Jurnal anestesi abstrak

20
Elevasi Kepala Memperbaiki Tampakan Laring dengan Menggunakan Direk Laringoskop Abstrak Tujuan penelitian : Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perubahan posisi kepala terhadap tampakan laring pada subjek yang sama. Desain : Prospektif, secara acak, perbandingan silang tampakan laring. Pasien : Seratus enam puluh tujuh pasien dewasa yang bersedia dan dijadwalkan akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum. Intervensi : Setelah pasien diinduksi dan diberikan pelumpuh otot dan posisi kepala diekstensikan, pandangan laring di klasifikasikan menjadi tiga tingkatan berbeda berdasarkan posisi tingginya kepala. Sebuah bantal tiup yang dapat di kembang-kempiskan diletakkan di bawah kepala subjek sebelum induksi. Dikempiskan untuk menurunkan ketinggian elevasi atau dikembangkan untuk menghasilkan ketinggian 6 cm (sniffing position), atau ketinggian 10 cm (elevated sniffing position) pada keadaan random. Hasil : Insiden dari kesulitan laringoskop (grade ≥3) adalah 8,38% tanpa elevasi kepala, 2,39% pada sniffing position dan 1,19% pada elevated sniffing position .Elevasi kepala tidak berhubungan dengan buruknya tingkatan pada pasien manapun. 1

description

anestesi

Transcript of Jurnal anestesi abstrak

Page 1: Jurnal anestesi abstrak

Elevasi Kepala Memperbaiki Tampakan Laring dengan

Menggunakan Direk Laringoskop

Abstrak

Tujuan penelitian : Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perubahan posisi kepala

terhadap tampakan laring pada subjek yang sama.

Desain : Prospektif, secara acak, perbandingan silang tampakan laring.

Pasien : Seratus enam puluh tujuh pasien dewasa yang bersedia dan dijadwalkan akan

menjalani operasi elektif dengan anestesi umum.

Intervensi : Setelah pasien diinduksi dan diberikan pelumpuh otot dan posisi kepala

diekstensikan, pandangan laring di klasifikasikan menjadi tiga tingkatan berbeda berdasarkan

posisi tingginya kepala. Sebuah bantal tiup yang dapat di kembang-kempiskan diletakkan di

bawah kepala subjek sebelum induksi. Dikempiskan untuk menurunkan ketinggian elevasi

atau dikembangkan untuk menghasilkan ketinggian 6 cm (sniffing position), atau ketinggian

10 cm (elevated sniffing position) pada keadaan random.

Hasil : Insiden dari kesulitan laringoskop (grade ≥3) adalah 8,38% tanpa elevasi kepala,

2,39% pada sniffing position dan 1,19% pada elevated sniffing position .Elevasi kepala tidak

berhubungan dengan buruknya tingkatan pada pasien manapun.

Kesimpulan : sniffing position memperbaiki paparan glotic ketika tingkatan laringoskopik

lebih besar dari 1 dibandingkan dengan posisi kepala mendatar. Elevated sniffing position

memperbaiki pandangan agar lebih baik pada beberapa pasien. Karena elevasi kepala tidak

behubungan dengan tingkat kesulitan pada pasien manapun, elevated sniffing position harus

dipertimbangkan sebagai posisi awal sebelum direk laringoskop ketika kesultian dicurigai.

1. Introduksi

sniffing position (SP) merupakan posisi yang telah direkomendasikan untuk

melakukan direk laringoskop pada dewasa. Untuk mencapai SP, leher semestinya di

ekstensikan pada sendi atlanto-occipital [2]. Kelebihan dari SP dibandingkan ekstensi kepala

sederhana telah masih dipertanyakan [3-4]. Selain itu, kekokohan anatomi dari teori 3 sumbu

kesejajaran yang membenarkan penggunaannya juga sudah ditantang [5,6]. Sebaliknya SP

1

Page 2: Jurnal anestesi abstrak

dan elevasi kepala berhubungan dengan tampakan glottis yang lebih baik pada pasien dengan

tampakan awal yang sulit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui posisi kepala

optimal yang menggambarkan tampakan laring yang paling baik dan sehingga dapat menjadi

posisi awal kepala yang direkomendasikan pada direk laringoskop.

