan Astuti MD. Aktivitas Antibakteri Fraksi

Saponin dari Kulit Batang Tumbuhan

Kasturi (Mangifera casturi). Banjarbaru:

FMIPA UNLAM 2010; 4-6.

11. Larasati L. Pengaruh Pemberian Seduhan

Kelopak Rosella (Hibiscus Sabdariffa L.)

Dosis Bertingkat Selama 30 Hari Terhadap

Gambaran Histologik Gaster Tikus Wistar.

Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro. 2010.

12. Rostinawati T. Aktivitas Antibakteri Ekstrak

Etanol Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa

L.) terhadap Escherichia coli, Salmonella

typhi dan Staphylococcus aureus dengan

Metode Difusi Agar. Skripsi. Jatinangor:

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 60 - 64

Page 68: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

64

Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.

2009.

13. Cawson EW, Odell. “Dental Caries” in

Cawson’s Essential of Oral Pathology and

Oral Medicine. 8th Ed. Philadelphia:

Churchill Livingstone Elsevier 2008; 40-59.

14. Fani MM, Kohanteb J, Dayaghhi M.

Inhibitory Activity of Garlic (Allium

sativum) Extract On Multidrug-Resistant

Streptococcus mutans. J Indian soc Pedod

Prevent Dent 2007; 164.

Riwandy : Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella

Page 69: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

65

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

EFEK PENYEMPROTAN DESINFEKTAN LARUTAN DAUN SIRIH 80%

TERHADAP STABILITAS DIMENSI CETAKAN ALGINAT

Nisa Yanuarti Hasanah, I Wayan Arya, Priyawan Rachmadi

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background : Alginate is often use as an impression material and could be a transmission’s agent of

infection to dentist and dental technicians. Prevention of infection’s transmission to dental impressions,

disinfected by spray techniques Of Piper betle L. 80% solution for alginate impression. Purpose : This research

was to determine effects of spraying disinfectant Piper betle L. 80% solution of the change in the dimensional

stability of alginate impression on model. Methods : The experimental research study with a pretest-posttest

only with control design. Samples were 60 divided into 6 groups, 3 group without spraying and 3 treatment

groups spraying disinfectant Piper betle L. 80% solution for 5,10 and 15 minutes, each group of 10 impression.

Mould and disinfected with Piper betle L. 80% solution using spray techniques Impressions were cast in dental

stone and the cylinders’ diameters were measured with a caliper. The results were normality tested by Shapiro-

wilk and then homogeneity tested with the Levene’s test.The data were analyzed using Independent Sample T-

Test. Result : There was not statistic significant change in dimensions between 2 treatments, the mould without

spray and with Piper betle L. 80% solution using spray techniques for 5,10 and 15 minutes. Conclusion : The

conclusion of this research was disinfectant Piper betle L. 80% solution spray technique did notcause

dimensional stability changes in alginate impression.

Keywords : Disinfection, alginate impression, Piper betle L. solution, spraying techniques, dimensional stability

ABSTRAK

Latar Belakang : Alginat sering digunakan sebagai bahan cetak. Hasil cetakan gigi dari mulut pasien

dapat menjadi media penularan infeksi terhadap dokter gigi maupun teknisi laboratorium.Pencegahan penularan

infeksi dilakukan dengan pemberian disinfektan dengan cara disemprot. Larutan daun sirih 80% dapat digunakan

sebagai disinfektan pada cetakan alginat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penyemprotan

desinfektan dari larutan daun sirih 80% terhadap perubahan stabilitas dimensi cetakan alginat pada model.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pretest-posstest only with control design.

Terdiri dari 60 sampel yang dibagi menjadi 6 kelompok yaitu 3 kelompok kontrol positif (tanpa dilakukan

penyemprotan) dan 3 kelompok perlakuan (dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80% selama 5, 10 dan 15

menit. ), masing-masing kelompok terdiri dari 10 cetakan. Cetakan alginat dicetakkan pada masterdie. Hasil

cetakan didesinfeksi dengan larutan daun sirih 80%, dengan cara disemprot. Cetakan alginat diisi gipsum,

kemudian dilakukan pengukuran diameter silinder menggunakan kaliper, data diuji normalitas dengan Shapiro-

wilk kemudian diuji homogenitas dengan levene’s test. Data penelitian dianalisis menggunakan T-Test tidak

berpasangan. Hasil : Tidak ada perubahan dimensi yang bermakna antara 2 perlakuan, yaitu pada bahan cetak

alginat tanpa penyemprotan dan yang dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80% dengan waktu

penyimpanan masing-masing 5, 10 dan 15 menit. Kesimpulan : Kesimpulan penelitian ini adalah desinfektan

larutan daun sirih 80% dengan teknik penyemprotan tidak menyebabkan perubahan stabilitas dimensi cetakan

alginat.

Kata kunci: Desinfeksi, cetakan alginat, larutan daun sirih, teknik penyemprotan, stabilitas dimensi

Korespondensi: Nisa Yanuarti Hasanah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B Banjarmasin, Kalsel, email: [email protected]

Laporan Penelitian

Page 70: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

66

PENDAHULUAN

Lingkungan kerja dokter gigi terdapat banyak

bakteri pathogen yang dapat menimbulkan

kontaminasi silang terhadap pasien, dokter gigi dan

laboran. Tindakan untuk mencegah terjadinya

hepatitis B, AIDS, dan juga herpes simplex dapat

dimulai di praktek dokter gigi. Salah satu pekerjaan

dibidang kedokteran gigi yang dapat menyebabkan

kontaminasi silang bakteri adalah pengambilan

cetakan rahang. Perlu dilakukannya desinfeksi

segera setelah cetakan dikeluarkan dari mulut .1

Pencetakan rahang sangat menentukan hasil

tahap-tahap pekerjaan pada kedokteran gigi

berikutnya. Pemilihan bahan cetak harus benar

karena mempengaruhi keakuratan dari hasil yang

didapat. Penggunaan bahan hidro koloidireversi

belalginat telah dianjurkan berdasarkan beberapa

faktor seperti bahan digunakan secara luas dalam

praktek kedokteran gigi, kemudahan penanganan

dan manipulasi oleh dukungan personal, dan relatif

murah serta tidak memerlukan peralatan khusus.2,3

Penelitian terdahulu juga memberikan hasil

bahwa penggunaan disinfeksi metode perendaman

oleh natrium hipoklorit 5,25% dan deconex serta

glutaraldehyde 2% tidak disarankan karena

menyebabkan perubahan dimensi pada bahan cetak

alginat. Metode semprot tidak menunjukkan variasi

yang signifikan, sehingga lebih disarankan untuk

mendisinfeksi cetakan alginat.4,5 Penelitian

mengenai teknik penyemprotan pada bahan

disinfektan, menunjukkan aktivitas antimikroba

yang sama dengan teknik perendaman, meskipun

tidak terlalu mempengaruhi stabilitas dimensi dari

cetakan alginat.6

Menurut Intan (2008), infusum sirih dapat

menghambat pertumbuhan E. Coli, Staphylococus

koagulase positif, Salmonela typhosa, bahkan

pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap

antibiotik.8 Penelitian uji fungistatik ekstrak daun

sirih menunjukkan bahwa konsentrasi 20%, 40%,

dan 60% belum dapat mempengaruhi atau

menghambat pertumbuhan massa sel. Sebaliknya

pada konsentrasi 80% dan 100%, ekstrak daun sirih

sudah dapat menghambat pertambahan masa sel

Candida albicans.9

Penelitian Siswomiharjo W (1994) telah

dilakukan perbandingan perubahan dimensi alginat

yang direndam dalam larutan disinfektan air sirih

25%, glutaraldehyde 2%, dan sodium hypochlorite

1%. Perubahan dimensi bahan cetak alginat setelah

direndam 10 menit dalam larutan disinfektan, yaitu

sebesar 0,02 % dengan glutaraldehyde 2%; 0,06%

dengan hypochlorite 1%; dan 0,01% dengan air

sirih 25%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut

didapatkan bahwa hasil perendaman dengan air

sirih 25% terdapat perubahan dimensi terkecil.15

Perubahan dimensi dianalisis sesuai dengan

American National Standards Institute/American

Dental Association (ANSI/ADA) Spesifikasino. 18

bahan cetak tidak boleh menunjukkan perubahan

dimensi lebih dari 0,5 % .10 Tujuan penelitian ini

adalah mengetahui efek penyemprotan desinfektan

dari larutan daun sirih 80% terhadap stabilitas

dimensi cetakan alginat pada model dan menilai

stabilitas dimensi hasil cetakan pada model cetakan

alginat dengan waktu penyimpanan 5, 10, dan 15

menit.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bersifat eksperimental

laboratorik (experimental designs) dengan

rancangan pretest-posttest with control group

design. Sampel berupa model hasil cetakan dari

bahan cetak alginat yang tanpa dilakukan

penyemprotan diisi bahan gips stone dan model

hasil cetakan dari bahan cetak alginat yang

disemprot dengan larutan daun sirih 80% dengan

variasi waktu penyemprotan berbeda, kemudian

diisi dengan gips stone. Jumlah 10 sampel hasil

cetakan alginat tiap kelompok dalam 6 kelompok

perlakuan, yaitu 3 kelompok kontrol (+) dan 3

kelompok perlakuan. Perhitungan besar sampel

untuk setiap perlakuan.Alat-alat yang digunakan

dalam penelitian ini meliputi vibrator, rubber bowl,

spatula, masterdie, kaliper, dan peralatan

pembuatan ekstrak. Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah larutan daun sirih 80%, bahan

cetak alginat, gips stone, dan akuades.

Pembuatan larutan daun sirih 80% yaitu

sampel daun sirih berwarna hijau. Daun sirih segar

800 gram dipotong-potong kemudian direbus ke

dalam 1 Liter air hingga mendidih dan air yang

tersisa 800 ml. Setelah dingin, air yang tersaring

akan menghasilkan air sirih 80%.

Pembuatan cetakan alginat sebagai kontrol

yaitu masing-masing 10 buah sampel sebagai

kontrol sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Bahan cetak alginat dan air dicampur dengan rasio

sesuai petunjuk pabrik di aduk dengan bowl dan

spatula secara ditekan ke tepi bowl dan membentuk

angka 8. Setelah bahan cetak tercampur homogen,

letakkan pada cetak khusus untuk master die,

kemudian dilakukan pencetakan pada master die

sebagai model. Setelah bahan cetak mengeras,

cetakan dilepaskan dari model dan ditunggu dulu

selama 5, 10, dan 15 menit. Masing-masing sampel

dibungkus dengan menggunakan tisu basah sampai

waktu yang ditentukan. Pembuatan cetakan alginat

pada kelompok perlakuan sama seperti kelompok

kontrol, tetapi hasil cetakan di lakukan desinfeksi

dulu, dengan cara tehnik penyemprotan merata

pada seluruh permukaan. Cetakan dibungkus

dengan handuk kertas atau tisu yang telah

dicelupkan dalam larutan desinfektan, dan

dimasukkan segera ke dalam kantung plastik

tertutup selama 5, 10, dan 15 menit.

Setelah proses desinfeksi dengan tehnik

penyemprotan selesai sesuai dengan waktu yang

Hasanah : Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80%

Page 71: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

67

telah ditentukan, hasil cetakan diisi dengan gips

stone. Pengisian gips stone dengan rasio P/W 1:1

ditunggu sampai setting. Dilakukan pengukuran

dengan menggunakan kaliper pada model stone

yang telah diperoleh dari hasil pengisian hasil

cetakan.

HASIL PENELITIAN

Data yang diperoleh dari hasil penelitian yang

dilakukan dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Grafik 1.Hasil Pengukuran Diameter Gypsum dari

Alginat Tanpa Penyemprotan dan yang

Disemprot Larutan Daun Sirih 80% dengan

Waktu Penyimpanan 5menit.

Grafik 2.Hasil Pengukuran Diameter Gypsum dari

Alginat Tanpa Penyemprotan dan yang

Disemprot Larutan Daun Sirih 80% dengan

Waktu Penyimpanan 10 menit.

Grafik 3.Hasil Pengukuran Diameter Gypsum dari

Alginat Tanpa Penyemprotan dan yang

Disemprot Larutan Daun Sirih 80% dengan

Waktu Penyimpanan 15 menit.

Berdasarkan Grafik 1, 2 dan 3 dapat diketahui

bahwa diameter model gypsum hasil cetakan

alginat bervariasi. Rata-rata diameter model

gypsum hasil cetakan alginat air biasa dengan

waktu penyimpanan 5 menit adalah 45,30 mm dan

dengan larutan daun sirih 80% adalah 45,35

mm.Untuk air biasa dengan waktu penyimpanan 10

menit memiliki rata-rata diameter 45,40 mm dan

dengan larutan daun sirih 80% 45,40 mm, untuk

waktu penyimpanan 15 menit air biasa rara-rata

diameter 45,38 mm dan dengan larutan daun sirih

80% sebesar 45,39 mm.

Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk pada

kelompok tanpa penyemprotan dengan waktu

penyimpanan 5 menit adalah 0,30, kelompok yang

dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80%

adalah 0,48. Pada kelompok tanpa penyemprotan

dengan waktu 10 menit adalah 0,65 dan yang

dilakukan penyemprotan larutan daun sirih 80%

adalah 0,06. Kelompok tanpa penyemprotan

dengan waktu penyimpanan selama 15 menit

adalah 0,52 Kelompok yang dilakukan

peyemprotan dengan larutan daun sirih 80%

adalah 0,63 Hasil uji normalitas tersebut

menunjukkan nilai p > 0,05 pada semua kelompok,

artinya data terdistribusi normal. Hasil uji

homogenitas Levene’s Test pada waktu

penyimpanan 5 menit adalah 0,355 dan pada waktu

penyimpanan 10 menit adalah 0,256. Penyimpanan

15 menit menunjukkan nilai sebesar 0,619, hasil

tersebut menunjukkan bahwa varians data yang

homogen karena menunjukkan nilai p> 0,05.

Berdasarkan hasil analisis T-Test tidak

berpasangan pada kelompok penyimpanan 5 menit

diperoleh nilai p = 0,077. Pada kelompok

penyimpanan 10 menit diperoleh nilai p = 0,845.

Pada kelompok penyimpanan 15 menit diperoleh

nilai p = 0,478. Nilai p > 0,05 menunjukkan

stabilitas dimensi bahan cetak alginat antara yang

45,050

45,100

45,150

45,200

45,250

45,300

45,350

45,400

45,450

45,500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Dia

met

er

Sampel ke-

5 Menit Air Biasa 5 Menit Larutan Sirih 80 %

45,250

45,300

45,350

45,400

45,450

45,500

45,550

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Dia

met

er

Sampel ke-

10 Menit Air Biasa

10 Menit Larutan Sirih 80%

45,200

45,250

45,300

45,350

45,400

45,450

45,500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Dia

met

er

Sampel ke-

15 Menit Air Biasa

15 Menit Larutan Sirih 80%

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 65 - 69

Page 72: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

68

dilakukan penyemprotan dan tanpa dilakukan

penyemprotan dengan waktu penyimpanan 5,10

dan 15 menit, yang berarti tidak ada perubahan

yang bermakna.

PEMBAHASAN

Berdasarkan data tersebut larutan daun sirih

80% dapat digunakan sebagai bahan desinfektan

untuk bahan cetak alginat dengan metode

penyemprotan, karena perubahan stabilitas

dimensinya hanya sedikit sehingga perubahannya

tidak bermakna, tetapi pada masing-masing

perlakuan dengan penyimpanan 5, 10 dan 15 menit

tetap terjadi sedikit perubahan dimensi karena

struktur alginat yang terbentuk serat dengan air

yang mengisi ruangan kaliper tersebut.11 Hasil

penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu

karena menggunakan metode penyemprotan tidak

dengan perendaman. Pada penelitian terdahulu

memberikan hasil bahwa penggunaan disinfeksi

metode perendaman oleh natrium hipoklorit 5,25%

dan deconex serta glutaraldehyde 2% tidak

disarankan karena menyebabkan perubahan

dimensi pada bahan cetak alginat.3,12

Desinfeksi cetakan dengan tehnik perendaman

dapat menimbulkan beberapa kerugian, antara lain

dapat menghilangkan beberapa sifat dari cetakan

alginat tersebut seperti keakuratan dimensi,

stabilitas dan wettability.10,6 Tehnik perendaman

cetakan alginat pada larutan desinfektan akan

menyebabkan terjadinya imbibisi karena cetakan

alginat berkontak lebih banyak dengan larutan

desinfektan .6Tehnik penyemprotan lebih

menguntungkan untuk dilakukan, karena tehnik ini

dapat mengurangi terpaparnya cetakan alginat

terhadap larutan desinfektan.10,6 Hal tersebut

merupakan alasan mengapa tidak terjadinya

perubahan stabilitas dimensi alginat setelah

dilakukan desinfeksi dengan larutan daun sirih

80%. Kandungan kavikol dalam larutan daun sirih

tidak berpengaruh terhadap ikatan kalsium alginat,

sehingga kavikol tidak mempengaruhi terhadap

dimensi alginat.6 Kekurangan tehnik penyemprotan

pada penelitian ini adalah kecepatan dan

banyaknya larutan desinfektan yang di semprotkan

ke cetakan tidak sama karena alat semprot yang

digunakan tidak dapat dikendalikan.

Bahan cetak alginat adalah garam dari asam

alginat yang dapat larut seperti Na, K, atau

ammonium alginat. Garam alginat bereaksi dengan

ion Ca dari CaSo4 , sehingga terbentuk Ca alginat

yang tidak larut. Pada pencampuran bubuk dan air

terbentuklah sol, dan alginat, garam kalsium serta

fosfat mulai larut. Hal tersebut sebenarnya tidak

dikehendaki karena bahan seharusnya berubah

menjadi plastis dan bukan elastis. Pembentukan gel

ini dihalangi oleh trisodium sulfat yang bereaksi

dengan kalsium sulfat menghasilkan endapan

kalsium fosfat. Trisodium sulfat habis, maka ion

kalsium akan bereaksi dengan potassium alginat

menghasilkan potassium sulfat dan kalsium alginat

yang bersifat elastis.13

Bahan cetak alginat terdapat kalsium sulfat

dihidrat,ion kalsium, soluble alginat, dan sodium

fosfat terdapat dalam bubuk alginat. Saat air

ditambahkan pada bubuk alginat, ion kalsium dari

kalsium sulfat bereaksi dengan ion fosfat dari

sodium fosfat dan pirofosfat dari kalsium fosfat

yang tidak larut, selanjutnya kalsium fosfat akan

terbentuk lebih dahulu dibandingkan kalsium

alginat, disebabkan karena tingkat kelarutan

kalsium fosfat yang lebih rendah dibandingkan

kalsium alginat. Setelah ion fosfat habis, ion

kalsium akan bereaksi dengan soluble alginate

untuk membentuk kalsium alginat yang tidak larut,

yang selanjutnya akan bersama-sama dengan air

membentuk kalsium alginat gel yang irreversible,

dan kalsium algint tidak dapat berubah menjadi

bentuk sol setelah terjadi pembentukkan gel.13

Menurut Phillips (2003) perubahan stabilitas

dimensi dari bahan cetak hidrokoloid dipengaruhi

oleh proses sinersis dan imbibisi yang diperoleh

dari pemeliharaan dan penanganan bahan cetak,

termasuk juga tehnik desinfektan dari bahan cetak.

Tekanan yang diterima oleh gel pada sendok cetak

saat proses gelasi juga menyebabkan terjadinya

perubahan stabilitas dimensi. Perubahan panas juga

menyebabkan perubahan dimensi, untuk bahan

cetak alginat, cetakan akan mengerut sedikit karena

perbedaan panas antara temperature rongga mulut

(35o C) dan temperature ruangan (23oC), perubahan

yang kecil ini dapat menyebabkan cetakan

mengalami ekspansi dan distorsi.10Adanya

perbedaan dimensi pada tiap sampel disebabkan

berbagai faktor diantaranya adalah adanya

compressed stress yang tidak diimbangi oleh strain

saat melepas sendok cetak yang kurang cepat,

maka stress yang diterima akan lebih besar dari

strain-nya. Hal tersebut dapat mengakibatkan

permanent deformation.14

DAFTAR PUSTAKA

1. American Dental Association. Infection

Control Routine for Dental Office.

URL:http://www.healthmantra.com/hctrust/art

4.shtml. Akses pada 20 Januari 2013

2. John D.J dan Lily T.G. Removable Partial

Dentures, A Clinician’s Guide.

USA:Blackwell Publishing;2009.p.79-94

3. Syafiar, L. Dimensional Stability of Alginate’s

Impression Material After Immersion In

Mixed Disinfectan Solutions. Skripsi. Medan:

Department of Dental Material and

Technology, Faculty of Dentistry University of

Sumatera Utara;2009.p.270-274

4. Rad FH, Ghaffari T and Safavi SH. In vitro

Evaluation of Dimensional Stability of

Alginate Impression After Disinfectan by

Hasanah : Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80%

Page 73: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

69

Spray and Immersion Methods. J Dent Res

Dent Clin Dent Prospect 2010;4(4):130-135

5. Saber FS, Ablfazli N and Kosoltani M. The

Effect of Disinfection by Spray Atomization

on Dimensional Accuracy of Condensation

Silicone Impression. Journal of Dental

research, adental Clinics, Dental Prospects

2010; 4(4):124-129

6. Novitasari RD, Meiarini A and Soekartono

RH. Teknik Desinfeksi Cetakan Alginat

Dengan Infusa Daun Sirih 25% terhadap

Perubahan Dimensi. Material Dental Journal

2013; 4(1):33-38

7. Affandi A. Penulisan Laporan Penelitian untuk

jurnal,Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan dari

Bahan Cetak Elastomer setelah Direndam

kedalam Larutan Daun Sirih 25%. Medan:

Fakultas Kedokteran Gigi USU; 2009.p.1-30.

8. Intan N. Dekok (Air Rebusan) Daun Sirih

(Piper Bitle Linn) Mampu Menghambat

Pertumbuhan Candida albicans. Jurnal sains

UMN 2008;6(5):1-2.

9. Rahmah N dan Rahman A. Uji Fungistatik

Ekstrak Daun Sirih( piper betleL.) Terhadap

Candida albicans. Banjarbaru. Bioscientia

2010;7(4):17-24

10. Anusavice KJ. Buku Ajar Ilmu Bahan

Kedokteran Gigi(Phillips Sciens of Dental

Material). 10th ed. Alih bahasa. Budiman J.A

dan Purwoko S. Jakarta: EGC; 2004.p.93-148

11. Imbery TA, Nehring J, Janus C and Moon PC.

Accuracy and Dimensional Stability of

Extended-pour and Conventional Alginate

Impression Materials. J Am Dent Assoc 2010;

141(1):32-9

12. Hermawan A, Eliyani H dan Tyasningsih W.

Pengaruh Ekstrak Daun Sirih Terhadap

Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan

Escherichia coli dengan Metode Difusi

Disk.Journal Of Aquaculture And Health

2007;7(2)1-7.

13. Febriana M. Bahan Cetak Alginat dan Bahan

Cetak Alginat Plus Pati Ubi Kayu (Analisis

Gambaran Mikroskopik). The International

Symposium on Oral and Dental Sciences :

Proceeding Book. Yogyakarta: Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada;

2013.p.43-50

14. McCabe JF and Walls AWG. Applied Dental

Materials. 1st ed.Oxford. Blackwell Publishing;

2008.p.140-5

15. Siswomiharjo W. Perendaman Dimensi

Cetakan Alginat Setetlah Direndam Dalam Air

Sirih 25%. Jurnal Kedoktran Gigi Indonesia

1994; 43(1):69-71

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 65 - 69

Page 74: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

70

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

DESKRIPSI KASUS TEMPOROMANDIBULAR DISORDER PADA PASIEN

DI RSUD ULIN BANJARMASIN BULAN JUNI – AGUSTUS 2013

Tinjauan Berdasarkan Jenis Kelamin, Etiologi, dan Klasifikasi

Najma Shofi, Cholil, Bayu Indra Sukmana

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background : Temporomandibular disorder (TMD) is a disorder or dysfunction of the temporo-

mandibula joints with different signs and symptoms. Cause of temporomandibular disorder in general because

of functional disorders and structural variants. These disorders may included pain or clicking, and cause jaw

dislocation or locked. Purpose : This research aims to determine the description of temporomandibular disorder

based on gender, etiology, and patients classification who come to the dental poly in RSUD Ulin Banjarmasin.

Methods: This research was a descriptive study with cross sectional approach. Samples has been taken as many

as 100 people with the purposive sampling technique. The data was obtained by clinical examination based

Dysfunction index, each sample was being examined measured Range of motion (ROM) with a ruler, the sound

of the joints was examined using fingers, palpation of the masticatory muscles, palpation of the lateral and

posterior parts of the joints, and jaw was opening movement toward left and right. Results: Data was obtained

that the percentage incidence of TMD based on sex in male by 41% and female patients by 59%, the percentage

was based on the etiology of TMD incidence because of 100% functional impairment and structural

abnormalities at 0%, the percentage incidence suffering from TMD classification by 53% mild, 38% moderated

and weight by 9%. Conclusion : Based on the research has been conducted could be concluded that TMD was

been experiencing more women than in men, which was caused by a functional disorder, and more likely to had

mild TMD.

