Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

139
Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan Agraria (1) Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum: Perspektif HAM Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat di Indonesia Tekanan Populasi, Kepadatan Agraris, dan Ketersediaan Lahan pada Komunitas Petani & Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase dalam Lintasan Sejarah: Menelusuri Sejarah Perubahan Agraria di Malang Selatan Mohamad Shohibuddin 1-12 Agus Suntoro 13-25 Agung Wibowo 26-41 Dwi Wulan Pujiriyani, Endriatmo Soetarto, Dwi Andreas Santosa, Ivanovich Agusta 42-53 Grace Leksana 54-68 Diskursus Teori tentang Peran Perempuan dalam Konflik Agraria Reaktualisasi Perjuangan Nahdlatul Ulama dalam Mewujudkan Kedaulatan Sumber Daya Agraria (Studi Gerakan Demokrasi Radikal pada FNKSDA) Rekonstruksi Pemikiran Sajogyo tentang Kemiskinan dalam Perspektif Agraria Kritis Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi Masyarakat Terdampak Tsunami Selat Banten Tahun 2018 & Sartika Intaning Pradhani Asri Widayati & Suparjan 84-98 Amir Mahmud 99-111 Westi Utami, Yuli Ardianto Wibowo, Muhamad Afiq 112-128 69-83 Anggiat Perdamean Parsaulian Sudjito 129-135 Masalah Tumpang Tindih Sertipikat Hak Milik atas Tanah di Kota Banjarbaru (Putusan Nomor: 24/G/2014/PTUN.BJM) & Volume 5 Nomor 1 Mei 2019 ISSN 2580-2151 (Online) Jurnal Agraria dan Pertanahan Volume 5 Nomor 1 Halaman 1-135 Yogyakarta Mei 2019 ISSN 2442-6954 (Cetak) ISSN 2580-2151 (Online)

Transcript of Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

Page 1: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

Memahami dan MenanggulangiPersoalan Ketimpangan Agraria (1)

Penilaian Ganti Kerugian dalamPengadaan Tanah untuk Kepentingan

Umum: Perspektif HAM

Asal Usul Kebijakan PencadanganHutan Adat di Indonesia

Tekanan Populasi, Kepadatan Agraris,dan Ketersediaan Lahan pada

Komunitas Petani

&

Ketimpangan dan KontinuitasPatronase dalam Lintasan Sejarah:

Menelusuri Sejarah Perubahan Agrariadi Malang Selatan

Mohamad Shohibuddin1-12

Agus Suntoro13-25

Agung Wibowo26-41

Dwi Wulan Pujiriyani, EndriatmoSoetarto, Dwi Andreas Santosa,

Ivanovich Agusta42-53

Grace Leksana54-68

Diskursus Teori tentang Peran Perempuandalam Konflik Agraria

Reaktualisasi Perjuangan NahdlatulUlama dalam Mewujudkan KedaulatanSumber Daya Agraria (Studi GerakanDemokrasi Radikal pada FNKSDA)

Rekonstruksi Pemikiran Sajogyo tentangKemiskinan dalam PerspektifAgraria Kritis

Analisis Spasial untuk Lokasi RelokasiMasyarakat Terdampak TsunamiSelat Banten Tahun 2018

&

Sartika Intaning Pradhani

Asri Widayati & Suparjan84-98

Amir Mahmud99-111

Westi Utami, Yuli Ardianto Wibowo,Muhamad Afiq112-128

69-83

Anggiat Perdamean Parsaulian Sudjito129-135

Masalah Tumpang Tindih Sertipikat HakMilik atas Tanah di Kota Banjarbaru(Putusan Nomor: 24/G/2014/PTUN.BJM)

&

Volume 5 Nomor 1 Mei 2019 ISSN 2580-2151 (Online)

Jurnal Agraria dan Pertanahan

Volume 5 Nomor 1Halaman

1-135

Yogyakarta

Mei 2019

ISSN 2442-6954 (Cetak)

ISSN 2580-2151 (Online)

Page 2: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti
Page 3: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

Jurnal Bhumi pada edisi kali ini (Volume 5Nomor 1 Mei 2019) kembali hadir dengan sedikitperubahan. Pada edisi sebelumnya, Jurnal Bhumiselalu memuat satu artikel review buku, namunpada kali ini dan seterusnya, redaksi sengajamenghilangkan rubrik review buku, karena inginfokus pada penerbitan artikel-artikel ilmiah agra-ria, khususnya fokus pada hasil-hasil penelitian.Selain itu, edisi kali ini juga mengembalikan for-mat dan ukuran jurnal yang sebelumnya sempatsatu edisi berubah menjadi lebih kecil, dan untukedisi ini dan selanjutnya akan tetap kembali padaukuran semula, yakni A4, agar tampilannya tersajilebih besar dan elegan serta mampu memuatjumlah artikel lebih banyak.

Volume 5 Nomor 1 mengangkat beberapa isuaktual persoalan agraria dan kebijakan denganmemberikan beberapa perspektif yang cukup luasdan menarik. Ada 10 artikel yang hadir denganberbagai isu yang berbeda namun dibungkus dalamsatu isu besar yakni kebijakan agraria Indonesiadalam semangat menemukan solusi atas berbagaihal yang terjadi di masyarakat. Beberapa artikelhadir sangat akseleratif atas berbagai persoalan dilapangan, dan solutif di dalam melihat persoalanagraria sebagai sebuah persoalan dan agenda bangsa.Ukuran solutif itu tampak dalam usulan kebijakanyang konkrit dan tawaran serta temuan yangbernas di dalam melihat persoalan, baik padakonteks ketimpangan, problem di dalam kebijakan(pengadaan tanah, masyarakat adat, problemdeagrarianisasi, dan kritik atas praktik kebijakan)dan persoalan gap penguasaan lahan di masyarakat.

Pada edisi kali ini redaksi menurunkan sepuluhartikel terpilih yang melewati proses panjang, ma-sing-masing ditulis oleh (1) Mohamad Shohibuddin,yang mengangkat persoalan ‘MenanggulangiKetimpangan Agraria’. Persoalan ketimpanganselama ini menjadi isu yang tak berkesudahan, danhadirnya artikel ini memberi pencerahan kontribusiatau formulasi suatu kerangka kebijakan untukmenanggulangi dua jenis ketimpangan agraria di

PENGANTAR REDAKSI

yakni ketimpangan distribusi yang berarti kesen-jangan penguasaan tanah di antara berbagai kelasdalam sektor pertanian rakyat dan ketimpanganalokasi yang berarti kesenjangan peruntukan tanahdan sumber daya alam; (2) Agus Suntoro, yangmengangkat persoalan ganti kerugian di dalampengadaan tanah dalam perspektif HAM. KajianSuntoro cukup menarik karena menawarkan sesu-atu yang baru dalam melihat problem pengadaantanah yang selama ini menjadi persoalan yang tidakada ujungnya. Suntoro secara komprehesif dalamanalisisnya menawarkan beberapa alternatif per-baikan UU penadaan tanah, karena dari sana asalmuasal problem itu hadir; (3) Agung Wibowo,menghadirkan isu ‘Pencadangan Hutan Adat di In-donesia’. Kajian ini menjadi keniscayaan bagi masya-rakat adat yang berjuang mempertahankantanahnya dan berusaha “merebut pengakuan” darinegara. Usulan Wibowo dengan mencadangkan ta-nah dari hutan untuk masyarakat adat menjadi isuyang menarik bagi penyelesaian problem masyarakatadat selama ini; (4) Dwi Wulan Pujiriyani dkk, dalamartikelnya yang menarik menghadirkan persoalan‘Ketersediaan Lahan pada Komunitas Petani’. Isu inisangat dekat dengan semangat reforma agrariadimana persoalan pangan menjadi isu sentral, danpangan “hanya bisa diselesaikan dengan layak” jikapetani diberikan lahan yang cukup oleh “negara”untuk menyelematkan pangan masa depan bukandengan mendukung kebijakan deagrarianisasi; (5)Grace Leksana, menghadirkan kajian ‘Ketimpangandan Kontinuitas Patronase dalam SejarahPerubahan Agraria’. Lewat studi historis, Leksanamampu menunjukkan bagaimana patronasebermain bahkan hingga kini dalam praktikpenguasaan lahan di masyarakat. Studi ini relatifbaru di dalam melihat tanah dan patron dengananalisis historis yang menunjukkan benang merahdari satu periode ke periode berikutnya.

Dengan semangat yang sama, (6) Sartika IntaningPradhani menghadirkan ulasan yang menarik dalammelihat peran perempuan dalam pusaran konflik

Page 4: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

agraria. Perempuan dalam persoalan konflik agrariaadalah agen penting dalam perubahan yang secaraaktif memperjuangkan pengelolaan agraria yang adil.Pradhani menunjukkan point penting itu di dalampenyelesaian konflik agraria yang terjadi di berbagaiwilayah di Indonesia; (7) Asri Widayati dan Suparjan,mencoba mengangkat perjuangan komunitas/organisasi terkait Sumber Daya Alam yakni‘Perjuangan Nahdlatul Ulama dalam MewujudkanKedaulatan Sumber Daya Agraria’. Artikel Widayatimencoba kembali menegaskan bagaimana aktiviskaum nahdliyyin di dalam mengawal Sumber DayaAlam, khususnya perhatiannya pada berbagai kasusperampasan ruang hidup masyarakat yang menim-pa warga nahdliyyin di berbagai daerah. Atas realitasitu, kaum muda NU tidak lagi bergerak dengan kritik,tetapi menginisiasi dan memperjuangkan hak-hakwarganya; (8) Amir Mahmud, masih dalam semangatkajian yang sama menghadirkan ‘Pemikiran Sajogyotentang Kemiskinan dalam Perspektif Agraria Kritis’.Artikel ini membingkai pergerakan rakyat atas situasiyang dirasakan agar ada upaya lebih baik ke depan,yakni dengan menunjukkan bahwa kemiskinan dimasyarakat salah satu yang terpenting adalahketimpangan relasi. Kemiskinan tidak sematapersoalan ketimpangan penguasaan lahan, tetapi jugabagaimana relasi sosial ikut terlibat dalampelanggengan kemiskinan; (9) Westi Utama dkk,menghadirkan artikel yang cukup menarik tentangupaya penyelesaian masyarakat terdampak bencana‘Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi MasyarakatTerdampak Bencana’. Selama ini persoalanpenyelesaian masyarakat terdampak bencana cukuplamban dalam penanganannya, hal ini karenapersoalan ketersediaan lahan bagi masyarakat yangakan direlokasi untuk melanjutkan hidupnya. Artikelini memberikan tawaran sederhana namun aplikatif,yakni penyelesaian secara cepat dan tepat, serta efektifdalam menetukan pilihan-pilihan kebijakan relokasi;(10) Anggiat Perdamean Parsaulian dan Sudjitomenutup edisi ini dengan menghadirkan persoalanreal yang sering terjadi di masyarakat, yakni ‘Prob-lem Tumpang Tindih Sertipikat Hak Milik atas Tanah’.Lazim diketahui, persoalan ini tampak sederhananamun menjadi sumber konflik agraria di wilayahyang seharusnya privat, namun faktanya menjadipersoalan besar bagi negara karena upaya penyelesai-

annya tidak efektif. Tawaran artikel ini dalam setiappenanganan persoalan tersebut harus melakukanperubahan mendasar dengan memanfaatkan tek-nologi, agar jejak persoalan lebih mudah diatasi danmenjadi jelas akar persoalannya.

Itulah 10 artikel yang hadir untuk edisi kali inidengan melihat kompleksitas persoalan agraria diberbagai wilayah. Beberapa temuan dan tawarankebijakan dalam artikel ini semoga bisa dibacasebagai bagian dari sumbangan pemikiran parapeneliti/penulis, agar ke depan berbagai persoalanmampu diselesaikan secara efektif.

Atas hadirnya edisi ini, secara khusus ucapanterima kasih kami haturkan kepada reviewer mitrayang terlibat dalam volume 5 no. 1, yakni Prof. Dr.Hartono, DEA., DESS. (Fakultas Geografi Universi-tas Gadjah Mada), Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S.(Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN), JakaSriyana, S.E., M.Si., Ph.D. (Fakultas Ekonomi Uni-versitas Islam Indonesia), Subejo, Ph.D., (FakultasPertanian Universitas Gadjah Mada); Prof. Dr.Endriatmo Soetarto, M.A. (IPB University),Mohamad Shohibuddin, S.Ag., M.Si., Ph.D (Cand.)(IPB University dan Amsterdam University), LilisMulyani, S.H., MPIL (Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia), Noer Fauzi Rachman, Ph.D, MukminZakie, Ph.D (Universitas Islam Indonesia), Dr. Sutaryono, S.Si., M.Si., (Sekolah Tinggi PertanahanNasional), Sarjita, S.H., M.Hum. (Sekolah TinggiPertanahan Nasional), Ir. Slamet Muryono,M.Eng.Sc. (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional).

Terakhir, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada berbagai pihak yang telah bekerjamengelola Jurnal Bhumi, khususnya para editor,tenaga administrasi, dan reviewer. Tanpa kerja kerasmeraka semua edisi ini tidak akan mungkin bisahadir di tangan pembaca semua. Kepada para penu-lis kami ucapkan terima kasih pula atas kerjasa-manya dari awal sampai akhir, sehingga artikel-artikel ini dapat disajikan ke hadapan publik. Semo-ga edisi kali ini mampu memberikan banyak man-faat bagi para pembaca khususnya peminat studi-studi agraria secara luas.

Selamat membaca.

Redaktur Pelaksana,M. Nazir Salim

Page 5: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

1M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12

MEMAHAMI DAN MENANGGULANGI PERSOALANKETIMPANGAN AGRARIA (1)*

UNDERSTANDING AND OVERCOMING THE PROBLEM OFAGRARIAN INEQUALITY (1)

Mohamad ShohibuddinFakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB University)

Email: [email protected]

Abstract: This article offers two contributions to literature on agrarian inequality in Indonesia, namely aconceptual approach for understanding this phenomenon and its implication on policy formulation. Thef irst contribution includes a synthesis of some literature on various aspects of agrarian inequality. In addi-tion, two types of agrarian inequality are distinguished according to its locus of existence, i.e. inequality ofdistribution which refers to unequal land tenure among different classes within smallholding agriculturalsector, and inequality of allocation which refers to unequal allocation of land and other natural resourcesbetween small (family) farms and large (corporate) enterprises. The second contribution is formulation ofa policy framework to resolve these two types of agrarian inequality. First of all, the politics of agrarianresources allocation should be based on the principle of positive discrimination which favors smallholders’interests. Furthermore, to ensure this principle comes into reality, f ive schemes of tenure reform have tobe fully integrated, namely: (re)distribution, registration, recognition, devolution and restitution. Thisarticle divided into two parts. Part 1 will focus on the f irst contribution (conceptual approach); mean-while, the second contribution (policy formulation) will be further elaborated in Part 2.Keywords: agrarian inequality, land reform, politics of agrarian resources allocation, Indonesia.

Intisari: Dua kontribusi diajukan artikel ini pada kepustakaan mengenai ketimpangan agraria di Indone-sia, yaitu pendekatan konseptual untuk memahami gejala ketimpangan agraria ini dan implikasinya padapenyusunan kebijakan. Kontribusi pertama mencakup sintesis atas sejumlah literatur mengenai berbagaiaspek ketimpangan agraria. Selain itu, dua jenis ketimpangan agraria juga dibedakan berdasarkan locuskeberadaannya, yaitu ketimpangan distribusi yang berarti kesenjangan penguasaan tanah di antara berbagaikelas dalam sektor pertanian rakyat, dan ketimpangan alokasi yang berarti kesenjangan peruntukan tanahdan sumber daya alam lain antara usaha tani skala kecil (keluarga) dengan usaha skala besar (korporasi).Kontribusi yang kedua adalah formulasi suatu kerangka kebijakan untuk menanggulangi dua jenisketimpangan agraria di atas. Pertama-tama, politik alokasi sumber-sumber agraria harus didasarkan padaprinsip diskriminasi positif yang memihak kepentingan produsen kecil. Lalu, agar prinsip ini bisa terwujuddi dunia nyata, lima skema pembaruan tenurial berikut ini mesti diintegrasikan secara menyeluruh, yaitu:(re)distribusi, registrasi, rekognisi, devolusi dan restitusi. Artikel ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian 1akan membahas kontribusi yang pertama (pendekatan konseptual), sementara kontribusi yang kedua(formulasi kebijakan) akan dielaborasi lebih lanjut pada Bagian 2.Kata Kunci: ketimpangan agraria, land reform, politik alokasi sumber-sumber agraria, Indonesia.

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: January 4, 2019; Reviewed: May 4, 2019; Accepted: May 14, 2019.

To cite this article: Shohibuddin, M 2019, ‘Memahami dan menanggulangi persoalan ketimpangan agraria (1)’,Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 1-12.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.315

Copyright: ©2019 Mohamad Shohibuddin. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under a CreativeCommons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

* Karena keterbatasan ruang, redaksi akan menerbitkan artikel ini dalam dua edisi, Mei dan November 2019 (red.).

Page 6: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

2 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

A. Pendahuluan

Salah satu ironi terbesar pasca tumbangnya rezimotoriter Orde Baru adalah realitas berikut ini:demokratisasi politik yang diperjuangkan olehgerakan reformasi justru mengantarkan bangsa In-donesia pada kesenjangan sosial-ekonomi yangsemakin tajam. Memang, banyak kemajuan di bidangpolitik yang berhasil diwujudkan oleh gerakan ini,seperti pelaksanaan otonomi daerah, pembaharuansistem pemilu, reformasi sektor pertahanan dankeamanan, dan sebagainya. Namun, alih-alihmengantarkan pada tatanan demokrasi ekonomiyang kuat, semua kemajuan di bidang politik ini justruberkontribusi pada fenomena konsolidasi kekuatanoligarki serta akumulasi kekayaan pada segelintir elite.Dengan kata lain, gerakan reformasi politik justruturut menambah parah kondisi ketimpangan yangsudah ada di antara masyarakat.

Banyak studi telah mengupas fenomena pena-jaman ketimpangan kesejahteraan di era reformasiini. Namun, kebanyakan studi-studi itu berkutatpada isu kesenjangan ekonomi yang diperhitungkanterutama atas dasar ukuran pengeluaran (BankDunia 2016, Suryadarma et al. 2005) atau ukuranpendapatan (Megawati Institute 2017, Wicaksonoet al. 2017). Sementara, isu kesenjangan yang ditin-jau dari dimensi agraria cenderung absen dalamberbagai studi ketimpangan tersebut.1

Kecenderungan “buta agraria” dalam berbagaistudi ketimpangan di atas sebenarnya cukup meng-herankan. Sebab, bagi Indonesia yang perekono-miannya masih berciri ekstraktif, faktor sumber dayaalam memiliki peranan yang menentukan. Bukan sajaterhadap pertumbuhan ekonomi nasional, akan tetapijuga dalam akumulasi kemakmuran di antarasegelintir elite ekonomi atau, sebaliknya, dalamproduksi kemiskinan pada mayoritas penduduk.2

Besarnya peran faktor sumber daya alam terha-dap ketimpangan di tingkat nasional ini pernahditengarai oleh Joyo Winoto sewaktu menjabatKepala Badan Pertanahan Nasional (2005-2012).Menurutnya, kurang lebih 56% aset nasional yangterkait tanah, sebagian besar dalam bentuk perke-bunan, dikuasai oleh hanya sekitar 0,2% populasiIndonesia (Winoto 2007). Angka ketimpangan initernyata nyaris identik dengan proporsi simpananuang di lembaga perbankan nasional. Berdasarkandata Lembaga Penjamin Nasabah (per Oktober2017), sebanyak 56,87% dari total aset keuangandi bank-bank nasional ternyata dikuasai oleh hanya0,11% pemilik “rekening gendut” di atas Rp 2 miliar.

Kenyataan di atas mengisyaratkan bahwa aku-mulasi kekayaan pada segelintir orang kaya selamadua dasawarsa terakhir besar kemungkinan terkaitdengan sektor sumber daya alam. Atau tegasnya,sebagian besar kekayaan tersebut sangat boleh jadiberasal dari ekstraksi berbagai kekayaan alam yangterkandung di dalam perut bumi dan perairan In-donesia, seperti batu bara, komoditas perkebunan,kayu dan hasil hutan lainnya, minyak dan gas, dansebagainya.

Dengan demikian, hampir mustahil bisa mema-hami kondisi ketimpangan di Indonesia tanpamengaitkannya dengan ketimpangan di bidangagraria. Artikel ini, karena itu, disusun untuk mene-kankan aspek keagrariaan ini, dan dengan begituakan menutupi sebagian “blind spot” dalam studiketimpangan di Indonesia di era reformasi.3 Untukkonteks Indonesia, yang pertumbuhan ekonominyamasih sangat mengandalkan sektor sumber daya

1 Bahkan isu agraria ini juga sama sekali absen dalamstudi Prakarsa (2019) mengenai indeks kemiskinan yangdiklaim bersifat multi-dimensi. Dalam studi ini, indekskemiskinan diukur berdasarkan tiga kelompok indikator,yaitu kesehatan, pendidikan, dan standar hidup. Anehnya,di sini isu agraria tidak dipertimbangkan sebagai salah satuindikator yang turut menentukan indeks kemiskinan.

2 Sedikit pengecualian dari kecenderungan ini adalahkarya bersama Bachriadi dan Wiradi (2011) yang membahasketimpangan penguasaan tanah pertanian selama 1963-2003

berdasarkan data Sensus Pertanian. Studi-studi lain di erareformasi yang mengangkat isu ketimpangan agraria padaumumnya adalah studi kasus pada aras mikro, misalnyasaja Sirait (2017) dan Fadjar (2009). Meski demikian, dilevel nasional isu ketimpangan agraria terus disuarakanoleh gerakan masyarakat sipil dari waktu ke waktu dalamberbagai pernyataan pers, kampanye dan advokasi yangmereka lakukan.

3 Menurut White (2005), kelangkaan studi ketimpanganagraria ini tidak muncul belakangan ini saja, melainkan sudahberlangsung sejak awal kelahiran rezim Orde Baru. Secarahistoris, hal ini berkaitan erat dengan sejarah pemberangusangerakan kaum tani dan studi kritis agraria di Indonesia pascatragedi nasional pada pertengahan 1965, yakni apa yangdijuluki oleh rezim Orde Baru sebagai “Gerakan 30 S/PKI”.

Page 7: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

3M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12

alam, penekanan semacam ini tidak dapat dihin-darkan. Secara sosiologis, penekanan semacam inijuga mendesak di tengah berbagai konflik hori-zontal dan vertikal di tanah air. Pada umumnya,konflik-konflik itu terkonsentrasi di daerah-daerahdengan kesenjangan sosial-ekonomi yang menco-lok. Yang terakhir ini terutama berkisar di seputarpenguasaan dan kontrol atas sumber-sumberagraria serta pembagian manfaat dari eksploitasikekayaan alamnya (Shohibuddin 2018).

Untuk mengungkap kondisi ketimpanganagraria dan kebijakan penanganannya, beberapapertanyaan pokok di bawah ini akan dikaji secaramendalam dalam artikel ini.1. Sejauh isu agraria menjadi fokus kajian ketim-

pangan, apa sajakah dimensi dan tipe ketim-pangan yang harus diidentif ikasi?

2. Respons kebijakan apakah yang sudah diupa-yakan oleh pemerintah dan bagaimanakahcapaiannya?

3. Bagaimanakah prof il ketimpangan agraria diIndonesia selama era reformasi, dan pem-baruan tenurial apakah yang harus dilakukanuntuk mengoreksi kondisi ini?

Dalam membahas ketiga pertanyaan di atas,artikel ini menerapkan library research, yaitu satujenis penelitian yang mendasarkan analisisnya padastudi-studi terdahulu dan dokumen-dokumen yangdipandang relevan, seperti undang-undang, kebi-jakan, data statistik, dan sebagainya. Semua bahanpustaka ini, setelah diolah dan dikategorisasi, lantasdianalisis secara kritis sesuai konteks ketimpanganagraria yang berlangsung di Indonesia.

B. Berbagai Aspek Ketimpangan Agraria

Ketimpangan pada dasarnya adalah suatu atri-but yang akan selalu hadir pada kesemua relasi sosio-agraria, yaitu relasi antar-pihak di seputar aktivitaskerja (produksi) atas sumber-sumber agraria.4 Halini karena semua jenis relasi yang terkait denganbagaimana suatu sumber agraria dikuasai dan

digunakan serta bagaimana kekayaan alamnyadimanfaatkan dan dieksploitasi, tidak akan pernahbersifat netral. Sebaliknya, kesemua relasi itu selalumengandung kompetisi dan kontestasi. Danmengingat posisi kekuasaan dari pihak-pihak yangterlibat tidak pernah setara, maka keberadaanberbagai bentuk dominasi dan ketimpangan dalamkesemua relasi di atas merupakan sesuatu yangtidak dapat dihindarkan (Shohibuddin 2018, 18).

Dengan karakteristik demikian, tidak heran apa-bila ketimpangan agraria mendapatkan tinjauanyang berlainan. Konsekuensinya, rumusan konsepini pun amat bernuansa sesuai aspek yang diton-jolkan. Wiradi misalnya, memaknai konsep iniuntuk mengacu empat aspek sebagai berikut:1. Ketimpangan dalam penguasaan sumber-

sumber agraria;2. Ketimpangan dalam peruntukan sumber-

sumber agraria;3. Ketidakserasian antara hukum negara dan

hukum adat dalam persepsi dan konsepsimengenai agraria; dan

4. Ketidakserasian di antara berbagai produkhukum negara sendiri sebagai konsekuensidari pragmatisme dan kebijakan sektoral(Wiradi 2009, 3).Dua poin pertama dari Wiradi patut dibedah

secara khusus karena keduanya menyangkutketimpangan dalam bagaimana sumber agrariatertentu dimiliki, dikuasai, dan digunakan. Ketim-pangan agraria yang pertama diartikan Wiradisebagai ketimpangan dalam “struktur penguasaansumber-sumber agraria”. Adapun “struktur pengu-asaan” itu sendiri menurut Wiradi adalah susunansebaran atau distribusi mengenai tiga hal berikutini: (a) pemilikan atau penguasaan secara formalatas sumber agraria tertentu; (2) penguasaan efektifdalam arti penguasaan garapan atau operasionalatas sumber agraria tertentu; dan (3) alokasi sum-ber-sumber agraria (Wiradi 2009, 9).

Adapun ketimpangan agraria yang kedua diar-tikan Wiradi sebagai ketimpangan yang “terkaiterat dengan soal penggunaan tanah atau tata gunatanah”. Apa yang dipedulikan Wiradi di sini adalahketimpangan terkait alih fungsi tanah, terutamakonversi dari tanah pertanian ke non-pertanian.

4 Yang dimaksud dengan sumber-sumber agraria(SSA) adalah bumi, air, dan ruang angkasa yang di dalam-nya tercakup tanah, air, tubuh bumi dan perairan besertakekayaan alam yang dikandungnya.

Page 8: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

4 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Menurutnya, pembangunan yang bersifat sektoralmerupakan penyebab utama dari alih fungsi tanahpertanian yang terjadi sangat pesat ini (Wiradi2009, 25).

Agak berbeda dari rumusan Wiradi di atas,penulis mengajukan pemaknaan lain atas ketim-pangan agraria ini. Dengan menginsyaf i bahwakompetisi, kontestasi, bahkan dominasi selaluberlangsung di antara berbagai pihak pada setiaprelasi sosial di seputar sumber-sumber agraria,maka ada empat dampak persoalan agraria yangpenulis cermati selalu muncul dari dinamika ter-sebut, yaitu:1. Ketidakpastian (insecurity) dalam pengu-

asaan dan pemilikan sumber-sumber agraria;2. Ketimpangan (inequality) dalam penguasaan

dan pemilikan sumber-sumber agraria;3. Ketidakadilan (unfairness) dalam hubungan

produksi dan distribusi surplus;4. Ketidakpastian, ketimpangan dan juga keti-

daksesuaian dalam alokasi ruang maupunpendayagunaan sumber-sumber agraria(Shohibuddin 2018, 20–21).

Keempat persoalan ini tidaklah terisolasi satusama lain, melainkan berkaitan erat dalam hu-bungan yang saling mempengaruhi secara timbalbalik. Hal ini digambarkan dalam bagan sebagaiberikut (Shohibuddin 2018, 23):

Gambar 1. Empat Kategori Ketimpangan Agraria.

Seperti telah disampaikan di atas, empat perso-alan agraria ini mengemuka sebagai akibat dina-mika kompetisi, kontestasi dan bahkan dominasi

yang selalu hadir dalam semua jenis relasi sosio-agraria. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwakeempat persoalan ini pada dasarnya mencermin-kan beragam dimensi dari ketimpangan agraria itusendiri. Atas dasar ini, maka tidaklah berlebihanapabila keempatnya dikonseptualisasi ulang men-jadi empat aspek ketimpangan agraria sebagaiberikut:a. Ketimpangan dalam kepastian atas pengu-

asaan dan pemilikan sumber-sumber agraria;b. Ketimpangan dalam penguasaan dan pemi-

likan sumber-sumber agraria;c. Ketimpangan dalam hubungan produksi dan

distribusi surplus; dand. Ketimpangan dalam alokasi dan pendaya-

gunaan ruang serta sumber-sumber agraria.Jika dua konsepsi ketimpangan agraria dari

Wiradi dan Shohibuddin di atas disandingkan satusama lain, maka akan diperoleh sebuah perban-dingan sebagai berikut:

Tabel 1. Dua Konsepsi Ketimpangan Agraria

Berdasarkan tabel di atas, beberapa butir kesim-pulan berikut dapat dirumuskan. Pertama, terdapatsatu kategori ketimpangan agraria yang persisberpadanan dalam kedua rumusan di atas, yaknikategori (1) dan (b). Kedua, terdapat kategoriketimpangan agraria yang mengandung sebagianpengertian dari kategori pasangannya, yaknikategori (2) bagi kategori (d). Ketiga, terdapatkategori yang menjadi penyebab bagi satu ataulebih kategori pasangannya, yakni kategori (3) bagikategori (a) serta kategori (4) bagi kategori (a),

Empat KategoriKetimpangan Agraria

Menurut Wiradi (2009)

Rekonseptualisasi atas EmpatKategori Ketimpangan AgrariaMenurut Shohibuddin (2018)

Kategori (1):Ketimpangan dalam pengua-saan sumber-sumber agraria

Kategori (b):Ketimpangandalam penguasaan&pemilikan sumber-sumber agraria

Kategori (2):Ketimpangan dalam peruntuk-an sumber-sumber agraria

Salah satu bagian Kategori (d):Ketimpangan dalam alokasi danpendayagunaan ruang atausum-ber-sumber agraria

Kategori (3):Ketidakserasian antara hukumnegara dan hukum adat dalampersepsi/konsepsi agraria

Salah satu penyebabKategori (a):Ketimpangan dalam kepastianataspenguasaandan pemilikan sum-ber-sumber agraria

Kategori (4):Ketidakserasian di antara ber-bagai produk hukum negara

Salah satu penyebabKategori (a),Kategori (b) dan Kategori (d)

Tidak AdaKategori (c):Ketimpangan dalam relasiproduksi dan distribusi surplus

Page 9: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

5M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12

(b) dan (d). Keempat, terdapat kategori yang dijum-pai dalam satu rumusan tanpa ada padanannya,yakni kategori (c). Walhasil, alih-alih berlawanan,dua rumusan di atas sebenarnya saling melengkapisatu sama lain.

Untuk memotret ketimpangan agraria secarautuh, semua kategori dalam Tabel 1 di atas idealnyadapat digali secara komprehensif. Namun, hal inisecara praktis hanya dapat diupayakan pada unitsosial dan kewilayahan yang kecil, misalnya desa.Upaya semacam ini pernah dilakukan di era 1960-an melalui inventarisasi penguasaan tanah dan relasiproduksi di tiap-tiap desa dalam rangka pelaksana-an land reform dan perjanjian bagi hasil. Sayangnya,metode inventarisasi semacam ini sulit dilakukanuntuk analisis ketimpangan pada level supra-desa,apalagi hingga level provinsi atau nasional. Hal inikarena perwujudan berbagai kategori ketimpangandi atas amat bervariasi antar-lokasi sehingga sulitdiagregasikan pada tingkatan di atas desa.

Karena itu, untuk memotret ketimpangan agra-ria di aras makro, mau tidak mau harus dipilihsatu atau dua kategori ketimpangan yang memung-kinkan agregasinya pada berbagai level di atas desa.Untuk tujuan ini, dimensi ketimpangan agrariayang biasa dipilih adalah yang terkait dengan pengu-asaan dan pemilikan sumber-sumber agraria. Iniadalah dimensi yang tercakup dalam kategori (1)dalam pandangan Wiradi atau kategori (b) menu-rut Shohibuddin. Memang, inilah dimensi yangpaling sering menjadi fokus kajian karena signif i-kansinya bagi program land reform.5

C. Dua Tipe Ketimpangan PenguasaanSumber-Agraria

Berbicara mengenai ketimpangan agraria darisegi penguasaan sumber-sumber agraria, dua tipeketimpangan berikut ini penting dibedakan demimempertajam analisis. Pertama, ketimpanganantar-kelas dalam penguasaan lahan pertanian di

sektor usahatani rakyat. Kedua, ketimpangan antar-sektor dalam alokasi sumber-sumber agraria, yakniantara yang ditujukan untuk usahatani rakyatdengan untuk berbagai usaha korporasi. Ketim-pangan yang pertama dapat disebut sebagai ketim-pangan distribusi, sementara yang kedua ketim-pangan alokasi.6

Pentingnya pembedaan dua jenis ketimpangandi atas didasarkan pada dua kebutuhan berikut ini.Pertama adalah kebutuhan diagnosis untuk menge-nali secara lebih akurat kondisi ketimpangan dalampenguasaan sumber-sumber agraria. Kedua adalahkebutuhan preskriptif untuk menentukan “resep”kebijakan apa yang paling tepat dalam menanganikondisi ketimpangan yang telah didiagnosis itu.

Terkait kebutuhan diagnosis, penting dicatatbahwa ketimpangan penguasaan sumber-sumberagraria terutama dipicu oleh ekspansi kapitalisme,baik yang berlangsung “dari bawah” atau “dari atas”.“Ekspansi dari bawah” berarti perluasan kapitalis-me sebagai konsekuensi dari dinamika kompetisi,kontestasi dan dominasi yang mewarnai relasi sosio-agraria di antara penduduk desa sendiri. Sedangkan“ekspansi dari atas” berarti perkembangan kapi-talisme yang terjadi berkat dukungan negara kepa-da korporasi, terutama melalui pemberian lahandan beragam insentif terkait.

Pada dasarnya, perluasan kapitalisme dari ba-wah berlangsung melalui mekanisme yang disebut“diferensiasi agraria”. White (1989) menjelaskanistilah ini sebagai:

“… proses-proses perubahan yang kumulatif danpermanen (…) dalam cara-cara di mana berbagaikelompok yang berlainan di dalam masyarakat

5 Dimensi inilah yang selalu ditanyakan pada SensusPertanian yang diadakan tiap sepuluh tahun sekali sejak1963. Anehnya, ketimpangan dalam relasi produksi dandistribusi surplus—kategori (c) menurut Shohibuddin—jarang sekali dikaji, padahal dimensi ini sangat relevanuntuk pelaksanaan UU Perjanjian Bagi Hasil (UU No. 2Tahun 1960).

6 Dua jenis ketimpangan tersebut sebenarnya sama-sama menyangkut ketimpangan dalam susunan sebaran(distribusi) penguasaan, hanya saja yang pertama terjadidi antara sesama petani kecil (skala rumah tangga), semen-tara yang kedua terjadi antara petani kecil ini dengan kor-porasi. Karena itu, penulis semula hendak menyebut yangpertama “ketimpangan horizontal”, sementara yang ter-akhir “ketimpangan vertikal”. Namun, karena istilah “ketim-pangan horizontal” telah lama dipakai para ahli studi kon-flik untuk merujuk pengertian yang jauh berbeda (yakni,“inequalities between culturally formed groups”—lihatStewart 2002), maka penulis memutuskan untuk meng-gunakan dua istilah di atas—sampai ditemukan istilah lainyang lebih tepat.

Page 10: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

6 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkanakses atas hasil jerih payah kerjanya sendiri ataukerja orang lain sesuai penguasaan mereka yangberbeda-beda atas sumber-sumber produksi,dan sering kali … menurut ketimpangan yangkian meningkat dalam hal akses atas tanah.”(White 1989, 20).

Demikianlah, perbedaan penguasaan wargadesa atas sumber-sumber produksi di pedesaan(seperti tanah, sumber air, dan semacamnya) telahmelahirkan perbedaan kuasa di antara merekasendiri dalam mengekstrak surplus produksi dandalam mengakumulasi kekayaan lebih banyak lagi.Hal ini pada gilirannya melahirkan kelas-kelassosial-ekonomi dan sekaligus penajaman ketim-pangan agraria di pedesaan (Shohibuddin danSoetarto 2010).

Pemicu ekspansi kapitalisme dari bawah ini,secara historis, berbeda-beda dari satu tempat ketempat lainnya. Di kantong-kantong produksipangan, ekspansi semacam ini lahir dari doronganintensif ikasi pertanian pangan yang semakin pesatseiring pelaksanaan Revolusi Hijau. Sepertiditunjukkan sejumlah kajian, kebijakan intensi-f ikasi ini telah melahirkan pemusatan penguasaantanah pertanian, kenaikan tingkat ketunakismaandi pedesaan, peningkatan akses petani bertanahluas terhadap sumber pendapatan non-pertanian,dan prevalensi kemiskinan di antara petani guremdan buruh tani.7

Sementara di lahan kering dataran tinggi,ekspansi kapitalisme dari bawah ini terutamadipicu oleh introduksi dan perluasan tanamantahunan untuk pasar dunia (crops boom) yangmenggusur berbagai tanaman lokal. Mengutip studiLi (2002), diferensiasi agraria di lahan keringdataran tinggi ini berlangsung dalam tiga tahap,yaitu: privatisasi, komodif ikasi, dan akumulasi.

“Introduksi tanaman komersial di wilayah per-bukitan suku Lauje [di Sulawesi Tengah] telahmenghentikan siklus ladang berpindah. Pohonkakao mulai ditanam bersama jagung di ladangdan terus diulang di tahun-tahun berikutnyasampai tak ada lahan yang tersisa untuk ditana-mi jagung. Seiring transformasi lanskap ini,terjadi pula transformasi sosial yang terjadidalam tiga tahap: pengaplingan atau enclosure,komoditisasi, dan akumulasi yang tak tuntasatas tanah hingga pada satu titik di manabanyak petani Lauje kini secara efektif telahmenjadi petani yang tidak lagi memiliki tanah.”(Li 2002, 422–23).

Untuk memahami dinamika ketimpanganagraria di antara sesama petani inilah maka “ketim-pangan distribusi” menjadi penting untuk dijadikansebagai sebuah kategori tersendiri. Melalui kategoriini, perhatian dapat difokuskan pada proses pem-bentukan ketimpangan penguasaan tanah yangberlangsung di internal sektor pertanian rakyatsendiri sebagai dampak dari ekspansi kapitalismedari bawah.

Dalam kasus ekspansi kapitalisme dari atas,kategori ketimpangan yang berbeda dibutuhkanuntuk memahami pembentukan ketimpanganagraria pada tataran yang sama sekali berlainan,yakni ketimpangan yang justru diciptakan olehpolitik alokasi negara. Di sini apa yang menjadifaktor penentu bagi ekspansi kapitalisme adalahperanan negara dalam menetapkan peruntukansumber-sumber agraria dan pihak-pihak yang men-jadi penerimanya.

Faktor peran negara dalam ekspansi kapitalismedari atas inilah yang sering diistilahkan sebagai“politik konsesi agraria”. Dalam artikel Fauzi (2003)yang membahas konflik tenurial, politik konsesiini juga dinyatakan sebagai sumber konflik agarariayang terjadi melalui mekanisme berikut:

“Pada dasarnya, penyebab utama dari konfliktenurial bersumber dari adanya dominasi suatusistem penguasaan yang datang atau berasaldari hukum negara, yang secara sepihak mem-berikan layanan begitu besar kepada pemilik-pemilik modal untuk mengembangkan usaha-nya dalam mengelola tanah dan kekayaan alamlain, termasuk hasil-hasil hutan. Sementara ituhak-hak masyarakat setempat yang telah hidup

7 Lihat buku suntingan Shohibuddin (2009) yangmemuat sejumlah kajian empiris mengenai dampakkebijakan Revolusi Hijau ini pada perubahan penguasaantanah dan hubungan kelembagaan di sejumlah desa diJawa dan Sulawesi.

Page 11: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

7M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12

dan mengembangkan suatu sistem tersendiriuntuk mengelola tanah dan kekayaan alam laintersebut diabaikan dan dilanggar dengan begitusaja.” (Fauzi 2003, 53).

Dalam kaitan ini, perumusan “ketimpangan alo-kasi” sangat berguna sebagai kategori konseptualuntuk menguak peruntukan sumber-sumberagraria di Indonesia yang amat memihak kepen-tingan korporasi ketimbang petani kecil dan komu-nitas adat di pedesaan. Perlakuan istimewa untukkorporasi ini bahkan tidak sebatas dalam penye-diaan tanah belaka, namun sering kali juga disertaipenyediaan berbagai paket insentif lain sepertikemudahan perijinan, potongan pajak, pemberiansubsidi, dan lain sebagainya.

Di bawah rezim reformasi, ada empat jenis kon-sesi agraria yang menjadi situs-situs utama terja-dinya konflik dan ketimpangan agraria yang berdi-mensi vertikal. Empat jenis konsesi agraria ituadalah: konsesi hutan produksi, konsesi restorasiekosistem, konsesi perkebunan (terutama kelapasawit), dan konsesi pertambangan (Siscawati danRachman 2014, 14–19).

Secara legal-formal, politik konsesi agrariaterjadi berkat keputusan pemberian ijin/hak/lisensikepada badan-badan usaha skala besar yangditerbitkan oleh pemegang otoritas sektor kehu-tanan, perkebunan, dan pertambangan di tingkatpusat, maupun para gubernur, bupati dan wali kotadi tingkat daerah. Melalui keputusan tersebut, makatanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola dibawah penguasaan rakyat dijadikan konsesi-kon-sesi agraria yang beroperasi dalam bidang ekstraksi,produksi, maupun konservasi berbasis sumber dayaalam (Rachman 2013, 2).

Demikianlah, kategori “ketimpangan alokasi”ini telah menyediakan perangkat konseptual untukmemahami produksi konflik dan ketimpanganagraria akibat politik konsesi agraria yang dilakukannegara. Melalui perangkat konseptual ini bisaditelusuri praktik pengadaan tanah skala luas olehberbagai badan pemerintah dan penyediaannyauntuk aneka jenis konsesi agraria dalam rangkamenopang sistem produksi dan konsumsi di ting-kat global.

D. Respons Kebijakan danKemandegannya

Seperti terlihat dari pemaparan di atas, ketim-pangan agraria memiliki dimensi dan corak yangsangat beragam. Pemilahan atas “ketimpangandistribusi” dan “ketimpangan alokasi” menjadiurgen di sini. Bukan saja untuk mengenali corakketimpangan agraria apa yang sedang dihadapi,akan tetapi juga untuk menentukan “resep” kebi-jakan apa yang paling tepat sesuai hasil identif ikasiyang dilakukan.

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, para pe-mimpin bangsa sebenarnya sudah memiliki kesa-daran yang kuat atas dua jenis ketimpangan agrariadi atas. Kesadaran ini tentulah tidak terlepas daripengetahuan dan pengalaman mereka sendiri yanghidup di bawah “penindasan agraria” yang multi-dimensi di masa pra-kemerdekaan. Sebagian daribentuk penindasan agraria itu, seperti disajikandalam Tabel 2 di bawah, berwatak kolonial, seba-gian berwatak feudal, dan sebagian lagi kombinasidi antara keduanya.

Tabel 2. Konteks Ketimpangan Agraria SelamaPeriode Kolonial

Konteks ketimpangan agraria di atas masihsangat kuat mewarnai bangsa Indonesia di awalkemerdekaannya. Tidak heran jika masalah inisegera menjadi fokus perhatian para tokoh bangsa.Sebagai misal, dalam pidatonya pada 3 Februari1946, Wakil Presiden M. Hatta telah menyajikanvisi umum bagi kebijakan agraria yang hendakdijalankan. Pidato ini diringkas Wiradi (2009, 113–14) sebagai berikut.

FaktorPenentu

Ragam PerwujudanKetimpangan Agraria

Ekspansikapitalismedari bawah

Peningkatan ketimpangan penguasaan tanahdan ketunakismaan di antara penduduk desa,terutamadi Jawa. (Misal:hasil kajianMindereWelvaart Comissie, 1902-1914.)

Ekspansikapitalismedari atas

� Erfpacht

� Tanahpartikelir

� Penyewaan lahansekaliguspenyediaan buruh muraholeh kerajaankepadaperkebunan besar(terutamadi Sumatera TimurdanJawabagian tengah)

� Perkebunan-perkebunanbesar milik kerajaan ataubangsawan pribumi

Warisanfeodalisme

� Desaperdikan

� Daerahswapraja

Page 12: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

8 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Sejalan dengan pidato Bung Hatta di atas,beberapa langkah pendahuluan telah dilaksanakanoleh pemerintah untuk merespons beragamkonteks ketimpangan agraria yang dihadapi diawal era kemerdekaan (Wiradi 2009, 115–16).Melalui UU No. 13/1946, pemerintah menghapusdesa perdikan yang selama ini dikuasai olehpenguasa perdikan secara turun temurun. Separohtanah perdikan tersebut kemudian diredistribusikepada para penggarap, petani kecil dan buruhtani.

Pada tahun 1948, melalui UU Darurat No. 13,semua tanah di wilayah Kesultanan Yogyakarta danSurakarta yang diberikan dengan “hak conversie”diambil alih pemerintah. Tanah-tanah yang semuladikuasai oleh sekitar 40 pabrik gula milik Belandaitu kemudian diredistribusikan kepada petanipenggarap, petani gurem dan tuna kisma.

Sepuluh tahun berikutnya, pengambilalihantanah-tanah luas yang dikuasai oleh bangsa atauperusahaan asing dilakukan secara gencar. Padatahun 1958, melalui UU No. 1, pemerintah meng-hapus semua tanah partikelir. Tuan-tuan tanahbangsa asing dengan semua hak istimewanyadilikuidasi dan semua tanahnya diambil alih peme-rintah untuk disediakan kepada para petani yangmembutuhkan.

Pada tahun 1958 ini juga, berdasarkan UU No.

86, pemerintah secara resmi mengambil alih peru-sahaan milik Belanda, termasuk yang bergerak dibidang perkebunan. Hal ini dilakukan melaluikebijakan nasionalisasi yang di dalamnya menca-kup pula ketentuan mengenai pemberian kompen-sasi. Sayangnya, hampir semua perusahaan yangdinasionalisasi ini kemudian dipegang oleh TNI.Akibatnya, di belakang hari kemudian, banyakkomplikasi dan konflik sosial yang muncul di wila-yah eks perkebunan kolonial ini.

Apabila dicermati, berbagai kebijakan di atassecara parsial dan terpisah telah merespons entah“ketimpangan distribusi” atau “ketimpangan alo-kasi”, atau bahkan kedua-duanya. Namun, karenamasih merupakan langkah-langkah pendahuluan,semua kebijakan di atas belum menyediakankerangka kebijakan yang utuh untuk mengatasi duajenis ketimpangan itu sekaligus. Rumusan yangutuh semacam ini barulah muncul dua tahunberikutnya dengan terbitnya UU No. 5/1960 (ataubiasa disebut UUPA). Dalam UUPA ini tercantumsejumlah pasal yang berisi ketentuan umumuntuk mengatasi dua jenis ketimpangan agrariadi atas.

Ekonomi Indonesia di Masa Depan(Ringkasan Pidato Wakil Presiden M. Hatta, 3 Februari 1946)

1. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas danmemeras hidup orang banyak.

2. Pemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang di mana terdapat jumlah penggarapyang besar, adalah bertentangan dengan dasar perekonomian yang adil.

3. Perusahaan yang menggunakan tanah luas, sebaiknya diatur sebagai koperasi dibawah pengawasan pemerintah.

4. Menurut hukum adat Indonesia, tanah itu pada dasarnya adalah milik masyarakat.Orang berhak menggunakannya, sebanyak yang perlu baginya serta keluarganya, tapidia tidak boleh menjualnya…

5. Tanah-tanah yang dipakai oleh perkebunan-perkebunan besar, pada dasarnya adalahmilik masyarakat. Kalau pengusahaan perkebunan itu dalam bentuk koperasi, makakoperasi itu boleh menggunakan tanah itu selama diperlukan olehnya, tapi tidakboleh memindahkan hak berusaha itu.

6. Perusahaan di atas tanah yang tidak begitu luas, dan dapat dikerjakan sendiri, bolehmenjadi kepunyaan orang seorang. Jika orang yang bersangkutan menggabungkandiri ke dalam koperasi, maka tanah milik yang dibawanya tidak diusik.

7. Tanah di luar tanah kediaman, hanya boleh dipandang sebagai faktor produksi saja,dan tidak menjadi “obyek perniagaan” yang diperjualbelikan semata mata untukmencari keuntungan.

Page 13: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

9M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12

Tabel 3. Beberapa Ketentuan Umum dalamUUPA untuk Menanggulangi Ketimpangan

Agraria

Selain ketentuan umum di atas, UUPA secarakhusus juga menggariskan dua jalur menuju trans-formasi agraria8 yang melaluinya baik “ketim-pangan distribusi” maupun “ketimpangan alokasi”bisa ditangani. Jalur pertama adalah land reformuntuk mengatasi masalah ketimpangan agraria diantara para petani. Sedangkan jalur kedua adalahalokasi tanah untuk kepentingan usaha bersamarakyat sekaligus mengoreksi alokasi tanah yangtimpang antar-sektor.

Gambar 2. Dua Jalur Menuju Transformasi Agraria.

Terkait jalur pertama, pengaturan lebih detailatas program land reform tertuang dalam UU No.56 PRP/1960 di mana ditetapkan batas penguasaantanah pertanian, baik menyangkut ambang mini-mum maupun maksimumnya. Tujuan program iniadalah untuk menata ulang distribusi penguasaantanah yang timpang dalam rangka melahirkan kelaspetani menengah yang kuat dengan penguasaantanah sekurang-kurangnya seluas 2 ha (Pasal 8).

Upaya restrukturisasi ini dilakukan melaluitransfer tanah secara lintas kelas di internal sektorpertanian rakyat sendiri. Sumber tanah yangditransfer, karena itu, berasal dari himpunan tanahpertanian milik rakyat, yakni tanah kelebihan batasmaksimum dan tanah absentee (guntai).9 Di bawahini diilustrasikan operasionalisasi land reform danvisi keadilan penguasaan tanah yang diandaikan.

Gambar 3. Skema Dasar Program Land Reform.

Jalur yang kedua menuju transformasi agrariaadalah melalui kebijakan negara menyediakantanah, namun tidak diperuntukkan bagi keluargapetani dalam rangka produksi pangan. Alih-alih,tanah itu diberikan kepada koperasi atau kolekti-f itas rakyat lainnya dalam rangka pengembanganusaha bersama rakyat yang bersifat komersial dilapangan agraria. Berbeda dari jalur pertama yang

8 Transformasi agraria dijelaskan oleh Wiradi (2009,96–97) sebagai perubahan atas sistem sosial-ekonomi pede-

Persoalanyang Diatur Pasal

Larangan pemilikan dan penguasaan tanahyangmelampaui batas

Pasal 7

Keharusan mengerjakan sendiri tanah pertanian Pasal 10 (1)Larangan menggunakan cara-cara pemerasandalam mengusahakan tanah pertanian

Pasal 10 (1)

Pencegahan hubungan hukum yang dapatberujung pada penguasaan atas kehidupan danpekerjaan orang lain yang melampaui batas

Pasal 11 (1)

Perlindungan terhadap kepentingan golonganyang lemah secara ekonomi

Pasal 11 (2); Pasal 15

Dorongan mewujudkan usaha bersama dalambentuk koperasi atau bentuk gotong royonglainnya

Pasal 12 (1)

Pencegahan usaha-usaha- agraria dari monopoliswasta, baik dilakukan organisasi atauperseorangan

Pasal13 (2) dan (3)

Kepastian dan jaminan sosial di bidangperburuhan dalam usaha-usaha di lapanganagraria

Pasal 13 (4)

Pengaturan luas maksimum dan/atau minimumbagisatu keluarga atau badan hukum

Pasal 17 (1)

Pembagian tanah kelebihan maksimum kepadarakyat yang membutuhkan

Pasal 17 (3)

Pembatasanpenggunaan tanah milik oleh bukanpemiliknya

Pasal 24

Pengawasan peralihan hak milik untuk melin- Pasal 26 (1) danpenjelasannya

Penghapusan hak miliktanah yang diterlantarkan Pasal 27kepentingan golongan ekonomi lemahdungi

saan dari struktur agraris-tradisional menjadi suatu struk-tur baru di mana sektor pertanian makin terintegrasi kedalam pilar-pilar ekonomi nasional lainnya, lebih produktifdan di mana kesejahteraan rakyat kian meningkat.

9 Di luar ini, tanah obyek land reform juga dapatberasal dari tanah swapraja dan bekas swapraja yang telahberalih kepada negara dan tanah-tanah lain yang dikuasailangsung oleh negara (PP No. 224/1961).

Page 14: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

10 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

dijalankan melalui land reform, maka jalur yangkedua ini diwujudkan melalui pemberian HakGuna Usaha (HGU) atau hak lain kepada koperasirakyat atau bentuk gotong royong lainnya.

Di dalam UUPA sendiri, kebijakan alokasi tanahini diatur dalam Pasal 12. Ayat (1) pasal ini menjaminalokasi tanah untuk usaha bersama milik rakyat,sementara ayat (2) memberi peluang negara untukbekerja sama dengan pihak ketiga, termasukpengusaha swasta. Secara skematis, hal ini dapatdigambarkan sebagai berikut:

Gambar 4. Politik Alokasi Tanah dalam UUPA.

Sayangnya, seperti sejarah telah mencatat, duajalur yang dibayangkan UUPA bakal mewujudkantransformasi agraria ini mandeg di tengah jalan,dan bahkan mengalami anti-klimaks. Menjelangdekade 1960-an, secara realpolitik telah menjadikepastian bahwa semua bekas perkebunan kolonial“dikecualikan” dari pelaksanaan land reform. Mula-mula, hal ini karena hasil Konferensi Meja Bundaryang di antaranya mengharuskan pengembaliandan perlindungan aset-aset ekonomi milik Belandadi Indonesia. Belakangan, ketika akhirnya semuaperkebunan Belanda dinasionalisasi pemerintah,pihak TNI segera mengambil alih manajemenperkebunan tersebut. Penguasaan oleh militer inimembuat eks perkebunan kolonial sama sekalitidak bisa disasar oleh legislasi land reform yangmulai diundangkan sejak 1960.

Semenjak itu, pelaksanaan land reform punbergeser secara mendasar. Setelah gagal menda-patkan tanah-tanah di bekas perkebunan kolonial,program ini lantas menyasar potensi tanah yangbersumber dari sektor pertanian sendiri, sepertitanah kelebihan maksimum, tanah guntai, dantanah terlantar. Pergeseran fokus ini, di tengah

iklim radikalisasi politik di pedesaan (sebagai imbaspersaingan partai-partai politik di pentasnasional), ironisnya justru telah memicu konflikhorizontal yang keras di desa selama parohpertama dekade 1960-an. Namun, bukannyaberlangsung di antara kelas-kelas pedesaan yangberbeda kepentingan ekonomi, konflik itu justrumembelah penduduk desa menurut garisloyalitas ideologi partai dan keagamaan. Konfliksemacam inilah yang turut mendidihkan suasanapolitik dan psiko-sosial di wilayah pedesaan danakhirnya memuncak menjadi “tragedikemanusiaan”, tidak lama setelah meletus apa yangdisebut “Gerakan 30 S/PKI” di Jakarta pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965.10

Pasca peristiwa ini, dan seiring peralihan keku-asaan kepada rezim Orde Baru pada 1967, nasibdua jalur untuk mewujudkan transformasi agrariaini pun mengalami senja kala. Memang, di bawahrezim Orde Baru, program land reform secararesmi masih dijalankan pemerintah. Namun, pro-gram ini dikerdilkan sebagai kebijakan sektoralbelaka dan tidak lagi diposisikan sebagai landasanpembangunan, seperti cita-cita para pendiri bangsa.Pada level praktis, land reform dijalankan sebagaikerja rutin birokrasi yang bersifat teknis-adminis-tratif belaka, dan bukan sebagai satu agenda stra-tegis untuk mewujudkan transformasi agraria.

Demikian pula, selama periode ini, ketentuanUUPA Pasal 12 (1) boleh dikatakan tidak dilaksa-nakan sama sekali oleh pemerintah. Penyediaantanah luas untuk koperasi dan kolektivitas usaharakyat lainnya hanya merupakan sebuah perkecu-alian yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari.11

Sembari mengabaikan Pasal 12 (1), pemerintahsebaliknya menggenjot pelaksanaan ketentuanPasal 12 (2) demi mengejar arus investasi asing danpertumbuhan ekonomi. Untuk ini, berbagai konsesiagraria di sektor perkebunan, kehutanan, dan per-tambangan diobral pemerintah kepada perusahaan

10 Dalam tragedi kemanusiaan ini, ratusan ribu orang(bahkan lebih) yang dituduh sebagai anggota komunis,dipenjarakan atau bahkan dihilangkan nyawanya tanpamelalui proses pengadilan.

11 Salah satu di antara sedikit perkecualian itu adalahpemberian HGU kepada Koperasi Produksi Karet Wangun-wati di Tasikmalaya. Lihat Shohibuddin (2014).

Page 15: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

11M. Shohibuddin, Memahami dan Menanggulangi Persoalan Ketimpangan ... 1-12

besar, termasuk yang dimiliki pemodal asing.Dengan mandegnya pelaksanaan land reform

dan alokasi tanah untuk usaha bersama rakyat,maka tidak ada lagi kebijakan yang secara langsungdan efektif berusaha mengoreksi kondisi ketim-pangan agraria. Di pihak lain, banyak kebijakanlain yang dijalankan pemerintah justru mempro-duksi berbagai jenis ketimpangan agraria baru.Akibatnya, selama periode Orde Baru skala ketim-pangan agraria ini makin meluas dan mendalam,baik yang terkait dengan “ketimpangan distribusi”maupun “ketimpangan alokasi”.

Kecenderungan ini ironisnya terus berlangsungpada masa reformasi, dan bahkan dengan laju per-cepatan yang lebih kencang lagi. Oleh karena itu,dua bagian terakhir dari artikel ini akan mem-bicarakan lebih mendalam prof il ketimpanganagraria di era reformasi ini, baik yang terjadi diantara sesama petani sendiri maupun antara petanidan korporasi. Dari sini, penulis selanjutnya akanmengajukan satu usulan kerangka pembaruan te-nurial yang terpadu dalam rangka mengoreksi duajenis ketimpangan agraria tersebut. (Bersambungke Bagian 2)

Pengakuan

Riwayat artikel ini cukup panjang dan bermuladari akhir 2017 ketika Pusat Studi Agraria (PSA)IPB memulai studi mandiri mengenai indeks keag-rariaan. Proses penulisan artikel ini sendiri diakse-lerasi oleh penelitian ketimpangan agraria yangdilaksanakan PSA IPB bekerja sama dengan Kon-sorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada parohakhir 2018. Untuk itu, terima kasih disampaikankepada para kolega di PSA IPB, Sajogyo Institute(SAINS) dan KPA yang turut mematangkan gagasanartikel ini. Versi-versi awal artikel ini telah disam-paikan di banyak forum dan penulis berterima kasihkepada para audiens yang telah menyumbangpikiran dalam forum-forum itu. Akhirnya, penulisjuga berterima kasih atas masukan dari para re-viewer anonim sehingga artikel ini dapat menjadiseperti bentuknya saat ini. Terlepas dari kesemuaitu, seluruh tanggung jawab dari artikel ini beradadi pundak penulis sepenuhnya.

Daftar Pustaka

Bachriadi, D & Wiradi, G 2011, Enam dekadeketimpangan: masalah penguasaan tanah diIndonesia, Bina Desa, KonsorsiumPembaruan Agraria, Agrarian Resource Cen-ter, Jakarta, Bandung.

Bank Dunia 2016, Ketimpangan yang semakin lebar:mengapa, apa dampaknya, dan apa solusinya,World Bank, Jakarta.

Fadjar, U 2009, ‘Transformasi struktur agraria dandiferensiasi sosial pada komunitas petani: studikasus pada empat komunitas petani kakao diProvinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe AcehDarussalam’, Disertasi pada Institut PertanianBogor.

KLHK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehu-tanan 2018, ‘Evolusi kawasan hutan, TORAdan perhutanan sosial’, Paparan Menteri Ling-kungan Hidup dan Kehutanan pada diskusi me-dia Forum Merdeka Barat 9, Jakarta.

Li, TM 2002, ‘Local histories, global markets: co-coa and class in upland Sulawesi’, Developmentand Change, vol. 33, no. 3, hlm. 415–37.

Megawati Institute 2017, Hasil riset oligarki ekonomi,Jakarta.

Prakarsa 2019, ‘Indeks kemiskinan multidimensi:memotret wajah-wajah kemiskinan di Indo-nesia’, Policy Brief, no. 3, Jakarta.

Rachman, NF 2003, Bersaksi untuk pembaruan agra-ria: dari tuntutan lokal hingga kecenderunganglobal, Cetakan pertama, Insist Press, Yogya-karta.

Rachman, NF 2013, ‘Rantai penjelas konflik-konflikagraria yang kronis, sistemik, dan meluas diIndonesia’, Bhumi vol. 12, no. 37, hlm. 1–14.

Shohibuddin, M (ed.) 2009, Ranah studi agraria:penguasaan tanah dan hubungan agraris, STPNPress, Yogyakarta.

_____ 2014, ‘Managing land re/dis-possession frombelow: history of biopolitics countermovementin two Javanese Rural Communities’, Paramita,vol. 24, no. 2, hlm. 137–54.

_____ 2018, Perspektif agraria kritis: teori, kebijakandan kajian empiris, STPN Press, PSA IPB,Sajogyo Institute, dan KPA, Yogyakarta.

Shohibuddin, M & Soetarto, E 2010, ‘Krisis agraria

Page 16: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

12 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

sebagai akar kemiskinan: menuju pandanganrelasional mengenai kemiskinan’, hlm. 239–55 dalam Sejarah Indonesia: perspektif lokal danglobal. Persembahan untuk 70 tahun Prof. Dr.Djoko Suryo, penyunting: Margana, S danFitrianingsing, W, Ombak, Yogyakarta.

Sirait, MT 2017, Inklusi, eksklusi dan perubahan agra-ria: redistribusi tanah kawasan hutan di Indo-nesia, STPN Press, Yogyakarta.

Siscawati, M & Rachman, NF 2014, ‘Gender danpolitik konsesi agraria: dimensi gender dalammekanisme-mekanisme penguasaan tanah,perubahan tata-guna tanah, dan krisis sosial-ekologis’, Sajogyo Institute’s Working Paper,no. 12, Bogor.

Stewart, F 2002, ‘Horizontal inequalities: a neglecteddimension of development’, QEH WorkingPaper Series No. 81, Oxford.

Suryadarma, D, Artha, RP, Suryahadi, A & Sumarto,S 2005, ‘A Reassessment of inequality and itsrole in poverty reduction in Indonesia’,SMERU Working Paper, Jakarta.

White, B 1989, ‘Problems in the empirical analysisof agrarian differentiation’, Pp. 15–30 dalamAgrarian transformation: local processes andthe state in Southeast Asia, penyunting: Hart,G, Turton, A, dan White, B, University of Cali-fornia Press, Berkeley, Los Angeles, London.

Wicaksono, E, Amir, H, & Nugroho, A, 2017, ‘Thesource of income inequality in Indonesia: aregression-based inequality decomposition’,ADBI Working Paper Series, no. 667, Tokyo.

Winoto, J 2007, ‘Reforma agraria: mandat politik,konstitusi dan hukum dalam rangka mewu-judkan tanah untuk keadilan dan kesejah-teraan rakyat’, Kuliah Umum di Balai SenatUniversitas Gadjah Mada, 22 November 2007,diakses pada 7 September 2018, https://u g m . a c . i d / i d / b e r i t a / 1 1 3 5 -joyo.winoto.:.ketimpangan.kepemilikan.aset.sebagai.penyebab.kemiskinan.

Wiradi, G 2009, Seluk beluk masalah agraria, refor-ma agraria dan penelitian agraria, Penyunting:Shohibuddin, M, STPN Press dan SajoyoInstitute, Yogyakarta.

Page 17: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

13Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH UNTUKKEPENTINGAN UMUM: PERSPEKTIF HAM*

ASSESSMENT OF COMPENSATION IN LAND ACQUISITION FOR PUBLICINTEREST: HUMAN RIGHTS PERSPECTIVE

Agus SuntoroKomisi Nasional Hak Asasi Manusia RI

Email: [email protected]

Abstract: Development is part of the manifestation of human rights, including infrastructure developmentwhich need land on the implementation. Land acquisition for public interest giving consequences on theincreasing of agrarian conflicts, usually triggered by unfair compensation received by land owners. This researchaim to describe (1) how regulatory aspects of Law nr. 2/2012 concerning land acquisition for public interestrelated to formulation of its viability and fairness, and (2) how appraisal conducted the assessment (PublicAssesor Agent), given the authority to conduct assessment of attributive replace losses from the perspective ofhuman rights. This study use qualitative methods. Primary data collection was conducted by directed interviewsand secondary data was gathered through study literature. The results show that Law Ne. 2/2012 is unclear indecribing the criteria of viable and fair compensation based on human right norm, as well as there is no standardinstrument to assess the compensation. These incompabilities were related to the term of viable and equitablefor compensation as part of livelihood restoration of affected people both material and non-material.Keywords: Land acquisition, infrastructure development, compensation, human rights, Indonesia.

Intisari: Pembangunan merupakan perwujudan hak asasi manusia, termasuk pembangunan infrastruktur yangmembutuhkan tanah. Implikasinya pengadaan tanah bagi kepentingan umum berdampak pada peningkatankonflik agraria, terutama dipengaruhi faktor ganti kerugian yang dinilai belum layak dan adil. Penelitian inidilakukan untuk menggambarkan (1) bagaimana aspek regulasi dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 yang mengaturpengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terkait rumusan kriteria layak dan adil, dan (2)bagaimana penilaian dilakukan oleh appraisal Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang diberikan kewenanganatributif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancaraterarah dan data sekunder bersumber dari berbagai literatur. Hasil penelitian ini menunjukan regulasi gantikerugian layak dan adil dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 belum jelas kriterianya dan sesuai dengan norma hakasasi manusia. Demikian halnya dalam aspek penilaian ganti kerugian belum ada standar dan instrumen baku.Ketidaksesuaian ini berkaitan dengan esensi layak dan adil yang memiliki unsur penggantian untuk upayapemulihan korban terdampak, baik bersifat material dan imaterial agar mampu bangkit dan terpenuhi hakasasinya.Kata kunci: Pengadaan tanah, pembangunan infrastruktur, ganti kerugian, HAM, Indonesia.

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: April 30, 2019; Reviewed: May 4, 2019; Accepted: May 14, 2019.

To cite this article: Suntoro, A 2019, ‘Penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah untukkepentingan umum: perspektif HAM’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 13-25.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.316

Copyright: ©2019 Agus Suntoro. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under a CreativeCommons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

* Penelitian ini dilakukan dengan dana Subkom Pengkajian dan Penelitian, Komnas HAM Tahun 2018 Nomor5679.001.051.A.B.C..D

Page 18: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

14 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

A. Pendahuluan

Pembangunan infrastruktur menjadi salah satuunggulan dan program prioritas dalam peme-rintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Kebijakanyang tertuang dalam Nawa Cita dan diimple-mentasikan melalui Rencana Pembangunan JangkaMenengah Nasional (RPJMN) ke tiga (2015-2019)menjadi dasar giatnya pembangunan pada peme-rintahan ini. Pembangunan infrastruktur diharap-kan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomidan mengembangkan konektivitas sebagai perwu-judan jalan ideologi menuju kemandirian bangsa(LBH Bandung 2017, 8).

Infrastruktur dalam pandangan ahli (Srinivasu2013) merupakan usaha penyedian barang dan jasauntuk kepentingan umum. Instalasi bangunantidak memberikan manfaat secara langsung tetapimenyediakan input untuk pertumbuhan ekonomidan sosial. Bentuk pembangunan infrastrukturmeliputi penyediaan fasilitas dasar dan bentuklainnya seperti jembatan, jalan, kereta api, danpembangunan lainnya yang bertujuan untukmenunjang keperluan industri, sosial, dan eko-nomi.

Tidak banyak def inisi tentang infrastrukturakan tetapi berdasarkan Pasal 1 butir 4 PeraturanPemerintah Nomor 38 Tahun 2015 tentangKerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalamPenyediaan Infrastruktur, infrastruktur dimaknaisebagai fasilitas teknis, f isik, sistem, perangkatkeras dan lunak yang diperlukan untuk melakukanpelayanan kepada masyarakat dan mendukungjaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dansosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.

Sebagai dasar hukum dan percepatan pem-bangunan infrastruktur Presiden telah menetapkanPeraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 yangmerupakan perubahan atas Peraturan PresidenNomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksa-naan Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalamkebijakan baru ini ditetapkan 245 proyek, mulaidari jalan nasional/strategis nasional non-tol,bangunan jalan tol, proyek infrastruktur sarana danprasarana kereta api, proyek revitalisasi danpembangunan bandara, pembangunan infrastruk-tur pelabuhan, ketenagalistrikan, dan lain sebagai-

nya. Kebutuhan anggaran yang diperlukan diper-kirakan Rp. 4.700 triliun.

Selain berbagai upaya dan kebijakan yang telahditerbitkan, salah satu faktor yang mendorong pem-bangunan infrastruktur begitu masif dan efektifadalah dukungan dan mekanisme yang diaturdalam UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanahbagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum(Komunikasi dengan Darwin Ginting, 10 Agustus2018, di Bandung).

Namun demikian, pembangunan infrastrukturselain memberikan manfaat bagi kemajuan eko-nomi dan memudahkan aktivitas masyarakat,dalam praktiknya menimbulkan implikasi danekses di lapangan, terutama mengenai konflik yangditimbulkan akibat pengambilan tanah masyarakatuntuk pembangunan demi kepentingan umum.

Situasi ini, tercermin dari data pengaduan yangditangani Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan,Komnas HAM RI. Dalam kurun waktu satu tahun(2017) terdapat 269 pengaduan konflik agraria dankhusus bidang infrastrktur mencapai 32 kasus.

Tabel 1. Data Pengaduan Konflik Agraria

Sumber: Komnas HAM 2017.

Sejumlah pembangunan infrastruktur yangdiadukan ke Komnas HAM pada tahun 2017 sangatberagam, mulai dari persoalan pembangunan pem-bangkit listrik yang bersumber dari air, batu baradan panas bumi; hingga pembangunan pelabuhandan bandar udara terutama terjadi di wilayah In-donesia timur. Sedangkan kasus pembangunan jalantol dan kereta api lebih banyak terjadi di Jawa.Laporan dugaan pelanggaran HAM juga ditemukandalam pembukaan kantor pemerintah maupunproyek reklamasi pantai.

Dalam laporan tahunan 2017 Konsorsium Pem-baruruan Agraria, (Kartika 2017, 6-10) mencatat

No Bidang Konflik Jumlah

1 Tanah 1042 Perkebunan 393 Infrastruktur 324 Pertambangan 285 Kehutanan 246 Lingkungan 197 Penegakan Hukum 23

Total 269

Page 19: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

15Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

konflik yang terjadi akibat pembangunan infra-struktur sebanyak 94 kasus. Beberapa kasus yangmenonjol di antaranya pembangunan BandaraInternasional Jawa Barat (BIJB) dan Bandara Inter-nasional Yogyakarta Baru (NYIA). Dalam dua kasusini, KPA mengidentif ikasi penyebab konflik, yaitupertama, rendahnya partisipasi publik dalamperencanaan; kedua, penetapan nilai ganti kerugianyang tidak layak; ketiga, praktik korupsi danpemerasan; keempat, adanya keterlibatan oknumkeamanan (polisi dan TNI), serta kelompok sipil;dan kelima, keseluruhan ganti rugi dalam bentukuang dan mengabaikan model lain seperti sahamdan bentuk lain yang disepakati.

Berdasarkan data pengaduan konflik agrariabidang infrastruktur di Komnas HAM RI dan dataKPA, apabila dilakukan pencermatan penyebabpaling menonjol terkait ganti kerugian yang dinilaibelum layak dan adil (Suntoro 2018, 38). Hal inididasarkan fakta bahwa jumlah kasus paling banyakdikeluhkan sebanyak 23 kasus dari 32 kasus atau67,65 persennya menyangkut ganti kerugian. Sisa-nya mengenai sengketa hak ulayat (5,88%), seng-keta kepemilikan dan pengambilan tanah sebelumproses hukum selesai (17,65%), akses terhadaplokasi konflik (1,29%), hilangnya mata pencaharian(2,94%), dan kriminalisasi (1,29%).

Penelitian terhadap ganti kerugian dalam pem-bangunan untuk kepentingan umum telah bebe-rapa kali dilakukan, akan tetapi tidak menyentuhpersoalan dasar tentang hak asasi manusia. Dalampenelitian terkait pengadaan tanah untuk pem-bangunan Jalan Tol Bawen–Ungaran (Sudjatmiko& Suriadi 2010) menyimpulkan bahwa faktorterjadinya persoalan harga ganti rugi karena terjadideprivasi relatif berupa kesenjangan antaraharapan dan kenyataan dengan membandingkandengan ganti rugi masyarakat lainnya. Sedangkanpenelitian untuk mengukur tingkat kesejahteraanwarga terdampak pembangunan oleh KementerianPekerjaan Umum dan Pemukiman Rakyat (Rianto2011), hanya melihat aspek pengeluaran, penda-patan, akses ke wilayah perekonomian dan pela-yanan publik semata. Hasil penelitian tentangModel Penentuan Ganti Kerugian Non Fisik (Zanu-ardi 2015), menghasilkan kriteria dan penilaian dari

expert opinion (dalam workshop) berupa daftarfaktor non f isik yang dinilai dengan pendekatanpraktis.