2. Metode

Setelah mendapat persetujuan dari Illinois Masonic Medical Center Institutional

Review Board, surat persetujuan (informed consent) telah didapatkan dari 170 pasien dewasa

dengan status ASA 1-3 yang telah dijadwalkan akan menjalani operasi elektif yang

membutuhkan intubasi endotracheal. Pasien yang memiliki riwayat intubasi sulit, gigi yang

ompong, penyakit refluks gastroesofageal, obesitas berat (Body Mass Index [BMI] > 35

kg/m2 atau dikhawatirkan adanya resiko aspirasi di eksklusi dari penelitian ini. Sebelum

evaluasi jalan nafas preanestesi beberapa parameter telah dicatat, diantaranya : IMT,

pembukaan mulut, jarak thyromental, jangkauan gerakan leher dan klasifikasi Mallampati

yang dimodifikasi. Monitoring sesuai standar ASA diterapkan dengan premedikasi yang

diberikan ialah midazolam (2mg) dan fentanyl (1.5 µg/kg) dan preoksigenasi yang diberikan

3-5 menit dengan pernafasan tidal volum dengan menggunakan face-mask yang ketat. Sebuah

bantal khusus yang dapat ditiup diletakkan dibawah kepala pasien, didesain untuk dapat

membuat elevasi kepala sedemikian rupa. Ketika bantal mengembang penuh mengakibatkan

elevasi kepala setinggi 10 cm dan ketika dikempiskan penuh tidak ada elevasi kepala (posisi

kepala datar). Obat induksi anestesi yang digunakan ialah propofol (2 mg/kg) diikuti dengan

rocuronium (0,6 mg/kg) dan manual.

Usaha laringoskopi digunakan menggunakan laringoskop machintosh, ukuran 3 atau 4

untuk menilai tampakan laring pada 3 posisi yang berbeda.:

1. Tidak ada elevasi kepala.ketika bantal khusus dikempiskan dan hanya sedikit ekstensi

kepala.

2. Sniffing position : elevasi occiput 6 cm (sekitar 35° fleksi kepala) dengan sedikit ekstensi

kepala.

3. Elevated sniffing position (ESP) : elevasi occiput 10 cm (>35° fleksi kepala) dengan sedikit

ekstensi kepala.

2

Page 3: Jurnal anestesi abstrak

Pengaplikasian ekstensi kepala dengan derajat yang sama pada 3 posisi kepala yang

berbeda. Seorang asisten memperhatikan tampakan dari profil kepala untuk membantu

menstandarisasi posisi wajah pada 3 posisi yang dipelajari.

Dengan kepala yang telah diposisikan sesuai dengan posisi awal, blade laringoskop

dimasukkan lalu tampakkan dinilai. Ketika laringoskop masih di dalam rongga mulut, bantal

diatur sedemikian rupa ke 2 posisi yang telah dipersiapkan lalu tampakannya dinilai. SP dan

ESP di dilakukan dengan cara mengembangkan bantal khusus tersebut sesuai dengan

ketinggian yang diinginkan dan penggaris digunakan untuk memastikan ketinggian tersebut.

Pengacakan urutan pengembangan tinggi bantal dengan cara menetapkan penerapan

secara acak dengan menggunakan metode komputerisasi, amplop tertutup berisi 1 kartu dari 6

kemungkinan urutan pada saat informed consent pasien didapatkan. Selama preoksigenasi,

amplop dibuka dan urutan elevasi kepala diketahui pada saat itu. Untuk mengklasifikasikan

tampakan laring, sistem tingkatan Cormack dan lehane’s dengan modifikasi benumof’s

digunakan.

1. Grade 1a: Seluruh pita suara, termasuk comisura anterior dapat dilihat.

Grade 1b: ketika hanya sebagian (tidak seluruh) pita suara terlihat. Rentang skor dari 1.1

(90% pita suara terlihat) sampai 1.9 (hanya ketika 10% terlihat).

2. Grade 2: Hanya arytenoid yang dapat dilihat, dan tidak ada bagian dari pita suara terlihat.

3. Grade 3: Hanya epiglottis terlihat

4. Grade 4: Epiglotis tidak dapat terlihat

3

Page 4: Jurnal anestesi abstrak

Tampakan pada tingkatan tersebut tidak

menggunakan teknik External Laryngeal

Manipulation (ELM). Tiga laringoskopis yang

melakukan prosedur penelitian telah menjalani

pelatihan untuk memakai gaya angkat yang sama

pada laringoskop selama penelitian ini. Dasar

penelitian ini ialah untuk menjaga daya angkat

laringoskopis pada 3 posisi kepala yang berbeda.

