Jenis Desinfektan Dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan - Iman Firmansyah - Politeknik Negeri Jember

download Jenis Desinfektan Dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan - Iman Firmansyah - Politeknik Negeri Jember

of 68

Transcript of Jenis Desinfektan Dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan - Iman Firmansyah - Politeknik Negeri Jember

  • PENGARUH JENIS DESINFEKTAN DAN LAMA DESINFEKSI

    ALAT PENGOKONAN TERHADAP MORTALITAS

    DAN PRODUKSI KOKON ULAT SUTRA

    (Bombyx mori L.) KODE C.301

    TUGAS AKHIR

    Yx

    Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan

    di Bidang Konsentrasi Agribisnis Sutera Alam

    Program Studi Manajemen Agroindustri (D-IV)

    Jurusan Manajemen Agribisnis

    oleh

    Iman Firmansyah NIM D41111010

    KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

    POLITEKNIK NEGERI JEMBER

    2015

  • ii

    KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

    POLITEKNIK NEGERI JEMBER

    PENGARUH JENIS DESINFEKTAN DAN LAMA DESINFEKSI

    ALAT PENGOKONAN TERHADAP MORTALITAS

    DAN PRODUKSI KOKON ULAT SUTRA

    (Bombyx mori L.) KODE C.301

    Diuji pada Tanggal: 9 Juni 2015

    Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat

    Tim Penguji

    Ketua,

    Dyah Nuning Erawati, SP, MP

    NIP. 19690502 1994 03 2 004

    Sekretaris,

    Dr. Ir.Suharjono, MP

    NIP. 19581105 1988 11 1 001

    Anggota,

    Dewi Kurniawati, S.sos, M.Si

    NIP. 19790113 200501 2 001

    Mengesahkan,

    Direktur Politeknik Negeri Jember

    Nanang Dwi Wahyono, M.M

    NIP. 19590822 198803 1 001

    Menyetujui,

    Ketua Jurusan Manajemen Agribisnis

    Retno Sari Mahanani,S.P, M.M

    NIP. 19700507 200003 2 001

  • iii

    PERSEMBAHAN

    Untuk mereka yang memberikan kasih dan sayang tanpa henti :

    Kedua Orang Tua

    (Sodikin dan Mamah Maryam)

  • iv

    MOTO

    Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-

    tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada

    dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman: 14)

  • v

    SURAT PERNYATAAN

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Iman Firmansyah

    NIM : D41111010

    menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan Laporan Tugas

    Akhir saya yang berjudul Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi Alat

    Pengokonan terhadap Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori

    L.) Kode C.301 merupakan gagasan dan hasil karya saya sendiri dengan arahan

    komisi pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun pada

    Perguruan Tinggi mana pun.

    Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas

    dan dapat diperiksa kebenarannya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

    dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan

    dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Laporan Tugas akhir ini.

    Jember, 9 Juni 2015

    Iman Firmansyah

    NIM D41111010

  • vi

    Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan terhadap

    Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301

    (The Effect of Disinfectant Varieties and Disinfection Time Cocooning Device on

    Mortality and Silkworm Cocoon Production (Bombyx mori L.) Code C.301)

    Iman Firmansyah

    Program Studi Manajemen Agroindustri

    Jurusan Manajemen Agribisnis

    ABSTRACT

    One of methods to decrease mortality and to increase cocoon production is by

    cocooning device disinfection. This research was aimed to determine variety of

    disinfectant and disinfection time at cocooning device so that be able to decrease

    mortality and to increase cocoon production. The experiment was conducted in

    State Polytechnic of Jember from October 2nd

    to November 6th

    , 2014. Factorial

    Complete Randomized Design (CRD) was used as the experimental design which

    consisted two factors. First factor was disinfectant variety consisted of chlorine

    (A1), formaline (A2), and potassium permanganate (A3). Second factor was

    disinfection time consist of 15 minutes (B1) and 30 minutes (B2). The result

    showed that there was no interaction between disinfectant variety and disinfection

    time on silkworm mortality, cocoon weight, average of one cocoon, cocoon shell

    percentage, and yarn silk rendemen. But then there was significantly interaction

    on abnormal cocoon percentage.

    Keywords: Cocoon, disinfectant, time disinfection

  • vii

    RINGKASAN

    Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan terhadap

    Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301, Iman Firmansyah, Nim D41111010, Tahun 2015, 38 hlm, Manajemen Agribisnis,

    Politeknik Negeri Jember, Dyah Nuning Erawati, SP. MP (Pembimbing I) dan Dr.

    Ir. Suharjono, MP (Pembimbing II)

    Kokon merupakan bahan baku pembuatan benang yang dihasilkan oleh ulat

    sutra. Produksi kokon sangat bergantung pada ulat sutra itu sendiri terutama

    ketika fase pengokonan. Ulat sutra menghendaki lingkungan pengokonan yang

    bebas dari hama dan penyakit. Lingkungan yang terdapat hama dan penyakit akan

    meyebabkan mortalitas ulat tinggi dan menurunkan produksi kokon.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis desinfektan dan lama

    desinfeksi alat pengokonan terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra

    (Bombyx mori L.) kode C.301.

    Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial

    yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah jenis desinfektan yang terdiri

    atas kaporit (A1), formalin (A2), kalium permanganat (A3). Faktor kedua adalah

    lama desinfeksi yang terdiri atas 15 menit (B1) dan 30 menit (B2) sehingga

    diperoleh kombinasi yaitu desinfeksi menggunakan kaporit selama 15 menit

    (A1B1) dan 30 menit (A1B2), formalin selama 15 menit (A2B1) dan 30 menit

    (A2B2), kalium permanganat selama 15 menit (A3B1) dan 30 menit (A3B2)

    Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali, sehingga didapatkan 24

    satuan unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas 30 sampel ulat. Dengan

    demikian total seluruh ulat yang digunakan adalah 720 ekor.

    Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis

    desinfektan dan lama desinfeksi alat pengokonan terhadap mortalitas ulat, berat

    kokon segar, rerata berat kokon per butir, persentase kulit kokon, serta rendemen

    benang namun terdapat interaksi yang berpengaruh nyata terhadap persentase

    kokon cacat. Persentase kokon cacat terendah ditunjukan oleh perlakuan A3B2

    dengan persentase kokon cacat sebesar 1,02 %. Hal ini diduga karena konsentrasi

    kaporit yang digunakan lebih dari anjuran yang tertera dalam kemasan sehingga

  • viii

    menghasilkan tingkat sanitasi yang lebih baik. Kokon yang dihasikan pada

    penelitian ini adalah kokon dengan grade D dengan penilain berdasarkan SNI

    Mutu Kokon Segar 2010.

  • ix

    PRAKATA

    Segala puji milik Allah SWT yang telah memberikan ketetapan atas

    terselesaikannya Penulisanan Laporan Tugas Akhir yang berjudul Jenis

    Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas dan

    Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301. Diajukan sebagai

    Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan di Bidang Konsentrasi

    Agribisnis Sutera Alam Program Studi Manajemen Agroindustri (D-IV) Jurusan

    Manajemen Agribisnis. Penulisan laporan ini didasarkan atas hasil penelitian yang

    dilaksanakan pada 2 Oktober 2014 sampai dengan 6 Nopember 2014 di Politeknik

    Negeri Jember.

    Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

    1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional yang telah memberikan

    dukungan pembiayaan melalui program beasiswa unggulan

    2. Ir. Nanang Dwi Wahyono, MM selaku Direktur Politeknik Negeri Jember

    3. Ir. N. Bambang Eko S, M.Si selaku Direktur LPIU Program Unggulan D4

    Politeknik Negeri Jember

    4. Ir. Moch. Bintoro, MP selaku Ketua Bidang Konsentrasi Agribisnis Sutera

    Alam

    5. Retno Sari Mahanani, SP, MM selaku Ketua Jurusan Manajemen Agribisnis

    6. Dewi Kurniawati, S.sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Manajemen

    Agroindustri

    7. Dyah Nuning Erawati, SP, MP selaku dosen pembimbing utama

    8. Dr. Ir. Suharjono, MP selaku dosen pembimbing anggota

    9. Keluarga, sahabat dan semua pihak yang berperan aktif dalam penyelesaian

    penulisan laporan tugas akhir ini.

    Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat

    dilakukan perbaikan-perbaikan pada ranah pelaksanaan, penulisan, maupun isi

    laporan.

    Jember, 9 Juni 2015

    Penulis

  • x

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

    HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii

    PERSEMBAHAN ...................................................................................... iii

    MOTO ...................................................................................................... iv

    SURAT PERNYATAAN ........................................................................... v

    ABSTRACT ................................................................................................ vi

    RINGKASAN ............................................................................................ vii

    PRAKATA ............................................................................................... ix

    DAFTAR ISI ............................................................................................... x

    DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xvi

    BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................ 1

    1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 2

    1.3 Tujuan .................................................................................... 2

    1.4 Manfaat .................................................................................. 3

    BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 4

    2.1 Sistematka Ulat Sutra ........................................................... 4

    2.2 Ulat Sutra Kode C.301 .......................................................... 5

    2.3 Siklus Hidup Ulat Sutra ....................................................... 6

    2.4 Pengokonan ........................................................................... 7

    2.4.1 Tempat Pengokonan ..................................................... 8

    2.5 Standar Nasional Indonesia Mutu Kokon Segar ............... 8

    2.5.1 Istilah dan Definisi ........................................................ 9

  • xi

    2.5.2 Klasifikasi Mutu ........................................................... 10

    2.5.3 Persyaratan Mutu Kokon Segar .................................... 10

    2.6 Penyakit Ulat Sutra ............................................................... 10

    2.6.1 Cendawan ...................................................................... 11

    2.6.2 Cytoplasmic Polyhedrosis Virus (CPV) ....................... 11

    2.6.3 Penyakit Bakteri ............................................................ 11

    2.7 Desinfeksi ............................................................................... 11

    2.7.1 Kaporit .......................................................................... 12

    2.7.2 Formalin ........................................................................ 13

    2.7.3 Kalium Permanganat ..................................................... 13

    2.8 Hipotesis Penelitian ............................................................... 14 13

    BAB 3. METODOLOGI ........................................................................... 15

    3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................. 15

    3.2 Alat dan Bahan ...................................................................... 15

    3.3 Metode Penelitian .................................................................. 15

    3.4 Tahapan Pelaksanaan ........................................................... 17

    3.4.1 Pemesanan Telur ........................................................... 17

    3.4.2 Desinfeksi Alat dan Kandang ....................................... 17

    3.4.3 Desinfeksi Alat Pengokonan ......................................... 18

    3.4.4 Inkubasi ......................................................................... 19

    3.4.5 Proses Pemeliharaan ..................................................... 19

    3.5 Parameter Pengamatan ........................................................ 20

    3.5.1 Mortalitas Ulat (%) ....................................................... 20

    3.5.2 Berat Kokon Segar (gr) ................................................. 20

    3.5.3 Rerata Berat Kokon Per Butir (gr) ................................ 20

    3.5.4 Persentase Kulit Kokon (%) ......................................... 20

    3.5.5 Persentase Kokon Cacat (%) ......................................... 20

    3.5.6 Rendemen Benang (%) ................................................. 21

  • xii

    BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 22

    4.1 Mortalitas Ulat (%) .............................................................. 22

    4.2 Berat Kokon Segar (gr) ........................................................ 24

    4.3 Rerata Berat Kokon Per Butir (gr) ..................................... 27

    4.4 Persentase Kulit Kokon (%) ............................................... 30

    4.5 Persentase Kokon Cacat (%) ............................................... 32

    4.6 Rendemen Benang (%) ......................................................... 35

    BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 38

    5.1 Kesimpulan ............................................................................ 38

    5.2 Saran ...................................................................................... 38

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 39

    LAMPIRAN ............................................................................................... 41

  • xiii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    2.1 Komposisi Kokon Ulat Sutra Kode C.301 ........................................ 6

