JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni...

93
JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 1

Transcript of JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni...

Page 1: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 1

Page 2: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 2

Jurnal Ilmiah Pendidikan

dan Pembelajaran

Volume 15,

Nomor 2, Juni 2018

Publish by

Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Ganesha

Page 3: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 3

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Volume 15, Nomor 2 Juni 2018

Pembelajaran

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran adalah Jurnal Ilmiah yang diterbitkan oleh Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk mewadahi artikel-

artikel hasil penelitian pada bidang pendidikan dan pembelajaran. Pada akhirnya, jurnal ini dapat

memberikan deskripsi tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pendidikan dan

pembelajaran bagi masyarakat akademik. Jurnal ini terbit 3 kali setahun (Maret, Juni, Oktober)

Executive Director

Prof. Dr. I Wayan Suastra, M.Pd. Direktur Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha

Responsibility Association Prof. Dr. I Nyoman Kanca, M.S., Universitas Pendidikan Ganesha

Prof Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd. Universitas Pendidikan Ganesha

Editor in Chief Dr. I Wayan Widiana, S.Pd., M.Pd Universitas Pendidikan Ganesha

Associate Editors Prof. Dr. Putu Budiadnyana, M.Si, Universitas Pendidikan Ganesha

Prof. Dr. Nyoman Dantes, Universitas Pendidikan Ganesha

Prof. Drs. Sariyasa, M.Sc., Ph.D, Universitas Pendidikan Ganesha

Prof. Dr. Made Candiasa, M.Ikom, Universitas Pendidikan Ganesha

Dr. Drs. Putu Sariartha, M.S, Universitas Pendidikan Ganesha

Dr. Made Gunamanta, S.T., MM, Universitas Pendidikan Ganesha

Prof. Dr. Drs. I Wayan Rasna, M.Pd, Universitas Pendidikan Ganesha

Dr. Gede Artawan, M. Pd, Universitas Pendidikan Ganesha

Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A, Universitas Pendidikan Ganesha

Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A, Universitas Pendidikan Ganesha

Dr. I Nyoman Tika, M.Si, Universitas Pendidikan Ganesha

Dr. Kadek Yota Ernanda Aryanto, S.Kom.,MT, Universitas Pendidikan Ganesha

Dr. rer.nat I Gusti Ngurah Agung Suryaputra, ST., M.Sc, Universitas Pendidikan Ganesha

Dra. Ni Luh Putu Artini, MA., Ph.D, Universitas Pendidikan Ganesha

I Wayan Mudianta, S.Pd, M.Phil.,Ph.D, Universitas Pendidikan Ganesha

I Ketut Arthana, S.T.,M.Kom, Universitas Pendidikan Ganesha

Nyoman Laba Jayanta, Universitas Pendidikan Ganesha

Admin and IT Suport

I Gede Putu Banu Astawa, S.T., M. Ak, Universitas Pendidikan Ganesha

Ni Putu Sri Ayuni, S.Si.,M.Si, Universitas Pendidikan Ganesha

Luh Budiastiti, S.E, Universitas Pendidikan Ganesha

I Ketut Wira Udayana, S.Kom, Universitas Pendidikan Ganesha

Editor address:

Udayana Street, Singaraja, Bali, Indonesia, 81116

Telp. (0362) 22928

Website: http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIPP

Page 4: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 4

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Volume 15, Nomor 2 Juni 2018

Pembelajaran

Discourse

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran diterbitkan oleh Program Pascasarjana Universitas

Pendidikan Ganesha pada tahun 2018. Kehadiran JIPP diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja

penelitian di bidang Pendidikan dan Pembelajaran melalui publikasi ilmiah. Penerbitan JIPP

dilaksanakan tiga kali setahun, yaitu, Maret, Juni, dan Oktober. Pada penerbitan edisi Juni 2018 ini,

ditampilkan delapan artikel. Delapan artikel bertuliskan tentang efektivitas pembelajaran di dalam kelas.

Efektivitas tersebut diuji dengan menerapkan berbagai model pembelajaran yang inovatif untuk

meningkatkan hasil belajar siswa. Inovasi yang dilakukan ini menunjukkan bahwa secara umum beberapa

model inovatif yang dikembangkan ini menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar yang signifikan.

Oleh karena itu, publikasi ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk melakukan pengelolaan kelas

secara baik. Secara detail efektifitas pembelajarn di kelas masing-masing temuan diuraikan sebagai

berikut.

Pertama, I Wayan Lasmawan dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Pengaruh

Model Pembelajaran Creative Problem Solving Berbasis Educative Games Terhadap Kemampuan

Berpikir Kritis dan Hasil Belajar IPA Kelas IV di Gugus IV Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Hasil

Penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang

mengikuti model pembelajaran creative problem solving berbasis Educative Games dengan siswa yang

mengikuti pembelajaran konvensional, 2) terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang

mengikuti model pembelajaran creative problem solving berbasis Educative Games dengan siswa yang

mengikuti pembelajaran konvensional, dan 3) terdapat perbedaan secara simultan antara kemampuan

berpikir kritis dan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran creative problem

solving berbasis Educative Games dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.

Kedua, M. Dwipayana dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Pengaruh Model

Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Self-

Efficacy Siswa. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan

kemampuan pemecahan masalah dan self- efficacy siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran STM dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model

pembelajaran langsung (Direct Instruction) dengan rata-rata nilai gain score STM lebih unggul dari nilai

gain score DI berturut-turut yaitu 0,53>0,48 pada variabel kemampuan pemecahan masalah dan

0,55>0,41 pada variabel self-efficacy. Hasil Uji LSD menunjukan gain score kemampuan pemecahan

masalah dan self-efficacy antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran STM lebih

baik dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran langsung (Direct

Instruction).

Ketiga, Ni Wayan Widyaningsih dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Evaluasi

Diskrepansi terhadap Implementasi Pendekatan Saintifik pada Muatan Pelajaran Pkn Tema Cita-Citaku

di Kelas IV SD Se-Kecamatan Denpasar Timur. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diskrepansi

yang terjadi terkait dengan perencanaan pembelajaran berpendekatan Saintifik pada muatan pelajaran

PKn sebesar 32.97 dengan kategori kecil , diskrepansi yang terjadi terkait dengan pelaksanaan

pembelajaran berpendekatan saintifik pada muatan pelajaran PKn sebesar 40,19 dengan kategori sedang,

diskrepansi yang terjadi terkait dengan penilaian pembelajaran berpendekatan Saintifik pada muatan

pelajaran PKn sebesar 38.21 dengan kategori kecil, diskrepansi terhadap implementasi pembelajaran

berpendekatan saintifik pada muatan pelajaran PKn sebesar 37.13 dalam kategori kecil, persepsi guru

Page 5: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 5

terhadap pendekatan saintifik sebesar 73.33 dengan kategori baik, hasil belajar PKn siswa kelas IV

sebesar 77.34 dengan kategori baik, serta kontribusi kualitas pengelolaan pembelajaran berpendekatan

saintifik terhadap hasil belajar PKn adalah signifikan dengan koefisien determinasi sebesar 0.41 dan

termasuk korelasi sedang.

Keempat, I.G.A.P. Dewi dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Potensi Dukungan

Budaya Lokal terhadap Muatan Sikap dan Muatan Pembelajaran Tema Selalu Berhemat Energi pada

Kurikulum 2013. Hasil penelitian menemukan sikap spiritual ketaatan beribadah, berprilaku syukur,

danberdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Muatan sikap sosial yaitu jujur,disiplin, tanggung

jawab,santun, peduli serta percaya diri.Muatan pembelajaran yaitu Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial,

Seni Budaya dan Prakarya, danPendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan.Nilai budaya lokal yang

mendukung muatan sikap dan muatan pembelajaran pada tema selalu berhemat energiterdapat dalam

aktivitas bermain mebade-badean, medagang-dagangan, dansepit-sepitan, mendengarkan cerita (Satua) I

Siap Selem, bawang teken kasuna,dan men tiwas teken men sugih,bernyanyi (gending rare) putri cening

ayu dan dadong dauh, mengucapkan salam om swastiastu, serta kewajiban mebanten seperti mebanten

saiban, mebanten canang, dan mesegeh.

Kelima, Putu Ariantini dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Analisis Sikap dan

Muatan Pembelajaran Matematika Tema Kerukunan dalam Bermasyarakat Kurikulum 2013 Kelas V

Serta Potensi Budaya Lokal Pendukung Dalam Pembelajaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

ditemukan; 1) sikap spiritual yang muncul adalah berprilaku syukur, berdoa sebelum dan sesudah

melakukan kegiatan, dan toleransi dalam beribadah, 2) nilai-nilai sikap sosial yang termuat yaitu disiplin,

tanggung jawab, santun, dan percaya diri, 3) muatan pembelajaran matematika yang muncul yaitu statistik

sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas tinggi yang mendukung

pengembangan nilai-nilai sikap dan muatan pembelajaran matematika pada tema Kerukunan Dalam

Bermasyarakat yaitu, beberapa jenis permainan tradisional, cerita anak (satua), bernyanyi (magending),

mengucapkan salam, dan kegiatan sembahyang (mebanten). Selanjutnya dari hasil temuan-temuan

tersebut juga dihasilkan prototipe buku cerita anak berbasis budaya lokal pada tema Kerukunan Dalam

Bermasyarakat di kelas V sekolah dasar.

Keenam, Gde Parie Perdana dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Pengetahuan

Awal dan Tingkat Keyakinan Siswa Tentang Konsep Listrik Dinamis. Berdasarkan temuan dan hasil yang

diperoleh dalam penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut. (1) Pengetahuan awal siswa tentang konsep-konsep pada materi listrik dinamis sebagian

besar berupa miskonsepsi (62,3%) dan hanya 37,7% tahu konsep. (2) Tingkat keyakinan siswa dapat

berkorelasi dengan pengetahuan awal siswa. Siswa yang menjadi responden merupakan pemula.

Walaupun hasil dalam penelitian tidak sepenuhnya dapat menunjukkan hubungan antara pengetahuan

awal dan keyakinan siswa karena keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian, namun secara deskriptif

penelitian ini dapat menunjukkan gambaran pengetahuan awal siswa dan tingkat keyakinan tentang

pengetahuan yang dimiliki.

Ketujuh, I Made Adi Arnawa

dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Diskrepansi

Implementasi Pendekatan Saintifik pada Muatan Materi IPA Tema Organ Tubuh Manusia dan Hewan

Kelas V SD Negeri Di Kecamatan Denpasar Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Terdapat

diskrepansi yang kecil dalam implementasi pendekatan saintifik pada muatan materi IPA tema organ

tubuh manusia dan hewan kelas V SD Negeri di Kecamatan Denpasar selatan sebesar 35,10; dengan

diskrepansi perencanaan sebesar 33,54; diskrepansi pelaksanaan sebesar 34,03; diskrepansi penilaian

sebesar 37,75; (2) Persepsi guru tentang pendekatan saintifik sudah baik dengan rerata 69,22; (3)

Pencapaian hasil belajar IPA siswa sudah baik dengan rerata nilai 76,37; (4) Terdapat hubungan yang

Page 6: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 6

positif dan signifikan antara kualitas pengelolaan pembelajaran berpendekatan saintifik terhadap hasil

belajar IPA dengan kontribusi sebesar 31%.

Kedelapan, Ni Made Diah Padmi dari Universitas Pendidikan Ganesha yang berjudul Pengaruh

Konseling Kognitif Behavioral Model Aaron Beck dengan Strategi Manajemen Diri Terhadap Self

Autonomy Ditinjau dari Urutan Kelahiran Siswa melalui Lesson Study. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa : (1) terdapat perbedaan yang signifikan pengaruh konseling kognitif behavioral model Aaron

Beck dengan strategi managemen diri dan konseling konvensional terhadap self autonomy, (2) terdapat

perbedaan yang signifikan self autonomy ditinjau dari urutan kelahiran anak (3) terdapat pengaruh

interaksi yang signifikan antara model konseling dengan urutan kelahiran anak terhadap self autonomy.

Page 7: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 7

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Volume 15, Nomor 2 Juni 2018

Pembelajaran

Table of Contents

I Wayan Lasmawan Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving Berbasis Educative Games terhadap

Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar IPA Kelas IV di Gugus IV Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.

............................................................................................................................................................... 90-99

M. Dwipayana Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) terhadap Kemampuan

Pemecahan Masalah dan Self-Efficacy Siswa.. .................................................................................. 100-109

Ni Wayan Widyaningsih Evaluasi Diskrepansi terhadap Implementasi Pendekatan Saintifik pada Muatan Pelajaran

Pkn Tema Cita-Citaku di Kelas IV SD Se-Kecamatan Denpasar Timur ........................................... 110-121

I.G.A.P. Dewi Potensi Dukungan Budaya Lokal terhadap Muatan Sikap dan Muatan Pembelajaran Tema Selalu

Berhemat Energi pada Kurikulum 2013. ........................................................................................... 122-131

Putu Ariantini Analisis Sikap dan Muatan Pembelajaran Matematika Tema Kerukunan dalam Bermasyarakat

Kurikulum 2013 Kelas V Serta Potensi Budaya Lokal Pendukung dalam Pembelajaran ................. 132-142

Gde Parie Perdana Pengetahuan Awal dan Tingkat Keyakinan Siswa Tentang Konsep Listrik Dinamis143-152

I Made Adi Arnawa Diskrepansi Implementasi Pendekatan Saintifik pada Muatan Materi IPA Tema Organ Tubuh

Manusia dan Hewan Kelas V SD Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan ....................................... 153-163

Ni Made Diah Padmi Pengaruh Konseling Kognitif Behavioral Model Aaron Beck dengan

Strategi Manajemen Diri Terhadap Self Autonomy Ditinjau dari Urutan Kelahiran Siswa melalui Lesson Study

........................................................................................................................................................... 164-175

Editor address:

Udayana Street, Singaraja, Bali, Indonesia, 81116

Telp. (0362) 22928

Website: http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JIPP

Page 8: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 8

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING

BERBASIS EDUCATIVE GAMES TERHADAP KEMAMPUAN

BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR IPA KELAS IV

DI GUGUS IV KECAMATAN KUTA,

KABUPATEN BADUNG

I Wayan Lasmawan

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: [email protected].

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Creative

Problem Solving berbasis Educative Games terhadap kemampuan berpikir kritis dan

hasil belajar IPA kelas IV di Gugus IV Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Penelitian

ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan post test only control group

design. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 231 siswa, dan sampel berjumlah

77 siswa. Data kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar IPA dikumpulkan dengan

metode tes. Analisis data yang digunakan yakni Manova berbantuan SPSS 17.00 for

windows. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat perbedaan kemampuan

berpikir kritis antara siswa yang mengikuti model pembelajaran creative problem

solving berbasis Educative Games dengan siswa yang mengikuti pembelajaran

konvensional, 2) terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti

model pembelajaran creative problem solving berbasis Educative Games dengan siswa

yang mengikuti pembelajaran konvensional, dan 3) terdapat perbedaan secara simultan

antara kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti

model pembelajaran creative problem solving berbasis Educative Games dengan siswa

yang mengikuti pembelajaran konvensional.

Kata kunci: hasil belajar IPA, kemampuan berpikir kritis, model pembelajaran Creative

Problem Solving berbasis Educative Games.

ABSTRACT

This research aims at investigating the effect of Creative Problem Solving

learning model based Educative Games to toward the critical thinking skills and

learning outcomes of science class IV in Gugus IV Kecamatan Kuta, Badung regency.

This research is a quasi experimental research with post test only control group

design. The population in this research were 231 students, and the number of the

sample were 77 students. The data of critical thinking skills and learning outcomes of

science were collected using the test method. The data were analyzed using Manova

with the assistance of SPSS 17.00 for Windows. The result of the research shows that:

1) there is difference of critical thinking ability among students who follow creative

Page 9: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 9

problem solving learning model based on educative games with students who follow

conventional learning model, 2) there is difference of science learning outcomes

between students who follow creative Problem solving learning model based on

educative games with students who follow conventional learning model, and 3) there

is a simultaneously difference between critical thinking skills and science learning

outcomes among students who follow creative problem solving learning model based

on educative games with students who follow conventional learning model.

Keywords: creative problem solving learning model based educative games, critical

thinking skills, science learning outcome

PENDAHULUAN

Dalam perkembangan globalisasi pada

saat ini tidak lepas dari perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Teknologi

tersebut berasal dari dasar ilmu pengetahuan

alam (IPA), maka dari itu IPA sering disebut-

sebut sebagai tulang punggung pembangunan.

IPA juga sebagai disiplin ilmu dan

penerapannya didalam masyarakat membuat

IPA menjadi penting, maka penguasaan

konsep pada mata pelajaran IPA perlu

diterapkan sejak dini kepada anak-anak.

Depdiknas (2006) menyatakan IPA

merupakan suatu kebutuhan yang dicari

manusia, karena IPA dapat memberikan cara

berikir sebagai suatu struktur pengetahuan

yang utuh. IPA sangat berhubungan dengan

kehidupan nyata siswa, maka dari itu

pembelajaran IPA di SD menuntut penguasaan

konsep-konsep, fakta-fakta atau prinsip-

prinsip serta siswa dituntut juga menguasai

sebuah proses penemuan. Pendidikan IPA

diharapkan dapat menjadi pedoman untuk

siswa agar dapat mempelajari tentang diri

sendiri, lingkungan alam dan lingkungan

sosial serta dapat menerapkannya di dalam

kehidupan nyata siswa. IPA juga membuka

kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu

siswa secara alamiah, sehingga membantu

mereka mengembangkan kemampuan berpikir

dan mencari jawaban melalui pengamatan dan

pengalaman langsung berdasarkan bukti.

IPA merupakan ilmu pengetahuan yang

sistematis, tersusun secara teratur, berlaku

umum, dan berupa kumpulan data hasil

observasi dan eksperimen. Agar hasil belajar

IPA meningkat maka perlu dilakukan

tindakan. Tindakan yang dapat dilakukan guru

yakni menggunakan media pembelajaran yang

dapat membuat anak berbuat sesuatu yang

menjadikan dirinya termotivasi untuk

melakukan proses belajar IPA. Upaya inovatif

yang ditempuh dalam membelajarkan anak

adalah penggunaan media, model

pembelajaran yang menarik dan

menyenangkan namun tetap edukatif,

sehingga perlu diciptakan kondisi

pembelajaran IPA di SD yang dapat

mendorong siswa untuk aktif dan

menumbuhkan rasa ingin tahu siswa.

Pada kenyataannya di sekolah, mata

pelajaran IPA belum mampu mengembangkan

kemampuan anak untuk berpikir kritis karena

model pembelajaran yang digunakan guru

dalam proses pembelajaran belum maksimal

digunakan dengan baik, dan masih banyak

pula guru kelas dalam mengajarkan IPA

menggunakan pembelajaran yang berpusat

pada guru (teacher centered) yang sering

disebut juga pembelajaran konvensional.

Pembelajaran seperti ini membuat siswa

bersikap pasif dan upaya penyampaian

pengetahuan dari guru kepada siswa secara

lisan, sehingga dalam hal ini guru sebagai

sumber informasi berperan aktif dalam proses

pembelajaran, sedangkan siswa sebagai objek

yang sifatnya pasif hanya mendengarkan dan

menghafal pengetahuan yang ditransfer oleh

guru.

Trianto (2010: 58) menyatakan bahwa

pada pembelajaran konvensional guru sering

membiarkan adanya siswa yang mendominasi

kelompok atau menggantungkan diri pada

kelompok, akuntabilitas individual sering

diabaikan sehingga tugas-tugas sering

diborong oleh salah seorang kelompok

Page 10: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 10

sedangkan anggota kelompok lainnya

“mendompleng” keberhasilan “pemborong”,

kelompok belajar biasanya heterogen,

pemimpin kelompok sering ditentukan oleh

guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih

pemimpinnya dengan cara masing-masing,

keterampilan sosial sering tidak secara

langsung diajarkan, pemantauan melalui

observasi dan invertasi sering tidak dilakukan

oleh guru pada saat belajar kelompok sedang

berlangsung, guru sering tidak memperhatikan

proses kelompok yang terjadi dalam

kelompok-kelompok belajar, dan penekanan

sering hanya pada penyelesaian tugas”.

Seluruh rancangan proses pembelajaran

telah disiapkan oleh guru, dan siswa tinggal

menerima dan mengikuti perintah guru

kondisi ini sering menimbulkan rasa bosan

pada siswa, dan rasa malas pada siswa pada

saat pembelajaran berlangsung bahkan dapat

mengurangi minat siswa untuk mengikuti

pembelajaran sehingga mengakibatkan

pencapaian kompetensi pembelajarannya

kurang.

Berdasarkan observasi yang telah

dilakukan di kelas IV SD Gugus IV

Kecamatan Kuta yang terdiri dari 6 sekolah,

masih ditemukannya penggunaan metode,

pendekatan pembelajaran konvensional yang

menoton dan kurang aktif, akhirnya

berdampak pada motivasi dan pola pikir siswa

yang kurang kreatif dan akan berpengaruh

pada hasil belajar IPA. Seperti yang kita

ketahui setiap tahun kreteria ketuntasan

minimal (KKM) menuntut siswa harus

menuntaskan atau mencapai angka yang telah

ditetapkan, sehingga guru pun harus berusaha

untuk siswa-siswanya agar dapat memenuhi

KKM tersebut.

Berdasarkan beberapa kendala yang

dihadapi guru dalam pembelajaran, maka

salah satu model pembelajaran yang dapat

digunakan guru adalah menggunakan model

pembelajaran Creative Problem Solving

berbasis Educative Games. Model

pembelajaran Creative Problem Solving

berbasis Educative Games, dalam hal ini guru

memberikan kesempatan pada siswa untuk

terlibat secara aktif dalam proses

pembelajaran, mencari dan menemukan

sebuah informasi untuk kemudian dijadikan

konsep, teori, serta kesimpulan dengan

memadukan Educative Games pada proses

pembelajaran sehingga proses pembelajaran

akan terkesan menyenangkan, permainan ini

dapat dilakukan dalam kelompok, maka siswa

juga belajar bagaimana bekerja sama dengan

teman dalam memecahkan persoalan,

bagaimana mencapai tujuan yang sama,

bagaimana mereka harus memiliki rasa

solidaritas antar teman untuk saling berbagi.

Menurut Pepkin (2004: 1) model

pembelajaran Creative Problem Solving

adalah suatu model pembelajaran yang

memusatkan pada pengajaran dan

keterampilan pemecahan masalah, yang

diikuti dengan penguatan kreatifitas Model

pembelajaran problem solving sangat potensial

untuk melatih siswa berpikir kreatif dalam

menghadapi berbagai masalah, baik itu

masalah pribadi maupun masalah kelompok

untuk dipecahkan secara sendiri atau bersama-

sama. Pembelajaran dengan model

pembelajaran creative problem solving

mengajak siswa untuk aktif dalam kegiatan

pembelajaran yang dapat memacu siswa untuk

mengevaluasi pemahamannya dan

mengidentifikasi kesalahan dalam berpikirnya,

sehingga siswa mampu mengembangkan daya

nalarnya secara kritis untuk memecahkan

masalah yang dihadapi.

Sedangkan Sanjaya (2007: 214)

mengungkapkan dengan mengajarkan

pemecahan masalah kepada siswa akan

mengembangkan kemampuan siswa untuk

berpiikir kritis, analitis, sistematis, dan logis

untuk alternative pemecahan masalah melalui

eksplorasi data secara impirirs dengan

didorong dan dilatih merekonstruksi

pengetahuan dan konsep berdasarkan proses

mencari dan mengalami sendiri, misalnya

melalui eksperimen penyelidikan, pemecahan

masalah, dan praktek lain. Sedangkan

Educative Games merupakan bentuk kegiatan

yang dilakukan untuk memperoleh

kesenangan atau kepuasan dari cara atau alat

Page 11: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 11

pendidikan yang digunakan dalam kegiatan

bermain, yang disadari memiliki muatan

pendidikan yang dapat bermanfaat dalam

mengembangkan diri secara seutuhnya serta

bersifat mendidik dan terdapat interaksi

edukatif dimana anak didik tidak hanya diajak

untuk bermain namun juga diajak untuk

belajar.

Menurut Ismail (2006: 204) agar

pembelajaran menarik bagi siswa, maka dalam

pembelajaran dapat memasukkan permainan

edukatif yang dikaitkan dengan persoalan

sehari-hari, cara penyampaian materi berganti-

ganti, dan memberi kesempatan pada siswa

untuk membawa sesuatu yang dapat

dipelajarinya di sekolah. Jika siswa menyukai

pembelaja IPA, maka siswa akan selalu

belajar. Akibatnya siswa dapat

mengembangkan daya nalarnya dalam

menjawab soal dan memahami materi

pelajaran, sehingga hasil belajar siswa

diharapkan lebih memuaskan. Dengan

demikian permainan edukatif bermanfaat

untuk meningkatkan kemampuan berbahasa,

berpikir, serta bergaul dengan lingkungannya.

Disamping itu, permainan edukatif juga

bermanfaat untuk mengaktifkan tubuh siswa

untuk bergerak, mengembangkan kepribadian,

mendekatkan hubungan antara guru dengan

siswa.

Berdasarkan pemaparan di atas,

penggunaan model pembelajaran creative

problem solving berbasis Educative Games

dipercaya dapat meningkatkan kemampuan

berpikir kritis siswa model pembelajaran ini

juga berbengaruh pada hasil belajar siswa

dalam pembelajaran IPA. Seperti halnya

penelitian yang telah dilakukan oleh Budiana

(2013) dengan judul “Pengaruh Model

Creative Problem Solving (CPS) Terhadap

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Mata

Pelajaran IPA Siswa Kelas V SD dengan hasil

penelitiannya menunjukan bahwa Model

Pembelajaran CPS dapat menumbuhkan dan

melatih kemampuan berpikir kritis siswa

dalam pembelajaran IPA.

Model pembelajaran problem solving

berbasis games education dapat diterapkan

oleh guru dalam proses pembelajaran selain

dapat mempengaruhi pola berpikir kritis siswa

juga dapat mempengaruhi hasil belajar siswa

dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan,

perlu diketahui pula keunggulan yang dimiliki

oleh model pembelajaran creative problem

solving menurut Sanjaya (2007: 220-221)

memiliki keunggulan sebagai berikut:

pemecahan masalah merupakan teknik yang

cukup bagus untuk memahami isi pelajaran;

pemecahan masalah dapat menantang

kemampuan siswa serta memberikan kepuasan

untuk menemukan; pemecahan masalah dapat

meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa;

pemecahan masalah dapat membantu siswa

bagaimana mentransfer pengetahuan mereka

untuk memahami masalah dalam kehidupan

nyata; pemecahan masalah dapat membantu

siswa untuk mengembangkan pengetahuan

barunya dan bertanggung jawab dalam

pembelajaran yang mereka lakukan,

disamping juga dapat mendorong untuk

melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil

maupun proses belajarnya, melalui pemecahan

masalah bisa memperlihatkan kepada siswa

bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya

merupakan cara berpikir dan sesuatu yang

harus dimengerti oleh siswa, bukan sekedar

belajar dari guru atau dari buku-buku saja;

pemecahan masalah dianggap lebih

menyenangkan dan disukai siswa; pemecahan

masalah bisa mengembangkan kemampuan

siswa untuk berpikir kritis dan

mengembangkan kemampuan mereka untuk

menyesuaikan dengan penge-tahuan baru;

pemecahan masalah dapat memberikan

kesempatan pada siswa untuk

mengaplikasikan pengetahuan yang mereka

miliki dalam dunia nyata; dan pemecahan

masalah dapat mengembangkan minat untuk

secara terus menerus belajar sekalipun belajar

pada pendidikan formal telah berakhir.

Berdasarkan keunggulan model

pembelajaran problem solving tersebut, dalam

penelitian ini akan dikomparatifkan antara

model pembelajaran problem solving berbasis

Educative Games dengan pembelajaran

konvensional. Hal ini dilandasi dengan

Page 12: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 12

pemikiran Hamalik (2008: 105) menyatakan

bahwa guru perlu mengenal minat-minat

muridnya karena ini penting bagi guru untuk

memilih bahan pembelajaran, merencanakan

pengalaman-pengalaman belajar, menuntut

mereka ke arah pengetahuan dan mendorong

motivasi siswa. Berdasarkan hal tersebut,

dapat dikatakan bahwa model pembelajaran

dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.

Berkaitan dengan hal tersebut model

pembelajaran problem solving dengan

pembelajaran konvensional berawal pada

berpikir kritis pada diri siswa, selanjutnya

dengan berpikir kritis maka akan berpengaruh

dengan kenyataan hasil belajar IPA siswa

yang juga akan dipengaruhi oleh faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal

antara lain berupa intelegensi, minat,

kemampuan berpikir siswa, motivasi, serta

kondisi fisikologis siswa pada saat

pembelajaran. Sedangkan faktor eskternalnya

adalah berupa keluarga, sekolah dan

lingkungan masyarakat maupun lingkungan

sosial, materi pembelajaran, model

pembelajaran yang diterapkan, serta

kemampuan guru untuk mengelola kelas.

Dengan demikian, salah satu faktor internal

yang mempengaruhi hasil belajar siswa disini

adlah kemampuan berpikir siswa sedangkan

faktor eksternalnya adalah model

pembelajaran yang diterapkan guru dalam

pembelajaran IPA.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka

penelitian ini menggunakan judul tentang

pengaruh model pembelajaran Creative

Problem Solving Berbasis Educative Games

terhadap kemampuan berpikir kritis dan hasil

belajar IPA kelas IV di Gugus IV Kecamatan

Kuta, Kabupaten Badung.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimen semu (penelitian kuasi

eksperimen) terjadi karena terbentur pada

ketidak mampuan peneliti untuk mengontrol

secara ketat variabel lain di luar variabel

perlakuan, akibatnya sangat sering tidak bisa

memenuhi syarat-syarat penelitian eksperimen

yang sungguhan (Dantes, 2012:

85).Rancangan eksperimen yang digunakan

adalah The Post Test Only Control Group

Design.

Populasi merupakan wilayah

generalisasi, terdiri atas objek/subjek yang

memiliki kualitas dan karakteristik tertentu

yang dapat diterapkan peneliti untuk dipelajari

dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono,

2008). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh siswa kelas IV SD Gugus IV

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung yang

terdiri atas siswa SD No. 1 Kedonganan, SD

No. 2 Kedonganan, SD No. 3 Kedonganan,

SD No. 4 Kedonganan, SD No. 3 Tuban, dan

SD No. 5 Tuban. Dikatakan setara karena

dalam pengelompokan, siswa disebar secara

merata antara siswa yang memiliki

kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hal ini

berarti tidak terdapat kelas unggulan maupun

non unggulan di kelas IV SD Gugus IV

Kecamatan Kuta.

Untuk memperkuat pernyataan Ketua

Gugus tersebut, dilakukan analisis data nilai

ulangan umum semester I. Untuk mengetahui

kesetaraan populasi secara statistik yang

dilaksanakan sebelum perlakuan. Uji

kesetaraan yang dilakukan menggunakan uji t

test dengan bantuan SPSS 17.00 for windows

dengan signifikansi 5%. Jika angka

signifikansi hitung kurang dari 0,05 maka

kelas tersebut tidak setara. Sedangkan jika

angka signifikansi hitung lebih besar dari 0,05

maka kelas tersebut setara.

Berdasarkan uji kesetaraan yang telah

dilakukan didapatkan angka signifikansi t

hitung lebih besar dari 0,05 maka seluruh

kelas dapat dinyatakan setara.

Dalam pengambilan sampel penelitian

menggunakan teknik random sampling

dilakukan pada pasangan kelas yang setara.

Dalam menunjuk kelas eksperimen dengan

kontrol dilakukan dengan sistem pengundian.

Berdasarkan hasil pengundian yang telah

dilakukan, diperoleh pasangan kelas IV SD

No. 3 Tuban yang siswanya berjumlah 39

orang sebagai kelas eksperimen dan SD No. 4

Kedonganan yang siswanya berjumlah 37

Page 13: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 13

orang sebagai kelas kontrol.

Variabel bebas di kelompok eksperimen

dalam penelitian ini adalah Pembelajaran

Creative Problem Solving Berbasis Educative

Games sedangkan variabel bebas di kelompok

kontrol dalam penelitian ini adalah

pembelajaran Konvensional. Sedangkan

variabel terikat dalam penelitian ini adalah

berpikir kritis dan hasil belajar IPA.

Untuk mengumpulkan data mengenai

kemampuan berpikir kritis dalam

pembelajaran IPA dikumpulkan menggunakan

tes esay. Sedangkan data mengenai hasil

belajar dikumpulkan dengan memberikan tes

pilihan ganda dengan empat pilihan (option).

Sebelum instrumen digunakan dalam

penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba

instrumen. Berdasarkan uji coba yang telah

dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut.

1. Instrumen berpikir kritis, dari 15 butir

pernyataan yang diujicobakan, seluruh butir

dinyatakan valid dengan reliabilitas instrumen

sebesar 0,780 yang berarti berada pada

katagori tinggi.

2. Instrumen hasil belajar IPA, dari 40

butir soal yang diujicobakan, 34 butir

dinyatakan valid dan 6 butir dinyatakan gugur.

Reliabilitas yang didapatkan dari hasil ujicoba

sebesar 0,867 yang berarti berada pada

katagori sangat tinggi. Namun dalam

penelitian ini hanya menggunakan 30 butir

instrumen hasil belajar IPA.

Setelah data dalam penelitian ini

terkumpul, selanjutnya data dianalisis secara

bertahap. Tahapan-tahapan tersebut adalah

deskripsi data, uji prasyarat dan uji hipotesis.

Uji prasyarat yang dilakukan adalah uji

normalitas sebaran data, uji homogenitas

varian, dan uji korelasi antar variabel terikat.

Pengujian hipotesis dilakuakan dengan

menggunakan teknik analisis multivarian

(MANOVA) satu jalur. Manova adalah teknik

statistik yang dapat digunakan secara simultan

untuk mengekspor hubungan antara beberapa

katagori variabel independen (biasanya

perlakuan) dan dua atau lebih variabel

dependen (Sugiyono, 2010). Analisis dan uji

Anova adalam penelitian ini menggunakan

MANOVA pada taraf signifikansi 5% dan

proses analisisnya menggunakan bantuan

SPSS 17.00 for windows.

Adapun hipotesis yang diuji dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Terdapat perbedaan yang signifikan

kemampuan berpikir kritis antara siswa

yang mengikuti model pembelajaran

creative problem solving berbasis

Educative Games dengan siswa yang

mengikuti pembelajaran konvensional

pada siswa kelas IV Gugus IV,

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung

2. Terdapat perbedaan yang signifikan hasil

belajar IPA antara siswa yang mengikuti

model pembelajaran creative problem

solving berbasis Educative Games

dengan siswa yang mengikuti

pembelajaran konvensional pada siswa

kelas IV Gugus IV, Kecamatan Kuta,

Kabupaten Badung

3. Secara simultan terdapat perbedaan yang

signifikan kemampuan berpikir kritis dan

hasil belajar IPA antara siswa yang

mengikuti model pembelajaran creative

problem solving berbasis Educative

Games dengan siswa yang mengikuti

pembelajaran konvensional pada siswa

kelas IV Gugus IV, Kecamatan Kuta,

Kabupaten Badung.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis

yang telah dilakukan, terlihat bahwa ketiga

hipotesis yang diajukan pada penelitian ini

telah berhasil menerima hipotesis alternatiif

dan menolak hipotesis nol, rincian hasil

hipotesis tersebut sebagai berikut.

1. Pengaruh model pembelajaran Creative

problem solving berbasis Educative

Games terhadap kemampuan berpikir

kritis siswa

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan diperoleh hasil F-hitung sebesar

84,405> Ftabel (4,00) dengan signifikansi

Page 14: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 14

lebih kecil dari 0,05. Hasil ini menyatakan

bahwa, hipotesis nol (Ho) ditolak dan

hipotesis alternatif (Ha) diterima. Bila dilihat

dari rata-rata skor data berpikir kritis siswa

kelas IVGugus IV, Kecamatan Kuta,

Kabupaten Badung yang mengikuti

pembelajaran dengan model pembelajaran

creative problem solving berbasis Educative

Gamesadalah 47,05. Sedangkan rata-rata skor

data berpikir kritis belajar Siswa Kelas IV

yang Mengikuti pembelajaran dengan Model

pembelajaran konvensional adalah 32,84. Hal

tersebut terlihat bahwa model pembelajaran

creative problem solving berbasis Educative

Games memberikan pengaruh terhadap

kemampuan berpikir kritis siswa dibandingkan

dengan penerapan model pembelajaran

konvensional.

Hasil uji hipotesis ini juga memperkuat

hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Budiana (2013) yang mengemukakan

bahwa penerapan model pembelajaran creative

problem solving memberi pengaruh yang

signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis

siswa dalam pembelajaran IPA. Demikian

pula dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Husnawati (2015) bahwa model

pembelajaran creative problem solving

memberi pengaruh terhadap kemampuan

berpikir kritis siswa dalampembelajaran

matematika.

Dalam pelaksanaan model pembelajaran

creative problem solving berbasis Educative

Games merupakan rangkaian aktivitas

pembelajaran yang menekankan kepada proses

penyelesaian masalah yang dihadapi secara

ilmiah. Siswa aktif berpikir, berkomunikasi,

mencari dan mengolah data, dan akhirnya

menyimpulkan. Kemudian aktivitas

pembelajaran diarahkan pada menyelesaikan

masalah. Pemecahan masalah dilakukan

dengan menggunakan penedekatan berpikir

secara ilmiah dimana dengan berpikir

menggunakan metode ilmiah adalah proses

berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir

ini dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu

dan didasarkan pada data dan fakta yang jelas.

Model pembelajaran Creative Problem

Solving Berbasis Educative Games adalah

merupakan cara untuk memotivasi siswa

untuk berpikir kritis sehingga mendorong

siswa mengetahui dan menguasai

keterampilan – keterampilan yang disajikan

oleh guru dalam proses pembelajaran. Dalam

pembelajaran guru menyertakan permainan

yang bermanfaat dan sesuai dengan

pembelajaran yang diberikan pada saat itu,

sehingga semua anggota kelompok dapat

menguasai materi dengan baik. Dan secara

tidak langsung kemampuan berpikir siswa

akan muncul untuk memikirkan pemecahan

masalah yang telah diberikan, sehingga siswa

lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran.

Pada pembelajaran IPA menggunakan

model pembelajaran konvensional lebih

menekankan fungsi pendidik sebagai pemberi

informasi. Pendidik mengatur secara ketat

proses pembelajaran baik dari segi topik,

mutu, maupun strategi. Disini pendidik lebih

menekankan tugasnya sebagai model. Tujuan

akan dicapai secara maksimal bila pendidik

mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan

keterampilan secara tepat sehingga dapat

ditiru oleh siswa. Sementara siswa hanya pasif

mendengarkan penjelasan-penjelasan pendidik

tanpa dilibatkan secara aktif dalam

pembelajaran. Hal itu kurang sejalan dengan

konsepsi pembelajaran IPA bahwa lingkungan

alam atau peristiwa alam yang terjadi di

sekitar haruslah dipahami anak dengan

mengekplorasi kemampuan pada dirinya

sendiri.

Berdasarkan pemahaman tersebut

terlihat jelas bahwa pembelajaran

menggunakan model pembelajaran creative

problem solving berbasis Educative Games

lebih baik diterapkan untuk siswa daripada

pembelajaran konvensional, karena dengan

menggunakan creative problem solving

berbasis Educative Gamessiswa dapat

mengeksplorasikan kemampuannya sendiri.

Dan hasil uji hipotesis pertama semakin

menguatkan bahwa model pembelajaran

inovatif, seperti model pembelajaran creative

problem solving berbasis Educative Games

mampu memberi pengaruh yang signifikan

Page 15: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 15

terhadap kemampuan berpikir kritis. Tentunya

hal tersebut memberi pengaruh yang besar

terhadap hasil belajar IPA.

2. Pengaruh model pembelajaran creative

problem solving berbasis Educative

Games terhadap hasil belajar IPA

siswa

Berdasarkan hasil analisis menghasilkan

Ftabel sebesar 47,739 > Ftabel (4,00) dengan

signifikansi lebih kecil dari 0,05. Hal ini

menunjukan bahwa terdapat perbedaan hasil

belajar IPA yang mengikuti pembelajaran

dengan model pembelajaran creative problem

solving berbasis Educative Games dengan

kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran

dengan Model pembelajaran konvensional.

Bila dilihat dari rata-rata skor hasil

belajar yang Mengikuti pembelajaran dengan

Model Pembelajaran Creative Problem

Solving Berbasis Educative Games adalah

21,15 berada pada kategori tinggi. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa hasil belajar

IPA siswa yang mengikuti pembelajaran

dengan model pembelajaran creative problem

solving berbasis Educative Games tetap lebih

baik daripada hasil belajar IPA siswa yang

mengikuti pembelajaran dengan model

pembelajaran konvensional.

IPA merupakan ilmu untuk mencari

tahu, memahami alam semesta secara

sistematis dan mengembangkan pemahaman

ilmu pengetahuan tentang gejala alam yang

dituangkan berupa fakta, konsep, prinsip, dan

hukum yang teruji kebenarannya. Namun, IPA

bukan hanya merupakan kumpulan

pengetahuan berupa fakta, konsep, prinsip,

melainkan suatu proses penemuan dan

pengembangan tentang fenomena alam

semesta, baik makhluk hidup ataupun benda

mati yang diperoleh dari pengalaman melalui

serangkaian proses kegiatan ilmiah antara lain

penyelidikan, penyusunan dan pengujian

gagasan-gagasan.

Dalam peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2006 tentang “Standar Isi untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah” (2006:109)

menyebutkan bahwa mata pelajaran IPA di

SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki

kemampuan sebagai berikut: (1) memperoleh

keyakinan terhadap kebesaran tuhan Yang

Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan

dan keteraturan alam ciptaannya, (2)

Mengembangkan pengetahuan dan konsep-

konsep IPA yang bermanfaat dan dapat

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (3)

mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif

dan kesadaran tentang adanya hubungan yang

saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,

teknologi dan masyarakat, (4) mengemangkan

keterampilan proses untuk menyelidiki alam

sekitar, memecahkan masalah dan membuat

keputusan, (5) meningkatkan kesadaran untuk

berperan serta dalam memelihara, menjaga,

dan melestarikan lingkungan alam, (6)

meningkatkan kesadaran untuk menghargai

alam dan segala keteraturannya sebagai salah

satu ciptaan Tuhan, (7) Memperoleh bekal

pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA

sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan

ke SMP/MTs.

