Jenis Desinfektan Dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan - Iman Firmansyah - Politeknik Negeri Jember
-
Upload
imanfirmansyah -
Category
Documents
-
view
32 -
download
0
Transcript of Jenis Desinfektan Dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan - Iman Firmansyah - Politeknik Negeri Jember
-
PENGARUH JENIS DESINFEKTAN DAN LAMA DESINFEKSI
ALAT PENGOKONAN TERHADAP MORTALITAS
DAN PRODUKSI KOKON ULAT SUTRA
(Bombyx mori L.) KODE C.301
TUGAS AKHIR
Yx
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan
di Bidang Konsentrasi Agribisnis Sutera Alam
Program Studi Manajemen Agroindustri (D-IV)
Jurusan Manajemen Agribisnis
oleh
Iman Firmansyah NIM D41111010
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2015
-
ii
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
PENGARUH JENIS DESINFEKTAN DAN LAMA DESINFEKSI
ALAT PENGOKONAN TERHADAP MORTALITAS
DAN PRODUKSI KOKON ULAT SUTRA
(Bombyx mori L.) KODE C.301
Diuji pada Tanggal: 9 Juni 2015
Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat
Tim Penguji
Ketua,
Dyah Nuning Erawati, SP, MP
NIP. 19690502 1994 03 2 004
Sekretaris,
Dr. Ir.Suharjono, MP
NIP. 19581105 1988 11 1 001
Anggota,
Dewi Kurniawati, S.sos, M.Si
NIP. 19790113 200501 2 001
Mengesahkan,
Direktur Politeknik Negeri Jember
Nanang Dwi Wahyono, M.M
NIP. 19590822 198803 1 001
Menyetujui,
Ketua Jurusan Manajemen Agribisnis
Retno Sari Mahanani,S.P, M.M
NIP. 19700507 200003 2 001
-
iii
PERSEMBAHAN
Untuk mereka yang memberikan kasih dan sayang tanpa henti :
Kedua Orang Tua
(Sodikin dan Mamah Maryam)
-
iv
MOTO
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman: 14)
-
v
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Iman Firmansyah
NIM : D41111010
menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan Laporan Tugas
Akhir saya yang berjudul Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi Alat
Pengokonan terhadap Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori
L.) Kode C.301 merupakan gagasan dan hasil karya saya sendiri dengan arahan
komisi pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun pada
Perguruan Tinggi mana pun.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Laporan Tugas akhir ini.
Jember, 9 Juni 2015
Iman Firmansyah
NIM D41111010
-
vi
Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan terhadap
Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301
(The Effect of Disinfectant Varieties and Disinfection Time Cocooning Device on
Mortality and Silkworm Cocoon Production (Bombyx mori L.) Code C.301)
Iman Firmansyah
Program Studi Manajemen Agroindustri
Jurusan Manajemen Agribisnis
ABSTRACT
One of methods to decrease mortality and to increase cocoon production is by
cocooning device disinfection. This research was aimed to determine variety of
disinfectant and disinfection time at cocooning device so that be able to decrease
mortality and to increase cocoon production. The experiment was conducted in
State Polytechnic of Jember from October 2nd
to November 6th
, 2014. Factorial
Complete Randomized Design (CRD) was used as the experimental design which
consisted two factors. First factor was disinfectant variety consisted of chlorine
(A1), formaline (A2), and potassium permanganate (A3). Second factor was
disinfection time consist of 15 minutes (B1) and 30 minutes (B2). The result
showed that there was no interaction between disinfectant variety and disinfection
time on silkworm mortality, cocoon weight, average of one cocoon, cocoon shell
percentage, and yarn silk rendemen. But then there was significantly interaction
on abnormal cocoon percentage.
Keywords: Cocoon, disinfectant, time disinfection
-
vii
RINGKASAN
Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan terhadap
Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301, Iman Firmansyah, Nim D41111010, Tahun 2015, 38 hlm, Manajemen Agribisnis,
Politeknik Negeri Jember, Dyah Nuning Erawati, SP. MP (Pembimbing I) dan Dr.
Ir. Suharjono, MP (Pembimbing II)
Kokon merupakan bahan baku pembuatan benang yang dihasilkan oleh ulat
sutra. Produksi kokon sangat bergantung pada ulat sutra itu sendiri terutama
ketika fase pengokonan. Ulat sutra menghendaki lingkungan pengokonan yang
bebas dari hama dan penyakit. Lingkungan yang terdapat hama dan penyakit akan
meyebabkan mortalitas ulat tinggi dan menurunkan produksi kokon.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis desinfektan dan lama
desinfeksi alat pengokonan terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra
(Bombyx mori L.) kode C.301.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah jenis desinfektan yang terdiri
atas kaporit (A1), formalin (A2), kalium permanganat (A3). Faktor kedua adalah
lama desinfeksi yang terdiri atas 15 menit (B1) dan 30 menit (B2) sehingga
diperoleh kombinasi yaitu desinfeksi menggunakan kaporit selama 15 menit
(A1B1) dan 30 menit (A1B2), formalin selama 15 menit (A2B1) dan 30 menit
(A2B2), kalium permanganat selama 15 menit (A3B1) dan 30 menit (A3B2)
Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali, sehingga didapatkan 24
satuan unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas 30 sampel ulat. Dengan
demikian total seluruh ulat yang digunakan adalah 720 ekor.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis
desinfektan dan lama desinfeksi alat pengokonan terhadap mortalitas ulat, berat
kokon segar, rerata berat kokon per butir, persentase kulit kokon, serta rendemen
benang namun terdapat interaksi yang berpengaruh nyata terhadap persentase
kokon cacat. Persentase kokon cacat terendah ditunjukan oleh perlakuan A3B2
dengan persentase kokon cacat sebesar 1,02 %. Hal ini diduga karena konsentrasi
kaporit yang digunakan lebih dari anjuran yang tertera dalam kemasan sehingga
-
viii
menghasilkan tingkat sanitasi yang lebih baik. Kokon yang dihasikan pada
penelitian ini adalah kokon dengan grade D dengan penilain berdasarkan SNI
Mutu Kokon Segar 2010.
-
ix
PRAKATA
Segala puji milik Allah SWT yang telah memberikan ketetapan atas
terselesaikannya Penulisanan Laporan Tugas Akhir yang berjudul Jenis
Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas dan
Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301. Diajukan sebagai
Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan di Bidang Konsentrasi
Agribisnis Sutera Alam Program Studi Manajemen Agroindustri (D-IV) Jurusan
Manajemen Agribisnis. Penulisan laporan ini didasarkan atas hasil penelitian yang
dilaksanakan pada 2 Oktober 2014 sampai dengan 6 Nopember 2014 di Politeknik
Negeri Jember.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional yang telah memberikan
dukungan pembiayaan melalui program beasiswa unggulan
2. Ir. Nanang Dwi Wahyono, MM selaku Direktur Politeknik Negeri Jember
3. Ir. N. Bambang Eko S, M.Si selaku Direktur LPIU Program Unggulan D4
Politeknik Negeri Jember
4. Ir. Moch. Bintoro, MP selaku Ketua Bidang Konsentrasi Agribisnis Sutera
Alam
5. Retno Sari Mahanani, SP, MM selaku Ketua Jurusan Manajemen Agribisnis
6. Dewi Kurniawati, S.sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Manajemen
Agroindustri
7. Dyah Nuning Erawati, SP, MP selaku dosen pembimbing utama
8. Dr. Ir. Suharjono, MP selaku dosen pembimbing anggota
9. Keluarga, sahabat dan semua pihak yang berperan aktif dalam penyelesaian
penulisan laporan tugas akhir ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat
dilakukan perbaikan-perbaikan pada ranah pelaksanaan, penulisan, maupun isi
laporan.
