JURNAL PENGAWASAN · 2020-03-27 · 2 sistem pengendalian internal (COSO, 2013) atau sistem...

64

Transcript of JURNAL PENGAWASAN · 2020-03-27 · 2 sistem pengendalian internal (COSO, 2013) atau sistem...

JURNAL PENGAWASAN

ISSN 2686-2840

Jurnal Pengawasan terbit dua kali setahun (bulan September dan Maret) berisi artikel berupa

hasil penelitian dan hasil pemikiran/non penelitian (kajian analisis, aplikasi teori, review, research

comment) dalam lingkup pengawasan (termasuk di dalamnya governance, risk, control pada sektor

publik).

Penerbitan Jurnal Pengawasan dimaksudkan sebagai salah satu media pengembangan ilmu

di bidang pengawasan melalui penyebarluasan dan diskusi hasil penelitian, pemikiran dan gagasan

bagi para peneliti, akademisi, analis kebijakan, praktisi, dan pemerhati bidang pengawasan.

Pengarah:

Sekretaris Utama BPKP

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:

Kapuslitbangwas BPKP

Redaktur:

Agus Widaryanto

Jamason Sinaga

Mohamad Riyad

Rury Hanasri

Purwantoro

Dani Wirawan

Coenraad Rezky D.

Ida Siti Farida

Penyunting:

Chekat Fahmi Rosyadi

Nugroho Dwi Putranto

Ramondias Agustino

Eko Prasojo

Peer-Reviewers:

Dr. Arief Tri Hardiyanto, Ak., M.B.A.

Dr. Ayi Riyanto, Ak., M.Si.

Rudy Mahani Harahap, Ak., M.M., Ph.D.

Dr. Arief Hadianto, S.E., M.Ec.Dev.

Dr. Setya Nugraha, MIBA.

Dr. Felix Joni Darjoko, Ak., M.Ec.Dev. CFE.

Dr. Ilham Nurhidayat, Ak., CA., M.Ec.Dev., CSEP.

Dr. Cissy Fransisca Susanti, Ak., M.M.

Diterbitkan Oleh:

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Pengawasan BPKP

Gedung BPKP Pusat Lantai 11

Jl. Pramuka No. 33 Jakarta 13120

Tel : (021) 85910031 Ext. 1124

Fax : (021) 85910161

Email : [email protected]

Website : www.bpkp.go.id/puslitbangwas.bpkp

JURNAL PENGAWASAN ISSN 2686-2840

Volume 2, Nomor 1 Maret 2020

DAFTAR ISI

Auditor Internal Pemerintah di Era Digital

Dayu Jati Sri Panuntun – 1

Does Press Highlights Moderate the Effect of the Quality of Internal Control Systems

on Disclosure in Local Government Financial Reports?

Farid Handoko – 8

Peta Risiko Manajemen Pemerintah

Mustofa Kamal – 22

Pengaruh Pengendalian Internal dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai

Rieswandha Dio Primasatya, Muhammad Thaibi, Jarry Roy Buana Hutagahol, Erdiya

Vega Restiyantingrum – 41

Pengaruh Remunerasi, Motivasi Pegawai, dan Kinerja Pegawai terhadap Kinerja

Organisasi

Hadiyanto – 52

1

AUDITOR INTERNAL PEMERINTAH DI ERA DIGITAL

Dayu Jati Sri Panuntun

Perwakilan BPKP Provinsi Sumatera Selatan

email: [email protected]

Abstrak

Pemerintah Indonesia telah menerapkan e-Government dan layanan berbasis web, seperti e-

procurement, e-budgeting, e-ktp, dan e-audit. Kondisi ini menimbulkan risiko yang harus dikelola

untuk menjaga aset dari kejahatan cyber. Auditor internal pemerintah memiliki peran untuk

melakukan pengendalian internal (untuk memastikan bahwa tujuan organisasi tercapai) dan tata

kelola pemerintahan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji permasalahan dan tantangan

yang dihadapi auditor internal dalam melakukan pengawasan pengelolaan Teknologi Informasi (TI)

di instansi pemerintah. Data yang digunakan adalah data primer dengan menggunakan kuesioner

kepada 56 responden yang tersebar di 36 unit lembaga auditor internal pemerintah

Indonesia. Penelitian ini menggunakan kombinasi metode penelitian kuantitatif yang didukung oleh

hasil wawancara. Penelitian menunjukkan bahwa walaupun diketahui betapa pentingnya

kemampuan dan keahlian TI dalam pelaksanaan tugas auditor internal pemerintah, namun kurangnya

perhatian organisasi dan rendahnya motivasi pegawai pemerintah membuat masih sedikit jumlah

auditor yang memiliki keterampilan dan pengetahuan di bidang Audit TI.

Kata kunci: Teknologi Informasi, e-government, internal auditor pemerintah

Abstract

The Government of Indonesia has implemented e-Government and web-based services, such as e-

procurement, e-budgeting, e-ID card, and e-audit. This condition creates risks that must be managed

to protect assets from cyber crime. Internal government auditors have a role to carry out internal

control (to ensure that organizational goals are achieved) and good governance. This study aims to

examine the problems and challenges faced by internal auditors in overseeing the management of

Information Technology (IT) in government agencies. The data used are primary data using a

questionnaire to 56 respondents spread across 36 units of the Indonesian government's internal

auditor. This study uses a combination of quantitative research methods supported by the results of

the interview. Research shows that although it is known how important the ability and expertise of

IT is in carrying out the duties of the government's internal auditors, the lack of organizational

attention and the low motivation of government employees make still a small number of auditors who

have skills and knowledge in the field of IT Audit.

Keywords: Information Technology, e-government, government internal auditor

1. PENDAHULUAN

Teknologi tidak hanya merevolusi cara

bisnis dan layanan di sektor swasta tapi juga di

instansi pemerintah. Beberapa penelitian

sebelumnya telah mengindikasikan bahwa

internet telah digunakan sebagai alat untuk

memperbaiki layanan dan efisiensi pemerintah,

terutama mengenai akses informasi (Grant,

2008; Sang et al., 2009). Di Indonesia, kemajuan

teknologi informasi dan komunikasi

memainkan peran penting dalam pelaksanaan

good governance, yang meliputi akuntabilitas

dan transparansi kinerja pemerintah dalam

bentuk e-Government, seperti e-procurement,

e-budgeting, dan e-audit.

Penggunaan teknologi informasi di sektor

publik juga menimbulkan risiko baru, terutama

terkait dengan risiko kejahatan cyber dan

keamanan aset pemerintah. Oleh karena itu,

pemerintah harus membentuk sistem kontrol

sebagaimana dinyatakan dalam Sistem

Informasi Akuntansi (SIA) dan auditing sebagai

2

sistem pengendalian internal (COSO, 2013) atau

sistem pengendalian manajemen (Malmi dan

Brown, 2008; Chenhall, 2003), dengan tujuan

untuk menjaga aset dan memberikan manajemen

informasi yang andal untuk pengambilan

keputusan sehingga organisasi dapat mencapai

tujuannya (COSO, 2013). Kontrol manajemen

hanya bekerja jika sistem data dan informasi

dapat diandalkan dan pengendalian internal

sangat penting untuk memastikan integritas

sistem lain, oleh karena itu pengendalian internal

sangat penting untuk membuat pengendalian

manajemen bekerja (Simmons,

1995). Hubungan antara teknologi informasi

(TI) dan kontrol, pada umumnya, adalah subjek

yang tidak diteliti dan hanya ada beberapa

kesimpulan yang diterima secara umum tentang

hubungan antara TI dan pengendalian

manajemen (Granlund et al., 2013; Berry et al.,

2009).

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menguji

permasalahan dan tantangan yang dihadapi

auditor internal dalam melakukan audit TI di

instansi pemerintah.

Pendekatan dalam penelitian ini adalah

studi literatur yang dilengkapi dengan hasil

penyebaran kuesioner dan wawancara. Studi

literatur mencakup tantangan yang akan

dihadapi oleh auditor internal pemerintah serta

keterampilan profesional yang harus dimiliki di

era digitalisasi. Proses penelitian dilakukan

dengan menggunakan model snowball. Dimulai

dengan pengembangan teknologi informasi dan

komunikasi di sektor publik, seperti

implementasi e-Government, dan pusat

penelitian yang terkait dengan topik ini.

Penelitian ini meninjau artikel terpilih yang

dipublikasikan di jurnal akuntansi dan keuangan

antara tahun 2004 dan 2018 berdasarkan frasa

penelusuran yang dipilih terkait dengan

keterampilan dan kompetensi TI yang

diperlukan bagi profesional akuntansi. Analisis

konten mengenai kompetensi TI dan

pengembangan keterampilan dalam artikel dan

mengklasifikasikannya ke dalam sejumlah

bidang pengetahuan yang merangkum literatur

dalam artikel yang dipilih.

Penelitian juga dilakukan melalui

wawancara dan diskusi dengan 56 orang auditor

internal pemerintah di Indonesia, untuk

mencakup segala jenis masalah dan pemecahan.

Tujuan menggunakan focus group discussion

dalam penelitian adalah memperoleh sebanyak

mungkin informasi dari sekelompok pakar pada

topik tertentu. Hal ini dilakukan dengan

mendorong kelompok tersebut dengan topik

yang telah ditentukan sebelumnya dan

pertanyaan terbuka, memungkinkan diskusi

berkembang seputar pertanyaan terbuka ini, dan

memfasilitasi interaksi di antara para peserta.

Proses ini memungkinkan peserta untuk

menyisipkan pengamatan dan pemahaman

mereka sendiri sambil juga memberi makan

gagasan dari peserta lainnya. Menggunakan

focus group discussion memungkinkan peneliti

mengekstrak keahlian dan wawasan dari para

peserta. Focus group discussion sangat berguna

saat akses terhadap data terbatas dan ketika

peneliti menangani fenomena yang belum

terjelajahi dan yang muncul (Sutton et al., 2008;

O'hEocha et al., 2012).

Tabel 1. Profil Responden

Uraian Jumlah (%)

Jenis kelamin:

Pria

Wanita

47

9

83,90%

16,10%

Usia:

<30 tahun

31-40 tahun

41-50 tahun

> 50 tahun

19

25

7

5

33,90%

44,70%

12,50%

8,90%

Pendidikan:

Diploma

Bujangan

Pascasarjana

6

30

20

10,70%

53,60%

35,70%

Lama Masa Kerja:

<5 tahun

6-10 tahun

11-15 tahun

16-20 tahun

> 20 tahun

17

22

6

2

9

30,30%

39,30%

10,70%

3,60%

16,10%

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi informasi telah mengubah cara

penyimpanan dan pengolahan data transaksi.

Perkembangan teknologi membuat komputer

3

lebih cepat, efisien, mampu menyimpan memori

dalam jumlah besar dan mampu melakukan

perhitungan yang rumit. Hal ini sudah

dieksploitasi di berbagai bidang usaha, termasuk

di bidang akuntansi, komputer telah

memfasilitasi pelaksanaan akuntansi dan

penyusunan laporan keuangan.

Perbedaan dalam pengolahan karakteristik

secara manual dan pengolahan komputer

meliputi:

1. Lintasan transaksi (trails transactions)

Pengolahan manual sangat berbeda dengan

pengolahan komputer. Jejak transaksi

manual adalah dokumen berbentuk kertas

dengan daftar cek, tanda tangan, dan tanda

tanda tebal. Jejak pengolahan komputer

tidak muncul dalam bentuk kertas namun

tersedia dalam bentuk yang mudah dibaca

komputer.

2. Proses transaksi yang tidak seragam.

Pengolahan komputer menempatkan

transaksi serupa pada instruksi pemrosesan

yang sama. Sehingga menghilangkan

terjadinya kesalahan ketik yang biasanya

terjadi pada proses manual. Sebaliknya,

kesalahan proses komputer akan

mengakibatkan kesalahan seragam pada

transaksi yang sama.

Informasi dan Teknologi di Sektor Publik

Kemajuan komputer dan teknologi

informasi telah menjadi dorongan terbesar yang

mempengaruhi organisasi dalam beberapa tahun

terakhir (Said, 2004). Penggunaan teknologi

semakin mempermudah penyampaian layanan

yang berpotensi memberi manfaat bagi

pelanggan dan penyedia layanan (Walker et al,

2002).

Istilah e-Government muncul pada tahun

1999, namun kegiatan yang diacu jauh lebih tua

dan paralel dengan sejarah komputasi dalam

organisasi bisnis (Gronlund et al., 2006). E-

government adalah penggunaan teknologi

informasi dan komunikasi (TIK) untuk

mempromosikan pemerintahan yang lebih

efisien dan hemat biaya, memfasilitasi layanan

pemerintah yang lebih mudah, memungkinkan

akses informasi publik yang lebih besar, dan

membuat pemerintah lebih bertanggung jawab

kepada warga negara.

E-government tidak hanya memberikan

keuntungan seperti layanan cepat, murah, dapat

dipercaya, dan terpercaya bagi warga negara dan

bisnis, namun juga menawarkan potensi untuk

membentuk kembali sektor publik dan

mempermudah hubungan antara warga negara,

bisnis, dan pemerintah dengan memungkinkan

komunikasi terbuka, partisipasi, dan dialog

publik dalam merumuskan peraturan nasional

(Tan dan Subramaniam, 2005; Ke dan Wei,

2004).

Pemerintah Indonesia mewajibkan seluruh

instansi pemerintah pusat untuk menerapkan

Sistem Akuntansi Instansi (SAI), Sistem

Informasi Pengelolaan Barang Milik Negara

(SIMAK BMN), dan berbagai aplikasi lainnya.

Penggunaan aplikasi berbasis teknologi

juga diimplementasikan oleh pemerintah

daerah. Aplikasi pengelolaan keuangan untuk

pemerintah daerah cukup beragam, misalnya

Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA),

Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah

(SIPKD), dan Sistem Informasi Manajemen

Keuangan Daerah (SIMKADA).

Perkembangan penggunaan aplikasi

berbasis teknologi informasi ini menimbulkan

banyak implikasi, seperti pengurangan dokumen

kertas dan memunculkan risiko baru terkait

dengan penggunaan sistem informasi.

Peran Auditor Internal Pemerintah

di Era Digital

The Institute of Internal Auditor's (IIA)

menegaskan bahwa tujuan auditor internal

adalah untuk membantu organisasi dalam

mencapai tujuannya. Hal ini dapat dilakukan

melalui peningkatan efektivitas manajemen

risiko (di mana risiko yang mengganggu

pencapaian tujuan organisasi menjadi fokus

utama), pengendalian internal (untuk

memastikan bahwa tujuan organisasi

diwujudkan), dan proses tata kelola (organisasi

tanpa tata pemerintahan yang baik menjadi

penghambat tercapainya tujuan organisasi).

Pengendalian atas teknologi informasi

mewakili kategori pengendalian internal yang

berbeda serta mendapat perhatian khusus dalam

publikasi profesional (misalnya, COSO dan

COBIT) dan standar audit (misalnya, Standar

Audit PCAOB No. 5, 2007). Perhatian khusus

4

ini diperlukan karena lingkungan

terkomputerisasi sering dikaitkan dengan salah

saji keuangan dan pelaporan keuangan yang

kurang andal (Messier et al., 2004; Curtis et al.,

2009).

Tantangan besar bagi auditor internal

pemerintah karena selain memiliki kemampuan

sebagai auditor, juga dituntut untuk memiliki

kemampuan dalam hal TI. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa sebagian besar organisasi

besar lebih memilih untuk menggunakan

layanan auditor yang memiliki kemampuan TI

dibandingkan dengan auditor tanpa keterampilan

TI. Hal ini sangat wajar karena penggunaan TI

begitu pesat dan sangat strategis dalam

perencanaan anggaran, implementasi, hingga

akuntabilitas.

American Institute of Certified Public

Accountants (AICPA) memberikan perhatian

pentingnya pemahaman tentang TI dalam

standar untuk perencanaan, evaluasi risiko, dan

prosedur audit (AICPA, SAS 108-110, 2006a,

2006b, dan 2006c). PCAOB juga

merekomendasikan agar auditor harus memiliki

pemahaman tentang bagaimana organisasi

bergantung atau menyelenggarakan kegiatan

berbasis teknologi informasi; serta cara sistem

informasi digunakan untuk mencatat dan

memelihara informasi keuangan (PCAOB, QC

Section 40, 2003).

Tantangan yang dihadapi oleh auditor

internal pemerintah semakin tinggi ketika

penerapan TI dan e-Government meningkat

tanpa diikuti oleh pengendalian sistem yang

dapat melindungi aset dan informasi pemerintah

yang berharga. Risiko ini sangat besar dan perlu

ditangani sebagai bentuk tanggung jawab auditor

internal.

Menurut Webber (2000), ada beberapa

alasan mengapa auditor internal lebih

memperhatikan penggunaan organisasi

teknologi informasi antara lain:

1. Kerugian kebocoran data

Data telah menjadi sumber penting bagi

organisasi. Kehilangan data bisa

disebabkan oleh virus, kerusakan server,

hacker dan penyebab lainnya. Ini akan

menyebabkan kerugian organisasi dan

kemungkinan tuntutan pihak ketiga.

2. Mengurangi risiko kesalahan pengambilan

keputusan

Saat ini banyak organisasi telah

menggunakan teknologi informasi untuk

membantu pengambilan keputusan dengan

memanfaatkan penerapan Sistem

Pendukung Keputusan (DSS).

3. Penyalahgunaan komputer

Banyak kasus penipuan terjadi karena

penyalahgunaan akses langsung dan

online. Penyalahgunaan akses dan

kejahatan cyber oleh hacker ataupun

cracker dapat menyebabkan kerugian bagi

organisasi.

4. Kerugian atas kesalahan proses data

Kemampuan komputer untuk melakukan

proses kompleks telah dieksploitasi dalam

proses bisnis organisasi untuk

meminimalisasi terjadinya kesalahan

proses. Namun demikian tidak berarti

bahwa hal ini tanpa risiko, terutama jika

tidak ada pengujian awal dan pengujian

reguler.

5. Nilai Investasi TI Tinggi

Investasi yang dikeluarkan oleh organisasi

untuk pengembangan teknologi informasi

sangat besar. Audit sistem informasi dapat

meningkatkan efektifitas investasi di

bidang TI.

5

Tabel 2. Hasil Kuesioner Implementasi TI

Uraian Rendah Pertengahan Tinggi Total

Pengaruh penggunaan teknologi terhadap

kinerja instansi sektor publik

3,60% 12,50% 83,90% 100,00%

Tingkat pengaruh positif penggunaan

teknologi terhadap kinerja lembaga sektor

publik

1,80% 14,30% 83,90% 100,00%

Efek negatif penggunaan teknologi

terhadap kinerja lembaga sektor publik

25,00% 53,60% 21,40% 100,00%

Pengaruh penggunaan teknologi dalam

proses anggaran pemerintah

3,60% 5,30% 91,10% 100,00%

Pengaruh penggunaan teknologi terhadap

proses audit internal

5,30% 14,30% 46,40% 100,00%

Seberapa penting seorang auditor

pemerintah daerah memiliki ketrampilan

dan pengetahuan tentang audit TI

1,80% 3,60% 94,60% 100,00%

Hasil diskusi focus group discussion

menyatakan bahwa keterampilan TI sangat

dibutuhkan oleh auditor internal pemerintah saat

ini karena banyaknya kemunculan sistem

berbasis aplikasi di pemerintahan mulai dari

aplikasi perencanaan, administrasi, dan

pelaporan. Dengan mengetahui proses,

kelebihan, dan kelemahan sistem berbasis

aplikasi, auditor dapat menyederhanakan proses

pemantauan dan pengendalian sistem yang ada.

Jika auditor tidak memiliki pemahaman TI yang

memadai, maka proses audit tidak akan berjalan

lancar. Sebagaimana pernyataan dari responden:

“... pemanfaatan teknologi di sektor publik tentu

harus diikuti dengan meningkatkan kemampuan

TI auditor internal pemerintah.”

Permasalahan yang dihadapi oleh auditor

internal pemerintah di Indonesia antara lain:

1. Penggunaan audit berbasis TI di Indonesia

belum berjalan optimal karena adanya

keterbatasan sumber daya (man, machine,

and money).

Rendahnya kemampuan TI auditor internal

pemerintah membuat risiko penggunaan

informasi dan teknologi di instansi

pemerintah semakin tinggi. Pemerintah

perlu lebih memperhatikan peningkatan

kualitas auditor internal mereka. Untuk

mengatasi masalah ini, salah seorang

responden menyampaikan:

“... sebuah sertifikasi audit TI wajib

diperlukan bagi auditor internal

pemerintah”.

2. Kurangnya dukungan pemerintah, seperti

fasilitas dan program pelatihan audit TI.

Berdasarkan penelitian ini, hanya 12,5%

dari responden menyatakan bahwa lembaga

sangat mendukung kesempatan pelatihan

bagi auditor, 60,7% jarang, dan 26,8% tidak

mendukung. Masalah ini perlu dapat diatasi

jika pemerintah memiliki komitmen yang

kuat, seperti salah seorang responden

menyampaikan:

“... pemerintah harus memprioritaskan

pelaksanaan audit TI mereka, fasilitasi

dengan dana yang memadai dan pelatihan

bagi auditor mereka”.

3. Rendahnya kemampuan dan pengetahuan

aplikasi audit yang berbasis teknologi.

Hasil responden menunjukkan bahwa 1,8%

selalu menggunakan aplikasi audit dalam

pekerjaan mereka, 1,8% sering, 16,1%

jarang, dan 80,4% tidak pernah

menggunakannya. Hasil ini juga sesuai

dengan hasil survey bahwa hanya 8,9% dari

responden yang dapat menggunakan

aplikasi audit. Masalah ini dapat diatasi jika

lembaga lebih peduli dengan pelatihan yang

berkesinambungan dan pendidikan bagi

auditor mereka.

6

4. Kendala dalam memiliki sertifikasi auditor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50%

responden menyatakan bahwa kendala

memiliki sertifikasi auditor adalah karena

tingginya biaya, 16,1% karena mereka tidak

tahu manfaat dari sertifikasi, 16,1% merasa

sertifikasi yang tidak mendukung kinerja

mereka, 12,5% kurangnya motivasi, dan

5,4% karena sulitnya ujian.

4. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

penggunaan teknologi informasi dapat

meningkatkan kinerja dan memiliki dampak

positif lebih dari dampak negatif. Penggunaan TI

juga mendukung pengelolaan anggaran dan

pelaksanaan internal audit pemerintah.

Auditor internal membutuhkan beberapa

keterampilan dan pengetahuan tentang teknologi

dan praktik audit. Memanfaatkan teknologi

informasi untuk memastikan kualitas informasi

yang relevan dengan keputusan, serta

memastikan kepatuhan terhadap undang-

undang, peraturan, dan kebijakan, tinggi dalam

agenda perusahaan (Rikhardsson and Dull,

2016).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

meskipun kemampuan dan keahlian TI

diperlukan dalam pelaksaan tugas auditor

internal pemerintah, namun masih terdapat

kendala berupa kurangnya perhatian organisasi

serta rendahnya motivasi dari auditor internal

pemerintah yang mengakibatkan masih

sedikitnya jumlah auditor internal pemerintah

yang memiliki keterampilan dan pengetahuan di

bidang Audit TI.

Sesuai dengan komitmen Pemerintah

Indonesia terhadap e-Government, penggunaan

TI dalam pengelolaan keuangan negara / daerah

merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan.

Dengan meningkatnya penggunaan TI di instansi

pemerintah maka akuntabilitas dari pengguna

anggaran dan pemahaman tentang TI oleh

auditor adalah suatu keharusan. Lembaga

auditor internal pemerintah harus mulai

memetakan risiko pengelolaan TI dan

memberikan perhatian lebih untuk

meningkatkan kompetensi audit berbasis TI.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

seluruh instansi auditor internal pemerintah serta

para responden atas segala kontribusi yang

diberikan terutama dalam hal data empiris dan

gagasan dalam penelitian ini.

5. REFERENSI

American Institute of Certified Public

Accountants (AICPA). 2006a. Planning

and Supervision. Statement of Auditing

Standards No. 108. AICPA, New York,

NY.

American Institute of Certified Public

Accountants (AICPA). 2006b.

Understanding the Entity and Its

Environment and Assessing the Risks of

Material Misstatement. Statement of

Auditing Standards No. 109. AICPA, New

York, NY.

American Institute of Certified Public

Accountants (AICPA). 2006c. Performing

Audit Procedures in Response to Assessed

Risks and Evaluating the Audit Evidence

Obtained. Statement of Auditing Standards

No. 110. AICPA, New York, NY

Berry, A.J., Coad, E.P., Harris, A.F., Otley, D.T.,

Stringer, C. 2009. Emerging themes in

management control: a review of recent

literature. The British Accounting Review,

41 (1), 2–20.

Chenhall, R. 2003. Management control systems

design within its organisational context:

findings from contingency-based research

and directions for the future. Accounting,

Organization and Society, 28, 127–168.

Commitee of Sponsoring Organizations of the

Treadway Commission (COSO). 2013.

Internal Control — Integrated Framework.

Curtis MB, Jenkins JG, Bedard JC, Deis DR.

2009. Auditors' training and proficiency in

information systems: a research synthesis.

Journal Information System, 23(1), 79–96.

Granlund, M., Mouritsen, J., Vaassen, E., 2013.

On the relations between modern

information technology, decision making

and management control. International

Journal of Accounting Information

Systems, 14 (4), 275–277.

7

Grant, J. P. 2008. Electronic Government for

Developing Countries. ICT Applications

and Cybersecurity Division, Policies and

Strategy Department. ITU

Telecommunication Development Sector,

International Telecommunication Union

(ITU). Geneva. Gronlund, A., Andersson, A., and Hedstrom, K.

2006. Right on Time: Understanding e-

Government in Developing Countries.

International Federation for Information

Processing, Volume 208, Social Inclusion:

Societal and Organizational Implications

for Information Systems, eds. Trauth, E.,

Howcroft, D., Butler, T., Fitzgerald, B.,

DeGross, J., (Boston: Springer), pp. 73-87.

Ke, W., & Wei, K. 2004. Successful E-

Government in Singapore.

