JURNAL BANGKIT RAHMAT

22
MISI PEMELIHARA PERDAMAIAN INDONESIA DALAM MENDUKUNG POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF Oleh: Bangkit Rahmat Tri Widodo Universitas Pertahanan Indonesia email: [email protected] Abstrak - Politik luar negeri Indonesia menganut prinsip “bebas aktif”. Prinsip ini berasal dari pengalaman pahit Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya serta pentingnya upaya menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa dihadapkan dengan tingginya heterogenitas yang dimiliki oleh Indonesia. Salah satu implementasi dari politik luar negeri bebas aktif adalah komitmen Indonesia untuk berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan Dunia sebagaimana diamanatkan dalam Alinea 4 Pembukaan UUD 1945 untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Amanat tersebut diimplementasikan melalui partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai misi pemelihara perdamaian, dimana dalam pelaksanaannya senantiasa memperkokoh politik luar negeri Indonesia semenjak awal kontribusinya di tahun 1957 hingga saat ini. Menguatnya soft power Indonesia ahir-ahir ini menempatkan Indonesia kedalam suatu peran potensial sebagai “jembatan fleksibel” dalam menjembatani penyelesaian isu-isu maupun permasalahan Dunia. Potensi tersebut, dapat diperkokoh dengan pengerahan hard power melalui misi pemelihara perdamaian melalui suatu sinergi antara eksploitasi potensi soft power dengan harmonisasi kuantitas dan kualitas hard power dari misi pemelihara perdamaian dalam rangka memperkokoh smart power yang dimiliki oleh Indonesia. Thesis ini menganalisa peran misi pemelihara perdamaian Indonesia dalam mendukung pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif dalam rangka meningkatkan peran dan posisi Indonesia dalam lingkup Global. Kata kunci - PBB, Dewan Keamanan PBB, Misi Pemelihara Perdamaian, Neoclassical Realism, Diplomasi Publik, Soft Power, Hard Power, Smart Power Abstract - Indonesia conducts “independent and active” foreign policy that derived from its bitter experience in gaining its independence as well as the need to form national unity over its enormous diversity. One of the implementation of “independent and active” foreign policy is Indonesia’s spirit and vigor commitment in actively contributing towards the establishment of World peace and security. This commitment is stated on 4th paragraph of 1945 Constitution preamble that mandated the country “to contribute to the establishment of a world order based on Independence, permanent peace and social justice”. Furthermore, the commitment has been continuously implemented through Indonesia’s active contributions in various peacekeeping operations, which have been consistently strengthening Indonesia’s foreign policy since its first deployment in 1957 up to now. The emergence of country’s soft power following the successful of democratization process put Indonesia into a unique potential role as “World’s flexible bridge”. This potency should be exploited and pursued towards country’s excellent peacekeeping hard power’s utilization. However, there is a need to form a synergy between country’s soft power exploitation and the harmonization of peacekeeping’s hard power utilization in order to strengthen country’s smart power. This thesis analyzes the role of Indonesian Peacekeeping operations in supporting Indonesia’s independent and active foreign policy and the synergy between Indonesia’s soft power exploitation and peacekeeping’s hard power utilization in strengthening country’s smart power, thus may leverage Indonesia’s role and position in the Global politics. Keywords - United Nations, United Nations Security Council, peacekeeping operation (PKO), neoclassical realism, public diplomacy, soft power, hard power, smart power Pendahuluan Semenjak kemerdekaannya, Bangsa Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan Dunia. Hal ini tercermin dalam alinea 1 pembukaan UUD 1945. Semangat anti kolonialisme yang menuntut dihapuskannya penjajahan dalam bentuk apapun menurut Bangsa Indonesia merupakan suatu dasar fundamental dalam

Transcript of JURNAL BANGKIT RAHMAT

Page 1: JURNAL BANGKIT RAHMAT

MISI PEMELIHARA PERDAMAIAN INDONESIA DALAM MENDUKUNG POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF

Oleh: Bangkit Rahmat Tri WidodoUniversitas Pertahanan Indonesia

email: [email protected]

Abstrak - Politik luar negeri Indonesia menganut prinsip “bebas aktif”. Prinsip ini berasal dari pengalaman pahit Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya serta pentingnya upaya menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa dihadapkan dengan tingginya heterogenitas yang dimiliki oleh Indonesia. Salah satu implementasi dari politik luar negeri bebas aktif adalah komitmen Indonesia untuk berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan Dunia sebagaimana diamanatkan dalam Alinea 4 Pembukaan UUD 1945 untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Amanat tersebut diimplementasikan melalui partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai misi pemelihara perdamaian, dimana dalam pelaksanaannya senantiasa memperkokoh politik luar negeri Indonesia semenjak awal kontribusinya di tahun 1957 hingga saat ini. Menguatnya soft power Indonesia ahir-ahir ini menempatkan Indonesia kedalam suatu peran potensial sebagai “jembatan fleksibel” dalam menjembatani penyelesaian isu-isu maupun permasalahan Dunia. Potensi tersebut, dapat diperkokoh dengan pengerahan hard power melalui misi pemelihara perdamaian melalui suatu sinergi antara eksploitasi potensi soft power dengan harmonisasi kuantitas dan kualitas hard power dari misi pemelihara perdamaian dalam rangka memperkokoh smart power yang dimiliki oleh Indonesia. Thesis ini menganalisa peran misi pemelihara perdamaian Indonesia dalam mendukung pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif dalam rangka meningkatkan peran dan posisi Indonesia dalam lingkup Global.

Kata kunci - PBB, Dewan Keamanan PBB, Misi Pemelihara Perdamaian, Neoclassical Realism, Diplomasi Publik, Soft Power, Hard Power, Smart Power

Abstract - Indonesia conducts “independent and active” foreign policy that derived from its bitter experience in gaining its independence as well as the need to form national unity over its enormous diversity. One of the implementation of “independent and active” foreign policy is Indonesia’s spirit and vigor commitment in actively contributing towards the establishment of World peace and security. This commitment is stated on 4th paragraph of 1945 Constitution preamble that mandated the country “to contribute to the establishment of a world order based on Independence, permanent peace and social justice”. Furthermore, the commitment has been continuously implemented through Indonesia’s active contributions in various peacekeeping operations, which have been consistently strengthening Indonesia’s foreign policy since its first deployment in 1957 up to now. The emergence of country’s soft power following the successful of democratization process put Indonesia into a unique potential role as “World’s flexible bridge”. This potency should be exploited and pursued towards country’s excellent peacekeeping hard power’s utilization. However, there is a need to form a synergy between country’s soft power exploitation and the harmonization of peacekeeping’s hard power utilization in order to strengthen country’s smart power. This thesis analyzes the role of Indonesian Peacekeeping operations in supporting Indonesia’s independent and active foreign policy and the synergy between Indonesia’s soft power exploitation and peacekeeping’s hard power utilization in strengthening country’s smart power, thus may leverage Indonesia’s role and position in the Global politics.

Keywords - United Nations, United Nations Security Council, peacekeeping operation (PKO), neoclassical realism, public diplomacy, soft power, hard power, smart power

PendahuluanSemenjak kemerdekaannya, Bangsa Indonesia

memiliki komitmen yang kuat untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan Dunia. Hal ini tercermin dalam alinea 1 pembukaan UUD 1945. Semangat anti kolonialisme yang menuntut dihapuskannya penjajahan dalam bentuk apapun menurut Bangsa Indonesia merupakan suatu dasar fundamental dalam mewujudkan adanya perdamaian dan keamanan Dunia.

Selanjutnya, dalam Alinea 4 pembukaan UUD 1945 juga tercantum tujuan nasional yang keempat dari Bangsa Indonesia yaitu “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Hal tersebut melatar belakangi pelaksanaan politik luar negeri

Indonesia yang menganut faham bebas aktif. Bebas berarti bahwa Indonesia tidak memihak pada kepentingan Negara-negara adidaya dan aktif adalah Indonesia tidak bersikap pasif ataupun reaktif dalam setiap isu-isu Internasional yang ada akan tetapi Indonesia senantiasa berusaha untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian isu-isu internasional tersebut.

Prinsip bebas aktif tersebut dikemukakan pertama kali oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta yang saat itu juga sekaligus menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia pada tanggal 2 September 1948 di Yogyakarta.Prinsip dasar tersebut dikenal sebagai "Mendayung Antara Dua Karang" yang merupakan batu landasan bagi penyelenggaraan politik luar negeri Indonesia

Page 2: JURNAL BANGKIT RAHMAT

sampai saat ini.1 Prinsip bebas aktif ini berasal dari pengalaman pahit Bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya serta tingginya heterogenitas dari Bangsa Indonesia yang mengandung kerawanan dari pengaruh eksternal dalam upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.

Sejalan dengan pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif tersebut, Indonesia semenjak menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1950 secara aktif senantiasa memberikan kontribusi dalam mewujudkan keamanan dan perdamaian Dunia terutama melalui berbagai operasi pemelihara perdamaian PBB. Sejarah panjang Indonesia dalam operasi pemelihara perdamaian di bawah PBB dimulai pada tahun 1957 melalui pengiriman “Kontingen Garuda I” dibawah UNEF (UN Emergency Forces) di Sinai. Berdasarkan data pada bulan Desember 2010, Indonesia memiliki kontribusi aktif dalam 7 tugas pemelihara perdamaian PBB dengan total kontribusi pasukan sejumlah 1.795 personil serta saat ini menduduki peringkat 16 diantara Negara-negara kontributor dalam tugas pemelihara perdamaian PBB.2

Setelah berahirnya Perang Dingin pada akhir dekade 80-an, terjadi pergeseran sifat konflik Internasional yang semula didominasi oleh “konflik antar Negara (interstate conflict)” menjadi didominasi oleh meningkatnya “konflik dalam Negara (intrastate conflict)”.3 Hal ini menunjukkan bahwa konsep keamanan bukanlah merupakan suatu konsep statis, namun keamanan tersebut bersifat dinamis.4

Peningkatan konflik dalam negara tersebut mengakibatkan peningkatan secara signifikan dari operasi PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini terlihat dari adanya penambahan 35 operasi PBB dalam kurun waktu antara 1988 sampai 1998, dibandingkan dengan adanya 13 operasi dalam kurun waktu 1948-1978 serta tidak adanya penambahan operasi dalam kurun waktu 1988-1998.5

Peningkatan intensitas operasi PBB tersebut mengakibatkan meningkatnya pula kebutuhan personil maupun pembiayaan bagi kelangsungan pelaksanaan operasi pemelihara perdamaian PBB. Hal ini membuka lebar peluang yang dapat dimanfaatkan bagi Indonesia untuk meningkatkan partisipasi aktifnya dalam misi pemelihara perdamaian PBB.