Model pembelajaran creative problem

solving sangat tepat diterapkan dalam

pembelajaran IPA karena dapat

mengoptimalkan hasil belajar IPA siswa,

siswa dilatih untuk belajar memecahkan

masalah. Siswa dibimbing untuk berpikir

ilmiah, berpikir lebih kritis, melalui model

pembelajaran Creative Problem Solving

Berbasis Educative Games

mengkomunikasikan ide-idenya, sehingga

pembelajaran menjadi lebih aktif.Dan

berdasarkan hasil uji hipotesis semakin

menguatkan bahwa model pembelajaran

creative problem solving berbasis Educative

Games mampu memberi pengaruh yang

signifikan terhadap hasil belajar IPA.

3. Pengaruh model pembelajaran Creative

Problem Solving Berbasis Educative

Games terhadap kemampuan berpikir

kritis dan hasil belajar IPA siswa

Berdasarkan hasil penelitian yang

Page 16: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 16

dilakukan diperoleh hasil bahwa terdapat

perbedaan secara simultan kemampuan

berpikir kritis dan hasil belajar IPA antara

siswa yang mengikuti model pembelajaran

creative problem solving berbasis Educative

Games dengan siswa yang mengikuti

pembelajaran konvensional. Hal tersebut

menunjukkan bahwa penerapan model

pembelajaran Creative Problem Solving

Berbasis Educative Games memberikan

pengaruh secara simultan terhadap

kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar

IPA siswa dibandingkan dengan penerapan

model pembelajaran konvensional.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa

data kemampuam berpikir kritis dan hasil

belajar IPA Kelas IV Gugus IV, Kecamatan

Kuta, Kabupaten Badung yang mengikuti

pembelajaran dengan model pembelajaran

creative problem solving berbasis Educative

Games mendapatkan harga ry1y2 = 0,005 dan

data siswa yang belajar dengan Model

pembelajaran konvensional mendapatkan

harga ry1y2 = 0,186. Nilai rtabel kelompok

eksperimen dengan jumlah subjek 39 adalah

0,316, sedangkan nilai rtabel kelompok kontrol

dengan jumlah subjek 38 adalah 0,320. Hasil

uji ini juga memperkuat hasil penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Rohwati

(2012) dengan hasil penelitiannya menunjukan

bahwa dengan menggunakan educative games

dapat meningkatkan hasil belajar IPA.

Hasil analisis MANOVA menunjukkan

bahwa nilai signifikansi uji Manova melalui

Pillai trace, Wilks’ Lambda Hotelling’s trace

dan Roy’s largest Rootadalah 0,000 dan nilai

ini lebih kecil dari 0,05 (p<0,05), sehingga

dapat disimpulkan bahwa data kemampuan

berpikir kritis dan hasil belajar IPA kelas IV

Gugus IV, Kecamatan Kuta, Kabupaten

Badung yang mengikuti pembelajaran dengan

model pembelajaran creative problem solving

berbasis Educative Gamesmaupun siswa yang

belajar dengan model pembelajaran

konvensional tidak berkorelasi.

Jadi dengan adanya hasil pengujian

hipotesis ketiga ini, maka diperoleh bahwa

kemampuan berpikir kritis siswa memiliki

kontribusi yang signifikan terhadap hasil

belajar IPA siswa kelas IV Gugus IV

Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.

SIMPULAN DAN SARAN

Adapun simpulan yang dapat ditarik

dari hasil penelitian ini antara lain sebagai

berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan

berpikir kritis antara siswa yang

mengikuti model pembelajaran

creative problem solving berbasis

Educative Games dengan siswa yang

mengikuti pembelajaran konvensional.

2. Terdapat perbedaan hasil belajar IPA

antara siswa yang mengikuti model

pembelajaran creative problem solving

berbasis Educative Games dengan

siswa yang mengikuti pembelajaran

konvensional.

3. Terdapat perbedaan secara simultan

antara kemampuan berpikir kritis dan

hasil belajar IPA antara siswa yang

mengikuti model pembelajaran

creative problem solving berbasis

Educative Games dengan siswa yang

mengikuti pembelajaran konvensional.

Adapun saran yang dapat diajukan

berdasarkan hasil penelitian yang telah

didapatkan adalah sebagai berikut.

Siswa diharapkan mampu menjadikan

lingkungan sekitar sebagai sumber belajar

yang baik dan efektif dalam proses pengenalan

diri dan lingkungannya. Sehingga memiliki

kesiapan dalam menghadapi perkembangan

IPTEK

Guru disarankan untuk mengembangkan

pembelajaran yang mengutamakan proses

berpikir, yakni pemanfaatan dan penggunaan

otak secara maksimal yang dapat membentuk

konsep diri siswa ke arah yang positif serta

pembelajaran yang menyenangkan. Hal ini

karena dengan model pembelajaran model

pembelajaran creative problem solving

berbasis Educative Games ini dapat

menumbuhkembangkan interaksi dalam

proses pembelajaran, baik dengan guru, siswa

Page 17: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 17

lain, maupun dengan lingkungannya sehingga

tercipta suasana interaksi yang multiarah.

Kepala sekolah diharapkan berperan

aktif untuk memotivasi dan memfasilitasi para

pendidik di lingkungan instansi kerja untuk

meningkatkan kompetensinya melalui

workshop, seminar, diklat tentang proses

pembelajaran inovatif atau sejenisnya. Karena

pengetahuan akan model-model pembelajaran

merupakan poin utama para pendidik untuk

mengembangkan kualitas pembelajaran

kepada para siswa.

LPTK diharapkan agar

mempertimbangkan untuk memperkenalkan

model pembelajaran creative problem solving

pada pembelajaran IPA sejak dini kepada

mahasiswa calon guru. Selain sebagai salah

satu model pembelajaran inovatif, pelatihan

sejak dini membantu calon guru untuk terbiasa

mengaplikasikan ke dalam proses

pembelajaran. Serta diharapkan membantu

secara akademis terhadap program

peningkatan mutu pendidikan yang

dicanangkan oleh pemerintah.

DAFTAR RUJUKAN

Budiana. 2013. Pengaruh Model Creative

Problem Solving (CPS) Terhadap

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

pada Mata Pelajaran IPA Siswa Kelas

V SD. Skripsi. Singaraja: Undiksha

Singaraja.

Dantes, I. N. 2012. Metode Penelitian.

Yogyakarta: Andi Offset

Hamalik, O. 2008. Kurikulum dan

Pembelajaran. Jakarta: Bumi

Akasara.

Husnawati, N. 2015. Pengaruh Model

Pembelajaran Creative Problem

Solving Terhadap Kemampuan

Berpikir Kritis Matematika Siswa

Kelas VII SMP Negeri 2 Kopang.

Journal. Kopang: IKIP Mataram.

Ismail, A. 2006. Education Games.

Yogyakarta: Pilar Media

Pepkin K.L. 2004. Creative Problem Solving

In Math. Tersedia di:

http://www.uh.edu/hti/cu/2004/v02/04.

htm (diunduh pada tanggal 5-5-2016).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah.

2006. Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional RI.

Rohwati, M. 2012. Penggunaan Education

Game Untuk Meningkatkan Hasil

Belajar IPA Biologi Konsep

Klasifikasi Makhluk Hidup. Journal.

Semarang: Unnes.

Sanjaya, W. 2007. Strategi Pebelajaran.

Berorientasi Standar Proses

Pendidikan (cetakan ke-3). Jakarta:

Kencana.

Sugiyono. 2008. Statitiska untuk Penelitian.

Bandung: Alfabeta.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu.

Jakarta: Bumi Aksara

Page 18: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 100

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT

(STM) TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN

SELF-EFFICACY SISWA

M. Dwipayana

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan kemampuan pemecahan masalah dan

self-efficacy siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran Sains

Teknologi Masyarakat (STM) dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran langsung (Direct Instruction). Jenis penelitian ini adalah penelitian

semu (quasi experiment) dengan rancangan pretest-posttest non equivalent control group

design Populasi dalam penelitian ini semua siswa kelas VII SMP 2 Singaraja dan sampel

sebanyak 75 orang siswa. Data self-efficacy dikumpulkan dengan metode kuisioner dan data

kemampuan pemecahan masalah dikumpulkan dengan tes essay. Analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Manova. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah dan self-

efficacy siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran STM

dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran langsung

(Direct Instruction) dengan rata-rata nilai gain score STM lebih unggul dari nilai gain score

DI berturut-turut yaitu 0,53>0,48 pada variabel kemampuan pemecahan masalah dan

0,55>0,41 pada variabel self-efficacy. Hasil Uji LSD menunjukan gain score kemampuan

pemecahan masalah dan self-efficacy antara kelompok siswa yang belajar dengan model

pembelajaran STM lebih baik dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran langsung (Direct Instruction).

Kata kunci: Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM), Kemampuan

Pemecahan Masalah, Self-Efficacy

ABSTRACT

This study aimed to analyze differences of problem solving abilities and students self-

efficacy between Science Technology Society (STS) learning model student groups

compared to Direct Instruction learning model student groups. This research type is quasi

experiment with pretest-posttest non equivalent control group design. The population in this

study are all seven degree students of SMP 2 Singaraja and sample of 75 students. The self-

efficacy data was collected by questionnaire and problem solving data was collected by

essay test. Data analysis used in this research is Manova. Based on the research that has been

done, it is found there is difference of problem solving skills and student self- efficacy

between group of students studying with STS learning model compared with group of

students studying with direct instruction model with average value of gain Score STS is

superior to the value of gain DI score respectively that is 0.53> 0.48 on problem-solving

ability variables and 0.55> 0.41 in the variable self-efficacy. LSD’s test showed that gain

score of problem solving abilities and students self-efficacy in Science Technology Society

(STS) learning model student groups better than Direct Instruction learning model student

groups.

Page 19: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 101

Keywords: Science Technology Society learning models (STS), Problem Solving

Abilities, Self-Efficacy

PENDAHULUAN

Pada era globalisasi pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi

pondasi yang essensial dalam penentuan

kualitas hidup suatu bangsa. Pada era

globalisasi pendidikan juga ikut mengalami

perubahan-perubahan, baik itu orientasi,

tujuan, metode, dan lain-lain. Pada era

globalisasi juga terjadi pertukaran informasi

dan komunikasi dengan sangat cepat yang

berdampak pada terbentuknya masyarakat

yang dinamis dan serba cepat. Hal ini

memberikan peluang antar bangsa

melakukan interaksi dan berdampak pada

persaingan yang semakin tinggi untuk

memiliki sumber daya manusia yang unggul.

Mendapatkan kualitas sumber daya manusia

yang unggul dan berkualitas tentu

diperlukan usaha dan kerja keras dari

berbagai pihak terutama dalam bidang

pendidikan. Menurut Marsigit (2012) era

globalisasi menjelaskan perbedaan

paradigma pendidikan pada abad 20 dan

abad 21 yang menyatakan bahwa telah

terjadi perubahan besar dalam paradigma

pendidikan. Jika sebelumnya, pada abad 20,

pembelajaran berpusat pada guru dengan

kurang memperhatikan bagaimana siswa

memperoleh pengetahuan, maka pada abad

ke-21 sekarang ini adalah kebalikannya.

Pada abad ini, siswa dituntut untuk aktif

dalam pembelajaran, mampu berpikir

analitik, kritis, logis, kreatif, dan mampu

mengkonstruksi pengetahuan yang

didapatnya sendiri, sehingga pengetahan dan

keterampilan yang diperolehnya dapat

digunakan dan diaplikasikan dalam

memecahkan masalah-masalah kehidupan

sehari-hari. Sikap-sikap yang diharapkan ada

dalam pembelajaran tersebut berkaitan

langsung dengan kualitas pendidikan IPA.

Menurut Sismanto (2007) IPA umumnya

memiliki peran penting dalam peningkatan

mutu pendidikan dan merupakan pondasi

ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Sumber Daya Manusia yang dimiliki suatu

bangsa dapat dikatakan maju jika mampu

menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi .

Menurut Khan (2008) peningkatan kualitas

sumber daya manusia tidak dapat terjadi

tanpa adanya pendidikan berkulitas. Hal ini

tentu harus direspon dengan kinerja sistem

pendidikan yang profesional dan berkualitas

serta berintegritas.

Pemerintah telah berupaya dalam

meningkatkan kualitas dan kuantitas

pendidikan dan pembelajaran di sekolah

melalui berbagai upaya seperti penetapan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang sistem pendidikan nasional,

peraturan pemerintah, sisdiknas, sarana dan

prasarana dan orientasi pembelajaran di

sekolah. Upaya lain juga dilakukan dengan

membuat Undang-undang tentang tenaga

pendidik untuk meningkatkan

profesionalisme kerja untuk memenuhi

kompetensi seperti penguasaan materi

subjek, pemahaman terhadap pembelajar

(Suma, 2004) Perbaikan juga dilakukan di

sektor kurikulum secara periodik dan

berkesinambungan seperti upaya inovatif

penyempurnaan kurikulum 1994 menjadi

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

Penyempurnaan kurikulum dilanjutkan dan

disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP), bahkan KTSP

kembali disempurnakan menjadi Kurikulum

2013 (K13).

Berbagai upaya yang telah dilakukan

pemerintah tersebut seharusnya dapat

memberikan pengaruh baik terhadap

peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Namun kenyataan di lapangan menunjukan

mutu pendidikan di Indonesia masih

tergolong rendah.

Hal ini dapat dilihat dari fakta yang

ditunjukkan oleh TIMSS tahun 2011. Hasil

penilaian TIMSS terhadap prestasi siswa

Indonesia adalah sebagai berikut: prestasi

pada bidang IPA, pada tahun 1999 Indonesia

berada pada peringkat 32 (dari 38 negara),

pada tahun 2003 Indonesia berada pada

peringkat 37 (dari 46 negara) dan pada tahun

2007 Indonesia berada pada peringkat 35

(dari 49 negara) (Salim. 2010). Data

peringkat ini menunjukkan bahwa prestasi

IPA Indonesia tergolong rendah dan berada

pada kisaran peringkat 32 hingga 37 dari

negara-negara anggota IEA yang jumlahnya

sekarang lebih dari 50 negara. Pada Skor

Page 20: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 102

literasi IPA Indonesia berturut-turut dari

tahun 1999, 2003 dan 2007 adalah: 435, 420

dan 433. Sedangkan skor matematika pada

tahun 1999 adalah 403, tahun 2003 adalah

411 dan tahun 2007 adalah 405. Rata-rata

skor dari semua negara peserta adalah 500

dengan simpangan baku 100. Dari data

tersebut terlihat bahwa terjadi stagnansi

bahkan penurunan prestasi dalam

pembelajaran IPA yang dikenal dengan mata

pelajaran dengan mengaitkan kemampuan

proses pemecahan masalah dengan

kehidupan sehari-hari.

Pada hasil data yang dilakukan Global

Education Monitoring Report (GEM Report.

2016) skor literasi sains siswa di indonesia

tergolong rendah yaitu 33 persen pada

bidang pemahaman yang memadai tentang

isu-isu yang terkait kewarganegaraan global

dan pembangunan berkelanjutan. Ini juga

dibuktikan dari data yang dikeluarkan

Programme for International Student

Asessment (PISA) tahun 2015. Dalam

penelitian PISA, Indonesia berada pada

peringkat 62 dari 70 negara peserta dalam

hal kemampuan literasi sains yang

mencakup kesiapan keterlibatan siswa dalam

belajar, kesiapan dalam pemecahan masalah,

dan keyakinan diri siswa. Hal ini

menyebabkan kemauan siswa untuk

berprestasi rendah dan faktor internal lain

membuat perbedaan yang nyata terhadap

hasil belajar siswa.

Keberhasilan dunia pendidikan juga

terhambat oleh beberapa kendala. Salah

satunya adalah masalah kecurangan-

kecurangan dalam ujian, perilaku menyontek

dalam pembuatan tugas maupun ujian, dan

kecenderungan siswa tidak aktif dan minder

pada saat proses pembelajaran. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Kushartanti

(2009) didapatkan bahwa terdapat

hubungan negatif yang sangat signifikan

antara kepercayaan diri dengan perilaku

menyontek. Hal ini berarti variabel

kepercayaan diri dengan segala aspek di

dalamnya dapat digunakan sebagai prediktor

untuk mengukur perilaku menyontek, yaitu

semakin rendah tingkat kepercayaan diri

maka semakin tinggi kemungkinan perilaku

menyontek. Bentuk bentuk masalah tersebut

merupakan suatu fenomena yang bersumber

dari kecemasan yang berlebih dan

menyebabkan keyakinan diri siswa rendah.

Hal ini berkaitan dengan teori Bandura

tentang self-efficacy atau keyakinan terhadap

kemampuan diri sendiri.

Masih banyak guru yang enggan

menggunakan model pembelajaran inovatif

dan sering menggunakan metode

konvensional juga menjadi kendala.

Menurut penelitian Sadia (2008) model

pembelajaran yang paling dominan

digunakan adalah model ekspositori yang

menekankan pada kegiatan ceramah, diskusi

dan tanya jawab yang secara langsung

dilakukan oleh guru. Model pembelajaran

langsung juga hanya memperhatikan hasil

belajar siswa tanpa melihat proses

mendapatkan ilmu dan kontruksi

pengetahuan. Sehingga model pembelajaran

langsung menekankan pembelajaran yang

didominasi oleh guru / teacher centered

(Riyanto, 2010).

Materi ajar dalam kurikulum yang

berlaku dewasa ini juga cenderung

mengarah pada “science for scientist”

(Sadia, 2014). Materi ajar yang disajikan

masih terfokus pada kajian ontologi dan

epistimologinya. Hal ini berdampak pada

kecenderungan siswa belajar IPA hanya

untuk ujian atau ulangan. Pengajaran

klasikal jarang memberikan kesempatan

kepada siswa untuk berinteraksi dalam

masyarakat belajar (Adnyana, 2004).

Penerapan model pembelajaran langsung

berdampak pada rendahnya ketrampilan

berpikir kritis siswa karena tidak adanya

proses pelatihan ketrampilan seperti kaitan

antara pelajaran dengan dunia nyata dan

proses pemecahan masalah dalam kehidupan

sehari-hari.

Berbagai temuan indikator kualitas

pendidikan di Indonesia yang masih

tergolong rendah dengan tujuan pendidikan

nasional yang diharapkan menunjukan

adanya kesenjangan yang besar. Mengingat

pentingnya ketrampilan pemecahan masalah

dalam pembelajaran IPA serta untuk

mengurangi kecemasan siswa, maka

dipandang perlu untuk meningkatkan

ketrampilan proses sains utamanya

kemampuan pemecahan masalah yang

terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan

menumbuhkan kepercayaan diri (self-

efficacy) dalam pembelajaran. Salah satu

Page 21: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 103

cara yang dapat dilakukan adalah dengan

menerapkan model pembelajaran Sains

Teknologi Masyarakat (STM).

Sains Teknologi Masyarakat (STM)

merupakan suatu model pembelajaran yang

dapat dijadikan alternatif dalam pengelolaan

kelas dan pembelajaran. Menurut Suastra

(2009) bahwa pembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari kehidupan manusia, baik

sebagai individu maupun kelompok. Hampir

setiap aspek kehidupan masyarakat modern

dewasa ini akan bersentuhan langsung

dengan masalah-masalah yang mengandung

isu-isu sains, teknologi, dan masyarakat.

Menurut Sadia (2014) keuntungan model

STM dalam pembelajaran sains adalah

berlakunya model belajar kontruktivis.

Model pembelajaran ini menekankan pada

proses mendapatkan ilmu dan berbasis siswa

aktif (student centered) dan melatih

ketrampilan berfikir tingkat tinggi.

Ketrampilan tingkat tinggi juga dikaitkan

dengan pemecahan masalah, pembuatan

keputusan, ketrampilan berfikir kritis dan

berfikir kreatif (Costa, 1998).

Model pembelajaran STM akan

menggali isu-isu di masyarakat yang

disesuaikan dengan kemajuan IPTEK yang

dapat membuat siswa berfikir secara

komprehensif dan kritis dalam menemukan

solusi dan ide dalam memecahkan masalah

akan berpengaruh kepada self-efficacy siswa.

Bandura (1977) menyatakan bahwa self-

efficacy dapat mempengaruhi keberhasilan

diri, keberhasilan orang lain, feedback

positif dan keadaan emosi. Dalam proses

belajar dengan model STM siswa akan

dilatih menjadi pemecah masalah yang

handal dan secara tidak langsung akan

meningkatkan kepercayaan diri siswa

melalui sintaks yang ada dalam model STM.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian

quasi experiment (eksperimen semu) yang

membandingkan dua jenis model

pembelajaran yang berbeda yaitu model

pembelajaran STM dan model pembelajaran

DI, terhadap dua variabel terikat yaitu

kemampuan pemecahan masalah dan self-

efficacy siswa. Pada penelitian ini digunakan

desain penelitian Pretest- Posttest Non

Equivalent Control Group Design.

Populasi dalam penelitian ini adalah

siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Singaraja

tahun pelajaran 2016/2017. Sampel dalam

penelitian ini diambil dengan cara random

assignment. Teknik ini digunakan sebagai

teknik dalam pengambilan sampel di sekolah

karena individu pada populasi telah

terdistribusi ke dalam kelas tertentu

sehingga tidak memungkinkan untuk

melakukan pengacakan pada tingkat

individu.

Secara umum metode pengumpulan

data pada penelitian ini dikelompokkan

menjadi dua jenis yaitu metode utama dan

metode pelengkap. Berkaitan dengan

permasalahan yang dikaji pada penelitian ini

metode utama yang dimaksud adalah metode

tes. Metode tes digunakan untuk

mengumpulkan data tentang kemampuan

pemecahan masalah. Sedangkan, metode

pelengkap yaitu kuisioner yang digunakan

untuk memperoleh informasi tentang self

efficacy.

Instrumen yang digunakan untuk

mengukur kemampuan pemecahan masalah

siswa dengan menggunakan tes uraian

dengan lima indikator kemampuan

pemecahan masalah, yaitu

(1).Mengidentifikasi masalah,

(2).Merumuskan (menganalisis) masalah,

(3).Menemukan alternatif-alternatif solusi,

(4).Memilih alternatif solusi (terbaik),

(5)Kualitas hasil pemecahan masalah.

Instrumen untuk mengukur self

efficacy dengan menggunakan kuisioner

yang disusun sesuai dengan dimensi self

efficacy (level, strength, generality). Butir

kuisioner yang disusun akan berbentuk 2

komponen. Komponen 1 terkait dengan

materi pelajaran IPA, sedangkan yang

komponen 2 terkait dengan self efficacy

dalam belajar IPA.

RPP yang dikembangkan yaitu ada

dua model, masing masing model

pembelajaran yaitu sintaks model STM dan

sintaks model DI dengan aturan penggunaan

kurikulum 2013. Lembar kerja siswa dibuat

untuk memfasilitasi penerapan RPP yang

sudah diselipkan sintaks yang masing

masing yaitu sintaks STM, dan LKS dengan

sintaks DI.

Page 22: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 104

Sebelum digunakan sebagai alat dalam

pengambilan data perangkat pembelajaran

dan instrumen penelitian harus divalidasi

terlebih dahulu. Mekanisme perhitungan

validitas tersebut yaitu: 1) pakar menilai

setiap instrumen; (2) penilaian

dikelompokkan menjadi kurang relevan dan

sangat relevan; (3) hasil penilaian pakar

ditabulasi dalam bentuk matrik; (4)

melakukan tabulasi silang antara dua pakar;

(5) menghitung validitas isi.

Pada uji coba tes kemampuan

pemecahan masalah ini, dipakai empat

penilaian untuk menentukan kualitas tes

yang akan dipakai dalam pengambilan data

yaitu penentuan Indeks Daya Beda (IDB),

kesukaran butir tes, korelasi antar variabel,

konsistensi internal tes. Untuk kuisioner self-

efficacy digunakan tiga penilaian yaitu

validitas butir, reliabilitas, korelasi antar

variabel.

Uji prasyarat analisis digunakan untuk

mengetahui apakah data yang diperoleh

memenuhi syarat untuk dianalisis dengan

statistik parametrik atau tidak dengan

melakukan uji normalitas, homogenitas dan

korelasi antar variabel data sampel. Uji

hipotesis digunakan adalah uji F melalui

MANOVA (Multvariate Analysis of

Variance). Dalam hal ini digunakan bantuan

SPSS-PC 23.00 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan rumusan masalah dan

tujuan penelitian yang diharapkan, hasil dari

penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut.

Berdasarkan data pada tabel 1 di atas

maka dapat diketahui hasil uji hipotesis

dalam penelitian ini terbukti secara statistik

bahwa terdapat perbedaan kemampuan

pemecahan masalah dan self efficacy siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran STM dibandingkan

dengan kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran langsung (Direct

Instruction). Bedasarkan hasil uji statistik

analisis MANOVA dengan bantuan SPSS

23.00 for windows maka dapat diketahui

bahwa nilai F untuk Pillai’s Trace, Wilks’

Lambda, Hotelling's Trace, dan Roy’s

Largest Root sebesar 6,077 dengan nilai

signifikansi 0,004. Hal ini berarti bahwa H0

ditolak dan menerima Ha yang menyatakan

bahwa terdapat perbedaan kemampuan

pemecahan masalah dan self-efficacy siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran STM dibandingkan

dengan kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran langsung (Direct

Instruction). Hasil dari uji statistik

Tabel 1. Uji MANOVA

Efek Nilai F Hipotesis

db

galat

db Sig.

Intersep

Pillai's Trace 0,924 439,849 2,000 72,000 0,000

Wilks' Lambda 0,076 439,849 2,000 72,000 0,000

Hotelling's

Trace 12,218 439,849 2,000 72,000 0,000

Roy's Largest

Root 12,218 439,849 2,000 72,000 0,000

Model_Pembela

jaran

Pillai's Trace 0,144 6,077 2,000 72,000 0,004

Wilks' Lambda 0,856 6,077 2,000 72,000 0,004

Hotelling's

Trace 0,169 6,077 2,000 72,000 0,004

Roy's Largest

Root 0,169 6,077 2,000 72,000 0,004

Page 23: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 105

MANOVA ini juga didukung oleh hasil

analisis deskriptif dengan membandingkan

hasil nilai rata-rata gain score ternormalisasi

antara model pembelajaran STM dengan

model pembelajaran DI. Hasilnya adalah

bahwa nilai gain score STM lebih unggul

dari nilai gain score DI berturut-turut yaitu

0,53>0,48 pada variabel kemampuan

pemecahan masalah dan 0,55>0,41 pada

variabel self-efficacy.

Hasil Temuan dalam penelitian ini

juga sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Agustini, et al. (2013) yang

berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran

Sains Teknologi Masyarakat (STM)

terhadap Penguasaan Materi Dan

Keterampilan Pemecahan Masalah Siswa

Pada Mata Pelajaran IPA di Mts. Negeri

Patas” . Pada penelitian ini menunjukan

bahwa model pembelajaran sains teknologi

masyarakat dapat digunakan sebagai

alternatif model pembelajaran untuk

meningkatkan penguasaan materi dan

keterampilan pemecahan masalah. Model

STM juga memberikan kesempatan peserta

didik dalam menguasai setiap materi secara

sistematik dengan mengkontruksi sendiri

pengetahuan yang mereka dapatkan.

Agustini, et al. (2013) menyatakan bahwa

model STM dapat meningkatkan

ketrampilan kognitif dan melatihketrampilan

proses yang ada pada enam domain sains.

Hasil yang sama juga didapatkan

terkait dengan kemampuan pemecahan

masalah oleh D’zurilla et al.(1991)

melakukan penelitian dengan judul

“Relation between social problem-solving

ability and subsequent level of psychological

stress in college students”. Dalam penelitian

ini didapat bahwa terdapat hubungan

terbalik yang signifikan antara kemampuan

pemecahan masalah terhadap stres atau

tingkat frustasi siswa. Jika siswa dapat

memecahkan masalah-masalah sosial yang

dihadapinya, secara spontan tingkat stres

siswa berkurang, begitu pula sebaliknya.

Namun pada penelitian ini peneliti tidak

mencari hubungan antara self-efficacy

dengan kemampuan pemecahan masalah

karena dalam data statistik korelasi tidak

ditemukan adanya hubungan yang signifikan

jika kemampuan pemecahan masalahnya

tinggi akan meningkatkan self-efficacy.

Dengan demikian, kemampuan

pemecahan masalah dan self-efficacy siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran STM lebih baik

dibandingkan dengan kemampuan

pemecahan masalah dan self-efficacy siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran DI.

Tabel 2. Test Between of Subject Effect Kemampuan Pemecahan Masalah

Berdasarkan data pada table 2 di atas,

maka dapat diketahui bahwa nilai F sebesar

1,742 dengan signifikansi 0,019. Apabila

ditetapkan taraf signifikansi α=0,05, maka

nilai signifikansi lebih kecil daripada α

sehingga F signifikan. Hal ini berarti bahwa

H0 ditolak dan menerima Ha yang

menyatakan bahwa terdapat perbedaan

kemampuan pemecahan masalah siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran STM dibandingkan

dengan kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran langsung (Direct

Instruction).

Hasil dari analisis deskriptif juga

menunjukan bahwa rata-rata skor gain

ternormalisasi variabel kemampuan

pemecahan masalah untuk kelompok siswa

yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat

(STM) lebih baik dari kelompok siswa yang

dibelajarkan dengan model pembelajaran

Direct Instructions (DI). Nilai gain score

ternormalisasi untuk model pembelajaran

STM adalah 0,53 lebih tinggi dibandingkan

model pembelajran DI yaitu 0,48.

Hasil penelitian tersebut sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Riani

(2014) yang berjudul “Pengaruh Model

Source F Sig.

Corrected Model KPM 1,742 0,019

Page 24: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 106

pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat

(STM) dalam Pembelajaran Biologi

Bermuatan Karakter terhadap Ketrampilan

Berpikir kritis dan Kemampuan Pemecahan

Masalah Siswa SMA”. Pada penelitian ini

didapatkan bahwa skor rata-rata tes

kemampuan pemecahan masalah lebih tinggi

dengan gain score 0,581 untuk model

pembelajaran STM dari model pembelajaran

DI dengan rata-rata gain score 0,318. Pada

penelitian ini juga ditemukan hasil bahwa

pencapaian tiap indikator Kemampuan

Pemecahan Masalah untuk model

pembelajaran STM lebih baik dari model

pembelajaran langsung.

Kemampuan pemecahan masalah setiap

siswa berbeda-beda. Garreth (1986)

menyatakan metode pemecahan masalah

seseorang tidak hanya bergantung pada

tingkat kecerdasan seseorang, namun juga

dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman

pribadi dan situasi masalah masing masing

orang. Perbedaan nilai gain score pada kelas

eksperimen dan kelas kontrol menunjukan

adanya perbedaan pengalaman belajar yang

didapat seseorang, sehingga mempengaruhi

hasil pemecahan masalah. Kemampuan

pemecahan masalah juga dapat memberikan

pengalaman baru pada peserta didik.

Penelitian yang dilakukan Kirtikar (2010)

menyatakan bahwa pembelajaran dengan

pendekatan sains dapat memberikan konsep

ilmu yang penuh arti, tidak hanya mengerti

dalam konsep sehingga siswa memiliki

pemahaman mendalam.

Dengan demikian, kemampuan pemecahan

masalah siswa antara kelompok siswa yang

belajar dengan model pembelajaran STM

lebih baik dibandingkan dengan kemampuan

pemecahan masalah siswa antara kelompok

siswa yang belajar dengan model

pembelajaran DI.

Tabel 3. Test Between of Subject Effect Self-

efficacy

Source F Sig.

Corrected

Model

Self

efficacy 12,276 0,001

(3) Berdasarkan data pada tabel 3 di

atas, maka dapat diketahui bahwa nilai F

sebesar 12,276 dengan signifikansi 0,001.

Apabila ditetapkan taraf signifikansi α=0,05,

maka nilai signifikansi lebih kecil daripada α

sehingga F signifikan. Hal ini berarti bahwa

H0 ditolak dan menerima Ha yang

menyatakan bahwa terdapat perbedaan self-

efficacy siswa antara kelompok siswa yang

belajar dengan model pembelajaran STM

dibandingkan dengan kelompok siswa yang

belajar dengan model pembelajaran

langsung (Direct Instruction).

Hasil dari analisis deskriptif juga

menunjukan bahwa rata-rata skor gain

ternormalisasi variabel self-efficacy untuk

kelompok siswa yang dibelajarkan dengan

model pembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat (STM) lebih baik dari kelompok

siswa yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran Direct Instructions (DI). Nilai

gain score ternormalisasi untuk model

pembelajaran STM adalah 0,55 lebih tinggi

dibandingkan model pembelajran DI yaitu

0,41.

Self-efficacy juga menjadi faktor

penentu dalam pencapaian akademik siswa.

Motlagh., et al. (2011) menyatakan bahwa

self-efficacy menjadi faktor untuk

mengevaluasi pencapaian akademik. Hal ini

berarti bahwa self-efficacy dapat

meningkatkan prestasi siswa.

Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Ulantari (2014)

yang berjudul “Pengaruh Model

Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat

Lingkungan (STML) dalam pembelajaran

kimia Terhadap Ketrampilan berfikir kritis

dan self-efficacy siswa SMA”. Dalam

penelitiannya tersebut didapatkan perbedaan

yang signifikan hasil self-efficacy siswa

yang belajar dengan model STML dengan

F=76,903; p<0,05. Penelitian yang

dilakukan oleh Widiarsana (2012) yang

berjudul “Pengaruh Model Siklus Belajar 7E

Terhadap Pemahaman Konsep dan Self-

efficacy Siswa dalam pembelajaran Fisika”

self efficacy juga berpengaruh positif

terhadap model pembelajaran 7-E. Dalam

penelitian tersbut juga didapatkan ada

perbedaan self-efficacy antara siswa yang

belajar dengan model MSB-7E lebih baik

daripada menggunakan MPK dengan nilai F

yaitu 38,385 dan p<0,05. Model

pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-

Share juga dapat mempengaruhi self-efficacy

siswa dan juga dipengaruhi oleh gender. Hal

Page 25: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 107

ini dibuktikan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Nuyami (2013). Dalam

penelitiannya tersebut didapatkan adanya

perbedaan self-efficacy siswa yang

dibelajarakan dengan model TPS dengan

model konvensional dengan nilai F=21,572 ;

p<0,05. Dan terdapat perbedaan self-efficacy

siswa laki-laki dan perempuan dengan

F=12,667; p<0,05).

Dengan demikian, self-efficacy siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran STM lebih baik

dibandingkan dengan self-efficacy siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran DI.

Dengan demikian, self-efficacy siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran STM lebih baik

dibandingkan dengan self-efficacy siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran DI.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis

dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, terdapat perbedaan

kemampuan pemecahan masalah dan self-

efficacy siswa antara kelompok siswa yang

belajar dengan model pembelajaran STM

dibandingkan dengan kelompok siswa yang

belajar dengan model pembelajaran

langsung (Direct Instruction) dengan rata-

rata nilai gain score STM lebih unggul dari

nilai gain score DI berturut-turut yaitu

0,53>0,48 pada variabel kemampuan

pemecahan masalah dan 0,55>0,41 pada

variabel self-efficacy.

Kedua, terdapat perbedaan

kemampuan pemecahan masalah siswa

antara kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran STM dibandingkan

dengan kelompok siswa yang belajar dengan

model pembelajaran langsung (Direct

Instruction) dengan rata-rata skor gain

ternormalisasi variabel kemampuan

pemecahan masalah untuk kelompok siswa

yang dibelajarkan dengan model

pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat

(STM) lebih baik dari kelompok siswa yang

dibelajarkan dengan model pembelajaran

Direct Instructions (DI). Nilai gain score

ternormalisasi untuk model pembelajaran

STM adalah 0,53 lebih tinggi dibandingkan

model pembelajran DI yaitu 0,48.

Ketiga, terdapat terdapat perbedaan

self-efficacy siswa antara kelompok siswa

yang belajar dengan model pembelajaran

STM dibandingkan dengan kelompok siswa

yang belajar dengan model pembelajaran

langsung (Direct Instruction) dengan nilai

gain score ternormalisasi untuk model

pembelajaran STM adalah 0,55 lebih tinggi

dibandingkan model pembelajran DI yaitu

0,41.

Berdasarkan temuan - temuan tersebut

dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh

model pembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat (STM) lebih baik dari

pembelajaran Direct instructions (DI)

terhadap kemampuan pemecahan masalah

dan self-efficacy.

Berdasarkan simpulan penelitian yang

telah dipaparkan, maka dapat diajukan

beberapa saran guna peningkatan kualitas

pembelajaran IPA sebagai berikut.

1) Hasil penelitian menunjukan bahwa

kemampuan pemecahan masalah dan

self- efficacy siswa antara kelompok

siswa yang belajar dengan model

pembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat (STM) lebih unggul

dibandingkan dengan kelompok siswa

yang belajar dengan model pembelajaran

langsung (Direct Instruction). Maka dari

itu, penting diperkenalkan model

pembelajaran ini agar terwujud proses

pembelajaran yang bemakna sehingga

mampu meningkatkan keinginan siswa

untuk belajar.

2) dari hasil penelitian ini, dapat disarankan

untuk menggunakan model

pembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat (STM) sebagai alternatif

model pembelajaran guna memberi

inovasi dalam proses pembelajaran

sehingga mampu meningkatkan kualitas

hasil belajar IPA.

3) Untuk penyempurnaan penelitian ini,

disarankan kepada peneliti lain untuk

mengadakan penelitian lanjutan dengan

melibatkan variabel-variabel lain.

Page 26: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 108

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih penulis ucapkan kepada

Prof. Dr. Putu Budi Adnyana, M.Si., dan

Prof. Dr. Ketut Suma, MS., selaku

pembimbing yang telah memberikan

bimbingan, waktu, saran, masukan, dan

motivasi dalam proses penyusunan artikel

ini. Juga kepada bapak dan ibu dan teman-

teman yang telah banyak membantu dan

yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

penulis hanya dapat mendoakan semoga

Tuhan Yang Maha Esa senantiasa

melindungi dan membalas atas budi baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana. P.B. 2004. Pengembangan Model

Pembelajaran Kooperatif Bermodul

yang berwawasan Sains Teknologi

Masyarakat (STM) dan Pengaruh

Implementasinya terhadap Hasil

Belajar Biologi Siswa SMA di

Singaraja. Disertasi. Universitas

Negeri Malang.

Agustini, D., Subagia, I W., & Suardana, I

N. 2013. “Pengaruh Model

Pembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat (STM) terhadap

Penguasaan Materi dan Keterampilan

Pemecahan Masalah Siswa pada Mata

Pelajaran Ipa Di Mts. Negeri Patas”.

E-Journal Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Ganesha. 3 (

): 1-10.

Autieril. S. M., Amirshokoohi, A., &

Kazempour, M. 2016. “The science-

technology-society framework for

achieving scientific literacy: an

overview of the existing literature”.

European Journal of Science and

Mathematics Education. 4(1): 75-89.

Britner. S. L., & Pajares. P. 2004. “Self-

efficacy beliefs, Motivation, Race, and

Gender in Middle School Science”.

Journal of Woman and Minorities in

Science and engineering. 7(4): 1-15

Costa, A. L (ed). 1998. Developing Minds

Resource Book for Teaching Thinking.

Alexandria: ASCD.

D’Zurilla, T. J., Sheedy, J., & Collete, F.

1991. “Relation between Social

Problem Solving Ability and

Subsequent Level of Psycological

Stress in College Student”. Journal of

Personality and Social Psycology. 61

(5): 841-846.

Finn. K.V. 2004. “Academic Perfomance

and Cheating: Moderating Role of

School Identification and Self-

efiicacy”. The Journal of Education

Research. 97(3): 115-121.

Garrett, R.M. 1986. “Problem-solving in

Science Education”. Studies in Science

Education. 13(1): 70-95.

Joyce, B. 2009. Models of Teaching.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Khan, M. W. 2008. “The importance of

education”. Tersedia pada

http://www.alrisala.org/Articles/mailin

g_list/importance_of_education.html.

(Diakses tanggal 12 Nopember 2016).

Kirtikar, R. 2010. “A Problem-solving

Approach for Science Learning”. New

perspective in Science Education”. 7

(2): 1-4.

Kushartanti, A. 2009. “Perilaku Menyontek

ditinjau dari Kepercayaan Diri”.

Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala

Psikologi. 11(2): 38-46.

Marsigit, P. D. 2012. “Educational

Paradigm”. Tersedia pada

http//:powermathematics.edu/2012/12/

educational-paradigm.html (Diakses

tanggal 14 Nopember 2016).

Mbajiorgu N. M. 2002. “Relationship

between STS Approach, Scientific

Literacy, and Achievement in

Biology”. Science Educations Journal.

87 ( ): 1-7.

Motlagh, S. E., Amrai, K., Yazdani, M. J.,

Abderahim, H., & Souri, H. 2011.

“The Relationship between Self-

efficacy and Academic Achievement

in High School Students”. Procedia

Social and Behavioral Sciences. 15 ( ):

765-768.

Nuyami, N. M. S. 2013. Pengaruh Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-

Pair-Share terhadap Self-efficacy

Siswa SMP ditinjau dari Gender.

Tesis (tidak diterbitkan). Program

Page 27: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 109

Studi Pendidikan Sains Pascasarjana,

Undiksha.

Pamela, A. S. “Believing is Achieving: The

Implications of Self-Efficacy Research

for Family and Consumer Sciences

Education”. Research Applications In

Family And Consumer Sciences. 4(2):

143-152.

Riani, E. D. 2014. Pengaruh Model

Pembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat (STM) Dalam

Pembelajaran Biologi Bermuatan

Karakter terhadap Ketrampilan

Berpikir Kritis dan Kemampuan

Pemecahan Masalah Siswa SMA.

Tesis (tidak diterbitkan). Program

Studi Pendidikan Sains Pascasarjana,

Undiksha.

Saad N.G. 2005. “The Sources of

Pedagogical Content Knowledge

(PCK)”. Universiti Pendidikan Sultan

Idris. 4(2): 1-8.