Communications of the ACM, 47(6), 95-99.

Malmi, T., & Brown, D.A. 2008. Management

control systems as a package—

opportunities, challenges and research

directions. Management Accounting

Research, 19 (4), 287–300. Messier Jr, W.F., Eilifsen, A., & Austen, L.A.

2004. Auditor detected misstatements and

the effect of information technology.

International Journal of Auditing, 8, 223–

35.

Miklos A, Vasarhelyi., Michael Alles., Siripan

Kuenkaikaew., James Littley. 2012. The

acceptance and adoption of continuous

auditing by internal auditors: A micro

analysis. International Journal of

Accounting Information Systems 13, 267-

281.

O'hEocha C, Wang X, Conboy K. 2012. The use

of focus groups in complex and pressurised

IS studies and evaluation using Klein &

Myers principles for interpretive research.

Information Systems Journal, 22 (3), 235-

256.

Pall Rikhardsson and Richard Dull. 2016. An

exploratory study of the adoption,

application and impacts of continuous

auditing technologies in small business.

International Journal of Accounting

Information Systems, 20, 26-37.

Public Company Accounting Oversight Board

(PCAOB). 2003. The personnel

management element of a firm's system of

quality control competencies required by a

practitioner-in-charge of an attest

engagement. Quality Control Standards

Section No. 40. PCAOB, Washington, D.C.

Public Company Accounting Oversight Board

(PCAOB). 2007. Auditing Standard No. 5

— an audit of internal control over

financial reporting that is integrated with

an audit of financial statements. Available

online at http://pcaobus.org.

Said, A. G., (2004). Computer Technology

Acceptance Success Factors in Saudi

Arabia: An Exploratory Study. Journal of

Global information Technology

Management, 7(1), 5-29.

Sang, S., Lee, J. D., & Lee, J. 2009. E-

government adoption in ASEAN: The case

of Cambodia. Internet Research, 19(5),

517-534.

Simons, R., 1995. Levers of Control. Harvard

Business School Press, Boston MA. Sutton SG, Khazanchi D, Hampton C, Arnold V.

2008. Risk analysis in an extended

enterprise environment: identification of

key risk factors in B2B e-commerce

relationships. Journal of the Association for

Information Systems, 9(3–4), 153–76.

Tan, W. & Subramaniam, R. 2005. E-

government: Implementation Policies and

Best Practices from Singapore. Electronic

Government Strategies and

Implementation, 305-324.

Walker, H. R., Margaret, C-L., Hecker, R., &

Francis, H. (2002). Technology-enabled

service delivery: An investigation of

reasons affecting customer adoption and

rejection. International Journal of Service

Industry Management, 13(1), 91-106.

Webber, R. 2000. Information System Controls

and Audit. New Jersey: Prentice-Hall.

8

DOES PRESS HIGHLIGHTS MODERATE THE EFFECT OF THE QUALITY OF

INTERNAL CONTROL SYSTEMS ON DISCLOSURE IN LOCAL

GOVERNMENT FINANCIAL REPORTS?

Farid Handoko

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP

email: [email protected]

Abstrak

Banyak faktor yang diyakini memengaruhi pengungkapan keuangan pemerintah secara sukarela. Di

antaranya adalah dukungan sistem dan liputan pers. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menyelidiki pengaruh kualitas sistem pengendalian internal terhadap pengungkapan dalam laporan

keuangan pemerintah daerah dan efek langsung dan moderasi dari sorotan pers pada hubungan antara

kualitas sistem dan pengungkapan tersebut. Studi ini juga menganalisis pengaruh perbedaan dalam

beberapa karakteristik lokal pada hubungan tersebut. Studi ini menerapkan metode analisis regresi

dua langkah dimoderasi untuk 1.310 sampel pemerintah daerah di Indonesia selama periode tahun

2010 - 2013. Temuan empiris menunjukkan bahwa untuk ukuran yang berbeda dari pemerintah

daerah, kualitas sistem pengendalian internal memengaruhi pengungkapan keuangan dalam berbagai

cara. Namun, secara keseluruhan, kami tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa kualitas

sistem pengendalian internal memengaruhi pengungkapan keuangan. Temuan penelitian ini juga

menunjukkan bahwa sorotan pers secara langsung memengaruhi pengungkapan. Pengaruh pers yang

moderat terhadap hubungan antara kualitas sistem pengendalian internal dan pengungkapan

keuangan terlihat di kota/kabupaten kecil maupun di kota besar. Ada penelitian lain yang telah

meneliti efek langsung pers terhadap pengungkapan; dengan demikian, penelitian ini berkontribusi

pada literatur yang ada dengan memberikan bukti empiris efek moderasi dari sorotan pers.

Kata kunci: laporan keuangan pemerintah daerah, pengungkapan keuangan, kualitas sistem

pengendalian internal, sorotan pers

Abstract

Many factors are believed to affect government’s financial voluntary disclosure. Among these are

system endorsement and press coverage. The objective of this study is to investigate the effect of the

quality of internal control systems on disclosure in the local government’s financial report and the

direct and moderating effect of press highlights on the relationship between the quality of such

systems and disclosure. This study also analyses the effect of the differences in some local

characteristics on this relationship. This study applies the two-step moderated regression analysis

method to 1,310 firm-year samples of local government in Indonesia during the period 2010 - 2013.

The empirical findings show that for different sizes of local government, the quality of the internal

control system affects financial disclosure in different ways. However, overall, we find no evidence

to show that the quality of internal control systems affects financial disclosure. This study’s findings

also show that press highlights directly affect disclosure. Moderating effect of press on the

relationship between the quality of internal control systems and financial disclosure is visible in the

small cities/ regencies as well as in the big ones. There are other studies that have investigated the

direct effect of press on disclosure; thus, this study contributes to the existing literature by providing

empirical evidence of the moderating effect of press highlights.

Keywords: local government financial report, financial disclosure, internal control system quality,

press highlight

9

1. INTRODUCTION

Disclosure of information by government

bodies may vary depending on the objectives to

be achieved and the expected benefits. Basically,

disclosure in financial reports consists of

mandatory disclosure which is aimed at fulfilling

compulsory requirements and voluntary

disclosure that is made if expected profits exceed

the costs to be borne [1, 2].

There have been numerous studies on the

disclosure of information in government

financial reports and their determinants.

Although these studies investigate the direct

influence of various factors on disclosure, none

of them use the quality of internal control

systems as a variable capable of affecting

disclosure.

The objective of this study is to analyze the

influence of internal control systems on

voluntary disclosure in local government

financial reports and the moderating effect of

press highlights on this influence in local

government financial reports. This study also

examines whether these effects differ based on

different government characteristics.

Compared to previous studies, this study

differs in terms of (1) using the quality of

internal control systems as a variable with a

possible effect on disclosure, (2) examining the

moderating effect of press highlights on the

relationship between the quality of internal

control systems and disclosure, (3) treating the

variables of local government size, regional

prosperity, local government wealth, and local

government type used in previous research, as

characteristics that differentiate one local

government from another. These characteristics

reportedly affect the relationship between the

quality of internal control systems and disclosure

and the moderating effects of press highlights.

We examine the effect of these differences

between characteristics by using split files.

This study is important because to the best

of our knowledge, no other study has examined

the relationship between the quality of internal

control systems and disclosure. In the context of

Indonesia, in general, the quality of local

government financial reports is poor. This can be

seen from the number of such reports that were

not deemed unqualified opinion. The lack of

good financial reports is also marked by many

findings of internal control system weaknesses.

This study is also important to show to what

extent the press influences local governments to

deliver more public information through

financial reporting. Some studies have shown a

positive influence of the press on disclosure [3-

5] while other have shown a negative effect [6].

This study does not support the hypothesis

that the quality of internal control systems

affects disclosure positively. However, it is

shown that the size of local government has an

impact on how the quality of internal control

systems affect disclosure. In a small local

government, the effect is positive whereas in

large local governments, the effect is negative.

This study provides empirical evidence to show

that press highlights moderate negatively the

influence of the quality of internal control

systems on disclosure. An analysis of the

moderating influence of differences in various

local conditions, shows mixed results. In small

as well as in large local governments, press

highlights strengthen existing relationships.

Meanwhile, in low- and high-prosperity, and in

rich and less rich local governments, and in

regencies and cities, press highlights weaken

existing relationships.

By providing empirical evidence, this study

contributes to the existing literature in the

following ways. First, it shows the effect of press

highlights in moderating the influence of the

quality of internal control systems on disclosure

in local government financial reports. Previous

studies have only explained the direct impact of

press highlights on disclosure. Secondly, in

contrast with studies examining the direct

relationship of various variables to disclosure,

this study examines how the effect of these

variables, treated as local characteristics, vary

from one government to another.

From the government's point of view,

despite the existence of information delivery

regulation, governments may be reluctant to

publicly disclose information that supposed to be

private information, unless there is a request for

such information [7]. However, if there is

stakeholders’ attention to non-compliance with

disclosure regulation, then disclosure will be

affected [7]. The consistency or inconsistency of

10

disclosure of information under existing

regulations will affect the political sphere

because disclosure is often associated with

perceptions of corruption and good governance

[7]. Therefore, governments will try to meet

public disclosure requirements, to maintain the

perception of good governance practices. On the

other hand, governments with good news tend to

deliver this to the public, through various signals

[8].

It is the need for monitoring and signaling

that will lead to differences in information

disclosure in financial reports. Different need of

effective monitoring of governments will result

in different accounting and auditing needs, so

that monitoring needs will affect quality of

required financial report [9]. Meanwhile,

signaling needs can improve the quality of the

financial information delivered because

governments need to convey their good

performance information to stakeholders [9].

Thus, the need for monitoring and signaling

improves the quality of the financial information

delivered [9].

Gibbins, Richardson, and Waterhouse [10]

define financial disclosure as "any sort of

deliberate release of financial (and non-

financial) information, whether numerical or

qualitative, required or voluntary, or via formal

or informal channels." The full disclosure

principle requires the disclosure of all

circumstances and events that can make a

difference to users of financial reports.

Information in financial reports can be classified

as mandatory disclosure and voluntary

disclosure. Mandatory disclosure is about

complying with existing regulations while

voluntary disclosures are made by management

to, among others, gain a competitive advantage

[1]. The extent of disclosure in financial reports

is reflected in how much information can be

obtained from the report.

Disclosure through financial reporting not

only overcomes agency problems between agents

(governments) and principals (voters) through

monitoring [11], but also influences decision-

making by stakeholders of governments [12-18].

Despite these benefits, governments will not

make voluntary disclosure if such disclosure does

not provide greater benefits than its associated

costs [2].

The Effect of Internal Control Systems on

Disclosure

In Indonesia, the government financial

statements are audited by the Audit Board of the

Republic of Indonesia (BPK). To obtain

reasonable assurance that financial statements

are free from material misstatements, the the

quality of internal control system and

compliance with laws are also tested. The audit

opinion is based on an assessment of conformity

with Government Accounting Standards,

adequacy of disclosure, compliance with laws

and regulations, and effectiveness of the

implementation of internal control systems.

An organization's internal control system is

designed to provide reasonable assurance that

the financial reporting is reliable [19-21].

Internal control systems evaluation reports

provide information on the extent to which

existing internal control systems adequately

provide such guarantees. Although BPK's audit

report does not offer an opinion on the

effectiveness of internal control system

implementation, findings of the system's

weaknesses point to the quality of internal

control systems.

If the system has weaknesses, the

information in financial statements may not be

reliable. Furthermore, if the existing internal

control system is unable to provide reliable

information, governments will not have much

reliable information to be disclosed in their

financial reports. Thus, a poor internal control

system will prevent governments from making

wider disclosures.

In relation to voluntary disclosure,

governments may choose to suspend such

disclosure if the internal control system audit

report shows many weaknesses in the system. As

Martani and Lestiani [22] state, many findings

reflect poor quality of financial statements that

will hinder more disclosures. Governments tend

to reduce disclosure when they have problems in

their financial accountability [22]. Owing to the

belief that "quality audit opinion is bad news"

[23], governments will suspend voluntary

disclosure of bad news to avoid losing voter

11

support. Based on the theoretical understanding

as outlined above, this study proposes following

hypotheses:

H1a: The quality of internal control

systems has a positive effect on disclosure in the

financial report.

Direct and Moderating Effect of Press

Highlights

Increased media attention is believed to

lead to increased public awareness of certain

issues [24]. Therefore, the media can influence

public perception and attention to certain issues

[24]. Given such media capabilities, government

is compelled to explain, answer, or refute

specific issues related to government. Gandia [5]

shows that public media play a role in

encouraging government to inform the public

about the programs and daily activities of

government as well as government performance.

This is in line with Zimmerman's [25] assertion

that in terms of agency issues between voters and

politicians, media acts as a driving force for

government to disclose broader information to

meet press requests for information and even as

a rebuttal.

H2: Press highlights has a positive has a

positive effect on disclosure in the financial

report.

As mentioned above, government will

deliver broader information when press

highlights become more dominant. Since a

reliable internal control system will generate

reliable information, government will attempt to

improve the quality of internal control systems.

Thus, the presence of press highlights will affect

positively the role of internal control systems in

providing reliable financial information. This

gives us our next hypothesis:

H3a: Press highlights moderate positively

the influence of the quality of internal control

system on disclosure in financial reports.

Effect of Differences in Local Characterictics

Since differences in local characteristic

could lead to different effects this study argues

that such differences will result in different

effects of the quality of internal control systems

on disclosure in financial reports and in different

moderating effects of press highlights. This

study examines the differences of those effects

based on regional characteristics such as size of

local government, regional prosperity, local

government wealth, and local government type.

Larger governments generally have more

programs and services for their people and also

spend more [26]. According to Styles and

Tennyson [26], this increases stakeholders’ need

for monitoring and thereby increases the demand

for information on government performance,

and government spending accountability.

Laswad, Fisher, and Oyelere [4], Styles and

Tennyson [26], Cinca, Tomás, and Tarragona

[27], and Gandia [5] state that local prosperity

affects disclosure. This is because an increase in

such prosperity is usually accompanied by an

increase in the demand for information [5, 27].

A community with higher level of prosperity will

have stronger purchasing power, including needs

for information. Therefore, in areas with high

levels of prosperity, local governments will see

more requests for monitoring and accountability

[5, 26]. In addition, local prosperity has an effect

on disclosure because prosperity can be

associated with government performance, so

governments will disclose more information

about the prosperity as a signal of their success

[4, 5].

Rich local governments will convey more

information as a signal that the government has

performed well [4, 5]. Delivering such signals is

intended to increase the chances of current heads

of the regency/the mayor to be re-elected [4, 5],

as well as to decrease the probability of

attracting negative opinion [28]. Besides, rich

governments have the opportunity to convey

more information because there are many

resources available to produce such information

[6]. Although governments will only provide

voluntary information if it is perceived that its

benefit exceeds its cost [2], for rich

governments, the cost-benefit tolerance of

disclosure will be looser compared with

governments with limited resources.

There are differences in the characteristics

of cities compared with regencies, in terms of

access to information and communication

between the government and its community.

Martani and Lestiani [22] argued that a city has

stronger economic characteristics than a regency

12

because most cities have better infrastructure

and educational facilities, implying people have

better access to and use more channels of

information than people outside the urban area.

In addition, urban community interactions are

more intensive than those in the outside urban

areas [4]. According to Laswad, Fisher, and

Oyelere [4], a high intensity of interaction

among urban voters becomes an incentive for

urban communities to come together to monitor

and influence local government.

The direct influence of local government

size, regional prosperity, local government

wealth, and type of local government on

disclosure, as proven by previous studies,

explains why the different characteristics of

local government can lead to differences in

disclosure. This study argues that local

government characteristics also lead to different

effects of the relationship between the quality of

internal control systems and disclosure because

to produce broader and reliable information, one

needs the support of reliable internal control

systems. Such differences in characteristics also

has consequences for the moderating effects of

press highlights. This gives us the following

hypotheses:

H1b: The influence of the quality of

internal control systems on disclosure in large

local governments differs from that in small

ones.

H3b: The moderating effect of press

highlights on the influence of the quality of

internal control systems on disclosure in large

local governments differs from that in small

ones.

H1c: The influence of the quality of internal

control systems on disclosure in areas with high

prosperity differs from those in areas with low

prosperity.

H3c: The moderating effects of press

highlights on the influence of the quality of

internal control systems on disclosure in areas

with high prosperity differs from those in areas

with low prosperity.

H1d: The influence of the quality of

internal control systems on disclosure in rich

local governments differs from that in poor local

governments.

H3d: The moderating effects of press

highlights on the influence of the quality of

internal control systems on disclosure in rich

local governments differs from those in poor

local governments.

H1e: The influence of the quality of internal

control systems on disclosure in city

governments differs from that in regencies.

H3e: The moderating effects of press

highlight on the influence of the quality of

internal control systems on disclosure in city

governments differs from those in regencies.

2. RESEARCH METHODOLOGY

This study uses data for the period 2010 -

2013. The population is all of 491 cities and

regencies governments in Indonesia. Thus, the

total number of potential observation units is

1,964. Sample selection is done using the

purposive sampling method and the criterion

used is local government regency/city with

complete data in each year. Therefore, 617

missing values, as well as 37 of outliers, were

excluded from the observations. So, the number

of observations in this study was 1310. Table 1

gives details of the sample selection procedures.

The data have been collected from several

data sources such as the local government’s

audited financial reports; Summary of

Examination Results of The Audit Board;

Region in Figures published by the Central

Bureau of Statistics of Indonesia; and official

mass media sites. For media sources, we looked

at daily newspapers registered at the Indonesian

Press Council in 2013 and which had official

website. We searched for information about

local governments on Google.

TABLE 1. SAMPLE SELECTION PROCEDURES

Number of local governments in 2013 505

Number of local governments that did not submit financial reports in 2012 and 2013 (newly established)

(14)

Number of local governments observed 491

Number of years (2010 to 2013) 4

Number of potential observations (491 x 4) 1,964

Missing values (617)

Available data for observation 1,347

Outliers (37)

Number of observations used 1,310

13

Research Model

Our model studied two main relationships:

(1) the influence of the quality of internal control

systems on disclosure in local government

financial reports, and (2) the moderating effect

of press highlights on the influence of the quality

of internal control systems on disclosure. The

first relationship was tested to prove Hypothesis

1a. The second relationship was tested to prove

Hypothesis 2 and 3a. The research model used to

test these relationships were as follows:

DISCit = γ0 + γ1 ICQit + eit (1)

DISCit = γ0 + γ1ICQit + γ2PRESSit +

γ3ICQit*PRESSit + eit (2)

where:

DISC = disclosure score of local

government financial report, measured by

number of voluntary disclosure items.

ICQ = quality of internal control sytems,

measured by log of inverse of number of internal

control weaknesses found. Using this

measurement means that increasing number of

internal control system weaknesses means

decreasing ICQ value, implying poorer internal

control system. It will cause a decrease in the

number of disclosure items (DISC).

PRESS = press highlights, measured by the

log of the number of news items in selected

press websites in which the local government

was mentioned.

Besides testing these two relationship, this

study also investigated and analyzed the effect of

differences arising from different characteristics

of local government, such as size of local

government, regional prosperity, local

government wealth, and type of local

government. To examine the effect of these

differences on existing relationships, we

performed tests using model 1 to prove

Hypothesis 1b, 1c, 1d, and 1e, and model 2 to

prove Hypothesis 3b, 3c, 3d, and 3e. Local

government characteristics were measured in the

following way: (1) local government size was

measured by log of total revenue, (2) prosperity

was measured by log of per capita income, (3)

local government wealth was measured by log of

per capita local own-source revenue, and (4)

local government type was categorized as

regency and city.

Test of Hypotheses

To test the research model, we used the

Moderated Regression Analysis (MRA) method.

This is a two-step method, where the first step is

to test the direct effect of the quality of internal

control systems and the second is to test the

impact of the moderating influence of press

highlights on this effect. According to Hartman

and Moers [29], the moderating effect of a

variable can be seen from significant changes of

the R-square value between a model that tests the

effect of direct variables (model 1) and a model

that tests the effect of a moderating variable

(model 2). Meanwhile, to examine the effect of

the different characteristics, we use the subgroup

regression analysis test of the MRA method.

Using this method, the presence or absence of

the differences of the effects of the direct or

moderating impact owing to different

characteristics can be seen from the magnitude

of the coefficient of the difference of influence

[29], which in this case, is the influence of the

quality of internal control systems on disclosure.

Data grouping based on local characteristics

was conducted by using the split file. This

allowed us to divide the data into two groups; the

dataset that is smaller than the average was

coded 0 and the one that greater than the average,

1. For region type, code 0 was assigned to

regency and code 1 to city.

3. RESULTS AND DISCUSSION

Table 2 provides an overview of the data

and characteristics of the regency and city used

in this study. In general, the level of disclosure

lagged far behind expectations. The maximum

number of voluntary disclosure points was 18

items of the 25 analyzed, while the minimum

number was 5. On average, local government

financial reports met 12 items of disclosure. This

indicates that local governments have less effort

to make broader disclosure. The average number

of internal control system weaknesses was high.

The sample shows that the highest number of

such weaknesses in one year in one regency/city

was 33. Thus, the quality of implementation of

internal control systems in local government

remained poor. Some regencies almost escaped

press attention. In one year, one regency

appeared only once in the official online media,

14

while other regencies/cities received a lot of

press attention. The average regional revenue of

a regency/city was Rp968.21 billion. The highest

regional revenue in one year was Rp6,119.24

billion and the lowest, Rp282.56 billion. In one

regency/city, the per capita income was well

above the average of Rp22.86 million per year.

The maximum per capita income touched

Rp450.27 million per year. Meanwhile, some

other regency/city had a per capita income that

was far below the average. The lowest per capita

income of people in a regency/city was Rp3.04

million per year. The average per capita own-

source revenue was Rp209,824.99.

TABLE 2. CHARACTERISTICS OF LOCAL GOVERNMENT

Description Minimum Maximum Mean

Number of Voluntary Disclosure Items

5 18 12

Number of Internal

Control Weakneses

2 33 11

Number of News Items 1 2,441 191

Local Government’ s

Total Revenue

(Rp000,000)

282,565.20 6,119,246.75 968,218.82

Per Capita Gross Domectic Product

(Rp000)

3,035.27 450,273.42 22,857.48

Per Capita Own-Source Revenue (Rp)

19,445.42 5,486,724.64 209,824.99

Table 3 depicts the correlation among

variables used in this study. The largest

correlation value of 0.572 was in the relationship

between disclosure (DISC) and quality of

internal control systems (ICQ), but it was not

significant. Only the relationship between

disclosure (DISC) and press highlights (PRESS)

was significant. The correlation value was 0.120,

which gives some indication of the relationship

among the variables.

TABLE 3. MATRIX OF CORRELATION AMONG VARIABLES

DISC ICQ PRESS

DISC

Pearson Correlation 1 0.016 0.120**

Sig. (2-tailed) 0.572 0.000

N 1,310 1,310 1,310

ICQ

Pearson Correlation 0.016 1 0.025

Sig. (2-tailed) 0.572 0.365

N 1,310 1,310 1,310

PRESS

Pearson Correlation 0.120** 0.025 1

Sig. (2-tailed) 0.000 0.365

N 1,310 1,310 1,310

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

DISC=disclosure score of local government financial report;

ICQ=internal control quality; PRESS=press highlights.

The Effect of the Quality of Internal Control

Systems on Disclosure

Table 4 shows the test results of the direct

effect of the quality of internal control systems

(ICQ) on disclosure (DISC) in model 1. The

coefficient of this variable was 0.174 and was

statistically insignificant. This result rejects

Hypothesis 1a. This means that the existing

internal control system does not support broader

disclosure in government financial reports.

There is no difference in local government

disclosure given different levels of the quality of

internal control system. The decreasing number

of internal control system weaknesses can not be

proven to drive local governments to disclose

more.

The results of this study raises a question

about the number of internal control system

weaknesses as a proxy for the quality of internal

control systems. If as suggested by Martani and

Lestiani [22] that the number of weaknesses is

more representative of the quality of auditors,

then the quality of internal control systems of a

local government cannot drive the local

government to make a broader disclosure. That

local governments have unreliable internal

control systems is evident from an evaluation of

the Financial and Development Supervisory

Board (BPKP) [30]. The result shows that the

maturity of internal control systems in 104 local

governments in 2015 was generally low [30], as

detailed in Table 5.

TABLE 4. MODEL 1 TEST RESULT

Expected

Sign

Model 1

Coefficients Sig.

Constant 11.530 0.000

ICQ + 0.174 0.572

R Square 0.000

F Test Sig. 0.572

Dependent Variable: DISC

15

TABLE 5. MATURITY OF LOCAL GOVERNMENT’S INTERNAL

CONTROL SYSTEMS

No Maturity Level Number of Local

Government

1. Undefined 5 2. Initial 54

3. Developing 36

4. Defined 4 5. Managed -

6. Optimum -

In line with the result of BPKP’s

assessment, this study demonstrates that internal

control systems in local governments have not

been sufficiently supportive in providing reliable

and broader information for local government

financial reports. With almost all local

government has a low internal control maturity

level as seen in Table 5, the difference between

the local government which is high maturity with

low maturity becomes invisible.

The Effect of Differences in Local

Characterictics on the Relationship between

the Quality of Internal Control Systems and

Disclosure

Table 6 shows the test results of the direct

influence of the quality of internal control

systems on disclosure for two groups of local

governments with different sizes. The value of

the constant in the relationship is 10.463 for

small local governments and 12.838 for large

ones. Meanwhile, the coefficient for the variable

of direct influence is equal to 1.240 with

significance level of 0.002 in small local

governments, and (-1.098) with significance

level of 0.019 in the large ones. Both

significance values are smaller than 0.05,

indicating that the coefficients are statistically

significant.

TABLE 6. TEST RESULT, DIFFERENCES IN EFFECTS OF LOCAL CHARACTERICTICS ON THE RELATIONSHIP BETWEEN THE QUALITY OF

INTERNAL CONTROL SYSTEMS AND DISCLOSURE

Local Characterictics

Size Prosperity Government Wealth Type

Coeff. Sig.