Walaupun telah digariskan arah dari penyelenggaraan politik luar negeri Republik Indonesia, akan tetapi dalam pelaksanaannya pada dasarnya sangat dinamis dan bervariasi dari waktu

ke waktu. Dimana dalam pelaksanaan politik luar negeri tersebut, sangat dipengaruhi oleh perbedaan kebijakan, gaya kepemimpinan dan pemikiran dari masing-masing pemimpin nasional yang menjabat semenjak awal berdirinya NKRI hingga saat ini.6

Hal ini dapat diamati dari adanya pembiasan dalam implementasi politik luar negeri Indonesia di ahir masa pemerintahan Orde Lama pada awal tahun 60 an dimana politik luar negeri Indonesia dapat dikatakan cenderung kearah kiri yang secara nyata terlihat dengan dibentuknya poros Jakarta – Phnom Penh – Hanoi – Beijing – Pyongyang. Serta terlihatnya kecenderungan bergeser kearah kanan melalui kedekatan dengan Amerika Serikat dan Negara-negara Barat lainnya terutama pada saat awal berdirinya orde baru dalam rangka menumpas pemberontakan PKI.7

Dibandingkan dengan politik luar negeri yang sangat dinamis dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional dihadapkan dengan pengaruh kekuatan eksternal yang ada, penugasan Penjaga Perdamaian Indonesia pada dasarnya relatif lebih terikat pada ketentuan untuk berpegang teguh pada prinsip dasar dari operasi pemelihara perdamaian PBB terutama dalam hal menjaga kesatuan dan karakter internasional dari operasi penjaga perdamaian dengan tidak mengabdikan diri semata-mata hanya untuk kepentingan nasional atau kepentingan yang lainnya.8

Hal ini memunculkan pertanyaan yang menarik untuk dianalisa mengenai peran misi pemelihara perdamaian Indonesia selama ini dalam rangka mendukung konsep Bebas Aktif itu sendiri. Dimana sebagai salah satu dari alat diplomasi, dinamika dari pelaksanaan politik luar negeri Indonesia terutama dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional sangatlah mempengaruhi peran dari misi pemelihara perdamaian tersebut.

Perubahan tatanan politik nasional pada tahun 1998 setelah mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional membawa perubahan signifikan dari sistem yang bersifat authoritarian menjadi sistem yang lebih bersifat demokratis. Sebagai akibatnya dengan semakin terkonsolidasinya demokrasi di Indonesia, saat ini Indonesia mendapatkan identitasnya sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Keberhasilan dari proses demokratisasi didukung dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara penduduk muslim terbesar di dunia serta peran utama Indonesia dalam Gerakan Non Blok merupakan potensi yang memperkokoh soft power yang dimiliki oleh Indonesia. Hal tersebut menempatkan

1 Hatta, M. (1988). Mendayung Antara Dua Karang. Bulan Bintang.

2 United Nations Department of Peace Keeping Operations. (n.d.). Monthly Summary of Contributors of Military and Civilian Police Personnel .

Diambil pada 20 Januari 2010, dari http://www.un.org/en/peacekeeping/contributors/3 Duffey, T. (2000). Cultural Issues in Contemporary Peacekeeping. International Peacekeeping , 7 (1), 142.

4 The Challenges Program. (2002). Challenges of Peace Operations: Into the 21st Century Concluding Report 1997-2002. Stockholm: Erlanders

Gotab. hal. 125 Duffey.Op cit.

6 Anwar, D. F. (2009). A Journey of Change: Indonesia’s Foreign Policy. Global Asia , V4N3.

7 Tan, P. J. (2007). Navigating A Turbulent Ocean: Indonesia's World View and Foreign Policy. Asian Perspective , 31 (3), 156.

8 United Nations Department of Peace Keeping Operations (DPKO) and UN Department of Field Support (DFS). (2008). United Nations

Peacekeeping Operations, Principles and Guidelines. New York: United Nations. hal. 55

Page 3: JURNAL BANGKIT RAHMAT

Indonesia ke dalam potensi yang unik sebagai jembatan fleksibel Dunia, khususnya antara dunia Muslim dan seluruh bagian dunia yang lainnya serta antara negara-negara berkembang dan negara maju.

Berkaitan dengan meningkatnya potensi soft power yang dimiliki Indonesia saat ini serta adanya potensi hard power melalui misi pemelihara perdamaian Indonesia memunculkan permasalahan yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan perlunya suatu sinergi untuk mengoptimalkan kedua potensi tersebut dalam rangka meningkatkan posisi Indonesia dalam lingkup politik Global serta mendukung pencapaian tujuan dan cita-cita nasional dalam mewujudkan perdamaian dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.

Sejarah Politik Luar Negeri Bebas Aktif.Sejarah memiliki peran yang sangat penting

dalam membentuk politik luar negeri Indonesia.Terutama berkaitan dengan pengalaman pahit Bangsa Indonesia yang mengalami masa penjajahan selama lebih dari 3,5 abad.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada saat terjadinya vakum kekuasaan setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dimana Belanda sebagai bagian dari Sekutu mendapatkan status quo atas bekas-bekas daerah jajahannya yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Hal ini mengakibatkan Indonesia sebagai negara yang baru lahir memikul beban berat untuk mempertahankan kemerdekaannya.

Keadaan ini memaksa Indonesia dalam satu sisi memperjuangkan kemerdekaannya melalui perjuangan secara diplomasi maupun perjuangan bersenjata antara tahun 1945-1950 melawan Belanda yang memiliki keinginan untuk menguasai Indonesia kembali, serta memperjuangkan pengakuan kedaulatan melalui kegiatan diplomatik yang dilaksanakan. Sedangkan disisi lainnya tugas berat juga harus dihadapi oleh Indonesia untuk memelihara integritas wilayahnya menghadapi beberapa pemberontakan yang mewarnai masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.

Ditengah-tengah masa perjuangan kemerdekaan dimana ancaman bukan saja berasal dari faktor eksternal yang ingin kembali menguasai Indonesia namun juga terdapat ancaman internal yang berupa kemungkinan terjadinya perpecahan selain dikarenakan oleh faktor-faktor primordial yang ada juga beberapa pengaruh asing diantaranya pengaruh komunisme yang mengancam keutuhan pemerintahan, Wakil Presiden Muhammad Hatta yang saat itu juga sekaligus menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia pada tanggal 2 September 1948 di hadapan sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta mengemukakan prinsip dasar bagi politik luar negeri indonesia yang dikenal sebagai "Mendayung Antara Dua Karang". Mohammad Hatta menyampaikan sebagai berikut:

“Tetapi mestikah kita Bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan Negara kita, hanya harus memilih pro Russia atau pro Amerika? Apakah tak ada pendirian yang lain harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita?Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya”.9

Selanjutnya Wakil Presiden Mohammad Hatta juga mempertegas konsep mengenai Politik Luar Negeri Bebas Aktif melalui pendapatnya yang dimuat dalam Jurnal Foreign Affairs pada tahun 1953. Beliau tidak sependapat dengan adanya anggapan bahwa tidak adanya kemungkinan akan adanya posisi tengah dalam Perang Dingin melalui pendapatnya sebagaimana yang dikutip oleh Leifer sebagai berikut:

“Indonesia plays no favourites between the two opposed blocks and follows its own path through the various international problems. It terms this policy “independent” and further characterizes it as independent and “active” By active is meant the effort to work energetically for the preservations of peace, through endeavours supported if possible by the majority of the members of the United Nations”.10

Mohammad Hatta menyampaikan bahwa situasi Geopolitik Indonesia tidak memaksa Indonesia untuk menentukan pilihan kepada salah satu Blok yang ada. Oleh karena itu, Hatta menekankan perlunya memelihara politik luar negeri Indonesia dengan mempertahankan konsep bebas aktif yang dimiliki. Menurut Hatta hal ini ditujukan sebagai cara untuk mempertahankan kelanjutan prioritas domestik terutama untuk mengatasi permasalahan ekonomi, sosial dan administrasi yang dihadapi oleh Indonesia. Lebih lanjut Hatta menegaskan pentingnya konsolidasi internal, sedangkan aliansi dengan salah satu dari Negara Adidaya yang ada hanya akan mengakibatkan semakin sulitnya mewujudkan konsolidasi internal tersebut.11

Dinamika implementasi Politik Luar Negeri Bebas Aktif

Pelaksanaan politik luar negeri pada dasarnya adalah untuk memperjuangkan kepentingan nasional sejalan dengan apa yang tercantum dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menyebutkan “Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Dalam penjelasan dari Pasal ini dijelaskan bahwa “yang dimaksud dengan diabdikan untuk

9 Hatta, M. (1988). Mendayung Antara Dua Karang. Bulan Bintang.

10 Leifer, M. (1983). Indonesia's Foreign Policy. London: The Royal Institute of International Affairs. hal. 29

11 Ibid, hal. 29

Page 4: JURNAL BANGKIT RAHMAT

"kepentingan nasional" adalah politik luar negeri yang dilakukan guna mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana tersebut di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”.12

Masa Pemerintahan SoekarnoPada awal kemerdekaan pelaksanaan politik

luar negeri Indonesia memilkul tugas yang berat terutama dalam mempertahankan kelangsungan hidup dari Negara yang baru saja lahir ini dalam periode “perjuangan kemerdekaan”.

Upaya untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dan menjaga integritas nasional dilaksanakan baik melalui beberapa perundingan maupun perlawanan bersenjata. Perundingan yang pertama dilakukan adalah perundingan “Linggar Jati” yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Namun Belanda melanggar perjanjian Linggar Jati tersebut dengan diluncurkannya agresi militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947. Hal ini memicu kecaman dari dunia internasional yang berujung pada pembentukan Komisi Tiga Negara (The Good Offices Committee) yang beranggotakan Amerika Serikat (disetujui oleh Indonesia dan Belanda), Belgia (disarankan oleh Belanda) dan Australia (disarankan oleh Indonesia) untuk mengawasi jalannya gencatan senjata.

Komisi ini yang terutama disponsori oleh Amerika Serikat berhasil membujuk Belanda untuk memperbaharui perjanjian dengan dilaksanakannya “pejanjian Renville” yang ditandatangani pada tanggal 17 dan 19 Januari 1949. Dalam perjanjian ini tercantum pengakuan kedaulatan wilayah Republik Indonesia meliputi Jawa dan Sumatera.

Namun Belanda sekali lagi meluncurkan agresi militernya yang ke II pada tanggal 19 Desember 1948 yang mendapatkan reaksi keras dari dunia internasional terhadap Belanda. Setelah berhasil menumpas pemberontakan PKI pada bulan September 1948 di Madiun, Indonesia berhasil mempengaruhi Amerika Serikat untuk lebih mendukung pengakuan kemerdekaan atas Indonesia dibandingkan mendukung Belanda.13 Hal ini mendorong Amerika Serikat menekan Belanda melalui ancaman penghentian Marshall Plan, Ancaman ini dapat dilihat sebagai upaya Amerika Serikat dalam rangka menghindari jatuhnya Indonesia kedalam pengaruh komunisme sebagai akibat dari adanya kekosongan politik di Indonesia paska Agresi militer Belanda.14

Pengaruh Amerika Serikat ini berujung dengan ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 27 Desember 1949, dimana

dalam perjanjian ini Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam bentuk Negara serikat (Republik Indonesia Serikat), sedangkan Republik Indonesia merupakan salah satu Negara bagian di dalamnya.15 Pengakuan kedaulatan ini tidak mencakup wilayah Papua Barat yang mengakibatkan timbulnya ketegangan antara Republik Indonesia dengan Belanda hingga ahir tahun 60 an.16

Setelah mendapatkan pengakuan atas kemerdekaannya, Indonesia bergabung menjadi anggota ke 60 dari PBB pada tanggal 28 September 1950. Selanjutnya Indonesia memperkokoh prinsip bebas aktif yang dimilikinya dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi ini sangat penting sebagai tonggak awal bagi pembentukan Gerakan Non Blok dikemudian hari.17

Pada tanggal 5 Juli 1959 Indonesia mengalami perubahan bentuk pemerintahan dari Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin. Hal ini juga merubah orientasi dari politik luar negeri Indonesia. Selama masa demokrasi parlementer, penyusunan politik luar negeri sangat dipengaruhi oleh adanya pertikaian terbuka antar kekuatan politik domestik, sedangkan dalam masa Demokrasi Terpimpin posisi dari Presiden Soekarno sangatlah dominan, kebijakan luar negeri relatif lebih terbebas dari belenggu partai politik yang ada dan proses dalam penyusunan kebijakan luar negeri merupakan kewenangan dari presiden berdasarkan pengaruh dari orang-orang ataupun kelompok disekitar Presiden.

