Jejak madura tengger

21
Jejak-Jejak Perubahan Sosial dan Kesenian di Madura Ingwuri Handayani | 4 - Apr - 2008 Tahun 1976. Saat itu Huub De Jonge sedang bersiap-siap ke Madura. Sebelum berangkat, ia membeli obat di sebuah apotik di Surabaya. Saat berbincang dengan penjaga apotek tentang keinginannya pergi ke pulau garam itu, tiba-tiba Si penjaga kaget dan berpesan agar De Jonge mengurungkan niatnya. Orang Madura itu keras dan sangat bahaya bagi keselamatan jiwa, kata Si penjaga. Tetapi, De Jonge keukeuh ke Madura, bahkan tinggal hampir setahun melakukan penelitian di sana. Stereotip orang Madura yang bertemperamen tinggi, agresif, cepat marah dan berani, seperti yang dituturkan Si penjaga kepada antropolog asal Belanda itu terus melekat hingga kini. “Stereotip ini, benar atau tidak, sering memberikan kesan menakutkan kepada orang luar, baik orang Indonesia maupun orang asing,” tulis De Jonge dalam kata pengantar buku Agama, Kebudayaan dan Ekonomi. Stereotip itu pula yang membuat peneliti, entah Indonesianis maupun peneliti Indonesia, lebih memilih melakukan penelitian di lingkungan lain yang lebih menarik. Tetapi, mungkin, karena kondisi geografis yang tidak sesubur Jawa yang peningkatan jumlah penduduknya tak sebanding dengan naiknya pertumbuhan ekonomi, membuat orang Madura harus bertahan dengan cara yang bagi orang luar terkesan menakutkan. Tak hanya orang luar, “Putra Madura” sendiri pun terkadang mengamini stereotip ini. Simak saja saat Latief Wiyata mewawancarai salah seorang mantan pelaku carok. Di tengah- tengah wawancara, sang narasumber yang juga mantan blater itu tiba-tiba menempelkan bara api rokoknya ke telapak tangan Latief hingga melepuh. Sebaliknya pria itu justru memperlihatkan telapak tangannya yang sama sekali tak mempan oleh sentuhan bara api. Tak hanya itu, ia juga menggores

Transcript of Jejak madura tengger

Page 1: Jejak madura tengger

Jejak-Jejak Perubahan Sosial dan Kesenian di Madura

Ingwuri Handayani  |  4 - Apr - 2008

Tahun 1976. Saat itu Huub De Jonge sedang bersiap-siap ke Madura. Sebelum berangkat, ia membeli obat di sebuah apotik di Surabaya. Saat berbincang dengan penjaga apotek tentang keinginannya pergi ke pulau garam itu, tiba-tiba Si penjaga kaget dan berpesan agar De Jonge mengurungkan niatnya. Orang Madura itu keras dan sangat bahaya bagi keselamatan jiwa, kata Si penjaga. Tetapi, De Jonge keukeuh ke Madura, bahkan tinggal hampir setahun melakukan penelitian di sana.

Stereotip orang Madura yang bertemperamen tinggi, agresif, cepat marah dan berani, seperti yang dituturkan Si penjaga kepada antropolog asal Belanda itu terus melekat hingga kini. “Stereotip ini, benar atau tidak, sering memberikan kesan menakutkan kepada orang luar, baik orang Indonesia maupun orang asing,” tulis De Jonge dalam kata pengantar buku Agama, Kebudayaan dan Ekonomi. Stereotip itu pula yang membuat peneliti, entah Indonesianis maupun peneliti Indonesia, lebih memilih melakukan penelitian di lingkungan lain yang lebih menarik. Tetapi, mungkin, karena kondisi geografis yang tidak sesubur Jawa yang peningkatan jumlah penduduknya tak sebanding dengan naiknya pertumbuhan ekonomi, membuat orang Madura harus bertahan dengan cara yang bagi orang luar terkesan menakutkan.

Tak hanya orang luar, “Putra Madura” sendiri pun terkadang mengamini stereotip ini. Simak saja saat Latief Wiyata mewawancarai salah seorang mantan pelaku carok. Di tengah-tengah wawancara, sang narasumber yang juga mantan blater itu tiba-tiba menempelkan bara api rokoknya ke telapak tangan Latief hingga melepuh. Sebaliknya pria itu justru memperlihatkan telapak tangannya yang sama sekali tak mempan oleh sentuhan bara api. Tak hanya itu, ia juga menggores tangannya dengan sebilah clurit tajam tanpa sedikitpun goresan luka. Barangkali dari lukisan itu Latief tak bermaksud menggeneralisasi karakter orang Madura, tapi lantaran pilihan narasumbernya yang mantan carok membuat kesan-kesan semacam itu semakin memperkuat jati diri orang Madura yang keras dan kasar.

Toh begitu, hasil penelitiannya tidak sia-sia, maka, dengan segala cerita yang sempat dialami Latief, lahirlah buku Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Ketakutan juga tidak menghantui semua orang. Beberapa peneliti “nekat” juga telah menelorkan berbagai buku seperti yang direview di media ini; selain Latief, ada Hélène Bouvier, lantaran karena dirinya seorang perempuan, dan beda kultur pula, sehingga ia berkali-kali dilarang menghadiri acara ritual yang khusus dilakukan oleh laki-laki serta beberapa kali dicuekin ketika hendak mewawancarai narasumbernya. Tetapi toh semangatnya yang luar biasa ini menghasilkan karya jempolan yang edisi Indonesia-nya, berjudul Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Sementara Huub De Jonge, meski di minggu-minggu awal saat tinggal di Parindu sempat dicurigai sebagai agen pemerintah atau Penginjil dari gereja Pantekosta, ia berhasil menelorkan

Page 2: Jejak madura tengger

disertasi Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam; Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Bersama peneliti-peneliti lain, De Jonge juga menerbitkan buku kumpulan tulisan berjudul Agama, Kebudayaan, dan ekonomi; Studi-Studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Sementara, Kuntowijoyo menulis Perubahan Sosial dalam Madura 1850-1940.