Keywords: Temporomandibular disorder, Range of motion, Dysfunction index

ABSTRAK

Latar belakang: Temporomandibular disorder (TMD) adalah suatu gangguan atau ketidakberfungsian

sendi temporomandibular dengan tanda dan gejala yang berbeda. Penyebab dari temporomandibular disorder

secara umum karena gangguan fungsional dan kelainan struktural. Gangguan ini dapat berupa rasa nyeri atau

clicking, dan dapat menyebabkan dislokasi atau rahang terkunci. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui deskripsi dari temporomandibular disorder berdasarkan jenis kelamin, etiologi, dan klasifikasi pada

pasien yang datang ke poli gigi di RSUD Ulin Banjarmasin. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil sebanyak 100 orang dengan tehnik purposive

sampling. Data yang diperoleh dengan pemeriksaan klinis berdasarkan Dysfunction index, setiap sampel yang

diperiksa diukur Range of motion (ROM) dengan penggaris, bunyi pada sendi diperiksa menggunakan jari,

palpasi pada otot pengunyahan, palpasi pada bagian lateral dan posterior sendi, dan pergerakan pembukaan

rahang ke arah kiri dan kanan. Hasil : Data yang didapat bahwa persentase insidensi TMD berdasarkan jenis

kelamin pada laki-laki sebesar 41% dan pasien perempuan sebesar 59%, persentase indensi TMD berdasarkan

etiologi karena gangguan fungsional sebesar 100% dan kelainan struktural sebesar 0%, persentase indensi

TMD berdasarkan klasifikasi yang menderita TMD ringan sebesar 53%, TMD sedang 38%, dan TMD berat

sebesar 9%. Kesimpulan : Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa yang

mengalami TMD lebih banyak perempuan dari pada laki-laki, yang disebabkan karena gangguan fungsional,

dan lebih banyak mengalami TMD ringan.

Kata-kata kunci : Temporomandibular disorder, Range of motion, Dysfunction index

Laporan Penelitian

Page 75: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

71

Korespondensi: Najma Shofi, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Mangkurat, Jl.

Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Temporomandibular disorder (TMD) adalah

suatu gangguan sendi rahang yang sering

ditemukan dalam praktek dokter gigi sehari-hari.1

Penyebab gangguan TMD masih belum jelas

diketahui kemungkinannya multifaktoral, karena

gangguan fungsional dan kelainan struktural.

Penyebab terbanyak seperti kehilangan gigi,

kebiasaan buruk (bruxism, mengunyah satu sisi,

bertopang dagu sebelah sisi)2

Sepertiga orang dewasa melaporkan adanya

satu atau lebih tanda-tanda gangguan

temporomandibular joint (TMJ).3 Penderita dengan

gangguan ini akan merasa tidak nyaman walaupun

gangguan ini jarang disertai dengan rasa sakit yang

hebat. Gejalanya dapat berupa rasa nyeri, bunyi

clicking pada sendi mandibula. Beberapa orang

yang memiliki tanda-tanda tersebut banyak yang

tidak menghiraukan. Komplikasi yang dapat terjadi

yaitu dislokasi atau rahang terkunci. Dislokasi

dapat terjadi satu sisi atau dua sisi, dan dapat

bersifat akut, kronis, dan rekuren sehingga

penderita akan mengalami kelemahan yang sifatnya

abnormal dari kapsula pendukung dan ligamen.

Prevalensi secara keseluruhan berkisar 1%-75%.

Prevalensi untuk laki-laki sekitar 3%-10% ,

perempuan 8%-15%. Prevalensi lanjut usia yang

kehilangan banyak gigi 68%.4,5,6

Etiologi gangguan sendi temporomandibula

multifaktoral. Secara umum dibagi menjadi

kelainan struktural dan gangguan fungsional.

Kelainan struktural adalah kelainan yang

disebabkan perubahan struktur persendian akibat

gangguan pertumbuhan, trauma eksternal, dan

infeksi. Gangguan fungsional adalah masalah TMJ

yang timbul akibat fungsi yang menyimpang karena

adanya kelainan pada posisi atau fungsi gigi geligi

dan otot kunyah. Makro trauma adalah tekanan

yang terjadi secara langsung, dapat menyebabkan

perubahan pada bagian discus articularis dan

processus condylaris. Hal ini mengakibatkan

penurunan fungsi pada saat pergerakan, dan pada

gangguan fungsional posisi discus articularis dan

processus condylaris dapat berubah secara

perlahan–lahan yang dapat menimbulkan gejala

clicking.7,8 Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui deskripsi TMD berdasarkan jenis

kelamin, etiologi, dan klasifikasi pada pasien yang

datang ke poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin

periode Juni – Agustus 2013.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian

deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Alat

yang digunakan adalah alat diagnostik, nierbekken,

sarung tangan, masker, penggaris, alat tulis, dan

formulir informed consent. Pengambilan sampel

dilakukan secara purposive sampling 100 orang.

Sampel adalah pasien yang datang ke poli gigi

RSUD Ulin Banjarmasin yang memenuhi kriteria

inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusinya adalah

pasien yang mengalami satu atau lebih dari gejala

TMD sesuai anamnesa dan pasien bersedia

dijadikan sampel. Kriteria ekslusinya adalah pasien

yang mengalami satu atau lebih dari gejala TMD

sesuai anamnesa yang tidak bersedia dijadikan

sampel.

Variabel yang diteliti pada penelitian ini

adalah pasien yang mengalami satu atau lebih

gejala TMD sesuai anamnesa. Penelitian dilakukan

pada pasien yang datang ke RSUD Ulin

banjarmasin. Subjek penelitian dijelaskan tentang

manfaat dan prosedur penelitian yang akan

dilakukan peneliti dan diberikan lembar informed

consent sebagai tanda persetujuan menjadi subyek

penelitian, kemudian dilakukan penilaian tanda

gangguan sendi temporomandibula yang didapat

dari pemeriksaan klinis berdasarkan Dysfunction

index. Pemeriksaan klinis meliputi Range of

motion (ROM) dari sendi temporomandibula

diukur pada pembukaan maksimal rahang, dengan

penggaris, dari tepi bawah gigi insisif yang terletak

tepat di tengah maksila (rahang atas) sampai tepi

atas gigi insisif yang terletak tepat di tengah

mandibula (rahang bawah) pada gigi asli atau pada

gigi tiruan. Bunyi pada sendi temporomandibula

diperiksa dengan jari untuk mendeteksi adanya

bunyi klik atau krepitasi. Bunyi tersebut diperiksa

saat pembukaan rahang dan penutupan rahang, serta

dicatat apakah terdapat satu kali bunyi atau bunyi

yang berulang.

Deviasi didefinisikan sebagai displacement

mandibula dari garis vertikal imajiner saat

mandibula membuka kurang lebih setengah dari

pembukaan maksimal. Garis vertikal imajiner ini

teletak pada garis tengah rahang saat mulut

tertutup. Otot yang dipalpasi adalah musculus

masseter, tendon musculus temporalis, musculus

pterigoideus lateralis, musculus pterigoideus

medialis, dan musculus digastricus pars anterior

dengan menggunakan satu jari. Bagian lateral

sendi temporomandibula dipalpasi extra oral 5

mm dari meatus acusticus externus. Bagian

posterior sendi temporamandibula dipalpasi

dengan jari kelingking di ductus akustikus.

Pergerakan mandibula dilakukan dengan

pembukaan rahang maksimal, pergerakan

rahang ke samping kanan dan kiri dan

pergerakan rahang ke depan. Nyeri yang ada

dicatat. Seluruh poin pada hasil pemeriksaan fisik

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 70 - 73

Page 76: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

72

berdasarkan Dysfunction index (Di) dijumlah dan

diklasifikasikan.

Analisis data yang digunakan pada penelitian

ini menggunakan analisis deskriptif. Dihitung

persentase TMD berdasarkan jenis kelamin,

etiologi, dan klasifikasi

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Data Prosentase TMD Berdasarkan Jenis

Kelamin pada Pasien di Poli Gigi RSUD

Ulin Banjarmasin.

Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui

prosentase TMD berdasarkan jenis kelamin pada

pasien yang datang ke Poli Gigi RSUD Ulin pada

laki-laki sebesar 41 orang atau 41% dan pasien

perempuan sebesar 59 orang atau 59%. Hal ini

menunjukan bahwa insidensi TMD lebih banyak

terjadi pada perempuan dari pada laki-laki.

Gambar 2 Data Prosentase TMD Berdasarkan

Etiologi pada Pasien di Poli Gigi RSUD

Ulin Banjarmasin.

Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui

prosentase TMD berdasarkan etiologi pada pasien

yang datang ke Poli Gigi RSUD Ulin karena

gangguan fungsional sebesar 100% dan kelainan

struktural sebesar 0%.

Gambar 3 Data Prosentase TMD Berdasarkan

Klasifikasi pada Pasien di Poli Gigi

RSUD Ulin Banjarmasin.

Berdasarkan Gambar 3 diketahui prosentase

TMD berdasarkan klasifikasi pada pasien yang

datang ke Poli Gigi RSUD Ulin yang menderita

TMD ringan sebesar 53 orang atau 53%, TMD

sedang 38 orang atau 38%, dan TMD berat sebesar

9 orang atau 9%.

PEMBAHASAN

TMD adalah suatu gangguan atau

ketidakberfungsian sendi temporomandibula

dengan tanda dan gejala berbeda. Gejalanya berupa

gangguan fungsi seperti bunyi pada sendi,

kelelahan atau kekakuan pada rahang, nyeri serta

rahang terkunci. Etiologi gangguan sendi

temporomandibula secara umum dibagi menjadi

kelainan struktural dan gangguan fungsional.2,8

Gambar 1 menunjukan sampel yang

mengalami TMD lebih banyak perempuan sebesar

59% dari pada laki-laki sebesar 41%. Hal ini

kemungkinan disebabkan perempuan lebih mudah

mengalami stres karena keadaan hormonal seperti

estrogen yang dapat meningkatkan stimulasi nyeri.

Menurut Rugh 1976, pasien dengan TMD

memberi respon terhadap tekanan emosi berupa

kenaikan aktivitas m. masseter dan temporalis.

Stres emosional dapat menyebabkan peningkatan

aktifitas otot pada posisi istirahat yang dapat

menimbulkan kelelahan yang berakibat pada

spasme otot. Spasme otot yang terjadi nantinya

akan meningkatkan respon saraf simpatis yang

menyebabkan nyeri pada otot mastikasi. Menurut

Moore 1997, umumnya pada perempuan sekitar

usia 35 tahun dan laki-laki 45 tahun masa tulang

mencapai maksimum. Setelah titik itu, tulang lebih

banyak yang hilang daripada dibentuk, sehingga

perempuan cenderung mengalami osteoporosis.9

Seluruh TMD terjadi karena gangguan

fungsional dan tidak ada TMD yang disebabkan

kelainan struktural. Gangguan fungsional pada

penelitian ini terjadi karena maloklusi gigi (77

orang), karena kelainan otot kunyah / memiliki

kebiasaan mengunyah satu sisi (59 orang), dan

karena kelainan gigi disertai kelainan otot kunyah

41%59%

Laki laki 41%

Perempuan 59%

100%

Gangguan

Fungsional 100%

Kelainan

Struktural 0%

53%38%

9% DiI 53%

(Ringan)

DiII 38%

(Sedang)

DiIII 9%

(Berat)

Shofi : Deskripsi Kasus Temporomandibular Disorder Pada Pasien

Page 77: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

73

(39 orang). Maloklusi dapat mengakibatkan kontak

gigi yang tidak harmonis dan tidak seimbang yang

dapat menyebabkan tekanan tambahan untuk otot

pengunyahan dan kelainan posisi kondilus pada

saat rahang tertutup, akibatnya rahang menjadi

terasa kaku. Pasien yang mengunyah dengan satu

sisi menyebabkan tekanan tambahan untuk otot

pengunyahan dan menyebabkan spasme pada otot

sehingga menyebabkan rasa nyeri dan gangguan

pada sendi. Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian Riana pada tahun 2009, etiologi TMD

paling banyak disebabkan gangguan fungsional dan

70% karena kebiasaan buruk, dari 136 anak yang

diperiksa didapatkan 49 anak TMD dan 36 anak

memiliki kebiasaan mengunyah satu sisi.10

Gambar 5.3 didapatkan hasil Dysfunction

index (Di) yang menderita TMD ringan sebesar

53%, TMD sedang 38%, dan TMD berat sebesar

9%. Sebagian besar penderita TMD ringan

disebabkan banyak yang kehilangan 1 gigi di

posterior sehingga dimensi vertikal tidak hilang

tetapi tetap terjadi penambahan beban yang terus

berlangsung, hal ini mengakibatkan posisi discus

articularis dan processus condylaris berubah secara

perlahan. TMD sedang berkaitan juga dengan

rentan waktu atau lamanya faktor penyebab yang

telah berlangsung, diawali dengan TMD ringan

dengan gejala yang masih ringan jika gejalanya

terus dibiarkan dan faktor penyebabnya tidak

dihilangkan akan terus berlanjut menjadi TMD

sedang bahkan sampai berat. TMD berat paling

sedikit diderita karena faktor usia. Proses penuaan

dapat mengakibatkan kemunduran fungsi tubuh

seperti fungsi TMJ dan karena kehilangan banyak

gigi yang mengakibatkan hilangnya dimensi

vertikal dan terjadi penambahan beban sendi saat

beroklusi.

Hasil dari penelitian ini juga didukung oleh

penelitian dari Ani tahun 2012, dari 150 sampel

yang diteliti dengan menggunakan Dysfunction

index (Di) menunjukan hasil yang bebas TMD

sebesar 10%, TMD ringan sebesar 36,7%, TMD

sedang sebesar 27,3%, TMD berat sebesar

26%.8,11,12

DAFTAR PUSTAKA

1. Gazali M, Alwin K. Dislokasi Mandibula Ke

arah Anterior. Jurnal kedokteran gigi edisi

khusus KOMIT KG. 2004; 120-123.

2. Abubaker O, Kenneth JB. Oral and

Maxillofacial Surgery Secrets. Michigan:

Hanley and Belfus. 2008. Hal.232-245.

3. Buescher JJ. Temporomandibular Joint

Disorder. American family physician. 2007;

76 (10): 1477-1482.

4. Himawan LS, Kusdhany LS, Ariani N.

Tempromandibular Disorders in Elderly

Patients. Med J Indoness. 2007; 16(4): 237-

9.

5. Febby R. Perawatan Hipomobiliti Sendi

Temporomandibula. Skripsi. Medan: FKG

USU. 2010; 35.

6. Nilsson H. Resilient Appliance Therapy of

Temporomandibular Disorders

Subdiagnoses. Swedish Dental Journal.

2010; 28-32.

7. Aryanti S. Penanggulangan Gangguan Sendi

Temporomandibula Akibat Kelainan Oklusi

Secara Konservatif. Skripsi. Medan: FKG

USU. 2009; 15-19

8. Hiltunen K. Temporomandibular Disorders

in The Elderly: A 5 Year Follow-Up of Sign

and Symptoms of TMD. University of

Helsinki. 2004; p.11-32.

9. Asma. Human Bone Tissue Engineering

Using Coral and Differentiated Osteoblasts

From Derived-Mesenchymal Stem Cells.

Skripsi. Penang: Universiti Sains Malaysia.

2008; 31.

10. Laksitowati RH. Frequency of

Temporomandibular Joint Dysfunction With

Clicking Symptom Due To Primary Molar

Premature Loss in Children Aged 6-12 Years

Old. Padjadjaran Journal of Dentistry.

2009;21(1): 51-56.

11. Khasanah A. Pengaruh Gangguan Sendi

Temporomandibula Terhadap Kualitas

Hidup (Terkait Kesehatan Gigi Dan Mulut)

Pada Lansia. Skripsi. Semarang: Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012;

11-14.

12. Wright EF. Manual of Temporomandibular

Disorder. Lowa: Wiley-Blackwell. 2010.

Hal.54-73.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 70 - 73

Page 78: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

74

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

STABILITAS DIMENSI HASIL CETAKAN ALGINAT SETELAH DILAKUKAN

PENYEMPROTAN INFUSA DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%

SEBAGAI DESINFEKTAN

Valdina Najifa Parimata, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Indonesia

ABSTRACT

Background: The risk of cross infection between patients, dentists and technicians is caused when

saliva and blood during process of molding, it can be overcome with disinfection on material impression. Red

Betel Leaves Infuse 50% has the affective disinfectant for the impression material. Some disinfection process

expected can change dimension stability of that material. Purpose: The purpose of study was to determine the

dimention change on the alginate impression result after being sprayed with red betel leaves infuse (Piper

crocatum Ruiz & Pav) 50% for storage period of 5 and 10 minutes. Methods: This laboratory experimental

research method from 6 groups of experimental sample, 2 groups were sprayed with red betel leaves infuse 50%,

2 groups with sodium hypochlorite 0,5% and 2 groups without sprayed. The storage time were 5 and 10 minutes.

Each group were repeated 8 times. Alginate mold was filled with plaster and measured with calipers. Data was

analyzed with One Way Anova. Result: The result showed that the dimension stability of alginate impression

sprayed with red betel leaves infuse 50% had no significant changes. Conclusion: The conclusion there were no

significant changes on the dimension stability of alginate impression after spraying of red betel leaves infuse

(Piper crocatum Ruiz & Pav)50%. Thus, red betel leaves was recommended as one of alternative disinfectants

for alginate impression material.

Keywords: The dimension stability, red betel leaves infuse, alginate, disinfectant.

ABSTRAK

Latar belakang: Risiko infeksi silang antara pasien, dokter gigi, dan teknisi dapat terjadi yang

disebabkan saliva dan darah ketika proses pencetakan rahang, hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan

desinfeksi pada bahan cetak. Pemanfaatan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% yang

mempunyai efektivitas sebagai desinfektan dapat digunakan untuk desinfeksi bahan cetak. Beberapa proses

desinfeksi diduga dapat mengubah stabilitas dimensi bahan cetak. Tujuan: Untuk mengetahui adanya

perubahan stabilitas dimensi pada hasil cetakan dengan bahan alginat setelah dilakukan penyemprotan dengan

menggunakan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% dengan variasi waktu penyimpanan 5

dan 10 menit. Metode: Penelitian ini bersifat eksperimental dengan 6 kelompok perlakuan yaitu 2 kelompok

yang dilakukan penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%, 2 kelompok

disemprot sodium hipoklorit 0,5% dan 2 kelompok yang tidak dilakukan penyemprotan. Waktu penyimpanan 5

dan 10 menit. Masing-masing dilakukan pengulang 8 kali. Cetakan diisi gips dan diukur menggunakan kaliper.

Data dianalisis menggunakan uji One Way Anova. Hasil: Stabilitas dimensi bahan cetak alginat yang disemprot

infusa daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% tidak terdapat perubahan bermakna. Kesimpulan:

Stabilitas dimensi hasil cetakan alginat setelah dilakukan penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper

crocatum Ruiz & Pav) 50% tidak mengalami perubahan bermakna sehingga dapat dijadikan alternatif

desinfektan pada bahan cetak alginat.

Kata-kata kunci: Stabilitas dimensi, infusa daun sirih merah, alginat, desinfektan.

Korespondensi : Valdina Najifa Parimata, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat. Jalan Veteran Banjarmasin 128 B Kalsel, [email protected]

Laporan Penelitian

Page 79: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

75

PENDAHULUAN

Bahan cetak digunakan untuk membuat

replika atau cetakan dari jaringan keras maupun

jaringan lunak rongga mulut.1 Alginat merupakan

salah satu bahan cetak yang paling sering

digunakan untuk mencetak rongga mulut pasien.

Secara umum alginat digunakan untuk pembuatan

studi model rencana perawatan, monitor perubahan,

serta restorasi gigi tiruan sebagian lepasan.2 Alginat

dipilih sebagai bahan cetak karena harganya murah,

penggunaannya lebih mudah dan hasilnya cukup

detail.3

Terdapat risiko penularan infeksi ke dokter

gigi maupun petugas laboratorium ketika

pencetakan rahang pasien, melalui saliva dan darah

pasien. Beberapa penyebab infeksi penularan yaitu:

Streptococcus dan Staphylococcus species, Bacillus

species, Enterobacter species, virus Hepatitis, virus

Herpes simpleks, dan Human Immunodeficiency

Virus (HIV). Salah satu studi menemukan bahwa

67% dari bahan-bahan yang di kirim dokter gigi ke

laboratorium kedokteran gigi terkontaminasi oleh

bakteri pathogen.4

Kontaminasi bakteri dapat dihindari dengan

desinfeksi pada bahan cetak yang digunakan.4 The

American Dental Association (ADA)

merekomendasikan selama 10 menit perendaman

larutan sodium hipoklorit dengan konsentrasi

0,525% sebagai desinfektan pada bahan cetak

irreversible hydrocolloid atau alginat.5 Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Rad dkk (2010) alginat

yang direndam menggunakan sodium hipoklorit

mengalami perubahan stabilitas dimensi yang

besar, berbeda dengan alginat yang disemprot

sodium hipoklorit yang mengalami perubahan yang

kecil.6 Proses desinfeksi dengan cara penyemprotan

lebih dianjurkan.7

Sodium hipoklorit bersifat bakterisid, tetapi

senyawanya bersifat korosif, mempunyai bau yang

kurang nyaman, dan terasa panas jika terkena

kulit.8 Saat ini banyak bahan herbal yang mulai

digunakan, salah satu tumbuhan yang bersifat

bakterisid dan dapat menjadi desinfektan adalah

daun sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav).

Bahan alami tersebut tidak bersifat korosif dan

tidak mengakibatkan rasa panas pada kulit. Air

rebusan daun sirih merah mengandung antiseptik

atau karvakrol yang bersifat desinfektan dan

antijamur.9 Daun sirih juga terkenal khasiatnya

sebagai disinfektan karena memiliki kandungan

kavikol. Kavikol mempunyai khasiat bakterisid

lima kali lebih kuat dari pada fenol.10 Daun sirih

merah mengandung flavonoid, alkaloid senyawa

polifenolat, saponin, tannin, dan minyak atsiri.

Senyawa-senyawa tersebut diketahui memiliki sifat

antibakteri.9,11 Penelitian yang dilakukan Saraswati

(2012) infusa daun sirih merah mempunyai daya

antibakteri terhadap bakteri Enterococcus faecalis,

konsentrasi bunuh minimum yang didapat adalah

25%.12 Penelitian yang dilakukan Paramita (2010)

efek air rebusan daun sirih merah memiliki efek

antijamur pada konsentrasi 50% terhadap Candida

albicans.13

Penelitian seperti ini pernah dilakukan oleh

Affandi (2009) menggunakan hasil cetakan dari

bahan cetak elastomer yang direndam kedalam

larutan daun sirih 25% yang sebelumnya direbus

diketahui bahwa rata-rata perubahan dimensi

terbesar adalah hasil cetakan yang direndam selama

50 menit dan yang terkecil pada hasil cetakan yang

direndam selama 10 dan 30 menit, daun sirih yang

digunakan adalah daun sirih hijau.14 Penelitian ini

secara umum bertujuan untuk mengetahui adanya

perubahan stabilitas dimensi pada hasil cetakan

dengan bahan alginat setelah dilakukan

penyemprotan menggunakan infusa daun sirih

merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%. Tujuan

khusus dari penelitian ini untuk mengukur stabilitas

dimensi hasil cetakan alginat setelah dilakukan

penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper

crocatum Ruiz & Pav) yang disimpan dalam waktu

5 dan 10 menit.

BAHAN DAN METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode true experimental dengan rancangan

penelitian Post Test-Only with Control Design

menggunakan Simple Random Sampling dengan 6

perlakuan. Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah bahan cetak alginat, infusa daun sirih

merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%, sodium

hipoklorit 0,5%, gips tipe III, dan air. Alat yang

digunakan adalah bowl, spatula, master die sesuai

spesifikasi ADA no.18, kaliper, tisu dan plastik.

Penelitian ini dimulai dengan penentuan kelompok

eksperimen, kemudian dilanjutkan dengan

pemberian intervensi terhadap kelompok yang telah

ditentukan. Jumlah minimal pengulangan untuk

setiap kelompok perlakuan adalah 8 kali.

Pengulangan ditentukan dengan menggunakan

rumus Federer.

Daun sirih merah dipilih yang besar dan

segar. Permukaan daun berwarna hijau tua dan

bagian belakangnya berwarna merah tua. Daun

sirih tersebut kemudian dibersihkan, dicuci

dibawah air mengalir dan dikeringkan. Daun sirih

merah kemudian diiris kecil-kecil dan ditimbang.

Infusa konsentrasi 50% dibuat dengan cara

sebanyak 100g daun sirih merah direbus ke dalam

200ml air, waktu dihitung 15 menit ketika suhu

90°C, sambil sesekali diaduk. Setelah dingin,

lakukan penyaringan. Jika volume berkurang,

ditambahkan air secukupnya melalui ampas hingga

volume menjadi 200ml. Langkah selanjutnya

adalah pembuatan sodium hipoklorit 0,5% dengan

cara mengencerkan sodium hipoklorit 5,25% 10ml

ditambahkan air 90ml.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 74 - 78

Page 80: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

76

Pembuatan 16 cetakan alginat sebagai sampel

kontrol negatif (8 cetakan disimpan selama 5 menit

dan 8 cetakan disimpan selama 10 menit). Bahan

cetak alginat dengan P/W rasio yang sesuai dengan

petunjuk pabrik, diaduk pada rubber bowl sampai

homogen, kemudian dituangkan ke dalam master

die. Setelah bahan cetakan setting sampel

dikeluarkan dari master die, dibilas dengan air dan

dikeringkan. Simpan dalam lingkungan basah

(dibungkus dengan tisu dan dimasukkan ke dalam

kantung plastik) selama 5 dan 10 menit. Dilakukan

pengisian dengan gips tipe III, setelah setting

diukur stabilitas dimensi menggunakan kaliper.

Pembuatan 16 sampel seperti cara di atas

untuk setiap perlakuan hasil cetakan dari bahan

cetak alginat yang disemprot dengan sodium

hipoklorit 0,5% sebagai kontrol positif. Setelah

bahan cetakan setting, sampel dibilas dengan air,

dilakukan penyemprotan selama kurang lebih 15

detik dengan sodium hipoklorit 0,5% secara merata

keseluruh permukaan alginat. Dibungkus dengan

tisu dan diletakkan di dalam kantung plastik selama

5 dan 10 menit, sebelumnya tisu tersebut

dicelupkan dalam sodium hipoklorit 0,5%.

Pembuatan 16 sampel seperti cara sebelumnya

untuk setiap perlakuan hasil cetakan dari bahan

cetak alginat yang disemprot dengan infusa daun

sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50%.