Demikian halnya dalam penelitian terkait studidampak pembangunan Waduk Jatigede (Setiono2014) pembahasan mengenai ganti kerugianterbatas pada konsep agar tahapan dilakukandengan tertib guna menghindari konflik, tidakmasuk secara substansial apa yang menjadi akarpersoalan. Sedangkan penelitian Human RightWatch (Watch 2006, 9) terkait penggusuran paksadi DKI Jakarta dalam faktor kompensasi lebihmengarah pada relasi hukum antara pemerintahdengan warga terdampak. Penelitian lainnya dalampengadaan tanah untuk kepentingan umum sesuaiUU 2 Tahun 2012 (Sukma 2014) menekankan padaalternatif penawaran mengenai saham sebagaipengganti uang semata.

Padahal jika menilik substansi hak asasi ma-nusia, yang secara langsung terkait ganti kerugianlayak dan adil maka diletakan dalam konteksperlindungan hak atas kepemilikan yang tidakboleh diambil sewenang-wenang sebagaimanadijamin melalui Pasal 34 ayat (4) UUD 1945. Selainitu, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi dasar pem-bentukan hukum agraria nasional yang memilikiorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Sedang-kan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak AsasiManusia melalui Pasal 36, telah mengatur perlin-dungan terhadap hak kepemilikan.

Berdasarkan pada paparan yang diuraikan sebe-lumnya, tulisan ini mengkaji permasalahan menge-nai bagaimana regulasi dalam penetapan ganti rugiyang layak dan adil dalam UU Nomor 2 Tahun2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunanuntuk kepentingan umum dan bagaimana dasarpenilaian dan objek yang dinilai oleh Kantor JasaPenilai Publik (KJPP) untuk penetapan gantikerugian.

B. Ganti Kerugian dalam Prespektif HAM

Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 sebagaimana ditegaskan dalam lampiranPerpres No. 2 Tahun 2015 telah mengatur mengenaitarget pembangunan infrastruktur yaitu denganpenambahan 15 bandara baru, jalan dan jalan tol

Page 20: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

16 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

diperluas sebanyak 2.650 Km dan 1.000 Km, 24pelabuhan, 49 waduk baru, 33 PLTA, jalur KA baru3.258 Km, jaringan irigasi 1 juta Ha. Konsekuensidengan banyak dan besarnya target pembangunaninfrastruktur, maka kebutuhan tanah menjadikrusial. Akibat ketersediaan tanah milik pemerin-tah terbatas, salah satu jalan keluarnya melaksa-nakan pengadaan tanah milik masyarakat. Impli-kasi pengadaan tanah yang kurang berjalan lancardan dirasakan merugikan masyarakat inilah yangkemudian menjadi konflik agraria.

1. Praktik Pengadaan Tanah bagiPembangunan InfrastrukturKonflik agraria yang terjadi akibat pengadaan

tanah untuk pembangunan infrastruktur terutamamengenai ganti kerugian merupakan hal yang pal-ing banyak dikeluhkan, terutama faktor nilai gantikerugian dan penilaian yang dilakukan tanpamemperhatikan kelayakan untuk menjaminkelangsungan hidup korban terdampak ataumasyarakat yang tanahnya dipergunakan untukpembangunan infrastruktur. Korban kesulitanmembeli tanah dengan luas dan tingkat kesuburansama dengan lokasi yang terkena pengadaan tanahsehingga kehidupan ekonominya tidak lekas pulih.Selain itu, faktor penilaian dan penetapan gantikerugian yang dianggap kurang transparan sertaberlarut-larutnya pembayaran ganti kerugiankepada korban meskipun tanahnya telah diman-faatkan untuk pembangunan infrasruktur.

Tabel 2. Keberatan Terhadap PembangunanInfrastruktur

Sumber: Komnas HAM 2017.

Penelitian ini menemukan bahwa terdapatbeberapa akar persoalan yang menyangkut peng-gantian kerugian yang layak dan adil dalam penga-daan tanah bagi pembangunan untuk kepentinganumum, terutama infrastruktur.

Pertama, penggunaan cara-cara represif kepadamasyarakat. Dalam proses pengadaan tanah masihditemukan cara represif yang dilakukan menyang-kut tindakan pelibatan aparat bersenjata seperti diSulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Yogyakarta.Tindakan tersebut bervariatif, ada yang terlibatdalam tahap pembayaran ganti kerugian biasanyadihadirkan agar proses musyawarah dan ganti rugicepat terlaksana (Komunikasi dengan WH, 8Agustus 2018, di Bandung) dan proses hukum ter-hadap warga yang menentang proyek pem-bangunan bendungan dengan model tuduhantindak pidana kepemilikan senjata tajam (Komu-nikasi dengan EK, 5 Juni 2018, di Makassar), sertaterlibat tindak kekerasan dalam pengamanandalam pengosongan tanah untuk pembangunanbandara di Yogyakarta (Komunikasi dengan TP, 26Juni 2018, di Yogyakarta).

Kedua, Penilaian ganti kerugian belum didu-kung survei sosial ekonomi oleh pemerintah dan/atau instansi yang memerlukan tanah. Padahalkewajiban tersebut diatur menjadi bagian dari studikelayakan sebagaimana Pasal 15 UU Nomor 2Tahun 2012. Tujuannya adalah mengidentif ikasimasyarakat, membangun pola pendekatan, meng-identif ikasikan penawaran bagi penggantian hak(uang, saham, dan relokasi), serta membangunstrategi agar masyarakat terdampak beradaptasidengan sumber pencaharian baru agar ekonominyatetap bertahan (Ginting 2016, 47).

Berdasarkan data pendampingan LBH Bandungterhadap warga terdampak pembangunan infra-struktur, selama ini tidak pernah dilakukan surveiekonomi sosial. Pemerintah menilai pengadaantanah hanya menggunakan skema yang palingmudah yaitu pemberian ganti kerugian denganuang. Terdapat berbagai mekanisme yang laindiatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentangPengadaan Tanah Bagi Pembangunan untukKepentingan Umum. Masyarakat telah hidup danmenggantungkan sumber ekonomi selama ber-tahun-tahun dari lahan yang menjadi objek pem-bangunan infrastruktur, seperti bercocok tanamdan sumber ekonomi lainnya menjadi hilang, belumpersoalan tempat tinggal yang tergusur serta kewa-jiban adaptasi dengan pekerjaan baru yang seba-

No Alasan Jumlah1 Ganti Kerugian Layak dan Adil 23

2 Hilangnya Mata Pencaharian 13 Penyelesaian Kepemilikan 64 Kriminalisasi 15 Kerusakan lingkungan 1

Page 21: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

17Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

gian besar menjadi pekerja informal. Padahal,terdapat berbagai mekanisme ganti kerugian lain-nya yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunanuntuk Kepentingan Umum.

Ketiga, Perencanaan tidak disesuaikan dengankemampuan anggaran. Dalam proses pengadaantanah, baik secara kecil (di bawah 5 Ha) ataupunbesar juga terjadi perencanaan yang tidak sesuaidengan kemampuan anggaran. Dampaknya timbulkerugian bagi korban, terutama yang sudah tidakdapat memanfaatkan tanahnya karena telah diper-gunakan untuk infrastruktur perkantoran, akan teta-pi belum menerima pembayaran ganti kerugian.Faktor penyebabnya adalah ketika penetapan lokasidilakukan, anggaran belum tersedia. Kondisi inimenjadi temuan dalam pembangunan Kantor PusatPemerintah Kabupaten Sumedang. Bahkan, sejak2006 sampai 2018 atau lebih dari 12 tahun, dari 32Ha. tanah yang telah dikuasai pemerintah baru 13 Ha.yang dibayarkan ganti ruginya kepada masyarakat.

Keempat, penilaian ganti kerugian yang belummempertimbangkan aspek materiel dan imma-teriel. Hasil penelitian di Provinsi Sulawesi Selatanmenunjukan tidak adanya penjelasan yang mema-dai mengenai implementasi penilaian yang secarakomprehensif mempertimbangan aspek materieldan immateriel dalam pengadaan tanah untukproyek pembangunan infrastruktur, di antaranyabendungan di Kabupaten Wajo, jalan tol, danperluasan Bandara Sultan Hasanudin. Kehilangansumber pencaharian, ekonomi dan lainnya bagikorban terdampak belum sepenuhnya diberikanganti kerugian karena bergantung pada kerja/penilaian oleh appraisal (Komunikasi denganIskandar Rahim, 7 Juni 2018, di Makassar). Seka-lipun masyarakat mendapat ganti kerugian, dalampandangan Konsorsium Pembaruan Agraria Sula-wesi Selatan, nilai yang diberikan sangat tidak layaksebagaimana terjadi dalam pembangunan Ben-dungan Pamukkulu, Kabupaten Takalar hanyadiberikan penggantian Rp. 10.000/M (Komunikasidengan Rizki Ansoriana, 15 Juni 2018, di Makassar).Kondisi yang sama juga terjadi di Jawa Barat, pal-ing besar aduan adalah mengenai ganti kerugianbukan berkaitan dengan penolakan pembangunan.

Sebagai contoh berkaitan dengan korban BandaraInternasional Jawa Barat (BIJB) Majalengka, gantirugi uang yang diperoleh masyarakat korban tidakdapat untuk membeli tanah pengganti untuk usahapertanian dan rumah yang baru. Upaya pengaduanke Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dengan fasilitasiLBH Bandung juga belum memberikan titik terangdalam penyelesaian terutama rumah dan tanahpengganti (Komunikasi dengan Gugum, 8 Agustus2018, di Bandung).

Hal yang berbeda justru hasil penelitian di Yog-yakarta dalam pengadaan tanah untuk pem-bangunan NYIA, ternyata dalam kebijakannya turutmemperhitungkan kerugian materiel dan imma-teriel. Selain mempertimbangkan faktor f isikbangunan, tanah dan tanam tumbuh, juga menye-diakan perumahan pengganti, uang penggantianpendapatan tunggu selama 6-9 bulan, pembebasanpajak pembayaran ganti kerugian, juga memper-hitungkan faktor immateriel, di antaranya faktorkesejarahan terkait dengan Pangeran Diponegoro.Dampaknya anggaran yang semula dialokasikansebesar Rp. 1.5 triliun oleh PT. Angkasa Pura Imembengkak menjadi Rp. 4.5 triliun. Meskipunsudah memperhitungkan aspek materiel danimmateriel, sejak awal proyek ini bermasalah teru-tama riwayat gugatan warga terhadap penetapanIzin Lokasi oleh Gubernur DI Yogyakarta di Penga-dilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN meme-nangkan warga karena penetapan lokasi bandaratidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).Pemerintah Kab. Kulon Progo kemudian melaku-kan penyesuaian RTRW, yang dijadikan bahanuntuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI.Dengan dokumen tersebut, akhirnya putusan PTUNdianulir dengan menyatakan Izin Lokasi olehGubernur DI Yogyakarta atas tanah bandara NYIAdinyatakan sah. Tahap konsultasi publik sampaiizin lokasi dilakukan selama 2 (dua) tahun karenaadanya gugatan dan penolakan warga (Komunikasidengan R Sujiastono, 5 Juni 2018, di Yogyakarta).

Kelima, Pengambilan tanah masyarakat mela-lui mekanisme penitipan ganti kerugian di penga-dilan. Penitipan uang ganti kerugian (konsinyasi)mendapatkan proporsi hasil temuan dalam penga-daan tanah untuk kepentingan umum. Sejumlah

Page 22: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

18 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

ahli hukum memberikan kritik terhadap UUNomor 2 Tahun 2012 yang mengatur konsinyasidalam praktek pengadaan tanah. Dalam hukum,konsinyasi hanya dikenal dalam ranah HukumPerdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1404-1412KUH Perdata, yaitu penitipan uang di PengadilanNegeri dalam hal kreditur menolak menerimapenawaran pembayaran tunai dari debitur. Wan-prestasi pihak kreditur ini disebut “mora kreditoris”.Penawaran sah bilamana telah memenuhi syaratbahwa utang telah dibuat. Ini berarti bahwa pena-waran hanya dikenal bila sudah ada hubunganhutang-piutang. Dengan demikian jelaslah pulabahwa lembaga konsinyasi bersifat limitatif (Rulsi2018). Dengan pengaturan konsinyasi dalamregulasi ini telah mengabaikan pihak yang berhakdan juga melewati prosedur dalam Pencabutan HakAtas Tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 18UUPA jo UU No. 20 Tahun 1961 (Komunikasidengan Julius Sembiring, 24 Juli 2018 di Yogyakartadan Arie S Hutagalung, 24 Mei 2018, di Jakarta).

Meskipun mendapatkan penolakan, eksistensikonsinyasi dikuatkan melalui Pasal 42 UU No. 2Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pem-bangunan untuk Kepentingan Umum. Konsinyasiini dalam regulasinya dilakukan jika: pertama,pihak yang berhak menolak bentuk dan/ataubesarnya ganti kerugian dan masih dalam proseshukum; kedua, pihak yang berhak tidak diketahuikeberadaannya, dan ketiga, obyek pengadaan tanahsedang menjadi perkara, masih dipersengketakankepemilikannya, diletakkan sita atau menjadijaminan di bank; dan keempat, pihak yang berhakmenolak besarnya ganti kerugian, tetapi tidakmengajukan gugatan dan dianggap menerimabentuk dan besarnya ganti kerugian.

Praktiknya, ketika persoalan ganti kerugianmasih bermasalah dalam proses pengadaan tanahuntuk pembangunan infrastruktur, pemerintahatau pemrakarsa proyek tetap melanjutkan prosespengadaan dengan melakukan penitipan uangpengganti di pengadilan. Situasi ini terjadi diseluruh provinsi yang dijadikan lokasi penelitian.Khusus dalam pembangunan NYIA, berdasarkandata Pengadilan Negeri Wates sejak 2016 telahdilakukan penitipan uang pengganti (konsinyasi)

oleh PT. Angkasa Pura I sebanyak 6 perkara. Pada2017 jumlah tersebut melonjak menjadi 259 per-kara, sedangkan tahun 2018 sejumlah 26 perkara.Sampai saat ini masyarakat yang telah mengambiluang penggantian kerugian sebanyak 125 orang dansisanya 121 masih menggantung (Komunikasidengan J Umar, 26 Juli 2018, di Kulonprogo). Untukwilayah kerja pembangunan infrastruktur di JawaBarat, persoalan ganti kerugian yang berujung padapenitipan uang ke pengadilan (konsinyasi) dalamdata Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Baratditemukan dalam beberapa proyek, di antaranyaPLTU Indramayu, Tol Cipali, dan Tol Cinere–Jagorawi (Komunikasi dengan Herizal Syafri danMedi, 9 Agustus 2018, di Bandung).

2. Mengatur Problem Regulasi Layakdan AdilSalah satu persoalan timbulnya kasus dalam

pembangunan infrastruktur berkaitan dengan gantikerugian adalah pengaturan layak dan adil dalamUU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanahbagi Pembangunan untuk Kepentingan Umumbeserta aturan pelaksananya. Regulasi ini belummenetapkan secara eksplisit kriteria ganti rugi yanglayak dan adil. Padahal, Pasal 1 angka 2 UU No. 2Tahun 2012 mengamanatkan bahwa dalam penga-daan tanah dengan cara memberi ganti kerugianyang layak dan adil kepada pihak yang berhak.Sedangkan Pasal 2 memberikan pedoman agardalam pelaksanaannya mempertimbangkan asaskemanusiaan, keadilan, kesepakatan, kesejahte-raan, dan keberlanjutan.

Dalam UU Nomor 2 Tahun 2012, pengertianganti kerugian yang layak dan adil bersifat tersirat,terutama dalam: pertama, penjelasan Pasal 2 hurufb bahwa asas keadilan adalah memberikanjaminan penggantian yang layak kepada pihak yangberhak dalam proses pengadaan tanah sehinggamendapatkan kesempatan untuk dapat melang-sungkan kehidupan yang lebih baik; kedua, penje-lasan Pasal 2 huruf d, asas kepastian adalah mem-berikan kepastian hukum tersedianya tanah dalamproses pengadaan tanah untuk pembangunan danjaminan mendapatkan ganti kerugian yang layak;

Page 23: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

19Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

ketiga, penjelasan Pasal 2 huruf h, asas kesejah-teraan adalah pengadaan tanah untuk pem-bangunan dapat memberikan nilai tambah bagikelangsungan kehidupan pihak yang berhak; dankeempat, penjelasan Pasal 3 bahwa pengadaan tanahuntuk kepentingan umum tetap menjamin kepen-tingan hukum pihak yang berhak.

Dari penjelasan tersebut, maka layak dan adildalam UU No 2 Tahun 2012 hanya dapat dimaknaidalam dua aspek, yaitu: (a) mendapatkankesempatan untuk melangsungkan kehidupan yanglebih baik, dan (b) memberikan nilai tambah.Sangat tidak memadai dalam penentuan layak danadil karena tidak ada petunjuk teknis/lanjutan,apalagi dikaitkan dengan kompleksitas persoalandalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Kriteria paling mendasar mengenai kelayakanadalah menekankan ketentuan terkait besar gantikerugian yang dituangkan dalam angka yang sede-mikian rupa, sehingga kondisi ekonomi dan sosialdari yang terkena pembangunan tidak menjaditurun (Komunikasi dengan Arie S. Hutagalung, 25Mei 2018, di Jakarta). Pandangan demikian jugasejalan dengan pemikiran pakar hukum agraria diIndonesia AP Parlindungan dalam (Zarkasih 2015),menyatakan bahwa:

“Orang yang dicabut haknya itu tidak beradadalam keadaan lebih miskin ataupun akanmenjadi miskin kelak karena uang ganti pem-bayaran rugi itu telah habis dikonsumsi, mini-mal dia harus dapat dalam situasi ekonomi yangsekurang-kurangnya sama seperti sebelumdicabut haknya, syukur kalau bertambah lebihbaik, atau minimal harus dapatlah dia penggantiyang wajar. Misalnya dengan pemberian gantirugi tersebut yang bersangkutan dapat membelitanah di tempat lain yang memungkinkan diamembangun rumah kembali dan melanjutkankehidupannya di tempat yang baru”.

Pakar hukum agraria Boedi Harsono (Harsono1990) juga memiliki pandangan yang identik:

“Baik dalam perolehan tanah atas dasar katasepakat ataupun cara pencabutan hak, kepadapihak yang telah menyerahkan tanah nya wajibdiberikan imbalan yang layak, sehingga keada-an sosial dan keadaan ekonominya tidak men-jadi mundur”.

Sementara Philipus H Hadjon dalam (Prawesti2017) menekankan bahwa komponen kompesasidiberikan setelah pemilik tanah melepaskan hak-nya dengan nilai pasar terbuka ditambah kerugianlainnya yang disebabkan keterpaksaan akibat pele-pasan hak tersebut. Dengan demikian, nominalyang diperoleh tidak sekedar didasarkan pada tanahyang diambil, tetapi juga sejumlah kerugian lainakibat akusisi yang dilakukan dengan dalih pem-bangunan. Hal yang paling elemen adalah kompen-sasi dilakukan menempatkan posisi korban terdam-pak minimal posisi yang sama setelah akuisisi seper-ti keadaaan sebelumnya.

Pandangan ahli tersebut juga sesuai denganmekanisme dan prasyarat pembangunan yangdiatur dalam Deklarasi Hak Atas Pembangunan(diterima Majelis Umum PBB melalui ResolusiNomor 41/128, 4 Desember 1986). Deklarasi inimemberikan guidelines terkait hak atas pem-bangunan yang tidak dapat dicabut (an inalienableright), konsekuensinya setiap individu atau masya-rakat berhak untuk terlibat atau berpartisipasi,berperan, dan menikmati pembangunan yangsangat luas demi kemajuan bidang ekonomi, sosial,budaya, dan politik (Firdaus, dkk. 2013, 17).

Dalam konteks pembangunan yang ideal,masyarakat dijadikan spektrum bagi kemajuandalam pembangunan berkelanjutan, mampumengurangi dampak kemiskinan, mengembang-kan kondisi dan etos kerja, dan dampak postif lain-nya adalah terciptanya integrasi dan keadilan sosial.Oleh karena itu, tidak dibenarkan atas nama pem-bangunan termasuk dalam bidang infrastrukturnegara melalui pemerintah berhak untuk mengam-bil tanah secara sewenang-wenang atau membe-rikan ganti kerugian yang tidak layak. Negara harusditempatkan sebagai pemangku kewajiban hakasasi atas pembangunan sehingga memiliki tang-gung jawab untuk menjamin partisipasi, kontribusi,dan akuntabilitas.

Dalam konsepsi hukum, penilaian ganti keru-gian yang adil dan layak (Komunikasi denganMukmin Zakie, 24 Juli 2018, di Yogyakarta) harusmampu memperhitungkan kerugian yang nyatadiderita (scaheden), biaya yang telah dikeluarkan(konsten), kehilangan keuntungan (interressen),

Page 24: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

20 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

dan pendapatan yang akan didapat oleh korban dimasa mendatang (winstanderving).

Berdasarkan pandangan teoritis tersebut,selayaknya dalam proses pengadaan tanah bagikepentingan umum salah satu dimensi palingmendasar dalam penetapan layak dan adil adalahbagaimana merumuskan kebijakan yang memilikiunsur penggantian untuk pemulihan korbanterdampak baik, bersifat materiel dan immaterielagar mampu pulih dan terpenuhi hak asasinya.Dupond dalam Zanuardi (2015) menyatakanbahawa teknis perumusan dan penilaian layak danadil terhadap kerugian memang bukan hal yangmudah, terutama memperhitungkan kerugiannonfisik atau immateriel (non pecuniary losses).Faktor subjektivitas dan variasi harga pasar menjadipengaruh yang signif ikan dalam penilaian.

Secara internasional PBB (United Nation, 2007)telah menerbitkan Basic Principles and Guidelineson Development-Based Evictions and Displacement,Annex 1 of the Report of the Special Rapporteur onAdequate Housing as a Component of the Right to anAdequate Standard of Living A/HRC/4/18, terutamaangka 60, 61, dan 63 terkait pemberian kom-pensasi. Angka 60 dalam Prinsip ini, menekankankompensasi harus diberikan untuk setiap kerusakanyang dapat dinilai secara ekonomis, sebandingdengan beratnya pelanggaran dan keadaan khusus.Bahkan, ketika tanah diambil dan digusur harusdiberikan kompensasi tanah yang sepadan secarakualitas, ukuran dan atau bahkan lebih baik.

Sedangkan dalam angka 61 haruslah menjadiperhatian pemerintah, sebab ganti kerugian tidakdidasarkan pada aspek legalitas kepemilikan tanahsemata–apalagi dengan dalih pembangunan, makakewajiban untuk memberikan ganti kerugiansecara layak dan adil menjadi mutlak. Jikapun ter-paksa dilakukan pengambilan tanah atau penggu-suran, ketentuan dalam angka 63 mengatur bahwaganti kerugian dalam penilaiannya harus meling-kupi kerugian dan biaya, tanah dan rumah,perumahan alternatif atau pemukiman kembali,kehilangan pendapatan, pendidikan, kesehatan, danbiaya transportasi. Jika secara khusus rumah dantanah yang merupakan sumber kehidupan diambil,maka penilaian dampak harus memperhitungkan

nilai kerugian bisnis, peralatan, ternak, tanah,pohon, tanaman, serta penurunan/kehilanganpendapatan.

Khusus terhadap pengambilan tanah untukkepentingan infrastruktur melalui angka 64menegaskan:

“The circumstances of forced evictions linkedto development and infrastructure projects (in-cluding those mentioned in paragraph 8 above)seldom allow for restitution and return. Never-theless, when circumstances allow, States shouldprioritize these rights of all persons, groups andcommunities subjected to forced evictions. Per-sons, groups and communities shall not, how-ever, be forced against their will to return to theirhomes, lands or places of origin.”

Sedangkan angka 67 mengatur jika penempatankembali mengalami kesulitan, maka harus adakompensasi yang adil, bahwa:

“When return to one’s place of residence andrecovery of property and possessions is not pos-sible, competent authorities must provide vic-tims of forced evictions, or assist them in ob-taining, appropriate compensation or otherforms of just reparation”.

The Asian Development Bank (Jalal 1998, 26) jugamenerbitkan Handbook on Resettlement: A Guide toGood Practice, instrumen ini mendorong agarpemerintah atau pemrakarsa proyek pembangunanuntuk memberikan ganti rugi bagi korbanterdampak sehingga tidak ada kesewenang-wenangan.

Tabel 3. Komponen Penilaian Untuk GantiKerugian

Sumber: The Asian Development Bank 1998.

No Komponen

1 Ganti rugi tanah berdasarkan nilai penggantian yang layak2 Kompensasi untuk bangunan, tempat usaha atau komersial,

dan aset tidak bergerak lainnya3 Ganti rugi tanah berdasarkan nilai kompensasi untuk tanaman,

termasuk tanaman pohon4 Kompensasi untuk dampak pada pekerjaan dan pendapatan,

termasuk pemulihan pendapatan5 Penyediaan tanah dan sumber daya penghasil pendapatan

lainnya6 Plot rumah di lokasi pemukiman kembali dan bantuan

pembangunan rumah7 Layanan sosial, fasilitas, dan pengembangan infrastruktur di

lokasi pemukiman kembali8 Biaya relokasi dan transfer, dan tunjangan subsisten untuk

memungkinkan pendirian9 Rencana restorasi pendapatan bagi kelompok (komunitas).

Page 25: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

21Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

Meskipun ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun2012 belum mengadopsi kriteria ganti kerugianyang layak dan adil sebagaimana diuraikan dalaminstrumen hak asasi manusia tersebut, tindakanpengambilan tanah masyarakat tetap terjadidengan dalih pembangunan untuk kepentinganumum terutama infrastruktur. Konflik strukturalyang terjadi dalam pembangunan demi kepen-tingan umum akan tetap berlangsung denganperbedaan paradigma yaitu pemerintah didorongmempercepat pengadaan tanah untuk pem-bangunan di sisi lain masyarakat menilai bahwaperlindungan terhadap hak-hak individunyaterutama dengan penggantian ganti rugi yangrendah dan konsinyasi (Ismail 2012). Upaya pengu-saan kepemilikan oleh pemerintah tidaklah tepat,sebab dalam pandangan ahli hukum Kartini Mulja-di dan Gunawan Widjaja (2005, 131) hak atas kepe-milikan secara tegas harus diberikan perlindungan:

“dengan dikuasainya suatu benda berdasarkanhak milik, maka seorang pemegang hak milikdiberikan kewenangan untuk menguasainyasecara tenteram dan untuk mempertahan-kannya terhadap siapapun yang bermaksuduntuk mengganggu ketentramannya dalammenguasai, manfatkan serta mempergunakanbenda tersebut”.

Konsep pemikiran ini menjadi argumentasibahwa hak milik merupakan hak yang paling kuatdan penuh yang harus mendapatkan perlindunganhukum. Konteks inilah yang disebut sebagaiperwujudan tanggung jawab negara atau peme-rintah ketika sesuatu telah ditetapkan sebagai hakasasi manusia maka melekat kewajiban negaraterutama oleh pemerintah untuk melindungi,menghormati, menegakkan, dan memajukanHAM sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (2)jo. Pasal 71 dan Pasal 72 UU Nomor 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia.

Terdapat pedoman yang mengatur relasi perlin-dungan hak milik dengan kepentingan negara untukmemanfaatkan tanah masyarakat. Konsep iniadalah pengembangan Hak Menguasai Negara(HMN) dari perluasan makna Pasal 33 ayat (3) UUD1945 dan Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Meskipun

orientasi seluruh sumber daya untuk kesejahteraanrakyat, negara terbatas pada tugas pengaturanperuntukan dan menentukan hubungan hukumtidak ada relasi subordinasi. Oleh karena itu selarasdengan mekanisme HAM maka hal-hal yangmenjadi hak masyarakat, negaralah yang memilikitanggung jawab untuk memenuhinya (Sumardjono2009, 73). Mekanisme ini kemudian disebut asaskedwitunggalan, negara memiliki kewenanganmelakukan pembangunan demi kepentinganumum untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligusbertindak memberikan perlindungan hukumkepada pemegang hak (Nurlinda 2018, 3). Olehkarena itu, sesuai ketetuan Pasal 28 H ayat (4) UUD1945 dan Pasal 36 ayat (3) UU Hak Asasi Manusia,negara tidak boleh mengabil secara sewenang-wenang hak milik masyarakat tanpa memberikanganti rugi yang layak dan adil.

Berdasar norma tersebut dan dihubungandengan prinsip HAM, bahwa setiap hak salingberkaitan dan bergantung (inter related and inter-dependence), pemenuhan dari satu hak seringkalibergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baiksecara keseluruhan maupun sebagian. Jika prosespengadaan tanah untuk pembangunan dilakukansecara sewenang-wenang dan tidak mampu mem-berikan keadilan/peggantian yang layak, dampak-nya tidak hanya berupa pelanggaran hak terhadapkepemilikan semata, akan tetapi juga berimbaspada berbagai pemenuhan hak-hak lainnya sepertikesejahteraan, hilangnya legitimasi atas kepemi-likannya, kelangsungan hidup keluarganya, dankehilangan pemukiman, pendidikan, sosial, danberbagai dampak lainnya.

Berdasarkan prinsip tanggung jawab negara,maka negara diwajibkan untuk melakukan pemu-lihan atas pelanggaran HAM yang terjadi, kepadapelaku, termasuk jika dilakukan oleh organ/instansi/entitas pemerintah-negara tetap wajibmelakukan proses hukum terhadap mereka yangbertanggung jawab atas terjadinya pelanggaranHAM. Sedangkan kepada korban, negara wajibmemberikan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, danjaminan tidak berulangnya peristiwa yang serupa(Sujatmiko 2016). Dengan demikian, maka perluadanya skema bagi upaya pemulihan efektif bagi

Page 26: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

22 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

korban pelanggaran Hak Asasi Manusia. Konsep iniharus selaras antara upaya yudisial dan non yudisialdengan membuka kesempatan yang seluas-luasnyabaik dengan pengaduan, mekanisme administrasi,legislasi, dan berbagai tata cara pemulihan efektiflainnya (Mulyana 2012). Kerangka ini harus menjadimomentum upaya penghormatan HAM dan gagasanbaru bagi pengintegrasian pembangunan–termasukbisnis karena infrastruktur sangat berkaitan denganprofit terutama bandara, jalan tol, pelabuhan, listrik,dan lain sebagainya.

3. Lembaga Penilaian Terhadap KerugianMekanisme hukum baru dalam pengadaan

tanah sesuai UU Nomor 2 Tahun 2012 tentangPengadaan Tanah bagi Pembangunan untukKepentingan Umum adalah pemberian kewe-nangan kepada appraisal dalam hal ini diwakili olehKantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk melakukanpenilaian terhadap objek yang akan dikenakanganti kerugian. Hasil penilaian ini bersifat f inalartinya pemerintah dan/atau badan yang memer-lukan tanah milik masyarakat membayarkansesuai hasil penilaian dan menutup ruang musya-warah mengenai besar dan jumlahnya, terbataspada musyawarah mengenai bentuk ganti kerugian(Pasal 31 ayat 1 dan Pasal 34).

Kehadiran appraisal sebagai lembaga yang mela-kukan penilaian dianggap lebih profesional danobjektif dalam penentuan ganti kerugian sesuaipertimbangan UU 2 Tahun 2012. Kebijakan atributifini menjadi bagian dari mekanisme baru pengadaantanah untuk pembangunan demi kepentinganumum yang dalam praktik-praktik sebelumnyaselalu dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah(pemerintah sendiri) ataupun terbatas oleh penilaiyang dilibatkan oleh Panitia Pengadaan Tanahsebagaimana mekanisme dalam Perpres Nomor 6Tahun 2005 dan 36 Tahun 2005 tentang tentangPengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunanuntuk Kepentingan Umum.

Dari hasil penelitian terhadap pemerintah dan/atau instansi yang membutuhkan tanah untuk pem-bangunan infrastruktur baik di Sulawesi Selatan,Jawa Barat, dan Yogyakarta keseluruhan pihakmenegaskan bahwa timbulnya persoalan ganti

kerugian apakah layak dan adil atau memenuhiharapan masyarakat, sepenuhnya menjadi tangungjawab appraisal (KJPP). Pemerintah atapunpemrakarsa proyek hanya berkewajiban memba-yar sesuai penilaian karena regulasi mengaturbahwa hasilnya bersifat f inal. Penelitian yangdilakukan oleh (Wirabrata & Surya 2011) terhadappembebasan tanah untuk pembangunan WadukJatibarang, Jawa Barat juga masih terkendalakarena penolakan warga terhadap hasil penilaianappraisal karena dianggap tidak objektif selainkarena penunjukan pemerintah juga dalam peni-laian tidak memperhatikan faktor-faktor kese-luruhan di objek lokasi pembebasan.

Pentingnya keberadaan appraisal dalam pem-bangunan demi kepentingan umum tercermin daridata Pusat Pembinaan Profesi Keuangan SekretarisJenderal Kementerian Keuangan RI, sampai 25 Juli2018 terdapat 663 orang appraisal di seluruh Indo-nesia. Jumlah ini meningkat 5% dibandingkantahun 2017. Sedangkan secara rata-rata, kenaikanjumlah appraisal dalam waktu 5 tahun terakhirsebesar 9,8%. Sejak 2010 penugasan dalam peni-laian objek yang terkena pembangunan infrastruk-tur mengalami kenaikan yang signif ikan.

Besarnya tanggung jawab appraisal dalam meru-muskan penilaian ganti kerugian mendapat per-hatian dari ahli hukum pertanahan STPN Yog-yakarta (Komunikasi dengan Julius Sembiring, 25Juli 2018, di Yogyakarta), pelaksanaan penilaianharus perlu dibarengi dengan ketentuan yangmengatur: pertama, nilai ganti kerugian seharusnyaditetapkan dari nilai yang ada pada saat pengu-muman Surat Keputusan Penetapan Lokasi; kedua,nilai ganti kerugian merupakan nilai tunggal untukper bidang tanah; dan ketiga, penetapan nilai gantikerugian harus objektif karena merupakan dasardalam melakukan musyawarah bentuk ganti keru-gian. Salah satu faktor yang paling sering menjadipersoalan dalam penilaian adalah data hasil peni-laian yang dilakukan bukan data terkini (up to date)dan mengabaikan fakta terhadap keberadaan nilai-nilai yang bersifat immateriel (Komunikasi denganDarwin Ginting, 10 Agustus 2018, di Bandung; Aloy-sius Joni Minulyo, 7 Agutus 2018, di Bandung;Mukmin Zakie, 24 Juli 2018, di Yogyakarta).

Page 27: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

23Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

Berbagai persoalan dalam penilaian juga telahdiidentifikasikan oleh Pusat Pembinaan Profesi Ke-uangan, Sekjen Kementerian Keuangan RI selakupembina appraisal (KJJP), yang terjadi karena:a) Appraisal belum memahami tahapan persi-

apan, perencanaan, pelaksanaan, dan penye-rahan hasil akibat terbatasnya sosialisasi danjangka waktu pengadaan tanah;

b) Belum adanya dokumen perencanaan atau-pun Daftar Nominatif dari Panitia PengadaanTanah sehingga appraisal kesulitan dalammenentukan nilai ganti kerugian dan berdam-pak pada besaran yang diterima masyarakat;

c) Adanya persoalan administrasi dengan pe-nundaan terhadap penandatanganan doku-men Penetapan Lokasi sehingga waktu yangdibutuhkan appraisal semakin lama;

d) Manipulasi data tanggal penetapan lokasi se-hingga, appraisal melakukan penilaian justrusetelah infrastruktur terbangun. Akibatnyahasil penilaian tidak akurat dan berdampakpada temuan hukum;

e) Rendahnya pemahaman terhadap StandarPenilaian Indonesia (SPI) yang dijadikan dasarutama dalam penentuan ganti kerugiankepada masyarakat.

Identif ikasi lain yang mempengaruhi hasil peni-laian dan berdampak pada penolakan masyarakat,karena keterbatasan data yang disajikan dalam

Daftar Nominatif oleh Satgas B Kantor Pertanahan(BPN). Data yang disampaikan belum mencantum-kan keseluruhan informasi objek baik materiel danimmateriel sebagai dasar perhitungan/penilaian.Praktik yang ada, secara umum hanya menyajikandata bersifat f isik semata.

Persoalan lain yang muncul dalam konteks peni-laian adalah belum disahkannya RUU Penilai yangdiajukan Pemerintah melalui KementerianKeuangan RI ke DPR, meskipun dimasukan keDPR. Padahal, UU ini diharapkan menjadi payungbagi organisasi penilai yang tersebar di berbagaiprofesi baik pemerintah dan swasta, mekanismedan standar penilaian, pengawasan kinerja, kodeetik profesi, dan peningkatan kualitas penilai.Dorongan percepatan pengesahan RUU ini diha-rapkan penilaian yang dilakukan appraisal terhadapobjek milik masyarakat semakin profesional, jelaskriterianya, objektif, dan menghormati HAM,termasuk dalam pengadaan tanah bagi kepentinganumum.

Mensiasati kendala regulasi karena belumadanya UU Penilai, secara mandiri appraisal melaluiorganisasi profesi merumuskan Standar PenilaianIndonesia (SPI) Nomor 204 Tahun 2018 yangmerupakan pembaruan SPI 306 tahun 2015. DalamSPI No. 204 Tahun 2018, penilaian ganti kerugianmenggunakan perhitungan Nilai Penggantian Wajar(NPW) yang sebetulnya dapat mengakomodasi

Gambar 1. Graf ik penugasan penilaian bidang tanahSumber: Paparan Pusat Pembina Profesi Keuangan, Sekjen Kemekeu RI 2018.

Page 28: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

24 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

perhitungan materiel dan immateriel di antaranyakerugian emosional (solatium) dan kerugianlainnya. Meskipun faktualnya hasil penelitian diSulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Yogyakartamengungkapkan bahwa penilaian yang dilakukansangat subjektif oleh appraisal dan lebih mene-kankan penghitungan kerugian f isik.

Mempertimbangkan begitu vitalnya appraisaldalam mekanisme pengadaan tanah dalam UUNomor 2 Tahun 2012, selain mendorong profesio-nalisme dalam pelaksanaan penilaian, pengesahanRUU Penilai menjadi hal yang prioritas untuk dila-kukan dengan pendekatan baru, dengan meng-akomodasi upaya penghormatan dan perlindunganHak Asasi Manusia. Sebab inti dari pengaturan iniadalah memastikan bahwa pembagunan yang dila-kukan oleh pemerintah berjalan efektif dan tidakberdampak pada kelangsungan hidup korban yangterdampak karena persoalan penilaian yang meng-abaikan hak-hak masyarakat.

C. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapatdisimpulkan bahwa regulasi dalam penetapan gantikerugian yang layak dan adil dalam UU Nomor 2Tahun 2012 masih belum jelas dan belum sesuaiprinsip UUD 1945 khususnya Pasal 28 H ayat 4dan Pasal 36 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia. Khususnya berkaitantindakan sewenang-wenang dalam penetapan gantikerugian yang berakibat pada pengambilan tanahmasyarakat dan norma Hak Asasi Manusia yangmenekankan pada esensi layak dan adil yang memi-liki unsur penggantian untuk pemulihan korbanterdampak baik bersifat materiel dan immateriel.Selain itu, belum adanya standar dan instrumenbaku dalam penentuan kriteria penilaian terhadapganti kerugian yang layak oleh appraisal dalamperaturan perundang-undangan terutama UUNomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagiPembangunan untuk Kepentingan Umum. Belumdisahkannya UU Penilai menjadikan penilaian dila-kukan dengan subjektif dan hasilnya bervariatifkarena tidak semua mempertimbangkan kerugianmateriel dan immateriel. Dampaknya terjadi pe-langgaran Hak Asasi Manusia, karena kehilangan

hak atas kepemilikan yang berdampak padapelanggaran hak lainnya (inter related and interde-pendence).

Berdasarkan simpulan tersebut diharapkanPemerintah dan DPR untuk: pertama, melakukanevaluasi dan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2012,terutama aspek penilaian ganti kerugian denganmerumuskan norma baru yang selaras denganHAM. Tujuannya untuk memperjelas pemaknaanganti kerugian yang layak dan adil, juga metodedan komponen penilaian terhadap objek gantikerugian, serta persoalan penyelesaian penitipanuang pengganti; kedua, melakukan percepatanpembahasan dan pengesahan RUU Penilai yangakan menjadi pedoman dalam penilaian terhadapganti kerugian berdasarkan prinsip dan instrumenHak Asasi Manusia.

Dengan perubahan regulasi ini diharapkan pem-bangunan termasuk infrastruktur yang sekarangmenjadi prioritas pemerintah akan tercapai, ber-dampak bagi kesejahteraan, menghindari konfliksosial, dan memberikan perlindungan kepemilikanmasyarakat. Secara makro akan berdampak padaterciptanya kondisi yang kondusif bagi kemajuanbidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta sipil danpolitik sebagaimana cita-cita bangsa Indonesia yangdiamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Ucapan Terima Kasih

Sebagai akhir dari tulisan ini saya sampaikanterima kepada Choirul Anam selaku KomisoinerKomnas HAM RI, seluruh pakar yang terlibat (alm.)Dr. Julius Sembiring (Sekolah Tinggi PertanahanYogyakarta), Dr. Darmin Ginting (STIH Bandung),Mukmin Zakie, Ph.D (Universitas Islam Indone-sia), Prof. Arie S Hutagalung (Universitas Indone-sia), Prof. Ida Nurlinda (Universitas Padjajaran),Triana Frizzanty, Ph.D (LIPI), serta Tito Febismantoselaku asisten lapangan.

Daftar Pustaka

Firdaus, MS, Nuraini, A, Dewi, KN, Aswidah, R,Amisani, S, Dahana, E, Widianti, JN 2013,Pembangunan berbasis Hak Asasi Manusia,cetakan 2, Komnas HAM RI, DKI Jakarta.

Page 29: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

25Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

Ginting, D 2016, Kajian hukum percepatan penga-daan tanah untuk pembangunan infrastruktur,Sinergi Mandiri, Bandung.

Harsono, B 1990, ‘Aspek yuridis penyediaan tanah’,Jurnal Hukum dan Pembangunan, (April), hlm.155–170.

Ismail, N 2012, ‘Arah politik hukum pertanahan danperlindungan kepemilikan tanah masyarakat’,Jurnal Recht Vinding, Vol.1 No.1, hlm. 375-395.

Jalal, KF 1998, ‘Handbook on resettlement: a guideto good practice’, Journal of Social Development,Manila, Philippines: The Asian Develomp-ment Bank.

Kartika, D 2017, Catatan akhir tahun 2017 reformaagraria di bawah bayangan investasi, Konsor-sium Pembaruan Agraria, Jakarta.

LBH Bandung 2017, Hak Asasi Manusia, bab yanghilang dalam cerita pembangunan, LBH Ban-dung, Bandung.

Muljadi, K & Widjaja, G 2005, Kedudukan berkuasadan hak milik dalam sudut pandang KUH Per-data, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Mulyana, A 2012, ‘Mengintegrasikan HAM ke dalamkebijakan dan praktik perusahaan’, JurnalHAM, 8 (4), hlm. 265–284.

Nurlinda, I 2018, ‘Pengadaan tanah untuk pem-bangunan infrastruktur’, Makalah, Universi-tas Padjajaran, Bandung.

Okada, H & Zanuardi, A 2015, ‘Model penentuankomponen kerugian non fisik dalam penga-daan tanah pembangunan jalan’, Jurnal SosekPekerjaan Umum, 7(1), hlm. 1–79.

Prawesti P 2017, ‘Analisis yuridis pemberian gantikerugian dalam pengadaan tanah bagi pem-bangunan untuk kepentingan umum)’, Prosi-ding Seminar Nasional Prombelatika Perta-nahan dan Strategi Penyelesaiannya, SekolahTinggi Pertanahan Nasional dan FH Universi-tas Tri Sakti, Jakarta.

Rianto, N 2011, ‘Infrastruktur pekerjaan umum danpermukiman’, Jurnal Sosek Pekerjaan Umum,3 No. 3 (26), hlm. 183–192.

Rusli, T 2018, ‘Analisis konsinyasi ganti rugi padapengadaan tanah’, Jurnal Progresif UnivesitasBandar Lampung, No. 9(1), hlm. 15-28.

Setianto, S 2014, ‘Konflik sosial dalam kasus pem-

bangunan infrastruktur SDA kasus WadukJatigede’, Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, 6 (3),hlm. 140–221.

Srinivasu, B 2013, ‘Infrastructure development andeconomic growth: prospects and prespective’,Journal of Business Management and SocialSciences Research, 2(1), hlm. 81–91.

Sudjatmiko, B & Suriadi, A 2010, ‘Faktor-faktorpenghambat proses pengadaan tanah jalan tol:studi kasus pada penggantian tanah kawasanhutan ruas Ungaran-Bawen, Kab. Semarang,Jawa Tengah’, Jurnal Sosek Pekerjaan Umum,2(3), hlm. 177–185.

Sujatmiko, A 2016, ‘Hak atas pemulihan korbanpelanggaran berat HAM di Indonesia dan kaitan-nya dengan prinsip tanggung jawab negaradalam hukum internasional’, Jurnal Ilmu HukumUniversitas Padjajaran, 3(2), hlm. 330-350.

Sukma, AF 2014, ‘Kepemilikan saham sebagai suatualternatif bentuk ganti kerugian dalam penga-daan tanah untuk pembangunan jalan’, JurnalSosek Pekerjaan Umum, 6, hlm. 29–40.

Sumardjono, MSW 2009, Lahan dalam prespektifhak ekonomi, sosial dan budaya lahan dalamprespektif hak ekonomi, sosial dan budaya,Kompas, Jakarta.

Suntoro, A 2018, Kajian terhadap UU Nomor 2 tahun2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pem-bangunan untuk Kepentingan Umum, KomnasHAM RI, Jakarta.

United Nation 2007, Basic principles and guidelineson development based eviction and displacement,United Nation Human Rights Office of TheHigh Commissioner, 175–177, hlm. 658–662.doi: 10.1016/S0168-583X(00)00653-4.

Watch, HR 2006, Masyarakat yang tergusur: pengu-siran paksa di Jakarta, Human Rights Watch.

Wirabrata, A & Surya, TA 2011 ‘Masalah kebijakandalam pengadaan tanah untuk pembangunaninfrastruktur’, Jurnal Ekonomi dan KebijakanPublik, 2(2), hlm. 729–752.

Zarkasih, H 2015, ‘Pelaksanaan prinsip keadilandalam pemberian ganti rugi pengadaan tanah(studi kasus pelebaran jalan raya di Kota PrayaKabupaten Lombok Tengah)’, Jurnal KajianHukum dan Keadilan IUS, hlm. 382–398.

Page 30: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

26 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

ASAL USUL KEBIJAKAN PENCADANGAN HUTAN ADAT DI INDONESIA

A HISTORY OF RESERVE THE CUSTOMARY FOREST POLICY IN INDONESIA

Agung WibowoPerkumpulan Huma Indonesia, Onati International Institute for Sociology of Law

University of Basque Country SpainEmail: [email protected]

Abstract: In Indonesia, recently a movement to recognize customary forests (hutan adat) and the rights ofindigenous peoples over forested areas has culminated. This momentum marked Indonesia’s f irst recog-nition the traditional rights of indigenous peoples over their forests. This paper explains how the proposedto reserve the customary forest policy has been made and describe the journey as well of the implementionthat policy. This scheme can help the struggle of indigenous peoples to show that the government canengage with social transformation from the bottom up. This study took the action research method frommy experience working as a researcher to produce the target of agrarian reform and social forestry inIndonesia. This study takes the concept of a social construction framework to look the narrative ideasabout reserving the customary forest in Indonesia. The results concluded with the problematic tabulationof data that can be formulated by conducting the reserve of the customary forest to implement the agendaof agrarian reform and social forestry in Indonesia.Keywords: Adat communities, Adat law, Customary Forest.

Intisari: Di Indonesia, belakangan ini sebuah gerakan pengakuan hutan adat dan hak masyarakat hukumadat atas wilayah hutan memuncak. Momentum ini menandai pengakuan pertama kalinya Indonesia ataspengelolaan tradisional masyarakat hukum adat atas hutannya. Artikel ini menjelaskan mengenai bagaimanausulan kebijakan pencadangan hutan adat dibuat serta perjalanan dalam mengimplementasikannya. Skemaini dapat membantu perjuangan masyarakat adat untuk menunjukkan bahwa pemerintah dapat terlibatdengan transformasi sosial dari bawah ke atas. Studi ini mengambil metode penelitian riset aksi daripengalaman saya bekerja sebagai peneliti untuk menghasilkan sebuah target reforma agraria dan PerhutananSosial di Indonesia. Studi ini menggunakan konsep kerangka konstruksi sosial untuk mencari ide naratiftentang pencadangan hutan adat di Indonesia. Penelitian ini menjelaskan adanya tabulasi data denganproblematikanya yang dapat diformulasi dengan melakukan usulan pencadangan hutan adat dalammewujudkan agenda reforma agraria dan perhutanan sosial di Indonesia.Kata kunci: Masyarakat adat, hukum adat, hutan adat.

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: March 22, 2019; Reviewed: March 27, 2019; Accepted: April 18, 2019.

To cite this article: Wibowo, A 2019, ‘Asal usul kebijakan pencadangan Hutan Adat di Indonesia’, Bhumi,Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 26-41.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.317

Copyright: ©2019 Agung Wibowo. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under a CreativeCommons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

A. Pendahuluan

Sejak saya menjadi peneliti di PerkumpulanPembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat danEkologis atau Huma Indonesia, terminologi‘masyarakat adat’ masih menjadi perdebatan dikalangan para pegiat (Wiratraman (ed.) 2015, 15).

Gerakan sosial dengan menggunakan istilahmasyarakat adat menghadapi dua sisi mata uang.Sisi pertama, ia dihadapkan pada perjuanganpolitik kewarganegaraan, apakah masyarakathukum adat sebagai subyek hukum bisa mendapatmakna hakiki dari hukum itu, yakni keadilan di

Page 31: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

27Agung Wibowo, Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat ... 26-41

mata hukum. Sebab acapkali masyarakat hukumadat dikriminalisasi, didiskriminasi dan dilanggarhak politik, budaya, serta keagamaan mereka. Sisikedua adalah berkaitan dengan tanah dan konseptenurial. Artinya ada obyek yang tidak dapat dipi-sahkan dengan subyek—masyarakat hukum adat(Simarmata dan Steni 2017)—itu sendiri, yangberkenaan dengan ruang berupa tanah, hutan, airdan segala macam penghidupan dari sumber dayaalam di dalamnya.

Meski dua narasi tadi begitu penting dan tidakdapat dipisahkan satu sama lain, saya akan mem-bahas mengenai konsep tenurial, terkhusus hutanadat. Di Indonesia, hutan dan tanah memiliki artiyang amat penting bagi masyarakat, terutamamasyarakat hukum adat. Sektor kehutanan Indo-nesia kini mengalami perubahan yang drastis danmendasar. Perubahan terutama dalam pemberianhak akses dan pemanfaatan hutan bagi masyarakatlokal dan/atau masyarakat hukum adat. Perubahantersebut bisa dilihat di beberapa peraturan perun-dang-undangan. Pada 16 Mei 2013, MahkamahKonstitusi (MK) memutus perkara 35/PUU-X/2012(MK 35). Putusan tersebut mengeluarkan hutanadat dari hutan negara, tetapi tidak menjadikanhutan adat sebagai kategori khusus yang berbedadengan hutan hak1, melainkan memasukkan kebe-radaan hutan adat sebagai salah satu jenis dalamhutan hak.

Dalam kerangka advokasi yang selama ini dila-kukan masyarakat sipil terkait dengan isu tenur-ial, paling tidak ada empat skema perubahan yangtengah berjalan; pertama, dalam hal penyelesaianhak pihak ketiga melalui Peraturan Menteri Kehu-tanan No: P.44/MENHUT-II/2012 juncto PeraturanMenteri Kehutanan No: P.62/Menhut-II/2013 ten-tang Perubahan Atas Peraturan Menteri KehutananNomor P.44/Menhut-II/2012 tentang PengukuhanKawasan Hutan; kedua, dalam hal pemulihan hakkomunal melalui Peraturan Menteri Agraria DanTata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No:10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak

Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat danMasyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu;ketiga, pemulihan hutan adat melalui PeraturanMenteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No:P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak, dankeempat, skema Perhutanan Sosial melalui Pera-turan Menteri Lingkungan Hidup dan KehutananNo: P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentangPerhutanan Sosial.

Mandat P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang hutanhak merupakan sebuah upaya memenuhi sembilanjanji (nawacita) rezim Joko Widodo, yakni mem-bangun dari pinggiran penting untuk menciptakanreforma agraria di Indonesia. Reforma agraria tidakhanya semata untuk proyeksi menyejahterakanmasyarakat, tapi juga menjadi resolusi darimasifnya konflik agraria dan sumber daya alamdi Indonesia (Humawin 2019). Untuk itu diperlukansebuah agenda percepatan penetapan hutan adat.Saya mengusulkan kebijakan pencadangan hutanadat merupakan salah satu langkah yang dapatdiambil oleh negara. Ini adalah suatu diskresi hukumyang merupakan perlindungan bagi masyarakathukum adat, suatu respons lanjutan bagi advokasikebijakan yang dilakukan pegiat masyarakat hukumadat. Kajian ini berupaya menjelaskan implementasihutan adat itu sendiri sebagai kajian lebih mendalamatas kajian-kajian sebelumnya yang cenderungberupaya menjelaskan kerangka hukum (legal frame-work) dari putusan MK 35/2012, misalnya dalamanotasi putusan MK 35/2012 (Arizona, Mary, danCahyadi 2014) dan pada (Rachman dan Siscawati2014) yang lebih menitikberatkan alasan konteks-tual mengapa masyarakat adat adalah penyandanghak, subjek Hukum, dan pemilik wilayah adatnya.Kajian mereka hanya berkutat atas normatif itasperkara gugatan di Mahkamah Konstitusi Nomor35/PUU-X/2012.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mencernaalasan-alasan dari pihak pemerintah, terutamaKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutananketika mencoba menjawab permohonan masya-rakat adat dalam pengalokasian hutan adat di In-donesia. Sejauh ini produk hukum daerah, teruta-ma Peraturan Daerah masih menjadi kendalautama. Peraturan daerah masih menjadi pra-syarat

1 Pemohon yaitu Masyarakat Hukum Adat KanagarianKuntu di Riau, Masyarakat Hukum Adat di Cisitu LebakBanten, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) me-mohon untuk menjadikan kategori khusus untuk kawasanhutan yaitu hutan hak.

Page 32: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

28 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

untuk negara mengakui keberadaan komunitashukum adat, serta membangun dan memperkuatkomunitas tertentu dalam hal ini sebagai subjekhukum masyarakat adat. Dalam konteks tersebut,makalah ini ingin menjelaskan pentingnya usulankebijakan pencadangan hutan adat untuk mem-bantu perjuangan masyarakat adat dan dapatmenunjukkan bahwa pemerintah dapat terlibatdengan transformasi sosial dari bawah ke atas.

Tulisan ini akan menjawab pertanyaan, Bagai-mana proses advokasi kebijakan pencadanganhutan adat di Indonesia? Rumusan ini akan jugamenjawab bagaimana advokasi hutan adat diimple-mentasikan pasca putusan MK 35 dibacakan,terutama empat tahun belakangan ini, dari tahun2014 hingga 2018. Ini adalah periode awal untukmengakui hutan adat bagi masyarakat hukum adatberlandaskan pada implementasi Undang-UndangKehutanan No. 41/1999 sebagaimana diamendiroleh Putusan MK 35/2012.

Kajian ini menerapkan metode kualitatif denganmetode riset aksi (Travers 2013, 230). Penelitianaksi/tindakan (Action Research) mengacu padailmu eksperimental dengan program tindakansosial untuk memecahkan isu-isu pokok yangberkembang di masyarakat (Danardono (ed.) 2015,35). Riset aksi ini ditulis dalam sebuah autoetnografidari pengalaman saya bekerja di Huma dari 2014-2018 dan terlibat dalam kerja-kerja di SekretariatReforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Pengalamansaya akan memberikan informasi yang dibutuhkanmenjawab masalah yang dirumuskan di atas.Dalam melakukan riset ini saya juga melakukanwawancara mendalam kepada para pihak untukmenjawab mengapa perjuangan masyarakat hu-kum adat bukan hanya sebuah “metode” dari ba-wah, tapi juga pelibatan pihak negara yang terka-dang kebijakan itu diambil oleh segelintir orangsaja, sebagai contoh misalnya untuk mengum-pulkan “data” untuk mengetahui pihak yang berin-teraksi dengan kawasan hutan dalam prosesverif ikasi hutan adat hanya digodok pada sebuahSub-Direktorat di Kementerian Lingkungan Hidupdan Kehutanan Republik Indonesia.

Secara konseptual, reforma agraria dan pem-baruan hukum merupakan dua elemen penting dari

proses pembangunan suatu negara. Dua elemenini menjadi langkah meningkatkan sistem admi-nistrasi negara, memperjelas hak-hak properti danmemperkuat hak-hak masyarakat sipil. GaryGoodpaster (2007) mengatakan, bahwa hukumbisa saja jadi baik bila terdapat undang-undang,akan tetapi undang-undang itu akan kecil penga-ruhnya bila tak dapat bekerja pada tataran sosial(Goodpaster 2007, 106-107). Permasalahan yangmuncul kemudian biasanya ada dalam implemen-tasi hukum, sehingga menimbulkan tuntutan untuksebuah pembaruan yang lebih komprehensif.

Literatur akademis juga mengaitkan masyarakatadat dengan petaka perubahan lingkungan ataudeforestasi. Misalnya karya klasik dalam jurnal Sci-ence dari Garrett Hardin yang menulis teori “Trag-edy of the Commons” (Hardin 1968). MenurutHardin semua manusia adalah makhluk egois. Har-din mengganggap sistem komunal menciptakanlingkaran setan degradasi lingkungan atau “tragedibersama.”

Kritik Hardin muncul dari karya Elinor Ostrom(1990), dengan menunjukkan keragaman institusiyang telah diciptakan manusia untuk mengelolalingkungan kita. Menurut Ostrom, tentu sajamanusia dapat menghabiskan sumber daya yangterbatas, namun itu sering terjadi ketika manusiakekurangan institusi yang tepat untuk mengelo-lanya (Ostrom 2015). Perdebatan mengenai tragedikomunal ini jadi pijakan untuk melihat kerangkaanalisis lain. Saya tertarik untuk melihat sebuahkomunitas yang sebenarnya telah berhasil melin-dungi hutan mereka dan melestarikan mata penca-harian tradisional mereka, namun ada tekananbesar yakni ketidakpastian penguasaan tenurial (te-nurial insecurity) dan kehidupan adat mereka,untuk itu mereka memutuskan melakukan advo-kasi hutan adat.

David Henley dan Jamie S. Davidson (Henleydan Davidson 2008, 815-852) memberikan penga-matan yang bijaksana bahwa sebagai inkubator atauforum advokasi gerakan masyarakat adat saat inimuncul karena perampasan tanah oleh pemerintahatas nama pembangunan ekonomi untuk dikon-versi menjadi konsesi perkebunan, penebanganbatang kayu, pertambangan, dan pengalihan

Page 33: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

29Agung Wibowo, Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat ... 26-41

menjadi taman nasional. Daerah yang menolakkeras penyerahan tanah adat untuk tujuan negaradikenakan intimidasi, penahanan, atau dalamkasus tanah komunal atau tanah tidak bersertifikattidak diberi kompensasi—dan dialihkan ke pihaklain. Ironisnya, pihak lain ini justru dalam praktik-nya terbukti melakukan perusakan alam, misalnya,penebangan hutan (industri kayu pulp), pengerukantanah (pertambangan), pembakaran hutan (sawit).Revivalisme gerakan adat saat ini bukan hanyawacana nasional-internasional tentang hak-hakmasyarakat adat itu saja, melainkan bergerak arah-nya kepada kritik atas perampasan obyek yangberkenaan dengan hak itu (Ramstedt 2014, 72).Revivalisme adat kini tidak dapat sepenuhnya men-jelaskan kelompok-kelompok hak. Di masa OrdeBaru kelompok hak ini berjuang dengan mencer-minkan ideologi pertanahan, kearifan komunitas,dan suara adat Indonesia. Kini perjuangan itumengerucut dan khusus mengarah—katakanlah,pada hukum negara—untuk memberikan perju-angan melalui perubahan norma hukum.

Kesempatan advokasi dalam tataran hukumnegara itu datang ketika presiden Indonesia ke-7,Joko Widodo berkomitmen untuk melindungi ling-kungan dan kehutanan dengan kebijakan dalammemperkuat pengelolaan hutan rakyat. Dia meng-instruksikan Menteri Lingkungan Hidup danKehutanan, Siti Nurbaya Bakar untuk mengalo-kasikan 12,7 juta hektar hutan untuk masyarakatmelalui skema-skema Perhutanan Sosial. Dalampandangan saya, advokasi hutan adat tidak hanyadiatur oleh masyarakat adat dan organisasi masya-rakat sipil, tetapi juga dilakukan di sektor akade-mik. Ini adalah peluang besar untuk melakukanperubahan norma hukum bagi masyarakat adat.Beberapa penelitian mengidentifikasi bahwa hutannegara memiliki laju deforestasi tahunan lebihtinggi daripada hutan yang dikelola oleh masya-rakat setempat. Misalnya, Angelsen mengatakankegagalan kebijakan untuk mengurangi deforestasidan degradasi hutan di masa lalu, adalah karenafaktor-faktor terbatasnya hak masyarakat dalampengelolaan hutan sebagai salah satu penyebabutama (Angelsen dkk. 2013). Rencana redistribusiuntuk agenda reforma agraria/Tanah Obyek

Reforma Agraria (TORA) sudah dimasukkan dalamRencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN) pemerintah untuk periode 2015-2019. Inipenting bagi saya untuk mengetahui kontestasidalam advokasi hutan adat hari ini.

B. Proses Advokasi Hutan Adat yang SudahDitetapkan

Sebelum masuk kepada pokok persoalan, yakniproses advokasi hutan adat dan bagaimana skemamencadangkan hutan adat tersebut, saya akanmengggambarkan secara umum sejarah mengapahutan adat ini ada di Indonesia.2 Advokasi hutanadat berawal ada pada Putusan Mahkamah Konsti-tusi No. 35/PUU-X/2012 yang dimulai pada Maret2012. Tiga pemohon mengajukan peninjauankembali UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutananke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Mereka adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN); Masyarakat Hukum Adat KenagarianKuntu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau; danMasyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu,Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Peninjauan itupada dasarnya berkaitan dengan dua masalahkonstitusional, keberadaan hutan adat dan penga-kuan kondisional atas keberadaan masyarakathukum adat di kawasan hutan Indonesia.

Pada dasarnya, para pemohon berkeberatandengan Undang-Undang Kehutanan Indonesia yangmendalilkan bahwa hutan adat ditempatkan seba-gai bagian dari hutan negara. Keberadaan keten-tuan tentang hutan negara mengakibatkan keru-gian konstitusional bagi pemohon (masyarakathukum adat). Mahkamah Konstitusi juga kemu-dian berpendapat bahwa para pemohon telahkehilangan akses atas hutan dan tanah mereka(Putusan MK 35/2012).

2 Untuk lebih lanjut, pembaca dapat melihat BukuAnotasi Putusan MK 35 yang diterbitkan oleh Huma,Epistema Institute dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(Arizona, Herwati dan Cahyadi 2014) dan Suplemen WacanaMasyarakat Hukum Adat adalah Penyandang Hak, SubjekHukum, dan Pemilik Wilayah Adatnya: Memahami secaraKontekstual Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indone-sia atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012 (Rachman danSiscawati 2014).

Page 34: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

30 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Selanjutnya adalah tahap implementasi putusanMK 35 yang rumit dan panjang. Bagi masyarakathukum adat, harapan muncul ketika MahkamahKonstitusi (MK) membacakan Putusan No. 35 tahun2012 berlaku efektif sejak 16 Mei 2013. Konsep hutanadat mulai merebak di khalayak publik. Konsepini lahir ketika UU Kehutanan No. 41/1999 mencan-tumkan istilah “hutan negara” dalam pasal 1 angka6 yang berbunyi; “hutan adat adalah hutan negarayang berada dalam wilayah masyarakat hukumadat.” Ketua majelis hakim menyatakan hutan adatbukan lagi bagian dari hutan negara, melainkanhutan hak yang ada di wilayah masyarakat hukumadat. Namun, pada implementasinya, hutan adattidaklah cepat dan progresif. Ia terkendala birokrasidi Kementerian Kehutanan (pada saat itu belumdigabung Kementerian Lingkungan Hidup).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutananmemiliki iktikad baik ketika pada Pada 7 Juli 2015menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan HidupDan Kehutanan No. P.32/Menlhk Setjen/2015 ten-tang Hutan Hak (Permen LHK 32/2015). Peraturanmenteri ini mengejawantahkan Putusan MK 35dalam batang tubuh peraturannya. Terdapat pasalyang mengatur tata cara pengajuan pemohonanpenetapan kawasan hutan hak kepada MenteriLingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Ling-kungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK 32/2015) mengatur syarat penetapan hutan adat, yangmeliputi; pertama, terdapat masyarakat hukumadat atau hak ulayat yang telah diakui oleh peme-rintah daerah melalui produk hukum daerah.Kedua, terdapat wilayah adat yang sebagian atauseluruhnya berupa hutan. Ketiga, surat pernyataandari masyarakat hukum adat untuk menetapkanwilayah adatnya sebagai hutan adat. Terkait penga-kuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakatadat, Putusan MK 35, maupun Permen LHK 32/2015 menghendaki pengukuhan masyarakat hukumadat terlebih dahulu, sebelum penetapan hutanadat.

Frasa “produk hukum daerah” di Pasal 6 ayat(1) Permen LHK 32/2015 sejatinya menjawab keru-mitan yang selama ini terjadi. Kerumitan itu salahsatunya adalah beragamnya dasar hukum untuk

menetapkan masyarakat hukum adat yang dike-hendaki oleh berbagai peraturan (Wibowo danKristianto 2017).

Dengan menggunakan frasa “produk hukumdaerah”, maka pengakuan masyarakat hukum adatbisa melalui berbagai jenis bentuk hukum. Dasar-nya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk HukumDaerah, Pasal 1 angka 16 berbunyi: “Produk HukumDaerah adalah produk hukum berbentuk peraturanmeliputi Perda atau nama lainnya, Perkada, PB KDH,Peraturan DPRD dan berbentuk keputusan meliputiKeputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, Kepu-tusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehor-matan DPRD.” Peraturan Menteri LHK 32/2015 inimenjadi kunci bagi masyarakat hukum adat untukdikukuhkan haknya, baik dari subjek maupun objekhukum (Wibowo dan Kristianto 2017).

Menjawab keberadaan hutan adat tersebut,Selasa 5 September 2015 perwakilan masyarakatadat Marga Serampas di Jambi, Kasepuhan Karangdi Banten, Amatoa Kajang di Sulawesi Selatan, danWana Posangke di Sulawesi Tengah, mendaftarkanpenetapan hutan adat mereka kepada KementerianLingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka melam-pirkan sekurang-kurangya tiga dokumen, yaitu;surat pernyataan permohonan penetapan hutanadat, Peraturan Daerah tentang Pengakuan danPerlindungan Masyarakat Hukum Adat, serta petawilayah dan hutan adat mereka. Landasanmasyarakat hukum adat memerlukan pengukuhandari negara adalah agar menjadi benteng proteksiatas ruang hidup mereka.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanankemudian menjawab dengan melakukan verif ikasilapangan atas kawasan hutan adat yang diajukantersebut pada pertengahan Bulan Oktober 2015.Proses verif ikasi ini selain untuk menjawab prasya-rat pengakuan hutan adat, juga dilakukan untukmenjawab kebutuhan akademik ilmu kehutanan(scientif ic forestry), bahwa kawasan hutan hak harusterjaga secara fungsi kawasan ekologisnya. Verif i-kasi tersebut menghasilkan sebuah jawaban padapertemuan yang dilaksanakan pada 22 Desember2015 di Hotel Best Western Cawang, bahwamasyarakat adat tetap memiliki kelestarian pada

Page 35: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

31Agung Wibowo, Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat ... 26-41

kawasan hutan dan memiliki ketergantungan hidupyang erat dengan hutannya. Namun, pasca veri-f ikasi hingga sekarang, belum ada satu pun hutanadat yang dikukuhkan secara def initif oleh peme-rintah.

Baru tiga tahun kemudian, pada tanggal 30Desember 20163, presiden ke-7 Republik Indone-sia, Joko Widodo menyerahkan secara langsung 8Surat Keputusan (SK) Menteri LHK tentang Pene-tapan Hutan Adat untuk perwakilan masyarakatadat dari Provinsi Jambi, Sulawesi Selatan, Bantendan Sulawesi Tengah seluas lebih kurang 9,949hektar (ha) dan satu SK yang merevisi SK Menhutsebelumnya atas pemberian izin Hutan TanamanIndustri untuk PT Toba Pulp Lestari. SK ini menge-luarkan kawasan izin tersebut untuk dijadikansebagai hutan adat bagi masyarakat hukum adatPandumaan Sipituhuta di Provinsi Sumatera Utaraseluas 5,172 Ha. Selanjutnya pada tahun 2017, terda-pat dua penetapan hutan adat lainnya, yaitu “TawangPanyai” di Desa Tapang Semadak Kecamatan Seka-dau Ilir, Kabupaten Sekadau Provinsi KalimantanBarat, luas 40 ha dan Hutan Adat Marena di DesaMarena Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, luas756 Ha. Hingga 2018, telah ada 33 hutan adat diIndonesia dengan total luasan 17.243 hektar.

Hutan adat sendiri tidak dapat berjalan hanyadengan tupoksi yang harus dilakukan oleh Kemen-terian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari

pengalaman advokasi hutan adat yang telah ditetap-kan, sejauh ini telah terjadi sinergisitas antar lemba-ga negara baik di tingkat nasional maupun di ting-kat daerah. Di tingkat masyarakat sipil sendiri rata-rata mendampingi pemohon hutan adat sudahsejak lama dalam melakukan pengorganisasian ataskonflik yang dihadapi selama ini. Bila dilihat alurproses advokasi hutan adat yang dilakukan HuMabersama mitra hutan adatnya, berikut adalahgambaran ringkas studi kasus itu:

1. Marga Serampas

Komunitas ini terletak di Kabupaten Merangin,Jambi. Masyarakat ini telah memiliki dasar hukumberupa Keputusan Bupati No. 146/DISBUNHUT/2015 tentang Penetapan Hutan Adat Desa RantauKermas Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin(Rantau Kermas merupakan salah satu desa dalamwilayah Serampas). Dalam tahap riset di MargaSerampas, KKI Warsi dan Perkumpulan HuMamelakukan serangkaian kegiatan terkait HutanAdat Marga Sarampas. Proses pembuatan risetdiawali dengan tujuan mengumpulkan data-datayang terkait dengan kriteria atau indikator kebe-radaan suatu masyarakat adat, (cf (Heroepoetri(ed.) 2014, Griff iths 2002). Riset lapangan dilaku-kan dalam periode Februari-Oktober 2014.

Dalam tahap pengusulan hutan adat pada 5Oktober 2015, perwakilan masyarakat adat MargaSerampas Ishak Pendi mengajukan pendaftaranaplikasi hutan adat kepada Dirjen PSKL HadiDaryanto dalam Seminar dan Dialog Nasional ber-tajuk “Penetapan Hutan Adat Menuju PengakuanHak Masyarakat Adat” di Hotel Menara Peninsula.Pasca pengusulan, terjadi temu Tokoh Adat 13Komunitas di Manggala Wanabakti pada 20 No-vember 2015 untuk mendesak penetapan hutan adatpertama kali di Indonesia. Temu tokoh adat inidisambut oleh Direktur Jenderal Planologi Kehu-tanan dan Tata Lingkungan, San Afri Awang. SanAfri menyatakan “pertemuan hari ini adalah tong-gak yang baik karena kami (Kementerian LingkunganHidup dan Kehutanan-KLHK) bisa mendengarkaninformasi dari tokoh adat mengenai cara pengelolaanhutan yang berlaku di wilayahnya. Sehingga kamitidak meragukan lagi pengelolaan hutan oleh adat,

3 Pada awalnya Huma membuat laboratorium sosialhutan adat bersama dengan para mitra Hutan Adat. Ada tigabelas komunitas dalam skenario awal pengakuan untukmengakui hutan milik bersama mereka. Mereka adalah: 1.)Perkumpulan Wallacea: Seko di Kabupaten Luwu Utara,Sulawesi Selatan; 2.) Warsi: Marga Serampas di KabupatenMerangin, Jambi; 3.) JKMA: Mukim Lango di Kabupaten AcehBarat, 4.) RMI: Kabupaten Kasepuhan Karang Lebak, Banten;5.) AMAN Sulsel: Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba,Sulawesi Selatan; 6.) Q-Bar: Malalo Tigo Jurai di KabupatenTanah Datar, Sumatera Barat; 7.) AKAR: Margo Suku IX diKabupaten Lebong, Bengkulu; 8.) LBBT: KetemenggunganBelaban Ella di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat; 9.)Perkumpulan Bantaya: Ngata Marena di Kabupaten Sigi,Sulawesi Tengah; 10.) YMP: Lipu Wana Posangke di Kabupa-ten Morowali, Sulawesi Tengah; 11.) JKMA: Mukim Beunggadi Pidie, Kabupaten Aceh; 12.) LBBT: KetemenggunganTapang Semadak di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat;13.) Padi Indonesia: Kampung Mului di Kabupaten Paser,Kalimantan Timur.

Page 36: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

32 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

sebab kami mendengar langsung dari masyarakatadatnya” (Wallacea 2016).

Pasca pengusulan, Kementerian LHK terutamadirjen PSKL (Perhutanan Sosial dan Kemitraan Ling-kungan) melakukan verif ikasi dan validasi 9 No-vember 2015 Direktorat PKTHA KLHK melakukanVerif ikasi Validasi Hutan Adat di Marga SerampasJambi. Tim Verif ikasi dan Validasi: Jonny Purba,Adi Saputro, Deny, Dewito Irawan, Agus, Desrizal,Wawan.

