JUMAT, 6 NOVEMBER 2015 Menalar Aturan Ujaran...

1
KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) mengeluarkan surat edaran berisi petunjuk penanganan ujaran kebencian ( hate speech). Melalui surat yang berlaku bagi internal ini, Polri sekaligus memberi peringatan kepada publik agar tidak mengumbar ujaran kebencian di mana pun. Mengumbar pendapat, jika me- ngandung unsur kebencian, dapat dipi- danakan. Mengingat momentum kemunculan surat edaran ini berdekatan dengan perbincangan tentang rekayasa foto pre- siden, secara ilokutif surat edaran itu memiliki dua makna. Pertama, dari aspek legal, Kapolri menilai bahwa ujaran kebencian merupakan fenomena sosial yang harus ditangani secara serius karena berkaitan dengan kepentingan masyara- kat. Kedua, dari aspek politik, Kapolri sedang menunjukkan loyalitas kepada pemerintah dan presiden. Sayang, aturan ini tidak disertai penjelasan yang memuaskan untuk memaha- mi secara ontologis dua hal yang diatur, yakni ujaran dan keben- cian. Ini mengakibatkan aturan ini poten- sial menjadi alat politik yang digunakan untuk membungkam kebebasan berpen- dapat. Bahkan, surat edaran ini bisa men- jadi alat legitimasi bagi penguasa untuk melindungi legitimasi politiknya. Kontekstual dan Personal Melalui aturan ini polisi mengasum- sikan bahwa kata dan kebencian adalah objek yang eksis secara positif. Dengan asumsi itu polisi memperkirakan bahwa menganalisis makna dan kebencian dapat dilakukan dengan mudah. Padahal, sebagai sebuah lambang, kata meru- pakan objek yang absurd. Bentuk, makna, dan fungsi kata tidak dapat dengan mudah ditelaah karena hidup dalam semesta simbol, semesta konteks, dan semesta persepsi. Dalam Meaning of Meaning, misal- nya, Ogden dan Richard (1923) berpen- dapat, kata bukanlah objek otonom. Sebagai simbol, kata hanya dapat eksis jika berelasi membentuk segitiga makna dengan konsep (thought) dan referensi (reference). Hubungan segitiga ini bisa menjadi rumit karena konsep adalah objek yang tak empiris, hanya eksis dalam pikiran manusia. Adapun referen- si sebuah kata sangat bergantung pada pengalaman penutur bahasa. Pada praktiknya, penggunaan kata senantiasa mengalami penyimpangan karena penutur bahasa adalah pribadi kreatif. Mereka selalu berupaya mene- mukan bentuk-bentuk ungkapan baru yang sama sekali berbeda dengan aturan yang ada. Dalam penggunaan ironi, misalnya, makna kontekstual kata justru bisa bertolak belakang dari makna lek- sikalnya. Sebuah pujian dapat disampai- kan dengan kasar, tetapi sebaliknya: penghinaan bisa disampaikan dengan santun dan positif. Kata juga objek yang bergerak secara dinamis dalam ruang sosial. Makna kata tidak pernah ajeg meskipun telah dijaga makna leksikalnya melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Makna kata akan terus berubah seiring pengalaman dan perkembangan intelektual masyara- kat. Pada saat yang sama, makna kata bi- sa sangat berbeda pada satu komunitas dengan komunitas lain. Konotasi atau ni- lai rasa kata berubah dengan sangat cair. Kerumitan demikian akan semakin bertambah karena makna kata selalu dipengaruhi konteks. Kata selalu lahir dari rahim situasi yang unik dan spesifik. Makna kata hanya dapat dipahami dengan sempurna pada saat kata itu dihasilkan, yakni ketika elemen-elemen konteks berfungsi membentuk makna. Rekonstruksi kata berpotensi menghi- langkan sebagian makna. Dalam analisis Hymes (1974) konteks berkaitan dengan situasi, relasi antara penutur dengan mitra tutur, tujuan, sarana yang digunakan, juga maksud. Kata ‘’taek’’ di Semarang, bisa jadi merupakan umpatan yang sangat kasar. Jika ditujukan kepada penutur di luar komunitas, kata ‘’taek’’ bisa bermakna penghinaan bahwa orang bersangkutan seperti kotoran. Namun jika digunakan dalam internal komunitas, ungkapan itu hanya ungkapan kekecewaan biasa. Pada komunitas anak muda, kata ini bahkan kerap digunakan sebagai penanda keakraban, sebuah ekspresi sayang. Dengan demikian, respon seseorang atas sebuah kata sangat personal. Kata yang sama dan diproduksi pada saat yang sama dapat direspons berbeda oleh dua mitra tutur yang memiliki latar belakang dan pengalaman berbeda. Seseorang bisa menanggapinya sebagai pujian dan mereponnya secara positif, orang lain bisa menanggapinya sebagai penghinaan dan meresponnya dengan negatif. Pada konteks ini, kebencian bukan- lah objek empiris yang layak dima- sukkan dalam terminologi hukum. Sebagaimana perasaan lain, kebencian hanyalah respon psikologis yang muncul sebagai ekses intepretasi individu ter- hadap realitas di sekitarnya. Kebencian tidak semata-mata diakibatkan oleh keberadaan stimulus, melainkan oleh cara seseorang merespons situasi. Dibandingkan dengan faktor ekspresif, kebencian lebih sering muncul akibat proses pragmatik (pencerapan, pema- haman, dan intepretasi). Dari aspek lain, bukan pekerjaan mudah bagi penyidik untuk mengate- gorikan kebencian dengan perasaan negatif lain. Sebab, manusia dapat me- rasakan ribuan jenis perasaan negatif. Namun untuk melambangkan variasi perasaan tersebut tidak tersedia cukup kata.Akibatnya, penutur bahasa Indonesia cenderung mensimplifikasi dengan menggunakan lambang bahasa seadanya, sesuai perbendaharaan kosakata mereka. Dalam bahasa Jawa, perasaan se- macam ’’benci’’ bisa diungkapkan dengan variasi ungkap sengit, gething, jeleh, dan