Sadia, I W. 2014. Model-model

Pembelajaran Sains Kontruktivistik.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Salim. A (Ed). 2010. Trend Prestasi

Matematika dan IPA pada TIMSS

Tahun 1999, 2003 dan 2007, Jakarta:

Pusat Penilaian Pendidikan Badan

Penelitian dan Pengembangan

Kementrian Pendidikan Nasional.

Schunk, D. H. (1995). “Self-efficacy,

motivation, and performance”.

Journal of Applied Sport Psychology.

7(2): 112-137.

Selcuk, G. S., Caliskan, S., & Erol, M. 2008.

“The effect of Problem-solving

Instruction and strategy use”.

American Journal Education. 2(3):

151-166.

Sismanto. 2007. “Menakar Integrasi IPA

dalam KTSP”. Tersedia pada http://re-

searchengines.com/0707sismanto.html

. (Diakses tanggal 9 Nopember 2016).

Sudiarta. 2007. “Pengembangan

Pembelajaran Berpendekatan Tematik

Berorientasi Pemecahan Masalah

untuk Mengembangkan Kompetensi

Berpikir Divergen, Kritis dan Kreatif”.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.

Tersedia pada www.depdiknas.co.id

(Diakses tanggal 14 Mei 2017).

Sujanem, R. 2006. “Optimalisasi

Pendekatan STM Dengan Strategi

Belajar Berbasis Masalah dalam

Pembelajaran Fisika Sebagai Upaya

Mengubah Miskonsepsi,

Meningkatkan Literasi Sains dan

Teknologi Siswa”. Jurnal Pendidikan

dan Pengajaran IKIP Negeri

Singaraja. ISSN 02158250 :249-263.

Suma, K. 2004. “Peningkatan Profesional

Guru Sains”.Jurnal Pendidikan dan

Pengajaran IKIP Negeri Singaraja.37(

): 68-77.

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme

dalam Pendidikan. Yogyakarta:

Kanisius.

Ulantari, N. W. N. 2014. Pengaruh Model

Pembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat Lingkungan (STML)

dalam Pembelajaran Kimia terhadap

Ketrampilan Berpikir Kritis dan Self-

efficacy Siswa SMA. Tesis (tidak

diterbitkan). Program Studi

Pendidikan Sains Pascasarjana,

Undiksha.

Unesco. 2016. Global Education Monitoring

Report. Edisi Ke-2. Paris: UNESCO

Publishing.

Widiarsana, K. S. 2012. Pengaruh Model

Siklus Belajar 7E Terhadap

Pemahaman Konsep dan Self-efficacy

Siswa dalam pembelajaran Fisika.

Tesis (tidak diterbitkan). Program

Studi Pendidikan Sains Pascasarjana,

Undiksha.

Page 28: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 110

EVALUASI DISKREPANSI TERHADAP IMPLEMENTASI PENDEKATAN

SAINTIFIK PADA MUATAN PELAJARAN PKn TEMA CITA-CITAKU

DI KELAS IV SD SE-KECAMATAN DENPASAR TIMUR

Ni Wayan Widyaningsih

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diskrepansi terhadap implementasi pendekatan

saintifik pada muatan pelajaran PKn tema Cita-Citaku di kelas IV SD se-Kecamatan Denpasar

Timur. Penelitian ini merupakan penelitian evaluatif dengan model diskrepansi. Populasi dalam

penelitian ini adalah guru kelas IV SD di Kecamatan Denpasar Timur yang terdiri dari 6 gugus

dan terdapat 36 sekolah. Sampel diambil dengan teknik multistage random sampling. Data yang

dikumpulkan adalah perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pembelajaran, data persepsi guru

dan hasil belajar PKn. Data perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pendekatan saintifik

dikumpulkan dengan rubrik observasi, data persepsi guru terhadap pendekatan saintifik

dikumpulkan dengan kuesioner, serta data hasil belajar PKn dikumpulkan dengan pencatatan

dokumen. Data dianalisis dengan statistik deskriptif kuantitatif dan korelasi product moment.

Diskrepansi yang terjadi terkait dengan perencanaan pembelajaran berpendekatan Saintifik pada

muatan pelajaran PKn sebesar 32.97 dengan kategori kecil , diskrepansi yang terjadi terkait

dengan pelaksanaan pembelajaran berpendekatan saintifik pada muatan pelajaran PKn sebesar

40,19 dengan kategori sedang, diskrepansi yang terjadi terkait dengan penilaian pembelajaran

berpendekatan Saintifik pada muatan pelajaran PKn sebesar 38.21 dengan kategori kecil,

diskrepansi terhadap implementasi pembelajaran berpendekatan saintifik pada muatan pelajaran

PKn sebesar 37.13 dalam kategori kecil, persepsi guru terhadap pendekatan saintifik sebesar

73.33 dengan kategori baik, hasil belajar PKn siswa kelas IV sebesar 77.34 dengan kategori baik,

serta kontribusi kualitas pengelolaan pembelajaran berpendekatan saintifik terhadap hasil belajar

PKn adalah signifikan dengan koefisien determinasi sebesar 0.41 dan termasuk korelasi sedang.

Kata kunci: diskrepansi, evaluasi, pendekatan saintifik

ABSTRACT

This thesis aims to determine discrepancy towards implementation of scientific approach on PKn

lesson under theme My dream in grade IV of SD in Denpasar Timur district. This thesis was

evaluative research using discrepancy model. Population of this research was teacherof grade IV

of SD in Denpasar Timur district which consisted of 6 gugus in 36 schools. Sample was taken by

using multistage random sampling technique. The collected data was planning, procces and

lesson assessment, taken from teacher perception data, learning result of PKn. Teacher

perception data towards scientific approach was collected by questionnaire, planning data,

implementation and scientific approach assessment were collected by observation rubric and

learning result of PKn was collected by document recording. Data were analysed by using

statistic descriptive quantitative and correlation product moment. Research result shows that

discrepancy related to planning of learning process towards scientific of PKn is 32.97 as small

category, the discrepancy that related to learning procces towards scientific approach in PKn

lesson is 40.19 as regular category, the discrepancy that related to learning assessment towards

scientific approach on PKn lesson is 38.21 as small category, discrepancy towards

implementation of scientific approachon PKn lesson is 37,13 as small category, teacher’s

perception towards scientific approach is 73.33 as good category, learning result of PKn in grade

Page 29: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 111

IV is 77.34 as good category and the contribution of quality management of learning process

using scientific towards learning result of PKn is significant with coefficient determination as

0,41 and it belongs to regular correlation.

Keywords : discrepancy, evaluation, scientific approach

PENDAHULUAN

Di era globalisasi, pendidikan

dituntut menghasilkan lulusan-lulusan atau

Sumber Daya Manusia (SDM) yang

berkualitas. Salah satu usaha yang dilakukan

pemerintah untuk menghasilkan SDM yang

berkualitas dan menyesuaikan

perkembangan zaman adalah melakukan

pengembangan kurikulum. Pada tahun 2013

dilakukan pengembangan kurikulum di

Indonesia. Dari kurikulum KTSP menjadi

kurikulum 2013.

Kurikulum 2013 mendefinisikan

Standar Kompetensi Lulusan (SKL)

mengenai kualifikasi kemampuan lulusan

yang mencakup sikap, pengetahuan dan

keterampilan. Acuan dan prinsip

penyusunan kurikulum 2013 mengacu pada

pasal 36 Undang-undang No. 20 tahun 2003

yang menyatakan bahwa penyusunan

kurikulum harus memperhatikan

peningkatan iman dan takwa; peningkatan

akhlak mulia; peningkatan potensi,

kecerdasan dan minat siswa; keragaman

potensi daerah dan lingkungan; tuntutan

pembangunan daerah dan nasional; tuntutan

dunia kerja; perkembangan ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni; agama;

dinamika perkembangan global dan

persatuan nasional dan nilai-nilai

kebangsaan.

Tujuan pembelajaran menurut

kurikulum 2013 disesuaikan dengan tujuan

pendidikan nasional yang dinyatakan pada

pasal 3 UU No 20 tahun 2003, yakni : “

Berkembangnya potensi siswa agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan

menjadi warga Negara yang demokratis

serta bertanggung jawab”. Berdasarkan pada

landasan yuridis tersebut, dapat

dikatagorikan hasil belajar yang dicapai oleh

siswa, meliputi sikap spiritual (beriman dan

bertakwa kepaa Tuhan Yang Maha Esa),

Sikap Sosial (Berakhlak mulia, sehat

mandiri dan demokratis serta bertanggung

jawab, pengetahuan (berilmu) dan

keterampilan (cakap dan kreatif).

Pembelajaran dalam kurikulum 2013

menekankan pada dimensi pedagogik

modern yaitu dengan menggunakan

pendekatan Saintifik. Pembelajaran melalui

pendekatan saintifik adalah proses

pembelajaran yang dirancang sedemikian

rupa agar peserta didik secara aktif men-

gonstruksi konsep, hukum atau prinsip

melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk

mengidentifikasi atau menemukan masalah),

merumuskan masalah, mengajukan atau

merumuskan hipotesis, mengumpulkan data

dengan berbagai teknik, menganalisis data,

menarik kesimpulan dan mengomunikasikan

konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan.

Pendekatan ilmiah memiliki komponen

proses pembelajaran antara lain mengamati,

menanya, mencoba/mengumpulkan

informasi, menalar/asosiasi, dan membentuk

jejaring/melakukan komunikasi (Sani, 2014 :

53).

Tujuan pembelajaran dengan

pendekatan saintifik didasarkan pada

keunggulan pendekatan tersebut, antara lain:

(1) meningkatkan kemampuan intelek,

khususnya kemampuan berpikir tingkat

tinggi, (2) untuk membentuk kemampuan

siswa dalam menyelesaikan suatu masalah

secara sistematik, (3) terciptanya kondisi

pembelajaran dimana siswa merasa bahwa

belajar itu merupakan suatu kebutuhan, (4)

diperolehnya hasil belajar yang tinggi, (5)

untuk melatih siswa dalam

mengomunikasikan ide-ide, khususnya

dalam menulis artikel ilmiah, dan (6) untuk

mengembangkan karakter siswa

Page 30: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 112

Keberhasilan suatu kurikulum dalam

meningkatkan kualitas dan mutu sumber

daya manusia tidak dipungkiri sangat

ditentukan oleh pelaksana kurikulum

tersebut yaitu guru. Untuk dapat

mengimplementasikan pendekatan saintifik

dalam perencanaan pembelajaran, proses

pembelajaran maupun hasil belajar guru

harus memiliki pemahaman terlebih dahulu

mengenai hal tersebut. Menurut penelitian

yang diadakan oleh Puslitbang Kebudayaan

pada tahun 2013, pada jenjang sekolah

dasar, dari 175 guru sasaran, 94,86 %

memahami dengan baik mengenai buku teks

pegangan guru dan 96.00% memahami

dengan baik mengenai buku siswa.

Pemahaman mengenai buku guru dan buku

siswa memegang peranan yang penting

dalam perencanaan pembelajaran berbasis

pendekatan saintifik. Sedangkan untuk

pemahaman pelaksanaan pembelajaran

berbasis pendekatan saintifik, dari 175 guru

sasaran, 90.86% menunjukkan pemahaman

yang baik tentang pendekatan saintifik.

Dalam hal penilaian, diteliti pemahaman

guru tentang penilaian otentik karena

penilaian otentik merupakan penilaian yang

sesuai untuk menilai pembelajaran yang

menggunakan pendekatan saintifik. Dalam

pemahaman mengenai penilaian hasil

pembelajaran, dari 175 guru sasaran 88%

guru menunjukkan pemahaman yang baik.

Dari hasil penelitian diatas, diketahui

bahwa dalam tiga aspek implementasi

kurikulum 2013 yang berbasis pendekatan

saintifik, pemahaman guru sudah

menunjukkan kategori baik. Namun, setelah

Kurikulum 2013 secara serentak mulai

diberlakukan di seluruh Indonesia pada

tahun pelajaran 2014/2015, pemerintah

mengeluarkan surat edaran menteri yang

ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya

Permendikbud Nomor 160 Tahun 2014

tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun

2006 dan Kurikulum 2013. Permendikbud

Nomor 160 Tahun 2014 menyebutkan

bahwa satuan pendidikan dasar dan

pendidikan menengah yang telah

melaksanakan Kurikulum 2013 sejak

semester pertama pada Tahun Pelajaran

2014/2015 kembali melaksanakan

Kurikulum Tahun 2006 mulai semester

kedua selama Tahun Pelajaran 2014/2015

sampai ada ketetapan dari Kementerian

untuk melaksanakan Kurikulum 2013.

Sedangkan satuan pendidikan dasar dan

pendidikan menengah yang telah

melaksanakan Kurikulum 2013 selama tiga

semester tetap menggunakan Kurikulum

2013. Sekolah-sekolah tersebut merupakan

sekolah rintisan penerapan Kurikulum 2013.

Adanya perubahan peraturan diatas

mengindikasikan bahwa masih ada kendala-

kendala dalam pelaksanaan kurikulum 2013

yang perlu dikaji ulang. Seperti

dikemukakan dalam penelitian Bintari

(2014) yang menemukan bahwa kendala

yang dihadapi guru dalam pelaksanaan

pendekatan saintifik dalam pembelajaran

adalah pada menyesuaikan alokasi waktu

yang diberikan dengan materi yang ada.

Materi pembelajaran sangat kompleks

namun waktu yang diberikan terbatas.

Selain itu masalah lainnya juga disebutkan

bahwa contoh - contoh yang diberikan dalam

buku pegangan siswa kurang kontekstual

sehingga menyulitkan siswa dalam

memahami materi pelajaran.

Selain itu, secara khusus Nodyanto

(2015) dalam penelitiannya mengkaji

implementasi pendekatan saintifik dalam

suatu muatan pelajaran yaitu muatan

pelajaran PKn. Penelitian tersebut

mengungkapkan bahwa guru sudah

menunjukkan pemahaman yang cukup

tentang pendekatan saintifik namun masih

perlu ditingkatkan berkaitan dengan

pemilihan model-model pembelajaran yang

tepat sesuai dengan pendekatan saintifik.

Perencanaan pembelajaran yang dibuat oleh

guru dalam pebelajaran PKn pada umumnya

sudah menggambarkan pendekatan saintifik

namun belum maksimal terutama pada

kegiatan menanya. Pada proses

pembelajaran dengan pendekatan saintifik

sudah dilaksanakan oleh guru tetapi belum

maksimal, yaitu kegiatan menanya pada

pertemuan pertama semua guru tidak

melaksanakannya. Selain itu tidak terlihat

guru menggunakan media pembelajaran

serta instrument penilaian. Penilaian masih

terbatas pada kegiatan meluruskan,

memperkuat, dan memberikan apresiasi

terhadap presentasi yang dilakukan siswa.

Bertalian dengan penelitian Nodyanto,

Ananda (2014) mengungkapkan bahwa

Page 31: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 113

faktor penghambat implementasi pendekatan

saintifik dalam pembelajaran PKn adalah

terkait dengan mempersiapkan materi-materi

dan kelengkapan pembelajaran yang relatif

lebih lama dibanding kurikulum

sebelumnya, kurangnya fasilitas dan sumber

belajar untuk pengayaan siswa, mindset

orang tua dan sebagian guru yang tidak

menginginkan model Kurikulum 2013

dengan tematik integratifnya, serta kendala

dalam mengendalikan antusiasme dan

motivasi belajar siswa.

Selain itu, berdasarkan observasi awal

pada sekolah dasar di Kecamatan Denpasar

Timur, guru masih merasa kesulitan dalam

pelaksanaan pendekatan saintifik pada uatan

pelajaran PKn terutama dalam memfasilitasi

kegiatan menanya dan mencoba. Dalam dua

kegiatan tersebut siswa masih kurang aktif

dalam pembelajaran. Selain itu guru juga

kurang memahami dalam melakukan

penilaian pembelajaran. Guru kurang

memahami cara melakukan penilaian

autentik dan cara membuat instrumen untuk

penilaian autentik.

Adanya temuan-temuan mengenai

kelemahan dan hambatan implementasi

pendekatan saintifik dalam pembelajaran

khususnya muatan pelajaran PKn ini

mengindikasikan perlunya tindak lanjut

dengan melakukan evaluasi program.

Divayana (2017) menyatakan evaluasi

adalah aktivitas mengumpulkan,

menganalisis dan memberi makna terhadap

informasi dari suatu obyek yang dievaluasi,

yang mana hasil dari proses evaluasi tersebut

digunakan sebagai bahan pertimbangan

dalam pengambilan keputusan yang tepat,

akurat, dan reliable. Obyek evaluasi yang

dimaksud adalah implementasi pendekatan

saintifik. Aspek yang perlu dievaluasi seperti

perencanaan, pelaksanaan dan penilaian

pembelajaran yang menggunakan

pendekatan saintifik. Perencanaan,

pelaksanaan dan penilaian pendekatan

saintifik yang terjadi di lapangan

dibandingkan dengan kriteria implementasi

pendekatan saintifik sesuai Standar Proses

Kurikulum 2013.

Untuk tujuan evaluasi tersebut,

model evaluasi yang tepat digunakan adalah

model evaluasi diskrepansi. Model evaluasi

diskrepansi yakni evaluasi terhadap tingkat

kesesuaian antara standar yang sudah

ditentukan dalam program dengan

penampilan aktual dari program tersebut

(Marhaeni, 2007). Artinya, mencari

kesenjangan antara kondisi ideal

implementasi pembelajaran berpendekatan

saintifik dengan kondisi nyata yang terjadi di

lapangan. Kondisi ideal implementasi

pembelajaran berpendekatan saintifik

beracuan pada Standar Proses Pembelajaran

No 22 tahun 2016.

Adapun tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui

diskrepansi yang terjadi terkait dengan

perencanaan pembelajaran berpendekatan

Saintifik pada muatan pelajaran PKn; 2)

Untuk mengetahui diskrepansi yang terjadi

terkait dengan pelaksanaan pembelajaran

berpendekatan Saintifik pada muatan

pelajaran PKn; 3) Untuk mengetahui

diskrepansi yang terjadi terkait dengan

penilaian pembelajaran berpendekatan

Saintifik pada muatan pelajaran PKn;

4)Untuk mengetahui diskrepansi yang terjadi

terkait implementasi pembelajaran

berpendekatan saintifik pada mata pelajaran

PKn; 5) Untuk mengetahui persepsi guru

tentang implementasi pendekatan saintifik

pada muatan pelajaran PKn; 6) Untuk

mengetahui pencapaian hasil belajar PKn

siswa yang dibelajarkan menggunakan

pendekatan saintifik; 7)Untuk mengetahui

Kontribusi kualitas pengelolaan proses

pembelajaran berpendekatan saintifik

terhadap hasil belajar PKn .

METODE

Desain penelitian adalah penelitian

kebijakan jenis evaluasi program. Program

yang di evaluasi adalah Pendekatan Saintifik

pada Kurikulum 2013 di sekolah dasar .

Model evaluasi program yang digunakan

adalah model diskrepansi. Evaluasi model

diskrepansi dimaksudkan untuk mengetahui

tingkat kesesuaian antara standar yang sudah

ditentukan dalam program dengan

penampilan aktual (di lapangan) dari

program tersebut

Populasi dalam penelitian ini adalah

guru kelas IV SD di Kecamatan Denpasar

Timur yang terdiri dari 6 gugus dan terdapat

36 sekolah. Sampel diambil dengan teknik

multistage random sampling. Didapatkan 15

Page 32: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 114

orang guru kelas IV sebagai sampel. 15

orang guru ini berasal dari 10 sekolah dasar

yaitu 4 sekolah di gugus I Gusti Ngurah Rai,

3 sekolah di gugus Srikandi dan 3 sekolah di

gugus Dewi Sartika

Dalam penelitian ini metode

pengumpulan data menggunakan metode

kuesioner, observasi dan pencatatan

dokumen.

Metode Kuesioner dalam penelitian

ini digunakan untuk mengambil data

penelitian terkait persepsi guru terhadap

pendekatan saintifik. Kuesioner yang

digunakan berupa pertanyaan tertutup. Yang

dimaksud pertanyaan tertutup adalah

pertanyaan yang mengharapkan responden

untuk memilih salah satu alternatif jawaban

dari setiap pertanyaan yang telah tersedia.

Metode Observasi dalam penelitian ini

digunakan untuk mengambil data terkait

perencanaan pembelajaran berpendekatan

saintifik, pelaksanaan pembelajaran

berpendekatan saintifik dan penilaian

pembelajaran berpendekatan saintifik. Untuk

data kualitas pengelolaan pembelajaran

berpendekatan saintifik akan menggunakan

gabungan data hasil observasi perencanaan,

pelaksanaan dan penilaian pembelajaran

berpendekatan saintifik. Instrumen observasi

yang digunakan adalah instrumen observasi

format APKG (Alat Penilaian Kemampuan

Guru). APKG disusun berdasarkan acuan

kriteria perencanaan pembelajaran yang

terdapat dalam Permendikbud No 22 Tahun

2016 .

Pencatatan dokumen dalam penelitian

ini pencatatan dokumen digunakan untuk

mengambil data terkait hasil belajar PKn

siswa pada tema Cita-Citaku, sehingga

dokumen yang dimaksud adalah daftar nilai

PKn siswa kelas IV pada tema Cita-Citaku

dari guru yang dijadikan sampel penelitian.

Analisis data dalam penelitian ini

menggunakan statistik deskriptif kuantitatif

dan analisis korelasi product moment.

Data terkait persepsi guru,

kemampuan guru dalam melakukan

perencanaan, pelaksanaan dan penilaian

pembelajaran berpendekatan saintifik serta

hasil belajar PKN siswa yang terkumpul

terlebih dahulu dicari rerata, dan nilai

tengahnya. Dalam deskriptif kuantitatif ini

data hasil penelitian diubah kedalam data

persentil kemudian dikonversikan kedalam

tabel lima kriteria dari Guilford dengan

penyesuaian sebagai berikut.

Tabel 1. Kriteria Kemampuan Guru

No Kriteria

Penguasaan (%)

Keterangan

1 80 < M ≤ 100 Sangat Baik

2 60 < M ≤ 80 Baik

3 40 < M ≤ 60 Cukup

4 20 < M ≤ 40 Kurang

5 0 < M ≤ 20 Sangat Kurang

Guilford dengan modifikasi (dalam

Candiasa, 2010).

Sedangkan untuk analisis data hasil

observasi yang menunjukkan adanya

diskrepansi dalam perencanaan, pelaksanaan

dan penilaian pembelajaran berpendekatan

saintifik, data akan dikonversi dalam kriteria

Guilford dengan modifikasi sebagai berikut.

Tabel 2. Kriteria Diskrepansi

No Kriteria

Diskrepansi (%)

Keterangan

1 0 < D ≤ 20 Sangat Kecil

2 20 < D ≤ 40 Kecil

3 40 < D ≤ 60 Sedang

4 60 < D ≤ 80 Besar

5 80 < D ≤ 100 Sangat Besar

Guilford dengan modifikasi (dalam

Candiasa, 2010)

Analisi dengan uji product moment

di gunakan untuk menganalisis kontribusi

kualitas pengelolaan pembelajaran

berpendekatan saintifik terhadap hasil

belajar PKn siswa. Sebelum dilakukan uji

hipotesis dengan analisis product moment,

terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat

analisis yaitu uji normalitas sebaran data

dengan uji Liliefors serta uji linieritas dan

keberartian arah regresi dilakukan dengan

uji F.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Penelitian ini menganalisis

kesenjangan yang terjadi dalam imlementasi

pendekatan saintifik berdasarkan Standar

Proses Nomor 22 tahun 2016.

Rerata skor kemampuan guru dalam

perencanaan pembelajaran berpendekatan

saintifik sebesar 67,03 dengan kategori baik,

Page 33: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 115

dalam pelaksanaan pembelajaran

berpendekatan saintifik sebesar 59,81

dengan kategori cukup baik, dan dalam

penilaian pembelajaran berpendekatan

saintifik sebesar 61,79 dengan kategori baik.

Sehingga secara keseluruhanrerata skor

kemampuan guru dalam implementasi

pembelajaran berpendekatan saintifik

sebesar 62,83 dengan kategori baik

Diskrepansi yang terjadi dalam

perencanaan pembelajaran berpendekatan

saintifik sebesar 32, 97 termasuk kategori

kecil, diskrepansi yang terjadi dalam

pelaksanaan pembelajaran berpendekatan

saintifik sebesar 40,19 dengan kategori

sedang dan Diskrepansi yang terjadi dalam

pelaksanaan pembelajaran berpendekatan

saintifik sebesar 38,21 dengan kategori

kecil. Sehingga secara keseluruhan

diskrepansi yang terjadi dalam implementasi

pembelajaran berpendekatan saintifik

sebesar 37,17 dengan kategori kecil.

Persepsi guru tentang implementasi

pendekatan saintifik pada mata pelajaran

PKn tema Cita-Citaku di kelas IV SD se

Kecamatan Denpasar Timur sebesar 73,33

termasuk kategori baik.

Pencapaian hasil belajar PKn siswa

yang dibelajarkan menggunakan pendekatan

saintifik pada tema Cita-Citaku di kelas IV

SD se Kecamatan Denpasar Timur adalah

77.34 dengan kategori baik.

Pengelolaan Proses Pembelajaran

Berpendekatan Saintifik berkontribusi

terhadap terhadap Hasil Belajar Pkn siswa

(rxy = 0,64 > rtabel = 0,514). Dengan

koefisien determinasi 0,41 pada kategori

sedang.

Pembahasan

Dalam perencanaan pembelajaran

berpendekatan saintifik guru kelas IV SD di

Kecamatan Denpasar Timur sudah

menunjukkan kemampuan yang baik

sehingga diskrepansi yang terjadi dalam

perencanaan pembelajaran berpendekatan

saintifik termasuk kategori kecil. Hal ini

dikarenakan dalam penyususna perencanaan

pembelaran, 1)pada dimensi perumusan

indikator RPP guru telah mampu

merumuskan indikator sesuai dengan

kompetensi dasar dan mencerminkan

pendekatan saintifik, 2), pada dimensi

pengorganisasian materi pembelajaran guru

telah mampu memilih materi pembelajaran

yang sesuai dengan tingkat kognitif

operasional kongkret, 3), pada dimensi

pengorganisasian pengalaman belajar/

kegiatan belajar siswa yang memuat 6 M

guru telah mampu menyusun kegiatan

mengamati, menalar dan

mengkomunikasikan dalam pembelajaran,

4), pada dimensi pemilihan sumber belajar/

media pembelajaran guru telah mampu

memilih sumber belajar yang bersifat

konkret dan menunjang penyampaian materi

sesuai keadaan sebenarnya, 5) pada dimensi

penilaian hasil pembelajaran guru telah

merencanakan penilaian autentik untuk

menilai kompetensi dalam indikator

pencapaian, telah merencanakan adanya

penilaian sikap, keterampilan dan

pengetahuan, baik dalam proses maupun

akhir pembelajaran.

Namun ada beberapa komponen

dalam dalam penyusunan perencanaan

pembelajaran yang belum tercapai dengan

baik, sehingga menyebabkan adanya

kesenjangan dalam kategori kecil antara

kondisi di lapangan dengan kondisi ideal

sesuai Permendikbud Nomor 22 tahun 2016.

Adapun komponen yang belum tercapai

pada dimensi perumusan indikator/tujuan

pembelajaran adalah dalam rencana

pembelajaran belum memuat indikator yang

menuntut siswa untuk melakukan unjuk

kerja. Sebagaimana yang disebutkan oleh

Akbar (dalam Fakhrudin, 2014 ) bahwa

indikator pencapaian kompetensi adalah

penanda perubahan nilai, pengetahuan, sikap

, keterampilan dan perilaku yang dapat

diukur. Dapat dikatakan bahwa dalam

rumusan indikator pencapaian kompetensi

seharusnya mencakup kompetensi

pengetahuan, sikap dan keterampilan,

sehingga untuk mengakomodasi ketiga

kompetensi tersebut dapat tercapai dalam

pembelajaran perlu kegiatan pembelajaran

yang menuntut siswa melakukan unjuk

kerja, namun dilapangan indikator yang

dibuat oleh guru cenderung hanya

pengembangan pada ranah kognitif C1 dan

C2 yaitu menghafal dan menjelaskan materi.

Pada dimensi pengorganisasian

materi pembelajaran, rencana pembelajaran

belum banyak menggunakan materi yang

Page 34: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 116

bersifat kontekstual, materi seringkali tidak

sesuai dengan keseharian dan lingkungan

anak. Hal sejenis juga ini ditemukan dalam

penelitian yang dilakukan Bintari (2014)

bahwa contoh - contoh yang diberikan dalam

buku pegangan siswa kurang kontekstual

sehingga menyulitkan siswa dalam

memahami materi pelajaran.

Sedangkan pada dimensi

pengorganisasian pengalaman belajar belum

memuat kegiatan menanya, mencoba dan

mengkreasikan. Hasil temuan ini bertalian

dengan hasil temuan Nodyanto (2015) yang

menyebutkan bahwa perencanaan

pembelajaran yang dibuat oleh guru dalam

pebelajaran PKn pada umumnya sudah

menggambarkan pendekatan saintifik namun

belum maksimal terutama pada kegiatan

menanya.

Selain itu pada dimensi sumber

belajar / media pembelajaran, sumber belajar

dan media pembelajaran yang digunakan

belum berasal dari lingkungan sekitar siswa.

Dalam dimensi penilaian hasil pembelajaran,

masih kurangnya instrumen penilaian yang

dilengkapi rubrik penilaian. Marhaeni

(2008) menyatakan bahwa Rubrik adalah

suatu pedoman penskoran yang digunakan

untuk menentukan tingkat kemahiran

(proficiency) siswa dalam mengerjakan

tugas. Rubrik juga digunakan untuk menilai

pekerjaan siswa. Apabila dua orang guru

atau lebih sedang menilai jenis pekerjaan

yang sama, maka penggunaan rurlik yang

sama membantu mereka memandang produk

itu dengan cara yang sama. Sehingg rubrik

sangat penting keberadaanya untuk

menjamin obyektifitas guru dalam

melakukan penilaian otentik. Namun

dilapangan guru seringkali melakukan

penilaian tampa mempersiapkan rubrik,

sehingga sangat rentan penilaian yang

dilakukan guru bersifat subyektif.

Beberapa komponen perencanaan

pembelajaran berpendekatan saintifik yang

belum dapat dicapai oleh guru karena ada

kendala yang sering dihadapi guru seperti

kendala dalam materi pembelajaran yang

hanya bersumber dari buku guru., Yang

mana buku tersebut bersifat nasional dan isi

materi dapat berasal dari berbagai daerah di

Indonesia, sehingga materi seringkali tidak

sesuai dengan keseharian dan lingkungan

siswa.

Kemampuan guru dalam

perencanaan pembelajaran berpendekatan

saintifik yang sudah termasuk kategori baik,

di dukung oleh penelitian Kartowagiran,

Abrory (2014) bahwa kualitas perencanaan

pembelajaran matematika SMP Negeri kelas

VII di Kabupaten Sleman dalam

implementasi kurikulum 2013 termasuk

ketegori baik.

Pelaksanaan pembelajaran meliputi

komponen kegiatan pendahuluan, kegiatan

inti dan kegiatan penutup. Berdasarkan hasil

penelitian, dalam pelaksanaan pembelajaran

berpendekatan saintifik guru kelas IV SD di

Kecamatan Denpasar Timur sudah

menunjukkan kemampuan yang cukup baik

sehingga terdapat kesenjangan dalam

kategori sedang. Sebagaimana perencanaan

pembelajaran, dalam pelaksanaan

pembelajaran berpendekatan saintifik, juga

terdapat aspek-aspek pembelajaran yang

sudah dilakukan oleh guru dengan baik.

Seperti 1) dalam kegiatan pendahuluan, guru

sudah mampu mempersiapkan ruang kelas

yang memungkinkan siswa berinteraksi

dengan siswa lain, mempersiapkan media

pembelajaran yang mendukung kegiatan

ilmiah dan menyampaikan tujuan

pembelajaran dengan bahasa yang

dimengerti anak, 2) dalam kegiatan inti, guru

sudah mampu menciptakan suasana belajar

yang mendukung siswa untuk belajar akif,

melakukan kegiatan mengamati, menalar

serta mengkomunikasikan, dan 3) dalam

kegiatan penutup, guru sudah mampu

membuat rangkuman/ simpulan bersama

siswa serta memberikan tindak lanjut berupa

arahan, kegiatan atau tugas yang relevan

kepada siswa.

Namun masih banyak aspek dalam

pelaksanaan pembelajaran berpendekatan

saintifik yang belum dapat dilakukan guru

dengan baik, sehingga menyebabkan

diskrepansi dengan kategori antara kondisi

di lapangan dengan kondisi ideal sesuai

Permendikbud Nomor 22 tahun 2016.

Adapun komponen yang belum tercapai

pada kegiatan pendahuluan adalah guru

belum mengaitkan pembelajaran

sebelumnya dengan materi yang akan

dipelajari. Selain itu guru juga belu

Page 35: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 117

menyampaikan hal-hal yang akan diukur

pada penilaian proses dan hasil belajar

kepada siswa.

Pada kegiatan inti belum terlaksana 6

pengalaman belajar dalam pendekatan

saintifik sesuai standar proses. Di sekolah

baru terlaksana kegiatan mengamati,

menalar dan mengkomunikasikan dengan

cukup baik, namun untuk kegiatan menanya,

mencoba dan mencipta belum terlihat. Hasil

ini didukung oleh penelitian Nodyanto

(2015) bahwa dalam proses pembelajaran

PKn dengan pendekatan saintifik guru

belum optimal dalam melakukan kegiatan

menanya. Jika dihubungkan dengan hasil

penelitian Ananda (2014) mengenai factor-

faktor penghambat dalam implementasi

pendekatan saintifik dalam muatan pelajaran

PKn didapatkan bahwa guru kesulitan

melakukan kegiatan menanya, mencoba dan

mencipta karena kurangnya fasilitas

pembelajaran serta kesulitan dalam

mengatur antusiasme dan motivasi belajar

siswa. Kurangnya fasilitas pembelajaran

akan membuat guru kesulitan menstimulus

siswa untuk bertanya dan menciptakan karya

sesuai pengetahuannya, akan membuat siswa

tidak dapat melakukan percobaan sederhana

sesuai materi pembelajaran yang

berlangsung. Selain itu siswa yang kurang

antusias dan kurang motivasi dalam

mengikuti pembelajaran akan cenderung

pasif dalam pembelajaran, sedangkan dalam

implementasi pendekatan saintifik siswa

adalah pelaku aktif dalam pembelajaran

(student centered).

Selain itu guru juga belum

melibatkan siswa dalam proses penilaian

dengan penilaian autentik. Salah satu prinsip

penilaian autentik menurut Marhaeni (2008)

adalah berpusat pada siswa, karena

direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh

guru dengan melibatkan secara optimal

peserta siswa. Hal ini penting dilakukan agar

menumbuhkan rasa kepemilikan dalam diri

siswa terhadap proses dan hasil belajarnya,

sehingga memotivasi siswa untuk dapat

mengkonstruksi konsep dan

pengetahuannya sendiri. Namun di lapangan

yang terjadi, guru jarang melibatkan siswa

dalam proses penilaian, siswa masih sebagai

obyek yang dinilai, belum sebagai subyek

yang juga ikut merancang penilaian.

Sedangkan pada kegiatan penutup, guru

belum cukup baik dalam memberi umpan

balik terhadap proses dan hasil

pembelajaran, serta belum menyampaikan

rencana pembelajaran pada pertemuan

berikutnya.

Beberapa komponen pelaksanaan

pembelajaran berpendekatan saintifik yang

belum dapat dicapai oleh guru karena ada

kendala yang sering dihadapi guru dalam

pelaksanaan pembelajaran. Kendala yang

dihadapi adalah 1) jumlah peserta didik yang

melebihi jumlah maksimum 1 rombongan

belajar sesuai standar proses yaitu melebihi

32 orang, sehingga menyulitkan untuk

mengelola kelas. Hal ini menyebabkan guru

tidak dapat memberikan pengalaman belajar

seperti menanya kepada siswa, karena untuk

membuat siswa mau bertanya diperlukan

suasana kelas yang kondusif, 2) Alokasi

waktu pembelajaran dengan jumlah beban

materi tidak sesuai, sehingga guru kesulitan

merancang pengalam belajar seperti

melakukan percobaan di luar kelas, 3)

Kurangnya media pembelajaran yang dapat

digunakan untuk menstimulus siswa dalam

bertanya dan yang dapat digunakan untuk

kegiatan mencoba.

Hasil penelitian ini sesuai dengan

hasil penelitian Istiqomah (2015) yang

dalam penelitiannya mendapatkan

kesimpulan bahwa sebagian besar guru

yang menjadi sampel penelitiannya memiliki

pengetahuan tentang lima pengalaman

belajar pendekatan saintifik dan memiliki

sikap yang positif dalam melaksanakan

pembelajaran sesuai pendekatan saintifik.

Namun dalam implementasi lima

pengalaman belajar tersebut, salah satu

kesulitan guru adalah dalam implementasi

kegiatan menanya karena siswa jarang

bertanya.

Berdasarkan hasil penelitian, dalam

penilaian pembelajaran berpendekatan

saintifik guru kelas IV SD di Kecamatan

Denpasar Timur sudah menunjukkan

kemampuan yang baik. Hal ini dikarenakan

guru telah mampu, 1) dalam perencanaan

penilaian, guru sudah mulai menggunakan

berbagai jenis asesmen autentik dan

pemilihan asesmen yang digunakan sudah

disesuaikan dengan kompensi yang dinilai;

2) dalam pelaksanaan penilaian, penilaian

Page 36: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 118

telah dilakukan pada proses dan akhir

pembelajaran, biasanya penilaian pada

proses pembelajaran menilai ranah sikap dan

keterampilan; 3) dalam pelaporan

pembelajaran, guru sudah mampu

mendeskripsikan hasil belajar siswa,

mengolah skor hasil belajar menjadi nilai

dan menentukan rentang predikat hasil

belajar siswa sesuai ketentuan kurikulum.

Yang mana dalam pelaporan penilaian

menggunakan predikat dan deskripsi untuk

ranah pengetahuan, serta menggunakan

deskripsi untuk ranah sikap dan

keterampilan. Dalam pelaporan penilaian

guru sudah menunjukkan nilai yang baik

karena guru telah disediakan aplikasi rapor

yang disusun oleh tim kerja yang ada di

masing-masing gugus sehingga menjadi

acuan bagi guru untuk melakukan pelaporan.

Namun pada penilaian pembelajaran

berpendekatan saintifik terjadi kesenjangan

dalam kategori kecil. Hal ini dikarenakan

dalam dalam perencanaan penilaian belum

dilengkapi dengan rubrik penilaian, Hal ini

dikarenakan guru masih menghadapi

kendala. Sebagian besar guru belum

mengetahui model instrumen yang tepat

untuk melakukan penilaian autentik,

sehingga belum dapat mengembangkan

instrumen penilaian dalam pembelajaran.

Hal ini sesuai, dengan yang diungkapkan

dalam penelitian Marhaeni, Artini (2015)

bahwa dengan penyediaan instrumen

asesmen otentik yang bervariasi dan sesuai

dengan kebutuhan bisa memberi model

kepada guru untuk bisa mengembangkan

instrumennya sendiri.

Selain itu guru belum

menyampaikan kriteria penilaian kepada

siswa (belum melakukan penilaian terbuka),

dalam pelaksanaan penilaian belum

melibatkan siswa serta guru belum

memberikan umpan balik ketika

menunjukkan hasil penilaian. Ketiga hal ini

berkaitan dengan pembentukan rasa

kepemilikan (ownership) dalam diri siswa.

Dengan dilibatkan dalam perencanaan dan

pelaksanaan penilaian siswa akan

mengetahui apa yang dinilai pada dirinya

sehingga dapat merencanakan tujuan dia

belajar dan prestasi seperti apa yang

diinginkannya. Sehingga hasil belajar bukan

lagi menjadi tuntutan kurikulum melainkan

tujuan (goals) dari siswa itu sendiri. Selain

itu sangat penting guru memberikan umpan

balik terhapat hasil penilaian siswa agar

siswa dapat melakukan evaluasi diri. Namun

kenyataan dilapangan penilaian masih

bersifat tertutup dan hanya guru yang

memegang peranan.

Dalam pelaporan penilaian,

rekapitulasi nilai baru dilakukan pada ranah

pengetahuan dan keterampilan, belum ada

rekapitulasi untuk ranah sikap. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian Purnomo

(2014) yang menyatakan bahwa dalam

penilaian afektif sebagian besar (90%) guru

yang tergabung dalam MGMP IPS di Kota

Bandar Lampung tidak menggunakan

instrument untuk penilaian afektif. Hal ini

akan membuat obyektifitas dan validitas

penilaian afektif atau penilaian sikap

tersebut berkurang.

Setelah dibahas secara mendalam

bagian-bagian implementasi pembelajaran

yaitu perencanaan, pelaksanaan dan

penilaian pembelajaran maka didapatkan

bahwa implementasi pendekatan saintifik

pada muatan pelajaran PKn diskrepansi

dalam kategori kecil.

Persepsi guru tentang implementasi

pendekatan saintifik pada mata pelajaran

PKn tema Cita-Citaku di kelas IV SD se

Kecamatan Denpasar Timu termasuk

kategori baik. Dengan hasil penelitian bahwa

persepsi guru ada di kategori baik, maka

dapat diketahui bahwa guru telah memiliki

pengetahuan mengenai hakikat dan langkah-

langkah implementasi pendekatan saintifik

yang baik. Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan Budiyanto (2016), bahwa

skor rata-rata pengetahuan guru sekolah

dasar di Malang mengenai pendekatan

saintifik dalam pembelajaran adalah 69,5

dengan kategori baik. Dengan skor persepsi

guru yang termasuk kategori baik maka

dapat diketahui pula bahwa guru memiliki

sikap, motivasi dan minat yang baik

terhadap pendekatan saintifik.

Pencapaian hasil belajar PKn siswa

yang dibelajarkan menggunakan pendekatan

saintifik dalam kategori baik. Hal ini berarti

bahwa implementasi pendekatan saintifik di

Kecamatan Denpasar Timur telah dilakukan

dengan cukup baik. Hal ini sejalan dengan

hasil penelitian Wartini (2014) yang

Page 37: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 119

menyatakan bahwa sikap sosial dan hasil

belajar PKn siswa kelas VI SD Jembatan

Budaya yang mengikuti pembelajaran

dengan pendekatan saintifik lebih baik dari

siswa yang mengikuti pembelajaran dengan

model pembelajaran konvensional.

