JEJAK LANGKAH ANAK KAMPUNG SAWAHromoyus.25tahunimamat.parokisanmare.or.id/ebook/Biji...sanya tak ada...

28
4 JEJAK LANGKAH ANAK KAMPUNG SAWAH “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu.” (Yes 46:4) Biji Sesawi dari Kampung Sawah | 51

Transcript of JEJAK LANGKAH ANAK KAMPUNG SAWAHromoyus.25tahunimamat.parokisanmare.or.id/ebook/Biji...sanya tak ada...

4

JEJAK LANGKAH ANAK KAMPUNG SAWAH

“Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu.”

(Yes 46:4)

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 51

4

JEJAK LANGKAH ANAK KAMPUNG SAWAH

“Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu.” (Yes 46:4)

Dilanda Kecemasan SETELAH tahbisan, perjalanan Imamat Romo Yus tidak serta merta melenggang di jalan lapang. Hambatan dan persoalan makin memancing kecemasannya. Ada kalanya Romo Yus merasa seperti tidak melihat jalan keluar atas suatu masalah dan merasa tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya. Salah satunya ketika menjadi Pastor Paroki St. Aloysius Gonzaga, Cijantung (1996-2001). Ia datang sebagai Pastor Rekan, men-dampingi Romo LBS Wiryowardoyo, Pr. Ketika itu kondisi paroki tidak terlalu baik karena masih punya tanggungan utang dari renovasi gereja periode sebelumnya. Meng-

andalkan perolehan dari kolekte jelas tidak mencukupi. Belum lagi ada beberapa penge-luaran mendadak dari PSE menjadikan beban keuangan agak berat. Romo Yus turut men-cari jalan keluar atas persoalan itu, tetapi ra-sanya tak ada yang berarti. Dalam kebun-tuan, tiba-tiba terbersit pemikiran ada sebi-dang tanah milik gereja yang sudah tidak digunakan lagi. Atas izin Keuskupan tanah itu pun dijual. Theodorus Soegiyanto, salah seorang anggota Dewan Paroki dari Paroki St. Aloysius Gonzaga Cijantung kala itu, mengakui bahwa Romo Yus adalah orang yang sederhana, rapi, jujur, tidak aneh-aneh,

52 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

dan sopan. Beliau tidak memandang berbeda umat, tidak pilih-pilih umat untuk dikun-jungi. Meski, ada kalanya muncul juga sifat lain Romo, yakni saklek, terlalu kaku, kadang malah terlihat keras kepala. Tapi, menu-rutnya, untuk hal-hal yang penting, sikap seperti itu sangat perlu. Hal senada diamini oleh Budi Pratiknyo, mantan Ketua Mudika (OMK) Paroki St. Aloysius Gonzaga Cijantung kala itu, yang hingga kini masih “bersahabat” dengan Romo Yus. “Tahun 1982 saat Romo Yus

masih sebagai frater yang melakukan asistensi di paroki kami, kebetulan saya sebagai ketua mudika. Kami mempunyai panggilan akrab untuk beliau yaitu ‘Frater Yusno’. Memang, ketika itu Frater Yusno lebih banyak bertugas mendampingi mis-dinar dibanding bersama mudika. Namun, ia juga sering berkumpul bersama kami. Frater Yusno senang berjalan ke mana saja, juga senang ikut berkemah bersama mudika. Sejak masih menjadi frater, ia senang ber-kunjung ke rumah-rumah umat. Di situ tampak ia adalah tipikal orang yang ‘easy going’. Diajak berjalan kaki mau, naik motor mau. Romo Yus itu sebenarnya orangnya hangat, walaupun memang agak strict. Ia mau mendengarkan saat berdiskusi, walau-pun keputusan akhir ada di beliau. Kalaupun Romo Yus tidak setuju, tidak akan disam-paikan secara frontal. Memang, bila ia sudah punya pendapat ya itulah pendapatnya. Sepengetahuan saya, Romo Yus tipe orang yang tidak mau mencari keributan. Karena itu, ia berusaha merangkul semua orang. Jadi, bila ada hal yang menimbulkan perten-tangan biasanya ia akan berusaha mene-tralisirnya walaupun tetap ia punya pendapat sendiri. Ia juga tidak suka bergosip. Sehing-

Romo Yus Noron bersama para Pengurus Wilayah dan Lingkungan Paroki St. Aloysius Gonzaga, Cijantung dalam sebuah acara pembekalan pada tahun 1997 (dokumenrasi pribadi)

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 53

ga bila sudah ada yang mulai bergosip akan dialihkan ke pembicaraan lain.” Benarlah, hasil penjualan tanah itu ternyata cukup untuk menutup pinjaman bank dan kebutuhan-kebutuhan lain yang selama ini tertunda. Apalagi kolekte umat mengalami peningkatan sehingga keadaan keuangan paroki yang semula minus menjadi surplus. Tak bisa dimungkiri betapa tangan Tuhan bekerja dengan indahnya. Romo Yus menya-kini bahwa Tuhanlah yang memberikan jalan keluar. “Kadang kala manusia tidak melihat apa yang dikehendaki Allah karena lebih sering menuruti pemikiran sendiri,“ cerita Romo Yus yang atas peristiwa itu ia merasa makin dikuatkan oleh motto tahbisannya. Kecemasan yang begitu berat pernah melanda Romo Yus ketika menggembala di suatu paroki. Kecemasan ini begitu mengim-pit dan mengakibatkan dirinya stres berat. Tanda-tandanya? “Saya merasa lapar, tetapi ketika makan sesuap-dua suap, saya merasa mual dan muntah.” Beberapa teman dekat-nya sempat menuduhnya sedang mengalami stres. Romo Yus tidak begitu saja percaya pada “diagnosis” itu sehingga ia pun memu-

tuskan untuk mengunjungi dokter. Tidak tanggung-tanggung tiga dokter ia temui. Ternyata diagnosis ketiga dokter itu sama, kelelahan dan stres. Dalam kondisi seperti itu, Romo Yus ber-syukur mendapat dukungan dari teman-teman dan keluarga, baik keluarga sendiri maupun keluarga-keluarga lain. Mereka memberikan penghiburan yang menguatkan dan mendorong untuk tetap maju. “Saya merasa ada yang menolong saya. Ada orang yang mau mendengar masalah saya.” Penguatan dan penghiburan juga diperoleh-nya dalam retret, “Saat itu saya baru menya-dari, saya berpikir mengenai diri sendiri bah-wa Tuhan tidak mencintai saya lagi, Tuhan meninggalkan dan mendiamkan saya. Pada-hal Tuhan tahu saya mengasihi Dia. Setelah beberapa waktu, Tuhan sungguh menunjuk-kan jalan bahwa ternyata saya dalam kori-dor yang benar. Dengan keyakinan itu dan dukungan berbagai pihak, akhirnya masalah yang begitu berat itu bisa selesai juga.” Pengalaman Romo Yus itu seolah meng-ingatkan pada sebuah cerita bijak karya

