jurnal jaminan sosial

193
DAFTAR ISI Dari Redaksi ............................................................................ Abstrak Artikel: Tanggung Jawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial Oleh: Rudy Hendra Pakpahan dan Eka N. A. M. Sihombing ............. Hadirnya Negara di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Oleh: Ahmad Nizar Shihab .............................................................. Komitmen Pemerintah dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional Oleh: Zaelani ................................................................................... Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan Oleh: Mundiharno ............................................................................ Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Transformasinya Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Oleh: Qomaruddin ........................................................................... Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Oleh: Asih Eka Putri ........................................................................ Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) terhadap Kegiatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Oleh: Bambang Purwoko ................................................................. Organisasi Jaminan Sosial di Negara Federal Republik Jerman: Suatu Perbandingan Oleh: Nurfaqih Irfani ........................................................................ Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Sebagai Penerjemah Resmi Peraturan Perundang-Undangan Oleh: Syahmardan .......................................................................... Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi Oleh: Wahyu Wiriadinata ................................................................. Biodata Penulis ISSN: 0216-1338 iii 163 - 174 175 - 190 191 - 206 207 - 222 223 - 238 239 - 254 255 - 274 275 - 298 299 - 314 315 - 332 Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

description

jaminan sosial nasional

Transcript of jurnal jaminan sosial

Page 1: jurnal jaminan sosial

DAFTAR ISI

Dari Redaksi ............................................................................AbstrakArtikel:

Tanggung Jawab Negara dalam Pelaksanaan JaminanSosialOleh: Rudy Hendra Pakpahan dan Eka N. A. M. Sihombing .............Hadirnya Negara di Tengah Rakyatnya Pasca LahirnyaUndang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BadanPenyelenggara Jaminan Sosial.Oleh: Ahmad Nizar Shihab ..............................................................Komitmen Pemerintah dalam Penyelenggaraan JaminanSosial NasionalOleh: Zaelani ...................................................................................Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan KesehatanOleh: Mundiharno ............................................................................Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosialdan Transformasinya Menurut Undang-Undang Nomor 24Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan SosialOleh: Qomaruddin ...........................................................................Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan SosialOleh: Asih Eka Putri ........................................................................Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan SosialNasional (DJSN) terhadap Kegiatan Operasional BadanPenyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)Oleh: Bambang Purwoko .................................................................Organisasi Jaminan Sosial di Negara Federal RepublikJerman: Suatu PerbandinganOleh: Nurfaqih Irfani ........................................................................Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-UndanganSebagai Penerjemah Resmi Peraturan Perundang-UndanganOleh: Syahmardan ..........................................................................Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak PidanaKorupsiOleh: Wahyu Wiriadinata .................................................................

Biodata Penulis

ISSN: 0216-1338

iii

163 - 174

175 - 190

191 - 206

207 - 222

223 - 238

239 - 254

255 - 274

275 - 298

299 - 314

315 - 332

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Page 2: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Page 3: jurnal jaminan sosial

DARI REDAKSI

Dari Redaksi

Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 2 Tahun 2012menyajikan tema tentang “Penyelenggaraan Jaminan Sosial diIndonesia”, tema ini dipilih sehubungan dengan telah berlakunyaUndang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial pada tanggal 25 November 2011. Pembentukan BadanPenyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.Dalam rangka mewujudkan sistem jaminan sosial nasional, Pemerintahperlu membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang berbentukbadan hukum publik. Undang-Undang tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial ini selain mengamanatkan pembentukan 2 (dua) BPJSyaitu BPJS Kesehatan yang menyelenggarakan program jaminankesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang menyelenggarakan programjaminan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminankematian. Undang-Undang ini juga mengamanatkan adanyatransformasi kelembagaan PT. ASKES (Persero), PT. JAMSOSTEK(Persero), PT. TASPEN (Persero), dan PT. ASABRI (Persero) menjadi BadanPenyelenggara Jaminan Sosial. Dengan terbentuknya BadanPenyelenggara Jaminan Sosial, diharapkan seluruh masyarakatIndonesia mendapat perlindungan dan kesejahteraan sosial yang lebihmenyeluruh dan terpadu sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Edisi Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 2 Tahun 2012ini memuat artikel-artikel tentang Tanggung Jawab Negara dalamPelaksanaan Jaminan Sosial, Hadirnya Negara di Tengah RakyatnyaPasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BadanPenyelenggara Jaminan Sosial, Komitmen Pemerintah dalamPenyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional, Peta Jalan MenujuUniversal Coverage Jaminan Kesehatan, Badan Hukum Publik BadanPenyelenggara Jaminan Sosial dan Transformasinya menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara JaminanSosial, Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, KonsepsiPengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)terhadap Kegiatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS), dan Organisasi Jaminan Sosial di Negara Federal RepublikJerman: Suatu Perbandingan.

iii

Page 4: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Selain itu dalam setiap penerbitan Jurnal Legislasi Indonesiamenyajikan artikel yang berkaitan dengan pembentukan PeraturanPerundang-undangan. Dalam Volume 9 Nomor 2 Tahun 2012 ini memuatartikel mengenai Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Sebagai Penerjemah Resmi Peraturan Perundang-Undangandan Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi.

Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isiJurnal Legislasi Indonesia serta sumbangan pemikiran dalam bentuktulisan dari pembaca sangat kami harapkan.

Salam Redaksi.

Page 5: jurnal jaminan sosial

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Pakpahan, Rudy Hendra dan Sihombing, Eka N.A.MTanggungjawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan SosialJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

Kegiatan operasional jaminan sosial berbasis hukum bilangan besar dan hal ituakan efektif apabila penyelenggaraannya dilakukan tidak secara parsial.Penyelenggaraan jaminan sosial yang terintegrasi diharapkan dapat menjaminterciptanya suatu mekanisme yang efektif dan efisien sehingga mampu menyentuhseluruh lapisan masyarakat.Kata kunci: jaminan sosial, parsial.

Pakpahan, Rudy Hendra and Sihombing, Eka N.A.MResponsibility State in the Implementation of Sosial SecurityIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

Operations of social security law based on a large scale it will be effective if its implemen-tation would not be partially conducted. The implementation of an integrated socialsecurity is expected to ensure the creation of an effective and efficient mechanism sobeing able to reach all walks of society.Keyword: social security, partially.

Page 6: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Shihab, Ahmad NizarHadirnya Negara di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan SosialJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

Jaminan sosial telah dilaksanakan sebagian negara di dunia. Di Indonesia,jaminan sosial merupakan amanat konstitusi. Pembukaan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dalam batang tubuh yaitu Pasal 28(3) dan Pasal 34 (1) memberikan jaminan bagi seluruh masyarakat untukmendapatkan jaminan sosial. Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memberikan jaminankesejahteraan sosial bagi masyarakat. Hingga akhirnya pada tahun 2004dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosialnasional (SJSN). Undang-Undang SJSN memberikan pertimbangan utama untukmemberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia. Tindaklanjut amanat konstitusi tersebut adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 24Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undangini mengatur tentang Badan Penyelenggara yang akan melaksanakan jaminansosial sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang SJSN. Undang-Undangini mengamanatkan adanya transformasi badan penyelenggara dari badanpenyelenggara yang telah ada saat ini untuk menjadi BPJS Kesehatan dan BPJSKetenagakerjaan.Kata kunci: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Jaminan Sosial, Transformasi.

Shihab, Ahmad NizarThe Presence of the State Among People After the Declaration of Law Number 24 Year2011 Concerning Social Security Administering AgencyIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

Social security has been implemented in some countries in the world. In Indonesia,social security is a constitutional mandate. Preamble to the Constitution of the Republicof Indonesia Year 1945 and in the body of the Article 28 (3) and Article 34 (1) provide aguarantee for the whole community to get social security. Article 28 Paragraph (3) andArticle 34 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 alsoprovide social welfare for the community. Until finally in 2004 issued the Law Number 40Year 2004 on National Social Security System (SJSN). National Social Security Act givesprimary consideration to provide a comprehensive social security for all people of Indo-nesia. The follow-up of the constitutional mandate is by declared Law Number 24 Year2011 on Social Security Administering Agency (BPJS). This Law regulates the OperatingBody that will carry out social security, as mandated in the National Social Security Act.This Act mandates the existing agency organizing transformation of body organizerstoday to be Health Social Security Administering Agency (BPJS), and Labor Social Secu-rity Administering Agency (BPJS).Key words: Social Security Administering Agency, Social Security, Transformation.

Page 7: jurnal jaminan sosial

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

ZaelaniKomitmen Pemerintah dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial NasionalJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkanterhadap hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat, untuk mengimplemntasikanjaminan sosial tersebut Majelis Permusyawaratan Rakyat Menetapkan dengan TAPMPR Nomor X/MPR/2001, menugaskan kepada Presiden untuk membentuk SistemJaminan Sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem JaminanSosial Nasional (SJSN), Jaminan sosial merupakan kebutuhan dasar hidup yanglayak dan memperoleh jaminan apabila mengalami kecelakaan, memberikankepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Program ini dapat menjamin seseorang ketika menderita sakit, kehilanganpekerjaan dan memasuki usia lanjut atau pensiun. Undang-Undangmengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, untukmelaksanakannya telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berdasarkan Undang-Undang Nomor40 Tahun 2004 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial diselenggarakan oleh 4(empat)Badan Penyelenggara Jaminan sosial, yaitu PT. Jamsostek (Persero), PT. Taspen,PT. ASABRI (Persero), dan PT. Askes (Persero). kedepan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dilaksanakanoleh 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yaitu Badan PenyelenggaraJaminan Sosial Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Ketenagakerjaan.Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 memerlukan PeraturanPerundang-undangan pelaksana. Penyelenggaraan Jaminan Sosial keberadaannyasangat didambakan masyarakat, karena itu perlu komitmen dan kesungguhanPemerintah dalam menyelenggarakan Jaminan sosial bagi seluruh rakyat dansekaligus membentuk Peraturan Perundang-undangan dan peraturan kebijakansebagai payung hukum dan dasar hukum untuk melaksanakannya, oleh karenaitu perlu kerja keras dan kesungguhan Pemerintah untuk dapat segeramerealisakannya.Kata kunci: komitmen pemerintah dalam melaksanakan jaminan sosial.

ZaelaniGovernment Commitment in the Implementation of National Social SecurityIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 mandates the right to sosial secu-rity for all citizens, for sosial security mengimpletasikan the People’s Consultative As-sembly MPR Set with X/MPR/2001 number, assigned to the President to establish asosial security system. Law Number 40 Year 2004 on National Sosial Security System(Navigation), Sosial security is a basic life needs and obtain a guarantee when an acci-dent, the assurance of protection and sosial welfare for all the people of Indonesia. Thisprogram can guarantee when suffering from illness, loss of jobs and into old age orretirement. Act mandated the establishment of Sosial Security Administering Bodies,have been enacted to implement the Act No. 24 of 2011 on Sosial Security AdministeringBodies. Based on Law Number 40 Year 2004 Sosial Security Administering Bodies heldby 4 (four) Sosial Security Administering Bodies, namely PT. Jamsostek (Persero), PT.Taspen, PT. ASABRI (Corporation), and PT. Askes (Corporation), and in accordance withLaw Number 24 Year 2011 Sosial Security Administering Bodies carried out by two (2)Sosial Security Administering Agency, the Agency for Health and Sosial Security Admin-istering Security Administering Agency for Employment. Implementation of Law No. 24

Page 8: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

of 2011 requires legislation to implement the other. Implementation of the Sosial Secu-rity existence highly coveted community, because it needs sincerity and commitment ofthe Government in carrying out sosial security for all citizens and legal instruments andcreating legislation to make it happen, therefore it needs hard work and seriousness ofthe Government to immediately merealisakannya.Key words: the Government’s commitment in implementing the National Sosial Security.

Page 9: jurnal jaminan sosial

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

MundiharnoPeta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan KesehatanJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

Tulisan ini menjelaskan tentang pentingnya peta jalan menuju universal cover-age jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Mengingatuniversal coverage merupakan istilah yang relatif baru maka dalam tulisan inidijelaskan tentang pengertian universal coverage dan faktor-faktor yangberpengaruh dalam mencapai universal coverage. Penyusunan peta jalan jaminankesehatan perlu memahami kerangka penyelenggaraan jaminan kesehatan yangterdiri dari berbagai aspek baik aspek peraturan-perundangan, kepesertaan, paketmanfaat dan iuran, pelayanan kesehatan, keuangan maupun organisasi-kelembagaan. Tulisan ini hanya berfokus pada peta jalan penyelenggaraan jaminankesehatan dari aspek peraturan-perundangan.Kata kunci: Universal coverage, jaminan kesehatan.

MundiharnoRoad Map to a Universal Health CoverageIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

This paper describes the importance of a road to universal health insurance coverage inthe National Social Security System (SJSN). Considering of the universal coverage is arelatively new term that is described in this paper about the notion of universal coverageand the factors that influence in achieving universal coverage. In drawing a roadmap tothe health insurance needs to understand the framework of health insurance organiza-tion composed of various aspects of both aspects of the rules and regulations, member-ship, dues and benefits package, health care, financial and institutional organizations.This paper only focused on the implementation roadmap of health insurance, and lawand regulations aspects.Keywords: Universal coverage, health security.

Page 10: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

QomaruddinBadan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan TransformasinyaMenurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan SosialJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dibentukberdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial sebagaimana ditentukan Pasal 7 adalah untuk menyelenggarakanprogram jaminan sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dimaksud meliputiBadan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan Badan PenyelenggaraJaminan Sosial Ketenagakerjaan yang berfungsi menyelenggarakan programjaminan kesehatan, program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian,program jaminan pensiun, dan jaminan hari tua.Kata kunci: jaminan kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan hari tua.

QomaruddinPublic Legal Entity Social Security Administrating Agency and its Transform Based onLaw Number 24 Year 2011 Concerning on Social Security Administrating AgencyIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

Public Legal Entity Social Security Administrating Agency which established under theSocial Security Law Number 24 Year 2011 concerning on Social Security AdministeringAgency as provided in Article 7 is to organize the social security program. Social SecurityAdministering Body shall include the Health Social Security Administering Agency andLabor Social Security Administering Agency that serves up a program of health insur-ance, accident insurance, life insurance, pension, as well as old phase insurance.Keywords: Work accident, death, pension, and old phase insurance.

Page 11: jurnal jaminan sosial

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Putri, Asih EkaTransformasi Badan Penyelenggara Jaminan SosialJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

Transformasi menjadi kosa kata penting sejak tujuh tahun terakhir di Indonesia,tepatnya sejak diundangkannya UU SJSN pada 19 Oktober 2004. Transformasiakan menghadirkan identitas baru dalam penyelenggaraan program jaminan sosialdi Indonesia. UU BPJS membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS), BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatanmenyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesiatermasuk orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan diIndonesia. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaankerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian bagi seluruhpekerja Indonesia termasuk orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat6 (enam) bulan di Indonesia. Empat BUMN Persero penyelenggara program jaminansosial – PT ASKES (Persero), PT ASABRI (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero), danPT TASPEN (Persero) akan bertransformasi menjadi BPJS. UU BPJS telahmenetapkan PT ASKES (Persero) untuk bertransformasi menjadi BPJS Kesehatandan PT JAMSOSTEK akan bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. UUBPJS belum mengatur mekanisme transformasi PT ASABRI (Persero) dan PTTASPEN (Persero) dan mendelegasikan pengaturannya ke Peraturan Pemerintah.Kata kunci: Transformasi, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan

Putri, Asih EkaSocial Security Administering Agency TransformationIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

Transformation into a critical vocabulary from the last seven years in Indonesia, pre-cisely since the enactment of the National Social Security Law on October 19, 2004.Transformation will bring a new identity in the administration of social security programsin Indonesia. Social Security Administering Agency (BPJS) Law established two SocialSecurity Administering Agency (BPJS), Health Social Security Administering Agency andLabor Social Security Administering Agency. Health Social Security Administering Agencyorganized health insurance program for the entire population of Indonesia, includingforeigners working in Indonesia for a minimum of 6 (six) months in Indonesia. LaborSocial Security Administering Agency organized program of work accident insurance, oldphase insurance, pension and life insurance for Indonesian workers, including foreign-ers working in Indonesia for a minimum of 6 (six) months in Indonesia. Four state-ownedCorporation providers of social security programs - PT Askes (Persero), PT ASABRI(Persero), PT Jamsostek (Persero), and PT TASPEN (Persero) will be transformed intoBPJS. BPJS Law has set the PT Askes (Persero) to transform into Health BPJS and PTJAMSOSTEK be transformed into Labor BPJS. BPJS Law transformation mechanism hasnot been set ASABRI PT (Persero) and PT TASPEN (Persero) and delegate the setting togovernment regulation.Keywords: Transformation, BPJS of Health, Labor BPJS

Page 12: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Purwoko, BambangKonsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)terhadap Kegiatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

Pengawasan terhadap kegiatan operasional BPJS adalah audit operasional yangditujukan untuk minimalisasi penyimpangan khususnya dalam penggunaan dana.Pengawasan sebagaimana mengacu pada studi ini adalah untuk memberikankonseling, pengarahan dan pedoman bagi operasional BPJS agar mematuhiketentuan yang berlaku. Sasaran audit finansial adalah pengawasan yang berbasisaudit atas aliran kas sedangkan audit operasional difokuskan pada pemeriksaansistem dan prosedur operasional BPJS. Metodologi dalam penelitian ini adalahmetode deskriptif tentang perlunya pengawasan operasional sesuai spesifikasikegiatan tugas pokok BPJS sebagaimana mengacu pada asas, prinsip dan tujuanpenyelenggaraan SJSN berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.Kesimpulan studi adalah hasil audit operasional oleh DJSN akan memberikaninformasi yang berharga kepada BPK tentang capaian-capaian kepesertaan, koleksiiuran dan mekanisme penyelesaian klaim sesuai prosedur yang berlaku dan jugauntuk melengkapi hasil akhir audit finansial yang dilakukan Kantor AkuntanPublik (KAP).Kata-kunci: Jaminan sosial, audit finansial /operasional, badan-badan hukum

dan tata pamong

Purwoko, BambangConception of Operating Audit of National Social Security Council Toward the Opera-tional Activities of Social Security Administrative BodyIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

Supervision over the operational activities of BPJS is operating audit intended to mini-mize the improper use of funds. Supervision as referred to this study is to providecounseling, directive and guidance to the operations of BPJS in order to comply withexisting regulations. Target of financial audit is to examine cash flows whilst the opera-tional audit is to examine standard operating procedure of social security administrativebody BPJS. The methodology in this research applies to descriptive method with regardto the need for operational audit in accordance with the specified tasks of BPJS asreferred to the foundation, the principles and the objectives of the National Social Secu-rity System SJSN based on Law No 40 of 2004. Conclusion of this studyis that theoutcome of operational audit by the DJSN will provide valuable information to the StateBoard of Auditors (BPK) regarding the achievements in coverage of members, additionalcontributions and claims payment based on true procedures and to provide some usefulinputs for the completion of financial audits as prepared by Public Auditors as well.Key-words: Social security, financial audit/operational, legal entities and good

governance.

Page 13: jurnal jaminan sosial

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Irfani, NurfaqihOrganisasi Jaminan Sosial di Negara Federal Republik Jerman: Suatu PerbandinganJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

UU SJSN, yang menandai lahirnya era baru sistem jaminan sosial nasional,memiliki beberapa kemiripan dengan pengaturan sistem jaminan sosial yangdikembangkan di Negara Federal Republik Jerman, misalnya beberapa kemiripanterkait dengan prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial, skema pembiayaanyang bersumber utama dari kontribusi peserta, serta cabang asuransi sosial yangmenjadi pilar utama jaminan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, di tengahmomentum pembentukan BPJS, menarik untuk membandingkan pola pembentukanBPJS sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011 dengan pola pengembanganorganisasi jaminan sosial yang dipraktikkan di Jerman. Di sisi lain, pembentukanUU BPJS sebagai pelaksanaan ketentuan UU SJSN harus sejalan dengan arahpengaturan organisasi jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN.Tulisan ini akan memberikan gambaran umum mengenai organisasi jaminan sosialdi Jerman sebagai suatu kajian perbandingan serta analisis kebijakan pembentukanBPJS dikaitkan dengan grand design dan arah pengaturan organisasi jaminansosial sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN.Kata kunci: era baru, jaminan sosial

Irfani, NurfaqihSocial Security Organization in Federal Republic of Germany: a Comparative StudyIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

National Social Security Act which has brought Indonesia to a new era of social securitysystem has some fundamental similarities with social security system developed in theFederal Republic of Germany, for example, similarities related to the basic principles,financing scheme from contribution, and similarity on social insurance programs as themain pillar of social security system. In this regard, it is quite interesting to compare thepolicy development in forming BPJS as stipulated in Law No. 24 Year 2011 with thepolicy in developing social security organization in Germany. The formation of BPJS asthe implementation of National Social Security Act must be also in line with the granddesign and general directions on social security organization reform, as mandated in theNational Social Security Act. This article will provide an overview of social security orga-nization in Germany as a comparative study and analysis on policy development informing BPJS related to the grand design and general directions of social security orga-nization reform as mandated in National Social Security Act.Keyword: new era, social security

Page 14: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

SyahmardanKedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Sebagai Penerjemah ResmiPeraturan Perundang-UndanganJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

Dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perudang-undangan, Pasal 91 ayat (1) menegaskan bahwatugas penerjemahan teks peraturan perundang-undangan khususnya ke dalambahasa asing menjadi sangat penting dalam rangka penyebarluasan suatu peraturanperundang-undangan yang berlaku. Menyadari hal ini tentunya membuka peluangbagi Perancang untuk “mengembangkan profesinya” khususnya bagi Perancangdi Kementerian Hukum dan HAM, tidak hanya menjalankan tugas utama merancangperaturan perundang-undangan, namun juga dapat merangkap menjadi penerjemahresmi isi peraturan perundang-undangan. Namun demikian, tentu saja hal initidak serta merta dapat direalisasikan tanpa diiringi dengan peningkatankompetensi ataupun kualifikasi penerjemahan dari Perancang itu sendiri meskipundari sisi peraturan perundang-undangan mengindikasikan sangat terbuka peluangke arah itu.Kata kunci : Peraturan Perundang-undangan, Perancang Peraturan Perundang-

undangan

SyahmardanPosition of the Legislative Drafters as an Official Translator for LegislationIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

With the enactment of the Law Number 12 Year 2011 on the Forming of Legislation,article 91 paragraph (1) asserts that the task of translating the text of legislation, espe-cially in a foreign language becomes very important in order to disseminate the laws andregulations applicable. Realizing that is certainly an opportunity for the legislative draft-ers to “develop the profession”, especially for drafters in the Ministry of Law and HumanRights, not just run the main task of designing the legislation but also may concurrentlybe the official interpreter of the legislations. However, that is would not necessarily berealized without being accompanied by an increase in competence and qualifications ofthe drafter’s own despite of the legislation indicates a very open opportunities in thatdirection.Key words: Legislation, Legislative Drafters.

Page 15: jurnal jaminan sosial

Kata kunci bersumber dari artikel.Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya

Wiridinata, WahyuPembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana KorupsiJurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2.

Tulisan berjudul Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian bertujuan untukmenjawab pertanyaan sampai sejauh mana efektifitas sistem pembuktian terbaliksebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Kemudian pertanyaan yang timbul berikutnya adalah; apakah penerapan sistempembuktian terbalik dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi dapatmencegah atau mengurangi bahkan menghilangkan tindak pidana korupsi di In-donesia secara tuntas. Penelitian ini bertolak dari kerangka pemikiran teoritisRoscoe Pound yang mengemukakan tentang hukum sebagai alat pembaharuanmasyarakat: Law as a tool of social engineering, hukum sebagai alat pembaharuanmasyarakat. Konsep ini dilansir oleh Muchtar Kusumaatmadja dan disesuaikandengan kondisi Indonesia menjadi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.Pembaharuan maksudnya ialah memperbaharui cara berfikir masyarakat dari caraberfikir tradisional kepada cara berfikir modern. Hukum harus bisa dijadikansarana untuk memecahkan semua problem yang ada di dalam masyarakat termasukmasalah tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang harus diperbaharui adalahsistem hukum pembuktiannya, yaitu dari sistem pembuktikan yang konvensionalmenjadi sistem pembuktian terbalik. Tulisan ini disusun dengan metode penulisanyuridis normatif yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan baikyang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku ilmu pengetahuan hukum, khususnya perundang-undangan yang berkaitandengan sistem pembuktian terbalik. Kemudian hasilnya yang berupa aspek yuridisdituangkan dalam bentuk deskriptif analitis. Adapun kesimpulan dari tulisan inimerupakan jawaban atas masalah-masalah yang timbul di atas, yaitu : Bahwatindak pidana korupsi di Indonesia sampai saat ini masih tetap terjadi. Sehingga,Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 belum efektif dalam memberantastindak pidana korupsi.Kata kunci: Korupsi, pembuktian terbalik, pembuktian terbalik terbatas.

Wiridinata, WahyuReversal Burden of Proof on CorruptionIndonesia Journal of Legislation Vol. 9 No. 2.

An article called Corruption and Reversal of Burden of Proof aim to answer the questionto what extent the effectiveness of the reversed burden of proof system as set out inIndonesia, namely positive law as regulated in Law Number 31 Year 1999 on the Eradi-cation of Corruption. Then the next problem that arises is: whether the application ofreversed burden of proof in proving corruption crimes can prevent or reduce and eveneliminate corruption in Indonesia completely. This study departed from the theoreticalframework of the Roscoe Pound suggested as a means of updating the law: Law as a toolof social engineering, law as a means of community renewal. This concept was launchedby Mochtar Kusumaatmadja and adapted to the conditions of Indonesia became law asa means of community renewal. Renewal point is to renew the way society thinks of thetraditional ways of thinking to the modern way of thinking. Laws should be used as ameans to solve all the problems that exist in society, including the issue of corruption.One of the things that should be renewed is a system of legal proof, that of the conven-

Page 16: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

tional system is proving to be reversed burden of proof systems. This paper prepared bythe method of writing is to study the normative juridical laws and regulations that existboth in the statute itself and that there is in the literature / science books of law, inparticular legislation relating to the verification system upside down. Then the results inthe form set out in the form of juridical aspects of descriptive analysis. The conclusionsof this paper is a response to the problems that arise in the above, namely: That thecriminal acts of corruption in Indonesia is still happening. Thus, Law No. 31 of 1999Section 37 has not been effective in eradicating corruption.Keywords: Corruption, reversed burden of proof, reverse proof is limited

Page 17: jurnal jaminan sosial

163

* Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukumdan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang dan Alumni S2Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.* * Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan Muda Pada Kantor Wilayah Kementerian Hukumdan HAM Sumatera Utara, Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Alumni S2Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

1 Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagikemanusiaan. 28H ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangandirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anakterlantar dipelihara oleh negara, ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruhrakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabatkemanusiaan, ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan danfasilitas pelayanan umum yang layak, dan ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasalini diatur dalam undang-undang.

TANGGUNG JAWAB NEGARADALAM PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL

(RESPONSIBILITY STATE IN THE IMPLEMENTATIONOF SOSIAL SECURITY)

Rudy Hendra Pakpahan, SH, M.Hum* dan Eka N. A. M. Sihombing, SH,M.Hum**

(Naskah diterima 05/06/2012, disetujui 23/07/2012)

AbstrakKegiatan operasional jaminan sosial berbasis hukum bilangan besar dan halitu akan efektif apabila penyelenggaraannya dilakukan tidak secara parsial.Penyelenggaraan jaminan sosial yang terintegrasi diharapkan dapat menjaminterciptanya suatu mekanisme yang efektif dan efisien sehingga mampumenyentuh seluruh lapisan masyarakat.Kata kunci: jaminan sosial, parsial.

AbstractOperations of social security law based on a large scale it will be effective if itsimplementation would not be partially conducted. The implementation of an integratedsocial security is expected to ensure the creation of an effective and efficientmechanism so being able to reach all walks of society.Keyword: social security, partially.

A. PendahuluanPembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya

mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dalam sila kelimaPancasila serta Undang-Uundang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 menekankan bahwa prinsip keadilan sosialmengamanatkan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunankesejahteraan sosial.1 Namun demikian, amanat konstitusi tersebut

Page 18: jurnal jaminan sosial

164

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

belum dipraktikkan secara konsekuen, baik pada masa Orde Barumaupun era reformasi, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebataswacana dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.Pembangunan dalam bidang sosial ekonomi sebagai salah satupelaksanaan kebijakan pembangunan nasional yang mendapatperhatian cukup memadai dari pemerintah sehingga dari waktu ke waktupembangunan bidang sosial ekonomi mengalami banyak kemajuan yangpada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.Dengan demikian pada gilirannya pula kesejahteraan tersebut dapatdijangkau dan dapat dinikmati secara adil, berkelanjutan, merata bagiseluruh rakyat Indonesia.

Salah satu bentuk pembangunan sosial ekonomi menjadi dinamikatersendiri dalam pembangunan nasional bangsa Indonesia karena dalampraktiknya masih banyak mengalami tantangan dan tuntutan yang harusdipecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan Sistem JaminanSosial sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, utamanya seperti dimaksuddalam Pasal 28H ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atasjaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuhsebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2) yangmenyatakan: “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagiseluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidakmampu sesuai dengan matabat kemanusiaan”. Lebih lanjut SistemJaminan Sosial juga diatur dan dijamin dalam deklarasi umumPerserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yangdideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, dan juga ditegaskandalam konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor 102 Tahun1952 yang pada intinya menganjurkan semua negara untukmemberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.

Selanjutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam TAP MPRNomor X/MPR/2001 menugaskan kepada Presiden untuk membentukSistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikanperlindungan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia yang menyeluruhdan terpadu dan sebagai tindak lanjutnya dikeluarkan KeputusanPresiden Nomor 20 Tahun 2002 tentang pembentukan Tim SistemJaminan Sosial Nasional. SJSN pada dasarnya merupakan programpemerintah yang bertujuan memberikan kepastian atas perlindungan

Page 19: jurnal jaminan sosial

165

2 Pasal 4, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial

dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melaluiprogram SJSN diharapkan setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhandasar hidup yang layak yang sewaktu-waktu dapat hilang atau berkurangantara lain karena berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit,mengalami kecelakaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), habismasa bekerja (pensiun) maupun karena memasuki usia lanjut.

SJSN seperti yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakanberdasarkan pada prinsip-prinsip2:

1. Prinsip kegotong-royongan, prinsip ini diwujudkan dalammekanisme gotong-royong dari peserta yang mampu kepada pesertayang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruhrakyat, peserta yang beresiko rendah membantu yang beresikotinggi dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsipkegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilansosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Prinsip nirlaba, bahwa pengelolaan dana amanat tidakdimaksudkan untuk mencari keuntungan bagi badanpenyelenggara jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.

3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi danefektifitas, prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan danmendasari seluruh kegiatan pegelolaan dana yang berasal dariiuran peserta dan dari hasil pengembangannya.

4. Prinsip kehati-hatian, pengelolaan dana secara cermat, teliti,aman dan tertib.

5. Prinsip akuntabilitas, pelaksanaan program dan pengelolaankeuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

6. Prinsip Portabilitas, bahwa jaminan sosial yang dimaksud untukmemberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun pesertaberpindah pekerjaan atau tempat tinggal, tetapi masih dalamwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertambah majunyapertumbuhan ekonomi lebih lancarnya transportasi nusantara danmeluasnya usaha-usaha pemerintah maupun sektor swasta diseluruh nusantara menyebabkan penduduk akan lebih seringberpindah-pindah.

Page 20: jurnal jaminan sosial

166

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

7. Prinsip kepesertaan yang bersifat wajib dimaksudkan agar seluruhrakyat Indonesia menjadi peserta walaupun dalam penerapannyatetap menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuanekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraanprogram. Peserta dimulai dari pekerja pada sektor formal danpekerja pada sektor informal yang dapat menjadi peserta acarasukarela.

8. Prinsip dana amanat, bahwa dana yang terkumpul dari iuranpeserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggarauntuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan danatersebut untuk kesejahteraan peserta.

9. Prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial nasional bahwa hasilberupa deviden dari para pemegang saham dikembalikan untukkepentingan peserta jaminan sosial.Dengan demikian tampak jelas bahwa dengan hadirnya Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasionaldimaksudkan untuk memberikan jaminan dasar yang layak bagi seluruhmasyarakat karena itu menjadi kewajiban konstitusional pemerintahterhadap rakyatnya yang harus dikelola langsung oleh pemerintah agarterciptanya suatu pemerataan dan keadilan di seluruh Negara KesatuanRepublik Indonesia.

B. Konsep Negara HukumNegara hukum lahir sebagai hasil perjuangan konstitusionalisme

terhadap sistem kekuasaan yang absolut. Negara Hukum dalamkepustakaan Indonesia sering diterjemahkan rechtsstaat atau the ruleof law. Paham rechtsstaat mulai populer di Eropah sejak Abad XIX,meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada.3 Sedangkan pahamthe rule of law populer setelah diterbitkan buku Albert Venn Dicey padatahun 1885, dengan judul Introduction to Study of the Law of the Constitu-tion.4 Paham rechtsstaat lahir karena menentang absolutisme, yangsifatnya revolusioner, dan bertumpu pada sistem hukum kontinentalyang disebut civil law. Walaupun demikian, perbedaan keduanya dalamperkembangannya tidak dipersoalkan lagi karena mengarah pada tujuanyang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia.5

3 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan peradilan Umum dan Pembentukan PeradilanAdministrasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, , 1987), hlm.72.4 Ibid.5 Ibid.

Page 21: jurnal jaminan sosial

167

Dalam karyanya tersebut di atas, Albert Venn Dicey mengemukakantiga unsur utama negara hukum (the rule of law), yaitu, (a) supremacy oflaw; (b) equality before the law; dan (c) constitution based on individual rights.6

Meskipun ada perbedaan latar belakang paham rechtsstaat dan the ruleof law, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran istilah negarahukum atau dalam istilah UUD 1945 “negara berdasarkan atas hukum”tidak lepas dari pengaruh kedua konsep tersebut.7 Konsep negara hukumatau negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat atau the rule of law),yang mengandung prinsip-prinsip asas legalitas, asas pemisahan(pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yangmerdeka, semuanya itu bertujuan untuk mengendalikan negara ataupemerintah dari kemungkinan bertindak sewenang-wenang ataupenyalahgunaan kekuasaan. Dalam negara berkedaulatan rakyat danberdasarkan hukum (negara hukum demokratis),8 terkandungpengertian bahwa kekuasaan dibatasi oleh hukum dan sekaligus pulamenyatakan bahwa hukum adalah supreme dibanding semua alatkekuasaan yang ada.9 Dengan kata lain, negara yang menempatkanhukum sebagai dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaantersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaanhukum10, tidak dengan kekuasaan sewenang-wenang.

6 Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, (Jakarta: UIPress, 1997), hlm. 39.7 Ahli-ahli hukum lain juga menekankan bahwa konsep negara hukum bertujuan untuk perlindunganhak asasi manusia, ahli hukum tersebut diantaranya : Immanuel Kant dalam bukunya MethaphysicheAnsfangsgrunde der rechtslehre, mengemukakan konsep negara hukum liberal. Kant mengemukakanpaham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alatperlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagaipemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Kant ini terkenal dengan sebutannachtwakerstaat atau nachtwachterstaat. Lihat dalam Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, (Jakarta:Bulan Bintang, 1992), hlm. 73-74. Selanjutnya, Frederich Julius Stahl dalam bukunya Philosophie desRechts yang menganut paham negara hukum kesejahteraan dan kemakmuran (welvaarstaat danverzorgingstaat) menyebutkan bahwa unsur-unsur utama dari negara hukum adalah, (a) Mengakui danmelindungi hak-hak asasi manusia; (b) Penyelenggaraan negara harus berdasrkan pada teori triaspolitika; (c) Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang(wetmatigbestuur); dan (d) Adanya peradilan administrasi negara. Lihat dalam, Padmo Wahjono,Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta : In-Hill Co, 1989), hlm. 151.8 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung:Alumni, 1993), hlm. 128.9 Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negaradi Indonesia, makalah Dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Atmanjaya, Yogyakarta, 1994,hlm.8.10 A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia (Suatu sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman), Pidato Pengukuhan JabatanGuru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 8

Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial

Page 22: jurnal jaminan sosial

168

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

11 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya diIndonesia, Cet. I, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 222.12 Ibid.13 Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 22-23.

Dalam perkembangan selanjutnya, sistem kapitalisme dalam bidangperekonomian secara perlahan-lahan menyebabkan terjadinyakepincangan-kepincangan dalam pembagian sumber-sumberkemakmuran bersama.11 Akibatnya, terjadi proses kemiskinan yangsulit dipecahkan. Hal ini menimbulkan munculnya suatu pemikiranbaru, yang menghendaki agar keterlibatan negara untuk mengatasikepincangan-kepincangan yang ada dihidupkan kembali. Negaradianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara perlu campur tanganuntuk mengatur agar sumber-sumber kemakmuran tidak dikuasai olehsegelintir orang.12 Sehingga untuk itu, pada permulaan abad ke- 20 perannegara sebagai penjaga malam (nachwachterstaat), berubah menjadinegara kesejahteraan (welvaart staat atau welfare state). Pada mulanyapaham ini lebih dipelopori oleh aliran sosialisme yang menentang pahamindividualisme, liberalism, dan kapitalisme. Konsep welfare stateberkembang di negara-negara Eropa, bahkan meluas hampir ke seluruhnegara-negara di dunia. Pengertian konsep welfare state secara umumsebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-XIV dan XV, dimulai dari prosesperkembangan politzei staat (welfare state klasik), liberale staat, kemudianwelfare state modern (akhir abad ke- XIX dan XX).

Selanjutnya, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atashukum (rechtsstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat).Negara hukum adalah negara yang di dalam penyelenggaraannyaberdasarkan pada hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan olehpenguasa, sedangkan dalam arti material adalah negara juga turut sertasecara aktif untuk kesejahteraan rakyatnya (welfare state),13 ataudikenal dengan nama negara kesejahteraan yang kemudian dikenaldengan nama verzorgingsstaat, atau disebutnya sociale rechtsstaat (negarahukum sosial). Dalam pengertian modern, pemerintah dituntut untukmewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Persamaan di muka hukum, perlindungan hukum, dan asaslegalitas bertujuan untuk menghindarkan negara atau pemerintahbertindak sewenang-wenang. Perbuatan atau tindakan negara ataupemerintah tidak boleh melampaui atau melanggar hak asasi, tidakboleh menyebabkan seseorang atau sekelompok orang tidak mendapat

Page 23: jurnal jaminan sosial

169

14 Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah……., Loc.Cit.15 Salamuddin Daeng, Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945, Free Trade Watch Edisi Desember2011.16 Henry Champbell Black, Black Law Dictionary with Pronounciations, Edisi VI, (USA: West Publishing,1990), hlm. 1197.

perlindungan hukum sebagaimana mestinya, tidak boleh membeda-bedakan orang karena alasan-alasan yang tidak sah dan semuaperbuatan atau tindakan-tindakan pemerintah harus berdasarkan padaketentuan hukum yang berlaku. Konsep kerakyatan tidak dapatdipisahkan dari konsep negara hukum. Begitu pula sebaliknya sehinggasuatu negara semacam ini disebut “negara hukum demokratis”.14

C. Jaminan Sosial Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004tentang Sistem Jaminan Sosial NasionalFilosofi jaminan sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang Nomor24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)berakar pada sistem kapitalisme karena jaminan sosial diterjemahkansebagai strategi penyediaan cadangan dana mengatasi resiko ekonomiyang timbul secara sistemik dalam siklus ekonomi kapitalisme (krisis).15

Sejarah pembentukan sistem jaminan sosial mengacu pada kaidahinternasional dimasukkan dalam hukum nasional melalui amandementerhadap UUD 1945, dengan memasukkan kata jaminan sosial sebagaimetode yang harus dikembangkan oleh negara pasca krisis ekonomiIndonesia. Dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (3) yang menyebutkan bahwa“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkanpengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”,kemudian Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negera RepublikIndonesia Tahun 1945 menyebutkan “Negara mengembangkan sistemjaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakatyang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.Pelaksanaan kedua pasal tersebut dapat memenuhi amanat Pasal 27ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaandan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 34 ayat (1)berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”. Pasal-pasal inilah yang secara material menjadi alasan konstitusional di bidangJaminan Sosial, yang menegaskan bahwa jaminan sosial (socialsecurity) merupakan “hak” (right) bukan merupakan “hak istimewa”(privilege), karena16: “Privilege is a particular benefit or advantage enjoyed

Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial

Page 24: jurnal jaminan sosial

170

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

by a person, company,or class beyond the common advantages of othercitizen. An exceptional or extraordinary power or exemptions. A peculiar right,advantage, exception, power, franchise, or immunity held by a person or class,not generally possessed by others”.

Konsep ini diakomodasi dengan disahkannya Undang-UndangNomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional danUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.Pasal 14 ayat (1) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SistemJaminan Sosial Nasional menyatakan “Pemerintah secara bertahapmendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada BadanPenyelenggara Jaminan Sosial”. Kemudian Pasal 14 ayat (2) berbunyi“Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalahfakir miskin dan orang tidak mampu”. Kemudian Pasal 17 ayat (4)menyebutkan bahwa “Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskindan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah”.

Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa “Asuransikesejahteraan sosial diselenggarakan untuk melindungi warga negarayang tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara danmempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya”. Ayat selanjutnyamenyatakan “Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh Pemerintah”.Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa urusan sosial masukdalam urusan Pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalamUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabiladiteliti lebih lanjut, sebenarnya Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang tentangSistem Jaminan Sosial Nasional ini justru mendasari pemikirannyaberdasarkan Pasal 34 ayat (3) hasil amandemen yang ditambahkan(fasilitas) “sosial” dan “lainnya” untuk lebih menegaskan unsur-unsuryang menjadi tanggung jawab negara, bukan pada Pasal 34 ayat (2)Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.Perubahan ini didasarkan kepada kebutuhan meningkatkan jaminankonstitusional yang mengatur kewajiban negara di bidang kesejahteraansosial. Adanya ketentuan mengenai kesejahteraan sosial yang jauh lebihlengkap dibanding sebelum perubahan, merupakan bagian upayamewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state)sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabatkemanusiaan. Di dalam rumusan tersebut terkandung maksud untuklebih mendekatkan gagasan negara kesejahteraan dalam Pembukaan

Page 25: jurnal jaminan sosial

171

17 Hafiz Habibur Rahman, Political Science and Government, Eighth Enlarged edition (Dacca: LutforRahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road, 1971), hlm. 89. “… The Social Welfare Theory ofRights: The advocate of the social welfare theory hold that rights are conditions of social welfare. Theyare creations of society, and therefore law, customs, traditions and the natural rights “should all yieldto what is socially useful or socially desireble.” The ultiratians, Bentham and Mill are the real exponentsof the social welfare theory of rights. They set up the principle of the greatest happiness of the greatestnumber, and made it the criterion of utility. But, utility, they believed should be determined by consider-ation of reason and experience. The social welfare theory of rights has much to commend. But one cannotsay what social welfare actually means. Does it mean the greatest happiness of the greatest number tobe common good? In fact, much political wrong has been done, during recent time, to the individuality ofman in the name of social goods.”18 Dalam Arikel 25 Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan: “everyone shall, ‘as a memberof society’, have the right to social security. Kemudian dilanjutkan pada ayat (1) “refers to the right tosecurity in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or lack of livelihood incircumstances beyond one’s control. Kemudian dalam Artikel 9 International Convenant on Economic,Social, and Cultural Rights provides for the right of everyone to ‘social security, including social insur-ance’. Kemudian dalam Artikel 10 disebutkan, which deals with protection of the family, mentions socialsecurity benefits during maternity leave. The Brief text of Article 9 of the International Convenant onEconomic Social, and Cultural Rights must be seen againts the background of the much more developedILO standards. The principal ILO instrument in the field of social security is the Social Security (MinimumStandards) Convention of 1952. This menu type Convention is stuctured around nine specific branchesof social security: (1) medical care, (2) sickness benefit, (3) unemployment benefit, (4) old-age benefit, (5)employment injury benefit, (6) family benefit, (7) maternity benefit, (8) invalidity benefit, (9) survivor’sbenefit.

Undang Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik IndonesiaTahun 1945 ke dalam realita.

Selanjutnya, negara Indonesia menganut paham sebagai negarakesejahteraan,17 berarti terdapat tanggung jawab negara untukmengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraanserta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services) yang baikmelalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.Konsep jaminan sosial18 dalam arti luas meliputi setiap usaha di bidangkesejahteraan sosial untuk meningkatkan taraf hidup manusia dalammengatasi keterbelakangan, ketergantungan, ketelantaran, dankemiskinan. Konsep ini belum dapat diterapkan secara optimal diIndonesia, karena keterbatasan pemerintah di bidang pembiayaan dansifat ego sektoral dari beberapa pihak yang berkepentingan dalamjaminan sosial. Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakupdeskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan(welfare) atau pelayanan sosial (social services), melainkan juga sebuahkonsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwasetiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.Sebagaimana diketahui, sampai saat ini SJSN belum dapat menjangkauseluruh lapisan masyarakat Indonesia. Permasalahan yang mengemukaselama ini adalah tidak adanya validitas data masyarakat di Indonesia,contohnya terdapat perbedaan data masyarakat miskin versi Badan Pusat

Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial

Page 26: jurnal jaminan sosial

172

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

19 R.Herlambang Perdana Wiratraman, Jurnal Ilmu Hukum YURIDIKA Vol. 20, No. I Januari 2005,hlm. 9.20 Ibid.21 Ibid.

Statistik (BPS) dengan Pemerintah Daerah (Pemda) sehingga berdampakpada ketidakakuratan data kepesertaan penerima jaminan sosial itusendiri dan berpotensi melanggar hak-hak setiap warga negara untukmendapatkan jaminan sosial yang diamanatkan dalam konstitusi.

D. Tanggung Jawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan SosialPasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam

Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalamamandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya,meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945mengalami banyak perubahan, konsepsi tujuan negara tersebut tetapdipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran kehidupannegara dan bangsa Indonesia.19 Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturanhak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pascaamandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yangtampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segalahak-hak yang diakui secara universal dalam Universal Declaration ofHuman Rights 1948. 20

Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawabnegara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimanaterlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan,pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalahtanggung jawab negara, terutama pemerintah dan untuk menegakkandan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukumyang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur,dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Keduanya,merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yangharus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untukmelaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.21

SJSN merupakan program negara yang bertujuan memberikankepastian perlindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan sosialbagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat(1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam

Page 27: jurnal jaminan sosial

173

22 Lihat juga dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001,Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasionaldalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yanglebih menyeluruh dan terpadu.22

E. KesimpulanKegiatan operasional jaminan sosial berbasis hukum bilangan besar

dan hal itu akan efektif apabila penyelenggaraannya dilakukan tidaksecara parsial. Penyelenggaraan jaminan sosial yang terintegrasidiharapkan dapat menjamin terciptanya suatu mekanisme yang efektifdan efisien sehingga mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat.Secara universal, penyelenggaraan sistem jaminan sosial padaprinsipnya merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dengan dalilsuatu penyelenggaraan untuk satu negara karena jaminan sosialsebagai supra sistem untuk pengikat berdirinya sebuah negara.

Daftar Pustaka

A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia (Suatu sisiIlmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia yangMenjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman), Pidato PengukuhanJabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indone-sia, Jakarta, 1992.

Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya, Jakarta: UI Press, 1997.

Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung:Alumni, 1982.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata NegaraIndonesia, Bandung: Alumni, 1993.

Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan danPerbuatan Administrasi Negara di Indonesia, makalah Dalam KuliahUmum Fakultas Hukum Universitas Atmanjaya, Yogyakarta,1994.

Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial

Page 28: jurnal jaminan sosial

174

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Hafiz Habibur Rahman, Political Science and Government, Eighth EnlargedEdition, Dacca: Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh DasRoad, 1971.

Henry Champbell Black, Black Law Dictionary with Pronounciations, EdisiVI, USA: West Publishing, 1990.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi danPelaksanaannya di Indonesia, Cet. I, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru VanHoeve, 1994.

Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: In-Hill Co,1989.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: SebuahStudi tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh PengadilanDalam Lingkungan peradilan Umum dan Pembentukan PeradilanAdministrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

R. Herlambang Perdana Wiratraman, Jurnal Ilmu Hukum YURIDIKA Vol.20. No. I Januari 2005.

Salamuddin Daeng, Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945, FreeTrade Watch Edisi Desember 2011.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan SosialNasional.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kesejahteraan Sosial.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial.

Page 29: jurnal jaminan sosial

175

* Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Tahun 2009-2012.

HADIRNYA NEGARA DI TENGAH RAKYATNYAPASCA LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011

TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL(THE PRESENCE OF THE STATE AMONG PEOPLE AFTER THE

DECLARATION OF LAW NUMBER 24 YEAR 2011 CONCERNINGSOCIAL SECURITY ADMINISTERING AGENCY)

Ahmad Nizar Shihab*

(Naskah diterima 29/05/2012, disetujui 23/07/2012)

AbstrakJaminan sosial telah dilaksanakan sebagian negara di dunia. Di Indonesia,jaminan sosial merupakan amanat konstitusi. Pembukaan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dalam batang tubuh yaituPasal 28 (3) dan Pasal 34 (1) memberikan jaminan bagi seluruh masyarakatuntuk mendapatkan jaminan sosial. Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memberikanjaminan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Hingga akhirnya pada tahun2004 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem JaminanSosial Nasional (SJSN). Undang-Undang SJSN memberikan pertimbangan utamauntuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indo-nesia. Tindak lanjut amanat konstitusi tersebut adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS). Undang-Undang ini mengatur tentang Badan Penyelenggara yang akanmelaksanakan jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang SJSN. Undang-Undang ini mengamanatkan adanya transformasi badanpenyelenggara dari badan penyelenggara yang telah ada saat ini untuk menjadiBPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.Kata kunci: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Jaminan Sosial,Transformasi.

AbstractSocial security has been implemented in some countries in the world. In Indonesia,social security is a constitutional mandate. Preamble to the Constitution of the Republicof Indonesia Year 1945 and in the body of the Article 28 (3) and Article 34 (1) providea guarantee for the whole community to get social security. Article 28 Paragraph (3)and Article 34 paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year1945 also provide social welfare for the community. Until finally in 2004 issued theLaw Number 40 Year 2004 on National Social Security System (SJSN). National SocialSecurity Act gives primary consideration to provide a comprehensive social securityfor all people of Indonesia. The follow-up of the constitutional mandate is bydeclared Law Number 24 Year 2011 on Social Security Administering Agency (BPJS).This Law regulates the Operating Body that will carry out social security, as

Page 30: jurnal jaminan sosial

176

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

mandated in the National Social Security Act. This Act mandates the existing agencyorganizing transformation of body organizers today to be Health Social SecurityAdministering Agency (BPJS), and Labor Social Security Administering Agency (BPJS).Key words: Social Security Administering Agency, Social Security, Transformation.

A. PendahuluanJaminan sosial telah dilaksanakan sebagian negara di dunia.

Dilihat dari perspektif sejarah, sistem jaminan sosial yang bersifat luasdiciptakan pertama kali oleh Pemerintah Jerman di bawah KanselirBismarck. Pada tahun 1883 Bismarck memulai program jaminan sosialdengan memberikan jaminan kesehatan pada kelompok tenaga kerjatertentu sesuai dengan kebutuhan industrialisasi waktu tersebut.Berbagai asuransi tersebut wajib diikuti oleh para pekerja, dan dibiayaidengan iuran dari para pekerja sendiri dan pemberi kerjanya(Kertonegoro, 1982). Pekerja dan pemberi kerja bergotong royongmembiayai program jaminan sosial melalui mekanisme asuransi sosial.

Dalam beberapa dekade selanjutnya jaminan sosial di Jermanmengalami perkembangan. Pada masa demokratik Weimar (1918-1933),jaminan sosial terus berkembang. Pada saat dimulainya negara federalrepublik Jerman pada 1949, ekonomi Jerman memperlihatkanpeningkatkan kemampuan basis ekonomi setelah jaminan sosialmemberikan stabilitas dan memberi kesempatan untuk memperluasmanfaat yang diperoleh.

Meski sejarah jaminan sosial pada awalnya dimulai di Jerman tetapiistilah “Jaminan Sosial (Social Security)” sendiri pertama kali digunakansecara resmi dalam suatu undang-undang di Amerika Serikat, yaituUndang-Undang Jaminan Sosial tahun 1935. Undang-Undang inimemulai program untuk menanggulangi risiko hari tua, kematian, dancacat, serta kemudian juga memberikan asuransi kesehatan (DeWitt,2010). Ada banyak pendapat mengenai asal mula atau penggunaanpertama kali istilah “jaminan sosial”. Yang paling sering disebut adalahundang-undang Jaminan Sosial tahun 1935, yang berlaku di AmerikaSerikat, meski undang-undang ini hanya mencakup jaminan sosialuntuk masa tua dan tunjangan bagi para pekerja.

Apa yang diperkenalkan Otto von Bismarck dan Amerika itu dewasaini telah berkembang di seluruh dunia, dengan modifikasi sesuaikebutuhan masing-masing negara (Anuwat, 1996; Anong, 1993, Liu,2001), misalnya Jepang 1922 dan kemudian negara-negara Asia lainnya,Philiphina, Korea, Taiwan dan lain-lain. Kelebihan sistem ini adalahmemungkinkan cakupan untuk seluruh penduduk.

Page 31: jurnal jaminan sosial

177

Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...

Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) memberikan jaminankesejahteraan sosial bagi masyarakat. Pada tahun 2004 dikeluarkanUndang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosialnasional (SJSN). UU SJSN memberikan jaminan sosial yang menyeluruhbagi seluruh rakyat Indonesia.

Tindak lanjut amanat konstitusi tersebut adalah disahkannyaUndang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial. Undang-undang ini mengatur tentang BadanPenyelenggara yang akan melaksanakan jaminan sosial sebagaimanadiamanatkan dalam UU SJSN. Undang-undang ini mengamanatkantransformasi badan penyelenggara dari badan penyelenggara yang telahada saat ini untuk menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.BPJS Kesehatan akan mulai operasional pada 1 Januari 2014 dan BPJSKetenagakerjaan paling lambat 1 Juli 2015. BPJS Kesehatan akanmemberikan jaminan kesehatan sementara BPJS Ketenagakerjaanmemberikan jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan haritua, dan jaminan kematian.

Jaminan sosial penting bagi masyarakat karena setiap individumemiliki resiko mengalami kerentanan sosial. Resiko sosial misalnyasakit, kecelakaan, kematian, pemutusan hubungan kerja, dan lainnyadapat dialami oleh semua masyarakat baik kaya maupun miskin.Dengan demikian adanya jaminan sosial merupakan harapan bagimasyarakat.

Untuk menghadapi operasionalisasi jaminan sosial yangmenyeluruh melalui BPJS, maka diperlukan pemahaman yang samadari seluruh masyarakat. Sejumlah instansi gencar melakukansosialisasi saat ini. PT Askes (persero) melaksanakan sosialisasi diberbagai tempat baik di kalangan akademisi, kampus, maupun dimasyarakat (Kabupaten Majene, 2012; Universitas Indonesia, 2012).PT Jamsostek (persero) telah melakukan serangkaian seminarsosialisasi BPJS yang bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat,pemerintah, maupun badan penyelenggara lainnya. Dewan JaminanSosial Nasional (DJSN) menggelar sosialisasi Undang-Undang Nomor 24Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)kepada pemerintah Kabupaten/Kota DIY, DPRD dan Direktur RumahSakit di DIY di Gedung Pracimasono Kepatihan Jogja pada 10 Mei 2012(Harian Jogja, 2012). Sementara itu Kementerian Kesehatan menggelarsosialisasi Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Nusa

Page 32: jurnal jaminan sosial

178

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Tenggara Barat untuk meningkatkan pemahaman aparatur pemerintahsetempat di bidang kesehatan (NTB terkini, 2012).

Meskipun sosialisasi telah dilaksanakan masih terdapat sikappesimisme dari masyarakat, padahal pelaksanaan jaminan sosial inisangat krusial bagi masyarakat. Disparitas pengetahuan masyarakatmenjadi satu hal yang menjadi pertimbangan dalam persiapanpelaksanaan jaminan sosial. Pemahaman yang setara dari semuamasyarakat dapat memberikan jaminan kelancaran pelaksanaanjaminan sosial. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka studi iniberupaya untuk menyampaikan pemahaman tentang UU No 24 Tahun2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

B. Memahami Jaminan SosialSebelum membahas lebih mendalam mengenai jaminan sosial di

Indonesia, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu perjalananjaminan sosial. Jaminan sosial merupakan satu bentuk sistemperlindungan sosial. Rys (2011) menyatakan perlindungan sosiallazimnya dipahami sebagai intervensi terpadu oleh berbagai pihak untukmelindungi individu, keluarga, atau komunitas dari berbagai resikokehidupan sehari-hari yang mungkin terjadi, atau untuk mengatasiberbagai dampak guncangan ekonomi, atau untuk memberikandukungan bagi kelompok-kelompok rentan di masyarakat. Sistemperlindungan sosial yang bersifat formal dapat dikelompokkan dalambeberapa bentuk yaitu (i) bantuan sosial (social assistance), (ii) tabunganhari tua (provident fund), (iii) asuransi sosial (social assurance), (iv)tanggung jawab pemberi kerja (employer’s liability) (Kertonegoro, 1982).Setiap negara biasanya menggunakan satu atau beberapa bentukperlindungan sosial tersebut.

Spicker (1995) dan MHLW (1999) dalam Nurhadi (2007) memberibatasan dan penjelasan mengenai jaminan sosial sebagai berikut:

“The term “social security” is mainly now related to financial assis-tance but the general sense of term is much wider, and it is still used in manycountries to refer to provisions for health care as well as income. Althoughthe benefits if security are not themselves material, they do have monetaryvalue, people in Britain. Where there is National Health Service, are receivingsupport which people in the US have to pay throught private insurance ofHealth Maintenace Organization” (Spicker, 1995)”Social security systemsmean the systems to enable every citizen to lead worthly life as member ofcultured society. Social security systems provide countermeasures againts

Page 33: jurnal jaminan sosial

179

the causes for needy circumstances including illnes, injury, childbirth,disablement, death old age, unemployemnet and having a lot of children byimplementing economic security measures through insurance or by directpublic spending”, (MHLW, 1992)

Berdasarkan pemaparan di atas, batasan jaminan sosial adalahbantuan untuk menjawab permasalahan sakit, kecelakaan, kelahiran,ketidakmampuan, kesehatan, kematian, tidak adanya pekerjaan yangdilakukan melalui asuransi atau direct public spending (Spicker, 1995;MHLW, 1999). Dalam pelaksanaannya, jaminan sosial tidak hanyamemiliki batasan bidang yang dijamin, tetapi juga memiliki program,jenis, metode, pembiayaan, jangka waktu, kepesertaan yang berbeda-beda sehingga membutuhkan keterpaduan. Berdasarkan programnya,jaminan sosial dapat dibedakan antara lain dalam pemeliharaankesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, kematian, jaminan penganggurandan tunjangan keluarga.

Selain itu, kita dapat memahami jaminan sosial dengan merunutperkembangan dari masa ke masa di beberapa negara tentang jaminansosialnya. Sejarah jaminan sosial memperlihatkan bahwa untukmenerapkan sebuah rencana besar dan strategik tidak cukup hanyamemiliki sarana dan teknik penerapan yang tepat tapi yang terpentingadalah tekad politik dari pemerintah tersebut. Pemikiran tentang teknikasuransi sosial mulai dikenal di akhir abad ke 17, tetapi hanya KanselirBismarck yang berhasil membuat skema yang diadopsi beberapa tahunkemudian. Pelajaran penting lainnya dari sejarah memperlihatkanbahwa pada dasarnya skema jaminan sosial muncul pada saat rasasolidaritas nasional begitu tebal akibat pengalaman yang mengancamkeberadaan individu, seperti perang atau krisis ekonomi atau politikyang berat.

C. Urgensi Badan Penyelenggara Jaminan SosialPada dasarnya terdapat dua aspek yang mendorong diperlukannya

undang-undang yang mengatur tentang Badan Penyelenggara JaminanSosial. Pertama, amanat konstitusi. Pembukaan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa cita-citaluhur bangsa adalah menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pancasilamengamanatkan kesejahteraan bagi masayarakat dalam sila kelimayaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Batang tubuhUndang-Undang Dasar 1945 juga memiliki beberapa pasal yang menjadilandasan diperlukannya undang-undang yang mengatur tentang Badan

Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...

Page 34: jurnal jaminan sosial

180

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 28 H ayat (1) secara langsungmengatakan bahwa jaminan sosial menjadi hak setiap manusia. Padapasal 34 ayat (1) kembali disebutkan landasan konstitusionaldiperlukannya sistem jaminan sosial.

“Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkanpengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”(Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945)

“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat danmemberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuaimartabat kemanusiaan.” (Pasal 34 ayat (1) UUD 1945)

Landasan konstitusional selanjutnya yaitu Undang-Undang Nomor40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan latarbelakang untuk membangun sistem yang komprehensif dan memberi“rasa aman” (security) yang lebih luas, pada masa Presiden MegawatiSukarnoputri lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentangSistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pada awalnya krisis ekonomitahun 1998 Indonesia diprediksi akan paling lambat “recovery-nya”karena belum memiliki program Jaminan Sosial. Oleh karena ituSistem Jaminan Sosial ini dipersiapkan sejak 2002 dengan KeputusanPresiden Nomor 20 Tahun 2002 yang membentuk tim Sistem JaminanSosial Nasional yang diketuai oleh almarhumah Prof. Yaumil Agus Achir,yang pada waktu itu bertugas sebagai Deputi Wakil Presiden untukKesejahteraan Sosial. Setelah Prof Yaumil Achir wafat, Dr. SulastomoMPH, AAK ditugasi menjadi ketua Tim SJSN dengan Keputusan PresidenNomor 110 Tahun 2003 (Sulastomo, 2011, Sulastomo, 2008).

UU SJSN (yang diundangkan tanggal 19 oktober 2004),mengamanatkan agar dalam kurun 5 tahun sudah terbentuk BadanPengelola Jaminan Sosial melalui Undang Undang. Pada tanggal 28Oktober 2011 DPR RI dan Pemerintah sepakat mengesahkan undang-undang badan penyelenggara jaminan sosial yang ditandatangani olehPresiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 25 November 2011.

Sementara itu, ditinjau dari komitmen internasional, terdapatbeberapa landasan komitmen yang menjadi dasar untukmengimplementasikan jaminan sosial. Universal Declaration of HumanRights (1948), memuat hak-hak yang terdapat di dalam hak dasar manusiasebagai standar dasar yang harus dimiliki setiap individu –”as a com-mon standard of achievement for all peoples and all nations”. Pasal 22-25

Page 35: jurnal jaminan sosial

181

United Nations on Universal Declaration of Human Rights menyatakanbahwa setiap warga negara di dunia ini berhak atas jaminan kesehatan,pekerjaan yang ditindaklanjuti dengan penghasilan yang layak danjaminan sosial.

Konvensi ILO Nomor 102/1952 juga menyatakan bahwa setiapnegara wajib menyelenggarakan sembilan cabang jaminan sosial yaitukecelakaan kerja, sakit-rikkes, persalinan, cacat, kematian dini,pengangguran, hari tua, cacat permanen, dan perlindungan keluarga.Kemudian pada tahun 1976 dikeluarkan International Convenant onEconomic, Social, and Cultural Rights dan International Convenant on Civiland Political Rights atas persetujuan Majelis Umum PBB (Arinanto, 2003:77). Konstitusi Internasional Social Security Association (ISSA) 1998menyatakan bahwa setiap negara wajibk menyelenggarakan asuransisosial, bantuan sosial dan skema proteksi lain yang terkoordinasi untukmencegah kemiskinan (Purwoko, 2011). Dengan demikian baik dalamkonstitusi negara kita maupun komitmen internasional terdapat latarbelakang konstitusional yang mendorong pembentukan BadanPenyelenggara Jaminan Sosial untuk melaksanakan jaminan sosial diIndonesia.

Kedua, aspek kebutuhan rakyat. Jaminan sosial merupakankebutuhan bagi masyarakat. Jaminan sosial dibutuhkan secaramenyeluruh dan tidak terfragmetasi. Aksesabilitas masyarakat yangberbeda karena perbedaan kemampuan ekonomi, letak geografis, danperbedaan ketersediaan fasilitas, mendorong perlunya jaminan yangsama bagi setiap individu. Jaminan ini dibutuhkan karena setiapindividu memiliki kemungkinan masuk dalam kategori masyarakatrentan dalam menghadapi resiko sosial dalam hidupnya.

Struktur penduduk Indonesia yang sudah mulai memasuki tahappenduduk tua (ageing population) mengharuskan perlunya dibuat sistemjaminan sosial sejak awal. Jika proporsi penduduk lanjut usia sudahmakin besar, biaya yang diperlukan untuk menghadapi resiko sosialdalam hidupnya akan makin besar. Jika jaminan sosial dengan skemaasuransi sosial yang dipadukan dengan skema bantuan sosial sudahberjalan, kendala tersebut akan lebih mudah diatasi.

Berbagai negara telah mengimplementasikan jaminan sosialsebagai skema untuk mengatasi hal tersebut. Kondisi jaminan sosial diIndonesia saat ini masih dianggap belum memenuhi amanah konstitusisecara sempurna, karena itu Indonesia memerlukan undang-undangyang menjamin jaminan sosial. Atas dasar kebutuhan ini disahkan

Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...

Page 36: jurnal jaminan sosial

182

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaipenyelenggara jaminan sosial di Indonesia. Dengan terbentuknyaundang-undang ini diharapkan kita akan mampu menyelenggarakanjaminan sosial dengan pendekatan sistem yang berlaku secara nasionaldan komprehensif berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan keadilansosial.

D. Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan SosialPengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS

pada November 2011 menjadi satu bekal menuju sistem jaminan sosialbagi masyarakat Indonesia. Undang-undang tersebut mengamanatkantransformasi empat badan penyelenggara yaitu PT Askes (persero)menjadi BPJS Kesehatan pada Januari 2014, PT Jamsostek (persero)bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 1 Juli2012, sedangkan untuk PT Asabri dan PT Taspen bertransformasi palinglambat 2029 melalui Peraturan Pemerintah.

Dua BPJS ini memiliki amanah yang berbeda. BPJS Kesehatanakan memberikan jaminan kesehatan. Sementara BPJSKetenagakerjaan akan memberikan jaminan pensiun, jaminan hari tua,jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. BPJS adalah badanhukum publik dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BPJSberkedudukan dan berkantor pusat di Ibukota Negara dengankemungkinan untuk mendirikan kantor perwakilan di Propinsi danKabupaten/Kota.

Demi memenuhi amanat tersebut maka perlu ada transformasibadan penyelenggara. Transformasi BPJS dapat diilustrasikan sebagaiberikut:

Gambar Tahapan Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Page 37: jurnal jaminan sosial

183

Hasil rumusan pansus RUU BPJS menyatakan beberapa prasyaratdalam transformasi tersebut, antara lain:

1. Tidak boleh ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan tidak bolehada penghilangan hak-hak normatif dari karyawan keempat BUMN.

2. Tidak boleh merugikan peserta lama yang mengikuti program diempat BUMN.

3. Tidak boleh ada program terhadap peserta lama yang stagnan atauterhenti. Pelayanan terhadap peserta lama tidak boleh terhenti.

4. Satu peserta hanya membayar satu kali untuk setiap program.

5. Ada batasan waktu transformasi berupa program, peserta, aset danlembaga.

6. Pemerintah diamanatkan untuk menyelesaikan seluruh peraturanpelaksanan yang diperlukan terkait transformasi empat BUMNdengan batasan waktu paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan.

7. Ada kepastian dalam investasi empat BUMN yang saat ini sedangberjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

8. Proses pengalihan asset dari 4 BUMN kepada asset BPJS dan assetdana jaminan sosial dilakukan dengan prinsip ke hati-hatian.

Tahapan tranformasi tersebut akan dilaksanakan oleh DJSN dankementerian terkait, penyusunan PP/Perpres akan dikoordinasikanoleh tiga istansi yaitu Kementerian Kesehatan, Kemenakertrans, danDJSN. Kementerian Kesehatan akan dikoordinasikan oleh WakilMenteri Kementerian Kesehatan serta Kementerian Tenaga Kerja danTransmigrasi dikoordinasikan oleh Sekjen Kemenakertrans. Badanpenyelenggara akan secara proaktif berkoordinasi dengan institusitersebut (serta institusi terkait lainnya) untuk memberikan masukanteknis dalam proses penyusunan PP/Perpres.

Transformasi BPJS memerlukan harmonisasi undang-undang.Diperlukan perubahan / harmonisasi atas beberapa peraturanperundang-undangan antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawaidan Pensiun Janda/ Duda pegawai.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang PenetapanBadan Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang AsuransiSosial Pegawai Negeri Sipil.

Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...

Page 38: jurnal jaminan sosial

184

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang PengalihanBentuk Perusahaan Umum Dana tabungan dan Asuransi PegawaiNegeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

6. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2003 tentang Subsidi danIuran Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Asuransi KesehatanBagi Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun.

Proses transformasi badan penyelenggara jaminan sosial menjaditransformasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dapatdijelaskan sebagai berikut:

1. Transformasi menuju BPJS KesehatanJaminan kesehatan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011

menjadi prioritas pertama dalam implementasi yaitu akan dilaksanakanpada 1 Januari 2014. Implementasi jaminan kesehatan inimensyaratkan adanya transformasi dari PT Askes (persero) menjadiBPJS Kesehatan. Dalam prosesnya, jaminan kesehatan yang menjadibagian dari badan penyelenggara lain akan dipindahkan menjadi bagiantugas BPJS Kesehatan misalnya Jamkesmas oleh KementerianKesehatan dan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)PT Jamsostek (persero).

2. Transformasi PT Jamsostek menjadi BPJS KetenagakerjaanDibutuhkan waktu yang lebih lama dalam rangka operasionalisasi

BPJS Ketenagakerjaan. Proses ini membutuhkan waktu yang lebih lamakarena banyak peraturan perundang-undangan yang perlu disinkronisasidan diharmonisasi agar tidak terjadi tumpang tindih. Perlu dilakukansinkronisasi iuran dan manfaat untuk menghindari terjadinyapembiayaan untuk pembayaran manfaat yang fungsinya sejenis atausama. Misalnya, uang perhargaan masa kerja sebagaimana diatur dalamUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan jaminan pensiun menurutUndang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Perlu waktu yang cukup bagipemberi kerja yang telah memiliki program pensiun, terutama yangberjenis program pensiun iuran pasti, untuk melakukan koordinasi iurandan manfaat, mengingat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004mengisyaratkan penyelenggaraan program jaminan pensiun dengan polaprogram pensiun manfaat pasti. Konsensus mengenai besaran manfaatpensiun dan besaran iuran jaminan hari tua juga membutuhkan waktu,mengingat terdapat perbedaan kemampuan calon peserta yang berasaldari kelompok pekerja penerima upah dan yang tidak menerima upah.Besaran manfaat pensiun dan besaran iuran jaminan hari tua

Page 39: jurnal jaminan sosial

185

merupakan persoalan lain yang membutuhkan pembahasan agar sesuaidengan kemampuan masyarakat dan keuangan negara.

Adapun transformasi PT Taspen (persero) dan PT Asabri (persero)akan diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah. “Ketentuanmengenai tata cara pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan BersenjataRepublik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT ASABRI(Persero) dan pengalihan program tabungan hari tua dan programpembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaandiatur dengan Peraturan Pemerintah.” (Undang-Undang Nomor 24 Tahun2011 Pasal 66). Transformasi tersebut diikuti pengalihan peserta,program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban. Terkaithal ini di dalam pasal 65 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011disebutkan bahwa paling lambat PT Asabri dan PT Taspen menyusunpeta transformasi tersebut pada tahun 2014.

E. Badan Penyelenggara Jaminan SosialUndang-Undang Nomor 24 tahun 2011 telah mengatur fungsi,

wewenang, dan kewajiban dari BPJS di Indonesia. Fungsi BPJS adalahmelakukan pendaftaran peserta, mengumpulkan iuran dari peserta ataupemberi kerja, menerima bantuan iuran dari pemerintah untuk BPJSKesehatan, mengelola dana jaminan sosial, mengelola data peserta,membayarkan manfaat dan atau memberikan pelayanan. Adapunwewenang BPJS adalah menagih iuran, menempatkan investasi danajaminan sosial, melakukan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhanpeserta, mengasosiasikan atau menghentikan kontrak dengan providerpelayanan, mengenakan sanksi administratif, dan melaporkanketidakpatuhan peserta pada instansi yang berwenang.

BPJS juga memiliki beberapa kewajiban, antara lain memberikannomor identitas tunggal, mengembangkan dana aset jaminan sosial,memberikan informasi kepada peserta dan pemangku kepentingan,memberikan pelayanan dan manfaat, memberikan informasi (hak/kewajiban), memberikan cadangan teknis, dan melakukan perubahanlaporan program 6 bulan sekali kepada Presiden dengan tembusankepada DJSN.

BPJS akan bertanggung jawab atas jaminan sosial dari pesertanya.Cakupan peserta jaminan sosial oleh BPJS adalah setiap orang yangtelah membayar iuran, termasuk orang asing yang bekerja lebih dari6 bulan. BPJS Kesehatan mengenal bantuan iuran sehingga memerlukanperan pemerintah sebagai pihak yang mengalokasikan APBN untuk

Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...

Page 40: jurnal jaminan sosial

186

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

memberikan subsidi kepada penduduk yang menerima bantuan iuran.

Transformasi menyebabkan perubahan dalam beberapa bidang.Badan penyelenggara jaminan sosial tidak lagi berbentuk Badan UsahaMilik Negara melainkan akan menjadi Badan Hukum Publik yang akanbertanggungjawab kepada Presiden. Cakupan jaminan sosial juga akanbersifat wajib dan lebih luas yakni BPJS Kesehatan wajib untuk seluruhpenduduk dan BPJS Ketenagakerjaan wajib untuk seluruh pekerja.Sistem penyelenggaraan juga akan berubah yaitu perusahaanmelakukan administrasi dengan dua BPJS; tenaga kerja dilayani olehdua BPJS. Dalam hal program dan manfaat pun terdapat perubahanmisalnya jaminan pensiun juga ada untuk tenaga kerja swasta daninformal serta jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk.

Pengimplementasian BPJS perlu dipersiapkan. Poin-poin mendasardalam berbagai bidang penting untuk ditingkatkan perfomanya secarabersama-sama. Diperlukan kerjasama intensif dari semua stakeholderdalam sembilan hal yaitu, pertama, adanya identitas tunggal; kedua,penyesuaian aspek hukum dari peraturan perundangan-undangan;ketiga proses penyesuaian dari Perusahaan Persero menjadi BPJS;keempat perancangan manfaat setiap program jaminan SJSN sertadetail atas proyeksi fiskal jangka pendek dan jangka panjang untuk limaprogram jaminan sosial SJSN; kelima perbaikan sistem penarikaniuaran/premi/kontribusi dan sistem pengumpulan data; keenamnegosiasi kontrak dengan penyedia pelayanan kesehatan danpelaksanaan prosedur pengendalian kualitas; ketujuh penentuanmetodologi untuk mengidentifikasi dan memonitor masyarakat miskinyang berhak memperoleh subsidi pemerintah; kedelapan pembentukansebuah kantor aktuaria negara untuk mengelola aspek keuangan danaspek menajemen resiko program SJSN; dan kesembilan sosialisasiuntuk menjelaskan skema asuransi sosial yang baru kepadamasyarakat, media massa dan parlemen.

Sebagaimana kita ketahui bahwa BPJS akan merupakan hasiltransformasi dari badan penyelenggara yang telah ada saat ini. Prosestransformasi mensyaratkan adanya kegiatan operasional lembaga yangsaat ini telah melaksanakan jaminan sosial tetap berjalan. Disebutkandalam Pasal 57 ayat (a) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011, PT Askes(persero) yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun1992 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (perum) HusadaBhakti menjadi Perusahaan Perseroan (persero), diakui keberadaannyadan tetap melaksanakan program jaminan kesehatan, termasuk

Page 41: jurnal jaminan sosial

187

Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...

menerima pendaftaran peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJSKesehatan. Dalam Bab yang sama, Kementerian Kesehatan tetapmelaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminankesehatan masyarakat, termasuk penambahan peserta baru, sampaiBPJS kesehatan beroperasi.

Demikian pula, Kementerian Pertahanan, Tentara NasionalIndonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia tetap melaksanakankegiatan operasional penyelenggaraan program layanan kesehatan bagipesertanya, termasuk penambahan peserta baru, sampai denganberoperasinya BPJS Kesehatan, kecuali untuk pelayanan kesehatantertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya, yang akanditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Kemudian Perusahaan Perseroan (persero) PT Jaminan SosialTenaga Kerja atau PT Jamsostek (persero) yang dibentuk denganPeraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan BadanPenyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. BerdasarkanUndang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial TenagaKerja, tetap melaksanakan tugas operasional penyelenggaraan sampaidengan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.

Sementara itu PT Asabri (persero) yang dibentuk dengan PeraturanPemerintah Nomor 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan BentukPerusahaan Umum Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata RepublikIndonesia menjadi perusahaan perseroan, berdasarkan Undang-UndangNomor 6 Tahun 1966, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988,Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1968, dan Peraturan PemerintahNomor 67 Tahun 1991 tetap emlaksanakan kegiatan operasionalpenyelenggaraan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata RepublikIndonesia dan program pembayaran pension bagi pesertanya, sampaidengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.

PT Taspen (persero), yang dibentuk melalui Peraturan PemerintahNomor 26 Tahun 1981, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25Tahun 1981 tetap melaksanakan kegiatan operasional penyelenggaraanprogram tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun bagipesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengandialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.

Page 42: jurnal jaminan sosial

188

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat kita pahami bahwa dalammasa transformasi menuju BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJSKetenagakerjaan, badan penyelenggara yang saat ini telah ada tetapmelaksanakan tugas operasionalnya. Kondisi ini akan berbeda padamasa beroperasinya BPJS yang akan melibatkan Presiden, DJSN, DPRRI dan BPJS sendiri.

Dalam pelaksanaannya, terdapat hubungan antar lembaga antaraBPJS, DJSN, dan Kementerian/Lembaga yang perlu dipahami. Ketigalembaga mempunyai hubungan fungsional satu sama lainnya, demikianjuga dengan Presiden dan DPR RI. Secara khusus Presiden dan DPR RImempunyai posisi strategis yaitu memilih dan menetapkan anggotaDewan Pengawas dan anggota Direksi BPJS, dan untuk itu Presidenmembentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuanyang diatur dalam Undang-Undang BPJS.

Hubungan antar lembaga yang secara eksplisit diatur dalam Pasal51 UU BPJS adalah sebagai berkut:

(1) Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan programJaminan Sosial, BPJS bekerja sama dengan lembaga Pemerintah;

(2) Dalam menjalankan tugasnya, BPJS dapat bekerja sama denganorganisasi atau lembaga lain di dalam negeri atau di luar negeri;

(3) BPJS dapat bertindak mewakili Negara Republik Indonesiasebagai anggota organisasi atau anggota lembaga internasionalapabila terdapat ketentuan bahwa anggota dari organisasi ataulembaga internasional tersebut mengharuskan atas namanegara.

Selanjutnya diamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenaitata cara hubungan antarlembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Di samping pengaturan hubungan antar lembaga yang ditetapkandalam Pasal 51 UU BPJS tersebut, dalam pasal-pasal lainnya diaturhubungan antar lembaga lainnya. Dalam UU BPJS diatur tugas dan fungsiDJSN yang juga menggambarkan hubungan DJSN dengan lembagalainnya, yaitu:

(1) DJSN menyampaikan hasil monitoring dan evaluasi SJSN setiap6 bulan;

(2) Mengusulkan PAW anggota Dewan Pengawas dan Direksi;

(3) Menerima Laporan Pengelolaan Program dan Keuangan BPJS;

(4) Memberikan konsultasi kepada BPJS tentang Bentuk dan IsiLaporan Pengelolaan Program;

Page 43: jurnal jaminan sosial

189

(5) Bersama Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan,DJSN sebagai pengawas eksternal BPJS.

Dalam rangka persiapan implementasi UU BPJS tersebut,hubungan antar lembaga sudah mulai terbangun berdasarkan tugaspokok dan fungsinya masing-masing. Dari pihak Pemerintah, MenteriKoordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat telah membentuk TimPenyiapan Pelaksanaan BPJS, yang terdiri dari 3 (tiga) bidang: BidangBPJS Kesehatan yang diketuai oleh Wakil Menteri Kesehatan; BidangBPJS Ketenagakerjaan yang diketuai oleh Sekretaris KementerianTenaga Kerja dan Transmigrasi; dan Bidang Sosialisasi, Edukasi, danAdvokasi yang diketuai oleh Direktur Jenderal Informasi danKomunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informasi.

PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero) juga telahmembentuk Tim internal masing-masing guna mempersiapkan prosestransformasi sebagaimana diamanatkan dalam UU BPJS. Tim internalkedua badan penyelenggara ini berkoordinasi secara intensif denganTim Pemerintah agar terjadi sinkronisasi langkah-langkah transformasiBPJS. Tim Pemerintah mengadakan persiapan dari aspek peraturanperundang-undangan dan kebijakan, sementara Tim internal badanpenyelenggara menyiapkan aspek operasional BPJS.

Baik Tim Pemerintah maupun Tim internal PT. Askes (Persero)dan PT. Jamsostek (Persero) telah bekerja secara sinergis, yangdikoordinasikan oleh Kementrian Koordinator Bidang KesejahteraanRakyat. Masing-masing Tim bekerja sesuai dengan work plan-nya yangterus disinkronkan antar Tim. Sementara itu, DJSN telah membentukTim Adhoc BPJS.

F. PenutupJaminan sosial merupakan hak setiap individu. Akan tetapi perlu

dipahami bahwa untuk mewujudkan sebuah sistem yang stabildiperlukan kerja sama tidak hanya antar stakeholder tetapi juga peranaktif dari masyarakat. Masyarakat merupakan pemilik kepentingan yangpaling utama, dan selayaknya memiliki kesadaran untuk mengikutiprosedur sistem yang hendak dibentuk dan dilaksanakan. Demikianpula, instansi penyelenggara sebagai pihak yang mendapat amanat,memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab hingga terwujud sistem jaminan sosial nasional yang memberikanjaminan sosial secara menyeluruh bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Hadirnya Negara Di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya ...

Page 44: jurnal jaminan sosial

190

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Daftar Pustaka

Anong Rojvanit. 1993. The Social Welfare for Health Care: The Civil ServantMedical Benefit Scheme«, in: Health Financing in Thailand, Proceed-ings of a National Workshop. 11-13 November 1993 at DusitResort and Polo Club, Petchaburi Province, Thailand.

Anuwat, Supachutikul. 1996. Situation Analysis on Health Insurance andFuture Development. Bangkok: Health Systems Research Institute.

Dewan Jaminan Sosial Nasional. 2011. Roadmap Pencapaian Kepesertaanmenyeluruh (Universal Coverage) Program Jaminan Kesehatan diIndonesia. Jakarta: DJSN RI.

Dewan Jaminan Sosial Nasional. 2012. Himpunan Peraturan SistemJaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Kelembagaan Dewan JaminanSosial Nasional. Jakarta: DJSN RI.

Dewitt, Larry. 2010. The Development of Social Security in America. SocialSecurity Bulletin, Vol 70 No 3 3010.

Kertonegoro, Sentanoe. 1982. Jaminan Sosial: Prinsip dan Pelaksanaannyadi Indonesia. Jakarta.: Penerbit Mutiara.

Liu, Lilian. 2001. Special Study #8: Foreign Social Security DevelopmentPrior to the Social Security Act Research Notes and Special Studies bytheHistorian’s Office. Baltimore, MD: SSA.

Nurhadi. 2007. Mengembangkan Jaminan Sosial Mengentaskan Kemiskinan.Yogyakarta: Media Wacana.

Rys, Vladimir. Merumuskan Ulang Jaminan Sosial: Kembali ke Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta : Alvabet.

Sulastomo. 2008. Sistem Jaminan Sosial Nasional: Sebuah Introduksi.Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sulastomo. 2011. Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: Kompas.

Page 45: jurnal jaminan sosial

191

* Perancang Pertama merangkap Kasi Penerbitan Subdit. Publikasi, Dit. Pengundangan, Publikasi,dan Kerja Sama, Ditjen Peraturan Perundang-undangan.

KOMITMEN PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAANJAMINAN SOSIAL NASIONAL

(GOVERNMENT COMMITMENT IN THE IMPLEMENTATION OFNATIONAL SOCIAL SECURITY)

Zaelani*

(Naskah diterima 16/07/2012, disetujui 23/07/2012)

AbstrakUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkanterhadap hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat, untuk mengimplemntasikanjaminan sosial tersebut Majelis Permusyawaratan Rakyat Menetapkan denganTAP MPR Nomor X/MPR/2001, menugaskan kepada Presiden untuk membentukSistem Jaminan Sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SistemJaminan Sosial Nasional (SJSN), Jaminan sosial merupakan kebutuhan dasarhidup yang layak dan memperoleh jaminan apabila mengalami kecelakaan,memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia. Program ini dapat menjamin ketika seseorang menderitasakit, kehilangan pekerjaan dan memasuki usia lanjut atau pensiun. Undang-Undang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,untuk melaksanakannya telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Badan Penyelenggara Jaminan Sosialdiselenggarakan oleh 4(empat) Badan Penyelenggara Jaminan sosial, yaituPT. Jamsostek (Persero), PT. Taspen, PT. ASABRI (Persero), dan PT. Askes(Persero). Kedepan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 BadanPenyelenggara Jaminan Sosial dilaksanakan oleh 2 (dua) Badan PenyelenggaraJaminan Sosial, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan danBadan Penyelenggara Jaminan Ketenagakerjaan. Pelaksanaan Undang-UndangNomor 24 Tahun 2011 memerlukan Peraturan Perundang-undangan pelaksana.Penyelenggaraan Jaminan Sosial keberadaannya sangat didambakanmasyarakat, karena itu perlu komitmen dan kesungguhan Pemerintah dalammenyelenggarakan Jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan sekaligusmembentuk Peraturan Perundang-undangan dan peraturan kebijakan sebagaipayung hukum dan dasar hukum untuk melaksanakannya, oleh karena ituperlu kerja keras dan kesungguhan Pemerintah untuk dapat segeramerealisakannya.Kata kunci: komitmen pemerintah dalam melaksanakan jaminan sosial.

AbstractConstitution of the Republic of Indonesia Year 1945 mandates the right to sosialsecurity for all citizens, for sosial security mengimpletasikan the People’s Consulta-tive Assembly MPR Set with X/MPR/2001 number, assigned to the President to

Page 46: jurnal jaminan sosial

192

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

establish a sosial security system. Law Number 40 Year 2004 on National SosialSecurity System (Navigation), Sosial security is a basic life needs and obtain aguarantee when an accident, the assurance of protection and sosial welfare for allthe people of Indonesia. This program can guarantee when suffering from illness,loss of jobs and into old age or retirement. Act mandated the establishment of SosialSecurity Administering Bodies, have been enacted to implement the Act No. 24 of2011 on Sosial Security Administering Bodies. Based on Law Number 40 Year 2004Sosial Security Administering Bodies held by 4 (four) Sosial Security AdministeringBodies, namely PT. Jamsostek (Persero), PT. Taspen, PT. ASABRI (Corporation),and PT. Askes (Corporation), and in accordance with Law Number 24 Year 2011Sosial Security Administering Bodies carried out by two (2) Sosial Security Adminis-tering Agency, the Agency for Health and Sosial Security Administering SecurityAdministering Agency for Employment. Implementation of Law No. 24 of 2011requires legislation to implement the other. Implementation of the Sosial Securityexistence highly coveted community, because it needs sincerity and commitment ofthe Government in carrying out sosial security for all citizens and legal instrumentsand creating legislation to make it happen, therefore it needs hard work and serious-ness of the Government to immediately merealisakannya.Key words: the Government’s commitment in implementing the National Sosial Secu-rity.

A. PendahuluanPasal 28 H ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat

(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telahmenentukan mengenai hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Selainitu, jaminan sosial dijamin pula dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tantang Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Hal ini diperkuat jugadalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semuanegara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenagakerja. Dalam rangka melaksanakan amanat tersebut, MajelisPermusyawaratan Rakyat Menetapkan dengan TAP MPR Nomor X/MPR/2001 telah menugaskan kepada Presiden untuk membentuk SistemJaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosialyang menyeluruh dan terpadu.

Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan sistem perlindungansosial bagi seluruh rakyat. Perlindungan sosial memiliki peran strategisuntuk menghadapi kerentanan (vulnerability) yang disebabkan olehrisiko alam ataupun risiko ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwaIndonesia merupakan salah satu wilayah rawan bencana dan dampakbencana yang terjadi mengakibatkan diharuskannya merelokasianggaran untuk membangun kembali infrastruktur yang rusak. Bencanajuga telah mengakibatkan banyak keluarga kehilangan harta benda danjiwa, sehingga hal ini cukup menyulitkan dalam upaya meningkatkan

Page 47: jurnal jaminan sosial

193

kesejahteraan rakyat.

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakanprogram negara yang mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan dasarhidup yang layak dan memperoleh jaminan apabila mengalamikecelakaan dan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraansosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, diharapkansetiap penduduk dapat terjamin ketika menderita sakit, kehilanganpekerjaan, dan memasuki usia lanjut atau pensiun

Masyarakat pada dasarnya selalu berharap bahwa pelaksanaanpembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu kebijakanpembangunan nasional harus dapat meningkatkna kesejahteraanrakyat dan kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secaraberkelanjutan, adil, merata, dan menjangkau bagi seluruh rakyatIndonesia.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem JaminanSosial Nasional adalah peraturan yang dibentuk dalam rangkamelaksanakan amanat Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945, yang diharapkan mampu untuk mensinkronkanberbagai sistem bentuk jaminan sosial yang dapat memberikanperlindungan yang adil dan merata kepada seluruh masyarakat.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004merupakan upaya nyata, kesungguhan dan komitmen Pemerintahuntuk memberikan jaminan kepada seluruh rakyatnya, Undang-Undang40 Tahun 2004 mempunyai maksud untuk mengimplementasikanamanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,dan mempunyai tujuan yaitu memberikan kepastian perlindungan dankesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, dalam menyelenggarakanjaminan sosial.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem JaminanSosial Nasional, telah mengamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal52 untuk mempercepat pembentukan Badan Penyelenggara JaminanSosial dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempatBadan Usaha Milik Negara untuk menyelenggarakan sistem jaminansosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada tanggal 25 Nopember2011 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentangBadan Penyelenggara Jaminan Sosial, Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2011 Nomor 116 dan Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 5256. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011merupakan pelaksanaan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun

Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional

Page 48: jurnal jaminan sosial

194

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

2004 dalam rangka pembentukan badan Penyelenggara Jaminan Sosial.Kedepan penyelenggara jaminan sosial akan diselenggarakan oleh 2(dua) badan hukum Publik, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan SosialKesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

B. PembahasanUndang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN), dibentuk dalam rangka memberikan jaminankepada seluruh rakyat, dan merupakan perangkat hukum untukmengimplementasikan amanat Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 dalam penyelenggarakan jaminan sosialberdasarkan prinsip-prinsip, yaitu sebagai berikut:

- Prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini diwujudkan dalammekanisme gotong royong dari peserta yang mampu kepada pesertayang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruhrakyat. Peserta yang berisiko rendah membantu peserta yangberisiko tinggi dan peserta yang sehat membantu peserta yangsakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini jaminan sosial dapatmenumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

- Prinsip nirlaba. Pengelolaan dan amanat tidak dimaksudkanmencari laba (nirlaba) bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosialakan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial adalahuntuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Danaamanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akandimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.

- Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi danefektivitas. Prinsip-prinsip menajemen ini diterapkan danmendasari seluruh kegiatan pengelolaan dan yang berasal dariiuran peserta dan hasil pengembangannya.

- Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untukmemberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun pesertaberpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah negaraKesatuan Republik Indonesia.

- Prinsip Kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkanagar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi.Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomirakyat dan Pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal, bersamaan

Page 49: jurnal jaminan sosial

195

dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara mandiriasehingga pada akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapatmencakup seluruh rakyat.

- Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran pesertamerupakan titipan kepada badan-badan untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untukkesejahteraan peserta.

Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalamUndang-Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang sahamyang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.Pengertian sistem Jaminan sosial adalah suatu tata carapenyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badanpenyelenggara jaminan sosial.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004merupakan upaya nyata dan kesungguhan Pemerintah untukmemberikan jaminan sosial kepada seluruh rakyatnya, bertujuanmemberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagiseluruh rakyat, dalam menyelenggarakan jaminan sosial,pelaksanaannya berdasarkan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraannya,sebagaimana tersebut di atas.

C. Pelaksanaan Jaminan SosialPenyelenggaraan jaminan sosial oleh Pemerintah bagi seluruh

rakyatnya, sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang Undang Dasarmerupakan alat jaminan sosial untuk menghimpun dana dalam rangkamengatasi risiko sosial ekonomi seperti sakit, kematian, dan hari tua.Keberadaan jaminan sosial yang baik memastikan rakyat dapat hidupdamai, aman, dan sejahtera secara adil dan merata.

Dengan terselenggaranya jaminan sosial yang baik memungkinkansemua pekerja akan bekerja lebih konsentrasi dan semangat tanpakhawatir akan risiko ekonomi hal ini pada akhirnya rakyat semakinsejahtera. Kondisi yang demikian akan membuat ekonomi semakinmaju dan rakyat sejahtera yang memungkinkan rakyat menabung lebihbesar dan mengiur lebih banyak guna memperkuat sistem jaminansosialnya.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem JaminanSosial Nasional (SJSN) mempunyai tujuan yang sejalan dengan harapanseluruh rakyat, yaitu memberikan kepastian perlindungan dan

Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional

Page 50: jurnal jaminan sosial

196

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, sebagaimana dinyatakan dalamPasal 3 Undang-Undang tersebut, yaitu:

Pasal 3

Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminansepenuhnya kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap peserta dan/atauanggota keluarganya.1

Jaminan Sosial merupakan harapan bagi seluruh rakyat untukmenanggulangi risiko yang dialaminya, jaminan sosial juga merupakankebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh Pemerintah,untuk mewujudkan harapan tersebut, perlu membentuk peraturanperundang-undangan sebagai payung hukum pelaksanaan jaminansosial dimaksud.