Saya memulai dari Kuntowijoyo karena diantara peneliti lain, Kunto meng-cover Madura lebih umum. Ia juga mengurai Madura dalam kurun yang panjang, hampir satu abad, 1850-1940. Malah, dalam beberapa kasus, ia menarik lebih panjang dari kurun itu seperti ditunjukkan di bagian catatan akhir.Kunto, dalam tulisan yang untuk disertasi di Columbia University ini, menyajikan proses perubahan sosial yang terjadi di Madura, mulai dari kolonial yang mengambil alih Madura menjadi sistem kekuasaan secara langsung, sampai menjelang kemerdekaan Indonesia. a memakai pendekatan sejarah masyarakat secara menyeluruh, lepas dari sejarah konstitusionalnya. Dalam buku ini, Kunto lebih menekankan analisis formasi sosial dengan melihat proses yang terjadi di dalam masyarakat luas.

Di bagian awal, Kunto memberikan analisis ekonomi pertanian Madura dengan lebih memberi tekanan pada hubungan antara tanah dan penduduk. Asumsinya, jenis pertanian berpengaruh terhadap struktur sosial masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi jalannya sejarah. Ia juga mendiskusikan masalah demografi, peta permukiman penduduk yang banyak dipengaruhi oleh ekologi tegal yang dominan. Berbeda dengan desa-desa di Jawa yang dibentuk oleh suatu kompleks pemukiman penduduk yang memusat yang dikelilingi oleh persawahan, penduduk desa di Madura terpencar dalam kelompok kecil-kecil yang karenanya menyulitkan kontak sosial antar warga. Tak aneh bila orang-orang di Madura relatif sulit membentuk solidaritas desa dan lebih tersosialisasi untuk memiliki rasa percaya diri yang bersifat individual.

Dalam perjalanan sejarah mulai abad sembilan belas, secara umum, masyarakat Madura terkotak dalam dua kelas; kelas petani dan kelas penguasa. Dua kelas ini, dihubungkan oleh sebuah sistem upeti berupa percaton atau sistem apanage dan jasa tenaga kerja. Dalam temuannya, Kunto juga mengurai ciri utama organisasi sosial kerajaan-kerajaan Madura yang kepemilikan tanahnya dikuasai oleh negara. Di masing-masing kerajaan, panembahan adalah pemilik tanah secara nominal, adapun pemilik yang sebenarnya adalah rakyat kebanyakan. Panembahan punya hak memungut pajak pertanian.

Tetapi, semenjak pertengahan abad sembilan belas, organisasi sosial ini bergeser. Ini bermula sejak Belanda menancapkan kekuasaan secara langsung. Padahal, di awal VOC berdiri, Madura diangkat kedudukannya secara khusus sebanding dengan Mataram. Posisi raja Madura diperkuat ketika Belanda meminta mereka mengadakan wajib militer membantu menjaga ketertiban nusantara (hlm. 160-161).

Kendati begitu, berada di bawah kekuasaan langsung tidak sepenuhnya kekuasaan itu bersifat mutlak dan hegemonik. Selalu saja ada gerakan perlawanan dalam berbagai bentuk dan cara. Misalnya gerakan para ario, kelas bangsawan, yang melakukan konspirasi atas pembunuhan keluarga Harthoorn di Pamekasan tahun 1868.

Page 3: Jejak madura tengger

Contoh lain adalah gerakan rakyat. Ini bermula ketika Belanda mencurigai perilaku Kiai Semantri atau Kiai Lanceng. Kiai Semantri berdasarkan kabar yang masuk ke pejabat, mempunyai keahlian mengobati penyakit dan dapat menghilangkan nasib buruk. Kesohoran kiai ini membuat penguasa jengah. Dengan alasan kharisma, pemerintah lalu mengambil tindakan. Dua orang yang diutus; wedono dan asisten wedono mengunjungi langgar kiai Semantri. Saat wedono hendak mengajak kiai untuk menghadap residen, kiai marah sekali. Lalu, kiai memerintahkan santri keluar langgar untuk melakukan dzikir. Tak hanya itu, peristiwa itu juga membuat simpatisan kiai terus berdatangan. Bahkan, polisi yang ditugasi untuk mengatasi tamu tak kuasa menahan amukan massa. Polisi yang ditempatkan di Prajan, di serang oleh keluarga dan tamu kyai dengan senjata tajam, batu. Peristiwa Prajan ini, dalam pandangan kunto, seperti tiba-tiba menampakkan benturan ide antara otoritas kharismatik dengan birokrasi rasional dan berkaitan erat dengan gerakan revitalisasi Islam di berbagai tempat di Indonesia di abad sembilan belas. (hlm. 345)

Perlawanan dalam bentuk lain juga dilukiskan sangat baik oleh Kunto. Dalam sebuah peristiwa, lima puluh orang yang membangkang perintah Pak Arbisa seorang kliwon (kepala desa). Lima puluh orang itu tidak bersedia membangun jalan, karena Ratu mereka tidak mengizinkan. Ratu ini, bernama Pak Masan. Ia mengangkat dirinya menjadi ratu setelah mewarisi keris ayahnya. Saat dilaporkan ke pengadilan, Pak Masan tidak bisa dihukum karena tidak melakukan kriminal. Tetapi, moral cerita ini seperti menghadirkan satu ilustrasi mengenai pemogokan massa di Madura, dalam pengertian bahwa peristiwa tersebut menunjukkan struktur sosial desa, terutama ikatan pertalian keluarga dan batas-batas koalisi petani (hlm. 390-396)

Yang patut diperhatikan lagi, tentu saja soal pemimpin keagamaan; kyai dan guru tarekat yang merupakan inti dari hubungan sosial Madura. Maka, berdirinya SI seperti menjadi pengesahan atas kharisma mereka. SI mengubah parokialisme individual orang Madura menjadi lebih bisa bekerja sama. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang Madura telah membuktikan bahwa dirinya sanggup bekerja sama mengatasi individualisme mereka. Meski dalam beberapa kasus, SI bertindak sebagai agen perubahan untuk menyokong beberapa proyek pemerintah.