54 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

Margaret Fishback Powers yang sangat popular: Jejak Kaki (Footprints). Semalam aku bermimpi, berjalan di se-panjang pantai bersama Tuhan. Di cakrawala luas terbentanglah seluruh adegan ke-hidupanku. Pada setiap adegan kulihat dua pasang jejak kaki di pasir; sepasang jejak kakiku, dan sepasang lagi jejak kaki Tuhan. Setelah adegan terakhir dari kehidupanku terhampar di hadapanku, aku menoleh ke belakang melihat jejak kaki di pasir. Kuper-hatikan bahwa berkali-kali sepanjang jalan hidupku, terutama pada saat paling gawat dan menyedihkan, hanya terdapat sepasang jejak kaki. Hal ini benar-benar membuatku sangat kecewa maka aku bertanya kepada Tuhan. “Tuhan, Engkau mengatakan bila aku mengikutiMu, Kau berjanji akan berjalan bersama sepanjang jalan hidupku. Namun, aku perhatikan bahwa pada saat-saat paling gawat dan beban berat menindas hidupku, hanya ada sepasang jejak kaki. Aku tidak mengerti mengapa pada waktu aku sangat

membutuhkanMu, justru Engkau mening-galkanku?” Tuhan menjawab lembut, “Anak-Ku, engkau sangat berharga di mataKu, Aku sangat mengasihimu dan Aku tidak akan mening-galkanmu. Pada waktu dirimu dalam bahaya dan penderitaan, kau hanya melihat sepa-sang jejak kaki karena pada waktu itu Aku menggendongmu.” Entah sudah berapa banyak Tuhan “meng-gendong” Romo Yus dalam menapaki perjalanan imamatnya, dari satu pelayanan ke pelayanan lain. Bukan mustahil, cara Tuhan “menggendong” adalah dengan menghadirkan orang-orang di sekitar Romo Yus dalam setiap episode kehidupannya, meski hanya dalam sebuah persinggahan yang singkat.

Parang di Atas Altar PADA era 1990-an situasi Paroki St Leo Agung Jatibening sangat rawan. Namun, Romo Yus mantap memilih paroki ini ketika ditanya di

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 55

mana akan berkarya setelah dari Paroki Teluk Gong. Alasan utamanya adalah ingin menemani Romo Pranataseputra yang sen-dirian merintis paroki di sana. Mgr. Leo Soekoto, waktu itu berpesan agar para pastor paroki hendaknya tidak sendirian. “Selain itu saya merasa masalah di Jatibening itu terjadi karena adanya segelintir orang yang tidak setuju pendirian gedung gereja lalu menga-jak orang-orang dari luar,” kata Romo Yus. Saat Romo Yus ditempatkan di Jatibening, perayaan Ekaristi sudah berpindah tempat beberapa kali karena bentrok dengan masa yang tidak setuju. Bahkan suatu kali, massa secara paksa membubarkan perayaan Ekaristi. Waktu itu paroki ini mencakup 9 wilayah dan 33 lingkungan dan memiliki umat sekitar 5.000 orang. Lokasi pastoran berdekatan dengan lahan yang akan dibangun gedung gereja dan beberapa kali pastoran ini menjadi sasaran teror. Tidak hanya pastoran. Susteran FCJM yang tak jauh dari pastoran juga kena teror. Bentuk teror bermacam-macam, kadang berupa lemparan batu atau berupa ancaman melalui telepon.

Suatu ketika Romo Yus hendak memimpin misa di rumah umat. Romo Yus menerima telepon dari orang yang tidak dikenal. Orang itu mengatakan jika tetap akan memimpin misa, Romo Yus akan dicegat di tengah jalan. “Saya sempat takut dan bingung juga. Lalu saya menghubungi umat yang kebetulan seorang polisi. Dia mengawal kami. Tenyata tidak ada apa-apa. Berangkat dan pulang, aman,” kenang Romo Yus. Namun, peristiwa yang paling menakutkan bagi Romo Yus pernah terjadi ketika me-mimpin misa di kediaman salah seorang umat. Saat itu umat sudah memenuhi ru-mah yang digunakan untuk Perayaan Ekaristi. Beberapa umat yang berprofesi sebagai aparat keamanan hadir pula di sana. Setelah khotbah, entah dari mana asal- nya, massa yang menentang pendirian gereja mendatangi rumah itu sambil berteriak-teriak kasar. Seorang di anta- ra mereka langsung maju menantang Romo Yus, ceritanya, “Sambil mengacung kan senjata tajam semacam parang di atas meja yang digunakan sebagai altar, orang itu mengancam, ‘pilih selamat atau ini’. Saya melihat umat sudah kabur, tinggal be-

56 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

berapa umat yang berprofesi sebagai poli-si.” Oleh pemilik rumah, Romo Yus diminta masuk ke ruang dalam. Selanjutnya, beberapa umat yang kebetulan menjadi polisi mengambil alih dan menenangkan para perusuh ini. Romo Yus tidak tahu bagaimana para polisi itu melakukan nego-siasi dan menenangkan keadaan. Yang ia tahu, setelah keadaan aman ia diantar kembali ke Pastoran. Semasa menjadi Pastor Rekan di Jatibening ini Romo Yus sempat menyaksikan berdi-rinya bangunan bedeng Serba Guna (1995) berukuran 16 x 36 meter. Bedeng ini ke-mudian diubah menjadi bangunan semi permanen yang digunakan sebagai Gedung Serba Guna dengan nama “Graha Manunggal Bhakti Leo Agung” sehingga bisa digunakan untuk melakukan kegiatan ibadah, Misa Kudus dan kegiatan rohani yang lain. Sayangnya, setahun kemudian Gedung Serba Guna ini dibakar massa tepatnya pada Selasa 17 September 1996. Waktu itu Romo Yus sudah pindah tugas ke Cijantung.