Sejalan dengan hasil penelitian

Ananda (2014) bahwa penerapan pendekatan

saintifik pada pembelajaran PKn sudah

memperlihatkan dampak yang yang cukup

positif pada beberapa aspek keterampilan

kewarganegaraan siswa terutama pada aspek

keterampilan menjawab, bertanya,

berdiskusi, dan berpartisipasi aktif, yang

ditandai dengan siswa terlihat lebih kritis,

lebih antusias, dalam bertanya, lebih

menggunakan kecerdasan berpikir selama

proses pembelajaran berlangsung .

Pengelolaan Proses Pembelajaran

Berpendekatan Saintifik berkontribusi

terhadap terhadap Hasil Belajar Pkn siswa,

hal ini dikarenakan hasil belajar salah

satunya di pengaruhi oleh kualitas

pembelajaran di sekolah. Namun

kontribusinya berada pada kategori sedang

karena kualitas pengelolaan pembelajaran

selain dipengaruhi oleh pengelolaan

pembelajaran di kelas juga dipengaruhi oleh

faktor lain yaitu faktor internal. Menurut

Gagne (dalam Sunaryo, 1989:87)

menyatakan bahwa, faktor Internal (dari

dalam individu yang belajar) yang

mempengaruhi kegiatan belajar adalah

faktor psikologis, antara lain yaitu :

motivasi, perhatian, pengamatan, tanggapan

dan lain sebagainya.

Hal ini sejalan dengan penelitian

Sutrisnawati (2012) yang menyatakan bahwa

sumbangsih variabel kemampuan guru

dalam mengelola pembelajaran dapat

menjelaskan makin tingginya peningkatan

prestasi belajar siswa sebesar 30,50%,.

Selain itu dalam penelitian Suryana (2014),

selain diuji kontribusi kemampuan

pengelolaan pembelajaran yang dilakukan

guru terhadap hasil belajar siswa, juga diuji

disiplin belajar dan motivasi belajar. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa disiplin

belajar berkontribusi 7,5% terhadap hasil

belajar dan motivasi belajar berkontribusi

17,4% terhadap hasil belajar. Hal ini

membuktikan kalau hasil belajar selain

dipengaruhi oleh kualitas pengelolaan

pembelajaran oleh guru juga dipengaruhi hal

lain seperti motivasi dan disiplin belajar.

Berdasarkan pembahasan masing-

masing permasalahan dalam penelitian ini

dapat dipahami bahwa kemampuan guru

dalam implementasi pendekatan saintifik

dalam pembelajaran telah menunjukkan

hasil yang baik sehingga diskrepansi yang

terjadi termasuk dalam kategori kecil.

Namun demikian, walaupun menunjukkan

diskrepansi yang kecil, perlu dicermati

aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya

diskrepansi tersebut . Muara permasalah

yang menyebabkan terjadinya diskrepansi

adalah belum optimalnya guru dalam

merancang dan melaksanakan pembelajaran

yang berpusat pada peserta didik dan

pembelajaran yang kontektual serta belum

optimalnya penggunaan asesmen otentik

dalam melakukan penilaian. Padahal

sebagaimana kita ketahui kurikulum 2013

sebagai kurikulum berbasis kompetensi

(competency based). harus memuat

pembelajaran yang berpusat pada peserta

didik dan bersifat kontekstual serta

melakukan asesmen otentik(Marhaeni,

2007).

Namun demikian, walaupun terdapat

diskrepansi dalam implementasi pendekatan

saintifik, namun guru sudah memiliki

persepsi yang baik dalam implementasi

pendekatan saintifik. Hal ini berarti bahwa

secara persepsi yang memuat pengetahuan,

sikap, minat dan cara implementasi

pendekatan saintifik guru sudah baik namun

dalam mengunjuk kerjakan pendekatan

saintifik belum optimal sehingga

menyebabkan terjadinya diskrepansi.

Demikian juga pada hasil belajar PKn

siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan

saintifik, sudah termasuk dalam kategori

baik. Namun ketika dicari kontribusi kualitas

pengelolaan pembelajaran berpendekatan

saintifik dengan hasil belajar PKn siswa,

masih dalam kategori sedang. Hal ini berarti

bahwa kualitas pengelolaan pembelajaran

berpendekatan saintifik belum memberi

sumbangsih yang tinggi terhadap hasil

belajar PKn siswa. Tentunya hasil ini tidak

terlepas dari adanya diskrepansi dalam

implementasi pendekatan saintifik. Karena

adanya diskrepansi dalam implementasi

pendekatan saintifik maka kualitas

Page 38: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 120

pengelolaan pembelajaran kurang optimal

sehingga kurang memberi sumbangsih

terhadap hasil belajar PKn siswa.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut. (1) Diskrepansi yang terjadi

terkait dengan perencanaan proses

pembelajaran berpendekatan Saintifik pada

muatan pelajaran PKn dalam kategori kecil,

(2) Diskrepansi yang terjadi terkait dengan

pelaksanaan pembelajaran berpendekatan

Saintifik pada muatan pelajaran PKn dalam

kategori sedang, (3) Diskrepansi yang terjadi

terkait dengan pelaksanaan penilaian

pembelajaran berpendekatan Saintifik pada

muatan pelajaran PKn dalam kategori kecil,

(4) Diskrepansi yang terjadi terkait dengan

implementasi pembelajaran berpendekatan

Saintifik pada muatan pelajaran PKn

kategori kecil, (5) Persepsi guru tentang

implementasi pendekatan saintifik pada

muatan pelajaran kategori baik, (6)

Pencapaian hasil belajar PKn siswa yang

dibelajarkan menggunakan pendekatan

saintifik kategori baik, (7) Kontribusi

kualitas pengelolaan proses pembelajaran

berpendekatan saintifik terhadap hasil

belajar PKn adalah signifikan dengan

koefisien determinasi dalam korelasi sedang.

Berdasarkan kesimpulan di atas,

maka dapat diajukan beberapa saran sebagai

berikut. (1)Guru dituntut kesiapannya secara

professional untuk mengimplementasikan

pendekatan saintifik. Oleh karena itu,

disarankan kepada pendidik untuk

meningkatkan wawasannya mengenai

pendekatan saintifik dan kompetensinya

dalam mengimplementasikan pendekatan

saintifik. Selain itu, guru hendaknya

berinovasi dan berkreasi dalam menyusun

perencanaan pembelajaran, pelaksanaan

pembelajaran dan penilaian pembelajaran

berpendekatan saintifik, (2)Temuan

penelitian ini menunjukkan bahwa

implementasi pendekatan terjadi

kesenjangan yang kecil. Untuk menanggapi

hal tersebut, perlu adanya upaya dari kepala

sekolah dan pengawas sekolah agar dapat

memberikan arahan dan melakukan evaluasi

terhadap guru di sekolah sehingga guru

dapat mengimplementasikan pendekatan

saintifik sesuai standar proses dalam

Permendikbud No 22 tahun 2016 (3) Pihak

terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan

Olahraga hendaknya terus mensosialisasikan

mengenai pendekatan saintifik yang

digunakan dalam kurikulum 2013 melalui

bimbingan teknis, workshop atau kegiatan

lainnya secara berkelanjutan melibatkan

semua pihak baik pendidik, kepala satuan

pendidikan maupun pengawas satuan

pendidikan, (4)untuk kesempurnaan

penelitian ini, disarankan kepada peneliti

lain untuk mengadakan penelitian lanjutan

dengan jumlah sampel yang lebih besar dan

ulangan melakukan observasi yang lebih

banyak

DAFTAR RUJUKAN

Ananda, R. 2014. Analisis Implementasi

Pendekatan Saintifik Dalam

Pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan (Studi Kasus Di

Kelas IV Sd Islam Ibnu Sina

Kabupaten Bandung Dan Kelas III SD

Laboratorium UPI Cibiru). Tesis.

Bandung : Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

Bintari, N.L.G.R.P., I.N. Sudiana & I.B.

Putrayasa. “Pembelajaran Bahasa

Indonesia Berdasarkan Pendekatan

Saintifik (Problem Based Learning)

Sesuai Kurikulum 2013 Di Kelas VII

Smp Negeri 2 Amlapura”. eJournal

Program Pascasarjana Universitas

Pendidikan Ganesha Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia

(Volume 3 Tahun 2014).

http://pasca.undiksha.ac.id/ejournal/in

dex.php/jurnal_bahasa/article/viewFile

/1185/924 (diakses pada 15

Januari2016).

Budiyanto, M.A.K., L. Waluyo & A.

Mokhtar, Implementasi Pendekatan

Saintifik dalam Pembelajar di

Pendidikan Dasar di Malang,

Proceeding Biology Education

Conference (Volume 13 Tahun

2016),http://jurnal.uns.ac.id/prosbi/arti

cle (diakses 20 Mei 2017).

Divayana, D.G.H, D.B. Sanjaya, A.A.I.N.

Marhaeni, I.G. Sudirtha, “CIPP

Page 39: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017 ________________________________________________________________ 121

Evaluation Model Based On Mobile

Phone In Evaluating The Use Of

Blended Learning Platforms At

Vocational Schools In Bali”, Journal

of Theoretical and Applied

Information Technology. Vol.95, No 9,

2017, pp 1983 - 1995

Fakhruddin dan Wahyuningsih, 2014,

Pengembangan instrumen Suvervisi

Pembelajaran Scientific Approach

pada Guru Bahasa Inggris di Sekolah

Menengah, Prosiding Konferensi

Ilmiah Tahunan Himpunan Evaluasi

Pendidikan Indonesia Tahun 2014,

http://www.hepi.or.id/sites/default

(diakses 1 Juli 2017

Istiqomah,N.,A.Asib,&D. Rochsantiningsih.

2015 Teachers’ Attitude toward the

Implementation of Scientific Approach

of Curriculum 2013 to Teach English

(A Case Study of the Seventh Grade

Class of Junior High Schools in

Surakarta in the Academic Year of

2013/2014). Surakarta:Universitas

Sebelas Maret.

Marhaeni,A.A.I.N. 2007. Evaluasi Program

Pendidikan. Singaraja: Program

Pascasarjana Undiksha.

Marhaeni, A.A.I.N. 2008. Asesmen Otentik

dalam Pembelajaran Tematik di SD

Kelas Awal. Makalah. Disampaikan

pada Pelatihan Pembelajaran Tematik

bagi Guru SD di Kabupaten

Karangasem, Tanggal 10-12 Desember

2008 di Karangasem

Marhaeni, A.A.I.N. dan L. P. Artini. 2015.

“Asesmen Autentik dan Pendidikan

Bermakna: Implementasi Kurikulum

2013”. Jurnal Pendidikan Indonesia

Program Pascasarjana Universitas

Pendidikan Ganesha. Volume 4

Nomor 1 Tahun 2015.

Nodyanto, D. 2015. Implementasi

Pendekatan Saintifik Dalam

Pembelajaran Ppkn Untuk

Meningkatkan Kecakapan

Kewarganegaraan Siswa (Studi

Deskriptif Analitis Di Sma Negeri

Kabupaten Bangka). Tesis. Bandung :

Program Pascasarjana Universitas

Pendidikan Indonesia.

Sani, R.A. 2014. Pembelajaran Saintifik

untuk Implementasi Kurikulum 2013.

Jakarta : Bumi Aksara.

Sunaryo. 1989. Strategi Belajar Mengajar.

Jakarta. Depdikbud Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi.

Wartini, I.A.K.M, I.W. Lasmawan, dan

A.A.I.N. Marhaeni. 2014. “Pengaruh

Implementasi Pendekatan Saintifik

Terhadap Sikap Sosial dan Hasil

Belajar PKn di Kelas VI SD Jembatan

Budaya Kuta”. eJournal Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan

Ganesha Program Studi Pendidikan

Dasar (Volume 3 Tahun

2014),pasca.undiksha.ac.id/ejournal/in

dex.php/jurnal_pendas (diakses 16

Desember 2016).

Page 40: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 122

POTENSI DUKUNGAN BUDAYA LOKAL TERHADAP MUATAN SIKAP DAN

MUATAN PEMBELAJARAN TEMA SELALU BERHEMAT ENERGI PADA

KURIKULUM 2013

I.G.A. P. Dewi

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail : [email protected],

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan potensi dukungan budaya lokal

terhadap muatan sikap dan muatan pembelajaran, pada tema Selalu Berhemat EnergiKelas 4

Sekolah Dasar. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan variabel

muatan sikap, muatan pembelajaran dan budaya lokal. Pengumpulan data digunakan pencatatan

dokumen untuk mendapatkan data tentang muatan sikap dan muatan pembelajaran. Data tentang

budaya lokal menggunakan pedoman wawancara. Data hasil penelitian kemudian dianalisis

dengan metode deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah budayawan, guru kelas 4, dan

Orang tua siswa. Hasil penelitian menemukan sikap spiritual ketaatan beribadah, berprilaku

syukur, danberdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Muatan sikap sosial yaitu

jujur,disiplin, tanggung jawab,santun, peduli serta percaya diri.Muatan pembelajaran yaitu

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu

Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Prakarya, danPendidikan

Jasmani Olahraga dan Kesehatan.Nilai budaya lokal yang mendukung muatan sikap dan

muatan pembelajaran pada tema selalu berhemat energiterdapat dalam aktivitas bermain

mebade-badean, medagang-dagangan, dansepit-sepitan, mendengarkan cerita (Satua) I Siap

Selem, bawang teken kasuna,dan men tiwas teken men sugih,bernyanyi (gending rare) putri

cening ayu dan dadong dauh, mengucapkan salam om swastiastu, serta kewajiban mebanten

seperti mebanten saiban, mebanten canang, dan mesegeh.

Kata kunci : budaya lokal, muatan pembelajaran, muatan sikap.

Abstract

This research aimed to analyzing and describing the potential support of local culture to the

attitude content and learning content in theme Always Conserve Energy, fourth grade elementary

school. The methode of this research used descriptive qualitative design with variables values of

attitude, learning content and local culture. To Collected data using document recording to geting

data about attitude content and learning content. The data of local culture used interview

guidance. The result of research analyzing by descriptive qualitatif methode. The subject of this

research are cultural humanist, teacher's of fourth grade,and student's parent. The result findings

the spiritual attitude are obedient worship, gratitude,and pray before and after activity. The

content of Social attitude are honest, discipline, responsibility, courteus, caring and confident.

The learning content are Pancasila, Indonesian, Mathematics, natural science, social science,

art and cultures, and sports physical education and health. Local culture values that support

attitude content and learning content of traditional game are bade-badean, medagang-dagangan,

sepit-sepitan, listening Balinese folkflor of I Siap Selem, bawang teken kasuna, men tiwas

teken men sugih, singing balinese song putri cening ayuand dadong dauh, greetings of local

cultureom swastiastu,The obligation to pray mebanten saiban, mebanten canang, dan mesegeh.

Page 41: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 123

The result of the findings produced general prototype and prototype of childrens tory book as a

suplement theme always conserve energy

Keywords: attitude, learning content, local culture.

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan cerminan

kualitas sebuah bangsa.Pendidikan formal,

non formal maupun informal idealnya saling

mendukung satu dengan yang lain sehingga

dapat mengembangkan potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggungjawab

yang diamanatkan dalam Undang-Undang

No 20 tahun 2003. Kecenderungan yang

terjadi di lapangan pendidikan nonformal

yang diselenggarakan oleh lembaga

pendidikan bagi anak usia sekolah dasar

cenderung hanya terfokus pada kemampuan

kognitif anak. Padahal pendidikan karakter,

pembentukan watak dan sikap merupakan

pondasi penting di dalam menopang

pendidikan yang berkualitas. Kearifan lokal

adalah warisan budaya yang harus selalu kita

jaga. Namun seiring dengan kemajuan

berbagai macam teknologi informasi,

maraknya pengaruh wisatawan asing yang

seolah-olah menyingkirkan budaya lokal kita

sendiri. Generasi muda yang merupakan

pondasi pembangunan sedikit demi sedikit

mulai meninggalkan budaya lokal dan mulai

mengadaptasi budaya asing, sebagai akibat

dari pengaruh penggunaan media teknologi

dan informasi. Kemajuan zaman dalam era

globalisasi modern menuntut manusia untuk

dapat mempertahankan hidupnya ( human

survival ). Tilaar (dalam

sumaatmadja,dkk.2008:1.7) menyebutkan

dampak positif dari globalisasi akan

membentuk masyarakat dinamis, aktif dan

kreatif, di sisi lain dampak negatif yang

muncul adalah ancaman terhadap budaya

bangsa, dengan hilangnya identitas diri dan

bangsa.

Kritisnya moral terlihat dari kasus –

kasus kekerasan yang terjadi di kalangan

dunia pendidikan salah satunya adalah

pemukulan terhadap seorang guru oleh

orangtua siswa atas laporan anaknya

(Anonim, 2016). Hal ini merupakan

tamparan keras dalam dunia pendidikan dan

pertanda kritisnya moral bangsa yang

merupakan ancaman internal yang terjadi,

serta harus segera mendapatkan perhatian

dari pemerintah dan dunia pendidikan. Sikap

dan perilaku masyarakat dan bangsa

Indonesia sekarang ini cenderung

mengabaikan nilai-nilai karakter mulia

seperti, kejujuran, kesantunan, kebersamaan,

sikap religius, tolong-menolong, saling

hormat-menghormati, saling menghargai,

dan toleransi, sedikit demi sedikit mulai

tergerus oleh budaya asing yang cenderung

materialistik, individualistik, dan konsumtif,

sehingga nilai-nilai karakter tersebut tidak

lagi dianggap penting jika bertentangan

dengan tujuan yang ingin diperoleh. Hal ini

bukan berarti generasi muda bersikap anti

terhadap perkembangan dunia. Namun

mampu membentengi diri dengan

penanaman nilai-nilai keagamaan dan nilai

karakter bangsa.

Menurut Delors, (dalam

Dantes,2014:18) bahwa pelaksanaan

pendidikan didasarkan atas empat pilar

yakni learning to know, learning to do, ,

learning to be, dan learning to live

together.Dantes (2014) menambahkan satu

pilar lagi yaitu Learning to live sustanabilies

yang memaknai bahwa peserta didik harus

memahami arti kehidupan ini, dan

kelangsungan hidup jagat raya, sehingga

kelangsungan hidup manusia dan dukungan

alam yang harmonis dan berkesinambungan

dapat diwujudkan.

Perbaikan tata kelola pendidikan sesuai

dengan harapan Undang-Undang salah

satunya adalah dengan pengembangan

kurikulum yang berbasis afeksi. Kurikulum

sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1

Ayat (19) Undang-undang Nomor 20 Tahun

2003 adalah seperangkat rencana dan

pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan

pelajaran serta cara yang digunakan sebagai

pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan

pendidikan tertentu.Pengembangan

kurikulum hendaknya memperhatikan

Page 42: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 124

tahapan pertumbuhan dan perkembangan

anak. Pandangan Piaget(dalam

Marhaeni,2012:21-23)dengan teori

perkembangan kognitif yang menyimpulkan

bahwa kemampuan kognitif akan terbentuk

melalui interaksi konstan antara individu

dengan lingkungannya melalui proses

organisasi dan adaptasi. Tahap

perkembangan kognitif anak Sekolah Dasar

berada pada peringkat concrete operational,

dimana anak-anak pada usia ini

diperkenalkan pada pengetahuan yang

kongkrit dengan dunia nyata yang utuh.

Pada masa ini anak diberikan kesempatan

yang sebesar-besarnya untuk

mengeksplorasi berbagai pengalamannya

baik itu melalui bermain, maupun dalam

proses belajarnya. Vgotsky(dalam

sumantri,2011:1.42) meyakini bahwa anak-

anak membentuk, membangun,atau

mengkonstruk pengetahuan, dan interaksi

sosial yang memegang peranan penting

dalam proses perkembangan. Pakar

behaviorisme pendidikan Skinner (dalam

Knight,2008:196)yang menyebutkan, salah

satu lingkup pendidikan adalah modifikasi

tingkah laku, yakni jika lingkungan ditata

untuk memfasilitasi ketercapaian perilaku

yang dikehendaki maka akan sangat

berpengaruh terhadap pencapaian perilaku

yang dikehendaki.

Dengan demikian, Kurikulum 2013

dirancang dengan memberikan standar

terhadap pencapaian kompetensi dalam

sikap, pengetahuan dan keterampilan. sikap

spiritual dan sikap sosial anak

mengembangkan kemampuan anak untuk

dapat menghargai dan melaksanakan ajaran

agamanya masing-masing, kemampuan

bekerja sama, berempati dan berinteraksi

serta meniru perilaku positif dan

menghindari perilaku negatif. Kompetensi

sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan

keterampilan termuat dalam tiap-tiap muatan

pembelajaran. Kebijakan tentang kurikulum

2013 dipandang telah memenuhi semua

harapan output pendidikan di masa depan.

Pemerintah telah mengupayakan berbagai

usaha untuk mensukseskan kurikulum 2013

yang telah diluncurkan salah satunya dengan

terus berupaya untuk merevisi buku guru

maupun buku siswa.

Upaya lain yang dilakukan adalah

dengan gerakan literasi sekolah ( GLS) yang

dikembangkan berdasarkan permendikbud

No 23 tahun 2015. Dengan menggunakan 15

menit sebelum pembelajaran dimulai untuk

membaca buku selain buku mata pelajaran.

Dicantumkan pula kegiatan pembiasaan

yang dapat dilakukan adalah dengan

mendongeng.Upaya tersebut dilakukan

untuk menunjang proses pembelajaran,

sebab salah satu hal pokok yang menjadi

sumber penting dalam proses pembelajaran

adalah buku.Buku adalah jendela dunia,

melalui buku anak-anak akan membuka

cakrawala dunia. Dengan buku yang relevan

dapat membantu guru untuk menyampaikan

isi materi yang menjadi tujuan pendidikan.

Salah satu hal yang dapat dilakukan guru

dengan buku adalah bercerita. Manfaat

darimembacakan cerita menurut Dalman,

(2014:151)antara lain menanamkan

kecintaan untuk membaca buku, membuat

anak lebih tenang dan nyaman, membantu

mengenal kata dan kalimat, menyampaikan

pesan moral, meningkatkan hubungan

emosional. Rooijakkers, (1991) juga

berpendapat membaca merupakan suatu cara

atau suatu sarana untuk memelihara tingkat

pengetahuan sendiri serta untuk menambah

pengetahuan baru. Bercerita dengan media

buku, menjadi stimulasi yang efektif bagi

anak, menstimulasi minat baca anak lebih

penting dari pada mengajar mereka

membaca, sebab menstimulasi memberi efek

yang menyenangkan. Dengan membaca,

nilai-nilai sikap, pengetahuan dan

keterampilan dapat ditanamkan dengan

terintegrasi. Cerita yang berbasis budaya

adalah alat untuk mentransfer nilai-nilai

karakter budaya lokal ke dalam tokoh-

tokohnya dan menjadi inspirasi bagi siswa.

Hal tersebut didukung oleh pendapat

Aristotle,1991; Bormann,1972; Burke1966;

Fisher,1985 (dalam Kent, 2015) “Rhetors, or

storytellers, draw upon shared emotional

experiences, and interpersonaland group

interactions as a means of informing,

persuading, and socializing others”

pendongeng dapat membagikan dan

memberikan pengalaman ekpresi dan emosi,

dengan mendengarkan dongeng juga dapat

memberikan pengalaman berinteraksi dan

Page 43: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 125

bersosialisasi dengan orang lain. Pendapat

senada juga disampaikan oleh Satriani.,

Marhaeni., Dantes (2016) yang menyatakan

nilai-nilai sikap dan kemampuan literasi

didukung oleh budaya lokal. Prioritas

utamanya adalah agar masyarakat dapat

memiliki sikap positif terhadap budayanya

sendiri, tidak hanya meniru ataupun

mengadopsi budaya luar yang tidak

sepenuhnya dapat diserap oleh bangsa

Indonesia.

Bertolak dari fakta yang terjadi, hal

mendasar yang perlu mendapatkan perhatian

dalam rangka menanamkan nilai-nilai sikap

spiritual, sikap sosial serta membelajarkan

muatan pembelajaran secara terintegrasi di

dalam budaya lokal adalah dengan diadakan

penelitian untuk mengetahui potensi budaya

lokal yang mendukung nilai sikap dan

muatan pembelajaran. Disebabkan

banyaknya tema dalam pembelajaran

kurikulum 2013, maka penelitian ini akan

difokuskan pada tema Selalu Berhemat

Energikelas 4 Sekolah Dasar. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui muatan sikap

dan muatan pembelajaran yang termuat

dalam buku guru dan buku siswa tema

Selalu Berhemat Energi serta mengetahui

potensi budaya lokal yang mendukung

muatan sikap dan muatan pembelajaran pada

tema Selalu Berhemat Energi.

METODE

Penelitian yang dilakukan

menggunakan metode deskriptif

kualitatif.Penelitian deskriptif adalah

penelitian yang digunakan untuk

menjelaskan masalah-masalah yang aktual,

Sanjaya (2013:59)

Variabel - variabel dalam penelitian ini

adalah (1) Muatan sikap yang terdiri atas

sikap spiritual dan sikap sosial, (2) muatan

pembelajaran yang terdiri atas muatan

PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA,

IPS,SBdP dan PJOK, (3) budaya lokal

ditetapkan atas 5 aktivitas yaitu, bermain

permainan tradisional Bali, mendengarkan

cerita (satua Bali), bernyanyi (gending sekar

rare), mengucapkan salam dan kewajiban

berdoa (mebanten).

Data tentang muatan sikap spiritual, sikap

sosial dan muatan pembelajaran

dikumpulkan melalui metode pencatatan

dokumenterhadap buku guru dan buku siswa

tema Selalu Berhemat Energi kelas 4

Sekolah Dasar.Metode wawancara

digunakan untuk menggali informasi dari

narasumber tentang potensi dukungan nilai -

nilai budaya lokal yang menyertai aktivitas

anak kelas tinggi yang mendukung muatan

sikap spiritual,sikap sosial dan muatan

pembelajaran pada kurikulum 2013 tema

selalu berhemat energi kelas 4 Sekolah

Dasar. Data penelitian selanjutnya dianalisis

dengan menggunakan metode deskriptif

kualitatif. Narasumber yang diwawancarai

oleh peneliti merupakan subjek dalam

penelitian ini, yang terdiri dari 3 orang

budayawan, 7 orang guru kelas 4, dan orang

tua siswa sebanyak 3 orang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai sikap spiritual dan sikap sosial

dalam penelitian ini sesuai dengan Panduan

Teknis Pembelajaran dan Penilaian di

Sekolah Dasar ( kemendikbud, 2016)

Kurikulum 2013. Berdasarkan tabulasi data

hasil pencatatan dokumen terhadap buku

guru dan buku siswa tema selalu berhemat

energi kelas 4 Sekolah Dasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nilai-nilai sikap spiritual yang muncul

adalah ketaatan beribadah, berperilaku

syukur, berdoa sebelum dan sesudah

melakukan kegiatan, sedangkan nilai-nilai

sikap sosial yang muncul pada tema selalu

berhemat energi adalah jujur, disiplin,

tanggung jawab, santun, peduli dan

percaya diri. Temuan data tentang nilai-nilai

budaya lokal dalam aktivitas bermain yang

mendukung muatan sikap spiritual dan sikap

sosial adalah mebade-badean, lembu-

lembuan, mebanten-bantenan, sepit-

sepitan, ngejuk lindung, meong-meongan,

poh-pohan, makering-keringan, megale-

galean, mecingklak, kepyak, melayangan,

dan meogoh-ogohan.

Dari temuan penelitian tersebut

pembahasan tentang dukungan budaya lokal

terhadap muatan sikap adalah permainan

tradisional seperti mebanten-

bantenanmerupakan permainan yang

terinpirasi dari kegiatan keagamaan

Page 44: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 126

masyarakat Hindu di Bali. Banten sebagai

perlambang rasa syukur umat terhadap

anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Dengan banten pula menunjukkan nilai-nilai

ketaatan beribadah dari penganut Hindu di

Bali. Dengan permainan mebanten-bantenan

inilah sifat religius dan nilai sikap spiritual

akan tertanam pada anak. Zubaedi

(2011:85)menyatakan bahwa Sikap spiritual

berasal dari kata “spiritual” yang berarti

sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu

menggerakkan serta memimpin cara berpikir

dan bertingkah laku seseorang”. Tingkah

laku dan cara berpikir anak akan terbentuk

melalui permainan mebanten-bantenan yakni

tingkah laku yang taat untuk beribadah serta

selalu bersyukur. Permainan lain yang

mendukung pembentukan sikap tercermin

dari permainan sepit-sepitan.Langkah–

langkah permainan sepit-sepitan, siswa

dibagi ke dalam kelompok yang akan

berlomba untuk nyepit bola ping-pong,

dengan menggunakan alat yang bernama

sepit (sepasang bambu yang diikat sebagai

alat untuk menjepit). Bagi kelompok yang

berhasil menjepit bola dan memasukkannya

ke dalam bung-bung (potongan bambu yang

berlubang diatasnya dan bawahnya tertutup)

maka kelompok tersebut berhak untuk

mengambil lot yang telah disediakan. Dalam

lot inilah dapat dituliskan semua kegiatan

ataupun aktivitas yang akan dilakukan siswa.

Sehingga melalui permainan sepit-sepitan

akan dapat mengakomodasi semua materi-

materi pembelajaran karena dapat ditulis

dalam bentuk soal, arahan, petunjuk maupun

perintah. Hal tersebut didukung oleh Made

Taro yang menyebutkan dengan permainan

sepit-sepitan selain melatih ketangkasan

gerak dan mengasah keterampilan pada saat

menjepit bola dengan sepit, juga dapat

mengembangkan sikap disiplin, semangat

berprestasi, solidaritas, kejujuran,

sportivitas, apresiasi seni dan melatih

pengendalian emosi. Hal ini menunjukkan

melalui kegiatan permainan tradisional

seperti sepit-sepitan akan dapat

menumbuhkan sikap sosial anak.

Jenissatuayang mendukung muatan

sikap

adalahsatuadengantemabinatang(fabel)

sepertiI SiapSelem, I Kancil, I Kambing

takutin macan, I Godogan, jenis cerita

rakyat seperti Bawang teken kasuna/I

pepet teken I Busan, Men sugih teken men

tiwas,cupak gerantang, tuwung kuning,

dan Rajapala.

Salah satu contohnya adalah dari satua

Cupak Gerantang yang menceritakan dua

orang yang bersaudara kandung cupak yang

memiliki wajah serta sifat yang buruk,

sedangkan gerantang adalah seorang

pemuda tampan yang berhati baik. Cupak

sering melakukan tipu daya serta

memperdaya Gerantang namun Gerantang

tetap sabar melayani kakaknya Cupak,

walaupun dia tahu bahwa dirinya telah

diperdaya. Di akhir cerita, kebaikan hati

Gerantang membuahkan karma baik dengan

mendapatkan istri seorang putri yang cantik.

Dari cerita tersebut dapat dilihat nilai-nilai

kebaikan yang terdapat dalam diri

Gerantang, nilai religius dengan selalu taat

beribadah, dia tidak mudah mengeluh

menunjukkan bahwa terdapat rasa syukur

dalam cerita tersebut. Gerantang juga

memiliki tutur kata yang santun, jujur,

disiplin, dan bertanggungjawab. Sedangkan

Cupak hanya memiliki keburukan dalam

sikap dan temperamennya, dengan

mendengarkan cerita ini anak akan

memahami sifat dan perbuatan yang baik

dan buruk. Anak juga akan memahami nilai-

nilai spiritual yakni dengan berkarma baik

maka kebaikanlah yang akan datang, dan

nilai sosial yang tersirat dari tokoh dalam

cerita tersebut akan menjadi model yang

akan ditiru dan menginpirasi anak. Andayani

(2017) juga mendukung hasil analisis

penelitian ini dengan hasil penelitiannya

yang menyebutkan bahwa tema dalam satua

cupak dan gerantang berkaitan dengan

religius, dan dia juga mengatakan bahwa

tokoh dalam cerita tersebut dapat dijadikan

cerminan dalam kehidupan, yang dapat

ditiru dan tidak.

Ditinjau dari jenis gendingsekar

raretemuan budaya lokal yang

mendukungmuatan sikap adalah bebek

putih jambul, curik-curik, semut-semut api,

putri cening ayu, jenggot uban, dadong

dauh, merah putih, dan meong-

meong.Temuan jenis gendingsekar rareyang

terkait dengan nilai-nilai sikap spiritual salah

Page 45: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 127

satunya adalah gendingbebek putih jambul.

Menurut Made Taro gendingbebek putih

jambul mengandung makna bebek yang

terbang ke arah kaja kangin menurut

kepercayaan Hindu, kaja kangin adalah arah

untuk memuja kebesaran Tuhan. Dari

gending putri cening ayu dapat dilihat

bentuk tanggung jawab seorang anak yang

ditinggal ke pasar oleh ibunya, dengan

ngempu adiknya.Hal tersebut menunjukkan

bahwa gending sekar rare merupakan salah

satu jenis budaya lokal yang mendukung

penanaman sikap spiritual dan sikap sosial

bagi anak.

Jenis salambudayalokal yang

mendukung muatan sikap adalah Om

Swastiastu, salam yang berhubungan dengan

waktu Rahajeng Semeng, rahajeng siang,

rahajeng wengi, salam kesuksesan

sepertiastungkara, salam yang sering

diucapkan oleh masyarakat Bali adalah om

swastiastu. Swastiastu berkaitan dengan

swastika yang merupakan simbol suci

Agama Hindu. Selain sebagai salam Om

Swastiastu mengandung makna doa terhadap

Tuhan agar orang yang kita berikan salam

mendapatkan karunia dari Tuhan, dan alam

semesta beserta isinya mendapatkan berkat

dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini

menunjukkan dengan mengucapkan salam

Om Swastiastu, sikap spiritual akan

terbentuk pada diri anak, dan dengan

memaknai makna Om Swastiastu anak-anak

akan terbiasa untuk berkata jujur dan santun.

Salam budaya lokal yang disebutkan diatas

tidak hanya mendukung muatan sikap

namun juga mendukung semua muatan

pembelajaran, sebab setiap memulai

pembelajaran di sekolah anak-anak akan

menucapkan salam Om Swastiastu, dalam

setiap akan memulai aktivitas didahului

dengan mengucap Om Swastiastu, karena

makna lain yang terkandung di dalamnya

adalah sebagai bentuk doa, hal ini melatih

anak agar senantiasa berdoa sebelum

melakukan kegiatan.

Temuan penelitian tentang jenis

mebanten yang biasa dilakukan adalah

kegiatan mebanten saiban,

mesegehdanmebanten canang kedua aspek

tersebut yakni aspek jenis salam budaya

lokal dan jenis mebanten yang biasa

dilakukan oleh anak kelas 4 Sekolah Dasar,

tidak hanya mendukung muatan sikap

spiritual dan sikap sosial saja, namun juga

mendukung semua muatan

pembelajaran.Dengan aktifitas mebanten

saiban anak akan dilatih untuk taat

beribadah, bersyukur, dan berdoa.

Disamping itu anak juga dilatih untuk

disiplin, bertanggung jawab dan peduli.

Melalui kebiasaan mebanten dapat

menumbuhkan keyakinan akan eksistensi

Tuhan, mendidik kesabaran, penanaman

konsep Tri Hita Karana, Tat twam asi,

menanamkan rasa syukur, mengajarkan

untuk berkorban, memberikan ketenangan,

serta menumbuhkan sikap spiritual dan dan

sikap sosial pada anak.

Paparan penelitian diatas didukung

oleh hasil penelitian dari Satriani.,

Marhaeni., Dantes (2016) dalam

penelitiannya yang menunjukkan hasil

bahwa nilai-nilai sikap dan kemampuan

literasi didukung oleh budaya lokal.Pendapat

senada juga disampaikan olehVgotskydalam

sumantri,2011:1.42) yang meyakini bahwa

anak-anak membentuk, membangun, atau

mengkonstruk pengetahuan, dan interaksi

sosial yang memegang peranan penting

dalam proses perkembangan. Pakar

behaviorisme pendidikan Skinner (dalam

Knight,2008:196)yang menyebutkan, salah

satu lingkup pendidikan adalah modifikasi

tingkah laku, yakni jika lingkungan ditata

untuk memfasilitasi ketercapaian perilaku

yang dikehendaki maka akan sangat

berpengaruh terhadap pencapaian perilaku

yang dikehendaki. Penelitian lain yang

relevan dengan hasil penelitian ini adalah

Anggreni (2016),dengan hasil penelitiannya

bahwa budaya lokal mendukung

pengembangan buku cerita yang berbasis

tema dalam pembelajaran. Kemendikbud

(2016). Jika peserta didik memilikinilai

moral spiritual yang baik maka itu akan

menuntunnya untuk senantiasa berlaku baik,

meskipun tidak ada orang yang

mengawasinya.

Kajian tentang muatan pembelajaran

bersumber dari Permendikbud No. 21

Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan

Dasar dan Menengah Kurikulum 2013.

Page 46: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 128

Berdasarkan analisis terhadap buku guru

dan buku siswa melalui metode pencatatan

dokumen, temuan penelitian menunjukkan

bahwa ruang lingkup materi dari muatan

pembelajaran PPKn yang muncul

adalahhak, kewajiban dan tangggung

jawab warga negara.

Temuan penelitian pencatatan dokumen

muatan Bahasa Indonesia dalam buku guru

dan buku siswa tema selalu berhemat energi

sebanyak empat ruang lingkup yaitu1)

Bentuk dan ciri teks faktual (deskriptif,

petunjuk/arahan, laporan sederhana),

teks tanggapan (ucapan terima kasih,

permintaan maaf, diagram/tabel), teks

cerita (narasi sederhana, puisi) teks cerita

non-naratif (cerita diri/personal, buku

harian), 2) Paralinguistik (lafal,

kelantangan, intonasi, tempo, gestur, dan

mimic), 3) Bentuk dan ciri teks genre

faktual (teks laporan informatif hasil

observasi, teks arahan/petunjuk, teks

instruksi, teks surat tanggapan pribadi),

genre cerita (cerita petualangan, genre

tanggapan, teks dongeng, teks

permainan/dolanan daerah (teks

wawancara, ulasan buku),dan 4) Satuan

bahasa pembentuk teks: kalimat

sederhana pola SPPel, SPOPel, SPOPelK,

kata, frasa, pilihan kata/diksi.

Temuan muatan pembelajaran

Matematikaadalah bilangan bulat dan

pecahan.

Hasil penelitian pencatatan dokumen

buku guru dan buku siswa tema selalu

berhemat energi muatan pembelajaran

IPAadalah Bentuk dan sumber energi dan

energi alternative.

Temuan penelitianmuatan pembelajaran

IPS adalah Wilayah geografis tempat

tinggal bangsa Indonesia dan Kehidupan

ekonomi masyarakat Indonesia yang

bertanggung jawab.

Temuan hasil penelitian pencatatan

dokumen muatan pembelajaran SBdP adalah

Apresiasi dan kreasi karya seni rupa

(gambar ekspresif, mosaik/aplikasi, relief

dan patung dari bahan lunak) dan

Apresiasi dan kreasi/rekreasi karya seni

musik (lagu anak- anak, lagu nusantara

daerah lain, lagu wajib, musik ansambel,

alat musik),

Temuan hasil penelitian pencatatan

dokumen muatan pembelajaran PJOK adalah

Pola gerak dasar lokomotor, non-

lokomotor, dan manipulatif pada

permainan bola, aktivitas atletik dan atau

olahraga tradisional.

Pembahasan tentang potensi dukungan

budaya lokal terhadap muatan pembelajaran

yang diperoleh dari hasil wawancara

terhadap 13 orang narasumber dapat

diuraikan berikut ini.

Permainan tradisional yang mendukung

muatan pembelajaranadalah sepit-sepitan,

ngejuk lindung, meong-meongan, poh-

pohan, kepyak, cingklak, medagang-

dagangan, melayangan, meogoh-ogohan,

curik-curik, engklek, dan congklak,

mebade-badean, lembu-lembuan,

mebanten-bantenan. Permainan tradisional

sepit-sepitan merupakan permainan

tradisioanl yang dapat mengakomodasi

semua materi muatan pembelajaran, seperti

yang telah dipaparkan diatas. Dalam semua

permainan tradisional yang disebutkan

diatas memerlukan tanggung jawab dari

pesertanya, sebab jika tidak dilandasi oleh

tanggung jawab maka permainan tersebut

tidak akan dapat berlangsung dengan baik.

Hal ini membuktikan bahwa budaya lokal

memiliki potensi dukungan terhadap muatan

pembelajaran PPKn dengan ruang lingkup

materi hak dan kewajiban warga negara.

Somantri (2001) memaknai Pendidikan

Kewarganegaraan merupakan usaha untuk

membekali peserta didik dengan

pengetahuan dan kemampuan dasar

berkenaan dengan hubungan antar warga

negara dengan negara serta pendidikan

pendahuluan bela negara, menjadi warga

negara agar dapat diandalkan oleh bangsa

dan negara. Dengan demikian melalui

permainan tradisional dapat mendukung

muatan pembelajaran. Dukungan budaya

lokaldicerminkandari permainan

melayangan, dalam proses pembuatan

layangan diperlukan keterampilan yang baik

agar layangan tersebut dapat terbang,

keterampilan tersebut harus dilandasi oleh

pengetahuan tentang pengukuran, saat

menimbang layangan agar seimbang secara

tidak langsung anak-anak telah belajar

tentang konsep pecahan. Saat

Page 47: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 129

menerbangkan layangan, anak-anak akan

belajar tentang sumber energi yang dapat

menerbangkan layang-layang yaitu

angin.Dari permainan melayangan telah

mengakomodasi muatan pembelajran IPA,

Matematika, dan SBdP secara terintegrasi,

dan kelebihan dari permainan ini anak-anak

akan merasa gembira sehingga pengetahuan

yang didapat akan bermakna. Penjumlahan,

pengurangan, perkalian, dan penaksiran

yang sesuai dengan temuan materi muatan

matematika terdapat dalam aktivitas

medagang-dagangan dan macingklak.

