Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

55
HEMOTERAPI DAN HEMOSTASIS John C. Drummond Charise T. Petrovitch Pengetahuan bahwa HIV menular melalui darah , menyebabkan ketakutan akan transfusi dan menyebabkan perubahan dalam pendekatan terhadap pasien yang membutuhkan transfusi darah. Walaupun resiko transfusi terkait penularan HIV sekarang makin kecil, tetapi masih banyak resiko lain yang berhubungan dengan transfusi darah. Penggunaan produk-produk darah harus dilakukan dengan pemahaman penuh mengenai resiko dan manfaat dari transfusi tersebut. Dengan demikian, bab ini dimulai dengan tinjauan dari resiko dari penggunaan produk darah, diikuti dengan diskusi tentang faktor-faktor yang menentukan kebutuhan untuk penggunaan dari tiga komponen darah yang paling sering digunakan,yaitu PRC (Pure Red Cell), FFP (Fresh Frozen Plasma), dan platelet, dan kemudian diskusi teknik untuk meminimalkan kebutuhan untuk transfusi. Sisa bab ini menyajikan uraian dari persiapan produk darah, diskusi tentang fisiologi hemostasis, deskripsi tes mekanisme hemostatik, dan review gangguan perdarahan umum, termasuk diskusi tentang efek agen farmakologis pada hemostasis. RESIKO-RESIKO DARI TRANSFUSI DARAH Resiko dari transfusi darah dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok menular dan tidak menular. Sebuah tinjauan yang sangat 1

Transcript of Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Page 1: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

HEMOTERAPI DAN HEMOSTASIS

John C. Drummond

Charise T. Petrovitch

Pengetahuan bahwa HIV menular melalui darah , menyebabkan ketakutan akan transfusi

dan menyebabkan perubahan dalam pendekatan terhadap pasien yang membutuhkan transfusi

darah. Walaupun resiko transfusi terkait penularan HIV sekarang makin kecil, tetapi masih

banyak resiko lain yang berhubungan dengan transfusi darah. Penggunaan produk-produk darah

harus dilakukan dengan pemahaman penuh mengenai resiko dan manfaat dari transfusi tersebut.

Dengan demikian, bab ini dimulai dengan tinjauan dari resiko dari penggunaan produk darah,

diikuti dengan diskusi tentang faktor-faktor yang menentukan kebutuhan untuk penggunaan dari

tiga komponen darah yang paling sering digunakan,yaitu PRC (Pure Red Cell), FFP (Fresh

Frozen Plasma), dan platelet, dan kemudian diskusi teknik untuk meminimalkan kebutuhan

untuk transfusi.

Sisa bab ini menyajikan uraian dari persiapan produk darah, diskusi tentang fisiologi

hemostasis, deskripsi tes mekanisme hemostatik, dan review gangguan perdarahan umum,

termasuk diskusi tentang efek agen farmakologis pada hemostasis.

RESIKO-RESIKO DARI TRANSFUSI DARAH

Resiko dari transfusi darah dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok menular dan tidak

menular. Sebuah tinjauan yang sangat baik disediakan oleh Kleinman et al. Infeksi yang

ditularkan melalui transfusi, pada infeksi virus tertentu, memiliki persentase tertinggi dan karena

itu akan dibahas terlebih dahulu. Namun, dalam kenyataannya, morbiditas dan mortalitas yang

terkait dengan resiko non virus jauh lebih besar.

Resiko infeksi terkait transfusi darah

Banyak penyakit yang berpotensi menular melalui transfusi darah termasuk beberapa virus yaitu

hepatitis A, B, C, D, dan E, Human T-lymphotropic Virus (HTLV-1, HTLV-2); Human

Immunodeficiency Virus (HIV) 1 dan 2; sitomegalovirus, virus West Nile (WNV); virus Epstein-

Barr, parvovirus B19, virus GBV-C (disebut juga hepatitis G); Transfusion-transmitted virus

(TTV); virus SEN; prion (penyakit Creutzfeldt-Jakob dan varian penyakit Creutzfeldt-Jakob),

1

Page 2: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

penyakit Lyme; kontaminasi bakteri; parasit (malaria, penyakit Chagas, ehrlichiosis, Babesiosis),

dan sifilis. Beberapa dari penyebab ini tidak akan dibicarakan lebih lanjut. Walaupun GBV-C,

TTV, dan SENV yang ditularkan melalui transfusi, tetapi virus ini tidak menyebabkan gambaran

klinis; tingkat penularan dari Parvovirus B19 sangat rendah dan penyakit ini sangat jarang

terjadi; tidak ada laporan kasus transfusi menularkan penyakit Lyme dan hanya satu contoh dari

ehrlichiosis.

1. Perkiraan frekuensi zat menular dari suplai darah di Amerika Utara diperlihatkan dalam

Tabel 10-1. Tingkat infektivitas virus telah menurun secara drastis pada dua dekade

terakhir. Hal ini khususnya di Amerika Serikat munculnya pengujian asam nukleat

(NAT) untuk HIV dan virus hepatitis C (HCV) yang telah mengurangi frekuensi

transmisi virus ini melalui transfusi ke tingkat yang lebih rendah, yaitu, sekitar satu dari

dua juta transfusi. Virus hepatitis B (HBV) tetap menjadi resiko terbesar pada transfusi,

saat ini sekitar 1 / 350, 000 transfusi. Estimasi ini berasal dari observasi di antara donor

seropositif dan kemungkinan pemberian darah dari donor yang terinfeksi dalam "window

period" antara terinfeksi virus dan pendeteksian oleh tes yang tersedia. Menggunakan

pengujian NAT, window period untuk HIV dan HCV adalah 13 dan 12 hari. Untuk HBV

dengan menggunakan tes HbsAg, window period 59 hari. Tes NAT untuk HBV tersedia

dan mungkin akan dilaksanakan pada tahun atau sebelum tahun 2008.

Hepatitis B 1/350.000

Hepatitis C 1/2.000.000

HIV 1/2.000.000

HTLV 1/2.900.000

Sepsis/ reaksi endotoksin

RBC 1/30.000

Platelet 1/2000

Tabel 10.1 Perkiraan tingkat penularan penyakit infeksi melalui transfusi (per paparan

donor)

Virus Hepatitis C

2

Page 3: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Pentingnya HCV walaupun presentasi tertular HCV rendah, pada 85% pasien yang tertular

berkembang menjadi keadaan kronis dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Sekitar

dua puluh persen dari carrier kronis berkembang menjadi sirosis dan 1 sampai 5% berkembang

menjadi karsinoma hepatoseluler.

Virus Hepatitis B

Diperkirakan bahwa hanya sekitar 35% dari pasien yang terpapar HBV akan berkembang

menjadi penyakit akut, meskipun sekitar 1% akan berkembang menjadi hepatitis akut fulminan.

Pada sekitar 85% dari pasien, penyakit sembuh secara spontan, 9% berkembang menjadi

hepatitis kronis persisten, 3% berkembang menjadi hepatitis kronis aktif, 1% berkembang

menjadi sirosis dengan atau tanpa hepatitis kronis aktif, dan 1% berkembang menjadi karsinoma

hepatoseluler. Perkiraan saat ini resiko terinfeksi HBV di Amerika Serikat adalah sekitar 1 per

350.000 paparan donor.

Virus Hepatitis A

Penularan hepatitis Virus A (HAV) melalui transfusi sudah sangat jarang. Skirining bank darah

untuk HAV melalui riwayat penyakit saja dan tidak ada carrier untuk virus ini. Periode infeksius

terbatas antara 1 sampai 2 minggu. Diagnosis hepatitis tergantung pada serokonversi antibodi.

Human Immunodeficiency Virus

Komplikasi yang paling ditakuti transfusi darah adalah penularan HIV, virus penyebab dari

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini adalah retrovirus, disebut demikian

karena yang perkembangannya membutuhkan translasi dari RNA ke DNA. Tes skrining saat ini

diarahkan pada kedua virus HIV yaitu HIV 1 dan HIV 2, meskipun yang terakhir merupakan

penyebab penyakit pada manusia yang sangat jarang. Para kejadian transfusi terkait infeksi HIV

telah jauh lebih sedikit dengan pelaksanaan serangkaian tes skrining serologis donor, termasuk,

baru-baru ini, tes NAT. Perkiraan resiko saat ini di Amerika Serikat adalah 1 infeksi HIV per

1,5-2000000 donor. Untuk referensi, resiko yang adalah sekitar 1:100 donor pada awal tahun

1980-an dan 1:400,000 pada tahun 1997,

Human T-Cell Lymphotropic Virus

3

Page 4: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

HTLV-1 dan HTLV-2 berasal dari retrovirus yang sama seperti HIV. Insiden penyakit klinis

dihasilkan dari virus yang menular tampaknya sangat rendah. Mereka terkait dengan T-cell

leukemia dan limfoma daripada penyakit immunodeficiency umum seperti AIDS. Di

Amerika Serikat, semua donor diskrining untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HTLV-I

dan HTLV-2.

Citomegalovirus

Transfusi terkait infeksi CMV biasanya jinak dan sembuh sendiri. Namun, CMV dapat

menyebabkan infeksi yang serius, bahkan fatal pada pasien immunocompromised. Pasien yang

beresiko termasuk neonatus prematur, penerima organ dan penerima transplantasi sumsum

tulang, dan pasien yang fungsi kekebalan tubuh yang sangat lemah. Pneumonia yang disebabkan

CMV merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian yang penting pada penerima

transplantasi sumsum tulang alogenik. Leukoreduksi mengurangi tetapi tidak mencegah

penularan CMV. Pembatasan darah dari donor seronegatif CMV pada pasien

immunocompromised diperlukan di banyak pusat.

Penyakit parasit

Malaria yang ditularkan melalui transfusi relatif umum terjadi di daerah di mana penyakit ini

endemik namun jarang terjadi di Amerika Serikat. Karena parasit berada dalam sel darah merah,

resiko tertular malaria melalui transfusi hampir seluruhnya berhubungan dengan transfusi RBC.

Penyakit Chagas yang disebabkan oleh protozoa (Trypanosoma cruzi) yang endemik di Amerika

Selatan dan Tengah (termasuk Meksiko). Penyakit klinis langka di Amerika Utara dan terjadi

pada penerima transfusi yang immunocompromised.

Kontaminasi Bakteri pada Komponen Darah

Kontaminasi bakteri memiliki frekuensi yang lebih tinggi (Tabel 10-1) daripada infeksi

lain yang dibahas dalam bagian ini dan berhubungan dengan angka mortalitas yang cukup

tinggi. Kematian diperkirakan terjadi antara 1: 1-6,000,000 transfusi, dengan frekuensi yang

lebih besar pada transfusi trombosit daripada RBC karena trombosit disimpan pada suhu kamar

dan karena administrasi trombosit umumnya melibatkan 6 sampai 10 unit pools. Sebuah psoralen

berbasis proses fotokimia yang menonaktifkan DNA dan RNA bakteri (serta virus dan protozoa)

4

Page 5: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

baru-baru ini menunjukkan keberhasilan tanpa menyebabkan kerusakan fungsi trombosit dan

dapat digunakan untuk mengatasi masalah kontaminasi bakteri pada trombosit. Bakteri ini

berasal dari donor darah, flora donor kulit, atau kontaminasi selama pengambilan, pengolahan,

dan penyimpanan darah. Beberapa organisme gram-positif dan-negatif didapatkan pada

trombosit. Goodnough dkk mengidentifikasi organisme berdasarkan frekuensi yang tertinggi

yaitu Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Serratia marcescens, dan Staphylococcus

epidermidis. Hanya beberapa bakteri yang dapat tumbuh pada suhu penyimpanan RBC yaitu

Yersinia enterocolitica, Serratia dan spesies Pseudomonas tertentu.