Dalam tahap Gelar Hasil Verif ikasi Hutan Adatdiselenggarakan pada Jumat, 11 Desember 2015 diHotel Cosmo Amaroossa, Jakarta Selatan. Hasiltersebut menetapkan wilayah Desa Air Terjun, DesaSungai Deras, Desa Pungut Mudik, Desa KemantanKabalai yang keempatnya berada di KabupatenKerinci, dan Desa Rantau Kermas (Marga Seram-pas) di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi dapatditetapkan hutan adatnya oleh Direktorat Pe-nanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat,Direktur Jenderal PSKL-KLHK. Karena gelar hasilsudah dilakukan, namun penetapan hutan adattidak kunjung dilakukan oleh pemerintah, makapada 5 Desember 2016 dilakukan siaran pers diMerdesa Institute, oleh tokoh adat dari MargaSerampas di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi,masyarakat Ammatoa Kajang di KabupatenBulukumba, Sulawesi Selatan, masyarakat LipuWana Posangke di Kabupaten Morowali, SulawesiTengah, dan masyarakat Kasepuhan Karang diKabupaten Lebak, Banten. Mereka menagihkomitmen Menteri LHK dan Presiden Joko Widodountuk segera menetapkan hutan adat pertamakalinya di Indonesia (Erdianto 2016).

Pemerintah telah melampaui waktu penetapanyang seharusnya 90 hari pasca verif ikasi dan vali-dasi. Pemerintah telah melewati 457 hari semenjakempat masyarakat hukum adat mengajukanpendaftaran ke Kementerian Lingkungan Hidupdan Kehutanan.

2. Kasepuhan Karang

Masyarakat hukum adat Kasepuhan Karangterletak di Kabupaten Lebak Banten. Masyarakatini memiliki dasar hukum berupa dua buah produkhukum yaitu; Peraturan Daerah Kabupaten Lebak

Provinsi Banten No. 8 Tahun 2015 tentang Penga-kuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masya-rakat Hukum Adat Kasepuhan dan Surat KeputusanBupati Lebak Nomor: 430/kep-238/Disdikbud/2013tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adatdi Wilayah Banten Kidul.

Di tahap-tahap awal riset, Rimbawan Muda In-donesia (RMI) bersama Perkumpulan HuMamelakukan serangkaian kegiatan pelatihan hukumkritis di Lebak Banten. Dilanjutkan penelitian reso-lusi konflik. Proses riset diawali dengan penelitianhutan adat sebagai bentuk resolusi konflik diwilayah taman nasional pada periode Maret-Agus-tus 2014. Riset tersebut juga diiringi dengan diada-kannya sekolah pendamping hukum rakyat yangsudah dilakukan RMI dan Huma 10 tahun terakhir(Kleden 2011). Dalam pelatihan tersebut beberapapeserta training yang dikenal dengan PendampingHukum Rakyat (PHR) melakukan lobi di DPRDdan membantu legislasi drafting di KabupatenLebak untuk menginisiasi dibentuknya produkhukum daerah yang menaungi dan mengukuhkanmasyarakat hukum adat di Lebak Banten (Firman-syah dan Prabowo 2013). Dari proses inilah kemu-dian Rapat Paripurna Penetapan Peraturan Daeraholeh Pemerintah Kabupaten Lebak dilakukan hariKamis, 19 November 2015. RMI Bersama masya-rakat Kasepuhan meyakinkan Junaidi Ibnu Jarta,Ketua DPRD Kabupaten Lebak yang menjadiinisiator Perda, maupun Bupati serta Wakil BupatiAde Sumardi menekankan kepada masyarakatKasepuhan agar dapat membuktikan pengelolaansumberdaya alam yang lebih baik lagi (Ramdha-niaty dan Ratnasari 2017).

Barulah tahap pengusulan dilakukan pada 5Oktober 2015 oleh perwakilan masyarakat adatKasepuhan Karang, Jaro Wahid mengajukan pen-daftaran aplikasi hutan adat kepada Dirjen PSKLHadi Daryanto dalam Seminar dan Dialog Nasionalbertajuk “Penetapan Hutan Adat Menuju Penga-kuan Hak Masyarakat Adat” di Hotel Menara Pen-insula, Jakarta.

Pada 5 Oktober 2015 verif ikasi dilakukan olehHadi Daryanto, Dirjen PSKL kepada MasyarakatKasepuhan Karang, Lebak, Banten, sebagai bagiandari proses Permen KLHK 32/2015. Pada awalnya

Page 37: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

33Agung Wibowo, Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat ... 26-41

proses pengusulan hutan adat di Kasepuhan Karanghanya dilakukan melalui landasan hukum berupaSurat Keputusan Bupati Lebak Nomor: 430/kep-238/Disdikbud/2013 tentang Pengakuan Keberada-an Masyarakat Adat di Wilayah Banten Kidul.Namun pada Desember 2015, Pemerintah Kabu-paten Lebak mengeluarkan Perda Nomor 8 Tahun2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pember-dayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan yangsalah satunya adalah Kasepuhan Karang. Inimemperkuat verif ikasi dan validasi di KasepuhanKarang untuk membuktikan komitmen dan perha-tian Pemerintah Kabupaten Lebak dalam mengu-payakan hak-hak masyarakat adat juga turut berpe-ran penting dalam perjuangan masyarakat adatKasepuhan Karang.

Dalam gelar hasil dibacakan bahwa luas hutanadat Kasepuhan Karang yang ditetapkan adalah485,366 hektar yang terdiri dari 389,207 hektarhutan tutupan (leuweung kolot) dan hutan titipan(leuweung cawisan) dan 96 hektar di wilayahGunung Haruman masyarakat adat KasepuhanKarang. Luas tersebut dalam SK Penetapan HutanAdat menjadi 486 hektar, dengan keterangan 462hektar berada dalam wilayah Taman NasionalGunung Halimun Salak dan 24 hektar berada diwilayah Areal Penggunaan Lain (APL).

3. Ammatoa Kajang

Masyarakat hukum adat Ammatoa Kajangterletak di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.Masyarakat hukum adat ini memiliki dasar hukumberupa Perda Kabupaten Bulukumba No. 9 Tahun2016 tentang Pengakuan, Pengukuhan, dan Perlin-dungan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang.

Kunjungan lapangan dalam tahap riset dilaku-kan pada Agustus 2014 oleh Aliansi MasyarakatAdat Nusantara Perwakilan Wilayah (AMAN)Sulawesi Selatan dan Perkumpulan HuMa untukmelakukan serangkaian kegiatan terkait hutan adatdi Kajang. Proses riset awal adalah meninjau konflikpasca penembakan masyarakat ketika terjadi konflikperebutan lahan dengan PT London Sumatera diKabupaten Bulukumba. Identifikasi ini juga untukmengetahui di mana saja masyarakat yang dikate-gorikan sebagai masyarakat hukum adat Kajang.

Hasil riset menunjukkan bahwa masyarakat hukumadat Ammatoa Kajang adalah sekelompok orangyang secara turun-temurun bermukim di IlalangEmbayya’ (Kajang dalam) dan sebagian bermukimdi Ipantarang Embayya’ (Kajang luar) yang melak-sanakan Pasang ri hukum Kajang.”

Dalam tahap pengusulan skema model pene-tapan hutan adat, masyarakat Ammatoa Kajangbelum menjadi prioritas penetapan, namun ketikaTemu Tokoh Adat 13 Komunitas di ManggalaWanabakti pada 20 November 2015 Prof. San AfriAwang selaku Direktur Jenderal Planologi Kehu-tanan dan Kemitraan Lingkungan (PKTL) menya-rankan Kajang untuk masuk wilayah prioritas.“Seharusnya Kajang ini masuk pengusulan, sudahbanyak kajian akademik dari mahasiswa sayaterutama kajian scientif ic forestry di sana.” Iamenyadari Kajang sudah memiliki kelayakan hutanadatnya ditetapkan sebagai hutan adat. Pada 5Oktober 2015, masyarakat Ammatoa Kajang diwa-kili Jamaludin Tambi mendaftarkan permohonanpenetapan kawasan hutan adat ke KLHK kepadaKasubdit Hutan Adat, Jonny Purba di ManggalaWanabakti. Tak berhenti di situ, di Kajang sendiripada 17 Oktober 2015 dilakukan konsolidasi A’borong lompoa, suatu mekanisme pengambilankeputusan secara musyawarah mufakat dalamkomuitas adat Ammatoa Kajang, di KabupatenBulukumba, Sulsel membicarakan mengenaikepastian luas wilayah adat dan pemantapan arealhutan adat (Borong Lompoa) yang hendak diajukanke KLHK dengan meyakinkan Balai PemantpanKawasan Hutan (BPKH) Provinsi Sulsel terlebihdahulu.

Pada bulan Maret 2016 dilaksanakan verif ikasidan validasi oleh Tim Direktorat PenangananKonflik Tenurial dan Hutan Adat, BPKH VII, BPDAS Jeneberang Walnae, Dinas Kehutanan danPerkebunan Bulukumba. Pada tanggal 8 Agustus2016 Kunjungan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakardan Dirjen PSKL Hadi Daryanto ke masyarakathukum adat Ammatoa Kajang, BulukumbaSulawesi Selatan. Menteri LHK menyampaikankomitmennya, “Proses di Kementerian LingkunganHidup dan Kehutanan sudah selesai. Saya akanmenjadwalkan bertemu dengan Presiden untuk

Page 38: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

34 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

membahas ini. Sudah tidak ada keraguan bagi sayauntuk segera menetapkan Hutan Adat AmmatoaKajang,” tutur Siti Nurbaya Bakar. Dari 24-27Agustus 2016 dilangsungkan studi banding untukproses pembelajaran, perwakilan masyarakathukum adat Kajang ke Marga Serampas di Jambiterkait pemberdayaan ekonomi masyarakat diwilayah hutan adat.

4. Tau Taa Wana Posangke

Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana Posang-ke berada di Kabupaten Morowali Utara, SulawesiTengah. Masyarakat ini memiliki dasar hukumberupa Peraturan Daerah Kabupaten MorowaliNomor 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan DanPerlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana.

Yayasan Merah Putih (YMP) Sulteng danPerkumpulan HuMa melakukan serangkaiankegiatan riset terkait hutan adat Kabupaten Moro-wali. Proses penelitian di Wana Posangke dilakukandengan kekhususan yaitu mengetahui keberadaanmasyarakat hukum adat yang berada dalam cagaralam dan hidup berpindah dalam sebuah kampungatau disebut lipu. Kunjungan lapangan dilakukandalam periode Februari-Oktober 2014. Tahap risetselanjutnya dilakukan pada 2 September 2015dengan melakukan pembuatan opini hukum“Telaah Hukum–Penetapan Wilayah Adat SukuWana Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Selatan”untuk mendorong Keputusan Bupati MorowaliUtara Tentang Penetapan Wilayah Adat MasyarakatHukum Adat Suku Wana Posangke.

Dalam tahap pengusulan, pada 5 Oktober 2015,perwakilan masyarakat adat Tau Taa Wana Posang-ke, Indo Imel mengajukan pendaftaran aplikasihutan adat kepada Dirjen PSKL Hadi Daryantodalam acara yang sama dengan ketiga masyarakathukum adat di atas yaitu Seminar dan DialogNasional bertajuk “Penetapan Hutan Adat MenujuPengakuan Hak Masyarakat Adat” di Hotel MenaraPeninsula Jakarta.

Tindak lanjut dan verif ikasi dilakukan pada 10Desember 2015 dengan dibentuknya tim verif ikasioleh Dirjen PSKL dan Dirjen PKTL untuk memba-has hasil penetapan hutan adat. Tanggal 13 sampaidengan 16 Desember 2015: Kunjungan PSKL, Direk-

tur Penanganan Konflik Tenural dan Hutan Adat,Rosa Vivien Ratnawati yang saat itu menjabatsebagai Direktur Penanganan Konflik Tenurial danHutan Adat, serta bersama BPKH Palu ke Kabupa-ten Morowali Utara. Kunjungan Lapangan Moro-wali Utara ini adalah untuk mempercepat prosespenetapan peta, namun menurut PKTHA masihperlu lobi meyakinkan pihak planologi terkaitluasan dan status, karena hutan adat di WanaPosangke masih mempertimbangkan soal luas danfungsi kawasan hutan yaitu cagar alam. Usulan yangdiusulkan masyarakat dianggap terlalu luas yakni± 26.000 hektar.

5. Ngata Marena

Masyarakat Hukum Adat Ngata Marena beradadi Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Dasar hukumuntuk masyarakat Ngata Marena ada dua. Pertama,Perda Kab. Sigi No 15 tahun 2014 tentang Pem-berdayaan dan Perlindungan Masyarakat HukumAdat. Kedua, SK Bupati Sigi Nomor 189-014 Tahun2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masya-rakat Hukum Adat Kulawi di Marena KecamatanKulawi Kabupaten Sigi.

Perkumpulan Bantaya Sulawesi Tengah danPerkumpulan HuMa melakukan serangkaiankegiatan penelitian tentang masyarakat NgataMarena. Proses pembuatannya diawali denganpenelitian perbandingan hutan. Huma dan Bantayaingin mengidentif ikasi bagaimana proses keber-hasilan pengelolaan hutan antara hutan denganskema pengelolaan oleh negara (yakni PerhutananSosial)—dahulu hutan adat belum ada dalamskema Perhutanan Sosial—dibandingkan denganhutan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat.Tujuannya untuk membuktikan bahwa skemamasyarakat hukum adat juga penting dalammenyejahterakaan warga negara Indonesia teru-tama masyarakat hukum adat.

Dari Januari-Agustus 2016 PerkumpulanBantaya juga mengadvokasi Surat KeputusanBupati Sigi tentang Pengakuan dan PerlindunganMasyarakat Hukum Adat Kulawi di MarenaKecamatan Kulawi Kabupaten Sigi. Pada Oktober2016 Perkumpulan Bantaya berkoordinasi denganHuMa untuk memenuhi form pengajuan hutan

Page 39: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

35Agung Wibowo, Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat ... 26-41

adat, dan pada Desember 2016 pengusulan hutanadat Marena di Dirjen PSKL.

Verif ikasi lapangan oleh KLHK dari tanggal 6sampai dengan 9 Maret 2017. Hasil verif ikasi inimemandatkan hutan adat di Marena ditetapkanhanya separuh dari luasan yang diusulkan, dite-tapkan 756 hektar dari 1.488 hektar yang diusulkanmasyarakat. Perwakilan Masyarakat Hukum AdatMarena mengirimi surat elektronik ke MenteriLingkungan Hidup dan Kehutanan mengenaikeberatan atas Hasil Berita Acara Verif ikasi HutanAdat Marena. Masyarakat mengusulkan KLHKuntuk melakukan verif ikasi ulang.

6. Ketemenggungan Tapang Semadak

Masyarakat Ketemenggungan Tapak Semadakterletak di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.Dasar hukum dalam penetapan hutan adat diTapang Semadak adalah Keputusan Bupati SekadauNomor: 180/392/HK-A/2016. Awalnya, LembagaBela Banua Talino (LBBT) dan Perkumpulan HuMamelakukan serangkaian kegiatan penelitan tentangmasyarakat adat Dayak di Sekadau (Roedy Haryo2014, 10-12). Proses penelitian tidak hanya untukmencari data tapi juga menggunakan fotograf isebagai jalan mengetahui kehidupan masyarakathukum adat agar dapat pula menjadi kriteria atauindikator keberadaan suatu masyarakat adat yangmudah dipahami publik.

Tahapan riset selanjutnya adalah diadakandiskusi multipihak terkait Legal Review UU No. 23Tahun 2014 pada 15 Desember 2015. Diskusi dihadiripelbagai pihak antara lain; Pemda Melawi, Sekreta-ris DPRD Kabupaten Sanggau, DPRD KabupatenKapuas Hulu, Perwakilan Komunitas di Sekadau,Sanggau, Melawi dan Kapuas Hulu, serta beberapaCSO di Kalimantan Barat. Dalam pertemuan inimerekomendasikan pula para pemerintah daerahuntuk menerbitkan produk hukum daerah. BupatiSekadau kemudian melakukan tindak lanjut padatanggal 28 Desember 2016, dengan mengeluarkanSurat Keputusan Bupati Sekadau Nomor: 180/392/HK-A/2016. Keputusan ini mengakui keberadaanHutan Adat Tawang Panyai milik Masyarakat AdatTapang Sambas-Tapang Kemayau, Desa TapangSemadak, Kec. Sekadau Hilir seluas 40,5 Ha. Pada

Oktober 2016 LBBT berkoordinasi dengan HuMauntuk memenuhi form pengajuan hutan adat, danpada Desember 2016 pengusulan hutan adatTapang Semadak di Dirjen PSKL. Pada Januari 2017Dirjen PSKL melakukan verif ikasi lapangandipimpin oleh Prasetyo Nugroho, Kasubdit HutanAdat.

7. Tingkat Nasional

Di tingkat nasional sendiri tim peneliti di Humamelakukan kajian dan riset. Untuk keperluanmengumpulkan komentar dan masukan dalamrangka penyempurnaan Kertas Kebijakan, diseleng-garakan sebuah lokakarya di Fakultas Hukum, Uni-versitas Gadjah Mada, pada 27-28 April 2015. PadaOktober 2014, untuk mempermudah para pihakmemahami empat konsep identif ikasi masyarakathukum adat di 13 wilayah. Divisi Analisa Hukumdan Data menerbitkan buku Hutan Adat dalam Info-graf ik (Wibowo, Kristianto, dan Widyanto 2015)dan film tentang hutan adat (Kristianto 2016).

Setelah pada 7 Juli 2015, Menteri LingkunganHidup dan Kehutanan, menetapkan PeraturanMenteri Lingkungan Hidup Dan KehutananRepublik Indonesia Nomor: P.32/Menlhk Setjen/2015 tentang Hutan Hak. Huma membuat opinihukum pada 7 September 2015, Pembuatan opinihukum ini berdasarkan analisa bagi para pengusulhutan adat yang sudah mengajukan aplikasi kepadaKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.Pada Selasa, 22 Sept. 2015, Pukul 10.00-12.00 WIB,bertempat di Manggala Wanabakti, dilangsungkanpertemuan antara Direktorat Penanganan KonflikTenurial dan Hutan Adat Kementerian LingkunganHidup dan Kehutanan bersama HuMa dan bebera-pa mitra. Adapun agenda pembicaraan ini adalahmembahas agenda kelanjutan Dialog di Best West-ern (4 September 2015) terkait wilayah prioritas2015, khususnya yang diusulkan Mitra dan HuMayaitu: Tau Taa Wana Posangke; Marga Serampasdan Kasepuhan Karang.

Pada 30 Desember 2016, pemberian SK Hutanadat diserahkan oleh Presiden Joko Widodo di Ista-na Negara. Surat Keputusan Hutan Adat ditanda-tangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehu-tanan Siti Nurbaya Bakar. Penyerahan SK Hutan

Page 40: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

36 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Adat kepada masyarakat hukum adat Marenakedua kemudian dilakukan saat pembukaanKonferensi Tenurial 2017 di Istana Negara olehPresiden Joko Widodo 25 Oktober 2017. Berdasar-kan SK penetapan hutan adat tersebut Hutan AdatTapang Semadak ditetapkan seluas 40,5 hektar.Sementara Hutan Adat Marena ditetapkan seluas756 hektar. Sampai sejauh ini telah ada 33 hutanadat yang ditetapkan di Indonesia dengan luas danfungsi hutan yang beragam (Outlook Huma 2019).

C. Usulan Kebijakan Pencadangan HutanAdat

Mau tak mau dan harus disadari hutan adatsendiri masuk dalam skema Perhutanan Sosial. Jadiadvokasi hutan adat sendiri berada di dalamDirektorat Jenderal PSKL, Kementerian Ling-kungan Hidup dan Kehutanan. Dalam PerhutananSosial sendiri ada lima skema Perhutanan Sosialdigambarkan sebagai lima jari oleh PSKL, yaituHutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm),Hutan Tanaman Rakyat (HTR), PerlindunganKemitraan Konservasi Kehutanan (Kulin KK) danHutan Adat (HA). Hingga pertengahan akhir 2018,capaian pemberian hak akses untuk pengelolaandi dalam kawasan hutan telah mencapai 1.558.453hektar dari target 2 juta hektar di tahun 2018. Ini

terdiri dari Hutan Desa 969.215 Ha, Hutan Kema-syarakatan 337.142 Ha, Hutan Tanaman Rakyat99.709 Ha, Kemitraan Konservasi 102.000 ribu Ha,dan hutan adat 27.950 Ha (KLHK 2018).

Dari data yang sudah dihimpun selama berbu-lan-bulan oleh Koalisi Masyarakat Sipil sebenarnyaada potensi hutan adat seluas 6.704.232 hektar. Daridata tersebut, hutan adat hanya sekira 1,7% sajadari capaian Perhutanan Sosial. Menteri LHKmelalui Dirjen PSKL secara intensif mengundangkoalisi masyarakat sipil yang berkecimpung dalamadvokasi hutan adat untuk membicarakan perihalpercepatan target penetapan hutan adat dalamRapat Koordinasi Hutan Adat pada 23-24 Januari2018 (Wibowo dan Kristianto 2017). Dari daftarKoalisi Hutan Adat yang ada, mereka menyerahkandata potensi hutan adat yang telah diinventarisasioleh koalisi masyarakat sipil.

Di Sekretariat Reforma Agraria, saya bersamarekan saya Erwin Dwi Kristianto, bersama Staf AhliKantor Staf Presiden yaitu Noer Fauzi Rachman danDidiet, staf Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)membuat skema advokasi hutan adat berdasarkantabulasi potensi hutan adat yang belum dapat di-ajukan. Beginilah skema potensi hutan adat ter-sebut dengan pelbagai hambatan proses pene-tapannya.

Sumber: data AMAN, BRWA, Huma 2017

Tabel 1. Kategorisasi Potensi Hutan Adat yang Dihimpun oleh Koalisi Masyarakat Sipil

Klus-ter

SubKlaster

PerdaPenetapan

PerdaPengaturan

SK TurunanPerda

Pengaturan

SKPenetapanMasyarakat

Adat

SKHutanAdat

Ranperdadalam

Prolegda

Peta DataSosial

Izin/Konflik

JumlahKomunitas

Luas Potensi HutanAdat

1 1A Ada - - - - - Ada Ada Ada 15 114.286,69

1B Ada - - - - - Ada Ada Tidak 9 147.861,74

2 2A - Ada Ada - - - Ada Ada Ada 14 139.308,05

2B - Ada Ada - - - Ada Ada Tidak 5 10.971,95

3 3A - - - - Ada - Ada Ada Ada - -

3B - - - - Ada - Ada Ada Tidak 1 1.368,00

4 4A - - - Ada - - Ada Ada Ada 10 214.985,834B - - - Ada - - Ada Ada Tidak 1 38.890,40

Jumlah 55 667.672,66

5 5A - Ada - - - - Ada Ada Ada 79 1.985.791,53

5B - Ada - - - - Ada Ada Tidak 54 217.422,40

6 6A - - - - - Ada Ada Ada Ada 123 970.250,546B - - - - - Ada Ada Ada Tidak 211 94.022,24

7 7A - - - - - - Ada Ada Ada 94 2.127.613,827B - - - - - - Ada Ada Tidak 142 641.458,98

Jumlah 703 6.036.559,52

8 8A - - - - - - Tidak Ada Ada - -

8B - - - - - - Ada Tidak Tidak - -

Total 1516 6.704.232,18

Page 41: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

37Agung Wibowo, Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat ... 26-41

Dari delapan klaster tersebut, maka saya melihatada potensi-potensi hutan adat dengan meng-gunakan beberapa model penanganan penetapanyaitu:1. Lokasi potensi hutan adat yang sudah leng-

kap. Telah memiliki Perda penetapan MHA,prof il masyarakat, ada data sosial, serta adapeta hutan/wilayah adatnya.

2. Lokasi potensi hutan adat yang memilikiperda bersifat pengaturan dan sudah memi-liki surat kepala daerah tentang penetapanMHA/wilayah adat, ada data sosial dan adapeta wilayah adatnya.

3. Lokasi potensi hutan adat yang hanya memi-liki surat kepala daerah tentang hutan adat,ada data sosial dan ada peta wilayah adatnya.Namun belum memiliki Peraturan Daerah.

4. Lokasi potensi hutan adat yang hanya memi-liki surat kepala daerah tentang penetapanmasyarakat hukum adat, ada data sosial danada peta wilayah adatnya, namun belum me-miliki Peraturan Daerah.

5. Lokasi potensi hutan adat yang memilikiperda bersifat pengaturan, ada data sosial danada peta wilayah adatnya, namun memer-lukan surat kepala daerah tentang penetapanMHA/wilayah adat.

6. Lokasi potensi hutan adat yang Peraturan Da-erahnya sedang dalam proses penyusunandan masuk ke dalam program legislasidaerah.

7. Lokasi potensi hutan adat yang sudah memi-liki prof il MHA, peta wilayah adat/hutanadat, tetapi belum memiliki sama sekaliPerda ataupun keputusan kepala daerah ter-kait pengakuan MHA.

8. Lokasi potensi hutan adat perlu penguatankomunitas perihal data sosial dan pemetaanpartisipatif wilayah adatnya.

Lokasi-lokasi tersebut perlu juga ditapis kembaliapakah masuk ke dalam wilayah konflik atau tidak,yakni wilayah MHA yang sudah memiliki hak per-izinan lain ataupun masuk ke dalam kawasan hutannegara.

Berdasarkan delapan klaster potensi hutan adatdi atas, agenda percepatan hutan adat sebenarnya

dapat dilaksanakan dengan merujuk PeraturanMenteri Lingkungan Hidup dan KehutananRepublik Indonesia Nomor: P.32/Menlhk Setjen/2015 tentang Hutan Hak, Pasal 7 ayat (3) berbunyi:Dalam hal areal yang dimohonkan sebagai hutan hakmasih terdapat konflik dengan pemegang izin ataupemangku hutan yang lain, Menteri mencadang-kan areal hutan hak dan memerintahkan pejabatyang berwenang dalam lingkup tugasnya untukmenyelesaikan konflik yang menyangkut kewe-nangan Menteri dalam waktu paling lambat 90(sembilan puluh) hari kerja. (Peraturan MenteriLingkungan Hidup dan Kehutanan P. 32/Menlhk/Setjen/2015 tentang Hutan Hak 2015). Potensi lokasihutan adat di atas dapat ditetapkan melalui SuratKeputusan (SK) Penetapan Pencadangan HutanAdat didasarkan pada Pasal 7 ayat (3) Permen LHK32/2015 guna membantu mempercepat proses yangada. Selain dasar hukum tersebut, Menteri LHKdapat mengeluarkan diskresinya untuk membantumempercepat atau menyelesaikan problemmengenai mandulnya proses penetapan hutan adatsesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentangAdministrasi Pemerintahan. Untuk itu, tulisan inimemberi rekomendasi untuk menerbitkan SuratKeputusan (SK) Penetapan Pencadangan HutanAdat dengan skema sebagai berikut:1. SK Pencadangan Hutan Adat dengan status

hutan masih dalam kawasan hutan negaradan perubahan status hutan negara menjadihutan adat, memerlukan keputusan kepaladaerah yang mengakui keberadaan masya-rakat hukum adat dan wilayah adatnya sesuaidengan Peraturan Daerah tertentu.

2. SK Pencadangan Hutan Adat dengan statushutan masih dalam kawasan hutan negaradan perubahan status hutan negara menjadihutan adat, memerlukan peraturan daerahdan/atau produk hukum daerah lainnya yangmengakui keberadaan masyarakat hukumadat.

3. SK Pencadangan Hutan Adat yang dengan sta-tus hutan masih dalam kawasan hutan negaradan perubahan status hutan negara menjadihutan adat, memerlukan penyelesaian kon-flik dengan pemegang izin atau pemangku

Page 42: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

38 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

hutan yang lain dengan wilayah hutan adatmasyarakat hukum adat tertentu sesuaidengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidupdan Kehutanan Republik Indonesia NomorP. 84/Menlhk/Setjen/2016 tentang Pe-nanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan.

4. SK Pencadangan Hutan Adat dengan statushutan masih dalam kawasan hutan negaradan perubahan status hutan negara menjadihutan adat, memerlukan peraturan daerahdan/atau produk hukum daerah lainnya yangmengakui keberadaan masyarakat hukumadat dan memerlukan peta wilayah dan hutanadat masyarakat hukum adat tertentu yangmerupakan salah satu bagian yang tidak ter-pisahkan dari pengajuan penetapan hutanadat.

Dalam SK Pencadangan tersebut dapat disebut-kan pula diktum percepatan penyelesaian masalahyang menghambat penetapan hutan adat tersebut.Sementara untuk lokasi hutan adat yang sudah siapsyarat-syaratnya tinggalah menempuh tahapanverif ikasi oleh Dirjen PSKL Kementerian Ling-kungan Hidup dan Kehutanan.

1. Sinergi Antar Lembaga

Dari pengalaman hutan adat, baik yang telahditetapkan maupun yang sedang berproses, dibu-tuhkan sinergisitas antar lembaga. Kurang lebihdalam mewujudkan proses penetapan hutan adatada beberapa lembaga yang terlibat untuk agendapencadangan penetapan hutan adat ke depan;

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapatmenjalankan tugasnya; pertama, memfasilitasipemerintah daerah untuk menyusun produkhukum daerah yang mengakui masyarakat hukumadat atau hak ulayat. Kedua, menerbitkan SKPenetapan Pencadangan Hutan Adat didasarkanpada Pasal 7 ayat (3) Permen LHK 32/2015 gunamembantu mempercepat proses yang ada. Ketiga,menghimbau direktorat jenderal untuk segeramelakukan proses penetapan hutan adat bagimasyarakat hukum adat yang telah memenuhisyarat penetapan hutan adat, direktorat jenderaltersebut antara lain adalah:a. Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan

Kemitraan Lingkungan (PSKL), terkait tupok-si pengajuan, verif ikasi dan penetapan hutanadat.

b. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan TataLingkungan (PKTL), terkait dengan pemetaanareal hutan adat.

c. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber DayaAlam dan Ekosistem (KSDAE), terkait denganwilayah hutan adat yang berada pada ka-wasan hutan fungsi konservasi.

d. Direktorat Jenderal Pengelolaan HutanProduksi Lestari (PHPL), terkait dengan wila-yah hutan adat yang berada pada kawasanhutan fungsi produksi.

e. Direktorat Jenderal Pengendalian DaerahAliran Sungai dan Hutan Lindung (DirjenPDASHL), terkait dengan wilayah hutan adatyang berada pada kawasan hutan lindung.

Menteri Dalam Negeri dapat menjalankan tugas;pertama, meminta informasi mengenai produkhukum daerah tentang pengakuan dan/atau pene-tapan masyarakat hukum daerah kepada peme-rintah daerah. Kedua, menghimbau pemerintahdaerah agar dapat segera menyusun produk hukumdaerah dalam hal belum ada produk hukum daerahtentang pengakuan dan/atau penetapan masya-rakat hukum daerah.

Menteri Agraria dan Tata Ruang dapat menjalan-kan tugasnya yaitu menginventarisasi wilayahmasyarakat hukum adat dan/atau hutan adat yangberada dalam kawasan Area Penggunaan Lain(APL) untuk ditetapkan sebagai wilayah hak ko-munal.

Pemerintah Daerah (Tingkat Provinsi dan/atautingkat Kabupaten/Kota) dapat menjalankan tugas-nya; pertama, untuk menerbitkan produk hukumdaerah dalam hal belum ada produk hukum daerahtentang pengakuan dan/atau penetapan masya-rakat hukum daerah. Kedua, mengamanatkandinas-dinas terkait untuk menginventarisasi dataprofil dan peta masyarakat hukum adat di tingkatdaerah.

Page 43: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

39Agung Wibowo, Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat ... 26-41

2. Hasil Rapat Kordinasi Hutan Adat 2018

Pada hari Rabu tanggal 24 Januari 2018, pelbagaipihak telah menandatangani berita acara terkaitpembahasan dan telaah teknis peta-peta potensi/usulan/klaim hutan adat berdasarkan sumber petaBadan Registrasi Wilayah Adat (Wibowo dan Kris-tianto 2017). Dalam kesepakatan tersebut terdapatdata luasan potensi hutan adat per-regio, yaitusebagai berikut:a. Regio Sumatera : 449.709 hab. Regio Jawa Bali dan

Nusa Tenggara : 117.944 hac. Regio Kalimantan : 3.633.246 had. Regio Sulawesi : 859.533 hae. Regio Maluku : 1.145.383 ha

Total luasan target potensi hutan adat dalamkesepakatan rapat koordinasi hutan adat tersebutadalah seluas 6.205.815 ha. Dari hasil tersebut,perlulah tindak lanjut untuk menyegerakan perce-patan penetapan hutan adat. Skema pencadanganhutan adat merupakan salah satu pemecah darikebuntuan ini.

E. Kesimpulan

Dalam Nawacita, Presiden Joko Widodo(Jokowi) menyebutkan komitmennya untuk mem-bangun Indonesia dari pinggiran dengan mem-perkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangkanegara kesatuan. Target Presiden Jokowi dalam

Program Pembangunan Nasional 2015-2019mengenai kawasan Perhutanan Sosial, termasukhutan adat disebutkan dalam jumlah luasan seluas12,7 juta hektar. Janji Nawacita tersebut tentu akanmenemui hambatan jika tidak mencermati pengu-kuhan hutan adat kepada masyarakat hukum adat.

Sejauh ini telah ada proses yang dapat diman-faatkan untuk masyarakat mendapatkan hutanadat tersebut, namun hal tersebut tidak dapat ber-diri sendiri unsur lain seperti peneliti, organisasimasyarakat sipil, pemerintah daerah juga turutandil membantu KLHK untuk menetapkan hutanadat di Indonesia. KLHK juga perlu mencermati dimana hutan adat itu hendak dikukuhkan. Data yangtelah dikumpulkan bersama masyarakat sipilhingga saat ini adalah langkah yang cukup baik,oleh karena itu, sangat sayang bila data tersebuthanya disimpan di meja tugas. Alangkah baiknyaproses pencadangan hutan adat dapat mulai dila-kukan secara masif untuk melakukan proteksi bagisubyek hukum, yakni masyarakat hukum adat.Skema pencadangan merupakan usulan diskresihukum yang dapat dipakai untuk membingkaikeberadaan masyarakat hukum adat tersebut.

Dari proses agenda percepatan penetapan hutanadat yang tengah dilakukan penting melihat penca-dangan hutan adat sebagai langkah yang perlu dido-rong. Namun hal lain yang penting pula diperha-tikan adalah bagi para pihak untuk tidak mela-

Gambar 1. Diagram Peta Jalan Percepatan Hutan Adat yang dapat Dipergunakan.Sumber: Oleh penulis.

Page 44: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

40 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

kukan pengusiran, penangkapan, penutupan aksesterhadap kawasan hutan dan atau perbuatan yangdapat menggangu pelaksanaan proses percepatanpenetapan hutan adat di dalam wilayah masyara-kat hukum adat. Dari kesimpulan tersebut, makabeberapa rekomendasi saya ajukan dalam tulisanini, yaitu: pertama, Kementerian Lingkungan Hidupdan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perhu-tanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dapatmendorong pelaksanaan identif ikasi dan peman-tauan terkait proses verif ikasi aplikasi dan meleng-kapi administrasi permohonan hutan adat untukdicadangkan hutan adatnya atau ditetapkan,berdasarkan data yang dimiliki bersama koalisimasyarakat sipil. Kedua, Menteri Lingkungan Hidupdan Kehutanan melalui biro hukum dapat mem-buat draf empat skema surat keputusan menteriterkait pencadangan hutan adat. Ketiga, sampaisejauh ini belum ada sistem pemantauan prosesyang terbuka untuk publik dalam advokasi hutanadat. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi para pegiatuntuk mengawasi proses pengusulan pemohonsudah sampai sejauh mana.

Daftar Pustaka

Agung, W dkk. 2015, ‘Huma’, October 23, diakses 1Januari 2017, http://huma.or.id/en/?attachment_id=5794.

Angelsen, A, Brockhaus, M, Sunderlin, WD, danVerchot, LV (ed.) 2013, Menganalisis REDD+sejumlah tantangan dan pilihan, Cifor, Bogor.

Arizona, Y, Mary, SR dan Cahyadi, E 2014, Kem-balikan hutan adat kepada masyarakat hukumadat, Huma, AMAN, Epistema, Jakarta.

Danardono, D (ed.), 2015, Riset aksi agraria risetyang mengubah, Huma, Jakarta.

Erdianto, K 2016. ‘Masyarakat adat tagih janji Joko-wi terkait penetapan kawasan hutan adat’ Arti-kel ini telah tayang di Kompas.com denganjudul ‘Masyarakat Adat Tagih Janji JokowiTerkait Penetapan Kawasan Hutan Adat’,https://nasional.kompas.com/read/2016/12/05/16203291/ma. diakses 15 Januari 2018, https://nasional.kompas.com/read/2016/12/05/1 6 2 0 3 2 9 1 / m a s y a r a k a t . a d a t .

tagih.janji.jokowi.terkait.penetapan.kawasan.hutan.adat?page=all.

Firmansyah, N, dan Prabowo, W 2013, Berhukumdari desa: memotret proses lahirnya aturan ber-basis masyarakat desa, Huma, Jakarta.

Goodpaster, G 2007, ‘Law reform in developingcountries,’ in Law reform in developing and tran-sitional states, edited by Tim Lindsey, Rout-ledge studies in development economics, NewYork.

Griff iths, A 2002, ‘Legal pluralism’, in an introduc-tion to law and social theory, edited by MaxTravers Reza Banakar, Oxford Hart Publish-ing, Oxford.

Hardin, G 1968, ‘The tragedy of the commons,’ Sci-ence 162 (3859), hlm. 1243-1248.

Haryo, R, Widjono 2014, Kearifan hukum warisanleluhur Dayak, Huma, Jakarta.

Henley, D & Davidson, JS, 2008, ‘In the name ofadat: regional perspectives on reform. tradi-tion and democracy in Indonesia,’ ModernAsian Studies (Cambridge University Press) 42(4), hlm. 815-852.

Heroepoetri, A (ed.) 2014, Di antara rezim patri-mornial dan rezim pasar: tinjauan kesiapanimplementasi di Jambi dan Kalimantan Timur,Huma, Jakarta.

Humawin 2019, Database konflik Humawin, diakses12 Maret 2019, humawin.huma.or.id.

_____ 2016, Customary forest in Indonesia. Directedby Erwin Dwi Kristianto, Huma, Jakarta.

Kleden, E 2011, Karakter-karakter utama pendam-ping hukum rakyat di dalam gerakan pembaruanhukum rakyat, Huma, Jakarta.

KLHK. 2018. ‘Status hutan dan kehutanan Indone-sia 2018’, KLHK, Jakarta.

Lucas, A, dan Waren, C (eds.) 2013, Land for thepeople: the state and agrarian conflict in Indo-nesia, Ohio University Press, Ohio.

Mary, SR. dkk. 2013, Menuju penyelesaian konfliktenurial kehutanan, Huma, Jakarta.

Nagara, G, Muhajir, M, Herwati, SRM, Kristianto,ED, Tillah, M, dan Ramadhianty, N 2017,Kertas kebijakan arah pengaturan perubahanUU Kehutanan, Koalisi untuk Perubahan Kebi-jakan Kehutanan, Jakarta.

Page 45: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

41Agung Wibowo, Asal Usul Kebijakan Pencadangan Hutan Adat ... 26-41

Ostrom, E 2015, Governing the commons: The evolu-tion of institutions for collective action. Canto Clas-sic, Cambridge University Press, Cambridge.

Outlook Huma, Database, 2019. ‘Outlook Huma2018: meretas mimpi hutan adat,’ January 24,diakses 13 Maret 2019, https://huma.or.id/home/wp-content/uploads/2019/02/Outlook-Huma-2018.pdf.

Rachman, NF, dan Siscawati, M 2014, ‘Masyarakathukum adat adalah penyandang hak, subjekhukum dan pemilik wilayah adatnya’, Sup-lemen Wacana, Insist, Yogyakarta.

Ramdhaniaty, N, dan Ratnasari 2017, ‘Dinamika hakadat dan desa adat di Lebak dalam pelaksa-naan Undang-undang desa,’ Wacana 36 (19).

Ramstedt, M 2014, ‘Converging ontologies flatten-ing of time discordant temporalities and feel-ing rules in Bali’s new village jurisdictions,’ inFeelings at the margins dealing with violence,stigma and isolation in Indonesia, edited byBirgit Rotter Rossler Thomas Stodulka, Frank-furt, New York.

Simarmata, R (ed.) 2015, Pluralisme hukum sebuahpendekatan interdisipliner 2, Huma, Jakarta.

Simarmata, R dan Steni, B 2017, Masyarakat hukumadat sebagai subjek hukum. The SamdhanaInstitute, Bogor.

Steni, B (ed.) 2015, Hak atas karbon siapa yang punya:konstruksi def inisi hukum atas karbon dalampengelolaan hutan oleh komunitas, Huma danDjojodiguno FH UGM, Jakarta.

Travers, M 2013, ‘Qualitative interviewing meth-ods’, in Social research method: third edition,edited by Maggie Walter, Oxford UniversityPress, Australia, New Zealand.

Wallacea, P 2016, Wallacea, diakses 15 Januari 2018.https://perkumpulanwallacea.wordpress.com/2015/11/20/pertemuan-tokoh-adat-dari-13-wilayah-dengan-dirjen-planologi-tata-lingkungan-sanafri-awang/.

Wibowo, A dan Kristianto, ED 2017, ‘Agenda perce-patan hutan adat’, Huma, Kantor Staf Presiden,Jakarta.

Wibowo, A, Kristianto, ED, dan Widyanto 2015,‘Huma’, November 14, diakses 3 Maret 2017.http://huma.or.id/uncategorized/hutan-adat-dalam-infografik-ind-ing.html.

Wiratraman, HP (ed.) 2015, ‘Simposium masya-rakat hukum adat,’ Huma, Jakarta.

Peraturan

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehu-tanan.

Putusan Mahkamah Konsitutisi No 35/PUU-X/2012tentang Hutan Adat.

Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2015 tentangKementerian Lingkungan Hidup dan Kehu-tanan.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehu-tanan P 32/Menlhk/Setjen/2015 tentang HutanHak.

Page 46: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

42 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

TEKANAN POPULASI, KEPADATAN AGRARIS, DAN KETERSEDIAAN LAHANPADA KOMUNITAS PETANI

POPULATION PRESSURE, AGRARIAN DENSITY, AND LAND AVAILABILITYIN THE PEASANT COMMUNITY

Dwi Wulan Pujiriyani*, Endriatmo Soetarto**Dwi Andreas Santosa***, Ivanovich Agusta**

*Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional**Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

***Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor*Email: [email protected]

Abstract: Population density is a serious problem for the existence of the peasant community and itsagricultural landscape. In this situation, deagrarianization becomes a necessity because the economiesscale of farming are becoming smaller and not prof itable for peasants. This paper aims to analyze thecommunity’s strategy in maintaining its agrarian landscape. Data for this study were obtained throughcommunity case study method. Live in strategy is done for 2.5 months to deepen understanding at thecommunity. The results showed that the peasant community was actively defend not to get out from agri-culture. Expansion by increasing land ownership and reducing population numbers are the two mainstrategies. This strategy allows the ratio of agrarian landscape and agrarian density not to make the youngergeneration lose the opportunity to own agricultural land. Optimism to increase ownership of agriculturalland for the younger generation is done by buying agricultural land from those who are not interested inpursuing agriculture.Keywords: land ownership, agriculture, deagrarianization, community strategy

Intisari: Kepadatan penduduk merupakan masalah serius bagi eksistensi komunitas petani dan bentangagrarianya. Dalam situasi serupa ini, deagrarianisasi menjadi sebuah keniscayaan karena skala ekonomiusaha tani menjadi semakin kecil dan tidak menguntungkan bagi petani. Tulisan ini bertujuan untukmenganalisis strategi komunitas dalam mempertahankan bentang agrarianya. Data untuk penelitian inidiperoleh melalui metode studi kasus komunitas. Pendalaman di tingkat komunitas dilakukan denganlive in selama 2,5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas petani secara aktif berstrategiuntuk tidak keluar dari pertanian. Ekspansi dengan menambah kepemilikan lahan dan mengurangi jumlahpopulasi merupakan dua strategi yang utama. Strategi ini memungkinkan rasio bentang agraria dankepadatan agraris tidak membuat generasi yang lebih muda kehilangan kesempatan untuk memiliki lahanpertanian. Optimisme menambah kepemilikan lahan pertanian bagi generasi yang lebih muda dilakukandengan cara membeli lahan pertanian dari mereka yang sudah tidak berminat menekuni pertanian.Kata Kunci: kepemilikan lahan, pertanian, deagrarianisasi, strategi komunitas

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: March 28, 2019; Reviewed: April 7, 2019; Accepted: April 28, 2019.

To cite this article: Pujiriyani, DW, Soetarto, E, Santosa, DA, Agusta, I 2019, ‘Tekanan populasi, kepadatanagraris, dan ketersediaan lahan pada komunitas petani’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1,hlm. 42-53.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.318

Copyright: ©2019 Dwi Wulan Pujiriyani dkk. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under aCreative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

Page 47: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

43Dwi Wulan Pujiriyani dkk, Tekanan Populasi, Kepadatan Agraris, dan ... 42-53

A. Pendahuluan

Laju pertumbuhan penduduk dan dayadukungan lingkungan terutama lahan pertanianmerupakan salah satu aspek penting yang meno-pang pangan. Pertambahan penduduk menjadipermasalahan serius bagi kelangsungan hidup.Daya dukung lahan akan semakin kecil akibattingginya tingkat pertumbuhan penduduk. Lahanpertanian sebagai penyedia pangan, akan terusmenurun sejalan dengan laju pertumbuhan pen-duduk (Rohman 2015).

Indonesia merupakan salah satu negara yangmengalami problem demograf i. Mengacu padalaporan PBB (United Nations) tahun 2015, Indone-sia termasuk ke dalam satu dari 9 negara yangmemiliki pertumbuhan populasi tertinggi. PBBmemproyeksikan bahwa di tahun 2050, populasidunia akan mencapai 9,7 milyar jiwa dengankonsentrasi pertumbuhan tertinggi di 9 negarayaitu: India, Pakistan, Republik Demokratik Kongo,Etiopia, Tanzania, Amerika, Indonesia, dan Uganda.Jika mengacu pada Data BPS tahun 2018, terlihatbahwa jumlah penduduk Indonesia sudah men-capai 261,9 juta jiwa.

Ciri umum banyak negara berkembang adalahkelebihan penduduk agraris yaitu terdapatnya sur-plus tenaga kerja manusia dibanding dengan terse-dianya tanah pertanian. Hal inilah yang menye-babkan penduduk desa terus menerus memadatitanah yang ada. Sebagaimana disebutkan Tauchid(2009), manusia tidak dapat hidup tanpa tanah,sebaliknya tanah juga tidak dapat menghasilkanmakanan jika tidak ada manusia yang mengolah-nya. Ketika jumlah penduduk terus meningkatsementara luas lahan dan produktifitasnya tetap,maka goncangan terhadap eksistensi kehidupanpenduduk terutama penduduk yang ketergan-tungannya terhadap lahan sangat tinggi, tidak dapatterhindarkan (Ruhimat 2015).

Mengacu pada Tjondronegoro dan Wiradi(2008), desa-desa Jawa menurut tradisi sudahterbiasa dengan kepadatan yang tinggi dan mampumenyesuaikan diri pada kelebihan penduduksecara terus menerus. Kepadatan lokal atau kele-bihan penduduk yaitu perbandingan lokal antarajumlah penduduk dengan luas tanah yang dibu-

tuhkan untuk mencukupi makanan pokoknyasudah menjadi pola ekologi yang sangat umum diJawa jauh sebelum Belanda datang. Sejak dulu,pedesaan di Jawa telah mengenal gejala pendudukyang tidak memiliki tanah yang hidup dari mem-buruh tani, sebagai petani penggarap atau berda-gang. Pada jaman penjajahan (1913), rata-ratakepemilikan oleh penduduk di Jawa kurang dari0,5 hektar, bahkan ada beberapa tempat yang hanya0,3 ha dan di beberapa daerah lainnya 0,8 ha(Tauchid, 2009). Selama 40 tahun terakhir (1963 –2003), Bachriadi dan Wiradi (2011) mencatat bahwarata-rata penguasaan lahan petani di Jawa sekitar0,45 hektar. Situasi ini menunjukkan bahwa selama40 tahun terakhir, kelas petani gurem mendominasimayoritas rumah tangga petani di Indonesia.

Saat ini, situasi di Jawa menunjukkan bahwaperluasaan lahan pertanian sudah sulit untuk dila-kukan. Tekanan penduduk merupakan persoalanyang penting yang sedang dihadapi pulau denganpenduduk terpadat di Indonesia ini. Tekananpenduduk adalah aneka kesulitan penduduk dalammemperjuangkan hidupnya akibat kepadatanpenduduk di suatu wilayah tidak diikuti oleh ke-mampuan wilayah tersebut dalam mendukung danmenyediakan kehidupan penduduk. Molle (2003)menyebutkan bahwa fragmentasi tanah sangatkuat terjadi dalam sistem agraria Asia yang diciri-kan oleh tingginya jumlah pertanian skala kecil danpertumbuhan demograf i yang sangat tinggi. Halini jelas terlihat pada rasio petani dan ketersediaanlahan pertanian yang sulit mencapai titik seimbang/ideal. Dalam konteks penguasaan lahan pertanian,Geertz (1976) menegaskan bahwa 0,5 hektar meru-pakan batasan minimal lahan pertanian untukpetani di Jawa. Lahan pertanian dengan luasan 0,5hektar berada di atas lapisan marjinal atau lapisanterbawah petani dan berada pada batas petanilapisan atas atau petani komersial (> 5 hektar).

Studi mengenai tekanan penduduk terhadaplahan pertanian sudah banyak dilakukan sebelum-nya. Studi yang dilakukan Muyanga & Jaine (2014)melihat tekanan penduduk sebagai determinanpenting yang menyebabkan petani memilih untukmeninggalkan pertanian. Dalam konteks ini rumahtangga di wilayah yang akses terhadap tanahnya

Page 48: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

44 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

rendah, cenderung akan memilih untuk bermigrasike area dimana mereka bisa memperoleh aksestanah yang lebih baik. Kelangkaan sumberdayamendorong orang-orang untuk bermigrasi.

Sementara itu studi lain mengenai tekananpenduduk terhadap lahan pertanian lebih mengait-kannya dengan inefisiensi pengelolaan pertanian.Hal ini dapat dilihat pada studi yang dilakukanRickert-Gilbert et al (2014), Manjunatha et al (2014),Mellor (2014), serta Heady et al (2014). Rickert-Gilbert et al (2014) dalam studinya di Malawi,menyebutkan bahwa wilayah dengan tingkatkepadatan populasi yang tinggi mengindikasikanluasan tanah pertanian yang lebih sempit, rata-rataupah pertanian yang lebih rendah, dan hargatanaman pangan yang lebih tinggi. Populasi yangmeningkat tidak memungkinkan petani untukmeningkatkan nilai hasil panen per hektar. Rumahtangga dengan tingkat kepadatan populasi yangtinggi cenderung mengandalkan pendapatan darisumber non pertanian. Pertumbuhan populasimenyebabkan plot lahan menjadi semakin kecilkarena diberikan dari orang tua kepada anak-anak-nya. Ketika populasi bertambah, tanah menjadilangka. Studi Gilbert ini mendukung studi Latrufe& Piet (2013) yang menyebutkan bahwa berkurang-nya lahan pertanian menyebabkan biaya produksisemakin meningkat, sehingga mengurangi penda-patan pertanian yang bisa diperoleh petani.

Dari studi mengenai tekanan penduduk terha-dap lahan pertanian, belum ditemukan studi yangmelihat dari aspek kemampuan komunitas dalammempertahankan bentang agrarianya. Studi inilebih lanjut akan menganalisis mengenai strategikomunitas dan kemampuan komunitas untukbertahan dalam bentang agrarianya. Pilihan untuktetap bertahan di pertanian merupakan sebuahanomali dari deagrarianisasi yang sedang terjadipada berbagai wilayah pedesaan di dunia (Rigg2001; Bryceson 2002). Konsep ‘strategi’ dalam halini merupakan sebuah penegasan bahwa komunitaspetani merupakan aktor sosial yang aktif dan bukankorban serta resipien yang pasif. Petani memilikiagensi yang memungkinkannya untuk meresponberbagai persoalan yang dihadapinya (Long 2001;Ploeg 2008). Strategi komunitas merupakan wujud

empirik dari kapasitas internal atau keswadayaankomunitas.

Metode yang digunakan dalam penelitian iniadalah metode studi kasus komunitas. Mengacupada Berg (2001), studi kasus komunitas merupa-kan strategi pengumpulan informasi secara siste-matis mengenai sebuah komunitas tertentu untukmemberikan pemahaman dan penyadaran bagipeneliti mengenai apa yang sedang terjadi di dalamkomunitas, apa dan bagaimana ini bisa terjadi dansiapa di antara anggota-anggota di dalam komu-nitas yang mengambil bagian di dalam aktivitastersebut serta apa saja kekuatan sosial yang mengi-kat anggota-anggota komunitas ini.

Sumber data dalam penelitian ini terdiri daridata primer dan data sekunder. Data primer dipe-roleh melalui observasi dan wawancara mendalam.Sementara itu data sekunder diperoleh melaluidata statistik yang dikeluarkan Badan Pusat Statis-tik, Pusat Data dan Sistem Informasi KementerianPertanian, serta data kependudukan dan dokumenpajak dari desa. Informan utama dalam penelitianini adalah petani dari generasi kedua dan generasiketiga di dalam komunitas. Perspektif emikdilakukan dalam penelitian ini dengan melakukanpembacaan jarak dekat (close reading) melaluipendekatan etnograf i. Penelitian lapangan (live in)dilakukan pada pertengahan tahun 2017 untukkemudian melakukan kunjungan ulang pada awaltahun 2018 dan beberapa pembaruan data melaluiwawancara jarak jauh dengan informan pada akhirtahun 2018 dan awal tahun 2019.

B. Situasi Pertanian dan ProblemDemografis: Konteks Makro dan Meso

Pertanian merupakan salah satu sektor unggulandi Jawa Tengah selain sektor perkebunan. Hal iniditopang dengan tingkat kesuburan yang relatifbaik. Meskipun demikian, pertanian di Jawa Tengahtidak sepenuhnya menunjukkan situasi yangmenggembirakan. Laporan Sensus Pertanian Tahun2013 dari BPS Provinsi Jawa Tengah menunjukkanbahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian diwilayah ini mengalami penurunan sebesar 25,65%dari 5.770.801 menjadi 4.290.619. Dari jumlahrumah tangga pertanian yang ada di Jawa Tengah,

Page 49: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

45Dwi Wulan Pujiriyani dkk, Tekanan Populasi, Kepadatan Agraris, dan ... 42-53

99% (4.262.608) merupakan rumah tangga petanipengguna lahan dan hanya 1 % (28.011) yangmerupakan rumah tangga petani bukan penggunalahan.

Gambar 1. Rumah Tangga Usaha Pertanian diJawa Tengah.

Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2013.

Meskipun sebagian besar termasuk rumahtangga pengguna lahan, rumah tangga usahapertanian di Jawa Tengah 77,7 %-nya (3.312.235)didominasi oleh rumah tangga petani gurem yaiturumah tangga usaha pertanian yang menguasaikurang dari (<)5000 m² lahan pertanian. Pengu-asaan terluas tercatat sebesar ”30.000 m², hanyaditemukan pada 20.140 rumah tangga atau sekitar0,004%. Hanya 22,3 % (950.373) rumah tangga yangbukan termasuk kategori rumah tangga petanigurem. Hal ini menunjukkan bahwa skala usaharumah tangga petani Jawa Tengah termasuk kecil.Tabel 1 menunjukan perbandingan luas lahan yangdikuasai rumah tangga petani pada tahun 2003 dan2013. Penguasaan lahan yang paling banyak dapatdijumpai pada golongan luasan 2000 m²-4.999 m².

Tabel 1. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertaniandi Jawa Tengah Menurut Golongan Luas Lahan

yang Dikuasai

Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2013.

Skala usaha rumah tangga petani di Jawa Tengahyang relatif kecil sejalan dengan fakta bahwa JawaTengah juga menyimpan persoalan demograf isakibat tekanan kependudukan. Situasi ini menye-babkan ketersediaan lahan pertanian di wilayahini dapat menjadi kendala yang besar dalam waktumendatang. Data BPS Tahun 2018 menunjukkanbahwa jumlah penduduk di Jawa Tengah beradapada posisi ke 3 setelah Jawa Barat 48.037,6 ribujiwa dan Jawa Timur 39.293 ribu jiwa (Lihat Gambar2). Jumlah penduduk di Jawa Tengah tercatatsebesar 34.257,9 ribu jiwa dengan kepadatanpenduduknya 1.053 jiwa/km².

Gambar 2. Jumlah Penduduk pada Enam Provinsidi Pulau Jawa. Sumber: BPS, 2018.

Jumlah penduduk yang besar dan laju pem-bangunan mendorong semakin meningkatnyakonversi lahan pertanian di Pulau Jawa. Effendi danAsmara (2014) mencatat bahwa Koridor EkonomiJawa merupakan pusat kegiatan nasional dansumber pendapatan nasional, sehingga menisca-yakan berbagai peruntukan pembangunan terjadidi wilayah ini. Konversi lahan sawah terjadi karenaadanya desakan untuk memenuhi kebutuhan pen-duduk yang semakin bertambah jumlahnya sepertipemukiman, industri maupun prasarana dengantujuan memperluas kegiatan ekonomi.

Situasi Jawa Tengah mengacu pada StatistikLahan Pertanian Tahun 2012-2017 menunjukkanbahwa telah terjadi penurunan yang nyata padaluas lahan pertaniannya, terutama pada kategorilahan sawah, baik sawah irigasi maupun sawah nonirigasi. Gambar 3 menunjukan bahwa selama 6tahun terakhir (2012-2017) telah terjadi penurunanlahan persawahan dengan total luasan 150.100,06hektar. Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2013seluas 148.871,06 hektar, dari 1.101.851,06 hektar

No. Golongan Luas Lahan (m²) Tahun 2003 Tahun 20131. <1000 2.187. 774 865.9872. 1.000-1.999 912.343 921.0013. 2.000-4.999 1.602.712 1.553.1814. 5.000-9.999 759.977 681.2525. 10.000-19.999 247.838 214.0416. 20.000-29.999 39.684 35.0177. =30.000 20.473 20.140

Jumlah 5.770.801 4.290. 619

DKI Jakarta Jawa BaratJawa

TengahDI

YogyakartaJawa Timur Banten

Jumlah Penduduk 10374.2 48037.6 34257.9 3762.2 39293 12448.2

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

Page 50: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

46 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

pada tahun 2012 menjadi 952.980 hektar di tahun2013. Sementara itu pada dua tahun terakhir yaitudari tahun 2016 ke tahun 2017 terjadi penurunanlahan persawahan seluas 11.914 hektar dari 963.665hektar pada tahun 2016 menjadi 951.751 hektar padatahun 2017.

Gambar 3. Perbandingan Luas Sawah, SawahIrigasi, dan Sawah Non Irigasi di Jawa Tengah.

Sumber: Pusdatin Sekjen Kementerian Pertanian,2018.

Sebagaimana ditambahkan Ashari (2003),intensitas konflik dalam pemanfaatan lahan diPulau Jawa memang lebih tinggi dibandingkandengan pulau-pulau lain karena perluasan lahan-lahan pertanian sudah sangat terbatas peluangnya.Dinamika pembangunan yang terjadi di Jawamenunjukkan transformasi struktur ekonomi dandemograf i yang pada akhir tahun 1980-an sudahditandai dengan fenomena alih fungsi (konversi)lahan sawah ke penggunaan non pertanian secaramasif di pulau ini. Tuntutan kebutuhan lahan untukpengembangan sektor industri, jasa, dan peru-mahan semakin meningkat dan tidak mungkindihindari sejalan dengan pertumbuhan ekonomiwilayah.

Melihat konteks makro tekanan pendudukterhadap lahan pertanian yang terjadi di JawaTengah, penting untuk melihat situasi yang terjadidi tingkat meso. Pada konteks meso yaitu di wilayahKabupaten Pati, dari aspek demografi wilayah inimerupakan wilayah yang cukup padat. Data BPSTahun 2018 menunjukkan bahwa jumlah pendudukdi Kabupaten Pati berjumlah 1.246.691 jiwa yangterdiri dari 603.907 laki-laki dan 642.784 perem-puan. Dengan luas wilayah 1503,68 km², kepadatan

penduduk di Kabupaten Pati termasuk cukup tinggiyaitu 836 jiwa/km². Mengacu pada penelitianRohman (2015), tekanan agraris di Kabupaten Patiyang sudah mencapai 1,1 pada tahun 2010, dandiproyeksikan menjadi 1,2 pada tahun 2020,menunjukan bahwa jumlah penduduk di Kabu-paten Pati sudah melampaui daya dukung wilayah.Tekanan serupa ini menyebabkan dorongan untukberpindah ke daerah lain/pergi ke kota atau men-cari pekerjaan baru di luar sektor pertanian. Te-kanan penduduk menunjukkan sulitnya mem-perjuangkan hidup akibat kepadatan penduduk disuatu wilayah yang tidak diikuti oleh kemampuanwilayah tersebut mendukung dan menyediakankehidupan penduduk.

Problem tekanan penduduk dan ketersediaanlahan pertanian di tingkat makro dan meso sangatpenting untuk dilihat relevansinya di tingkat mikroyaitu pada tingkatan komunitas petani di pedesa-annya. Oleh karena itulah untuk selanjutnya tulisanini mengambil komunitas Sedulur Sikep sebagaiprofil komunitas petani di tingkat mikro. Mengacupada Pujiriyani dkk (2018), bayang-bayang deagra-rianisasi secara nyata telah menyebabkan komu-nitas petani lebih dekat dengan berbagai aktivitasnon pertanian yang tumbuh semakin eksklusif yangdi satu sisi menegaskan bahwa hal ini menguatkanpernyataan bahwa keterbatasan daya dukungwilayah akan mendorong penduduk untuk mencaripekerjaan baru di luar sektor pertanian. KomunitasSedulur Sikep sampai saat ini diketahui masihberteguh dengan pilihan hidup mereka sebagaipetani karena secara internal komunitas merekamemiliki tatanan yang melarang untukmengandalkan sumber nafkah di luar pertanian.

C. Komunitas Sedulur Sikep danKepadatan Agrarisnya

Komunitas Sedulur Sikep atau Samin meru-pakan salah satu komunitas petani yang berada diDesa Baturejo, sebuah desa persawahan yangberada di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati,Jawa Tengah. Sebagaimana disebutkan Rosyid(2008), istilah ‘Samin’ seringkali diplesetkan olehmasyarakat umum dengan kata ‘nyamen’ yangdiidentikkan dengan perbuatan yang menyalahi

2012 2013 2014 2015 2016 2017

Sawah 1101851.06 952980 966647 965261 963665 951751

Sawah irigasi 902312.63 684172 686925 682236 685056.9 675694.1

Sawah non irigasi 199538.43 268808 279722 283025.2 278608.3 276057.5

0

200000

400000

600000

800000

1000000

1200000

Page 51: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

47Dwi Wulan Pujiriyani dkk, Tekanan Populasi, Kepadatan Agraris, dan ... 42-53

kebiasaan. Istilah ‘Samin’ yang cenderung ber-konotasi negatif inilah yang kemudian oleh parapengikutnya digeser dengan menamakan diri‘Sedulur Sikep’. Pada tahun 2018, jumlah komunitasSedulur Sikep adalah 327 Kepala Keluarga (KK)atau 1089 jiwa yang terdiri dari 467 laki-laki dan622 perempuan. Jumlah mereka ini secara keselu-ruhan sekitar 16,60% dari keseluruhan warga Desadi Baturejo yang berjumlah 6557 jiwa. KomunitasSedulur Sikep mendiami wilayah RW 1 DukuhBombong (Lihat Gambar 4). Selain Bombong, diDesa Baturejo terdapat 3 padukuhan lain yaituRonggo,Tempel, dan Bacem.

Gambar 4. Sketsa Peta Desa Baturejo.Sumber: Dokumentasi Kantor Desa Baturejo.

Baturejo merupakan pusat wilayah dari Komu-nitas Sikep di Sukolilo. Dari aspek demografi, DesaBaturejo merupakan desa yang memiliki kepadatanpenduduk tinggi. Dengan luas wilayah 10,24 kmdan jumlah penduduk 6492 jiwa, desa ini memilikikepadatan penduduk 640 jiwa/km². Angka ini jauhlebih tinggi daripada rata-rata kepadatan pendudukdi Kecamatan Sukolilo yang sebesar 573 jiwa perkm² (BPS Kabupaten Pati 2018). Sebagai desa persa-wahan, ciri khas Desa Baturejo terlihat dari peng-gilingan padi (selepan) yang dengan mudah dite-mukan serta jemuran gabah (padi) yang terhampardi halaman-halaman rumah beberapa warganya.Mesin-mesin pertanian seperti traktor dan peron-tok padi juga tampak diletakkan di teras atau ba-gian depan rumah. Lanskap persawahan memben-

tang di sebelah utara pemukiman desa. Terdapat830 hektar lahan persawahan yang terdiri 250 hektarsawah dengan irigasi teknis, 530 sawah denganirigasi setengah teknis, dan 50 hektar sawah tadahhujan. Selain padi sawah, jagung, dan ketela pohonmerupakan hasil pertanian yang cukup banyak di-tanam oleh petani.

Pada tahun 2018, kepadatan agraris di Baturejosebesar 532 jiwa/km² (Lihat Gambar 5). Angka inilebih tinggi hampir 4 kali lipat daripada kepadatanagraris di Kabupaten Pati pada tahun 2018 yangtercatat sebesar 141 jiwa/km². Perbandingan antaraluas lahan pertanian dengan jumlah petani di DesaBaturejo adalah sebesar 5 orang per hektar atausekitar 0,2 ha per petani. Angka ini menunjukkanbahwa terdapat masalah kependudukan yang seriuskarena tersedianya tanah bagi masyarakat sangatterbatas. Banyak petani yang tidak memiliki lahanpertanian atau hanya menjadi buruh tani. Jumlahburuh tani di Desa Baturejo pada tahun 2018 adalah1323 orang atau sekitar 26,15% dari keseluruhanjumlah petani di Desa Baturejo.

Gambar 5. Kepadatan Agraris Desa Baturejo 2018.Sumber: Diolah dari Monograf i Desa Baturejo,

Tahun 2018.

Ketimpangan antara jumlah petani dengan keter-sediaan lahan pertanian juga dapat dicermati daristruktur pemilikan lahan. Sebagian besar petani diDesa Baturejo atau 73,01%-nya termasuk dalam kate-gori petani gurem yaitu petani dengan kepemilikanlahan kurang dari 0,26 hektar (Lihat Gambar 6). Sisa-nya adalah petani kecil dengan luasan lahan pertanian0,26-0,5 hektar yang berjumlah 20,06%; petani me-nengah dengan kepemilikan lahan 0,51-1 hektar yangberjumlah 5,6%; dan petani kaya dengan kepemili-kan lahan lebih dari 1 hektar yang berjumlah 1,31%.

950

5058

3735

1323

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

Desa Baturejo

Jumlah buruh tani (jiwa) Jumlah petani sendiri (jiwa)

Jumlah Petani (jiwa) Luas Lahan Pertanian (ha)

Page 52: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

48 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Gambar 6. Struktur Pemilikan Tanah DesaBaturejo.

Sumber: Diolah dari DKHP PBB Desa Baturejo,Sukolilo, Pati, Tahun 2018.

D. Strategi Ekspansi: MenambahKepemilikan Lahan Pertanian

Tekanan penduduk pada akhirnya mendorongpenduduk khususnya petani untuk memperluaslahan garapannya atau keluar dari lapangan kerjapertanian (Ruhimat 2015). Pilihan yang pertamatampaknya menjadi pilihan yang dominan bagikomunitas Sedulur Sikep. Ketersediaan lahan didalam lingkup internal komunitas, sudah tidakmencukupi. ‘Kurang bebas’ adalah istilah yang digu-nakan untuk menggambarkan bahwa KomunitasSedulur Sikep perlu mencari alternatif tanah per-tanian di luar lingkup komunitas (kampung) nya.“Tanah kampung mriki tanahe kurang bebas, wongtambahe wong rodo kadhuk, kulo kalih mbok wedokmawon tambah pitu. Mberah” (Tanah kampung disini tanahnya tidak bebas, orang bertambah banyak,saya dengan istri saya saja punya anak 7) (Kn, pe-tani, 56 tahun). Data kependudukan pada komu-nitas ini memang menunjukkan pertumbuhan yangsangat tinggi (Lihat Gambar 7). Pada tahun 2003sampai dengan 2016, angka pertumbuhan pen-duduk pada Komunitas Sedulur Sikep per tahunnyamencapai 4,73%. Jumlah warga Sedulur Sikep yangpada tahun 2003 berjumlah 633 jiwa, meningkatmenjadi 1023 jiwa pada tahun 2016. Pada tahun2018 jumlah ini meningkat kembali menjadi 1089jiwa.

Gambar 7. Pertumbuhan Jumlah AnggotaKomunitas Sedulur Sikep.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

Ekspansi atau cara memperluas lahan pertaniandilakukan dengan membeli lahan pertanian yangada di luar komunitas Sedulur Sikep. Desa Gadu-dero merupakan salah satu desa yang harga lahanpertaniannya masih cukup terjangkau. Harga yangterjangkau ini disebabkan karakter lahan pertanianyang semi rawa sehingga agak sulit untuk dikelola.Jika kisaran harga per 1 hektar di desa sekitarnyasudah mencapai 800 juta, maka di Desa Gaduderoharganya relatif jauh lebih rendah sekitar setengah-nya. Selain harga yang relatif jauh lebih rendah,Desa Gadudero juga dikenal sebagai desa yangmemiliki tanah pertanian luas namun banyakwarganya yang tidak berminat untuk mengolahlahan dan menjadi petani. Sumber nafkah yanglebih disukai oleh adalah berdagang. “Nek sedherekmriki, tanahe teng Gadu, ning nggih ijol (tuku). Nggensederek mriko, ditumbas tiyang mriki.” Dari membeli(ijol) tanah inilah, Komunitas Sedulur Sikep bisamenambah lahan-lahan pertanian yang dikelolanya.Tanah di wilayah Gadudero yang dikelola SedulurSikep bahkan mencapai 70%.

Lahan bertambah, mergo dulur-dulur jiwanepetani. Mulane akeh wong sikep garap sawahning Gadu, itu mergo wong Gadu jiwa petanine,memang ora menurun tapi ora duwe jiwa petani.Wong Gadu...kan do ngepenake anak, tanahe dodidol. Asale buruh, dadi dulur-dulur ki yo duwesawah, yo mburuh. Lha ketika lahan sik digarapkui dijual, akeh sik dikuasai Sikep, hampir 70%.Tambah luas. Akeh lah sik ning Gadu. Garapankusik ning Gadu yo kui asale nggon wong Gadu, taktuku. (Komunikasi dengan Gr, petani, 49 tahun).

<0,26 ha 0,26-0,50 ha 0,51-1 ha >1 ha

Presentase 73.01 20.06 5.6 1.31

0

10

20

30

40

50

60

70

80

633729

800

10231089

0

200

400

600

800

1000

1200

2003 2012 2014 2016 2018

Jumlah Penduduk(jiwa)

Page 53: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

49Dwi Wulan Pujiriyani dkk, Tekanan Populasi, Kepadatan Agraris, dan ... 42-53

Lahan bertambah karena Sedulur Sikep jiwanyapetani. Makanya banyak warga Sikep yangmenggarap sawah di Gadu (Desa Gadudero)karena orang Gadu jiwa petaninya memangtidak menurun, tidak punya jiwa petani. OrangGadu kan memberikan kenyamanan ke anak,tanahnya dijual. Asalnya Sikep memang buruh,tapi meskipun buruh tetap punya sawah. Ketikalahan yang digarap itu dijual, banyak dikuasaiSikep, hampir 70%. Tambah luas. Banyak yangdi Gadu. Garapan saya yang di Gadu jugaasalahnya milik orang Gadu, saya beli.

Meskipun kepadatan agraris dan tekanan pen-duduknya cukup tinggi, Komunitas Sedulur Sikepsangat optimis untuk bisa menambah luasan tanahpertanian dengan hasil panen yang mereka kum-pulkan. “Simpenane duite saking mberahe, padahaltani tok, dilit-dilit tuku sawah.” (Simpanan uangnyabanyak, padahal cuma bertani, sebentar-sebentarmembeli sawah). Kemampuan akumulasi secaraekonomi ini sangat mungkin dilakukan karena gayahidup sehari-hari yang sederhana, sehingga mena-bung atau mengumpulkan ‘koyo’ menjadi sebuahprioritas dibandingkan menggunakannya untukkebutuhan konsumtif.

Nek panenan setahun, dadinan, metunan, isoentuk 150 juta, iso tuku sawah. Panen melon kaeentuk 60 juta. Yo bejan-bejan, nuju panen, pasregane larang (Komunikasi dengan Rs, 41tahun).

Kalau panen setahun, panennya jadi, bagus, bisadapat 150 juta, bisa beli sawah. Panen melonkemarin dapat 60 juta. Ya untung-untungan,kalau waktu panen, kebetulan pas harganyamahal.

Keberhasilan mereka bertani dan memeliharaternak membuat uang ratusan juta pun tidak mus-tahil untuk diperoleh. Dari uang yang dikumpulkaninilah mereka bisa membeli lahan pertanian(sawah) yang baru.

Nek dulur mriki ono sawah arep didol mestidituku, gek mberu, mergo sapine mberu. Ono sik¼ hektar, 111 juta. Biasane bar ngingoni sapi,sapine 6 nek 200 juta gampang. Nek menurutkono kan mligi tani tok ora bakal iso sukses, nektani dinggo kecukupan saben dinone, nggomasak tok, blonjone yo luru-luru ngunduh ja-gung, nek kanggo sandang misale ngingoni sapi

siji wis dadi pirang-pirang, wedus wis dadi pirang-pirang. (Komunikasi dengan Rs, petani 41tahun).