    2.2 Daftar Istilah dan Definisi Kokon ...................................................... 9

    2.3 Klasifikasi Mutu Kokon ................................................................... 10

    2.4 Persyaratan Mutu Kokon .................................................................. 10

    3.1 Tabel Sidik Ragam RAL Faktorial ................................................... 17

    4.1 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat .............. 22

    4.2 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat .............. 23

    4.3 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon

    Segar ................................................................................................... 25

    4.4 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon

    Segar ................................................................................................... 25

    4.5 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat

    Kokon Per Butir .................................................................................. 27

    4.6 Hasil Sidik Ragam Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per butir .......... 28

    4.7 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit

    Kokon ................................................................................................. 30

    4.8 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit

    Kokon ................................................................................................. 31

    4.9 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon

    Cacat ................................................................................................... 33

  • xiv

    4.10 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon

    Cacat ................................................................................................... 33

    4.11 Hasil Uji Lanjut Interaksi antara Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan dengan Uji Beda Nyata

    Terkecil (BNT) 5% terhadap Persentase Kokon Cacat ...................... 34

    4.12 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Persentase

    Rendemen Benang .............................................................................. 35

    4.13 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen

    Benang ................................................................................................ 36

  • xv

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    2.1 Siklus Hidup Ulat Sutra ........................................................................ 7

    3.1 Lay out Penelitian ................................................................................. 17

    4.1 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat .......................................... 24

    4.2 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar ................................... 27

    4.3 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Rerata Kokon Per Butir ............................ 29

    4.4 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon ............................ 32

    4.5 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang .................................... 37

  • xvi

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1. Jadwal Kegiatan Penelitian ................................................................. 41

    2. Data Pengamatan Mortalitas Ulat (%) ................................................. 42

    3. Data Pengamatan Berat Kokon Segar (gr) .......................................... 44

    4. Data Pengamatan Rerata Berat Kokon Per Butir (gr) ......................... 45

    5. Data Pengamatan Persentase Kulit Kokon (%) ................................... 46

    6. Data Pengamatan Persentase Kokon Cacat (%) .................................... 47

    7. Data Pengamatan Rendemen Benang (%) .......................................... 50

    9. Dokumentasi Penelitian ....................................................................... 53

  • 1

    BAB 1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Budidaya ulat sutra merupakan kegiatan yang bersifat padat karya,

    berteknologi sederhana, relatif mudah dikerjakan dan relatif cepat memperoleh

    hasil panen serta berorientasi pada produksi kokon yang bermutu. Kokon yang

    bermutu sangat menentukan nilai jual dari kokon itu sendiri karena kokon inilah

    yang digunakan sebagai bahan pembuatan benang sutra.

    Mengacu pada pernyataan Badan Standarisasi Nasional (2010) bahwa

    kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutra (Bombyx mori L.) pada fase

    metamofosa (proses pembentukan pupa), yang terdiri atas kulit kokon dan pupa.

    Saat ini, ulat sutra yang lazim dibudidayakan adalah ulat sutra dengan kode

    C.301 karena bersifat ungul. Kokon kode C.301 merupakan kokon hasil

    persilangan betina ras Jepang dan jantan ras Cina, berwarna putih, berbentuk

    lonjong dengan berat 1.488 gr dan persentase kulit kokon sebesar 18.8%. Daya

    tetas telur sebesar 90%.

    Guna mendapatkan kokon kode C.301 yang berkualitas baik maka perlu

    menggunakan teknik budidaya yang lebih mutakhir, salah satunya memperhatikan

    tingkat sanitasi pada alat pengokonan yang digunakan pada akhir pemeliharaan

    ulat, yaitu ketika ulat akan memulai mengokon. Berdasarkan pernyataan

    Atmosoedarjo dkk.. (2000) bahwa ruangan pemeliharaan, peralatan dan

    lingkungannya sangat mudah terkontaminasi oleh bibit-bibit penyakit ulat sutra.

    Hypha cendawan Aspergillus, muskardin, dan bakteri merupakan penyakit yang

    biasa menyerang ulat sutra hingga menyebabkan kematian. Jika hal ini tidak

    dikendalikan maka mortalitas ulat sutra akan meningkat dan produksi kokon akan

    menurun.

    Tingkat sanitasi yang lebih baik pada alat pengokonan saat ulat memulai

    memberntuk kokon perlu diciptakan melalui desinfeksi alat pengokonan agar

    bersifat aseptik sehingga menjamin kesehatan ulat, menekan mortalitas ulat dan

    meningkatkan produksi kokon. Terdapat berbagai macam desinfektan yang dapat

  • 2

    diterapkan pada proses perendaman alat pengokonan antara lain kaporit, formalin,

    dan kalium permanganat.

    Untuk mencapai tingkat sanitasi pada alat pengokonan yang lebih baik maka

    perlu menggunakan jenis desinfektan yang tepat serta waktu dsinfeksi yang tepat

    pula. Sehingga dapat diterapkan oleh para petani sutra saat berbudidaya ulat sutra

    yang bertujuan untuk mendapatkan kokon kode C.301 yang bermutu. Anwar

    (1989 dalam Atmosoedarjo, 2000) menyatakan bahwa pemeliharaan dengan

    desinfeksi tubuh ulat, kandang dan peralatan menghasilkan kokon 29% lebih

    banyak dibandingkan dengan pemeliharaan tanpa desinfeksi.

    Oleh karena itu untuk mendapatkan jenis desinfektan dan lama desinfeksi

    yang baik untuk menurunkan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon perlu

    dilakukan penelitian mengenai Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori

    L.) Kode C.301

    1.2 Rumusan Masalah

    Permasalahan yang diajukan untuk dipecahkan dalam penelitian ini adalah

    sebagai berikut:

    1. Jenis desinfektan apakah yang paling efektif dalam desinfeksi alat pengokonan

    untuk menekan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon?

    2. Berapa lama waktu yang paling efisien dalam desinfeksi alat pengokonan

    untuk menekan mortalitas ulat dan meningkatkan produksi kokon?

    1.3 Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk:

    1. Mengetahui jenis desinfektan yang paling efektif dalam desinfeksi alat

    pengokonan untuk menekan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon.

    2. Mengetahui lama waktu yang paling efisien dalam desinfeksi alat pengokonan

    untuk menekan mortalitas ulat dan meningkatkan produksi kokon.

  • 3

    1.4 Manfaat

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

    1. Informasi bagi pelaku persutraan mengenai jenis desinfektan yang paling

    efektif dalam desinfeksi alat pengokonan untuk menekan mortalitas dan

    meningkatkan produksi kokon.

    2. Informasi bagi pelaku persutraan mengenai lama waktu yang paling efisien

    untuk menekan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon.

    3. Referensi bagi peneliti selanjutnya sehingga memudahkan dalam penelitian.

  • 4

    BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Sistematika Ulat Sutra

    Guntoro (1994) menyatakan bahwa ulat sutra termasuk ke dalam famili

    Bombycidae yang akan membentuk kokon terlebih dahulu sebelum menjadi pupa.

    Secara alamiah, kegiatan ini merupakan upaya untuk menyelamatkan diri dari

    musuh atau kondisi lingkungan karena pupa tersebut keadaannya amat lemah dan

    tidak berdaya.

    Sistematika ulat sutra menurut Atmosoedarjo dkk. (2000) adalah sebagai

    berikut :

    Phyllum : Arthropoda.

    Kelas : Insecta.

    Ordo : Lepidopptera.

    Familia : Bombycidae.

    Genus : Bombyx.

    Species : Bombyx mori L.

    Nazaruddin dan Nurcahyo (1992 dalam Yuanita, 2007) menyatakan bahwa

    ulat sutra dapat dibedakan berdasarkan beberapa hal yaitu berdasarkan voltinisme

    (jumlah generasi per tahun), moltinisme (pergantian kulit) dan tempat asalnya.

    Pembagian ulat sutra berdasarkan voltinisme terdiri monovoltin, byvoltin dan

    polyvoltin. Monovoltin mengalami satu kali generasi selama satu tahun

    disebabkan oleh terjadi penundaan pematangan embrio selama musim dingin dan

    kokon berukuran relatif lebih besar. Byvoltin mengalami dua kali generasi selama

    satu tahun dan kokon berukuran relatif lebih besar. Polypoltin mengalami tiga

    atau lebih generasi dalam satu tahun dapat bertahan di daerah panas kokon

    berukuran kecil dan kandungan sutranya sedikit.

    Pembagian ulat sutra berdasarkan atas moltinisme (pergantian kulit) terdiri

    dari Three molters, four molters dan five molters. Three molters yaitu jenis yang

    menagalami tiga kali pergantian kulit. Four molters yaitu jenis yang mengalami

    empat kali pergantian kulit dan dianggap sebagai penghasil sutra terbaik sehingga

  • 5

    paling banyak dipelihara. Five molters yaitu jenis yang semasa hidupnya

    mengalami lima kali pergantian kulit.

    Sedangkan pembagian ulat sutra berdasarkan tempat asalnya terdiri dari ras

    jepang, ras china, ras eropa dan ras tropika.