“Bu, ayo pulang…”

Yanti Paulus Ibu Rumah Tangga ”Pastoran”

Saya mencoba mengupas sisi-sisi kemanu-siawian Romo Yus—mengingat rumah saya dekat dengan tempat tinggal kedua pastor tersebut dan saya dipercaya menjadi ibu rumah tangga ”Pastoran”. Saya sebut ”Pasto-ran” karena pada masa itu St. Leo Agung masih belum mempunyai apa pun, termasuk gedung pastoran sehinggga dipinjami rumah oleh salah seorang umat. Romo Yus adalah romo yang bersahaja dan tidak rewel dalam arti menerima apa saja yang ada. Orangnya pendiam dan rendah hati di dalam melak-sanakan tugas pelayanan sebagai gembala umat. Begitu pun dalam hal makan, Romo tidak memilih-milih. Makanan yang menjadi kegemarannya adalah lalapan berikut sambel terasi. Karena kegemarannya itu, suatu hari beliau datang ke rumah saya sambil me-nyembunyikan tangan di balik punggung-nya, lalu melontarkan tebakan, apa yang kira-kira dibawanya. Saya yang sudah hafal betul kesukaannya, langsung menebak, be-

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 57

liau membawa buah gandaria dan meminta dibuatkan sambal. Pada suatu hari, beliau mengatakan ”Bu, ayo pulang.” Saya tanya, mau pulang ke mana karena ini kan rumah beliau juga. Ternyata, yang dimaksud adalah pulang ke rumah mamanya di Kampung Sawah. Dengan perasaan agak terpaksa karena jalan ke Kampung Sawah masih belum diaspal, becek, dan berlumpur—banyak kuburan pula—bersama seorang ibu, saya antar beliau. Begitulah, kala itu, setiap kali Romo Yus kangen pada ibunya, kami ibu-ibu de-ngan senang hati mengantar beliau ”pulang kampung”, meskipun tempatnya masih ”serem”. Kami paham, itulah sifat manusiawi seorang romo, sama seperti kita semua, sering kangen pada orang tua, terutama kepada ibu. Sisi-sisi sebagai manusia biasa juga terlihat dari beberapa kegiatan yang dilakukannya di sela-sela tugasnya sebagai gembala umat, antara lain bermain bulutangkis, menonton film, dan rekreasi. Menonton pertandingan sepak bola di TV juga merupakan kegema-rannya, bersama Pak Sugiarto yang rumah-

nya dekat dengan tempat tinggal Romo Yus, mereka biasa ”nonton bareng” sampai dini hari. Salah satu pembicaraan yang sampai seka-rang terkesan dalam diri saya adalah ketika beliau mendengar salah satu saudara saya meninggalkan panggilannya sebagai romo dan kembali menjadi awam. Beliau bertanya pada saya, berapa umur saudara saya itu dan mungkinkah hal yang sama terjadi pada dirinya? Maklum, saat itu Romo Yus belum genap sepuluh tahun menjalani panggilan-nya sebagai imam. Pertanyaan itu saya ja-wab dengan tegas, ”Tidak ada yang bisa me-mengaruhi Romo karena untuk bisa menjadi seorang romo tidak mudah dan berat per-jalanannya.” Saya katakan pula, bahwa saya akan terus berdoa untuk Romo supaya tetap setia pada panggilannya. Ucapan saya itu mungkin bukan sesuatu yang istimewa, na-mun waktu membuktikan bahwa meski per-jalanan hidupnya sebagai gembala umat pe-nuh dengan tantangan dan liku-liku, Romo Yus berhasil melewatinya dan mencapai pesta perak imamatnya. Suatu perjalanan yang bukan sebentar untuk membuktikan kesetiaan hidup membiara, menjadi gembala

58 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

yang konsisten terhadap panggilannya, tentu semua itu juga berkat dukungan doa dari kita semua.

Teror yang dialami Romo Yus memberikan trauma. Sejak saat itu jika dipindahtugaskan ke sebuah paroki, ia selalu bertanya, “Di sini aman, nggak?” Meskipun selalu demikian situasi keamanan paroki tidak memengaruhi semangat Romo Yus untuk berkarya di paroki tersebut. Ia tetap menjalankan pe-nugasan yang diberikan kepadanya.

Merintis Paroki Baru MESKIPUN tidak semencekam di Jatibening, Romo Yus pernah dihadapkan pada situasi keamanan lingkungan yang tidak nyaman. Itu terjadi ketika merintis stasi Teluk Gong yang sudah dibentuk tahun 1978 menjadi sebuah paroki. Tugas ini sungguh membuat-nya gamang, tidak siap, dan tidak percaya diri. Gambaran dan karakter Teluk Gong yang merupakan daerah pelabuhan tidak

terlalu ia pahami. Apalagi baru dua tahun menjadi imam dan berkarya di paroki pun belum lama. “Mengapa harus saya, bukan-kah ada pastor yang lebih senior. Saya itu belum lama belajar menjadi imam,” Romo Yus serasa kembali kepada kecemasan keti-ka akan ditahbiskan, yaitu merasa tidak mampu. Di sisi lain Mgr. Leo Soekoto SJ terus membujuk. Meski sempat menunda-nunda keputusan, akhirnya Romo Yus bersedia menerima penugasan ini. “Setelah memutus-kan, saya menghadap Bapa Uskup. Beliau sedang sakit, tetapi mau menerima saya di kamarnya. Saya kemukakan bahwa saya mau menerima tugas di Teluk Gong. Mendengar keputusan saya dia tertawa. ‘Akhirnya kamu mau juga ke Pluit, ya’.”

Tugas merintis paroki baru di Teluk Gong tidak mudah, apalagi tahun pertama di Teluk Gong dijalaninya sendirian. Baru pada tahun kedua ia ditemani seorang frater. Salah satu tugas Romo Yus adalah mengunjungi ru-mah-rumah umat yang terkena banjir karena wilayah ini begitu sering dilanda banjir.