Dalam permainan budaya lokal tersebut

juga terdapat petunjuk dan arahan, dan teks

permainan/dolanan daerah , yang sejalan

dengan ruang lingkup materi Bahasa

Indonesia.Contoh berikutnya

adalahpermainan medagang-

daganganmencerminkan kehidupan

ekonomi masyarakat yaitu pasar, dimana

dalam pasar tersebut dapat dimodifikasi

bentuk permainannya dengan menjajakan

barang dagangan yang terkait dengan

sumber daya alam seperti jagung, singkong

dan yang lainnya. Sehingga materi muatan

pembelajaran IPS dapat dibelajarkan tanpa

disadari oleh anak. dalam permainan

tradisional kebanyakan diiringi oleh lagu-

lagu yang mendukung permainan, hal ini

selaras dengan materi dari muatan SBdP

yakni apresiasi lagu anak. didukung oleh

bunyi Undang – undang RI No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

yang mengamanahkan agar pendidikan

tidak hanya memberi kesempatan untuk

membentuk insan Indonesia yang cerdas

semata, tetapi juga berkarakter, sehingga

nantinya akan lahir generasi bangsa yang

tumbuh berkembang dengan karakter yang

bernafaskan nilai luhur dan agama.

Jenis Satua Bali yang mendukung

muatan pembelajaran adalah jenis-jenis

cerita (fabel) seperti I Kancil, I Kambing

takutin macan, I Godogan,jenis cerita

rakyat seperti Bawang teken kasuna/I pepet

teken I Busan, Men sugih teken men

tiwas,cupak gerantang, tuwung kuning,

Rajapala, curik-curik, semut-semut api dan

putri cening ayu. Men kuwuk lan I Siap

Selem/I siap selem, Balang Tamak, dan I

Godogan. Satua Bali tersebut dalam

pengemasan tampilannya banyak yang

menggunakan gambar-gambar ilustrasi, ada

juga yang menggabungkan nyanyian di

dalamnya, hal tersebut sesuai dengan

muatan pembelajaran SBdP, teks naratif

maupun deskriptif, baik petunjuk maupun

arahan mendukung muatan Bahasa

Indonesia. Dalam kisah Men sugih teken

men tiwas, dimana men tiwas yang bekerja

menumbuk padi di rumah men sugih, hal ini

juga terkait dengan materi IPS tentang

kegiatan ekonomi masyarakat. Dalam

karakter tokoh yang ada dalam cerita

tersebut mengajarkan tentang nilai-nilai

tanggung jawab yang selaras dengan muatan

PPKn. Hal tersebut didukung oleh pendapat

Aristotle,1991; Bormann,1972; Burke1966;

Fisher,1985 (dalam Kent, 2015) “Rhetors,

or storytellers, draw upon shared emotional

experiences, and interpersonaland group

interactions as a means of informing,

persuading, and socializing others”

pendongeng dapat membagikan dan

memberikan pengalaman ekpresi dan emosi,

dengan mendengarkan dongeng juga dapat

memberikan pengalaman berinteraksi dan

bersosialisasi dengan orang lain.

Temuan tentang Gending sekar rareyang

mendukung temuan pencatatan dokumen

muatan pembelajaran adalah curik-curik,

semut-semut api dan putri cening ayu,

dadong dauh, se dua telu, dari

gendingdadong dauh, se dua telutersebut

siswa diajarkan untuk menghitung bilangan

bulat. Jenis gendingsekar rareyang terkait

dengan muatan IPS adalah putri cening

ayu, yang menggambarkan seorang ibu

yang akan berangkat ke pasar. Dalam ruang

lingkup IPS pasar masuk kedalam materi

kehidupan ekonomi smasyarakat. Dari pasar

juga dapat diperkenalkan tentang sumber

daya alam terkait dengan muatan

pembelajaran. Budaya lokal yang telah

diuraikan diatas memiliki fungsi dengan

memberikan pengalaman terpadu

(integrated understanding) substansinya

meliputi content knowledge, inquiry and

problem solving knowledge, serta epistemic

knowledge, Winataputra,dkk (2013). Dalam

kegiatan pembelajaran di kelas budaya lokal

juga dapat digunakan sebagai pranata awal

dalam mengawali kegiatan pembelajaran

Page 48: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 130

untuk mengaitkannya dengan materi yang

akan di belajarkan.

Pendapat tentang dukungan budaya

lokal disampaikan oleh Dewi., ,Dantes.,

Marhaeni. (2016), yang menyebutkan

budaya lokal mendukung pengembangan

sikap spiritual, sikap sosial dan literasi dini.

Contoh lain dari pembelajaran yang berbasis

budaya adalah etno matematika (etno

mathematics) yang dilaksanakan oleh UP

College of Baguio, yang mencoba

mempelajari struktur aljabar dari pola tenun

tradisional, pola musik, dan sistem

persudaraan dalam budaya kankana-Ey

Winataputra,dkk (2013). Bertolak dari

paparan diatas dan didukung oleh temuan

peneltitian dari berbagai sumber yang

relevan menguatkan hasil penelitian ini,

bahwa budaya lokal memiliki potensi

dukungan yang optimal terhadap muatan

sikap spiritual, sikap sosial dan muatan

pembelajaran pada tema selalu berhemat

energi kelas 4 Sekolah Dasar.

SIMPULAN

Berdasarkan temuan hasil pencatatan

dokumen pada buku guru dan buku siswa

tema selalu berhemat energi Kurikulum

2013 Kelas 4 Sekolah Dasar, dan hasil

wawancara dengan narasumber dapat

disimpulkan bahwa 1) Muatan sikap

spiritual yang muncul adalah ketaatan

beribadah, berperilaku syukur dan

berdoa sebelum dan sesudah melakukan

kegiatan. Nilai-nilai sikap sosial yang

ditemukan adalah jujur, disiplin, santun,

percaya diri, peduli, dan tanggung jawab.

2)Muatan pembelajaran yang muncul adalah

muatan PPKn, Bahasa Indonesia,

Matematika, IPA, IPS, SBdP, PJOK.3)Nilai-

nilai budaya lokal yang mendukung muatan

sikap dan muatan pembelajaran adalah

Permainan tradisional mebade-badean,

lembu-lembuan, mebanten-bantenan,

medagang-dagangan, sepit-sepitan, ngejuk

lindung, meong-meongan, poh-pohan,

makering-keringan, megale-galean,

mecingklak, kepyak, melayangan, dan

meogoh-ogohan.Cerita (satua Bali): I Siap

Selem, I Kancil, I Kambing Takutin

macan, Bawang teken kasuna/I pepet teken

I Busan, cerita Tantri, dan Rajapala, I

Godogan, Men sugih teken men

tiwas,cupak gerantang, tuwung kuning,

dan Rajapala.Gending sekar rarebebek

putih jambul, jenis gending sekar rare

yang terkait dengan nilai-nilai sikap sosial

adalah curik-curik, semut-semut api, putri

cening ayu, jenggot uban, dadong dauh,

merah putih, dan meong-

meong.Mengucapkan salamOm Swastiastu,

Rahajeng Semeng, rahajeng siang,

rahajeng wengi, dan astungkara.Kewajiban

berdoa (mebanten)mebanten saiban,

mebanten canang dan mesegeh.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

manfaat yang diperoleh, maka beberapa

saran yang dapat diajukan adalah sebagai

berikut 1) Perlu dilakukan penelitian

lanjutan untuk mengetahui nilai-nilai sikap

spiritual dan sikap sosial yang termuat pada

masing-masing tema di kelas 4 sekolah

dasar. 2) Perlu dilakukan kajian

berkelanjutan untuk mengetahui muatan

pembelajaran yang termuat dalam pada

masing-masing tema di kelas 4 sekolah dasar

untuk dibuat sebuah prototipe buku cerita. 3)

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk

mengetahui potensi dukungan budaya lokal

terhadap muatan sikap spiritual, sikap sosial

dan muatan pembelajaran pada masing-

masing tema di kelas 4 Sekolah Dasar. 4)

Perlu pengenalan lanjutan kepada praktisi

pendidikan sebagai referensi untuk

pengembangan lebih lanjut, untuk

dirumuskan sebuah buku cerita yang

mendukung muatan sikap dan muatan

pembelajaran yang dapat digunakan untuk

mengembangkan nilai-nilai sikap dan

muatan pembelajaran secara terintegrasi

pada tema selalu berhemat energi kelas 4

sekolah dasar Kurikulum 2013

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, N.M.J.,I Nyoman Linggih., I

Made Wiradnyana.2017.Satua

Cupak Teken Gerantang(pamastika

psikologi tokoh). Diakses dari

http://ejournal.ihdn.ac.id/index

.php/JPAH. pada tanggal 17 Juli

2017.

Page 49: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________________ 131

Anggreni, N. L. P., A.A.I.N, Marhaeni.,

Nyoman, Dantes.2016. Muatan Sikap

Dan Literasi Dini Pada Pembelajaran

Tema Air, Bumi, Dan Matahari Kelas 2

Sd Serta Aspek-Aspek Budaya Lokal

Yang Mendukung Pengembangan Buku

Cerita Anak Berbasis Tema. Diakses dari

http://pasca.undiksha.ac.id/e-

journal/index.php/jurnal_pendas/article/vi

ew/2176 pada tanggal 17 Juni 2017.

BBC. Kasus ayah pukul guru di Makassar

picu debat soal kekerasan dan

pendidikan. Diakses dari.

http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2

016/08/160811_trensosial_guru_makassa

r. Tanggal 10 november 2016

Dalman,H.2014.Keterampilan

membaca.Jakarta:Rajawali Pers

Dantes,N.2012.Metode Penelitian.

Yogyakarta:C.V Andi Offset

Dantes,N.2014. Landasan Pendidikan.

Yogyakarta:Graha Ilmu.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

2016.Direktorat Jenderal Pendidikan

Dasar dan Menengah. Panduan Teknis

Pembelajaran Dan Penilaian di Sekolah

Dasar. Jakarta: Direktorat Pembinaan

Sekolah Dasar.

Kementerian pendidikan dan kebudayaan

2016. Direktorat Jenderal Pendidikan

Dasar dan Menengah.Buku Panduan

Pelaksanaan Gerakan Penumbuhan Budi

Pekerti. Jakarta: Direktorat Pembinaan

Sekolah Dasar.

Kent,M.L. 2015.The Power of storytelling in

public relations:understanding the 20

masterplotshttps://www.researchgate.net/

profile/Michael_Kent5/publication/28236

2522_The_Power_of_Storytelling_in_Pu

blic_Relations_Understanding_the_20_M

aster_Plots/links/5707c93d08ae2eb9421b

d8bb.pdf diunduh pada tanggal 28

Januari 2017

Knight, G.R. 2008. Filsafat Pendidikan.

Terjemahan Mahmud Arif. Issues and

Alternatives in Educational Philosophy.

Yogyakarta:Gama Media.

Marhaeni, A.A.I.N. 2012. Landasan dan

inovasi pembelajaran. Singaraja:

Universitas Pendidikan Ganesha.

Permendikbud No. 21 Tahun 2016 tentang

Standar Isi Pendidikan Dasar dan

Menengah Kurikulum 2013

Permendikbud No 23 tahun 2015. Tentang

Gerakan Literasi Sekolah.

Rooijakers.A.D.2010. Mengajar dengan

Sukses. Jakarta: Grasindo.

Satriani,M.,A.A.I.N.Marhaeni.,N,Dantes.,20

16. Pengembangan Prototipe Buku

Cerita Anak Melalui Analisis Muatan

Sikap dan Literasi pada Tema

Keluargaku.

http://pasca.undiksha.ac.id/ejournal/index

.php/jurnal_pendas/article/view/1965

diunduh pada tanggal 17 juni 2017

Sumantri,M.2011. Perkembangan Peserta

Didik. Jakarta:Universitas Terbuka.

Undang – Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta :

Kementerian pendidikan dan kebudayaan

Republik Indonesia

Sanjaya,W. 2013. Penelitian Pendidikan

Jenis, Metode dan Prosedur.

Jakarta:Kencana Prenada Media Group.

Sumaatmadja,N.H, Wihardit,K. 2008.

Perspektif Global. Jakarta:Universitas

Terbuka.

Dewi,W.K.,N,Dantes.,A.A.I.N.Marhaeni.

2016. Pengembangan Prototipe Buku

Cerita Anak Berbasis Budaya Lokal

Melalui Analisis Muatan Sikap Dan

Literasi Dini Pada Pembelajaran

Tema Kegiatanku Kurikulum 2013

Kelas 1 Sekolah

Dasarhttp://pasca.undiksha.ac.id/e-

journal/index.php/jurnal_pendas/article

/view/1906 diunduh pada tanggal 26

Juni 2016

Winataputra,U.S.,dkk.2013.

Pembaharuan dalam pembelajaran di

SD. Jakarta:Universitas Terbuka.

Page 50: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 132

ANALISIS SIKAP DAN MUATAN PEMBELAJARAN

MATEMATIKA TEMA KERUKUNAN DALAM

BERMASYARAKAT KURIKULUM2013

KELAS V SERTA POTENSI BUDAYA

LOKAL PENDUKUNG DALAM

PEMBELAJARAN

Putu Ariantini

Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Indonesia

e-mail: {[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan nilai-

nilai sikap dan muatan pembelajaran Matematika serta nilai-nilai budaya

lokal pendukung dalam kurikulum 2013 tema Kerukunan Dalam

Bermasyarakat di kelas V sekolah dasar. Subjek penelitian ini adalah buku

guru dan buku siswa tema Kerukunan Dalam Bermasyarakat kelas V, guru

kelas V, orang tua siswa, guru SBdP dan budayawan. Data dikumpulkan

menggunakan pendoman pencatatan dokumen dan wawancara. Data

dianalisis secara deskriftif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa ditemukan; 1) sikap spiritual yang muncul adalah berprilaku

syukur, berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan, dan toleransi

dalam beribadah, 2) nilai-nilai sikap sosial yang termuat yaitu disiplin,

tanggung jawab, santun, dan percaya diri, 3) muatan pembelajaran

matematika yang muncul yaitu statistik sederhana, dan 4) nilai-nilai

budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas tinggi yang

mendukung pengembangan nilai-nilai sikap dan muatan pembelajaran

matematika pada tema Kerukunan Dalam Bermasyarakat yaitu, beberapa

jenis permainan tradisional, cerita anak (satua), bernyanyi (magending),

mengucapkan salam, dan kegiatan sembahyang (mebanten). Selanjutnya

dari hasil temuan-temuan tersebut juga dihasilkan prototipe buku cerita

anak berbasis budaya lokal pada tema Kerukunan Dalam Bermasyarakat

di kelas V sekolah dasar.

Kata Kunci : budaya lokal, sikap

Abstract

The purpose of this research to analyzis and describe the velue of attitude

and velue content of learning Mathematics and local cultural values of

supporters in curriculum 2013 with theme of Kerukunan Dalam

Bermasyarakat in class V of elementary school. The subject of this

research is the teacher's book and students' book themed Kerukunan

Dalam Bermasyarakat for class V, the fifth grade teacher, students parents,

SBdP teacher and culture experts. The data was gathered by using note-

taking guidelines and interview. The data was analyzed descriptively and

qualitatively. The result of this study showed that: 1) spiritual attitude is

behave gratitude, praying before and after doing activities, tolerance in

worship; 2) the value of social attitudes is discipline, responsibility,

Page 51: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 133

manners, and self-confidence, 3) Charge of mathematics learning that

emerged that is simple statistic, and 4) the value of local culture show in

the children who have high class to support the development in value of

attitude in theme Kerukunan Dalam Bermasyarakat the several of

traditional games, fairy tale, singing, greeting, and prayer activity.

Furthermore, the result of the findings in this study was compiled into

culture-based theoretical children's storybook in the theme Kerukunan

Dalam Bermasyarakat.

keyword : local culture, attitude

PENDAHULUAN

Kemajuan suatu bangsa

ditentukan dari kualitas sumber daya

manusianya, untuk menciptakan sumber

daya yang berkualitas maka harus di

dukung dengan adanya pendidikan.

Dantes (2014) mendefinisiskan

pendidikan adalah upaya memanusiakan

manusia atau membentuk manusia

seutuhnya, artinya bahwa dengan

adanya pendidikan manusia dapat

dibentuk untuk lebih sempurna dari

mahkluk Tuhan yang lainnya. Sejalan

dengan itu Undang-Undang Republik

Indonneia No. 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional secara tegas

menyebutkkan bahwa pendidikan adalah

usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia

dan keterampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Untuk mempersiapan manusia yang

memiliki kemampuan hidup sebagai

pribadi dan warga Negara yang beriman,

produktif, kreatif, inovatif dan afektif

serta mampu berkontribusi pada

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara maka dilalukanlah perubahan-

perubahan pada kurikulum.

Kurikulum sebagai suatu

rancangan dalam pendidikan memiliki

posisi yang strategis, karena seluruh

kegiatan pendidikan bermuara kepada

kurikulum. Begitu pentingnya kurikulum

sebagaimana sentra kegiatan pendidikan,

maka didalam penyusunannya

memerlukan landasan atau pondasi yang

kuat melalui pemikiran dan penelitian

secara mendalam. Lasmawan (2013)

mengemukakan kurikulum dimaknai

sebagai pengalaman belajar yang

direncanakan sebagai dasar dan acuan

dalam merencanakan, melaksanakan,

mengevaluasi dan mengembangkan serta

pelaksanaa kurikulum mampu

mentransformasi materi pendidikan

menjadi pengalaman belajar bagi peserta

didik. Hal ini sejalan dengan Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang

sistem Pendidikan Nasional

menyebutkan bahwa kurikulum adalah

seperangkat rencana dan pengaturan

mengenai tujuan, isi, dan bahan

pelajaran serta cara yang digunakan

sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran untuk mencapai

tujuan pendidikan. Pengembangan

kurikulum 2013 merupakan langkah

lanjutan dari pengembangan kurikulum

berbasis kompetensi yang telah dirintis

sejak tahun 2004 dan KTSP 2006 yang

mencakup kompetensi sikap,

pengetahuan dan keterampilan secara

terpadu.

Kurikulum 2013 mengusung

konsep pembelajaran tematik

terintegrasi. Pembelajaran tematik

merupakan suatu proses pembelajaran

dengan mengaitkan dan memadukan

materi ajar dalam suatu mata pelajaran

atau antar mata pelajaran dengan semua

aspek perkembangan anak, serta

kebutuhan dan tuntutan lingkungan

sosial keluarga untuk memberikan

pengalaman yang bermakna. Teori

Page 52: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 134

Ausubel menyatakan bahwa belajar

bermakna terjadi apabila pembelajaran

mampu mengubah suatu proses,

mengaitkan informasi baru pada konsep-

konsep relevan yang terdapat dalam

struktur kognitif seseorang (Santyasa,

2010).

Salah satu pembelajaran yang

terdapat pada kurikulum 2013 adalah

pembelajaran matematika. Pembelajaran

matematika adalah suatu aktivitas mental

untuk memahami arti dan hubungan-

hubungan serta simbol-simbol kemudian

diterapkan pada situasi nyata. (Fitri,

2014). Mata pelajaran Matematika perlu

diberikan kepada semua siswa mulai dari

sekolah dasar untuk membekali siswa

dengan kemampuan berpikir logis,

analistis, sistematis, kritis, dan kreatif,

serta kemampuan bekerja sama.

Kompetensi tersebut diperlukan agar

siswa dapat memiliki kemampuan

memperoleh, mengelola, dan

memanfaatkan informasi untuk bertahan

hidup pada keadaan yang selalu berubah,

tidak pasti, dan kompetitif. Oleh sebab

itu pendidikan matematika perlu untuk

diajarkan sejak dini sehingga diharapkan

dikemudian hari generasi muda bangsa

ini dapat dan mampu menguasai

teknologi informasi, dan bukan hanya

sebagai pengguna teknologi saja.

Kurikulum 2013 merupakan

jawaban dari fenomena-fenomena yang

ada dimasyarakat. Hal tersebut ditinjau

dari menurunnya degradasi moral anak

bangsa saat ini. Banyak kasus yang

terjadi di Indonesia seperti kekerasan,

ketidakpedulian dan kurangnya toleransi

antar sesama. Hal tersebut seolah

menyudutkan pola pendidikan di

Indonesia, yang berdampak pada

lembaga-lembaga pendidikan salah

satunya yaitu sekolah yang dipercaya

oleh masyarakat sebagai tempat untuk

mendidik dan pengembangan karakter

anak.

Kendati kurikulum 2013 sudah

diterapkan dibeberapa sekolah, namun

permasalah sosial di masyarakat masih

saja terjadi. Saat ini banyak diberitakan

adanya kekerasan antar pelajar,

kekerasan dan tindak asusila yang

melibatkan peserta didik. Pada

kenyataannya permasalahan kurikulum

2013 bukan hanya berada pada

perangkat penunjang atau kesiapan

tenaga pendidik, melainkan pada konsep

pembelajaran yang kurang mampu

memenuhi harapan dari kurikulum 2013

itu sendiri. Seperti diketahui bersama,

kurikulum 2013 menekankan pada

penanaman nilai sikap peserta didik,

tanpa mengabaikan aspek pengetahuan

dan keterampilannya. Adapun sikap

yang diturunkan secara formal dalam K-

13 adalah sikap spiritual dan sikap

sosial.

Zubaedi (2011) berpendapat

bahwa spiritual berarti sesuatu yang

mendasar, penting, dan mampu

menggerakkan serta memimpin cara

berpikir dan bertingkah laku seseorang.

Sikap spiritual berarti berhubungan

dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta

kepercayaan yang dianut individu.

sementara sikap sosial erat kaitannya

dengan norma dan nilai yang terdapat

dalam kelompok, dimana individu

menjadi anggota atau berhasrat

mengadakan hubungan struktural dengan

orang lain. Menurut Mudjijono dalam

Sukesari (2016) menjelaskan bahwa

sikap sosial adalah cara seseorang dalam

bertanggung jawab pada setiap

keputusan yang diambil, saling

bekerjasama dengan orang lain dan

selalu bertoleransi dengan orang lain.

Pengenalan kehidupan sosial ini dapat

diperoleh melalui proses belajar dan

melalui interaksi dengan orang lain

dalam kehidupan di keluarga, di sekolah,

dan di masyarakat.

Kedua aspek sikap tersebut

menjadi tolak ukur keberhasilan

kurikulum 2013. Namun, jika masih

terjadi permasalahan mengenai sikap

siswa maka perlu dilakukan pengkajian

lebih mendalam mengenai kurikulum

2013.

Permasalahan lain yang ditemukan

adalah uraian pembelajaran dalam buku

Page 53: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 135

kurang efisien dalam mengembangkan

nilai-nilai sikap. Ditemukan beberapa

konten pembelajaran yang kurang

mampu mengoptimalkan penanaman

nilai-nilai sikap kepada peserta didik.

Berdasarkan beberapa temuan

empiris tersebut, dirasa perlu mencari

sebuah suplemen pembelajaran yang

mampu mengatasi persoalan tersebut.

Salah satu upaya alternatif yang dirasa

efektif digunakan untuk

mengembangkan nilai-nilai sikap adalah

dengan memanfaatkan peran budaya

lokal.

Dalam istilah bahasa Inggris,

budaya adalah Culture yang berasal dari

bahasa Latin colore yang berarti

mengolah, mengerjakan. Kebudayaan

lokal yang terdiri dari kepercayaan-

kepercayaan, nilai, pengetahuan, dan

sistem simbol bahasa lisan dan tulis

sangat penting dalam pembelajaran

sikap. Pemertahanan budaya lokal

ditengah derasnya arus globalisasi

merupakan salah satu hal yang penting

dilaksanakan. Kecintaan siswa pada

budaya lokal haruslah ditumbuhkan dari

sejak dini, implikasinya dapat

menumbuhkan rasa memiliki terhadap

budaya lokal sehingga dapat dijadikan

salah satu alat untuk menyaring dampak

negatif globalisasi. Keragaman budaya

yang melatarbelakangi masing-masing

peserta didik menuntut guru agar

memiliki wawasan yang luas terhadap

keadaan sosial budaya yang ada pada

lingkungan dimana guru mengajar.

Pengetahuan guru tentang keragaman

budaya yang dimiliki peserta didik, akan

sangat membantu untuk keberhasilan

pelaksanaan pendidikan. Keragaman

budaya akan berpengaruh terhadap pola-

pola sikap dan perilaku setiap individu.

Adat istiadat, norma-norma dan

kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di

masyarakat, satu dengan yang lainnya

berbeda-beda.

Kebudayaan lokal merupakan

kebudayaan yang lahir dan berkembang

secara khusus di suatu daerah/wilayah.

Keanekaragaan budaya merupakan

potensi sosial yang dapat membentuk

karakter dan citra budaya tersendiri pada

masing-masing daerah, serta merupakan

bagian penting bagi pembentukan citra

dan identitas budaya suatu daerah.

Kebudayaan lokal bali secara tidak

langsung sudah mendarah daging pada

kehidupan masyarakat, bahkan sampai

ke anak-anak. Sebagian besar anak-anak

masih terlihat bermain permainan

tradisional bali.

Konsep budaya lokal Bali dalam

kehidupan anak sekolah dasar menurut

Made Taro dalam Guna (2014) adalah

budaya lokal yang akrab dengan

kehidupan anak yang menyertai aktivitas

anak dalam bermain, mendengarkan

cerita (satua), bernyanyi (gending rare),

mengucapkan salam, dan kewajiban

sembahyang (mebanten). Bermain dalam

budaya lokal yaitu bermain permainan

tradisional Bali, bernyanyi dalam budaya

lokal yaitu bernyanyi lagu anak-anak

(gending rare), mendengarkan cerita

dalam budaya lokal disebut ningehang

satua, mengucapkan salam yang

dimaksud adalah salam budaya lokal,

dan kewajiban bersembahyang dalam

budaya lokal disebut mebanten.

Hal-hal di atas menjadi landasan

pemikiran bahwa, nilai-nilai budaya

lokal yang diturunkan ke dalam

beberapa jenis aktivitas, akan sangat

baik untuk mengembangkan nilai-nilai

sikap. Hal tersebut didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Almerico

(2014) pada penelitian yang berjudul

Building Character Throught Literacy

With Children Literature yang

memaparkan bahwa kegiatan literasi

dapat dibawa ke dalam kurikulum untuk

membantu mengembangkan karakter

dengan cara yang lebih bermakna.

Pembelajaran yang dikembangkan dan

disajikan melalui teks bacaan yang dapat

mempererat karakter positif siswa.

Maka, aktivitas budaya lokal tersebut

dapat dijadikan sebagai suplemen dalam

menunjang pembelajaran kurikulum

2013 khususnya untuk anak kelas tinggi.

Namun, nilai-nilai budaya lokal yang

Page 54: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 136

mampu memuat nilai-nilai sikap sesuai

dengan K-13 belum teridentifikasi.

Telah ada penelitian sejenis yang

dilakukan oleh Sukesari (2013), yang

berhasil menganalisis dan memaparkan

beberapa aktivitas budaya lokal bali

yang memiliki keterkaitan dengan nilai

sikap spiritual dan sosial dalam

kurikulum 2013 pada anak kelas rendah.

Namun penelitian yang ditujukan untuk

kelas tinggi masih belum teridentifikasi.

Maka dari itu perlu dilakukan analisis

mengenai nilai-nilai sikap di kelas

tinggi, khususnya di Kelas V pada tema

Kerukunan Dalam Bermasyarakat, serta

kajian nilai-nilai budaya lokal

pendukungnya. Lebih lanjut hasil

analisis ini dapat diarahkan pada

penyusunan prototipe buku cerita anak

yang nantinya dapat dikembangkan

menjadi sebuah buku cerita anak, yang

bisa difungsikan sebagai suplemen buku

pelajaran yang dapat mengembangkan

nilai sikap dan muatan pembelajaran

sesuai dengan pembelajaran tema

Kerukunan Dalam Bermasyarakat Kelas

V sekolah dasar Kurikulum 2013.

METODE

Jenis penelitian ini merupakan

penelitian deskriptif kualitatif. Menurut

Dantes (2012), Penelitian Deskriptif

adalah suatu penelitian yang berusaha

mendeskripsikan suatu fenomena atau

peristiwa secara sistematis dan apa

adanya. Penelitian kualitatif menurut

Sugiyono (2014) merupakan metode

yang berlandaskan filsafat

postpositivisme, digunakan untuk

meneliti pada kondisi obyek yang

alamiah, dimana peneliti adalah sebagai

instrumen kunci dengan tehnik

pengumpulan data dilakukan secara

triangulasi, analisis data bersifat induktif

atau kualitatif dan hasil penelitian lebih

menekankan makna daripada

generalisasi.

Subjek penelitian adalah pihak-

pihak yang dijadikan sebagai sampel

dalam sebuah penelitian. Subjek

penelitian berupa benda yakni buku

guru dan buku siswa pembelajaran

tematik tema Kerukunan Dalam

Bermasyarakat kelas V kurikulum 2013.

Subjek penelitian dari informan adalah:

Budayawan (3 orang), Guru kelas V (3

orang), Guru Seni Budaya dan Prakarya

(SBdP) (3 orang), dan Orang tua siswa

kelas V (3 orang).

Variabel-variabel dalam penelitian

ini adalah: (1) Nilai-nilai sikap spiritual,

dan (2) sikap sosial. Metode pencatatan

dokumen dan wawancara digunakan

untuk mengumpulkan data tentang

muatan nilai-nilai sikap spiritual dan

sosial pada kurikulum 2013. Dokumen

yang digunakan meliputi buku guru,

buku siswa tema Bangga Sebagai

Bangsa Indonesia kelas V Sekolah

Dasar. Metode wawancara digunakan

dengan tujuan menggali informasi dari

narasumber (budayawan, guru kelas V,

guru SBdP, dan orang tua siswa kelas V

sekolah dasar) tentang nilai - nilai

budaya lokal berupa aktivitas anak kelas

awal yang mendukung nilai spiritual dan

sosial pada pembelajaran tematik

terpadu dengan tema Kerukunan Dalam

Bermasyarakat kelas V Sekolah Dasar

Analisis data yang dilakukan

dalam penelitian ini yaitu metode

analisis deskriptif kualitatif. Menurut

Sanjaya (2013), penelitian deskriptif

kualitatif adalah metode penelitian yang

bertujuan untuk menggambarkan secara

utuh dan mendalam tentang realitas

sosial dan berbagai fenomena yang

terjadi di masyarakat yang menjadi

subjek penelitian sehingga tergambarkan

ciri, karakter, sifat, model dari fenomena

tersebut. Metode analisis deskriptif

kualitatif digunakan untuk menjustifikasi

pencatatan dokumen mengenai nilai-

nilai sikap spiritual dan sikap sosial yang

terdapat pada buku guru dan buku siswa

pada tema Kerukunan Dalam

Bermasyarakat di kelas V Sekolah

Dasar. Mengklasifikasi hasil wawancara

dengan narasumber budayawan, guru

kelas, guru SBdP, dan orang tua siswa

untuk dapat mengetahui dimensi nilai

budaya lokal yang sesuai dengan nilai

Page 55: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 137

sikap spiritual dan sosial pada tema

Kerukunan Dalam Bermasyarakat kelas

V Sekolah Dasar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam Permendikbud No. 21

tahun 2016, tertera bahwa sikap spiritual

mencakup perilaku menerima,

menjalankan, dan menghargai ajaran

agama yang dianutnya. Kompetensi

tersebut merupakan wujud sikap syukur

siswa kepada Tuhan yang maha esa.

Salah satu cara yang ditunjukkan adalah

dengan taat beribadah menurut ajaran

agama yang dianutnya.

Sikap spiritual terdiri atas

beberapa aspek, diantaranya 1) ketaatan

beribadah, 2) berperilaku syukur, 3)

berdoa sebelum dan sesudah

berkegiatan, dan 4) toleransi dalam

beribadah. Dari hasil analisis data

mengenai nilai sikap spiritual dan nilai

sikap sosial pada buku guru dan buku

siswa kelas V tema Kerukunan Dalam

Bermasyarakat ditemukan bahwa

muatan sikap spiritual hanya muncul tiga

aspek yaitu berprilaku syukur, berdoa

sebelum dan sesudah melakukan

kegiatan, dan toleransi beribadah. Dari

ketiga aspek yang muncul terlihat bahwa

frekuensi aspek berprilaku syukur

kemunculannya lebih banyak

dibandingkan dengan aspek yang

lainnya. Hal ini menandakan bahwa pada

buku guru dan buku siswa yang lebih

ditekankan adalah kemampuan siswa

untuk selalu berprilaku syukur dalam

kehidupan.

Selanjutnya temuan-temuan

tersebut dijadikan dasar untuk

melakukan wawancara kepada informan

guna mendapatkan hasil yang akurat.

Berdasarkan hasil wawancara

menunjukkan adanya aspek-aspek

budaya lokal yang dekat dengan

aktivitas anak kelas tinggi yang dapat

digunakan untuk pengembangan sikap

spiritual. Pertama, Untuk temuan

berprilaku syukur, aspek yang

menunjukkan keterkaitan dengan nilai

sikap spiritual tersebut adalah

cerita/satua dan aktivitas kewajiban

sembahyang (mebanten). Ada beberapa

judul cerita/satua yang dapat memuat

sikap selalu bersyukur yaitu I Bawang

Teken I Kesuna, Men Sugih Teken Men

Tiwas, I Bintang Lara, Belibis Putih I

Rare Angon Dan Tuwung Kuning.

Dalam cerita tersebut diceritakan tentang

lakon-lakon yang dalam kehidupannya

kurang beruntung. Berikut cuplikan

cerita I Bawang Teken I Kesuna “Ni

Bawang laut megedi sambilange ngeling

sigsigan. Di subane ngutang umah,

neked kone ye di tukade ketemu ajak

kedis crukcuk kuning. Ditu i Kedis

Crukcuk Kuninge kapilasa teken unduk

Ni Bawange. Ni Bawang gotola, baanga

emas-emasan, marupa pupuk, subeng,

kalung, bungkung, gelang muah kain

sutra”. Dari cuplikan tersebut terlihat

bahwa Ni Bawang selalu bersyukur

walaupun dia benci oleh ibu dan saudara

tirinya. Begitu juga dengan kisah Men

Tiwas yang sangat miskin namun dalam

perjalanan hidupnya dia mendapatkan

banyak emas karena dia selalu bersyukur

dengan apa yang dimiliki. Sedangkan

cerita/satua Ni Tuwung Kuning yang

kehadirannya tidak diharapkan oleh ayah

kandungnya. Tapi dalam perjalanan

kisahnya mereka selalu bersyukur dan

tidak henti-henti untuk berbuat baik,

yang pada akhirnya menguntungkan bagi

mereka sendiri. Sementara itu juga

ditemukan pula salah satu aktivitas

budaya lokal yang sesuai dengan nilai

sikap spiritual yakni aktivitas mebanten.

Mebanten yang dapat dilakukan oleh

anak kelas tinggi yaitu mebanten

saiban/jotan, mebanten canang,

mebanten purnama-tilem, dan mebanten

keliling.

Kedua, untuk temuan berdoa

sebelum dan sesudah melakukan

kegiatan dapat didukung oleh budaya

lokal mebanten yaitu melakukan Tri

Sandya sebelum dan sesudah melakukan

kegiatan. Dengan demikian peserta didik

secara tidak langsung dapat

menumbuhkan nilai-nilai sikap spiritual.

Ketiga, untuk temuan toleransi dalam

Page 56: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 138

beribadah, budaya lokal yang

mendukung yaitu aktivitas

mengucapkam salam. Sebagai umat

yang beragama kita harus menghargai

satu dengan yang lainnya. Contoh

pengucapan salam Om Swastiastu dapat

digunakan jika kita bertemu dengan

orang atau teman.

Berdasarkan temuan dan hasil

wawancara tersebut dapat disimpulkan

bahwa terdapat beberapa budaya lokal

yang dapat menudukung dalam

pembentukan nilai-nilai sikap dan

pengembangan karakter peserta didik.

Budaya lokal yang mendukung

pengembangan nilai –nilai sikap

spiritual diantaranya yaitu aktivitas

mendengarkan cerita/satua,

mengucapkan salam, dan kewajiban

sembahyang/mebanten.

Selanjutnya nilai-nilai sikap sosial

terdapat enam dimensi yaitu: 1) jujur, 2)

disiplin, 3) tanggung jawab, 4) santun, 5)

peduli, dan 6) percaya diri. Sikap sosial

yang termuat dalam Kurikulum 2013 di

kelas V mengacu pada Permendikbud

No. 21 tahun 2016 ditunjukkan melalui

perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,

santun, peduli, dan percaya diri dalam

berinteraksi dengan keluarga, teman,

guru, dan tetangganya serta cinta tanah

air. Berdasarkan hasil analisis dan

pencatatan dokumen ditemukan aspek-

asek sikap sosial yang muncul yaitu

disiplin, tanggung jawab, santun dan

percaya diri. Kemunculan frekuensi

nilai-nilai sikap sosial sangat beragam.

Namun, aspek tanggung jawab dan

percaya diri merupakan yang paling

banyak muncul. Hal ini menunjukkan

bahwa aspek tanggung jawab dan

percaya diri mendapatkan penekanan

pada tema Kerukunan Dalam

Bermasyarakat Kurikulum 2013.

Sikap disiplin yang muncul

ditunjukkan melalui prilaku mengikuti

peraturan yang ada di sekolah dan tertib

melaksanakan tugas. Sikap tanggung

jawab ditunjukkan melalui kegiatan

menyelesaikan tugas yang diberikan

serta mengerjakan tugas pekerjaan

rumah dan sekolah dengan baik. Sikap

santun ditunjukkan melalui prilaku

menghormati orang lain dengan

menggunakan cara bicara yang tepat,

dan berbicara atau bertutur kata halus.

Sikap percaya diri ditunjukkan melalui

prilaku berani tampil di depan kelas,

berani mengemukakan pendapat, dan

mencoba hal-hal baru yang bermanfaat.

Ditemukan pula adanya kandungan nilai-

nilai sosial yang dapat dituangkan ke

dalamnya.

Berdasarkan hasil wawancara

menunjukkan adanya aspek-aspek

budaya lokal yang dekat dengan

aktivitas anak kelas tinggi yang dapat

digunakan untuk pengembangan sikap

sosial. Pertama, untuk temuan aspek

sikap disiplin dan bertanggung jawab

dapat dimunculkan pada aktivitas

permainan tradisional dan satua.

Aktivitas bermain dapat menumbuhkan

interaksi sosial dengan lingkungan,

menanamkan nilai karakter seperti

kerjasama, kejujuran, disiplin dan kerja

keras, menerima kekalahan dan selalu

berucap syukur. Beberapa permainan

yang dapat mengembangkan prilaku

disiplin untuk mengikuti peraturan dan

bertanggung jawab menyelesaikan tugas

yang diberikan yaitu permainan

mecingklak, dengkleng, megale-galean,

megoak-goakan, dan meong-meongan.

Kedua, untuk temuan prilaku

santun dapat dimunculkan pada aktivitas

mengucapkan salam. Dalam

mengucapkan salam anak menunjukkan

rasa menghargai dan menghargai orang

yang ditemuinya. Hal ini sesuai dengan

salah satu indikator aspek santun yaitu

menghormati orang lain dan

menggunakan cara bicara yang tepat.

Adapun salam yang dimaksud yakni

panganjali umat, om swastiastu,

rahajeng semeng, rahajeng wengi, dan

paramasanthi.

Ketiga, untuk temuan aspek

percaya diri budaya lokal yang

mendukung yaitu aspek bernyanyi

(megending), aspek cerita/satua dan

permainan tradisional. Dengan menyanyi

Page 57: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 139

dan bercerita anak dapat tampil di depan

orang lain untuk mencoba hal-hal baru

yang bermanfaat. Beberapa jenis

gending yang sesuai yang dapat

dinyanyikan yaitu gending juru pencar,

curik-curik, ratu anom dan ketut garing.

Dengan mendengarkan cerita/satua anak

kelas tinggi beranii mengemukakan

pendapat dengan percaya diri. Beberapa

jenis cerita/satua yaitu satua Siap Selem,

Men Tiwas Teken Men Sugih, I Bawang

Teken I Kesuna, I Kekua Memaling Isen,

I Bintang Lara, Jayaprana Layonsari,

Rajapala/Durma, Pan Balang Tamak,

Belibis Putih, I Rare Angon dan Kebo

Iwe. Selain itu juga dengan melakukan

permainan tradisional anak kelas tinggi

dapat mencoba hal-hal baru. Adapun

permainan yang dapat dilakukan seperti

meong-meong, mecingklak, megala-

gala, megoak-goakan, tajog dan

dengkleng.

Hal ini didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Dewi Handayani

pada tahun 2013 yang berjudul

Penerapan Permainan Tradisional

Meong-meong Untuk Meningkatkan

Perkembangan Sikap Sosial Anak

Kelompok B Taman Kanak-Kanak Astiti

Dharma Penatih Denpasar menemukan

bahwa adanya peningkatan kualitas

sikap sosial anak melalui penerapan

permainan tradisional meong-meong.

Selain itu penelitian dari Hartoyo pada

tahun 2015 yang berjudul Pembinaan

Karakter dalam Pembelajaran

Matematika, menemukan bawah,

Pendidikan karakter membekali kepada

peserta didik ilmu, pengetahuan dan

pengalaman budaya, perilaku yang

berorientasi pada nilai-nilai ideal

kehidupan, baik yang bersumber pada

budaya lokal maupun budaya luar.

Berdasarkan temuan dan hasil

wawancara tersebut dapat disimpulkan

bahwa terdapat beberapa budaya lokal

yang dapat mendukung dalam

pembentukan nilai-nilai sikap sosial dan

pengembangan karakter peserta didik.

Budaya lokal yang mendukung

pengembangan nilai –nilai sikap sosial

diantaranya yaitu aktivitas bermain

permainan tradisional, mendengarkan

cerita/satua, bernyanyi/megending, dan

mengucapkan salam.

Muatan pembelajaran Matematika

yang tertuang pada Permendikbud No.21

Tahun 2016 yaitu: 1) statistika

sederhana, 2) Bilangan perpangkat dan

akar sederhana, 3) Geometri dan

pengukuran sederhana, 4) Geometri dan

pengukuran (termasuk satuan turunan),

dan 5) Statistika (pengumpulan dan

penyajian data sederhana).

Berdasarkan hasil analisis

mengenai muatan pembelajaran

Matematika pada studi buku guru dan

buku siswa kelas V tema Kerukunan

Dalam Bermasyarakat ditemukan

kompetensi-kompetensi yang muncul

ditemukan bahwa muatan yang muncul

pada pelajaran matematika adalah

statistik sederhana (perbandingan dan

skala). Selanjutnya hasil dari wawancara

terhadap narasumber menunjukan

adanya aspek-aspek budaya lokal yang

dekat dengan aktivitas anak kelas tinggi

dan ada yang mampu memuat muatan

pembelajaran matematika di dalamnya.

