JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna...

17
JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLIDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF Program Studi Ilmu Hukum Oleh : SONIA CAROLLINE BATUBARA D1A 014 311 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2018

Transcript of JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna...

Page 1: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

JURNAL ILMIAH

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLIDUNGAN HUKUM

BAGI PARA PIHAK DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM

POSITIF

Program Studi Ilmu Hukum

Oleh :

SONIA CAROLLINE BATUBARA

D1A 014 311

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM

2018

Page 2: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLIDUNGAN HUKUM

BAGI PARA PIHAK DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM

POSITIF

Program Studi Ilmu Hukum

Oleh :

SONIA CAROLLINE BATUBARA

D1A 014 311

Menyetujui,

Pembimbing Pertama,

Dr. Aris Munandar, SH., M. Hum.

NIP. 19610610 198703 1 001

Page 3: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM

BAGI PARA PIHAK DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM

POSITIF

SONIA CAROLLINE BATUBARA

D1A 014 311

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian

perkawinan terhadap para pihak dalam perkawinan dan untuk mengetahui bentuk

perlindungan hukum dari adanya perjanjian perkawinan bagi para pihak dalam

perkawinan dan pihak ketiga. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif.

Kekuatan hukum perjanjian perkawinan mengikat terhadap suami isteri yang

membuatnya namun terhadap pihak ketiga jika telah memenuhi unsur publisitas.

Dibuatnya perjanjian perkawinan bertujuan memberikan perlindungan hukum

preventif dan represif. Perjanjian perkawinan yang dibuat dengan akta otentik

juga merupakan salah satu upaya perlindungan agar perjanjian perkawinan yang

dibuat memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna untuk melindungi hak-hak

para pihak maupun pihak ketiga.

Kata Kunci : perjanjian kawin, kekuatan hukum, perlindungan hukum

THE MARRIAGE AGREEMENT AS THE FORM OF LEGAL PROTECTION

FOR THE PARTIES IN MARRIAGE IN POSITIVE LAW

ABSTRACT

This study is aimed to investigate the legal force of marriage agreement to

the parties in marriage and to know the form of legal protection from the

existence of marriage agreement for the parties in marriage and third party. This

study uses normative research. The legal forces of the marriage agreement are

binding on the husband and wife who make it but for third party if it has fulfilled

the element of publicity. The establishment of a marriage agreement aims to

provide preventive and repressive legal protection. The marriage agreement that

made with an authentic deed is also one of the safeguards that a marriage

agreement made the perfect evidentiary power to protect the rights of the parties

as well as third parties.

Key Words: marriage agreement, legal force, legal protection

Page 4: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

i

I. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan bermasyarakat selain sebagai individu, manusia juga

merupakan makhluk sosial dan sudah menjadi kodrat manusia untuk hidup

berdampingan dengan sesama manusia dan berusaha meneruskan keturunan

dengan cara melangsungkan perkawinan.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

merumuskan bahwa,

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Seorang pria dengan seorang wanita setelah melakukan perkawinan akan

menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu antara lain mengenai hubungan hukum

antara suami isteri dan mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan

mereka.1 Berbagai hubungan hukum yang timbul dari perkawinan antara suami

dan isteri tersebut antara lain menyangkut hak dan kewajiban suami dan isteri

selama perkawinan berlangsung, tanggung jawab mereka terhadap anak-anak,

konsekuensinya terhadap harta kekayaan, serta akibat hukumnya terhadap pihak

ketiga. Hal-hal ini penting untuk dipahami oleh setiap calon pasangan suami isteri

yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan

di kemudian hari dalam perkawinan.2

Berbagai macam masalah dapat timbul dalam rumah tangga, baik

menyangkut harta benda dalam perkawinan, hutang piutang, pengasuhan dan

1Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya Perkawinan, Hak

dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda Perkawinan), Rizkita, Jakarta, 2009, hlm. 128. 2Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak Dan Kedudukan Suami Dalam Penjaminan

Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung, Mandar Maju, Bandung., 2006, hlm 14.