Coeff. Coeff.

Sig.

Coeff. Coeff.

Sig.

Coeff. Coeff.

Sig.

Coeff.

Small/Low/Regency

Constant 10.463 0.000 11.440 0.000 11.446 0.000 11.398 0.000

ICQ 1.240 0.002 0.188 0.647 0.167 0.685 0.264 0.451

R Square 0.013 0.000 0.000 0.001

F Test Sig. 0.002 0.647 0.685 0.451

Big/High/City

Constant 12.838 0.000 11.580 0.000 11.551 0.000 12.009 0.000

ICQ -1.098 0.019 0.215 0.643 0.270 0.562 -.150 0.813

R Square 0.009 0.000 0.001 0.000

F Test Sig. 0.019 0.643 0.562 0.813

Dependent Variable: DISC

Fig. 1. Differences in Effects of Local Characterictics on the

Relationship between Quality of Internal Control Systems and Disclosure

The result shows that in the group of small

local governments, the quality of internal control

systems has a positive effect on disclosure in

local government financial reports. On the other

hand, in the group of large local governments,

the quality of internal control systems affects

disclosure negatively. The different effects of the

quality of internal control systems on disclosure

in the two groups of local governments of

different sizes prove that there is an influence of

size differences of local government on the

relationship between the quality of internal

control systems and disclosure. The effect of

differences is illustrated in Figure 1. From the

degree and direction of slope, the effect of

differences between the two groups of local

(40,000)

(20,000)

-

20,000

40,000

60,000

80,000

- 10,0 20,0 30,0 40,0

D

i

s

c

l

o

s

u

r

e

Internal Control System Quality

All Small Big

16

governments is very clear. Thus, Hypothesis 1b

is proven.

To say that this result shows that there is no

influence of the quality of internal control

systems on disclosure is not entirely correct.

Only in the group of small local governments, is

disclosure positively influenced by the quality of

internal control systems; it does not apply to the

group of large local governments. The different

effects in the two different groups of government

size shows that an increase in government size is

not always accompanied by an increase in efforts

to make broader disclosure through the

development of better internal control systems.

In the group of small local governments, an

improvement in internal control systems leads to

more informative financial reports. Meanwhile,

the opposite occurs in the group of large local

governments. In the group of small local

governments, the result is consistent with that of

Martani and Lestiani [22], who state that the

number of weaknesses in internal control can be

the basis of recommendations for better

disclosure. The difference between the two

groups demontrated by this study is not in line

with Styles and Tennyson [26]. According to

them, larger governments will generally have

more programs and services that will improve

monitoring by stakeholders and increase demand

for information about government performance

and government spending accountability that

will ultimately increase disclosure [26].

Evidence that in the group of small governments,

improving the quality of internal control systems

may encourage broader disclosure, and vice-

versa in the group of large governments,

improving the quality of internal control systems

inhibits broader disclosure, is an interesting

phenomenon that should be explored further.

The constant value of the influence of

internal control quality on disclosure is 11.440 in

the group with low prosperity and 11.580 in the

group with high prosperity. The coefficient of

the direct influence variable is 0.188 with a

significance level of 0.647 in the group of low

prosperity and 0.215 with a significance level of

0.643 in the group of high prosperity. Since the

significance values are greater than 0.05, these

coefficients are not statistically significant.

These test results indicate that in groups of low

or high prosperity, the quality of internal control

systems has no effect on disclosure. Thus,

Hypothesis 1c which states that differences in

prosperity affect this relationship is rejected.

According to Gandia [5] and Styles and

Tennyson [26], a community with a high level of

prosperity will have strong purchasing power,

including for obtaining information. This study

does not support that opinion. The absence of

broader disclosure in local government financial

reports may be an indication that wealthier

people have sufficient information about local

government performance through other media

outside the local government financial report.

Similar to differences in regional

prosperity, differences in local government

wealth and regional types do not affect

differences in the impact of the quality of

internal control systems on disclosure. The test

results show insignificant values of the

coefficient. Thus, Hypothesis 1d and 1e are

rejected. According to Ingram [6], rich local

governments have the opportunity to deliver

more information because they have many

resources to do that just as they do to build a

reliable internal control system. However, this

study does not support this view. The study also

does not support Laswad, Fisher, and Oyelere [4]

who suggested that urban voter communities

have stronger incentives to form coalitions and

to monitor government than rural societies.

The Direct and Moderating Effect of Press

Highlights on the Relationship between the

Quality of Internal Control Systems and

Disclosure

The Hypothesis 2 states that press

highlights positively effect disclosure in

financial statements. Table 7 shows the

coefficient of the direct influence of press

highlights on disclosure to be 0.390 with a

significance level of 0.000. This indicates that

press highlights influence disclosure. This result

is in line with Smith [3], Laswad, Fisher and

Oyelere [4], and Gandia [5]. The media is proven

to play a role as a driving force for government

to disclose more information [25, 3]. This

evidence explains that the press encourages

government to provide broader information to

the public.

17

Meanwhile, the effect of press highlights as

a moderating variable statistically can be seen

from a significant R-square change in the

relationship between the quality of internal

control systems and disclosure, as shown in

Table 7. The table shows the R-square and R-

square change values in the relationship before

and after including the press highlights variable

as a moderating variable. The R-square value in

the initial model (model 1) is 0.000. After

including the press highlights variable, the value

is 0.015. The R-square change value is 0.014

with a significance level of 0.000. This indicates

that the value of R-square change is significant.

The significant value of R-square change

indicates that the new variable has a moderating

effect. The moderating effect of press highlights

can be illustrated, as shown in Figure 2. The

figure depicts a line showing this relationship

before and after the presence of the moderating

variable. However, the presence of moderating

variable does not affect the influence of the

quality of internal control systems on disclosure.

This result does not support Hypothesis 3a.

TABLE 7. MODERATION TEST RESULTS

Model Coeffici

ents

Sig.

Coeff.

R

Square

Change Statistics

R-

Square

Change

Sig.

Change

1 Constant 11.530 0.000

0.000 0.000 0.572 ICQ 0.174 0.572

2

Constant 10.823 0.000

0.015 0.014 0.000 ICQ 0.140 0.646

PRESS 0.390 0.000

3

Constant 16.304 0.000

0.017

ICQ 0.178 0.563

PRESS 0.507 0,000

SIZE 0.685 0.004

PROSPERITY -0,636 0.001

WEALTH 0.137 0.438

TYPE 0.300 0.027

Dependent Variable: DISC

Fig. 2. Moderating Effect of Press Highlights on the

Relationship between the Quality of Internal Control Systems and Disclosure

Differences in the Effect of Local

Characterictics on the Moderating Effect of

Press Highlights

Table 8 shows values of R-square and R-

square change in the model showing the

relationship between the quality of internal

control systems and disclosure before and after

including press highlights in two groups with

different regional characteristics. In the group of

small government, the value of R-square in the

initial model is 0.013. After including the press

highlights variable, the value is 0.022. The value

of R-square change is 0.009 with a significance

level of 0.010. Meanwhile, in the group of large

governments, the magnitude of R-square in the

initial model is 0.009 and becomes 0.045 after

the press highlight variable is included. The

value of R-square changes is 0.036 with a

significance level of 0.000.

In the group of small governments, the

coefficient of the variable for the direct

relationship of the quality of internal control

systems and disclosure is 1.240 with a

significance level of 0.002 whereas the

coefficient of the variable for the influence of the

quality of internal control system on disclosure

in the presence of press highlights is 1.268 with

a significance level of 0.002. In the group of

large governments, the coefficient for the direct

effect variable is (-1.098) with a significance

level of 0.019 while the coefficient of the

variable including the moderating effect of press

highlight is (-1.123) with a significance level of

0.014. All coefficients of the variable for the

18

influence of the quality of internal control

systems on disclosure in the two different groups

of government size are significant before and

after taking account the moderating effect.

The test results in both groups indicate that

press highlights moderate the relationship

between the quality of internal control systems

and disclosure. The coefficient values change

and the changes are significant (see significant

changes in R-square values). A significant

moderating effect and differences in coefficient

values prove that the moderating effects between

the two groups of government size are different.

Thus, statistically, Hypothesis 3b is proven.

In both groups, press highlights strengthen

the relationships between the quality of internal

control systems and disclosure. However, in the

group of small government, given the presence

of press highlights, internal control systems are

instrumental in ensuring financial reports with

broader disclosure. In the group with large

governments, the presence of stronger press

highlights reduces the role of internal control

systems in generating broader disclosure. This

may be because of the presence of strong press

highlights pushing governments to prioritize

broader disclosure to respond to press

information needs rather than to financial

reporting needs. As can be seen from the test

results, the direct effect of press highlights on

disclosures in the group of large governments is

stronger than in the group of small ones.

In the group with low and high prosperity,

the R-square Change value is significant.

Similarly, the R-square Change value in

different local government wealth and in

different types of government produce is

significant. However, the presence of press as

moderating variable does not affect the influence

of the quality of internal control systems on

disclosure. These results do not support

Hypothesis 3c, 3d, and 3e.

TABLE 8. TEST RESULTS OF THE DIFFERENCES IN THE EFFECTS OF LOCAL CHARACTERICTICS ON THE MODERATING EFFECTS OF PRESS

HIGHLIGHTS

Model

Size Prosperity

Coeff. Sig.

Coeff. R Square

Change Statistics

Coeff. Sig.

Coeff. R Square

Change Statistics

R-Square

Change

Sig.

Change

R-Square

Change

Sig.

Change

Small/

Low/

Regency

1 Constant 10.463 0.000

0.013 0.013 0.002 11.440 0.000

0.000 0.000 0.647 ICQ 1.240 0.002 0.188 0.647

2

Constant 9.904 0.000

0.022 0.009 0.010

10.787 0.000

0.014 0.014 0.002 ICQ 1.268 0.002 0.129 0.752

PRESS 0.322 0.010 0.402 0.002

Big/

High/

City

1 Constant 12.838 0.000

0.009 0.009 0.019 11.580 0.000

0.000 0.000 0.643 ICQ -1.098 0.019 0.215 0.643

2

Constant 11.198 0.000

0.045 0.036 0.000

10.894 0.000

0.012 0.012 0.008 ICQ -1.123 0.014 0.178 0.700

PRESS 0.756 0.000 0.353 0.008

Model

Government Wealth Type

Coeff. Sig.

Coeff. R Square

Change Statistics

Coeff. Sig.

Coeff. R Square

Change Statistics

R-Square

Change

Sig.

Change

R-Square

Change

Sig.

Change

Small/ Low/

Regency

1 Constant 11.446 0.000

0.000 0.000 0.685 11.398 0.000

0.001 0.001 0.451 ICQ 0.167 0.685 0.264 0.451

2

Constant 10.965 0.000

0.008 0.008 0.018

10.782 0.000

0.012 0.011 0.001 ICQ 0.112 0.784 0.212 0.542

PRESS 0.301 0.018 0.371 0.001

Big/

High/ City

1 Constant 11.551 0.000

0.001 0.001 0.562 12.009 0.000

0.000 0.000 0.813 ICQ 0.270 0.562 -0.150 0.813

2

Constant 10.664 0.000

0.020 0.020 0.001

10.972 0.000

0.019 0.019 0.022 ICQ 0.237 0.607 -0.108 0.865

PRESS 0.450 0.001 0.439 0.022

Dependent Variable: DISC

Model1 Predictors: Constant, ICQ

Model2 Predictors: Constant, ICQ, PRESS

19

4. CONCLUSION

We can draw the following conclusions

from this study: Firstly, this study does not

provide supporting evidence to show that local

governments tend to do more disclosures when

the internal control system is successful in

ensuring efficiency and effectiveness of

activities, asset safeguards, regulatory

compliance, and reliable reporting. The study

does not prove that local governments reduce

disclosure when faced with problems in financial

accountability. However, an interesting

phenomenon was observed when we conducted

a test for different sizes of local government. In

the group of small governments, the quality of

internal control systems influenced disclosure

positively while in the group of large

governments, the effect was negative. Secondly,

the number of press highlight on local

governments is more likely to encourage broader

disclosure. Media presence has encouraged

governments to disclose information in greater

quantities. The presence of strong press

highlights prompted the government to make

broader disclosures in order to answer the press

information needs. Thirdly, the test for

differences in the moderating influence of press

highlights on various conditions shows mixed

results. In both groups of government size, the

moderating effect of press highlights

strengthened existing relationships. Meanwhile,

in groups of low and high prosperity, rich and

less rich local governments, and in group of

regencies and cities, press highlights does not

have any effect.

This study has several limitations as

follows: Firstly, data on disclosure and press

highlights are obtained using content analysis

techniques. Data thus obtained has the potential

to produce differences among different studies.

Secondly, the items of voluntary disclosure in

this study are adopted from previous research at

government agencies in Australia. In the

Indonesian context, these items have not been

tested as information needed to be disclosed in

financial reports. Thirdly, some local mass

media do not have official online sites. Thus,

news about local government in such media are

not included in this study.

This study brings some implications. This

study provides a new understanding about the

influence of press highlight. The press highlight

not only has the power to directly influence

disclosure, but in small cities/ regencies it also

has the moderating effect on the influence of the

quality of internal control system on disclosure.

So, press can be utilized to directly influence or

to moderate the role of internal control system

for broader disclosure in local government

financial report. Such strategy can encourages

local government to improve its internal control

system as well as its financial accountability.

However, it should be conducted selectively

since the influence can be vary depend on

characteristics of local government.

We offer the following suggestions for

future research: firstly, to develop data

collection techniques that can overcome the

problem of ambiguity that may arise from the

use of content analysis techniques, both for

disclosure and for press news; secondly, to

develop voluntary disclosure items that are

relevant to the conditions in the country in which

the study; thirdly, to develop a technique of

settling the number of news items, for more

accurate data of press highlights; fourthly, to

conduct deep analysis to identify the factors that

cause differences in the effect of the quality of

internal control systems on disclosure in small

and large local governments.

5. REFERENCES

[1] S. A. Murni. “Pengaruh luas ungkapan

sukarela dan asimetri informasi terhadap

cost of equity pada perusahaan publik di

Indonesia,” Jurnal Riset Akuntansi

Indonesia, vol. 7, no. 2, pp. 192–206, 2004.

[2] S. Heitzman, C. Wasley, and J. Zimmerman.

“The joint effects of materiality thresholds

and voluntary disclosure incentives on

firms’ disclosure decisions,” J. Account.

Econ. vol. 49, pp. 109–132, 2010.

[3] K. A. Smith. “Voluntarily reporting

performance measures to the public: A test

of accounting report from U.S. cities,” Int.

Public Manag. J. vol. 7, p. 19, 2004.

[4] F. Laswad, R. Fisher, and P. Oyelere.

“Determinants of voluntary internet

financial reporting by local government

20

authorities,” J. Account. Public Policy. vol.

24, pp. 101–121, 2005.

[5] J. L. Gandía, and M. C. Archidona.

“Determinants of web site information by

Spanish city councils,” Online Inform. Rev.

vol. 32, pp. 35–57, 2008.

[6] R. W. Ingram. “Economic incentives and the

choice of state government accounting

practices,” J. Account. Res., vol. 22, pp.

126–134, 1984.

[7] S. Djankov, R. La Porta, F. Lopez-de-

Silanes, and A. Shleifer. “Disclosure by

politicians,” Am. Econ. J. Appl. Econ. vol.

2, pp. 179–209, 2010.

[8] W. R. Scott, Financial Acconting Theory,

7th ed. Toronto: Pearson, 2015.

[9] J. H. Evans III, and J. M. Patton. “Signalling

and monitoring in public-sector

accounting,” J. Account. Res., vol. 25, pp.

130–158, 1987.

[10] M. Gibbins, A. Richardson, and J.

Waterhouse. “The management of

corporate financial disclosure:

opportunism, ritualism, policies, and

processes,” J. Account. Res., vol. 28, pp.

121–143, 1990.

[11] M. C. Jensen and W. H. Meckling, “Theory

of the firm: managerial behaviuor, agency

cost and ownwership structure,” J. Financ.

Econ. vol. 3, pp. 305–360, 1976.

[12] J. L. Reck and E. R. Wilson. “Information

transparency and pricing in the municipal

bond secondary market,” J. Acc. Public

Policy. vol. 25, 1–31, 2006.

[13] W. R. Baber and A. K. Gore. “Consequences

of GAAP disclosure regulation: evidence

from municipal debt issues,” Acc. Rev.

May. vol. 83, p. 565, 2008.

[14] T. Bui and S. Sankaran. “E-disclosure of

financial information and the capacity to

borrow,” Acad. Acc. Financ. Stud. J. vol.

13, 2009.

[15] L. M. Fairchild and T. W. Koch. “The

impact of state disclosure requirements on

municipal yields,” Natl. Tax J., Dec. vol.

51, p. 733, 1998.

[16] A. K. Gore. “The effects of GAAP

regulation and bond market interaction on

local government disclosure,” J. Account.

Public Policy. vol. 23, pp. 23–52, 2004.

[17] M. Tayib, H. M. Coombs, and J. R. M.

Ameen. “Financial reporting by Malaysian

local authorities,” Intl Jnl Public Sec

Management. vol. 12, pp. 103–121, 1999.

[18] H. Danaee Fard and A. A. Anvary Rostamy.

“Promoting public trust in public

organizations: explaining the role of public

accountability,” Public Organ. Rev. vol. 7,

pp. 331–344, 2007.

[19] Committee of Sponsoring Organizations of

the Treadway. Commission (COSO).

”Internal Control.–Integrated Framework,”

1992.

[20] INTOSAI. “Guidelines for Internal Control

Standards for the Public Sector,” Brussels,

2004.

[21] Republic of Indonesia. “Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60

Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian

Intern Pemerintah,” 2008.

[22] D. Martani and A. Lestiani, “Disclosure in

Local Government Financial Statements the

Case of Indonesia,” Global Review of

Accounting and Finance, vol. 3, pp. 67 – 84,

2012.

[23] A. J. McLelland and G. Giroux. “An

empirical analysis of auditor report timing,

by large municipalities,” J. Account. Public

Policy. vol. 19, pp. 263–281, 2000.

[24] N. Brown and C. Deegan. “The public

disclosure of environmental performance

information--a dual test of media agenda

setting theory and legitimacy theory,” Acc.

Bus. Res.. vol. 29, pp. 21–41, 1998.

[25] J. L. Zimmerman. “The municipal

accounting maze: an analysis of political

incentives,” J. Account. Res. vol. 15, pp.

107–144, 1977.

[26] A. K. Styles and M. Tennyson. “The

accessibility of financial reporting of U.S.

municipalities on the internet,” Journal of

Public Budgeting, Accounting & Financial

Management. vol. 19, p. 56–92, 2007.

[27] C. Serrano-Cinca, M. Rueda-Tomás, and P.

Portillo-Tarragona,” Factors Influencing e-

Disclosure in Local Public

Administrations,” DTECONZ-03,

Universidad de Zaragoza, 2008.

21

[28] I. Gallego-Álvarez, L. Rodríguez-

Domínguez and I. García-Sánchez.

“Information disclosed online by Spanish

universities: content and explanatory

factors,” Online Inform. Rev. vol. 35, pp.

360–385, 2011.

[29] F. G. H. Hartmann and F. Moers. “Testing

contingency hypotheses in budgetary

research: an evaluation of the use of

moderated regression analysis,” Acc.

Organ. Soc. vol. 24, pp. 291–315, 1999.

[30] Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP). “Laporan

Pembinaan Penyelenggaraan SPIP pada

Kementerian/Lembaga dan Pemerintah

Daerah,” 2006.

22

PETA RISIKO MANAJEMEN PEMERINTAH

Mustofa Kamal

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP dan FH Unida

email: [email protected]

Abstrak

Penilaian risiko telah menjadi mandat bagi instansi pemerintah, namun sesuai hasil monitoring BPKP

per 28 Juni 2019 masih ada 60,19% yang belum mampu melakukannya. Penelitian ini bertujuan

untuk menilai risiko dan memberi contoh pemetaan risiko di manajemen pemerintah. Metode

penelitian kualitatif dilakukan melalui studi literatur, studi normatif dan studi prospektif. Penilaian

skala likelihood dan impact risiko manajemen pemerintah dilakukan oleh 121 peserta pelatihan

dalam focus group discussion. Peserta pelatihan menilai, secara prospektif, skala likelihood dan

impact atas risiko yang teridentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan ada 72 risiko manajemen

pemerintah teridentifikasi dan dianalisis. Nilai risiko tertinggi adalah 10,56 ada di perencanaan

berupa “Intervensi politik agar dokumen perencanaan jangka pendek dibuat berdasarkan kemauan

sesaat para anggota legislatif dan eksekutif tanpa melihat dokumen perencanaan jangka menengah

dan jangka panjang”. Peta risiko manajemen pemerintah dapat dibuat melalui matriks analisis risiko

dengan hasil berupa 4 peringkat penanganan. Ada 3 risiko masuk dalam prioritas penanganan

pertama, 15 risiko masuk penanganan yang kedua, 11 risiko masuk penanganan yang ketiga, dan 43

risiko masuk penanganan keempat. Hasil penelitian ini menjadi masukan di bidang akademik

terutama tentang kajian penilaian risko sektor publik. Selain itu, implikasi hasil penelitian di bidang

praktik adalah instansi pemerintah perlu mempertimbangkan risiko tertinggi dalam penilaian risiko

di unit organisasinya serta merancang penanganan yang tepat.

Kata kunci: manajemen, level risiko, peta risiko

Abstract

Risk assessment has become a mandate for government agencies, but according to the results of

BPKP monitoring as of June 28, 2019 there are still 60.19% who have not been able to do it. This

study aims to assess risk and provide examples of risk mapping in government management. The

qualitative method is done through literature studies, normative studies and prospective studies. The

assessment of the likelihood scale and the risk of government management was carried out by 121

trainees in a focus group discussion. Trainees assess, prospectively, the likelihood and impact scale

of the identified risks. The results showed that 72 government management risks were identified and

assessed. The highest risk value of 10.56 in planning in the form of "political intervention so that

short-term planning documents are made based on the willingness of the legislative and executive

members without looking at medium-term and long-term planning documents". Government

management risk maps can be made through a risk analysis matrix with the results in form of the

rank handling four. There are 3. risks enter in the priority or first handling, 15 risks enter in the

second handling, 11 risks enter in the third handling, and 43 risks enter in the forth handling. The

results of this study provide input in the academic field, especially on the study of public sector risk

assessment. In addition, the implication of the results of research in the field of practice is that

government agencies need to consider the highest risk in risk assessment in their organizational units

and design appropriate measures.

Keywords: management, risk level, risk map

23

1. PENDAHULUAN

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

nomor 60 tahun 2008, disingkat PP 60/2008,

tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah,

disingkat SPIP, telah memberi mandat kepada

instansi pemerintah untuk membangun SPIP.

Namun hasil monitoring (BPKP, 2019) sampai

dengan 28 Juni 2019 menunjukkan maturitas

SPIP dari Kementerian/Lembaga/Pemerintah

Daerah, disingkat KLPD, masih ada yang

dibawah level 3 sebanyak 60,19% atau 378 dari

628 KLPD. Ada yang level 2 sebanyak 233,

level 1 sebanyak 94, level 0 sebanyak 12 dan

yang belum dinilai sebanyak 3 KLPD.

Analisis atas hambatan capaian maturitas

SPIP tersebut antara lain berupa pemerintah

daerah belum memahami esensi sub unsur SPIP

dan tidak dapat segera melengkapi bukti-bukti

pendukung (BPKP, 2019). Sedangkan penilaian

risiko merupakan salah satu unsur SPIP. Kondisi

ini mencerminkan bahwa masih ada 60,19%

KLPD yang belum mampu memahami dan

melakukan penilaian risiko.

Secara umum risiko dapat diartikan sebagai

suatu keadaan yang dihadapi oleh seseorang atau

organisasi dimana terdapat kemungkinan yang

merugikan atau konsekuensi penyimpangan atas

hasil yang ingin dicapai (LKPP 2016). Risiko

juga dapat merupakan sebagai suatu kejadian

yang mungkin terjadi dan apabila terjadi akan

memberikan dampak negatif pada pencapaian

tujuan instansi pemerintah (PP 60/2008). Oleh

karena itu risiko harus dinilai dan dikelola

dengan baik.

Dalam rangka penilaian risiko, PP 60/2008

mengungkap bahwa Pimpinan Instansi

Pemerintah wajib melakukan identifikasi risiko

dan analisis risiko. Identifikasi risiko dapat

dilaksanakan dengan menggunakan metodologi

yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah

dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara

komprehensif serta mekanisme yang memadai

untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan

faktor internal.

Sedangkan analisis risiko dilaksanakan

untuk menentukan tingkat kemungkinan

keterjadian dan dampak dari risiko yang telah

diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan

Instansi Pemerintah. Salah satu tujuan kegiatan

intansi pemerintah yang diungkap di PP 60/2008

adalah pencapaian kegiatan yang efisien dan

efektif.

Metode identifikasi risiko dapat mencakup

pemeringkatan (ranking activities) secara

kualitatif dan kuantitatif, pembahasan pada

tingkat pimpinan, prakiraan dan perencanaan

strategis, serta pertimbangan terhadap temuan

audit dan evaluasi aparat pengawasan intern

pemerintah (PP60/2008).

Organisasi juga dapat mengembangkan

proses identifikasi risiko dengan menggunakan

kombinasi dari survai internal, wawancara

dengan berbagai karyawan dan asistensi dari

konsultan (Bugall dkk, 2015). Di samping itu,

organisasi juga dapat menggunakan 2 cara untuk

identifikasi risiko yaitu dengan cara prospektif

dan cara retrospektif. Risiko prospektif adalah

identifikasi risiko yang belum terjadi, tetapi

mungkin terjadi beberapa waktu yang akan

datang (BPKP 2010). Identifikasi risiko

prospektif dapat dilakukan dengan metode

antara lain survei staf atau klien untuk

identifikasi isu atau problem yang diantisipasi

(BPKP 2009).

