Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis
-
Upload
yenny-halim -
Category
Documents
-
view
365 -
download
3
Transcript of Jurnal Hemoterapi Dan Hemostasis
HEMOTERAPI DAN HEMOSTASIS
John C. Drummond
Charise T. Petrovitch
Pengetahuan bahwa HIV menular melalui darah , menyebabkan ketakutan akan transfusi
dan menyebabkan perubahan dalam pendekatan terhadap pasien yang membutuhkan transfusi
darah. Walaupun resiko transfusi terkait penularan HIV sekarang makin kecil, tetapi masih
banyak resiko lain yang berhubungan dengan transfusi darah. Penggunaan produk-produk darah
harus dilakukan dengan pemahaman penuh mengenai resiko dan manfaat dari transfusi tersebut.
Dengan demikian, bab ini dimulai dengan tinjauan dari resiko dari penggunaan produk darah,
diikuti dengan diskusi tentang faktor-faktor yang menentukan kebutuhan untuk penggunaan dari
tiga komponen darah yang paling sering digunakan,yaitu PRC (Pure Red Cell), FFP (Fresh
Frozen Plasma), dan platelet, dan kemudian diskusi teknik untuk meminimalkan kebutuhan
untuk transfusi.
Sisa bab ini menyajikan uraian dari persiapan produk darah, diskusi tentang fisiologi
hemostasis, deskripsi tes mekanisme hemostatik, dan review gangguan perdarahan umum,
termasuk diskusi tentang efek agen farmakologis pada hemostasis.
RESIKO-RESIKO DARI TRANSFUSI DARAH
Resiko dari transfusi darah dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok menular dan tidak
menular. Sebuah tinjauan yang sangat baik disediakan oleh Kleinman et al. Infeksi yang
ditularkan melalui transfusi, pada infeksi virus tertentu, memiliki persentase tertinggi dan karena
itu akan dibahas terlebih dahulu. Namun, dalam kenyataannya, morbiditas dan mortalitas yang
terkait dengan resiko non virus jauh lebih besar.
Resiko infeksi terkait transfusi darah
Banyak penyakit yang berpotensi menular melalui transfusi darah termasuk beberapa virus yaitu
hepatitis A, B, C, D, dan E, Human T-lymphotropic Virus (HTLV-1, HTLV-2); Human
Immunodeficiency Virus (HIV) 1 dan 2; sitomegalovirus, virus West Nile (WNV); virus Epstein-
Barr, parvovirus B19, virus GBV-C (disebut juga hepatitis G); Transfusion-transmitted virus
(TTV); virus SEN; prion (penyakit Creutzfeldt-Jakob dan varian penyakit Creutzfeldt-Jakob),
1
penyakit Lyme; kontaminasi bakteri; parasit (malaria, penyakit Chagas, ehrlichiosis, Babesiosis),
dan sifilis. Beberapa dari penyebab ini tidak akan dibicarakan lebih lanjut. Walaupun GBV-C,
TTV, dan SENV yang ditularkan melalui transfusi, tetapi virus ini tidak menyebabkan gambaran
klinis; tingkat penularan dari Parvovirus B19 sangat rendah dan penyakit ini sangat jarang
terjadi; tidak ada laporan kasus transfusi menularkan penyakit Lyme dan hanya satu contoh dari
ehrlichiosis.
1. Perkiraan frekuensi zat menular dari suplai darah di Amerika Utara diperlihatkan dalam
Tabel 10-1. Tingkat infektivitas virus telah menurun secara drastis pada dua dekade
terakhir. Hal ini khususnya di Amerika Serikat munculnya pengujian asam nukleat
(NAT) untuk HIV dan virus hepatitis C (HCV) yang telah mengurangi frekuensi
transmisi virus ini melalui transfusi ke tingkat yang lebih rendah, yaitu, sekitar satu dari
dua juta transfusi. Virus hepatitis B (HBV) tetap menjadi resiko terbesar pada transfusi,
saat ini sekitar 1 / 350, 000 transfusi. Estimasi ini berasal dari observasi di antara donor
seropositif dan kemungkinan pemberian darah dari donor yang terinfeksi dalam "window
period" antara terinfeksi virus dan pendeteksian oleh tes yang tersedia. Menggunakan
pengujian NAT, window period untuk HIV dan HCV adalah 13 dan 12 hari. Untuk HBV
dengan menggunakan tes HbsAg, window period 59 hari. Tes NAT untuk HBV tersedia
dan mungkin akan dilaksanakan pada tahun atau sebelum tahun 2008.
Hepatitis B 1/350.000
Hepatitis C 1/2.000.000
HIV 1/2.000.000
HTLV 1/2.900.000
Sepsis/ reaksi endotoksin
RBC 1/30.000
Platelet 1/2000
Tabel 10.1 Perkiraan tingkat penularan penyakit infeksi melalui transfusi (per paparan
donor)
Virus Hepatitis C
2
Pentingnya HCV walaupun presentasi tertular HCV rendah, pada 85% pasien yang tertular
berkembang menjadi keadaan kronis dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Sekitar
dua puluh persen dari carrier kronis berkembang menjadi sirosis dan 1 sampai 5% berkembang
menjadi karsinoma hepatoseluler.
Virus Hepatitis B
Diperkirakan bahwa hanya sekitar 35% dari pasien yang terpapar HBV akan berkembang
menjadi penyakit akut, meskipun sekitar 1% akan berkembang menjadi hepatitis akut fulminan.
Pada sekitar 85% dari pasien, penyakit sembuh secara spontan, 9% berkembang menjadi
hepatitis kronis persisten, 3% berkembang menjadi hepatitis kronis aktif, 1% berkembang
menjadi sirosis dengan atau tanpa hepatitis kronis aktif, dan 1% berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler. Perkiraan saat ini resiko terinfeksi HBV di Amerika Serikat adalah sekitar 1 per
350.000 paparan donor.
Virus Hepatitis A
Penularan hepatitis Virus A (HAV) melalui transfusi sudah sangat jarang. Skirining bank darah
untuk HAV melalui riwayat penyakit saja dan tidak ada carrier untuk virus ini. Periode infeksius
terbatas antara 1 sampai 2 minggu. Diagnosis hepatitis tergantung pada serokonversi antibodi.
Human Immunodeficiency Virus
Komplikasi yang paling ditakuti transfusi darah adalah penularan HIV, virus penyebab dari
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Virus ini adalah retrovirus, disebut demikian
karena yang perkembangannya membutuhkan translasi dari RNA ke DNA. Tes skrining saat ini
diarahkan pada kedua virus HIV yaitu HIV 1 dan HIV 2, meskipun yang terakhir merupakan
penyebab penyakit pada manusia yang sangat jarang. Para kejadian transfusi terkait infeksi HIV
telah jauh lebih sedikit dengan pelaksanaan serangkaian tes skrining serologis donor, termasuk,
baru-baru ini, tes NAT. Perkiraan resiko saat ini di Amerika Serikat adalah 1 infeksi HIV per
1,5-2000000 donor. Untuk referensi, resiko yang adalah sekitar 1:100 donor pada awal tahun
1980-an dan 1:400,000 pada tahun 1997,
Human T-Cell Lymphotropic Virus
3
HTLV-1 dan HTLV-2 berasal dari retrovirus yang sama seperti HIV. Insiden penyakit klinis
dihasilkan dari virus yang menular tampaknya sangat rendah. Mereka terkait dengan T-cell
leukemia dan limfoma daripada penyakit immunodeficiency umum seperti AIDS. Di
Amerika Serikat, semua donor diskrining untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HTLV-I
dan HTLV-2.
Citomegalovirus
Transfusi terkait infeksi CMV biasanya jinak dan sembuh sendiri. Namun, CMV dapat
menyebabkan infeksi yang serius, bahkan fatal pada pasien immunocompromised. Pasien yang
beresiko termasuk neonatus prematur, penerima organ dan penerima transplantasi sumsum
tulang, dan pasien yang fungsi kekebalan tubuh yang sangat lemah. Pneumonia yang disebabkan
CMV merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian yang penting pada penerima
transplantasi sumsum tulang alogenik. Leukoreduksi mengurangi tetapi tidak mencegah
penularan CMV. Pembatasan darah dari donor seronegatif CMV pada pasien
immunocompromised diperlukan di banyak pusat.
Penyakit parasit
Malaria yang ditularkan melalui transfusi relatif umum terjadi di daerah di mana penyakit ini
endemik namun jarang terjadi di Amerika Serikat. Karena parasit berada dalam sel darah merah,
resiko tertular malaria melalui transfusi hampir seluruhnya berhubungan dengan transfusi RBC.
Penyakit Chagas yang disebabkan oleh protozoa (Trypanosoma cruzi) yang endemik di Amerika
Selatan dan Tengah (termasuk Meksiko). Penyakit klinis langka di Amerika Utara dan terjadi
pada penerima transfusi yang immunocompromised.
Kontaminasi Bakteri pada Komponen Darah
Kontaminasi bakteri memiliki frekuensi yang lebih tinggi (Tabel 10-1) daripada infeksi
lain yang dibahas dalam bagian ini dan berhubungan dengan angka mortalitas yang cukup
tinggi. Kematian diperkirakan terjadi antara 1: 1-6,000,000 transfusi, dengan frekuensi yang
lebih besar pada transfusi trombosit daripada RBC karena trombosit disimpan pada suhu kamar
dan karena administrasi trombosit umumnya melibatkan 6 sampai 10 unit pools. Sebuah psoralen
berbasis proses fotokimia yang menonaktifkan DNA dan RNA bakteri (serta virus dan protozoa)
4
baru-baru ini menunjukkan keberhasilan tanpa menyebabkan kerusakan fungsi trombosit dan
dapat digunakan untuk mengatasi masalah kontaminasi bakteri pada trombosit. Bakteri ini
berasal dari donor darah, flora donor kulit, atau kontaminasi selama pengambilan, pengolahan,
dan penyimpanan darah. Beberapa organisme gram-positif dan-negatif didapatkan pada
trombosit. Goodnough dkk mengidentifikasi organisme berdasarkan frekuensi yang tertinggi
yaitu Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Serratia marcescens, dan Staphylococcus
epidermidis. Hanya beberapa bakteri yang dapat tumbuh pada suhu penyimpanan RBC yaitu
Yersinia enterocolitica, Serratia dan spesies Pseudomonas tertentu.
Pasien yang menerima transfusi darah yang terkontaminasi dengan cepat akan mengalami
beberapa respons seperti demam, menggigil, takikardia, muntah, syok, dan dapat berkembang
menjadi koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dan gagal ginjal akut. Reaksi bervariasi dalam
keparahan dan kecurigaan untuk membedakan dari reaksi transfusi mayor dan minor lainnya.
Transfusi harus dihentikan segera dan kultur darah segera dilakukan.
West Nile Virus
WNV adalah flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk (seperti demam berdarah) yang menjadi
epidemik, terutama di negara bagian Midwestern, termasuk Nebraska, Colorado, dan Kansas
pada tahun 2002. Meskipun sebagian dari individu yang terinfeksi menunjukkan gejala yang baik
atau hanya berkembang menjadi sakit ringan, ensefalitis/ meningitis dapat terjadi dan tingkat
kematian kurang lebih 5-10% kasus. Penularan oleh transfusi darah dan transplantasi organ telah
dikonfirmasi. Untungnya, window period antara infeksi dan gejala klinis pendek yaitu sekitar 3
hari, dan periode infektivitas juga tampaknya relatif singkat. Tes NAT untuk WNV pada donor
sedang dilakukan di daerah dengan insiden tinggi WNV.