Jika ELM atau peningkatan daya angkat

laringoskop diperlukan untuk visualisasi yang

lebih baik (tingkat 3 atau 4 pada semua posisi),

maneuver ini dilakukan setelah tingkatan

penglihatan dinilai pada ke-3 posisi. Sebuah serat

optik yang fleksibel dan pada jalan nafas yang

sulit selalu dibutuhkan. Penggunaan ELM,

keperluan untuk mengguanakan stylet atau

sebuah introducer, perlunya untuk meningkatkan

daya angkat laringoskop dan perlunya untuk

visualisasi fiberoptic seluruhnya dicatat. Insiden

dari laringoskop sulit (didefinisikan tingkatan

laringoskop tingkat 3 atau 4) pada setiap posisi

kepala dicatat.

2.1 Analisis Statistik

Software G-Power versi 3.1 digunakan untuk melakukan analisis sampel [ 13 ] .

Semua analisa statistik lain dilakukan dengan

menggunakan software SPSS versi 19.0 (SPSS, Chicago,Ill). Apriori daya analisis

menunjukkan bahwa minimal 164 subjek akan diperlukan untuk β dari 0,2 dan α 0,5 , dan

dengan asumsi ukuran efek dari 0,1 di Tampilan laringoskopi. Untuk mengimbangi kesalahan

, 170 subyek yang terdaftar. Data demografi ditampilkan sebagai rata-rata ± SD atau / dan

jumlah. Analisis statistic laringoskopi melihat posisi elevasi kepala vs adalah dilakukan

dengan SPSS Tabulasi Frekuensi , tes χ2 ( rasio kemungkinan ), dan d uji Somer itu .

Signifikansi statistik diterima dengan P b .05

4

Page 5: Jurnal anestesi abstrak

Gambar. 1 3 posisi kepala disimulasikan. Kepala dielevasikan menggunakan bantal tiup yang

ditempatkan di bawah tengkuk subjek, dan tinggi elevasi dikonfirmasi oleh pemeriksa. Posisi

kepala dibagi menjadi (A) tidak ada elevasi kepala, hanya ekstensi kepala sedikit, dan (B)

elevasi kepala 6 cm dengan ekstensi kepala sedikit. Elevasi kepala menyebabkan fleksi leher

pada dada, dan (C) elevasi kepala 10 cm (leher lebih fleksi) dengan ekstensi kepala sedikit.

Sisipan: Dampak dari perubahan ketinggian kepala yang berurutan pada pandangan

laringoskopi didapatkan dari salah satu subjek. Tanpa elevasi kepala (A), hanya epiglotis

dapat dilihat. Elevasi enam sentimeter (B) terkait dengan perbaikan tampakan. Corniculate

dan bagian paling belakang pita suara bisa dilihat. Elevasi sepuluh sentimeter (C) dikaitkan

dengan perbaikan lebih lanjut dari derajat laringoskopi. Setidaknya 90% dari pita suara dapat

divisualisasikan.

3.Hasil

Seratus tujuh puluh pasien terdaftar dalam penelitian ini. Tabel 1 merangkum data

demografi dari pasien penelitian yaitu usia, jenis kelamin, BMI, klasifikasi Mallampati, dan

jarak thyromental. Tiga subjek dikeluarkan dari analisis karena kesulitan teknis pada saat

laringoskopi yang melibatkan peninggian bantal atau kebutuhan untuk mereposisi atau

melepaskan blade laringoskop. Dengan demikian, data diperoleh dari 167 pasien.

Tabel 1. Data demografis pada 167 pasien penelitian.

Tabel 1 Data demografi pada 167 pasien

Umur, y 41,71 ± 13,7 (18-87)

Jenis kelamin Laki-laki 92 (55,1)

Perempuan 75 (44,9)

IMT(kg/m²) 29,3 ± 4,6 (18-35)

Mallampati skor 1 83 (49,7)

2 61 (36,5)

3 23 (13,8)

Jarak tiromental ≤ 6 cm 12 (7,2)

> 6 cm 155 (92,8)

Pembukaan mulut ≥ 3 jari 167 (100)

< 3 jari 0 (0)

Ruang gerak atlanto-

oksipital

Normal 166 (99,4)

Terbatas (<35°) 1 (0,6)

5

Page 6: Jurnal anestesi abstrak

Data yang ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi atau sebagai persentase.