anyel. Meskipun memiliki kedekatan makna, keempat kata tersebut bereferensi pada kondisi yang berbeda. Dalam bahasa Inggris, perasaan benci juga dapat dilambangkan dengan hate, dislike, dan aversion. Meskipun secara leksikal merujuk pada makna yang sama, secara aktual ketiganya merupakan perasaan yang berbeda. Kerumitan hubungan kata dan kebencian ini mestinya dipertimbangkan polisi dan pemerintah. Surat edaran atau bahkan undang-undang sekalipun tidak bisa mengatur kata dan kebencian dengan paripurna. Terlebih, secara instingtif manusia terlatih untuk menyukai yang baik dan membenci yang buruk. Aturan yang ketat tidak akan menghilangkan kebencian masyarakat pada objek atau situasi yang buruk, termasuk misalnya pemerintah yang wanprestasi. (43) Surahmat , dosen Bahasa Indo- nesia Universitas Negeri Semarang MARKAS besar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengungkapkan, dari hasil penelitian terungkap bahwa 80 persen anggota reserse menderita stres. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Pol Anton Charliyan di Jakarta, 2 November 2015, meminta kepada para pemimpin bagian untuk lebih peduli terhadap anak buah di lapangan, mendengarkan keluhan dan pemasalahan anggota. Pimpinan agar lebih open pada anak buah. Semua berkumpul mengemukakan unek-unek. Selain itu, ia juga meminta Divisi Profesi (Propam) dan dinas psikologis berupaya mempelajari hal tersebut dan melakukan langkah antisipasi agar tidak muncul peri- stiwa polisi bunuh diri. Hasil penelitian tersebut dalam konteks penegak- an hukum tentu sangat memprihatinkan. Mengapa? Logikanya adalah, bagaimana mungkin penegakan hukum (yang diemban oleh anggota reserse) ternyata dilaksanakan oleh personel (80%) yang mengalami stres? Bukankah dalam proses penegakan hukum, anggota reserse dibekali secara fisik peralatan yang identik dengan kekerasan seperti senjata api dan bor- gol? Sementara dari aspek yuridis, mereka diberi kewenangan untuk melakukan serangkaian upaya paksa. Upaya paksa yang dilakukan dimulai dari pemanggilan, penangkapan, penyitaan, peng- geledahan, penahanan hingga pemeriksaan terhadap surat-surat. Bukankah kewenangan ini sangat bersen- tuhan dengan hak asasi manusia? Potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) menjadi semakin terbuka. Kondisi ini diperkuat adanya penelitian internal Polri yang menyebutkan bahwa hampir 70% klaim masyarakat atas pelayanan Polri ditujukan kepada jajaran reserse. 70% ketidakpuasan masyarakat ini menyangkut proses penyidikan yang masih kurang transparan, indikasi kekerasan, manipulasi pasal-pasal hingga penyelesaian perkara dengan tendensi kom- pensasi. Penulis mengalami sendiri, betapa berat menjadi reserse. Ia harus penuh menyiagakan diri, karena sewaktu-waktu terjadi tindak pidana, yang tidak men- genal waktu, entah pagi, siang, tengah malam. Atau pada saat hari libur, hari sibuk atau hari perayaan nasio- nal, harus dalam keadaan siap. Ia harus datang sejak kejadian perkara hingga proses berikutnya sampai berkas perkara tuntas dan dilimpahkan ke Penuntut Umum. Selama proses ini berjalan, ia harus berpacu dengan waktu, jangan sampai masa penahanan habis. Belum satu perkara tuntas, perkara lain sudah terjadi. Saling tumpuk menumpuk perkara. Pada sisi lain, ketika berhadapan dengan pelaku kejahatan dengan kekerasan, ia harus bisa menjaga diri agar tidak mendapat serangan fisik. Sekali lengah, ia justru menjadi korban. Ketika salah prosedur dalam penangkapan, reserse akan menanggung risiko pra peradilan, pemeriksaan internal dari bidang Propam hingga bisa diajukan dalam sidang kode etik. Ironisnya, kondisi ini tidak didukung dengan man- ajemen dukungan dana yang memadai. Tata kelola dan birokrasi pencairan anggaran, di hadapkan pada reali- tas kebutuhan pendukung tugas, belum sejalan. Sehingga sering terjadi, anggaran baru bisa cair apabi- la tugas sudah dilaksanakan dan berkas perkara diny- atakan lengkap oleh jaksa. Bentuk pertanggungjawa- ban oleh para reserse ini, sangat membuka peluang anggota di lapangan mencari uang di luar dinas untuk menutupi biaya operasional tadi. Harus segera diambil langkah srategis guna mengembalikan kondisi kejiwaan para anggota reserse. Salah satunya adalah dengan pola human approach yaitu pendekatan oleh masing-masing level pimpinan, dengan memberikan suport dan tidak melakukan tindakan kontraproduktif dengan membe- bani mereka hal-hal yang tidak ada hubungan dengan kedinasan yang memerlukan extra cost. Sangat membahayakan bagi proses penegakan hukum, bila membiarkan awak-awaknya terus dilanda stres. (43) Herie Purwanto, mantan Kasat Reskrim Polres Magelang Kota, tugas baru di Bidang Humas Polda Jateng, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang JUMAT, 6 NOVEMBER 2015 Bupati Yoyok dan Risma jadi teladan antikorupsi. Lestarikan, jangan dikriminalkan... * * * Nasdem tuding ada yang bermain di air keruh. Makanya jangan bermain air di dulang... (Ingat Yoyok, ingat “Avatar Ang”) Berhubung email lama mengalami gangguan, kini kirimkan artikel wacana nasional ke: [email protected]. dan: wacana. [email protected]. Panjang maksimal 7.000 karakter with space, sertakan pasfoto pose santai dan untuk wacana lokal ke: [email protected]. dan: [email protected]. Panjang maksimal 6.000 karakter with space, sertakan pasfoto pose