Page 5: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

ii

pendidikan anak, dan permasalahan lainnya yang dapat menjadi faktor penyebab

timbulnya berbagai perselisihan atau ketegangan dalam suatu perkawinan. Untuk

menghindari hal tersebut, maka pasangan suami isteri dapat membuat suatu

perjanjian perkawinan yang dapat memuat semua hal yang dianggap perlu untuk

menjaga hak-hak dan kepentingan mereka.

Di Indonesia, pengaturan mengenai perjanjian perkawinan diatur di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut

“KUHPerdata”), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(untuk selanjutnya disebut “UU Perkawinan”) jo. Putusan MK Nomor. 69/PUU-

XIII/2015, serta Kompilasi Hukum Islam (untuk selanjutnya disebut “KHI”).

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat kekaburan norma (vague of

norm) dalam beberapa sisi pengaturan perjanjian perkawinan. Hal ini dikarenakan

UU Perkawinan yang seharusnya dibentuk untuk melakukan unifikasi hukum

perkawinan Indonesia sangatlah ringkas mengatur mengenai perjanjian

perkawinanan yaitu Pasal 29. Ketentuan dalam Pasal 29 UU Perkawinan ini tidak

cukup jelas untuk menggambarkan mengenai perjanjian perkawinan secara utuh

dan menyeluruh, seperti mengenai hal-hal yang harus dicantumkan dan tidak

boleh dicantumkan dalam perjanjian perkawinan, akibat hukum pada para pihak

(suami-isteri) dan pihak ketiga yang berkaitan dengannya.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka terdapat permasalahan mengenai

kekuatan hukum perjanjian perkawinan terhadap para pihak dalam perkawinan

dan bentuk perlindungan hukum dari adanya perjanjian perkawinan bagi para

pihak dalam perkawinan dan pihak ketiga.

Page 6: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

iii

II. PEMBAHASAN

Hakekat Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan pada hakekatnya dibuat oleh pasangan suami isteri

untuk menghindari berbagai macam masalah yang dapat timbul dalam rumah

tangga, baik menyangkut harta benda dalam perkawinan, hutang piutang,

pengasuhan dan pendidikan anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sikap

terhadap poligami, dan permasalahan lainnya yang dapat menjadi faktor penyebab

timbulnya berbagai perselisihan atau ketegangan dalam suatu perkawinan.

Pasal 139 KUHPerdata dan Pasal 29 Ayat (4) UU Perkawinan Perkawinan jo.

Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015 sebenarnya mempunyai makna yang

sama yaitu perjanjian perkawinan merupakan suatu bentuk penyimpangan

daripada pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan. Apabila ada calon

suami dan istri hendak menyimpang dari hukum harta perkawinan yaitu dalam

Pasal 35 UU Perkawinan maka adalah perlu membuat perjanjian perkawinan.

Pengaturan Perjanjian Perkawinan

Dalam hukum positif di Indonesia saat ini, pengaturan mengenai perjanjian

perkawinan diatur di dalam beberapa peraturan yaitu Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo.

Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015, serta Kompilasi Hukum Islam.

Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata diatur dalam

Buku I Bab VII dengan judul bab Perjanjian Kawin. Perjanjian perkawinan dalam

UU Perkawinan diatur dalam Bab V dengan judul bab Perjanjian Perkawinan

yaitu pasal 29. Pengaturan dalam UU Perkawinan ini mengalami beberapa

Page 7: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

iv

perubahan dengan adanya Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015. Sementara

dalam KHI pengaturan perjanjian perkawinan terdapat pada Bab VII Pasal 45

sampai dengan Pasal 52 tentang perjanjian perkawinan.

