Jual Beli Dalam Islam
Transcript of Jual Beli Dalam Islam
FAIK KOTUL INDRIYANI (10)
JUAL BELI DALAM ISLAM
DEFINISI JUAL BELI
Pengertian jual beli secara etimologis adalah menukar harta dengan harta1. Sedangkan
secara terminologis berarti transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.
Sengaja diberi pengecualian ”fasilitas” dan ”kenikmatan”, agar tidak termasuk di dalamnya
penyewaan dan menikah (Al-Mushlih, 2004, hlm. 90).
Menurut ulama Hanafiyah, jual-beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan
cara khusus (yang dibolehkan). Sedangkan menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Majmu’,
didefinisikan sebagai pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.
DALIL HUKUM JUAL BELI
1. Al-Qur’an
Dalil hukum jual beli di dalam Al-Qur’an, diantaranya terdapat pada ayat-ayat berikut
ini:
اللُه� �َح�َّل� �َع� َو�َأ �ْي �َب �ا ال َب الِّر# َم� َو�َح�ِّر�
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah:275)
2. As-Sunah
Di dalam As-sunah, disyariatkannya jual beli terdapat pada hadits-hadits berikut:
Rasulullah SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau
menjawab,”Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur”
(HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’).Maksud mabrur dalam hadits
di atas adalah jual beli yang terhindar dari tipu menipu dan merugikan orang lain.
”Jual beli harus dipastikan saling ridla.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah)
3. Ijma’
Dalil kebolehan jual beli menurut Ijma’ ulama adalah: Ulama telah sepakat bahwa jual beli
diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mempu mencukupi kebutuhan dirinya,
tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
KLASIFIKASI JUAL BELI
Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
Diantara klasifikasi tersebut adalah:
1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Obyek Dagangan
a) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
b) Jual beli ash-sharf atau money changer, yaitu penukaran uang dengan uang.
c) Jual beli muqayadhah atau barter, yaitu menukar barang dengan barang.
2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Pembayaran
a) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
Jual Beli Dalam Islam
FAIK KOTUL INDRIYANI (10)
b) Jual beli dengan pembayaran tertunda.
c) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
d) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.
3. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga
a) Jual beli bargainal (tawar-menawar). Yakni jual beli dimana penjual tidak
memberitahukan besarnya modal dari barang yang dijualnya.
b) Jual beli amanah. Yakni jual beli dimana penjual memberitahukan harga modal dari
barang jualannya.
Dengan dasar jual beli ini, jenis jual beli tersebut terbagi lagi menjadi tiga jenis:
1) Jual beli murabahah. Yakni jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
2) Jual beli wadhi’ah. Yakni jual beli dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian
yang diketahui.
3) Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa
keuntungan dan kerugian.
Jual beli muzayadah (lelang).
Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling
menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan
menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut. Kebalikan dari jual beli lelang ini
adalah jual beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang
dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian si
pembeli akan membeli dengan harga termurah yang mereka tawarkan.
RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Dalam menetapkan rukun jual beli, di antara ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut Ulama
Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara
ridla, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama
yaitu:
a. bai’ (penjual)
b. mustari (pembeli)
c. shighat (ijab dan qabul)
d. ma’qud ’alaih (benda atau barang)
Al-Mushlih menguraikan tentang syarat jual beli yang berkaitan dengan pihak-pihak
pelaku serta syarat yang berkaitan dengan obyek jual belinya.
Syarat jual beli yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku:
Pihak-pihak pelaku harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dalam
kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang
dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Jual Beli Dalam Islam
FAIK KOTUL INDRIYANI (10)
Syarat jual beli yang berkaitan dengan obyek jual belinya:
a) Obyek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan
milik penuh salah satu pihak. Tidak sah memperjualbelikan barang najis atau barang
haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda tersebut menurut
syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai, tidak ada yang dikecualikan selain ikan
dan belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati dan limpa,
karena ada dalil yang mengindikasikan demikian. Juga tidak sah menjual barang yang
belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu.
Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-salm. Yakni sejenis jual beli
dengan menjual barang yang digambarkan kriterianya secara jelas dalam kepemilikan,
dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang diserahterimakan
belakangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini. Tidak sah
juga menjual barang yang tidak ada atau yang berada di luar kemampuan penjual untuk
menyerahkannya seperti menjual malaqih, madhamin atau menjual ikan yang masih
dalam air, burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak
yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sedangkan madhamin adalah anak yang masih
dalam tulang dada hewan betina.
b) Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang
diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa
dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Namun, yang
benar adalah tergantung dari izin pemilik barang.
c) Mengetahui obyek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terkena
faktor ”ketidaktahuan” yang bisa termasuk ”menjual kucing dalam karung”, karena hal itu
dilarang.
d) Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk jangka waktu
tertentu yang diketahui atau tidak diketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya
kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka jual beli itu dibatalkan. Ini
disebut dengan ”jual beli pelunasan (bai’ wafa’)”.
