jurnal 1

143
Majalah Ilmiah ISSN : 1410 - 8291 SK Kep. LIPI No. 536/D/2007 tanggal 26 Juni 2007 1 JURNAL PENELITIAN KOMUNIKASI DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM BALAI PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA BANDUNG

Transcript of jurnal 1

Majalah Ilmiah ISSN : 1410 - 8291

SK Kep. LIPI No. 536/D/2007 tanggal 26 Juni 2007

1

JURNAL

PENELITIAN

KOMUNIKASI

DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM

BALAI PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI

DAN INFORMATIKA BANDUNG

ii Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No.1

JURNAL

PENELITIAN

KOMUNIKASI

Merupakan terbitan berkala setiap caturwulan, yang menyajikan hasil-hasil penelitian : pendapat

khalayak, mencakup : praktek dan teori, tinjauan buku, gagasan dan ide-ide baru serta

pengembangan dan rekayasa di bidang komunikasi dan informatika.. Merupakan media informasi dan sarana pengembangan ilmu yang diharapkan dapat menjadi

masukan bagi Departemen Komunikasi dan Informatika dalam menyusun kebijakan di bidang

komunikasi dan informatika. Sasaran penyebaran ditujukan bagi masyarakat ilmiah, para peneliti dan praktisi komunikasi.

PENERBIT Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Bandung

PENANGGUNG

JAWAB

Kepala Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Bandung

KETUA

PENYUNTING

C. Suprapti Dwi Takariani, SH.

PENYUNTING

AHLI

Prof. Ris. Rusdi Mukhtar, MA.

Dr. Atie Rachmiati, M.Si.

Drs. Dian Wardiana Sjuchro, M.Si. Dra. Siti Karlinah, M.Si.

PENYUNTING

PELAKSANA

Drs. Ramon, M.Si. Drs. Mulyono Yalia

Drs. Nana Suryana

SEKRETARIS

PENYUNTING

Dra. Betty Djuliati

ADMINISTRASI

Yoyo Suhawaya, Sm. Hk.

DISAIN & TATA

LETAK

Widdie Budhiarta, A.Md.

KOREKTOR

Ati Sumiati

PELAKSANA

DISTRIBUSI

Hj. Rosariah (Distribusi : Cuma-cuma, tukar menukar, dihadiahkan)

ALAMAT

REDAKSI

Jl. Pajajaran No. 88 Bandung 40173; Telp. : (022) 6017493. Fax. (022) 6021740 E-mail : [email protected]

PENGIRIMAN

NASKAH

Redaksi menerima kiriman naskah dari pembaca yang ditujukan pada alamat redaksi. Naskah yang

diterima harus asli dan belum pernah diterbitkan/dimuat di media lain, diketik dengan spasi 1,5 pada

kertas A4 minimal 15 halaman maksimal 20 halaman, dilengkapi dengan identitas jati diri penulis.

Sumber dituliskan : nama pengarang, tahun karangan dan halaman sumber di antara kurung.

Contoh : (Amri Jahi, 1988 : 33). Daftar Pustaka ditulis pada halaman terpisah dan disusun menurut

abjad, dengan urutan : nama pengarang atau penyunting, tahun penerbitan, judul buku, artikel, kota dan nama penerbit.

Contoh : Costanza R. (ed.) 1991, Ecological Economic, New York : Colombia University Press. Naskah yang tidak diterbitkan menjadi hak milik redaksi dan tidak dapat diminta kembali

ISSN : 1410-8291

Jurnal Edisi Perdana Terbit Tahun 1997

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 iii

KATA PENGANTAR

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini

begitu pesat dan telah merambah di segala bidang kehidupan

masyarakat. Beberapa lembaga-lembaga masyarakat telah

memanfaatkan TIK sebagai sarana untuk memberdayakan

masyarakatnya, namun masih banyak ditemukan berbagai kendala

dalam memanfaatkan TIK tersebut. Dalam Jurnal volume 12 No. 1

Tahun 2009 ini, disajikan tujuh tulisan yang merupakan resume hasil

penelitian.

Ketersediaan alat komunikasi dan informasi yang belum cukup

dan belum maksimal serta kemampuan Sumber Daya Manusia yang

masih terbatas dalam menggunakan TIK menjadi salah satu kendala

dalam menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia (MKPD), hal

tersebut terungkap dalam hasil penelitian yang diangkat oleh Ramon,

dengan judul tulisan ”Kesiapan Infrastruktur Komunikasi Informasi

Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia (MKPD) 2010”.

Kendala tersebut juga ditemukan dalam lembaga-lembaga masyarakat

yang mencoba memanfaatkan TIK untuk memberdayakan

masyarakatnya, seperti terungkap dalam penelitian tentang ”BALAI

INFORMASI MASYARAKAT (BIM) CIHIDEUNG :

Memberdayakan Masyarakat Perdesaan Melalui Teknologi Informasi

dan Komunikasi” yang diangkat oleh Sumarsono. Sementara itu

keberadaan Warung Masyarakat Informasi (warmasif) yang

merupakan model pengembangan Community Access Point (CAP)

dan dibangun untuk mempercepat tercapainya masyarakat informasi

ternyata belum dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan tujuan

dan sasarannya. Syarif Budhirianto dalam tulisannya, ” Motivasi

Pengguna Warung masyarakat Informasi dalam Pemenuhan

Kebutuhan Bermedia di Propinsi Jawa Barat”, menyimpulkan

keberadaan warmasif untuk pemenuhan kebutuhan informasi dan

komunikasi kurang optimal, warmasif baru dimanfaatkan sebatas

untuk memenuhi kebutuhan hiburan bagi masyarakat.

Perkembangan TIK dewasa ini telah dimanfaatkan oleh

Perguruan Tinggi Negeri dengan mempraktekkan penggunaan social

software sebagai media komunikasi dalam proses pengajaran. Dalam

tulisan, ”Social Software sebagai Media Komunikasi dalam Proses

Pengajaran di Perguruan Tinggi Negeri”, Akhmad Riza Faizal dan

Wulan Suciska, menyimpulkan penggunaan social software sebagai

iv Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No.1

media komunikasi dalam proses pengajaran mampu mendorong

kemampuan menulis siswa, menyebarkan materi perkuliahan,

menerbitkan hasil ujian semester. Namun di sisi lain perkembangan

TIK telah mengubah dunia jurnalistik yakni dengan hadirnya citizen

journalism, dimana setiap warga bisa melaporkan peristiwa yang

terjadi kepada media. Bagaimana sikap Jurnalis terhadap citizen

journalism? Permasalahan tersebut diangkat oleh Dida Dirgahayu

dalam penelitiannya yang berjudul ”Sikap Jurnalis Terhadap Citizen

Journalism”

Dalam tulisan lainnya, ”Konstruksi Identitas Sosial Kaum

Remaja Marjinal” studi kasus di kalangan remaja pengamen jalanan di

Purwokerto, Agus Ganjar Runtiko, mengkaji mengenai kaum

pengamen jalanan yang selama ini selalu identik dengan

ketidaktertiban, dan selalu ditertibkan, namun jumlah mereka dari

tahun ke tahun tidak pernah menyusut. Hasil penelitian tersebut adalah

terbentuknya model penanganan yang lebih tepat bagi para pengamen

jalanan.

Sementara itu, dalam tulisan ”Perilaku Politik Pemilih Pada

Pemilihan Gubernur Jawa Timur Periode 2008-2013”, yang ditulis

oleh Irtanto, menyimpulkan bahwa preferensi pemilih lebih banyak

karena kesamaan asal daerah, agama, kesamaan jenis kelamin

terutama pada budaya arek, budaya mataraman, dan budaya

pandalungan.

Penyunting

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 v

VOL. 12 No. 1 Tahun 2009 ISSN : 1410 - 8291

JURNAL

PENELITIAN

KOMUNIKASI

DAFTAR ISI

STUDI KESIAPAN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI

INFORMASI MENYONGSONG MANADO KOTA

PARIWISATA DUNIA (MKPD) 2010

Ramon ...................................................................................... 1-22

KONSTRUKSI IDENTITAS SOSIAL KAUM REMAJA

MARJINAL (Studi Kasus di Kalangan Remaja Pengamen

Jalanan di Purwokerto)

Agus Ganjar Runtiko ............................................................... 23-42

PERILAKU POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERIODE 2008-2013

Irtanto ....................................................................................... 43-62

BALAI INFORMASI MASYARAKAT (BIM)

CIHIDEUNG : Memberdayakan Masyarakat Perdesaan

Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi

Sumarsono ................................................................................ 63-80

SOCIAL SOFTWARE SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI

DALAM PROSES PENGAJARAN DI PERGURUAN

TINGGI NEGERI

Akhmad Riza Faizal dan Wulan Suciska ............................... 81-98

vi Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No.1

MOTIVASI PENGGUNA WARUNG MASYARAKAT

INFORMASI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN

BERMEDIA DI PROVINSI JAWA BARAT

Syarif Budhirianto ................................................................. 99-118

SIKAP JURNALIS TERHADAP CITIZEN

JOURNALISM Dida Dirgahayu ...................................................................... 119-137

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 1

STUDI KESIAPAN INFRASTRUKTUR

KOMUNIKASI INFORMASI MENYONGSONG

MANADO KOTA PARIWISATA DUNIA (MKPD) 2010

Ramon*

Abstraksi

Penelitian ini ingin melihat kesiapan infrastruktur komunikasi

informasi dalam menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia

(MKPD) tahun 2010. Jenis penelitian adalah kualitatif dengan

analisis deskriptif, sedangkan metode penelitian bersifat

sosiologis/empiris. Instrumen utama interview guide bersifat terbuka

dan terstruktur. Ketersediaan alat komunikasi dan informasi belum

cukup serta belum maksimal sebagai dukungan sarana dan prasarana

menyongsong MKPD tahun 2010. Yang menjadi kendala lainnya

kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) -nya. Penggunaan internet

hanya dipakai untuk mengakses informasi saja belum sampai pada

taraf penambahan pengetahuan/referensi tentang dunia wisata dalam

persiapan menyongsong MKPD tahun 2010. Oleh karena itu perlu

sosialisasi secara kontinyu kepada wisatawan mancanegara dan

domestik baik melalui dunia maya maupun secara langsung.

Kata kunci : Infrastruktur, MKPD 2010, Komunikasi Informasi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia terkenal kaya sumber daya alamnya, baik yang bisa

diperbaharui (renewable resources) maupun yang tidak bisa di

perbaharui (non-renewable resources). Laut Indonesia itu seluas dua

per tiga dari kawasan Nusantara, namun baru dimanfaatkan sebagian

kecil saja-terutama potensi ikannya saja. Padahal dari laut ini bisa

* Drs. Ramon, M.Si., Penulis adalah Peneliti Madya bidang Komunikasi Politik

pada Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BP2KI)

Bandung.

2 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

dihasilkan sebagai energi melalui pemanfaatan gelombang air laut

atau angin laut yang dihasilkannya.

Persoalan saat ini adanya pengkaplingan batas-batas territorial

oleh pemerintah daerah dalam menyikapi implementasi desentralisasi

dan Otonomi Daerah saluas-luasnya itu. Pengkaplingan tersebut

berimplikasi pada pembagian 18.100 pulau di Indonesia ke dalam

wilayah-wilayah territorial kabupaten dan kota. Hal ini berakibat

pengelolaan kelautan semakin runyam dengan berbagai pengkaplingan

dan diberlakukannya Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus. Tentu,

ini membuat munculnya berbagai konflik antara nelayan dan nelayan,

nelayan dengan pemangku kekuasaan daerah dan antar pemangku

kekuasaan daerah walaupun ikan yang akan ditangkap para nelayan itu

“tidak paham batas territorial daerah”.

Selanjutnya akan terdapat keengganan daerah untuk

memberdayakan kekayaan alam yang terkandung di daerah batas

wilayah tersebut, sebelum batas wilayah ini jelas. Penetapan batas

titik-titik itu sekaligus tak hanya menetapkan diantara peran dan

fungsinya, tetapi juga terkait kewenangan daerah untuk

mengeksploitasikan. Hal ini terkait dengan pelaksanaan Otonomi

Daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk

mengurus rumah tangganya sendiri dengan mengandalkan pada

sumber daya alam sekaligus sumber daya manusianya.

Pembangunan sebagai program yang direncanakan untuk

melakukan perubahan-perubahan dengan sengaja untuk

menyejahterakan masyarakat, dan dipandu oleh visi tertentu dalam tahapan tertentu pula. Oleh karena adanya Otonomi Daerah ini, maka

pembangunan daerah harus bertumpu pada kemampuan daerah dengan

segala sumber yang ada serta juga dituntut adanya kreatifitas daerah

dalam mewujudkan pembangunan Propinsi Sulawesi Utara khususnya

ibukota propinsinya yaitu Kota Manado, dalam usaha mencapai

tujuannya menetapkan visi Kota Manado sebagai “Manado Kota

Pariwisata Dunia 2010”.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Manado No.04

Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) Kota Manado Tahun 2005-2010. Visi Kota Manado secara

lebih lengkap adalah “Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010

menuju terwujudnya masyarakat Kota Manado yang aman, berdaya

saing, sejahtera, berkeadilan dan bermartabat”.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 3

Untuk mewujudkan Visi tersebut dirumuskan Misi:

“Menciptakan lingkungan perkotaan yang menyenangkan dimana

setiap orang dapat mewujudkan potensi dan impiannya”. Dalam

melaksanakan misi tersebut telah ditetapkan 4 (empat) sasaran

strategis yaitu: terlaksananya sistem pemerintahan dan pelayanan

publik yang efisien dan efektif; terwujudnya tata ruang kota berbasis

pariwisata; terwujudnya infrastruktur perkotaan bertaraf internasional;

terciptanya lingkungan perkotaan yang menyenangkan.

Salah satu sasaran strategisnya adalah “terbangunnya

infrastuktur perkotaan bertaraf internasional” yang akan diwujudkan

melalui strategi-strategi pembangunan yaitu : “Infrastruktur

Telekomunikasi dan Informasi yang handal dan mampu

menghubungkan masyarakat kota Manado dengan dunia

internasional“. Dari ketentuan ini, maka sektor infrastruktur

komunikasi informasi menjadi faktor penunjang keberhasilan

mewujudkan visi dan misi Kota Manado.

Manado yang terletak di pulau Sulawesi menjadi salah satu

andalan Indonesia dari keindahan alamnya untuk mendatangkan

devisa negara melalui pariwisata. Berdasarkan kekayaan alam yang

dimiliki Pulau Sulawesi khususnya wisata bahari, maka kita dapat

tampilkan kekayaan dasar laut yang dikenal dengan nama BUNAKEN

sebagai salah satu obyek wisatanya.

Upaya-upaya untuk mewujudkan pembangunan ditopang oleh

berbagai faktor salah satu yang berperan ialah komunikasi. Sesuai

dengan strategi pembangunan yang salah satunya peran komunikasi -

dan informasi, dalam hal ini akan terwujud jika ditunjang oleh

infrastruktur yang dibutuhkan, terutama infrastruktur komunikasi

informasi.

Namun ternyata belum terlihat adanya kesiapan infrastruktur

komunikasi informasi di Kota Manado dalam menyongsong Manado

Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010. Hal ini terbukti dengan masih

kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi informasi

serta pengelolaan informasi dan diseminasi yang efektif dari kalangan infrastruktur secara terorganisasi, terkoordinasi, terintegrasi dan

sinergis, untuk dapat secara cepat mengakses berbagai informasi di

bidang pariwisata di Kota Manado yang akan ditawarkan kepada

publik.

Untuk mendapatkan gambaran tentang peran komunikasi dan

informasi dalam pembangunan menuju Manado Kota Pariwisata

4 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Dunia Tahun 2010, maka perlu dilakukan penelitian tentang Studi

Kesiapan Infrastruktur Komunikasi Informasi di Kota Manado dalam

rangka menuju Manado Kota Pariwisata Dunia di tahun 2010.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pemasalahan di atas, maka

dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Bagaimana Kesiapan Infrastruktur Komunikasi Informasi Kota

Manado Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010 ?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan

Untuk mengetahui Kesiapan Infrastruktur Komunikasi

Informasi Kota Manado Menyongsong Manado Kota Pariwisata

Dunia Tahun 2010.

Kegunaan

1. Secara Teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu

komunikasi informatika, dan agar dapat menjadi referensi bagi

penelitian selanjutnya dibidang teknologi informasi dan

komunikasi.

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

sebagai bahan informasi tentang kesiapan infrastruktur komunikasi

informasi kota Manado Menyongsong Manado Kota Pariwisata

Dunia Tahun 2010 untuk menjadi bahan masukan kepada

Pemerintah Kota Manado dan pimpinan Departemen Komunikasi

dan Informatika dalam pengambilan kebijakan.

Tinjauan Teori

Sarjana komunikasi sepakat bahwa tujuan utama teori ialah

eksplanasi (Hawes, 1975, Miller & Nicholson, 1976; Monge, 1973;

Tucker et al, 1981). Monge (1973) mengatakan :

“The primary purpose of a scientific theory is scientific explanation …

To establish a theory of communication is to seek a set of propositians

that explain how communication operates, i.e. why various

communication events are related. (pp. 5-6) (Tujuan utama suatu teori

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 5

ilmiah adalah memberi eksplanasi secara ilmiah. Untuk membangun

suatu teori komunikasi diperlukan adanya seperangkat proposisi yang

mampu menjelaskan bagaimana komunikasi memiliki keterkaitan satu

sama lain).

Dalam ilmu pengetahuan, eksplanasi untuk satu peristiwa

memerlukan spesifikasi sebab-sebab atau kondisi-kondisi anteseden

yang menyebabkan peristiwa itu dan menguraikan kondisi-kondisi

bagaimana sehingga eksplanasi itu berlaku (Monge, 1973; Harre,

1983).

Dalam penelitian ini, akan dilihat faktor-faktor yang

menyebabkan peristiwa yang terkait dengan kesiapan infrastruktur

komunikasi informasi sebagai salah satu strategi pembangunan yang

akan diwujudkan dalam Misi Manado Kota Wisata Dunia 2010.

Kesiapan, berasal dari kata dasar “siap”, (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 1990:835) yang berarti sudah sedia; sudah disediakan

(tinggal memakai atau menggunakan saja) ; sudah selesai (dibuat atau

dikerjakan). Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan kesiapan

komunikasi informasi adalah sebagai kesudah-tersediaan sarana dan

prasarana komunikasi dan informasi yang dapat digunakan untuk

mendukung program Manado Kota Wisata Dunia Tahun 2010.

Sri Astuti, (2001) berpendapat bahwa penggunaan teknologi

informasi, pemanfaatan informasi oleh individual, kelompok atau

organisasi merupakan variabel inti dalam riset sistem informasi,

sebab sebelum digunakan pertama terlebih dahulu dipastikan tentang

penerimaan atau penolakan di gunakannya teknologi informasi

tersebut, hal ini berkaitan dengan perilaku yang ada pada individu/

organisasi yang menggunakan teknologi komputer.

Dalam dekade terakhir ini sangat dirasakan peran teknologi

komunikasi informasi bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam

rangka menunjang kesuksesan Manado sebagai Kota Wisata Dunia di

Tahun 2010, sangat besar peran komunikasi informasi di dalamnya.

Teknologi informasi dapat digunakan untuk memfasilitasi hampir

semua kegiatan manusia. Pada saat yang bersamaan dan dalam

perkembangan kebutuhan akan akses informasi yang cepat terlebih

informasi yang terkait dengan pariwisata di Kota Manado, maka

kehadiran perangkat infrastruktur komunikasi informasi menjadi suatu

keharusan yang sangat mendesak.

Infrastruktur yang dimaksud dalam hal ini berupa peralatan

komputerisasi, internet serta sarana dan prasarana lain yang

6 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

menggunakan teknologi informasi dalam mengomunikasikan

pariwisata di Kota Manado guna mendukung program Manado Kota

Wisata Dunia di Tahun 2010.

Kesiapan untuk menuju Manado menjadi Kota Wisata Dunia

tersebut telah dimulai sejak tahun 2005 sebagaimana tertuang dalam

Peraturan Daerah Kota Manado No. 04 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Manado

Tahun 2005-2010.

Jika kesiapan telah dilakukan sejak Tahun 2005, maka

kesiapan infrastruktur komunikasi informasi dalam hal ini mengenai

ketersediaan alat komunikasi yang telah menggunakan teknologi

informasi dan komputerisasi juga seharusnya telah dilakukan sejak

tahun 2005.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan

paradigma. Pandangan jauh kedepan untuk menumbuhkan

perekonomian yang berkelanjutan, dengan kekuatan yang bertumpu

pada keunggulan potensi daerah. “Selain mendatangkan manfaat nyata

berupa pendapatan daerah yang akan meningkat, upaya menggali dan

mengoptimalkan potensi daerah juga bisa menjadi masukan penting

untuk branding suatu daerah” ungkap Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo

Harry Sarundayang. Bagi Harry, branding yang tepat dan bagus

niscaya membuat suatu daerah tampil lebih atraktif dan eksotis,

sehingga memikat para investor untuk berlomba-lomba menanamkan

investasinya . “Ujung-ujungnya, sumber pendapatan daerah juga akan

timbul dengan sendirinya. Ragamnya pun akan semakin banyak, dan

multifier effect yang ditimbulkan jauh lebih banyak.“ tandasnya.

Tujuh tahun sudah implementasi Desentralisasi dan Otonomi

Daerah (OTDA) seluas-luasnya di Indonesia. Hasil yang tampak jelas,

jumlah propinsi meningkat dari 26 menjadi 33 Propinsi, sementara

jumlah Kabupaten/Kota meningkat, dari 300 menjadi 458

Kabupaten/Kota.

Namun yang menyedihkan, bahwa arogansi lokal muncul

diantara propinsi, kabupaten maupun kota dalam menjalankan

berbagai kewenangan yang telah diserahkan pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Di lain sisi, keengganan pemerintah pusat untuk

menyerahkan kewenangan yang harus dimiliki Pemerintah Daerah

(berdasarkan Undang-Undang yang berlaku), tampaknya masih belum

secara tegas dan jelas. Hal ini diperkuat oleh statement Johnny

Karinda “Manado sebagai pusat kegiatan nasional di Sulawesi Utara

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 7

sebagaimana arahan RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional) menjadi penting sebagai kota tujuan utama (Primary

Destination) maupun sebagai kota transit sekaligus pusat pertumbuhan

wilayah di kawasan Indonesia Timur.“ (Manado Post, 13 juli 2008, hal

4 ).

Dengan kedudukan dan posisi strategis dalam konstalasi

ekonomi lokal, regional maupun nasional secara geografis berada di

kawasan Pasifik Rim memberi peluang bagi Kota Tinutuan ini

berkembang menjadi kota pariwisata penting dan unggulan di skala

nasional maupun internasional.

Kini Sulawesi Utara bertekad menggarap sektor pariwisata,

perkebunan kelapa dan perikanan sebagai tumpuan ekonominya.

Apalagi “Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010“ sudah

dijadikan Peraturan Daerah. Selanjutnya sedang gencar-gencarnya

pula Walikota Manado Jimmy Rimba Rogi, S.Sos. dan Gubernur

Sulawesi Utara SHS Sarundayang mempromosikannya secara

domestik maupun ke mancanegara secara besar-besaran.

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Metode Penelitian dalam hal ini adalah sosiologis atau empiris

atau non doctrinal, dalam hal ini adalah terhadap ketersediaannya

sarana dan prasarana komunikasi dan informasi sekaligus sumber daya

manusianya dalam menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia

Tahun 2010.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan sosiologis terhadap kasus, yaitu suatu pendekatan

yang dilakukan untuk mempelajari secara mendalam terhadap suatu

individu, kelompok, institusi, atau interaksi-interaksi (sosial) yang

terjadi di dalamnya.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan

analisis yang bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa data

dikumpulkan dengan menggunakan interview guide (pedoman

wawancara) yang bersifat terbuka dan terstruktur, yang akan menjadi

instrumen utama dalam analisis data, kemudian didukung oleh

perolehan data dari informan yang terkait dengan permasalahan yang

akan diteliti.

8 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Kota

Manado sebagai responden yang menggunakan teknologi informasi

dalam kaitannya dengan persiapan menyambut Manado Kota

Pariwisata Dunia Tahun 2010.

2. Sampel

Dalam penarikan sampelnya digunakan teknik purposive

random sampling yang dipilih secara sengaja. Yang berarti bahwa

setiap individu yang menjadi responden akan dipilih secara sengaja

dan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dalam hal ini

adalah :

Masyarakat yang menggunakan alat komunikasi informasi

untuk mengakses informasi terkait dengan kepariwisataan di Kota

Manado, sehingga terpilih: Dosen Pariwisata, Pengamat Pariwisata,

Akademisi bidang IT, Pakar Komunikasi, Tokoh Masyarakat, Tokoh

Lintas Agama, Sosiolog, Pengusaha yang tergabung dalam PHRI,

LSM bidang terkait, Pengusaha Warnet, Dunia Hiburan (Pub,

Diskotik, Karaoke, Café, Bar).

Aparat Pemerintah Kota Manado yang terkait bidang tugasnya dengan

kepariwisataan di kota Manado, dalam hal ini terpilih : Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan Kota Manado, Dinas Komunikasi dan

Informatika, Dinas Tata Kota, Dinas Pekerjaan Umum dan Pengelola

Pelabuhan Darat Laut maupun Udara, BPDE, Sekertariat MKPD

Provinsi dan Kota, Bappeda Kota Manado.

Selanjutnya untuk kebutuhan akurasi data akan dilakukan

cross check (cek silang) terhadap informan yang menjadi sasaran

penelitian ini dengan melakukan wawancara mendalam (eksploratif),

dalam hal ini adalah masyarakat umum pihak dinas terkait yakni

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pengelola Pelabuhan (laut, darat,

dan udara), Balai Pengelola Data Elektronik (BPDE), PT. Pos dan

Giro, PT. Telkom dan Dinas Kominfo Kota Manado.

Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh di lapangan yang akan

dilakukan data dikumpulkan dengan menggunakan interview

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 9

guide (pedoman wawancara) yang bersifat terbuka dan

terstruktur, yang akan menjadi instrumen utama dalam analisis

data, kemudian didukung oleh perolehan data dari informan yang

terkait dengan permasalahan yang akan di teliti. Dengan demikian

saat berlangsungnya wawancara sangat dimungkinkan

berkembang sesuai dengan kenyataan yang diperoleh di

lapangan. Artinya walaupun jawaban sedikit diluar kuesioner

asalkan dalam koridor substansi masih dimungkinkan diteruskan

pertanyaan lanjutan.

Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka dan terstruktur

tersebut sangat tergantung pada tanggapan para responden

maupun informan yang menjadi sasaran penelitian. Pertanyaan

yang diajukan akan berkisar pada kesiapan infrastruktur

komunikasi informasi dalam menyongsong Manado Kota

Pariwisata Dunia Tahun 2010. Demikian juga faktor-faktor

pendorong yang menyebabkan ketidaksiapan infrastruktur

komunikasi informasi dalam menyongsong Manado Kota

Pariwisata Dunia 2010.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui berbagai literatur, majalah, koran

yang terkait dengan permasalahan penelitian serta juga diperoleh

melalui internet.

Analisis Data

Analisis data yang bersifat deskriptif, artinya bahwa data yang

diperoleh akan dianalisis dengan cara menggambarkan secara kritis

data dikumpulkan dengan menggunakan interview guide (pedoman

wawancara) yang bersifat terbuka dan terstruktur. Data yang diperoleh

akan menjadi instrumen utama dalam analisis deskriptif tersebut,

kemudian didukung oleh perolehan data dari informan yang terkait

dengan permasalahan yang akan diteliti untuk memberikan gambaran

secara kritis.

Definisi Konsep

1. Kesiapan

Kesiapan adalah sebagai kesudah-tersediaan sarana dan prasarana

komunikasi dan informasi yang dapat digunakan untuk

mendukung program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.

10 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

2. Infrastruktur Komunikasi Informasi

Infrastruktur komunikasi informasi yang dimaksud dalam hal ini

berupa peralatan komputerisasi, internet serta sarana dan prasarana

lain yang menggunakan teknologi informasi yang dapat digunakan

untuk mengakses informasi yang cepat terkait dengan pariwisata

di Kota Manado guna mendukung program Manado Kota

Pariwisata Dunia Tahun 2010.

3. Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010

Yang dimaksud dalam hal ini adalah menyambut diadakannya

perhelatan besar Pemerintah Kota Manado sebagai tujuan

wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara yang

puncaknya di tahun 2010.

Definisi Operasional

1. Kesiapan

Dengan indikator telah tersedianya komputer, internet, telepon dan

semua peralatan komunikasi di tempat-tempat yang berhubungan

dengan kepariwisataan untuk menginformasikan pariwisata di

Kota Manado; yang dalam hal ini diambil di hotel-hotel,

perusahaan biro perjalanan, pusat-pusat perbelanjaan, warung

internet, warung telepon dan juga kantor pemerintah maupun

swasta yang berhubungan dengan dunia pariwisata.

2. Infrastruktur Komunikasi Informasi

Infrastruktur komunikasi informasi yang dimaksud dalam hal ini

berupa peralatan komputer, internet, telepon serta sarana dan

prasarana lain yang menggunakan teknologi informasi yang dapat digunakan untuk mengakses informasi yang cepat terkait dengan

pariwisata di Kota Manado guna mendukung program Manado

Kota Pariwisata Dunia 2010.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis

Kota Manado terletak diujung utara pulau Sulawesi dan

merupakan kota terbesar di belahan Sulawesi Utara sekaligus sebagai

ibukota Propinsi Sulawesi Utara secara geografis Kota Manado

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 11

terletak diantara : 10 25‟ 88”-10 39‟ 50” LU dan 1240 47‟ 00-1240

56‟ 00 BT.

Sedangkan batas administratif adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kecamatan Wori dan Teluk Manado

Kabupaten Minahasa Utara.

b. Sebelah Timur : Kecamatan Dimembe Kabupaten Minahasa.

c. Sebelah Selatan : Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa.

d. Sebelah Barat : Laut Manado /Laut Sulawesi.

Luas Kota Manado adalah 15.726 hektar (157,26 Km2). Kota Manado

mempunyai 3 wilayah pulau dan berpenghuni, yaitu Pulau Manado

Tua, Pulau Bunaken dan Pulau Siladen.

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk tahun 2006 berdasarkan data Survei Sosial

Ekonomi Nasional (SUSENAS 2005) berjumlah 417.700 jiwa.

Dengan luas wilayah 157,26 Km2, berarti kepadatan penduduknya

mencapai 2.656 jiwa/Km2. Berdasarkan SUSENAS 2006, rasio jenis

kelamin penduduk Kota Manado lebih dari 100 dengan angka 93,41

persen. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah penduduk laki-laki di

Kota Manado lebih kecil daripada jumlah penduduk perempuan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kesiapan Infrastruktur Komunikasi Informasi

Tabel 1

Ketersediaan Alat Komunikasi Informasi Menyongsong

“Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”

No Ketersediaan alat komunikasi informasi N F

(%) Keterangan

1 Ya 91 100 Internet

2 Tidak - - -

3 Belum - - -

4 Jawaban lain - - -

Jumlah 91 100

n = 60 responden + 31 informan

Sumber : Data diolah oleh peneliti.

12 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Bahwa telah tersedia alat komunikasi dan informasi (100%)

dalam rangka menunjang persiapan menyambut Manado Kota

Pariwisata Dunia Tahun 2010, hal ini terlihat dari telah banyak

dijumpai internet. Pengertian “telah tersedia” dalam hal ini dapat

dikonotasikan relatif tersedia, karena kalau ditinjau dari jenis sarana

dan prasarana yang tersedia sebagian besar dari masyarakat hanya

melihat ketersediaan atau ketidak tersedianya internet, jadi yang

menjadi barometernya adalah tersedia atau tidaknya internet. Padahal

alat komunikasi informasi tidak hanya internet saja, namun yang

dijadikan barometer masyarakat saat ini adalah internet.

Kemudian bila dilihat lebih lanjut ketersediaan internet harus

juga di barengi dengan kemanfaatannya sekitar persiapan menyambut

“Manado Kota Pariwisata Dunia 2010”. Inilah yang menjadi tanda

tanya lebih lanjut apakah internet yang ada telah digunakan

sebagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini ?

Ternyata berdasarkan cross check di lapangan dari informan

dapat dicermati bahwa penggunaan internet masih terbatas untuk

kepentingan pribadi masing-masing pengguna, sehingga belum

maksimal sebagai dukungan sarana dan prasarana menyongsong

“Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”. Sehingga dapat

dikatakan bahwa ketersediaan infrastruktur komunikasi informasi

kurang menunjang program “Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun

2010”.

Jumlah Ketersediaan Alat Komunikasi dan Informasi

Tabel 2

Ketersediaan Alat Komunikasi Informasi Berdasar Jumlah

Dalam Menunjang “Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”

No Ketersediaan alat

komunikasi informasi N

F

(%) Keterangan

1 Sangat memadai - - Internet

2 Cukup memadai 21 23,08 -

3 Kurang memadai 57 62,63 -

4 Tidak memadai 13 14,29 -

Jumlah 91 100

n = 60 responden + 31 informan

Sumber : Data diolah oleh peneliti.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 13

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa ketersediaan alat

komunikasi informasi dalam menunjang program “Manado Kota

Pariwisata Dunia Tahun 2010” Kurang memadai (62,63%), maka

selama ini persiapan dari sisi infrastuktur komunikasi informasi masih

dapat dikatakan belum cukup. Oleh karena itu, jika dirasa dari sisi

jumlah Pemerintah Kota Manado tidak dapat memenuhi jumlah

idealnya, tidak salah jika pihak swasta yang terkait dengan

penyelenggaraan kepariwisataan di kota Manado terlibat maupun

dilibatkan, karena sektor swasta lebih merasakan dampak dari

keterbatasan jumlah alat komunikasi informasi dari sisi promosi

produknya untuk di jual kepada masyarakat.

Hal tersebut didukung juga oleh sebuah artikel dari Johnny

Karinda yang mengatakan : “Kegiatan promosi dan pemasaran

pariwisata tampak kurang padu antara pihak-pihak yang berkompeten

(Pemprov, Pemkot, serta stakeholder) masing-masing berjalan sendiri-

sendiri sehingga sasaran yang dituju kurang maksimal. Tidak heran

bila pariwisata Manado kalah bersaing dengan DTW (Daerah Tujuan

Wisata) lain seperti Bali, Lombok dan lain-lain di Nusantara”

(Manado Post, 16 juli 2008, hal 4).

Kemudian jika dilihat dari sisi jumlahnya, ketersediaannya alat

komunikasi informasi masih dikategorikan kurang memadai (62,63%)

jika dibandingkan dengan jumlah penduduk kota Manado. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa ketersediaan alat komunikasi

informasi dalam menunjang program “Manado Kota Pariwisata Dunia

Tahun 2010” secara kuantitatif dapat dikatakan cukup memadai, tetapi

secara kualitatif masih sangat kurang.

Tabel 3

Ketersediaan Alat Komunikasi Informasi Menunjang

“Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”

No Ketersediaan alat komunikasi informasi

dalam menunjang “MKPD” N

F

(%) Keterangan

1 Telah menunjang 7 7,70 Internet

2 Kurang menunjang 11 12,09 -

3 Belum menunjang 60 65,93 -

4 Tidak menunjang 13 14,28 -

Jumlah 91 100

n = 60 responden + 31 informan

Sumber : Data diolah oleh peneliti.

14 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Dengan demikian menjadi bahan perenungan bersama, apakah

alat komunikasi informasi yang belum menunjang tersebut akan

segera dapat diatasi permasalahannya?. Sangat kompleks

permasalahan yang ada di dalamnya, karena menyangkut semua

komponen kepariwisataan yang ada di Kota Manado. Dengan

demikian masih perlu ditingkatkan lagi ketersediaan alat komunikasi

informasi sekaligus dibarengi dengan ketersediaan sumber daya

manusia yang kapabel.

Apapun program yang dikampanyekan, kalau tidak dibarengi

dengan upaya untuk secara nyata dan terarah segala kemampuan

terfokus pada program tersebut, maka kita menjadi pesimis melihat

perencanaan waktu yang tidak lama lagi yaitu tahun 2010 tersebut.

Hal selaras dengan pendapat informan dari hasil wawancara yang

menunjukkan bahwa ada keyakinan bahwa program “Manado Kota

Pariwisata Dunia 2010” akan tercapai, tetapi terdapat keraguan kerena

waktu yang sudah dekat, namun pembenahan tidak segencar

kampanyenya.

Menurut observasi peneliti sudah lebih dari cukup (minimal 20

kali) berkunjung ke Bandara Sam Ratulangi Manado tapi ternyata

Ruangan Tourist Information Centre (TIC) kosong melompong tidak

ada penjaganya. Hal ini sangat disesalkan pengamat Pariwisata Sulut

Chefie Nelwan SE, Par dengan mengatakan : “Mestinya Disparbud

Sulut tetap stand by untuk memberikan informasi sebanyak mungkin

obyek wisata yang ada di Sulut, lanjutnya lagi dengan adanya

informasi yang jelas tentang potensi pariwisata membuat wisatawan

tidak ragu-ragu untuk memperpanjang Length Of Stay di Sulut. “

(Manado Post, 3 Oktober 2008, hal 8).

Untuk itu diperlukan kerja sama yang baik dari semua

komponen masyarakat yang terlibat baik langsung maupun tidak

langsung dalam kesiapan menyongsong program “Manado Kota

Pariwisata Dunia 2010”. Disamping itu informan juga menambahkan

perlu adanya satu pusat informasi yang dapat diakses dengan mudah

tentang program “Manado Kota Pariwisata Dunia 2010” yang akan

dapat memberikan informasi secara lengkap kepada semua pihak

terkait dengan program tersebut. Informasi yang diberikan baik berupa

informasi langsung maupun tidak langsung, lisan maupun tulisan serta

media lain yang tersedia.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 15

Sebaran Lokasi Ketersediaan Alat Komunikasi dan Informasi

Selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4 bahwa sebaran

keberadaan alat tersebut belum merata, karena berdasarkan data di

lapangan alat tersebut masih berada ditempat tertentu selain di kampus

(33,50%) ataupun perkantoran swasta (11,49%) maupun pemerintah

(5,74%), hanya terdapat disekitar pusat perbelanjaan tertentu (Mall

sebesar 5,26%), Warung Internet (16,74%) serta biro perjalanan

(21,53%) dan juga lain-lain yang dalam hal ini dimaksud adalah

internet maupun komputer milik pribadi sebesar 5,74%.

Tabel 4

Sebaran Lokasi Ketersediaan Alat Komunikasi Informasi

Dalam Menunjang “Manado Kota Pariwisata Dunia 2010”

No Lokasi Ketersediaan

alat komunikasi informasi N

F

(%) Keterangan

1 Kampus 70 33,50 Internet,computer

2 Kantor Pemerintah 12 5,74 Internet,computer

3 Kantor swasta 24 11,49 Internet,computer

4 Mall 11 5,26 Internet

5 Warung Internet 35 16,74 Internet

6 Biro Perjalanan 45 21,53 Internet

7 Lain-Lain 12 5,74 Internet,computer

Jumlah 209 100

n = 60 responden + 31 informan, responden boleh memilih jawaban lebih dari satu.