Pasien yang menerima transfusi darah yang terkontaminasi dengan cepat akan mengalami

beberapa respons seperti demam, menggigil, takikardia, muntah, syok, dan dapat berkembang

menjadi koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dan gagal ginjal akut. Reaksi bervariasi dalam

keparahan dan kecurigaan untuk membedakan dari reaksi transfusi mayor dan minor lainnya.

Transfusi harus dihentikan segera dan kultur darah segera dilakukan.

West Nile Virus

WNV adalah flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk (seperti demam berdarah) yang menjadi

epidemik, terutama di negara bagian Midwestern, termasuk Nebraska, Colorado, dan Kansas

pada tahun 2002. Meskipun sebagian dari individu yang terinfeksi menunjukkan gejala yang baik

atau hanya berkembang menjadi sakit ringan, ensefalitis/ meningitis dapat terjadi dan tingkat

kematian kurang lebih 5-10% kasus. Penularan oleh transfusi darah dan transplantasi organ telah

dikonfirmasi. Untungnya, window period antara infeksi dan gejala klinis pendek yaitu sekitar 3

hari, dan periode infektivitas juga tampaknya relatif singkat. Tes NAT untuk WNV pada donor

sedang dilakukan di daerah dengan insiden tinggi WNV.

Penyakit Terkait Prion

Prion adalah penyebab penyakit Creutzfeldt-Jakob (CJD) dan varian penyakit Creutzfeldt-Jakob

penyakit (vCJD). Yang terakhir adalah penyakit pada manusia yang disebabkan oleh agen yang

bertanggung jawab untuk bovine spongiform encephalitis (BSE). Ketiganya fatal, penyakit

neurologis degeneratif yang disebabkan oleh varian abnormal dari protein yang konstitutif hadir.

Antara awal BSE epidemi di Inggris pada tahun 1984 dan Februari 2004, 156 kasus vCJD telah

dilaporkan, tapi 10 terjadi dalam kerajaan Inggris. Resiko transfusi yang terkait vCJD tidak

5

Page 6: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

terdefinisi. CJD tidak pernah diketahui ditularkan melalui transfusi dan hanya ada satu kasus

yang dilaporkan vCJD terkait transfusi. Namun, periode inkubasi mungkin vCJD selama 6 tahun

sehingga tingkat transmisi yang sebenarnya belum diketahui. Meskipun demikian, itu harus

diharapkan bahwa perubahan dalam praktek peternakan dikombinasikan dengan pengecualian

donor yang diam di daerah beresiko tinggi akan meminimalkan resiko.

Resiko noninfeksi Terkait Transfusi Darah

Resiko noninfeksi yang terkait dengan pemberian produk darah, sebagian besar yang diperantarai

oleh imun dan perkiraan insidens diperlihatkan dalam Tabel 10-2.

Efek samping Insiden

Reaksi transfusi hemolitik akut 1/25.000-1/50.000

Reaksi transfusi hemolitik lambat 1/2.500

Reaksi alergi minor 1/200-1/250

Reaksi anafilaksis/anafilaktoid 1/25.000-1/50.000

Reaksi febris 1/200

Transfusi terkait cedera paru-paru (TRALI) 1/5.000

Graft-Versus-Host Disease Jarang

Imunomodulasi (?) 1/1

Tabel 10.2. Efek samping noninfeksi terkait transfusi darah dan insidensnya

Reaksi Transfusi Diperantarai Imunologis

Reaksi terhadap produk darah yang ditransfusikan dapat terjadi sebagai akibat adanya antibodi

yang baik konstitutif (misalnya, Anti-A, Anti-B) atau yang telah terbentuk sebagai akibat dari

paparan sebelum donor sel darah merah, sel darah putih, trombosit, dan/atau protein, atau

sebagai konsekuensi dari efek transfusi sel darah putih.

REAKSI TERHADAP ANTIGEN RBC

Reaksi transfusi hemolitik akut. Yang paling ditakuti dari reaksi kekebalan tubuh

adalah Acute Hemolitic Transfusion Reaction (AHTR) terhadap sel darah merah asing. Hemolisis

dari sel darah merah donor sering menyebabkan gagal ginjal akut, koagulasi intravaskular

6

Page 7: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

diseminata, dan kematian. Ada lebih dari 300 antigen yang berbeda pada sel darah merah

manusia, tetapi banyak yang immunogen lemah yang biasanya tidak menimbulkan respon

terdeteksinya antibodi. Antibodi yang memperbaiki komplemen dan umumnya menyebabkan

hemolisis intravascular langsung meliputi anti-A, anti-B, anti-Kell, anti- Kidd, anti-Lewis, dan

anti-Duffy.

Insiden AHTRs diperkirakan 1 per 12.000 unit transfusi. Ketidaksesuaian ABO adalah

satu di antara tiga penyebab utama kematian terkait transfusi di Amerika dengan frekuensi dalam

beberapa tahun terakhir lebih sedikit dari TRALI dan lebih banyak dari kontaminasi bakteri (L.

Holness,MD, November 2004). Dalam salah satu yuridiksi (Kanada), penyedia pelayananan

kesehatan bertanggung jawab atas sebagian besar kesalahan transfusi darah yang tidak cocok

yang mengakibatkan pasien meninggal. Ini adalah sebuah ironi yang tidak nyaman, pada saat

menulis ini, salah satu resiko utama untuk pasien bukan pada suplai darah, tetapi lebih pada

proses transfusi darah ke pasien.

Ketika darah yang tidak cocok ditransfusikan, antibodi dan komplemen pada plasma

penerima transfusi menyerang antigen pada sel darah merah donor kemudian terjadi hemolisis.

Reaksi hemolitik dapat mengambil tempat di ruang intravaskular dan/atau dapat terjadi

extravaskular dalam retikulum endoplasma. Antigen-antibodi kompleks mengaktifkan faktor

Hageman (faktor XII), yang pada gilirannya bekerja pada sistem kinin untuk menghasilkan

bradikinin. Pelepasan bradikinin meningkatkan permeabilitas kapiler dan melebarkan arteriol

sehingga menyebabkan hipotensi. Aktivasi sistem komplemen menyebabakan pelepasan

histamin dan serotonin dari sel mast, sehingga terjadi bronkospasme. Tiga puluh hingga lima

puluh persen pasien berkembang menjadi DIC.

Hemolisis melepaskan hemoglobin ke dalam darah. Awalnya hemoglobin berikatan

dengan haptoglobin dan albumin sampai tempat pengikatannya tersaturasi, kemudian

hemoglobin yang tidak berikatan berada dalam sirkulasi darah sampai diekskresikan oleh ginjal.

Kerusakan ginjal terjadi karena beberapa alasan. Aliran darah ke ginjal berkurang sehingga

menyebabkan hipotensi sistemik dan vasokonstriksi ginjal. Hemoglobin bebas dalam bentuk

asam hematin atau sel stroma dapat mengendap dalam tubulus ginjal sehingga menyebabkan

obstruksi mekanik. Kompleks antigen-antibodi dapat disimpan dalam glomeruli. Jika pasien

berkembang menjadi DIC, fibrin, trombi juga akan disimpan di pembuluh darah ginjal, dan

mengorbankan perfusi.

7

Page 8: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Gejala dan tanda dari reaksi transfusi hemolitik yaitu demam, menggigil, mual, muntah,

diare, dan kekakuan. Pasien dapat hipotensi dan takikardi (efek bradikinin) dan mungkin tampak

memerah dan dispnea (histamin). Dada dan punggung sakit akibat dari oklusi intravaskular difus

oleh sel merah yang menggumpal. Pasien sering gelisah dan sakit kepala. Hemoglobinuria akan

muncul seiring dengan munculnya perdarahan sesuai dengan perkembangan DIC. Dengan

kegagalan ginjal dapat juga terjadi oliguria. Selama anestesi umum, banyak tanda-tanda yang

tidak terlihat. Hipotensi dan hemoglobinuria serta perdarahan difus mungkin menjadi satu-

satunya petunjuk bahwa reaksi transfusi hemolitik telah terjadi. Namun, hipotensi dan

perdarahan tidak spesifik dan sering dijumpai di ruang operasi dan diagnosis mungkin tidak

diduga sampai terdapat hemoglobinuria. Kecurigaan harus dipertahankan selama pemberian sel

darah merah untuk pasien yang dianestesi untuk menghindari keterlambatan dalam diagnosis.

Jika dicurigai terjadi reaksi, transfusi harus dihentikan dan identitas pasien dan label

darah diperiksa ulang. Penanganan memiliki tiga tujuan utama yaitu mempertahankan tekanan

darah sistemik, pelestarian fungsi ginjal, dan pencegahan DIC. Tekanan darah sistemik harus

didukung oleh volume, tekanan, dan inotropik. Output urin harus diperhatikan dengan pemberian

cairan dan penggunaan diuretik, baik manitol atau furosemid, ataupun keduanya. Natrium

bikarbonat dapat diberikan untuk membuat urin menjadi basa. Saat ini tidak ada terapi spesifik

untuk mencegah perkembangan DIC. Namun, penting mencegah hipotensi dan mempertahankan

curah jantung untuk mencegah stasis dan hipoperfusi, yang keduanya berkontribusi pada

perkembangan DIC.

Tes laboratorium harus mencakup : crossmatch ulang, tes antiglobulin langsung

(Coombs). Tes antiglobulin langsung adalah tes definitif untuk reaksi transfusi hemolitik akut.

Ini untuk memeriksa penerima sel darah merah untuk mendeteksi adanya permukaan

imunoglobulin dan komplemen. Serum pasien juga diperiksa untuk mendeteksi adanya antibodi

yang bereaksi dengan sel donor. Level haptoglobin serum, plasma, dan hemoglobin dan tes

bilirubin urin biasanya dilakukan. Namun, ini hanya bukti terjadinya hemolisis, tidak secara

khusus dari sebuah reaksi. Tes laboratorium untuk mengetahui status koagulasi termasuk jumlah

trombosit, PT, aPTT, TT, level fibrinogen, dan produk hasil degradasi fibrin harus dilakukan.

Pemeriksaan plasma pasien setelah sentrifugasi singkat hingga terjadi perubahan warna

menjadi merah muda yang disebabkan oleh adanya hemoglobin bebas adalah tes skrining

sederhana yang dilakukan ketika dicurigai terjadi reaksi transfusi hemolitik. Hemolisis dapat

8

Page 9: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

disebabkan oleh banyak hal, termasuk pemanasan yang berlebihan sebelum transfusi atau

penggunaan larutan hipotonis sebagai pengencer. Namun, hemolisis harus dianggap

menunjukkan reaksi transfusi hemolitik sampai dibuktikan bukan.

Reaksi Transfusi Hemolitik Tertunda. Banyak instansi yang telah melaporkan di mana

transfusi sel darah merah dieliminasi dengan cepat dari sirkulasi pada interval yang pendek (hari)

setelah kompatibel crossmatch. Banyak kejadian ini menunjukkan reaksi transfusi hemolitik

tertunda (DHTRs). Reaksi-reaksi ini terjadi ketika sel darah merah donor dianggap antigen untuk

penerima sebelumnya yang telah terpapar oleh transfusi sebelumnya atau kehamilan. Sampai

pada waktunya antibodi penerima donor sampai pada level yang lemah sehingga tidak terdeteksi

dengan tes kompatibilitas. Ketika paparan kembali terjadi, penerima mengalami respon

anamnestic dan menghasilkan antibodi yang lebih banyak yang menyebabkan lisisnya sel darah

merah asing. Biasanya antibodi menyelimuti RBC diasingkan ke extravaskuler dan lisis terjadi di

limpa dan sistem retikuloendotelial. Karena penghancuran sel darah merah terjadi extravaskuler,

gejala yang ditimbulkan lebih ringan dan reaksi cenderung tidak berakibat fatal. Berbeda

AHTRs, yang biasanya melibatkan antibodi dalam sistem ABO, DHTRs umumnya melibatkan

antibodi terhadap Rhesus (Rh), Kell, Duffy, dan antigen Kidd. Frekuensi reaksi hemolitik

tertunda dilaporkan 1 per 800 hingga 2.500 transfusi.

