JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

12
www.jeratpapua.org EDISI IV JERATPAPUA2014

description

Newsletter Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua Edisi 4 Mei 2014

Transcript of JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

Page 1: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

www.jeratpapua.org

EDISI IV

JERAT PAPUA 2014

Page 2: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

EDISI IV

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 P I L I H A N R E D A K S I H A L . 2

S.MANUFANDU

Sekretaris Eksekutif

DESSY ITAAR

Manager Office

ENI RUSMAWATI

Manager Keuangan

ASMIRAH

Keuangan

WIRYA.S

Manager PSDA & EKOSOB

SABATA.RUMADAS

PSDA & EKOSOB

E. DIMARA

Manager PPM

ESRA MANDOSIR

Manager JKL

ANDRIO. NGAMEL

Unit Studio

MARKUS IMBIRI

Unit DIP

JERRY OMONA

Unit DIP

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org Perlukah Polisi

Memegang Senjata

Api ?

Mengenal Orang Asmat

Raskin Membuat

Masyarakat Malas

Berkebun

Teluk Bintuni “ HPH

Nakal Harus Ditindak “

Bertaruh di Hutan

Nasip di Tengah Hutan

Papua

EDISI IV

U sman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak

K e k e r a s a n ( K o n t r a S ) d a l a m ―Reformasi Hukum‖, 2008, menu-angkan sepenuhnya dalam artikel yang berjudul ―Kekerasan Polri Versus Ma-hasiswa‖. Baginya, dimana-mana, Polri mengenalkan konsep pengembangan dirinya lewat apa yang disebut pemol-isian masyarakat (community policing). Namun hal tersebut ternyata tak se-jalan dengan yang terjadi dilapangan. Kasus Universitas Nasional Jakarta, 2008 menjadi bukti dimana Polri masih menggunakan kekerasan.

Di Papua, kekerasan yang dilakukan

Polri juga tersiar kemana mana. Imparsial dalam protes tertulisnya beranggapan, Polri perlu kembali menata dirinya. Terutama atas penggunaan senjata api (senpi) yang berlebihan.Imparsial menerbitkan surat bernomor026/SK/Sek/Imparsial/V/2009 dan mengecam tindakan aparat negara ini atas berbagai kasus terhadap warga di Papua.

Dalam surat tersebut, Imparsial mencatat sedikitnya 5 kasus penembakan dalam tahun 2009. Ini belum lagi ditambah kasus kekerasan lanjutan yang terjadi di tahun tahun berikutnya.

Diantaranya, penembakan ter-hadap 2 warga sipil, Dono (luka-luka) dan Safarudin (tewas) oleh Bripka DU yang sedang mabuk di Merauke, 23 Januari 2009. Penem-bakan Aparat Kepolisian Mimika yang menewaskan Simon Fader dan melukai beberapa lainnya, pada Minggu 25 Januari serta penembakan 27 Januari 2009 yang melukai Raymond Watubun (28) dan Kace Rahangmetan (35), makin mewarnai deretan kasus warga tewas di Mimika.

Dalam catatan Imparsial, terdapat juga insiden aparat kepolisian Nabire terhadap 7 warga sipil, 6 April 2009. Insiden itu menurut Imparsial telah melukai dian-taranya Albertus Tagi (Siswa SD) yang menderita luka di punggung dan Yonandi Pigome (30) di kening.

Atas rentetan peristiwa itu, Imparsial mendesak Ka-polri agar menindak tegas aparatnya yang telah melakukan tindakan kekerasan berlebihan. Khu-susnya terkait penggunaan senjata api. ―Kami sangat menyesalkan jatuhnya korban sipil, baik yang mening-gal dunia maupun yang luka-luka, akibat kesew-

enang-wenangan aparat kepolisian di Papua dalam menggunakan senjata api,‖ kata Poengky Indarti da-lam surat Imparsial.

Seperti Imparsial, KontraS, (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menilai seyo-gianya Polri sebagai penegak hukum dalam strategi pelaksanaan tugasnya harus merujuk pada Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum. Aturan ini telah di-adopsi dari Kongres ke 8 PBB, September 1990 silam. KontraS juga menilai, diusianya yang makin dewasa,

Polri seharusnya telah menanggalkan citranya sebagai institusi kekerasan kon-vensional.

Dilain tempat, Amnesty International (AI) bahkan dengan tegas mendesak pihak-pihak yang berwenang di Indonesia untuk melakukan penyelidikan atas laporan-laporan yang menegaskan polisi menggunakan kekerasan yang berlebi-han. Misalnya saat membubarkan demonstrasi yang dilakukan secara damai di Nabire.

Bagi AI, pihak-pihak yang berwenang di Indonesia harus memberikan kepastian

kepada publik bahwa kebebasan berekspresi dan berkumpul dijamin di Papua. Mereka juga harus menyatakan dukungan terhadap kerja sah yang dil-akukan pembela HAM. Menurut AI, tindakan-tindakan polisi boleh jadi telah bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum (UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials) dan Kode Etik untuk Para Aparatur Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials).

“ Reformasi mem-

bawa Polri ke dalam

wajah baru, dari se-

mata alat keamanan

menjadi komunitas

keadilan. Konsek-

uensinya, watak

represif diganti

dengan pendekatan

dialogis “

Ilustrasi (foto :SUMUT POS)

DAPATK

AN

Edisi

New

sLet

ter JE

RAT

di Web

site

www.jeratpapua.org

Page 3: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 P I L I H A N R E D A K S I H A L . 3

JARINGAN KERJA RAKYAT JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org

EDISI IV

Kedua pedoman atau prinsip ini menetapkan, antara lain, kekerasan harus digunakan sebagai upaya terakhir, sebanding dengan ancaman yang ada dan harus dirancang untuk meminimalisasi kerugian atau luka. Hal ini seperti termuat dalam Administrasi Peradilan, seperti dinyatakan Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya pada sesi Sidang Umum 1993 (Dok PBB.A/48/575, para.57).

Sementara itu, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Edi Saputra Hasibuan menekankan perlunya evaluasi soal izin penggunaan senjata api terhadap tiap anggota kepolisian. ―Sebagai saran kami, tiap ang-gota yang punya izin penggunaan senjata api harus dites setiap 6 bu-lan sekali,‖ terangnya.