Penyakit Terkait Prion
Prion adalah penyebab penyakit Creutzfeldt-Jakob (CJD) dan varian penyakit Creutzfeldt-Jakob
penyakit (vCJD). Yang terakhir adalah penyakit pada manusia yang disebabkan oleh agen yang
bertanggung jawab untuk bovine spongiform encephalitis (BSE). Ketiganya fatal, penyakit
neurologis degeneratif yang disebabkan oleh varian abnormal dari protein yang konstitutif hadir.
Antara awal BSE epidemi di Inggris pada tahun 1984 dan Februari 2004, 156 kasus vCJD telah
dilaporkan, tapi 10 terjadi dalam kerajaan Inggris. Resiko transfusi yang terkait vCJD tidak
5
terdefinisi. CJD tidak pernah diketahui ditularkan melalui transfusi dan hanya ada satu kasus
yang dilaporkan vCJD terkait transfusi. Namun, periode inkubasi mungkin vCJD selama 6 tahun
sehingga tingkat transmisi yang sebenarnya belum diketahui. Meskipun demikian, itu harus
diharapkan bahwa perubahan dalam praktek peternakan dikombinasikan dengan pengecualian
donor yang diam di daerah beresiko tinggi akan meminimalkan resiko.
Resiko noninfeksi Terkait Transfusi Darah
Resiko noninfeksi yang terkait dengan pemberian produk darah, sebagian besar yang diperantarai
oleh imun dan perkiraan insidens diperlihatkan dalam Tabel 10-2.
Efek samping Insiden
Reaksi transfusi hemolitik akut 1/25.000-1/50.000
Reaksi transfusi hemolitik lambat 1/2.500
Reaksi alergi minor 1/200-1/250
Reaksi anafilaksis/anafilaktoid 1/25.000-1/50.000
Reaksi febris 1/200
Transfusi terkait cedera paru-paru (TRALI) 1/5.000
Graft-Versus-Host Disease Jarang
Imunomodulasi (?) 1/1
Tabel 10.2. Efek samping noninfeksi terkait transfusi darah dan insidensnya
Reaksi Transfusi Diperantarai Imunologis
Reaksi terhadap produk darah yang ditransfusikan dapat terjadi sebagai akibat adanya antibodi
yang baik konstitutif (misalnya, Anti-A, Anti-B) atau yang telah terbentuk sebagai akibat dari
paparan sebelum donor sel darah merah, sel darah putih, trombosit, dan/atau protein, atau
sebagai konsekuensi dari efek transfusi sel darah putih.
REAKSI TERHADAP ANTIGEN RBC
Reaksi transfusi hemolitik akut. Yang paling ditakuti dari reaksi kekebalan tubuh
adalah Acute Hemolitic Transfusion Reaction (AHTR) terhadap sel darah merah asing. Hemolisis
dari sel darah merah donor sering menyebabkan gagal ginjal akut, koagulasi intravaskular
6
diseminata, dan kematian. Ada lebih dari 300 antigen yang berbeda pada sel darah merah
manusia, tetapi banyak yang immunogen lemah yang biasanya tidak menimbulkan respon
terdeteksinya antibodi. Antibodi yang memperbaiki komplemen dan umumnya menyebabkan
hemolisis intravascular langsung meliputi anti-A, anti-B, anti-Kell, anti- Kidd, anti-Lewis, dan
anti-Duffy.
Insiden AHTRs diperkirakan 1 per 12.000 unit transfusi. Ketidaksesuaian ABO adalah
satu di antara tiga penyebab utama kematian terkait transfusi di Amerika dengan frekuensi dalam
beberapa tahun terakhir lebih sedikit dari TRALI dan lebih banyak dari kontaminasi bakteri (L.
Holness,MD, November 2004). Dalam salah satu yuridiksi (Kanada), penyedia pelayananan
kesehatan bertanggung jawab atas sebagian besar kesalahan transfusi darah yang tidak cocok
yang mengakibatkan pasien meninggal. Ini adalah sebuah ironi yang tidak nyaman, pada saat
menulis ini, salah satu resiko utama untuk pasien bukan pada suplai darah, tetapi lebih pada
proses transfusi darah ke pasien.
Ketika darah yang tidak cocok ditransfusikan, antibodi dan komplemen pada plasma
penerima transfusi menyerang antigen pada sel darah merah donor kemudian terjadi hemolisis.
Reaksi hemolitik dapat mengambil tempat di ruang intravaskular dan/atau dapat terjadi
extravaskular dalam retikulum endoplasma. Antigen-antibodi kompleks mengaktifkan faktor
Hageman (faktor XII), yang pada gilirannya bekerja pada sistem kinin untuk menghasilkan
bradikinin. Pelepasan bradikinin meningkatkan permeabilitas kapiler dan melebarkan arteriol
sehingga menyebabkan hipotensi. Aktivasi sistem komplemen menyebabakan pelepasan
histamin dan serotonin dari sel mast, sehingga terjadi bronkospasme. Tiga puluh hingga lima
puluh persen pasien berkembang menjadi DIC.
Hemolisis melepaskan hemoglobin ke dalam darah. Awalnya hemoglobin berikatan
dengan haptoglobin dan albumin sampai tempat pengikatannya tersaturasi, kemudian
hemoglobin yang tidak berikatan berada dalam sirkulasi darah sampai diekskresikan oleh ginjal.
Kerusakan ginjal terjadi karena beberapa alasan. Aliran darah ke ginjal berkurang sehingga
menyebabkan hipotensi sistemik dan vasokonstriksi ginjal. Hemoglobin bebas dalam bentuk
asam hematin atau sel stroma dapat mengendap dalam tubulus ginjal sehingga menyebabkan
obstruksi mekanik. Kompleks antigen-antibodi dapat disimpan dalam glomeruli. Jika pasien
berkembang menjadi DIC, fibrin, trombi juga akan disimpan di pembuluh darah ginjal, dan
mengorbankan perfusi.
7
Gejala dan tanda dari reaksi transfusi hemolitik yaitu demam, menggigil, mual, muntah,
diare, dan kekakuan. Pasien dapat hipotensi dan takikardi (efek bradikinin) dan mungkin tampak
memerah dan dispnea (histamin). Dada dan punggung sakit akibat dari oklusi intravaskular difus
oleh sel merah yang menggumpal. Pasien sering gelisah dan sakit kepala. Hemoglobinuria akan
muncul seiring dengan munculnya perdarahan sesuai dengan perkembangan DIC. Dengan
kegagalan ginjal dapat juga terjadi oliguria. Selama anestesi umum, banyak tanda-tanda yang
tidak terlihat. Hipotensi dan hemoglobinuria serta perdarahan difus mungkin menjadi satu-
satunya petunjuk bahwa reaksi transfusi hemolitik telah terjadi. Namun, hipotensi dan
perdarahan tidak spesifik dan sering dijumpai di ruang operasi dan diagnosis mungkin tidak
diduga sampai terdapat hemoglobinuria. Kecurigaan harus dipertahankan selama pemberian sel
darah merah untuk pasien yang dianestesi untuk menghindari keterlambatan dalam diagnosis.
Jika dicurigai terjadi reaksi, transfusi harus dihentikan dan identitas pasien dan label
darah diperiksa ulang. Penanganan memiliki tiga tujuan utama yaitu mempertahankan tekanan
darah sistemik, pelestarian fungsi ginjal, dan pencegahan DIC. Tekanan darah sistemik harus
didukung oleh volume, tekanan, dan inotropik. Output urin harus diperhatikan dengan pemberian
cairan dan penggunaan diuretik, baik manitol atau furosemid, ataupun keduanya. Natrium
bikarbonat dapat diberikan untuk membuat urin menjadi basa. Saat ini tidak ada terapi spesifik
untuk mencegah perkembangan DIC. Namun, penting mencegah hipotensi dan mempertahankan
curah jantung untuk mencegah stasis dan hipoperfusi, yang keduanya berkontribusi pada
perkembangan DIC.
Tes laboratorium harus mencakup : crossmatch ulang, tes antiglobulin langsung
(Coombs). Tes antiglobulin langsung adalah tes definitif untuk reaksi transfusi hemolitik akut.
Ini untuk memeriksa penerima sel darah merah untuk mendeteksi adanya permukaan
imunoglobulin dan komplemen. Serum pasien juga diperiksa untuk mendeteksi adanya antibodi
yang bereaksi dengan sel donor. Level haptoglobin serum, plasma, dan hemoglobin dan tes
bilirubin urin biasanya dilakukan. Namun, ini hanya bukti terjadinya hemolisis, tidak secara
khusus dari sebuah reaksi. Tes laboratorium untuk mengetahui status koagulasi termasuk jumlah
trombosit, PT, aPTT, TT, level fibrinogen, dan produk hasil degradasi fibrin harus dilakukan.
Pemeriksaan plasma pasien setelah sentrifugasi singkat hingga terjadi perubahan warna
menjadi merah muda yang disebabkan oleh adanya hemoglobin bebas adalah tes skrining
sederhana yang dilakukan ketika dicurigai terjadi reaksi transfusi hemolitik. Hemolisis dapat
8
disebabkan oleh banyak hal, termasuk pemanasan yang berlebihan sebelum transfusi atau
penggunaan larutan hipotonis sebagai pengencer. Namun, hemolisis harus dianggap
menunjukkan reaksi transfusi hemolitik sampai dibuktikan bukan.
Reaksi Transfusi Hemolitik Tertunda. Banyak instansi yang telah melaporkan di mana
transfusi sel darah merah dieliminasi dengan cepat dari sirkulasi pada interval yang pendek (hari)
setelah kompatibel crossmatch. Banyak kejadian ini menunjukkan reaksi transfusi hemolitik
tertunda (DHTRs). Reaksi-reaksi ini terjadi ketika sel darah merah donor dianggap antigen untuk
penerima sebelumnya yang telah terpapar oleh transfusi sebelumnya atau kehamilan. Sampai
pada waktunya antibodi penerima donor sampai pada level yang lemah sehingga tidak terdeteksi
dengan tes kompatibilitas. Ketika paparan kembali terjadi, penerima mengalami respon
anamnestic dan menghasilkan antibodi yang lebih banyak yang menyebabkan lisisnya sel darah
merah asing. Biasanya antibodi menyelimuti RBC diasingkan ke extravaskuler dan lisis terjadi di
limpa dan sistem retikuloendotelial. Karena penghancuran sel darah merah terjadi extravaskuler,
gejala yang ditimbulkan lebih ringan dan reaksi cenderung tidak berakibat fatal. Berbeda
AHTRs, yang biasanya melibatkan antibodi dalam sistem ABO, DHTRs umumnya melibatkan
antibodi terhadap Rhesus (Rh), Kell, Duffy, dan antigen Kidd. Frekuensi reaksi hemolitik
tertunda dilaporkan 1 per 800 hingga 2.500 transfusi.
Bukti hemolisis biasanya terdeteksi pada minggu pertama atau kedua setelah transfusi.
Reaksi tidak terdeteksi atau diidentifikasi karena kombinasi demam ringan, peningkatan bilirubin
dengan atau tanpa ikterus ringan, dan/atau reduksi konsentrasi hemoglobin yang tidak dapat
dijelaskan. Diagnosis dikonfirmasi dengan tes antiglobulin langsung positif (Coombs test).