    2.2 Ulat Sutra Kode C.301

    Pusat Pembibitan Ulat Sutra Candiroto (2008 dalam Rusita, 2011)

    menyatakan bahwa deskripsi kokon ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301

    adalah sebagai berikut:

    1. Macam persilangan : N1 x N2

    2. Voltinisme : bivoltin

    3. Asal bibit : betina ras Jepang dan jantan ras Cina

    4. Corak ulat : bintik

    5. Warna kokon : putih

    6. Bentuk kokon : lonjong

    7. Karakteristik : kualitas kokon dan serat tinggi

    8. Kualitas telur : daya tetas 90%

    9. Kualitas kokon : kokon normal 95%; berat kokon 1.488 gr

    10. rasio kulit kokon : 18.8%.

    Tasiro (1968 dalam Nuraini, 2009) menyatakan bahwa komposisi kokon

    ulat sutra (Bombyx mori L.) terdiri atas 2 protein hewan yang mempunyai fibroin

    (C15 H26 N5 O6) 70-80% dan serisin (C15 H26 N5 O8) 20-30%. Lukas (1987 dalam

    Nuraini, 2009). Menyatakan bahwa fibroin adalah Polipetida, dibangun dari 4

    asam amino utama yaitu glycine (38-41%), alanin (30-33%), serisin (12-16%),

    dan terosin (11-12%).

  • 6

    Tabel 2.1 Komposisi Kokon Ulat Sutra Kode C.301

    Berat

    Kokon Segar Kokon kering

    Jenis A Jenis B Jenis A Jenis B

    Berat

    Nyata Ratio

    Berat

    Nyata Ratio

    Berat

    Nyata Ratio

    Berat

    Nyata Ratio

    (g) (%) (g) (%) (g) (%) (g) (%)

    Kokon 2,0934 100,0 2,050 100,0 0,793 100,0 0,820 100,0

    Kulit kokon 0,3620 17,3 0,410 20,0 0,362 45,7 0,410 50,0

    Pupa 1,7190 82,1 1,626 79,3 0,419 52,8 0,396 48,3

    Lapisan Luar Kokon 0,0124 0,6 0,014 0,7 0,012 1,5 0,014 1,7

    Sumber : Ministry Of Education, Japan, (1962 dalam Atmosoedarjo, 2000)

    2.3 Siklus Hidup Ulat Sutra

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa ulat sutra memiliki siklus

    hidup yang pendek sehingga dapat dipelihara 7-8 generasi per tahun dan lebih dari

    340 sifat dipelajari yang sebagian besar dari telur dan larva.

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa ulat sutra (Bomyx mori L.)

    adalah serangga holo metabola yang selama hidupnya mengalami metamorfosis

    sempurna yaitu mulai dari telur, ulat (larva), kokon (kepompong) dan ngengat.

    Selama metamorfosis, stadia larva merupakan stadia penting bagi ulat dalam

    pembentukan sintesis protein dan pembentuka telur.

  • 7

    Gambar 2.1 Siklus Hidup Ulat Sutra

    2.4 Pengokonan

    Ahdiat (2010) menyatakan bahwa pengokonan terjadi pada ulat sutra diakhir

    instar ke-5, yaitu proses membungkus diri dengan serat yang dikeluarkan dari

    mulutnya, sebelum berubah bentuk menjadi pupa. Kokon inilah yang

    dimanfaatkan oleh manusia untuk bahan baku benang, sehingga pengokonan

    harus ditangani dengan benar, baik persiapan alat pengokonan maupun metode

    pada saat pelaksanaannya, supaya menghasilkan kokon yang bermutu baik.

    Guntoro (1994) menyatakan bahwa ulat yang telah siap mengokon

    menunjukan tanda-tanda, seperti: (a) sudah cukup dan tiba waktunya jika dihitung

    sejak ditetaskan dari telur, (b) tubuh ulat terlihat bening, transparan, berwarna

    kekuningan, (c) nafsu makan berkurang bahkan hilang sama sekali (d) ulat

    cenderung berjalan ke pinggir sasag, (e) keluar serat sutra dari mulutnya, dan (f)

    kotoran berwarna hijau.

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa waktu mengokon di tempat

    pengokonan, ulat berputar-putar mencari tempat untuk mengokon yang baik

    kemudian merapat pada tempat yang sesuai. Kemudian ulat akan membuat lapisan

    kokon tipis-tipis. Selanjutnya ulat akan menurunkan bagian ekornya keluar kokon

  • 8

    untuk membuang air kecil dan besar untuk kali terakhir. Setelah itu ulat membuat

    kokon dengan terus berputar-putar tanpa henti jika tidak ada gangguan atau

    perubahan lingkungan. Dan jika berhenti maka kokon yang dihasilkan termasuk

    kokon berdaya pintal rendah.

    2.4.1 Tempat Pengokonan

    Atmosoedarjo (2000) menyatakan bahwa material dan struktur tempat

    pengokonan sangat berpengaruh terhadap mutu kokon dan filamen.

    Kaomini (2002 dalam Yuanita, 2007) menyatakan bahwa syarat alat

    pengokonan yang baik adalah memudahkan ulat sutra dalam mengokon dan

    memudahkan bila dipanen, efisien bila digunakan, mudah dipakai dan harga

    murah, struktur kuat dan penyimpanan membutuhkan tempat yang kecil. Floss

    yang menempel pada alat pengokonan mudah dibuang dan bahan tahan

    kelembaban tingggi atau basah.

    Bank Indonesia (2000) menyatakan bahwa seriframe yaitu alat pengokonan

    yang dibuat dengan model ruangan dengan membujur dan terbuat dari bahan

    plastik. Dari beberapa alat pengokonan (seriframe, ranting, bambu dan rotary)

    yang paling efisien adalah alat pengokonan seriframe, karena kualitas kokon yang

    dihasilkan dengan kokon afkir 5%, dapat menaikan berat kokon 10% serta

    mengurangi biaya tenaga kerja.

    2.5 Standar Nasional Indonesia Mutu Kokon Segar

    Standar ini menetapkan persyaratan dan penetapan kokon segar jenis

    Bombyx mori L. sebagai pedoman pengujian kokon segar di Indonesia.

  • 9

    2.5.1 Istilah dan Definisi

    Tabel 2.2 Daftar Istilah dan Definisi Kokon

    Istilah Definisi

    Kokon

    kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutra (Bombyx

    mori L.) pada fase metamofosa (proses pembentukan pupa),

    yang terdiri dari kulit kokon dan pupa.

    Kokon Normal Kokon yang bersih, sehat, tidak cacat dan pada umumnya

    berbentuk bulat telur.

    Kokon Cacat Bentuk dan warna fisiknya tidak normal

    Kokon bentuk aneh Kokon yang bentuknya tidak wajar seperti kerucut, besar

    sebelah atau tidak beraturan.

    Kokon berlekuk Kokon yang bagian tengah atau tepi berlukuk.

    Kokon berlubang Kokon yang kulit kokonnya berlubang.

    Kokon ganda Kokon yang berisi dua pupa atau lebih

    Kokon kotor dalam Kokon yang bernoda dari dalam karena terdapat ulat mati

    atau pupa mati

    Kokon lembek Kokon yang sebagian besar atau seluruhnya tipis.

    Kokon tercetak

    (printed cocoon) Kokon yang mempunyai noda (flek) disebabkan tercetak

    (printed) oleh alat pengokonan.

    Kokon tipis ujung Kokon yang bagian ujungnya tipis.

    Kokon kotor luar Kokon yang kulit bagan luarnya terkena kotoran yang berasal

    dari ulat mati, kotoran ulat atau kotoran lain yang yang

    mempengaruhi kualitas benang sutara mentah (rawsilk).

    Kokon segar Kokon yang belum dikeringkan.

    Kulit kokon Materi lapisan serat sutra alam yang terdiri dari sericin dan

    fibroin, sedikit malam, lemak, karbohidrat, abu dan zat warna

    yang berfungsi sebagai pembungkus pupa.

    Sumber : Atmosoedarjo (2000)

  • 10

    2.5.2 Klasifikasi Mutu

    Kokon normal dapat diklasifikasikan menjadi empat kelas mutu.

    Tabel 2.3 Klasifikasi Mutu Kokon

    Kelas

    Mutu

    Tanda Kelas Mutu Pada Keterangan

    Dokumen Kemasan

    Utama A A Tanda kelas mutu pada kemasan

    ditulis dengan menggunakan

    tanda warna hitam Pertama B B

    Kedua C C

    Ketiga D D Sumber : Standar Nasional Indonesia (2010)

    2.5.3 Persyaratan Mutu Kokon Segar

    Penetapan mutu kokon segar berdasarkan uji visual meliputi berat kokon,

    persentase kulit dan persentase kokon cacat.

    Tabel 2.4 Persyaratan Mutu Kokon

    No Parameter

    yang diuji Satuan

    Persyaratan kelas mutu

    A B C D

    1 Berat kokon g/butir 2,0 1,7 -

  • 11

    Spora dari cendawan ini melekat dan berkembang pada kulit larva

    kemudian masuk ke badan. Larva yang mati karena penyakit ini akan ditumbuhi

    hypha sampai membentuk spora di kulitnya yang selanjutnya akan menjadi

    sumber penyakit. Larva yang terkena penyakit aspergillus memiliki gejala seperti

    tidak mau makan, kaku (sukar bergerak), kulit nampak berkilau, lembek dan

    mengeluarkan cairan pencernaan sebelum mati.

    2.6.2 Cytoplasmic Polyhedrosis Virus (CPV)

    Samsijah dan Kusumaputera (1974 dalam Atmosoedarjo dkk., 2000) gejala

    serangan larva yang nampak dari luar, sama dengan gejala flacherie pada

    umumnya, sehingga sulit dibedakan. Ulat menjadi tidak aktif dan kehilangan

    nafsu makan. Perut nampak seperti putih susu dan ada nanah yang keputih-

    putihan pada kotoran larva.

    2.6.3 Penyakit Bakteri

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa bakteri yang terkena

    penyakit ini menjadi lemah dan metabolismenya menurun, tubuh ulat tidak elastis

    dan lunak. Pada instar V, larva mengalami diare. Larva yang mati menjadi hitam

    dan membusuk dan mengeluarkan cairan berbau busuk.

    2.7 Desinfeksi

    Fathin Nahar, Muhammad dan W. Prayogi. (2011) menyatakan bahwa

    desinfeksi adalah membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dengan bahan

    kimia atau secara fisik, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadi infeksi

    dengan jalan membunuh mikroorganisme patogen.

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi perlu dilakukan

    setelah musim pemeliharaan dimulai dan sebelum musim pemeliharaan dimulai

    untuk membunuh bibit penyakit ulat.

    Yulianti (2011) menyatakan bahwa perendaman alat pengokonan seriframe

    dengan konsentrasi 5 gr/lt dengan lama perendaman 15 menit dapat diterapkan

    oleh para petani.

