Jurnal Ilmiah

30
0 EFEKTIFITAS SISTEM VERIFIKASI PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU DALAM MEWUJUDKAN SISTEM MULTI PARTAI SEDERHANA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh : RENDY IVANIAR NIM. 0910110213 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Transcript of Jurnal Ilmiah

Page 1: Jurnal Ilmiah

0

EFEKTIFITAS SISTEM VERIFIKASI PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU DALAM MEWUJUDKAN SISTEM MULTI PARTAI

SEDERHANA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum

Oleh :

RENDY IVANIAR

NIM. 0910110213

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2013

Page 2: Jurnal Ilmiah

1

I. PENDAHULUAN

Peranan terpenting dalam suatu negara hukum yang demokratis adalah

adanya partai politik dan pemilihan umum (Pemilu). Partai politik juga merupakan

sarana dalam perwujudan demokrasi yang dijamin dalam negara hukum, sebab

partai politik dapat menjadi penghubung strategis antara negara dengan rakyat.

Partai politik juga dapat menjadi alat bagi pemerintah dalam perwujudan welfare

state.

Saat ini pasca reformasi kran demokrasi telah dibuka selebar-lebarnya.

Secara tersurat telah dijamin oleh konstitusi di Pasal 28E Ayat (3) yang berbunyi

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan

pendapat.” Akan tetapi implementasinya, dalam kehidupan politik dan

ketatanegaraan, prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut khususnya

pada kebebasan untuk pendirian partai politik di Indonesia mengalami pasang surut

sejalan dengan dinamika sistem ketatanegaraan dan sistem politik yang berlaku.1

Padahal fungsi partai politik di negara demokrasi yang sedang berkembang seperti

di Indonesia salah satunya adalah sebagai sarana komunikasi politik, oleh karena

itu partai politik mempunyai tempat yang luas dalam menempati kursi-kursi di

pemerintah, baik itu di lembaga eksekutif dan legislatif.2 Semakin demokrasi sistem

politik maka semakin longgar pendirian partai politik dan semakin otoriter sistem

politik maka akan semakin ketat pembentukan partai politik, yang artinya terjadi

pergeseran dalam tafsir prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul.3

Ciri dari negara demokratis selain melihat keberadaan partai politik, adalah

melihat keberadaan Pemilu, karena dalam negara demokratis setiap warga negara

berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari

prinsip-prinsip pemilu tersebut dapat kita pahami bahwa pemilu merupakan

1 Abdul Mukhtie Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegraan di Indonesia, Setara press, malang, 2012, hal.2

2 Miriam Budiardj, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal.405-410

3 Arief Hidayat, disertasi, Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Di Indonesia, Disertasi tidak diterbitkan, Semarang, Universitas Diponegoro, 2006

Page 3: Jurnal Ilmiah

2

kegiatan politik yang sangat penting dalam proses suksesi kekuasaan dalam sebuah

negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.

Pemilu sebagai acara 5 (lima) tahunan di Indonesia selalu menjadi euforia

bagi setiap partai politik maupun masyarakat Indonesia yang kemeriahannya sudah

dirasakan bahkan sejak proses verifikasi partai politik calon peserta Pemilu

dilaksanakan. Proses verifikasi adalah suatu bentuk pengawasan melalui pengujian

terhadap kecocokan, kesamaan dokumen dengan persyaratan yang telah ditentukan,

bahkan saat ini verifikasi menjadi alat untuk penyaring peserta Pemilu.

Verifikasi partai politik peserta Pemilu dilakukan di seluruh provinsi,

kabupaten dan atau kota seluruh Indonesia yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan

Umum (KPU), KPU Provinsi, KPU Kabupaten dan/atau Kota secara independen

tanpa adanya intervensi. Saat ini proses verifikasi tidak bisa dikesampingkan,

verifikasi merupakan proses yang penting bahkan menjadi pintu masuk sebuah

partai politik untuk dapat mengisi kursi di parlemen dalam pemilihan legislatif.

Sistem presidensial dan sistem multi partai dengan jumlah partai yang

terlalu banyak ternyata dapat menjadi faktor yang krusial. Observasi dan kajian

yang dilakukan oleh Mainwaring menunjukkan bahwa sistem presidensial yang

dikombinasikan dengan sistem multi partai yang dilaksanakan di beberapa negara

gagal untuk menciptakan pemerintahan yang ideal, untuk menciptakan sistem

presidensiil yang kuat dan pemerintah yang stabil maka diperlukan sebuah

perubahan di dalam sistem politik di Indonesia dari multi partai menjadi multi

partai sederhana.4

Sistem multi partai sederhana mengarah kepada sistem kepartaian yang

bersifat kompetitif. Artinya Indonesia tidak menerapkan partai tunggal dan

mencegah adanya partai yang menghegemonik. Menurut Ganjar Pranowo sistem

multi partai sederhana jumlah partai tidak kurang dari 5 dan tidak boleh lebih dari