Kalau orang sini, ada sawah mau dijual pastidibeli, dan banyak, karena sapinya juga banyak.Ada yang ¼ hektar, 111 juta. Biasanya setelahmemelihara sapi, sapinya punya 6 kan 200 jutamudah. Kalau menurut orang hanya bertanitidak bisa sukses, bertani untuk kecukupansehari-hari, untuk masak saja, kalau belanja yamencari yang lain, memanen jagung, kalauuntuk simpanan ya memelihara sapi satu sudahjadi banyak, kambing juga bisa jadi banyak.

Kemampuan untuk membeli lahan ini salahsatunya terlihat dari seorang anggota KomunitasSedulur Sikep yang baru saja membeli lahan per-tanian di Desa Gadudero seluas ± 2500m² denganharga 200 juta rupiah pada tahun 2018 lalu.

Selain optimisme sebagai petani yang berhasil,jiwa petani juga merupakan salah satu alasan cukupagresifnya komunitas ini untuk menambah luaslahan pertaniannya. Jiwa petani yang dimilikikomunitas ini berbeda dengan jiwa petani yangdimiliki masyarakat di kampung sebelah yang sudahmulai tergerus (luntur). Komunitas Sedulur Sikepjuga tidak menggunakan standar luasan minimallahan pertanian seperti yang digunakan oleh masya-rakat desa sekitarnya. Bagi Komunitas SedulurSikep, tidak ada standar kecukupan yang merekakhawatirkan dari luasan lahan pertanian yangdimiliki. Tidak ada kebutuhan ‘mengirim anak kelembaga pendidikan formal’ yang seringkali dike-luhkan oleh komunitas non Sedulur Sikep sebagaikebutuhan hidup yang semakin memberatkan darihari ke hari.

“...Wong ukuran sugih miskin kan teng pikiran,sik sugih nggih merasa kurang, sik sedenganngaten niki nggih merasa cukup, wis kepenak,nrimo, ning panrimo. Ora ono ukuran sugih mla-rat, ukurane ning nrimo. Wong akeh kurangakeh. Nek nrimo, sedeng ayem tentrem. Koyowong sing duwe panenan akeh, angger rung tri-mo yo isih kurang. Ning nek duwe sitik, ningtansah cukup tak trimo, kuwi kudune...” (Komu-nikasi dengan St, petani, 34 tahun).

Ukuran kaya miskin itu di pikiran, yang kayaya merasa kurang, yang sedang seperti ini su-dah merasa cukup, sudah enak, menerima, di

Page 54: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

50 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

penerimaan. Tidak ada ukuran kaya miskin,ukurannya hanya penerimaan. Orang banyak,kurang banyak. Kalau menerima, sedang-sedang saja sudah damai tentram. Seperti orangyang punya panen banyak, kalau belum mene-rima ya masih merasa kurang. Tapi kalau punyasedikit, tapi selalu menerima, itu yang seha-rusnya.

Bagi mereka sebisa mungkin tanah harus ‘diuri-uri’ (dijaga dan dipelihara). Ada kebanggaan ter-sendiri ketika mereka yang awalnya hanya ‘mburuh’(bekerja sebagai buruh tani) di sawah-sawah milikhaji-haji yang kaya raya, pada akhirnya mampumembeli tanah itu.

Aku lak tuku 2 hektar. Biyen ijih murah, sawah 1hektar 16 ewu, ning wis suwi 13 tahun biyen. Sakiki 1 hektar 350 juta, larang, nek ra wong gede,ra iso tuku. Nek rego 30- rego 50 yo iso. NekSukolilo wong sugih-sugih, bolo kaji. Entek ningnggon wong kene kabeh ora ono sik keliwatan.Lemahe ditukoni wong kene kabeh. Duwe ningGadu, tak tuku. Do duwe lemah didol, dituku wongkene. Anake wong sugih ora seneng tani, dinggongongkosi sekolah, nggo kaji. Aku ning rowo,kowe ameh ning ndi? Arep ning Gadu. Ora nukusawahe kaji sik sukete dadi kae? Iyo arep nawakekui. Njaluk piro? Jaluk 20, wis 15 tak kei duit.Didol tenan. Ning duit 15 ki entuk grand 4 jamanbiyen. Tuku nggon Kaji As, dikapling, dipetak-petak. Mantuku tuku 2 kapling 40 juta (Komu-nikasi dengan Ty, petani, 53 tahun).

Saya kan beli 2 hektar, dulu masih murah, sawah1 hektar 16 ribu, tapi sudah lama 13 tahun yanglalu. Sekarang 1 hektar 350 juta, mahal, kalaubukan orang kaya, tidak bisa beli. Kalau harga30-50 juta masih bisa. Kalau di Sukolilo tanahorang-orang kaya, haji-haji, tanahnya dibeli or-ang sini semua. Punya di Desa Gadudero sayabeli. Banyak yang tanahnya dijual, dibeli orangsini. Anaknya orang kaya, tidak senang bertani,untuk membiayai sekolah, untuk naik haji. Sayawaktu itu di sawah ditanya mau kemana? Mauke Gadu. Tidak beli sawahnya pak Haji yangsemaknya lebat itu? iya itu mau dijual, mintaberapa? Minta 20, sudah 15 juta saya bayar. Dijuallah ke saya. Tapi uang 15 juta dulu bisa dapatmotor bebek 4. Beli di Haji As, dikapling, dipetak-petak. Menantu saya beli 2 kapling 40 juta.

Lahan yang bisa dibeli oleh Komunitas SedulurSikep cukup bervariasi dari mulai 0,1-2 hektar.

Kemampuan membeli lahan dengan luasan 2hektar terjadi pada generasi kedua (sebelum tahun2000), sementara itu pada tahun-tahun terakhir iniluasan lahan yang dibeli mulai berkurang karenaharga lahan pertanian yang semakin mahal. Lahan-lahan inilah yang kelak akan mereka berikan/wariskan kepada anak-anaknya ketika sudahmenikah untuk bisa melanjutkan aktivitas perta-nian. Sampai saat ini (tahun 2019), aktivitas pe-nambahan kepemilikan tanah, cukup efektif dalammenjaga rasio antara jumlah petani dengan keter-sediaan lahan pertanian bagi Komunitas SedulurSikep khususnya untuk memastikan bahwa sampaigenerasi ke-4, mereka masih bisa memiliki luasanlahan pertanian yang memadai.

Salah satu contoh pemilikan lahan dalam 3generasi Sedulur Sikep dapat dicermati dalamriwayat Keluarga Rj (Lihat Gambar 8). Rj adalahanak pertama dari 9 bersaudara. Generasi pertamakeluarga Rj memiliki lahan pertanian seluas 4hektar. Pada generasi kedua, luasan lahan iniberkurang. Masing-masing anak hanya menerimawarisan dari Jy seluas 0,5 hektar. Namun lahanpertanian pada akhirnya bertambah kembalikarena Wj, salah satu anak Rj bisa membeli lahanseluas 2 ha, sehingga Wj sebagai generasi keduabisa memiliki lahan seluas 2,5 hektar. Selanjutnyapada generasi ketiga, kepemilikan lahan pertaniankembali berkurang. Rj menerima lahan pertaniandari Wj seluas 0,25 hektar. Setelah menikah Wjbisa membeli lahan seluas 0,35 hektar, sehinggaluas lahan yang dimilikinya ditambah dengan lahandari istrinya secara keseluruhan menjadi 0,85hektar.

Gambar 8. Garis Kekerabatan 3 Generasi KeluargaRj. Sumber: Data primer, 2019.

Page 55: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

51Dwi Wulan Pujiriyani dkk, Tekanan Populasi, Kepadatan Agraris, dan ... 42-53

Alur 3 generasi dalam Keluarga Rj menunjukkankemampuan generasi yang lebih muda untuk tidakhanya mengandalkan lahan pertanian pemberianorang tuanya, tetapi juga menambah lahanpertanian sendiri dengan cara membelinya. Mes-kipun luasannya semakin berkurang (semakinsempit) dan tidak lagi semudah generasi pertamadan kedua dalam memperoleh lahan pertanianyang baru, generasi ke-3 masih memiliki peluanguntuk menambah lahan pertanian dari adanyapenjualan lahan pertanian di desa sekitarnya.Penambahan lahan inilah yang menjadi jaminankepemilikan lahan bagi generasi-generasi yanglebih muda.

E. Strategi Populasi: Mengurangi JumlahKeluarga Inti (Nuclear Family)

Selain aktivitas penambahan kepemilikan tanah,perubahan ukuran keluarga inti juga mendukungrasio bentang agraris dengan jumlah petani.Keluarga inti Komunitas Sedulur Sikep saat inimemang sudah berbeda dengan keluarga intiKomunitas Sedulur Sikep di masa lalu. Jika dahulukeluarga inti Sedulur Sikep bisa terdiri dari 11-12anggota keluarga karena jumlah anak dalam kelu-arga inti yang bisa mencapai 7-9, maka saat iniukuran keluarga inti (nuclear family) KomunitasSedulur Sikep jauh lebih kecil dengan rata-ratajumlah anak 1-2 orang (lihat Tabel 2).

Tabel 2. Jumlah Anak dalam Keluarga IntiKomunitas Sedulur Sikep

Sumber: Data Kependudukan Desa Baturejo,Tahun 2017.

Menurunnya jumlah keluarga inti bukan sematadisebabkan oleh masuknya program KeluargaBerencana yang mulai diterima, tetapi lebih karenaKomunitas Sedulur Sikep menyadari bahwa memi-liki banyak anak juga memberikan tanggungjawabyang lebih besar untuk bisa mencukupi kebu-tuhannya, “Anak akeh, nglantarke sandang panganjuga akeh (anak banyak, kebutuhan sandang panganjuga banyak). Sebagian besar Komunitas SedulurSikep di Desa Baturejo justru bersikap apatis terha-dap program Keluarga Berencana (KB). Merekatidak menolak dan juga tidak menerima programKB. Oleh karena itulah sebagian besar dari merekatidak mengikuti program KB. Mereka memilikicara sendiri untuk mengurangi jumlah anak. Hanyasebagian kecil saja yang mengikuti program KB.Suprihatini (2014) mencatat bahwa ada sekitar 17anggota Komunitas Sedulur Sikep yang mengikutiprogram KB. Program ini diikuti setelah ada sedikitpemaksaan dari aparat desa setempat. KB dengansuntik merupakan jenis KB yang selama ini merekaikuti. Jumlah anak dalam keluarga yang mulaiberkurang merupakan mekanisme pengendalianyang secara tidak langsung menjaga lahan-lahanpertanian tetap mampu mencukupi kebutuhankomunitas Sedulur Sikep yang secara nyata mene-gaskan dirinya sebagai petani murni sepenuhnya(mligi tani).

F. Kesimpulan

Tekanan penduduk terhadap lahan pertanianmerupakan dampak nyata dari pertambahan jum-lah penduduk. Pertumbuhan populasi menyebab-kan plot tanah yang dikelola petani menjadi sema-kin berkurang. Jumlah penduduk semakin bertam-bah dari waktu ke waktu, sebaliknya jumlah lahan

No. Nama KepalaKeluarga

TahunLahir

Jumlah Anak1 2 3 >3

1 Sutiyon 1981 v2 Sutrisno 1976 v3 Kisnandar 1978 v4 Yono 1985 v5 Andi 1988 v6 Toyo 1982 v7 Pranoto 1987 v8 Jasminto 1984 v9 Saryono 1983 v10 Hardi 1987 v11 Domo 1984 v12 Kumbino 1977 v13 Sumari 1957 v14 Maseran 1960 v15 Rusdi 1971 v16 Asing 1975 v17 Sundoko 1985 v18 Saparin 1970 v

No. Nama KepalaKeluarga

TahunLahir

Jumlah Anak1 2 3 >3

19 Darmadi 1970 v20 Gariyo 1970 v2122232425

SaryonoHardiCitoSuwitoSutono

19741987198419781977

vvvv

v

Jumlah 11 7 4 3Persentase 44% 28% 16% 12%

Page 56: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

52 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

pertanian justru semakin berkurang dari waktu kewaktu. Tekanan penduduk akan mendorong petaniuntuk memperluas lahan garapannya atau keluardari lapangan kerja pertanian.

Komunitas Sedulur Sikep menunjukkan bahwakomunitas agraris tidak akan meninggalkan perta-nian dengan mudahnya meskipun terjadi tekananpenduduk. Hal ini menunjukkan bahwa tesis yangdiajukan Muyanga & Jaine (2014) bahwa tekananpenduduk akan menyebabkan petani keluar daripertanian, tidak terjadi. Komunitas Sedulur Sikeptetap bertahan dan secara aktif berupaya untukbisa terus mengelola lahan pertanian dan bisamewariskannya kepada generasi berikutnya. Mere-ka memilih untuk memanfaatkan peluang darikomunitas di sekitarnya yang sudah mulai kehi-langan minat untuk mengelola tanah pertanian.Optimisme menambah kepemilikan lahan perta-nian bagi generasi yang lebih muda dilakukandengan cara membeli lahan pertanian dari merekayang sudah tidak berminat menekuni pertanian.

Selain berupaya menambah lahan pertanian,Komunitas Sedulur Sikep juga menyadari sepe-nuhnya bahwa daya dukung lingkungan merekaberkurang karena jumlah anak-anak yang bertam-bah. Oleh karena itulah, pilihan untuk membatasijumlah anak dalam keluarga inti juga dilakukan.Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban yangharus ditanggung untuk mencukupi kebutuhanpangan mereka sehari-hari.

Daftar Pustaka

Ashari 2003, ‘Tinjauan tentang alih fungsi lahansawah ke non sawah dan dampaknya di PulauJawa’, Forum Penelitian Ekonomi, vol. 21, no.2, hlm. 83-98.

Bachriadi, D dan Wiradi, G 2011, Enam dekadeketimpangan: masalah penguasaan tanah diIndonesia, Agrarian Resourse Centre, BinaDesa dan Konsorsium Pembaruan Agraria,Bandung.

Berg, BL 2001, Qualitative research methods for so-cial sciences, Allyn and Bacon, United States.

Bryceson, D 2002, ‘Multiplex livelihoods in ruralAfrica: recasting the terms and conditions of

gainful employment’, Journal of Modern Afri-can Studies, vol. 40, no. 1, hlm. 1-28. doi:10.1017/30022278x01003792.

Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2018, BadanPusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik Pati, Kecamatan SukoliloDalam Angka 2018, Badan Pusat Statistik, Pati.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2018,Jawa Tengah Dalam Angka, Badan Pusat Sta-tistik, Jawa Tengah.

_____ 2013, Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013(Pencacahan Lengkap), Badan Pusat Statistik,Jawa Tengah.

Effendi, PML dan Asmara, A 2014, ‘Dampak pem-bangunan insfrastruktur jalan dan variabelekonomi lain terhadap luas lahan sawah dikoridor ekonomi Jawa’, Jurnal Agribisnis In-donesia, vol. 2, Juni, hlm. 21-32.

Geertz, C 1983, Involusi pertanian proses perubahanekologi di Indonesia, Lembaga PenelitianSosiologi Pedesaan IPB dan Yayasan Obor In-donesia, Jakarta.

Hakim, M, Wiratno, O, Abdurachman, AA 2017,Statistik lahan pertanian tahun 2012-2016, PusatData dan Sistem Informasi Pertanian, Sekre-tariat Jenderal, Kementerian Pertanian, Jakar-ta.

Hakim M, Wiratno, O, Abdurachman, AA 2018,Statistik lahan pertanian tahun 2013-2017, PusatData dan Sistem Informasi Pertanian, Sekre-tariat Jenderal, Kementerian Pertanian, Ja-karta.

Headye, D, Dereje, M, Taffesse, AS 2014, ‘Landconstraints and agricultural intensif ication inEthiopia: a village-level analysis of high-po-tential areas’, Food Policy 48, hlm. 129-141.

Latruffe, L, Piet L 2013, ‘Comparative analysis offactor markets for agriculture across the mem-ber states’, Working Paper, no. 40, April, hlm.1-22.

Long, N 2001, Development sociology: actor perspec-tives, UK: Routledge, London.

Manjunatha, AV, Anik, AR, Speelman, S, Nuppenau,EA 2013, ‘Impact of land fragmentation, farmsize, land ownership and crop diversity onprofit and eff iciency of irrigated farms in In-

Page 57: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

53Dwi Wulan Pujiriyani dkk, Tekanan Populasi, Kepadatan Agraris, dan ... 42-53

dia’, Land Use Policy, 31, hlm. 397-405. http://dx.doi.org/10/1016/j.landusepol.2012.08.005.

Mellor, JW 2014, ‘High rural population densityAfrica-what are the Growth Requirements andwho participates?’, Food Policy 48, hlm. 66-75.

Molle, F, Srijantr, T 2003, ‘Between concentrationand fragmentation the resilience of the landsystem in the Chao Phraya Delta’, In Molle, Fand Srijantr, eds. Thailand Rice Bowl: Perspec-tives on Social and Agricultural Change in theChao Praya Delta, White Lotus, Bangkok.

Muyanga, M, Jayne, TS 2014, ‘Effects of rising ruralpopulation density on smallholder agriculturein Kenya’, Food Policy 48, hlm. 98-113.

Ploeg, J 2008, The new peasantries struggles for au-tonomy and sustainability in era of era of em-pire and globalization, Earthscan Publisher, UK.

Pujiriyani, DW, Soetarto, E, Santosa, DA, Agusta, I2018, ‘Deagrarianisasi dan dislokasi nafkah dipedesaan Jawa’, Sodality, vol 6, no. 2, Agustus,hlm. 137-145.

Ricker-Gilbert, J, Jumbe, C, Chamberlin, J 2014,‘How does population density influence agri-cultural intensif ication and productivity? Evi-dence from Malawi’, Food Policy 48, hlm. 114-128.

Rigg, J 2001, ‘Embracing the global in Thailand:activism and pragmatism in an era of deagra-rianization’, World Development, vol 29, no. 6,hlm. 945-960.

Rohman, MN, Hayati, R 2015, ‘Analisis tekananpenduduk agraris Provinsi Jawa Tengah tahun2020’, Geo Image (1), hlm. 1-8.

Rosyid, M 2008, Samin Kudus: bersahaja di tengahasketisme lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Ruhimat, M 2015, ‘Tekanan penduduk terhadaplahan di Kecamatan Sukaraja KabupatenSukabumi’, Gea-Jurnal Pendidikan Geografi, vol.15, no. 2, hlm. 59-65.

Suprihatini, T 2014, ‘Penerimaan masyarakat saminterhadap program pembangunan di DesaBaturejo, Kecamatan Sukolilo, KabupatenPati, Jawa Tengah’. Jurnal Ilmu Sosial, vol. 13,no.2, hlm. 77-85.

Tauchid, M 2009, Masalah agraria sebagai masalahpenghidupan dan kemakmuran rakyat Indone-sia, STPN Press, Yogyakarta.

Tjondronegoro, S, Wiradi, G 2008, Dua abad pengu-asaan tanah: pola penguasaan tanah pertaniandi Jawa dari masa ke masa, Yayasan Obor In-donesia, Jakarta.

United Nations, 2015, World population projectedto reach 9.7 Billion by 2050, www.un.org.Diakses 9 Maret 2019.

Page 58: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

54 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

KETIMPANGAN DAN KONTINUITAS PATRONASE DALAM LINTASAN SEJARAH:MENELUSURI SEJARAH PERUBAHAN AGRARIA DI MALANG SELATAN

INEQUALITY AND CONTINUITY OF PATRONAGE IN THE COURSE OFHISTORY: TRACING THE HISTORY OF AGRARIAN TRANSFORMATION IN

SOUTH MALANG

Grace Leksana(Kandidat Doktor Universitas Leiden/ Royal Netherlands Institute of South East Asia and

Carribean Studies (KITLV)/ Netherlands Institute for War, Genocide and Holocaust Studies)

Abstract: Opinions that perceive villages (desa) as solid entity, traditional, reservoir of labor and foodcrops,have been intensively criticized. On the contrary, villages are f illed with social-political tension, class dif-ference, and became areas where large conflicts in history also took place. This article develops the secondargument, which tries to trace agrarian transformation through history: from the colonial period, inde-pendence and the New Order. By presenting a case study in South Malang, East Java, this article aim toshow that village dynamics are controlled by patronage relation, where agrarian policies only benef itedcertain groups in the village. Historical analysis also shows how patronage relation persisted, although thestate had changed. Violence that occurred in regime change did not necessarily transform the patronagerelation in the village, instead strengthened it through the formation of new alliances. Agrarian policiesthat are going to be developed in the present should notice this power relation. The question of ‘who getswhat’ should be continuously raised by agrarian studies experts and policy makers.Keywords: patronage relation, clientelism, class inequality, 1965 violence, colonial plantation, Malang-East Java

Intisari: Pandangan yang melihat desa sebagai entitas solid, tradisional, reservoir tenaga kerja dan pangan,telah banyak dikritik. Sebaliknya, desa dipenuhi dengan ketegangan sosial-politik, perbedaan kelas danarea dimana konflik-konflik besar dalam sejarah juga terjadi. Artikel ini mengembangkan pandangan kedua,dan berusaha menelusuri perubahan agraria dari masa ke masa: periode kolonial, kemerdekaan dan OrdeBaru. Dengan mengambil studi kasus di Malang Selatan, Jawa Timur, artikel ini menunjukkan bahwadinamika desa dikuasai oleh relasi patronase, sehingga kebijakan-kebijakan agraria hanya menguntungkankelompok tertentu di desa. Analisa historis juga memperlihatkan bagaimana relasi patronase terus bertahan,meskipun negara (dalam hal ini sistem pemerintahan) telah berubah. Kekerasan yang terjadi dalamperubahan-perubahan rezim tidak mengubah relasi patron di tingkat desa, namun justru memperkuatnyadengan memunculkan aliansi-aliansi baru. Kebijakan-kebijakan agraria yang akan diambil pada masa kiniseyogyanya memperhatikan relasi kuasa tersebut, sehingga pertanyaan ‘siapa mendapat apa’ harus kerapdikedepankan oleh para pegiat studi agraria dan para pengambil kebijakan.Kata kunci: relasi patronase, klientelisme, ketimpangan kelas, kekerasan 1965, perkebunan kolonial,Malang-Jawa Timur

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: March 18, 2019; Reviewed: April 4, 2019; Accepted: May 3, 2019.

To cite this article: Grace, L 2019, ‘Ketimpangan dan kontinuitas patronase dalam lintasan sejarah:menelusuri sejarah perubahan agraria di Malang Selatan’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1,hlm. 54-68.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.319

Copyright: ©2019 Grace Leksana. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under a Creative Com-mons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

Page 59: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

55Grace Leksana, Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase ... 54-68

A. Pendahuluan

Ketika krisis moneter 1998 terjadi di Indone-sia, sejumlah studi menunjukkan bahwakesempatan kerja di sektor agraria meningkatdibandingkan sektor-sektor lainnya. Pandanganini dipengaruhi oleh kepercayaan bahwa pertaniandan pedesaan menjadi semacam cadangan tenagakerja (reservoir of labor), karena para petani kerapberpindah dari desa ke kota, mengerjakanlahannya di saat musim tanam dan panen, laluberpindah ke sektor non-agraris untukmemenuhi kebutuhan uang tunai di luar musim-musim tersebut (Breman & Wiradi 2002, 4).Pemikiran seperti ini telah dikritik berbagai pihak(Breman & Wiradi 2002, 13),1 terutama karenamengandung asumsi bahwa semua orangmemiliki kesempatan yang sama untuk mencaripendapatan dari sektor agraria. Kritik mendasarterletak pada kenyataan bahwa kehidupan desasangat terdiferensiasi sejak zaman pra-kolonial(White & Huskens 1989), yang kemudiandiperparah dengan masuknya industri kolonial.Pedesaan harus dilihat sebagai area yangmengandung kerumitan ekonomi politik danpenuh ketimpangan. Dengan demikian,perubahan agraria bukan semata-mata persoalanperkembangan teknik pertanian, populasi ataukomersialisasi, tetapi juga harus melihatbagaimana ketimpangan dan relasi kuasa bekerjadari masa ke masa. Hal ini juga berarti negaraberada di dalam proses diferensiasi agraria, bukansebagai kekuatan eksternal yang semata-mataberpengaruh melalui kebijakan.

Gillian Hart (1989, 31) juga menunjukkan bahwakebijakan-kebijakan agraria yang menyasar padapeningkatan komersialisasi dan teknologi berakardari anggapan bahwa negara berada di luar prosesekonomi agraria, sehingga pedesaan seringkali

dilihat sebagai entitas tanpa kuasa dan politik.Sebaliknya, Hart menekankan bahwa negara hadirdi tingkat pedesaan melalui relasi patronase,dimana kelompok dominan yang ada di desadigunakan oleh negara untuk merealisasikanagenda-agendanya. Relasi ini tidak hanya mem-pengaruhi ekstrasi dan akumulasi di sektor agraria,tetapi juga menimbulkan ketegangan dan konflikyang menjadi unsur utama dalam perubahan dandiferensiasi agraria (Hart 1989). Relasi patronaseyang dimaksud memiliki ciri-ciri sebagai berikut:pertukaran antara sumber daya dan solidaritas ataukesetiaan; sifat tak bersyarat dan kewajiban ataukredit jangka panjang; solidaritas (bisa jadi kuat,lemah atau ambivalen); informal/tidak legal;berbasis sukarela; mencakup individu atau kelom-pok dalam posisi vertikal dan bukan kelompok-kelompok yang terorganisir; dan memiliki elemenketimpangan serta perbedaan relasi kuasa yangkuat (Eisenstadt & Roniger 1980, 49-50). Dalamkonteks Indonesia, relasi patronase ini sudah adasejak masa pra-kolonial, namun berubah dari relasipersonal-afektif antara patron dan klien di masya-rakat kolonial menjadi jaringan patronase yang adadalam institusi birokratis Orde Baru (Nordholt 2015,168-177). Hingga saat ini, patronase tetap menjadiciri yang kuat di Indonesia, sehingga beberapaakademisi berpendapat bahwa patronase dapatberdampingan dengan demokrasi dan sekaligusmemperparah def isit-def isit demokrasi sepertiketimpangan ekonomi dan sosial (Klinken 2009,156).

Artikel ini berusaha memotret perubahanagraria melalui kerangka di atas: bagaimanadiferensiasi dan ketimpangan agraria di Indonesiasecara kontiniu dibentuk melalui relasi-relasipatronase. Terlebih lagi, periodisasi dalam sejarahseringkali membatasi analisa historis, sehinggamemotong kesinambungan relasi patronase dalamkonteks agraria yang terbentuk dari masa ke masa.Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pen-dekatan sejarah-antropologis dalam studi agrariamikro, untuk memperlihatkan kontinuitas ketim-pangan agraria dari masa kolonial hingga OrderBaru, yang diperparah dengan munculnya koalisi-koalisi antara elit desa dengan ‘negara’. Dua peris-

1 Jan Breman dan Gunawan Wiradi (2002) melaluistudi kasus di Jawa Barat, telah menunjukkan bahwa tena-ga kerja yang terbuang dari perkotaan tidak mampu men-dapatkan tempat di daerah pedesaan, karena berbagai fak-tor, di antaranya biaya produksi pertanian yang meningkat(misalnya 300% untuk pupuk dan 700% untuk pestisida)dan produksi pertanian yang sejak bertahun-tahun sebe-lumnya telah mengurangi proporsi tenaga kerja.

Page 60: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

56 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

tiwa kekerasan, yaitu perang kemerdekaan danoperasi militer 1965-1966, menjadi titik balikterbentuknya koalisi-koalisi tersebut yangmenjadi tak tergoyahkan dengan hancurnyakekuatan-kekuatan kiri yang berusahamenentangnya di tahun 1960an. Siapa yangterlibat dalam memelihara dan menentangketimpangan tersebut? Bagaimana peristiwa-peristiwa kekerasan dalam sejarah kita berpenga-ruh pada ketimpangan agraria? Penelitian inimenyimpulkan bahwa perubahan rezim di Indo-nesia tidak serta merta membawa perubahandalam relasi patronase masyarakat agraria.

Lokasi studi ini terletak di Kecamatan Donomul-yo, Malang Selatan, yang terletak 34 km dariibukota Kabupaten Malang, yaitu Kepanjen. LuasKecamatan Donomulyo adalah 192,6 km² atau6.47% dari seluruh luas area Kabupaten Malang(BPS Kabupaten Malang 2018, 12). Dengan jumlahpenduduk 62.627 orang, kepadatan penduduk dikecamatan ini hanya 325,17 orang/km², yang men-jadikan Donomulyo sebagai kecamatan dengankepadatan penduduk terendah di KabupatenMalang. Kecamatan ini juga berada di nomor urutkedua di Kabupaten Malang sebagai area penyediaburuh migran (BPS Kabupaten Malang 2018, 129).Terdapat 10 desa dan 39 dusun di Donomulyo,namun karena pertimbangan teknis, hanya tigadesa dan enam dusun yang tercakup dalam pene-litian ini. Terkait dengan unsur kerahasiaan, namaarea penelitian dan para narasumber di artikel initelah disamarkan. Ketiga desa yang menjadicakupan penelitian ini akan disebut sebagai daerahBanyujati.

Studi ini menggunakan sumber arsip dan lisanyang berbeda-beda, seperti dokumen-dokumenkoleksi arsip nasional di Belanda dan Indonesia,dokumen-dokumen perusahaan Belanda, skripsi-skripsi tentang landreform di tahun 1960an,wawancara lisan penduduk Donomulyo, sertaberbagai literatur terkait. Meskipun menggunakanperpaduan sumber yang beragam, penyusunansejarah Donomulyo yang komprehensif tetaplahmenjadi tantangan. Sumber-sumber di masakolonial tersebar di beberapa tempat, dan sulitmenemukan informasi yang secara spesif ik berbi-

cara tentang Donomulyo. Akan tetapi, terdapatbanyak sumber yang berbicara tentang KecamatanSengguruh, dimana Donomulyo menjadi salah satuwilayah administratifnya.2 Untuk masa perangkemerdekaan hingga Orde Baru, informasidikumpulkan melalui koran, laporan penelitian danwawancara sejarah lisan.

B. Awal Sebuah Desa

Berdasarkan sumber-sumber lisan di Donomul-yo, asal daerah ini terkait dengan perang melawankolonialisme pada abad 18 dan 19 di Jawa Tengah.Para warga desa percaya bahwa orang-orang perta-ma yang melakukan babad alas areal ini adalahbekas prajurit dan pengungsi perang Jawa yangbermigrasi lalu membangun kehidupan di JawaTimur. Sayangnya, sulit untuk mengetahui denganpasti perihal perang Jawa mana yang dimaksud.Dalam beberapa wawancara, warga desa menyebutPangeran Samber Nyawa atau Pangeran Mangku-negara I, yang lebih dikenal dengan Mas Said dariSurakarta. Ia dikenal sebagai f igur utama dalambeberapa pemberontakan di Jawa pada abad 18terhadap VOC yang beraliansi dengan kelompokaristokrat Jawa Tengah (Ricklefs 2001, 127-8). Dalamkesempatan lainnya, para informan memberita-hukan bahwa pencetus desa adalah bekas prajuritDiponegoro yang terlibat dalam perang Jawalainnya pada abad 19 melawan pemerintah kolonial(Carey 2007, Ricklefs 2001, 151-2). Meskipun sulituntuk menelusuri lebih lanjut kisah asal mula desadi Donomulyo, kedua versi tersebut menyiratkangelombang migrasi yang terjadi akibat perangkolonial di Jawa Tengah dan tumbuhnya desa-desabaru di Jawa Timur–sebuah akibat kapitalisme glo-bal yang masih serupa di masa kini. Hingga kini,makam para pencetus desa menjadi situs sakral,tempat tujuan para peziarah dan pusat berbagaiaktivitas tradisional, seperti bersih desa.

Sistem kepemilikan tanah sejak abad 19 dibatasioleh aturan-aturan komunal di desa. Hiroyoshi

2 Wilayah administrasi pada zaman kolonial adalahsebagai berikut: sub-distrik: Pagak, distrik: Sengguruh,Kabupaten: Malang, karesidenan: Pasuruan.

3 Survei ini disebut Eindresume van het onderzoeknaar de rechten van den inlander op den grond (Rangkumanakhir survei terhadap hak atas tanah populasi pribumi). Ia

Page 61: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

57Grace Leksana, Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase ... 54-68

Kano (1977), melalui analisanya terhadap hasil sur-vey kolonial di 1868-693, menunjukkan bahwakepemilikan individual dan komunal tetapdipengaruhi oleh keputusan komunitas desa.Dalam sistem kepemilikan komunal, atau yanglebih dikenal dengan gogol di daerah Malang,individu atau keluarga menggunakan sebagiantanah yang merupakan bagian dari tanahkomunal desa atau dusun. Dengan demikian,individu atau keluarga tersebut tidakdiperbolehkan menjual atau mewariskan tanahtersebut (Kano 1977, 15). Meskipun kepimilikantanah gogol melibatkan rotasi dan hanya berlakuuntuk periode terbatas, di Malang, penentuanperiode kepemilikan dan jumlah bagi hasil adalahtetap. Hal ini membuat sistem kepemilikankomunal di Malang hampir sama dengan kepe-milikan individual, namun tanpa hak untukmengalihkan lahan (hak jual/sewa dan waris)(Kano 1977, 17). Kano juga mencatat bahwa sistemkepemilikan tanah di masa itu telah menunjukkanketimpangan dan relasi kelas. Misalnya, bagiantanah yang lebih besar diberikan pada orang-orangyang memiliki lebih banyak ternak (Kano 1977,19). Dalam kasus lainnya, kepala desa memilikikuasa untuk menentukan pembagian tanah komu-nal, yang seringkali mengutamakan kepentinganpribadinya (Kano 1977, 20). Akan tetapi, Kano ber-argumen bahwa meskipun relasi kelas tercermindalam kepemilikan tanah, ini belum memper-lihatkan adanya sistem tuan tanah (landlord sys-tem). Situasi berubah seiring dengan perkembanganekonomi komersial, terutama ekonomi perke-bunan masa kolonial, yang mempertajam lebih

lanjut hubungan pemilik tanah dan penyewamelalui perpindahan tanah garapan dan penetrasiterhadap relasi kelas di desa (Kano 1977, 40).4

Setidaknya ada tiga kelompok yangberkembang menjadi tuan tanah atau elit desa dimasa kolonial. Pertama adalah para aparat desa.Mereka berperan sebagai perantara yangmenghubungkan warga dengan pemerintahkolonial, misalnya untuk mengumpulkan pajakdari warga atau merekrut petani penggarap untukmenjadi tenaga kerja perkebunan (Breman 1983,6). Di Kecamatan Karanglo, Pakis, Sengguruh,Turen, dan Gondanglegi seorang petinggimenerima f 2,50-f 5 per bau5 dari perusahaanuntuk jasa mereka dalam membantu persewaantanah (Welvaartcommissie 1907, 125). Pegawaiadministrasi desa mendapatkan f 0,50-f 2 untukperannya dalam pengaturan kontrak denganburuh dan kuli angkut (Welvaartcommissie 1907,125). Tidak jarang, posisi para petinggi dan aparatdesa sebagai perantara digunakan untuk mengerukkeuntungan pribadi. Di Distrik Sengguruh, praktik-praktik penyimpangan dilakukan oleh kepala desa,seperti penggelapan pajak dan penipuan penye-waan tanah (Welvaartcommissie 1907, 161-2).Kelompok kedua yang berkembang menjadi tuantanah adalah para haji. Di Sumberpucung, misal-nya, haji memiliki tanah tegal/kebun hingga 50 bau(Welvaartcommissie 1907, 18-19). Kelompok ketigaadalah keluarga para perintis desa. Studi Elsontentang industri gula di Pasuruan pada awal abad19 menunjukkan bahwa generasi penerus paraperintis desa tidak membagi tanah mereka kepadapendatang-pendatang baru, sehingga kelompok inimenjadi kelompok yang tak bertanah, bekerjasebagai buruh tani atau petani penggarap bagipemilik tanah (Elson 1984, 13). Ini adalah gambaranrelasi patron di masa kolonial, dimana para elitdesa (aparat, haji, atau keluarga perintis desa)

dilakukan oleh otoritas kolonial Belanda pada 1872 danmenghasilkan laporan tiga jilid. Tujuan utama survei iniadalah menyelidiki praktik-praktik kepemilikan tanahorang Indonesia (atau pribumi pada masa itu). Wilayahsurvei mencakup seluruh karesidenan di Jawa dan Madura,kecuali Batavia, Kedu, Yogyakarta dan Solo. Tidak semuadesa di setiap Karesidenan diperiksa, tapi setidaknya duadesa dipilih sebagai sampel. Untuk Kabupaten Malang,kecamatan yang dipilih adalah Gondanglegi, Pakis, Pe-nanggungan, Karanglo dan Ngantang.

4 Secara resmi, tanah-tanah gogol berubah menjadihak milik individu setelah reforma agraria di 1960. Akantetapi, implementasinya berbeda di setiap daerah. Misal-nya, studi Edmunson di dua desa di Malang menyebutkanbahwa perubahan gogol menjadi hak milik terjadi sejak

1958, sedangkan di Blitar, sistem gogolan masih berlang-sung hingga 1964 dengan rotasi tetap tanah komunal.Secara singkat dapat disimpulkan bahwa tanah-tanahgogol memberikan kesempatan bagi petani yang tak ber-tanah untuk memiliki lahan, sebagaimana dijelaskanSaptari 1995, 109-110.

5 1 bau = 0,7 hektar.

Page 62: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

58 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

berada pada relasi patronase dengan negara,dalam hal ini pemerintah kolonial. Di satu sisimereka menjadi bentuk konkrit ‘negara’ di tingkatlokal dan bekerja untuk memenuhi kebijakankolonial sambil menikmati berbagai keuntunganyang didapat dari hubungan tersebut. Akantetapi, di sisi lain, hal ini dilakukan dengan cara-cara represif terhadap warga yang serta mertamemperkuat posisi para tuan tanah secaraekonomi maupun kultural.

Perubahan dalam kepemilikan tanah terjadiseiring dengan dikeluarkannya Undang-UndangAgraria tahun 1870 yang mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta untuk memperoleh tanah takberpenghuni dengan menyewanya dari pemerintahhingga 75 tahun (Paulus 1917, 18). Di Malang,perusahaan swasta membuat investasi, khususnyapada industri kopi dan gula. Pada 1881 hingga 1884,hampir sepertiga produksi kopi di Jawa berasal dariMalang, dan pada 1922, Kabupaten Malangmenyumbangkan 19,6% dari seluruh produksi kopidi Jawa dan Madura (Kanô 1990). Donomulyo sertamerta menjadi bagian dari industri tersebut, seiringdengan berdirinya perusahaan kopi dan karet “N.V.Kali Tello” yang beroperasi di bagian utara Dono-mulyo. Diawali dengan 370 bau tanah, perusahaandihadapkan pada berbagai tantangan di tahun-tahun awal produksi mereka, seperti kekeringan,penyakit tanaman dan rendahnya harga kopi dipasar ekonomi (Verslag Over Het Boekjaar 1895).6

Kondisi ini mulai berubah melalui ekspansi (peru-sahaan menambah 130 bau kebun kopi) dan diver-sif ikasi jenis tanaman (kakao dan lada) pada 1902(Verslag Over Het Boekjaar 1902). Pada 1910,perusahaan tersebut memulai investasi padaindustri karet dengan menanam lebih dari 17.000pohon karet dan membangun pabrik karet duatahun kemudian (Verslag Over Het Boekjaar 1910).Pada 1922, Kali Tello menguasai 1465 bau lahan diKecamatan Donomulyo, dimana 207 bau diguna-kan untuk pabrik, rumah, kampung dan jalan, dan1258 bau digunakan untuk perkebunan kopi dankaret. Beberapa tahun kemudian, NV Kali Tellomengakuisisi beberapa perusahaan lain, seperti

perkebunan kopi Poerwodadie (yang terletakbersebelahan dengan Kali Tello), perkebunan karetSoember Nongko I-IV, dan perkebunan kapuk KaliGentong (keduanya di Kediri). Akan tetapi,kondisi ini menurun sejak 1929, seiring denganjatuhnya harga global kopi dan karet. NV. KaliTello mengalami def isit, yang berdampak padapenurunan 10% gaji seluruh staf Eropanya danpenghentian produksi karet di Soember Nongkopada 1931 (Verslag Over Het Boekjaar 1931). Perusa-haan ini juga tercatat menggunakan alat-alatpengolahan modern yang beroperasi dengan lis-trik, misalnya kereta gantung satu lajur (kabelbaan)sepanjang 2600 m untuk mengangkut kopi dariperkebunan Poerwodadi ke pabrik di Kali Tello(Verslag Over Het Boekjaar 1925).

Tabel 1. Luas tanah, jumlah pohon dan panen NVKali Tello pada 1928

Sumber: Verslag Over Het Boekjaar 1931. 1928. Inv.ZK 60163. Nederlandsch Economisch-HistorischArchief (NEHA). Internationaal Instituut voorSociale Geschiedenis, Netherlands.

Berdirinya perkebunan-perkebunan baru diMalang Selatan meningkatkan jumlah migran kedaerah tersebut. Antara 1880-1985, populasi di Sub-Distrik Pagak menjadi tiga kali lipat seiring denganberdirinya perkebunan-perkebunan kopi baru diSengguruh, Turen, dan Gondanglegi dan dipermu-dah dengan dibukanya jalur kereta api Malang-Surabaya (Welvaartcommissie 1907, 5). Selainburuh-buruh yang datang dari Jawa Tengah, orang-orang Madura juga tercatat sebagai imigran yangdatang ke area ini, bahkan lebih disukai dan diper-caya dibandingkan orang-orang lokal (Welvaart-commissie 1907, 83-4). Migrasi tampaknya mening-katkan cadangan tenaga kerja, namun tidakdiikuti dengan bertambahnya kesempatan kerja.Hal ini menyebabkan jatuhnya upah buruh dalamrentang waktu 20 tahun:

6 Kopi kualitas terbaik dikirim ke Belanda, sedangkankualitas rendah didistribusikan di Surabaya.

Perkebunan Kopi KaretLuasTanah(bau)

JumlahPohon

Panen1928(pikul)

Jumlahpohon

Panen1928(dalam ½kg)

Kali Tello 1460 932900 14688 103526 486630Poerwodadie 1568 699572 5008 146773 934364SoemberNongko

833 86649 304030

Total 3861 1632472 19696 336948 1725024

Page 63: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

59Grace Leksana, Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase ... 54-68

Table 2. Upah Buruh pada 1880 dan 1900

Sumber: Onderzoek naar de mindere welvaart derinlandse bevolking op Java en Madoera.Samentrekking van de afdelingsverslagen over deuitkomsten der onderzoekingen naar handel ennijverheid in de residenties Besoeki, Pasoeroean enSoerabaja. 1907. Ministerie van Koloniën: CollectieGrijs. Inv. 2.10.64. Box 21, folder 21.4. NationaalArchief, The Hague, Netherlands, hlm. 80.

Tanpa kontrak kerja yang mengikat dan kepas-tian upah, para pekerja berpindah dari satu peker-jaan ke pekerjaan lain, tergantung pada jumlah upahdan fasilitas yang mereka dapatkan. Manajemen KaliTello berulang kali melaporkan kesulitan mencariburuh, karena upah tinggi yang ditawarkan olehperkebunan-perkebunan lain, khususnya industrigula, atau karena para petani memilih menggaraptanah mereka sendiri (Verslag Over Het Boekjaar1913). Untuk mengatasi masalah ini, selain mena-warkan upah tinggi, perusahaan juga menyediakanfasilitas seperti perumahan dan layanan kesehatan(Verslag Over Het Boekjaar 1927).7 Selain itu, cara-cara non-koersif lainnya juga ditempuh untuk men-jaga ketergantungan pekerja dengan perusahaan.Sebuah informasi menarik diceritakan oleh Pram-bodo, yang lahir pada 1933 di perkebunan karetGledekan Pancur, Dampit, Kabupaten Malang. Iaadalah anak seorang mandor tinggi, yang mengko-ordinir beberapa mandor rendah di berbagai divisi.Prambodo besar di perkebunan, tetapi bersekolahdi Kota Malang dan kembali ke perkebunan di saatlibur sekolah. Ketika tinggal di perkebunan, iamelihat bahwa manajemen perusahaan menyedia-kan hiburan sebagai salah satu cara untuk membuat

para pekerja tetap tinggal di area tersebut:

[para buruh] upahnya per minggu. Tiap hari Sabtu[diberikan]. Apa yang dikerjakan mandor-mandorkecil, dikumpulkan sama mandor besar, datanyadisetorkan ke pabrik/ sinder, yang bagian upah.Tiap hari Sabtu, pintarnya Belanda, [karena]mereka tinggal di perkebunan, daerah terpencil,dikasih hiburan. Istilahnya tandak, menari, adaorang main dadu, sehingga saya amati pekerja itudisibukkan dengan hal itu. Belandanya pergi keMalang. Lalu pekerja itu uangnya habis. Karenahabis, Senin mulai lagi cari duit. … Pekerja-pekerjadi perkebunan mesti banyak orang Madura. …Sifatnya orang Madura senang main, jadi maindadu, ayam, jadi dibiarkan sama Belanda. Denganbegitu, uangnya habis. Sering terjadi perkelahian.Polisi datang dengan sepeda motor. Ngambil or-ang yang berkelahi, lalu dibawa ke Dampit(Komunikasi dengan Prambodo, 29 Juli 2016).

Prambodo menggambarkan suasana hidupperkebunan yang biasanya tidak tercatat di doku-men-dokumen resmi. Ia mendeskripsikan kebera-daan pekerja Madura (yang juga disebutkandalam dokumen kolonial) dan hiburan yangdisediakan oleh perusahaan. Menurut Prambodo,ini adalah strategi ‘halus’ untuk menjaga parapekerja agar tetap bekerja di dalam perkebunan.Praktik demikian juga terjadi di daerah-daerahlain, seperti di perkebunan tembakau di Sumatera(Breman 1989).

C. Para Pekerja Perkebunan

Warga Banyujati juga turut serta menjadipekerja di Perkebunan Kali Tello. Beberapa darimereka menjadi buruh, namun ada juga yangmenjadi mandor rendah. Perbedaan posisi inimasih tampak dalam generasi kedua para pekerjaperkebunan yang saya temui dalam penelitianlapangan. Burmudji, lahir pada 1952, adalahpensiunan guru sekolah dasar dan staf dinaspendidikan Kabupaten Malang. Ayahnya, Darsa,lahir pada 1917 dan merupakan salah satuketurunan perintis desa. Ia menyelesaikan sekolahOngko Loro dan Ongko Telu (sekolah Belandauntuk pribumi), dan menjadi guru di KebonAgung, kecamatan lain di Kabupaten Malang.Sekitar 1930, Darsa menjadi Katolik, dan sebagaibagian dari misi Katolik, Darsa ditugaskan

7 Obat-obatan tidak dipungut biaya, dan pasiendengan penyakit serius diantar ke klinik di Malang kota.Pada 1927, sebuah klinik didirikan di dekat Kali Tello danPurwodadi, dengan seorang dokter yang datang dua kaliseminggu dari Malang.

Tipe pekerjaan Upah Buruh1880 1900

Penghasilan keseluruhanper hari

ƒ 0,40 and ƒ 0,75(laki-laki)ƒ 0,30 and ƒ 0,50(perempuan)

ƒ 0,20 (laki-laki)ƒ 0,30(perempuan)

Memetik kopi ƒ 0,75 – ƒ 1,25 ƒ 0,50 – ƒ 0,60Penanaman per bau(sekitar 30 hari kerja)

ƒ 20- ƒ 25 ƒ 15

Mengolah tanah untukpenanaman (sekitar 90hari kerja)

ƒ 50- ƒ 60 ƒ 40

Page 64: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

60 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

menjadi guru di sekolah Katolik Donomulyo.Setelah beberapa tahun, ia mendirikan sekolahdi desa lain. Bersama dengan dua orang Katoliklainnya, Darsa dihormati sebagai perintis umatKatolik di Donomulyo. Kemampuannyamembaca, menulis, dan berhitung jugamembawanya pada posisi mandor rendah diPerkebunan Kali Tello.

Kebetulan ayah waktu di Banyujati masih adaperkebunan, posisi ayah saya mandor. Koman-dan kelompok. Misalnya pekerja 10, ayah sayakomandannya. Meskipun sekolahnya OngkoLoro, dianggap terpelajar. Sehingga mesti adatanda tangan, administrasinya-lah. Tugasnyamembagikan gaji. Meskipun kami miskin, tapitidak miskin-miskin amat [ditekankan oleh Bur-mudji] kalau dibandingkan dengan masyarakatsekitar saya (Komunikasi dengan Burmudji, 6Desember 2016).

Burmudji sepenuhnya sadar dengan statuskeluarganya. Latar belakang pendidikan Darsamenjadikan ia guru, mandor, sekaligus tokoh umatKatolik di desa. Kasus keluarga Burmudji menun-jukkan bagaimana Perkebunan Kali Tello berkon-tribusi pada pembentukan status dan kelas parapenduduk desa.

Bekerja untuk perkebunan juga membuat parapenduduk desa mampu memperluas kepemilikanmodal mereka. Ini dialami oleh ayah Ny. AjiMarlan. Aji Marlan sendiri adalah mantansekretaris desa di era Orde Baru dan anak seorangpengusaha lokal yang berdagang ternak (sapi).Ayah mertuanya kemudian bergabung dalamusaha tersebut dan kedua orang tua merekakemudian menjadi ‘orang kaya desa’. MenurutMarlan, ayahnya juga seorang tokoh agama,dengan jaringan haji di sekitar daerah ini karenausaha dagangnya. Ayah Aji Marlan mendirikanmasjid pertama di dusun mereka, dan Marlankemudian menjadi aktivis Ansor. Baik ayahkandung maupun mertua Aji Marlan sudahmemperlihatkan kemampuan manajemenekonomi bahkan sebelum mereka berkolaborasidalam usaha dagang. Hal ini tampak sejak ayahmertua Aji Marlan bekerja di perkebunan.

Mbah saya jualan getuk, dan lain-lain, Mbahputri. Dia jualan di perkebunan. Ayah saya cuma

[anak] satu-satunya. Tapi kerja nderes (menyadap)karet, bukan mandor. Terus dikasih bungkusanmakanan, gak dimakan, tapi dijual ke temannya.Makannya ikut mbah saya. Lama-lamadikumpulkan, bisa beli sawah. Dari nol mertuasaya. Tapi sejak kecil sudah orang ekonomi. Diakerja ikut Belanda, kalau ada ransum–dari Belandaada jatah makanan–dijual ke temannya. Dia makanikut ibunya. Belanda kalau ngerjain orang dibayarharian. Upahnya sedikit (Komunikasi dengan IbuAji Marlan, 15 Mei 2017).

Meskipun upah buruh rendah, ayah Ny. AjiMarlan dapat mengatasinya dengan menjual jatahmakanannya. Upah yang didapat dari bekerja diperkebunan, dan juga dari usaha dagang ternaknya,digunakan untuk membeli tanah di Desa Banyujati.Hal ini, ditambah dengan jaringan tokoh-tokoh Is-lam, membuat keluarga Aji Marlan masuk kedalam kategori elit desa.

Selain mereka, ada pula warga desa yang bekerjadi perkebunan namun berada di luar kelompokelit ini. Keluarga Marwono memperlihatkan perbe-daan dengan keluarga Aji Marlan dan Burmudji.Marwono dilahirkan sekitar 1936-37, saat ini bekerjasebagai petani yang memiliki sepetak tanah. Kebun-nya ditanam dengan beberapa jenis tanamanpangan, seperti singkong dan kakao, namun jugakayu sengon. Dalam percakapan kami, ia mengakuibahwa masa kecilnya sulit. Ia besar tanpa menge-tahui orang tuanya dan kehilangan tante yangmengurusnya.

Saya lahir di Beji Rejo (area di KecamatanKasembon, Malang). Ada perkebunan kopi dankaret di sini. Bude dan nenek saya bekerjasebagai buruh di pabrik. Ada pabrik, dan adaperkebunan. Mereka memetik kopi saat panen,dan di waktu lainnya hanya jadi buruh biasa. …Saat saya kecil, saya ingat nenek dan Budebekerja di perkebunan. Kakak dan Pakde jugabekerja di sana, pulang membawa kayu bakar.Mereka jual itu [kayu bakar]. Upahnya rendah,tapi saya ndak ingat seberapa. Yang pasti tidakcukup untuk hidup kita semua. Kami lebihbanyak makan sayur-sayuran. Harga kayu bakarndak tetap. Kadang kami tukar dengan ma-kanan, tiwul, untuk tambahan menu. … Orang-orang yang bekerja di pabrik berasal dari daerahsekitar. Belanda yang punya pabrik, tapi man-dornya kebanyakan orang Jawa. … Biasanya ada

Page 65: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

61Grace Leksana, Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase ... 54-68

perayaan saat libur, semua pekerja dikumpulkandi pabrik. Beberapa hasil panen, seperti jagung,dibagi-bagikan ke pekerja. Saya pernah bakarjagung sampai kering (Komunikasi denganMarwono, Donomulyo, 16 September 2016).

Keluarga Marwono pindah ke area Banyujatikarena kesempatan kerja yang ditawarkan perke-bunan. Sama seperti Aji Marlan, Marwono mene-kankan upah rendah dari kerja perkebunan, khu-susnya untuk keluarga besar Marwono. Keluar-ganya harus bertahan hidup dengan upah yangrendah, menjual kayu bakar dan hasil panen yangdibagikan oleh perkebunan. Situasi keluargaMarwono berbeda jauh dengan keluarga Aji Marlandan Burmudji. Kedua keluarga ini mampu mem-perbesar kepemilikan dan kapital mereka, sedang-kan Marwono tetap mengalami kesulitan ekonomi.Melalui sejarah keluarga-keluarga ini, kita dapatmelihat bagaimana ekonomi kolonial turut mem-pertajam perbedaan sosial di desa.

D. Perang Kemerdekaan 1945-1950

Jejak perkebunan Kali Tello sulit ditemukan diDonomulyo saat ini. Bangunan, bekas kabelbaan,atau pohon kopi dan karet telah hilang dari daerahBanyujati. Satu-satunya bekas keberadaan perke-bunan kolonial adalah jalan raya yang menghu-bungkan beberapa desa di Banyujati. Berdasarkancerita-cerita masyarakat desa, saya menangkapbahwa penjajahan Jepang dan perang kemerdekaantelah menghancurkan seluruh properti NV. KaliTello. Marwono adalah orang pertama yang menje-laskan secara detil masa perang tersebut.

Ketika saya sekolah, perkebunan sudah tidakada, diduduki warga. Orang-orang tidak punyatanah, dan Belanda sudah diusir. … Kalau tidakkita hancurkan, mereka [Belanda] akan kem-bali, begitu katanya. Seluruh pohon kopi dankaret dihancurkan, lalu ditanami tanamanpangan, untuk makan. [Grace: Bapak lihat wak-tu dihancurkan?] Saya masih kecil, gak terlalungerti. Saya lihat orang-orang lari, membakarpabrik, kayak kerusuhan. Ada pemimpinnya,tapi saya gak tau itu siapa. Pabriknya dibakar,tapi gak tau oleh siapa. …. Saya juga gak tau soalpembagian tanah, tapi kayaknya ada yangmengatur. [Grace: Keluarga Bapak dapatberapa?] Kalau gak salah satu hektar. Mereka

hitung jumlah keluarga, kecil atau besar (Ko-munikasi dengan Marwono, Donomulyo, 16September 2016).

Kejadian dalam ingatan masa kecil Marwonoini terjadi pada 1947. Pada masa perang kemer-dekaan 1945-1950, sebagian besar perkebunan diMalang Selatan dihancurkan. Prambodo, yangmenghabiskan masa kecilnya di perkebunan karetGledekan Pancur, Dampit, juga turut menyaksikanbagaimana Jepang menghancurkan pohon-pohonkaret dan membawanya pergi. Pada tahun-tahunawal kemerdekaan, sebagian besar pohon karettelah hilang, sehingga para warga mulai mengalih-kan tanah yang terbengkalai menjadi tanahpertanian. Bahkan orang-orang dari luar Dampitpindah ke daerah bekas perkebunan, menghan-curkan pohon-pohon yang masih tersisa, danmendirikan lahan pertanian untuk mereka sendiri.Pada 1948, pabrik karet di Dampit dibom olehtentara gerilya.8 Bahan-bahan bangunan daripabrik, seperti seng, dijarah untuk dijual ataudigunakan sebagai bahan bangunan rumahtinggal warga. Menurut Prambodo, pada masa-masa itu hukum tidak tampak bekerja. Orang-orang hanya mengambil apa yang mereka mau,bahkan rumah keluarga Prambodo jugadibangun dengan menggunakan bahan dari pabrik.Prambodo juga menyebutkan bahwa para tentara,gerilyawan dan pengungsi dari luar desa juga meng-gunakan tanah-tanah bekas perkebunan karenamereka harus bertahan hidup (Komunikasi denganPrambodo, 29 Juli 2016). Sebuah laporan dari NVKooy & Coster van Voorhout menyebutkan bahwabekas TNI turut beraliansi dalam pembentukan NV.Sumi yang menggunakan tanah-tanah bekasperkebunan Wonokoio, Banduardjo, Alas Tledek,Donowarie and Kali Tello (NV. Kooy & Coster vanVoorhout 1951).9 Pada masa ini juga terjadi per-

8 Penghancuran pabrik adalah bagian dari taktik bumihangus, strategi gerilya tentara Republik Indonesia yangbertujuan untuk mencegah rekonstruksi ekonomi Belan-da (Nasution 1953, 20). Laporan tahunan NV Kali Tellopada 1941-1949 juga menyatakan bahwa pabrik, perke-bunan dan tempat tinggal mereka dihancurkan sebagaihasil taktik bumi hangus.

9 Kelompok ini bersaing dengan kelomopok TNIpimpinan Oemar Maksim yang memiliki koneksi kuatdengan ALS (Algemeen Landbouw Syndicaat).

Page 66: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

62 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

saingan antara kelompok-kelompok tentarauntuk melegalkan kepemilikan atas tanah-tanahbekas perkebunan.

Areal tinggal baru yang menggunakan tanah-tanah bekas perkebunan dikenal dengan nama desadarurat, yang pada 1950an menjadi sumber konflikdengan perusahaan dan pemerintah dalam prosesreklamasi dan nasionalisasi. Pendudukan tanahmenjadi perseteruan karena di satu sisi, tindakanini danggap sebagai bentuk progresif landreform,namun di sisi lain, pemilik perkebunan dan peme-rintah melihatnya sebagai tindakan pencurian(Lund and Rachman 2016, 1317). Ketika pada akhir-nya pemerintah ‘mentolerir’ pendudukan tanahmasif ini, mereka dihadapkan pada ketidaksi-nambungan antara ‘situasi riil, peraturan resmi dansistem registrasi negara’ (Bedner 2016, 41). KaliTello merupakan salah satu contoh perkebunan diMalang Selatan yang tak bersisa, namun ada banyakperkebunan lain di daerah tersebut yang selamatdari penghancuran, lalu dinasionalisasikan, bahkanmasih bertahan hingga saat ini. Dalam prosesnasionalisasi tersebut, peran organisasi-organisasikiri sangat kuat, dan seringkali menghasilkankebuntuan karena pihak-pihak terkait (negara,pemilik perkebunan dan serikat buruh) tidak men-capai kesepakatan tentang dana kompensasi untuktanah perkebunan (Keppy 2010, 212).10

Ketika warga Banyujati mulai tinggal di atastanah-tanah bekas perkebunan, kehidupan ekono-mi mereka tidak serta merta bertambah baik.Hilangnya perkebunan berarti hilangnya sumberpendapatan bagi sebagian warga, termasuk kehi-langan berbagai infrastruktur (listrik, perumahan)dan fasilitas (layanan kesehatan). Mereka jugamengalami kesulitan dalam menggarap tanahkarena perubahan kualitas humus setelah eksploi-tasi kopi dan karet. Karakter tanah yang kering danrendahnya curah hujan menyebabkan kesulitanpanen, sehingga tidak heran ketika Jawa Timur

mengalami krisis pangan pada 1963, warga Dono-mulyo jatuh ke dalam malnutrisi ekstrim (Anonim1964, 4). Selain itu, hilangnya industri perkebunantidak mengubah relasi kelas yang ada di desa. Se-baliknya, secara umum, industri perkebunan kolo-nial di Indonesia berakibat pada meningkatnyadiferensiasi sosial ekonomi, konsentrasi tanah yangmenyingkirkan petani tak bertanah atau hampirtak bertanah, semi-proletarianisasi, dan munculnyatenaga kerja modern (Slamet-Velsink 1988, 167).Parahnya situasi ini tercermin dalam ungkapanyang sering terdengar di masa pasca kemerdekaan:“Kapan yo entekne merdeka?” (Kapan ya selesainyamerdeka?) (Komunikasi dengan Burmudji, 6Desember 2016). Pernyataan ini tidak berarti bahwapara warga desa berharap dijajah kembali, namunbagi mereka, kemerdekaan tersebut tidak memba-wa kemajuan pada kehidupan pedesaan.

E. Menentang Perbedaan Kelas:Kelompok Kiri dan Reforma Agraria

Adalah kelompok kiri, terutama Partai KomunisIndonesia (PKI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI),yang mulai menentang dan mengkritik ketim-pangan di desa. Sebagian warga mengungkapkanbahwa BTI menjadi aktif di Banyujati karenareforma agraria, yang ditandai dengan diterbit-kannya Undang-undang Pokok Agraria no. 5 tahun1960. Akan tetapi, advokasi BTI terhadap isu-isutanah sudah dimulai sebelum UU tersebutditerbitkan. Pada 1951, BTI mengkritik pemerintahIndonesia yang baru berdiri karena kelambananmereka dalam melegalisir tahan-tanah bekas perke-bunan yang telah diduduki warga. BTI mendesakpemerintah agar lebih agresif, bahkan mengusulkanmenyerahkan secara sepihak tanah-tanah tersebutkepada warga (Tj 1951, 3-4). Mereka juga mendu-kung advokasi dan aksi massa oleh orang-orangyang membela tanah mereka (dalam hal ini desadarurat) yang dibangun di atas tanah hutan di masaperang kemerdekaan. Mereka mengutuk pegawaikementerian kehutanan yang masih berpendapatbahwa tanah hutan yang diduduki harus dikemba-likan tanpa mempertimbangkan kelangsunganhidup penduduk yang tinggal di atasnya (Sardju1957, 2). Selain itu, BTI juga mengkritik mekanisme

10 Misalnya saja, di saat perkebunan harus dikem-balikan pada pemiliknya, Sarbupri meminta f 42.500 dalamkasus pengembalian perusahaan Margomulio di Kediri.Meskipun pada akhirnya perusahaan membayar f 10.000,kasus ini menunjukkan kuatnya posisi serikat buruh padamasa itu.

Page 67: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

63Grace Leksana, Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase ... 54-68

yang tidak demokratis dalam pembentukanotoritas desa. Praktik-praktik yang berlangsung saatitu menggunakan relasi keluarga untuk memilihaparat desa. BTI kemudian mendesak dibentuknyaUndang-undang Desa untuk mengatasi masalah ini(Djojohadiwikarso 1951, 19).

Advokasi BTI terhadap kepemilikan tanah dankritik terhadap administrasi desa yang feodal,kemungkinan besar menyumbang pada kesuksesanPKI di pemilu legislatif 1955. Di Kabupaten Malang,Partai NU memperoleh suara tertinggi (231.918suara), diikuti oleh Partai Nasional Indonesia (PNI)dengan 193.297 suara, dan PKI dengan 164.159 suara(Panitia Pemilihan Indonesia 1955).11 Bertentangandengan hasil di tingkat provinsi, PKI meraih suaratertinggi di Kecamatan Donomulyo, yaitu 12.981suara. Posisi kedua diisi oleh PNI dengan 3609suara, dan diikuti oleh NU di posisi ketiga dengan591 suara (Hasil Pemungutan Suara di KabupatenMalang 1955, 2). Dominasi PKI juga terlihat ditingkat desa, di mana para Kepala Desa Banyujatiberasal dari PKI.

Mobilisasi BTI menjadi semakin intensif ketikaimplementasi UUPA dianggap lamban. Pada 1963,Komite Pusat Landreform mencatat hanya 153.043Ha. tanah yang terdistribusi dari total 403.000 Ha.tanah pemerintah (Asmu 1964). Hingga akhir 1964,Kementerian Agraria mencatat sejumlah kesulitandalam implementasi UUPA, seperti keterbatasanregistrasi tanah, kurangnya pemahaman terhadappentingnya UU tersebut, dan dihambatnya peransignif ikan organisasi tani di dalam komite (Utrecht1969, 78-79). Dalam kasus-kasus ekstrim, peno-lakan dari tuan tanah memunculkan praktik-prak-tik penyimpangan, seperti mengubah tanah sur-plus menjadi hibah palsu; perceraian, sewa, bahkankematian palsu yang diikuti dengan pewarisan tanah(Asmu 1964). Komplikasi dalam implementasiundang-undang tersebut membuat PKI melan-carkan aksi-aksi sepihak yang meliputi seranganfisik terhadap tuan tanah (yang diikuti dengan aksibalasan kepada para petani), perampasan tanah,

atau penolakan untuk menyerahkan hasil panenpada pemilik tanah.

Di Kecamatan Donomulyo, terdapat 41.001 Ha.tanah yang sudah terdata sebagai tanah kelebihandan 75 orang tercatat sebagai kandidat penerimaredistribusi tanah tersebut (Sagijati 1968).12 Tidakada informasi lebih lanjut apakah redistribusi iniberhasil diimplementasikan atau tidak. Akan tetapi,kebijakan landreform memunculkan reaksi yangbertentangan di antara penduduk Banyujati. Bagipara kapitalis desa, kebijakan ini dinilai mengancamhak milik mereka. Inilah yang diungkapkan olehBurmudji saat ia menjelaskan posisinya terhadapkebijakan tersebut.

Ayah saya adalah ketua Partai Katolik. Dia tokohyang menentang. Kebijakan kepala desa [yangPKI] selalu dia tentang. Di depan rumah sayaada papan nama “Ketua Partai Katolik”, dan disebelahnya “Ketua Pemuda Katolik”. Ayah sayaberani. “Jika saya mati, saya mati dalam namaYesus”. … Dulu ada kebijakan namanya land-reform. … Di masa itu, ayah saya memimpinperlawanan terhadap kepala desa, karena land-reform benar-benar membuat orang sengsara.… Tanah dikuasai oleh birokrat. … Jadi meskipunsaya mewarisi tanah, para birokrat yang akanmenentukan ‘tanahmu hanya sekian’. Saya gakbisa ngapa-ngapain, karena dibatasi. Kepemi-likan perorangan dibatasi, karena pengaruhPKI. Ada janji bahwa anggota BTI akan meneri-ma sebidang tanah, yang diperoleh dari mengu-rangi kepemilikan tanah melalui landreform. …Ayah saya mendukung orang-orang yang me-rasa dicelakakan [oleh kebijakan landreform],jadi dia mengambil peran sebagai pemimpin.Ayah saya punya dua misi, selain membelamereka yang tertindas, dia juga punya agendasendiri. Dengan menaruh simpati, orang-orangakan menjadi Katolik (Komunikasi denganBurmudji, 6 Desember 2016).

Menurut Burmudji, reforma agraria adalahancaman terhadap kepemilikan privat keluarganya.Dia melihat keluarganya sebagai korban dari UUPAdan menyalahkan PKI sebagai inisiator UU tersebut

11 Jumlah pemilih di Jawa Timur terbilang kecil(478.454 orang) dibandingkan dengan populasi pendudukdi propinsi tersebut (1.226.754 orang). Tidak ada penje-lasan tentang perbedaan ini.

12 Lihat catatan kaki 4. Reforma agraria juga mendo-rong konversi tanah-tanah gogol menjadi tanah hak milik.Akan tetapi, terdapat indikasi bahwa di Malang konversitersebut sudah terjadi bahkan sebelum berlakunya UUPA.

Page 68: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

64 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

(Mortimer 1972, 16-17).13 Selain itu, kisah Burmudjijuga menunjukkan bagaimana isu tanah berkelitkelindan dengan agama. Ayahnya menggunakanadvokasi menentang landreform sebagai strategiuntuk memperluas pengikut Katolik di desa terse-but. Di daerah lainnya, aksi sepihak berubah men-jadi konflik agama karena sebagian besar pemiliktanah juga tergabung dalam organisasi keagamaan(Mortimer 1972, 50-51). Hal ini dipertajam denganpropaganda agama, misalnya melihat komunissebagai ateis dan dengan demikian, menjadiancaman terhadap Islam atau Katolik.

Dalam wawancara yang saya lakukan, hampirsemua penduduk desa menyatakan bahwa adakebencian di antara kelompok kiri (PKI dan BTI)dan kelompok agama (NU, Partai Katolik), namuntidak ada konflik terbuka di desa. Hal ini berbedadengan tempat-tempat lain di Jawa Timur, di manakekerasan terjadi di antara kedua kubu tersebut.Aji Marlan, mantan sekretaris desa, menggambar-kan bahwa mobilisasi dan persaingan biasanyamuncul di acara-acara publik. Misalnya, saatperayaan hari kemerdekaan, setiap organisasi yangada di desa berparade keliling kecamatan, meng-gunakan kostum dan memegang bendera masing-masing. Aji Marlan sendiri pernah turut berpar-tisipasi dalam drum band Ansor. Acara seperti inibiasanya menjadi ajang untuk saling memamerkankekuatan masing-masing organisasi, yang biasanyaterlihat dari jumlah peserta dan penampilanmereka dalam parade. Ejekan dan ancaman antaraBTI dan NU atau Partai Katolik biasanya munculsaat parade, karena masing-masing pihak berusahamenonjolkan dirinya. Saling mengancam mewarnaikehidupan mereka sehari-hari, namun pendudukmenggambarkan bahwa aktivitas di desa tetapberjalan seperti biasa. Kerja komunal atau soyo,

serta berbagai tradisi masyarakat seperti bersihdesa, tetap dihadiri oleh semua orang, termasukpihak-pihak yang berseteru. Dengan latar belakangini, sulit untuk mempercayai bahwa konflik diantara kubu-kubu tersebut dapat berujung padapembunuhan massal di 1965 tanpa campur tangankekuatan eksternal, dalam hal ini, militer.

F. Transformasi di Masa Orde Baru

Pangdam VIII Brawijaya, Basuki Rachmat,mengeluarkan Perintah Operasi no. 5 Pancasilapada 21 Oktober 1965, yang memberikan komandountuk meneruskan pengganyangan kelompokkontra revolusionar G30S hingga ke akar-akarnyauntuk menciptakan situasi aman dan tertib di JawaTimur (Perintah Operasi No. 05 Pantja Sila 1965).14

Operasi ini baru dimulai pada 29 November 1965di Kecamatan Donomulyo yang dipimpin olehKapten Hasan Basri dengan akhir sebagai berikut(Komando Distrik Militer 0818 Pos KomandoMalang Selatan 1966, 2):

Di daerah Donomulyo keadaan PKI 90% yangjuga disinyalier bahwa di batas barat dariDonomulyo ada 12 pucuk senjata api. …. Dandalam pemeriksaan oleh team pemeriksa yangterdiri dari Tjatur tunggal tertip sekali untukmendapatkan adanya pengakuan tentangsenjata api tersebut. Selain tokoh-tokoh yangtelah diamankan di Batu masih terdapat 24tokoh PKI, PR, BTI dan Lekra yang di dalamscreeningnya adalah positif untuk diselesaikan(penekanan dari pengarang). Sisa-sisa darianggota PKI dalam 8 desa Donomulyo telahmembubarkan diri.

Berdasarkan wawancara dengan pendudukDonomulyo, para anggota dan simpatisan PKI sertaBTI hilang, ditangkap atau bahkan dibunuh.Mereka yang tidak ditangkap namun dituduhsebagai pendukung kelompok-kelompok kiri iniharus menjalani wajib lapor ke Koramil setempatsebagai bagian dari program Bina Mental. Pada

13 Pendapat ini tidak tepat. Dalam perdebatan diDewan Pertimbangan Agung dan parlemen, PKI memilikibeberapa keberatan terhadap beberapa pasal dalam UUtersebut. Meskipun demikian, PKI tetap memilih untukpengesahan UUPA. Menurut Rex Mortimer, PKI memain-kan politik consensus, menjaga aliansi mereka denganPresiden, dan menunjukkan pada kelompok elit bahwaPKI adalah kelompok moderat dan bertanggun jawab.Dengan kata lain, PKI tidak mempengaruhi perwakilanpartai-partai politik di Parlemen, tapi mereka menye-suaikan diri dengan negosiasi terhadap UU tersebut.

14 Perintah operasi tersebut juga menyatakan bahwatenaga sipil yang “telah nyata-nyata mendukung ABRIdalam penumpasan Gerakan 30 September” dapat digu-nakan untuk keperluan operasi. Perintah Operasi No. 05“Pantja Sila”. No. Inventaris 316-a. Arsip Komando DaerahMiliter V/Brawijaya.

Page 69: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

65Grace Leksana, Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase ... 54-68

1997, tercatat 2.731 penduduk Donomulyo yangmasih harus menjalankan wajib lapor (“SuratKepada Kepala Direktorat Sosial Politik PropinsiDati I Jawa Timur 1998), namun berkurangmenjadi 1.850 orang pada 1999 (Daftar NamaWNRI yang Terlibat G30S/PKI (Walap) atauOrganisasi Terlarang Lainnya (ELA) di WilayahKecamatan Donomulyo, Kabupaten DATI IIMalang 1999). Hilangnya organisasi kiri di tingkatdesa juga berhasil men-depolitisasi kehidupan desa,termasuk kehidupan kebudayaannya. Berdasarkansebuah wawancara, pegiat Ketoprak di daerahDonomulyo mengalami pemantauan ketat dariBabinsa. Mereka juga diminta menyampaikanpesan-pesan pemerintah setempat dalam pentasmereka.