Substansi Perjanjian Perkawinan

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK

Nomor. 69/PUU-XIII/2015 menentukan bahwa perjanjian perkawinan dapat

mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya dan isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut serta isinya tidak

boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Kekuatan Hukum Perjanjian Perkawinan

Kekuatan hukum suatu perjanjian perkawinan berkaitan dengan kekuatan

mengikatnya perjanjian tersebut terhadap para pihak yang membuatnya. Namun

perlu diketahui bahwa perjanjian perkawinan selain berlaku bagi pasangan suami

isteri, juga dapat mengikat bagi pihak ketiga. Perihal mengikat bagi pihak ketiga,

perjanjian perkawinan harus disahkan terlebih dahulu (memenuhi asas publisitas).

Perjanjian perkawinan mulai mengikat dan berlaku terhadap pasangan suami

isteri sejak perkawinan dinyatakan sah dan telah dilangsungkan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya serta perkawinan dicatatkan menurut

peraturan perundang-undangan (Pasal 2 UU Perkawinan). Namun dengan adanya

Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015 masa berlaku dari perjanjian perkawinan

yang dibuat dimulai sejak perkawinan dilangsungkan, akan tetapi para pihak dapat

menentukan lain di dalam perjanjian perkawinan yang bersangkutan, misalnya

mulai berlaku terhitung sejak tanggal pembuatan perjanjian perkawinan tersebut.

Page 8: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

v

Keabsahan dan keberlakuan perjanjian perkawinan juga tidak terlepas dari

ketentuan syarat sah perjanjian pada umumnya. Berdasarkan Pasal 1320

KUHPerdata suatu perjanjian harus dibuat dengan memenuhi empat syarat, yaitu:

a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu pokok persoalan tertentu; dan

d. suatu sebab yang tidak terlarang.

Mengenai bentuk perjanjian perkawinan. berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat

(1) UU Perkawinan jo. Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015 maka jelaslah

bahwa perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang

disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau notaris. Bentuk tertulis dari

perjanjian perkawinan dapat dikemukakan bahwa bisa dibuat dalam suatu akta di

bawah tangan maupun akta otentik.

Perjanjian perkawinan dalam bentuk akta dibawah tangan merupakan

perjanjian perkawinan yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak sendiri tanpa melalui

pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta. Akta dalam bentuk

di bawah tangan ini memiliki kekuatan hukum pembuktian yang sah, jika pembuat

akta tersebut mengakui isi akta serta tandatangan yang ada pada akta tersebut.

Sedangkan akta otentik, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai

umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868

KUHPerdata). Notaris dan Pejabat Pencatat Perkawinan adalah pejabat umum

yang berwenang untuk membuat akta otentik perjanjian perkawinan.

Page 9: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

vi

Namun sesuai dengan Surat Edaran Kementerian Agama R.I. Nomor

B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 perihal pencatatan perjanjian perkawinan angka (1)

menentukan bahwa:

“Pencatatan perjanjian Perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan, pada

waktu perkawinan, atau selama dalam ikatan perkawinan yang disahkan oleh

notaris dapat dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)”.

Tujuan utama pencatatan ini adalah untuk memenuhi unsur publisitias

perjanjian perkawinan, oleh karena itu perjanjian perkawinan harus didaftarkan

pada instansi yang telah ditentukan, pentingnya pendaftaran ini agar pihak ketiga

mengetahui dan tunduk pada perjanjian perkawinan tersebut. Jika perjanjian

perkawinan tidak didaftarkan untuk dicatatkan, maka hanya mengikat dan berlaku

bagi para pihak suami isteri yang membuatnya (Asas Pacta Sunt Servanda).

Meskipun terdapat akta perjanjian perkawinan yang bersifat otentik (dibuat oleh

notaris) akan tetapi apabila tidak didaftarkan dan dicatatkan di KUA atau

Dispendukcapil, maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa

perjanjian perkawinan jika dibuat tertulis sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau notaris,

serta dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), maka perjanjian perkawinan

tersebut memiliki kekuatan hukum layaknya berkedudukan sebagai akta otentik.