10. Selain itu sistem multi partai akan efektif apabila walaupun terdapat banyak

partai akan tetapi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan hanya

4 Partono, 2010, Sistem Multi Partai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah (online), http:/ /ditjenpp. kemenkumham.go.id/ htn-dan-puu/ 438-sistem- multi-partai –presidensial -dan-persoalan -e fektivitas-pemerintah.html, (20 Februari 2013)

Page 4: Jurnal Ilmiah

3

beberapa partai saja, dengan kata lain koalisi diparlemen sangat dibutuhkan untuk

pengambilan keputusan.5

Sehingga karya ilmiah ini hendak membahas analisis terkait proses

verifikasi partai politik yang efektif diterapkan untuk penyederhanaan partai politik

sekaligus mewujudkan pengaturan multi partai sederhana di Indonesia. Hal ini

sangat penting karena proses verifikasi merupakan gerbang partai politik untuk

dapat menjadi peserta Pemilu atau tidak dan tentunya proses verifikasi akan

berdampak pada jumlah partai politik yang berada diparlemen nantinya.

Selain itu dalam artikel ilmiah ini juga akan menganalisis pengembangan

sistem verifikasi partai politik calon peserta pemilihan umum untuk mewujudkan

pengaturan sistem multi partai sederhana di Indonesia. Sehingga saat kita sudah

mengetahui sistem verifikasi yang efektif untuk penyederhanaan partai politik

peserta Pemilu maka kita dapat menilai sistem verifikasi disetiap Pemilu yang

pernah dilakukan di Indonesia yang sejalan dengan politik hukum dan amanat dari

UUD NRI Tahun 1945 untuk diterapkan di Pemilu yang akan datang.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana efektifitas sistem verifikasi partai politik peserta pemilihan

umum selama ini untuk menghasilkan sistem multi partai sederhana?

2. Bagaimana perkembangan sistem verifikasi partai politik peserta pemilihan

umum untuk mewujudkan pengaturan sistem multi partai sederhana di

Indonesia ?

III. METODE PENELITIAN

Peenelitian dilakukan dengan metode yuridis empiris. Penelitian yang akan

mengkaji antara kaidah hukum dengan lingkungan tempat hukum itu berlaku.

Penulisan karya ilmiah ini untuk mencapai tujuan dan permasalahan yang akan

dibahas, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu dengan

5 Wawancara dengan Bapak Ganjar Pranowo, Katua Pansus RUU Partai Politik tahun 2011 dan anggota Pansus RUU Pemilu Legislatif Tahun 2012, 27 Maret 2013

Page 5: Jurnal Ilmiah

4

penelitian di lapangan atau studi lapangan dan mengkaji efektifitas hukum melalui

wawancara bebas dimana susunan pertanyaan dapat dirubah menyesuaikan kondisi

dan kebutuhan.6 Narasumber wawancara adalah stakeholder proses verifikasi partai

politik calon peserta Pemilu.

Lokasi penelitian dipilih dengan pertimbangan objektif guna mendapatkan

data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan. Penelitian dilakukan di

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Komisi Pemilihan Umum

Republik Indonesia. DPR RI dipilih karena lembaga ini yang membuat persyaratan

dalam proses verifikasi sedangkan KPU RI dipilih karena lembaga ini yang

bertugas melakukan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu.

IV. PEMBAHASAN

A. Efektifitas Sistem Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum

Selama Ini Untuk Menghasilkan Sistem Multi Partai Sederhana

Adanya hubungan antara sistem pemerintahan presidensiil dengan

penyederhanan partai politik adalah dikarenakan lazimnya pada sistem

pemerintahan presidensiil jumlah partai politik yang terdapat di parlemen tidak

terlalu banyak.7 Ganjar Pranowo beragumen bahwa jumlah partai yang ideal adalah

dua partai akan tetapi dikarenakan keragaman bangsa Indonesia maka kita tidak

dapat menggunakan dwi partai tapi lebih cocok menggunakan multi partai

sederhana.

Jumlah partai yang sedikit ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi

presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, dengan

asumsi bahwa partai yang menjadi pemenang Pemilu legislatif dari partai yang

sama dengan pemenang Pemilu presiden atau kalaupun partai dari pemenang

presiden kalah pada Pemilu legislatif dalam mendapatkan kursi di Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) maka jumlahnya tidak jauh berbeda dengan jumlah kursi

yang didapatkan oleh partai oposisi. Maka efektivitas pemerintahan presidensial

6 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan ilmu Sosial Lainnya, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2002, hal 181

7 Wawancara dengan Bapak Ganjar Pranowo, Op.cit

Page 6: Jurnal Ilmiah

5

dan pemerintahan daerah juga ikut ditentukan oleh sistem kepartaian, antara lain

dari segi jumlah partai politk peserta pemilihan umum maupun oleh sistem

perwakilan politik, antara lain dari segi pola interaksi antar partai politik di DPR

dan DPRD.8

Oleh karena itu diperlukan penyederhanaan sistem kepartaian.