Skor tingkatan penglihatan laringoskopi di 3 posisi ketinggian kepala yang berbeda

tercantum dalam Tabel 2. Analisis Chi-square, berdasarkan distribusi frekuensi nilai-nilai

laringoskopi, mengungkapkan bahwa pandangan laringoskopi bertambah dengan

meningkatnya ketinggian kepala dibandingkan ekstensi kepala sederhana tanpa elevasi

kepala. Insiden laringoskopi sulit (derajat ≥3) adalah 8.38% tanpa elevasi kepala, 2,39% di

SP, dan 1,19% di ESP (P < 0.0001). Kepala elevasi (pada SP atau ESP) keduanya

menghasilkan tampakan yang lebih baik dari pada

Tabel 2. Derajat Laringoskopi Cormack dan Lehane yang dimodifikasi oleh Benumof

dan Cooper pada 3 posisi kepala yang berbeda pada 167 pasien

Tingkat laringoskop

1 (1a) 1,1-1,9 (1b) 2 3 4

Ekstensi kepala sederhana 0 cm

elevasi kepala

24(14,4) 73 (43,7) 56 (33,5) 14 (8,4) 0 (0)

SP elevasi kepala 6 cm 58 (34,7) 79 (47,3) 26 (15,6) 4 (2,4) 0 (0)

ESP elevasi 10 cm 78 (46,7) 77 (46,7) 10 (6,0) 2 (1,2) 0 (0)

posisi kepala yang lebih rendah (221 dari 334 elevasi [66%]) atau nilai yang sama di

ketinggian yang tersisa (113 dari 334, atau 34%). Elevasi kepala tidak berhubungan dengan

perburukan tampakan pada satu pasienpun. Dari 26 pasien (52 elevasi dari 113 memiliki nilai

yang sama dengan kepala yang dielevasikan), 24 adalah tingkatana 1a pada posisi kepala

datar di antaranya tidak ada perbaikan lebih lanjut yang diharapkan dengan elevasi kepala.

Sisa 2 pasien pada tingkat 3 di ketiga posisi. Tidak ada tingkatan 4 dari pandangan

laringoskopi ditemui dalam pasien penelitian ini. Dengan tidak ada elevasi kepala (hanya

ekstensi kepala sederhana), 24 pasien memiliki tampakan tingkat 1a (14,4%), 73 pasien

memiliki tampakan tingkat 1b (43,7%), 56 pasien memiliki tampakan tingkat 2 (33,5%), dan

14 pasien tampakan tingkat 3 (8,4%). Saat tampakan laringoskopi pada tingkat 1a dengan

ekstensi kepala sederhana, tidak ada perubahan tingkatan yang diperoleh di salah satu dari 2

posisi lainnya. Namun, ketika ekstensi kepala sederhana pada tingkat 1b, SP memperbaiki

tampakan pada 61 pasien (83,6%) dan ESP menghasilkan perbaikan pada 64 pasien (87,7%)

6

Page 7: Jurnal anestesi abstrak

bila dibandingkan dengan SP atau posisi kepala sederhana. Pada 56 pasien dengan tampakan

tingkat 2 dengan ekstensi kepala sederhana, SP memperbaiki tingkat tampakan pada 40

pasien (72%). Dalam 16 pasien tanpa perbaikan dengan SP, ESP memperbaiki tampakan

pada 14 pasien, dan pada pasien tersebut trakea dapat di intubasi dengan ESP. Empat belas

pasien (8,4%) merupakan kelompok laringoskopi yang sulit (derajat ≥3) pada pasien tersebut

hanya epiglotis dapat terlihat selama ekstensi kepala sederhana. Sniffing position dikaitkan

dengan tampakan yang lebih baik pada 10 pasien (74%). Elevated Sniffing position

menghasilkan perbaikan lebih lanjut pada 2 dari mereka [dikaitkan dengan tampakan yang

lebih baik di 12 dari 14 pasien laringoskopi sulit (85,7%) bila dibandingkan dengan ekstensi

kepala sederhana]. Sisipan pada Gambar. 1A-C menunjukkan tampakan laringoskopi 1 dari 2

pasien yang tingkat tampakannya sebagai derajat 3 pada posisi kepala datar, dan perbaikan

tampakan dapat dicapai pada SP dengan perbaikan lebih lanjut pada ESP.