Haptoglobin serum juga menurun. Reaksi ini dapat sembuh sendiri dan manifestasi klinis
membaik ketika sel transfusi dikeluarkan dari sirkulasi.
REAKSI TERHADAP PROTEIN DONOR
Reaksi Alergi Minor. Reaksi alergi terhadap protein dalam plasma donor yang
menyebabkan reaksi urtikaria kurang lebih 0,5% dari semua transfusi. Reaksi ini terkait dengan
transfusi FFP, tetapi karena volume plasma dari donor yang terdapat dalam produk darah lainnya
(Sel darah merah, trombosit) hanya dalam jumlah kecil, reaksi alergi dapat terjadi hanya dengan
transfusi komponen plasma. Pasien dapat merasa gatal, bengkak, dan ruam karena pelepasan
9
histamin. Gejala ringan ini dapat diobati dengan difenhidramin. Pasien yang mengalami reaksi
urtikaria berat dapat diberikan saline washed cell.
Reaksi anafilaksis. Bentuk reaksi alergi anafilaksis jarang terjadi namun dapat terjadi
pada pasien yang mengalami dispnea, bronkospasme, hipotensi, edema laring, nyeri dada, dan
syok. Anafilaksis yang dipicu oleh transfusi sangat jarang, namun dapat bersifat fatal. Hal ini
dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA herediter yang telah tersensitasi dengan transfusi
sebelumnya atau kehamilan yang terpapar dengan darah yang memiliki protein IgA asing.
Pengobatan terdiri dari penghentian transfusi, epinefrin dan metilprednisolon. Washed red cell,
frozen deglycerolized red cells, atau sel darah merah dari donor yang memiliki kadar IgA yang
rendah dapat digunakan untuk pasien ini.
LEUKOSIT TERKAIT REAKSI TRANSFUSI
Reaksi demam. Pasien yang menerima transfusi sel darah merah atau beberapa trombosit
sering berkembang menjadi antibodi terhadap antigen HLA pada leukosit dalam produk
transfusi. Selama transfusi RBC berikutnya, reaksi demam dapat terjadi sebagai akibat dari
serangan antibodi terhadap leukosit donor. Respon demam terjadi pada sekitar 1% dari semua
transfusi sel darah merah. Biasanya pasien mengalami peningkatan suhu lebih dari 1 derajat
celcius dalam waktu 4 jam dari transfusi darah dan turun dalam waktu 48 jam. Pasien dapat
mengalami demam saja, tetapi dapat juga menggigil, gangguan pernapasan, kecemasan, sakit
kepala, mialgia, mual, dan batuk produktif. Reaksi demam dapat diobati dengan acetaminophen.
Leukosit menyebabkan reaksi demam akibat transfusi harus dibedakan dari reaksi transfusi
hemolitik (tes Coombs langsung). Leukoreduksi mengurangi atau mencegah reaksi ini.
Transfusi Terkait Cedera Paru Akut. Transfusi terkait cedera paru akut (TRALI) yaitu
edema paru noncardiogenic yang berhubungan dengan transfusi darah. Ini dikaitkan dengan
pemberian semua komponen darah tetapi paling sering terjadi pada transfusi sel darah merah
(whole blood atau PRC), FFP, dan platelet. Insidens diperkirakan sekitar 1:5.000 transfusi.
Namun, TRALI kurang dilaporkan. TRALI dengan mortalitas 5 sampai 8%, adalah penyebab
kematian dari transfusi yang dilaporkan FDA pada tahun 2001 sampai 2003, meskipun itu hanya
inkompatibilitas ABO dan kontaminasi bakteri (L. Holness, MD, November 2004).
Tinjauan rinci TRALI telah tersedia. Pada banyak kasus, TRALI terjadi ketika zat dalam
plasma darah donor mengaktifkan leukosit dalam tubuh penerima donor. Zat yang paling sering
10
antibodi antileukosit pada darah donor yang terbentuk dari transfusi sebelumnya atau kehamilan.
Dalam beberapa kasus, reaksi sebaliknya, agregasi leukosit donor dan antibodi penerima terjadi
ketika penerima telah alloimmunized terhadap antigen WBC. Karena antibodi antigranulocyte
didapatkan pada sebagian besar kasus TRALI, diduga bahwa secara biologis lemak aktif juga
menjadi initiator dari cedera paru. Lipid dianggap berasal dari kerusakan membran elemen
jaringan selular produk darah yang disimpan. Hal ini juga menunjukkan bahwa TRALI
membutuhkan faktor predisposisi berupa inflamasi penerima, misalnya, sepsis, trauma, operasi.
Gambaran klinis sangat mirip dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
meskipun angka kematian lebih kurang dibandingkan ARDS. Dalam 6 jam pertama setelah
transfusi, kadang lebih cepat, pasien berkembang menjadi sesak, menggigil, demam, dan edema
paru noncardiogenic. X-ray dada menunjukkan adanya infiltrat bilateral. Dapat berkembang
menjadi insufisiensi paru yang berat. Pengobatan sebagian besar bersifat suportif. Transfusi
harus dihentikan jika terjadi reaksi. Pasien harus diberikan oksigen tambahan dan bantuan
ventilator jika diperlukan, idealnya dengan menggunakan volume tidal paru yang rendah untuk
mencegah berkembang menjadi ARDS. Edema paru yang terjadi bersifat noncardiogenic
sehingga pemberian diuretik tidak dianjurkan. Glukokortikoid diberikan namun tidak ada data
yang mendukung tindakan itu.
Pasien yang mengalami reaksi ini dapat diberikan washed PRBCs. Donor wanita
multipara diidentifikasi sebagai sumber antibodi antileukosit dan telah diusulkan bahwa
"Femmes fatales" dikeluarkan dari donor.
Graft-versus-Host Disease (GVHD). Sel darah merah dan konsentrat trombosit
keduanya memiliki jumlah limfosit donor yang signifikan. Ketika ditransfusikan ke pasien yang
immunocompromised, limfosit dapat engrafted, berkembang biak, dan membangun respon imun
terhadap penerima transfusi. Pada dasarnya, limfosit engrafted yang menolak host.
Pasien yang beresiko GVHD termasuk penerima transplantasi organ, neonatus yang
mengalami transfusi tukar, dan pasien immunocompromised oleh proses penyakit lainnya.
GVHD biasanya cepat menjadi pansitopenia dan tingkat kematian sangat tinggi. Transfusi terkait
GVHD telah dilaporkan pada pasien imunokompeten ketika ada hubungan genetik antara donor
dan penerima. Dalam situasi ini, penerima dapat berbagi haplotipe antigen HLA dengan limfosit
donor. Pasien yang kekebalannya kompeten, gagal untuk menolak sel transfusi karena mereka
tidak mengenalinya sebagai sel asing. Pada transfusi, limfosit donor menganggap host sebagai
11
benda asing dan terjadi reaksi GVHD. Karena fenomena ini, American Association of Blood
Bank telah merekomendasikan bahwa donasi langsung dari kerabat tingkat pertama akan disinari
untuk menonaktifkan limfosit donor.
GVHD telah dilaporkan hanya setelah transfusi komponen darah seluler. Hal ini tidak
terjadi pada transfusi FFP, kriopresipitat, atau sel darah merah beku. Idealnya, produk darah
seluler ditujukan untuk pasien immunocompromised dan transfusi dari donor yang memiliki
hubungan genetik harus selalu disinari. Leukoreduksi dapat mengurangi insiden GVHD, tetapi
tidak mencegahnya. Penyinaran tetap satu-satunya cara efektif untuk mencegah GVHD.
Imunomodulasi. Perubahan fungsi kekebalan tubuh terkait transfusi allogenic.
Pengamatan awal adalah penurunan angka penolakan transplantasi dan aborsi spontan pada
pasien yang menerima transfusi homolog. Perubahan dalam pengawasan imunitas telah
disimpulkan. Banyak efek samping transfusi, dianggap mencerminkan pelemahan imunitas,
termasuk peningkatan mortalitas, kekambuhan keganasan yang cepat, peningkatan resiko infeksi,
dan progresifitas yang lebih cepat dari HIV/AIDS. Studi mengatasi kanker, infeksi, dan kematian
telah ditinjau secara menyeluruh oleh Vamvakas et al. Mereka mempertanyakan kesimpulan
validitas atas dasar kegagalan, pada kebanyakan laporan, untuk mengontrol penggabungan
variabel. Masalah ini, singkatnya, adalah: pasien dengan penyakit yang lebih berat lebih
memerlukan transfusi dan memiliki peningkatan resiko komplikasi independen dari transfusi.
Laporan selanjutnya dari efek samping darah allogenic, dengan dibuat tunjangan untuk variabel
pengganggu.
Transfusi sel darah putih dianggap sebagai mediator dari efek pelemahan kekebalan,
walaupun mekanisme pasti belum diketahui. Observasi ini telah menyebabkan pengembangan
dan penerapan teknik untuk deplesi leukosit produk darah donor.
Leukoreduksi Banyak negara termasuk Kanada, Perancis, Portugal, Inggris, negara-
negara tertentu dan wilayah di Amerika Serikat telah mengadopsi praktek leukoreduksi dari
100% suplai darah mereka, dan Amerika Serikat bergerak menuju tujuan itu. Ada manfaat baik
dikonfirmasi beberapa leukoreduksi termasuk pengurangan dalam pengembangan
alloimmunisasi dan refractoriness trombosit, penurunan kejadian demam dari reaksi transfusi
nonhemolitik, dan pengurangan (tetapi bukan pencegahan) transmisi CMV. Namun,
leukoreduksi selektif dapat diterapkan untuk pasien yang memiliki keuntungan relevan.
12
Advokasi leukoreduksi universal menyelesaikan pengetahuan menegenai berbagai keuntungan
leukoreduksi yang terdaftar sebagai "Terlapor namun belum dikonfirmasi" pada tabel 10.3.
Keuntungan leukoreduksi
MANFAAT YANG DIKONFIRMASI
Penurunan alloimmunisasi / refractoriness trombosit dalam leukemics kalikan ditransfusikan
Pencegahan reaksi demam pada transfusi RBC
Pengurangan transmisi CMV
MANFAAT YANG DILAPORKAN NAMUN BELUM DIKONFIRMASI
Penurunan infeksi pascaoperasi
Penurunan mortalitas pascaoperasi
Mempersingkat waktu rawat inap
Pencegahan transfusi terkait akselerasi HIV
Pencegahan transfusi terkait rekurensi tumor
Mengurangi kejadian / keparahan GVHD
Tabel 10-3. Keuntungan leukoreduksi
Sementara banyak manfaat yang diduga belum dikonfirmasi, laporan tambahan manfaat
leukoreduksi sedang ditambahkan ke literatur. Meskipun skeptisisme berlanjut, pandangan
umum bahwa, walaupun terkait biaya, karena resiko leukoreduksi yang minimal, manfaat yang
membenarkan melanjutkan leukoreduksi universal.
Leukoreduksi universal, ketika sepenuhnya dilaksanakan, akan mempekerjakan
prestorage depletion untuk mencegah pelepasan mediator dari leukosit selama penyimpanan. Hal
ini terutama pada trombosit, yang disimpan pada suhu kamar. Untuk sementara, dokter
menggunakan penyaring di samping tempat tidur pasien sementara filter yang tersedia kurang
efisien pada suhu tinggi dan karena itu idealnya penyaringan dilakukan sebelum menghangatkan
darah ke suhu kamar. Dokter juga harus memperhatikan kemungkinan yang lebih parah, seperti
hipotensi yang disebabkan bradikinin pada pasien yang menerima darah yang disaring di
samping tempat tidur. Reaksi lebih sering terjadi pada pasien yang menerima penghambat
konversi angiotensin (yang mengurangi kerusakan bradikinin).
