Jendela Sang Awatara

15
Untaian kata : Adalah sebuah rahasia untuk dipahami atas kebenaran itu dan haruslah pula ditegakkan. Pada judul penulisan kali ini diberikanlah judul : “JENDELA SANG AWATARA ” Mengisahkan & menjabarkan atas kebenaran itu tertanda sebagai pula tapak.

Transcript of Jendela Sang Awatara

Page 1: Jendela Sang Awatara

Untaian kata :

Adalah sebuah rahasia untuk

dipahami atas kebenaran itu dan

haruslah pula ditegakkan.

Pada judul penulisan kali ini

diberikanlah judul :

“JENDELA SANG AWATARA ”

Mengisahkan & menjabarkan

atas kebenaran itu tertanda

sebagai pula tapak.

Page 2: Jendela Sang Awatara

TRI SULA

Awatara ialah sebuah simbul nama sebagai

sebutan kepada Dewa Wisnu dalam

menunaikan perjalanan sebagai utusan-Nya

untuk menata tatanan jagat dunia ini, dan

serta mendirikan pula kembali kerajaan

nusantara yang di anggap hilang itu atas

peristiwa bencana terdahulu yang

sangatlah teramat dahsyat. Pun

disebutkannya dalam takdirnya itu ialah

sebagai pembuka pada jaman baru tertanda

atas karmanya pula.

Kini sang awatara tampil ke dunia nyata

dalam usianya yang sudahlah menggenapi

ke 43 tahun atas karmanya itu terlahir

kebumi, yang terlahir sebagai pemegang

amanah atas Petunjuk Sang Maha Pencipta

Alam Semesta yang sudahlah ditetapkannya atas karmanya itu tertulis pada rumusan kitab suci

yaitu pada tgl, 17 rabiulawal dihari jumat wage atau tertanggal 10 februari 2012 dan/atau

dengan kode tersandikan atas kelahirannya itu disebutkannya ialah dengan angka 1221, serta

selama delapan tahun saka pun disebutkan dalam serat pada sastra Jayabaya pada kutipan itu

tertanda, yang ialah :

“Sinungkalan Dewa Wolu, Ngasta Manggalaning Ratu “, pun disebutkanlah atas

sandinya itu tertuliskannya pula pada kitab suci orang percayai sebagai tandanya berada.

Page 3: Jendela Sang Awatara

Disebutkanlah kembali atas terlahirkannya itu ialah sebagaimana pembawa amanah-Nya

disaat bumi ini sedang meratap dan merintih bak menjerit kesakitan dari atas segala peristiwa

demi peristiwanya itu, yaitu guna untuk diperbaikinya kembali serta untuk dibenahinya atas

kesejahteraan umat manusia yang kini sedang tercarut marut sebagai tandanya pada jamannya

disebut jaman Pra-panca, Maja-pahit atau disebut pula jaman Jahilliyah dan atau gunjang-

ganjing itu atas pertandanya.

Dan pun disebutkan sebagai pula simbul pada sang pandawa yang terlepas atas

pengasingannya itu selama memasuki pada tahun ke 14 lamanya, atau disebut pula tentang

perjalanan Pendeta Tong Sam Cong / Sun Go Kong pada kisahnya dalam perjalanan dari arah

barat menuju ke timur selama 19 thn lamanya. (terhitung setelah terlengsernya pemimpin yang

kedua terkaji sebagai sang Pandawa pertama itu yang terhianati oleh para kurawa atas

penghianatannya itu yang haruslah dipahami)

Tidaklah banyak manusia yang mengetahui bahwa sang awatara itu

sudahlah terlahirkan dan membawa Amanah-Nya itu, yaitu dengan

ditandainya pula atas peristiwa demi peristiwa bencana diseluruh

dunia disaat akhir pada jaman kini tertanda yang sedanglah

berlangsung atas bencananya itu terjadi.

Pemahaman oleh orang banyak saat ini atas terlahirnya sang awatara

itu tidaklah banyak yang mengetahui, dikarenakan manusia kini hanya

terfokus pada peradaban atas azas agamanya itu sebagai bahan

pembelajaran dari atas pembenarannya sebagai tandanya saja.

Pastilah banyak yang terkejut atas pemaparan pada tulisan kali ini sebagaimana pula dijelaskan

tentang maksud dari atas tujuan, dan haruslah dijadikan sebagai bahan pertimbangan atas

tampilnya sang awatara yang sudahlah terlahirkan ke dunia sebagai pemegang amanah-Nya itu

dimaksudkannya terjadi saat ini.

Jika pemikiran manusia saat ini terdoktrin oleh kitab sucinya itu hanya sebagai pegangan saja

dan tidaklah mengakui sang awatara itu sudahlah terlahirkan ke dunia secara nyata ada, maka

sesungguhnya sangatlah ironis atas pengetahuannya itu dalam pembelajarannya yang

menjadikannya arti dari sebuah kata yaitu sia-sia belaka kini.