Bukti hemolisis biasanya terdeteksi pada minggu pertama atau kedua setelah transfusi.

Reaksi tidak terdeteksi atau diidentifikasi karena kombinasi demam ringan, peningkatan bilirubin

dengan atau tanpa ikterus ringan, dan/atau reduksi konsentrasi hemoglobin yang tidak dapat

dijelaskan. Diagnosis dikonfirmasi dengan tes antiglobulin langsung positif (Coombs test).

Haptoglobin serum juga menurun. Reaksi ini dapat sembuh sendiri dan manifestasi klinis

membaik ketika sel transfusi dikeluarkan dari sirkulasi.

REAKSI TERHADAP PROTEIN DONOR

Reaksi Alergi Minor. Reaksi alergi terhadap protein dalam plasma donor yang

menyebabkan reaksi urtikaria kurang lebih 0,5% dari semua transfusi. Reaksi ini terkait dengan

transfusi FFP, tetapi karena volume plasma dari donor yang terdapat dalam produk darah lainnya

(Sel darah merah, trombosit) hanya dalam jumlah kecil, reaksi alergi dapat terjadi hanya dengan

transfusi komponen plasma. Pasien dapat merasa gatal, bengkak, dan ruam karena pelepasan

9

Page 10: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

histamin. Gejala ringan ini dapat diobati dengan difenhidramin. Pasien yang mengalami reaksi

urtikaria berat dapat diberikan saline washed cell.

Reaksi anafilaksis. Bentuk reaksi alergi anafilaksis jarang terjadi namun dapat terjadi

pada pasien yang mengalami dispnea, bronkospasme, hipotensi, edema laring, nyeri dada, dan

syok. Anafilaksis yang dipicu oleh transfusi sangat jarang, namun dapat bersifat fatal. Hal ini

dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA herediter yang telah tersensitasi dengan transfusi

sebelumnya atau kehamilan yang terpapar dengan darah yang memiliki protein IgA asing.

Pengobatan terdiri dari penghentian transfusi, epinefrin dan metilprednisolon. Washed red cell,

frozen deglycerolized red cells, atau sel darah merah dari donor yang memiliki kadar IgA yang

rendah dapat digunakan untuk pasien ini.

LEUKOSIT TERKAIT REAKSI TRANSFUSI

Reaksi demam. Pasien yang menerima transfusi sel darah merah atau beberapa trombosit

sering berkembang menjadi antibodi terhadap antigen HLA pada leukosit dalam produk

transfusi. Selama transfusi RBC berikutnya, reaksi demam dapat terjadi sebagai akibat dari

serangan antibodi terhadap leukosit donor. Respon demam terjadi pada sekitar 1% dari semua

transfusi sel darah merah. Biasanya pasien mengalami peningkatan suhu lebih dari 1 derajat

celcius dalam waktu 4 jam dari transfusi darah dan turun dalam waktu 48 jam. Pasien dapat

mengalami demam saja, tetapi dapat juga menggigil, gangguan pernapasan, kecemasan, sakit

kepala, mialgia, mual, dan batuk produktif. Reaksi demam dapat diobati dengan acetaminophen.

Leukosit menyebabkan reaksi demam akibat transfusi harus dibedakan dari reaksi transfusi

hemolitik (tes Coombs langsung). Leukoreduksi mengurangi atau mencegah reaksi ini.

Transfusi Terkait Cedera Paru Akut. Transfusi terkait cedera paru akut (TRALI) yaitu

edema paru noncardiogenic yang berhubungan dengan transfusi darah. Ini dikaitkan dengan

pemberian semua komponen darah tetapi paling sering terjadi pada transfusi sel darah merah

(whole blood atau PRC), FFP, dan platelet. Insidens diperkirakan sekitar 1:5.000 transfusi.

Namun, TRALI kurang dilaporkan. TRALI dengan mortalitas 5 sampai 8%, adalah penyebab

kematian dari transfusi yang dilaporkan FDA pada tahun 2001 sampai 2003, meskipun itu hanya

inkompatibilitas ABO dan kontaminasi bakteri (L. Holness, MD, November 2004).

Tinjauan rinci TRALI telah tersedia. Pada banyak kasus, TRALI terjadi ketika zat dalam

plasma darah donor mengaktifkan leukosit dalam tubuh penerima donor. Zat yang paling sering

10

Page 11: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

antibodi antileukosit pada darah donor yang terbentuk dari transfusi sebelumnya atau kehamilan.

Dalam beberapa kasus, reaksi sebaliknya, agregasi leukosit donor dan antibodi penerima terjadi

ketika penerima telah alloimmunized terhadap antigen WBC. Karena antibodi antigranulocyte

didapatkan pada sebagian besar kasus TRALI, diduga bahwa secara biologis lemak aktif juga

menjadi initiator dari cedera paru. Lipid dianggap berasal dari kerusakan membran elemen

jaringan selular produk darah yang disimpan. Hal ini juga menunjukkan bahwa TRALI

membutuhkan faktor predisposisi berupa inflamasi penerima, misalnya, sepsis, trauma, operasi.

Gambaran klinis sangat mirip dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),

meskipun angka kematian lebih kurang dibandingkan ARDS. Dalam 6 jam pertama setelah

transfusi, kadang lebih cepat, pasien berkembang menjadi sesak, menggigil, demam, dan edema

paru noncardiogenic. X-ray dada menunjukkan adanya infiltrat bilateral. Dapat berkembang

menjadi insufisiensi paru yang berat. Pengobatan sebagian besar bersifat suportif. Transfusi

harus dihentikan jika terjadi reaksi. Pasien harus diberikan oksigen tambahan dan bantuan

ventilator jika diperlukan, idealnya dengan menggunakan volume tidal paru yang rendah untuk

mencegah berkembang menjadi ARDS. Edema paru yang terjadi bersifat noncardiogenic

sehingga pemberian diuretik tidak dianjurkan. Glukokortikoid diberikan namun tidak ada data

yang mendukung tindakan itu.

Pasien yang mengalami reaksi ini dapat diberikan washed PRBCs. Donor wanita

multipara diidentifikasi sebagai sumber antibodi antileukosit dan telah diusulkan bahwa

"Femmes fatales" dikeluarkan dari donor.

Graft-versus-Host Disease (GVHD). Sel darah merah dan konsentrat trombosit

keduanya memiliki jumlah limfosit donor yang signifikan. Ketika ditransfusikan ke pasien yang

immunocompromised, limfosit dapat engrafted, berkembang biak, dan membangun respon imun

terhadap penerima transfusi. Pada dasarnya, limfosit engrafted yang menolak host.

Pasien yang beresiko GVHD termasuk penerima transplantasi organ, neonatus yang

mengalami transfusi tukar, dan pasien immunocompromised oleh proses penyakit lainnya.

GVHD biasanya cepat menjadi pansitopenia dan tingkat kematian sangat tinggi. Transfusi terkait

GVHD telah dilaporkan pada pasien imunokompeten ketika ada hubungan genetik antara donor

dan penerima. Dalam situasi ini, penerima dapat berbagi haplotipe antigen HLA dengan limfosit

donor. Pasien yang kekebalannya kompeten, gagal untuk menolak sel transfusi karena mereka

tidak mengenalinya sebagai sel asing. Pada transfusi, limfosit donor menganggap host sebagai

11

Page 12: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

benda asing dan terjadi reaksi GVHD. Karena fenomena ini, American Association of Blood

Bank telah merekomendasikan bahwa donasi langsung dari kerabat tingkat pertama akan disinari

untuk menonaktifkan limfosit donor.

GVHD telah dilaporkan hanya setelah transfusi komponen darah seluler. Hal ini tidak

terjadi pada transfusi FFP, kriopresipitat, atau sel darah merah beku. Idealnya, produk darah

seluler ditujukan untuk pasien immunocompromised dan transfusi dari donor yang memiliki

hubungan genetik harus selalu disinari. Leukoreduksi dapat mengurangi insiden GVHD, tetapi

tidak mencegahnya. Penyinaran tetap satu-satunya cara efektif untuk mencegah GVHD.

Imunomodulasi. Perubahan fungsi kekebalan tubuh terkait transfusi allogenic.

Pengamatan awal adalah penurunan angka penolakan transplantasi dan aborsi spontan pada

pasien yang menerima transfusi homolog. Perubahan dalam pengawasan imunitas telah

disimpulkan. Banyak efek samping transfusi, dianggap mencerminkan pelemahan imunitas,

termasuk peningkatan mortalitas, kekambuhan keganasan yang cepat, peningkatan resiko infeksi,

dan progresifitas yang lebih cepat dari HIV/AIDS. Studi mengatasi kanker, infeksi, dan kematian

telah ditinjau secara menyeluruh oleh Vamvakas et al. Mereka mempertanyakan kesimpulan

validitas atas dasar kegagalan, pada kebanyakan laporan, untuk mengontrol penggabungan

variabel. Masalah ini, singkatnya, adalah: pasien dengan penyakit yang lebih berat lebih

memerlukan transfusi dan memiliki peningkatan resiko komplikasi independen dari transfusi.

Laporan selanjutnya dari efek samping darah allogenic, dengan dibuat tunjangan untuk variabel

pengganggu.

Transfusi sel darah putih dianggap sebagai mediator dari efek pelemahan kekebalan,

walaupun mekanisme pasti belum diketahui. Observasi ini telah menyebabkan pengembangan

dan penerapan teknik untuk deplesi leukosit produk darah donor.

Leukoreduksi Banyak negara termasuk Kanada, Perancis, Portugal, Inggris, negara-

negara tertentu dan wilayah di Amerika Serikat telah mengadopsi praktek leukoreduksi dari

100% suplai darah mereka, dan Amerika Serikat bergerak menuju tujuan itu. Ada manfaat baik

dikonfirmasi beberapa leukoreduksi termasuk pengurangan dalam pengembangan

alloimmunisasi dan refractoriness trombosit, penurunan kejadian demam dari reaksi transfusi

nonhemolitik, dan pengurangan (tetapi bukan pencegahan) transmisi CMV. Namun,

leukoreduksi selektif dapat diterapkan untuk pasien yang memiliki keuntungan relevan.

12

Page 13: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Advokasi leukoreduksi universal menyelesaikan pengetahuan menegenai berbagai keuntungan

leukoreduksi yang terdaftar sebagai "Terlapor namun belum dikonfirmasi" pada tabel 10.3.

Keuntungan leukoreduksi

MANFAAT YANG DIKONFIRMASI

Penurunan alloimmunisasi / refractoriness trombosit dalam leukemics kalikan ditransfusikan

Pencegahan reaksi demam pada transfusi RBC

Pengurangan transmisi CMV

MANFAAT YANG DILAPORKAN NAMUN BELUM DIKONFIRMASI

Penurunan infeksi pascaoperasi

Penurunan mortalitas pascaoperasi

Mempersingkat waktu rawat inap

Pencegahan transfusi terkait akselerasi HIV

Pencegahan transfusi terkait rekurensi tumor

Mengurangi kejadian / keparahan GVHD

Tabel 10-3. Keuntungan leukoreduksi

Sementara banyak manfaat yang diduga belum dikonfirmasi, laporan tambahan manfaat

leukoreduksi sedang ditambahkan ke literatur. Meskipun skeptisisme berlanjut, pandangan

umum bahwa, walaupun terkait biaya, karena resiko leukoreduksi yang minimal, manfaat yang

membenarkan melanjutkan leukoreduksi universal.