Penyelenggaraan Jaminan sosial di satu sisi memerlukanperangkat peraturan perundang-undangan sebagai dasar dan payunghukum, dan di sisi lain diperlukan pula persamaan persepsi dandukungan serta komitmen dari berbagai elemen, tidak hanyaPemerintah melainkan seluruh masyarakat.

Sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentangSistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) hingga sekarang, badanpenyelenggara program jaminan sosial dilaksanakan oleh 4 (empat) badanpenyelenggara, yaitu sebagai berikut:

1. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja(Jamsostek);

2. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransipegawai Negeri (TASPEN);

3. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Angkatan BersenjataRepublik Indonesia (ASABRI);

4. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan (ASKES).

Dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, badan penyelenggaraprogram jaminan sosial, semula diselenggarakan oleh 4 (empat) BadanPenyelenggara Jaminan Sosial, selanjutnya akan bertransformasimenjadi 2 (dua) Badan Penyelenggara dan berbentuk menjadi badanhukum publik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5, yaitu sebagaiberikut :

1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), DewanJaminan Sosial Nasional, Jakarta, 2011

Page 51: jurnal jaminan sosial

197

Pasal 5

(1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.

(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. BPJS Kesehatan; dan

b. BPJS Ketenagakerjaan.2

Sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24Tahun 2011, bahwa Badan Penyelenggara Jaminan SosialKetenagakerjaan, meliputi jaminan sebagai berikut:

a. Jaminan Kecelakaan kerja;

b. Jaminan Hari Tua;

c. Jaminan Pensiun;

d. Jaminan Kematian.

D. Peraturan Perundang-undangan :Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai Jaminan

sosial, sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, telah diundangkan:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan PokokKesejahteraan Sosial, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat(4), yaitu sebagai berikut:

Pasal 2

(4) Seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaankesejahteraan sosial bagi warganegara yang diselenggarakanoleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memeliharataraf kesejahteraan sosial sebagai perwujudan dari padasekuritas sosial.3

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan SosialTenaga Kerja, yang mengatur mengenai perlindungan bagi tenagakerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai penggantisebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang danpelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami olehtenaga kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.

2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Dewan JaminanSosial Nasional, Tahun 2012.3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, GramediaPers, Jakarta, Tahun 2008.

Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional

Page 52: jurnal jaminan sosial

198

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai,Pensiun Janda/Duda Pegawai, diundangkan dalam LembaranNegara Tahun 1969 Nomor 42, mengatur mengenai kewajibanPemerintah untuk menyelenggarakan program Pensiun bagipegawai negeri.

4. Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem JaminanSosial Nasional (SJSN), yang telah melahirkan peraturanperundang-undangan dan peraturan kebijakan sebagai peraturanpelaksanaan, yaitu:

- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja, Tata CaraPengangkatan, Penggantian dan Pemberhentian AnggotaDewan;

- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 110/M Tahun2008 tentang Keanggotaan Dewan Jaminan Sosial Nasional;

- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/M Tahun2009 tentang Pengangkatan Anggota Dewan Jaminan SosialNasional;

- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73/M Tahun2011 tentang Perubahan Anggota Jaminan Sosial Nasional;

- Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan RakyatNomor 36/PER/MENKO/KESRA/2008 tentang Organisasi danTata Kerja Sekretariat Dewan Jaminan Sosial Nasional

- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BadanPenyelenggara Jaminan Sosial (Berita Negara RepublikIndonesia Tahun 2011 Nomor 116 dan Tambahan BeritaNegara Republik Indonesia Nomor 5256).

E. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang tentang BadanPenyelenggara Jaminan SosialUndang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN), adalah Peraturan Perundang-undangan untukmenindaklanjuti dan melaksanakan amanat Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam rangka pembentukanbadan penyelenggara jaminan sosial. Hal ini sesuai dengan Pasal 5ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Selain itu Undang-Undangtersebut mengamanatkan untuk penyesuaian Badan PenyelenggaraJaminan sosial sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 52 ayat (2) yang

Page 53: jurnal jaminan sosial

199

telah mengestimasikan pelaksanaannya paling lambat 5 (lima) tahunsejak berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 diundangkan.

Dalam rangka mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasionalperlu membentuk badan penyelenggara yang berbadan hukum publikberdasarkan prinsip-prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan,kehati-hatian, akuntabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat,dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untukpengembangan program dan sebesar-besarnya untuk kepentinganpeserta. Hal ini sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-UndangNomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),khususnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) yaitu BadanPenyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang,sebagai pelaksanaan amanat tersebut telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor116 dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 5256).

F. Persiapan Pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan SosialUntuk menjalankan amanat yang diatur Undang-Undang tersebut,

diperlukan persipan-persiapan untuk melaksanakannya yakni denganlangkah-langkah menyiapkan perangkat kebijakan dan peraturanperundang-undangan pelaksanaannya.

Undang-Undang tersebut telah memerintahkan pembentukan 8(delapaan) Peraturan Pemerintah, 1 (satu) Peraturan Presiden, 1 (satu)Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan 1 keputusanPresiden.

Salah satu amanat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011adalah pembentukan Dewan Jaminan Sosial, yaitu Dewan yangberfungsi membantu Presiden dalam Perumusan kebijakan umum dansinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan nasional, yang akanmenyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan PeraturanPresiden, Rancangan Peraturan Presiden, Rancangan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang serta Rancangan KeputusanPresiden.

Persiapan yang utama adalah menyiapkan Rancangan PeraturanPemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden sebagai dasartransformasi penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.Sesuai dengan Instruksi Presiden bahwa pada tanggal 01 Januari 2014Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di bidang Kesehatan yang selama

Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional

Page 54: jurnal jaminan sosial

200

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

ini dilaksanakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) AsuransiKesehatan (Askes) secara otomatis berubah statusnya menjadi BadanHukum Publik Badan Penyelenggara jaminan Sosial Kesehatan .Pelaksanaan Jaminan kesehatan selama ini sudah ada ruhnya hanyatinggal pelaksanaannya saja.4

Setelah pelaksanaan transformasi Badan Penyelenggara JaminanSosial di bidang Kesehatan, selanjutnya akan dilaksanakan transformasipenyelenggara Jaminan Sosial di bidang Ketenagakerjaan, yang akandirealisasikan paling lambat pada tahun 2029.5

(3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud padaAyat (1) adalah:

a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja(Jamsostek);

b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransipegawai Negeri (TASPEN);

c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi AngkatanBersenjata Republik Indonesia (ASABRI);

d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial AngkatanBersenjata Republik Indonesia (ASKES).

(4) Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selaindimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang.

G. Kendala dan Upaya yang DilakukanSejak lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang

Sistem Jaminan Sosial Nasional, hingga saat ini penyelenggara jaminansosial diselenggarakan oleh badan penyelenggara yang belum sesuaidengan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004,misalnya banyak hal yang menyebabkan program sistem jaminan sosialbelum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini banyak faktorpenyebabnya yaitu faktor politik dan nonpolitik, apalagi PeraturanPerundang-undangan ini bukan merupakan hasil inisiatif DPR.

4 Hasil Wawancara dengan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, di Jakarta, pada tanggal 29 Mei2012.5 Ibid.

Page 55: jurnal jaminan sosial

201

Dalam rangka mengimplementasikan Badan PenyelenggaraJaminan Sosial, perlu membentuk payung hukum, berkenaan denganhal tersebut, Dewan Jaminan Sosial Nasional berkewajiban menyiapkanperangkat hukum sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang.

Perangkat hukum yang sedang disiapkan oleh Dewan JaminanSosial Nasional sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011,yaitu berupa 8 (delapan) Rancangan Peraturan Pemerintah, 1 (satu)Rancangan Peraturan Presiden, 1 (satu) Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang, 1 (satu) Rancangan keputusan Presiden.

Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai denganKetentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 program jaminan sosialdilaksanakan oleh 2 (dua) Badan Hukum Publik, yaitu:

- Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia(Askes) berubah status menjadi badan hukum publik, yang akanmelaksanakan dari aspek Program jaminan sosial kesehatan.

- Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja(Jamsostek) berubah status menjadi badan hukum publik, yangakan melaksanakan dari aspek program jaminan sosialKetenagakerjaan.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaanmempunyai 4 (empat) Program ditambah dengan 1 (satu) Program yaituJaminan Hari Tua. Badan Penyelenggara Jaminan SosialKetenagakejaan hendaknya mengcover dari sektor penduduk.Pelaksanaan dari kesuluruhan program tersebut di atas parameternyaadalah Peraturan Perundang-undangan

Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial AngkatanBersenjata Republik Indonesia (ASABRI) dan Perusahaan Perseroan(Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN)melaksanakan program Jaminan hari tua bagi Pegawai Negeri Sipildan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilaksanakan pada tahun2029 diserahkan pelaksanaannya kepada Badan Penyelenggara JaminanSosial Ketenagakerjaan.6

Dalam rangka merealisasikan pelaksanaan program jaminansosial tersebut di atas, Kendala utama adalah Pemerintah harusmempunyai komitmen dan kerja keras, karena hal ini tidak lepas dari

6 Ibid.

Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional

Page 56: jurnal jaminan sosial

202

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

dukungan Pemerintah, dengan demikian kebijakan para penegaknyadapat berupa makareal yang kalau perlu maka demi Pemerintah tentangPeraturan Pemerintah dapat segera direalisasikan.

Terkait dengan dukungan keuangan Pemerintah bagi orang miskindan tidak mampu adalah kisaran 3 X 14 X dari besar biaya yangdikeluarkan untuk program Jamsostek , yaitu sebesar Rp. 6.500,- (enamribu lima ratus rupiah) per bulan. Biaya ditanggung oleh PemerintahPusat. Pemerintah Daerah dapat kerja sama dengan Badan JaminanSosial Nasioanal yang berada di Daerahnya.

Pada tahun 2008-2009 telah dilakukan persiapan yaitu membuatdraft Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan PeraturanPresiden, telah disiapkan sebelum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011diundangkan.

Dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan sistemjaminan sosial nasional, telah dilaksanakan Kajian Investasi, saraninvestasi , monatarium perpindahan penyelenggaraan sistem jaminansosial sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004telah disahkan 5 (lima) Rancangan Peraturan Pemerintah.

Upaya yang dilakukan adalah mengajak masyarakat , hal ini adalahtugas dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, mengenai bagaimanadengan nasib tenaga kerja yang jumlahnya sebanyak lebih kurang 20(dua puluh) juta orang.

Bagaimana dengan masyarakat yang perlu jaminan kesehatanmereka mencari jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), hal inibagaimana kita melihatnya dan menyingkapinya, mereka terpaksa. Halini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

- rendahnya kelembagaan

- publik kemasyarakatan

- adanya kewajiban untuk mengiur

- Masyarakat Melakukan paguyuban yang disebut jaminan bakul

Kondisi (trend) pembayaran jaminan kesehatan ke Askes umumnyamereka sudah mengiur, dan dikalangan karyawan swasta umumnyatelah menjadi anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kesehatan,penyelenggara jaminan sosial kesehatan harus ada Standar Operationprosedur (SOP).

Pelayanan pengobatan dapat ditingkatkan, biaya kesehatan akanlebih murah karena biaya dipikul oleh banyak orang, jadi biayakesehatan tidak perlu ditanggung sendiri, karena anggaran untuk

Page 57: jurnal jaminan sosial

203

kesehatan mahal lebih kurang 15 % (lima belas persen) per tahun.7

Keberadaan Sistem Jaminan Sosial Nasional secara umummenjanjikan, karena menyelenggarakan dan menjalankan jaminansecara sentralisme sehingga memberi jaminan kepada semuapemangku kepentingan (Steakholder) yaitu seluruh masyarakat di tingkatPemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Upaya-upaya lain yang tidak kalah penting perlu dilakukan agarbadan penyelenggara jaminan sosial nasional dapat segera terealisasi,adalah:

- bersama-sama mensosialisasikan Undang-Undang;

- mendorong steakholder yang belum bergerak;

- mengakomodasi masukan dari masyarakat.

Peran Dewan Penyelenggara Jaminan sosial yang dapatdilaksanakan, yaitu:

- Merencanakan investasi harus melalui Badan PenyelenggaraJaminan Sosial (BPJS);

- Melakukan pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS) apakah telah bekerja sesuai dengan ketentuan Undang-Undang;

- Undang-Undang mengamanatkan adanya investor dibidangJaminan sosial.

H. PenutupKesimpulan:

Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program Negara yangbertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraansosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 Hayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945, dan melaluiKetetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001,Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasionaldalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yanglebih menyeluruh dan terpadu.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas telah diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

7 Ibid.

Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional

Page 58: jurnal jaminan sosial

204

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

(SJSN), dan untuk mewujudkan tujuan nasional Badan PenyelenggaraJaminan Sosial yang berbentuk badan hukum publik sebagai badanpenyelenggara jaminan sosial nasional telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara JaminanSosial. Hal ini berkait dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadapperkara Nomor 007/PUU-III/2005.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 merupakan pelaksanaanamanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 untuk pembentukanbadan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaanPT. Jamsostek (Persero), PT. TASPEN (Persero), PT. ASABRI (Persero) danPT. Askes (Persero), menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, danberubah status menjadi badan hukum publik, selain itu badanpenyelenggara Jaminan Sosial selanjutnya akan dilaksanakan oleh 2(dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yaitu badan PenyelenggaraJaminan sosial Kesehatan dan Penyelenggara Jaminan SosialKetenagakerjaan, dan transformasi tersebut akan dilanjutkan denganpengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dankewajiban.

Badan Penyelengara jaminan Sosial Kesehatan, akan dilaksanakanoleh PT. Askes (Persero) yaitu paling lambat direalisasikan pada tanggal01 Januari 2014 secara otomatis berubah status menjadi badan hukumpublik, sedangkan transformasi Badan Penyelenggara Jaminan SosialKetenagakerjaan, akan direalisasikan paling lambat pada tahun 2029.

Saran:

1. Program Jaminan sosial ini sangat penting dan diperlukan olehmasyarakat , oleh karena itu perlu komitmen Pemerintah untuksegera membentuk Peraturan Perundang-undangan sebagai dasardan payung hukum Peraturan Pelaksanaan dalam rangkamewujudkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional;

2. Dewan Jaminan Sosial Nasional kiranya dapat segera melakukankajian-kajian antara lain : mengenai besarnya jumlah iuran bagipara peserta jaminan sosial;

3. Perlu dilakukan pengkajian mengenai besarnya iuran bagimasyarakat, orang kaya dan masyarakat;

4. Biaya paling besar adalah biaya iuran, oleh karena itu Pemerintahmengkaji lagi mengenai besarnya penganggaran, untuk biayaiuran;

5. Sistem Jaminan Sosial Kesehatan harus dapat memberikan

Page 59: jurnal jaminan sosial

205

jaminan perlindungan kesehatan kepada seluruh masyarakat,sehingga masyarakat mau membayar iuran, karena semakinbanyak masyarakat yang membayar iuran maka semakin besardana yang diperoleh;

6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus terhindar darianggapan yang sangat buruk, sehingga dapat mendorongmasyarakat untuk membayar iuran, karena dengan jaminan sosialyang baik, akan meningkatkan pendidikan masyarakat yangmerupakan asset investasi dan kelak dapat mendorongpembangunan.

7. Dalam merealisasikan Sistem Jaminan Sosial Nasional,Pemerintah jangan merasa dibebani sehingga Pemerintahkeberatan untuk membayar biaya jaminan sosial bagimasyarakatnya.

Komitmen Pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional

Page 60: jurnal jaminan sosial

206

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945,Mahakamah Konstitusi, Jakarta 2010.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan SosialNasional (SJSN), Dewan Jaminan Sosial Nasional, Jakarta, 2011.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang BadanPenyelenggara Jaminan Sosial, Dewan Jaminan Sosial Nasional,2012.

Wawancara langsung dengan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional diJakarta pada tanggal 29 Mei 2012.

Page 61: jurnal jaminan sosial

207

* Peneliti Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan FKM UI dan Konsultan GIZ untuk Dewan Jaminan SosialNasional (DJSN).

PETA JALAN MENUJU UNIVERSAL COVERAGE JAMINANKESEHATAN

(ROAD MAP TO A UNIVERSAL HEALTH COVERAGE) (Naskah diterima 01/06/2012, disetujui 23/07/2012)

Mundiharno*

AbstrakTulisan ini menjelaskan tentang pentingnya peta jalan menuju universalcoverage jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).Mengingat universal coverage merupakan istilah yang relatif baru maka dalamtulisan ini dijelaskan tentang pengertian universal coverage dan faktor-faktoryang berpengaruh dalam mencapai universal coverage. Penyusunan peta jalanjaminan kesehatan perlu memahami kerangka penyelenggaraan jaminankesehatan yang terdiri dari berbagai aspek baik aspek peraturan-perundangan,kepesertaan, paket manfaat dan iuran, pelayanan kesehatan, keuangan maupunorganisasi-kelembagaan. Tulisan ini hanya berfokus pada peta jalanpenyelenggaraan jaminan kesehatan dari aspek peraturan-perundangan.Kata kunci: Universal coverage, jaminan kesehatan.

AbstractThis paper describes the importance of a road to universal health insurance coveragein the National Social Security System (SJSN). Considering of the universal coverageis a relatively new term that is described in this paper about the notion of universalcoverage and the factors that influence in achieving universal coverage. In drawing aroadmap to the health insurance needs to understand the framework of healthinsurance organization composed of various aspects of both aspects of the rules andregulations, membership, dues and benefits package, health care, financial and insti-tutional organizations. This paper only focused on the implementation roadmap ofhealth insurance, and law and regulations aspects.Keywords: Universal coverage, health security.

A. PendahuluanPengembangan jaminan sosial, termasuk di dalamnya jaminan

kesehatan, merupakan amanat konstitusi Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28 H ayat (3) menyatakan“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkanpengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.

Page 62: jurnal jaminan sosial

208

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Agar hak setiap orang atas jaminan sosial sebagaimana amanatkonstitusi dapat terwujud, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dinyatakan bahwaprogram jaminan sosial bersifat wajib yang memungkinkan mencakupseluruh rakyat (universal social security) yang akan dicapai secarabertahap. Seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Programjaminan sosial yang diprioritaskan terlebih dahulu untuk mencakupseluruh penduduk terlebih dahulu adalah program jaminan kesehatan.Dengan demikian pencapaian kepesertaan jaminan kesehatan untuksemua penduduk (universal coverage) merupakan amanat undang-undangyang harus dijalankan oleh pemerintah dan semua pihak yang terlibat.

Upaya mencapai universal coverage jaminan kesehatan bukanlahhal yang mudah. Banyak hal yang harus dipersiapkan dan dilakukandari berbagai aspek penyelenggaraan, tidak saja oleh satu lembaga tetapioleh berbagai lembaga yang satu sama lain saling terkait.

Selama ini pemahaman terhadap berbagai hal yang harusdilakukan, bahkan pemahaman terhadap universal coverage jaminankesehatan sesuai UU SJSN, masih bervariasi di antara berbagaipemangku kepentingan (stakeholders). Variasi pemahaman tersebutberpengaruh terhadap cara untuk mengimplementasikan amanatUndang-Undang.

Dengan kondisi seperti itu penyusunan peta jalan (roadmap) bagipengembangan jaminan kesehatan sesuai dengan prinsip-prinsip yangada dalam UU SJSN merupakan suatu keharusan. Tanpa peta jalan,yang di dalamnya antara lain memuat kegiatan-kegiatan apa yang perludilakukan oleh siapa dan kapan dilakukan, upaya pencapaian universalcoverage jaminan kesehatan akan mengalami kebuntuan. Banyak halyang semestinya dilakukan tetapi tidak diidentifikasi dan tidakdilakukan, sementara ada kegiatan lain yang belum perlu dilakukantetapi justru dilakukan. Bisa pula terjadi pemangku kepentinganmelakukan kegiatan yang sama secara berulang.

Peta jalan diperlukan untuk memandu implementasipengembangan jaminan kesehatan sesuai amanat UU SJSN danUndang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial (UU BPJS). Dalam rangka itu DJSN (Dewan JaminanSosial Nasional) dan Kementrian Kesehatan RI bersama Kementrian/Lembaga terkait telah menyusun peta jalan (roadmap) tentangPengembangan Jaminan Kesehatan di Indonesia.

Page 63: jurnal jaminan sosial

209

B. Pengertian Universal Coverage Jaminan KesehatanUniversal coverage dapat diartikan sebagai cakupan menyeluruh.

Istilah universal coverage berasal dari WHO (World Health Organisation),lebih tepatnya universal health coverage. Istilah tersebut sebenarnyakelanjutan dari jargon sebelumnya yaitu health for all.

Belakangan istilah universal coverage lebih banyak dipakai dalamjaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan. Dalam perspektifjaminan kesehatan, istilah universal coverage memiliki beberapadimensi. Pertama, dimensi cakupan kepesertaan. Dari dimensi iniuniversal coverage dapat diartikan sebagai “kepesertaan menyeluruh”,dalam arti semua penduduk dicakup menjadi peserta jaminankesehatan. Dengan menjadi peserta jaminan kesehatan diharapkanmereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan. Namun tidaksemua penduduk yang telah menjadi peserta jaminan kesehatan dapatserta merta mengakses pelayanan kesehatan. Jika di daerah tempatpenduduk tinggal tidak ada fasilitas kesehatan, penduduk akan tetapsulit menjangkau pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dimensi keduadari universal health coverage adalah akses yang merata bagi semuapenduduk dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Secara implisitpengertian ini mengandung implikasi perlu tersedianya fasilitas dantenaga kesehatan agar penduduk yang menjadi peserta jaminankesehatan benar-benar dapat memperoleh pelayanan kesehatan. Ketiga,universal coverage juga berarti bahwa proporsi biaya yang dikeluarkansecara

langsung oleh masyarakat (out of pocket payment) makin kecil sehinggatidak mengganggu keuangan peserta (financial catastrophic) yang

Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan

Page 64: jurnal jaminan sosial

210

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

menyebabkan peserta menjadi miskin.

WHO merumuskan tiga dimensi dalam pencapaian universalcoverage yang digambarkan melalui kubus (Gambar 1). Ketiga dimensiuniversal coverage menurut WHO adalah (1) seberapa besar persentasependuduk yang dijamin; (2) seberapa lengkap pelayanan yang dijamin,serta (3) seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggungoleh penduduk. Dimensi pertama adalah jumlah penduduk yang dijamin.Dimensi kedua adalah layanan kesehatan yang dijamin, misalnyaapakah hanya layanan di rumah sakit atau termasuk juga layanan rawatjalan. Dimensi ketiga adalah proporsi biaya kesehatan yang dijamin.Makin banyak dana yang tersedia, makin banyak pula penduduk yangterlayani, makin komprehensif paket pelayanannya serta makin kecilproporsi biaya yang harus ditanggung penduduk. Alokasi ataupengumpulan dana yang terbatas berpengaruh terhadap komprehensiftidaknya pelayanan yang dijamin serta proporsi biaya pengobatan/perawatan yang dijamin. Inggris misalnya menjamin layanan kesehatankomprehensif, termasuk transplantasi organ, untuk seluruh penduduk(bukan hanya warga negara, tetapi penduduk yang tinggal secara legaldi Inggris). Malaysia menjamin seluruh penduduknya mendapatpengobatan dan perawatan di rumah sakit, hanya saja penduduk harusmembayar 3 RM (sekitar Rp 9.000) per hari perawatan. Muangtai telahmenjamin seluruh penduduknya (dimensi I), untuk semua penyakit(dimensi II) tanpa biaya yang harus ditanggung penduduk (dimensi III)dan layanan disediakan di fasilitas kesehatan publik maupun di fasilitaskesehatan swasta.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia berupaya mencapaiuniversal coverage dalam tiga dimensi tersebut secara bertahap. Prioritaspertama dalam pencapaian universal coverage adalah perluasan pendudukyang dijamin, yaitu agar semua penduduk terjamin sehingga setiappenduduk yang sakit tidak menjadi miskin karena beban biaya berobatyang tinggi. Langkah berikutnya adalah memperluas layanan kesehatanyang dijamin agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan medis (yangberarti pula makin komprehensif paket manfaatnya). Dan terakhiradalah peningkatan biaya medis yang dijamin sehingga makin kecilproporsi biaya langsung yang ditanggung penduduk. Sesuai denganpengalaman masa lalu dan pengalaman penyediaan jaminan kesehatanuntuk pegawai negeri, Indonesia menghendaki jaminan kesehatanuntuk semua penduduk (dimensi I), menjamin semua penyakit (dimensi

Page 65: jurnal jaminan sosial

211

II) dan porsi biaya yang menjadi tanggungan penduduk (peserta) sekecilmungkin.

Pencapaian universal coverage dengan tiga dimensi tersebut berbeda-beda antar negara, tergantung pada kemauan politik dan kemampuankeuangan negara yang bersangkutan. Semakin kaya suatu negara,semakin mampu negara tersebut menjamin seluruh penduduk untukseluruh layanan kesehatan. Jangka waktu yang diperlukan untukmencapai universal coverage melalui jaminan kesehatan sosial (socialhealth insurance) juga berbeda-beda antara negara yang satu dan yanglain. Negara Austria, misalnya, mencapai universal coverage dalam waktu79 tahun sejak undang-undang pertama terkait asuransi kesehatan.Belgia mencapai universal coverage dalam kurun waktu 118 tahun,Costa Rica (20 tahun), Jerman (127 tahun), Jepang (36 tahun) KoreaSelatan (26 tahun) dan Luxemburg (72 tahun)1.

Cepat tidaknya pencapaian universal coverage melalui asuransikesehatan sosial (social health insurance) diperngaruhi oleh beberapafaktor. Carrin dan James2 menyebut ada lima faktor yang mempengaruhicepat lambatnya suatu negara mencapai universal coverage. Pertama,tingkat pendapatan penduduk. Makin tinggi tingkat pendapatanpenduduk makin tinggi kemampuan penduduk dan juga majikan dalammembayar iuran (premi). Makin stabil pertumbuhan ekonomi makinmeningkat kapasitas negara tersebut untuk menyelenggarakan jaminankesehatan sosial. Kedua, struktur ekonomi negara terutama berkaitandengan besarnya proporsi sektor formal dan informal. Perekonomiannegara berkembang umumnya masih bergantung pada sektor pertanian,perdagangan dan jasa yang sebagian besar pekerjanya adalah pekerjainformal. Kondisi tersebut menyebabkan sulitnya mengumpulkan iuransebab para pekerja tidak memperoleh gaji secara formal. Ketiga, distribusipenduduk negara. Distribusi penduduk yang tersebar luas ke berbagaiwilayah menyebabkan biaya administrasi penyelenggaraan yang lebihtinggi dibanding kalau penduduknya terpusat pada daerah-daerahtertentu. Mengelola asuransi kesehatan sosial di daerah perkotaan

1 Carrin, Guy and Chris James, Reaching Universal Coverage via Social Health Insurance: Key DesignFeatures in the Transition Period, WHO, Discussion Paper Number 2-2004, Geneva, 2004.2 Ibid., PP. 15-17.

Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan

Page 66: jurnal jaminan sosial

212

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi cenderung akan lebih mudahdibanding jika mengelola di daerah pedesaan yang penduduknya tersebarluas ke daerah-daerah pinggiran yang sulit dijangkau. Keempat,kemampuan negara dalam mengelola asuransi kesehatan sosial.Penyelenggaraan jaminan kesehatan memerlukan sumberdaya terampilyang memadai. Oleh karena itu penyelenggaraan jaminan kesehatansosial harus didukung oleh tenaga-tenaga terampil yang memahamiberbagai aspek penyelenggaraan jaminan kesehatan. Kelima, tingkatsolidaritas sosial di dalam masyarakat. Tingkat solidaritas ini diperlukansebab sistem asuransi kesehatan sosial dibangun atas dasar prinsipgotong royong yaitu yang kaya membantu yang miskin, yang sehatmembantu yang sakit, yang produktif membantu yang belum atau tidakprodukif. Kelima faktor tersebut perlu diperhatikan oleh pemerintahdalam membuat pedoman dan aturan (stewardship) dalam mencapaiuniversal health coverage melalui asuransi kesehatan sosial (SHI).

C. Kerangka Penyelenggaraan Jaminan KesehatanJaminan kesehatan yang dikembangkan oleh Pemerintah

Indonesia adalah jaminan kesehatan yang didasarkan pada UU SJSNdan UU BPJS. Jaminan kesehatan yang dirumuskan oleh UU SJSNadalah jaminan kesehatan yang diselenggarakan secara nasionalberdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas sebagaimanadiatur dalam Pasal 19 ayat 1 UU SJSN.

Penjelasan Pasal 19 UU SJSN menyatakan bahwa yang dimaksudprinsip asuransi sosial adalah:

1) kegotong-royongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dansakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;

2) kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif;

3) iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;

4) bersifat nirlaba.

Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip ekuitas adalahkesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhanmedis yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkan.Kesamaan memperoleh pelayanan adalah kesamaan jangkauanfinansial ke pelayanan kesehatan.

Pasal 19 ayat 2 UU SJSN menyatakan bahwa “Jaminan kesehatandiselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaatpemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan

Page 67: jurnal jaminan sosial

213

dasar kesehatan”. Kebutuhan dasar kesehatan adalah kebutuhan akanlayanan kesehatan yang memungkinkan seseorang yang sakit dapatsembuh kembali sehingga ia dapat berfungsi normal sesuai usianya.

Dalam penyelengaraan jaminan kesehatan perlu diperhatikan tigaunsur penting yaitu (a) bagaimana dana dikumpulkan; (b) bagaimanaresiko ditanggung secara bersama; dan (c) bagaimana dana yangterkumpul digunakan seefisien dan seefektif mungkin3.

Bagan 2Aspek Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan

Sebagaimana tampak pada Bagan 2 penyelenggaraan jaminankesehatan perlu memperhatikan berbagai aspek.

Pertama, aspek regulasi. Oleh karena jaminan kesehatan yangakan dikembangkan adalah jaminan kesehatan sosial yang melibatkankepentingan publik yang demikian banyak, aspek regulasi sangatpenting diperhatikan dan bahkan menjadi dasar dalam penyelenggaraanjaminan kesehatan. Perlu disusun sejumlah peraturan yang mendasaripenyelenggaraan jaminan kesehatan.

3 Normand, Charles and Axel Weber, Social Health Insurance. A guidebook for planning, second edi-tion, ADB, GTZ, ILO and WHO, VAS, Germany, 2009, p.16

Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan

Page 68: jurnal jaminan sosial

214

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Kedua, aspek kepesertaan. UU SJSN menyatakan bahwa programjaminan sosial bersifat wajib yang memungkinkan mencakup seluruhrakyat (universal social security) yang akan dicapai secara bertahap.Seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Program jaminansosial yang terlebih dahulu diprioritaskan untuk mencakup seluruhpenduduk adalah program jaminan kesehatan. Dengan demikian terkaitaspek kepesertaan hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimanasemua penduduk dapat tercakup menjadi peserta jaminan kesehatan.

Ketiga, aspek manfaat dan iuran. Jaminan kesehatan diperlukanuntuk menjamin agar peserta tidak mengalami masalah pembiayaankesehatan ketika jatuh sakit. Oleh karena itu jenis penyakit yangdicakup dalam manfaat jaminan kesehatan haruslah sesuai dengankebutuhan medis peserta. UU SJSN menyatakan bahwa manfaatjaminan kesehatan yang dicakup adalah komprehensif sesuaikebutuhan medis. Namun cakupan yang komprehensif berimplikasi padabesarnya iuran. Agar tidak terjadi ketimpangan dalam pelayanankesehatan maka cakupan manfaat yang ingin dicapai adalah manfaatyang komprehensif, sesuai kebutuhan medis dan sama bagi semuapeserta.

Keempat, aspek pelayanan kesehatan. Salah satu masalah kritisdalam pelayanan kesehatan adalah tersedianya fasilitas kesehatan dantenaga kesehatan yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Jaminankesehatan hanya bermakna jika diiringi dengan ketersediaan fasilitaskesehatan dan tenaga kesehatan yang merata dan dengan kualitas yangterjaga. Sistem rujukan berjenjang perlu diperkuat dalam upayamengembangkan pelayanan kesehatan.

Kelima, aspek keuangan. Salah satu fungsi yang harus dijalankandalam penyelenggaraan jaminan kesehatan adalah menjaga agar danayang tersedia selalu mencukupi untuk menyelenggarakan jaminankesehatan, termasuk untuk membayar klaim-klaim biaya yangdibayarkan kepada para providers. Untuk itu dari aspek keuangan perludipastikan agar dana mencukupi dan pengelolaannya efisien danakuntabel.

Keenam, aspek organisasi dan kelembagaan. UU BPJS menyatakanbahwa badan penyelenggara yang menyelenggarakan jaminankesehatan sosial di Indonesia adalah BPJS Kesehatan yang akanberoperasi mulai 1 Januari 2014. Perlu dipersiapkan berbagai hal agarBPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2014 sudah beroperasi dengan baiksesuai dengan prinsip-prinsip good corporate givernance.

Page 69: jurnal jaminan sosial

215

Peta jalan yang disusun telah mengidentifikasi program dankegiatan apa saja yang perlu dilakukan untuk setiap aspekpenyelenggaraan tersebut, baik aspek regulasi, kepesertaan, paketmanfaat dan iuran, pelayanan kesehatan, keuangan maupun organisasikelembagaan. Pada setiap kegiatan dari masing-masing aspek telahdiidentifikasi siapa yang harus melakukan dan kapan perlu dilakukan.Mengingat keterbatasan tempat, tulisan ini hanya akan menukil petajalan menuju jaminan kesehatan dari aspek peraturan-perundangan.

D. Aspek Regulasi Penyelenggaraan Jaminan KesehatanAspek hukum merupakan hal yang sangat penting dalam

penyelenggaraan jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan, sebabpenyelenggaraan jaminan sosial harus didasarkan pada peraturanperundang-undangan. Dasar peraturan perundang-undangan tersebutdiperlukan sebagai dasar hukum dipenuhinya hak dan kewajiban publik,baik dalam kaitan dengan pengumpulan dan pengelolaan iuran daripublik maupun dalam pemberian manfaat (benefit) kepada publik yangmenjadi peserta.

Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia secara konstitusionaldiatur dalam Pasal 28 H dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945.

Kemudian implementasinya didasarkan pada dua undang-undangyaitu:

(a) Undang Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan SosialNasional (UU SJSN) dan;

(b) Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial (BPJS).

Agar jaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan, dapatdiselenggarakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalamdua undang-undang tersebut, perlu dibentuk peraturan pelaksanaannya.

Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan

Page 70: jurnal jaminan sosial

216

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

D.1. Turunan Peraturan UU SJSNBeberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang harus

dibentuk sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun2004 khususnya terkait dengan jaminan kesehatan adalah:

D.1.1 Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran (PP PBI)PP ini sebagai pelaksanaan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (6)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Pasal 14 UU SJSN menyatakan:(1) Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuransebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; (2)Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalahfakir miskin dan orang tidak mampu; (3) Ketentuan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah. Pasal 17 UU SJSN menyatakan: (4) Iuran program jaminansosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar olehPemerintah. (5) Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud padaayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan, (6)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebihlanjut dengan Peraturan Pemerintah.

RPP PBI sudah disusun sejak 2007 dan sudah berkali-kali dibahasantar kementerian. Banyak pemangku kepentingan sudah dilibatkandalam pembahasan RPP tersebut, namun sampai saat ini RPP PBI tersebutbelum ditandatangani oleh Presiden. Agar BPJS Kesehatan dapatberoperasi dengan baik sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (1) UUBPJS pada 1 Januari 2014, PP PBI tersebut seharusnya sudahdikeluarkan pada pertengahan Tahun 2013.

D.1.2 Peraturan Presiden tentang Jaminan KesehatanPeraturan Presiden ini mengatur mengenai program jaminan

kesehatan yang materinya meliputi substansi Pasal 21 sampai denganPasal 28 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 jo Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. Uraian Pasal 21 sampai Pasal 28 UUSJSN dapat dilihat pada Box 1. Sedangkan Pasal 19 ayat (5) UU BPJSmenyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai: a. besaran dantata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur dalamPeraturan Presiden.

Page 71: jurnal jaminan sosial

217

Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan mengatur tentang:

a. Pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif,kuratif, dan rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis habis-pakai jika diperlukan serta urun biaya untuk jenis pelayanan yangdapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan (Pasal 22 UUNomor 40 Tahun 2004).

b. Pemberian kompensasi oleh BPJS Kesehatan jika di suatu daerahbelum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi sarat gunamemenuhi kebutuhan medis peserta dan kelas standar untukpelayanan di rumah sakit bagi peserta rawat inap (Pasal 23 UUNomor 40 Tahun 2004).

c. Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin BPJS (Pasal 26 UU Nomor40 Tahun 2004)

d. Besarnya Jaminan Kesehatan untuk peserta penerima upahdengan batas upah yang ditinjau secara berkala, peserta yang tidakmenerima upah, dan Penerima bantuan iuran (Pasal 27 UU Nomor40 Tahun 2004).

e. Kewajiban membayar tambahan iuran bagi pekerja yang memilikikeluarga lebih dari 5 (lima) orang dan ingin mengikutsertakananggota keluarganya (Pasal 28 UU UU Nomor 40 Tahun 2004).

f. Besaran dan tata cara pembayaran iuran program jaminankesehatan (Pasal 15 ayat (5) huruf (a) UU Nomor 40 Tahun 2004).

Sebagaimana RPP PBI, Rancangan Peraturan Presiden juga sudahdisusun sejak lama (2009) dan sudah berkali-kali dibahas antarkementerian. Banyak pemangku kepentingan sudah dilibatkan dalampembahasan Rancangan Peraturan Presiden tersebut. Pembahasanulang rencananya akan dilakukan setelah keluar izin prakarsa dariPresiden.

Penyelenggaraan jaminan kesehatan menurut UU SJSN dan UUBPJS sangat tergantung pada Peraturan Presiden Jaminan Kesehatan.Agar BPJS Kesehatan dapat beroperasi dengan baik pada tanggal 1 Januari2014 Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus sudah dapatditetapkan dan diundangkan pada pertengahan tahun 2013 sehinggasemester kedua tahun 2013 dapat dilakukan sosialisasi ke berbagaipihak.

Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan

Page 72: jurnal jaminan sosial

218

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

D.1.3 Peraturan Presiden tentang Pentahapan Pendaftaran PesertaPeraturan Presiden ini adalah pelaksanaan dari Pasal 13 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan SosialNasional, dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentangBadan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal 13 UU SJSN menyatakan(1) Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya danpekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara JaminanSosial sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti; (2) Penahapansebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut denganPeraturan Presiden.

Sedangkan pasal 15 UU BPJS menyatakan (1) Pemberi Kerja secarabertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Pesertakepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti;(2) Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksudpada ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikutanggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS; (3)Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PeraturanPresiden.

D.2. Turunan Peraturan UU BPJSDi samping peraturan pelaksanaan UU SJSN, ada pula sejumlah

peraturan yang perlu disusun berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). BeberapaPeraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang harus dibentuksebagai pelaksanaan dari UU BPJS khususnya terkait dengan jaminankesehatan adalah:

D.2.1 Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun2011 tentang BPJS

Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang:

a. Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi pemberi kerja (Pasal17)

b. Besaran dan tatacara pembayaran iuran selain program jaminankesehatan. (Pasal 19 ayat (5) huruf (b)

c. Sumber dan pengunaan asset BPJS (Pasal 41)

d. Sumber dan penggunaan asset Dana Jaminan Sosial (Pasal 43)

e. Persentase dana operasional (Pasal 45)

Page 73: jurnal jaminan sosial

219

f. Tata cara hubungan antar lembaga (Pasal 51)

g. Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Dewan Pengawasdan Direksi BPJS (Pasal 53)

D.2.2 Peraturan Pemerintah tentang Modal Awal BPJS danPengelolaan Dana Jaminan Sosial

Peraturan Pemerintah tentang Modal Awal BPJS perlu disusundalam rangka mengimplementasikan Pasal 42 UU BPJS yangmenyatakan “Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat(1) huruf (a) untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkanmasing-masing paling banyak Rp 2.000.000.000.000,00 (dua triliunrupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.Berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (4) Undang-Undang tentangPerbendaharaan Negara jo. Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang BUMN,penyertaan modal negara yang jumlahnya sebesar seratus milyar keatas, harus mendapat persetujuan DPR dan pelaksanaannya harus diaturdalam Peraturan Pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut, yangberwenang memprakarsai penyusunan RPP tentang modal awal iniadalah Menteri Keuangan. Sebelum dilakukan penyusunan RPP ini,ketentuan tentang modal awal untuk BPJS Kesehatan dan BPJSKetenagakerjaan harus sudah mendapat persetujuan dari DPR RI padatahun 2013 dan dianggarkan dalam APBN 2013 sebagai kekayaan negarayang dipisahkan.

D.2.3 Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pemilihan dan PenetapanDewan Pengawas dan Direksi BPJS

Peraturan Presiden ini merupakan pelaksanaan dari beberapa pasalUU BPJS yaitu Pasal 31, Pasal 36, dan Pasal 44. Pasal 31 UU BPJSmenyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan danpenetapan Dewan Pengawas dan Direksi sebagaimana dimaksud dalamPasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Presiden’. Pasal36 ayat (5) menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata carapemilihan dan penetapan calon anggota pengganti antarwaktusebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diaturdengan Peraturan Presiden”. Sedangkan Pasal 44 ayat (8) menyatakan“Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnyaserta insentif bagi anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi diaturdengan Peraturan Presiden’.

Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan

Page 74: jurnal jaminan sosial

220

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Di samping itu, Perpres ini dapat pula mengatur tentang bentukdan isi laporan pengelolaan program dan laporan tahunan BPJS. Pasal37 ayat (1) UU BPJS yang mengatur pertanggungjawaban BPJSmenyatakan “BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban ataspelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program danlaporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepadaPresiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Junitahun berikutnya”. Pasal 37 ayat (7) menyatakan bahwa “Ketentuanmengenai bentuk dan isi laporan pengelolaan program sebagaimanadimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden”.

D.2.4 Keputusan Presiden tentang Pengangkatan untuk Pertama kaliDewan Komisaris dan Direksi PT. Askes (persero) menjadi Dewanpengawas dan Direksi BPJS Kesehatan

Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJSmenyatakan bahwa untuk pertama kali Dewan Komisaris dan DireksiPT. Askes (Persero) diangkat menjadi Dewan Pengawas dan Direksi BPJSKesehatan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejakBPJS Kesehatan beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. PengangkatanDewan Komisaris dan Direksi PT. Askes (Persero) menjadi DewanPengawas dan Direksi BPJS Kesehatan dalam Pasal 59 ini secaranormatif harus dilakukan dengan Keputusan Presiden. Oleh karena ituperlu disiapkan Rancangan Keputusan Presiden tentang pengangkatanuntuk pertama kali Dewan Komisaris dan Direksi PT. Askes (persero)menjadi Dewan pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan.

Mengingat cukup banyak peraturan pelaksana yang harus disusun,sementara waktu yang tersedia sangat terbatas yaitu tahun 2012 dan2013, maka diperlukan kerja keras dari pihak-pihak terkait untuk dapatmenyelesaikan berbagai peraturan tersebut sehingga dapat disahkansebelum BPJS Kesehatan beroperasi pada 1 Januari 2014.

E. PenutupDengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang

Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat dikatakanbahwa jalan menuju jaminan sosial, termasuk di dalamnya jaminankesehatan, di Indonesia makin terang. Namun jalan terang menujuuniversal coverage jaminan kesehatan sebagaimana diamanatkan olehkedua undang-undang tersebut masih harus dilalui dengan kerja keras

Page 75: jurnal jaminan sosial

221

oleh semua pemangku kepentingan terkait. Agar apa yang dilakukanoleh masing-masing pemangku kepenting terhindar dari duplikasi danterjadi sinergi maka perlu ada panduan yang disepakati bersama dalambentuk peta jalan (roadmap). Peta jalan tersebut hanya bermakna jikadiimplementasikan secara sungguh-sungguh oleh semua pihak. Denganmengimplementasikan peta jalan tersebut diharapkan universalcoverage jaminan kesehatan bagi semua penduduk Indonesia dapattercapai pada tahun 2019.

Daftar Pustaka

Carrin, Guy, Community based Health Insurance Schemes in DevelopingCountries: facts, problems and perspectives. Discussion Paper No. 12003, WHO, Geneva, 2003.

Carrin, Guy and Chris James, Reaching universal coverage via social healthinsurance: key design features in the transition period, DiscussionPaper No. 2 2004, WHO, Geneva, 2004.

Carrin G., C. James and D. Evan, Achieving Universal HealthCoverage:Developing The Health Financing System, WHO, Geneva,2005.

Dewan Jaminan Sosial Nasional, Roadmap Pencapaian KepesertaanMenyeluruh (Universal Coverage) Program Jaminan Kesehatan diIndonesia, Dewan Jaminan Sosial Nasional Republik Indonesia,Jakarta, 2011.

Nitayarumplong, Sanguan and Anne Mills, Achieving Universal Coverageof Health Care: Experiences from Middle and Upper IncomeCountries, Office of Health Care Reform, Ministry of Public Health,third printed, Bangkok, Thailand, 2012.

Nitayarumplong, Sanguan, Struggling Along the Path to Universal HealthCare for All,

National Health Security Office, Bangkok, Thailand, 2006.

Normand, Charles and Axel Weber, Social Health Insurance. A guidebookfor planning, second edition, ADB, GTZ, ILO and WHO, VAS,Germany, 2009.

WHO, World Health Report. Health System Financing: the Path to UniversalCoverage, WHO, 2010.

Peta Jalan Menuju Universal Coverage Jaminan Kesehatan

Page 76: jurnal jaminan sosial

222

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

William Savedoff, Tax-Based Financing for Health Systems: Options andExperiences, Discussion Paper No.4 2004, WHO, Geneva, 2004.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan SosialNasional.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraanJaminan Sosial.

Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran.

Page 77: jurnal jaminan sosial

223

* Konsultan Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)

BADAN HUKUM PUBLIK BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIALDAN TRANSFORMASINYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

(PUBLIC LEGAL ENTITY SOCIAL SECURITY ADMINISTRATINGAGENCY AND ITS TRANSFORM BASED ON LAW NUMBER 24 YEAR

2011 CONCERNING ON SOCIAL SECURITY ADMINISTRATINGAGENCY)

Qomaruddin*

(Naskah diterima 22/05/2012, disetujui 23/07/2012)

AbstrakBadan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dibentukberdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BadanPenyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana ditentukan Pasal 7 adalah untukmenyelenggarakan program jaminan sosial. Badan Penyelenggara JaminanSosial dimaksud meliputi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan danBadan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang berfungsimenyelenggarakan program jaminan kesehatan, program jaminan kecelakaankerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, dan jaminan haritua.Kata kunci: jaminan kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan hari tua.

AbstractPublic Legal Entity Social Security Administrating Agency which established underthe Social Security Law Number 24 Year 2011 concerning on Social Security Admin-istering Agency as provided in Article 7 is to organize the social security program.Social Security Administering Body shall include the Health Social SecurityAdministering Agency and Labor Social Security Administering Agency that servesup a program of health insurance, accident insurance, life insurance, pension, aswell as old phase insurance.Keywords: Work accident, death, pension, and old phase insurance.