Sumber : Data diolah oleh peneliti.

Berdasarkan hasil wawancara rechecking dengan informan

dari PHRI (Perusahaan Hotel dan Restoran Indonesia) cabang

Manado, sebaran alat komunikasi informasi tersebut belum dibarengi

dengan kemampuan sumber daya manusianya atau SDM nya, karena

masih sangat kurangnya pengetahuan maupun kemampuan

penggunaan alat-alat teknologi informasi yang tersedia. Lebih lanjut

diungkapkan bahwa sebenarnya dari alat yang tersedia itupun masih

kurang dibandingkan jumlah penduduk di Kota Manado, namun

karena yang dapat menggunakan hanya sebagian kecil masyarakat,

maka tampaknya ketersediaan alat komunikasi untuk sementara dapat

dikatakan cukup memadai, namun belum dapat menunjang

sepenuhnya persiapan Program “Manado Kota Pariwisata Dunia

Tahun 2010”.

16 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Selanjutnya terkait dengan ketersediaan infrastruktur

komunikasi informasi data di lapangan menunjukkan bahwa di

samping perlu disediakan infrastruktur komunikasi informasi juga

perlu sumber daya manusia yang handal di bidang tersebut. Untuk

tingkat pemanfaatan komputer yang dalam hal ini penggunaan fasilitas

internet, masih terbatas pada fasilitas standar, karena fungsi internet

belum dapat dimaksimalkan sebagai media mengakses informasi,

mempermudah komunikasi. Penggunaan internet sampai saat ini

hanya untuk mengakses informasi saja, belum sampai pada taraf

penambahan pengetahuan atau mencari referensi yang diperlukan

tentang dunia wisata di Kota Manado terkait dengan persiapan

“Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”.

Selanjutnya terkait dengan penyediaan fasilitas komunikasi

informasi sebagai infrastruktur, sebagian besar responden maupun

informan menghendaki sebaiknya persiapan alat komunikasi informasi

pertama-tama diawali dari pihak Pemerintah Kota Manado khususnya

Dinas Pariwisata Kebudayaan,

Pengetahuan Tentang Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun

2010

Sementara itu, kalau ditinjau dari konten info yang disediakan

melalui internet maupun media massa lain, info tentang “Manado

Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010” tetapi apa itu dan bagaimana itu,

masih sangat kurang memuat informasi dan pengetahuan seputar

rencana besar tersebut, Walaupun data menunjukkan bahwa responden

sangat mengetahui adanya program “Manado Kota Pariwisata Dunia

Tahun 2010” sebagaimana tertuang dalam tabel berikut :

Tabel 5

Pengetahuan Tentang

“Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”

No. Mengetahui tentang MKPD N F

(%)

1 Ya 91 100

2 Tidak - -

3 Jawaban lain - -

Jumlah 91 100

n = 60 responden + 31 informan

Sumber : Data diolah oleh peneliti.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 17

Berdasarkan tabel tersebut di atas tampak sangat menyakinkan

bahwa semua komponen masyarakat, pariwisata di Kota Manado

mengetahui adanya program Pemerintah Kota Manado yakni “Manado

Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa program ini telah diketahui oleh masyarakat Manado

seluruhnya khususnya masyarakat yang terkait langsung dengan

penyelenggaraan pariwisata di Kota Manado. Selanjutnya “tahu”nya

perlu dipertanyakan lebih lanjut, apakah benar-benar tahu adanya

Program “Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010” tersebut dalam

artian bahwa konten dari isi pesan kampanye Pemerintah Kota

Manado tersebut benar diketahui?. Ternyata tampak penyajian

informasi terkait dengan program “Manado Kota Pariwisata Dunia

Tahun 2010” sebagai pesan, belum efektif, hal ini terbukti dengan

ketidaktahuan secara mendalam konten dari pesan kampanye

Pemerintah Kota Manado tersebut.

Dalam efektifitas penyajian informasi dalam bentuk gambar,

secara deskriptif menunjukkan tingkat efektifitas yang tinggi, terhadap

komponen afeksi dari masyarakat usaha pariwisata yang sebagian

besar memiliki tingkat intensitas penerimaan tinggi. Jelas di sini,

bahwa pesan yang berbentuk gambar atau foto dengan latar belakang

musik, lebih menyentuh perasaan seseorang, sehingga menimbulkan

rasa senang untuk mengamatinya. Namun tidak begitu tinggi efeknya

terhadap tingkat pemahaman dan komunikasi dari isi pesan tersebut.

Hal ini terungkap dari hasil observasi di lapangan melalui wawancara

dengan para pengusaha yang tergabung dalam PHRI.

Pengaruh penyajian pesan dalam bentuk naturalis persuatif

terhadap perilaku masyarakat mengenai program Pemerintah Kota

Manado menuju “Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”, ada

kecenderungan persamaan dengan penyajian pesan dalam bentuk

atraktif informatif, yaitu pengaruh terhadap perilaku menunjukkan

lebih besar dibandingkan dengan pengaruh terhadap sikap mengenai

Program “Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”.

Pendidikan Terakhir Responden

Penyajian pesan dalam bentuk gambar, efektif dalam

memengaruhi perilaku, sudah barang tentu tidak terlepas dari variabel

lain yang dimiliki oleh masyarakat usaha pariwisata, diantaranya

unsur pendidikan. Mereka yang berpendidikan tinggi mampu

18 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

memahami pesan yang sangat abstrak yaitu berupa gambar. Teori

mengatakan : “Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka

semakin tinggi kemampuannya untuk memahami pesan-pesan

(stimulus) yang bersifat visual, non verbal dan emosional”.

(Betinghaus EP. 1973).

Tabel 6

Pendidikan Terakhir Responden

No. Pendidikan Terahir N F

(%)

1 Tamat SD - -

2 Tamat SMP 1 1,67

3 Tamat SMU 25 41,67

4 Tamat D 1/2/3 21 35

5 Tamat S1/Sederajat 11 18,33

6 Tamat S2/Sederajat 2 3,33

7 Tamat S3/Sederajat - -

Jumlah 60 100

n = 60 responden.

Sumber : Data diolah oleh peneliti.

Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, data memperlihatkan

bahwa tingkat pendidikan terakhir responden tamatan SMU yakni

sebanyak 41,67%, tidak ada yang tamatan SD dan S3; Sedangkan

yang terkecil adalah tamatan SMP yakni 1,67%.

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa tingkat pendidikan,

intensitas penerimaan suatu pesan, dan tingkat persuasibilitas yang

ditentukan oleh pengetahuan pemahaman, perhatian, motif, dan

kemampuan mendapatkan informasi, ikut menentukan adanya

kesenjangan efek komunikasi. Hal ini mendukung pada penemuan-

penemuan terdahulu yang dilakukan oleh Schramm, 1977; Schramm,

Nelson, dan Betham, 1981; yang menyatakan ketrampilan

berkomunikasi yang diperlukan, penggunaan media yang tinggi, juga

melengkapi mereka dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi

dalam beberapa topik. (Rager, 1983).

Kesenjangan efek komunikasi terjadi karena :

1. Perbedaan tingkat ketrampilan berkomunikasi di antara segmen-

segmen suatu khalayak secara keseluruhan;

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 19

2. Tingkat pengetahuan tentang suatu isu yang dikuasai sebelumnya;

3. Kontak sosial yang relevan dengan orang-orang yang memiliki

lebih banyak informasi;

4. Persepsi selektif;

5. Kerelevanan fungsional atau utilitas;

6. Akses yang berbeda pada sumber daya yang terbatas;

7. Bias urban pada media massa;

8. Bantuan yang tidak memadai dari badan yang melakukan

intervensi sosial;

9. Kurangnya partisipasi dari khalayak sasaran dalam pembuatan

keputusan dan implementasi keputusan tersebut;

10. Perbedaan pendidikan, minat, atau motivasi, (Esman dan Uphoff,

1984; Fett, 1972; Goulet, 1983; Hyman dan Sheatley, 1974; Shingi

dan Mody, 1976; Techenor, dkk, 1973).

Memang masyarakat yang sedang membangun sangat

berkepentingan dengan inovasi, disertai dengan penemuan-penemuan

atau rangsangan-rangsangan, baik yang berupa gagasan, tindakan atau

informasi yang relevan dengan kebutuhannya. Apabila faktor ini

dipenuhi, maka peran serta masyarakat akan lebih tergugah.

Penekanan pada peran serta atau partisipasi masyarakat sangat popular

dalam program pembangunan, yang menunjukkan adanya komunikasi

umpan balik (komunikasi resiprokal ).

Umpan balik dapat diperoleh dengan sengaja, misalnya dengan

mengadakan riset tentang salah satu unsur kepariwisataan. Riset

mengenai kepariwisataan merupakan umpan balik yang dicari dan

dilakukan secara formal. Sebab masih ada umpan balik yang bersifat

non-formal. Misalnya dengan adanya keluhan-keluhan dari

masyarakat yang mengunjungi suatu obyek wisata, karena fasilitas

yang tidak bersih atau keadaan kurang aman di tempat rekreasi,

kurangnya informasi rambu-rambu di tempat strategis, perlunya buku

petunjuk/guide, dan lain-lain.

Menurut kaum behaviorism, orang cenderung mengulangi

kembali pengalaman yang menyenangkan selama hidupnya. Tugas

usaha pariwisata adalah menciptakan kondisi yang menyenangkan ini.

Tidak hanya mengadakan perbaikan obyek-obyek wisata, tetapi

mampu memasyarakatkan pemahaman yang baik mengenai psikologi

wisatawan melalui komunikasi antar budaya, sebab bukan lingkungan

20 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

yang menyenangkan dan menyusahkan kita, tetapi persepsi kita yang

memberi makna terhadap lingkungan tersebut.

Kemudian dalam meninjau persiapan infrastruktur komunikasi

informasi, data di lapangan menunjukkan bahwa infrastruktur

komunikasi informasi yang telah ada sudah dapat dikatakan “siap”

untuk menyongsong “Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”,

artinya bahwa kata “siap” ini belum dapat dikatakan siap yang

sesungguhnya sesuai dengan tingkat kebutuhan akan alat komunikasi

informasi seputar dunia wisata di Kota Manado.

Berkaitan dengan obyek wisata yang ditawarkan, terlihat baik

responden maupun informan menghendaki tidak hanya wisata bahari

yakni Pulau Bunaken yang ditawarkan, tetapi juga wisata lain yang

saat ini belum dikelola secara baik namun cukup punya potensi untuk

dikembangkan sebagai alternatif pilihan yaitu Pulau Siladen, Pulau

Manado Tua kemudian misalnya keindahan kota sekitar Manado

seperti Kota Bunga Tomohon, Pantai Malalayang, kemudian Obyek

wisata lain di luar Kota Manado yang menarik seperti Bukit Kasih,

Danau Tondano, Makam Imam Bonjol, Rurukan, dan lain-lain.

Suatu kenyataan, bahwa keberhasilan dari program ini

bergantung pada daya tarik pribadi yang dirasakan oleh sebagian

khalayak. Hampir semua jenis informasi, tidak menjadi soal

bagaimana cara pelaksanaannya, akan tetapi diterima bergantung pada

hal ini. Intensitas dari kebutuhan yang pasti akan adanya informasi

adalah faktor yang merupakan kunci untuk memperkirakan tingkat

penerimaan suatu kampanye.

Di bawah faktor inilah elemen-elemen kualitatif dari pesan

yang akan disampaikan, dikonsepkan dan di produksi secara baik.

Program ini menggunakan gaya hiburan yang cukup tinggi guna

menghadirkan atau mengangkat keadaan yang sesungguhnya melalui

bahasa yang mampu dipahami serta berasal dari sumber yang

terpercaya, meskipun durasinya pendek namun program ini

dipublikasikan lewat jaringan luas ke seluruh jaringan komunikasi

informasi yang telah dipercaya dan mempunyai kredibilitas.

Dengan demikian WOC (World Ocean Converence) atau

Konferensi Kelautan Sedunia yang akan dilangsungkan tanggal 5-11

Mei 2009, sangat membantu implementasi MKPD 2010, sebab untuk

mendukung kesuksesan WOC tersebut pemerintah dan stakeholder

sudah melakukan persiapan-persiapan yang selanjutnya dapat

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 21

dimanfaatkan secara optimal dalam upaya mendukung MKPD tahun

2010.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa kesiapan infrastruktur komunikasi informasi

Kota Manado Menyongsong Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun

2010 dapat dikatakan belum siap, karena masih kurangnya

ketersediaan alat komunikasi informasi yang terfokus untuk

memberikan informasi Seputar Dunia Wisata Kota Manado sebagai

pusat informasi.

Saran-saran

1. Kepada Pemerintah Kota Manado, perlu adanya kerja keras dalam

penyediaan infrasruktur komunikasi informasi yang terfokus pada

info tentang dunia wisata di Kota Manado. Seperti : Penambahan

Baliho, Spanduk, Brosur, Leaflet, Banner, di lokasi-lokasi

strategis.

2. Pemerintah Kota Manado diharapkan dapat bekerjasama dengan

pihak swasta yang terkait dengan dunia wisata di Kota Manado

untuk bersama-sama mengusahakan Pusat Informasi Wisata dalam

rangka Program “Manado Kota Pariwisata Dunia Tahun 2010”.

3. Perlunya segera menyediakan tenaga yang terampil

mengoperasikan peralatan komunikasi informasi yang semakin

canggih (SDM IT), termasuk kemampuan bahasa Inggris sebagai

bahasa Internasional.

4. Pemerintah Kota Manado perlu memberikan alternatif obyek

wisata dengan bekerjasama dengan Pemerintah Kota maupun

Kabupaten yang ada di Propinsi Sulawesi Utara, yang mempunyai

obyek wisata yang layak jual sebagai satu paket wisata. Misalnya

membuat MOU atau pertukaran informasi antar Kabupaten/Kota

dengan Pemkot Manado yang ada di Propinsi Sulawesi Utara

tentang infrastruktur komunikasi dan informasi, serta seputar

obyek pariwisata yang belum dikelola dengan baik.

5. Perlu segera dilakukan sosialisasi yang sifatnya sustainable di era

globalisasi, salah satunya dengan memasukkan program MKPD

2010 ke dunia maya (internet) secara berkesinambungan.

22 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

DAFTAR PUSTAKA

Betinghaus EP. 1973. Persuasive Communication. New York : Holt,

Rinehart and Winston, Inc.

Sawyer, 2003. Berkomunikasi Dengan Teknologi. Jakarta :

Gunadarma.

Suryadarma, 2003. Perkembangan Teknologi Informatika. Bandung :

Armico.

Fransisca, Wesart, 2004. Komputerisasi dan Perkembanganny.

Bandung : Yrama Widya.

Haris, Blade, 2005. E-Governance Dalam Era Informasi. Jakarta :

Sentra Informasi Mandala.

Ginsu, A, 2006. Birokrasi dan Teknologi informatika. Jakarta : Elex

Media Komputindo.

Ishadi, 2006. Teknologi Komputerisasi Dalam Pemerintahan.

Bandung : Yrama Widya.

Peraturan Perundang-undangan :

Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 tentang Pemanfaatan Teknologi

Informasi.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Daerah Kota Manado No.04 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Manado Tahun 2005-2010.

Bacaan Tambahan :

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka Depdikbud

Jakarta, 1990.

Harian Manado Post : Rabu, 16 Juli 2008, halaman 4.

Harian Manado Post : Jumat, 3 Oktober 2008, halaman 8.

Artikel judul “ Mewujudkan Manado Tujuan Utama Pariwisata ”

Oleh Drs. Johnny Karinda.

Harian Komentar Manado.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 23

KONSTRUKSI IDENTITAS SOSIAL

KAUM REMAJA MARJINAL

(Studi Kasus di Kalangan Remaja Pengamen Jalanan

di Purwokerto)

Agus Ganjar Runtiko*

Abstraksi

Kaum pengamen jalanan selama ini selalu identik dengan

ketidaktertiban. Di mana-mana para pengamen ini selalu

„ditertibkan‟. Kebanyakan mereka diarahkan untuk menghuni panti-

panti yang telah didirikan oleh pemerintah. Namun, jumlah mereka

dari tahun ke tahun tidak pernah menyusut. Dengan mengkaji tentang

konstruksi identitas sosial mereka, memahami faktor-faktor penyebab,

respon remaja pengamen ketika penertiban akan membentuk model

penanganan yang lebih tepat terhadap mereka.

Kata kunci : identitas sosial, remaja marjinal.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemberitaan di media massa seputar penertiban pengamen

jalanan sudah bukan hal asing lagi ditemui di negeri ini. Lewat berita

di surat kabar atau tayangan televisi, kita disuguhi pemandangan yang

memprihatinkan bahwa ternyata tidak sedikit kaum muda atau remaja

yang tidak bisa meneruskan sekolah dengan berbagai sebab tentunya

dan harus memilih mengisi hidupnya dengan mengamen. Wacana

yang berkembang di media, tidak jauh dari persoalan klasik bahwa

pengamen adalah salah satu faktor pengganggu ketertiban dan

kenyamanan masyarakat.

Ironisnya, jumlah remaja pengamen jalanan dari tahun ke

tahun cenderung mengalami peningkatan. Secara kuantitatif, jumlah

remaja pengamen jalanan di Purwokerto menurut data dari Sub Dinas

* Agus Ganjar Runtiko, S.Sos., adalah pengajar di FISIP Universitas Jendral

Sudirman Purwokerto Jurusan Ilmu Komunikasi.

24 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Kesejahteraan Sosial Banyumas tahun 2003 menunjukkan angka

mencapai 723 remaja, sementara pada tahun 2000 hanya terdapat 354

remaja (Suara Merdeka, Senin, 24 Agustus 2003). Khusus di

Purwokerto, pada tahun 2003 terdapat 214 remaja pengamen jalanan.

Jumlah ini menunjukkan semakin banyaknya remaja yang memilih

jalanan sebagai tempat mencari uang dan menjalani

kehidupannya.

Bila kita mencoba menengok kehidupan remaja pengamen

sesungguhnya kita perlu tergugah untuk bisa menanganinya dengan

pendekatan yang tidak semata represif. Para pengamen jalanan ini

tidak harus selalu ditempatkan sebagai semata penyakit sosial tanpa

melihat terlebih dahulu akar penyebab timbulnya tindakan seperti itu.

Bagaimanapun remaja pengamen adalah sebagian generasi bangsa

yang kepada mereka pemerintah dan lembaga sosial lainnya turut

bertanggung jawab mempersiapkannya agar tidak terlanjur menjadi

generasi tanpa masa depan. Mereka tidak perlu dianggap semata-mata

sebagai penyakit atau seonggok persoalan yang harus disingkirkan

melainkan harus ditempatkan sebagai bagian masyarakat yang

memiliki hak hidup yang sama dan tentu saja memiliki segenap

kemungkinan yang sama untuk tumbuh dan berkarya di negeri ini.

Berangkat dari fenomena inilah maka penelitian ini beranjak.

Dengan mencoba mengkaji persoalan dengan pendekatan

konstruktivis penelitian ini mencoba memahami secara mendalam

bagaimana kaum remaja pengamen ini membangun/mengkonstruksi

identitas sosial mereka.

Melakukan kajian dengan fokus sebagaimana dimaksud di atas

maka setidaknya akan diperoleh konsepsi pemahaman menurut

kacamata mereka sendiri tentang siapa dan bagaimana identitas sosial

kaum remaja pengamen ini. Informasi ini akan sangat bermanfaat

sebagai dasar bagi perumusan berbagai kebijakan pemerintah yang

utamanya ditujukan untuk kaum remaja terpinggirkan ini.

Pertanyaan Penelitian

Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses pembentukan/konstruksi identitas sosial di

kalangan remaja pengamen jalanan di Purwokerto?

2. Apa yang menjadi faktor penyebab sehingga kaum remaja ini

memilih tinggal di jalanan dan menjadi pengamen?

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 25

3. Bagaimana respon kaum remaja pangamen terhadap segala bentuk

tindakan penertiban yang dilakukan oleh pemerintah?

4. Bagaimana model penanganan terhadap persoalan remaja

pengamen jalanan yang telah dilakukan pemerintah dan lembaga-

lembaga terkait?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengarahkan kajiannya secara teliti mengenai :

1. Proses pembentukan/konstruksi identitas sosial di kalangan remaja

pengamen jalanan di Purwokerto

2. Faktor-Faktor penyebab sehingga kaum remaja ini memilih tinggal

di jalanan dan menjadi pengamen

3. Model penanganan terhadap persoalan remaja pengamen jalanan

yang telah dilakukan pemerintah dan lembaga-lembaga terkait

4. Respon kaum remaja pangamen terhadap segala bentuk tindakan

penertiban yang dilakukan oleh pemerintah

Kajian Pustaka dan Kerangka Pemikiran

Kajian Pustaka

Penelitian mengenai remaja marjinal, atau lazim disebut

sebagai anak-anak jalanan salah satunya dilakukan oleh Astutik

(2004). Penelitian yang membahas mengenai model pembinaan anak

jalanan ini memilih perspektif pemerintah dalam membina anak

jalanan. Artinya disini, perspektif yang diambil adalah dari

stakeholder. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pelaksanaan

pembinaan anak jalanan selama ini sesuai dengan standar layanan dari

Dinas Sosial. Terdapat variasi pengembangan sesuai kebutuhan di

lapangan menurut perkiraan para penentu dan pelaksana program.

Semuanya dinyatakan masih dalam taraf proses program pembinaan

dengan menggunakan gabungan beberapa pendekatan yang ada.

Selain mengenai anak jalanan, penelitian yang berhubungan

adalah mengenai konsep diri, yang dilakukan oleh Rahman (2004).

Penelitian yang berlokasi di Jakarta ini berfokus pada konsep diri

pengguna narkoba. Kesimpulan penelitian ini antara lain adalah bahwa

para pengguna narkoba ini rata-rata mempunyai konsep diri yang

negatif, diantaranya adalah rendah diri. Selain itu para pengguna

narkoba juga cenderung susah untuk kembali ke hubungan

komunikasi antarpribadi yang normal seperti sebelum memakai

26 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

narkoba, sekali lagi karena diakibatkan konsep diri mereka yang

negatif.

Kerangka Pemikiran

1. Remaja Pengamen dalam Tinjauan Sosiologis

Remaja pengamen di kawasan perkotaan secara teoritis dapat

ditinjau dari perspektif struktur sosial dalam masyarakat. Kelompok

ini bisa dikatakan sebagai kelas rendah di perkotaan.

Radikal, kriminal, apatis dan patologis adalah kata-kata yang sering

dilabelkan pada kelas proletar marjinal oleh baik kelas borjuis maupun

kelas menengah. Gambaran negatif tentang kelas proletar marjinal ini

beberapa bahkan didapatkan oleh seorang antropolog (Lihat Lewis,

dalam Keesing, 1992 : 233 – 249). Labelisasi seperti ini akan terus

menjebak kelas proletar marjinal ke dalam kemiskinan struktural (lihat

Soemardjan, dalam Alfian et. al., 1980 :1-11), sehingga mereka

semakin tak berdaya untuk keluar dari kungkungan marjinalisasi

struktural.

UNICEF (dalam Musyarofah, 2006 : 27) mengelompokkan

remaja/anak-anak yang mencari penghidupannya dijalanan sebagai on

the street dan of the street. Pengelompokan tersebut terkait dengan

periode mereka dijalanan. Dalam kategori on the street, adalah remaja

/anak-anak yang berada dijalanan dalam tempo sesaat. Mereka antara

lain terbagi dalam kelompok :

a. Remaja/Anak-Anak Miskin Perkotaan

Kelompok ini berasal dari dalam kota dan masih tinggal bersama

orangtuanya, yang merupakan penduduk asli maupun para

urbanisan yang mendiami tempat-tempat kumuh (slum area)

perkotaan. Sebagian anak-anak ini masih sekolah dan berada di

jalanan sekadar mencari tambahan bagi nafkah keluarga.

b. Remaja/Anak-Anak yang memberontak dan lepas dari orangtua

Kelompok ini biasanya masih memiliki orangtua, tetapi

memberontak dan sepenuhnya melepaskan diri dari keluarga.

c. Remaja/Anak-Anak dari Luar Kota

Kelompok ini tinggal bersama teman sebaya dan orang yang lebih

tua, sementara orangtua berada di kampung. Remaja kelompok ini ada

yang memiliki „bos‟ terkait dengan pekerjaan mereka, adapula „bos‟

sebagai penguasa kelompok tempat ia berada, yakni orang yang

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 27

mewajibkan setoran untuk kelangsungan pekerjaan atau jaminan

keamanan.

Sedangkan, kelompok yang dikategorikan sebagai of the street,

adalah mereka yang berpartisipasi penuh baik secara ekonomi maupun

sosial di jalanan. Mereka tidak mempunyai rumah, tinggal di emperan

toko, stasiun, terminal, kolong jembatan atau taman-taman kota.

Umumnya berasal dari keluarga yang berkonflik atau tidak tahu siapa

orang tuanya dan dimana keluarganya.

2. Konsep Diri dalam Perspektif The Social Construction Of

Reality

Konsep diri menjadi perhatian utama tidak saja bagi teoritisi

yang menggeluti fenomena sosial dalam perspektif interaksi simbolik

namun juga bagi para ahli yang mengembangkan teori konstruksi

realitas sosial. Premis dasar teori ini tentang self adalah bahwa

seseorang memahami dirinya sendiri dengan menggunakan “teori”

yang mendefinisikan dirinya (Littlejohn, 2002).

Adapun thesis dasar tentang “realitas” menurut teori konstruksi

realitas sosial adalah bahwa “reality is not an objective set of

arrangements outside ourselves, but is constructed through a process

of interaction in groups, communities, and culture” (Littlejohn, 2002).

Konsep diri termasuk “realitas”, yang sesungguhnya adalah

hasil konstruksi sosial. Demikian menurut Rom Harre (seperti dikutip

Littlejohn, 2002: 168) “the idea of self as a socially constructed

“object” is profound and important in the constructionist movement”.

Selanjutnya masih menurut Rom Harre, terdapat dua sisi yang

melekat pada personalitas seseorang : yakni Person dan Self. Person

adalah karakteristik yang melekat pada diri seseorang yang bisa dilihat

atau dikenali oleh publik yang ditandai oleh beberapa atribut dan

karakter yang relatif mapan dalam sebuah kebudayaan atau kelompok

sosial tertentu. Sedangkan Self adalah gambaran pribadi seseorang

atas dirinya sendiri. Ini didapat dari interaksi seseorang itu dengan

orang-orang lain.

Self terdiri dari seperangkat elemen yang bisa dikaji secara

relatif terpisah. Pertama, Display yakni sejauh mana aspek-aspek

dalam diri seseorang bisa diketahui oleh publik atau sebaliknya tetap

menjadi bagian pribadi seseorang. Kedua, Realization, sejauh mana

gambaran terhadap diri seseorang diyakini berasal dari orang itu

28 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

sendiri atau dari kelompok-keompok yang ada di sekeliling dia.

Ketiga, Agency : sejauh mana kekuatan aktif menjadi atribusi diri

seseorang. Di sini ada dua elemen; Active elemen seperti percakapan

dan Passive elements seperti mendengarkan.

3. Identitas Sosial

Identitas sosial berkenaan dengan bagaimana seseorang

menggunakan kelompok sosial tertentu yang dipandangnya dapat

memberikan perasaan positif tertentu pada dirinya. Secara umum

konsep ini diterjemahkan menjadi 3 (tiga) ide utama, yaitu

kategorisasi, identifikasi dan komparasi (Tajwel, 1978)

Menurut Hogg & Abrams (1998) pada dasarnya proses

kategorisasi menghasilkan persepsi stereotype, yaitu persepsi terhadap

anggota suatu kelompok yang memiliki karakteristik tertentu yang

dapat dijadikan acuan untuk membedakannya dari kelompok lain.

Berkaitan dengan hal ini, proses kategorisasi merupakan proses

pengelompokkan obyek yang dilakukan untuk memahami obyek

tersebut. Kategorisasi individu, merupakan proses pengelompokkan

individu dalam upaya memahami lingkungan sosialnya. Penggunaan

kategorisasi misalnya murid, guru, Muslim, Kristiani, hitam, putih,

dan seterusnya. Sedangkan proses identifikasi terjadi pada saat

seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tempat ia

bergabung. Tajfel (1978) menyatakan bahwa, identitas sosial

dikonsepsikan dengan mengaitkan pengetahuan individu tentang

perasaan memiliki suatu kelompok sosial tertentu dan emosi, juga

evaluasi signifikan yang dihasilkan dari keanggotaan suatu kelompok.

Setiap individu mengidentifikasikan dirinya lebih dengan in-

groupnya dan hal ini akan mengurangi perbedaan di antara diri dan in-

groupnya. Jika terjadi peningkatan identifikasi terhadap kelompok (in-

group). Seseorang merubah dari kutub personal ke intergorupnya.

Seseorang menggunakan penanda adalah dalam rangka mencari

konsep diri yang dipandang positif, dan hal ini merupakan bagian dari

fungsi normal psikologi seseorang. Untuk menghadapi dunia ini,

individu membutuhkan pandangan positif yang melekat pada sikap

dan perilaku dirinya. Pernyataan tentang baik, buruk, pintar, bodoh,

bersih, tinggi dan lainnya lahir dari adanya komparasi (perbandingan).

Identitas sosial menghadirkan relasi antar kelompok dalam

konteks sosial yang nyata (Tajfel 1978; Tajfel & Turner 1979) di

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 29

mana secara komprehensif memaparkan relasi antar kelompok dalam

perubahan sosial dalam masyarakat yang terkelompokkan secara

sosial, konflik sosial, serta relasi antar kelompok. Secara sederhana,

masyarakat membutuhkan identitas sosial positif yang menuntut

mereka untuk membangun nilai pembeda yang positif bagi kelompok

mereka sendiri yang dibandingkan dengan kelompok lain.

Keanggotaan dalam kelompok itu membuat individu memiliki

identitas diri dan self esteem. Pada saat kelompok memperolah

kesuksesan, self esteem individu akan ikut naik, dan sebaliknya ketika

kelompok mendapatkan kegagalan maka self esteem individu turut

terancam. Pada keadaan itu individu merasa harus mempertinggi

ketertarikan kepada kelompoknya dan meningkatkan rasa nyaman

kepada kelompok lain. Alih-alih identitas personal yang berhubungan

dengan perilaku interpersonal yang berarti perbedaan di antara diri

dan orang lain maka identitas sosial terkait dengan perilaku

intergroupnya yang berarti perbedaan di antara kelompok atau „kita‟

dan „mereka‟

Identitas sosial, dalam bentuk kategorisasi seperti nasionalitas,

religiusitas, gender, profesi, etnisitas, atau orientasi politik,

terinternalisasi dan membentuk suatu bagian penting yang potensial

dari self-concept seseorang di mana fokus pada konsep ini adalah pada

definisi „ke-kita-an‟ (we-ness) suatu anggota kelompok dalam konteks

„kita milik dari satu kelompok‟.

Konsepsi awal menunjukkan bahwa keyakinan kelompok

termasuk semua keyakinan terdapat di dalam alam pikir individu.

Namun saat ini, konsepsi tersebut digambarkan melalui fenomena

yang dikenal luas, di mana anggota kelompok berbagi keyakinan dan

keyakinan itu dipandang menghadirkan dasar bagi identitas sosial

anggota, selain itu juga diartikan sebagai esensi kelompok.

4. Cultural Biases dalam Intercultural Communication

Konsepsi teoritik yang dipakai dalam melihat respon kaum

remaja pengamen jalanan dalam menghadapi tindakan pemerintah

diambil dari perspektif teori komunikasi antar budaya.

Komunikasi antarbudaya didefinisikan sebagai interaksi di

antara orang-orang yang setidaknya memiliki satu perbedaan budaya

di antara mereka (Lustig & Koester, 2003). Dalam konteks

komunikasi antar budaya semacam ini akan membawa persoalan

30 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

dalam hal rasa aman, kenyamananan dan tingkat sejauh mana kita bisa

memprediksikan lawan interaksi kita. Terdapat beberapa situasi dan

nilai-nilai yang kemudian memengaruhi respon atau persepsi

seseorang terhadap orang lain yang berbeda budayanya. Dalam

konteks penelitian ini, kaum remaja pengamen jalanan diasumsikan

memiliki identitas kultural yang berbeda dengan misalnya kaum

remaja umumnya yang bisa menikmati kehidupan rumah tangga biasa

dan menjalankan aktivitas hidup layaknya remaja mapan (sekolah, dan

lain-lain). Faktor–faktor yang memengaruhi proses pengolahan

informasi tentang orang lain dalam konteks komunikasi antarbudaya

lalu diidentifikasi sebagai aspek yang dikenal dengan cultural biases.

Secara singkat, bagan kerangka pemikiran penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Metode Penelitian

a. Bentuk dan Strategi Penelitian

Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yang

lebih menekankan pada masalah proses dan makna (konstruksi

identitas sosial), maka jenis penelitian dengan strateginya yang

terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif. Jenis penelitian ini

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 31

akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan

deskriptif teliti dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada

sekedar pernyataan jumlah atau pun frekuensi dalam bentuk

angka.

Strategi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi

kasus, dan karena sasaran studi kasus ini hanyalah di kalangan

kaum remaja pengamen jalanan. Maka studi kasus ini termasuk

penelitian dengan strategi kasus tunggal (Yin, 1987). Selain itu,

karena permasalahan dan fokus penelitian sudah ditentukan dalam

usul penelitian ini maka jenis strategi penelitian kasus ini secara

khusus bisa disebut studi kasus terpancang (embedded case study

research).

b. Jenis dan Informasi Sumber Data

Data atau informasi yang paling penting untuk dikumpulkan dan

dikaji dalam penelitian ini sebagian besar adalah data kualitatif.

Informasi tersebut akan digali dari beragam sumber data, dan jenis

sumber data yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini

meliputi:

1. Informan atau nara sumber, dalam hal ini adalah kaum

remaja pengamen jalanan di Purwokerto, pemerintah

Kabupaten Banyumas, dan lembaga terkait.

2. Dokumen, baik hasil liputan media atau browsing internet

c. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan juga jenis sumber

data yang dimanfaatkan, maka teknik pengumpulan data yang

akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Wawancara mendalam (in-depth interviewing)

Wawancara jenis ini bersifat lentur dan terbuka, tidak

terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan bisa

dilakukan berulang pada informan yang sama (Sutopo, 2002)

2. Observasi langsung

Observasi ini dalam penelitian kualitatif sering disebut sebagai

observasi berperan pasif (Spradley, 1980)

3. Focus Group Discussion (FGD).

Metode ini bermanfaat untuk memperoleh data bagaimana

individu sebagai bagian dari sebuah kelompok mendiskusikan

sesuatu topik atau isu tertentu, jadi tidak semata melihat

32 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

informan sebagai individu. Dengan kata lain, FGD diterapkan

untuk memahami orang menanggapi berbagai pandangan

orang-orang lain dalam kelompok diskusi, dan bagaimana

kemudian informan membangun sebuah pandangan tersendiri

berdasarkan interaksi yang dilakukannya dalam sebuah

kelompok. (Bryman, 2001)

Sampling

Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan

yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan

konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti,

karakteristik empirisnya, dan lain-lain. Oleh karena itu cuplikan yang

akan digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat purposive

sampling, atau lebih tepat disebut sebagai cuplikan dengan “criterion-

based selection” (Goetz & Le Compte, 1984). Dalam hal ini peneliti

akan memilih informan yang dipandang paling tahu, sehingga

kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan

kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data (Patton,

1980).

Pengembangan Validitas

Guna menjamin dan mengembangkan validitas data yang akan

dikumpulkan dalam penelitian ini maka diperlukan teknik

pengembangan validitas data sebagaimana biasa digunakan dalam

penelitian kualitatif yaitu teknik triangulasi. Dari empat teknik

triangulasi yang ada (Patton, 1980), hanya akan digunakan tiga di

antaranya yakni (1) Triangulasi data (sumber) yaitu mengumpulkan

data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda. (2) Triangulasi

peneliti yaitu mendiskusikan data yang diperoleh dengan peneliti lain

dalam hal ini adalah rekan sejawat dalam sebuah forum diskusi

informal yang menyajikan draft awal hasil penelitian lapangan. (3)

Triangulasi teori dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih

dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.

Model Analisis

Proses analisis dalam penelitian kualitatif pada dasarnya

bersifat induktif di mana analisis dilakukan secara bersamaan dengan

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 33

proses pelaksanakan pengumpulan data. Ada tiga komponen analisis

yang saling berkaitan dan berinteraksi, tak bisa dipisahkan dengan

kegiatan pengumpulan data yaitu reduksi data, sajian data dan

penarikan kesimpulan. Model analisis yang akan dipakai dalam

penelitian ini adalah model analisis interaktif (Miles dan Huberman

1984). Dalam model analisis ini, tiga komponen aktivitasnya

dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data

sebagai suatu proses siklus. Dalam melaksanakan proses ini peneliti

aktivitasnya tetap bergerak di antara komponen analisis dengan

pengumpulan datanya selama proses pengumpulan data masih

berlangsung. Kemudian selanjutnya peneliti hanya bergerak di antara

tiga komponen analisis tersebut sesudah pengumpulan data selesai

pada setiap unitnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa

dalam penelitian ini.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Eks-Kota Administratif Purwokerto terletak di sebelah barat

daya Propinsi Jawa Tengah, dan merupakan bagian dari Kabupaten

Banyumas. Terletak di antara garis Bujur Timur 108° 39' 17'' sampai

109° 27' 15'' & di antara garis Lintang Selatan 7° 15' 05'' sampai 7° 37'

10'' yang berarti berada di belahan selatan garis khatulistiwa. Jumlah

penduduk Purwokerto sebanyak 239.532 jiwa, yang terbagi menjadi

73.019 jiwa di Kecamatan Purwokerto Selatan, 52.922 jiwa penduduk

Kecamatan Purwokerto Barat, 63.360 jiwa penduduk Kecamatan

Purwokerto Timur, dan 50.231 penduduk Kecamatan Purwokerto

Utara (www.banyumas.go.id diakses pada 2 Juli 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Pelaku Penelitian dan Informan Pendukung

Terdapat beberapa orang remaja marjinal yang diwawancarai

dalam proses penelitian ini. Pertama, Andri yang berusia 24 tahun.

Andri adalah seorang lulusan SMU tahun 2001, semenjak tahun 2002

sudah „mangkal‟ di pertigaan Sri Ratu Purwokerto. Andri merupakan

34 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

salah seorang remaja marjinal yang selalu memperhatikan

perkembangan politik dan berita yang terjadi saat ini.

Pelaku penelitian kedua adalah Jalak, berusia 21 tahun. Jalak

baru lulus STM tiga tahun lalu (2005). Alasan Jalak masuk STM

adalah agar bisa meneruskan pekerjaan bapaknya di bengkel. Jalak

mengerti sedikit-sedikit tentang mesin. Jalak hidup dalam keluarga

yang utuh, artinya bukan keluarga berantakan.