Terdapat aktivitas berbasis budaya lokal

yang menurut keterangan narasumber

dapat menjadi wadah untuk

membelajarkan muatan pembelajaran

matematika kepada peserta didik yakni

bermain permainan tradisional.

Menurut narasumber dari

budayawan, guru kelas, dan guru SBdP

muatan statistik sederhana khususnya

perbandingan dapat dimuat pada

permainan tradisional mecingklak,

meong-meong, goak-goakan, selodor

dan tampul/benteng. Pada permainan

mecingklak secara tidak langsung siswa

dapat mengasah kemampuan kognitif

siswa dalam berhitung. Sedangkan pada

permainan tradisional goak-goakan,

meong-meong, selodor, dan

tampul/benteng anak kelas tinggi secara

langsung dapat belajar tentang

perbandingan. Misalnya pada permainan

goak-goakan terdiri dari dua kelompok,

yang berperan menjadi goak terdiri dari

Page 58: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 140

satu orang, dan yang menjadi mangsa

goak terdiri dari beberapa orang yang

berbaris kebelakang seperti ular. Dari

susunan anggota tersebut anak secara

langsung dapat belajar tentang

perbandingan.

Adapun keterkaitan antar nilai-

nilai sikap spiritual dan sikap sosial serta

muatanpembelajaran dengan nilai-nilai

budaya lokal pendukung, disajikan

dalam tabel 1. berikut.

Tabel 1. Keterkaitan Nilai-nilai Sikap dan Muatan Pembelajaran Matematika

Dengan Budaya Lokal Pendukung Untuk Tema Kerukunan Dalam

Bermasyarakat Kurikulum 2013 di Kelas V Sekolah Dasar

No. Aspek Temuan Budaya Lokal yang Mendukung

1 Nilai-Nilai

Sikap

Spiritual

Berprilaku

syukur

- Aktivitas mendengarkan cerita/satua seperti

I bawang teken I kesuna, Men sugih teken

men tiwas, Tuwung Kuning, Pan Balang

Tamak, I Bintang Lara, Belibis Putih,

Ketimun Mas dan I Rare Angon.

- Kewajiban sembahyang seperti: Mebanten

saiban/jotan, mebanten wedang, Mebanten

cang sari, Sembahyang Purnama-Tilem,

Mebanten keliling, Mesegeh, Tri sandya

Berdoa

sebelum dan

sesudah

melakukan

kegiatan

Melakukan puja Tri Sandya sebelum dan

sesudah mengakhiri pelajaran

Toleransi

dalam

beribadah

Mengucapkan salam seperti: Om Swastiastu

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

2 Nilai-Nilai

Sikap Sosial

Disiplin Permainan tradisional yang dapat melatih

kedisiplinan seperti: Mecingklak, Dengkleng,

Megala-gala, Megoak-goakan, Meong-meong,

Tarik Tambang

Tanggung

Jawab

Bertanggung jawab dalam menyelesaikan

permainan tradisional seperti: Mecingklak,

Dengkleng, Megala-gala, Megoak-goakan,

Meong-meong, Tarik Tambang.

Santun Mengucapkan salam seperti:

Om Swastiastu, Parama Shanti, Rahajeng

semeng/wengi

Percaya Diri - Aktivitas bernyanyi/megending seperti:

megending Lagu Juru Pencar, Curik-Curik,

Ratu Anom, Dan Ketut Garing.

- Aktivitas mendengarkan cerita/satua seperti:

I Siap Selem, Men Tiwas Teken Men Sugih, I

Bawang Teken I Kesuna, I Kekua Memaling

Isen, Jayaprana Layonsari,

Rajapala/Durma, I Bintang Lara, Belibis

Putih, dan I Rare Angon. dan Kebo Iwe.

- Percaya diri dalam aktivitas permainan

tradisional seperti: Mecingklak, Dengkleng,

Page 59: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 141

No. Aspek Temuan Budaya Lokal yang Mendukung

Megala-gala, Megoak-goakan, Meong-

meong

3 Muatan

Pembelajaran

Matematika

Statistik

Sederhana

Aktivitas permainan tradisional seperti:

Meong-Meong, Goak-Goakan, Selodor,

Tampul/Benteng, dan Mecingklak.

PENUTUP

Berdasarkan hasil analisis

deskriptif kualitatif. maka dapat

disimpulkan bahwa bahwa sikap

spiritual siswa berkembang diantaranya

berprilaku syukur, berdoa sebelum dan

sesudah melakukan kegiatan, dan

toleransi dalam beribadah, selain itu

sikap sosial, seperti disiplin, tanggung

jawab, santu dan percaya diri, semunya

itu mampu dikembangkan oleh siswa

dalam pelaksanaan pembelajran

matematika di sekolah.

Saran

Saran yang dapat diberikan

berdasarkan penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Perlu dilakukan kajian nilai-nilai

sikap spiritual dan muatan

pembelanilai-nilai sikap sosial

terhadap perangkat pembelajaran

pada tema lainnya di kelas tinggi,

untuk kemudian dikaitkan dengan

budaya lokal yang dapat

mendukungnya.

2. Guna penyempurnaan penelitian yang

dilakukan, maka perlu dilakukan

penelitian lanjutan.

3. Agar tujuan penelitian ini tercapai

optimal, maka hasil dari penelitian ini

hendaknya dapat difungsikan sebagai

landasan dalam melakukan analisis

nilai-nilai sikap spiritual dan sikap

sosial serta budaya lokal

pendukungnya untuk penanaman nilai

sikap dan pengembangan karakter

peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Almerico, G.M. 2014. “Building

character through literacy with

children’s literature”. E-Journal

The University Of Tampa:

School of Education. Vol. 26

tahun 2014

Dantes, N. 2014. Landasan Pendidikan

Tinjauan dari Dimensi

Makropedagogis. Singaraja:

Universitas Pendidikan Ganesha.

Departemen Pendidikan Nasional

Republik Indonesia. 2003.

Undang-undang Nomor 20

Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

Fitri, Rahma ,Helma, Hendra

Syarifuddin. 2014. Penerapan

Strategi The Firing Line Pada

Pembelajaran Matematika Siswa

Kelas Xi Ips Sma Negeri 1

Batipuh . Vol. 3 No. 1 (2014)

Jurnal Pendidikan Matematika :

Part 2 Hal 18-22

Guna, I.G.M.D. 2014. Made Taro

Mendongeng dan Bermain

Sepanjang Waktu.

Yogyakarta : Media Kreatifitas

Yogyakarta.

Handayani, D. Nyoman Dantes & I W.

Lasmawan. 2013. “Penerapan

Permainan Tradisional Meong-

Meongan Untuk Perkembangan

Sikap Sosial Anak Kelompok B

Taman Kanak-Kanak Astiti

Dhrama Penatih Denpasar”. E-

Journal Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan

Ganesha: Program Pendidikan

Dasar. Vol. 3 tahun 2013

Hartoyo, Agung. 2015. Pembinaan

Karakter Dalam Pembelajaran

Matematika . ISSN 2442-3041

Math Didactic: Jurnal

Page 60: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 142

Pendidikan Matematika Vol. 1,

No.1

Lasmawan, I.W. 2013. Telaah

Kurikulum. Singaraja: Surya

Grafika

Marhaeni, A.A.I.N. 2013. Landasan dan

Inovasi Pembelajaran.

Singaraja: Universitas

Pendidikan Ganesha.

Sanjaya, W. 2013. Penelitian

Pendidikan: Jenis,metode, dan

Prosedur. Jakarta: Kencana.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Sukesari, N.K.A., A.A.I.N. Marhaeni &

N. Dantes. 2016.

“Pengembangan Prototipe Buku

Cerita Anak Bermuatan Budaya

Lokal Melalui Analisis Muatan

Sikap Dan Literasi Dini Pada

Pembelajaran Tema Peristiwa

Alam Kurikulum 2013 Kelas I

Sekolah Dasar”. E-Journal

Pascasarjana Universitas

Pendidikan Ganesha: Program

Studi Pendidikan Dasar. Vol. 6

No 1 Tahun 2016.

Win, B. 2010. Mengenal Sepintas Seni

Budaya Bali. Jakarta: PT Mapan

Zubaedi, B. 2011. Sikap Spiritual Dalam

Beragama. Yogyakarta: Media

Kreatif.

Page 61: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 143

PENGETAHUAN AWAL DAN TINGKAT KEYAKINAN SISWA

TENTANG KONSEP LISTRIK DINAMIS

Gde Parie Perdana

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk menginvestigasi pengetahuan awal siswa dan

tingkat keyakian siswa tentang konsep ilmiah listrik dinamis yang

dimilikinya. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-komparatif dengan

pendekatan crossecsional. Variabel yang diteliti yaitu pengetahuan awal

(prior knowledge) siswa dan keyakinan terhadap pengetahuan yang dimiliki

(certainty of knowledge). Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa

kelas X IPA (Ilmu Pengetahun Alam) SMAN 1 Banjarangkan (2016/2017).

Jumlah keseluruhan sampel adalah 136 siswa. Tes terdiri dari pilihan ganda

dengan tingkat keyakinan siswa atas jawabannya. Jawaban siswa dianalisis

dengan chi-square analysis. Hasil penelitian menunjukkan (1) pengetahuan

awal siswa tentang konsep-konsep pada materi listrik dinamis sebagian besar

berupa miskonsepsi (62,3%) dan hanya 37,7% tahu konsep, dan (2) tingkat

keyakinan siswa dapat berkorelasi dengan pengetahuan awal siswa.

Kata Kunci: pengetahuan awal, keyakinan, listrik dinamis

Abstract

The aims of this research were to investigate the initial knowledge of students

and the level of student's certainty about the dynamic electrical science

concept. This is an analytic-comparative research with cross-sectional

approach. The variables studied are the prior knowledge (prior knowledge)

students and beliefs to the knowledge possessed (certainty of knowledge).

Research subjects in this study were students of class X IPA (Natural Science

Science) SMAN 1 Banjarangkan (2016/2017). The total sample size is 136

students. The test consists of multiple choices with students' level of certainty

in their answers.. Students' answers were analyzed by chi-square analysis. The

result of the research shows (1) the students' prior knowledge about dynamic

electrical concepts is mostly misconception (62,3%) and only 37,7% know the

concept, and (2) the student's confidence level can correlate with the student's

prior knowledge.

Keywords: prior knowledge, certainty, dynamic electrical

PENDAHULUAN

Salah satu faktor penting dalam

kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan.

Pendidikan tersebut haruslah mampu

menjawab tuntutan masyarakat dan mengikuti

perkembangan zaman. Seperti saat ini

pembelajaran di Indonesia saat ini

menghadapi dua tantangan. Tantangan yang

pertama datang dari adanya perubahan

persepsi tentang belajar dan tantangan kedua

datangnya dari adanya teknologi informasi

dan telekomunikasi (TIK) yang

memperlihatkan perkembangan yang luar

biasa ( Taufiq, 2014). Tantangan tersebut

merupaka dampak dari arus globalisasi yang

semakin pesat. Oleh karena itu pembelajaran

di Indonesia harus ditingkatkan. Salah satu

pembelajaran di sekolah adalah pembelajaran

Page 62: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 144

tentang sains. Secara umum istilah sains

memiliki arti sebagai Ilmu Pengetahuan. Oleh

karena itu, sains didefinisikan sebagai

kumpulan pengetahuan yang tersusun secara

sistematis, sehingga secara umum istilah sains

mencakup Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) (Rahayuni,

2016). Secara khusus, istilah sains dimaknai

sebagai Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau

natural science.

Depdiknas (2011) menyatakan bahwa

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan

dengan upaya memahami berbagai fenomena

alam secara sistematis, sehingga IPA bukan

hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,

prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan

suatu proses penemuan. Sejalan dengan

definisi tersebut, tuntutan dalam Pendidikan

IPA adalah diharapkan dapat menjadi wahana

bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan

alam sekitar, serta prospek pengembangan

lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam

kehidupan sehari-hari (Hidyati, 2016).

Menurut Kemendikbud (2013), Pendidikan

IPA diarahkan untuk menemukan sendiri dan

berbuat sehingga dapat membantu siswa

untuk memperoleh pemahaman yang lebih

mendalam tentang alam sekitar. Dengan

demikian, proses pembelajarannya

menekankan pada pemberian pengalaman

langsung untuk mengembangkan kompetensi

agar menjelajahi dan memahami alam sekitar

secara ilmiah. Pendidikan IPA di Indonesia

masih jauh dari standar rata-rata pendidikan

IPA dunia. Survei TIMSS tahun 2015

menunjukkan Indonesia masih berada pada

posisi di bawah dari center point skor

pendidikan dunia, dengan menduduki ranking

44 dari 47 negara yang disurvei dengan skor

rata-rata 397 (Martin et al., 2016). Indonesia

menduduki peringkat jauh di bawah

Singapura yang menduduki peringkat 1 dunia.

Tidak hanya itu, berdasarkan data UNESCO

(2012) tentang Education Development Index

(EDI), Indonesia menempati peringkat 64 dari

120 negara dengan skor 0,938. Hasil survei

kedua lembaga international tersebut

menunjukkan pendidikan IPA di Indonesia

tergolong rendah dan belum mampu bersaing

mengimbangi negara-negara berkembang

lainnya.

Penelitian Suma (2015) menunjukkan

sebagian besar (60%) siswa kelas XI IPA di

SMA Negeri di Bali mengalami miskonsepsi

dan kurang dari 40% memiliki konsep ilmiah

dalam bidang dinamika pada materi fisika. Ini

menunjukkan pengetahuan IPA siswa

khususnya pada mata pelajaran fisika sangat

rendah.

Rendahnya pengetahuan IPA ini

disinyalir disebabkan terganggunya proses

pembelajaran oleh pengalaman-pengalaman

awal siswa. Siswa merasa yakin bahwa

pengalaman tersebut memberikan tafsiran

yang benar. Padahal pengalaman-pengalaman

itu memberikan tafsiran yang tidak sesuai

dengan kaidah saintifik, sehingga

menyebabkan kesalahan konsep. Sadia (2004)

menyatakan bahwa tafsiran tersebut bukan

tidak berdasar, namun tafsiran tersebut lebih

didasarkan atas akal sehat (common sense)

bukan dengan pola pikir ilmiah. Pengalaman-

pengalaman awal siswa yang memberikan

tafsiran tidak sesuai dengan kaidah ilmiah

tersebut dapat mengganggu proses

pembentukan pengetahuan baru.

Rendahnya pengetahuan siswa dalam

pembelajaran khususnya pada materi fisika,

menurut hasil penelitian Samudra et al. (2014)

karena siswa kesulitan dalam mempelajari

fisika, sebab materi fisika yang padat,

menghapal, dan menghitung, serta

pembelajaran fisika di kelas yang tidak

kontekstual.

Siswa memperoleh pengetahuan tidak

hanya dari pembelajaran di sekolah, tetapi

juga dari lingkungannya. Akpinar dan Tan

(2011) Pengalaman-pengalaman ini akan

menghasilkan struktur mental yang berbeda

tentang sebuah konsep, namun beberapa

pengalaman dalam kehidupan sehari-hari

dapat menipu pemikiran awal. Persepsi siswa

tentang suatu konsep terkadang salah dari

sudut pandang saintifik dan dapat

mengganggu siswa dalam belajar (Salame,

2011). Pengalaman-pengalaman awal ini

dikenal dengan pengetahuan awal.

Penelitian Ismail et al. (2015)

menunjukkan pengetahuan awal siswa tentang

konsep listrik dinamis masih kurang,

Page 63: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 145

sebanyak 44,2% tidak mengetahui konsep,

39,9%, dan hanya 13,9% menguasai konsep.

Hasil penelitian Darmawan et al. (2015)

menunjukkan dari 32 siswa yang mengikuti

tes pengetahuan awal (pre-test), hanya 14

siswa memenuhi standar ketuntasan

minimum. Standar ketuntasan minimum yang

ditetapkan adalah 85,00, namun rata-rata hasil

skor yang diperoleh siswa hanya 73,44. Ini

menunjukkan pengetahuan awal siswa tentang

suatu konsep yang telah dimiliki sebelum

proses pembelajaran tergolong rendah.

Pengetahuan yang diperoleh dari

pengalaman awal juga dapat mempengaruhi

keyakinan diri siswa dalam mengikuti

pembelajaran. Keyakinan siswa tentang

pengetahuan yang dimiliki berkaitan dengan

banyak aspek dalam pendidikan, termasuk

motivasi untuk belajar (Jiang et al., 2014),

ketertarikan pada salah satu mata pelajaran

tertentu (Viljaranta et. al., 2014), dan dengan

materi yang sedang dipelajari.

Keyakinan siswa tentang pengetahuan

awal yang dimiliki, mencerminkan persepsi

siswa. Menurut Bandura (1986), keyakinan

diri mengacu pada persepsi tentang

kemampuan individu untuk mengorganisasi

dan mengimplementasikan tindakan untuk

menampilkan kecakapan tertentu. Apabila

siswa memiliki persepsi yang tinggi tentang

kemampuan dirinya, maka siswa tersebut akan

memiliki keyakinan yang tinggi pada tiap

tindakan yang dilakukannya. Keyakinan

akademik muncul dari pengalaman-

pengalaman, persuasi verbal, dan keadaan

fisiologis saat berhadapan dengan

permasalahan. Akan tetapi, terkadang siswa

memiliki tingkat keyakinan yang tinggi

terhadap konsep yang tidak sesuai dengan

kaidah saintifik. Ini muncul karena

pengalaman-pengalaman awal yang dimiliki

siswa tidak sesuai dengan kaidah saintifik,

sehingga mengganggu pembentukan

pengetahuan baru dalam pembelajaran.

Pengetahuan awal dan keyakinan siswa

tentang konsep yang dimiliki memiliki

peranan penting dalam pelaksanaan

pembelajaran. Hal ini mendorong peneliti

untuk menginvestigasi pengetahuan awal

siswa dan tingkat keyakinannya terhadap

pengetahuan awal tersebut.

Pengetahuan Awal

Pandangan konstruktivisme mengakui

adanya eksistensi pengetahuan awal yang

dimiliki oleh siswa sebelum mengikuti

pembelajaran di kelas. Siswa harus dipandang

sebagai suatu subjek pembelajaran yang sudah

memiliki pengetahuan awal sebelum

mengikuti proses pembelajaran (Cordova et

al., 2014).

Dochy dan Alexander (1995)

mendefinisikan pengetahuan awal (prior

knowledge) sebagai seluruh pengetahuan

seseorang yang bersifat (1) dinamis, (2) ada

sebelum pembelajaran, (3) terstruktur, (4) ada

dalam berbagai bentuk (deklaratif, procedural,

dan bergantung pengetahuan), (5) eksplisit

maupun implisit, dan (6) mengandung

konseptual dan komponen pengetahuan

metakognitif. Jadi, dapat disimpulkan bahwa

pengetahuan awal merupakan seluruh

pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum

mendapat pembelajaran yang baru tentang

suatu konsep tertentu.

Pengetahuan awal siswa sangat

mendukung pembentukan konsep ilmiah pada

diri siswa guna mencapai prestasi belajar.

Sesuai dengan hasil penelitian Calisir et al.

(2008) bahwa pengetahuan awal berpengaruh

signifikan terhadap prestasi belajar siswa.

Tidak hanya mendukung, pengetahuan awal

siswa juga dapat menjadi penghalang untuk

belajar karena beberapa pengetahuan

sebelumnya mungkin bertentangan dengan

informasi yang akan dipelajari (Cordova et al.,

2014). Oleh karena itu, mengetahui

pengetahuan awal siswa menjadi langkah

penting di dalam proses belajar agar konsep

yang diajarkan dapat dipahami oleh siswa.

Pada proses belajar, pengetahuan awal

menjadi kerangka berpikir tempat siswa

menyaring informasi baru dan mencari makna

tentang apa yang sedang dipelajari.

Pengetahuan awal menjadi prasyarat yang

harus dimiliki peserta didik sebelum

memasuki materi pembelajaran berikutnya

yang memerlukan tingkat pemahaman lebih

tinggi.

Keyakinan tentang Pengetahuan Awal

Menurut Bandura (1986), keyakinan

akademik muncul dari prestasi akademik

individu, pengalaman individu lain dalam

Page 64: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 146

bidang akademik, persuasi verbal akan

kemampuan akademik individu, serta keadaan

fisiologis individu ketika berhadapan dengan

tugas atau tuntutan akademik. Clark dan Enns

(2015) menyampaikan bahwa pelatihan atau

pembelajaran yang pernah diterima tentang

suatu informasi akan memberikan dampak

positif pada keyakinanya.

Hansson et al. (2017) dalam

penelitiannya menunjukkan bahwa

kepercayaan akan pengetahuan yang dimiliki

hanya signifikan berkorelasi dengan

pengetahuan para ahli dan tidak ada untuk

pemula. Jadi, dapat dipastikan bahwa

keyakinan akan pengetahuan yang dimiliki

memiliki hubungan dengan tingkat

pengetahuan individu tersebut. Apabila

individu tersebut memiliki tingkat

pengetahuan yang tinggi maka mereka

memiliki keyakinan yang kuat tentang

pengetahuannya, sedangkan apabila mereka

tidak memiliki pengalaman ataupun

pengetahuan yang memadai, keyakinan

mereka akan kurang. Terkadang terdapat pula

kasus dimana siswa yang memiliki

pengetahuan awal yang kurang memadai,

namun memiliki tingka keyakinan yang

tinggi. Ini menunjukkan pengetahuan awal

yang tidak sesuai dengan kaidah saintifik

menyebabkan keyakinan yang tinggi pada

konsep yang salah. Inilah yang menyebabkan

terganggunya proses pembentukan

pengetahuan baru.

Tingkat keyakinan pengetahuan yang

dimiliki seseorang berbeda sesuai dengan

disiplin ilmu yang ditekuni (Hansson et al.,

2017). Subjek pelajaran yang disukai siswa

pasti akan ditekuni olehnya, maka dalam

pengambilan keputusan-kuputusan dalam

pembelajaran subjek tersebut lebih tinggi.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

analitik-komparatif dengan pendekatan cross-

secsional. Variabel yang diteliti yaitu

pengetahuan awal (prior knowledge) siswa

dan keyakinan terhadap pengetahuan yang

dimiliki (certainty of knowledge).

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas

X IPA SMAN 1 Banjarangkan (2016/2017).

Jumlah keseluruhan sampel adalah 136 siswa.

Tes terdiri dari pilihan ganda diperluas dengan

tingkat keyakinan siswa atas jawabannya.

Pilihan ganda yang tersedia terdiri dari satu

pilihan yang merupakan konsep ilmiah dan 4

pilihan jebakan berupa miskonsepsi. Tes

dikembangkan sesuai kompetensi dasar listrik

dinamis KTSP.

Analisis yang digunakan adalah dengan chi

square analysis dengan 2 variabel dan

masing-masing variabel terdiri dari beberapa

kategori. Analisis dibantu dengan

menggunakan IBM SPSS 24. Pengetahuan

awal siswa dikategorikan menjadi tahu konsep

(T) dan miskonsepsi (M). Tabel

pengkategorian dapat dilihat pada Tabel 1.

Skala Linkert (0-5) digunakan untuk

mengekspresikan tingkat keyakinan siswa.

Tingkat keyakinan < 3 dikategorikan tidak

yakin, apabila > 3 dikategorikan yakin.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan temuan dalam

penelitian ini yaitu membahas tentang

hubungan antara pengetahuan awal siswa dan

tingkat keyakinan yang dimilikinya terhadap

pengetahuan tersebut.

Pengetahuan Awal Siswa

Hasil dari tes pengetahuan siswa pada

tiap soal dapat dilihat pada Gambar 1. Pada

tiap butir soal, pengetahuan awal siswa

dominan berupa miskonsepsi. Deskripsi

pengetahuan awal siswa berdasarkan sub-

materi listrik dinamis disajikan pada Tabel 1.

Rata-rata sebanyak 37,7% siswa tahu konsep

dan 62,3% mengalami miskonsepsi. Ini

menunjukkan sebagian besar pengetahuan

awal siswa berupa miskonsepsi.

Page 65: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 147

Tabel 1. Persentase Pengetahuan Awal Siswa

No. Soal Konsep T(%) M(%)

1, 2, 3, 4 Arus Listrik 54,6 45,4

5, 6, 7, 8 Hambatan Listrik 43,9 56,1

9, 10, 11, 12, 13, 14 Rangkaian Seri & Paralel 33,7 66,3

15 GGL & tegangan jepit 24,3 75,7

16, 17, 18 Energi & Daya Listrik 38,2 61,8

19, 20 Alat Ukur Listrik 31,3 68,8

Rata-rata 37,7 62,3

Tingkat Keyakinan Siswa

Tingkat keyakinan siswa pada tiap konsep

materi listrik dinamis berdasarkan hasil

penelitian ditunjukan pada Tabel 2. Rata-rata

skor keyakinan siswa adalah 2,75 dengan

kategori tidak yakin. Dari enam konsep pada

materi listrik dinamis, lima diantaranya siswa

tidak yakin dengan jawabannya.

Tabel 2. Kategori Keyakinan Siswa

Hubungan Pengetahuan Awal dan Tingkat

Keyakinan Siswa

Untuk mengetahui hubungan

pengatahun awal dan tingkat keyakinan siswa

digunakan analisis Analisis Pearson

Chi-Square. Hasil analisis tersedia pada tabel

3 sebagai berikut.

Konsep Skor Kategori

Arus Listrik 3.06 Yakin

Hambatan Listrik 2.96 Tidak Yakin

Rangkaian Seri & Paralel 2.86 Tidak Yakin

GGL & tegangan jepit 2.27 Tidak Yakin

Energi & Daya Listrik 2.71 Tidak Yakin

Alat Ukur Listrik 2.65 Tidak Yakin

Rata-Rata 2.75 Tidak Yakin

Gambar 1. Pengetahuan Awal Siswa

Page 66: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 148

Tabel 3. Analisis Chi-Square untuk Kategori Pengetahuan Awal Siswa dengan Tingkat Kepercayaan

pada Tiap Butir Soal

Konsep No.

Soal Keyakinan Miskonsepsi

Tahu

Konsep

Chi-

Square

Asymptotic

Sig. (2-sided)

Arus Listrik 1 Yakin 35 14 6,841 0,009

Tidak Yakin 42 45

2 Yakin 30 19 9,092 0,003

Tidak Yakin 30 57

3 Yakin 9 40 1,450 0,229

Tidak Yakin 24 63

4 Yakin 37 12 11,131 0,001

Tidak Yakin 40 47

Hambatan

Listrik

5 Yakin 17 32 12,006 0,001

Tidak Yakin 57 30

6 Yakin 39 10 3,450 0,063

Tidak Yakin 56 31

7 Yakin 35 14 1,849 0,174

Tidak Yakin 52 35

8 Yakin 29 20 17,817 0,000

Tidak Yakin 20 67

Rangkaian Seri

& Paralel

9 Yakin 32 17 0,192 0,661

Tidak Yakin 60 27

10 Yakin 37 12 0,039 0,843

Tidak Yakin 67 20

11 Yakin 28 21 1,563 0,211

Tidak Yakin 40 47

12 Yakin 26 23 0,394 0,530

Tidak Yakin 51 36

13 Yakin 44 5 7,559 0,006

Tidak Yakin 60 27

14 Yakin 35 14 0,026 0,872

Tidak Yakin 61 26

GGL &

Tegangan Jepit

15 Yakin 35 14 0,773 0,379

Tidak Yakin 68 19

Energi & Daya

Listrik

16 Yakin 18 31 3,755 0,053

Tidak Yakin 47 40

17 Yakin 43 6 0,005 0,946

Tidak Yakin 76 11

18 Yakin 8 41 34,742 0,000

Tidak Yakin 60 27

Alat Ukur

Listrik

19 Yakin 42 7 1,980 0,159

Tidak Yakin 81 6

20 Yakin 11 38 18,621 0,000

Tidak Yakin 53 34

Page 67: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 149

Data yang terdapat pada tabel 3

menunjukkan hanya soal nomor 1, 2, 4, 5, 8,

13, 18, dan 20 memiliki nilai signifikansi

p<0,05, maka hanya delapan nomor soal

tersebut dapat menujukan hubungan yang

signifikan antara pengetahuan awal siswa dan

tingkat keyakinan dengan jawabannya. Soal

nomor 3, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17,

dan 19 tidak menunjukkan hubungan yang

signifikan antara pengetahuan awal siswa dan

tingkat keyakinan dengan jawabannya.

Hasil dari tabel 3 menunjukkan matrik

perbandingan jawaban siswa dengan

keyakinannya. Pengetahuan awal siswa

dengan kategori tahu konsep hanya sebagian

kecil siswa yang yakin bahwa mereka

mengetahui konsep ditunjukan oleh soal

nomor 1, 2, 4, 8, dan 13. Pada soal nomor 5,

18, dan 20, menunjukkan bahwa lebih banyak

siswa tidak yakin bahwa mereka mengetahui

konsep.

Pada soal nomor 8, ditunjukan bahwa

sebagian kecil siswa sangat yakin pada

pengetahuannya, padahal pengetahuan

tersebut merupakan miskonsepsi. Pada soal

nomor 1, 4, 5, 13, 18, dan 20 siswa lebih

banyak tidak yakin terhadap pengetahuannya

dan pengetahuan yang dimiliki siswa tersebut

merupakan miskonsepsi. Dan pada nomor 2,

antara tingkat keyakinan siswa kategori yakin

dan tidak yakin untuk kategori pengetahuan

awal miskonsepsi memiliki jumlah yang

sama.

Pembahasan

Perubahan kemampuan yang dimiliki

oleh siswa dalam berbagai bidang dapat

terjadi dalam proses pembelajaran, dan

kemampuan itu diperoleh karena adanya

belajar. Fenomena yang terjadi kini pada

siswa di SMAN 1 Banjarangkan adalah masih

rendahnya kemampuan awal serta

kemauan/keinginan siswa untuk belajar masih

rendah sehingga mengakibatkan miskonsepsi

antara pembelajaran yang disampaikan oleh

guru dan pelajaran yang diterima oleh siswa.

Terjadinya miskonsepsi pada proses

pembelajaran tidak terlepas dari faktor yang

berasal dari dalam diri siswa itu sendiri yang

disebut sebagai faktor internal. Faktor ini

banyak didominasi oleh kondisi psikologis

berupa kecerdasan emosional yang meliputi

berbagai kemampuan memotivasi diri,

ketabahan, keterampilan bergaul, empati,

kesabaran, kesungguhan, keuletan,

ketangguhan, serta segenap potensi siswa

dalam bentuk pengetahuan awal yang meliputi

pengetahuan siswa terhadap materi sebelum

diajarkan.

Berdasarkan hasil penelitian

pembentukan pemahaman sesuai kaidah

saintifik tentang konsep listrik dinamis

sebagian besar tidak terjadi pada siswa.

Padahal siswa telah mempelajari konsep

listrik dinamis pada jenjang pendidikan

sebelumnya. Sebagian besar pengetahuan

awal siswa merupakan miskonsepsi dan tidak

mengetahui konsep. Ini menunjukkan

pengetahuan awal siswa sangat kurang

tentang listrik dinamis. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengetahuan awal,

mempunyai pengaruh positif terhadap hasil

belajar pada mata pelajaran IPA. Oleh karena

itu, Ardhana (2010), dalam penelitiannya

menyatakan bahwa pembelajaran yang

berorientasi pada pengetahuan awal akan

memberikan dampak pada proses dan

perolehan belajar yang memadai. Sejalan

dengan penelitian Ismail et al. (2015) yang

menunjukkan pengetahuan awal siswa tentang

konsep listrik dinamis dominan berupa

miskonsepsi. Apabila ini dibiarkan, proses

pembentukan pengetahuan baru akan

terganggu. Persepsi siswa tentang suatu

konsep terkadang salah dari sudut pandang

saintifik dan dapat mengganggu siswa dalam

belajar (Salame, 2011).

Pengetahuan awal pada dasarnya

merupakan indikator keberhasilan atau

kualitas dan pengetahuan yang telah dikuasai

siswa. Apabila keamampuan awal siswa

tinggi, dalam proses belajar berikutnya siswa

tersebut akan lebih mudah memahami konsep

materi dan tidak akan mengalami kesulitan.

Namun apabila kemampuan awal siswa

rendah, maka siswa akan mengalami kesulitan

untuk mencapai tujuan yang diinginkan,

sehingga perlu waktu lama untuk memperoleh

tujuan yang hendak dicapainya.

Selain itu tingkat keyakinan siswa

tentang pengetahuan yang dimilikinya

sebagian besar berkategori tidak yakin.

Page 68: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 150

Ketidakyakinan tersebut timbul karena siswa

tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk

dapat mengkonstruksi konsep listrik dinamis.

Seperti yang dijelaskan oleh Bandura (1997),

keyakinan akademik muncul dari prestasi

akademik individu, pengalaman individu lain

dalam bidang akademik, persuasi verbal akan

kemampuan akademik individu, serta keadaan

fisiologis individu.

Hanya tujuh butir soal dari 20 butir soal

yang dapat menunjukkan hubungan antara

pengetahuan awal dengan tingkat keyakinan

siswa. Hal ini disebabkan karena siswa yang

menjadi partisipan belum memiliki tingkat

pengetahuan yang cukup. Seperti hasil

penelitian Hansson et al. (2017) menunjukkan

bahwa kepercayaan akan pengetahuan yang

dimiliki hanya signifikan berkorelasi dengan

pengetahuan para ahli dan tidak ada untuk

pemula. Secara deskriptif pengetahuan yang

dimiliki oleh siswa merupakan miskonsepsi.

Ini menunjukkan siswa (pemula) belum

menguasai konsep listrik dinamis. Oleh

karena itu, hubungan antara pengetahuan awal

dan tingkat keyakinan siswa tidak signifikan

ditunjukan pada hasil penelitian ini.

Aktivitas belajar seseorang akan

mengalami perubahan perilaku dalam bentuk

pengetahuan, keterampilan nilai, dan sikap

tertentu. Perubahan perilaku yang terjadi

merupakan akibat dari proses pembelajaran

pada diri seseorang. Proses yang dimaksud

adalah aktivitas yang dilakukan individu

dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Pencapaian tujuan pembelajaran itu kemudian

dapat dinyatakan sebagai hasil belajar.

Pengetahuan awal, Aktivitas belajar seseorang

akan mengalami perubahan perilaku dalam

bentuk pengetahuan, keterampilan nilai, dan

sikap tertentu. Perubahan perilaku yang terjadi

merupakan akibat dari proses pembelajaran

pada diri seseorang. Proses yang dimaksud

adalah aktivitas yang dilakukan individu

dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Pencapaian tujuan pembelajaran itu kemudian

dapat dinyatakan sebagai hasil belajar. Hal ini

sejalan dengan penelitian Odom dan Barrow

(2007) menyatakan hasil bahwa pengetahuan

awal dapat berkorelasi dengan keyakinan

siswa. Begitu juga penelitian Hasson et al.

(2017), maka dapat dikatakan bahwa tingkat

keyakinan siswa dapat berkorelasi dengan

pengetahuan awal siswa.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan temuan dan hasil yang

diperoleh dalam penelitian dan pembahasan

yang telah dilakukan, dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut. (1) Pengetahuan

awal siswa tentang konsep-konsep pada

materi listrik dinamis sebagian besar berupa

miskonsepsi (62,3%) dan hanya 37,7% tahu

konsep. (2) Tingkat keyakinan siswa dapat

berkorelasi dengan pengetahuan awal siswa.

Siswa yang menjadi responden

merupakan pemula. Walaupun hasil dalam

penelitian tidak sepenuhnya dapat

menunjukkan hubungan antara pengetahuan

awal dan keyakinan siswa karena keterbatasan

dalam pelaksanaan penelitian, namun secara

deskriptif penelitian ini dapat menunjukkan

gambaran pengetahuan awal siswa dan tingkat

keyakinan tentang pengetahuan yang dimiliki.

Saran

Mengacu pada hasil temuan penelitian

yang telah dilakukan, maka saran yang dapat

diajukan sebagai berikut. Pertama, diperlukan

pendekatan pembelajaran yang mampu

menyebabkan konflik kognitif pada diri siswa

untuk memperbaiki pengetahuan yang

dimiliki siswa, karena dominan pengetahuan

awal siswa berupa miskonsepsi. Kedua,

instrumen yang dikembangkan belum mampu

secara optimal menunjukkan hubungan antara

pengetahuan yang dimiliki dengan tingkat

keyakinan siswa karena keterbatasan

responden, maka untuk penelitian selanjutnya

diharapkan responden dalam penelitian

mencakup lebih luas baik dari jenjang

pendidikan yang berbeda maupun dari disiplin

ilmu yang beragam.

DAFTAR PUSTAKA

Akpinar, M., & Tan, M. 2011. Developing,

implementing, and testing a conceptual

change text about relativity. Western

Anatolia Journal of Educational

Sciences, 139-144.

Bandura, A. 1986. Social Foundation of

Thought and Action: A Social Cognitive

Page 69: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 151

Theory. Englewood Cliffs, New York:

Prentice Hall.

Bandura, A. 1997. Self-efficacy: The exercise

of control. New York: WH Freeman.

Calisir, F., Eryazici, M., & Lehto, M. R. 2008.

The effects of text structure and prior

knowledge of the learner on computer-

based learning. Computers in Human

Behavior, 24, 439-450.

Clark, N. D., & Enns, K. J. 2015. Impacts of a

Skill Development Course on Teacher

Candidate Confidence in their

Knowledge, Skill, Experience, and

Teaching of Common Power Tools.

American Association for Agricultural

Education Annual Conference 238-241.

Cordova, J. R., Sinarta, G. M., Jones, S. H.,

Taasoobshirazi, G., & Lombardi, D.

2014. Confidence in prior knowledge,

self-efficacy, interest and prior

knowledge: Influences on conceptual

change. Contemporary Educational

Psychology, 39, 164-174.

Darmawan, M. D., Made Santo Gitakarma, S.

T., & Nugraha, I. N. P. 2015. Penerapan

model kooperatif STAD untuk

meningkatkan hasil belajar prakarya dan

kewirausahaan siswa kelas X SMA.

Jurnal Jurusan Pendidikan Teknik

Elektro, 4(1).

Depdiknas. 2011. Panduan pengembangan

pembelajaran IPA secara terpadu.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar

Depdiknas. Jakarta

Dochy, F. J. R. C. & Alexander, P. A. 1995.

Mapping prior knowledge: A framework

for discussion among researchers.

European Journal of Psychology of

Education, 10(3), 225-242.

Hansson, I., Buratti, S., & Allwood, C. M.

2017. Experts’ and novices’ perception

of ignorance and knowledge in different

research disciplines and its relation to

belief in certainty of knowledge.

Frontiers in Psychology, 8.

Hidayati, Nur. 2016. Pembelajaran Discovery

Disertai Penulisan Jurnal Belajar

Untuk Meningkatkan Kemampuan

Kerja Ilmiah Siswa Kelas Viii.1 Smp

Negeri 1 Probolinggo. JPPIPA, Vol 1

No 2.

Ismail, I. I., Samsudin, A., Suhendi, E., &

Kaniawati, I. 2015. Diagnostik

miskonsepsi melalui listrik dinamis four

tier test. Prosiding Simposium Nasional

Inovasi dan Pembelajaran Sains, 381-

384.

Jiang, Y., Song, J., Lee, M., & Bong, M.

2014. Self-efficacy and achievement

goals as motivational links between

perceived contexts and achievement.

Educational Psychology, 34(1), 92-117.

Martin, M. O., Mullis, I. V. S., Foy, P., &

Hooper, M. 2016. TIMSS 2015

International Results in Science.

Diperoleh dari timssandpirls.bc.edu.

Diakses pada 24 November 2016.

Odom, A. L., & Barrow, L. H. 2007. High

school biology students' knowledge and

certainty about diffusion and osmosis

concepts. School Science and

Mathematics, 107(3), 94-101.

Rahayuni, Galuh. 2016. Hubungan

Keterampilan Berpikir Kritis Dan

Literasi Sains Pada Pembelajaran Ipa

Terpadu Dengan Model Pbm Dan Stm.

JPPI, Vol. 2, No. 2, Desember 2016,

Hal. 131-146.

Sadia, I W. 2004. Pengembangan model dan

strategi pembelajaran fisika di SMU

untuk memperbaiki miskonsepsi siswa.

Laporan penelitian. Proyek peningkatan

penelitian pendidikan tinggi, Direktorat

Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen

Pendidikan Nasional. Jurusan

Pendidikan Fisika IKIP Negeri

Singaraja.

Salame, I. I., Sarowar, S., Begum, S., &

Krauss, D. 2011. Students’ alternative

conceptions about atomic properties and

the periodic table. The Chemical

Educator, 16, 190-194.

Samudra, G. B., Suastra, I. W., & Suma, K.

2014. Permasalahan-Permasalahan yang

Dihadapi Siswa SMA di Kota Singaraja

Page 70: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 152

dalam Mempelajari Fisika. Jurnal

Pendidikan IPA, 4(1).

Suma, K. 2015. Miskonsepsi siswa SMA di

Bali tentang dinamika. Prosiding

Seminar Nasional MIPA.

UNESCO. 2012. Education for all (EFA)

global monitoring report 2012: The

hidden crisis, armed conflict and

education. Monitoring Report.

Diperoleh dari unesco.org dan diakses

pada 24 November 2016.

Taufiq ,M. , N. R. Dewi, A. Widiyatmoko.

2014. Pengembangan Media

Pembelajaran Ipa Terpadu Berkarakter

Peduli Lingkungan Tema

“Konservasi” Berpendekatan Science-

Edutainment. JPII 3 (2) (2014) 140-

145.

Umam, M. Syaikhul ,Indrawati, Subiki. 2016.

Pengaruh Model Process Oriented

Guided Inquiry Learning (Pogil)

Terhadap Hasil Belajar Dan Retensi

Hasil Belajar Siswa Pada

Pembelajaran Fisika Sma/Ma Di

Kabupaten Jember . Jurnal

Pembelajaran Fisika, Vol. 5 No. 3,

Desember 2016, hal 205 – 210.

Viljaranta, J., Tolvanen, A., Aunola, K., &

Nurmi, J. -E. 2014. The developmental

dynamics between interest, self-concept

of ability, and academic performance.

Scandinavian Journal of Educational

Research, 58(6), 734–756.