Sealur dengan Kuntowijoyo, aktivitas keagamaan juga menjadi bagian penting dalam perluasan dan pendalaman agama. Berkat agama para saudagar berhasil maju dan dapat mengukuhkan posisi mereka sebagai suatu kelompok. Ini simpulan yang juga sempat dimunculkan di endorsement dari tulisan Huub De Jonge. Tetapi dalam tulisan asli Juragans en Bandols: Tussen Handelaren op Het Eiland Madura ini, De Jonge menulis dengan lebih menukik ke wilayah ekonomi. Ia pun menggunakan pendekatan etnografi ekonomi.

Hasil disertasi Huub De Jonge adalah peran pedagang dan pengusaha dalam proses komersialisasi setelah Madura mulai dibuka untuk dunia luar dalam paruh ke dua abad 19. Buku yang juga merupakan disertasi ini merupakan hasil penelitian antropologi ekonomi di pulau Madura selama periode Oktober 1976 sampai bulan September 1977.

Page 4: Jejak madura tengger

De Jonge melatari tulisan ini dengan menggambarkan historiografi Madura. Di dua bagian pertama, ia menceritakan kondisi geografis dengan merunut sejarah Madura mulai pertengahan abad sembilan belas, saat terjadi pergeseran pemerintahan dari kerajaan ke kolonial. Dalam penelitian ini, De Jonge menuliskan, sejak tahun 1799, setelah Kompeni dibubarkan Madura menjadi bagian dari negara kolonial Hindia Belanda dengan menggunakan sistem pemerintahan tak langsung. Polanya, setiap raja yang diangkat harus menandatangani kontrak dengan pemerintah pusat di Batavia. Tetapi konsekuensi pemerintahan tak langsung ini raja tidak ada yang mengawasi, mereka pun menjadi semakin lalim.

Memang, bagi pemerintah kolonial, mereka disokong oleh para raja dengan pasukan sukarela yang membuat para raja dihadiahi gelar panembahan atau sultan tetapi risikonya, raja menjadi lalim karena tiada yang mengawasi. Melihat ini, pemerintah kolonial perlahan mulai mengambil alih pemerintahan sehingga di tahun 1858, gubernemen mendapat peluang menerapkan pemerintahan langsung di Pamekasan. Berikutnya, berturut-turut, Sumenep di tahun 1883 dan Madura Barat di tahun 1885 (hlm. 57).

Dalam catatan De Jonge, memang benar, berangsur-angsur ada perbaikan. Tetapi karena kondisi geografisnya yang tidak mendukung, pulau ini tetap menjadi yang termiskin dan terbelakang (hlm. 58).

Toh begitu, perubahan pemerintah ini memberi dampak lain seperti tiadanya isolasi di satu sisi dan pelibatan Madura dalam integrasi dan pembangunan dalam rangka batas kolonial (hlm. 78).

Maka, setelah berakhir pemerintahan sendiri selama dua ratus tahun, pulau itu mulai terbuka. Lalu lintas perdagangan dengan Jawa berlangsung meningkat, introduksi tanaman baru penerapan hak milik pribadi atas tanah, penggantian pungutan tradisional dalam natura dengan pajak uang yang relatif ringan dan pelbagai tindakan pemerintah yang lain mengakibatkan kemajuan di bidang ekonomi pertanian. Salah satu produk pentingnya adalah tembakau.

Karya disertasi De Jonge ini dalam beberapa hal juga bersambung dengan studinya Castel tentang peranan para pabrikan rokok di Kudus. Bedanya, Castel lebih terfokus pada peran para perdagangan perkotaan, sementara De Jonge lebih ke wilayah pedesaan. Studi ini mau melihat perkembangan satu jaringan perdagangan dan relasi antara pedagang dalam proses komersialisasi yang berkaitan dengan proses integrasi, selama seratus tahun terakhir. Namun di atas segalanya membicarakan perubahan sosial di Madura terutama yang diperoleh lewat aktifitas perdagangan ini seolah tak lengkap tanpa melihat kelompok-kelompok penting yang terlibat di dalamnya.

De Jonge mencatat ada kelompok terpenting dalam jaringan perdagangan ini yang punya peran dominan didalamya. Ya, jaringan para saudagar tembakau. Kelompok ini menguasai perdagangan di bagian timur Madura dan memonopoli hubungan-hubungan dengan Jawa. Aktivitas mereka mengikat, terutama oleh perluasan dan pendalaman agama Islam. Berkat agama inilah para saudagar itu berhasil maju dan dapat

Page 5: Jejak madura tengger

mengukuhkan posisi mereka sebagai satu kelompok. De Jonge sendiri memusatkan penelitian di Desa Parindu. Desa ini merupakan pusat perdagangan jalur pantai barat daya Sumenep. Memang, selain di jantung teluk, Parindu juga terletak di jalan pantai selatan yang besar, karena berada di tengah-tengah antara kota Pamekasan dan kota Sumenep.