RESIKO NONINFEKSI LAIN TERKAIT TRANSFUSI
13
Transfusi masif. Transfusi cepat dalam volume besRa darah memiliki beberapa konsekuensi.
Beberapa adalah fungsi dari sifat darah itu sendiri, dari zat yang digunakan untuk menjaga,
antikoagulasi, dan reaksi biokimia yang terjadi selama penyimpanan. Ada komplikasi lain dari
transfusi darah yang mungkin terjadi dengan transfusi cepat dari volume cairan yang besar.
Hipotermia. Transfusi 1 unit PRBCs di 4 derajat celcius akan mengurangi suhu tubuh dari
seorang pasien 70 kg sekitar 0,25 derajat Celcius. Hipotermia memperlambat koagulasi (seperti
halnya semua reaksi enzimatis) dan menyebabkan sekuestrasi trombosit. Pada 29°C (suhu di
mana resiko kritis disritmia jantung), PT dan aPTT akan meningkat sekitar 50% atas nilai-nilai
normothermic dan jumlah trombosit akan menurun sekitar 40%. Disritmia dapat dilihat pada
suhu inti yang lebih tinggi jika darah yang tidak dipanaskan diberikan dengan cepat, khususnya
melalui kateter akses sentral. Meskipun ada keyakinan umum bahwa " darah pasien dingin "
belum ada korelasi kuantitatif suhu dan perdarahan pada pengaturan klinis. Suhu 33°C yang
umum digunakan dalam bedah saraf elektif tanpa gambaran klinis koagulopati. Namun, Ferrara
et al mengamati perjalanan klinis dari 45 pasien yang menerima transfusi masif karena trauma.
Durasi hipotensi sama pada pasien yang bertahan hidup dan yang tidak. Namun, tingkat asidosis
dan hipotermia lebih ekstrim pada yang tidak bertahan dan pasien yang tidak bertahan
berkembang menjadi koagulopati meskipun darah adekuat, plasma, dan penggantian trombosit.
Dalam penelitian ini, sulit untuk memisahkan efek dari concomitants klinis umum dari
hipotermia, misalnya, asidosis, syok, transfusi masif, cedera jaringan masif, dari orang-orang
dari hipotermia per se. Selanjutnya, pentingnya hipotermia mungkin terletak pada interaksi
dengan variabel lain. Terlepas dari ambigu, hipotermia harus dihindari dan dikoreksi secara
agresif pada pasien yang menerima transfusi masif. Dengan demikian, transfusi yang diberikan
cepat atau dalam volume yang besar harus dihangatkan untuk mencegah terjadinya hipotermia.
Dengan penurunan suhu tubuh terjadi penurunan cardiac output, perfusi jaringan terganggu
(sebagai konsekuensi dari kedua vasokonstriksi dan pergeseran ke kiri kurva disosiasi O2-Hb),
dan asidosis metabolik bisa terjadi. Menggigil dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai
400%. Hipotermia telah dikaitkan dengan peningkatan morbiditas pascabedah dan kematian
termasuk tingkat peningkatan infeksi pascaoperasi
Volume Overload. Volume overload sirkulasi terjadi ketika darah atau cairan ditransfusikan
terlalu cepat untuk kompensasi redistribusi cairan turut mengambil tempat.
14
Koagulopati pengenceran. Pemberian volume besar cairan, defisiensi trombosit dan faktor
koagulasi akan berkembang menjadi koagulopati akibat dari pengenceran. Ada banyak diskusi
tentang apakah, dalam menghadapi transfusi darah masif, pasien akan mengalami defisiensi
trombosit atau faktor pembekuan. Pada kesimpulan awal bahwa trombositopenia yang akan
berkembang pertama. Dalam retrospeksi, kesimpulan klinisi menjadi konsekuensi dari
penggunaan whole blood akhir-akhir ini. Walaupun faktor V dan VIII labil, konsentrasi dari
faktor-faktor ini cukup dalam whole blood untuk mempertahankan fungsi koagulasi bahkan pada
transfusi yang sangat banyak. Hal yang sama mungkin tidak benar ketika pasien hanya menerima
sedikit volume plasma residu yang terdapat pada PRC. Penyelidikan dari pasien yang menerima
volume transfusi isovolemic yang besar menunjukkan dilusi yang signifikan dari fibrinogen,
faktor II, V, dan VIII, dan platelet akan terjadi setelah pertukaran volume sekitar 140%, 200-
230%, dan 230% (yaitu 1,4,2,dan volume darah 2,3). Resusitasi dari hipovolemia akan mencapai
ambang batas ini persentase penggantian volume yang lebih kecil. Namun, perhitungan alam ini
tidak boleh digunakan sebagai panduan untuk pemberian produk darah tetapi hanya sebagai
sarana mengantisipasi kejadian klinis yang relevan. Keputusan untuk memberikan FFP atau
platelet tergantung pada gejala klinis dan petunjuk laboratorium terhadap koagulopati.
Penurunan 2,3-Diphosphoglycerate (2,3-DPG). Penyimpanan sel darah merah
dihubungkan dengan penurunan progresif ATP intraseluler dan 2,3-DPG dengan pergeseran
kurva disosiasi Hb-O2 ke kiri. Dengan demikian, transfusi darah 2,3-DPG-habis sementara
meningkatkan nilai hemoglobin pasien menghasilkan pengiriman oksigen kurang efisien
daripada yang terjadi dengan hemoglobin asli pada jumlah hematokrit yang sama. Setelah
transfusi, kadar 2,3-DPG kembali normal setelah 12 sampai 24 jam.
Perubahan Asam Basa. Ketika solusi CPD ditambahkan ke unit darah yang baru
diambil, pH turun menjadi sekitar 7,0-7,1. Penurunan pH terus berlanjut selama penyimpanan
karena metabolisme glukosa menjadi laktat. Pada akhir 21 hari, pH sekitar 6,9, tetapi pH ini
merupakan hasil dari produksi CO2 yang dieliminasi dengan cepat setelah transfusi. Apakah
infus cepat dari transfusi darah menyebabkan asidosis metabolik masih diperdebatkan. Di masa
lalu, beberapa dokter telah memberikan natrium bikarbonat secara empiris untuk pasien pada
jadwal tetap (misalnya, natrium bikarbonat 44,6 mEq setelah setiap pemberian 5 unit darah).
Lainnya berpendapat bahwa sitrat dari larutan CPD dimetabolisme oleh pasien untuk
menghasilkan bikarbonat endogen dan gangguan asam-basa itu terkoreksi sendiri. Secara klinis,
15
pasien cedera yang hipotensi, perfusi yang jelek dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, sulit
untuk membedakan apakah asidosis metabolik terjadi karena transfusi yang cepat atau karena
produksi asam laktat. Tindakan yang sesuai adalah terapi bikarbonat pada analisis gas darah.
Hiperkalemia. Selama penyimpanan, kalium bergerak keluar dari sel darah merah, di
bagian untuk mempertahankan netralitas elektrokimia dari ion hidrogen yang dihasilkan selama
penyimpanan. Konsentrasi kalium dalam plasma yang dilaporkan dapat mencapai 17 dan 24
mEq / L pada 21 sampai 35 hari atau 19-35 mEq/L dalam darah yang disimpan selama 21 hari.
Resiko ada jika volume darah yang banyak diberikan dengan cepat. Pemberian lebih dari 90
sampai 120 mL / menit telah dihubungkan dengan hiperkalemia. Selain itu, sementara hanya ada
20 sampai 60 mL plasma dalam 1 unit PRBC, perangkat infus kontemporer memungkinkan
transfusi darah pada tingkat 500 sampai 1.000 mL / menit. Pada laju infus ini, hiperkalemia kritis
dapat terjadi dan arrest intraoperatif telah didokumentasikan. Perubahan EKG yang berhubungan
dengan hiperkalemia meliputi gelombang T tinggi, interval PR memanjang, dan kompleks QRS
melebar. Jika diamati perubahan EKG, transfusi harus dihentikan dan kalsium intravena harus
diberikan. Bikarbonat, dekstrosa, dan insulin juga dapat diberikan sesuai dengan tingkat
keparahan hiperkalemia.
Intoksikasi sitrat. Larutan tambahan mengandung sitrat sering digunakan sebagai
antikoagulasi oleh chelation kalsium terionisasi. Ketika volume darah yang disimpan besar (>
satu volume darah) yang diberikan dengan cepat, sitrat dapat menyebabkan penurunan kadar
kalsium terionisasi. Sitrat biasanya dimetabolisme oleh hati dan penurunan kadar kalsium
terionisasi seharusnya tidak terjadi kecuali kecepatan transfusi melebihi 1 mL / kg per menit atau
sekitar 1 unit darah per 5 menit pada orang dewasa berukuran rata-rata. Perhatikan bahwa
additive solution (AS) memiliki kandungan sitrat jauh lebih kecil daripada sitrat-fosfat-
dekstrosa-adenin (CPDA) darah. Namun, sebagian besar sitrat diberikan selama transfusi masif
dalam FFP daripada PRBCs. Gangguan fungsi hati atau perfusi akan menurunkan tingkat
ambang batas menuju keracunan sitrat. Perhatikan bahwa konsekuensi krisis jantung terjadi
sebelum hipokalsemia memiliki implikasi signifikan untuk koagulasi. Tanda-tanda keracunan
sitrat (hipokalsemia) meliputi: hipotensi, tekanan nadi sempit, dan tekanan diastolik akhir
ntraventrikular dan tekanan vena sentral meningkat, Interval QT memanjang, kompleks QRS
melebar, dan gelombang T datar.
16
Pengiriman Mikroagregasi. Darah yang disimpan mengandung mikroagregasi.
Agregasi trombosit membentuk selama hari kedua sampai hari kelima penyimpanan dan setelah
sekitar 10 hari, agregat yang lebih besar terdiri dari fibrin, degenerasi sel darah putih, dan
trombosit muncul. Makroaggregasi dari sel darah merah juga berkembang. Pemberian cairan
standar mengandung filter 170 mikron, yang akan menyaring bekuan yang lebih besar. Filter
mikropori biasanya dengan ukuran filter 40 mikron, telah dianjurkan namun efisiensi menyaring
mikroagregasi dan makna untuk keamanan pasien belum pasti. Mikroagregasi terlibat dalam
patogenesis insufisiensi paru dan pengembangan ARDS, yang terjadi setelah transfusi volume
darah yang besar (didefinisikan sebagai> 10 sampai 12 unit dalam 24 jam). Namun, data yang
tersedia tidak mengkonfirmasi kecurigaan ini dan menyarankan cedera paru dan terjadinya
ARDS terkait dengan jenis cedera dan tingkat keparahan dari cedera daripada volume darah yang
ditransfusikan. Hipotensi dan sepsis mungkin mempunyai peran yang lebih besar dalam
perkembangan ARDS dibandingkan mikroagregasi dan mikroagregasi lebih terkait dengan
TRALI. Sebuah pertimbangan praktis tetap menggunakan filter mikropori antara unit darah dan
set pemberian. Darah yang tidak disaring dapat menyumbat filter 170-mikron dari set standar dan
kurang menghabiskan waktu untuk mengubah ke filter 40-mikron secara berkala, misalnya,
setelah setiap 4 unit RBC, daripada pertukaran mengatur seluruh administrasi.