Sampel dibilas dengan air dan dikeringkan.

Dilakukan penyemprotan dengan infusa daun sirih

merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) 50% selama

kurang lebih 15 detik secara merata keseluruh

permukaan alginat. Dibungkus dengan tisu dan

diletakkan di dalam kantung plastik selama 5 dan

10 menit, sebelumnya tisu tersebut dicelupkan

dalam infusa daun sirih merah (Piper crocatum

Ruiz & Pav).

Setelah proses desinfeksi dengan teknik

penyemprotan selesai dengan masing-masing

waktu tertentu, hasil cetakan diisi dengan gips tipe

III. Dilakukan pengukuran dengan menggunakan

kaliper (milimeter) pada model stone yang telah

diperoleh dari hasil pengisian hasil cetakan.

Perubahan dimensi dianalisis sesuai dengan

American National Standards Institute/ American

Dental Association (ANSI/ ADA) spesifikasi no. 18

bahan cetak tidak boleh menunjukkan perubahan

lebih 0,5% dari master die diukur menggunakan

kaliper. Analisis data dilakukan dengan

menggunakan uji One-way Anova. Uji ini termasuk

uji statistik parametrik dengan tingkat kepercayaan

95% (α = 0,05).

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian tentang stabilitas dimensi

hasil cetakan alginat setelah dilakukan

penyemprotan infusa daun sirih merah (Piper

Crocatum Ruiz & Pav) 50% sebagai desinfektan

seperti terlihat pada Gambar 1 :

Gambar 1. Diameter gips dari alginat dengan waktu

penyimpanan 5 menit.

Gambar 2. Diameter gips dari alginat dengan waktu

penyimpanan 10 menit.

Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat

variasi besar diameter model die pada masing-

masing perlakuan pada waktu penyimpanan 5

menit. Hasil pengukuran model die dengan waktu

penyimpanan 5 menit dari kelompok yang tanpa

penyemprotan memiliki rata-rata diameter 45,88 ±

0,03 mm. Kelompok yang disemprotkan sodium

hipoklorit 0,5% memiliki rata-rata 45,88 ± 0,05

mm. Kelompok yang disemprotkan infusa daun

sirih merah 50% memiliki rata-rata 45,89 ± 0,04

mm.

Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat

variasi besar diameter model die pada masing-

masing perlakuan pada waktu penyimpanan 10

menit. Hasil pengukuran model die dengan waktu

penyimpanan 10 menit dari kelompok yang tanpa

penyemprotan memiliki rata-rata diameter 45,87 ±

0,02 mm. Kelompok yang disemprotkan sodium

hipoklorit 0,5% memiliki rata-rata 45,86 ± 0,05

mm. Kelompok yang disemprotkan infusa daun

sirih merah 50% memiliki rata-rata 45,87 ± 0,03

45

45,2

45,4

45,6

45,8

46

1 2 3 4 5 6 7 8

Dia

met

er (

mm

)

Sampel Ke-

tanpa penyemprotan

sodium hipoklorit 0,5%

infusa daun sirih merah 50%

45

45,2

45,4

45,6

45,8

46

1 2 3 4 5 6 7 8

Dia

met

er (

mm

)

Sampel Ke-

tanpa penyemprotan

sodium hipoklorit 0,5%

infusa daun sirih merah 50%

Parimata : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat

Page 81: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

77

mm. Hasil uji One-way Anova pada kelompok

dengan waktu penyimpanan 5 menit p = 0,816,

kelompok dengan waktu penyimpanan 10 menit p

= 0,860 (p > 0,05). Hal ini berarti stabilitas dimensi

bahan cetak alginat yang disemprot infusa daun

sirih merah tidak mengalami perubahan yang

berarti ketiga jenis perlakuan baik selama waktu

penyimpanan 5 menit dan 10 menit, air biasa (tanpa

penyemprotan), sodium hipoklorit 0,5%, dan sirih

merah 50% relatif sama.

PEMBAHASAN

Bahan cetak alginat adalah bahan cetak

hidrokoloid yang pengerasannya terjadi secara

kimia. Bahan dasarnya adalah asam alginat yang

diperoleh dari ganggang laut. Asam alginat tidak

larut dalam air tetapi beberapa garamnya larut dan

asam alginat ini mudah membentuk garam karena

adanya gugus karboksil yang bebas. Bahan cetak

alginat mengandung garam laut dalam air yaitu

sodium alginate, potassium alginate dan triethano-

lamine alginate. Asam alginat adalah polimer linier

dari garam sodium dari anhydro-β-d-mannuronic

acid yang mempunyai berat molekul yang tinggi.

Bahan cetak alginat mengandung banyak cairan,

hal ini sangat mempengaruhi sifat sineresis dan

imbibisi bahan. Apabila hasil cetakan direndam

dalam air, akan terjadi penyerapan air dan cetakan

jadi mengembang, peristiwa ini disebut dengan

imbibisi. Sebaliknya bila hasil cetakan dibiarkan di

udara terbuka, maka cairan dalam alginat akan

menguap sehingga hasil cetakan mengerut yang

disebut sebagai peristiwa sineresis.7 Imbery dkk

(2010) mengatakan bahwa sineresis adalah hasil

dari penyusunan kembali rantai silang polimer

alginat untuk konfigurasi yang lebih stabil,

sehingga terjadi pengeluaran air.15

Bahan cetak alginat mengandung natrium atau

kalium alginat. Pada natrium atau kalium alginat,

kation terikat pada kelompok karboksil untuk

membentuk garam. Bila garam tidak larut dibentuk

melalui reaksi natrium alginat dalam larutan

dengan garam kalsium, ion kalsium akan meng-

gantikan ion natrium dalam 2 molekul berdekatan

untuk membentuk ikatan silang antara 2 molekul.

Dengan berkembangnya reaksi, ikatan silang

kompleks molekuler atau network polimer akan

terbentuk.16

Muzaffar dkk (2011) mengemukakan bahwa

perubahan bahan cetak alginat terjadi setelah bahan

cetak direndam desinfektan. Mereka menyim-

pulkan bahwa adanya penyerapan pada bahan cetak

alginat sehingga menyebabkan terjadinya ekspansi,

dimana pada alginat terdapat ion-ion seperti Na,

SO42-, PO4

3- sebagai potensial osmotik.17 Saito dkk

(1998) juga mengatakan bahwa tekanan osmotik

antara gel alginat dan larutan perendaman menye-

babkan alginat mengalami ekspansi (mengembang)

ketika direndam dengan larutan desinfektan.18

Infusa daun sirih merah 50% yang

mempunyai efek antibakteri digunakan sebagai

desinfektan. Penggunaan sodium hipoklorit dan

infusa daun sirih merah sebagai desinfektan pada

cetakan alginat akan menyebabkan hasil cetakan

berkontak dengan cairan sehingga dapat ber-

pengaruh pada stabilitas dimensi hasil cetakan

alginat. Desinfektan infusa daun sirih merah 50%

dapat diberikan pada hasil cetakan alginat dengan

cara direndam maupun disemprot. Pada teknik

perendaman, cetakan alginat terendam semua

dalam cairan desinfektan, sehingga cairan desin-

fektan banyak yang diabsorbsi. Adanya anyaman-

anyaman pada alginat akan menahan cairan yang

terabsorbsi, sehingga terjadi imbibisi dan

menyebabkan perubahan dimensi.19 Sedangkan,

pada teknik penyemprotan, cairan yang diabsrobsi

lebih sedikit. Imbibisi yang terjadi juga lebih

sedikit sehingga perubahan dimensi cetakan alginat

lebih kecil.16 Penelitian mengenai teknik penyem-

protan pada bahan disinfektan, menunjukkan

aktivitas antimikroba yang sama dengan teknik

perendaman, namun tidak terlalu mempengaruhi

stabilitas dimensi dari cetakan alginat.20

Novitasari dkk (2013) penggunaan kavikol

sebagai desinfektan dalam infusa daun sirih 25%

tidak berpengaruh terhadap ikatan kalsium alginat,

sehingga kavikol tidak mempengaruhi dimensi

alginat. Pengaruh cairan disinfektan terhadap

dimensi cetakan alginat dapat dilihat dengan jelas,

karena alginat memiliki sifat imbibisi. Sifat

imbibisi tersebut erat kaitannya dengan lama waktu

perendaman cetakan alginat saat proses desinfeksi.

Kavikol mempunyai khasiat bakterisid lima kali

lebih kuat dari pada fenol biasa.20 Dalam hal

komposisi larutan desinfektan kandungan fenol

dalam larutan desinfektan tersebut dapat menguap

sehingga berpengaruh terhadap zat antiseptik ini.

Ketika dilakukan desinfeksi cairan desinfektan

tersebut menguap sehingga tidak mempengaruhi

ikatan kalsium alginat dan tidak terjadi absorbsi

cairan oleh alginat. Temperatur ruangan tempat

penelitian yang tidak mampu dikendalikan ketika

melakukan pencetakan dan desinfeksi juga

mungkin menyebabkan perubahan larutan

desinfektan yang digunakan.14

Sodium hipoklorit dapat mengurangi waktu

gelasi yang dapat bereaksi dengan sodium fosfat

dan meminimalkan ketersediaannya untuk

melawan ion kalsium. Sediaan sodium fosfat untuk

bereaksi dengan ion kalsium berkurang sehingga

tidak dapat melakukan ikatan silang alginat dan

kemampuan alginat menyerap air berkurang. Hal

ini mungkin yang mengakibatkan kurang terjadinya

perubahan stabilitas dimensi pada cetakan.

Pengaruh desinfektan terhadap bahan cetak pada

dasarnya tergantung dari jenis dan konsentrasi

desinfektan tersebut.21

Perubahan dimensi terjadi disebabkan struktur

alginat yang berbentuk serat dengan air yang

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 74 - 78

Page 82: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

78

mengisi ruangan kapiler tersebut. Jika terjadi hanya

sedikit perubahan dimensi tampaknya berkaitan

dengan lamanya waktu penyimpanan dan

penyemprotan yang relatif singkat. Kesalahan yang

bersifat random juga dapat menjadi penyebabnya

perubahan stabilitas dimensi, misalnya rasio bubuk

dan air tidak tepat, alginat yang tidak terdukung

alat cetak, besarnya tekanan selama pencetakan,

arah tekanan selama pencetakan atau gerakan

melepas alginat dari cetakannya yang tidak tepat.

Selain itu metode desinfeksi dan kelembaban bahan

cetak juga ikut berpengaruh.15

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,

diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang

bermakna pada cetakan alginat yang dilakukan

penyemprotan infusa daun sirih merah 50%,

penyemprotan sodium hipoklorit 0,5% & tanpa

penyemprotan desinfeksi yang masing-masing

disimpan selama 5 dan 10 menit. Dapat

disimpulkan bahwa pemakaian desinfektan yang

disemprot pada bahan cetak alginat selain mampu

mencegah terjadinya infeksi silang. Bahan ini juga

stabil terhadap bahan cetak sehingga dapat menjadi

salah satu alternatif pilihan untuk desinfeksi bahan

cetak yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gunadi HA, Margo A, Burhan LK,

Suryatenggara F, Setiabudi I. Buku ajar ilmu

geligi tiruan sebagian lepasan. Jilid I. Jakarta:

Hipokrates; 1995. p. 52-77.

2. Powers JM, Sakaguchi RL. Restorative dental

materials. 12th Ed. London: Elsevier; 2007. p.

271-275.

3. Nallaswamy D. Textbook of prosthodontics.

New Delhi: Jaypee Brothers Medical

Publishers; 2003. p. 293-420.

4. Bhat VS, Shetty MS, Shenoy KK. Infection

control in the prosthodontic laboratory. The

Journal of Indian Prosthodontic Society. 2007;

7(2); 62-5.

5. Qamruddin I, Siddiqui AZ, Butt S.

Disinfection of dental impressions: a survey of

private practices and dental universities in

Karachi. Journal of The Pakistan Dental

Association. 2011; 20(1):19-22.

6. Rad FH, Ghaffari T, Safavi SH. In vitro

evaluation of dimensional stability of alginate

impressions after disinfection by spray and

immersion methods. Journal of Dental

Research, Dental Clinics, Dental Prospects.

2010; 4(4): 130-5.

7. Noort VR. Introduction to dental material. 3rd

ed. London: Elsevier; 2007. p.186-207.

8. Mehdipour O, Kleir DJ, Averbach RE.

Anatomy of sodium hypochlorite accidents.

Compendium of Continuing Education in

Dentistry. 2007; 28(10): 1-9.

9. Werdhany IW, Marton A, Setyorini W. Sirih

merah. Yogyakarta: Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian; 2008. p. 2.

10. Parwata OA, Rita WS, Yoga R. Isolasi dan uji

antiradikal bebas minyak atsiri pada daun sirih

(Piper betle Linn) secara spektroskopi ultra

violet-tampak. Jurnal Kimia. 2009; 3(1): 7-13.

11. Juliantina F, Citra MDA, Nirwani B,

Nurmasitoh T, Bowo ET. Manfaat sirih merah

(Piper crocatum) sebagai agen anti bakterial

terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia.

2009; 1(1): 532-543.

12. Saraswati RS. Daya antibakteri infusa daun

sirih merah (Piper crocatum) terhadap bakteri

Enterococcus faecalis (penelitian

eksperimental laboratoris). Skripsi. Surabaya:

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Airlangga; 2012.

13. Paramita AL. Efek air rebusan (dekok) daun

sirih (Piper crocatum Ruiz & Pav) terhadap

pertumbuhan Candida albicans. Tesis.

Malang: Universitas Muhammadiyah Malang;

2010.

14. Affandi A. Stabilitas dimensi hasil cetakan

dari bahan cetak elastomer setelah direndam

kedalam larutan daun sirih 25%. Skripsi.

Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara; 2009. p. 24.

15. Imbery TA, Nehring J, Janus C, Moon PC.

Accuracy and dimensional stability of

extended-pour and conventional alginate

impression material. Journal of the American

Dental Association. 2010; 141(1): 32-9.

16. Anusavice KJ. Phillip’s buku ajar ilmu bahan

kedokteran gigi. Edisi Ke-10. Jakarta: EGC;

2004. p. 94-118.

17. Muzaffar D, Ahsan SH, Afaq A. Dimensional

changes in alginate impression during

immersion in a disinfectant solution. Journal of

the Pakistan Medical Association. 2011; 61:

756-59.

18. Saito S, Ichimaru T, Araki Y. Factors affecting

dimensional instability of alginate impression

during immersion in the fixing and disinfectant

solutions. J Dent Material. 1998; 4: 294-300.

19. Craig RG and Power JM. Restorative Dental

Material. 11th ed. St. Louis: CV Mosby Co;

2002. p. 281.

20. Novitasari RDA, Meizarini A, Soekartono RH.

Teknik disinfeksi cetakan alginat dengan

infusa daun sirih 25% terhadap perubahan

dimensi. Material Dental Journal. 2013; 4(1):

33-38.

21. Amalan A, Ginjupalli K, Upadhya PN.

Evaluation Of properties of irreversible

hydrocolloid impression materials mixed with

disinfectant liquids. Dental Research Journal.

2013; 10(1): 65-73.

Parimata : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat

Page 83: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

79

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

INDEKS KEBERSIHAN RONGGA MULUT PADA ANAK RETARDASI MENTAL

Tinjauan pada Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) C Dharma Wanita Persatuan

Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin

Nadya Nuryati Azzahra, Siti Wasilah, Didit Aspriyanto

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Mental retardation is a term commonly used when the intellectual development of

individuals who are significantly lower than average and resulted in limited adaptability to the environment

which causes health problems. Children with mental retardation because of limitations can not maintain good

oral hygiene. Mentally retarded population has a higher prevalence in terms of poor oral hygiene. Purpose:

This study aims to determine the index of oral hygiene in children with mental retardation in SDLB C Dharma

Wanita Persatuan South Kalimantan in general, by gender, and by age level. Methods: This study used

descriptive observational cross-sectional approach. Research data collection techniques used OHI-S index.

Examination of debris and calculus were performed on certain teeth and on certain surfaces of the teeth which

include dental examinations at the upper and lower jaw. After that, debris scores and calculus scores were

summed to obtain a score of OHIS. Results: The results showed that the index of oral hygiene in children with

mental retardation in SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan in general was

moderate (66.7%). By sex: men were good (57%) and women were moderate (76%). Based on the age level: 8-

11 years age group were moderate (85.7%) and 12-15 years age group were good (50%). Conclusion: It was

concluded that the index of oral hygiene in children with mental retardation in SDLB C Dharma Wanita

Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan in general was moderate.

Keywords: children with mental retardation, oral hygiene index

ABSTRAK

Latar belakang: Retardasi mental adalah istilah umum yang digunakan ketika perkembangan intelektual

individu yang secara signifikan lebih rendah dari rata-rata dan mengakibatkan terbatasnya kemampuan adaptasi

dengan lingkungan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan. Anak retardasi mental karena keterbatasannya

tidak dapat mempertahankan kebersihan mulutnya dengan baik. Populasi retardasi mental memiliki prevalensi

yang lebih tinggi dalam hal oral hygiene yang buruk. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indeks

kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan

Selatan secara umum, berdasarkan jenis kelamin, dan berdasarkan tingkat usia. Metode: Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan data

penelitian menggunakan indeks OHI-S. Pemeriksaan debris dan kalkulus dilakukan pada gigi tertentu dan pada

permukaan tertentu dari gigi yang meliputi pemeriksaan gigi pada rahang atas dan bawah. Setelah itu skor debris

dan skor kalkulus dijumlahkan untuk mendapatkan skor OHIS. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa

indeks kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi

Kalimantan Selatan secara umum adalah sedang (66,7%). Berdasarkan jenis kelamin : laki-laki adalah baik

(57%) dan perempuan adalah sedang (76%). Berdasarkan tingkat usia : kelompok usia 8-11 tahun adalah sedang

(85,7%) dan kelompok usia 12-15 tahun adalah baik (50%). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa indeks

kebersihan rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan

Selatan secara umum adalah sedang.

Kata Kunci: anak retardasi mental, indeks kebersihan rongga mulut

Laporan Penelitian

Page 84: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

80

Korespondensi: Nadya Nuryati Azzahra, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B Banjarmasin, Kalimantan Selatan, email:

[email protected]

PENDAHULUAN

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang

beresiko tinggi atau mempunyai kondisi kronis

secara fisik, perkembangan, perilaku, atau emosi.

Data dari Bank Dunia menunjukkan populasi anak

berkebutuhan khusus di seluruh dunia mencapai

10%. Diperkirakan 85% anak berkebutuhan khusus

di seluruh dunia yang berusia di bawah 15 tahun

terdapat di negara berkembang. Lebih dari dua

pertiga populasi tersebut terdapat di Asia. 1,2

Salah satu contoh kategori anak berkebutuhan

khusus adalah anak tunagrahita atau anak yang

mengalami retardasi mental yang memiliki

intelegensi signifikan berada di bawah rata-rata dan

disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi

perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.

Retardasi mental adalah istilah umum yang

digunakan ketika perkembangan intelektual

individu yang secara signifikan lebih rendah dari

rata-rata dan mengakibatkan terbatasnya

kemampuan adaptasi dengan lingkungan. Populasi

retardasi mental memiliki prevalensi yang lebih

tinggi dalam hal oral hygiene yang buruk. 2,3,4

Anak retardasi mental karena keterbatasannya

tidak dapat mempertahankan kebersihan mulutnya

dengan baik. Buruknya kebersihan mulut dan

tingginya prevalensi penyakit periodontal dan

karies gigi merupakan ciri-ciri umum yang dapat

ditemukan pada penderita retardasi mental.

Kesehatan gigi anak retardasi mental sangat

penting karena anak retardasi mental biasanya

memiliki keterkaitan dengan masalah medis selain

dari kondisi utama mereka, dan masalah gigi atau

rongga mulut yang dapat membahayakan kesehatan

umum mereka. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui indeks kebersihan rongga mulut pada

anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa

C Dharma Wanita Persatuan Provinsii Kalimantan

Selatan Banjarmasin secara umum, berdasarkan

tingkat usia, dan berdasarkan jenis kelamin. 4,5

BAHAN DAN METODE

Metode penelitian ini adalah metode

deskriptif observasional dengan pendekatan cross

sectional. Penelitian ini dilakukan di SDLB C

Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan

Selatan Banjarmasin pada bulan April – Oktober

2013. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%.

Alat yang digunakan adalah lembar pemeriksaan

OHIS, kaca mulut, sonde halfmoon, nier bekken,

kapas, handscoon, dan masker.

Setelah tindakan informed consent, dilakukan

pengukuran indeks OHIS pada anak retardasi

mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan

Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin,

sehingga diperoleh data primer dari hasil

pemeriksaan. Teknik pengukuran OHIS (Simplified

Oral Hygiene Index) yang digunakan adalah OHIS

menurut Greene and Vermillion. Data yang

didapatkan kemudian dideskripsikan menggunakan

tabel dan diagram.

HASIL PENELITIAN

Gambar 1. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan

Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental

di SDLB C Dharma Wanita Persatuan

Provinsi Kalimantan Selatan Secara Umum

Berdasarkan Gambar 1 indeks kebersihan

rongga mulut pada anak retardasi mental di SDLB

C Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan

Selatan secara umum adalah baik (29,1%), sedang

(66,7%), dan buruk (4,2%).

Gambar 2. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan

Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental

di SDLB C Dharma Wanita Persatuan

Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan

Jenis Kelamin (Laki-laki)

29,100%

66,700%

4,200%

Baik

Sedang

Buruk

57%

43%

0%

Baik

Sedang

Buruk

Azzahra : Indeks Kebersihan Rongga Mulut

Page 85: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

81

Gambar 3. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan

Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental

di SDLB C Dharma Wanita Persatuan

Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan

Jenis Kelamin (Perempuan)

Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 3 indeks

kebersihan rongga mulut pada anak retardasi

mental di SDLB C Dharma Wanita Persatuan

Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan jenis

kelamin : laki-laki adalah baik (57%), sedang

(43%), dan buruk (0%) serta anak perempuan

adalah baik (6%), sedang (76%), dan buruk (18%).

Gambar 4. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan

Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental

di SDLB C Dharma Wanita Persatuan

Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan

Tingkat Usia (8-11 Tahun)

Gambar 5. Diagram Lingkaran Indeks Kebersihan

Rongga Mulut pada Anak Retardasi Mental

di SDLB C Dharma Wanita Persatuan

Provinsi Kalimantan Selatan Berdasarkan

Tingkat Usia (12-15 Tahun)

Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5

diketahui bahwa indeks kebersihan rongga mulut

pada anak retardasi mental di SDLB C Dharma

Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan Selatan

berdasarkan tingkat usia : kelompok usia 8-11

tahun adalah baik (14,3%), sedang (85,7%), dan

buruk (0%) serta kelompok usia 12-15 tahun adalah

baik (50%), sedang (40%), dan buruk (10%).

PEMBAHASAN

Rata-rata indeks debris anak retardasi mental

di SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi

Kalimantan Selatan termasuk dalam kategori

sedang. Indeks debris yang cukup tinggi ini

disebabkan oleh kurang aktifnya otot mulut pada

anak retardasi mental untuk mendapatkan

pembersihan secara alamiah pada gigi. Kecepatan

pembersihan sisa makanan atau debris akan

dipengaruhi oleh aksi mekanis dari otot lidah, pipi,

dan bibir. Indeks debris pada anak retardasi mental

cukup tinggi. Indeks kalkulus pada anak retardasi

mental cenderung lebih rendah daripada indeks

debris, yaitu rata-rata termasuk dalam kategori

baik-sedang. Hal ini disebabkan kalkulus jarang

ditemukan pada gigi susu dan tidak sering

ditemukan pada gigi permanen anak usia muda,

karena itu akumulasi kalkulus hampir jarang

ditemukan pada anak retardasi mental. 6,7

Indeks kebersihan rongga mulut pada anak

retardasi mental berdasarkan jenis kelamin diduga

berkaitan dengan faktor hormonal. Anak perem-

puan lebih cepat mengalami pendewasaan dan

sering mengalami gangguan kesetimbangan

hormonal sehingga mudah mengalami gangguan

emosional, stress, dan sering mengonsumsi

makanan dan minuman yang mengandung gula di

antara jam makan. Makanan dan minuman

mengandung gula yang lengket akan memper-

mudah perlekatan debris atau sisa makanan. 8,9

Indeks kebersihan rongga mulut pada anak

retardasi mental berdasarkan tingkat usia diduga

berhubungan dengan teori kognitif menurut Piaget.

Menurut teori Piaget (1952) perkembangan kognitif

anak terjadi dalam empat tahapan. Masing-masing

tahap berhubungan dengan usia dan tersusun dari

jalan pikiran yang berbeda-beda. Tahapan Piaget

itu adalah fase sensorimotor, pra-operasional,

operasional konkret, dan operasional formal.

Kelompok anak usia 8-11 tahun termasuk dalam

tahapan operasional konkret. Pada tahapan

operasional konkret, anak sudah mulai bisa menalar

secara logis tentang kejadian-kejadian nyata dan

mampu mengklasifikasikan suatu objek ke dalam

kelompok yang berbeda-beda. Kemampuan

menggolong-golongkan sudah ada, tetapi si anak

belum bisa memecahkan problem-problem secara

abstrak. Kelompok anak usia 12-15 tahun termasuk

dalam tahapan operasional formal. Pada tahapan

operasional formal, anak remaja berpikir secara

lebih abstrak, idealistis, dan logis. Jadi dari segi

kognitif, anak usia 8-15 tahun sebenarnya sudah

mampu memahami dan bernalar tentang kebersihan

rongga mulut, misalnya seperti menggolongkan

menyikat gigi dua kali dalam sehari tetapi masih

18%

76%

6%

Baik

Sedang

Buruk

14,300%

85,700%

0%

Baik

Sedang

Buruk

50%40%

10%

Baik

Sedang

Buruk

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 79 - 82

Page 86: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

82

tidak bisa memecahkannya atau melakukannya

secara ideal. Pedoman level kebersihan rongga

mulut dengan faktor usia yang biasa digunakan

pada anak normal tidak dapat disamakan dengan

anak retardasi mental. Pada anak normal usia

mentalnya sama atau lebih tinggi dari usia

kronologisnya. Pada anak retardasi mental, usia

mentalnya akan lebih rendah dari usia kronologis-

nya dan ini akan mempengaruhi perkembangan

kemampuan kognitif dan psikomotorik terutama

dalam hal menjaga kebersihan rongga mulut. 9,10

Berdasarkan teori Blum, status kebersihan

rongga mulut seseorang atau masyarakat

dipengaruhi oleh empat faktor penting yaitu

keturunan, lingkungan (fisik maupun sosial

budaya), perilaku, dan pelayanan kesehatan. Dari

keempat faktor tersebut, perilaku memegang

peranan yang penting dalam mempengaruhi status

kebersihan rongga mulut secara langsung.