Peran carok

Meski agak berbeda dengan dua buku di atas, karya etnografis yang ditulis Latief Wiyata berjudul Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura ini dalam beberapa hal memiliki titik singgung. Balutan antara agama dan budaya, selain karena motif ekonomi, yang terbungkus dalam balutan harga diri, memunculkan pengadilan sendiri yang diinstitusionalisasi dengan sebutan carok.Nampaknya carok dalam pandangan Latief tidak sekadar merefleksikan karakter orang Madura, tapi juga merefleksikan topografi sosial dan geografis. Latief menengarai kontur tanah yang membuat garis-garis tegas menjadi salah satu indikasi kondisi sosial di pedesaan Madura sejak dulu yang tak memberi rasa aman bagi penduduknya. Kondisi sosial yang tak aman ini juga terlihat dari semua bentuk arsitektur rumah tradisional yang hanya memiliki satu pintu di bagian depan sehingga tidak ada jalan bagi orang untuk keluar atau masuk rumah (hlm. 41).

Lebih luas dari gambaran di atas, Latief memperlihatkan bahwa di Madura terutama di Sumenep dimana penelitian dipusatkan, terdapat kampong Mejhi, yaitu kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama lain sering terisolasi. Jarak antara satu pemukiman dan pemukiman lain bisa sampai sekitar satu sampai dua kilometer (hlm. 43).

Selain itu juga kondisi alam yang tandus dan gersang, pertumbuhan penduduk yang cepat dan tingkat pendapat yang sangat rendah, yang diperburuk dengan sitem politik feodalisme akibat pemerintahan tidak langsung yang diterapkan oleh pemerintah kolonial, ikut menyiapkan kelahiran tradisi carok ini.Kontur tanah dan perkampungan juga melahirkan proteksi khusus perempuan. Lelaki dan perempuan tidak bertamu di ruang tamu. Untuk menemui tuan rumah, lelaki biasanya menemui di langgar. Jika tamu datang bersama istrinya, maka hanya istrinya yang boleh masuk ruang tamu. Oleh karena itu, setiap tamu harus menuju bangunan surau, di tempat inilah,dia akan ditemui oleh tuan rumah laki-laki.

Murid De Jonge ini menemukan bahwa carok tidak merujuk pada semua bentuk kekerasan yang terjadi atau dilakukan masyarakat Madura, sebagaimana yang dianggapkan prang luar Madura selama ini. Melainkan, suatu institusionalisasi kekerasan yang berkaitan erat dengan struktur budaya, sosial, kondisi sosial ekonomi, agama dan pendidikan. Secara historis, carok sudah dikenal masyarakat Madura sejak berabad lalu.

Orang Madura melakukan carok tidak hanya karena tak mau dianggap pengecut, tetapi juga agar tetap diakui oleh masyarakat sekelilingnya sebagai orang Madura. Tipikal ini seperti memiliki pengertian sendiri yang tidak sama dengan pengertian orang luar.

Page 6: Jejak madura tengger

Karena adanya pengertian seperti itu, tindakan kekerasan yang disebut carok ini selalu memberikan kesan menakutkan pada orang luar (hlm. 6).

Carok dalam hal itu seakan satu-satunya perbuatan yang harus dilakukan. Para pelaku carok seakan tak mampu mencari dan memilih opsi lain dalam upaya menemukan solusi ketika mereka sedang mengalami konflik. Mengapa harus carok? Sebab, carok dianggap lebih memenuhi rasa keadilan. Selain itu carok juga merupakan cermin kekurangmampuan para pelaku mengekspresikan budi bahasa sehingga lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh. Akibatnya, konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi.

Latief, berdasarkan uraian dari De Jonge, juga menyimpulkan bahwa munculnya tindak kekerasan dalam kehidupan masyarakat Madura setidaknya disebabkan dua hal. Pertama, pemerintah pada waktu itu tidak memperhatikan masyarakat Madura; kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau konflik kekerasan digunakan, tanpa peduli peraturan. Cara penyelesaian dengan tindak kekerasan ini tiada lain adalah carok (hlm. 69)

Carok biasanya dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Dalam konteks itu, carok mengindikasikan monopoli kekuasaan suami terhadap istri. Monopoli ini ditafsirkan Latief antara lain dengan ditandai adanya perlindungan secara over.

Berdasarkan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian lapangan Latief, dari enam kasus yang diteliti, sebagaimana dideskripsikan di bab II dan Bab IV, ada beberapa hal yang patut dicatat. Dari enam kasus yang diteliti, tiga masalah perempuan, tiga kasus lainnya tuduhan mencuri , perebutan warisan dan balasan dendam. Semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo karena pelecahan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melakukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial (hlm. 169).

Dalam konteks ini peristiwa carok pada dasarnya merupakan manifestasi dari relasi sosial yang tingkat keakrabannya sangat rendah karena didominasi secara signifikan oleh rasa permusuhan. Dengan kata lain, peristiwa carok hanya akan terjadi jika pelakunya berada dalam kondisi permusuhan (hlm. 61)****

Berbeda dengan buku-buku yang diulas di atas, adalah tulisan Hélène Bouvier. Buku berjudul lebur! Seni musik dan pertunjukan dalam masyarakat Madura ini, lebih spesifik mengungkap seni kontemporer dan seni pertunjukan Madura.Tulisan yang berjudul asli La matière des émotions ini mengungkap berbagai ragam kesenian temporal dengan mengaitkan hubungan antar musik, puisi, tari, teater dan seni bela diri. Seni temporal mencakup musik, tari dan puisi. Seni pertunjukan meliputi

Page 7: Jejak madura tengger

berbagai jenis teater, seni bela diri dan beberapa tari yang digubah sebagai pertunjukan. Ungkapan temporal mengandung makna kegiatan kesenian yang bersifat sekilas.

Istilah Lèbur digunakan Hélène karena sifatnya yang spontan, untuk sesuatu yang dianggap bagus, enak dinikmati mata dan telinga. Lèbur mengandung makna menghibur, baik, bagus, dan enak didengar. Istilah Lèbur sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Madura sehari-hari yang biasanya secara spontan diucapkan manakala mereka menyaksikan sebuah pertunjukan seni yang menarik, indah ditonton dan enak dinikmati.