Sel darah merah sering diencerkan dengan larutan kristaloid untuk meningkatkan jumlah
darah yang bisa ditransfusikan. Normal saline merupakan kristaloid yang direkomendasikan
untuk larutan dibandingkan RL. Bahkan, jumlah sitrat yang terdapat dalam darah yang disimpan
lebih dari cukup untuk mengikat sejumlah kecil kalsium dalam 100 sampai 300 cc dari RL
biasanya digunakan untuk pengenceran. Tidak ada bukti bahwa sequele yang signifikan secara
klinis dihasilkan dari penggunaan RL sebagai pengencer RBC.
PRODUK DARAH DAN AMBANG BATAS TRANSFUSI
Sel Darah Merah
Pertanyaan tentang apakah kadar hemoglobin / hematokrit terkait resiko pada transfusi darah
telah dibahas secara luas (Tabel 10-4). Sekali semua tapi "10 sampai 30" aturan telah
ditinggalkan. Pengalaman dengan beberapa pasien (gagal ginjal, korban militer, Jehovah's
Witnesses) dan studi sistematis telah mengungkapkan bahwa derajat anemia yang lebih besar
cukup dapat ditoleransi dengan baik dan dalam banyak situasi, morbiditas dan mortalitas tidak
17
meningkat sampai kadar hemoglobin di bawah 7 g/dL. Ambang batas transfusi kontemporer
untuk kedokteran umum pasien bedah sekarang adalah 21% / 7,0 g / dL (Hb / Ht). Namun, ada
bukti bahwa ambang batas untuk pasien dengan penyakit jantung harus lebih tinggi. Bukti
tersebut mencakup studi yang dilakukan mendukung ambang batas 30% / 10 g / dL (Hb / Ht)
pada pasien yang menderita infark miokard akut dan studi observasi menunjukkan hasil yang
lebih baik pada pasien dengan penyakit jantung yang berat (bedah jantung dan pembuluh darah,
penyakit jantung iskemik, disritmia) di atas ambang batas 9,5 g/dL. Pedoman Praktik untuk
Terapi Komponen Darah yang dikembangkan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA)
menyatakan bahwa "transfusi sel darah merah jarang menjadi indikasi ketika kadar hemoglobin
lebih dari 10 g/dL dan hampir selalu menjadi indikasi bila kurang dari 6 g / dL. Indikasi transfusi
autologous mungkin lebih bebas daripada transfusi alogenik (homolog) transfusi."
Hipotermia
Kelebihan volume (volume overload)
Koagulopati dilutional / pengenceran
Penurunan kapasitas yang membawa O2 (penurunan 2,3-DPG)
Asidosis metabolic
Hiperkalemia
Intoksikasi sitrat
Pengiriman mikroagregasi
Tabel 10.4 Resiko yang berhubungan dengan transfusi masif
Tanggung jawab dokter adalah untuk mengantisipasi kadar hemoglobin minimal
(mungkin sekitar 7 sampai 10 g/dL) yang akan mencegah kerusakan organ karena kekurangan
oksigen. Menentukan kebutuhan transfusi membutuhkan banyak data dari kondisi pasien yang
menentukan kebutuhan pengiriman oksigen dan cadangan fisiologis (Tabel 10-5). Akhirnya
keputusan untuk transfusi sel darah merah harus dibuat berdasarkan penilaian klinis bahwa
kapasitas darah untuk mengangkut oksigen harus ditingkatkan untuk mencegah konsumsi
oksigen melebihi pengiriman oksigen.
Peningkatan kebutuhan oksigen
- Hipertermia
- Hipertiroid
- Sepsis
18
- Kehamilan
Keterbatasan kemampuan meningkatkan cardiac output
- Penyakit jantung koroner
- Disfungsi miokard (infark, kardiomiopati
- Blok beta adrenergic
- Katidakmampuan untuk redistribusi CO
- Resistensi vaskuler sistemik rendah
Sepsis
Postcardiopulmonary bypass
Penyakit oklusi vascular
Pergeseran kurva O2-Hb ke kiri
- Alkalosis
- Hipotermi
Hemoglobin abnormal
- Post transfusi hemoglobin (penurunan 2,3-DPG)
- HbS (penyakit sel sabit)
- Anemia akut (kompensasi 2,3-DPG terbatas)
Oksigenasi terganggu
- Penyakit paru
- Dataran tinggi
Perdarahan yang sedang terjadi atau akan terjadi
- Trauma atau perdarahan selama operasi
- Plasenta previa atau akreta, abrupsio, atonia uteri
- Koagulopati klinis
Tabel 10.5. Kondisi yang menurunkan toleransi terhadap anemia dan meningkatkan ambang
batas transfusi
Mekanisme Kompensasi Pada Anemia
Ketika terjadi anemia volume darah dipertahankan (hemodilusi isovolemic), empat mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan pengiriman oksigen: (1) peningkatan cardiac output, (2)
redistribusi aliran darah ke organ dengan kebutuhan oksigen yang lebih besar, (3) peningkatan
19
rasio ekstraksi dari beberapa pembuluh darah dan (4) perubahan ikatan hemoglobin-oksigen agar
hemoglobin dapat memberikan oksigen pada tekanan oksigen rendah.
1. Peningkatan cardiac output
Dengan hemodilusi isovolemic, cardiac output meningkat karena peningkatan stroke
volume yang disebabkan oleh penurunan resistensi vaskuler sistemik (SVR). Ada dua
faktor penentu utama SVR yaitu tonus vaskular dan viskositas darah. Jika hematokrit
menurun terjadi penurunan viskositas darah sehingga SVR menurun. Penurunan SVR ini
meningkatkan stroke volume dan cardiac output dan aliran darah ke jaringan. Lebih dari
jarak hematocrit, hemodilusi isovolemic mengoreksi sendiri. Penurunan linear dalam
kapasitas darah membawa oksigen dicocokkan dengan perbaikan transport oksigen.
Karena transport oksigen optimal pada hematokrit 30%, pengiriman oksigen tetap
konstan antara hematokrit 45 dan 30%. Penurunan hematokrit lebih lanjut yang disertai
peningkatan cardiac output mencapai 180% dari kontrol sebagai pendekatan hematokrit
20%. Kadar hemoglobin di mana cardiac output meningkat bervariasi antara individu
yang satu dengan yang lainnya dan dipengaruhi oleh usia dan apakah anemia akut atau
kronis.
2. Redistribusi cardiac output
Dengan hemodilusi isovolemic, aliran darah ke jaringan meningkat namun
meningkatnya aliran darah ini tidak didistribusikan merata ke semua jaringan. Organ
dengan rasio ekstraksi yang lebih tinggi (otak dan jantung) menerima aliran darah lebih
banyak daripada organ-organ dengan rasio ekstraksi rendah (otot, kulit, viscera).
Redistribusi aliran darah ke sirkulasi koroner adalah cara utama dimana jantung
sehat mengkompensasi anemia. Aliran darah koroner meningkat hingga 400-600%.
Karena jantung dalam kondisi basal sudah memiliki rasio ekstraksi tinggi (antara 50 dan
70% dibandingkan 30% di sebagian besar jaringan) dan kompensasi utama untuk anemia
adalah meningkatkan kerja jantung (peningkatan CO), jantung harus meredistribusikan
aliran darah untuk meningkatkan suplai oksigen. Faktor-faktor ini membuat jantung
menjadi organ yang paling beresiko pada kondisi hemodilusi isovolemic. Ketika jantung
tidak bisa lagi meningkatkan cardiac output atau aliran darah koroner, batas hemodilusi
isovolemic telah dicapai. Selanjutnya penurunan suplai oksigen akan menyebabkan
cedera miokard.
20
3. Peningkatan extraksi oksigen
Meningkatkan rasio ekstraksi oksigen (ER) adalah berpikir untuk memainkan peran
adaptif penting ketika hematokrit normovolemic kurang dari 25%. Peningkatan ekstraksi
oksigen dalam jaringan menyebabkan peningkatan ER di seluruh tubuh dan
menyebabkan penurunan saturasi oksigen vena campuran. Suatu penelitian menunjukkan
ketika hematokrit turun sampai 15%, ER oksigen seluruh tubuh meningkat 38-60%, dan
SvO2 menurun dari 70 ke 50% atau kurang. Beberapa organ (otak dan jantung) sudah
memiliki rasio ekstraksi tinggi pada kondisi basal dan memiliki kapasitas terbatas untuk
meningkatkan pengiriman oksigen oleh mekanisme ini. Jantung pada kondisi basal
menggunakan antara 55 dan 70% dari oksigen yang diterima. Sebaliknya di ginjal dan
kulit ER sekitar 7 sampai 10%. Dalam praktek klinis, kita tidak bisa mengukur rasio
ekstraksi dari berbagai organ. Karena jantung memiliki ER tertinggi maka jantung adalah
organ yang paling beresiko pada kondisi anemia normovolemic.
4. Perubahan afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
Afinitas hemoglobin terhadap oksigen dijelaskan oleh kurva disosiasi
hemoglobin-oksigen yang berbentuk sigmoid. Kurva ini menghubungkan tekanan parsial
oksigen dalam darah dengan persentase saturasi molekul hemoglobin dengan oksigen.
Tekanan parsial oksigen di mana molekul hemoglobin 50% tersaturasi dengan oksigen
dan 50% tidak disaturasi yang disebut P50. P50 hemoglobin untuk dewasa normal pada
suhu 37ºC dan pH 7,4 adalah 27 mmHg. Perubahan asam-basa atau suhu dapat
menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri atau kanan masing-masing
menurunkan atau menaikkan P50. Ketika kurva bergeser ke kiri seperti pada hipotermia
atau alkalosis, P50 turun. Dengan P50 lebih rendah, molekul hemoglobin lebih "stingy"
dan membutuhkan tekanan parsial oksigen yang lebih rendah untuk melepaskan oksigen
ke jaringan, molekul hemoglobin tidak melepaskan 50% oksigen sampai PO2 kurang dari
27 mmHg tercapai. Hal ini dapat menganggu oksigenasi jaringan. Sebaliknya, jika
pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ke kanan, seperti pada peningkatan suhu
atau asidosis, P50 meningkat, penurunan afinitas hemoglobin untuk molekul oksigen, dan
pelepasan oksigen ke jaringan pada tekanan parsial oksigen yang lebih tinggi.
Ketika anemia berkembang perlahan, afinitas hemoglobin terhadap oksigen
menurun, kurva bergeser ke kanan sebagai hasil dari akumulasi 2,3 - phosphoglycerate
21
(2,3-DPG) dalam sel darah merah. Sintesis 2,3-DPG di atas normal dimulai pada Hb 9
g/dL. Pada tingkat Hb 6,5 kurva bergeser lebih menonjol. Sel darah merah yang disimpan
menjadi kekurangan 2,3-DPG. Penurunan suhu dan penurunan pH juga mengurangi P50
pada darah yang disimpan. Perubahan ini, dibalik in vivo tetapi diresynthesis dari 2,3-
DPG oleh sel darah merah membutuhkan waktu 12-36 jam
Anemia Isovolemik Dibandingkan Dengan Kehilangan Darah Akut
Meskipun mekanisme kompensasi pada anemia akut dan kronis sama, mereka memiliki derajat
kepentingan yang berbeda dan terjadi pada berbagai tingkat hemoglobin. Pada kehilangan darah
akut, hipovolemia menginduksi stimulasi sistem saraf adrenergik sehingga menyebabkan
vasokonstriksi dan takikardi. Peningkatan cardiac output tidak memberikan kontribusi. Pada
anemia kronis, cardiac output meningkat sebagai kompensasi penurunan kadar hemoglobin
sekitar 7-8 g/dL. Pada pasien ini terjadi akumulasi dari 2,3-DPG dalam sel darah merah,
sehingga meningkatkan P50 dari Hb, adalah mekanisme pertama yang penting untuk
kompensasi.
