Judul_Dinamika Komponen Abiotik Waduk Sutami Malang Akibat Pencemaran Deterjen Secara Ex-situ
-
Upload
titikwijayanti -
Category
Documents
-
view
109 -
download
9
description
Transcript of Judul_Dinamika Komponen Abiotik Waduk Sutami Malang Akibat Pencemaran Deterjen Secara Ex-situ
LAPORAN PENELITIAN
DINAMIKA KOMPONEN ABIOTIK WADUK SUTAMI MALANG AKIBAT PENCEMARAN DETERJEN
(KAJIAN SECARA EX-SITU)
Oleh :
TITIK WIJAYANTI, SPd., MSi
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN IKIP BUDI UTOMO MALANG
TERAKREDITASI
JL. SIMPANG ARJUNO 14-B MALANG TELP. (0341) 323214 - 326019
2010
!i!
!!
ABSTRAK
DINAMIKA KOMPONEN ABIOTIK WADUK SUTAMI MALANG AKIBAT PENCEMARAN DETERJEN (KAJIAN SECARA EX-SITU)
Oleh :
Titik Wijayanti, SPd., MSi
Waduk Sutami terletak ±50 km di sebelah selatan Kota Malang di Desa
Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang. Permasalahan yang sering dihadapi suatu kawasan perairan khususnya air tawar seperti halnya Waduk Sutami adalah eutrofikasi yang berpotensi pada pencemaran (bahan organik). Waduk Sutami yang merupakan salah satu perairan tawar dengan kondisi perairan saat ini yang sudah tidak stabil memerlukan suatu penanganan yang cukup serius. Untuk mengambil langkah penanganan yang tepat khususnya dalam hal pencemaran deterjen maka dibutuhkan observasi tentang pengaruhnya terhadap komponen abiotik perairan yang lainnya. Deterjen merupakan zat pencemar yang tidak terdapat di alam atau bersifat antropogenik. Pencemaran deterjen yang melebihi nilai ambang 0,5 ppm pada ekosistem perairan dapat menimbulkan busa dan bila tertiup angin dapat menyebarkan mikrobia patogen.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perubahan variabel abiotik perairan Waduk Sutami Malang akibat penambahan deterjen secara ex situ. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Semua bak-plot penelitian diletakkan secara acak di lokasi penelitian ex situ. Pemberian perlakuan berupa kadar deterjen yaitu D0 (Kontrol); D1 (deterjen 0,1 ppm); D2 (deterjen 2 ppm); dan D3 (deterjen 4 ppm). Setiap perlakuan diulang sebanyak dua kali sehingga terdapat delapan bak-plot perlakuan. Variabel abiotik yang diamati yaitu Suhu, pH, konduktivitas, DO, CO2 bebas, TOM, fosfat, nitrat dan surfaktan. Selanjutnya data ditabulasi dan ditampilkan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan variabel abiotik akibat penambahan deterjen secara ex situ terutama peningkatan bahan organik (TOM dan surfaktan), fosfat dan nitrat. Penambahan deterjen juga menyebabkan DO berfluktuasi dan menurunkan kadar CO2 bebas. Sebaliknya penambahan deterjen meningkatkan nilai suhu, pH dan koduktivitas selama waktu pengamatan. Hasil penelitian merekomendasikan pentingnya pengendalian kadar fosfat dan surfaktan pada perairan waduk misalnya melalui upaya fitoremediasi, mendorong penggunaan surfaktan alami sebagai bahan dasar deterjen yang mudah didegradasi dan melanjutkan penelitian untuk mempelajari kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi fosfat dan nitrat.
!
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Penelitian ............................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran dan Nilai Penting Waduk Sutami ................................................................ 5
2.2 Pencemaran Deterjen di Waduk Sutami ............................................................... 6
2.3 Variabel Abiotik Perairan ..................................................................................... 8
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................................... 13
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................. 13
3.3 Deskripsi Area Studi ........................................................................................... 13
3.4 Rancangan Penelitian .......................................................................................... 15
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1 Alat dan bahan ....................................................................................... 15
3.5.2 Pengambilan Sampel ............................................................................. 15
3.5.3 Percobaan di Rumah Kaca .................................................................... 16
3.5.4 Pengukuran di laboratorium .................................................................. 17
3.6 Analisis Data ....................................................................................................... 19
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................................... 20
4.2 Pembahasan.......................................................................................................... 22
iv
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 27
5.2 Saran .................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 28
LAMPIRAN .................................................................................................................... 35
v
DAFTAR GAMBAR No. Judul Halaman
1. Struktur Kimia Surfaktan Linear Alkylbenzena-
Sulphonate (LAS) .................................................................................. 7
2. Perubahan TOM (Total Organic Matter), Surfaktan, Fosfat, Nitrat
untuk Tiap Kadar Deterjen selama Waktu Pengamatan ........................... 21
3. Perubahan DO dan CO2 bebas untuk Tiap Kadar Deterjen
selama Waktu Pengamatan ................................................................ 21
4. Perubahan Suhu, pH dan Konduktivitas untuk Tiap Kadar Deterjen
selama Waktu Pengamatan .................................................................. 22
vi
DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Halaman
1. Peta Waduk Sutami ........................................................................... 35
2. Dokumentasi Penelitian ........................................................................... 36
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Waduk Sutami terletak ±50 km di sebelah selatan Kota Malang di Desa
Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang. Waduk tersebut
selesai dibangun pada tahun 1972 dengan luas genangan air sebesar 15 km2
dengan kapasitas 17.000.000 m3. Waduk Sutami memiliki fungsi utama yaitu
sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Selain itu, juga memiliki
beberapa fungsi pendukung lainnya seperti sebagai pengendali banjir,
pengembangan perikanan darat serta pariwisata (Perum Jasa Tirta, 2007).
Sebagaimana halnya waduk-waduk lainnya, maka Waduk Sutami juga
menciptakan ekosistem perairan yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi
sehingga memiliki fungsi konservasi.
Permasalahan yang sering dihadapi suatu kawasan perairan khususnya air
tawar seperti halnya Waduk Sutami adalah eutrofikasi yang berpotensi pada
pencemaran (bahan organik). Pencemaran ini selain akibat dari aktivitas pertanian
yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas juga akibat aktivitas industri
dengan jenis produksi terutama tepung tapioka, gula, rokok, pulp dan kertas serta
akibat aktivitas rumah tangga (pemukiman warga sekitar DAS) yang
menghasilkan limbah domestik yang mengandung deterjen. Selanjutnya bahan
pencemar tersebut akan terbawa bersama aliran arus sungai yang mengalir menuju
hilir (Waduk Sutami) dan akan terakumulasi dari waktu ke waktu. Deterjen
merupakan zat pencemar yang tidak terdapat di alam atau bersifat antropogenik.
Pencemaran deterjen yang melebihi nilai ambang 0,5 ppm pada ekosistem
2
perairan dapat menimbulkan busa dan bila tertiup angin dapat menyebarkan
mikrobia patogen (Jimenes et al., 1991; Van Ginkel, 1996).
Deterjen selain sebagai bahan pencuci juga dapat digunakan sebagai zat
anti bakteri (Pelczar et al., 1986; Pine, 1987). Deterjen lebih banyak digunakan
daripada sabun karena bahan dasar deterjen relatif lebih murah dibandingkan
sabun, mudah digunakan, lebih toleran pada air sadah dan tidak membuat endapan
dengan asam, alkali maupun logam yang terdapat pada air sadah (Fardiaz, 1992;
Retnaningdyah dkk., 2001). Data dari Badan Pusat Statistik tahun 1980-1988
menunjukkan bahwa kurang lebih 56-61 industri di Indonesia memproduksi
deterjen dengan total produksi sebesar 109 ton/tahun dan produksi ini cenderung
meningkat dari tahun ke tahun.
Pengaruh utama bahan organik di perairan adalah mengurangi kadar
oksigen terlarut (deoxygenation) sebagai akibat dekomposisi secara aerobik yang
selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan kelimpahan mikroalga. Limbah
organik (deterjen) yang terdapat di perairan Waduk Sutami merupakan akumulasi
bahan organik dari sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) menuju Waduk.