Pasca G30S, kebijakan agraria mengalamiperubahan mendasar; dari konsep EkonomiBerdikari yang digagas Sukarno, menjadi ekonomikapitalistik pada masa Orde Baru. Pada 1965-1968,para teknokrat Bappenas diyakinkan oleh IMF akanideologi ekonomi pasar bebas, dimana peran negaradibatasi dalam memberikan kondisi f iskal danmoneter untuk akumulasi kapital, dan menyerah-kan sepenuhnya pada mekanisme pasar untukmeraih pertumbuhan maksimum (Robison 1986,133). Ketika Bappenas mengeluarkan RencanaPembangunan Lima Tahun/Repelita, 60% anggaranprogram tersebut berasal dari pinjaman asing(Robison 1986, 137-8).15

Perubahan kebijakan ekonomi ini berpengaruhterhadap kebijakan agraria. Dengan menekankanpada peningkatan produksi pangan, Orde Barumenciptakan salah satu program intensif ikasi yangdikenal dengan BIMAS atau Bimbingan Massal.Dimulai pada 1965-1966, program ini berubah arahdi bawah Orde Baru dengan pelibatan perusahaanmultinasional (Utrecht 1973, 161).16 Perusahaan

seperti Swiss Ciba dan Jerman Barat Hoechst,dikontrak oleh negara dan membayar sekitar $50per hektar untuk menyediakan fasilitas yangmendukung revolusi hijau, seperti pupuk, insekti-sida, dan varietas padi baru/IR. Petani dimintauntuk membayar kredit ini seperenam dari panenmereka ke sebuah agen nasional (White & Huskens1989, 252). Meskipun BIMAS meningkatkanproduksi beras, ia hanya bertahan hingga akhir1980an karena berbagai masalah, termasuk korupsi(Utrecht 1973, 161; Crouch 1988, 290-1). Sebuah studidi Kecamatan Gondanglegi, Malang Selatan,menyimpulkan bahwa BIMAS lebih disukai olehpetani kelas menengah dan atas karena kelompokini cenderung memiliki tanah dan modal lebih besaruntuk mengakses kredit tersebut, dibandingkandengan petani kelas bawah (Kano 1990, 120-1).

Sementara itu, UUPA tahun 1960 masih digu-nakan oleh Orde Baru, meskipun prinsip kontrolnegara telah berubah makna. Distribusi lahandijalankan di bawah politik patronase dan kontroltop-down sehingga konsesi lahan tersentralisir dibawah aliansi antara elit pemilik properti denganpemerintah yang didukung tentara (Lund andRachman 2016, 1320). Campur tangan militer dapatdilihat, misalnya, dalam kasus sengketa tanahantara warga desa dengan PT. Swadaja/PerusahaanPerkebunan Negara (PPN) di Ampelgading,Kabupaten Malang pada 1968. Warga desa yangtinggal di desa darurat bekas tanah perkebunandipaksa untuk mengembalikan tanah kepadaperusahaan dan merelokasi tempat tinggal merekake daerah lain. Untuk menjalankan hal ini, Korem083 mengeluarkan surat perintah yang segeradiikuti oleh surat keputusan dari Panitia Landre-form Jawa Timur. Kedua surat tersebut memerin-tahkan penghentian proses sertifikasi tanah-tanahbekas perkebunan yang telah diduduki warga,bahkan sertif ikat yang telah dikeluarkan harusdiperiksa ulang (Sagijati 1968).17

Di Donomulyo, dengan mengganti seluruhaparat desa, militer dan para elit desa membentuk

15 Pada Desember 1966, delegasi pemerintah Indone-sia membuat pernyataan dalam konferensi Inter-Govern-mental Group on Indonesia (IGGI) di Paris yang mem-pengaruhi dibukanya kembali akses terhadap jaringankeuangan internasional.

16 BIMAS dimulai pada tahun 1965-66 di bawahperusahan negara Pertani dengan tujuan memberikaninformasi, bibit, pupuk, insektisida dan bajak serta kreditpertanian.

17 Dokumen-dokumen tersebut meliputi SuratPerintah 001/10/1967 oleh Korem 083, dan Surat PanitiaLandreform Daerah Tingkat I Djawa Timur No.7/Agr/Lf/01/67 yang dikeluarkan pada 12 June 1967.

Page 70: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

66 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

aliansi baru. Setelah kekerasan 1965, patron lokalyang semula ditentang oleh kelompok kiri, menjaditak tergoyahkan dengan aliansi ini. Hal ini berujungpada tindakan sewenang-wenang, misalnya penyi-taan lahan atas nama landreform. Ayah mertuaMarwono kehilangan 18 are tanahnya oleh aparatdesa yang kemudian mereka bagikan di antaramereka sendiri dan tentara setempat. KeluargaMarwono tidak mampu menolak, karena Marwonodan ayah mertuanya masih mengikuti wajib lapordi saat itu. “Tanah disita karena dia [ayah mertua]dituduh BTI. Hanya satu alasan, anggota BTI pastiPKI”, kata Marwono. Patron lokal berulang kalimenggunakan label komunis untuk mengambilkeuntungan bagi mereka sendiri tidak hanyamelalui penyitaan lahan, tapi juga melalui kontrolatas distribusi kredit pertanian. Kasus-kasus inimenunjukkan bagaimana elit desa di era Orde Barumenjadi agen politik dan ekonomi negara di daerahpedesaan dan terkooptasi ke dalam struktur kuasayang lebih besar sebagai klien yang bergantung padanegara, dan sebagai imbalan atas layanan merekadan pengaturan atas wilayah pedesaan, para elitdesa mendapat akses terhadap subsidi, fasilitas,perizinan, harga, dan lainnya (Hart 1989, 33).

G. Kesimpulan

Sejarah Donomulyo menunjukkan bagaimanaketimpangan desa bertahan dalam beberapaperiode sejarah. Hal ini juga menunjukkan kelom-pok elit desa yang perlahan-lahan muncul dan ber-tahan sebagai patron lokal karena aliansi merekadengan negara. Di sisi lain, negara juga menggu-nakan kelompok-kelompok ini untuk melang-gengkan kekuasaan mereka. Pada masa kolonial,aliansi antara pamong desa dengan administrasiperkebunan kolonial atau pemerintah kolonialtelah memperparah ketimpangan sosial ekonomidi Donomulyo. Pada era kemerdekaan, kelompok-kelompok kiri yang didominasi oleh PKI dan BTI,menjadi garda depan yang menentang ketim-pangan desa ini. Usaha progresif ini hilang seiringdengan operasi anti-komunis pada 1965 danberdirinya Orde Baru. Alih-alih merombak relasipatronase desa, Orde Baru malah menciptakanaliansi patronase baru antara elit lokal dan militer

yang masih bertahan hingga saat ini. Oleh karenaitu, relasi kuasa dan patronase perlu selalu dikede-pankan dalam studi maupun perumusan kebijakan-kebijakan agraria. Pertanyaan ‘siapa mendapatapa?’ (who gets what) akan membantu para pegiatagraria untuk mampu membangun kebijakan agra-ria yang inklusif.

Ucapan Terima Kasih

Artikel ini merupakan salah satu bab dari diser-tasi yang berjudul “Embedded Remembering:Memory Culture of 1965 Violence in East Java’s Agrar-ian Society”. Saya berterima kasih pada SebastiaanCoops dan Mark van de Water yang membantumenganalisa arsip kolonial dan memberikan ide-ide baru dalam diskusi.

Daftar Pustaka

Anonim 1955, 4 October, ‘Hasil pemungutan suaradi Kabupaten Malang’, Suara Masjarakat

Anonim 1964, January 25, ‘Notes ketjil dari MalangSelatan: tragedi busung lapar perlu perhatian,Trompet Masjarakat.

Arsip Badan Perencanaan Daerah Jawa Timur.Asmu 1964, 29 June, ‘Keterangan Asmu tentang

aksi sepihak: aksi sepihak kaum tani, karenaada aksi sepihak tuan tanah II, Bintang Timur.

Bedner, A 2016, ‘Indonesian land law: integrationat last? And for whom?’ In J. F. R. Mccarthy,Kathryn (Ed.), Land and development in Indo-nesia: searching for the people’s sovereignty,ISEAS–Yusof Ishak Institute Singapore,Singapore.

Breman, J 1983, Control of land and labour in colo-nial Java: A case study of agrarian crisis and re-form in the region of Cirebon during the f irstdecades of the 20th century, Dordrecht Foris &Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- enVolkenkunde, Leiden.

_____1989, Taming the coolie beast: plantation soci-ety and the colonial order in Southeast Asia,Oxford UP, Delhi.

Breman, J & Wiradi, G 2002, Good times and badtimes in Rural Java: Case study of socio-eco-nomic dynamics in two villages towards the end

Page 71: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

67Grace Leksana, Ketimpangan dan Kontinuitas Patronase ... 54-68

of the twentieth century, KITLV, Leiden.Crouch, H 1988, The army and politics in Indonesia,

Cornell University Press, Ithaca, N.Y.Djojohadiwikarso, K 1951, 31 Djanuari, Okupasi

tanah, Suara Tani, tahun VI.Eisenstadt, SN & Roniger, L 1980, Patron—client

relations as a model of structuring social ex-change’, Comparative studies in society and his-tory, 22 (1), 42-77. doi:10.1017/S0010417500009154.

Elson, R 1984, Javanese peasants and the colonialsugar industry: impact and change in an EastJava Residency, 1830-1940, Oxford UniversityPress, Singapore.

G30S/PKI tahun 1965. Inventaris 316-a. Arsip Ko-mando Daerah Militer V/ Brawijaya.

Hart, G, Turton, A & Fegan, B 1989, Agrarian trans-formations: local processes and the state inSoutheast Asia, University of California Press,Berkeley, Calif.

Indonesia, PP 1955, Daftar angka-angka hasil pemi-lihan umum DPR, th. 1955, Pantitia PemilihanIndonesia, Jakarta.

Kano, H 1977, Land tenure system and the desa com-munity in nineteenth-century Java (IDE specialpaper: no. 5, Institute of Developing Econo-mies, Tokyo.

____ 1990, Pagelaran: anatomi sosial ekonomi pela-pisan masyarakat tani di sebuah desa JawaTimur, Gadjah Mada University Press, Yogya-karta.

Keppy, P 2010, The politics of redress: war damagecompensation and restitution in Indonesia andthe Philippines, 1940-1957,: KITLV Press,Leiden.

Klinken, GV 2009, ‘Patronage democracy in Pro-vincial Indonesia’, In N. W. a. K. S. OlleTornquist (Ed.), Rethinking popular represen-tation, Palgrave Macmillan, New York.

Lund, CRN 2016, ‘Occupied! property, citizenshipand peasant movements in Rural Java’, Devel-opment and Change, 47 (6), 1316-1337.

Malang, BPSK 2018, Kabupaten Malang dalam Angka2018, BPS Kabupaten Malang, Malang.

Mortimer, R 1972, The Indonesian Communist Partyand land reform, 1959-1965, Monash University,

Victoria.Nasution, AIAI 1953, Fundaments of guerilla war-

fare: related to the Indonesian defense system inthe past and in the future, Indonesian ArmyInformation, Djakarta.

Nederlansche Handel Maatschappij. 2.20.01. Inven-tory 11636. National Archief. The Hague,Belanda.

Nordholt, HS 2015, ‘From contest state to patron-age democracy: the longue durée of clientelismin Indonesia’, In Henley, D & Peter, B (Ed.),Environment, trade and society in SoutheastAsia: A longue dureìe perspective, Brill, Leiden.

Paulus, J 1917, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie:Eerste Deel A-G, Martinus Nijhoff & Brill, ‘s-Gravenhage & Leiden.

Ricklefs, M 2001, A history of modern Indonesia sincec. 1200, Palgrave, Basingstoke.

Robison, R 1986, Indonesia: the rise of capital: S.l.Asian Studies Association of Australia, Allen& Unwin, Sydney.

Sagijati 1968, ‘Pelaksanaan Undang-undang PokokAgraria termasuk landreform dalam hu-bungannja dengan transmigrasi di daerahyang padat penduduknya (KabupatenMalang), Skripsi Sarjana Muda pada AkademiAgraria, Jogjakarta.

Slamet-VIS 1988, Views and strategies of the Indo-nesian peasant movement on the eve of its anni-hilation in 1965-1966. unknown: unknown.

Saptari, R 1995, Rural women to the factories: conti-nuity and change in East Java’s Kretek CigaretteIndustry, Dissertation: University van Amster-dam.

Sardju, I 1957, Juli, ‘Aksi-aksi kaum tani memper-tahankan tanah bekas kehutanan jang sudahlama dikerdjakan, Suara Tani, Tahun VIII no.8.

Tj 1951, 31 Djanuari, Okupasi tanah, Suara Tani,tahun VI.

Utrecht, E 1973, ‘Land reform and Bimas in Indo-nesia. Journal of Contemporary Asia, 3 (2), 149-164. doi:10.1080/00472337308566863

Verslag Over Het Boekjaar 1895-1950. Inv. ZK 60163.Nederlandsch Economisch-Historisch Archief(NEHA). Internationaal Instituut voor Sociale

Page 72: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

68 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Geschiedenis, Amsterdam, Netherlands.Welvaartcommissie, Dutch East Indies 1907,

Onderzoek Naar de Mindere Welvaart DerInlandsche Bevolking Op Java En Madoera. [IX,Economie van de Desa]: Samentrekking van deAfdeelingsverslagen over de Uitkomsten DerOnderzoekingen, H.M. van Dorp, Batavia.

White, BFH 1989, ‘Java: social differentiation, foodproduction, and agrarian control’ In Hart, GT,Andrew & White, B (Ed.), Agrarian transfor-mations: local processes and the state in South-east Asia, University of California Press, Cali-fornia, Berkeley.

Page 73: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

69Sartika Itaning Pradhani, Diskursus Teori tentang Peran Perempuan ... 69-83

DISKURSUS TEORI TENTANG PERAN PEREMPUAN DALAMKONFLIK AGRARIA

THEORETICAL DISCOURSE REGARDING WOMEN’S ROLEIN AGRARIAN CONFLICT

Sartika Intaning PradhaniFakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected]

Abstract: Law, instead as the basis of national agrarian management, also as sources of agrarian conflictbecause of conflicted regulations. Many academic papers on agrarian conflicts have described the con-flicts, as well as women’s narrative regarding the conflicts. This article explore the theoretical discourseduring agrarian conflict to analyze women’s role on that case. This paper is written based on secondarydata gathered from juridical normative research with analytical descriptive type. The research found thatmain legal theoretical discourses presented mostly in on agrarian conflicts literatures are legal positivism,politics of law, legal reality, natural law, sociological jurisprudence, legal pluralism, local wisdom, and eco-feminism. The role of women during agrarian conflicts is explained using eco-feminism theory, particu-larly as agent of change who actively f ight for non-exploitative agrarian management based on their expe-rience.Key words: women, agrarian conflict, eco-feminism.

Intisari: Hukum, selain sebagai dasar penyelenggaraan agraria nasional juga menjadi sumber konflik agrariakarena pengaturan yang tumpang tindih. Tulisan-tulisan akademik tentang konflik agraria tidak hanyamenjelaskan tentang konflik yang berlangsung, tetapi juga menuliskan narasi perempuan dalam konfliktersebut. Tulisan ini menggali wacana-wacana teori yang muncul dalam konflik agraria untuk menganalisisperan perempuan dalam konflik agraria. Data sekunder dalam tulisan ini diperoleh dari penelitian yuridisnormatif yang bersifat deskriptif analitis. Wacana-wacana teori yang muncul dalam konflik agraria adalahteori hukum positif, teori politik hukum, teori realitas hukum, teori hukum alam, sociological jurispru-dence, pluralisme hukum, teori kearifan lokal, dan teori ekofeminisme. Teori yang menjelaskan peranperempuan dalam konf lik agraria adalah teori ekofeminisme. Peran perempuan dalam konflik agrariaadalah sebagai agen perubahan yang berperan secara aktif memperjuangkan pengelolaan agraria non-eksploitatif berdasarkan pengalaman masing-masing perempuan.Kata kunci: perempuan, konflik agraria, ekofeminisme.

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: January 8, 2019; Reviewed: February 12, 2019; Accepted: February 30, 2019.

To cite this article: Pradhani, SI 2019, ‘Diskursus teori tentang peran perempuan dalam konflik agraria’,Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 69-83.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.320

Copyright: ©2019 Sartika Intaning Pradhani. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under aCreative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

A. Pendahuluan

Salah satu tujuan dibentuknya PemerintahNegara Indonesia adalah untuk memajukankesejahteraan umum (Pembukaan UUD NRITahun 1945). Penguasaan negara terhadap bumi,

air, dan kekayaan alam adalah salah satu cara yangdigunakan untuk mencapai sebesar-besarnyakemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD NRITahun 1945). Untuk mencapai kemakmuran bagirakyat Indonesia, Pemerintah membuat hukum dan

Page 74: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

70 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam.Pada kenyataannya, hukum dan kebijakan penge-lolaan sumber daya alam tidak selalu dirasakansebagai alat untuk membawa masyarakat mencapaikemakmuran, namun malah menyengsarakanrakyat itu sendiri.

Berdasarkan data dari Konsorsium PembaruanAgraria, sepanjang tahun 2016 terjadi 450 konflikagraria dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar danmelibatkan 86.745 Kepala Keluarga yang tersebardi seluruh provinsi di Indonesia (Konsorsium Pem-baruan Agraria 2016, 4). Angka ini kemudianmeningkat pada tahun 2017. Pada tahun 2017, ada659 kejadian konflik agraria di berbagai wilayahRepublik Indonesia dengan luasan 510.491,87 hektardan melibatkan 652.738 kepala keluarga (Konsor-sium Pembaruan Agraria 2017, 6).

Menurut Mantiri (2003, 7), konflik agraria adalahproses interaksi dua atau lebih kelompok yangmasing-masing memperjuangkan kepentinganyaatas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, sepertiair, tanaman, tambang. Ada berbagai macamtipologi konflik agraria, antara lain: pertama,konflik agraria di masa lalu belum diselesaikan,sehingga berulang konflik di tempat yang sama;kedua, implementasi dari peraturan dan kebijakandi bidang agraria; ketiga, komodifikasi alam dalampraktik maladministrasi dalam pemberian konsesiagraria; keempat, pendekatan militeristik melaluitindakan represif aparat penegak hukum dalammenghadapi konflik agraria (Konsorsium Pemba-ruan Agraria 2017, 5, Saturi 2015, 20).

Menurut Liandra (2014, 2), konflik agraria terjadikarena adanya perbedaan nilai tentang bagaimanapenggunaan terbaik terhadap tanah tersebut. Per-bendaan nilai ditunjukkan oleh Alting (2013, 280)dalam konflik agraria yang terjadi di Maluku Utara.Pada dasarnya konflik di Maluku Utara disebabkanoleh minimnya penghormatan terhadap nilai tanahhak masyarakat hukum adat yang mengakibatkanrendahnya ganti kerugian dan konflik strukturaldan horizontal. Liandra (2014, 13) juga mencatatada 7 faktor penyebab konflik agraria, yaitu (1)tapal batas yang tidak jelas; (2) perambahan hutan;(3) pelanggaran kontrak; (4) penyerobotan tanah;

(5) ketimpangan ekonomi; (6) tidak sepakat padabesaran ganti kerugian; dan (7) perebutan tanah.

Hukum sebagai dasar penyelenggaraan agrarianasional sekaligus sumber konflik agraria karenapengaturan yang saling tumpang tindih. Sebagaicontoh hukum yang mendefinisikan hutan adatadalah hutan negara yang berada di wilayahmasyarakat hukum adat (Pasal 1 huruf f Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).Menurut Mahkamah Konstitusi, menempatkanhutan adat sebagai bagian dari hutan negara meru-pakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakathukum adat (Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 35/PUU-X/2012 2012, 174).

Tidak diakuinya hutan adat sebagai hutan hakmasyarakat hukum adat menyebabkan pemerintahsemena-mena mengeluarkan kebijakan tentanghutan adat. Izin konsesi yang diberikan oleh Men-teri Kehutanan kepada PT Toba Pulp Lestari (TPL)merupakan landasan hukum bagi TPL untukmenebangi pohon kemenyan, tombak haminjon,yang dianggap sakral oleh Masyarakat Hukum AdatPandumaan dan Sipituhuta (Siagian dan Harahap2016, 5, Surat Keputusan Menteri Kehutanan No44/Menhut-II/2005). Kebijakan komodif ikasiterhadap hutan tanpa mempertimbangkan hukumadat masyarakat setempat dalam mengelola sum-ber daya agraria menyebabkan konflik sebagai-mana yang terjadi di Pandumaan dan Sipituhuta.

Menurut Mutolib, et. al. (2015, 223), konf ikpengelolaan hutan, khususnya di KesatuanPengelolaan Hutan Produksi terjadi karena adasaling klaim antara masyarakat dan pemerintahterhadap kepemilikan hutan. Pujiriyani dan Wahab(2013, 102) mencatat konflik agraria yang terjadi diMesuji, berdasarkan temuan Tim Gabungan PencariFakta, berakar dari perluasan areal hutan register45 sehingga mengambil tanah adat masyarakat.Wahab (2013, 232) mengatakan bahwa pengalamanberbagai konflik pemanfaatan agraria seringberakhir dengan terabaikannya hak-hak warganegara, seperti yang dialami oleh MasyarakatMoro-Moro di Mesuji. Menurut Wahab (2013, 232),dalam menghadapi konflik Masyarakat Moro-Moro dengan didukung oleh berbagai pihak ber-transformasi dari yang semula terstigma sebagai

Page 75: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

71Sartika Itaning Pradhani, Diskursus Teori tentang Peran Perempuan ... 69-83

trouble maker menjadi peace maker.Dalam suatu konflik agraria, ada beberapa

aktor yang terlibat, antara lain petani, masyarakathukum adat, swasta, pemerintah, dan khususnyaperempuan. Astuti (2011, 53) mengatakan mema-suki era reformasi konflik agraria semakin masifdengan fenomena yang sangat menonjol adalahreclaiming petani terhadap tanah-tanah yangdikuasai oleh swasta untuk perkebunan, pertam-bangan, peternakan, dan lain sebagainya. Bahari(2004, 39) menyampaikan bahwa konflik perke-bunan tidak hanya konflik antara petani dan perke-bunan, namun juga melibatkan masyarakat hukumadat karena dalam proses konversi, pemerintahmaupun perusahaan perkebunan, umumnya tidakmemerhatikan keberadaan masyarakat hukumadat yang secara turun-temurun menggantungkanhidupnya pada ekosistem hutan.

Perempuan juga merupakan salah satu aktoryang terlibat dalam konflik agraria. Narasi perem-puan dalam konflik agraria dapat dilihat dalamgerakan perempuan Mollo yang melawan pertam-bangan (Maemunah 2012, 160; 2015, 81, Asriani2015, 133, Mangililo 2015, 179), gerakan perempuanPandumaan dan Sipituhuta yang melawan perke-bunan (Siagian dan Harahap 2016, 3), gerakanperempuan Kendeng yang melawan pabrik semen(Indrawan 2017, Arofat 2016, 5), gerakan perem-puan Middletown yang melawan bencana nuklir(Culley dan Angelique 2003, 455), dan gerakanperempuan Chipko yang melawan ekploitasi hutan(Shiva 1988, 64; Mies and Shiva 2014, 249).

Berdasarkan paparan di atas, berbagai konflikagraria yang muncul menyebabkan kerusakan ling-kungan dan kerusakan lingkungan menggerakkanpara perempuan untuk menjadi salah satu aktoryang punya peran tertentu dalam membawa narasimereka tentang agraria. Penelitian ini berusahauntuk menggali wacana-wacana teori yang munculdalam konflik agraria untuk menganalisis peranperempuan dalam konflik agraria. Teori digunakanuntuk mengungkapkan pengetahuan. Kajian ten-tang wacana teori yang muncul dalam konflikagraria untuk menjelaskan pengetahuan tentangperan perempuan dalam konflik tersebut pentinguntuk dilakukan karena perempuan merupakan

salah satu aktor yang terlibat langsung dan jugamemiliki narasi tersendiri dalam konflik agraria.Sayangnya, tidak semua teori hukum menjelaskannarasi dan peran perempuan dalam konflik agraria.

Teori hukum positif menjelaskan bahwa konfliksumber daya alam berasal dari kontradiksi antarhierarki norma dalam sistem hukum. Teori politikhukum menerangkan bahwa konflik agraria ber-awal dari semangat kapitalistik, persaingan, danliberal yang mengabaikan semangat pemerataanpemilikan tanah pertanian dalam penyusunan hu-kum agraria. Teori realitas hukum menunjukkanbahwa hukum belum dapat melindungi hak komu-nal dan hak individual masyarakat atas sumberdaya alam. Putusan hakim juga tidak selalu dapatdieksekusi dan tidak menyelesaikan masalah karenahakim dalam menyelesaikan sengketa agraria yangkompleks mengabaikan faktor sosial budaya danhanya mempertimbangkan alat bukti formal. Kerjapemerintah yang bersifat sektoral juga menyulitkanimplementasi putusan hakim karena keterbatasankewenangan satu instansi terhadap instansi lain diluar sektornya.

Teori sociological jurisprudence, pluralisme hu-kum, dan teori kearifan lokal sama-sama menun-jukkan bahwa ada keteraturan lain selain hukumnegara yang mengatur pengelolaan sumber dayaalam. Keteraturan ini sering tidak diakui dan tidakdipertimbangkan dalam sistem hukum negara,sehingga menimbulkan konflik. Teori feminis danekofemisme adalah teori yang melihat bahwa kon-flik sumber daya alam tidak nir-gender. Secaraspesif ik teori ini menjelaskan tentang peran dannarasi perempuan dan alam; serta hubungan antaraperempuan dan alam dengan aktor lain dalam kon-flik agraria.

Telah ada berbagai kajian dengan menggunakanteori sebagaimana disebutkan di atas untuk men-jelaskan tentang konflik agraria dan kajian-kajianyang menjelaskan tentang narasi perempuan dalamkonflik agraria. Namun, belum ada kajian yangmenggabungkan kedua kajian tersebut untukmenerangkan teori mana yang paling tepat men-jelaskan tentang peran perempuan dalam konflikagraria. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini beru-saha untuk menjabarkan pertama, wacana-wacana

Page 76: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

72 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

teori yang muncul dalam konflik agraria; dankedua, bagaimana teori-teori tersebut menjelaskantentang peran perempuan dalam konflik agraria.

Tulisan ini ditulis berdasarkan penelitian yuridisnormatif, yaitu penelitian yang didasarkan padastudi kepustakaan untuk mendapatkan datasekunder di bidang hukum. Sifat dari penelitianini adalah deskriptif analitis. Bersifat deskriptifkarena merupakan pemaparan dan bertujuan untukmemperoleh gambaran (deskripsi) tentang ke-adaan hukum yang berlaku di tempat tertentu danpada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakatmelalui analisis dengan menggunakan teori hukum.

Untuk mendapat informasi dari berbagai aspekmengenai isu permasalahan yang dibahas, pene-litian ini menggunakan pendekatan konseptual.Pendekatan konseptual (conceptual approach) dila-kukan dengan mengkaji teori-teori yang berkem-bang di dalam ilmu hukum. Studi kasus dalampenelitian ini adalah konflik agraria. Fokus pene-litian adalah teori yang digunakan untuk menga-nalisis kasus, bukan kasus itu sendiri, khususnyateori yang menjelaskan tentang peran perempuandalam konflik agraria.

B. Wacana Teori dalam Konflik Agraria

Putusan Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016 meninjau kembali gugatan para petani diRembang dan Yayasan Wahana Lingkungan HidupIndonesia terhadap Gubernur Jawa Tengah dan PTSemen Gresik (Persero) Tbk atas Surat KeputusanGubernur Jawa Tengah tentang Izin LingkunganKegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik(Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, ProvinsiJawa Tengah. Kecamatan Gunem, KabupatenRembang adalah tempat dimana konflik prosesPembangunan Pabrik PT Semen Indonesia terjadi.Hidayatullah (2006, 1) mengatakan bahwa ibu-ibuyang berprofesi sebagai petani mendirikan tendadi depan lokasi pabrik sebagai aksi penolakan ter-hadap keberadaan pabrik semen.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agungmembatalkan Surat Keputusan Gubernur karenapenambangan dan pengeboran di atas CekunganAir Tanah mengabaikan asas kehati-hatian dan asaskecermatan dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan

yang Baik (AUPB). Penyelenggara negara seharus-nya lebih mengutamakan menghindari potensikerusakan daripada mengambil manfaat. Selain itu,dalam proses penyusunan analisis mengenaidampak lingkungan, asas partisipasi masyarakatdiabaikan karena pemerintah tidak mempertim-bangkan 2.501 warga masyarakat yang menolakkehadiran PT Semen Gresik (Persero) Tbk.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 4 K/TUN/2017 menolak permohonan kasasi para petaniLarangan, Tambakromo, Pati melawan Bupati Patidan PT Sahabat Mulia Sakti atas Surat KeputusanBupati Pati tentang Izin Lingkungan PembangunanPabrik Semen serta Penambangan Batugamping danBatulempung di Kabupaten Pati oleh PT SahabatMulia Sakti. Mahkamah Agung menolak permo-honan tersebut karena tambang pabrik semen PTSahabat Mulia Sakti berada di luar areal KawasanBentang Alam Kars Sukolilo, sehingga obyeksengketa tidak bertentangan dengan tata ruangwilayah nasional, tata ruang wilayah Provinsi JawaTengah, dan tata ruang wilayah Kabupaten Pati.Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Agungberpendapat bahwa penerbitan Surat KeputusanBupati tersebut sudah sesuai dengan AUPB.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi berpendapatbahwa penempatan hutan adat sebagai bagian darihutan negara dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutananmengabaikan hak-hak masyarakat hukum adatyang diakui dan dilindungi dalam Pasal 18B ayat(2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 membatalkan UU Nomor 7 Tahun 2004 ten-tang Sumber Daya Air karena tidak sesuai denganhak penguasaan negara atas air dalam Pasal 33 ayat(2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. MahkamahKonstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VII/2000membatalkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisirdan proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisirdan pulau-pulau kecil yang tidak melibatkanmasyarakat sebagai pihak dalam musyawarah yangdiatur dalam UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena bertentangan dengan Pasal 27,Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUDNRI Tahun 1945.

Page 77: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

73Sartika Itaning Pradhani, Diskursus Teori tentang Peran Perempuan ... 69-83

Putusan-putusan pengadilan tersebut merujukpada teori hukum positif yang melihat hukumsebagai sistem. Sistem hukum adalah sebuah sistemnorma hukum yang bersifat deduksi dari umumke khusus sebagaimana norma khusus dikandungdalam norma umum (Kelsen 2012, 94-95). Dalamsistem hukum negara, konstitusi atau undang-undang dasar adalah norma umum yang kemudiandijabarkan dalam norma-norma khusus, sepertiundang-undang dan turunannya. Pasal-pasal dalamundang-undang tidak boleh bertentangan denganpasal-pasal dalam konstitusi. Jika ada pertentangan,maka pasal dalam undang-undang tersebut diba-talkan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Mah-kamah Konstitusi. Pemerintah dalam mengambilkeputusan juga harus sesuai dengan AUPB danundang-undang. Apabila tidak, maka keputusantersebut dapat dibatalkan oleh hakim sebagaimanayang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Nurhasan Ismail (2012, 40-44) menggunakanteori politik hukum untuk menjelaskan konflikhukum dan kepentingan struktural pertanahan.Menurut Nurhasan Ismail (2012, 40-44), arah politikhukum pertanahan pada masa reformasi adalahsemangat kebijakan kapitalistik, persaingan, danliberal yang melanjutkan praktik masa Orde Barumelalui kebijakan yang mengabaikan semangatpemerataan pemilikan tanah pertanian. Arah politikhukum tersebut menciptakan konflik kewenanganantar instansi pemerintah yang terkait dengan per-tanahan. Konflik tersebut berakar dari perbedaancara pandang mewujudkan sebesar-besarnyakemakmuran rakyat.

Perbedaan cara pandang antar institusi peme-rintah melahirkan kebijakan negara yang mendo-rong terjadinya kesenjangan sosial ekonomi dankemiskinan di daerah yang sangat kaya sumberdaya alam. Selain itu, akibat dari konflik kewe-nangan antar institusi pemerintah adalah konflikstruktural antar kelompok subjek: kelompokmasyarakat lokal yang mempunyai keterkaitandengan objek konflik, para pelaku usaha atau in-vestor yang memperoleh akses dan aset dalam skalabesar; dan pemerintah atau pemerintah daerahsebagai pelaksana kewenangan negara dalam pem-buatan kebijakan dan pendistribusian akses dan

aset (Ismail 2012, 45-48, Dharmawan 2016, 2-3).Ginting, et. al. menggunakan teori identitas

politik untuk menjelaskan realitas hukum bahwaUndang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papuabelum dapat melindungi hak komunal dan hakindividual mereka, hukum adat, tanah adat, danhak atas hutan Masyarakat Hukum Adat Malind.Menurut Ginting, et. al. (2016, 8) politik MasyarakatHukum Adat Malind adalah upaya mempertahan-kan kepentingan masyarakat hukum adat melawankebijakan dan institusi hegemoni non-masyarakathukum adat. Penggunaan narasi etnis dan politikidentitas telah menunjukkan potensi besar yangtidak hanya menentang penyerobotan tanah, tetapijuga membuka karakter destruktif dan eksklusifpembangunan kapitalis modern yang secaraeksklusif fokus pada pertumbuhan ekonomi danakumulasi modal (Ginting, et. al. 2016, 9, Sumar-djono 2014, 74-75). Padahal, tanah bagi orangMelanesia, Papua dan Papua Nugini, adalah tempattubuh “mama”, tempat dimana nenek moyang or-ang Maori bertakhta; sehingga tanah dipandangsebagai sesuatu yang suci dan tidak boleh diperju-albelikan (Sembiring 2011, 395).

Lilis Mulyani (2014, 349), Puji Astuti (2011, 54),dan Nurhasan Ismail (2018, 125-126) menunjukkanrealitas hukum bahwa putusan hakim dalam seng-keta agraria tidak selalu dapat dieksekusi karenapenanganan konflik agraria melalui pengadilanlebih memberatkan pada pembuktian formal yangdiakui negara dan sering tidak mempertimbangkanfakta sosial budaya politik setempat, sehinggaputusan pengadilan mendapatkan resistensi darimasyarakat. Konflik agraria bersifat multi aspek:perdata, pidana, dan tata usaha negara; namun pe-nanganan konflik bersifat sektoral, sehingga penye-lesaian konflik agraria tidak optimal karena keter-batasan kewenangan satu instansi ketika berha-dapan dengan instansi atau pihak di luar sektornya(Mulyani 2014, 348-349).

Ida Nurlinda (2008, 3) berpendapat bahwa kon-flik agraria berakar dari ketimpangan kebijakanpenguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peman-faatan tanah yang tidak proporsional karena tidaksesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah danlebih mendukung pemilik modal daripada rakyat

Page 78: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

74 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

berdasarkan pendekatan ekonomi pembangunan.Untuk menjawab penerapan prinsip keadilan danprinsip demokratis dalam kebijakan pengakuan,penghormatan, dan perlindungan hak masyarakathukum adat, Ida Nurlinda (2008, 191) menggu-nakan teori hukum alam, sociological jurisprudence,dan pluralisme hukum. Ida Nurlinda merujuk padapendapat Hugo Grotius bahwa negara mempunyaihak eksklusif untuk membentuk hukum berda-sarkan ketentuan moral yang dimiliki oleh individumanusia.

Menurut Ida Nurlinda (2008, 201) denganmerujuk pada pendapat Van Vollenhoven, hukumadat merupakan hukum yang hidup (living law)bagi masyarakat Indonesia. Ida Nurlinda (2008,203) mengatakan bahwa pengintegrasian prinsip/asas hukum adat ke dalam sistem hukum perta-nahan nasional menunjukkan pluralisme hukumpertanahan sebagai konsekuensi logis sistem hukumadat yang majemuk. Menurut Abdul Mutolib, et.al.(2015, 213-214) pluralisme hukum juga ditemukandi wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi(KPHP) Model Dharmasraya dimana negara mene-tapkan wilayah tersebut sebagai hutan negara,sedangkan masyarakat tidak mengakui klaimnegara tersebut dan menerapkan hukum adat diwilayah yang sama, sehingga timbul konflik.

Menurut aliran hukum alam, hak asasi manusiabersifat universal dan berlaku bagi seluruh umatmanusia di dunia ini begitu juga dengan prinsipdemokrasi. Ida Nurlinda (2008, 144-145) berpen-dapat bahwa prinsip demokrasi sebagai manifestasidari peran serta masyarakat dalam penguasaan,pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanahdan sumber daya agraria merupakan hak dasar bagirakyat, sehingga masyarakat, terutama masyarakathukum adat harus mempunyai akses terhadapsumber daya agraria. Prinsip demokrasi dapatdilihat antara lain dalam pola hubungan antarapenguasa dan rakyat dalam penguasaan, pemi-likan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dansumber daya agraria (Nurlinda 2008, 144-145).

Teori sociological jurisprudence digunakan olehPoespasari untuk menjelaskan dinamika pengu-asaan tanah oleh perempuan masyarakat BatakToba yang tinggal di wilayah hukum adat dan yang

merantau. Perempuan masyarakat Batak Toba yangtinggal dan yang tidak tinggal di wilayah hukumadat dapat menguasai tanah asal, tanah bawaan,dan tanah pencaharian karena secara internalfungsi dan sistem kekerabatan adat toba yangbersifat patriarki sudah melemah oleh pengaruhinternal tokoh agama perempuan yang menjadipendeta dan masyarakat Batak Toba sendiri yangenggan melakukan ritual adat dan faktor eksternal,seperti modernisasi, perdagangan, dan interaksidengan agama dan adat lain (Poespasari 2013, 466-469).

Konflik agraria antara Masyarakat Hukum AdatKajang dan Pemerintah muncul akibat hutan kera-mat dan hutan perbatasan Masyarakat HukumAdat Kajang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaikawasan hutan produksi. Padahal, menurut Rung-gandini dengan menggunakan teori sociological ju-risprudence, Masyarakat Hukum Adat Kajangmempunyai kepercayaan bahwa hutan keramatharus selalu dilindungi, sehingga penetapan peme-rintah terhadap hutan tersebut tidak menghormatihak masyarakat hukum adat untuk mengaturhubungan mereka dengan hutan berdasarkansistem kepercayaan yang mereka anut (Runggandini2012, 518).

Selain menggunakan teori sociological jurispru-dence, Caritas Woro Murdiati Runggandini (2012,197-281) pun menggunakan teori kearifan lokaluntuk menunjukkan bahwa Masyarakat HukumAdat Kajang dan Tenganan Pengringsingan mem-punyai konsep tata ruang, pandangan hidup, penge-tahuan, upacara adat, pengelolaan, pengalaman,dan penyelesaian sengketa sumber daya hutan.Sulastriyono juga menggunakan teori kearifanlokal untuk menjelaskan pengelolaan air di Umbul-wadon. Menurut Sulastriyono (2011, 487), masya-rakat di sekitar sumber air umbulwadon mem-punyai nilai, perilaku, pengetahuan dan penga-laman pengelolaan sumber daya air yang berwujudperintah dan larangan. Oleh karena masyarakat disekitar sumber air Umbulwadon mempunyaikearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya airsecara turun temurun, penggunaan air oleh pelakuwisata dan pengelola Golf Merapi yang lebih besardari masyarakat dengan alasan mereka berkon-

Page 79: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

75Sartika Itaning Pradhani, Diskursus Teori tentang Peran Perempuan ... 69-83

tribusi keuangan lebih besar kepada pemerintahdaerah dapat menimbulkan konflik di masa yangakan datang (Sulastriyono 2011, 265-266).

Dengan menggunakan teori feminis, Moghadam(2010, 292) menunjuk adanya kebutuhan perem-puan yang membutuhkan penanganan khususselama dan pasca konflik lingkungan. Upaya untukmemenuhi kebutuhan tersebut melahirkantransnational activism, yaitu aksi kolektif lintas batasyang melibatkan orang-orang dari dua atau lebihnegara dalam kampanye tertentu atau gerakanjangka panjang. Lebih spesif ik, Moghadam (2010,302) mengatakan bahwa kemunculan transnationalfeminist network, khususnya feminist humanitari-anism adalah suatu kerja operasional yang ditujukanpada kebutuhan mendesak, dasar, atau praktisperempuan untuk mencapai tujuan strategis hakasasi perempuan dan kesetaran gender. Salah satujaringan feminis yang bergerak di bidang kema-nusiaan adalah Women for Women Internasionalyang sejak 1993 berupaya untuk memenuhi kebu-tuhan perempuan dalam dan pasca konflik ling-kungan di Afganistan, Bosnia, Colombia, Iraq,Kosovo, Sudan, Nigeria, Rwanda, FR Congo(Moghadam 2010, 302-303).

Gadis Arivia (2006, 378-389) menjelaskangerakan Chipko di India Utara dimana 74 perem-puan memeluk erat pohon yang akan ditebang olehperusahaan besar dan berhasil menyelamatkansebanyak 12.000 km hutan dengan menggunakanteori ekofeminisme. Teori ekofeminisme berangkatdari ketidakadilan terhadap alam dan perempuan.Menurut Gadis Arivia (2006, 378-389), gerakanChipko membawa argumentasi bahwa perempuanadalah korban pertama dari penebangan hutan;perempuan adalah jenis kelamin yang paling sedikitmendapatkan dukungan institusional untuk per-kembangan ekonomi; dan perempuan jarangdilibatkan dalam pengambilan keputusan bersamadi desa. Meskipun gerakan perempuan tersebutmenunjukkan ada kedekatan antara perempuandan alam, namun Gadis Arivia (2006, 378-389)berhati-hati untuk memaknai perempuan identikdengan alam. Gadis Arivia tidak ingin menarikkesimpulan bahwa perempuan secara karakteristiksama dengan alam, maka ia bersifat penjaga,

perawat, dan pelestari kehidupan yang dihubung-kan dengan kodrat.

Tri Marhaeni (2012, 49-60) menggunakan teoriekofeminisme untuk menjelaskan peran perem-puan dalam lingkungan. Ekofeminisme munculuntuk menanggapi ketidakadilan terhadap perem-puan yang selalu dimitoskan dengan alam. Ekofe-minisme berangkat dari kesadaran bahwa adahubungan kekuasaan yang tidak adil dan relasidominasi dalam wacana lingkungan hidup danwacana perempuan. Konstruksi sosial yang meng-interpretasikan karakteristik perempuan samadengan karakter alam telah melemahkan perem-puan karena memosisikan baik perempuan mau-pun alam sama-sama bisa dikuasai, dieksplorasi,dan dieksploitasi oleh manusia lain (manusiamasyarakat laki-laki) (Marhaeni 2012, 49-60).

Vandana Shiva (1988, 58) menggunakan teorifeminisme untuk menjelaskan perlawanan perem-puan Chipko dalam konflik hutan. Pengelolaanhutan adat sebagai domain perempuan untukmemproduksi keberlangsungan hidup berubah saatInggris datang. Kepentingan Inggris terhadap hutanadalah khusus untuk berdagang kayu, sehingga ahliadat menjadi tidak lagi berguna dan digantikan olehsatu dimensi, ilmu hutan yang maskulin (Shiva1988, 58).

C. Narasi Perempuan dalam KonflikAgraria

Untuk mengetahui teori yang menjelaskantentang peran perempuan dalam konflik agraria,perlu dijelaskan terlebih dahulu bagaimana narasiperempuan dalam konflik agraria. Tulisan inimencoba melihat bagaimana perempuan mena-rasikan posisinya dalam konflik agraria yangterjadi. Di Timor Tengah Selatan, Pemerintahmengeluarkan kebijakan konversi hutan adatmenjadi hutan negara dan memberikan izin padapertambangan marmer dan pertambanganmangan. Siti Maemunah (2012, 160; 2015, 81) danAleta Baun dalam Desintha D. Asriani (2015, 133)mengatakan bahwa praktik pertambanganmerusak hutan dan batu yang dianggap sakral olehMasyarakat Hukum Adat Mollo. Untuk memper-tahankan, melindungi, dan merawat alam, Asriani

Page 80: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

76 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

(2015, 133) mengatakan bahwa perempuan Mollomelakukan aksi menunjukkan payudara sebagaiekspresi yang menegaskan bahwa selama ini matihidup manusia sangat ditentukan dari kemampuanmenyusu pada tanah yang hakikatnya adalahpersonif ikasi seorang ibu. Mangililo (2015, 179)menambahkan bahwa 150 orang perempuan Mollomelakukan protes damai dengan duduk di atasbatu-batu mangan yang berada di kawasan pertam-bangan dan secara tenang menenun kain selamasatu tahun; bagi mereka kain tenun merupakansumber dari identitas Masyarakat Hukum AdatMollo.

Narasi perempuan dalam konflik agraria dapatdilihat dalam perjuangan perempuan Pandumaandan Sipituhuta. Perempuan adat dari Sipituhuta,Op. Putra Boru, mengatakan siap mati menghadapipolisi dan alat berat milik TPL untuk memperta-hankan sumber daya alam di wilayahnya (Siagiandan Harahap 2016, 3). Tombak haminjon adalahsumber mata pencaharian para suami, laki-lakiPandumaan dan Sipituha. Para suami mengambilkemenyan dari tombak haminjon, kemudiandikumpulkan oleh para istri, perempuan Pandu-maan dan Sipituhuta, dan kemudian dijual untukmemenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kerusakantombak haminjon yang diakibatkan oleh aktivitasperkebunan TPL menurunkan pendapatan parasuami yang kemudian berakibat pada kesulitanpara perempuan untuk mengelola keuangan rumahtangga.

Meskipun kerusakan tombak haminjon ber-pengaruh sangat kuat dalam pengelolaan rumahtangga yang dilakukan oleh perempuan, perem-puan tidak memiliki ruang sebebas laki-laki dalampengambilan keputusan terkait perjuangan mem-pertahankan tombah haminjon. Siagian dan Hara-hap menyampaikan bahwa dalam pertemuanmasyarakat untuk mengambil keputusan bagai-mana mempertahankan tombak haminjon, hanyaada satu perempuan yang hadir (Siagian danHarahap 2016, 6). Berdasarkan hal tersebut, perju-angan perempuan Pandumaan dan Sipituhutadalam konflik agraria tidak semata-mata hanyauntuk melawan ancaman kemelaratan yangdiakibatkan oleh perampasan tanah dan hutan adat

milik warga. Perjuangan ini juga memperjuangkanperan yang setara antara laki-laki dan perempuandalam pengambilan keputusan hajat hidup ber-sama untuk melawan lapisan ketidakadilan terha-dap perempuan (Siagian dan Harahap 2016, 6).

Perjuangan perempuan dalam konflik agrariadapat dilihat dari pengalaman Sukinah. Sukinah,salah satu petani perempuan Kendeng, menga-takan bahwa warga Kendeng ingin Kendeng jangandijadikan industri pabrik semen karena pabrik se-men memberikan akibat buruk dan menyulitkanhidup masyarakat (Indrawan 2017). Konflik agrariadi Kendeng, Kabupaten Rembang bermula dariPemerintah yang memprioritaskan program opti-malisasi pengelolaan sumber daya mineral melaluipengembangan kerjasama investasi pertambangan(Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang 2017, V-14, Indrawan 2017). Arofat mengatakan bahwaPemerintah Kabupaten Rembang cenderungmenyambut baik industri besar seperti Semen In-donesia namun tidak memperhatikan dampaknyaterhadap petani lokal dan mengabaikan dinamikakerja industri tambang yang berdampak padamerosotnya produksi pertanian (Arofat 2016, 5).Pada 12 April 2016, sembilan petani perempuanKendeng mengecor kaki di seberang Istana Negarasebagai bentuk protes terhadap pendirian PabrikPT Semen Indonesia (Putra 2016).

Perjuangan perempuan dalam konflik agrariajuga terlihat dalam gerakan perempuan Middleton,Pennsylvania. Sebelum ada bencana nuklir pada28 Maret 2018, perempuan di Middletown, Penn-sylvania, Amerika Serikat hanya mempunyai sedi-kit pengetahuan dan tidak memahami teknologinuklir. Pasca bencana nuklir tersebut, perempuanharus menghadapi berbagai masalah akibat dariradiasi nuklir, seperti rambut anak-anak yang ron-tok, muntah-muntah, kanker, dan tekanan emosio-nal, namun laporan mereka tentang masalahkesehatan sering diabaikan oleh para ahli. Berang-kat dari pengalaman sehari-hari dari masing-masing perempuan yang mengalami dampakbencana nuklir Three Mile Island, mereka mela-kukan gerakan perempuan antinuklir/antilimbahberacun di Amerikan Serikat (Culley dan Angelique2003, 455).

Page 81: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

77Sartika Itaning Pradhani, Diskursus Teori tentang Peran Perempuan ... 69-83

Perempuan memiliki hubungan yang lekatdengan pengelolaan dan pemenuhan kebutuhanhidup sehari-hari. Data menunjukkan bahwa diNyeri, Kenya, orang mengalami permasalahan giziburuk disebabkan oleh petani lebih fokus padapertanian komoditas daripada pertanian keluarga;petani berpenghasilan sedang cenderung menga-baikan makanan tradisional non-olahan dankelangkaan kayu bakar untuk memasak menye-babkan masyarakat kurang memperhatikankandungan gizi dalam makanan (Maathai 2006,20). Menurut para perempuan Naaro, merekaharus berjalan jauh untuk mengambil kayu bakardan kemudian pulang dengan beban berat sertamengubah pola makan karena tidak ada minyakuntuk memasak (Maathai 2006, 26). Untuk me-nanggulangi hal tersebut, muncul gerakan Selamat-kan Lahan Harambee yang mengundang pararimbawan pemerintah untuk mengajarkan dasarmanajemen pembibitan pohon kepada paraperempuan.

Sayangnya, pengajaran yang menggunakanpendekatan semi-formal dengan istilah teknis sulitditerima dan diterapkan oleh para perempuan(Maathai 2006, 29). Para perempuan kemudianmengabaikan pendekatan semi formal dan mem-budidayakan berbagai jenis tanaman di ladangmereka dengan menggunakan keahlian dankearifan lokal serta logika yang sederhana (Maathai2006, 31). Perempuan-perempuan tersebut berpe-ran secara aktif dalam penyelamatan lingkungandengan pengetahuan dan pengalaman yang merekamiliki.

Perjuangan perempuan dalam konflik hutanjuga ditunjukkan oleh perempuan Garhwar melaluigerakan Chipko. Gerakan Chipko oleh paraperempuan Garhwar untuk melindungi hutan darieksploitasi komersial adalah gerakan lingkunganyang dimotori oleh wawasan ekologi dan kekuatanmoral perempuan (Shiva 1988, 64, Mies and Shiva2014, 249). Para perempuan berusaha untukmengingatkan bahwa fungsi utama hutan bukanlahuntuk komoditas ekonomi, tetapi untuk menyeim-bangkan kondisi iklim dari seluruh bagian utaraIndia dan kesuburan dataran rendah (Shiva 1988,68). Gerakan ini kemudian berkembang menjadi

perjuangan hak hutan karena bagi perempuanpedesaan produksi makanan berasal dari hutan,sehingga hilangnya hutan dan air adalah masalahkeberlangsungan hidup (Shiva 1988, 69, Warren1997, 5-7).

Perjuangan perempuan dalam gerakan simbolikkultural untuk menanggapi masalah lingkunganyang diakibatkan oleh konflik agraria juga terlihatdi Venezuela. Para perempuan di Venezuela berga-bung dalam Asosiasi Sahabat untuk PerlindunganPadang Rumput Besar untuk mempertahankanTaman Nasional Padang Rumput Besar Canaimadari berbagai aktivitas merusak dan juga menga-jukan proposal alternatif sebagai jalan keluar(Subono 2002, 73). Selain asosiasi tersebut, adajuga Kelompok Kajian Perempuan dan Lingkunganyang fokus pada masalah kesehatan dan lingkungandi penampungan besar penghuni liar di Caracas,serta Asosiasi Perempuan Venezuela dan Ling-kungan yang bergerak untuk mendorong partisipasidan kontribusi atas konservasi lingkungan untukmemperbaiki standar kehidupan dan keuntunganyang lebih adil khususnya bagi perempuan kelasbawah (Subono 2002, 73).

Menurut Subono, organisasi lingkungan yangdikelola oleh perempuan lebih berhasil dibandinglaki-laki karena cenderung mengadopsi strateginegosiasi, lebih pro-aktif dan secara efektif berje-jaring melalui hubungan kelembagaan, personal,dan mass media (Subono 2002, 77). Organisasi inijuga memiliki ikatan sosial yang kokoh antarang-gota dan kelembagaan yang bersifat lentur, namunstabil dan adaptif dalam menghadapi persoalanyang pelik; serta mengedepankan konsensus dalampengambilan keputusan (Subono 2002, 77).

D. Ekofeminisme sebagai Teori yangMenjelaskan Peran Perempuan sebagaiAgen Perubahan dalam Konflik Agraria

Menurut Nila Dini et. al. (2017, 100) dalambanyak kasus konflik agraria, perempuan memilikikepedulian lebih tinggi terhadap kerusakanlingkungan daripada laki-laki. Perbedaan caraantara laki-laki dan perempuan dalam bertindakdan berinteraksi melahirkan perbedaan relasiantara laki-laki dan perempuan terhadap sumber

Page 82: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

78 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

daya alam. Laki-laki bertindak dan berinteraksiberdasarkan ethic of justice menitikberatkan padahak-hak dan keadilan yang abstrak dan melahirkankewajiban setiap orang untuk diperlakukan sama,sedangkan perempuan yang bertindak danberhubungan berdasarkan ethic of care menguta-makan kemampuan dan proses pengalaman yangbersifat partikular, sehingga melahirkan premistanpa kekerasan yang fokus pada tanggung jawabdan konteks (Atmadja 2013, 187).

Dari teori-teori hukum yang ada, teori yangmenjelaskan peran perempuan dalam konflikagraria adalah ekofeminisme. Teori ekofeminismelahir dari kesadaran bahwa ada hubungan keku-asaan yang tidak adil dan relasi dominasi dalamwacana lingkungan hidup dan wacana perempuan(Astuti 2012, 52). Berangkat dari kesadarantersebut, teori ekofeminisme berusaha untukmenjelaskan individu secara komprehensif sebagaimakhluk yang terikat dan berinteraksi denganlingkungannya (Khotimah 2006, 346).

Ekofeminisme adalah sistem nilai, sebuah gera-kan sosial, dan praktik yang menawarkan analisispolitik tentang hubungan antara androsentrismedan kerusakan lingkungan (Birkeland 1993, 18).Ekofeminisme bersifat anti-naturis karena menolakdominasi; beretika kontekstual karena muncul darirelasi unik yang nyata dan partikular; dan bersifatpluralistik karena menerima dan mempertahankanperbedaan dan keragaman (Keraf 2006, 136-137,Zega 2014, 9-10). Keragaman adalah satu polaproduksi yang tidak hanya tentang konservasi,tetapi juga memastikan pluralisme dan desen-tralisasi, sehingga tidak bersifat dikotomis (Shiva1993, 267).

Ekofeminisme berangkat dari ketidakadilanmanusia terhadap non-manusia atau alam (Astuti2012, 51, Wulan 2017, 118, Sandilands 1999, 16).Perempuan selalu dihubungkan dengan alam;sehingga secara konseptual, simbolik, dan linguistikada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis(Astuti 2012, 51). Perempuan dan alam mempunyaikesamaan simbolik karena sama-sama ditindasoleh manusia yang berciri maskulin (Astuti 2012,52).

Fokus dari wacana lingkungan dan perempuan

berdasarkan teori ekofeminisme bukan terletakpada kedekatan antara perempuan dan alam,tetapi pada budaya perempuan yang dekat denganalam adalah model yang lebih baik daripadabudaya laki-laki (Arivia 2006, 386). Menurut teoriekofeminisme, peran perempuan dalam penye-lamatan lingkungan di berbagai belahan duniaadalah agen yang mempromosikan hubunganhukum antara manusia dan elemen pemberi kehi-dupan dan mengajarkan penghormatan kepadakesatuan dan kesinambungan dari keseluruhankehidupan dengan gaya hidup yang eco-friendly danwomen-friendly (Astuti 2012, 52, Darmawati 2002,17-19).

Tyas Retno Wulan (2017, 105) mengatakanbahwa ekofeminisme transformatif merupakangerakan perempuan dan lingkungan yang mampumeminimalisir unequal power relations karenamampu menerangkan mengapa kesetaraan jendertidak hanya menguntungkan perempuan, tetapijuga laki-laki. Ayu Ratih dalam tulisan Fitri danAkbar (2017, 101) mendef inisikan gerakan perem-puan sebagai usaha untuk menerobos batasan yangmemisahkan persoalan ketertindasan perempuandan ketertindasan manusia secara keseluruhan.Fitri dan Akbar (2017, 101) mengatakan bahwa gera-kan perempuan merupakan gerakan pembebasanyang bertujuan untuk menghapuskan segala bentukdiskriminasi dan ketidaksetaraan dalam tatahubungan antarmanusia yang beradab.

Gerakan feminisme dan ekologi mempunyaitujuan yang saling memperkuat, keduanya hendakmembangun pandangan terhadap dunia danpraktiknya yang tidak berdasarkan dominasi(Wulan 2017, 115, Shiva 2009, 24). Gerakan perem-puan terutama perempuan pedesaan dan pinggiranmelawan kerusakan alam, seperti perambahanhutan dan pencemaran lingkungan akibat pem-buangan limbah berangkat dari dominasi perem-puan dan anak sebagai penghuni tetap lingkunganyang tercemar dan dirambah, sedangkan para laki-laki pergi keluar untuk mencari nafkah (Astuti 2012,53 Wismar’ein, Widjanarko, dan Alyna 2009, 10).

Menurut Culley dan Angelique (2003, 456-458),gerakan perempuan adalah transformasi dari peranperempuan sebagai ibu yang memiliki kasih

Page 83: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

79Sartika Itaning Pradhani, Diskursus Teori tentang Peran Perempuan ... 69-83

terhadap anak dan keluarga ke gerakan politik.Pengertian ibu termasuk di dalamnya memastikankesejahteraan seluruh komunitas dan kewenanganibu sebagai sumber daya politik, sehingga perem-puan mempunyai pandangan yang berbeda tentangnuklir dari laki-laki. Kemampuan perempuan untukmerawat dan mengurus mempengaruhi keter-libatan dan mempercepat kemampuan perempuanuntuk belajar. Pengalaman dan pengetahuanperempuan adalah awal dari kebangkitan perem-puan yang berhasil mengubah hambatan kefasilitasi dan menghubungkan pengalaman per-sonal pada aksi politik yang menguatkan komitmenterhadap gerakan-gerakan penyelamatan ling-kungan.

Teori Ekofeminisme dapat menjelaskan bagai-mana hubungan antara perempuan dengan alamdan peran perempuan dalam konflik agraria.Bahwa perempuan memiliki hubungan yang eratdengan alam, bahkan sering dimitoskan sebagaialam itu sendiri karena peran sentral perempuandalam konstruksi gender sebagai pemelihara.Dalam fungsinya untuk memelihara rumah tangga,alam membantu perempuan untuk dapat meme-nuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan demi-kian, jika alam rusak, maka ketahanan fungsipemeliharaan perempuan dalam rumah tanggajuga terganggu.

Konflik agraria yang terjadi di Mollo, Pandu-maan dan Sipituhuta, Kendeng, Pennsylvania,Harambee, dan Henwal sama-sama menunjukkanadanya dampak kerusakan alam. Masing-masingperempuan yang tinggal di tempat tersebut memi-liki narasi atas dampak kerusakan alam tersebutterhadap kehidupan mereka. Perempuan di Mollomerasakan dampak rusaknya sumber daya air danidentitas budaya akibat tambang marmer. Perem-puan di Pandumaan dan Sipituhuta merasakansulitnya pengelolaan keuangan akibat menurunnyapendapatan para suami dari panen kemenyan ditombak haminjon. Perempuan petani di Kendengmengalami penurunan produksi pertanian akibatindustri semen. Perempuan di Pennsylvaniamengalami masalah kesehatan keluarga akibat daribencana nuklir. Perempuan di Harambee menga-lami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan gizi

keluarga karena lahan yang tidak subur. Perempuandi Hernwal juga menghadapi kesulitan untukmemenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karenarusaknya hutan yang hanya sebatas dipandangsebagai komoditas ekonomi.

Meskipun perempuan sama halnya dengan aktorlain yang terlibat dalam konflik agraria (laki-laki)dan juga mengalami dampak dari konflik tersebut,tidak serta merta membuat perempuan mem-punyai hak yang sama dengan laki-laki dalampengambilan keputusan di saat konflik. Hal terse-but dapat dilihat dalam konflik agraria di Pandu-maan dan Sipituhuta dimana hanya satu orang yangterlibat dalam rapat pengambilan keputusan.Bahkan, pengalaman perempuan sebagai akibatdari konflik agraria diabaikan, sebagaimana dalamkasus bencana nuklir di Pennsylvania.

Berangkat dari pengalaman-pengalaman ter-sebut, perempuan tidak menjadi pihak yang pasifdalam konflik agraria. Gerakan perempuan meru-pakan satu tindakan aktif dari para perempuanuntuk menyuarakan pada khalayak ramai bahwaperempuan adalah sosok yang hebat dan dapatmenjadi unsur utama dalam perubahan kebijakanyang hendak diraih (Hendrastiti 2019, 26). Dalamkonflik agraria, perempuan tidak hanya berperanuntuk melawan pihak yang merusak alam, tetapijuga menjadi agen perubahan yang mempromo-sikan hubungan harmonis antara alam dan manu-sia. Dalam upaya mempromosikan hubunganharmonis antara manusia dan alam, perempuantidak menggunakan cara-cara yang bersifat des-truktif, tetapi menggunakan cara-cara yang bersifatnegosiatif dan inklusif dengan pendekatan kultural.

Peran aktif perempuan dalam konflik agrariatidak hanya mematahkan stereotype terhadapperempuan yang identik dengan area domestikyang pasif (Yuniandrianto 2016, 5), tetapi jugamengembangkan diskursif aktivitas politikmelawan perusakan lingkungan melalui paradigmanon-eksploitatif (Fitri dan Akbar 2017, 88). Sebagaicontoh perempuan petani Kendeng yang melaku-kan aksi mengecor kaki dengan semen untukmenunjukkan dampak dari industri semen yangmenghambat kegiatan produksi pertanian. Perem-puan Mollo yang melakukan kegiatan menenun

Page 84: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

80 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

pada saat kegiatan tambang marmer berlangsunguntuk menunjukkan bahwa batu marmer meru-pakan identitas diri yang digambarkan dalam kaintenun. Demikian juga dengan gerakan memelukpohon oleh perempuan Chipko yang menunjukkanbahwa manusia dan alam harus hidup berdam-pingan karena keberlangsungan hidup manusiaditentukan oleh kelestarian hutan.

E. Kesimpulan

Wacana-wacana teori yang muncul dalamkonflik agraria adalah teori hukum positif, teoripolitik hukum, teori realitas hukum, teori hukumalam, sociological jurisprudence, pluralisme hukum,teori kearifan lokal, dan teori ekofeminisme. Darisemua teori tersebut, hanya teori ekofeminismeyang dapat menjelaskan tentang peran perempuansebagai agen perubahan dalam konflik agraria.Tumpang tindih pengaturan agraria menyebabkankonflik. Konflik agraria mengakibatkan kerusakanalam. Kerusakan alam memberikan dampak yangkhusus bagi perempuan.

Alam merupakan sumber utama bagi peme-nuhan kebutuhan domestik rumah tangga. Ketikaalam rusak sebagai akibat dari konflik agraria,perempuan tidak dapat menjalankan konstruksiperannya sebagai pemelihara rumah tangga denganbaik. Perempuan tidak dapat menjalankan kon-struksi perannya dengan baik karena alam yangrusak sebagai akibat dari konflik agraria membuatproduksi pertanian berkurang, sumber mata airrusak, identitas budaya hilang, dan kualitas kese-hatan keluarga memburuk. Meskipun perempuanmengalami dampak yang serius dari kerusakanalam, pengalaman mereka tidak selalu didengardan mereka kesulitan untuk dapat terlibat dalampengambilan keputusan selama konflik agrariaberlangsung.

Berdasarkan pengalaman tersebut, perempuanmengambil peran aktif dalam konflik agraria tidakhanya untuk melawan perusak lingkungan, tetapijuga untuk menjadi agen perubahan yang mempro-mosikan hubungan yang harmonis antara manusiadan alam. Dalam konflik agraria, perempuan beru-saha untuk menunjukkan narasi alternatif bahwapengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan

dengan cara non-eksploitatif berdasarkan penga-laman masing-masing perempuan yang bersifatnegosiatif dan inklusif melalui pendekatan kultural.

Daftar Pustaka

Alting, H 2013, ‘Konflik penguasaan tanah diMaluku utara: rakyat versus penguasa danpengusaha’, Jurnal Dinamika Hukum, vol. 13,no. 2, hlm. 266-282.

Arivia, G 2006, Feminisme: sebuah kata hati, Pener-bit Buku Kompas, Jakarta.

Arofat, S 2016, ‘Kontestasi Kuasa: Diskursus Seng-keta Pabrik Semen Indonesia di Rembang’,Tesis pada Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik, Universitas Indonesia.

Asriani, DD 2015, ‘Perempuan mollo merawat tu-buh & alam: aleta baun, paham nifu & pegu-nungan mutis’, dalam Dewi Candraningrumdan Arianti Ina Restiani Hunga (Ed.),Ekofeminisme III tambang, perubahan iklim &memori rahim, Jalasutra, Yogyakarta.

Astuti, P 2011, ‘Kekerasan dalam konflik agraria:kegagalan negara dalam menciptakankeadilan di bidang pertanahan’, Forum JurnalPengembangan Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Diponegoro Semarang, vol. 39, no.2, hlm. 52-60.

_____ 2012, ‘Ekofeminisme dan peran perempuandalam lingkungan’, Indonesian Journal of Con-servation, vol. 1, no. 1, hlm. 49-60.

Atmadja, IDG 2013, Filsafat hukum dimensi tematis& historis, Setara Press, Malang.

Birkeland, J 1993, ‘Ecofeminism: linking theory andpractice’, dalam Greeta Gaard (Ed.), Ecofe-minism: women, animals, nature, Temple Uni-versity Press, Philadelphia.

Bahari, S 2004, ‘Konflik agraria di wilayah perke-bunan: rantai sejarah yang tak berujung”,Jurnal Analisis Sosial, vol. 9, no. 1, hlm. 37-45.

Culley, MR & Angelique, HL 2003, ‘Women’sgendered experiences as long-term three mileisland activists’, Gender and Society, vol. 17, no.3, hlm. 445-461.

Darmawati, I 2002, ‘Dengarlah tangisan ibu bumi!

Page 85: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

81Sartika Itaning Pradhani, Diskursus Teori tentang Peran Perempuan ... 69-83

sebuah kritik ekofeminisme atas revolusihijau’, Jurnal Perempuan, no. 21, hlm. 7-24.

Dini, N et. al. 2017, Perempuan dalam perjuanganagraria tema-tema pokok kelompok belajar ag-raria dan perempuan, Sajogyo Institut, Bogor.

Fitri, AI & Akbar, I 2017, ‘Gerakan sosial perempuanekofeminisme di pegunungan kendeng pro-vinsi jawa tengah melawan pembangunantambang semen’, Jurnal Ilmu Pemerintahan,vol. 3, no. 1, hlm. 83-102.

Ginting, et. al. 2016, ‘Indigenous resistance to landgrabbing in Merauke, Indonesia: the impor-tance and limits of identity politics and theglobal-local coalitions’, International Journal ofSocial Science and Business, vol 1, no. 3, hlm. 1-14.

Hendrastiti, TK 2019, ‘Tutur perempuan komunitasAnti Tambang di Sumba: Sebuah Narasi Gera-kan Subaltern untuk Kedaulatan Pangan’, Jur-nal Perempuan, vol. 24, no. 1, hlm. 6-28.

Hidayatullah, et. al. 2016, ‘Analisis peta konflikpembangunan pabrik PT Semen Indonesia diKecamatan Gunem Kabupaten Rembang’,Jurnal Solidarity, vol. 5, no. 1, hlm. 1-11.

Indrawan, AF 2017, ‘Hari Kartini, Komnas Perem-puan Apresiasi Perjuangan Ibu-Ibu Kendeng’,detikNews, 21 April, dilihat pada 9 Maret 2018,https://news.detik.com/berita/d-3481068/hari-kartini-komnas-perempuan-apresiasi-perjuangan-ibu-ibu-kendeng.

Ismail, N 2012, ‘Arah politik hukum pertanahan danperlindungan kepemilikan tanah masyarakat’,Jurnal Rechts Vinding Media PembinaanHukum Nasional, vol. 1, no. 1, hlm. 33-52.

_____ 2018, Hukum agraria dalam tantangan peru-bahan, Setara Press, Malang.

Kelsen, H 2012, Pengantar teori hukum, Cetakan Ke-V, Penerbit Nusa Media, Bandung.

Keraf, AS 2006, Etika lingkungan, Penerbit BukuKompas, Jakarta.

Konsorsium Pembaharuan Agraria, 2016, “CatatanAkhir Tahun 2016 Konsorsium PemhaharuanAgraria: Liberalisasi Agraria Diperhebat,Reforma Agraria Dibelokkan”, makalah,Sekretariat Konsorsium Pembaharuan Agraria,Jakarta Selatan, dilihat pada kpa.or.id/

publikasi/download/703f7-laporan-akhir-tahun-2016.pdf

_____ 2017, Catatan akhir tahun 2017 konsorsiumpembaruan agraria reforma agraria di bawahbayangan investasi gaung besar di penggiranjalan, Konsorsium Pembaruan Agraria, Ja-karta, dilihat pada http://kpa.or.id/assets/up-loads/f iles/publikasi/d5a29-catahu-2017-kpa.pdf

Khotimah, E 2006, ‘Pembangunan dalam perspektifekofeminisme (analisis kritis paradigma teoripembangunan dan urgensi pembangunanperspektif demokratis kulturis dalam upayameningkatkan indeks pembangunan manusia,Mimbar, vol. 22, no. 3, hlm. 333-371.

Liandra, RP 2014, ‘Manajemen konflik agraria studikasus Desa Tangun, Kecamatan Bangun Pur-ba, Kabupaten Rokan Hulu tahun 2012-2013",Jom FISIP, vol. 1, no. 2, hlm. 1-15.

Mantiri, MM 2003, ‘Analisis konflik agraria dipedesaan (suatu studi di Desa Lemoh BaratKecamatan Tombariri)’, Governance JurnalIlmiah Jurusan Ilmu Pemerintahan FakultasIlmo Sosial dan Ilmu Politik Universitas samRatulangi, vol. 5, no. 1, hlm. 1-9.

Mulyani, L 2014, ‘Kritik atas penanganan konflikagraria di Indonesia”, Bhumi-Jurnal Agraria danPertanahan, vol. 13, no, 39, hlm. 341-355.

Mutolib, A et. al. 2015, ‘Konflik agraria dan pele-pasan tanah ulayat (studi kasus pada masya-rakat Suku Melayu di kesatuan pemangkuHutan Dharmasraya, Sumatera Barat)’, JurnalPenelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, vol.12, no. 3, hlm. 213-225.

Maathai, W 2006, Gerakan sabuk hijau, Marjin Kiri,Jakarta Pusat.

Maemunah, S 2012, Negara tambang dan masya-rakat adat perspektif ham dalam pengelolaanpertambangan yang berbasis lingkungan dankearifan lokal, Intrans Publishing, Malang.

_____ 2015, Mollo pembangunan dan perubahaniklim usaha rakyat memulihkan alam yangrusak, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Mangililo, ID. 2015, ‘Bumi sebagai Tubuh Manusia:Studi Kasus Perempuam Mollo MelawanTambang’, dalam Dewi Candraningrum dan

Page 86: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

82 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Arianti Ina Restiani Hunga (Ed.), EkofeminismeIII tambang, perubahan iklim & memori rahim,Jalasutra, Yogyakarta.

Mies, M & Shiva, V 2014, Ecofeminism, Zed BooksLtd., London.

Moghadam, VM 2010, ‘Transnational Activism’, da-lam Laura J. Shepherd (Ed.), Gender mattersin global politics: a feminist introduction to in-ternational relations, Routledge, London.

Nurlinda, I 2008, ‘Penerapan Prinsip-Prinsip Pem-baharuan Agraria menurut Ketetapan MPRNo. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agrariadan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalamKebijakan Pertanahan Nasional’, Disertasipada Program Pascasarjana Universitas GadjahMada, Yogyakarta.

Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang 2017,Perencanaan Pembangunan Daerah KabupatenRembang Tahun 2017’, Pemerintah DaerahKabupaten Rembang, Rembang, dilihat pada31 Maret 2019, https://rembangkab.go.id/haribawana/uploads/2017/04/rkpd-kabu-paten-rembang-tahun-2017.pdf.

Poespasari, ED 2013, ‘Dinamika penguasaan tanaholeh perempuan pada masyarakat batak toba’,Disertasi pada Program Doktor Ilmu HukumFakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Putra, LM 2016, ‘Tolak Pabrik Semen, 9 Kartini Pe-gunungan Kendeng Mengecor Kaki di DepanIstana’, Kompas.com, 12 April, dilihat pada 9Maret 2018, https://nasional.kompas.com/r e a d / 2 0 1 6 / 0 4 / 1 2 / 1 9 5 5 3 3 2 1 /Tolak.Pabrik.Semen.9.Kartini.Pegunungan.Kendeng.Mengecor.Kaki.di.Depan.Istana.

Pujiriyani, DW & Wahab, OH 2013, ‘KemandeganCSR dan kontribusinya terhadap perluasankonflik agraria di kawasan hutan register 45Mesuji’, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol.17, no. 2, hlm. 101-115.

Runggandini, CWM 2012, ‘Rekonstruksi kearifanlokal untuk membangun hukum kehutananyang berlanjutan: studi terhadap masyarakathukum adat kajang dan tenganan pengring-singan’, Disertasi pada Program PascasarjanaFakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Sandilands, C 1999, Ecofeminism and the quest for

democracy, University of Minnesota Press,Minneapolis.

Sembiring, J 2011, ‘Tanah dalam perspektif f ilsafatilmu hukum”, Mimbar Hukum, vol. 23, no. 2,hlm. 394-405.

Siagian, S & Harahap, T 2016, ‘Pandumaan dansipituhuta vs TPL di Sumatera Utara: tangiskemenyan, amarah perempuan’, dalam EkoCahyono, et. al., (ed.)., Konflik agraria masya-rakat hukum adat atas wilayahnya di kawasanhutan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,Jakarta.

Shiva, V 1988, Staying alive women, ecology and sur-vival in India, Kali for Woman, New Delhi.