Sedangkan cara retrospektif adalah

identifikasi risiko dari peristiwa/insiden yang

sebelumnya pernah terjadi. Sumber informasi

risiko retrospektif dapat berupa antara lain

laporan audit, daftar insiden, media profesional

(BPKP 2010). Hal tersebut mengungkap bahwa

insiden/laporan audit/media profesional yang

pernah terjadi di instansi pemerintah dapat

menjadi sumber informasi risiko yang perlu

dirancang penanganannya.

Organisasi juga dapat mengadopsi The

Committee of Supporting Organizations of the

Treadway Commission’s (COSO’s) enterprise

risk management (ERM) model (Venter, 2007).

Sementara itu, Nurharyanto (2013) mengungkap

terminologi penilaian risiko ini sama dengan

pemetaan risiko.

Salah satu peneliti yang menggunakan

pendekatan ERM dalam pemetaan risiko adalah

Wiryani dkk (2013). Hasilnya mengungkap

bahwa peta risiko dibuat melalui pengukuran

risiko berdasarkan probabilitas dan dampaknya.

Dalam upaya penyusunan peta risiko,

organisasi juga dapat menggunakan focus group

discussion atau FGD untuk menilai risiko

(Wiryani dkk, 2013; Irawan dkk; 2015).

24

Sementara Kamal (2018) menilai likelihood dari

risiko fraud manajemen di aspek planning,

organizing, actuating dan controlling dengan

melibatkan peserta pelatihan sebagai penilai.

Selanjutnya, beberapa penelitian

sebelumnya terkait dengan penilaian risiko di

sektor swasta, BUMN, dan pemerintah disajikan

di tabel 1.

Tabel 1. Penelitian Sebelumnya tentang Penilaian Risiko di Sektor Swasta, BUMN, Pemerintah

Peneliti Objek penelitian Metode penelitian Hasil penelitian

Di sektor swasta dan BUMN

Venter, AC

(2007)

Pengadaan Deskriptif dengan studi

literatur

Matrik risiko fraud pengadaan berdasarkan

The COSO’s ERM – Integrated Framework

dapat dikembangkan untuk membangun

manajemen risiko fraud pengadaan.

Wiryani

dkk (2013).

Industri

penyamakan

kulit

deskriptif melalui studi

kasus, wawancara, focus

group discussion (FGD)

dan pengamatan

Peta risiko dibuat melalui pengukuran

probabilitas risiko dan dampaknya. Hasilnya

ada 2 risiko diperingkat tertinggi yaitu risiko

“ketergantungan pada key person” dengan

nilai risiko 25 dan risiko “kesalahan

penanganan bahan berbahaya/tidak terpakai’

dengan nilai risiko 20.

Utami dkk

(2013)

Proses bisnis

GraPARI

Kualitatif dan

kuantitatif melalui studi

literatur, studi lapangan

dan brainstorming

dengan pendekatan

Fault Tree Analysis

112 risiko dengan peringkat di peta risiko; 33

risiko harus diberikan usulan tindakan

korektif, 14 risiko tidak harus diberikan

tindakan korektif dan 65 risiko lainnya harus

dilakukan penilaian dengan

mempertimbangkan nilai deteksi.

Wijaya, A

(2014)

Perusahaan

Wanda Putra

Kencana

Surabaya

Deskriptif melalui

observasi dan

wawancara

Penerapan fraud risk management diharapkan

dapat meminimalkan fraud. Penerapannya

dapat dilakukan melalui analisis lingkungan

internal, identifikasi risiko, penilaian risiko,

pemetaan risiko dan pengelolaan risiko.

Irawan dkk

(2015)

Pengeboran di

wilayah aset 5

PT Pertamina

Analisis pengukuran

dan pemetaan risiko

mengacu pada Godfrey

(1996). Teknik yang

digunakan; observasi,

wawancara, kuesioner,

studi pustaka dan FGD

24 risiko dengan peringkat di peta risiko; 8

risiko pada tingkat ekstrim, 5 risiko tinggi, 5

risiko sedang, dan 6 risiko rendah.

Di sektor pemerintah

Sukrawan

dan

Winarno

(2013)

Proyek alih daya

teknologi

informasi di

Badan

Pemeriksa

Keuangan

(BPK)

Deskriptif dengan studi

literatur dan wawancara

dengan pendekatan

Project Management

Body of Knowledge

(PMBOK)

Perencanaan penerapan manajemen risiko

belum ada.

Risiko yang cukup tinggi kemungkinan

keterjadian dan dampaknya berupa; tidak ada

analisis kebutuhan user, waktu pengerjaan

yang berlarut-larut, dan kualifikasi staf

vendor tidak sesuai syarat.

Faizana

dkk (2015)

Bencana tanah

longsor di Kota

Semarang

Deskriptif dengan

analisis data sekunder

dan primer

Peta risiko dengan peringkat: 15 kelurahan

pada 475,127 hektar dengan tingkat risiko

tinggi, 10 kelurahan pada 323,141 hektar

dengan tingkat risiko sedang, dan 8 kelurahan

pada 126,003 hektar dengan tingkat risiko

rendah.

25

Peneliti Objek penelitian Metode penelitian Hasil penelitian

Alfian

(2015)

Pengadaan

barang dan jasa

pemerintah

(PBJP)

Deskriptif dengan studi

literatur dan observasi

lapangan audit

66 uraian risiko fraud PBJP.

Pertiwi dkk

(2016)

Proyek

Pembangunan

Underpass Gatot

Subroto

Denpasar

Kualitatif dan

kuantitatif dengan

tahapan; identifikasi

risiko, penilaian risiko

dan risk maping

83 risiko dengan 2 peringkat tertinggi di peta

risiko; level extrime risk ada 25 risiko dan

high risk ada 26 risiko.

Kamal

(2018)

Planning,

Organinizing,

Actuating &

Controlling

(POAC)

Manajemen

Pemerintah

Kualitatif dengan studi

literatur dan survai

dengan responden

peserta 83 peserta diklat

Peringkat likelihood risiko fraud di

manajemen pemerintah. Hasilnya 8 risiko

fraud di POA dengan level sering terjadi.

31 risiko fraud di POAC dengan level pernah

terjadi.

Kamal dan

Tohom

(2019)

Risiko fraud

pengadaan

pemerintah

Kualitatif dengan survai

kepada 53 responden

auditor, pelaku

pengadaan dan trainer

pengadaan

Peringkat likelihood risiko fraud pengadaan

pemerintah. Hasilnya; ada 5 risiko dengan

level likelihood “sering terjadi”, 54 risiko

“kadang terjadi” dan 7 risiko “hampir tidak

terjadi”.

Sumber: hasil olah data beberapa jurnal

Dari beberapa penelitian sebelumnya

tersebut, penelitian tentang peta risiko

manajemen pemerintah belum ada. Hal ini

menunjukkan ada peluang penelitian untuk

memperkaya literasi tentang penilaian risiko

manajemen pemerintah. Oleh karena itu,

beberapa pertanyaan penelitian berikut ini layak

untuk dijawab, yaitu:

1. Bagaimana cara menilai risiko manajemen

pemerintah?

2. Bagaimana cara memetakan risiko

manajemen pemerintah?

3. Risiko manajemen pemerintah apa saja

yang menduduki peringkat tertinggi?

Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk

menilai risiko dan memberikan contoh bentuk

peta risiko manajemen pemerintah yang

menyajikan peringkat risiko dan cluster

peringkat penanganannya.

2. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah kualitatif

melalui studi literatur, studi normatif dan studi

prospektif dengan menggunakan data primer dan

sekunder. Arikunto (2014) mengungkapkan

bahwa data primer berupa, antara lain, data

verbal dari informan yang berkenaan dengan

penelitian. Data sekunder berupa data yang

diperoleh dari dokumen grafis dan lain-lain yang

dapat memperkaya data primer.

Temuan penelitian kualitatif tidak diperoleh

melalui prosedur statistik (Gunawan 2015).

Studi prospektif digunakan untuk analisis risiko

manajemen di aspek planning, organizing,

actuating dan controlling atau POAC (Kamal,

2018) melalui FGD (Wiryani dkk, 2013; Irawan

dkk, 2015).

Studi prospektif berguna untuk menemukan

kecenderungan dan arah perkembangan suatu

kasus. Tindak perbaikan tidak harus dilakukan

oleh peneliti, tetapi oleh orang lain yang

kompeten (Rahardjo 2017). Proses penelitian

dapat dijelaskan di gambar 1.

Proses penelitian (gambar 1) dimulai

dengan identifikasi risiko manajemen

pemerintah dengan menggunakan informasi

yang disajikan oleh Sujarwo (2014) dalam

modul manajemen risiko sumber daya organisasi

di pelatihan jabatan fungsional auditor muda.

Kriteria likelihood dan impact ditentukan dengan

acuan tambahan dari modul manajemen risiko

sektor publik (BPKP, 2015). Kriteria ini akan

dituangkan dalam format “penilaian risiko” yang

disiapkan penulis. Level risiko dinilai secara

ordinal, dengan skala 1 sampai dengan 5

(BPKP, 2015) baik untuk penilaian level

likelihood maupun level impact.

26

Gambar 1. Proses Penelitian

Level risiko manajemen pemerintah

diperoleh melalui hasil perkalian antara level

likelihood dan level impact dan dikumpulkan

dalam daftar level risiko manajemen pemerintah.

Selanjutnya, daftar level risiko ini dievaluasi

untuk membuat peringkat level risiko dari yang

tertinggi sampai dengan yang terendah. Daftar

peringkat level risiko ini menjadi sumber

informasi untuk membuat peta risiko manajemen

pemerintah.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ada 72 risiko operasional di manajemen

pemerintah teridentifikasi dari Sujarwo (2014).

Risiko ini terbagi dalam aspek planning,

organizing, actuating dan controlling

(Lampiran 1). Risiko-risiko tersebut merupakan

risiko yang umum atau bersifat generik di

instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.

Risiko akan dianalisis melalui FGD oleh

121 peserta pelatihan yang terbagi dalam 4

kelas yang berbeda waktu. Data demografi

peserta di 4 pelatihan tersebut disajikan di tabel

2.

Tabel 2. Data demografi peserta FGD

Nama Pelatihan Mata Diklat

saat FGD

Menurut Jenis Kelamin Menurut Umur

Laki-

laki

Perem

puan

Jumlah ≤ 40

th

> 40

th Jumlah

Manajemen Risiko di

Pusdiklat Mahkamah

Agung Bogor

Analisis dan

Evaluasi Risiko

14 Maret 2019

18 11 29 11 18 29

Sertifikasi JFA Ahli BPKP

di Pusdiklatwas BPKP

Bogor

TKMRPI II

12 Agustus 2019

9 24 33 33 0 33

SPIP APIP Kementerian

Perindustrian di Hotel

Mirah Bogor

Penilaian Risiko

14 Agustus 2019

18 12 30 22 8 30

Sertifikasi JFA Muda APIP

di Pusdiklatwas BPKP

Bogor

TKMRPI III

22 Agustus 2019

17 12 29 6 23 29

61 60 121 74 49 121

Hasil FGD menunjukkan bahwa para

peserta di 4 kelas yang berbeda dapat menilai

72 risiko manajemen pemerintah di aspek

POAC. Hasil penilaian ini membuktikan level

risiko manajemen di aspek POAC (Lampiran

2). Jika disusun peringkat risiko manajemen

Daftar peringkat level risiko manajemen pemerintah

Peta Risiko Manajemen Pemerintah

Focus Group Discussion (Wiryani dkk, 2013; Irawan dkk, 2015) oleh peserta pelatihan (Kamal, 2018)

penilaian likelihood penilaian impact pada efisien dan efektif

Data risiko manajemen pemerintah

risiko POAC (Sujarwo, 2014) kriteria risiko (BPKP, 2015)

27

pemerintah di setiap aspek POAC, maka dapat

diungkap risiko dengan peringkat tertinggi:

Di planning berupa “intervensi politik agar

dokumen perencanaan jangka pendek

dibuat berdasarkan kemauan sesaat para

anggota legislatif dan eksekutif tanpa

melihat dokumen perencanaan jangka

menengah dan jangka panjang” dengan

skor risiko sebesar 10,56.

Di Organizing berupa “sumber daya

manusia atau SDM mempunyai hubungan

istimewa dengan rekanan” dengan skor

risiko sebesar 8,70.

Di actuating berupa “Keterlambatan

pelaksanaan kegiatan” dengan skor risiko

sebesar 10,33.

Di controlling berupa “stock opname oleh

atasan langsung hanya formalitas” dengan

skor risiko sebesar 8,96.

Kemudian, risiko manajemen pemerintah

dapat dievaluasi dari hasil penilaian risiko

tersebut melalui peringkat dari seluruh 72 risiko

manajemen pemerintah secara gabungan dari

aspek POAC. Hasilnya menunjukkan risiko

dengan peringkat tertinggi ada di planning

berupa “intervensi politik agar dokumen

perencanaan jangka pendek dibuat berdasarkan

kemauan sesaat para anggota legislatif dan

eksekutif tanpa melihat dokumen perencanaan

jangka menengah dan jangka panjang” dengan

skor 10,56 (lampiran 3). Peringkat 10 besarnya

dapat diungkap di tabel 3 sebagai berikut:

Tabel 3. Peringkat 10 besar Skor Risiko hasil FGD 4 Kelas

No.

Kode

Risiko

POAC

uraian risiko di POAC (Sujarwo, 2014)

Likelihood

dari FGD

4 kelas

Impact

dari

FGD 4

kelas

Skor risiko

dari FGD 4

kelas

1 P 1 Intervensi politik agar dokumen perencanaan

jangka pendek dibuat berdasarkan kemauan

sesaat para anggota legislatif dan eksekutif

tanpa melihat dokumen perencanaan jangka

menengah dan jangka panjang

2,83 3,72 10,56

2 A 1 Keterlambatan pelaksanaan kegiatan 3,11 3,32 10,33

3 P 2 perhitungan anggaran tidak cermat 2,69 3,61 9,72

4 A 2 revisi/pergeseran anggaran banyak terjadi 3,11 3,11 9,68

5 A 3 jadwal kegiatan berubah-ubah saat

pelaksanaan

3,00 3,01 9,04

6 C 1 stock opname oleh atasan langsung hanya

formalitas

2,77 3,23 8,96

7 A 4 belum ada rencana mitigasi kegagalan

pengadaan

2,68 3,33 8,95

8 A 5 proses PBJ belum sesuai ketentuan 2,53 3,49 8,82

9 P 3 proses penganggaran tidak melibatkan

seluruh pemakai anggaran (stakeholders)

2,67 3,28 8,74

10 P 4 outcome yang ditetapkan tidak bernilai

strategis bagi masyarakat luas

2,44 3,57 8,71

Sumber: hasil olah data penulis dari FGD di 4 kelas

Daftar peringkat skor risiko tersebut diatas

dapat menjadi sumber informasi untuk

penyusunan peta risiko manajemen pemerintah.

Pemetaan risiko sesuai daftar peringkat risiko

(lampiran 3) dapat dibuat dalam bentuk matriks

(gambar 2).

Peta risiko manajemen pemerintah

mengungkapkan ada 4 cluster risiko. Jika

prioritas penanganan risiko berdasarkan posisi

cluster di peta risiko, maka keempat cluster ini

dapat dirinci sebagai berikut:

Cluster 7 merupakan kelompok risiko

dengan peringkat penanganan yang

pertama. Di cluster ini ada 3 risiko berupa

risiko dengan kode P1, P2 dan A1.

28

Cluster 11 merupakan kelompok risiko

dengan peringkat penanganan yang kedua.

Di cluster ini ada 15 risiko.

Cluster 12 merupakan kelompok risiko

dengan peringkat penanganan yang ketiga.

Di cluster ini ada 11 risiko.

Cluster 14 merupakan kelompok risiko

dengan peringkat penanganan yang

keempat. Di cluster ini ada 43 risiko.

Dari peta risiko tersebut, instansi

pemerintah dapat melakukan rencana

penanganan risiko. Hal ini dapat dimulai

dengan penentuan risk owner dari setiap risiko

tersebut. Kemudian penelaahan kewenangan

yang dimiliki oleh setiap risk owner tersebut.

Dan, kajian pengembangan respon atas risiko

berbasis regulasi dan best practise dapat

dilakukan dengan membuat profil risiko.

Matriks Analisis

Risiko (5 x 5)

Level Dampak di Area Efisien dan Efektif

1 2 3 4 5

tidak

signifikan Minor Moderat Signifikan

sangat

signifikan

Lik

elih

oo

d

5

Hampir

pasti

terjadi 17 10 6 3 1

4

sangat

sering

terjadi 20 3 8 4 2

3 sering

terjadi 22 15

11: ada 15 risiko 7: ada 3 risiko

5

P: 3,7,8,

O: 1,3,

A: 2,3,4,5,6,7,

C: 1,2,3,4,

P:1,2,

A:1

2 kadang

terjadi 24 19

14. ada 43 risiko 12: ada 11 risiko

9

P: 6,10,11,14,15,16,

17,18,19,20,21

O: 5,6,7,8,

A: 8,

C:5,6,9,11,12,14,15,

16,17,18,19,20,21,

22,23,24,25,26,27,

28,29,30,31,32,33,

34,35

P:4,5,9,12,13,

O:2,4,

C:7,8,10,13,

1

hampir

tidak

pernah

terjadi

25 23 21 18 16

Gambar 2. Peta Risiko Manajemen Pemerintah dengan prioritas penanganan

sumber: hasil olah data (Sujarwo, 2014; PMK 12/2016; BPKP 2016).

4. KESIMPULAN

Penilaian risiko manajemen pemerintah

dapat dilakukan melalui identifikasi dan

analisis risiko di aspek POAC. Hasil

identifikasi berupa 72 risiko manajemen

pemerintah.

Risiko teridentifikasi perlu dianalisis

likelihood dan impact risikonya. Analisis risiko

dapat dilakukan melalui FGD di setiap aspek

POAC. Kemudian, hasilnya berupa 4 daftar

skor risiko manajemen pemerintah di setiap

aspek POAC.

Daftar ini dapat dievaluasi secara

gabungan dengan memeringkatkan skor

risikonya dari yang tertinggi sampai yang

terendah. Hasilnya berupa peringkat skor risiko

29

dari gabungan 4 FGD dari 4 kelas berbeda.

Daftar ini bisa menjadi sumber informasi untuk

penyusunan peta risiko manajemen pemerintah.

Informasi peta risiko manajemen

pemerintah dapat menyajikan 4 kelompok risiko

yang akan ditangani. Prioritas penanganan

disesuaikan dengan prioritas risiko di cluster

sesuai level skor risiko yang telah dinilai dalam

FGD.

Implikasi penelitian

Hasil penelitian ini mempunyai implikasi di

bidang akademik terutama tentang kajian

penilaian risko sektor publik. Selain itu,

implikasi hasil penelitian di bidang praktik

adalah instansi pemerintah perlu

mempertimbangkan risiko tertinggi dalam

penilaian risiko di unit organisasinya serta

merancang penanganan yang tepat.

Instansi pemerintah dapat menggunakan

daftar peringkat risiko dan peta risiko

manajemen pemerintah sebagai sumber

pengembangan penilaian risiko terutama yang

tingkat maturitas SPIP-nya masih dibawah 3.

Telaah atas uraian risiko perlu dilakukan sesuai

dengan konteks instansi pemerintahnya.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan berupa

pelaku FGD belum diverifikasi secara formal

tingkat pemahaman atas risiko dan penilaian

risiko.

5. REFERENSI

Buku

BPKP. (2009). Penilaian Risiko, Modul 3, Diklat

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

(SPIP) Dasar. Bogor: Pusdiklatwas BPKP.

BPKP. (2010). Konsep dan Implementasi Risk

Assessment, Modul Diklat Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

Dasar. Bogor: Pusdiklatwas BPKP.

Nurharyanto. (2013). Sistem Kendali

Kecurangan (FRAUD) Perbankan:

Konsepsi, Asesmen Risiko dan Penerapan

Kebijakan Anti-Fraud. Edisi Pertama.

Jakarta: Tinta Creative Production.

Arikunto Suharsimi. (2014). Prosedur

Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sujarwo H.N.(2014), TKMRPI III-Manajemen

Sumber Daya Organisasi, Modul

Sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor

(JFA) Level Muda, Pusdiklatwas BPKP,

Bogor, 2014.

BPKP. (2015). Manajemen Risiko Organisasi

Sektor Publik, Modul Diklat Teknis

Substansi. Bogor: Pusdiklatwas BPKP.

LKPP. (2016). Mengelola Risiko, Unit

Kompetensi 29, materi SKKNI 2016.

Jakarta: LKPP.

Jurnal dan karya tulis ilmiah

Venter, AC. (2007). A procurement fraud risk

management model. Meditari Accountancy

Research Vol.15 No. 2 2007 : 77-93.

Utami, N.R. & Wessiani, N.A. (2013).

Perancangan Risk Mapping dalam Upaya

Pengembangan Mitigasi Risiko pada

Grapari PT. Telkomsel. tbk. Jurnal Teknik

Pomits. Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-

3539 (2301-9271 Print).

Wiryani, H. Achsani, N.A. & Baga, L.M. (2013).

Pemetaan Risiko di Industri Penyamakan

Kulit dengan Pendekatan Enterprise Risk

Management (ERM). Jurnal Manajemen &

Agribisnis, Vol. 10 No. 1, Maret 2013.

Sukrawan, A. A. & Winarno, W. W. (2013).

Penerapan Risk Management Framework

untuk Pelaksanaan Proyek Alih Daya

Sistem Informasi di BPK RI, JNTETI,

Vol.2, No.3, Agustus 2013. ISSN 2301 –

4156.

Wijaya, A. (2014). Implementasi Fraud Risk

Management untuk Meminimalkan Risiko

Kecurangan (Fraud) pada Bagian Produksi

dan Penjualan Perusahaan Makanan Wanda

Putra Kencana Surabaya. Calyptra: Jurnal

Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.

Vol 3 No.2 (2014).

Faizana, F. Nugraha, A.L. Yuwono, B.D. (2015).

Pemetaan Risiko Bencana Tanah Longsor

Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip

Januari 2015. Volume 4, Nomor 1, Tahun

2015, (ISSN : 2337-845X) 223.

Bugall. Kallman. & Narvaez. (2015). When you

come to a fork in the road. take it. The

Journal of Enterprise Risk Management,

Volume 1, issue 1, 2015.

30

Irawan, G. & Wibawa, B. M. (2015). Analisis

Peta Risiko Pengeboran di wilayah asset 5

PT Pertamina ep, JMK, VOL. 17, NO. 2,

SEPTEMBER 2015, 113–125 DOI:

10.9744/jmk.17.2.113–125 ISSN 1411-

1438 print / ISSN 2338-8234 online.

Alfian. (2015). Pemetaan Jenis dan Risiko

Kecurangan dalam Audit Pengadaan

Barang dan Jasa. Jurnal Pengadaan LKPP.

Oktober 2015/ Volume 4, Nomor 1.

Kamal, M. (2018). Penilaian Likelihood Risiko

Fraud dalam Manajemen Pemerintah.

Jurnal Liquidity. Vol. 7, No. 1, Januari-Juni

2018, hlm. 27-32.

Kamal, M. Dan Tohom, A. (2019), Likelihood

Rating of Fraud Risk in Government

Procurement. The International Journal of

Business Review, Juni 2019, Vol 2, No.1,

2019.

Nurharyanto. (2016). Pendekatan Teori

Permainan dan Konsep Assesmen Risiko

Fraud Untuk Melakukan Pencegahan dan

Pendeteksian Fraud Pada Sektor Publik.

Karya Tulis Ilmiah, Majalah Kampus

Pengawasan: Media Komunikasi Diklat

Auditor. Edisi Januari 2016. Pusdiklatwas

BPKP.

Pertiwi, I. G. A. I. M. Kristinayanti, W. S. &

Aryawan, I. G. M. O. (2016). Manajemen

Risiko Proyek Pembangunan Underpass

Gatot Subroto Denpasar. Jurnal Akuntansi,

Ekonomi dan Manajemen Bisnis. Vol. 4,

No. 1, July 2016, 1-6 p-ISSN: 2337-7887.

Website

Gunawan, I. (2015). Metode Penelitian

Kualitatif. diakses dari

http://fip.um.ac.id/wp-content/uploads/

2015/12/3_Metpen-Kualitatif.pdf.

Rahardjo, H. M. (2017). Studi Kasus dalam

Penelitian Kualitatif: Konsep dan

Prosedurnya. diakses dari

http://repository.uin-malang.ac.id/1104/1/

Studi-kasus-dalam-penelitian-kualitatif.

pdf.

Laporan

BPKP. (2019), Monitoring Capaian SPIP KLPD

per 28 Juni 2019, Direktorat Pengawasan

Tata Kelola Pemerintah Daerah, Deputi

Pengawasan Pemerintahan Daerah, BPKP,

Jakarta, tidak dipublikasikan.

31

Lampiran 1

72 Risiko di POAC Teridentifikasi

POAC No.