Maka kini para pakar dan atau para pembimbing umat manusia apapun namanya itu, haruslah

bertanggung jawab atas situasi yang sudahlah terjadi kini dari atas takdir-Nya itu tertanda.

Page 4: Jendela Sang Awatara

Pertanggungjawaban kepada para umat manusia oleh para pakar ahli dalam bidang agama

diseluruh nusantara dan pula di dunia haruslah dilakukan dengan secepatnya. Jika tidak, maka

pertanggung jawaban itu haruslah di terimanya dan pula akan terimbas kepada keluarganya itu

kelak yang sudahlah tertulis pada halaman sastra atas karmanya itu tertandainya. Pun

disebutkan sebagai pendustaannya itu terhadap Sang Maha Pencipta Alam Semesta jika

mengabaikan peringatan ini atas perintah-Nya pula.

Kini sang awatara hanya menunggu hingga pada batas akhir yang sudah ditentukan pada serat

kitab sastra yang tertuliskan itu sebagaimana pula intisari daripada kitab suci yang dipercayai

orang banyak itu berada. Jika diabaikan dan mendustainya, maka janganlah menyebutkan

kembali nama besar tuhanmu itu berada sebagai Maha menyinari, mengasihi dan lainnya itu.

(maka mereka itu disebut pula sebagai para kaum Lud berada yang patut dihukum dan kelak

akan terpenggal batang lehernya itu oleh sang Batari Kali sebagai tumbalnya dan itulah

perjanjian kepada manusia yang menjadi pemimpin pada ajaran agama

itu jika mendustai atas perintah Tuhannya itu tertanda)

Disebutkan pula sebagai Kalimosada (Kali Maha Usada, yaitu wujud Batari

Kali / Dewi Mara) yang terkutip menjadi uraian Kalimat Syahadat. Dalam

hadist dikatakan pada arah kiblatnya yang haruslah diperbaiki untuk

tidak mengarah kepadanya di akhir jaman (terkutip), maka

sesungguhnya Kalimat Syahadat itu akan menjadi sempurna jika bukan

berkiblat kepada Kali Maha Usada itu tertanda pada arah baratnya.

Sinopsis :

Pada keyakinan orang-orang terdahulu yang memiliki gelar sebagai Bagawan Wiyasa atau

disebut Sang Pendeta sebagai penulisnya itu, ialah telah menyampaikan pesannya melalui

tulisan pada daun lontar guna untuk dipahami kemasa datang sebagai pengungkapannya

bahwa akan turunnya sang awatara itu ke dunia nyata kelak, yaitu dengan dituliskannya

beragam macam kutipan pada sastra sebagai tanda dari jendela rahasia tentang turunnya sang

awatara itu dari segala ciri-cirinya dimaksudkan dengan sangat jelas yang menakjubkan atas

pemaparannya itu. Dan kemudian disebutkan pula tentang menyambut sang awatara itu guna

untuk melepaskan kesengsaraan orang banyak dari atas bencana yang kelak akan terjadi

dengan sangatlah dahsyat pada akhir jaman penanggalan itu jika telah habis pada masa

waktunya tertandainya, yaitu tertanda sebagai tahun Ratu Maya atau disebut pula sebagai

tahun pada suku Maya (tahun masehi 2012 the end). Disebutkanlah bahwa Ratu Maya itu ialah

Ibunda dari Sang Budha itu sendiri sebagai pertandanya.

Page 5: Jendela Sang Awatara

Dalam pemaparan oleh para Bagawan, terkaji bahwa sang awatara itu ialah utusan yang

pertama dan yang terakhir pada jaman manusia diakhir pada penanggalan sebagai pula

syairnya, yang atas perintah langsung oleh sang Maha Kuasa Tuhan Yang Esa guna turun

mewujudkan diri menjadi manusia memanglah tidak berlebihan dan tidaklah mengada-ada.

Sebelum sang awatara itu terlahirkan ke dunia atas petunjuk akan amanah-Nya itu ada,

sudahlah sangat dipuja-puja oleh orang dahulu itu dan di ikrarkannya sebagaimana

manesfestasi dari atas sinar Sang Maha Pencipta Alam Semesta guna untuk menyatukan umat

manusia dalam peradabannya kembali menjadi sejahtera di akhir jamannya.

Sehingga dalam suatu kajian demi kajian yang diuraikan dalam sastra itupun menjadi sebuah

ragam akar dalam beragam-ragam keagamaan yang ada di dunia terutama di nusantara ini

pada khususnya. Diyakini atau tidak diyakini adalah tantangan buat manusia masakini sebagai

karma hidup dimasa jaman saat ini berada.