Leukoreduksi universal, ketika sepenuhnya dilaksanakan, akan mempekerjakan

prestorage depletion untuk mencegah pelepasan mediator dari leukosit selama penyimpanan. Hal

ini terutama pada trombosit, yang disimpan pada suhu kamar. Untuk sementara, dokter

menggunakan penyaring di samping tempat tidur pasien sementara filter yang tersedia kurang

efisien pada suhu tinggi dan karena itu idealnya penyaringan dilakukan sebelum menghangatkan

darah ke suhu kamar. Dokter juga harus memperhatikan kemungkinan yang lebih parah, seperti

hipotensi yang disebabkan bradikinin pada pasien yang menerima darah yang disaring di

samping tempat tidur. Reaksi lebih sering terjadi pada pasien yang menerima penghambat

konversi angiotensin (yang mengurangi kerusakan bradikinin).

RESIKO NONINFEKSI LAIN TERKAIT TRANSFUSI

13

Page 14: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Transfusi masif. Transfusi cepat dalam volume besRa darah memiliki beberapa konsekuensi.

Beberapa adalah fungsi dari sifat darah itu sendiri, dari zat yang digunakan untuk menjaga,

antikoagulasi, dan reaksi biokimia yang terjadi selama penyimpanan. Ada komplikasi lain dari

transfusi darah yang mungkin terjadi dengan transfusi cepat dari volume cairan yang besar.

Hipotermia. Transfusi 1 unit PRBCs di 4 derajat celcius akan mengurangi suhu tubuh dari

seorang pasien 70 kg sekitar 0,25 derajat Celcius. Hipotermia memperlambat koagulasi (seperti

halnya semua reaksi enzimatis) dan menyebabkan sekuestrasi trombosit. Pada 29°C (suhu di

mana resiko kritis disritmia jantung), PT dan aPTT akan meningkat sekitar 50% atas nilai-nilai

normothermic dan jumlah trombosit akan menurun sekitar 40%. Disritmia dapat dilihat pada

suhu inti yang lebih tinggi jika darah yang tidak dipanaskan diberikan dengan cepat, khususnya

melalui kateter akses sentral. Meskipun ada keyakinan umum bahwa " darah pasien dingin "

belum ada korelasi kuantitatif suhu dan perdarahan pada pengaturan klinis. Suhu 33°C yang

umum digunakan dalam bedah saraf elektif tanpa gambaran klinis koagulopati. Namun, Ferrara

et al mengamati perjalanan klinis dari 45 pasien yang menerima transfusi masif karena trauma.

Durasi hipotensi sama pada pasien yang bertahan hidup dan yang tidak. Namun, tingkat asidosis

dan hipotermia lebih ekstrim pada yang tidak bertahan dan pasien yang tidak bertahan

berkembang menjadi koagulopati meskipun darah adekuat, plasma, dan penggantian trombosit.

Dalam penelitian ini, sulit untuk memisahkan efek dari concomitants klinis umum dari

hipotermia, misalnya, asidosis, syok, transfusi masif, cedera jaringan masif, dari orang-orang

dari hipotermia per se. Selanjutnya, pentingnya hipotermia mungkin terletak pada interaksi

dengan variabel lain. Terlepas dari ambigu, hipotermia harus dihindari dan dikoreksi secara

agresif pada pasien yang menerima transfusi masif. Dengan demikian, transfusi yang diberikan

cepat atau dalam volume yang besar harus dihangatkan untuk mencegah terjadinya hipotermia.

Dengan penurunan suhu tubuh terjadi penurunan cardiac output, perfusi jaringan terganggu

(sebagai konsekuensi dari kedua vasokonstriksi dan pergeseran ke kiri kurva disosiasi O2-Hb),

dan asidosis metabolik bisa terjadi. Menggigil dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai

400%. Hipotermia telah dikaitkan dengan peningkatan morbiditas pascabedah dan kematian

termasuk tingkat peningkatan infeksi pascaoperasi

Volume Overload. Volume overload sirkulasi terjadi ketika darah atau cairan ditransfusikan

terlalu cepat untuk kompensasi redistribusi cairan turut mengambil tempat.

14

Page 15: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Koagulopati pengenceran. Pemberian volume besar cairan, defisiensi trombosit dan faktor

koagulasi akan berkembang menjadi koagulopati akibat dari pengenceran. Ada banyak diskusi

tentang apakah, dalam menghadapi transfusi darah masif, pasien akan mengalami defisiensi

trombosit atau faktor pembekuan. Pada kesimpulan awal bahwa trombositopenia yang akan

berkembang pertama. Dalam retrospeksi, kesimpulan klinisi menjadi konsekuensi dari

penggunaan whole blood akhir-akhir ini. Walaupun faktor V dan VIII labil, konsentrasi dari

faktor-faktor ini cukup dalam whole blood untuk mempertahankan fungsi koagulasi bahkan pada

transfusi yang sangat banyak. Hal yang sama mungkin tidak benar ketika pasien hanya menerima

sedikit volume plasma residu yang terdapat pada PRC. Penyelidikan dari pasien yang menerima

volume transfusi isovolemic yang besar menunjukkan dilusi yang signifikan dari fibrinogen,

faktor II, V, dan VIII, dan platelet akan terjadi setelah pertukaran volume sekitar 140%, 200-

230%, dan 230% (yaitu 1,4,2,dan volume darah 2,3). Resusitasi dari hipovolemia akan mencapai

ambang batas ini persentase penggantian volume yang lebih kecil. Namun, perhitungan alam ini

tidak boleh digunakan sebagai panduan untuk pemberian produk darah tetapi hanya sebagai

sarana mengantisipasi kejadian klinis yang relevan. Keputusan untuk memberikan FFP atau

platelet tergantung pada gejala klinis dan petunjuk laboratorium terhadap koagulopati.

Penurunan 2,3-Diphosphoglycerate (2,3-DPG). Penyimpanan sel darah merah

dihubungkan dengan penurunan progresif ATP intraseluler dan 2,3-DPG dengan pergeseran

kurva disosiasi Hb-O2 ke kiri. Dengan demikian, transfusi darah 2,3-DPG-habis sementara

meningkatkan nilai hemoglobin pasien menghasilkan pengiriman oksigen kurang efisien

daripada yang terjadi dengan hemoglobin asli pada jumlah hematokrit yang sama. Setelah

transfusi, kadar 2,3-DPG kembali normal setelah 12 sampai 24 jam.

Perubahan Asam Basa. Ketika solusi CPD ditambahkan ke unit darah yang baru

diambil, pH turun menjadi sekitar 7,0-7,1. Penurunan pH terus berlanjut selama penyimpanan

karena metabolisme glukosa menjadi laktat. Pada akhir 21 hari, pH sekitar 6,9, tetapi pH ini

merupakan hasil dari produksi CO2 yang dieliminasi dengan cepat setelah transfusi. Apakah

infus cepat dari transfusi darah menyebabkan asidosis metabolik masih diperdebatkan. Di masa

lalu, beberapa dokter telah memberikan natrium bikarbonat secara empiris untuk pasien pada

jadwal tetap (misalnya, natrium bikarbonat 44,6 mEq setelah setiap pemberian 5 unit darah).

Lainnya berpendapat bahwa sitrat dari larutan CPD dimetabolisme oleh pasien untuk

menghasilkan bikarbonat endogen dan gangguan asam-basa itu terkoreksi sendiri. Secara klinis,

15

Page 16: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

pasien cedera yang hipotensi, perfusi yang jelek dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, sulit

untuk membedakan apakah asidosis metabolik terjadi karena transfusi yang cepat atau karena

produksi asam laktat. Tindakan yang sesuai adalah terapi bikarbonat pada analisis gas darah.

Hiperkalemia. Selama penyimpanan, kalium bergerak keluar dari sel darah merah, di

bagian untuk mempertahankan netralitas elektrokimia dari ion hidrogen yang dihasilkan selama

penyimpanan. Konsentrasi kalium dalam plasma yang dilaporkan dapat mencapai 17 dan 24

mEq / L pada 21 sampai 35 hari atau 19-35 mEq/L dalam darah yang disimpan selama 21 hari.

Resiko ada jika volume darah yang banyak diberikan dengan cepat. Pemberian lebih dari 90

sampai 120 mL / menit telah dihubungkan dengan hiperkalemia. Selain itu, sementara hanya ada

20 sampai 60 mL plasma dalam 1 unit PRBC, perangkat infus kontemporer memungkinkan

transfusi darah pada tingkat 500 sampai 1.000 mL / menit. Pada laju infus ini, hiperkalemia kritis

dapat terjadi dan arrest intraoperatif telah didokumentasikan. Perubahan EKG yang berhubungan

dengan hiperkalemia meliputi gelombang T tinggi, interval PR memanjang, dan kompleks QRS

melebar. Jika diamati perubahan EKG, transfusi harus dihentikan dan kalsium intravena harus

diberikan. Bikarbonat, dekstrosa, dan insulin juga dapat diberikan sesuai dengan tingkat

keparahan hiperkalemia.

Intoksikasi sitrat. Larutan tambahan mengandung sitrat sering digunakan sebagai

antikoagulasi oleh chelation kalsium terionisasi. Ketika volume darah yang disimpan besar (>

satu volume darah) yang diberikan dengan cepat, sitrat dapat menyebabkan penurunan kadar

kalsium terionisasi. Sitrat biasanya dimetabolisme oleh hati dan penurunan kadar kalsium

terionisasi seharusnya tidak terjadi kecuali kecepatan transfusi melebihi 1 mL / kg per menit atau

sekitar 1 unit darah per 5 menit pada orang dewasa berukuran rata-rata. Perhatikan bahwa

additive solution (AS) memiliki kandungan sitrat jauh lebih kecil daripada sitrat-fosfat-

dekstrosa-adenin (CPDA) darah. Namun, sebagian besar sitrat diberikan selama transfusi masif

dalam FFP daripada PRBCs. Gangguan fungsi hati atau perfusi akan menurunkan tingkat

ambang batas menuju keracunan sitrat. Perhatikan bahwa konsekuensi krisis jantung terjadi

sebelum hipokalsemia memiliki implikasi signifikan untuk koagulasi. Tanda-tanda keracunan

sitrat (hipokalsemia) meliputi: hipotensi, tekanan nadi sempit, dan tekanan diastolik akhir

ntraventrikular dan tekanan vena sentral meningkat, Interval QT memanjang, kompleks QRS

melebar, dan gelombang T datar.

16

Page 17: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Pengiriman Mikroagregasi. Darah yang disimpan mengandung mikroagregasi.

Agregasi trombosit membentuk selama hari kedua sampai hari kelima penyimpanan dan setelah

sekitar 10 hari, agregat yang lebih besar terdiri dari fibrin, degenerasi sel darah putih, dan

trombosit muncul. Makroaggregasi dari sel darah merah juga berkembang. Pemberian cairan

standar mengandung filter 170 mikron, yang akan menyaring bekuan yang lebih besar. Filter

mikropori biasanya dengan ukuran filter 40 mikron, telah dianjurkan namun efisiensi menyaring

mikroagregasi dan makna untuk keamanan pasien belum pasti. Mikroagregasi terlibat dalam

patogenesis insufisiensi paru dan pengembangan ARDS, yang terjadi setelah transfusi volume

darah yang besar (didefinisikan sebagai> 10 sampai 12 unit dalam 24 jam). Namun, data yang

tersedia tidak mengkonfirmasi kecurigaan ini dan menyarankan cedera paru dan terjadinya

ARDS terkait dengan jenis cedera dan tingkat keparahan dari cedera daripada volume darah yang

ditransfusikan. Hipotensi dan sepsis mungkin mempunyai peran yang lebih besar dalam

perkembangan ARDS dibandingkan mikroagregasi dan mikroagregasi lebih terkait dengan

TRALI. Sebuah pertimbangan praktis tetap menggunakan filter mikropori antara unit darah dan

set pemberian. Darah yang tidak disaring dapat menyumbat filter 170-mikron dari set standar dan

kurang menghabiskan waktu untuk mengubah ke filter 40-mikron secara berkala, misalnya,

setelah setiap 4 unit RBC, daripada pertukaran mengatur seluruh administrasi.