Pelaku penelitian ketiga adalah Tomi, 27 tahun. Tomi ini

merupakan salah satu anggota „senior‟ dalam komunitas mereka.

Namun, saat disebut sebagai ketua dalam komunitas, Tomi

menolaknya. Alasannya bahwa komunitas tersebut muncul untuk

menolak segala bentuk keteraturan (komunitas remaja marjinal yang

peneliti masuki ternyata adalah komunitas Punk dan komunitas

Skinheads), sehingga dalam komunitasnya tidak dikenal adanya ketua,

wakil atau sebagainya.

Pelaku penelitian keempat adalah Anjar. Anjar hanya

bersekolah sampai tingkat SMP saja. Keluarga yang berantakan

mendorongnya untuk masuk ke jalanan. Awalnya dia mengamen,

berdagang asongan, selanjutnya jalanan menjadi rumahnya, dan dia

salah seorang anggota komunitas yang paling rajin mangkal.

Informan pendukung dalam penelitian ini antara lain adalah

Pak Rujito. Pak Rujito berusia 52 tahun. Beliau adalah Ketua RW di

Kampung Sri Rahayu, atau lebih banyak dikenal sebagai Kampung

Dayak. Kampung Dayak sendiri merupakan sebuah kampung yang

terletak di belakang terminal lama Purwokerto. Di kampung ini

terdapat banyak komunitas marjinal, dan memang kampung ini identik

dengan dunia marjinal; seperti wanita tuna susila, waria, serta anak-

anak jalanan.

Informan pendukung kedua adalah Pak Budi. Pak Budi adalah

pemilik ruko yang terasnya sering dijadikan tempat mangkal oleh

anak-anak komunitas. Pak Budi sampai hapal siapa-siapa yang sering

mangkal, bagaimana tingkah polah mereka, serta perbedaan-

perbedaan antara beberapa komunitas yang mangkal di depan rukonya

tersebut.

Informan pendukung ketiga adalah Bapak Adi. Bapak Adi

adalah pegawai Dinas Sosial yang sering berhubungan dengan anak-

anak jalanan, waria dan sebagainya. Pak Adi telah bekerja di Dinas

Sosial Purwokerto semenjak tahun 1991.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 35

Masalah Kaum Remaja Marjinal

Masalah kaum remaja marjinal tidak hanya dirasakan

pemerintah atau masyarakat semata, namun juga dirasakan oleh

mereka sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh informan pendukung,

yakni Pak Rujito, seorang sesepuh di Kampung Sri Rahayu, yang

dikenal sebagai tempat berkumpulnya para kaum marjinal, “Kadang-

kadang malah (kegiatannya di rumah singgah) ndak sesuai.

Sebenarnya disuruh bertempat ke rumah singgah buat istirahat, tapi

malah digunakan yang lain, kadang-kadang fasilitas disitu juga hilang.

Mereka yang kesitu seringnya nggak punya identitas, sehingga

bingung mendatanya.”

Masalah kaum remaja marjinal ini juga muncul berkaitan

dengan interaksi sesama mereka. Sebagaimana diceritakan oleh Jalak,

“(Kita itu) akrab, tapi kalau ada masalah apa gitu dipanjang-panjangin.

Misalnya pakaian, apa kaos atau sepatu, kan punyanya cuma sedikit,

jadi sering barter. Aku pakai ini, kamu pakai itu, terus lama nggak

balik-balik, ilang atau dibarter sama yang lain, jadi masalah. Jadi

kayak masalah-masalah sepele gitu.”

Keberadaan rumah singgah bagi kaum remaja marjinal ini

nampaknya juga merupakan masalah tersendiri. Karena rumah

singgah yang biasanya dijadikan tempat mereka berkumpul ternyata

sudah tidak difungsikan lagi, seperti kata Pak Rujito, “Dulu kan ada

rumah singgah, tapi sekarang rumah singgahnya sudah nggak ada,

sudah dirusak sama anak-anak. Sekarang mereka sudah ndak punya

rumah singgah. Jadi nggak mesti kumpul-kumpul, kumpul-kumpulnya

ya kalau ada kegiatan-kegiatan.”

Konsep Diri

Terdapat beberapa nilai yang menjadi bentuk-bentuk identitas

sosial. Salah satunya adalah keharusan untuk berkarya. Anjar, salah

seorang pelaku penelitian mengatakan, “Jangan bicara kematian dong,

belum mempunyai karya nih. Kalau mati, apa yang ditinggalkan di

dunia ini? Harus meninggalkan karya. Sosialisme kamu, komunisme

kamu itulah karya kamu!”

Komunitas remaja marjinal ini juga bukan tidak percaya

Tuhan. Terbukti, ketika diwawancara mereka juga sempat

membicarakan puasa. Seperti Anjar yang mengatakan, “Kalau puasa

aku nggak kaget, masalah laper-laper aku nggak kaget, sebelum bulan

36 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

puasa sering nggak makan, sering laper.” Tetapi konsep kepercayaan

kepada Tuhan ini tidak diaplikasikan sebagaimana umumnya pemeluk

agama. Seperti yang dikatakan Jalak, “Kalau aku nggak puasa sih, tapi

ada orang baik yang ngasih makananlah, rokok, kadang-kadang duit.

Pernah dulu waktu tidur disini, pas saur ada orang yang ngasih

makanan.” Konsep kepercayaan kepada Tuhan diaplikasikan oleh para

remaja marjinal sebagai perilaku sosial manusia. Sehingga, mereka

cenderung membedakan orang berdasarkan terminologi „orang baik‟

dan „orang tidak baik‟. „Orang baik‟ menurut remaja marjinal ini

adalah orang yang mempunyai rasa keberpihakan kepada mereka.

Adapun pihak-pihak yang dianggap tidak menaruh keberpihakan

kepada mereka akan mendapat label sebagai „orang tidak baik‟.

Uniknya konsep baik yang kita kenal dengan simbolisasi „kanan‟,

tidak dikenal mereka secara sama, sebagaimana yang dikatakan Tomi,

“Malem kalau mau di sini, ya disini, kalau mau pulang ya pulang.

Kalau di sini paling dibelakang sana, di empang. Masalahnya kalau

tidur di sini (di emper toko) nanti di garuk juga sama orang-orang

kanan (orang-orang yang tidak mau kehilangan tempat tinggal

mereka).” Para remaja marjinal ini mengkonstruksi identitas sosial

mereka sebagai orang kiri, orang yang senantiasa selalu berbagi.

Konstruksi identitas sosial yang mereka miliki selanjutnya

adalah bahwa sebenarnya mereka tidak begitu menikmati menjadi

remaja marjinal. Sebagaimana yang dikatakan Jalak, “Pernah dulu aku

ditanyain, cari kerja (aja) kenapa mas? Apa enak jadi pengamen mas?

Gimana jawabnya, bingung kan!” Tomi ketika itu menambahkan, “Ya

ngomong enak bae.” Bahkan Jalak merasa bahwa kehidupannya saat

ini merupakan titik nadhir, bahwa dia sedang berada di bawah, bahwa

dia sedang merasa tidak enak, tapi dia mempunyai keyakinan

mengenai kemungkinannya kembali menikmati hidup, sebagaimana

dikatakannya, “Ya udah pernah sih ngrasain kerja, jadi orang enak.

Ada siang ada malem, ada baik ada buruk, ada kaya ada miskin, ada

gundul ada gondrong.”

Model Penanganan

Pemerintah Kabupaten Banyumas menyerahkan penanganan

anak-anak jalanan ini kepada Dinas Sosial. Pada keadaan-keadaan

tertentu, Dinas Sosial bekerja sama dengan Satpol PP dan kadang-

kadang juga melibatkan aparat kepolisian. Pelibatan aparat kepolisian

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 37

ini sebagai bentuk antisipasi apabila terdapat pelaku kriminal diantara

anak-anak jalanan. Selain dua instansi pemerintah ini, Dinas Sosial

juga bekerja sama dengan LSM yang bergerak dalam penanganan

anak jalanan. Sebagaimana yang dikatakan Bapak Adi, Kabid Dinas

Sosial Banyumas, “Selama ini penanganannya bekerja sama dengan

pihak-pihak terkait, terutama dengan beberapa LSM. Ada beberapa

LSM yang sering berhubungan dengan kita, antara lain Biyung Emban

dan Kuncup Mas.”

Model penanganan yang dilakukan oleh Dinas Sosial selama

ini melalui metode pemantian, yakni anak jalanan dirazia, untuk

dimasukkan ke panti-panti yang umumnya ada di luar kota. Di panti-

panti ini pembinaan dilakukan. Umumnya pembinaan itu berupa

materi-materi yang dianggap dapat membekali anak jalanan ini,

sehingga mereka tidak perlu kembali lagi ke jalan.

Selain panti-panti, bagi anak jalanan juga tersedia rumah

singgah. Sifat rumah singgah sendiri sebenarnya bukan merupakan

tempat pendidikan, melainkan tempat anak-anak jalanan ini

berkumpul saja. Tujuannya disamping anak-anak jalanan ini lebih

terkontrol, rumah singgah juga dapat digunakan pengelola untuk

menyisipkan pesan-pesan mengenai hal-hal positif. Pendekatan

penanganan di rumah singgah ini bermacam-macam, sesuai dengan

tujuan awal pendiriannya.

Penanganan terhadap anak jalanan juga meliputi perlakuan

terhadap keluarga mereka. Keluarga yang mandiri secara ekonomi

akan mengurangi peluang anak-anak turun ke jalan. Mengenai

masalah kesehatan, pemerintah memberikan anak jalanan ini Askeskin

untuk digunakan di Puskesmas-Puskesmas terdekat. Selain itu, anak

jalanan juga diberi penyuluhan mengenai HIV/AIDS, mengingat

perilaku seks mereka. Menurut Bapak Adi, anak jalanan ini mengenal

seks semenjak mereka berusia sepuluh tahun. Seks bebas dengan

berganti-ganti pasangan sudah mereka jalani pada usia belasan.

Lingkungan tempat tinggal mereka yang permisif terhadap perilaku

seks bebas membuat rentan munculnya penyakit menular seksual.

Persepsi terhadap Model Penanganan

Komunitas remaja marjinal ini umumnya mempunyai

pandangan negatif terhadap model penanganan dari pemerintah. Jalak

misalnya mengatakan, “(Ketika ditangkap Satpol PP) ada juga yang

38 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

nanyain, berapa hari nggak mandi, aku jawabnya tiga hari nggak

mandi. Namanya mandi itu kan urusan pribadi ya. Kita nggak mandi

apa dia mau mandiin kita, kita nggak makan apa dia mau nawarin,

nggak mungkin lah. Jarang orang baik itu jarang. (Ada yang) ngerasa

dirinya baik, tapi yang menilai itu kan orang lain.” Tampak dari hasil

wawancara ini, bahwa komunitas ini merasa penangkapan itu tidak

diperlukan. Bahkan, apabila ada aparat yang menangkap mereka,

dipandang tidak mempunyai kerjaan, disebut sebagai aparat murah,

“Yang nangkepin kita itu polisi yang murah. Soalnya nangkepnya

yang mudah dicari, kalau ngamen kan jelas lokasinya disini, tapi kalau

penjahat kan susah nangkepnya (karena lari terus).”

Saat ditanya apa saja yang mereka dapatkan ketika berada

ditempat penampungan sementara, Jalak mengatakan, “Paling kalau

ditangkep di omeli thok. Pernah dulu aku ditanyain, jadi cari kerja

(aja) kenapa mas? Apa enak jadi pengamen mas? Gimana jawabnya,

bingung kan?” Model penanganan yang seperti ini sebenarnya tidak

terjadi setiap saat. Hanya saja program pemerintah dirasakan hanya

sesaat-sesaat saja. Sebagaimana dikemukakan oleh Pak Rujito, Ketua

RW Kampung Sri Rahayu (dulu Kampung Dayak), “Pemerintah

biasanya kan memberikan program, tapi kan program itu kan seolah-

olah tidak berjalan, biasanya tidak kontinyu. Paling tahun ini program

apa itu saja. Seolah-olah sepintas hanya meluncurkan program saja.

Ya pihak manapun yang meluncurkan program tidak berkelanjutan, itu

ya hasilnya sesaat-sesaat. Jadi hasilnya juga sangat minim.”

Bentuk Komunikasi Antarpersona

Remaja marjinal ini kebanyakan membentuk komunitas secara

terbuka. Organisasi mereka tidak mengenal ketua atau pimpinan.

Struktur komuniksi antarpersona mereka sangat egaliter, sangat

terbuka. Namun, keterbukaan ini tidak berlaku untuk publikasi.

Publikasi, kata mereka, merupakan salah satu bentuk keterikatan

dengan aturan. Mereka tidak ingin dipublikasi.

Keseharian mereka berkumpul di pelataran gedung toko, atau

di tanah kosong ternyata tidak semata-mata berkumpul saja. Demikian

juga pilihan mereka untuk mabuk ternyata tidak semata-mata

kesenangan. Jadi berkumpul adalah salah satu bentuk progresifitas

mereka, bentuk pernyataan mereka, bentuk karya mereka. Mabuk pun,

kata Andi lagi, merupakan proses pencarian ide.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 39

Selain sehari-hari berkumpul di tempat-tempat yang telah

ditentukan, pada saat-saat tertentu mereka juga mengadakan

pertemuan. Tentu saja pertemuan ini bukan pertemuan rutin, maklum

mereka adalah komunitas yang antikemapanan. Pertemuan ini lazim

disebut sebagai „Punk Party‟ atau „Skinhead Party‟. Pertemuan seperti

ini biasanya diisi dengan pertunjukan musik-musik keras, serta tidak

lupa pesta minuman beralkohol. Bahkan, pesta minuman beralkohol

ini identik dengan rasa solidaritas antarsesama mereka. Minuman

beralkohol merupakan perekat komunikasi antarpersona mereka.

Kerekatan mereka dalam jalinan komunikasi antarpersona juga

sering diwarnai dengan konflik. Pemicu konflik ini kerapkali adalah

masalah-masalah yang sebenarnya dianggap sepele oleh mereka

sendiri. Seperti kata Jalak, ketika ditanya mengenai keakraban

antaranggota komunitasnnya, “(Hubungannya) akrab tapi, kalau ada

masalah apa gitu (sukanya) dipanjang-panjangin.” Mafhum kiranya

kalau konflik tersebut kadangkala menimbulkan perkelahian

antarsesamanya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kaum remaja marjinal pengamen jalanan ini ada yang tidak

mengakui labelisasi kebanyakan orang. Mereka lebih suka

mendapatkan sebutan sebagai komunitas tertentu. Hal ini lebih

mengungkap realitas bahwa mereka juga ingin mendapatkan

pengakuan mengenai eksistensinya. Secara lebih dalam eksistensi

mereka sebagai manusia yang berhak mendapatkan perlakuan adil.

Secara garis besar, kelompok atau komunitas remaja marjinal

pengamen jalanan terbagi menjadi tiga, yakni komunitas Punk,

komunitas Skinhead dan komunitas pengamen jalanan biasa.

Masing-masing mempunyai ciri khas. Komunitas Punk dicirikan

dengan pakaian yang seadanya, terkesan kumuh, akan tetapi sangat

peka dengan isu-isu sosial yang sedang berkembang. Komunitas

Skinhead, terkesan „lebih bersih‟ tetapi cenderung kurang responsif

dengan isu-isu sosial saat ini. Sedangkan komunitas ketiga,

cenderung tidak peduli dengan isu-isu sosial saat ini, namun lebih

mementingkan kebutuhan ekonomi.

40 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

2. Faktor-faktor yang menyebabkan para remaja pengamen jalanan ini

memilih tinggal di jalanan dan menjadi pengamen antara lain

adalah faktor keluarga yang berantakan, namun ada juga yang

karena faktor pengaruh teman. Pada komunitas Punk dan Skinhead,

remaja yang bermasalah dengan keluarga kurang begitu diterima.

Lain halnya dengan komunitas pengamen biasa, yang cenderung

tidak mempedulikan latar belakang keluarga teman-temannya.

3. Kaum remaja pengamen jalanan ini cenderung tidak suka dengan

perlakuan yang mereka terima dari pemerintah. Terbukti dengan

tindakan mereka yang selalu melarikan diri dari panti-panti yang

disediakan oleh pemerintah. Mereka menyebut pihak-pihak yang

berlaku 'kurang adil' itu sebagai 'orang jahat'. Sementara label

'orang baik' disematkan pada mereka yang dianggap 'tidak adil'.

4. Model penanganan yang ada selama ini adalah 'pemantian'. Yakni

para remaja pengamen jalanan dimasukkan di panti untuk dilatih

keterampilan-keterampilan guna bekal hidup mereka. Penanganan

pemerintah tidak hanya terpancang pada remaja pengamen jalanan

saja, tetapi juga terhadap keluarganya. Bentuk penanganan ini

berupa pengarahan atau penyuluhan.

Saran-Saran

1. Penanganan anak jalanan selama ini cenderung hanya dipandang

dari sebuah sisi, tanpa pernah berusaha mengungkap sisi lain dunia

mereka. Akibatnya bagaimanapun penanganannya, remaja

marjinal pengamen jalanan akan kembali beroperasi sebagaimana

biasa. Pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu berusaha menggali

hal-hal yang dirasakan oleh mereka.

2. Remaja marjinal pengamen jalanan perlu dipandang sebagai bentuk

pemiskinan struktural, bukan sebagai penyakit. Sehingga,

penanganan mikro saja, yakni penanganan yang hanya berorientasi

pada remaja pengamen jalanan saja tidak akan pernah

menyelesaikan masalah. Penanganan secara makro, yakni

penanganan secara menyeluruh, yang meliputi penanganan

terhadap remaja pengamen jalanan, penyuluhan kepada keluarga,

dan pelatihan bagi petugas lapangan yang berhubungan langsung

dengan mereka akan lebih memberikan hasil.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 41

3. Perlu dibangun sebuah komunikasi dialogis segitiga antara

pemerintah atau lembaga yang terkait, remaja marjinal pengamen

jalanan dan keluarga, sehingga diperoleh kesepahaman.

DAFTAR PUSTAKA

Tajfel, H. 1978. Differentiation between social gorups : Studies om

the social psychology of intergroup relation. London:

Academic Press.

Tajfel, H. & Turner, J.C. 1979. An Integrative Theory of Intergroup

Conflict : the Social Psychology of Intergroup relation. C.A.

Monterey : Brooks.

Alfian, Mely G. Tan, Selo Soemardjan 1980. Kemiskinan Struktural :

Suatu Bunga Rampai. Jakarta : YIIS

Patton, M.Q. 1980. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills,

CA. :Sage Publication

Spradley. J.P. 1980. Participation Observation. New York, N.Y.:

Holt, Rinehart, and Winston

Tajfel, H. 1981. Human Groups and Social Categories: studies in the

Social Psychology. Cambridge : Cambridge University Press

Goetz, J.P. & LeCompte, M.D. 1984. Ethnography And Qualitative

Design on Educational Research. New York, N.Y.: Academic

Press, Inc.

Turner, J.C. 1987. Rediscovering the social group : A Self-

categorization theory. Blackwell : Oxford

Yin, R.K. 1987. Case Study Research : Design and Methods. Beverly

Hills, CA : Sage Publications

Hogg, M.A.& Abrams, D. 1988. Social Identification: A Social

Psychology of Intergroup relations and Group Processes. U.K.

London : Routledge.

Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya : Suatu Perspektif

Kontemporer. (edisi kedua). Alih bahasa : R.G. Soekadijo.

Jakarta : Erlangga

Bryman, Alan. 2001. Social Research Methods. USA : Oxford

University Press.

Astutik, Dwi. 2004. Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan

melalui Rumah Singgah di Jawa Timur. Dalam

www.damandiri.or.id / search.php?q=Surabaya

42 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Littlejohn,Stephen W. 2002. Theories of Human Communication.

(7ed). USA : Wadsworth /Thomson Learning

Lustig, Myron W. & Koester, Jolene. 2003. Intercultural Competence

:Interpersonal Communication across Cultures. USA : Allyn

& Bacon

Musyarofah, D. Muhayatun 2006. Konsep Diri Anak Jalanan (Studi

Deskriptif Konsep Diri Anak Jalanan di Terminal Purwokerto

dengan Menggunakan Perspektif Interaksi Simbolik).

Purwokerto : tidak diterbitkan

Sumber lain :

Astutik, Dwi. 2004. Pengembangan Model Pembinaan Anak Jalanan

Melalui Rumah Singgah di Jawa Timur. Dalam

www.damandiri.or.id, diakses 9 Juli 2008

Pemerintah Kabupaten Banyumas. Letak Geografis Banyumas. Dalam

www.banyumas.go.id, diakses pada 2 Juli 2008

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 43

PERILAKU POLITIK PEMILIH

PADA PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TIMUR

PERIODE 2008-2013

Irtanto*

Abstraksi

Penelitian ini bersifat eksploratif dengan pendekatan kualitif

bertujuan untuk mengidentifikasi preferensi pemilih kandidat

gubernur Jawa Timur periode 2008-2013.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi pemilih lebih banyak

karena kesamaan asal daerah, agama, kesamaan jenis kelamin

terutama pada budaya arek, putra daerah baik itu pada budaya

mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek, pengalaman

memimpin organisasi, status pendidikan memiliki status ekonomi

tinggi, kalangan profesional, intelektual, isu-isu kampanye menarik,

visi dan misi kandidat, kredibilitas calon, dan program kerja yang

jelas. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku politik pemilih pilgub

periode 2008-2013 antara lain seagama, teman, iklan politik, orang

yang lebih tua usianya. Sedangkan sumber informasi tentang pilgub

kebanyakan media massa televisi.

Kata Kunci: pemilihan gubernur, budaya, pilihan, kandidat.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Perilaku politik massa tentu tidak lepas dari pengaruh faktor

budaya dan sistem politik yang berlaku saat itu. Sistem politik di

Indonesia dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring dengan

bergantian rezim yang berkuasa. Di era reformasi sistem politik

demokrasi mengalami penguatan dan legitimate sebagai harapan akan

munculnya ruang partisipasi politik yang semakin transparan.

Transparansi dan terbukanya ruang partisipasi dalam sistem politik

* Drs. Irtanto adalah peneliti politik dan pemerintahan pada Balitbang Propinsi

Jawa Timur.

44 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

demokrasi sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia sejak pemilu

2004, demikian pula demokratisasi di tingkat lokal

Sistem politik demokratis semakin dirasakan masyarakat Jawa

Timur, terutama pilkada langsung berupa Pilgub Jawa Timur periode

2008-2013. Perkembangan politik lokal di Jawa Timur cukup menarik

publik terutama persoalan pemilihan gubernur Jawa Timur. Sistem

Pilkada langsung oleh rakyat yang telah menggeser sistem perwakilan,

baik partai politik maupun kandidat kepala daerah harus mendekat

pada rakyat.

Konsekuensi perubahan sistem pemilihan rakyatlah yang

menentukan pilihan politik bukan lagi pada sekelompok elit politik

yang namanya legislatif. Strategi pendekatan terhadap publik sebagai

pemilik suara banyak dilakukan oleh para calon kandidat kepala

daerah. Akibatnya iklan-iklan politik bertebaran dimana-mana dalam

bentuk baliho maupun bentuk lainnya seperti memanfaatkan media

massa baik media cetak maupun media elektronika. Melalui iklan

politiknya, merekapun mencoba-coba untuk menawarkan berbagai

janji-janji politiknya. Sistem Pilkada langsung lebih menjanjikan

dibandingkan sistem yang berlaku sebelumnya. Pilkada langsung

termasuk pemilihan gubernur Jawa Timur diyakini memiliki kapasitas

yang memadai untuk memperluas partisipasi politik masyarakat,

sehingga masyarakat di daerah memiliki kesempatan untuk memilih

secara bebas pemimpin daerahnya. Pilkada langsung merupakan

munculnya berbagai varian preferensi pemilih yang menjadikan

berbagai faktor determinan dalam melakukan tindakan politiknya

untuk mengapresiasi sistem politik demokrasi tersebut. Masyarakat

Jawa Timur mempunyai banyak latar belakang kultur, kultur

mataraman, kultur pendalungan, dan kultur arek. Demikian pula

banyak latar belakang geografis seperti desa dan kota. Latar belakang

kultur maupun geografis tersebut diperkirakan akan mempengaruhi

pilihan politiknya.

Dalam pilgub Jawa Timur 2008-2013 diikuti oleh lima

kandidat. Berdasarkan berita acara Komisi Pemilihan Umum Propinsi

Jawa Timur Nomor: 821.1/71/KPU-Jtm/VI/2008 tentang penentuan

dan penetapan nomor urut pasangan calon kepala daaerah dan wakil

kepala daerah, maka pasangan calon gubernur dan wakil gubernur

periode 2008-2023 yang dapat memenuhinya adalah sebagai berikut:

Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji Mantep) diusulkan oleh

PPP dan Partai Patriot, Soetjipto-Ridwan Hisyam (SR) diusung oleh

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 45

PDIP, Soenaryo-Ali Maschan Musa (Salam) diusung oleh Partai

Golkar, Achamady-Suhartono (Achsan) dicalonkan PKB dan

Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa) dicalonkan oleh Partai Demokrat

dan PAN.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah 1)

Bagaimana preferensi pemilih kandidat gubernur Jawa Timur periode

2008-2013?; 2) Faktor-faktor apa yang memengaruhi perilaku politik

pemilih pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur periode

2008-2013?; 3) Bagaimana pendapat publik terhadap nilai-nilai

demokrasi dalam pilgub ? 4) Media apa yang dipakai untuk

memperoleh informasi tentang pilgub Jatim ?. 5) Kapan mereka

menentukan pilihan politiknya ?

Lingkup Penelitian

Penelitian tentang perilaku memilih Gubernur Jawa Timur

periode 2008-2013 ini dilaksanakan pada bulan Juli 2008 sampai

Desember 2008 yang difokuskan pada ruang lingkup perilaku yang

pendekatan dilihat dari sisi sosiologi, psikologis, rasional dan

struktural sosial.

KERANGKA PEMIKIRAN

Pendekatan Perilaku Pemilih

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik

sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai

pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih

seseorang. Karakteristik sosial (seperti pekerjaan, pendidikan dan

sebagainya) dan karakteristik atau latar belakang sosiologis (seperti

agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya) merupakan

faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Pemahaman

terhadap pengelompokan sosial baik secara formal, seperti kelompok

keagamaan, organisasi profesi, maupun pengelompokan informal

seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok kecil lainnya

memiliki peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan

46 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

orientasi seseorang, yang nanti sebagai dasar atau preferensi dalam

menentukan pilihan politiknya. (Anwar, 2004 : 23-24). Gerald Pomper

(dalam Asfar, 2006) memerinci pengaruh pengelompokan sosial

dalam studi voting behavior ke dalam variabel, yaitu variabel

predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-

ekonomi pemilih. Menurutnya, predisposisi sosial pemilih dan

keluarga pemilih mempunyai hubungan yang signifikan dengan

perilaku memilih seseorang. Preferensi-preferensi politik keluarga,

apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan

berpengaruh pada preferensi politik anak. (Lipset, 1995: 1346-1353)

Aspek geografis mempunyai hubungan dengan perilaku

memilih. Adanya rasa kedaerahan memengaruhi dukungan seseorang

terhadap partai politik. Penelitian-penelitian Rose di Norwegia

menunjukkan bahwa ikatan-ikatan kedaerahan, seperti desa-kota,

merupakan faktor-faktor yang cukup signifikan dalam menjelaskan

aktivitas dan pilihan politik seseorang.Ikatan kedaerahan terutama

sangat kuat dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap kandidat.

(Asfar, 2006: 140) Dalam berbagai ragam perbedaan struktur sosial,

yang paling tinggi pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor

kelas (status ekonomi).

2. Pendekatan Psikologis

Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang-sebagai

refleksi dari kepribadian seseorang, merupakan variabel yang cukup

menentukan dalam memengaruhi perilaku politik seseorang.

Pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis, yaitu

ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu

dan orientasi terhadap kandidat. (Niemi and Herbert F. Weisberg,

1984: 9-12) Pendekatan psikologis menganggap sikap merupakan

variabel sentral dalam menjelaskan perilaku politik seorang.

3. Pendekatan Rasional

Ada faktor situasional yang ikut perperan dalam

mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu, para pemilih

tidak hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya terbelenggu oleh

karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor-faktor

situasional itu bisa berupa isu-isu politik ataupun kandidat yang

dicalonkan. Dengan demikian isu-isu politik menjadi pertimbangan

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 47

yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan

penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan.

Mereka melihat adanya analogi antar pasar (ekonomi) dan perilaku

memilih (politik).

Seseorang memilih kontestan atau kandidat tertentu dapat

dilihat dari lima pendekatan yakni pendekatan struktural melihat

kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang luas,

seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum,

permasalahan dan program yang ditonjolkan. Pendekatan sosiologis

cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan

konteks sosial, pilihan seseorang dipengaruhi latar belakang

demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal

(kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama.

Pendekatan ekologis cenderung hanya relevan apabila dalam suatu

daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih

berdasarkan unit teritorial seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan

kabupaten. Pendekatan psikologi sosial, secara emosional dirasakan

sangat dekat dengan partai politik atau kandidat. Pendekatan pilihan

rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung

dan rugi.

Peran Media Massa

Peran media massa sangat penting dalam memengaruhi

pemilih. Salah satu kunci persaingan politik adalah media massa.

Media massa ini diartikan sebagai suatu entitas yang memiliki peran

dan fungsi untuk mengumpulkan sekaligus mendistribusikan

informasi dari dan ke masyarakat. Efektivitas komunikasi politik

membutuhkan peran serta media massa, karena merekalah salah satu

profesi penting yang memiliki perangkat dan kemampuan

berkomunikasi dengan masyarakat luas. Komunikasi politik kerapkali

terjadi secara tidak langsung melalui pemberitaan-pemberitaan yang

dilakukan oleh media massa.(Firmansyah,2008:265)

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

Penelitian ini bersifat eksploratif dengan menggunakan

pendekatan kualitatif dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah

Jawa Timur. Sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah mereka

48 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

yang sudah memiliki hak-hak politik dalam pilgub 2008-2010. Selain

itu pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan jenis

penelitian fenomenologi yang berusaha memahami perilaku manusia

dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang itu sendiri

(Upe,2008:135).

Daerah penelitian adalah dengan mempertimbangkan hal-hal

sebagai berikut. Daerah tapalkuda yang identik dengan budaya

pendalungan yang didominasi dengan budaya Madura diwakili oleh

daerah penelitian Kabupaten Banyuwangi, Kota Probolinggo dan

Kabupaten Probolinggo. Sedangkan budaya mataraman, diwakili oleh

Kabupaten Blitar dan Kota Kediri serta Kabupaten Blitar dan Kota

Blitar. Kemudian budaya arek akan diwakili oleh Kota Surabaya dan

Kota Mojokerto.

Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara dengan

instrumen kuesioner tertutup dan terbuka kepada mereka yang

mempunyai hak politik pada Pilgub Jatim. Pengumpulan data

kualitatif berupa data sekunder dilakukan dengan studi dokumentasi.

Sedangkan untuk mengumpulkan data primer dengan menggunakan

instrumen daftar pertanyaan yang semi terstruktur baik terbuka

maupun tertutup dengan mewancarai pemilih pada pilgub Jatim 2008-

2013.

Adapun sasaran pendistribusian kuesioner adalah para pemilih

yang terpilih dengan mempertimbangkan penelitian yang bersifat

deskriptif dan eksploratif, maka pengambilan sampel menggunakan

sistem acak yang dapat mewakili tiga budaya yang ada di Jawa Timur.

Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan

teknis analisis komparasi (Muhadjir, 2007). Metode penentuan sampel

dengan sistem kuota atas dasar mereka mempunyai hak-hak politik

dalam pilgub Jatim 2008-2013. Masing-masing daerah penelitian

yang menjadi lokasi penelitian masing-masing ditentukan sebanyak

200 orang, sehingga semua responden sebanyak 600 orang.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Identitas Reponden

Responden sebanyak 600 orang pemilih calon gubernur Jawa

Timur memiliki agama yang berbeda satu sama lainnya. Menurut

pengakuan mereka mayoritas beragama Islam. Sedangkan mereka

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 49

berjenis kelamin laki-laki 57,0% dan perempuan 43,0%. Responden

yang diambil sebagai sampel di daerah Mataraman ini kebanyakan

Suku Jawa yaitu sebanyak 85,0%, Suku Madura 1,0%, dan Keturunan

Thionghoa sebanyak 14,0%. Pendidikan responden bervariasi yaitu

lulusan SD sebanyak 15,0%, SMP sebanyak 19,0%, SLTA sebanyak

36,0%, Akademi sebanyak 14,0% dan Sarjana/Pasca Sarjana sebanyak

16,0%.

Preferensi Pemilih Kandidat Gubernur : Perbandingan Budaya

Dalam realitasnya mereka yang mempunyai budaya

mataraman dalam memilih kandidat gubernur Jatim periode 2008-

2013 cenderung tidak mempertimbangkan latar belakang kesamaan

parpol yang mereka pilih pada saat pemilu 2004 yang lalu, mereka

yang menyatakan tidak mempertimbangkan soal latar belakang parpol

kandidat sebanyak 63,0%. Bagaimana mereka yang mempunyai latar

belakang budaya pendalungan, mereka yang menempati daerah

tapalkuda. Perilaku dalam memilih ada kecenderungan yang sama

dengan mereka yang mempunyai budaya mataraman, mereka dalam

memilih tidak mempertimbangkan pula asal parpol atau partai apa

yang mencalonkannya.

Mereka yang mempunyai budaya pendalungan ada kesamaan

dalam memilih kandidat gubenur Jatim periode 2008-2013 baik pada

putaran pertama maupun kedua. Mereka yang mempunyai budaya

pendalungan yang kebanyakan menempati daerah tapalkuda yaitu di

daerah bagian pantai utara Jawa Timur yang menggunakan bahasa

sehari-harinya bahasa Madura dalam memilih kandidat gubernur

mempunyai kecenderungan yang sama dalam memilih terutama

mereka tidak mempertimbangkan kesamaan parpol (54,0%).

Demikian pula mereka yang memiliki budaya mempunyai

kecenderungan yang sama pula dalam memilih kandidat gubernur

Jatim 2008-2013. Mereka yang memiliki budaya arek juga tidak

mempersoalkan latar belakang parpol kandidat gubernur (58,0%).

Walaupun demikian mereka yang memiliki budaya mataraman

(30,0%), budaya pendalungan (35,0%) dan budaya arek (30,0%) ada

yang mempertimbangkan kesamaan parpol, bahkan ada pula yang

sangat pertimbangan kesamaan parpol dalam memilih calon gubernur.

Hampir relatif sama dengan mereka yang memiliki budaya

mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek, ada

50 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

kecenderungan dalam memilih calon gubernur tidak

mempertimbangkan parpol yang mengusungnya atau mereka

cenderung meninggalkan parpol yang mereka pilih pada pemilu tahun

2004.

Tampaknya ada kesamaan dalam mempertimbangkan kandidat

apakah berasal dari daerah atau tidak, dalam realitasnya pada budaya

mataraman, budaya pendalungan, budaya arek mempertimbangkan

asal daerah dalam memilih calon gubernur Jatim menjadi salah satu

faktor yang ikut mewarnainya. Mereka yang mempunyai budaya

mataraman, budaya pendalungan maupun budaya arek dalam

memilih calon gubernur masih ada unsur pertimbangan

primordialisme yaitu latar belakang agama calon gubernur. Hal ini

terbukti mereka yang tinggal di daerah budaya mataraman sebanyak

53,0% mempertimbangkan, budaya pendalungan mereka bertempat

tinggal di daerah tapalkuda sebanyak 51,0% mempertimbangkan, dan

budaya arek sebanyak 72,0% mempertimbankan agama kandidat

gubernur. Dan mereka yang menyatakan sangat mempertimbangkan

pada budaya mataraman 15,0%, pada budaya pendalungan 21,0 dan

pada budaya arek sebanyak 20,0%. Dengan demikian mereka yang

mempertimbangkan asal agama, pemuka agama dalam pilgub Jatim

periode 2008-2013 baik putaran pertama maupun putaran kedua

jumlahnya sangat besar.

Apakah latar belakang putra daerah dijadikan referensi dalam

memilih kandidat gubernur Jawa ? Mereka yang mempunyai latar

belakang budaya mataraman, pendalungan dan arek sama-sama lebih

mempertimbangkan putra daerah, artinya mereka lebih menghendaki

yang menjadi gubernur berasal dari daerah Jawa Timur. Kondisi

seperti ini dapat dilihat bahwa mereka yang memiliki budaya

mataraman yang menyatakan mempertimbangkan dan sangat

mempertimbangkan putra daerah untuk dipilih sebanyak 63,0%. Hal

yang sama terjadi pada budaya pendalungan yang menyatakan putra

daerah dipertimbangkan untuk dipilih sebanyak 57,0% dan mereka

yang menyatakan sangat dipertimbangkan sebanyak 6,0%. Demikian

juga mereka yang memiliki budaya arek, sebanyak 4,0% yang

menyatakan putra daerah sangat dipertimbangkan untuk memilih dan

sebanyak 66,0% yang menyatakan dipertimbangkan.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kesamaan

antara mereka yang berbudaya mataraman, pendalungan maupun arek

yang mempertimbangkan untuk memilih kandidat yang

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 51

berpengalaman untuk memimpin sebuah organisasi. Mereka yang

berbudaya mataraman lebih memilih mempertimbangkan kandidat

yang berpengalaman untuk memimpin sebuah organisasi (71,0%),

bahkan ada yang sangat mempertimbangkannya (11,0%). Demikian

juga mereka yang berbudaya pendalungan banyak yang menyatakan

mempertimbangkannya (61,0%) bahkan ada yang sangat

mempertimbangkan (14,0%) pengalamannya dalam memimpin sebuah

organisasi apakah organisasi itu formal pemerintahan, meliter, ataupun

organisasi partai politik maupun ormas. Hal yang sama terjadi pada

mereka yang memiliki budaya arek, mereka lebih cenderung kandidat

yang memiliki latar belakang pengalaman memimpin organisasi

dipertimbangkan untuk dipilih (61,0%).

Mereka yang memiliki budaya mataraman dalam memilih

juga lebih cenderung mempertimbangkan status pendidikan kandidat

gubernur (63,0%) yang mempersyaratkan status pendidikan calon

berpendidikan tinggi, bahkan mereka ada pula yang sangat

mempertimbangkan status pendidikan calon (16,0%). Demikian pula

hal yang hampir sama terjadi pada mereka yang mempunyai latar

belakang budaya pendalungan cenderung mempertimbangkan status

pendidikan kandidat gubernur (57,0%) yang mempersyaratkan status

pendidikan calon berpendidikan tinggi. Demikian pula mereka yang

memiliki budaya arek lebih cenderung status pendidikan

dipertimbangkan untuk dipilih (74,0%), bahkan mereka ada pula yang

sangat mempertimbangkannya untuk dipilih dalam pilgub Jatim

periode 2008-2013. Dengan demikian masalah status pendidikan dan

tentunya kemampuan intelektualitasnya serta kredibilitasnya dijadikan

hal yang sangat penting dalam pemilihan gubernur.