A. PendahuluanBadan hukum adalah suatu persekutuan yang beranggota atau

suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukanseperti seorang manusia (persoon) sebagai pendukung hak dan kewajibanyang dapat menggugat dan digugat di pengadilan. Dengan demikian,badan hukum juga dapat beracara, baik selaku penggugat atau tergugatdi pengadilan. Dalam menjalankan peranannya badan hukum tersebut

Page 78: jurnal jaminan sosial

224

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

diwakili oleh pengurus/anggotanya, karena sebenarnya secara fisikbadan hukum tersebut adalah suatu perkumpulan atau organisasi yangberanggotakan orang perseorangan. Untuk itu, badan hukum dapatmengikat suatu perjanjian dengan pihak lain yang pertanggungjawabanhukumnya dilaksanakan oleh pengurus/anggotanya atas nama badanhukum. Jadi, perbuatan hukum tersebut secara yuridis dapatdipertanggungjawabkan, baik di bidang hukum perdata maupun hukumpidana. Di bidang hukum perdata, badan hukum bertanggung jawabpenuh atas akibat hukum yang timbul dari perbuatan yang telahdilakukan melalui pengurusnya. Sedangkan di bidang hukum pidana,pertanggungjawaban pidana yang timbul akibat perbuatan badan hukumyang telah dilakukan, dibebankan kepada pengurusnya yang bertindakmewakili badan hukum.

Untuk lebih memahami pengertian badan hukum, berikut inidikutip beberapa teori antara lain:

Teori Fiksi:

Teori ini dikembangkan oleh F.C. von Savigny (1779-1861) Menurut teoriini dikatakan bahwa badan hukum itu semata-mata buatan pemerintah/negara. Sesungguhnya menurut alam, hanya manusia atau orangperseorangan sajalah sebagai subjek hukum, badan hukum itu hanyasuatu fiksi (anggapan) yang sebenarnya tidak ada, tetapi kemudiandiciptakan yang dalam bayangannya sebagai pelaku hukum (badanhukum). Badan hukum yang diciptakan ini diperhitungkan atau dianggapsama dengan manusia sebagai subjek hukum. Untuk itu, sebagai subjekhukum badan hukum juga merupakan pendukung hak dan kewajibandalam lalu lintas hukum.1

Teori Organ:

Teori Organ ini dikembangkan oleh Otto von Gierke (1841-1921). Menurutteori ini dinyatakan bahwa badan hukum itu adalah suatu realitas,artinya badan hukum itu bukanlah sesuatu yang abstrak tetapi benar-benar ada. Begitu juga badan hukum itu bukanlah suatu kekayaan yangtidak bersubjek tetapi badan hukum itu suatu organisme yang nyata,hidup dan bekerja seperti manusia. Menurut teori ini, badan hukumitu tidak hanya merupakan suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapibadan hukum itu juga mempunyai kehendak dan kemauan sendiri yangdibentuk melalui alat kelengkapannya yaitu pengurus dan anggota-

1 R Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koprasi, Yayasan,Wakaf, Penerbit PT Alumni bandung, 2004, hlm 7-8.

Page 79: jurnal jaminan sosial

225

anggotanya. Apa yang pengurus dan anggota-anggotanya putuskan adalahmerupakan kehendak atau kemauan badan hukum.2

Teori Kenyataan Yuridis:

Teori ini dikemukakan oleh E.M. Meijers dan diikuti oleh Paul Scholten.Teori ini lebih merupakan penghalusan dari teori Organ. Menurut teoriini dijelaskan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realitas,kongkrit, dan nyata walaupun tidak dapat diraba, bukan hayal tetapisuatu kenyataan yuridis. Menurut teori ini badan hukum adalah wujudyang riil sama riilnya dengan manusia, maksudnya riil menurut hukum.Teori ini sebenarnya teori organ yang telah diperhalus, artinya tidakmutlak lagi seperti teori organ. Keberadaan badan hukum di sinidiperlukan menurut hukum sehingga tidak perlu dipersoalkan manaorgan-organ tubuhnya (tangan, kaki, otak dan sebagainya.)3

B. Badan Hukum PublikDalam ilmu hukum dikenal badan hukum privat dan badan hukum

publik. Badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan untukmaksud dan tujuan tertentu oleh orang perseorangan yangkeabsahannya sebagai badan hukum ditentukan oleh instansipemerintah yang berwenang. Badan hukum privat ini dalam KUH Perdatadiatur dalam Pasal 1653-1654. Sedangkan pengertian badan hukumpublik adalah badan hukum yang dibentuk oleh kekuasaan umumdengan kriteria:

1. Dilihat dari cara pendiriannya/terjadinya badan hukum itudiadakan dengan konstruksi hukum publik, yaitu didirikan olehpenguasa (negara) dengan undang-undang.

2. Lingkungan kerjanya, yaitu dalam melaksanakan tugasnya badanhukum tersebut pada umumnya dengan publik/umum danbertindak dalam kedudukan yang sama dengan publik.

3. Mengenai wewenangnya, badan hukum tersebut oleh penguasadiberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan, atauperaturan yang mengikat umum.

Dengan demikian, pengertian badan hukum publik adalah badanhukum yang diadakan oleh kekuasaan umum yang lazimnya mempunyaiteritorial yang pada umumnya harus memperhatikan ataumenyelenggarakan kepentingan orang-orang yang tinggal di daerah atau

Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...

2 Ibid hlm 8.3 Chaidir Ali, Badan Hukum, Penerbit PT Alumni Bandung, 2005 hlm 35-36.

Page 80: jurnal jaminan sosial

226

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

wilayah teritorial badan hukum publik tersebut, misalnya NegaraRepublik Indonesia, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, bahkantermasuk kota/kabupaten. Selain itu, termasuk dalam pengertian badanhukum publik adalah badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umummisalnya partai politik.

Berdasarkan uraian mengenai pengertian badan hukum publiktersebut maka dapat disimpulkan bahwa badan hukum publik adalahbadan hukum yang mempunyai kekuasaan sebagai penguasa, dankeberadaannya dalam lalu lintas hukum dapat mengambil keputusan-keputusan dan membuat peraturan-peraturan yang mengikat orang lainyang tidak tergabung dalam badan hukum tersebut.

C. Badan Hukum Publik BPJSUntuk lebih memahami keberadaan apa dan siapa badan hukum

publik BPJS ini, perlu memahami norma yang secara jelas diatur dalamUndang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor24 Tahun 2011 ditentukan bahwa:

Pasal 5

(1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.

(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. BPJS Kesehatan; dan

b. BPJS Ketenagakerjaan.4

Selanjutnya ditentukan dalam Pasal 7 bahwa:

Pasal 7

(1) BPJS sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 adalah badan hukumpublik berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawabkepada presiden.5

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor24 Tahun 2011, jika normanya dikaitkan dengan pengertian badanhukum sebagaimana diuraikan sebelumnya dapatlah diidentifikasijawabannya apa dan siapa badan hukum publik BPJS itu. Badan hukumpublik BPJS menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, jika

4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Peyelenggara Jaminan Sosial Pasal 5.5 Ibid, Pasal 7.

Page 81: jurnal jaminan sosial

227

dikaitkan dengan cara pembentukannya dengan undang-undang dantugas, fungsi, serta kewenangannya dalam mengambil keputusan/kebijakan umum dan membuat aturan-aturan yang mengikat umum diluar anggota BPJS, maka dapat dinyatakan bahwa BPJS adalah badanhukum publik yang mempunyai tugas dan kewenangan umum bahkanharus bertanggung jawab kepada Presiden.

Untuk menguji secara yuridis/normatif bahwa BPJS itu benar-benar merupakan badan hukum publik, maka dapat dilihat fungsi, tugas,dan wewenang BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampaidengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BadanPenyelenggara Jaminan Sosial.

D. Transformasi Badan Hukum BPJS Menurut Undang-UndangNomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS

D.1. Latar Belakang Pembentukan Dewan Jaminan Sosial Nasional(DJSN) dan BPJSBadan Hukum Publik BPJS yang dibentuk berdasarkan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS adalah untukmenyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS dimaksud meliputiBPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan yang berfungsimenyelenggarakan program jaminan kesehatan, program jaminankecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminanpensiun, dan jaminan hari tua.

Program jaminan sosial sebagaimana disebutkan di atassesungguhnya pada saat ini telah diselenggarakan oleh badan hukumprivat yang berbentuk BUMN, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero)PT Asuransi Kesehatan Indonesia (PT Askes), Perusahaan Perseroan(Persero) PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek), PerusahaanPerseroan (Persero) PT ASABRI, dan Perusahaan Perseroan (Persero)PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT Taspen). KeempatPerusahaan Perseroan (Persero) tersebut pada saat ini sesuai denganlingkup tugas dan bidang masing-masing, sesungguhnya telahmenyelenggarakan program jaminan sosial sebagaimana dimaksuddalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. Namun demikian,penyelenggaraannya belum dilakukan secara menyeluruh, terintegrasi,terstandar dan terukur, baik di bidang keperataan, iuran maupunpemberian manfaat kepada peserta. Dalam penyelenggaraan programjaminan sosial, masing-masing persero mempunyai standar dan ukuransendiri-sendiri dan lebih bersifat parsial dan tidak menyeluruh. Selain

Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...

Page 82: jurnal jaminan sosial

228

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

itu, penyelenggraannya juga berbentuk badan usaha yang lebihberorientasi pada mencari keuntungan. Jadi, secara ideologispenyelenggaraan jaminan sosial tersebut merupakan kegiatan usahaatau bisnis semata, walaupun bentuk badan usahanya adalah BUMNyang secara filosofis masih mempunyai tanggung jawab untukmemberikan pelayanan umum.

Sehubungan dengan hal tersebut, atas kesadaran semua pihaksebagai komponen bangsa bahwa secara konstitusional sesungguhnyapenyelenggaraan program jaminan sosial tersebut, di satu sisimerupakan tanggung jawab/kewajiban negara dan pada sisi yang lainadalah hak konstitusional bagi warga masyarakat dan bangsaIndonesia, terutama bagi warga masyarakat miskin dan tidak mampu.Sinyalement tersebut didasarkan pada Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), danayat (3) yo Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketentuan Pasal 28 H ayat (1), ayat (2) dan ayat(3) menyatakan :

Pasal 28 H

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempattinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehatserta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khususuntuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama gunamencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkanpengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yangbermanfaat.

Selanjutnya dalam Pasal 34 ditentukan :6

Pasal 34

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruhrakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampusesuai dengan martabat kemanusiaan

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanankesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.7

6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 H7 Ibid, Pasal 34.

Page 83: jurnal jaminan sosial

229

Berdasarkan pertimbangan konstatasi fakta sosiologis dan filosofiskonstitusional sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 28 Hayat (1), Ayat (2), dan ayat (3) yo Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut,maka pada tanggal 19 Oktober 2004 Undang-Undang Nomor 40 Tahun2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional disahkan dandiundangkan. Undang-undang ini secara jelas dan cukup rinci mengaturSJSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dan untukmenyelenggarakan SJSN tersebut dibentuk DJSN. Selain itu, dalampenyelenggaraan SJSN perlu dibentuk Badan Penyelenggara JaminanSosial atau disisngkat BPJS dengan Undang-Undang. Namun demikian,dengan berbagai alasan dan pertimbangan, baik secara ekonomis,sosiologis, maupun politis BPJS yang menurut ketentuan Pasal 5 ayat(1)Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 harus dibentuk dengan Undang-Undang, baru dapat dibentuk pada tanggal 25 November 2011berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

D.2. DJSN Sebagai Lembaga Pemerintah Non KementrianPengertian DJSN yang menurut ketentuan Pasal 1 butir 11 Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang SJSN adalah dewan yangberfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umumdan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN, secara kelembagaan danfungsional merupakan LPNK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undanguntuk membantu Presiden. Oleh sebab itu, dalam kedudukannya sebagaipembantu Presiden tersebut secara konstitusional sesuai denganketentuan Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 adalah LPNK, sehingga DJSN mempunyai peran yang sangatstrategis dalam penyelenggaraan program jaminan sosial. DJSN dalampenyelenggaraan SJSN berfungsi sebagai pembantu Presiden untukmerumuskan kebijakan umum dan melakukan singkronisasipenyelenggaraan SJSN yang pada saat ini telah berjalan dan diselenggaraoleh 4 (empat) perusahaan perseroan (Persero) yang masing-masingberjalan sendiri dengan system, standar, dan tolok ukur yang berbeda,karena tujuan utamanya adalah untuk mencari keuntungan, selainpemberian pelayanan umum. Dengan demikian, keberhasilan DJSNdalam menjalankan peran strategisnya tersebut akan sangat tergantungpada komitmen semua pihak, terutama pemerintah dan pelaku usahasebagai pemberi kerja.

Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...

Page 84: jurnal jaminan sosial

230

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Penyelenggaraan SJSN yang sangat kompleks dan sarat denganberbagai kepentingan serta isu sosial, ekonomi, politik, dan hukum akanberhasil dan berjalan dengan baik, jika semua pihak sebagai stakeholdermempunyai visi, misi, dan persepsi yang sama akan pentingnya jaminansosial sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjaminseluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yanglayak. Kebijakan dan pelaksaan jaminan sosial yang pada saat initersebar di berbagai kementerian, terutama Kementerian Kesehatandan Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, danpelaksanaannya diselenggarakan oleh beberapa perusahaan perseroan(Persero), harus segera diintegrasikan dan disinkronkan. Kewenanganperumusan kebijkan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSNharus diserahkan kepada DJSN. Dengan demikian, perumusankebijakan yang menyeluruh, terintegrasi, terstandar, dan terukur dapatdilakukan sehingga tujuan penyelenggaraan SJSN sebagaimanaditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentangSJSN dapat diwujudkan.

D.3. BPJS sebagai Badan Hukum Publik Penyelenggara JaminanSosialBPJS yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2011 tentang BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranyapemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layakbagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. BPJS yang menurutketentuan Pasal 5 ayat (2) terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJSKetenagakerjaan tersebut berfungsi menyelenggarakan ProgramJaminan Sosial Kesehatan, Program Jaminan Sosial Kecelakaan Kerja,Program Jaminan Sosial Kematian, Program Jaminan Sosial Pensiun,dan Program jaminan Sosial Hari Tua. Dalam melaksanakan fungsitersebut, BPJS bertugas untuk:

a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta;

b. memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberikerja;

c. menerima bantuan iuran dari Pemerintah;

d. mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta;

e. mengumpulkan dan mengelola data peserta Program JaminanSosial;

f. membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatansesuai dengan ketentuan program jaminan sosial; dan

Page 85: jurnal jaminan sosial

231

g. memberikan informasi mengenai Penyelenggaraan ProgramJaminan Sosial kepada peserta dan masyarakat.8

Selanjutnya agar BPJS tersebut dapat melaksanakan tugasnyadengan baik dan efektif, maka berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 diberi wewenang untuk:

a. menagih pembayaran iuran;

b. menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendekdan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas,solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yangmemadai;

c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan pesertadan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;

d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besarpembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarifyang ditetapkan oleh Pemerintah;

e. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitaskesehatan;

f. mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberikerja yang tidak memenuhi kewajibannya;

g. melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenangmengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalammemenuhi kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangkapenyelenggaraan program jaminan sosial.9

Selain fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana tersebut di atas,BPJS dalam melaksanakan Program Jaminan Sosial juga mempunyaikewajiban yang cukup berat. Kewajiban BPJS tersebut di atas dalamPasal 13 ditentukan sebagai berikut:

a. memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta;

b. mengembangkan aset dana jaminan sosial dan aset BPJS untuksebesar-besarnya kepentingan peserta;

Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...

8 Lock Cit, Pasal 10.9 Ibid, Pasal 11.

Page 86: jurnal jaminan sosial

232

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

c. memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronikmengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasilpengembangannya;

d. memberikan manfaat kepada seluruh peserta sesuai denganUndang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;

e. Memberikan informasi kepada peserta mengenai hak dankewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku;

f. Membaerikan informasi kepada peserta mengenai prosedut untukmendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya;

g. Memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo jaminanhari tua dan pengembangannya 1 (satu kali) dalam 1 (satu) tahun;

h. Memberikan informasi kepada peserta mengenai besar hakpensiun 1 (satu kali) dalam 1 (satu) tahun;

i. Membentuk cadangan teknis dengan standar praktik aktuaria yanglazim dan berlaku umum;

j. Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yangberlaku dalam penyelenggaraan jaminan sosial; dan

k. Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisikeuangan secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presidendengan tembusan kepada DJSN.10

Dengan fungsi, tugas, wewenang, dan kewajiban yang sedemikianberat tersebut, BPJS akan dapat melaksanakannya dengan baik, jikasemua stakeholder memberi dukungan dalam pengelolaannya mulai dariperencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan secara utuh, seimbang,dan proporsional. Bahkan pada saat ini, sesuai dengan mandat dariUndang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, seluruh stakeholder harusmempunyai komitment yang tinggi dan penuh tanggung jawabmembantu dan mendukung proses transformasi penyelenggaraanjaminan sosial yang pada saat ini masih tersebar menjadi tanggung jawabbeberapa kementerian dan persero tersebut untuk dialihkan/diserahkan kepada BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan denganmekanisme yang telah ditentukan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

10 Ibid, Pasal 13.

Page 87: jurnal jaminan sosial

233

D.4. Tata Cara Pengalihan Tanggung Jawab PenyelenggaraanProgram Jaminan SosialSebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa BPJS terdiri dari

BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan berfungsimenyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJSKetenagakerjaan berfungsi menyelenggarakan program jaminankecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminanpension, dan program jaminan hari tua. Berdasarkan ketentuan Pasal60 Ayat (1) dan Ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011ditentukan bahwa BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakanprogram jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 dan pada saatitu pula PT Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa liquidasi dan semuaaset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero)menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJSKesehatan. Begitu juga, berdasarkan ketentuan Pasal 62 Ayat (1) danAyat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, terhitung sejaktanggal 1 Januari 2014 PT Jamsostek (Persero) statusnya berubahmenjadi BPJS Ketenagakerjaan dan bersamaan dengan perubahanstatus tersebut, PT Jamsostek dinyatakan bubar tanpa liquidasi dansemua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek(Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukumBPJS Ketenagakerjaan.

Ketentuan Pasal 60 Ayat (1) dan Ayat (3) huruf a serta Pasal 62 Ayat(1) dan Ayat (2) huruf a tersebut sangat jelas normanya, yaitu bahwaterhitung mulai 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan mulai beroperasimenyelenggarakan program jaminan kesehatan dan PT Jamsostek(Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Terhitung sejak padasaat BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan programjaminan kesehatan dan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJSKetenagakerjaan, maka pada saat itu pula PT Askes (Persero) danPT Jamsostek (Persero) statusnya sebagai badan usaha yang berbentukbadan hukum menjadi bubar. Selain itu, bubarnya status kedua Perserotersebut terjadi tanpa liquidasi terlebih dahulu dan semua aset danliabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes dan PT Jamsostekberalih menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJSKesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, terhitung sejak tanggal1 Januari 2014 PT Askes dan PT Jamsostek statusnya sebagai badanusaha yang berbentuk badan hukum penyelenggara program jaminansosial berakhir karena hukum dan seluruh asetnya, baik yang berupa

Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...

Page 88: jurnal jaminan sosial

234

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

aktiva maupun pasiva terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014 beralihmenjadi aset BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Dengan bubarnya kedua Persero (PT Askes dan PT Jamsostek) sertaberalihnya aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum keduaPersero menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukumBPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan tersebut, makamenimbulkan akibat hukum sebagai berikut:

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 60 Ayat (2) Undang-Undang Nomor24 Tahun 2011 akibat hukum yang timbul meliputi:

a) Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakanprogram jaminan kesehatan masyarakat;

b) Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, danKepolisian Republik Indonesia tidak lagi menyelenggarakanprogram pelayanan kesehatan bagi pesertanya, kecuali untukpelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatanoperasionalnya, yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden;dan

c) PT Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan programjaminan kesehatan.11

Selain itu, berdasarkan ketentuan ayat (3)nya akibat hukum yang timbulmeliputi:

a) Semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJSKesehatan; dan

b) Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat UmumPemegang Saham (RUPS) mengesahkan laporan posisikeuangan penutup PT Askes (Persero) setelah dilakukan auditoleh kantor akuntan publik dan Menteri Keuanganmengesahkan laporan posisi keuangan pembuka BPJSKesehatan dan laporan posisi keuangan pembuka danajaminan kesehatan.12

b. Berdasarkan ketentuan Pasal 62 Ayat (2) huruf b, dan c dinyatakanbahwa :

a) Semua pegawai PT Jamsostek (Persero) menjadi pegawai BPJSKetenagakerjaan; dan

11 Ibid, Pasal 60 ayat (2).12 Ibid, Pasal 60 ayat (3).

Page 89: jurnal jaminan sosial

235

b) Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat UmumPemegang Saham (RUPS) mengesahkan laporan posisikeuangan penutup PT Jamsostek (Persero) setelah dilakukanaudit oleh kantor akuntan publik dan Menteri Keuanganmengesahkan laporan posisi keuangan pembuka BPJSKetenagakerjaan dan laporan posisi keuangan pembuka danajaminan ketenagakerjaan.13

Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan langkah-langkahpersiapan yang harus dilakukan secara terencana dan terpadu sebelumBPJS Kesehatan mulai beroperasi dalam penyelenggaraan programjaminan kesehatan. Untuk itu, berdasarkan ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ditentukan bahwa pada saat berlakunyaUndang-Undang BPJS ini, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes(Persero) sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan ditugasi untuk:

a. Menyiapkan operasional BPJS Kesehatan untuk program jaminankesehatan sesuai dengan ketentuan Pasal 22 – Pasal 28 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN; dan

b. Menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dankewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun2011 ditentukan bahwa pada saat berlakunya Undang-Undang ini, DewanKomisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) sampai denganberubahnya PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaanditugasi untuk:

a. Menyiapkan pengalihan program jaminan pemeliharaan kesehatankepada BPJS Kesehatan;

b. Menyiapkan operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk programjaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun,dan jaminan kematian;

c. Menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas serta hak dan kewajibanprogram jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero)terkait penyelenggaraan program jaminan pemeliharaankesehatan ke BPJS Kesehatan; dan

d. Menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dankewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.14

Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...

14 Ibid, Pasal 61.13 Ibid, Pasal 62 ayat (2) huruf b dan c.

Page 90: jurnal jaminan sosial

236

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Terkait dengan langkah-langkah persiapan dalam penyelenggaraanprogram jaminan kesehatan, Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun2011 menentukan bahwa untuk pertama kali, Dewan Komisaris danDireksi PT Askes (Persero) diangkat menjadi Dewan Pengawas danDireksi BPJS Kesehatan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun sejakBPJS Kesehatan mulai beroperasi,15 dan berdasarkan ketentuan Pasal63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, untuk pertama kali DewanKomisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) diangkat menjadi DewanPengawas dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk jangka waktupaling lama 2 tahun sejak BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi.16

Suatu hal yang perlu dicatat bahwa tanggal 1 Januari 2014 tersebutmerupakan saat berubahnya status PT Jamsostek (Persero) menjadiBPJS Ketenagakerjaan, sedangkan saat mulai beroperasinyaberdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ditentukanpaling lambat tanggal 1 Juli 2015.

Untuk menghindari kekosongan hukum dalam penyelenggaraanprogram jaminan sosial maka berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang 24Tahun 2011 ditentukan bahwa pada saat Undang-Undang BPJS mulaiberlaku :

a. PT Askes (Persero) diakui keberadaannya dan tetap melaksanakanprogram jaminan kesehatan, termasuk menerima pendaftaranpeserta baru, sampai beroperasinya BPJS Kesehatan;

b. Kementerian Kesehatan tetap melaksanakan kegiatan operasionalpenyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat,termasuk penambahan peserta baru, sampai dengan beroperasinyaBPJS Kesehatan;

c. Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, danKepolisian Negara Republik Indonesia tetap melaksanakankegiatan operasional penyelenggaraan layanan kesehatan bagipesertanya, termasuk penambahan peserta baru, sampai denganberoperasinya BPJS Kesehatan, kecuali untuk pelayanan kesehatantertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya, yangditetapkan dengan Peraturan Presiden;

d. PT. Jamsostek (Persero) tetap melaksanakan kegiatan operasionalpenyelenggaraan:

15 Ibid, Pasal 59.16 Ibid, Pasal 63.

Page 91: jurnal jaminan sosial

237

Badan Hukum Publik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Dan ...

1. Program Jaminan Kesehatan termasuk penambahan peserta barusampai beroperasinya BPJS Kesehatan; dan

2. Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, danjaminan Hari Tua bagi pesertanya termasuk penambahan pesertabaru sampai dengan berubah jadi BPJS Ketenagakerjaan

e. PT. ASABRI (Persero) tetap melaksanakan kegiatan operasionalpenyelenggaraan Program Asuransi Sosial Angkatan BersenjataRepublik Indonesia dan Program Pembayaran Pensiun bagipesertanya, termasuk penambahan peserta baru sampai dengandialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan;

f. PT. TASPEN (Persero) tetap melaksanakan kegiatan operasionalpenyelenggaraan program tabungan hari tua dan programpembayaran pensiun bagi pesertanya termasuk penambahanpeserta baru, sampai dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.17

Satu hal yang harus dicatat, bahwa berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ditentukan bahwa PT. ASABRI (Persero)menyelesaikan pengalihan Program Asuransi Sosial AngkatanBersenjata Republik Indonesia dan Program Pembayaran Pensiunpaling lambat tahun 2009, sedangkan PT. TASPEN (persero)menyelesaikan program tabungan hari tua dan program pembayaranpensiun dari PT. TASPEN ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambattahun 2009.

E. PenutupDemikian hasil analisis dan kajian hukum mengenai badan

hukum publik BPJS dan transformasinya menurut Undang-Undangnomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.Hasil analisis dan kajian hukum ini diharapkan menjadi policy paperdalam persiapan pelaksanaan penyelenggarakan program jaminansosial. Urutan langkah ansipatif sebagaimana tercantum dalam Bab IVmerupakan tata urutan hierarki untuk kegiatan yang harus diambilsehubungan dengan persiapan pelaksanaan penyelenggaraan programjaminan sosial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011tentang BPJS. Tataurutan kegiatan tersebut sejauh mungkin disusundengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang

17 Ibid, Pasal 57.

Page 92: jurnal jaminan sosial

238

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, yaitu peraturan pelaksanaanUndang-Undang BPJS harus sudah ditetapkan paling lama dalam waktu1 tahun untuk peraturan yang mendukung beroprasinya BPJS Kesehatandan paling lama 2 tahun untuk peraturan yang mendukung beroprasinyaBPJS Ketenagakerjaan, terhitung sejak Undang-Undang BPJSdiundangkan. Namun demikian, mengingat substansi yang diatur dalamUndang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-UndangNomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS materinya saling terkait makapenyusunan urutan kegiatan tersebut tidak bisa dilakukan secarakonsisten. Selain itu, beberapa materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun2004 tentang SJSN secara substantif diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Dengan demikian,penyusunan peraturan pelaksanaan sebagai langkah antisipatif dalampersiapan dan pelaksanaan penyelenggaraan program jaminan sosialharus benar-benar memperhatikan urgensi materinya.

Daftar Pustaka

Achmad Subianto, Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pilar PenyanggaKemandirian Perekonomian Bangsa, Diterbitkan Dalam BahasaIndonesia Oleh Gabon Books dan Yayasan Bermula Dari Kanan.

Haidir Ali, Badan Hukum, Penerbit PT Alumni Bandung, 2005.

H.A. Daradjat Kartawidjaja, Konsep dan Efektifitas, ImplementasiKebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) DiterbitkanMadani Publishing, 2011.

R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,Perkumpulan, Koprasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit PT Alumnibandung, 2004.

Dewan Jaminan Sosial Nasional Road Map Pencapaian KepersertaanMenyeluruh (Universal Coverage) Program Jaminan KesehatanDi Indonesia, 2011.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan SosialNasional.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PeyelenggaraJaminan Sosial.

Page 93: jurnal jaminan sosial

239

* Direktur Konsultan Jaminan Sosial dan Pelayanan Kesehatan MARTABAT.

TRANSFORMASI BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL(SOCIAL SECURITY ADMINISTERING AGENCY TRANSFORMATION)

(Naskah diterima 23/05/2012, disetujui 23/07/2012)

Asih Eka Putri*

AbstrakTransformasi menjadi kosa kata penting sejak tujuh tahun terakhir diIndonesia, tepatnya sejak diundangkannya UU SJSN pada 19 Oktober 2004.Transformasi akan menghadirkan identitas baru dalam penyelenggaraanprogram jaminan sosial di Indonesia. UU BPJS membentuk dua BadanPenyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), BPJS Kesehatan dan BPJSKetenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminankesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerjadi Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia. BPJS Ketenagakerjaanmenyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminanpensiun dan jaminan kematian bagi seluruh pekerja Indonesia termasuk orangasing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia.Empat BUMN Persero penyelenggara program jaminan sosial – PT ASKES(Persero), PT ASABRI (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero), dan PT TASPEN(Persero) akan bertransformasi menjadi BPJS. UU BPJS telah menetapkanPT ASKES (Persero) untuk bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan danPT JAMSOSTEK akan bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. UU BPJSbelum mengatur mekanisme transformasi PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN(Persero) dan mendelegasikan pengaturannya ke Peraturan Pemerintah.Kata kunci: Transformasi, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan.

AbstractTransformation into a critical vocabulary from the last seven years in Indonesia,precisely since the enactment of the National Social Security Law on October 19,2004. Transformation will bring a new identity in the administration of social secu-rity programs in Indonesia. Social Security Administering Agency (BPJS) Law estab-lished two Social Security Administering Agency (BPJS), Health Social SecurityAdministering Agency and Labor Social Security Administering Agency. Health SocialSecurity Administering Agency organized health insurance program for the entirepopulation of Indonesia, including foreigners working in Indonesia for a minimum of6 (six) months in Indonesia. Labor Social Security Administering Agency organizedprogram of work accident insurance, old phase insurance, pension and life insur-ance for Indonesian workers, including foreigners working in Indonesia for aminimum of 6 (six) months in Indonesia. Four state-owned Corporation providers ofsocial security programs - PT Askes (Persero), PT ASABRI (Persero), PT Jamsostek(Persero), and PT TASPEN (Persero) will be transformed into BPJS. BPJS Law hasset the PT Askes (Persero) to transform into Health BPJS and PT JAMSOSTEK be

Page 94: jurnal jaminan sosial

240

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

transformed into Labor BPJS. BPJS Law transformation mechanism has not been setASABRI PT (Persero) and PT TASPEN (Persero) and delegate the setting togovernment regulation.Keywords: Transformation, BPJS of Health, Labor BPJS.

A. PendahuluanPerintah transformasi kelembagaan badan penyelenggara jaminan

sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SistemJaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Penjelasan Umum alineakesepuluh UU SJSN menjelaskan bahwa, Badan Penyelenggara JaminanSosial (BPJS) yang dibentuk oleh UU SJSN adalah transformasi dari badanpenyelenggara jaminan sosial yang tengah berjalan dan dimungkinkanmembentuk badan penyelenggara baru.

Transformasi badan penyelenggara diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara JaminanSosial (UU BPJS). UU BPJS adalah pelaksanaan Putusan MahkamahKonstitusi atas Perkara Nomor 007/PUU-III/2005.

Penjelasan Umum UU BPJS alinea keempat mengemukakan bahwaUU BPJS merupakan pelaksanaan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSNpasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Kedua pasal ini mengamanatkanpembentukan BPJS dan transformasi kelembagaan PT ASKES (Persero),PT ASABRI (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero) dan PT TASPEN (Persero)menjadi BPJS. Transformasi kelembagaan diikuti adanya pengalihanpeserta, program, aset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban.

B. Makna TransformasiUU SJSN dan UU BPJS memberi arti kata ‘transformasi’ sebagai

perubahan bentuk BUMN Persero yang menyelenggarakan programjaminan sosial, menjadi BPJS. Perubahan bentuk bermakna perubahankarakteristik badan penyelenggara jaminan sosial sebagai penyesuaianatas perubahan filosofi penyelenggaraan program jaminan sosial.Perubahan karakteristik berarti perubahan bentuk badan hukum yangmencakup pendirian, ruang lingkup kerja dan kewenangan badan yangselanjutnya diikuti dengan perubahan struktur organisasi, prosedurkerja dan budaya organisasi.

1. Perubahan Filosofi Penyelenggaraan Jaminan SosialBadan Usaha Milik Negara Persero penyelenggara jaminan sosial

terdiri dari PT ASKES, PT ASABRI, PT JAMSOSTEK, PT TASPEN.Keempatnya adalah badan hukum privat yang dirikan sesuai ketentuan

Page 95: jurnal jaminan sosial

241

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha MilikNegara dan tatakelolanya tunduk pada ketentuan yang diatur dalamUndang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Misi yang dilaksanakan oleh keempat Persero tersebut merujukpada peraturan perundangan yang mengatur program-program jaminansosial bagi berbagai kelompok pekerja. Walaupun program-programjaminan sosial yang tengah berlangsung saat ini diatur dalam peraturanperundangan yang berlainan, keempat Persero mengemban misi yangsama, yaitu menyelenggarakan program jaminan sosial untukmenggairahkan semangat kerja para pekerja.

Program JAMSOSTEK diselenggarakan dengan pertimbangan selainuntuk memberikan ketenangan kerja juga karena dianggap mempunyaidampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin danproduktifitas tenaga kerja.1 Program JAMSOSTEK diselenggarakan untukmemberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidupminimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, serta merupakanpenghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenagadan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja.2

Begitu pula dengan Program ASKES dan Program TASPEN,penyelenggaraan kedua program jaminan sosial bagi pegawai negeri sipiladalah insentif yang bertujuan untuk meningkatkan kegairahanbekerja.3 Program ASABRI adalah bagian dari hak prajurit dan anggotaPOLRI atas penghasilan yang layak.4

Sebaliknya di era SJSN, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS) merepresentasikan Negara dalam mewujudkan hakkonstitusional warga Negara atas jaminan sosial dan hak ataspengidupan yang layak. Penyelenggaraan jaminan sosial berbasis kepadahak konstitusional setiap orang dan sebagai wujud tanggung jawab Negarasebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara

Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

1 Penjelasan Umum alinea ke-2 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja2 Penjelasan Umum alinea ke-7 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja3 Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974tentang Pokok-pokok Kepegawaian4 Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Pasal 5 hurufa dan huruf i PP No. 42 Tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota POLRI

Page 96: jurnal jaminan sosial

242

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (3)5 dan Pasal 34 ayat(2)6. Penyelenggaraan sistem jaminan sosial berdasarkan asas antaralain asas kemanusiaan yang berkaitan dengan martabat manusia.7 BPJSmengemban misi perlindungan finansial untuk terpenuhinya kehidupandasar warga Negara dengan layak. Yang dimaksud dengan kebutuhandasar hidup adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hiduplayak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.8

Transformasi BUMN Persero menjadi BPJS bertujuan untukmemenuhi prinsip dana amanat dan prinsip nir laba SJSN, di manadana yang dikumpulkan oleh BPJS adalah dana amanat peserta yangdikelola oleh BPJS untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagipeserta.9

Penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BUMN Perseroantidak sesuai dengan filosofi penyelenggaraan program jaminan sosialpasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Pendirian BUMN Persero antara lain bertujuan untukmemberikan sumbangan pada perekonomian nasional dan pendapatannegara serta untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilaiperusahaan.10 Tujuan pendirian BUMN jelas bertentangan dengan tujuanpenyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diuraikandi atas.

2. Perubahan Badan HukumKeempat BUMN Persero penyelenggara program jaminan sosial –

PT ASKES, PT ASABRI, PT JAMSOSTEK, PT TASPEN, adalah empat badanprivat yang terdiri dari persekutuan modal dan bertanggung jawab kepadapemegang saham. Keempatnya bertindak sesuai dengan kewenanganyang diberikan oleh dan sesuai dengan keputusan pemilik saham yangtergabung dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)11.

Sebagai badan hukum privat, BUMN Persero tidak didirikan olehpenguasa Negara dengan Undang-Undang, melainkan didirikan oleh

5 Pasal 28 H ayat (3) UUD NRI 1945: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkanpengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.6 Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyatdan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”7 Penjelasan Pasal 2 UU No. 40 Tahun 2004.8 Penjelasan Pasal 3 UU No. 40 Tahun 2004.9 Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN10 Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 12 huruf b UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN11 Pasal 13 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN

Page 97: jurnal jaminan sosial

243

perseorangan selayaknya perusahaan umum lainnya, didaftarkan padanotaris dan diberi keabsahan oleh Kementerian Hukum dan HAM.Menteri mendirikan persero setelah berkonsultasi dengan Presiden dansetelah dikaji oleh Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. 12

Sebaliknya, pendirian BPJS dilakukan oleh penguasa Negaradengan Undang-undang, yaitu UU SJSN dan UU BPJS. Pendirian BPJStidak didaftarkan pada notaris dan tidak perlu pengabsahan dari lembagapemerintah.13

RUPS adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggidalam Persero dan memegang wewenang yang tidak diberikan kepadaDireksi atau Komisaris. Transformasi kelembagaan jaminan sosialmengeluarkan badan penyelenggara jaminan sosial dari tatanan Perseroyang berdasar pada kepemilikan saham dan kewenangan RUPS, menujutatanan badan hukum publik sebagai pelaksana amanat konstitusi danperaturan perundangan. Selanjutnya, perubahan berlanjut padaorganisasi badan penyelenggara. Didasari pada kondisi bahwa kekayaanNegara dan saham tidak dikenal dalam SJSN, maka RUPS tidak dikenaldalam organ BPJS.

Organ BPJS terdiri dari Dewan Pengawas dan Direksi. DewanPengawas berfungsi melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugasBPJS, sedangkan Direksi berfungsi melaksanakan penyelenggaraankegiatan operasional BPJS.14 Anggota Direksi diangkat dandiberhentikan oleh Presiden15. Berbeda dengan Dewan Pengawas BUMNPersero, Dewan Pengawas BPJS ditetapkan oleh Presiden. PemilihanDewan Pengawas BPJS dilakukan oleh Presiden dan DPR. Presidenmemilih anggota Dewan Pengawas dari unsur Pemerintah, sedangkanDPR memilih anggota Dewan Pengawas dari unsur Pekerja, unsurPemberi Kerja dan unsur tokoh masyarakat.

Sebagai badan hukum privat, keempat BUMN Persero tersebut tidakmemiliki kewenangan publik yang seharusnya dimiliki oleh badanpenyelenggara jaminan sosial. Hambatan utama yang dialami olehkeempat BUMN Persero adalah ketidakefektifan penegakan hukumjaminan sosial karena ketiadaan kewenangan untuk mengatur,mengawasi maupun menjatuhkan sanksi kepada peserta. Sebaliknya,

Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

12 Pasal 10 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Pasal 7 UU No. 40 Tahun 2007 tentangPerseroan Terbatas.13 Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, Pasal 5 dan Pasal 7 UU No. 24 Tahun 2011tentang BPJS14 Pasal 20, Pasal 22 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS15 Pasal 23 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS

Page 98: jurnal jaminan sosial

244

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

BPJS selaku badan hukum publik memiliki kekuasaan dan kewenanganuntuk mengatur publik melalui kewenangan membuat peraturan-peraturan yang mengikat publik.

Sebagai badan hukum publik, BPJS wajib menyampaikanpertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada pejabat publikyang diwakili oleh Presiden. BPJS menyampaikan kinerjanya dalambentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yangtelah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden, dengan tembusankepada DJSN, paling lambat 30 Juni tahun berikutnya.

Perubahan terakhir dari serangkaian proses transformasi badanpenyelenggara jaminan sosial adalah perubahan budaya organisasi.Reposisi kedudukan peserta dan kepemilikan dana dalam tatananpenyelenggaraan jaminan sosial mengubah perilaku dan kinerja badanpenyelenggara. Pasal 40 ayat (2) UU BPJS mewajibkan BPJSmemisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial. Pasal 40 ayat(3) UU BPJS menegaskan bahwa aset Dana Jaminan Sosial bukanmerupakan aset BPJS. Penegasan ini untuk memastikan bahwa DanaJaminan Sosial merupakan dana amanat milik seluruh peserta yangtidak merupakan aset BPJS.

Tabel 1. Karakteristik BPJS sebagai badan hukum publik

BPJS merupakan badan hukum publik karena memenuhi persyaratansebagai berikut:Dibentuk dengan Undang-Undang (Pasal 5 UUBPJS)Berfungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum, yaituSistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang berdasarkan asaskemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat In-donesia (Pasal 2 UU BPJS)Diberi delegasi kewenangan untukmembuat aturan yang mengikat umum (Pasal 48 ayat (3) UUBPJS)Bertugas mengelola dana publik, yaitu dana jaminan sosialuntuk kepentingan peserta (Pasal 10 huruf d UU BPJS)Berwenangmelakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan pesertadan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional(Pasal 11 huruf c UU BPJS)Bertindak mewakili Negara RI sebagaianggota organisasi atau lembaga internasional (Pasal 51 ayat (3) UUBPJS)Berwenang mengenakan sanksi administratif kepada pesertaatau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya (Pasal 11huruf f UU BPJS).Pengangkatan Angggota Dewan Pengawas danAnggota Direksi oleh Presiden, setelah melalui proses seleksi publik(Pasal 28 s/d Pasal 30 UU BPJS).

Page 99: jurnal jaminan sosial

245

3. Proses TransformasiUU BPJS mengatur ketentuan pembubaran dan pengalihan

PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero). Ketentuan pembubaranBUMN Persero tidak berlaku bagi pembubaran PT ASKES (Persero) danPT JAMSOSTEK (Persero)16. Pembubaran kedua Persero tersebut tidakperlu diikuti dengan likuidasi 17, dan tidak perlu ditetapkan denganPeraturan Pemerintah.18 Namun, UU BPJS tidak jelas mengatur apakahketentuan ini juga berlaku bagi pembubaran dan transformasi PT ASABRI(Persero) dan PT TASPEN (Persero).

Proses transformasi keempat BUMN Persero tersebut tidaklahsederajat. Ada tiga derajat transformasi dalam UU BPJS. Tingkat tertinggiadalah transformasi tegas. UU BPJS dengan tegas mengubahPT JAMSOSTEK (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan,membubarkan PT JAMSOSTEK (Persero) dan mencabut Undang-UndangNomor 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK.

Tingkat kedua adalah transformasi tidak tegas. UU BPJS tidaksecara eksplisit mengubah PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan,maupun pencabutan peraturan perundangan terkait pembentukanPT ASKES (Persero). UU BPJS hanya menyatakan pembubaran PT ASKES(Persero) menjadi BPJS Kesehatan sejak beroperasinya BPJS Kesehatanpada 1 Januari 2014. Perubahan PT ASKES (Persero) menjadi BPJSKesehatan tersirat dalam kata pembubaran PT ASKES (Persero) danberoperasinya BPJS Kesehatan.

Tingkat ketiga adalah tidak bertransformasi. UU BPJS tidakmenyatakan perubahan maupun pembubaran PT ASABRI (Persero) danPT TASPEN (Persero). UU BPJS hanya mengalihkan program dan fungsikedua Persero sebagai pembayar pensiun ke BPJS Ketenagakerjaanselambatnya pada tahun 2029. Bagaimana nasib kedua Persero tersebutmasih menunggu rumusan peraturan Pemerintah yang didelegasikanoleh Pasal 66 UU BPJS.

Di samping terdapat tingkatan transformasi, UU BPJS menetapkandua kriteria proses transformasi BPJS. UU BPJS memberi tenggat2 tahun sejak pengundangan UU BPJS (pada 25 November 2011) kepadaPT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero) untuk beralih dariPerseroan menjadi badan hukum publik BPJS. Namun, saat mulaiberoperasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan terpaut 1,5 tahun.

16 Pasal 67 UU NO. 24 Tahun 201117 Pasal 142 ayat (2) huruf a UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas18 Pasal 64 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Page 100: jurnal jaminan sosial

246

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Kriteria pertama adalah transformasi simultan. PT ASKES (Persero)pada waktu yang sama bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan danberoperasi. Mulai 1 Januari 2014 PT ASKES (Persero) berubah menjadiBPJS Kesehatan dan pada saat yang sama BPJS Kesehatanmenyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai ketentuan UUSJSN.

Kriteria kedua adalah transformasi bertahap. PT JAMSOSTEK(Persero) bertransformasi dan beroperasi secara bertahap. Pada1 Januari 2014, PT JAMSOSTEK (Persero) bubar dan berubah menjadiBPJS Ketenagakerjaan, namun tetap melanjutkan penyelenggaraan tigaprogram PT JAMSOSTEK (Persero) – jaminan kecelakaan kerja, jaminankematian dan jaminan hari tua. BPJS Ketenagakerjaan diberi waktu1,5 tahun untuk menyesuaikan penyelenggaraan ketiga programtersebut dengan ketentuan UU SJSN dan menambahkan programjaminan pensiun ke dalam pengelolaannya. Selambat-lambatnya pada1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan telah menyelenggarakan programjaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua danjaminan pensiun sesuai UU SJSN.

3.1 Transformasi PT ASKES (Persero) Menjadi BPJS KesehatanMasa persiapan transformasi PT ASKES (Persero) menjadi BPJS

Kesehatan adalah selama dua tahun terhitung mulai 25 November 2011sampai dengan 31 Desember 2013. Dalam masa persiapan, DewanKomisaris dan Direksi PT Askes (Persero) ditugasi untuk menyiapkanoperasional BPJS Kesehatan, serta menyiapkan pengalihan aset danliabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) keBPJS Kes.

Penyiapan operasional BPJS Kesehatan mencakup:

- penyusunan sistem dan prosedur operasional BPJS Kesehatan,

- sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan,

- ketentuan program jaminan kesehatan yang sesuai dengan UUSJSN,

- Koordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk mengalihkanpenyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Masyarakat(Jamkesmas),

- Kordinasi dengan KemHan,TNI dan POLRI untuk mengalihkanpenyelenggaraan program pelayanan kesehatan bagi anggota TNI/POLRI dan PNS di lingkungan KemHan,TNI/POLRI, dan

- koordinasi dengan PT Jamsostek (Persero) untuk mengalihkan

Page 101: jurnal jaminan sosial

247

penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatanJamsostek.

Penyiapan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dankewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan, mencakuppenunjukan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas:

- laporan keuangan penutup PT Askes(Persero),

- laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kes,

- laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan.

Pada saat BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014,PT Askes (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi. Semua aset danliabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero) menjadiaset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan,dan semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan.

Pada saat yang sama, Menteri BUMN selaku RUPS mengesahkanlaporan posisi keuangan penutup PT Askes (Persero) setelah dilakukanaudit oleh kantor akuntan publik. Menteri Keuangan mengesahkanlaporan posisi keuangan pembuka BPJS Kes dan laporan keuanganpembuka dana jaminan kesehatan. Untuk pertama kali, DewanKomisaris dan Direksi PT Askes (Persero) diangkat menjadi DewanPengawas dan Direksi BPJS Kesehatan untuk jangka waktu paling lama2 tahun sejak BPJS Kesehatan mulai beroperasi.

Mulai 1 Januari 2014, program-program jaminan kesehatan sosialyang telah diselenggarakan oleh pemerintah dialihkan kepada BPJSKesehatan. Kementerian kesehatan tidak lagi menyelenggarakanprogram Jamkesmas. Kementerian Pertahanan,TNI dan POLRI tidaklagi menyelenggarakan program pelayanan kesehatan bagi pesertanya,kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatanoperasionalnya yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.PT Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan program jaminankesehatan pekerja.