santai.. (Red) Email Baru Sangat membahayakan bagi proses penegakan hukum, bila membiarkan awak-awaknya terus dilanda stres Menalar Aturan Ujaran Kebencian Oleh Surahmat Wakil Pemimpin Redaksi : Ananto Pradono,Agus Toto Widyatmoko. Redaktur Senior: Sasongko Tedjo, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo, Prie GS. Redaktur Pelaksana : Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo, Hartono, Rukardi. Koordinator Liputan: Edy Muspriyanto, Saroni Asikin. Sekretaris Redaksi : Eko Hari Mudjiharto Staf Redaksi : Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, ZaenalAbidin, Eko Riyono, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, MuhammadAli, Bambang Tri Subeno, Simon Dodit, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso, Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Edi Indarto, Nasrudin, M.Asmu’i, Ali Arifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto, Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch, Agus Fathudin Yusuf, Petrus Heru Subono, Tavif Rudiyanto, M Jokomono, Purwoko Adi Seno, Karyadi, Arswinda Ayu Rusmaladewi, Mohammad Saronji, Maratun Nashihah, Sarby SB Wietha, Mohamad Annas, Kunadi Ahmad, Ida Nursanti, Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, M Norman Wijaya, Noviar Yudho P, YunantyoAdi S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Roosalina, Dicky Priyanto, Hasan Fikri, Budi Cahyono, Tri Budianto, Wahyu Wijayanto, LeonardoAgung Budi Prasetya,Adhitia Amitrianto. Litbang : Djurianto Prabowo ( Kepala ),DadangAribowo. Pusat Data,Analisa dan Produksi: DwiAni Retnowulan (Kepala). Personalia: Dyah Anggarini. RedakturArtistik: Toto Tri Nugroho (Koordinator), Joko Sunarto, Djoko Susilo, Sigit Anugroho. Kepala Pracetak: Putut Wahyu Widodo. Reporter Biro Semarang : Nugroho DwiAdiseno ( Kepala), Surya Yuli Purwariyanto (wakil), Sutomo, IrawanAryanto, Moh. Kundori, Dian Chandra TB, Rosyid Ridho, Yuniarto Hari Santosa, Maulana M Fahmi, FaniAyudea, Hartatik, Modesta Fiska Diana, Royce Wijaya Setya Putra. Biro Jakarta : Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan Djazadi, Budi Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, Saktia Andri Susilo, Kartika Runiasari, Mahendra Bungalan Dharmabrata, Wisnu Wijarnako. Biro Surakarta : Anindito Adi Nugroho (Kepala ), Won Poerwono, Joko Dwi Hastanto, Bambang Purnomo, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Wisnu Kisawa,Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo, Yusuf Gunawan, Evi Kusnindya, Budi Santoso, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo, Basuni Hariwoto, Khalid Yogi Putranto. Biro Banyumas: Sigit Oediarto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Bahar Ibnu Hajar, Budi Setyawan. Biro Pantura : Trias Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, Nuryanto Aji, Arif Suryoto, Riyono Toepra, Dwi Ariadi, MAchid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan, Teguh Inpras Tribowo, Nur Khoerudin. Biro Muria : Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, DjamalAG, Urip Daryanto, Sukardi,Abdul Muiz,Anton Wahyu Hartono, Mulyanto Ari Wibowo, Ruli Aditio, Moch Noor Efendi, A Adib. Biro Kedu/DIY: Komper Wardopo (Kepala), DoddyArdjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Nur Kholiq, Supriyanto, Sony Wibisono. Daerah Istimewa Yogyakarta: Sugiarto, Agung Priyo,Amelia Hapsari. Bandung : Dwi Setiadi. Koresponden : Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118.Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ), 6581925. Faks : (024) 6580605.Alamat Redaksi Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon : (024) 8412600. Manajer Iklan : Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: Berkah Yuliarto, Manajer Markom: Yoyok Gumulyo. Manajer Riset dan Pengembangan : Adi Ekopriyono. Manajer TU :Amir AR. Manajer Keuangan : Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer Logistik/Umum : Adi P. Manajer HRD: Budi Susanto. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha: Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon: (024) 8412600. Faks : (024) 8411116, 8447858. HOT LINE 24 JAM024-8454333 REDAKSI: (024) 6580900 Faks (024) 6580605 EMAIL REDAKSI: redaksi _ [email protected] Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan. Direktur Pemberitaan : Amir Machmud NS Direktur SDM : Sara Ariana Fiestri Pendiri : H Hetami Komisaris Utama : Ir Budi Santoso Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab : Hendro Basuki Terbit sejak 11 Februari 1950 PT Suara Merdeka Press Reserse Stres dan Penegakan Hukum Oleh Herie Purwanto Penghargaan kepada Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo dan man- tan wali kota Surabaya Tri Rismaharini dari Bung Hatta Anticorruption Award menegaskan perlawanan terhadap korupsi tidak akan mati. Kendati seran- gan, penggembosan, dan penggero- gotan terhadap para penggerak antiko- rupsi pada berbagai sisi dan bentuk semakin ganas, Yoyok dan Risma menjadi teladan. Keduanya tidak gen- tar dan terus berjalan sesuai track di sektor birokrasi pemerintah dan layanan kepada publik. Setidaknya dua sosok tersebut mengetengahkan ajaran bahwa ang- garan negara bisa diterjemahkan secara sungguh-sungguh untuk ke- pentingan masyarakat luas. Selama ini kita dipertontonkan secara masif lewat pemberitaan banyaknya elite pemerin- tahan