  • 12

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi dilakukan dengan

    kaporit perlu dibiarkan basah selama 30 menit. Pengaruh kelantangan (bleaching)

    ini sangat kuat, sampai logam pun dapat terkorosi sehingga waktu yang

    dibutuhkan untuk desinfeksi alat pengokonan tidak lebih dari 30 menit.

    2.7.1 Kaporit

    Saranga dkk. (1993 dalam Atmoesoedarjo dkk., 2000) menyatakan bahwa

    desinfektan yang terbaik adalah kaporit dengan arang sekam, dilanjutkan dengan

    kaporit dengan kapur dan kaporit dengan abu sekam.

    Anwar (1989 dalam Atmosoedarjo dkk., 2000) Penggunaan kaporit 5%

    sangat efektif untuk desinfeksi permukaan tubuh ulat dan tempat pemeliharaan

    terhadap pemberantasan Aspergillus dan Muscardine. Kapur 95% dicampur

    dengan 5% kaporit. Persentase tertinggi ulat membentuk kokon terdapat pada

    perlakuan yang menggunakan campuran kaporit dan kapur, yaitu rata-rata 85,14%

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi terhadap sasag,

    keranjang tempat penyimpanan daun, tempat pengokonan dan lain sebagainya

    yang akan bersentuhan langsung dengan ulat atau daun murbei dapat dicelupkan

    ke dalam tangki dengan menggunakan kaporit yang dilarutkan 200 kali.

    Anwar dkk. (1992 dalam Sumardjito dan Budisusanto, 1994) menyatakan

    bahwa pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan cara desinfeksi dengan

    menggunakan kaporit. Kaporit dapat dicampur dengan bahan lain semisal kapur

    tembuk yang ditabur di permukaan tubuh ulat sutra dan tempat pemeliharaan

    dengan dosis tertentu.

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi menggunakan

    kaporit perlu dicampur dengan air dahulu secara benar kemudian disemprotkan.

    Untuk desinfeksi sasag, keranjang tempat penyimpanan daun, tempat pengokonan

    dan lain sebagainya yang akan bersentuhan langsung dengan ulat atau daun

    murbei dapat dicelupkan ke dalam tangki selama 30 menit kemudian dijemur pada

    sinar matahari langsung.

  • 13

    Yulianti (2011) menyatakan bahwa perendaman alat pengokonan seriframe

    dengan konsentrasi 5 gr/lt dengan lama perendaman 15 menit dapat diterapkan

    oleh para petani.

    2.7.2 Formalin

    Wibowo (2012) Formalin atau metanal adalah senyawa organik dengan

    rumus kimia CH2O merupakan suatu senyawa kimia golongan aldehid sederhana.

    Memiliki berat molekul sekitar 30g/mol, berat jenis 1.05-1.12 g/ml dengan

    kelarutan dalam air 100 g/100 ml pada suhu 20 C . Formalin secara alami

    merupakan residu hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon, maupun

    oksidasi dari methanol. Formaldehida atau dikenal juga sebagai formalin.

    Formaldehida merupakan desinfektan yang bersifat karsinogenik pada konsentrasi

    tinggi namun tidak korosif terhadap metal. Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan

    bahwa desinfeksi dapat dilakukan dengan mencelupkan peralatan dalam larutan

    2% formalin.

    2.7.3 Kalium Permanganat

    Apriani (2014) menyatakan bahwa kalium permanganat termasuk

    golongan peroksidan yang dapat melepaskan oksigen (oksidasi) sehingga dapat

    membunuh kuman (bakterisid). Kalium permanganat berupa kristal ungu, mudah

    laut dalam air. Dalam larutan encer merupakan peroksidan oksidasi terjadi bila zat

    ini bersentuhan dengan zat organik. Inaktivasi menyebabkan perubahan warna

    larutan dari ungu menjadi biru. Zat ini bekerja sebagai iritan, deodoran dan

    astringen.

    Apriani (2014) menggunakan larutan kalium permanganat 5 gr/l sebagai

    bahan sanitasi jenis alas terhadap mortalitas dan kualitas kokon.

  • 14

    2.8 Hipotesis Penelitian

    Berdasarkan pernyataan diatas dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:

    H0: Jenis desinfektan pada desinfeksi alat pengokonan seriframe berpengaruh

    nyata terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra (Bombyx mori L.)

    kode C.301.

    H1: Jenis desinfektan pada desinfeksi alat pengokonan seriframe berpengaruh

    tidak nyata terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra (Bombyx mori

    L.) kode C.301.

    H0: Lama desinfeksi alat pengokonan seriframe berpengaruh nyata terhadap

    mortalitas dan produksi kokon ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301

    H1: Lama desinfeksi alat pengokonan seriframe berpengaruh tidak nyata

    terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra (Bombyx mori L.) kode

    C.301

    H0: Terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi alat

    pengokonan seriframe terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutra

    (Bombyx mori L.) kode C.301

    H1: Tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama waktu

    perendaman alat pengokonan seriframe terhadap mortalitas dan produksi

    kokon ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301

  • 15

    BAB 3. METODOLOGI

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober 2014 sampai dengan 6

    Nopember 2014 bertempat di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutra Politeknik Negeri

    Jember dengan luasan 4 x 10 m2.

    3.2 Alat dan Bahan

    Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain

    ruang pemeliharaan ulat sutra, kotak penetasan, rak inkubasi, kain hitam, rak

    pemeliharaan, sasag, sumpit, bulu ayam, baskom, seriframe, jaring, karung,

    keranjang pakan, timbangan, tempat perendaman, pisau, alat tulis, kaporit,

    formalin, kalium permanganat, air.

    3.3 Metode Penelitian

    Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

    Lengkap (RAL) faktorial. Adapun perlakuan yang dilakukan sebagai berikut:

    Faktor A (jenis desinfektan) :

    A1 = Kaporit dengan konsentrasi 5 gram per liter

    A2 = Formalin dengan konsentrasi 20 ml per liter

    A3 = Kalium permanganat dengan konsentrasi 5 gram per liter.

    Faktor B (Lama waktu desinfeksi) :

    B1 = Desinfeksi alat pengokonan selama 15 menit

    B2 = Desinfeksi alat pengokonan selama 30 menit

    Kombinasi antar perlakuan adalah sebagai berikut:

    A1B1 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kaporit dengan konsentrasi 5

    gram per liter selama 15 menit

    A1B2 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kaporit dengan konsentrasi 5

    gram per liter selama 30 menit

  • 16

    A2B1 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan formalin dengan konsentrasi

    20 ml per liter selama 15 menit

    A2B2 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan formalin dengan konsentrasi

    20 ml per liter selama 30 menit

    A3B1 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kalium permanganat dengan

    konsentrasi 5 gram per liter selama 15 menit

    A3B2 = Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kalium permanganat dengan

    konsentrasi 5 gram per liter selama 30 menit

    Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali, sehingga

    didapatkan 24 satuan unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas 30 sampel

    ulat. Dengan demikian, total seluruh ulat yang dibutuhkan adalah 720 ekor.

    Adapun model statistik yang digunakan sebagai berikut:

    Yijk = + i + j + ()ij + ijk Keterangan:

    Yijk = Nilai pengamatan pada taraf ke-i faktor A pada taraf ke-j faktor B

    ulangan ke-k

    = Nilai tengah umun

    i = Pengaruh perlakuan A pada taraf ke-i

    j = Pengaruh perlakuan B pada taraf ke-j

    ()ij = Pengaruh interaksi antara perlakuan A pada taraf ke-i dengan perlakuan L

    pada taraf ke-j

    ijk = Pengaruh galat percobaan A ke-i pada taraf ke-j

    Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik dengan sidik ragam

    sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat perbedaan yang nyata

    terhadap variabel yang diamati maka dilakukan uji lanjut.

  • 17

    Adapun layout yang akan digunakan pada penelitian adalah sebagai berikut :

    A2B2 A1B1 A2B2 A1B1 A1B1 A1B2

    A3B2 A1B1 A3B1 A3B2 A3B2 A2B2

    A3B1 A2B1 A2B2 A2B1 A3B1 A3B2

    A2B1 A3B1 A2B1 A1B2 A1B2 A1B2

    Gambar 3.1 Layout Penelitian

    Tabel 3.1 Tabel Sidik Ragam RAL Faktorial

    Sumber

    Keragaman Db JK KT F hitung F table

    5% 1%

    Perlakuan ij -1 JKP JKP/dbP KTP/KTG

    A i -1 JKA JKS/dbA KTA/KTG

    B j 1 JKB JKL/dbB KTB/KTG

    A x B (i - 1) (j - 1)

    JKP-

    JKA-JKB JKAB/dbAB KTAB/KTG

    Galat (ij-1)-(k - 1) JKT-JKP JKG/dbG

    Total ij-1 JKT

    3.4 Tahapan Pelaksanaan

    3.4.1 Pemesanan Telur

    Pemesanan telur dilakukan apabila semua alat telah tersedia. Pemesanan

    telur dilakukan dua minggu sebelum hari pemeliharaan. Pemesanan dilakukan

    dengan menghubungi PPUS (Pusat Pembibitan Ulat Sutra) Candiroto via telpon

    seluler.

    3.4.2 Desinfeksi Alat dan Kandang

    Setelah dilakukan pemesanan maka telur akan dikirim dua minggu dari

    hari pemesanan. Interval waktu tersebut dapat digunakan untuk desinfeksi alat dan

    kandang. Setiap perlakuan desinfeksi alat pengokonan mendapatkan perlakuan

    yang sama tidak terkecuali desinfeksi alat dan kandang. Desinfeksi dilakukan

  • 18

    dengan menyemprot semua alat dan kandang dengan larutan formalin dan kaporit

    5%.

    3.4.3 Desinfeksi Alat Pengokonan

    Desinfeksi merupakan metode yang bertujuan untuk mensterilkan alat

    pengokonan dari setiap jamur terutama cendawan yanng dapat menurunkan

    produktivitas ulat. Desinfeksi seriframe dilakukan 10 hari sebelum seriframe

    digunakan. Alat pengokonan berupa seriframe yang digunakan sebagai bahan

    penelitian didesinfeksi sesuai dengan perlakuan yang diberikan yaitu:

    a) Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kaporit

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi terhadap sasag,

    keranjang tempat penyimpanan daun, tempat pengokonan dan lain sebagainya

    yang akan bersentuhan langsung dengan ulat atau daun murbei dapat dicelupkan

    ke dalam tangki dengan menggunakan kaporit yang dilarutkan 200 kali.