Risiko Uraian Risiko (Sujarwo, 2014)

PL

AN

NIN

G

1 Ketidakselarasan RPJP/D, RPJM/D, Renstra Satker/SKPD, RKP/D dengan APBN/D

2 Intervensi politik agar dokumen perencanaan jangka pendek dibuat berdasarkan

kemauan sesaat para anggota legislatif dan eksekutif tanpa melihat dokumen

perencanaan jangka menengah dan jangka panjang

3 Analisis Standar Belanja (ASB) dan atau standar harga masukan (SBM) belum

ditetapkan/diterapkan

4 indikator kinerja output dan outcome tidak jelas

5 kesalahan penentuan mata anggaran

6 perhitungan anggaran tidak cermat

7 jadwal penganggaran tidak ditaati

8 proses penganggaran tidak melibatkan seluruh pemakai anggaran (stakeholders)

9 penganggaran disusun tidak berdasarkan program

10 penganggaran disusun tidak memperhatikan keterkaitan dengan visi dan misi

organisasi

11 data asumsi yang digunakan dalam penganggaran tidak tepat/akurat

12 pegawai terkait pengelolaan/penganggaran keuangan tidak diikutkan pelatihan

13 pengusulan/pengajuan anggaran (misal dari JARING ASMARA oleh parpol) tidak

sesuai aturan yang berlaku

14 outcome yang ditetapkan tidak bernilai strategis bagi masyarakat luas

15 tim negosiasi anggaran belum paham nilai strategis outcome bagi masyarakat luas

16 sistem perencanaan cash flow tidak cocok dengan kondisi organisasi

17 prosedur pembayaran tidak mensyaratkan transfer rekening

18 pertanggungjawaban uang muka tidak sesuai dengan ketentuan

19 Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah (RKBMN/D) tidak dibuat

20 RKBMN/D dibuat namun tidak berpedoman pada standarisasi sarana dan prasarana

21 RKBMN/D dibuat namun tidak direviu

OR

GA

NIZ

ING

1 ada perangkapan jabatan antara yang pemegang/menyimpan/mencatat uang dengan

operasional/teknis kegiatan

2 tidak ada mekanisme/prosedur rotasi/mutasi pegawai di unit atau antar unit kerja

3 suksesi manajemen atau penggantian pimpinan tidak akuntabel

4 SDM yang bagus/profesional deserse atau pindah atau keluar atau pensiun dini

5 konflik antar karyawan atau antar bidang

6 SDM tidak memiliki uraian tugas (jobdescription) yang jelas

7 SDM punya hubungan istimewa dengan rekanan

8 tidak ada rencana pengembangan SDM

AC

TU

AT

ING

1 Keterlambatan pelaksanaan kegiatan

2 keraguan aparat dalam memulai kegiatan (akibat perencanaan tidak matang)

3 revisi/pergeseran anggaran banyak terjadi

4 jadwal kegiatan berubah-ubah saat pelaksanaan

5 tidak ada mekanisme saling periksa antar para penerima dokumen/aliran dokumen

6 proses PBJ belum sesuai ketentuan

7 belum ada Rencana mitigasi kegagalan pengadaan

8 tidak ada SDM yang ditunjuk untuk mengawasi pemanfaatan aset

CO

NT

R

OL

LIN

G

1 SDM yang paham manfaat dan cara reviu laporan keuangan belum ada

2 SDM yang paham manfaat dan cara pemeriksaan dengan tujuan tertentu belum ada

32

POAC No.

Risiko Uraian Risiko (Sujarwo, 2014)

3 inspektorat lebih fokus pada audit regular yang mencakup semua aspek daripada audit

dengan tujuan tertentu (audit tematik)

4 auditor inspektorat masih ber-paradigma lama (sebagai wacthdog)

5 penyusun laporan keuangan tidak kompeten dan atau tidak paham standar akuntansi

pemerintah

6 sistem pelaporan belum terkomputerisasi

7 verifikasi input data tidak dilakukan

8 tidak ada reviu berjenjang dalam pelaporan

9 penerimaan barang hasil pengadaan tidak diuji keberadaan dan kebenaran fisiknya

10 tidak ada stock opname oleh atasan langsung

11 stock opname oleh atasan langsung hanya formalitas

12 ruang penyimpanan/gudang tidak memadai

13 penggunaan aset belum sesuai tupoksi unit kerja

14 penggunaan aset tidak mendapat persetujuan pejabat yang berwenang

15 tidak ada mekanisme kontrol penggunaan aset

16 tidak ada mekanisme inventarisasi aset secara periodik

17 ada aset yang dikelola namun tidak dicatat/tidak dilaporkan

18 daftar aset yang dimanfaatkan (diluar tupoksi) belum up date (belum mutakhir)

19 pemanfaatan aset merugikan secara ekonomis bagi unit kerja

20 pendapat dari pemanfaatan aset hanya sebagian (tidak seluruhnya) masuk kas daerah

21 perjanjian pemanfaatan aset tidak ada

22 klausul di perjanjian pemanfaatan aset merugikan pemda

23 metodologi penilaian aset tidak update/tidak mutakhir sesuai dengan perkembangan

aset

24 seluruh aset yang diusulkan penghapusan belum mendapat persetujuan dari

kadal/DPRD

25 tidak ada mekanisme penghapusan yang otomatis/regular sesuai umur/kondisi aset

26 ada aset produktif dihapuskan

27 pemindahtanganan aset belum sesuai ketentuan

28 nilai aset yang dipindahtangankan merugikan pemda

29 ada hubungan istimewa dalam proses pemindahtanganan (misal tukar guling) aset

30 Tidak ada mekanisme pengawasan pengelolaan aset

31 sistem dan prosedur pengelolaan aset belum dibuat

32 usulan pembiayaan belum diverifikasi/direviu oleh pihak yang kompeten

33 pengelola aset belum paham ketentuan ganti rugi

34 belum ada penggunaan IT untuk mekanisme pengendalian kegiatan

35 penggunaan IT untuk pengendalian kegiatan belum update/mutakhir

33

Lampiran 2

Daftar Skor Risiko Hasil Gabungan FGD dari 4 Kelas yang Berbeda

PO

AC

No Uraian Risiko (Sujarwo,

2014)

Likelihood impact Skor

Risiko

FGD

MA

FGD

JFA

Ahli

FGD

Peri

ndus

trian

FGD

JFA

Mud

a

rata-

rata

4

kelas

FGD

MA

FGD

JFA

Ahli

FGD

Peri

ndus

trian

FGD

JFA

Mud

a

rata-

rata

4

kelas

rata-

rata 4

kelas

PL

AN

NIN

G

1 Ketidakselarasan RPJP/D, RPJM/D, Renstra

Satker/SKPD, RKP/D

dengan APBN/D

2,10 1,89 2,85 2,85 2,42 2,56 4,02 4,27 3,45 3,57 8,65

2 Intervensi politik agar dokumen perencanaan

jangka pendek dibuat

berdasarkan kemauan sesaat para anggota

legislatif dan eksekutif

tanpa melihat dokumen perencanaan jangka

menengah dan jangka

panjang

1,76 2,78 3,57 3,23 2,83 2,63 4,11 4,33 3,83 3,72 10,56

3 Analisis Standar Belanja

(ASB) dan atau standar

harga masukan (SBM) belum

ditetapkan/diterapkan

1,76 2,09 1,91 1,17 1,73 2,54 3,51 3,61 3,03 3,17 5,49

4 indikator kinerja output dan outcome tidak jelas

2,14 2,35 3,02 2,43 2,49 2,62 4,26 3,92 2,97 3,44 8,55

5 kesalahan penentuan mata

anggaran

1,83 2,49 2,99 1,77 2,27 2,79 3,66 2,60 2,90 2,99 6,77

6 perhitungan anggaran tidak cermat

2,09 2,96 3,24 2,47 2,69 3,03 4,11 3,80 3,51 3,61 9,72

7 jadwal penganggaran tidak

ditaati

2,20 3,11 3,04 2,85 2,80 2,75 3,27 2,67 3,15 2,96 8,29

8 proses penganggaran tidak melibatkan seluruh

pemakai anggaran

(stakeholders)

2,57 2,79 3,28 2,03 2,67 3,01 3,36 3,36 3,37 3,28 8,74

9 penganggaran disusun tidak berdasarkan program

1,91 2,46 2,78 1,60 2,19 2,59 3,81 4,04 3,70 3,53 7,73

10 penganggaran disusun

tidak memperhatikan keterkaitan dengan visi

dan misi organisasi

1,68 2,03 3,00 2,03 2,19 2,67 4,12 4,05 3,80 3,66 8,00

11 data asumsi yang

digunakan dalam penganggaran tidak

tepat/akurat

2,05 2,96 3,03 2,43 2,62 2,60 3,33 3,52 3,55 3,25 8,50

12 pegawai terkait pengelolaan/penganggaran

keuangan tidak diikutkan

pelatihan

1,86 3,07 2,45 2,47 2,46 2,67 3,44 3,00 3,63 3,19 7,85

13 pengusulan/pengajuan

anggaran (misal dari

JARING ASMARA oleh parpol) tidak sesuai aturan

yang berlaku

1,66 2,43 2,52 2,67 2,32 2,11 3,01 3,60 3,09 2,95 6,84

14 outcome yang ditetapkan

tidak bernilai strategis bagi masyarakat luas

1,81 2,31 3,16 2,47 2,44 2,53 4,18 3,93 3,64 3,57 8,71

15 tim negosiasi anggaran

belum paham nilai strategis outcome bagi

masyarakat luas

2,04 2,47 3,11 2,31 2,48 2,46 3,63 3,62 3,17 3,22 7,99

34

PO

AC

No Uraian Risiko (Sujarwo,

2014)

Likelihood impact Skor

Risiko

FGD

MA

FGD

JFA

Ahli

FGD

Peri

ndus

trian

FGD

JFA

Mud

a

rata-

rata

4

kelas

FGD

MA

FGD

JFA

Ahli

FGD

Peri

ndus

trian

FGD

JFA

Mud

a

rata-

rata

4

kelas

rata-

rata 4

kelas

16 sistem perencanaan cash flow tidak cocok dengan

kondisi organisasi

1,94 2,31 2,50 1,86 2,15 2,40 3,39 3,24 2,43 2,87 6,17

17 prosedur pembayaran tidak mensyaratkan

transfer rekening

1,80 1,76 2,11 1,57 1,81 2,10 3,08 2,66 2,63 2,62 4,74

18 pertanggungjawaban uang muka tidak sesuai dengan

ketentuan

1,55 2,28 2,69 1,53 2,01 2,35 3,42 3,41 2,33 2,88 5,79

19 Rencana Kebutuhan

Barang Milik Negara/Daerah

(RKBMN/D) tidak dibuat

1,71 1,94 1,64 3,23 2,13 2,43 3,84 3,75 4,00 3,50 7,47

20 RKBMN/D dibuat namun tidak berpedoman pada

standarisasi sarana dan

prasarana

1,84 2,38 2,39 1,97 2,15 2,54 3,72 3,50 2,77 3,13 6,71

21 RKBMN/D dibuat namun tidak direviu

2,02 2,61 1,29 2,89 2,20 2,71 3,37 3,67 3,53 3,32 7,32

OR

GA

NIZ

ING

1 ada perangkapan jabatan

antara yang pemegang/menyimpan/me

ncatat uang dengan

operasional/teknis kegiatan

1,65 1,99 2,01 1,85 1,88 2,59 4,21 4,07 2,90 3,44 6,46

2 tidak ada

mekanisme/prosedur rotasi/mutasi pegawai di

unit atau antar unit kerja

2,19 2,62 2,52 1,72 2,26 2,69 3,59 3,30 2,53 3,03 6,85

3 suksesi manajemen atau

penggantian pimpinan tidak akuntabel

2,04 2,28 2,74 2,53 2,40 2,72 3,78 3,87 3,83 3,55 8,52

4 SDM yang

bagus/profesional deserse atau pindah atau keluar

atau pensiun dini

1,78 2,92 1,78 2,03 2,13 2,35 3,23 3,43 3,37 3,10 6,59

5 konflik antar karyawan atau antar bidang

2,10 3,24 2,60 2,31 2,56 2,65 3,58 3,05 2,89 3,05 7,80

6 SDM tidak memiliki

uraian tugas

(jobdescription) yang jelas

1,87 2,47 1,93 1,59 1,96 2,44 4,05 3,82 3,27 3,40 6,67

7 SDM punya hubungan

istimewa dengan rekanan

2,07 3,04 3,25 2,17 2,63 2,81 3,46 4,06 2,90 3,31 8,70

8 tidak ada rencana

pengembangan SDM

1,85 2,12 2,18 1,94 2,02 2,75 3,91 3,72 3,70 3,52 7,12

AC

TU

AT

ING

1 Keterlambatan

pelaksanaan kegiatan

2,38 3,13 3,92 3,02 3,11 2,71 3,42 3,70 3,47 3,32 10,33

2 keraguan aparat dalam memulai kegiatan (akibat

perencanaan tidak matang)

1,93 2,55 3,50 2,07 2,51 2,68 3,24 3,43 3,07 3,11 7,81

3 revisi/pergeseran anggaran

banyak terjadi

2,50 2,57 4,22 3,17 3,11 2,70 3,23 3,22 3,30 3,11 9,68

4 jadwal kegiatan berubah-

ubah saat pelaksanaan

2,37 2,99 4,18 2,47 3,00 2,49 3,38 3,34 2,83 3,01 9,04

5 tidak ada mekanisme

saling periksa antar para

penerima dokumen/aliran

dokumen

2,11 2,66 3,00 2,43 2,55 2,48 3,84 3,67 2,77 3,19 8,14

6 proses PBJ belum sesuai ketentuan

1,49 3,06 3,17 2,38 2,53 2,09 3,99 4,36 3,53 3,49 8,82

35

PO

AC

No Uraian Risiko (Sujarwo,

2014)

Likelihood impact Skor

Risiko

FGD

MA

FGD

JFA

Ahli

FGD

Peri

ndus

trian

FGD

JFA

Mud

a

rata-

rata

4

kelas

FGD

MA

FGD

JFA

Ahli

FGD

Peri

ndus

trian

FGD

JFA

Mud

a

rata-

rata

4

kelas

rata-

rata 4

kelas

7 belum ada Rencana mitigasi kegagalan

pengadaan

1,86 2,61 3,68 2,59 2,68 2,53 3,81 3,93 3,07 3,33 8,95

8 tidak ada SDM yang ditunjuk untuk mengawasi

pemanfaatan aset

1,75 2,47 2,10 1,50 1,96 2,42 3,76 3,61 3,53 3,33 6,51

CO

NT

RO

LIN

G

1 SDM yang paham manfaat

dan cara reviu laporan

keuangan belum ada

1,54 1,98 1,80 1,61 1,73 2,22 3,97 3,68 3,45 3,33 5,77

2 SDM yang paham manfaat dan cara pemeriksaan

dengan tujuan tertentu

belum ada

1,55 2,09 1,91 1,68 1,81 2,25 3,84 3,42 4,03 3,39 6,12

3 inspektorat lebih fokus pada audit regular yang

mencakup semua aspek

daripada audit dengan tujuan tertentu (audit

tematik)

2,00 2,44 3,22 3,30 2,74 2,44 3,01 3,32 3,17 2,99 8,18

4 auditor inspektorat masih ber-paradigma lama

(sebagai wacthdog)

1,89 2,61 1,83 1,71 2,01 2,71 3,24 3,20 3,53 3,17 6,37

5 penyusun laporan

keuangan tidak kompeten dan atau tidak paham

standar akuntansi

pemerintah

1,40 2,41 2,20 1,96 1,99 2,61 4,12 3,70 3,70 3,53 7,05

6 sistem pelaporan belum

terkomputerisasi

1,36 1,91 1,81 1,00 1,52 1,99 3,38 3,34 3,53 3,06 4,65

7 verifikasi input data tidak

dilakukan

1,53 2,23 2,44 1,51 1,93 2,22 3,86 3,56 3,80 3,36 6,48

8 tidak ada reviu berjenjang

dalam pelaporan

1,67 2,56 2,48 1,73 2,11 2,35 3,79 3,36 3,50 3,25 6,86

9 penerimaan barang hasil pengadaan tidak diuji

keberadaan dan kebenaran

fisiknya

1,62 2,56 2,61 1,47 2,07 2,60 3,62 4,48 3,70 3,60 7,43

10 tidak ada stock opname oleh atasan langsung

1,66 2,36 2,60 1,67 2,07 2,27 3,48 3,53 3,53 3,20 6,64

11 stock opname oleh atasan

langsung hanya formalitas

1,79 3,42 3,42 2,47 2,77 2,32 3,51 3,77 3,33 3,23 8,96

12 ruang penyimpanan/gudang tidak

memadai

2,02 3,25 2,88 3,00 2,79 2,22 3,28 3,04 3,50 3,01 8,40

13 penggunaan aset belum sesuai tupoksi unit kerja

2,01 2,89 2,36 1,80 2,26 2,39 3,17 3,49 2,57 2,91 6,58

14 penggunaan aset tidak

mendapat persetujuan

pejabat yang berwenang

1,58 2,61 2,16 1,50 1,96 2,18 3,16 3,48 2,93 2,94 5,77

15 tidak ada mekanisme

kontrol penggunaan aset

1,68 2,93 2,78 1,80 2,30 2,29 3,55 3,71 3,53 3,27 7,51

16 tidak ada mekanisme

inventarisasi aset secara periodik

1,65 2,62 2,18 1,57 2,00 2,20 3,18 3,48 4,00 3,22 6,44

17 ada aset yang dikelola

namun tidak dicatat/tidak dilaporkan

1,51 2,63 2,14 2,11 2,10 2,30 3,57 3,72 3,97 3,39 7,11

18 daftar aset yang

dimanfaatkan (diluar tupoksi) belum up date

(belum mutakhir)

1,62 3,04 2,63 2,00 2,32 2,42 3,40 3,29 3,50 3,15 7,32

36

PO

AC

No Uraian Risiko (Sujarwo,

2014)

Likelihood impact Skor

Risiko

FGD

MA

FGD

JFA

Ahli

FGD

Peri

ndus

trian

FGD

JFA

Mud

a

rata-

rata

4

kelas

FGD

MA

FGD

JFA

Ahli

FGD

Peri

ndus

trian

FGD

JFA

Mud

a

rata-

rata

4

kelas

rata-

rata 4

kelas

19 pemanfaatan aset merugikan secara

ekonomis bagi unit kerja

1,57 2,82 1,84 1,33 1,89 2,46 3,18 3,40 2,77 2,95 5,58

20 pendapat dari pemanfaatan aset hanya sebagian (tidak

seluruhnya) masuk kas

daerah

1,40 3,01 1,83 1,20 1,86 2,29 3,59 3,86 3,87 3,40 6,33

21 perjanjian pemanfaatan

aset tidak ada

1,29 2,44 2,57 1,40 1,93 2,18 3,33 3,58 3,60 3,17 6,11

22 klausul di perjanjian

pemanfaatan aset merugikan pemda

1,50 2,33 2,03 1,53 1,85 2,28 3,53 3,85 3,73 3,35 6,19

23 metodologi penilaian aset

tidak update/tidak mutakhir sesuai dengan

perkembangan aset

1,63 2,83 2,31 1,67 2,11 2,28 3,45 3,43 3,67 3,21 6,77

24 seluruh aset yang

diusulkan penghapusan belum mendapat

persetujuan dari

kadal/DPRD

1,55 2,38 2,11 1,93 1,99 2,14 3,26 3,23 3,90 3,13 6,24

25 tidak ada mekanisme

penghapusan yang

otomatis/regular sesuai

umur/kondisi aset

1,78 2,65 3,01 3,07 2,63 2,18 3,37 3,05 3,77 3,09 8,12

26 ada aset produktif

dihapuskan

1,38 1,64 2,08 1,53 1,66 2,47 3,76 3,60 3,57 3,35 5,56

27 pemindahtanganan aset belum sesuai ketentuan

1,39 2,49 2,73 1,83 2,11 2,60 3,46 3,61 3,53 3,30 6,97

28 nilai aset yang

dipindahtangankan

merugikan pemda

1,43 2,22 2,15 1,88 1,92 2,66 3,37 3,58 3,41 3,26 6,25

29 ada hubungan istimewa

dalam proses

pemindahtanganan (misal tukar guling) aset

1,46 2,86 2,27 1,87 2,11 2,68 3,69 4,10 3,63 3,52 7,45

30 Tidak ada mekanisme

pengawasan pengelolaan aset

1,51 2,48 2,26 1,88 2,03 2,73 3,79 4,13 3,50 3,54 7,19

31 sistem dan prosedur

pengelolaan aset belum

dibuat

1,31 2,21 2,46 1,20 1,80 2,42 3,43 4,08 3,57 3,38 6,06

32 usulan pembiayaan belum

diverifikasi/direviu oleh

pihak yang kompeten

1,45 2,46 2,29 1,97 2,04 2,39 3,67 3,94 3,63 3,41 6,96

33 pengelola aset belum paham ketentuan ganti

rugi

1,51 2,68 2,39 2,08 2,16 2,65 3,54 3,57 3,33 3,27 7,09

34 belum ada penggunaan IT untuk mekanisme

pengendalian kegiatan

1,56 2,43 2,49 2,20 2,17 2,51 3,37 3,22 3,63 3,18 6,91

35 penggunaan IT untuk

pengendalian kegiatan belum update/mutakhir

1,65 2,88 2,99 2,47 2,50 2,52 3,27 3,10 3,33 3,06 7,63

37

Lampiran 3

Daftar Peringkat Risiko Manajemen Pemerintah hasil dari FGD 4 Kelas

No.

Kode

Risiko

POAC

Uraian Risiko di POAC (Sujarwo,

2014)

LIKELIHOOD

dari FGD 4

kelas

IMPACT

dari

FGD 4

kelas

SKOR

RISIKO

dari FGD

4 kelas

1 P 1 Intervensi politik agar dokumen

perencanaan jangka pendek dibuat

berdasarkan kemauan sesaat para anggota

legislatif dan eksekutif tanpa melihat

dokumen perencanaan jangka menengah

dan jangka panjang

2,83 3,72 10,56

2 A 1 Keterlambatan pelaksanaan kegiatan 3,11 3,32 10,33

3 P 2 perhitungan anggaran tidak cermat 2,69 3,61 9,72

4 A 2 revisi/pergeseran anggaran banyak terjadi 3,11 3,11 9,68

5 A 3 jadwal kegiatan berubah-ubah saat

pelaksanaan

3,00 3,01 9,04

6 C 1 stock opname oleh atasan langsung hanya

formalitas

2,77 3,23 8,96

7 A 4 belum ada Rencana mitigasi kegagalan

pengadaan

2,68 3,33 8,95

8 A 5 proses PBJ belum sesuai ketentuan 2,53 3,49 8,82

9 P 3 proses penganggaran tidak melibatkan

seluruh pemakai anggaran (stakeholders)

2,67 3,28 8,74

10 P 4 outcome yang ditetapkan tidak bernilai

strategis bagi masyarakat luas

2,44 3,57 8,71

11 O 1 SDM punya hubungan istimewa dengan

rekanan

2,63 3,31 8,70

12 P 5 Ketidakselarasan RPJP/D, RPJM/D,

Renstra Satker/SKPD, RKP/D dengan

APBN/D

2,42 3,57 8,65

13 P 6 indikator kinerja output dan outcome tidak

jelas

2,49 3,44 8,55

14 O 2 suksesi manajemen atau penggantian

pimpinan tidak akuntabel

2,40 3,55 8,52

15 P 7 data asumsi yang digunakan dalam

penganggaran tidak tepat/akurat

2,62 3,25 8,50

16 C 2 ruang penyimpanan/gudang tidak

memadai

2,79 3,01 8,40

17 P 8 jadwal penganggaran tidak ditaati 2,80 2,96 8,29

18 C 3 inspektorat lebih fokus pada audit regular

yang mencakup semua aspek daripada

audit dengan tujuan tertentu (audit

tematik)

2,74 2,99 8,18

19 A 6 tidak ada mekanisme saling periksa antar

para penerima dokumen/aliran dokumen

2,55 3,19 8,14

20 C 4 tidak ada mekanisme penghapusan yang

otomatis/regular sesuai umur/kondisi aset

2,63 3,09 8,12

21 P 9 penganggaran disusun tidak

memperhatikan keterkaitan dengan visi

dan misi organisasi

2,19 3,66 8,00

22 P 10 tim negosiasi anggaran belum paham nilai

strategis outcome bagi masyarakat luas

2,48 3,22 7,99

38

No.

Kode

Risiko

POAC

Uraian Risiko di POAC (Sujarwo,

2014)

LIKELIHOOD

dari FGD 4

kelas

IMPACT

dari

FGD 4

kelas

SKOR

RISIKO

dari FGD

4 kelas

23 P 11 pegawai terkait pengelolaan/penganggaran

keuangan tidak diikutkan pelatihan

2,46 3,19 7,85

24 A 7 keraguan aparat dalam memulai kegiatan

(akibat perencanaan tidak matang)

2,51 3,11 7,81

25 O 3 konflik antar karyawan atau antar bidang 2,56 3,05 7,80

26 P 12 penganggaran disusun tidak berdasarkan

program

2,19 3,53 7,73

27 C 5 penggunaan IT untuk pengendalian

kegiatan belum update/mutakhir

2,50 3,06 7,63

28 C 6 tidak ada mekanisme kontrol penggunaan

aset

2,30 3,27 7,51

29 P 13 Rencana Kebutuhan Barang Milik

Negara/Daerah (RKBMN/D) tidak dibuat

2,13 3,50 7,47

30 C 7 ada hubungan istimewa dalam proses

pemindahtanganan (misal tukar guling)

aset

2,11 3,52 7,45

31 C 8 penerimaan barang hasil pengadaan tidak

diuji keberadaan dan kebenaran fisiknya

2,07 3,60 7,43

32 P 14 RKBMN/D dibuat namun tidak direviu 2,20 3,32 7,32

33 C 9 daftar aset yang dimanfaatkan (diluar

tupoksi) belum up date (belum mutakhir)

2,32 3,15 7,32

34 C 10 Tidak ada mekanisme pengawasan

pengelolaan aset

2,03 3,54 7,19

35 O 4 tidak ada rencana pengembangan SDM 2,02 3,52 7,12

36 C 11 ada aset yang dikelola namun tidak

dicatat/tidak dilaporkan

2,10 3,39 7,11

37 C 12 pengelola aset belum paham ketentuan

ganti rugi

2,16 3,27 7,09

38 C 13 penyusun laporan keuangan tidak

kompeten dan atau tidak paham standar

akuntansi pemerintah

1,99 3,53 7,05

39 C 14 pemindahtanganan aset belum sesuai

ketentuan

2,11 3,30 6,97

40 C 15 usulan pembiayaan belum

diverifikasi/direviu oleh pihak yang

kompeten

2,04 3,41 6,96

41 C 16 belum ada penggunaan IT untuk

mekanisme pengendalian kegiatan

2,17 3,18 6,91

42 C 17 tidak ada reviu berjenjang dalam

pelaporan

2,11 3,25 6,86

43 O 5 tidak ada mekanisme/prosedur

rotasi/mutasi pegawai di unit atau antar

unit kerja

2,26 3,03 6,85

44 P 15 pengusulan/pengajuan anggaran (misal

dari JARING ASMARA oleh parpol)

tidak sesuai aturan yang berlaku

2,32 2,95 6,84

45 P 16 kesalahan penentuan mata anggaran 2,27 2,99 6,77

46 C 18 metodologi penilaian aset tidak

update/tidak mutakhir sesuai dengan

perkembangan aset

2,11 3,21 6,77

39

No.