Jember, 9 Juni 2015
Penulis
-
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii
PERSEMBAHAN ...................................................................................... iii
MOTO ...................................................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN ........................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................ vi
RINGKASAN ............................................................................................ vii
PRAKATA ............................................................................................... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xvi
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 2
1.3 Tujuan .................................................................................... 2
1.4 Manfaat .................................................................................. 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 4
2.1 Sistematka Ulat Sutra ........................................................... 4
2.2 Ulat Sutra Kode C.301 .......................................................... 5
2.3 Siklus Hidup Ulat Sutra ....................................................... 6
2.4 Pengokonan ........................................................................... 7
2.4.1 Tempat Pengokonan ..................................................... 8
2.5 Standar Nasional Indonesia Mutu Kokon Segar ............... 8
2.5.1 Istilah dan Definisi ........................................................ 9
-
xi
2.5.2 Klasifikasi Mutu ........................................................... 10
2.5.3 Persyaratan Mutu Kokon Segar .................................... 10
2.6 Penyakit Ulat Sutra ............................................................... 10
2.6.1 Cendawan ...................................................................... 11
2.6.2 Cytoplasmic Polyhedrosis Virus (CPV) ....................... 11
2.6.3 Penyakit Bakteri ............................................................ 11
2.7 Desinfeksi ............................................................................... 11
2.7.1 Kaporit .......................................................................... 12
2.7.2 Formalin ........................................................................ 13
2.7.3 Kalium Permanganat ..................................................... 13
2.8 Hipotesis Penelitian ............................................................... 14 13
BAB 3. METODOLOGI ........................................................................... 15
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................. 15
3.2 Alat dan Bahan ...................................................................... 15
3.3 Metode Penelitian .................................................................. 15
3.4 Tahapan Pelaksanaan ........................................................... 17
3.4.1 Pemesanan Telur ........................................................... 17
3.4.2 Desinfeksi Alat dan Kandang ....................................... 17
3.4.3 Desinfeksi Alat Pengokonan ......................................... 18
3.4.4 Inkubasi ......................................................................... 19
3.4.5 Proses Pemeliharaan ..................................................... 19
3.5 Parameter Pengamatan ........................................................ 20
3.5.1 Mortalitas Ulat (%) ....................................................... 20
3.5.2 Berat Kokon Segar (gr) ................................................. 20
3.5.3 Rerata Berat Kokon Per Butir (gr) ................................ 20
3.5.4 Persentase Kulit Kokon (%) ......................................... 20
3.5.5 Persentase Kokon Cacat (%) ......................................... 20
3.5.6 Rendemen Benang (%) ................................................. 21
-
xii
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 22
4.1 Mortalitas Ulat (%) .............................................................. 22
4.2 Berat Kokon Segar (gr) ........................................................ 24
4.3 Rerata Berat Kokon Per Butir (gr) ..................................... 27
4.4 Persentase Kulit Kokon (%) ............................................... 30
4.5 Persentase Kokon Cacat (%) ............................................... 32
4.6 Rendemen Benang (%) ......................................................... 35
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 38
5.1 Kesimpulan ............................................................................ 38
5.2 Saran ...................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 39
LAMPIRAN ............................................................................................... 41
-
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Komposisi Kokon Ulat Sutra Kode C.301 ........................................ 6
2.2 Daftar Istilah dan Definisi Kokon ...................................................... 9
2.3 Klasifikasi Mutu Kokon ................................................................... 10
2.4 Persyaratan Mutu Kokon .................................................................. 10
3.1 Tabel Sidik Ragam RAL Faktorial ................................................... 17
4.1 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat .............. 22
4.2 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat .............. 23
4.3 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon
Segar ................................................................................................... 25
4.4 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon
Segar ................................................................................................... 25
4.5 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat
Kokon Per Butir .................................................................................. 27
4.6 Hasil Sidik Ragam Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per butir .......... 28
4.7 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit
Kokon ................................................................................................. 30
4.8 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit
Kokon ................................................................................................. 31
4.9 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon
Cacat ................................................................................................... 33
-
xiv
4.10 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon
Cacat ................................................................................................... 33
4.11 Hasil Uji Lanjut Interaksi antara Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan dengan Uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) 5% terhadap Persentase Kokon Cacat ...................... 34
4.12 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase
Rendemen Benang .............................................................................. 35
4.13 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen
Benang ................................................................................................ 36
-
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Siklus Hidup Ulat Sutra ........................................................................ 7
3.1 Lay out Penelitian ................................................................................. 17
4.1 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat .......................................... 24
4.2 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar ................................... 27
4.3 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Rerata Kokon Per Butir ............................ 29
4.4 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon ............................ 32
4.5 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang .................................... 37
-
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Jadwal Kegiatan Penelitian ................................................................. 41
2. Data Pengamatan Mortalitas Ulat (%) ................................................. 42
3. Data Pengamatan Berat Kokon Segar (gr) .......................................... 44
4. Data Pengamatan Rerata Berat Kokon Per Butir (gr) ......................... 45
5. Data Pengamatan Persentase Kulit Kokon (%) ................................... 46
6. Data Pengamatan Persentase Kokon Cacat (%) .................................... 47
7. Data Pengamatan Rendemen Benang (%) .......................................... 50
9. Dokumentasi Penelitian ....................................................................... 53
-
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budidaya ulat sutra merupakan kegiatan yang bersifat padat karya,
berteknologi sederhana, relatif mudah dikerjakan dan relatif cepat memperoleh
hasil panen serta berorientasi pada produksi kokon yang bermutu. Kokon yang
bermutu sangat menentukan nilai jual dari kokon itu sendiri karena kokon inilah
yang digunakan sebagai bahan pembuatan benang sutra.
Mengacu pada pernyataan Badan Standarisasi Nasional (2010) bahwa
kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutra (Bombyx mori L.) pada fase
metamofosa (proses pembentukan pupa), yang terdiri atas kulit kokon dan pupa.
Saat ini, ulat sutra yang lazim dibudidayakan adalah ulat sutra dengan kode
C.301 karena bersifat ungul. Kokon kode C.301 merupakan kokon hasil
persilangan betina ras Jepang dan jantan ras Cina, berwarna putih, berbentuk
lonjong dengan berat 1.488 gr dan persentase kulit kokon sebesar 18.8%. Daya
tetas telur sebesar 90%.
Guna mendapatkan kokon kode C.301 yang berkualitas baik maka perlu
menggunakan teknik budidaya yang lebih mutakhir, salah satunya memperhatikan
tingkat sanitasi pada alat pengokonan yang digunakan pada akhir pemeliharaan
ulat, yaitu ketika ulat akan memulai mengokon. Berdasarkan pernyataan
Atmosoedarjo dkk.. (2000) bahwa ruangan pemeliharaan, peralatan dan
lingkungannya sangat mudah terkontaminasi oleh bibit-bibit penyakit ulat sutra.
Hypha cendawan Aspergillus, muskardin, dan bakteri merupakan penyakit yang
biasa menyerang ulat sutra hingga menyebabkan kematian. Jika hal ini tidak
dikendalikan maka mortalitas ulat sutra akan meningkat dan produksi kokon akan
menurun.
Tingkat sanitasi yang lebih baik pada alat pengokonan saat ulat memulai
memberntuk kokon perlu diciptakan melalui desinfeksi alat pengokonan agar
bersifat aseptik sehingga menjamin kesehatan ulat, menekan mortalitas ulat dan
meningkatkan produksi kokon. Terdapat berbagai macam desinfektan yang dapat
-
2
diterapkan pada proses perendaman alat pengokonan antara lain kaporit, formalin,
dan kalium permanganat.
Untuk mencapai tingkat sanitasi pada alat pengokonan yang lebih baik maka
perlu menggunakan jenis desinfektan yang tepat serta waktu dsinfeksi yang tepat
pula. Sehingga dapat diterapkan oleh para petani sutra saat berbudidaya ulat sutra
yang bertujuan untuk mendapatkan kokon kode C.301 yang bermutu. Anwar
(1989 dalam Atmosoedarjo, 2000) menyatakan bahwa pemeliharaan dengan
desinfeksi tubuh ulat, kandang dan peralatan menghasilkan kokon 29% lebih
banyak dibandingkan dengan pemeliharaan tanpa desinfeksi.
Oleh karena itu untuk mendapatkan jenis desinfektan dan lama desinfeksi
yang baik untuk menurunkan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon perlu
dilakukan penelitian mengenai Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori
L.) Kode C.301
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang diajukan untuk dipecahkan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Jenis desinfektan apakah yang paling efektif dalam desinfeksi alat pengokonan
untuk menekan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon?
2. Berapa lama waktu yang paling efisien dalam desinfeksi alat pengokonan
untuk menekan mortalitas ulat dan meningkatkan produksi kokon?
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui jenis desinfektan yang paling efektif dalam desinfeksi alat
pengokonan untuk menekan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon.
2. Mengetahui lama waktu yang paling efisien dalam desinfeksi alat pengokonan
untuk menekan mortalitas ulat dan meningkatkan produksi kokon.
-
3
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1. Informasi bagi pelaku persutraan mengenai jenis desinfektan yang paling
efektif dalam desinfeksi alat pengokonan untuk menekan mortalitas dan
meningkatkan produksi kokon.
2. Informasi bagi pelaku persutraan mengenai lama waktu yang paling efisien
untuk menekan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon.
3. Referensi bagi peneliti selanjutnya sehingga memudahkan dalam penelitian.
-
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistematika Ulat Sutra
Guntoro (1994) menyatakan bahwa ulat sutra termasuk ke dalam famili
Bombycidae yang akan membentuk kokon terlebih dahulu sebelum menjadi pupa.
Secara alamiah, kegiatan ini merupakan upaya untuk menyelamatkan diri dari
musuh atau kondisi lingkungan karena pupa tersebut keadaannya amat lemah dan
tidak berdaya.
Sistematika ulat sutra menurut Atmosoedarjo dkk. (2000) adalah sebagai
berikut :
Phyllum : Arthropoda.
Kelas : Insecta.
Ordo : Lepidopptera.
Familia : Bombycidae.
Genus : Bombyx.
Species : Bombyx mori L.
Nazaruddin dan Nurcahyo (1992 dalam Yuanita, 2007) menyatakan bahwa
ulat sutra dapat dibedakan berdasarkan beberapa hal yaitu berdasarkan voltinisme
(jumlah generasi per tahun), moltinisme (pergantian kulit) dan tempat asalnya.
Pembagian ulat sutra berdasarkan voltinisme terdiri monovoltin, byvoltin dan
polyvoltin. Monovoltin mengalami satu kali generasi selama satu tahun
disebabkan oleh terjadi penundaan pematangan embrio selama musim dingin dan
kokon berukuran relatif lebih besar. Byvoltin mengalami dua kali generasi selama
satu tahun dan kokon berukuran relatif lebih besar. Polypoltin mengalami tiga
atau lebih generasi dalam satu tahun dapat bertahan di daerah panas kokon
berukuran kecil dan kandungan sutranya sedikit.
Pembagian ulat sutra berdasarkan atas moltinisme (pergantian kulit) terdiri
dari Three molters, four molters dan five molters. Three molters yaitu jenis yang
menagalami tiga kali pergantian kulit. Four molters yaitu jenis yang mengalami
empat kali pergantian kulit dan dianggap sebagai penghasil sutra terbaik sehingga
-
5
paling banyak dipelihara. Five molters yaitu jenis yang semasa hidupnya
mengalami lima kali pergantian kulit.
Sedangkan pembagian ulat sutra berdasarkan tempat asalnya terdiri dari ras
jepang, ras china, ras eropa dan ras tropika.
2.2 Ulat Sutra Kode C.301
Pusat Pembibitan Ulat Sutra Candiroto (2008 dalam Rusita, 2011)
menyatakan bahwa deskripsi kokon ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301
adalah sebagai berikut:
1. Macam persilangan : N1 x N2
2. Voltinisme : bivoltin
3. Asal bibit : betina ras Jepang dan jantan ras Cina
4. Corak ulat : bintik
5. Warna kokon : putih
6. Bentuk kokon : lonjong
7. Karakteristik : kualitas kokon dan serat tinggi
8. Kualitas telur : daya tetas 90%
9. Kualitas kokon : kokon normal 95%; berat kokon 1.488 gr
10. rasio kulit kokon : 18.8%.