_____ 1993, The violence of the green revolution thirdworld agriculture, ecology, and politics, ZedBoks Ltd, London and New Jersey.

_____ 2009, ‘Economic globalization, ecologicafeminism’, Canadian Woman Study, vol. 17, no.2, hlm. 22-27.

Subono, NI 2002, ‘Perempuanm organisasi “sim-bolik-kultural” dan masalah lingkungan diVenezuela’, Jurnal Perempuan, vol. 21, hlm. 69-78.

Sulastriyono, 2011, ‘Hukum Sumber Daya Air: studipengelolaan Sumber Daya air berbasiskearifan lokal di Umbulwadon, Sleman, Yog-yakarta’, Disertasi pada Program PascasarjanaFakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Sumardjono, MSW 2014, Semangat konstitusi danalokasi yang adil atas sumberdaya alam, Fakul-tas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yog-yakarta.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 44/Menhut-II/2005 dalam http://www.mongabay.co.id/2013/03/05/masyarakat-pandumaan-sipituhuta-kembalikan-tanah-adat-jangan-ganggu-hutan-kemenyan-kami/,diakses pada 14 Maret 2018.

Wahab, OH 2013, ‘Gerakan aktif tanpa kekerasan:sebuah transformasi perjuangan masyarakat(kasus masyarakat moro-moro register 45Mesuji Lampung)’, Jurnal Ilmu Sosial danPolitik, vol. 16, no. 3, hlm. 217-233.

Warren, KJ (Ed.) 1997, Ecofeminism women, culture,nature, Indiana University Press, Bloomington.

Page 87: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

83Sartika Itaning Pradhani, Diskursus Teori tentang Peran Perempuan ... 69-83

Wismar’ein, Dian, Widjanarko, M & Alyna, R 2009,‘Perempuan dalam pengelolaan sumber dayaair di Desa Rahtawu Kabupaten Kudus’, JurnalSosial dan Budaya, vol. 2, no. 2 , hlm. 50-60.

Wulan, TR 2007, ‘Ekofeminisme transformatif:alternatif kritis mendekonstruksi relasiperempuan dan lingkungan’, Jurnal Transdisip-lin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia,vol. 1, no. 01, hlm. 105-130.

Yuniandrianto, R 2016, ‘Perjuangan perempuandalam f ilm Samin vs Semen (analisis naratif

perjuangan perempuan dalam film dokumen-ter Samin vs Semen)’, Thesis pada FakultasIlmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mu-hammadiyah Yogyakarta, dilihat pada http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/7421

Zega, DC 2014, ‘Relasi alam dan perempuan dalampemikiran ekofeminisme vandana shiva’,Skripsi pada Fakultas llmu Budaya Universi-tas Indonesia, dilihat pada http://lib.ui.ac.id/n a s k a h r i n g k a s / 2 0 1 6 - 0 5 / S 5 7 1 0 7 -Devi%20Christiani%20Zega

Page 88: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

84 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

REAKTUALISASI PERJUANGAN NAHDLATUL ULAMA DALAMMEWUJUDKAN KEDAULATAN SUMBER DAYA AGRARIA

(Studi Gerakan Demokrasi Radikal pada FNKSDA)

THE REACTUALIZATION OF NAHDLATUL ULAMA STRUGGLE IN REALIZING THESOVEREIGNTY OF AGRARIAN RESOURCES

(Study of Radical Democracy Movement of FNKSDA)

Asri Widayati dan SuparjanPembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected]

Abstract: This research aim to explain the reactualization of Nahdlatul Ulama (NU) struggle over agrarianresources related to the emergence of Front Nahdliyyin for the Sovereignty of Natural Resources (FNKSDA) in2013. This paper used the theoretical perspective of radical democracy movement proposed by Ernesto Laclau andChantal Mouffe by analizing the phenomenon of NU struggle over agrarian resources. This research uses quali-tative method by various specif ic case study with the type of single case study. The results revealed many cases ofliving space deprivation, inequality of natural resources ownership, and other agrarian conditions happened tonahdliyyin in several regions. The young members of NU which have been evolved by the time, did not merelycriticize the government at the time, however, in a further way, they initiated the formation of movement inpost-reformation era by radicalizing political space which should be more democratic. FNKSDA does not movestructurally but it moves inside of NU culturally. Nevertheless, the ‘new political and cultural identity’ representthe progressive characteristic of NU.Keywords: FNKSDA, Radical Democracy Movement, Progressive Young Nahdliyyin

Intisari: Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan terjadinya reaktualisasi perjuangan Nahdlatul Ulama (NU)atas isu sumber daya agraria melalui kemunculan Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam(FNKSDA) pada 2013. Paper ini menggunakan perspektif teori gerakan demokrasi radikal dari Ernesto Laclaudan Chantal Moufffe dengan mengkaji fenomena perjuangan NU atas sumber daya agraria. Kajian inimenggunakan metode kualitatif dengan variasi studi kasus spesif ik tipe single case study. Hasil penelitian inimenunjukkan banyaknya kasus perampasan ruang hidup, ketimpangan kepemilikan sumber daya alam, danberbagai kondisi agraria lainnya yang menimpa nahdliyyin di berbagai daerah. Berbagai kondisi tersebut disikapidalam bentuk artikulasi oleh para kaum muda NU yang ternyata telah mengalami perkembangan, yakni tidaksekadar melayangkan kritik terhadap pemerintah, khususnya Orde Baru saat itu. Namun, telah menginisiasiterbangunnya gerakan di masa pasca reformasi dengan meradikalisasi ruang politik selayaknya menuju situasiyang lebih demokratis. FNKSDA bergerak non-struktural dalam tubuh NU. Meski demikian ‘budaya dan identitasbaru politiknya’ justru tampil mewakili watak progresif NU.Kata Kunci: FNKSDA, Gerakan Demokrasi Radikal, Kaum Muda NU Progresif

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: March 31, 2019; Reviewed: April 7, 2019; Accepted: April 24, 2019.

To cite this article: Widayati, A & Suparjan 2019, ‘Reaktualisasi perjuangan Nahdlatul Ulama dalammewujudkan kedaulatan sumber daya agrarian. (Studi gerakan demokrasi radikal pada FNKSDA)’,Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 84-98.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.321

Copyright: ©2019 Asri Widayati & Suparjan. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under aCreative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

Page 89: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

85Asri W & Suparjan, Reaktualisasi Perjuangan Nahdlatul Ulama ... 84-98

A. Pendahuluan

Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan SumberDaya Alam (FNKSDA) yang lahir pada 2013sesungguhnya memiliki dimensi partikular. Gera-kan non-struktural dalam tubuh Nahdlatul Ulama(NU) tersebut memiliki tujuan mewujudkan tatakelola sumber daya alam (SDA) atau sumber dayaagraria yang berdaulat. Apabila sejarah keterlibatanNU dalam perjuangan agraria sejak kemerdekaanRI ditelusuri akan ditemukan peran ulama-ulamaNU dalam perumusan Undang-undang PokokAgraria 1960 (UUPA), serta keterlibatannya dalampelaksanaan UUPA yaitu berupa land reform. Faktatersebut menegaskan sejarah perjuangan agrariapasca kemerdekaan yang tidak hanya identikdengan Partai Komunis Indonesia (PKI) semata,terutama dengan Barisan Tani Indonesia (BTI)seperti yang dipahami secara umum.

Bahkan apabila melacak sejarah perjuanganagraria dalam tubuh NU sebelum UUPA hinggapelaksanaan land reform, organ NU seperti Perta-nian Nahdlatul Ulama (Pertanu) telah memilikibanyak cabang. Pertanu memiliki pengaruh hingga‘akar rumput’ melalui andilnya pada urusangerakan seperti tindakan reorganisasi ketikaorganisasi macet dan cara-cara meningkatkanproduksi pertanian. Dengan mulai menelusurisejarah perjuangan agraria NU dikenal sosok K.H.Zaenal Arif in yang berperan sebagai dewanpenasehat Pertanu urusan perkebunan-pertaniantahun 1954 (Luthfi 2018). Beberapa tahun kemu-dian ia naik menjadi pimpinan DPR-GR danmemiliki kewenangan sebagai pengesah UUPA1960 (Anggraeni 2016). Secara politis perjuanganatas isu agraria pada masa itu sangat dipengaruhiposisi NU sebagai ‘partai politik’ dan kedekatannyadengan Sukarno. Bahkan tidak ditemukan banyakpertentangan pada mayoritas politisi NU atasbanyak kebijakan presiden Sukarno (Van Bruines-sen 1994).

Begitu Era Sukarno berakhir, NU tidak lagi dekatdengan penguasa. Naiknya rezim Orde Barumengakibatkan PKI menjadi partai terlarang pascagejolak Gerakan 30 September 1965 (G30S).Terlepas dari kompleksitas peristiwa tersebut, yangperlu disoroti pada rezim Orde Baru ialah pembe-

kuan UUPA selama 11 tahun. Begitu pula denganNU, gerakannya melalui Pertanu lambat laundilucuti. NU pada masa Orde Baru hanya mengan-dalkan keputusan-keputusan dalam forum BahtsulMasail untuk mengontrol pemerintah. Di antaranyamelalui Muktamar NU ke-29 tahun 1992 di BandarLampung dan Musyawarah Nasional Alim UlamaNU di NTB tahun 1997 yang menyikapi pembe-basan tanah dengan dalih kepentingan umum, yangmenjadi dalih lahan bisnis pengusaha. Pascakeputusan tersebut ditetapkan kejahatan peram-pasan tanah atas nama ‘pembangunan’ maupun‘kepentingan umum’ nyatanya tetap saja bergulir.

Hal diskursif yang penting untuk disoroti dalamNU pada masa Orde Baru adalah keputusan‘kembali ke khittah 1926’ melalui Muktamar Situ-bondo tahun 1984. NU kembali pada bentuknyasemula sebagai ‘organisasi sosial keagamaan atauorganisasi kemasyarakatan’ bukan ‘organisasipolitik’. Jika dipahami secara permukaan terdapatbentuk depolitisasi pada NU. Pasalnya sebagiantokoh NU yang berpatron dengan partai politikperlahan menarik diri. Meskipun muncul pene-gasan, bukannya terdapat depolitisasi dalam NU,namun perubahan arah gerak politik yang berbeda(Van Bruinessen 1994). Singkatnya keluarnya NUdari urusan politik formal memberikan kebebasanaktivis NU untuk melakukan tugas advokasi danpemberdayaan masyarakat akar rumput sertamengekspos sifat hegemonik Orde Baru (Bush2009, 102).

Apabila dipandang secara retrospektif, perju-angan masyarakat sipil pada gerakan ‘NU kembalike khittah’ lebih sedikit dibicarakan dibandingkangagasan terkait pluralisme. Tidak ada pula ikhtiaruntuk menautkan gagasan pluralisme dengan ga-gasan keadilan ekonomi dan politik yang menjadiruh perjuangan masyarakat sipil. Akan tetapi haltersebut tidak terjadi pada NU saat ini, yang manamenjadikan gagasan pluralisme sebagai isu main-stream pada banyak kalangan nahdliyyin. Dengandemikian, gagasan pluralisme tanpa memahamipertautannya dengan diskursus perjuanganmasyarakat sipil, diskursus pembangunan, ataupundiskursus lain yang lebih mendalam akan terasahampa.

Page 90: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

86 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Merujuk pada gagasan diskursus menurut Laclaudan Mouffe, diskursus tidak bersifat f inal dalampengungkapan suatu bahasa, melainkan bertarungdan bertautan dengan ‘yang material’ (Newlands2013). Maka, baik diskursus perjuangan masyarakatsipil maupun diskursus pluralisme bertemu padatitik diskursus pembangunanisme Orde Baru yangtelah menyangsikan peran masyarakat sipil.Khususnya akibat pembangunan nasional yangbersifat top down, sentralistik, sekaligus meng-agung-agungkan ‘pertumbuhan ekonomi’.Pluralisme selayaknya berwatak perjuangan. ‘Plura-litas garapan bagi gerakan islam di Indonesia yangada saat ini, pada dasarnya merupakan potensitersendiri, bila aktualisasinya mampu memenuhipluralitas pandangan dan wawasan di berbagaiaspek kehidupan’ (Mahfudh 1994, 123). Pluralismetidak berhenti dipahami sekadar pembedaanataupun harmonisasi di antara etnis, agama, atauras, namun menyangkut pula aspek sosio-eko-nominya.

Hak sosial, politik, ekonomi, dan lainnya darimasyarakat sipil dapat dikembalikan melaluidemokratisasi. Setelah itu perebutan makna pem-bangunan dapat dilakukan, sebab arti pem-bangunan selayaknya tidak hanya bertumpu padapengetahuan Barat maupun dipreskripsikan olehlembaga internasional global kepada elit duniaketiga (Escobar & Alvarez 2018 2011), seperti yangterjadi di Indonesia pada rezim Orde Baru, bahkanhingga saat ini. Selain itu, berkaitan dengan masatransisi rezim otoritarian ke demokrasi yangdihantarkan oleh ‘efek demonstrasi’ sebagai praktikrevolusi demokratik nyatanya tidak memilikiproyek yang jelas. Justru menurut Harvey, Castellas,dan Amin berimbas pada sekadar restrukturasikapital sebagai efek krisis, ditunjukkan padaterjadinya kegaduhan dan instabilitas politik(Escobar & Alvarez 2018). Pasca reformasi menjadimasa sulit bagi gerakan masyarakat sipil, sebabalternatif gerakan yang setidaknya meredusir‘kebebasan’ yang cenderung bercorak individualistikmaupun berwatak liberal ekonomi belum dite-mukan.

Oleh karena itu, ‘kebangkitan’ perjuangan agra-ria dalam tubuh NU yang terwujud pada FNKSDA

bukanlah sesuatu yang baru. Akan lebih tepatnyakalau apa yang terwujud pada perjuangan FNKSDAdipandang sebagai sebuah bentuk ‘reaktualisasi’.Reaktualisasi tersebut terletak pada terbangunnyakembali suatu gerakan berwatak progresif padaNU seperti yang dulu ditunjukkan oleh Pertanu dankritik atas relasi serta posisi NU terhadap rezimOrde Baru. Namun kaitannya dengan NU, gerakanFNKSDA memiliki watak khusus sebab perjuangan-nya lebih berwatak non-struktural daripada struk-tural. Isu yang diusungnya pun tidak berkaitandengan pertanian atau lahan namun lebih luasseperti sumber daya alam atau sumber dayaagraria.

Dengan demikian, salah satu tujuan FNKSDAyang mewacanakan pengarusutamaan isu tatakelola SDA setelah isu pluralisme dapat dipahamibukan merupakan perebutan ruang isu dalam NU.Penegasan atas pandangan ini terletak dalam(Lembar Kerja FNKSDA 2013, 6) yang menyatakanbahwa ‘isu pluralisme yang didorong olehAbdurrahman Wahid telah melahirkan banyakpemimpin muda di komunitas NU, meskipunsangat sedikit yang mengerucut sampai ke pim-pinan politik’. Di sisi lain kaum muda NU saat initelah mengalami perkembangan, tidak sekadarmengkritik pemerintah, namun telah menginisiasiterbangunnya gerakan. Para kaum muda nahdli-yyin telah menemukan kembali perkembanganidentitasnya. Identitas tersebut menurut Reyna,Piscitelli, Calderon seperti menulis kembali novelsejarah yang mana mewakili penciptaan gerakanyang benar-benar baru (Escobar & Alvarez 2018).

Dengan demikian, artikel ini ingin menunjukkanmakna ‘mengapa terjadi reaktualisasi perjuanganatas sumber daya agraria dalam NU, spesif ikdikaitkan dengan kelahiran FNKSDA’. Memperluasstudi yang dilakukan Luthfi mengenai ‘Sejarah danRevitalisasi Perjuangan Pertanian NU MelawanKetidakadilan Agraria’ (Luthf i 2018), artikel inimendalami ‘reaktualisasi’ perjuangan NU mewu-judkan keadilan agraria melalui FNKSDA sebagai‘hegemonic struggle’. Memperluas pula studiMubarok terkait ‘Gerakan sosial lingkunganpemuda NU: Studi pada FNKSDA’ (Mubarok 2016),atas hegemonic struggle FNKSDA tulisan ini

Page 91: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

87Asri W & Suparjan, Reaktualisasi Perjuangan Nahdlatul Ulama ... 84-98

merupakan penelusuran lebih lanjut atas dinamikahistoris ‘kaum muda NU’ yang ternyata telahsampai pada upaya membangun ‘identitas barupolitiknya’. Sehingga studi Nashirulhaq yangmembaca generasi muda NU sebagai perjuanganekonomi-politik (Nashirulhaq 2017), menjadikurang relevan. Sifat perjuangan kaum muda NUmelalui terbentuknya FNKSDA lebih bersifat‘hegemonik’, artinya tidak memimpin secara lang-sung ‘identitas kelas’ melainkan melalui formasi-formasi hegemoni berjuang ‘memperkuat identitaskelas’.

Artikel ini spesif ik menggunakan perspektifperjuangan demokratik baru dari Ernesto Laclaudan Chantal Mouffe untuk membaca lahirnyagerakan FNKSDA. Praktik perjuangan demokratikbaru banyak digunakan untuk membangun analisisatas gerakan sosial di Amerika Latin yang munculpasca revolusi demokratik. Revolusi demokratikbertujuan meruntuhkan development state yangsentralistik dan otoritarian. Meskipun pada saatyang sama berimbas membuka kran kapitalismemaju dalam bingkai demokrasi liberal. Demokrasimemiliki paradoks, dapat menjadi ancamanataupun perjuangan (Mouffe 2000). Padakonsekuensi tumbuhnya keragaman identitasakibat demokratisasi, dapat dibangun gerakandengan agenda yang dapat menerima pluralitas,namun secara simultan harus bersifat ‘meradi-kalisasi demokrasi’. Gerakan ekologi misalnyadapat sekaligus anti-kapitalisme, anti-rasisme, anti-otoritarianisme, bahkan teologi pembebasan. Itulahpraktik gerakan yang disebut Laclau dan Mouffesebagai gerakan demokrasi radikal.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatifdengan variasi studi kasus, spesif ik tipe single casestudy. Menurut Yin (2009) studi kasus diterapkanketika tidak terdapat batasan jelas antara fenomenadan konteks. Berfokus pada pencarian makna‘reaktualisasi’ perjuangan atas agraria dalam NU,serta didekati dengan perspektif perjuangandemokratik baru Laclau dan Mouffe. Penelitian inimembaca kondisi NU kontemporer pada konteksfenomena gerakan sosial baru, spesif ik berkaitandengan FNKSDA. Penelitian ini dilakukan daribulan Agustus 2018 hingga Maret 2019. Pengam-

bilan data dilakukan melalui pertama, menjadipartisipan pada Musyawarah Nasional FNKSDA IIdi Pondok Pesantren Al-Itqon, Semarang, pada 23-26 Oktober 2018. Kedua, pengamatan yang dila-kukan pada media sosial resmi milik FNKSDA danjuga mengikuti beberapa agenda FNKSDA. Ketiga,wawancara mendalam kepada para informan yangdipetakan berdasar perannya dalam FNKSDA, yaituterdiri dari penggagas pertama FNKSDA, koordi-nator nasional dan daerah, pegiat FNKSDA, sertaPBNU.

B. Terbangunnya Blok Historis:Memahami Kerapuhan IdentitasNahdliyyin

Pada prosesnya, penyematan ‘nahdliyyin’ padanama gerakan FNKSDA menuai polemik. Hal inidikarenakan FNKSDA tidak beraf iliasi secarastruktural dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama(PBNU). Argumen-argumen tidak taktis, mere-potkan, dan lainnya muncul dalam perdebatan(Komunikasi dengan Dwi Cipta, 29 Januari 2019).Namun pada akhirnya tetap disepakati nama ‘FrontNahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam’.Pada saat nama tersebut ditetapkan satu tugasgerakan selesai, yakni menentukan kejelasan posisi‘subyek gerakan’.

Identitas ‘nahdliyyin’ yang dipahami sebagai‘warga NU’ ataupun diartikan orang-orang yangmengamalkan nilai-nilai ajaran Islam Ahlussunahwal Jama’ah, berkembang pula menjadi ‘identitaspolitik’. Bila dipahami permukaan, hal tersebutsekadar soal tambahan ‘arti’, namun di situlah ‘iden-titas’ mengalami perkembangan menjadi lebihpolitis. Sebab subyek dari gerakan diposisikansebagai struktur yang ‘diskursif’ (Laclau & Mouffe1985). Sedangkan makna diskursif menurut Laclauialah wujud diskursus yang konkret (Torfing 1999).Lebih lanjut paparnya, diskursus bukan sekadarfenomena kebahasaan, daripadanya telah menem-bus ‘yang material’.

Pada makna ‘yang material’ dapat dikaitkandengan penelusuran dalam (Lembar Kerja FNKSDA2013) fakta-fakta berupa rentetan kasus, sepertirencana proyek pembangunan Pembangkit ListrikTenaga Uap (PLTU) 10.000 Megawatt di Batang,

Page 92: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

88 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Jawa Tengah pada 2013, di mana PLN tidak memilikidana untuk membangunnya. Ada upaya pelelanganuntuk memeroleh dana. Setelah kucuran danadidapatkan dari pihak asing tetap saja proyektersebut tidak berjalan mulus. Ditemukan konflikantara korporasi dengan pemilik tanah maupunpemilik tanah dengan petani penggarap yang manamayoritas ‘nahdliyyin’. Bahkan bukan saja nahdli-yyin yang menjadi korban, namun terdapat pulaoknum NU berpengaruh yaitu Habib Luthfi yangmemuluskan awal masuknya investor (LembarKerja FNKSDA 2013).

Pada kasus lain, bencana industri yang dise-babkan oleh PT. Lapindo Brantas berupa semburanlumpur panas yang melenyapkan ruang hidupsebagian besar nahdliyyin di Sidoarjo, dan sekitar-nya. Penambangan pasir besi di pesisir pantai KulonProgo yang mendapat resistensi dari PaguyubanPetani Lahan Pasir (PPLP). Kasus pembangunanbandara baru Yogyakarta yang juga menuai peno-lakan warga. Perampasan ruang hidup oleh korpo-rasi penambang pasir, TNI, dan pelaku lainnya diUrutsewu, Kebumen. Kasus ‘eksploitasi SDA’ diKalimantan, Sumatra, dan daerah lainnya yangmenghancurkan lingkungan dan ruang hidupwarga.

Realitas banyaknya kasus yang tidak sekadarberkaitan dengan lahan namun eksploitasi SDAyang berimplikasi pada krisis ekologis, perampasanruang hidup, dan berbagai persoalan lainnya.Beragamnya kasus tersebut banyak ditemukannahdliyyin sebagai ‘korban’, dan tidak jarang turutterlibat menjadi ‘pelaku’ meskipun bukan satu-satunya. Lantas di situlah letak ‘kerapuhan identitas’nahdliyyin ditemukan.

“Ada banyak titik orang NU mengalami: ‘orangUrutsewu tidak sepakat disebut konf lik, iabilang perampasan tanah. Jadi baginya itubukan konflik tetapi perampasan tanah’. Lebihmudahnya orang sebut NU banyak mengalamimasalah agraria.” (Komunikasi dengan BosmanBatubara, Penggagas FNKSDA, 14 Februari 2019).

Kerapuhan identitas nahdliyyin ditengarai ‘anta-gonisme’ sehingga memerlukan praktik artik-ulatoris. Praktik artikulatoris secara konkret diwu-judkan pada tindakan ‘berkumpul’, untuk dapat

memperjuangkan suatu kepentingan historis(Laclau & Mouffe 1985). Kepentingan historis ialahkesadaran atas fakta obyektif atau kasus ‘yangmaterial’. Tuntutan-tuntutan konkret diperlukandemi mewujudkan kembali identitas yang ‘utuh’.Dalam ‘antagonisme’ dianalogikan, ‘petani tidakdapat menjadi petani’. Begitu pula ‘nahdliyyin yangtidak dapat sepenuhnya menjadi nahdliyyin’. Haltersebut merupakan kesadaran atas kondisi ‘yangmaterial’.

Berangkat dari kesadaran itulah, awal mulamembangun ‘blok historis’ dilakukan. Melaluipertemuan pada 4 Juli 2013 di Pendopo Hijau LKiS,Yogyakarta, diskusi terkait ‘NU dan Tata KelolaSDA’ dilaksanakan. Terdapat beberapa lembagayang turut serta seperti: Lafadl Initiative, JamaahNU, Lakpesdam Jombang dan Kebumen, ForumSilaturahmi Petani Pesantren (FSPP), PMII Sleman,dan lainnya (Lembar Kerja FNKSDA 2013). Aktor-aktor yang mewakili lembaga tersebut rata-ratamerupakan ‘aktivis muda NU’ dari berbagai daerahdi antaranya Yogyakarta, Kebumen, Batang, Man-dailing Natal, Samarinda, dan lainnya. Akhirnyamenyepakati dibentuknya ‘gerakan’. Diputuskanpula rencana deklarasi yang dilaksanakan beberapabulan kemudian di Pesantren Tebuireng, Jombang.

“Kasusnya, materialnya (…) sehingga orangyang punya kasus, berhubungan dengan agrariaatau lingkungan mereka ingin menyelesaikan,dan ingin melihat satu peluang dengan ber-kumpul, maka akan bisa membantu menyele-saikan kasusnya. Berkumpullah di LKiS tahun2013, kemudian di Jombang”. (Komunikasidengan Bosman Batubara, 14 Februari 2019).

Melalui kesepakatan di LKiS yang memerankanbanyak agen dengan berbagai latar belakanglembaga, dan disepakati tindak lanjut berupa inisasigerakan. Pada saat itulah apa yang disebut olehGramsci sebagai ‘blok historis’ diciptakan, sebabtelah dilakukan praktik artikulatoris yang diwujud-kan pada tindakan berkumpulnya agen-agen, yangpada akhirnya membentuk identitas relasionaldemi perjuangan atas kepentingan historis (Laclau& Mouffe 1985). Telah ditunjukkan pula kelahiranFNKSDA dimulai dari historis ‘yang material’ berupakasus-kasus objektif yang menimpa nahdliyyin.

Page 93: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

89Asri W & Suparjan, Reaktualisasi Perjuangan Nahdlatul Ulama ... 84-98

Memahami bangunan gerakan FNKSDA lebihlanjut menurut Laclau dan Mouffe berkaitandengan proses artikulasi terus-menerus atasidentitas kolektif, di mana terdapat kepentinganyang sama namun bersifat diskursif (Escobar 2018).

“Ada kejadiannya, ini material, baru mencipta-kan utopianya. Bukan ada konsep tentang sesu-atu yang ideal yang ingin dicapai. Maka ideo-loginya apa, mencari kemudian, coba-coba. Itudinamikanya, mencari”. (Komunikasi denganBosman Batubara, 14 Februari 2019).

C. Membangun Formasi-FormasiHegemonik

1. Perkembangan Pemikiran Kaum MudaNUPada pertemuan sebelumnya di LKiS pada 4

Juli 2013 diperoleh kesepakatan tindak lanjut atasinisiasi satu gerakan demi merespon kasus-kasusyang menimpa nahdliyyin. Terdapat waktu be-berapa bulan menuju dideklarasikannya FNKSDAdan penamaan gerakan terus diperbincangkanmelalui media daring; grup facebook. Prosespembahasan nama gerakan menjadi penting sebabmulai dari situlah arah gerakan dapat mulaiterbaca. Di situ pula letak kerja ‘ekuivalensi’ yangmana penciptaan penanda bukan pembedadilakukan, akan menggeser identitas dari sekadar‘literal’ menjadi simbol posisi tertentu yang lebih‘kontekstual’ (Laclau & Mouffe 1985).

Hal tersebut mempertegas pemahaman gerakansosial menurut Laclau & Mouffe yang tidak meng-istimewakan subyek tertentu dalam perjuangan.Jika dalam gerakan sosial lama lebih mengisti-mewakan tugas identitas ekonomi yakni kelaspetani, kelas buruh, dan sebagainya. Dalamgerakan sosial baru menurut Dagnino, Alvarez, danEscobar lebih mengedepankan identitas yang lebihluas demi menunjang keterlibatannya atas bentukbaru politiknya, serta berkaitan dengan kontribusiserta kemampuan dalam membangun sosiabilitas-nya (Alvarez 2018). Maka, muncullah nama ‘front’pada FNKSDA.

“Front menandakan tiga hal, berupa garisdepan mainstreaming isu ketimpangan sumber-sumber agraria, kedua bertendensi progresif,

ketiga komposisinya beragam namun memilikivisi politik yang sama (…) Penting menamakanfront untuk membedakan, karena NU selaludiidentikan dengan arti moderat yang sangatpeyoratif. Tengah yang kurang ambil posisi.Moderatisme tidak begitu seharusnya. Posisi-nya di sini berdasarkan melihat situasi, kondisi,fakta-fakta konkret di masyarakat dan tidak bisakemudian tidak mengambil sikap”. (Komunikasidengan Roy Murtadho, Koordinator NasionalFNKSDA, 14 Februari 2019).

Merujuk pernyataan tersebut ‘formasi hegemo-ni’ mulai terbangun. Berhubungan dengan pema-haman atas suatu organisasi keagamaan misalnyadapat melampaui praktik-praktik tradisionalnya,meski tidak jarang menemui pertentangan (Laclau& Mouffe 1985). Pemaknaan ‘moderat’ dalam NUyang diartikan tengah-tengah dan berakhir tidakberpihak, khususnya dalam membaca persoalan-persoalan kemasyarakatan. Realitas kondisitersebut ditampilkan pada organisasi masyarakatislam seperti NU dan Muhammadiyah yangmemaknai moderat sebagai ‘bukan ini’ atau ‘bukanitu’, sehingga tidak tegas memosisikan identitasnya,lebih sesuai disebut pseudo-moderat (Burhani 2016).

“Muncul ketidakpuasan pada struktural NU.Masif nya jamaah nahdliyyin mengalamipenyingkiran, marjinalisasi. Tidak banyak mun-cul pembelaan-pembelaan terhadap mereka,sehingga mereka mempertanyakan umatmengapa tidak dibela. Justru di beberapa tem-pat lebih dekat dengan pihak yang memberikanpenekanan kepada warga”. (Komunikasi denganMuchamad Muslich, Koordinator NasionalFNKSDA, 18 Februari 2019).

Pada titik tersebut, ‘penanda’ diciptakan olehpara kaum muda NU. Terdapat pembedaan maknamoderat antara kaum muda NU dengan maknamoderat yang dipahami secara umum oleh NU.Terdapat pula realitas yang menampilkan ‘perkem-bangan pemikiran lebih lanjut’ kaum muda nah-dliyyin.

“Ini perkembangan baru, dalam artian adakesadaran, tidak bisa taat dengan pemerintahkalau ternyata dampaknya tidak adil untukrakyat. Bisa keburukan untuk alam. Artinyabaru, setelah ada generasi baru di sekolah-sekolah ini. Kalau dulu dengan pemerintah taat.

Page 94: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

90 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Pemerintah mau membuat ini, oh untuk ke-baikan. Tidak kalau saat ini, dianalisis, ini bukanpemerintah. Hanya sekelompok orang sebenar-nya yang memanfaatkan”. (Komunikasi denganHairus Salim, Penggagas FNKSDA, 4 Februari2019).

Kaum muda NU saat ini dapat diandaikan seper-ti penjelasan (Murtadho 2015) atas sedikit genealogipemikiran Abdurrahman Wahid yang terkesanGramsci. Gramsci sebagai pengusung konsephegemoni telah dilampaui oleh Laclau dan Mouffe.Hegemoni bukan lagi konsep dari bentuk-bentukdominasi yang menyeluruh. Akan tetapi melaluisubyek dan produksi formasi hegemonik terdapatperjuangan hegemoni. Seperti kondisi kaum mudaNU saat inilah, satu langkah lebih lanjut, hegemonitelah dilampaui sebagai strategi perjuangan.

“Kesadaran anak-anak sekarang lebih maju un-tuk gerakan, mereka memiliki prasyarat-pra-syarat mendukung movement, kalau zamanAbdurrahman Wahid tidak, memberikan kritiksaja ke Orde Baru”. (Komunikasi dengan RoyMurtadho, 19 Februari 2019).

Sampailah pada yang disebut rantai ekuivalensiuntuk membangun pembedaan melalui batas-batas dalam dirinya sendiri semakin ‘jelas’. Diwu-judkan pada deklarasi Front Nahdliyyin untukKedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) pada 8Desember 2013 di Pesantren Tebuireng, Jombangoleh 200 lebih kaum muda nahdliyyin (TebuirengOnline 2013a). FNKSDA merupakan ‘wadahkoordinasi antara Jamaah NU yang memiliki kehi-rauan mengenai permasalahan konflik pengelolaanSDA’ (FNKSDA 2013). Melalui deklarasi, formasihegemoni yang pertama tegas diciptakan. PosisiFNKSDA yang tidak terikat struktural NUmemungkinkan mainstreaming isu kedaulatan SDAsetidaknya berada pada dua titik yaitu ‘kaum mudaNU’, bahkan NU secara keseluruhan baik jamaahmaupun jam’iyah.

Di sisi lain, formasi hegemoni dapat berfungsiuntuk membaca posisi FNKSDA terhadap NU.Dengan identitas ‘nahdliyyin’ yang tetap disematkanpada nama gerakan dan telah melalui ‘ekuivalensi’.Maka, FNKSDA tidak vis-à-vis dengan NUstruktural, namun memiliki peran mendorong

struktural, begitulah watak perjuangan hegemonikpertama ditampilkan. Penegasan tugas-tugaskemasyarakatan ditunjukkan, selaras denganseruan kembalinya NU ke khittah 1926 yang sela-yaknya dielaborasi terus-menerus bagi kepentingannahdliyyin.

“Kaitannya khittah, harusnya diurus oleh NU.Sangat kompatibel sebenarnya dengan khittah.Justru dengan khittah, seperti ini yang harusdilakukan NU. Selain mengembangkan masjid,sekolah, pesantren, juga harus membela kaummiskin dan yang dimiskinkan, sesuai dengankhittah yang dituliskan oleh K.H. HasyimAsy’ari”. (Komunikasi dengan Hairus Salim, 4Februari 2019).

Berangkat dari hal tersebut NU sebagai salahsatu organisasi masyarakat sipil terbesar sebenarnyamemiliki sifat ‘demokratis’. FNKSDA sebagaigerakan non-struktural tetap dapat ‘bergerak’ dantidak menuai ‘larangan’ dari struktural. Di sisi lain,upaya FNKSDA termasuk canggih dalam melaku-kan ‘ekuivalensi’, sebab gerakannya tidak mencip-takan ‘pembeda’ melainkan ‘penanda’ dalam tubuhNU. Penanda tidak menimbulkan demarkasimendasar, justru membangun peluang untukmelakukan perjuangan hegemonik.

“Kalau dikatakan alternatif bisa sebenarnya.Keinginannya mendorong struktural juga un-tuk melakukan masukan atau kritik. Maka,sekarang bagaimana berusaha membagikan apayang diusung oleh front ke struktural agarmenyambung”. (Komunikasi denganMuchamad Muslich, 18 Februari 2019).

Lantas berkaitan dengan ketidakpuasan kaummuda nahdliyyin terhadap NU struktural yangmenurut penelitian (Mubarok 2016, Nashirulhaq2017) sebagai salah satu latar belakang kelahiranFNKSDA perlu penjelasan lebih lanjut. Sebab fakta-fakta ‘objektif atau kasus material’ yang disikapikaum muda NU yang ternyata telah mengalamiperkembangan yang menjadi titik awal diben-tuknya FNKSDA. Lebih fair kemudian, bilamanamembaca lebih lanjut kondisi kaum muda NU,serta kondisi NU struktural dikaitkan dengan aspeksosial-politik yang lebih besar.

Page 95: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

91Asri W & Suparjan, Reaktualisasi Perjuangan Nahdlatul Ulama ... 84-98

2. Membaca Kondisi NU Struktural

Sebelum dideklarasikannya FNKSDA terdapatpertemuan dengan ketua PBNU K.H. Imam Aziz(Lembar Kerja FNKSDA 2013). Menurut Apriantomelalui K.H. Imam Aziz isu agraria bisa kembalimasuk menjadi perhatian PBNU (Luthf i 2018).Pada proses menuju deklarasi terdapat pemba-hasan mengenai posisi PBNU atas isu SDA. Pemba-hasan mengenai kesepakatan Munas Alim UlamaNU pada 2012 yang merekomendasikan padapemerintah atas urgensi renegosiasi perusahaan-perusahaan tambang masuk dalam rangkaiandiskusi sebelum deklarasi (Tebuireng Online 2013b).PBNU sesungguhnya telah memiliki beberapaketetapan terkait SDA sebelum diresmikannyaFNKSDA.

“Secara normatif fatwa-fatwa sudah ada sejakdahulu di NU, namun yang belum ialah terkaitsolidaritas”. K.H. Imam Aziz, Ketua PBNU, dalamMusyawarah Nasional II FNKSDA: MenegakkanDaulat Rakyat dalam Perjuangan Agraria,Demokrasi, dan Anti-Kapitalisme di Indonesia.

Pasca-reformasi beberapa fatwa terkait SDAtelah ditetapkan oleh PBNU. Di antaranya melaluiMuktamar NU ke 30 di Kediri 1999 yang membahasmengenai ‘hak atas tanah’ dan Munas Alim UlamaNU pada 2012 yang mendesak pemerintah untukrenegoisasi perusahaan-perusahaan tambang.Ketetapan-ketetapan tersebut merupakan kepu-tusan tertinggi yang tidak dapat dibantah dan harusdilaksanakan mulai dari PBNU hingga ranting NU.

“Muktamar itu kurang besar apa. Muktamar su-dah tidak ada yang bisa membantah. Kiai, Gus-gus, siapapun itu tidak bisa membantah”. (Ko-munikasi dengan K.H. Imam Aziz, 6 Februari2019).

Keputusan dalam muktamar maupun munasalim ulama NU diserahkan kepada negara sebagairekomendasi maupun ‘desakan’ untuk berbagaikebijakan. Rekomendasi-rekomendasi NU berang-kat pula dari justif ikasi nilai-nilai keagamaan da-lam proses penetapannya. Meskipun tidak sedikitrekomendasi-rekomendasi tersebut yang diabaikanoleh negara. Realitas kondisi politik yang lebihbesar atas kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak

pada masyarakat ‘akar rumput’ ditampilkan.Padahal PBNU dalam beberapa persoalan SDAsesungguhnya turut andil, akan tetapi situasi sosial-politik yang lebih besar berpengaruh.

“Jadi tanah-tanah HGU yang dipakai adabatasannya, sekarang ini entah berapa tahun.Itu sudah tidak boleh dipakai lagi yang untukperkebunan sawit. Nanti kalau habis, itu reko-mendasi NU, tidak usah perpanjang. Untukapa, bagikan pada rakyat”. (Komunikasi denganK.H. Imam Aziz, 6 Februari 2019).

Dengan demikian, kekecewaan atas NU struk-tural dapat dipahami sebagai ketidakpuasan atastidak adanya ‘solidaritas’ dalam lingkungan NU.Relasi struktural NU tidak selalu dipahami vertikal.Antara pusat dengan cabang-cabang kadang kalamemiliki ketetapan yang berbeda. Persoalan diberbagai daerah merupakan bagian dari tanggungjawab cabang. Ketika polemik terkait SDA terjadi,realitasnya tidak sedikit cabang-cabang maupunNU setempat yang abai atas ketetapan tertinggi yangdisepakati dalam PBNU.

“Kita tetap berusaha supaya ada payung hukumagamanya. Jadi bukan soal untung-rugi, tapipahala dan dosa. Kalau untung-rugi undang-undang negara bisa dipakai, ini soal dosa danpahala. Kalau membela rakyat itu pahala (…)orang-orang ‘itu’ tidak paham”. (Komunikasidengan K.H. Imam Aziz, 6 Februari 2019).

3. Kompatibilitas Kategori PerkembanganPemikiran Kaum Muda NU MenujuGerakan

Pemahaman perkembangan pemikiran kaummuda NU dalam kenyataannya tidak homogen.Perubahan pemikiran kaum muda NU yangberlangsung mulai kurun waktu 1970-an sebagaicara baru untuk mengkritisi Orde Baru, pada saatyang sama menurut (Murtadho 2015) tidak sedikitpemikir-pemikir islam saat itu yang terseret padagagasan pembangunan yang developmentalistik.Ditampilkan dan dikaitkan dengan kemunculankritik pada van Bruinessen yang tidak dapat memi-lah gagasan-gagasan pemikir islam, yang cenderungpada liberal modernis dan islam emansipatorismisalkan (Al-Fayyadl 2015). Sehingga makna

Page 96: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

92 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

perubahan pemikiran kaum muda NU pada kurun1970-an belum ‘clear’ yang mana kategori pemikiranislam yang sesuai dengan semangat perjuangan‘masyarakat sipil’.

Pemikiran ‘kiri islam’ oleh Hassan Hanafi yangbermakna pembebasan dari ketertindasan ataubersifat emansipatoris sangat berbeda denganpemikiran islam liberal (Misrawi 2002, Al-Fayyadl2015). Keduanya bertendensi pembebasan, namunkiri islam menghendaki ‘transformasi kesadaranindividual menuju tindakan kolektif’. ‘Islam liberalyang selalu memosisikan diri melawan tradisicenderung bersifat elitis’ (Misrawi 2002). Islam lib-eral dapat terjebak pada tataran liberal ekonomi,akibat ‘pembebasan’ berada ranah cara berpikir.

Selain itu, islam liberal meletakkan demokrasidan pluralisme sekadar tujuan dari perubahan(Misrawi 2002). Sedangkan kiri islam melampauidaripadanya, melalui kritisisme tradisi yang bersifatkaku, dapat dilakukan transformasi sosial. Berang-kat dari hal tersebut perubahan pemikiran kaummuda NU yang sesungguhnya berupa proses ‘libe-rasi agama’ terbagi atas dua kubu yakni kalanganislam liberal dengan terbentuknya Jaringan IslamLiberal (JIL). Serta, kalangan post-tradisionalismeyang berkehendak mempertanyakan tradisi namunsecara simultan menggunakan pula tradisi sebagaiperjuangan, ditunjukkan dengan kemunculanLakpesdam NU, LKiS, dan lainnya (Bisri 2012).

Baik islam liberal maupun post-tradisionalismeskipun bertendensi pada pemikiran islam yangmembebaskan namun tetap memiliki demarkasiyang mendasar. ‘Islam liberal orientasinya lebihpada dataran makro-struktural, tapi post-tradisio-nalis lebih berorientasi pada pemberdayaan masya-rakat dengan gerakan emansipatorisnya’ (Bisri 2012,1). Sangat sukar mengatakan FNKSDA sebagaipertalian dari perkembangan pemikiran darikalangan post-tradisionalis, sebab beragamnyapemikiran kaum muda NU pasca-reformasi.

Akan tetapi, menilik agen-agen di awal berdi-rinya FNKSDA dapat ditemukan peran di antaranyaLakpesdam, LKiS—yang memperkenalkan kiriislam, dan lainnya. Melibatkan pula K.H. ImamAziz yang merupakan salah satu pendiri LKiS.Selain itu, jika dikembalikan pada pencarian atas

wacana pemikiran islam yang berhadapan denganhegemoni Orde Baru dengan model pem-bangunannya yang developmentalistik. Selarasdengan alternatif pembangunan pasca runtuhnyaOrde Baru berupa ‘pemberdayaan masyarakat’(Widayanti 2012). Maka, FNKSDA kompatibeldengan gagasan kalangan post-tradisionalis sejakawal, yang menekankan pentingnya pengembalianperan masyarakat sipil agar memiliki kekuatan dandaya tawar seimbang dengan negara. Sesuai dengangagasan pemberdayaan masyarakat turunan dariperspektif anti-developmentalisme, yang salahsatunya menghendaki dibangunnya ‘gerakanmassa’.

Berbeda dengan perkembangan makna pem-berdayaan masyarakat sebagai antitesis pem-bangunanisme Orde Baru, yang nyatanya terseretpula arus developmentalisme dengan munculnyaprogram-program pembangunan dari negaramisalkan PNPM (Program Nasional PemberdayaanMasyarakat) dan pendanaannya disokong lembagaf inansial global seperti Bank Dunia. Sehinggamuncul model pemberdayaan masyarakat melaluipraktik community driven development, communitybased development, dan lainnya (Widayanti 2012).Pemberdayaan masyarakat turunan dari perspektifdevelopmentalisme menuntut masyarakat sesuaidengan struktur.

Sedangkan sifat dari pemberdayaan masyarakatyang anti-developmentalisme menghendaki ter-bangunnya gerakan yang melawan ‘sistem’. Akardari ketidakberdayaan adalah ‘sistem’ yangmenindas, sehingga berkehendak menciptakanyang disebut Faqih berupa ekonomi tanpa eksploi-tasi, politik tanpa represi, dan budaya tanpa hege-moni (Mushoffa 2015, Widayanti 2012). Sejalandengan proses transformasi sosial menurut HassanHanaf i, yakni setelah melakukan pembacaan‘kritis’ tradisi-tradisi (Misrawi 2002).

“FNKSDA adalah eksperimen atau penerje-mahan dari teologi pembebasan, mengapamasuknya agraria. Alasan pertama, sebagai lan-dasan pembangunan, tidak mungkin melaku-kan pembangunan kalau belum ada land re-form, apapun bentuk land reform. Kalau yangdiperjuangakan ini populistik. Orang NU tidak

Page 97: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

93Asri W & Suparjan, Reaktualisasi Perjuangan Nahdlatul Ulama ... 84-98

perlu khawatir, ini bukan reforma agrariaMarxistis.” (Komunikasi dengan Roy Murtadho,19 Februari 2019).

Merujuk pada penjelasan tersebut produksiformasi hegemoni melalui ekuivalensi kembalidiciptakan. Ditunjukkan pada pemaknaan ‘agamadalam bentuk yang tradisional hanyalah sebuahilusi, namun jika ditampilkan dalam bentuk yangmembebaskan dapat menjadi kekuatan yangmengagumkan’ (Engineer et al. 1999, 3). Melam-paui dari sekadar tradisi berupa ibadah misalkan,dan menegaskan kembali tugas profetik agamasebagai kekuatan pembebasan dari ketertindasan,agama kemudian melekat pada yang material.Pemahaman agama yang lekat pada ‘yang mate-rial’ dapat menjahit realitas kondisi sosial-politikyang ada.

Gerakan FNKSDA memosisikan diri sebagaigerakan progresif yang berangkat dari ajaranagama dengan tujuan membebaskan nahdliyyindari ketertindasan sistemik. Digambarkan padakegiatan FNKSDA seperti istighosah akbar bersamawarga yang dirampas ruang hidupnya di Kendeng,Kebumen, Kulon Progo dan lainnya. Bentuk-bentukkegiatan lain di antaranya Pesantren Agraria, NgajiEkologi Politis, Ngaji Agraria. Muncul pula pema-haman atau ajaran keagamaan yang lekat denganaspek sosio-ekologis seperti f iqh lingkungan, sho-lawat marhaen, sholawat anti-oligarki, dan lainnya.

Di sisi lain, FNKSDA hadir sebagai gerakan yangsekaligus meradikalisasi ‘demokrasi’. Pada dina-mika demokratisasi, ditandai peristiwa reformasiyang berupaya meruntuhkan yang disebut (Al-Fayyadl 2015) sebagai ‘oligarki terbatas yangdibangun oleh kapitalisme negara’ yaitu Orde Baru,nyatanya belum tercapai. Demokrasi bercorakpopular sovereignty yang diharapkan justru terceburpada sistem demokrasi yang liberal. Itu mengapademokrasi perlu diradikalisasi (Mouffe 2000).

Kapitalisme maju sebagai lawan dari perjuangandemokratik baru tengah dihadapi (Laclau & Mouffe1985). ‘Efek demonstrasi’ sebagai praktik demok-ratisasi hanyalah ‘restrukturasi kapital’. Pemerin-tahan Orde Baru yang otoritarian dengan tata kelolapemerintahannya yang sentralistik pasca-demok-ratisasi memang telah runtuh. Digantikan dengan

tata kelola pemerintahan yang desentralistik.Namun, sistem demikian nyatanya hanya melang-gengkan ‘oligarki terbatas’ menjadi ‘oligarki kolek-tif’ melalui demokrasi elektoral (Maimunah 2019).Relasi antara politik dan pebisnis tambang misal-kan, sebagai salah satu realitas ‘oligarki’ tidak hanyaberada di lingkup pemerintah pusat seperti yangdibangun Orde Baru bersama jaringan bisnisnya.Namun, penyerahan kewenangan kebijakan kepadapemerintah daerah berimplikasi atas perluasanrelasi antara politik dengan pebisnis di daerah-daerah.

Sehingga dalam konteks kapitalisme maju yangsalah satunya digambarkan dengan kemunculanoligark-oligark1, Roscher memiliki pemahamanbahwa ‘alam’ menghasilkan berbagai sumber dayayang ‘bernilai’, namun ‘nyaris tidak bernilai tukar’(Marx 2004). Maka, kasus objektif seperti peram-pasan dan perusakan lahan hijau seluas kuranglebih 900 ha untuk kepentingan penambanganemas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, yang melibat-kan pula anak perusahaan dari birokrat sekaliguskorporat Sandiaga Uno (FNKSDA 2018a). Realitastersebut ialah salah satu bentuk kapitalisme maju.

Kapitalisme maju tidak hanya berada padadataran relasi produksi internal di pabrik-pabrikyang digambarkan oleh Marx. Namun berkelindandalam struktur sosial dan politik (Laclau & Mouffe1985). Dikaitkan dengan ‘eksploitasi alam’, ketikaSDA dikeruk, menurut Roscher pada tindakanitulah nyaris tidak ada ‘nilai tukar’ untuk mengam-bil hasil alam atau tidak terdapat nilai tukar yangsebanding (Marx 2004). Saat SDA digunakan olehmasyarakat khususnya petani, terdapat prosespemanfaatan alam sekaligus pelestarian atas ‘nilai’.Sementara, ketika lahan ‘dilipatgandakan nilaikapitalnya’ pada kurun temporer dengan diambilhasil alamnya untuk kepentingan pertambangan.Implikasinya berupa kehancuran atas nilai dari SDA

1 Rilis (JATAM 2019) dan (Siti Maimunah 2019) me-nunjukkan kaitan Oligarki Tambang di Balik Pemilu 2019,kedua pasangan calon dalam Pilpres 2019 berkaitandengan para pebisnis tambang dan mendapatkan danakampanye dari para pebisnis tersebut.Dirilis pula nama-nama segelintir oligark yang menguasai industri ekstraktifdi Indonesia hingga ke daerah-daerah.

Page 98: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

94 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

yang selayaknya dilestarikan. Sedangkan kegiatanpenambangan hanya mengambil ‘nilai’ dari SDA,namun tidak memiliki mekanisme ‘melestarikannilai’.

Di sisi lain, berkenaan dengan kondisi sosial-politik yang seharusnya lebih demokratis dengancorak demokrasi popular sovereignty atau kedau-latan rakyat. Realitas yang terjadi justru terseretkonteks ‘kedaulatan’ seluas-luasnya, khususnya ataskepemilikan SDA yang dikuasai segelintir oligark.Alternatif pembangunan yakni ‘pemberdayaanmasyarakat’ yang diturunkan dari perspektif anti-developmentalisme belum menemukan titik temu,sebab rancangan pembangunan dari negara masihmengacu ‘pertumbuhan ekonomi’. Ditunjukkanpada upaya pemerintahan presiden Susilo BambangYudhoyono melalui MP3EI (Master Plan PercepatanPembangunan Ekonomi Indonesia) misalkan, yangdidorong demi ‘percepatan pertumbuhan ekono-mi’, yakni melalui ‘energi’ untuk industri. Akhirnya,jika ditarik pada konflik-konflik SDA di tingkatlokal, sebetulnya hanya ekses dari MP3EI (LembarKerja FNKSDA 2013). Maka, FNKSDA muncul danbertindak mengisi kekosongan atas tidak adanyaalternatif gerakan pada persoalan yang komplekstersebut.

“Orang saling tahu sekarang ini korban tiga kali:korban politik, reformasi, dan korban tidakadanya alternatif di zaman reformasi”. (Komu-nikasi dengan Roy Murtadho, 19 Februari 2019).

D. Hegemonic Struggle: FNKSDA sebagaiGerakan dengan Identitas Massa

Bersamaan dengan dideklarasikannya FNKSDApada 8 Desember 2013 di Jombang, ditentukan‘sikap’ awal FNKSDA. Di situlah formasi-formasihegemoni ‘jelas’ ditampilkan. Melalui ‘ResolusiJihad Jilid II: Mempertahankan Tanah Air dariRongrongan Kapitalisme Ekstraktif’, FNKSDAmenyerukan kepada pertama negara, kedua PBNU,dan ketiga nahdliyyin serta warga negara secarakeseluruhan untuk mempertahankan tanah air darirongrongan kapitalisme ekstraktif.

Ketiga ranah tersebut adalah ‘formasi’ di manaFNKSDA dapat berjuang berhadapan dengan segalabentuk kapitalisme maju khususnya ‘kapitalisme

ekstraktif’. Pada hegemonic struggle yang palingmenentukan dalam perjuangan melawan kapitalis-me adalah tidak tunggalnya formasi hegemoni.Ditunjukkan pada posisi FNKSDA yang tetap bagiandari NU namun berupaya mendorong NU struk-tural demi pembebasan nahdliyyin dari bencanaekologis akibat kapitalisme ekstraktif.

Pasca diresmikannya FNKSDA, dapat ditelusuridalam PBNU telah ditetapkan dua kesepakatanbesar terkait SDA pertama, Muktamar NU ke-33tahun 2015 yang dilaksanakan di Jombang yangmembahas mengenai SDA (PBNU 2015). Eksploi-tasi terhadap SDA di Indonesia adalah haram(Alhafiz 2015). Saat proses muktamar dilaksanakan,kaum muda nahdliyyin menyelenggarakan Musya-warah Besar Kaum Muda NU. Pembahasan dalammusyawarah tersebut di antaranya ‘Politik Agrariadan Konflik SDA’, yang mana FNKSDA berperandalam berjalannya diskusi. Keseluruhan hasil disku-si diserahkan ke PBNU untuk ditindaklanjuti dalamMuktamar.

Selain itu kedua, Konferensi Besar dan MunasAlim Ulama NU di Lombok tahun 2017 yang khususmembahas terkait isu keumatan, tidak sepertimuktamar di mana terdapat agenda pilih-memilihpengurus, menjadikan ‘Reforma Agraria’ sebagaisalah satu prioritas kajian (PBNU 2017).

“Jadi keputusan NU yang luar biasa itu soalreforma agraria. Pemerintah harus menguta-makan, dengan skema apapun, bagi kelompok-kelompok miskin. Maka misalkan, kalau hutanatau apapun direncanakan untuk membuatpabrik, atau apa, yang diutamakan rakyat dulu”.(Komunikasi dengan K.H. Imam Aziz, 6 Februari2019).

Selain keputusan di tingkat pengurus besar, didaerah-daerah tetap didorong agar ketetapannyasejalan dengan keputusan di PBNU. Diwujudkanpada langkah FNKSDA Jember, PCNU Jember,PMII Jember, PWNU Jatim serta Bupati JemberFaida, bersama-sama menuntut pencabutan SKKementrian ESDM NO 1802 K/30/MEM/2018 yangmana terlampir wilayah izin usaha pertambangan(WIUP) emas blok Silo (FNKSDA 2018b). Melaluisidang non litigasi majelis pemeriksa sidang memu-tuskan perlunya pencabutan keputusan Menteri

Page 99: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

95Asri W & Suparjan, Reaktualisasi Perjuangan Nahdlatul Ulama ... 84-98

ESDM tersebut (Zuhro dan Hakim 2019).Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jember pada

November 2018 mengambil sikap denganmenetapkan fatwa ‘haram’ penambangan emas diblok Silo, yang akan menggunakan 4000 ha lebihlahan (NU 2019). Di mana lahan tersebut terancamrusak dan tidak dapat digunakan untuk pertanianjika penambangan tetap digulirkan. Pada keber-hasilan perjuangan tersebut ditemukan wujud tidaktunggalnya formasi hegemoni. Dalam perjuanganatas sumber daya agraria terdapat dorongan lang-sung dari mayoritas nahdliyyin di Silo, upayapengurus NU setempat, serta dorongan dari peme-rintah kabupaten yang berpihak dan dapat me-nangkap suara penolakan dari masyarakat Silo.

Kecanggihan gerakan beridentitas massa punditampilkan (Laclau & Mouffe 1985, Escobar &Alvarez 2018). Identitas massa yang ditunjukkanpada FNKSDA tentu berbeda dengan gerakanidentitas massa pada tradisi gerakan sosial lamayang mengistimewakan identitas ekonomi seperti:kelas buruh, kelas petani, dan lainnya. FNKSDAjuga merupakan gerakan beridentitas massa namunstrategi perjuangannya bersifat hegemonik. Haltersebut dapat dipahami bilamana menilik agen-agen pertama yang berperan dalam kelahiranFNKSDA. Agen-agen selain sebagai jam’iyahataupun jama’ah NU, mereka juga merupakanakademisi, peneliti, kiai, santri, dosen, geolog,penulis, seniman, dan sebagainya. Namun kemu-dian melalui ‘deklarasi’, telah dilalui ‘enumerasi’.

Enumerasi yang berfungsi untuk menyebutkanmakna suatu kelas seperti kelas buruh, kelas petani,dan lainnya, pada tradisi perjuangan demokratikbaru dipakai untuk memahami ‘keragaman’ darisubyek-subyek (Laclau & Mouffe 1985). Dikaitkandengan kondisi kaum muda nahdliyyin saat ini yangtelah mengalami perkembangan pemikiran danberimbas pada beragamnya isu-isu yang digelutinahdliyyin seperti kebhinekaan, pluralisme,toleransi, dan sebagainya (Nashirulhaq 2017). Meni-lik pula kantong-kantong nahdliyyin di perdesaanatau pinggiran, yang mana kondisi sosio-ekolo-gisnya telah berubah. Dijelaskan Tjondronegorobahwa telah terjadi perubahan pembangunanpertanian Indonesia dimulai pada Orde Baru.

Ditandai pada loncatan perubahan sistem menujumodernisasi pertanian, tanpa perubahan strukturagraria. Di sisi lain, menguntungkan dalam pening-katan produksi pertanian, namun lebih banyakyang menikmatinya hanya petani kaya, sedangkanpetani kecil dan buruh tani semakin terdesak dandirugikan (Hüsken 1998).

Maka ditunjukkan bahwa antagonisme padadataran kelas dan antagonisme dataran massamenjadi berbeda, itu mengapa ‘enumerasi’ tetapperlu dilakukan. Implikasinya adalah gerakanFNKSDA tampil sebagai organ terbuka yang ber-identitas massa, namun strategi perjuangannyabersifat hegemonik. Serta identitas politiknya lebihmenonjol, daripada identitas ekonominya yangsebetulnya samar (Laclau & Mouffe 1985). SehinggaFNKSDA memang tidak memimpin langsung‘kelas’ namun berfungsi memperkuat identitaskelas, dan tetap dapat berjuang pada ‘dataran kelas’.

“Orang-orang kebumen banyak yang tahu,mereka merasa ikut mendirikan (…) ada sejarahfront di situ. Kebumen paling terjaga karena adafront di dalamnya. Jadi, mereka merasa frontadalah organisasi terbaik untuk mereka kedepannya, ada kegiatannya, dan merasa ditanyaterus. Sehingga mereka tetap aktif sampaisekarang.” (Komunikasi dengan BosmanBatubara, 14 Februari 2019).

Selain itu, identitas ‘nahdliyyin’ yang dipahamitidak sekadar literal melainkan kontekstual men-jadi ‘identitas politik’ sah-sah saja digunakan. Kon-disi saat ini menggambarkan wujud dari ‘budayadan identitas politik baru’ pada nahdliyyin yangingin dibangun pasca keputusan NU kembali kekhittah 1926.

“NU sebetulnya didirikan untuk kepentingankemaslahatan umat. Dulu yang kita tentangpenjajah, sekarang pemerintah sendiri, tetapicara-cara kerjanya seperti penjajah. Kompeni-kompeni yang kita tentang. Kalau masih di NUmestinya harus paham. NU didirikan untukkepentingan masyarakat. Selama ada hal-halyang tidak sejalan dengan kehidupan masya-rakat, kita pasti akan menentang”. (Komunikasidengan K.H. Imam Aziz, 6 Februari 2019).

Gagasan Melluci yang hanya melihatkemunculan gerakan sosial yang selalu terkait

Page 100: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

96 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

dengan aliran sejarah terdahulu, tanpa melihatkarakter, dan orientasi kolektif yang berubahterpatahkan (Escobar & Alvarez 2018). Sebabantagon nahdliyyin saat ini adalah segala bentukkapitalisme khususnya ‘kapitalisme ekstraktif’.Perjuangan yang diusung FNKSDA untuk mewu-judkan kedaulatan SDA lebih luas lagi cakupanisunya, daripada soal-soal lahan ataupun pertanianyang diperjuangan Pertanu pada masa Era Sukarno.Begitu pula dengan kaum muda NU yang telahmengalami perkembangan, sebab secara simultanNU juga telah memiliki arah gerak politik yangberbeda. Gerakan FNKSDA hadir pada kondisi-kon-disi ‘khusus’ yang tidak dialami oleh NU sebe-lumnya.

“Yang dimusuhi kita sebenarnya adalah sistemkapitalisme yang didekatkan dengan Marx,barangkali tidak. Ini NU, karena kesadaran. Iniwabah yang menggerogoti masyarakat-masya-rakat Indonesia, khususnya orang-orang ping-giran, lagi-lagi orang-orang NU”. (Komunikasidengan Odent Muhammad, KoordinatorDaerah FNKSDA Yogyakarta, 18 Februari 2019).

Gerakan FNKSDA lebih leluasa untuk berje-jaring di daerah-daerah, melalui ‘identitas barupolitiknya’. Serta lebih luwes membangun sosiabi-litasnya. Sehingga terciptalah relasi-relasi denganbanyak organ di antaranya WALHI, LBH, Kontras,Kristen Hijau, JATAM, dan organ lainnya, yangdimanifestasikan pada pelaksanaan kegiatanbersama seperti diskusi, sekolah, pernyataan sikap,dan sebagainya. Meskipun FNKSDA mengusungidentitas nahdliyyin, namun agenda-agendanyatetap beragam. Ditampilkan pada orientasi atausebutan gerakannya sebagai gerakan ekologi, anti-developmentalisme, anti-kapitalisme, bahkanteologi pembebasan.

Tugas dari gerakan selanjutnya ialah terusmembangun aliansi, menciptakan aktor baru,bahkan pada tindakan yang lebih radikal terhadapdemokrasi adalah bertransformasi menjadi ‘partai’(Laclau & Mouffe 1985). Menelusuri rilis sikap parasantri di antaranya dari FNKSDA yang menyatakangolput pada perhelatan pemilu 2019, serta menyu-arakan perlunya membangun ‘politik alternatif’(Aff iat 2019). Potensi berupa terciptanya ‘partai’

ditampilkan. Perjuangan FNKSDA pada kondisiyang selayaknya lebih demokratis ini berada padakoridor demokrasi bercorak popular sovereignty.

Sehingga, “Sudah 22 di seluruh Indonesia.Sampai Maluku, Batam, dan itu organisasi yangdibiayai sendiri. Organisasi muncul, aktor mun-cul, agenda muncul”. (Komunikasi dengan DwiCipta, Pegiat FNKSDA, 29 Januari 2019).

Namun, terdapat tantangan yang biasanyadihadapi oleh gerakan dengan identitas massasebab perannya dalam hegemonic struggle se-sungguhnya ‘eksterior’ (Laclau & Mouffe 1985).Hegemoni bersifat semu atau parole, sedangkan‘kelas’ seperti petani ‘nyata atau langue’. Perjuanganhegemoni dapat menguatkan identitas kelas,namun kemudian muncul salah satunya berupakegamangan ‘siapa pemimpin dan yang dipimpin’.Peran FNKSDA adalah mendorong ‘identitas kelas’melalui relasi hegemoni yang dibangunnya. ‘Peranpemimpin’ jika dalam FNKSDA disebut ‘koordina-tor nasional’ krusial untuk terus berperan mengu-atkan hubungan dengan komite di daerah-daerah.Serta perlu memiliki pengetahuan luas atas kondisi‘kelas’ yang nyata di akar rumput.

Selain itu, suatu gerakan ekologi mengira akanstagnan mengusung identitasnya (Laclau & Mouffe1985). Padahal identitas tercipta dari proseskonstruksi diskursif. Identitas dapat dimodif ikasimelalui ekuivalensi di mana formasi hegemoni di-bangun. Sehingga sosiabilitas gerakan demi mem-perluas ‘aliansi’, bukan hanya digunakan sekadarmenjalin ‘relasi’. Melampauinya, jika berani lebihradikal ialah memodifikasi identitas dari kekuatanyang terlibat dalam aliansi. Sehingga perjuangannahdliyyin melawan antagon berupa kapitalisme,tidak terlepas dari perjuangan progresif lain yangberbeda.

E. Kesimpulan

Kasus-kasus perampasan ruang hidup, ketim-pangan kepemilikan SDA, dalam bingkai lebihbesarnya yakni kapitalisme maju khususnyakapitalisme ekstraktif telah menimpa nahdliyyindi berbagai daerah. Hal tersebut disikapi kaummuda nahdliyyin yang ternyata telah mengalamiperkembangan, tidak hanya melayangkan kritik

Page 101: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

97Asri W & Suparjan, Reaktualisasi Perjuangan Nahdlatul Ulama ... 84-98

pada pemerintah khususnya Orde Baru saat itu.Namun telah menginisiasi terbangunnya gerakanFNKSDA pada 2013. Diusungnya isu kedaulatanSDA menunjukkan perluasan masalah agraria tidakhanya terkait lahan dan pertanian yang diatasi NUpada masa Era Sukarno dengan membentuk Perta-nu yang bergerak melalui struktural NU dan memi-liki banyak cabang.

NU saat ini telah memiliki arah gerak politikberbeda, bukan lagi organisasi politik namun orga-nisasi kemasyarakatan. Kaum muda NU yang telahmengalami perkembangan pemikiran juga berim-bas pada ‘keragaman’ isu yang digeluti oleh kaummuda nahdliyyin saat ini. Oleh karena itu, kemun-culan gerakan FNKSDA merupakan satu historisbaru dalam tubuh NU. Meskipun berjuang melaluinon-struktural, namun menunjukkan watak politikprogresif NU melalui ‘budaya dan identitas barupolitiknya’. FNKSDA tidak berjuang melalui NUsebagai ‘partai politik’ melainkan ‘meradikalisasidemokrasi’. FNKSDA berada pada koridor perju-angan demokrasi bercorak popular sovereignty.Tujuannya ialah membebaskan nahdliyyin danmasyarakat lebih luas dari ketertindasan sistemikyang ditengarai antagon gerakan saat ini berupakapitalisme maju khususnya kapitalisme ekstraktif.FNKSDA tampil sebagai gerakan identitas massayang sifat perjuangannya hegemonik. Artinya tidakmemimpin langsung ‘kelas’, namun menguatkanidentitas kelas.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam riset danpenulisan artikel ini. Khususnya kepada kawan-kawan FNKSDA yang telah menjadi ruang belajarbaru yang nyaman, menarik, dan menantang bagipenulis.

Daftar Pustaka

Aff iat, RA 2019, ‘Pilpres 2019, konsolidasi, danrekonfigurasi kelas kapitalis-Islam bergerak’,diakses 21 April 2019, <https://islamber-gerak.com/2019/04/pilpres-2019-konsolidasi-dan-rekonfigurasi-kelas-kapitalis/>.

Alhaf iz, K 2015, ‘PBNU haramkan eksploitasisumber daya alam di Indonesia’, NU Online,diakses 23 Maret 2019, <http://www.nu.or.id/post/read/59422/pbnu-haramkan-eksploitasi-sumber-daya-alam-di-indonesia>.

Alvarez, SE 2018, Cultures of politics/politics of cul-tures: revisioning Latin American social move-ments, Routledge.

Bisri, AM 2012, ‘Dialektika pemikiran Islam kon-temporer’, Akademika, vol. 6.

Burhani, AN 2016, Muhammadiyah berkemajuan:pergeseran dari puritanisme kekosmopolitanisme, Mizan, Bandung.

Engineer, AA, Prihantoro, A, & Ud, M 1999, Islamdan teologi pembebasan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta.

Escobar, A & Alvarez, SE 2018, The making of socialmovements in Latin America: identity, strategy,and democracy, Routledge.

FNKSDA 2013, Tentang kami, diakses 7 Maret 2019,<https://daulathijau.wordpress.com/tentang-kami/>.

FNKSDA 2018a, ‘Pernyataan sikap front nahdliyyinuntuk kedaulatan sumber daya alam Sume-nep terhadap rencana kedatangan SandiagaS. Uno di Sumenep, diakses 21 Maret 2019,<https://daulathijau.wordpress.com/2018/09/27/pernyataan-sikap-front-nahdliyin-untuk-kedaulatan-sumber-daya-alam-sumenep-terhadap-rencana-kedatangan-sandiaga-s-uno-di-sumenep/>.

FNKSDA 2018b, ‘Aksi warga Silo Jember menolakpertambangan emas’, diakses 23 Maret 2019,<https://daulathijau.wordpress.com/2018/12/10/aksi-warga-silo-jember-menolak-pertambangan-emas/>.

Hüsken, FAM 1998, Masyarakat desa dalamperubahan zaman: sejarah diferensiasi sosial diJawa, 1830-1980, Gramedia Widiasarana In-donesia (Grasindo), Jakarta.

JATAM 2019, ‘Oligarki tambang di balik pemilu2019’, diakses 26 Maret 2019, <http://www.jatam.org/2019/02/11/oligarki-tambang-di-balik-pemilu-2019/>.

Laclau, E & Mouffe, C 1985, Hegemony and social-ist strategy: towards a radical democratic poli-

Page 102: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

98 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

tics, Verso, London.Lembar Kerja FNKSDA, F 2013, ‘Lembar kerja

FNKSDA’.Luthfi, AN 2018, ‘Sejarah dan revitalisasi perjuangan

pertanian Nahdlatul Ulama melawan ketidak-adilan agraria’, BHUMI: Jurnal Agraria dan Per-tanahan, vol. 3, no. 2, hlm. 145–159.

Maimunah, S 2019, Rezim ekstraksi, oligarki danlubang tambang, diakses 26 Maret 2019,<http://www.jatam.org/2019/03/20/rezim-ekstraksi-oligarki-dan-lubang-tambang/>.

Marx, K 2004, Kapital, sebuah kritik ekonomi politik,buku I: proses produksi kapitalis secara menye-luruh, Hasta Mitra, Jakarta.

Misrawi, Z 2002, ‘Post tradisionalisme Islam: dariteologi teosentrisme menuju teologiantroposentrisme’, Millah: Jurnal Studi Agama,UII, vol. 2, no. 1, hlm. 22–36.

Mouffe, C 2000, The democratic paradox, verso.Mubarok, AFS 2016, Gerakan sosial lingkungan

pemuda NU: studi pada front nahdliyyin untukkedaulatan sumber daya alam (FNKSDA),Universitas Gadjah Mada.

Muhammad Al-Fayyadl 2015, Apa itu Islamprogresif?s, diakses 17 Maret 2019, <https://islambergerak.com/2015/07/apa-itu-islam-progresif/>.

Murtadho, R 2015, Gus Dur dan Marxisme-Leni-nisme, diakses 23 Januari 2019, <https://indoprogress.com/2015/09/gus-dur-dan-marxisme-leninisme/>.

Mushoffa, I 2015, Apa yang progresif dari Islamprogresif?, diakses 20 Maret 2019, <https://islambergerak.com/2017/06/apa-yang-progresif-dari-islam-progresif/>.

Nashirulhaq, M 2017, ‘Perjuangan ekonomi-politikgenerasi muda Nahdlatul Ulama (NU): Studiatas Front Nahdliyyin untuk KedaulatanSumber Daya Alam (FNKSDA)’, Skripsi padaFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UINSyarif Hidayatullah.

NU 2019, ‘NU Jember haramkan tambang emasBlok Silo’, diakses 23 Maret 2019, <http://www.nu.or.id/post/read/101299/nu-jember-haramkan-tambang-emas-blok-silo>.

PBNU 2015, ‘Hasil-hasil muktamar ke-33 NU’.PBNU 2017, ‘Hasil musyawarah nasional alim ulama

konferensi besar NU 2017’.Tebuireng Online 2013a, Resolusi Jihad jilid II,

diakses 8 Maret 2019, < h t t p s : / /tebuireng.online/resolusi-jihad-jilid-ii/>.

Tebuireng Online 2013b, Halaqah FNKSDA jihadmelawan kapitalisme ekstraktif, viewed 5Maret 2019, <https://tebuireng.online/halaqah-fnksda-jihad-melawan-kapitalisme-ekstraktif/>.

Torfing, J 1999, New theories of discourse, BlackwellPublishers, Oxford.

Widayanti, S 2012, “Pemberdayaan masyarakat:pendekatan teoritis,” Welfare Jurnal Ilmu Kese-jahteraan Sosial, vol. 1, no. 1.

Zuhro, A.Z; Hakim, R 2019, ‘Perjuangan berhasil,kementerian ESDM harus cabut keputusanwilayah izin tambang Blok Silo’, diakses 23Maret 2019, < h t t p s : / /www.mongabay.co.id/2019/01/11/perjuangan-berhasil-kementerian-esdm-harus-cabut-keputusan-wilayah-izin-tambang-blok-silo/>.