Tampak sekali hasil penelitian menunjukkan bahwa kandidat

yang profesional dalam menangani sebuah organisasi birokrasi,

profesional dalam mengurus organisasi massa lainnya dijadikan

referensi untuk dipilih dalam pilgub Jatim 2008-2013. Pada budaya

mataraman ada kecenderungan kandidat yang profesional

dipertimbangkan untuk dipilih (74,0%) bahkan ada yang sangat

dipertimbangkannya (12,0%). Demikian juga mereka yang memiliki

budaya pendalungan lebih cenderung kandidat yang profesional

dipertimbangkan untuk dipilih (72,0%). Demikian pula pada budaya

arek ada kecenderungan kuat pula kandidat yang profesional

dipertimbangkan untuk dipilih (88,0%).

52 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Latar belakang intelektualitas kandidat menjadi pertimbangan

pula dalam pilgub Jatim periode 2008-2013, baik itu putaran pertama

maupun putaran kedua. Kondisi ini dapat dilihat pada budaya

mataraman, pendalungan maupun budaya arek. Pada budaya

mataraman mereka yang menyatakan sangat mempertimbangkan

intelektualitas kandidat sebanyak 13,0% dan mereka yang

mempertimbangkannya sebanyak 72,0%. Kecenderungan yang sama

juga terjadi pada mereka yang memiliki budaya pendalungan,

intelektualitas kandidat sangat dipertimbangkan sebanyak 15,0%,

bahkan mereka yang menyatakan dipertimbangkannya sebanyak

(72,0%). Demikian juga pada budaya arek yang menyatakan sangat

dipertimbangkan kemampuan intelektualitasnya sebanyak 8,0%,

sedangkan mereka yang menyatakan dipertimbangkan sebanyak

87,0%. Namun demikian ada pula yang tidak mempersoalkan

kemampuan intelektualitas kandidat, tetapi dari sisi jumlahnya sangat

relatif kecil sekali.

Selain persyaratan intelektualitas kandidat yang menjadi salah

satu pertimbangan dalam memilih juga ketertarikan isu-isu kampanye

yang menarik. Para pemilih yang berada di lingkungan yang

mempunyai budaya mataraman isu-isu kampanye menjadi salah satu

pertimbangan untuk memilih, demikian pula tentunya terjadi pada

budaya pendalungan maupun budaya arek isu-isu kampanye menarik

salah satu menjadi perhatian para pemilih. Hal ini bisa dilihat pada

budaya mataraman mereka mempertimbangkan memilih karena isu-

isu kampanye sebanyak 61,0%, dan mereka yang menyatakan sangat

mempertimbangkan isu-isu kampanye sebanyak 9,0%. Demikian juga

yang terjadi pada budaya pendalungan isu-isu kampanye menarik

dijadikan pertimbangan sebanyak 65,0%, dan mereka yang

menyatakan sangat dipertimbangkan sebanyak 11,0%. Sedangkan

budaya arek isu-isu kampanye yang dijadikan pertimbangan untuk

memilih gubernur sebanyak 76,0% dan mereka yang menyatakan

sangat dipertimbangkannya sebanyak 6,0%.

Kredibilitas kandidat gubernur Jawa Timur memengaruhi

perilaku politik pemilih baik itu budaya mataraman, pendalungan

maupun arek. Hasil penelitian membuktikan hal itu, yaitu pada budaya

mataraman mereka yang menyatakan kredibilitas calon sangat

dipertimbangkan untuk dipilih dalam pemilihan gubernur Jawa Timur

yaitu sebanyak 31,0%, dan mereka yang menyatakan

dipertimbangkanya sebanyak 66,0%. Dengan demikian kalau kedua

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 53

hal antara mereka yang sangat mempertimbangkan dan yang

mempertimbangkannya jumlahnya sangatlah besar yaitu sebanyak

97,0%. Hasil temuan ini menggambarkan bahwa kredibilitas calon

sangat memengaruhi perilaku politik pemilih pada pilgub Jatim.

Demikian pula mereka yang mempunyai budaya pendalungan, mereka

yang tinggal di wilayah pantai utara Jawa Timur yang dikenal dengan

daerah tapalkuda memperlihatkan bahwa perilaku politik pada pilgub

Jatim dipengaruhi juga oleh kredibiltas calon. Hasil penelitian

membuktikan sebanyak 39,0% menyatakan kredibilitas calon sangat

dipertimbangkan dan sebanyak 61,0% yang menyatakan kredibilitas

calon dipertimbangkan untuk dipilih. Dengan demikian mereka semua

yang mempertimbangkan kredibilitas calon untuk dipilih pada pilgub

Jatim. Hal yang sama terjadi pada budaya arek, perilaku politik

mereka pada pilgub Jatim dipengaruhi oleh kredibilitas calon.

Faktor yang Memengaruhi Pilihan Politik

Pemilih gubernur dalam menentukan pilihannya tampak

terlihat lebih independen tidak dipengaruh oleh atasan dalam bekerja,

baik itu mereka yang memiliki budaya mataraman (77,0%), budaya

pendalungan (70,0%) dan budaya arek (76,0%). Berbeda dengan

saran dari orang yang lebih tua usianya dalam memilih tampaknya

mempunyai pengaruh, walaupun pengaruhnya tidak dominan sekali.

Namun sebaliknya faktor agama pada budaya mataraman (61,0%),

budaya pendalungan (58,0%) dan budaya arek (80,0%) cenderung

dijadikan pertimbangan untuk menentukan pilihan politiknya dalam

pilgub Jatim 2008-2013, bahkan mereka ada sebagian yang

menyatakan sangat memengaruhi dalam menentukan pilihan

politiknya. Mereka yang mempunyai budaya mataraman, budaya

pendalungan dan budaya arek perilaku politiknya dipengaruhi iklan

politik, baik itu dalam bentuk kampanye maupun iklan politik berupa

baliho, maupun bentuk lainnya. Iklan politik efektif memengaruhi

perilaku politiknya dapat dibuktikan bahwa mereka yang menyatakan

memengaruhi cenderung besar jumlahnya.

Tampaknya fatwa ulama pada budaya tertentu tidak begitu

memengaruhi pilihan politik pemilih, tetapi pada budaya tertentu

masih efektif untuk memengaruhi perilaku politik pemilih. Fatwa

ulama masih mempunyai pengaruh terhadap perilaku pemilih pada

budaya pendalungan yang mereka tinggal di daerah tapalkuda, yaitu

54 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

daerah Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso,

Situbondo dan Banyuwangi. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sebanyak

10,0% yang menyatakan sangat berpengaruh dan sebanyak 50,0%

menyatakan berpengaruh. Namun mereka ada pula yang menyatakan

tidak memengaruhinya (40,0%). Mereka yang menyatakan tidak

berpengaruh ini kebanyakan pemilih rasional dan rata-rata

berpendidikan tinggi dan ada pula yang berpendidikan SLTA.

Fatwa ulama tidak begitu mempunyai pengaruh terhadap

perilaku pemilih yang mempunyai budaya mataraman maupun

mereka yang memiliki budaya arek.

Sumber Informasi

Sumber informasi tentang pemilihan gubernur langsung yang

mereka peroleh beraneka ragam, baik itu dari media massa elektronik,

radio maupun televisi, media cetak seperti surat kabar harian (Koran),

umbul-umbul, baliho, selebaran, teman, tetangga, kampanye/rapat

umum, organisasi keagamaan dan organisasi partai politik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber informasi yang

mereka dapatkan tentang kandidat calon gubernur kebanyakan

bersumber dari media televisi. Mereka mengenal pasangan calon

gubernur Khofifah-Mudjiono baik yang memiliki budaya mataraman,

budaya pendalungan dan budaya arek lebih banyak mengenalnya

lewat televisi. Demikian juga pasangan kandidat pasangan Soekarwo-

Saifullah dikenal oleh para pemilih lewat media televisi. Tampak

bahwa media televisi lebih efektif dijadikan sarana kampanye dari

pada media lainnya. Mereka yang memperoleh informasi pemilihan

gubernur langsung dari akses media massa tersebut dari berbagai

kalangan profesi, baik itu sebagai dosen, guru, pengusaha, wiraswasta,

karyawan swasta, PNS, TNI/Polri, mahasiswa, pegawai

BUMN/BUMD, dan berbagai kalangan pendidikan baik

berpendidikan tidak sekolah sampai sarjana/pascasarjana serta mereka

yang aktif di berbagai organisasi maupun yang tidak aktif yang

kapasitasnya sebagai pengurus dan sebagai anggota.

Bukan berarti media lainnya tidak digunakan, namun

jumlahnya relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan media televisi.

Media radio lebih banyak digunakan oleh masyarakat memiliki

budaya arek. Sedangkan media massa surat kabar hampir merata

digunakan oleh semua kalangan yang baik yang memiliki budaya

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 55

mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek. Tidak ketinggalan

juga mereka memperoleh informasi berasal dari media televisi dan

radio, elektronika dan cetak, serta mereka memperoleh informasi atau

mengenal kandidat berasal dari selebaran/baliho, umbul-umbul.

Mereka yang mengandalkan sumber informasi pilkada langsung

tersebut selain tersebut di atas juga berasal dari organisasi keagamaan,

organisasi partai politik. Dari sinilah terlihat dengan jelas mereka

mengenal program-program kampanye lewat berbagai media tersebut.

Pendapat Publik Terhadap Nilai-nilai Demokrasi

Proses Demokratisasi

Dalam pilgub langsung dipandang oleh sebagian besar rakyat

yang memiliki budaya mataraman (75,0%), budaya pendalungan

(69,0%), dan budaya arek (66,0%) siapapun yang terpilih akan

memosisikan sebagai representasi rakyat. Namun mereka ada yang

tidak setuju bahkan tidak tahu menahu apakah kepala daerah akan

memosisikan sebagai representasi rakyat ataukah tidak, tetapi jumlah

mereka hanya relatif kecil sekali.

Namun mereka ada yang berpendapat bahwa pilgub langsung

tidak membatasi pengaruh konfigurasi politk DPRD dengan gubernur

terpilih. Mereka yang berpendapat seperti ini sebagian kecil berbudaya

mataraman (9,0%), budaya pendalungan (11,0%), dan budaya arek

(8,0%). Dengan adanya pilgub langsung tersebut legitimasi

pemerintahan daerah lebih kuat, sehingga pemerintahan menjadi lebih

efektif. Mereka yang berpandangan seperti ini kebanyakan memiliki

budaya mataraman (84,0%), budaya pendalungan (81,0%), dan

budaya arek (82,0%). Mereka berpandangan seperti itu dikarenakan

gubernur terpilih akan sulit dijatuhkan oleh DPRD kecuali ada kasus

pidananya.

Mereka yang memiliki ketiga budaya, baik itu budaya

mataraman (81,0%), budaya pendalungan (80,0%) dan budaya arek

(87,0%) mempunyai kecenderungan yang sama dalam memandang

pilgub langsung. Mereka kebanyakan berpendapat bahwa dengan

adanya pilgub langsung akan berdampak positif terhadap praktek-

praktek politik uang atau paling tidak mengurangi praktek politik uang

dalam proses pilgub. Praktek politik uang tidak lagi berada hanya

pada elit politik seperti pada masa berlakunya UU No 22 tahun 1999,

seperti pada proses laporan pertanggung jawaban kepala daerah. Tidak

56 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

itu saja, pilgub langsung selain akan mengurangi praktek-praktek

politik uang hal ini diakui oleh sebagian besar mereka yang memiliki

budaya mataraman (81,0), budaya pendalungan (80,0) dan mereka

yang memiliki budaya arek (87,0%). Pilgub langsung juga akan

meningkatkan partisipasi politik, dan dengan keterlibatan rakyat

secara langsung akan berdampak pada peningkatan demokratisasi di

tingkat lokal. Mereka yang menyatakan seperti ini di kalangan mereka

yang memiliki budaya mataraman (89,0%), budaya pendalungan

(77,0%) dan budaya arek (84,0%). Namun mereka sedikit yang tidak

mengakui bahwa dengan pilgub langsung tidak akan meningkatkan

partisipasi politik dan keterlibatan rakyat secara langsung tidak selalu

akan meningkatkan demokratisasi di tingkat lokal. Walaupun

demikian mereka ada yang tidak tahu-menahu akan persoalan

partisipasi politik rakyat di daerahnya.

Mereka rupanya sebagian besar sepakat bahwa dengan pilgub

langsung, rakyat akan dapat menentukan siapa calon pemimpinnya

yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan di daerah. Mereka

yang mempunyai pandangan seperti ini relatif sama pada ketiga

budaya mataraman (95,0%), budaya pendalungan (88,0%) dan

budaya arek (90,0%). Namun mereka ada yang tidak sependapat kalau

pilgub langsung tersebut akan dapat menentukan pemimpin yang

mampu menyelesaikan persoalan di daerah. Tidak selamanya

pemimpin dapat menyelesaikan secara sendirian ada faktor lain yang

ikut berperan.

Keyakinan Rakyat Terhadap Pilgub

Mereka baik yang memiliki budaya mataraman (92,0%),

pendalungan (88,0%) dan budaya arek (96,0%) cenderung

mempunyai keyakinan bahwa pilgub langsung dengan perangkat UU

No. 32 tahun 2004 akan berdampak positif terhadap menegakkan

kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan profesinya sebagai

mahasiswa, dosen, guru, wiraswasta, TNI/Polri, PNS, wartawan dan

berpendidikan peguruan tinggi serta mereka kebanyakan aktif di

organisasi. Bagaimana hubungannya dengan kualitas gubernur

teripilih?. Mereka baik yang memiliki budaya mataraman (83,0%),

pendalungan (79,0%) dan budaya arek (82,0%) sebagian besar

mempunyai keyakinan bahwa pilgub langsung akan muncul kepada

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 57

daerah yang lebih berkualitas. Mereka yang memandang bahwa pilgub

langsung akan memunculkan kepala daerah yang berkualitas

kebanyakan profesinya sebagai dosen, mahasiswa, wiraswasta, PNS,

TNI/Polri dan pegawai BUMN/BUMD, aktif di organisasi dan

berpendidikan menengah ke atas.

Namun mereka tidak semua berkeyakinan gubernur terpilih

lebih berkualitas, hal ini terbukti masih ada budaya mataraman

(9,0%), pendalungan (17,0%) dan budaya arek (10,0%) yang

berpendapat seperti itu. Walaupun calon gubernur mendapatkan suara

mayoritas, namun tidak menjamin soal kualitasnya. Selama ini

semuanya harus melalui parpol yang mau tidak mau rakyat harus

memilih diantara mereka yang disodorkan oleh parpol tersebut.

Mereka yang berpendapat seperti itu kebanyakan berpendidikan

akademi, sarjana, mahasiswa, sedangkan profesinya sebagai PNS,

Polri/TNI, wiraswasta, pengusaha dan aktifis organisasi baik di parpol,

RT, RW, LSM, maupun PKK. Bahkan mereka ada sebagian kecil

yang tidak tahu menahu soal apakah dalam pilgub tersebut akan

memunculkan kepala daerah yang berkualitas atau tidak. Mereka yang

tidak tahu menahu soal kualitas tidaknya gubernur terpilih kebanyakan

profesinya sebagai petani penggarap, ibu-ibu rumah tangga,

berpendidikan SD, SLTP maupun sebagian besar SLTA serta mereka

bukan aktifis organisasi.

Mereka yang memiliki budaya mataraman (91,0%),

pendalungan (90,0%) dan budaya arek (81,0%) cenderung

berkeyakinan pilgub langsung akan berdampak positif terhadap

pelayanan publik. Mereka sebagian besar berkeyakinan bahwa dengan

adanya pilgub langsung akan mampu meningkatkan pelayanan

pemerintah kepada rakyatnya. Mereka baik yang memiliki budaya

mataraman, pendalungan dan budaya arek kebanyakan mempunyai

keyakinan bahwa dengan adanya pilgub langsung publik akan lebih

mudah melakukan kontrol. Namun mereka ada yang tidak yakin

bahwa publik akan mudah untuk mengontrol gubernur terpilih.

Mereka melihat masih ada kelemahannya yaitu civil society masih

belum berkembang, masih minimnya NGO atau tidak ada lembaga

independen untuk mengontrol kekuasaannya. Mereka yang

berpendapat publik tidak mudah untuk melakukan kontrol kebanyakan

berpendidikan akademi sampai pascasarjana, profesinya sebagai

dosen, guru, mahasiswa, wiraswasta, PNS, kebanyakan aktif di

organisasi LSM, kemahasiswaan, partai politik.

58 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Tidak semua mempunyai keyakinan bahwa pilgub langsung

mempunyai dampak positif terhadap pemerintah lokal. Mereka yang

melihat bahwa salah satu dampak positif pilgub terhadap kepekaan

pemerintah lokal akan kebutuhan masyarakat, transparan dan mampu

mengelola sumber daya. Mereka yang menyatakan demikian itu

mayoritas memiliki budaya mataraman (86,0%), pendalungan

(73,0%) dan budaya arek (84,0%). Namun ada sebagian kecil mereka

yang tidak sependapat kalau pilgub langsung ini akan menghasilkan

gubernur yang peka terhadap kebutuhan masyarakat, apalagi akan

semakin transparan dalam mengelola anggaran daerah. Birokrasi

selama ini selalu tertutup dalam mengelola anggaran. Mereka yang

mempunyai pendapat seperti itu kebanyakan latar belakang profesinya

sebagai dosen, guru, PNS, TNI/Polri, pengusaha, wiraswasta,

berpendidikan minimal lulus SLTA dan aktifis di organisasi.

Pilgub langsung akan menciptakan stabilitas politik dan

pemerintahan lokal, mereka yang mempunyai keyakinan seperti ini

adalah mereka yang mempunyai budaya mataraman (90,0%),

pendalungan (76,0%) dan budaya arek (88,0%). Mereka beralasan

dengan memilihan langsung oleh rakyat merupakan implementasi

demokrasi di daerah. Mereka yang mempunyai pendapat bahwa

pilgub langsung dapat menciptakan stabalitas politik kebanyakan

berpendidikan lulus SLTA sampai pascasarjana, profesinya sebagai

mahasiswa, dosen, pengusaha, karyawan swasta, pegawai

BUMN/BUMD. Namun sebagian kecil lainnya mereka menyatakan

bahwa pilgub langsung tidak menjamin dapat menciptakan stabilitas

politik dan pemerintahan di tingkat lokal

Aspek Pembelajaran Politik

Pilgub langsung mempunyai aspek pembelajaran politik.

Mereka sebagian besar berpendapat bahwa pilgub langsung

meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal. Hal ini terjadi pada

budaya mataraman (92,0%), budaya pendalungan (90,0%) dan

budaya arek (98,0%). Mereka beralasan dengan adanya pilgub

langsung, rakyatlah yang menentukan pimpinannya dan rakyat akan

semakin sadar akan hak-hak politiknya. Namun demikian ada

sebagian kecil dari mereka yang tidak sepenuhnya sependapat bahwa

pilgub langsung meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal,

terutama mereka yang memiliki budaya mataraman (2,0%). Tetapi

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 59

ada pula mereka yang tidak tahu menahu apakah dengan adanya

pilgub langsung ini akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat

lokal atukah tidak, hal ini terjadi pada budaya mataraman (6,0%),

budaya pendalungan (10,0%) maupun budaya arek (2,0%).Mereka

yang tidak tahu menahu soal itu kebanyakan latar belakang pendidikan

hanya lulus SD, SLTP, profesinya sebagai ibu rumah tangga, petani

penggarap dan sebagian karyawan swasta.

Demikian juga pilgub langsung akan berdampak terhadap

mengorganisir masyarakat ke dalam suatu aktivitas politik yang

memberi peluang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi,

mereka yang mempunyai pendapat seperti itu terjadi pada semua

budaya. Mereka beralasan dengan adanya pilgub langsung akan

tumbuh NGO atau LSM baru yang memberi peluang terhadap

aktivitas politk rakyat yang dapat melakukan kontrol terhadap

berbagai kebijakan pemerintah.

Disamping itu mereka sebagian besar tidak sependapat kalau

dikatakan bahwa pilgub langsung mempunyai aspek pembelajaran

politik terutama memperluas akses masyarakat lokal untuk

memengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut

kepentingan masyarakat lokal. Hal ini terjadi di ketiga budaya.

Mereka berpendapat masyarakat lokal masih akan sulit untuk

mengakses kekuasaan di tingkat propinsi, apalagi memengaruhi proses

pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat lokal. Sangat

ironis masyarakat daerah dalam jangka pendek dapat mengakses

kekuasaan. Hal itu masih dipengaruhi oleh masih elitisme kekuasaan

dan pengaruh geografis yang jauh untuk dijangkaunya, mana mungkin

masyarakat lokal akan dapat mengakses dan memengaruhi proses

pengambilan keputusan. Mereka yang mempunyai pendapat seperti itu

profesinya sebagai dosen, mahasiswa, guru, PNS, TNI/Polri,

karyawan swasta, berpendidikan minimal lulus SLTA serta aktif di

organisasi yang kapasitasnya sebagai pengurus maupun sebagai

anggota.

KESIMPULAN

Preferensi pemilih pada pemilihan gubernur Jawa Timur

periode 2008-2013 lebih banyak dilatar belakangi oleh beberapa hal

yaitu kesamaan asal daerah, kesamaan agama, kesamaan jenis kelamin

60 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

terutama pada budaya arek, putra daerah baik itu pada budaya

mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek, pengalaman

memimpin organisasi, status pendidikan calon gubernur, memiliki

status ekonomi tinggi, kalangan professional, kalangan intelektual,

isu-isu kampanye menarik, visi dan misi kandidat, kredibilitas calon,

dan program kerja yang jelas. Faktor-faktor yang memengaruhi

perilku politik pemilih pemilihan gubernur periode 2008-2013 antara

lain seagama, teman atau orang lain yang status ekonominya lebih

tinggi, Karena iklan politik, orang yang lebih tua usianya terutama

bagi mereka yang memiliki budaya pendalungan. Sedangkan sumber

informasi tentang pilgub kebanyakan media massa televisi

Pendapat publik terhadap nilai-nilai demokrasi pada pilgub,

yaitu tentang a. penguatan proses demokratisasi. Tentang penguatan

proses demokratisasi mereka berpendapat bahwa dengan pilgub

langsung gubernur memosisikan sebagai representasi masyarakat,

mengurangi arogansi DPRD, membatasi pengaruh konfigurasi politik

DPRD dengan gubernur terpilih, menjamin terciptanya legitimasi

pemerintahan daerah, sehingga pemerintahan menjadi lebih efektif,

mengurangi praktek politik uang terutama dalam proses laporan

bertanggung jawaban gubernur, keterlibatan rakyat secara langsung

akan meningkatkan demokratisasi di tingkat lokal, rakyat akan dapat

menentukan pilihan calon pemimpinnya yang dianggap mampu

menyelesaikan persoalan di daerah. b. Keyakinan rakyat terhadap

pilgub. Mereka yang memiliki budaya mataraman, pendalungan

maupun arek berpendapat bahwa dengan pilgub langsung menegakkan

kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Gubernur

yang terpilih akan kuat legitimasinya. Salain itu akan muncul

gubernur yang lebih berkualitas, mampu meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat. Pemerintah daerah akan lebih responsif, peka

terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Akuntabilitas calon yang

terpilih akan lebih tinggi. Merek juga berkeyakinan kontrol menjadi

lebih mudah dilakukan oleh publik. Pemerintah lokal lebih peka

terhadap kebutuhan masyarakat dan akan dapat menciptakan stabilitas

politik. c. Dari aspek pembelajaran politik. Dengan adanya pilgub

langsung akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal.

Selain itu memberi peluang lebih besar pada setiap orang untuk

berpartisipasi. d. Pengaruh pemilihan gubernur terhadap kinerja

birokrasi. Dengan adanya pilgub langsung akan meningkatkan kinerja

pemerintah, kesejahteraan rakyat akan lebih diperhatikan,

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 61

meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Sedangkan mereka yang

memiliki budaya mataraman, budaya pendalungan dan budaya arek

dalam memutuskan untuk menentukan pilihan politik sudah

ditentukan beberapa minggu sebelum mencoblosan.

DAFTAR PUSTAKA

Nimmo, Dan. 1989. Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek..

Bandung : Rosdakarya.

………………...1993. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan

Media. Bandung : Rosdakarya

Liliweri, Alo. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam

Masyarakat. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Surbakti, Ramlan . 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia

Widiasarana.

Depari, Eduard dan Mac Colin, Andrews (Ed). 1995. Peranan

Komunikasi Massa dalam Pembangunan. Yogyakarta : Gajah

Mada University Press.

Franklin, Mark N.. “Voting Behavior”, dalam Symour Martin Lipset.

1995. The Encyclopedia of Democracy, Volume IV.

Washington DC : Congressional Quarterly Inc.

Mc. Quali, Denis and Seven Weindahl. 1995. Model-Model

Komunikasi, Jakarta, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Mubarok, M. Mufti, 2005. Suksesi Pilkada. Surabaya : Java

Pustaka.

Mc Quail, Dennis. 1996. Teori Komunikasi Massa. Jakarta, Erlangga.

Rakhmat, Jalahuddin. 1998. Psikolgi Komunikasi. Bandung : Remaja

Rosdakarya.

Gafar, Afan. 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokasi.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rosadi, Udi. 1999. “Teori dan Model Penelitian Efek Agenda Setting

Media Masa”. Jakarta : makalah Pendidikan dan Latihan

Penelitian Deppen RI

Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik. Yogjakarta

: Pustaka Pelajar.

Huda, Ni‟matul. 2004. “Pemilihan Kepala daerah Secara Langsung di

Era Otonomi Luas, dalam Memperkokoh Otonomi Daerah

Kebijakan, Evaluasi dan Saran. Yogyakarta : UII Pres.

62 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Thalhah M. 2004. “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung:

Garansi Moral dan Demokrasi?, dalam Memperkokoh

Otonomi Daerah Kebijakan, Evaluasi dan Saran. Yogyakarta :

UII Pres.

Bambang Ilkobar, Saptopo. 2005. Pemilihan Kepala daerah

Langsung, Hubungan Kepala daerah dengan DPRD, dan

Akuntabilitas Pemerintah Daerah, dalam Subhan Afiti

(Editor), Pilkada Langsung dan Akuntabilitas Pemerintah

Daerah. Yogyakarta : FISIP UPUN “Veteran‟.

Afiti, Subhan dkk. 2005. Pilkada Langsung dan Akuntabilitas

Pemerintah Daerah. Yogyakarta : Fisip UPN”Veteran”.

Kumorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik, Sketsa

pada masa Transisi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sanit, Arbi. 2005. Sistim Politik Indonesia: Kestabilan, Peta,

Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta : Raja Grafindo

Persada

Anwar, M. Khoirul dkk. 2006. Perilaku Partai Politik Studi Perilaku

Partai Politik dalam Kampanye dan Kecenderungan Pemilih

pada Pemilu 2004. Malang : Universitas Muhammadyah.

Firmanzah. 2008. Marketing Politik. Jakarta : Yayasan Obor

Indonesia.

Muhtadi, Asep Saeful. 2008. Komunikasi Politik di Indonesia :

Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru. Bandung : Remaja

Rosdakarya.

Upe, Ambo. 2008. Sosiologi Politik Kontemporer, Kajian Tentang

Rasionalitas Perilaku Politik Pemilih di Era Pemilihan Kepala

Daerah Secara Langsung. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Prihatmoko, Joko J. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filsafat,

Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Tempointeraktif. PNS Kediri Terlibat Pilkada Akan Dipecat. http://www.tempointeraktif.com/hg/ nusa/jawamadura/2008/01/25.

Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Perintahan Daerah.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 63

BALAI INFORMASI MASYARAKAT (BIM) CIHIDEUNG :

Memberdayakan Masyarakat Perdesaan Melalui Teknologi

Informasi dan Komunikasi

Sumarsono*

Abstraksi

Balai Informasi Masyarakat (BIM) Cihideung adalah lembaga

informasi masyarakat yang didirikan atas prakarsa Masyarakat

Telekomunikasi (MASTEL) bertujuan untuk memberdayakan

masyarakat perdesaan sekitarnya melalui Teknologi Informasi dan

Komunikasi.Penelitian ini dilaksanakan di desa Cihideung, sebuah

desa penghasil tanaman hias yang sangat terkenal di Bandung.

Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif dengan tujuan

mendeskripsikan profil BIM berikut berbagai kegiatannya. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa BIM Cihideung dalam upaya

memberdayakan masyarakat masih banyak menemui permasalahan

yang tidak hanya terkait pada pemanfaatan/penguasaan teknologinya

tetapi juga dengan penyerapan dan pengolahan informasi sebagai

kontennya

Kata kunci : BIM, pemberdayaan masyarakat, teknologi informasi

dan komunikasi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dahulu desa seringkali dianggap sebagai simbol

keterbelakangan, tradisional dan nyaris tanpa dinamika. Desa

seringkali juga dikonotasikan sebagai serba kekurangan, sanitasi yang

buruk, kemiskinan, kesenjangan dan lain-lain. Anggapan yang

demikian tidak sepenuhnya benar, kini banyak desa yang mulai

menggeliat dan berangsur angsur berubah menjadi lebih maju, terbuka

pada berbagai akses informasi dan isolasi, bahkan menuju tingkatan

sejahtera.

* Drs. Sumarsono, M.Si., adalah Peneliti Madya di Pusat Penelitian dan

Pengembangan Profesi Balitbang SDM Depkominfo RI.

64 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Namun demikian kita juga tidak menutup mata bahwa masih

banyak desa yang tetap menyandang sebutan miskin dan tidak mudah

untuk mencari tahu penyebab utamanya, apalagi menemukan jalan

keluarnya. Hal ini disebabkan karena kehidupan masyarakat kini

semakin kompleks, saling terkait dan memengaruhi yang satu dengan

yang lainnya.

Padahal pemerintah juga sudah banyak campur tangan dalam

penanggulangan kemiskinan ini. Banyak program yang telah

dicanangkan Pemerintah Pusat dan Daerah. Ada yang konsisten dan

berkesinambungan dari tahun ke tahun serta menyeluruh secara

nasional namun ada pula yang parsial lokal sifatnya. Sebenarnya

program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat ini

sudah lama diterapkan, contohnya pada era Orde Baru, tepatnya pada

Pelita III tahun 1979/80 s/d 1983/84 kita kenal dua program pokok

yang dicanangkan pemerintah waktu itu, yaitu (1) mengurangi jumlah

penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan dan (2)

melaksanakan delapan jalur pemerataan yang meliputi pemerataan

pembagian pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh daerah,

kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja,

berusaha, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan kesempatan

memperoleh keadilan.

Pada masa pemerintahan presiden SBY kita juga kenal

program subsidi BBM atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan

pembagian beras untuk masyarakat miskin, Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan lain-lain. Namun

pada kenyataannya kemiskinan masih tetap ada hanya saja jumlahnya

bergeser maju mundur sesuai dengan cara mengukur atau memaknai

konsep kemiskinan itu sendiri. Sebagai contoh Bappenas memaknai

kemiskinan dengan konsep absolut yaitu dirumuskan dengan membuat

ukuran tertentu yang konkrit (a fixed yardstick) dan berorientasi pada

kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat yaitu sandang,

pangan dan papan. Selain absolut, kita kenal pula konsep kemiskinan

relatif dan konsep kemiskinan subjektif . Konsep kemiskinan relatif

dirumuskan berdasarkan the idea of relative standard, yaitu dengan

memperhatikan dimensi tempat dan waktu (Sunyoto,2004 : 126) yang

artinya kemiskinan di suatu daerah tidak sama dengan kemiskinan di

daerah lain dan demikian juga pada suatu waktu tertentu tidak sama

dengan waktu yang lain. Sedangkan konsep kemiskinan subjektif yaitu

ukurannya berdasarkan perasaan diri sendiri. Boleh saja kita mengira

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 65

bahwa seseorang itu berada di bawah garis kemiskinan tetapi menurut

perasaan mereka sendiri tidak dan demikian pula sebaliknya seseorang

yang kita anggap hidup layak tapi perasaan mereka menganggap

dirinya miskin.

Masih menurut Sunyoto sedikitnya ada dua macam perspektif

yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu:

perspektif kultural dan perspektif struktural atau perspektif situasional.

Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan dan

metodologi sendiri yang berbeda dalam menganalisis masalah

kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada

tiga tingkat analisis : individu, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat

individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut a

strong feeling of marginality seperti : sikap parokial, apatisme,

fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada

tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga

yang besar dan free union or consensual marriages. Dan pada tingkat

masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak

terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat

secara efektif. (Sunyoto,2004: 128). Selanjutnya dijelaskan pula

bahwa perspektif situasional/struktural masalah kemiskinan dilihat

sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi

kapital dan produk-produk teknologi modern.

Jika demikian halnya, bagaimana mencari jalan keluar atau

strategi untuk memberdayakan masyarakat atau mengentaskan dari

kemiskinan. Jawabnya apabila kita menganggap bahwa akar

kemiskinan berkaitan dengan faktor kultural, kita perlu menyusun

strategi yang meningkatkan etos kerja kelompok miskin,

meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola pikir yang

melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi

kita supaya dapat mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok

miskin. Sedangkan apabila kita mengganggap bahwa kemiskinan

berakar pada masalah struktural, strategi pembangunan kita perlu

dirumuskan kembali. Strategi pembangunan tidak lagi mementingkan

pertumbuhan, tetapi seharusnya lebih mementingkan pemerataan

kesempatan (Sunyoto, 2004:130).

Kini indikator penentu kemiskinan bertambah lagi dengan

kemudahan pada akses informasi. Kesenjangan informasi dapat

ditempatkan sebagai salah satu indikator kemiskinan. “Kesenjangan

info” menunjukkan ketidak mampuan mengakses dan menggunakan

66 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

informasi yang akan berdampak pada kesejahteraan seseorang. (Pe-PP

Bappenas-UNDP;2007:18)

Sekarang ini perkembangan Teknologi Informasi dan

Komunikasi (TIK) demikian pesatnya hingga merambah keberbagai

kota di berbagai negara belahan dunia ini. Perkembangan ini tidak

berhenti di sini akan tetapi ketika diciptakan sistem hubungan antara

satu komputer ke komputer yang lain maka lahirlah apa yang disebut

internet. Agenda World Summit of the Information Society (WSIS)

dimana Indonesia bergabung di dalamnya menegaskan bahwa pada

tahun 2015 mendatang separuh penduduk dunia telah memiliki akses

ke internet termasuk penduduk perdesaan agar mereka menjadi lebih

berdaya. Oleh karena itu diperlukan jalan pintas untuk percepatan

penguasaan teknologi informasi tersebut terutama ke perdesaan

melalui berbagai cara diantaranya fasilitasi untuk pembangunan

Community Acces Point (CAP) atau sejenisnya seperti Telecenter,

Balai Informasi Masyarakat (BIM),Warung Informasi Teknologi

(Warintek), Warmasif, dan lain-lain baik yang stasioner maupun yang

mobile.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan BIM

Cihideung beserta seluruh kegiatannya sebagai lembaga informasi

masyarakat yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat

sekitarnya melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi

Metodologi

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif,

pengumpulan data dilakukan dengan cara mewawancarai berbagai key

person diantaranya Kepala Desa Cihideung, Ayi Sudrajat; Ketua

Kelompok Tani Giri Mekar (KTGM), Landjar Nursalim;

Bendaharawan KTGM, Ida Hidayat; Humas KTGM, Adil Hendra, dan

pengelola BIM antara lain Fitria, Trisna, Ika serta Pengujung BIM dari

SMA Cisarua. Wawancara dilakukan secara langsung di lapangan dan

bagi yang sulit ditemui, wawancara dilakukan dengan melalui telepon.

Materi pertanyaan sekitar keberadaan dan peranan BIM beserta

seluruh kegiatannya di lapangan sehingga dengan demikian

diharapkan dapat diperoleh gambaran ataupun deskripsi tentang profil

BIM secara utuh dan lengkap.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 67

Untuk memperkaya data dan informasi dilakukan pengamatan

langsung di lapangan serta studi banding di Telecenter, Muneng,

Madiun, Jawa Timur dan Pabelan, Yogyakarta serta studi kepustakaan

dari berbagai sumber data.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Cihideung adalah salah satu desa yang terletak di wilayah

Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Untuk mencapai

desa Cihideung tidaklah terlalu sulit, banyak kendaraan umum menuju

desa yang terkenal dengan tanaman hiasnya ini. Desa Cihideung bisa

dicapai dari terminal Ledeng, yang berada tidak jauh dari Kampus

Universitas Pendidikan (UPI) Bandung. Dengan menyusuri jalan

Sersan Bajuri menuju desa Cihideung yang memiliki luas wilayah

445,44 ha ini kita dapat menikmati pemandangan hijaunya perbukitan

dan tegalan yang penuh dengan tanaman bunga dan strowbery.

Diperkirakan lebih dari 80% penduduk desa Cihideung yang

berjumlah sekitar 12.900 jiwa ini hidup sebagai petani bunga/tanaman

hias yang secara lebih rinci 50% diantaranya sebagai petani bunga

hias yaitu jenis tanaman yang berfungsi untuk memperindah taman,

sisanya (30%) sebagai petani bunga potong yang umumnya

dipergunakan sebagai bahan dekorasi. Sedangkan pusat penjualan

tanaman hias yang luasnya sekitar 1.150 meter persegi ini terletak

memanjang dipinggir kanan-kiri jalan utama desa Cihideung. Sentra

penjualan tanaman hias Cihideung ini diatur sedemikian rupa sehingga

menarik minat calon pembeli yang lewat di sekitarnya. Jenis tanaman

yang dijualnya antara lain meliputi bunga seperti mawar, krisan, aster,

dahlia, lili, melati, kemuning, bougenvile, sedap malam, macam-

macam anggrek, dan lain-lain. Budidaya tanaman hias ini cukup maju

sehingga dapat menopang kehidupan para petaninya secara lebih baik.

Budidaya tanaman hias dan bunga potong di desa ini telah berjalan

cukup baik dimana telah berperannya beberapa kelompok tani seperti

Kelompok Petapa, Giri Mekar, Mekarsari Putra, dan lain-lain, yang

selalu berupaya memajukan keterampilan budidaya para petani

terutama yang menjadi anggotanya. Disisi lain, agar hasil produksi

tanaman hias ini harganya tidak anjlog di pasaran karena

dipermainkan oleh tengkulak atau kelompok orang tertentu, maka

telah dibentuk Asosiasi Pedagang dan Petani Tanaman Hias

Cihideung yang selalu berupaya melancarkan tata niaga sekaligus

68 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

melindungi para petani dan pedagang dari pengaruh sindikat yang

mengakibatkan kerugian .