Sungai Sawojajar I merupakan salah satu sub-DAS yang menuju DAS Brantas
dan selanjutnya berhilir di Waduk Sutami. Hasil penelitian Suharjono (2008),
menyatakan bahwa kadar deterjen (LAS) pada ekosistem sungai Sawojajar I pada
musim penghujan (curah hujan >150 mm) yaitu pada air menggenang sebesar
(4,44±0,79) ppm; pada sedimen menggenang (34,10±14,18) ppm; pada air berarus
(3,75±0,97) ppm dan pada sedimen berarus (37,60±4,92) ppm. Sedangkan pada
musim kemarau (curah hujan <150 mm) yaitu pada air menggenang sebesar
(4,63±1,33) ppm; pada sedimen menggenang (38,37±15,27) ppm; pada air berarus
3
(5,29±0,68) ppm dan pada sedimen berarus (21,08±4,83) ppm. Kadar deterjen
meningkat pada musim kemarau karena adanya efek kurangnya debit air akibat
kemarau sementara aktivitas yang menghasilkan deterjen adalah tetap. Sementara
itu, kadar deterjen yang terdapat di daerah hilir tepatnya di dasar perairan Waduk
Sutami adalah sebesar 0,005 ppm (Retnaningdyah, 2007).
Waduk Sutami yang merupakan salah satu perairan tawar dengan kondisi
perairan saat ini yang sudah tidak stabil memerlukan suatu penanganan yang
cukup serius. Untuk mengambil langkah penanganan yang tepat khususnya dalam
hal pencemaran deterjen maka dibutuhkan observasi tentang pengaruhnya
terhadap komponen abiotik perairan yang lainnya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian
untuk menentukan dinamika komponen abiotik Waduk Sutami Malang akibat
penambahan deterjen secara ex situ. Manfaat penelitian ini digunakan untuk
menentukan hubungan antara pencemaran deterjen dengan variabel abiotik di
Waduk Sutami. Sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk
melakukan tindakan pencegahan (preventive) dan penanggulangan (curative)
pencemaran khususnya limbah organik berupa deterjen dengan cepat dan tepat.
Disamping itu, juga dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengestimasi tingkat
pencemaran deterjen pada lingkungan perairan yang mempunyai kondisi serupa
dengan perairan Waduk Sutami Malang.
4
1.2 Rumusan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dirancang untuk
menjawab permasalahan sebagai berikut : Bagaimana perubahan variabel abiotik
perairan Waduk Sutami Malang akibat penambahan deterjen secara ex situ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
menentukan perubahan variabel abiotik perairan Waduk Sutami Malang akibat
penambahan deterjen secara ex situ.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada
khalayak luas tentang dampak pencemaran deterjen sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya yang berdomisili di sekitar
kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk meminimalisasi pembuangan limbah
domestik yang mengandung deterjen ke dalam aliran sungai.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran dan Nilai Penting Waduk Sutami
Waduk merupakan danau buatan manusia yang memiliki fungsi tunggal
dan serbaguna. Fungsi tunggal umumnya hanya menitikberatkan pada fungsi
irigasi, sedangkan fungsi serbaguna mengutamakan fungsi pengendalian banjir,
pengadaan air bersih dan tambahan kesempatan untuk pengembangan perikanan,
pariwisata dan navigasi (Praptokardiyo, 1982). Sedangkan menurut Ilyas (1989),
waduk adalah badan air yang terbentuk dari pembendungan aliran sungai oleh
manusia. Waduk juga merupakan badan air yang memiliki karakteristik fisika,
kimia dan biologi yang berbeda dari sungai yang dibendungnya.
Salah satu ekosistem perairan tawar yang cukup potensial adalah waduk.
Waduk merupakan suatu badan air dengan karakteristik yang menonjol yaitu
massa air yang tenang dan merupakan salah satu contoh dari habitat lentik
(Basmi, 1999). Waduk Sutami terletak ±50 km di sebelah selatan Kota Malang
tepatnya di Desa Karangkates, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang.
Waduk Sutami merupakan salah satu waduk terbesar pada Daerah Aliran Sungai
(DAS) Brantas hulu. Menurut Perum Jasa Tirta (2007), Waduk Sutami selesai
dibangun pada tahun 1972 dan memiliki luas genangan air sebesar 15 km2 dengan
kapasitas 17.000.000 m3 serta memiliki terowongan sepanjang 1,5 km yang
dihubungkan dengan Waduk Lahor. Waduk Sutami memiliki beberapa peran,
yaitu (1) sebagai pengendali banjir; (2) pembangkit listrik (PLTA) dengan daya 3
x 35.000 kWh (488 juta kWh/tahun); (3) penyediaan air irigasi 24 m3/dt pada
musim kemarau (seluas 34.000 ha); (4) pengembangan perikanan darat dan (5)
6
pariwisata. Mengingat pentingnya peranan Waduk Sutami bagi kawasan sekitar
khususnya Kabupaten Malang maka sebagai antisipasi terjadinya pendangkalan
waduk, juga dibangun waduk-waduk pengendali sedimen di bagian hulu
diantaranya adalah Waduk Sengguruh yang letaknya berbatasan dengan Waduk
Sutami bagian hulu.
2.2 Pencemaran Deterjen di Waduk Sutami
Deterjen merupakan bahan pembersih yang pertama kali ditemukan oleh
ilmuwan Jerman yang bernama Fritz Gunther pada tahun 1916. Namun baru pada
tahun 1933 deterjen untuk rumah tangga diluncurkan pertama kali di Amerika
Serikat. Deterjen ditemukan untuk memperbaiki kelemahan sabun yang tidak
dapat bekerja pada air sadah yaitu air yang mengandung kalsium (Ca2+),
magnesium (Mg2+) dan besi (Fe3+) dalam jumlah berlebih. Deterjen umumnya
tersusun atas enam jenis bahan penyusun. Pertama, surfaktan yang merupakan
senyawa Alkyl Benzene Sulphonate (ABS) ataupun Linear Alkylbenzene
Sulphonate (LAS) berfungsi untuk mengangkat kotoran pada pakaian dan bersifat
unbiodegradable. Kedua, senyawa fosfat (bahan pengisi) yang mencegah
menempelnya kembali kotoran pada bahan yang sedang dicuci. Ketiga, pemutih
dan pewangi (bahan pembantu). Zat pemutih biasanya terdiri dari Natrium
Karbonat. Keempat, pelunak air (water softener) yang membantu menurunkan
tingkat kesadahan air yang digunakan untuk mencuci. Kelima, bahan yang bersifat
abrasif yang membantu mengangkat kotoran pada serat pakaian. Dan keenam,
bahan pengisi lain seperti enzim untuk mendekomposisi protein, lemak dan
karbohidrat dari noda (Fardiaz, 1992). Beberapa bahan penyusun deterjen tersebut
dapat memberikan dampak negatif jika limbah deterjen dibuang ke lingkungan.
7
Gambar 1. Struktur Kimia Surfaktan Linear Alkylbenzene Sulphonate (LAS)
(Versteeg et al., 1999).
Seperti yang telah diketahui bahwa menurut Ilyas (1989), waduk adalah
badan air yang terbentuk dari pembendungan aliran sungai oleh manusia serta
merupakan badan air yang karakteristik fisika, kimia dan biologinya berbeda dari
sungai yang dibendungnya. Waduk juga merupakan salah satu contoh dari habitat
lentik dengan karakteristik massa air yang tenang (Basmi, 1999). Waduk sebagai
perairan terbuka menerima berbagai bahan pencemar yang berasal dari limbah
penduduk, industri besar dan kecil, peternakan, sedimen (erosi tanah) dan
atmosfer. Dugaan sementara, terjadinya pencemaran limbah deterjen disebabkan
karena sejumlah perusahaan membuang limbah cairnya yang mengandung
deterjen langsung ke sub-sub DAS Brantas. Mulai dari hulu di sumber air
Brantas-Junggo, Kecamatan Bumiaji-Batu, Sawojajar I hingga hilir banyak
industri yang berdiri di sepanjang Daerah DAS Brantas. Disamping itu, juga
karena adanya limbah domestik rumah tangga yang mengandung deterjen dan
dibuang ke DAS Brantas yang menjadi sumber air waduk.