Lantas apa relevansi buku ini terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat Madura? Buku ini membuat temuan menarik. Menurut penulisnya, berbagai kegiatan kesenian ini merupakan percobaan untuk mencari jalan keluar dari jawaban atas kebutuhan, masalah dan aspirasi suatu manusia yang berada dalam suatu konteks materiil dan historis, singkatnya bagaimana kegiatan itu dapat membantu mempertahankan hidup atau memberikan kehidupan yang lebih baik. Untuk menemukan kembali tubuh dan suara yang tidak terkait langsung dengan kerja, untuk menuntut pelatihan tubuh, untuk tujuan lain seperti pertarungan, tantangan dan kepercayaan diri. Seni ini juga berfungsi sebagai penyampai informasi bagi penduduk setempat dan pembentukan jaringan kenalan.

Helene melihat, bahwa para pelaku seni, permainan musik, penyanyi, penari atau aktor hampir tidak membedakan diri dengan masyarakat luasnya. Kegiatannya merupakan pekerjaan khas yang membedakan mereka pada satu tertentu dengan masyarakat sekitarnya dan ini dilakukan serentak dengan kegiatan ekonomi lain, kegiatan ritual, soal ekonomi, sehingga seni temporal dan pertunjukan menjadi pelayanan sosial sekaligus kegembiraan pribadi dengan pemain dan penonton yang berbaur.

Maka, rasa tidak puas dan ketegangan yang berkaitan dengan sistem politik sosial yang berlalu dihimpun, disalurkan dan dilarutkan di dalam kegiatan kesenian. Pada umumnya, kegiatan ini berpihak pada status quo dan tidak memberikan banyak ruang bagi kritik. Mungkin sekali, masyarakat cenderung untuk menyeleksi lembaga pentas seperti seni dan olah raga yang hanya lari dari fungsinya yaitu penenteraman dan perpaduan sosial ketika terjadi situasi kritis. Teater sebagai pemandu dan cara untuk melepaskan diri, sementara topeng mengungkap masa lalu yang sulit dilakukan, loddrok dan drama merujuk pada kedua dunia yang berbeda, di satu pihak kehidupan sehari-hari dan modernisasi Indonesia yang dipentaskan.

Mengembalikan Fantasi Melalui Seni

Dera peradaban plus kondisi geografis yang terjadi di Madura ternyata memunculkan sisi-sisi lain yang tak terbayangkan oleh banyak orang. Stereotipe yang muncul, kekuasaan yang terus menerus membelenggu, membuat rakyat Madura memiliki cara sendiri utnuk bersiasat. Kerajaan, kolonialisme, telah membuat mereka selalu bertahan entah dengan cara yang ditunjukkan dengan berserikat sebagaimana ditulis oleh Kuntowijoyo atau melalui cara tak kasat melalui seni.

Page 8: Jejak madura tengger

Membaca Madura mungkin memberi pengertian bahwa ada hal-hal tak terpikirkan yang ternyata menjadi sumber cara orang madura melakukan katarsis. Beberapa hasil ini review ini juga menunjukkan tentang individualisme yang distereotipekan orang tak sepenuhnya genap.

Kunto, misalnya, ia menuliskan tentang gerakan Syarekat Islam yang sempat memberi warna di sana. Kunto, sebagaimana dituturkan di bab kedua dari buku Agama, Kebudayaan dan Ekonomi, menunjukkan bagaimana orang Madura yang cukup sulit menjalin kontak sosial ternyata bisa dimobilisasi saat dibentuk Syarekat Islam terutama di tahun 1912-1920.

Dalam pandangan Kunto, ada beberapa alasan Syarekat Islam berkembang di Madura. Pertama, Madura merupakan satu diantara banyak tempat di mana penetrasi kapitalis pada abad kesembilan belas telah mempengaruhi kehidupan rakyat sehari-hari. Misalnya, akibat penyewaan yang dilakukan oleh aparat (apanege) kepada orang China membuat kesengsaraan luar biasa.

Kedua, masyarakat Madura menerima akibat sisa-sisa dari suatu sistem stratifikasi yang ketat, yang telah masuk akibat kekuasaan hak-hak istimewa dari tangan golongan yang memerintah. Maka, penyebaran SI di Madura dapat dipandang sebagai manifestasi kebangkitan wong culik (kenek). Ketiga, Madura terkenal karena rakyat yang taat pada agama, dan terakhir, kerumitan struktur sosial Madura mencerminkan masyarakat Indonesia yang lain (hlm. 31-33).

Apa yang dituturkan Kunto, De Jonge, dan Latief tentu menarik karena menyajikan data-data dan analisis sejarah yang cukup kaya. Dan apa yang dituturkan Helene mungkin juga banyak ditemukan ragamnya di Indonesia. Harga sebuah peradaban, setidaknya kalau memakai alat analisisnya Marcuse, sungguh mahal harga yang harus dibayar. Tetapi dengan kesenian, mereka mencoba mengambil kembali fantasi mereka sekaligus melupakan beban yang menindih mereka. Desantara / Ingwuri Handayani.

http://www.desantara.org/04-2008/947/jejak-jejak-perubahan-sosial-dan-kesenian-di-madura/

Moh. Rofiq/080521100062

Blog Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Materi Aplikasi Komputer dan sebagai Upaya Untuk menumbuhkemangkan Potensi Mahasiswa Sosiologi Fisib UTM Dalam Hal Berkarya..