Kode

Risiko

POAC

Uraian Risiko di POAC (Sujarwo,

2014)

LIKELIHOOD

dari FGD 4

kelas

IMPACT

dari

FGD 4

kelas

SKOR

RISIKO

dari FGD

4 kelas

47 P 17 RKBMN/D dibuat namun tidak

berpedoman pada standarisasi sarana dan

prasarana

2,15 3,13 6,71

48 O 6 SDM tidak memiliki uraian tugas

(jobdescription) yang jelas

1,96 3,40 6,67

49 C 19 tidak ada stock opname oleh atasan

langsung

2,07 3,20 6,64

50 O 7 SDM yang bagus/profesional deserse atau

pindah atau keluar atau pensiun dini

2,13 3,10 6,59

51 C 20 penggunaan aset belum sesuai tupoksi unit

kerja

2,26 2,91 6,58

52 A 8 tidak ada SDM yang ditunjuk untuk

mengawasi pemanfaatan aset

1,96 3,33 6,51

53 C 21 verifikasi input data tidak dilakukan 1,93 3,36 6,48

54 O 8 ada perangkapan jabatan antara yang

pemegang/menyimpan/mencatat uang

dengan operasional/teknis kegiatan

1,88 3,44 6,46

55 C 22 tidak ada mekanisme inventarisasi aset

secara periodik

2,00 3,22 6,44

56 C 23 auditor inspektorat masih ber-paradigma

lama (sebagai wacthdog)

2,01 3,17 6,37

57 C 24 pendapat dari pemanfaatan aset hanya

sebagian (tidak seluruhnya) masuk kas

daerah

1,86 3,40 6,33

58 C 25 nilai aset yang dipindahtangankan

merugikan pemda

1,92 3,26 6,25

59 C 26 seluruh aset yang diusulkan penghapusan

belum mendapat persetujuan dari

kadal/DPRD

1,99 3,13 6,24

60 C 27 klausul di perjanjian pemanfaatan aset

merugikan pemda

1,85 3,35 6,19

61 P 18 sistem perencanaan cash flow tidak cocok

dengan kondisi organisasi

2,15 2,87 6,17

62 C 28 SDM yang paham manfaat dan cara

pemeriksaan dengan tujuan tertentu belum

ada

1,81 3,39 6,12

63 C 29 perjanjian pemanfaatan aset tidak ada 1,93 3,17 6,11

64 C 30 sistem dan prosedur pengelolaan aset

belum dibuat

1,80 3,38 6,06

65 P 19 pertanggungjawaban uang muka tidak

sesuai dengan ketentuan

2,01 2,88 5,79

66 C 31 SDM yang paham manfaat dan cara reviu

laporan keuangan belum ada

1,73 3,33 5,77

67 C 32 penggunaan aset tidak mendapat

persetujuan pejabat yang berwenang

1,96 2,94 5,77

68 C 33 pemanfaatan aset merugikan secara

ekonomis bagi unit kerja

1,89 2,95 5,58

69 C 34 ada aset produktif dihapuskan 1,66 3,35 5,56

40

No.

Kode

Risiko

POAC

Uraian Risiko di POAC (Sujarwo,

2014)

LIKELIHOOD

dari FGD 4

kelas

IMPACT

dari

FGD 4

kelas

SKOR

RISIKO

dari FGD

4 kelas

70 P 20 Analisis Standar Belanja (ASB) dan atau

standar harga masukan (SBM) belum

ditetapkan/diterapkan

1,73 3,17 5,49

71 P 21 prosedur pembayaran tidak mensyaratkan

transfer rekening

1,81 2,62 4,74

72 C 35 sistem pelaporan belum terkomputerisasi 1,52 3,06 4,65

41

PENGARUH PENGENDALIAN INTERNAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN

TERHADAP KINERJA PEGAWAI

Rieswandha Dio Primasatya1, Muhammad Thaibi 2 , Jarry Roy Buana Hutagahol3, Erdiya Vega

Restiyantingrum 4 1Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta

email: [email protected] 2Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta

email: [email protected] 3Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta

email: [email protected] 4Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya

email: [email protected]

Abstrak

Kinerja pegawai Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi ditentukan oleh

pengendalian internal dan gaya kepemimpinan kepala pemerintahan. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk menguji pengaruh pengendallian internal dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja

karyawan. Penelitian ini memiliki empat variabel independen yaitu pengendalian internal, gaya

kepemimpinan direktif, gaya kepemimpinan suportif, gaya kepemimpinan partisipatif dan satu

variabel dependen, yaitu kinerja karyawan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif

dengan data primer dengan menyebarkan kuesioner. Kuisioner kontribusi 100 lembar didistribusikan

kepada karyawan organisasi perangkat daerah di Kabupaten Banyuwangi yang menyelesaikan posisi

struktural. Hasil kuesioner kemudian diproses menggunakan analisis regresi linier berganda

menggunakan aplikasi SPSS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengendalian internal

mempengaruhi kinerja karyawan, gaya kepemimpinan direktif tidak mempengaruhi kinerja

karyawan, gaya kepemimpinan suportif mempengaruhi kinerja karyawan dan gaya kepemimpinan

partisipatif tidak mempengaruhi kinerja karyawan.

Kata kunci: pengendalian internal, gaya kepemimpinan, kinerja karyawan

Abstract

The performance of employees of the Regional Devices Organization of the Banyuwangi Regency

Government is determined by internal control and leadership style of the head of government. The

purpose of this study was to examine the effect of the Internal Control and Leadership Styles on

employee performance. This study has four independent variables namely Internal Control, Directive

Leadership Style, supportive leadership style, participatory leadership style and one dependent

variable, namely Employee Performance. This study uses quantitative approach with primary data

by distributing questionnaires. The 100 sheets contribution questionnaire was distributed to

employees of the regional devices organizations in Banyuwangi Regency which settled structural

position. The results of the questionnaire were then processed using multiple linear regression

analysis using the SPSS application. The results of this study indicate that internal control affect the

employee performance, directive leadership style does not affect the employee performance,

supportive leadership style affect the employee performance and participatory leadership style does

not affect the employee performance.

Keywords: internal control, leadership styles, employee performance

42

1. PENDAHULUAN

Kinerja karyawan atau pegawai merupakan

hal terpenting dalam menentukan kesuksesaan

perusahaan atau organisasi untuk mencapai

tujuan, tak terkecuali organisasi pemerintah.

Tercapainya tujuan perusahaan berasal dari

upaya perusahaan mengelola sumber daya

manusia yang berkualitas dan berpotensi tinggi

untuk meningkatkan hasil kerjanya. Walaupun

telah didukung dengan sarana dan prasarana

yang berkualitas, sebuah organisasi tidak akan

mampu mencapai tujuan apabila tidak didukung

dengan sumber daya manusia yang berkualitas

pula.

Kepemimpinan merupakan salah satu

syarat agar sumber daya manusia dapat

mengoptimalkan kemampuannya dalam

melaksanakan tugas. Gaya kepemimpinan

merupakan cara seorang pemimpin memberikan

pengaruh, mengarahkan, memotivasi, dan

mengendalikan bawahan agar dapat

menyelesaikan tugas secara efektif dan efisien

(Djoko Purwanto, 2006: 24). Oleh sebab itu gaya

kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap

kinerja bawahan, sebagaimana yang

diungkapkan oleh Cunningham dan Cordeiro

(2003:140-141) bahwa gaya kepemimpinan

memengaruhi perilaku bawahannya terutama

perilaku bawahan yang mendukung

pengguanaan gaya yang disukai. Pemerintah

Daerah Kabupaten Banyuwangi memiliki

seorang pemimpin dengan gaya yang fleksibel

dan tegas.

Gaya kepemimpinan yang mampu

memengaruhi kinerja pegawai, tidak bisa

berjalan dengan baik tanpa adanya suatu

pengawasan yang optimal. Pengawasan yang

optimal memerlukan suatu sistem pengendalian

internal yang efektif dan mampu memberikan

pengaruh positif terhadap kinerja pegawai untuk

mengimbanginya, karena sumber daya manusia

(pegawai) akan membentuk suatu lingkungan

pengendalian yang kemudian menjadi fondasi

dari pengendalian internal.

Sumber daya manusia yang berada pada

tingkat pemerintahan ditempatkan pada masing-

masing dinas atau badan yang disebut sebagai

Organisasi Pemerinah Daerah (OPD), yang

sebelumnya dinamakan Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD).

Sistem Pengendalian Internal pada tingkat

pemerintahan disebut sebagai Sistem

Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60

Tahun 2008. Pada Pemkab Banyuwangi,

pengendalian internal yang dibangun telah

memadai. Hal ini didukung dengan penilaian

yang didapat dari lembaga yang berwenang

dalam pengawasan pemerintahan, yakni BPKP.

Menurut BPKP, pengendalian risiko, penetapan

SOP dan penerapan sistem teknologi informasi

yang dibangun Pemkab Banyuwangi dapat

meningkatkan pengendalian terhadap kinerja

pegawai di lingkungan instansinya.

Namun demikian, Pengendalian internal di

Indonesia yang berada pada tingkat Pemerintah

Daerah masih dinilai rendah. Hal ini dibuktikan

bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

telah mencatat sebanyak 106 Kepala Daerah

yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan 29

di antaranya adalah tersangka kasus suap

(kolom.tempo.co, 2019).

Bertolak belakang dengan keadaan tersebut,

Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) menyatakan bahwa pada

tahun 2016 pengendalian internal Pemkab

Banyuwangi sudah melampaui target rata-rata

yang diterapkan oleh Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang

seharusnya baru bisa diukur tiga tahun kemudian

yaitu pada tahun 2019 (banyuwangikab.go.id,

2016). Pemicunya adalah upaya pemerintah

untuk membentuk lingkungan strategis sehingga

menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan

aman, pengendalian risiko yang ada dan

langkah-langkah pengendalian terhadap sisem

kerja pemerintah melalui SOP, dan juga

penerapan sistem teknologi informasi dalam

beberapa pelayanan. Hal-hal tersebut dinilai

BPKP dapat meningkatkan pengendalian

terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah di

Kabupaten Banyuwangi.

Berdasarkan latar belakang tersebut,

penulis ingin menguji pengaruh Pengendalian

Internal dan Gaya Kepemimpinan terhadap

kinerja karyawan. Adapun Gaya Kepemimpinan

penulis kategorikan ke dalam Gaya

Kepemimpinan Direktif, Gaya Kepemimpinan

Suportif, dan Gaya Kepemimpinan Paartisipatif,

dengan tujuan agar dapat membantu Pemerintah

43

dalam membuat kebijakan mengenai

Kepemimpinan dalam Pemerintahan guna

meningkatkan kinerja karyawan/pegawai.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang diangkat dalam

penelitian ini meliputi:

1. Apakah pengendalian internal memiliki

pengaruh terhadap kinerja pegawai?

2. Apakah gaya kememimpinan direktif

memiliki pengaruh terhadap kinerja

pegawai?

3. Apakah gaya kememimpinan suportif

memiliki pengaruh terhadap kinerja

pegawai?

4. Apakah gaya kemempininan partisipatif

memiliki pengaruh terhadap kinerja

pegawai?

Landasan Teori dan Pengembangan

Hipotesis

Halim (2008:124) menjelaskan, teori

keagenan (agency theory) adalah teori yang

menggambarkan hubungan antara dua pihak

prinsipal dengan agen. Hubungan teori keagenan

dengan penelitian ini adalah Bupati sebagai

kepala daerah bertindak sebagai prinsipal yang

mempercayakan pelaksanaan tugas

pemerintahan di tingkat daerah kepada seluruh

pegawai OPD sebagai agen. Pegawai pemerintah

daerah yang ada di OPD sebagai agen, berfungsi

untuk mengeksekusi pelaksanaan teknis daerah

yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah

(Bupati) dalam bentuk peraturan. Sedangkan

prinsipal dalam hal ini Bupati memberikan

kepercayaan kepada seluruh pegawai OPD untuk

melaksanakan fungsi teknis pemerintahan di

tingkat daerah.

Arens et al (2012:290) mengungkapkan

bahwa sistem pengendalian internal terdiri dari

kebijakan dan prosedur yang dirancang oleh

manajemen dengan keyakinan yang memadai

bahwa perusahaan mampu untuk mencapai

tujuannya. Manjemen bisanya memiliki tiga

tujuan luas dalam merancang pengendalian

intenal yang efektif, yakni keandalan pelaporan

keuangan, efektifitas dan efisiensi operasi, dan

kepatuhan terhadap hukum dan aturan.

Committe of Sponsoring Organization of the

Tradeway Commisions (COSO)

mengungkapkan lima unsur pengendalian

internal, antara lain: lingkungan pengendalian,

penilaian risiko, aktivias pengendalian,

informasi dan komunikasi, dan aktivitas

pemantauan.

Jenis gaya kepemimpinan pada penelitian

ini mengacu pada path goal theory. Menurut

Sagala (2018:147), penerapan model path goal

theory membantu memahami dan meramalkan

efektifitas kepemimpinan dalam berbagai situasi

dan dapat mengkondisikan bahwa perilaku

pemimpin memengaruhi kepuasan, kualitas

kerja bawahan, penerimaan bawahan terhadap

pimpinan, harapan mengenai usaha dan imbalan

menggunakan gaya direktif, suportif, dan

partispatif.

1. Gaya Kepemimpinan Direktif

Gaya kepemimpinan ini sama seperti gaya

kepemimpinan otokratis (berkuasa dengan

mutlak) dan tidak ada partisipasi dari

bawahan.

2. Gaya Kepemimpinan Suportif

Jenis gaya kepemimpinan ini mampu

mendekatkan dirinya dengan bawahan agar

bawahan merasa nyaman. Pemimpin

memberikan motivasi kepada bawahan

untuk bekerja dengan loyal dan

meningkatkan kinerjanya.

3. Gaya Kepemimpinan Partisipatif

Pemimpin seperti ini menempatkan

bawahan sebagai sumber informasi dan

evaluasi terhadap kinerjanya karena selalu

meminta dan menggunakan saran dari

bawahan untuk dipertimbangkan kemudian

dipilih yang terbaik untuk diterapkan.

Susanto (2017:51) menjelaskan bahwa

kinerja pegawai (performance) diartikan sebagai

hasil kerja seseorang pegawai atau sebuah proses

manajemen atau suatu organisasi secara

keseluruhan yang hasil kerja tersebut harus dapat

ditunjukkan buktinya secara konkrit dan dapat

diukur (dibandingkan dengan standar yang telah

ditentukan sesuai hasil kerja tersebut).

Pengaruh Pengendalian Internal terhadap

Kinerja Pegawai

Kinerja pegawai merupakan faktor penentu

kesuksesan sebuah organisasi atau dalam

konteks ini adalah organisasi pemerintahan.

Pengendalian internal yang dibuat oleh

44

manajemen sebagai tolok ukur kinerja pegawai

agar mereka dapat bekerja sesuai dengan aturan

yang telah ditetapkan dan mampu mencapai

tujuan organisasi. Binilang dkk (2017) telah

melakukan penelitian yang menghasilkan

adanya pengaruh pengendalian internal dan gaya

kepemimpinan terhadap kinerja pegawai.

Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis

penelitian ini:

Hipotesis 1: Pengendalian internal berpengaruh

terhadap kinerja pegawai.

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Direktif

terhadap Kinerja Pegawai

Gaya kepemimpinan direktif merupakan

gaya kepemimpinan yang tidak melibatkan

bawahan atau pegawai dalam pengambilan

keputusan. Gaya kepemimpinan ini menuntut

pegawai benar-benar paham terhadap keinginan

atasan. Putra dkk (2013) melakukan penelitian

dengan hasil menyatakan bahwa gaya

kepemimpinan direktif, suportif, dan partisipatif

berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Hipotesis yang akan diuji berdasarkan uraian di

atas adalah:

Hipotesis 2: Gaya kepemimpinan direktif

berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Suportif

terhadap Kinerja Pegawai

Jenis gaya kepemimpinan ini memberikan

ruang kepada pegawai untuk berkembang namun

tetap diawasi. Penelitian sebelumnya telah

dilakukan oleh Putra dkk (2013) yang

memberikan kesimpulan bahwa gaya

kepemimpinan suportif berpengaruh terhadap

kinerja karyawan atau pegawai disebabkan oleh

sikap pemimpin yang selalu memberikan

kesempatan kepada pegawai untuk

menyampaikan perasaan dan perhatiannya,

selalu memperhatikan konflik-konflik yang

terjadi, selalu berusaha membangkitkan

semangat kerja dengan pemberian hadiah,

pemimpin sangat memahami dan

mengendalikan emosional pegawai agar tetap

semangat bekerja dan pemimpin mampu

berkomunikasi dengan baik kepada pegawai.

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang

akan diuji pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Hipotesis 3: Gaya kepemimpinan suportif

berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Partisipatif

terhadap Kinerja Pegawai

Gaya kepemimpinan partisipatif merupakan

gaya pemimpin yang memprioritaskan pendapat

pegawai sebagai dasar pengambilan keputusan.

Gaya kepemimpinan jenis ini selalu meminta

saran dari pegawai nya untuk setiap tindakan

yang akan diambil, namun keputusan tetap

berada ditangannya. Pemimpin tetap memilah

saran pegawai yang benar-benar cocok untuk

tujuan organisasi, jadi kendali tetap berada

ditangan pemimpin. Penelitian sebelumnya telah

dilakukan oleh Putra dkk (2013) dengan

kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan

partisipatif berpengaruh terhadap kinerja

pegawai. Hal tersebut dibuktikan dengan sikap-

sikap pemimpin yang telah memenuhi beberapa

indikator yaitu sikap pemimpin yang selalu

mengajak pegawai bersama-sama untuk

merumuskan tujuan, memperhatikan kerja

kelompok dari pada kompetisi individu, selalu

memberikan kebebasan untuk mengemukakan

gagasan dan konsep, dan pemimpin selalu

merespon, menghargai apapun ide dan konsep

yang disampaikan oleh pegawai. Hipotesis yang

akan diuji pada penelitian ini berdasarkan uraian

tersebut adalah:

Hipotesis 4: Gaya kepemimpinan partisipatif

berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Ringkasan atas hasil penelitian sebelumnya

disajikan dalam tabel 1.

45

Tabel 1. Ringkasan Penelitian Sebelumnya

No Peneliti Judul Variabel Hasil

Persamaan

dengan

penelitian ini

Perbedaan

dengan

penelitian ini

1. Binilang

dkk (2017)

Pengaruh

Pengendalian

Internal dan

Gaya

Kepemimpinan

terhadap kinerja

karyawan pada

Hotel Boulvard

Manado

Independen:

(1)Pengendalian

Internal,

(2)Gaya

Kepemimpinan

Dependen:

Kinerja

Karyawan

Terdapat

pengaruh

pengendalian

internal dan

gaya

kepemimpinan

terhadap

kinerja

karyawan

Hotel

Boulvard

Manado.

- Meneliti

tentang

pengaruh

pengendalian

internal dan

gaya

kepemimpinan

terhadap kinerja

karyawan (pada

penilitian ini

disebut

pegawai)

- Menggunakan

analisis statistik

dengan

komputer SPSS

dan analisis

regresi linier

berganda untuk

menguji

hipotesis

- Subjek

penelitian

adalah Hotel

Boulvard

Manado

- Variabel

independen

gaya

kepemimpinan

tidak

menggunakan

path goal

theory

2. Putra dkk

(2015)

Pengaruh Gaya

Kepemimpinan

Direktif,

Suportif, dan

Partisipatif

terhadap Kinerja

Karyawan

(Studi Pada PT.

Astra

Internasional

Tbk. Daihatsu

Malang)

Independen:

(1)Gaya

Kepemimpinan

Direktif,

(2)Gaya

Kepemimpinan

Suportif,

(3)Gaya

Kepemimpinan

Partisipatif

Dependen:

Kinerja

Karyawan

Terdapat

pengaruh gaya

kepemimpinan

direktif,

suportif, dan

partisipatif

terhadap

kinerja

karyawan.

- Variabel

independen

gaya

kepemimpinan

menggunakan

path goal

theory dan

variabel

dependen

kinerja

karyawan (pada

penilitian ini

disebut

pegawai)

- Menggunakan

analisis statistik

dengan

komputer SPSS

dan anlisis

regresi linier

berganda untuk

menguji

hipotesis

- Tidak

menggunakan

pengendalian

internal sebagai

variabel

independen

- Objek

penelitian pada

PT. Astra

Internasional

Tbk. Daihatsu

Malang

3. Sarita

Permata

Dewi

(2012)

Pengaruh

Pengendalian

Internal dan

Gaya

Kepemimpinan

terhadap Kinerja

Independen:

(1)Pengendalian

Internal,

(2)Gaya

Kepemimpinan

Terdapat

pengaruh

pengendalian

internal dan

gaya

kepemimpinan

- Meneliti

tentang

pengaruh

pengendalian

internal dan

gaya

- Subjek

penelitian

adalah SPBU

Anak Cabang

Perusahaan RB.

Group

46

No Peneliti Judul Variabel Hasil

Persamaan

dengan

penelitian ini

Perbedaan

dengan

penelitian ini

Karyawan

SPBU

Yogyakarta

(Studi Kasus

pada SPBU

Anak Cabang

Perusahaan RB.

Group)

Dependen:

Kinerja

Karyawan

terhadap

kinerja

karyawan.

kepemimpinan

terhadap kinerja

karyawan (pada

penilitian ini

disebut

pegawai)

- Menggunakan

analisis statistik

dengan

komputer SPSS

dan analisis

regresi linier

berganda untuk

menguji

hipotesis

- Varibel

independen

gaya

kepemimpinan

tidak

menggunakan

path goal

theory

4. Khairizah

dkk (2015)

Pengaruh Gaya

Kepemimpinan

terhadap Kinerja

Karyawan

(Studi pada

Karyawan di

Perpustakaan

Universitas

Brawijaya

Malang)

Independen:

(1)Gaya

Kepemimpinan

Direktif,

(2)Gaya

Kepemimpinan

Suportif,

(3)Gaya

Kepemimpinan

Partisipatif

Dependen:

Kinerja

Karyawan

Secara

simultan

terdapat

pengaruh

keriga variabel

independen

terhadap

varibel

dependen.

Secara

simultan,

terdapat

pengaruh gaya

kepemimpinan

direktif

terhadap

kinerja

karyawan,

sedangkan

gaya

kepemimpinan

suportif dan

tidak

berpengaruh

terhadap

kinerja

karyawan

- Variabel

independen

gaya

kepemimpinan

menggunakan

path goal

theory dan

variabel

dependen

kinerja

karyawan (pada

penelitian ini

disebut

pegawai)

- Pengujian

variabel

menggunakan

analissi regresi

liner berganda

dan SPSS

- Tidak

menggunakan

pengendalian

internal sebagai

variabel

independen

- Objek

penelitian pada

karyawan di

perpustakaan

Universitas

Brawijaya

Malang

5. Hakim dkk

(2016)

Pengaruh

Komitmen

Organisasional,

Sistem

Pengendalian

Intern

Pemerintah, dan

Gaya

Kepemimpinan

Terhadap

Independen:

(1)Komitmen

Organisasional,

(2)SPIP,

(3)Gaya

Kepemimpinan

Dependen:

Kinerja

Manajerial

Terdapat

pengaruh

komitmen

organisasional

dan SPIP

terhadap

kinerja

manajerial,

sedangkan

gaya

- Variabel

independen

pengendalian

internal dan

gaya

kepemimpinan

- Gaya

kepemimpinan

diteliti

menggunakan

- Ada variabel

independen

komitmen

organisasional

dan variabel

dependen

kinerja

manajerial

- Path goal

theory tidak

47

No Peneliti Judul Variabel Hasil

Persamaan

dengan

penelitian ini

Perbedaan

dengan

penelitian ini

Kinerja

Manajerial

(Survey pada

SKPD

Sumbawa dan

Sumbawa Barat)

kepemimpinan

tidak

berpengaruh

terhadap

kinerja

manajerial.

path goal

theory

- Menggunakan

analisis statistik

dengan

komputer SPSS

dan anlisis

regresi linier

berganda untuk

menguji

hipotesis

- Objek

penelitian pada

SKPD

dikembangkan

dalam hipotesis

6. Eva

Faridah

(2014)

Pengaruh

Pengendalian

Internal

Terhadap

Kinerja Pegawai

Bagian

Keuangan

Independen:

Pengendalian

Internal

Dependen:

Kinerja Pegawai

Terdapat

pengaruh

pengendalian

internal

terhadap

kinerja

pegawai

bagian

keuangan

RSUD Kota

Banjar.

- Variabel

independen

pengendalian

internal dan

dependen

kinerja pegawai

- Tidak

menggunakan

variabel

independen

gaya

kepemimpinan

- Objek

penelitian pada

RSUD Kota

Banjar

7. Habeeb

dan

Ibrahim

(2017)

Effect of

Leadership

Styles on

Employee

Performance in

Nigerian

Universities

Independen:

Gaya

Kepemimpinan

Dependen:

Kinerja Pegawai

Terdapat

pengaruh gaya

kepemimpinan

terhadap

kinerja

pegawai

- Variabel

independennya

gaya

kepemimpinan

dan

dependennya

kinerja pegawai

- Tidak

menggunakan

pengendalian

internal sebagai

variabel

independen

- Gaya

kepemimpinan

dianalisis

dengan 1

hipotesis

- Analisis data

menggunakan

Scientific

Programme for

Social Science

Sumber: Data Olahan (2019)

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif dengan menggunakan data primer

berupa kuesioner dan data sekunder berupa

bacaan yang berhubungan dengan penelitian ini.

Populasi dalam penelitian ini yaitu pegawai

Kantor Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi yaitu sejumlah 10.224.