Adanya limbah deterjen yang tinggi di perairan memberikan efek negatif
bagi ekosistem perairan baik sifat fisika, kimia dan biologi air maupun spesies dan
kelimpahan organisme yang ada di perairan tersebut. Limbah deterjen akan
8
menimbulkan busa yang berlebih akibat dari gerakan air yang mengakibatkan
terhalangnya oksigen untuk masuk ke badan air. Sehingga kadar DO menurun,
BOD dan COD meningkat, terjadi perubahan nilai pH perairan (menjadi basa) dan
peningkatan kadar fosfat. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab suburnya
fitoplankton (algal blooming) yang kemudian diikuti dengan kenaikan
zooplankton.
2.3 Variabel Abiotik Perairan
Menurut Basmi (1999), variabel abiotik yang mempengaruhi kehidupan
perairan antara lain variabel fisika air (suhu, kecerahan dan kekeruhan), variabel
kimia air (oksigen terlarut, BOD, nitrogen, fosfat dan pH). Suhu mempengaruhi
sifat fisika, kimia maupun fisiologis organisme perairan. Suhu perairan
dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk ke dalam air. Suhu selain
berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas dan densitas air juga mempengaruhi
kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Secara langsung maupun tidak langsung,
suhu berpengaruh dalam ekologi dan distribusi plankton baik fitoplankton
maupun zooplankton. Setiap spesies fitoplankton mempunyai suhu optimum atau
kisaran tertentu untuk metabolisme termasuk untuk fotosintesis (Fogg, 1985).
Kemampuan cahaya matahari untuk menembus perairan dipengaruhi oleh
kecerahan dan kekeruhan air. Adanya bahan-bahan tersuspensi seperti tanah liat,
pasir, bakteri, bahan organik, plankton dan jasad renik lainnya akan menimbulkan
kekeruhan. Apabila kekeruhan disebabkan karena kepadatan plankton yang tinggi,
maka hal ini dapat dijadikan indikator perairan yang subur. Namun bila sampai
berlebihan akan berdampak negatif karena menghalangi masuknya cahaya ke
lapisan air yang lebih dalam sehingga mematikan plankton yang ada di lapisan
9
bawahnya. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan bahan
organik sehingga perairan akan kekurangan oksigen pada malam hari di dasar
perairan dan menimbulkan racun yang dapat membahayakan kehidupan di
perairan tersebut (Herawati, 1989). Apabila perairan telah mengalami algal
blooming, maka akan terjadi penurunan kecerahan bahkan hanya mencapai 15 cm.
Akibatnya perairan tersebut mengalami goncangan nilai pH dan oksigen terlarut
yang mencolok antara dini hari dengan setelah tengah hari terutama bila cuaca
cerah (Fogg, 1985). Algal blooming selain mempengaruhi kecerahan ataupun
kekeruhan juga mempengaruhi warna air. Air bisa berwarna hijau, kuning, merah,
coklat atau hitam tergantung pada spesies plankton yang mendominir (Poernomo,
1989).
Oksigen terlarut (DO) adalah oksigen yang terdapat di dalam air sebagai
suatu cadangan makanan yang dipakai dan setiap saat digunakan (Riyadi, 1984).
Oksigen terlarut dalam air berasal dari udara, atmosfer dan dari proses fotosintesis
tumbuhan air. Oksigen yang cukup di dalam ekosistem air sangat penting bagi
semua organisme perairan yang bersifat aerobik. Pada perairan alami, kadar
oksigen terlarut selalu berubah karena adanya proses fisika, kimia dan biologi di
perairan tersebut. Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada beberapa faktor
diantaranya: suhu, tekanan barometrik udara dan kadar mineral dalam perairan
(Alaerts & Sumestri, 1984). Subarijanti (1990), juga menyatakan bahwa jika tidak
terdapat senyawa beracun di dalam perairan maka kadar oksigen minimum
sebesar 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan organisme secara
normal.
10
Nitrogen merupakan salah satu unsur hara anorganik esensial yang
diperlukan organisme. Dalam keadaan aerob, nitrogen diserap dalam bentuk nitrat
kemudian diolah menjadi protein dan dijadikan sebagai sumber bahan organik
bagi organisme perairan (Wardojo, 1975). Nitrogen dapat ditemukan hampir
disetiap badan air dengan berbagai macam bentuk. Bentuk unsur tersebut
tergantung dari tingkat oksidasinya seperti N2, nitrit (NO2-), nitrat (NO3
-),
amonium (NH4+) dan amonia (NH3
+) (Alaerts, 1984). Nitrogen dalam bentuk
nitrat dapat mendorong pertumbuhan fitoplankton. Dengan kadar nitrat 4 ppm di
perairan fitoplankton akan tumbuh dengan baik. Kadar nitrat di perairan dapat
dijadikan sebagai indikator tingkat kesuburan suatu perairan. Hal ini dapat
dibuktikan dari suatu perairan yang mengandung kadar nitrat yang tinggi akan
segera diikuti oleh blooming fitoplankton dan diikuti meningkatnya zooplankton
(Tambaru, 2000).
Fosfor merupakan unsur penting sebagai pembentuk asam nukleat, protein
ATP (Adenosin Tri-Phosphate) dan senyawa organik vital lainnya. Fosfor
merupakan unsur yang berperan sebagai faktor pembatas dalam produktivitas
ekosistem. Sebagian besar fosfor yang masuk dalam perairan terikat pada endapan
di dasar perairan (Rahardjanto, 2000). Menurut Alaerts & Sumestri (1984), fosfat
terdapat dalam air atau limbah sebagai senyawa ortofosfat tersuspensi atau terikat
di dalam sel organisme air. Pada perairan umumnya penambahan fosfat biasanya
berasal dari limbah rumah tangga, industri dan sisa-sisa pupuk dari persawahan
disekitarnya yang masuk melalui aliran sungai.
Kadar fosfat di perairan akan menentukan kelimpahan dan produktivitas
primer zooplankton dalam perairan. Apabila kadar fosfat pada perairan sangat
11
rendah (<0,01 ppm) maka pertumbuhan zooplankton akan terhalang. Keadaan ini
disebut oligotrof yang dicirikan dengan adanya dominansi kelompok Diatom
(Wetzel, 1983). Fosfat dapat digunakan sebagai faktor pembatas dan faktor
penentu pertumbuhan plankton di perairan. Fitoplankton memerlukan fosfat
dalam bentuk fosfat anorganik atau orthophosphate untuk pertumbuhannya
(Subarijanti, 1990).
Derajat keasaman (pH) mempengaruhi kehidupan organisme perairan,
sehingga nilai pH sering digunakan sebagai petunjuk baik atau buruknya keadaan
air sebagai lingkungan hidup bagi organisme perairan. pH yang terlalu tinggi
dalam perairan akan menghambat absorbsi oksigen dalam air. Tinggi rendahnya
pH di perairan disebabkan oleh proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan
akuatik (Wiadnya, 1994). Setiap organisme membutuhkan pH optimum bagi
kehidupannya. Batas toleransi terhadap pH bervariasi tergantung pada variabel
fisika dan kimia. pH yang ideal untuk kehidupan zooplankton berkisar 6,5 - 8,0
sedangkan pH 4,0 - 6,5 dan 9,0 - 9,5 dalam waktu yang lama akan menyebabkan
terganggunya pertumbuhan organisme (Prescott, 1973).
Kehidupan mikroalga sangat dipengaruhi oleh variabel fisika lingkungan
(kecerahan, kekeruhan, suhu), variabel kimia (pH, DO, BOD5, nitrat dan fosfat),
ketersediaan makanan dan pemangsa (Welch,1952). Adanya limbah deterjen pada
perairan mengakibatkan terjadinya perubahan variabel abiotik. Deterjen
mengandung surfaktan yang dapat menghalangi masuknya oksigen dari udara ke
badan air, sehingga terjadi penurunan kadar DO. Zooplankton hanya dapat hidup
pada tempat dengan kondisi lingkungan yang masih berada pada kisaran toleransi.