bermain-main dalam penyu- sunan anggaran. Banyak kepala dae- rah tertangkap operasi tangkap tangan penegak hukum, terjerat sangkaan suap dan korupsi, hingga meringkuk di tahanan karena terbukti merampas duit rakyat. Yoyok yang masih menjabat bupati hingga 1,5 tahun ke depan, bukannya tanpa tantangan ketika membuat kebi- jakan transparansi APBD Batang. Dia mendirikan Unit Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (UPKP2). Lembaga tersebut diposisikan sebagai tempat pengaduan terhadap berbagai keluhan layanan birokrasi. Ini langkah terobosan berani bupati, di tengah ter- strukturnya gangguan terhadap kepala daerah. Tak pelak pembentukan lem- baga tersebut pada awalnya menda- pat tentangan dari internal birokrasi. Transparansi pengelolaan dana publik juga dicetuskan lewat Festival Anggaran. Publik secara gamblang bisa memelototi rincian anggaran atau buka- bukaan mengenai APBD Batang. Dirjen Pengembangan Keuangan Kemen- terian Keuangan menyebut hal itu seba- gai ide gila karena baru Batang yang berani menjalankan. Jamaknya, buku APBD dijauhkan dari sorotan publik. Bahkan terdapat nomenklatur khusus yang dititipkan dalam berbagai pos SKPD, yang ’’pada saat tepat’’ akan ditagih oleh segelintir elite. Begitu pula Risma yang lompatan- nya luar biasa dengan menerapkan sistem elektronik dalam e-procurement (pembelian), e-budgeting (pengang- garan), dan e-government (pemerin- tahan). Keterbukaan dalam berbagai lini birokrasi sebagai upaya pencega- han praktik korupsi di instansi pe- merintah. Hasilnya, sistem berbasis dalam jaringan (online) itu membuat Pemkot Surabaya menghemat Rp 800 miliar setiap tahun. Gamblangnya, sis- tem ini akan menghindarkan perte- muan tatap muka sehingga mengikis potensi kongkalikong. Munculnya dua sosok pimpinan dari daerah patut dicatat sebagai agen struktural dalam pemberan- tasan praktik korupsi. Lompatan kebi- jakan itulah yang bisa ditularkan dan diadopsi oleh kepala daerah yang lain. Tidak perlu malu meniru kebi- jakan positif daripada mengikuti arus lalu terjerat kasus pada kemudian hari. Pengambil kebijakan di daerah bisa memberikan keteladanan per- juangan melawan praktik-praktik korupsi dan melakukan perubahan, dengan berbagai upaya pencegahan. Tiga dari enam trayek tol laut yang ditetapkan oleh Kementerian Perhu- bungan pada tahun anggaran 2015 baru saja diluncurkan. Dengan peresmian itu, gambaran tentang tol laut yang menjadi salah satu janji Jokowi dalam kampanye pilres mulai nampak. Kapal besar yang memiliki tugas khusus mendistribusikan barang-barang ke wilayah-wilayah ter- tentu dioperasikan dengan subsidi dari pemerintah. Tahun ini, besarnya subsidi sebesar Rp 30 miliar untuk periode dua bulan. Subsidi diterima pemilik kapal, yaitu PT Pelni. Tiga rute yang akan dilayari oleh tiga kapal milik Pelni tersebut dianggap sebagai jalur nonkomersial. Misi seper- ti itu bukanlah hal baru bagi sebuah BUMN. Aplikasi dari misi ini adalah membebankan tarif kepada pengirim barang di bawah ongkos keekonomi- annya. Dengan biaya distribusi yang berkurang diharapkan harga barang- barang juga akan menurun. Karena itu, yang terpenting dari acara peresmian jalur tol laut sebenarnya bukanlah proyeknya, tetapi dampaknya bagi masyarakat dan perekonomian. Tol laut diluncurkan untuk mene- kan disparitas harga antarwilayah di negeri ini. Pusat produksi sebagian besar kebutuhan masyarakat ke- banyakan berada di Pulau Jawa. Tidak mengherankan bila tiga kapal itu berangkat dari pelabuhan yang ada di Jawa. Dua kapal mengawali pelayaran dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, sedangkan satu kapal lagi memulainya dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Satu kapal melayani wilayah barat dan dua kapal melayani wilayah timur Indonesia. Pelayaran jalur barat sampai ke Kepulauan Riau, sedangkan jalur timur melayani hingga ke Papua. Ada satu kapal yang sebelum ke Papua melakukan pengiriman barang ke Maluku. Melihat luasnya wilayah, tentu keberadaan tiga kapal masih kurang. Dengan kapal yang lebih banyak, wilayah yang dijangkau lebih luas. Selain itu, peningkatan jumlah kapal akan meningkatkan frekuensi sehing- ga waktu pengiriman bisa dipercepat mengingat sistem interkoneksi bisa di- terapkan. Titik-titik keberangkatan awal juga bisa ditambah. Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, berpotensi dijadikan salah satu alternatif, mengingat letaknya yang juga dekat dengan pabrik-pabrik besar di Pulau Jawa. Bila ada kendala teknis sehingga belum memungkinkan untuk dilibatkan dalam jalur tol laut, maka perbaikan atau penambahan fasilitas perlu segera dilakukan. Tol laut memang membu- tuhkan biaya besar, karena menuntut kesiapan pelabuhan dan banyaknya kapal besar. Biaya besar memang dibutuhkan untuk proyek tersebut. Namun, sebagai negara kepulauan, tol laut memang pili- han strategis. Penyertaan modal peme- rintah (PMP) bisa menjadi solusi karena BUMN berkewajiban menjadi operator. BUMN mengemban misi menjalankan program pemerintah. Penyertaan modal tersebut bisa diberikan untuk Pelindo yang mengelola pelabuhan serta Pelni yang menjalankan kapal. PMP sah saja sepanjang ukuran dan tujuannya jelas. Kesesuaian dengan tujuan akan dibuk- tikan dalam proses pertanggungjawa- bannya. Kepala Daerah sebagai Agen Antikorupsi Realisasi Awal Proyek Tol Laut