Tasiro (1968 dalam Nuraini, 2009) menyatakan bahwa komposisi kokon
ulat sutra (Bombyx mori L.) terdiri atas 2 protein hewan yang mempunyai fibroin
(C15 H26 N5 O6) 70-80% dan serisin (C15 H26 N5 O8) 20-30%. Lukas (1987 dalam
Nuraini, 2009). Menyatakan bahwa fibroin adalah Polipetida, dibangun dari 4
asam amino utama yaitu glycine (38-41%), alanin (30-33%), serisin (12-16%),
dan terosin (11-12%).
-
6
Tabel 2.1 Komposisi Kokon Ulat Sutra Kode C.301
Berat
Kokon Segar Kokon kering
Jenis A Jenis B Jenis A Jenis B
Berat
Nyata Ratio
Berat
Nyata Ratio
Berat
Nyata Ratio
Berat
Nyata Ratio
(g) (%) (g) (%) (g) (%) (g) (%)
Kokon 2,0934 100,0 2,050 100,0 0,793 100,0 0,820 100,0
Kulit kokon 0,3620 17,3 0,410 20,0 0,362 45,7 0,410 50,0
Pupa 1,7190 82,1 1,626 79,3 0,419 52,8 0,396 48,3
Lapisan Luar Kokon 0,0124 0,6 0,014 0,7 0,012 1,5 0,014 1,7
Sumber : Ministry Of Education, Japan, (1962 dalam Atmosoedarjo, 2000)
2.3 Siklus Hidup Ulat Sutra
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa ulat sutra memiliki siklus
hidup yang pendek sehingga dapat dipelihara 7-8 generasi per tahun dan lebih dari
340 sifat dipelajari yang sebagian besar dari telur dan larva.
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa ulat sutra (Bomyx mori L.)
adalah serangga holo metabola yang selama hidupnya mengalami metamorfosis
sempurna yaitu mulai dari telur, ulat (larva), kokon (kepompong) dan ngengat.
Selama metamorfosis, stadia larva merupakan stadia penting bagi ulat dalam
pembentukan sintesis protein dan pembentuka telur.
-
7
Gambar 2.1 Siklus Hidup Ulat Sutra
2.4 Pengokonan
Ahdiat (2010) menyatakan bahwa pengokonan terjadi pada ulat sutra diakhir
instar ke-5, yaitu proses membungkus diri dengan serat yang dikeluarkan dari
mulutnya, sebelum berubah bentuk menjadi pupa. Kokon inilah yang
dimanfaatkan oleh manusia untuk bahan baku benang, sehingga pengokonan
harus ditangani dengan benar, baik persiapan alat pengokonan maupun metode
pada saat pelaksanaannya, supaya menghasilkan kokon yang bermutu baik.
Guntoro (1994) menyatakan bahwa ulat yang telah siap mengokon
menunjukan tanda-tanda, seperti: (a) sudah cukup dan tiba waktunya jika dihitung
sejak ditetaskan dari telur, (b) tubuh ulat terlihat bening, transparan, berwarna
kekuningan, (c) nafsu makan berkurang bahkan hilang sama sekali (d) ulat
cenderung berjalan ke pinggir sasag, (e) keluar serat sutra dari mulutnya, dan (f)
kotoran berwarna hijau.
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa waktu mengokon di tempat
pengokonan, ulat berputar-putar mencari tempat untuk mengokon yang baik
kemudian merapat pada tempat yang sesuai. Kemudian ulat akan membuat lapisan
kokon tipis-tipis. Selanjutnya ulat akan menurunkan bagian ekornya keluar kokon
-
8
untuk membuang air kecil dan besar untuk kali terakhir. Setelah itu ulat membuat
kokon dengan terus berputar-putar tanpa henti jika tidak ada gangguan atau
perubahan lingkungan. Dan jika berhenti maka kokon yang dihasilkan termasuk
kokon berdaya pintal rendah.
2.4.1 Tempat Pengokonan
Atmosoedarjo (2000) menyatakan bahwa material dan struktur tempat
pengokonan sangat berpengaruh terhadap mutu kokon dan filamen.
Kaomini (2002 dalam Yuanita, 2007) menyatakan bahwa syarat alat
pengokonan yang baik adalah memudahkan ulat sutra dalam mengokon dan
memudahkan bila dipanen, efisien bila digunakan, mudah dipakai dan harga
murah, struktur kuat dan penyimpanan membutuhkan tempat yang kecil. Floss
yang menempel pada alat pengokonan mudah dibuang dan bahan tahan
kelembaban tingggi atau basah.
Bank Indonesia (2000) menyatakan bahwa seriframe yaitu alat pengokonan
yang dibuat dengan model ruangan dengan membujur dan terbuat dari bahan
plastik. Dari beberapa alat pengokonan (seriframe, ranting, bambu dan rotary)
yang paling efisien adalah alat pengokonan seriframe, karena kualitas kokon yang
dihasilkan dengan kokon afkir 5%, dapat menaikan berat kokon 10% serta
mengurangi biaya tenaga kerja.
2.5 Standar Nasional Indonesia Mutu Kokon Segar
Standar ini menetapkan persyaratan dan penetapan kokon segar jenis
Bombyx mori L. sebagai pedoman pengujian kokon segar di Indonesia.
-
9
2.5.1 Istilah dan Definisi
Tabel 2.2 Daftar Istilah dan Definisi Kokon
Istilah Definisi
Kokon
kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutra (Bombyx
mori L.) pada fase metamofosa (proses pembentukan pupa),
yang terdiri dari kulit kokon dan pupa.
Kokon Normal Kokon yang bersih, sehat, tidak cacat dan pada umumnya
berbentuk bulat telur.
Kokon Cacat Bentuk dan warna fisiknya tidak normal
Kokon bentuk aneh Kokon yang bentuknya tidak wajar seperti kerucut, besar
sebelah atau tidak beraturan.
Kokon berlekuk Kokon yang bagian tengah atau tepi berlukuk.
Kokon berlubang Kokon yang kulit kokonnya berlubang.
Kokon ganda Kokon yang berisi dua pupa atau lebih
Kokon kotor dalam Kokon yang bernoda dari dalam karena terdapat ulat mati
atau pupa mati
Kokon lembek Kokon yang sebagian besar atau seluruhnya tipis.
Kokon tercetak
(printed cocoon) Kokon yang mempunyai noda (flek) disebabkan tercetak
(printed) oleh alat pengokonan.
Kokon tipis ujung Kokon yang bagian ujungnya tipis.
Kokon kotor luar Kokon yang kulit bagan luarnya terkena kotoran yang berasal
dari ulat mati, kotoran ulat atau kotoran lain yang yang
mempengaruhi kualitas benang sutara mentah (rawsilk).
Kokon segar Kokon yang belum dikeringkan.
Kulit kokon Materi lapisan serat sutra alam yang terdiri dari sericin dan
fibroin, sedikit malam, lemak, karbohidrat, abu dan zat warna
yang berfungsi sebagai pembungkus pupa.
Sumber : Atmosoedarjo (2000)
-
10
2.5.2 Klasifikasi Mutu
Kokon normal dapat diklasifikasikan menjadi empat kelas mutu.
Tabel 2.3 Klasifikasi Mutu Kokon
Kelas
Mutu
Tanda Kelas Mutu Pada Keterangan
Dokumen Kemasan
Utama A A Tanda kelas mutu pada kemasan
ditulis dengan menggunakan
tanda warna hitam Pertama B B
Kedua C C
Ketiga D D Sumber : Standar Nasional Indonesia (2010)
2.5.3 Persyaratan Mutu Kokon Segar
Penetapan mutu kokon segar berdasarkan uji visual meliputi berat kokon,
persentase kulit dan persentase kokon cacat.
Tabel 2.4 Persyaratan Mutu Kokon
No Parameter
yang diuji Satuan
Persyaratan kelas mutu
A B C D
1 Berat kokon g/butir 2,0 1,7 -
-
11
Spora dari cendawan ini melekat dan berkembang pada kulit larva
kemudian masuk ke badan. Larva yang mati karena penyakit ini akan ditumbuhi
hypha sampai membentuk spora di kulitnya yang selanjutnya akan menjadi
sumber penyakit. Larva yang terkena penyakit aspergillus memiliki gejala seperti
tidak mau makan, kaku (sukar bergerak), kulit nampak berkilau, lembek dan
mengeluarkan cairan pencernaan sebelum mati.
2.6.2 Cytoplasmic Polyhedrosis Virus (CPV)
Samsijah dan Kusumaputera (1974 dalam Atmosoedarjo dkk., 2000) gejala
serangan larva yang nampak dari luar, sama dengan gejala flacherie pada
umumnya, sehingga sulit dibedakan. Ulat menjadi tidak aktif dan kehilangan
nafsu makan. Perut nampak seperti putih susu dan ada nanah yang keputih-
putihan pada kotoran larva.
2.6.3 Penyakit Bakteri
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa bakteri yang terkena
penyakit ini menjadi lemah dan metabolismenya menurun, tubuh ulat tidak elastis
dan lunak. Pada instar V, larva mengalami diare. Larva yang mati menjadi hitam
dan membusuk dan mengeluarkan cairan berbau busuk.
2.7 Desinfeksi
Fathin Nahar, Muhammad dan W. Prayogi. (2011) menyatakan bahwa
desinfeksi adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan
kimia atau secara fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi infeksi
dengan jalan membunuh mikroorganisme patogen.
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi perlu dilakukan
setelah musim pemeliharaan dimulai dan sebelum musim pemeliharaan dimulai
untuk membunuh bibit penyakit ulat.
Yulianti (2011) menyatakan bahwa perendaman alat pengokonan seriframe
dengan konsentrasi 5 gr/lt dengan lama perendaman 15 menit dapat diterapkan
oleh para petani.
-
12
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi dilakukan dengan
kaporit perlu dibiarkan basah selama 30 menit. Pengaruh kelantangan (bleaching)
ini sangat kuat, sampai logam pun dapat terkorosi sehingga waktu yang
dibutuhkan untuk desinfeksi alat pengokonan tidak lebih dari 30 menit.