Trombosit
Pedoman untuk transfusi trombosit diterbitkan ada lagi persyaratan substansial untuk
pertimbangan dokter. Indikasi untuk pemberian trombosit yang ditampilkan dalam Tabel 10-6
merupakan campuran dari rekomendasi yang disampaikan oleh ASA pada tahun 1996 dan
Komite Standar di Inggris untuk Hematologi di 2003.
Pasien tanpa perdarahan dan tanpa kelainan hemostasis lainnya <10,000/uL
Punksi lumbal, anastesi epidural, endoskopi dengan biopsi, biopsi hati,
atau laparotomi pada pasien-pasien tanpa kelainan hemostasis lainnya
<50,000/uL
Prosedur pada perdarahan rongga tertutup yang mungkin berbahaya
seperti bedah saraf
<100,000/uL
Untuk mempertahankan trombosit selama perdarahan dan transfusi tidak
kurang dari
50,000/uL
Untuk mempertahankan trombosit selama DIC dengan perdarahan tidak
kurang dari
50,000/uL
Perdarahan mikrovaskular terkait disfungsi trombosit, misalnya, uremia, Sesuai
22
post cardiopulmonary bypass, atau berhubungan dengan transfusi massif pertimbangan klinis
*Setelah uji coba DDAVP jika situasi klinis memungkinkan
Tabel 10.6 Indikasi transfusi trombosit
Tabel 10-6 membuat batas transfusi trombosit menjadi jelas. Batas transfusi trombosit
yang relevan dengan ahli anestesi terletak antara 50.000 dan 100.000/uL. Ambang batas di mana
trombosit diberikan harus didasarkan pada prosedur yang mungkin menyebabkan pendarahan,
dan bahaya jika terjadi perdarahan. Misalnya bedah saraf intracranial > ortopedi perifer dan ada
kemungkinan penyebab tambahan gangguan koagulasi, misalnya, pemberian agen antiplatelet
belakangan ini, cardiopulmonary bypass, DIC, pengenceran karena pemberian volume besar.
Manifestasi perdarahan bervariasi dari pasien ke pasien dengan jumlah trombosit yang sama. Hal
ini terjadi karena beberapa trombosit lebih efektif daripada yang lain. Trombositopenia karena
destruksi trombosit di perifer, sementara sumsum tulang terus memproduksi trombosit yang
normal, muda, dan besar yang secara hemostatik sangat efektif. Seorang pasien dengan trombosit
ini mungkin memiliki hemostasis primer yang lebih efektif daripada pasien dengan jumlah
trombosit yang sama tetapi trombosit yang diproduksi oleh sumsum tulang kurang aktif atau
sumsum tulang yang kurang sehat.
Satu unit trombosit biasanya akan meningkatkan jumlah trombosit dari 5 sampai
10.000/uL. Namun, kenaikan tersebut harus dibuktikan dengan pemeriksaan jumlah trombosit,
terutama pada pasien yang mungkin telah alloimmunized karena seringnya pemberian trombosit.
Fresh Frozen Plasma (FFP)
Walaupun kenyataannya bahwa lebih dari 2.000.000 unit FFP yang diberikan setiap tahun di
Amerika Serikat bukti keberhasilan transfusi FFP sangat sedikit. Meskipun demikian,
penggunaan FFP untuk mengembalikan faktor koagulasi berlaku pada beberapa keadaan klinis.
Indikasi pemberian FFP ditampilkan pada Tabel 10-7 adalah campuran dari rekomendasi yang
disampaikan oleh ASA pada tahun 1996 dan Komite Inggris untuk Standar ini telah Hematologi
tahun 2004.
Koreksi defisiensi faktor koagulasi tunggal yang konsentrat spesifik tidak tersedia (terutama
faktor V)
Koreksi defisiensi beberapa faktor koagulasi, misalnya DIC, dengan bukti perdarahan
mikrovaskuler serta PT dan / atau aPTT> 1,5 kali normal
23
Reversal terapi warfarin yang mendesak
Koreksi perdarahan mikrovaskuler selama transfusi masif (> 1 volume darah) saat PT / aPTT
tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat
Kompleks prothrombin (II, VII, IX, X) adalah alternatif yang dilaporkan lebih efektif daripada
FFP
Tabel 10.7. Indikasi transfusi FFP
Cryopresipitat
Cryopresipitat mengandung faktor VIII, faktor von Willebrand (vWF), fibrinogen, fibronektin,
dan faktor XIII. Virally meninaktifasi konsentrat faktor koagulasi VIII, beberapa di antaranya
mengandung konsentrasi vWF (Faktor Antihemophilic, misalnya, Humate P ®, Alphanate ®)
yang efektif secara klinis sekarang tersedia. Akhirnya hemofilia A dan penyakit von Willebrand
(VWD) biasanya dapat diterapi (konsultasi dengan hematologist) dengan konsentrat ini daripada
kriopresipitat. Indikasi untuk kriopresipitat disajikan pada Tabel 10-8.
Profilaksis sebelum operasi atau pengobatan perdarahan pada pasien dengan dysfibrinogenemias
kongenital
Mikrovaskuler pendarahan ketika terjadi penurunan yang tidak seimbang dalam fibrinogen,
misalnya, DIC dan transfusi masif, dengan fibrinogen <80-100 mg / dL (atau hasil tes tidak
tersedia)
Profilaksis sebelum operasi atau pengobatan perdarahan pada hemofilia A atau vWD jika
konsentrat tidak tersedia atau tidak efektif
Pendarahan karena uremia yang tidak merespons terhadap DDAVP
* FFP adalah komponen pilihan utama untuk deplesi faktor pembekuan setelah trnasfusi masif
Tabel 10.8. Indikasi pemberian cryoprecipitat
STRATEGI PENYIMPANAN DARAH
Karena banyak bahaya transfusi darah, banyak teknik dan alternatif telah dieksplorasi (Tabel 10-
9).
Sumbangan autologous preoperative
Hemodilusi normovolemic akut
Penyelamatan darah intraoperatif
24
Penyelamatan darah pasca operasi
Agen farmakologis
- Eritropoietin
- Pengganti darah (didasarkan pada hemoglobin dan nonhemoglobin)
- DDAVP (Bagian VII)
- Antifibrinolitik (Bagian VII)
Tabel 10.9 Tehnik penyimpanan darah
Sumbangan autolog
Sumbangan praoperasi dan penyelamatan darah autolog perioperatif telah digunakan secara luas
sebagai bagian dari program untuk mengurangi pemberian darah homolog. Darah autolog dapat
dikumpulkan beberapa hari sampai minggu sebelum operasi (predonation), darah ini dapat
disumbangkan segera sebelum pembedahan (hemodilusi isovolemic), atau mungkin
diselamatkan dari lapangan operasi atau drain luka dan diinfus kembali (penyelamatan darah).
Memutuskan apakah pilihan ini cocok untuk pasien yang mempunyai tantangan lain dalam
kedokteran transfusi.
Sumbangan Darah Autolog Preoperatif
Sumbangan autologous pra operasi (PAD) darah telah diterapkan terutama pada pasien
yang akan menjalani prosedur ortopedi (penggantian sendi panggul dan lutut, prosedur
skoliosis), operasi prostat dan jantung, Namun, PAD ini telah sering gagal untuk menurunkan
penggunaan darah alogenik dan pemanfaatannya menurun. Efektivitas terbatas karena respon
eritropoietin pasien sering tidak cukup, dalam proses ini hanya menyebabkan anemia pada saat
operasi. PAD juga memiliki kekurangan lain. Prosedur PAD lebih mahal dari koleksi darah
homolog. Selain itu, jika darah autolog tidak digunakan, institusi akan membuangnya dan tidak
mengizinkan "crossover" untuk pasien lain. Praktek yang berkaitan dengan pengujian agen
infeksi juga bervariasi. Beberapa lembaga akan menyimpan dan mengijinkan mengembalikan ke
donor HIV, hepatitis, atau terinfeksi CMV darah sementara yang lain membuangnya. Perhatikan
juga bahwa transfusi darah autologous tidak menghilangkan kemungkinan kesalahan selama
pengambilan darah, pengolahan, dan reinfusion atau resiko kontaminasi bakteri. Beberapa
25
lembaga melakukan crossmatch sebelum mengembalikan darah ke donor dan yang lainnya tidak.
Ini menggarisbawahi peringatan bahwa tidak ada transfusi tanpa risiko.
Kondisi medis pasien harus dipertimbangkan sebelum merekomendasikan PAD. Stenosis
aorta berat, penyakit koroner yang signifikan atau disfungsi miokard, dan hematokrit awal yang
rendah dan volume darah yang sedikit (berat badan kurang dari 110 pon) merupakan
kontraindikasi relatif terhadap PAD. Jika kadar hemoglobin pasien, status jantung, dan kondisi
umum memungkinkan, darah dapat disimpan pada interval beberapa minggu sebelum operasi.
Empat unit biasanya sumbangan maksimal karena masa simpan unit pertama dikumpulkan.
Pasien yang membuat PAD harus mendapatkan suplemen besi, misalnya, 2 mg / kg / hari
selama 3 minggu. Selain itu, PAD dapat dilengkapi dengan pemberian eritropoietin rekombinan
(Epo).
Eritropoietin
Efektivitas Epo dalam mempercepat pemulihan hematokrit dalam hubungannya dengan
PAD dan untuk meningkatkan hematokrit pada pasien yang tidak melakukan PAD telah
dibuktikan. Namun, praktek tersebut tidak menyebar luas karena biaya Epo (tidak kurang dari
500 sampai 1.600 USD / pasien tergantung pada regimen yang digunakan) dan sebagian karena
kebutuhan untuk sering menggunakan (misalnya, setiap minggu hingga 3 minggu dan 2 suntikan
tambahan dalam minggu terakhir) pemberian parenteral (subkutan atau iv) Epo. Pemberian Epo
selektif pada pasien anemia menghasilkan pengurangan pemberian darah alogenik daripada
pemberian produk rekombinan Epo diterima oleh Jehovah’s Witnesses dan keberhasilan dalam
populasi yang telah dibuktikan. Bukti terbaru dari pengurangan kebutuhan transfusi pada pasien
dengan sakit kritis oleh Epo dapat meningkatkan kesadaran dan mendorong penggunaan yang
sistematis dalam anemia pasien bedah elektif. Agen erythropoietic alternatif, alfa darbopoietin,
baru-baru ini dikembangkan. Waktu paruhnya menghasilkan efek erythropoietic lebih panjang
daripada Epo.