Menurutnya, hal itu guna mengetahui kondisi kejiwaan dan psikologis anggota yang memiliki izin memegang senjata. ―Ada anggota yang tidak memiliki izin, ada yang memiliki izin,‖ tambahnya.

―Agar tidak terjadi lagi (peristiwa penembakan), perlu peningkatan kedi-siplinan. Masih lemahnya kedisiplinan anggota Polri ini merupakan tugas kami untuk memberikan support kepada kepolisian,‖ tandasnya.

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

Asal usul Suku Asmat sama seperti suku asli di Selandia baru dan Papua Nugini yang berasal dari rumpun Polinesia. Suku Asmat terbagi dalam dua kelompok, yaitu yang berdiam di dae-rah pesisir dan pedalaman. Meskipun sama-sama Suku Asmat, kehidupan antara dua kelompok ini sangat jauh berbeda.

Populasi Suku Asmat tidak besar. Penduduk yang tinggal dalam satu kampung hanya 100-1000 orang. Mereka menghuni sebuah rumah keluarga. Maksud ―rumah keluarga‖ adalah sebuah ru-mah yang dihuni oleh beberapa keluarga (biasanya, sekitar dua sampai tiga keluarga). Masing-masing keluarga memiliki dapur dan pintu sendiri.

Selain rumah keluarga, di setiap kampung, memiliki satu Rumah Bujang. Rumah Bujang digunakan oleh Orang Asmat untuk me-nyelenggarakan upacara keagamaan dan adat

Dalam kehidupan sehari-hari, Orang Asmat berhadapan dengan dua kepemimpinan, yaitu pemimpin formal dari unsur pemerintah dan kepala suku yang berasal dari masyarakat. Seperti suku lainnya di Papua, kepala adat atau kepala suku memegang peranan sangat penting dalam tata kelola kehidupan sehari-hari.

Kepala suku bisa berasal dari suku tertua, marga yang dianggap tua atau bahkan bisa diangkat dari seorang yang dianggap ber-jasa, seperti berhasil memenangkan peperangan. Jadi, setelah kepala suku meninggal, dari unsur-unsur itulah kepala suku baru berasal.

Kehidupan Suku Asmat belum banyak terpengaruh oleh ke-hidupan modern. Salah satu contohnya adalah kebiasaan berhias. Mereka mencoreng wajah dengan berbagai warna. Warna-warna tersebut diperoleh dengan cara yang sederhana. Yakni merah, putih, dan hitam.

Untuk warna merah, didapatkan dari tanah merah yang banyak di sekitar. Warna putih dari kulit kerang yang sebelumnya di-

tumbuk sampai halus. Dan, warna hitam, dari arang kayu, yang juga ditumbuk sampai ha-lus.

Dalam kehidupan Suku Asmat di zaman dulu, ada banyak kebia-saan yang dianggap aneh. Salah satunya, saat mereka membunuh musuhnya. Setelah dimatikan, mayat musuh tersebut akan diba-wa pulang ke kampung. Selanjut-nya, dipotong-potong, lalu dibagi-bagi ke seluruh penduduk.

Orang-orang Asmat pandai mem-buat ukiran. Hebatnya, ukiran didesain tanpa sketsa terlebih dahulu. Ukiran-ukiran tersebut memiliki makna, yaitu persembahan dan ucapan terima kasih kepada nenek moyang. Bagi Suku Asmat, mengukir bukan pekerjaan biasa. Mengukir ada-lah jalan bagi mereka untuk berhubungan dengan para leluhur.

Suku Asmat percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal dapat me-nyebabkan bencana bagi yang masih hidup, menyebabkan peperangan, juga menyebarkan penyakit. Untuk menghindari hal tersebut, mereka akan mem-buat patung dan menyelenggarakan berbagai macam pesta. Di antaranya adalah Pesta Bis, Pesta Perah, Ulat Sagu, dan Topeng.

Tradisi Suku Asmat yang tetap lestari selain seni pahat kayu adalah tradisi berperang. Meski belakangan, tradisi ini mulai memudar.

Orang Asmat masih hidup dari alam. Mereka berburu juga bertani. Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yahukimo dan Jayawijaya. Sebelum para misionaris pembawa ajaran agama datang ke wilayah ini, masyarakat Suku Asmat menganut Anisme. Kini, masyarakat suku ini telah menganut

Page 4: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 5

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org

EDISI IV

berbagai macam agama, seperti Protestan dan Kha-tolik.

Dalam hal berpakaian, Orang Asmat memiliki kekhasan. Seluruh bahan untuk membuat pakaian berasal dari alam. Tidak salah jika menganggap pakaian Suku Asmat merupakan representasi kedekatan mereka dengan alam raya.

Tidak hanya bahan, desain pakaian Suku Asmat pun terinspirasi dari alam. Pakaian laki-laki, misalnya, yang dibuat menyerupai burung dan binatang lain, dianggap melambangkan kejantanan. Sementara, rok dan penutup dada kaum perempuan menggunakan daun sagu sehingga menyerupai kecantikan burung kasuari.

Secara umum, pakaian laki-laki dan perempuan Asmat tidak terlalu berbeda. Pada bagian kepala, dikenakan penutup yang terbuat dari rajutan daun sagu dan pada sisi bagian atasnya dipenuhi bulu burung kasu-ari. Bagian bawah dan bagian dada (untuk perempuan) berupa rumbai-rumbai yang dibuat menggunakan daun sagu.

Pakaian adat tersebut belum sempurna jika tidak dilengkapi berbagai aksesori, juga menggunakan berbagai bahan yang tersedia di alam. Aksesori yang biasa dijadikan pelengkap paka-ian tradisional adalah hiasan telinga, hiasan hidung, kalung, gelang, dan tas. Hiasan telinga terbuat dari bulu burung kasuari. Biasanya lebih pendek dibanding bulu burung kasuari yang digunakan pada penutup kepala.

Hiasan hidung hanya dikenakan oleh kaum laki-laki. Terbuat dari taring babi atau dari batang pohon sagu. Hiasan hidung yang dikenakan pria memiliki dua fungsi: simbol kejantanan dan untuk menakuti musuh. Sementara, aksesori kalung dan gelang dibuat dari kulit kerang, gigi anjing, dan bulu burung cendrawasih.