Sebagai sentra penjualan tanaman hias dan bunga, Cihideung

memiliki potensi wisata yang prospektif. Banyak pengunjung dari

berbagai daerah baik sekitar Bandung atau kota lain seperti Jakarta

terutama dihari libur. Sebagai daerah wisata selain ditunjang

keindahan alam dan tanaman hiasnya, Cihideung juga memiliki

potensi wisata kuliner dimana sekitar desa ini banyak terdapat café-

café yang sudah cukup populer di seantero Bandung.

Balai Informasi Masyarakat (BIM) Cihideung

Berdirinya BIM Cihideung diprakarsai oleh Masyarakat

Telekomunikasi (MASTEL) dengan tujuan memberikan pengenalan

kepada masyarakat terhadap teknologi informasi (internet) yang

sekaligus pada gilirannya diharapkan dapat memetik manfaatnya

untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

BIM yang ada sekarang ini merupakan BIM generasi ketiga

di desa Cihideung yang didirikan kembali pada tanggal 10 November

2006. Sebagai lembaga informasi masyarakat yang berada di

perdesaan BIM dilengkapi dengan berbagai infrastruktur pokok dan

pendukung yang diharapkan akan melegitimasi eksistensi dan

memperlancar operasionalnya di lapangan.

Berbeda dengan BIM sebelumnya kepengurusan BIM kali ini

sepenuhnya dipegang oleh anak-anak muda. Pusat kegiatan atau yang

disebut sekretariat BIM berada di gedung seluas 28 meter persegi

yang lokasinya berada di RT 03/RW 10 Kampung Penyairan Desa

Cihideung, Bandung Barat. Pelatihan komputer yang pernah

diselenggarakan diikuti oleh 52 orang yang umumnya terdiri dari

pelajar SD dan SLTP dengan membayar masing masing Rp 20.000,-

Adapun materi pelatihan meliputi : pengenalan komputer, Word

Processor, Spread Sheet. Sedangkan pelatihnya adalah para

sukarelawan setempat yang dianggap sudah melek komputer yang

tentu saja sebelumnya mendapatkan pengarahan dari Staf IT Specialist

MASTEL yaitu Rochman Fathoni. Dari kegiatan-kegiatan pelayanan

tersebut di atas, BIM mendapatkan pemasukan sebesar Rp 875.800,-

yang sebagian besar diperoleh dari biaya pelatihan komputer.

Dalam operasionalnya sehari-hari BIM yang dibuka mulai

jam 8 pagi sampai jam 20 malam hari rata-rata dikunjungi oleh 8

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 69

orang yang pada umumnya pelajar untuk berbagai keperluan seperti

mengerjakan tugas sekolah, dan lain-lain. Masyarakat sekitarnya

khususnya yang berprofesi sebagai dekorator ada pula yang sering

mengunjungi BIM untuk mencari inspirasi dari model- model dekorasi

bunga dari berbagai situs.

Permasalahan yang sering ditemui di lapangan adalah apabila

komputer tersebut rusak maka harus tunggu ahlinya yang tinggal di

Jakarta. Oleh karena itu mereka berharap punya teknisi sendiri yang

selalu stand by kapanpun kalau ada kerusakan.

Kelembagaan

Di perdesaan masih berlaku sistem sosial tertentu yaitu suatu

kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam

kerjasama untuk memecahkan masalah, dalam rangka mencapai

tujuan bersama. Anggota atau unit-unit sistem sosial itu bisa berupa

perorangan (individu), kelompok informal, organisasi modern atau sub

sistem. (Rogers, 1991: 31). Anggota sistem sosial yang berbeda

tersebut menciptakan struktur di dalamnya dimana ada heararki sosial

yang harus diperhatikan. Di perdesaan kita kenal tokoh-tokoh agama,

adat dan tokoh formal yang masing masing diakui peranannya bagi

masyarakat.Tokoh-tokoh tersebut dihormati dan disegani oleh

masyarakat perdesaan karena peranannya sebagai orang yang

dianggap lebih tahu dibidangnya.Oleh karena itu tidak jarang mereka

dijadikan panutan dan teladan bagi masyarakat sekitarnya. Sikap dan

pendapat mereka selalu diperhitungkan dan dipedomani. Mereka juga

mendominasi forum-forum yang ada di perdesaan seperti rembug desa

atau musyawarah desa, keputusan keputusan komunal dan lain-lain.

Singkat kata mereka memiliki tempat tersendiri yang lebih tinggi dan

terhormat di masyarakat. Oleh karena itu setiap kali ada pengenalan

ide-ide baru atau inovasi dipedesaan akan selalu melibatkan para

tokoh tersebut untuk mendukungnya.Tanpa restu mereka jangan harap

ide-ide baru akan bisa masuk dan diterima masyarakat. Oleh karena

itu pendirian BIM juga memperhitungkan peran para tokoh

masyarakat Desa Cihideung . BIM didirikan dengan melibatkan

tokoh-tokoh masyarakat yang disebut Dewan Pembina BIM yang

terdiri dari Kepala Desa Cihideung (Ayi Sudrajat), Ketua Kelompok

Tani Giri Mekar (KTGM) Landjar Nursalim, Tokoh Masyarakat

70 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

(H.Tayub), Perwakilan Pemuda (Deden Kosasih), perwakilan ibu-ibu

PKK (Ny.Ayi Sudrajat).

Pengelola BIM

BIM Cihideung dikelola oleh staf pengelola yang terdiri dari

pengelola definitif dan pengelola sukarelawan. Staf Pengelola definitif

terdiri dari Project Manager : Taru J Wisnu dari Mastel; Site Manager:

Ida Elvira; Koordinator Kegiatan : Deden Kosasih; Humas : Rusli;

Sekretaris : Mega; Bendahara : Fitri; Koordinator Sukarelawan: Dani.

Sukarelawan umumnya terdiri dari para pemuda/pemudi setempat

yang bertugas menjaga sekretariat BIM sehari-harinya. Mereka

melayani pengunjung yang datang dengan berbagai keperluan seperti

mengetik, mencari data yang terkait penugasan guru di sekolah atau

sekedar chatting atau main game.

Struktur kepengurusan BIM yang demikian tidaklah terlalu

muluk karena memang BIM diharapkan menjadi lembaga milik

masyarakat, yang berbasis masyarakat oleh karena itu sudah

seharusnya sederhana dan tidak elitis untuk ukuran perdesaan.

Tidak semua staf pengelola BIM seperti tersebut di atas aktif

melaksanakan tugasnya karena berbagai alasan. Hanya beberapa orang

sukarelawan yang biasa menunggu pelanggan di sekretariat BIM

diantaranya ialah Fitria yang menyebut dirinya sebagai Ketua,

sedangkan kedua orang tadi yaitu Trisna dan Ika sebagai pengurus

harian. Sebagai reward yang sekaligus upaya meningkatkan

wawasannya para pengurus BIM ini pernah diajak ke Seminar di

Yogyakarta, Pelatihan komputer di Politeknik Telkom di

Gegerkalong, Bandung dan mengunjungi pameran ICT Expo di

Jakarta yang diselenggarakan tanggal 20-24 Mei 2008.

Menurut buku panduan untuk Fasilitator Infomobilisasi,

pengelola Telecenter atau sejenisnya yang ideal terdiri dari tiga orang

yang disebut tim-3 (The Three Musketeer) yaitu manager telecenter,

staf pengembangan media/IT admin dan staf pengembangan

komunitas/Fasilitator Infomobilisasi (FI) yang bertugas mengelola

kegiatan Infomobilisasi melalui kegiatan pendampingan kelompok.

Mereka bertiga inilah yang disebut Badan Pengelola Harian (BPH)

telcenter. (Pe-PP, Bappenas UNDP; 2007:39). BPH ini merupakan tim

inti yang berfungsi sebagai motor penggerak lembaga, oleh karena itu

seharusnya bekerja secara penuh dan mendapatkan imbalan/gaji.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 71

Sebagai tanggung jawabnya BPH, khususnya manager harus dapat

mencari dana untuk membiayai sendiri operasionalnya dari penjualan

jasa dan layanan lembaga. Seperti diketahui bahwa kegiatan BIM ada

yang bersifat layanan komersial dan ada pula yang bersifat sosial

dimana keduanya mempunyai bobot yang sama.

Kegiatan BIM

Sebagaimana diuraikan terdahulu kegiatan BIM selain

melaksanakan layanan rutin sekretariat juga kegiatan terjadwal yang

telah tersusun dalam program kerja ataupun Rencana Aksi BIM.

Rencana Aksi ini disusun cukup bagus dan rinci yang dimulai pada 3

Januari 2007. Kegiatan-kegiatan dimaksud sangat beragam yang

antara lain mulai dari persiapan pendirian BIM, peresmian BIM,

penyelenggaraan berbagai pelatihan dan praktek, kegiatan publikasi,

kompetisi, festival, studi banding dan perpustakaan. Macam-macam

pelatihan yang telah dan akan dilaksanakan meliputi antara lain:

pelatihan partisipasi masyarakat, pelatihan komputer, bahasa Inggris,

membuat coklat candy, dekorasi tanaman hias, pembuatan data basis

tanaman hias, manajemen, usaha sampingan, fund raising, dan lain-

lain. Untuk kegiatan publikasi meliputi : pembuatan buletin BIM,

majalah dinding, website, pemetaan daerah, dan lain-lain.

Sebagai lembaga yang bergerak dibidang informasi, kegiatan

BIM akan lebih lengkap apabila ditambahkan dengan kegiatan

Infomobilisasi atau pendampingan masyarakat/kelompok dalam hal

pencarian, pengolahan dan penerapan informasi di lapangan. Kegiatan

pencarian informasi dapat berupa menyediakan informasi dari

berbagai sumber apakah media massa, website atau nara sumber yang

kompeten. Untuk pengolahannya dapat dilakukan melalui saling

belajar, seleksi, evaluasi, diskusi dan pemecahan masalah, sedangkan

penerapan di lapangan berupa aplikasi atau praktek di lapangan yang

biasanya didampingi oleh tenaga ahli/pengalaman dibidangnya.

Pendampingan kelompok dapat dilakukan secara berkala atau

insidental atas insiatif sendiri ataupun permintaan dari kelompok.

Partisipasi Masyarakat

Sebagai lembaga informasi perdesaan BIM telah dirancang

sedemikian rupa agar mampu berperan sebagai agen pembaharuan di

perdesaan. Sebagaimana diuraikan terdahulu BIM telah dibentuk

72 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

dengan berbagai infrastruktur dan sarana penunjangnya agar mudah

memainkan peranannya di perdesaan secara maksimal. BIM telah

dilengkapi dengan struktur organisasi beserta personil pengurusnya,

dewan pembina, sekretariat tetap, program kerja dan peralatan yang

berupa komputer, printer, kamera, scanner, perangkat pendukung

jaringan, dan lain-lain. Secara teoritis, bagi sebuah lembaga di

perdesaan, dengan infrastruktur dan sarana perlengkapan yang boleh

dibilang telah memadai tentunya lembaga tersebut telah dapat

melaksanakan programnya dan berperan banyak bagi masyarakat

sekelilingnya. Memang biaya operasional BIM sehari-harinya tidak

disediakan namun partisipasi dan swadaya masyarakatlah yang

diharapkan untuk dapat mengisi kegiatan lembaga tersebut. Pada

kenyataannya menggalang partisipasi dan swadaya masyarakat ini

tidaklah mudah ini terbukti bahwa kegiatan BIM pernah vakum atau

terhenti selama beberapa tahun karena berbagai alasan. Padahal

sebagaimana diketahui bahwa keberadaan BIM ini didesain untuk

memberdayakan masyarakat itu sendiri. Tentu ada permasalahan

diantara keduanya yang mengakibatkan terciptanya jarak atau

hambatan itu.

Kekosongan kegiatan memang terjadi di BIM periode yang

lalu dan mudah-mudahan permasalahan tersebut tidaklah terulang

kembali atau setidaknya masih menjadi ganjalan. Bila kita lihat BIM

periode sekarang dimana hubungannya dengan para tokoh masyarakat

setempat yang cukup baik maka boleh jadi permasalahan yang timbul

tidaklah terlalu banyak dan substansial. Menurut penelitian

permasalahan yang timbul hanyalah bagaimana menarik partisipasi

dan swadaya masyarakat secara lebih baik.

Keberadaan BIM sudah pasti dikenal oleh masyarakat luas,

malahan masyarakat desa-desa sekitar Cihideung pun banyak yang

mengenalnya, hal ini terbukti bila kita mau berkunjung ke sana tidak

akan mengalami kesulitan ketika menanyakan arah menuju ke lokasi

BIM kepada penduduk. Sedangkan bila dilihat pada pengunjung yang

datang, seringkali juga ditemui para pelajar yang berasal dari desa

tetangga. Popularitas BIM ini didapat dari upaya berbagai publikasi

yang dilakukan pengelola melalui berbagai cara. Popularitas BIM

yang tinggi identik dengan tingginya pengenalan masyarakat terhadap

BIM. Ibarat kata pepatah: tak kenal maka tak sayang sehingga

tingginya pengenalan dapat diartikan tinggi pula pemanfaatan BIM

oleh masyarakat. Kenyataan yang menunjukkan kurang maksimalnya

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 73

pemanfaatan BIM bukan karena pengenalan masyarakat yang rendah

akan tetapi bisa jadi karena kondisi masyarakat desa itu sendiri yang

masih belum melek komputer. Selain itu bidang usaha BIM seperti

foto copy, pembuatan pas foto, jasa komputer, dan lain-lain yang

masih kurang diperlukan masyarakat desa yang pada umumnya

merupakan petani tanaman hias. Mereka hanya sesekali saja memakai

jasa-jasa tersebut. Oleh karena itu para pengelola BIM harus lebih

proaktif memecahkan permasalahan tersebut dengan membuka

sumber pendapatan yang lebih beragam dan sesuai dengan kebutuhan

masyarakat desa.

Selain aktifitas ke dalam untuk menggali dana operasionalnya

sendiri, pengelola BIM khususnya Fasilitator Infomobilisasi (FI) juga

dituntut proaktif untuk mengadakan pendekatan dan pendampingan

pada kelompok-kelompok yang ada maupun masyarakat yang

memerlukan. Tujuannya adalah agar kelompok dan masyarakat

merasa lebih dekat dengan BIM, merasa ikut memiliki dan

memanfaatkannya sehingga dengan demikian kapasitas masyarakat

dalam penggunaan TIK meningkat. Selain itu mereka juga termotivasi

untuk saling belajar/bertukar pengetahuan,tersambungkan dengan

sumber informasi, saluran dan simpul komunikasi-informasi

terpercaya.

Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat tersebut bisa

dimulai dari hal hal yang kecil dan dimulai sejak dini. Partisipasi

umumnya tidak tumbuh secara spontan. Langkah-langkah yang perlu

diambil untuk menumbuhkan partisipasi diantaranya : pertama,

menumbuhkan pemahaman awal yang benar atas fungsi CAP/BIM

serta manfaat yang dapat diambil dari keberadaannya; kedua,

meningkatkan kesadaran masyarakat desa atas manfaat teknologi

informasi dan komunikasi dan kegunaannya untuk kemudahan hidup

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat; ketiga, memperoleh

persetujuan dan dukungan masyarakat desa atas pendirian BIM untuk

menumbuhkan rasa memiliki terhadap BIM sejak awal (Djuzan, 2006:

13).

Agar partisipasi masyarakat lebih mantap lagi para pengelola

BIM harus dapat membuktikan bahwa kegiatan BIM memang

bermanfaat bagi masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi.

Untuk membuktikannya harus dicoba menerobos keberbagai lembaga

perdesaan yang berpengaruh pada peningkatan ekonomi masyarakat

seperti kelompok-kelompok tani, asosiasi petani dan pedagang bunga,

74 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

asosisi pembibitan, produsen pupuk dan asosiasi lain yang ada serta

penguasa setempat. Terobosan disini dapat diartikan kerjasama

ataupun kemitraan yang saling memerlukan dan menguntungkan bagi

anggota khususnya dan masyarakat sekitar pada umumnya.Kemitraan

sudah seharusnya dijaga agar tetap berkelanjutan dan selalu bersifat

terbuka untuk melakukan hal-hal yang inovatif.

Peran Dewan Pembina

Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa BIM telah memiliki

Dewan Pembina yang terdiri dari para tokoh masyarakat setempat baik

formal maupun informal.

Apakah upaya menempatkan para tokoh masyarakat tersebut

sebagai Dewan Pembina BIM akan berhasil memperlancar

operasionalnya ? Ini sangat tergantung pada kemampuan dan aktifitas

para tokoh masyarakat tersebut. Dari beberapa tokoh masyarakat yang

terpilih sebagai Dewan Pembina, tidak semuanya aktif melaksanakan

pembinaan.Hal yang demikian dapat dimaklumi karena para tokoh

tersebut kesehariannya memiliki kesibukannya sendiri sesuai

bidangnya. Boleh jadi mereka juga menganggap kedudukannya

sebagai Dewan Pembina adalah sebagai kehormatan sehingga mereka

tidak perlu repot-repot ikut turun tangan. Oleh karena itu ada baiknya

jika dipilih pembina yang fungsional yaitu pembina yang betul betul

bisa aktif dan mempunyai tugas yang ada relevansinya dibidang itu.

Sebagai contoh wakil dari Depatemen Pertanian, Depkominfo dan

Instansi lain yang terkait. Keberadaan Dewan pembina yang aktif

dapat mendinamisir kegiatan BIM. Mereka dapat memberi arahan

operasional dengan membuat program kerja yang baik dan sekaligus

memotivasinya, membuat pola pembinaan, monitoring dan evaluasi

serta kegiatan lainnya seperti kompetisi antar lembaga sejenis,

festival,pemberian reward, dan lain-lain. Satu hal lain yang juga

sangat penting untuk dilakukan oleh Dewan Pembina ialah

memfasilitasi lembaga untuk menjalin kemitraan dengan berbagai

fihak baik instansi pemerintah maupun swasta. Kemitraan ini sangat

penting dalam upaya aktualisasi informasi,produksi konten, antisipasi

permasalahan sekaligus koordinasi untuk solusinya.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 75

PEMBAHASAN

BIM Yang Ideal

Sebelum BIM dapat memberdayakan masyarakat sekitarnya,

sudah seharusnya BIM terlebih dahulu berdaya. Artinya BIM dapat

melaksanakan atau mengontrol seluruh kegiatan operasionalnya secara

baik dan dapat mengatasi semua hambatan yang ditemuinya. Menurut

Andrew Sargent: all organizations are driven by a series of “core

values”. Generically expressed, these values are about: quality,

output,time, cost,customers/consumers, safety. Most smart companies

or organizations quickly realize that succes depends on your ability to

control not just a couple of these core value-but all of them at the

same time . (Sargent, 2001 :27)

Secara umum pembangunan BIM bertujuan untuk

menyejahterakan masyarakat disekitarnya melalui penyediaan akses

informasi dari berbagai sumber dan media terutama internet. BIM

sengaja dibangun di daerah perdesaan karena masyarakat perdesaan

dianggap masih perlu lebih diberdayakan dalam rangka mencapai

tingkat kesejahteraannya yang lebih baik.

Konsep BIM dapat disamakan dengan Telecenter dan

sejenisnya yang berperan sebagai fasilitator program komunikasi-

informasi (Infomobilisasi), yaitu : mendampingi kelompok,

meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penggunaan TIK,

memfasilitasi proses saling belajar/bertukar pengetahuan, dan

sebagainya. Selain itu juga dapat berperan sebagai pelaku komunikasi

di desanya, yaitu menjadi sumber informasi, menjadi saluran/media

komunikasi-informasi,menjadi simpul komunikasi-informasi dan

sebagainya. (Tim Pe-PP Bappenas-UNDP,2007:39)

Lebih jauh BIM sebagai sumber informasi, dapat

mengembangkan diri menjadi Pusat Informasi Pembangunan Desa,

Kantor Berita Komunitas, Pusat Informasi Desa, Bank Data

Desa,Sentra Pembelajaran Masyarakat, dan lain-lain

Pemberdayaan Masyarakat melalui Teknologi Informasi dan

Komunikasi

Istilah pemberdayaan masyarakat telah secara luas

dipergunakan di negara kita paska krisis ekonomi 1997. Istilah ini

76 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

diterjemahkan dari kata empowerment yang memiliki arti lebih

komprehensif. Simon dalam bukunya Rethinking Empowerment

(1990) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah aktifitas reflektif,

atau proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh

agen atau subyek tertentu yang mencari kekuatan atau penentuan diri

sendiri (self-determination). Sementara itu, proses lainnya hanya

memberikan iklim, menciptakan hubungan, sumber-sumber dan alat-

alat prosedural yang dengan perantaranya masyarakat dapat

meningkatkan kualitas kehidupannya. Pemberdayaan merupakan

sistem yang berinteraksi dan berkolaborasi dengan lingkungan sosial

dan fisik (Harry Hikmat, 2006 : 134). Selanjutnya pengertian tersebut

diperjelas sebagai berikut : pemberdayaan bukanlah merupakan upaya

pemaksaan kehendak, atau proses yang dipaksakan, atau kegiatan

untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, atau keterlibatan dalam

kegiatan tetentu saja, dan makna-makna lain yang tidak sesuai dengan

pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi yang dimiliki

oleh masyarakat yang bersangkutan. (Harry Hikmat, 2006 : 135).

Sementara itu pemberdayaan masyarakat melalui Teknologi

Informasi dan Komunikasi (TIK) bukanlah suatu hal yang mudah.

Pada dasarnya pemberdayaan melalui TIK tidak hanya mengenalkan

masyarakat pada komputer saja tetapi lebih kearah bagaimana

mengambil manfaat dari informasi yang didapat dari Internet. Yang

jadi nilai ekonomis (economic value) dari teknologi ini bukanlah

komputer dan komponen-komponennya secara fisik, melainkan

penekanan pada informasi yang dibawa dan diolahnya. (Indrajit,

2000:208)

Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki

kesadaran dan kebutuhan terhadap informasi sebagai sumber kekuatan

(power). Masyarakat yang dapat menggunakan informasi untuk

mengambil keputusan yang baik bagi dirinya sendiri, bertindak secara

kritis dalam upaya memperbaiki keadaan dan mengatasi masalahnya

sendiri, mampu terlibat dalam proses-proses sosial dan politik

termasuk dalam proses pengambilan keputusan publik yang dilakukan

komunitasnya (Tim Pe-PP Bappenas-UNDP,2007:5)

Memberdayakan masyarakat dengan informasi tidaklah mudah

apalagi menyejahterakannya sebab informasi memiliki dimensi yang

sangat luas dan beragam serta taksonomikal oleh karena itu tidak

secara langsung merubah keadaan dari kurang sejahtera menjadi lebih

sejahtera. Kita boleh berharap banyak bahwa masyarakat Cihideung

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 77

menjadi semakin sejahtera ketika BIM didirikan di desa tersebut.

Karena masyarakat dapat informasi tentang berbagai jenis tanaman

hias yang berprospek ekonomi lebih baik, juga mendapat informasi

berkaitan dengan dimana bibit-bibit tananam hias yang berkualitas itu

didapatkan. Selanjutnya juga bagaimana menyemai bibit bibit unggul

tersebut hingga besar dan laku dijual. Tidak berhenti disitu , informasi

tentang pasar yang baik dan bagaimana mengirimkannya juga sangat

diperlukan, karena tidak jarang produsen tanaman hias diperdaya oleh

tengkulak karena kurangnya informasi ini. Diharapkan dengan

informasi-informasi yang berharga tersebut masyarakat mendapatkan

kemudahan dalam membudidayakan tanaman hias sekaligus dapat

menjualnya dengan harga yang baik. Pada kenyataannya di lapangan

tidak semua informasi seperti tersebut di atas tersedia, bilamana

tersedia itupun baru informasi ”mentah” yang masih perlu diolah,

diterjemahkan, dipilah dan disaring agar dapat diambil manfaatnya.

Dari kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa informasi dari

internet belum dapat di akses dan dimanfaatkan oleh semua orang

karena adanya hambatan teknis atau hambatan digital. Banyak orang

yang belum faham dengan teknologi internet ini sedangkan bagi yang

sudah memanfaatkan informasi umumnya masih mempergunakannya

untuk keperluan mereka sendiri. Selain hambatan digital, hambatan

budaya juga sangat berperan dalam pemanfaatan internet sebagai

sumber informasi. Selain internet merupakan barang baru yang

dianggap canggih di perdesaan, umumnya masyarakat juga masih

terbiasa dengan komunikasi lisan. Mereka mencari informasi dari

kawan, tetangga, atau opinion leader setempat melalui forum dan

arena sosial yang ada. Sedangkan mereka menyebarkannya melalui

getok-tular atau dari mulut kemulut diberbagai kesempatan. Mereka

masih terbiasa ngobrol di warung kopi daripada nongkrong di depan

komputer layaknya orang kantoran.

Salah satu cara sederhana yang mungkin dapat membantu

mengenalkan masyarakat terhadap komputer sekaligus memperlancar

pencarian situs penting ialah disediakannya para pendamping yang

memahami internet dan mampu berbahasa Inggris. Karena bahasa

yang dipergunakan di internet tidak hanya bahasa Indonesia tetapi

banyak yang mempergunakan bahasa Inggris.

Dari uraian di atas terlihat bahwa untuk memberdayakan

masyarakat melalui BIM memang masih diperlukan kerja keras dan

perlu dicari terobosan agar terhindar dari berbagai hambatan.

78 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Peranan Kelompok

Di perdesaan dengan mudah dapat kita jumpai berbagai

kelompok masyarakat. Selain kelompok formal yang dibentuk

pemerintah ada juga kelompok yang terbentuk karena interest,

primordialisme dan tatanan sosial tradisional. Kelompok-kelompok ini

biasanya berperan penting dalam memecahkan berbagai permasalahan

desa termasuk permasalahan yang ada di BIM.

Kelompok masyarakat yang ada di desa Cihideung

diantaranya kelompok tani, kelompok tani nelayan andalan, kelompok

arisan. Masing masing kelompok punya kegiatan yang berbeda tetapi

tujuannya sama yaitu berkeinginan memberdayakan dan

menyejahterakan anggotanya. Oleh karena itu tidaklah salah bila ada

upaya memfasilitasi kelompok-kelompok yang ada untuk

memberdayakan masyarakat sekitarnya. Karena kelompok diyakini

memiliki potensi dan ciri-ciri yang menunjang upaya pemberdayaan

yang diantaranya : (1) orang-orang dalam kelompok cenderung untuk

berlomba (2), mereka membentuk identitas mereka sendiri yang

menjadikan personaliti kelompok. (3), kekompakan yaitu daya tarikan

anggota kelompok satu sama lain dan keinginan mereka untuk bersatu;

(4), ada komitmen terhadap tugas. (Arni Muhammad,2000 ;186).

Namun ketika kelompok-kelompok telah terbentuk dan

memiliki potensi, upaya untuk menarik partisipasi mereka pada

kegiatan BIM tidaklah berjalan linier. Sebab kegiatan BIM yang

berbasis internet merupakan hal yang baru dan sama halnya dengan

memperkenalkan inovasi atau ide-ide baru pada masyarakat. Sebuah

inovasi biasanya penuh liku sehingga memperkenalkannya ke

masyarakat sebaiknya dilakukan secara pelan-pelan,

berkesinambungan dan hati-hati dengan melalui berbagai cara seperti

penyuluhan, komunikasi kelompok dan diskusi pemecahan masalah,

demonstrasi atau percontohan, dan lain-lain. Fisher telah

mengidentifikasikan empat fase yang dilalui pemecahan masalah yaitu

:orientasi, konflik, pemunculan ide, dan dukungan terhadap ide-ide

baru. (Goldberg & Larson, 1985 :45).

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa peran kelompok

dalam sebuah inovasi sangatlah diharapkan oleh karena itu Fasilitator

Infomobilisasi haruslah dapat mendekati kelompok-kelompok yang

ada di desa ini .Kelompok-kelompok yang ada di desa ini memiliki

potensi dan dapat berperan banyak untuk menarik partisipasi

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 79

masyarakat dalam memanfaatkan BIM sekaligus memberdayakan

masyarakat desa pada umumnya dan anggota kelompok pada

khususnya.

KESIMPULAN

Mengaktifkan dan membesarkan lembaga informasi

masyarakat di perdesaan seperti halnya BIM ini memang tidak mudah,

banyak kendala teknis dan non teknis yang selalu

menghadang.Kendala yang paling dominan ialah upaya

memperkenalkan masyarakat perdesaan yang masih memiliki banyak

keterbatasan dan masih cenderung menyukai komunikasi lisan, untuk

memanfaatkan komputer/ internet sebagai sumber informasi yang

bermanfaat bagi pengembangan dirinya. Untuk mendorong

masyarakat agar melek komputer saja sudah sulit karena

komputer/internet merupakan teknologi baru yang tergolong

canggih.Apalagi mengambil manfaat dari informasi yang terdapat di

internet untuk memberdayakan diri mereka sendiri dimana diperlukan

upaya pencarian, pemilahan dan pengolahan sehingga mendatangkan

manfaat bagi masyarakat. Bantuan dan bimbingan orang lain dalam

hal ini sangat diperlukan karena selain materi yang ada di internet

begitu luas dan beragam juga seringkali disajikan dalam bahasa asing.

Oleh karena itu peran para pengelola BIM khususnya Fasilitator

Infomobilisasi (FI) sangat diharapkan. Tanpa peran FI yang lebih aktif

tidak akan terjadi pembelajaran-pembelajaran serta jalinan hubungan

ataupun interaksi positif dengan masyarakat sekelilingnya yang pada

dasarnya telah memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut.

Peran kelompok yang ada di masyarakat juga sangat penting sebab

melalui kelompok ini FI akan terbantu dalam hal deseminasi,

pemahaman dan pemecahan masalah yang ada di masyarakat melalui

diskusi dan kegiatan lainnya.Oleh karena itu kerjasama hendaknya

diperluas dengan kelompok lain yang ada di masyarakat dengan tanpa

mengabaikan peran Kelompok Tani Giri Mekar (KTGM) yang telah

terjalin dengan baik.

Keberadaan BIM yang sudah populer itu telah menjadi modal

untuk menarik minat masyarakat dalam memanfaatkan BIM secara

lebih aktif apalagi bila dibarengi program program yang menarik dan

dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.Oleh karena itu peran

manajer sebagai pencari dana untuk membiayai operasionalnya sendiri

80 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

juga tidak kalah pentingnya agar program yang telah tersusun secara

baik tersebut dapat terealisir. Lebih lengkap lagi bila peran Dewan

Pembina lebih diaktifkan untuk memfasilitasi dan mengarahkan setiap

program dan kegiatan BIM agar lebih menyentuh kepentingan

masyarakat sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alvin A. Goldberg & Carl E Larson. 1985. Komunikasi Kelompok,

Proses-Proses Diskusi Dan Penerapannya. Jakarta : UI-Press.

Sosrodihardjo, Soedjito. 1987. Aspek Sosial Budaya dalam

Pembangunan Perdesaan. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Indrajit, Richardus Eko. 2000. Manajemen Sistem Informasi dan

Teknologi Informasi. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Muhammad, Arni. 2000. Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi

Aksara.

Sargent, Andrew. 2001. How to Motivate People. Mumbai : Jaico

Publishing House.

Usman, Sunyoto. 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan

Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Djusan, Aizirman. Bisnis Model Community Acces Point (CAP) Yang

Ideal Bagi Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat, kuliah

umum mahasiswa jurusan teknik informatika, Politeknik Pos

Indonesia, Bandung 24 November 2006.

Hikmat, Harry. 2006. Strategi Memberdayakan Masyarakat. Bandung

: Humaniora Utama Press.

Tim Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP). 2007.

Memberdayakan Masyarakat dengan Mendayagunakan

Telecenter. Jakarta : Bappenas- UNDP.

Rogers, Everett M & F. Floyd Shoemaker. Communication of

Innovations, diterjemahkan Abdillah Hanafi dengan judul

Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya : Usaha Nasional.

Sumber lain :

Kompas, Sabtu 25 Oktober 2008

http://www.cihideung.blogspot.com

http://www.mastel.or.id

http://www.ruangkeluarga.com

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 81

Social Software Sebagai Media Komunikasi Dalam Proses

Pengajaran Di Perguruan Tinggi Negeri

Akhmad Riza Faizal*

Wulan Suciska*

Abstraksi

Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi seiring kemajuan

teknologi Web menjadikan fenomena ini sangat menarik untuk dikaji

dalam kacamata ilmu komunikasi. Studi ini bertujuan untuk

memberikan bukti empirik secara kualitatif dan mendukung contoh-

contoh penggunaan ”social software” sebagai media komunikasi

dalam proses pengajaran pada beberapa perguruan tinggi negeri

(PTN) di Indonesia. ”Social software” dapat diartikan sebagai

perangkat lunak yang dapat mendukung interaksi kelompok.

Penggunaannya semakin terkenal bersamaan dengan munculnya

teknologi Web 2.0. Berdasarkan survei awal yang dilakukan pada

situs-situs PTN di Indonesia didapati bahwa penggunaan ”social

software” masih rendah. Pendalaman data ditelusuri melalui metode

wawancara dengan beberapa dosen PTN. Hasilnya, terungkap

beberapa praktek penggunaan ”social software” sebagai media

komunikasi dalam proses pengajaran antara lain; (1) mendorong

kemampuan menulis siswa dengan menggunakan blog, (2)

menggunakan contoh-contoh dari “media-sharing website” untuk

menjelaskan materi kelas, (3) menerbitkan hasil ujian semester pada

blog sang dosen, (4) menyebarluaskan materi perkuliahan dengan

menggunakan “file-sharing websites”, menunjukkan empati sang

pengajar melalui situs jejaring sosial.

Kata kunci : social software, teknologi komunikasi, teknologi

pendidikan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggunaan social software sebagai bagian dari komunikasi

dalam proses belajar-mengajar telah diteliti dan dilaporkan oleh

* Akhmad Riza Faizal, S.Sos., dan Wulan Suciska, S.I.Kom., Pengajar Jurusan

Komunikasi, FISIP Universitas Negeri Lampung.

82 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

banyak ahli di negara-negara maju (Alexander, 2006; Anderson, 2007;

Bryant, 2007; Franklin, G., 2007; Franklin, T., 2007; Kirriemuir ,

2007; Maxymuk, 2007; Miners & Pascopella, 2007; Shim dkk., 2007;

Topper, 2007; Eijkman, 2008; Virkus, 2008). Namun, informasi atau

penelitian yang menulis tentang implementasi software ini di negara-

negara berkembang masih tetap rendah bahkan tidak terlalu signifikan.

Kondisi ini cukup ironis, karena munculnya berbagai teknologi web

ini telah berdampak secara global dan penggunaan perangkat lunak ini

pun sebenarnya cukup besar di Indonesia. Penggunan internet di

Indonesia telah mencapai 20 juta orang atau masuk kelompok

pengguna besar di Asia setelah Cina (210 juta), diikuti Jepang, India,

dan Korea kemudian Indonesia (APJII, 2008). Namun, kondisi

penggunaan perangkat lunak ini terutama dalam kaitannya dengan

proses belajar-mengajar di Indonesia masih belum jelas sehingga perlu

untuk ditelaah dan diteliti. Argumentasi tersebut didasarkan pada dua

hal :

1. Munculnya fenomena teknologi Web 2.0 telah dirasakan beberapa

tahun belakangan ini di Indonesia. Namun, penelitian spesifik yang

bisa menyajikan dasar terutama dalam kacamata ilmu komunikasi

masih kurang. Terutama mengenai pemanfaatan teknologi ini pada

berbagai bidang, salah satunya sebagai media komunikasi pada

bidang pendidikan.

2. Jika topik ini dapat ditelaah lebih lanjut, maka akan dapat diteliti

pula bagaimana memanfaatkan teknologi ini sesuai dengan

perkondisian Indonesia. Sehingga diharapkan dapat dihasilkan

teknologi lanjutan karya anak bangsa yang sesuai dengan karakter

bangsa Indonesia. Setidaknya sesuai dengan karakter pendidikan di

Indonesia.

Peneliti mengkhususkan objek penelitian pada proses

pengajaran di perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia

dikarenakan; pertama, PTN di Indonesia adalah gerbang terdepan

(center of exellence) dalam hal pemanfaatan teknologi komunikasi

dibandingkan pada beberapa institusi-institusi pendidikan lainnya

seperti sekolah dasar atau sekolah kejuruan. Kedua, belum adanya

data kuat tentang pemanfaatan social software sebagai media

komunikasi pada pendidikan di Indonesia itu sendiri menjadikan dasar

bahwa penelitian ini bisa dianggap sebagai studi perintis (pilot study).

Untuk itu pembatasan lingkup penelitian dapat dianggap sebagai

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 83

generator bagi peneliti lain untuk meneliti pada bidang-bidang

pendidikan yang searah (linear).

Artikel ini adalah bertujuan untuk menyajikan informasi

mengenai praktek-praktek penerapan social software sebagai suatu

media komunikasi dalam proses belajar-mengajar di Indonesia.

Khususnya, pada penerapannya sebagai bagian dari sistem pendidikan

yang digunakan oleh universitas-universitas negeri di tanah air.

Dengan menemukan beberapa contoh penggunaan dan menggunakan

perangkat lunak ini pada sistem pendidikan di Indonesia, hal ini bisa

menjadi acuan untuk penelitian berikutnya. Baik menggunakan

pendekatan kuantitatif atau kualitatif untuk mencari dan mendesain

penggunaan yang sesuai dengan pola pendidikan yang sudah

diterapkan di Indonesia. Signifikansi dari artikel ini terutama

ditujukan untuk pendidik dan peneliti yang memiliki minat untuk

menyelidiki lebih lanjut dan menerapkan teknologi web pada berbagai

bidang. Mudah-mudahan, dengan minat yang sama kita dapat

membangun jaringan pada topik ini.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti mengajukan

pertanyaan bagaimana penggunaan social software sebagai media

komunikasi dalam proses pengajaran pada perguruan tinggi di

Indonesia?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan

1. Menyajikan informasi mengenai praktek-praktek penerapan social

software sebagai suatu media komunikasi dalam proses belajar-

mengajar di Indonesia. Khususnya, pada penerapannya sebagai

bagian dari sistem pendidikan yang digunakan oleh universitas-

universitas negeri di tanah air. Dengan menemukan beberapa

contoh penggunaan dan menggunakan perangkat lunak ini pada

sistem pendidikan di Indonesia, hal ini bisa menjadi acuan untuk

penelitian berikutnya. Baik menggunakan pendekatan kuantitatif

atau kualitatif untuk mencari dan mendesain penggunaan yang

sesuai dengan pola pendidikan yang sudah diterapkan di Indonesia.

84 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

2. Memperkaya kajian ilmu komunikasi di Indonesia terutama

mengenai penelitian pemanfaatan teknologi komunikasi, dan social

software pada khususnya, dalam bidang pendidikan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini terutama ditujukan untuk pendidik

dan peneliti yang memiliki minat untuk menyelidiki lebih lanjut dan

menerapkan teknologi web pada berbagai bidang. Mudah-mudahan,

dengan minat yang sama kita dapat membangun jaringan pada topik

ini.