Politik luar negeri Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin menjadi semakin radikal, hal tersebut terlihat dalam pidato Presiden Soekarno dihadapan KTT Gerakan Non Blok di Belgrade Yugoslavia padabulan September 1961 yang menyatakan kritik mengenai system internasional yang tidak menyediakan ruang bagi kekuatan ketiga dikarenakan struktur yang bersifat Bipartite.18

Politik luar negeri Indonesia bahkan semakin terkesan militan yang tercermin dalam pidato tahunan Presiden Soekarno pada peringatan HUT kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1963. Dalam pidato tersebut disampaikan bahwa Dunia terbagi atas the New Emerging Forces (NEFOS) dan Old Established Forces (OLDEFOS) dan dinyatakan bahwa Indonesia merupakan pemimpin dari NEFOS yang berlawanan dengan OLDEFOS.19 Dalam perkembangan berikutnya, politik luar negeri Indonesia terlihat membias kearah kiri dengan dicanangkannya poros Jakarta – Phnom Penh – Hanoi – Beijing – Pyongyang yang disampaikan oleh

12 Government of the Republic of Indonesia,. (n.d.). State Gazette of the Republic of Indonesia Number 156 of 1999, Supplement to State

Gazette 3882, Law Number 37 of 1999 regarding Foreign Relations. Diambil pada 12 September 1999, dari http://www.deplu.go.id/Pages/PeraturanTerkait.aspx?IDP=5&l=en13

Ibid. hal. 2114

Ibid. hal. 2315

Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia. (2009). Momen-Momen Penting dalam Sejarah Diplomasi Indonesia. Diambil pada 29 September 2010, dari http://www.deplu.go.id/Pages/History.aspx?IDP=316

Reid, A. J. (1986). The Indonesian National revolution 1945-1950. Westport, Connecticut. hal.16417

China Daily. (2005, 04 23). Diambil pada 23 September 2010, dari http://www.chinadaily.com.cn/english/doc/2005-04/23/content_436882.htm18

Ibid. hal. 58-59.19

Weinstein, F. B. (2007). Indonesian Foreign Policy and The Dilemma of Dependence. Singapore: Equinox. hal.312

Page 5: JURNAL BANGKIT RAHMAT

Presiden Soekarno dalam pidato memperingati kemerdekaan Indonesia pada tahun 1965.20

Terdapat dua isu penting yang mewarnai periode Demokrasi Terpimpin yaitu konfrontasi dengan Belanda dan Malaysia. Isu pertama berkaitan dengan kampanye untuk merebut kembali Papua Barat dari tangan Belanda diwarnai dengan mengalirnya persenjataan dari Uni Soviet, Cekoslovakia dan Polandia seiring dengan semakin hangatnya hubungan dengan Blok Timur. Pada bulan Agustus 1960 Presiden Soekarno mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda dan diikuti dengan pemberlakuan “Tri Komando Rakyat” yang disingkat sebagai “TRIKORA”. Dalam hal konfrontasi dengan Belanda Soekarno berhasil memanfaatkan mengalirnya persenjataan dari Uni Soviet untuk sekali lagi menarik intervensi diplomatik dari Amerika Serikat dalam rangka mendukung penyelesaian konflik dengan membujuk Belanda secara politik agar segera menyelesaikan status Papua Barat dengan Indonesia. Sehingga, perjanjian final tentang Papua Barat ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962 dan pengalihan kontrol atas Papua Barat ke tangan Indonesia tuntas pada tanggal 1 Mei 1963.21

Permasalahan penting berikutnya adalah konfrontasi dengan Malaysia. Soekarno memandang Malaysia sebagai manifestasi dari neo kolonialisme dimana Indonesia menolak untuk mengakui secara diplomatik atas Malaysia pada saat dibentuk pada bulan September 1963. Soekarno mengumumkan diberlakukannya “Dwi Komando Rakyat” yang disingkat sebagai “Dwikora” pada pertengahan Mei 1963 untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia.

Pada saat Malaysia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada tanggal 30 Desember 1964 ditanggapi oleh Presiden Soekarno dengan keluar dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965. Hal ini justru membuat Indonesia semakin terasing dari masyarakat Internasional. Dalam konfrontasi dengan Malaysia ini, Indonesia gagal mendapatkan dukungan dari Dunia internasional, bahkan anggota Gerakan Non Blok yang sebelumnya mendukung Indonesia dalam konfrontasi dengan Belanda atas Papua Barat berbalik menentang Indonesia berkaitan dengan perilaku aggresif terhadap Negara tetangganya. Lebih jauh lagi, Indonesia juga gagal menggunakan metode yang sama sebagaimana yang diterapkan dalam Konfrontasi sebelumnya melawan Belanda melalui ancaman dengan kekuatan bersenjata dalam rangka mendapatkan dukungan dari Negara Adidaya khususnya Amerika Serikat.22

Masa Pemerintahan SoehartoBertolak belakang dengan pemerintahan

sebelumnya, Soeharto berusaha untuk menstabilkan

situasi politik dalam negeri, merubah politik luar negeri yang cenderung kearah kiri menjadi lebih bersifat konservatif dan ekonomi yang bersifat autarki dengan system ekonomi yang lebih terintegrasi dengan sistem ekonomi global. Disamping itu, Soeharto juga berusaha menempatkan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama dalam kebijakan pemerintahannya. Perubahan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru juga diikuti dengan perubahan arah dari Politik Luar Negeri Indonesia dimana arah yang semula cenderung kearah kiri bergeser kearah kanan.

Komitmen Soeharto atas anti komunisme dan ekonomi pasar diimplementasikan melalui penggantian pemasok perlatan militer dan bantuan ekonomi utama yang semula banyak diwarnai bantuan dari Negara-negara Blok Timur dialihkan ke Negara-negara Barat. Akan tetapi, pada dasarnya hubungan baik dengan Amerika Serikat dapat dikatakan hanya bersifat pragmatis untuk mencari bantuan ekonomi dan memberantas komunisme di dalam negeri. Dalam kenyataannya, Indonesia selama orde lama maupun orde baru tidak pernah secara formal membangun aliansi dengan Amerika Serikat maupun Uni Sovyet serta konsisten dalam mengimplementasikan konsep bebas aktif dalam politik luar negerinya.23

Indonesia menyadari kesalahannya dengan keluar dari keanggotaan PBB yang berakibat merosotnya kekuatan relatif Indonesia dalam sistem internasional dengan bergabung kembali dengan PBB pada tanggal 28 September 1966. Indonesia juga berusaha memperbaiki hubungan dengan Negara-negara di sekitarnya melalui upaya normalisasi hubungan diplomatik dengan Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966 dan dilanjutkan dengan peran aktif Indonesia dalam mendirikan ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967.

Disamping berusaha mendapatkan bantuan dari Negara-negara Barat Soeharto juga berusaha menghindari kesan bahwa Indonesia telah berayun dari satu kutub politik internasional ke kutub yang lainnya lainnya. Hal ini Ini dinyatakan dalam pidato yang disampaikan pada bulan Agustus 1969 bahwa bantuan ekonomi yang cukup besar dari Blok Barat tidak berarti bahwa Indonesia menutup pintu bagi bantuan Blok Timur. Namun, pada kenyataannya, hal tersebut terbatas karena Uni Soviet telah memberikan suaka bagi beberapa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).24

Dalam rangka memperkokoh kekuatan relatifnya di kawasan Asia Tenggara dengan berusaha untuk mengejar kepemimpinan di ASEAN. Selama pemerintahan Soeharto ASEAN merupakan lingkaran utama kebijakan luar negeri Indonesia, lingkaran selanjutnya adalah terdiri dari Negara-negara di Asia Pasifik dan lingkaran terluar adalah Amerika Serikat dan Eropa.25 Indonesia

20 Leifer, Op cit, hal. 105

21 Ibid. hal. 67

22 Leifer, Op cit, hal. 78-110

23 Tan, P. J. (2007). Navigating A Turbulent Ocean: Indonesia's World View and Foreign Policy. Asian Perspective , 31 (3), 152.

24 Ibid, hal. 115

25 Op cit. hal. 158

Page 6: JURNAL BANGKIT RAHMAT

berusaha untuk memperluas peranannya dalam tataran global terutama melalui peran aktif dan kepemimpinan dalam Gerakan Non Blok. Indonesia menjadi tuan rumah konferensi lanjutan Asia Afrika pada tahun 1985 ,diikuti dengan memegang tampuk pemimpin Gerakan Non Blok pada tahun 1992. Pembangunan ekonomi yang berhasil saat itu, menempatkan Indonesia dalam posisi yang unik sebagai jembatan antara Negara-negara maju dan berkembang terutama dengan melobi Negara-negara G-7 berkaitan dengan isu-isu ekonomi penting bagi dunia berkembang.26

Krisis multi dimensi yang disebabkan oleh krisis keuangan Asia di ahir 1997 berimbas pada pengunduran diri Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.27 Hal Ini membawa perubahan besar bagi politik dalam negeri Indonesia yang sebelumnya bersifat otoriter menjadi sistem yang lebih demokratis pada "masa reformasi".

Masa Reformasi.Pada masa-masa awal reformasi, Indonesia

terfokus pada pemulihan ekonomi, hal ini memaksa beberapa presiden Indonesia setelah Soeharto yaitu Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri lebih berkonsentrasi kepada permasalahan dalam negeri dibandingkan dengan luar negeri.

Pada bulan Februari 1999, Presiden Habibie menyetujui pelaksanaan jajak pendapat untuk menentukan masa depan Timor Timur, dimana saat itu dianggap Timor Timur merupakan batu sandungan bagi Indonesia untuk membina hubungan baik dengan masyarakat internasional.28 Akan tetapi hasil dari jajak pendapat yang dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 tersebut menyatakan bahwa sebagian besar rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka dan berdiri sendiri. Hasil tersebut dikhawatirkan menjadi preseden bagi provinsi lainnya untuk memisahkan diri dari NKRI.

Presiden Yudhoyono mencoba untuk mengimplementasikan kebijakan luar negeri yang lebih seimbang dibandingkan dengan masa Soeharto. Indonesia menyusun perjanjian kemitraan strategis dengan India dan Cina serta berusaha mencari bantuan yang tidak mengikat dibandingkan dengan bantuan yang disertai syarat dari Negara-negara Barat. Secara umum meskipun implementasi dari kebijakan luar negeri Indonesia semenjak kemerdekaan sangat dinamis dalam memperjuangkan kepentingan nasional, namun kontinuitas serta konsistensi terhadap konsep bebas aktif senantiasa terpelihara.

Misi Pemelihara Perdamaian IndonesiaMisi pemelihara perdamaian merupakan salah

satu dari beberapa alat dari politik luar negeri suatu negara, dimana misi pemelihara perdamaian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari diplomasi negara khususnya dalam bentuk Diplomasi Publik. Hal ini sejalan dengan pendapat Matt Armstrong bahwa “saat ini berbagai negara memanfaatkan penugasan pemelihara perdamaian ini untuk memperjuangkan agenda politik luar negeri dan ekonominya serta menaikkan posisinya dalam lingkup global”.29

Masa Pemerintahan SoekarnoSelama masa pemerintahan Soekarno

Indonesia mengirimkan 3 Kontingen pemelihara perdamaian PBB yang diberi nama KONGA I dibawah UNEF I (First UN Emergency Force) di Sinai serta KONGA II dan KONGA III dibawah ONUC (UN Operation in the Congo) di Congo.