    1 gr kaporit x 1 =

    1 gr =

    5 gr

    1 ml air x 200 200 ml 1000 ml

    Diperlukan kaporit 5 gr untuk mendapatkan satu liter larutan desinfektan

    kaporit. Volume larutan yang dibutuhkan disesuaaikan dengan media yang

    digunakan. Seriframe didesinfeksi selama 15 menit dan 30 menit dengan

    pengulangan yang telah ditetapkan

    b) Seriframe didesinfeksi dengan larutan formalin

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi dapat dilakukan

    dengan mencelupkan peralatan dalam larutan 2% formalin.

    2% X 1000 = 20 ml

    100%

    Diperlukan formalin 20 ml untuk mendapatkan satu liter larutan desinfektan

    formalin. Volume larutan yang dibutuhkan disesuaikan dengan media yang

    digunakan. Seriframe didesinfeksi selama 15 menit dan 30 menit dengan

    pengulangan yang telah ditetapkan.

    c) Seriframe didesinfeksi dengan larutan kalium permanganat 5 gram per liter

    selama 15 menit dan 30 menit.

  • 19

    3.4.4 Inkubasi

    Telur yang sudah diterima segera diinkubasi untuk menyeragamkan pada

    saat penetasan. Inkubasi dilakakukan dengan cara pengaturan cahaya 18 jam

    terang dan 6 jam gelap setiap harinya. Adapun kebutuhan temperatur selama

    inkubasi adalah 25 C dan kelembaban 75 80 %.

    3.4.5 Proses Pemeliharaan

    Proses pemeliharaan diawali dengan hakitate yaitu penanganan ulat yang

    baru menetas. Ulat yang baru menetas masuk pada stadia ulat kecil yang terdiri

    atas tiga instar. Setiap pergantian instar ditandai dengan tidur. Untuk fase ulat

    besar terdiri atas dua instar. Adapun kondisi lingkungan yang dibutuhkan yaitu

    suhu dan kelembaban dalam ruang pemeliharaan perlu disesuaikan untuk

    mempertahankan suhu antara 27 - 28 C dan kelembaban 90 %, sebelum

    pemeliharaan dimulai. Kondisi ini pelu dipertahankan selama instar I.

    Pada instar II suhu harus ada pada kisaran 26 - 27 C dan kelembaban 85

    %, sedangkan pada instar III suhu yang diharapkan adalah 25 C dan kelembaban

    80 %. Akan tetapi, pada waktu berganti kulit pada setiap instar, kelembaban

    tempat pemeliharaan perlu diturunkan sampai 70 % untuk mengeringkan tempat

    pemeliharaan. Sifat ulat sutra besar berbeda dengan ulat kecil, ulat besar

    menghendaki suhu dan kelembaban yang lebih rendah. Sehingga suhu perlu diatur

    pada 23 24 C dan kelembaban 75 %.

  • 20

    3.5 Parameter Pengamatan

    Parameter pengamatan untuk setiap plot percobaan dalam penelitian ini

    adalah sebagai berikut:

    3.5.1 Mortalitas Ulat (%)

    Perbandingan antara ulat yang mati dengan jumlah ulat yang diletakan di

    setiap plot percobaan (alat pengokonan). Di samping itu, diamati penyebab

    kematian ulat agar diketahui jenis penyakit yang menyerang ulat tersebut.

    Mortalitas Ulat Sutra (%) = Jumlah ulat yang mati (ekor)

    x 100 Jumlah populasi ulat (ekor)

    3.5.2 Berat Kokon Segar (gr)

    Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menimbang keseluruhan

    kokon yang dihasilkan, yaitu berat kokon sebelum dan sesudah flossing.

    3.5. 3 Rerata Berat Kokon Per Butir (gr)

    Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menghitung

    perbandingan antara berat kokon seluruhnya dengan jumlah kokon keseluruhan.

    Rerata kokon per butir (gram) = Berat total kokon (gram)

    Jumlah kokon (butir)

    3.5. 4 Persentase Kulit Kokon (%)

    Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menghitung

    perbandingan antara berat kulit kokon normal dengan berat kokon normal

    sebelum disayat.

    Kulit kokon (%) = Berat kulit kokon (gram)

    x 100 Berat kokon (gram)

    3.5.5 Persentase Kokon Cacat (%)

    Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menghitung

    perbandingan antara jumlah kokon cacat dengan jumlah kokon seluruhnya

    (normal dan cacat).

    Kokon cacat (%) = Berat kokon cacat (gram)

    x 100 Berat kokon (gram)

  • 21

    3.5.6 Rendemen Benang (%)

    Pengamatan dilakukan satu hari setelah panen dilakukan dengan mematikan

    pupa terlebih dahulu selama satu jam pada suhu 120 C. Kemudian dilakukan

    reeling untuk mengetahui berat benang.

    Rendemen benang (%) = Berat benang (gram)

    x 100 Berat kokon (gram)

  • 22

    BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Mortalitas Ulat (%)

    Mortalitas ulat merupakan tingkat kematian ulat pada alat pengokonan

    seriframe saat fase pengokonan. Mortalitas ulat dapat menurunkan produksi

    kokon secara keseluruhan karena kokon terbentuk oleh ulat pada fase

    pengokonan. Kokon inilah yang dimanfaatkan pengrajin sebagai bahan baku

    benang melalui proses-proses tertentu. Jika mortalitas tinggi maka dapat

    dipastikan produksi kokon rendah. Begitu pun sebaliknya jika mortalitas rendah

    maka produksi kokon tinggi. Hal ini diperkuat oleh Yuningsih (2010) yang

    menyatakan bahwa produksi kokon segar yang dipanen sangat ditentukan oleh

    tinggi rendahnya mortalitas ulat, semakin tinggi persentase mortalitas dan

    kontaminasi ulat maka akan semakin rendah produksi kokon segar yang dipanen.

    Pengambilan data dilakukan saat masa pengokonan tersebut berlangsung

    dengan cara menghitung ulat yang mati dalam alat pengokonan yang dinyatakan

    dalam persen. Kemudian data yang diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah

    berikut ini.

    Tabel 4.1 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 7,30 4,08 11,38 1,42

    A2 4,08 6,61 10,69 1,34

    A3 6,05 7,30 13,35 1,67

    Jumlah 17,43 17,99 35,42 1,48

    Rerata 1,45 1,50

    Data tersebut kemudian diolah menggunakan sidik ragam yang menunjukan

    hasil berupa notasi yang menggambarkan berpengaruh atau tidaknya perlakuan

    terhadap mortalitas ulat. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa jenis desinfektan

    dan lama desinfeksi pada alat pengokonan berpengaruh tidak nyata terhadap

    mortalitas ulat dengan data hasil transformasi akar kuadrat.

  • 23

    Tabel 4.2 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat

    Sumber Db JK KT F Hit

    F Tabel

    Keragaman F 0.05

    Perlakuan 5 2,77 0,55 0,73 ns 2,77

    A 2 0,48 0,24 0,31 ns 3,55

    B 1 0,01 0,01 0,02 ns 4,41

    A x B 2 2,28 1,14 1,51 ns 3,55

    Gallat 18 13,62 0,76

    Total 23 16,39 Koefisien Keragaman = 58,95 %

    Faktor Koreksi = 52,27

    Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan tabel 4.2 di atas diketahui bahwa faktor perlakuan A, yaitu

    jenis desinfektan memiliki nilai F Hitung kurang dari nilai F Tabel, artinya faktor

    tersebut berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas. Sama halnya dengan faktor

    B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung lebih kecil dari F tabel yang

    memberikan pengaruh sama terhadap mortalitas ulat. Dalam tabel tersebut juga

    terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi

    terhadap mortalitas ulat yang ditandai dengan nilai F Hitung A x B tidak lebih

    besar dari nilai F tabel.

    Penelitian ini bertujuan untuk menekan mortalitas ulat sehingga

    mendapatkan produksi kokon yang optimal. Mortalitas ulat dihitung pada saat

    panen kokon dengan menghitung antara jumlah ulat yang mati dengan jumlah

    seluruh ulat yang terdapat pada alat pengokonan.

    Ulat yang mati diidentifikasi penyebab kematiannya berdasarkan studi

    literatur. Ulat yang terkena penyakit menunjukan gejala seperti tubuh ulat lunak,

    pada instar V ulat mengeluarkan kotoran lunak, ulat membusuk dan menjadi

    hitam, serta keluar cairan berbau busuk. Berdasarkan gejala tersebut dapat

    ditentukan bahwa penyakit yang menyerang ulat berupa penyakit bakteri.

    Atmosoedarjo dkk.. (2000) menuliskan bahwa penyakit bakteri adalah penyakit

    yang disebabkan oleh bakteri, bakteri biasanya masuk ke dalam tubuh melalui

    pakan kotor, kondisi lingkungan yang kotor serta kulit ulat sutra yang terkena

    penyakit

  • 24

    Adapun upaya yang telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya

    kontaminasi oleh bakteri adalah dengan cara mencuci pakan pada bejana,

    membersihkan sisa pakan pada rak pemeliharaan dan desinfeksi tangan sebelum

    kegiatan dalam kandang dilakukan. mortalitas ulat pada setiap perlakuan dapat

    diketahui melalui gambar 4.1.

    Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15

    menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit

    Berdasarkan gambar 4.1 di atas dapat diketahui bahwa setiap perlakuan

    memiliki rerata mortalitas ulat sebesar 1,02% - 1,82%. Berdasarkan pernyataan

    Perum Perhutani PPUS Candiroto (2008 dalam Yuningsih, 2008) bahwa

    persentase mortalitas ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301 sebesar 3%. Setiap

    perlakuan dapat diterapkan para petani saat budidaya ulat sutra dilaksanakan

    karena dapat menekan mortalitas ulat.

    4.2 Berat Kokon Segar (gr)

    Berat kokon segar adalah berat kokon yang meliputi pupa dan kulit kokon

    setelah proses flossing dan sebelum proses pengeringan. Panen dilakukan saat

    kokon telah siap untuk dipanen dengan ciri-ciri tertentu. Nazarudin dan Nurcahyo

  • 25

    (1995 dalam Yuningsih, 2010) menyatakan bahwa ciri-ciri kokon yang siap

    dipanen adalah kulit kokon cukup keras dan warna pupa sudah berwarna coklat.

    Pengambilan data berat kokon segar dilaksanakan sesaat setelah panen

    kokon dilaksanakan dengan menimbang kokon beserta pupa tanpa floss setiap unit

    yang dinyatakan dalam satuan gram. Data yang diperoleh dicantumkan dalam

    tabel dua arah di bawah ini.