Pemaparan oleh para pakar ahli sejarah di nusantara dan dunia yang mengungkapkan tentang

sang awatara itu akan terlahirkan kedunia nyata memanglah patut diacungi jempol dan patutlah

dihormati, walaupun pemahaman demi pemahaman mereka itu tidaklah semulus dalam

pemikiran para umat manusia atau oleh sang pakar itu sendiri.

Dan dibawah ini penulis ingin menjabarkan dan melengkapi kajian dari sang pakar itu dengan

penjelasan yang seakurat mungkin walaupun akan memiliki dampak jika tidak lagi manusia

percayai atas kebenaran yang dijabarkan ini dimaksudkan untuk dipahami.

Penjelasan :

Sang awatara disebutkanlah sebagai penitisan yang pertama dan yang terakhir kalinya turun

kebumi dengan wujud sebagai manusia yang disebabkannya sebuah karma, yaitu setelah

penitisan atas kelahiran kepada manusia dimuka bumi ini sudahlah melampaui pada batas

ambang yang begitu banyaknya terlahir kedunia.

Jika kita melihat ke jaman dahulu itu, maka janganlah menerka terka bahwa manusia yang

hidup di jamannya itu melebihi dari satu milyar manusia yang ada.

Kini di jaman ini manusia sudahlah mencapai batas akhir sebanyak tujuh milyar banyaknya, dan

dikurangi sedikit demi sedikit dari bencana demi bencana itu tanpa disadari walaupun yang lahir

dan mati teruslah silih berganti.

Mati dan hidup sudahlah atas kehendakNya, akan tetapi populasi melebihi ambang batas itu

bukanlah atas kehendakNya.

Page 6: Jendela Sang Awatara

Sang awatara memiliki sebutan nama ialah sebagai pula disebut Rama dan atau Krisna itu

berada, sehingga pemahaman sebagai wujud dalam awataranya itupun disebutkanlah kembali

sebagai Brahma, Siwa, Ganesha dan atau Mahadewa tertanda.

Penjelasan tentang sang awatara itupun disebutkan pula sebagai sang Gatot Kaca, Parikesit,

Budak Angon, Cah Angon, Raden Wijaya, Prabu Bandung Bandawasa, Prabu Mina Jingga,

Gadjah Mada, Hanoman / Sun Go Kong, Yudisthira, Sri Paduka Maharaja, Prabu Angling

Dharma dan lainnya dalam pemahaman terkutip pada sastra.

Pada penjelasan dalam kitab suci umat beragamapun disebutkannya tentang sang awatara itu

ialah sebagai : Sang Budha, Pendeta Tong Sam Cong / cerita Sun go kong, Tai Shang Loa Jun,

Yesus Kristus, Isa Almasih, Sinterclas, Muhammad SAW, Imam Al Mahdhy, Malaikat Israfil

dan/atau Nuh / Noah itu berada dll. (terkutip pula sebagai cirinya berdasarkan perjalanan dan

kekuatannya)

Jika kutak katik gatuk ini menurut orang jawa itu dikatakan tidaklah

beralasan, maka pemaparan pada tulisan kali ini sudahlah

mempersiapkan reverensi yang akurat untuk digabungkan guna

menerangkan sebagai rumusan yang telah di izinkan untuk membuka

tabir kebenarannya oleh Sang Maha Pencipta Alam Semesta guna

dipaparkan, supaya manusia tidaklah tersesat kembali di kemudian

hari.

Penjelasan terpaparkan diatas dimaksudkan bukanlah direkayasa atau

ingin menghancurkan peradaban manusia di dunia saat ini, walaupun

akan terkejut guna memahami apa yang terjabarkan kini atas penjabaran ini dimaksudkannya.

Pemahaman dalam wujud sang awatara sebagaimana tergaris dalam fenomena diatas

dimaksudkannya pastilah memiliki akar yang sangat kuat dan sudahlah dipertanggungjawabkan

pada dunia akhirat oleh sang penulis.

Kronologis :

Sang Awatara yang disebut pula sebagai Sanghyang Bhatara Wisnu itu dimaksudkan, memiliki

pula ciri pada wujud sifatnya yang tertulis pada Kitab Weda yang ialah ada sebanyak enam

mengenai pada sifatnya itu, yaitu :

1) Jñana, yang artinya : mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta

Page 7: Jendela Sang Awatara

2) Aishvarya, yang artinya : maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya

3) Shakti, yang artinya : memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin

4) Bala, yang artinya : maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah

5) Virya, yang artinya : kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk

6) Tèjas, yang artinya : memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk

Kemudian itu memiliki gambaran sebagai simbul pada maknanya akan ciri pada wujudnya itu,

yaitu :

1) Seorang pria yang berlengan empat dalam lambangnya.