3.2 Transformasi PT JAMSOSTEK (Persero) Menjadi BPJSKetenagakerjaanBerbeda dengan transformasi PT ASKES (Persero), transformasi

PT Jamsostek dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pertama adalah masa peralihan PT JAMSOSTEK (Persero)menjadi BPJS Ketenagakerjaan berlangsung selama 2 tahun, mulai 25November 2011 sampai dengan 31 Desember 2013. Tahap pertama

Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Page 102: jurnal jaminan sosial

248

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

diakhiri dengan pendirian BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014.

Tahap kedua, adalah tahap penyiapan operasionalisasi BPJSKetenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan kecelakaankerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuaidengan ketentuan UU SJSN. Persiapan tahap kedua berlangsungselambat-lambatnya hingga 30 Juni 201 dan diakhiri denganberoperasinya BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan keempatprogram tersebut sesuai dengan ketentuan UU SJSN selambatnya pada1 Juli 2015.

Selama masa persiapan, Dewan Komisaris dan DireksiPT Jamsostek (Persero) ditugasi untuk menyiapkan:

- Pengalihan program jaminan kesehatan Jamsostek kepada BPJSKesehatan.

- Pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajibanprogram jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero)ke BPJS Kesehatan.

- Penyiapan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan berupapembangunan sistem dan prosedur bagi penyelenggaraan programjaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiundan jaminan kematian, serta sosialisasi program kepada publik.

- Pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajibanPT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.

Penyiapan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai serta hak dankewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan mencakuppenunjukan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas:

- laporan keuangan penutup PT Askes(Persero),

- laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kesehatan, dan

- laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan.

Seperti halnya pembubaran PT ASKES (Persero), pada 1 Januari2014 PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi danPT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995 tentang Penetapan BadanPenyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukumPT Jamsostek (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dankewajiban hukum BPJS Ketenagakerjaan. Semua pegawaiPT Jamsostek (Persero) menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan.

Page 103: jurnal jaminan sosial

249

Pada saat pembubaran, Menteri BUMN selaku RUPS mengesahkanlaporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek (Persero) setelahdilakukan audit oleh kantor akuntan publik. Menteri Keuanganmengesahkan posissi laporan keuangan pembukaan BPJSKetenagakerjaan dan laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminanketenagakerjaan.

Sejak 1 Januari 2014 hingga selambat-lambatnya 30 Juni 2015,BPJS Ketenagakerjaan melanjutkan penyelenggaraan tiga program yangselama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero), yaitu programjaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian,termasuk menerima peserta baru. Penyelenggaraan ketiga programtersebut oleh BPJS Ketenagakerjaan masih berpedoman pada ketentuanPasal 8 sampai dengan Pasal 15 UU Nomor 3 Tahun 1992 tentangJamsostek.

Selambat-lambatnya pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaanberoperasi sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Seluruh pasal UUJamsostek dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. BPJS Ketenagakerjaanmenyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan haritua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuanUU SJSN untuk seluruh pekerja kecuali Pegawai Negeri Sipil, AnggotaTNI dan POLRI.

Untuk pertama kali, Presiden mengangkat Dewan Komisaris danDireksi PT Jamsostek (Persero) menjadi aggota Dewan Pengawas dananggota Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk jangka waktu paling lama2 tahun sejak BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi.19 Ketentuanini berpotensi menimbulkan kekosongan pimpinan dan pengawas BPJSKetenagakerjaan di masa transisi, mulai saat pembubaranPT JAMSOSTEK pada 1 Januari 2014 hingga beroperasinya BPJSKetenagakerjaan pada 1 Juli 2015.

3.3 Transformasi PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero)Menjadi BPJS KetenagakerjaanUU BPJS tidak membubarkan PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN

(Persero), juga tidak mengalihkan kedua Persero tersebut menjadi BPJS.UU BPJS tidak mengatur pembubaran badan, pengalihan aset danliabilitas, pengalihan pegawai serta hak dan kewajiban PT ASABRI(Persero) dan PT TASPEN (Persero).

Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

19 Pasal 63 UU No. 24 Tahun 2011.

Page 104: jurnal jaminan sosial

250

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

UU BPJS hanya mengalihkan fungsi kedua Persero, yaitupenyelenggaraan program perlindungan hari tua dan pembayaranpensiun yang diselenggarakan oleh keduanya ke BPJS Ketenagakerjaanpaling lambat pada tahun 2029. UU BPJS mendelegasikan pengaturantatacara pengalihan program yang diselenggarakan oleh keduanya kePeraturan Pemerintah.20 Berikut kutipan ketentuan yang mengaturpengalihan program ASABRI dan program TASPEN:

Pasal 65 ayat 1, “PT ASABRI (Persero) menyelesaikan pengalihan programAsuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan programpembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.”

Pasal 65 ayat 2, “PT TASPEN (Persero) menyelesaikan pengalihan programtabungan hari tua dan program pembayaran tabungan hari tua dan programpembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaanpaling lambat tahun 2029.”

UU BPJS mewajibkan PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero)untuk menyusun roadmap tansformasi paling lambat tahun 2014.21

4. Kelengkapan Peraturan PerundanganTransformasi PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero)

menjadi BPJS memerlukan koridor hukum yang diatur oleh peraturanpelaksanaan UU BPJS. Untuk penyelenggaraan program, BPJSKesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan memerlukan peraturanpelaksanaan UU SJSN.

4.1 Peraturan Pelaksanaan UU BPJSTelah enam bulan berlalu sejak pengundangan UU BPJS, belum

satupun peraturan pelaksanaan UU BPJS selesai diundangkan. Terdapatduapuluh satu pasal UU BPJS mendelegasikan pengaturan teknisoperasional ke peraturan di bawah undang-undang. Delapan pasalmendelegasikan peraturan pelaksanaan ke dalam PeraturanPemerintah. Delapan pasal mendelegasikan ke dalam PeraturanPresiden. Satu pasal mendelegasikan ke Keputusan Presiden. Satu pasalmendelegasikan ke Peraturan BPJS. Dua pasal mendelegasikan kePeraturan Direktur dan 1 pasal mendelegasikan ke Peraturan DewanPengawas.

20 Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 24 Tahun 201121 Penjelasan Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 24 Tahun 2011

Page 105: jurnal jaminan sosial

251

Delapan pasal mendelegasikan ke dalam Peraturan Pemerintahuntuk mengatur hal-hal di bawah ini:

- Tata cara pengenaan sanksi administratif kepada pemberi kerjaselain penyelenggara Negara dan setiap orang yang tidakmendaftarkan diri kepada BPJS; pendelegasian dari pasal17 ayat (5).

- Besaran dan tata cara pembayaran iuran program jaminankecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminankematian; pendelegasian dari pasal 19 ayat (5) huruf b.

- Sumber aset BPJS dan penggunaannya; pendelegasian dari pasal41 ayat (3).

- Sumber aset dana jaminan sosial dan penggunaannya;pendelegasian dari pasal 43 ayat (3).

- Presentase dana operasional BPJS dari iuran yang diterima dan/atau dari dana hasil pengembangan; pendelegasian dari pasal 45ayat (2).

- Tata cara hubungan BPJS dengan lembaga-lembaga di dalam negeridan di luar negeri, serta bertindak mewakili Negara RI sebagaianggota organisasi/lembaga internasional; pendelegasian daripasal 51 ayat (4).

- Tata cara pengenaan sanksi administratif kepada anggota DewanPengawas atau anggota Direksi yang melanggar ketentuanlarangan; pendelegasian dari pasal 53 ayat (4).

- Tata cara pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan BersenjataRepublik Indonesia dan program pembayaran pensiun dariPT ASABRI (Persero) dan pengalihan program tabungan hari tuadan program pembayaran pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJSKetenagakerjaan; pendelegasian dari pasal 66.

Delapan pasal mendelegasikan ke Peraturan Presiden untukmengatur hal-hal di bawah ini:

- Tata cara penahapan kepesertaan wajib bagi Pemberi Kerja untukmendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJSsesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti; pendelegasiandari pasal 15 ayat (3).

- Besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminankesehatan; pendelegasian dari pasal 19 ayat (5) huruf a.

- Tata cara pemilihan dan penetapan Dewan Pengawas dan Direksi;

Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Page 106: jurnal jaminan sosial

252

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

pendelegasian dari pasal 31.

- Tata cara pemilihan dan penetapan calon anggota penggantiantarwaktu; pendelegasian dari pasal 36 ayat (5).

- Bentuk dan isi laporan pengelolaan program; pendelegasian daripasal 37 ayat (7).

- Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagianggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi; pendelegasian daripasal 44 ayat (8).

- Daftar pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatanoperasional Kementerian Pertahanan, TNI dan POLRI dan tidakdialihkan kepada BPJS Kesehatan; pendelegasian dari pasal 57huruf c dan pasal 60 ayat (2) huruf b.

- Satu pasal mendelegasikan ke keputusan Presiden untukmenetapkan keanggotaan panitia seleksi untuk memilih danmenetapkan anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi;pendelegasian dari pasal 28 ayat (3).

- Satu pasal mendelegasikan ke Peraturan BPJS untuk mengaturpembentukan unit pengendali mutu dan penanganan pengaduanPeserta serta tatakelolanya; pendelegasian dari pasal 48 ayat (3).

Dua pasal mendelegasikan ke Peraturan Direktur untuk mengatur:

- Tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Direksi;pendelegasian dari pasal 24 ayat (4).

- Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagikaryawan BPJS; pendelegasian dari pasal 44 ayat (7).

- Satu pasal mendelegasikan ke Peraturan Dewan Pengawas untukmengatur tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DewanPengawas.

4.2 Peraturan Pelaksanaan UU SJSNSetelah hampir delapan tahun pengundangan UU SJSN pada 19

Oktober 2004, baru satu perintah pendelegasian yang dilaksanakan dari22 pasal yang memerintahkan pengaturan lanjut materi muatan UUSJSN. Perintah yang telah dilaksanakan adalah pembentukan PeraturanPresiden tentang susunan organisasi dan tatakerja Dewan JaminanSosial Nasional (DJSN). Perintah lainnya yang telah dilaksanakan adalahputusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 007/PUU-III/2005, yaitumembentuk UU BPJS.

Page 107: jurnal jaminan sosial

253

Dua puluh satu perintah pengaturan lanjut tentangpenyelenggaraan jaminan sosial dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Sembilan Peraturan Pemerintah:

- Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja

- Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua

- Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun

- Penyelenggaraan Program Jaminan Kematian

- Penerima Bantuan Iuran Jaminan Sosial

- Tata cara pengelolaan dan pengembangan dana jaminan sosial

- Cadangan Teknis

Dua Peraturan Presiden:

- Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan

- Penahapan pendaftaran peserta .

C. PenutupMencermati ruang lingkup pengaturan transformasi badan

penyelenggara jaminan sosial yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS,keberhasilan transformasi bergantung pada ketersediaan peraturanpelaksanaan yang harmonis, konsisten dan dilaksanakan secara efektif.Kemauan politik yang kuat dari Pemerintah dan komitmen pemangkukepentingan untuk melaksanakan trasnformasi setidaknya tercermindari kesungguhan menyelesaikan agenda-agenda regulasi yangterbengkalai.

Peraturan perundangan jaminan sosial yang efektif akanberdampak pada kepercayaan dan dukungan publik akan transformasibadan penyelenggara. Publik hendaknya dapat melihat dan merasakanbahwa transformasi badan penyelenggara bermanfaat bagi peningkatanefisiensi dan efektifitas penyelenggaraan SJSN, sebagai salah satu pilaruntuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Pembangunan dukunganpublik diiringi dengan sosialisasi yang intensif dan menjangkau segenaplapisan masyarakat. Sosialisasi diharapkan dapat menumbuhkankesadaran pentingnya penyelenggaraan SJSN dan penataan kembalipenyelenggaraan program jaminan sosial agar sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan sosial yang universal, sebagaimana diatur dalamKonstitusi dan UU SJSN.

Transformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Page 108: jurnal jaminan sosial

254

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial TenagaKerja.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara NasionalIndonesia.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan SosialNasional.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2010 tentang Hak-Hak AnggotaPOLRI.

Page 109: jurnal jaminan sosial

255

* Guru Besar Program Studi Doktor Ekonomika Universitas Pancasila dan Anggota Dewan JaminanSosial Nasional (DJSN) yang mewakili Ahli Jaminan Sosial.

KONSEPSI PENGAWASAN OPERASIONAL DEWAN JAMINAN SOSIALNASIONAL (DJSN) TERHADAP KEGIATAN OPERASIONAL BADAN

PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)(CONCEPTION OF OPERATING AUDIT OF NATIONAL SOCIAL

SECURITY COUNCIL TOWARD THE OPERATIONAL ACTIVITIESOF SOCIAL SECURITY ADMINISTRATIVE BODY)

Bambang Purwoko*

(Naskah diterima 21/05/2012, disetujui 23/07/2012)

AbstrakPengawasan terhadap kegiatan operasional BPJS adalah audit operasional yangditujukan untuk minimalisasi penyimpangan khususnya dalam penggunaandana. Pengawasan sebagaimana mengacu pada studi ini adalah untukmemberikan konseling, pengarahan dan pedoman bagi operasional BPJS agarmematuhi ketentuan yang berlaku. Sasaran audit finansial adalah pengawasanyang berbasis audit atas aliran kas sedangkan audit operasional difokuskanpada pemeriksaan sistem dan prosedur operasional BPJS. Metodologi dalampenelitian ini adalah metode deskriptif tentang perlunya pengawasanoperasional sesuai spesifikasi kegiatan tugas pokok BPJS sebagaimana mengacupada asas, prinsip dan tujuan penyelenggaraan SJSN berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Kesimpulan studi adalah hasil audit operasionaloleh DJSN akan memberikan informasi yang berharga kepada BPK tentangcapaian-capaian kepesertaan, koleksi iuran dan mekanisme penyelesaian klaimsesuai prosedur yang berlaku dan juga untuk melengkapi hasil akhir auditfinansial yang dilakukan Kantor Akuntan Publik (KAP).Kata-kunci: Jaminan sosial, audit finansial /operasional, badan-badan hukumdan tata pamong.

AbstractSupervision over the operational activities of BPJS is operating audit intended tominimize the improper use of funds. Supervision as referred to this study is to pro-vide counseling, directive and guidance to the operations of BPJS in order to complywith existing regulations. Target of financial audit is to examine cash flows whilstthe operational audit is to examine standard operating procedure of social securityadministrative body BPJS. The methodology in this research applies to descriptivemethod with regard to the need for operational audit in accordance with the specifiedtasks of BPJS as referred to the foundation, the principles and the objectives of theNational Social Security System SJSN based on Law No 40 of 2004. Conclusion ofthis studyis that the outcome of operational audit by the DJSN will provide valu-able information to the State Board of Auditors (BPK) regarding the achievements incoverage of members, additional contributions and claims payment based on true

Page 110: jurnal jaminan sosial

256

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

procedures and to provide some useful inputs for the completion of financial auditsas prepared by Public Auditors as well.Key-words: Social security, financial audit/operational, legal entities and goodgovernance.

A. PendahuluanPengawasan menjadi isu sentra khususnya bagi setiap badan

hukum yang melakukan kegiatan pengumpulan dana masyarakatseperti asuransi, dana pensiun dan jaminan sosial yang dapat ditengaraiadanya penyimpangan dalam penggunaan dana yang pada akhirnya akanmerugikan para pemangku kepentingan. Pengawasan akan menjadiefektif apabila ditindak-lanjuti dengan pelaksanaan pengendalianinternal sebagai salah satu sub-sistem dalam pengawasan suatuorganisasi. Pengawasan lebih ditujukan untuk memberikan konseling,pengarahan dan pembinaan terhadap pelaksana kegiatan dan bukanuntuk melakukan investigasi atau mencari kesalahan semata.Pengawasan berhasil apabila pelaksana kegiatan mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku sehingga berbagai kemungkinan penyimpangandapat dicegah atau direduksi. Untuk tindak-lanjut dalam implementasipengawasan diperlukan Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang berfungsimelakukan kegiatan pemeriksaan antara kegiatan yang direncanakandan realisasi.

Pengawasan dapat dibedakan atas pengawasan finansial (financial-auditor) dan pengawasan non-finansial atau pengawasan operasional(non-financial or operational auditor). Pengawasan finansial untukmengevaluasi kinerja Badan Hukum Publik termasuk BUMN dilakukanoleh Kantor Akuntan Publik (KAP) atas rekomendasi BPK. Pengawasanfinansial untuk mengevaluasi kinerja Kementerian dilakukan olehBadan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagaipengawas internal Pemerintah. Sasaran pengawasan finansialdifokuskan pada “financial measures of success” seperti aliran-kas untukpenyusunan laporan keuangan secara lengkap, sedangkan pengawasannon-finansial melakukan pemeriksaan pada sistem, proses dan proseduroperasi baku untuk meminimalisasi penyimpangan

Pengawasan merupakan tindak-lanjut dari “Penerapan Tata-Pamong” yang mencakup prinsip-prinsip (i) Transparansi, (ii)Akuntabilitas, (iii) Pertanggung-jawaban, (iv) Kemandirian dan (v)Kejujuran. Dalam hal ini, jelas bahwa setiap badan hukum apakah privatatau badan hukum publik menjadi obyek pengawasan oleh lembaga-

Page 111: jurnal jaminan sosial

257

lembaga negara yang berwenang seperti BPK, OJK dan DJSN. Demikianhalnya dengan Badan-badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)sebagai Badan Hukum Publik wajib diaudit, karena BPJS sebagaioperator Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi seluruh tenagakerja dan seluruh warga negara. Sebagai operator SJSN menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, BPJS melakukan tugas-tugas (i)perluasan kepesertaan perusahaan/tenaga kerja, (ii) pendataanpenduduk miskin yang akan menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI),(iii) koleksi iuran, (iv) kontrak kerjasama dengan fasilitas-fasilitaskesehatan, (v) penyelesaian klaim/pembayaran manfaat tepat waktudan (vi) penerbitan kartu peserta serta (vii) pengelolaan dana jaminansosial. Karena fungsi dan tugas-tugasnya begitu menentukan, terutamadalam pengumpulan dana publik untuk penyelenggaraan SJSN, makaBPJS menjadi obyek pengawasan. Berikut disampaikan latar belakangpembentukan DJSN dan BPJS beserta fungsi dan tugas-tugas masingmasing.

1. Latar Belakang

Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 UU SJSN, untukpenyelenggaraan SJSN dibentuk DJSN yang bertanggung-jawabkepada Presiden. DJSN memiliki 15 Anggota yang terdiri dari unsur-unsur Pemerintah, Tokoh-Ahli, Pemberi-kerja dan Serikat-pekerjayang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden RINomor 110/M/2008. DJSN dalam melaksanakan fungsi dan tugas-tugasnya dibantu oleh Sekretariat DJSN yang dibentuk denganPeraturan Presiden No 44/2008.

2. Fungsi dan Tugas Pokok

Fungsi DJSN sesuai Pasal 7 (2) UU SJSN adalah merumuskankebijakan umum tentang jaminan sosial dan melakukansinkronisasi dalam penyelenggaraan SJSN. Adapun tugas-tugasyang diemban sesuai Pasal 7 (3) mencakup 3 hal kegiatan, yaitu (i)melakukan kajian-penelitian tentang jaminan sosial, (ii)mengusulkan kebijakan investasi dana jaminan sosial dan (iii)mengusulkan anggaran jaminan kesehatan bagi penerima bantuaniuran khususnya penduduk miskin dan warga tak mampu.

3. Kewenangan-kewenangan dalam penyelenggaraan SJSN

a. Berdasarkan Pasal 7 (4) UU SJSN, DJSN berwenangmelakukan MONITORING dan EVALUASI (MONEV)penyelenggaraan program jaminan sosial yang dilaksanakanoleh BPJS-BPJS agar hasil hasil monev tersebut dapat

Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...

Page 112: jurnal jaminan sosial

258

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

digunakan sebagai salah satu masukan dalam perumusankebijakan untuk disampaikan kepada Presiden.

b Berdasarkan Pasal 39 (3) UU BPJS yang mencakup BPJSKesehatan dan BPJS Ketenaga-kerjaan, DJSN berwenangmelakukan PENGAWASAN terhadap kegiatan operasionalBPJS yang dilakukan bersama dengan Lembaga PengawasIndependen lainnya seperti BPK dan atau OJK.

4. Lingkup Bahasan, Metodologi dan Organisasi Penulisan

Lingkup bahasan adalah pengawasan-non-finansial ataupengawasan operasional (non-financial audit or operating audit).Perbedaannya dengan pengawasan finansial (financial-audit) adalahbahwa sasaran pengawasan finansial difokuskan pada cash-flowsaudit sedangkan operating audit dipusatkan pada pemeriksaansistem dan prosedur. Metodologi dalam penelitian ini adalah metodedeskriptif tentang aplikasi pengawasan operasional sesuaispesifikasi kegiatan tugas pokok BPJS yang mengacu pada asas,prinsip dan tujuan penyelenggaraan SJSN berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Adapun organisasi penulisanmeliputi 5 sesi yang dimulai dengan pendahuluan tentangpembentukan DJSN-BPJS. Sesi kedua ini menjelaskan tinjauanpustaka tentang pengawasan, sedang sesi ketiga terkait denganimplementasi SJSN dan sesi keempat menjelaskan sasaranpengawasan. Dalam sesi kelima dibahas tentang alat-alatpengawasan dan dalam sesi akhir disampaikan kesimpulan.

B. Tinjauan Pustaka tentang PengawasanSetelah memahami latar belakang, fungsi-tugas pokok dan

kewenangan DJSN yang antara lain melaksanakan monitoring-evaluasi(MONEV) serta pengawasan terhadap kegiatan operasional BPJS, di bawahini akan dikutip beberapa pengertian tentang internal-external auditsdari sumber-sumber terpercaya seperti Woods (1990) dari the Instituteof Internal Auditors (1990); kemudian esensi pengawasan dari Commit-tee of Sponsoring Organization of the Treadway (COSO), yaitu KomisiNasional di AS yang dibentuk pada tahun 1985 untuk membangunpengawasan yang terintegrasi antara financial dan operating auditsmenyusul pemahaman Pengawasan Internal dari Mercher University’sAudit Charter (2006) dan konsep pengawasan operasional (operatingaudit) dari Medical College of Ontario in Canada (2010) yang dapatdigunakan DJSN dalam melakukan pengawasan operasional terhadap

Page 113: jurnal jaminan sosial

259

BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

1. Pengertian

Pengertian pengawasan (supervision) sebagaimana dikemukakanWoods (1990) dan konsep COSO (1985), Audit Service Charter danMedical College of Ontario (2006) bervariasi, akan tetapi pengawasanyang dimaksud pada prinsipnya diperlukan berbagai persiapan/pentahapan audit dari mulai rekonsiliasi data, pemeriksaan dokumenrinci yang terkait, telaahan dokumen kebijakan, pemeriksaan sistem-prosedur dan komunikasi dengan pejabat kunci serta persiapanlingkungan audit yang baik.

Pengawasan sebagai suatu proses pemeriksaan yang terkait dengankedudukan struktur organisasi, alur pekerjaan & batasan kewenangan,interaksi eksekutif dan sistem informasi manajemen dilakukan untukmencapai tujuan akhir suatu organisasi. Audit Service Charter dariMercer University lebih menekankan pada sasaran pengawasan efektif,yang sangat tergantung dari tersedianya laporan finansial yangterpercaya, kegiatan operasional sesuai prosedur yang berlaku danadanya tingkat kepatuhan pelaksana kegiatan terhadap regulasi danstatuta.

a. Dalam melakukan pengawasan, khususnya audit operasional,diperlukan proses, sistem dan prosedur operasi baku yang dilakukanoleh Badan Hukum tertentu seperti BPK dan OJK termasuk DJSNsebagai Pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenaga-kerjaan.Tujuan utama pengawasan adalah untuk konseling, pengarahandan pembinaan tentang capaian-capaian kinerja agar sesuai visi,misi dan rencana-kerja. Prinsip pengawasan mencegahkemungkinan terjadinya penyimpangan sedangkan hasil akhirpengawasan berupa catatan-catatan tentang temuan temuan yangharus ditindak-lanjuti dengan perbaikan karena ditengarahi terjadipotensi pelanggaran UU, PP dan Statuta.

b. Pengendalian (control) adalah tindak-lanjut dari kegiatanpengawasan dalam bentuk verifikasi pemeriksaan dan uji ulangatas capaian kinerja tentang pertambahan perluasan kepesertaanuniversal oleh BPJS Kesehatan. Jika tambahan perluasankepesertaan tidak sesuai rencana kerja atau bahkan tak tercapai,maka berarti terjadi temuan yang dapat dilakukan melaluiverifikasi antara sasaran pertambahan kepesertaan dan realisasikepesertaan. Penelusuran lebih lanjut tentang pertambahankepesertaan yang tidak sesuai rencana kerja dapat

Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...

Page 114: jurnal jaminan sosial

260

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

memperlihatkan antara lain: (i) rendahnya tingkat kepatuhanpeserta terhadap UU SJSN, (ii) masalah penindakan hukum, (iii)kurangnya kordinasi kebijakan, (iv) kurangnya sosialisasi programSJSN kepada stake-holders dan (v) masalah kompetensi SDM.Karena pengendalian adalah pengawasan yang berbasisperencanaan, maka pengawas berpegang pada rencana kerja danketentuan peraturan perundangan dalam mengenali berbagaikemungkinan penyimpangan yang terjadi, baik yang mengarahpada temuan yang bersifat materil atau tidak. Jika temuan yangterjadi bersifat material, diperlukan tindak-lanjut sampai padaproses sanksi administrasi hingga sanksi hukum. Jika temuanyang terjadi tidak bersifat materil, diberikan nota rekomendasiuntuk perbaikan kinerja lebih lanjut.

2. Proses Pengawasan

Proses pengawasan melakukan pengukuran kinerja danperbandingan kinerja terhadap standar yang telah ditetapkansebelumnya, misalnya pengukuran kecepatan penyelesaian klaimjaminan terhadap standar satuan waktu yang ditetapkan lebih duludalam rencana kerja BPJS. Standarisasi diperlukan sebagai satuanukuran yang digunakan DJSN untuk mengevaluasi apakah kinerja BPJSmemadai atau tidak.

Pengawasan dilakukan secara acak mulai dari obyek pemeriksaansuatu kasus yang paling ekstrim hingga obyek pemeriksaan kasus yangpaling ringan. Sebagai contoh, pengawasan terhadap kantor pusatdilakukan secara penuh sedangkan pengawasan terhadap kantor-kantorcabang BPJS dilakukan secara acak mulai dari kantor cabang utamahingga kantor cabang pembantu yang dipilih secara proporsional. Alasanpengawasan secara acak adalah efektivitas waktu dan skedul kerjapengawas itu sendiri yang sangat padat dan waktu untuk menyusunrekapitulasi atas hasil pemeriksaan BPJS.

3. Jenis-jenis Pengawasan

Pengawasan mencakup tindakan preventif untuk minimalisasipotensi penyimpangan, kegiatan identifikasi terhadap berbagaipermasalahan dan pada akhirnya analisis terhadap sebab-sebabterjadinya penyimpangan.

a. Pengawasan awal

pengawasan awal adalah kegiatan konseling, pengarahan danpembinaan yang dilakukan oleh Pimpinan Unit Kerja ataupunPengawas kepada Pelaksana kegiatan sebelum melaksanakan

Page 115: jurnal jaminan sosial

261

kegiatan operasional. Tujuan pra-pengawasan adalah untukmengingatkan pelaksana kegiatan agar selalu mematuhiketentuan-ketentuan yang berlaku dengan berpedoman padarencana kerja sehingga kemungkinan penyimpangan dapatdicegah.

b. Pengawasan sedang berlangsung

Pengawasan ini adalah kegiatan pengawasan yang dilakukanpengawas secara acak terhadap pelaksanaan pekerjaan untukkemudian dibandingkan dengan standar-standar yang berlaku ataustatuta dan atau ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.Hasil dari analisis komparatif dilakukan untuk mengetahuiapakah terjadi peningkatan kinerja atau sebaliknya terjadipenurunan kinerja.

c. Pengawasan historikal

Pengawasan ini memberikan perhatian pada capaian-capaiankinerja masa lalu sebagai illustrasi untuk memberikan koreksiatau gambaran tentang keberhasilan kinerja di masa lalu sebagairujukan dalam meningkatkan kinerja di masa datang. Sebagaicontoh, sukses dalam reduksi kemiskinan tidak semata akibatdari pemberian jaminan kesehatan secara gratis oleh Pemerintahkepada penduduk miskin akan tetapi dapat disebabkan olehkeberhasilan dalam pemberdayaan penduduk miskin secaraekonomi.

4. Fungsi-Fungsi Pengawasan

a. Pengawasan berfungsi memberi masukan untuk perbaikankinerja lebih lanjut bagi BPJS dan bagi DJSN selaku pengawasdalam meningkatkan intensitas pemantauan terhadapkegiatan operasional BPJS.

b. Pengawasan berfungsi memberikan pembagian kewenangansecara berjenjang sesuai bidang pertanggung-jawaban yangsifatnya melekat pada jenjang jabatan yang berbeda.

c. Pengawasan berfungsi untuk melakukan pencegahan,pengarahan atas kegiatan operasional dan pemberian sanksiterhadap setiap penyimpangan prosedur atau pelanggaranstatuta.

d. Pengawasan berfungsi untuk penyelamatan aset BPJS danjuga untuk pemberdayaan dana jaminan sosial bagikepentingan peserta.

Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...

Page 116: jurnal jaminan sosial

262

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

5. Hambatan, Kegagalan dan Gangguan Pengawasan beserta solusinya

a. Adanya resistensi dari pelaksana kegiatan terhadappemeriksaan dengan cara memberikan berbagai kemudahantertentu yang biasanya tidak disadari oleh pengawas sepertimengajak golf dan sebagainya. Karena itu, pengawas tidakdiperkenankan untuk bekerja secara sendirian atau tinggaldi hotel sendirian guna mencegah kunjungan yang takdikehendaki.

b. Karena acuan regulasi yang begitu ketat dan karenakekhawatiran para pelaksana kegiatan akan keberhasilansuatu capaian rencana kerja, maka sering kali terjadipemalsuan dokumen. Untuk itu diperlukan on the spot inspec-tion atau wawancara dengan peserta dan atau dengankaryawan tertentu tanpa diketahui oleh pelaksana kegiatan.

c. Karena ketakutan yang berlebihan dari para pelaksanakegiatan, maka sering dilakukan penghilangan dokumenatau barang bukti lain agar proses pemeriksanaan terhentiuntuk sementara waktu.

Hasil akhir dari pengawasan adalah temuan-temuan yang meliputi(i) penyimpangan prosedur operasi standar (POS), (ii) pelanggaran statuta/regulasi dan (iii) penyalah-gunaan wewenang. Penyimpangan POS padadasarnya masih dapat diperbaiki, sedangkan pelanggaran statuta/regulasi dapat berupa sanksi, dan penyalah-gunaan wewenang dapatmengarah pada masalah pidana. Untuk mendapatkan hasil akhir daripengawasan diperlukan alat-alat pengawasan untuk melakukanfinancial dan operating audits. Di bawah ini akan diuraikan alat-alatpengawasan yang dapat digunakan DJSN untuk melakukannon-financial audit terhadap kegiatan operasional BPJS Kesehatan danBPJS Ketenaga-kerjaan.

C. Implementasi SJSN dan Kegiatan Operasionalisasi BPJSSebelum merumuskan alat-alat pengawasan yang akan digunakan

DJSN dalam pembinaan kegiatan operasional BPJS, maka terlebih duluakan dibahas pemahaman SJSN sebagai suatu program jaminan sosialyang memiliki 3 asas, 9 prinsip dan 5 program yang perlu dijadikanpedoman pengawasan manakala terjadi penyimpangan dalamimplementasi dan operasionalisasi oleh BPJS. Pemahaman tentangSJSN berdasarkan Pasal 1 (2) UU Nomor 40 Tahun 2004 adalah tata carapenyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS sebagai badan hukum

Page 117: jurnal jaminan sosial

263

publik yang dibentuk dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 Pasal 7 (1).

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 UU SJSN, SJSNdiselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat danasas kedialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabilapenyelenggaraan SJSN tidak berbasis pada ketiga asas tersebut, makaterjadi pelanggaran terhadap UU SJSN. Kelalaian dalam meliput dan ataumelayani jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, termasuk wargatak mampu, pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap asaskemanusiaan. Kemudian, asas manfaat jaminan sosial yang didesainharus memberikan manfaat yang berarti bagi peserta, paling tidakmemberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar bagi pesertatermasuk layanan kesehatan secara komprehensif, sedangkan asaskeadilan dalam penyelenggaraan SJSN berlaku untuk seluruh lapisanmasyarakat baik kaya, menengah atau miskin agar tercipta prinsipkegotong-royongan.

Prinsip-prinsip SJSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:

1. Kegotong-royongan

2. Nirlaba

3. Keterbukaan

4. Kehati-hatian

5. Akuntabilitas

6. Portabilitas

7. Kepesertaan yang bersifat wajib

8. Dana amanat dan

9. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial untuk peserta

Potensi-potensi pelanggaran terhadap sembilan (9) prinsip SJSNmencakup (i) penyimpangan dalam implementasi program; (ii) penyalah-gunaan prinsip nirlaba; (iii) keterbatasan akses informasi; (iv) ketidak-hati-hatian dalam investasi; (v) ketidak-akuratan dalam pengelolaankeuangan; (vi) terhentinya layanan kesehatan yang berkelanjutan; (vii)kepesertaan yang masih bersifat eksklusif; (viii) kelalaian dalampengelolaan dana amanah dan (ix) ketidak-sesuaian dalam pengembalianhasil investasi kepada peserta. Direksi BPJS kesehatan maupun DireksiBPJS Ketenagakerjaan diamanatkan untuk melaksanakan sembilanprinsip SJSN. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip SJSN dapatdikenakan sanksi hukum. Karena itu, dalam penyelenggaraan SJSN

Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...

Page 118: jurnal jaminan sosial

264

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

oleh BPJS-BPJS diperlukan DJSN sebagai pengawas berdasarkan Pasal39 (3) UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Sudah barang tentu,peranan DJSN dalam pengawasan adalah non-financial auditor atauoperating auditor sebagai mitra kerja BPK atau OJK yang berperansebagai financial auditor. Kedua auditor yang berbeda tersebut padaprinsipnya akan memberikan temuan audit yang saling melengkapi.

Alat-alat pengawasan yang digunakan baik dalam financial auditmaupun operating audit hanya berbeda dalam penekanan audit (lihatTabel 1). Penekanan financial audit tertuju pada rasio rasio finansialsedangkan operating audit dipusatkan pada pemeriksaan standar operasibaku, proses dan supervisi suatu kegiatan operasional. Pengawasanfinansial berlaku juga pada BPJS untuk melengkapi ukuran kinerjafinansial. Berikut disampaikan perbedaan dalam penggunaan alat-alatpengawasan antara financial audit dan operating audit dalampenyelenggaraan SJSN.

Tabel 1 Alat-alat Pengawasan yang digunakan dalam PenyelenggaraanSJSN

Tabel 1 memaparkan perbedaan penggunaan alat-alat pengawasanantara financial audit dan operating audit. Audit finansial difokuskanpada analisis laporan keuangan sehingga alat-alat pengawasan yangdigunakan mencakup rasio profitabilitas, yaitu rasio kemampu-labaanyang mencakup Return on Investment (ROI) dan Return on Equity (ROE)dengan ekspektasi bahwa capaian ROI ditetapkan paling tidak 10%sedang ROE paling tidak 30%. Capaian ROI ditetapkan paling tidak 10%dalam artian lebih besar dari suku bunga deposito sebesar 5,5%.Kemudian Rasio Solvabilitas, yaitu rasio antara total aset dan liabilitiatau rasio antara investasi dan akumulasi dana jangka panjang plus

Pertambahan perluasan kepesertaan

Mekanisme koleksi iuran

Desain manfaat / paket manfaat

Prosedur penyelesaian klaim jaminan

Ketentuan investasi dana jaminan sosial

No Financial Audit dilakukan oleh

BPK atau OJKOperating Audit dilakukan oleh

DJSN

Rasio profitabilitas

Rasio solvabilitas

Rasio kecukupan dana

Rasio produktivitas kerja

Pembiayaan berbasis kegiatan

1

2

3

4

5

Page 119: jurnal jaminan sosial

265

cadangan teknis untuk mengukur sampai seberapa besar kemampuanBPJS dalam memenuhi kewajiban jangka panjang yang harus dicapaidi atas 100%. Rasio kecukupan dana dalam hal ini mengacu pada riskbased capital ratio (RBC) atau rasio modal berbasis risiko, yaitu aset yangdiperkenankan (investasi) terhadap cadangan teknis dengan ketentuanlebih besar dari 100%. Rasio produktivitas kerja, yaitu rasio antarapenyelesaian klaim dan jumlah klaim yang dilaporkan dan faktor-faktorlain yang tak dapat dijelaskan dalam perumusan ini dengan tingkatcapaian di atas 100%. Pembiayaan berbasis kegiatan adalah refleksibahwa setiap kegiatan BPJS memiliki konsekuensi finansial yang harusmenghasilkan nilai tambah.

Kemudian alat-alat pengawasan untuk operating audit ditujukanuntuk identifikasi masalah yang terkait dengan kegiatan operasionalBPJS sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1 meliputi pertambahankepesertaan antara lain pertambahan perusahaan/badan hukum,pertambahan tenaga-kerja dan pertambahan partisipasi masyarakat atauperorangan. Ukuran kinerja BPJS adalah bahwa dalam perluasankepesertaan tidak lagi ditemukan adanya perusahaan yangmendaftarkan hanya sebagian tenaga kerjanya ataupun sebagian gaji/upah. Mekanisme koleksi iuran dilakukan melalui perbankan yangditunjuk BPJS dimana peserta perusahaan membayar iuran SJSN untuktenaga-kerja secara tepat waktu untuk keperluan pengelolaan danajaminan sosial. Ukuran sukses dalam penyimpanan iuran adalah tidakditemukan adanya tunggakan iuran kecuali perusahaan peserta SJSNdinyatakan pailit oleh ketentuan perundangan yang berlaku. Desainmanfaat SJSN bersifat komprehensif dan paling tidak memenuhikebutuhan dasar sebagai pengganti penghasilan yang hilang karenamencapai usia pensiun atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).Prosedur penyelesaian klaim dengan pemenuhan kelengkapan dokumensebagai persyaratan untuk mendapatkan klaim SJSN diharapkan tidaklebih dari 1 (satu) hari dan bahkan kalau bisa dalam hitungan jam. Untukpengelolaan investasi dana jaminan sosial biasanya berlaku kebijakanyang konservatif yang mengacu pada faktor-faktor likiditas dansolvabilitas.

D. Sasaran Pengawasan Non-FinansialSebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1, perbedaan antara finan-

cial audit dan operating audit sangat jelas, yaitu DJSN berperan sebagaioperating auditor. Untuk memperlancar tugas-tugas DJSN baik dalam

Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...

Page 120: jurnal jaminan sosial

266

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

melakukan MONEV sesuai Pasal 7 (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentangSJSN maupun melaksanakan pengawasan terhadap kegiatanoperasional BPJS sesuai Pasal 39 (3) UU Nomor 24 Tahun 2011 jelasdiperlukan bantuan tenaga spesialis seperti akuntan, dokter danpharmasi. Selain itu, juga dapat dilakukan pelatihan bagi StafSekretariat DJSN yang ada sekarang untuk operating audit.

Dalam kegiatan operasional BPJS, seperti halnya dalampenyelenggaraan program-program Askes dan Jamsostek, tidak tertutupkemungkinan ditemukan adanya penyimpangan. Potensi penyimpangandalam operasionalisasi program jaminan sosial tak dapat dihindarkandan dapat diperkecil melalui pembinaan rutin oleh kepala unit kerjadan pengawasan yang melekat pada setiap kepala unit kerja. Potensi-potensi penyimpangan dan atau penyalah-gunaan wewenang secaraempirik dalam penyelenggaraan program-program jaminan sosial baikyang terjadi secara external maupun internal adalah sebagai berikut:

1. Penyimpangan dalam perluasan atau pertambahan sebagai berikut:

a. Pertambahan kepesertaan badan-hukum termasuk badan-badan usaha menengah seperti toko, restoran, outlet, usahapraktek dokter bersama, jasa hukum, jasa pengiriman tenagakerja, jasa pendidikan dan bengkel masih belum mencapaisasaran sebagaimana mestinya khususnya dalampenyelenggaraan program Jamsostek yang bersifat wajibsesuai UU No 3/1992, karena belum efektifnya penindakanhukum.

b. Pertambahan kepesertaan tenaga-kerja yang bekerja padabadan-badan hukum termasuk badan usaha menengah keatas masih belum mencapai sasaran sebagaimana mestinya,karena masih adanya perusahaan baru atau perusahaan yangterdaftar hanya mendaftarkan sebagian pekerjanya termasukmelaporkan sebagian penghasilan tenaga kerja.

2. Mekanisme penghimpunan iuran dilakukan melalui transferpembayaran iuran oleh perusahaan ke bank yang telah ditunjuk.Bagi perusahaan-perusahaan peserta yang melakukan pembayaraniuran secara teratur atau secara berkala tertentu tidak akan terjadipenyimpangan. Sebaliknya perusahaan-perusahaan peserta yangtidak tertib administrasi kepesertaannya termasuk menunggakiuran dapat terjadi penyalah-gunaan wewenang yang dilakukan olehpetugas-petugas lapangan (account officers) di kantor-kantor cabangkhususnya pada perusahaan-perusahaan yang menjadi binaan

Page 121: jurnal jaminan sosial

267

petugas yang bersangkutan.

3. Desain manfaat atau paket manfaat khususnya dalam layanankesehatan masih belum bersifat komprehensif, dalam artianmembatasi atau tidak menanggung penyakit-penyakit yangberisiko tinggi termasuk pembatasan obat-obat tertentu sehinggaterjadi out of pocket (OOP), yaitu pengeluaran ekstra oleh pesertabaik dalam rawat jalan maupun rawat inap. Masalah OOP terkaitdengan rendahnya biaya kapitasi dan fee for service untuk rujukanlayanan kesehatan spesialis. Dalam tagihan biaya rawat inap ataurujukan khusus untuk perawatan medis sering terjadi moralhazard yang dilakukan oleh rumah sakit, sehingga diperlukanverifikasi pengeluaran medis oleh para dokter sebagai pegawai BPJSguna meminimalisasi moral hazard.

4. Dalam prosedur penyelesaian klaim/pembayaran jaminandiperlukan dokumen-dokumen asli seperti kartu peserta, suratketerangan pemutusan hubungan kerja dan surat keterangandokter tentang kecelakaan kerja dan tentang kematian sebagaisalah satu persyaratan untuk mendapatkan klaim jaminankecelakaan kerja atau jaminan kematian. Dalam praktek seringterjadi pemalsuan dokumen-dokumen di atas yang pada umumnyadilakukan oleh perusahaan atau kelompok tertentu. Kemungkinanterjadi pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh BPJS dalam artiantidak menyelesaikan klaim dengan tepat waktu atau klaim telahselesai diproses tapi sengaja tidak diberitahukan kepada pesertayang mengalami musibah.

5. Penyimpangan/penyalah-gunaan wewenang sebagaimanadikemukakan dalam angka-angka 1-4 merupakan penyimpanganoperasional sehingga perlu dilakukan operational audit untukmemperkecil penyimpangan. Di samping (kemungkinan)penyimpanan operasional, ada juga penyimpangan finansial atauinvestasi yang biasanya terjadi pada penempatan dana jaminansosial pada sekuritas yang berisiko melebihi batas toleransisebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tentangInvestasi Dana Jaminan Sosial (PP Nomor 22 Tahun 2004).

Dengan demikian, sasaran operating audit yang akan dilakukanDJSN difokuskan pada pemeriksaan proses kepesertaan, penghimpunaniuran dan mekanisme penyelesaian klaim, dan verifikasi untuk klaimobat dari faskes kepada BPJS. Untuk menopang operating audit yangakan dilakukan DJSN diperlukan perekrutan atau kontrak profesi

Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...

Page 122: jurnal jaminan sosial

268

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

akuntan guna melaksanakan tugas financial audit dan kontrak profesidokter dan ahli hukum serta aktuaris untuk melaksanakan operationalaudit. Para auditor bertindak tersebut sebagai pembantu Anggota DJSNyang difasilitasi Sekretariat DJSN dalam baik dalam melakukanoperational audit maupun penyampaian hasil audit untuk disahkan olehAnggota DJSN.

E. Alat-alat Pengawasan yang digunakanAlat-alat pengawasan sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1 masih

perlu dikembangkan dalam pelaksanaan pengawasan yang efektifterhadap kegiatan operasional BPJS (lihat Tabel 2 dan 3). Pengawasanperlu ditindak-lanjuti dengan pengendalian, yaitu teknik penelusuranbaik terhadap kegiatan operasional BPJS di masa lalu maupunoperasional sedang berjalan dengan tujuan untuk mengenali sampaiseberapa besar adanya penyimpangan operasional. Terjadinyapenyimpangan operasional boleh jadi disebabkan oleh adanya kegagalansistem atau perubahan perilaku dari pelaksana kegiatan. Secara umum,alat-alat pengawasan yang digunakan oleh DJSN melakukan kontrolmeliputi (i) manajemen pengecualian, (ii) analisis ekonomi ketenaga-kerjaan, (iii) analisis kepesertaan dan (iv) rencana kerja BPJS. Adapunperangkat peraturan perundang-undangan yang digunakan DJSN untukmengawasi kegiatan operasional BPJS sebagai “Operating Auditor”mencakup (i) UU No 40/2004 tentang SJSN, UU No 24/2011 tentangBPJS, (ii) Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden, (iii) PeraturanMenteri terkait, (iv) Pedoman Kerja BPJS dan (v) Rencana Kerja danAnggaran (RKA) BPJS. Dalam Tabel 2 dipaparkan sasaran-sasaran untukaudit operasional DJSN terhadap BPJS.

Tabel 2 Audit Operasional yang berbasis Sasaran oleh DJSN

No Sasaran Audit Rincian Audit

Ketenaga-kerjaan

Kepesertaan SJSN

1

2

Kinerja sesuai rencana

Angkatan kerja,

kesempatan kerja dan

komposisi pekerja

-Badan hukum

-Tenaga-kerja

-Orang perorangan

Apakah sesuai dengan

perencanaa jaminansosial

Tidak sesuai rencana

Sesuai rencana

Page 123: jurnal jaminan sosial

269

Tabel 2 memaparkan tentang sasaran audit yang meliputi analisisketenagakerjaan, kepesertaan jaminan sosial, penerima bantuan iuran,penghimpunan iuran sebagai suatu proses, penyelesaian klaim sertakualitas manfaat. Dalam analisis ketenaga-kerjaan terdapatperencanaan jaminan sosial (social security planning) sebagai pilar keduadari perencanaan ketenaga-kerjaan dan investasi sebagai pilar utama.