Esse (sebutan masyarakat Asmat untuk tas) merupakan aksesori yang pent-ing. Selain berfungsi sebagai wadah penyimpan ikan, kayu bakar, serta berbagai hasil ladang, esse juga dipakai ketika diadakan upacara-upacara besar. Orang yang mengenakan esse saat diadakan upacara adat dianggap sebagai orang yang mampu menjamin kehidupan dan kesejahteraan masyara-kat.

Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Asmat akan melengkapi penampi-lan mereka dengan gambar-gambar ditubuh. Gambar yang didominasi warna merah dan putih tersebut konon merupakan lambang perjuangan untuk terus mengarungi kehidupan.

Seiring pengaruh modernisasi dan budaya dari luar, sebagian masyarakat Suku Asmat mulai meninggalkan pakaian tradisional mereka. Hanya masyara-kat Asmat yang tinggal di pedalaman yang masih menggunakan pakaian tradi-sional tersebut.

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

Orang Asmat dan Tradisinya. Mereka pandai memahat juga menari.

M araknya beras miskin yang beredar hingga ke pelosok kampung – kampung di Papua ditengarai menjadi sa-

lah satu penyebab semakin berkurangnya minat masyarakat untuk bercocok tanam dan cenderung terjadi peralihan dari konsumsi pangan lokal ke beras. Seorang warga Ya-hukimo, Septhinus Elopere saat ditemui JERAT pada Jumat (21/02) mengatakan bahwa memang terjadi pergeseran pola makan ditingkat masyarakat yang dulunya sering mengkon-sumsi pangan lokal misalnya ubi, sagu dan keladi namun kini telah beralih kepada beras terutama beras miskin (raskin).

―Sekarang masyarakat cenderung jadi malas bekerja teruta-ma berkebun karena telah adanya beras raskin. Disisi lain juga dengan adanya beras raskin menyebabkan masyarakat lebih cenderung memilih beras dari pada umbi-umbian ― ujar Septhinus Elopere. Ditambahkannya dulu kalau orang pu-lang ke Wamena dan tidak makan ubi maka rasanya belum sampai di Wamena, tapi sekarang justru sekarang se-

Page 5: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 5

JARINGAN KERJA RAKYAT JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org EDISI IV

baliknya orang cenderung lebih memilih makan nasi. ―Anak-anak kita sekarang ini kalau lapar makan menangis minta nasi, sedangkan kalau kita yang tua ini masih bias konsumsi ubi‖ ujar Septhinus Elopere prihatin. Dan memang diakuinya dampak raskin memang tidak merata, pada daerah yang tidak terjangkau raskin maka masyarakat masih seperti biasa bercocok tanam, tapi bagi daerah yang terjangkau raskin maka berdampak seperti hal tadi.

Dari data Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua untuk Kabupaten Yahukimo, realisasi beras raskin pada tahun 2010 sebesar 185.238 kg , tahun 2011 430.560 kg dan tahun 2012 menjadi 883.260 Kg artinya terlihat adanya pen-

ingkatan yang signifikan realisasi raskin di Kabupaten Yahukimo.

Sementara Killion Wenda mengiyakan apa yang disampaikan oleh Septhinus Elopere. ―Memang beras raskin telah merubah pola makan kita, baik siang, malam , semuanya memakan nasi, tidak lagi ubi ― ujar Killion Wenda. Seha-

rusnya juga pemerintah tidak memberikan beras kepada masyarakat. Tapi memberikan stimulant kepada para petani atau pemilik perkebunan, terutama umbi-umbian. ―Pemerintah bisa juga memberikan hadiah kepada para pemilik kebun yang produksinya semakin meningkat ataupun kepada masyarakat yang ingin membuka kebun berupa skop, pupuk dan lainnya. Jadi bukan memberikan uang ataupun program yang membuat masyarakat semakin malas‖ ujar pria yang juga sebagai aktivis perdamaian. Killion Wenda mengingatkan bahwa kebijakan raskin telah membuat masyarakat jadi malas dan jika suatu saat ganti pemerintahan dan terjadi ganti kebijakan , maka kita akan mengalami kesulitan dalam mencari beras karena telah tergan-tung dengan raskin.

(Wirya)

P erusahaan pemegang IUPHHK PT. Wukirasari Diduga Lakukan Pene-bangan Kayu Bulat diluar RKT. Perusahaan pemegang Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HA) dari PT.Wukirasari diduga kuat melakukan penebangan kayu bulat jenis Merbau diluar RKT.

Temuan, kondisi fisik kayu berada di lokasi berbeda, namun diberikan lebel sesuai rencana kerja tahunan (RKT). Selain itu, pihak perusahaan belum membayar sepenuhnya kompensasi hak ulayat masyarakat adat terkait jumlah kubi-kasi kayu bulat yang ditebang tahun 2013, buntutnya aktivitas perusahaan sementara dihentikan.

Mediasi pun dilakukan. Tanggal 20 Juni 2014 pertemuan di lokasi perus-ahaan dengan masyarakat pemilik hak ulayat, dimediasi LSM Bin Madag Hom Teluk Bintuni. Pihak perusahaan yang diwakili Manager Pengu-sahaan Hutan (MPH), Sutisna, Romilus Tatuta, anggota DPRD Teluk Bin-tuni Daerah Pemilihan II yang meliputi juga wilayah lokasi perusahaan beroperasi.

Pertemuan itu, apa yang disampaikan masyarakat adat tak dapat dipenuhi karena pengambil keputusan berada di pulau Jawa, MPH angkat tangan. Maka, disepakati, untuk sementara dihentikan aktivitas perusahaan kayu tersebut. Bahkan dapat berdampak pada karyawan di rumahkan, hingga tuntas persoalan.

Pertemuan berikut di kantor DPRD Teluk Bintuni yang dihadiri pula oleh Kepala Dinas Kehutanan Ir. Putu Suratna, MM yang didampingi stafnya. MPH Perusahaan didampingi kepala kantor Cabang Perusahaan di Bintuni, Yanwar, serta perwakilan masyarakat dan LSM Bin Madag Hom.