UNEF I dibentuk sebagai akibat terjadinya krisis Suez yang sangat potensial dapat memicu suatu eskalasi yang lebih besar serta konfrontasi antara dua Negara adidaya saat itu. Sidang darurat Majelis Umum PBB membentuk UNEF I pada tanggal 5 November 1956 untuk mengawasi penarikan mundur pasukan penyerang, serta bertindak sebagai pasukan pembatas antara Mesir dan Israel. Indonesia menawarkan pengiriman sebuah Kontingen pada tanggal 6 November 1956 dan mendapatkan persetujuan dari Sekjen PBB saat itu, Dag Hammarskjold, dimana saat itu 10 Negara yang dianggap netral termasuk Indonesia setelah mendapatkan persetujuan pemerintah Mesir. Indonesia mengirimkan 559 orang pasukan dalam jangka waktu yang terbatas mulai tanggal 8 Januari sampai dengan 29 September 1957.30

Latar belakang secara politis yang mewarnai pengiriman pasukan pemelihara perdamaian saat itu adalah: adanya semangat Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan di Indonesia setahun sebelumnya, dimana semangat perdamaian dunia dan anti kolonialisme yang tercantum dalam agenda global Konferensi tersebut. Disamping itu presiden Gamal Abdel Nasser juga merupakan satu dari tokoh-tokoh yang memegang peran kunci dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika tersebut.31 Mesir juga merupakan salah satu negara terkemuka dan pertama yang memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia pada 18 November 1946.32

Latar belakang penting lainnya adalah berkembangnya sentimen anti Negara Barat di dalam negeri saat itu berkaitan dengan sengketa

26 Suryadinata, L. (1966). Indonesian Foreign Policy under Soeharto. Singapore: Times Academic. hal. 175

27 BBC . (1998). Presiden Soeharto resigns. Diambil pada 6 Oktober 2010, dari BBC NEWS:

http://news.bbc.co.uk/2/hi/events/indonesia/latest_news/97848.stm28

Murphy, A. M., Op Cit, hal. 26429

Armstrong, M. (2010, May 19). U.N. Peacekeeping as Public Diplomacy. Diambil pada 20 Oktober 2010, dari World Politic Review: http://www.worldpoliticsreview.com/articles/5561/u-n-peacekeeping-as-public-diplomacy30

United Nations, Op cit, 31

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2010). Gerakan Non Blok. Diambil pada 28 Desember 2010, dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia: http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=3&P=Multilateral&l=id32

Indonesian Ministry of Foreign Affairs. (n.d.). Profil Negara dan Kerjasama Indonesia - Mesir. Diambil pada 10 Oktober 2010, dari http://www.deplu.go.id/cairo/Pages/AboutUs.aspx?IDP=4&l=id

Page 7: JURNAL BANGKIT RAHMAT

masalah Papua Barat yang semakin memanas dengan Belanda saat itu.33 Hal ini menimbulkan anggapan bahwa negara-negara Barat tetap ingin mengusung kolonialisme di dunia sehingga merupakan suatu keharusan bagi Indonesia untuk menentang segala bentuk kolonialisme tersebut dengan salah satu upayanya adalah melalui pengiriman pasukan pemelihara perdamaian dibawah PBB.

Kontribusi berikutnya dari Indonesia adalah dengan mengirimkan KONGA II dan KONGA III dibawah ONUC. ONUC dibentuk setelah negara Kongo yang baru merdeka di awal tahun 1960 an terancam oleh kelompok-kelompok para militer yang membangkang terhadap pemerintah yang ada serta pengerahan tentara Belgia ke Kongo yang semakin memperparah situasi keamanan di Kongo.34

Indonesia berpartisipasi dalam misi dibawah ONUC ini dengan mengirimkan dua kontingen yaitu KONGA II terdiri dari 1074 pasukan dan KONGA III terdiri dari 3475 pasukan mulai tanggal 4 Oktober 1960 – April 1964. Pengiriman pasukan ini merupakan pengerahan pasukan pemelihara perdamaian terbesar ke dua yang pernah dikirimkan oleh Indonesia dalam satu misi setelah UNTAC.35

Ada beberapa alasan yang melatar belakangi pengiriman tersebut antara lain kesuksesan dari pengiriman KONGA I di Sinai, semangat solidaritas Asia yang diperkokoh dengan dibentuknya gerakan Non Blok (GNB), pengalaman pahit Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya melawan Belanda serta memburuknya hubungan antara Indonesia dan Belanda terkait sengketa masalah Papua Barat.

Masa Pemerintahan SoehartoDibawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia

sangat aktif dalam memberikan kontribusii melaui pengiriman kontingen pemelihara perdamaian dibawah 11 misi PBB yaitu: UNEF II, UNIMOG, UNTAG, UNIKOM, UNTAC, UNOSOM, UNPROFOR, UNTAES, UNOMIG, UNOMOZ and UNMOT, disamping itu Indonesia juga mengirimkan 2 kontingen dibawah dua misi non-PBB di Vietnam (1974) dan Filipina (1994).

Setelah kurang lebih selama 7 tahun mulai tahun 1965-1972 Indonesia tidak aktif dalam pengiriman pasukan pemelihara perdamaian berkaitan dengan fokus dari pemerintah pada saat itu kepada permasalahan-permasalahan domestik, Indonesia mengirimkan KONGA IV, V, VII and VIII dibawah satu misi non-PBB di Vietnam dibawah International Commission for Control and Supervision (ICCS).

ICSS dibentuk berdasarkan Paris Peace Agreement di tahun 1973 yang memiliki tugas untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata di

Vietnam sebagaimana tercantum dalam perjanjian.36 Pada awalnya ICSS terdisi dari pasukan yang berasal dari 2 negara komunis (Hungaria dan Polandia) dan 2 negara non-komunis (Kanada dan Indonesia). Setelah beberapa bulan bertugas kontingen dari Kanada digantikan oleh kontingen dari Iran. Kontingen Indonesia bertugas sampai dengan berahirnya mandat dari ICSS pada tanggal 31 Juli 1973.37 Disamping dibawah ICSS, Indonesia juga mengirimkan KONGA XVII pada tahun 1994 pada satu misi non-PBB untuk mengawasi jalannya gencatan senjata antara MNLF dengan Pemerintah Filipina.

Selanjutnya, Indonesia mengirimkan pasukan pemelihara perdamaian PBB dibawah UNEF II (Second UN Emergency Force). Misi ini dibentuk sebagai akibat dari memburuknya situasi Timur Tengah akibat serangan yang dilancarkan terhadap kedudukan pasukan Israel di Sektor Terusan Suez oleh pasukan Mesir dan Dataran Tinggi Golan oleh pasukan Syria pada tanggal 6 Oktober 1973. Pada saat itu terjadi pertentangan hebat antara Negara-negara Adidaya berkaitan dengan penyelesaian masalah tersebut pada sidang Dewan Keamanan PBB pada bulan Oktober 1973, hal ini sangat mengancam perdamaian dan keamanan Dunia. Terjadinya pertentangan tersebut justru membuka peluang nagi anggota Dewan Keamanan PBB yang berasal dari Negara-negara anggota GNB untuk berperan aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian di Timur Tengah tersebut. Proposal dari Indonesia, Kenya, Panama, Peru, the Sudan dan Yugoslavia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB saat itu mendorong dibentuknya UNEF II.38

Indonesia melanjutkan partisipasi aktifnya dalam upaya penyelesaian konflik ini dengan mengirimkan KONGA VI (1973) dan KONGA VIII/1-9 (1974-1979) dari 21 Desember 1973-September 1979. Pengiriman pasukan ini merupakan pengiriman pasukan pemelihara perdamaian Indonesia yang terlama dalam satu misi dalam sejarah penugasan pasukan pemelihara perdamaian Indonesia.

Setelah mengirimkan kontingen dibawah UNEF II, Indonesia mengirimkan military observer dibawah UNIIMOG (UN Iran-Iraq Military Observer Group) pada tahun 1988-1991, UNTAG (UN Transition Assistance Group) di Namibia pada tahun 1 April 1989 -21 Maret 1990, UNIKOM (UN Iraq-Kuwait Observation Mission) di Iraq-Kuwait pada tahun 1992-1995.

Pengiriman pasukan pemelihara perdamaian terbesar dalam sejarah Indonesia dalam satu misi adalah pengiriman sekitar 4000 pasukan KONGA XII/A-D mulai Maret 1992 sampai dengan September 1993 dibawah UNTAC di Kamboja. UNTAC dibentuk setelah faksi-faksi yang terlibat dalam konflik di

33 Leifer, Op cit. hal. 45

34 UNDPKO (2008), Op cit. hal. 435-437

35 UNDPKO (2008), Op cit. hal. 435-437

36 BBC. (1973, Februari). 1973: Vietnam observers' struggle for peace. Diambil pada 12 Oktober 2010, dari BBC News:

http://news.bbc.co.uk/onthisday/hi/dates/stories/february/4/newsid_2528000/2528261.stm37

International Commission of Control and Supervision. (n.d.). Diambil pada 11 Oktober 2010, dari canadiansoldiers.com: http://www.canadiansoldiers.com/history/internationalmissions/iccs.htm38

United nations (1990), Op cit, hal 80-81

Page 8: JURNAL BANGKIT RAHMAT

Kamboja menandatangani Paris Agreements pada bulan Oktober 1991.39

Pahitnya perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaannya serta posisi penting Indonesia dalam GNB menempatkan Indonesia dalam posisi unik dalam membantu menyelesaikan konflik di Kamboja tersebut. Disamping itu, Indonesia juga berusaha memperkokoh kepemimpinan regionalnya di ASEAN ke wilayah Indocina.40

Dalam hal ini Indonesia mendapatkan tantangan keras dari Thailand yang lebih mendukung Vietnam serta bekerjasama erat dengan Cina dan Khmer Merah. Indonesia menghawatirkan keterlibatan Cina dalam isu ini bertujuan untuk meningkatkan pengaruh dan kehadirannya di Asia Tenggara. Hal ini sangat beralasan, terkait dengan kekhawatiran Indonesia akan bahaya laten komunis yang dapat muncul kembali dengan semakin meluasnya pengaruh Cina tersebut. Bersama dengan Perancis, Indonesia berhasil mengambil kepemimpinan dalam upaya penyelesaian diplomatik melalui penanda tanganan Paris Peace Accord tahun 1991.41

Dalam masa pemerintahan Soeharto, Indonesia juga mengirimkan KONGA XIII (1992) dibawah UNOSOM (Somalia), KONGA XIV/1-3 dan KONGA XIV/A-C (1993-1995) dibawah UNPROFOR dan UNTAES (Bosnia Herzegovina, Croatia), KONGA XV (1994) dibawah UNOMIG (Georgia), KONGA XVI (1994) dibawah ONUMOZ (Mozambique) dan KONGA XVIII (1997) dibawah UNMOT (Tajikistan).

Masa ReformasiDalam masa reformasi, meskipun Indonesia

sangat terpukul oleh krisis finansial Asia pada tahun 1997-1998, akan tetepi kontribusi dibawah pasukan pemelihara perdamaian PBB tetap berlanjut melalui pengiriman pengamat militer dibawah KONGA XIX/1-4 yang ditugaskan pada misi UNAMSIL di Sierra Leone pada tahun 1999-2002.