Social security planning pada dasarnya merupakan perluasankepesertaan yang berbasis pada pertambahan angkatan kerja, dimanaBPJS akan menyusun perencanaan perluasan kepesertaan sebagaiindikator untuk menilai kinerja BPJS (Purwoko, 2011:104). Pertambahanangkatan kerja diharapkan berdampak terhadap pertambahankepesertaan jaminan sosial. Jika tidak, maka dapat dilihat apakahrencana kerja BPJS dalam perluasan kesempatan kerja telahmemperhatikan analisis ketenagakerjaan sebagai salah satu sasaranaudit. Pertambahan angkatan kerja yang terkait dengan kesempatankerja dapat dibedakan atas kesempatan kerja di sektor formal dankesempatan kerja di sektor informal. Kesempatan kerja di sektorformal dengan sendirinya akan menambah kepesertaan jaminan sosialyang dapat dilihat dari seberapa besar potensi jumlah badan hukum,jumlah tenaga kerja dan perorangan yang belum diliput dalamkepesertaan jaminan sosial. Pertambahan kepesertaan berdampakterhadap pertambahan iuran dengan harapan terjadi proses koleksi iuranyang berkesinambungan. Proses koleksi iuran yang tepat waktu menjadipenting guna membiayai manfaat jaminan sosial yang jatuh tempo (payas you go) dan juga untuk pengembangan pengelolaan dana jaminansosial.

Sebaliknya angkatan kerja yang tak terserap di sektor formalmenunjukkan bahwa daya serap kesempatan kerja di sektor formalmasih sangat rendah. Dengan demikian pekerja sektor informal akan

Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...

Penerima bantuan iuran

Koleksi iuran

Penyelesaian klaim

Kualitas manfaat

3

4

5

6

-Rumah tangga miskin

-Warga tak mampu

Lama koleksi

Lama penyelesaian

-Manfaat tunai

-Layanan kesehatan

Tepat sasaran atau tidak

Idem

Makin cepat makin baik

Idem

Makin bermanfaat

Keluhan berkurang

Page 124: jurnal jaminan sosial

270

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

mengalami tantangan tersendiri dalam memperoleh hak jaminan sosial,karena walaupun jaminan sosial adalah hak seluruh warga negara,namun masalah pekerjaan yang tidak stabil dapat menimbulkangangguan dalam pembayaran iuran. Karena itu diperlukan bantuan iuranbagi penduduk miskin dan warga tak mampu sesuai Pasal 17 (4) dan (5)UN SJSN. Penyelesaian klaim dapat dilakukan dengan hitungan menitatau jam khusus untuk proses penarikan JHT yang jatuh tempo danjaminan kematian bila dokumen yang diperlukan lengkap dan juga dapatdiselesaikan dalam hitungan minggu khususnya untuk jaminankecelakaan kerja. Indikator kualitas manfaat dapat dilihat dari komplainpeserta, khususnya untuk manfaat layanan kesehatan.

Setelah mendalami tentang audit operasional yang berbasissasaran seperti dipaparkan dalam Tabel 2, dalam Tabel 3 dijelaskan auditoperasional yang berbasis pada program-program SJSN. Rincian auditdalam program JK mencakup layanan diagnosa dokter umum/spesialis,layanan rawat jalan dan inap, serta berapa besarnya biaya kapitasi sertafrekuensi kunjungan pasien ke fasilitas-fasilitas kesehatan. Audit padaJKK diawali dengan mengenali ada tidaknya kelengkapan K3, karenakelengkapan K3 yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku dapatmenimbulkan potensi kecelakaan kerja. Telaah berikutnya dalam JKKterkait dengan kelengkapan dokumen seperti surat keterangan dokter/polisi dalam hal terjadi peristiwa kecelakaan kerja baik di tempat kerjamaupun menuju tempat kerja. Audit operasional terhadap program JHTlebih ditekankan pada kekuatan internal BPJS itu sendiri untukmelakukan proses amalgamasi, yaitu koneksitas dari perpindahanpekerja peserta SJSN dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Selainitu, juga kinerja BPJS dapat dilihat dari rekonsiliasi data apakahdilakukan per minggu atau per bulan dan untuk JHT paling tidakdilakukan rekonsiliasi per minggu. Penerbitan pernyataan saldo/danajaminan hari tua (PS/DJHT) yang selama ini diberikan kepada pesertasetahun sekali dapat ditingkatkan paling tidak per semesteran agarpeserta dapat mengetahui akun yang sebenarnya, khususnya dampakterhadap mutasi upah. Kemudian, dalam administrasi kepesertaan,khususnya untuk program JP, diperlukan kesiapan administrasi datakeluarga peserta, surat keterangan pensiun dari perusahaan dan prosespembayaran pensiun melalui bank guna menghindari antrian panjangdi BPJS. Audit operasional yang terakhir tertuju pada proses penyelesaianprogram JKm, yaitu kesiapan BPJS dalam hal kesiapan administrasipendataan ahli waris dan surat kematian yang dinyatakan sah,khususnya dari rumah sakit atau pejabat setempat yang berwenang,

Page 125: jurnal jaminan sosial

271

sebagai syarat untuk memastikan pembayaran manfaat tunai jaminankematian kepada ahli waris yang benar dan sah.

Tabel 3 Audit Operasional yang berbasis Program oleh DJSN

Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...

-Layanan relatif baik

-Dominan rawat jalan

-Standar / beragam

-Sedang / kerap

-Tidak lengkap

-Tidak tersedia

-Tidak lengkap

-Terganggu

-Belum on-line

-Mingguan / Bulanan

-Per semester / tahun

-Pemalsuan

-Tepat waktu

-Masih dalam proses

-Ada

-Diminati sebagian

-Sebagian besar

-Sebagian tak berlaku

No Program Audit Rincian Audit

Jaminan Kesehatan

Jaminan Kecelakaan

Kerja

Jaminan Hari Tua

Jaminan Pensiun

1

2

3

4

Hasil Pengawasan

-Diagnosa dokter u/s

-Rawat jalan / inap

-Biaya kapitasi / FFS

-Frekuensi kunjungan

-Kelengkapan K3

-Kenyamanan Kerja

-Surat Dokter/Polisi

-Penyelesaian klaim

-Proses amalgamasi

-Rekonsiliasi iuran

-Penerbitan PS/D-JHT

-Surat ket PHK < 55

-Pembayaran JHT

-Kesiapan administrasi

data keluarga peserta

-Surat keterangan

pensiun normal

-Prosedur pembayaran

pensiun melalui bank

-Pembayaran pensiun

secara berkala

-Validitas penerima

Page 126: jurnal jaminan sosial

272

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

F. PenutupHasil akhir dari pengawasan adalah perbaikan kinerja untuk

capaian di masa datang dan informasi terkini tentang capaian kinerjadengan minimalisasi penyimpangan. Pokok-pokok pengawasan yangsesuai UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011 dalampenyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional.

1. Pengawasan adalah tindakan sistematis yang dilakukan oleh unitkerja khusus seperti SPI dan atau Badan Hukum tertentu sepertiDJSN sebagai Pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenaga-kerjaan. Tujuan utama pengawasan adalah untuk konseling,pembinaan dan pengarahan kepada BPJS tentang apakah capaian-capaian kinerja telah sesuai visi, misi dan rencana-kerja. Prinsippengawasan mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangansedangkan hasil akhir pengawasan berupa catatan-catatan tentangtemuan-temuan ringan dan berat yang terkait dengan pelanggaranUU, PP dan Perpres serta penyimpangan finansial.

2. Pengendalian adalah kegiatan pengawasan dalam bentukpemeriksaan, verifikasi dan uji ulang atas capaian kinerja tentangpertambahan perluasan kepesertaan. Penelusuran lebih lanjuttentang capaian kepesertaan yang tidak sesuai rencana kerja dapatterjadi karena berbagai sebab. Karena pengendalian adalahpengawasan yang berbasis perencanaan, maka pengawasberpegang pada rencana kerja dan ketentuan peraturanperundangan dalam mengenali berbagai kemungkinanpenyimpangan yang terjadi, yaitu apakah mengarah pada temuanyang bersifat materil atau tidak. Jika temuan yang terjadi bersifatmaterial, diperlukan tindak-lanjut sampai pada proses sanksiadministrasi hingga sanksi hukum. Jika temuan yang terjadi tidakbersifat materil, diberikan nota rekomendasi untuk perbaikankinerja lebih lanjut.

3. Alat-alat pengawasan yang digunakan baik dalam financial auditmaupun operating audit hanya berbeda dalam penekanan audit.

Jaminan Kematian5

manfaat pensiun

-Kesiapan administrasi

untuk ahli waris

-Surat kematian sah

-Masih dalam proses

-Ada

Page 127: jurnal jaminan sosial

273

Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial (DJSN) ...

Penekanan finansial audit tertuju pada rasio-rasio finansialsedangkan operating audit dipusatkan pada pemeriksaan standaroperasi baku, proses dan supervisi dari suatu kegiatan operasional.Pengawasan finansial pada BPJS dilakukan untuk melengkapiukuran kinerja finansial.

4. Sasaran operating audit yang akan dilakukan DJSN difokuskanpada pemeriksaan proses kepesertaan, penghimpunan iuran danmekanisme penyelesaian klaim serta verifikasi untuk klaim obatdari faskes kepada BPJS. Untuk menopang operating audit yangdilakukan DJSN diperlukan perekrutan atau bantuan tenagaakuntan dari BPK guna melaksanakan tugas financial audit,kemudian kontrak-kerja dengan profesi dokter, ahli hukum danaktuaris untuk melaksanakan operational audit.

5. Alat-alat pengawasan untuk DJSN melakukan kontrol meliputi (i)manajemen pengecualian, (ii) analisis ekonomi ketenaga-kerjaan,(iii) analisis kepesertaan dan (iv) rencana kerja BPJS. Selain itu,diperlukan perangkat peraturan perundangan-undangan yangmemadai untuk DJSN agar lebih leluasa dalam mengawasi kegiatanoperasional BPJS sebagai “Operating Auditor”.

Page 128: jurnal jaminan sosial

274

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan SosialNasional (SJSN).

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial (BPJS).

Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2008 tentang KesekretariatanDJSN.

Keputusan Presiden Nomor 110/M/2008 tentang Keanggotaan DJSN.

(2001), “Committee of Sponsoring Organization of the Treadway (COSO)as formed in 1985 to sponsor the National Commission onIntegrated Control in US.

(2006), “Procedure of Internal Control”, Mercer University’s AuditService Charter, Atlanta, USA.

(2010), “Operating Audit”, Medical College of Ontario in Canada.

Hansen, Don, R and Maryanne M. Mowen, (2000), “Cost Management:Accounting and Control”, Thompson Learning Asia Singapore1899969.

Purwoko, Bambang, (2011), “Sistem Proteksi Sosial dalam DimensiEkonomi”, ISBN 978-979-1380-08-9, Penerbit Oxford GraventaIndonesia-Jakarta.

Woods, Gae-Lynn, (1990), “How to prepara for an external audit”, theInstitute for Internal Auditors By Gae-Lynn Woods, eHowContributor-USA.

Page 129: jurnal jaminan sosial

275

* Pegawai Direktorat Harmonisasi Peraturan perundang-undangan Direktorat Jenderal PeraturanPerundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI.

ORGANISASI JAMINAN SOSIALDI NEGARA FEDERAL REPUBLIK JERMAN: SUATU PERBANDINGAN

(SOCIAL SECURITY ORGANIZATIONIN FEDERAL REPUBLIC OF GERMANY: A COMPARATIVE STUDY)

Nurfaqih Irfani*

(Naskah diterima 01/06/2012, disetujui 23/07/2012)

AbstrakUU SJSN, yang menandai lahirnya era baru sistem jaminan sosial nasional,memiliki beberapa kemiripan dengan pengaturan sistem jaminan sosial yangdikembangkan di Negara Federal Republik Jerman, misalnya beberapa kemiripanterkait dengan prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial, skemapembiayaan yang bersumber utama dari kontribusi peserta, serta cabangasuransi sosial yang menjadi pilar utama jaminan sosial. Sehubungan denganhal tersebut, di tengah momentum pembentukan BPJS, menarik untukmembandingkan pola pembentukan BPJS sebagaimana diatur dalam UUNo. 24 Tahun 2011 dengan pola pengembangan organisasi jaminan sosial yangdipraktikkan di Jerman. Di sisi lain, pembentukan UU BPJS sebagaipelaksanaan ketentuan UU SJSN harus sejalan dengan arah pengaturanorganisasi jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN. Tulisanini akan memberikan gambaran umum mengenai organisasi jaminan sosial diJerman sebagai suatu kajian perbandingan serta analisis kebijakanpembentukan BPJS dikaitkan dengan grand design dan arah pengaturanorganisasi jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN.Kata kunci: era baru, jaminan sosial.

AbstractNational Social Security Act which has brought Indonesia to a new era of socialsecurity system has some fundamental similarities with social security systemdeveloped in the Federal Republic of Germany, for example, similarities related to thebasic principles, financing scheme from contribution, and similarity on social insur-ance programs as the main pillar of social security system. In this regard, it is quiteinteresting to compare the policy development in forming BPJS as stipulated in LawNo. 24 Year 2011 with the policy in developing social security organization inGermany. The formation of BPJS as the implementation of National Social Security Actmust be also in line with the grand design and general directions on social securityorganization reform, as mandated in the National Social Security Act. This article willprovide an overview of social security organization in Germany as a comparative study

Page 130: jurnal jaminan sosial

276

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

and analysis on policy development in forming BPJS related to the grand design andgeneral directions of social security organization reform as mandated in NationalSocial Security Act.Keyword: new era, social security.

A. PendahuluanSistem jaminan sosial di Negara Federal Republik Jerman

merupakan salah satu sistem jaminan sosial tertua yang menjadiinspirasi dan model bagi pengembangan sistem jaminan sosial negaralain di dunia. Sistem tersebut didasarkan pada konsep asuransi sosialyang dikembangkan oleh Otto von Bismarck (Bismarck Model) yangmenekankan pembiayaan asuransi dari kontribusi peserta berupa premiasuransi. Sistem lain yang lazim dijadikan pembanding adalah BeveridgeSystem yang dikembangkan oleh William Beveridge dari Inggris yangmenekankan pembiayaan asuransi dari penerimaan perpajakan(general taxation).

Indonesia merupakan salah satu negara yang dalam pengembangansistem jaminan sosialnya banyak belajar dari pengetahuan danpengalaman penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang dikembangkandi Jerman. Kehadiran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentangSistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang membawa Indonesiapada pintu gerbang reformasi jaminan sosial nasional, tidak dapatdilepaskan dari dukungan dan peran aktif Pemerintah Jerman melaluikerjasama teknis bilateral antara Pemerintah Republik Indonesia denganPemerintah Federal Republik Jerman yang dalam pelaksanannyadifasilitasi oleh GTZ (Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit/the German Technical Cooperation) dan InWEnt.1 Melalui kerjasamatersebut, Pemerintah Jerman banyak memberikan kontribusi baikberupa asistensi teknis seperti analisis penentuan kebijakan,penyediaan tenaga ahli, referensi, dan akses informasi, maupunkontribusi yang berupa dukungan finansial. Di samping itu, PemerintahJerman juga aktif memberikan dukungan peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pelatihan “International Leadership Training on

1 Sejak 1 Januari 2012, GTZ bersama dengan dua organisasi kerja sama internasional lainnya yaituInWEnt dan DED bergabung menjadi satu organisasi kerja sama internasional dengan nama GIZ (DeutscheGesellschaft für Internationale Zusammenarbeit/German Agency for International Cooperation). Saatini GIZ merupakan organisasi terbesar di Jerman yang bertugas mempromosikan dan memfaslitasikerjasama internasional Pemerintah Jerman dengan negara lain.

Page 131: jurnal jaminan sosial

277

Social Security” yang diselenggarakan di Jerman dalam rangkamempelajari secara langsung dan lebih mendalam implementasi sistemjaminan sosial di Jerman.

Menentukan Jerman sebagai salah satu referensi utama dalampengembangan sistem jaminan sosial nasional memiliki alasan yangcukup kuat mengingat saat ini Jerman diakui sebagai salah satu negarayang paling berhasil dalam menyediakan jaminan sosial bagi seluruhwarga negaranya. Sistem jaminan sosial di Jerman dikenal dengankualitas layanan (services) dan manfaat (benefit) yang tinggi serta tingkatcakupan (coverage) yang hampir menyeluruh, yaitu mencapai 90% daritotal jumlah penduduk.2 Beberapa hal yang dapat menggambarkanpengaruh Jerman dalam pengembangan sistem jaminan sosial diIndonesia antara lain sebagai berikut:

1. Prinsip penyelenggaraan jaminan sosial nasional dalam UU SJSNmemiliki kemiripan dengan prinsip penyelenggaraan jaminansosial yang diterapkan di Jerman.

2. Sumber utama pembiayaan sistem jaminan sosial nasionalsebagaimana diatur dalam UU SJSN bersumber dari kontribusipeserta dan bukan dari penerimaan perpajakan (general taxation).Skema pembiayaan tersebut merupakan karakter utama sistemasuransi sosial yang dikembangkan oleh Kanselir Otto vonBismarck (Bismarck Model) dan menjadi ciri khas sistem jaminansosial di Jerman.

3. Sistem jaminan sosial dalam UU SJSN terdiri atas beberapa pro-gram jaminan sosial yang hampir sama dengan cabang asuransisosial yang menjadi pilar utama sistem jaminan sosial di Jerman.

B. Prinsip dan Pilar Utama Sistem Jaminan Sosial di JermanSistem jaminan sosial di Jerman mulai dikembangkan pada masa

Pemerintahan Kaisar Wilhelm I (1871-1888) dan banyak dipengaruhioleh pemikiran kanselir Otto von Bismarck, yang merupakan salah satutokoh pencetus negara kesejahteraan (welfare state) dalam perjuanganpenyatuan Jerman pada abad ke-19. Berdasarkan inisiatif Kanselir Ottovon Bismarck, Kaisar Wilhelm I menerbitkan Imperial Decree 17 Novem-ber 1881, yang secara resmi menandakan peluncuran sistem asuransi

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

2 http://www.deutsche-sozialversicherung.de/en/guide/pillars.html.

Page 132: jurnal jaminan sosial

278

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

pertama yaitu system of accident and illness insurance for workers sebagaicikal-bakal pengembangan sistem jaminan sosial di Jerman. Dalamperkembangan selanjutnya, Bismarck memperkenalkan beberapaasuransi sosial lainnya, yaitu asuransi kesehatan (statutory healthinsurance) pada 1883, asuransi kecelakaan (statutory accident insurance)pada 1884, dan sejak 1889 para pekerja untuk pertama kalinya dapatmengasuransikan diri terhadap konsekuensi yang timbul dari usia tuadan keadaan cacat.

Pada tahun 1911 pengaturan beberapa cabang asuransi sosialtersebut dikonsolidasikan dalam sebuah undang-undang tentangasuransi sosial, yaitu Reichsversicherungsordnung (RVO).3 Kemudian padatahun berikutnya, cakupan sistem asuransi sosial diperluas, yaitudengan menciptakan asuransi sosial bagi pekerja kantoran (white-collaremployees) pada 1912 dan asuransi bagi pengangguran yang mulaidiberlakukan pada tahun 1927. Cabang terbaru asuransi sosial di Jermanadalah asuransi perawatan jangka panjang (statutory long-term careinsurance) yang mulai diperkenalkan secara bertahap pada tahun 1994.

Penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Jerman merupakansalah satu upaya menuju negara kesejahteraan (welfare state)sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (Grundgesetz).Prinsip negara kesejahteraan yang juga merupakan salah satu atributnegara hukum (Rechtsstaat)4, menentukan bahwa negara wajibmenyelenggarakan sistem jaminan sosial (social security) sebagai bentuktanggung jawab untuk mengamankan dan mensejahterakan kehidupanwarganya. Falsafah utama penyelenggaraan sistem jaminan sosial diJerman adalah menjaga standar hidup orang tertanggung (insured people)dan kedudukan sosialnya dalam masyarakat dalam hal terjadi situasiyang mengancam mata pencahariannya dan kondisi keuangannya. Haltersebut diwujudkan melalui penyelenggaraan asuransi sosial yangberlandaskan pada prinsip antara lain sebagai berikut.5

3 Nigel Foster dan Satish Sule, German Legal System and Laws, Cet. 4., Oxford University Press,2010, hlm. 311.4 Christian Starck, “Constitutional Interpretation”, artikel dalam Studies in German Constitutionalism:The German Contribution to the Fourth World Congress of the International Association of ConstitutionalLaw, cet. 1, Baden-Baden: Nomos Publishing, 1995, hlm. 67.5 http://www.deutsche-sozialversicherung.de/en/guide/basic_principles.html.

Page 133: jurnal jaminan sosial

279

1. The Principle of Compulsory InsuranceBerdasarkan Prinsip ini, pada dasarnya seluruh warga negara

diwajibkan menjadi peserta asuransi sosial (statutory social insurance).Namun demikian, bagi warga negara yang telah memenuhi syarattertentu, diberikan kebebasan untuk memilih menjadi peserta asuransiswasta (private insurance) atau secara sukarela menjadi peserta asuransisosial (voluntary social insurance). Meskipun pengecualian ini dalampraktiknya menimbulkan keberatan, khususnya bagi golongan yangdiwajibkan untuk tunduk pada sistem asuransi sosial, sistem asuransisosial yang demikian telah diterima secara luas sebagai inti daripenyelenggaraan jaminan sosial di Jerman. Hampir 90% penduduk telahberhasil tercakup dalam sistem asuransi sosial yang diselenggarakanoleh negara baik yang bersifat wajib (statutory social insurance) maupunsukarela (voluntary social insurance).

2. The Principle of Financing through Contributions/SharedFinancingPrinsip ini menentukan bahwa skema pembiayaan asuransi sosial

bersumber utama dari kontribusi yang dibayar oleh pekerja (employees)dan pemberi kerja (employers). Besarnya kontribusi pada umumnyaditetapkan dengan Undang-Undang Pemerintahan Federal Jerman(asuransi pensiun, kesehatan, perawatan jangka panjang, danpengangguran) dan dapat pula ditentukan oleh organisasi asuransi sosialsendiri (asuransi kecelakaan).

3. The Principle of SolidarityPrinsip solidaritas mengandung makna bahwa risiko ditanggung

secara kolektif oleh komunitas peserta asuransi (members) dan orangtertanggung (insured people). Tanpa membedakan besar kontribusi yangdiberikan oleh masing-masing peserta ke dalam sistem asuransi, semuapeserta memiliki akses yang sama atas layanan komprehensif danmanfaat (benefit) yang disediakan oleh sistem asuransi. Pendekatanberbasis solidaritas ini ditujukan untuk menciptakan keseimbanganantara yang sehat dan sakit, yang berpenghasilan tinggi dan rendah,serta antara keluarga dan individu.

4. The Principle of Self-GovernmentBerdasarkan prinsip ini, pelaksanaan kegiatan operasional

asuransi sosial bukan merupakan lingkup tugas dan wewenang lembaganegara melainkan dilakukan oleh organisasi asuransi sosial yang

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

Page 134: jurnal jaminan sosial

280

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

mandiri dan tidak berstatus sebagai badan atau lembaga negara. Negaramendelegasikan tugas dan tanggung jawab pelaksanaan sistem asuransisosial kepada organisasi asuransi sosial yang bukan lembaga Negara,yang dikenal dengan the principle of subsidiarity. Organisasi asuransisosial tersebut adalah korporasi yang dalam menyelenggarakankegiatannya tunduk pada ketentuan hukum publik, yaitu hukumjaminan sosial (social security law). Korporasi tersebut secara penuhbertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mengeloladana asuransi sosial dan dalam pelaksanaannya berada dalampengawasan hukum Negara. Organisasi jaminan sosial bersifat mandiribaik dari segi kelembagaan maupun finansial. Pembayar kontribusi yangterdiri atas pekerja dan pemberi kerja berpartisipasi secara langsungdalam organisasi asuransi sosial melalui mekanisme pemilihan umum(sozialwahl) untuk menentukan perwakilan yang duduk dalam organisasitersebut.

5. The Principle of EquivalencePrinsip ini hanya berlaku untuk asuransi pensiun untuk

menggambarkan hubungan antara jumlah kontribusi yang sudahdibayarkan dan manfaat yang akan diterima oleh orang tertanggung.Berdasarkan prinsip ini, jumlah benefit yang akan diterima oleh setiaporang tidak sama, melainkan didasarkan pada pada jumlah kontribusiyang telah dibayarkan oleh tertanggung.

Sistem asuransi sosial yang diwajibkan berdasarkan undang-undang (statutory social insurance/die gesetzliche Sozialversicherung)memegang peran utama dalam penyelenggaraan jaminan sosial diJerman. Asuransi swasta (private insurance) tetap diberikan ruang untukmenyediakan layanan asuransi yang sama, namun undang-undangmenentukan bahwa hanya orang tertentu saja yang diberikan hakuntuk dapat memilih menjadi peserta asuransi swasta tersebut, yaitu:pekerja (employees) atau pensiunan (pensioners) yang pendapatan pertahunnya di atas batas yang telah ditentukan, wiraswasta (self-employed),pegawai negeri (Staatsbeamte), atau orang yang sudah terdaftar sebagaiperserta asuransi sosial namun menginginkan layanan dan manfaat(benefit) tambahan. Apabila mereka memilih untuk menjadi pesertaasuransi sosial (voluntary social insurance) maka pengaturannya tundukpada rezim hukum publik, yaitu Undang-Undang Jaminan Sosial (SocialSecurity Code/Sozialgesetzbuch (SGB)) dan peraturan perundang-undanganterkait lainnya. Sebaliknya, apabila mereka memilih menjadi pesertaasuransi swasta maka pengaturannya tunduk pada rezim hukum perdata

Page 135: jurnal jaminan sosial

281

berdasarkan kontrak asuransi yang disepakati kedua belah pihak.Pendapatan minimum per tahun seseorang untuk dapat diberikankebebasan untuk memilih asuransi swasta adalah sebesar 49.950 € danangka tersebut disesuaikan setiap tahunnya oleh Pemerintah Federalberdasarkan mekanisme yang diatur dalam SGB.6

Berdasarkan solidaritas komunitas orang tertanggung (insuredpeople), sistem asuransi sosial memberikan perlindungan finansial yangefektif terhadap risiko kehidupan yang utama (major life risks) danakibatnya. Asuransi sosial menjamin standar kehidupan yang stabil bagisetiap individu melalui lima cabang asuransi yang menjadi pilar utamapenyelenggaraan sistem jaminan sosial di Jerman, yaitu: 1) asuransikesehatan (statutory health insurance/die gesetzliche Krankenversicherung);2) asuransi pensiun (statutory pension insurance/die gesetzlicheRentenversicherung); 3) asuransi pengangguran (statutory unemploymentinsurance/die gesetzliche Arbeitslosen-versicherung); 4) asuransikecelakaan (statutory accident insurance/die gesetzliche Unfallversicherung);dan 5) asuransi perawatan jangka panjang (Statutory long-term care insur-ance/die gesetzliche Pflegeversicherung). Selain lima cabang asuransitersebut, sistem jaminan sosial di Jerman dalam arti yang luasmencakup pula apa yang disebut dengan social compensation dan socialwelfare. Salah satu elemen dalam social welfare benefit adalahpemenuhan kebutuhan dasar warga negara, yaitu kebutuhan dasar yangdiperlukan oleh seseorang untuk hidup secara layak (basic living ex-penses/Lebensunterhalt), yang di dalamnya mencakup juga kebutuhandasar sosial dan budaya, misalnya kebutuhan untuk menikmati hiburanseperti menonton film.7 Skema sistem jaminan sosial (social security) diJerman dalam pengertian yang luas dapat dijelaskan dengan tabelsebagai berikut:

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

6 Monika Karn, Ibid.7 Gerhard Robbers, an Introduction to German Law, Cet. 1., (Baden-Baden: Nomos, 1998), hlm. 123.

Page 136: jurnal jaminan sosial

282

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Sumber: Monika Karn, Introduction, Fundamentals and HistoricalDevelopment of Social Security Systems, 2010.

Dilihat dari aspek penggolongan hukum, hukum jaminan sosialtermasuk dalam kategori hukum publik karena mengatur hubunganantara negara dan warga negara. Hukum jaminan sosial merupakansalah satu jenis hukum administrasi negara yang bersifat khusus(special administrative law/besonderes Verwaltungsrecht) di samping jenishukum administrasi negara khusus lainnya seperti hukum lingkungan,hukum pajak (Steuer), hukum lalu lintas (Strassenverkehrsrecht), hukumbangunan (Baurecht), dan hukum perlindungan data (Datenschutz).8

Sistem hukum jaminan sosial di Jerman meliputi berbagai perangkataturan yang kompleks dan tersebar dalam berbagai instrumen hukum.Dalam rangka menciptakan sistem hukum jaminan sosial yangharmonis, pada tahun 1971 Pemerintahan Jerman memutuskan untuk

8 Nigel Foster, Op. Cit., hlm.309.

SOCIAL INSURANCE SOCIAL COMPENSATION

- Statutory Pension

Insurance

- Statutory Health

Insurance

- Statutory

Unemployment

Insurance

- Statutory Long-term

Insurance

- Statutory Accident

Insurance

SOCIAL WELFARE

e.g.

- Assistance to war/

mil.s. victims

- Assistance to victims

of crime

- Assistance to political

prisoners in the

German Democratic

Republic (GDR) System

- Severely disabled

persons

- Victims of violence

e.g.

- Basic income support for

Job Seekers

- Social assistance benefits

- Housing allowance

- Child welfare

- Allowance for disabled

persons

SOCIAL SECURITY SYSTEM

Page 137: jurnal jaminan sosial

283

melakukan kodifikasi hukum jaminan sosial yang pelaksanaannyadimulai pada tahun 1975. Kodifikasi ditujukan untuk menyatukansekaligus menyempurnakan pengaturan sistem jaminan sosial diJerman dalam satu Kitab Undang-Undang Jaminan Sosial yang dikenaldengan Social Security Code atau Sozialgesetzbuch (SGB) yang terdiri dari13 (tiga belas) Buku.

SGB diposisikan sebagai sumber hukum utama sistem jaminansosial yang mengatur secara lengkap dan terperinci setiap aspekpenyelenggaraan sistem jaminan sosial, yang mencakup antara lain:prinsip dasar, pilar utama jaminan sosial; tugas dan wewenangpemerintah; hak dan kewajiban organisasi jaminan sosial, peserta,orang tertanggung, dan stake holders lainnya; kelembagaan dan hubungankerja antar lembaga; pembiayaan; besaran dan mekanisme penentuankontribusi asuransi sosial; layanan dan manfaat bagi perserta danorang tertanggung, administrasi kepesertaan; sanksi; dan pengaturankegiatan operasional setiap cabang asuransi sosial yang ada. Proseskodifikasi SGB masih terus berlangsung dan sejauh ini telah berhasildisusun 12 Buku yang sebagian besar menyempurnakan danmenginkorporasikan ketentuan hukum jaminan sosial yang tersebardalam berbagai undang-undang seperti: Reich Insurance Code(Reichsversicherungsordnung-RVO), Federal Social Welfare Acts(Bundessozial-hilfegesetz-BSHG), The Promotion of Employment Acts(Arbeitsforderungsgesetz-AFG), dan Employees Insurance Act(Angestelltenversicherungsgesetz-AVG). Buku XIII akan diisi dengan materimuatan yang terkait dengan pelayanan jaminan sosial dalam lingkupUni Eropa.9

C. Organisasi Jaminan Sosial di Negara Federal Republik JermanPada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa organisasi

jaminan sosial di Jerman melaksanakan tugasnya berdasarkan prinsippengaturan sendiri (the principle of self-government) dan prinsipsubsidiaritas (the principle of subsidiarity). Organisasi tersebut berbentukkorporasi yang bersifat independen (self-governing corporations) yangtunduk pada hukum publik, yaitu hukum jaminan sosial sebagaimanatertuang dalam SGB. Korporasi tersebut dibentuk sesuai dengan wilayahkerja masing-masing di tingkat negara bagian dan representasi merekadi tingkat federal diwujudkan dalam bentuk asosiasi.

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

9 Ibid., hlm. 311.

Page 138: jurnal jaminan sosial

284

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Tugas dan fungsi organisasi jaminan nasional ditetapkan dalamUndang-Undang dan dalam melaksanakan kegiatannya, organisasijaminan sosial berada dalam supervisi Pemerintah Negara Federal.Kementerian Federal yang berwenang dalam hal ini adalah:

1. Kementerian Kesehatan (the Federal Ministry of Health/Bundesministerium für Gesundheit) yang bertugas memastikankemampuan kinerja dan pengembangan berkelanjutanpenyelenggaraan asuransi kesehatan dan asuransi perawatanjangka panjang; dan

2. Kementerian Tenaga Kerja dan Urusan Sosial (the Federal Ministryof Labour and Social Affairs/Bundesministerium für Arbeit und Soziales)yang bertugas untuk memastikan kemampuan kinerja danpengembangan berkelanjutan asuransi di bidang pensiun,kecelakaan kerja, dan pengangguran.

Sistem jaminan sosial di Jerman tidak dilaksanakan oleh satuorganisasi tunggal melainkan oleh banyak korporasi sesuai denganbidang asuransinya masing-masing. Berikut akan dikemukakan secarasepintas organisasi yang menangani masing-masing cabang asuransisosial yang menjadi pilar utama sistem jaminan sosial di Jerman.

C.1. Organisasi Asuransi KesehatanAsuransi kesehatan di Jerman dilaksanakan setidaknya oleh 6

(enam) macam organisasi. Organisasi tersebut berdomisili danmelakukan kegiatan operasionalnya pada tingkat negara bagian.Sedangkan pada tingkat federal, masing-masing organisasi tersebutdirepresentasikan dalam berbagai asosiasi tersendiri. Enam macamorganisasi asuransi kesehatan tersebut adalah:

1. General local health insurance funds atau AOK yang merupakanorganisasi asuransi kesehatan terbesar di Jerman. Asosiasi yangmewadahi AOK pada tingkat federal adalah the Federal Associationof Local Health Insurance Funds atau AOK-Bundesverband;

2. Alternative health insurance funds, yaitu organisasi asuransikesehatan alternatif seperti Barmer dan TK (TechnikerKrankenkasse), yang pada tingkat federal diwadahi dengan theFederation of Alternative Health Insurance Funds (Verband derErsatzkassen - VDEK);

3. The Sickness Fund for Miners and Seamen (Knappschaft), yaituasuransi bagi pekerja di sektor pertambangan dan pelaut serta theMaritime Health Insurance Fund (See-Krankenkasse), yang sejak

Page 139: jurnal jaminan sosial

285

1 Januari 2008 bergabung menjadi The Sickness Fund for Minersand Seamen (Knappschaft);

4. Company health insurance funds, yang pada tingkat federal diwadahioleh asosiasi the Federal Association of Company Health InsuranceFunds (BKK Bundesverband;

5. Guild health insurance funds, pada tingkat federal diwadahi denganthe Federal Association of Guild Health Insurance Funds(IKK-Bundesverband); dan

6. Agricultural health insurance funds, pada tingkat federal diwadahidalam the Central Agricultural Social Insurance Fund (LSV -Spitzenverband der landwirtschaftlichen Sozialversicherung).

Jumlah perusahaan asuransi kesehatan di Jerman pada tahun1970-an tercatat mencapai 1815 perusahaan dimana 399 perusahaandi antaranya adalah AOK. Jumlah tersebut semakin berkurang seiringdengan kebijakan efisiensi dan efektifitas kelembagaan asuransikesehatan. Pada 2010, perusahaan asuransi kesehatan hanyaberjumlah 160 perusahaan dimana 13 di antaranya adalah AOK yangwilayah kerjanya tersebar meliputi 16 negara bagian.10 Dari sekianbanyak organisasi asuransi kesehatan di Jerman, AOK adalah organisasiyang terbesar dengan jumlah tertanggung (insured people) paling banyak.Sampai dengan Januari 2011, dari jumlah keseluruhan peserta(members) asuransi kesehatan di Jerman sebanyak 51.235.860 orang,peserta asuransi kesehatan AOK mencapai 17.499.660. Sedangkanjumlah tertanggung secara keseluruhan mencapai 23.728.633 daritotal jumlah keseluruhan tertanggung di Jerman sebanyak 70.010.369.11

Organisasi asuransi kesehatan melaksanakan kegiatannyaberdasarkan prinsip self-government atau lazim disebut dengan isitilah“self-administering corporations under public law”. Ini berarti bahwaorganisasi asuransi kesehatan dalam menjalankan tugasnya berada dibawah pengawasan Pemerintah Federal, namun organisasi tersebutsecara kelembagaan dan finansial bersifat mandiri (independent). Prinsipself-administration dalam kelembagaan asuransi kesehatan padaumumnya direpresentasikan oleh dua organ utama, yaitu Administra-tive Council dan Executive Board. Perwakilan yang duduk di Administrative

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

10 Monika Karn, Introduction, Fundamentals and Historical Development of Social Security Systems(Social Insurance - Health Insurance), 2010.11 Ibid.

Page 140: jurnal jaminan sosial

286

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Council dipilih oleh seluruh tertanggung (insured people) dan pemberikerja (employers). Administrative Councils bertugas antara lain: menyusunrencana anggaran organisasi, menyusun ketentuan mengenai tarifkontribusi, serta memilih dan mengawasi executive board. Pemilihananggota Administrative Council dilaksanakan secara demokratis melaluipemilihan umum yang lazim disebut dengan social election atausozialwahl. Pemilihan umum ini dilaksanakan enam tahun sekalidengan berpegang pada prinsip bebas dan rahasia. Para tertanggung(insured people) dan pemberi kerja (employers) secara terpisah memilihwakil mereka masing-masing dari daftar nama yang sudahdirekomendasikan yang akan menjadi wakil kelompok mereka,berdasarkan prinsip perwakilan proporsional. Anggota executive boarddipilih oleh administrative council dan bertugas melaksanakan kegiatanbisnis organisasi sehari-hari. Skema self-administering corporation dalamorganisasi asuransi kesehatan di Jerman dapat dilihat dari gambarsebagai berikut:

Sumber: Monika Karn, Introduction, Fundamentals and Historical Development

of Social Security Systems, 2010.

Berbagai asosiasi organisasi asuransi kesehatan sebagaimanadikemukakan di atas, diwadahi lagi oleh satu asosiasi yang lebih besar,yaitu “The National Association of Statutory Health Insurance Funds (GKV-Spitzenverband)”. GKV-Spitzenverband mengambil peran sentral dalamsistem asuransi kesehatan Jerman sejak 1 Juli 2008, dengan menjaditempat bertemu, pusat lobi, dan pengambilan keputusan bagi berbagaiasosiasi organisasi asuransi kesehatan di tingkat federal. GKV-Spitzenverband mengambil alih kewenangan yang sebelumnyadilaksanakan oleh tujuh asosiasi asuransi kesehatan yang ada dalamrangka meningkatkan koordinasi, kebersamaan, dan pendekatan yangseragam dalam menentukan kebijakan asuransi kesehatan.

Page 141: jurnal jaminan sosial

287

Organisasi lain yang memiliki peran penting dalam sistem asuransikesehatan di Jerman adalah the Federal Joint Committee (GemeinsamerBundesausschuss/G-BA) yang bertindak selaku penentu kebijakan danpengambil keputusan bagi seluruh organisasi kesehatan yang ada diJerman. Anggota G-BA, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 91 SGB V,berjumlah 13 orang yang komposisinya terdiri dari perwakilan semuastake holder yang tercakup dalam sistem asuransi kesehatan, yaitu:Federal Association of Statutory Health Insurance Funds (GKV-Spitzenverband), German Hospital Federation (DKG), National Associationof Statutory Health Insurance Physicians (KBV), dan National Association ofStatutory Health Insurance Dentists (KBVZ).12 G-BA juga dikenal sebagai“little legislator” karena G-BA berwenang mengeluarkan peraturanpelaksanaan atas undang-undang pemerintahan federal. Dalammelaksanakan kewenangan tersebut, G-BA tunduk pada supervisiKementerian Kesehatan dan hanya apabila tidak ada keberatan dariKementerian Kesehatan, peraturan pelaksanaan yang disusun olehG-BA dapat disahkan menjadi peraturan yang mengikat umum.13 Secaraumum, skema organisasi asuransi kesehatan di Jerman dan hubungankerjanya dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:

Sumber: Monika Karn, Introduction, Fundamentals and Historical Development ofSocial Security Systems, 2010.

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

12 http://www.english.g-ba.de/structure/13 http://www.english.g-ba.de/legalduties/

Page 142: jurnal jaminan sosial

288

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

C.2. Organisasi Asuransi PensiunSama halnya dengan organisasi asuransi kesehatan, organisasi

asuransi pensiun merupakan korporasi (self-governing corporation) yangtunduk pada hukum publik sebagaimana diatur dalam Buku VI SGBtentang Asuransi Pensiun (Gesetzliche Rentenversicherung). Pada1 Oktober 2005, dilakukan reformasi besar-besaran terhadap organisasiasuransi pensiun di Jerman dan sejak saat itu semua perusahaanasuransi pensiun melaksanakan kegiatannya di bawah satu namaorganisasi yaitu: German Pension Insurance/Deutsche Rentenversicherung(DRV). DRV merupakan gabungan (merger) dari beberapa organisasiasuransi pensiun yang ada sebelumnya, yaitu:

1. the Federal Insurance Institution for Salaried Employees(Bundesversicherungsanstalt für Angestellte/BfA);

2. dua puluh dua (22) Kantor Wilayah (Regional Insurance Offices/Landesversicherungsanstalten-LVA) yang tersebar di negara bagian;

3. the Federal Miners’ Insurance Institution;4. the Railways Insurance Office and the Mariners’ Insurance Fund; dan

5. the Federation of German Pension Insurance Institutes (VerbandDeutscher Rentenversicherungsträger/VDR).

Reformasi organisasi asuransi pensiun dilakukan dalam rangkameningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan asuransipensiun dan menciptakan organisasi yang lebih kuat dan terpadu dalamkerangka sistem asuransi sosial. Di samping itu, pelaksanaan reformasiorganisasi juga akan mengurangi biaya operasional organisasi (admin-istrative costs), memudahkan penyeragaman kualitas layanan danmanfaat yang karena faktor historis cenderung dibedakan antara white-collar workers (Angestellte) dan blue-collar workers (Arbeiter), sertameningkatkan koordinasi dan tata kerja organisasi asuransi baik padatingkat federal maupun negara bagian.14 Organisasi di tingkat federaladalah Deutsche Rentenversicherung Bund dan pada tingkat negara bagianterdapat cabang asuransi pensiun (insurance agencies) yang wilayahkerjanya dibagi secara proporsional berdasarkan wilayah negara bagian.

14 Sylvia Dünn, Organizational Reform of the Statutory Pension Insurance in Germany, EuropeanRegional Meeting of International Social Security Association, “Social security reforms Empowering theAdministrators” Vilnius, 17 - 19 May 2006.

Page 143: jurnal jaminan sosial

289

DRV Bund sebagaimana ditentukan dalam SGB, memiliki peran ganda,yaitu sebagai penyedia jasa asuransi sosial bagi peserta layaknya agenasuransi (insurance agency) pada umumnya, sekaligus berkedudukansebagai organisasi induk (umbrella organization) yang menjalankan fungsirepresentasi organisasi pensiun di tingkat federal dan melaksanakantugas pokok lain yang bersifat lintas sektoral.

Operasional organisasi asuransi pensiun didasari oleh prinsip selfgovernment/self administration yang merupakan ciri utama dari setiaporganisasi asuransi sosial di Jerman. Dalam prinsip ini terkandungbeberapa esensi atau hal pokok organisasi asuransi pensiun, yaitu:organisasi asuransi pensiun adalah korporasi yang tunduk pada hukumpublik; tertanggung (insured people) dan pemberi kerja (employers)terorganisasi dalam satu badan yang dipilih secara demokratisberdasarkan partisipasi yang sama (equal participation); tugas-tugas yangdiamanatkan secara hukum merupakan otoritas penuh organisasi(legal autonomy); dan keuangan organisasi bersifat otonom atau terpisahdari keuangan negara.

Gambaran umum mengenai organisasi asuransi pensiun di Jermansebelum dan sesudah reformasi dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

Page 144: jurnal jaminan sosial

290

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Sumber: Sylvia Dunn et.al., SGB IV- Kommentar, Beck Muenchen, 2008.

C.3. Organisasi Cabang Asuransi Sosial LainnyaDi samping organisasi asuransi kesehatan dan asuransi pensiun

sebagaimana telah dikemukakan di atas, cabang asuransi sosial lainnya,yaitu asuransi pengangguran (statutory unemployment insurance/diegesetzliche Arbeitslosen-versicherung) dan asuransi kecelakaan (statutoryaccident insurance/die gesetzliche Unfallversicherung) juga dilaksanakanoleh organisasi tersendiri yang secara khusus menangani cabangasuransi tersebut. Organisasi asuransi pengangguran adalahBundesagantur fur Arbeit (BA). Sama halnya dengan organisasi asuransisosial kesehatan dan pensiun, BA merupakan korporasi yang tundukpada hukum publik yang dalam menjalankan kegiatannya berdasarkanpada prinsip self-government. Kantor pusat BA terletak di Nurembergdengan 10 direktorat regional, 178 kantor perwakilan, dan 610 kantorcabang.15

Asuransi kecelakaan diselenggarakan juga oleh berbagai organisasiyang secara khusus menangani cabang asuransi tersebut. Secara umumdikenal dua macam organisasi asuransi kecelakaan, yaitu organisasiasuransi kecelakaan yang dibentuk bagi pekerja pada sektor industriatau sektor privat lainnya yang dikenal dengan sebutanBerufsgenossenschaft (BG) dan organisasi asuransi kecelakaan yangdibentuk bagi pekerja di bidang pelayanan publik (Unfallversicherungsträgerder Öffentlichen Hand), seperti petugas pemadam kebakaran, angkutanumum, dan perkeretaapian. Pada tingkat federal, organisasi asuransi

15 http://www.deutsche-sozialversicherung.de/de/arbeitslosenversicherung/.html.

Page 145: jurnal jaminan sosial

291

kecelakaan diwadahi dalam satu asosiasi yang disebut German SocialAccident Insurance atau Deutsche Gesetzliche UnfallversicherungSpitzenverband (DGUV). DGUV terletak di Berlin dan memiliki kantorperwakilan di Sankt Augustin (dekat Bonn) dan Munich.16

Satu-satunya cabang asuransi sosial yang tidak dijalankan secarakhusus oleh suatu organisasi tersendiri adalah asuransi perawatanjangka panjang (Statutory long-term care insurance/die gesetzlichePflegeversicherung). Asuransi ini dilaksanakan di bawah payung danaasuransi kesehatan karena pengelolaan asuransi perawatan jangkapanjang memiliki keterkaitan dengan asuransi kesehatan. Pengelolaanasuransi perawatan jangka panjang berafiliasi dengan organisasiasuransi kesehatan sehingga organisasi yang menjalankan fungsiasuransi perawatan jangka panjang adalah organisasi asuransikesehatan yang juga menyediakan layanan asuransi perawatan jangkapanjang.

D. Catatan Kecil atas Pembentukan Badan Penyelenggara JaminanSosial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa terdapat

beberapa kesamaan prinsipiil antara sistem jaminan sosial nasionalsebagaimana diatur dalam UU SJSN dengan sistem jaminan sosial yangdikembangkan oleh Negara Federal Republik Jerman. Sehubungandengan hal tersebut, di tengah momentum lahirnya UU No. 24 Tahun2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) sebagaipelaksanaan ketentuan UU SJSN, menarik untuk membandingkan polapembentukan organisasi jaminan sosial sebagaimana diatur dalam UUBPJS dengan pola pengembangan organisasi jaminan sosial yangditerapkan di Jerman.