Hemodilusi Normovolemic Akut
Hemodilusi normovolemic akut (ANH) memerlukan pertukaran darah pasien di awal
periode intraoperatif dengan pemberian kristaloid atau koloid bersamaan untuk mempertahankan
normovolemia. Alasannya adalah selama operasi pasien akan kehilangan darah sehingga
26
hematokrit darah rendah dan pertukaran darah akan dilakukan pada akhir operasi. Titik akhir
untuk penggantian pertama adalah dari hematokrit 27 menjadi 33%, tergantung pada cadangan
pasien kardiovaskular dan pernapasan. Seleksi untuk teknik ini harus melalui evaluasi yang
cermat terhadap pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner atau serebral. Prosedur ini
mengantisipasi bahwa hal itu akan mengurangi kehilangan sel darah merah dan transfusi darah
homolog. Namun, kedua model matematika dan pengalaman empiris ini mengungkapkan
manfaat sederhana dengan mengurangi kebutuhan untuk homolog RBC. Contohnya, Goodnough
menghitung bahwa, pada pasien 100 kg 3 unit darah diganti dengan cairan asanguinous, jika
kehilangan darah berikutnya adalah 2.800 mL, 215 mL (sekitar satu unit) sel darah merah dapat
diselamatkan. Untuk pasien dengan ukuran tubuh yang terbatas, hematokrit awal yang rendah,
atau kehilangan darah kurang dari 70% dari satu volume darah, menghindari transfusi darah
alogenik mungkin sulit. Meta-analisis ini mengkonfirmasi pengurangan darah alogenik satu unit
per pasien pada penyelidikan melaporkan berdasarkan penghematan sederhana dan prestasi
ilmiah dari penyelidikan, menyimpulkan bahwa "literatur hanya mendukung manfaat sederhana
dari preoperasi ANH. Adopsi ANH secara luas tidak dapat dilakukan. Meskipun demikian, ada
laporan dari pengalaman yang membantu dalam reseksi hati, prostatektomi, artroplasti total
pinggul, dan operasi aorta abdominalis. Ada kemungkinan bahwa di masa depan efektivitas
ANH akan meningkat dengan pemberian erythropoietics pra operasi dan/atau dengan
penggunaan hemoglobin pembawa oksigen atau emulsi perflourocarbon untuk memungkinkan
penarikan volume darah yang lebih besar.
ANH juga telah digunakan untuk tujuan membuat darah autologous segar pada akhir
prosedur dengan pengenceran atau cardiopulmonary bypass terkait koagulopati dapat terjadi.
Efektivitas dalam konteks ini belum dikonfirmasi oleh penelitian yang sistematis. Darah
dikumpulkan dan diinfus kembali untuk tujuan ini tidak dapat menggunakan filter 40-mikron
untuk menghindari eliminasi trombosit.
Penyelamatan Darah Perioperatif
Penyelamatan darah perioperatif mengacu pada pemulihan darah yang hilang dari lapangan
operasi atau drain luka dan memberikan kembali kepada pasien. Dalam kebanyakan kasus,
proses tersebut melibatkan "pencucian" dari bahan yang diselamatkan, hanya komponen RBC
27
darah. Dalam beberapa kasus, biasanya yang melibatkan drainase luka, darah kembali disaring
namun belum diproses.
Penyelamatan Darah Intraoperatif
Penyelamatan darah intraoperatif (intraoperative blood salvage/IBS) dilakukan melalui
sejumlah prosedur operatif yang berpotensi membutuhkan transfusi homolog. Zaman sekarang
ini, peralatan “cell saver” berperan sebagai antikoagulan bagi darah yang disimpan, memisahkan
eritrosit dari plasma dan elemen-elemen seluler melalui sentifugasi, dan kemudian mencuci
eritrosit tersebut menggunakan saline. Eritrosit ini kemudian dikembalikan kepada pasien dalam
125 ml atau 225 ml saline dalam aliquot dengan hematokrit 45-65%. Kadar hematokrit yang
tinggi dapat dihasilkan dalam jangka waktu yang lebih lama (memperlambat pengisian
sentrifugasi).
IBS telah umum dilakukan pada pembedahan kardiovaskuler, rekonstruksi aorta,
instrumentasi spinal, arthroplasty, transplantasi hepar, reseksi malformasi arteriovenous, dan
kadang-kadang pada penanganan pasien-pasien trauma. Tercatat ada beberapa keadaan di mana
IBS dapat mengurangi keperluan eritrosit homolog. Adanya infeksi, sel-sel maligna, urin, isi
saluran pencernaan, dan cairan amnion di dalam lapangan operasi merupakan kontraindikasi.
Meskipun sel-sel maligna dikatakan dapat tertinggal di eritrosit meskipun telah dicuci, IBS telah
diaplikasikan pada penanganan terhadap keganasan hepar dan urologi tanpa adanya bukti-bukti
metastasis. Setidaknya satu alat pencuci IBS diketahui dapat menghilangkan faktor prokoagulan
penting yang terdapat di dalam cairan amnion, dan telah sukses digunakan pada seksio Cesarean.
Namun, tingkat keamanan penggunaan IBS dalam konteks tersebut belum dapat dikonfirmasi
dan sebaiknya tidak dilakukan secara rutin.
Komplikasi yang dapat terjadi pada IBS ialah masuknya kembali (reinfusi) material-
material yang mungkin tertinggal setelah proses pencucian. Material ini mencakup lemak,
mikroagregat seperti platelet dan leukosit, udara, stroma sel darah merah, hemoglobin bebas,
heparin, bakteri, dan debris dari lapangan operasi. Kebanyakan material ini dapat dibersihkan
dengan baik menggunakan peralatan pembersihan sel. Bakteri merupakan perkecualian, dan
kontaminasi oleh organisme kulit umum terjadi. Penyaring reduksi leukosit telah terbukti dapat
menghilangkan kebanyakan bakteri dan relevan bagi penggunaan IBS dalam kasus-kasus trauma.
Emboli udara masif dapat terjadi oleh karena kesalahan operator. Proses pengembalian secara
28
langsung dari alat cell saver sekarang ini digantikan dengan proses pengembalian melalui suatu
kantung intermediet (intermediary bag) yang dikontrol oleh seorang ahli anestesi. Perawatan
harus tetap dilakukan saat alat infus tekanan (pressure infuser devices) dihubungkan pada
kantung intermediet ini.
Koagulopati delusional dapat disebabkan oleh volume IBS yang besar karena faktor-
faktor koagulasi dan platelet dapat hilang selama proses pencucian. Penanganannya sama dengan
koagulopati delusional yang disebabkan oleh pemberian darah PAD maupun homolog. Kondisi
DIC-like coagulopathy (salvaged blood syndrome), juga dikaitkan dengan IBS. Meskipun
demikian, sindrom ini tampaknya disebabkan oleh persiapan darah yang inadekuat melalui
peralatan yang lebih kuno. Jika tidak dicuci, darah yang tersimpan mengandung sejumlah
konstituen yang memengaruhi proses koagulasi, seperti material tromboplastik, interleukin,
komplemen, produk degradasi fibrin, dan faktor-faktor yang dilepaskan oleh leukosit dan platelet
yang aktif. Meskipun demikian, mayoritas elemen-elemen ini umumnya dapat dicuci dengan
baik menggunakan peralatan cell saver modern dan keberadaannya digunakan sebagai sebuah
argumen melawan proses pengembalian darah yang belum diproses.
Risiko koagulopati tambahan meningkat dengan penggunaan thrombin dan kolagen
mikrofibrilar maupun produk-produk selulosa dalam lapangan operasi. Material-material ini
tidak dapat dihilangkan melalui proses pencucian, dan proses pengambilan darah untuk IBS
harus dihentikan selama penggunaan material-material ini, lalu dapat dilanjutkan setelah
lapangan operasi diirigasi.
Klinisi sebaiknya memahami bahwa tingkat recovery dari eritrosit melalui proses IBS ialah
sebesar 50%. Darah allogenik kadangkala diperlukan dan kalkulasi pergantian cairan hendaknya
selalu diperhitungkan.
PENYIMPANAN DARAH POSTOPERATIF
Penyimpanan darah postoperatif dari chest tube mediastinal dan drainase luka setelah
penggantian sendi panggul dan lutut diikuti dengan reinfusi segera dari darah yang belum dicuci
telah cukup sering dilakukan. Adanya sejumlah substansi dalam darah yang belum terproses
dapat menyebabkan timbulnya disfungsi koagulasi, sehingga banyak pendapat yang kurang
menyetujui praktik ini. Meskipun demikian, terdapat beberapa laporan mengenai timbulnya
29
konsekuensi sampingan dari tindakan tersebut. Hal ini disebabkan jumlah darah yang disimpan
dan direinfusi biasanya kecil.
LARUTAN PENGIKAT OKSIGEN BERBASIS HEMOGLOBIN (HEMOGLOBIN-
BASED OXYGEN CARRYING SOLUTIONS)
Di masa mendatang, kemungkinan larutan pengikat oksigen berbasis hemoglobin
(hemoglobin-based oxygen carrying solutions/HBCOs) akan dapat digunakan. Hemopure ®
(Biopure, Inc) telah menyetujui penggunaan klinisnya di Afrika Selatan. Namun, meskipun telah
dilakukan sejumlah penelitian terhadap produk-produk hemoglobin terpolimerisasi, hanya satu
yang sedang dalamberada masa percobaan tahap III di AS, yaitu PolyHeme ®, Northfield
Laboratories. Penelitian-penelitian ini menggunakan bovine, sampel manusia, maupun
hemoglobin rekombinan yang telah dipisahkan seluruhnya dari stroma/membran sel darah merah
dan dipolimerisasi untuk meningkatkan waktu paruh. Gagal ginjal yang diakibatkan stroma dan
kadar hemoglobin bebas yang berlebihan telah dapat diatasi. Namun, masih terdapat beberapa
kesulitan lain seperti methemoglobinemia, interferensi dengan peralatan laboratorium (kreatinin,
bilirubin total, dan LDH), kondisi vasokonstriksi yang diakibatkan oleh ikatan nitrit oksida
dengan Hb bebas, dan half-life yang pendek. Polimerisasi meningkatkan waktu paruh menjadi
18-36 jam, namun periode ini cukup pendek sehingga kapasitas dalam mengikat O2 biasanya
menjadi inadekuat sebelum retikulosit dapat mengompensasi. Emulsi perfluorocarbon
tampaknya kurang berpotensi dalam aplikasi klinis jika dibandingkan dengan HBCOs, dan tidak
akan dibahas di sini.
SAKSI JEHOVAH
Secara umum, Saksi Jehovah tidak akan menerima baik pemberian produk darah
homolog maupun pengembalian produk darah autolog yang telah keluar dari sirkulasi. Namun,
kepercayaan mereka memperbolehkan kebijaksanaan personal yang signifikan dan keinginan
tiap-tiap pasien perlu dipertimbangkan. Hanya sedikit yang akan mengizinkan pemberian
komponen whole blood dan mayoritas akan menolak PAD. Meskipun demikian, kebanyakan
akan memperbolehkan prosedur di mana darah di luar tubuh tetap terhubung dengan sirkulasi.
Persetujuan terhadap bypass kardiopulmoner, hemodilusi normovolemik akut, dan penyimpanan
30
darah perioperatif harus diberitahukan kepada setiap pasien. Kebanyakan akan mengizinkan
penggunaan Epo.
PENGUMPULAN DAN PERSIAPAN PRODUK DARAH UNTUK TRANSFUSI
SEL DARAH MERAH
Dalam proses persiapan sel darah merah untuk keperluan transfusi, pertama-tama whole
blood dikumpulkan di dalam kantung yang berisi larutan citrate-phosphate-dextrose-adenine
(CPDA) atau CPD. Sitrat akan memproses (chelate) kalsium dalam darah dan menghambat
koagulasi. PRBC dipersiapkan melalui sentrifugasi. Kedua larutan ini mengandung baik CPDA
maupun Additive Solution sebagai preservatif. Darah yang mengandung CPDA memiliki
hematokrit 70-75%, terdiri dari 50-70 ml plasma residual dengan volume total 250-275 ml, dan
memiliki shelf life hingga 35 hari. Dalam preparat Additive Solution, preservatif original dan
kebanyakan plasma (10-15 ml) akan dibuang dan digantikan dengan 100 ml Additive Solution.