Trakea semua subjek berhasil diintubasi setelah evaluasi di semua 3 posisi. Tidak ada insiden

intubasi ke esofagus atau desaturation oksihemoglobin yang tercatat. Pada 2 pasien tingkat 3

dimana tidak ada perbaikan yang tercatat pada SP dan 6 pasien yang hanya arytenoids yang

terlihat pada SP (tingkat 2), intubasi trakea hanya bisa dicapai dalam ESP, yang membawa

bagian dari cords yang dapat dilihat (derajat 1b, 1,9 skor). Pada 2 pasien, satu tampakan

tingkat 3 diperoleh pada 3 posisi. Pada 1 pasien, ELM digunakan dalam ESP untuk

mengubah tampakan ke tingkat 2. intubasi trakea kemudian dicapai dengan bantuan sebuah

introducer tabung trakea. Pada pasien lain, laryngoscopist merasa bahwa elevasi melebihi

kapasitas dari bantal tiup kami mungkin lebih bermanfaat. Ketika oksiput lebih dielevasikan

dengan tangan asisten, tampakan berubah menjadi tingkat 2, dan trakea diintubasi dalam

posisi ini. Ketika diukur, oksiput pasien ini adalah 12 cm di atas permukaan meja.

4.Diskusi

Elevasi kepala tidak memperburuk paparan laring dalam setiap pasien dalam penelitian ini.

Dalam kebanyakan kasus, SP menghasilkan tampakan dan elevasi kepala yang lebih baik,

lebih tinggi dari itu dibutuhkan untuk mencapai SP, dan mengakibatkan visualisasi yang lebih

baik di beberapa subjek. Hanya sedikit penelitian yang meneliti dengan seksama bagaimana

perubahan posisi kepala mempengaruhi visualisasi laringoskopi selama DL, yang sebagian

besar memiliki keterbatasan serius yang membuat hasil mereka tidak dapat disimpulkan.

Schmitt dan Mang [8] menunjukkan bahwa elevasi kepala melebihi SP memperbaiki

visualisasi laring ketika tampakan tingkat 3 ditemui dengan SP. Penulis, bagaimanapun,

secara bersamaan melakukan 3 manuver untuk memperbaiki tampakan (elevasi kepala,

7

Page 8: Jurnal anestesi abstrak

peningkatan gaya angkat blade, dan ELM). Meskipun mereka melaporkan perbaikan

tampakan di 19 dari 21 pasien, adalah mustahil untuk mengisolasi hanya efek elevasi kepala

pada perbaikan ini. Peningkatan gaya angkat dan ELM (jika diperlukan) hanya diizinkan

setelah menentukan derajat tampakan, sehingga hasilnya hanya mencerminkan dampak

perubahan posisi kepala. Hochman dkk [14] mempelajari tampakan laring pada 3 posisi

kepala dan leher dan melaporkan paparan laring yang lebih baik dengan elevasi kepala.

Penulis menggunakan besi laringoskop yang jarang digunakan, dan nomenklatur yang

mereka gunakan untuk setiap posisi kepala membingungkan. Tidak ada titik akhir untuk

posisi tertentu, sehingga sulit untuk membedakan mana posisi yang benar-benar merupakan

SP yang tepat. Dalam studi lain, Levitan dkk [15] menggunakan kamera vidio untuk terus

merekam perubahan dalam tampilan laring saat mengganti posisi kepala dari datar ke elevasi

maksimal pada 7 mayat manusia segar. Peneliti menemukan bahwa peningkatan elevasi

kepala memperbaiki paparan laring pada semua kadaver. Tidak ada upaya pengacakan posisi

kepala, bagaimanapun, setidaknya 30% dari pita suara bisa divisualisasikan (tingkat

tampakan 1b) di posisi kepala datar pada semua kadaver. Kasus ini diragukan, seperti yang

dinyatakan penulis, seberapa efektif elevasi kepala dapat di contoh ketika benar-benar

diperlukan (derajat 3 atau 4).