Zooplankton hidup pada pH mendekati netral, kadar DO yang cukup tinggi dan
12
kadar CO2 bebas terlarut yang rendah. Oksigen sangat dibutuhkan oleh organisme
untuk respirasi dan sebaliknya CO2 terlarut yang tinggi merupakan racun bagi
mikrooganisme (Suwono, 1999).
13
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk menggambarkan
pengaruh pencemaran deterjen terhadap parameter abiotik waduk Sutami yang
dilakukan secara ex situ.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara ex situ dengan contoh air yang diambil dari
Waduk Sutami. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2010 sampai Maret
2011. Pengukuran variabel abiotik yaitu kadar DO (Disolved Oxygen), CO2 bebas,
TOM (Total Organic Matter), Fosfat, Nitrat di Laboratorium Ekologi dan
Diversitas Hewan Universitas Brawijaya Malang.
3.3 Deskripsi Area Studi
Menurut Perum Jasa Tirta (2007), Waduk Sutami terletak ±50 km di
sebelah selatan Kota Malang di Desa Karangkates Kecamatan Sumberpucung
Kabupaten Malang. Waduk Sutami merupakan salah satu waduk terbesar pada
Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas hulu yang memiliki luas genangan air
sebesar 15 km2 dengan kapasitas 17.000.000 m3. Waduk Sutami dihubungkan
oleh terowongan penghubung sepanjang 1,5 km dengan Waduk Lahor. Lokasi
pengambilan contoh air di Waduk Sutami dapat dilihat pada (Lampiran 1).
Waduk Sutami dibangun sejak pertengahan tahun 1972. Luas waduk 1.500
ha dengan kedalaman maksimum 90 m. Waduk Sutami terletak ±300 m DPL,
dengan bentuk memanjang alur sungai Brantas. Bagian tepi perairan waduk
14
sedikit curam dengan kedalaman maksimum di daerah bendungan sekitar 70 m.
Air waduk terutama berasal dari hulu sungai Brantas dan sungai Lesti yang cukup
banyak mengandung pasir dan lumpur. Daerah pinggiran waduk di sebelah selatan
adalah pegunungan kapur yang berhutan dan di sebelah utara adalah pemukiman
penduduk. Waduk Sutami yang bentuknya memanjang ini mempunyai banyak
teluk di sebelah kanan-kirinya. Fluktuasi permukaan perairannya cukup tinggi
yaitu antara 20 - 25 m setiap tahunnya.
Waduk Sutami memiliki kapasitas maksimum sebesar 343.000.000 m3,
kapasitas efektif 253.000.000 m3 dan memiliki daerah terendam 1.500 ha serta
daerah pengaliran seluas 2.050 km2. Tinggi permukaan air normal yaitu El. 272,5
m dan tinggi permukaan air rendah yaitu El. 246 m serta tinggi permukaan air
banjir yaitu El. 277 m. Waduk Sutami memiliki bendungan utama dengan tipe
timbunan batu dengan panjang puncak 823,5 m; lebar puncak 13,7 m; lebar dasar
400 m dan volume timbunan 6.156.000 m3. Waduk Sutami juga memiliki elevasi
puncak yaitu El. 297 m dan elevasi dasar yaitu El. 180 m. Waduk Sutami
memiliki bangunan pelimpah dengan tipe pelimpah bebas pakai pintu air dengan
panjang saluran 460 m dan kapasitas 1,6 m3/det serta El. ambang pelimpah yaitu
272,5 m.
Musim penghujan terjadi pada bulan Nopember sampai April dan musim
kemarau pada bulan Mei sampai Oktober. Curah hujan rata-rata di DAS sebesar
230 mm dengan suhu rata-rata harian di sekitar waduk antara 250C - 300C.
Sedangkan kelembaban udara di waduk sekitar 87% pada musim penghujan dan
sekitar 74% pada musim kemarau.
15
3.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Semua
bak-plot penelitian diletakkan secara acak di lokasi penelitian ex situ. Pemberian
perlakuan berupa kadar deterjen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. D0 : Kontrol (air Waduk Sutami tanpa penambahan deterjen)
2. D1 : Perlakuan kadar deterjen 0,1 ppm
3. D2 : Perlakuan kadar deterjen 2 ppm
4. D3 : Perlakuan kadar deterjen 4 ppm
Setiap perlakuan diulang sebanyak dua kali sehingga terdapat delapan bak-plot
perlakuan.
Pengamatan dilakukan pada variabel abiotik yang meliputi: Suhu, pH,
konduktivitas, DO, CO2 bebas, TOM, fosfat, nitrat dan surfaktan.
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: pH-meter, termometer
digital, konduktivitimeter, bak dengan volume 30 L, botol winkler 250 ml,
mikropipet skala 1-10, 10-1000 µL, hot plate, magnetic stirer, spektrofotometer,
vortex, shaker, timbangan digital,
Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Bubuk
deterjen (Daia-Plus), akuades, contoh air waduk, KMnO4, KOH-KI, MnSO4,
SnCl2, NaOH, Na2S2O3, H2SO4 pekat, asam oksalat.
16
3.5.2 Pengambilan sampel
Pengambilan contoh air yang mengandung mikroalga dilakukan di Waduk
Sutami Kabupaten Malang. Contoh air yang telah diambil kemudian dipindahkan
ke lokasi penelitian ex situ yaitu di Rumah Kaca Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Brawijaya Malang. Penempatan contoh air dilakukan pada bak plot
penelitian dengan volume 30 L dan disusun secara random atau acak.
3.5.3 Percobaan di Rumah Kaca
Contoh air pada masing-masing bak diberikan perlakuan deterjen sesuai
dengan kadar masing-masing yaitu D0 (kontrol/tanpa penambahan deterjen), D1
(0,1 ppm), D2 (2 ppm) dan D3 (4 ppm). Selanjutnya dilakukan pengukuran
variabel abiotik (suhu, pH, konduktivitas dan DO) Pengambilan contoh air
dilakukan secara simultan dan periodik setiap lima hari sekali selama 40 hari
pengamatan. Variabel abiotik yang diamati di lapang meliputi:
a. Pengukuran suhu
Probe dari Termometer digital dicuci dengan aquadest dan dikeringkan
dengan tissue, kemudian dimasukkan ke dalam air yang akan diamati dan dibaca
nilainya (Alaerts & Sumestri, 1984).
b. Pengukuran pH
Sebelum digunakan, pH-meter dikalibrasi terlebih dahulu. Probe pH
dicuci dengan aquadest dan dikeringkan dengan tissue, kemudian dimasukkan ke
dalam larutan buffer pH 7. Setelah itu probe dicuci dengan aquadest dan
dikeringkan dengan tissue lagi dan dimasukkan ke dalam larutan buffer pH 4.
Selanjutnya sebelum digunakan untuk mengukur contoh air, probe harus dicuci
dengan aquadest dan dikeringkan dengan tissue terlebih dahulu (Ramalho, 1977).
17
c. Pengukuran konduktivitas
Elektrode dari konduktivitimeter dicuci dengan aquadest dan dikeringkan
dengan tissue, kemudian elektrode dimasukkan ke dalam contoh air dan dibaca
nilai yang tertera dalam satuan µS/cm2 (Anonymous, 1980).
d. Pengukuran DO (Dissolved Oxygen)
Contoh air diambil dan dimasukkan dalam botol Winkler dengan volume
250 ml dan ditambahkan dengan 2 ml larutan MnSO4, 2 ml larutan KOH-KI,
kemudian botol ditutup dan dikocok dengan cara membalik-balikkan botol
beberapa kali. Kemudian ditambahkan dengan 2 ml larutan H2SO4 pekat dan
dibiarkan selama sepuluh menit. Contoh air (pada botol Winkler) diambil
sebanyak 100 ml ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan tiga tetes indikator pati
(timbul warna biru) dan dititrasi dengan larutan Natrium-thiosulfat (Na2S2O3)
hingga warna biru hilang pertama kali. Kebutuhan titran (Na2S2O3) menunjukkan
besarnya nilai DO.