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 59

Romo Yus bersama para Orang Muda Katolik di Stasi Teluk Gong (dokumentasi pribadi, 1992)

Demikian pula, oleh karena ini daerah pela-buhan maka Romo Yus sering berhadapan dengan preman-preman pelabuhan, bahkan ia sempat pernah “dikerjain” preman setem-pat. Romo Yus kemudian menemukan cara “berkawan” dengan preman-preman terse-but. Ia mencari informasi siapa gembong premannya dan melakukan pendekatan de-ngannya. “Setelah beberapa lama, gembong preman itu berkata kepada saya, ’Sekarang aman, Romo.’ Dan memang keadaan men-jadi lebih aman.” Selama periode perintisan, tarekat CDD ingin berkarya di sana maka Romo Yus bersama tarekat tersebut me-nyiapkan terbentuknya paroki baru.

Ketika stasi sudah siap diresmikan menjadi paroki, Mgr. Leo Soekoto meminta Romo Yus mencarikan nama yang diambil dari nama para rasul. “Saya mengusulkan nama Philipus, yang langsung disetujui oleh Mgr. Leo.” Kemudian Keuskupan Agung Jakarta mengeluarkan surat keputusan No. 178/ 3.25.2/93 tertanggal 2 Februari 1993, ditan-datangani oleh Mgr. Leo Soekoto SJ, yang isinya meningkatkan Stasi Teluk Gong men-jadi Paroki, dengan nama pelindung Santo Philipus Rasul. Bapa Uskup pada 4 Februari 1993 menugaskan Pastor Djohan Lianto, CDD sebagai Pastor Kepala. “Perayaan Ekaristi peresmian Paroki Philipus Rasul yang sekarang berlokasi di Kapuk dila-kukan pada 6 Februari 1993 dan keesokan harinya, 7 Februari, saya pamitan, karena su-dah dipindahtugaskan ke Paroki Jatibening.” Keberhasilan merintis Paroki St. Philipus Rasul Teluk Gong tak lepas dari peran para pastor Xaverian yang mendampingi dan membimbingnya. Selama dua tahun sebelum merintis Teluk Gong, ia berkarya di Paroki Stella Maris yang merupakan penugasan pertamanya di paroki setelah ditahbiskan.

60 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

Ketika diberi tahu akan ditugaskan di Paroki Stella Maris, Romo Yus sangat gembira. Inilah saat yang dinantikan, yaitu berkarya di paroki. Ia bersyukur harapannnya terkabul. Namun, rasa grogi menyergapnya karena ia harus bekerja sama dengan pastor-pastor berkebangsaan Italia, yaitu Pastor Santadrea SX dan Pastor Lorenzo Suryo Prayoga SX, sedangkan umat yang dilayani sebagian besar beretnis China. Romo Yus berusaha menyesuaikan dengan orang-orang bule itu. Ia menerka-nerka bah-wa para pastor dari Italia ini biasanya suka nonton pertandingan sepakbola. Itu sama dengan dirinya, meskipun tidak pandai ber-main, ia suka nonton pertandingan sepak-bola di TV. Saat itu Liga Italia Seria A mulai ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta. “Setiap Minggu malam kami bertiga pergi ke rumah salah seorang umat yang memiliki dekoder yang dapat mentransfer tayangan Serie A tersebut.” Di Paroki Stella Maris inilah Romo Yus banyak belajar berparoki secara konkret. “Dari pastor-pastor ini saya mendapat begitu

banyak pengalaman mengelola sebuah paroki dan menjalankan pelayanan paroki dengan rapi. Jika para pastor Italia ini berkumpul, mereka selalu mengajak saya. Meskipun mereka berbicara dengan bahasa Italia, pastor-pastor Pluit akan mener-jemahkan. Saya bersyukur mendapat pe-ngalaman hidup berkomunitas dengan me-reka.” Lalu apa yang dikerjakannya di paroki itu? “Tugas yang diberikan Pastor Suryo kepada saya adalah membaca laporan-laporan dari lingkungan dan seksi, meringkasnya untuk kemudian dibacakan di rapat Dewan Paroki. Begitu terus berulang-ulang,” cerita Romo Yus. Sementara, di mata umat Paroki Stella Maris, Miranda—salah seorang umat—mengakui, “Sosok Romo Yus adalah seorang yang hobi nonton bola kaki, dikenal, dicintai, dan dicari oleh banyak umat mulai dari anak-anak, remaja, OMK, hingga orang tua. Kepolosan-nya membuat banyak orang merasa nyaman bertukar pengalaman, curhat ataupun ha-nya sekadar ngobrol ringan bersamanya.”

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 61

Di Paroki Stella Maris Romo Yus banyak belajar berparoki secara komplit, termasuk memimpin misa lingkungan di rumah warga (dokumentasi pribadi, 1990)

Berkarya di Paroki “Raksasa” DI setiap paroki, Romo Yus selalu mene-mukan dinamika dan pengalaman berkarya yang unik. Termasuk ketika berkarya sebagai Pastor Kepala di Paroki St. Yakobus, Kelapa Gading (2001-2008). Paroki ini bisa disebut sebagai Paroki “Raksasa” dengan jumlah umat lebih dari 18 ribu orang. Paroki yang dilayani oleh empat orang imam ini menyelenggarakan 13 kali perayaan Eka-risti dari Sabtu sore hingga Minggu sore (ter-masuk misa di kapel Andreas Kim Tae Gon yang diresmikan sejak 14 Desember 2004). Pengalaman saat terjadi bencana banjir 2007 sangat berkesan baginya. Selesai memper-sembahkan Misa Jumat Pertama di kapel Andreas Kim Tae Gon yang berjarak sekitar 4 km dari Gereja St. Yakobus Kelapa Gading, Romo Yus berniat akan tinggal sampai sore di sana. Hari itu hujan, tetapi dia tidak menyangka kalau di luar sudah banjir. Ketika masuk ke kamar di kapel itu, air sudah masuk hingga sekitar 1 meter. Waktu itu Romo Yus berpikir akan lebih baik kalau kembali ke Gereja Yakobus saat itu juga.