Berkaitan dengan teori di atas, maka frekuensi

menyikat gigi sebagai bentuk perilaku akan

mempengaruhi baik atau buruknya kebersihan

rongga mulut. 11

Cara terbaik untuk mengeliminasi debris dan

dental plak adalah dengan menyikat gigi dengan

sikat gigi manual ataupun sikat gigi elektrik.

Frekuensi menyikat gigi yang kurang akan

menyebabkan tingginya kemungkinan oral

hyigiene yang buruk. Dari hasil formulir penelitian

diketahui bahwa rata-rata anak retardasi mental di

SDLB C Dharma Wanita Persatuan Provinsi

Kalimantan Selatan menyikat gigi sebanyak 2 kali

dalam sehari sehingga indeks kebersihan rongga

mulutnya tidak buruk. Hal ini sudah sesuai dengan

rekomendasi penyikatan gigi yang optimal yaitu 2

kali dalam sehari. 12,13

Peranan orang tua juga sangat mempengaruhi

dan diperlukan dalam menjaga kebersihan rongga

mulut pada anak retardasi mental. Dari hasil

formulir penelitian diketahui bahwa rata-rata orang

tua anak retardasi mental di SDLB C Dharma

Wanita mengajarkan dan mendampingi saat anak

menyikat gigi. Orang tua harus menanamkan

kedisiplinan dalam menjaga dan membersihkan

rongga mulut mengingat adanya keterbatasan dari

segi kognitif maupun psikomotorik pada anak

retardasi mental. 8,14

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa indeks kebersihan rongga

mulut pada anak retardasi mental di SDLB C

Dharma Wanita Persatuan Provinsi Kalimantan

Selatan secara umum adalah sedang. Berdasarkan

jenis kelamin, indeks kebersihan rongga mulut

pada anak retardasi mental adalah baik untuk jenis

kelamin laki-laki dan sedang untuk jenis kelamin

perempuan. Berdasarkan tingkat usia, indeks

kebersihan rongga mulut pada anak retardasi

mental adalah sedang untuk tingkat usia 8-11 tahun

dan baik untuk kelompok usia 12-15 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chamidah AN. Pendidikan inklusif untuk anak

dengan kebutuhan khusus. Jurnal Pendidikan

Khusus 2010; 7 (2): 1-5.

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Pedoman untuk tenaga kesehatan : Usaha

kesehatan sekolah di tingkat sekolah lanjutan.

Jakarta, 2001.

3. McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dentistry

for the child and adolescent. 8th Edition.

Missouri: Mosby Elsevier, 2004. hal. 540.

4. Salim SA. Retardasi mental, hubungannya

dengan praktek kedokteran gigi anak. Skripsi.

Indonesia. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara. 2006.

5. Al-Qahtani Z, Wyne AH. Caries experience and

oral hygiene status of blind, deaf, and mentally

retarded female children in Riyadh, Saudi

Arabia. Odonto-Stomatologie Tropicale. Saudi

Med Journal 2004; 23 (3): 77-81.

6. Maulani C, Enterprise J. Kiat merawat gigi

anak : Panduan orang tua dalam merawat dan

menjaga kesehatan gigi bagi anak-anaknya.

Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005. hal.

59-60.

7. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu

pencegahan penyakit jaringan keras dan

jaringan pendukung gigi. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC, 2010. hal. 91-97.

8. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang

berisiko karies tinggi. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.)

2005; 38 (3): 130-134.

9. Dewi SRP. Keadaan oral hygiene pada anak

cacat mental berdasarkan tingkat IQ. Skripsi.

Indonesia. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara. 2003

10. Santrock JW. Psikologi pendidikan. Edisi 2.

Jakarta: Kencana, 2007. hal: 46-56.

11. Anitasari S, Rahayu NE. Hubungan frekuensi

menyikat gigi dengan tingkat kebersihan gigi

dan mulut siswa sekolah dasar negeri di

kecamatan Palaran kotamdya Samarinda

provinsi Kalimantan Timur. Maj. Ked. Gigi.

(Dent. J.) 2005; 38 (2): 88-90.

12. Jain M, Mathur A, Sawla L, et al. Oral health

status of mentally disabled subjects in India.

Journal of Oral Sciences 2009; 51 (3): 333-340.

13. Rodelo JJV, Solis CEM, Maupome G, Sanchez

AAV, Rojo LL, Viedas MVPL. Socioeconomic

and sociodemographic variables associated with

oral hygiene status in mexican schoolchildren

aged 6 to 12 years. J Periodontal 2007; 78 (5):

819.

14. Anggraeni A, Soelarso H, Martina L. Research

Report : Peran orang tua/pengasuh terhadap

prevalensi karies molar pertama rahang bawah

permanen pada anak-anak retardasi mental.

Dental Public Health Journal 2010; 2 (2):

Azzahra : Indeks Kebersihan Rongga Mulut

Page 87: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

83

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

STABILITAS DIMENSI HASIL CETAKAN BAHAN CETAK ELASTOMER SETELAH

DISEMPROT MENGGUNAKAN SODIUM HIPOKLORIT

Tommy Agustinus Ongo, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Elastomers often used to make impression. Impression procedures, making blood and

salivary attached to the impression, and could occur cross infection. Disinfect by spraying sodium hypochlorite

0,5% effectively killed microorganisms. Purpose: The purpose of this research was to determine dimension

stability changes that occur on a mold impression elastomer materials after sprayed using sodium hypochlorite

0,5% and mold impression elastomer without sprayed Methods: The method was an pure experimental study

with post test only with control group design, with simple random sampling consisted of 6 groups of treatment, 3

groups impression group elastomer were not sprayed for 5, 10, and 15 minutes as a positive control and

impression sprayed with sodium hypochlorite 0,5% after it left for 5, 10, and 15 minutes before cast filled with

gips stone. The obtain data were analyzed with one way anova test. Results: The results showed that

dimensional stability of each sample measured using digital caliper. Averaged diameter not sprayed 5 minute

45,93 mm, 10 minute 45,92 mm and 15 minute 45,92 mm while diameter sprayed sodium hypochlirte 0,5% 5

minute 46,18 mm, 10 minute 46,31 mm and 15 minutes 46,12 mm Conclusion: The conclusion from this

research showed significantly differences between dimension stability of the mold not sprayed and sprayed

sodium hypochlorite 0,5%.

Keywords: Dimension stability, elastomer, sodium hypoclorite, spray disinfect

ABSTRAK

Latar belakang: Elastomer merupakan bahan yang sering digunakan untuk pencetakan. prosedur

pencetakan ketika dilakukan, darah dan saliva menempel pada hasil cetakan. Melalui bahan cetak tersebut

dapat terjadi infeksi silang. Desinfeksi dengan penyemprotan sodium hypochlorite 0,5% efektif membunuh

bakteri Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui mengetahui perubahan stabilitas dimensi yang terjadi

pada hasil cetakan bahan cetak elastomer setelah disemprot larutan sodium hypochlorite 0,5% dan hasil

cetakan elastomer tanpa penyemprotan. Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni

dengan rancangan penelitian post test only with control group design, menggunakan rancangan acak

sederhana, terdiri dari 6 kelompok perlakuan, yaitu 3 kelompok hasil cetakan elastomer tidak disemprot dengan

waktu 5, 10, dan 15 menit sebagai kontrol positif dan hasil cetakan yang disemprot sodium hypochlorite 0,5%

setelah itu dibiarkan selama 5, 10, dan 15 menit sebelum diisi gips stone. Data hasil penelitian dianalisis

menggunakan uji one way anova. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata ukuran diameter tidak

disemprot 5 menit 45,93 mm, 10 menit 45,92 mm dan 15 menit 45,92 sedangkan yang di semprot sodium

hypochlorite 0,5% 5 menit 46,15 mm, 10 menit 46,31 mm dan 15 menit 46,12 mm. Kesimpulan: Berdasarkan

hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara stabilitas dimensi cetakan

tidak disemprot dan disemprot sodium hypochlorite 0,5%.

Kata kunci: Stabilitas dimensi, elastomer, sodium hypoclorite, desinfeksi semprot

Korespondensi: Tommy Agustinus Ongo, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email: [email protected]

Laporan Penelitian

Page 88: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

84

PENDAHULUAN

Bahan cetak elastomer merupakan bahan yang

sering digunakan di kedokteran gigi untuk

membuat cetakan yang akurat dan mampu

menghasilkan cetakan gigi, jaringan mulut serta

anatomi mulut yang diinginkan serta memiliki

dimensi yang stabil. 1 Elastomer adalah bahan cetak

yang bersifat elastis yang apabila digunakan dan

dikeluarkan dari rongga mulut, akan tetap bersifat

elastis dan fleksibel. Bahan ini diklasifikasikan

sebagai nonaqueous elastomeric impression

material oleh ANSI/ADA spesifikasi No. 19.

Biasanya digunakan untuk mencetak pembuatan

gigi tiruan sebagian lepasan, immediet denture, dan

crown, serta full denture yang diperlukan cetakan

yang akurat dan detail.8

Pada saat prosedur pengambilan cetakan

dilakukan, darah dan saliva akan menempel pada

hasil cetakan hal ini memungkinkan terdapat

berbagai mikroorganisme patogen dari rongga

mulut. Dokter gigi, asisten, dan laboran beresiko

untuk mengalami transmisi mikroorganisme

patogen tersebut yang dapat mengakibatkan

berbagai penyakit infeksi. Berdasarkan anjuran

ADA (American Dental Association),

membersihkan darah dan saliva dari hasil cetakan

menggunakan larutan desinfektan sebelum

dilakukan pengisian gips di laboratorium sangatlah

penting. Infeksi penyakit seperti herpes, hepatitis,

Tuberculosis (TBC), Acquired Immune Deficiency

Syndrome (AIDS) dan lain-lain dapat menular

melalui bahan cetak. Cetakan harus dicuci dengan

air untuk menghapus debris, darah, dan saliva

karena berpotensi untuk infeksi dan penularan

mikroorganisme dari cetakan, sehingga harus

dilakukan desinfektan dengan cara yang sesuai. 1, 2

Desinfeksi dapat dilakukan dengan tindakan

fisik atau kimia. Tindakan fisik seperti dry heat

pada suhu 160° sampai 180°C selama 2 jam dan

wet steam pada suhu 121°C selama 15 menit

(autoclaving) dapat mengakibatkan kenaikan suhu

yang dapat menyebabkan kerusakan dalam cetakan.

Bahan cetak didesinfeksi menggunakan bahan

kimiawi sangat dianjurkan. Bahan kimiawi yang

paling sering digunakan adalah glutaraldehyde,

alkohol, solusi yodium, fenol sintetis, dan sodium

hypochlorite. Proses desinfeksi harus tepat, tetapi

tidak memilik efek yang merugikan untuk

kestabilan dimensi atau detail permukaan dari hasil

cetakan.3,4

Desinfeksi cetakan efektif dalam mengurangi

kemungkinan kontaminasi silang, pelaksanaan

desinfeksi cetakan di klinik gigi saat ini tidaklah

selalu dilakukan. Beberapa alasan jarangnya

dilakukan penyemprotan dan perendaman bahan

cetak dengan desinfektan karena dapat

menyebabkan hilangnya permukaan detail dan

akurasi dimensi cetakan, sebagian besar desinfektan

dapat menyebabkan iritasi pada kulit, Racun dari

desinfektan juga dapat mengakibatkan korosi dari

sendok cetak logam. 5

Pertimbangan yang harus tetap diperhatikan

dalam memilih teknik desinfeksi bahan cetak yang

akan dilakukan adalah pengaruh larutan desinfektan

terhadap stabilitas dimensi dan detail permukaan

bahan cetak, serta efek mematikan bakteri dan

mengurangi jumlah pertumbuhan bakteri. Lamanya

desinfeksi pada bahan cetak juga hal yang

berpengaruh pada saat dilakukan desinfeksi. Hal ini

menjadi pertimbangan para dokter gigi dalam

melakukan desinfeksi agar hasil cetakan yang

dihasilkan dapat memiliki tingkat keakuratan yang

tinggi.13

Cara efektif untuk mendesinfeksi bahan

cetakan tersebut adalah menggunakan larutan

desinfeksi selama 10-15 menit. Desinfeksi hasil

cetakan dapat dilakukan dengan menggunakan

penyemprotan atau perendaman. Teknik penyem-

protan dianggap sebagai metode yang efektif untuk

mengurangi terjadinya resiko imbibisi pada cetakan

dibandingkan dengan metode perendaman. Menurut

penelitian Cintia Iara (2011) terdapat perubahan

dimensi signifkan ketika menggunakan metode

perendaman dalam melakukan desinfeksi bahan

cetak elastomer. Berdasarkan aplikasi praktisnya,

desinfeksi dengan teknik penyemprotan dengan

menggunakan sprayer merupakan metode yang

paling efektif dan praktis. 4, 6, 8

Penyemprotan menggunakan sodium

hypochlorite 0,5% terbukti efektif untuk mencegah

infeksi silang yang disebabkan bakteri gram positif

dan negatif. Berdasarkan penelitian dari Santosh

(2011) dalam waktu 1 menit penyemprotan sodium

hypochlorite terjadi penurunan jumlah bakteri

100% pada bakteri jenis S. aureus and S. viridans

yang terdapat pada cetakan yang dihitung dengan

colony counter desinfeksi menggunakan

glutaraldehyde 2% juga menunjukan penurunan

jumlah bakteri 100% tetapi glutaraldehyde

mempunyai bau yang tidak enak dan dapat

mengakibatkan iritasi terhadap kulit, sodium

hypoclorite mudah didapat dibandingkan larutan

desinfektan yang lain serta memiliki efek

desinfektan bakterisidal, virusidal dan fungisdal.3

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

besarnya perubahan stabilitas dimensi yang terjadi

pada hasil cetakan bahan cetak elastomer jenis

silicon setelah disemprot larutan sodium

hypochlorite 0,5% dengan hasil cetakan elastomer

jenis silicon yang segera diisi dengan gips stone.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian

penelitian eksperimental murni dengan post test

only design dengan rancangan acak lengkap

menggunakan 6 perlakuan.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah bahan cetak elastomer (exaflex-hidrophilic

Ongo : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer

Page 89: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

85

vinyl polysiloxane), air, gips stone, dan larutan

sodium hypochlorite 0,5%. Alat penelitian yang

digunakan adalah master die (sesuai spesifikasi

ADA no. 19), rubber bowl dan spatula, glass plate,

spatula semen, kaliper digital, alat penyemprot,

sarung tangan, dan alat tulis.

Pertama yang dilakukan adalah menyediakan

die sebagai model untuk dicetak, bahan cetak

elastomer, larutan desinfektan sodium hypochlorite

0,5%. Bahan cetak diletakan pada glass plate

dengan rasio 1:1 base dan katalisnya. Pengadukan

dilakukan dengan gerakan memutar terlebih dahulu

menggunakan spatula semen. lanjutkan pengadukan

dilakukan dengan gerakan melipat sampai

warnanya menjadi homogen. bahan cetak diletakan

pada ring tube kemudian dilakukan pencetakan

pada master die sebagai model. Setelah bahan cetak

setting di bagi menjadi 2 kelompok, disemprot dan

tidak disemprot. Kelompok yang tidak di semprot

langsung dilakukan pengisian gips stone sedangkan

yang disemprot dlakukan penyemprotan sodium

hypochlorite 0,5% terlebih dahulu kemudian

dibiarkan selama 5, 10 dan 15 menit sebelum diisi

gips stone. Pengukuran dialakukan pada model die

hasil pencetakan.

Analisis data dilakukan secara statistik dengan

uji normalitas Shapiro-Wilk dan uji homogenitas

varians Levene. dilanjutkan analisis parametrik

secara uji statistik ANOVA satu arah dengan

tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05).

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian stabilitas dimensi hasil

cetakan bahan cetak elastomer jenis silicon

disemprot larutan sodium hypochlorite 0,5%

dengan hasil cetakan elastomer jenis silicon tidak

disemprot terlihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1. Hasil Pengukuran Kelompok 5 Menit

Gambar 2. Hasil Pengukuran Kelompok 10 Menit

Gambar 3. Hasil Pengukuran Kelompok 15 Menit

Gambar 4. Hasil Selisih Pengukuran Antara

Cetakan yang Tidak Disemprot dan

Cetakan yang Disemprot Mengunakan

Sodium Hypochlorite 0,5%

Keempat diagram menunjukan adanya variasi

diameter pada die pada perlakuan yang ada. Rata–

rata perubahan diameter die pada cetakan yang

tidak disemprot waktu 5 menit 45,93 mm, diameter

rata-rata ± SD (45,93 ± 0,03464), perubahan

diameter die pada cetakan yang tidak disemprot

waktu 10 menit 45,92 mm diameter rata-rata ± SD

(45,92 ± 0, 02683), perubahan diameter die pada

cetakan yang tidak disemprot waktu 15 menit 45,92

mm diameter rata-rata ± SD (45,92 ± 0, 02345).

Perubahan diameter die yang terjadi pada 5 menit

penyemprotan 46,15 mm diameter rata-rata ± SD

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 83 - 88

Page 90: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

86

(46,18 ± 0,08295), perubahan diameter die pada 10

menit penyemprotan 46,31 mm diameter rata-rata ±

SD (46,32 ± 0, 11675) dan penyemprotan diameter

die pada 15 menit penyemprotan 46,12 mm

diameter rata-rata ± SD (46,32 ± 0, 04278). Hasil

selisih antara cetakan yang disemprot dan tidak

disemprot menunjukan nilai rata-rata untuk

kelompok 5 menit 0,2686 mm diameter rata-rata ±

SD (0,2680 ± 0,09910) ,kelompok 10 menit 0,3860

mm diameter rata-rata ± SD (0,3860 ± 0,11238) dan

kelompok 15 menit 0,2020 mm diameter rata-rata ±

SD (0,2020 ± 0,5805).

Pengujian normalitas Shapiro-wilk dan

homogenitas varians Levene’s test. Hasil uji

normalitas Shapiro-wilk (n < 50) diperoleh nilai p

untuk ke 3 varian waktu 5 menit 0,542, 10 menit

0,069 dan 15 menit 0,256 menunjukan bahwa data

terdistribusi normal karena nilai p > 0,05. Hasil uji

homogenitas varians Levene menunjukkan varians

data yang homogen dengan nilai p = 0,613 (p >

0,05) menunjukan data homogen.

Hasil uji One way anova diperoleh nilai p =

0,026 (p < 0,05) yang berarti H1 diterima sehingga

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

bermakna pada cetakan yang tidak disemprot dan

disemprot menggunakan sodium hypochlorite

dengan waktu 5, 10 dan 15 menit. Hal ini artinya

bahwa penyemprotan sodium hypochlorite terhadap

hasil cetakan elastomer menyebabkan terjadinya

perubahan stabilitas dimensi hasil cetakan.

PEMBAHASAN

Pertimbangan yang harus tetap diperhatikan

dalam memilih teknik desinfeksi bahan cetak yang

akan dilakukan adalah pengaruh larutan desinfektan

terhadap stabilitas dimensi dan detail permukaan

bahan cetak, serta efek mematikan bakteri.

Lamanya desinfeksi pada bahan cetak juga hal yang

berpengaruh pada saat dilakukan desinfeksi. Hal ini

menjadi pertimbangan para dokter gigi dalam

melakukan desinfeksi agar hasil cetakan yang

dihasilkan dapat memiliki tingkat keakuratan yang

tinggi.14

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat

dibuktikan bahwa terdapat perubahan dimensi yang

cukup besar pada penyemprotan bahan cetak

elastomer menggunakan larutan desinfektan pada

varian waktu 5 dan 10 menit dengan rata–rata

diameter die 46,18 mm dan 46,31 mm..10

Berdasarkan penelitian dari Santosh (2011)

dalam waktu 1 menit penyemprotan sodium

hypochlorite 0,5% terjadi penurunan jumlah bakteri

100% pada bakteri jenis S. aureus dan S. viridans

yang terdapat pada cetakan yang dihitung dengan

colony counter.3

Sodium Hypoclorite, merupakan salah satu

desinfektan yang tidak terlalu mahal dan selama ini

dikenal sebagai pemutih. Menurut The American

Dental Association (ADA) penggunaan sodium

hypoclorite lebih baik dibandingkan iodophor dan

phenols karena tidak merusak permukaan bahan

cetak serta lebih efektif untuk menghilangkan

bakteri. Sodium hypoclorite mempunyai efek

bakterisidal yang efektif terhadap bakteri gram

positif dan bakteri gram negatif. Kelemahan sodium

hypoclorite tidak mampu berkontak dengan baik

pada permukaan kulit.13,14

Sodium hypoclorite termasuk golongan

halogenated yang oxygenating. Sodium hypoclorite

dalam larutan membentuk hypochlorus acid

(HOCl) dan oxychloride (OCl). Desinfektan ini

adalah larutan yang berbahan dasar klorin (Cl2).

Larutan ini merupakan desinfektan derajat tinggi

(high level desinfectants) karena sangat aktif pada

semua bakteri, virus, jamur, parasit, dan beberapa

spora. Bahan ini bekerja cepat atau fast acting,

sangat efektif melawan virus Hepatitis B (HBV)

dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) (20).

Sodium hypoclorite mempunyai efek bakterisidal

yang efektif terhadap bakteri gram positif dan

bakteri gram negatif. Kelemahan sodium

hypoclorite tidak mampu berkontak dengan baik

pada permukaan kulit.14

Sodium hypoclorite juga digunakan untuk

bahan irigasi saluran akar. Pemakaian sodium

hypoclorite juga efektif sebagai desinfektan dengan

konsentrasi 0,5% untuk merendam gigi tiruan

dianjurkan 10 menit setiap hari, walaupun pendapat

lainnya menyatakan larutan menyebabkan korosi

pada metal. Selain itu menyebabkan perubahan

dalam matriks interstitial pada struktur permukaan

sehingga terjadi efek pemutihan dan perubahan

warna lempeng akrilik.15

Sebuah survei yang dilakukan di Hong Kong

menunjukkan bahwa sodium hypoclorite

merupakan larutan desinfeksi bahan cetak yang

paling banyak digunakan dokter gigi swasta (73%),

diikuti oleh Glutaraldehyde (15%), alkohol (8%),

hydrogen peroxide (4%), dan selebihnya

menggunakan produk bermerk (8%).16 Teknik

penyemprotan dianggap sebagai metode yang

efektif untuk mengurangi terjadinya resiko imbibisi

pada cetakan. Berdasarkan aplikasi praktisnya,

desinfeksi dengan teknik penyemprotan dengan

menggunakan sprayer merupakan metode yang

paling efektif dan praktis bila jarak klinik dokter

gigi dengan laboratorium dental cukup jauh.13

Stabilitas dimensi bahan cetak elastomer juga

dipengaruhi oleh polimerisasi bahan cetak, reaksi

kimia yang terjadi pada bahan cetak, perubahan

suhu yang terjadi pada bahan cetak dan elastic

recovery yang tidak sempurna dari deformasi,

sementara faktor-faktor seperti desinfeksi bahan

cetak, waktu pengecoran dan teknik pencetakan

mempengaruhi keakuratan cetakan. Menurut

penelitian Farida dan Abolfazil salah satu alasan

terjadinya perubahan dimensi pada hasil cetakan

pada cetakan yang dilakukan desinfeksi terjadi

kontraksi ringan pada saat polimerisasi sehingga

Ongo : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer

Page 91: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

87

terjadi perubahan volume pada hasil cetakan yang

didesinfeksi.1, 9

Semua hal yang mempengaruhi stabilitas

diemensi bahan cetak elastomer di atas saling

berhubungan satu sama lain, tetapi hal ini hanya

terjadi pada condensastion silicone dimana terjadi

penguapan alkohol pada hasil cetakan elastomer

yang mana etil alkohol merupakan reaksi

sampingan dari pengerasan condensation silicone

dan berat molekul alkohol lebih tinggi daripada air.

Selain itu, alkohol memiliki tekanan uap tinggi

sehingga membuat alkohol mudah menguap

mempengaruhi konsentrasi campuran pada bahan

cetak yang mempengaruhi stabilitas dimensi hasil

cetakan.1

Pengecoran dengan stone gips harus segera

dilakukan untuk memastikan keakuratan hasil

cetakan yang lebih tinggi. Elastic recovery pada

bahan cetak elastomer yang tidak sempurna juga

mempengaruhi perubahan dimensi sehingga

berbeda dengan yang tidak dilakukan desinfeksi.1, 11

Gambar 5.5 Reaksi Kimia Selama Pengerasan

Condensation Silicone

Bahan cetak yang digunakan dalam penelitian

ini adalah jenis vinyl hydrophilic silicone yang

mempunyai sifat wettability yang lebih tinggi dari

bahan cetak silikon jenis hidrofobik. Ini

menjadikannya lebih mudah untuk berubah dimensi

apabila disemprot dengan larutan disinfektan hal

ini membuat bahan cetak tersebut menyerap larutan

desinfektan karena sifat wettability yang tinggi.