    Tabel 4.3 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 119,78 129,37 249,15 31,14

    A2 123,73 115,95 239,68 29,96

    A3 119,11 121,12 240,23 30,03

    Jumlah 362,62 366,44 729,06 30,38

    Rerata 30,22 30,54

    Data tersebut kemudian analisis menggunakan sidik ragam yang

    menunjukan hasil berupa notasi yang menggambarkan berpengaruh atau tidaknya

    perlakuan terhadap mortalitas ulat.

    Tabel 4.4 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar

    Sumber Db JK KT F Hit

    F Tabel

    Keragaman F 0.05

    Perlakuan 5 26,63 5,33 1,26 ns 2,77

    A 2 7,06 3,53 0,84 ns 3,55

    B 1 0,61 0,61 0,14 ns 4,41

    A x B 2 18,96 9,48 2,25 ns 3,55

    Gallat 18 75,94 4,22

    Total 23 102,58

    Koefisien Keragaman = 6,76 %

    Faktor Koreksi = 22147,02

    Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan Tabel 4.4 di atas diketahui bahwa faktor A, jenis desinfektan

    dan faktor B, lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung tidak lebih besar dari nilai F

    Tabel. Artinya kedua faktor tersebut berpengaruh sama terhadap berat kokon

  • 26

    segar. Selain itu nilai F Tabel AxB melebihi nilai F Hitungnya yang memberikan

    pengertian bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama

    desinfeksi terhadap berat kokon segar.

    Berat kokon segar erat kaitannya dengan jumlah pakan yang dikonsumsi

    oleh ulat semakin banyak dan bernutrisi tinggi maka akan semakin baik bagi

    pembentukan kokon karena nutrisi yang terdapat pada tubuh ulat digunakan untuk

    pembentukan serat yang kemudian menjadi kokon, sesuai dengan pernyataan

    Norati (1996 dalam Rustini, 2002) bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi akan

    sangat menentukan tersedianya cadangan makanan yang pada akhirnya diperlukan

    untuk pembentukan kokon.

    Pertumbuhan ulat sutra dapat mencapai sepuluh ribu kali lipat terhitung dari

    hakitate hingga ulat matang, hal ini yang menunjukan bahwa ulat sutra

    memerlukan pakan yang cukup bagi pertumbuhannya. Terlebih ulat besar yang

    mengkonsumsi lebih dari 90% dari total pemberian pakan, hal ini dimaksudkan

    untuk menyimpan cadangan makanan untuk pembentukan serat. Sama halnya

    yang dinyatakan oleh Ekastuti dkk. (1995 dalam Rustini, 2002) bahwa produksi

    kokon bergantung pada cadangan energi makanan yang telah dicapai pada akhir

    instar V.

    Penelitian ini menerapkan pemberian pakan dengan volume yang sama

    untuk setiap perlakuan berdasarkan Standard Operational Prosedure (SOP)

    budidaya ulat sutra yang disesuaikan dengan jumlah ulat pada setiap unit

    percobaan.

  • 27

    Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15

    menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit

    Berdasarkan gambar 4.2 di atas dapat diketahui bahwa rerata berat kokon

    segar berada pada rentan 28,99 - 32,34 gr.

    4.3 Rerata Berat Kokon Per Butir (gr)

    Rerata berat kokon per butir merupakan rerata berat per satu kokon yang

    meliputi pupa dan kulit kokon. Rerata berat kokon per butir diamati sesaat setelah

    panen kokon dilakukan dengan menimbang kokon setiap perlakuan yang

    kemudian hasil penimbangan tersebut dibagi jumlah kokon. Data yang telah

    diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah di bawah ini.

    Tabel 4.5 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per Butir

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 4,04 4,18 8,22 1,03

    A2 4,10 3,99 8,09 1,01

    A3 3,77 4,12 7,88 0,99

    Jumlah 11,91 12,28 24,19 1,01

    Rerata 0,99 1,02

  • 28

    Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis

    sidik ragam dengan hasil sebagai berikut.

    Tabel 4.6 Hasil sidik Ragam Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per butir

    Sumber Db JK KT F Hit

    F tabel

    Keragaman F0.05

    Perlakuan 5 0,03 0,01 1,02 ns 2,77

    A 2 0,01 0,00 0,67 ns 3,55

    B 1 0,01 0,01 1,13 ns 4,41

    A x B 2 0,01 0,01 1,32 ns 3,55

    Gallat 18 0,09 0,01

    Total 23 0,12 Koefisien Keragaman = 7,17 %

    Faktor Koreksi = 24,38

    Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa nilai F tabel perlakuan

    A lebih besar dari nilai F Hitung, artinya faktor perlakuan A, yaitu jenis

    desinfektan berpengaruh tidak nyata terhadap rerata berat kokon per butir. Selain

    itu faktor perlakuan B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F hitung lebih kecil

    daripada F tabel yang menunjukan bahwa faktor perlakuan tersebut berpengaruh

    tidak nyata terhadap rerata berat kokon per butir. Dan tidak terjadi interaksi antara

    jenis desinfektan dan lama desinfeksi karena memiliki nilai F Hitung lebih kecil

    dari F tabel.

    Pembentukan kokon dilakukan ulat ketika masa makan berlangsung yang

    terdiri dari 5 instar. Terutama pada instar 5 ulat mulai memberntuk serat.

    Sedangkan perlakauan diterapkan ketika ulat akan mengokon yang tidak

    memberikan pengaruh tidak nyata.

    Sakaguchy (1978 dalam Rustini 2002) menuliskan bahwa mutu kokon dan

    serat sutra ditentukan oleh jumlah dan mutu pakannya, sedangkan protein sutra

    akan diekresikan apabila asam amino dan air dalam tubuh ulat sutra cukup

    jumlahnya. Nursita (2012) menuliskan bahwa minimnya pemberian air pada

    tanaman juga berperan menurunkan kualitas daun murbei yang dihasilkan.

  • 29

    Katsumata (1964 dalam Rustini 2002) menyatakan bahwa kualitas kokon

    dipengaruhi oleh sifat keturunan dari jenis ulat sutra dan keadaan-keadaan selama

    pemeliharaan dan pengokonan. Lingkungan pada saat pengokonan merupakan

    salah satu yang mempengaruhi kualitas kokon.

    1,01

    1,04

    1,03

    1,00

    0,94

    1,03

    0,88

    0,90

    0,92

    0,94

    0,96

    0,98

    1,00

    1,02

    1,04

    1,06

    A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

    Rer

    ata

    Ko

    ko

    n P

    er B

    uti

    r (g

    r)

    Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per Butir

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit

    Berdasarkan gambar 4.3 di atas, diketahui bahwa rerata berat kokon per

    butir berada pada kisaran 0,94 - 1,04.

    Rerata berat kokon per butir diklasifikasikan berdasarkan SNI kokon segar

    (2010). Sesuai dengan deskripsi ulat sutra kode C.301 memiliki kualitas kokon

    kelas C yaitu berat kokon berrkisar 1,3 gr 1,7 gr. Setelah dilakukan pengamatan

    dapat ditentukan bahwa kokon dalam penelitian ini termasuk ke dalam kualitas D

    karena rerata berat kokon berada

  • 30

    kokon yang dihasilkan. Demikian pula dengan suhu, ulat kecil baik pada

    lingkungan dengan suhu harian 27 C dan ulat besar baik pada lingkungan dengan

    suhu harian 25 C, sedangkan suhu lingkungan saat penelitian mencapai 34 C

    untuk ulat kecil dan 33 C untuk ulat besar. Hal ini mengakibatkan ulat

    bermetabolisme lebih cepat dan umur lebih singkat yang berdampak pada

    sedikitnya cadangan makanan dalam tubuh yang berperan sebagai pembentuk

    protein serat.

    4.4 Persentase Kulit Kokon (%)

    Kulit kokon merupakan lapisan luar kokon yang terdiri dari serisin dan

    fibroin yang berfungsi sebagai pelindung pupa. Kulit kokon adalah bagian kokon

    yang digunakan pengrajin untuk pembuatan benang. Kulit kokon dinyatakan

    dalam satuan persen (%) dengan perbandingan antara kulit kokon dengan kokon.

    Persentaase kulit kokon merupakan salah satu parameter uji mutu kokon visual

    yang tertera dalam SNI kokon segar. Pengambilan data dilakukan sesaat setelah

    panen kokon dilaksanakan dengan menimbang kulit kokon dan kokon secara

    keseluruhan. Data yang diperoleh dicantumkan ke dalam tabel dua arah sebagai

    berikut.

    Tabel 4.7 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Persentse Kulit Kokon

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 78,68 73,35 152,04 19,00

    A2 81,60 79,89 161,49 20,19

    A3 75,08 76,92 152,00 19,00

    Jumlah 235,37 230,16 465,53 19,40

    Rerata 19,61 19,18

    Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis menggunakan sidik

    ragam dengan hasil sebagai berikut.

  • 31

    Tabel 4.8 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon

    Sumber Db JK KT F Hit

    F Tabel

    Keragaman F 0.05

    Perlakuan 5 11,81 2,36 0,72 ns 2,77

    A 2 7,48 3,74 1,14 ns 3,55

    B 1 1,13 1,13 0,35 ns 4,41

    A x B 2 3,21 1,60 0,49 ns 3,55

    Gallat 18 58,92 3,27

    Total 23 70,73 Koefisien keragaman = 9,33 %

    Faktor Koreksi = 9029,96

    Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan Tabel 4.8 di atas dapat diketahui bahwa faktor perlakuan A,

    yaitu jenis desinfektan memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase kulit

    kokon yang ditandai dengan nilai F Hitung yang lebih kecil dari nilai F Tabel,

    tidak hanya itu faktor perlakuan B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung

    yang tidak lebih besar dari nilai F Table, artinya faktor perlakuan B berpengaruh

    tidak nyata terhadap persentase kulit kokon. Dalam tabel tersebut juga terlihat

    nilai F Hitung AxB tidak melebihi nilai f Tabel, yang menunjukan bahwa tidak

    terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi terhadap persentase

    kulit kokon.

    Katsumata (1994 dalam Fetri, 2001) menyatakan bahwa berat kokon, berat

    kulit kokon, persentase kulit kokon banyak dipengaruhi oleh ras ulat sutra, jenis

    kelamin pupa, jumlah pakan yang diberikan, lingkungan pemeliharaan, dan cara

    pemeliharaan.

    Berdasarkan SNI kokon segar (2010) kokon yang dihasilkan dalam

    penelitian ini termasuk ke dalam kelas C. Hal ini sesuai dengan deskripsi ulat

    sutra kode C.301 dengan persentase kulit kokon berkualitas C, yang berada pada

    kisaran 17,00% - 20,00%.