Romo Yus membagikan Hosti kepada para Orang Muda Katolik dalam acara misa Retret Mudika Paroki Stella Maris (dokumentasi pribadi, 1991)

62 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

Kapel Andreas Kim Tae Gon, Kelapa Gading terendam banjir (dokumentasi pribadi, 2007)

Tak ayal banjir pun diterjangnya, meski rata-rata tinggi air banjir sudah selutut hingga sedada. Apa boleh buat. Dompet dibungkus-nya dengan plastik dan ditaruh di saku jaket. “Saya hafal jalan yang saya lalui jadi saya tahu jalan mana yang berlobang besar mana yang tidak.” Sesampainya di gereja, aula sudah dipenuhi pengungsi. Waktu itu tidak ada uang, jadi uang apa saja dipakai untuk urusan pengungsi, sebab kondisinya sangat tidak memungkinkan untuk ke bank. Misa Kudus hari Sabtu-Minggu yang biasa dia-dakan 6 kali, saat itu hanya diadakan sekali

dan dihadiri oleh pengungsi yang ada di ge-reja saja. Hari-hari berikutnya baru datang bantuan hingga melimpah. Selama menjadi pastor di Kelapa Gading, Romo Yus menga-lami banjir semacam ini dua kali. “… food hunting di surganya makanan di Kelapa Gading.”

Mindiarto Djugorahardjo

Mantan anggota Depahar

Merakyat. Barangkali itulah stempel yang tepat untuk sosok Romo Yus Noron yang pernah berkarya di Paroki Santo Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Fakta yang kami temui tentang Romo Yus, antara lain Romo yang Gaul, Membumi, Doyan Makan, dan Hobi Badminton. Romo yang Gaul, ter-lihat dari sangat kentalnya candaan-canda-an beliau, tetapi dapat menempatkan diri kapan sebagai Romo dalam tugas peng-gembalaan yang harus berdiri di depan; ka-pan harus menempatkan diri sebagai pe-mimpin suatu komunitas; dan kapan ha-rus bertindak sebagai pengikut (follower)—tanpa perlu merasa gengsi.

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 63

Romo Membumi, tercermin dari tidak ada-nya perasaan “berjarak” antara pribadi Romo Yus dan umatnya. Beliau sangat mengenal nama-nama umatnya dengan fasih, mau dan cukup sering berkunjung ke rumah-rumah umat, bisa berbaur dan tidak membedakan status sosial dalam melayani. Semua dilayani dengan sama rasa, sama kualitas, dan sama ketulusannya. Romo Doyan Makan, dibuktikan dengan sangat seringnya “bergerilya” atau food hunting di surganya makanan di Kelapa Gading. Tidak tanggung-tanggung, hal itu bukan dilakukan pada jam makan, melain-kan selesai rapat Depa hingga lewat te-ngah malam, menyusuri makanan-makanan legendaris dan menu favorit. Beliau sangat tahu tempatnya, tahu rasa nikmatnya, dan tahu menu andalannya—dan yang pasti dalam porsi yang tidak sedikit. Namun, karena pencernaan yang baik maka hobi makan ini tidak pernah membuatnya gemuk. Tubuhnya terjaga langsing, ditambah lagi oleh hobinya bermain badminton. Romo Hobby Badminton, tak bisa disangkal sebab di mana ada pertandingan, di situ

Romo Yus Noron berada. Umat selalu dilibat-kan bersama, pergi ke luar kota bersama, membaur sehingga “orang luar” tidak pernah menyangka bahwa di tengah lapangan se-dang ada seorang romo yang “performing”.

Di Paroki St. Yakobus, Kelapa Gading, Romo Yus juga meninggalkan jejak karya pastoral yang monumental. Marcel Aslin, mantan anggota Dewan Paroki bercerita bahwa sampai sekarang karya pastoral ini masih berlanjut, yaitu penyelenggaraan Perayaan Ekaristi bagi pasangan suami istri yang merayakan ulang tahun perkawinan, dia-dakan setiap hari Rabu minggu ketiga setiap bulannya. Begitupun pastoral konsultasi ke-luarga yang dirintisnya, hingga sekarang ma-sih bersinambungan—yang sedikit banyak-nya membantu mengurangi tingkat percerai-an di antara pasangan suami istri, terutama pasangan usia muda. “Beberapa kali kami bersama-sama menga-dakan kunjungan pastoral secara berkala ke setiap wilayah yang mempunyai 3-5 lingku-ngan untuk bertatap muka secara langsung

64 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

Romo Yus sangat mengagumi Mgr Leo Soekoto SJ yang menahbiskannya sebagai Imam sekaligus membim-bingnya dalam berbagai tugas penggembalaan (dokumen pribadi, 1988)

dan berdialog dengan umat, Tidak heran, gairah umat untuk melayani sangat terpacu. Pastoral beliau sangat bagus dan tertata rapi, terbukti dengan pengenalannya terhadap umat sesuai dengan lingkungan masing-masing,” jelas Marcel Aslin. Kesaksian Marcel Aslin dibenarkan oleh Junny, seorang umat yang mengaku ngobrol dengan Romo Yus selalu terasa meng-asyikkan, apa pun obrolannya. Begitu dekatnya ibu ini dan keluarganya dengan Romo Yus sehingga tak lagi canggung untuk ngobrol dengan bahasa Betawi. “Mau ngo-brol lama atau sebentar, tetap saja terasa nyambung banget. Secara pribadi, tegur sapa ala Betawi, ngomong logat Betawi, sambil menyisipkan istilah-istilah bahasa Betawi yang sering kami dengar ataupun bahasakan di masa lalu, seakan membawa kami kembali sejenak ke masa lalu—semasa kami masih kanak-kanak dengan latar belakang yang sama, tinggal di Betawi sebagai orang Betawi. Istilah-istilah yang sudah lama tidak terucap atau jarang terdengar, kadang-kadang spontan muncul kembali membuat suasana menjadi hangat.”

Mengagumi Mgr Leo Soekoto SJ ADALAH wajar jika Romo Yus Noron sangat mengagumi Mgr. Leo Soekoto SJ yang menjadi Uskup Agung Jakarta (1970-1995). Bukan saja karena ia ditahbiskan oleh Mgr. Leo Soekoto atau karena Sang Monsiegneur adalah uskup pertama yang dilihatnya ketika beliau menahbiskan Romo Marius Maria atmaja di parokinya, Kampung Sawah. Bagi Romo Yus, Mgr. Leo Soekoto sangat mem-perhatikan perkembangan dan kepribadian para imam yang dipimpinnya, termasuk dirinya.