Wettability adalah satu sifat pergerakan air didalam

bahan silikon itu sendiri yang berguna jika bahan

cetak ini digunakan untuk mencetak daerah yang

basah dan lembut di dalam rongga mulut.12

Penguapan alkohol dari proses reaksi

sampingan dari elastomer jenis condesation silicone

ini mempengaruhi konsentrasi campuran bahan

cetak. Selain itu dengan adanya proses

penyemprotan desinfektan pada bahan cetak vinyl

hydrophilic silicone dengan sifat wettability yang

tinggi, membuat bahan cetak tersebut menyerap

larutan desinfektan sehingga terjadi perubahan

stabilitas dimensi pada bahan cetak. Disimpulkan

bahwa penyemprotan pada bahan cetak elastomer

dengan desinfektan sodium hipoklorit 0,5%

berpengaruh terhadap hasil cetakan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cintia I, Oda C and Jose AN. Dimensional

Change of Elastomeric Materials after

Immersion in Disinfectant Solutions for

Different Times. Journal Contemp Dent Pract.

2011;12(4): 252-258.

2. Vidya BS, Mallika SS and Kamalakanth SK.

Infection Control in the Prosthodontic

Laboratory. Journal Indian Prosthodontic. 2001

; 7(2): 62-5.

3. Rahma PA. Menyelenggarakan Prosedur

Kontrol Infeksi Secara Sederhana. Dental &

Dental Jurnal. 2010; 2:17

4. Richard VN. Introduction to Dental Material.

3rd edition. Mosby Elsevier. London. United

Kingdom. 2007. p. 196-207.

5. Santosh D, Raghunath AP and Gangadhar SA.

Efficacy of Various Spray Disinfectants on

Irreversible Hydrocolloid Impression

Materials: An in vitro study. Indian Journal

Dentistry Res. 2011; 22 : 764-9

6. Abolfazli N and Kohsoltani M. The Effect Of

Disinfection by Spray Atomization on

Dimensional Accuray of Consideration

Silicone Impressions. Journal Dentiry Res

Clinnic Dentistry Prospect. 2010; 4(4): 124-

129.

7. Jian W, Qianbing W, Yonglie C and Yifan C.

A Self-Disinfecting Irreversible Hydrocolloid

Impression Material Mixed with Chlorhexidine

Solution. Angle Orthodontist. 2007;77;5: 894-

899.

8. Anusavice KJ. Philip’s Science of Dental

Materials. 11th Edition. New York : Elsevier

Science. 2003. p. 210-229.

9. Johnson GH, Lloyd AM, Ricardo S, Douglas

RV and Xavier Lepe. Clinical Trial

Investigating Success Rates for Polyether and

Vinyl Polysiloxane Impressions Made with

Full-arch and Dual-arch Plastic Trays. Journal

of Prosthetic Dentistry. 2010; 103(1): 15-24.

10. Jagger DC, Al Jabra O, Harrison A, Vowles

RW, Davis F and O’Sullivan DJ. The Effect of

A Range of Disinfectants on the Dimensional

Accuracy of Some Impression Materials.

Europe Journal Prosthodontic Restoration

Dentistry. 2004; 12 (4) :154-60.

11. Farida SS and Nader A. The Effect of

Disinfection by Spray Atomization on

Dimensional Accuracy of Condensation

Silicone Impressions. African Journal of

Biotechnology. 2011;10(71): 16078-16083.

12. Powers JM and Wataha JC. Dental Materials

Properties and Manipulation. 9th Ed. St Louis.

Mosby Elsevier. 2008. p. 186-195.

13. Febriani M dan Herda E. Pemakaian

Desinfektan pada Bahan Cetak Elastomer,

JITEKGI. 2009; 6(2): 41-4.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 83 - 88

Page 92: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

88

14. Rhodes JS. Advanced Endodontics Clinical

Retreatment and Surgery. London. Taylor &

Francis Group. 2006; p. 130.

15. David ME. Perubahan Warna Lempeng Resin

Akrilik yang Direndam dalam Larutan

Disinfektan Sodium Hipoklorit dan

Klorhexidin. Dentistry Journal. 2005; 38(1):

36-40.

16. Siu KP and Millar BJ. Cross Infection Control

of Impressions: A Questionnaire Survey of

Practice Among Private Dentists in Hong

Kong. Hong Kong Dentistry Journal. 2006;

3(2): 89-93.

Ongo : Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer

Page 93: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

89

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

PERBANDINGAN KUAT REKAT RESIN KOMPOSIT PADA DENTIN DENGAN

SISTEM ADHESIF SELF ETCH

1 TAHAP (ONE STEP) DAN 2 TAHAP (TWO STEP)

Dewi Puspitasari

Bagian Dental Material, Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin-

Indonesia

ABSTRACT

Background : Composite resin could bonded well with dental structure because of adhesive system.

The development of adhesive systems are increased and focused on a simpler application procedures, shorter

work time and does not cause dentin sensitivity during restorative treatment. Last adhesive systems that have

come to the sixth and seventh generation known as the self-etch adhesive systems. Self-etch adhesive system is

divided into two step and one step. Both are different in the application procedure. Purpose :The purpose of this

study was to compare the bond strength between1 step and 2 step self etch adhesive systems. Methods : 16

specimens of dentin premolars, divided into 2 groups. Group I : application of Clearfil SE Bond primer for 20

seconds then application of Clearfil SE Bond bonding for 10 seconds, and polymerization with light for 10

seconds. Composite resin was applied incrementally and polymerization for 20 seconds . Group II : application

of Clearfil S3 Bond ( primer and bonding in 1 bottle) for 20 seconds and then polymerization with light for 10

seconds. The bond strength was tested with Testing Machine and analyzed using the unpaired t test. Results:The

bond strength mean value of composite resin using 2 step self etch adhesive system is 10.93 MPa and 1 step self

etch adhesive system is 10.12 MPa. There is no significant difference between the bond strength of composite

resins using 2 step and 1 step self etch adhesive system. Conclusion : Self- etch adhesive systems can provide

good bond strength between composite resin to denti . There is no significant difference between the bond

strength of composite resins using 2 step and 1 step self etch adhesive system

Keyword : shear bond strength, self etch adhesive system, dentin

ABSTRAK

Latar belakang : Resin komposit dapat berikatan dengan struktur gigi melalui sistem adhesif.

Perkembangan sistem adhesif semakin pesat dan tertuju pada prosedur aplikasi yang lebih sederhana, waktu

kerja yang semakin singkat dan tidak menyebabkan sensitifitas dentin selama perawatan restorasi. Sistem adhesif

yang terakhir telah sampai pada generasi keenam dan ketujuh yang dikenal sebagai sistem adhesif self etch.

Sistem adhesif self etch terbagi menjadi dua tahap dan satu tahap, keduanya berbeda pada prosedur aplikasi.

Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kuat rekat antara sistem adhesif self ech 1 tahap

dengan 2 tahap. Metode: 16 spesimen dentin dari mahkota gigi premolar, dibagi menjadi 2 kelompok.

Kelompok I: aplikasi primer Clearfil SE Bond selama 20 detik kemudian aplikasi bonding Clearfil SE Bond

selama 10 detik dan polimerisasi dengan sinar selama 10 detik. Resin komposit diaplikasikan secara inkremental

dan polimerisasi selama 20 detik. Kelompok II: aplikasi Clearfil S3 Bond (primer dan bonding bergabung dalam

1 botol) selama 20 detik kemudian polimerisasi dengan sinar selama 10 detik. Kuat rekat diuji menggunakan

Testing Machine dan dianalisa dengan uji T tidak berpasangan. Hasil : Nilai rerata kuat rekat komposit resin

yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap adalah 10,12 MPa dan sistem adhesif self etch 2 tahap adalah

10,93 MPa .Tidak ada perbedaan bermakna antara kuat rekat komposit resin yang menggunakan sistem adhesif

self etch 1 tahap dengan 2 tahap. Kesimpulan : Sistem adhesif self etch dapat menghasilkan kekuatan ikatan

antara resin komposit dengan dentin yang dapat diterima secara klinis. Tidak ada perbedaan bermakna antara

kuat rekat komposit resin yang menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap dengan 2 tahap.

Kata kunci : kuat rekat geser, sistem adhesif self etch, dentin.

Laporan Penelitian

Page 94: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

90

Korespondensi :

Dewi Puspitasari. Bagian Dental Material, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jl. Veteran No. 128 B, Banjarmasin KalSel. Email : [email protected]

PENDAHULUAN

Penggunaan restorasi komposit resin secara

klinis semakin meningkat dan menjadi restorasi

estetik yang paling banyak digunakan saat ini. 1

Resin komposit tidak dapat berikatan secara alami

dengan struktur gigi sehingga diperlukan suatu

bahan adhesif agar resin komposit dapat berikatan

baik dengan struktur gigi, ikatan ini diperoleh

melalui ikatan secara mikromekanik dengan

menggunakan sistem adhesif atau bonding system.2

Pemakaian bahan adhesif di bidang

kedokteran gigi dimulai pada tahun 1955 oleh

Buonocore yang melaporkan penggunaan asam

fosfor 85% untuk meningkatkan retensi resin

akrilik pada enamel.3, 4 Pada dasarnya prinsip

adhesi resin komposit adalah keterpautan secara

mikromekanik (mechanical interlocking), yaitu dari

resin tags yang dihasilkan oleh infiltrasi monomer

resin pada mikroporositas dari permukaan email

yang telah dietsa. Selanjutnya sistem adhesif

dikembangkan lebih jauh yaitu ke dentin yang

didalamnya terdapat serat-serat kolagen. Perbedaan

struktur pada email dan dentin berpengaruh

terhadap efektivitas sistem adhesif.5, 6 Keberhasilan

adhesi pada enamel dengan nilai kuat rekat yang

tinggi tidak dapat dicapai setara pada dentin. Dentin

memiliki kandungan air dan organik lebih tinggi

dibandingkan email, hal inilah yang membuat

dentin lebih sulit berikatan dengan sistem adhesif

dibandingkan enamel.7 Berdasarkan prosentase

berat, enamel mempunyai komposisi mineral yaitu

96% berupa hidroksi apatit dan sisanya adalah

bahan organik dan air. Dentin mempunyai

komposisi 70 % mineral (kristal apatit), 18%

berupa komponen organik yaitu kolagen tipe 1 dan

protein non kolagen sedangkan 12% merupakan

air.6, 8 komposisi ini menyebabkan email

mempunyai sifat umum yang kering, sedangkan

dentin bersifat lembab, sehingga material adhesif

harus bersifat hidrofilik untuk dapat berikatan baik

dengan dentin. Resin komposit mempunyai sifat

menonjol yaitu hidrofobik, sehingga komposisi

sistem adhesif harus terdiri dari monomer resin

hidrofobik dengan hidrofilik.5, 6.

Awalnya perkembangan sistem adhesif

mengarah pada tindakan pengangkatan smear layer

saat mengetsa dentin dan kemudian dilakukan

pembilasan, sistem ini disebut sebagai sistem

adhesif total etch. Kemudian berkembang lagi

dengan cara mempertahankan atau memodifikasi

smear layer dan tanpa pembilasan, sistem ini

disebut sebagai sistem adhesif self etch. Sistem

adhesif self etch pada generasi keenam disebut juga

sistem adhesif two step self etch (2 tahap),

selanjutnya tahapan aplikasi lebih disederhanakan

menjadi sistem 1 tahap (satu botol) yang disebut

sebagai one step self etch, namun tetap

menggunakan kombinasi monomer resin hidrofobik

dan hidrofilik dan nilai kekuatan ikatan pada dentin

dalam kisaran yang dapat diterima secara klinis.6, 9-

11 Sistem adhesif self etch makin diminati karena

lebih banyak memberikan keuntungan

dibandingkan total etch yaitu dapat mengurangi

sensitifitas gigi paska operatif, jumlah aplikasi yang

lebih sederhana dan waktu yang lebih singkat. 12

Sistem adhesif one step self etch merupakan

penemuan terakhir teknik aplikasi sistem adhesif

pada penumpatan gigi menggunakan resin

komposit. Sistem ini menggabungkan teknik etsa,

pemberian monomer hidrofilik atau primer dan

adhesif pada struktur gigi dalam 1 tahap prosedur

aplikasi sehingga tahapannya makin singkat.11

Adanya penggabungan komponen-komponen

adhesif apakah akan mempengaruhi kekuatan

ikatan resin komposit pada dentin. Penelitian ini

bertujuan untuk membandingkan kekuatan ikatan

(kuat rekat) resin komposit yang menggunakan

sistem adhesif self etch 1 tahap (one step) dan 2

tahap (two step).

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini adalah eksperimental

laboratoris. Subyek penelitian adalah gigi premolar

yang berasal dari pasien berusia 20-30 tahun dan

telah dicabut karena indikasi perawatan ortodonti,

tidak terdapat karies, retak dan fraktur pada

mahkota. Jumlah spesimen yang digunakan adalah

16 gigi yang dibagi menjadi 2 kelompok. Material

adhesif dan komposit resin yang digunakan,

komposisi dan prosedur aplikasinya tertera pada

tabel 1.

Tabel 1. Komposisi dan Prosedur Aplikasi dari

Material adhesif dan Komposit Resin

Bahan Pabrik Komposisi Prosedur

aplikasi

Clearfil

SE

Bond

Kuraray Primer+ Etsa :

10-MDP,

HEMA,

hydrophilic

dimethacrylate,

photoinitiator,

air (01225A)

Bonding: 10-

MDP, HEMA,

Bis-GMA,

hydrophobic

dimethacrylate,

-Aplikasi

primer (20

detik)

-Semprot

udara

ringan (5

detik)

-Aplikasi

bonding

(10 detik)

-Semprot

udara

Puspitasari : Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit

Page 95: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

91

photoinitiator,

silanated

colloidal silica

ringan

selama 5

detik

-

Polimerisa

si dengan

sinar

selama 10

detik

Clearfil

S3

Bond

Kuraray Primer +Etsa +

Bonding :

10-MDP, Bis-

GMA, HEMA,

hydrophobic

dimetacrylate,

champorquinon

e, etil ethanol,

air, silanated

colloidal silica

-Aplikasi

selama 20

detik

-Semprot

udara

ringan

selama 5

detik

-

Polimerisa

si dengan

sinar

selama 10

detik

-Aplikasi

komposit

resin

Filtek

Z-350

3M

ESPE

Bis-GMA,

UDMA, BIS-

EMA,

nanosilica filler,

zirconia/silica

nanocluster

Aplikasi

dan

polimerisa

si selama

20 detik

Spesimen gigi premolar yang sesuai dengan

kriteria dan telah disetujui oleh komisi etik

direndam dalam larutan salin hingga saat digunakan

untuk pengujian. Akar gigi dipotong kemudian

mahkota gigi ditanam dalam resin dekoratif dengan

bagian bukal menghadap ke dasar mould,

permukaan bukal diasah hingga didapatkan

permukaan dentin dengan luas area diameter 3 mm

dengan menggunakan kertas silika karbida nomor

600 untuk menghasilkan ketebalan smear layer

yang seragam.13 Daerah yang akan diperiksa

ditandai dengan menggunakan matriks plastik yang

memiliki diameter sama dengan cetakan resin

akrilik self cured berbentuk silinder berukuran 3

mm dan tinggi 3 mm sebagai mould komposit resin,

matriks plastik diletakkan pada daerah dentin

kemudian di sekelilingnya diulas dengan cat kuku

berwarna merah untuk menandai daerah aplikasi

adhesif.

Kelompok I berjumlah 8 gigi merupakan

kelompok sistem adhesif self etch dua tahap

Clearfil SE Bond Kelompok II: berjumlah 8 gigi

merupakan kelompok sistem adhesif self etch satu

tahap Clearfil S3 Bond. Tahapannya adalah aplikasi

sistem adhesif sesuai petunjuk pabrik (tabel 1)

menggunakan microbrush dengan tekanan yang

dikendalikan sebesar 3 gram. Tekanan 3 gram

sebanding dengan tekanan kuas aplikator dengan

posisi kuas mendatar atau membentuk sudut 0º

pada permukaan dentin untuk menghasilkan kuat

rekat maksimal.14 Komposit resin nanofiller Filtek

Z-350 warna A3 diaplikasikan secara inkremental,

ditutup dengan mylar strip dan polimerisasi

menggunakan light curing LED MAX Hilux 450

(Benlioglu) dengan intensitas 600 mW cm-2 selama

20 detik. Selanjutnya spesimen direndam dalam

larutan saline dan disimpan dalam inkubator

dengan temperatur 37⁰C selama 24 jam. Seluruh

spesimen kemudian diuji kuat rekat geser

menggunakan Universal Testing Machine (UTM)

dengan beban maksimal 50 KgF dan kecepatan 0,5

mm/menit. Hasil yang diperoleh dihitung

menggunakan rumus SBS = F/ πr2 untuk

mendapatkan nilai kuat rekat geser (Shear Bond

Strength). Data selanjutnya dilakukan uji

normalitas data, bila data normal maka dapat

dilanjutkan dengan analisa statistik menggunakan

uji T tidak berpasangan.

Gambar 1. Bentuk spesimen dan pengujian

spesimen dengan uji kuat rekat geser.

HASIL

Pada uji normalitas data menggunakan

Saphiro Wilk didapatkan bahwa p > 0,05 maka

distribusi data adalah normal. Nilai kuat rekat

komposit resin pada dentin yang menggunakan

sistem adhesif self etch 1 tahap dan 2 tahap dapat

dilihat pada tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa nilai rerata kuat rekat geser sistem adhesif

self etch dua tahap tidak berbeda bermakna dengan

self etch satu tahap.

Tabel 2. Rerata kuat rekat geser (MPa) komposit

resin dengan sistem adhesif self etch 2 tahap dan 1

tahap

n Rerata ±SD

(MPa)

Perbedaan

rerata

(95%CI)

p

Sistem

adhesif self

etch 2

tahap

8 10,93±1,31 0.81(0,88-

2,50)

0,32

Sistem

adhesif self

etch 1

tahap

8 10,12±1,81

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 89 - 94

Page 96: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

92

Keterangan: Uji t tidak berpasangan;

p<0,05=bermakna

PEMBAHASAN

Sistem adhesif self-etch merupakan sistem

adhesif generasi keenam (terdiri dari dua tahap

aplikasi yang disebut two-step self-etching

adhesive) dan ketujuh (terdiri dari satu tahap

aplikasi yang disebut one-step self-etching

adhesive).15 Perkembangan sistem adhesif yang

terakhir lebih tertuju kepada aplikasi yang lebih

sederhana sehingga kemudian diperkenalkan sistem

adhesif self etch. Jumlah tahapan atau langkah

aplikasi yang berkurang dapat mengurangi periode

waktu manipulasi, kesalahan dalam aplikasi yaitu

tidak sesuai dengan standar prosedur (contohnya

seberapa basahkah dentin atau terlalu basah) dan

mengurangi terjadinya sensitifitas dentin setelah

perawatan karena etsa dari primer asam

menghasilkan demineralisasi yang dangkal dan

tanpa pembilasan.16 Sistem adhesif yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Clearfil SE Bond

merupakan sistem adhesif generasi keenam yang

terdiri dari dua tahap aplikasi sehingga disebut

sistem adhesif two-step self-etch, sedangkan

Clearfil S3 bond merupakan sistem adhesif generasi

ketujuh yang hanya memerlukan cukup sekali

aplikasi.7 Sistem adhesif self etch memiliki tahapan

aplikasi yang lebih sederhana dengan

menggabungkan bahan etsa dan primer dalam satu

kemasan sehingga dapat mengurangi periode waktu

manipulasi. Bahan etsa pada sistem adhesif self

etch menghasilkan demineralisasi yang superfisial

dan tidak perlu dibilas, hal ini menyebabkan smear

layer tetap dipertahankan dan menjadi bagian dari

lapisan hibrida sehingga meminimalkan sensitifitas

post operatif .16 Oleh karena tahap pembilasan tidak

dilakukan, proses etsa dapat berhenti karena proses

gugus asam berikatan dengan kalsium gigi sehingga

asam tersebut menjadi netral bersamaan dengan

infiltrasi monomer resin pada primer.17 Smear layer

terdiri dari bakteri, hidroksiapatit dan kolagen yang

terdenaturasi yang dihasilkan selama prosedur

preparasi. Smear layer yang dihilangkan oleh

bahan etsa dapat menyebabkan aliran cairan tubuli

dentin meningkat sehingga menyebabkan nyeri.18

Monomer asam yang bergabung dengan primer

dapat menembus smear layer dan mencapai dentin

yang kaya kalsium kemudian membentuk lapisan

hibrida yang terdiri dari fibril kolagen, smear layer

dan monomer resin adhesif. Clearfil SE Bond dan

Clearfil S3 Bond berbahan dasar monomer 10-MDP

(10-methacryloyloxy decyl dihydrogen phosphate).3

Monomer ini dianggap sebagai monomer standar

baku emas untuk bahan bonding self etch sehingga

menghasilkan interaksi kimia yang baik dengan

dentin.7, 19 Monomer MDP yang diaplikasikan pada

dentin akan membentuk garam MDP-kalsium.19

Interaksi inilah yang membuat kuat rekat komposit

resin ke dentin dianggap cukup tinggi mengingat

ikatan sistem adhesif dengan dentin lebih sulit

didapatkan bila dibandingkan dengan enamel. Oleh

karena itu sistem adhesif pada permukaan dentin

membutuhkan monomer hidrofilik untuk

menghasilkan kuat rekat yang tinggi.12

Pada penelitan ini kuat rekat resin komposit

pada kelompok sistem adhesif self etch 2 tahap

sebesar 10,93 MPa. Nilai rerata ini tidak berbeda

jauh dengan nilai rerata sistem adhesif self etch

Clearfil SE Bond pada penelitian Herenio dkk

(2011) sebesar 12,6 MPa.20 Nilai rerata kuat rekat

pada penelitian ini jauh lebih rendah bila

dibandingkan dengan penelitian Castro dkk (2003)

dengan sistem adhesif yang sama yang diuji dengan

kuat rekat tarik mikro (39 MPa). Hal ini disebabkan

oleh karena berbagai macam faktor salah satunya

luas area spesimen. Area permukaan

mempengaruhi secara signifikan kuat rekat pada

sistem adhesif self etch. Kuat rekat dihitung

berdasarkan beban hingga patah dibagi dengan area

dari permukaan bonding. Terdapat hubungan yang

berbanding terbalik antara kuat rekat dan area

permukaan. Kuat rekat spesimen dapat menjadi

lebih rendah dengan area yang semakin besar oleh

karena jumlah defek yang dihasilkan lebih besar.21

Castro menggunakan spesimen dentin dengan luas

area permukaan 1 mm dan rerata kuat rekat yang

dihasilkan (39 MPa) lebih besar dari hasil

penelitian ini. Nilai kuat rekat pada penelitian ini

sebanding dengan penelitian Braga dkk (2010)

yang menunjukkan bahwa nilai rerata kuat rekat

geser sistem adhesif self etch adalah sekitar 5-12

MPa, sedangkan kuat rekat tarik mikro bisa

mencapai 60 MPa. Meskipun uji kuat rekat mikro

dengan ukuran spesimen kurang dari 1 mm semakin

banyak diteliti tetapi uji kuat rekat makro masih

banyak digunakan dengan alasan mudah

dilaksanakan, membutuhkan peralatan yang

minimal dan persiapan spesimen minimal. 22

Kuat rekat resin komposit dengan

menggunakan sistem adhesif self etch 1 tahap

Clearfil S3 Bond adalah sebesar 10,12 MPa, nilai

ini tidak berbeda bermakna secara statistik dengan

nilai kuat rekat Clearfil SE Bond sebesar 10,93

MPa. Meskipun penelitian Knobloch dkk (2007)

melaporkan bahwa nilai kuat rekat sistem adhesif

Clearfil S3 Bond (16,5 MPa) lebih rendah daripada

Clearfil SE Bond (20,4 MPa) namun penelitian

yang lain juga menyatakan bahwa nilai kuat rekat

keduanya tidak jauh berbeda seperti halnya

penelitian Chaharom dkk (2011) yaitu 22,86 MPa

untuk Clearfil SE dan 22,13 MPa untuk Clearfil S3

Bond. 12, 23 Menurut Chaharom dkk (2011) hal ini

bisa dikaitkan dengan komposisi monomer yang

sama yaitu 10-methacryloyloxydecyl dihydrogen

phosphate (MDP).12 Secara klinis sistem 1 tahap

merupakan teknik yang lebih sederhana daripada

Puspitasari : Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit

Page 97: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

93

sistem adhesif self etch 2 tahap, sistem adhesif self

etch 1 tahap cenderung lebih hidrofilik, oleh karena

sifat hidrofiliknya adhesif ini dapat berperan

sebagai membran permeabel, menyerap sejumlah

air saat dipolimerisasi sehingga dapat menciptakan

saluran-saluran berisi air pada lapisan hibrida pada

jangka panjang, sehingga ketahanan jangka panjang

sistem adhesif ini perlu untuk diteliti lebih lanjut. 23

Nilai rerata kuat rekat yang bervariasi antara

peneliti menujukkan bahwa tidak hanya prosedur

uji yang kompleks tetapi juga sensitifitas dalam

pengerjaan dan manipulasi sistem adhesif dan resin

komposit, karena prosedur pengerjaan yang manual

maka harus lebih hati-hati dan dikendalikan. Begitu

pula juga spesimen gigi yang digunakan, faktor

usia, media dan waktu penyimpanan, kedalaman

dentin, variasi morfologi, derajad mineralisasi,

kekerasan mikro, ketebalan smear layer yang

dihasilkan dan modulus elastisitas dentin dapat

mempengaruhi kuat rekat adhesif dentin.24 Media

penyimpanan gigi dalam penelitian ini

menggunakan larutan saline, Jaffer dkk (2009) dan

Scherrer dkk(2010) menyatakan bahwa larutan

saline termasuk media yang efektif digunakan

sebagai media penyimpanan gigi karena tidak

mempengaruhi kuat rekat komposit resin.25, 26 Kuat

rekat dentin menurun dengan kedalaman dentin

yang semakin meningkat oleh karena kepadatan

tubuli dentin yang makin rendah, perbedaan

diameter tubuli disebutkan juga dapat

mempengaruhi kuat rekat.24

Kesuksesan secara klinis restorasi resin

komposit juga bergantung pada polimerisasi yang

sempurna. Polimerisasi yang tidak sempurna dapat

menurunkan sifat fisik dan mekanik restorasi resin

komposit dan sistem adhesif. Polimerisasi yang

optimal merupakan salah satu faktor penting untuk

memperoleh sifat fisik, sifat mekanis dan performa

klinis yang baik dari restorasi resin komposit.

polimerisasi paling efektif pad sistem adhesif dan

resin komposit paling efektif jika panjang

gelombang berada pada 460-480 nm, hal ini sama

dengan serapan cahaya yang diharapkan pada

fotoinisiator yaitu champorquinone.27 Penelitian ini

menggunakan light curing tipe LED dengan

panjang gelombang 440-490 nm dan intensitas

sinar 600 mW cm-2 yang telah dikaliberasi.