3.5.4 Pengukuran di Laboratorium
a. Pengukuran kadar CO2 bebas
Contoh air diambil dan dimasukkan pada erlenmeyer sebanyak 50 ml dan
ditambahkan lima tetes indikator pp kemudian dititrasi dengan larutan NaOH
sampai warna merah jambu muda. Kadar CO2 bebas dihitung dengan rumus
berikut:
CO2 bebas = ml NaOH x 10
b. Pengukuran kadar KMnO4 dan TOM (Total Organic Matter)
Contoh air diambil dan dimasukkan pada erlenmeyer sebanyak 50 ml dan
ditambahkan dengan 5 ml KMnO4 0,1 N dan 5 ml H2SO4 pekat. Kemudian
18
dipanaskan hingga mendidih dan dibiarkan selama 5 menit dalam keadaan
mendidih dan ditunggu hingga suhu 10-40 ºC. Kemudian dititrasi dengan Asam
Oksalat 0,1 N hingga larutan jernih. Titrasi dilanjutkan dengan menggunakan
larutan KMnO4 0,1 N sampai warna merah muda. Kadar TOM dihitung dengan
rumus berikut:
TOM = 0,7 x 158 x nilai KMnO4
c. Pengukuran kadar Nitrat (NO3)
Contoh air diambil dan dimasukkan dalam tabung reaksi sebanyak 5 ml
dan ditambahkan dengan 0,5 ml Brusin dan dihomogenkan dengan vortex.
Kemudian ditambahkan dengan 5 ml H2SO4 pekat dan dihomogenkan dengan
vortex kembali. Kemudian ditunggu hingga dingin dan dilakukan pengukuran
absorbansi dengan spektrofotometer pada λ 410 nm.
d. Pengukuran kadar Fosfat (P)
Contoh air diambil dan dimasukkan pada tabung reaksi sebanyak 10 ml
dan ditambahkan 0,4 ml Amonium Molybdat kemudian dihomogenkan dengan
vortex. Selanjutnya ditambahkan dua tetes SnCl2 dan dihomogenkan dengan
vortex dan ditunggu selama 10 menit. Kemudian dilakukan pengukuran
absorbansi dengan spektrofotometer pada λ 670 nm.
e. Pengukuran kadar Surfaktan
Pengukuran kadar surfaktan dilakukan dengan metode MBAS (Methylen
Blue Active Substance). Contoh air yang sudah diencerkan diambil sebanyak 25
ml dan dimasukkan pada botol flakon seri I. Kemudian ditambahkan tiga tetes
indikator pp, satu tetes NaOH (timbul warna merah jambu), satu tetes H2SO4 1 N
(jernih), 10 ml Methylen Blue (biru) dan 5 ml CHCl3 dan digojog dengan shaker
19
selama dua menit. Kemudian dimasukkan dalam corong pisah dan dipisahkan,
fase bawah (CHCl3) dimasukkan pada botol flakon seri II dan fase atas
dimasukkan pada botol flakon seri I. Kemudian ditambahkan 5 ml CHCl3 pada
botol flakon seri I dan di shaker selama dua menit (diulangi sebanyak tiga kali).
Kemudian ditambahkan 25 ml larutan pencuci pada flakon seri II dan digojog
dengan shaker selama dua menit dan dipisahkan dengan corong pisah. Fase bawah
diletakkan pada labu takar ukuran 25 ml yang telah dilengkapi dengan glasswool,
sedangkan fase atas dimasukkan pada flakon seri II dan tambahkan 5 ml CHCl3
dan di shaker kembali selama dua menit dan dilakukan pemisahan (diulangi
sebanyak dua kali). Selanjutnya larutan pada labu takar ditambahkan dengan
CHCl3 sampai tanda batas kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dengan
spektrofotometer pada λ 625 nm (Alaerts & Sumestri, 1984).
3.6 Analisis Data
Data yang telah diperoleh kemudian dilakukan tabulasi dan ditampilkan
secara deskriptif.
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Penambahan kadar deterjen mengakibatkan terjadinya dinamika variabel
abiotik media air waduk terutama peningkatan bahan organik (TOM dan
surfaktan), fosfat serta nitrat (Gambar 2). Peningkatan kadar deterjen juga
meningkatkan bahan organik dan nitrat selama waktu pengamatan. Namun
sebaliknya terjadi penurunan kadar fosfat pada semua perlakuan seiring waktu
pengamatan. Hal ini dimungkinkan adanya pemanfaatan fosfat oleh mikroalga
sebagai nutrisi. Sementara itu, penurunan kadar nitrat terjadi sejak awal
pengamatan hingga hari ke-20 pada semua perlakuan deterjen. Selanjutnya terjadi
peningkatan kadar nitrat hingga akhir penelitian. Penurunan kadar nitrat mulai
awal pengamatan hingga hari ke-20 menandakan adanya pemanfaatan nitrat oleh
mikroalga. Sedangkan kenaikan kadar nitrat mulai hari ke-20 hingga akhir
pengamatan diduga karena adanya penambahan suplai nitrat dari degradasi
mikroalga yang telah mati serta deterjen yang ditambahkan.
a) TOM (Total Organic Matter) b) Surfaktan
1000
1500
2000
2500
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu pengamatan (Hari ke-)
Kad
ar (
pp
m)
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu pengamatan (hari ke-)
Kad
ar
(pp
m)
21
c) Fosfat d) Nitrat
Gambar 2. Perubahan TOM (Total Organic Matter), Surfaktan, Fosfat dan Nitrat untuk Tiap Kadar Deterjen selama Waktu Pengamatan
Peningkatan kadar deterjen cenderung menyebabkan DO (Dissolved
Oxygen) berfluktuasi dan menurunkan CO2 bebas (Gambar 3). Nilai DO
mempunyai variasi yang kecil selama pengamatan yaitu 2,6-4,8 ppm. Kadar DO
yang relatif tetap ini diakibatkan karena selama penelitian diberikan tambahan
aerasi. Sedangkan CO2 bebas terlarut semakin mengalami penurunan pada akhir
penelitian.
a) DO (Dissolved Oxygen) b) CO2 bebas
Gambar 3. Perubahan DO dan CO2 bebas untuk Tiap Kadar Deterjen selama Waktu Pengamatan
Nilai suhu dan pH cenderung meningkat selama waktu pengamatan.
Kisaran suhu selama penelitian adalah 23,7-34,6 oC sedangkan pH berkisar 8,3-
9,4 (Gambar 4). Disamping itu, penambahan deterjen juga meningkatkan nilai
konduktivitas menjadi 0,40 S/cm2 pada perlakuan deterjen 4 ppm dibandingkan
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu Pengamatan (Hari ke-)
Kad
ar (
pp
m)
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu Pengamatan (Hari ke-)
Kad
ar (p
pm)
22.53
3.54
4.55
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu pengamatan (Hari ke-)
Kad
ar (p
pm)
051015202530
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu pengamatan (Hari ke-)
Kad
ar (p
pm)
22
kontrol (tanpa penambahan deterjen) yang mempunyai nilai konduktivitas sebesar
0,38 S/cm2 (Gambar 4).
a) Suhu b) pH
c) Konduktivitas
Gambar 4. Perubahan Suhu, pH dan Konduktivitas untuk Tiap Kadar Deterjen selama Waktu Pengamatan
4.2 Pembahasan
Peningkatan kadar deterjen menyebabkan meningkatnya bahan organik
(TOM dan surfaktan), fosfat dan nitrat media. Hasil ini sesuai dengan laporan
EPA (2000), yang menyatakan bahwa penambahan deterjen pada perairan
mengakibatkan terlepasnya unsur P dalam bentuk ortofosfat. Penambahan
deterjen juga menyumbangkan fosfat terlarut sebesar 25-50%. Fosfat merupakan
salah satu nutrisi yang dibutuhkan mikroalga untuk tumbuh dan berkembang.
Kadar fosfat yang tinggi mendorong terjadinya eutrofikasi yang selanjutnya
mengakibatkan terjadinya blooming mikroalga tertentu. Sementara itu, surfaktan
adalah komponen dasar deterjen yang berkisar 20-30% dan merupakan senyawa
organik yang disebut sebagai surface active agent. Sedangkan nitrat merupakan
20
25
30
35
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu pengamatan (Hari ke-)
Suhu
(oC
)
8
8.5
9
9.5
10
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu pengamatan (Hari ke-)
pH0.3
0.4
0.5
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Waktu pengamatan (Hari ke-)
Kond
uktiv
itas
(S/c
m2)
23
bahan penunjang deterjen dengan persentase 2-8% (Sawyer & McCarty, 1978).