  • 32

    Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15

    menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit

    Berdasarkan gambar 4.4 di atas dapat diketahui bahwa persentase kulit

    kokon berkisar antara 18,34 20,40. Persentase kulit kokon pada penelitian ini

    sesuai dengan persentase kulit kokon kode C.301 itu sendiri. Berdasarkan

    pernyataan Pusat Pembibitan Ulat Sutra (PPUS) Candiroto (2008, dalam Rusita,

    2011) bahwa persentase kulit kokon ulat sutra kode C.301 sebesar 18,8%.

    4.5 Persentase Kokon Cacat (%)

    Kokon cacat merupakan kokon yang berbentuk dan berwarna tidak normal.

    Kokon cacat diamati sesaat setelah panen. Persentase kokon cacat dinyatakan

    dalam satuan persen (%) dengan membandingkan antara berat kokon cacat dengan

    berat kokon keseluruhan. Data yang diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah

    berikut.

  • 33

    Tabel 4.9 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon Cacat

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 10,43 13,54 23,97 3,00

    A2 10,28 7,03 17,31 2,16

    A3 8,57 4,08 12,66 1,58

    Jumlah 29,28 24,65 53,94 2,25

    Rerata 2,44 2,05

    Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan sidik ragam. Berikut

    adalah tabel hasil sidik ragam dengan data hasil transformasi akar kuadrat.

    Tabel 4.10 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon Cacat

    Sumber

    Db JK KT F Hit

    F Tabel

    Keragama

    n F 0.05

    Perlakuan 5 13,14 2,63 5,04 * 2,77

    A 2 8,08 4,04 7,76 * 3,55

    B 1 0,89 0,89 1,72 ns 4,41

    A x B 2 4,16 2,08 3,99 * 3,55

    Gallat 18 9,38 0,52

    Total 23 22,51

    Koefisien keragaman = 58,95%

    Faktor Koreksi = 121,21

    Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)

    * = berbeda nyata

    Berdasarkan tabel 4.10 di atas dapat diketahui bahwa nilai F hitung faktor

    perlakuan, faktor A dan interaksi antara A dan B lebih besar daripada nilai F tabel

    yang menunjukan bahwa terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama

    desinfeksi terhadap persentase kokon cacat.

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa bentuk kokon bergantung

    pada ras ulat sutra. Umumnya dari ras Jepang berbentuk seperti kacang tanah. Ras

    Cina berbentuk elips dan ras Eropa berbentuk elips lebih panjang, ras polypoltine

    berbentuk panjang panjang kurus seperti sepindel. Kokon hibrida memiliki bentuk

    antara kedua ras yang digunakan sebagai induk dan kebanyakan memiliki bentuk

    semi kacang tanah dan semi oval.

  • 34

    Kokon cacat memiliki berbagai kriteria. Antara lain kokon ganda, kokon

    berlubang, kokon bernoda dalam, kokon bernoda luar, kokon berujung tipis,

    kokon berkulit tipis, kokon tergencet/tercetak, kokon berbentuk abnormal, kokon

    berserabut, kokon berlapis ganda, kokon tipis tengah.

    Kokon cacat pada penelitian ini didominasi oleh kokon tipis dan tercetak.

    Kokon tipis diakibatkan oleh pembentukan kokon oleh ulat yang lemah. Hal ini

    diperkuat oleh Amtosoedarjo dkk. (2000) bahwa kokon yang dipintal oleh ulat

    yang lemah lapisan sutranya tipis dan lunak. Selain itu ulat yang membentuk

    kokon tipis diakibatkan oleh suhu lingkungan yang terlampau tinggi, kelembaban

    yang tinggi, dan aliran udara yang terlalu keras.

    Sedangkan kokon tercetak diakibatkan oleh bentuk pengokonan yang tidak sesuai,

    pemasangan seriframe yang tidak baik mengakibatkan kokon tercetak. Suhu yang

    tinggi mengakibatkan ulat matang stres dan mengokon di sembarang tempat.

    Uji lanjut menggunakan uji beda nyata terkecil 5%, pengujian dilakukan

    terhadap interaksi antara A dan B dengan hasil sebagai berikut.

    Tabel 4.11 Hasil Uji Lanjut Interaksi antara Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan dengan Uji Beda Nyata Terkecil

    (BNT) 5% Terhadap Persentase Kokon Cacat

    Perlakuan Persentase

    Notasi Kokon Cacat (%)

    A1B1 2,61 ab

    A1B2 3,39 a

    A2B1 2,57 ab

    A2B2 1,76 bc

    A3B1 2,14 b

    A3B2 1,02 c

    Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dinyatakan berbeda

    tidak nyata pada taraf 5%

    Persentase kokon cacat terendah ditunjukan oleh perlakuan A3B2 yaitu

    alat pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan kalium permanganat 5 gr/lt

    yang memiliki pengaruh berbeda tidak nyata dengan perlakuan A2B2 yaitu alat

    pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan formalin 20 ml/lt selama 30 menit.

    Hal ini diduga karena penggunaan kalium permanganat yang diberikan

    lebih banyak dari yang direkomendasikan dalam kemasan. Anjuran yang

  • 35

    ditetapkan adalah larutan 1 gr/lt sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 5

    gr/lt selain itu lama perendaman 30 menit memberikan tingkat sanitasi yang lebih

    baik dari pada 15 menit. Demikian pula dengan penggunaan formalin 20 ml/lt

    selama 30 menit yang membuat alat pengokonan steril dari penyakit.

    4.6 Rendemen Benang (%)

    Rendemen benang adalah berat benang yang dapat diurai dibandingkan

    dengan berat kokon yang diurai yang dinyatakan dalam satuan persen (%).

    Semakin tinggi persentase rendemen benang makan semakin baik kulalitanya.

    Pemintalan kokon dilakukan sehari setelah panen kokon dengan dinier 40. Setelah

    dilakukan pemintalan, dilakukan pengambilan data yang kemudian dicantumkan

    dalam tabel dua arah berikut.

    Tabel 4.12 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 108,41 120,13 228,53 28,57

    A2 128,17 129,23 257,40 32,18

    A3 123,81 126,42 250,23 31,28

    Jumlah 360,39 375,78 736,17 30,67

    Rerata 30,03 31,31

    Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis mengunakan analisis

    sidik ragam dengan hasil sebagai berikut.

  • 36

    Tabel 4.13 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang

    Sumber Db JK KT F Hit

    F Hit

    Keragaman F 0.05

    Perlakuan 5 74,65 14,93 0,81 ns 2,77

    A 2 56,48 28,24 1,54 ns 3,55

    B 1 9,87 9,87 0,54 ns 4,41

    A x B 2 8,30 4,15 0,23 ns 3,55

    Gallat 18 330,13 18,34

    Total 23 404,78 Koefisien keragaman = 13,96%

    Fakktor Koreksi = 22580,96

    Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan hasil sidik ragam di atas diketahui bahwa faktor A, faktor B,

    maupun interaksi keduanya memiliki nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F

    tabel yang menunjukan bahwa setiap perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap

    rendemen benang.

    Pada saat pemintalan kokon (reeling), kokon direndam air pada suhu 35

    C selama selama 20 menit agar air masuk ke dalam kokon dan memudahkan pada

    saat perebusan. Selain itu, dengan melaksanakan tahap perendaman, kokon yang

    dipintal tidak mudah putus sehingga tidak menurunkan kualitas kokon. Kokon

    kemudian direbus pada suhu 100 C selama 10 menit agar serisin pada kokon

    terlarut sehingga memudahkan dalam pencarian ujung serat, peoses pemintalan

    dan meregangkan rekatan dalam kokon. Kokon yang dipintal menjadi lunak dan

    tidak mudah kusut atau putus Kokon dipintal pada bak reeling dengan suhu air

    40 C 60 C.

    Ulat sutra yang dipelihara pada lingkungan panas memiliki umur yang

    lebih singkat akibatnya ulat mengkonsumsi pakan lebih sedikit yang berdampak

    pada terhambatnya pertumbuhan dan sedikitnya serat pada kokon yang dihasilkan.

    Sesuai dengan pernyataan Rusita (2011) bahwa benang sutra berasal dari serat

    sutra yang dihasilkan oleh ulat sutra. Semakin banyak serat sutra yang dihasilkan

    maka semakin banyak benang sutra yang dapat diperoleh.

  • 37

    Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan Terhadap Rendemen Benang

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15

    menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit

    Berdasarkan gambar 4.5 di atas dapat diketahui bahwa rendemen tertinggi

    diperoleh dari perlakuan A2B2 yaitu alat pengokonan didesinfeksi menggunakan

    larutan formalin 20 ml/lt selama 30 menit sedangkan rendemen terendah diperoleh

    dari perlakuan A1B1 yaitu alat pengokonan didesinfeksi mengunakan larutan

    kaporit 5 gr/lt selama 15 menit. Rendemen benang sutra kode C.301 yang lazim

    ditemui adalah berada antara 15% - 18% (Atmosoedarjo dkk., 2000).

    Rendemen benang pada penelitian ini berada pada kisaran 27,10% -

    32,31%, hal ini diakibatkan oleh proses pengeringan kokon sebelum proses

    reeling sehingga menurunkan kadar air dalam kokon dan mengalami rata-rata

    penyusutan sebesar 52,78 %. Pengeringan dilakukan menggunakan oven dengan

    suhu 120 C selama 60 menit.

  • 38

    BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dapat diketahui

    bahwa :

    1. Tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi alat

    pengokonan terhadap mortalitas ulat, berat kokon segar, persentase kulit

    kokon, dan rendemen ulat sutra.

    2. Terdapat interaksi antara jenis desinfektan yang berbeda dan lama

    desinfeksi alat pengokonan terhadap persentase kokon cacat. Perlakuan

    terbaik yang dapat menekan persentase kokon cacat adalah A3B2 yaitu

    alat pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan kalium permanganat 5

    gr/liter selama 30 menit.

    3. Berdasarkan SNI Mutu Kokon Segar (2010) kokon pada penelitian ini

    memiliki kelas berat kokon D (2,0 - 5,0 %) yaitu 2,25%. Penentuan

    grade secara umum dilakukan dengan mengambil grade paling rendah.

    Jadi kokon pada penelitian ini termasuk ke dalam grade D (ketiga).

    5.2 Saran

    1. Setiap Jenis Desinfektan dapat digunakan untuk proses desinfeksi alat

    pengokonan karena dapat menekan mortalitas ulat.

    2. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai konsentrasi

    kalium permanganat dan lama desinfeksi alat pengokonan sehingga

    diketahui kosentrasi yang tepat untuk digunakan.

    3. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat meneliti mengenai konsentrasi

    formalin dan lama desinfeksi alat pengokonan sehingga diketahui

    kosentrasi yang tepat untuk digunakan.