2.7.1 Kaporit
Saranga dkk. (1993 dalam Atmoesoedarjo dkk., 2000) menyatakan bahwa
desinfektan yang terbaik adalah kaporit dengan arang sekam, dilanjutkan dengan
kaporit dengan kapur dan kaporit dengan abu sekam.
Anwar (1989 dalam Atmosoedarjo dkk., 2000) Penggunaan kaporit 5%
sangat efektif untuk desinfeksi permukaan tubuh ulat dan tempat pemeliharaan
terhadap pemberantasan Aspergillus dan Muscardine. Kapur 95% dicampur
dengan 5% kaporit. Persentase tertinggi ulat membentuk kokon terdapat pada
perlakuan yang menggunakan campuran kaporit dan kapur, yaitu rata-rata 85,14%
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi terhadap sasag,
keranjang tempat penyimpanan daun, tempat pengokonan dan lain sebagainya
yang akan bersentuhan langsung dengan ulat atau daun murbei dapat dicelupkan
ke dalam tangki dengan menggunakan kaporit yang dilarutkan 200 kali.
Anwar dkk. (1992 dalam Sumardjito dan Budisusanto, 1994) menyatakan
bahwa pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan cara desinfeksi dengan
menggunakan kaporit. Kaporit dapat dicampur dengan bahan lain semisal kapur
tembuk yang ditabur di permukaan tubuh ulat sutra dan tempat pemeliharaan
dengan dosis tertentu.
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi menggunakan
kaporit perlu dicampur dengan air dahulu secara benar kemudian disemprotkan.
Untuk desinfeksi sasag, keranjang tempat penyimpanan daun, tempat pengokonan
dan lain sebagainya yang akan bersentuhan langsung dengan ulat atau daun
murbei dapat dicelupkan ke dalam tangki selama 30 menit kemudian dijemur pada
sinar matahari langsung.
-
13
Yulianti (2011) menyatakan bahwa perendaman alat pengokonan seriframe
dengan konsentrasi 5 gr/lt dengan lama perendaman 15 menit dapat diterapkan
oleh para petani.
2.7.2 Formalin
Wibowo (2012) Formalin atau metanal adalah senyawa organik dengan
rumus kimia CH2O merupakan suatu senyawa kimia golongan aldehid sederhana.
Memiliki berat molekul sekitar 30g/mol, berat jenis 1.05-1.12 g/ml dengan
kelarutan dalam air 100 g/100 ml pada suhu 20 C . Formalin secara alami
merupakan residu hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon, maupun
oksidasi dari methanol. Formaldehida atau dikenal juga sebagai formalin.
Formaldehida merupakan desinfektan yang bersifat karsinogenik pada konsentrasi
tinggi namun tidak korosif terhadap metal. Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan
bahwa desinfeksi dapat dilakukan dengan mencelupkan peralatan dalam larutan
2% formalin.
2.7.3 Kalium Permanganat
Apriani (2014) menyatakan bahwa kalium permanganat termasuk
golongan peroksidan yang dapat melepaskan oksigen (oksidasi) sehingga dapat
membunuh kuman (bakterisid). Kalium permanganat berupa kristal ungu, mudah
laut dalam air. Dalam larutan encer merupakan peroksidan oksidasi terjadi bila zat
ini bersentuhan dengan zat organik. Inaktivasi menyebabkan perubahan warna
larutan dari ungu menjadi biru. Zat ini bekerja sebagai iritan, deodoran dan
astringen.
Apriani (2014) menggunakan larutan kalium permanganat 5 gr/l sebagai
bahan sanitasi jenis alas terhadap mortalitas dan kualitas kokon.
-
14
2.8 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pernyataan diatas dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:
H0: Jenis desinfektan pada desinfeksi alat pengokonan seriframe berpengaruh
nyata terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra (Bombyx mori L.)
kode C.301.
H1: Jenis desinfektan pada desinfeksi alat pengokonan seriframe berpengaruh
tidak nyata terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra (Bombyx mori
L.) kode C.301.
H0: Lama desinfeksi alat pengokonan seriframe berpengaruh nyata terhadap
mortalitas dan produksi kokon ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301
H1: Lama desinfeksi alat pengokonan seriframe berpengaruh tidak nyata
terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra (Bombyx mori L.) kode
C.301
H0: Terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi alat
pengokonan seriframe terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra
(Bombyx mori L.) kode C.301
H1: Tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama waktu
perendaman alat pengokonan seriframe terhadap mortalitas dan produksi
kokon ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301
-
15
BAB 3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober 2014 sampai dengan 6
Nopember 2014 bertempat di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutra Politeknik Negeri
Jember dengan luasan 4 x 10 m2.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain
ruang pemeliharaan ulat sutra, kotak penetasan, rak inkubasi, kain hitam, rak
pemeliharaan, sasag, sumpit, bulu ayam, baskom, seriframe, jaring, karung,
keranjang pakan, timbangan, tempat perendaman, pisau, alat tulis, kaporit,
formalin, kalium permanganat, air.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktorial. Adapun perlakuan yang dilakukan sebagai berikut:
Faktor A (jenis desinfektan) :
A1 = Kaporit dengan konsentrasi 5 gram per liter
A2 = Formalin dengan konsentrasi 20 ml per liter
A3 = Kalium permanganat dengan konsentrasi 5 gram per liter.
Faktor B (Lama waktu desinfeksi) :
B1 = Desinfeksi alat pengokonan selama 15 menit
B2 = Desinfeksi alat pengokonan selama 30 menit
Kombinasi antar perlakuan adalah sebagai berikut:
A1B1 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kaporit dengan konsentrasi 5
gram per liter selama 15 menit
A1B2 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kaporit dengan konsentrasi 5
gram per liter selama 30 menit
-
16
A2B1 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan formalin dengan konsentrasi
20 ml per liter selama 15 menit
A2B2 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan formalin dengan konsentrasi
20 ml per liter selama 30 menit
A3B1 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kalium permanganat dengan
konsentrasi 5 gram per liter selama 15 menit
A3B2 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kalium permanganat dengan
konsentrasi 5 gram per liter selama 30 menit
Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali, sehingga
didapatkan 24 satuan unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas 30 sampel
ulat. Dengan demikian, total seluruh ulat yang dibutuhkan adalah 720 ekor.
Adapun model statistik yang digunakan sebagai berikut:
Yijk = + i + j + ()ij + ijk Keterangan:
Yijk = Nilai pengamatan pada taraf ke-i faktor A pada taraf ke-j faktor B
ulangan ke-k
= Nilai tengah umun
i = Pengaruh perlakuan A pada taraf ke-i
j = Pengaruh perlakuan B pada taraf ke-j
()ij = Pengaruh interaksi antara perlakuan A pada taraf ke-i dengan perlakuan L
pada taraf ke-j
ijk = Pengaruh galat percobaan A ke-i pada taraf ke-j
Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik dengan sidik ragam
sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat perbedaan yang nyata
terhadap variabel yang diamati maka dilakukan uji lanjut.
-
17
Adapun layout yang akan digunakan pada penelitian adalah sebagai berikut :
A2B2 A1B1 A2B2 A1B1 A1B1 A1B2
A3B2 A1B1 A3B1 A3B2 A3B2 A2B2
A3B1 A2B1 A2B2 A2B1 A3B1 A3B2
A2B1 A3B1 A2B1 A1B2 A1B2 A1B2
Gambar 3.1 Layout Penelitian
Tabel 3.1 Tabel Sidik Ragam RAL Faktorial
Sumber
Keragaman Db JK KT F hitung F table
5% 1%
Perlakuan ij -1 JKP JKP/dbP KTP/KTG
A i -1 JKA JKS/dbA KTA/KTG
B j 1 JKB JKL/dbB KTB/KTG
A x B (i - 1) (j - 1)
JKP-
JKA-JKB JKAB/dbAB KTAB/KTG
Galat (ij-1)-(k - 1) JKT-JKP JKG/dbG
Total ij-1 JKT
3.4 Tahapan Pelaksanaan
3.4.1 Pemesanan Telur
Pemesanan telur dilakukan apabila semua alat telah tersedia. Pemesanan
telur dilakukan dua minggu sebelum hari pemeliharaan. Pemesanan dilakukan
dengan menghubungi PPUS (Pusat Pembibitan Ulat Sutra) Candiroto via telpon
seluler.
3.4.2 Desinfeksi Alat dan Kandang
Setelah dilakukan pemesanan maka telur akan dikirim dua minggu dari
hari pemesanan. Interval waktu tersebut dapat digunakan untuk desinfeksi alat dan
kandang. Setiap perlakuan desinfeksi alat pengokonan mendapatkan perlakuan
yang sama tidak terkecuali desinfeksi alat dan kandang. Desinfeksi dilakukan
-
18
dengan menyemprot semua alat dan kandang dengan larutan formalin dan kaporit
5%.
3.4.3 Desinfeksi Alat Pengokonan
Desinfeksi merupakan metode yang bertujuan untuk mensterilkan alat
pengokonan dari setiap jamur terutama cendawan yanng dapat menurunkan
produktivitas ulat. Desinfeksi seriframe dilakukan 10 hari sebelum seriframe
digunakan. Alat pengokonan berupa seriframe yang digunakan sebagai bahan
penelitian didesinfeksi sesuai dengan perlakuan yang diberikan yaitu:
a) Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kaporit
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi terhadap sasag,
keranjang tempat penyimpanan daun, tempat pengokonan dan lain sebagainya
yang akan bersentuhan langsung dengan ulat atau daun murbei dapat dicelupkan
ke dalam tangki dengan menggunakan kaporit yang dilarutkan 200 kali.