Selasa, 18 Oktober 2011

Page 9: Jejak madura tengger

Perubahan Sosial Masyarakat Madura sebagai Akibat dari Pembangunan Suramadu Oleh : Moh. Rofiq*

Menjelang detik – detik peresmian jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), seperti menjelang detik – detik ijab qabul pasangan suami istri. Setelahnya, akan ada kehidupan baru bagi kedua pasangan, Surabaya dan Madura, yang dipersatukan oleh jembatan Suramadu. Kehidupan baru ini, memicu adanya perubahan sosial yang pasti tejadi, khususnya di sekitar jalur jembatan Suramadu. Perubahan sosial yang muncul dipastikan akan mempengaruhi banyak aspek – aspek kehidupan masyarakat sekitar jembatan Suramadu, khususnya Masyarakat Madura sebagai objeknya. Tentu saja disini perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Madura bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial ini merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat Madura sebagai reaksi adanya perubahan teknis kewilayahan akibat dari pembangunan jembatan Suramadu. Kurt Lewin yang dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, mengenalkan konsep yang dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai model power-based karena menekankan kekuatan-kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Sama halnya dengan yang sedang dihadapi masyarakat Madura yang mendapat tekanan, yaitu tekanan menghadapi fakta keberadaan Suramadu yang sangat disadari akan membawa banyak pengaruh pada kehidupan sosial masyarakat Madura sendiri. Namun, masyarakat Madura menanggapi driving forces sebagai pengaruh positif yang dapat dimanfaatkan untuk perubahan sosial ke arah positif pula. Masyarakat Madura justru mereduksi resistences to change, dengan menemukan peluang perbaikan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan peningkatan pelayanan kesehatan. Dengan adanya Suramadu diharapkan mampu mentransfer pola – pola kehidupan sosial penduduk Surabaya sebagai servis baru dalam pola kehidupan masayarakat Madura.Dalam sebuah master Plan yang dirancang untuk kedua wilayah jalur Suramadu, tergambar perubahan model tata ruang wilayah yang sangat signifikan. Digambarkan bahwa di kedua wilayah berubah menjadi pusat kehidupan dari wilayahmasing- masing, dengan jalan utama dan bangunan – bangunan utama yang menunjang segala kebutuhan dua wilayah tersebut. Gambar ini menunjukkan adanya reaksi terhadap perubahan sosial. Dalam hal ini perubahan sosial tidak muncul dengan sendirinya, melainkan memang direncanakan.Masyarakat Madura menyadari sepenuhnya bahwa akan ada perubahan sosial, sehingga, diluar keterkaitan dengan master plan yang dimaksudkan, masyarakat madura juga telah merencanakan sendiri perubahan sosial tersebut. Masyarakat mulai mencari peluang dan menemukan kesempatan – kesempatan untuk memperbarui pola – pola kehidupan. Terlihat setelah diresmikannya Jembatan Suramadu, masyarakat berbondong – bondong membuka lapangan penghasilan disekitar jembatan Suramadu. Mengarah masuk ke Kota Bangkalan, juga mulai mucul berbagai fasilitas kemasyarakatan yang dibangun sebagai bentuk penerimaan terhadap adanya orang – orang baru dan investor yang nantinya akan

Page 10: Jejak madura tengger

mendatangi Madura. Telah muncul gerai fastfood, pasar induk yang diimplementasikan dari bentuk mall, cafe, dan bangunan – bangunan lain yang mengidentifikasikan kehidupan perkotaan seperti di Surabaya. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Madura akan banyak meniru pola kehidupan sosial masyarakat Surabaya, sebagai bentuk transfer, yang kini telah mudah, yaitu melalui Jembatan Suramadu.Asumsi masyarakat adalah bahwa dengan adanya Jembatan suramadu tidak sekedar menghubungkan, melainkan telah menyatukan antara Surabaya dengan Madura. Sehingga sesuatu yang satu itu adalah sama. Masyarakat Madura yang notabene secara kultural maupun bahasa sangat berbeda dengan masyarakat Surabaya, nantinya akan menjalani proses perubahan sosial untuk menyamakan diri dengan masyarakat Surabaya, sebagai suatu hal yang satu. Mengapa bukan sebaliknya? Tentu kita menyadari, bahwa perubahan selalu terkait dengan arah yang positif dan maju, sehingga yang berubah itu adalah dari yang tradisional menuju modernisasi. Menurut Max Weber dalam Berger (2004), bahwa, tindakan sosial atau aksi sosial (social action) tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir rasional dan tujuan yang akan dicapai oleh pelaku. Perubahan sosial yang diupayakan masyarakat Madura, diharapkan mengarah kepada arah yang positif, yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan sosial. Peningkatan kualitas perekonomian, perbaikan mutu pendidikan, kelengkapan fasilitas kehidupan, serta kelayakan berkehidupan menjadi harapan yang digantungkan pada pemanfaatan jembatan Suramadu. Sudah barang tentu, perubahan sosial ini nantinya akan menyebabkan perubahan kultural, bahasa, dan moralitas. Perubahan tersebut tidak selalu mengarah kepada hal yang positif sebagaimana yang diharapkan, sekalipun telah direncanakan. Khususnya perubahan moralitas, mengikuti modernisasi, dimana masyarakat modern Surabaya telah sangat dipengaruhi oleh modernisasi Barat. Perilaku – perilaku Barat telah menjadi tolak ukur, sekalipun banyak yang bertentangan dengan nilai ke-Timuran. Sehingga yang menjadi tantangan terberat bagi masyarakat Madura adalah bagaimana nantinya mengambil sari – sari kehidupan masyarakat Surabaya tanpa menghilangkan nilai moralitas dan kultural masyarakat Madura itu sendiri. Masyarakat Madura sebagai masyarakat yang agamis harus tetap menjaga nilai – nilai yang telah melekat, sekalipun nantinya perubahan telah benar – benar terjadi pada masyarakat Madura Pasca tejadinya transfer kehidupan sosial dari Surabaya menuju Madura melalui Jembatan Suramadu. Semoga Madura semakin maju dan modern.