Berlengan empat melambangkan segala kekuasaanya dalam penjuru dan segala

kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta. Sepertihalnya digariskan pada palang

salib Inri itu sebagai simbul atau sayap pada malaikat israfil sebagai tandannya pula.

2) Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna pada langit.

Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi

atau lautan abadi tanpa batas. Sepertihalnya dikatakannya pula sebagai berdarah biru atau

yang tertitah selanjutnya, pun dikatakan darah pada Yudhistira itu berwarna putih pada

artinya pula.

3) Di dadanya terdapat simbol kaki Resi Brigu, atau simbul prisai bintang bergaris empat belas

sepertihalnya simbul pada Gatot Kaca. (Ga Tat Kaca / Memahami halaman pada sastra)

4) Juga terdapat simbol srivatsa di dadanya, simbol Dewi Laksmi, sebagai pasangannya.

5) Pada lehernya, terdapat permata Kaustubha dan kalung dari rangkaian bunga, ialah

sebagai simbul pada keharmonisannya.

6) Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin sebagai regenerasinya.

7) Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu bertentangan dalam

penciptaan, seperti: kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan kebahagiaan, kenikmatan

dan kesakitan. Sepertihalnya yang terjadi akan jamannya itu tertandainya.

8) Beristirahat dengan ranjang Ananta Sesa, ular suci. Disebutkan pula sebagai ciri pada Siwa

sebagai simbulnya dan pula atas tongkatnya itu sebagai langkah penerangannya.

Page 8: Jendela Sang Awatara

Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya, yakni:

1) Terompet kulit kerang atau Shankhya, bernama “Panchajanya”, dipegang oleh tangan kiri

atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta

dalam agama, yakni: air, tanah, api, udara, dan ether. Disebutkan pula pada Alquran

sebagai Malaikat Israfil yang meniup terompet pada akhir jaman tertandanya atau pula

disebut sang Ganesha dengan teriakan belalainya.

2) Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama “Sudarshana”, dipegang oleh

tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.

Disebutkan pula dalam sastra ialah sebagai Putra Bhatara Indra

Sang penguasa Penjuru Alam Semesta.

3) Gada yang bernama Komodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah,

melambangkan keberadaan individual. Disebutkanlah pula seperti

Gada Sang Prabu Mina Jingga atas kekuatannya itu tertanda.

4) Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma

melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.

Disebutkan pula sebagai sifat meditasi seperti halnya disebutkan

sebagai Kamala Asana / alas bunga teratai sebagai tempat

bermeditasinya dan/atau Semarang Tembayat (dalam asananya).

Dalam ajaran di asrama Waisnawa di India, Wisnu diasumsikan memiliki lima wujud, yaitu :

1) Para.

Para merupakan wujud tertinggi dari Dewa Wisnu hanya bisa ditemui di Sri Waikunta juga

disebut Moksha, bersama dengan pasangannya Dewi Lakshmi, Bhuma Dewi dan Nila, di

sana Ia dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas. Sepertihalnya disebutkan dalam

Kitab suci sebagaimana disebutkan mensucikannya roh-roh itu berada.

2) Vyuha.

Dalam wujud Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat

fungsi semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.

Sepertihalnya Salib Inri atau Israfil pada sayapnya itu sebagai tanda atau arah penjurunya.

3) Vibhava.

Dalam wujud Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda, atau

lebih dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi kejahatan

dan menegakkan keadilan di muka bumi. Sepertihalnya dalam pertempuran yang di

kisahkan pada Kitab Suci orang banyak dipercayai itu dalam arah langkahnya.

Page 9: Jendela Sang Awatara

4) Antaryami.

Antaryami atau “Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap hati

makhluk hidup. Sepertihalnya pelajaran pada agama yang di imaninya itu sebagai

wujudnya.

5) Arcavatara.

Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh seseorang

agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai wujud Para, Vyuha,

Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu. Sepertihalnya dibentuk dalam pemujaan itu, dan dalam

Alquran disebutkannya yang tidaklah diwujudkan dalam wujud melainkan pada aksaranya.

Sepuluh Awatara Wisnu dalam wujudnya, yaitu :

1) Matsya (Sang ikan) : Disebutkan sebagai Prabu Mina Jingga / Ikan Jingga / Rdn.Wijaya.

2) Kurma (Sang kura-kura) : Disebutkan sebagai sang penguasa bumi atau disebut sebagai

pula Ganesha / Putra Pertiwi.

3) Waraha (Sang babihutan) : Disebutkan sebagai Patkay

dalam sastra Tong Sam Cong / Sun Go Kong dan atau

Basudewa dengan senjata penggaruk sebagai cirinya.

4) Narasimha (Sang manusia-singa) : Disebutkan sebagai

pula Prabu Silihwangi atau silih wangi dalam

keperkasaannya.