1 gr kaporit x 1 =
1 gr =
5 gr
1 ml air x 200 200 ml 1000 ml
Diperlukan kaporit 5 gr untuk mendapatkan satu liter larutan desinfektan
kaporit. Volume larutan yang dibutuhkan disesuaaikan dengan media yang
digunakan. Seriframe didesinfeksi selama 15 menit dan 30 menit dengan
pengulangan yang telah ditetapkan
b) Seriframe didesinfeksi dengan larutan formalin
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi dapat dilakukan
dengan mencelupkan peralatan dalam larutan 2% formalin.
2% X 1000 = 20 ml
100%
Diperlukan formalin 20 ml untuk mendapatkan satu liter larutan desinfektan
formalin. Volume larutan yang dibutuhkan disesuaikan dengan media yang
digunakan. Seriframe didesinfeksi selama 15 menit dan 30 menit dengan
pengulangan yang telah ditetapkan.
c) Seriframe didesinfeksi dengan larutan kalium permanganat 5 gram per liter
selama 15 menit dan 30 menit.
-
19
3.4.4 Inkubasi
Telur yang sudah diterima segera diinkubasi untuk menyeragamkan pada
saat penetasan. Inkubasi dilakakukan dengan cara pengaturan cahaya 18 jam
terang dan 6 jam gelap setiap harinya. Adapun kebutuhan temperatur selama
inkubasi adalah 25 C dan kelembaban 75 80 %.
3.4.5 Proses Pemeliharaan
Proses pemeliharaan diawali dengan hakitate yaitu penanganan ulat yang
baru menetas. Ulat yang baru menetas masuk pada stadia ulat kecil yang terdiri
atas tiga instar. Setiap pergantian instar ditandai dengan tidur. Untuk fase ulat
besar terdiri atas dua instar. Adapun kondisi lingkungan yang dibutuhkan yaitu
suhu dan kelembaban dalam ruang pemeliharaan perlu disesuaikan untuk
mempertahankan suhu antara 27 - 28 C dan kelembaban 90 %, sebelum
pemeliharaan dimulai. Kondisi ini pelu dipertahankan selama instar I.
Pada instar II suhu harus ada pada kisaran 26 - 27 C dan kelembaban 85
%, sedangkan pada instar III suhu yang diharapkan adalah 25 C dan kelembaban
80 %. Akan tetapi, pada waktu berganti kulit pada setiap instar, kelembaban
tempat pemeliharaan perlu diturunkan sampai 70 % untuk mengeringkan tempat
pemeliharaan. Sifat ulat sutra besar berbeda dengan ulat kecil, ulat besar
menghendaki suhu dan kelembaban yang lebih rendah. Sehingga suhu perlu diatur
pada 23 24 C dan kelembaban 75 %.
-
20
3.5 Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan untuk setiap plot percobaan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
3.5.1 Mortalitas Ulat (%)
Perbandingan antara ulat yang mati dengan jumlah ulat yang diletakan di
setiap plot percobaan (alat pengokonan). Di samping itu, diamati penyebab
kematian ulat agar diketahui jenis penyakit yang menyerang ulat tersebut.
Mortalitas Ulat Sutra (%) = Jumlah ulat yang mati (ekor)
x 100 Jumlah populasi ulat (ekor)
3.5.2 Berat Kokon Segar (gr)
Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menimbang keseluruhan
kokon yang dihasilkan, yaitu berat kokon sebelum dan sesudah flossing.
3.5. 3 Rerata Berat Kokon Per Butir (gr)
Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menghitung
perbandingan antara berat kokon seluruhnya dengan jumlah kokon keseluruhan.
Rerata kokon per butir (gram) = Berat total kokon (gram)
Jumlah kokon (butir)
3.5. 4 Persentase Kulit Kokon (%)
Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menghitung
perbandingan antara berat kulit kokon normal dengan berat kokon normal
sebelum disayat.
Kulit kokon (%) = Berat kulit kokon (gram)
x 100 Berat kokon (gram)
3.5.5 Persentase Kokon Cacat (%)
Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menghitung
perbandingan antara jumlah kokon cacat dengan jumlah kokon seluruhnya
(normal dan cacat).
Kokon cacat (%) = Berat kokon cacat (gram)
x 100 Berat kokon (gram)
-
21
3.5.6 Rendemen Benang (%)
Pengamatan dilakukan satu hari setelah panen dilakukan dengan mematikan
pupa terlebih dahulu selama satu jam pada suhu 120 C. Kemudian dilakukan
reeling untuk mengetahui berat benang.
Rendemen benang (%) = Berat benang (gram)
x 100 Berat kokon (gram)
-
22
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Mortalitas Ulat (%)
Mortalitas ulat merupakan tingkat kematian ulat pada alat pengokonan
seriframe saat fase pengokonan. Mortalitas ulat dapat menurunkan produksi
kokon secara keseluruhan karena kokon terbentuk oleh ulat pada fase
pengokonan. Kokon inilah yang dimanfaatkan pengrajin sebagai bahan baku
benang melalui proses-proses tertentu. Jika mortalitas tinggi maka dapat
dipastikan produksi kokon rendah. Begitu pun sebaliknya jika mortalitas rendah
maka produksi kokon tinggi. Hal ini diperkuat oleh Yuningsih (2010) yang
menyatakan bahwa produksi kokon segar yang dipanen sangat ditentukan oleh
tinggi rendahnya mortalitas ulat, semakin tinggi persentase mortalitas dan
kontaminasi ulat maka akan semakin rendah produksi kokon segar yang dipanen.
Pengambilan data dilakukan saat masa pengokonan tersebut berlangsung
dengan cara menghitung ulat yang mati dalam alat pengokonan yang dinyatakan
dalam persen. Kemudian data yang diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah
berikut ini.
Tabel 4.1 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 7,30 4,08 11,38 1,42
A2 4,08 6,61 10,69 1,34
A3 6,05 7,30 13,35 1,67
Jumlah 17,43 17,99 35,42 1,48
Rerata 1,45 1,50
Data tersebut kemudian diolah menggunakan sidik ragam yang menunjukan
hasil berupa notasi yang menggambarkan berpengaruh atau tidaknya perlakuan
terhadap mortalitas ulat. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa jenis desinfektan
dan lama desinfeksi pada alat pengokonan berpengaruh tidak nyata terhadap
mortalitas ulat dengan data hasil transformasi akar kuadrat.
-
23
Tabel 4.2 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat
Sumber Db JK KT F Hit
F Tabel
Keragaman F 0.05
Perlakuan 5 2,77 0,55 0,73 ns 2,77
A 2 0,48 0,24 0,31 ns 3,55
B 1 0,01 0,01 0,02 ns 4,41
A x B 2 2,28 1,14 1,51 ns 3,55
Gallat 18 13,62 0,76
Total 23 16,39 Koefisien Keragaman = 58,95 %
Faktor Koreksi = 52,27
Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)
Berdasarkan tabel 4.2 di atas diketahui bahwa faktor perlakuan A, yaitu
jenis desinfektan memiliki nilai F Hitung kurang dari nilai F Tabel, artinya faktor
tersebut berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas. Sama halnya dengan faktor
B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung lebih kecil dari F tabel yang
memberikan pengaruh sama terhadap mortalitas ulat. Dalam tabel tersebut juga
terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi
terhadap mortalitas ulat yang ditandai dengan nilai F Hitung A x B tidak lebih
besar dari nilai F tabel.
Penelitian ini bertujuan untuk menekan mortalitas ulat sehingga
mendapatkan produksi kokon yang optimal. Mortalitas ulat dihitung pada saat
panen kokon dengan menghitung antara jumlah ulat yang mati dengan jumlah
seluruh ulat yang terdapat pada alat pengokonan.
Ulat yang mati diidentifikasi penyebab kematiannya berdasarkan studi
literatur. Ulat yang terkena penyakit menunjukan gejala seperti tubuh ulat lunak,
pada instar V ulat mengeluarkan kotoran lunak, ulat membusuk dan menjadi
hitam, serta keluar cairan berbau busuk. Berdasarkan gejala tersebut dapat
ditentukan bahwa penyakit yang menyerang ulat berupa penyakit bakteri.
Atmosoedarjo dkk.. (2000) menuliskan bahwa penyakit bakteri adalah penyakit
yang disebabkan oleh bakteri, bakteri biasanya masuk ke dalam tubuh melalui
pakan kotor, kondisi lingkungan yang kotor serta kulit ulat sutra yang terkena
penyakit
-
24
Adapun upaya yang telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya
kontaminasi oleh bakteri adalah dengan cara mencuci pakan pada bejana,
membersihkan sisa pakan pada rak pemeliharaan dan desinfeksi tangan sebelum
kegiatan dalam kandang dilakukan. mortalitas ulat pada setiap perlakuan dapat
diketahui melalui gambar 4.1.
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15
menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit
Berdasarkan gambar 4.1 di atas dapat diketahui bahwa setiap perlakuan
memiliki rerata mortalitas ulat sebesar 1,02% - 1,82%. Berdasarkan pernyataan
Perum Perhutani PPUS Candiroto (2008 dalam Yuningsih, 2008) bahwa
persentase mortalitas ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301 sebesar 3%. Setiap
perlakuan dapat diterapkan para petani saat budidaya ulat sutra dilaksanakan
karena dapat menekan mortalitas ulat.
4.2 Berat Kokon Segar (gr)
Berat kokon segar adalah berat kokon yang meliputi pupa dan kulit kokon
setelah proses flossing dan sebelum proses pengeringan. Panen dilakukan saat
kokon telah siap untuk dipanen dengan ciri-ciri tertentu. Nazarudin dan Nurcahyo
-
25
(1995 dalam Yuningsih, 2010) menyatakan bahwa ciri-ciri kokon yang siap
dipanen adalah kulit kokon cukup keras dan warna pupa sudah berwarna coklat.
Pengambilan data berat kokon segar dilaksanakan sesaat setelah panen
kokon dilaksanakan dengan menimbang kokon beserta pupa tanpa floss setiap unit
yang dinyatakan dalam satuan gram. Data yang diperoleh dicantumkan dalam
tabel dua arah di bawah ini.