Transcript of JUMAT, 6 NOVEMBER 2015 Menalar Aturan Ujaran...

Page 1: JUMAT, 6 NOVEMBER 2015 Menalar Aturan Ujaran …blog.unnes.ac.id/bahasaindonesia/wp-content/uploads/sites/2431/... · KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) mengeluarkan surat edaran

KEPOLISIANRepublik Indonesia(Polri) mengeluarkan surat edaran berisipetunjuk penanganan ujaran kebencian(hate speech). Melalui surat yang berlakubagi internal ini, Polri sekaligus memberiperingatan kepada publik agar tidakmengumbar ujaran kebencian di manapun. Mengumbar pendapat, jika me-ngandung unsur kebencian, dapat dipi-danakan.

Mengingat momentum kemunculansurat edaran ini berdekatan denganperbincangan tentang rekayasa foto pre-siden, secara ilokutif surat edaran itumemiliki dua makna. Pertama, dari aspeklegal, Kapolri menilai bahwa ujarankebencian merupakan fenomena sosialyang harus ditangani secara serius karenaberkaitan dengan kepentingan masyara-kat. Kedua, dari aspek politik, Kapolrisedang menunjukkan loyalitas kepadapemerintah dan presiden.

Sayang, aturan ini tidakdisertai penjelasan yangmemuaskan untuk memaha-

mi secara ontologis dua halyang diatur, yakni ujaran dan keben-

cian. Ini mengakibatkan aturan ini poten-sial menjadi alat politik yang digunakanuntuk membungkam kebebasan berpen-dapat. Bahkan, surat edaran ini bisa men-jadi alat legitimasi bagi penguasa untukmelindungi legitimasi politiknya.Kontekstual dan Personal

Melalui aturan ini polisi mengasum-sikan bahwa kata dan kebencian adalahobjek yang eksis secara positif. Denganasumsi itu polisi memperkirakan bahwamenganalisis makna dan kebenciandapat dilakukan dengan mudah. Padahal,sebagai sebuah lambang, kata meru-pakan objek yang absurd. Bentuk,makna, dan fungsi kata tidak dapatdengan mudah ditelaah karena hidupdalam semesta simbol, semesta konteks,

dan semesta persepsi.Dalam Meaning of Meaning, misal-

nya, Ogden dan Richard (1923) berpen-dapat, kata bukanlah objek otonom.Sebagai simbol, kata hanya dapat eksisjika berelasi membentuk segitiga maknadengan konsep (thought) dan referensi(reference). Hubungan segitiga ini bisamenjadi rumit karena konsep adalahobjek yang tak empiris, hanya eksisdalam pikiran manusia. Adapun referen-si sebuah kata sangat bergantung padapengalaman penutur bahasa.

Pada praktiknya, penggunaan katasenantiasa mengalami penyimpangankarena penutur bahasa adalah pribadikreatif. Mereka selalu berupaya mene-mukan bentuk-bentuk ungkapan baruyang sama sekali berbeda dengan aturanyang ada. Dalam penggunaan ironi,misalnya, makna kontekstual kata justrubisa bertolak belakang dari makna lek-sikalnya. Sebuah pujian dapat disampai-kan dengan kasar, tetapi sebaliknya:penghinaan bisa disampaikan dengansantun dan positif.

Kata juga objek yang bergerak secaradinamis dalam ruang sosial. Makna katatidak pernah ajeg meskipun telah dijagamakna leksikalnya melalui Kamus BesarBahasa Indonesia (KBBI). Makna kataakan terus berubah seiring pengalamandan perkembangan intelektual masyara-kat. Pada saat yang sama, makna kata bi-sa sangat berbeda pada satu komunitasdengan komunitas lain. Konotasi atau ni-lai rasa kata berubah dengan sangat cair.

Kerumitan demikian akan semakinbertambah karena makna kata selaludipengaruhi konteks. Kata selalu lahirdari rahim situasi yang unik dan spesifik.Makna kata hanya dapat dipahamidengan sempurna pada saat kata itudihasilkan, yakni ketika elemen-elemenkonteks berfungsi membentuk makna.Rekonstruksi kata berpotensi menghi-langkan sebagian makna. Dalam analisisHymes (1974) konteks berkaitan dengansituasi, relasi antara penutur dengan mitratutur, tujuan, sarana yang digunakan, jugamaksud.

Kata ‘’taek’’ di Semarang, bisa jadimerupakan umpatan yang sangat kasar.Jika ditujukan kepada penutur di luarkomunitas, kata ‘’taek’’ bisa bermaknapenghinaan bahwa orang bersangkutanseperti kotoran. Namun jika digunakandalam internal komunitas, ungkapan ituhanya ungkapan kekecewaan biasa. Padakomunitas anak muda, kata ini bahkankerap digunakan sebagai penandakeakraban, sebuah ekspresi sayang.

Dengan demikian, respon seseorangatas sebuah kata sangat personal. Katayang sama dan diproduksi pada saat yangsama dapat direspons berbeda oleh duamitra tutur yang memiliki latar belakangdan pengalaman berbeda. Seseorang bisamenanggapinya sebagai pujian danmereponnya secara positif, orang lainbisa menanggapinya sebagai penghinaandan meresponnya dengan negatif.

Pada konteks ini, kebencian bukan-lah objek empiris yang layak dima-sukkan dalam terminologi hukum.Sebagaimana perasaan lain, kebencianhanyalah respon psikologis yang munculsebagai ekses intepretasi individu ter-hadap realitas di sekitarnya. Kebenciantidak semata-mata diakibatkan olehkeberadaan stimulus, melainkan olehcara seseorang merespons situasi.Dibandingkan dengan faktor ekspresif,kebencian lebih sering muncul akibatproses pragmatik (pencerapan, pema-haman, dan intepretasi).

Dari aspek lain, bukan pekerjaanmudah bagi penyidik untuk mengate-gorikan kebencian dengan perasaannegatif lain. Sebab, manusia dapat me-rasakan ribuan jenis perasaan negatif.Namun untuk melambangkan variasiperasaan tersebut tidak tersedia cukupkata. Akibatnya, penutur bahasa Indonesiacenderung mensimplifikasi denganmenggunakan lambang bahasa seadanya,sesuai perbendaharaan kosakata mereka.