Hasilnya, pihak Dinas dan pihak perusahaan akan menyampaikan laporan dan mengupayakan pertemuan antara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan pimpinan utama perusahaan pemegang Izin Usaha Pem-anfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK/HA) dari PT. Wukirasari, di Surabaya dengan masyarakat pemilik hak ulayat.

Pada pertemuan itu juga, terungkap kalau Pejabat Pengesah Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (P2LP-HHBK) tak melaksanakan tugas dilapangan ketika aktivitas perusahaan di tahun 2013. Hal ini erat kaiatan, buntutnya masyarakat pemilik hak ulayat merasa dirugikan dan ketika ditelusi data, maka mereka meminta kompensasi untuk kubikasi kayu yang

sudah ditabang sesuai laporan diakhir tahun 2013 lalu, dengan dinominalkan 2 milyar rupiah lebih.

Direktur Bin Madag Hom, Yohanis Akwan, SH bersama anggota DPRD Teluk Bintuni Romilus Tatuta dan beberapa warga masyara-kat pemilik hak ulayat sebelumnya telah melakukan pemantauan lapangan, dan mengambil data termasuk dokumentasi foto keberadaan kayu serta kerusakan lingkungan oleh perusahaan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur tentang standar verifikasi legalitas Kayu dari PT Wukirasasi sebagai pemegang IUPHHK nomor 477/KPTS-II/2008 tanggal 31 Desem-ber tahun 2008 dengan luasan 116.320 Ha di Wilayah Kampung, Wagura Distrik Kuri Kabupaten Teluk Bintuni diduga sangat bertentangan dengan aturan legalitas pengelolaan hutan lestari maupun standar pedoman verifikasi lagalitas kayu (SVLK).

Contoh, penebangan di luar wilayah RKT, Penebangan Hutan

yang tidak di berengi dengan adanya penanaman kembali, penem-

bangan hutan yang dekat pada bibir kali, tidak adanya Tenaga

Teknis Kehutanan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Ganis

Page 6: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 7

EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI IV

PHPL) atau WASGANIS PHPL yang di tu-

gaskan di lapangan untuk memverifikasi le-

galitas kayu dan adanya komflik antara

masyarakat pemilik hak ulayat dengan pihak

perusahaan terkait belum dibayarnya kubikasi

kayu milik masyarakat yang sudah di tebang

sebanyak 20.118,70 meter kubik yang belum

di bayarkan Tahun 2013 pada RKT Tahun

2013.

Data ini bagi Bin Madag Hom, sebuah LSM yang juga bergerak di bidang lingkungan hidup ini sudah cukup mengisyaratkan perus-ahaan harus diberikan raport merah. Pasal-nya penebangan kayu tersebut mulai dari blok tebangan hingga ke TPK dan lokpon tidak di verifikasi sehingga dari sesi aturan masyarakat dan Negara mengalami kerugian yang tidak sedikit sehingga penting untuk di evaluasi kinerja IUPHHK dari PT Wukirasari.

Romilus Tatuta begitu kesal dengan per-buatan perusahaan tersebut. Termasuk tanggungjawab sosial perusahaan bagi masyarakat asli Papua di daerah tersebut. Seperti pemukiman masyarakat serta fasilitas umum lainnya. Kata Romilus, hasil kebun dan laut masyara-kat mau jual saja ke perusahaan, dibilang tak ada uang untuk beli. Kemauan perusahaan yang dipaksakan. ―Pihak perusahaan tak mau dengar masukan dari mayarakat adat tapi masyarakat adat yang harus ikuti kemauan perusahaan. Itu yang terjadi,‖ ujar Romilus Tatuta, yang kini kembali terpilih sebagai ang-gota DPRD Teluk Bintuni untuk periode keti-ga.

Pihak LSM Bin Madag Hom, kata Yohanis Akwan, akan terus mendampingi masyarakat adat, pemilik hak ulayat atas hutan kayu di Wagura, Otermeta dan kampong Awegro Distrik Kuri dalam menghadapi persoalan

tersebut. Termasuk rencana melaporkan keja-hatan lingkungan, serta dugaan pelanggaran pidana lainnya yang dipandang dilakukan oleh pihak perusahaan ke Kepolisian Resort (Polres) Teluk Bintuni. ―Kami menemukan sejumlah pelanggaran di bidang kehutanan yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut. Realitas dan fakta lapan-gan, banyak sekali kasus mulai dari prasyarat, produksi, berkaitan pula soal ekologi ling-kungan, dan sosial masyarakat. Aktivitas perus-ahaan ini sangat buruk sekali, maka dilaporkan ke Polres dan juga pada Dinas serta pihak terkait di bidang Kehutanan,‖ ujarnya.

Dia juga memperlihatkan dua peta operasi pe-rusahaan kayu yang akan berakhir tahun 2020 tersebut, yang di keluarkan dari pusat dan juga peta RKT tahun 2013 yang ditandatangani oleh Kadin Kehutanan Provinsi dan Kadin Kehutanan Teluk Bintuni. Jika upaya yang dilakukan tak direspon secara

serius oleh pejabat Negara itu berarti pejabat Negara ―turut bermain‖ atas pelanggaran HAM di bidang lingkungan di tanah Papua, khususnya yang terjadi di wilayah Provinsi Papua Barat, hal yang terjadi antara Teluk Bintuni dan Kaimana saat ini. ―Kejahatan ter-hadap lingkungan, kami anggap itu pelang-garan HAM Berat, seperti yang kami amati dilakukan oleh perusahaan ini‖ katanya.

Maka, persoalan perusahaan dengan masyarakat pemilik hak ulayat yang terjadi ini perlu mendapatkan perhatian luas, tak kecua-li masyarakat adat 7 suku di Teluk Bintuni. Sebab, tinggal selangkah lagi, gunung Nabi, gunung keramat itu dibabat habis hutannya, dan tinggal mitos.

[Daniel/@jendela_papua/bbm pin:28089477/]

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 6

Page 7: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 7

EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org EDISI IV

K ami melakukan sebuah perjalanan dari Sorong ke Sausapor yang menjadi pusat kota Tambrauw untuk sementara waktu.