Sel darah merah sering diencerkan dengan larutan kristaloid untuk meningkatkan jumlah

darah yang bisa ditransfusikan. Normal saline merupakan kristaloid yang direkomendasikan

untuk larutan dibandingkan RL. Bahkan, jumlah sitrat yang terdapat dalam darah yang disimpan

lebih dari cukup untuk mengikat sejumlah kecil kalsium dalam 100 sampai 300 cc dari RL

biasanya digunakan untuk pengenceran. Tidak ada bukti bahwa sequele yang signifikan secara

klinis dihasilkan dari penggunaan RL sebagai pengencer RBC.

PRODUK DARAH DAN AMBANG BATAS TRANSFUSI

Sel Darah Merah

Pertanyaan tentang apakah kadar hemoglobin / hematokrit terkait resiko pada transfusi darah

telah dibahas secara luas (Tabel 10-4). Sekali semua tapi "10 sampai 30" aturan telah

ditinggalkan. Pengalaman dengan beberapa pasien (gagal ginjal, korban militer, Jehovah's

Witnesses) dan studi sistematis telah mengungkapkan bahwa derajat anemia yang lebih besar

cukup dapat ditoleransi dengan baik dan dalam banyak situasi, morbiditas dan mortalitas tidak

17

Page 18: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

meningkat sampai kadar hemoglobin di bawah 7 g/dL. Ambang batas transfusi kontemporer

untuk kedokteran umum pasien bedah sekarang adalah 21% / 7,0 g / dL (Hb / Ht). Namun, ada

bukti bahwa ambang batas untuk pasien dengan penyakit jantung harus lebih tinggi. Bukti

tersebut mencakup studi yang dilakukan mendukung ambang batas 30% / 10 g / dL (Hb / Ht)

pada pasien yang menderita infark miokard akut dan studi observasi menunjukkan hasil yang

lebih baik pada pasien dengan penyakit jantung yang berat (bedah jantung dan pembuluh darah,

penyakit jantung iskemik, disritmia) di atas ambang batas 9,5 g/dL. Pedoman Praktik untuk

Terapi Komponen Darah yang dikembangkan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA)

menyatakan bahwa "transfusi sel darah merah jarang menjadi indikasi ketika kadar hemoglobin

lebih dari 10 g/dL dan hampir selalu menjadi indikasi bila kurang dari 6 g / dL. Indikasi transfusi

autologous mungkin lebih bebas daripada transfusi alogenik (homolog) transfusi."

Hipotermia

Kelebihan volume (volume overload)

Koagulopati dilutional / pengenceran

Penurunan kapasitas yang membawa O2 (penurunan 2,3-DPG)

Asidosis metabolic

Hiperkalemia

Intoksikasi sitrat

Pengiriman mikroagregasi

Tabel 10.4 Resiko yang berhubungan dengan transfusi masif

Tanggung jawab dokter adalah untuk mengantisipasi kadar hemoglobin minimal

(mungkin sekitar 7 sampai 10 g/dL) yang akan mencegah kerusakan organ karena kekurangan

oksigen. Menentukan kebutuhan transfusi membutuhkan banyak data dari kondisi pasien yang

menentukan kebutuhan pengiriman oksigen dan cadangan fisiologis (Tabel 10-5). Akhirnya

keputusan untuk transfusi sel darah merah harus dibuat berdasarkan penilaian klinis bahwa

kapasitas darah untuk mengangkut oksigen harus ditingkatkan untuk mencegah konsumsi

oksigen melebihi pengiriman oksigen.

Peningkatan kebutuhan oksigen

- Hipertermia

- Hipertiroid

- Sepsis

18

Page 19: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

- Kehamilan

Keterbatasan kemampuan meningkatkan cardiac output

- Penyakit jantung koroner

- Disfungsi miokard (infark, kardiomiopati

- Blok beta adrenergic

- Katidakmampuan untuk redistribusi CO

- Resistensi vaskuler sistemik rendah

Sepsis

Postcardiopulmonary bypass

Penyakit oklusi vascular

Pergeseran kurva O2-Hb ke kiri

- Alkalosis

- Hipotermi

Hemoglobin abnormal

- Post transfusi hemoglobin (penurunan 2,3-DPG)

- HbS (penyakit sel sabit)

- Anemia akut (kompensasi 2,3-DPG terbatas)

Oksigenasi terganggu

- Penyakit paru

- Dataran tinggi

Perdarahan yang sedang terjadi atau akan terjadi

- Trauma atau perdarahan selama operasi

- Plasenta previa atau akreta, abrupsio, atonia uteri

- Koagulopati klinis

Tabel 10.5. Kondisi yang menurunkan toleransi terhadap anemia dan meningkatkan ambang

batas transfusi

Mekanisme Kompensasi Pada Anemia

Ketika terjadi anemia volume darah dipertahankan (hemodilusi isovolemic), empat mekanisme

kompensasi untuk mempertahankan pengiriman oksigen: (1) peningkatan cardiac output, (2)

redistribusi aliran darah ke organ dengan kebutuhan oksigen yang lebih besar, (3) peningkatan

19

Page 20: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

rasio ekstraksi dari beberapa pembuluh darah dan (4) perubahan ikatan hemoglobin-oksigen agar

hemoglobin dapat memberikan oksigen pada tekanan oksigen rendah.

1. Peningkatan cardiac output

Dengan hemodilusi isovolemic, cardiac output meningkat karena peningkatan stroke

volume yang disebabkan oleh penurunan resistensi vaskuler sistemik (SVR). Ada dua

faktor penentu utama SVR yaitu tonus vaskular dan viskositas darah. Jika hematokrit

menurun terjadi penurunan viskositas darah sehingga SVR menurun. Penurunan SVR ini

meningkatkan stroke volume dan cardiac output dan aliran darah ke jaringan. Lebih dari

jarak hematocrit, hemodilusi isovolemic mengoreksi sendiri. Penurunan linear dalam

kapasitas darah membawa oksigen dicocokkan dengan perbaikan transport oksigen.

Karena transport oksigen optimal pada hematokrit 30%, pengiriman oksigen tetap

konstan antara hematokrit 45 dan 30%. Penurunan hematokrit lebih lanjut yang disertai

peningkatan cardiac output mencapai 180% dari kontrol sebagai pendekatan hematokrit

20%. Kadar hemoglobin di mana cardiac output meningkat bervariasi antara individu

yang satu dengan yang lainnya dan dipengaruhi oleh usia dan apakah anemia akut atau

kronis.

2. Redistribusi cardiac output

Dengan hemodilusi isovolemic, aliran darah ke jaringan meningkat namun

meningkatnya aliran darah ini tidak didistribusikan merata ke semua jaringan. Organ

dengan rasio ekstraksi yang lebih tinggi (otak dan jantung) menerima aliran darah lebih

banyak daripada organ-organ dengan rasio ekstraksi rendah (otot, kulit, viscera).

Redistribusi aliran darah ke sirkulasi koroner adalah cara utama dimana jantung

sehat mengkompensasi anemia. Aliran darah koroner meningkat hingga 400-600%.

Karena jantung dalam kondisi basal sudah memiliki rasio ekstraksi tinggi (antara 50 dan

70% dibandingkan 30% di sebagian besar jaringan) dan kompensasi utama untuk anemia

adalah meningkatkan kerja jantung (peningkatan CO), jantung harus meredistribusikan

aliran darah untuk meningkatkan suplai oksigen. Faktor-faktor ini membuat jantung

menjadi organ yang paling beresiko pada kondisi hemodilusi isovolemic. Ketika jantung

tidak bisa lagi meningkatkan cardiac output atau aliran darah koroner, batas hemodilusi

isovolemic telah dicapai. Selanjutnya penurunan suplai oksigen akan menyebabkan

cedera miokard.

20

Page 21: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

3. Peningkatan extraksi oksigen

Meningkatkan rasio ekstraksi oksigen (ER) adalah berpikir untuk memainkan peran

adaptif penting ketika hematokrit normovolemic kurang dari 25%. Peningkatan ekstraksi

oksigen dalam jaringan menyebabkan peningkatan ER di seluruh tubuh dan

menyebabkan penurunan saturasi oksigen vena campuran. Suatu penelitian menunjukkan

ketika hematokrit turun sampai 15%, ER oksigen seluruh tubuh meningkat 38-60%, dan

SvO2 menurun dari 70 ke 50% atau kurang. Beberapa organ (otak dan jantung) sudah

memiliki rasio ekstraksi tinggi pada kondisi basal dan memiliki kapasitas terbatas untuk

meningkatkan pengiriman oksigen oleh mekanisme ini. Jantung pada kondisi basal

menggunakan antara 55 dan 70% dari oksigen yang diterima. Sebaliknya di ginjal dan

kulit ER sekitar 7 sampai 10%. Dalam praktek klinis, kita tidak bisa mengukur rasio

ekstraksi dari berbagai organ. Karena jantung memiliki ER tertinggi maka jantung adalah

organ yang paling beresiko pada kondisi anemia normovolemic.

4. Perubahan afinitas hemoglobin terhadap oksigen.

Afinitas hemoglobin terhadap oksigen dijelaskan oleh kurva disosiasi

hemoglobin-oksigen yang berbentuk sigmoid. Kurva ini menghubungkan tekanan parsial

oksigen dalam darah dengan persentase saturasi molekul hemoglobin dengan oksigen.

Tekanan parsial oksigen di mana molekul hemoglobin 50% tersaturasi dengan oksigen

dan 50% tidak disaturasi yang disebut P50. P50 hemoglobin untuk dewasa normal pada

suhu 37ºC dan pH 7,4 adalah 27 mmHg. Perubahan asam-basa atau suhu dapat

menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri atau kanan masing-masing

menurunkan atau menaikkan P50. Ketika kurva bergeser ke kiri seperti pada hipotermia

atau alkalosis, P50 turun. Dengan P50 lebih rendah, molekul hemoglobin lebih "stingy"

dan membutuhkan tekanan parsial oksigen yang lebih rendah untuk melepaskan oksigen

ke jaringan, molekul hemoglobin tidak melepaskan 50% oksigen sampai PO2 kurang dari

27 mmHg tercapai. Hal ini dapat menganggu oksigenasi jaringan. Sebaliknya, jika

pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ke kanan, seperti pada peningkatan suhu

atau asidosis, P50 meningkat, penurunan afinitas hemoglobin untuk molekul oksigen, dan

pelepasan oksigen ke jaringan pada tekanan parsial oksigen yang lebih tinggi.