Penyederhanaan partai poltitik peserta Pemilu dapat dilakukan dengan banyak cara,

akan tetapi menurut Ganjar Pranowo tentu tidak semuanya efektif untuk dilakukan

karena sebagian sistem apabila diterapkan akan bertentangan dengan kebebasan

berserikat dan berkumpul.9 Memperkuat argument tersebut menurut Janedri selaku

sekretaris jendral MK, untuk menyederhanakan partai politik dapat dilakukan

dengan berbagai cara, kecuali melarang pembentukan partai politik baru atau

memberi keistimewaan kepada partai politik tertentu.10

Penyederhanaan partai politik peserta Pemilu secara garis besar dapat

dilakukan melalui pembatasan jumlah partai politik, pengetatan proses verifikasi

peserta Pemilu dan penerapan electoral threshold. Jumlah partai politik sudah tentu

akan mempengaruhi jumlah peserta pemilihan umum, karena yang akan mengikuti

verifikasi sebagai peserta pemilu adalah partai politik. Sehingga tujuan dari sistem

pembatasan jumlah partai politik adalah menyederhanaan jumlah partai hingga

berjumlah sedikit agar yang mendaftar menjadi peserta pemilihan umum juga

sedikit.

Metode penyederhanaan partai politik peserta pemilu selama ini melalui

penyederhanaan jumlah partai politik dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu

melalui (1) Pembatasan jumlah partai politik, (2) Fusi partai politik, dan (3)

Pengetatan proses verifikasi pendirian partai politik. Sistem penyederhanaan partai

politik ini dapat dilakukan dengan cara Pertama membuat peraturan perundang-

undangan terkait pembatasan jumlah partai politik seperti yang pernah terjadi pada

Indonesai saat era orde baru. Begitu pula dengan sistem kedua yaitu melalui fusi

partai politik, sistem fusi merupakan penggabungan partai politik dari multi partai

8 Ramlan Surbakti dkk, Membangun Sistem Kepartaian Pluralisme Moderat, Kemitraan Pembaharuan Tata Pemerintahan, Jakarta, 2011, hal 36

9 Wawancara dengan Bapak Ganjar Pranowo, Op.cit10 Janedri M Gaffar, Sistem Pemerintahan dan Kepartaian, (online) http://www.seputar-

indonesia.com/edisicetak/content/view/344913/, 2012, (11 Februari 2013)

Page 7: Jurnal Ilmiah

6

menjadi beberapa partai saja. Kebijakan fusi itu memang ada benarnya, karena

pada umumnya negara berkembang yang mencapai derajat stabilitas politik yang

tinggi, paling tidak memiliki beberapa partai politik yang berwibawa.

Walaupun demikian, sistem ini tidak begitu diterima oleh rakyat

dikarenakan akan sangat membatasi hak asasi untuk berserikat dan berkumpul. Jika

dilihat dari teori efektifitas hukum dari Soerjono Soekanto bahwa pembatasan

jumlah partai politik merupakan sebuah pelanggaran terhadap asas kebebasan

berserikat dan berkumpul. Bahkan di negara-negara yang selama ini dikenal dengan

sistem dua partai pun sesunguhnya terdapat banyak partai, namun hanya dua partai

tersebut yang memiliki kekuatan mayoritas.11 Pembentukan partai-partai politik

adalah manifestasi yang nyata dari kebebasan berserikat, berkumpul dan

menyatakan pendapat. Ganjar Pranowo mengungkapkan bahwa sistem

penyederhanaan yang dipakai saat orde baru terkesan dipaksakan oleh kekuatan

politik yang saat itu berkuasa sehingga tidak sesuai dengan tujuan hukum.12

Sedikit berbeda dengan ke-2 (dua) sistem yang telah dibahas sebelumnya,

sistem ke-3 (tiga) yaitu pengetatan persyaratan pendirian partai politik dengan

memaksimalkan proses verifikasi, cara ini tidak menghalangi hak setiap orang

untuk berserikat dan berkumpul, pengetatan pendirian partai politik hanya membuat

calon partai politik tersebut untuk lebih mematangkan lagi keorganisasiannya dan

kelembagaannya sebelum menjadi partai politik yang sah.

Pengefektifan proses verifikasi partai politik calon peserta pemilu dapat

dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan cara mengetatkan persyaratan partai

politik yang ingin menjadi peserta pemilihan umum dan dengan cara melakukan

proses verifikasi faktual. Dilihat dari efektifitas hukumnya sendiri ternyata sistem

pengetatan persyaratan menjadi peserta Pemilu sangat efektif, sehingga persyaratan

dalam proses verifikasi partai politik calon peserta Pemilu harus dibuat lebih berat

dari pada persyaratan pendirian partai politik.