Kami menempuh jarak sekitar 150 km dengan kendaraan roda empat selama 6 jam perjalanan. Setengah jalannya dari kabu-paten Sorong sudah beraspal dan selanjutnya jalan berlumpur di antara tebing-tebing terjal yang menantang. Hanya jenis ken-daraan hilux, hardtop dan landcruiser yang bisa menaklukkan perjalanan ini, tapi memang membutuhkan driver yang bernyali besar dan lincah.

Awas jurang….!! Hmmm persis di tikungan lagi. Spidometer menari-nari di antara 80 dan 100, kadang-kadang melambung ke 120 dan menurun ke 60. Rombongan dalam landcruiser itu ada 3 orang dari Jakarta dan 4 orang dari Manokwari diantaranya 2 orang dari Yayasan PUSAKA Jakarta, 1 orang dari HuMA Jakar-ta, 1 orang dari JASOIL Tanah Papua Manokwari dan 3 orang dari Yayasan Paradisea Manokwari. Adapun tujuan perjalanan ini yakni untuk menghadiri dan memfasilitasi sebuah Focus Group Discussion terkait Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat dan Hak-haknya atas tanah dan hutan di kabupaten Tam-brauw.

Kegiatan yang terselenggara atas kerjasama LSM dan Pemerintah Daerah kabupaten Tambrauw yang mempunyai misi untuk menjadikan wilayah ini sebagai kabupaten konservasi di Papua Barat. Sehingga walaupun jalan penuh lika-liku dan san-gat menantang, tapi tim dari LSM ini berani bertaruh nyali demi memenuhi inisiatif dan undangan pemerintah daerah bersama komunitas-komunitas masyarakat adat setempat. Indahnya per-jalanan ini. Hutan alam terbentang luas bagai permadani seakan menceritakan kisahnya sendiri. Sedangkan laut tampak tenang membisu. Sausapor masih sangat jauh ke depan. Kaca mobil dibiarkan terbuka. Udara yang bersih dan sejuk, terasa menjadi teman perjalanan setelah melepas debu dan panas terik kota Sorong. Dari atas gunung-gunung yang tinggi menjulang itu, tampak di sana lautan saumudera pasifik yang membentang luas, tampak tenang menghanyutkan. Indah nian di sore hari yang cerah itu. Kabut tebal pun seakan enggan meninggalkan gunung-gunung yang tampak menggoda dengan panorama hi-jaunya. Jembatan-jembatan sepanjang jalan masih tampak baru, semua masih dalam proses pembangunan. Jalan darat yang dahulu tidak ada itu, kini mempermudah akses masyarakat dari kota Sorong maupun Sausapor.

Dulu memang hanya mengandalkan jalur laut dengan kapal-

kapal perintis (ferry), tapi sekarang jalan darat sudah terbuka.

Isolasi daerah itu pun sudah terbuka. Roda mobil pun tetap

melaju menuju Sausapor dengan iringan music lagu khas Papua,

―Tanahku Papua‖ yang tak tergantikan selama perjalanan pan-

jang itu. Keindahan alam merupakan daya tarik tersendiri.

Pohon-pohon besar yang masih tinggi menjulang itu pun tampak

meneteskan embun, meski di siang hari. Kabut masih tampak

menyelimuti tubuh gunung-gunung. Indah nan menawan. Para

pekerja jalan raya pun dijumpai tampak sibuk. Pada umumnya mereka

orang-orang dari luar pulau Papua yang datang mencari pekerjaan di Tanah

Papua. Beberapa deretan basecamp para pekerja jalan raya itu tampak

padat. Hujan deras sekali pun tak mengusik semangat mereka. Di sepan-

jang perjalanan itu, pemandangan yang tak terlewatkan juga adalah

tumpukan kayu merbau dengan ukuran balak maupun papan pun seakan

ikut menghiasi pinggir kiri dan kanan jalan raya. Kayu-kayu gergajian

dengan ukuran balak 10 x 20 cm, 20 x 20 cm, 20 x 30 cm dan 20 x 40 cm

yang merupakan ukuran ideal kayu eksport. Tiga orang tenaga penarik kayu

dari tengah hutan itu pun tampak sibuk mengatur kayu hasil pikulannya.

Mereka menggunakan sepeda motor yang rangkanya sudah dimodifikasi

bentuknya dari besi 14 dan besi 16. Motor ini merupakan modal pikul bagi

anak-anak yang masih sangat muda di tengah hutan ini.

Page 8: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 8 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 P O J O K I N F O R M A S I H A L . 9

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI IV

Dalam sehari hasil pikulan mereka bisa mencapai enam (6) meter kubik. Kayu ditumpuk saja di pinggir jalan, nanti sang pemiliknya yang akan mengambil dan membawanya ke tempat penampungan atau ke industry kayu di kota sorong untuk selanjutnya dikirim keluar dari Tanah Papua. Namun, mereka sendiri tidak tahu siapa pemilik kayu yang sebenarn-ya. Mereka hanya tahu bahwa kayu-kayu ini dite-bang jauh dari pinggir jalan raya. Apakah kayu dipikul dari jarak sekitar 50 meter atau 100 meter dari pinggir jalan. Ternyata jauh, sekitar 1 sampe 2 kilo meter. Kalau hanya 50 sampe 100 meter jarak-nya, tidak mungkin mereka pakai motor yang rangkanya pakai besi 16 itu. Anak-anak muda yang masih berusia 18 dan 19 tahun itu ternyata berani juga melakukan pekerjaan berisiko tinggi di tengah hutan belantara itu dengan modal sepeda motor dari besi linggis. Berapa ongkos yang mereka dapatkan? Ternyata 500 ribu untuk satu meter kubik dibagi 3 orang.