METODE PENELITIAN

Fokus dari penelitian adalah memberikan penjelasan mengenai

praktik-praktik penggunaan social software sebagai media komunikasi

dalam proses pengajaran pada perguruan tinggi di Indonesia,

sebagaimana terefleksi dalam pertanyaan penelitian. Metode yang

digunakan dalam memperoleh data kualitatif adalah studi kasus (case

study). Robson, dengan mengutip pendapat Robert Yin, (1994, dalam

Robson, 2002:178-179) menjelaskan bahwa metode studi kasus dalam

penelitian kualitatif mengikutsertakan strategi investigasi secara

empirik terhadap fenomena tertentu pada konteks kehidupan nyata

(real life context).

Pada teknik pengumpulan data, untuk lebih memahami tentang

kualitas penggunaan social software pada proses pengajaran di tingkat

universitas maka dilakukan kombinasi pengamatan berupa survei pada

situs-situs PTN Indonesia dan wawancara dengan beberapa dosen

PTN yang telah menggunakan social software sebagai bagian media

komunikasi dari proses pengajaran yang mereka lakukan. Proses

pengumpulan dan analisa data dilakukan antara Juli hingga Desember

2008, untuk wawancara dilakukan kombinasi antara wawancara

melalui email, telepon dan tatap muka. Sebagai validasi, maka data

hasil wawancara telah diulang pada Februari 2009 untuk melihat

apakah informan masih mengajukan jawaban yang sama pada

pertanyaan yang sama. Hasil dari validasi kemudian digunakan untuk

melengkapi hasil penelitian

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 85

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sosial Software : Sebuah Tinjauan

Istilah social software sebenarnya bukan merupakan sebuah

aplikasi yang baru muncul walaupun akhir-akhir ini pengertiannya

mengarah pada konteks penggunaan yang lebih pada konteks

"kemanusiaan" dibandingkan konteks "teknologi" (Bryant, 2007). Hal

yang harus diingat adalah bahwa social software tidak sama

pengertiannya dengan Web 2.0. Walaupun kemunculan social

software dapat dikatakan hadir sebagai komponen utama dari

fenomena Web 2.0 (Bryan, 2006) tetapi sejarah teknologi ini mungkin

akan berjalan dalam arah yang berbeda dengan perkembangan

teknologi Web itu sendiri. Christopher Allen (2004) telah melakukan

pekerjaan yang sangat bagus dalam menelusuri sejarah social

software. Dia mengaitkan keberadaan social software hingga kembali

ke tahun 1940-an ketika Vannevar Bush menulis artikelnya yang

terkenal, "as We May Think", lalu pada perkembangan selanjutnya

dari teknologi yang dapat mendukung kerja kolaboratif (collaborative

technology) seperti ARPA, Licklider dan teknologi augmentation (

1960-an), office automation dan Electronic Information Exchange

System/EIES (1970-an), Groupware dan Computer-Supported

Collaborative Work/CSCW (1980-an and 1990-an).

Futurelab, sebuah organisasi nirlaba di bidang pendidikan yang

berbasis di Inggris, berusaha untuk memperjelas konsep social

software dengan menunjukkan beberapa atribut kunci dari social

software dalam kaitannya dengan pendidikan. Atribut-atribut tersebut

antara lain; perangkat lunak ini menjembatani komunikasi antar

kelompok, memungkinkan komunikasi antara banyak orang,

menyediakan fasilitas untuk mengumpulkan dan berbagi informasi,

dapat mengumpulkan dan mengindeks informasi, memungkinkan

sindikasi informasi dan membantu personalisasi dari prioritas-prioritas

yang dibuat pengguna, menyediakan fasilitas untuk menyatukan

pengetahuan (knowledge aggregation) dan menciptakan pengetahuan

baru, serta menyebarluaskan pengetahuan tersebut ke banyak platform

yang sesuai dengan keinginan pencipta pengetahuan, dan konteks

penerimanya (Futurelab, 2006).

Patrick dan Dotsika (2006), berbeda, argumentasi bahwa social

software sebuah konvergensi pemikiran dari domain jaringan sosial

86 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

manusia, interaksi manusia-komputer (human-computer

interaction/HCI) dan layanan web. Menurut mereka, dibandingkan

meminta pengguna untuk menyesuaikan diri dengan perangkat lunak

tersebut, social software sebaliknya lebih berupaya agar bisa

menyesuaikan dirinya dengan lingkungan pengguna sehingga

pemanfaatannya lebih intuitif dan menarik pengguna untuk terus

menggunakannya (Patrick & Dotsika, 2006). Perubahan ini membalik

arah teknologi informasi yang sebelumnya lebih ke arah menarik

(pull) menjadi mendorong (push). Teknologi ini kemudian lebih

menonjol seiring dengan hadirnya model terkini dari teknologi web

atau yang oleh O'Reilly disebut sebagai Web 2.0 (O'Reilly, 2005),

implikasinya adalah aplikasi social software dapat ditemukan di

sebagian besar dari teknologi Web "2.0 ". Wikipedia mencoba

mendaftar kategori social software dari pendekatan fungsional.

Futurelab melihat berbagai macam social software dalam kaitannya

dengan teknologi pendidikan, sedangkan Patrick & Dotsika lebih

memahami social software sebagai variasi dari berbagai layanan Web.

Sosial Software Untuk Pendidikan

Personalisasi merupakan salah satu aspek kunci dalam

pengembangan social software saat ini dan selanjutnya. Shim, dkk.

(2007) telah melakukan penelitian dengan menggunakan teori

kekayaan-media (media richness theory) untuk menguji faktor yang

memengaruhi siswa untuk menggunakan RSS podcast dan juga fitur

yang sudah termasuk dalam teknologi ini, dikaitkan dengan proses

belajar mereka. Mereka menemukan bahwa teknologi podcast telah

memberikan banyak manfaat termasuk mudahnya siswa dalam

memahami materi melalui teknologi baru ini dan tingkat efektivitas

biaya dalam jangka panjang yang lebih baik. Meskipun begitu

teknologi podcasting tidak dapat digunakan untuk mengganti model

pengajaran kelas konvensional. Sebaliknya Shim, dkk. menambahkan,

teknologi podcast dapat digunakan untuk mendukung materi-materi

yang diberikan di kelas sehingga siswa dapat lebih memahami konsep,

teori, dan aplikasi yang mungkin belum disampaikan di kelas. (Shim

dkk., 2007).

Wiki adalah salah satu platform menulis paling populer

diantara platform social software lainnya (Alexander, 2006) dan

keberadaaannya telah digunakan dalam berbagai cara dalam bidang

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 87

pendidikan. Contoh penggunaan wiki itu yaitu sebagai sebuah situs

sebuah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah di mana siswa dapat

mempresentasikan hasil belajar mereka. Selain itu Wiki dapat

dipergunakan untuk mengumpulkan dan menyimpan data yang

berkaitan dengan proses belajar-mengajar di kelas. Franklin, G. (2007)

menyoroti alat seperti Wiki menawarkan cara-cara baru untuk terlibat

dan berkomunikasi dengan para siswa. Pada tingkatan tertentu Wiki

dapat digunakan sebagai suatu refleksi terutama bila berkaitan dengan

tingkat literasi informasi (information literacy) para siswa, bahkan

termasuk gurunya sendiri. Literasi informasi merupakan salah satu

keterampilan literasi baru (Miners dan Pascopella, 2007) yang

dianggap sebagai suatu standar keterampilan abad ke-21 di samping

literasi media (media literacy) dan literasi ICT (ICT literacy). Dengan

menggunakan Wiki, siswa dan guru dapat dengan cepat dan mudah

menjelajahi wilayah pengetahuan yang sedang dibahas dan

mengembangkan struktur informasi sebanyak yang mereka perlukan.

Dengan memungkinkan kerja kolaborasi ini Wiki tidak hanya

menyediakan media dalam proses belajar-mengajar melainkan juga

mendorong baik siswa dan guru agar aktif berdasarkan kemampuan

mereka sendiri dalam menulis (Bryant, 2007).

Meskipun beberapa perangkat lunak dengan akses-terbuka

(open access software) seperti Wikipedia, GoogleDocs, Socialtext,

dan TWiki telah terbukti sangat berguna untuk menjadi media

komunikasi dalam pendidikan, masih ada beberapa keraguan dan

perdebatan tentang kredibilitas dan konsistensi isinya. Diskursus

tersebut muncul karena muatan dari social software itu sendiri yang

rentan terhadap suntingan tidak bertanggungjawab, vandalisme, dan

sabotase oleh kelompok-kelompok tertentu ( Stvilia dkk., 2005 dalam

Anderson, 2007; Futurelab, 2006). Rector (2007) telah melakukan

studi perbandingan antara artikel dari Wikipedia dan artikel dari

Encyclopedia Britannica, the Dictionary of American History dan

American National Biography Online tentang kelengkapan dan

keakuratan muatan artikel. Dia mengungkapkan ketidakakuratan

dalam delapan dari sembilan masukan (entries) dan memiliki cacat

keakuratan yang besar dalam setidaknya dua dari sembilan artikel

Wikipedia. Secara keseluruhan, Rector menilai bahwa tingkat akurasi

Wikipedia berkisar 80 persen dibandingkan dengan tingkat akurasi

sumber-sumber lain yang mencapai 95-96 persen. Kajian ini

88 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

mendukung klaim bahwa Wikipedia kurang dapat diandalkan

dibandingkan sumber-sumber referensi lainnya.

Selain Wiki, platform social software yang menyediakan

wadah untuk menulis adalah weblog (blogs) dan mungkin adalah

perangkat lunak yang paling banyak digunakan dalam praktek

pendidikan (Bryant, 2007). Contoh kegiatan yang menggunakan blog

untuk tujuan pendidikan antara lain guru dapat menggunakan blog

untuk sebagai media pengumuman, berita dan umpan balik ke

mahasiswa dan dalam penggunaanya dapat digabungkan dengan

teknologi sindikasi (RSS feed) yang memungkinkan kelompok peserta

didik dengan mudah melacak tulisan (posting) yang baru (Franklin, T.,

2007). Dengan menggunakan fitur RSS atau tag, guru dan siswa juga

dapat menggunakan situs-situs seperti Technorati dan IceRocket untuk

mencari blog tertentu berkaitan dengan subjek pelajaran.

Platform social software lainnya adalah social bookmark, yaitu

fasilitas di internet yang dapat digunakan untuk menandai (bookmark)

atau memberikan label (tagging) dari halaman situs yang ingin

disimpan. Dengan fasilitas ini, penguna dapat membuka dan

mengakses halaman situs yang sama tanpa perlu mencarinya kembali

lewat mesin pencari (search engine). Bryant (2007) menekankan

bahwa social bookmark ideal dan cocok untuk digunakan sebagai

bagian dari proses belajar-mengajar di ruang kelas dengan

memungkinkan sekelompok siswa untuk membangun berbagai jenis

struktur informasi untuk topik tertentu.

Adopsi Internet di Indonesia

Jumlah pengguna internet di Indonesia telah meningkat pesat

lebih dari 1,150% dari 2 juta pengguna di tahun 2000 menjadi 25 juta

pengguna pada kuartal kedua 2008 (Internet World Statistic, 2008).

Walaupun cukup mencengangkan dalam segi kuantitas tingkat

pertumbuhan tetapi mengingat jumlah penduduknya yang sudah 238

juta jiwa, kepadatan pengguna internet di Indonesia hanyalah 10,5%

dari total penduduk. (Internet World Statistic, 2008). Sebuah studi

yang dilakukan pada tahun 2004 menemukan bahwa dua pertiga dari

pengguna internet di Indonesia mengakses internet melalui warung

internet (warnet) dan 68% dari pengguna warung internet adalah laki-

laki (Wahid, Furuholt, dan Kristiansen, 2004 dalam Wahid, 2007).

Dengan menggunakan model adopsi teknologi (Technology Adoption

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 89

Model /TAM) Wahid (2007) meneliti perbedaan adopsi internet di

antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Studinya menemukan

bahwa adopsi internet di kalangan laki-laki lebih dipengaruhi oleh

persepsi dari kegunaan internet dibandingkan persepsi kemudahan

penggunaannya, fenomena sebaliknya ditemui dalam adopsi internet

oleh perempuan. Studi itu juga menujukkan bahwa laki-laki

menujukkan fleksibelitas tempat akses internet yang lebih tinggi

dibandingkan perempuan. Proporsi perempuan yang menggunakan

internet untuk berbincang (chatting) dan aktivitas yang berkaitan

dengan proses belajar lebih besar dari laki-laki. Sebaliknya, proporsi

laki-laki yang menggunakan internet untuk membaca berita online,

pengujian dan download software, berbelanja, hiburan, mencari

lowongan pekerjaan, dan mengunjungi situs porno lebih besar dari

perempuan.

Biaya akses internet yang tinggi, rendahnya kecepatan akses

internet dan kurangnya kemampuan berbahasa Inggris diidentifikasi

menjadi kendala paling besar dalam adopsi internet di Indonesia.

Namun, Wahid memberikan kesimpulan umum bahwa tingkat adopsi

internet di Indonesia pada kalangan wanita lebih rendah daripada laki-

laki.

Penggunaan Social Software Pada PTN-PTN di Indonesia

Di tahun 2004 telah terdapat 46 PTN dan lebih dari 2.200

institusi pendidikan tinggi, termasuk lembaga, perguruan tinggi, dan

akademi di seluruh Indonesia (DIKTI, 2004). Untuk mendapatkan

landasan data yang kuat sehingga dapat dipergunakan untuk

menyelidiki lebih dalam mengenai perilaku penggunaan social

software di tingkat universitas maka langkah awal yang peneliti

lakukan adalah mengumpulkan data mengenai penggunaan social

software sebagai bagian dari infrastrukstur-maya (cyber-

infrastructure) dari PTN-PTN di Indonesia. Oleh karena itu survei

yang sederhana dilakukan untuk melihat seberapa banyak dari situs-

situs PTN tersebut yang telah memasukkan setidaknya satu dari

banyak platform social software di situs mereka. Untuk definisi

operasional, peneliti mengambil kategori social software berdasarkan

daftar yang dibuat oleh Wikipedia. Peneliti menggunakan daftar yang

ada di Wikipedia dikarenakan dua alasan; pertama, daftar kategori

yang dimuat Wikipedia menggunakan istilah yang sudah dikenal oleh

90 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

pengguna social software secara umum. Kedua, penggunaan kategori-

kategori yang dibuat dimiliki oleh Wikipedia adalah untuk

menghindari ambiguisitas dari penggunaan label social software itu

sendiri.

Sebagai perbandingan keberadaan infrastruktur-maya di bidang

pendidikan, peneliti juga menghitung keberadaan perpustakaan digital

(digital library) pada situs-situs PTN tersebut. Asumsi di balik

pengikutsertaan ini adalah bahwa melihat perkembangan teknologi

yang pesat membuat kebutuhan atas social software berada pada

tingkatan yang sama dengan keberadaan perpustakaan digital. Hasil

dari survei sederhana sebagaimana ditunjukkan oleh Diagram 1.

menunjukkan bahwa keberadaan e-Learning dan perpustakaan digital

berdiri di persentase tertinggi di antara aplikasi dan perangkat lunak

lainnya (50%). Diantara platform lainnya, peneliti menemukan dari 18

kategori social software di Wikipedia hanya 5 yang digunakan dalam

situs-situs diamati termasuk e-Learning. Persentase penggunaan dapat

dikatakan tidak cukup signifikan berdasarkan kuantitas terutama jika

kita mengingat bahwa aplikasi Web 2.0 telah dikenal di seluruh dunia

setidaknya sejak 2004. Walaupun demikian, terdapat satu hal yang

sangat positif pada situs Universitas Paddjajaran yang telah

menciptakan sebuah media-sharing websites

(http://video.unpad.ac.id/). Di mana dokumen-dokumen visual

perkuliahan dapat disimpan dan terbuka untuk umum. Situs ini

merupakan suatu terobosan terdepan diantara situs-situs resmi PTN di

Indonesia bahkan di tingkat Asia Tenggara dalam melaksanakan

pendidikan berbasis teknologi web.

Berdasarkan data awal seperti terlihat pada diagaram 1 peneliti

kemudian memberikan skor penggunaan social software oleh PTN.

Skor tersebut didistribusikan sebagai 1-2 (skor rendah), 3-4 (skor

sedang), dan 5-6 (skor tinggi). 9 undangan kemudian didistribusikan

ke 9 PTN berdasarkan penggunaan social software di situs mereka. 3

undangan untuk masing-masing tingkat skor PTN dengan skor tinggi,

menengah dan rendah untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Dari 9

undangan, peneliti hanya menerima tanggapan dari 4 perguruan tinggi,

2 tanggapan dari PTN dengan skor tinggi yaitu Universitas

Padjadjaran dan Universitas Lampung, dan 2 dari PTN dengan skor

rendah yaitu Universitas Sriwijaya dan Universitas Jenderal

Soedirman. Kemudian proses wawancara dilakukan antara Juli hingga

Oktober 2008 terhadap 4 responden, 3 laki-laki dan 1 perempuan,

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 91

dengan rentang usia responden antara 26 hingga 38 tahun. Responden

pada penelitian ini mempunyai kriteria sebagai tenaga pengajar tetap

pada universitas yang bersangkutan, berpendidikan sekurang-

kurangnya S2 dan telah mempunyai pengalaman menggunakan social

software, karakteristik responden lain yang muncul kemudian adalah

responden telah mempunyai pengalaman mengajar antara 3 sampai 6

tahun.

Diagram 1

Penggunaan Social Software Pada Website PTN Di Indonesia

(Per Juli 2008)

Tehnik wawancara dipilih sebagai teknik pengumpulan

data dikarenakan waktu penelitian yang dilakukan selama masa

liburan perkuliahan dan awal tahun ajaran 2008/2009 sehingga

sulit bagi peneliti untuk melakukan pengamatan lapangan terhadap

responden di lingkungan mereka sebenarnya. Selain itu, penelitian

ini bersifat independen atau tidak didanai oleh siapapun sehingga

peneliti berusaha menekan biaya pengeluaran seminimal mungkin.

Fokus utama dalam wawancara adalah mencari data mengenai

aktivitas dan pengalaman para responden berkaitan dengan

penggunaan social software dan proses pengajaran yang mereka

lakukan.

PEMBAHASAN

Keberadaan fasilitas internet memang memengaruhi

penggunaan internet di antara para informan, 3 dari mereka

mengatakan bahwa fasilitas wifi yang disediakan oleh pihak

92 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

universitas memang meningkatkan waktu mereka mengakses internet

(online) antara 6 hingga 12 jam per minggu. Hanya seorang informan

yang menggunakan sambungan dial-up (modem) untuk mengakses

internet dikarenakan tidak adanya fasilitas wifi di fakultasnya. Alasan

utama mereka memilih untuk mengakses internet dari universitas

dikarenakan fasilitas tersebut gratis. Tempat kedua para informan

mengakses internet setelah universitas adalah di warung internet

(warnet) dengan intensitas antara 1 sampai 6 jam per minggu.

Mengenai asal mulanya mereka belajar internet seorang informan

mengatakan bahwa seorang teman yang mengajarkan kepada dia

bagaimana cara menggunakan internet. Sedangkan informan lainnya

mengatakan bahwa mereka belajar bagaimana menggunakan internet

dan social software secara otodidak. Temuan ini mungkin tidak

mendukung penelitian sebelumnya tentang adopsi internet di

Indonesia oleh Wahid (2007). Hal ini dikarenakan penelitian ini lebih

melihat pada aspek kualitatif dari penggunaan internet di Indonesia

terlebih pada karakteristik informan yang spesifik sekali. Sekalipun

demikian, data di atas mendukung penelitian yang terdahulu oleh

Wahid, Furuholt, dan Kristiansen (2004 dalam Wahid, 2007) bahwa

sebagian besar pengguna internet di Indonesia mendapat akses mereka

dari warung internet.

Dari wawancara, peneliti menemukan bahwa penggunaan

social software telah dilakukan oleh para informan sebagai media

komunikasi dari proses pengajaran di kelas. Popularitas adalah motif

utama mengapa mereka menggunakan social software sementara ada

juga beberapa yang berpendapat hal ini sebagai usaha mereka untuk

lebih dekat dengan perkembangan teknologi terbaru. Dengan alasan

tersebut maka mudah dimengerti ketika para informan ditanya

mengenai social software apa sajakah yang mereka gunakan,

kesemuanya menjawab dari social software yang paling populer

seperti situs-situs jejaring sosial yaitu Facebook, Multiply, dan

Friendster, kemudian YouTube untuk media-sharing website,

Blogspot untuk weblog, dan Wikipedia. Untuk platform lainnya

mereka akui bahwa mereka mengetahui aplikasi tersebut tetapi tidak

pernah menggunakannya. Salah seorang informan mengatakan bahwa

dia baru saja mulai mengakrabkan diri dengan penggunaan social

software sekitar setahun belakangan dan menurutnya sangat

melelahkan untuk terus menerus beradaptasi dengan versi-versi

terbaru dari social software.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 93

Beberapa perilaku dasar dari penggunaan internet seperti

mengunduh (download), meng-upload, mencari (searching),

menjelajah (browsing), membaca, dan menonton adalah aktivitas yang

paling banyak informan-informan tersebut lakukan dengan

menggunakan social software. Sementara fitur fitur social software

seperti berbagi (sharing), komentar (commenting), melabel (tagging),

memberikan tanda bendera (flagging), dan mengikutsertakan

(embedding) adalah fasilitas-fasilitas yang paling sedikit digunakan

oleh para informan. Temuan ini menarik dikarenakan sesungguhnya

fasilitas-fasilitas yang paling sedikit digunakan itulah yang membuat

social software begitu terkenal penggunaannya. Namun, berkaitan

dengan penggunaan social software sebagai media komunikasi dalam

proses pengajaran, peneliti menemukan beberapa model kegiatan,

antara lain;

a. Mendorong kemampuan menulis mahasiswa dengan

menggunakan blog.

Belajar tidak selalu tentang hasil akhir, terutama bagi mahasiswa

ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, mereka juga harus dimotivasi

dan didorong untuk mengemukakan pendapatnya tentang

fenomena sosial di dunia nyata. Salah satu kegiatan yang dapat

membawa mahasiswa untuk belajar bagaimana mengekspresikan

pemikiran mereka adalah dengan menulis artikel. Mudahnya

penggunaan dan banyaknya pilihan platform membuat blog tidak

hanya cocok sebagai media untuk membantu mahasiswa dalam

proses belajar mereka tetapi juga media bagi sang dosen untuk

mengekspresikan pemikiran mereka mengenai bahan kuliah yang

diajarkannya. Seorang informan berusaha untuk menggabungkan

apresiasi mahasiswa di kelasnya dengan kesukaan mereka untuk

menulis di blog. Ia menugaskan mahasiswanya untuk

menempatkan tulisan-tulisan mereka dalam blog yang sudah

dipersiapkan oleh sang dosen. Setelah itu dia memilih beberapa

artikel terbaik sebagai komponen dalam ujian semester. Dari 40

mahasiswa yang berpartisipasi dalam matakuliah komunikasi

politiknya, 23 mahasiswa kemudian memiliki blog mereka

pribadi.

b. Menggunakan contoh dari media-sharing website untuk

menjelaskan materi kelas.

Ada banyak subjek studi yang kadang-kadang membuat

mahasiswa benar-benar harus berusaha keras untuk bisa

94 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

memahaminya, kecuali jika sang dosen membantu mereka dengan

visualisasi contoh. Semua informan mengakui mereka adalah

pengguna YouTube tetapi hanya seorang informan yang telah

menggunakan YouTube sebagai bagian dari proses

pengajarannya. Sang informan mengatakan bahwa dia

menggunakan video contoh iklan layanan masyarakat (Public

Service Adds/PSA) yang ia temukan dari YouTube di dalam kelas

Social Marketing-nya. Sebelumnya ia kesulitan memberikan

contoh video PSA dikarenakan hak cipta dan keterbatasan

anggaran untuk kegiatan pengajaran di universitasnya. Dengan

menggunakan media-sharing website seperti YouTube, ia dapat

membantu mahasiswanya untuk memiliki pemahaman yang lebih

baik mengenai fenomena sosial yang sedang dibahas dikelasnya.

c. Menerbitkan hasil ujian semester pada blog sang dosen.

Ketika mereka ditanya apakah mereka telah menggunakan

perangkat lunak sosial untuk membantu aktivitas mereka

mengajar dan untuk alasan apa, sebagian besar dari mereka

mengakui bahwa mereka telah menggunakan sekurang-kurangnya

memublikasikan nilai ujian kelas dan juga bahan kuliah di blog

mereka. Seorang informan memberikan alasan bahwa dia memilih

untuk menggunakan blog dalam menyebarluaskan materi

kuliahnya dikarenakan dengan memanfaatkan media komunikasi

tersebut lebih mudah baginya untuk menjangkau mahasiswa-

mahasiswanya. Dia juga berpendapat bahwa dengan

menggunakan blog, dia memberikan kepada mahasiswa waktu

yang lebih leluasa untuk mengakses materi kuliah di luar kelas

atau membaca bahan ujian atau nilai tanpa harus kuatir tercampur

dengan jam belajar mereka di kampus. Informan lain juga

merasakan bahwa mahasiswanya terlihat lebih aktif dalam

mencari bahan perkuliahan dan lebih bisa mengingatnya.

d. Menyebarluaskan materi perkuliahan dengan menggunakan

file-sharing websites.

Fasilitas yang menonjol dari file-sharing website seperti

Megaupload, Rapidshare dan Slideshare adalah kemampuannya

untuk menyimpan dokumen-dokumen digital secara gratis

ataupun mengunduh dokumen-dokumen lainnya. Bagi informan,

situs seperti ini membantu mereka untuk menyebarluaskan materi

perkuliahan dan menyediakannya secara online sepanjang waktu

sehingga bisa diakses mahasiswanya kapan saja dan dimana saja.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 95

e. Menunjukkan empati sang pengajar melalui situs jejaring

sosial.

Peneliti menemukan fakta menarik yang berkaitan dengan

penggunaan social software, terutama yang populer, seperti

menjadi anggota situs jejaring sosial. Dua orang informan

menyatakan dengan bergabung pada situs jejaring sosial tersebut

mereka merasa lebih dekat dengan anak didiknya dibandingkan

sebelum menggunakannya. Seorang informan menyebutkan

bahwa sejak ia bergabung di tahun 2005 sebagai anggota salah

satu situs jejaring sosial yang populer, ia bertemu dengan

mahasiswanya lebih sering dibandingkan dia bertemu dengan

rekan-rekannya seprofesi. Dengan menyetujui undangan

mahasiswanya untuk menjadi teman-teman mereka, ia merasa

lebih dekat dengan anak-anak didiknya atau anak didiknya pun

lebih terbuka kepadanya. Mahasiswa-mahasiswa tersebut kadang

bertanya kepadanya mengenai jadwal kelas, dan ingin berbicara

'dari hati ke hati' dengannya.

f. Beberapa Tantangan Dalam Penerapan Social Software

Meskipun penggunaan social software sudah terbukti membantu

dan dapat berperan sebagai media komunikasi dalam proses

pengajaran tetapi dalam penyebarluasannya masih menemui

banyak tantangan. Tantangan tersebut terutama datang dari pihak-

pihak yang belum dirangkul oleh teknologi ini. Seorang informan

berkata bahwa ia pernah memberikan tugas di kelasnya dengan

menggunakan blog dan meminta mahasiswanya untuk mengirim

jawaban mereka melalui email kepadanya. Kemudian, dia

menerima protes dari salah seorang mahasiswa karena hal

tersebut menyebabkan sang mahasiswa menghabiskan lebih

banyak uang dan waktu untuk mengakses internet di warnet, pada

saat itu memang belum ada akses internet gratis di universitas

sang informan. Tantangan tidak hanya datang dari mahasiswa

tetapi juga dari rekan-rekan informan lainnya yang tidak

menggunakan teknologi tersebut karena banyak faktor, terutama

karena sudah berumur/senior dan biaya yang mesti dikeluarkan.

Seperti yang dikatakan seorang informan; " Secara umum di

lingkungan fakultas saya memang belum banyak yang paham.

Meskipun pihak fakultas telah memfasilitasinya. Karena pada

dasarnya ketidaktahuan mereka hanyalah pada kurangnya

keinginan mereka untuk belajar. "(Informan 2). Diluar hambatan

96 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

di atas, tantangan mungkin datang dari diri mereka sendiri, seperti

pengetahuan mereka tentang perangkat lunak dan bagaimana

menggunakannya. Meskipun sebagian besar social software yang

populer saat ini sangat mudah digunakan dan lebih intuitif. Salah

seorang informan mengatakan bahwa dia mengalami hambatan

dalam menggunakan beberapa social software dikarenakan

kurangnya pemahaman dia tentang penggunaan perangkat lunak

itu sendiri.

KESIMPULAN

1. Hadirnya social software atau juga dikenal sebagai social media

telah memengaruhi berbagai aspek kegiatan manusia saat ini.

Walaupun berbagai studi tentang penggunaan teknologi web ini

dalam dunia pendidikan telah dilakukan di banyak negara maju,

studi tentang pemanfaatannya di negara-negara berkembang masih

rendah termasuk di Indonesia.

2. Social software sebagai suatu media komunikasi dalam proses

belajar-mengajar di Indonesia sudah diterapkan oleh sebagian

sistem pendidikan di universitas-universitas negeri di tanah air.

Survei awal ini menemukan bahwa penggunaan social software

oleh PTN-PTN di Indonesia masih rendah.

3. Temuan selanjutnya bahwa, model praktek-praktek penggunaan

social software sebagai media komunikasi dalam proses

pengajaran adalah : pertama, mendorong kemampuan menulis

siswa dengan menggunakan blog. Kedua, dosen menggunakan

contoh-contoh dari media-sharing website untuk menjelaskan

materi kelas. Ketiga, dosen menerbitkan hasil ujian semester pada

blog dan menyebarluaskan materi perkuliahan dengan

menggunakan file-sharing websites. Keempat, dapat menunjukkan

empati sang pengajar melalui situs jejaring sosial kepada

mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Yuhetty, H. 2002. ICT and Education in Indonesia. Diunduh pada

tanggal 24 Oktober 2008, dari Indonesia Ministry of National

Education official website:

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 97

http://eprints.rclis.org/archive/00007507/01/Indonesia-ICT-

paper.pdf

Allen, C. (2004, October 13). Tracing the Evolution of Social

Software. Diunduh pada tanggal 12 Juni 2008, dari Life With

Alacrity:

http://www.lifewithalacrity.com/2004/10/tracing_the_evo.ht

ml

DIKTI. 2004. Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003-2010.

Jakarta: DIKTI.

Alexander, B. 2006, March/April. Web 2.0; A New Wave of

Innovation for Teaching and Learning? Educause Review ,

pp. 33-44.

O'Reilly, T. 2005, September 30. What Is Web 2.0; Design Patterns

and Business Models for the Next Generation of Software.

Diunduh pada tanggal 12 Juni 2008, dari O'Reilly:

http://www.oreillynet.com/pub/a/oreilly/tim/news/2005/09/3

0/what-is-web-20.html

Dotsika, F. a. 2006. Towards The New Generation of Web Knowledge.

VINE: The Journal of Information and Knowledge

Management Systems , 36 (4), 406-422.

Futurelab. 2006. Opening Education; Social Software and Learning.

UK: Futurelab.

Anderson, P. 2007. What is Web 2.0? Ideas, technologies and

implications for education. UK: JISC Technology and

Standards Watch.

APJII. 2007, December. Statistik APJII. Diunduh pada tanggal 6

Oktober 2008, dari APJII:

http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php?lang=ind

Bryant, L. 2007. Emerging Trends in Social Software for Education.

Emerging Technologies for Learning , 2, pp. 8-20.

Farkas, M. G. 2007. Social software in libraries: building

collaboration, communication, and community online.

Medford, NJ: Information Today Inc.

Franklin, G. 2007. Wiki anyone? Reflections on an information

literacy class wiki. Journal of information literacy , 1 (3).

Franklin, T., & Harmelen, M. v. 2007. Web 2.0 for Content for

Learning and Teaching in Higher Education. London, UK:

Franklin Consulting.

98 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Kirriemuir, J. 2007, October. The Second Life of UK Academics.

Ariadne (53).

Maxymuk, J. 2007. Bits & Bytes, Whose Space? The Bottom Line:

Managing Library Finances , 20 (2), 97-100.

Miners, Z., & Pascopella, A. 2007, October. The New Literacies.

District Administration , pp. 26-34.

Shim, J., Shropshire, J., Park, S., Harris, H., & Campbell, N. 2007.

Podcasting for e-learning, communication, and delivery.

Industrial Management & Data Sytems , 107 (4), 587-600.

Topper, E. F. 2007. What's New In Libraries; Social Networking In

Libraries. New Library World , 108 (7/8), 378-380.

Wahid, F. 2007. Using the Technology Adoption Model to Analyze

Internet Adoption and Use Among Men and Women in

Indonesia. EJISDC , 32 (6), 1-8.

Eijkman, H. 2008. Web 2.0 as a Non-foundational Network-centric

Learning Space. Campus-Wide Information Systems , 25 (2),

93-104.

Ofcomm. 2008. Social Networking: A Quantitative and Qualitative

Research Report Into Attitudes, Behaviours, and Use.

London: Ofcomm Media.

Rector, L. H. 2008. Comparison of Wikipedia and other encyclopedias

for accuracy, breadth, and depth in historical articles.

Reference Services Review , 36 (1), 7-22.

Seegmüller, K. 2008, August. Can Social Software Change Teaching

and Learning? Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2008, dari

Check Point e-Learning: http://www.checkpoint-

elearning.com/article/5813.html

Stats, I. W. 2008, August. Internet Usage in Asia. Diunduh pada

tanggal 12 Oktober 2008, from Internet World Stats:

http://www.internetworldstats.com/stats3.htm

Virkus, S. 2008. Use of Web 2.0 technologies in LIS education:

experiences at Tallinn University, Estonia. Electronic

Library and Information Systems , 262-274.

Wikipedia. 2008, October 8. List of Social Software. Diunduh pada

tanggal 8 Oktober 2008, dari Wikipedia:

http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_social_software

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 99

MOTIVASI PENGGUNA WARUNG MASYARAKAT

INFORMASI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN

BERMEDIA DI PROVINSI JAWA BARAT

Syarif Budhirianto*

Abstraksi

Warung Masyarakat Informasi (Warmasif) merupakan model

pengembangan Community Access Point (CAP), yang ditempatkan

dan dikelola oleh unit Bisnis Kantor Pos setempat. Keberadaannya

penting dalam mempercepat tercapainya masyarakat informasi yang

ditargetkan tahun 2015 tercapai, yakni dengan melakukan akses

informasi, interaksi sosial/komunikasi melalui fasilitas teknologi

informasi dan komunikasi (TIK) kepada masyarakat. Penelitian ini

bertujuan mendeskripsikan tentang motivasi pengguna Warmasif

dalam pemenuhan kebutuhan bermedia bagi masyarakat 7 (tujuh)

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukan

bahwa keberadaan Warmasif untuk pemenuhan kebutuhan informasi

dan komunikasi kurang optimal dimanfaatkan sesuai dengan tujuan

dan sasarannya, sementara pemenuhan kebutuhan hiburan dinilai

cukup tinggi pemanfaatannya.

Kata kunci: CAP, Warmasif, kebutuhan bermedia.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merupakan salah

satu pilar utama pembangunan bangsa saat ini, dan tidak satu bidang

kehidupan/sektor pembangunan nasional yang tidak memerlukan

penggunaan TIK. Bahkan maju tidaknya suatu negara ditentukan

oleh penguasaan TIK oleh masyarakatnya. Dengan penguasaan

teknologi tersebut, segala aktivitas informasi dan komunikasi dapat

berjalan dengan cepat tanpa ada hambatan batas-batas suatu negara..

* Drs. Syarif Budhirianto adalah peneliti muda di Balai Pengkajian dan

Pengembangan Komunikasi dan Informatika(BP2KI) Bandung.

100 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Untuk terwujudnya masyarakat informasi yang efektif dan

efisien dalam meningkatkan kesejahteraan, maka pemerintah

memberikan fasilitas teknologi informasi dan telematika (TIK) kepada

masyarakat. Salah satu fasilitas yang sudah dilakukan adalah dengan

pemberdayaan telematika dan pemerataan infrastruktur informasi ,

seperti memfasilitasi pembangunan Community Access Point (CAP) di

berbagai daerah di Indonesia.

CAP merupakan fasilitas yang diberikan kepada masyarakat di

bidang TIK, sehingga mereka dapat mengenal lebih jauh tentang

manfaat dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia di

bidang teknologi informasi dan komunikasi, serta mengurangi

kesenjangan digital/digital device (Infomobilitas,2007:25) . Keterlibatan

masyarakat dalam pemberdayaannya harus mampu mendorong upaya

mewujudkan masyarakat informasi dalam menciptakan peluang-

peluang digital. Saat ini keterlibatan masyarakat lebih banyak

difasilitasi oleh sejumlah inisiatif penyediaan TIK yang berorientasi

bisnis, misalnya wartel atau warnet, komunitas sekolah atau kampus

yang didukung dengan fasilitas internet.

CAP sebagai wahana multiguna untuk pengembangan

masyarakat sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Di Indonesia

tempat-tempat sejenis ini tumbuh dengan beragam nama, diantaranya

Balai Informasi Masyarakat (BIM), Warung Informasi Teknologi

(WARINTEK), Community Learning Centre, Community Training

and Learning Center (CTLC), Warung Masyarakat Informasi

(Warmasif), Telecenter, dan lain-lain. Salah satu model

pengembangan CAP hasil kerja sama Ditjen Aplikasi Telematika cq

Dit. E-Business dengan Kanwil Pos setempat dan Pemerintah Daerah

setempat adalah Warmasif. Salah satu tujuannya adalah mempercepat

dan menunjang tumbuh dan berkembangnya usaha pertanian, usaha

kelautan dan perdagangan komoditi unggulan melalui e-commerce

atau e-UKM yang terdapat di wilayah setempat (Studi Pemberdayaan

CAP,2007 :20).

Dengan demikian masyarakat dapat memanfaatkan informasi

secara optimal melalui sarana CAP, diantaranya mengetahui harga-

harga pasar dari produk pertanian atau perikanan, sehingga seorang

petani dapat memperkirakan harga yang sesuai untuk hasil

produksinya dan dapat belajar mengenai cara mengolah hasil tani.

Di negara berkembang lainnya, jenis CAP sudah dilakukan

dengan baik, seperti Peru, China, Jordan , India dan lain-lain. Namun

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 101

dengan tidak bermaksud menutupi fakta, ada juga CAP yang dibangun

dan menuai kegagalan memberikan manfaat ekonomis untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Dari kasus-kasus

gagal inilah masyarakat pada umumnya menganggap bahwa strategi

peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan TIK

tidak tepat sasaran.