Tidak semua partai politik dapat menjadi peserta pemilihan umum, karena

partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum harus menjalankan fungsinya

11 Janedri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusiaonal Praktek Ketatanegaraan Indonedia Setelah Perubahaan UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm.125

12 Wawancara dengan Bapak Ganjar Pranowo, Op.cit

Page 8: Jurnal Ilmiah

7

sebagai partai politik dengan baik. Bagi partai politik yang benar-benar

menjalankan fungsinya sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan,

komunikasi, sosialisasi, serta rekrutmen politik, maka syarat yang diperketat saat

proses verifikasi tidak akan menghalangi partai politik menjadi peserta pemilihan

umum.13

Asrul mengatakan setidaknya terdapat 3 (tiga) penyebab tidak berjalannya

fungsi partai politik sehingga diperlukan proses verifikasi partai politik calon

peserta Pemilu dengan ketat.14 Pertama, pendirian partai politik tersebut hanya

untuk tujuan jangka pendek. Kedua, partai politik tidak mandiri dalam hal

pendanaan, padahal untuk menjalankan seluruh fungsinya sebuah partai politik

memerlukan dana yang cukup besar. Partai politik sibuk mencari tambahan dana,

sementara pada saat yang bersamaan partai politik harus menjalankan fungsinya,

memperjuangkan kepentingan rakyat dan idealisme yang dibawanya. Ketiga,

adanya konflik internal partai politik yang berujung pada perpecahan. Pola ini terus

berulang sehingga fungsi partai politik yang semestinya dijalankan menjadi

terbengkalai akibat fokus pada konsolidasi dan membangun kekuatan partai politik

dari awal yang padahal juga belum tentu partai hasil pecahan tersebut dapat

menjalankan fungsi dengan baik. Melihat kenyataan banyaknya partai politik yang

mengalami disfungsi maka pengetatan persyaratan dalam proses verifikasi menjadi

hal yang seharusnya dilakukan.

Dalam menentukan jumlah partai politik yang diinginkan untuk menjadi

peserta dalam pemilihan umum, pembentuk undang-undang dapat mengaturnya

melalui besaran atau prosentasenya saja yang disesuaikan dengan jumlah

penduduk. Misalnya semakin banyak jumlah penduduk maka prosentase atau

besaran keanggotaan yang harus dimiliki oleh partai politik juga harus semakin

besar karena prosentase tersebut berbanding lurus dan menyesuaikan dengan

jumlah penduduk.

Akan tetapi apabila prosentase yang ditetapkan terlalu tinggi maka

persyaratan tersebut juga akan hanya menjadi monopoli parta-partai besar saja 13 Asrul Ibrahim Nur, 2012, Verifikasi dan Masa Depan Partai Politik, (online)

http://www.theindonesianinstitute.com/index.php/pendidikan-publik/wacana/587-verifikasi-dan-masa-depan-partai-politik, (11 Februari 2013)

14 Ibid.

Page 9: Jurnal Ilmiah

8

sedangkan partai baru akan sulit untuk mengikuti dan lolos dalam proses verifikasi

partai politik peserta Pemilu. Sehingga kejelian untuk mengambil jalan tengah

antara pembatasan jumlah peserta Pemilu akan tetapi juga tidak menjadi

penghalang partai baru untuk mengikuti proses verifikasi harus diperhatikan.

Jangan sampai prosentasenya terlalu kecil atau terlalu tinggi, maka dari itu perlu

dilakukan penelitian terlebih dahulu sebelum menetapkannya.

Jika dilihat dari substansi hukumnya, pengetatan persyaratan untuk menjadi

peserta Pemilu tidak bertentangan atau membatasi kebebasan msyarakat untuk

berserikat dan berkumpul. Persyaratan dibuat lebih ketat karena untuk menjadi

peserta Pemilu, partai politik harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan

dapat mewakili konstituennya secara nasional yang dibuktikan dengan verifikasi

faktual. Oleh karena itu partai politik peserta Pemilu harus memilki kepengurusan

ditiap provinsi dan setidaknya juga seluruh kabupaten/ kota. Akan tetapi menurut

panitia khusus yang merancangan RUU Pemilu bahwa kemutlakan dalam

demokrasi itu tidak mungkin sehingga tidak boleh dibuat peraturan yang mengatur

setiap partai politik harus mempunyai kepengurusan diseluruh kabupaten/ kota di

Indonesia.

Sistem penyederhanaan peserta Pemilu yang terakhir adalah melalui

penerapan electoral threshold. Elektoral thershold yang dimaksud disini adalah

pembatasan partai politik untuk mengikuti verifikasi peserta pemilihan umum

berikutnya apabila partai tersebut tidak sampai pada ambang batas yang ditentukan,

ini diterapkan di Indonesia pada Pemilu 1999 dan dampaknya dirasakan pada

Pemilu 2004. Tujuannya dari penerapan threshold ini adalah membatasi jumlah

partai politik yang mengikuti proses verifikasi sebagai peserta Pemilu pada Pemilu

berikutnya.15

Agar dapat berjalan dengan efektif diperlukan sumber daya manusia yang

teliti dibutuhkan untuk menghitung pembagian kursi di DPR, karena sistem

electoral threshold berkaitan erat dengan prosentase jumlah kursi yang didapat oleh

partai politik di DPR. Kebijakan seperti electoral threshold diperbolehkan oleh

konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya

15 Wawancara dengan Bapak Ahmad Fayumi, Kabiro Administrasi Hukum Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, 28 Februari 2013

Page 10: Jurnal Ilmiah

9

adanya undang-undang tentang sistem kepartaian atau undang-undang Politik yang

terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas

yang dibenarkan oleh konstitusi. Hanya saja sistem ini menjadi tidak efektif apabila

partai yang tidak lolos ambang batas membentuk partai baru lagi dengan nama dan

lambang yang berbeda.