Meskipun nilai kuat rekat sistem adhesif self etch

tidak setinggi seperti pada sistem adhesif total etch,

sistem adhesif self etch menawarkan teknik aplikasi

yang lebih sederhana dan mempunyai tujuan utama

untuk mengurangi sensitifitas paska operatif serta

mengurangi waktu kerja prosedur aplikasi.28 Nilai

kuat rekat sistem adhesif self etch pada dentin

dalam kisaran yang dapat diterima secara klinis.6, 10

Sistem adhesif self etch memiliki tahapan

aplikasi yang lebih sederhana dengan

menggabungkan bahan etsa dan primer dalam satu

kemasan. Nilai kuat rekat sistem adhesif self etch

pada dentin dalam kisaran yang dapat diterima

secara klinis. Tidak ada perbedaan bermakna antara

kuat rekat komposit resin yang menggunakan

sistem adhesif self etch 1 tahap dengan 2 tahap

DAFTAR PUSTAKA

1. Karaarslan ES, Bulbul M, Yildiz E, Secilmis

A, Sari F, Usumez A. Effects of Different

Polishing Methods on Color Stability of Resin

Composites After Accelerated Aging. Dental

Materials Journal 2013;32(1):58-67.

2. Saraswathi MV, Jacob G, Ballal NV.

Evaluation of The Influence of Flowable Liner

and Two Different Adhesive Systems on The

Microleakage of Packable Composite Resin.

Journal of Interdisciplinary Dentistry

2012;2(2):98-104.

3. Perdigão J, Reis A, Loguercio AD. Dentin

Adhesion and MMPs: A Comprehensive

Review. Journal of Esthetic and Restorative

Dentistry 2013;25(4):219-41.

4. Perdigão J, Swift JR. Fundamental Concept of

Enamel and Dentin Adhesion. In: Roberson

TM, Heymann HO, Swift JR, editors.

Sturdevant’s Art and Science of Operatif

Dentistry. 4 ed. St Louis: Mosby Inc; 2002. p.

237 – 54.

5. Hashimoto M, de Gee AJ, Felizer AJ.

Polymerization contraction stress in dentin

adhesives bonded to dentin and enamel.

Dental Materials 2008;24:1304-10.

6. Perdigão J, Swift JR. Fundamental Concept of

Enamel and Dentin Adhesion. In: Roberson

TM, Heymann HO, Swift JR, editors.

Sturdevant’s Art and Science of Operatif

Dentistry. 4 ed. St Louis: Mosby Inc; 2002. p.

245 – 58.

7. Perdigão J. New Developments in Dental

Adhesion. Dent Clin N Am 2007;51:333-57.

8. Summit JB, Robins JW, Hilton TJ, Schwartz

RS. Fundamentals of Operative Dentistry: A

Contemporary Approach. 3 ed. Chicago,

USA: Quintessence Publishing; 2006. p. 183-

93.

9. Kugel G, Ferrari M. The Science of Bonding:

From First to Sixth Generation. J Am Dent

Assoc 2000;131(20S-25S).

10. Dunn JR. iBond™: The seventh generation,

one-bottle dental bonding agent. Compendium

2003;24(2):14-18.

11. Roberson TM, Heyman HO, Swift EJ. art and

science of Operative Dentistry. 5 ed: Mosby

Elsevier; 2006. p. 245-71.

12. Chaharom MEE, Ajami AA, Kimyai S,

Abbasi A. Effect of Chlorhexidine on the

Shear Bond Strength of Self-Etch Adhesives

To Dentin. African Journal of Biotechnology

2011;10(49):10054-57.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 89 - 94

Page 98: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

94

13. Hiraishi N, Yiu CKY, King NM, Tay FR.

Effect of 2% Chlorhexidine on Dentin

Microtensile Bond Strengths and Nanoleakage

of Luting Cements. Journal of Dentistry

2009;37:440–48.

14. Jaya F, Triaminingsih S, Soufyan A, Eriwati

YK. Shear bond strength of self-adhering

flowable composite on dentin surface as

aresult of scrubbing pressure and duration.

Media Dental Journal 2012;45(3):167-71.

15. Christensen GJ. Has the ‘Total Etch’ Concept

Disappeared? J Am Dent Assoc 2006;137:817-

20

16. Albaladejo A, Osorio R, Toledano M, Ferrari

M. Hybrid Layers of Etch and Rinse versus

Self-Etching Adhesive Systems. Med Oral

Patol Oral Ci Bucal 2010;15(1):112-18.

17. Prasad M, Mohamed S, Nayak K, Shetty SK,

Talapaneni AK. Effect of moisture, saliva, and

blood contamination on the shear bond

strength of brackets bonded with a

conventional bonding system and self-etched

bonding system J Nat Sc Biol Med

2014;5:123-9.

18. Perdigão J. Dentin bonding-Variables related

to the clinical situation and the substrate

treatment. Dental Materials 2010;26:e24–e37.

19. Feitosa VP, Pomacóndor-Hernández C,

Ogliari FA, Leal F, Correr AB, Sauro S.

Chemical interaction of 10-

MDP(methacryloyloxi-decyl-dihydrogen-

phosphate) in zinc-doped self-etch adhesives.

Journal of Dentistry 2014;42:1-7.

20. Herênio SS, Carvalho NMP, Lima DM.

Influence of chlorhexidine digluconate on

bond strength durability of a self-etching

adhesive system. RSBO 2011;8(4):417-24.

21. Vanajasan P P, Dhakshinamoorthy M, V.

SRC. Factors affecting the bond strength of

self-etch adhesives: A meta-analysis of

literature. J Conserv Dent 2011;14:62-7.

22. Braga RR, Meira JBC, Boaro LCC, Xavier

TA. Adhesion to tooth structure: A critical

review of “macro” test methods. dental

materials 2010;26:e38-e49.

23. Knobloch LA, Gailey D, Azer S, Johnston

WM, Clelland N, Kerby RE. Bond strengths

of one- and two-step self-etch adhesive

systems. J Prosthet dent 2007;97:216-22.

24. Tulunoglu O, Tulunoglu I. Resin-dentin

interfacial morphology and shear bond

strengths to primary dentin after long-term

water storage: An in vitro study. Quintessence

International 2008;39(5):427-37.

25. Jaffer S, Oesterle LJ, Newman SM. Storage

media effect on bond strength of orthodontic

brackets. Am J Orthod Dentofacial Orthop

2009;136(1):83-6.

26. Scherrer SS, Cesar PF, Swain MV. Direct

comparison of the bond strength results of the

different test methods: A critical literature

review. Dental Materials 2010;26:e78–e93.

27. Malhotra N, Mala K. Light-curing

considerations for resin-based composite

materials: a review. Part I. Compend Contin

Dent Educ 2010;31(7):498-505.

28. Kerby RE, Knobloch LA, N C. Microtensile

bond strength of one step and self etching

adhesive sistem. Operative Dentistry

2005;30(2):195-200.

Puspitasari : Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit

Page 99: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

95

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

STUDI DESKRIPSI KELAINAN JARINGAN PERIODONTAL

PADA WANITA HAMIL TRIMESTER 3

DI RSUD ULIN BANJARMASIN

Putri Dwi Andriyani, Maharani Lailyza Apriasari, Deby Kania Tri Putri

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Women often experience hormon instability, one of the main causes of pregnancy. In the

period of pregnancy, the hormonal increasing of estrogen and progesterone occurs. Both of hormones are

reacting to periodontal system such as gingivitis or inflammatory gingival. Gingivitis of pregnancy usually

occurs in the second or third months of pregnancy. Purpose: This research aimed to know the clinical features

of pregnancy periodontal system disorder in third trimester. Methods: This research was using some descriptive

observations. The data had been taken by using purposive sampling from a whole of pregnancy third trimester

women in obstetric poly RSUD ULIN Banjarmasin who qualified the criteria of inclusion and exclusion. Patients

had been done anamnesis, clinical examination, and then clinically diagnosed by seeing periodontal system

disorder such as form of gingivitis pregnancy and epulis gravidarum. Result: All of 61 sample patients had been

found gingivitis, pregnancy system disorder as much as 10 patients or 16,4% as a housewife, 8 patients or

13,1% with as student of high school, 8 patients or 13,1% who had once partus, 11 patients or 18,9% with

history of never had miscarriage before, 15 patients or 24,6% with history of never had preterm birth, and 13

patients or 19,7% with most amount average income are 1,5 - 5 million. Conclusion: The result of descriptive

study of women's pregnancy in third trimester periodontal system disorder at RSUD ULIN Banjarmasin showed

16 patients or 26% experience periodontal system disorder such as gingivitis pregnancy.

Keywords: Gingivitis, pregnancy, periodontal, third trimester

ABSTRAK

Latar Belakang : Wanita sering mengalami ketidakstabilan hormon, salah satu pencatus kehamilan.

Pada masa kehamilan terjadi peningkatan hormon estrogen dan progesteron. Kedua hormon tersebut

berpengaruh terhadap jaringan periodontal seperti gingivitis atau inflamasi gingival. Gingivitis kehamilan atau

gingivitis gravidarum biasanya terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 kehamilan. Tujuan : tujuan penelitian ini

adalah mengertahui gambaran klinis kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil trimester 3 di RSUD

Ulin Banjarmasin. Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode deskriftif observasi. Data diambil

secara purposive sampling dari seluruh wanita hamil trimester 3 di poli kandungan RSUD Ulin Banjarmasin

yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pasien dilakukan anamnesa, pemeriksaan secara klinis, kemudian

didiagnosa klinis dengan melihat kelainan jaringan periodontal berupa gingivitis kehamilan dan epulis

gravidarum. Hasil Penelitian : Dari 61 pasien sampel penelitian maka hanya diperoleh kelainan gingivitis

kehamilan, yaitu 10 orang pasien (16,4%) dengan riwayat pekerjaan terbanyak adalah Ibu Rumah Tangga

(IRT). 8 orang pasien (13,1%) dengan riwayat pendidikan terbanyak adalah SMA, 8 orang pasien (13,1%)

dengan riwayat melahirkan terbanyak sebanyak 1 kali melahirkan. 11 orang pasien (18,9%) dengan riwayat

belum pernah mengalami keguguran sebelumnya, 15 orang pasien (24,6%) dengan riwayat belum pernah

melahirkan premature sebelumnya, dan 13 orang pasien (19,7%) dengan jumlah rata-rata penghasilan

terbanyak adalah 1,5-5juta rupiah. Kesimpulan : Hasil penelitian studi deskripsi kelainan jaringan periodontal

pada wanita hamil trimester 3 di RSUD Ulin Banjarmasin sebesar 16 orang pasien atau 26,2% yang mengalami

kelainan jaringan periodontal berupa gingivitis kehamilan.

Kata Kunci : Gingivitis, Ibu Hamil, Periodontal, Trimester 3.

Laporan Penelitian

Page 100: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

96

Korespondensi: Putri Dwi Andriyani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas

Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

PENDAHULUAN

Dewasa ini perhatian masyarakat terhadap

kesehatan wanita selama masa kehamilan semakin

meningkat, tetapi kesehatan gigi dan mulut

seringkali terlewat dari perhatian. Kurangnya

perhatian terhadap kesehatan rongga mulut pada

saat kehamilan terkait adanya anggapan bahwa

kehamilan tidak ada hubungannya dengan keadaan

rongga mulut.1 Wanita sering sekali mengalami

ketidakstabilan hormon. Salah satu faktor penyebab

ketidakstabilan hormon adalah kehamilan.

Kehamilan menyebabkan peningkatan hormon

estrogen dan progesteron. Kedua hormon tersebut

dapat berpengaruh terhadap jaringan periodontal

seperti gingivitis atau inflamasi gingiva.2,3,4

Gingivitis merupakan salah satu kelainan

periodontal yang sering ditemui. Gambaran klinis

gingivitis yang disebabkan oleh plak yaitu tepi

gingiva yang berwarna kemerahan sampai merah

kebiruan, pembesaran kontur gingival\ karena

adema dan mudah berdarah saat ada stimulasi

seperti saat makan serta menyikat gigi.5 Gingivitis

juga dapat disebabkan karena faktor sistemik seprti

adanya ketidakstabilan hormon yang dialami wanita

pada masa pubertas, menstruasi, dan kehamilan.6

Gingivitis pada wanita hamil disebut gingivitis

gravidarum atau gingivitis kehamilan.4,6 Respon

inflamasi gingivitis kehamilan menjadi berlebihan

terhadap faktor iritasi lokal yang relativ sedikit.2,7

Kehamilan bukan merupakan etiologi utama

gingivitis, tetapi gingivitis akan terjadi jika terdapat

faktor iritasi lokal seperti bakteri plak dan faktor

lainya seperti peningkatan hormon estrogen dan

progesteron. Gingivitis tergantung pada tingkat

kebersihan mulut pasien serta peran hormon

estrogen dan progesteron pada jaringan

periodontal.2,6

Gingivitis kehamilan atau gingivitis

gravidarum biasanya terjadi pada bulan ke-2 dan

ke-3 masa kehamilan, biasanya pada minggu 8.

Puncak keparahan terdapat pada bulan ke-8 masa

kehamilan atau kehamilan pada minggu 32,

kemudian menurun pada bulan ke-9 masa

kehamilan seiring dengan menurunnya kadar

hormon dalam tubuh.2,6,8 Beberapa studi

menyatakan bahwa efek perubahan hormonal akan

mempengaruhi kesehatan gigi wanita hamil sebesar

60% dengan 10-27% mengalami pembengkakan

gusi.9 Persatuan Dokter Gigi Indonesia mencatat

radang gusi merupakan masalah mulut dan gigi

yang sering menimpa ibu hamil dimana 5-10% nya

mengalami pembengkakan gusi.1 Penelitian

Apriasari dan Irnamanda dilakukan selama bulan

Januari – Juni 2012 di RSUD Banjarbaru

didapatkan hasil total sampel 53 orang dengan

jumlah pasien tanpa penyakit periodontal 33 orang,

pasien dengan gingivitis gravidarum 16 orang dan

pasien dengan epulis gravidarum 4 orang.1

Data penyakit periodontal khususnya wanita

hamil di kota Banjarmasin belum ada. Oleh karena

itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

angka kelainan jaringan periodontal khususnya

gingivitis gravidarum dan epulis gravidarum pada

wantita hamil trimester ke-3 di RSUD ULIN

Banjarmasin.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif

observasional. Data diambil dari anamnesa dan

pemeriksaan klinis yang dilakukan terhadap pasien

poli kandungan RSUD ULIN Banjarmasin yang

datang untuk kontrol kehamilan rutin. Subjek pada

penelitian ini adalah para wanita hamil trimester ke-

3 di poli kandungan RSUD ULIN Banjarmasin

yang datang untuk kontrol kehamilan rutin pada

Mei – Agustus 2013 dan bersedia menjadi subjek

penelitian. Kriteria inklusi yaitu wanita hamil

trimester ketiga di poli kandungan RSUD ULIN

Banjarmasin dan kooperatif. Kriteria ekslusi antara

lain memiliki penyakit sistemik, memiliki kondisi

malnutrisi, dan mengkonsumsi obat tertentu.

Populasi yang digunakan dalam penelitian

adalah pasien wanita hamil trimester ke-3 yang

melakukan kontrol di poli kandungan RSUD ULIN

Banjarmasin. Subjek penelitian adalah seluruh

wanita hamil trimester ke-3 di poli kandungan

RSUD ULIN Banjarmasin dating dengan keluhan

pada gingival pada Mei- Agustus 2013. Variabel

penelitian adalah kelainan jaringan periodontal

pada wanita hamil trimester ketiga. Pengumpulan

data diawali dengan pengisian informed consent,

kemudian anamnesa dan pemeriksaan klinis intra

oral. Data kemudian dicatat dan dianalisa.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian yang diperoleh didapat pasien

yang normal sebesar 73.8% atau 45 orang,

menderita gingivitis kehamilan (gingivitis

gravidarum) sebesar 26,2% atau 16 orang, dan

pasien yang menderita tumor kehamilan (epulis

gravidarum) sebesar 0% atau tidak ada. Hal ini

dapat dilihat pada Gambar 5.1. Hal ini

menunjukkan bahwa angka kejadian gingivitis

kehamilan (gingivitis gravidarum) di RSUD Ulin

Andriyani : Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal

Page 101: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

97

Banjarmasin masih cukup rendah yaitu tidak

dengan mencapai setengah dari total pasien

meskipun prosentase pasien yang normal masih

lebih tinggi.

. Gambar 5.1. Kelainan jaringan periodontal pada wanita

hamil trimester 3 di RSUD Ulin

Banjarmasin bulan Juni-Agustus 2013

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 5

pasien PNS diperoleh 2 orang (40%) yang

menderita gingivitis kehamilan (gingivitios

gravidarum) dan 3 orang (60%) lainnya normal.

Pasien yang bekerja dibidang swasta dari jumlah 15

orang diperoleh 4 orang (6.6%) yang menderita

gingivitis kehamilan (gingivitis gravidarum) dan 11

orang (18%) lainnya normal. Pasien yang menjadi

ibu rumah tangga dari jumlah 41 orang diperoleh 10

orang (16,4%) yang menderita gingivitis kehamilan

(gingivitis gravidarum) dan 31 orang (50,8%)

lainnya normal.

Gambar 5.2. Pekerjaan ibu hamil trimester 3 dengan

resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal.

Hasil penelitian menujukkan pasien dengan

ststus pendidikan SMP dari jumlah 11 orang

diperoleh 5 orang (45,5%) yang menderita

gingivitios kehamilan dan 6 orang (54,5%) lainnya

normal. Pasien dengan ststus pendidikan SMA dari

jumlah 38 orang diperoleh 8 orang (21,1%) yang

menderita gingivitis kehamilan dan 30 orang

(78,9%) lainnya normal. Pasien dengan status

pendidikan D3 dari jumlah 2 orang diperoleh (0%)

atau tidak ada yang menderita gingivitis kehamilan

atau normal. Pasien dengan ststu pendidikan S1 dari

jumlah 10 orang diperoleh 3 orang (30%) yang

menderita gingivitis kehamilan dan 7 orang (70%)

lainnya normal dan tidak ada yang menderita

epulis gravidarum dari tiap-tiap penghasilan ibu

hamil trimester 3.

Gambar 5.3. Pendidikan ibu hamil trimester 3 dengan

resiko terjadinya kelainan jaringan periodontal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien

dengan jumlah penghasilan keluarga 0-1,5 juta dari

jumlah 7 orang diperoleh 3 orang (42,9%) yang

menderita gingivitis kehamilan dan 4 orang

(57.1%) lainnya normal. Pasien dengan jumlah

penghasilan keluarga 1,5-5 juta dari jumlah 49

orang diperoleh 12 orang (24,5%) yang menderita

gingivitis kehamilan dan 37 orang (75,5%) lainnya

normal. Pasien dengan jumlah penghasilan keluarga

5-10 juta dari jumlah 5 orang diperoleh 1 orang

(20%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 4

orang (80%) lainnya normal dan tidak ada yang

menderita epulis gravidarum dari tiap-tiap

penghasilan ibu hamil trimester 3.

Gambar 5.4. Rata-rata jumlah penghasilan dengan resiko

terjadinya kelainan jaringan periodontal pada

wanita hamil trimester 3.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien

yang belum pernah melahirkan dari jumlah 26

orang diperoleh 2 orang (7,7%) yang menderita

gingivitis kehamilan dan 24 orang (92,3%) lainnya

normal. Pada pasien yang pernah melahirkan satu

kali dari jumlah 24 orang diperoleh 8 orang

0

20

40

60

Normal Gingivitis EpulisGravidarum

Jum

lah

Ora

ng

Keadaan Jaringan Periodotal

02468

1012

PNS Swasta Ibu RumahTangga

Jum

lah

Ora

ng

Pekerjaan

0

2

4

6

8

10

SMP SMA D3 S1

Jum

lah

Ora

ng

Pendidikan

0

5

10

15

Rp. 0-1.5juta

Rp. 1.5-5juta

Rp. 5-10juta

Jum

lah

Ora

ng

Penghasilan Rata-rata

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 95 - 101

Page 102: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

98

(33,3%) yang menderita gingivitis kehamilan dan

16 orang (66,7%) lainnya normal. Pada pasien yang

pernah melahirkan dua kali dari jumlah 9 orang

diperoleh (44,4%) atau 4 orang yang menderita

gingivitis kehamilan dan 5 orang (25,6%) lainnya

normal. Pada pasien yang pernah melahirkan tiga

kali dari jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%)

yang menderita gingivitis kehamilan dan lainnya

normal. Pada pasien yang pernah melahirkan empat

kali dari jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%)

yang menderita gingivitis kehamilan dan tidak ada

yang mengalami epulis gravidarum dari tiap-tiap

wanita hamil trimester 3 yang pernah melahirkan

dan maupun yang belum pernah melahirkan.

Gambar 5.5. Riwayat melahirkan dengan resiko

terjadinya kelainan jaringan periodontal pada

wanita hamil trimester 3.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah

pasien yang belum pernah keguguran dari jumlah

55 orang diperoleh 11 orang (20%) yang menderita

gingivitis kehamilan dan 44 orang (80%) lainnya

normal. Pasien yang pernah mengalami keguguran

satu kali dari jumlah 5 orang diperoleh 4 orang

(80%) yang menderita gingivitis kehamilan dan 1

orang (20%) lainnya normal. Pasien yang pernah

mengalami keguguran dua kali atau lebih dari

jumlah 1 orang diperoleh 1 orang (100%) yang

menderita gingivitis kehamilan dan tidak ada yang

mengalami epulis gravidarum dari tiap-tiap jumlah

keguguran pada wanita hamil trimester 3.

Gambar 5.6. Riwayat keguguran dengan resiko terjadinya

kelainan jaringan periodontal pada wanita

hamil trimester 3.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah

pasien yang tidak pernah melahirkan bayi prematur

dari jumlah 60 orang diperoleh 15 orang (25%)

yang menderita gingivitis kehamilan dan 45 orang

(75%) lainnya normal. Pada pasien yang pernah

melahirkan bayi prematur satu kali dari jumlah 1

orang diperoleh 1 orang (100%) yang menderita

gingivitis kehamilan dan tidak ada yang mengalami

epulis gravidarum berdasarkan tiap-tiap riwayat

pasien yang belum maupun pernah melahirkan

premature pada wanita hamil trimester 3.

Gambar 5.7. Riwayat melahirkan prematur dengan resiko

terjadinya kelainan jaringan periodontal

pada wanita hamil trimester 3

PEMBAHASAN

Gingivitis kehamilan merupakan suatu

keadaan klinis berupa pembengkakan gingiva yang

diakibatkan karena faktor hormonal yaitu

peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang

terjadi pada wanita yang berada pada masa

kehamilan.3,7 Adanya peningkatan hormon tersebut

menyebabkan gingiva menjadi lebih rentan

terhadap serangan bakteri yang terdapat dalam

akumulasi plak.1,6,8 Terdapat dua teori yang

mengemukakan tentang pengaruh hormon terhadap

sel pada jaringan periodontal yaitu terjadinya

perubahan efektifitas ketahanan epitel terhadap

serangan bakteri dan terganggunya pembentukan

kolagen yang baru.1,3 Efek peningkatan hormon

estrogen menyebabkan terjadinya peningkatan

proliferasi selular dalam pembuluh darah,

menurunkan proses keratinisasi dan meningkatkan

epitelial glikogen. Hormon progesteron

menyebabkan peningkatan vasodilatasi, dan

permeabilitas pembuluh darah, peningkatkan

proliferasi pembuluh darah kapiler baru pada

gingiva, menghambat pembentukan kolagen dan

menurunkan plasminogen aktivator inhibitor tipe 2

sehingga terjadi peningkatan proteolitik jaringan.

Efek kombinasi kedua hormon tersebut dapat

0

2

4

6

8

10

BelumPernah

1 Kali 2 Kali 3 Kali 4 Kali

Jum

lah

Ora

ng

Riwayat Melahirkan

0

5

10

15

BelumPernah

1 Kali 2 Kali

Jum

lah

Ora

ng

Riwayat Keguguran

0

5

10

15

20

Belum Pernah 1 Kali

Jum

lah

Ora

ng

Riwayat Melahirkan Prematur

Andriyani : Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal

Page 103: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

99

mempengaruhi substansi dasar jaringan ikat karena

adanya peningkatan cairan serta meningkatnya

konsentrasi saliva dengan adanya peningkatan

konsentrasi serum.1 Berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan di Amerika prevalensi terjadinya

gingivitis kehamilan bervariasi antara 67-100%.4

Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) mencatat

gingivitis (radang gusi) merupakan masalah gigi

dan mulut yang sering menimpa ibu hamil dengan

5-10%-nya mengalami pembengkakan gingiva.5

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan angka

kejadian gingivitis di RSUD Ulin Banjarmasin

bulan Juni-Agustus sebanyak 16 pasien atau sebesar

26,2%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian

gingivitis kehamilan di RSUD Ulin Banjarmasin

adalah ‘sedang’ atau ‘rendah’ karena tidak melebihi

setengah dari total sampel.