Pendekatan yang digunakan dalam kebijakan pengembanganorganisasi jaminan sosial di Jerman lebih menekankan pada spesialisasitugas dan fungsi organisasi yang fokus pada pengelolaan satu cabangasuransi sosial tertentu sehingga masing-masing cabang asuransi sosialdikelola oleh organisasi yang secara khusus dibentuk untukmenyelenggarakan cabang asuransi tersebut. Dari lima cabang asuransisosial yang menjadi pilar utama sistem jaminan sosial di Jerman, hanya

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

16 http://www.dguv.de/content/about/index.jsp

Page 146: jurnal jaminan sosial

292

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

ada satu yang tidak dikelola oleh organisasi tersendiri, yaitu asuransiperawatan jangka panjang (Statutory long-term care insurance/diegesetzliche Pflegeversicherung). Hal ini disebabkan karena layananasuransi perawatan jangka panjang berkaitan erat dengan layananasuransi kesehatan sehingga operasional kegiatan dan pengelolaanfinansialnya dapat dikelola oleh satu organisasi, yaitu organisasiasuransi kesehatan seperti AOK atau Barmer.

Pembentukan organisasi jaminan sosial dalam UU BPJS memilikiarah kebijakan yang berbeda dengan pola pembentukan organisasijaminan sosial yang dikembangkan di Jerman. Dalam UU BPJSdinyatakan bahwa lima program jaminan sosial sebagaimana diaturdalam UU SJSN diselenggarakan oleh dua BPJS yaitu: 1) BPJS Kesehatanyang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan; dan 2) BPJSKetenagakerjaan yang menyelenggarakan program Jaminan KecelakaanKerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian.Dengan demikian, apabila Jerman lebih menekankan pada spesialisasitugas dan fungsi organisasi yang fokus pada pengelolaan satu cabangasuransi sosial tertentu, pembentukan BPJS dilakukan denganmenggabungkan pengelolaan beberapa program jaminan sosial dalamsatu organisasi, sebagaimana yang terjadi pada BPJS Ketenagakerjaan.

Memang tidak dapat disangkal bahwa adanya perbedaan historis,sistem ketatanegaraan dan administrasi pemerintahan, sistemkeuangan dan kemampuan pembiayaan, serta faktor sosial-budayamengakibatkan pola pembentukan organisasi jaminan sosial di Jermandan di Indonesia tidak dapat disamakan. Namun demikian, jika dilihatdari perspektif penguatan fungsi kelembagaan, Jerman berada padasituasi yang lebih kondusif, rasional, dan realistis. Secara empiris,spesialisasi tugas dan fungsi organisasi pada cabang asuransi tertentumenjadi salah satu faktor pendukung dalam mewujudkanprofesionalisme, peningkatan layanan (services) dan pemberian manfaat(benefit), serta pencapaian tingkat cakupan (coverage) yang tinggi,sehingga saat ini Jerman diakui sebagai salah satu negara yang palingberhasil dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Oleh sebab itu, polapengembangan organisasi asuransi sosial di Jerman walaupun tidakdapat diterapkan secara utuh, pada dasarnya mengandung prinsip dasardan arah pengaturan yang dapat dipetik sebagai pelajaran berharga dalammenentukan kebijakan pengembangan organisasi jaminan sosial diIndonesia.

Page 147: jurnal jaminan sosial

293

Dalam berbagai diskusi tentang organisasi jaminan sosial,berkembang pula pendapat yang menyatakan bahwa pembentukan badantunggal (single payer) atau penyelenggaraan administrasi yang terpusat(central administration) cenderung dijadikan sebagai trend kebijakanpembentukan organisasi jaminan sosial modern yang sejalan dengantujuan efisiensi kelembagaan. Kebijakan demikian sebenarnyacenderung dipraktikan oleh beberapa negara yang sistem asuransisosialnya menganut konsep Beveridge Model.17 Sedangkan di negara yangmenganut Bismarck Model seperti Jerman, upaya menuju efisiensikelembagaan tidak dilakukan dengan menggabungkan pengelolaanbeberapa cabang asuransi sosial ke dalam satu organisasi, melainkandengan menggabungkan beberapa organisasi yang melaksanakan cabangasuransi yang sama sebagaimana yang dipraktikkan terhadap AOK danDRV.

UU BPJS pada dasarnya dibentuk dalam rangka melaksanakan UUSJSN sehingga politik hukum dan arah kebijakan pembentukan BPJSharus sejalan dengan kebijakan reformasi organisasi jaminan sosialsebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN. Penentuan arah kebijakanpembentukan BPJS harus mengacu pada grand design organisasi yangtelah disepakati bersama serta berorientasi pada penguatan fungsi danpeningkatan kinerja organisasi dalam melaksanakan program jaminansosial sebagaimana telah ditentukan dalam UU SJSN. Pasal 5 UU SJSN,meskipun telah dibatalkan sebagian dengan Putusan MahkamahKonstitusi (MK) terhadap perkara Nomor 007/PUUIII/2005, pada dasarnyamencerminkan kehendak pembentuk UU SJSN yang cenderung inginmempertahankan eksistensi organisasi asuransi sosial yang sudah adadan menetapkan organisasi tersebut, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes,PT. Taspen, dan PT Asabri, sebagai badan penyelenggara jaminan sosialyang sah menurut UU SJSN. Hal tersebut diperkuat lagi dengan adanyaketentuan peralihan sebagaimana tercantum dalam Pasal 52 UU SJSNyang membuka jalan bagi empat organisasi tersebut untuk melakukantransformasi kelembagaan guna menyesuaikan diri dengan prinsipjaminan sosial sebagaimana ditentukan dalam UU SJSN.

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

17 N. Lameire, P. Joffe, dan M. Wiedemann, Healthcare systems — an international review: an overview,Nephrol Dial Transplant, Vol. 14 , 1999, hlm. 1.

Page 148: jurnal jaminan sosial

294

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

MK pun dalam salah satu pertimbangannya menyatakan bahwa:Pasal 5 ayat (1) UU SJSN yang berbunyi “Badan Penyelenggara JaminanSosial harus dibentuk dengan undang-undang” tidak bertentangandengan UUD 1945 asalkan ditafsirkan bahwa yang dimaksud olehketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara jaminansosial tingkat nasional yang berada di Pusat. Kaedah hukum menetapkanbahwa setelah empat badan penyelenggara yang ada menyesuaikanPeraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sesuai dengan UU SJSN,maka empat badan tersebut sah menjadi BPJS menurut UU SJSN. Tafsirahli hukum ini telah dikonfirmasi oleh Ketua MK dan hakim konstitusiyang menyatakan “Undang-Undang baru diperlukan jika akan dibentukBPJS yang baru”, sedangkan empat BPJS yang sudah ada sudah dibentukdengan UU SJSN dan apabila ke-empatnya telah menyesuaikan diridengan aturan UU SJSN.18

Pada fase awal penyusunan RUU BPJS, Pemerintah pun telahmenentukan arah pengaturan pembentukan BPJS yang diselaraskandengan UU SJSN, antara lain:19

1. Mentranformasikan badan penyelenggara yang ada sekarang yaituPT. Jamsostek, PT. Taspen, PT. Asabri dan PT. Askes menjadi BPJSmenurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2004. Untuk itu, pengaturandalam RUU BPJS diarahkan untuk:

a. menegaskan pembentukan BPJS Jamsostek, Taspen, Asabri,dan Askes dengan UU ini; dan

b. menetapkan status BPJS sebagai badan hukum yang bersifatnirlaba untuk menyelenggarakan jaminan sosial dalammemenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.

2. Mengatur kembali pilar-pilar jaminan sosial yang diselenggarakanmasing-masing BPJS sebagai berikut:

a. BPJS Jamsostek menyelenggarakan program JaminanKecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kematianuntuk seluruh kelompok rakyat;

18 Hasbullah Thabrany, Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan Indonesia dalam SJSN, makalahdisampaikan pada Diskusi RPJMN Bappenas 29 April 2008, Jakarta, hlm. 19.19 Kumpulan Naskah Pembentukan Peraturan Pelaksanaan UU SJSN, Rancangan Undang-Undang TentangBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) Pembahasan I-IV 2007-2008, kerja sama KementerianKoordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia dengan GTZ-GVG SHI Support.

Page 149: jurnal jaminan sosial

295

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

b. BPJS Taspen menyelenggarakan program Jaminan Pensiunseluruh kelompok rakyat;

c. BPJS Askes menyelenggarakan program Jaminan Kesehatanseluruh kelompok rakyat; dan

d. BPJS Asabri menyelenggarakan program Jaminan KecelakaanKerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan JaminanKematian untuk TNI/Polri, Janda/Duda TNI/Polri.

3. Membangun kembali struktur organisasi BPJS yang ramping dankaya fungsi, serta standar operasional dan prosedur kerja BPJSyang sesuai dengan prinsip good (public) governance.

Faktanya, arah pengaturan tersebut tidak berhasil diloloskansebagai pola pembentukan BPJS sebagaimana telah ditentukan dalamUU BPJS. Menjadi ironis ketika UU BPJS yang dibentuk dalam rangkamengawal pelaksanaan UU SJSN justru memuat kebijakan yang berbedadengan kebijakan awal reformasi organisasi jaminan sosialsebagaimana dituangkan dalam UU SJSN. Bertolak dari hal tersebut,dapat dikemukakan bahwa terdapat semacam disorientasi arahkebijakan dan inkonsistensi politik hukum dalam pembentukan UUBPJS. Perkembangan dinamika politik menuntut terjadinya pergeseranpolitik hukum pembentukan BPJS yang berujung pada pembentukandua BPJS sebagaimana ditentukan dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentangBPJS.

Pengesahan UU BPJS merupakan akhir dari perjalanan panjangdan penuh liku pembentukan BPJS, sekaligus menjadi awal pelaksanaanreformasi organisasi jaminan sosial nasional dengan setumpukpekerjaan rumah yang menghadirkan lika-liku baru. Penggabunganbeberapa organisasi jaminan sosial menjadi dua BPJS tentunya bukanhal yang sederhana dan mudah untuk direalisasikan. Harus disadaribahwa tugas dan fungsi organisasi ke depan akan menjadi jauh lebihberat seiring dengan tuntutan peningkatan kualitas layanan dan manfaatserta target pencapaian cakupan jaminan sosial yang menyeluruh bagiseluruh warga negara. Sehubungan dengan itu, pengelolaan berbagaiprogram asuransi dalam satu manajemen kelembagaan tentunya akanmenjadi tantangan tersendiri, khususnya bagi BPJS Ketenagakerjaan.

Reformasi organisasi jaminan sosial nasional harus disertai dengangrand design yang jelas dan pelaksanaannya harus dipatuhi bersamasecara konsisten karena hal tersebut pada dasarnya merupakan salahsatu faktor penentu keberhasilan reformasi sistem jaminan sosialnasional. Berkaca dari praktik yang ada, seiring dengan perubahan

Page 150: jurnal jaminan sosial

296

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

konfigurasi politik lembaga pembentuk Undang-Undang pada masa yangakan datang, kekhawatiran terjadinya inkonsistensi kebijakan dalamimplementasi UU BPJS bukan tanpa alasan. Oleh sebab itu, semua pihakharus memahami betul bahwa agenda pembentukan BPJS sebagaimanadiamanatkan dalam UU BPJS merupakan proses yang mutlak harusdilalui dan dijalankan secara konsisten. Jangan sampai sebelum agendatersebut tuntas, terjadi lagi perubahan arah kebijakan sehinggapenyelenggaraan sistem jaminan sosial akan terus disibukkan denganurusan pembenahan kelembagaan yang justru dapat menelantarkantujuan utama penyelenggaraan jaminan sosial itu sendiri, yaitumengimplementasikan program jaminan sosial yang berkualitas bagiseluruh warga negara.

E. PenutupMeskipun UU SJSN memuat beberapa kesamaan prinsipiil dengan

pengaturan sistem jaminan sosial yang dikembangkan di NegaraFederal Republik Jerman, UU BPJS yang pada dasarnya dibentuk untukmelaksanakan ketentuan UU SJSN, menentukan arah kebijakanpembentukan organisasi yang berbeda dengan pola pengembanganorganisasi jaminan sosial yang dipraktikkan di Jerman. Apabila Jermanlebih menekankan pada spesialisasi tugas dan fungsi organisasi yangfokus pada pengelolaan satu cabang asuransi sosial tertentu,pembentukan BPJS dilakukan dengan menggabungkan pengelolaanbeberapa program jaminan sosial ke dalam satu kesatuan organisasi,sebagaimana yang dilakukan terhadap BPJS Ketenagakerjaan. Ditinjaudari perspektif penguatan tugas dan fungsi kelembagaan, Jerman beradadalam kondisi yang lebih kondusif dan rasional. Secara empiris,spesialisasi tugas dan fungsi organisasi jaminan sosial diperlukan dalamrangka mewujudkan profesionalisme, penyediaan layanan dan manfaatjaminan sosial yang berkualitas, serta mendukung pencapaian tingkatcakupan (coverage) yang menyeluruh bagi warga negara. Di sisi lain,kebijakan penggabungan pengelolaan beberapa program jaminan sosialdalam satu manajemen organisasi, menyisakan tanda tanya besar jikadikaitkan kembali dengan grand design dan arah pengaturan reformasiorganisasi jaminan sosial sebagaimana tertuang dalam UU SJSN.

Page 151: jurnal jaminan sosial

297

Organisasi Jaminan Sosial Di Negara Federal Republik ...

Daftar Pustaka

Bundesminiterium fuer Arbeit und Soziales, Social Security at a Glance,BMAS, 2009.

Christian Starck, “Constitutional Interpretation,”makalah dalamStudies in German Constitutionalism: The German Contribution tothe Fourth World Congress of the International Association of Consti-tutional Law, cet. 1, Baden-Baden: Nomos Publishing, 1995.

Hasbullah Thabrany, Strategi Pendanaan Jaminan KesehatanIndonesia dalam SJSN, makalah disampaikan pada DiskusiRPJMN, Bappenas, 29 April 2008.

Monika Karn, Introduction, Fundamentals and Historical Development ofSocial Security Systems, Inwent International LeadershipTraining (ILT) Social Security, Mannheim, 2010.

Marcus Oehlrich, Social Protecton, Inwent International LeadershipTraining (ILT) Social Security, Mannheim, 2010.

Nigel Foster dan Satish Sule, German Legal System and Laws, Cet. 4.,Oxford University Press, 2010.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RepublikIndonesia, Kumpulan Naskah Pembentukan Peraturan PelaksanaanUU SJSN, Rancangan Undang-Undang Tentang Badan PenyelenggaraJaminan Sosial (RUU BPJS) Pembahasan I-IV 2007-2008,Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RepublikIndonesia bekerja sama dengan GTZ-GVG SHI Support.

Konrad Obermann, The Visible Hand: a Refresher and an Update on HealthCare Financing, Berlin, 2010.

Sylvia Dünn, Organizational Reform of the Statutory Pension Insurancein Germany, European Regional Meeting of International SocialSecurity Association, Social security reforms Empowering theAdministrators, Vilnius, 17 - 19 May 2006.

Sylvia Dünn et.al., Sozialgesetzbuch Gesetzliche Rentenversicherung – SGBIV - Kommentar Herausgegeben von Dr. Ralf Kreikebohm, Beck:Muenchen, 2008.

David Khoudour-Castéras. “Welfare State and Labor Mobility: The Im-pact of Bismarck’s Social Legislation on German Emigration Be-fore World War I.” Journal of Economic History Vol . 68. No. 1, 2008.

E. P. Hennock, “Social Policy in the Bismarck Era: A Progress Report,”German History, Vol. 21 No. 2, June: 2003.

Page 152: jurnal jaminan sosial

298

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 007/PUU-III/2005.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 4456).

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256).

Internet:www.aok.de

www.bmg.bund.de

www.bmas.de

www.bmj.de

www.deutsche-rentenversicherung.de

www.deutsche-sozialversicherung.de

www.g-ba.de

www.gkv-spitzenverband.de

www.drv-bund.de

www.dguv.de

Page 153: jurnal jaminan sosial

299

* Perancang Muda Peraturan Perundang-undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

KEDUDUKAN PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANSEBAGAI PENERJEMAH RESMI PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN(POSITION OF THE LEGISLATIVE DRAFTERS AS AN OFFICIAL

TRANSLATOR FOR LEGISLATION)Syahmardan*

(Naskah diterima 09/06/2012, disetujui 23/07/2012)

AbstrakDengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perudang-undangan, Pasal 91 ayat (1) menegaskanbahwa tugas penerjemahan teks peraturan perundang-undangan khususnyake dalam bahasa asing menjadi sangat penting dalam rangka penyebarluasansuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menyadari hal ini tentunyamembuka peluang bagi Perancang untuk “mengembangkan profesinya”khususnya bagi Perancang di Kementerian Hukum dan HAM, tidak hanyamenjalankan tugas utama merancang peraturan perundang-undangan, namunjuga dapat merangkap menjadi penerjemah resmi isi peraturan perundang-undangan. Namun demikian, tentu saja hal ini tidak serta merta dapatdirealisasikan tanpa diiringi dengan peningkatan kompetensi ataupunkualifikasi penerjemahan dari Perancang itu sendiri meskipun dari sisiperaturan perundang-undangan mengindikasikan sangat terbuka peluang kearah itu.Kata kunci : Peraturan Perundang-undangan, Perancang Peraturan Perundang-

undangan.

AbstractWith the enactment of the Law Number 12 Year 2011 on the Forming of Legislation,article 91 paragraph (1) asserts that the task of translating the text of legislation,especially in a foreign language becomes very important in order to disseminate thelaws and regulations applicable. Realizing that is certainly an opportunity for thelegislative drafters to “develop the profession”, especially for drafters in theMinistry of Law and Human Rights, not just run the main task of designing thelegislation but also may concurrently be the official interpreter of the legislations.However, that is would not necessarily be realized without being accompanied by anincrease in competence and qualifications of the drafter’s own despite of thelegislation indicates a very open opportunities in that direction.Key words: Legislation, Legislative Drafters.

Page 154: jurnal jaminan sosial

300

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

A. PendahuluanDalam era persaingan bebas, penguasaan informasi, ilmu

pengetahuan dan teknologi merupakan prasarat bagi kelangsunganhidup bangsa. Adanya tuntutan akan pengalihan informasi, ilmupengetahuan dan teknologi dari bahasa sumber (bahasa Indonesia kebahasa asing atau sebaliknya) menjadikan kemampuan dan kegiatanpenerjemahan menjadi sesuatu yang esensial. Pentingnyapenerjemahan dalam rangka penguasaan informasi, ilmu pengetahuandan teknologi khususnya bagi negara-negara berkembang telah diakuidan dirasakan oleh berbagai pihak.

Penerjemahan dalam rangka penguasaan informasi sekarang inimemainkan peranan yang sangat strategis. Mereka yang tidak ingintertinggal harus mengikutinya dengan segera. Oleh karena itu,penerjemah dituntut terus mengikuti perkembangan dan informasi agarmampu menghasilkan karya terjemahan yang berkualitas khususnyadi bidang peraturan perundang-undangan yang dapat dengan cepatdipahami oleh masyarakat pengguna baik pengguna dalam negerimaupun luar negeri.

Dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, Pasal 91 ayat (1)1

ditegaskan bahwa tugas penerjemahan teks peraturan perundang-undangan khususnya ke dalam bahasa asing menjadi sangat krusialdalam rangka penyebarluasan suatu peraturan perundang-undanganyang berlaku. Di samping itu, pada ayat (2)2 disebutkan bahwa hasil dariterjemahan tersebut merupakan terjemahan resmi dari peraturanperundang-undangan dimaksud.

Mencermati hal tersebut, dikaitkan dengan tugas dan fungsi pejabatfungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan (Perancang)menjadi sangat relevan. Hal ini tidak saja terkait dengan tugas danfungsi utama perancang peraturan perundang-undangan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan3 namun terkait

1 Pasal 91 ayat (1), “Dalam hal peraturan perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasaasing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum”2 Pasal 91 ayat (2), “Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi”.3 Penjelasan Pasal 98 ayat (1), “Yang dimaksud dengan “Perancang Peraturan Perundang-undangan”adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh olehpejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”

Page 155: jurnal jaminan sosial

301

juga dengan tugas “Pengembangan Profesi” Perancang Peraturanperundang-undangan4 sebagaimana tercantum dalam lampiranKeputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 41/KEP/M.PAN/12/2000.

Berdasarkan uraikan di atas maka tulisan ini mencoba mengulassejauhmana tugas dan fungsi Perancang Peraturan Perundang-undangan yang salah satu unsur tugas/kegiatannya yakni melakukanpenerjemahan/menyadur buku dan bahan-bahan lain di bidang hukum5

dikaitkan dengan norma Pasal 91 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan khususnyapenerjemahan teks peraturan perundang-undangan ke dalam bahasaasing.

B. Pijakan Teoritis1. Hakikat Penerjemahan

Berbagai difinisi telah dikemukakan oleh para ahli mengenaiistilah terjemahan (translation). Catford6 menekankan pada medium,yakni melihat penerjemahan sebagai pengalihan bahasa danmendefinisikan terjemahan sebagai “an operation performed on language:a process of substituting a text in one language for a text in another”.

Meetham dan Hudson (1969) dalam Bell7 mendefinisikanterjemahan sebagai “the process or result of converting information fromone language or language variety into another. The aim is to reproduce asaccurately as possible all grammatical and lexical features of the ‘sourcelanguage’ original by finding equivalents in the target language. At the sametime all factual information contained in the original text … must be retainedin the translation”

Secara eksplisit definisi di atas mengisyaratkan dua pengertianyakni terjemahan sebagai proses dan produk. Namun dari definisi diatas Bell menangkap ada tiga pengertian yang berbeda: (1) translating,yakni suatu istilah yang mengacu pada proses dan bermakna‘menerjemahkan’ yakni merupakan aktivitas bukan objek yang bisa

Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...

4 Lampiran I, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 41/KEP/M.PAN/12/2000tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya.5 Ibid.6 J.C. Catford, A Linguistic Theory of Translation, Oxford University Press, London, 1965, hlm. 1.7 Roger T. Bell, Translation and Translating: Theory and Practice. Longman, London, 1991, hlm. 13.

Page 156: jurnal jaminan sosial

302

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

dilihat dan dirasakan; (2) a translation yang merupakan produk dari prosespenerjemahan dalam bentuk teks terjemahan; dan (3) translation yangmengacu pada suatu konsep abstrak yang memberikan penjelasanterhadap proses penerjemahan dan produk dari proses tersebut.

Sumbangan teoritis lain yang memberikan kontribusi sangatpenting dalam pendekatan kajian terjemahan diberikan oleh Hans J.Vermeer (1986) dengan Skopostheorie yang sangat menentang pandanganbahwa penerjemahan semata-mata masalah bahasa. Konsep terjemahanVerneer adalah: “but a complex form of action, whereby someone providesinformation on a text (source language material) in a new situation and underchanged functional, cultural and linguistic conditions, preserving formalaspects as closely as possible”8

Menurut Vermeer. Pertama, penerjemahan merupakan pengalihanlintas-budaya (crosscultural transfer) dan dalam pandanganya penerjemahharuslah bicultural atau multicultural yang memiliki kemampuan berbagaibahasa. Yang kedua adalah Vermeer melihat penerjemahan sebagaiwujud aksi (form of action) atau sebagai ‘cross-cultural event’. Ciri yangmenonjol dalam definisinya adalah fungsi teks target yang bisa sangatberbeda dari fungsi asli dari teks sumber. Dari berbagai definisi di atasdapat disimpulkan bahwa9 :

a) penerjemahan tidaklah semata-mata masalah pengalihan bahasa(linguistic transfer), atau pengalihan makna (transfer of meaning)tetapi juga pengalihan budaya (cultural transfer);

b) hakikat studi terjemahan sangat tergantung pada paradigm, yaknicara bagaimana peneliti memandang terjemahan sebagai okjekkajian. Sebagai objek studi terdapat dua cara memandang suatuterjemahan: (a) sebagai suatu produk, dan (b) sebagai suatu proses;dan

c) fitur-fitur umum yang dimiliki oleh terjemahan adalah pengertian(a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber ke bahasatarget); (b) adanya pengalihan isi (content); dan (c) adanya keharusanatau tuntutan untuk menemukan padanan yang mempertahankanfitur-fitur keasliannya.

8 Mary-Hornby Snell, “Linguistic Transcoding or Cultural Transfer? A Critique of Translation Theory inGermany”, 1995 dalam Susan Bassnett dan André Lefevere (Eds.), 1995, Translation, History andCulture, Cassell, 1990, hlm. 82.9 Ida Bagus Putra Yadnya, Masalah Penerjemahan: Sebuah Tinjauan Teoritis, Universitas Udayana,tanpa tahun.

Page 157: jurnal jaminan sosial

303

2. Proses Penerjemahan

Penerjemahan merupakan suatu proses yang kompleks. Sebagaiproses komunikasi, penerjemahan melibatkan pengirim, penerima,amanat dan penerjemah. Dalam penerjemahan tertulis, pengirim adalahpenulis, penerima adalah pembaca yang dituju. Penerjemah bertugasmengalihkan amanat dari teks sumber ke teks sasaran. Di dalamnyatersangkut mengkaji masalah intrinsik bahasa dan penggunaan bahasaselaras dengan konteks situasi dan budayanya. Penerjemahdigambarkan oleh Hoed10 berperan sebagai penerima bahasa sumber(Bsu) dan kemudian sebagai pengirim bahasa sasaran (Bsa). Oleh karenaBsu dan Bsa masing-masing berada dalam satu lingkungan masyarakatdan kebudayaan tertentu (bukan hanya bahasa) maka penerjemahanmerupakan proses pengalihan amanat dari dunia Bsu ke dunia Bsa.Dalam hal ini penerjemah berada dalam suatu situasi lintas budayadan dituntut bisa beralih dari kebudayaan yang satu ke kebudayaanyang lain. Pandangan terhadap penerjemah sebagai komunikator jugaditegaskan oleh Houbert (1998) dengan mengatakan “the translator isessentially a message conveyor not an author”. Dengan demikian prosespenerjemahan memiliki dua sisi, yakni penerjemah, pertama perlumengantisipasi potensi perbedaan dan ketaksaan dalam teks asli danmengertikan makna yang ingin disampaikan, dan kedua mengkajistruktur sisntaksis teks sumber untuk kemudian memformulasikanpesan yang sepadan dalam bahasa target yang pada akhirnya memberikannilai tambah pada teks sumber dalam hal penataan ekspresi (wording)dan dampak (impact) pada pembaca11.

Kalau Hoed lebih menekankan pada status penerjemah, Larsondalam menggambarkan proses penerjemahan lebih terfokus pada makna,yakni sebagai rentetan kegiatan dari memahami makna teks yangditerjemahkan sampai pengungkapan kembali makna dalam teksterjemahan. Model proses penerjemahan ini menggambarkan bahwapenerjemahan mencakup kegiatan mengkaji leksikon, strukturgramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya teks bahasa

Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...

10 Benny H. Hoed, Kala dalam Novel, Fungsi dan Penerjemahannya, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta, 1992, hlm. 81.11 Frederic Houbert, Translation as a Communication Process, 1998 dalam Translation Journal and theAuthors 1998 Volume 2, No. 3 July 1998; URL:http://accurapid.com/journal/htm. diakses tanggal 3juni 2012.

Page 158: jurnal jaminan sosial

304

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

sumber, menganalisisnya untuk menentukan maknanya dan kemudianmerekonstruksi makna yang sama ini dengan menggunakan leksikondan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteksbudayanya12.

Dalam kajian terjemahan kedua model tersebut di atas bisamenjadi pembenaran teoritis untuk melihat terjemahan sebagai produk.Selanjutnya yang masih tertinggal dan perlu dijelaskan dalam prosespenerjemahan tersebut adalah bagaimana proses itu terjadi. Untukmenjawab ini Bell13 menawarkan suatu model penerjemahan sebagaisuatu proses yang menunjukkan transformasi suatu teks bahasa sumbermelalui suatu proses yang berlangsung dalam lingkup memoripenerjemah, yakni (1) proses analisis terhadap suatu teks bahasatertentu (one language-specific text) sebagai bahasa sumber ke dalamrepresentasi semantik universal (non-language-specific) dan (2) sintesisdari representasi semantik tersebut ke dalam teks bahasa lain (secondlanguage-specific text) yakni bahasa sasaran.

Berdasarkan paradigma tersebut di atas, penerjemah pertamamelakukan analisis terhadap teks bahasa sumber melalui interpretasimonolingual (bahasa sumber). Analisis teks (text analysis) dikategorikanoleh Riazi14 ke dalam (1) micro-structure analysis yang bertujuan untukmenyediakan analisis linguistik yang mendetail terhadap teks dalamhubungan dengan leksis dan sintaksis, dan (2) macro-structure analysisyang berhubungan dengan analisis dan deskripsi dari pengorganisasianretorik berbagai teks. Tahap analisis tersebut dimaksudkan untukmemperoleh pemahaman tentang teks sumber melalui telaah linguistikdan makna (grammar dan lexis), pemahaman bahan atau materi yangditerjemahkan dan masalah konteks situasi dan budaya bahasa sumberyang terealisasi dalam makna unit terjemahan (dalam hal ini maknaniatan berwujud kata, frasa, kalimat, atau wacana).

12 Mildred L. Larson, Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. (SecondEdition), University Press of America, Inc., USA, 1984, hlm 2-3.13 Roger T. Bell, Op. Cit., hlm. 20-21.14 Abdolmehdi Riazi, Ph.D., The Invisible in Translation: The Role of Text Structure, dalam TranslationJournal, 2003 and the Authors 2003 Volume 7, No. 2, April 2003; URL:http://accurapid.com/journal/htm, diakses tanggal 3 juni 2012.

Page 159: jurnal jaminan sosial

305

Pada tahapan kedua, penerjemah melakukan interpretasibilingual, yaitu penjelajahan dua arah secara bolak-balik berupa telaahlinguistik dan makna terhadap teks bahasa sumber dan bahasa targetsekaligus. Penjelajahan ‘ulang alik’ ini terealisasi dalam pengalihanatau pengungkapan kembali representasi semantik, yakni unit makna(kata atau frasa) bahasa sumber ke dalam bahasa target untuk mencapaipadanan yang akurat dan alami melalui berbagai strategi atau cara(borrowing, substitusi linear, alih struktur isomorfis, transposisi,modulasi, equivalence, adaptasi, dan sebagainya) sesuai dengan situasikomunikasi dan konteks budayanya.

Tahapan ketiga adalah sintesis berupa rekonstruksi representasisemantik ke dalam teks bahasa target melalui penyusunan kalimat-kalimat terjemahan dan memperkirakan teks target denganmempertimbangkan aspek keterbacaan teks, kesesuaian dengankonvensi bahasa target serta menilai kesesuaian terjemahan bagitujuan-tujuan tertentu atau spesifik sampai memperoleh hasil akhirdalam bentuk teks bahasa target.

3. Strategi Penerjemahan

Penerjemahan menyangkut pemilihan padanan yang palingmendekati untuk unit bahasa sumber dalam bahasa target. Berdasarkanpada tingkat unit bahasa yang akan diterjemahkan, Riazi15 (2003)mengelompokkan pendekatan terhadap penerjemahan menjadi (1)penerjemahan pada tataran kata (word for word translation), (2)penerjemahan pada tataran kalimat, dan (3) penerjemahan konsepsual(unit terjemahan bukan pada tingkatan kata atau kalimat). Secara garisbesar terdapat beberapa kemungkinan kesepadanan dalampenerjemahan, yakni (1) sepadan sekaligus berkorespondensi, (2)sepadan tetapi bentuk tidak berkorespondensi, dan (3) sepadan danmakna tidak berkorespondensi karena beda cakupan makna.

Di dalam pengalihan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasatarget (dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya)lebih sering terjadi pergeseran makna. Dalam pergeseran ini, maknabahasa sumber (Indonesia) berpadanan dengan makna yang lebih luas

Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...

15 Ibid.

Page 160: jurnal jaminan sosial

306

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

dalam bahasa target (bahasa Inggris) atau sebaliknya lebih sempitdibandingkan dengan bahasa target. Kemungkinan penerjemahan daribahasa Indonesia sebagai bahasa sumber ke dalam bahasa lainnya baikserumpun maupun tidak serumpun (selain bahasa Inggris) juga berkisardari kesepadanan penuh, pergeseran cakupan makna (penyempitan atauperluasan) dan penyimpangan.

Walaupun secara teoritis kesepadanan bisa dicapai akibat adanyasifat universal bahasa dan konvergensi budaya, tetapi faktamenunjukkan bahwa suatu bahasa (target) digunakan oleh penutur yangmemiliki suatu budaya yang sering amat berbeda dengan budaya penuturbahasa lain (sumber) sehingga sulit menemukan padanan leksikal. Olehkarena itu, dalam menilai pilihan padanan selalu tergantung tidak hanyapada sistem bahasa atau sistem yang sedang ditangani oleh seorangpenerjemah tetapi juga pada bagaimana cara, baik penulis teks sumberdan penerjemah maupun memanipulasi sistem bahasa bersangkutan.Dalam hal ini penerjemahan menjadi tidak bisa terlepas dari campurtangan penerjemah dan memiliki dinamika.

Di dalam proses penerjemahan, penerjemah hanyalah seorangkomunikator yang menjembatani alur informasi dari penulis danpembaca yang semestinya bisa menghilangkan sedemikian rupa campurtangan atau subjektivitas. Untuk itu, setiap penerjemah perlu memilikisuatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan. Penerjemahanmenurut Newmark (1988) bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamisdan ditentukan oleh cara pandang atau pendekatan yang diterapkanterhadap teks sebagai poros. Teks sumber (yang akan diterjemahkan)ditentukan oleh sepuluh faktor, yakni (1) penulis yang memiliki gaya(style) penulisan sendiri atau idiolek dalam bahasa sumber sehinggaharus ditentukan kapan harus dipertahankan atau dinormalisasi dalampenerjemahan; (2) norma-norma yang biasa berlaku dalam bahasasumber mengenai penggunaan leksikal dan gramatikal secarakonvensional bagi jenis teks yang akan diterjemahkan yang tergantungpada topik dan situasi; (3) kebudayaan yang menjadi latar bahasa sumber;(4) latar ruang dan waktu (setting) serta tradisi penulisan atau penerbitan(seperti misalnya format tertentu sebuah teks dalam buku, terbitanperiodik, surat kabar, dsb. yang dipengaruhi oleh tradisi dan waktu); (5)pembaca teks target (seperti harapan pembaca sesuai dengan tingkatpemahamannya mengenai topik dan gaya bahasa yang merekagunakan); (6) norma-norma yang dimiliki oleh bahasa target sepertihalnya yang dimiliki oleh bahasa sumber; (7) kebudayaan yang menjadilatar bahasa target; (8) latar ruang dan waktu (setting) serta tradisi

Page 161: jurnal jaminan sosial

307

penulisan atau penerbitan yang berhubungan dengan teks target; (9)kebenaran (truth) atau substansi yang dibicarakan (berupa kebenaranreferensial, yakni apa yang dideskripsikan atau dilaporkan yang diyakinikebenarannya); dan (10) penerjemah termasuk pandangan dan prasangkayang kemungkinan bersifat pribadi dan subjektif atau juga bersifat sosialdan kultural yang menyangkut ‘faktor loyalitas kelompok’ daripenerjemah yang mungkin mencerminkan asumsi penerjemah yangbersifat nasional, politis, etnik, religius, klas sosial, gender dansebagainya16.

Pertimbangan lain yang perlu dilakukan penerjemah sebelummenerjemahkan adalah menentukan pembaca ideal. Sekalipun pembacatersebut memiliki tingkat akademik, profesional dan intelektual yangsama dengannya, tetapi kemungkinan pula pembaca tersebut jugamemiliki perbedaan harapan (expectation) tekstual dan budaya yangsignifikan17. Dengan demikian sebagai proses, pemadanan tidak sajaberarti pengalihan informasi dari satu bahasa ke dalam bahasa laintetapi juga memperhatikan sudut pandang pengguna terjemahan(translation user) di samping memahami secara penuh pesan yang ingindisampaikan dalam bahasa sumber.

Terdapat banyak strategi alternatif untuk menangani masalahketidaksepadanan (non-equivalence) dalam proses penerjemahan.Berbagai strategi pemadanan telah diusulkan oleh para pakar. Vinaydan Darbelnet melihat banyak sekali alternatif pemadanan danmenyarikannya dalam dua kategori besar yakni (1) pemadanan langsung(direct translation) dan (2) pemadanan oblik (oblique translation) yang terdiridari tujuh strategi berbeda. Larson mengelompokkan strategi pemadananberdasarkan apakah suatu konsep bahasa sumber dimiliki/dikenaldalam bahasa target atau tidak dan mengusulkan tidak kurang darisembilan alternatif cara pemadanan. Newmark melihat tidak kurangdari enambelas alternatif, dan Machali walaupun menyadari banyaknyaalternatif yang ada tetapi dalam kasus-kasus penerjemahan Inggris-Indonesia melihat hanya 5 strategi yang menonjol. Walaupun terdapatberbagai alternatif penerapan, namun suatu cara pemadanan sangatditentukan oleh kedekatan tipologi bahasa serta perbedaan budayasumber dan target. Di samping itu, strategi tersebut tidak hanya bisa

16 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, Penerbit PT Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 104.17 Coulhard dalam Kate James, Cultural Implications for translation dalam Translation Journal and theAuthors 2002 Volume 6, No. 4 October 2002; URL:http://accurapid.com/journal/htm., diakses tanggal3 Juni 2012.

Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...

Page 162: jurnal jaminan sosial

308

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

diterapkan secara sendiri-sendiri tetapi mungkin juga dikombinasikandengan strategi yang lainnya sekaligus. Melihat berbagai alternatif yangtelah dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas, strategi pemadananbisa dikelompokkan berdasarkan orientasi penerjemah ke dalam (1)strategi pemadanan yang berorientasi pada bahasa sumber, (2) strategiyang berorientasi pada bahasa target (dampak pemadanan) dan (3)strategi yang berorientasi pada makna, yakni apakah suatu konsepbahasa sumber dikenal/dimiliki (known/shared) atau tidak (unknown)dalam bahasa target.18

C. Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagai PenerjemahResmi Peraturan Perundang-undanganSebagaimana telah disinggung di atas bahwa selain tugas dan

fungsi utama Perancang Peraturan Perundang-undangan berupapenyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, PerancangPeraturan Perundang-undangan juga mempunyai tugas lain yang terkaityang mendukung kegiatan Perancang Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur NegaraNomor: 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional PerancangPeraturan Perundang-undangan, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwaPerancang Peraturan Perundang-undangan, yang selanjutnya disebutPerancang adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab,wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untukmelakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya pada instansipemerintah.

Selanjutnya dalam Pasal 4 disebutkan bahwa tugas pokokPerancang adalah menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancanganperaturan perundang-undangan dan instrumen hukum lainnya. Lebihlanjut dalam Pasal 5 disebutkan bahwa unsur dan sub-unsur kegiatanJabatan Fungsional Perancang terdiri atas:

a. Pendidikan, meliputi:

1. Pendidikan sekolah dan memperoleh ijazah/gelar;

2. Pendidikan dan pelatihan (DIKLAT) Fungsional di BidangPerancang Peraturan Perundang-undangan dan mendapatSurat Tanda Tamat Pendidikan dan Latihan (STTPL).

18 Ida Bagus Putra Yadnya, Op. Cit.

Page 163: jurnal jaminan sosial

309

b. Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, meliputi:

1. melakukan persiapan;

2. menyusun rancangan;

3. membahas rancangan undang-undang atau rancanganperaturan daerah

4. pemberian tanggapan terhadap rancangan peraturanperundang- undangan

c. Penyusunan intrumen hukum, meliputi:

1. Instruksi Presiden, Instruksi Pimpinan Departemen/LPND,Pimpinan Lembaga Negara, Lembaga Negara Non Pemerintah,Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, PanglimaTNI, Gubernur BI;

2. Surat edaran;

3. Perjanjian Internasional;

4. Persetujuan Internasional;

5. Kontrak Internasional;

6. Kontrak Nasional;

7. Gugatan;

8. Jawaban gugatan;

9. Akta; dan

10. Legal opinion.

d. Pengembangan profesi, meliputi:

1. melakukan kegiatan karya tulis/karya ilmiah di bidanghukum;

2. menerjemahkan/menyadur buku dan bahan-bahan lain dibidang hukum.

e. Penunjang kegiatan Perancang, meliputi:

1. mengajar, melatih, dan/atau membimbing pada pendidikansekolah dan pendidikan latihan pegawai;

2. mengikuti seminar/lokakarya;

3. menyunting naskah di bidang hukum dan perundang-undangan;

4. berperan serta dalam penyuluhan hukum;

5. menjadi anggota organisasi profesi;

Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...

Page 164: jurnal jaminan sosial

310

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

6. menjadi anggota keanggotaan dalam Tim Penilai JabatanFungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan;

7. menjadi anggota delegasi dalam pertemuan internasional;

8. memperoleh gelar kesarjanaan lainnya;

9. memperoleh tanda penghargaan/tanda jasa.

Berdasarkan uraian unsur dan sub-unsur kegiatan JabatanFungsional Perancang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 di atas,terdapat salah satu unsur yang berkaitan dengan kegiatanpenerjemahan yakni unsur “Pengembangan Profesi”. Menurut penulis,pasal ini dapat menjadi jawaban terhadap Pasal 91 ayat (1) Undang-UndangNomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan dimana pasal tersebut mengamanatkan bahwa penerjemahanperaturan perundang-undangan ke dalam bahasa asing dilaksanakanoleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidanghukum.

Menyadari hal ini tentunya membuka peluang bagi perancanguntuk “mengembangkan profesinya” khususnya bagi perancang diKementerian Hukum dan HAM atau perancang pada Biro-Biro Hukumdi Kementerian/Lembaga, tidak hanya menjalankan tugas utamamerancang peraturan perundang-undangan namun juga dapatmerangkap menjadi penerjemah resmi dari peraturan perundang-undangan. Hal ini tentu saja akan melengkapi keistimewaan dari tugasdan fungsi perancang dimana sebelumnya dalam Peraturan PemerintahNomor 47 Tahun 200519 telah dinyatakan bahwa Perancang PeraturanPerundang-undangan dapat merangkap jabatan struktural20.

19 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor29 Tahun 1997 tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Rangkap, Pasal 2 ayat (2) hurufc, “Ketentuan pelarangan menduduki jabatan rangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikanbagi Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan Perancang, merangkap jabatanstruktural di lingkungan instansi pemerintah yang tugas pokoknya berkaitan erat dengan bidang peraturanperundang-undangan”.20 Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 disebutkan bahwa pada dasarnyaPegawai Negeri Sipil yang telah diangkat dalam jabatan strutural tidak dapat merangkap jabatan strukturallain atau jabatan fungsional. Hal ini dimaksudkan agar Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapatmemusatkan perhatian dan kemampuannya dalam melaksanakan tugas jabatannya sehingga dapatmenghasilkan kinerja yang optimal. Namun, dalam jabatan-jabatan struktural pada unit organisasi yangtugas dan fungsinya berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, terdapat tugas Pegawai NegeriSipil di lingkungan instansi pemerintah yang hanya dapat dilaksanakan oleh Pegawai Negeri Sipil yangmenduduki jabatan fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan. Hal ini mengingat sifat tugasdan tanggung jawab jabatan struktural tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengantugas dan tanggung jawab jabatan fungsionalnya.

Page 165: jurnal jaminan sosial

311

Namun demikian, tentu saja hal ini tidak serta merta bisadirealisasikan tanpa diiringi dengan peningkatan kompetensi maupunkualifikasi penerjemahan dari perancang itu sendiri, meskipun darisisi peraturan perundang-undangan mengindikasikan sangat terbukapeluang ke arah itu. Sebagaimana diuraikan dalam pijakan teoritis diatas, minimal perancang mempunyai kompetensi dasar di bidangpenerjemahan. Perancang diharapkan dapat memahami bahwapenerjemahan tidaklah semata-mata masalah pengalihan bahasa(linguistic transfer), atau pengalihan makna (transfer of meaning) tetapijuga pengalihan budaya (cultural transfer) khususnya di bidang hukum.Di samping itu, Perancang juga diharapkan mengetahui prosespenerjemahan dimana hal tersebut memiliki dua sisi, yakni pertamaperlu mengantisipasi potensi perbedaan dan ketaksaan dalam teks aslidan mengertikan makna yang ingin disampaikan, dan kedua mengkajistruktur sintaksis teks sumber untuk kemudian memformulasikanpesan yang sepadan dalam bahasa target yang akan memberikan nilaitambah pada teks sumber dalam hal penataan ekspresi (wording) dandampak (impact) pada pembaca khususnya dalam konteks hukum.Selanjutnya Perancang juga diharapkan dapat mengetahui strategipenerjemahan guna mengatasi permasalahan-permasalahan yangmuncul dalam penerjemahan yang secara umum dapat dikelompokkanberdasarkan orientasi penerjemah ke dalam (1) strategi pemadanan yangberorientasi pada bahasa sumber, (2) strategi yang berorientasi padabahasa target (dampak pemadanan) dan (3) strategi yang berorientasipada makna.

Dengan berbagai persyaratan keterampilan dan pengetahuan yangharus dimiliki oleh seorang Perancang di bidang penerjemahan, makamutlak diperlukan pendidikan dan pelatihan peningkatan pengetahuanperancang khususnya di bidang penerjemahan baik bersifat short coursemaupun bersifat pelatihan/pendidikan jangka panjang. Menurut penulis,setidaknya ada beberapa keuntungan apabila pelatihan/pendidikanpenerjemah diberikan kepada perancang peraturan perundang-undangan, yakni:

1. pemahaman tentang hukum dan peraturan perundang-undangansangat memadai;

2. relatif lebih singkat dalam memahami bahasa apabila dibandingkandengan memahami substansi hukum;

Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...

Page 166: jurnal jaminan sosial

312

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

3. telah memiliki landasan hukum dan perangkat peraturanperundang-undangan sebagai pelaksanaan tugas PerancangPeraturan Perundang-undangan;

4. dapat menstimulasi peningkatkan dan pengembangkan potensiperancang peraturan perundang-undangan secara keseluruhan danlain-lain.

D. PenutupBerdasarkan uraian di atas, dapat dianalisis bahwa penerjemahan

dalam rangka penguasaan informasi sekarang ini memainkan perananyang sangat strategis. Oleh karena itu, penerjemah dituntut terusmengikuti perkembangan dan informasi agar mampu menghasilkankarya terjemahan yang berkualitas khususnya di bidang peraturanperundang-undangan yang dapat dengan cepat dipahami oleh masyarakatpengguna baik pengguna dalam negeri maupun luar negeri.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskanbahwa tugas penerjemahan teks peraturan perundang-undangankhususnya ke dalam bahasa asing menjadi sangat penting dalam rangkapenyebarluasan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 91disebutkan bahwa penerjemahan peraturan perundang-undangan kedalam bahasa asing dilaksanakan oleh Menteri yang menyelenggarakanurusan pemerintahan di bidang hukum.

Menyadari hal ini tentunya sekali lagi membuka peluang bagiPerancang untuk “mengembangkan profesinya” khususnya bagiPerancang di Kementerian Hukum dan HAM perancang pada Biro-BiroHukum di Kementerian/Lembaga sekaligus menjawab “tantangan”sebagai penerjemah resmi dari suatu peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, untuk mewujudkan hal tersebut secara umumkomponen-komponen yang dibutuhkan harus terlebih dahuludipersiapkan secara bersama-sama baik oleh perancang itu sendirimelalui pelatihan/pendidikan di bidang penerjemahan maupun“willing” dari organisasi untuk mendorong peningkatan kompetensiPerancang di bidang penerjemahan peraturan perundang-undangan. Halini pada gilirannya diharapkan bermuara pada terlaksananya tugas

Page 167: jurnal jaminan sosial

313

penerjemahan teks resmi peraturan perundang-undangan khususnyake dalam bahasa asing dalam rangka penyebarluasan suatu peraturanperundang-undangan.