Jadi kalau dalam satu hari mereka dapat 6 meter kubik, itu artinya mereka peroleh 3 juta rupiah dan dibagi 3. Lumayan untuk pendapatan sehari. Apakah langsung dibayar pada hari itu? Tidak. Biasanya kalau kayu sudah diambil baru dibayar, tapi masih menunggu juga karena juru bayar berada di kota sorong. Untuk bertahan hidup, ada kios di basecamp dimana mereka bisa utang. Nanti kalau sudah dapat bayaran ongkos pikul kayu baru membayar utang di kios yang juga milik pengusaha kayu itu. Ya, syukur-syukur kalau masih bisa tersisa untuk dibawa pulang untuk membantu meringankan beban keluarga. Satu di antaranya mengaku berjuang untuk mendapatkan uang untuk membiayai saudaranya yang sedang duduk di bangku SMA. Mudah-mudahan pengorban-nan saya di hutan ini bisa ada manfaatnya di kemudian hari bahwa adik saya bisa selesaikan sekolah dan selanjutnya dia kuliah supaya dapat pekerjaan layak. Cukup saya sudah yang kerja di hutan begini, mungkin sudah nasib saya, tapi saya harus sekolahkan adik saya, agar dia tidak seperti

saya.

Ketika ditanya tentang kondisi hutannya, mereka pun menerangkan bahwa jangan lihat

dari luarnya. Di dalam hutan ini kayu besi sudah habis. Ada banyak jalan sarat di dalam

dan seperti kota besar. Kalau lihat dari luar memang hutannya masih tampak utuh dan

menakutkan, tetapi di dalamnya sudah terbuka sampai di lereng-lereng gunung. Hanya

tempat terjal saja yang belum dijangkau, setapi semua tempat yang bisa dijangkau su-

dah terbuka karena penebangan kayu. Mereka pun mengaku kalau tidak tahu siapa

pemilik kayu dan siapa pengusaha yang mempekerjakan mereka, karena mereka hanya

tahu urusan pikul saja dari dalam hutan ke pinggir jalan. Perjalanan menuju kota Sausa-

por, pusat kabupaten Tambrauw pun dilanjutkan.

Rombongan perjalanan itu lanjutkan diskusi hangat di dalam mobil, membahas sepeda motor dari besi linggis itu. Perjalanan masih jauh, kira-kira masih membutuhkan 3 jam lagi untuk sampai ke tempat tujuan. Tikungan-tikungan tajam yang harus dilalui dan masih ada pula jurang yang akan menantang. Sayangnya pandangan sudah sempit, karena hujan di sore hari itu. Lumpur longsoran dari gusuran tanah itu menjadi hiasan

tersendiri di sepanjang perjalanan.

Cerita hangat dengan suara tawa-riah itu pun redup

seketika. Roda landcruiser yang ditumpangi itu tidak

mungkin melewati satu lembar papan di depan, sementa-

ra jurang sekitar 5 meter di sebelah kiri dan kanan. Tidak

ada jalan lain, selain harus berusaha cari akal sambil

berdoa semoga papan kayu besi itu bisa bertahan mem-

ikul beban landcruiser dengan beban tambahan 7 orang

penumpang yang berberat badan lumayan bervariasi

antara 60 kg hingga 90 kg. Akhirnya berhasil lolos juga.

Semua menarik napas dalam-dalam tanda syukur karena

bisa melewati tantangan itu. Hari pun sudah gelap. Disku-

si pun berakhir, semua terdiam dan akhirnya tertidur,

kecuali sang sopir.

Oleh : Pietsau Amafnini — JASOIL Tanah Papua

Page 9: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 P O J O K I N F O R M A S I H A L . 9

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org EDISI IV

P T. Wijaya Sentosa (Sinar Wijaya Sentosa Group) adalah sebuah unit management sektor kehutanan di Dusner, Kabupaten Teluk

Wondama, Papua Barat. PT.WS mengantongi IUPHHK dengan SK. HPH No.SK.33/Menhut-II/2013 tertanggal 15 Januari 2013 dengan luas konsesi 130.755 Ha. Perusahaan ini beroperasi di bekas lokasi konsesi HPH PT. Wapoga Mutiara Timber Unit-I Teluk Wondama. Awalnya sangat membingungkan masyarakat adat di Dusner, apakah perusahaan ini merupakan PT. Wapoga Mutiara Timber yang kembali dalam nama lain, atau memang perusahaan yang berbeda? Cek pu-nya cek akhirnya ada perusahan senama di Yapen dengan nama PT. Sinar Wijaya Sentosa, sebuah perusahan industri kayu (playwood). Namun tak seorang pun mengaku kalau perusahaan pengganti WMT adalah SWS yang ada di Yapen.

Kebingungan ini akhirnya mendorong masyarakat adat di Dusner melayangkan surat kepada Bupati Teluk Wondama dan Dinas Kehu-tanan Kabupaten Teluk Wondama untuk menanyakan status perus-ahaan baru yang menggantikan WMT. Maklum, WMT meninggalkan luka yang sangat mendalam. Isi hutan sudah diambil semuanya, tapi masyarakat tidak mendapat apa-apa, selain gedung gereja yang sela-lu dijadikan alasan bahwa WMT telah berbuat sesuatu di Dusner. Bahkan kepada menteri kehutanan pun masyarakat menyurati melalui peran LSM PUSAKA Jakarta dan mitra-mitranya. Namun, toh pada akhirnya jelas kepada permukaan umum berupa sebuah papan nama milik perusahaan baru ini. PT.WS mengantongi IUPHHK dengan SK. HPH No.SK.33/Menhut-II/2013 tertanggal 15 Januari 2013 dengan luas konsesi 130.755 Ha.Sedangkan jauh sebelumnya, perusahaan WS ini tidak pernah bernegosiasi dengan masyarakat adat soal harga kayu dan kompensasi yang seharusnya mereka terima. Kelakuan WMT jangan sampai terulang, oleh karena itu harus sesuai prinsip-

prinsip FPIC.

Selanjutnya terjadi pertemuan beberapa kali antara pihak masyarakat adat Dusner dan pihak perusahaan WS. Akhirnya disepakati bahwa perusahaan bersedia membayar kompensasi yang sesuai, tetapi entah sesuainya bagaimana menurut versi perusahaan, itu masyarakat adat tidak tahu.