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 65

Romo Yus merasa sangat dididik oleh Mgr. Leo dalam tugas-tugas penggembalaannya. Dari penugasan di CIVITA, Romo Yus mem-peroleh kepercayaan diri untuk berbicara di depan umum. Dari penugasan di Teluk Gong, ia mempunyai pengalaman merintis sebuah paroki, dan dari tugas di Jatibening Romo Yus menaklukkan kekhawatiran akan keselamatan diri. Penugasan-penugasan awal yang bagi Romo Yus sangat sulit telah menggembleng mental dan memberikan bekal kekuatan untuk melanjutkan karya di paroki-paroki selanjutnya. Mgr. Leo Soekoto SJ juga tidak marah ketika Romo Yus “membandel” saat akan berkarya di Teluk Gong atau ketika dirinya tidak mau dipindah dari Jatibening ke Kelapa Gading. Menurut Romo Yus, “Alasannya, ketika itu saya baru 3 bulan di Jatibening. Teman-teman pastor juga menguatkan alasan saya. Mgr. Leo akhirnya mau menerima alasan saya.” Meskipun mengagumi Mgr. Leo Soekoto SJ, dirinya tetap hormat dan taat kepada para uskup yang menggantikan beliau. Romo Yus menganggap para uskup ini sebagai bapak

dan bimbingan Allah kepadanya mengalir melalui Bapa Uskup yang memimpinnya. “…setiap malam dia mendoakan teman-teman sepanggilannya…”

~ Sr. Miryam HK

Seorang sahabat, Lampung Saya teringat pertama kali bertemu dengan Romo Yus Noron pada awal Agustus 1992 di Kedoya. Waktu itu, seorang teman menitip pesan agar saya berjumpa dengannya. Dari pertemuan itu saya memiliki kesan bahwa dia seorang yang akrab. Setelah sekian lama tidak kontak dan bertemu, pada 2003, saya bertemu kembali saat Romo Yus memper-sembahkan misa di Paroki Ratu Damai, Telukbetung, Lampung. Dalam homilinya waktu itu, ia bicara tentang makna Tanda Salib bagi orang Katolik. Seusai misa, saya mendatanginya lalu dengan percaya diri bercerita bahwa kami pernah bertemu di Kedoya beberapa tahun lalu. Sayangnya, Romo Yus tidak begitu ingat nama saya. Romo Yus adalah seorang imam yang sangat liturgis, suaranya lembut dan jelas—seti-

66 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

daknya itulah kesan yang saya tangkap pada waktu misa bersama kelompok kharismatik saat itu. Orang-nya ramah dan penampilan-nya rapi-bersih. Dari perjumpaan inilah kami lalu sering kontak telepon untuk bercerita dan berbagi pengalaman kerasulan maupun pengalaman hidup. Bahkan dalam beberapa kali datang ke Lampung—entah bersama rombongan putra-putri altar, bersama kelu-arga-keluarga untuk berziarah, jalan-jalan, ataupun bersama rombongan badminton—romo selalu menyempatkan diri mampir untuk bertemu. Sesekali ia juga mengajak saya ngobrol-ngobrol sambil makan. Dari beberapa kali perjumpaan, saya semakin mengenalnya. Dia semakin mantap menja-lani panggilan hidup imamatnya sebagai se-orang imam. Yang saya lihat atau alami, Romo Yus bahagia dan setia dalam imamat dan pelayanannya, juga peduli pada teman-teman seperjuangan panggilan yang jauh dari tempat perutusannya. Ia seorang pen-dengar yang baik, sabar saat mendengarkan cerita dari teman-temannya yang sedang pa-tah semangat atau gagal dalam tugas kera-sulannya. Ia juga memberikan peneguhan agar orang dapat merasakan kembali sentu-

han dari Tuhan sehingga dapat melakukan tugasnya dengan penuh ketulusan dan cinta. Romo Yus itu seorang yang murah hati, suka ajak jalan-jalan dan makan, tapi tak bisa gemuk... tetap aja seperti itu... hehehe.... Kadang-kadang dia juga mengirim pulsa buat temannya yang ada di pedesaan. Yang luar biasa bagi saya adalah bahwa setiap malam dia mendoakan teman-teman se-panggilannya dan juga kuat berdevosi kepa-da Bunda Maria. Sebagai seorang selibater, Romo Yus Noron dicintai umatnya—terlihat dari perhatian dan sapaan umatnya untuk mengajaknya me-nonton film, jalan-jalan, atau bermain bad-minton yang dia sukai. Bagi saya ini merupa-kan bentuk perhatian dia sebagai seorang imam.

Dianggap Kurang Bersahabat ORANG mengenal Romo Yus sebagai imam yang pendiam, kurang ramah dan tidak suka tersenyum. Malah ada yang mengatakan

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 67

“galak”. Romo Yus mengaku sering men-dengar orang menilai demikian. Bisa jadi ka-rena Romo Yus lebih menitikberatkan pada aturan dan nilai-nilai prinsip yang benar yang harus dipahami oleh umat atau siapa-pun. “Tujuan saya sebenarnya mendidik dan menunjukkan yang benar dan baik,” jelasnya. Misalnya, suatu kali Romo Yus menolak memberi tanda tangan seorang siswa yang minta tanda tangan untuk tugas agama di sekolah. Alasan Romo Yus, anak itu sama sekali tidak menulis apa pun di bukunya. “Ibu itu bilang ‘Kok gitu aja dipersulit’. Ya masa’ saya menandatangani kertas kosong? Kalau ada keterangan misalnya perayaan Ekaristi dipimpin Romo Yus atau keterangan lain saya tentu akan memberi tanda tangan.” Lain cerita, di sebuah paroki ada umat yang minta agar rumah barunya diberkati. Romo Yus mengatakan agar umat yang lain diundang. “Tujuan pemberkatan rumah bu-kan sekadar mengusir roh jahat atau sema-camnya tetapi lebih untuk menghadirkan Allah dalam rumah yang ditandai dengan persekutuan dengan umat yang lain, yang saling menguatkan dan menghibur.”