*Penulis Mahasiswa SosiologiFISIB UTM

perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Tengger - Perubahan sosial pada preferensi penggunaan moda lKetika biaya investasi produksi meningkat serta peningkatan aplikasi teknologi dan pada saat tanaman komersial sudah menjadi tanaman pokok pada masyarakat Tengger. Sebelumnya para petani tidak menggunakan fasilitas modal dari luar keluarga akan tetapi setelah adanya perubahan preferensi terhadap modal para petani mulai melakukan pinjaman pada instituisi non

Page 11: Jejak madura tengger

formal dan formal walaupun masih banyak para petani yang masih takut menggunakan modal dari luar rumah tangga karena takut rugi ataupun tidak dapat mengembalikan agunan pinjaman karena tidak ada barang-barang yang dapat dijadikan jaminan, akan tetapi bagi masyarakat lapisan atas peminjaman modal ini sangat menguntungkan dan membantu proses produksi dan walaupun rugi para petani lapisan masyarakat atas ini memiliki barang-barang yang dapat digunakan untuk mengganti seperti soimpanan sapi, mobil, rumah. Dampaknya: hubungan produksi pada sistem peminjaman yang tidak memiliki modal melakukan upaya produksi dalam bentuk kerjasama (sewa lahan, bagi hasil) - Perubahan sosial Pada preferensi pekerjaan tambahan di luar sektor produksi tanaman yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat. Pekerjaan tambahan tidak hanya berlaku pada petani golongan bawah akan tetapi juga berlaku pada petani golongan atas. Pekerjaan tambahan ini tidak saja karena disebabkan oleh rendahnya pendapatan petani yang didapatkandari sektor produksi pertanian akan tetapi dari pada nganngur. Masyarakat Tengger yang bekerja diluar sektor pertanian bukan hanya merupakan sebuah simbolik akan tetai lebih menampakkan makna penghargaan terhadap kesempatan-kesempatan kecil diantara aktifitas-aktifitas produksi pertanian. Dampaknya diferensiasi peran dan diferensiasi pekerjaan. - Perubahan sosial preferensi terhadap penggunaan teknologi , yang awalnya petani dalam bekerja mengikuti musim dan sangat tergantung pada musim, akan tetapi setelah adanya preferensi terhadap tekhnologi petani, petani sudah menggunakan tekhnologi mekanisasi. Contoh penggunaan tekhnologi mekanisasi adalah pompa air sebagai alat untuk menyiram tanaman pada saat musim kemarau akan tetapi tidak semua petani dapat memilikinya karena hanya petani yang memiliki modal yang cukup yang dapat menggunakaan pompa air tersebut. Kondisi ini menyebabkan menjauhkan jarak antara petani yang memiliki modal (petani lapisan atas) dengan petani yang tidak memiliki modal. Akibat kondisi ini petani yang tidak memiliki modal bekerja di luar sektor pertanian. - Perubahan sosial terhadap cara produksi intensif yang sebelumnya cara produksi petani dengan cara produksi tradisional teradaptasi lalu setelah adanya perubahan prefernsi cara produksi dan jenis tanaman cara produksi petani menjadi cara produksi yang intensif dan cara produksi tradisional teradaptasi. Dimana yang awalnya petani tidak menggunakan pupuk kimia, tidak menggunakan peptisida, laluberalih kepada menggunakan pupuk kimia dan peptisida baik dalam jumlah yang sedikit ataupun banyak, baik pada lapisan bawah maupun lapisan atas. - Perubahan Sosial pada preferensi terhadap tenaga kerja yang sebelumya menggunakan tenaga kerja tradisi dan menggunakan tenag kerja dari keluarga berubah menjadi menggunakan tenaga kerja upah karena adnya perubahan budidaya tanaman dari budidaya tanaman jagung kepada tanaman sayuran serta peningkatan kepemilikan lahan usaha pada perseorangan. - Perubahan tipe ekonomi Perubahan tipe ekonomi masyarakat Tengger yang cenderung menuju tipe ekonomi kapitalis

http://budikolonjono.blogspot.com/2011/12/perubahan-sosial-yang-terjadi-pada.html

(Perubahan Sosial Budaya) di Masyarakat Tengger BromoPosted on 29 November 2011 by isnaenikurniawati

Page 12: Jejak madura tengger

Nama : Isnaeni KurniawatiNIM : 3401409057Rombel : 2Perubahan Sosial Budaya Yang Ada di Masyarakat Tengger BromoPerubahan yang ada di masyarakat Tengger ada pada berbagai macam bidang. Ada perubahan yang secara cepat dan ada pula perubahan yang secara lambat. Perubahan yang ada pada masyarakat Tengger di sana seperti pada bidang :1. Mata pencaharianMayoritas penduduk Tengger berprofesi sebagai petani ladang. Dengan majunya pariwisata yang ada di sana, masyarakat sekarang memiliki pekerjaan sampingan seperti tour guide, sewa kuda, sewa jeep, berjualan bunga eddelwais, berjualan kaos, sarung tangan, topi dan masih banyak yang mereka perjualkan disana. Di desa yang berada di bawah Gunung Bromo, masyarakat juga banyak yang menyediakan home stay untuk para wisatawan yang ingin menginap di sana. Mereka mengetahui peluang apa saja yang bisa mereka dapatkan dari tempat pariwisata Bromo yang sudah terkenal ke berbagai Negara.Namun demikian, pekerjaan utama masyarakat Tengger adalah sebagai petani ladang, bahkan seorang ketua adat suku Tengger pun pekerjaan utamanya adalah petani.