Ketika anemia berkembang perlahan, afinitas hemoglobin terhadap oksigen

menurun, kurva bergeser ke kanan sebagai hasil dari akumulasi 2,3 - phosphoglycerate

21

Page 22: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

(2,3-DPG) dalam sel darah merah. Sintesis 2,3-DPG di atas normal dimulai pada Hb 9

g/dL. Pada tingkat Hb 6,5 kurva bergeser lebih menonjol. Sel darah merah yang disimpan

menjadi kekurangan 2,3-DPG. Penurunan suhu dan penurunan pH juga mengurangi P50

pada darah yang disimpan. Perubahan ini, dibalik in vivo tetapi diresynthesis dari 2,3-

DPG oleh sel darah merah membutuhkan waktu 12-36 jam

Anemia Isovolemik Dibandingkan Dengan Kehilangan Darah Akut

Meskipun mekanisme kompensasi pada anemia akut dan kronis sama, mereka memiliki derajat

kepentingan yang berbeda dan terjadi pada berbagai tingkat hemoglobin. Pada kehilangan darah

akut, hipovolemia menginduksi stimulasi sistem saraf adrenergik sehingga menyebabkan

vasokonstriksi dan takikardi. Peningkatan cardiac output tidak memberikan kontribusi. Pada

anemia kronis, cardiac output meningkat sebagai kompensasi penurunan kadar hemoglobin

sekitar 7-8 g/dL. Pada pasien ini terjadi akumulasi dari 2,3-DPG dalam sel darah merah,

sehingga meningkatkan P50 dari Hb, adalah mekanisme pertama yang penting untuk

kompensasi.

Trombosit

Pedoman untuk transfusi trombosit diterbitkan ada lagi persyaratan substansial untuk

pertimbangan dokter. Indikasi untuk pemberian trombosit yang ditampilkan dalam Tabel 10-6

merupakan campuran dari rekomendasi yang disampaikan oleh ASA pada tahun 1996 dan

Komite Standar di Inggris untuk Hematologi di 2003.

Pasien tanpa perdarahan dan tanpa kelainan hemostasis lainnya <10,000/uL

Punksi lumbal, anastesi epidural, endoskopi dengan biopsi, biopsi hati,

atau laparotomi pada pasien-pasien tanpa kelainan hemostasis lainnya

<50,000/uL

Prosedur pada perdarahan rongga tertutup yang mungkin berbahaya

seperti bedah saraf

<100,000/uL

Untuk mempertahankan trombosit selama perdarahan dan transfusi tidak

kurang dari

50,000/uL

Untuk mempertahankan trombosit selama DIC dengan perdarahan tidak

kurang dari

50,000/uL

Perdarahan mikrovaskular terkait disfungsi trombosit, misalnya, uremia, Sesuai

22

Page 23: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

post cardiopulmonary bypass, atau berhubungan dengan transfusi massif pertimbangan klinis

*Setelah uji coba DDAVP jika situasi klinis memungkinkan

Tabel 10.6 Indikasi transfusi trombosit

Tabel 10-6 membuat batas transfusi trombosit menjadi jelas. Batas transfusi trombosit

yang relevan dengan ahli anestesi terletak antara 50.000 dan 100.000/uL. Ambang batas di mana

trombosit diberikan harus didasarkan pada prosedur yang mungkin menyebabkan pendarahan,

dan bahaya jika terjadi perdarahan. Misalnya bedah saraf intracranial > ortopedi perifer dan ada

kemungkinan penyebab tambahan gangguan koagulasi, misalnya, pemberian agen antiplatelet

belakangan ini, cardiopulmonary bypass, DIC, pengenceran karena pemberian volume besar.

Manifestasi perdarahan bervariasi dari pasien ke pasien dengan jumlah trombosit yang sama. Hal

ini terjadi karena beberapa trombosit lebih efektif daripada yang lain. Trombositopenia karena

destruksi trombosit di perifer, sementara sumsum tulang terus memproduksi trombosit yang

normal, muda, dan besar yang secara hemostatik sangat efektif. Seorang pasien dengan trombosit

ini mungkin memiliki hemostasis primer yang lebih efektif daripada pasien dengan jumlah

trombosit yang sama tetapi trombosit yang diproduksi oleh sumsum tulang kurang aktif atau

sumsum tulang yang kurang sehat.

Satu unit trombosit biasanya akan meningkatkan jumlah trombosit dari 5 sampai

10.000/uL. Namun, kenaikan tersebut harus dibuktikan dengan pemeriksaan jumlah trombosit,

terutama pada pasien yang mungkin telah alloimmunized karena seringnya pemberian trombosit.

Fresh Frozen Plasma (FFP)

Walaupun kenyataannya bahwa lebih dari 2.000.000 unit FFP yang diberikan setiap tahun di

Amerika Serikat bukti keberhasilan transfusi FFP sangat sedikit. Meskipun demikian,

penggunaan FFP untuk mengembalikan faktor koagulasi berlaku pada beberapa keadaan klinis.

Indikasi pemberian FFP ditampilkan pada Tabel 10-7 adalah campuran dari rekomendasi yang

disampaikan oleh ASA pada tahun 1996 dan Komite Inggris untuk Standar ini telah Hematologi

tahun 2004.

Koreksi defisiensi faktor koagulasi tunggal yang konsentrat spesifik tidak tersedia (terutama

faktor V)

Koreksi defisiensi beberapa faktor koagulasi, misalnya DIC, dengan bukti perdarahan

mikrovaskuler serta PT dan / atau aPTT> 1,5 kali normal

23

Page 24: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Reversal terapi warfarin yang mendesak

Koreksi perdarahan mikrovaskuler selama transfusi masif (> 1 volume darah) saat PT / aPTT

tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat

Kompleks prothrombin (II, VII, IX, X) adalah alternatif yang dilaporkan lebih efektif daripada

FFP

Tabel 10.7. Indikasi transfusi FFP

Cryopresipitat

Cryopresipitat mengandung faktor VIII, faktor von Willebrand (vWF), fibrinogen, fibronektin,

dan faktor XIII. Virally meninaktifasi konsentrat faktor koagulasi VIII, beberapa di antaranya

mengandung konsentrasi vWF (Faktor Antihemophilic, misalnya, Humate P ®, Alphanate ®)

yang efektif secara klinis sekarang tersedia. Akhirnya hemofilia A dan penyakit von Willebrand

(VWD) biasanya dapat diterapi (konsultasi dengan hematologist) dengan konsentrat ini daripada

kriopresipitat. Indikasi untuk kriopresipitat disajikan pada Tabel 10-8.

Profilaksis sebelum operasi atau pengobatan perdarahan pada pasien dengan dysfibrinogenemias

kongenital

Mikrovaskuler pendarahan ketika terjadi penurunan yang tidak seimbang dalam fibrinogen,

misalnya, DIC dan transfusi masif, dengan fibrinogen <80-100 mg / dL (atau hasil tes tidak

tersedia)

Profilaksis sebelum operasi atau pengobatan perdarahan pada hemofilia A atau vWD jika

konsentrat tidak tersedia atau tidak efektif

Pendarahan karena uremia yang tidak merespons terhadap DDAVP

* FFP adalah komponen pilihan utama untuk deplesi faktor pembekuan setelah trnasfusi masif

Tabel 10.8. Indikasi pemberian cryoprecipitat

STRATEGI PENYIMPANAN DARAH  

Karena  banyak bahaya transfusi darah, banyak teknik dan alternatif telah dieksplorasi (Tabel 10-

9).

Sumbangan autologous preoperative

Hemodilusi normovolemic akut

Penyelamatan darah intraoperatif

24

Page 25: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Penyelamatan darah pasca operasi

Agen farmakologis

- Eritropoietin

- Pengganti darah (didasarkan pada hemoglobin dan nonhemoglobin)

- DDAVP (Bagian VII)

- Antifibrinolitik (Bagian VII)

Tabel 10.9 Tehnik penyimpanan darah

Sumbangan autolog

Sumbangan praoperasi dan penyelamatan darah autolog perioperatif telah digunakan secara luas

sebagai bagian dari program untuk mengurangi pemberian darah homolog. Darah autolog dapat

dikumpulkan beberapa hari sampai minggu sebelum operasi (predonation), darah ini dapat

disumbangkan segera sebelum pembedahan (hemodilusi isovolemic), atau mungkin

diselamatkan dari lapangan operasi atau drain luka dan diinfus kembali (penyelamatan darah).

Memutuskan apakah pilihan ini cocok untuk pasien yang mempunyai tantangan lain dalam

kedokteran transfusi.

Sumbangan Darah Autolog Preoperatif

Sumbangan autologous pra operasi (PAD) darah telah diterapkan terutama pada pasien

yang akan menjalani prosedur ortopedi (penggantian sendi panggul dan lutut, prosedur

skoliosis), operasi prostat dan jantung, Namun, PAD ini telah sering gagal untuk menurunkan

penggunaan darah alogenik dan pemanfaatannya menurun. Efektivitas terbatas karena respon

eritropoietin pasien sering tidak cukup, dalam proses ini hanya menyebabkan anemia pada saat

operasi. PAD juga memiliki kekurangan lain. Prosedur PAD lebih mahal dari koleksi darah

homolog. Selain itu, jika darah autolog tidak digunakan, institusi akan membuangnya dan tidak

mengizinkan "crossover" untuk pasien lain. Praktek yang berkaitan dengan pengujian agen

infeksi juga bervariasi. Beberapa lembaga akan menyimpan dan mengijinkan mengembalikan ke

donor HIV, hepatitis, atau terinfeksi CMV darah sementara yang lain membuangnya. Perhatikan

juga bahwa transfusi darah autologous tidak menghilangkan kemungkinan kesalahan selama

pengambilan darah, pengolahan, dan reinfusion atau resiko kontaminasi bakteri. Beberapa

25

Page 26: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

lembaga melakukan crossmatch sebelum mengembalikan darah ke donor dan yang lainnya tidak.

Ini menggarisbawahi peringatan bahwa tidak ada transfusi tanpa risiko.

Kondisi medis pasien harus dipertimbangkan sebelum merekomendasikan PAD. Stenosis

aorta berat, penyakit koroner yang signifikan atau disfungsi miokard, dan hematokrit awal yang

rendah dan volume darah yang sedikit (berat badan kurang dari 110 pon) merupakan

kontraindikasi relatif terhadap PAD. Jika kadar hemoglobin pasien, status jantung, dan kondisi

umum memungkinkan, darah dapat disimpan pada interval beberapa minggu sebelum operasi.

Empat unit biasanya sumbangan maksimal karena masa simpan unit pertama dikumpulkan.

Pasien yang membuat PAD harus mendapatkan suplemen besi, misalnya, 2 mg / kg / hari

selama 3 minggu. Selain itu, PAD dapat dilengkapi dengan pemberian eritropoietin rekombinan

(Epo).

Eritropoietin

Efektivitas Epo dalam mempercepat pemulihan hematokrit dalam hubungannya dengan

PAD dan untuk meningkatkan hematokrit pada pasien yang tidak melakukan PAD telah

dibuktikan. Namun, praktek tersebut tidak menyebar luas karena biaya Epo (tidak kurang dari

500 sampai 1.600 USD / pasien tergantung pada regimen yang digunakan) dan sebagian karena

kebutuhan untuk sering menggunakan (misalnya, setiap minggu hingga 3 minggu dan 2 suntikan

tambahan dalam minggu terakhir) pemberian parenteral (subkutan atau iv) Epo. Pemberian Epo

selektif pada pasien anemia menghasilkan pengurangan pemberian darah alogenik daripada

pemberian produk rekombinan Epo diterima oleh Jehovah’s Witnesses dan keberhasilan dalam

populasi yang telah dibuktikan. Bukti terbaru dari pengurangan kebutuhan transfusi pada pasien

dengan sakit kritis oleh Epo dapat meningkatkan kesadaran dan mendorong penggunaan yang

sistematis dalam anemia pasien bedah elektif. Agen erythropoietic alternatif, alfa darbopoietin,

baru-baru ini dikembangkan. Waktu paruhnya menghasilkan efek erythropoietic lebih panjang

daripada Epo.