Selanjutnya, pengaruh utama bahan organik di perairan adalah mengurangi kadar
oksigen terlarut (deoxygenation) sebagai akibat dari proses dekomposisi secara
aerobik dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan struktur komunitas
mikroalga (Hawkes & Pittwell, 1976).
DO (Dissolved Oxygen) berfluktuasi dengan kisaran nilai 2,6-4,8 ppm
selama pengamatan. Fluktuasi DO yang relatif tetap diakibatkan karena adanya
tambahan aerasi selama penelitian. Selain itu, kadar CO2 bebas terlarut semakin
mengalami penurunan selama penelitian. Sedangkan peningkatan kadar deterjen
kurang mempengaruhi suhu namun nilai suhu cenderung meningkat seiring waktu
pengamatan dengan kisaran 23,7-34,6. Hasil ini sesuai pengamatan sebelumnya
yang menunjukkan bahwa meningkatnya suhu mendorong aktivitas fotosintesis
sehingga menyebabkan konsumsi CO2 terlarut meningkat atau menurunkan kadar
CO2 bebas (Nassar, 2000; Nassar & Hamed, 2003). Sedangkan nilai pH
cenderung meningkat selama pengamatan dengan kisaran 8,3-9,4. Peningkatan pH
diduga akibat penambahan deterjen yang mendorong nilai pH cenderung basa
(Ekowati dkk., 1992). Sementara itu, penambahan kadar deterjen meningkatkan
nilai konduktivitas menjadi 0,51 S/cm2 pada perlakuan deterjen 4 ppm
dibandingkan kontrol (tanpa penambahan deterjen) yang mempunyai nilai
konduktivitas sebesar 0,32 S/cm2. Menurut Slabbert (2007), nilai konduktivitas
umumnya sebanding dengan tingginya tingkat nutrisi perairan dan
mengindikasikan melimpahnya nutrisi ionik baik organik maupun anorganik.
24
Akibat penambahan deterjen secara ex situ adalah kadar fosfat dan
surfaktan. Sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian untuk kedua faktor
tersebut. Salah satu upaya yang cukup efektif dan relatif murah untuk
mengendalikan peningkatan kadar fosfat dalam perairan yaitu dengan sistem
fitoremediasi. Menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2003),
fitoremediasi merupakan sistem dimana tanaman tertentu yang bekerjasama
dengan mikroorganisme dalam media (tanah, koral maupun air) dapat mengubah
zat kontaminan (pencemar/polutan) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan
menjadi bahan yang berguna secara ekonomi.
Mekanisme phytoaccumulation dalam sistem fitoremediasi merupakan
proses tanaman menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi
disekitar akar. Contoh penggunaan phytoaccumulation dalam sistem fitoremediasi
fosfat pada perairan dapat menggunakan tanaman Polygonum amphibium. Wang
et al. (2002) dalam penelitiannya melaporkan bahwa P. amphibium mempunyai
kemampuan yang baik dalam penyerapan N dan P pada perairan tercemar. Hasil
uji menunjukkan bahwa P. amphibium mampu menyerap N sebesar 6,4% dan P
sebesar 1,1%. Di samping itu, juga telah dilakukan penelitian untuk memperbaiki
perairan eutrofik menggunakan tanaman kangkung air (Ipomea aquatica) dengan
sistem Deep Flow Technique (DFT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penanaman I. aquatica dapat menurunkan nilai BOD5 sebesar 84,5%; total
padatan terlarut 88,5%; nilai COD 91,1%; klorofil a perairan 68,8% serta secara
nyata mampu menghilangkan total nitrogen sebesar 41,5% dan fosfat sebesar
75,5%. Hasil ini memperlihatkan bahwa penanaman I. aquatica pada perairan
eutrofik merupakan teknologi yang relatif murah untuk menurunkan kadar nitrat
25
dan fosfat pada perairan serta menguntungkan. Selain itu, I. aquatica merupakan
salah satu jenis sayuran yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga juga
dapat memberikan nilai ekonomi (Hu et al., 2007).
Upaya untuk mengendalikan kadar surfaktan dapat dilakukan dengan
penggunaan surfaktan alami (natural surfactant). Choi (2002), menjelaskan
bahwa surfaktan alami dapat menggunakan bahan dasar berupa asam lemak dan
lesitin yang berasal dari kedelai yang dalam reaksinya menghasilkan pH yang
cenderung netral. Kandungan dalam surfaktan alami terdiri dari asam lemak
kedelai 14-22% berat; lesitin 2-4% berat; alkanolamid 6-14% berat; iso-
octylphenoxy poly-oxyethoxy ethanol 15% berat dan 42% berat aquadest.
Surfaktan biodegradable juga dapat menggunakan polyol-glucoxyde dengan cara
mereaksikan tepung jagung dengan ethylene-glycol atau glycerol. Sisi hidroksil
glikosida secara sebagian terjadi poly-alchoxylation dengan ethylene-oxydes atau
campuran ethylene dan prophylene-oxydes. Hasil dari reaksi ini kemudian
direaksikan dengan senyawa ester dari asam lemak. Kemampuan keseimbangan
hidrofilik dan lipofilik yang baik diperoleh melalui pengendalian unit alchoxydes
dan gugus alifatis/anhidrat glucoxyde. Surfaktan jenis ini dapat secara cepat
terdegradasi di lingkungan oleh mikroorganisme karena adanya unit glucoxyde
(Throckmorton et al., 1998).
Surfaktan alami yang memiliki rantai karbon 12-16 dapat diperoleh dari
minyak tumbuhan seperti sawit, kelapa, kedelai dan jagung. Setelah melalui
proses pemisahan minyak selanjutnya dilakukan proses esterifikasi/hidrogenasi
(proses Kvaerner) atau hidrolisisis dan hidrogenasi (proses Lurgi). Produk
deterjen alkohol ini memiliki daya biodegradable sebesar 99% dan telah
26
diperdagangkan secara global yang mencapai 1,47 juta ton pada tahun 2000
dengan laju permintaan 3,1% per tahun (Anonymous, 2002). Sementara itu, di
Malaysia telah dikembangkan surfaktan berbasis minyak kelapa sawit yang
dikenal α-SME atau Palm-based Sulphonated Methyl Esther. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan komponen tersebut sebanyak 30% dapat
meningkatkan kekuatan deterjen sebanyak 90% dari deterjen biasa dan mudah
terdegradasi oleh mikroorganisme di lingkungan (Ismail et al., 2000).
27
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Selama 40 hari pengamatan terjadi perubahan variabel abiotik media
akibat penambahan deterjen secara ex situ terutama peningkatan bahan organik
(TOM dan surfaktan), fosfat dan nitrat. Penambahan deterjen juga menyebabkan
DO berfluktuasi dan menurunkan kadar CO2 bebas. Sebaliknya penambahan
deterjen meningkatkan nilai suhu, pH dan koduktivitas selama waktu pengamatan.
Hasil penelitian merekomendasikan pentingnya pengendalian kadar fosfat
dan surfaktan pada perairan waduk misalnya melalui upaya fitoremediasi,
mendorong penggunaan surfaktan alami sebagai bahan dasar deterjen yang mudah
didegradasi dan melanjutkan penelitian untuk mempelajari kemampuan
mikroorganisme dalam mendegradasi fosfat dan nitrat.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambah banyaknya
ulangan tetapi mengurangi jumlah perlakuan deterjen menjadi 0 ppm (kontrol);
0,1 ppm dan 4 ppm, dengan harapan diperoleh jumlah data yang lebih banyak
untuk meningkatkan kesahihan dalam penelitian.
28
DAFTAR PUSTAKA Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited Publishers.
Chichester.
Aboulhassan, M.A., S. Souabi, A. Yaacoubi, & M. Baudu. 2006. Removal of Surfactant from Industrial Wastewaters by Coagulation Flocculation Process. J. Environ. Sci. Tech. 3 (4): 327-332.