Pemilihan sampel dalam penelitian ini

menggunakan metode nonprobability sampling

dengan metode sampling kuota. Sampling kuota

merupakan teknik pengambilan sampel dari

populasi dengan ciri-ciri tertentu sampai jumlah

kuota yang diinginkan terpenuhi. Sampel

penelitian ini sebesar 100 responden.

48

Variabel Penelitian

Arens et al (2012:290) menjelaskan bahwa

sistem pengendalian internal berkiblat pada

COSO Framework, yaitu lingkungan

pengendalian, penilaian risiko, aktivitas

pengendalian, informasi dan komunikasi, dan

pemantauan pengendalian internal. Kelima

indikator pengendalian internal menurut COSO

tersebut merupakan acuan untuk meneliti

variabel pengendalian internal pada penelitian

ini.

Purwanto (2006:24) mengartikan gaya

kepemimpinan sebagai cara pandang seorang

pemimpin dalam memengaruhi, memotivasi,

dan mengendalikan bawahan agar tujuan

organisasi atau kelompok dapat tercapai.

Penelitian ini mengklasifikasikan gaya

kepemimpinan menjadi tiga variabel bebas,

antara lain:

1. Gaya Kepemimpinan Direktif

Gaya kepemimpinan direktif diteliti dengan

menggunakan empat indikator utama yaitu

pemimpin jarang melibatkan pegawai

dalam pengambilan keputusan, pemimpin

selalu memberikan penjelasan tugas yang

akan dikerjakan pegawai dengan jelas dan

memberikan peringatan jika target

pekerjaan tidak tercapai, pimpinan selalu

merespon pegawai untuk mengembangkan

kemampuan, dan pimpinan selalu

memberikan umpan balik bagi pegawai

yang bekerja dengan hasil yang memuaskan

(Putra dkk, 2015).

2. Gaya Kepemimpinan Suportif

Indikator gaya kepemimpinan suportif

menurut Putra dkk (2015) terdiri dari lima

indikator utama yaitu pemimpin selalu

memberikan kesempatan kepada pegawai

untuk menyampaikan perasaan, pemimpin

selalu memperhatikan konflik yang terjadi

dan berusaha memberikan solusi, pemimpin

selalu berusaha membangkitkan semangat

kerja dengan pemberian hadiah, pemimpin

sangat memahami dan mengendalikan

emosional pegawai agar tetap semangat

bekerja, dan pemimpin mampu

berkomunikasi dengan baik terhadap

pegawainya.

3. Gaya Kepemimpinan Partisipatif

Putra dkk (2015) meneliti gaya

kepemimpinan partisipatif melalui empat

indikator utama yaitu pemimpin selalu

mengajak bawahan bersama-sama

merumuskan tujuan, memperhatikan kerja

kelompok dari pada kompetisi individu,

pemimpin selalu memberikan kebebasan

kepada pegawai untuk mengemukakan

gagasan dan konsep, dan pemimpin selalu

merespon, menghargai apapun ide dan

konsep yang disampaikan oleh pegawai.

Indikator kinerja pegawai pada penelitian

ini ada empat yang mengacu pada penelitian

yang sebelumnya telah dilakukan oleh Dewi

(2012) menurut Barnard dan Quinn dalam

Suyadi Prawirosentono (2008:27-32), yaitu

efektifitas dan efisiensi, otoritas dan tanggung

jawab, disiplin, dan inisiatif.

Teknik Analisis Data

Analisis dalam penelitian ini menggunakan

analisis linier berganda. Berikut ini persamaan

matematik untuk menguji hipotesis variabel

dalam penelitian:

Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3+ β4X4+ ε

Keterangan:

Y = Kinerja Pegawai

α = Konstanta

β1β2β3β4 = Koefisien regresi untuk masing-

masing variabel X

X1 = Pengendalian Internal

X2 = Gaya Kepemimpinan Direktif

X3 = Gaya Kepemimpinan Suportif

X4 = Gaya Kepemimpinan Partisipatif

ε = Estimated of Standard error

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji normalitas bertujuan untuk menguji

model regresi yakni variabel dependen dan

independen terdistribusi secara normal atau

tidak. Uji ini menggunakan uji kolmogorov

smirnov. Jika nilai signifikansi dari hasil uji

kolmogrov smirnov > 0,05 (α=5%), maka

residual regresi berdistribusi normal.

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa nilai

uji kolmogorov smirnov residual menghasilkan

nilai signifikansi 0,124 > 0,05, maka dapat

49

disimpulkan bahwa residual regresi dalam

penelitian ini berdistribusi normal.

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas

Test

Statistic Signifikansi Keterangan

Unstand

ardized

Residual

0,79 0,124 Normal

Sumber: Data Olahan (2019)

Uji multikolinieritas ini bertujuan untuk

mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang

signifikan antara variabel bebas dalam model

regresi. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui

bahwa nilai VIF pada variabel bebas kurang dari

10 dan nilai tolerance lebih besar dari 0,1. Maka

dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam

penelitian ini bebas dari multikolinieritas atau

dengan kata lain asumsi non multikolinieritas

terpenuhi.

Tabel 3. Hasil Uji Multikoliniearitas

Variabel Tolerance VIF Keterangan

Pengendalian

Internal (X1)

0,826 1,210 Tidak

Terjadi

Multiko

linearitas

Gaya

Kepemimpinan

Direktif (X2)

0,635 1,575 Tidak

Terjadi

Multiko

linearitas

Gaya

Kepemimpinan

Suportif (X3)

0,562 1,778 Tidak

Terjadi

Multiko

linearitas

Gaya

Kepemimpinan

Partisipatif (X4)

0,782 1,279 Tidak

Terjadi

Multiko

linearitas

Sumber: Data Olahan (2019)

Uji heterokedastisitas memiliki tujuan

untuk menguji apakah terjadi ketidaksamaan

variance dari residual satu pengamatan ke

pengamatan lain dalam model regresi.

Heterokedastisitas penelitian ini diuji

menggunakan metode glejser, dengan tingkat

kepercayaan 5%. Tabel 4 merupakan bukti

bahwa penelitian ini tidak terindikasi adanya

heterokedastisitas.

Tabel 4. Hasil Uji Heteroskedastisitas

Variabel Signifikansi Kesimpulan

Pengendalian

Internal (X1)

0,524 Tidak Terjadi

Hetero

kedastisitas

Gaya

Kepemimpinan

Direktif (X2)

0,343 Tidak Terjadi

Hetero

kedastisitas

Gaya

Kepemimpinan

Suportif (X3)

0,226 Tidak Terjadi

Hetero

kedastisitas

Gaya

Kepemimpinan

Partisipatif (X4)

0,305 Tidak

Terjadi

Hetero

kedastisitas

Sumber: Data Olahan (2019)

Hasil Analisis Linier Berganda

Model analisis berganda digunakan untuk

menguji pengaruh pengendalian internal (X1),

gaya kepemimpinan direktif (X2), gaya

kepemimpinan suportif (X3) dan gaya

kepemimpinan partisipatif (X4) terhadap kinerja

Pegawai (Y). Dari tabel 5 diperoleh persamaan:

Y = 17,324 + 0,353X1 + 0,016X2 + 0,384X3 +

0,359X4 + 5,540

Tabel 5. Hasil Model Regresi Berganda

Sumber: Data Olahan (2019)

Uji Koefisien Determinasi (R2)

Tabel 6 juga menjelaskan analisis dari

koefisien determinasi sebesar 0,340 yang berarti

bahwa variabel independen dalam penelitian ini

mampu menjelaskan atau memberikan informasi

terkait variabel dependennya sebesar 34%,

sedangkan sisanya sebesar 66% dijelaskan oleh

variabel lain yang tidak dimasukkan dalam

penelitian, misalnya kompetensi, lingkungan

kerja, budaya organisasi, efikasi diri dan

kepuasan kerja (Fattah, 2017:5).

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std.

Error Beta

1 (Constant) 17,324 9,538

X1 ,353 ,097 ,327

X2 ,016 ,189 ,009

X3 ,384 ,141 ,296

X4 ,359 ,198 ,168

50

Tabel 6. Hasil Uji Koefisien Determinasi

Model R R

Square

Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

1 ,606a ,367 ,340 5,450

Sumber: Data Olahan (2019)

Uji Parsial (Uji t)

Penelitian ini menggunakan tingkat

signifikansi (taraf kesalahan) sebesar 5%. Hasil

uji t penelitian ini telah disajikan pada tabel 7

berikut:

Tabel 7. Hasil Uji Parsial (Uji t)

Sumber: Data Olahan SPSS (2019)

Pengaruh Pengendalian Internal terhadap

Kinerja Pegawai

Pengendalian internal berpengaruh

terhadap kinerja pegawai, dinyatakan diterima

dan terbukti kebenarannya. Berdasarkan teori

agensi yang digunakan dalam penelitian ini,

dengan adanya pengendalian internal bupati

sebagai kepala pemerintahan daerah

menginginkan terwujudnya tata kelola

pemerintahan yang baik. Bupati memberikan

dorongan kepada pegawai pemerintahan agar

pengendalian internal yang ada mampu

diterapkan dengan baik oleh pegawai, caranya

adalah dengan memberikan insentif atau reward

kepada pegawai yang didasarkan pada kontribusi

yang mereka berikan. Sehingga pegawai

pemerintahan termotivasi untuk melaksanakan

pengendalian internal dengan baik. Penelitian ini

konsisten dengan penelitian Binilang dkk (2017)

dan Dewi (2012).

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Direktif

terhadap Kinerja Pegawai

Gaya kepemimpinan direktif tidak

berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Berdasarkan pada teori agensi bahwa terdapat

perbedaan kepentingan dan risiko yang

ditanggung antara prinsipal dengan agen yang

dapat diatasi dengan kompensasi atau insentif

yang memadai. Penelitian ini tidak konsisten

dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra dkk

(2013) dan Khairizah (2015).

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Suportif

terhadap Kinerja Pegawai

Gaya kepemimpinan suportif berpengaruh

terhadap kinerja pegawai. Dikaitkan dengan

teori agensi yang diterapkan pada penelitian ini.

Pimpinan sebagai prinsipal menginginkan

terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.

Tata kelola pemerintahan yang baik tidak

terlepas dari peran pegawai di dalamnya.

Pegawai sebagai agen berkewajiban untuk

mengeksekusi tugas yang telah diberikan oleh

pimpinan. Hal yang dilakukan pimpinan untuk

memicu kinerja pegawai ialah memberikan

insentif yang sesuai. Penelitian ini konsisten

dengan penelitian Putra dkk (2013) dan tidak

sesuai dengan Khairizah (2015).

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Partisipatif

terhadap Kinerja Pegawai

Gaya kepemimpinan partisipatif tidak

berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Berdasarkan teori agensi bahwa terdapat

perbedaan kepentingan antara agen dan

prinsipal. Prinsipal menggunakan gaya

kepemimpinan direktif untuk mencapai tujuan

nyatanya tidak memengaruhi kinerja pegawai.

Hal tersebut dikarenakan adanya faktor lain yang

menyebabkan, misalnya tidak ada reward yang

diberikan kepada pegawai, faktor kemampuan,

motivasi, dan mental yang meningkatkan kinerja

pegawai. Penelitian ini konsisten dengan

penelitian yang telah dilakukan oleh Khairizah

(2015) dan tidak sesuai dengan penelitian Putra

(2013).

Model

Unstandardized Coefficients

Stan

dardi

zed Coef

ficie

nts

T Sig. Hasil

B Std.

Error Beta

1 (Con

stant)

17,324 9,538 1,816 ,072

X1 ,353 ,097 ,327 3,639 ,000 H0:Ditolak

atau

H1:Diterima

X2 ,016 ,189 ,009 ,084 ,933 H0:Diterima

atau

H1:Ditolak

X3 ,384 ,141 ,296 2,721 ,008 H0:Ditolak atau

H1:Diterima

X4 ,359 ,198 ,168 1,817 ,072 H0:Diterima atau

H1:Ditolak

51

4. KESIMPULAN

Pengendalian internal berpengaruh

terhadap kinerja pegawai. Hal ini berarti bahwa

pengendalian internal merupakan salah satu

faktor penyebab baik atau buruknya kinerja

pegawai pada Kantor Organisasi Perangkat

Daerah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Gaya kepemimpinan direktif tidak berpengaruh

terhadap kinerja pegawai. Hal ini menunjukkan

bahwa gaya kepemimpinan direktif yang

diterapkan tidak memengaruhi baik atau

buruknya kinerja pegawai OPD Pemerintah

Kabupaten Banyuwangi. Gaya kepemimpinan

suportif berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Hal ini berarti baik atau buruknya kinerja

pegawai OPD Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi dipengaruhi oleh gaya

kepemimpinan suportif yang diterapkan oleh

Bupati Banyuwangi. Gaya kepemimpinan

partisipatif tidak berpengaruh terhadap kinerja

pegawai. Hal tersebut menunjukkan bahwa gaya

kepemimpinan partisipatif tidak memiliki

pengaruh terhadap baik atau buruknya kinerja

pegawai OPD Pemerintah Daerah Kabupaten

Banyuwangi.

Perlu dilakukannya penelitian lain dengan

variabel berbeda yang mungkin memiliki

pengaruh kuat terhadap kinerja pegawai, selain

variabel yang ada pada penelitian ini. Misalnya

kompetensi, lingkungan kerja, budaya

organisasi, efikasi diri, kepuasan kerja.

5. REFERENSI

Arens, A. A., Elder, R. J., & Beasley, M. S.

(2012). Auditing and Assurance Services:

an Integrated Approach. New Jersey:

Pearson Education, Inc.

Binilang, N. N., Massie, J., & Ogi, I. (2017).

Pengaruh Pengendalian Internal dan Gaya

Kepemimpinan Terhadap Kinerja

Karyawan Pada Hotel Boulevard Manado.

EMBA, Vol. 5 (2), 1433-1439.

Cunningham, W., & Cordeiro, P. A. (2003).

Educational Leadership. New York:

Pearson Education, Inc.

Faridah, E. (2014). Pengaruh Pengendalian

Internal Terhadap Kinerja Pegawai Bagian

Keuangan. JAWARA (Jurnal Wawasan dan

Riset Akuntansi, Vol. 1 (2), 126-134.

Fattah, H. (2017). Kepuasan Kerja dan Kinerja

Pegawai. Yogyakarta: Elmatera.

Halim, A. (2008). Akuntansi Sektor Publik

Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba

Empat.

Khairizah Astria, I. N. (2015). Pengaruh Gaya

Kepemimpinan Terhadap Kinerja

Karyawan. Jurnal Administrasi Publik

(JAP), Vol.3 No.7, 1268-1272.

Purwanto, D. (2006). Komunikasi Bisnis.

Jakarta: Erlangga.

Putra, C. B., Utami, H. N., & Hakam, M. S.

(2013). Pengaruh Gaya Kepemimpinan

Direktif, Suportif, dan Partisipatif terhadap

Kinerja Karyawan. Jurnal Administrasi

Bisnis, Vol. 2 (2), 11-20.

Prawirosentono, S. (2008). Manajemen Sumber

Daya Manusia Kebijakan Kinerja

Karyawan. Yogyakarta: BPFE.

52

PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI PEGAWAI, DAN KINERJA PEGAWAI

TERHADAP KINERJA ORGANISASI

Hadiyanto

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP

email: [email protected]

Abstrak

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) merupakan Unit Kerja di lingkungan pemerintah daerah yang

dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa

yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya

didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas maka dibentuk Badan Layanan Umum Daerah

(BLUD). Pejabat Pengelola BLUD, Dewan Pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan

remunerasi sesuai dengan tingkat tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan.

Pemberian remunerasi yang optimal dimaksudkan untuk memotivasi dan meningkatkan kinerja

karyawan sehingga dapat meningkatkan kinerja rumah sakit secara keseluruhan. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk untuk dapat mengetahui apakah kebijakan remunerasi telah meningkatkan

motivasi dan kinerja karyawan untuk meningkatkan kinerja rumah sakit. Metode yang digunakan

adalah Uji Non-Response Bias dilakukan untuk melihat karakteristik jawaban responden yang

memberikan jawaban dan tidak memberikan jawaban (non responden), Uji regresi berganda yaitu

untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat, dan Uji Asumsi Klasik Model

Regresi Berganda. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kebijakan remunerasi, motivasi pegawai

dan kinerja pegawai berpengaruh nyata terhadap kinerja organisasi dan secara individu menunjukkan

perubahan. Kebijakan remunerasi masih berpengaruh negatif terhadap kinerja organisasi, sedangkan

motivasi dan kinerja pegawai berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi.

Kata kunci: kebijakan remunerasi, motivasi, kinerja individu, kinerja organisasi

Abstract

Regional General Hospital (RSUD) is a Work Unit within the regional government that was formed

to provide services to the community in the form of the supply of goods and/or services sold without

prioritizing profit-seeking, and in carrying out its activities based on the principles of efficiency and

productivity a Regional Public Service Agency (BLUD) was formed. BLUD Management Officers,

Board of Trustees and BLUD employees can be remunerated according to the level of responsibility

and professionalism required. Providing optimal remuneration is intended to motivate and improve

employee performance to improve overall hospital performance. The purpose of this study is to be

able to find out whether the remuneration policy has increased employee motivation and

performance to improve hospital performance. The method used is the Non-Response Bias Test

conducted to see the characteristics of respondents' answers that provide answers and do not provide

answers (non-responders), multiple regression test that is to determine the effect of independent

variables on the dependent variable, and Classical Assumption Test of Multiple Regression Models.

The conclusion of this study is the remuneration policy, employee motivation and employee

performance significantly affect organizational performance and individually show changes.

Remuneration policy still has a negative effect on organizational performance, while employee

motivation and performance has a positive effect on organizational performance.

Keywords: remuneration policy, motivation, individual performance, organizational performance

53

1. PENDAHULUAN

Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan

Umum Daerah (BLUD), BLUD adalah sistem

yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis

dinas/badan daerah dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai

fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan

sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan

daerah pada umumnya. Rumah sakit merupakan

suatu unit usaha jasa yang memberikan jasa

pelayanan sosial di bidang medis klinis.

Pengelolaan unit usaha rumah sakit memiliki

keunikan tersendiri karena selain sebagai unit

bisnis, usaha rumah sakit juga memiliki misi

sosial, disamping pengelolaan rumah sakit juga

sangat tergantung status kepemilikan rumah

sakit.

Rumah sakit pemerintah lebih tepat sebagai

klasifikasi non bisnis, namun rumah sakit swasta

juga tidak seluruhnya diklasifikasikan dalam

kelompok non bisnis. Beberapa rumah sakit

masih memiliki kualitas jasa layanan yang masih

memprihatinkan, hal ini antara lain disebabkan

keterbatasan sumber daya baik sumber daya

keuangan maupun sumber daya non keuangan.

RSUD mempunyai tugas melakukan upaya

kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna

dengan mengutamakan upaya penyembuhan,

pemulihan yang dilakukan secara serasi, terpadu

dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta

melaksanakan upaya rujukan; dan juga

melakukan layanan bermutu sesuai standar

layanan. RSUD mempunyai peran yang sangat

penting dalam sistem kesehatan masyarakat

sehingga diperlukan pendekatan terpadu untuk

melakukan kegiatannya secara ekonomis,

efisien, efektif agar mampu memberikan

pelayanan yang terbaik bagi masyarakat,

disamping harus mampu mengembangkan

lembaganya menjadi mandiri secara ekonomi

untuk tumbuh dan berkembang.

RSUD sebagai salah satu sub sistem

penyelenggaraan peningkatan kesehatan

memiliki peran dalam menyelenggarakan

pelayanan kesehatan melalui tenaga dokter yang

profesional, peralatan medis, pelayanan

laboratorium, farmasi, pelayanan perawatan,

penelitian dan pendidikan tenaga dokter dan

paramedis.

RSUD adalah Unit Kerja di lingkungan

pemerintah daerah yang dibentuk untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat

berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang

dijual tanpa mengutamakan mencari

keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya

didasarkan pada prinsip efisiensi dan

produktivitas sehingga dibentuklah BLUD.

Pola Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-

BLUD) adalah pola pengelolaan keuangan yang

memberikan fleksibilitas. Pola fleksibilitas

untuk BLUD adalah berupa keleluasaan untuk

menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat, memajukan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan

kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari

ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada

umumnya.

Berdasarkan pasal 29 Permendagri Nomor

Nomor 79 Tahun 2018 disebutkan bahwa

penerapan PPK BLUD harus memenuhi

pesyaratan substantif, persyaratan teknis, dan

persyaratan administratif. Pemenuhan

persyaratan substantif yaitu apabila tugas dan

fungsi Unit Pelaksana Teknis Dinas/Badan

Daerah bersifat operasional dalam

menyelenggarakan pelayanan umum yang

menghasilkan semi barang/jasa publik.

Persyaratan teknis terpenuhi apabila

karakteristik tugas dan fungsi Unit Pelaksana

Teknis Dinas/Badan Daerah dalam memberikan

pelayanan lebih layak apabila dikelola dengan

menerapkan BLUD sehingga dapat

meningkatkan pencapaian target keberhasilan

dan berpotensi meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat dan kinerja keuangan. Persyaratan

administratif terpenuhi apabila Unit Pelaksana

Teknis Dinas/Badan Daerah membuat dan

menyampaikan dokumen yang meliputi surat

pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan

kinerja, pola tata kelola, renstra, standar

pelayanan minimal, laporan keuangan atau

prognosis keuangan, dan laporan audit terakhir

atau pernyataan bersedia untuk diaudit oleh

pemeriksa eksternal pemerintah.

Kemudian berdasarkan pasal 51

Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 disebutkan

bahwa Pendapatan BLUD dapat bersumber dari

jasa layanan, hibah, hasil kerjasama dengan

54

pihak lain, Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) dan lain-lain pendapatan BLUD

yang sah. Pendapatan yang bersumber dari jasa

layanan adalah berupa imbalan yang diperoleh

dari jasa layanan yang diberikan kepada

masyarakat.

Berdasarkan pasal 3 Permendagri Nomor

79 Tahun 2018 disebutkan bahwa Sumber daya

manusia BLUD terdiri dari Pejabat Pengelola

dan Pegawai. Pejabat Pengelola BLUD berasal

dari Pegawai Negeri Sipil; dan atau pegawai

pemerintah dengan perjanjian kerja, sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan.

Selanjutnya berdasarkan pasal 6 Permendagri

Nomor 79 Tahun 2018 disebutkan Pejabat

Pengelola BLUD yang dimaksud dalam pasal 3

terdiri dari pemimpin, pejabat keuangan dan

pejabat teknis. Selain pejabat pengelola, juga

terdapat Pembina dan Pengawas BLUD yang

terdiri dari pembina teknis dan pembina

keuangan, satuan pengawas internal dan Dewan

Pengawas. Dewan Pengawas BLUD bertugas

untuk melakukan pengawasan dan pengendalian

internal yang dilakukan oleh pejabat pengelola.

Kemudian berdasarkan pasal 23

Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 disebutkan

bahwa Pejabat Pengelola BLUD, Dewan

Pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan

remunerasi sesuai dengan tingkat

tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme

yang diperlukan. Remunerasi tersebut

merupakan imbalan kerja yang dapat berupa

gaji, tunjangan tetap, insentif, bonus atas

prestasi, pesangon dan atau pensiun yang

ditetapkan oleh Kepala Daerah berdasarkan

usulan yang disampaikan oleh pemimpin BLUD

melalui Sekretaris Daerah. Penetapan

remunerasi mempertimbangkan faktor-faktor

yang berdasarkan ukuran dan jumlah aset yang

dikelola BLUD, tingkat pelayanan serta

produktivitas, pertimbangan persamaannya

dengan industri pelayanan sejenis, kemampuan

pendapatan BLUD yang bersangkutan dan

kinerja operasional BLUD. Besaran remunerasi

pemimpin BLUD ditetapkan dengan keputusan

kepala daerah dengan mempertimbangkan

antara lain indikator keuangan, pelayanan, mutu

dan manfaat bagi masyarakat.

Berdasarkan pasal 25 Permendagri Nomor

79 Tahun 2018 disebutkan bahwa Remunerasi

bagi pejabat pengelola dan pegawai BLUD

dihitung berdasarkan beberapa indikator

diantaranya adalah pengalaman dan masa kerja,

keterampilan, ilmu pengetahuan dan perilaku,

risiko kerja, tingkat kegawatdaruratan, jabatan

yang disandang dan hasil/capaian kinerja. Dalam

membahas remunerasi jasa medis dan gaji upah,

perlu dipahami makna dari tujuan remunerasi

pada umumnya yaitu: memperoleh SDM yang

qualified, mempertahankan karyawan yang baik

dan berprestasi serta mencegah turnover

karyawan, mendapatkan keunggulan kompetitif,

memotivasi karyawan untuk memperoleh

perilaku yang diinginkan, menjamin keadilan

antara satu karyawan dengan yang lainnya

berdasarkan kinerja dan prestasi kerja,

mengendalikan biaya, sebagai sarana mencapai

sasaran strategis RS dan memenuhi peraturan

pemerintah.

Menurut Flippo EB, (1961), remunerasi

sesungguhnya adalah harga untuk jasa-jasa yang

telah diberikan seorang kepada orang lain.

Remunerasi jasa medis merupakan bentuk

kompensasi atas jasa (jasa medis) yang telah

diberikan/dilakukan tenaga medis pada

pasiennya. Untuk memudahkan maka

remunerasi dikonkritkan dalam bentuk nominal.

Jasamedis yang dilakukan oleh tenaga medis

pada hakikatnya berkaitan dengan layanan medis

suatu rumah sakit, layanan tersebut dapat

dilakukan dengan dukungan unit-unit penunjang

lain baik unit penunjang langsung (rekam medik,

radiologi, laboratorium, fisioterapi, gizi, dll)

maupun unit penunjang tidak langsung (unit

manajemen, marketing, sekuriti, perparkiran,

kebersihan dll). Beberapa unit penunjang

langsung juga merupakan sumber pendapatan

RS, oleh karenanya bentuk jasa layanan yang

dilakukan tadi disebut sebagai Jasa Pelayanan

Rumah Sakit. Pada klinik dan RS yang cukup

kecil dengan layanan terbatas, biasanya jasa

medis (congcruent) dengan jasa pelayanan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa tujuan dan definisi remunerasi jasa medis

pada dasarnya adalah “Besaran nilai jumlah

uang yang diterima oleh tenaga medis sebagai

kompensasi atas kinerja yang telah dilakukan

berkaitan dengan risiko tanggung jawab profesi

dari pekerjaannya”. Sedangkan gaji upah tenaga

medis adalah nilai yang harus diterima oleh

55

tenaga medis dari nilai kompensasi ditambah

dengan besaran keuntungan lain (tangible dan

intangible).