Dari banyaknya sistem penyederhanaan peserta Pemilu yang selama ini ada,

tidak semua efektif untuk dilakukan. Substansi hukum, penegakan, dan penerimaan

dari masyarakat menjadi pertimbangan yang penting untuk penerapan sistem

penyederhanaan peserta Pemilu. Jika dilihat dari efektifitas hukum maka hanya

sistem pengetatan persyaratan dan mengefektifkan proses verifikasi yang dapat

diterapkan untuk menyederhanakan peserta Pemilu.

B. Perkembangan Sistem Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum

Untuk Mewujudkan Pengaturan Multi Partai Sederhana di Indonesia

Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensiil juga

sudah sewajarnya Indonesia menganut pengaturan mengenai sistem multi partai

sederhana untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri. Oleh karena itu di

Indonesia pengembangan konsep sistem verifikasi guna menyaring partai

politik calon peserta Pemilu agar tidak terlalu banyak jumlah partai poltik yang

menjadi peserta Pemilu juga terus dikembangkan setahap demi setahap guna

mencapai sistem multi partai sederhana.

Menurut keterangan dari Ganjar Pranowo terdapat perbedaan cara yang

sangat tajam antara sistem penyederhanaan yang dipakai saat orde baru dengan

setelah reformasi. Walaupun tujuannya sama yaitu membuat partai politik

peserta Pemilu menjadi lebih sedikit akan tetapi caa yang dipakai sangat

berbeda.16 Sejarah rezim Pemilu saat orde baru dibagi menjadi 2 (dua) menurut

peraturan yang dipakai, yaitu Pemilu tahun 1971 dan Pemilu Tahun 1977-1997.

Pada Pemilu tahun 1971 yang didasari dengan Undang-Undang Nomor 15

Tahun 1969 tidak jauh berbeda dengan peraturan pada Pemilu saat orde lama.

16 Wawancara dengan Bapak Ganjar Pranowo, Op.cit

Page 11: Jurnal Ilmiah

10

Hanya saja ada sedikit pengetatan persyaratan peserta Pemilu, saat Pemilu

tahun 1955 peserta Pemilu diperbolehkan dari perseorangan akan tetapi pada

Pemilu tahun 1971 peserta Pemilu harus diajukan oleh organisasi tertentu.

Berbeda halnya dengan Pemilu pada tahun 1977-1997 rakyat begitu

terbatasi dengan regulasi politik perundang-undangan yang dibuat oleh

pemerintahan Soeharto. Pada saat itu regulasi yang ada tidak memberikan

keleluasaan bagi rakyat dan elit politik untuk membentuk partai politik baru.

Tidak hanya itu, saat pemerintahan Soeharto pula dilakukan sebuah sejarah

penyederhanaan partai politik menjadi paling sedikit dari Pemilu sebelumnya

maupun pemilu setelah reformasi, yaitu menyederhanakan partai politik

menjadi hanyak sebanyak 2 (dua) dan 1 golongan karya.

Pemerintah memaksa 10 partai politik dengan berbagai cara berfusi atau

bergabung menjadi 2 partai politik dan satu Golkar melalui undang-undang.

Empat partai politik berazaskan Islam digabung menjadi Partai Persatuan

Pembangunan (PPP),17 dan lima partai politik berasaskan nasionalisme dan

kristen digabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).18 Dapat kita lihat

bahwa sistem yang diterapkan oleh pemerintahan orde baru untuk melakukan

penyederhanaan partai politik peserta Pemilu 1977-1997 dengan cara

melakukan pembatasan jumlah partai politik dengan membuat peraturan

perundang-undangan sehingga masyarakat tidak dapat membuat partai lagi dan

menggunakan sistem fusi kepada partai politk yang sudah terlanjur ada. Oleh

karena itu secara otomatis tanpa proses verifikasi jumlah partai politik peserta

Pemilu juga hanya sebanyak tiga, dan jumlah partai di DPR dan DPRD paling

banyak juga hanya tiga.19

17 Keempat partai politik yang bergabung menjadi PartaiPersatuan Pembangunan adalah Partai Nahdatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai tarbiyah Islamiyah.

18 Kelima Partai Politik yang bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia adlah Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai katolik Republik Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia.