Jack Imburi, tokoh masyarakat adat dan pemilik hak ulayat di Dusner menerangkan bahwa setiap tiga (3) bulan PT. Wijaya Sentosa melakukan pengapalan dengan kapasitas 14 tongkang. Setiap 14 tongkang per tiga bulan itulah masyarakat menerima Rp.1 Miliar. Se-tiap tongkang biasanya memuat 5000 batang. Tidak hanya kayu yang ukurannya sesuai aturan, tapi kayu-kayu jerat juga dia bawa pergi. Menurut informasi dari perusahaan, kayu yang mereka bawa itu tujuan ke Serui/Yapen karena ada industri playwood di sana, sedangkan lainnya dibawa ke Surabaya. Hal ini jelas bahwa kayu jerat pun dite-bang karena mungkin untuk memenuhi kebutuhan bahan baku play-wood di Serui. Intinya, SWS jauh lebih parah dari WMT dalam operasinya, sehingga perlu ada proses pembinaan atau mungkin te-guran dari pemerintah, dalam hal ini Dinas Kehutanan. Sayangnya, tidak ada perhatian juga dari pemerintah.

Konon PT. Wapoga Mutiara Timber (WMT) Unit I adalah sebuah unit manajement IUPHHK-HA di Teluk Wondama. WMT mendapat izin dari pemerintah pusat pada tahun 1990 berdasarkan Keputusan IUPHHK Pada Hutan Alam No.744/Kpts-II/1990, tanggal 13 Desember 1990, dengan luas wilayah konsesi di Teluk Wondama adalah 178.800 Ha. Saat itu, wilayah Teluk Wondama masih menjadi bagian dari wilayah administratif Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua/Irian Jaya. WMT beroperasi hingga pasca pemekaran Teluk Wondama (2003) dan be-

Perusahaan berganti pe-

rusahaan, nasib

masyarakat adat tetap

sama saja. Ibarat sudah

jatuh, tertimpa tangga

lagi. Kayu jerat pun diba-

wa pergi, hanya perus-

ahaan yang sentosa, se-

dangkan masyarakat

tetap merana di tempat

Page 10: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S I S H A L . 1 0

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI IV

rada di dalam wilayah Provinsi Papua Barat.

Pada tahun 2004 hingga tahun 2006 adalah waktu dimana semua unit manajement kehutanan di Tanah Papua menjalani masa ‗opname‘ se-bagai akibat dari kuatnya operasi illegal logging. WMT tidak melakukan akitifitasnya. Sejak saat itu, ketika ditanya tentang aktifitasnya, pihak WMT selalu mengatakan bahwa tidak melakukan aktifitas pengusahaan hasil hutan kayu sejak tahun 2004. Padahal dalam kenyataannya, di wila-yah konsesi WMT masih terus terjadi aktifitas penebangan hutan kayu.

Pada tanggal 31 Desember 2008, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Pa-pua Barat mengesahkan dokumen Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam Tahun 2009 dengan Nomor pengesahan No. KEP 5221./1011. Keputusan pengesahan ini sebagai tanggapan pemerintah atas usulan RKT oleh IUPHHK PT. WMT Unit I Teluk Wonda-ma sesuai dari manager Pegusahaan Hutan WMT unit I Nomor. 97/WMT-I/XII/2009 tanggal 15 Desember 2008.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat mengeluarkan Surat Keputusan No. KEP-522.1/1011 tentang Pengesahan Rencana Kerja Ta-hunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Dalam Hutan Alam Tahun 2009 dengan tetap mempertimbangkan: Kepmenhut No. 744/kpts-II/1990 tang-gal 13 Desember 1990 kepada PT. WMT Unit I bahwa telah diberikan izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam atas Areal hutan seluas 178.800 Ha di Provinsi Papua Barat. Selain itu, ber-dasarkan Permenhut No. P.40/Menhut-II/2007 tanggal 17 September 2007, telah ditetapkan kewajiban pemegang IUPHHK dalam Hutan Alam untuk membuat RKT Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKTUPHHK) dalam Hutan Alam.

Sebelum dikeluarkannya surat keputusan, pihak Dinas Kehutanan Provin-si Papua Barat juga telah telah meneliti dan mempelajari kebenaran dan kelengkapan persyaratan pengesahannya berdasarkan Permenhut No.P.40/Menhut-II/2007 tanggal 17 September 2007. Selain peraturan ini, adapun peraturan lokal provinsi Papua Barat seperti Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 2 Januari 2008 tentang Pengaturan Peredaran Hasil Hutan Kayu; Keputusan Gubernur Papua Barat Nomor: 144 Tahun 2007 tanggal 30 Oktober 2007 tentang Standar Pemberian Kompensasi Bagi Masyarakat Adat atas kayu yang dipungut pada Areal Hak Ulayat di Provinsi Papua Barat; Pertimbangan Tekhnis Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Teluk Wondama No. 522.2/603/2008 tanggal 10 Desember 2008 tentang Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Teluk Wondama. Pertimbangan lain adalah Surat Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: SK.432/VI-BPHA/2008 tanggal 17 Desember 2008 tentang Penetapan Jatah Produksi Kayu Bulat Nasional Periode Tahun 2009 yang berasal dari IU-PHHK-HA/HPH di setiap provinsi se-Indonesia, dimana menyebut jatah provinsi Papua Barat sebanyak 1,225,000 meter kubik.

Sesuai Surat keputusan Pengesahan RKT PT. WMT Unit I di atas, Te-bagangan Tahunan seluas 3,950 Ha dan jumlah pohon sebanyak 16.915 pohon dengan volume sebesar 55.528,92 meter kubik yang tersebar di 40 Blok Petak Tebangan. Penebangan dilakukan juga pada Blok Tebangan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) seluas 12,80 Ha dengan jumlah pohon sebanyak 418 pohon serta volume sebesar 729,51 meter kubik. Selain itu pemanfaatan Limbah Tebangan dengan volume sebesar 8.438,76 meter kubik.