Setelah situasi sosial dan ekonomi nasional membaik, Indonesia secara bertahap semakin meningkatkan kontribusinya melalui pengiriman KONGA XX/A-G yang merupakan Detasemen Zeni dan pengamat militer dibawah MONUC (UN Organization Mission in the Democratic Republic of the Congo) dari tanggal 6 September 2003 sampai saat ini,42 KONGA XXI dibawah UNMIL (UN Mission in Liberia), KONGA XXII dibawah UNMIS (UN Mission in the Sudan) dan UNAMID (AU/UN Hybrid Operation in Darfur) mulai tahun 2005 sampai saat ini, KONGA XXIV dibawah UNMIN (United Missions

in Nepal) mulai tahun 2006 sampai rencana mandat dari misi ini akan berahir pada tanggal 15 Januari 2011.43

Terjadinya perang 34 hari antara Israel-Hizbullah yang meletus pada 12 Juli 2006 memberi peluang bagi Indonesia untuk kembali terlibat secara aktif dalam penyelesaian krisis Timur Tengah. Terjadinya perang tersebut membuat konteks dari operasi UNIFIL berubah secara radikal. Dimana pada tanggal 11 Agustus 2006 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi DK PBB 1701. Dengan resolusi tersebut secara signifikan DK PBB menambah jumlah pasukan UNIFIL dari semula sekitar 2.000 tentara sebelum perang menjadi sekitar 15.000 personil militer.44

Peluang ini dimanfaatkan Indonesia untuk turut memberikan kontribusi pasukan pemelihara perdamaian dibawah UNIFIL dengan mengerahkan KONGA XXIII /A-E pada bulan November 2006 hingga saat ini serta diperkuat dengan pengerahan KONGA XXV / A-C (Military Police Company) dan Konga XXVI / A-C (Force Headquarter Support Unit dan Force ProtectionCompany) mulai tahun 2008 sampai sekarang. Keberhasilan Indonesia dalam turut aktif dalam penyelesaian konflik Lebanon ini mendorong Indonesia terpilih untuk ke tiga kalinya sebagai anggota tidak tetap DK PBB dalam periode 2007-2008.45

Meningkatnya Soft Power IndonesiaMenurut Nye, soft power dari suatu negara

utamanya terletak pada tiga sumber yaitu: kebudayaannya (yang mampu menarik perhatian), nilai-nilai politiknya (yang berkembang baik di dalam negeri maupun di luar negeri) dan kebijakan luar negerinya (apabila memiliki legitimasi dan dasar moral yang baik).46

Berkaitan dengan nilai-nilai politik, terdapat tiga hal penting yang merupakan potensi luar biasa sebagai sumber dari soft power Indonesia yaitu: berhasilnya proses demokratisasi di Indonesia, fakta bahwa Indonesia merupakan Negara dengan populasi umat Islam terbesar di Dunia dan sejarah panjang serta posisi penting Indonesia dalam GNB.

DemokrasiPada dasarnya demokrasi bukanlah suatu hal

yang baru dalam sejarah Indonesia, Demokrasi telah diterapkan semenjak proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1959 dalam bentuk demokrasi parlementer. Akan tetapi pada masa berikutnya mulai tahun 1959-1997, penjabaran dari demokrasi

39 United Nations. (n.d.). 1990-1999 United Nations Peacekeeping Operations. Diambil pada 5 Oktober 2010, dari

http://www.un.org/events/peacekeeping60/1990s.shtml40

Indonesia, ASEAN, and the Third Indochina War. (1992, November). Diambil pada Oktober 2010, from http://www.country-data.com/cgi-bin/query/r-6323.html41

Murphy A M, Op Cit, hal. 25242

Jusuf, M. (2003). Pasukan Perdamaian Indonesia Bertugas Lagi di Kongo. Diambil pada 12 Oktober 2010, dari TNI AD: http://www.mabesad.mil.id/artikel/0803kongo.htm43

UNMIN. (2010). UNMIN Mandate. Diambil pada 12 Oktober 2010, dari http://www.unmin.org.np/?d=about&p=mandate44

United Nations. (2010). UNIFIL United Nations Interim Force in Lebanon. Diambil pada 28 Desember 2010, dari http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unifil/background.shtml45

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2009). Indonesia and The United Nations. Diambil pada 16 Oktober 2010, dari http://www.deplu.go.id/newyork-un/Lists/CountryProfile/DispForm.aspx?ID=1 46

Nye, Op cit, hal. 14

Page 9: JURNAL BANGKIT RAHMAT

tersebut telah menyimpang dari nilai-nilai dasarnya dan digantikan dengan nilai-nilai otoritarian dalam pemerintahan demokrasi terpimpin dan demokrasi selama masa orde baru.

Berahirnya rezim orde baru dan dimulainya proses reformasi pada tahun 1998 telah membawa kembali demokrasi di Indonesia untuk menggantikan sistem orde baru yang bersifat otoritarian tersebut. Saat ini setelah lebih dari satu dekade proses demokratisasi di Indonesia dan demokrasi di Indonesia mulai terkonsolidasi, predikat sebagai negara demokratis terbesar ke tiga di Dunia layak untuk diterima Indonesia dan mendapatkan pengakuan dari Dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillarry Clinton saat berkunjung di Indonesia pada bulan Februari 2009 ““If you want to know if Islam, democracy, modernity and women’s rights can coexist, go to Indonesia.”47

Namun, dalam pelaksanaannya ada beberapa hambatan yang bersifat internal dan eksternal berkaitan dengan demokrasi tersebut di Indonesia. Secara internal, proses transisi dari sistem yang bersifat otoritarian menuju ke demokrasi merupakan tahapan kritis sebagaimana yang disampaikan oleh Edward D. Mansfield dan Jack L. Snyder bahwa “ Negara yang berada dalam tahap awal dari proses demokratisasi sangat rentan terlibat dalam peperangan dan konflik yang utamanya bersifat konflik dalam negeri”.48 Terlebih lagi dengan adanya kemajemukan yang luar biasa sebagaimana yang dimiliki oleh Indonesia dengan berbagai macam budaya, adat istiadat, suku serta sangat rentan terhadap berbagai isu yang bersifat primordial dimana hal tersebut sangat berpotensi menimbulkan konflik yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan Indonesia. Hal tersebut terbukti saat Indonesia mengalami masa sulit pada awal masa reformasi dari tahun 1998-2004 dimana situasi keamanan sangat memprihatinkan terutama di Aceh, Maluku, Poso dan Papua. Pada saat itu banyak pengamat yang memprediksikan bahwa indonesia akan terpecah belah.49

Dalam kenyataannya, proses demokratisasi tersebut dapat dikatakan berjalan dengan lancar. Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, hal ini disebabkan oleh “ketahanan yang dimiliki oleh Indonesia yang menunjukkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk bertahan walaupun dalam keadaan yang sangat sulit”.50

Secara eksternal, Indonesia mendapatkan tantangan dari negara-negara tetangganya di ASEAN dimana sebagaimana pernyataan dari Mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda “Kita ketahui bahwa [ASEAN] adalah satu kelompok dari sepuluh negara-negara berbeda, beberapa diantaranya demokratis, separuh demokratis, junta militer, akan tetapi kita harus memiliki pandangan kedepan mengenai ASEAN yang demokratis dan menghargai Hak Asasi manusia.51

Dalam menyikapi tantangan tersebut, Indonesia telah mengambil langkah signifikan dalam menginstitusionalisasikan demokrasi, mewujudkan masyarakat yang demokratis dan meningkatkan komponen penghubung antara Indonesia dengan lingkungan internasional.52 Salah satu langkah yang diambil diantaranya dengan meyelenggarakan Bali Democracy Forum yang telah tiga kali berturut-turut dilaksanakan pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Forum ini bertujuan sebagai sarana untuk tukar menukar ide dan pengetahuan serta saling berbagi pengalaman maupun penerapan dari demokrasi antar negara peserta forum tersebut.53 Disamping itu, Indonesia juga mendukung diwujudkannya Piagam ASEAN yang baru dimana didalamnya lebih mendukung pengembangan demokrasi dan Hak Asasi Manusia.54

Semakin terkonsolidasinya demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari meningkatnya Indonesia dalam Democracy Index yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit, dimana pada tahun 2008 Indonesia berada pada peringkat 69 dari 167 Negara pada tahun 2008 menjadi peringkat ke 60 dari 167 Negara pada tahun 2010.55 Pengalaman yang berasal dari keberhasilan Indonesia dalam melaksanakan perubahan dari sistem otoritarian menjadi sistem yang demokratis merupakan hal yang sangat potensial dalam meningkatkan soft power yang dimiliki oleh Indonesia serta mewujudkan suatu peluang bagi Indonesia untuk menularkan pengalaman tersebut bagi negara-negara yang sedang menjalani proses demokratisasi.

IslamPotensi soft power berikutnya adalah fakta

bahwa Indonesia adalah merupakan Negara dengan populasi umat muslim terbesar di Dunia. Namun demikian, dalam pelaksanaannya Islam hanya sebagai pertimbangan sekunder dalam hubungan

47 Mark Landler, “Clinton Praises Indonesian Democracy,” New York Times, February 18, 2009.

48 Edward D. Mansfield, J. L. (2005). Electing to fight: why emerging democracies go to war. MIT Press. hal. 129

49 Chongkittavorn, K. (2009, December 1). Indonesian democracy a huge work in progress: Marty. Diambil pada 18 Oktober 2010, dari The

Nation: http://www.nationmultimedia.com/search/read.php?newsid=30117677&keyword=indonesian+democracy50

Ibid51

Interview with Foreign Minister Hasan Wirajuda, N. S. (2006, August 22). Indonesia Dorong ASEAN Menjadi Komunitas Yang Demokratis. Diambil pada 28 Oktober 2010, dari Kementerian Luar Negeri republik indonesia: www.deplu.go.id/?category_id=123&news_id=1288&main_id=10152

John McBeth, “The Betrayal of Indonesia,” Far Eastern Economic Review, 26 Juni 2003.53

Sekretariat Negara Republik Indonesia. (2008, December 23). Inisiatif Dan Inspirasi Demokrasi Dalam Bali Democracy Forum. Retrieved December 30, 2010, from http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=29&id=3138&option=com_content&task=view54

Mark Landler. Op cit.55

Economist Intelligence Unit. (2010). 2010 Democracy Index. Diambil pada 30 Desember 2010, dari http://www.eiu.com/public/thankyou.aspx?activity=reg&campaignid=demo2010E

Page 10: JURNAL BANGKIT RAHMAT

luar negeri Indonesia.56 Indonesia dibentuk berdasarkan dengan menempatkan Pancasila sebagai dasar Negara, dan hal ini merupakan suatu landasan normatif yang mencegah pemerintah semenjak kemerdekaan untuk tidak menempatkan Islam sebagai landasan politik luar negeri Indonesia.57

Dalam pemerintahan Soekarno, politik luar negeri Indonesia di dominasi oleh antikolonialisme dan antiimperialisme. Hubungan erat dari Indonesia dengan Negara-negara muslim dilaksanakan dalam rangka mendapatkan pengakuan dunia internasional tentang kemerdekaan Indonesia, lebih jauh lagi Politik Luar Negeri tidak diarahkan untuk mendukung kepentingan berdasarkan sentimen keagamaan (Islam).58

Belajar dari pengalaman dari masa pemerintahan Soekarno yang diwarnai dengan permasalahan disintegrasi nasional dimana melibatkan kelompok muslim tertentu, pemerintahan Soeharto menghilangkan kesan Islam baik dalam poitik domestik maupun luar negerinya. Kehadiran islam hanyalah terbatas dan politik di “sterilkan” muatan-muatan Islam di dalamnya.59 Namun, pada tahun 1990 an Presiden Soeharto terlihat dekat dengan Dunia Muslim, hal ini dapat terlihat dengan bergabungnya Indonesia dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada awal tahun 1990. Akan tetapi motivasi dari kedekatan ini pada dasarnya bukan karena Islam. Besarnya ketertarikan Indonesia dengan Timur Tengah pada saat itu pada dasarnya berkaitan dengan kerjasama ekonomi tanpa sentimen keagamaan.60 Trend tersebut terlihat tidak banyak berubah selama masa pemerintahan setelah Soeharto dimana Islam tetap bukan sebagai pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.