19 Ramlan Surbekti dkk, Membangun Sistem Kepartaian Pluralisme Moderat : Menyederhanakan Jumlah Partai Politik, Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Negara, Jakarta, 2011, hal 38

Page 12: Jurnal Ilmiah

11

Setelah berhentinya Soeharto dari jabatan presidennya pada tahun 1998

yang kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu BJ Habibie20 yang bertugas

segera menyelenggarakan Pemilu,21 yang diikuti dengan euphoria rakyat akan

kebebasan demokrasi. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu

yang dipercepat adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari

publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-

lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dapat

dipercaya karena banyaknya peraturan yang lebih menguntungkan golkar dan

merugikan partai lain.22 Sehingga rasa trauma yang dialami oleh masyarakat

pada peraturan produk orde baru memang cukup beralasan.

Kebebasan yang diberikan oleh pemerintah setelah runtuhnya orde baru

partai-partai baru pun bermunculan mempersiapkan untuk turut serta dalam

Pemilu tahun 1999 yang saat itu sudah tinggal beberapa bulan lagi

pelaksanaannya. Walaupun sistem dan rule of the game masih belum cukup

matang untuk pelaksanaan Pemilu dan terkesan dipaksakan ini, namun dengan

penuh optimisme partai-partai tersebut tetap menggalang kekuatan yang

dulunya dibatasi saat orde baru.

Pengembangan sistem verifikasi partai politik peserta Pemilu yang

dilakukan sangat terlihat dengan jelas, jika sebelumnya saat Pemilu Orde Baru

tidak terdapat sistem verifikasi karena peserta Pemilu sudah ditentukan oleh

undang-undang, maka pada Pemilu tahun 1999 seluruh calon peserta Pemilu

wajib mengikuti verifikasi yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu

walaupun dengan persyaratan yang sangat sederhana untuk mendirikan partai

politik dan menjadi peserta Pemilu menjadi sebab banyaknya partai politik yang

dapat mengikuti Pemilu.

20 Pasal 8 UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya.”

21 Berdasarkan hasil Sidang Istimewa MPR dengan ketetapan MPR Nomor X/ MPR/ 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Mengamanatkan penyelenggaraan Pemilu selambat-lambatnya Juni 1999.

22 Anonim, Sejarah Pemilu 1999, (online) http://www.kpu.go.id/index.php?option=com content&task=view&id=42, (7 Februari 2013)

Page 13: Jurnal Ilmiah

12

Berbeda halnya dengan pengembangan sistem penyederhanaan peserta

Pemilu yang diterapkan pada Pemilu tahun 2004. Sistem dan metode dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD

di tahun 2004 yang menimbulkan banyak pro dan kontra selain persyaratan

yang semakin diperketat adalah mengenai penerapan electoral treshold yang

dilakukan mulai tahun 1999 dan dampaknya dirasakan saat verifikasi partai

politik dalam pemilu tahun 2004.

Tidak hanya ketentuan mengenai elektoral threshold yang membuktikan

dalam UU No. 12 Tahun 2003 konsisten terhadap penyederhanaan partai politik

peserta Pemilu, akan tetapi pengembangan sistem verifikasi partai politik

peserta Pemilu dengan penambahan persyaratan kepemilikan pengurus di tiap

provinsi dan pembuktian keanggotaan merupakan komitmen yang dapat dinilai

sebagai upaya untuk penyederhanaan partai politik.

Pengembangan sistem pengetatan persyaratan peserta Pemilu dengan

penambahan beberapa persyaratan tersebut yang pada Pemilu tahun 1999 tidak

diterapkan dan baru diterapkan pada Pemilu tahun 2004 membuat prestasi

sistem penyederhanaan partai politik peserta Pemilu. Pada tahun 2004

merupakan contoh bahwa penerapan electoral threshold dan pengetatan

persyaratan verifikasi adalah sistem yang efektif untuk diterapkan. Jika

dibandingkan dengan jumlah partai politik yang berhasil menjadi peserta

pemilihan umum pada Pemilu tahun 1999 tentu akan berbeda jauh bahkan turun

sampai 50% Akibat pengetatan persyaratan dan pemberlakuan elektoral

threshold.23

Akan tetapi sangat disayangkan, pengembangan sistem yang dilakukan

saat Pemilu tahun 2004 tidak diteruskan pada Pemilu tahun 2009. Pada Pemilu

tahun 2009 dapat dikatakan pengembangan sistem hanya bersifat statis bahkan

terdapat beberapa peraturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

yang membuka peluang lebar dengan memberi tiket gratis kepada beberapa

partai politik agar tidak mengikuti proses verifikasi dan dapat secara otomatis

menjadi peserta Pemilu yaitu pada pasal 315 dan 316 UU Nomor 10 Tahun

23 Radian Salman, Partai Politik dan Pemilu: Penyederhanaan dan Pembubaran Parpol, Sirajjudin (Ed), Konstitusionalisme Demokrasi, In Trans Publishing, Malang, 2010, hal 143

Page 14: Jurnal Ilmiah

13

2008. Pada akhirnya pasal 316 huruf d di judicial review dan dinyatakan tidak

berlaku oleh MK.