Keberadaan 7 (tujuh) Warmasif yang berlokasi di Provinsi

Jawa Barat (Kota Bekasi, Kota Bandung, Kab. Garut, Kota

Tasikmalaya, Kab. Kuningan, Kab. Karawang, dan Kab.Purwakarta)

yang berdiri awal tahun 2007 perkembangannya belum memenuhi

harapan sesuai dengan tujuan dan sasarannya.Upaya dalam

pembangunan Warmasif memang bukan hal yang mudah dilakukan,

karena diperlukan upaya dan pemahaman yang cukup mendalam.

Tuntutannya bukan saja agar masyarakat mendapatkan akses terhadap

informasi, melainkan juga tatanan kehidupan masyarakat itu, baik

sosial, budaya dan ekonomi juga memerlukan dukungan agar menjadi

lebih baik, lebih transparan dan membuka peluang setiap anggota

masyarakat dalam memanfaatkan TIK. Selain itu dapat bermanfaat

untuk membantu mengatasi masalah kehidupan masyarakat dengan

tidak mengabaikan faktor manusia, perubahan budaya, sikap dan

perilaku yang melandasi kearifan budaya lokal merupakan sesuatu

yang penting dan strategis.

Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka masalah penelitian ini

adalah bagaimana motivasi pengguna Warmasif dalam memenuhi

kebutuhan bermedia di Provinsi Jawa Barat? Identifikasinya adalah :

1. Bagaimana motivasi pengguna dalam mengakses fasilitas-fasilitas

di Warmasif dalam pemenuhan kebutuhan informasinya.

2. Bagaimana motivasi pengguna dalam pemenuhan kebutuhan

hiburannya

3. Bagaimana motivasi pengguna dalam pemenuhan kebutuhan

komunikasi (interaksi sosial).

Tujuan

1. Untuk mengetahui pemanfaatan warmasif oleh pengguna dalam

pemenuhan kebutuhan informasi.

102 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

2. Untuk mengetahui motivasi pengguna dalam mengakses fasilitas-

fasilitas dalam pemenuhan kebutuhan hiburan dan

komunikasi/interaksi sosialnya.

3. Untuk mengetahui motivasi pengguna dalam pemenuhan

kebutuhan berkomunikasi (interaksi sosial).

Manfaat

1. Bermanfaat bagi Ditjen Aplikasi dan Telematika Departemen

Komunikasi dan Informatika dalam rangka penyusunan program,

strategi dan kebijakan pemberdayaan Warmasif sebagai sarana

pemenuhan kebutuhan informasi sesuai dengan sasaran dan

tujuannya.

2. Berguna bagi pengelola Warmasif dalam meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat.

3. Melalui peningkatan fungsi, peran dan pemanfaatan secara optimal

berguna bagi masyarakat untuk mendukung upaya mempercepat

tercapainya masyarakat informasi Indonesia yang ditargetkan

tahun 2015.

Kerangka Pemikiran

Motivasi dan Kebutuhan Media

Kebutuhan manusia yang berkaitan dengan media menurut

McQuail dalam Lull (1998:120) meliputi kebutuhan akan informasi,

hiburan dan integrasi sosial. Lebih lanjut menurut Katz, bahwa untuk

memenuhi kebutuhan bermedia , setiap individu dapat mencapainya

dengan cara pemenuhan kebutuhan yang didapatkan dengan cara

mengakses/menggunakan media yang diharapkan dapat memenuhi

kebutuhannya itu.

Menurut Gerungan (1983: 25), motif merupakan suatu

pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan, atau

dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat

sesuatu “. Berkaitan dengan motif manusia yang menggunakan media

internet, hal ini didasarkan pada suatu kebutuhan tertentu. , menurut

Katz dalam Marshall (2000), beberapa kategori kebutuhan individu

yang semuanya berasal dari fungsi sosial dan psikologi dari media

diantaranya kebutuhan kognitif, afektif, integrative personal, interaksi

sosial, dan kebutuhan akan pelarian.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 103

Media internet merupakan salah satu media massa yang pada

pemunculannya bisa disebut membuat revolusi tersendiri baik untuk

dunia komputer maupun pada dunia media massa. Media ini memiliki

daya tarik tersendiri. Dalam hal daya tarik komunikasi, internet

menawarkan kemampuan berkomunikasi secara elektronik (e-mail

dan chatting) yang relatif mudah dan murah selama 24 jam penuh.

Internet juga memberikan kemungkinan dan kemudahan untuk

mencari dan mengakses berbagai macam informasi.

Hunter beranggapan bahwa “Audiens tidak sepenuhnya pasif

tetapi mereka merupakan individu yang secara sadar memilih jenis

dan isi media. Dari media inilah mereka mencari informasi dan

mendapatkan hiburan untuk memuaskan kebutuhan pribadi dan sosial

mereka”. Dengan kata lain, teori ini menunjukan bahwa “ yang

menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah

sikap dan perilaku khalayak, tetapi bagaimana media memenuhi

kebutuhan pribadi dan sosial khalayak” (Effendi,1993:289)

Kemudian Katz Hass dan Gurevitch memberikan beberapa

kategori kebutuhan individu, yang semuanya berasal dari fungsi sosial

dan psikologi dari media, kategori ini antara lain:

1. Kebutuhan interaksi sosial : memperkuat hubungan dengan

keluarga, teman, dengan alam sekitar.

2. Kebutuhan akan pelarian : hasrat melarikan diri dari kenyataan,

melepaskan ketegangan, kebutuhan akan hiburan. (Marshall,Jr.,

2000)

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat dicapai dengan dua

cara, yaitu : (1) Pemenuhan kebutuhan yang didapatkan dengan cara

mengakses/menggunakan media yang diharapkan dapat memenuhi

kebutuhan (2) Pemenuhan kebutuhan didapatkan dengan cara

mempelajari isi informasi dalam media yang kemudian diterapkan

dalam praktek.

Berdasarkan hal tersebut, dapatlah diambil suatu modifikasi

tentang macam-macam kebutuhan yang menjadi dasar motivasi para

pengguna media internet ke dalam empat bagian yang mencakup

fenomena penggunaan media internet dan www, yaitu :pemenuhan

kebutuhan informasi, hiburan, interaksi sosial, serta kebutuhan

pendidikan. Sehingga bagi masyarakat pengguna teknologi informasi

dan komunikasi dapat meningkatkan terpaan media alternatif , di

samping penggunaan media ini sebagai pemberdayaan dalam

104 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

meningkatkan pemakaian TIK, atau mengeleminir kesenjangan digital

di masyarakat digital divide. (Kominfo,2002)

Adapun pengertian dari motivasi menurut Sumantri adalah

suatu proses penting untuk memahami tentang mengapa dan

bagaimana perilaku seseorang dalam melakukan kegiatan tertentu,

yakni :

1. Kebutuhan (needs): kebutuhan merupakan suatu kekurangan dalam

pengertian keseimbangan, kebutuhan tercipta apabila terjadi

ketidakseimbangan fisiologis, psikologis atau sosiologis.

2. Dorongan (drives): berorientasi pada tindakan untuk mencapai

tujuan.

3. Tujuan (goals): segala sesuatu yang akan meredakan suatu

kebutuhan dan akan mengurangi dorongan. (Sumantri,2001:54)

Manusia mempunyai kebutuhan yang diusahakan untuk

dipenuhi atau berusaha untuk dipuaskan. Kegiatan untuk memenuhi

kebutuhan inilah yang menjadi motivasi setiap individu. Menurut

Halloran, motivasi adalah proses yang terdiri dari 3 tahap , yaitu :

kebutuhan internal (internal need), kegiatan untuk memuaskan

kebutuhan (a behavioral action to satisfy that need), dan pelaksanaan

pemuasan kebutuhan itu (the accomplishment or the satisfaction of

that need)(Effendi, 1993:113).

Media Internet dan Community Access Point

Di Provinsi Jawa Barat termasuk di tujuh kabupaten dan kota

yang terdapat Warmasif, kini semakin banyak orang yang

memanfaatkan internet untuk bermacam-macam kebutuhan, seperti

kebutuhan akan informasi, hiburan maupun interaksi sosial, bahkan

untuk keperluan bisnis. Selain telah secara revolusioner mengubah

metode komunikasi massa dan penyebaran data atau informasi,

internet juga telah membuktikan sebagai medium berjangkauan massal

yang paling fleksibel.

Media internet dapat dengan mudah mengintegrasikan seluruh

bentuk media massa konvensional seperti media cetak dan audio

visual bahkan tradisi lisan (oral tradition) melalui fasilitas-fasilitas

yang ada. Fasilitas tersebut menurut Yuswanto adalah :

1. Fasilitas search engine : fasilitas pada media internet yang

dirancang khusus untuk menyimpan serta menyusun jutaan alamat

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 105

situs yang sudah didaftarkan sebelumnya berdasarkan topik-topik

tertentu, seperti www.yahoo.com

2. Fasilitas situs web (web sites) : fasilitas pada media internet yang

menyimpan semua jenis informasi (file tulisan, gambar, video dan

suara). Pada situs web ini tersimpan halaman web (web page) yang

saling terhubung.

3. Fasilitas e-mail (electronic mail) : fasilitas pada media internet dan

www yang berguna untuk mengirimkan pesan dalam format data

elektronik dari satu komputer ke komputer lainnya. Ketika

mengirimkan e-mail, pesan tersebut dikirimkan ke komputer yang

ada di ISP (internet service provider) yang kemudian dikirimkan

kepada penerima pesan.

4. Fasilitas Internet Relay Chat (chatting) : fasilitas pada media

internet dan www yang memungkinkan para penggunanya untuk

melakukan percakapan mengenai topik tertentu

5. Fasilitas FTP (file transfer protocol) : fasilitas pada media internet

yang dirancang untuk mengirimkan (upload) dan menerima

(download) suatu data.

6. Fasilitas order : fasilitas pada media internet yang memungkinkan

para penggunanya melakukan suatu transaksi ekonomi dengan

sistem keamanan yang sangat pribadi. (Yuswanto,2000:3)

CAP merupakan sebuah pusat atau sentra di mana masyarakat

(khususnya yang berada di perdesaan) dapat melakukan berbagai

aktivitas komunikasi dan pengaksesan informasi dengan

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang tersedia,

terutama telepon, faksimili, komputer berikut perangkat

pendukungnya, akses internet, dan layanan informasi lainnya, serta

layanan yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,

seperti peningkatan wawasan, ketrampilan, keahlian melalui

pendidikan dan latihan bagi masyarakat.

Proyek Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP) kerjasama

Bappenas dengan UNDP, dengan pengembangan telesenter sebagai

model dari CAP, merupakan suatu fasilitas tempat masyarakat dapat

berinteraksi, belajar , bekerja dan mendapat hiburan dengan

memanfaatkan komputer, internet dan berbagai teknologi informasi

dan komunikasi (TIK) lainnya. Telecenter memungkinkan

masyarakat melakukan hal tersebut dengan pihak di luar daerahnya,

bahkan dengan dunia internasional melalui internet. Walaupun

106 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

berbeda-beda bentuknya, telecenter mempunyai karakteristik khusus,

yaitu mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat, seperti

membantu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan

bernegara, berdemokrasi dan pembangunan, meningkatkan kapasitas

masyarakat dalam berorganisasi dan melakukan usaha , meningkatkan

peran serta pemuda/i dan perempuan, mengurangi keterisoliran,

mengurangi kesenjangan digital, dan sebagainya. (Proyek Bappenas &

UNDP, 2007:17).

Pada dasarnya CAP bertujuan untuk : Pertama, meningkatkan

kesadaran masyarakat perdesaan tentang arti penting informasi dan

penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT), sekaligus

mengurangi kesenjangan akses informasi antara masyarakat perkotaan

dan perdesaan. Kedua, memberikan peluang untuk meningkatkan

ekonomi masyarakat perdesaan dengan memanfaatkan ICT. Ketiga,

meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui perbaikan

tingkat pendapatan. Keempat, memerangi kemiskinan dengan

memanfaatkan ICT.

Metode Penelitian

1. Sifat penelitian ini adalah deskriptif, pendekatannya kuantitatif,

yakni untuk mengungkapkan motivasi pengguna (user) Warmasif

sebagai pemenuhan kebutuhan bermedia di 7 ( tujuh )

kabupaten/kota di Jawa Barat terhadap pemenuhan bermedia.

Lokasi penelitian adalah di Provinsi Jawa Barat. Dari 26 jumlah

kota dan kabupaten yang ada, hanya ada 7 (tujuh) kabupaten dan

kota yang terdapat fasilitas Warung Masyarakat Informasi (

Warmasif ), yaitu berdasarkan kesepakatan Direktorat Aplikasi dan

Telekomunikasi (Depkominfo) dengan PT. Pos Indonesia yakni,

Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Tasikmalaya, Kab. Karawang,

Kab. Kuningan, Kab. Garut, dan Kab. Purwakarta.

2. Responden penelitian untuk masing-masing Warmasif adalah 10

orang , jumlah keseluruhan 70 responden. Pengambilan responden

untuk masing-masing Warmasif dilakukan dengan sampel random

secara ordinal (Ordinal random sampling). Adapun dalam konteks

pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan

daftar catatan pengunjung dalam sebulan terakhir, kemudian

daftar tersebut di satukan untuk diberi nomor secara berurutan

mulai dari nomor satu sampai terakhir. Untuk pengambilan sampel,

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 107

diambil secara purposif mulai dari nomor ganjil terkecil (nomor

1,3,5 dan seterusnya sampai mendapat 10 sampel)

Adapun data populasi atau pengunjung warung masyarakat

informasi tanggal 1 – 30 April 2007 (Minggu tutup) per lokasi

penelitian berdasarkan data hasil pra penelitian, sebagai berikut :

No. Lokasi Warmasif Jumlah Pengguna

1. Kota Bandung 130 orang

2. Kota Bekasi 35 orang

3. Kota Tasikmalaya 78 orang

4. Kab. Karawang 52 orang

5. Kab.Kuningan 12 orang

6. Kab. Garut 101 orang

7. Kab. Purwakarta 19 orang

Sumber:Pengelola Warmasif Setempat, April 2007 (diolah)

3. Pengumpulan data primer adalah kuesioner serta wawancara

dengan pengelola dan nara sumber di lokasi penelitian. Sedangkan

data sekunder melalui studi kepustakaan dan literatur.

4. Pengolahan data dilakukan dengan menginventarisir seluruh data

yang terkumpul dari hasil pengisian kuesioner serta hasil

wawancara, selanjutnya dilakukan perhitungan tabulasi frekuensi,

dan dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi.

Definisi dan Operasionalisasi Konsep

Definisi Konsep

Motivasi merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua

penggerak, alasan-alasan, atau dorongan-dorongan dalam diri manusia

yang menyebabkan ia berbuat sesuatu . Motif manusia merupakan

kebutuhan tertentu dalam mengakses media internet di Warmasif,

macam-macam kebutuhan yang menjadi dasar motivasi para pengguna

media internet digolongkan ke dalam empat bagian yang mencakup :

pemenuhan kebutuhan informasi, hiburan, dan interaksi

sosial/komunikasi . (Gerungan,1983)

Warmasif adalah model pengembangan Community Access

Point (CAP) dimana masyarakat yang berada di suatu wilayah dapat

melakukan komunikasi, akses informasi global, pemasaran melalui

108 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

internet, transaksi online dan akses perpustakaan digital.Warmasif

dibentuk berdasarkan kesepakatan kerja sama antara Ditjen Aplikasi

Telematika Depkominfo dengan Dirut PT POS INDONESIA.

Operasionalisasi Variabel

Variabel motivasi kebutuhan bermedia terdiri atas sub variabel :

pemenuhan kebutuhan informasi, pemenuhan kebutuhan hiburan, dan

pemenuhan kebutuhan berkomunikasi.

1. Pemenuhan kebutuhan informasi, dengan indikator : asal mula

mengenal Warmasif, jenis-jenis informasi, fasilitas internet

Warmasif dalam proses pencarian informasi, dan sikap para

pengguna tentang informasi yang didapat.

2. Pemenuhan kebutuhan hiburan, dengan indikator : pengetahuan

para pengguna tentang hiburan , pengguna menggunakan fasilitas

internet untuk mencari hiburan, dan sikap para pengguna tentang

hiburan.

3. Pemenuhan kebutuhan komunikasi, dengan indikator :

pengetahuan para pengguna tentang komunikasi pada media

internet, penggunaan fasilitas internet di Warmasif untuk

melakukan interaksi sosial, dan sikap para pengguna tentang

interaksi sosial .

WARUNG MASYARAKAT INFORMASI

Tujuan dan Sasaran

Warmasif dibentuk berdasarkan kesepakatan kerja sama antara

Ditjen Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika

dengan Dirut PT POS INDONESIA, yaitu dalam upaya

mengembangkan perdagangan komoditi unggulan melalui

perdagangan elektronik / e-commerce atau e-UKM, meningkatkan

layanan informasi dan pendidikan masyarakat.

Tujuan Warmasif adalah :

1. Mempercepat tercapainya masyarakat informasi Indonesia (MII)

yang ditargetkan tahun 2015 tercapai.

2. Mempercepat dan menunjang tumbuh dan berkembangnya usaha

pertanian, usaha kelautan dan perdagangan komoditi unggulan

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 109

melalui e-commerce atau e-UKM yang terdapat di wilayah

setempat.

3. Pendidikan masyarakat melalui perpustakaan digital dan layanan

informasi kesehatan serta layanan informasi lain-lain.

4. Mempercepat terwujudnya Universal Service Obligation (USO)

dalam bidang komunikasi dan informasi.

HASIL PENELITIAN

Identitas Responden

Jumlah responden penelitian adalah 70 (tujuh puluh) orang ,

identitasnya meliputi : jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan pendidikan.

Jenis kelamin responden, laki-laki (Bandung):7,Bekasi: 5,Karawang:

9,Tasikmalaya: 6,Purwakarta: 3,Garut: 5, Kuningan: 8 = 43

(61,42%)), perempuan (Bandung) : 3, Bekasi: 5,

Karawang:1,Tasikmalaya:4,Purwakarta:7,Garut:5,Kuningan:2 = 27

(38,58%)). Dari 70 responden yang berada di 7 (tujuh) lokasi

Warmasif di kota dan kabupaten di Jawa Barat, sebagian besar

berjenis kelamin laki-laki. Tetapi Kategori jenis kelamin ini bukan

merupakan satu-satunya faktor yang diteliti.

Sedangkan usia mereka yang terbesar adalah antara 17 – 24

tahun, disusul antara 25 – 32 tahun, dan sebagian kecil lagi adalah

mereka yang berumur lebih dari 57 tahun. Banyaknya mereka yang

mengunjungi Warmasif dari kalangan usia muda, karena pengetahuan

dan pergaulan mereka semasa di bangku sekolah lebih tertarik

mempelajari TIK.

Usia mereka sebagian besar adalah antara 17 – 24 tahun yaitu

sejumlah 41 orang atau 58,57 %. Pekerjaan responden sebagian besar

adalah dari kalangan pelajar dan mahasiswa, yakni 40 orang dan

sebagian kecil lainnya adalah petani, pengusaha, profesional, dan

pensiunan, yaitu masing-masing satu orang. Sedangkan pendidikannya

sebagian besar berlatarbelakang SMA, dan hanya sebagian kecil saja

dari sekolah dasar. Hal ini menunjukan keberadaan Warmasif masih

didominir oleh mereka yang berlatar belakang pelajar dan mahasiswa.

Data secara rinci dapat dilihat pada tabel 1.

110 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Tabel 1

Identitas Responden

Identitas

Responden Bdg. Bks. Krwng Tskml Pwkrt Grt. Kng

Total 7 kota

(Persentase)

Usia

Krg. Dr. 17 th. 4 3 3 2 1 3 4 20 (28,95%)

17-24 th. 2 4 1 7 1 3 3 21 (29,57 %)

25-32 th. - 1 3 - 5 3 1 13 (18,57 %)

33-40 th. 1 - 3 1 - - - 5 (7,14 %)

41-48 th. 2 - - - 1 - 2 5 (7,14 %)

49-56 th. - 2 - - 1 1 - 4 (5,71 %)

57 th. lebih 1 - - - 1 - - 2 (2,85 %)

Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 70 (100 %)

Pekerjaan

Pelajar/mhsw. 5 6 5 7 8 3 6 40 (57,14 %)

Karyawan 2 1 - - 1 2 - 6 (8,57 %)

Petani/nelayan - - - - 1 - - 1 (1,42 %)

PNS/ABRI - - 1 - - 2 - 3 (4,28 %)

Pengusaha - - - - - 1 - 1 (1,42 %)

Profesional - - 1 - - - - 1 (1,42

%)

Pensiunan - - - 1 - - - 1 (1,42 %)

Tidak kerja 3 2 1 - - 1 2 9 (12,85 %)

Ibu rumah tgg. - 1 - 1 - 1 2 5 (7,14 %)

Lain-lain ... - - 2 1 - - - 3 (4,28 %)

Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 70 (100 %)

Pendidikan

SD 1 - - - - - 1 2 (2,85%)

SMP 2 3 - 2 1 - 1 9 (12,85 %)

SMA 5 4 5 6 7 7 4 38 (55,14 %)

Diploma - 3 4 2 - - 3 12 (18,57 %)

Sarjana 2 - 1 - 2 3 1 9 (12,85 %)

Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 70 (100 %)

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 111

Berdasarkan karakteristik/identitas responden tersebut, secara

keseluruhan dari jawaban yang diberikan dipandang cukup memenuhi

syarat untuk diikutsertakan dalam pembahasan hasil penelitian.

Pemanfaatan Warmasif

Frekuensi pemanfaatan Warmasif di Kantor Pos sejak berdirinya

awal tahun 2007, adalah 1-3 kali 51 (72,86%); 4-6 kali 15 (21,43%);

7-9 kali 4 (5,71%).

Keberadaan Warmasif tergolong baru, dan belum semua

masyarakat mengetahui , hal ini karena sosialisasi belum optimal.

Sebagian besar pengguna Warmasif pemanfaatannya antara 1 sampai

3 kali , dan tidak ada seorangpun yang telah mengunjungi 10 kali

lebih. Kurangnya masyarakat menggunakan Warmasif dimungkinkan

karena letaknya hanya di kantor pos, serta ada persaingan dari usaha

sejenis yang bertebaran di sudut-sudut kota, seperti warnet (warung

internet).

Tabel 3

Asal Mula Mengetahui Warmasif

No. Sumber Frekuensi Persentase

1. Keluarga 9 15,71

2. Teman 11 21,43

3. Tempat kerja 1 2,86

4. Pemerintah - -

5. Media cetak (surat kabar,majalah

dll.) 7 11,43

6. Media elektronik (televisi, radio,

internet dll.) 8 14,28

7. Di Kantor Pos 28 27,14

8. Lainnya 5 2,86

Jumlah 70 100

Asal mula para responden mengetahui keberadaan Warmasif,

sebagian besar dari Kantor Pos, baik sewaktu ada urusan dengan

perposan, atau mengetahui ketika lewat ke kantor pos secara tidak

sengaja. Hal ini wajar karena Warmasif keberadaannya masih satu

112 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

atap dengan Kantor Pos, dan masih dikelola oleh pegawai pos

sendiri. Sedangkan dari kalangan pemerintah dinilai usaha sosialisasi

kurang optimal, sehingga dari 70 responden tidak ada yang tersentuh.

Selanjutnya , asal mula mengetahui Warmasif dari pihak

keluarga, teman, dan dari media elektronik berimbang. Bila dari

keluarga dan teman diperoleh dari informasi langsung, sedangkan

media didasarkan pada terpaan yang mereka peroleh. Sedangkan

mereka yang menyatakan lainnya adalah yang tidak menyebut secara

pasti darimana asal mula mengetahui istilah Warmasif atau ragu

menyebut sumber beritanya.

Tabel 4

Motif Pemanfaatan Warmasif

No.

Motif

Ya Tidak

F % F %

1. Pemenuhan kebutuhan informasi 61 87,14 9 12,86

2. Pemenuhan kebutuhan hiburan 60 85,71 10 14,29

3 Pemenuhan kebutuhan komunikasi/interaksi sosial 49 70,00 21 30,00

Motif penggunaan Warmasif oleh pengguna sebagian besar adalah

untuk pemenuhan kebutuhan informasi dan hiburan, dan sebagian

kecil lainnya adalah untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun

tulisan. hal ini menunjukkan bahwa media ini sangat berguna untuk

dijadikan sebagai media untuk mencari informasi dan hiburan.

Sebagaimana dikemukakan oleh MC Quail bahwa “media massa harus

dapat digunakan untuk mencari informasi tentang peristiwa dan

kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat dan

dunia. (McQuail,1987:72).

Pemenuhan Kebutuhan Informasi

Pemenuhan kebutuhan informasi yang diungkap adalah :

kebiasaan dalam mencari informasi, jenis informasi yang dicari,

fasilitas yang sering digunakan , frekuensi per minggu , dan sikap

mengenai informasi media internet.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 113

Tabel 5

Jenis Informasi

No. Jenis Informasi Frekuensi Persentase

1

Informasi yang berhubungan dengan ilmu

pengetahuan dan bidang pendidikan (e-learning

atau e-education)

22 13,25

2 Informasi yang berhubungan dengan bidang

kesehatan 14 8,43

3 Referensi perpustakaan (library online) 27 16,26

4

Mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam

bidang perdagangan, sep. Menjual, membeli,

promosi produk (e-commerce)

10 6,02

5 Belajar tentang menggunakan komputer 8 4,82

6 Mencari pekerjaan melalui internet 30 18,07

7 Mencari informasi pemerintahan (e-

government) 5 3,01

8 Informasi sosial, politik, budaya, olah raga dll.

(umum). 43 25,90

9. Lainnya 7 4,21

J u m l a h 166 100

n: 70, lebih dari satu jawaban.

Jenis informasi yang bersifat umum (sosial,politik, budaya,

olah raga dan lain-lain) yang sering di akses oleh para pengunjung

warmasif, disamping itu tidak sedikit yang mengakses tentang

informasi di bidang pendidikan (e-education), mencari referensi

perpustakaan (library online), dan informasi tentang lowongan

pekerjaan.

Sebaliknya informasi yang berhubungan dengan bidang

perdagangan, seperti menjual, membeli, promosi produk (e-

commerce) utamanya dari sektor usaha kecil dan menengah (UKM) ,

serta di bidang kesehatan yang notabene program dari Warmasif

kurang diminati oleh penggunanya. Hal ini karena sebagian

pengunjung Warmasif dari kalangan generasi muda (pelajar dan

mahasiswa) yang kurang begitu berkepentingan (concern) dengan

masalah-masalah perdagangan dan kesehatan, mereka justru sering

mengakses dengan tren-tren yang berkembang dengan tuntutannya.

114 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Fasilitas yang paling sering digunakan para responden untuk

mencari informasi adalah fasilitas search engine (mesin untuk mencari)

diantaranya yang paling terkenal adalah yahoo dan google yakni 40

(73%). Selanjutnya Website atau situs 8 (8,1%), e-mail (surat

elektronik) 5 (9,5%), Chatting 7 (5,4%), FTP/order 1(4,1%)Sikap

pengguna tentang informasi yang di akses di Warmasif tergolong

bagus , kecuali mereka yang ingin mendapatkan pekerjaan sesuai

dengan yang diinginkan yang tergolong berimbang atau cukup bagus.

Dari berbagai informasi yang ada di internet ternyata sebagian

besar responden menyatakan berita-berita yang ada pada media ini

sangat aktual serta selalu mendapatkan topik informasi tertentu yang

dicari. Hal ini karena pemegang website atau situs di internet selalu di

updating sesuai dengan kejadian faktual di masyarakat. Dengan cara

inilah keberadaan media internet akan eksis dicari oleh user serta

menyediakan data terbaru ( actual information) dibandingkan dengan

media lainnya, seperti media televisi, radio, koran ataupun majalah.

Sebaliknya, sebagian kecil dari mereka yang menilai bahwa

berita-beritanya tidak aktual dan kurang dipercaya, dikarenakan saat

mengakses pemegang website tidak meng up date data yang terbaru.

Pemenuhan Kebutuhan Hiburan

Tabel 6

Jenis Hiburan Ketika Mengakses Media Internet

No. Jenis Hiburan Frekuensi Persentase

1. Lagu (MP3) 8 13,4

2. Chatting 22 35,8

3. On-line games 5 9

4. Adult web, situs porno - -

5. Lagu (MP3) danchatting 7 7,5

6. Lagu (MP3) dan on-line games 5 9

7. Lagu (MP3) dan situs porno 10 17,9

8. Chatting dan on-line games - -

9. Chatting dan situs porno 3 7,5

Jumlah 60 100

Dari tabel di atas tergambar bahwa salah satu jenis hiburan yang

paling banyak dicari oleh pengguna Warmasif adalah chatting . Hal ini

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 115

dilakukan tidak hanya untuk berinteraksi dengan teman atau dengan

sanak saudara yang tinggal saling berjauhan, tetapi juga dilakukan

dengan individu yang sama sekali tidak saling mengenal, tidak hanya

sekedar berkenalan secara online. Jenis hiburan lainnya adalah

mendengarkan dan men-download lagu-lagu berformat MP3, baik

lagu baru atau lama yang tak kalah kualitasnya dengan CD audio yang

berformat Wav. Salah satu situs yang paling terkenal dan paling

banyak digemari adalah www.mp3.com.

Fasilitas yang paling sering digunakan untuk mencari hiburan

adalah : search engine 46,3%, website atau situs 4,5%, e-mail 1,5%,

chatting 38,8%, FTP 9%. Hampir setengah responden menggunakan

search engine karena tidak mengetahui alamat situs yang akan dituju,

sehingga penggunaan fasilitas ini sangat membantu dalam hal

pencarian alamat situs yang dimaksud. Fasilitas chatting juga dapat

digunakan untuk menghibur diri dengan cara melakukan percakapan

dengan teman, keluarga, bahkan berkenalan dengan orang yang

tinggal di luar negeri.

Pemenuhan Kebutuhan Berkomunikasi

Jenis interaksi sosial yang sering dilakukan adalah percakapan

online dinyatakan oleh 53,7%, dan berkirim surat secara online 46,3%.

Banyaknya yang melakukan interaksi berupa percakapan secara online

dengan sebutan chatting, karena sebagai salah satu cara menjalin

komunikasi dengan kerabatnya secara realtime. Begitu pula

berkiriman surat secara online, tidak hanya dalam kecepatan proses

pengiriman, tetapi menyangkut biaya yang murah.

Fasilitas yang sering digunakan untuk berkomunikasi / interaksi

sosial tergambar sebagai berikut : search engine 2 orang (3,7%),

website atau situs 4 orang (6,1%), e-mail 21 orang (30,5%), chatting

39 orang (53,7%) dan e-mail serta chatting 4 orang (6,1%).

Banyaknya yang tertarik menggunakan fasilitas chat dikarenakan

mereka dapat menjadi bagian dari penduduk dunia yang sedang on

line. Begitu pula penggunaan e-mail, mereka dapat berkiriman surat

dengan berbagai macam data, seperti file gambar, lagu, suara bahkan

file video.

Responden beranggapan bahwa berkirim surat secara online

cukup mudah, begitu pula dalam hal kerahasiaan atau privacy

menyatakan penggunaan e-mail cukup terjaga. Hal ini karena pada

116 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

setiap alamat e-mail yang responden miliki dilindungi oleh password

atau kata kunci yang hanya diketahui oleh para responden itu sendiri.

Seperti terlihat pada tabel berikut,

Tabel 7

Sikap Pengguna Tentang berkomunikasi Pada Media Internet

No. Interaksi Sosial/komunikasi

Sikap

Ya Tidak

F % F %

1 Berkiriman surat secara on-line

cukup mudah 48 98,8 1 1,1

2 Berkiriman surat secara on-line

kerahasiaannya cukup terjaga 35 55,7 14 44,3

3 Merasa aman berbicara terus

terang ketika chatting 37 53,4 12 46,6

4 Mempercayai perkataan lawan

bicara ketika chatting 10 18,2 39 81,8

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemenuhan kebutuhan informasi pada warung masyarakat

informasi (Warmasif) di Provinsi Jawa Barat kurang optimal

dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna (user) sesuai dengan

tujuan dan sasarannya, yakni dalam upaya mengembangkan

perdagangan komoditi unggulan melalui perdagangan elektronik/e-

commerce, serta meningkatkan layanan informasi pendidikan

masyarakat. Sebaliknya mereka lebih banyak mengakses jenis

informasi bersifat umum, yaitu informasi politik, budaya, olah raga,

cari kerja, dan lainnya.

2. Motivasi dalam pemenuhan kebutuhan hiburan di Warmasif dinilai

tinggi, yakni keinginan untuk sejenak melarikan diri dari realitas

hidup, mencari kesenangan hedonistik, mencari kepuasan pribadi

dan pelepasan emosi, serta jenis hiburan yang berbeda dengan yang

didapat media lainnya. Pemenuhan kebutuhan hiburan biasanya

dilakukan dengan cara melakukan chatting, men-download atau

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 117

mendengarkan lagu berformat MP3, bermain game online, atau

membuka situs-situs porno.

3. Motivasi dalam melakukan komunikasi dapat menyerupai interaksi

dunia nyata yakni dengan menggunakan webcam ketika

melakukan chatting. Pemenuhan kebutuhan interaksi sosial

biasanya dilakukan dengan percakapan secara on-line dengan

sebutan internet relay chat (IRC) atau chatting, karena sebagai

salah satu cara menjalani komunikasi dengan kerabatnya secara

realtime. Begitu pula berkiriman surat secara online, tidak hanya

dalam kecepatan proses pengiriman, tetapi menyangkut biaya yang

murah.

Saran

1. Hendaknya kesepakatan kerja sama antara Ditjen Aplikasi

Telematika dengan PT POS Indonesia tentang Warmasif lebih

ditingkatkan sosialisasinya, sehingga masyarakat dapat

mengetahui keberadaannya didalam upaya meningkatkan layanan

informasi dan pendidikan masyarakat.

2. Hendaknya pengelola Warmasif untuk lebih meningkatkan

kemampuan mengakses internet, menambah fasilitas yang dapat

memanjakan pelanggan, serta biaya akses internet yang lebih

murah lagi kepada masyarakat, sehingga akan termotivasi lagi

menggunakannya sebagai media informasi dan komunikasi.

3. Idealnya Warmasif berada di daerah-daerah yang memiliki

komoditas unggulan tetap, seperti pertanian, perikanan, hasil

kerajinan, dan lain-lain. Untuk selanjutnya dapat diberdayakan

lagi, seperti pemasaran melalui internet, transaksi online, promosi

barang dan akses digital lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Gerungan, WA,. 1983. Psychology Sosial. Bandung : PT Erasco.

Arikunto, Suharsimi.1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan

Praktek, Yogyakarta : Rineka Cipta.

Effendi, Onong U. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi.

Bandung : Citra Aditya Bakti.

Mc.Quail. Denis. 1994. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Erlangga.

118 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Rakhmat, Jalaluddin. 1996. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja

Rosda Karya.

-------------------------. 2000. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung :

Remaja Rosda Karya.

Yuswanto, Toni Edi. 2000. Web Design Plus. Bandung : Multiunion.

Sumantri, Suryana. 2001. Perilaku Organisasi. Bandung : Universitas

Pajajaran.Febrian, Jack. 2002. Menggunakan Internet.

Bandung : Informatika.

Kominfo,2002, Sistem Informasi Nasional. Departemen Komunikasi

dan Informatika. Tersedia di : http//www.depkominfo.go.id

Pareno,Sam Abede,2005. Media Massa, Antara Realitas dan Mimpi.

Surabaya : Papyrus.

Sumber lainnya :

1. Departemen Komunikasi dan Informatika, Direktorat E-Business,

Dirjen Aplikasi Telematika. Warung Masyarakat Informasi

Indonesia, 2006.

2. Proyek Bappenas dan UNDP, Infomobilisasi , 2007, Jakarta.

3. Badan Litbang SDM, Pusat Litbang Aptel dan SKDI, Studi

Pemberdayaan CAP Dalam Meningkatkan Kesejahteraan

Masyarakat Pedesaan, Depkominfo, 2007

4. Situs resmi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)

(http://www.apjii.or.id) dan situs http://www.

Indonesiatelecenter.co.id

5. Situs lainnya : yahoo.com, google.com, berita.com, dan detik .com.

6. Hasil Pengumpulan Data Basis Tentang Lembaga Komunikasi

Massa di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2006, BPPI Wil. III

Bandung, Depkominfo RI.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 119

SIKAP JURNALIS TERHADAP CITIZEN JOURNALISM

Dida Dirgahayu*

Abstraksi

Saat ini, pers berada dalam situasi di mana pengertian wartawan dan

media mengalami pergeseran penting sebagai akibat dari

berkembangnya dua hal. Yaitu perkembangan jurnalistik dan

perkembangan media. Dunia jurnalistik kini mulai mengalami

perubahan, dulu reportase adalah tugas khusus yang dibebankan

kepada wartawan atau reporter media massa, maka sekarang setiap

warga bisa melaporkan peristiwa kepada media. Inilah yang

kemudian disebut sebagai citizen journalism. Permasalahan

penelitian ini adalah : bagaimana sikap jurnalis terhadap citizen

journalism. Merupakan penelitian deskriptif (descriftive studies)

dengan metode pendekatan kuantitatif. Manfaat penelitian ini

diantaranya untuk memberikan gambaran tentang eksistensi citizen

journalism diantara civic journalis (media mainstream) yang lazim

disebut media massa.

Kata kunci : Sikap, Jurnalis, Citizen Journalism

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah hakekat

media. Dengan internet, kini berkembang situs-situs lembaga maupun

pribadi. Selain itu, berkembang juga weblog atau blog, di mana setiap

orang bisa melaporkan peristiwa di sekelilingnya, atau paling tidak,

melaporkan gagasannya kepada publik. Dengan demikian, kalau dulu

media didirikan oleh lembaga, atau individu yang mempunyai uang

dan kekuasaan (power), kini setiap individu bisa membuat media.

Karena itu, di zaman internet ini, setiap individu juga adalah media.

Dengan perkawinan jurnalistik baru dengan perkembangan teknologi

* Dida Dirgahayu, S.Sos adalah peneliti pertama Balai Pengkajian dan

Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BP2KI) Bandung.

120 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

media kita menyaksikan bahwa setiap individu adalah reporter, dan

setiap individu adalah media. Pada saat bom Bali I dan II meluluh

lantakkan bangunan, hasil rekaman masyarakat awam lah yang

ditayangkan oleh media elektronik, dan menjadi foto utama media

cetak. Ketika banjir, misalnya, begitu banyak warga masyarakat yang

memberikan informasi kepada radio, televisi, media online. Begitu

banyak peristiwa di sudut kota yang tidak ter-cover oleh media

mainstream, tetapi dikabarkan dengan baik oleh masyarakat. Dengan

berkembangnya citizen journalism, ternyata fungsi melaporkan sudah

bukan tugas eksklusif wartawan/ reporter. Pertanyaannya adalah,

apakah laporan awam bisa dikatagorikan sebagai berita. Apakah

citizen journaslism dapat disetarakan atau masuk dalam katagori jenis

jurnalistik ( media mainstream) atau sebatas ruang publik.