Pihak perusahaan WMT Unit I, selalu tidak mengakui kalau pada pasca OHL I dan II masih terjadi pengusahaan kayu di areal kawasan konsesi Teluk Wondama. Namun selama proses pemantauan, sejumlah bukti sekunder dan fakta menunjukkan bahwa pada pasca OHL, masih terjadi

penebangan dan pemanfaatan hasil hutan kayu. Pada tanggal 13 Mei 2008, di Rasie-Teluk Wondama, Dinas kehutanan kabupaten mengeluarkan surat rekomendasi No. 522.2/344/2008 kepada pe-rusahaan industri kayu yakni CV. Aitumeri yang beralamat di Kam-pung Tandia, Wasior. Dalam rekomendasi ini, CV. Aitumeri membu-at kesepakatan kontrak kerjasama untuk pemanfaatan kayu limbah sebanyak 8.920,78 meter kubik di areal konsesi PT. WMT Unit I sesuai arahan SK. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Nomor. KEP-522.1/7 tanggal 08 Januari 2008 tentang Pengesahan RKT Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Dalam Hutan Alam tahun 2008. Lokasi terkait rekomendasi ini adalah kawasan di kampung Obo, sesuai Surat Kesepakatan antara CV. Aitumeri dan Masyara-kat Adat Obo (marga Riensawa dan Werbete) tanggal 24 Mei tahun 2008.

Pada tanggal 3 Februari 2009, pihak WMT Unit I Basecamp Dusner di Wasior, Teluk Wondama bersama Direktur CV. Aitumery menan-datangani perjanjian kontrak Suplay bahan baku industri berupa Limbah Kayu pada areal RKT 2009 milik WMT untuk kebutuhan bahan baku industri CV, Aitumery. Jumlah yang diperlukan dis-esuaikan dengan RKT Limbah yang disetuji Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat sebeasar 8.438,76 meter kubik (JPT merbau x 15%). Pihak WMT juga bersedia mensuplay limbah penebangan sebesar 2000 meter kubik dan 1800 meter kubik (3,800 meter ku-bik) dari limbah penebangan pada areal RKT 2008. Atas dasar ini, maka pada tanggal 30 Mei 2008, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Teluk Wondama mengeluarkan surat No. 522.3/321/2008 perihal pertimbangan tekhnis dalam rangka pem-berian rekomendasi persetujuan prinsip kepada CV. Aitumeri di ka-bupaten Teluk Wondama. Surat ini dialamatkan kepada Bupati Te-luk Wondama setelah membaca surat dari CV. Aitumeri No. 03/AM/V/2008 tanggal 30 Mei 2008 dengan tujuan agar Bupati memberikan rekomendasi kepada pihak Aitumeri agar mendapat-kan Izin Usaha Industri (IUI) dari Gubernur Provinsi Papua Barat.

Pada tanggal 20 Desember 2008, pihak masyarakat adat di kam-pung Nanimori – Dusner, distrik Kuri Wamesa, Teluk Wondama, Masyarakat Adat Nanimori bersama pihak CV. Aitumeri menan-datangani Berita Acara Perjanjian Pengolahan Kayu Limbah. Dalam Berita Acara ini disepakati bahwa pihak CV. Aitumery berkewajiban membayarkan hak ulayat kayu limbah kepada masyarakat adat Nanimori sebesar Rp. 200,000 per meter kubik yang dibayarkan pada setiap pengapalan. Selain itu disepakati bahwa pihak perus-ahaan akan membayar retribusi ke kas pemerintah kampung, mem-berikan bantuan kepada pihak gereja dan memberikan bantuan pada kegiatan gotong royong di kampung. Namun pada ken-yataannya, tidak ada sama sekali. Hal ini yang sangat disesalkan oleh masyarakat adat di kampung Nanimori. Pada tanggal 15 April 2008, pihak WMT bersama Masyarakat Adat di kampung Nanimori menandatangani Berita Acara mengenai penyelesaian perbaikan dan renovasi kegiatan PMDH berupa proyek air bersih di kampung nanimori yang merupakan tanggung jawab PT. WMT Unit I. Untuk pelaksanaannya, pihak perusahaan menyetujui melakukan pembayaran berupa ongkos kerja sebesar Rp. 40,000,000,- kepada pihak masyarakat adat melalui perwakilan Kuasa Masyarakat Adat. Namun kenyataannya, tidak ada realisas-inya.

PT. WMT memperoleh sertifikasi PHPL pada tanggal 15 September 2010 dengan Nomor Sertifikat 02/A-SERT/IX/2010 oleh Ayamaru Certification. Proses sertifikasi PHPL ini dilakukan dalam kerangka

Page 11: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

Foto : Jerry Omona J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S I S H A L . 1 0 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I V M E I 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S I S H A L . 1 1

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org EDISI IV

untuk pemenuhan persyaratan perpanjangan izin IUPHHK-HA. Sertifikasi PHPL ini dinya-takan Lulus sesuai aturan main SVLK Permen-hut 38/2009. Namun pada tanggal 24 Mei 2012, Sertifikat PHPL WMT dibekukan oleh Ayamaru Certification. Selanjutnya WMT ‖menggulung tikar‖ dan meninggalkan Teluk Wondama. Hingga pada akhirnya datanglah Sinar Wijaya Sentosa sebagai pemain baru dengan cara-cara lama di bekas wilayah kons-esi WMT.

Pada akhirnya Jack Imburi seorang pemilik hak adat atas hutan di Dusner Teluk Wondama hanya bisa mengatakan bahwa ―Perusahaan Wapoga dalam bekerja masih bisa menetap-kan tebang pilih, walaupun tidak tanam kemba-li. WMT dalam operasinya tidak sapu rata kayu yang ada di hutan, ada ukuran-ukuran yang kalau sesuai aturan bahwa dilarang, dia tidak tebang. Tetapi sekarang ini, Wijaya Sentosa jauh lebih parah dalam cara kerjanya. Sampai kayu-kayu jerat yang ukurannya masih kecil pun ditebang dan dibawa pergi oleh Wijaya Sentosa. Perusahaan ini namanya juga bagus, hanya dia akan sentosa sedangkan masyara-kat adat setempat akan tinggal merana di tem-pat.*

Sumber : www.tabloidjubi.com

Penulis Pietsau Amafnini

JASOIL Tanah Papua

Potret Kehidupan

Masyarakat

Suku Momuna

Kabupaten

Yahukimo Papua

( Wilayah Pendampingan JERAT Papua )

Page 12: JERAT PAPUA (Edisi IV Mei 2014)

Supported by :

DAPATK

AN

Edisi

New

sLet

ter JE

RAT

di Web

site

www.jeratpapua.org