5) Wamana (Sang orang cebol/kecil) : Disebutkan sebagai

penyamarannya menjadi rakyat biasa atau lebih tepatnya

memahami rakyat kecil dstnya.

6) Parasurama (Sang Brahmana-Kshatriya) : Disebutkannya

kuat dalam bermeditasi dan serta kuat seperti ciri para

Pandawa sebagai lambang.

7) Rama (Sang pangeran) : Disebutkannya dalam melaksanakan tapabrata puasanya yang

sangatlah kuat, sepertihalnya puasa pada sumpah Patih Gadjah Mada atau dalam

perayaannya yg disebut pula sebagai Ramadhan (rama-dhan=peringatan)

8) Kresna (Sang pengembala) : Disebutkannya pula seperti Yesus Kristus dalam gembalannya

atau Sang Siwa dengan gembala lembunya itu tertandainya.

9) Buddha (Sang pemuka agama) : Disebutkannya sebagai sang ahli tapabrata, sang ahli

dakwah, sang ahli meditasi .

10) Kalki (Sang penghancur) : Disebutkannya sebagai Nuh / Siwa sebagai Sang Pelebur.

Page 10: Jendela Sang Awatara

Dalam pemahaman di atas yang dijabarkan pada konsep sang awatara pada wujudnya itu,

terpecahlah menjadi bilangan kosa kata pada pemahaman kitab suci yang dipercaya itu dan

pastilah ada alasannya dalam penjabarannya yang perlu pula dipahami oleh orang banyak di

nusantara atas sebagai cikal bakal dari azas pada kitab suci itu dibuat berada.

Dikarenakan konsep pada sistim sastra utama dalam Weda dimaksudkan itu agaklah sulit di

laksanakan sebagai panduan pada agama oleh bangsa luar selain Nusantara dari atas kondisi

kelengkapan sebagai bahan material pada upacaranya, maka para ahli sastra terdahulu itupun

telah memutuskan sistim penyempurnaannya tentang agama yang akan di pelajari oleh

manusia luar dikemudian hari yang diadopsi dari sistim beragam Negara seperti China dalam

bentuk sujudnya dan yang kemudian itu dibuatlah suatu ejaan kosa kata pada penempatannya,

akan tetapi tidaklah menyimpangkannya atas isi pada makna dalam Kitab Utama yang

sesungguhnya itu dibuat sebagai landasan pada ajaran keragaman beragama dimaksudkan itu

kini dipahami sebagaimana yang dipercayai itu.

Konsep pada penyempurnaan keragaman keagamaan itu dibuat untuk kemasa datang, ialah

sebagai konsep penentu tentang maksud dari atas tujuan terlahirkannya sang awatara itu yang

haruslah ditunggu akan kejadiannya sebagaimana pula disebutkan dalam penjabaran kitab

sastra utamanya yang terkutip pada akhir jaman dikemudian hari sebagai penentunya.

Proses dalam perjalanannya kala pendadaran kitab suci itu akan tercipta pertama kalinya, ialah

dikala manusia itu saling menjajah atau bergrilia untuk menguasai Negara demi Negara yang

bukanlah haknya itu, yang kemudian disebutlah jaman itu telah memasuki pada jaman

penjajahan tertanda di dunia dengan serentak pada tahun 1600 oleh para kaum pecahan dari

bangsa Yunani yang disebutlah sebagai bangsa persekutuan.

Dalam perjalanannya, terjadilah perampasan-perampasan kitab sastra itu yang kemudian

dikumpulkan oleh para sekutu atas rampasannya itu dari negara India, China dan Nusantara,

yang lalu kemudian dibuatkanlah sebuah kitab suci oleh para sekutu kala itu sebagai

starateginya guna ingin menguasai dunia, yang dikarenakan kerajaan utama di nusantara

sebagai kerajaan utama di dunia itu sudahlah dianggap hilang dari atas peradabannya berada.

(sepertihalnya terkutip untuk menetapkan nama pemimpin nusantara itu sebagai republik yang

ialah sebagai dasar untuk dapat dikontrol oleh para kaum penjajah itu, yang artinya : Re =

reformasi / revolusi, Publik = kelompok/golongan + President = Press – Indent sebagai koloni

dalam strateginya itu tertandai atas perkembangannya).

Page 11: Jendela Sang Awatara

Untuk pertama kalinya dalam proses pendadaran pada kitab suci itu, maka dicetuskanlah kitab

itu di beri nama sebagai kitab Injil, yang dibuat disebuah desa dipinggiran sungai di India yang

terletak di daerah Serampore Calcutta oleh orang Inggris yang disebut pula sebagai Trio

Serampore itu yang ialah bernama William Carey, William Ward dan Joshua Marshman. Ketiga

nama inilah sebagai penyusun Kitab Injil yang kemudian diedarkan ke seluruh pelosok negeri

hingga ke Nusantara, dan keberadaan kitab Injil itu berada sebagai pula bekal atas spiritual

para sekutu dan/atau kolonial itu, yaitu di mulai pengerjaannya pada kitab itu ialah pada tahun

1800 s/d 1832 masehi tepatnya.