Berdasarkan realitas inilah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

bagaimana sikap jurnalis surat kabar terhadap citizen journaslism.

Permasalahan Pokok Dan Indetifikasi Masalah

Permasalahan pokok dari penelitian ini adalah : Bagaimana

sikap jurnalis terhadap citizen journaslism?

Identifikasi masalahnya adalah :

1. Bagaimana pengetahuan dan pemahaman jurnalis tentang citizen

journaslism ?

2. Bagaimana penilaian jurnalis terhadap citizen journaslism ?

3. Bagaimana reaksi jurnalis terhadap citizen journalism ?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

menggambarkan :

1. Pengetahuan dan pemahaman jurnalis tentang citizen journaslism

2. Penilaian jurnalis terhadap citizen journaslism

3. Reaksi jurnalis terhadap citizen journalism

Manfaat

Penelitian ini layak dilakukan karena bermanfaat untuk

memperoleh gambaran tentang sikap jurnalis terhadap citizen

journaslism. Hasil penelitian dan kajian ini akan memberikan data

awal, gambaran dan aspirasi para jurnalis.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 121

Kerangka Teori

Kognisi menurut Scheerer, adalah proses sentral yang

menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar (eksternal) dan di dalam

(internal) diri sendiri. Penekanan Scheerer tidak hanya peristiwa-

peristiwa yang sifatnya eksternal tetapi lebih jauh adalah peristiwa

yang ada dalam dirinya atau faktor internal. Komponen kognisi

menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan (senang atau tidak

senang) terhadap obyek. komponen konasi akan menjawab pertanyaan

bagaimana kesediaan/kesiapan untuk bertindak terhadap obyek

(Shaver,177). Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri, akan

tetapi menunjukkan bahwa manusia merupakan suatu sistem kognitif.

Ini berarti bahwa yang dipikirkan seseorang tidak akan terlepas dari

perasaannya. Masing-masing komponen tidak dapat berdiri sendiri,

namun merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara

komplek. Aspek kognisi merupakan aspek penggerak perubahan

karena informasi yang diterima menentukan perasaan dan kemauan

berbuat. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan secara kognitif, afektif, dan konatif.

Berdasarkan pendekatan ini setiap orang akan mencari keseimbangan

dalam bidang kognisinya dan terbentuk dari sikap yang bersangkutan.

Apabila terjadi ketidakseimbangan, individu akan berusaha

mengubahnya sehinggga terjadi keseimbangan kembali.(Severin-

Tankard 2005:295).

Operasional konsep dari sikap mengacu kepada tiga komponen

dari sikap sebagai indikator, dimana masing-masing mempunyai

fungsi yang diarahkan terhadap objek tertentu/ stimulus tertentu. Yaitu

: 1. Komponen kognitif, pengetahuan, pengalaman, pengertian,

pemahaman jurnalis tentang citizen journalism. 2. Komponen afektif,

menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu

objek sikap. Objek dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, hal

disukai atau tidak. Reaksi ini dipengaruhi kepercayaan atau apa yang

kita percayai sebagai benar dan berlaku bagi suatu objek. 3.

Komponen konatif, berhubungan dengan kecenderungan untuk

beraksi, bertingkah laku dengan cara tertentu, tapi konatif ini tidak

meramalkan tingkah laku aktual itu sendiri.(Severin-Tankard,2005 :

295)

Citizen journalism, menurut Lily Yulianti (panyingkul.com,

2006), merupakan model jurnalistik baru ini disebut sebagai

122 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

“Jurnalisme Orang Biasa” .Seperti namanya, Citizen Jurnalism ini

memberi pengertian bahwa, setiap individu bebas melakukan

kegiatan-kegiatan jurnalistik. Menuliskan pengalaman yang ditemui

sehari-hari di lingkungannya, maupun melakukan interperetasi

terhadap suatu peristiwa tertentu. Semua individu bebas melakukan

hal itu, dengan perspektif masing-masing. Citizen Journalism tidak

hadir sebagai saingan, tapi sebagai alternatif yang memperkaya pilihan

dan referensi. Berita tidak lagi dilihat sebagai produk yang didominasi

wartawan dan institusi pers. Masyarakat biasa seharusnya masuk

dalam ekosistem media sebagai unsur yang aktif berinteraksi

(http://sulungz.blogs. friendster.com).

Tinjauan Pustaka

Sikap

Menurut Louis Thurstone dan Charles Osgood, sikap

merupakan suatu bentuk evolusi atau reaksi perasaan terhadap suatu

objek, baik perasaan mendukung atau memihak ( favourable ), atau

perasaan tidak mendukung (unfavourable) pada objek tersebut.

(Azwar, 2003:5). Menurut Gerungan (1996:150), sikap merupakan

kecenderungan bereaksi terhadap objek-objek, dimana kecenderungan

bereaksi ini merupakan cara yang khas tergantung dari motivasi,

emosi, persepsi, dan proses kognitifnya.

Jurnalis

Wartawan (journalist) adalah orang yang terlibat dalam

pencarian, pengolahan, dan penulisan berita. Mulai dari Pemimpin

Redaksi hingga koresponden yang terhimpun dalam bagian redaksi.

Menurut UU No.40/1999 tentang Pers (pasal 1 poin 4), wartawan

adalah ”orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Wartawan ( journalist ) adalah orang yang secara rutin melakukan

aktivitas jurnalistik, yakni aktivitas peliputan, perekaman, dan

penulisan berita, opini, dan feature untuk media massa. Dalam sebuah

lembaga penerbitan pers, wartawan masuk dalam Bagian Redaksi

(Editor Department) yang dipimpin oleh Pemimpin Redaksi (Editor in

Chief). Jadi, tidak semua orang yang bekerja di sebuah perusahaan

pers (media massa) adalah wartawan. Merekalah yang memburu berita

(fakta atau kejadian), meliput berbagai peristiwa, dan menuliskannya

untuk dikonsumsi orang banyak. ”Di mana terjadi suatu peristiwa,

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 123

wartawan akan berada disana” kata M.L Stein (1993:5), ”Seperti mata

dan telinga para pembaca suatu harian.” Wartawan adalah suatu

profesi yang penuh tanggungjawab dan risiko. Karenanya, ia harus

memiliki idealisme dan ketangguhan. Wartawan bukanlah dunia bagi

orang yang ingin bekerja dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore

setiap hari dan libur pada hari minggu. Tidak ada seorangpun tahu

kapan kebakaran atau bencana lain akan terjadi. (Romli :2003 :8)

Citizen Journalism

Internet kini menjadi new media, media kontemporer yang

memberi wahana baru dalam aktualitas pemberitaan. Lebih dari media

apa pun yang telah ada. Keunggulan itu akhirnya dipergunakan oleh

sebagian pihak untuk menjadikan media internet sebagai salah satu

wadah media mainstream. Kendati begitu, pemberitaan atau

penyebaran informasi di media internet ini tetap terpolarisasi pada

model diktum. Bahkan lebih kuat dan leluasa. Karena regulasi pers

maupun undang-undang pada media internet ini sangat kabur dan

tidak tegas. Walhasil, awan pun mendapatkan kembali posisi lamanya.

Perbedaan mendasar antara media mainstream yang tumbuh lebih

awal dengan media mainstream pada internet, hanya terletak pada

kecepatan penyampaian. Berdasar kesadaran itu, sejumlah orang

melakukan pemikiran-pemikiran untuk menembus batas ini.

Blog sebenarnya sebuah website juga. Website seperti kita

ketahui adalah satu lembaran informasi yang ada di internet. Jadi

ketika kita masuk ke internet, misalnya membaca berita surat kabar

atau salah satu informasi departemen pemerintah atau perusahaan, itu

yang kita sebut dengan Website. Weblog atau blog adalah versi

mutakhir dari web. Disebut mutakhir karena di weblog kita bisa

berkomunikasi, berdialog dengan orang yang memiliki blog.

(http://www.pontianakpost.com)

Pemberitaan Citizen Journalism lebih mendalam dengan

proses yang tak terikat waktu, seperti halnya tenggat deadline di

media mainstream. Bentuk Citizen Journalism dapat dilihat pada

proses penayangan berita di televisi, dengan menggunakan visual dari

masyarakat (kameramen amatir). Citizen Journalism dinilai sebagai

bentuk partisipasi aktif masyarakat untuk menyuarakan pendapat

secara lebih leluasa, terstruktur, serta dapat diakses secara umum dan

sekaligus menjadi rujukan alternatif.

124 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

Antara jurnalis dengan aktifitas bloger

Penulisan informasi adalah aktifitas penulisan atau penyusunan

berita, opini, dan feature untuk dipublikasikan atau dimuat di media

massa tentang peristiwa atau gagasan. Aktivitas tersebut dilakukan

oleh wartawan (journalist) dan penulis (writter). Karenanya,

jurnalistik disebut sebagai “dunia kewartawanan”. Menurut UU No.

40/1999 tentang Pers (pasal 1 poin 4), wartawan adalah orang yang

secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.(M. Romli, 2005 : 6)

Sebagai ujung tombak bagi suatu penerbitan surat kabar atau media

massa lainnya, wartawan setidaknya mempunyai standar profesi sejati

(real journalist) disamping aturan profesi lainnya.

Wartawan media mainstream melakukan peliputan atas

peristiwa berdasar pada tugas keredaksian, wartawan media

mainstream membatasi diri pada 'informasi apa dan yang bagaimana'

diinginkan pasar. Dalam aktifitas seorang bloger, sangat pasti tidak

mengenal polarisasi pemberitaan karena semuanya tergantung kepada

interest kemampuan penulis (bloger). Perbedaan nyata antara citizen

journalist dan wartawan yang bekerja di media massa, dijelaskan

dengan rinci oleh Bentley (2005) sbb: "Seorang wartawan yang

bekerja di media massa, melakukan liputan karena penugasan,

sementara seorang citizen journalist menuliskan pandangannya atas

suatu peristiwa karena didorong oleh keinginan untuk membagi apa

yang dilihat dan diketahuinya." Seorang penulis pada Citizen

Journalism melakukan tugasnya dengan proses penetrasi terhadap

obyek pemberitaan dengan totalitas dan penuh atmosfir. Citizen

Journalism menjadi wadah 'gairah bercerita' dari semua individu.

Jurnalisme yang berkembang saat adalah jurnalisme yang

berbasis pada penggunaan teknologi internet, salah satunya adalah

penggunaan weblog yang memungkinkan orang untuk menyuarakan

opini terhadap berbagai peristiwa secara bebas. Citizen journalism

adalah keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu. Clyde H.

Bentley, guru besar madya pada Sekolah Tinggi Jurnalistik Missouri

AS, menilai bahwa meski sebagian besar masyarakat tidak ingin

menjadi jurnalis, tapi mereka ingin berkontribusi secara nyata dengan

menuliskan pikiran atau pendapat mereka tentang suatu hal. Citizen

Journalism menjadi pengimbang dari media-media yang selama ini

melakukan pemberitaan berdasar kepentingan. Perspektif pembaca

yang muncul dari suatu berita media mainstream yang terbiasa terpola

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 125

berdasar visi dan misi suatu media, relatif akan lebih murni di citizen

journalism ini.

Jumlah informasi yang di tawarkan citizen journalism akan

lebih banyak dan beragam sementara media mainstream terikat

dengan jumlah halaman (suratkabar), durasi penayangan (televisi) atau

durasi penyiaran (radio). Berdasarkan kaidah jurnalistik dan teori

tentang media massa seperti dikemukakan di atas, aktifitas maupun

media yang digunakan dalam citizen journalism bukanlah sebuah

jurnalistik baru atau bagian dari civic journalism, berbeda dan tidak

bisa disamakan dengan dengan media mainstream pada umumnya.

Demikian pula dipandang dari sudut pelakunya, aktifitasnya seorang

bloger tidak sama dengan profesi seorang wartawan. Hal positif yang

perlu disambut baik oleh kalangan citizen journalism maupun civic

journalism adalah bahwa keduanya dapat saling mengisi dan

memosisikan dirinya sebagai sumber informasi.

Media massa sebagai media mainstream (civic journalism)

Sebenarnya apa yang disebut sebagai civic journalism.

Mungkin akan banyak orang yang rancu dengan istilah citizen

journalism, padahal keduanya sama sekali berbeda. Citizen journalism

adalah keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu (dalam

pengertian setiap orang adalah wartawan dan kerja wartawan bisa

dilakukan oleh setiap orang). Sedangkan civic journalism adalah

upaya wartawan profesional dan media tempat mereka bekerja untuk

lebih mendekat dengan persoalan warga (pembacanya), serta ikut

terlibat dalam menyelesaikan persoalan itu secara langsung. Bukan

hanya memberitakan peristiwa atau fenomena dalam sikap yang

objektif dan imparsial, tapi lebih menyatu dan terlibat dalam

membimbing warga dan mendorong warga untuk melakukan sesuatu.

Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan

realitas suatu fakta atau peristiwa yang dipilihnya, diantaranya realitas

dari proses kampanye pemilu. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa

pekerjaan media massa adalah menceriterakan peristiwa-peristiwa,

maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan

(constructed reality). Isi media pada hakikatnya adalah hasil

rekonstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya,

sedangkan bahasa bukan saja alat untuk merefresentasikan realitas,

126 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan

oleh bahasa tentang realitas tersebut. (Sobur, 2002 : 88).

Institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi dan

distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang

mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan

sosial. Pengetahuan tersebut membuat kita mampu untuk memetik

pelajaran dari pengalaman, membentuk persepsi kita terhadap

pengalaman itu, dan memperkaya khasanah pengetahuan masa lalu,

serta menjamin kelangsungan perkembangan pengetahuan kita. Secara

umum, dalam beberapa segi media massa berbeda dengan institusi

pengetahuan lainnya (misalnya seni, agama, pendidikan, dan lain-lain)

: Media massa memiliki fungsi pengantar (pembawa) bagi segenap

macam pengetahuan. Jadi, media massa juga memainkan peran

institusi lainnya.

Pada dasarnya hubungan antara pengirim dan penerima

seimbang dan sama. Media menjangkau lebih banyak orang daripada

institusi lainnya dan sudah sejak dahulu ”mengambil alih” peran

sekolah, orang tua, agama, dan lain-lain. Menurut asumsi dasar di atas,

lingkungan simbolik di sekitar (informasi, gagasan, kepercayaan, dan

lain-lain) seringkali kita ketahui melalui media massa, dan media

pulalah yang dapat mengaitkan semua unsur lingkungan simbolik

yang berbeda. Lingkungan simbolik itu semakin kita memiliki

bersama jika kita semakin berorientasi pada sumber media yang sama.

Meskipun setiap individu atau kelompok memang memiliki dunia

persepsi dan pengalaman yang unik, namun mereka memerlukan

kadar persepsi yang sama terhadap realitas tertentu sebagai prasyarat

kehidupan sosial yang baik. Sehubungan dengan itu, sumbangan

media massa dalam menciptakan persepsi demikian mungkin lebih

besar daripada institusi lainnya. Asumsi dasar kedua ialah media

massa memiliki peran mediasi (penengah/ penghubung) antara realitas

sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi.

Media massa berperan sebagai penengah dan penghubung

dalam pengertian bahwa: media massa seringkali berada diantara kita;

media massa dapat saja berada diantara kita dengan institusi lainnya

yang ada kaitannya dengan kegiatan kita; media massa dapat

menyediakan saluran penghubung bagi berbagi institusi yang berbeda;

media juga menyalurkan pihak lain untuk menghubungi kita, dan

menyalurkan kita untuk menghubungi pihak lain; media massa

seringkali menyediakan bahan bagi kita untuk membentuk persepsi

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 127

kita terhadap kelompok dan organisasi lain, serta peristiwa tertentu.

Melalui pengalaman langsung kita hanya mampu memperoleh sedikit

pengetahuan.

Definisi Konsep Dan Operasional Konsep

Definisi konsep dalam penelitian ini adalah :

1. Sikap

Menurut Gerungan ( 1996:150), sikap merupakan kecenderungan

bereaksi terhadap objek-objek, dimana kecenderungan bereaksi ini

merupakan cara yang khas tergantung dari motivasi, emosi,

persepsi, dan proses kognitifnya. Operasional konsep dari sikap

mengacu kepada tiga komponen dari sikap sebagai indikator,

dimana masing-masing mempunyai fungsi yang diarahkan

terhadap objek tertentu/ stimulus tertentu. Yaitu : 1. Komponen

kognitif, pengetahuan, pengalaman, pengertian, pemahaman

jurnalis tentang citizen journalism. 2. Komponen afektif,

menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu

objek sikap. Objek dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, hal

disukai atau tidak. Reaksi ini dipengaruhi kepercayaan atau apa

yang kita percayai sebagai benar dan berlaku bagi suatu objek. 3.

Komponen konatif, berhubungan dengan kecenderungan untuk

beraksi, bertingkah laku dengan cara tertentu, tapi konatif ini tidak

meramalkan tingkah laku aktual itu sendiri.

2. Citizen journalism Menurut Lily Yulianti (panyingkul.com, 2006), di Indonesia

model jurnalistik baru ini disebut sebagai “Jurnalisme Orang

Biasa” .Seperti namanya, Citizen Jurnalism ini memberi

pengertian bahwa, setiap individu bebas melakukan kegiatan-

kegiatan jurnalistik. Menuliskan pengalaman yang ditemui sehari-

hari di lingkungannya, maupun melakukan interperetasi terhadap

suatu peristiwa tertentu. Semua individu bebas melakukan hal itu,

dengan perspektif masing-masing.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif ( descriptive research),

bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, akurat, dan

faktual, mengenai situasi-situasi, fakta-fakta dari populasi tertentu

(Suryabrata,1983:19) Menggambarkan sikap jurnalis terhadap citizen

128 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

journalism. Sejalan dengan paradigma tersebut, penelitian dilakukan

melalui pengumpulan data kuantitatif, dan untuk memperoleh data

yang lebih mendalam dilakukan juga pengumpulan data kualitatif

melalui wawancara mendalam. Tehnik penelitian ini adalah survey.

Survey adalah satu bentuk teknik penelitian di mana informasi

dikumpulkan dari sejumlah sampel berupa orang, melalui pertanyaan-

pertanyaan; satu cara mengumpulkan data melalui komunikasi dengan

individu-individu dalam suatu sampel (Zikmund,1997).

Populasi penelitian ini adalah jurnalis surat kabar di Kota

Bogor. Jurnalis dalam penelitian ini dibatasi pada jurnalis yang

bekerja / mempunyai bidang tugas redaksi/ baik redaktur maupun

wartawan pada media massa surat kabar dan melakukan pencarian

(peliputan) berita yang ada di Kota Bogor. Sampel ditentukan secara

purposive sampling yaitu 64 jurnalis ( yang bekerja / mempunyai

bidang tugas redaksi/ baik redaktur maupun wartawan, melakukan

pencarian (peliputan) berita, calon responden memiliki pengetahuan

tentang citizen journalism. Pemilihan sampel dilakukan secara tidak

acak (non probability sampling).

Dengan keterbatasan yang ada, tidak dimungkinkan dibuat

kerangka sampling. Pengolahan data dilakukan dengan mengolah

jawaban hasil wawancara dan kuesioner, dimasukan dalam tabel

frekuensi dan persentase yang selanjutnya diinterpretasikan dan

dianalisis.

Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni tahun 2007 di Kota

Bogor, lokasi ini dipilih karena berdasarkan data dari Persatuan

Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat, Kota Bogor mempunyai

jumlah wartawan yang bertugas sebanyak 317 orang.di daerah tersebut

mempunyai jumlah wartawan yang banyak, merupakan daerah

perkotaan sehingga akses jurnalis terhadap internet relatif lebih

dimungkinkan.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 129

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pengetahuan, dan Pemahaman Jurnalis Tentang Citizen

Journaslism

Dari 64 orang responden, sebanyak 56 responden (86,15%)

memiliki handphone sebagai alat yang memiliki/ bisa koneksi internet,

8 responden (13,85%) memiliki handphone tidak memiliki koneksi

internet. Semua responden ( 64 orang ) memiliki perangkat komputer,

dan sebanyak 47 orang (73,43%) memiliki fasilitas internet, dan 17

responden (26,57%) memiliki perangkat komputer tanpa koneksi

internet. Bagi responden yang tidak memiliki handphone dan

perangkat komputer berkoneksi internet, semuanya menyatakan tetap

mengakses internet di kantor tempat bekerja.

Data di atas menunjukan bahwa handphone dan internet telah

menjadi bagian dari seorang jurnalis (wartawan), handphone bukan

saja berfungsi sebagai komunikasi diantara perseorangan, tetapi

kelengkapan fitur internet menunjukan bahwa kebutuhan informasi

yang bisa diperoleh melalui akses internet lewat handphone telah

menjadi kebutuhan.

Demikian pula dengan kepemilikan perangkat komputer yang

mempunyai fasilitas koneksi internet, telah memungkinkan seorang

jurnalis melakukan pencarian sumber informasi, bahkan inspirasi

melalui content yang tersedia dalam internet. Secara aplikatif, koneksi

internet memungkinksn seorang jurnalis di lapangan untuk mengirim

berita, baik dalam bentuk kata-kata atau gambar kepada perusahaan/

penerbitnya.Jawaban di atas menunjukan, bahwa handphone dan

internet sebagai salah satu bentuk teknologi informasi dan komunikasi

telah menjadi fasilitas yang dimiliki dan mendukung pekerjaan

jurnalis.

Tingginya tingkat kebutuhan responden terhadap berbagai

ragam informasi yang tersedia di berbagai situs internet. Analisis di

atas diperjelas dengan gambaran tentang frekuensi penggunaan

fasilitas internet. Dari 64 responden, sebanyak 58 responden (90,62%)

mengakses internet setiap hari, dan 6 responden (9,38%) mengakses

internet sesuai keperluan.

Analisis tentang tingkat kebutuhan jurnalis terhadap teknologi

informasi berupa akses internet, dan teknologi komunikasi handphone

berkoneksi internet, diperkuat dengan gambaran tentang frekuensi

130 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

penggunaa, dimana sebagian besar responden menyatakan setiap hari

mengakses internet.

Dalam mengakses internet, 37 responden (57,81%)

melakukannya antara 1 – 2 jam, 9 responden (14,6%) antara 3 – 4 jam,

dan 18 responden (38,13%) menyatakan memgkses internet dengan

frekuesi yang tidak menentu. Data ini menunjukan bahwa, semua

responden menyatakan dalam setiap mengakses internet rata-rata di

atas satu jam.

Dalam mempergunakan fasilitas internet, 57 responden

(89,06%) melakukannya berkaitan dengan pekerjaan, dan 9 responden

(10,94%) mengakses tidak berhubungan dengan pekerjaan sebagai

jurnalis. Data ini menunjukan, bahwa handphone berakses internet

serta perangkat komputer berkoneksi internet merupakan perangkat

atau fasilitas pendukung responden yang berprofesi wartawan.

Dari 57 responden, 23 responden (40,35%) mengakses internet

untuk mengirim e-mail tentang berita ke redaksi, 11 responden

(19,29%) untuk mencari data / berita , 8 responden (14,03%)

melakukan komunikasi , 15 responden (26,33%) mengakses internet

dengan keperluan yang beragam ( keperluan lainnya).

Data di atas menunjukan bahwa, frekuensi maupun kebutuhan

responden terhadap internet berkaitan langsung dengan pekerjaannya,

hal ini tergambar dari sebagian besar responden mempergunakan

internet untuk mengirim e-mail, dapat dianalisis bahwa soorang

responden yang melakukan pekerjaan sebagai jurnalis dapat

mengirimkan beritanya ke penerbit dengan mempergunakan e-mail,.

Tentang citizen journalism, Dari 64 responden, seluruhnya

mengenal istilah bloger sebagai aktifitas citizen journalism, .

Sebanyak 52 responden (81,25%) sangat mengetahui aktifitas bloger,

12 responden (18,75%) menyatakan cukup mengetahui aktifitas

citizen journalism.

Data di atas menununjukan, bahwa responden selain

mempergunakan fasilitas yang berhubungan langsung dengan

pekerjaannya sebagai jurnalis, tetapi mengenal juga perkembangan

dalam dunia internet, seperti halnya istilah blog dan bloger. Data di

atas diperkuat dengan jawaban responden yang sebagain besar

menyatakan selain mengenal juga mengetahui aktifitas bloger dalam

dunia citizen journalism.

Dari 64 responden yang mengenal istilah citizen journalism,

sebanyak 51 responden (79,68%) mengenal dari internet, 5 responden

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 131

(7,81%) mengenal dari artikel surat kabar, 3 responden (4,30%)

mengenal dari pembicaraan non formal, dan 5 responden (7,81%)

mengenal citizen journalism membaca dari buku.

Jawaban responden di atas sangat cocok dan sinkron dengan

jawaban sebelumnya, dimana internet telah menjadi sumber informasi

tentang perkembangan dunia internet. Sebagian besar responden

menyatakan mengetahui istilah dan aktifitas citizen journalism justru

dari media internet sendiri. Hal ini menunjukan bahwa memang

responden memanfaatkan internet dalam menunjang pekerjaannya

serta sebagai sumber informasi bagi penambahan wawasannya.,

Sebanyak 27 responden (42,18%) menyatakan setiap hari

membuka web-bloger, 29 responden (45,31%) menyatakan dua hari

sekali , dan , 8 responden (12,51%) menyatakan kadang-kadang

membuka web bloger.

Sama halnya dengan jawaban responden dalam membuka situs

internet, responden dalam mengakses situs atau blog cukup tinggi

frekuensinya. Sebagian besar responden menyatakan rata-rata setiap

hari membuka blog dalam internet.

Tentang keperluan membuka web para bloger, Sebanyak 39

responden (60,93%) menyatakan mencari informasi lokal yang tidak

tercover oleh media massa, 17 responden (26,56%) menyatakan

mencari artikel tentang informasi aktual, 8 responden (12,51%)

menyatakan membuka blog karena sesuai dengan keperluan.

Data di atas menunjukan bahwa, citizen journalism telah

berfungsi sebagai media informasi dan sumber data bagi pekerjaannya

sebagai jurnalis. Responden telah menempatkan citizen journalism

sebagai back up data dan informasi terhadap hala-hal yang tidak

diperoleh oleh dirinya sebagai jurnalis.

Penilaian Jurnalis Tentang Citizen Journalism

Sebanyak 49 responden (76,06.%) menyatakan bahwa citizen

journalism membantu tugas mereka sebagai wartawan, dan sebanyak

15 responden (23,94%) menyatakan tidak membantu tugas wartawan .

Sebagian besar responden menyatakan bahwa citizen journalism telah

membantu dirinya sebagai jurnalis seperti telah di analisa pada

jawaban sebelumnya. Namun bagi reponden yang menyatakan bahwa

citizen journalism tidak membantu pekerjaanya, dimungkinkan karena

132 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

sumber informasi lain diluar internet masih memadai responden dalam

melakukan pekerjaannya.

Tentang isi atau content yang ada dalam aktifitas citizen

journalism, 52 responden (81,25%) menyatakan bersifat opini, 9

responden (14,06%) menyatakan informasi, data atau lainnya, dan 5

responden (4,69%) menyatakan lebih bersifat ulasan atau pendapat

pribadi.

Tentang penilaian responden, dapat dianalisis bahwa di

samping menyatakan bahwa citizen journalism bermanfaat bagi

mendukung bidang kerjanya, responden sangat kritis dan selektif

dalam memberikan penilaian tentang isi blog atau isi dari citizen

jounalism. Sebagian responden menilai bahwa isi dari aktifitas citizen

journalism sebagian besar hanya berupa opini penulis.Jawaban ini

menyiratkan bahwa responden menempatkan citizen journalism

sebatas sebagai pendukung dan bukan sebagai sumber berita.

Tentang data, fakta, atau informasi yang ada dalam aktifitas

citizen journalism, 17 responden (26,56%) menyatakan percaya, 39

responden (60,93%) menyatakan tidak percaya dan 8 responden

(12,51%) menyatakan ragu-ragu.

Terdapat jawaban responden yang menarik untuk dianalisis,

bahwa sebagian besar responden menyatakan tidak percaya terhadap

isi citizen journalism. Hal ini dimungkinkan karena penilaian

responden sebagai jurnalis yang tidak begitu saja menyerap informasi

tanpa melalui penelusuran kebenaran informasi.

Reaksi Jurnalis Terhadap Citizen Journalism

Dari 64 responden, seluruhnya merasa senang dengan

kehadiran citizen journalism. 23 responden (35,93%) senang karena

menambah sumber informasi, 13 responden (20,31%) karena dapat

menambah wawasan, 17 responden (26,56%) karena alasan hiburan,

dan 11 responden (11,20%) menyatakan senang terhadap kehadiran

citizen journalism karena menunjukan aktifitas menulis masyarakat

yang tinggi.

Data di atas menunjukan bahwa semua responden menyambut

baik aktifitas citizen journalism, selain sebagai sumber informasi,

sarana penambahan wawasan dan sarana hiburan, responden sebagai

seorang jurnalis menyatakan apresiasinya terhadap aktifitas menulis

oleh kalangan bloger.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 133

Namun berkaitan dengan kontribusi citizen journalism

terhadap tugas responden sebagai wartawan, 12 responden (18,75%)

menyatakan ada kontrinbusinya, 52 responden (91,25%) menyatakan

bahwa citizen journalism tidak berkontribusi terhadap tugas responden

sebagai jurnalis.

Kendatipun menyambut baik kehadiran citizen journalism,

dalam hal kontribusi terhadap pekerjaannya, kembali responden

menunjukan sikap kritis dan objektifnya. Data di atas menunjukan,

sebagian responden menyatakan bahwa citizen jounalism tidak

berkontribusi secara langsung terhadap profesinya sebagai

jurnalis.Jawaban tersebut dimungkinkan karena memang tidak ada

keterkaitan langsung antara seorang jurnalis aktifitas blog yang lazim

disebut bloger. Tidak ada keterkaitan antara civic journalism/ media

mainstream (media massa pada umumnya) dengan citizen journalism.

Bagi 12 responden yang menyatakan citizen journalism

berkontribusi terhadap profesi wartawan, 3 responden (24%) beralasan

karena citizen jornalism biasa menjadi sumber informasi, 5 responden

(41,66%) karena bisa menjadi sumber inspirasi, dan 4 responden

(33,34%) menyatakan bahwa citizen journalism berkontribusi dalam

hal memberikan wartawan ruang untuk beraktifitas di luar media

mainstream. Data yang menunjukan jawaban responden yang

menyatakan bahwa terdapat kontribusi citizen journalism bagi dirinya

sebagai jurnalis, menegaskan bahwa citizen journalism hanya

berkontribusi sebagi sumber inspirasi.

Tentang eksistensi citizen journalism dalam media mainstream

(media massa pada umumnya), sebanyak 58 responden (90,62%)

menyatakan tidak setuju apabila citizen journalis disamakan dengan

media mainstream, dan 6 responden (9,38%) menyatakan tidak tahu.

Data di atas menunjukan kesamaan dengan pendapat para pakar/ ahli

dibidang jurnalistik, bahwa memang tidak bisa disamakan antara

media massa pada umumnya dengan citizen journalism.

Jawaban responden di atas, sama dengan pernyataan responden

tentang eksistensi antara bloger dengan wartawan. Sebanyak 58

responden (90,62%) menyatakan tidak setuju apabila bloger

disamakan dengan wartawan, dan 6 responden (9,38%) menyatakan

tidak tahu. Pernyataan responden melalui jawabannya tentang tidak

bisa disamakannya antara media massa dengan citizen journalism,

diperkuat dengan jawaban responden di atas. Sebagian besar

responden menyatakan bahwa tidak bisa disamakan antara aktifitas

134 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

bloger dengan aktifitas seorang jurnalis. Lebih jelas sebagian

responden menyatakan bahwa tidak setuju apabila aktifitas bloger

disamakan dengan profesi wartawan.

Persentase jawaban yang sama juga diperoleh dari jawaban

tentang eksistensi citizen journalism dengan media mainstream (civic

journalism) atau media massa pada umumnya. Sebanyak 58 responden

(90,62%) menyatakan tidak setuju apabila citizen journalism

disamakan dengan media massa (media mainstream), dan 6 responden

(9,38%) menyatakan tidak tahu. Senada dengan ketidak setujuan dan

penolakannya terhadap disamakannya antara aktifitas bloger dengan

profesi wartawan, sebagian besar menyatakan tidak setuju apabila

media massa pada umumnya (surat kabar, radio, 134rgument,dll)

disamakan dengan citizen journalism. Jawaban responden tersebut

memang objektif dan sangat argumentatif, media massa dan segala

perangkatnya, dibentuk dan melaksanakan tugas dan fungsinya

berdasarkan aturan main yang baku.

Tentang alasan tidak bisa disamakannya antara citizen

journalism dengan civic journalism (media massa) yang diberikan

oleh 58 responden, sebanyak 37 responden (53,79%) beralasan karena

medianya berbeda, 21 responden (36,20%) karena audiensnya

berbeda, dan 6 responden (10,01%) beralasan karena tidak ada

persamaan sama sekali. Selain bentuk medianya yang berbeda,

responden menilai bahwa tidak bisa disamakannya antara civic

journalism/ media mainstream atau media massa pada umumnya

dengan citizen journalism, karena faktor audiencenya pun sangat

berbeda.

PEMBAHASAN

Berdasarkan jawaban responden yang diberikan dan telah

dianalisis di atas, pengetahuan, pemahaman sebagai (aspek kognitif),

penilaian (aspek afektif), dan kecenderungan reaksi ( aspek konatif)

responden sebagai seorang jurnalis sangat sesuai dengan teori yang

dipakai dalam penelitian ini. Responden sebagai seorang yang

berprofesi jurnalis melalui jawabannya telah memberikan gambaran

dan reaksinya tentang citizen journalism.

Sebagai jurnalis, jawaban responden yang menggambarkan

pengetahuan, pemahaman, penilaian dan reaksinya terhadap citizen

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 135

journalism. Gambaran sikap responden tersebut secara teoritis

mengacu kepada teori atau konsep tentang sikap. Yaitu : 1. Komponen

kognitif, pengetahuan, pengalaman, pengertian, pemahaman jurnalis

tentang citizen jounalism. 2. Komponen afektif, menyangkut masalah

emosional subjektif seorang jurnalis terhadap citizen journalism,

dipengaruhi kepercayaan atau apa yang responden percayai sebagai

benar dan berlaku bagi suatu objek. 3. Komponen konatif,

berhubungan dengan kecenderungan untuk beraksi, bertingkah laku

dengan cara tertentu, tapi konatif ini tidak meramalkan tingkah laku

aktual itu sendiri.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pengetahuan dan pemahaman jurnalis tentang citizen

journaslism. Para jurnalis dalam penelitian ini telah mengetahui

dan memahami istilah dan aktivitas citizen journalism. Sumber

informasi tentang citizen journalism berasal dari informasi/

content dalam internet dan buku . Dalam memanfaatkan blog

sebagai aktivitas citizen journalism, para jurnalis mempunyai

frekuensi dan intensitas waktu yang tinggi. Selain sebagai sumber

informasi dan data tambahan, citizen journalism juga berfungsi

sebagai sumber inspirasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai

jurnalis. Para jurnalis memahami timbulnya citizen journalism

sebagai ruang publik melalui media internet dalam rangka

partisipasi masyarakat dalam mengemukakan pendapatnya,

menceriterakan apa yang terjadi disekitarnya. Para jurnalis telah

mempergunakan weblog dengan frekuensi dan intensitas waktu

penggunaan yang cukup tinggi

2. Penilaian jurnalis tentang citizen journaslism. Terdapat

penilaian yang kritis dan objektif dari para jurnalis, bahwa isi atau

content dari blog sebagai media citizen journalism sebagian

merupakan tulisan berbentuk opini dan ulasan. Dari penilaian

tersebut memunculkan penilaian lainnya bahwa opini dan ulasan

kurang dipercaya validitasnya, penilaian ini argumentatif karena

sebagai seorang jurnalis dalam membuat berita tidak

mencampurkan antara opini dan fakta. Para jurnalis menilai bahwa

136 Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1

kehadiran citizen journalism melalui aktifitas bloger telah

membantu pekerjaannya sebagai jurnalis. Kontribusi yang

diberikan citizen journalism diantaranya berupa sumber informasi

dan inspirasi dalam hal informasi.

3. Reaksi jurnalis tentang citizen journalism. Para jurnalis merasa

senang dan menyambut baik aktifitas citizen journalism, karena

merupakan satu media bagi penyaluran dan peningkatan

kemampuan menulis, penyampaikan pendapat, serta mengangkat

sesuatu yang terjadi pada lingkungan sekitarnya. Kendatipun

demikian, para jurnalis menyatakan bahwa tidak ada kontribusi

atau manfaat secara langsung antara keberadaan citizen journalism

dengan profesinya sebagai jurnalis. Terhadap anggapan bahwa

setiap individu adalah reporter, dan setiap individu adalah media,

secara eksplisit, tegas dan argumentatif, para jurnalis menyatakan

bahwa tidak bisa disamakan atau tidak sama antara citizen

journalism yang berkiprah dalam dunia internet dengan civic

journalism ( media mainsteram) atau media massa umumnya

seperti surat kabar, radio, televisi. Lebih jauh para jurnalis

menyatakan sukapnya, bahwa tidak bisa disamakan atau tidak

sama antara aktifitas bloger melalui media blog dalam citizen

journalism dengan profesi wartawan. Kesimpulan ini sesuai

dengan eksistensi wartawan dimana seorang wartawan adalah

orang yang profesional, seperti halnya dokter atau pengacara. Ia

memiliki keahlian tersendiri yang tidak dimiliki profesi lain

(memburu, mengolah, dan menulis berita). Ia juga punya

tanggungjawab dan kode etik tertentu.

Saran

Perlu adanya kesamaan persepsi yang konstruktif diantara

jurnalis, bloger, praktisi pers dan komunikasi, praktisi telematika dan

masyarakat pengguna media tentang keberadaan citizen journalism.

Kesamaan persepsi diantaranya mengenai perbedaan, dan persamaan

tentang tugas pokok dan fungsi, mekanisme kerja dan pelakunya.

Perbedaan secara substantif maupun kelembagaan, sehingga dapat

mendudukan keduanya dalam porsi, eksistensi, dan keberadaannya

masing-masing.

Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 12 No. 1 137

DAFTAR PUSTAKA

Sobur, Alex, 2002, Analisis Teks Media, Bandung : Remaja Rosda

Karya

Romli, Asep Syamsul M. 2003. Jurnalistik Terapan. Bandung : Batic

Press.

Severin, Werner J., James W. Tankard Jr.. 2005. Teori Komunikasi :

Sejarah, Metode, & Terapan Di Dalam Media Massa, Edisi

kelima. Jakarta : Prenada Media.

Sumber lain :

http://sulungz.blogs.friendster.com

http://www.pontianakpost.com

Pikiran Rakyat, 2006, Pusat Data Redaksi (Unit: Cyber Media-

Dokumentasi Digital), Bandung

.