Page 71: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 153

DISKREPANSI IMPLEMENTASI PENDEKATAN SAINTIFIK PADA

MUATAN MATERI IPA TEMA ORGAN TUBUH MANUSIA

DAN HEWAN KELAS V SD NEGERI DI KECAMATAN

DENPASAR SELATAN

I Made Adi Arnawa

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya diskrepansi implementasi pendekatan

saintifik pada muatan materi IPA tema organ tubuh manusia dan hewan kelas V SD

Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan ditinjau dari perencanaan, pelaksanaan dan

penilaian. Penelitian ini merupakan penelitian evaluatif model diskrepansi. Sampel dalam

penelitian ini adalah 15 orang guru kelas V SD Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan

diambil dengan teknik Multistage Random Sampling. Data implementasi pendekatan

saintifik dikumpulkan dengan lembar observasi, data persepsi guru dikumpulkan dengan

kuesioner, data hasil belajar IPA dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Teknik

analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan analisis korelasi

product moment. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Terdapat diskrepansi yang kecil

dalam implementasi pendekatan saintifik pada muatan materi IPA tema organ tubuh

manusia dan hewan kelas V SD Negeri di Kecamatan Denpasar selatan sebesar 35,10;

dengan diskrepansi perencanaan sebesar 33,54; diskrepansi pelaksanaan sebesar 34,03;

diskrepansi penilaian sebesar 37,75; (2) Persepsi guru tentang pendekatan saintifik sudah

baik dengan rerata 69,22; (3) Pencapaian hasil belajar IPA siswa sudah baik dengan

rerata nilai 76,37; (4) Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kualitas

pengelolaan pembelajaran berpendekatan saintifik terhadap hasil belajar IPA dengan

kontribusi sebesar 31%.

Kata kunci: Diskrepansi, Pendekatan Saintifik, Perencanaan, Pelaksanaan, Penilaian

Abstract

This research aimed to find out the discrepancy of implementation scientific approach on

science of organ tubuh manusia dan hewan theme at grade V elementary school in South

Denpasar District in terms of planning, implementation and assessment. This research is

an evaluative study with discrepancy model. The sample in this research is 15 teachers of

class V elementary school in South Denpasar District taken by Multistage Random

Sampling technique. Implementation data of scientific approach collected with

observation, teacher perception data collected by questionnaire, data of science learning

outcomes collected by documentation method. Data analysis to quantitative descriptive

and product moment correlation analysis. The results showed: (1) There was a small

discrepancy in the implementation of scientific approach on science of organ tubuh

manusia dan hewan theme at grade V elementary school in South Denpasar District of

35.10 with a planning discrepancy of 33.54; Implementation discrepancy of 34.03;

Discrepancy assessment of 37.75; (2) teacher perception about scientific approach have

been good with mean of 69.22; (3) Achievement of science learning outcomes of students

is good with the average value of 76.37; (4) There is a positive and significant correlation

between the quality of science-based learning approach to science learning outcomes with

contribution of 31%.

Keywords : Discrepancy, Scientific Approach, Planning, Implementation, Assessment.

Page 72: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 154

PENDAHULUAN

Pendekatan Saintifik adalah pendekatan

pembelajaran yang dilakukan melalui proses

mengamati (observing), menanya

(questioning), mencoba (experimenting),

menalar (associating), dan

mengkomunikasikan (communication)

(Fadlillah, 2014) Menurut Daryanto (2014)

Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik

adalah proses pembelajaran yang dirancang

sedemikian rupa agar siswa secara aktif

mengkonstruk konsep, hukum atau prinsip

melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk

mengidentifikasikan atau menemukan

masalah), merumuskan masalah,

mengajukan atau merumuskan hipotesis,

mengumpulkan data dengan berbagai

teknik, menganalisis data, menarik

kesimpulan dan mengkomunikasikan

konsep, hukum atau prinsip yang

“ditemukan”. Pembelajaran dengan

pendekatan saintifik memiliki karakteristik

sebagai berikut: 1) berpusat pada siswa; 2)

melibatkan keterampilan proses sains dalam

mengkonstruksi konsep, hukum atau

prinsip; 3) melibatkan proses-proses

kognitif yang potensial dalam merangsang

perkembangan intelek, khususnya

keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa;

4) dapat mengembangkan karakter siswa

(Daryanto,2014:53).

Sesuai dengan permendikbud Nomor 22

Tahun 2016 implementasi pendekatan

saintifik dalam pembelajaran meliputi

perencanaan proses pembelajaran,

pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian

hasil pembelajaran. Perencanaan proses

pembelajaran adalah perancangan alat

pandu pelaksanaan pembelajaran yang

disusun guru sebelum kegiatan

pembelajaran dilaksanakan (Abidin,

2014:287). Perencanaan proses

pembelajaran merupakan bagian tugas

administrasi guru yang berdampak langsung

bagi kepentingan pembelajaran. Pada

hakikatnya bila suatu kegiatan direncanakan

lebih dahulu maka tujuan dari kegiatan

pembelajaran akan lebih terarah dan lebih

berhasil (Suryosubroto, 2009) Semakin baik

perencanaan proses pembelajaran

dikembangkan semakin baik pula proses

pembelajaran dilaksanakan (Abidin, 2014)

Menurut Rusman (2011) Komponen

perencanaan proses pembelajaran meliputi

kemampuan guru dalam memahami tujuan

pembelajaran. Melakukan analisis

pembelajaran, mengenali perilaku siswa,

mengidentifikasi karakteristik siswa,

merumuskan tujuan pembelajaran,

mengembangkan butir-butir tes,

mengembangkan materi pelajaran,

mengembangkan media dan metode

pembelajaran, menerapkan sumber-sumber

pembelajaran, mengordinasikan segala

faktor pendukung, mengembangkan dan

melakukan penilaian awal terhadap rencana

pembelajaran, merevisi pembelajaran, dan

melakukan penilaian akhir terhadap rencana

pembelajaran.

Pelaksanaan proses pembelajaran adalah

proses berlangsungnya interaksi guru

dengan siswa dalam rangka menyampaikan

bahan pelajaran kepada siswa untuk

mencapai tujuan pembelajaran

(Suryosubroto, 2009:30). Pelaksanaan

pembelajaran pada dasarnya menciptakan

sistem pembelajaran sesuai yang

direncanakan sebelumnya. Menurut Rusman

(2011:71) komponen pelaksanaan proses

pembelajaran meliputi kemampuan guru

dalam menciptakan suatu suatu system atau

melakukan aktivitas-aktivitas pembelajaran

dan menutup pembelajaran. Dalam

Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016

disebutkan bahwa pelaksanaan

pembelajaran merupakan implementasi dari

RPP, meliputi kegiatan pendahuluan, inti

dan penutup.

Penilaian proses pembelajaran adalah

kegiatan untuk memperoleh, menganalisis,

dan menafsirkan data tentang proses dan

hasil belajar siswa yang dilakukan secara

sistematis dan berkesinambungan sehingga

dapat menjadi informasi yang bermakna

dalam pengambilan keputusan (Daryanto,

2014: 111). Penilaian proses pembelajaran

bertujuan untuk melihat kemajuan belajar

siswa dalam hal penguasaan materi

pembelajaran yang telah dipelajari sesuai

tujuan yang ditetapkan (Suryosubroto,

2009:44). Menurut Rusman (2011:72)

keterampilan- keterampialan yang

diperlukan untuk melaksanakan komponen

penilaian proses pembelajaran adalah harus

memahami metodelogi penilaian

pembelajaran, antara lain teknik dan alat

penilaian, kriteria penilaian yang baik,

bentuk dan jenis instrumen, penskoran dan

program pelaksanaan remedial dan

pengayaan. Indikasi kemampuan guru

Page 73: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 155

dalam penyusunan prosedur penilaian dapat

dilihat dari frekuensi penggunaan bentuk

instrumen penilaian secara variatif. Dalam

Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016

disebutkan bahwa penilaian proses

pembelajaran menggunakan pendekatan

penilaian autentik yang menilai kesiapan

siswa, proses dan hasil belajar secara utuh.

Penilaian autentik adalah proses

pengumpulan informasi oleh guru tentang

pengembangan dan pencapaian pembelajaan

yang dilakukan siswa melalui berbagai

teknik yang mampu mengungkapkan,

membuktikan, atau menunjukkan secara

tepat bahwa tujuan pembelajaran telah

benar-benar dikuasai dan dicapai (Kosasih,

2014:131). Penilaian Autentik memiliki

relevansi kuat terhadap pendekatan saintifik

karena cenderung fokus pada tugas-tugas

kompleks atau kontekstual, memungkinkan

siswa untuk menunjukkan kompetensi

mereka yang meliputi kompetensi sikap,

pengetahuan dan keterampilan (Daryanto,

2014:112).

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

merupakan salah satu mata pelajaran yang

wajib diikuti pada jenjang pendidikan dasar

maupun menengah. IPA merupakan ilmu

yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang

terjadi di alam. Ilmu Pengetahuan Alam

(IPA) berhubungan dengan cara mencari

tahu tentang alam secara sistematis,

sehingga IPA bukan hanya penguasaan

kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-

fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip

saja tetapi juga merupakan suatu proses

penemuan (BSNP:2006). Pembelajaran IPA

sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri

ilmiah (seientific inquirí) untuk

menumbuhkan kemampuan berpikir,

bekerja dan bersikap ilmiah serta

mengkomunikasikannya sebagai aspek

penting kecakapan hidup. Oleh karena itu,

pembelajaran IPA di SD menekankan pada

pemberian pengalaman belajar secara

langsung melalui penggunaan dan

pengembangan keterampilan proses dan

sikap ilmiah (Kesnajaya, dkk, 2015).

Pembelajaran mata pelajaran IPA di

Sekolah Dasar saat ini, lebih berorientasi

pada materi yang ada pada kurikulum, dan

buku teks yang disediakan, ini

mengakibatkan guru mengejar target agar

terselesaikannya materi yang ada pada

kurikulum, dampaknya bagi siswa adalah

belajar IPA untuk mempersiapkan diri

menghadapi ulangan, yang terlepas dari

kebermanfaatan dalam kehidupan sehari-

hari, yang menyebabkan beban berat bagi

siswa untuk mengingat dan menghafalkan

fakta, konsep, sehingga pembelajaran

kurang bermakna bagi siswa (Kesnajaya,

dkk,2015:3). Hasil kajian di lapangan yang

dilakukan oleh Witariani, dkk (2014) dalam

penelitiannya mengemukakan masih banyak

terdapat permasalahan dalam pembelajaran

IPA diantaranya (1) pembelajaran IPA yang

cenderung berfokus pada pemahaman

produk IPA sehingga kemampuan

melakukan proses IPA dan pembentukan

sikap ilmiah masih belum terjadi; (2)

ketercapaian target kurikulum bagi guru

lebih penting jika dibandingkan dengan

pemahaman siswa; dan (3) sistem

pendidikan yang lebih didominasi

pengembangan aktivitas otak kiri saja

karena siswa lebih banyak diberikan materi

yang bersifat hapalan dibandingkan

aktivitas yang dapat melatih kemampuan

untuk berkreativitas.

Sejalan dengan beberapa kajian

penelitian yang telah dijabarkan di atas,

Dari hasil observasi awal yang dilakukan

peneliti tanggal 14 Nopember 2016 pada

salah satu SD Negeri di Kecamatan

Denpasar Selatan diketahui bahwa

pembelajaran masih berpusat pada guru.

Kegiatan belajar belum memenuhi kaidah-

kaidah proses pembelajaran secara ilmiah.

Kegiatan belajar dan pembelajaran lebih

banyak berfokus pada penguasaan atas isi

buku teks yang menyebabkan belajar

membosankan dan mematikan kreativitas

siswa. Keadaan demikian mendorong siswa

untuk berusaha menghafal setiap kali akan

diadakan tes atau ulangan harian atau tes

hasil belajar. Kondisi yang demikian tentu

akan berpengaruh langsung terhadap hasil

belajar yang diperoleh siswa. Dari hasil

ulangan harian siswa terlihat bahwa 60 %

siswa belum mampu mencapai KKM yang

ditetapkan sekolah. Sehingga dapat

dikatakan bahwa pencapaian hasil belajar

siswa di SD Negeri Kecamatan Denpasar

Selatan belum optimal.

Mustofa (2015) dalam penelitiannya

menemukan bahwa pemahaman guru

tentang kurikulum 2013, khususnya dalam

pembelajaran dengan pendekatan saintifik

belum memadai, sehingga guru masih

Page 74: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 156

memerlukan penyamaan persepsi tentang

pendekatan saintifik. Pemahaman guru yang

masih kurang ini menyebankan terjadinya

perbedaan persepsi di kalangan para guru.

Menurut Slameto (2013:102) persepsi

adalah proses yang menyangkut masuknya

pesan atau informasi ke dalam otak manusia

selama manusia mengadakan hubungan

dengan lingkungannya. Persepsi guru

tentang implementasi pendekatan saintifik

adalah proses pemberian makna oleh guru

terhadap pembelajaran pendekatan saintifik

yang dipengaruhi oleh pengetahuan,

pengalaman, suasana hati dan juga

keinginan yang dapat diketahui melalui

kesan, pendapat dan perilaku yang

ditampilkan guru dalam proses

pembelajaran. Dari kajian penelitian yang

dilakukan oleh Suarjana (2011) diketahui

terdapat kontribusi yang signifikan antara

persepsi guru terhadap kinerja guru. Hal ini

berarti semakin baik persepsi guru semakin

baik pula kinerja dari guru itu sendiri.

Sebaik apapun kurikulum yang

diberlakukan, apabila guru sebagai ujung

tombak pelaksana kurikulum belum

memahami kurikulum yang sedang

diterapkan, kurikulum itu tentunya tidak

akan berhasil mencapai tujuannya

(Kemendikbud, 2013:4). Menurut

Suryosubroto (2009:117), guru yang

kompeten akan lebih mampu menciptakan

lingkungan belajar yang efektif dan akan

lebih mampu mengelola proses

pembelajaran, sehingga hasil belajar siswa

berada pada tingkat yang optimal.

Menurut Sudjana (2013: 22) Hasil

belajar adalah kemampuan-kemampuan

yang dimiliki siswa setelah ia menerima

pengalaman belajarnya. Banyak faktor yang

mempengaruhi hasil belajar siswa salah

satunya adalah faktor kemampuan guru

dalam mengelola proses pembelajaran.

Menurut Suryosubroto (2009:16)

Kemampuan pengelolaan proses

pembelajaran adalah kesanggupan atau

kecakapan guru dalam menciptakan suasana

belajar edukatif antara guru dan siswa yang

mencakup segi kognitif, afektif dan

psikomotor, sebagai upaya mempelajari

sesuatu berdasarkan perencanaan sampai

dengan evaluasi dan tindak lanjut agar

tercapai tujuan pembelajaran. Kemampuan

guru dalam pengelolaan proses

pembelajaran dapat terlihat dari kegiatan

yang dilakukan guru pada saat mengajar.

Menurut Badawi (1990) mengajar dikatakan

berkualitas apabila seorang guru dapat

menampilkan kelakuan yang baik dalam

usaha mengajarnya (Suryosubroto,

2009:117). Dari kajian penelitian yang

dilakukan oleh Juliarta (2013) diketahui

bahwa terdapat hubungan yang positif dan

signifikan antara motivasi berprestasi,

kebiasaan belajar dan kualitas pengelolaan

pembelajaran guru secara bersama-sama

teradap prestasi belajar praktik seni rupa.

Penyelenggaraan proses

pembelajaan berpendekatan saintifik di

Sekolah Dasar perlu dipantau dan diawasi,

serta dibina secara terencana dan

berkeinambungan untuk menegaskan bahwa

pendidikan yang dimaksud memang benar-

benar berjalan sesuai dengan standar.

Kondisi yang diharapkan terjadi adalah

terlaksananya proses pembelajaran

pendekatan saintifik di Sekolah Dasar yang

sesuai dengan standar sebagai pola kegiatan

sehari-hari yang sudah mendarah daging

dalam realisasi tugas keprofesionalan guru.

Oleh karena itu perlu diadakan suatau

evaluasi program untuk mengetahui tingkat

keterlaksanaan suatu kebijakan secara

cermat dengan cara mengetahui efektivitas

pada masing-masing komponennya (

Arikunto dan Jabar, 2009:18).

Dalam penelitian ini peneliti

berupaya mengkaji efektivitas implementasi

pendekatan saintifik pada muatan materi

IPA di kelas V SD Negeri di Kecamatan

Denpasar Selatan dengan menggunakan

model diskrepansi. Evaluasi program model

diskrepansi menekankan pada mencari dan

menemukan diskrepansi antara standar

unjuk kerja dengan standar tujuan yang

telah ditetapkan (Yusuf,2015:138).

Pengukuran efektivitas program dilakukan

dengan membandingkan kemampuan unjuk

kerja guru dalam proses pembelajaran

dengan standar Permendikbud Nomor 22

Tahun 2016 Tentang Standar Proses

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Keunggulan evaluasi program model

diskrepansi dibandingkan dengan model

evalasi program lainnya adalah mampu

mengidentifikasi kelemahan-kelemhan

program untuk diambil suatu tindakan

korektif pada suatu program (Marhaeni

(2007:154-155).

Page 75: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 157

Berdasarkan paparan di atas

permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1) seberapa besarkan diskrepansi yang

terjadi terkait implementasi pendekatan

saintifik pada muatan materi IPA tema

organ tubuh manusia dan hewan ditinjau

dari perencanaan, pelaksanaan, penilaian

proses pembelajaran pada kelas V SD

Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan? 2)

Bagaimanakah persepsi guru tentang

implementasi pendekatan saintifik pada

muatan materi IPA tema organ tubuh

manusia dan hewan kelas V SD Negeri di

Kecamatan Denpasar Selatan? 3)

Bagaimanakah pencapaian hasil belajar IPA

tema organ tubuh manusia dan hewan kelas

V SD Negeri di Kecamatan Denpasar

Selatan? 4) Seberapa besarkah kontribusi

kualitas pengelolaan pembelajaran

berpendekatan saintifik terhadap hasil

belajar IPA tema organ tubuh manusia dan

hewan kelas V SD Negeri di Kecamatan

Denpasar Selatan?

Dari permasalahan tersebut, tujuan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1)

Untuk mengetahui besarnya diskrepansi

yang terjadi terkait implementasi

pendekatan saintifik pada muatan materi

IPA tema organ tubuh manusia dan hewan

ditinjau dari perencanaan, pelaksanaan,

penilaian proses pembelajaran pada kelas V

SD Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan;

2) Untuk mengetahui persepsi guru tentang

implementasi pendekatan saintifik pada

muatan materi IPA tema organ tubuh

manusia dan hewan kelas V SD Negeri di

Kecamatan Denpasar Selatan; 3) Untuk

mengetahui pencapaian hasil belajar IPA

tema organ tubuh manusia dan hewan kelas

V SD Negeri di Kecamatan Denpasar

Selatan; 4) Untuk mengetahui besarnya

kontribusi kualitas pengelolaan

pembelajaran berpendekatan saintifik

terhadap hasil belajar IPA tema organ tubuh

manusia dan hewan kelas V SD Negeri di

Kecamatan Denpasar Selatan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

evaluatif yang terkategori penelitian

evaluasi program. Model evaluasi program

yang digunakan adalah evaluasi program

model diskrepansi. Evaluasi program model

diskrepansi ialah suatu proses pengukuran

efektifitas program dengan cara

mengidentifikasi kelemahan-kelamahan

program melalui membandingkan standar

dan kinerja program untuk mengambil suatu

tindakan korektif dari program tersebut.

Adapun komponen program yang dievaluasi

terkait implementasi pendekatan saintifik

ditinjau dari komponen perencanaan proses

pembelajaran, pelaksanaan proses

pembelajaran, dan penilaian pembelajaran.

Populasi dalam penelitian ini ialah

seluruh guru kelas V SD Negeri di

Kecamatan Denpasar Selatan yang tersebar

kedalam 45 Sekolah Dasar Negeri yang

terbagi ke dalam 10 SD gugus. Karena

jumlah populasi yang besar dan persebaran

populasi yang begitu luas maka dalam

penelitian ini, teknik penarikan sampel

menggunakan teknik multy stage random

sampling. Multy stage random sampling

adalah pengambilan sampel secara bertahap,

dari elemen populasi yang lebih besar ke

elemen populasi yang lebih kecil dan begitu

seterusnya (Dantes,2012:44). Adapun teknik

penarikan sampel yang dilakukan sebagai

berikut. Teknik sampling tahap pertama,

dari sepuluh SD Gugus Inti di random dan

ditarik sampel 50 % dari banyaknya SD

Gugus Inti di Kecamatan Denpasar Selatan

sehingga terpilih 5 SD Gugus Inti yang

mewakili kecamatan yaitu Gugus Ki Hajar

Dewantara, Dewi Sartika, Ir Soekano,

Patimura dan Jendral Sudirman. Pada

masing-masing SD Gugus Inti yang terpilih

ini terdiri dari beberapa SD Imbas.

Sampling tahap kedua dilakukan random

pada SD Imbas yang mewakili SD Gugus

Inti lalu ditarik 50% dari banyaknya SD

Imbas pada masing-masing SD Gugus Inti.

Sampling Tahap ketiga dari jumlah

rombongan belajar pada masing masing SD

imbas yang terpilih dirandom dan ditarik 50

% sehingga terpilih 15 kelas sampel.

Data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini adalah 1) Data kemampuan

guru dalam implementasi pendekatan

saintifik yang meliputi komponen

perencanaan proses pembelajaran,

komponen pelaksanaan proses pembelajaran

dan komponen penilaian proses

pembelajaran; 2) Data Persepsi Guru

Tentang Implementasi Pendekatan Saintifik;

3) Data Hasil Belajar IPA. Metode yang

digunakan untuk mengumpulkan data

penelitian adalah sebagai berikut : 1)

metode observasi digunakan untuk

Page 76: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 158

mengumpulkan data kemampuan guru

dalam mengimplementasi pendekatan

saintifik mempergunakan lembar observasi

format APKG; 2) metode kuesioner

digunakan untuk mengumpulkan data

persepsi guru tentang implementasi

pendekatan saintifi; 3) metode dokumentasi

digunakan untuk mengumpulkan data hasil

belajar IPA.

Teknik analisis data dalam

penelitian ini meliputi Analisis Deskriptif

Kuantitatif dan Analisis Korelasi Product

Momment. Analisis Deskriptif Kuantitatif

digunakan untuk menganalisis besarnya

diskepansi implementasi pendekatan

saintifik, menganalisis persepsi guru tentang

implementasi pendekatan saintifik dan

menganalisis pencapaian hasil belajar IPA.

Dalam analisis ini, data hasil penelitian

diubah kedalam bentuk persentil. Kemudian

dikonversikan ke dalam tabel Guilford

modifikasi. Untuk menafsirkan data

besarnya diskrepansi implementasi

pendekatan saintifik pada komponen

perencanaan proses pembelajaran

berpendekatan saintifik, pelaksanaan proses

pembelajaran berpendekatan saintifik, dan

penilaian proses pembelajaran

berpendekatan saintifik dikonversikan

kedalam tabel Guilford modifikasi sebagai

berikut.

Tabel 2.1 Acuan Kriteria Diskrepansi

No Kriteria

Diskrepansi

Keterangan

1 00 –20 Sangat Kecil

2 21 – 40 Kecil

3 41 – 60 Sedang

4 61 – 80 Lebar

5 81- 100 Sangat Lebar

(Dantes, 2016: 60)

Sedangkan untuk menafsirkan data

persepsi guru tentang implementasi

pendekatan saintifik dan data pencapaian

hasil belajar IPA dikonversikan kedalam

tabel Guilford modifikasi sebagai sebagai

berikut.

Tabel 2.2 Klasifikasi Kemampuan Guru

dan Pencapaian Siswa

No Kriteria

Penguasaan (%)

Keterangan

1 00 – 20 Sangat Kurang

Baik

2 21 – 40 Kurang Baik

3 41 – 60 Cukup Baik

4 61 – 80 Baik

5 81 – 100 Sangat Baik

(Dantes, 2016:60)

Analisis Korelasi Product

Momment digunakan untuk menganalisis

besarnya kontribusi kualitas pengelolaan

pembelajaran berpendekatan saintifik

terhadap hasil belajar IPA. Adapun

hipotesis yang diuji menggunakan teknik

korelasi product momment adalah sebagai

berikut. Hipotesis Nol (H0) menyatakan

tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara kualitas pengelolaan pembelajaran

berpendekatan saintifik dengan hasil belajar

IPA Tema Organ Tubuh Manusia dan

Hewan kelas V SD Negeri di Kecamatan

Denpasar Selatan sedangkan hipotesis

alternatif (H1) menyatakan terdapat

hubungan yang signifikan antara kualitas

pengelolaan pembelajaran berpendekatan

saintifik dengan hasil belajar IPA Tema

Organ Tubuh Manusia dan Hewan kelas V

SD Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan

menggunakan rumus Korelasi Product

Momment sebagai berikut :

Error! Reference source not

found.

Error! Reference

source not found.(Candiasa,

2010 :172)

Keterangan: rxy = Error! Reference source not

found.Koefisien korelasi antara variabel

X dan variabel Y

Error! Reference source not found.y = Jumlah

perkalian antara variabel X dan Y

Σy2 = Jumlah dari kuadrat nilai Y

(Σx)2 = Jumlah nilai X kemudian dikuadratkan

(Σy)2 = Jumlah nilai Y kemudian dikuadratkan

Selanjutnya untuk mengetahui apakah

terdapat hubungan yang signifikan atau

Page 77: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 159

tidak, rxy perlu dikoreksikan dengan r-tabel

dengan dk = n-2. Adapun kriteria pengujian

sebagai berikut. Jika rxy> r tabel maka H0

ditolak dan Ha diterima, sebaliknya Jika rxy

< r tabel maka H0 diterima dan Ha ditolak.

Untuk mengetahui seberapa besar

kontribusi kualitas pengelolaan

pembelajaran berpendekatan saintifik

terhadap hasil belajar IPA dapat ditentukan

dengan koefisien determinasi (r2

xy) yang

merupakan kuadrat dari koefisien korelasi

rxy. Untuk memberikan penafsiran terhadap

koefisien korelasi yang ditemukan besar

atau kecil maka dapat berpendoman pada

tabel Guilford sebagai berikut.

Tabel 2.3 Kategori Koefisien

Determinasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 < r ≤ 0,20 Sangat Rendah

0,20 < r ≤ 0,40 Rendah

0,40 < r ≤ 0,60 Sedang

0,60 < r ≤ 0,80 Tinggi

0,80 < r ≤ 1,00 Sangat Tinggi

(Candiasa,2010:122)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data

implemetasi pendekatan saintifik yang

meliputi perencanaan, pelaksanaan dan

penilaian pembelajaran diperoleh bahwa

terjadi diskrepansi sebesar 35,10. Jika

dikonversikan ke dalam tabel Guilford

modifikasi diskrepansi yang terjadi terkait

implementasi pendekatan saintifik pada

muatan materi IPA tema organ tubuh

manusia dan hewan kelas V SD Negeri di

Kecamatan Denpasar Selatan berada pada

kategori kecil. Secara rinci besarnya

diskrepansi pada setiap komponen

implementasi pendekatan saintifik pada

muatan materi IPA tema organ tubuh

manusia dan hewan kelas V SD Negeri di

Kecamatan Denpasar Selatan dapat

dijabarkan ke dalam tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1 Ringkasan Hasil Analisis Diskrepansi Implementasi Pendekatan Saintifik

No Komponen Standar

(X)

Skor

(Y)

Diskrepansi

(x-Y)

Kategori

1 Perencanaan 100 66,46 33,54 Kecil

2 Pelaksanaan 100 65,97 34,03 Kecil

3 Penilaian 100 62,25 37,75 Kecil

Rata-rata 100 69,90 35,10 Kecil

Komponen perencanaan proses

pembelajaran meliputi kemampuan dalam

memahami tujuan pembelajaran. Melakukan

analisis pembelajaran, mengenali perilaku

siswa, mengidentifikasi karakteristik siswa,

merumuskan tujuan pembelajaran,

mengembangkan butir-butir tes,

mengembangkan materi pelajaran,

mengembangkan media dan metode

pembelajaran, menerapkan sumber-sumber

pembelajaran, mengordinasikan segala

faktor pendukung, mengembangkan dan

melakukan penilaian awal terhadap rencana

pembelajaran, merevisi pembelajaran, dan

melakukan penilaian akhir terhadap rencana

pembelajaran (Rusman, 2011:71) Kondisi

real di lapangan diketahui bahwa

perancangan prosedur dan instrumen

penilaian proses dan hasil belajar yang

disusun guru dalam RPP belum sesuai

dengan mekanisme penilaian sesuai dengan

permendikbud Nomor 23 Tahun 2016

tentang standar proses penilaian. Prosedur

penilaian belum disusun secara sistematis

seperti aspek yang dinilai, prosedur penlaian

masih belum jelas terutama pada aspek sikap

dan keterampilan, intrumen dan rubrik

penilaian tidak dilampirkan dalam RPP. Hal

ini sejalan dengan temuan Subagia dan

Wiratma (2016) dalam penelitiannya

mengungkapkan, walaupun guru sudah

mendapat pelatihan pembuatan instrumen

penilaian hasil belajar, guru ternyata masih

mengalami kesulitan dalam membuat

instrumen penilaian, khususnya untuk

penilaian sikap dan keterampilan. Pada

penilaian sikap, terutama sikap spiritual (KD

KI-1) yang dihubungkan dengan materi

pelajaran terkadang tidak jelas, baik yang

hendak dicapai, cara mencapai maupun cara

penilaian pencapaiannya termasuk

rubriknya.

Komponen pelaksanaan proses

pembelajaran meliputi kemampuan guru

Page 78: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 160

dalam menciptakan suatu suatu system atau

melakukan aktivitas-aktivitas pembelajaran

dan menutup pembelajaran. Pelaksanaan

pembelajaran pada dasarnya menciptakan

sistem pembelajaran sesuai yang

direncanakan sebelumnya (Rusman, 2011)

Keadaan real di lapangan diketahui bahwa 1

dari 15 orang guru yang diobservasi yang

secara lengkap melakukan kegiatan wajib

pendahuluan sesuai dengan ketentuan

permendikbud nomor 22 Tahun 2016

Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar

dan Menengah. Sebagian besar guru lupa

menjelaskan tujuan pembelajaran atau

kompetensi dasar yang akan dicapai dan

tidak menyampaikan cakupan dan

penjelasan uraian kegiatan yang akan

dilakukan. Setalah diadakan wawancara

sebagian besar guru mengakui takut

kehabisan waktu bila melaksanakan kegiatan

pendahuluan secara runtut dan guru masih

mengagap kegiatan pendahuluan

pembelajaran tidak penting sehingga

kegiatan pendahuluan yang dilakukan guru

hanya sekedar saja. Padahal menurut

Rusman (2011:81), kegiatan pendahuluan

merupakan kegiatan yang sangat penting

untuk dilakukan guru, karena dengan

pendahuluan yang baik akan memengaruhi

jalannya kegiatan belajar selanjutnya. Bila

berhasil melakukan kegiatan pendahuluan,

maka sangat dimungkinkan kegiatan inti dan

penutup akan berhasil. Sejalan dengan

pendapat tersebut menurut Asril (2013:70)

kegiatan pendahuluan merupakan kunci dari

seluruh proses pembelajaran yang harus

dilalui. Sebab jika seorang guru pada awal

pembelajaran tidak mampu menarik

perhatian siswa maka proses tujuan

pembelajaran tidak akan tercapai dengan

baik.

Dalam kaitannya dengan

pelaksanaan langkah-langkah pendekatan

saintifik pada kegiatan inti pembelajaran

berdasarkan hasil analisis diskrepansi yang

dilakukan, kegiatan menanya dalam proses

pembelajaran masih perlu ditingkatkan,

perlu mendapat perhatian lebih oleh para

guru kelas V SD Negeri di Kecamatan

Denpasar Selatan. Kondisi real di lapangan

terlihat bahwa guru masih kesulitan

mendorong siswa untuk mengajukan

pertanyaan. Hanya beberapa siswa saja yang

mau mengajukan pertanyaan setelah

dimotivasi oleh guru. Hal yang sama juga

ditemukan oleh Nodyanto (2015) dalam

penelitiannya menemukan pada proses

pembelajaran dengan pendekatan saintifik

sudah dilaksakan oleh guru tetapi belum

maksimal yaitu pada kegiatan menanya pada

pertemuan pertama semmua guru tidak

melaksanakannya. Hal serupa juga

dikemukakan oleh Mustofa (2015) dalam

penelitiannya mengungkapkan bahwa

kegiatan menanya belum dieksplorasi guru

secara maksimal. Guru kesulitan

merangsang siswa untuk mengajukan

pertanyaan.

Pada komponen penilaian,

keterampilan-keterampialan yang diperlukan

untuk melaksanakan komponen penilaian

proses pembelajaran adalah guru harus

memahami metodelogi penilaian

pembelajaran, antara lain teknik dan alat

penilaian, kriteria penilaian yang baik,

bentuk dan jenis instrumen, penskoran dan

program pelaksanaan remedial dan

pengayaan. Indikasi kemampuan guru dalam

penyusunan prosedur penilaian dapat dilihat

dari frekuensi penggunaan bentuk instrumen

penilaian secara variatif. Menurut Rusman

(2011:72) Namun kondisi real di lapangan

terlihat bahwa prosedur dan teknik penilaian

yang dilakukan oleh guru masih bersifat

konvensional guru belum menggunakan

prosedur dan teknik penilaian yang beragam.

Penilaian yang dilakukan guru masih hanya

terbatas menilai aspek pengetahuan saja.

Jenis penilaian yang dilakukan oleh guru

sudah sesuai dengan tuntutan kurikulum,

yaitu dengan penilaian melalui tes. Bentuk

tes yang digunakan selama ini adalah tes

uraian untuk kuis dan ulangan harian, dan

tes pilihan ganda untuk ulangan tengah

semester dan akhir semester.

Persepsi guru tentang implementasi

pendekatan saintifik adalah proses

pemberian makna oleh guru terhadap

hakikat pembelajaran pendekatan saintifik

yang dipengaruhi oleh pengetahuan,

pengalaman, suasana hati dan juga keinginan

yang dapat diketahui melalui kesan,

pendapat dan perilaku yang ditampilkan

guru dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan hasil analisis terhadap persepsi

guru tentang implementasi pendekatan

saintifik pada muatan materi IPA tema organ

tubuh manusia dan hewan kelas V SD

Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan

diketahui bahwa persepsi guru kelas V SD

Page 79: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 161

Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan

tentang implementasi pendekatan saintifik

sudah baik dengan rerata diperoleh 69,22.

Hasil belajar IPA adalah

kemampuan-kemampuan kognitif, afektif

dan psikomotor yang dimiliki siswa setelah

ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil

analisis terhadap hasil belajar IPA Tema

orgn tubuh manusia dan hewan kelas V SD

Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan

diperoleh rerata nilai 76,37 dengan kategori

baik. Hal ini berarti pencapaian hasil belajar

IPA pada muatan materi IPA tema organ

tubuh manusia dan hewan siswa kelas V SD

Negeri di Kecamatan Denpasar Selatan

sudah baik.

Menurut Suryosubroto (2009:16)

kemampuan pengelolaan proses

pembelajaran adalah kesanggupan atau

kecakapan guru dalam menciptakan suasana

belajar edukatif antara guru dan siswa yang

mencakup segi kognitif, afektif dan

psikomotor, sebagai upaya mempelajari

sesuatu berdasarkan perencanaan sampai

dengan evaluasi dan tindak lanjut agar

tercapai tujuan pembelajaran. Kualitas

pengelolaan pembelajaran berpengaruh

terhadap hasil belajar siswa. Dari

perhitungan yang telah dilakukan diperoleh

koefisien korelasi rxy = 0,557 jadi terdapat

hubungan yang positif sebesar 0,557 antara

kualitas pengelolaan pembelajaran

berpendekatan saintifik dengan hasil belajar

IPA. Hal ini berarti semakin besar dan baik

kualitas pengelolaan pembelajaran

berpendekatan saintifik, maka semakin besar

dan baik pula hasil belajar IPA siswa kelas

V SD Negeri di Kecamatan Denpasar

Selatan. Apakah koefisien korelasi tersebut

signifikan (dapat digeneralisasikan) atau

tidak, maka perlu dibandingkan dengan r

tabel. Berdasarkan data sebanyak 15 dengan

taraf signifikansi 5% maka ditemukan rtabel =

0,514. Dengan demikian rhitung > rtabel

sehingga H0 ditolak dan Ha diterima. Jadi

kesimpulannya Terdapat hubungan yang

signifikan antara kualitas pengelolaan

pembelajaran berpendekatan saintifik

dengan hasil belajar IPA Tema Organ Tubuh

Manusia dan Hewan kelas V SD Negeri di

Kecamatan Denpasar Selatan.

Untuk mengetahui seberapa besar

kontribusi kualitas pengelolaan

pembelajaran berpendekatan saintifik

terhadap hasil belajar IPA dapat ditentukan

dengan koefisien determinasi (r2xy) yang

merupakan kuadrat dari koefisien korelasi

rxy. Dari hasil penelitian diperoleh r2xy =

0,557 = 0,310. Artinya 31 % variasi hasil

belajar IPA dapat dijelaskan oleh variabel

kualitas pengelolaan pembelajaran,

sedangkan sisanya ditentukan oleh variabel

lain yang tidak diteliti. Jika dikonversikan ke

dalam tabel Guilford besarnya koefisien

determinasi antara kualitas pengelolaan

pembelajaran berpendekatan saintifik

dengan hasil belajar IPA terkategori rendah.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan di atas dapat disimpulkan

bahwa (1) Terdapat diskrepansi yang kecil

dalam implementasi pendekatan saintifik

pada muatan materi IPA tema organ tubuh

manusia dan hewan kelas V SD Negeri di

Kecamatan Denpasar selatan (2) Persepsi

guru tentang pendekatan saintifik sudah baik

dengan rerata 69,22; (3) Pencapaian hasil

belajar IPA siswa sudah baik dengan rerata

nilai 76,37; (4) Terdapat hubungan yang

positif dan signifikan antara kualitas

pengelolaan pembelajaran berpendekatan

saintifik terhadap hasil belajar IPA dengan

kontribusi sebesar 31%.

Saran

Terdapat beberapa saran yang

dikemukakan terkait hasil yang diperoleh

dalam penelitian ini 1) Guru selaku pendidik

hendaknya selalu siap menerima perubahan

yang ada dan meningkatkan kemampuannya

untuk dapat mengimplementasikan

pendekatan saintifik, baik melalui kegiatan

pelatihan, KKG (Kelompok Kerja Guru),

maupun dengan memanfaatkan teknologi

informasi yang ada; 2) Pemerintah

hendaknya melaksanakan sosialisasi secara

intensif melalui kegiatan pelatihan,

workshop, seminar, lokakarya, lomba-lomba

desain pembelajaran, atau kegiatan lainnya

dengan melibatkan semua pihak baik

pendidik, kepala satuan pendidikan,

pengawas satuan pendidikan, dan instansi

terkait. Penelitian evaluasi diskrepansi

tentang implementasi pendekatan saintifik

hendaknya sering dilaksanakan sehingga

dapat diketahui kesenjangan yang terjadi,

sehingga dapat diambil langkah perbaikan

terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan

pendekatan saintifik yang belum memenuhi

Page 80: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 162

standar. Dalam penyusunan standar nasional

pendidikan hendaknya pemerintah juga

melibatkan para pendidik selaku praktisi di

bidang pendidikan. Pemerintah juga

hendaknya memerhatikan sarana dan

prasarana pendidikan yang diperlukan,

seperti buku penunjang, media atau sumber

pembelajaran. 3) Kepala satuan pendidikan

dan pengawas satuan pendidikan hendaknya

melaksanakan pengawasan terhadap proses

pembelajaran yang dilaksanakan pendidik

secara intensif serta memberikan tindak

lanjut terhadap hasil pengawasan baik

berupa penghargaan kepada pendidik yang

telah memenuhi standar maupun

memberikan kesempatan bagi pendidik

yaang belum memenuhi standar dengan

memberikan bimbingan dan pelatihan lebih

lanjut; 4) Bagi peneliti lain yang ingin

meneliti permasalahan serupa tentang

diskrepansi implementasi pendekatan

saintifik disarankan melakukan penelitian

yang lebih mendalam dengan variabel dan

populasi yang lebih banyak, sehingga

mendapatkan hasil lebih baik dan lebih

komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Y. 2014. Desain Sistem

Pembelajaran dalam Konteks

Kurikulum 2013. Bandung: Refika

Aditama.

Arikunto, S. & C.S.A. Jabar 2009. Evaluasi

Program Pendidikan. Jakarta: Bumi

Aksara.

Asril, Z. 2013. Micro Teaching Disertai

Dengan Pedoman Pengalaman

Lapangan. Jakarta: Rajawali Pers

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006.

Panduan Penyusunan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Jakarta: Badan Standar Nasional

Pendidikan

Candiasa, I M. 2010. Statistik Univariat dan

Bivariat Disertai Aplikasi SPSS.

Singaraja: Unit Penerbitan Undiksha

Dantes, N. 2012. Metode Penelitian.

Yogyakarta: ANDI.

Dantes, N. 2016. Statistika Non Parametrik.

Singaraja: Undiksha Press

Daryanto. 2014. Pendekatan Pembelajaran

Saintifik Kurikulum 2013.

Yogyakarta: Gava Media.

Fadlillah. 2014. Implementasi Kurikulum

2013 Dalam Pembelajaran SD/MI,

SMP/MTs, & SMA/MA. Yogyakarta:

Ar-ruzz Media.

Juliarta, I P. B., Natajaya & A. Sunu. 2013.

“Determinasi Motivasi Berprestasi,

Kebiasaan Belajar, dan Kualitas

Pengelolaan Pembelajaran Guru

Terhadap Prestasi Belajar Praktik

(Studi Persepsi Siswa Seni Rupa di

SMKN 1 Sukawati)”. Jurnal

Program Pascasarjana Undiksha

Program Studi Administrasi

Pendidikan. Volume 4 Tahun 2013

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia. 2016a.

Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2016 tentang

Standar Proses Pendidikan dan

Menengah. Jakarta: Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia

Kesnajaya, I K., N. Dantes & G. R. Dantes.

2015.”Pengaruh Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe

Jigsaw Terhadap Motivasi Belajar

dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas

V Pada SD Negeri 3 Tianyar Barat”

Jurnal Program Pascasarjana

Undiksha Program Studi Pendidikan

Dasar. Volume 5 Tahun 2015

Kosasih, E. 2014. Strategi Belajar dan

Pembelajaran Implementasi

Kurikulum 2013. Bandung: Yrama

Widya.