2. PendidikanPendidikan masyarakat disana awalnya kurang penting. Karena masyarakat Tengger beranggapan pendidikan sekolah bukanlah hal yang paling utama. Pendidikan moral yang di ajarkan oleh orang tua kepaada anak-anaknya sudah cukup sebagai bahan ajar. Para orang tua beranggapan percuma saja anak mereka di sekolahkan tinggi-tinggi namun moral anak mereka rusak, lebih baik para orang tua mendidik moral anaknya terlebih dahuulu. Karena seorang anak yang moralnya baik, walaupun mereka sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi mereka tetep memiliki moral yang baik pula.Sekolah yang ada pertama kali di sana adalah Sekolah Rakyat (SR). Dengan perkembangan zaman yang mulai barkembang, pendidikan menjadi lebih diutamakan bahkan sangat berarti bagi masyarakat di sana. Anak balita (bawah lima tahun) sudah di sekolahkan di PAUD, lalu di lanjutkan ke jenjang SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Namun rata-rata penduduk yang ada di sana menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang SMA. Adapun yang melanjutkan kejenjang SMA, mereka harus menempuh jarak yang sangat jauh dari tempat tinggalnya. Karena, SMA terdekat ada di kota.

3. TeknologiDari segi teknologi, banyak pengaruh yang membuat berbagai macam alat-alat yang mulai berganti. Dari yang tradisional berubah menjadi yang lebih modern. Seperti : Alat transportasiSebelum ada jalan beraspal, masyarakat lebih memilih berjalan kaki. Untuk jarak yang agak jauh, mereka lebih memilih menggunakan kuda. Karena jalan sekarang sudah beraspal, kendaraan bermesin sudah ada, masyarakat beralih ke kendaraan bermotor.Majunya alat transportasi, disana ada kendaraan jeep yang di gunakan untuk khusus mengangkut para wisatawan. Ada pula shuttle yang di pergunakan oleh masyarakat yang ada disana (seperti angkutan umum) dan yang dipergunakan pula oleh para wisatawan juga. Alat komunikasi

Page 13: Jejak madura tengger

Dulu alat yang digunakan untuk memberi kabar adalah dengan menggunakan perantara individu, lalu berubah menjadi kentongan untuk memberi tahu hal-hal yang penting di desa, kemudian dengan berkembangnya teknologi, warnet, HP / internet / microphone mulai ada di desa itu. Alat-alat masakAlat untuk memasak disana banyak yang menggunakan pawon. Pawon di sana tidak seperti pawon-pawon kebanyakan. Pawon di sana di bawah tempat untuk membakar kayu, terlebih dahulu di beri lubang kecil sebelum pembuatannya, agar asap yang keluar dari pawon tidak tersebar kemana-mana. Jadi asap yang dikeluarkan masuk lewat saluran lubang kecil di bawah tungku. Alat peneranganDulu, di sana tidak ada sarana penerangan berupa listrik. Masyarakat di sana masih menggunakan alat-alat yang seadanya untuk menerangi rumah mereka. Dengan berkembangnya sarana teknologi, di sana pun mulai ada listrik. Sehingga rumah-rumah penduduk disana sudah diterangi oleh terangnya cahaya lampu listrik. Dengan adanya tiang-tiang listrik di sepanjang jalanan beraspal yang ada di desa Ngadisari, jalanan di sana menjadi terang.4. Bentuk-bentuk RumahBentuk rumah masyarakat tengger dulunya atapnya terbuat dari daun alang-alang, dinding terbuat dari anyaman bambu, lantainya masih berupa tanah. Sedangkan bentuk rumah yang di sana sudah terpengaruh dengan kebudayaan baru. Atap sudah terbuat dari genteng, dinding sudah terbuat dari bata, lantainya pun sudah berlapis keramik.Adapun bentuk rumah yang masih asli berada di belakang gunung Batok yang bersebelahan dengan gunung Bromo.

5. AgamaMayoritas agama penduduk yang berada di suku tengger adalah Hindu. Sedangkan agama yang ada di sana selain Hindu adalah Islam. Masyarakat yang beragama Hindu bisa di jumpai di suku Tengger bagian atas, sedangkan Tengger bagian bawah bisa di jumpai masyarakat Tengger yang beragama Islam. Masyarakat Tengger Hindu dengan masyarakat Tengger Islam bisa hidup berdampingan satu sama lain dalam satu desa yang saling bersebelahan.

6. BahasaBahasa merupakan alat pemersatu untuk berkomunikasi sehari-hari. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat tengger sama dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari yaitu bahasa Jawa walaupun ada tambahan dengan menggunakan aksen A. Masyarakat disana mengasuh anak-anaknya menggunakan bahasa yang baik agar anak tersebut bisa mengerti sopan santun. Apabila anak tidak diberi pengarahan tentang bahasa yang baik untuk di gunakan, maka anak tersebut akan seenaknya sendiri jika berbicara dengan lawan bicaranya yang lebih tua. Namun ada pula anak yang menggunakan bahasa “nglampa” yang berbicara dengan seenaknya sendiri.Majunya pariwisata yang ada di Bromo, membuat pola pemikiran masyarakat Tengger semakin maju, yang dulunya masih berfikir tradisional, sekarang sudah berfikir lebih modern. Dari berbagai macam perubahan-perubahan, masyarakat Tengger juga masih memegang teguh apa yang sudah di tinggalkan oleh para leluhur mereka, masih menjaga

Page 14: Jejak madura tengger

solidaritas satu sama lain. Walaupun banyak perubahan-perubahan yang ada pada masyarakat Tengger di beberapa aspek-aspek kehidupan, mayarakat di sana masih menjaga keseimbangan antara dunia alam nyata dengan dunia di luar alam nyata.

http://isnaenikurniawati.wordpress.com/2011/11/29/perubahan-sosial-budaya-di-masyarakat-tengger-bromo/