Hemodilusi Normovolemic Akut

Hemodilusi normovolemic akut (ANH) memerlukan pertukaran darah pasien di awal

periode intraoperatif dengan pemberian kristaloid atau koloid bersamaan untuk mempertahankan

normovolemia. Alasannya adalah selama operasi pasien akan kehilangan darah sehingga

26

Page 27: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

hematokrit darah rendah dan pertukaran darah akan dilakukan pada akhir operasi. Titik akhir

untuk penggantian pertama adalah dari hematokrit 27 menjadi 33%, tergantung pada cadangan

pasien kardiovaskular dan pernapasan. Seleksi untuk teknik ini harus melalui evaluasi yang

cermat terhadap pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner atau serebral. Prosedur ini

mengantisipasi bahwa hal itu akan mengurangi kehilangan sel darah merah dan transfusi darah

homolog. Namun, kedua model matematika dan pengalaman empiris ini mengungkapkan

manfaat sederhana dengan mengurangi kebutuhan untuk homolog RBC. Contohnya, Goodnough

menghitung bahwa, pada pasien 100 kg 3 unit darah diganti dengan cairan asanguinous, jika

kehilangan darah berikutnya adalah 2.800 mL, 215 mL (sekitar satu unit) sel darah merah dapat

diselamatkan. Untuk pasien dengan ukuran tubuh yang terbatas, hematokrit awal yang rendah,

atau kehilangan darah kurang dari 70% dari satu volume darah, menghindari transfusi darah

alogenik mungkin sulit. Meta-analisis ini mengkonfirmasi pengurangan darah alogenik satu unit

per pasien pada penyelidikan melaporkan berdasarkan penghematan sederhana dan prestasi

ilmiah dari penyelidikan, menyimpulkan bahwa "literatur hanya mendukung manfaat sederhana

dari preoperasi ANH. Adopsi ANH secara luas tidak dapat dilakukan. Meskipun demikian, ada

laporan dari pengalaman yang membantu dalam reseksi hati, prostatektomi, artroplasti total

pinggul, dan operasi aorta abdominalis. Ada kemungkinan bahwa di masa depan efektivitas

ANH akan meningkat dengan pemberian erythropoietics pra operasi dan/atau dengan

penggunaan hemoglobin pembawa oksigen atau emulsi perflourocarbon untuk memungkinkan

penarikan volume darah yang lebih besar.

ANH juga telah digunakan untuk tujuan membuat darah autologous segar pada akhir

prosedur dengan pengenceran atau cardiopulmonary bypass terkait koagulopati dapat terjadi.

Efektivitas dalam konteks ini belum dikonfirmasi oleh penelitian yang sistematis. Darah

dikumpulkan dan diinfus kembali untuk tujuan ini tidak dapat menggunakan filter 40-mikron

untuk menghindari eliminasi trombosit.

Penyelamatan Darah Perioperatif

Penyelamatan darah perioperatif mengacu pada pemulihan darah yang hilang dari lapangan

operasi atau drain luka dan memberikan kembali kepada pasien. Dalam kebanyakan kasus,

proses tersebut melibatkan "pencucian" dari bahan yang diselamatkan, hanya komponen RBC

27

Page 28: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

darah. Dalam beberapa kasus, biasanya yang melibatkan drainase luka, darah kembali disaring

namun belum diproses.

Penyelamatan Darah Intraoperatif

Penyelamatan darah intraoperatif (intraoperative blood salvage/IBS) dilakukan melalui

sejumlah prosedur operatif yang berpotensi membutuhkan transfusi homolog. Zaman sekarang

ini, peralatan “cell saver” berperan sebagai antikoagulan bagi darah yang disimpan, memisahkan

eritrosit dari plasma dan elemen-elemen seluler melalui sentifugasi, dan kemudian mencuci

eritrosit tersebut menggunakan saline. Eritrosit ini kemudian dikembalikan kepada pasien dalam

125 ml atau 225 ml saline dalam aliquot dengan hematokrit 45-65%. Kadar hematokrit yang

tinggi dapat dihasilkan dalam jangka waktu yang lebih lama (memperlambat pengisian

sentrifugasi).

IBS telah umum dilakukan pada pembedahan kardiovaskuler, rekonstruksi aorta,

instrumentasi spinal, arthroplasty, transplantasi hepar, reseksi malformasi arteriovenous, dan

kadang-kadang pada penanganan pasien-pasien trauma. Tercatat ada beberapa keadaan di mana

IBS dapat mengurangi keperluan eritrosit homolog. Adanya infeksi, sel-sel maligna, urin, isi

saluran pencernaan, dan cairan amnion di dalam lapangan operasi merupakan kontraindikasi.

Meskipun sel-sel maligna dikatakan dapat tertinggal di eritrosit meskipun telah dicuci, IBS telah

diaplikasikan pada penanganan terhadap keganasan hepar dan urologi tanpa adanya bukti-bukti

metastasis. Setidaknya satu alat pencuci IBS diketahui dapat menghilangkan faktor prokoagulan

penting yang terdapat di dalam cairan amnion, dan telah sukses digunakan pada seksio Cesarean.

Namun, tingkat keamanan penggunaan IBS dalam konteks tersebut belum dapat dikonfirmasi

dan sebaiknya tidak dilakukan secara rutin.

Komplikasi yang dapat terjadi pada IBS ialah masuknya kembali (reinfusi) material-

material yang mungkin tertinggal setelah proses pencucian. Material ini mencakup lemak,

mikroagregat seperti platelet dan leukosit, udara, stroma sel darah merah, hemoglobin bebas,

heparin, bakteri, dan debris dari lapangan operasi. Kebanyakan material ini dapat dibersihkan

dengan baik menggunakan peralatan pembersihan sel. Bakteri merupakan perkecualian, dan

kontaminasi oleh organisme kulit umum terjadi. Penyaring reduksi leukosit telah terbukti dapat

menghilangkan kebanyakan bakteri dan relevan bagi penggunaan IBS dalam kasus-kasus trauma.

Emboli udara masif dapat terjadi oleh karena kesalahan operator. Proses pengembalian secara

28

Page 29: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

langsung dari alat cell saver sekarang ini digantikan dengan proses pengembalian melalui suatu

kantung intermediet (intermediary bag) yang dikontrol oleh seorang ahli anestesi. Perawatan

harus tetap dilakukan saat alat infus tekanan (pressure infuser devices) dihubungkan pada

kantung intermediet ini.

Koagulopati delusional dapat disebabkan oleh volume IBS yang besar karena faktor-

faktor koagulasi dan platelet dapat hilang selama proses pencucian. Penanganannya sama dengan

koagulopati delusional yang disebabkan oleh pemberian darah PAD maupun homolog. Kondisi

DIC-like coagulopathy (salvaged blood syndrome), juga dikaitkan dengan IBS. Meskipun

demikian, sindrom ini tampaknya disebabkan oleh persiapan darah yang inadekuat melalui

peralatan yang lebih kuno. Jika tidak dicuci, darah yang tersimpan mengandung sejumlah

konstituen yang memengaruhi proses koagulasi, seperti material tromboplastik, interleukin,

komplemen, produk degradasi fibrin, dan faktor-faktor yang dilepaskan oleh leukosit dan platelet

yang aktif. Meskipun demikian, mayoritas elemen-elemen ini umumnya dapat dicuci dengan

baik menggunakan peralatan cell saver modern dan keberadaannya digunakan sebagai sebuah

argumen melawan proses pengembalian darah yang belum diproses.

Risiko koagulopati tambahan meningkat dengan penggunaan thrombin dan kolagen

mikrofibrilar maupun produk-produk selulosa dalam lapangan operasi. Material-material ini

tidak dapat dihilangkan melalui proses pencucian, dan proses pengambilan darah untuk IBS

harus dihentikan selama penggunaan material-material ini, lalu dapat dilanjutkan setelah

lapangan operasi diirigasi.

Klinisi sebaiknya memahami bahwa tingkat recovery dari eritrosit melalui proses IBS ialah

sebesar 50%. Darah allogenik kadangkala diperlukan dan kalkulasi pergantian cairan hendaknya

selalu diperhitungkan.

PENYIMPANAN DARAH POSTOPERATIF

Penyimpanan darah postoperatif dari chest tube mediastinal dan drainase luka setelah

penggantian sendi panggul dan lutut diikuti dengan reinfusi segera dari darah yang belum dicuci

telah cukup sering dilakukan. Adanya sejumlah substansi dalam darah yang belum terproses

dapat menyebabkan timbulnya disfungsi koagulasi, sehingga banyak pendapat yang kurang

menyetujui praktik ini. Meskipun demikian, terdapat beberapa laporan mengenai timbulnya

29

Page 30: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

konsekuensi sampingan dari tindakan tersebut. Hal ini disebabkan jumlah darah yang disimpan

dan direinfusi biasanya kecil.

LARUTAN PENGIKAT OKSIGEN BERBASIS HEMOGLOBIN (HEMOGLOBIN-

BASED OXYGEN CARRYING SOLUTIONS)

Di masa mendatang, kemungkinan larutan pengikat oksigen berbasis hemoglobin

(hemoglobin-based oxygen carrying solutions/HBCOs) akan dapat digunakan. Hemopure ®

(Biopure, Inc) telah menyetujui penggunaan klinisnya di Afrika Selatan. Namun, meskipun telah

dilakukan sejumlah penelitian terhadap produk-produk hemoglobin terpolimerisasi, hanya satu

yang sedang dalamberada masa percobaan tahap III di AS, yaitu PolyHeme ®, Northfield

Laboratories. Penelitian-penelitian ini menggunakan bovine, sampel manusia, maupun

hemoglobin rekombinan yang telah dipisahkan seluruhnya dari stroma/membran sel darah merah

dan dipolimerisasi untuk meningkatkan waktu paruh. Gagal ginjal yang diakibatkan stroma dan

kadar hemoglobin bebas yang berlebihan telah dapat diatasi. Namun, masih terdapat beberapa

kesulitan lain seperti methemoglobinemia, interferensi dengan peralatan laboratorium (kreatinin,

bilirubin total, dan LDH), kondisi vasokonstriksi yang diakibatkan oleh ikatan nitrit oksida

dengan Hb bebas, dan half-life yang pendek. Polimerisasi meningkatkan waktu paruh menjadi

18-36 jam, namun periode ini cukup pendek sehingga kapasitas dalam mengikat O2 biasanya

menjadi inadekuat sebelum retikulosit dapat mengompensasi. Emulsi perfluorocarbon

tampaknya kurang berpotensi dalam aplikasi klinis jika dibandingkan dengan HBCOs, dan tidak

akan dibahas di sini.

SAKSI JEHOVAH

Secara umum, Saksi Jehovah tidak akan menerima baik pemberian produk darah

homolog maupun pengembalian produk darah autolog yang telah keluar dari sirkulasi. Namun,

kepercayaan mereka memperbolehkan kebijaksanaan personal yang signifikan dan keinginan

tiap-tiap pasien perlu dipertimbangkan. Hanya sedikit yang akan mengizinkan pemberian

komponen whole blood dan mayoritas akan menolak PAD. Meskipun demikian, kebanyakan

akan memperbolehkan prosedur di mana darah di luar tubuh tetap terhubung dengan sirkulasi.

Persetujuan terhadap bypass kardiopulmoner, hemodilusi normovolemik akut, dan penyimpanan

30

Page 31: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

darah perioperatif harus diberitahukan kepada setiap pasien. Kebanyakan akan mengizinkan

penggunaan Epo.