Sampai waktu yang telah dijanjikan Romo Yus datang, rumah tersebut dalam keadaan berantakan, koran-koran penutup lantai ber-tebaran, pengecatan tampak belum selesai, tak satupun umat lain yang diundang dan tidak ada meja yang disediakan untuk altar. Hanya ada pasangan suami istri pemilik ru-mah itu.Romo Yus kesal, lalu pulang, tidak jadi memberkati rumah tersebut. Kesalahpahaman ini sering terjadi. Romo Yus pun pernah membuat kesalahan yang mem-buat umat kesal. Waktu itu ia diminta me-mimpin misa di rumah umat. Romo Yus datang mengenakan sandal yang biasa untuk pergi, bukan sandal jepit. Rupanya umat itu tidak berkenan dan menganggap Romo Yus tidak menghormati keluarga itu, dan terus terang tidak mau kenal lagi dengan Romo Yus. Tetapi Romo Yus tetap mendatangi, sehingga hubungan kembali baik. Di balik kesan “kurang bersahabat”-nya itu, sejatinya Romo Yus adalah sosok yang me-nyukai kebersamaan dan suasana guyub. Pengalaman kebersamaan ketika berkarya bersama pastor-pastor Xaverian sangat membekas di hatinya. Sebenarnya, kebersa-

68 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

maan dalam komunitas menjadi ciri khas Gereja. Seperti persekutuan dalam Gereja Perdana, ”Mereka bertekun dalam penga-jaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk meme-cahkan roti dan berdoa.” (Kis 3:42) Ia kerap menekankan kebersamaan dalam doa dan merayakan Ekaristi. Dalam keber-samaan, umat akan saling mendukung, sa-ling menghibur, saling menguatkan dan saling menghargai dan saling menenggang rasa. Misalnya dalam merayakan Ekaristi, kebersamaan ditunjukkan dengan datang tepat waktu sehingga bisa bersama-sama merayakan persekutuan dengan Allah. “Kalau datang terlambat, akan mengganggu umat lain, ini namanya tidak menenggang rasa, seolah ikut misa adalah urusan diri sendiri dengan Allah.” Romo Yus pernah dibuat terharu oleh keber-samaan umat di sebuah lingkungan di Paroki Kelapa Gading. Jumlah umat di lingkungan tersebut sekitar 60 KK. Kebanyakan dari mereka adalah para “kontraktor” alias tinggal di rumah kontrakan. Saat diadakan perayaan Ekaristi di lingkungan mereka, yang hadir sa-

ngat banyak. “Seingat saya misa kudus di lingkungan inilah yang dihadiri umat paling banyak. Dan setelah misa mereka makan bersama dengan menu apa adanya. Saya melihat kebersamaan dan kegembiraan dari wajah-wajah mereka. Sungguh sangat mengharukan.”

Dari Utara ke Selatan DARI Paroki raksasa di wilayah utara Jakarta, Romo Yus dipindahkan ke daerah selatan, sebagai Pastor Rekan di Paroki St. Matius Bintaro (2008-2010). Dari segi geografis paroki ini sangat bertolak belakang dengan paroki di Kelapa Gading. Situasi dan kondisi di Bintaro relatif lebih tenang. Ekaristi dirayakan empat kali dan ritme pelayanan agak lebih santai. Berkarya di sini meng-ingatkan Romo Yus pada saat pertama kali menjadi pastor paroki di Paroki Stella Maris, kala ia bekerja sama dengan para imam Xaverian. Inilah yang dialaminya kembali di Bintaro. Sebenarnya, ada keinginan dari Romo Yus untuk ditugaskan di paroki-paroki pedala-

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 69

man seperti di Kalimantan atau di Papua selepas tugasnya di Kelapa Gading, “Saya sudah mengajukan permohonan kepada Bapa Uskup (waktu itu Bapa Kardinal Julius Darma atmaja SJ). Jawaban Bapa Uskup cukup singkat, ‘Saya akan memikirkannya tetapi sekarang kamu ke Bintaro dulu.’ Jadi tidak ada pilihan lain, saya menjalankan tugas ke Bintaro.” Tugas adalah tugas. Di mana pun ditugas-kan, ia akan menjalankannya dengan sepe-

nuh hati karena esensinya adalah sama: pelayanan. Bagi Romo Yus, yang menarik di Paroki Bintaro sepanjang dua tahun yang dilaluinya di sana adalah aktivitas wilayah yang sangat tinggi. Kegiatan Misa Kudus di Wilayah dan Lingkungan berjalan lancar. Bisa jadi karena St. Matius Bintaro adalah wilayah hunian yang bersifat permukiman sehingga jarak antar-rumah lebih berdekatan dan usia umat relatif lebih dewasa. “Saya merasa ada kebersamaan bersama umat, dan umat sepertinya lebih guyub,” kesannya.

Di dalam kehidupan menggereja, kepercayaan dan pengakuan para Romo senior kepada Romo Yus diwu-judkan dalam tugas menangani materi Penyegaran Iman Katolik (PIKAT) serta pelaksanaannya. Dengan kedalaman pengetahuan keagamaan, pengala-man iman, materi PIKAT bisa dilak-sanakan dengan baik. Bukan pekerjaan mudah menyiapkan materi PIKAT ka-rena materi harus sesuai dengan ke-butuhan iman umat Matius, harus komplementer dan tidak berdiri sen-diri, tidak boleh terlalu berat bagi umat tetapi juga tidak boleh terlalu dangkal,

Gereja Santo Matius Penginjil, Bintaro tempat Romo Yus bekerja sama kembali dengan para Pastor Xaverian sebagaimana yang pernah ia alami di Paroki Setlla Maris (dokumentasi pribadi)

70 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

serta harus menyiapkan pengajar yang yang memahami materi serta menitikberatkan aspek pastoralnya. Atas kerja keras beliau, PIKAT telah berjalan 3 angkatan dan terus berlangsung. “Jangan pernah menjadi Imam yang berkarat.”