Berdasarkan Keputusan Bupati Pati Nomor

900/1881/2009 tanggal 1 September 2009,

RSUD RAA Soewondo Pati telah ditetapkan

statusnya dengan Pola Pengelolaan Keuangan

Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD).

Tugas pokok RSUD RAA Soewondo Pati adalah

membantu Bupati dalam penyelenggaraan

pemerintah daerah di bidang kesehatan melalui

upaya kegiatan peningkatan, pencegahan,

penyembuhan dan pemulihan kesehatan serta

melaksanakan upaya rujukan.

Kebijakan Remunerasi pada RSUD RAA

Soewondo Pati ditetapkan berdasarkan

Peraturan Bupati Pati Nomor 6 Tahun 2012

tanggal 22 Pebruari 2012 dan perubahan

peraturan Bupati Nomor 47 tahun 2012 tanggal

4 Agustus 2012. Penetapan dan pemberlakuan

tim penyusun remunerasi di RSUD RAA

Soewondo Pati ditetapkan dengan keputusan

Direktur RSUD RAA Soewondo Pati Nomor

445/08/2012 tanggal 16 Januari 2012 dan

hasilnya adalah Nota Kesepakatan hasil

formulasi remunerasi.

Pada beberapa RSUD di Jawa Tengah yang

telah dilakukan penelitian oleh penulis

diantaranya RSUD Pemalang, RSUD Kebumen,

RSUD Kabupaten Tegal, dan RSUD Kabupaten

Brebes terjadi ketidakpuasan atas kebijakan

remunerasi. Ketidakpuasan disebabkan beban

kerja setiap karyawan yang berbeda terutama

karyawan yang diakui sebagai profit center

(tenaga medis yaitu dokter dan paramedis) dan

cost center (tenaga non kesehatan). Penerapan

kebijakan remunerasi yang ada diperlukan untuk

peningkatan motivasi dan kinerja dengan

memperhatikan karakteristik pekerjaan.

Pemberian remunerasi yang optimal

dimaksudkan untuk memotivasi dan

meningkatkan kinerja karyawan sehingga dapat

meningkatkan kinerja rumah sakit secara

keseluruhan.

Suatu organisasi harus mampu menyusun

kebijakan yang tepat untuk mengatasi setiap

perubahan yang akan terjadi. Penyusunan

kebijakan yang menjadi perhatian adalah

manajemen yang menyangkut pemberdayaan

sumber daya manusia. Sumber daya manusia

merupakan aset yang sangat bernilai dalam

sebuah organisasi. Sumber daya manusia yang

kompeten akan memberikan kontribusi yang

sangat besar kepada sebuah organisasi. Strategi

pengembangan sumber daya manusia diperlukan

untuk memelihara dan meningkatkan kinerja

sumber daya manusia itu sendiri. Penilaian

kinerja merupakan acuan pemberdayaan sumber

daya manusia. Kinerja dapat diartikan suatu hasil

kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau

kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai

dengan wewenang dan tanggung jawab masing-

masing individu, dalam rangka mencapai tujuan

organisasi secara legal, tidak melanggar hukum

dan sesuai dengan moral dan etika. Tenaga kerja

merupakan faktor produksi yang dinamis yang

memiliki kemampuan berpikir dan motivasi

kerja, apabila pihak manajemen perusaaan

mampu meningkatkan motivasi mereka, maka

produktivitas kerja akan meningkat.

Berdasarkan makalah Adie E. Yusuf tahun

2008 yaitu Pengaruh Motivasi terhadap

Peningkatan Kinerja disebutkan bahwa Motivasi

adalah kondisi ataupun tindakan yang

mendorong seseorang untuk melakukan suatu

pekerjaan atau kegiatan semaksimal mungkin

berbuat dan berproduksi. Peranan motivasi

adalah untuk mengintensifkan hasrat dan

keinginan tersebut, oleh karena itu dapat

disimpulkan bahwa usaha peningkatan semangat

kerja seseorang akan selalu terkait dengan usaha

memotivasinya sehingga untuk mengadakan

motivasi yang baik perlu mengetahui kebutuhan-

kebutuhan manusia yaitu kebutuhan prestasi,

kebutuhan afiliasi dan kebutuhan kekuasaan.

Kurangnya motivasi dan meningkatnya kinerja

pegawai disebabkan kebijakan remunerasi

kepada pegawai (khususnya dokter dan

paramedis) dirasakan kurang proporsional dan

tidak sesuai dengan beban kerja.

Pada ilmu akuntansi keperilakuan dengan

mempertimbangkan hubungan antar perilaku

manusia dan sistem akuntansi, mencerminkan

dimensi sosial dan budaya manusia dalam suatu

organisasi. Secara umum lingkup akuntansi

keperilakuan dapat menjadi 3 bidang yaitu

pengaruh perilaku manusia berdasarkan disain,

konstruksi dan penggunaan sistem akuntansi,

pengaruh sistem akuntansi terhadap perilaku

56

manusia, dan metode untuk memprediksi dan

strategi untuk mengubah perilaku manusia.

Pengukuran Kinerja Rumah Sakit

merupakan pengukuran kemajuan pekerjaan

terhadap tujuan yang telah ditentukan

sebelumnya, termasuk efisiensi penggunaan

sumber daya dalam menghasilkan barang dan

jasa, kualitas barang dan jasa yang dihasilkan,

hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud

yang diinginkan dan efektivitas tindakan

pencapaian tujuan. Pengukuran kinerja RSUD

didasarkan pada Kinerja Keuangan dan Non

keuangan yang terdiri dari Aspek Pelayanan dan

Aspek Mutu Pelayanan dan Aspek manfaat bagi

masyarakat. Pengukuran kinerja Aspek Mutu

Pelayanan dapat ditentukan melalui Standar

Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit yang

telah ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Penelitian oleh FX Juliantoro pada tahun

2010 menyebutkan bahwa Kinerja pegawai yang

tinggi sangat diharapkan oleh suatu organisasi.

Kepuasan pegawai dapat meningkatkan kinerja

pegawai. Kepuasan dipengaruhi oleh faktor

internal dan eksternal yang semuanya dapat

mempengaruhi dalam pencapaian tujuan

organisasi. Dengan meningkatkan tingkat

kepuasan pegawai akan memacu semangat

dalam pelaksanan tugas sehingga dapat

meningkatkan kinerja pegawai pada organisasi

secara keseluruhan.

Penelitian oleh Nofrinaldi, Andreasta

Meliala dan Adi Utarini tahun 2006

menyebutkan bahwa perhatian pegawai terhadap

pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya

tidak optimal dan maksimal, misalnya dengan

penyelesaian pekerjaan tidak tepat waktu yaitu

laporan kinerja tahunan, klaim keuangan

program jamkesmas dan jamkesda. Kurangnya

kepuasan kerja karena pembagian insentif jasa

pelayanan (remunerasi jasa pelayanan) yang

dirasakan kurang proporsional dan tidak sesuai

beban kerja pegawai.

Pengelolaan administrasi rumah sakit harus

semakin baik, hal ini ditunjukkan dengan

sedikitnya keluhan pasien dan komplain dari

pasien pada saat menyelesaikan administrasi.

Pelayanan administrasi yang lama dan harus

antri dapat mengurangi kredibilitas dan kinerja

rumah sakit. Kurang responsif dan kreatifnya

pegawai karena hanya mengerjakan tugas

pekerjaan yang telah menjadi rutinitasnya saja.

Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas,

perlu dilakukan peningkatan kinerja pegawai di

RSUD RAA Soewondo Pati dengan

memperhatikan karakteristik pekerjaan,

mengoptimalkan kompensasi/remunerasi dan

menciptakan kepuasan kerja sehingga dapat

meningkatkan kinerja pegawai dan organisasi.

Hal tersebut disebabkan adanya ketidakpuasan

pegawai unit penunjang tidak langsung (unit

manajemen, sekuriti, marketing, kebersihan, dan

lainnya) dan pegawai unit penunjang langsung

(rekam medik, radiologi, laboratorium,

fisioterapi, gizi dan lainnya) serta pegawai medis

(dokter, paramedis).

Kajian Literatur dan Pengembangan

Hipotesis

Penelitian mengenai pengaruh remunerasi

telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian

yang pernah dilakukan antara lain:

1. Penelitian oleh FX Juliantoro (2010)

Penelitian dilakukan untuk menganalisis

pengaruh remunerasi, motivasi kerja dan

budaya kerja terhadap kinerja organisasi

yang dilakukan pada Kantor Wilayah

Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Utara.

Dalam penelitiannya, FX Juliantoro

menguji 3 variabel yaitu variabel

remunerasi, motivasi dan budaya kerja

pengaruhnya terhadap kinerja pegawai.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk

meningkatkan kinerja pegawai perlu

ditingkatkan remunerasi, motivasi kerja dan

budaya kerja secara bersama-sama

sehingga akan diperoleh hasil nyata dalam

menyelesaikan perkerjaan berupa kualitas,

kuantitas, efisien dan efektivitas pekerjaan

pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal

Pajak Jakarta Utara.

2. Penelitian oleh Herlin Susilaningtyas

(2011)

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk

mengevaluasi pengaruh motivasi,

kemampuan dan kompensasi terhadap

kinerja pegawai Dinas Kehutanan Provinsi

Jawa Timur. Dalam penelitian tersebut diuji

Motivasi, Kemampuan, Kompensasi,

Kinerja Pegawai. Analisis yang digunakan

57

adalah analisis Structural Equation

Modeling. Berdasarkan hasil analisis

Structural Equation Modeling dapat

disimpulkan bahwa peningkatan

kemampuan dan kompensasi tidak

memberikan kontribusi nyata terhadap

peningkatan kinerja pegawai, sedangkan

peningkatan motivasi memberikan

kontribusi nyata terhadap peningkatan

kinerja pegawai, sehingga hipotesis

penelitian ini sebagian teruji kebenarannya.

3. Penelitian oleh Nofrinaldi, Andreasta

Meliala dan Adi Utarini (2006)

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk

mengevaluasi dampak revisi sitem insentif

di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Madani

Sulawesi Tengah dan korelasi antara

persepsi dan kinerja karyawan setelah

dilakukan revisi sistem insentif di RSJ

Madani Sulawesi Tengah. Dalam penelitian

tersebut diuji variabel bebas yaitu revisi

sistem pembagian jasa pelayanan dan

variabel terikatnya yaitu kinerja dokter,

kinerja paramedis dan karyawan sebelum

dan sesudan revisi jasa pelayanan terhadap

kinerja karyawan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa revisi sistem

pembagian jasa pelayanan menimbulkan

penurunan persepsi terhadap sistem

pembagian jasa pelayanan secara signifikan

sedangkan kinerja karyawan relatif tetap.

4. Penelitian Deewar Mahesa (2010)

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk

mengetahui pengaruh kepuasan kerja dan

motivasi kerja yang dimoderasi lama

bekerja terhadap kinerja karyawan. Dalam

penelitian tersebut diuji kepuasan kerja dan

motivasi kerja sangat berkaitan langsung

dengan kinerja karyawan. Kepuasan kerja

dan motivasi kerja yang dirasakan oleh

karyawan dapat menurunkan kinerja

ataupun meningkatkan kinerja karyawan.

Karyawan yang merasa puas dengan

pekerjaan yang diperoleh akan termotivasi

untuk meningkatkan kinerja sehingga akan

berdampak pada meningkatnya kinerja

perusahaan secara keseluruhan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa variabel

kepuasan kerja dan motivasi kerja

berpengaruh positif terhadap kinerja

karyawan, dan variabel lama bekerja

memoderasi kepuasan kerja terhadap

kinerja karyawan, sedangkan variabel lama

bekerja tidak berhasil memoderasi motivasi

kerja terhadap kinerja.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini untuk mengetahui apakah

kebijakan remunerasi telah meningkatkan

motivasi dan kinerja karyawan untuk

meningkatkan kinerja rumah sakit pada RSUD

RAA Soewondo Pati. Jenis penelitian adalah

penelitian lapangan yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara survei untuk

mengumpulkan data di lapangan guna

memperoleh gambaran tentang pengaruh

kebijakan remunerasi. Penelitian ini termasuk

pengujian hipotesis. Disain penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini bersifat

penjelasan (eksplanatory research) karena

merupakan penelitian yang menjelaskan

hubungan kausal antar variabel melalui

pengujian hipotesis. Unit analisis dalam

penelitian ini adalah karyawan yang ada di

rumah sakit meliputi tenaga medis yaitu dokter

dan paramedis, tenaga paramedis non

keperawatan, tenaga non medis non keperawatan

yaitu tenaga pada bagian administrasi keuangan.

Populasi dalam penelitian ini adalah

karyawan pada rumah sakit yang terdiri dari

tenaga medis yaitu dokter dan paramedis, tenaga

paramedis non keperawatan, tenaga non medis

non keperawatan yaitu tenaga pada bagian

administrasi keuangan yang jumlah

keseluruhannya sebanyak 753 orang, sedangkan

yang akan dijadikan sampel sebanyak 125 orang

atau 16,60%.

Pengambilan sampel dilakukan dengan

metode purposive sampling yaitu pengambilan

sampel berdasarkan pertimbangan peneliti

dengan kriteria karyawan RSUD RAA

Soewondo Pati yang mempunyai masa kerja

lebih dari 3 tahun. Pada masa kerja 3 tahun maka

seseorang pegawai sudah mengetahui tugas

pokok dan fungsinya dalam organisasi.

Variabel Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan

penelitian empiris yang membuktikan pengaruh

variabel kebijakan remunerasi, motivasi kerja

58

dan kinerja pegawai terhadap kinerja RSUD

RAA Soewondo Pati seperti yang telah

dirumuskan dalam hipotesa. Data yang

dipergunakan untuk menganalisa variabel

diperoleh melalui metode pengumpulan data.

Dalam penelitian ini digunakan pengukuran

variabel bebas (independent variable) yang

terdiri dari: kebijakan remunerasi (X1), motivasi

kerja (X2), kinerja pegawai (X3) dan variabel

terikat kinerja organisasi (Y). Penelitian ini

adalah penelitian kuantitatif yang bertujuan

menguji pengaruh antara variabel-variabel

kebijakan remunerasi, motivasi kerja dan kinerja

pegawai secara simultan dan parsial terhadap

kinerja di lingkungan RSUD RAA Soewondo

Pati.

Keempat variabel tersebut diukur dengan

skala Likert, yang menyatakan persepsi

responden atas pertanyaan dan pernyataan dalam

kuesioner. Keempat variabel tersebut diukur

dalam skala Interval, yaitu skala dimana jarak

antara data dengan data lain tidak sama, tidak

mempunyai nilai nol mutlak. Nilai Jawaban dan

Pembobotan skala Likert:

1. Sangat Tidak Setuju (STS)

2. Tidak Setuju (TS)

3. Ragu-ragu (R)

4. Setuju (S)

5. Sangat Setuju (SS)

Sebelum dilaksanakan pengujian hipotesis

dilakukan pengujian validitas dan reabilitas alat

ukur item-item pernyataan yang berkaitan

dengan data, pendapat dan sikap pada variabel

bebas: remunerasi (X1), motivasi (X2), kinerja

individu (X3) dan variabel terikat Kinerja

Organisasi (Y). Validitas adalah tingkat

kemampuan suatu instrumen sebagai

pengukuran instrumen tersebut. Sedangkan

reabilitas adalah kemampuan stabilitas hasil

pengamatan dengan instrumen. Instrumen yang

reliabel berarti apabila digunakan beberapa kali

untuk mengukur obyek yang sama akan

menghasilkan data yang sama.

Definisi Operasional

Remunerasi adalah skor penilaian dari

jawaban responden melalui instrumen penelitian

yang mengukur dimensi imbalan dengan

indikator remunerasi yang diterima, dimensi

balas jasa dengan indikator tunjangan

remunerasi yang diterima sesuai dengan jumlah

yang proporsional dan sesuai dengan kinerja,

asuransi kesehatan yang diterima, kesempatan

pelatihan, prestasi kerja mendapatkan

pengakuan dari organisasi dan indikator

kenaikan pangkat dan kompensasi sesuai dengan

peraturan yang ada. Terdapat 9 item pertanyaan

pada variabel remunerasi.

Motivasi kerja adalah skor penilaian dari

jawaban responden melalui instrumen penelitian

yang mengukur dimensi keinginan dan tindakan

mencapai tujuan melalui indikator kedisiplinan,

kesempatan untuk membantu orang lain,

lingkungan kerja yang baik dengan rekan

seprofesi, mendorong mencapai kepuasan

pegawai dan peraturan atau kebijakan yang

membantu pelaksanaan pekerjaan. Terdapat 13

item pertanyaan pada variabel motivasi kerja.

Kinerja pegawai adalah skor penilaian dari

jawaban responden melalui instrumen penelitian

yang mengukur tingkat dimensi penyelesaian

atau hasil nyata dalam pekerjaan melalui

indikator kalitas, kuantitas, efisiensi, efektivitas

dan produktivitas . Terdapat 9 item pertanyaan

pada variabel kinerja pegawai.

Kinerja Organisasi adalah skor penilaian

dari jawaban responden melalui penelitian yang

mengukur tingkat dimensi penyelesaian atas

hasil nyata organisasi dalam mencapai visi dan

misi melalui indikator keuangan, pelayanan dan

mutu layanan dan manfaat bagi masyarakat.

Terdapat 6 pertanyaan pada variabel kinerja

organisasi.

Sedangkan pemecahan masalah yang

timbul memerlukan data-data yang berhubungan

dengan objek penelitian guna mempermudah

pemecahan masalah. Data yang diperlukan

dalam penelitian yaitu:

1. Data primer yakni data yang diperoleh

secara langsung dari sumbernya dari hasil

wawancara dan isian kuesioner yang

didapat dari responden.

2. Data sekunder yakni data yang diperoleh

secara tidak langsung berupa data-data

pendukung yang berkaitan dengan aturan

remunerasi dan data kinerja rumah sakit.

Metoda pengumpulannya dengan

wawancara dan mempelajari dokumentasi

yang ada.

59

Teknis Analisis Data

Uji Non-Response Bias dilakukan untuk

melihat karakteristik jawaban responden yang

memberikan jawaban dan tidak memberikan

jawaban (non responden). Uji dilakukan dengan

cara mengelompokkan data menjadi dua

kelompok penting. Kelompok pertama disebut

dengan kelompok awal (early response) yaitu

kelompok yang memberikan jawaban sampai

dalam batas waktu optimal yaitu waktu yang

diperkirakan responden memberikan jawaban

sampai pada batas tanggal pengembalian.

Kelompok kedua disebut sebagai kelompok

akhir (late response) yaitu kelompok reponden

yang memberikan jawaban melewati batas

waktu optimal sampai dengan waktu terakhir

yang ditentukan. Kemudian hasil rata-rata skor

jawaban dari kedua kelompok dilakukan

pengujian, ada tidaknya yang signifikan antara

kedua kelompok responden tersebut dengan t-

test. Apabila pengujian menunjukkan hasil yang

tidak signifikan (p-value > 0.05) berarti tidak ada

perbedaan antara dua kelompok responden dan

sebaliknya.

Kemudian untuk mengetahui pengaruh

variabel bebas terhadap variabel terikat dengan

menggunakan analisis model regresi berganda

sebagai berikut:

Ẏ = α +ß1 X1 + ß2 X2 + ß3 X3 + e

Dimana:

Y = Kinerja Organisasi

X1 = Remunerasi

X2 = Motivasi Pegawai

X3 = Kinerja Individu

α = Konstanta

ß1 ß2 ß3 = Koefisien regresi variabel

independen

e = Error (kesalahan)

Dalam melakukan estimasi model regresi,

terdapat asumsi dasar yang tidak boleh dilanggar

agar hasil estimasinya dapat digunakan sebagai

dasar analisis. Masalah yang sering muncul yang

dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya asumsi

dasar (klasik) yaitu Multikolinieritas,

Heterokedasitas dan Korelasi Serial. Dalam

penelitian ini akan dilakukan uji terhadap ada

tidaknya gangguan Multikolinieritas,

Heterokedasitas dan Korelasi Serial.

1. Uji Normalitas

Uji asumsi ini dimaksudkan untuk

mengetahui apakah dalam model regresi,

variabel dependen dan variabel independen

keduanya berdistribusi normal atau tidak

(Imam Ghozali, 2002). Model regresi yang

baik adalah memiliki distribusi data yang

normal atau mendekati normal. Deteksi

normalitas melihat penyebaran data (titik)

pada sumbu diagnal P–P Plot. Dasar

pengambilan keputusan yaitu sebagai

berikut:

a. Jika data menyebar di sekitar garis

diagonal dan mengikuti arah garis

diagonal maka model regresi

memenuhi asumsi normalitas.

b. Jika data menyebar jauh dari garis

diagonal dan tidak mengikuti arah

garis diagonal, maka model regresi

tidak memenuhi asumsi normalitas.

2. Uji Heterokedasitas

Uji asumsi ini bertujuan menguji apakah

dalam model regresi terjadi ketidaksamaan

varians dari residual satu pengamatan ke

pengamatan lain. Jika varians dari residual

satu pengamatan yang lain tetap, maka

disebut homokedastisitas, dan jika berbeda

disebut heterokedastisitas. Model regresi

yang baik adalah yang homokedastisitas

atau tidak terjadi heterokedastisitas. Untuk

mengetahui keberadaan heterokesdastistas,

maka dalam penelitian ini digunakan uji

informal dengan melakukan plot antara

residual dengan waktu. Jika plot

menunjukkan adanya pola tertentu maka

dapat diambil kesimpulan terdapat masalah

heteroskedastisitas, namun sebaliknya jika

plot antara residual dengan waktu tidak

menunjukkan adanya pola tertentu, maka

dapat diambil kesimpulan bahwa hasil

estimasi tidak mengalami masalah

heterokesdastisitas.

3. Korelasi serial

Untuk menguji apakah dalam model regresi

linear ada korelasi antara kesalahan

pengganggu pada periode t dengan

kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya).

Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada

problem autokorelasi.

60

4. Multikolinieritas

Asumsi klasik yang tidak boleh dilanggar

adalah bahwa masing-masing variabel

penjelas (independent variable) harus

independen, tidak boleh saling berkorelasi

satu dengan lainnya. Jika salah satu atau

beberapa variabel penjelas saling

berkorelasi maka dikatakan bahwa hasil

regresi mengalami masalah

multikolinieritas. Konsekuensi dari adanya

multikolinieritas yang tinggi adalah standar

error cenderung menjadi tinggi dan sebagai

akibatnya koefisien regresi menjadi bias.

Untuk mengetahui keberadaan multi

kolinieritas maka akan dilakukan pengujian

korelasi antara masing-masing variabel

bebas. Jika korelasinya tinggi maka dapat

dikatakan terjadi multikolinieritas.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari 6 hipotesa yang diuji menunjukkan hal

sebagai berikut:

1. Hasil uji korelasi antara remunerasi dan

motivasi pegawai menunjukkan korelasi

positif dan signifikan.

2. Hasil uji korelasi antara remunerasi dan

kinerja organisasi tidak signifikan, dengan

demikian ada kecenderungan positif atau

tidak ada korelasi antara keduanya.

3. Hasil uji korelasi antara remunerasi dan

kinerja pegawai menunjukkan korelasi

negatif dan tidak signifikan, dengan

demikian kecenderungannya positif atau

tidak ada hubungan antara keduanya.

4. Hasil uji korelasi antara motivasi dengan

kinerja pegawai menyatakan korelasi

positif dan sangat signifikan.

5. Hasil uji korelasi antara kinerja pegawai

dengan motivasi pegawai adalah positif.

6. Hasil uji antara motivasi dan kinerja

organisasi menunjukkan positif dan sangat

signifikan.

4. KESIMPULAN

Kesimpulan dari 6 (enam) hipotesa tersebut

adalah:

1. Secara bersamaan kebijakan remunerasi,

motivasi pegawai dan kinerja pegawai

berpengaruh nyata terhadap kinerja

organisasi.

2. Secara individu menunjukkan perubahan

kebijakan remunerasi masih berpengaruh

negatif terhadap kinerja organisasi

sedangkan motivasi dan kinerja pegawai

berpengaruh positif terhadap kinerja

organisasi.

5. REFERENSI

Achmad Gani, 2009, Analisis Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Kinerja Pegawai Kantor

Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kota

Makassar, Makassar : Jurnal Aplikasi

Manajemen LIPI/ Volume 7 Nomor 1 bulan

Februari 2009, Universitas Muslim

Indonesia Makassar.

Adie E. Yusuf, 2008, Pengaruh Motivasi

terhadap Peningkatan Kinerja, Makalah.

Arfan Ikhsan, Muhammad Ishak. 2005,

Akuntansi Keperilakuan, Salemba Empat.

Jakarta.

Anoki Herdian Dito, 2010, Pengaruh

Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan

PT Slamet Langgeng Purbalingga dengan

Motivasi Kerja sebagai Variabel

Intervening, Skripsi, Universitas

Diponegoro Semarang.

Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun

2007 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.

Jakarta.

Departemen Keuangan, 2008, Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 tentang

Pedoman Akuntansi dan Pelaporan

Keuangan Badan Layanan Umum, Jakarta.

F.X Juliantoro, 2010, Analisis Pengaruh

Remunerasi, Motivasi Kerja dan Budaya

Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada

Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta

Utara, Tesis, UPN Veteran Jakarta.

Hari Purnama Kertadikara, 2010, Makalah,

Komite Medik RSUD Kabupaten Bekasi.

Departemen Dalam Negeri. 2018. Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun

2018 tentang Badan Layanan Umum

Daerah. Jakarta.