Dalam masa pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berusaha memanfaatkan 15 persen populasi penduduk Muslim Dunia di Indonesia serta kedekatan Indonesia dengan Negara Muslim lainnya maupun dengan Negara-negara barat sebagai suatu potensi pemanfaatan soft power Indonesia untuk bertindak sebagai jembatan fleksibel antara Negara-negara Muslim dan Bagian Dunia lainnya.

Namun demikian pada dasarnya Indonesia harus berhati-hati dalam memanfaatkan asset tersebut (Islam) sebagaimana yang disampaikan oleh Rizal Sukma bahwa ”Keterlibatan Indonesia dalam hubungan luar negeri yang berkaitan dengan

Islam harus diatur dengan hati-hati untuk menghindari timbulnya ketegangan baik di dalam negeri maupun dengan negara Islam lainnya”.61

Peran Penting dalam GNBSumber berikutnya dari semakin meningkatnya

soft power Indonesia berkaitan dengan peran penting Indonesia dalam Gerakan Non-Blok. Hal ini sejalan dengan pendapat Nye bahwa “Nilai utama pemerintah dalam perilakunya di lembaga-lembaga internasional (dalam bekerja dengan Negara/pihak lain) sangat mempengaruhi penerimaan dari pihak lain”.62

Peran penting Indonesia diawalai dari penyelenggaraan KAA di Bandung pada tahun 1955 yang merupakan benih berdirinya GNB. Indonesia juga termasuk sebagai Negara pendiri GNB, yang didirikan bersamaan dengan pertemuan GNB pertama di Beograd Yugoslavia pada tanggal 1-6 September 1961. Pada awalnya GNB dimaksudkan untuk membentuk suatu posisi independen dalam konstelasi dua kutub dari politik internasional saat itu, disamping itu GNB juga dimaksudkan untuk mendukung seluruh anggotanya dalam hal penentuan nasib sendiri dan kemerdekaannya. Sejak pertengahan 1970-an, isu-isu ekonomi mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB.63

Berahirnya Perang Dingin yang mengakibatkan berubahnya konstelasi politik dunia yang semula dua kutub menjadi satu kutub mengakibatkan perlunya dilaksanakan penentuan ulang peran, manfaat dan keberadaan dari GNB tersebut. Indonesia sekali lagi menjadi pelopor dalam penentuan visi baru GNB dalam KTT GNB ke 10 di Jakarta pada tahun 1982 dimana didalam visi tersebut berisi tentang: perlunya peningkatan kerjasama konstruktif sebagai komponen integral hubungan internasional, penekanan pada kerjasama ekonomi internasional dan peningkatan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan.64

Terlepas dari adanya berbagai tantangan yang ada, Demokrasi, Islam dalam bentuknya yang moderat dan peran aktif Indonesia di GNB merupakan suatu potensi luar biasa yang telah mendongkrak soft power Indonesia dalam tataran politik global. Disamping itu ketiga hal tersebut membuka ruang gerak Indonesia dalam menjalankan kebijakan luar negerinya serta mendorong Indonesia untuk memainkan peran lebih besar sebagai jembatan fleksibel antara negara maju dan negara

58 Ibid, hal.39

56 Sukma, R. (2006). Islam in Indonesian Foreign Policy. New York: Routledge. hal 140

57 Ibid, hal.36

59 Ibid, hal.63

60 Ibid, hal.71-74

61 Greenlees, D. (2007, June 8). To Gain Among Muslims, Indonesia Offers to Mediate Middle East Disputes. Diambil pada 24 Oktober 2010, dari

The New York Times: http://www.nytimes.com/2007/06/08/world/asia/08indo.html62

Nye, Op cit, hal. 14

63 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2010). Gerakan Non-Blok. Diambil pada 30 Desember 2010, dari Kerjasama Multilateral:

http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&P=Multilateral&IDP=364

Ibid

Page 11: JURNAL BANGKIT RAHMAT

berkembang serta antara negara muslim dan bagian Dunia yang lainnya.

Peran Misi Pemelihara Perdamaian Indonesia

Masa Pemerintahan Soekarno.Pada masa pemerintahan Soekarno misi

pemelihara perdamaian memiliki peran untuk memperkokoh pelaksanaan diplomasi politik luar negeri Indonesia, hal ini dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut:- Memiliki peran untuk memperkokoh keberadaan Indonesia dalam lingkup internasional. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia dimana fokus utama adalah dalam rangka mendapatkan pengakuan kedaulatan serta diakui keberadaannya dalam lingkup global. Dalam hal ini Indonesia melakukan salah satu upaya berupa pengiriman KONGA I dibawah misi UNEF I di Mesir. Pengiriman ini merupakan keterlibatan pertama kali Indonesia dalam misi pemelihara perdamaian PBB. Kontribusi disamping sebagai suatu peran aktif Indonesia dalam upaya untuk turut mewujudkan perdamaian dunia juga dalam rangka menunjukkan eksistensi Indonesia dalam tataran Global.- Memiliki peran untuk mempertegas pandangan politik luar negeri Indonesia dalam menentang segala bentuk kolonialisme. Pengiriman KONGA ke Mesir dan Kongo dalam masa Soekarno merupakan kontribusi nyata Indonesia dalam mempertegas semangat anti kolonialisme, dimana konflik yang terjadi di kedua negara tersebut dapat dilihat sebagai sebagai bentuk maupun akibat dari kolonialisme yang bertentangan dengan semangat KAA dan GNB.- Memiliki peran sebagai sarana mempererat hubungan Indonesia dengan negara lain. Hal ini dapat dilihat melalui pengiriman KONGA I dibawah UNEF I di Mesir sebagai upaya mempererat hubungan dengan Mesir. Disamping karena solidaritas Asia Afrika dan GNB dimana Mesir juga merupakan salah satu negara pendiri GNB, pengiriman Kontingen ini juga merupakan balasan atas dukungan Mesir yang menyatakan pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 18 November 1946. Mesir merupakan salah satu Negara terkemuka pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. - Mendukung upaya diplomasi Indonesia dalam rangka menarik simpati dan dukungan internasional. Pengiriman misi pemelihara perdamaian Indonesia di Mesir dan Kongo merupakan upaya untuk Mendukung upaya diplomasi Indonesia dalam rangka menarik simpati dan dukungan internasional terutama dari negara-negara anggota GNB lainnya dalam rangka mendukung Indonesia dan menekan Belanda dalam lingkup internasional berkaitan dengan upaya penyelesaian sengketa Papua Barat.

Berkaitan dengan Konsistensi terhadap konsep bebas Aktif, pada masa pemerintahan Soekarno misi pemelihara perdamaian Indonesia terlihat senantiasa konsisten dalam mendukung esensi konsep “bebas aktif”. Meskipun pada awal sampai pertengahan dekade 1960 an politik luar negeri Indonesia berusaha untuk memanfaatkan pengaruh negara-negara adidaya terkait sengketa Papua Barat dengan Belanda. Hal ini dilaksanakan melalui

pembelian persenjataan dalam jumlah besar dari Blok Timur agar Amerika Serikat menekan Belanda untuk memperlancar upaya penyelesaian sengketa tersebut. Politik luar negeri Indonesia juga terlihat membias kearah kiri dan radikal dengan dicanangkannya poros Jakarta – Phnom Penh – Hanoi – Beijing – Pyongyang.

Akan tetapi, baik dari latar belakang dari misi pemelihara perdamaian Indonesia saat itu maupun dalam implementasinya di lapangan tidak ditujukan untuk memihak kepada salah satu Negara Adikuasa maupun untuk mengikatkan Indonesia pada pakta militer yang ada. Pengiriman misi pemelihara perdamaian Indonesia secara umum diwarnai dengan semangat anti kolonialisme serta memperjuangkan kepentingan bersama negara-negara anggota GNB, daripada berusaha untuk mendukung kepentingan negara-negara Adidaya, walaupun pada saat itu Indonesia sebenarnya tengah berusaha mencari dukungan dari Amerika Serikat maupun Uni Sovyet dalam menyelesaikan sengketa Papua Barat dengan Belanda.

Masa Pemerintahan Soeharto.Pada masa pemerintahan Soeharto, misi

pemelihara perdamaian terlihat perannya dalam memperkokoh pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, hal ini dapat dilihat melalui peran sebagai berikut:- Memperkokoh pandangan politik luar negeri Indonesia, dimana saat itu Indonesia memiliki pandangan anti komunisme. Hal ini diwujudkan dalam peran aktif Indonesia dibawah International Commission for Control and Supervision (ICCS) di Vietnam sebagai perwakilan dari negara non-komunis serta peran aktif Indonesia dalam upaya mewujudkan perdamaian di Kamboja dengan pengiriman KONGA dibawah UNTAC yang bertujuan untuk mencegah masuknya pengaruh komunisme Cina ke wilayah Indocina. - Memperkokoh pelaksanaan diplomasi Indonesia. Hal ini terlihat dalam pengiriman KONGA dibawah UNEF II yang memiliki peran untuk memperkokoh peran aktif Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB dalam mendorong tercapainya perdamaian di wilayah Timur Tengah. - Memperkokoh kepemimpinan Indonesia dalam lingkup regional. misi pemelihara perdamaian Indonesia dibawah UNTAC merupakan upaya untuk mempertegas keberhasilan upaya penyelesaian konflik secara diplomatik melalui penanda tanganan Paris Peace Accord tahun 1991 serta memperkokoh kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN. - Memperkokoh peran dan posisi Indonesia dalam tataran politik global. Keberhasilan Indonesia dalam memainkan peran penting penyelesaian permasalahan Kamboja melalui upaya-upaya diplomatik maupun keberhasilan pengerahan pasukan pemelihara perdamaian dibawah UNTAC mengantar Indonesia menjadi Presiden gerakan Non-Blok pada tahun 1992, mendapatkan kesempatan kedua menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 1995-1996 serta menjadi Ketua Kelompok 77 pada tahun 1998.

Dalam masa pemerintahan Soeharto misi pemelihara perdamaian PBB dapat dikatakan semakin memperkokoh implementasi dari konsep

Page 12: JURNAL BANGKIT RAHMAT

“bebas aktif” politik luar negeri Indonesia. Pada masa pemerintahan Soeharto dimana garis kebijakan luar negeri Indonesia adalah anti-komunisme akan tetapi pragmatis dalam kedekatannya dengan Negara-negara Barat, misi pemelihara perdamaian PBB Indonesia memiliki peran dalam mempertegas prinsip bebas aktif dari politik luar negeri Indonesia. Hal ini dapat terlihat dengan tetap dipegang teguhnya prinsip dasar dari bebas aktif tersebut dalam setiap pengiriman misi pemelihara perdamaian Indonesia. Keterlibatan Indonesia dalam ICCS sebagai representasi dari Negara Non-Komunis tidak ditujukan untuk mendukung kepentingan salah satu negara adidaya dalam proxy war-nya di Vietnam, namun untuk megawasi pelaksanaan genjatan senjata dan penarikan mundur pasukan sebagaimana diatur dalam Paris Peace Agreement.

Selanjutnya peran aktif Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB dalam upaya menghindari terjadinya konflik kepentingan antara negara-negara Adidaya yang justru membahayakan perdamaian dan keamanan dunia dan dipertegas dengan pengiriman KONGA dibawah UNEF II untuk mempertegas implementasi dari esensi konsep bebas aktif tersebut.