Page 103: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

99Amir Mahmud, Rekonsruksi Pemikiran Sajogyo tentang Kemiskinan ... 99-111

REKONSTRUKSI PEMIKIRAN SAJOGYO TENTANG KEMISKINAN DALAMPERSPEKTIF AGRARIA KRITIS

RECONSTRUCTION OF SAJOGYO’S POVERTY THOUGHT IN CRITICALAGRARIAN PERSPECTIVES

Amir MahmudSajogyo Institute, Bogor

Email: [email protected]

Abstract: This article analyses the emergence of Sajogyo’s thinking of poverty, and poverty in a critical agrarianperspective under the dominances of off icial poverty knowledge and agricultural development. The study wascarried out through combination of textual and contextual data analysis. The results show that based on hissensitivity of agrarian background and framework, Sajogyo argues that poverty was formed by social relationsinequality in the process of socio-historical and geographical construction. The concepts/terms used by Sajogyoregarding poverty and agrarian are not neutral but partially or entirely contains analysis of critical agrarianperspective formation in accordance with the context. The poverty line and livelihood diversif ication are twosimple concepts to exemplify poverty as a consequence of chronic agrarian problems in agricultural develop-ment.Keyword: Sajogyo, critical agrarian perspectives of poverty, inequality of social relation

Intisari: Tulisan ini mengkaji munculnya pemikiran Sajogyo tentang kemiskinan, dan kemiskinan dalamperspektif agraria kritis di tengah dominasi pengetahuan kemiskinan secara resmi dan pembangunan pertanian.Kajian ini mengkombinasikan analisis data secara tekstual dan kontekstual. Hasil kajian menunjukkan bahwadengan sensitivitas pada latar dan kerangka keagrariaan, Sajogyo berargumen bahwa kemiskinan dibentuk olehketimpangan relasi sosial dalam proses konstruksi sosio-historis dan wilayah geograf is. Konsep/istilah yangdigunakan oleh Sajogyo terkait kemiskinan dan agraria tidak bersifat netral tapi sebagian atau keseluruhanmemuat analisis formasi perspektif agraria kritis sesuai dengan konteksnya. Garis kemiskinan dan nafkah gandamerupakan dua konsep sederhana untuk menunjukkan kemiskinan sebagai konsekuensi dari persoalan agrariayang kronis dalam pembangunan pertanian.Kata kunci: Sajogyo, kemiskinan perspektif agraria kritis, relasi sosial yang timpang

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: November 16, 2018; Reviewed: February 7, 2019; Accepted: Maret 15, 2019.

To cite this article: Mahmud, A 2019, ‘Rekonstruksi pemikiran Sajogyo tentang kemiskinan dalam perspektifagraria kritis’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 99-111.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.322

Copyright: ©2019 Amir Mahmud. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under a Creative Com-mons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

A. Pendahuluan

Ragam pihak di Indonesia menggunakan pengu-kuran kemiskinan dengan memakai pendekatanmoneter, non-moneter atau paduan keduanya;dengan satu dimensi atau multi-dimensi; dandisertai indikatornya. Badan Pusat Statistik (BPS)memakai pendekatan moneter disertai mema-

sukkan aspek non-moneter berupa kebutuhandasar (makanan dan non-makanan) (BPS 2008).Serupa dengan itu, Sajogyo pada tahun 1970-anmenyusun garis kemiskinan dengan pendekatanmoneter disertai memasukkan aspek non-moneter(kebutuhan pokok gizi) (Sajogyo 1977, dan BPS2008). Salah satu konsekuensi dari perbedaan

Page 104: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

100 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

tersebut, maka jumlah golongan miskin pun tidaksama. Dari total penduduk Indonesia 161.580 ribupada tahun 1984, BPS menyebut bahwa pendudukmiskin sebesar 21,64 % dengan rincian kota 21,18% dan desa 23,14 %. Dengan patokan garis kemis-kinannya, Sajogyo (1988) menilai bahwa pendudukmiskin sebesar 28,8 % di desa dan 20,5 % di kotapada tahun 1984. Dengan besaran jumlah penduduksaat ini pun, jumlah golongan miskin akan berbedadengan memakai dua pengukuran kemiskinan itu.

Garis kemiskinan Sajogyo di atas merupakansepenggal potret dari sekumpulan sudut pandang-nya mengenai kemiskinan. Sejauh ini pemikiranSajogyo tentang kemiskinan berakar dan bertalianerat dengan kajian keagrariaan. Penelitiannya dibidang agraria di pedesaan tidak hanya menem-patkan agraria sebagai objek kajian tapi agrariasebagai suatu kajian/perspektif agraria kritis.Perspektif kritis ini berpedoman bahwa kemiskinanbersifat relasional (Mosse 2007) dalam suatustruktur agraria. Relasi produksi dan sosial-budayaantar golongan petani dan ragam golongan “atasdesa” dalam struktur kemiskinan (Sajogyo 1992)sebagai sumber kemunculan dan dinamika go-longan miskin. Sejalan dengan perspektif ini pula,kemiskinan dipahami dalam konstruksi sosialhistoris dan geograf is. Sebab, keberadaan pusatpolitik, pusat perdagangan dan pusat tenaga kerjatelah mempengaruhi masyarakat petani (Sajogyo1992) sehingga menciptakan kemiskinan dalamrelasi kompetisi dan eksklusi pada suatu rentangwaktu tertentu, dan pada suatu ruang geograf isbeserta sumber agrarianya.

Sementara BPS, yang menentukan garis kemis-kinan secara resmi untuk pertama kali pada tahun1984, memandang kemiskinan sebagai suatumasalah yang kompleks dan bersifat multidimen-sional (BPS 2018), dan sebagai ketidakmampuanmemenuhi kebutuhan dasar (BPS 1999). Artinya,kemiskinan merupakan kondisi daripada konse-kuensi relasi yang timpang sehingga tidak mampumemenuhi kebutuhan dasar dan menjadi masalahyang kompleks. Melalui pandangan ini, kemiskinankerapkali diciptakan dan diproduksi ulang terma-suk melalui ragam program dan pembiayaannyadalam mengatasi kemiskinan.

Tulisan ini bertujuan untuk menggali dalamrangka menemukan urgensi dan relevansi pemi-kiran Sajogyo mengenai kemiskinan perspektifagraria kritis. Secara historis tidak dipungkuri bah-wa pemikiran Sajogyo tentang kemiskinan berkon-tribusi dalam mengisi kemandegan dan mewarnaiperdebatan diskursus kritis kemiskinan. Kajiannyaini berakar pada masyarakat petani dan pedesaanyang bersifat agraris, dan dengan suatu analisis yangkritis. Beranjak dari itu, pemikiran Sajogyo tentangkemiskinan melalui kerangka perspektif agrariakritis untuk menunjukkan kembali keeratan perso-alan agraria dan kemiskinan, dan untuk mema-dukan analisis kritis keduanya secara produktif.Sebab persoalan agraria dan kemiskinan seringkalidiulas secara terpisah dalam rilis resmi badanpemerintah. Pertanyaan dalam tulisan dimulai daribagaimana kemunculan dan perkembangan pemi-kiran kemiskinan Sajogyo, dan bagaimana kerang-ka konseptual Sajogyo dan analisisnya tentangkemiskinan dalam perspektif agraria kritis.

Kajian dalam tulisan ini dilakukan secara tekstu-al dan kontekstual. Secara tekstual, literatur yangdikaji berupa buku, makalah, artikel, laporanpenelitian, bab dalam buku, kata pengantar bukudan naskah lainnya baik karya tulis Sajogyo mau-pun karya tulis tentang Sajogyo yang penting danrelevan. Dalam menerapkan analisis tekstual, penu-lis dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan kunciuntuk memudahkan dalam melakukan analisisteks, dan membuat peta pemikiran secara seder-hana. Pertanyaan kunci tersebut yaitu: (1) siapagolongan miskin, (2) berapa jumlahnya dan bagai-mana ukuran miskin, (3) apa definisi miskin, (4)dimana lokasi kemiskinan, (5) bagaimana danmengapa miskin, dan (6) seperti apa solusinya.Naskah tulisan saat ini fokus pada 3 pertanyaanpertama. Selaras dengan analisis tekstual, penulisjuga memperkaya dengan analisis kontekstualdengan mendalami trajektori pemikiran Sajogyodan aktivitasnya, perdebatan gagasan kemiskinan,dan pembangunan pertanian dan pedesaan di In-donesia. Kenyataannya, gagasan dan analisisSajogyo mengenai agraria dan kemiskinan tetapmewarnai sekalipun berada dalam dominasi pem-bangunan yang diselenggarakan oleh negara.

Page 105: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

101Amir Mahmud, Rekonsruksi Pemikiran Sajogyo tentang Kemiskinan ... 99-111

Penulis meletakkan pemikiran Sajogyo tentangkemiskinan dalam sebuah kerangka perspektifagraria kritis. Analisis terhadap pemikiran Sajogyoyang digunakan dalam tulisan ini berasal dariBernstein (2010) yang dikenal dengan perspektifagraria kritis (Edelman and Wolford 2017 danAkram-Lodhi 2018). Empat pertanyaan kunci dariBernstein sebagai perspektif agraria kritis yaitu: (1)Who owns what? (2) Who does what? (3) Who getswhat? dan (4) What do they do with it? Ditambahdengan pertanyaan kunci dari White (2011) yaitu(5) What do they do to each other? Pertanyaan dariWhite berciri sosiologis yang menggambarkanaspek interaksi dan relasi sosial antara orang dalamkelompok, antar kelompok dan lain sebagainya.Kelima pertanyaan kunci disebut perspektif agrariakritis (Shohibuddin 2018) yang saling melengkapidalam analisis suatu persoalan.

Tabel 1. Relasi Sosio Agraria dan AnalisisKemiskinan Sajogyo

Sumber: Dimodif ikasi dari Bernstein (2010) danWhite (2011)

Pertanyaan kunci dari Bernstein dan White seba-gai formasi perspektif agraria kritis bermanfaatuntuk membedah secara memadai pemikiranSajogyo tentang kemiskinan yang tertuang dalamkonsep atau istilah beserta analisisnya seperti petanigurem, pola nafkah ganda, tiga garis kemiskinan,delapan jalur pemerataan plus dan konsep/istilahlainnya. Konsep atau istilah ini mengandung uraiankritis dan mempunyai keterkaitan satu dengan yanglainnya sehingga dapat menjelaskan kemiskinanperspektif agraria kritis. Misalnya, garis kemiskinanSajogyo dapat dipahami dengan baik bila dipadukandengan nafkah ganda dan konsep/istilah lainnya.

Kajian pemikiran Sajogyo tentang kemiskinansebelumnya relatif beragam. Garis kemiskinanSajogyo sebagai langkah awal untuk menemukanjumlah golongan miskin, dan mengenali strukturkemiskinan, yang perlu dilanjutkan dengan mene-mukan nama dan alamat golongan miskin (Agusta2009), dan Luthfi (2011) menguraikan golongan mis-kin secara politis. Sitorus (1998) mulai menyusunproposisi sosiologi kemakmuran sebagai bangunansosiologi terapan mengacu pada gagasan sosiologisSajogyo, yaitu: kemakmuran/ kemiskinan sebagaikonstruksi sosial yang bersifat struktural, keadilanalokasi sumberdaya ekonomi, solidaritas sosialdalam gerakan sosial, dan pengembangan ruangpartisipasi yang setara. Sementara Soetarto (2011)meletakkan kontribusi gagasan Sajogyo termasukkemiskinan yang bersemai dalam konteks historisdan kekinian, dan Luthfi (2011) menganalisis sum-bangan intelektual Sajogyo sebagai salah satu peloporMadzab Agraria Bogor. Pada kajian ini, penulis me-nelusuri seluk-beluk kemunculan pemikiran kemis-kinan Sajogyo, dan kerangka konseptual perspektifagraria kritis dalam pemikiran kemiskinannya.

B. Geneologi Pemikiran Sajogyo SeputarAgraria dan Kemiskinan

Untuk melacak alur kemunculan dan perkem-bangan pemikiran kemiskinan, penulis menga-nalisis bagan riwayat hidup Sajogyo yang telahdibuat oleh Sajogyo sendiri (Sajogyo 2003). Sajogyomembagi dekadenya mulai tahun 1949-1957 dalammasa studi Insinyur dan Doktor Pertanian, UI,Bogor, dan berakhir pada tahun 1995-2012 denganbergiat di Pusat Pengkajian dan PengembanganPerekonomian Rakyat (Pusat P3R) di Bogor (1995-2002), di Forum Pengembangan Partisipasi Masya-rakat (Forum FPPM), Jakarta (2000-2003), danterakhir di Yayasan Sajogyo Inti Utama (2005-2012).Gugus kegiatan Sajogyo membentang dari domainmengajar, meneliti/mendampingi di dalam kampushingga aras nasional/departemen dan lembagawarga atau CSO (Civil Society Organization) di luarkampus. Gugus kegiatannya sebagai berikut:

1. Mahasiswa Insinyur dan DoktoralKepekaan sosial Sajogyo secara akademik terha-

No Relasi sosio agraria Aspek Analisis Sajogyo tentangKemiskinan

1 Penguasaan dan pemilikan Lahan, modal,pengetahuan/keterampilan &teknologi

Lapisan sosial berbasis penguasaan lahan(statistik dan sosiologis) seperti petanigurem /tunakisma dan dinamikanya

2 Aktivitas (yang dilakukan)dalam rangka penggunaandan pemanfaatan

Berusaha &bekerja

Aktivitas yang diusahakan/ dikerjakantermasuk pola nafkah ganda (on farm, off

farm & out farm) tiap lapisan sosial(berbasis lahan) termasuk pembagian kerja

3 Imbalan kerja (surplus)yang diperoleh dariaktivitas usaha/kerja

Pendapatan/pengeluaran/imbalan kerja

Imbalan kerja yang layak pada tiap lapisansosial mengacu pada garis kemiskinanberbasis kecukupan gizi

4 Arah penggunaan danpemanfaatan imbalan kerja(surplus)

Produksi kembalidan reproduksisosial

Imbalan kerja (termasuk dari nafkahganda) untuk prioritas kecukupan pangandan gizi, dan untuk aktivitas produksikembali

5 Aktivitas yang salingberhubungan satu denganlainnya (orang, komunitas,kelompok, lapisan,organisasi) terkait sumberagraria dan lainnya

Interaksi danrelasi sosial dalamstruktur sosial

Relasi produksi dan sosial budaya dalamstruktur agraria yang membentukkemiskinan dan dinamikanya.

Page 106: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

102 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

dap persoalan kemiskinan bermula pada saat men-jadi mahasiswa pertanian di Universitas Indone-sia, Bogor yang melakukan belajar dalam kun-jungan (dan tinggal) lapang di Lembang, Bandung.Kegiatan ini untuk mengisi peluang libur kampus.Dengan suatu latar wilayah pedesaan dan kontekssosio-agraria, perhatiannya tumbuh dan mengarahpada aspek kemiskinan petani di dalam suatu relasiyang timpang dalam struktur agraria: antara petanitak bertanah, petani sempit tanah dan petani skalaluas yang bermodal (pengusaha kentang). Ketim-pangan lapisan sosial berbasis penguasaan sumberagraria dibentuk oleh suatu proses sosial historisdan geograf is terutama sejarah pembentukan desadengan didatangkannya penduduk pada suatuwilayah tertentu demi kepentingan sistem wajibtanam kopi pada masa kolonial. Ketimpanganagraria itu tidak berubah sekalipun sistem tanamkopi telah dihapuskan. Sebab pemuka desa yangpernah diberi wewenang oleh pemerintah kolonialdi kemudian hari menguasai tanah skala luas.Berangkat dari relasi yang timpang dalam sebuahstruktur agraria sebagai suatu fondasi dasar analisa,maka relasi dalam aktivitas usaha dan kerja yangberdiri di atasnya berada dalam dominasi lapisantanah skala luas. Misalnya, topik penelitian H. tenDam (1982) menyebutkan mengenai dominasilapisan atas dalam usaha koperasi desa di Cibodas,Lembang. Saat itu, Sajogyo sebagai asisten lapangH. ten Dam (lulusan Universitas Wageningen)dalam kajian sosiologi di Cibodas. Pengalamannyasebagai asisten di lapang diperkaya sebagai asistenmahasiswa di perpustakaan dengan tugas membuatanotasi dari bahan bacaan.

Pada waktu lulus Sarjana, Sajogyo menjadi asis-ten tugas lapang dari peneliti K.J. Pelzer (Guru BesarGeografi Pertanian di Universitas Yale, Amerika)di pedesaan Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.Pada pedesaan pertama mengenai masalah pere-butan lahan antara petani, mantan buruh perke-bunan dengan perkebunan besar, dan pedesaankedua (khususnya Lampung) terkait masalah pem-bagian tanah antara transmigran spontan denganmasyarakat setempat. Kajian di Lampung diperda-lam olehnya dalam tesis doktor pertanian berjudul“Masyarakat Transmigran Spontan di Way Sekam-

pung, Lampung, Sumatera Selatan” dengan pro-motor W.F. Wertheim. Tesis doktor Sajogyo diantaranya bahwa transmigrasi tidak hanya perpin-dahan penduduk (petani) dari satu lokasi (tempatawal) ke lokasi yang lain (tempat tujuan baru) tapijuga perpindahan kemiskinan. Secara akademikkajian kemiskinan di pedesaan yang agraris sema-kin mewarnai pemikirannya.

2. Pengajaran di Kampus Bogor

Dunia pengajaran Sajogyo dilakukan di InstitutPertanian Bogor (IPB) pada tahun 1957-1980 diSosial Ekonomi Fakultas Pertanian dan tahun 1975-1998 di Program Studi Pasca Sarjana (S2/S3)Sosiologi Pedesaan IPB. Pada awalnya SosiologiPedesaan (SPD) IPB dirintis dalam lingkungan”pembangunan pertanian” di IPB Bogor (Sajogyodkk 1996), dan di Indonesia pada umumnya. Kema-juan pembangunan pertanian mampu dicapaimelalui perhatian yang besar pada golongan petanitermasuk oleh kajian Sosiologi Pedesaan. Aspekyang diperhatikan pada golongan petani mencakup:kenyataan dan masalah petani, cita-cita dan moti-vasi petani, lingkungan sosial petani, dan pendi-dikan dan penyuluhan pertanian. Perhatian yangserius terhadap petani tersebut untuk menunjukkanpenghormatan terhadap golongan petani.1

Didirikan atas dasar komitmen pada petanidalam pembangunan pertanian, tesis dan disertaiSosiologi Pedesaan dalam periode 1975-1994 dinilaifokus kajiannya oleh Sajogyo bersama tim. Peni-laian dilakukan pada tahun 1995 untuk melihatperkembangan dan kemajuan Sosiologi Pedesaansebagai kajian hybrid (Sajogyo dkk 1996). Hasilnya,Sosiologi Pedesaan mempunyai fokus kajian men-cakup enam gugus yaitu: (1) peluang berusaha danbekerja, (2) masalah agraria, (3) peranan wanita,(4) kelompok dan komunitas, (5) nilai-nilai sosialbudaya, dan (6) kependudukan. Gugus peluang

1 Penghormatan kepada petani diperoleh Sajogyo daridua guru besar yang menginpirasinya yaitu: W.J. Timmer(Guru Besar Pertama di Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian)dan Teko Soemodiwirjo (Guru Besar pertama Indonesiadi Fakultas Pertanian). Dosen lain yang dikagumi dantercatat yaitu Burger (sejarah masuknya “dunia luar” keperdesaan Jawa), Terra (Pekarangan), Van Arsten (Geo-graf i Ekonomi) dan Bloembergen (Botani).

Page 107: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

103Amir Mahmud, Rekonsruksi Pemikiran Sajogyo tentang Kemiskinan ... 99-111

berusaha dan bekerja, masalah agraria dan pera-nan wanita selaras dengan delapan jalur pemera-taan pembangunan yang mengarah pada pemera-taan peningkatan pendapatan atau justru kemis-kinan. Masalah agraria berisi di antaranya analisispenguasaan lahan dan kelembagaan hubungankerja dalam menciptakan peluang berusaha danbekerja. Sementara peranan wanita sebagai aktoryang terlibat dalam pemerataan peluang berusahadan bekerja. Namun gugus yang lain tidak menutupkemungkinan juga mempunyai irisan kajiandengan kemiskinan.2

3. Penelitian SAE, Studi Evaluasi ProgramUPGK, dan di lembaga penelitiankampus

Selama 1965-1972 Sajogyo bertugas di SurveiAgro-Ekonomika (SAE) sebagai ketua Badan Kerja(BK-SAE). BK-SAE bertujuan untuk mengimbangidata makro BPS dengan melakukan penelitian un-tuk memperoleh data mikro. Kajian SAE di antara-nya, pertama, sistem pola produksi dan pemasaranberbagai komoditi di berbagai daerah. Juga, mela-kukan kajian mengenai irigasi, penyuluhan,koperasi dan pembukaan tanah pertanian baru(SAE 1968). Kedua, penyebaran bibit padi unggulatau Intensif ikasi Padi Sawah (IPS) (1969-1975) yangdilakukan di desa-desa persawahan di Jawa (Baratsampai Timur) dan ditambah di desa sawah diSulawesi Selatan. Ketiga, studi dinamika pedesaan,SAE seputar penguasaan tanah, teknologi, kelem-bagaan dan pendapatan/pengeluaran.

Sebagai bagian dari hasil penelitian SAE danupaya melakukan refleksi, Sajogyo kemudianmenulis Modernization without Development. Secaragaris besar tulisan untuk pertemuan FAO di Bang-kok tahun 1973 ini mempertanyakan secara kritisdominasi pembangunan pertanian melaluimodernisasi. Modernisasi pertanian mampu men-capai swasembada beras pada tahun 1984, namun

lapisan bawah (seperti petani gurem, tak bertanahdan buruh tani) tidak menunjukkan peningkatankesejahteraan berarti bahkan mengarah pada“kemiskinan bersama”. Uraiannya memotretlapisan sosial berdasarkan penguasaan tanah yangdikaitkan dengan peluang berusaha dan bekerja,dan tingkat pendapatan (natura) tiap lapisan.Namun gambaran pelapisan sosial agraria ini bukanhanya suatu penggolongan “kelas statistik” sematamelainkan punya arti sosiologis (Sajogyo 1978).Petani gurem bukan semata merujuk pada pemba-gian kelas luasan penguasaan lahan tapi juga posisi/status sosial dalam komunitas dan desa. Sebabposisi kelas sosial ini menjadi alat pemeriksa sta-tus kemiskinan ketimbang berbasis penguasaanlahan semata (Dixit 2013).

Untuk mempertajam analisis tingkat kesejah-teraan lapisan sosial terbawah digunakan ukurankuantitatif garis kemiskinan. Melalui Studi EvaluasiProgram Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)di Departemen Kesehatan pada tahun 1972-1978,gagasan garis kemiskinan Sajogyo disusun. Hasilkajian UPGK diekstrapolasikan pada kondisi tingkatnasional dengan cara mencari “garis kemiskinan”dari buku Schickele (1969). Ekstrapolasi data UPGKdipadukan dengan data Suvei Sosial EkonomiNasional (Susenas) dari BPS. Garis kemiskinanmerujuk pada standar kecukupan gizi. Standarkecukupan gizi itu dikonversi dalam bentuk nilairupiah dan dijadikan ukuran beras. Di samping itu,salah satu saran dari hasil Studi Evaluasi ProgramUPGK ditindaklanjuti dengan uji coba pemben-tukan Taman Gizi di lima kabupaten (empat diJawa Barat dan satu di Jawa Tengah) agar para ibumendapatkan “pelatihan” dan perkenalan mengenaigizi yang baik dan cukup bagi anak dan ibunya.Pelaksanaan uji coba Taman Gizi oleh LembagaPenelitian Sosiologi Pedesaan IPB (sekarang PSP3IPB) atas dorongan Dirjen Pendidikan Tinggi.

4. Dewan Riset Nasional danBiro Pusat Statistik

Dalam Pelita III (1 April 1979-31 Maret 1984)pemerintah Indonesia mendorong Trilogi Pem-bangunan dan konsep Delapan Jalur Pemerataan.Selama di Dewan Riset Nasional periode 1984-1996

2 Sebanyak 99 tesis dan disertasi yang dinilai selama20 tahun Sosiologi Pedesaan IPB. Sajogyo berperan sebagaipembimbing pertama sebanyak 41 kali, pembimbing kedua16 kali, dan pembimbing ketiga 2 kali (Sajogyo dkk 1996).Sekalipun terdapat pembimbing namun pemilihan topikpenelitian ditentukan oleh mahasiswa sendiri.

Page 108: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

104 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

khususnya di bidang kebutuhan dasar manusia,Sajogyo menyusun kembali kerangka konsepDelapan Jalur Pemerataan atau Kebutuhan DasarManusia untuk menunjukkan saling keterhu-bungan dalam rangka mengatasi kemiskinan.Sajogyo menginisiasi Delapan Jalur PemerataanPlus. Lima jalur menunjukan satu mata rantai yaitu:(1) peluang berusaha, (2) peluang bekerja, (3)Pangan, sandang, dan perumahan, (4) Pendidikan,dan (5) Kesehatan, dan tiga jalur lain untuk merincidan memperjelas pelaku yang terlibat yaitu (1) peranserta masyarakat (perempuan dan pemuda), (2)pemerataan antar daerah, dan (3) ketertiban hu-kum. Sementara makna plus dalam delapan jalurpemerataan terletak pada penentu besar-kecilnyapeluang berusaha dan bekerja, yaitu pola pengu-asaan sejumlah sumberdaya seperti tanah, modalpembiayaan, pengetahuan/keterampilan dan tek-nologi. Dengan demikian, aktivitas berusaha/beker-ja dan imbalan kerja yang layak tergantung padaluasan penguasaan lahan dan penguasaan sumber-daya lainnya termasuk relasi yang adil. Sewaktumenjadi analis Sensus Pertanian di BPS, uraian la-pisan penguasaan lahan tidak hanya menunjukkanlapisan penguasaan lahan secara statistik tapi jugasosiologis terkait tingkat kesejahteraa petani.

Selain itu, Sajogyo juga memperkaya IndeksMutu Hidup (IMH) dalam indikator kesejahteraanrakyat. Dalam konteks Indonesia, indikator kom-posit ditambahkan menjadi IMH Plus yaitu Tingkatkematian bayi, Harapan Usia Hidup (pada usia satutahun), dan Tingkat melek huruf orang dewasa (15tahun ke atas) ditambahkan dengan Total FertilityRate (TFR). Berdasarkan hasil uji coba, Sajogyo(2006) menunjukkan mengenai kepekaan IMHPlus ini bahwa makin kecil TFR, makin lebih besarIMH plus (dari IMH) dan sebaliknya, makin besarTFR makin lebih besar IMH dari IMH plus, teruta-ma ketika membanding di pedesaan (per provinsi).

5. Lembaga Warga atau CSO

Gagasan dan tenaga Sajogyo selama di CSOdicurahkan di Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta,Perhimpunan Profesi (pertanian dan kehutanan,ekonomi pertanian, gizi pangan dan sosiologi), BinaDesa, Yayasan Agro Ekonomika (Pusat P3R-YAE),

Forum FPPM dan Yayasan Sajogyo Inti Utama. Padasaat di Pusat P3R terdapat kajian dan aksi bersamadalam program penanggulangan kemiskinan atauInpres Desa Tertinggal (IDT).3 Program IDTmerupakan “pelopor” model pembinaan masyara-kat miskin yang “reformatif” (Mubyarto 1999)karena (1) berkeyakinan pada kemampuan pendu-duk miskin dalam pengentasan kemiskinan dirinya,dan (2) kepercayaan penuh kepada pendudukmiskin untuk “mengelola” program IDT, yangmenyediakan dana hibah selama tiga tahun (1994-1996) dan dibagikan sebagai modal usaha. Untukmenunjang pengembangan potensi golongan mis-kin tersebut, maka dilakukan kajian dan aksi per-baikan bersama masyarakat melalui Kaji TindakPartisipatoris (KTP). Tujuan KTP secara khususyaitu: (1) peningkatan penghasilan keluarga anggotakelompok IDT dengan perbaikan jalur-jalur pema-saran, (2) peningkatan kemampuan kelompok IDTdi dalam mendukung kegiatan produktif paraanggotanya, dan (3) pengembangan metodologiPengembangan Masyarakat Desa Tertinggal yangpartisipatif (Mubyarto 1999).

Berpijak pada keyakinan mengenai potensi yangdimiliki oleh golongan miskin, maka pendekatankajian dilakukan secara partisipatif yaitu kaji tindakpartisipatoris. Mereka bukan objek kajian danperbaikan tapi subjek kajian dan perbaikan dalampembangunan melalui pengembangan potensidirinya. Selaras dengan itu, aksi perbaikan dalamgerakan sosial melalui ikatan solidaritas sosial seca-ra horizontal (antar golongan miskin) dan vertikal(antara golongan miskin di lapisan bawah denganlapisan atas). Misalnya, agenda landreform membu-tuhkan solidaritas antar aktor dan antar sektor padatingkat nasional hingga pedesaan, dan transmigrasidapat berjalan lancar dengan semangat solidaritas

3 Penelitian IDT dilakukan dengan tahapan sebagaiberikut: (1) Tahun 1994/1995 kajian data dasar sosial eko-nomi di Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya (Sajogyo1995), (2) Tahun 1995/1996 kajian bersama di 11 Provinsi,(3) Tahun 1996/1997 kajian bersama dan survei di 11Propinsi, dan (4) Tahun 1997-1998 kaji tindak partisipatorisdi Sulawesi Tenggara dan Irian Jaya. Kajian data dasar sosialekonomi (1994/1995) untuk mengetahui faktor pendu-kung, faktor penghambat program IDT dan sosialisasiprogram IDT.

Page 109: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

105Amir Mahmud, Rekonsruksi Pemikiran Sajogyo tentang Kemiskinan ... 99-111

sosial antara pendatang dan penduduk setempat(masyarakat adat). Begitu pula, solidaritas sosialantar petani gurem dalam rangka pelaksanaankonsolidasi tanah (dalam wadah Badan UsahaBuruh Tani/BUBT). Aksi perbaikan dalam bentuksolidaritas tercermin juga dalam Taman Gizi: antaraibu-ibu kurang gizi dengan kerjasama denganlapisan sosial atas di desa. Bertitik tolak dari KTP,program IDT dan pengalaman riset sebelumnyaterkait KTP, Sajogyo menyampaikan ungkapan“Dari praktik ke teori dan ke praktik yang berteori”pada tahun 2003 sebagai refleksi mengenai keter-paduan penelitian/kajian, kebijakan dan pengem-bangan masyarakat.

Gagasan partisipasi golongan miskin ataukelompok marjinal dipraktekkan juga dalam kon-sep Pendidikan Musyawarah (DIKMUS) di BinaDesa yang dirumuskan oleh tim seperti Pater JohnDijkstra, SJ dan 15 orang lainnya termasuk Sajogyo.Dasar-Dasar Pendidikan Musyawarah dengan misipenguatan komunitas kaum marjinal/rakyat yangmeliputi: penguatan kesadaran trans-formatif,penguatan organisasi, penguatan jaringan kerja-sama, penguatan ekonomi dan penguatan advokasi(Suwarto dan Erryson 2002). Di Yayasan SajogyoInti Utama (YSIU), Sajogyo bersama kolega danmuridnya mendirikan YSIU sebagai bentuk solida-ritas sosial bagi golongan miskin dengan maksuddan tujuan di bidang sosial dan kemanusiaan. Un-tuk itu, tanah, bangunan dan naskah literatur(perpustakaan) milik Sajogyo dan Pudjiwati diwa-kafkan secara produktif kepada YSIU.

C. Menyegarkan Kembali GagasanKemiskinan dalam Perspektif AgrariaKritis

1. Golongan Miskin dan Nafkah GandaSiapa golongan miskin itu? Pertanyaan ini tidak

dimaksudkan untuk mencari nama orang yangtergolong miskin, dan daftar nama golongan mis-kin sebagai penerima bantuan pemerintah sepertiBantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk or-ang miskin (Raskin) dan bantuan lain sejenisnyatapi untuk mengenali golongan miskin denganmenelusuri ciri-ciri golongan miskin. Di antararagam cara untuk mengenali ciri-ciri golongan

miskin, yaitu melalui pola nafkah yang serbakompleks/ganda (Sajogyo 1993). Pada umumnyanafkah ganda dipahami secara netral dalampenekanan aspek variasi aktivitas yang diusahakanatau dikerjakan dalam strategi diversif ikasi untukmemenuhi kebutuhan dasar. Bila ditelusuri secaramendalam dengan peralatan konseptual kritis,nafkah ganda pada golongan miskin sebenarnyamenjelaskan relasi antar golongan yang kompleksterkait penguasaan sumber agraria antar lapisansosial, aktivitas usaha/bekerja dan pembagiannya,imbalan kerja yang diperoleh, dan arah penggu-naan imbalan kerja. Ragam aktivitas usaha/kerjayang dilakukan oleh golongan miskin disebabkanoleh sejumlah keterbatasan akses mereka dalampenguasaan sumber agraria, modal pembiayaan,produktivitas kerja dan imbalan kerja (Sajogyo 1993dan White 1978).

Uraian nafkah ganda secara komprehensifdijelaskan dalam kajian SAE di DAS Cimanuk (5Desa) bahwa penguasaan lahan pertanian yang kecil(0,25 ha/tak bertanah) berkontribusi pula padakecilnya imbalan kerja dari usaha tani yaitu 24%.Imbalan kerja yang lain berturut-turut berasal dariburuh tani (37%), dagang (17%), jasa (15%) dankerajinan (7%). Lapisan petani kecil ini disebutsebagai golongan miskin sekali karena penghasilansetara 188 kg beras/tahun/orang (Sajogyo 1978).Imbalan kerja yang rendah pada on farm kemudiandiimbuhi dengan pekerjaan pada off farm atau outof farm. Gambaran tersebut memadukan analisispada elemen kunci dalam ekonomi politik agrariamulai dari aspek penguasaan lahan hingga gizi-kurang (penggunaan imbalan kerja) dalam bentukgaris kemiskinan.

Pola nafkah ganda digambarkan dengan adanyapekerjaan utama diimbuhi dengan pekerjaantambahan/sampingan (tetap/sementara) dandilakukan oleh sebagian/seluruh anggota keluargayang mampu secara f isik. Nafkah ganda bagigolongan miskin atau lapisan bawah sekadar untukmempertahankan pola subsisten yaitu menguta-makan moral ekonomi dengan mendahulukankeselamatan rumah tangga sekaligus memperkecilrisiko yang diambil. Sementara bagi lapisan me-nengah dan lapisan atas khususnya di pedesaan,

Page 110: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

106 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

nafkah ganda pada masing-masing keduanyasecara berurutan mengutamakan moral ekonomiyaitu konsolidasi dan akumulasi (baik di pertanianmaupun di luar pertanian).

2. Mendefinisikan Golongan Miskin

Sajogyo (1989) mendefinisikan penduduk mis-kin sebagai “yang serba kurang dalam memperolehhak azasi (“entitlement”) “bekerja dan memperolehimbalan layak” sehingga kurang terjamin dalammemenuhi kebutuhan dasar manusia, lahir danbatin”. Sementara golongan miskin menggambar-kan kemiskinannya mengacu pada aspek: (1) jum-lah pemilikan/penguasaan tanah, (2) kualitasbangunan rumah, (3) pola pangan (jenis, kualitasdan intensitas yang dikonsumsi), dan (4) tingkatpendidikan (Sajogyo dkk 1992). Mendef inisikanatau menggambarkan golongan miskin oleh pene-liti dan golongan miskin sendiri di atas akan meng-hadirkan variasinya baik dimensi yang diukurmaupun urutan prioritasnya sekalipun keduanyaterdapat keserupaan.

Bila dirangkum secara sederhana, def inisitentang penduduk miskin oleh Sajogyo berfokuspada pekerjaan (berusaha dan bekerja), pendapatan(imbalan kerja) dan penggunaan pendapatan untukkebutuhan pokok, yang ketiganya tidak terpi-sahkan dari elemen kunci perspektif agraria kritis.Namun keberadaan pekerjaan, besaran penda-patan dan tingkat pemenuhan kebutuhan dasartergantung pada struktur penguasaan agraria danrelasinya. Pertama, kelangkaan/kekurangan pe-luang berusaha dan bekerja bagi golongan miskindibentuk oleh ketimpangan relasi dalam strukturpenguasaan dan penggunaan sumber agraria dandalam kelembagaan hubungan kerja. Hal ituditambah dengan keterbatasan akses golonganmiskin pada sumber agraria, modal pembiayaan,dan pengetahuan/ keterampilan dan teknologi.

Kedua, ketidaklayakan tingkat pendapatan(imbalan kerja) berdasarkan standar pemenuhankebutuhan pokok sehari-hari. Relasi agraria yangtimpang dalam penyakapan, perburuhan, dan ker-jasama berkontribusi pada tingkat pendapatan yangtidak layak. Ketiga, ancaman tidak terpenuhi kebu-tuhan dasar manusia yang pokok seperti gizi sebagai

konsekuensi nyata dari seluruh rangkaian persoalanagraria yang kronis. Konsekuensi dari keterbatasanpeluang usaha/bekerja dan ketidaklayakan im-balan kerja dalam relasi yang timpang, maka kebu-tuhan pokok gizi pun terancam tidak terpenuhisehingga potensial memunculkan masalah giziseperti stunting.

3. Ukuran Golongan Miskin

Ukuran garis kemiskinan Sajogyo dalam perspektifagraria kritis berdasarkan analisis imbalan kerja danpenggunaan imbalan kerja terutama untuk meme-nuhi kebutuhan pokok gizi. Pemenuhan standarkebutuhan pokok gizi tergantung pada imbalan kerjayang diperoleh, dan prioritas penggunaan imbalankerja. Dua ciri penting garis kemiskinan Sajogyo (1977)yaitu: (a) spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yangmencakup konsepsi “nilai ambang kecukupanpangan” (food threshold); dan (b) menghubungkantingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukurankecukupan pangan (kalori). Konsepsi nilai ambangkecukupan pangan dengan suatu asumsi mendasarbahwa setiap orang dalam rumah tangga membu-tuhkan asupan kalori yang berbeda mengacu padasusunan umur, jenis kelamin, perkiraan berat dantinggi badan termasuk jenis aktivitas yang dikerjakan.Dengan pendapatan yang relatif terbatas, diupayakankecukupan gizi yang baik dan benar disesuaikandengan tingkat pendapatannya.

Keterbatasan gizi (kalori) mempunyai konse-kuensi serius secara sosiologis pada level rumahtangga dengan relasi yang terbentuk di dalamnya.Pertama, gizi yang terbatas berdampak pada distri-busi yang tidak merata antara anggota rumah tang-ga. Pada golongan miskin, ibu dan anak cenderungmemperoleh bagian terakhir dalam distribusi gizi.Kedua, keterbatasan gizi dapat menghambat tum-buh-kembang secara f isik dan mental pada balita.Dalam pertumbuhan menuju dewasa, persoalanini dianggap sebagai masalah besaran tanggungankerja dan peluang angkatan kerja produktif dalamrumah tangga dan masalah lainnya. Ketiga, padaorang dewasa berkontribusi pada daya (kuat ataulemah) dalam berusaha dan bekerja untuk tetapmendapatkan pendapatan yang layak. Dengan dayatahan tubuh yang kuat niscaya terhindar dari sakit

Page 111: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

107Amir Mahmud, Rekonsruksi Pemikiran Sajogyo tentang Kemiskinan ... 99-111

dan tetap produktif untuk mendatangkan kesejah-teraan bagi rumah tangga.

Tiga garis kemiskinan Sajogyo berdasarkanekuivalen atau setara (nilai tukar) beras per orang/tahun. Sebelum tahun 1979 tiga garis kemiskinanSajogyo di desa maupun di kota yaitu: (1) Miskin,(2) Miskin sekali, dan (3) Paling miskin (melarat)(Sajogyo 1977 dan 1988). Di kota garis kemiskinanterdiri atas melarat (270 kg), miskin sekali (360kg) dan miskin (480 kg). Sementara garis kemis-kinan di desa mencakup melarat (180 kg), miskinsekali (240 kg) dan miskin (320 kg). Pada tahun1976 garis miskin senilai Rp 32,16 per 1.000 Kkal,dan meningkat menjadi Rp 77,15 per 1.000 Kkaltahun 1984. Nilai rupiah ini kemudian dikonversidalam kebutuhan beras.

Namun setelah tahun 1979, tiga garis kemis-kinan Sajogyo mengalami perbaikan patokan gariskemiskinan. Garis “paling miskin” dihapuskan, danditambah dengan garis “nyaris miskin”. Hasil per-baikan tiga garis kemiskinan baik di desa maupundi kota yaitu: (1) Nyaris Miskin, (2) Miskin dan (3)Miskin sekali (Sajogyo 1988). Di kota dibuat garis360 kg, 480 kg dan 720 kg setara beras per orangper tahun. Sementara di desa dipatok 240 kg, 320kg dan 480 kg setara beras per orang per tahun.Dalam menetapkan harga beras (Rp/kg), makadipakai tingkat harga sebagai di antaranya (1) tahun1976: Rp 121.70/kg (harga implisit); (2) tahun 1981:harga implisit: desa Rp 211/kg dan Kota: Rp 244/kg, dan (3) tahun 1984 (taksiran): desa Rp 326/kgdan Rp 360/kg (kota). Perbaikan tiga garis kemis-kinan menunjukkan adanya dinamika garis kemis-kinan. Garis kemiskinan yang diperbaiki disebabkankebutuhan terhadap jumlah kalori yang dianjurkan.Seperti dikutip oleh Sajogyo (1988) bahwa mengacupada kajian Hutabarat dengan mengolah dataSUSENAS 1976 bahwa tingkat “setara 240 kg” (desa)dan “setara 360 kg (kota) bertepatan (“dekat seka-li”) dengan garis “1700 kalori/orang-hari” sementarapatokan anjuran 1900 kalori.

D. Kritik Dominasi Doktrin Pembangunandan Konsep Kemiskinan yang Resmi

Pada era dominasi kekuasaan Orde Baru waca-na kritis di bidang agraria dan kemiskinan kurang

berkembang dengan baik (White 2005). Berkacapada arus di masa ini, keberadaan perspektif agra-ria kritis dalam pemikiran kemiskinan dapat dipa-hami dengan memadai terutama dalam perkem-bangan doktrin pembangunan yang dominan, danmakna serta konsep kemiskinan yang menonjol.Berdasarkan tonggak perkembangan dari masa kemasa, tujuan dan kinerja pembangunan dinilai dariukuran sebagai berikut: (1) pertumbuhan GrossNational Product (GNP), (2) pertumbuhan danpekerjaan, (3) pemenuhan kebutuhan dasar, (4)peningkatan kesejahteraan manusia dan (5) penu-runan kemiskinan multidimensional melaluipertumbuhan yang pro orang miskin (Thorbecke2006). Sejak awal GNP diposisikan sebagai indika-tor dominan dalam mengukur suatu pembangunannasional. Sementara prioritas pemenuhan kebu-tuhan dasar, dan peluang berusaha dan bekerja(pekerjaan) menjadi panduan analisis Sajogyountuk menilai distribusi kesejahteraan dalam pem-bangunan nasional. Melalui garis kemiskinan(kebutuhan dasar yang paling pokok berupa gizi),praktik pembangunan diperiksa dengan pemera-taan pembangunan dan dengan tumbuhnya danterpeliharanya kesehatan f isik dan kecerdasanmental agar setiap orang dapat berusaha/bekerjadengan baik, dan berkontribusi dalam pem-bangunan. Peluang berusaha dan bekerja untukmemperoleh imbalan kerja dapat tercipta melaluisejumlah pembaruan di bidang agraria di antaranyalandreform, transmigrasi dan konsolidasi tanahseperti tercermin dalam Delapan Jalur PemerataanPlus.

Bersamaan dengan tujuan dan kinerja pem-bangunan tersebut, garis kemiskinan Sajogyo seba-gai langkah awal yang efektif dan operasionaldalam mengukur jumlah golongan miskin danmenilai pembangunan. Pemikiran kemiskinandengan pendekatan ekonomi atau perpaduan pen-dekatan ekonomi dan non-ekonomi dapat dilacakdari tahap perkembangan dan dominasi sebuahmakna kemiskinan dari Sumner (2007) yaitu: (1)ekonomi (GDP per capita growth) pada tahun 1960-an; (2) kebutuhan dasar (memasukkan aspek eko-nomi) (Gross Domestic Product/GDP per capitagrowth + basic goods) tahun 1970-an; (3) ekonomi

Page 112: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

108 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

(GDP per capita) tahun 1980-an; (4) pembangunanmanusia (memasukkan aspek ekonomi) (UNDPHuman Development Indices) tahun 1990-an; dan(5) ‘kebebasan’ multi-dimensional (MillenniumDevelopment Goals) tahun 2000-an. Dengan fokuspada kebutuhan pokok gizi (Kkl) yang dikonversipada tingkat pengeluaran, kemunculan ukurankemiskinan dari Sajogyo pada saat itu menggerak-kan kemandegan dan ketabuan untuk membica-rakan gagasan kemiskinan pada tahun 1970-an.Ditambah pula, pemikiran kemiskinan Sajogyomewarnai perdebatan dalam aneka diskursuskemiskinan saat itu (Agusta 2012), dan menantangsecara konseptual terhadap penggunaan ukurankemiskinan dari organisasi internasional dan daripemerintah secara resmi yang keduanya cenderungdominan.

Selain garis kemiskinan Sajogyo, juga terdapatgaris kemiskinan yang lain seperti BPS, Bank Dunia,Parera, dan Sam F. Poli. Mereka menggunakanpengukuran kemiskinan yang berbeda sehinggabatas pengeluaran minimum per bulan/orang danjumlah golongan miskin juga tidak sama. Kebera-daan garis kemiskinan Sajogyo bukan tanpa tang-gapan kritis. Pemakaian ekuevalen nilai tukar berasditanggapi oleh Kig dan Weldon, Anne Booth danSundrum, dan Biro Pusat Statistik (BPS 1984).Tanggapan pada garis kemiskinan Sajogyo diantaranya menyasar pada penggunaan setara nilaitukar beras yang cenderung fluktuatif, dan kera-gaman bahan makanan selain beras. Meskipunbegitu, garis kemiskinan Sajogyo tetap dikenalkarena tingkat kepraktisan untuk dipahami dandigunakan.

Memang disadari oleh Sajogyo bahwa gariskemiskinan sebagai langkah awal untuk memahamisecara kuantitatif golongan miskin, yang perludilanjutkan dengan pemahaman aspek jeratanrelasional kemiskinan. Oleh karena itu, garis kemis-kinan dan konsep lainnya seperti petani gurem,nafkah ganda, Delapan Jalur Pemerataan Plus danhubungan “bapak-anak” merupakan sekumpulankonsep yang memuat analisis kritis untuk mema-hami golongan miskin dan dinamikanya.

Tabel 2. Konsep/Istilah dan Analisis Sajogyodalam Perspektif Agraria Kritis

Sumber: Dimodif ikasi dari Bernstein (2010) danWhite (2011)

Sejumlah konsep dari Sajogyo di atas mengan-dung elemen kunci perspektif agraria kritis. Kemis-kinan tidak cukup dilihat dari elemen imbalan ker-ja seperti dalam garis kemiskinan namun perludilengkapi dengan relasi yang membentuknya baikfaktor internal maupun eksternal. Konsep nafkahganda menguraikan elemen penguasaan lahan,aktivitas berusaha/bekerja beserta pembagian ker-ja, imbalan kerja yang diperoleh, penggunaanimbalan kerja untuk kebutuhan pokok gizi danrelasi yang membentuk sepanjang proses tersebutsekalipun analisis kurang dilakukan secara men-dasar. Dalam konteks revolusi hijau yang didorongoleh pemerintah, petani gurem dengan keterbatasanusaha taninya tidak mampu memperoleh imbalankerja yang layak sehingga berstrategi nafkah gandauntuk memenuhi kebutuhan pokok (di atas gariskemiskinan). Melalui relasi “bapak-anak” antara pe-tani gurem dengan penguasa tanah luas dalamproduksi dan distribusi, petani gurem diuntungkanatau dirugikan. Gambaran revolusi hijau itumengungkapkan bahwa kemiskinan pada golonganbawah seperti petani gurem dibentuk oleh ketim-pangan relasi agraria dan dipengaruhi oleh inter-vensi pusat politik (negara), yang kedua faktor terse-but berjalan dalam proses sejarah lokal pedesaandengan kekhasan wilayah dan sumber agrarianya.

No Relasi sosio agraria Konsep/Istilah Sajogyo: (1) Petanigurem, (2) Garis kemiskinan, (3)Nafkah ganda, (4) Definisikemiskinan, (5) “Plus” dalamDelapan jalur pemerataan plus,dan (6) hubungan “bapak-anak”

1 Penguasaan dan pemilikansumber agraria

(1), (3), (5) (6)

2 Aktivitas (yang dilakukan)dalam rangka penggunaandan pemanfaatan sumberagraria

(3), (4) (6)

3 Imbalan kerja (surplus) yangdiperoleh dari aktivitasusaha/kerja dari sumberagraria

(2), (3), (4) (6)

4 Arah penggunaan danpemanfaatan imbalan kerja(surplus)

(2), (3), (4)

5 Aktivitas yang salingberhubungan satu denganlainnya (orang, komunitas,kelompok, lapisan,organisasi) terkait sumberagraria

(1), (3), (6)

Page 113: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

109Amir Mahmud, Rekonsruksi Pemikiran Sajogyo tentang Kemiskinan ... 99-111

Kemiskinan dengan perspektif agraria kritistetap berguna sebagai panduan dalam analisispembentukan kemiskinan (dan kekayaan) danketimpangannya saat ini dengan merentangkannyadi dalam dan di luar usaha pertanian. Sepertidiketahui, tingkat kemiskinan dalam pembangunanIndonesia cenderung menurun dari segi konsumsi/pengeluaran sejak tahun 2000 namun rasio giniatau ketimpangan justru meningkat. Bank Dunia(2016) melaporkan bahwa ketimpangan di Indo-nesia disebabkan oleh ketimpangan dalam pelu-ang, ketimpangan dalam pekerjaan, tingginyakonsentrasi kekayaan, dan ketahanan ekonomiyang rendah. Bersamaan dengan itu, Oxfam (2017)menyebutkan bahwa penyebab ketimpanganadalah fundamentalisme pasar, political capture,ketidaksetaraan gender, ketidaksetaraan pada akseskesehatan dan pendidikan, ketidaksetaraan aksespada infrastruktur dan lahan, pasar tenaga kerjadan upah yang tidak adil, dan sistem perpajakanyang tidak adil. Penyebab ketimpangan yangdisebutkan dapat diurai lebih rinci melalui format:siapa menguasai apa, siapa melakukan apa, siapamemperoleh apa, apa yang dilakukan dengan sur-plus, dan relasi satu dengan yang lain yang terben-tuk dan dibentuk. Political capute oleh elite (politikdan bisnis) sebagai salah satu contoh siapa mem-peroleh keuntungan dalam pertumbuhan pem-bangunan yang dijalankan.

E. Kesimpulan

Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengu-kuran melalui pendekatan (ekonomi dan non eko-nomi) dan dimensinya, yang cenderung statis seka-lipun kemiskinan itu dinamis. Setelah pengukurankemiskinan oleh Sajogyo (1977) dan BPS (2008)dengan satu dimensi berbasis pengeluaran, makamuncul kemiskinan multidimensional (Alkire andSantos 2013, Alkire and Jahan 2018). Kemiskinandinilai dari faktor pendapatan/pengeluaran saja tapihal itu perlu dilengkapi dengan penjelasan faktormekanisme sosio-institusional (Béné 2011 dan Béné2003), politik yang memproduksi dan merep-roduksinya (White 1979 dan Hickey and Bracking2005), dan relasi kemiskinan (Mosse 2007) dalampembentukan dan durabilitas kemiskinan.

Sekalipun Sajogyo lebih dikenal dengan gariskemiskinan tapi uraian mengenai kemiskinannyasecara kualitatif sangat kaya. Pemikiran Sajogyotentang kemiskinan tumbuh dan berkembangsecara bertahap. Pertama, analisis kualitatif bahwakemiskinan dibentuk oleh relasi yang timpangdalam struktur agraria, dan sebagai akibat dariwarisan periode historis dan wilayah geograf isnya.Relasi menjadi timpang karena warisan sejarahlokal dan kolonial, dan introduksi komoditas per-dagangan di pedesaan. Kedua, analisis kuantitatifdalam garis kemiskinan. Garis kemiskinan inimemantik gagasan dan diskursus kritis mengenaipengukuran kemiskinan di level kebijakan danakademis. Ketiga, analisis metodologi kajian danaksi dalam perbaikan golongan miskin. Partisipasidan solidaritas bersama golongan miskin dalamkajian/penelitian dan dalam aksi pengembanganpotensi yang dimiliki golongan miskin untukmengubah relasi yang timpang. Tahapan pemikiranini tidak bersifat linier tapi dialektis. Pandangantentang kemiskinan ini berakar kuat pada latarmasyarakat petani dan pedesaan dengan kerang-ka bidang keagrariaan baik agraria sebagai objekkajian maupun agraria sebagai perspektif kritis,yang merentang di tingkat mikro dan makro.

Kemiskinan merupakan konsekuesi daripersoalan agraria yang kronis. Untuk menunjukkanpersoalan agraria yang kronis, pertanyaan danpernyataan mengenai kemiskinan dalam konteksagraria sebagai aspek kritikal sekalipun perlu diper-tajam dengan peralatan analisis yang kritis. Gariskemiskinan, nafkah ganda, def inisi kemiskinan,Delapan Jalur Pemerataan Plus, petani gurem danhubungan “bapak-anak” bukan konsep/istilah yangnetral. Semua konsep/istilah tersebut memuatelemen pertanyaan atau pernyataan tajam untukmenemukan golongan miskin dan dinamikanyadalam formasi relasi sepanjang proses penguasaan,aktivitas berusaha/bekerja dan pembagiannya,imbalan kerja dan penggunaan imbalan kerja.Dengan formasi ini pula, uraian dapat direntangkandalam usaha tani dan di luar usaha tani, dan antaragolongan miskin dan golongan kaya untuk mene-lusuri aspek ketimpangan.

Perspektif agraria kritis dari Sajogyo dilengkapi

Page 114: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

110 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

pula dengan pendekatan kajian, dan aksi perbaikanyaitu pendekatan kaji tindak partisipatoris, dan soli-daritas sosial dalam pengembangan potensi go-longan miskin dan penataan agraria. Sebab parti-sipasi dapat mengubah relasi kekuasaan, perilakudan berbagi (Chamber 2007). Berbeda dengan itu,pendekatan konvensional melihat golongan miskinsebagai objek kajian dan program. Pemikirankemiskinan dan kepeduliaan pada golongan miskindan dinamikanya merupakan proyek pencerahanyang digarap Sajogyo untuk menunjukkanpersoalan-persoalan agraria yang kronis namuntetap menawarkan jalur perbaikan dengan berse-lancar dalam pengetahuan dan praktik pem-bangunan agraria dan kemiskinan yang dominan.

Daftar Pustaka

Agusta, I 2012, ‘Diskursus, kekuasaan dan praktikkemiskinan di pedesaan’. Disertasi pada Fakul-tas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Agusta, I 2009. ‘Setelah garis kemiskinan Sajogyo’,Opini, Kompas, Rabu 9 September 2009.

Akram-Lodhi, AH 2018, ‘What is critical agrarianstudies?’ In http://roape.net/2018/03/28/what-is-critical-agrarian-studies/accessed May 8, 2019.

Alkire, S and Santos, ME 2013, ‘A multidimensionalapproach: poverty measurement & beyond’,Soc Indic Res, 112: hlm. 239–257.

Alkire, S and Jahan, S 2018, ‘The new global MPI2018: aligning with the sustainable develop-ment goals’, HDRO Occasional Paper, UnitedNations Development Programme (UNDP).

Badan Pusat Statistik (BPS) 1999, Pengukurantingkat kemiksinan di Indonesia 1976-1999:metode BPS, Buku 1, BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, Analisis dan peng-hitungan tingkat kemiskinan tahun 2008, BPS,Jakarta.

Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, Penghitungan dananalisis kemiskinan makro Indonesia tahun2018, BPS, Jakarta.

Bank Dunia (World Bank) 2016, Ketimpangan yangsemakin lebar, Bank Dunia, Jakarta.

Béné, C 2003, ‘When fishery rhymes with poverty:a f irst step beyond the old paradigm on pov-

erty in small-scale f isheries’, World Develop-ment Vol. 31, No. 6, hlm. 949–975.

Béné, C 2011, ‘Poverty in small-scale f isheries: oldissue, new analysis’, Progress in DevelopmentStudies 11, 2, hlm. 119–44.

Bernstein, H 2010, Class dynamics of agrarianchange, Fernwood Publiching, Nova Scotia.

Biro Pusat Statistik 1987, Indikator pemerataanpendapatan jumlah dan persentase pendudukmiskin di Indonesia 1976-1984, BPS 03310.8702,Jakarta.

Chambers, R 2007, ‘Participation and poverty, De-velopment, 50(2), hlm. 20–25.

Dixit, A 2013, ‘Agrarian poverty, nutrition and eco-nomic class–a study of Gujarat, India’, Journalof Agrarian Change, Vol. 13 No. 2, April 2013,hlm. 263–281.

Edelman, M and Wolford, W 2017, ‘Introduction:critical agrarian studies in theory and prac-tice’, Antipode Vol. 49 No. 4 2017, hlm. 959–976. DOI: 10.1111/anti.12326.

Hickey, S and Bracking, S 2005, ‘Exploring the poli-tics of chronic poverty: from representationto a politics of justice?’ World Development Vol.33, No. 6, hlm. 851–865.

Luthfi, AN 2011, Melacak sejarah pemikiran agraria:sumbangan pemikiran madzhab Bogor, STPNPress, Sajogyo Institute dan Pustaka Ifada,Yogyakarta.

Luthf i, AN 2011, ‘Politik keseharian Prof. Sajogyo’,Diakses di http://etnohistori.org/politik-keseharian-prof-sajogyo.html pada tanggal 25Desember 2017 Jam 23.00 WIB

Mosse, D 2010, ‘A relational approach to durablepoverty, inequality and power’, The Journal ofDevelopment Studies, 46:7, 1156-1178. DOI:10.1080/00220388.2010.487095

Mubyarto (Peny.) 1996, Menuju gerakan nasionalpenanggulangan kemiskinan, Bappenas danPusat P3R-YAE, Jakarta.

Mubyarto (Peny.) 1999, Memacu perekomian rakyat,Bappenas dan Pusat P3R-YAE, Jakarta.

Oxfam 2017, ‘Menuju Indonesia yang lebih setara:laporan ketimpangan Indonesia’, OXFAMBriefing Paper, February 2017, Oxfam dan INFID.

Sajogyo 1974, Usaha perbaikan gizi keluarga. Hasil

Page 115: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

111Amir Mahmud, Rekonsruksi Pemikiran Sajogyo tentang Kemiskinan ... 99-111

survei evaluasi proyek UPGK, LPSP-IPB, Bogor.Sajogyo 1977, ‘Garis kemiskinan dan kebutuhan

minimum pangan’, Kompas 17 Nov 1977.Sajogyo 1978, Lapisan masyarakat yang paling

lemah di pedesaan Jawa. Prisma, No 3, April1978.

Sajogyo 1988, ‘Garis kemiskinan dan ukuran tingkatkesejahteraan penduduk’, makalahdisampaikan pada Lokakarya di Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian FakultasPertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor, 10-11 Februari 1988.

Sajogyo 1992, ‘Menanggulangi kemiskinan:beberapa pokok bahasan’.

Sajogyo 1993, ‘Strategi pengembangan sumberdayamanusia dalam mengentaskan kemiskinan’,makalah disampaikan dalam pidato diesnatalis Ke-41, Universitas 17 Agustus 1945,Jakarta tanggal 14 Juli 1993 di Jakarta.

Sajogyo 2003, ‘Refleksi Sajogyo, dari praktik keteori dan ke praktik yang berteori’ Makalahdisampaikan pada Acara Refleksi Sajogyo,Kamis, 11 Desember 2003 di Gedung BRI I Lt.21 Jakarta Pusat.

Sajogyo 2006, Ekososiologi, deideologisasi teori,restrukturisasi aksi. Ed. F Wahono, ABWiyanta & Y Indarto, Cindelaras bekerjasamadengan Sains dan Bina Desa, Yogyakarta.

Sajogyo, Sitorus, MTF, Soetarto, E, Sumardjo,Iskandar, M, Weka, A dan Djoeroemana, S1992, Kemiskinan dan pembangunan di propinsiNusa Tenggara Timur, Pusat StudiPembangunan Lembaga Penelitian IPB, Bogor.

Sajogyo, Sunito, S, Adiwibowo, HS, dan Prasodjo,NW 1996, Panen 20 tahun studi sosiologipedesaan program sarjana IPB. DOKIS, ISICabang Bogor, PERHEPI, YAE dan PuspaSwara, Jakarta.

Schickele R 1969, Agrarian revolution and economicprogress, a primer for development. 2nd ed.,Praeger Special Studies in International Eco-nomics and Dvelopment, New York.

Shohibuddin, M 2018, Perspektif agraria kritis: teori,kebijakan, dan kajian empiris, STPN Press, PSAIPB, Sajogyo Institute dan KPA, Yogyakarta.

Sitorus, MTF, 1998, ‘Menuju sosiologi kemak-

muran: mencari kerangka untuk pemikiransosiologis Sajogyo’, Makalah disampaikanpada Diskusi Bulanan pada Kelompok Dokisdan Laboratorium SAK, PKP-Sosek, FapertaIPB, Bogor, 27 Agustus 1998.

Soetarto, E 2011, ‘Warisan profesor Sajogyo untukstudi agraria Indonesia, Opini, Tempo, 19Desember 2011.

Sumner, A 2007, ‘Meaning versus measurement:why do ‘economic’ indicators of poverty stillpredominate?’, Development in Practice, 17: 1,hlm. 4-13. URL: http://dx.doi.org/10.1080/09614520601092485

Survey Agro Ekonomi Indonesia (SAE) 1968,Ringkasan hasil survey-survey masalah (1965-1967) dan rentjana survey-survey masalah(1968-1969) Laporan Survey Agro EkonomiIndonesia, Jakarta.

Suwarto, Y, dan Erryson, J (Peny.) 2002, Dasar-dasarpendidikan musyawarah, Sekretariat BinaDesa, Jakarta.

ten Dam, H 1982, ‘Kerjasama dan struktur masya-rakat di desa Cibodas’, dalam Sajogyo danSajogyo, P, Sosiologi pedesaan, kumpulan baca-an. Jilid I. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Thorbecke, E 2006, ‘The evolution of the develop-ment doctrine, 1950-2005’, Research Paper No.2006/155. UNU World Institute for Develop-ment Economics Research (UNU-WIDER).

White, B 1978, ‘Rumah tangga sebagai unit analisa’,Makalah disampaikan pada Lokakarya StudiDinamika Pedesaan Jawa Timur, Survei AgroEkonomi–Universitas Brawijaya pada bulanMaret, 1978.

White, B 1979, ‘Political aspects of poverty, incomedistribution and their measurement: someexample from rural Java’, Development andChange, Vol 10, hlm. 91-114.

_____ 2005, ‘Between apologia and critical discourse:agrarian transitions and scholarly engagementin Indonesia’, in Hadiz, VR and Dhakidae, D(Ed.) Social science and power in Indonesia, Equi-nox & ISEAS Press, Jakarta & Singapore.

_____ 2011, ‘Critical agrarian studies: basic concept’,Lecutre Note, 29 April 2011.

Page 116: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

112 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

ANALISIS SPASIAL UNTUK LOKASI RELOKASI MASYARAKAT TERDAMPAKTSUNAMI SELAT BANTEN TAHUN 2018

SPATIAL ANALYSIS OF RELOCATION AREA OF TSUNAMI IN BANTEN STRAITIN 2018

Westi Utami, Yuli Ardianto Wibowo, Muhamad AfiqSekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Email: [email protected]

Abstract: Relocation is an alternative policy in post-disaster management, especially in disaster-prone area.This study was conducted to map alternative locations of relocation of affected people in 2018 Banten Straittsunami in Mekarsari Village. The method used is an analysis of superimposed spatial data using aerial pho-tograph, disaster hazard level map, spatial pattern map, road network, economic center map and Geo-KKPdata. Analysis of vulnerability map and spatial pattern map was done through scoring. Accessibility analysiswas conducted using road network map and economic center was carried out using buffer analysis. Theresults show that in Mekarsari Village, Banten, alternatives locations of relocation were obtained in 3 classes:class 1 for 173,013 Ha; class 2 for 115,180 Ha and class 3 for 269,806 Ha. This study is useful to determine suitablearea for relocation quickly, appropriately, effectively and in accordance with Spatial Planning.Key Word: Victim population, Spatial Analysis, Post-Disaster Relocation, Tsunami.

Intisari: Relokasi menjadi salah satu alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pasca bencana, untuk daerahyang memiliki ancaman bencana tinggi. Kajian ini dilakukan untuk memetakan alternatif lokasi relokasibagi masyarakat terdampak tsunami d Selat Banten tahun 2018 dengan lokasi di Desa Mekarsari. Metodeyang dilakukan menggunakan analisis superimposed data spasial yakni foto udara, peta tingkat kerawananbencana, peta pola ruang, peta jaringan jalan, peta pusat perekonomian dan data Geo-KKP. Analisis terhadappeta tingkat kerawanan bencana dan peta pola ruang dilakukan melalui skoring. Analisis terkait aksesibilitasdilakukan menggunakan peta jaringan jalan dan pusat perekonomian dilakukan melalui sistem buffer.Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Desa Mekarsari, Banten diperoleh alternatif relokasi relokasidengan 3 klasif ikasi kelas yaitu relokasi kelas 1 seluas 173.013 Ha; lokasi relokasi kelas 2 seluas 115.180 Ha danlokasi relokasi kelas 3 seluas 269.806 Ha. Kajian yang dilakukan menjadi salah satu metode untuk menetukanrelokasi secara cepat dan tepat, dan efektif karena lokasi yang dipilih sesuai dengan RTRW.Kata Kunci: Masyarakat Terdampak, Analisis Spasial, Relokasi Pasca Bencana, Tsunami.

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: March 28, 2019; Reviewed: April 2, 2019; Accepted: April 17, 2019.

To cite this article: Utami, W, Wibowo, YA, Af iq, M 2019, ‘Analisis spasial untuk lokasi relokasimasyarakat terdampak Tsunami Selat Banten tahun 2018’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5,no. 1, hlm. 112-128.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.323

Copyright: ©2019 Westi Utami, Yuli Ardianto Wibowo, Muhamad Af iq. All articles published in Jurnal Bhumiare licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

A. Pendahuluan

Dampak bencana gempa bumi, tsunami danlikuifaksi di Palu tahun 2018 serta bencana tsunamidi Banten tahun 2018 menyisakan pekerjaanrekonstruksi dan rehabilitasi bagi pemerintah

sehingga dibutuhkan beberapa kebijakan khususdalam penanganannya. Upaya mitigasi bencanayang terus dilakukan selama ini dirasa belummampu sepenuhnya mengurangi secara signif ikandampak yang terjadi akibat bencana khususnya

Page 117: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

113Westi Utami dkk, Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi ... 112-128

bencana tsunami di wilayah pesisir. Kondisi iniditunjukkan dengan data jumlah korban akibatbencana tsunami di Banten yang sangat tinggi yaknimencapai 437 jiwa korban meninggal, dan 4.340jiwa korban meninggal akibat bencana gempabumi, tsunami dan likuifaksi di Palu (BNPB 2018).

Pasca bencana tsunami, gempabumi, longsor,likuifaksi, banjir bandang yang perlu diperhatikantidak hanya bantuan darurat namun juga harusmemikirkan bagaimana menyediakan lingkungandan pemukiman kembali bagi masyarakat terdam-pak dimana pemukimannya telah mengalamikerusakan1 (Kumar 2017, 135-151), hal ini dikare-nakan beberapa pemukiman sudah tidak dapatditempati kembali karena rusak parah dan beradapada lokasi sangat dekat dengan sumber bencana.Dengan mempertimbangkan kondisi ini makakebutuhan ketersediaan pemukiman kembali men-jadi hal mendesak dan menjadi kebutuhan menda-sar pada siklus pasca bencana (Imura & Shaw 2009;Wu & Lindell 2004). Selain penyediaan pemukimankembali Comerio (2014, 51 -68) juga menyebutkanbahwa penanganan pasca bencana ada dua halpenting yang perlu diperhatikan yakni permukimandan pekerjaan bagi korban bencana.

Beberapa negara seperti Jepang, India, Srilangkadan Australia menjadikan kegiatan pasca bencanasebagai sebuah pekerjaan besar untuk mengaturkembali dan mengembangkan kehidupan masya-rakat menjadi lebih baik (Jauhola 2011, 173-195;Silva 2017, 71-88; Sipe, Karen 2015, 400-412; Veszteg,Funaki & Tanaka,2014). Selanjutnya, bagaimanadengan Indonesia, pasca bencana gempa bumi, tsu-nami dan likuifaksi di Palu serta tsunami di Bantenyang terjadi di Tahun 2018? Kondisi ini hendaknyamenjadi peluang bagi pemerintah untuk mengaturkembali pemilikan, penguasaan, penggunaan danpemanfaatan tanah sesuai dengan tata ruang ber-basis bencana dengan mengutamakan keamanandan menekan tingkat resiko apabila terjadi bencana.

Relokasi masyarakat terdampak yang tinggalpada kawasan sempadan pantai atau pada wilayahdengan tingkat kerawanan sangat tinggi merupakanalternatif/pilihan tepat, mengingat ancaman ben-cana yang sama kemungkinan akan terjadi kembalidi kemudian hari. Hal ini sesuai dengan sifat ben-cana yakni setiap bencana memiliki periode ulangtertentu (Smith 2008)2. Kondisi ini sama denganyang dikemukakan oleh Jha (2010, 77) dimanarelokasi menjadi pilihan terbaik pasca terjadinyasuatu bencana dikarenakan beberapa hal yaitu:pertama, pasca terjadinya bencana banyak orangyang terlantar karena tidak memiliki rumah; kedua,lokasi yang di tempati sudah tidak layak lagi untukdibangun tempat tinggal; ketiga, relokasi menjadipilihan terbaik untuk mengurangi tingkat keren-tanan terhadap resiko bencana yang akan terjadidikemudian hari; keempat, Jika tidak dilakukanrelokasi maka kemungkinan terjadinya bencanadi lokasi yang sama sangatlah besar sehingga biayauntuk pemulihan kembali yaitu pendanaan untukrehabilitasi dan rekonstruksi sangat besar ataubahkan pembiayaan yang dibutuhkan akan jauhlebih besar jika tetap memaksakan melakukanrekonstruksi.

Pada kondisi ini maka analisis penentuan lokasidan pengadaan tanah menjadi kebutuhan utamauntuk relokasi. Penentuan lokasi yang aman dariancaman bencana, lokasi yang memiliki akses mu-dah terhadap lokasi pekerjaan, aksesibilitas terha-dap fasilitas umum dan fasilitas sosial, luas tanahkaitannya dengan jumlah warga yang akan direlo-kasi dan kebutuhan luas tanah per bidang untuksetiap rumah tangga, serta kondisi status tanahmenjadi pertimbangan dalam menentukan lokasitanah yang memungkinkan untuk relokasi (Imura& Shaw 2009; Nilsson 2010; Oliver-Smith 1991).Penelitian yang dilakukan Jha (2014, 77) menya-

1 Data BNPB (2018) menyebutkan bahwa pasca tsu-nami di Banten berdampak terhadap kerusakan 2.752 ru-mah dan sejumlah 16.198 jiwa mengungsi. Sementara diPalu jumlah rumah yang mengalami kerusakan mencapai68.451 rumah, dan korban mengungsi sejumlah 172.635jiwa.

2 Beberapa jenis bencana seperti gempabumi, tsunami,erupsi gunung api, banjir, kekeringan, dsb memiliki perio-de ulang yakni bencana yang sama akan terjadi kembalipada periode ulang tertentu yang akan terjadi pada daerahyang sama dengan tingkat magnitude yang berbeda-bedayakni kekuatan bencana bisa lebih besar atau lebih kecil,semakin lama periode ulang suatu bencana maka kekuatanbencana tersebut biasanya lebih besar (Smith & Petley2008)

Page 118: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

114 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

takan bahwa dalam melakukan relokasi diperlukankajian yang komprehensif tidak hanya pada aspekfisik yaitu pembangunan infrastruktur dan peru-mahan semata, namun juga harus mempertim-bangkan bagaimana kehidupan masyarakat setelahdirelokasi. Beberapa hal yang harus diperhatikanketika melakukan relokasi selain aspek fisik yakniaspek ekonomi, sosial dan budaya serta nilai-nilaikomunitas dan kerbersamaan (Mahapatra, Tewari& Baboo 2015).

Dari beberapa kajian yang dilakukan para pene-liti terkait relokasi menyatakan bahwa pemilihanlokasi yang tepat salah satunya aman dari ancamanbencana menjadi poin penting dalam menentukanrelokasi (Sipe, Karen 2015, 400-412; Jha 2010;Katiyar, Khandelwal 2001, 2319-2321). Beberapakajian yang telah dilakukan oleh para penelititersebut lebih memfokuskan pada bagaimana relo-kasi dapat berhasil, mengkaji terkait faktor-faktorpenghambat dalam pelaksanaan relokasi, pengaruhkarakteristik dan kondisi masyarakat terhadapkeberlanjutan relokasi (Oakle, Ruel and Reid 2013,173-192) dan beberapa kajian yang dilakukan lebihberfokus kepada dampak relokasi bagi kehidupanmasyarakat (Imura & Shaw, 2009; Bier 2017, 179-202; Sipe & Karen 2015, 400-412; Taylor & Free-man 2010, 317-339).

Kajian ini bertujuan untuk memetakan potensitanah untuk lokasi pemukiman sebagai tempatrelokasi penduduk yang terdampak bencana sertakenapa relokasi perlu dilakukan untuk kawasan-kawasan tertentu. Kajian dilakukan denganmempertimbangkan lokasi berada pada kondisiaman dari ancaman bencana, memiliki kesesuaiandengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),memiliki akses jalan, memiliki akses yang mudahterhadap pusat perekonomian, fasilitas sosial danfasilitas umum, serta dekat dengan sumber matapencaharian penduduk. Pada kajian ini, pemetaanyang dihasilkan berupa alternatif lokasi yang dapatdijadikan sebagai pilihan pemerintah dan masya-rakat3 untuk ditetapkan sebagai lokasi relokasi.

Pemetaan yang dilakukan diharapkan dapatmembantu pemerintah dan masyarakat dalammenentukan lokasi relokasi secara cepat sehinggamasyarakat tidak terlalu lama dalam mendapatkanpemukiman yang layak, aman, dan pemukimanyang berkelanjutan bagi kehidupan ekonomi, sosialdan budayanya. Kajian ini dilakukan secara kuali-tatif deskriptif dengan menggunakan analisis spasialuntuk menentukan lokasi relokasi.