Sehingga dikala ditemukannya kitab Injil itu oleh para Bagawan atau Pendeta dari Nusantara,

India dan pula China yang ahli dalam pakar sastra itu, yang lalu kemudian itu digubahlah

kembali atas penulisan pada kitab Injil itu dengan dijadikannya aksara yang berbeda kembali,

dan kemudian di bahaslah kedalam rapat tertutup oleh para Bagawan guna berkumpul di

Negara India yang adalah negara bagian dari atas cikal bakal kerajaan nusantara itu tertanda.

(maka terkutip pula pada kajian itu di manfaatkan oleh Gulam Ahmad Mirza yang memang

berasal dari India dalam pendadaran disebut Al’quran itu yaitu pada tahun 1835 masehi, yang

lebih dahulu mengakui sebagai tertitah atas pengakuannya sebagai politik persekutuannya itu

terhadap kolonial sebagai strateginya itu hingga ajarannya pun dikenal di nusantara saat ini)

Setelah penyempurnaan itu dilakukan, lalu kemudian dibawa ke Turki oleh para

bagawan/pendeta itu, maka diberitakanlah sebagai bahan surat kabar atau yang disebut Koran

yg dalam bahasanya itu ialah Qur’an pada penyebutannya. Yang lalu kemudian di pahami

sebagai dasar bahan atas Kitab suci yang disebut pula Al’Quran sebagai pedoman bacaan atas

berita besarnya itu berada. (konon orang Turki itu terlebih dahulu mempelajari kitab injilnya

sebelum mendapatkan yang baru yang disebut Alquran itu dimaksudkannya dan mengarah ke

nusantara untuk menimba ilmunya, yang sehingga terindikasi

berada di ujung cibanteun atau aceh disebutkannya saat ini)

Fungsi pada kajian Alqur’an itu tidaklah jauh beda dalam

pemahamannya dari kitab injil itu, karena kitab injil itu dalam

prosesnya pun mengunakan beberapa kitab sastra utama yang

ada. Seperti Injil mengatakan sebagai kota Israel itu dalam tanah

penjanjiannya, dan jika dalam Alquran disebutkanlah Israfil itu

sebagai sang peniup terompet Sangkala dimaksudkannya. Aksara

pada Israel dan Israfil ialah memiliki makna yang sama, seperti

aksara pada bilangan El itu ialah elephant / fil = Gajah.

Page 12: Jendela Sang Awatara

Seperti penyebutannya diatas itu disebut pula sebagai Ganesha, Gadjah Mada dan Prabu

Gadjah itupun dimaksudkannya. (sepertihalnya pula Ratu Maya itu bermimpi bahwa perutnya

telah dimasuki seekor gajah putih dan melahirkanlah Sidartha itu dimaksudkannya)

Dan terkutip pula pada Kitab Bhagawadgitha, Narayana, Mahabharata dan Kitab

Negarakerthagama pun tercantum pada syairnya itu terjabarkannya atas pantangan, arahnya,

kelahirannya, posisinya dan banyak lainnya yang terkutip atas dari sastra kitab itu tertanda.

Jika mengamati kitab Negarakerthagama menyatakan atas pantangannya yang di

haramkannya itu disebutkanlah sebagai pula pada hewan atas sifatnya, yang adalah :

Anjing dan sejenisnya, Ular / cacing sejenisnya, Tikus / Tupai / Kelelawar sejenisnya, Keledai,

Katak dan sejenisnya yg hidup di dua alam.

Pun dikatakan pada Surat Nuh itu, dimana para hewan sebagai ciri pada hati manusia akan

dilekatinya, serta disebutkan pula oleh satra yaitu pada jaman yang memasuki jaman sato atau

binatang itu ditandakannya diakhir pada jamannya.

Dan kemudian babipun di haramkan pula, karena tercatat dalam simbulnya sang awatara itu

dimaksudkan yang dikhususkan untuk upacara pada keselamatan bumi yang harus

dipersembahkan oleh manusia, yang sesungguhnya terkutip pada kitab sastra utama itu

dimaksudkannya sebagai bekal pada penyelamatan bumi dimaksudkannya.

Jika ingin memahami tentang penjelasan pada sastra itu dimaksudkan bahwa benar adanya,

maka bacalah kutipan / salinan pada kitab sastra negarakerthagama itu berada dan pahamilah.