Perjanjian Perkawinan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum bagi Para

Pihak dalam Perkawinan

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada

subyek hukum kedalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun

Page 10: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

vii

yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain

dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri

dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan

suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.3

Begitu pula perlindungan hukum dalam perkawinan dapat berupa preventif

yaitu pencegahan dari munculnya sengketa, dan represif yaitu penyelesaian

apabila terjadi sengketa. Perlindungan hukum yang bersifat preventif ini, lebih

mengedepankan pencegahan agar hak-hak suami maupun isteri dalam perkawinan

dapat dilindungi oleh hukum, dalam hal ini dengan perjanjian perkawinan.

Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri dalam

perkawinan bertujuan memberikan perlindungan hukum preventif dan represif

yaitu selain untuk mencegah timbulnya permasalahan dalam rumah tangga, jika

suatu saat timbul konflik perjanjian perkawinan dapat dijadikan acuan dan salah

satu landasan masing-masing pasangan dalam melaksanakan, dan memberikan

batas-batas hak dan kewajiban diantara mereka.

Semua hal yang dianggap perlu untuk menjaga hak-hak dan kepentingan

semua pihak dapat dimuat dalam perjanjian perkawinan, baik menyangkut harta

benda, hutang piutang, kepemilikan perusahaan, pengasuhan dan pendidikan anak,

pembagian peran kerumahtanggaan, penghindaran kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT), sikap terhadap poligami, dan lain sebagainya. Pada dasarnya poin-poin

tersebut bersifat fleksibel sesuai kesepakatan kedua belah pihak tanpa ada tekanan

atau paksaan dari pihak manapun, serta dibuat dalam kondisi sadar dan

3http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diakses pada

tanggal 6 Januari 2018, Pukul 13.00 WITA.

Page 11: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

viii

bertanggung jawab,4 selama tidak bertentangan dengan batas-batas norma hukum,

agama dan kesusilaan (Pasal 9 Ayat (2) UU Perkawinan).

Akta Perjanjian Perkawinan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum bagi

Para Pihak dalam Perkawinan dan Pihak Ketiga

Akta menurut Pitlo yaitu “surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai

sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu

dibuat”.5 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah “surat yang diberi

tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu

hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.”6

Dengan demikian akta merupakan surat, yang ditandatangani, memuat peristiwa-

peristiwa perbuatan hukum dan digunakan sebagai pembuktian. Bagi Subekti, akta

berlainan dengan surat, dengan menjelaskan bahwa kata-kata akta bukan berarti

surat, melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata acta

yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.7

Apa yang dikemukakan oleh Subekti di atas dalam memberikan pengertian

akta lebih menonjolkan pada isi akta, yaitu berisikan perbuatan hukum dibuat oleh

pihak-pihak. Perbuatan hukum tersebut diwujudkan dalam suatu tulisan-tulisan

yang digunakan sebagai bukti telah terjadinya suatu ikatan. Oleh karena berisikan

suatu perbuatan hukum antara para pihak dan digunakan sebagai bukti, maka surat

4http://www.kompasiana.com/pakcah/mengenal-dua-jenis-

perjanjiannpranikah_5535b64c6ea834f327da42e5 diakses pada tanggal 6 Januari 2018 Pukul

17.00 WITA 5Pitlo, (Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 52. 6Sudikno Mertokusumo, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta, 1988, hlm. 106. 7Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 21, Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 29.

Page 12: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

ix

meskipun dibuat dalam bentuk tertulis, namun karena tidak berisikan adanya

perbuatan hukum, maka tulisan tersebut tidak dapat disebut sebagai akta, tetapi

hanya surat biasa.

Dengan demikian fungsi akta bagi pihak-pihak adalah:8

a. syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum

b. alat pembuktian, dan

c. alat pembuktian satu-satunya.

Perihal alat bukti, menurut Pasal 1867 KUHPerdata menentukan bahwa

“pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun

dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”. Jadi akta sebagai bukti terdiri dari akta di

bawah tangan dan akta otentik.

Akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak

sendiri tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat

akta, yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu

perbuatan hukum. Akta yang dibuat di bawah tangan mempunyai kekuatan

pembuktian yang sah, jika pembuat akta tersebut mengakui isi akta serta

tandatangan yang ada pada akta tersebut.

Akta otentik, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang

berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUHPerdata).

Keberadaan akta otentik ini memberikan perlindungan dan kepastian hukum

dalam masyarakat khususnya bilamana terjadi suatu sengketa dalam hubungan

hukum dalam masyarakat terkait dengan masalah pembuktian.

8Pitlo, Op. Cit., hlm. 54.

Page 13: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

x

Untuk bukti tulisan berupa akta otentik, Hakim sesungguhnya telah terikat

oleh undang-undang dalam pembuktiannya, dikarenakan undang-undang telah

menyatakan secara tegas bahwa akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang

sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata).

Oleh karena itu perjanjian perkawinan yang dibuat dengan akta otentik juga

merupakan salah satu upaya perlindungan agar perjanjian perkawinan yang dibuat

memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna untuk melindungi hak-hak para

pihak.

Perlindungan Hukum Bagi Pihak Ketiga Terhadap Perjanjian Perkawinan

dan Perubahannya

Menurut UU Perkawinan, pada saat berlansungnya perkawinan, saat itu

pulalah berlakunya perjanjian perkawinan bagi suami isteri tersebut (intern),

sedangkang terhadap pihak ketiga (ekstern) berlakunya perjanjian perkawinan

dapat pula ditafsirkan mulai berlaku setelah didaftarkan pada Pegawai Pencatatan

Perkawinan pada kutipan akta nikah (KUA bagi beragama muslim dan

Dispendukcapil bagi non muslim) sebagai bentuk pengesahan oleh Pejabat yang

berwenang, sehingga mempunyai kekuaan mengikat keluar. Jadi pihak ketiga

tidak dapat menyangkal perjanjian perkawinan tersebut apabila telah jelas

tercantum dalam kutipan akta nikah pasangan suami isteri.

Mengenai perubahan perjanjian perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 29 Ayat (4) UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 bahwa

perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan masih diperkenankan

untuk merubahnya dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

Page 14: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

xi

Sebagaimana dikemukakan oleh Soetojo Prawirohamidjojo bahwa setelah

perkawinan itu dilangsungkan calon suami istri masih dapat mengubah perjanjian

perkawinan yang dibuatnya. Akan tetapi perubahan itu harus dilakukan dengan

akta notaris. Sedangkan orang yang dahulu ikut serta sebagai pihak dalam

mewujudkan perjanjian perkawinan itu harus diikutsertakan lagi. Bilamana orang-

orang itu tidak menyukai, maka tidaklah dapat diadakan perubahan itu.9

Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana akibat perubahan perjanjian

perkawinan tersebut terhadap pihak ketiga. Perbuatan suami istri yang merubah

perjanjian perkawinan yang merugikan pihak ketiga dan pihak ketiga berhak

untuk menuntut penggantian kerugian apabila perbuatannya merubah perjanjian

perkawinan memenuhi unsur-unsur Pasal 1365 KUHPerdata.

Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa merubah perjanjian

perkawinan masih diperkenankan jika perjanjian perkawinan dibuat dengan akta

notaris, dengan kesepakatan antara suami, istri dan pihak ketiga demi memberikan

perlindungan terhadap pihak ketiga. Apabila perjanjian perkawinan dirubah tanpa

menghadirkan pihak ketiga dan memang dibuat dengan maksud untuk merugikan

pihak ketiga, pihak ketiga tidak terikat dengan perubahan perjanjian perkawinan

tersebut dan jika terjadi kerugian, maka dapat dikatakan bahwa perubahan

perjanjian perkawinan dilakukan dengan itikad tidak baik.

9Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Sejarah Perkembangan Hukum

Perceraian Di Indonesia dan Belanda, Airlangga University Press, Surabaya, 2000,.hlm. 74

Page 15: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

xii

III. PENUTUP

Simpulan

Kekuatan hukum perjanjian perkawinan mengikat tidak hanya terhadap suami

isteri yang membuatnya tetapi juga terhadap pihak ketiga yang terkait jika telah

memenuhi unsur publisitas. Perjanjian perkawinan yang dibuat memenuhi syarat

sahnya perjanjian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau notaris, serta dicatatkan oleh

Pegawai Pencatat Nikah (PPN), maka perjanjian perkawinan tersebut memiliki

kekuatan hukum layaknya berkedudukan sebagai akta otentik. Dalam isi

perjanjian perkawinan jika ternyata terdapat larangan terhadap hukum, agama, dan

kesusilaan tidak menyebabkan perjanjian perkawinan menjadi batal melainkan

hanya sebatas klausula yang bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan

yang batal demi hukum.

Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri dalam

perkawinan bertujuan memberikan perlindungan hukum preventif dan represif,

yaitu jika suatu saat timbul konflik perjanjian perkawinan dapat dijadikan acuan

dan salah satu landasan masing-masing pasangan dalam melaksanakan, dan

memberikan batas-batas hak dan kewajiban diantara mereka. Perjanjian

perkawinan yang dibuat dengan akta notaris juga merupakan salah satu upaya

perlindungan agar perjanjian perkawinan yang dibuat menjadi suatu akta otentik

yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna untuk melindungi hak-hak

para pihak maupun pihak ketiga. Selain itu pihak ketiga yang terkait berhak

Page 16: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

xiii

menuntut penggantian apabila perjanjian perkawinan dibuat atau dirubah dengan

maksud untuk merugikan pihak ketiga.

Saran

Kepada Pemerintah agar UU Perkawinan mendapat perhatian ekstra,

terutama mengenai perjanjian perkawinan agar dibuat lebih terperinci lagi isi

maupun tata cara pembuatan perjanjian perkawinan, agar tidak ada salah tafsir dan

tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas pembuatan perjanjian perkawinan.

Kepada Pasangan Suami Isteri yang ingin membuat perjanjian perkawinan,

agar memikirkan lagi sebelum benar-benar membuat perjanjian perkawinan.

Mengingat perkawinan bukan hanya sekedar materi semata dan apabila hendak

membuat perjanjian perkawinan agar memperhatikan syarat keabsahannya dalam

KUHPerdata dan UU Perkawinan.

Kepada Notaris yang diberikan kewenangan untuk membuat perjanjian

perkawinan agar selalu berhati-hati dalam pembuatan perjanjian perkawinan agar

terhindar dari itikad buruk dari pasangan suami isteri dan tidak ada pihak yang

merasa dirugikan.

Page 17: JURNAL ILMIAH PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK … · yang akan melangsungkan perkawinan guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.2 Berbagai macam masalah

xiv

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Darmabrata, Wahyono, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya

Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda

Perkawinan),Jakarta: Rizkita, 2009.

Manaf, Abdul, Aplikasi Asas Equalitas Hak Dan Kedudukan Suami Dalam

Penjaminan Harta Bersama Pada Putusan Mahkamah Agung,

Bandung: Mandar Maju, 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:

Liberty, 1988.

Pitlo (Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta: Intermasa, 1986.

Prawirohamidjojo, Soetojo, dan Martalena Pohan, Sejarah Perkembangan

Hukum Perceraian di Indonesia dan Belanda, Surabaya: Airlangga

University Press, 2000.

Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 21, Jakarta: Intermasa, 2005.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Indonesia, Kompilasi Hukum Islam

Indonesia, Putusan MK Nomor. 69/PUU-XIII/2015

Internet

http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/

http://www.kompasiana.com/pakcah/mengenal-dua-jenis-

perjanjiannpranikah_5535b64c6ea834f327da42e5