Pekerjaan tidak mempengaruhi terjadinya

kelainan jaringan gingiva karena faktor utama

terjadinya gingivitis kehamilan bukan hanya karena

kehamilan. Hal ini didukung dengan faktor lainnya

seperti kesehatan ibu hamil itu sendiri dan keadaan

rongga mulutnya. Pada wanita hamil trimester ke-3

biasanya mereka sudah mengistirahatkan diri

mereka di rumah dan mempersiapkan diri untuk

melakukan persalinan. Wanita hamil tetap dapat

bekerja namun aktivitas yang dijalaninya tidak

boleh terlalu berat. Istirahat untuk wanita hamil

dianjurkan sesering mungkin. Seorang wanita hamil

disarankan untuk menghentikan aktivitasnya

apabila mereka merasakan gangguan dalam

kehamilan seperti perdarahan dari kemaluan atau

keram hebat di perut. Pekerjaan yang membutuhkan

aktivitas fisik berat, berdiri dalam jangka waktu

lama, pekerjaan dalam industri mesin, atau

pekerjaan yang memiliki efek samping lingkungan

(misalkan limbah) harus dimodifikasi. Pada

minggu-minggu akhir kehamilan, tanda-tanda

permulaan persalinan harus diketahui oleh wanita

hamil tersebut sehingga akan lebih waspada apabila

muncul tanda-tanda persalinan.15,16,17

Pendidikan tidak ada hubungannya dengan

kelainan jaringan periodontal pada wanita hamil.

Hal ini berdasarkan pengetahuan ibu hamil tentang

bagaimana cara menjaga rongga mulutnya pada saat

mengandung, semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka semakin banyak pengetahuan yang

mereka dapat sehingga, mereka bisa lebih waspada

dan lebih bisa menjaga keadaan rongga mulut dan

kandungannya. Ibu yang mempunyai tingkat

pendidikan yang tinggi tidak menjamin tidak

menderita gingivitis kehamilan.16,17

Pada penelitian terhadap 320 wanita hamil di

Iran (2008) didapatkan hanya 5,6% sampel yang

memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, 30%

sampel yang bersikap baik terhadap kesehatan dan

34,4% sampel yang memiliki tindakan kesehatan

yang baik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa kurangnya pengetahuan, sikap dan tindakan

wanita hamil terhadap pemeliharaan kesehatan gigi

dan mulut akan menyebabkan terjadinya penyakit

gigi dan mulut.17,18

Rata-rata jumlah penghasilan bukan

merupakan faktor penyebab terjadinya kelainan

jaringan periodontal, apabila ibu hamil dalam

keadaan sosial yang tinggi bukan berarti tidak

beresiko terkena gingivitis. Ibu hamil dengan

keadaan sosial ekonomi yang rendah bukan berarti

beresiko terkena gingivitis lebih besar. Hal ini

disebabkan ada beberapa faktor lain yang

berpengaruh, tergantung pola hidup, asupan gizi

yang diperlukan saat hamil.16,17,18

Ibu hamil yang pernah melahirkan cenderung

memiliki resiko terjadinya kelainan periodontal

seperti gingivitis gravidarum pada kehamilan

berikutnya dibandingkan dengan ibu hamil yang

belum pernah melahirkan apabila kesehatan rongga

mulutnya tidak ditingkatkan. Hal ini karena ada

beberapa faktor yang mendukung terjadinya

inflamasi di gingiva, pengaruh hormon, pola hidup,

dan usia yang semakin bertambah, wanita yang

hamil di atas usia 28 tahun resiko terjadinya

gingivitis kehamilan itu lebih besar, karena itu salah

satu faktor pendukung terjadinya gingivitis

kehamilan di kehamilan berikutnya.16,18

Penelitian Offenbacher dkk menemukan

bahwa kadar PGE2 (prostaglandin E2) lebih tinggi

pada wanita yang melahirkan bayi dengan

keguguran. Patogen periodontal yang ditemukan

pada wanita hamil, yaitu B. forsythus, P. Gingivalis,

T. denticola dan A. Actinomyecetemcomitans. Hal

ini menunjukkan adanya hubungan antara penyakit

periodontal dengan keguguran. Penyakit

periodontal disebabkan oleh bakteri anaerob gram

negatif. Toksin dari bakteri ini berupa endotoksin /

lipopolisakarida (LPS), yang akan mencapai uterus

melalui aliran darah dan merangsang respon

inflamasi jaringan periodontal. Proses ini akan

menimbulkan bakterimia. LPS akan memicu

mediator inflamatori pada organ sistemik dan

jaringan periodontal, terutama sitokini, tumor

nekrosis faktor (TNF-α), interleukin (IL-1ß), dan

prostaglandin (PGE2) yang dapat mempengaruhi

kehamilan. Mediator ini dapat membahayakan unit

fetoplasenta dengan menimbulkan kontraksi otot

rahim dan dilatasi leher rahim. Keadaan ini

meningkatkan resiko keguguran.3,8,10,17

Menurut penelitian yang dilakukan di Padang

tahun 2011 hubungan antara kehamilan dan

penyakit di rongga mulut dapat terlihat dari

insidensi penyakit periodontal selain karena angka

insiden yang cukup tinggi juga berkaitan dengan

hasil beberapa penelitian mengenai efek penyakit

periodontal pada kehamilan. Wanita yang memiliki

bayi prematur dan berat badan yang relatif rendah

biasanya memiliki kondisi kesehatan periodontal

yang lebih buruk dibandingkan dengan bayi berat

badan normal.9,14,17 Efek hormon pada masa

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No1. Maret 2014 : 95 - 101

Page 104: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

100

kehamilan hanya bersifat sementara, karena

gingivitis kehamilan ini dapat mereda pada akhir

masa kehamilan.9 Gingivitis gravidarum sering

terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 masa kehamilan,

dengan manifestasi awal terlihat pada minggu ke-8.

Puncak keparahan terdapat pada bulan ke-8 masa

kehamilan atau kehamilan pada minggu ke-32,

kemudian menurun pada bulan ke-9 masa

kehamilan seiring dengan menurunnya kadar

hormon dalam tubuh.1,6,8,10 Hal tersebut yang

menyebabkan gejala klinis gingivitis gravidarum

lebih sering ditemukan pada pasien trimester ke-3

masa kehamilan daripada pasien trimester pertama.2

Radang pada jaringan periodontal jarang

mendapat perhatian dari penderita karena gejalanya

yang tidak terlalu mengganggu.1,15 Pada saat hamil,

terjadi peningkatan jumlah hormon estrogen dan

progesteron, dan peningkatan vaskularisasi

menyebabkan pembuluh darah gingiva lebih

permeabel dan sensitif dalam menerima respon

terhadap iritan lokal seperti plak, kalkulus, dan

karies.14 Jika ini terjadi, bakteri pada plak dapat

menembus aliran darah secara hematogen,

menyerang plasenta, sehingga plasenta memberi

mekanisme perlawanan dengan meningkatkan

kadar hormon prostaglandin yang mengakibatkan

kontraksi uterus meningkat dan menginduksi

kelahiran kurang bulan (prematur).13

Penelitian yang dilakukan oleh Jeffcoat di

America (2001) menunjukkan bahwa ibu dengan

periodontitis kehamilan memiliki risiko kelahiran

bayi prematur dengan berat badan lahir rendah

sebesar 4,45-7,07 kali lebih tinggi dari ibu dengan

periodontal sehat.17 Ibu hamil dengan gingivitis

memiliki faktor resiko terjadinya bayi lahir dengan

berat badan rendah. Hal ini seperti penelitian yang

dilakukan Retnoningrum pada tahun 2006 di rumah

sakit Dr. Kariadi Semarang, yang melaporkan

bahwa gingivitis pada ibu hamil mempunyai faktor

resiko bayi lahir dengan berat badan lahir rendah

sebesar 8,75 kali dibanding ibu yang tidak

mengalami gingivitis. Catatan PDGI yang

diterbitkan tahun 1996 menunjukkan 7 dari 10

perempuan hamil yang menderita radang gusi

berpotensi besar memiliki anak yang lahir

premature dengan berat badan lahir rendah. Data

tersebut diperkuat Survei Kesehatan Nasional tahun

2002 yang menyebutkan bahwa 77% ibu hamil

yang menderita radang gusi melahirkan bayi secara

prematur.8,9

Infeksi bakteri pada jaringan periodontal

dengan kondisi rongga mulut yang buruk pada ibu

hamil dapat mempermudah proses patogenik dari

bakteri dan produknya. Proses ini terjadi melalui

jalur hematogen yang selanjutnya akan

mempengaruhi janin. Pada masa kehamilan akan

terjadi perubahan keseimbangan flora normal

rongga mulut dan perubahan hormonal yang dapat

mempengaruhi kondisi rongga mulut.10 Selama

kehamilan, terjadi perubahan pH saliva, pH cairan

gingiva dan aktivitas hormon perempuan hamil

dalam cairan gingiva yang akan mempengaruhi

perkembangan plak dengan dominasi bakteri

anaerob.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Apriasari MA. dan Hasbullah DP. Prevalensi

Gingivitis dan Epulis Gravidarum pada Wanita

Hamil Trimester ke-tiga di RSUD Banjarbaru

(Januari-Juni 2012). Departemen Penyakit

Mulut. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi.

2012;1(1):129-135

2. Caranza FA. Newman MG. and Takei HA.

Clinical Periodontology. St. Louis Missouri :

Sauders. 10th ed. 2002. p16-67, 212-520

3. Pirie M. Linden G. and Irwin C. Dental

Manifestation of pregnancy. The obstetrician

and gynecologist. 2007;(9):21-26

4. Kanotra SS. Pai KM. Dental Consideration in

Pregnancy : review. Rev. clin. Pesq. Odontal.

2010;6(2):161-162

5. Lafaurie G.I. Gingival Tiddue dan Pregnancy.

Directur Oral Basic Research Unit. University

El-Basque. 2009;(10):101-112

6. Mercuschamer E, Hawley CE. and Speckman

Israel. A lifetime of normal hormonal event

and their impact on periodontal health.

Perinatol Repord Hum. 2009;23(2):53-64

7. Jared H. and Boggess KA. Periodontal Disease

and Adverse pregnancy Outcomes: a review of

the Evidence and implication for clinical

practice. The journal of dental hygiene.

2008;1(1):3-8

8. Diana D. Pengetahuan, sikap, dan perilaku

wanita hamil pengunjung poliklinik obstetry

dan ginekalogi RSU dr. pringadi medan

terhadap kesehatan gigi dan mulut selama masa

kehamilan. Skripsi kedokteran gigi. Medan :

Universitas Sumatera Utara. 2009. Hal6-15

9. Santoso P. Mekanisme hubungan periodontitis

dan bayi premature berat lahir rendah. Jurnal

Kedokteran Gigi Indonesia. 2006:1(2):23-28

10. Hartati N, Suratiah, Mayunilga O. Ibu Hamil

dan HIV AIDS. Jurnal Ilmiah Keperawatan.

Jakarta. 2009;1(2):39-44

11. Suresh L. and Radfar L. Pregnancy and

lactation. Oral Surg Oral Med Oral Patho

Radio Endod. 2004;97(6):672-680.

12. Langlais RP. and Miller CS. Atlas Berwarna

kelainan rongga mulut yang lazim. Jakarta :

Hipokrates. 2000. Hal26-27

13. Agueda, A., Echeverria, A. and Manau, C.

Association between periodontitis in pregnancy

and preterm or low birth weight. Journal Of

Clinical Periodontology, 2008;35(10);16-22.

14. Hasibuan, S. Perawatan dan pemeliharaan

kesehatan gigi dan mulut pada masa

Andriyani : Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal

Page 105: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

101

kehamilan. Skripsi Kedokteran Gigi. Medan :

Universitas Sumatera Utara. 2004 hal10-14

15. Affandi, R. Perawatan gigi dan mulut pada

keadaaan kehamilan. Bagian Gigi Mulut.

Jurnal Kedokteran Gigi. 2006;11(2);9-15.

16. Manter M. 2005. Pregnancy and oral health

modules. Mid-Iowa Foundation: Delta Dental

of Iowa. Pp.3-11Moeis,FE. PDGI Online :

Meneropong Penyakit melalui Gigi, (Online),

http://www.pdgionline.com/v2/index.php?optio

n=com_content&task=view&id=800&

Itemid=1 (diakses 26 Desember 2011)

17. Offenbacher S. Jared HL. O’Reilly PG. Wells

SR. Salvi GE. Lawrence HP. Potential

pathogenic mechanism of periodontitis

associated pregnancy complication. Ann

Periodontol. 1998;l3(2):233-47.

18. Hajikazemi ES, Oskouie F, Mohseny S,

Nikpour S, Haghany H. The relationship

between knowledge, attitude, and practice of

pregnant women about oral and dental care.

European Journal of Scientific Research. 2008;

24(4): 556-62.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 95 - 101

Page 106: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

102

DENTINO

JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

HUBUNGAN PELAKSANAAN UKGS DENGAN STATUS KESEHATAN GIGI DAN

MULUT MURID SEKOLAH DASAR DAN SEDERAJAT DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS CEMPAKA PUTIH KOTA BANJARMASIN

Rosihan Adhani, Ringga Setiawan, Bayu Indra Sukmana, Teguh Hadianto

Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACK

Background: UKGS is a program of oral health services that provide promotive, preventive, curative,

and rehabilitative for school-age children in the target schools in order to get a healthy generation. UKGS

program running since 1951, but the dental health status at age 12 is still not satisfactory. Results of

RISKESDAS in 2007, the prevalence of caries in Indonesia is 67.2 %, the prevalence of active caries at age 12 is

29.8 %, 36.1 % caries experience, RTI is 62.3 %, and only 0.7% of PTI. Purpose: The purpose of this study was

to determine the relationship of implementation UKGS and the oral health status of pupils in Cempaka Putih

Local Health Clinic. Methods: This type of research was an analytic survey with cross sectional approach.

Samples totaling 121 students were taken by using purposive sampling, 10 teachers of UKGS Supervisors, and 1

dentist. Data obtained from interviews and analysis of index examination of DMF-T PUFA, OHIS, and CPITN.

Results: The results of this study for tooth defect was relatively at low levels, caries-free rate was low, the level

of oral hygiene is classified as good and the level of periodontal health is good.Conclusion: The results of the

analysis with the Fisher exact test with aconfidence level of 95% indicated there was no significant relationship

between UKGS program implementation and the oral health status of pupils (p >0.05).

Keywords: UKGS, DMF-T PUFA, OHIS, and CPITN.

ABSTRAK

Latar Belakang: UKGS adalah program pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang memberikan

pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi anak usia sekolah di lingkungan sekolah binaan

agar mendapatkan generasi yang sehat. Program UKGS berjalan sejak 1951, tetapi status kesehatan gigi pada

usia 12 tahun masih belum memuaskan. Hasil RISKESDAS tahun 2007, prevalensi karies di Indonesia adalah

67,2%, prevalensi karies aktif umur 12 tahun 29,8%, pengalaman karies 36,1%, RTI 62,3%, dan PTI hanya

0,7%. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pelaksanaan program UKGS dengan

status kesehatan gigi dan mulut murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin.Metode:Jenis

penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 121

murid diambil dengan teknik purposive sampling, 10 guru Pembina UKGS, dan 1 dokter gigi. Data yang

diperoleh dari hasil wawancara dan analisis pemeriksaan indeks DMF-T PUFA, OHIS, CPITN.Hasil: Hasil

penelitian untuk tingkat kerusakan gigi tergolong rendah, angka bebas karies masih rendah, tingkat kebersihan

mulut tergolong baik dan sedang dan tingkat kesehatan jaringan periodontal tergolong baik.Kesimpulan: Hasil

analisis dengan uji Fisher exact dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukan tidak terdapat hubungan antara

pelaksanaan program UKGS dengan status kesehatan gigi dan mulut murid di wilayah kerja Puskesmas

Cempaka Putih Banjarmasin (p > 0,05).

Kata-kata kunci: UKGS, DMF-T PUFA, OHIS, dan CPITN.

Laporan Penelitian

Page 107: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

103

Korespondensi: Ringga Setiawan, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Kondisi kesehatan gigi dan mulut di Indonesia

saat ini masih sangat memprihatinkan, perlu

perhatian serius dari tenaga kesehatan. Hasil studi

morbiditas Studi Kesehatan Rumah Tangga -

Survei Kesehatan Nasional 2001, dari prevalensi

sepuluh kelompok penyakit yang dikeluhkan

masyarakat, penyakit gigi dan mulut di urutan

pertama dengan prevalensi 61%, diderita oleh 90%

penduduk Indonesia dan 89% anak di bawah umur

12 tahun.1,2Sebesar 62,4% penduduk terganggu

sekolahnya karena sakit gigi selama rata-rata 3,86

hari per tahun.3Karies gigi dan penyakit periodontal

dapat dicegah melalui kebiasaan memelihara

kesehatan gigi dan mulut sejak dini dan secara

kontiniu.4Hasil National Oral Health Survey

(NOHS) tahun 2006 di Filipina, 97,1% anak

sekolah dasar umur 6 tahun dan 78,4% anak umur

12 tahun mengalami karies, dan hampir 50%

menderita infeksi odontogenic dengan karies yang

mencapai pulpa, ulserasi, fistula dan abses

(PUFA).5

Status kesehatan gigi dan mulut usia 12 tahun

merupakan indikator utama pengukuran

pengalaman karies gigi yang dinyatakan dengan

indeks Decay Missing Filling Tooth(DMF-T).

World Health Organization dalam

HealthforAllbytheYear2000 menargetkan pada

tahun 2000 sebanyak 50% anak usia 5 - 6 tahun

bebas karies, hingga saat ini target tersebut belum

tercapai.6World Health Organization tahun 2001

menetapkan Oral Health Global Indicator for year

2015, skor Decay Missing Filling Tooth (DMF-T)

pada usia 12 tahun<3. Target nasional indeks

Decay Missing Filling Tooth (DMF-T)rata-rata ≤ 2,

target Oral Higiene Index Simplify(OHI-S)rata-rata

adalah ≤ 1,2 dan indeks Community Periodontal

Index of Treatment Needs(CPITN) ≥ 3

sekstan.7Oleh karena itu, dibutuhkan upaya

pencegahan penyakit gigi melalui sekolah, pada

jenjang yang lebih awal.7

Agar target pencapaian gigi sehat WHO

tercapai, dibutuhkan perhatian dan penanganan

serius dari tenaga kesehatan, baik dokter gigi

maupun perawat gigi serta suatu tindakan

pencegahan.8Pencegahan ditujukan kepada murid

sekolah melalui suatu program kesehatan yang

terencana dan terpadu di sekolah dasar.9,12Langkah-

langkah tindakan pencegahan menurut Leavel dan

Clark terdiri atas lima tingkat pencegahan (five

level of preventive) dalam melakukan pendidikan

kesehatan yaitu health promotion, specific

protection, early diagnosis and promp treatment,

disability limitation, and rehabilitation.10

Usaha untuk mengatasi masalah kesehatan

gigi pada anak adalah program Usaha Kesehatan

Gigi Sekolah (UKGS), yaitu salah satu program

pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas

dan dibawahi oleh program Usaha Kesehatan

Sekolah. UKGS memberikan pelayanan dalam

bentuk promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif

yang ditujukan bagi anak usia sekolah di

lingkungan sekolah binaan agar mendapatkan

generasi yang sehat.9Program UKGS berjalan sejak

tahun 1951, tetapi status kesehatan gigi pada usia

12 tahun masih belum memuaskan.11Hasil Riset

Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007

(DepKes), prevalensi karies di Indonesia adalah

67,2%. Prevalensi karies aktif umur 12 tahun

sebesar 29,8%, pengalaman karies sebesar 36,1%,

Required Treatment Index(RTI) 62,3%, dan

Performed Treatment Index(PTI) hanya sebesar

0,7%. Standar Pelayanan Minimal bidang

Kesehatan Kabupaten/Kota Permenkes RI No.

741/Menkes/Per/VII/2008 menunjukkan bahwa

cakupan penjaringan kesehatan murid SD dan

sederajat sebesar 100% pada tahun 2010. Indeks

Decay Missing Filling Tooth (DMF-T) di

Kalimantan Selatan umur 12 tahun sebesar 1,17.

Prevalensi karies aktif sebesar 39, 6% dan

pengalaman karies sebesar 49,2% dengan Required

Treatment Index(RTI) sebesar 61,17% dan

Performed Treatment Index(PTI) sebesar 1,66%.

Banjarmasin merupakan kota yang menerima

perawatan atau pengobatan dari tenaga medis yang

tinggi tetapi masalah gigi dan mulutnya juga masih

cukup tinggi.12,13Tujuandari penelitian ini adalah

untuk menganalisa hubungan antara pelaksanaan

program UKGS dengan status kesehatan gigi dan

mulut murid di wilayah kerja Puskesmas Cempaka

Putih Kota Banjarmasin tahun 2013.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian

Survey Analitik dengan pendekatan Cross

Sectional.Bahan yang digunakan adalah alkohol

70%.Alat yang digunakan adalah kapas, tisu, alat

diagnostik,sarung tangan, masker, senter kecil,

probe WHO, formulir informed concent, lembar

penilaian indeks (DMF-T PUFA, OHIS, dan

CPITN), alat tulis, lembar kuisioner. Populasi pada

penelitian ini adalah semua murid di sepuluh

sekolah dasar negeri dan sederajat dalam wilayah

kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin

tahun ajaran 2013/2014. Pengambilan sampel

dilakukan secara purposive sampling, total sample

sebanyak 121 murid dengan kriteria inklusinya

adalahbersedia dijadikan sampel dalam penelitian,

murid kelas VI berusia 12 tahun, gigi permanen

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109

Page 108: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

104

lengkap (kecuali gigi molar ketiga),dan kriteria

eksklusinya adalahmemiliki riwayat penyakit

sistemik, mamakai peranti orthodontik.

Variabel yang diteliti pada penelitian ini

adalah pelaksanaan program Usaha Kesehatan Gigi

Sekolahdan status kesehatan gigi dan mulut yaitu

karies gigi, oral hygiene dan kesehatan periodontal

murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja

Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun

ajaran 2013 - 2014. Pengumpulan data kegiatan

UKGS dilakukan di Puskesmas yang diperoleh

dengan melakukan wawancara terhadap dokter gigi

dan di sekolah dengan melakukan wawancara

terhadap kepala sekolah, wali kelas, atau guru

olahraga.Data status kesehatan gigi dan mulut

diperoleh dengan memeriksa rongga mulut semua

sampel untuk melihat status kerusakan gigi, status

kebersihan mulut, status kesehatan jaringan

periodontal.Dalam hal ini, indeks kerusakan gigi

yang dipakai adalah indeks yang diperkenalkan

oleh Wim Van Palenstein yaitu indeks DMF-T

PUFA.Rumus menghitung DMF-T PUFA= jumlah

gigi decay + missing + filling + pulp involvmet +

ulcerative + abscess.

Kategori DMF-T menurut WHO yaitu sangat

rendah = 0,0 – 1,1, rendah = 1,2 – 2,6 , sedang =

2,7 – 4,4 , tinggi = 4,5 – 6,5, sangat tinggi = > 6,6.

Indeks kebersihan mulut yang digunakan adalah

menurut Green dan Vermillion, yaitu indeks Oral

Hygiene Simplified (OHI-S) yang merupakan

penjumlahan dari indeks debris dan indeks

kalkulus. Baik apabila skor = 0-1,2, sedang = skor

1,3-3 , dan buruk = skor 3,1-6.Index resmi untuk

mengukur kondisi jaringan periodontal serta

perkiraan kebutuhan perawatan adalah Community

Periodontal Index Treatment of Needs (CPITN)

dari WHO.Baik apabila sekstan gusi sehat >3,

sedang 2,1-2,9, buruk < 2.Analisis data yang

digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan

analisis bivariate dengan uji fisher exact.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada sekolah dasar

dan sederajat di wilayah kerja Puskesmas Cempaka

Putih Kota Banjarmasin pada bulan Agustus

2013.Hasil penelitianhubungan pelaksanaan

program UKGS dengan status kesehatan gigi dan

mulut murid sekolah dasar dan sederajat di wilayah

kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin

tahun ajaran 2013 - 2014.Berikut ini merupakan

hasil penelitian hubungan pelaksanaan UKGS

dengan status kesehatan gigi dan mulut murid

sekolah dasar dan sederajat di wilayah kerja

Puskesmas Cempaka Putih Kota Banjarmasin tahun

2013-2014.

Usaha Kesehatan Gigi Sekolah

Kategori UKGS dikelompokkan menjadi

UKGS sangat aktif, UKGS aktif, UKGS kurang

aktif dan UKGS tidak aktif. Berdasarkan kategori

tersebut, maka data hasil penelitian dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

Gambar 1 Kategori pengelompokkan sekolah

dalam pelaksanaan UKGS di wilayah

kerja Puskesmas Cempaka Putih

Kota Banjarmasin tahun 2013-2014.

Tabel 1 Gambaran sekolah dalam

pelaksanaan UKGS di wilayah kerja

Puskesmas Cempaka Putih Kota

Banjarmasin tahun 2013-2014.