Marhaeni, A. A. I. N. 2007. Evaluasi

Program Pendidikan. Singaraja:

Program Pascasarjana Undiksha.

Mustofa. 2015. “Pemetaan Kesiapan

Implementasi Pendekatan Saintifik

Page 81: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 ________________________________________________________ 163

di SMP”. Jurnal Pendidikan

Geografi UM. Volume 20 Tahun

2015

Nodyanto, D. 2015. “Implementasi

Pendekatan Saintifik dalam

Pembelajaran PPKn untuk

Meningkatkan Kecakapan

Kewarganegaraan Siswa (Studi

Deskriptif Analitis di SMA Negeri

Kabupaten Bangka)”. Jurnal UPI

Digital Repository Indonesia

University Of Education. Tahun

2015

Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran:

Mengembangkan Profesionalisme

Guru. Jakarta: Raja Grafindo

Slameto. 2013. Belajar dan Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi. Jakarta:

Rineka Cipta.

Suarjana, I W. 2011. “Kinerja Guru Dalam

Hubungan Dengan Persepsi Guru

Terhadap Supervisi Kepala Sekolah,

Motivasi Berprestasi, dan Sikap

Profesional Guru SMP Negeri di

Kecamatan Sukawati.” Jurnal

Pascasarjana Undiksha. Volume 2

Tahun 2011

Subagia, I W. & I. G. L. Wiratma, 2016.

“Profil Penilaian Hasil Belajar Siswa

Berdasarkan Kurikulum 2013”.

Jurnal Pendidikan Indonesia

Undiksha. Volume 5 Tahun 2016

Sudjana, N. 2013. Penilaian Hasil Belajar

Proses Belajar Mengajar. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Suryosubroto. B. 2009. Proses Belajar

Mengajar di Sekolah: Wawasan

Baru, Beberapa Metode Pendukung,

dan Beberapa Komponen Layanan

Khusus. Jakarta: Rineka Cipta

Witariani, P. E., N. Dantes & I N. Tika.

2014. “Pengaruh Model Brain-Based

Learning Berbantuan Media Visual

Terhadap Hasil Beljar IPA Ditinjau

Dari Sikap Ilmiah Siswa Kelas V SD

Gugus I Kecamatan Banjar Tahun

Pelajaran 2013/2014” Jurnal

Program Pascasarjana Undiksha

Program Studi Pendidikan Dasar.

Volume 4 Tahun 2014

Yususf, M. 2015. Asesmen dan Evaluasi

Pendidikan Pilar : Penyedia

Informasi dan Kegiatan

Pengendalian Mutu Pendidikan.

Jakarta: Prenamedia Group

Page 82: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 164

PENGARUH KONSELING KOGNITIF BEHAVIORAL MODEL AARON BECK

DENGAN STRATEGI MANAJEMEN DIRI TERHADAP SELF AUTONOMY

DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN SISWA MELALUI

LESSON STUDY

Ni Made Diah Padmi

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail : [email protected]

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) adanya perbedaan pengaruh

konseling kognitif behavioral model Arron Beck dengan strategi managemen diri dan

konseling konvensional terhadap self autonomy, (2) adanya perbedaan self autonomy

ditinjau dari urutan kelahiran anak, (3) adanya pengaruh interaksi antara model konseling

dengan urutan kelahiran anak terhadap self autonomy. Penelitian ini adalah penelitian

eksperimen dengan desain two factorial design, Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1

Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Teknik pemilihan sampel yang digunakan untuk

menentukan sampel penelitian adalah Purposive sampling. Metode pengumpulan data yang

digunakan adalah observasi, wawancara, buku harian, kuesioner dan pencatatan dokumen.

Data hasil penelitian dianalisis menggunakan Anava dua jalur. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa : (1) terdapat perbedaan yang signifikan pengaruh konseling kognitif

behavioral model Aaron Beck dengan strategi managemen diri dan konseling konvensional

terhadap self autonomy, (2) terdapat perbedaan yang signifikan self autonomy ditinjau dari

urutan kelahiran anak (3) terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara model

konseling dengan urutan kelahiran anak terhadap self autonomy.

Kata Kunci : kognitif behavioral, lesson study managemen diri, self autonomy, urutan

kelahiran anak

Abstract

The aims to acknowledge : (1) there is influence differences between cognitive

behavioral counseling of Aaron Beck Model with Self Management Strategy and

conventional counseling against self autonomy, (2) the differences self autonomy based on

the sequence of birth, (3) the influences of interaction between counseling model and the

sequence of birth against self autonomy. This study is an experiment with two factorial

design. This study was done at SMP Negeri 1 Mengwi, Badung, Bali. The sampling

technique mat is used to determine the sample is a purposive sampling technique. Data is

collected by observation, interview, diary book, quesionere and study documenter. Data

analyzed by “two paths anova analysis. The result has shown that : (1) there are differences

of influence cognitive behavioral counseling of Aaron Beck model with self managemen

strategy and conventional counseling against self autonomy; (2) there are differences self

autonomy based of sequence of birth; (3) there are influences of interactions between

counseling model with sequence of birth against self autonomy.

Page 83: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 165

Keyword : cognitive behavioral, lesson study, self management strategy, self autonomy,

sequence of birth

PENDAHULUAN

Berdasarkan hasil pengamatan

yang telah dilakukan oleh peneliti selama

tiga bulan, ditemukan beberapa

kepribadian yang ditunjukkan melalui

cara berprilaku, bertindak maupun

berpikir selama proses pembelajaran

dikelas maupun saat diluar kelas. Dari

beberapa sifat-sifat kepribadian yang

ditunjukkan tersebut peneliti tertarik

untuk meneliti kepribadian kebutuhan

mandiri dan tanggung jawab (Self

Autonomy) yang ditunjukkan oleh siswa.

Ketertarikan peneliti didasarkan pada

gejala perilaku siswa diantaranya datang

termbat, keluar masuk kelas saat guru

masih menjelaskan materi pelajaran, pasif

dikelas yang ditunjukkan dengan sikap

tidak menanggapi maupun memberikan

pertanyaan, serta sebagian siswa juga

menunjukkan perilaku yang tidak tegas,

bergantung pada teman sebangkunya, dll.

Dalam penelitian ini, peneliti

mengkaitkan gejala perilaku yang

ditunjukkan oleh siswa diatas dengan self

autonomy yang rendah.

Berdasarkan hasil observasi yang

disebutkan di atas, sebagian siswa

menunjukkan perilaku self autonomy

rendah, yaitu sekitar 39,5% dengan gejala

perilaku kurang mampu mengemukakan

apa yang sedang difikirkan, kurang fokus

ketika sedang mengikuti pelajaran di

kelas, sering keluar masuk kelas ketika

guru masih mengajar bahkan guru sedang

menjelaskan di kelas, sering bercanda di

kelas, dll. Gejala self autonomy rendah

juga diperkuat oleh pernyataan beberapa

siswa yang diwawancara oleh peneliti,

berdasarkan hasil wawancara

menunjukkan bahwa gejala-gejala self

autonomy rendah masih ditunjukkan oleh

sebagian siswa di kelas maupun diluar

kelas. Hasil data observasi tersebut,

diberkuat dengan pernyataan-pernyataan

siswa yang diperoleh melalui kegiatan

wawancara yang dilakukan kepada

masing-masing siswa.

Berdasarkan data hasil wawancara

diperoleh bahwa sebagian besar siswa

yaitu 57,9% dari 38 siswa masih

menunjukkan perilaku self autonomy

rendah, berdasarkan hasil wawancara,

beberapa siswa masih menunjukkan

perilaku non-autonomy, seperti keluar

masuk kelas tidak tepat pada waktunya

yaitu saat jam pelajaran masih

berlangsung, siswa nongkrong di kantin

saat jam pelajaran sedang berlangsung,

adanya beberapa siswa yang

menunjukkan perilaku tidak mampu

menanggapi maupun memberikan

jawaban yang diminta oleh guru ketika

mengajukan pertanyaan, sehingga

kebutuhan siswa dalam mengungkapkan

apa yang sedang difikirkan tidak

terpenuhi. Melihat fenomena dan gejala

tersebut diatas, maka muncul perhatian

peneliti untuk melakukan tindakan dalam

rangka meningkatkan self autonomy

siswa.

Self Autonomy menurut Dharsana

(2012) adalah kebutuhan seseorang untuk

berdiri sendiri yang meliputi seseorang

yang mampu datang dan pergi

sebagaimana diinginkan, seseorang yang

mampu mengungkapkan apa yang sedang

difikirkan dan seseorang yang tidak

bergantung kepada orang lain dalam

mengambil sebuah keputusan.

Berdasarkan definisi tersebut, maka “self-

autonomy” dalam hal ini mengandung 3

aspek yaitu: (1) datang dan pergi

sebagaimana diinginkan; (2) mengatakan

apa yang sedang difikirkan; (3) tidak

bergantung pada orang lain dalam

mengambil keputusan.

Murray (dalam Alwisol, (2005)

“Otonomy Personal adalah kebutuhan

untuk membuat keputusan untuk diri

Page 84: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 166

sendiri dan mengejar tindakan dalam

kehidupan seseorang dan sering terlepas

dari beban moral tertentu”. Berdasarkan

definisi tersebut, maka “self-autonomy”

dalam hal ini mengandung 2 aspek yaitu:

(1) Membuat keputusan sendiri dan untuk

diri sendiri; (2) Mengejar tindakan dalam

kehidupan seseorang.

Sehingga berdasarkan kedua

pendapat para ahli diatas, maka dalam

penelitian ini yang dimaksud dengan self

autonomy adalah kepribadian yang

dimiliki oleh seseorang untuk selalu

mandiri dan memiliki tanggung jawab

atas setiap tindakan yang dilakukan.

Aspek-aspek dalam self autonomy yang

menjadi acuan dari tindakan siswa yang

memiliki self autonomy tinggi, sedang

maupun rendah adalah (1) mampu datang

dan pergi sebagaimana diinginkan, (2)

mampu mengungkapkan apa yang sedang

difikirkan dan (3) tidak bergantung pada

orang lain dalam mengambil keputusan

untuk dirinya sendiri.

Self Autonomy sangat berpengaruh

dalam usaha mengembangkan

kepribadian siswa, sehingga sekolah

menggunakan berbagai usaha dalam

mengembangkan kepribadin autonomy

siswa, diantara lain yaitu pendidikan,

pelatihan dan melalui layanan Bimbingan

dan Konseling, sehingga oleh guru BK

dilakukan berbagai aplikasi layanan yang

mampu kiranya mengembangkan self

autonomy siswa.

Berdasarkan pemaparan gejala

tingkah laku yang diperoleh melalui

observasi maupun wawancara, maka

adapun usaha yang dapat dilakukan untuk

mengatasi masalah yang berkaitan dengan

self autonomy yang rendah dapat

dilakukan berbagai pendekatan, antara

lain: (1) pendidikan, (2) pelatihan, (3)

bimbingan, (4) konseling. Dalam

penelitian ini lebih menekankan pada

tingkah laku (behavior) dan pola pikir

(kognitif), maka peneliti melakukan

pendekatan melalui bimbingan konseling.

Salah satu cara yang dapat digunakan

untuk mengubah perilaku negatif menjadi

perilaku yang lebih positif dan sekaligus

mengubah pola fikir siswa terhadap

perilaku yaitu dengan Teori Konseling

Kognitif Behavioral (CBT). Konseling

kognitif behavioral adalah suatu proses

untuk mengembangkan self autonomy

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) mengidentifikasi perilaku,

2).menganalisis perilaku,

3).menyimpulkan perilaku,

4).menyimpulkan indikator-indikator

perilaku, 5) mendiagnosa perilaku, 6)

melakukan prognosa perilaku, 7)

mentreatmen perilaku, 8) mengevaluasi

perilaku, 9) merefleksi perilaku, 10)

memfollow-up perilaku. Menurut

Dharsana (2014) “kognitif behavioral

adalah suatu teori secara menyeluruh dan

juga suatu usaha berdasarkan percobaan

untuk menjelaskan prinsip dan kaidah-

kaidah bagaimana tingkah laku manusia

dipelajari melalui respon-respon sebelum

tingkah laku muncul yang diyakini oleh

konseli dan sebagai sebab dari munculnya

perilaku baru. Konseling kognitif

behavioral mempunyai asumsi dasar

bahwa “setiap tingkah laku dapat

dipelajari, tingkah laku lama dapat diganti

dengan tingkah laku baru dan manusia

memiliki potensi untuk berperilaku baik

dan buruk, tepat atau salah. Selain itu,

manusia dipandang sebagai individu yang

mampu melakukan refleksi atas tingkah

lakunya sendiri, mengatur serta dapat

mengontrol perilakunya, dan dapat belajar

tingkah laku baru atau dapat

mempengaruhi orang lain”. (Walker &

Shea, dalam Gantina Komalasari, 2011).

Sedangkan Krisnayana (2014)

mengatakan bahwa Cognitive Behavior

Theraphy (CBT) terjadi proses integrasi

dalam pelaksaanaan konseling yang

dilakukan dengan menggunakan teknik

dari pendekatan kognitif dan pendekatan

behavioral. Sa’Adah (2015) juga

berpendapat bahwa CBT merupakan

bentuk terapi kognitif pada prilaku yang

menyimpang, bimbingan dan konseling

Page 85: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 167

ini selain akan merubah tingkah laku juga

akan merubah cara berfikir konseli yang

salah atau (un reaalistic).

Bimbingan konseling merupakan

proses mengoptimalkan potensi peserta

didik, adapun tujuan dan fungsi dari

bimbingan konseling adalah untuk

membantu individu dalam

mengembangkan potensi diri secara

optimal sesuai dengan tahap

perkembangan dan predisposisi yang

dimiliki, seperti kemampuan dasar, bakat

dan minat individu sehingga dalam

perkembangannya akan mampu sesuai

dengan arah kemampuan dirinya, selain

itu adapun yang merupakan tujuan khusus

dari bimbingan konseling adalah untuk

membantu individu dalam mengentaskan

permasalahan yang sedang dihadapi baik

dalam belajar, kehidupan sosial, pribadi

maupun arah studi lanjut atau karir siswa,

sehingga keseluruhan tentang siswa

menjadi ranah dari kegiatan bimbingan

konseling, baik belajar, karir, pribadi

maupun hal yang mencangkup studi

lanjut dan persiapan karir siswa. Fungsi

dari bimbingan konseling ada empat,

yaitu: (1) fungsi pemahaman,

(2)pencegahan, (3) Pengentasan dan (4)

Advokasi.

Berdasarkan pemaparan di atas,

kaitannya dengan penelitian ini adalah

bimbingan konseling memiliki peran

sebagai pedoman dan acuan bagi penelitia

dalam melaksanakan penelitian, baik

prosedur maupun langkah-langkah yang

akan digunakan oleh peneliti akan

disesuaikan dengan prosedur dan

langkah-langkah dari konseling pada

umumnya dan juga berpatokan dengan

prosedur dan langkan konseling kognitif

behavioral. Bimbingan konseling

berorientasi pada siswa, perhatian BK

adalah perkembangan siswa.

Berdasarkan pemaparan tentang

Bimbingan dan Konseling di atas, adapun

salah satu cara yang dapat digunakan

untuk mengubah perilaku negatif menjadi

perilaku yang lebih positif yaitu dengan

Konseling Kognitif Behavioral.

Konseling kognitif behavioral adalah

proses yang dilakukan untuk

mengembangkan self autonomy.

Dharsana (2014) bahwa kognitif

behavioral adalah suatu teori dan juga

suatu usaha berdasarkan percobaan untuk

menjelaskan prinsip dan kaidah-kaidah

bagaimana tingkah laku manusia

dipelajari.

Walker & Shea (dalam Komalasari,

2011) menjelaskan bahwa konseling

behavioral mempunyai asumsi dasar

bahwa setiap tingkah laku dapat

dipelajari, tingkah laku lama dapat diganti

dengan tingkah laku baru, dan manusia

memiliki potensi untuk berperilaku baik

dan buruk, tepat atau salah.

Teknik yang akan diaplikasikan

dalam penelitian ini adalah mengadopsi

strategi managemen diri model Cormier

and Cormier.

Menurut Cormier and Cormier

(1985) pengelolaan diri adalah salah satu

proses mengarahkan klien dalam merubah

tingkah lakunya dengan menggunakan

satu terapiutik saja maupun dengan

mengkombinasikan strategi yang lain.

Untuk penerapan dari strategi

pengelolaan diri klien harus

memanipulasi beberapa keadaan, baik

internal maupun eksternal sebagai akibat

dari perubahan tingkah laku yang

diinginkan. Pelaksanaan strategi

pengelolaan diri akan diaplikasikan

dengan 3 model yaitu: self monitoring,

stimulus controll, self reward.

Pengelolaan diri model Cormier

and Cormier menekankan adanya

remanagement terhadap klien (siswa),

pengaturan ulang yang dimaksud adalah

siswa secara bertahap mengatur ulang

beberapa perilaku yang belum sesuai

menjadi perilaku yang lebih sesuai

melalui self monitoring yang akan

dilaksanakan dalam layanan konseling,

Page 86: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 168

sehingga dalam hal ini siswa akan

memperoleh pengetahuan terkait

perilaku-perilaku yang diharapkan dan

perilaku yang sudah nampak.

Dengan ini akan dilakukan

perbaikan bersama klien (siswa) yang

bersangkutan. Selain melaksanakan

pantau diri (self monitoring) siswa juga

diajak melakukan stimulus kontrol dan

self reward yang bertujuan untuk

mengontrol beberapa keadaan atau

kondisi yang diharapkan oleh siswa untuk

memunculkan perilaku yang diharapkan

dan melalui self reward siswa diajak

untuk belajar menghargai setiap usaha

yang dilakukannya.

Strategi self management

merupakan pelatihan diri yang akan

mengarahkan siswa kepada kesadaran diri

untuk memperbaiki perilaku dirinya yang

telah nampak menjadi perilaku yang

diharapkan. Sedangkan Marwi (2012)

berpendapat bahwa Self-management

adalah strategi yang memberikan

kesempatan pada klien untuk mengatur

atau memantau perilakunya sendiri

dengan satu strategi

atau kombinasi strategi untuk mengubah

perilaku.

Sedangkan penggunaan dari

pendekatan konseling kognitif behavioral

Model Aaron Beck adalah karena kognitif

behavioral merupakan salah satu

pendekatan konseling yang berorientasi

pada tingkah laku dan pola kognisi klien,

baik perubahan tingkah laku, penciptaan

tingkah laku, pemeliharaan tingkah laku

maupun menghapuskan tingkah laku

tertentu, sehingga dalam penelitian ini

dipilih menggunakan pendekatan

konseling kognitif behavioral.

Pelaksanaan konseling kognitif

behavioral dengan strategi self

management untuk meningkatkan

tanggung self autonomy di SMP Negeri 1

Mengwi, Kabupaten Badung, Bali belum

pernah dilakukan sebelumnya, sehingga

kesempatan bagi peneliti melakukan

kegiatan konseling untuk melihat

pengaruh dari penerapan konseling

kognitif behavioral model Aaron Beck

dengan strategi managemen diri untuk

meningkatkan self autonomy siswa.

Sebelumnya, terdapat suatu

penelitian dari Yahya, AD pada tahun

2016 tentang pelaksanaan konseling

Cognitif Behavior Therapy (CBT) , tetapi

dengan menggunakan teknik Self

Control yang menyatakan bahwa ada

pengaruh dalam pelaksanaan konseling

Cognitif Behavior Therapy (CBT) dengan

teknik Self Control dalam mengurangi

perilaku agresif kelas VIII di SMPN 9

Bandar Lampung.

Retnowulan (2013) juga melakukan

penelitian, hasil penelitia diperoleh bahwa

terdapat perbedaan skor yang signifikan

pada kelompok siswa yang diberikan

perlakuan strategi pengelolaan diri (self

management) dibandingkan dengan

kelompok siswa yang dibantu dengan

metode konvensional.

Rumusan penelitian akan

membahas tiga masalah, antara lain (1)

Apakah terdapat perbedaan pengaruh

konseling kognitif behavioral model

Aaron Beck dengan strategi managemen

diri dan konseling konvensional terhadap

self autonomy siswa?; (2) Apakah

terdapat pengaruh urutan kelahiran

terhadap self autonomy?; (3) Apakah

terdapat pengaruh interaksi antara model

konseling dengan urutan kelahiran

terhadap self autonomy?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimen dengan two factorial design,

sehingga data yang perlu dianalisis

sebagai hasil penelitian adalah skor data

post-test. Metode analisis data yang

digunakan adalah ANAVA. Pengujian

untuk hipotesis pertama dan kedua diuji

menggunakan rumus ANAVA satu jalur,

dan untuk pengujian hipotesis ketiga akan

diuji menggunakan ANAVA dua jalur.

Page 87: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 169

Penelitian eksperimen ini dilakukan

selama tiga bulan yaitu dari tanggal 16

Maret sampai tanggal 16 Juni 2017

bertempat di SMP Negeri 1 Mengwi

dengan populasi penelitian sebanyak 431

siswa kelas VIII dan sampel sebanyak 90

siswa yang dikategorikan memiliki self

autonomy rendah berdasarkan hasil

analisis kuesioner pemilihan sampel.

Metode pengumpulan data yang

digunakan adalah kuesioner, observasi,

wawancara dan penulisan buku harian.

Perencanaan penelitian yang akan

dilaksanakan adalah sebagai berikut: (1)

Penyusunan RPBK, (2). Melakukan uji

judges kuesiner self autonomy, (3).

Mengajukan surat ijin penelitian ke SMP

Negeri 1 Mengwi, (4) Uji Coba Intrumen,

Untuk mengetahui kesahan butir dan

keterandalan perangkat, agar instrument

kuesioner self autonomy dapat digunakan

untuk mengumpulkan, (5) Kuesioner

pemilihan sempel diberikan kepada siswa

yang merupakan populasi penelitian yaitu

siswa kelas VIII sebanyak 431 siswa,

sebelum treatment mulai diberikan.

Kuesioner self autonomy ini terdiri dari

item-item yang sudah disiapkan dan telah

diuji cobakan terlebih dahulu, (6).

Diagnosa, melalui data yang telah

dikumpulkan pada tahap identifikasi,

maka dilanjutkan dengan mencari

penyebab atau kemungkinan sebab yang

mempengaruhi self autonomy siswa di

kelas VIII, pada tahap diagnosa dengan

melakukan wawancara dengan siswa-

siswa yang dikategorikan memiliki self

autonomy rendah (antara 40% - 64%

menurut persentase hasil kuesioner) atau

siswa-siswa yang menunjukkan aspek-

aspek pada self autonomy rendah pada

hasil observasi di kelas VIII, (7).

Prognosa, Berdasarkan hasil analisis

kuesioner pemilihan sampel diperoleh

Sembilan puluh siswa dengan kategori

self autonomy rendah, maka layanan yang

akan diberikan kepada siswa yang

menjadi sampel penelitian adalah

konseling kelompok dengan menerapkan

pendekatan konseling kognitif behavioral

model Aaron Beck dengan strategi

managemen diri untuk merubah perilaku

siswa yang tidak diinginkan menjadi

perilaku yang lebih realistis dalam hal ini

adalah merubah perilaku siswa yang

menunjukkan perilaku self autonomy

rendah dalam menjadi perilaku yang

menunjukkan self autonomy sedang atau

tinggi, karena self autonomy sangtlah

penting bagi siswa serta membiasakan

siswa dengan mengkondisikan setiap

aspek self autonomy pada setiap kali layanan diberikan.

Pelaksanaan : Penelitian

dilaksanakan selama 3 bulan dengan

pemberian treatment 10 kali pertemuan

dari tanggal 16 Maret sampai 16 juni

sedangkan pengakhiran penelitian

dilakukan dengan cara (1). Evaluasi,

Mengamati hasil atau dampak dari

konseling kognitif behavioral dengan

strategi pengelolaan diri (self

management) yang dilaksanakan terhadap

subjek yang dikenai tindakan (group

treatment) untuk melihat ada atau

tidaknya perubahan yang dihasilkan

melalui tindakan yang diberikan dengan

cara observasi langsung ke kelas VIII

dengan pedoman observasi yang

digunakan sebelumnya, (2). Setelah

kelima aspek tingkah laku yang sudah

disusun sudah diberikan layanan maka

semua siswa kelas VIII akan diberikan

kuesioner kedua yaitu posttest untuk

melihat perubahan yang ditunjukkan

melalui hasil postest nantinya, (3). Hasil

postest merupakan hasil analisis dari

postest yang akan menunjukkan adanya

pengaruh terhadap variabel yang diteliti,

dalam hal ini yaitu: pengaruh konseling

kognitif behavioral model Aaron Beck

dengan strategi managemen diri untuk

meningkatkan self autonomy ditinjau dari

urutan kelahiran anak melalui lesson study pada siswa di kelas VIII.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 88: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 170

Berdasarkan data hasil observasi

pada siswa yang diberikan konseling

kognitif behavioral model Aaron Beck

dengan strategi managemen diri diperoleh

8 orang siswa yang menunjukkan gejala

self autonomy yang positif sedangkan 7

siswa menunjukkan self autonomy

negatif. Berdasarkan data awal pada

siswa yang diberikan konseling

konvensional diperoleh 8 orang siswa

yang menunjukkan self autonomy positif

dan 11 siswa yang menunjukkan gejala

self autonomy yang negatif

Berdasarkan hasil wawancara

diperoleh 57,9% siswa menunjukkan self

autonomy yang masih rendah dan hal

tersebut dipeoleh berdasarkan pernyataan

siswa ketika ditanyakan beberapa

pertanyaan terkait aspek-aspek self

autonomy.

Selain observasi dan wawancara,

dalam penelitian ini digunakan buku

harian untuk mengukur peningkatan self

autonomy siswa setiap harinya, selama

dua bulan diperoleh data skor buku harian

berikut :

Tabel 01

Rekapitulasi Skor Bulan I dan II

Rangkuman Rekapitulasi Skor Bulan I

Total 791 795 828 847

Rata-Rata 41,6 41,8 43,5 44,5

Rangkuman Rekapitulasi Skor Bulan II

Total 1040 1087 1129 1137

Rata-Rata 54,7 57,2 59,4 59,8

Berdasarkan data rekapitulasi skor

bulan I dan II diperoleh perbandingan

skor awal sebelum diberikan treatmen

lebih kecil dari skor buku harian setelah

diberikan

treatmen. Perbandingan skor bulan I dan

II dapat divisualisasikan dalam bentuk

grafik perkembangan berikut :

Gambar 0.1

Grafik Rekapitulasi Skor Bulanan Buku Harian Self Autonomy Siswa yang mengikuti

Konseling Kognitif Behavioral dengan Strategi Managemen Diri Bulan I dan II

Deskripsi data dalam penelitian

ini terdiri dari : (1) self autonomy siswa

yang mengikuti konseling kognitif

behavioral dengan strategi managemen

diri, (2) self autonomy siswa yang

791 795 828 847

1040 1087 1129 1137

SM 1 SM 2 SM 3 SM 4

Page 89: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 171

mengikuti layanan konseling

konvensional, (3) self autonomy siswa

yang mengikuti konseling kognitif

behavioral strategi managemen diri

dengan urutan kelahiran anak tengah, (4)

self autonomy siswa yang mengikuti

konseling kognitif behavioral strategi

managemen diri dengan urutan kelahiran

anak tengah, (5) self autonomy siswa

yang mengikuti

konseling kognitif behavioral strategi

managemen diri dengan urutan kelahiran

anak bungsu, (6) self autonomy siswa

yang mengikuti konseling konvensional

dengan urutan kelahiran anak tengah, (7)

self autonomy siswa yang mengikuti

konseling konvensional dengan urutan

kelahiran anak tengah, (8) self autonomy

siswa yang mengikuti konseling

konvensional dengan urutan kelahiran

anak bungsu. Rekapitulasi hasil

perhitungan deskriptif skor post-test self

autonomy dalam penelitian ini dapat

dirangkum seperti tabel berikut :

Tabel 02

Rangkuman Deskripsi Skor Posttest

Treatmen

Konseling

Statistik

A1 A2 A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3

N 45 45 15 15 15 15 15 15

Mean 110,4 92,71 112,2 107,6 111,3 91,93 93,4 92,8

Median 111 93 113 107 112 92 93 93

Modus 101 93 - 97 124 90 93 96

SD 8,82 2,35 9,25 8,44 8,65 2,05 2,41 2,48

Varians 77,79 5,53 85,6 71,23 74,81 4,21 5,83 6,17

Range 32 9 29 25 26 6 8 7

Min 95 89 98 95 98 89 90 89

Max 127 98 127 120 124 95 98 96

Hipotesis yang diuji dalam

penelitian ini adalah tiga hipotesis, yaitu :

(1) perbedaan pengaruh konseling

kognitif behavioral model Aaron Beck

dengan strategi managemen diri dan

konseling konvensional terhadap self

autonomy, (2)Perbedaan self autonomy

ditinjau dari

urutan kelahiran anak, (3) pengaruh

interaksi model konseling dengan urutan

kelahiran anak terhadap self autonomy.

Ketiga hiptesis dalam penelitian ini

dianalisis dengan rumus ANAVA.

Dengan bantuan SPSS 20 diperoleh hasil

analisis ANAVA sebagai berikut :

Tabel 03

Rangkuman Analisis Anava Dua Jalur

Sumber Variasi Jumlah

Kuadrat (JK)

dk Rata-rata Jumlah

Kudrat (RJK)

F P

Model (A) 3484.44 1 3484.4 118.5 <.001

Urutan (B) 1779.82 2 889.9 30.26 <.001

Urutan * Model (AxB) 2148.62 2 1074.3 36.53 <.001

Dalam 2470.0 84 29.4

Total 889994.0 90

Hipotesis Pertama : Hipotesis

yang pertama berbunyi terdapat

perbedaan yang signifikan pengaruh

konseling kognitif behavioral model

Page 90: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 172

Aaron Beck dengan strategi managemen

diri dan konseling konvensional terhadap

self autonomy. Untuk menguji hipotesis

di atas digunakan rumus ANAVA satu

jalur dengan kriteria yang digunakan

adalah sebagai berikut : jika nilai FA >

Ftabel, maka H0 ditolak, sebaliknya jika

nilai FA ≤ Ftabel, maka H0 diterima.

Berdasarkan hasil Anava satu jalur,

diperoleh bahwa FA,hitung = 118,5 dengan

p <0,001. Dengan demikian, hipotesis

alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan

pengaruh konseling kognitif behavioral

model Aaron Beck dengan strategi

managemen diri dan konseling

konvensional terhadap self autonomy,

diterima.

Hipotesis kedua : Hipotesis yang

kedua berbunyi terdapat perbedaan yang

signifikan self autonomy ditinjau dari

urutan kelahiran

anak, dengan ketentuan tolak H0 jika

FBhitung > FBtabel, sebaliknya terima H0

jika FBhitung ≤ FBtabel pada taraf signifikan

5%. Berdasarkan hasil analisis Anava

satu jalur diperoleh nilai Fhitung = 30,26

dengan p < 0,001. Dengan demikian

hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

self autonomy ditinjau dari urutan

kelahiran anak, diterima.

Hipotesis ketiga : Hipotesis yang

ketiga berbunyi terdapat pengaruh

interaksi yang sognifikan antara model

konseling dengan urutan kelahiran anak

terhadap self autonomy., dengan

ketentuan tolak H0 jika FABhitung > FABtabel,

sebaliknya terima H0 jika FABhitung ≤

FABtabel pada taraf signifikan 5%.

Berdasarkan hasil analisis Anava dua

jalur diperoleh nilai FABhitung = 36,53

dengan p < 0,001. Dengan demikian

hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan

bahwa terdapat pengaruh interaksi yang

signifikan antara model konseling dengan

urutan kelahiran anak terhadap self

autonomy, diterima. Selanjutnya perlu

dilakukan uji lanjut dengan uji Tukey.

Berdasarkan uji T-Tukey yang

dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut

:

Tabel 04

Rangkuman Hasil Uji Tukey

Uji T-Tukey thitung Α Hasil Uji Keputusan

A1B1><A1B2 3,28 0,05 thit > α Siswa sulung memiliki self autonomy

yang signifikan berbeda dengan self

autonomy siswa tengah

A1B1><A1B3 0,64 0,05 thit > α Self autonomy siswa sulung signifikan

berbeda dengan self autonomy siswa

bungsu

A1B2><A1B3 -2,64 0,05 thit < α Siswa tengah memiliki self autonomy

yang sama dengan siswa bungsu.

Data pada tabel di atas,

menunjukkan bahwa adanya interaksi

yang mempengaruhi self autonomy

apabila ditinjau dari urutan kelahiran anak

pada kelompok siswa yang diberikan

konseling kognitif behavioral model

Aaron Beck dan konseling konvensional,

yaitu : (1) terdapat perbedaan yang

signifikan self autonomy siswa sulung

dengan self autonomy siswa tengah, (2)

terdapat perbedaan yang signifikan self

autonomy siswa sulung dengan self

autonomy siswa bungsu, (3) tidak

terdapat perbedaan yang signifikan self

autonomy siswa tengah dengan self

autonomy siswa bungsu.

Page 91: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 173

Pembahasan Hipotesis pertama :

temuan empiris pada penelitian ini

menyatakan bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan pengaruh konseling

kognitif behavioral model Aaron Beck

dengan strategi managemen diri dan

konseling konvensional terhadap self

autonomy. Hasil ini dibuktikan dengan

nilai FA,hitung diperoleh sebesar 118,5 dan

p <0,001. Sehingga FA,hitung>p maka dapat

disimpulkan bahwa hipotesis alternatif

(Ha) yang menyatakan “terdapat

perbedaan yang signifikan pengaruh

konseling kognitif behavioral model

Aaron Beck dengan strategi managemen

diri dan konseling konvensional terhadap

self autonomy”, diterima. Temuan

tersebut diperkuat

oleh data rata-rata self autonomy siswa

pada masing-masing kelompok, terdapat

perbedaan rata-rata A1 dan

A2 yang menyatakan bahwa A1 > A2

yaitu 110,4 > 92,71. Hal ini

mengindikasikan bahwa layanan

konseling akan lebih berpengaruh

terhadap self autonomy jika konseli dalam

pelaksanaan layanan difasilitasi dengan

konseling kognitif behavioral model

Aaron beck dengan strategi managemen

diri jika dibandingkan dengan konseling

konvensional.

Pembahasan hipotesis kedua :

Temuan empiris pada penelitian ini

menyatakan bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan self autonomy ditinjau

dari urutan kelahiran anak. Hasil ini

dibuktikan dengan nilai FB,hitung diperoleh

sebesar 30,26 dengan (p<0,001).

Sehingga FB,hitung >p, maka dapat

disimpulkan bahwa hipotesis alternatif

(Ha) yang menyatakan “terdapat

perbedaan yang signifikan self autonomy

ditinjau dari urutan kelahiran anak”,

diterima. Temuan tersebut diperkuat oleh

data rata-rata self autonomy siswa pada

masing-masing kategori urutan kelahiran

anak, terdapat perbedaan rata-rata B1, B2

dan B3 yang menyatakan bahwa B1>B2,

B2<B3 dan B1=B3. Hal ini

mengindikasikan bahwa urutan kelahiran

anak memiliki pengaruh terhadap self

autonomy siswa.

Pembahasan hipotesis ketiga : Oleh

karena terdapat pengaruh interaksi yang

signifikan antara model konseling dengan

urutan kelahiran anak terhadap self

autonomy, maka dilanjutkan dengan uji

lanjut Tukey. Berdasarkan uji lanjut yang

dilakukan dengan rumus T-Tukey,

ditemukan bahwa : (1) terdapat perbedaan

yang signifikan self autonomy siswa

sulung dengan self autonomy siswa

tengah, dengan perolehan nilai (α=0,05 <

3,28); (2) terdapat perbedaan yang

signifikan self autonomy siswa sulung

dengan self autonomy siswa bungsu,

dengan perolehan (α=0,05 > 0,64); (3)

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan

self autonomy siswa tengah dengan self

autonomy siswa bungsu, dengan

perolehan (α=0,05 <-2,64).

Temuan ini dapat dikatakan

terdapat perbedaan yang signifikan

pengaruh konseling kognitif behavioral

model Aaron Beck dengan strategi

managemen diri dan konseling

konvensional terhadap self autonomy.

Sedangkan dalam penelitian Yahya AD

dan Retnowulan menggunakan konseling

kognitif behavioral dengan teknik yang

berbeda namun memperoleh hasil yang

signifikan juga.

Implikasi hasil penelitian ini,

merujuk pada (1) guru bimbingan

konseling dalam pemberian layanan

bimbingan konseling, (2) perencanaan

dan pengembangan model konseling, dan

(3) lembaga pendidikan dan tenaga

kependidikan (LPTK).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, dapat disimpulkan bahwa

(1) terdapat perbedaan yang signifikan

pengaruh konseling kognitif behavioral

model Aaron Beck dengan strategi

managemen diri dan konseling

Page 92: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 174

konvensional terhadap self autonomy, (2)

terdapat perbedaan yang signifikan self

autonomy ditinjau dari urutan kelahiran

anak, (3) terdapat pengaruh interaksi yang

signifikan antara model konseling dengan

urutan kelahiran anak terhadap self

autonomy. Adapun saran yang dapat

diberikan terkait penelitian adalah: (1)

Guru pembimbing/konselor di SMP

Negeri 1 Mengwi sebaiknya selain

memberikan layanan yang hanya

berorientasi pada masalah siswa, guru

pembimbing / konselor juga melakukan

pendekatan yang berorientasi pada

perubahan tingkah laku yang disebabkan

karna kurangnya kesadaran diri siswa dan

rendahnya self autonomy siswa yang

mampu mempengaruhi perilaku yang

lain. (2) Bagi siswa, diharapkan mampu

lebih mendekatkan diri dengan guru

pembimbing di sekolah untuk melatih

kemampuan menyelesaikan masalah yang

sudah muncul maupun yang belum

muncul sebagai pencegahan, karena

sejauh ini masih banyak siswa yang

beranggapan bahwa ruangan BK hanya

untuk siswa yang bermasalah sehingga

ketika dipanggil ke ruang bk, siswa akan

menunjukkan ekspresi ketakutan. (3) Bagi

peneliti selanjutnya agar bisa

mengembangkan penelitian mengenai self

autonomy dengan setting yang berbeda

maupun pendekatan konseling dan teknik

yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald.2003. Teori dan Praktek

Konseling & Psikoterapi

terjemahan

E.Koeswara.Bandung:PT. Refika

Aditama.

Cormier, William H & Cormier, L

Sherlyn. 1985. Interviewing

Stratgeies for Helpers,

Fundamental Skills and Cognitive

Behavioral Interventions (Second

Edition). California:Brooks/Cole

Publishing Company.

Dharsana, Ketut. 2013. Kumpulan

sertifikat test Psikologi. Singaraja:

Jurusan Bimbingan Konseling

Fakultas Ilmu Perdidikan

Undiksha.

Dharsana, Ketut. 2015. RPBK Seri 1

Bimbingan Klasikal, Bimbingan

Kelompok, Konseling Kelompok,

Konseling Individu Untuk

Pengembangan Self Exhibition.

Singaraja: BK FIP Undiksha.

Dharsana, Ketut. 2014. Model-model

Teori, Teknik, Skill Bimbingan

Konseling. Singaraja: Jurusan

Bimbingan Konseling Fakultas

Ilmu Pendidikan Undiksha.

Donald L. MacMillan,1973.Behavior

Modification in Education.New

York:The MacMillan Company.

Krisnayana,I.N. 2014. “Penerapan

Konseling Kognitif dengan

Teknik Restrukturisasi Kognitif

untuk Meningkatkan Resiliensi

Siswa Kelas XI IPA 1 SMA

Negeri 3 Singaraja”. Dalam E-

Journal Undiksha Jurusan

Bimbingan Konseling Volume: 2

No 1,Tahun 2014. Undiksha

Marwi ,Trio Isnansyah.2012.”

Penggunaan Strategi Pengelolaan

Diri (Selfmanagement) untuk

Mengurangi Tingkat Kemalasan

Belajar pada Siswa Kelas VIII E

Mts Al Rosyid dan Der-

Bojonegoro”. Dalam Jurnal

Psikologi Pendidikan dan

bimbingan Vol. 13. No.1, Juli

2012 .

Namora Lumongga Lubis,2013.

Memahami Dasar-Dasar Konseling

dalam Teori dan

Praktik.Kencana:Medan.

Retnowulan, Dyah Ayu. 2013.

“Penerapan Strategi Pengelolaan

Diri (Self Management) untuk

Mengurangi Kenakalan Remaja

Korban Broken Home”. Dalam

Jurnal BK Unesa. Volume 03

Page 93: JIPP, Volume 14 Nomor 2 Juni 2017oldpasca.undiksha.ac.id/iwlasmawan/wp-content/uploads/2019/03/… · sederhana, dan 4) nilai-nilai budaya lokal yang muncul dalam aktivitas anak kelas

Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Pembelajaran ISSN 1858 – 4543

PPs Universitas Pendidikan Ganesha

JIPP, Volume 15 Nomor 2 Juni 2018 _________________________________________________________________ 175

Nomor 01 Tahun 2013. 335-340.

Universitas Negeri Surabaya.

Rismawati.2008. Kepribadian & Etika

Profesi.Yogyakarta.Graha Ilmu.

Sa’Adah.2015.”Konsep Bimbingan dan

Konseling Cognitive Behavior

Therapy (CBT) dengan

Pendekatan Islam untuk

Meningkatkan Sikap Altruisme

Siswa “. Dalam Jurnal Hisbah,

Vol. 12, No. 2 Desember 2015

Sadulloh, Uyoh,2003. Pengantar Filsafat

Pendidikan.bandung:C.V Alvabeta

Sedanayasa, Gede. 2009. Dasar-dasar

Bimbingan Konseling. Singaraja:

Jurusan Bimbingan Konseling

Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Pendidikan Ganesha.

Yahya, AD. 2016. “Pengaruh Konseling

Cognitif Behavior Therapy (Cbt)

dengan Teknik Self Control untuk

Mengurangi Perilaku Agresif

Peserta Didik Kelas VIII di

SMPN 9 Bandar Lampung Tahun

Pelajaran 2016/2017”. Dalam

Jurnal Bimbingan dan Konseling

03 (2) (2016) 187-200. IAIN

Raden Intan Lampung.