Adams, D.G. 2007. Photosynthestic Cyanobacteria and their Role in CO2
Fixation in the Oceans. Slides Presentations. Faculty of Biological Sciences.
Alaerts, G. & S.S. Sumestri. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional.
Surabaya. Anonymous, 1980. Standard Methods for the Examination of Water and
Wastewater. APHA, AWWA, WPCF 15th ed. Washington. Anonymous. 2002. Detergent Alcohol. Nexant Chemical System Report. Nexant
Inc.
Anonymous, 2004b. Young Naturalist Awards 2004. Diakses: 13-01-2008. Benedetti, L., J. Meirlaen, F. Sforzi, A. Facchi, C. Gandolfi and P.A. Vanrolleghem.
2007. Dynamic integrated water quality modelling : a case study of the Lambro river. Northern Italy. Water, S.A. 33: (5).
Basmi, 1999. Planktonologi. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan. IPB. Bogor. Blandin, P. 1986. Bioindicateurs et diagnostic des systemes ecologiques. Bull.
Ecol. 17 (4): 1-307.
Brookes, J.D. & G.G.Ganf. 2001. Variations in the buoyancy response of Microcystis aeruginosa to nitrogen, phosphorus and light. Adelaide, South Australia. Journal of Plankton Research. 23 (12): 1399-1411.
Busono, E. 2000. Studi dinamika faktor abiotik pada kolam budidaya udang galah (Maerobranchium rosenbergii) dengan teknologi yang berbeda. Tesis. Program Studi Pengelolaan Tanah dan Air. PPS-UB. Malang.
Choi, K. H. 2002. Active Soluble Cleaning Composite of Natural State Using
Soybean Fatty Acids. Seoul. US Patent 7247607. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Fitoremediasi: Upaya
mengolah air limbah dengan media tanaman. Direktorat Perkotaan dan
29
Peresaan Wilayah Barat. Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. Departemen Pemukiman dan Prasarana. Jakarta.
Drenner. 2001. Effect of Fish on Lake System: A Bilbiography http://bio.tcu/drenner.html. Edmondson, W.T. 1959. Fresh Water Biology. First Edition. John Wiley and Sons
Inc., New York. Ekowati, G., N. Hariyati, E. Arisoesilaningsih, dan M. Khunur. 1992. Studi
respirasi tanah sawah dan tegalan yang terkena deterjen serta usaha isolasi mikrobia tanah pengurai deterjen. Biosain: Jurnal Ilmu-ilmu Hayati. 1 (4): 5-6.
Environmental Protection Agency (EPA). 2000. Ambient Water Quality Criteria
Recommendations: Information Supporting the Development of State and Tribal Nutrient Criteria. Lakes and Reservoirs in Nutrient Ecoregion II. EPA 822-B-00-007. U.S. EPA, Washington, D.C.
Environment Protection Authority (EPA). 2004. The Disposal of Soaps and
Detergents. Government of South Australia. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit: Kanisius. Yogyakarta. Gonulol, A. & O. Obali. 1997. Seasonal variation of Phytoplankton blooms in
Suat Ugurlu (Samsun-Turkey). Turkey. J. of Botany. 22 (1): 93-97. Hawkes, H.A. & L.R. Pittwell. 1976. Determinant in Freshwater Ecosystem and
Man Modifiable Factor Inducing Change in Hydrobiocenoses. Pergamon Press, New York: 45-73.
Hedger, R., N. Olsen, D. George, T. Malthus & P. Atkinson. 2005. Modelling
spatial distribution of Ceratium hirundinella and Microcystis in a small proudctive britihs lake. Journal of Hydrobiologia. Springe Netherlands. 528 (1): 1-3.
Hellawell, J.M. 1986. Biological Indicators of Freshwater Pollution and
Environmental Management. Elsevier Applied Science Publishers. London.
Herawati, E.Y. 1989. Diktat kuliah pengantar planktonologi. Unibraw.
Nuffic/UNIBRAW/LUW/FISH. Malang. Hu, M. H., Y. S. Ao, X. E. Yang & T.Q.Li. 2007. Treated eutrophic water for
nutrient reduction using an aquatic macrophyte (Ipomea aquatica Forsskal) in a deep flow technique system. J. Elsevier. Agricultural Water Management. 95: 607-615.
30
Ilyas, 1989. Petunjuk teknis pengelolaan perairan waduk bagi pengembangan perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Ismail, Z., S. Ahmad, & J. Sanusi. 2000. Palm-based sulfonated methyl ester. J.
Oil Palm Research. Kuala Lumpur. 10 (1): 15-34. Jimenes, L., A. Breen, N. Thomas, T.W. Federly & G.S. Sayler. 1991.
Mineralization of Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) by four member aerobic bacteries consortium. App.Environment. Microbiol. 57 (5): 1566-1569.
John, J. 1995. Biological Monitoring of Water Quality of Rivers. The Ideal
Bioindicators. Makalah disampaikan dalam Workshop “Efforts Towards Increasing the Self Purification of Brantas River”. 17-19 Juli 1995. Universities Brawijaya. Malang: 12pp.
Kashiko, 2004. Kamus Lengkap Biologi. Penerbit Kashiko Press. Surabaya. Kuo, A., K. Park, K. Sung & J. Lin. 2005. A tidal prism water quality model for small
coastal basins. Coastal Management : 33 (1): 99 -109. Lissens, G., J. Pieters, M. Verhaege, L. Pinoy & W. Verstraete. 2003.
Electrochemical degradation of surfactants by intermediates of water discharge at carbon-based electrodes. Electrochemi. Acta, 48 (1): 1655-1663.
Libelli, S.M & E. Giusti. 2007. Water quality modelling for small river basins.
The Journal of Elsevier. Lux, T. & A. Sydow. 2005. Enviromental modelling. ERCIM News. Mattson, M.D., P.J. Godfrey, R.A. Barletta, & A. Aiello. 2003. Eutrophication
and Aquatic Plant Management in Massachusetts: Final Generic Environmental Impact Report. The Departement of Environmental Protection and The Departement of Conservation and Recreation Executive Office of Environmental Affairs Commonwealth of Massachusetts
McNaughton, S.J. & L. L. Wolf. 1990. General Ecology. second edition.
Diterjemahkan oleh: Pringgoseputro, S. & B. Srigandono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Miura, K., N. Nishiyama, & A. Yamamato. 2008. Aquatic Environment
Monitoring of Detergent Surfactants. Journal of Oleo Science. 57 (3): 161-170.
31
Mozia, S., M. Tomaszewska, & A.W. Morawski. 2005. Decomposition of nonionic surfactant in a labyrinth flow photoreactor with immobilized TiO2 bed. Appl. Catal. Environ., 59: 155-160.
Mulyadi, A. 1999. Pertumbuhan dan daya serap nutrien dari mikoalgae
Dunalilella tertiolecta yang dipelihara pada limbah domestik. Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau. Jurnal Natur Indonesia. 2 (1): 65-68.
Nassar, M.Z. 2000. Ecophysiologycal studies on phytoplankton along the western
coast of Suez Gulf. Philosophy Doctor Thesis. Faculty of Science, Tanta University.
Perum Jasa Tirta. 2007. BendunganSutami. www.jasatirta1.
go.id/3WilKerja/Bendungan/ 3011Sutami.htm.Diakses 18 Oktober 2007.
Pelczar, M.J., E.C.S. Chan & N.R. Krieg. 1986. Microbiology. 5th Edition. Mc. Graw Hill
Book Company New York. Poernomo, A. 1989. Faktor Lingkungan Kodominan pada Budidaya Udang
Intensif. Budidaya Air. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Pine, S.H. 1987. Organic Chemistry. Mc Graw-Hill Co. Inc., New York. Pittwell, L.R. 1976. Biological Monitoring of Rivers in the Community. Dalam:
Amavis, R. & J. Smeets (ed.). Principles and Methods for Determining Ecological Criteria on Hydrobiocenoses. Pergamon Press. New York: 225-261.