Data yang digunakan berupa foto udara tahun2017 sebagai bahan untuk melakukan interprestasipenggunaan tanah guna memetakan tanah kosongyang memiliki potensi dan memenuhi kriteriauntuk relokasi. Peta tingkat kerawanan bencanadigunakan untuk memastikan lokasi-lokasi tersebuttidak berada pada daerah dengan ancaman benca-na tingkat tinggi (daerah dengan tingkat kerawananpaling tinggi). Selanjutnya dalam kajian ini digu-nakan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)untuk mengetahui kesesuaian arahan pola ruangpada lokasi kajian apakah sesuai untuk pemukimanatau non pemukiman. Peta Rupa Bumi sebagai petadasar dan foto udara dimanfaatkan untuk menge-tahui kondisi fasilitas umum dan fasilitas sosialserta mengetahui jaringan jalan pada lokasi peneli-tian. Kajian ini dilakukan melalui analisis superim-posed dengan melakukan tumpang susun terhadappeta -peta yang ada menggunakan perangkat lunakArc GIS. Sumber data yang digunakan adalah petakerawanan bencana yang diperoleh dari BadanPenanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ProvinsiBanten serta data-data pertanahan terkait data sta-tus tanah terdaftar dan belum terdaftar ynagdiperoleh dari data Geo-KKP. Selain itu, digunakanpula foto udara yang diperoleh dari Badan Infor-masi Geospasial (BIG) yang tersedia di kantorpertanahan wilayah Badan Pertanahan Nasional/BPN Provinsi Banten. Diagram alir penelitianpemetaan potensi lokasi relokasi bagi masyarakatterdampak disajikan pada gambar 1 berikut:

3 Masyarakat menjadi bagian penting dan harusdilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitor-ing-evaluasi kegiatan relokasi. Sebagaimana dikemukakanoleh Jha (2010, 80) menkaji terkait keberhasilan relokasi

di India; Sipe& karen (2015, 400-412) mengkaji keber-hasilan relokasi di Queensland, hasil dua peneliti tersebutmenunjukkan bahwa keberhasilan relokasi dikarenakanadanya partisipasi masyarakat baik dalam pemilihan lokasi,identif ikasi kebutuhan dasar, perencanaan pemukimandan desain pemukiman.

Page 119: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

115Westi Utami dkk, Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi ... 112-128

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian PemetaanPotensi Lokasi Relokasi Masyarakat Terdampak

Bencana

B. Kebijakan Rekonstruksi VS Relokasi

Kegiatan rekonstruksi, relokasi ataupunrehabilitasi merupakan kegiatan pasca bencanayang membutuhkan perhatian dan pendanaancukup banyak khususnya pada bencana dengantingkat kerugian dan kerusakan tinggi4. Rekon-struksi dapat dilakukan apabila suatu wilayah padasuatu lokasi tertentu berada pada daerah yangmemiliki ancaman resiko bencana skala kecildengan periode ulang tidak terlalu sering dantingkat resiko tersebut masih dapat diminimalisirmelalui sebuah kebijakan/pembangunan (misal:pembangunan tanggul di sisi kanan–kiri sungaiuntuk menahan luapan banjir, pembangunan

waduk untuk menampung air ketika hujansehingga mencegah banjir dan menjagakestabilan air ketika terjadi kekeringan,pembangunan talud penahan longsor,pembatasan dan pengendalian penggunaanlahan pada lahan gambut agar tetap basahsehingga mencegah terjadinya bencanakebakaran, dan lain sebagainya).

Kegiatan rekonstruksi yang pernahdilakukan oleh masyarakat dan pemerintahsebagai contohnya adalah di Jawa Timur,dimana warga dan Non-Governmental Orga-nization (NGO) menolak relokasi masyarakatyang tinggal di sekitar sungai. Masyarakatdengan pendampingan NGO mengusulkanuntuk melakukan rekonstruksi terhadap pe-mukiman yang ada dan dengan membentukmasyarakat siaga bencana banjir. Hal ini dapatberhasil dan pembangunan berkelanjutandapat dilaksanakan karena ancaman bencana

yang terjadi hanyalah kecil, yakni banjir luapandengan skala kecil dan tidak terlalu membahayakanbagi kehidupan masyarakat. Keberhasilan rekon-struksi di lokasi tersebut juga didukung denganadanya pendampingan yang dilakukan cukupintensif, adanya komunikasi yang transparan dankoordinasi masyarakat serta penguatan kapasitasmasyarakat sebagai upaya mengurangi tingkatresiko yang akan terjadi ketika bencana banjir(Some, Hafidz & Saunter 2009, 463-475).

Sementara itu, hasil evaluasi pasca tsunami Acehtahun 2004 menyebutkan bahwa salah satu NGO,Urban poor linkage Indonesia (UPLINK), melakukanadvokasi terhadap masyarakat yang menetangkebijakan pemerintah untuk melakukan relokasipasca tsunami. NGO tersebut berhasil menentangprogram tersebut dan mengembalikan masyarakatuntuk tetap hidup di desa awal. Namun, dikare-nakan kurangnya perencanaan dan belum dilaku-kannya studi yang komprehensif, lokasi pemu-kiman kembali tersebut sudah mengalami peru-bahan topograf i dan morfologi akibat terjangangelombang tsunami sehingga mengakibatkanrumah-rumah yang sudah dibangun oleh masya-rakat tidak dapat dihuni dikarenakan adanyaintrusi air laut. Beberapa masyarakat yang tanahnya

4 Data BNPB menunjukkan bahwa dampak bencanayang terjadi tahun 2018 yakni bencana Tsunami di Bantenmencapai kerugian hingga mencapai 1 Triliun, sementaraangka kerugian yang jauh lebih tinggi yakni mencapaikerugian 28,47 Triliun diakibatkan oleh bencana gem-pabumi, tsunami dan likuifaksi di Palu-Donggala (BNPB2018). Dengan angka kerugian yang sangat tinggi tersebuttentu saja memiliki korelasi yang sama dengan biaya yangakan dikeluarkan untuk tahap rehabilitasi dan rekon-struksi pasca bencana.

Foto udara

InterpretasiPenggunaan

Lahan

tanah-

Ketersediaan

tanah

Kosong

Peta Kerawanan

Bencana

Menentukan

daerah aman

untuk relokasi

Data Geo

KKP

PETA

RTRW

Pemetaan Potensi Lokasi

Relokasi Masyarakat

terdampak Bencana

Memetakan

Kesesuaian

Lokasi Dengan

RTRW

Peta

Fasos/Fasum

dan Jaringan Jalan

Kemudahan dan

Aksesibilitas

Relokasi

Page 120: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

116 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

hilang karena tsunami dan tidak memiliki tanahlagi yang layak sebagai pemukiman akhirnya harusmembangun rumah di tengah persawahan denganketerbatasan akses dan fasilitas sosial maupun fasi-litas umum. Sementara itu, di beberapa desa lain,untuk mengurangi intrusi air laut, masyarakat harusmembangun tanggul penahan air. Namun begitu,karena kondisi pemukiman berada di daerah low-land maka ketika terjadi hujan, air menggenangirumah warga dan munculah bencana baru yaknibanjir. Dalam konteks ini, upaya perencanaanpenggunaan lahan harus disesuaikan dengankemampuan tanah dan kesesuaian tanah denganmelihat lagi bagaimana kondisi topograf inya,kondisi geomorfologinya dan kondisi lingkunganyang ada. Rekonstruksi yang terjadi pasca tsunamidi sebagian wilayah di Aceh merupakan salah satucontoh kebijakan yang kurang tepat, karena pascarekonstruksi masyarakat menerima dampak danresiko adanya bencana lain (Barenstein, Kusuma-hadi & Arif 2007). Selain ancaman bencana baruyakni banjir dan intrusi air laut, ancaman utamaterhadap masyarakat pesisir yang ada di Aceh yakniancaman bencana tsunami yang kemungkinanakan terjadi kembali, yang hendaknya menjadipertimbangan untuk menentukan kebijakan yangtepat bagi masyarakat pasca terjadinya bencana(Aldrich 2012).

Kondisi ini hendaknya menjadi pembelajaranbagi masyarakat dan pemerintah serta stakeholderlainnya bahwa rekonstruksi kembali bukanlahmenjadi solusi terbaik bagi masyarakat pasca ben-cana, ketika pertimbangan nilai kerugian yang akandirasakan oleh masyarakat jauh lebih besar. Olehkarena itu, relokasi5 dapat dijadikan sebagai alter-natif terbaik. Bronen dan Chaphin (2013) mengung-kapkan bahwa sebesar apapun upaya mitigasibencana, pembayaran asuransi, peningkatan kapa-sitas masyarakat, dan upaya lainnya tidak akan

mampu untuk menghindari kerusakan dan keru-gian terhadap pemukiman warga yang tinggalsangat dekat dengan sumber bahaya sebagaimanacontohnya dampak yang akan terjadi akibat ben-cana tsunami terhadap masyarakat yang tinggal dikawasan pesisir. Pada kasus ini, maka hanya adasatu upaya dan tidak ada pilihan lain yakni relokasiterhadap masyarakat yang tinggal pada kawasansangat rawan (Bronen dan Chaphin 2013).

Ancaman bencana dengan kekuatan sangatdahsyat khususnya bencana tsunami yang kemung-kinan dapat terjadi di Indonesia telah diprediksioleh beberapa peneliti, salah satunya ancamanbencana tsunami di Padang (Daoed, Febriansyah& Syukur 2013) dimana efek dari pergerakan lem-peng Mentawai dan adanya sesar serta patahan aktifdengan ancaman megathrust di sekitar Padangdapat menimbulkan gempa bumi dengan kekuatanlebih dari 7.8 SR dan mampu memicu munculnyagelombang tsunami. Kajian serupa juga dilakukanoleh Soleman dkk (2011, 46-59); Sugianto dkk(2017) yang menyebutkan bahwa selain di Padangancaman bencana tsunami juga dapat terjadi diPerairan sekitar selat Banten. Ancaman bencanatsunami yang ada di sekitar perairan Banten tidakhanya dipicu oleh adanya pergerakan lempeng saja,namun juga dipicu oleh adanya aktivitas vulkanikGunung Api Anak Krakatau dimana erupsi ataupunaktivitas vulkanik yang diakibatkan dapat ber-pengaruh terhadap longsor bawah permukaan lautyang berpotensi menimbulkan tsunami sebagai-mana yang terjadi di Tahun 2018. Beberapa penelititelah melakukan pemodelan terkait radius tsunamiyang mungkin mengancam, berapa lama waktugelombang tsunami mencapai daratan, sertadaerah mana saja yang terdampak untuk beberapadaerah, seperti Padang, Palu, Banten dan beberapatempat lain (Mudin, Pramana & Sabhan 2015;Sugianto dkk 2017; Barberopoulou & Scheele 2015,401-424). Data pemodelan ini hendaknya diguna-kan sebagai dasar untuk menyusun arahan peng-gunaan tanah pada area rawan bencana dan dija-dikan sebagai salah satu pertimbangan bagi peme-rintah untuk merumuskan kebijakan pengaturanpenggunaan dan pemanfaatan ruang berbasisbencana.

5 Relokasi merupakan proses dimana dibangun kem-bali perumahan masyarakat, aset dan infrastruktur publikpada lokasi lain (Jha 2010, 77). Proses relokasi sangatlahberat dan tentunya mendapat banyak tantangan dikare-nakan beberapa masyarakat akan kehilangan mata penca-harian, hilangnya rasa kebersamaan dan perubahan komu-nitas (Shriver & Kennedy 2005).

Page 121: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

117Westi Utami dkk, Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi ... 112-128

C. Kebijakan Relokasi Pada Wilayah yangMemiliki Kerawanan Bencana SangatTinggi

Relokasi menjadi sesuatu yang wajib dilakukanpemerintah apabila masyarakat berada padadaerah dengan ancaman bencana sangat fatal,lokasi pasca bencana sudah tidak dapat digunakanlagi sebagai pemukiman dan kemungkinan bencanayang sama akan terjadi kembali. Kebutuhan relo-kasi menjadi mendesak ketika pemerintah tidakmampu menciptakan sistem keamanan yang mam-pu menyelamatkan masyarakat dari ancamanbencana seperti tsunami ataupun erupsi gunungapi. Sebagai contoh yang terjadi saat erupsi GunungMerapi Tahun 2010 di Sleman Yogyakarta6, dimanaupaya mitigasi berupa pembangunan bunker be-lum mampu menyelamatkan warga dari ancamanawan panas yang suhunya mencapai suhu 6000 cserta aliran lava pijar yang menerjang pemukiman,infrastruktur dan segala hal yang dilewatinya, sertaancaman lontaran batu pijar terhadap daerah-daerah yang radiusnya sangat dekat dengan gunungapi.

Selain Erupsi Gunung Api, ancaman tsunamiyang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia(contohnya di NTT tahun 1979, Aceh tahun 2004,Jawa Barat dan Cilacap tahun 2009, Palu tahun2018 dan Banten tahun 2018) juga belum memilikisistem keamanan yang mampu mereduksi dampakkerusakan yang diakibatkan oleh bencana tersebut.Gelombang tsunami akan menerjang permukimanyang ada di sepanjang pesisir pantai serta segalayang dibangun oleh masyarakat, yang pada akhir-nya berakibat terhadap jatuhnya korban jiwa sertakerugian. Sistem mitigasi yang dibangun saat inimasih sebatas pada pembangunan Early Warning

System (EWS) yang keberadaannya sangat terbatasdan bahkan sebagian tidak berfungsi dengan baik.Selain penyediaan EWS, dilakukan juga penguatankapasitas masyarakat untuk meningkatkan ke-siagaan dalam menghadapi bencana, yang dilaku-kan oleh pemerintah melalui Badan Penanggu-langan Bencana Daerah/BPBD setempat. Upaya-upaya tersebut mungkin mampu mengurangitingkat resiko bencana, namun hanya dalam skalakecil. Berdasarkan data dari beberapa kejadianbencana tsunami yang telah terjadi dan belajar daritsunami di Palu, di Banten atau bahkan tsunami diJepang menunjukkan bahwa tsunami terjadi secaramendadak yang mengakibatkan masyarakat tidakmampu menyelamatkan diri secara cepat. Datamenunjukkan bahwa pasca terjadinya gempa. bumidengan kekuatan lebih dari 6,5 SR dengan polapergerakan sesar naik turun dan dengan kedalaman0 hingga 30 m memiliki potensi terjadinya tsunami(CNN Indonesia). Selang waktu datang gelombangtsunami yang terjadi di Indonesia juga tidak terlalulama yakni antara 20 hingga 60 menit, sehinggaupaya mitigasi yang mungkin telah dibanguntersebut kurang berhasil dalam menekan tingkatresiko sebagaimana target yang diharapkan. Daribeberapa kejadian yang terjadi seperti tsunami AcehTahun 2004 dengan kekuatan gempa sebesar 9,3SR (Kompas.com), tsunami Palu-Donggala Tahun2018 serta tsunami di Banten Tahun 2018, jumlahmasyarakat yang tidak selamat dari gelombang tsu-nami memiliki prosentase lebih kecil daripada yangselamat. Keterbatasan early warning system, keter-batasan ketersediaan tempat-tempat untuk evaku-asi, keterbatasan aksesibilitas, jarak yang cukupjauh untuk mencapai tempat evakuasi, jalur eva-kuasi yang terbatas, jaringan jalan yang sempit, sertawaktu yang terbatas untuk menuju tempat evakuasimenjadi salah satu sebab banyaknya korban jiwa.Kondisi ini semakin diperparah ketika sebelumterjadinya tsunami, gempa bumi dahsyat biasanyaterjadi sehingga penduduk berhamburan keluarrumah, bahkan tidak sedikit dari masyarakat yangmengalami cidera ataupun luka-luka akibat ter-timpa reruntuhan. Kondisi-kondisi inilah yangsemakin memperparah keadaan dan menjadifaktor tingginya jumlah korban meninggal ataupun

6 Pasca Erupsi Gunung Api Merapi Tahun 2010 Peme-rintah melakukan relokasi bagi masyarakat yang tinggalpada Kawasan Rawan Bencana (KRB) III. Relokasi dilaku-kan dengan melibatkan partisipasi masyarakat sejak awalyakni mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga moni-toring evaluasi. Keterlibatan dan pemberdayaan masyara-kat terhadap masyarakat terbukti mampu mewujudkankeberlanjutan permukiman berwawasan ekologi ling-kungan. Pemilihan lokasi relokasi dilakukan dengan me-manfaatkan tanah kas desa yang ada di wilayah KRB II(Bawole 2015).

Page 122: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

118 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

luka-luka.Dampak bencana tidak hanya mengakibatkan

korban jiwa, kerusakan pemukiman ataupuninfrastruktur, bencana juga seringkali mengakibat-kan topograf i ataupun lokasi pasca bencanamenjadi tidak layak lagi dilakukan pemukimankembali, seperti yang terjadi pasca bencana tsu-nami di Aceh Tahun 2004. Tsunami dengan keting-gian mencapai 30 m telah mengakibatkan hilang-nya sebagain daratan dan mengakibatkan berubah-nya morfologi daratan dan perubahan garis pantai.Selain tsunami, bencana likuifaksi yang terjadi diPalu pada tahun 2018 juga mengubah morfologidaratan dan menenggelamkan permukiman wargadi beberapa tempat. Selain adanya perubahanmorfologi, faktor pertimbangan biaya yang jauhlebih besar apabila lokasi tersebut dibangunkembali di daerah yang sama menjadikan kebijakanuntuk merelokasi masyarakat menjadi pilihan yangtepat. Relokasi yang dilakukan di kawasan sekitarpesisir tentunya membawa dampak positif yaknimenjadi salah satu upaya pemerintah untuk melin-dungi masyarakat dari tingginya tingkat kerentananbencana baik bencana tsunami, bencana banjir rob,abrasi, serta bencana akibat perubahan iklim(Bronen 2015). Pemerintah dan masyarakat hen-daknya berhitung ulang terhadap besarnya an-caman bencana dengan mitigasi yang telah dila-kukan. Pada lokasi-lokasi yang sudah dipetakanmemiliki ancaman zona subduksi dengan kekuatanmegathrust yakni pada daerah sepanjang pesisirpantai Aceh, Pesisir pantai di Padang, pesisir pantaidi Banten maupun di Palu, upaya mitigasi strukturalyakni relokasi menjadi alternatif yang lebih baik.

Dalam melaksanakan relokasi pasca bencanaada banyak hal penting yang perlu diperhatikanmeliputi: identif ikasi masyarakat yang terkenadampak, kebijakan pemukiman kembali (koordi-nasi dengan pemangku kebijakan dan stakeholderterkait), penentuan kelayakan pemukiman, penga-daan tanah dan pembebasan lahan (jumlah tanahyang dibutuhkan, lokasi tanah, penggunaan tanah,perkiraan jumlah perumahan, status kepemilikanpenggunaan tanah saat ini, adanya infrastrukturpublik), desain mata pencaharian dan bagaimanamelakukan evaluasi dan monitoring. Sipe & Karen

(2015, 400-414) menyebutkan bahwa ada 4 (empat)hal kunci dalam melakukan relokasi yakni: perta-ma, permasalahan pada saat proses relokasi; kedua,kemauan masyarakat untuk pindah; ketiga, kepe-mimpinan pemerintah dan keterlibatan masyara-kat; serta keempat, manfaat relokasi bagi masya-rakat dan pemerintah.

Pelaksanaan relokasi juga harus memperhatikanbeberapa hal mendasar, yakni bagaimana menda-patkan persetujuan dari masyarakat lokal, hargatanah yang sesuai untuk lokasi relokasi, bagaimanapembebasan tanahnya, bagaimana merencanakanpenggunaan dan pemanfaatan tanahnya sertabeberapa hal terkait pembangunan rumah wargayang direlokasi (Bronen & Chaphin 2013). Selainunsur-unsur tersebut, komponen kunci yang harusdipertimbangkan dalam melakukan relokasi dian-taranya adalah bagaimana kekuatan dari kepemim-pinan lokal untuk menggerakan masyarakat,bagaimana mengintegrasikan kondisi sosial danekologi untuk meningkatkan kesejahteraan masya-rakat dan bagaimana perencanaan yang dilakukanterkait pola adaptasi masyarakat dalam mengha-dapi bencana. Perencanaan relokasi bukan hanyamemperhatikan teknis pelaksanaan relokasi,namun pemerintah dan masyarakat juga harusmerencanakan bagaimana pola adaptasi yang akandibangun untuk menguatkan masyarakat dalammenghadapi kemungkinan terjadinya bencana(Kene 2017, 259-289).

D. Analisis Spasial untuk MenentukanAlternatif Lokasi Relokasi bagiMasyarakat Terdampak Tsunami

Analisis ketersediaan tanah untuk relokasimenjadi kebutuhan mendesak dan harus segeradipenuhi pasca terjadinya bencana tsunami Banten.Beberapa kriteria untuk tanah relokasi diantaranyaadalah: (i) lokasi yang diajukan merupakan tanahkosong dengan penggunaan non-permukiman, (ii)memiliki kesesuaian dengan Rencana Tata RuangWilayah (RTRW), (iii) berada pada lokasi amandari bencana, (iv) memiliki aksesibilitas berupajaringan jalan yang memadai, dekat dengan pusatpertumbuhan ekonomi serta lokasi tidak terlalujauh dari fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Page 123: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

119Westi Utami dkk, Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi ... 112-128

Alasan mengapa warga terdampak tsunami perludilakukan relokasi khususnya di Desa Mekarsari,Kecamatan Pandeglang, Provinsi Banten ini dida-sarkan pada hasil analisis spasial yang menunjukkanbahwa sebagian besar masyarakat yang terdampakberada sangat dekat dengan kawasan pesisir bahkanada pula beberapa pemukiman yang berada padakawasan sempadan pantai. Hasil pemetaan terkaitpenggunaan tanah eksisting pada kawasan terdam-pak disajikan pada gambar 2 berikut:

Gambar 2. Photomap Pada Wilayah TerdampakSumber: Analisis Data Tahun 2019.

Gambar 2 merupakan photomap hasil overlayfoto udara dengan peta terdampak tsunami yangdideliniasi dengan warna merah, yang menunjuk-kan lokasi terdampak tsunami akibat longsoranmorfologi dasar laut sebagai dampak dari aktivitasvulkanik Anak Gunung Krakatau. Daerah yangditunjukkan dengan anak panah warna merahmerupakan lokasi yang memiliki dampak lebihparah dikarenakan morfologi berupa teluk yangmenjorok ke daratan. Pada daerah ini, energi ge-lombang akan terkumpul dan terdorong lebih jauhke daratan. Kondisi morfologi daratan pada bagianujung teluk berupa tambak, daerah lowland tanpaadanya vegetasi penghalang menjadikan energigelombang tsunami lepas terdorong jauh ke da-ratan sehingga daerah terdampaknya lebih luasdaripada kawasan yang lain. Pada kawasan ini dapatpula dilihat terdapat beberapa pemukiman wargayang juga terdampak tsunami, dimana lokasipemukiman tersebut masih sangat dekat dengangaris pantai.

Sementara itu, di sekitar muara sungai juga me-miliki dampak terjangan gelombang tsunami jauh

lebih ke dalam ke daratan daripada wilayah lain,kondisi ini sesuai dengan beberapa kajian dan sifattsunami dimana sungai menjadi media bagi gelom-bang tsunami untuk memusatkan energi sehinggagelombang tsunami terdorong jauh ke daratanmelalui sungai. Kondisi yang semakin memperbu-ruk keadaan adalah di sekitar sungai tersebut tidakditanami tanaman (mangrove/cemara laut/bakau,dsb) sebagai penghambat gelombang tsunami, sertapenggunaan tanah yang secara eksisting dipadatioleh pemukiman. Dalam konteks ini maka kebera-daan vegetasi, adanya sand dunes atau morfologipantai yang curam akan berpengaruh dan mampumeredam dampak kerusakan dan kehancuranakibat terjangan gelombang tsunami (Chandra-mohan dkk 2017, 144 – 152).

Hasil tumpang tindih antara peta penggunaantanah dengan peta dampak tsunami di desa Mekar-sari disajikan pada gambar 3 berikut:

Gambar 3. Peta Eksisting Penggunaan Tanah PadaWilayah Terdampak

Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Berdasarkan gambar 3 tersebut sangat jelasbahwa sebagian besar permukiman bahkan pusatpemerintahan berupa Kantor Desa berada sangatdekat dengan sumber bencana. Beberapa pusatperekonomian juga berada memanjang di sekitarpesisir di Desa Mekarsari. Hasil interpretasi daritumpang tindih kedua peta tersebut menunjukkanbahwa di daerah terdampak, terdapat dua jenispenggunaan tanah berupa permukiman dan nonpermukiman. Adapun hasil perhitungan luasanterhadap penggunaan tanah tersebut disajikan padatabel 1 berikut:

Page 124: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

120 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Tabel 1 Penggunaan Tanah Eksisting di DesaMekarsari

Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Hasil interpretasi tersebut kemudian ditumpangtindihkan dengan peta batas administrasi desaMekarsarari untuk menentukan kriteria lokasi yangsesuai untuk relokasi, dilakukan dengan melakukaninterpretasi lokasi tanah kosong yang tidak digu-nakan sebagai permukiman. Hal ini dilakukandengan melakukan interpretasi foto udara yangditumpang tindihkan dengan peta kerawanan ben-cana dari BNPB. Lokasi yang dipetakan untuk relo-kasi adalah kawasan yang tidak berada padaancaman bencana tsunami tingkat tinggi ataubukan daerah terdampak. Hasil interpretasi ter-sebut disajikan pada gambar 4.

Gambar 4. Peta Lokasi Tanah Kosong yang DapatDigunakan untuk Relokasi Sumber: Analisis Data

Tahun 2019

Gambar 4 menunjukkan Desa Mekarsari masihmemiliki tanah kosong dengan jumlah yang luasdan berada pada daerah yang relatif lebih amandari ancaman tsunami. Lokasi yang dipetakantersebut juga memiliki topograf i datar sehinggaaman dari ancaman tanah longsor. Lokasi-lokasiinilah yang kemudian akan dijadikan sebagaialternatif awal untuk menentukan relokasi. Alter-natif relokasi yang ditawarkan memiliki lokasi yangtidak jauh dari lokasi awal, mengingat kondisi

masyarakat yang ada di Desa tersebut sebagianbesar bekerja sebagai nelayan, petani tambak danpetani/pekebun kelapa. Pemilihan lokasi yang tidakterlalu jauh dari mata pencaharian penduduk inidisesuaikan dengan kajian yang pernah dilakukanoleh peneliti terdahulu (Jha 2014), dimana relokasibukan hanya memindahkan secara f isik masyara-kat pasca bencana, namun relokasi juga harusmempertimbangkan kondisi ekonomi dan keber-lanjutan kehidupan masyarakat.

Selanjutnya, untuk mengetahui kondisi tanahkosong tersebut serta melihat kemungkinanapakah dapat digunakan sebagai permukiman atautidak, maka dilakukan tumpang susun dengan petapola ruang yang merupakan bagian dari RencanaTata Ruang Wilayah (RTRW). Peta pola ruang iniberfungsi untuk mengetahui kesesuaian penggu-naan tanah dengan arahan pola ruang yang telahditetapkan. Adapun hasil dari overlay kedua dataspasial tersebut disajikan pada gambar 5 petaberikut.

Gambar 5. Peta Kesesuaian Rencana LokasiRelokasi dengan Peta Pola Ruang Sumber :

Analisis Data Tahun 2019

Hasil tumpang susun menunjukkan bahwasebagian besar tanah kosong tersebut berada dikawasan permukiman menurut RTRW. Hal inimenunjukkan bahwa alternatif lokasi relokasisesuai dengan RTRW dan tidak melanggar arahanpenggunaan tanah yang telah ditetapkan dalampeta pola ruang. Jika ada sebagian lokasi yangditetapkan tidak sesuai dengan arahan pola ruangmaka lokasi tersebut lebih baik tidak dipergunakansebagai rencana relokasi.

No Penggunaan Tanah Luas Prosentase

1 Pertanian 143,165 Ha 95,3 %

2 Pemukiman 6,936 Ha 4,7 %

Page 125: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

121Westi Utami dkk, Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi ... 112-128

Penentuan lokasi relokasi juga memperhatikanaspek aksesibilitas masyarakat yang akan dire-lokasi. Pertimbangan yang dilakukan diantaranyadengan memperhatikan bagaimana lokasi yangakan dijadikan sebagai relokasi apakah memilikiaksesibilitas yang mudah dengan jalan utama ataujalan desa, atau apakah lokasi tersebut memilikiakses terhadap jalan desa ataupun jalan dusun.Penilaian terhadap aksesibilitas jalan dilakukanmelalui analisis buffer terhadap lokasi relokasidengan akses jalan. Adapun klasif ikasi buffer jalandisajikan pada tabel 2 berikut:

Tabel 2. Klasif ikasi Buffer Jalan

Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Selain jalan sebagai sarana prasarana vital dalammenunjang keberlanjutan kehidupan masyarakat,kajian ini juga mempertimbangkan akses aksesibi-litas lokasi dengan pusat perekonomian dan fasilitassosial maupun fasilitas umum di Desa Mekarsari.Kemudahan terhadap akses ekonomi dan fasilitassosial maupun fasilitas umum ini tentunya akanmembuat masyarakat merasa nyaman denganlingkungan barunya dan mendukung sektorperekonomian masyarakat. Aksesibilitas yang mudahjuga menjadikan masyarakat tidak terisolir danmenjadikan mereka betah untuk tinggal pada lokasibaru. Dalam penelitian ini analisis yang digunakanuntuk mengukur kemudahan aksesibilitas masyarakatterhadap sumber perekonomian menggunakan buffer2 kelas sebagaimana tersaji pada tabel 3.

Tabel 3. Klasif ikasi Buffer Aksesibilitas dari PusatPerekonomian dan Fasilitas Sosial serta Fasilitas

Umum

Sumber : Analisis Data Tahun 2019

Kemudahan dan jarak dari pusat perekono-mian, pusat pemerintahan dan fasilitas sosial-fasilitas umum maka hasil analisis tersebut disa-jikan pada gambar 6 berikut.

Gambar 6. Peta Kelas Lokasi Relokasi TerhadapJaringan Jalan dan Aksesibilitas Pusat

Pemerintahan/Perekonomian dan Fasilitas Sosial-Fasilitas Umum

Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Hasil analisis terkait ketersediaan tanah yangdapat digunakan untuk relokasi berdasarkantingkat aksesibilitas disajikan pada tabel 4 berikut:

Tabel 4. Kluster Lokasi Berdasarkan kemudahanAksesibilitas

Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Berdasarkan analisis sebagaimana tersebut padatabel 4 menunjukkan bahwa pilihan alternatifuntuk menentukan lokasi relokasi di Desa Mekar-sari masih terdapat banyak pilihan dengan ham-paran tanah yang cukup luas. Kluster 1 memilikiakses yang mudah dengan pusat perekonomian/pemerintahan serta dekat dengan ketersediaanfasilitas sosial dan fasilitas umum, tersedia seluas173.013 Ha. Lokasi kedua juga masih dapat dijadi-kan alternatif pilihan hanya saja lokasinya kurangstrategis apabila dibandingkan dengan lokasi padakriteria 1, namun lokasi ini masih bisa digunakankarena masih memiliki akses jalan. Untuk lokasidengan kluster 3 apabila akan dipilih sebagai lokasirelokasi dibutuhkan pembangunan jaringan jalan

No Buffer Jalan Kluster1 Jarak lokasi 0 s/d 100 m dari Jalan Desa Kluster 12 Jarak lokasi 100 – 200 m dari Jalan Desa) Kluster 2

Bufer jalan 0 – 50 m dari Jalan Dusun3 Jarak lokasi lebih dari 200 m dari jalan

Desa ataupun lebih dari 50 m dari jalanDusun atau lokasi tidak memiliki aksesjalan

Kluster 3

No Buffer Aksesibilitas Kluster1 Jarak lokasi 2 Km dari pusat perekonomian

dan Fasos & FasumKluster 1

2 Jarak lokasi lebih dari 2 Km dari pusatperekonomian Fasos & Fasum

Kluster 2

No Kluster Luas1 Lokasi dengan Kluster 1 173.013 Ha2 Lokasi dengan Kluster 2 115.180 Ha

3 Lokasi dengan Kluster 3 269.806 Ha

Page 126: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

122 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

berupa jalan desa ataupun jalan dusun sehinggamasyarakat memiliki akses yang mudah dalam halakses jaringan jalan.

Pada tahap terakhir analisis spasial ini dilakukanoverlay terhadap hasil kluster lokasi relokasi dengandata Geo-KKP. Tujuan dari analisis ini untukmemetakan mana saja tanah yang sudah terdaftarmemiliki hak milik dan mana saja tanah yang belumterdaftar. Terhadap tanah yang sudah terdaftar danstatus hak tanahnya berupa hak milik, makakemungkinan lokasi sudah clear and clean dalamartian kemungkinan tanah tersebut tidak dalamsengketa dan status kepemilikannya jelas dimilikioleh siapa saja, meskipun tidak menutup bahwatanah tersebut sedang dalam sengketa. Hasil over-lay peta kluster lokasi relokasi dengan data spasialGeo-KKP disajikan pada gambar 7 berikut:

Gambar 7 Overlay Peta Rencana Relokasi DenganData Geo KKP

Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Gambar peta sebagaimana tersebut pada gam-bar 7 merupakan hasil dari analisis spasial untukmenentukan wilayah relokasi pasca bencana ataudapat pula digunakan untuk memberikan arahanpembangunan pemukiman pada tahap sebelumbencana. Hasil dari analisis ini dapat digunakansebagai bahan pertimbangan pemerintah danmasyarakat untuk menentukan dimana lokasi relo-kasi yang dipilih. Penyusunan dan integrasi data-data dengan mempertimbangkan tingkat ke-amanan wilayah dari ancaman bencana tsunamiatau bencana baru lainnya, kesesuaian lokasidengan RTRW, kemudahan lokasi hubungannyadengan ketersediaan jaringan jalan, aksesibilitasdengan pusat-pusat perekonomian, kemudahan

memperoleh fasilitas sosial dan fasilitas umum ser-ta bagaimana dengan kondisi status hak atas tanahdiharapkan dapat memudahkan pemerintah danmasyarakat dalam menyediakan pemukiman bagimasyarakat yang sudah kehilangan tempat tinggalpasca bencana.

Pertimbangan penyusunan rencana lokasi seba-gaimana dalam kajian ini diharapkan dapat menja-di salah satu upaya mitigasi bencana. Relokasi yangdilakukan dengan memindahkan masyarakatmundur dan menjauh dari garis pantai menjadisalah satu upaya bersama untuk menekan tingkatresiko yang akan terjadi apabila di Desa Mekarsaridi masa mendatang terkena bencana tsunami.Kegiatan pasca bencana yang dilakukan beruparelokasi bukan rekonstruksi tentunya memberikankeuntungan dan manfaat bagi masyarakat yangsifatnya jangka panjang sehingga masyarakat dapathidup secara berkelanjutan, sehingga apabila terjaditsunami kembali maka korban jiwa, tingkatkerusakan dan nilai kerugian dapat ditekan.

A. Kesimpulan

Relokasi merupakan salah satu kebijakan yangdapat dilakukan pasca bencana atau dapat puladilakukan sebelum terjadinya bencana sebagaiupaya mitigasi untuk menekan tingkat resiko(jatuhnya korban jiwa, kerusakan maupun keru-gian) yang akan terjadi ketika bencana. Relokasibukan hanya memindahkan masyarakat secaraf isik semata, namun dalam memindahkan masya-rakat harus memperhatikan berbagai faktor yaknisosial, ekonomi, budaya, dan keberlanjutan kehi-dupan masyarakat. Kegagalan dan kendala bebera-pa relokasi yang pernah terjadi diantaranya kebu-tuhan waktu yang cukup lama untuk menentukandimana relokasi akan dilakukan. Kajian analisisspasial dengan mengutamakan tingkat keamananlokasi dari tingkat kerawanan bencana disertaidengan pertimbangan lokasi relokasi tidak memu-tus mata pencaharian awal masyarakat, memilikiaksesibilititas dan sarana-prasarana memadai.Pemanfaatan data spasial dan analisis spasialdengan menggunakan Arc-GIS ini diharapkan dapatmempercepat penyediaan lokasi relokasi bagimasyarakat korban bencana.

Page 127: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

123Westi Utami dkk, Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi ... 112-128

Daftar Pustaka

Aldrich, D 2012, Building resilience: social capital inpost-disaster recovery, IL, University of Chica-go Press, Chicago.

Badan Nasional Penaggulangan Bencana 2018,diakses melalui https://bnpb.go.id/, dilihattanggal 27 Februari 2019.

Barberopoulou & Scheele 2015, ‘Does the futureof tsunami intensity scales lie in past events’,Nat Hazards, © Springer Science+BusinessMedia Dordrecht, hlm. 401-424, DOI 10.1007/s11069-015-1994-1.

Barenstein, J, Kusumahadi, M, Arif, K 2007, ‘Peopledriven reconstruction and rehabilitation inAceh, A review of UPKLINK’s, Strategies andAchievment’, (evaluation by world habitat re-search centre under contract to Misereor).

Bawole, P 2015, ‘Program relokasi permukimanberbasis masyarakat untuk korban bencanaalam letusan Gunung Merapi tahun 2010’,Jurnal Tesa Arsitektur, Vol. 13 No. 2, DOI:10.24167/te.v1312.644.

BBC Indonesia 2019, diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45165817,diakses tanggal 27 Februari 2019

Berke, P. R, Lyles, W., Smith, G 2014, ‘Impacts offederal and state hazard mitigation pilicies onlocal land use policy’, Journal of Planning Edu-cation and Research, Vol. 34 (I), hlm. 60 -76,© The Author(s), reprints and permissions:sagepub.com/journalsPermissions.nav DoI:10.1177/0739456XI3517004, jpe.sagepub.com

Berke, P and Smith, G 2010, Hazard mitigation, plan-ning and disaster resiliency: Challenges andstrategic choice for the 21st century, In: Fra U(ed) Sustainable Development and DisasterResiliency, Amsterdam, The Netherland: IOPPress, hlm. 1-23.

Bier, V.M 2017, ‘Understanding and mitigating theimpacts of massive relocations due to disas-ters’, EconDisCliCha, © Springer InternationalPublishing 2017, hlm. 179-202, DOI 10.1007/s41885-017-0003-4.

Bronen, R 2015, ‘Climate-induced community re-locations using integrated social-ecologicalassessments to foster adaptation and resil-

ience’, Ecology and Society, vol. 20 no. 3, Resil-ience Alliance Inc, https://www.jstor.org/stable/26270247.

Bronen, R., Chapin, FS 2013, ‘Adaptive governanceand institusional strategies for climate-inducedcommunity relocations in Alaska’, Proceedingsof the National Academy of Sciences, 110 (23),hlm. 9320-9325, Doi: 10.1073/pnas.1210508110

Chandramohan, P, Anu, AP, Vaigaiarasi, V, Dhar-malingam, K 2017, ‘Environmental manage-ment and emergency preparedness plan forTsunami disaster along Indian coast’, The In-ternational Journal of Ocean and Climate Sys-tems, Vol. 8(3), hlm. 144–152, © The Author(s)2017, Reprints and permissions: sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav, DOI: 10.1177/1759313117708253, journals.sagepub.com/home/ocs

CNN Indonesia 2018, diakses melalui https://ww w.cnnindonesia .com/teknologi/20180806144314-199-319928/kenali-jenis-gempa-yang-sebabkan-tsunami, diakses padatanggal 20 Maret 2019

Comerio, C.M 2014, ‘Disaster recovery and com-munity renewal: housing approaches,Cityscape’, A Journal of Policy Development andResearch, vol. 16 no. 2, hlm. 51-68, USDepartement of Housing and Urban Devel-opment, https://www.jstor.org/stable/10.2307/26326883.

Daoed, D, Febriansyah, MD, Syukur, M 2013, ‘Modelfisik arah aliran gelombang tsunami di daerahPurus dan Ulak Karang Padang’, Jurnal Reka-yasa Sipil, vol. 9 no. 2.

Ewing, L.C 2015, ‘Resilience from coastal protec-tion’, Philosophical Transactions: Mathemati-cal, Physical And Engineering Sciences, vol. 373,no. 2053, tsunamis: bridging science, engineer-ing and society, hlm. 1-16, Royal Society, https://www.jstor.org/stable/24506318.

Ge, Y, Lindell K.M 2015, ‘Country plannerss’ percep-tions of land-use planning tools for environt-mental hazard mitigation: a survey in the U.S.Pacif ic States’, Environtment and Planning B:Panning and Design, sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav, DoI: 10.1177/

Page 128: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

124 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

0265813515594810.Imura, M., & Shaw, R 2009, ‘Challenges and poten-

tials of post-disaster relocation’, Asian Journalof Environment and Disaster Management, 1(2),hlm. 199–221. doi:10.3850/S1793924009000029.

Jauhola, M 2011, ‘When house become home’ read-ing normativity in gender equality advocacyin post tsunami Aceh Indonesia, Gender, Tech-nology and Development Journal, vol 14, hlm.173-195, © 2010 Asian Institute of TechnologySAGE Publications Los Angeles, London, NewDelhi, Singapore, Washington DC, DOI:10.1177/097185241001400203 http://gtd.sagepub.com.

Jha, A.K 2010, ‘Safer homes, stronger communi-ties: a handbook for reconstructing after natu-ral disaster’. Global Facility for Disaster Reduc-tion and Recovery, World Bank, Washington,D.C., USA. ULR: https://www.gfdrr.org/sites/gfdrr/files/publication/SaferHomes StrongerCommunitites.pdf.

Katiyar, S, Khandelwal, R 2001, ‘Relocation in Kutch:bringing old fault’, Economic and Weekly, vol.36, no.2, https://www.jstor.org/stable/4410795

Kumar, N 2017, ‘Incentives and expectations: com-munity resiliency and recovery in Tamil Naduafter the Indian tsunami’, Independent Review,vol. 22, no. 1, hlm. 135-151, https:www.jstor.org/stable/26314762.

Mahapatra, KA, Tewari D, Baboo, B 2015, Displace-ment, deprivation and development: the im-pact of relocation on income and livelihoodof Tribes in Similipal Tiger and Biosphere Re-serve, India, ©Springer Science+Business Me-dia New York.

Mudin, Y, Pramana, IW, Sabhan 2015, ‘Pemetaantingkat resiko bencana tsunami berbasis spasialdi Kota Palu’, Gravitasi, vol. 14 no.2.

Nilsson, B 2010, ‘Ideology, environment and forcedrelocation: Kiruna-A town on the move’, Eu-ropean Urban and Regional Studies, 17(4), hlm.433–442. doi:10.1177/0969776410369045

Oakle, D, Ruel, E, Reid, L 2013, ‘It was reallyhard. ... It was alright. ... It was easy, publichousing relocation experiencesand destination

satisfaction in Atlanta’, Cityscape, vol. 15, no.2, hlm. 173-192, Published by: US Departmentof Housing and Urban Development, StableURL: https://www.jstor.org/stable/41959118,diakses 29 Januari 2019

Oliver, Smith, A 1991, ‘Successes and failures in post-disaster resettlement’, Disasters, 15 (1), hlm.12–23. doi:10.1111/j.1467-7717.1991.tb00423.x

Silva, ILD 2017, ‘Moving ahead: a decade after thetsunami: the socio-economic impact andimplicationsof the tsunami housing compen-sation scheme in Galle, Sri Lanka’, Social Sci-entist Jornal, vol. 45, hlm. 71-88, Stable URL:https://www.jstor.org/stable/26380480,diakses 29 Januari 2019.

Sipe, N, Karen, V 2014, ‘Relocationg a flood-affectedcommunity: Good planning or good politics’,Journal of the American Planning Association,Routledge Taylor and Francis Group, DOI:1 0 . 1 0 8 0 / 0 1 9 4 4 3 6 3 . 2 0 1 4 . 9 7 6 5 8 6 ,https:www.tandfonline.com/loi/rjpa20

Smith, K, Petley, D.N 2008, Environmental Hazards:Assessing risk and reducing disaster, © 2009Keith Smith and David N. Petley Routledge,Taylor & Francis e-Library.

Some, W, Hafidz, W, Sauter G 2009, ‘Renovationnot relocation: the work of Paguyuban WargaStrenkali (PWS) in Indonesia Environment &Urbanization’, International Institute for En-vironment and Development (IIED). vol.21(2), hlm. 463–475. DOI: 10.1177/0 9 5 6 2 4 7 8 0 9 3 4 3 7 6 6www.sagepublications.com

Sugianto, D, Nurjaya, IW, Nyoman, MN, Natih, N,Pandoe, W 2017, ‘Potensi rendaman tsunamidi wilayah Lebak Banten’, Jurnal KelautanNasional, vol. 12 no. 2, DOI. http://dx.doi.org/10.15578/jkn.v12i1.6241

Soleman, MK, Nurcahyani, F, Munajati, Lestari, S.2012, ‘Pemetaan multirawan bencana diProvinsi Banten’, Globe, vol. 14 no. 1 Juni 2012,hlm. 46–59.

Taylor, N, Freeman, M 2010, ‘International researchevidence on relocation: past, present and fu-ture’, Family Law Quartely, vol. 44, hlm. 317-339. https://www.jstor.org/stable/23034359

Page 129: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

125Westi Utami dkk, Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi ... 112-128

Tiepolo, M , Pezzoli, A, Tarchiani, V 2017, Renew-ing climate planning locally to attend the 11thsustainable development goal in the tropics,©The Author(s), Green Energy and Technol-ogy, DOI 10.1007/978-3-319-59096-7_1

UNISDR, 2015, Sendai framework for disaster riskreduction 2015–2030. Geneva: UNISDR

Veszteg, RF, Funaki, Y, Tanaka, A 2014, ‘The impactof the Tohoku earthquake and tsunami onsocial capital in Japan: trust before and afterthe disaster’, International Political Science Re-view, vol. 36(2), hlm. 119 –138 © The Author(s)2014 Reprints and permissions: sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI: 10.1177/0192512113509501

Wu, JY, & Lindell, MK 2004, ‘Housing reconstruc-tion after two major earthquakes: The 1994Northridge earthquake in the United Statesand the 1999 Chi-Chi earthquake in Taiwan’.Disasters, 28(1), hlm. 63–81. doi:10.1111/j.0361-3666.2004.00243.x

Peraturan Perundang-udangan

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/KepalaBadan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 2017tentang Tata Cara Peninjauan KembaliRencana Tata Ruang Wilayah.

Page 130: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

126 Lampiran Peta

ambar 3. Peta Eksisting Penggunaan Tanah Pada Wilayah Terdampak. Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Gambar 2. Photomap Pada Wilayah Terdampak. Sumber: Analisis Data Tahun 2019.

Page 131: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

127Westi Utami dkk, Analisis Spasial untuk Lokasi Relokasi ... 112-128

Gambar 4. Peta Lokasi Tanah Kosong yang Dapat Digunakan untuk Relokasi. Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Gambar 5. Peta Kesesuaian Rencana Lokasi Relokasi dengan Peta Pola Ruang. Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Page 132: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

128 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Gambar 6. Peta Kelas Lokasi Relokasi Terhadap Jaringan Jalan dan Aksesibilitas Pusat Pemerintahan/Perekonomian dan Fasilitas Sosial-Fasilitas Umum. Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Gambar 7 Overlay Peta Rencana Relokasi Dengan Data Geo KKP. Sumber: Analisis Data Tahun 2019

Page 133: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

129Anggiat PP & Sudjito, Masalah Tumpang Tindih Sertipikat ... 129-135

MASALAH TUMPANG TINDIH SERTIPIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DIKOTA BANJARBARU (PUTUSAN NOMOR: 24/G/2014/PTUN.BJM)

THE OVERLAPPING ISSUE OF FREEHOLD ESTATE CERTIFICATES INBANJARBARU (Decree: 25/G/2014/PTUN.BJM)

Anggiat Perdamean Parsaulian dan SudjitoFakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Abstract: This research aims to identify the factors causing overlapping of land certif icates in Land Off iceof Banjarbaru and the strategy of the off ice to resolve it. This research is an empirical research. Data collec-tion was conducted through literature study and f ield study through interviews. The data was analyzedusing qualitative method. The results show that: (1) The causes of overlapping of certif icate in KotaBanjarbaru are: Land off ice did not carried out the certif ication process based on the procedures writtenon laws and regulations, lack of registration map as a base map, the owner (the applicant) does not life inthe same area with the location of the parcel, and lack of awareness of the applicant regarding to landboundaries. (2) The problems were tackled by: grievence mechanism, research, prevention of mutation,revoke the decree and submit lawsuit to the State Administrative Court. (3)The solution and recommen-dation giving by Land Off ice of Kota Banjarbaru are the implementation of computerized land registra-tion and good land administration system at land off ice level and village level.Keyword: overlapping, certif icate, freehold title.

Intisari: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab tumpang tindih sertipikat hak milikatas tanah di Kantor Pertanahan Kota Banjarbaru, serta strategi penyelesaian yang dilakukan KantorPertanahan. Penelitian ini merupakan penelitian empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studiliteratur dan pengumpulan data di lapangan melalui wawancara. Data yang terkumpul dianalisis denganmetode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Faktor penyebab terjadinya tumpang tindihsertipikat hak milik atas tanah pada Kantor Pertanahan Kota Banjarbaru yaitu: Kantor pertanahan tidakmenjalankan tugas sesuai dengan prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,kantor pertanahan belum memiliki peta pendaftaran yang lengkap, pemohon berdomisili di luar kota daritanah yang disengketakan, pemohon kurang memahami letak batas tanah miliknya.(2) Penyelesaian masalahdilakukan dengan cara: pengaduan, penelitian, pencegahan mutasi (status-quo), pencabutan SuratKeputusan di Bidang Pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Banjarbaru dan gugatan ke PengadilanTata Usaha Negara Banjarmasin. (3) Solusi dan rekomendasi yang diberikan oleh kantor pertanahan adalahmelalui program komputerisasi peta pendaftaran tanah, tertib administrasi pendaftaran tanah, tertibadministrasi desa berkaitan dengan informasi tanah.Kata Kunci: tumpang tindih, sertipikat, hak milik.

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: February 14, 2019; Reviewed: March 1, 2019; Accepted: March 20, 2019.

To cite this article: Parsaulian, AP dan Sudjito 2019, ‘Masalah tumpang tindih sertipikat hak milik atas tanahdi Kota Banjarbaru (Putusan nomor: 24/G/2014/PTUN.BJM)’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5,no. 1, hlm. 129-135.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.324

Copyright: ©2019 Anggiat Perdamean Parsaulian dan Sudjito. All articles published in Jurnal Bhumi arelicensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

Page 134: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

130 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

A. Pendahuluan

Pendaftaran tanah di Indonesia diatur dalamPeraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 1 butir (1) Pera-turan Pemerintah ini mendef inisikan pendaftarantanah adalah sebagai “Rangkaian kegiatan yangdilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus,berkesinambungan dan teratur, meliputi pengum-pulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajianserta pemeliharaan data f isik dan data yuridis,dalam peta dan daftar, mengenai bidang-bidangtanah dan satuan rumah susun, termasuk pembe-rian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidangtanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik atassatuan rumah susun serta hak-hak tertentu yangmembebaninya.”

Dewasa ini, tidak jarang terjadi terbit 2 (dua)atau lebih sertipikat tanah di atas sebidang tanahyang sama, sering disebut juga tumpang tindih(overlapping) sertipikat dan membawa akibatketidakpastian hukum bagi pemegang hak atastanah dan akan menimbulkan persengketaan anta-ra para pemegang hak, karena dapat merugikanorang yang benar-benar memiliki hak atas tanahtersebut, yang sangat tidak diharapkan dalam pelak-sanaan pendaftaran tanah di Indonesia (Bachtiar1993, Rusmadi 1991).

Apabila terbit 2 (dua) sertipikat atau lebih atas1 (satu) bidang tanah, sudah tentu terdapat perbe-daan baik dari data f isik maupun data yuridis. Datafisik adalah keterangan mengenai letak, batas, danluas bidang tanah dan satuan rumah susun yangdidaftar, termasuk keterangan mengenai adanyabangunan atau bagian bangunan di atasnya. Perbe-daan yang berkaitan dengan data f isik mungkinterjadi dalam sengketa sertipikat ganda, yaituperbedaan mengenai luas tanah maupun batas-batas tanah yang sering ditemukan. Data yuridisadalah keterangan mengenai status hukum bidangtanah dan satuan rumah susun yang didaftar, peme-gang haknya dan pihak lain serta beban-beban lainyang membebaninya (Sarjita 2004, Sumardjono2001).

Sertipikat hak adalah tanda bukti atas tanah yangtelah terdaftar oleh badan resmi yang sah dilakukanoleh negara atas dasar Undang-Undang, sehingga

dengan penerbitan sertipikat ini, menandakantelah ada pendaftaran tanah yang dilakukan.Hanya saja dalam praktek, penerbitan sertipikattanah masih dapat dipertanyakan efektif itasnyadalam memberikan kepastian dan perlindunganhukum, apakah sertipikat benar-benarmelindungi hak subyek atau tanah sebagai obyekatau hanya bukti f isik sertipikatnya saja, karenasering terjadi ketika dibawa ke pengadilan, dapatsaja diakui secara formal sertipikatnya, tetapi tidakmelindungi subyek dan obyeknya. PengadilanTata Usaha Negara dapat saja menolakmenyatakan untuk membatalkan sertipikat tanah,tetapi peradilan umum menyatakan orang yangterdaftar namanya dalam sertipikat tidak berhakatas tanah yang disengketakan. Salah satu contoh,masalah tumpang tindih sertipikat Hak Milik atasnama Abdul Hadi, pemilik atas sebidang tanahberdasarkan SHM Nomor 4071/Kel. Cempaka,tanggal 24 Desember 2004 tumpang tindihdengan SHM Nomor 8992/Kel. Cempaka tanggal18 Desember 2012 atas nama Rusli Saberi Ajuri.Penerbitan sertipikat tanah atas nama Rusli SaberiAjuri tersebut merugikan Abdul Hadi yangmerasa tidak pernah menjual, mengalihkan,membalik nama SHM Nomor 4071/Kel. Cempakakepada siapapun atau pihak manapun.

Kasus terurai di atas menunjukkan bahwa ma-sih terdapat masalah hukum dan ketimpanganantara hukum yang seharusnya (das sollen) denganhukum senyatanya (das sein) khususnya dalamhukum pertanahan mengenai pensertipikatantanah di Indonesia. Masalah ini perlu diteliti, agardapat diketahui akar masalahnya dan penyelesai-annya, sehingga keadilan dan kepastian hukumbidang pertanahan semakin dapat diwujudkan.

Dari uraian pada pendahuluan, dirumuskanbeberapa problema/permasalahan yang diteliti,yakni (1) Penyebab terjadinya tumpang tindihsertipikat hak milik atas tanah pada putusanNomor: 25/G/2014/PTUN.BJM, (2) Bagaimanapenyelesaiannya, dan (3) Solusi dari Kantor Per-tanahan Kota Banjarbaru untuk mencegah terja-dinya tumpang tindih sertipikat.

Penelitian ini mencakup penelitian pustaka (li-brary research) dan penelitian lapangan (f ield re-

Page 135: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

131Anggiat PP & Sudjito, Masalah Tumpang Tindih Sertipikat ... 129-135

search). Untuk penelitian pustaka, dikaji bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,dan bahan hukum tersier yang relevan dengansubstansi penelitian. Bahan-bahan hukumdimaksud mencakup peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan jurnal-jurnal.Sementara itu, penelitian lapangan dilakukan diKota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Adapunresponden yang diwawancarai adalah: (1) KepalaKantor Pertanahan Kota Banjarbaru; (2) KepalaSeksi Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan;(3) Pemohon Sertipikat Hak Milik yang terlibatdalam permasalahan tumpang tindih sertipikathak milik.

Analisis data dilakukan secara kualitatif. Secarasistematik langkah-langkah analisis diawali denganpereduksian data yaitu memilih hal-hal relevan dansahih, kemudian diikuti pemaknaan data, danselanjutnya hasil analisis disajikan dalam uraiandeskriptif-analitis, sesuai dengan urutan perma-salahan. Pada bagian akhir disampaikan kesimpulandan saran.

B. Kajian Yuridis tentang Tumpang TindihSertipikat Hak Atas Tanah

Tumpang tindih sertipikat hak tanah adalahsertipikat yang untuk sebidang tanah diterbitkanlebih dari satu sertipikat yang letak tanahnyatumpang tindih seluruhnya atau sebagiannya (Kus& Khisni 2017, Sari & Hanim 2017). Tumpang tindihterjadi karena sertipikat tersebut tidak dipetakandalam peta pendaftaran tanah atau peta situasidaerah tersebut. Apabila peta pendaftaran tanahatau peta situasi pada setiap kantor pertanahandibuat dalam peta, maka kemungkinan terjadinyatumpang tindih sertipikat tanah akan kecil sekali(Sarjita 2004, Supranowo 1992, Purbowo 2002).

Tumpang tindih sertipikat tanah pada umumnyaterjadi pada tanah yang masih kosong atau belumdibangun. Pencegahannya tidak lain dengan me-ningkatkan kinerja administrasi pertanahan yangbaik, terutama pada peta pendaftaran tanah (Pinuji2016, Purbowo 2002, Loeby 1995).

Secara empiris, tumpang tindih sertipikatumumnya muncul karena beberapa hal sebagaiberikut:

1. Sewaktu dilakukan pengukuran atau pene-litian di lapangan, pemohon sengaja menun-jukkan letak tanah dan batas tanah yangsalah (Purbowo 2002, Supranowo 1992);

2. Surat bukti atau pengakuan hak yangternyata terbukti mengandungketidakbenaran, kepalsuan, atau tidakberlaku lagi (Joni 2000);

3. Wilayah yang bersangkutan belum tersediapeta pendaftaran tanahnya.Penyelesaian sengketa tumpang tindih sertipikat

hak atas tanah telah diatur oleh Badan PertanahanNasional (BPN), baik penyelesaian melalui mediasiataupun musyawarah, dan penyelesaian melaluipengadilan bila jalan damai gagal (Joni 2000).

C. Faktor-Faktor Penyebab TerjadinyaTumpang Tindih Sertipikat Hak AtasTanah Berdasarkan Putusan Nomor: 25/G/2014/PTUN.BJM

Hasil penelitian di Kantor Pertanahan KotaBanjarbaru, pada tahun 2014 telah terjadi gugatantumpang tindih sertipikat Hak Milik atas tanah,yaitu penerbitan Sertipikat Hak Milik Nomor 8992/Kel. Cempaka tanggal 20 Februari 2013, atas namaRusli Saberi Ajuri, luas tanah 4.965 m2, denganSurat Ukur Nomor 1410/CPK/2012 tanggal 18Desember 2012, yang terletak di Jalan Aneka Tam-bang RT 03, RW 01, Kelurahan Cempaka, Keca-matan Cempaka, Kota Banjarbaru, Provinsi Kali-mantan Selatan.

Hasil wawancara dengan Kepala Seksi Sengketa,Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan Kota Ban-jarbaru menjelaskan bahwa berdasarkan penelitianyang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Ban-jarbaru, tumpang tindih hak milik tersebut terjadikarena kesalahan sewaktu dilakukan pengukuran,dimana Rusli Saberi Ajuri (pemohon SHM Nomor:8992/Kel. Cempaka) salah dalam menunjukkanbatas-batas obyek tanah. Hal ini terjadi salah satu-nya karena pihak Kantor Pertanahan Kota Banjar-baru pada saat itu belum memiliki peta pendaftarantanah secara menyeluruh di daerah tersebut. PihakKantor Pertanahan sebenarnya juga telah berusahameneliti sedetil mungkin akan tetapi tetap sajamasih terjadi kesalahan dalam hal pengumpulan

Page 136: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

132 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

data f isik dan data yuridis tanah tersebut. Kasustumpang tindih sertipikat tersebut terjadi karena2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan faktoreksternal. Faktor intern adalah adanya kesalahanyang dilakukan oleh pejabat Kantor PertanahanKota Banjarbaru, dimana pejabat yang bersang-kutan tidak memeriksa ada atau tidaknya sertipikathak milik atas tanah yang diterbitkan sebelumnyadi atas objek tanah tersebut, sehingga terjadi tum-pang tindih. Selain itu, pejabat Kantor PertanahanKota Banjarbaru juga kurang teliti dalam meme-riksa data f isik dan data yuridis atas sebidang tanahtersebut. Sedangkan faktor eksternalnya adalahsistem pemetaan yang kurang baik dalam sistempeta pendaftaran tanah.

Dalam wawancara dengan narasumber, Anwary(Dosen Fakultas Hukum Universitas LambungMangkurat) menyebutkan bahwa faktor penyebabsertipikat ganda terjadi karena beberapa hal, baikdari dalam kantor pertanahan, kantor kepala desa/kelurahan, dapat terjadi karena individu pemohon.Hal ini dapat dipengaruhi karena faktor-faktortertentu, seperti faktor ekonomi dan teknis la-pangan.

Kepala Kantor Pertanahan Kota Banjarbaru,Ahmad Yanuari, menyebutkan bahwa penyebabterjadinya tumpang tindih sertipikat hak atas tanahpada Putusan Nomor 25/G/2014/PTUN.BJM adalahkarena sistem pemetaan kurang baik, sangatminim, bahkan pada waktu itu tidak terpetakandan data yang kantor pertanahan terima berasaldari desa/kelurahan.

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui fak-tor-faktor penyebab terjadinya tumpang tindihsertipikat hak milik atas tanah di Kantor PertanahanKota Banjarbaru (Putusan Nomor: 25/G/2014/PTUN.BJM), adalah karena Kantor Pertanahan KotaBanjarbaru dalam menerbitkan sertipikat hak milikNomor: 8992/Kel. Cempaka atas nama Rusli SaberiAjuri tidak sesuai dengan prosedur dan berten-tangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa data menunjuk-kan bahwa:1. Rusli Saberi tidak hadir saat pembuatan Peta

Bidang Tanah/Pengukuran Tanah, dandikuasakan kepada Ahyat berdasarkan kuasa

lisan, hal tersebut bertentangan denganPasal 1 ayat (10) yang berbunyi: “Kuasaadalah orang atau badan hukum yangmendapat kuasa tertulis yang sah daripemegang hak”;

2. Surat Ukur Nomor 1410/Cpk/2012 tanggal 18Desember 2012 mencantumkan: “Penunjuk-kan dan Penetapan Batas oleh Rusli SaberiAjuri yang disaksikan dan ditetapkan bersa-ma-sama dengan pemilik tanah yang berke-pentingan”, hal ini tidak sesuai dengan faktayang terjadi di lapangan. Rusli Saberi Ajuritidak turut hadir ketika pengukuran danpemetaan bidang tanah yang dimaksud

3. Permohonan Pendaftaran Hak Atas TanahRusli Saberi Ajuri tanpa tanda tangan;

4. Panitia Pemeriksa Tanah A tidak menjalan-kan tugas sebagaimana yang diatur di dalamPasal 83 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3Tahun 1997, yaitu: Lurah atas nama Masjuainisebagai Panitia Pemeriksa Tanah A tidakmelakukan pemeriksaan lapangan untukmenentukan kebenaran bukti yang diajukanoleh pemohon pendaftaran tanah;

5. Peta pendaftaran tanah belum menyeluruhdi daerah objek sengketa;

6. Pemohon, yakni pihak Penggugat dan Tergu-gat berdomisili di luar kota, dan tidak menge-tahui betul batas-batas tanahnya.

E. Penyelesaian Sengketa Tumpang TindihSertipikat Hak Milik Atas Tanah diKantor Pertanahan Kota Banjarbaru

Mekanisme penyelesaian sengketa tanah yangdilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Banjar-baru, adalah sebagai berikut:1. Penyelesaian Sengketa Melalui Kantor Perta-

nahanPertanahan Kota Banjarbaru menyelesaikansengketa pertanahan dengan langkah-langkahsebagai berikut: Pertama, menerima penga-duan. Pengadu memohon penyelesaiandengan membawa barang-barang bukti yangdimilikinya. Kedua, Kantor Pertanahan mela-kukan pemeriksaan atau penelitian kebe-

Page 137: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

133Anggiat PP & Sudjito, Masalah Tumpang Tindih Sertipikat ... 129-135

naran data pengadu, dicocokkan antaradata tertulis dengan data lapangan. Ketiga,Kantor Pertanahan melakukan pencegahanmutasi atau membiarkannya dalam statusquo. Tentang pencegahan mutasi ini, KepalaKantor Pertanahan Kota Banjarbarumenjelaskan bahwa dalam hal sengketatersebut sudah diajukan ke pengadilan danada perintah status quo atau ada putusanmengenai sita jaminan atas tanah itu, makapencantuman nama pemegang dalam bukutanah itu ditangguhkan sampai jelas siapayang berhak atas tanah tersebut, baikmelalui putusan pengadilan maupunberdasarkan perdamaian. Perintah statusquo di sini haruslah resmi dan tertulis sertasesudah sidang pemeriksaan gugatan yangbersangkutan berjalan diperkuat denganputusan peletakkan sita atas tanah yangbersangkutan. Berikutnya, penyelesaiansengketa dilakukan melalui musyawarah.Perihal musyawarah ini, Kepala SeksiSengketa, Konflik dan Perkara menjelaskanbahwa Kantor Pertanahan Kota Banjarbaruselalu berupaya menyelesaikan sengketasertipikat hak atas tanah melalui jalanmusyawarah terlebih dahulu yang dalam halini terwujud dalam upaya yang disebutdengan mediasi, karena tidak menemukanpenyelesaiannya maka diupayakan melaluijalur peradilan. Penyelesaian sengketa me-lalui kantor pertanahan adalah pembatalanSurat Keputusan Tata Usaha Negara di bidangpertanahan oleh Kepala Kantor Pertanahan.

2. Penyelesaian melalui pengadilanKepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkaramenjelaskan bahwa setelah ada keputusanyang sudah mempunyai kekuatan hukumtetap, maka akan ditindaklanjuti denganpermohonan pembatalan sertipikat yangdinyatakan cacat hukum. Kemudian KepalaBadan Pertanahan Nasional memerintahkanKepala Kantor Pertanahan Kota Banjarbaruuntuk melakukan hal-hal berikut:1) mencatat batalnya Sertipikat Milik Nomor:

8992/Kel.Cempaka atas nama Rusli Saberi

Ajuri seluas 4965 m2 pada Buku Tanahdan Daftar-Daftar Umum lainnya yangada dalam administrasi pendaftaran tanahserta mematikan Buku Tanah yangbersangkutan.

2) menarik kembali dari peredaran sertipikatHak Milik Nomor: 8992/Kel. Cempaka atasnama Rusli Saberi Ajuri seluas 4965 m2tersebut dan apabila sertipikat tersebuttidak dapat dilaksanakan agar diumumkan1 (satu) kali dalam 1 (satu) surat kabar ha-rian yang beredar secara umum di KotaBanjarbaru.

3) mempersilahkan kepada Rusli Saberi Ajuriuntuk mengajukan kembali permohonanhak atas tanah Negara yang secara nyatadikuasai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

F. Solusi Kantor Pertanahan KotaBanjarbaru untuk Mencegah TerjadinyaTumpang Tindih Sertipikat Hak MilikAtas Tanah

Solusi-solusi yang dilakukan oleh Kantor Perta-nahan Kota Banjarbaru untuk mencegah terjadinyatumpang tindih sertipikat Hak Atas Tanah adalahsebagai berikut:1. Program Komputerisasi Peta Pendaftaran

Tanah. Program ini digunakan untuk menge-tahui bidang-bidang tanah yang sudah beser-tipikat atau belum bersertipikat.

2. Penertiban Proses Pendaftaran Tanah. Penun-jukkan batas dilakukan oleh yang bersang-kutan dengan menyertakan para pihak yangtanahnya berbatasan dengan tanah objekpengukuran; pada saat proses pengumpulandan penelitian data yuridis dan data f isik bi-dang tanah harus benar-benar diteliti kebe-narannya terutama mengenai riwayat tanah-nya; mengenai data f isik dan data yuridisharus diumumkan kepada masyarakat dikantor pertanahan dan kantor kepala desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutanuntuk memberi kesempatan kepada pihakyang berkepentingan mengajukan keberatan.

Page 138: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

134 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

Pengumuman juga di masukkan ke mediamassa sehingga dapat menjangkau para pihakyang berdomisili di luar kota, sehingga jikaterjadi keberatan atas data f isik dan datayuridis dapat segera diselesaikan.

3. Penertiban administrasi desa mengenaiinformasi tanah. Solusi dalam mencegahterjadinya tumpang tindih sertipikat hakmilik atas tanah adalah denganmenjalankan proses penertiban sertipikatsesuai dengan apa yang sudah diamanatkandi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanahterutama dalam hal pengumpulan data f isikdan data yuridis tanah, karena sengketapertanahan kerap kali terjadi dikarenakankesalahan dalam menentukan batas-batastanah. Jadi, untuk mencegah hal tersebutialah dengan menghadirkan langsungpihak-pihak yang tanahnya bersangkutan.Dijelaskan oleh Kepala Kantor PertanahanKota Banjarbaru, bahwa sejak tahun 2017,Kantor Pertanahan sudah menggunakanGeo-KKP, setiap tanah sudah ada pemeta-annya. Ini menjadi solusi bagi kantor perta-nahan agar tidak terjadi lagi tumpang tindihsertipikat tanah.

G. Kesimpulan

Dari analisis sebagaimana terurai di atas, disim-pulkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinyatumpang-tindih sertipikat hak atas tanah di KotaBanjarbaru (Putusan Nomor: 25/G/2014/PTUN.BJM) adalah:1) Kantor Pertanahan Kota Banjarbaru dalam

menerbitkan Sertipikat Hak Milik Nomor:8992/Kel Cempaka atas nama Rusli SaberiAjuri tidak sesuai dengan prosedur danbertentangan dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku. PanitiaPemeriksa Tanah A tidak menjalankan tugassebagaimana yang diatur di dalam Pasal 83Peraturan Menteri Negara Agraria/KepalaBadan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun1997, yaitu:a) Peta pendaftaran tanah belum menyeluruh

di daerah objek sengketa;b) Penggugat dan Tergugat berdomisili di luar

kota;c) Penggugat dan Tergugat tidak mengetahui

betul batas-batas tanahnya.2. Penyelesaian kasus tumpang-tindih sertipikat

hak atas tanah di kota Banjarbaru,dilakukan dengan mekanisme:a) Pengaduan; penelitian; pencegahan

mutasi (status quo); musyawarah; danpencabutan Surat Keputusan di BidangPertanahan oleh Kantor Pertanahan KotaBanjarbaru.

b) Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha NegaraBanjarmasin.

3. Solusi Kantor Pertanahan Kota Banjarbaruagar tidak terjadi tumpang-tindih sertipikathak atas tanah, yaitu melakukan:1) Program komputerisasi peta pendaftaran

tanah;2) Penertiban proses pendaftaran tanah;3) Penertiban desa mengenai informasi tanah.

Daftar Pustaka

Effendie, B 1993, Pendaftaran tanah di Indonesia danperaturan pelaksanaannya’, Alumni, Bandung.

Emirzon, J 2000 Alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan (negosiasi, mediasi, konsiliasi,dan arbitrasi’, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

Kus, K, Khisni, A 2017, ‘Perlindungan hukum bagipemegang hak atas tanah dalam kasustumpang tindih kepemilikan atas sebidangtanah di Badan Pertanahan Nasional/ATRKabupaten Kudus’, International Journal, Fac-ulty of Law Sultan Agung Islamic University, vol.4.

Sari, LM, Hanim, L 2017, ‘Kepastian hukum dalampenyelesaian sengketa timbulnya tumpangtindih Sertipikat Hak Milik (SHM) atas tanah(Studi Kasus Di Kantor Pertanahan/AgrariaDan Tata Ruang Kota Pontianak)’, Interna-tional Journal, Faculty of Law Sultan Agung Is-lamic University, vol. 4.

Loqman, L 1995, Laporan akhir analisis dan evaluasi

Page 139: Jurnal Agraria dan Pertanahan - ristekdikti

135Anggiat PP & Sudjito, Masalah Tumpang Tindih Sertipikat ... 129-135

hukum tentang penanggulangan danpenyelesaian sertipikat bermasalah, BadanPembinaan Hukum Nasional DepartemenKehakiman, Jakarta.

Murad, R 1991, Penyelesaian sengketa hukum hakatas tanah”, Alumni, Bandung.

Pinuji, S 2016, ‘Integrasi sistem informasi perta-nahan dan infrastruktur data spasial dalamrangka perwujudan One Map Policy’, Bhumi,vol 2, no 1 (2016), Pusat Penelitian dan Pengab-dian Kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Perta-nahan Nasional, Yogyakarta, Edisi Khusus, Mei.

Purbowo, R 2002, ‘Peranan Badan PertanahanNasional dalam mencegah terbitnya sertipikatAsli Atau Palsu (ASPAL) terhadap hak milikatas tanah”, Jurnal Penelitian Hukum, FakultasHukum Universitas Muhammadiyah Sura-karta, Edisi Khusus, Desember.

Sarjita 2004, ‘Strategi mengelola konflik perta-nahan’, Mimbar Hukum, Edisi Khusus,Oktober, Fakultas Hukum Universitas GadjahMada Yogyakarta.

Sumardjono, MSW 2001, Kebijakan antara regulasidan implementasi, Kompas, Jakarta.

Supranowo 1992, Sertipikat dan permasalahannya,Yogyakarta.

Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indone-

sia 1945.Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar PokokAgraria (Lembaran Negara Republik Indo-

nesia Tahun 1960 Nomor 104, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor2043).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah(Lembaran Negara Republik Indonesia 1997Nomor 50, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3696).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor37 Tahun 1998 tentang Peraturan JabatanPejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Ne-gara Republik Indonesia 1998 Nomor 52,Tambahan Lembaran Negara Republik Indo-nesia Nomor 3746).

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Perta-nahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentangKetentuan Pelaksanaan Peraturan PemerintahNomor 24 Tahun 1997 tentang PendaftaranTanah.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Perta-nahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentangPelimpahan Kewenangan Pemberian danPembatalan Keputusan Pemberian Hak AtasTanah Negara.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Perta-nahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 tentangKetentuan Pelaksanaan Peraturan Nomor 37Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PejabatPembuat Akta Tanah.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Perta-nahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentangTata Cara Pemberian dan Pembatalan HakAtas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.