Dalam bahasa Jawa, perasaan se-macam ’’benci’’ bisa diungkapkandengan variasi ungkap sengit, gething,jeleh, dan anyel. Meskipun memilikikedekatan makna, keempat kata tersebutbereferensi pada kondisi yang berbeda.Dalam bahasa Inggris, perasaan bencijuga dapat dilambangkan dengan hate,dislike, dan aversion. Meskipun secaraleksikal merujuk pada makna yang sama,secara aktual ketiganya merupakanperasaan yang berbeda.

Kerumitan hubungan kata dankebencian ini mestinya dipertimbangkanpolisi dan pemerintah. Surat edaran ataubahkan undang-undang sekalipun tidakbisa mengatur kata dan kebencian denganparipurna. Terlebih, secara instingtifmanusia terlatih untuk menyukai yangbaik dan membenci yang buruk. Aturanyang ketat tidak akan menghilangkankebencian masyarakat pada objek atausituasi yang buruk, termasuk misalnyapemerintah yang wanprestasi. (43)

— Surahmat, dosen Bahasa Indo-nesia Universitas Negeri Semarang

MARKAS besar Kepolisian Republik Indonesia(Polri) mengungkapkan, dari hasil penelitianterungkap bahwa 80 persen anggota reserse menderitastres. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat MabesPolri, Irjen Pol Anton Charliyan di Jakarta, 2November 2015, meminta kepada para pemimpinbagian untuk lebih peduli terhadap anak buah dilapangan, mendengarkan keluhan dan pemasalahananggota. Pimpinan agar lebih open pada anak buah.Semua berkumpul mengemukakan unek-unek. Selainitu, ia juga meminta Divisi Profesi (Propam) dan dinaspsikologis berupaya mempelajari hal tersebut danmelakukan langkah antisipasi agar tidak muncul peri-stiwa polisi bunuh diri.

Hasil penelitian tersebut dalam konteks penegak-an hukum tentu sangat memprihatinkan. Mengapa?Logikanya adalah, bagaimana mungkin penegakanhukum (yang diemban oleh anggota reserse) ternyatadilaksanakan oleh personel (80%) yang mengalamistres? Bukankah dalam proses penegakan hukum,anggota reserse dibekali secara fisik peralatan yangidentik dengan kekerasan seperti senjata api dan bor-gol? Sementara dari aspek yuridis, mereka diberikewenangan untuk melakukan serangkaian upayapaksa.

Upaya paksa yang dilakukan dimulai daripemanggilan, penangkapan, penyitaan, peng-geledahan, penahanan hingga pemeriksaan terhadapsurat-surat. Bukankah kewenangan ini sangat bersen-tuhan dengan hak asasi manusia? Potensi terjadinyapenyalahgunaan wewenang (abuse of power) menjadisemakin terbuka.

Kondisi ini diperkuat adanya penelitian internalPolri yang menyebutkan bahwa hampir 70% klaimmasyarakat atas pelayanan Polri ditujukan kepadajajaran reserse. 70% ketidakpuasan masyarakat inimenyangkut proses penyidikan yang masih kurangtransparan, indikasi kekerasan, manipulasi pasal-pasalhingga penyelesaian perkara dengan tendensi kom-pensasi.

Penulis mengalami sendiri, betapa berat menjadireserse. Ia harus penuh menyiagakan diri, karenasewaktu-waktu terjadi tindak pidana, yang tidak men-genal waktu, entah pagi, siang, tengah malam. Ataupada saat hari libur, hari sibuk atau hari perayaan nasio-

nal, harus dalam keadaan siap. Ia harus datang sejakkejadian perkara hingga proses berikutnya sampaiberkas perkara tuntas dan dilimpahkan ke PenuntutUmum. Selama proses ini berjalan, ia harus berpacudengan waktu, jangan sampai masa penahanan habis.Belum satu perkara tuntas, perkara lain sudah terjadi.Saling tumpuk menumpuk perkara.

Pada sisi lain, ketika berhadapan dengan pelakukejahatan dengan kekerasan, ia harus bisa menjaga diriagar tidak mendapat serangan fisik. Sekali lengah, iajustru menjadi korban. Ketika salah prosedur dalam

penangkapan, reserse akan menanggung risiko praperadilan, pemeriksaan internal dari bidang Propamhingga bisa diajukan dalam sidang kode etik.

Ironisnya, kondisi ini tidak didukung dengan man-ajemen dukungan dana yang memadai. Tata kelola danbirokrasi pencairan anggaran, di hadapkan pada reali-tas kebutuhan pendukung tugas, belum sejalan.Sehingga sering terjadi, anggaran baru bisa cair apabi-la tugas sudah dilaksanakan dan berkas perkara diny-atakan lengkap oleh jaksa. Bentuk pertanggungjawa-ban oleh para reserse ini, sangat membuka peluanganggota di lapangan mencari uang di luar dinas untukmenutupi biaya operasional tadi.

Harus segera diambil langkah srategis gunamengembalikan kondisi kejiwaan para anggotareserse. Salah satunya adalah dengan pola humanapproach yaitu pendekatan oleh masing-masing levelpimpinan, dengan memberikan suport dan tidakmelakukan tindakan kontraproduktif dengan membe-bani mereka hal-hal yang tidak ada hubungan dengankedinasan yang memerlukan extra cost.

Sangat membahayakan bagi proses penegakanhukum, bila membiarkan awak-awaknya terus dilandastres. (43)

— Herie Purwanto, mantan Kasat ReskrimPolres Magelang Kota, tugas baru di Bidang HumasPolda Jateng, Kandidat Doktor Ilmu HukumUniversitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang

JUMAT, 6 NOVEMBER 2015

Bupati Yoyok dan Risma jadi teladan antikorupsi.

Lestarikan, jangan dikriminalkan...

* * *Nasdem tuding ada yang bermain di air keruh.

Makanya jangan bermain air di dulang...

(Ingat Yoyok, ingat “Avatar Ang”)

Berhubung email lama mengalami gangguan, kini kirimkan artikel

wacana nasional ke: [email protected].

dan: [email protected]. Panjangmaksimal 7.000 karakter with space,

sertakan pasfoto pose santai dan untuk wacana lokal ke:

[email protected]. dan: [email protected].