Prosentase berdasarkan distribusi data pada

Tabel1 untuk kelompok dengan kategori UKGS

sangat aktif ada 8 sekolah (80%), kategori UKGS

aktif ada 2 sekolah (20%), dan tidak ada yang

masuk dalam kategori UKGS kurang aktif dan

UKGS tidak aktif (0%)

Hasil wawancara dengan dokter gigi

Puskesmas diperoleh cakupan sekolah yang

mendapat pelayanan UKGS tahap III memiliki

cakupan 100%.Wawancara dengan guru Pembina

UKGS di sepuluh sekolah dasar dan sederajat di

wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih mengenai

kegiatan UKGS yang dilaksanakan adalah

kunjungan petugas kesehatan ke sekolah (minimal

2 kali dalam satu tahun), pembinaan oleh lintas

sektor melalui tim pembina UKS Kecamatan, guru

yang mengikuti pelatihan UKGS/UKS, murid yang

0%

20%

40%

60%

80%

100%

UKGS

Sangat Aktif

UKGS Aktif UKGS

Kurang

Aktif

UKGS

Tidak Aktif

Perse

nta

se

UKGS

Kategori

UKGS

Cakupan Frekuensi (Sekolah)

Persen

Sangat Aktif

UKGS tahap III

- SDN Kebun Bunga 1 - SDN Kebun Bunga 3

- SDN Kebun Bunga 4

- SDN Kebun Bunga 5 - SDN Kebun Bunga 6

- SDN Kuripan 1

- SDN Kuripan 2 - SD Muhammadiyah 9

Aktif - SDN Kebun Bunga 9

- MI Sullamut Taufiq

Kurang

Aktif

- -

Tidak

Aktif

- -

Jumlah

Sekolah

10

DMF-T rata-rata = ∑D + ∑M + ∑F +∑P + ∑U + ∑F + ∑A

∑ orang yang diperiksa

Setiawan : Hubungan Pelaksanaan UKGS

Page 109: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

105

mengikuti pelatihan dokter kecil, penyuluhan, sikat

gigi masal, pelayanan medik gigi dasar atas dasar

permintaan pada murid kelas I-VI (care on

demand), pelayanan medik gigi dasar kelas terpilih

sesuai kebutuhan untuk kelas I, III,dan IV, dan

rujukan bagi siswa yang membutuhkan perawatan.

Frekuensi kegiatan UKGSdilakukan 1 kali dalam

sebulan untuk kegiatan pelayanan medik gigi dasar

dan minimal 2x setahun untuk kegiatan lain.

Status Kesehatan Gigi dan Mulut

Status kesehatan gigi dan mulut dapat dilihat

dari angka bebas karies, tingkat kerusakan gigi

(DMF-T PUFA), tingkat kebersihan mulut (OHIS)

dan tingkat kesehatan jaringan periodontal

(CPITN).

Gambar 2 Angka karies dan bebas karies murid

sekolah dasar dan sederajat di

wilayah kerja Puskesmas Cempaka

Putih Kota Banjarmasin tahun 2013-

2014.

Angka bebas karies anak usia 12 tahun

berdasarkan distribusi data pada gambar 2 untuk

kategori UKGS sangat aktif ada 23 orang (23%)

dan yang mengalami karies ada 75 orang (77%).

Anak laki laki yang mengalami karies ada 38 orang

(39%) dan yang bebas karies ada 15 orang

(15%).Anak perempuan yang mengalami karies ada

37 orang (38%) dan yang bebas karies ada 8 orang

(8%). Angka bebas karies anak 12 tahun untuk

kategori UKGS aktif ada 4 orang (17%) dan yang

mengalami karies ada 19 orang (83%). Anak laki

laki yang mengalami karies ada 10 orang (43%)

dan yang bebas karies ada 2 orang (9%).Anak

perempuan yang mengalami karies ada 9 orang

(39%) dan yang bebas karies ada 2 orang (9%).

Tabel 2 Angka kerusakan gigi murid sekolah

dasar dan sederajat di wilayah kerja

Puskesmas Cempaka Putih Kota

Banjarmasin tahun 2013-2014.

Berdasarkan distribusi data pada Tabel

2diketahui bahwa rata-rata indeks kerusakan gigi

(DMF-T PUFA) murid sekolah dasar untuk

kelompok UKGS sangat aktif adalah 2,44 termasuk

dalam kategori WHO rendah dengan jumlah decay

sebanyak 169 (70%), missing 8 (3,5%), filling 13

(5,5%), pulp involvment 32 (13,5%), fistula 18

(7,5%), tidak tedapat ulcerative dan abscess.Untuk

kelompok UKGS aktif rata rata indeks DMF-T

PUFA adalah 2,17 termasuk dalam kategori WHO

rendah dengan jumlah decay sebanyak 31 (62%),

missing 1 (2%), filling 1 (2%), pulp involvment 12

(24%), fistula 5 (10%), tidak tedapat ulcerative dan

abscess.

Gambar 3 Tingkat kerusakan gigi murid sekolah

dasar dan sederajat di wilayah kerja

Puskesmas Cempaka Putih Kota

Banjarmasin tahun 2013-2014.

Berdasarkan distribusi data pada gambar 3

tingkat kerusakan gigi untuk kelompok UKGS

sangat aktif dengan kategori sangat rendah ada 39

orang (40%), kategori rendah ada 16 orang (16%),

kategori sedang ada 24 orang (25%), kategori tinggi

ada 14 orang (14%) dan kategori sangat tinggi ada

5 orang (5%). Untuk kelompok UKGS aktif tingkat

kerusakan gigi dengan kategori sangat rendah ada 9

orang (40%), kategori rendah ada 6 orang (26%),

kategori sedang ada 6 orang (26%), kategori tinggi

ada 1 orang (4%) dan kategori sangat tinggi ada 1

orang (4%).

Berdasarkan rata-rata indeks karies gigi

(DMF-T PUFA) sepuluh sekolah dan hasiluji fisher

(p = 0,359) maka dapat diketahuibahwatidak ada

hubungan antara pelaksanaan program UKGS

dengan status kerusakan gigi murid sekolah dasar. Kategori

OHI-S

UKGS Sangat

Aktif

UKGS Aktif

N Mean N Mean

DI- S 98 0.87 23 1.17

CI- S 98 0.31 23 0.28

OHI- S 98 1.17 23 1.45

Tabel 3 Gambaran oral higiene murid sekolah

dasar dan sederajat di wilayah kerja

Puskesmas Cempaka Putih Kota

Banjarmasin tahun 2013-2014.

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Karies Bebas KariesPer

sen

tase

(%

)

Gigi

UKGS

Sangat

AktifUKGS

Aktif

UKGS

Kurang

AktifUKGS

Tidak Aktif0%

10%

20%

30%

40%

50%

Sangat

Rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat

tinggi

Per

sen

tase

(%)

DMF-T PUFA

UKGS

Sangat

AktifUKGS

Aktif

UKGS

Kurang

AktifUKGS

Tidak

Aktif

Kategori

DMF-T

PUFA

UKGS Sangat

Aktif

UKGS Aktif

Jumlah

(Gigi)

Mean Jumlah

(Gigi)

Mean

D 169 1.72 31 1.34

M 8 0.08 1 0.04

F 13 0.13 1 0.04

P 32 0.32 12 0.52

U - - - -

F 18 0.18 5 0.22

A - - - -

Total 240 2.44 50 2.17

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109

Page 110: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

106

Gambar 4 Tingkat oral higiene murid sekolah

dasar dan sederajat di wilayah kerja

Puskesmas Cempaka Putih Kota

Banjarmasin tahun 2013-2014.

Berdasarkan distribusi data pada Tabel 3

diketahuibahwa rata-rata indeks kebersihan mulut

(OHI-S) pada murid sekolah kelompok UKGS

sangat aktif adalah 1,17 termasuk dalam kategori

baik. Rata rata debris indeks adalah 0,87 dan rata

rata calculus indeks adalah 0,31. Rata-rata indeks

kebersihan mulut (OHI-S) pada murid sekolah

kelompok UKGS aktif adalah 1,45 termasuk dalam

kategori sedang. Rata rata indeksdebris adalah 1,17

dan rata rata indekskalkulus adalah 0,28.

Tingkat OHI-S murid sekolah berdasarkan

distribusi data pada Gambar 4 untuk kelompok

UKGS sangat aktif dengan kategori baik ada 61

orang (62%), kategori sedang ada 34 orang (35%),

kategori buruk ada 3 orang (3%). Tingkat OHI-S

murid sekolah untukkelompok UKGS aktif dengan

kategori baik ada 8 orang (35%), kategori sedang

ada 15 orang (65%), dan tidak ada yang masuk

dalam kategori buruk.

Berdasarkan rata-rata indeks kebersihan mulut

(OHIS) sepuluh sekolah dan hasiluji fisher (p = 1)

maka dapat diketahuibahwa tidak ada hubungan

antara pelaksanaan program UKGS dengan status

kebersihan mulut murid sekolah dasar.

Kategori

CPITN UKGS Sangat Aktif UKGS Aktif

N Mean N Mean

CPITN 98 5.9 sekstan 23 6 sekstan

Tabel 4 Gambaran kesehatan jaringan

periodontal murid sekolah dasar dan

sederajat di wilayah kerja Puskesmas

Cempaka Putih Kota Banjarmasin

tahun 2013-2014.

Berdasarkan distribusi data pada Tabel 4

diketahui bahwa rata-rata indeks kesehatan jaringan

periodontal (CPITN) pada murid sekolah untuk

kelompok UKGS sangat aktif adalah 5,9 sekstan

termasuk dalam kategori WHO baik.Rata-rata

indeks kesehatan jaringan periodontal (CPITN)

pada murid sekolah untuk kelompok UKGS aktif

adalah 6 sekstan termasuk dalam kategori WHO

baik.

Gambar 5 Tingkat kesehatan jaringan

periodontal murid sekolah dasar dan

sederajat di wilayah kerja Puskesmas

Cempaka Putih Kota Banjarmasin

tahun 2013-2014.

Tingkat kesehatan jaringan periodontal

berdasarkan distribusi data pada Gambar 5 untuk

kelompok UKGS sangat aktif dengan kategori baik

ada 97 orang (99%), kategori sedang ada 1 orang

(1%).Tingkat kesehatan jaringan periodontal untuk

kelompok UKGS aktif dengan kategori baik ada 23

orang (100%), tidak ada yang masuk dalam

kategori sedang dan buruk (0%).

Berdasarkan rata-rata indeks kesehatan

jaringan periodontal (CPITN) sepuluh sekolahdan

hasil uji fisher (p = 1) maka dapat diketahuibahwa

tidak ada hubungan antara pelaksanaan program

UKGS dengan status kesehatan jaringan

periodontal.

PEMBAHASAN

Rendahnya angka bebas karies di sepuluh

sekolah dasar mengindikasikan bahwa kegiatan

UKGS yang dilakukan di sepuluh sekolah ini belum

optimal dalam upaya meningkatkan kesehatan gigi

dan mulut murid melalui UKGS, terlihat dari angka

bebas karies murid di sepuluh sekolah dasar adalah

23% untuk kategori UKGS sangat aktif dan 17%

untuk UKGS kategori aktif, masih jauh dari target

tahun 2020 sebesar 70% dan DMF-T di sepuluh

sekolah dasar <1.35Beberapa hal yang

mempengaruhi status kerusakan gigi dalam

pelaksanaan UKGS di wilayah kerja Puskesmas

Cempaka Putih adalah pengetahuan murid,

motivasi dan kesadaran dalam memelihara

kesehatan gigi dan mulut yang kurang, pelayanan

medik gigi dasar yang diberikan oleh fasilitas

pelayanan yang belum optimal, kerusakan gigi yang

cenderung tidak mau dirawat.

Menurut Schuurz (1992) menyebutkan bahwa

perawatan gigi sangat penting dilakukan agar anak

terhindar dari kerusakan gigi dan penyakit gusi.14

Rosdawati (2004) menjelaskan bahwa pengetahuan

yang cenderung baik, kurang memotivasi untuk

bersikap dan melalukan tindakan pemeliharaan

gigi.15 Hockenberry dan Wilson (2007) mengatakan

anak usia sekolah memiliki motivasi yang kurang

dalam melakukan perawatan gigi.16 Kawuryan

(2008) mengatakan bahwa 8 dari 10 anak Indonesia

pada kelompok usia 12 tahun mengalami gigi

0%

20%

40%

60%

80%

Baik Sedang Buruk

Per

sen

tase

(%

)

OHI-S

UKGS

Sangat

AktifUKGS

Aktif

UKGS

Kurang

AktifUKGS

Tidak Aktif

0%

50%

100%

150%

Baik Sedang BurukPer

sen

tase

(%

)

CPITN

UKGS

Sangat

AktifUKGS

Aktif

UKGS

Kurang

AktifUKGS

Tidak

Aktif

Setiawan : Hubungan Pelaksanaan UKGS

Page 111: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

107

berlubang.17 Sutarmi (2009) menyebutkan bahwa

tingkat pengetahuan perawatan gigi berhubungan

dengan kejadian karies gigi dan angka kejadian

karies gigi didominasi oleh siswa yang tidak

melakukan perawatan terhadap kerusakan gigi.18

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nur

Amaniah (2009) pada murid sekolah dasar di

Kabupaten Aceh Tamiang yang menyebutkan

bahwa tidak ada pengaruh antara UKGS dengan

status DMFT.19 Didukung dengan hasil penelitian

Pratiwi (2008)yang memperoleh rata-rata

pengalaman karies gigi (DMF-T) sebesar 2,77 pada

siswa SD di wilayah kerja Puskesmas Kota Binjai

Medan masih jauh dari target kesehatan gigi

Indonesia tahun 2020, yaitu skor DMF-T anak usia

12 tahun adalah <1.20 Hal ini disebabkan pelayanan

medik gigi dasar atas permintaan dan pelayanan

medik gigi dasar sesuai kebutuhan pada kelas

selektif (kelas VI) belum optimal dilaksanakan oleh

petugas UKGS untuk usia 12 tahun di kesepuluh

sekolah tersebut dikarenakan program ART baru

berjalan beberapa bulan. Decay (D) rata-rata, Pulp

Involvment (P) rata rata dan Fistula (F) rata rata

masih lebih tinggi dibandingkan dengan filling (F).

Hal ini mengindikasikan bahwa petugas UKGS

perlu meningkatkan pelayanan medik gigi dasar

berupa penambalan gigi kepada siswa yang

mengalami gigi berlubang agar tidak

mengakibatkan kerusakan yang lebih lanjut ataupun

dicabut.Menurut laporan, kesepuluh sekolah ini

telah memperoleh pelayanan UKGS tahap III,

seharusnya tidak ditemukan lagi adanya kerusakan

gigi pada siswa kelas selektif (kelas VI).

Meskipun target indeks kebersihan mulut

tahun 2020 sudah tercapai dengan OHI-S kategori

baik, kegiatan penyuluhan dan pelaksanaan sikat

gigi masal oleh petugas UKGS belum optimal

dengan frekuensi pelaksanaan penyuluhan dan sikat

gigi massal tidak sesuai dengan standar frekuensi

pelaksanaan menurut Departemen Kesehatan

Republik Indonesia tahun 2000 yaitu <8 kali dalam

setahun .12Beberapa hal yang mempengaruhi status

kebersihan mulut dalam pelaksanaan UKGS di

wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih adalah

kurangnya penyuluhan dan sikat gigi massal,

pengetahuan, sikap dan perilaku memelihara

kesehatan gigi dan mulut.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang telah dilakukan oleh Silvia Anitasari dan

Liliwati (2005) tentang kesehatan gigi dan mulut

pada murid-murid kelas I–VI SDN Kecamatan

Palaran Kotamadya Samarinda Propinsi

Kalimantan Timur yang menunjukkan bahwa

murid-murid yang mendapat penyuluhan dan

pelatihan cara menyikat gigi yang baik dan benar,

berpengaruh terhadap tingkat kebersihan gigi dan

mulut mereka. Hal ini berarti proses belajar yang

mereka dapat melalui program penyuluhan dan

pelatihan yang diberikan dapat dimengerti dan

dipraktekkan dalam keseharian murid-murid ini.21

Potter dan Perry (2005) mengatakan bahwa

menggosok gigi merupakan dasar untuk program

oral hygiene yang efektif.22 Hal ini sesuai dengan

teori Notoadmodjo (2007) menyatakan bahwa

pengetahuan mengenai kesehatan akan berpengaruh

terhadap perilaku sebagai hasil jangka panjang dari

pendidikan kesehatan23.Hal ini didukung oleh

penelitian Widyawati (2009) yang menyebutkan

bahwa penyuluhan kesehatan gigi dan mulut

berpengaruh pada sikap untuk memelihara

kebersihan mulut.24Pernyataan tersebut diatas

mendukung hasil penelitian yang dilakukan Dara

(2011) pada anak usia 9 – 12 tahun di SDN Maccini

I,II,III,IV dan SD Inpres Maccini I/I Makassar,

dimana didapatkan hasil adanya hubungan yang

bermakna antara pengetahuan tentang kesehatan

gigi dan mulut, sikap, dan tindakan pemeliharan

kesehatan gigi dan mulut dengan status kebersihan

mulut. Pengetahuan, sikap, dan tindakan

merupakan bagian dari perilaku yang merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat

kebersihan mulut.25

Beberapa hal yang mempengaruhi status

kesehatan gigi dan mulut dalam pelaksanaan UKGS

di wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih adalah

kesadaran dan perilaku memelihara kesehatan gigi

dan mulut, kerusakan gigi yang cenderung tidak

dirawat, oral hygiene, pelayanan medik gigi dasar

yang belum optimal.Menurut Schuurz (1992)

menyebutkan bahwa perawatan gigi sangat penting

dilakukan agar anak terhindar dari kerusakan gigi

dan penyakit gusi.14E.R Widi (2003) mengatakan

bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi

tingkat kesehatan jaringan periodontal adalahfaktor

kesadaran dan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi

dan mulut.26Hasil Penelitian ini sesuai dengan

penelitian Ramola (2006) pada siswa kelas 6 SD di

wilayah kerja puskesmas kota Matsum yang mana

rerata sekstan gusi sehat >3 sekstan.27 Levinus

(2013) mengatakan bahwa sehat atau tidaknya

jaringan periodontal seseorang lebih dipengaruhi

oleh keadaan oral hygiene atau kebersihan rongga

mulut dan cara memeliharanya, dikarenakan belum

optimalnya pelayanan medik gigi menyebabkan

tingkat kerusakan gigi sangat beresiko untuk

bermanifestasi pada kerusakan jaringan

periodontal.28

Temuan pada penelitian ini adalah dari

sepuluh sekolah dasar dan sederajat di wilayah

kerja Puskesmas Cempaka Putih, delapan sekolah

(80%) termasuk dalam kategori UKGS Sangat

Aktif, dan dua sekolah (20 %) sekolah termasuk

kategori UKGS Aktif.Angka bebeas karies murid di

wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih tergolong

masih rendah dilihat dari angka bebas karies murid

pada kelompok UKGS Sangat Aktif sebesar 23%

dan angka bebas karies murid pada kelompok

UKGS Aktif sebesar 17%.Tingkat kerusakan gigi

dan mulut (DMFT PUFA) murid di wilayah kerja

Puskesmas Cempaka Putih belum mencapai target

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109

Page 112: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

108

nasional yaitu skor DMFT PUFA>1, meski

termasuk dalam kategori rendah oleh WHO

(rentang skor 1,2-2,6), dilihat dari DMFT PUFA

kelompok UKGS Sangat Aktif dengan skor sebesar

2,44 dan DMFT PUFA kelompok UKGS Aktif

dengan skor sebesar 2,17. Tingkat kebersihan mulut

(OHIS) murid di wilayah kerja Puskesmas

Cempaka Putih telah mencapai target nasional yaitu

skor OHIS termasuk dalam kategori baik dilihat

dari skor OHIS kelompok UKGS Sangat Aktif

sebesar 1,17 dan skor OHIS kelompok UKGS Aktif

sebesar 1,45.Tingkat kesehatan jaringan periodontal

(CPITN) murid di wilayah kerja Puskesmas

Cempaka Putih telah mencapai target nasional yaitu

skor CPITN termasuk dalam kategori baik (>3

sekstan) dilihat dari skor CPITN kelompok UKGS

Sangat Aktif sebesar 5,9 sekstan dan skor CPITN

kelompok UKGS Aktif sebesar 6

sekstan.Performed Treatment Index (PTI) murid di

wilayah kerja Puskesmas Cempaka Putih belum

mencapai target nasional yaitu > 50%.Required

Treatment Index (RTI) murid di wilayah kerja

Puskesmas Cempaka Putih tergolong sangat rendah

dilihat dari RTI<50%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayat AF, Kasim F, Suwendere W.

Perbedaan Indeks Oral Higiene pada anak usia

sekolah dasar dengan dan tanpa program Usaha

Kesehatan Gigi Sekolah wilayah Puskesmas

Babakansari Kota Bandung tahun 2011.

Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas

Maranatha. 2011. p. 1-4.

2. Hamrun N, Rathi M. Perbandingan status gizi

dan karies gigi pada murid SD Islam Athirah

dan SD Bangkala III Makassar. Dentofasial

2009; 8 (1): 27-31.

3. Sriyono NW. Pencegahan Penyakit Gigi dan

Mulut Guna Meningkatkan Kualitas Hidup.

Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Gajah Mada. 2009: p. 3-4.

4. Riyanti E. Pengenalan dan perawatan

kesehatan gigi anak sejak dini. Jakarta: EGC.

2005: p. 3-5.

5. Anonymous. Promoting oral health in public

elementary schools.Department Education

Order Republic of the Philippines. 2007; 73

(19): p. 11-15.

6. Petersen PE, Bourgeois D, Brathall D, Ogawa

H. Oral health information systems-towards

measuring progress in oral health promotion

and disease prevention. Bulletin of the World

Health Organization. 2005; 83 (50) : 690.

7. Anonymous. Pedoman Pelaksanaan Kesehatan

Gigi Sekolah. Direktorat Jenderal Pelayanan

Medik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;

1999. p. 5-10.

8. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang

beresiko karies tinggi. Dentika Dent J. 2005;

38: (3): 130.

9. Herijulianti E, Indriani TS, Artini S.

Pendidikan kesehatan gigi. Jakarta: EGC.

2002. p. 119-132.

10. Megananda HP, Eliza H, Neneng N. Ilmu

Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan

Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC; 2012.

p. 6-7. 11. Zulkarnain RAA, Riyanti E, Sasmita IS. The

differences of caries prevalence and caries

index of children in primary school with and

without Dental Health Care Programme

(UKGS) in Kota Batam. Padjajaran.Padjajaran

Journal of Dentistry. 2009; 21(1): 36-40

12. Anonymous. Pedoman Usaha Kesehatan Gigi

Sekolah (UKGS). Jakarta: Direktorat Bina

Upaya kesehatan Dasar Direktorat Jenderal

Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan;

2012. p. 1-5; 7-12.

13. Anonymous. The National Institute of Health

Research and Development Ministry of Health

Republic of Indonesia. Jakarta: National Basic

Health Research R.I; 2008. p. 128-146.

14. Shuurz AHB. Patologi gigi geligi: kelainan

kelainan jaringan keras gigi. Yogyakarta:

Gajah Mada University press; 1992. p. 135.

15. Rosdawati L. Hubungan perilaku

pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut

dengan status kesehatan gigi dan mulut murid

di Kabupaten Langkat tahun 2004. Ussu press.

2005; 121(11) :11-15.

16. Hockenberry MJ. Wilson D. Wong’s nursing

care infant and children. St. Louis: Masby

Elsevier; 2007. p.1-5.

17. Kawuryan U. Hubungan pengetahuan tentang

kebersihan gigi dan mulut dengan kejadian

karies gigi anak SDN Kleco II kelas V dan VI

Laweyan Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta; 2008. p. 1-5.

18. Sutarmi. Hubungan tingkat pengetahuan

tentang perawatan gigi dengan kejadian karies

gigi pada siswa kelas V dan VI SD

Kedungbulus Kecamatan Prembun Kabupaten

Kebumen.Jurnal keperawatan Indonesia.

2008: 5(1): 5-10.

19. Nur Amaniah. Hubungan faktor manjemen

dan tenaga pelaksana UKGS dengan cakupan

pelayanan UKGS serta status kesehatan gigi

dan mulut murid sekolah dasar di Kabupaten

Aceh Tamiang. Medan: Fakultas Kedoteran

Gigi Sumatera Utara; 2010. p. 78.

20. Pratiwi, Netty. Hubungan karakteristik

organisasi dengan kinerja program UKGS

kota Binjai. Medan: Fakultas Kedoteran Gigi

Sumatera Utara; 2008.p. 15.

21. Anitasari S, Liliwati. Pengaruh Frekuensi

Menyikat Gigi Terhadap Tingkat Kebersihan

Gigi dan Mulut Siswa-Siswi Sekolah Dasar

Setiawan : Hubungan Pelaksanaan UKGS

Page 113: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino

109

Negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya

Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.

Dentika Dent J. 2005; 10(1): 22.

22. Potter PA, Perry AG. Fundamental Nursing:

concept, process, and practice Ed 6. St. Louis:

Mosby year book; 2005. p. 151.

23. Notoadmojo S. Pendidikan dan perilaku

kesehatan. Jakarta: Rineka cipta; 2007. p. 15.

24. Widyawati YR. Pengaruh penyuluhan

kesehatan gigi dan mulut terhadap sikap anak

dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut

pada siswa kelas IV dan V SDK Santa Maria

Ponorogo. Jurnal keperawatan Indonesia.

2009; 5(1): 1-5.

25. Dara. Hubungan pengetahuan tentang

kesehatan gigi dan mulut, sikap dan tindakan

pemeliharaan kesehatan gigi dengan status

kebersihan gigi dan mulut pada anak usia 9-

12 tahun di SDN Maccini I,II,III,IV dan SD

Inpres Maccini I/I Makassar. Makassar: FKG

Unhas; 2011. p. 5.

26. E.R Widi. Hubungan perilaku membersihkan

gigi terhadap tingkat kebersihan mulut siswa

sekolah dasar negeri wilayah kerja puskesmas

gladak pakem kabupaten jember. JKGI 2003;

10 (3): 10;13.

27. Ramola E. Faktor faktor yang berhubungan

dengan Need dan Demand kesehatan gigi

siswa kelas VI SD dalam memanfaatkan

pelayanan kesehatan gigi di wilayah kerja

Puskesmas Kota Matsum tahun 2005. Medan:

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

2006. p. 5-10.

28. Levinus PS, Zuliari K, Eunike MS. Gambaran

status jaringan periodontal pada pelajar di

SMA 1 Manado. Manado: Fakultas kedokteran

Universitas Sam Ratulangi; 2013. p. 5.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 102 - 109

Page 114: Jurnal Kedokteran Gigi Dentino