Park dkk [16] membandingkan tampakan laringoskopi yang diperoleh tanpa bantal

dengan yang diperoleh menggunakan tinggi bantal 3, 6, dan 9 cm menemukan tampakan

yang diperoleh dengan tinggi bantal bantal 9 cm lebih unggul dibandingkan yang lain. Para

penulis menilai 4 tampakan berdasarkan 4 sisipan laringoskop yang berbeda (mereka harus

menempatkan atau menyingkirkan bantal sebelum setiap penilaian), yang bisa mengubah

posisi akhir blade selama setiap tindakan. Penggunaan bantal tiup memungkinkan penilaian

tampakan laringoskopi di posisi yang berbeda dengan penyisipan tunggal untuk menghindari

perubahan yang mungkin terjadi karena pengulangan laringoskopi dan untuk menurunkan

respon stres dan trauma yang mungkin terjadi dengan masing-masing tindakan.

Adnet dkk [3] melakukan studi MRI kepala dan leher dalam 3 posisi yang berbeda

pada 8 relawan terjaga dan menyimpulkan bahwa baik kepala datar atau SP tidak dikaitkan

dengan penyelarasan sumbu oropharyngolaryngeal. Harusnya tampakan laringoskopi

menghasilkan hasil yang sama, akan tetapi, SP tidak menunjukan kelebihan. Kepala subyek

tidak berada pada SP yang tepat [17], dan tidak ada laringoskopi yang pernah mencoba

(karena subjek relawan terjaga). Karena melakukan DL merupakan langkah kunci dalam

menyelaraskan 3 sumbu [18], kesimpulan penulis tidak dapat ditegaskan.

8

Page 9: Jurnal anestesi abstrak

Dalam sebuah penelitian selanjutnya [4], pada kelompok yang sama peneliti

membandingkan SP dengan ekstensi kepala sederhana dan tidak menemukan perbedaan

dalam visualisasi laring pada kebanyakan pasien. Akan tetapi para penulis melaporkan

visualisasi yang lebih baik pada pasien obesitas dan pasien dengan ekstensi leher terbatas

pada SP. SP bermanfaat pada intubasi berpotensi sulit, dan tidak perlu untuk intubasi yang

lebih mudah [19]. Posisi kepala yang tepat mungkin tidak diperlukan bila tampakan pada

tingkat 1a dalam posisi kepala datar (karena tidak ada perbaikan lebih lanjut pada pasien yang

telah diharapkan atau dicapai tampakan yang sempurna). Pengaruh posisi yang tepat secara

instrumental, walaupun, ketika paparan yang sulit diantisipasi, misalnya, pada pasien obesitas

dan pasien dengan ekstensi leher terbatas, pada kedua kelompok dilaporkan oleh Adnet dkk

[4] mendapatkan keuntungan dari SP.

Mekanisme elevasi kepala (fleksi leher) menyebabkan perbaiakan pandangan selama

ekstensi leher, terjadi perpindahan anterior glotis, pergerakan laring menjauhi garis

penglihatan. Fleksi leher membuat laring bergerak keposterior, membawanya ke tampakan

yang lebih baik dan dengan usaha lebih sedikit [14]. Fleksi leher juga meningkatkan rentang

gerakan pada sendi atlanto-oksipital, dan memungkinkan lebih banyak ekstensi pada sendi

tersebut[20].

Perlu dicatat pada 2 pasien, hasil tampakan pada tingkat 3 pada 3 posisi. Kegagalan

untuk memperbaiki tampakan pada beberapa pasien menunjukkan terdapat beberapa

keterbatasan untuk memperbaiki tampakan yang potensial pada elevasi kepala. Dari 2 pasien,

1 pasien memiliki keterbatasan gerakan tulang belakang leher dan sangat membatasi ekstensi

atlanto-oksipital, dan pasien lainnya terdapat bantalan lemak submandibular yang mencegah

perpindahan lidah karena keterbatas ruang submandibula. Kesulitan serupa sebelumnya

dilaporkan meskipun posisi kepala tepat pada kondisi yang serupa [18,21]. Selain itu, pasien

tertentu dengan keterbatasan kemampuan fleksi leher atau siapapun dengan fleksi leher

(kepala elevasi) merupakan kontraindikasi karena kondisi patologis ini tidak dapat

meninggikan kepalanya harus dipertimbangkan (diperlakukan) seperti yang diantisipasi

sebagai subyek yang sulit dilaringoskopi / intubasi. Sebuah poin penting dapat ditangkap dari

pasien yang mana ketika kepalanya di elevasikan lebih dari 10 cm didapatkan tampakan yang

lebih baik dan intubasi trakea menjadi mungkin. Kejadian ini menunjukkan pada populasi

pasien tertentu, semakin tinggi elevasi kepala diperlukan untuk visualisasi yang lebih baik