Panjang maksimal 6.000 karakter with space, sertakan pasfoto pose santai.. (Red)

Email Baru

Sangat membahayakan bagiproses penegakan hukum, bilamembiarkan awak-awaknya

terus dilanda stres

Menalar Aturan Ujaran KebencianOleh Surahmat

Wakil Pemimpin Redaksi : Ananto Pradono, Agus Toto Widyatmoko. Redaktur Senior: Sasongko Tedjo, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo, Prie GS. Redaktur Pelaksana : Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo, Hartono, Rukardi. Koordinator Liputan: Edy Muspriyanto,

Saroni Asikin. Sekretaris Redaksi : Eko Hari MudjihartoStaf Redaksi :Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, Zaenal Abidin, Eko Riyono, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, Muhammad Ali, Bambang Tri Subeno, Simon Dodit, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso,

Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Edi Indarto, Nasrudin, M.Asmu’i, Ali Arifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto, Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch, Agus Fathudin Yusuf, Petrus Heru Subono, Tavif Rudiyanto, M Jokomono, Purwoko Adi Seno,

Karyadi, Arswinda Ayu Rusmaladewi, Mohammad Saronji, Maratun Nashihah, Sarby SB Wietha, Mohamad Annas, Kunadi Ahmad, Ida Nursanti, Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, M Norman Wijaya, Noviar

Yudho P, Yunantyo Adi S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Roosalina, Dicky Priyanto, Hasan Fikri, Budi Cahyono, Tri Budianto, Wahyu Wijayanto, Leonardo Agung Budi Prasetya, Adhitia Amitrianto. Litbang :Djurianto Prabowo ( Kepala ),Dadang Aribowo. Pusat Data, Analisa

dan Produksi: Dwi Ani Retnowulan (Kepala). Personalia: Dyah Anggarini. RedakturArtistik: Toto Tri Nugroho (Koordinator), Joko Sunarto, Djoko Susilo, Sigit Anugroho. Kepala Pracetak: Putut Wahyu Widodo. Reporter Biro Semarang : Nugroho Dwi Adiseno ( Kepala), Surya

Yuli Purwariyanto (wakil), Sutomo, Irawan Aryanto, Moh. Kundori, Dian Chandra TB, Rosyid Ridho, Yuniarto Hari Santosa, Maulana M Fahmi, Fani Ayudea, Hartatik, Modesta Fiska Diana, Royce Wijaya Setya Putra. Biro Jakarta : Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan

Djazadi, Budi Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, Saktia Andri Susilo, Kartika Runiasari, Mahendra Bungalan Dharmabrata, Wisnu Wijarnako. Biro Surakarta : Anindito Adi Nugroho (Kepala ), Won Poerwono, Joko Dwi Hastanto, Bambang

Purnomo, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Wisnu Kisawa, Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo, Yusuf Gunawan, Evi Kusnindya, Budi Santoso, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo, Basuni Hariwoto, Khalid Yogi Putranto. Biro Banyumas:

Sigit Oediarto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Bahar Ibnu Hajar, Budi Setyawan. Biro Pantura :Trias Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, Nuryanto Aji, Arif Suryoto, Riyono

Toepra, Dwi Ariadi, M Achid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan, Teguh Inpras Tribowo, Nur Khoerudin. Biro Muria :Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, Djamal AG, Urip Daryanto, Sukardi, Abdul Muiz, Anton Wahyu Hartono, Mulyanto

Ari Wibowo, Ruli Aditio, Moch Noor Efendi, AAdib. Biro Kedu/DIY: Komper Wardopo (Kepala), Doddy Ardjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Nur Kholiq, Supriyanto, Sony Wibisono. Daerah Istimewa Yogyakarta: Sugiarto, Agung Priyo, Amelia Hapsari.

Bandung :Dwi Setiadi. Koresponden : Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118.Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ), 6581925. Faks : (024) 6580605. Alamat Redaksi Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon : (024) 8412600.

Manajer Iklan :Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: Berkah Yuliarto, Manajer Markom: Yoyok Gumulyo. Manajer Riset dan Pengembangan :Adi Ekopriyono. Manajer TU :Amir AR. Manajer Keuangan : Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer

Logistik/Umum : Adi P. Manajer HRD: Budi Susanto. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha:Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon: (024) 8412600. Faks : (024) 8411116, 8447858. ■HOT LINE 24 JAM024-8454333 ■REDAKSI: (024) 6580900 Faks (024) 6580605 ■EMAILREDAKSI: redaksi _ [email protected] Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan.

Direktur Pemberitaan :Amir Machmud NS

Direktur SDM : Sara Ariana Fiestri

Pendiri : H Hetami

Komisaris Utama : Ir Budi Santoso

Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab :

Hendro Basuki

Terbit sejak 11 Februari 1950

PT Suara Merdeka Press

Reserse Stres dan Penegakan HukumOleh Herie Purwanto

Penghargaan kepada BupatiBatang Yoyok Riyo Sudibyo dan man-tan wali kota Surabaya Tri Rismaharinidari Bung Hatta Anticorruption Awardmenegaskan perlawanan terhadapkorupsi tidak akan mati. Kendati seran-gan, penggembosan, dan penggero-gotan terhadap para penggerak antiko-rupsi pada berbagai sisi dan bentuksemakin ganas, Yoyok dan Rismamenjadi teladan. Keduanya tidak gen-tar dan terus berjalan sesuai track disektor birokrasi pemerintah danlayanan kepada publik.

Setidaknya dua sosok tersebutmengetengahkan ajaran bahwa ang-garan negara bisa diterjemahkansecara sungguh-sungguh untuk ke-pentingan masyarakat luas. Selama inikita dipertontonkan secara masif lewatpemberitaan banyaknya elite pemerin-tahan bermain-main dalam penyu-sunan anggaran. Banyak kepala dae-rah tertangkap operasi tangkap tanganpenegak hukum, terjerat sangkaansuap dan korupsi, hingga meringkuk ditahanan karena terbukti merampasduit rakyat.