Tabel 4.3 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 119,78 129,37 249,15 31,14
A2 123,73 115,95 239,68 29,96
A3 119,11 121,12 240,23 30,03
Jumlah 362,62 366,44 729,06 30,38
Rerata 30,22 30,54
Data tersebut kemudian analisis menggunakan sidik ragam yang
menunjukan hasil berupa notasi yang menggambarkan berpengaruh atau tidaknya
perlakuan terhadap mortalitas ulat.
Tabel 4.4 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar
Sumber Db JK KT F Hit
F Tabel
Keragaman F 0.05
Perlakuan 5 26,63 5,33 1,26 ns 2,77
A 2 7,06 3,53 0,84 ns 3,55
B 1 0,61 0,61 0,14 ns 4,41
A x B 2 18,96 9,48 2,25 ns 3,55
Gallat 18 75,94 4,22
Total 23 102,58
Koefisien Keragaman = 6,76 %
Faktor Koreksi = 22147,02
Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas diketahui bahwa faktor A, jenis desinfektan
dan faktor B, lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung tidak lebih besar dari nilai F
Tabel. Artinya kedua faktor tersebut berpengaruh sama terhadap berat kokon
-
26
segar. Selain itu nilai F Tabel AxB melebihi nilai F Hitungnya yang memberikan
pengertian bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama
desinfeksi terhadap berat kokon segar.
Berat kokon segar erat kaitannya dengan jumlah pakan yang dikonsumsi
oleh ulat semakin banyak dan bernutrisi tinggi maka akan semakin baik bagi
pembentukan kokon karena nutrisi yang terdapat pada tubuh ulat digunakan untuk
pembentukan serat yang kemudian menjadi kokon, sesuai dengan pernyataan
Norati (1996 dalam Rustini, 2002) bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi akan
sangat menentukan tersedianya cadangan makanan yang pada akhirnya diperlukan
untuk pembentukan kokon.
Pertumbuhan ulat sutra dapat mencapai sepuluh ribu kali lipat terhitung dari
hakitate hingga ulat matang, hal ini yang menunjukan bahwa ulat sutra
memerlukan pakan yang cukup bagi pertumbuhannya. Terlebih ulat besar yang
mengkonsumsi lebih dari 90% dari total pemberian pakan, hal ini dimaksudkan
untuk menyimpan cadangan makanan untuk pembentukan serat. Sama halnya
yang dinyatakan oleh Ekastuti dkk. (1995 dalam Rustini, 2002) bahwa produksi
kokon bergantung pada cadangan energi makanan yang telah dicapai pada akhir
instar V.
Penelitian ini menerapkan pemberian pakan dengan volume yang sama
untuk setiap perlakuan berdasarkan Standard Operational Prosedure (SOP)
budidaya ulat sutra yang disesuaikan dengan jumlah ulat pada setiap unit
percobaan.
-
27
Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15
menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit
Berdasarkan gambar 4.2 di atas dapat diketahui bahwa rerata berat kokon
segar berada pada rentan 28,99 - 32,34 gr.
4.3 Rerata Berat Kokon Per Butir (gr)
Rerata berat kokon per butir merupakan rerata berat per satu kokon yang
meliputi pupa dan kulit kokon. Rerata berat kokon per butir diamati sesaat setelah
panen kokon dilakukan dengan menimbang kokon setiap perlakuan yang
kemudian hasil penimbangan tersebut dibagi jumlah kokon. Data yang telah
diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah di bawah ini.
Tabel 4.5 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per Butir
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 4,04 4,18 8,22 1,03
A2 4,10 3,99 8,09 1,01
A3 3,77 4,12 7,88 0,99
Jumlah 11,91 12,28 24,19 1,01
Rerata 0,99 1,02
-
28
Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis
sidik ragam dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 4.6 Hasil sidik Ragam Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per butir
Sumber Db JK KT F Hit
F tabel
Keragaman F0.05
Perlakuan 5 0,03 0,01 1,02 ns 2,77
A 2 0,01 0,00 0,67 ns 3,55
B 1 0,01 0,01 1,13 ns 4,41
A x B 2 0,01 0,01 1,32 ns 3,55
Gallat 18 0,09 0,01
Total 23 0,12 Koefisien Keragaman = 7,17 %
Faktor Koreksi = 24,38
Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)
Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa nilai F tabel perlakuan
A lebih besar dari nilai F Hitung, artinya faktor perlakuan A, yaitu jenis
desinfektan berpengaruh tidak nyata terhadap rerata berat kokon per butir. Selain
itu faktor perlakuan B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F hitung lebih kecil
daripada F tabel yang menunjukan bahwa faktor perlakuan tersebut berpengaruh
tidak nyata terhadap rerata berat kokon per butir. Dan tidak terjadi interaksi antara
jenis desinfektan dan lama desinfeksi karena memiliki nilai F Hitung lebih kecil
dari F tabel.
Pembentukan kokon dilakukan ulat ketika masa makan berlangsung yang
terdiri dari 5 instar. Terutama pada instar 5 ulat mulai memberntuk serat.
Sedangkan perlakauan diterapkan ketika ulat akan mengokon yang tidak
memberikan pengaruh tidak nyata.
Sakaguchy (1978 dalam Rustini 2002) menuliskan bahwa mutu kokon dan
serat sutra ditentukan oleh jumlah dan mutu pakannya, sedangkan protein sutra
akan diekresikan apabila asam amino dan air dalam tubuh ulat sutra cukup
jumlahnya. Nursita (2012) menuliskan bahwa minimnya pemberian air pada
tanaman juga berperan menurunkan kualitas daun murbei yang dihasilkan.
-
29
Katsumata (1964 dalam Rustini 2002) menyatakan bahwa kualitas kokon
dipengaruhi oleh sifat keturunan dari jenis ulat sutra dan keadaan-keadaan selama
pemeliharaan dan pengokonan. Lingkungan pada saat pengokonan merupakan
salah satu yang mempengaruhi kualitas kokon.
1,01
1,04
1,03
1,00
0,94
1,03
0,88
0,90
0,92
0,94
0,96
0,98
1,00
1,02
1,04
1,06
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Rer
ata
Ko
ko
n P
er B
uti
r (g
r)
Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per Butir
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit
Berdasarkan gambar 4.3 di atas, diketahui bahwa rerata berat kokon per
butir berada pada kisaran 0,94 - 1,04.
Rerata berat kokon per butir diklasifikasikan berdasarkan SNI kokon segar
(2010). Sesuai dengan deskripsi ulat sutra kode C.301 memiliki kualitas kokon
kelas C yaitu berat kokon berrkisar 1,3 gr 1,7 gr. Setelah dilakukan pengamatan
dapat ditentukan bahwa kokon dalam penelitian ini termasuk ke dalam kualitas D
karena rerata berat kokon berada
-
30
kokon yang dihasilkan. Demikian pula dengan suhu, ulat kecil baik pada
lingkungan dengan suhu harian 27 C dan ulat besar baik pada lingkungan dengan
suhu harian 25 C, sedangkan suhu lingkungan saat penelitian mencapai 34 C
untuk ulat kecil dan 33 C untuk ulat besar. Hal ini mengakibatkan ulat
bermetabolisme lebih cepat dan umur lebih singkat yang berdampak pada
sedikitnya cadangan makanan dalam tubuh yang berperan sebagai pembentuk
protein serat.
4.4 Persentase Kulit Kokon (%)
Kulit kokon merupakan lapisan luar kokon yang terdiri dari serisin dan
fibroin yang berfungsi sebagai pelindung pupa. Kulit kokon adalah bagian kokon
yang digunakan pengrajin untuk pembuatan benang. Kulit kokon dinyatakan
dalam satuan persen (%) dengan perbandingan antara kulit kokon dengan kokon.
Persentaase kulit kokon merupakan salah satu parameter uji mutu kokon visual
yang tertera dalam SNI kokon segar. Pengambilan data dilakukan sesaat setelah
panen kokon dilaksanakan dengan menimbang kulit kokon dan kokon secara
keseluruhan. Data yang diperoleh dicantumkan ke dalam tabel dua arah sebagai
berikut.
Tabel 4.7 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Persentse Kulit Kokon
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 78,68 73,35 152,04 19,00
A2 81,60 79,89 161,49 20,19
A3 75,08 76,92 152,00 19,00
Jumlah 235,37 230,16 465,53 19,40
Rerata 19,61 19,18
Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis menggunakan sidik
ragam dengan hasil sebagai berikut.
-
31
Tabel 4.8 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon
Sumber Db JK KT F Hit
F Tabel
Keragaman F 0.05
Perlakuan 5 11,81 2,36 0,72 ns 2,77
A 2 7,48 3,74 1,14 ns 3,55
B 1 1,13 1,13 0,35 ns 4,41
A x B 2 3,21 1,60 0,49 ns 3,55
Gallat 18 58,92 3,27
Total 23 70,73 Koefisien keragaman = 9,33 %
Faktor Koreksi = 9029,96
Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)
Berdasarkan Tabel 4.8 di atas dapat diketahui bahwa faktor perlakuan A,
yaitu jenis desinfektan memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase kulit
kokon yang ditandai dengan nilai F Hitung yang lebih kecil dari nilai F Tabel,
tidak hanya itu faktor perlakuan B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung
yang tidak lebih besar dari nilai F Table, artinya faktor perlakuan B berpengaruh
tidak nyata terhadap persentase kulit kokon. Dalam tabel tersebut juga terlihat
nilai F Hitung AxB tidak melebihi nilai f Tabel, yang menunjukan bahwa tidak
terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi terhadap persentase
kulit kokon.
Katsumata (1994 dalam Fetri, 2001) menyatakan bahwa berat kokon, berat
kulit kokon, persentase kulit kokon banyak dipengaruhi oleh ras ulat sutra, jenis
kelamin pupa, jumlah pakan yang diberikan, lingkungan pemeliharaan, dan cara
pemeliharaan.
Berdasarkan SNI kokon segar (2010) kokon yang dihasilkan dalam
penelitian ini termasuk ke dalam kelas C. Hal ini sesuai dengan deskripsi ulat
sutra kode C.301 dengan persentase kulit kokon berkualitas C, yang berada pada
kisaran 17,00% - 20,00%.