Kemudian pahami pula kembali tentang perjalanan invasi inggris terhadap Negara India pada

tahun 1605 masehi lebih kala itu, yang sehingga para kaum sekte india yang memuja sang

Batari Kali di pinggiran sungai India itu telah melarikan dirinya ke gurun atau padang pasir atas

diskriminasi penjajah itu tertanda, yang kini disebut peradaban itu sebagai orang arab berada

atas cikal bakalnya tertanda yang hidup di gua-gua sebagai tempat persembunyiannya.

Pun dikatakan dalam syair sastra sumpah Palapa/Palawa Gadjah Mada yaitu tentang Negara

Gurun itu dimaksudkannya pula, begitupun pada akhir jaman pada penanggalan yang

disebutkan dalam kitab sastra negarakerthagama disebutkannya yang telah berakhirnya masa

penanggalan itu dan dilanjutkan kembali pada penanggalan tahun saka yang belumlah habis

pada masa waktunya.

Page 13: Jendela Sang Awatara

Politik strategi para sekutu / kolonial pada saat itupun

telah menerapkannya lebih dahulu nama tahun

perpindahan / Hijryah itu diadakannya sebagai

penyusunan strateginya dengan mengunakan strategi

pada politik yang diambil dari kitab yang tersyair atau

bertuliskan arab dimaksud, yang pula diserentakan

atas kiblatnya kepada tahun masehi itu tertandainya

untuk dapat menguasai dunia, terutama penguasaan kepada wilayah gurun di arab itu oleh para

kolonial Inggris dan sekutunya sebagai pemegang kekuasaan utamanya yang berjalan hingga

kini tertanda.

Diterangkannya dalam sastra atas pemujaannya oleh orang gurun itu yang tercatat pula pada

kitab Mahabharata sebagaimana disebutkan dan dimaksudkannya atas pemujaannya itu

ditandainya tanpa disadari oleh orang banyak di nusantara hingga saat ini. ( lihat pada ket : )

Konsep kitab agama yang terjabarkan oleh Trio Serampore dan atas Penyempurnaannya itu

dimaksudkannya, tidaklah lagi beradaptasi pada Kitab Sastra Utama yang disebutkannya atas

kebenarannya itu tertanda yang seharusnya haruslah beradaptasi kepada nusantara ini berada.

Dan terlebih lagi tidak mengarah pada titik sumber yang berada di Nusantara sebagaimana

yang disebut tanah suci atau bukit perjanjiannya itu tertanda atas tandanya ada.

Berdasarkan strateginya para kolonial itu ialah supaya dapat menguasai nusantara dengan

seutuhnya tanpa bersusah payah menjajahnya pula selanjutnya / gugur dalam perang agama.

(Orang Nusantara haruslah kini memaafkan mereka itu atas strateginya dengan cara-caranya

itu, dan walaupun mengenaskan yaitu dikala dijajah dengan memberikannya asupan konsumsi

narkotika pada masa jaman belumlah nusantara itu merdeka dan hingga kini tertanda pula

masihlah ada) copypaste : http://www.youtube.com/watch?v=mISSm2UYXpg&feature=related

Maka yang seharusnya mereka berkiblat ke nusantara sebagai titik utama pada kerajaan

nusantara sebagai penguasa tunggal diseluruh dunia itu, justru kini masyarakat nusantaralah

yang menjadi tak berdaya atas strateginya dan bahkan bersujud syukur kepada leluhur dari

manusia diluar nusantara itu sebagai pula keyakinan pada beragam ajaran pada agamanya itu

dimaksudkannya kembali. Kini perlu dipertanyakan kembali atas pembelajaran ajaran

agamanya itu dimaksudkannya, dan masihlah banyak lagi jika dipaparkan pada penulisan ini

oleh sang penulis atas amanah-Nya itu untuk dijabarkan supaya manusia tidaklah tersesat dan

menjadi kehilangan jatidiri sebagai orang-orang yang terlahir asli dari nusantara ini yang adalah

bercikal bakal dari atas kerajaan tertua itu di dunia tertanda ada.

Page 14: Jendela Sang Awatara

Yang disebutlah nama kerajaan itu ialah Kerajaan Galuh Sura

Wisesa Amertha Jagat Buwana Mataram / disebut pula sebagai

Kerajaan Galuh Ageung Sundha Buwana / Karaton Sri Bima

Narayana Madura Suradipati, yang dengan sebutan sistim

perekonomiannya itu sebagaimana disebut pula jaman Pajajaran

yang sejajar kesejahteranya diantara rakyatnya berada.

Dan kemudian kini telah memasuki dalam dimensi sebagai jaman

yang disebut pula jaman majapahit, atau jaman yang pahitnya

seperti buah maja / grenuk itu tertanda ada.