Jika kita selidiki lebih jauh, banyaknya permasalahan terutama dalam

proses verifikasi pada Pemilu 2009 dikarenakan masukanya faktor politik,

multitafsir dan tidak sinkronnya undang-undang dengan UUD NRI Tahun

1945. Sehingga pada Pemilu 2009 ini sangat rawan sekali akan ketidak

penerimaan partai politik terhadap keputusan atau hasil verifikasi yang

dilakukan oleh KPU.

Seperti yang dikemukakan Direktur Eksekutif Indo Barometer, Mohamad

Qodari, yang menilai UU Nomor 10 Tahun 2008 justru sangat mundur

dibanding UU Nomor 12 Tahun 2003, antara lain karena aturan peralihan

membolehkan semua partai yang duduk di DPR ikut Pemilihan Umum 2009.

Pengembangan sistem verifikasi yang dilakukan tidak maksimal. Pengetatan

persyaratan peserta Pemilu yang harus dilalui dalam verifikasi hanya terdapat

pada pasal 8 huruf d terkait keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai

politik.

Dapat disimpulkan kemunduran terkait pengembangan penyederhanaan

partai politik peserta Pemilu pada Pemilu tahun 2009, Pertama adalah

pemberian ketentuan kepada partai politik yang terdapat di parlemen untuk

tidak perlu melakukan verifikasi, Kedua adalah penghapusan mekanisme

electoral threshold untuk Pemilu berikutnya dan Ketiga tidak ada peningkatan

pengetatan persyaratan proses verifikasi partai politik calon peserta Pemilu.

Belajar banyak dari kesalahan pada Pemilu tahun 2009 maka pada Pemilu

tahun 2014 pengembangan sistem penyederhanaan peserta Pemilu harus dibuat

dengan baik dan maksimal. Tidak ingin terjadi kesalahan yang sama dari

Pemilu sebelumnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dibuat dengan

sebaik mungkin untuk proses penyederhanaan partai politik peserta Pemilu

dengan mengefektifkan proses verifikasi partai politik calon peserta Pemilu

tahun 2014.

Page 15: Jurnal Ilmiah

14

Pada Pemilu tahun 2014 proses verifikasi dibagi menjadi 2 (dua) tahap,

yaitu verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.24 Menurut Zaenudin, tahap

verifikasi faktual sangat penting untuk dilakukan melihat sering terjadi

perbedaan data antara administrasi dengan faktanya yang ada dilapangan.

Akibat diterapkannya proses verifikasi faktual, banyak partai politik yang tidak

lolos karena tidak dapat membuktikan hasil verifikasi administrasi di lapangan.

Selain itu pengembangan sistem pengetatan persyaratan menjadi peserta

Pemilu juga ditingkatkan. Ganjar Pranowo mengungkapkan bahwa pengetatan

persyaatan ini betujuan untuk menyaring partai yang memang benar-benar

dapat mewakilli rakyat. Selain pengetatan persyaratan dalam proses verifikasi,

mahkamah konstitusi juga telah menghapus ketentuan dalam Pasal 1 Undang-

Undang nomor 8 Tahun 2012 sehingga seluruh partai politik baik yang baru

maupun yang sudah mendapat kursi di DPR diwajibkan untuk mengikuti

seluruh proses rangkaian verifikasi.

Jika kita lihat dari jumlah partai politik yang ditetapkan oleh KPU

sebagai peserta Pemilu pada Pemilu tahun 2014, terjadi keberhasilan yang

sangat baik terkait pengembangan sistem penyederhanaan partai politik peserta

Pemilu. Dari 34 partai politik yang mengikuti proses verifikasi hanya 10 partai

politik yang diloloskan menjadi peserta Pemilu tahun 2014. Ini merupakan

sebuah keberhasilan dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya pada tahun

2009. Keberhasilan penyederhanaan partai politik initidak lepas dari evaluasi

yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan Pemilu sebelumnya.

Pengembangan sistem dengan penggunakan pengetatan persyaratan

dalam proses verifikasi partai politik dan menggunakan verifikasi faktual

merupakan sistem penyederhanaan partai politik yang digunakan dalam

undang-undang ini. Pengembangan sistem tersebut berhasil menyederhanakan

peserta Pemilu menjadi hanya 10 partai politik saja.

Sehingga ini mendukung hipotesa penulis bahwa sistem verifikasi yang

paling efektif adalah melalui pengetatan persyaratan verifikasi partai politik

calon peserta Pemilu. Selain berjalan dengan efektif, sistem ini juga tidak

24 Wawancara dengan Bapak Zaenudin, ST, komisioner KPUD Malang Divisi SDM, Organisasi dan Hubungan Masyarakat, 21 Februari 2013

Page 16: Jurnal Ilmiah

15

melanggar hak konstitusional setiap orang untuk berserikat dan berkumpul.

Oleh karena itu sistem ini dapat terus dipakai untuk Pemilu berikutnya.

V. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang penulis jabarkan di bab sebelumnya maka

kesimpulannya adalah sebagai berikut:

1. Sistem verifikasi yang selama ini diterapkan untuk membentuk sistem multi

partai sederhana dapat dibedakan menjadi 3 sistem, yaitu penyederhanaan

partai politik peserta pemilu melalui penyederhanaan jumlah partai,

pengetatan persyaratan dan electoral threshold. Sistem penyederhanaan

jumlah partai politik untuk pembatasan peserta Pemilu diterapkan saat Orde

Baru, sistem ini dianggap sangat berlawanan dengan kebebasan berserikat

dan berkumpul yang dijamin oleh UUD oleh karena itu sistem ini tidak

efektif untuk diterapkan begitupula sistem penyederhanaan peserta Pemilu

yang menggunakan elektoral threshold ternyata juga tidak efektif untuk

diterapkan, karena banyak partai yang tidak lolos electoral threshold akan

tetapi membuat partai baru dengan pengurus yang tetap untuk Pemilu

berikutnya. Sedangkan sistem penyederhanaan peserta Pemilu melalui

pengetatan persyaratan terbukti dapat mengurangi jumah partai politik yang

lolos menjadi peserta Pemilu dan dapat menyaring partai yang telah

mengalami disfungsi.

2. Pengembangan sistem verifikasi partai politik untuk mewujudkan sistem

multi partai sederhana berkembang sangat dinamis di Indonesia. Seluruh

sistem penyederhanaan peserta Pemilu pernah diterapkan di Indonesia. Pada

saat Orde Baru diterapan pembatasan jumlah partai politik dan peserta

Pemilu, saat Pemilu tahun 1999 diterapkan sistem electoral threshold,

Pemilu tahun 2004 menggunakan sistem electoral threshold dan pengetatan

persyaratan, sedangkan pada Pemilu tahun 2009 sistem electoral threshold

dihapuskan dan mengalami kemunduran dalam sistem penyederhanaan

jumlah peserta Pemilu, dan pada tahun 2014 belajar dari kesalahan Pemilu

tahun 2009 pada Pemilu tahun 2014 kembali menggunakan sistem

Page 17: Jurnal Ilmiah

16

pengetatan persyaratan menjadi peserta Pemilu dan menggunakan verfikasi

2 (dua) tahap sehingga berhasil hanya menetapkan 10 partai yang lolos

verifikasi peserta Pemilu.

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: Jurnal Ilmiah

17

Data Buku :

Abdul Mukhtie Fadjar, Partai Politik dalam Perkembangan Ketatanegraan di Indonesia, Setara press, malang, 2012

Arief Hidayat, disertasi, Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Di Indonesia, Disertasi tidak diterbitkan, Semarang, Universitas Diponegoro, 2006

Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Lualitatif, Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan ilmu Sosial Lainnya, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2002

Janedri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusiaonal Praktek Ketatanegaraan Indonedia Setelah Perubahaan UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2012

Miriam Budiardj, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010

Radian Salman, Partai Politik dan Pemilu: Penyederhanaan dan Pembubaran Parpol, Sirajjudin (Ed), Konstitusionalisme Demokrasi, In Trans Publishing, Malang, 2010

Ramlan Surbakti dkk, Membangun Sistem Kepartaian Pluralisme Moderat, Kemitraan Pembaharuan Tata Pemerintahan, Jakarta, 2011

Data Internet :

Anonim, Sejarah Pemilu 1999, (online) http://www.kpu.go.id/index.php?

option=com content&task=view&id=42, (7 Februari 2013)

Asrul Ibrahim Nur, Verifikasi dan Masa Depan Partai Politik, (online)

http://www.theindonesianinstitute.com/index.php/pendidikan-publik/

wacana/587-verifikasi-dan-masa-depan-partai-politik, (11 Februari 2013),

2012

Janedri M Gaffar, Sistem Pemerintahan dan Kepartaian, (online)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/344913/, 2012,

(11 Februari 2013)

Page 19: Jurnal Ilmiah

18

Partono, Sistem Multi Partai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas

Pemerintah (online), http:/ /ditjenpp. kemenkumham.go.id/ htn-dan-puu/

438-sistem- multi-partai –presidensial -dan-persoalan -e fektivitas-

pemerintah.html, (20 Februari 2013),2010.

Data Narasumber :

Wawancara dengan Ganjar Pranowo., SH . Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ketua

Panitia Khusus DPR RI pembahasan RUU Partai Politik, Anggota Panitia

Khusus DPR RI pembahasan RUU Pemilu Legislatif, Tanggal 27 Februari

2013 Pukul 12.00 bertempat di Gedung DPR Republik Indonesia.

Wawancara dengan Bpk.Ahmad Fayumi, Kabiro Administrasi Hukum Komisi

Pemilihan Umum Republik Indonesia, Tanggal 28 Februari 2013 Pukul

10.00 bertempat di Gedung KPU Republik Indonesia

Wawancara dengan Bapak Zaenudin ST, Komisioner KPUD Malang Divisi SDM,

Organisasi dan Hubungan Masyarakat, Tanggal 21 Februari 2013 Pukul

13.30 WIB bertempat di kantor KPUD Kota Malang