-
32
Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15
menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit
Berdasarkan gambar 4.4 di atas dapat diketahui bahwa persentase kulit
kokon berkisar antara 18,34 20,40. Persentase kulit kokon pada penelitian ini
sesuai dengan persentase kulit kokon kode C.301 itu sendiri. Berdasarkan
pernyataan Pusat Pembibitan Ulat Sutra (PPUS) Candiroto (2008, dalam Rusita,
2011) bahwa persentase kulit kokon ulat sutra kode C.301 sebesar 18,8%.
4.5 Persentase Kokon Cacat (%)
Kokon cacat merupakan kokon yang berbentuk dan berwarna tidak normal.
Kokon cacat diamati sesaat setelah panen. Persentase kokon cacat dinyatakan
dalam satuan persen (%) dengan membandingkan antara berat kokon cacat dengan
berat kokon keseluruhan. Data yang diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah
berikut.
-
33
Tabel 4.9 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon Cacat
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 10,43 13,54 23,97 3,00
A2 10,28 7,03 17,31 2,16
A3 8,57 4,08 12,66 1,58
Jumlah 29,28 24,65 53,94 2,25
Rerata 2,44 2,05
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan sidik ragam. Berikut
adalah tabel hasil sidik ragam dengan data hasil transformasi akar kuadrat.
Tabel 4.10 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon Cacat
Sumber
Db JK KT F Hit
F Tabel
Keragama
n F 0.05
Perlakuan 5 13,14 2,63 5,04 * 2,77
A 2 8,08 4,04 7,76 * 3,55
B 1 0,89 0,89 1,72 ns 4,41
A x B 2 4,16 2,08 3,99 * 3,55
Gallat 18 9,38 0,52
Total 23 22,51
Koefisien keragaman = 58,95%
Faktor Koreksi = 121,21
Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)
* = berbeda nyata
Berdasarkan tabel 4.10 di atas dapat diketahui bahwa nilai F hitung faktor
perlakuan, faktor A dan interaksi antara A dan B lebih besar daripada nilai F tabel
yang menunjukan bahwa terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama
desinfeksi terhadap persentase kokon cacat.
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa bentuk kokon bergantung
pada ras ulat sutra. Umumnya dari ras Jepang berbentuk seperti kacang tanah. Ras
Cina berbentuk elips dan ras Eropa berbentuk elips lebih panjang, ras polypoltine
berbentuk panjang panjang kurus seperti sepindel. Kokon hibrida memiliki bentuk
antara kedua ras yang digunakan sebagai induk dan kebanyakan memiliki bentuk
semi kacang tanah dan semi oval.
-
34
Kokon cacat memiliki berbagai kriteria. Antara lain kokon ganda, kokon
berlubang, kokon bernoda dalam, kokon bernoda luar, kokon berujung tipis,
kokon berkulit tipis, kokon tergencet/tercetak, kokon berbentuk abnormal, kokon
berserabut, kokon berlapis ganda, kokon tipis tengah.
Kokon cacat pada penelitian ini didominasi oleh kokon tipis dan tercetak.
Kokon tipis diakibatkan oleh pembentukan kokon oleh ulat yang lemah. Hal ini
diperkuat oleh Amtosoedarjo dkk. (2000) bahwa kokon yang dipintal oleh ulat
yang lemah lapisan sutranya tipis dan lunak. Selain itu ulat yang membentuk
kokon tipis diakibatkan oleh suhu lingkungan yang terlampau tinggi, kelembaban
yang tinggi, dan aliran udara yang terlalu keras.
Sedangkan kokon tercetak diakibatkan oleh bentuk pengokonan yang tidak sesuai,
pemasangan seriframe yang tidak baik mengakibatkan kokon tercetak. Suhu yang
tinggi mengakibatkan ulat matang stres dan mengokon di sembarang tempat.
Uji lanjut menggunakan uji beda nyata terkecil 5%, pengujian dilakukan
terhadap interaksi antara A dan B dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 4.11 Hasil Uji Lanjut Interaksi antara Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan dengan Uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) 5% Terhadap Persentase Kokon Cacat
Perlakuan Persentase
Notasi Kokon Cacat (%)
A1B1 2,61 ab
A1B2 3,39 a
A2B1 2,57 ab
A2B2 1,76 bc
A3B1 2,14 b
A3B2 1,02 c
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dinyatakan berbeda
tidak nyata pada taraf 5%
Persentase kokon cacat terendah ditunjukan oleh perlakuan A3B2 yaitu
alat pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan kalium permanganat 5 gr/lt
yang memiliki pengaruh berbeda tidak nyata dengan perlakuan A2B2 yaitu alat
pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan formalin 20 ml/lt selama 30 menit.
Hal ini diduga karena penggunaan kalium permanganat yang diberikan
lebih banyak dari yang direkomendasikan dalam kemasan. Anjuran yang
-
35
ditetapkan adalah larutan 1 gr/lt sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 5
gr/lt selain itu lama perendaman 30 menit memberikan tingkat sanitasi yang lebih
baik dari pada 15 menit. Demikian pula dengan penggunaan formalin 20 ml/lt
selama 30 menit yang membuat alat pengokonan steril dari penyakit.
4.6 Rendemen Benang (%)
Rendemen benang adalah berat benang yang dapat diurai dibandingkan
dengan berat kokon yang diurai yang dinyatakan dalam satuan persen (%).
Semakin tinggi persentase rendemen benang makan semakin baik kulalitanya.
Pemintalan kokon dilakukan sehari setelah panen kokon dengan dinier 40. Setelah
dilakukan pemintalan, dilakukan pengambilan data yang kemudian dicantumkan
dalam tabel dua arah berikut.
Tabel 4.12 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 108,41 120,13 228,53 28,57
A2 128,17 129,23 257,40 32,18
A3 123,81 126,42 250,23 31,28
Jumlah 360,39 375,78 736,17 30,67
Rerata 30,03 31,31
Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis mengunakan analisis
sidik ragam dengan hasil sebagai berikut.
-
36
Tabel 4.13 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang
Sumber Db JK KT F Hit
F Hit
Keragaman F 0.05
Perlakuan 5 74,65 14,93 0,81 ns 2,77
A 2 56,48 28,24 1,54 ns 3,55
B 1 9,87 9,87 0,54 ns 4,41
A x B 2 8,30 4,15 0,23 ns 3,55
Gallat 18 330,13 18,34
Total 23 404,78 Koefisien keragaman = 13,96%
Fakktor Koreksi = 22580,96
Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)
Berdasarkan hasil sidik ragam di atas diketahui bahwa faktor A, faktor B,
maupun interaksi keduanya memiliki nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F
tabel yang menunjukan bahwa setiap perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap
rendemen benang.
Pada saat pemintalan kokon (reeling), kokon direndam air pada suhu 35
C selama selama 20 menit agar air masuk ke dalam kokon dan memudahkan pada
saat perebusan. Selain itu, dengan melaksanakan tahap perendaman, kokon yang
dipintal tidak mudah putus sehingga tidak menurunkan kualitas kokon. Kokon
kemudian direbus pada suhu 100 C selama 10 menit agar serisin pada kokon
terlarut sehingga memudahkan dalam pencarian ujung serat, peoses pemintalan
dan meregangkan rekatan dalam kokon. Kokon yang dipintal menjadi lunak dan
tidak mudah kusut atau putus Kokon dipintal pada bak reeling dengan suhu air
40 C 60 C.
Ulat sutra yang dipelihara pada lingkungan panas memiliki umur yang
lebih singkat akibatnya ulat mengkonsumsi pakan lebih sedikit yang berdampak
pada terhambatnya pertumbuhan dan sedikitnya serat pada kokon yang dihasilkan.
Sesuai dengan pernyataan Rusita (2011) bahwa benang sutra berasal dari serat
sutra yang dihasilkan oleh ulat sutra. Semakin banyak serat sutra yang dihasilkan
maka semakin banyak benang sutra yang dapat diperoleh.
-
37
Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan Terhadap Rendemen Benang
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15
menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit
Berdasarkan gambar 4.5 di atas dapat diketahui bahwa rendemen tertinggi
diperoleh dari perlakuan A2B2 yaitu alat pengokonan didesinfeksi menggunakan
larutan formalin 20 ml/lt selama 30 menit sedangkan rendemen terendah diperoleh
dari perlakuan A1B1 yaitu alat pengokonan didesinfeksi mengunakan larutan
kaporit 5 gr/lt selama 15 menit. Rendemen benang sutra kode C.301 yang lazim
ditemui adalah berada antara 15% - 18% (Atmosoedarjo dkk., 2000).
Rendemen benang pada penelitian ini berada pada kisaran 27,10% -
32,31%, hal ini diakibatkan oleh proses pengeringan kokon sebelum proses
reeling sehingga menurunkan kadar air dalam kokon dan mengalami rata-rata
penyusutan sebesar 52,78 %. Pengeringan dilakukan menggunakan oven dengan
suhu 120 C selama 60 menit.
-
38
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dapat diketahui
bahwa :
1. Tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi alat
pengokonan terhadap mortalitas ulat, berat kokon segar, persentase kulit
kokon, dan rendemen ulat sutra.
2. Terdapat interaksi antara jenis desinfektan yang berbeda dan lama
desinfeksi alat pengokonan terhadap persentase kokon cacat. Perlakuan
terbaik yang dapat menekan persentase kokon cacat adalah A3B2 yaitu
alat pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan kalium permanganat 5
gr/liter selama 30 menit.
3. Berdasarkan SNI Mutu Kokon Segar (2010) kokon pada penelitian ini
memiliki kelas berat kokon D (2,0 - 5,0 %) yaitu 2,25%. Penentuan
grade secara umum dilakukan dengan mengambil grade paling rendah.
Jadi kokon pada penelitian ini termasuk ke dalam grade D (ketiga).
5.2 Saran
1. Setiap Jenis Desinfektan dapat digunakan untuk proses desinfeksi alat
pengokonan karena dapat menekan mortalitas ulat.
2. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai konsentrasi
kalium permanganat dan lama desinfeksi alat pengokonan sehingga
diketahui kosentrasi yang tepat untuk digunakan.
3. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat meneliti mengenai konsentrasi
formalin dan lama desinfeksi alat pengokonan sehingga diketahui
kosentrasi yang tepat untuk digunakan.
-
39
DAFTAR PUSTAKA
Ahdiat, N. 2010. Bombyx mori Ulat Penghasil Sutra. Bandung: Sinergi Pustaka
Indonesia.
Anwar, A. 1991. Pengaruh Pemberian Kapur pada Alat Pengokonan terhadap Produksi Kokon. Dalam Buletin Penelitian Hutan. No 541. Bogor: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan. p.1-6
Apriani, Y. S. 2014. Pengaruh Jenis Alas Pemeliharaan dan Bahan Sanitasi
terhadap Mortalitas dan Kualitas Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.)
Kode C.301. Jember: Politeknik Neger Jember.
Atmosoedarjo, S., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh, dan W. Moerdoko.
2000. Sutra Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Badan Standarisasi Nasional. 2010. Kokon Segar Jenis Bombyx mori L. Jakarta:
Badan Standarisasi Nasional.
Bank Indonesia, 2000. Budidaya Ulat Sutra dan Produksi Kokon. Jakarta: Bank
Indonesia.
Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat Sutra. Yogyakarta: Kanisius.
Nahar, M. F., dan W. Prayogi. 2011. Mengenal Desinfektan dan Antiseptik.
http://environment.uii.ac.id/content/view/273/1/ [20 Juni 2014].
Nursita, I. W., 2012. Perbandingan Produktifitas Ulat Sutra dari Dua Tempat
Pembibitan yang Berbeda pada Kondisi Lingkungan Pemeliharaan
Panas. Malang: Universitas Brawijaya.
Sericulture, Department. Silkworm Diseases and Pest Control.
https://www.karnataka.gov.in/sericulture/English/Technologies/SilkWar
mDiseasesAndPest.aspx [21 Juni 2014].
Sumardjito, Z. dan Budisusanto, H. 1994. Pengaruh Beberapa Campuran Desinfektan terhadap Mortalitas dan Pertumbuhan Penyakit pada
Pemeliharaan Ulat Sutra. Dalam Jurnal Penelitian Kehutanan (September VIII). No 2. Ujung Padang: Balai Penelitian Kehutanan
Ujung Padang. p.24-29.
Rusita, A. 2011. Pengaruh Penambahan Volume Pakan Malam terhadap
Produktivitas Kokon pada Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301 dan
BS-09. Jember: Politeknik Negeri Jember.
-
40
Rustini, T. 2002. Hubungan Frekuensi Pemberian Daun Murbei dengan
Konsumsi Pakan, Pertumbuhan, Efisiensi Pakan dan Kualitas Kokon
Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wibowo, Martina. 2012. Pengaruh Formalin Peroral Dosis Bertingkat selama 12
Minggu terhadap Gambaran Histopatologis Ginjal Tikus Wistar.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Yuanita. 2007. Daya Tahan Hidup Larva, Kualitas Kokon dan Filamen Ulat Sutra
(Bombyx mori L.) Pada Alat Pengokonan Yang Berbeda. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Yulianti, S. 2011. Pengaruh Konsentrasi Kaporit dan Lama Perendaman Alat
Pengokonan (Seriframe) terhadap Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx
mori L.). Jember: Politeknik Negeri Jember.
Yuningsih, Y. 2010. Pengaruh Komposisi Formalin, Kaolin, Kapur Tohor Dan
Abu Sekam sebagai Desinfektan pada Produksi Kokon Ulat Sutra.
Jember: Politeknik Negeri Jember.
-
41
Lampiran 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
NO KEGIATAN MINGGU KE-
1 2 3 4 5 6 7
1 Pemesanan Telur
2 Desinfeksi Kandang PUK
3 Desinfeksi Ruang Inkubasi
4 Inkubasi
5 Hakitate
6 Pemeliharaan Ulat Kecil
7 Desinfeksi Kandang PUB
8 Pemeliharaan Ulat Besar
9 Desinfeksi alat pengokonan
10 Pengokonan
10 Panen
-
42
Lampiran 2. Data Pengamatan Mortalitas Ulat (%)
Perlakuan Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
3
Ulangan
4 Jumlah Rerata
A1B1 6,67 3,33 3,33 0,00 13,33 3,33
A1B2 0,00 0,00 0,00 3,33 3,33 0,83
A2B1 0,00 0,00 3,33 0,00 3,33 0,83
A2B2 0,00 3,33 10,00 0,00 13,33 3,33
A3B1 0,00 3,33 0,00 6,67 10,00 2,50
A3B2 3,33 0,00 6,67 3,33 13,33 3,33
Jumlah 10,00 10,00 23,33 13,33 56,67 2,36
Rerata 1,67 1,67 3,89 2,22
Data Pengamatan Mortalitas Ulat Hasil Transformasi Akar Kuadrat
Perlakuan Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
3
Ulangan
4 Jumlah Rerata
A1B1 2,68 1,96 1,96 0,71 7,30 1,82
A1B2 0,71 0,71 0,71 1,96 4,08 1,02
A2B1 0,71 0,71 1,96 0,71 4,08 1,02
A2B2 0,71 1,96 3,24 0,71 6,61 1,65
A3B1 0,71 1,96 0,71 2,68 6,05 1,51
A3B2 1,96 0,71 2,68 1,96 7,30 1,82
Jumlah 7,46 7,99 11,25 8,71 35,42 1,48
Rerata 1,24 1,33 1,87 1,45
Tabel Dua Arah
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 7,30 4,08 11,38 1,42
A2 4,08 6,61 10,69 1,34
A3 6,05 7,30 13,35 1,67
Jumlah 17,43 17,99 35,42 1,48
Rerata 1,45 1,50
-
43
Tabel Hasil Sidik Ragam
Sumber db JK KT F Hit
F Tabel
Keragaman F 0.05 F 0.01
Perlakuan 5 2,77 0,55 0,73 ns 2,77 4,25
A 2 0,48 0,24 0,31 ns 3,55 6,01
B 1 0,01 0,01 0,02 ns 4,41 8,29
A x B 2 2,28 1,14 1,51 ns 3,55 6,01
Gallat 18 13,62 0,76
Total 23 16,39
Faktor Koreksi = 52,27
Koefisien Keragaman = 58,95 %
Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)
-
44
Lampiran 3. Data Pengamatan Berat Kokon Segar (gr)
Perlakuan Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
3
Ulangan
4 Jumlah Rerata
A1B1 26,73 33,79 29,86 29,40 119,78 29,95
A1B2 32,76 32,49 31,56 32,56 129,37 32,34
A2B1 30,29 33,65 29,59 30,20 123,73 30,93
A2B2 31,10 28,35 28,12 28,38 115,95 28,99
A3B1 29,58 27,28 33,60 28,65 119,11 29,78
A3B2 27,64 30,45 32,33 30,70 121,12 30,28
Jumlah 178,10 186,01 185,06 179,89 729,06 30,38
Rerata 29,68 31,00 30,84 29,98
Tabel Dua Arah
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 119,78 129,37 249,15 31,14
A2 123,73 115,95 239,68 29,96
A3 119,11 121,12 240,23 30,03
Jumlah 362,62 366,44 729,06 30,38
Rerata 30,22 30,54
Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam
SK db JK KT F Hit F 0.05 F 0.01
Perlakuan 5 26,63 5,33 1,26 ns 2,77 4,25
A 2 7,06 3,53 0,84 ns 3,55 6,01
B 1 0,61 0,61 0,14 ns 4,41 8,29
A x B 2 18,96 9,48 2,25 ns 3,55 6,01
Gallat 18 75,94 4,22
Total 23 102,58
Faktor Koreksi = 22147,02
Koefisien Keragaman = 6,67 %
Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)
-
45
Lampiran 4. Data Pengamatan Rerata Berat Kokon Per Butir (gr)
Perlakauan Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
3
Ulangan
4 Jumlah Rerata
A1B1 0,95 1,14 1,02 0,92 4,04 1,01
A1B2 1,07 1,00 1,03 1,09 4,18 1,04
A2B1 0,98 1,12 1,07 0,94 4,10 1,03
A2B2 1,02 0,96 1,07 0,94 3,99 1,00
A3B1 0,95 0,92 0,97 0,93 3,77 0,94
A3B2 0,93 0,98 1,15 1,06 4,12 1,03
Jumlah 5,89 6,12 6,31 5,88 24,19 1,01
Rerata 0,98 1,02 1,05 0,98
Tabel Dua Arah
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 4,04 4,18 8,22 1,03
A2 4,10 3,99 8,09 1,01
A3 3,77 4,12 7,88 0,99
Jumlah 11,91 12,28 24,19 1,01
Rerata 0,99 1,02
Hasil Sidik Ragam
Sumber db JK KT F Hit
F tabel
Keragaman F0.05 F0.01
Perlakuan 5 0,03 0,01 1,02 ns 2,77 4,25
A 2 0,01 0,00 0,67 ns 3,55 6,01
B 1 0,01 0,01 1,13 ns 4,41 8,29
A x B 2 0,01 0,01 1,32 ns 3,55 6,01
Gallat 18 0,09 0,01
Total 23 0,12
Faktor Koreksi = 24,38
Koefisien Keragaman = 7,17 %
Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)
-
46
Lampiran 5. Data Pengamatan Persentase Kulit Kokon (%)
Perlakuan Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
3
Ulangan
4 Jumlah Rerata
A1B1 20,55 19,11 19,56 19,47 78,68 19,67
A1B2 19,16 18,20 17,86 18,14 73,35 18,34
A2B1 25,34 19,55 18,61 18,10 81,60 20,40
A2B2 19,59 19,51 20,69 20,11 79,89 19,97
A3B1 18,68 19,01 18,29 19,09 75,08 18,77
A3B2 20,43 20,90 1