  • 39

    DAFTAR PUSTAKA

    Ahdiat, N. 2010. Bombyx mori Ulat Penghasil Sutra. Bandung: Sinergi Pustaka

    Indonesia.

    Anwar, A. 1991. Pengaruh Pemberian Kapur pada Alat Pengokonan terhadap Produksi Kokon. Dalam Buletin Penelitian Hutan. No 541. Bogor: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan. p.1-6

    Apriani, Y. S. 2014. Pengaruh Jenis Alas Pemeliharaan dan Bahan Sanitasi

    terhadap Mortalitas dan Kualitas Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.)

    Kode C.301. Jember: Politeknik Neger Jember.

    Atmosoedarjo, S., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh, dan W. Moerdoko.

    2000. Sutra Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.

    Badan Standarisasi Nasional. 2010. Kokon Segar Jenis Bombyx mori L. Jakarta:

    Badan Standarisasi Nasional.

    Bank Indonesia, 2000. Budidaya Ulat Sutra dan Produksi Kokon. Jakarta: Bank

    Indonesia.

    Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat Sutra. Yogyakarta: Kanisius.

    Nahar, M. F., dan W. Prayogi. 2011. Mengenal Desinfektan dan Antiseptik.

    http://environment.uii.ac.id/content/view/273/1/ [20 Juni 2014].

    Nursita, I. W., 2012. Perbandingan Produktifitas Ulat Sutra dari Dua Tempat

    Pembibitan yang Berbeda pada Kondisi Lingkungan Pemeliharaan

    Panas. Malang: Universitas Brawijaya.

    Sericulture, Department. Silkworm Diseases and Pest Control.

    https://www.karnataka.gov.in/sericulture/English/Technologies/SilkWar

    mDiseasesAndPest.aspx [21 Juni 2014].

    Sumardjito, Z. dan Budisusanto, H. 1994. Pengaruh Beberapa Campuran Desinfektan terhadap Mortalitas dan Pertumbuhan Penyakit pada

    Pemeliharaan Ulat Sutra. Dalam Jurnal Penelitian Kehutanan (September VIII). No 2. Ujung Padang: Balai Penelitian Kehutanan

    Ujung Padang. p.24-29.

    Rusita, A. 2011. Pengaruh Penambahan Volume Pakan Malam terhadap

    Produktivitas Kokon pada Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301 dan

    BS-09. Jember: Politeknik Negeri Jember.

  • 40

    Rustini, T. 2002. Hubungan Frekuensi Pemberian Daun Murbei dengan

    Konsumsi Pakan, Pertumbuhan, Efisiensi Pakan dan Kualitas Kokon

    Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Bogor: Institut Pertanian Bogor.

    Wibowo, Martina. 2012. Pengaruh Formalin Peroral Dosis Bertingkat selama 12

    Minggu terhadap Gambaran Histopatologis Ginjal Tikus Wistar.

    Semarang: Universitas Diponegoro.

    Yuanita. 2007. Daya Tahan Hidup Larva, Kualitas Kokon dan Filamen Ulat Sutra

    (Bombyx mori L.) Pada Alat Pengokonan Yang Berbeda. Bogor: Institut

    Pertanian Bogor.

    Yulianti, S. 2011. Pengaruh Konsentrasi Kaporit dan Lama Perendaman Alat

    Pengokonan (Seriframe) terhadap Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx

    mori L.). Jember: Politeknik Negeri Jember.

    Yuningsih, Y. 2010. Pengaruh Komposisi Formalin, Kaolin, Kapur Tohor Dan

    Abu Sekam sebagai Desinfektan pada Produksi Kokon Ulat Sutra.

    Jember: Politeknik Negeri Jember.

  • 41

    Lampiran 1. Jadwal Kegiatan Penelitian

    NO KEGIATAN MINGGU KE-

    1 2 3 4 5 6 7

    1 Pemesanan Telur

    2 Desinfeksi Kandang PUK

    3 Desinfeksi Ruang Inkubasi

    4 Inkubasi

    5 Hakitate

    6 Pemeliharaan Ulat Kecil

    7 Desinfeksi Kandang PUB

    8 Pemeliharaan Ulat Besar

    9 Desinfeksi alat pengokonan

    10 Pengokonan

    10 Panen

  • 42

    Lampiran 2. Data Pengamatan Mortalitas Ulat (%)

    Perlakuan Ulangan

    1

    Ulangan

    2

    Ulangan

    3

    Ulangan

    4 Jumlah Rerata

    A1B1 6,67 3,33 3,33 0,00 13,33 3,33

    A1B2 0,00 0,00 0,00 3,33 3,33 0,83

    A2B1 0,00 0,00 3,33 0,00 3,33 0,83

    A2B2 0,00 3,33 10,00 0,00 13,33 3,33

    A3B1 0,00 3,33 0,00 6,67 10,00 2,50

    A3B2 3,33 0,00 6,67 3,33 13,33 3,33

    Jumlah 10,00 10,00 23,33 13,33 56,67 2,36

    Rerata 1,67 1,67 3,89 2,22

    Data Pengamatan Mortalitas Ulat Hasil Transformasi Akar Kuadrat

    Perlakuan Ulangan

    1

    Ulangan

    2

    Ulangan

    3

    Ulangan

    4 Jumlah Rerata

    A1B1 2,68 1,96 1,96 0,71 7,30 1,82

    A1B2 0,71 0,71 0,71 1,96 4,08 1,02

    A2B1 0,71 0,71 1,96 0,71 4,08 1,02

    A2B2 0,71 1,96 3,24 0,71 6,61 1,65

    A3B1 0,71 1,96 0,71 2,68 6,05 1,51

    A3B2 1,96 0,71 2,68 1,96 7,30 1,82

    Jumlah 7,46 7,99 11,25 8,71 35,42 1,48

    Rerata 1,24 1,33 1,87 1,45

    Tabel Dua Arah

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 7,30 4,08 11,38 1,42

    A2 4,08 6,61 10,69 1,34

    A3 6,05 7,30 13,35 1,67

    Jumlah 17,43 17,99 35,42 1,48

    Rerata 1,45 1,50

  • 43

    Tabel Hasil Sidik Ragam

    Sumber db JK KT F Hit

    F Tabel

    Keragaman F 0.05 F 0.01

    Perlakuan 5 2,77 0,55 0,73 ns 2,77 4,25

    A 2 0,48 0,24 0,31 ns 3,55 6,01

    B 1 0,01 0,01 0,02 ns 4,41 8,29

    A x B 2 2,28 1,14 1,51 ns 3,55 6,01

    Gallat 18 13,62 0,76

    Total 23 16,39

    Faktor Koreksi = 52,27

    Koefisien Keragaman = 58,95 %

    Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)

  • 44

    Lampiran 3. Data Pengamatan Berat Kokon Segar (gr)

    Perlakuan Ulangan

    1

    Ulangan

    2

    Ulangan

    3

    Ulangan

    4 Jumlah Rerata

    A1B1 26,73 33,79 29,86 29,40 119,78 29,95

    A1B2 32,76 32,49 31,56 32,56 129,37 32,34

    A2B1 30,29 33,65 29,59 30,20 123,73 30,93

    A2B2 31,10 28,35 28,12 28,38 115,95 28,99

    A3B1 29,58 27,28 33,60 28,65 119,11 29,78

    A3B2 27,64 30,45 32,33 30,70 121,12 30,28

    Jumlah 178,10 186,01 185,06 179,89 729,06 30,38

    Rerata 29,68 31,00 30,84 29,98

    Tabel Dua Arah

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 119,78 129,37 249,15 31,14

    A2 123,73 115,95 239,68 29,96

    A3 119,11 121,12 240,23 30,03

    Jumlah 362,62 366,44 729,06 30,38

    Rerata 30,22 30,54

    Tabel Hasil Analisis Sidik Ragam

    SK db JK KT F Hit F 0.05 F 0.01

    Perlakuan 5 26,63 5,33 1,26 ns 2,77 4,25

    A 2 7,06 3,53 0,84 ns 3,55 6,01

    B 1 0,61 0,61 0,14 ns 4,41 8,29

    A x B 2 18,96 9,48 2,25 ns 3,55 6,01

    Gallat 18 75,94 4,22

    Total 23 102,58

    Faktor Koreksi = 22147,02

    Koefisien Keragaman = 6,67 %

    Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)

  • 45

    Lampiran 4. Data Pengamatan Rerata Berat Kokon Per Butir (gr)

    Perlakauan Ulangan

    1

    Ulangan

    2

    Ulangan

    3

    Ulangan

    4 Jumlah Rerata

    A1B1 0,95 1,14 1,02 0,92 4,04 1,01

    A1B2 1,07 1,00 1,03 1,09 4,18 1,04

    A2B1 0,98 1,12 1,07 0,94 4,10 1,03

    A2B2 1,02 0,96 1,07 0,94 3,99 1,00

    A3B1 0,95 0,92 0,97 0,93 3,77 0,94

    A3B2 0,93 0,98 1,15 1,06 4,12 1,03

    Jumlah 5,89 6,12 6,31 5,88 24,19 1,01

    Rerata 0,98 1,02 1,05 0,98

    Tabel Dua Arah

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 4,04 4,18 8,22 1,03

    A2 4,10 3,99 8,09 1,01

    A3 3,77 4,12 7,88 0,99

    Jumlah 11,91 12,28 24,19 1,01

    Rerata 0,99 1,02

    Hasil Sidik Ragam

    Sumber db JK KT F Hit

    F tabel

    Keragaman F0.05 F0.01

    Perlakuan 5 0,03 0,01 1,02 ns 2,77 4,25

    A 2 0,01 0,00 0,67 ns 3,55 6,01

    B 1 0,01 0,01 1,13 ns 4,41 8,29

    A x B 2 0,01 0,01 1,32 ns 3,55 6,01

    Gallat 18 0,09 0,01

    Total 23 0,12

    Faktor Koreksi = 24,38

    Koefisien Keragaman = 7,17 %

    Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)

  • 46

    Lampiran 5. Data Pengamatan Persentase Kulit Kokon (%)

    Perlakuan Ulangan

    1

    Ulangan

    2

    Ulangan

    3

    Ulangan

    4 Jumlah Rerata

    A1B1 20,55 19,11 19,56 19,47 78,68 19,67

    A1B2 19,16 18,20 17,86 18,14 73,35 18,34

    A2B1 25,34 19,55 18,61 18,10 81,60 20,40

    A2B2 19,59 19,51 20,69 20,11 79,89 19,97

    A3B1 18,68 19,01 18,29 19,09 75,08 18,77

    A3B2 20,43 20,90 1