(Majapahit ialah bukan nama kerajaan, akan tetapi adalah sebuah sebutan pada masa jaman

ini. Begitu pula pada sebutan prapanca atau jahilliyah itu tertanda pula ada pada sastranya

tercatat. Sepertihalnya disebutkan, wajiblah orang-orang berprilaku menyesatkan itu haruslah

dicambuk berulang-ulang sebagai peringatannya yang tercatat dalam sastra kitab

Negarakerthagama, yang dikutip pula sebagai sistim Syariat pada ajaran agama)

Kini tinggal para ahli kitab agama dan atau para pakar guna untuk mengkaji kembali, karena

sang awatara hanya menunggu sesuai batas waktu yang sudah ditentukan. Jika salah

menanggapi dan mengintruksikan seluruh umatnya untuk menjadi tidak benar kembali, maka

Sang Awatara akan memegang penuh peranannya sebagai Kalki atau Nuh itu tertanda

sebagaimana peringatan pertama dan kedua itu telah diberikannya (04/11).

“ Maka orang-orang yang melanggar atas kehendak-Nya itu dan mengabaikannya atas peringatan-Nya itu kembali, sesungguhnya ia itu patut diberikan suatu pelajaran yang amatlah berharga sebagai imbalannya yang telah menjerumuskan orang-orang yang tidaklah berdaya atas janji-janji pada pelajaran agamanya itu “. (Sang Rama)

Demikianlah atas penjabaran dan pendadaran ini disampaikan untuk dipahami oleh orang

banyak di Nusantara dan di Dunia.

Salam dariku,

AVATAR. Awalnya orang-orang terjajah itu di buang dan diasingkan sebagai strategi cara untuk dikuasainya negaranya itu,

akan tetapi Tuhan berkehendak lain.

Dari atas kehendakNya itupun terjaga, maka mereka itupun tak henti-hentinya pula memperalat Negara itu guna

untuk menjadikan asset pada negaranya serta menjadikannya sumber atas kemakmuranya … sungguh ironis

manusia-manusia itu yang begitu rakus dan piciknya untuk menguasainya. (Gadjah Mada)

Page 15: Jendela Sang Awatara

Ket :

Perlu diketahui dan dipahami bahwa Batari Kali atau Dewi Mara itu (Durga Kali Maa) ialah wujud dari Dewi

Kemungkaran atau Dewi kesesatan dan/atau sebagai siluman yang berwujud wanita itu guna untuk menyesatkan

umat manusia dalam kesejahteraannya, yang sesungguhnya bukanlah wujud dari Mahadewi Parwati istri dari Dewa

Siwa itu berada.

Jika wujud dhurga oleh Mahadewi itu tergambarkan, sesungguhnya ialah wajud dalam kemarahannya atas

pendustaan oleh manusia yang sudahlah diberikan rejeky yang lebih, akan tetapi tidaklah bersyukur. Sepertihalnya

dalam simbul Dhurga Sang Laksmi dan/atau Sang Saraswati itu digambarkannya dibawah ini.

Maka pahamilah kembali kitab Mahabharata itu tentang permainan dadu Dhurga Kali-Maa itu oleh Yudisthira atas

jebakan sang sengkuni guna untuk mempertaruhkan kerajaan astinanya supaya dikuasainya oleh para kurawa.

(disebutkanlah bahwa dadu yang diputari itu sepertilah jarum pada jam yang berputar guna untuk dimainkan pada

permainannya, dan pada dadu itupun berbentuk persegi empat / kubus sebagai tandanya)

Demikianlah yang tersyair pada kitab sastra mahabharata itu tersaji dan pun dipewayangkan oleh sang dalang dalam

pementasan pada umumnya orang banyak mengetahuinya.

Ket : Tercatat pada tahun 1973 oleh Ratu Belanda bahwa Sastra disebut Negarakerthagama itu telah dikembalikan

ke nusantara dengan alasan penyelamatannya terdahulu itu, dan diterima langsung oleh Ibu Tien Soeharto yang

kemudian dimesiumkan di Perpustakaan negara. (dok.web)

Gambar Dhurga / kemarahan dari Sang Maha Dewi Laksmi atau Saraswati yang tergambar santun :

Gambar Dhurga Kali Maa / Batari Kali atau Dewi Mara dengan keganasannya meminta tumbal :

Tampak pada gambar kedua, Sang Mahadewi Laksmi sedang menenangkan Sang Dhurga Kali-Maa yang

menyerupainya itu dalam wujud melakukan keganasan. Pun terkutip sastra perjalanan pendeta Ton Sam Cong

dijelaskan sebagai wujud dalam siluman itu, atau Injil pun mengatakan tentang menyerupai wujud maria-maria itu.

Pranala : TRI SULA “ JENDELA SANG AWATARA “ (oleh : Sanghyang Dharmasaksi)

Reverensi website : http://kalendersaka.blogspot.com - http://zamanbaru2011.blogspot.com http://gadjahmada1221.files.wordpress.com/2012/07/bias-bias-tabir-sastra1.pdf