Pramoedyo, H. 2007. Materi Pelatihan: Pemodelan. Departemen Statistika
Terapan. Jurusan Matematika Fakultas MIPA. Universitas Brawijaya. Malang.
Praptokardiyo, 1982. Produktivitas berbagai waduk buatan di Indonesia.
Proceeding Seminar Perikanan Perairan Umum. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Prescott, T. R. 1973. Biological Oceanographic Preocecced. Pergamon Press.
Offord-New York-Toronto-Sydney-Paris-Frankfurt. Price, D.R. 1979. Fish as Indicators of River Water Quaity. Dalam James, A. & L.
Evison (ed.). Biological Indicators of Water Quality. John Wiley and Sons, Chichester.
Rahardjanto, A. 2000. Dasar-Dasar Ekologi. UMM Press. Malang.
32
Ramachandra, T.V. 2006. Zooplankton as Bioindicators: Hydro-Biological Investigations in Selected Bangalore Lakes. Indian Institute of Science. Bangalore. India.
Ramalho, R.S. 1977. Introduction to Wastewater Treatment Processes. Academic
Press. New York. Reichert, P., D., Borchardt, M. Henze, W. Rauch, P. Shanahan, L. Somlyody, &
Vanrolleghem. 2001. River water quality model. IWA Publishing. Retnaningdyah, C. 2001. Usaha standarisasi penggunaan invertebrata bentos
sebagai bioindikator tingkat pencemaran deterjen di ekosistem perairan sungai. Laporan Riset Unggulan Terpadu VI. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dewan Riset Nasional. Jakarta.
Retnaningdyah, C. 2002. Potensi mikroalga sebagai bioindikator tingkat
pencemaran bahan organik di perairan waduk. Program Studi Biologi Unibraw Malang.
Retnaningdyah, C. 2007. Usaha Peningkatan Bioremediasi Untuk Pengedalian
Blooming Cyanobacteria Microctstis spp. Di perairan Tawar. Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya. Malang.
Ronzio, S.B. 2007. Phytoplankton Community Composition Effect on Phosphorus
Sedimentation Dynamics in Lake Erie. Thesis for Master of Science in Biologi. University of Waterloo. Waterloo, Ontario, Canada.
Riyadi, S. 1984. Ekologi. Penerbit: Usaha Nasional. Surabaya. Saadoun, I., E. Bataineh & A. Alhandal. 2008. Phytoplankton Species
Composition and Seasonal Variation at Wadi Al-Arab Dam Lake, Jordan. Department of Applied Biological Science, Jordan University of Science and Technology. Irbid.
Sachlan, M. 1972. Planktonologi. IPB Press. Bogor. Salmaso, N. 2002. Ecological Patterns of phytoplankton assemblages in Lake
Garda: seasonal, spatial and historical features. J. Limnol. 61 (1): 95-115. Samino, S. dan C. Retnaningdyah. 2004. Monitoring Dinamika Komunitas Fitoplankton
dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode bulan Oktober sampai Desember 2004. Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I – Jurusan Biologi FMIPA UNIBRAW Sertifikat No. ID03/0127. Malang.
Samino, S. & C. Retnaningdyah. 2005. Monitoring Dinamika Komunitas Fitoplankton
dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode 2005. Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I – Jurusan Biologi FMIPA UNIBRAW Sertifikat No. ID03/0127. Malang.
33
Samino, S. & C. Retnaningdyah. 2006. Monitoring Dinamika Komunitas Fitoplankton
dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang Periode bulan Januari - Maret 2006. Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Perum Jasa Tirta I – Jurusan Biologi FMIPA UNIBRAW Sertifikat No. ID03/0127. Malang.
Sawyer, C. N. & McCarty. 1978. Chemistry for Environment Engineering. Mc
Graw-Hill Co. Inc., New York. Schramm, K.W & V. Peronnet. 2004. Recommendation and Needs for Validation
in Biomonitoring (As an Outcome of the Evaluation of Database Content). GSF Jerman.
Schindler, D. W. 1974. Eutrophication and Recovery in Experimental Lakes:
Implications for Lake Management. J. Science. New Series. 184 (4139): 897-899.
Shuck, J. P. 2005. Development and Assessment of Models for Predicting the
Phytoplankton Assemblage Patterns in Lake Kemp. Thesis in Fisheries Science. Faculty of Texas, Tech University. Texas.
Shuiping, C., J. Xiao, H. Xiao, L. Zhang, & Z. Wu. 2007. Phytoremediation of
Triazophos by Canna Indica Linn. in a Hydroponic System. International Journal of Phytoremediation. 9 (1): 453 – 463.
Sigee, D.C., V. Krivtsov, & E.G. Bellinger. 1998. Elemental Concentrations,
Correlations and Ratios in Micropopulations of Ceratium hirundinella (Pyrrhophyta): An X Ray Microanalytical Study. University of Manchester. UK.
Silva, E.I.L. 2006. Ecology of phytoplankton in tropical waters: Introduction to
the topic and ecosystem changes from Sri Lanka. Asian Journal of Water, Environment and Pollution. 4 (1): 25 - 35.
Singer, M.M & R.S. Tjeerdema. 1993. Fate and Effects of The Surfactant Sodium
Dodecyl Sulfate. Reviews in Environmental Contamination and Toxicology., page: 95-149.
Slabbert, N. 2007. The Potential Impact of An Inter-Basin Water Transfer on The
Modder and Caledon River Systems. Thesis. Faculty of Natural and Agricultural Sciences, Department of Plant Sciences, Botany University of the Free State. Bloemfontein.
Smith, R. E. H. & J. Kalff. 1983. Competition for phosphorus among co-occuring
freshwater Phytoplankton. Limnol. Oceanogr. 28 (3): 448-464. Suharjono. 2008. Keanekaragaman dan potensi Pseudomonas Strain Indigenous
pendegradasi surfaktan anionik di ekosistem sungai tercemar deterjen. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
34
Subarijanti. 1990. Limnologi. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. Suwono. 1999. Distribusi vertikal tiga spesies zooplankton rotifera prekodominan
di Situ Sangiang, Tasikmalaya, Jawa Barat. Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Pengajarannya. 24 (1) : 84.
Tambaru, R. 2000. Pengaruh intensitas cahaya pada berbagai waktu inkubasi
terhadap produktivitas primer fitoplankton di perairan teluk harun. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor.
Throckmorton, P.E., R.R. Egan, & D. Aelony. 1998. Biodegradable surfactants
derived from Corn Starch. J. American Oil Chemist’s Society, Springer. Berlin. 51 (11): 224 - 237.
Van Ginkel, C.G. 1996. Complete degradation of xenobiotik surfactant by consortia of
aerobic microorganism. Biodegradation. 7 : 151 -164. Versteeg D.J., S.E. Belanger & G.J. Carr. 1999. Understanding single-species and
model ecosystem sensitivity; data-based comparison. Environmental Toxicology and Chemistry. 18 (6): 1329-1346.
Wagner, K.J. 2003. Eutrophication and Aquatic Plant Management in
Massachusetts: Final Generic Enviromnental Impact Report. The Departement of Environental Protection and The Department of Conservation and Recreation. Executive Office of Environental Affairs Commonwealth of Massachusetts.
Wang, Q., Y. Cui, & Y. Dong. 2002. Phytoremediation of Polluted Waters
Potentials and Prospects of Wetland Plants. J. Acta. Biotechnologica. 22 (2): 199-208.
Wardojo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Faktor abiotik: Proyek Peningkatan Mutu
Perguruan Tinggi. IPB. Bogor. Welch. 1952. Limnology. Mc Graw Hill Book Company. New York. Wetzel. 1983. Limnology. Philadelphia. Saundaers. College Publishing. Wiadnya, D.G.R. 1994. Analisis Laboratorium Faktor abiotik. Jurusan PTA.
Program Pascasarjana. Unibraw. Malang. Wind, T., H. KGaA, & Dusseldorf. 2007. The Role of Detergents in the
Phosphate-Balance of European Surface Waters. Official Publication of the European Water Association (EWA).
35!!
Lampiran 1. Peta Waduk Sutami
36!!
Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 1 - 2: Sampel Air Waduk yang Diperlakuan di Lokasi Penelitian ex situ (Rumah Kaca)