Masa Reformasi.Dalam masa Reformasi, misi pemelihara

perdamaian tetap menunjukkan perannya untuk memperkokoh pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Peran aktif Indonesia terutama dalam upaya penyelesaian konflik Libanon secara diplomatik dipertegas dengan keberhasilan pengiriman misi pemelihara perdamaian dalam jumlah yang signifikan. Hal ini sangat penting karena pada saat itu Indonesia berupaya untuk meningkatkan perannya dalam tataran global yang sempat terpuruk pada awal masa reformasi akibat hantaman krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998 yang memicu terjadinya krisis multi dimensi di Indonesia. Keberhasilan Indonesia dalam turut aktif dalam penyelesaian konflik Lebanon ini menjadikan Indonesia terpilih untuk ke tiga kalinya sebagai anggota tidak tetap DK PBB dalam periode 2007-2008 dan menjabat sebagai presiden DK PBB pada bulan November 2007 dimana hal ini semakin memperkokoh posisi serta peran Indonesia di lingkup politik global.

Dalam masa reformasi, keterlibatan Indonesia dalam berbagai operasi penjaga perdamaian telah menunjukkan implementasi dari konsep “bebas aktif yang tercermin pada latar belakang setiap pengerahan yang berdasarkan prinsip “bebas aktif” dengan tidak memihak kepada salah satu Negara Adikuasa serta tidak mengikatkan Indonesia pada pakta militer yang ada. Walaupun konflik Arab-Israel sarat dengan muatan kepentingan Negara Adikuasa di dalamnya, akan tetapi Indonesia senantiasa menghindari pengerahan misi pemelihara perdamaian yang ditujukan untuk mendukung kepentingan negara Adikuasa dalam konflik tersebut.

Sinergi Penggunaan Soft dan Hard Power Dalam Rangka Memperkokoh Smart Power

Meningkatnya soft power yang dimiliki oleh Indonesia dapat dimanfaatkan untuk membuka ruang

gerak bagi partisipasi aktif Indonesia dalam upaya penyelesaian konflik yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan Dunia. Melalui soft power yang dimilikinya, Indonesia berpotensi untuk dapat lebih diterima oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, baik melalui keterlibatan dalam proses dialog maupun dalam memudahkan peran Indonesia sebagai jembatan fleksibel atau penengah dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.

Konflik yang terjadi dapat berpotensi menjadi pusat perhatian Dunia, terutama apabila konflik tersebut diperkirakan akan mengancam perdamaian dan keamanan dunia serta memiliki pengaruh yang cukup luas. Hal ini memiliki dua potensi kemungkinan apabila Indonesia terlibat secara Aktif dalam upaya penyelesaian konflik tersebut. Keberhasilan dalam upaya tersebut akan memperkuat persepsi posititif terhadap Indonesia dalam lingkup Global, akan tetapi kegagalan dalam pelaksanaannya akan berakibat sebaliknya.

Begitu juga dengan keterlibatan Indonesia secara aktif dalam upaya penyelesaian konflik tersebut melalui pengiriman misi pemelihara perdamaian. Keberhasilan dari penugasan misi tersebut di lapangan akan meningkatkan persepsi positif tentang Indonesia dalam lingkup Global dan kegagalan dalam pelaksanaannya justru akan memperlemah penerimaan terhadap misi pemelihara perdamaian Indonesia dari dunia Internasional.

Hal tersebut menunjukkan bahwa soft power maupun hard power saling berkaitan dan sangat berpengaruh satu sama lain dalam membentuk perspektif positif dari dunia internasional yang menentukan semakin lemahnya ataupun semakin kokohnya smart power serta posisi Indonesia dalam lingkup Global.

Keterkaitan tersebut menyebabkan soft power dan hard power dalam konteks misi pemelihara perdamaian tidak dapat dipisahkan satu sama lain, akan tetapi diperlukan suatu kondisi saling mendukung diantara keduanya atau dapat dikatakan sebagai suatu sinergi antara soft power dan hard power dalam memperkokoh smart power. Untuk menyederhanakan keterkaitan antara ketiga power tersebut, penulis menggambarkannya kedalam model sinergi antara soft power danhard power dalam memperkokoh smart power dalam lingkup misi pemelihara perdamaian PBB dalam gambar 1 dibawah ini.

Page 13: JURNAL BANGKIT RAHMAT

Gambar 1Sinergi antara soft, hard dansmart power

dalam misi pemelihara perdamaian

(Sumber: Penulis, 2010)Dalam gambar 1 tersebut diatas digambarkan

bahwa ekploitasi soft power dan hard power memiliki pengaruh terhadap penerimaan Internasional tentang Indonesia dimana smart power merupakan interseksi dari ketiganya. Peningkatan maupun penurunan dari soft power maupun hard power sangat berpengaruh terhadap kokoh tidaknya smart power Indonesia yang dapat meningkatkan posisi Indonesia dalam lingkup Global.

Berkaitan dengan sinergi antara soft dan hard power, penggunaan hard power melalui misi pemelihara perdamaian terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kualitas dan kuantitas dalam pengerahan misi pemelihara perdamaian tersebut. Kuantitas dari misi pemelihara perdamaian pada dasarnya sangat menentukan eksistensi serta peranan Indonesia dalam bidang operasi pemeliharaa perdamaian Dunia, adapun kualitas sangat menentukan persepsi positif dunia internasional terhadap peran misi pemelihara perdamaian dunia tersebut.

KuantitasKontribusi Indonesia dalam misi pemelihara

perdamaian Indonesia secara signifikan meningkat dalam 10 tahun terahir, hal ini terlihat dalam perubahan peringkat Indonesia dari peringkat 55 dengan kontribusi sejumlah 34 personIl pada tahun 200265 menjadi peringkat 16 dengan kontribusi sejumlah 1.795 personil pada Bulan Desember

2010.66 Perubahan tersebut dapat dilihat di tabel dibawah ini.

Tabel 1Kontribusi Pasukan dalam Misi Pemelihara

Perdamaian PBB

NO

TAHUNKEKUATAN PERSONIL

PERINGKATINDONESIA TOTAL %

1 2001 59 47108 0.125 % 542 2002 34 39652 0.086 % 553 2003 205 39329 0.52 % 424 2004 201 64720 0.31 % 425 2005 199 69838 0.29% 476 2006 1058 80368 1.32 % 217 2007 1075 84309 1.28% 218 2008 1530 91712 1.67 % 189 2009 1657 98197 1.69 % 1610 2010 1795 98638 1.82 % 16

(Sumber: UNDPKO, 2001-2010)

Dari Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa selama 10 tahun terahir kontribusi Indonesia secara kuantitas meningkat pesat seiring dengan semakin meningkatnya jumlah personel yang terlibat dalam misi pemelihara perdamaian PBB dari tahun ke tahun, akan tetapi dengan peringkat 17 dari negara-negara kontributor serta prosentase yang kurang dari 2 % dapat dilihat bahwa kontribusi tersebut dapat dikatakan relatif minim secara kuantitas.

Peningkatan secara kuantitas tersebut juga seiring dengan peningkatan kontribusi finansial Indonesia kepada PBB dalam 10 tahun terahir yang tergambar dalam Tabel 2 dibawah ini. Kontribusi bersih Indonesia naik lebih dua kali lipat dalam jangka waktu 10 tahun (USD 2.078.911 pada tahun 2001 menjadi USD 5.589.883 pada tahun 2011) serta mengalami kenaikan secara signifikan dari segi prosentase dari 0.201 % pada tahun 2001 menjadi 0.238 % pada tahun 2011. Indonesia selayaknya mendapatkan juga peningkatan keutungan finansial melalui pengiriman misi pemelihara perdamaian Indonesia melalui penambahan jumlah pasukan yang terlibat dalam misi pemelihara perdamaian.

Tabel 2Kontribusi Finansial Indonesia kepada PBB

NO TAHUNKONTRIBUSI

KOTOR (USD)BERSIH (USD)

%

1 2001 2.438 897 2 078 911 0.2012 2002 2 586 288 2 231 988 0.2013 2003 3.104 319 2 700 251 0.2004 2004 2 342 051 2 039 167 0.1425 2005 2 837 493 2 526 903 0.1426 2006 2 733 273 2 423 369 0.1427 2007 3 609 085 3 221 215 0.1618 2008 3 317 613 2 944 717 0.1619 2009 4 378 410 3 922 469 0.16110 2010 5 594 444 5 032 749 0.23811 2011 6 303 522 5 589 883 0.238

(Sumber: UN Secretariat Documents, 2001-2010)

Upaya untuk meningkatkan kuantitas sangatlah penting sehingga pengaruh dari keikutsertaan Indonesia akan lebih besar walaupun dalam pelaksanaannya harus dipertimbangkan faktor untung rugi dalam mendukung kepentingan nasional.

65 UNDPKO. (2002, Desember 31). Ranking of Military and Civilian Police Contributions to UN Operations Month of Report : 31-Dec-02. Diambil

pada Desember 2010, 201066

United Nations Department of Peace Keeping Operations. (n.d.). Monthly Summary of Contributors of Military and Civilian Police Personnel. Diambil pada 30 Desember 2010, dari http://www.un.org/en/peacekeeping/contributors/

EKSPLOITASI“SOFT POWER”

PENERIMAANINTERNASIONAL

PENGGUNAAN“HARD POWER”MELALUI PKO

“SMART POWER”

Page 14: JURNAL BANGKIT RAHMAT

Hal ini terutama berkaitan dengan tugas pokok TNI dalam lingkup domestik sebagai faktor pertimbangan utama. Mengerahkan misi pemelihara perdamaian dengan hanya mempertimbangkan kuantitasnya saja serta dalam jangka waktu yang relatif lama tanpa mempertimbangkan keuntungan yang ditimbulkan dari pengerahan tersebut merupakan wujud pemanfaatan sumber daya yang kurang efektif dan efisien. Mengingat fakta bahwa ”hot spot” atau pusat perhatian dunia berpindah-pindah seiring dengan munculnya konflik-konflik baru atau semakin parahnya konflik yang sedang berkecamuk. Indonesia harus secermat mungkin menentukan kuantitas pengerahan dari misi pemelihara perdamaian tersebut dalam rangka memaksimalkan keuntungan yang mungkin diraih Indonesia dalam lingkup Global. Pengerahan yang kurang tepat secara kuantitas justru berpotensi melemahkan peran dari misi itu sendiri.

Pemilihan misi PBB secara cermat untuk menentukan kuantitas keterlibatan dalam jumlah tepat dengan mempertimbangkan potensi soft power yang dimiliki juga merupakan faktor penting yang menentukan kontribusi optimal dari misi pemelihara perdapaian tersebut. Hal ini dikarenakan potensi soft power merupakan faktor penting dalam membuka akses, memperlancar pelaksanaan maupun meningkatkan penerimaan dari misi pemelihara perdamaian. Sebagai contoh penugasan di bawah UNIFIL sangat memudahkan pasukan kita untuk beradaptasi dengan lingkungan daerah penugasan dikarenakan persepsi positif dari lingkungan tersebut terhadap kehadiran misi pemelihara perdamaian Indonesia di Lebanon berkaitan dengan faktor ”Islam” dibelakangnya maupun memudahkan pemahaman pasukan terhadap adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah penugasan tersebut.

KualitasDalam rangka meraih keuntungan yang optimal

dari misi pemelihara perdamaian ini, terutama dalam mewujudkan persepsi positif dari dunia internasional, Indonesia sebaiknya jangan hanya terpaku dengan ambisi untuk mengejar kuantitas saja, akan tetapi perlu lebih memperhatikan upaya peningkatan kualitas dari misi pemelihara perdamaian tersebut. Kualitas merupakan hal yang bersifat esensial dalam mengoptimalkan performa misi pemelihara perdamaian di lapangan.

Ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kualitas dari misi pemelihara perdamaian, faktor tersebut antara lain: ketaatan pada prinsip operasi pemelihara perdamaian PBB, penerapan kunci keberhasilan operasi pemelihara perdamaian PBB serta pengelolaan misi pemelihara perdamaian PBB secara baik.

Dalam hal ketaatan pada prinsip dasar operasi pemelihara perdamaian PBB yaitu: consent of the parties, impartiality, dan non-use of force except in self-defense and defense of the mandate (persetujuan para pihak yang terlibat, tidak memihak dan tidak menggunaan kekerasan kecuali dalam hal membela diri dan mempertahankan mandat), secara umum Indonesia sudah mengimplementasikannya dengan baik consent of the parties (persetujuan para pihak yang bertikai) dikarenakan Indonesia

senantiasa mengirimkan pasukannya pada setiap misi PBB yang mendapatkan persetujuan dari pihak-pihak utama dalam konflik serta menolak semua keputusan sepihak yang diambil di luar kerangka PBB.

Begitu juga dengan impartiality, imparsialitasbermakna bahwa misi pemelihara perdamaian dalam melaksanakan mandatnya tanpa memihak atau curiga pada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Akan tetapi berkaitan dengan fakta bahwa personel TNI setelah masa reformasi steril dari politik domestik, namun demikian diharapkan jangan sampai menghilangkan kesadaran tentang pentingnya kemampuan dan pemahaman secara politik maupun analitik terutama untuk memahami situasi yang ada di daerah penugasan dalam mendukung implementasi dari consent of the parties dan impartiality.

Prinsip ketiga adalah “non-use of force except in self-defense and defense of the mandate”. Penggunaan kekuatan hanya dilakukan sebagai upaya membela diri serta mempertahankan mandat yang diberikan. Sampai saat ini kontingen Indonesia senantiasa dapat menepati prinsip ke tiga ini berkal pelaksanaan latihan yang terencana dan dilaksanakan dengan baik sebelum melaksanakan operasi pemelihara perdamaian.

Berkaitan dengan penerapan tiga kunci keberhasilan operasi pemelihara perdamaian PBB yaitu: legitimasi, kredibilitas dan promosi kepemilikan lokal, Indonesia senantiasa berusaha memelihara ketiga hal tersebut melalui pengawasan terhadap kualitas dan perilaku dari personil yang terlibat dalam operasi tersebut, upaya meningkatkan kemampuan yang dimiliki oleh pasukan serta berusaha memupuk kepercayaan dan kerjasama antara aktor-aktor Nasional di tempat penugasan tersebut.

Pengelolaan yang baik sangat menentukan peningkatan kualitas dari misi pemelihara perdamaian tersebut. Hal ini didapatkan melalui dukungan pemerintah dalam pengembangan misi pemelihara perdamaian, manajemen sumber daya manusia dan kerjasama internasional dalam mengembangkan misi pemelihara perdamaian. Dukungan pemerintah melalui komitmen yang kuat dalam mendukung pengembangan misi pemelihara perdamaian sebagai bagian dari investasi penting Negara merupakan hal penting yang sangat diperlukan. Dukungan ini dapt berupa pembangunan peacekeeping training center serta menyiapkan peralatan dan persenjataan yang memadai. Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam membangun peacekeeping training center dibandingkan negara lain di sekitarnya, contohnya: Philippina (2002), Malaysia (2006) dan Bangladesh (1999). Perlengkapan dan persenjataan yang memadai juga meningkatkan peran industri pertahanan dalam negeri sebagai contoh dengan digunakannya senjata dan panser buatan PT Pindad di Lebanon.

Dalam hal manajemen sumber daya manusia, Indonesia belum memiliki stand by peacekeeping resources sebagaimana yang diamanatkan dalam UN Stand-by Arrangements System (UNSAS). Dalam hal rekrutmen personil Indonesia masih memberlakukan alokasi bagi masing-masing angkatan dimana di satu sisi dapat memunculkan

Page 15: JURNAL BANGKIT RAHMAT

sentimen antar angkatan, namun disisi lainnya dapat meningkatkan kerjasama personel antar angkatan dalam satu penugasan. Inovasi dari sistem rekrutmen dimana pasukan dan satuan terbaik yang diberangkatkan memiliki efek yang luas dalam meningkatkan profesionalisme TNI dalam konteks yang lebih luas.

Peningkatan manajemen pengetahuan juga dirasakan sangat perlu dalam rangka menghadapi perubahan tantangan dalam operasi pemelihara perdamaian di masa yang akan datang melalui upaya untuk mempererat sinkronisasi antara tantangan dalam penugasan-latihan-prospek penugasan kedepan.Hal ini dirasakan masih sangat kurang mengingat belum optimalnya proses sinkronisasi serta belum dimilikinya suatu peacekeeping training center oleh TNI.

Kerjasama internasional dalam forum-forum pemelihara perdamaian juga perlu ditingkatkan dalam rangka memperkokoh eksistensi keberadaan Indonesia dalam peran pemelihara perdamaian, disamping itu juga dalam rangka menyebar luaskan nilai-nilai pemelihara perdamaian Indonesia dalam tataran Global.Dalam hal ini sangatlah memerlukan dukungan dari pemerintah dalam rangka membuka akses serta pengembangan kerjasama internasional tersebut.

Dukungan secara politis dari dalam negeri juga sangat diperlukan. Hal ini terkait dengan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi dalam misi pemelihara perdamaian. Hingga saat ini penerimaan masyarakat senantiasa positif terhadap misi pemelihara perdamaian tersebut, akan tetapi hal tersebut juga berpotensi berbalik arah apabila terjadi kegagalan dalam misi yang diemban atau bahkan terjadi kerugian personil maupun materiil dalam jumlah besar dalam pelaksanaan misi tersebut. Peran pemerintah maupun dukungan masyarakat sangatlah penting dalam memelihara potensi yang dimiliki oleh misi pemelihara perdamaian Indonesia dalam mendukung pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif.

Kesimpulan

Politik luar negeri Indonesia sangat dinamis dan bervariasi dari waktu ke waktu dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional serta sangat dipengaruhi oleh perbedaan kebijakan, gaya kepemimpinan dan pemikiran dari masing-masing pemimpin nasional yang menjabat semenjak awal berdirinya NKRI hingga saat ini. Dihadapkan dengan dinamika pelaksanaan politik luar negeri tersebut, misi pemelihara perdamaian Indonesia sebagai salah satu dari alat diplomasi, senantiasa memiliki peran penting dalam memperkokoh pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan posisi Indonesia dalam tataran Global.

Disamping itu misi pemelihara perdamaian Indonesia juga tetap menjaga konsistensi dalam mengimplementasikan konsep bebas aktif, dimana dalam setiap pengerahannya mencerminkan kebebasan dalam menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun

partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Semakin terkonsolidasinya demokrasi di Indonesia danfakta bahwa Indonesia merupakan Negara dengan populasi umat Islam terbesar di Dunia serta sejarah panjang serta posisi penting Indonesia dalam GNB mendorong peningkatan soft power Indonesia dalam tataran Global. Hal ini juga disertai dengan meningkatnya kuantitas hard power dalam konteks misi pemelihara perdamaian. Kedua hal tersebut sangatlah berpotensi dalam mendongkrak smart power Indonesia untuk memperkokoh posisi Indonesia dalam tataran Global.

Dalam mewujudkan smart power yang kokoh tersebut diperlukan suatu Sinergi antara eksploitasi potensi soft power yang dimiliki oleh Indonesia agar dapat meningkatkan persepsi positif dunia Internasional untuk membuka akses bagi peran aktif Indonesia dalam upaya penyelesain isu-isu serta konflik internasional melalui jalur diplomatik dan diperkokoh dengan pengerahan hard power melalui misi pemelihara perdamaian. Dalam pengerahan misi pemelihara perdamaian tersebut juga harus disertai dengan harmonisasi antara kuantitas dan kualitas dengan pertimbangan pencapaian keuntungan yang optimal bagi kepentingan nasional.

Daftar Referensi

Abdulgani, R. (1978). Nationalism,Pancasila,Soekarno. In H. Soebadio, & C. A. Sarvaas (Ed.), Dynamics of Indonesian History. New York: North Holland Publishing Company.

Bellamy, W. G. (2004). Understanding Peacekeeping. Cambridge: Polity.

Berridge, G. R. (2010). Diplomacy: Theory and Practice (4th Edition ed.). Palgrave Macmillan.

Brent D. Ruben, L. S. (1998). Communication and Human Behaviour. Allyn and Bacon.

Chall, L. HAL. (1983). Sociological Abstracts. CSA Illumina

Creswell, J. W. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (3rd Edition ed.). Sage Publications Inc.

Effendy, Onong Uchjana. 1994. Komunikasi Teori dan Praktek, Jakarta: Grasindo.

Evans, B. G. (1991). Australia’s Foreign Relations in the World of the 1990s. Melbourne: Melbourne University Press.

Hatta, M. (1988). Mendayung Antara Dua Karang. Bulan Bintang

Henrikson, A. K. (2005). Niche Diplomacy in the World Public Arena: the Global ‘Corners’ of Canada and Norway. In M. jansen (Ed.), The New Public Diplomacy. New York: Palgrave Macmillan.

Joseph S. Nye, J. (2004). Soft Power. New York: Public Affairs.

Leifer, M. (1983). Indonesia's Foreign Policy. London: The Royal Institute of International Affairs.

Page 16: JURNAL BANGKIT RAHMAT

Mearsheimer, J. J. (2010). Structural Realism. In M. K. Tim Dunne (Ed.), International Relations Theories Discipline and Diversity (2nd ed). Oxford University Press.

Melissen, J. (2005). The New Public Diplomacy: Between Theory and Practice. In The New Public Diplomacy. New York:: Palgrave Macmillan.

Mulyana, D. (2005). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Rosda.

Murphy, A. M. (2005). Indonesia and The World. In J. Bresnan (Ed.), Indonesia The Great Transition. Rowman and Littlefield Publishers Inc.

Reid, A. J. (1986). The Indonesian National revolution 1945-1950. Westport, Connecticut.

Rogers, E. M. (1981). Communication Network: Towards a New Paradigm for Research. Free Pers.

Shanon, C. E. (1949). The Mathematical Theory of Communication. Urbana: University of Illinois

Sharp, HAL. (2005). Revolutionary States, Outlaw Regimes and the Techniques of Public Diplomacy. In J. Melissen (Ed.), The New Public Diplomacy. New York: Palgrave Macmillan.

Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. Refika Aditama

Snow, N. (2009). Rethinking Public Diplomacy. In Routledge Handbook of Public Diplomacy. New York: Routledge.

Sukma, R. (2006). Islam in Indonesian Foreign Policy. New York: Routledge.

Suryadinata, L. (1996). Indonesian Foreign Policy under Soeharto. Singapore: Times Academic.

Taliaferro, Jeffrey W. Lobell; Steven E.;(2009). Introduction. In Neoclassical Realism, The State, and Foreign Policy. Cambridge: Cambridge University Press.

Tuch, H. (1990). Communicating With the World: US Public Diplomacy Overseas. New York: St Martin’s Press.

United Nations. (1990). The Blue Helmets: A Review of United Nations peace-keeping. United Nations Department of Public Information.

United Nations Department of Peace Keeping Operations (DPKO) and UN Department of Field Support (DFS). (2008). United Nations Peacekeeping Operations, Principles and Guidelines. New York: United Nations.

Waltz, K. (1979). Theory of International Politics. Reading.

Weinstein, F. B. (2007). Indonesian Foreign Policy and The Dilemma of Dependence. Singapore: Equinox.