Dalam masalah sighat (ijab dan qabul), para ulama fiqh berbeda pendapat, diantaranya
berikut ini:
1) Menurut ulama Syafi’iyah, tidak sah akad jual beli kecuali dengan sighat (ijab Qabul)
yang diucapkan.3
2) Imam Malik berpendapat bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara
dipahami saja.4
3) Pendapat ketiga ialah penyampaian akad dengan perbuatan atau disebut juga dengan
aqad bi al-mu’athah yaitu: mengambil atau memberikan dengan tanpa perkataan (ijab
qabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya,
kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai
pembayaran.5
Jual Beli Dalam Islam
FAIK KOTUL INDRIYANI (10)
KHIYAR DALAM JUAL BELI
Akad yang sempurna harus terhindar dari khiyar, yang memungkinkan aqid (orang yang
berakad) membatalkannya. Pengertian khiyar menurut ulama fiqh adalah: ”Suatu keadaan yang
menyebabkan akid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau
membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ’aib atau ru’yah, atau hendaklah
memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin”.
BADAN PERANTARA (SAMSARAH)7
Badan perantara dalam jual beli disebut juga simsar atau samsarah, yaitu seseorang
yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahwa orang itu akan diberi upah oleh yang
punya barang sesuai dengan usahanya. Dalam satu riwayat dijelaskan: ”Dari Ibnu Abbas ra.,
dalam perkara simsar ia berkata tidak apa-apa, kalau seseorang berkata juallah kain ini dengan
harga sekian, lebih dari penjualan itu adalah untuk engkau” (Riwayat Bukhari).
”Kelebihan” yang dinyatakan dalam keterangan di atas adalah :
harga yang lebih dari harga yang telah ditetapkan penjual barang itu, dan
kelebihan barang setelah dijual menurut harga yang telah ditentukan oleh pemilik
barang tersebut.
Orang yang menjadi simsar dinamakan pula komisioner, makelar atau agen, tergantung
persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan menurut hukum dagang yang berlaku.
Walaupun namanya simsar, komisioner dan lain-lain, namun mereka bertugas sebagai badan
perantara dalam menjualkan barang-barang dagangan, baik atas namanya sendiri maupun atas
nama perusahaan yang memiliki barang tersebut. Dalam agama, perdagangan secara simsar
diperbolehkan asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari satu pihak atas pihak
yang lain.
LELANG (MUZAYADAH)
Jual beli muzayadah (lelang) adalah jual beli dengan cara penjual menawarkan barang
dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari
pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli
tersebut. Dari larangan terhadap penawaran barang yang masih dalam penawaran orang lain,
dikecualikan pada jenis jual beli pelelangan ini. Pelelangan boleh dilakukan berdasarkan
ijma’/konsensus kaum muslimin.
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya jual beli muzayadah (lelang) adalah:
Hadits Anas bin Malik ra. yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Anshar
yang datang menemui Nabi saw dan ia meminta sesuatu kepada beliau. Beliau bertanya
kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong
kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.”
Beliau berkata,”Kalau begitu bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang
membawanya. Rosulullah saw.
Jual Beli Dalam Islam
FAIK KOTUL INDRIYANI (10)
JUAL BELI KHUSUS
BAI’ AL-’INAH8
’Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Dikatakan misalnya: si fulan melakukan ‘ain,
yakni membeli sesuatu dengan tertunda atau berhutang. Atau menjual barang dengan
pembayaran tertunda, lalu membelinya lagi dengan harga lebih murah dari harga penjualan.
Jual beli ini disebut ‘inah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi
yang diinginkannya adalah ‘ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki ‘ain (benda)
yang dia jual.
BAI’ WAFA’11
Jual beli wafa’ adalah jual beli dengan persyaratan saling mengembalikan hak pihak
lain. Dimana terjadi perjanjian kapan penjual mengembalikan uang si pembeli, dan si pembeli
juga akan mengembalikan uang si penjual. Disebut juga jual beli wafa’ (pelunasan) karena ada
semacam perjanjian dari pembeli untuk melunasi hak si penjual, yakni mengembalikan
barangnya jika si pembeli mengembalikan uang bayarannya.
Manfaat dari pembeli adalah dapat mengembangkan hartanya, namun jauh dari
lingkaran perbuatan riba yang terang-terangan. Dalam bai’ wafa’ ini terkandung berbagai
macam improvisasi hukum jual beli dan hokum pegadaian.
Di dalam jual beli itu terkandung hukum-hukum jual beli, misalnya si pembeli boleh
memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatan yang benar. Ia
bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si
penjual. Jual beli itu juga mengandung hukum-hukum pegadaian, seperti tidak adanya hak
pembeli untuk mengkonsumsi barang dagangan atau memindahkan kepemilikannya kepada
orang lain. Barang itu juga tidak bisa dipakai untuk syuf’ah, dan biaya perawatannya menjadi
tanggungan si penjual, serta pembeli juga harus menjaga komitmen untuk mengembalikan
barang itu bila si penjual telah mengembalikan uang pembayarannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa’ ini:
Ada di antara ulama yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah karena
dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan (sama hukumnya dengan)
kondisi darurat.
Di anatara mereka ada yang menganggapnya sebagai pegadaian yang sah, sehinggga
hukum-hukum pegadaian berlaku di dalamnya.
Di antara ulama juga ada yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena
adanya syarat saling mengembalikan.
Ada juga di antara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang
menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak dan pegadaian. Namun tetap
dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan karena dibutuhkan
Jual Beli Dalam Islam