[8]. Laringoskopi Direk tidak boleh dianggap sebagai proses statis, dan modifikasi dalam

posisi kepala awal harus selalu dilakukan untuk merospon paparan yang sulit sampai

tampakan terbaik diperoleh [22]. Ketinggian bantal tiup (atau perangkat serupa) dapat

9

Page 10: Jurnal anestesi abstrak

menjadi tambahan yang berguna untuk mencapai tujuan ini, memungkinkan perubahan posisi

kepala dalam mencari tampakan terbaik tanpa perlu menambah atau mengurangi bantal,

selimut, atau sandaran kepala.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, pengukuran untuk gaya

angkat blade laringoskop itu tidak tersedia di kamar operasi kami. Para laryngoscopists dalam

penelitian kami, bagaimanapun, memiliki pelatihan sebelum menggunakan gaya angkat yang

sama dan selalu diingatkan untuk menggunakan usaha yang sama dengan tidak ada

perubahan dalam gaya angkat selama penelitian. Jika meningkatkan gaya angkat dianggap

perlu untuk visualisasi yang lebih baik, laryngoscopist menilai tingkatan pada pandangan

pertama dan setelah gaya angkat ditingkatkan. Selain itu, untuk mengurangi kesalahan pada

setiap perubahan gaya angkat yang terjadi, maka dilakukan pengacakan dari urutan posisi

kepala.

Kedua, DL dilakukan dengan blade Macintosh. Hasilnya belum tentu berlaku saat

blade yang berbeda digunakan dan posisi kepala terbaik dengan blade lain mungkin perlu

penyelidikan yang lebih lanjut. Posisi kepala terbaik untuk intubasi trakea dengan

videolaryngoscopy (laringoskopi tidak langsung) belum diteliti dan tidak dapat disimpulkan

dari hasil kami. Ketiga, pengaruh elevasi kepala yang lebih tinggi (lebih dari 10 cm) pada

tampakan laring tidak diteliti dalam penelitian ini. Elevasi yang lebih tinggi menghasilkan

tampilan yang lebih baik dan membuat intubasi mungkin pada 1 pasien. Kejadian ini hanya

sugestif dan elevasi kepala yang lebih tinggi membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.

Keempat, meskipun laryngoscopist tidak dapat melihat pada posisi kepala pertama, dia bisa

memberitahu urutan posisi berikutnya dengan memperhatikan pergerakan kepala ke atas atau

ke bawah. Ketidaktampakan pada ketiga posisi dapat dilakukan jika mata laryngoscopist itu

terlindung sebelum perubahan posisi dan ketika pelindung dilepas posisi baru diasumsikan.

Karena masalah keselamatan pasien, kami memilih untuk tidak melakukan perisai mata.

Ketidaktampakan tersebut secara teknis sulit dan mungkin mustahil ketika perubahan dan

efek yang terjadi di daerah anatomi yang sama. Kemungkinan mengambil foto dari

pandangan laringoskopi dalam 3 posisi dan kemudian di analisis oleh penilai yang tidak

melihat bisa memecahkan masalah ini. Kelima, tidak ada pasien kami memiliki BMI lebih

besar dari 35 kg / m2.

Mungkin, elevasi kepala optimal pada populasi pasien tersebut berbeda dari populasi

penelitian yang dipelajari (rata-rata BMI, 29,3 ± 4,6 kg / m2). Demikian pula,

menghubungkan ketinggian optimal (menghasilkan tampilan terbaik) dengan panjang leher

atau Sniffing Position lingkar leher tidak diselidiki dan mungkin perlu penelitian lebih lanjut.

10

Page 11: Jurnal anestesi abstrak

Sebagai kesimpulannya, SP dihubungkan dengan tampakan laring yang lebih baik

ketika tingkat tampakan lebih dari 1a dalam posisi ekstensi kepala sederhana. ESP dikaitkan

dengan perbaikan lebih lanjut tingkat laringoskopi di sebagian besar peserta. Karena

tampakan di ESP tidak kalah dalam setiap subjek tunggal dengan yang diperoleh dengan

sedikit atau tidak ada elevasi, posisi ini harus direkomendasikan sebagai posisi awal intubasi

sebelum DL pada orang dewasa.