Hasilnya ialah hematokrit yang lebih rendah, yaitu 60%, dengan volume total 250-350 ml, kadar
sitrat yang rendah, 75-80% lebih sedikit mengandung mikroagregat, dan shelf life yang lebih
panjang, yaitu 42 hari. Eritrosit yang mengandung Additive Solution dapat mengalami regenerasi
2,3-DPG lebih cepat. Kadar pH dan K+ dari kedua preparat adalah sama. Volume plasma yang
lebih sedikit pada darah yang menggunakan Additive Solution menyebabkan jumlah faktor
koagulasi yang lebih sedikit di dalam PRBC dan juga risiko yang lebih rendah terhadap reaksi
alergi dan TRALI.
Serangkaian sentrifugasi dengan kecepatan perputaran serta durasi yang bervariasi
digunakan untuk memisahkan whole blood menjadi komponen-komponen yaitu PRC, konsentrat
platelet, kriopresipitat, leukocyte-poor RBCs, dan plasma bebas sel. Untuk menghasilkan
konsentrat platelet, sentrifugasi awalnya dilakukan pada suhu ruangan. Proses ini memisahkan
fraksi plasma kaya platelet dari sel darah merah. Untuk memisahkan komponen darah yang
lainnya, sentrifugasi dilakukan pada suhu 1-60C.
Ada beberapa proses pemisahan sel darah merah alternatif untuk menyisihkan komponen-
komponen lain. Saline-washed RBCs dapat digunakan untuk pasien-pasien dengan riwayat
reaksi alergi terhadap protein asing. Sel darah putih dapat dihilangkan melalui proses pencucian,
iradiasi, atau leukofiltrasi. Pemberian satu unit PRC akan meningkatkan Hb sebesar 1 gr/dl dan
Hct sebesar 3% pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg. sel darah merah dapat dibekukan
31
dan disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Namun, preservatif untuk mencegah kerusakan
akibat proses pencairan kembali perlu ditambahkan dan dibuang sebelum pemberian, dalam
waktu 24 jam masa pencairan. Proses ini membutuhkan biaya yang besar, dan oleh karenanya
tidak digunakan secara umum.
TES KOMPATIBILITAS
Tes kompatibilitas mencakup tiga prosedur terpisah yang melibatkan darah donor maupun
resipien: identifikasi tipe AB0 dan Rhesus, skrining antibodi plasma donor, serta pemeriksaan
silang (crossmatch) antara darah donor dan resipien.
PENENTUAN TIPE AB0 & RHESUS
Langkah pertama ialah untuk menentukan tipe golongan darah AB0 dan Rhesus dari
darah donor maupun resipien. Ini merupakan langkah yang penting karena kebanyakan reaksi
hemolitik transfusi yang fatal disebabkan oleh inkompatibilitas AB0 dari darah. Golongan darah
dibedakan berdasarkan antigen yang terdapat pada permukaan eritrositnya. Pasien dengan
golongan darah A memiliki antigen tipe A pada permukaan eritrositnya. Golongan darah B
memiliki antigen tipe B. Jika terdapat kedua jenis antigen, golongan darahnya ialah AB dan jika
tidak terdapat antigen sama sekali, golongan darahnya ialah 0. Serum mengandung antibodi
terhadap antigen-antigen ini. Pasien dengan golongan darah A memiliki antibodi terhadap
antigen tipe B dan sebaliknya. Pasien dengan golongan darah 0 tidak memiliki antigen namun
memiliki antibodi anti-A dan anti-B di dalam plasmanya. Perkiraan frekuensi golongan darah
AB0 di AS diperlihatkan pada Tabel 10-10.
Kelompok Putih Hitam
O 45 49
A 40 27
B 11 20
AB 4 4
Rh (D) 85 92
Tabel 10.10 Insiden Antigen pada permukan RBC pada populasi US
32
Pasien yang memiliki antigen Rhesus (D) dikatakan Rh-positif dan yang tidak memiliki
antigen D dikatakan Rh-negatif. Sekitar 85% populasi adalah Rh-positif. Tidak sama dengan
golongan darah A dan B, antibodi anti-D tidak terdapat dalam plasma pasien Rh-negatif. Namun,
60-70% pasien Rh-negatif yang menerima darah Rh-positif akan membentuk antibodi anti-D
dalam tubuhnya. Ada periode waktu tertentu untuk mensintesis antibodi ini. Sebagai
konsekuensinya, reaksi antara sel-sel donor Rh-positif dan antibodi anti-D berkembang perlahan-
lahan dan dapat tidak tampak pada paparan awal. Proses ini, di mana antigen asing menstimulasi
pembentukan antibodi, disebut alloimunisasi (alloimmunization). Paparan selanjutnya dari sel-sel
Rh-negatif terhadap Rh-positif dapat menyebabkan reaksi hemolitik akut.
Dalam menentukan apakah golongan darah tertentu kompatibel dengan resipien, perlu
difokuskan kepada antibodi mana yang terdapat di dalam plasma resipien. Reaksi antibodi dan
antigen ini dapat mengaktivasi komplemen dan menyebabkan hemolisis intravaskuler dari
eritrosit. Resipien golonga darah 0+ [golongan darah 0, Rh(D)-positif] memiliki antibodi anti-A
dan anti-B, namun tidak memiliki antibodi anti-D di dalam plasmanya. Pasien ini tidak boleh
menerima darah tipe A, B, maupun AB. Mereka harus menerima darah tipe 0, baik Rh-positif
maupun Rh-negatif. Sebaliknya, pasien dengan golongan darah AB- (golongan darah AB, Rh-
negatif) tidak memiliki antibodi anti-A dan anti-B, dengan atau tanpa antibodi anti-D di dalam
plasmanya. Mereka dapat menerima darah tipe A-, B-, AB-, maupun 0-. Individu yang memiliki
antigen terbanyak pada eritrositnya memiliki antibodi yang paling sedikit dan dapat menerima
semua jenis darah (tipe A+, A-, B+, B-, AB+, AB-, 0+, dan 0-), serta disebut resipien universal.
Individu yang memiliki antigen paling sedikit (tipe 0-) memiliki antibodi yang terbanyak di
dalam plasmanya. Eritrosit tipe 0- dapat diberikan pada semua tipe darah AB0 dan Rh, dan
individunya disebut donor universal.
SKRIN ANTIBODI
Skrin antibodi, suatu tes Coombs indirek, dilakukan untuk mengidentifikasi antibodi
resipien terhadap antigen eritrosit. Eritrosit, dibedakan berdasarkan antigen yang dimilikinya,
dicampurkan dengan serum donor maupun resipien untuk melihat apakah ada pembentukan
antibodi yang tidak diharapkan. Hanya sekitar 4 dari 1.000 darah donor yang menunjukkan
terbentuknya antibodi ini. Kecenderungan terjadinya kesalahan dalam tes ini diperkirakan tidak
melebihi 1 dalam 10.000 kasus. Jika skrin plasma resipien positif, antibodi yang terbentuk perlu
33
diidentifikasi dan donor diganti dengan yang tidak memiliki antigen. Skrining antibodi dalam
plasma resipien harus diulang jika pasien memiliki riwayat transfusi sejak skrining antibodi
sebelumnya.
PEMERIKSAAN SILANG (CROSSMATCH)
Eritrosit donor dicampurkan dengan serum resipien. Pemeriksaan ini memerlukan waktu
45 menit dan dilakukan dalam tiga tahap: (1) fase imediet, (2) fase inkubasi, dan (3) fase
antiglobulin. Fase imediet dilakukan paling pertama untuk memastikan tidak ada kesalahan
dalam penentuan tipe darah AB0-Rh. Tes ini dilakukan dengan memeriksa eritrosit donor dan
serum pasien secara makroskopik untuk mencari adanya aglutinasi. Pemeriksaan silang fase
imediet hanya memerlukan waktu 1-5 menit dan dapat mendeteksi inkompatibilitas Ab0 dan
yang diakibatkan oleh antibodi sistem MN, P, dan sistem Lewis. Fase kedua, fase inkubasi,
membutuhkan waktu 30-45 menit dan dapat mendeteksi antibodi sistem Rh. Fase ketiga, fase
antiglobulin, juga disebut pemeriksaan silang antiglobulin (antiglobulin crossmatch) atau tes
antiglobulin indirek, memerlukan penambahan serum antiglobulin pada akhir fase inkubasi. Fase
ini hanya dilakukan jika skrin antibodi positif dan membutuhkan waktu 60-90 menit. Tes ini
mengidentifikasi keberadaan antibodi yang terdapat pada antigen di permukaan eritrosit. Fase ini
merupakan upaya untuk mengidentifikasi kebanyakan antibodi inkomplit (antibodi yang tidak
menyebabkan aglutinasi) dari berbagai sistem penggolongan darah, termasuk sistem Rh, Kell,
Kidd, dan sistem Duffy.
Pada pasien-pasien yang memiliki riwayat transfusi darah sebelumnya maupun riwayat
paparan terhadap antigen eritrosit asing selama kehamilan, hanya 1 dari 100 yang memiliki
antibodi lain selain antibodi anti-A, anti-B, dan/atau anti-Rh, dan kebanyakan antibodi ini tidak
aktif dalam suhu tubuh fisiologis. Menentukan tipe darah AB0 dan Rh saja menghasilkan
probabilitas kecocokan transfusi sebesar 99,8%. Tambahan 30-45 menit skrin antibodi
meningkatkan kemungkinan kecocokan transfusi menjadi sebesar 99,94%; tambahan
pemeriksaan silang lengkap meningkatkan probabilitas ini menjadi 99,95%. Pada pasien-pasien
yang tidak memiliki riwayat transfusi maupun kehamilan, kemungkinan terjadinya
inkompatibilitas transfusi ialah pada darah yang tidak dilakukan pemeriksaan silang hanya
terjadi pada 1 dari 1.000 kasus. Untuk mereka yang memiliki riwayat paparan terhadap antigen
eritrosit asing, kecenderungan pembentukan antibodi ialah sebanyak 1 dari 100 kasus. Oleh
34
karena itu, seluruh bank penyimpanan darah melakukan pemeriksaan silang. Mensipun
demikian, data-data ini menunjukkan bahwa transfusi darurat dari darah yang tidak dilakukan
pemeriksaan silang kepada pasien-pasien tanpa riwayat transfusi maupun kehamilan memiliki
risiko yang relatif kecil.
PERMINTAAN PENENTUAN TIPE DAN SKRIN
Jika darah hanya dibutuhkan untuk persiapan preoperatif dan kemungkinan tidak akan
digunakan, tindakan yang dilakukan hanyalah penentuan tipe dan skrin (tipe and screen).
Dilakukan penentuan tipe AB0 dan Rh pasien, lalu dilakukan skrin antibodi untuk menentukan
keberadaan antibodi lain selain AB0 di dalam plasma resipien. Jika skrin antibodi negatif,
kemungkinan timbulnya reaksi hemolitik pada darah yang tidak dilakukan pemeriksaan silang
adalah kurang dari 1/50.000 unit. Jika hasil skrin positif, bank darah akan mencari unit darah lain
yang kompatibel.
35