Daftar Pustaka

Bell, Roger T., Tahun 1991, Translation and Translating: Theory andPractice. Longman, London.

Catford, J.C., Tahun 1965, A Linguistic Theory of Translation, OxfordUniversity Press, London.

Coulhard dalam Kate James, Cultural Implications for translation dalamTranslation Journal and the Authors 2002 Volume 6, No. 4 October2002; URL:http://accurapid.com/journal/htm.

Hoed, Benny H., Tahun 1992, Kala dalam Novel, Fungsi danPenerjemahannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Houbert, Frederic, Translation as a Communication Process, 1998 dalamTranslation Journal and the Authors 1998 Volume 2, No. 3 July1998; URL:http://accurapid.com/journal/htm.

Larson, Mildred L., 1984, Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. (Second Edition), University Press ofAmerica, Inc., USA.

Machali, Rochayah, Tahun 2000, Pedoman Bagi Penerjemah, PenerbitPT Grasindo, Jakarta.

Riazi, Abdolmehdi, Ph.D., The Invisible in Translation: The Role of Text Struc-ture, dalam Translation Journal, 2003 and the Authors 2003 Vol-ume 7, No. 2, April 2003; URL:http://accurapid.com/journal/htm.

Yadnya, Ida Bagus Putra, tanpa tahun, Masalah Penerjemahan: SebuahTinjauan Teoritis, Universitas Udayana.

Snell, Mary-Hornby, “Linguistic Transcoding or Cultural Transfer? A Critiqueof Translation Theory in Germany”, Tahun 1995 dalam SusanBassnett dan André Lefevere (Eds.), Tahun 1995, Translation, His-tory and Culture, Cassell.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kedudukan Perancang Peraturan Perundang-Undang Sebagai ...

Page 168: jurnal jaminan sosial

314

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur NegaraNomor: 41/KEP/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan FungsionalPerancang Peraturan Perundang-undangan dan Angka Kreditnya.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentangPerubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1997tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Rangkap.

Page 169: jurnal jaminan sosial

315

* Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Dosen Pascasarjana Universitas Padjajaran.

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN PADATINDAK PIDANA KORUPSI

(REVERSAL BURDEN OF PROOF ON CORRUPTION)Wahyu Wiriadinata*

(Naskah diterima 28/03/2012, disetujui 23/07/2012)

AbstrakTulisan berjudul Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian bertujuan untukmenjawab pertanyaan sampai sejauh mana efektifitas sistem pembuktianterbalik sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu dalamUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi. Kemudian pertanyaan yang timbul berikutnya adalah; apakahpenerapan sistem pembuktian terbalik dalam pembuktian perkara tindak pidanakorupsi dapat mencegah atau mengurangi bahkan menghilangkan tindak pidanakorupsi di Indonesia secara tuntas. Penelitian ini bertolak dari kerangkapemikiran teoritis Roscoe Pound yang mengemukakan tentang hukum sebagaialat pembaharuan masyarakat: Law as a tool of social engineering, hukum sebagaialat pembaharuan masyarakat. Konsep ini dilansir oleh Muchtar Kusumaatmadjadan disesuaikan dengan kondisi Indonesia menjadi hukum sebagai saranapembaharuan masyarakat. Pembaharuan maksudnya ialah memperbaharui caraberfikir masyarakat dari cara berfikir tradisional kepada cara berfikir modern.Hukum harus bisa dijadikan sarana untuk memecahkan semua problem yangada di dalam masyarakat termasuk masalah tindak pidana korupsi. Salah satuhal yang harus diperbaharui adalah sistem hukum pembuktiannya, yaitu darisistem pembuktikan yang konvensional menjadi sistem pembuktian terbalik.Tulisan ini disusun dengan metode penulisan yuridis normatif yaitu denganmempelajari peraturan perundang-undangan baik yang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku ilmu pengetahuanhukum, khususnya perundang-undangan yang berkaitan dengan sistempembuktian terbalik. Kemudian hasilnya yang berupa aspek yuridis dituangkandalam bentuk deskriptif analitis. Adapun kesimpulan dari tulisan ini merupakanjawaban atas masalah-masalah yang timbul di atas, yaitu : Bahwa tindak pidanakorupsi di Indonesia sampai saat ini masih tetap terjadi. Sehingga, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 belum efektif dalam memberantas tindakpidana korupsi.Kata kunci: Korupsi, pembuktian terbalik, pembuktian terbalik terbatas.

AbstractAn article called Corruption and Reversal of Burden of Proof aim to answer thequestion to what extent the effectiveness of the reversed burden of proof system asset out in Indonesia, namely positive law as regulated in Law Number 31 Year 1999

Page 170: jurnal jaminan sosial

316

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

on the Eradication of Corruption. Then the next problem that arises is: whether theapplication of reversed burden of proof in proving corruption crimes can prevent orreduce and even eliminate corruption in Indonesia completely. This study departedfrom the theoretical framework of the Roscoe Pound suggested as a means of updat-ing the law: Law as a tool of social engineering, law as a means of communityrenewal. This concept was launched by Mochtar Kusumaatmadja and adapted to theconditions of Indonesia became law as a means of community renewal. Renewal pointis to renew the way society thinks of the traditional ways of thinking to the modernway of thinking. Laws should be used as a means to solve all the problems that existin society, including the issue of corruption. One of the things that should berenewed is a system of legal proof, that of the conventional system is proving to bereversed burden of proof systems. This paper prepared by the method of writing isto study the normative juridical laws and regulations that exist both in the statuteitself and that there is in the literature / science books of law, in particular legisla-tion relating to the verification system upside down. Then the results in the form setout in the form of juridical aspects of descriptive analysis. The conclusions of thispaper is a response to the problems that arise in the above, namely: That the criminalacts of corruption in Indonesia is still happening. Thus, Law No. 31 of 1999 Section37 has not been effective in eradicating corruption.Keywords: Corruption, reversed burden of proof, reverse proof is limited.

A. PendahuluanAliran hukum alam atau hukum kodrat sebagaimana diutarakan

oleh Aristoteles murid Socrates (± 300 tahun SM), memberikan arahantentang tujuan hukum. Bahwa tujuan hukum yang utama adalah untukmencapai tujuan akhir yang hakiki di masyarakat, yaitu tercapainyakeadilan. Akan tetapi untuk mencapai keadilan dimaksud harus terlebihdahulu terciptanya ketertiban di masyarakat. Tanpa ketertiban tidakmungkin tercapai rasa keadilan di masyarakat.

Memang tujuan hukum bukan hanya untuk mencapai keadilan,tetapi tujuan hukum adalah untuk adanya kepastian hukum,sebagaimana dianut oleh recht positivisme atau aliran hukum positif yangberkembang pada abad 19 dengan tokoh yang terkemuka yaitu HansKelsen (1881 – 1973). Tujuan hukum untuk mencapai keadilan dimasyarakat merupakan tujuan hukum yang utama dan yang paling tuayang sampai saat ini tetap dipertahankan, namun dengan syarat bahwadi masyarakat harus terlebih dahulu terciptanya ketertiban.

Tentang hal tersebut dikemukakan juga oleh MuchtarKusumaatmadja yang memberikan definisi tentang hukum, yaitu:

Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengaturpergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan untukmemelihara ketertiban dan mencapai keadilan, juga meliputi

Page 171: jurnal jaminan sosial

317

lembaga serta proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebutsebagai kenyataan di masyarakat.1

Dari definisi yang dikemukakan tersebut, jelaskan bahwa menurutMuchtar Kusumaatmadja tujuan hukum yang hakiki ialahterpeliharanya ketertiban dan tercapainya keadilan. Untuk tercapainyakeadilan maka ketertiban harus tercipta terlebih dahulu.

Keadilan bisa ditegakkan melalui proses peradilan. Di Indonesia,peradilan merupakan suatu proses dalam hukum acara pidana yangdimulai dari penyelidikan sampai eksekusi. Kegiatan peradilan dimulaidari penyelidikan oleh penyidik (polisi, jaksa, KPK), pra-penuntutan olehjaksa penuntut umum, penuntutan dan pemeriksaan di depanpersidangan oleh jaksa penuntut umum dan hakim dan upaya hukum(banding, kasasi, peninjauan kembali) serta tindakan eksekusi ataupelaksanaan hukuman yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum danjuga pada saat terpidana menjalani pidana di Lembaga Permasyarakatan.

Korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan salah satu penyebab dariruntuhnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Tumbangnyarezim orde baru melahirkan orde lain yaitu orde reformasi, pada ordereformasi inilah penguasa orde reformasi mengambil suatu political willyaitu langkah pemberantasan korupsi, sebab korupsi merupakankejahatan yang susah pemberantasannya sehingga merupakankejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Untuk itupemberantasannya diperlukan langkah-langkah yang luar biasa pula.

Kejahatan korupsi merupakan warisan dari orde lama dan orde baru,bahkan jauh sebelumnya yaitu di masa VOC (Verrenige Ost IndischeCompany). Penyebab klasiknya adalah budaya upeti dan seremonialmerupakan penyebab klasik dari maraknya korupsi di Indonesia. Tetapipasca kemerdekaan, khususnya sejak dimulainya era Orde Baru, adapenyebab kontemporer dari tindak pidana korupsi yang harusdigarisbawahi, di antaranya:

B. Aspek Perundang-UndanganBahwa perundang-undangan / hukum positif di Indonesia masih

lemah, sebab banyak yang merupakan produk kolonial penjajahanBelanda, Sudah tentu perundang-undangan tidak mempunyai nilai yang

Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi

1 P. Sitorus, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab, Pasundan Law Faculty, Alumnus Press,Bandung, 1998 , hlm. 94.

Page 172: jurnal jaminan sosial

318

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

aspiratif dengan kehendak masyarakat Indonesia kini, karena memangperundang-undangan itu dibuat oleh pemerintah Belanda, di NegeriBelanda pula dan sudah ketinggalan zaman. Oleh karena itu perundang-undangan ini sangat tidak aspiratif dengan kehendak masyarakat /bangsa Indonesia.

Perundang-undangan tentang KKN yang berlaku sekarang belumsecara utuh mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia, sebut sajaundang-undang itu, misalnya saja tentang “Sistem pembuktian terbalik”,karena sistem pembuktian terbalik yang dimuat pasal 37 undang-undangPTP Korupsi bukan sistem pembuktian terbalik murni, tapi sistempembuktian terbalik yang terbatas, sehingga kurang mempunyai dayatangkal untuk mencegah orang melakukan korupsi.

C. Aspek Aparat Penegak HukumAda tiga pilar aparat penegak hukum di Indonesia dalam konteks

intergrated criminal justice system, yaitu penyidik (Polisi/Jaksa/KPK),Penuntut Umum (Jaksa/KPK) serta pemeriksa dan pemutus (Hakim).Ketiga aparat penegak hukum inilah yang menjadi alat negara untukmenjalankan undang-undang.

Perundang-undangan yang baik (kaffah, kapabel aspiratif) tidakpunya arti sama sekali jika tidak dijalankan dengan baik oleh aparatpenegak hukum, artinya jika alat pemaksa/aparat penegak hukumnyatidak melaksanakan dengan baik, maka maksud dari perundang-undangan itu tidak akan tercapai.

Aparat penegak hukum dalam melaksanakan undang-undangharus mempunyai integritas kepribadian, adil dan jujur. Akan tetapi, didalam praktik banyak aparat penegak hukum yang melakukanpenyimpangan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai penegakhukum. Hal ini disebabkan karena antara lain integritas kepribadianyang rendah, SDM yang tidak memadai dan tingkat kesejahteraan yangtidak memenuhi standar minimum sehingga mereka ikut dalam praktikKKN.

D. Aspek Kesadaran/Pentaatan Hukum MasyarakatKesadaran/penaatan masyarakat terhadap hukum seperti telah

digambarkan pada awal tulisan ini sudah berada pada titik yang palingrendah. Fenomena ini sangat tidak mendukung terwujudnya penegakhukum dan keadilan termasuk substansi pemberantasan korupsi.Perundang-undangan yang baik dengan didukung dengan oleh aparat

Page 173: jurnal jaminan sosial

319

penegak hukum (sebagai alat pemaksa terlaksananya undang-undang)yang baik pula, akan tidak punya arti apa-apa apabila tidak didukungoleh tingkat kesadaran hukum masyarakat. Penaatan hukum standaryang dipunyai oleh masyarakat (sebagai subjek yang harusmelaksanakan norma-norma yang termuat dalam hukum/perundang-undangan itu) harus ditingkatkan.

Budaya korupsi seperti diuraikan di atas, tumbuh salah satunyadiakibatkan oleh karena lunturnya perasaan malu dari masyarakattermasuk penyelenggara negara. Jadi, dalam konteks pemberantasankorupsi harus ditumbuhkan kembali budaya rasa malu dalammasyarakat kita, jika melakukan korupsi. Hal-hal ini bisa dilakukandengan langkah-langkah sosialisasi, berupa pendidikan, penyuluhan danpenerangan. Sosialisasi hendaknya dilakukan tidak terbatas pada parabirokrat penyelenggara negara, melainkan elit politik, aparat penegakhukum, generasi muda bangsa, dan jika perlu dilakukan terhadap anak-anak di lingkungan sekolah-sekolah.

Di samping ketiga aspek di atas perlu juga diperhatikan aspekketeladanan, yaitu: harus ada keteladanan yang dicontohkan oleh parapejabat, khususnya para birokrat di dalam kehidupan sehari-hari.Selama ini ada satu stigma di dalam dunia birokrat bahwa banyak parabirokrat yang mempunyai sifat hedonis dan konsumtif dalam kehidupansehari-hari. Harus diciptakan satu keteladanan dari para birokrat,dimana para birokrat mempunyai sifat sederhana di dalam kehidupansehari-hari sehingga hal ini akan diteladani oleh masyarakat, hal inipun akan mengurangi atau mencegah timbulnya korupsi.

Terhadap ketiga penyebab korupsi tersebut di atas pemerintah ordereformasi telah mengambil langkah-langkah yang dinilai maksimal,akan tetapi ternyata perilaku korupsi dan tindak pidana korupsi semakinmerajalela, sehingga pada masa orde reformasi ini dibentuk suatulembaga superbody yang berwenang melakukan pemberantasan korupsidi luar aparat penegak hukum yang telah ada (kejaksaan dan kepolisian),yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana ditentukandalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

KPK sudah bekerja hampir sepuluh tahun, ternyata perilaku dantidak pidana korupsi oleh penyelenggara negara dan masyarakat makinmerajalela. Di samping itu, ternyata dalam perjalanannya langkah-langkah yang dilakukan oleh KPK selain menimbulkan akibat hukumjuga menimbulkan efek politik, terutama terhadap kalanganpenyelenggara negara dan birokrasi. Akibat dari langkah-langkah yang

Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi

Page 174: jurnal jaminan sosial

320

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

diambil oleh pemerintah Indonesia menimbulkan gejala chaos birokrasi.Banyak para desision maker yang tidak berani mengambil kebijakandalam melaksanakan pelayanan terhadap publik sehingga menimbulkanstagnasi.

Pemerintah seperti sudah putus asa dalam memberantas korupsiyang sudah membudaya. Masalah korupsi selalu menjadi hal yangaktual, kita harus mencari jalan keluar, bagaimana carapenanggulangannya yang tepat. Ada satu hal yang belum ditempuh olehpemerintah dan masyarakat Indonesia guna memberantas korupsi, yaitudengan melalui penerapan teori atau sistem pembuktian terbalik. Hal inimerupakan wacana untuk diterapkan dalam pembuktian (murni/mutlak) terhadap tindak pidana korupsi. Wacana ini menarik untukdikaji.

Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa identifikasi masalah.Adapun permasalahan yang timbul dalam tulisan ini adalah: Sampaisejauh mana efektifitas sistem pembuktian terbalik sebagaimana yangdiatur dalam hukum positif Indonesia, yaitu seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi. Kemudian masalah yang timbul berikutnya adalah: Apakahpenerapan sistem pembuktian terbalik dalam pembuktian perkaratindak pidana korupsi (seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999) dapat mencegah atau mengurangi bahkan menghilangkantindak pidana korupsi di Indonesia secara tuntas.

Adapun tujuan dan kegunaan penulisan ini adalah untukmengetahui sampai sejauh mana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya Pasal 37,membuat prinsip-prinsip tentang pembuktian terbalik. Sistempembuktian terbalik dimaksud; pembuktian yang murni atau semu.Penulisan ini diharapkan berguna bagi ilmu pengetahuan hukumkhususnya hukum pidana formil/hukum acara pidana.

Tulisan ini disusun dengan metode penulisan yuridis normatif yaitudengan mempelajari peraturan perundang-undangan baik yang adadalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku ilmu pengetahuan hukum, khususnya perundang-undangan yangberkaitan dengan sistem pembuktian terbalik. Kemudian hasilnya yangberupa aspek yuridis maupun sosiologis dituangkan dalam bentukdeskriptif analitis.

Tulisan ini juga disertai dengan pemikiran, bahwa tujuan hukumuntuk mencapai keadilan di masyarakat merupakan tujuan hukum yang

Page 175: jurnal jaminan sosial

321

utama, selain untuk tercapainya kepastian hukum sebagaimanadimaksud oleh aliran Rechts Positivisme yang dipelopori oleh Hans Kelsen.Tujuan hukum untuk mencapai keadilan merupakan tujuan hukumyang paling tua yang sampai saat ini tetap dipertahankan. Namundengan syarat bahwa di masyarakat harus terlebih dahulu terciptanyaketertiban.

Tentang hal tersebut di atas dikemukakan juga oleh MuchtarKusumaatmadja yang memberikan definisi tentang hukum, yaitu :

Hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulanhidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan untuk memeliharaketertiban dan mencapai keadilan, juga meliputi lembaga serta prosesyang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut sebagai kenyataan dimasyarakat.2

Dari definisi yang dikemukakan tersebut di atas, jelaskan bahwamenurut Muchtar Kusumaatmadja tujuan hukum yang hakiki ialahterpeliharanya ketertiban dan tercapainya keadilan. Pemikiran dariMuchtar Kusumaatmadja ini sejalan dengan pemikiran Roscoe Pound.3

Lebih jauh lagi Roscoe Pound mengemukakan tentang hukum sebagaialat pembaharuan masyarakat: Law as a tool of social engineering, hukumsebagai alat pembaharuan masyarakat. Konsep ini dilansir oleh MuchtarKusumaatmadja disesuaikan dengan kondisi Indonesia menjadi hukumsebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pembaharuan maksudnyaialah memperbaharui cara berfikir masyarakat dari cara berfikirtradisional kepada cara berfikir modern. Hukum harus bisa dijadikansarana untuk memecahkan semua problem yang ada di dalammasyarakat termasuk masalah tindak pidana korupsi yang merajalela.Salah satu hak yang dibaharui adalah sistem hukum acara pidananya,yaitu dari sistem pembuktikan yang konvensional menjadi sistempembuktian terbalik. Apakah hal itu memungkinkan diberlakukan diIndonesia.

E. Sistem atau Teori PembuktianPembuktian tentang benar tidaknya dan terbukti atau tidak

terbuktinya terdakwa melakukan perbuatan seperti termuat dalamdakwaan Jaksa Penuntut Umum, bagian terpenting dalam proses acara

2 P. Sitorus, Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab, Pasundan Law Faculty, Alumnus Press,Bandung, 1998 , hlm. 94.3 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bharata, Jakarta, 1972, hlm. 37.

Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi

Page 176: jurnal jaminan sosial

322

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

pidana. Dalam proses ini hak asasi manusia menjadi hal yang sangatpenting. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakanterbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat buktiyang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilahmaka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaranmateriil.

Ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yangdidakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktudan tempat (negara). Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negaraEropa Kontinental yang lain, menilai bahwa hakimlah yang menilai alatbukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri dan bukan juri sepertiAmerika Serikat dan negara-negara Anglo Saxon. Di negara-negaratersebut, belakang juri yang umumnya terdiri dari orang awam itulahyang menentukan salah tidaknya (guilty or not guilty) seorang terdakwa.Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana(sentencing).

Mencari kebenaran materiil itu tidaklah mudah, alat-alat buktiseperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Kesaksiandiberikan oleh orang yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurutpsikolog, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapaorang akan berbeda-beda. Pernah diadakan percobaan di suatu sekolahdi Swedia. Para murid dikumpulkan dalam suatu kelas, kemudianseseorang tamu masuk ke kelas itu sejenak kemudian keluar lagi.Setelah murid-murid ditanya apakah pakaian tamu tadi, maka jawabnyaberbeda-beda. Ada yang mengatakan berbaju biru, ada yang mengatakanbaju abu-abu, dan bahkan ada yang menyebut baju coklat.

Oleh karena itulah, dahulu orang berpendapat bahwa alat buktiyang paling dapat dipercaya ialah pengakuan terdakwa sendiri karenaialah yang mengalami peristiwa tersebut. Diusahakanlah memperolehpengakuan terdakwa tersebut dalam pemeriksaan, yang akanmenenteramkan hati hakim yang meyakini ditemukannya kebenaranmateriil.

Dalam alasan mencari kebenaran materiil itulah maka asasakusator (accusatoir) yang memandang terdakwa sebagai pihak samadengan perkara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor(inquisitoir) yang memandang terdakwa sebagai objek pemeriksaan,bahkan kadangkala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuanterdakwa. Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian.

Page 177: jurnal jaminan sosial

323

E.1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undangsecara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie).Pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang

disebut undang-undang, disebut teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie).4 Dikatakan secarapositif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinyajika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yangdisebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukansama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formelebewijstheorie).

Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teoriini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebutoleh undang-undang.

E.2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan HakimsajaBerlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang

secara positif ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim. Teoriini disebut juga conviction intime. Disadari bahwa alat bukti berupapengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran.Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benartelah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu,diperlukan juga keyakinan hakim.

Dari pemikiran itulah, maka teori keyakinan hakim itu yangdidasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwaterdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistemini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat buktidalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Perancis.

Sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitupada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem inimemungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasarkeyakinannya, misalnya keterangan medium atau paranormal.

Dahulu pengadilan adat dan swapraja pun memakai sistemkeyakinan hakim selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli

Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi

4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2006, hlm. 249.

Page 178: jurnal jaminan sosial

324

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

(berpendidikan) hukum. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakimterlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa ataupenasihet hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam halini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwaia telah melakukan apa yang didakwakan. Praktik peradilan juri diPerancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini danmengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat anehdan mengusik rasa keadilan.

E.3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim AtasAlasan yang Logis (Laconviction Raisonnee).Sebagai solusi, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian

yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la convictionraisonnee). Teori ini mempunyai konsep bahwa hakim dapatmemutuskan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatukesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturanpembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatumotivasi.

Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebaskarena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yangberdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terbagi dua. Yangpertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinanhakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee) dan yang kedua ialahteori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatiefwettelijk bewijstheorie).

Persamaan antara keduanya adalah sama-sama berdasar ataskeyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpaadanya keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah. Perbedaannya ialahbahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim,tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan(conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang,tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri,menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yangmana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolakpada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif olehundang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.

Dapatlah disimpulkan bahwa ada dua perbedaan yaitu yang kesatuberpangkal pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua berpangkalpada ketentuan undang-undang. Kemudian, yang pertama dasarnya ialah

Page 179: jurnal jaminan sosial

325

suatu kesimpulan yang tidak didasarkan undang-undang, sedangkanyang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebutsecara terbatas.

E.4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif(Negatief Wettelijk)HIR maupun KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian

berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut dapatdilihat dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR.

Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecualiapabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah iamemperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadidan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkankepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang tersebut dalamPasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh darialat-alat bukti tersebut.

Hal tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan yangtersebut pada Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut :

“Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakimmendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telahterjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yangdidakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”

Sebenarnya sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang samatelah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok tentang KekuasaanKehakiman (UUPKK) Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut:

“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilankarena alat pembuktian yang sah menurut undang-undangmendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapatbertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkanatas dirinya.”

Kelemahan dari rumusan undang-undang ini ialah disebut alatpembuktian hukum alat-alat pembuktian, atau seperti dalam Pasal 183KUHAP disebut dua alat bukti. Dalam sistem atau teori pembuktian yangberdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie)ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian ganda (dubbel engrondslag), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan

Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi

Page 180: jurnal jaminan sosial

326

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itubersumberkan pada peraturan undang-undang.

Hal tersebut terakhir ini sesuai dengan Pasal 183 KUHAP tersebut,yang mengatakan bahwa dari dua alat bukti sah itu diperoleh keyakinanhakim. Menurut penulis keyakinan itu hanyalah dapat didasarkankepada isi alat-alat bukti yang sah (yang disebut oleh undang-undang).Penjelasan Pasal 183 KUHAP mengatakan bahwa ketentuan ini adalahuntuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukumbagi seseorang.

Keempat sistem pembuktian tersebut di atas dapat diberlakukanterhadap semua tindak pidana, baik tindak pidana umum maupun tindakpidana khusus. Terhadap beberapa tindak pidana tertentu bisa puladiberlakukan sistem pembuktian yang lain dari keempat sistem tersebutdi atas, yaitu sistem pembuktian terbalik atau pembalikan bebanpembuktian.

F. Pembalikan Beban PembuktianSistem Pembalikan Beban Pembuktian atau sistem Pembuktian

Terbalik dalam istilah lain disebut juga omkering van het bewijslast(Belanda) atau reversal borden of proof (Inggris) ini merupakan adopsidari negara anglo-saxon, seperti Inggris, Singapura dan Malaysia. DiIndonesia, pengkajian terhadap sistem atau teori Pembalikan BebanPembuktian ini memiliki manfaat yang sangat komprehensif, sebabsalah satu hambatan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sulitdilakukannya pembuktian terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.Atas dasar penelitian akademis dan praktis, maka maksuddiberlakukannya asas ini tidak dalam konteks total dan absolut, tetapipendekatan komparatif negara yang memberlakukan asas ini.5

Sistem Pembalikan Beban Pembuktian ini tidak pernah ada yangbersifat total absolut, artinya hanya dapat diterapkan secara terbatasyaitu terhadap delik yang berkenaan dengan “gratification”(pemberian) yang berkaitan dengan suap (“bribery”).

Aturan mengenai pemberian) yang berkaitan dengan suap, padapokoknya disebut bahwa pegawai pemerintah yang menerima,dibayarkan atau diberikan dari dan atau oleh seseorang, maka

5 Andi Hamzah, Perkembangan Pidana Khusus, Jakarta : P.T. Rineka Cipta, Cetakan Pertama, 1991,hlm. 31.

Page 181: jurnal jaminan sosial

327

pemberian harus dianggap korupsi, sampai sebaliknya dibuktikan. Halini menerapkan sistem Pembalikan Beban Pembuktian, tetapi terbataspada delik yang berkaitan dengan “gratification” dan “bribery”, artinyasistem pembalikan beban pembuktian dari negara anglo-saxon sebagaiasalnya sistem pembalikan beban pembuktian ini, tidak absolute danmemiliki kekhususan serta terbatas sifatnya.

G. Sistem Pembuktian Terbalik dalam Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999Telah dikemukakan dalam tulisan di atas bahwa negara anglo-saxon

sebagai cikal bakalnya Sistem Pembalikan Beban Pembuktian tetapmensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus).Demikian pula sifat terbatas ini dianut pula oleh Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999.

Apakah yang dimaksud dengan terbatas dan khusus dari sistempembalikan beban pembuktian, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999. Untuk itu mari kita simak makna sistem pembuktian terbalikmenurut bunyi Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :

1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidakmelakukan tindak pidana korupsi.

2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidakmelakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebutdipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh hartabendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan hartabenda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyaihubungan dengan perkara yang bersangkutan.

4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaanyang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumberpenambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapatdigunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwaterdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untukmembuktikan dakwaannya.

Kemudian dalam penjelasan Pasal 37 disebutkan :

Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab

Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi

Page 182: jurnal jaminan sosial

328

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksayang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, buka terdakwa.Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidakmelakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapatmembuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukankorupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untukmembuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktianterbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikandakwaannya.

Dari bunyi penjelasan Pasal 37 atas dapat ditarik satu kesimpulanbahwa sistem pembuktian terbalik seperti yang dianut dalam pasal 37Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi di atas dinilai sebagai sistem pembuktian terbalik yangterbatas, dimana dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi diIndonesia sehari-hari jarang diterapkan. Hal ini menimbulkan kurangefektifnya sistem ini.

Dari pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana(termasuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 besertapenjelasannya), makna atau arti “Terbatas” atau “Khusus” dariimplementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian adalah:

1. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukanterhadap tindak pidana “gratification” (pemberian) yang berkaitandengan “bribery” (suap) dan bukan terhadap delik-delik lainnyadalam tindak pidana korupsi.

2. Delik-delik lainnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 bebanpembuktiannya tetap ada pada Jaksa Penuntut Umum.

3. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukanterhadap “perampasan” dari delik-delik yang didakwakan terhadapsiapa saja sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai denganPasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskanpula bahwa sistem pembuktian terhadap dugaan pelanggaran padaPasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 tetap diberikan pada Jaksa Penuntut Umum. Apabila Terdakwaberdasarkan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dinilai terbuktimelakukan pelanggaran salah satu dari tindak pidana tersebut dandikenakan perampasan terhadap harta bendanya, Terdakwa wajibmembuktikan bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindakpidana korupsi.

Page 183: jurnal jaminan sosial

329

4. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas penerapanasas Lex Temporis-nya, yakni sistem ini tidak dapat diberlakukansecara Retro-aktif (berlaku surut) karena potensial terjadinyapelanggaran HAM, pelanggaran terhadap asas Legalitas, danmenimbulkan apa yang dinamakan asas Lex Talionis (balasdendam).

5. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas dan tidakdiperkenankan menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”.6 Daripengertian ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidakdiperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipiel daripembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistempembalikan beban pembuktian ini sebagai kenyataan yang tidakdapat dihindari, khususnya terjadinya minimalisasi hak-hak dari“dader” yang berkaitan dengan asas “non self-incrimination” dan“praduga tak bersalah”, namun demikian adanya suatuminimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari akan terjadinyaeliminasi hak-hak tersebut, dan apabila terjadi, inilah yangdikatakan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian adalahpotensial terjadinya pelanggaran HAM.

H. Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Perampasan HartaBenda TerdakwaSistem pembalikan beban pembuktian diberlakukan terhadap

perampasan harta benda Terdakwa, artinya Terdakwa yang didakwamelakukan salah satu dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 wajib membuktikan harta benda yangdiperoleh sesudah tindak pidana korupsi (yang didakwa) bukan berasaldari tindak pidana korupsi. Tuntutan perampasan harta benda tersebutdiajukan Penuntut Umum saat membacakan tuntutan pada perkarapokok.

Ketentuan ini merupakan klarifikasi terhadap dis-opini publik yangmenyangka bahwa pembalikan beban pembuktian merupakan basispotensial korupsi yang baru bagi aparatur penegak hukum, meskipuntidak terlepas kemungkinan terjadinya hal tersebut. Pembalikan BebanPembuktian hanya diterapkan terhadap delik adopsi baru yang berkaitandengan “gratification”. Masalah “perampasan” berlaku untuk semua delik

6 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit PT. Citra AdityaBakti, Cetakan Kesatu, 1996. hlm. 107-108.

Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi

Page 184: jurnal jaminan sosial

330

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, artinya penerapan asas pembalikanbeban pembuktian ini haruslah ada proses hukum yang mendahuluinyaterhadap seseorang, sedangkan terhadap pelanggaran delik Pasal 2sampai dengan Pasal 16 tetap memakai pembuktian biasa (penuntutumum yang membuktikan). Jadi, sistem pembalikan beban pembuktiansama sekali tidak diterapkan terhadap pelanggaran delik Pasal 2 sampaidengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, artinyakewajiban pembuktian atau sistem pembuktian tentang ada atautidaknya pelanggaran terhadap Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tetap ada pada jaksa penuntut umum,hanya saja apabila penuntut umum dengan tuntutan menilai terdakwaterbukti melanggar salah satu dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 16Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut dan harta-harta terdakwadikenakan perampasan, maka perampasan terhadap harta benda itulahyang wajib dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa. Itu hanyalah dilakukandalam proses di pengadilan, bukan pada saat penyidikan maupunpenuntutan. Hal ini bertujuan untuk mengakomodisir masukanmasyarakat yang mengkhawatirkan terjadinya korupsi lain (pemerasandan penyuapan) apalagi kalau sistem pembalikan beban pembuktianditerapkan pada saat proses penyidikan dan penuntutan sifatnya tidakterbuka.

Kewajiban untuk pembuktian yang diberikan pada penuntut umummerupakan hak mutlak seorang tersangka/terdakwa berupa “Presump-tion of Innocence” yang sekaligus sebagai bentuk aktualisasi daripenerimaan asas “Non Self-Incrimination” (hak tersangka/terdakwa untuktidak mempersalahkan dirinya sendiri), sebagai jiwa KUHAP (Pasal 66).Di samping itu, menurut sistem Hukum Acara Pidana Indonesia bahwaterdakwa mempunyai hak untuk bungkam atau tidak menjawabpertanyaan hakim dan penuntut umum. Prinsip tersebut merupakanasas perlindungan hak asasi manusia yang sifatnya universalitas,sebagaimana termuat dalam Universal Declaration of Human Right 1948.

Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa sistem pembuktianterbalik seperti dianut dalam Pasal 37 undang-undang nomor 31 tahun1999 dalam implementasinya tidak efektif dan tidak mempunyai dayatangkal yang tinggi untuk mencegah orang melakukan tindak pidanakorupsi.

Ada pemikiran, sebaiknya yang diterapkan dalam Undang-UndangNomor 31 Tahun 1999 adalah sistem pembuktian terbalik murni - rever-

Page 185: jurnal jaminan sosial

331

sal borden of proof, dengan maksud supaya sistem ini mempunyai dayagigit yang tinggi terhadap penangkalan tindak pidana korupsi diIndonesia. Pemikiran yang demikian tampaknya bisa dipahami, akantetapi perlu diingat bahwa pemberlakuan atas sistem ini akan melanggarasas-asas hukum yang berlaku secara universal, termasuk diIndonesia. Yang dimaksud adalah antara lain asas praduga tak bersalah,asas non self-incrimination serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia(human right) dan hak terdakwa untuk bungkam sebagaimana diatur dalamPasal 66 KUHAP. Di samping itu diberlakukannya sistem pembuktianterbalik murni berpotensi untuk menimbulkan peluang korupsi baruterutama korupsi oleh para aparat penegak hukum. Lebih jauh lagipenerapan sistem ini akan mempunyai dampak politik yang berpengaruhterhadap kehidupan bernegara, sebab dengan diberlakukannya sistemini dikhawatirkan akan menimbulkan chaos birokrasi.7

I. Kesimpulan1.Bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sampai saat ini masih

tetap terjadi; malah dengan intensitas yang makin meningkat, baik darisegi kualitas maupun kuantitas. Dengan demikian bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 sebagai alat dalam memberantastindak pidana korupsi belum efektif.

2.Bahwa untuk mencegah dan mengatasi tindak pidana korupsidi Indonesia serta untuk menghilangkan tindak pidana korupsi, palingtidak mengurangi kualitas maupun kuantitasnya, maka tidak cukupdilakukan pendekatan secara yuridis, tapi juga pendekatan sosiologisdan politis. Khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi sistemhukum acara pidana untuk penanganan dan penyelesaiannya harusseefektif mungkin diterapkan. Tidak cukup dengan menggunakansistem pembuktian yang konvensional tetapi nampaknya harusdigunakan sistem pembuktian terbalik murni. Namun demikianpemberlakuan sistem pembuktian terbalik murni – pure reversal bordenof proof akan menimbulkan pelanggaran terhadap asas hukum pradukatak bersalah, non-self incrimination, pelanggaran terhadap hak asasimanusia, dan hak tidak untuk bungkam, juga akan menimbulkan chaosbirokrasi.

7 Istilah yang dipergunakan oleh penulis maksudnya adalah akan terjadi stagnasi di tataran birokrasi/pemerintahan, karena para birokrat pengambil keputusan banyak yang terlibat korupsi, sehingga urusanpemerintahan (pelayanan masyarakat) menjadi tidak terlayani.

Pembalikan Beban Pembuktian Pada Tindak Pidana Korupsi

Page 186: jurnal jaminan sosial

332

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Daftar Pustaka

Adji, Oemar Seno. 1976. Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta.Erangga.

Andi Hamzah. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta. SinarGrafika.

Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Cetakan Kesatu. Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

Bonn, E. Sosrodanukusumo. Tt.t, Tunutan Pidana. Djakarta: Penerbit“Siliwangi”.

Prodjodikoro, Wirjono. 1967. Hukum Atjara Pidana di Indo. Djakarta :Penerbit “Sumur Bandung”.

P. Sitorus, 1998. Pengantar Ilmu Hukum (dilengkapi tanya jawab, PasundanLaw Faculty. Bandung. Alumnus Press.

Roscoe Pound, 1972. Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta. Bharata.

Saleh, Roelan. 1983. Mengadili Sebagai Pergaulan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru.

Soedjono D. 1982. Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP. Bandung:Alumni.

Tahir, Hadari Djenawi. 1981. Pokok-Pokok Pikian dalam KUHAP. Bandung:Alumni.

Tanusuboto. S. 1983. Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana.Bandung : Alumni.

Tresna, R. tt.. Komentar HIR. Djakarta: Pradnya Paramita.

Undang-Undang :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi.

Page 187: jurnal jaminan sosial

BIO DATA PENULIS

Rudy Hendra Pakpahan, Tempat/Tanggal Lahir di Sibolga, 27 Januari1980. Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Tahun2004, S2 Program Studi Magister Ilmu Hukum PascasarjanaUniversitas Sumatera Utara Medan Tahun 2009. Pekerjaan PNS KantorWilayah Kementerian Hukum dan Ham Propinsi Sumatera Utara.

Eka N.A.M. Sihombing, Pendidikan: S1 Fakultas Hukum UniversitasSumatera Utara dan Alumni S2 Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara. Pekerjaan: PNS Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HamPropinsi Sumatera Utara.

Ahmad Nizar Shihab, Tempat/Tanggal Lahir: 5 Desember 1950.Pendidikan: Dokter Umum Universitas Hasanuddin Makasar, DokterSpesialis di Universitas Indonesia. Pekerjaan: Wakil Ketua Komisi IXDPR RI Tahun 2009-2012, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Tahun2009 sampai dengan sekarang.

Zaelani, Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 10 Juli 1958. Pendidikan: S-1Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta dan S-2 FakultasHukum Universitas Diponegoro Semarang. Jabatan: Perancang Pertamamerangkap Kepala Seksi Penerbitan Direktorat pengundangan, Publikasidan Kerja Sama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undanganKementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Mundiharno, Pekerjaan: Peneliti di Lembaga Demografi FakultasEkonomi Universitas Indonesia Tahun 1990-2000, Peneliti Senior danPendiri Pusat Kajian Kebijakan Publik AKADEMIKA Tahun 1996 sampaisekarang, dan Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan dan Ekonomi KesehatanFakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tahun 1996sampai sekarang.

Qomaruddin, Tempat/Tanggal Lahir: Kudus 11 Desember 1950.Pendidikan Srata I Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, StrataII Magister Hukum Universitas Diponegoro, dan Strata III Program DoktorUniversitas Padjajaran. Pekerjaan KORMIN pada Kanwil DepkumhamKaltim (2002 s.d. 2004), Kadivmin pada Kanwil Depkumham Jawa Tengah(2004 s.d. 2005), Direktur Litigasi Perundang-undangan (2005 s.d. 2007),Sekretaris Ditjen Peraturan perundang-undangan (2007) dan Direktur

Page 188: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Litigasi Perundang-undangan (2007 s.d. 2010) dan sekarang KonsultanHukum dan Perundang-Undangan Dewan Jaminan Nasional.

Asih Eka Putri, Tempat/tanggal lahir: 24 Agustus 1967. Pendidikan:S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Tahun 1992 dan S-2Magister Kebijakan Publik dan Manajemem Sekolah kebijakan Publikdan Manajemen Universitas Southern California Tahun 2001Manajemen Pembangunan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UI.Pekerjaan: Staf Ahli Pemerintah Indonesia, Satuan Tugas NasionalPengembangan Sistem Jaminan Sosial, Kementerian Kesra danKementerian Kesehatan Tahun 2006 sampai sekarang, Senior AdvisorPT. Jamsotek Tahun 2008 sampai sekarang dan Direktur KonsultanJaminan Sosial dan Pelayanan Kesehatan MARTABAT.

Bambang Purwoko, Tempat/Tanggal Lahir: Cilacap, 1 Januari 1956.Pendidikan: S-1 Ekonomi Manajemen Universitas Nasional JakartaTahun 1983, S-2 Ekonomi Perencanaan Universitas Negeri AntwerpenBelgia Tahun 1986 dan S-3 Ekonomi Jaminan Sosial Universitas SydneyAustralia Tahun 1995. Pekerjaan: Guru-Besar Universitas Pancasila danKetua Program Studi Doktor Ekonomi (S3) Universitas Pancasila.

Nurfaqih Irfani, Tempat/Tanggal Lahir: Purwokerto, 27 April 1980.Pendidikan Sarjana Hukum Universitas Indonesia Tahun 2003 danMagister Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,Jurusan Hukum Internasional Tahun 2010. Pekerjaan: Pegawai NegeriSipil di Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan,Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, KementerianHukum dan Hak Asasi Manusia RI. Menjadi Nara Sumber dalam berbagaikegiatan Fasilitasi Perancangan Perda di Daerah, tenaga pengajar DiklatJabatan Fungsional Penyusunan Perancangan Peraturan Perundang-undangan, dan aktif dalam berbagai seminar dan short course oflegislative drafting (kerjamasa antara Kementerian Kehakiman Belandadengan Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM). Kegiatan internasionalyang pernah diikuti: Peserta International Leadership Training on SocialSecurity yang diselenggarakan oleh GTZ bekerja sama PemerintahFederal Republik Jerman di Jerman pada Tahun 2010-2011, InternshipProgram di Kementerian Kehakiman Jerman pada bulan Januari – Maret2011, Internship Program di Bundestag Negara Federal Republik Jermandan Kantor Negara Bagian Berlin Brandenburg pada Maret 2011,kunjungan ke Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan Negara

Page 189: jurnal jaminan sosial

Federal Republik Jerman, pelatihan software legislative drafting “E-Norm”di Kementerian Kehakiman Jerman, dan sebagai peserta pada “Interna-tional Ministerial Conference On Health Financing, Key To UniversalCoverage,” di Berlin.

Syahmardan, Tempat/Tanggal Lahir: Tembilahan Riau, 30 Agustus1980. Pendidikan: S1 fakultas Hukum Universitas Andalas padang Tahun2003 dan S2 Perencanaan Strategi dan Kebijakan UniversitasIndonesia Tahun 2010. Pekerjaan: Tenaga Fungsional PerancanganPeraturan Perundang-undangan (legal drafter) pada Direktorat JenderalPeraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM RI sejaktahun 2006.

Wahyu Wiriadinata, Tempat/Tanggal Lahir: Bandung, 21 Oktober 1950.Pekerjaan: Jaksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan DosenFakultas Hukum Universitas Pasundan.

Page 190: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

Page 191: jurnal jaminan sosial

PANDUAN PENULISAN NASKAH

1. Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah, seperti hasilpenelitian lapangan, survey, hipotesis, kajian teori, studikepustakaan, review buku, dan gagasan kritis konseptual yangbersifat objektif, sistematis, analisis, dan deskriptif.

2. Naskah yang dikirim karya tulis asli yang belum pernah dimuatatau dipublikasikan di media lain.

3. Naskah diketik rangkap 2 (dua) spasi di atas kertas ukuran A4dengan font Bodoni ukuran 12, panjang naskah antara 15-20halaman.

4. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku,lugas, sederhana, dan mudah dipahami, serta tidak mengandungmakna ganda.

5. Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat yangsingkat dan jelas, dengan kata atau frasa kunci yangmencerminkan isi tulisan.

6. Sistematika penulisan disesuaikan dengan aturan penulisanilmiah, ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, yang secaragaris besar sebagai berikut: Judul dalam bahasa Indonesia danbahasa Inggris, nama penulis, abstrak ditulis dalam bahasaIndonesia dan bahasa Inggris (ditulis dalam 1 paragraf, dengan 2spasi, ukuran 10, panjangnya antara 100 – 200 kata), kata kuncidicantumkan di bawah abstrak, nama instansi penulis,pendahuluan (latar belakang permasalahan, tujuan ruang lingkup,dan metodologi), hasil dan pembahasan (tinjauan pustaka, data,dan analisis), penutup (kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka.

7. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnote).

8. Isi, materi, dan substansi tulisan merupakan tanggung jawabpenulis. Redaksi berhak mengedit teknis penulisan (redaksional)tanpa mengubah arti.

9. Daftar pustaka, disusun menurut sistem pengarang dan tahunterbit, penerbit, kota/negara, hal.

Contoh:

1. Buku

- Luar negeri

Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State,Russel & Russel, New York. hlm. 45.

Page 192: jurnal jaminan sosial

Vol. 9 No. 2 - Juli 2012

- Dalam negeri

Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 21.

2. Makalah dalam jurnal

- Luar negeri

Suzuki, S.,M. Sugiyama, Y. Mihara, K. Hashiguchi andK. Yokezeki. 2002. Novel enzymatic method for theproduction by oxydans. Japan Biochem.

- Dalam negeri

Kurniawan, Y. dan S. Yuliatun. 2006. Perspektif gasoholsebagai energi hijau bagi transportasi. MajalahPenelitian Gula.

3. Makalah dalam buku

- Luar negeri

Zyzak, D.V., k.J. Wells-Knecht, M.X. Fu, S.R. Thorpe, M.S.Feather and J.W. Baynes. 1994. Pathways of themaillard reaction in vitro and in vivo. Proc. of the5th International Symposium of the MaillardReaction, University of Minnesota.

- Dalam negeri

Sukarso, G., S. Sastrowijono, Mirzawan PDN.,S. Lamadji,Soeprijanto,E.Sugiyarta dan H. Budhisantoso. 1990.Varietas tebu unggul lokal untuk tegalan denganpola keprasan. Pros.Seminar PengembanganAgroindustri Berbasis Tebu dan Sumber Pemanislain. P3GI, Pasuruan.

4. Pustaka dari Internet

- Jurnal

Almeida, A.C.S., L.C. Araujo, A.M. Costa, C.A.M. Abreu,M.A.G.A. Lima and M.L.A.P.F. Palha. 2005. Sucrosehydrolysis catalyzed by auto-immobilized invertaseinto intact cells of cladosporium cladosporoides. Elec-trical Journal of Biotechnology 8(1): 15-18 (online)http://www.ejbiotechnology.info/content/vol8/issue1/full/11. pdf (diakses tanggal 8 Juni 2006).

Page 193: jurnal jaminan sosial

- Informasi lain

Fadli. 2002. Pabrik sirup gula tebu pertama di Malang(online), http://kompas.com/kompas-cetak/034/15/ilpeng/256044.htm (diakses tanggal 2 Mei 2006).

10. Pengiriman naskah berupa hard copy dan soft copy sertamelampirkan curriculum vitae ditujukan kepada :

Redaksi Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal PeraturanPerundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Jl. HR.Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan - Jakarta Selatan Telepon (021)5264517/Fax (021) 52921242, e-mail : [email protected].