Daftar Pustaka

[1] El-Orbany M, Woehlck H, Salem MR. Head and neck position for direct laryngoscopy.

Anesth Analg 2011;113:103-9.

[2] Horton WA, Fahy L, Charters P. Defining a standard intubating position using “angel

finder”. Br J Anaesth 1989;62:6-12.

[3] Adnet F, Borron SW, Dumas JL, Lapostolle F, Cupa M, Lapandry C. Study of the sniffing

position by magnetic resonance imaging. Anesthesiology 2001;94:83-6.

[4] Adnet F, Baillard C, Borron S, Denantes C, Lefebvre L, Galinski M, Martinez C, Cupa M,

Lapostolle F. Randomized study comparing the “sniffing position” with simple head

extension for laryngoscopic view in elective surgery patients. Anesthesiology

2001;95:836-41.

[5] Chou HC, Wu TL. A reconsideration of three axes alignment theory and sniffing position.

Anesthesiology 2002;97:753-4.

[6] Adnet F, Borron SW, Lapostolle F, Lapandry C. The three axes alignment theory and the

“sniffing position”: Perpetuation of an anatomical myth? Anesthesiology 1999;91:1964-5.

[7] Lebowitz PW, Shay H, Straker T, Rubin D. Shoulder and head elevation improves

laryngoscopic view for tracheal intubation in nonobese as well as obese individuals. J Clin

Anesth 2012;24:104-8.

[8] Schmitt HJ, Mang H. head and neck elevation beyond the sniffing position improves

laryngeal view in cases of difficult direct laryngoscopy. J Clin Anesth 2002;14:335-8.

[9] Mallampati SR, Gatt SP, Gugino D, Desai SP, Waraksa B, Friberger D, Liu PL. A clinical

sign to predict difficult tracheal intubation: a prospective study. Can Anaesth Soc J

1985;32:429-34.

[10] Samsoon GL, Young JR. Difficult tracheal intubation: a retrospective study. Anaesthesia

1987;42:487-90.

[11] Benumof JL, Cooper SD.Quantitative improvement in laryngoscopic view by optimal

external laryngeal manibulation. J Clin Anesth 1996;8:136-40.

11

Page 12: Jurnal anestesi abstrak

[12] Cormack RS, Lehane J. Difficult tracheal intubation in obstetrics. Anaesthesia

1984;39:1105-11.

[13] Faul F, Erdfelder E, Buchner A, Lang A-G. Statistical power analyses using G*Power

3.1: tests for correlation and regression analyses. Behav Res Methods 2009;41:1149-60.

[14] Hochman II, Zeitels SM, Heaton JT. Analysis of the forces and position required for

direct laryngoscopic exposure of the anterior vocal folds. Ann Otol Rhinol Laryngol

1999;108:715-24.

[15] Levitan RM, Mechem CC, Ochroch EA, Shofer FS, Hollander JE. Head-elevated

laryngoscopy position: improving laryngeal exposure during laryngoscopy by increasing

head elevation. Ann Emerg Med 2003;41:322-30.

[16] Park S-H, Park H-P, Jeon Y-T, Hwang J-W, Kim J-H, Bahk J-H. A comparison of direct

laryngoscopic views depending on pillow height. J Anesth 2010;24:526-30.

[17] Benumof JL. Comparison of intubating positions: the end-point for position should be

measured. Anesthesiology 2002;97:750.

[18] Kitamura Y, Isono S, Suzuki N, Sato Y, Nishino T. Dynamic interaction of craniofacial

structures during head positioning and direct laryngoscopy in anesthetized patients with

and without difficult laryngoscopy. Anesthesiology 2007;107:875-83.

[19] Khorasani A, Candido KD, Saatee S, Ghaleb AH. To “sniff” or not to “sniff”: that is the

question. Anesthesiology 2002;97:752-3.

[20] Takenaka I, Aoyama K, Iwagaki T, Ishimura H, Kadoya T. The sniffing position

provides greater occipito-atlanto-axial angulation than simple head extension: a

radiological study. Can J Anaesth 2007;54:129-33.

[21] Calder I, Calder J, Crockard HA. Difficult direct laryngoscopy in patients with cervical

spine disease. Anaesthesia 1995;50:756-63.

[22] Murphy MF. Bringing the larynx into view: a piece of the puzzle. Ann Emerg Med

2003;41:338-41

12