PENGUMPULAN DAN PERSIAPAN PRODUK DARAH UNTUK TRANSFUSI

SEL DARAH MERAH

Dalam proses persiapan sel darah merah untuk keperluan transfusi, pertama-tama whole

blood dikumpulkan di dalam kantung yang berisi larutan citrate-phosphate-dextrose-adenine

(CPDA) atau CPD. Sitrat akan memproses (chelate) kalsium dalam darah dan menghambat

koagulasi. PRBC dipersiapkan melalui sentrifugasi. Kedua larutan ini mengandung baik CPDA

maupun Additive Solution sebagai preservatif. Darah yang mengandung CPDA memiliki

hematokrit 70-75%, terdiri dari 50-70 ml plasma residual dengan volume total 250-275 ml, dan

memiliki shelf life hingga 35 hari. Dalam preparat Additive Solution, preservatif original dan

kebanyakan plasma (10-15 ml) akan dibuang dan digantikan dengan 100 ml Additive Solution.

Hasilnya ialah hematokrit yang lebih rendah, yaitu 60%, dengan volume total 250-350 ml, kadar

sitrat yang rendah, 75-80% lebih sedikit mengandung mikroagregat, dan shelf life yang lebih

panjang, yaitu 42 hari. Eritrosit yang mengandung Additive Solution dapat mengalami regenerasi

2,3-DPG lebih cepat. Kadar pH dan K+ dari kedua preparat adalah sama. Volume plasma yang

lebih sedikit pada darah yang menggunakan Additive Solution menyebabkan jumlah faktor

koagulasi yang lebih sedikit di dalam PRBC dan juga risiko yang lebih rendah terhadap reaksi

alergi dan TRALI.

Serangkaian sentrifugasi dengan kecepatan perputaran serta durasi yang bervariasi

digunakan untuk memisahkan whole blood menjadi komponen-komponen yaitu PRC, konsentrat

platelet, kriopresipitat, leukocyte-poor RBCs, dan plasma bebas sel. Untuk menghasilkan

konsentrat platelet, sentrifugasi awalnya dilakukan pada suhu ruangan. Proses ini memisahkan

fraksi plasma kaya platelet dari sel darah merah. Untuk memisahkan komponen darah yang

lainnya, sentrifugasi dilakukan pada suhu 1-60C.

Ada beberapa proses pemisahan sel darah merah alternatif untuk menyisihkan komponen-

komponen lain. Saline-washed RBCs dapat digunakan untuk pasien-pasien dengan riwayat

reaksi alergi terhadap protein asing. Sel darah putih dapat dihilangkan melalui proses pencucian,

iradiasi, atau leukofiltrasi. Pemberian satu unit PRC akan meningkatkan Hb sebesar 1 gr/dl dan

Hct sebesar 3% pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg. sel darah merah dapat dibekukan

31

Page 32: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

dan disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Namun, preservatif untuk mencegah kerusakan

akibat proses pencairan kembali perlu ditambahkan dan dibuang sebelum pemberian, dalam

waktu 24 jam masa pencairan. Proses ini membutuhkan biaya yang besar, dan oleh karenanya

tidak digunakan secara umum.

TES KOMPATIBILITAS

Tes kompatibilitas mencakup tiga prosedur terpisah yang melibatkan darah donor maupun

resipien: identifikasi tipe AB0 dan Rhesus, skrining antibodi plasma donor, serta pemeriksaan

silang (crossmatch) antara darah donor dan resipien.

PENENTUAN TIPE AB0 & RHESUS

Langkah pertama ialah untuk menentukan tipe golongan darah AB0 dan Rhesus dari

darah donor maupun resipien. Ini merupakan langkah yang penting karena kebanyakan reaksi

hemolitik transfusi yang fatal disebabkan oleh inkompatibilitas AB0 dari darah. Golongan darah

dibedakan berdasarkan antigen yang terdapat pada permukaan eritrositnya. Pasien dengan

golongan darah A memiliki antigen tipe A pada permukaan eritrositnya. Golongan darah B

memiliki antigen tipe B. Jika terdapat kedua jenis antigen, golongan darahnya ialah AB dan jika

tidak terdapat antigen sama sekali, golongan darahnya ialah 0. Serum mengandung antibodi

terhadap antigen-antigen ini. Pasien dengan golongan darah A memiliki antibodi terhadap

antigen tipe B dan sebaliknya. Pasien dengan golongan darah 0 tidak memiliki antigen namun

memiliki antibodi anti-A dan anti-B di dalam plasmanya. Perkiraan frekuensi golongan darah

AB0 di AS diperlihatkan pada Tabel 10-10.

Kelompok Putih Hitam

O 45 49

A 40 27

B 11 20

AB 4 4

Rh (D) 85 92

Tabel 10.10 Insiden Antigen pada permukan RBC pada populasi US

32

Page 33: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

Pasien yang memiliki antigen Rhesus (D) dikatakan Rh-positif dan yang tidak memiliki

antigen D dikatakan Rh-negatif. Sekitar 85% populasi adalah Rh-positif. Tidak sama dengan

golongan darah A dan B, antibodi anti-D tidak terdapat dalam plasma pasien Rh-negatif. Namun,

60-70% pasien Rh-negatif yang menerima darah Rh-positif akan membentuk antibodi anti-D

dalam tubuhnya. Ada periode waktu tertentu untuk mensintesis antibodi ini. Sebagai

konsekuensinya, reaksi antara sel-sel donor Rh-positif dan antibodi anti-D berkembang perlahan-

lahan dan dapat tidak tampak pada paparan awal. Proses ini, di mana antigen asing menstimulasi

pembentukan antibodi, disebut alloimunisasi (alloimmunization). Paparan selanjutnya dari sel-sel

Rh-negatif terhadap Rh-positif dapat menyebabkan reaksi hemolitik akut.

Dalam menentukan apakah golongan darah tertentu kompatibel dengan resipien, perlu

difokuskan kepada antibodi mana yang terdapat di dalam plasma resipien. Reaksi antibodi dan

antigen ini dapat mengaktivasi komplemen dan menyebabkan hemolisis intravaskuler dari

eritrosit. Resipien golonga darah 0+ [golongan darah 0, Rh(D)-positif] memiliki antibodi anti-A

dan anti-B, namun tidak memiliki antibodi anti-D di dalam plasmanya. Pasien ini tidak boleh

menerima darah tipe A, B, maupun AB. Mereka harus menerima darah tipe 0, baik Rh-positif

maupun Rh-negatif. Sebaliknya, pasien dengan golongan darah AB- (golongan darah AB, Rh-

negatif) tidak memiliki antibodi anti-A dan anti-B, dengan atau tanpa antibodi anti-D di dalam

plasmanya. Mereka dapat menerima darah tipe A-, B-, AB-, maupun 0-. Individu yang memiliki

antigen terbanyak pada eritrositnya memiliki antibodi yang paling sedikit dan dapat menerima

semua jenis darah (tipe A+, A-, B+, B-, AB+, AB-, 0+, dan 0-), serta disebut resipien universal.

Individu yang memiliki antigen paling sedikit (tipe 0-) memiliki antibodi yang terbanyak di

dalam plasmanya. Eritrosit tipe 0- dapat diberikan pada semua tipe darah AB0 dan Rh, dan

individunya disebut donor universal.

SKRIN ANTIBODI

Skrin antibodi, suatu tes Coombs indirek, dilakukan untuk mengidentifikasi antibodi

resipien terhadap antigen eritrosit. Eritrosit, dibedakan berdasarkan antigen yang dimilikinya,

dicampurkan dengan serum donor maupun resipien untuk melihat apakah ada pembentukan

antibodi yang tidak diharapkan. Hanya sekitar 4 dari 1.000 darah donor yang menunjukkan

terbentuknya antibodi ini. Kecenderungan terjadinya kesalahan dalam tes ini diperkirakan tidak

melebihi 1 dalam 10.000 kasus. Jika skrin plasma resipien positif, antibodi yang terbentuk perlu

33

Page 34: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

diidentifikasi dan donor diganti dengan yang tidak memiliki antigen. Skrining antibodi dalam

plasma resipien harus diulang jika pasien memiliki riwayat transfusi sejak skrining antibodi

sebelumnya.

PEMERIKSAAN SILANG (CROSSMATCH)

Eritrosit donor dicampurkan dengan serum resipien. Pemeriksaan ini memerlukan waktu

45 menit dan dilakukan dalam tiga tahap: (1) fase imediet, (2) fase inkubasi, dan (3) fase

antiglobulin. Fase imediet dilakukan paling pertama untuk memastikan tidak ada kesalahan

dalam penentuan tipe darah AB0-Rh. Tes ini dilakukan dengan memeriksa eritrosit donor dan

serum pasien secara makroskopik untuk mencari adanya aglutinasi. Pemeriksaan silang fase

imediet hanya memerlukan waktu 1-5 menit dan dapat mendeteksi inkompatibilitas Ab0 dan

yang diakibatkan oleh antibodi sistem MN, P, dan sistem Lewis. Fase kedua, fase inkubasi,

membutuhkan waktu 30-45 menit dan dapat mendeteksi antibodi sistem Rh. Fase ketiga, fase

antiglobulin, juga disebut pemeriksaan silang antiglobulin (antiglobulin crossmatch) atau tes

antiglobulin indirek, memerlukan penambahan serum antiglobulin pada akhir fase inkubasi. Fase

ini hanya dilakukan jika skrin antibodi positif dan membutuhkan waktu 60-90 menit. Tes ini

mengidentifikasi keberadaan antibodi yang terdapat pada antigen di permukaan eritrosit. Fase ini

merupakan upaya untuk mengidentifikasi kebanyakan antibodi inkomplit (antibodi yang tidak

menyebabkan aglutinasi) dari berbagai sistem penggolongan darah, termasuk sistem Rh, Kell,

Kidd, dan sistem Duffy.

Pada pasien-pasien yang memiliki riwayat transfusi darah sebelumnya maupun riwayat

paparan terhadap antigen eritrosit asing selama kehamilan, hanya 1 dari 100 yang memiliki

antibodi lain selain antibodi anti-A, anti-B, dan/atau anti-Rh, dan kebanyakan antibodi ini tidak

aktif dalam suhu tubuh fisiologis. Menentukan tipe darah AB0 dan Rh saja menghasilkan

probabilitas kecocokan transfusi sebesar 99,8%. Tambahan 30-45 menit skrin antibodi

meningkatkan kemungkinan kecocokan transfusi menjadi sebesar 99,94%; tambahan

pemeriksaan silang lengkap meningkatkan probabilitas ini menjadi 99,95%. Pada pasien-pasien

yang tidak memiliki riwayat transfusi maupun kehamilan, kemungkinan terjadinya

inkompatibilitas transfusi ialah pada darah yang tidak dilakukan pemeriksaan silang hanya

terjadi pada 1 dari 1.000 kasus. Untuk mereka yang memiliki riwayat paparan terhadap antigen

eritrosit asing, kecenderungan pembentukan antibodi ialah sebanyak 1 dari 100 kasus. Oleh

34

Page 35: Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis

karena itu, seluruh bank penyimpanan darah melakukan pemeriksaan silang. Mensipun

demikian, data-data ini menunjukkan bahwa transfusi darurat dari darah yang tidak dilakukan

pemeriksaan silang kepada pasien-pasien tanpa riwayat transfusi maupun kehamilan memiliki

risiko yang relatif kecil.

PERMINTAAN PENENTUAN TIPE DAN SKRIN

Jika darah hanya dibutuhkan untuk persiapan preoperatif dan kemungkinan tidak akan

digunakan, tindakan yang dilakukan hanyalah penentuan tipe dan skrin (tipe and screen).

Dilakukan penentuan tipe AB0 dan Rh pasien, lalu dilakukan skrin antibodi untuk menentukan

keberadaan antibodi lain selain AB0 di dalam plasma resipien. Jika skrin antibodi negatif,

kemungkinan timbulnya reaksi hemolitik pada darah yang tidak dilakukan pemeriksaan silang

adalah kurang dari 1/50.000 unit. Jika hasil skrin positif, bank darah akan mencari unit darah lain

yang kompatibel.

35