Yoyok yang masih menjabat bupatihingga 1,5 tahun ke depan, bukannyatanpa tantangan ketika membuat kebi-jakan transparansi APBD Batang. Diamendirikan Unit Peningkatan KualitasPelayanan Publik (UPKP2). Lembagatersebut diposisikan sebagai tempatpengaduan terhadap berbagaikeluhan layanan birokrasi. Ini langkahterobosan berani bupati, di tengah ter-strukturnya gangguan terhadap kepaladaerah. Tak pelak pembentukan lem-baga tersebut pada awalnya menda-pat tentangan dari internal birokrasi.

Transparansi pengelolaan danapublik juga dicetuskan lewat FestivalAnggaran. Publik secara gamblang bisamemelototi rincian anggaran atau buka-bukaan mengenai APBD Batang. DirjenPengembangan Keuangan Kemen-terian Keuangan menyebut hal itu seba-gai ide gila karena baru Batang yangberani menjalankan. Jamaknya, bukuAPBD dijauhkan dari sorotan publik.Bahkan terdapat nomenklatur khususyang dititipkan dalam berbagai posSKPD, yang ’’pada saat tepat’’ akanditagih oleh segelintir elite.

Begitu pula Risma yang lompatan-nya luar biasa dengan menerapkansistem elektronik dalam e-procurement(pembelian), e-budgeting (pengang-garan), dan e-government (pemerin-tahan). Keterbukaan dalam berbagailini birokrasi sebagai upaya pencega-han praktik korupsi di instansi pe-merintah. Hasilnya, sistem berbasisdalam jaringan (online) itu membuatPemkot Surabaya menghemat Rp 800miliar setiap tahun. Gamblangnya, sis-tem ini akan menghindarkan perte-muan tatap muka sehingga mengikispotensi kongkalikong.

Munculnya dua sosok pimpinandari daerah patut dicatat sebagaiagen struktural dalam pemberan-tasan praktik korupsi. Lompatan kebi-jakan itulah yang bisa ditularkan dandiadopsi oleh kepala daerah yanglain. Tidak perlu malu meniru kebi-jakan positif daripada mengikuti aruslalu terjerat kasus pada kemudianhari. Pengambil kebijakan di daerahbisa memberikan keteladanan per-juangan melawan praktik-praktikkorupsi dan melakukan perubahan,dengan berbagai upaya pencegahan.

Tiga dari enam trayek tol laut yangditetapkan oleh Kementerian Perhu-bungan pada tahun anggaran 2015 barusaja diluncurkan. Dengan peresmian itu,gambaran tentang tol laut yang menjadisalah satu janji Jokowi dalam kampanyepilres mulai nampak. Kapal besar yangmemiliki tugas khusus mendistribusikanbarang-barang ke wilayah-wilayah ter-tentu dioperasikan dengan subsidi daripemerintah. Tahun ini, besarnya subsidisebesar Rp 30 miliar untuk periode duabulan. Subsidi diterima pemilik kapal,yaitu PTPelni.

Tiga rute yang akan dilayari olehtiga kapal milik Pelni tersebut dianggapsebagai jalur nonkomersial. Misi seper-ti itu bukanlah hal baru bagi sebuahBUMN. Aplikasi dari misi ini adalahmembebankan tarif kepada pengirimbarang di bawah ongkos keekonomi-annya. Dengan biaya distribusi yangberkurang diharapkan harga barang-barang juga akan menurun. Karena itu,yang terpenting dari acara peresmianjalur tol laut sebenarnya bukanlahproyeknya, tetapi dampaknya bagimasyarakat dan perekonomian.

Tol laut diluncurkan untuk mene-kan disparitas harga antarwilayah dinegeri ini. Pusat produksi sebagianbesar kebutuhan masyarakat ke-banyakan berada di Pulau Jawa.Tidak mengherankan bila tiga kapalitu berangkat dari pelabuhan yangada di Jawa. Dua kapal mengawalipelayaran dari Pelabuhan TanjungPriok, Jakarta, sedangkan satu kapallagi memulainya dari PelabuhanTanjung Perak, Surabaya. Satu kapalmelayani wilayah barat dan dua kapalmelayani wilayah timur Indonesia.

Pelayaran jalur barat sampai keKepulauan Riau, sedangkan jalur timurmelayani hingga ke Papua. Ada satukapal yang sebelum ke Papuamelakukan pengiriman barang keMaluku. Melihat luasnya wilayah, tentukeberadaan tiga kapal masih kurang.Dengan kapal yang lebih banyak,wilayah yang dijangkau lebih luas.Selain itu, peningkatan jumlah kapalakan meningkatkan frekuensi sehing-ga waktu pengiriman bisa dipercepatmengingat sistem interkoneksi bisa di-terapkan.

Titik-titik keberangkatan awal jugabisa ditambah. Pelabuhan TanjungEmas, Semarang, berpotensi dijadikansalah satu alternatif, mengingatletaknya yang juga dekat denganpabrik-pabrik besar di Pulau Jawa. Bilaada kendala teknis sehingga belummemungkinkan untuk dilibatkan dalamjalur tol laut, maka perbaikan ataupenambahan fasilitas perlu segeradilakukan. Tol laut memang membu-tuhkan biaya besar, karena menuntutkesiapan pelabuhan dan banyaknyakapal besar.

Biaya besar memang dibutuhkanuntuk proyek tersebut. Namun, sebagainegara kepulauan, tol laut memang pili-han strategis. Penyertaan modal peme-rintah (PMP) bisa menjadi solusi karenaBUMN berkewajiban menjadi operator.BUMN mengemban misi menjalankanprogram pemerintah. Penyertaan modaltersebut bisa diberikan untuk Pelindoyang mengelola pelabuhan serta Pelniyang menjalankan kapal. PMP sah sajasepanjang ukuran dan tujuannya jelas.Kesesuaian dengan tujuan akan dibuk-tikan dalam proses pertanggungjawa-bannya.

Kepala Daerah sebagai Agen Antikorupsi

Realisasi Awal Proyek Tol Laut