~ Pastor Silvano Laurenzi, SX Pastor Kepala Paroki Santo Matius Penginjil

Bintaro (2008 – 2010) Saya sudah kenal Romo Yus sebelum ia ditugaskan di Bintaro. Saat itu, saya sedang menyiapkan pembukaan novisiat Xaverian di Cempaka Putih. Selama proses menunggu 1,5 tahun saya tinggal di Pluit. Saat itulah saya mengenal Romo Yus, atau bahkan saat Romo Yus masih sebagai frater. Jadi, Romo Yus Noron juga sudah lama mengenal para imam Serikat Xaverian. Tahun 2008, Uskup Agung Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja mengambil keputusan untuk dilakukan kerjasama antara para pastor religius dari Serikat Xaverian dan

pastor rekan, yaitu pastor projo di Paroki Matius Bintaro. Kebetulan saat itu saya se-dang di Italia, namun setelah tahu bahwa Romo Yus yang akan dikirim ke Bintaro, saya senang sekali. Kesan saya terhadap beliau sejak kenal sangat positif. Ketika Romo Yus dikirim ke sini, banyak re-kan mengatakan kasihan Romo Yus karena saya keras sekali. Ternyata setelah bersama kami di sini, Romo Yus mengakui bahwa saya tidak seperti yang digambarkan banyak orang. Ia pernah mengatakan kepada saya, “Pastor keras saat memang harus keras ambil keputusan.” Bahkan, Romo Yus selalu rajin mengikuti semua kegiatan rutin yang dilakukan oleh para imam Xaverian supaya tidak merasa kesepian. Ia rajin ikut berdoa bersama kami. Saya senang sekali bisa bekerja sama dengannya. Sebagai Pastor Kepala, tentu saya harus terbuka kepada semua pastor rekan termasuk kepada Romo Yus. Romo Yus adalah sosok yang terbuka dan bisa bergaul ke semua usia. Saat ia masih berkarya di Paroki Matius, semua umat yang

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 71

ia kunjungi tidak pernah menolak. Semua senang dikunjungi Romo Yus. Ia senang ter-jun langsung, mengunjungi umat. Romo Yus juga pandai. Ia yang memulai PIKAT (Penyegaran Iman Katolik) yang idenya berasal dari Pastor Francesco Marini SX. Ini adalah sebuah ide yang sangat bagus karena memberi kesempatan kepada semua umat untuk memperdalam segala hal ten-tang iman Katolik. Saya yakin saat itu Romo Yus dikirim ke sini oleh Uskup untuk mempelajari hubungan antara Paroki Matius dan calon Paroki SanMaRe—yang pasti akan terus berkem-bang. Saya sangat mencintai umat di Paroki SanMaRe. Saya ingat bagaimana kami beker-ja keras untuk membangun paroki ini. Kiranya dengan pertolongan Santa Maria Regina Romo tetap bisa melayani dengan penuh suka cita, penuh optimisme, dan inisiatif. Jangan pernah menjadi Imam yang berkarat. Terima kasih sudah melayani de-ngan baik selama di Paroki Matius. Saya merasa kehilangan setelah Romo Yus pindah ke SanMaRe. Saya yakin persahabatan kita

akan tetap berlanjut dalam mendukung tugas imamat kita dalam kegembiraan. Ad Multos Annos.

“Rajin mengunjungi OMK di wilayah dan berdialog terbuka …”

~ Frans Sudarmanto

Wakil Ketua DP (2008-2010) Dengan diantar oleh Bapak F.X. Suhardi, Wakil Ketua Dewan Paroki (DP) Paroki St. Yakobus dan beberapa pengurus, serta umat, pada suatu senja secara resmi Romo Yus hadir di Paroki Matius. Kami berkenalan dalam suasana akrab. Pada saat itu juga kami, beberapa pengurus DP Matius, me-ngetahui siapa Romo Yus dengan segala perhatian serta kesukaannya. Justru setelah itu saya merasa sedih karena Matius tidak mempunyai fasilitas seperti yang menjadi kesukaan beliau. Saya menjadi kasihan karena Romo Yus telah ditugaskan ke sebuah paroki pinggiran yang sepi dan tidak bisa mendukung aktivitas olahraganya, meskipun

72 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

ia tidak pernah meminta atau menuntut fa-silitas tersebut. Ia juga harus tinggal dalam lingkungan baru, dengan komunitas baru, dan hidup bersama romo-romo SX senior (Romo S. Laurenzi SX, Romo Bruno Orru, SX, Romo Francesco Marini, SX.) Dalam konteks yang lebih luas, ia harus mulai mengenal medan (wilayah, lingkungan), pengurus, dan karakteristik umat Bintaro dengan segala permasalahan-nya secara bersamaan. Dalam waktu relatif singkat, ia ternyata mampu hidup dengan baik dan bisa ngemong romo-romo senior; berhasil me-nyalurkan hobi badminton; secara diam-diam memahami wilayah dan lingkungan, beserta batas geografisnya. Umat menerima romo muda yang cepat beradaptasi dengan nadi kehidupan paroki. Saya lega, Romo Yus telah beradaptasi dengan sangat baik dan memahami permasalahan serta karakter umat Matius Bintaro. Keberhasilan Romo Yus merebut hati umat Matius Bintaro tidak terlepas dari sifatnya yang supel, rendah hati serta terbuka, mudah

diajak berdiskusi dan gampang memahami permasalahan umat. Khotbah-khotbahnya selalu mengena karena didasarkan pada realitas di dalam umat Paroki Matius. Orientasi Romo Yus pada kondisi geografis, pemahaman kepada permasalahan pastoral dalam lingkup Paroki Matius, tercermin di dalam saran, pendapat, solusi yang tepat, pada setiap pertemuan Rapat Pengurus Dewan Paroki, Rapat DP inti, maupun rapat DP Pleno. Ketekunan dan kerajinannya dalam menangani seksi-seksi yang diper-cayakan kepadanya sangat memperkaya pengetahuannya di dalam melayani umat Matius dan juga Stasi Santa Maria Regina, misalnya seksi kepemudaan. Ia rajin me-ngunjungi OMK di wilayah dan berdialog terbuka sehingga paham betul masalah yang dihadapi OMK di paroki, di wilayah, serta menjadi motor penggerak OMK di wilayah.

Putut, mantan ketua Seksi Kepemudaan Paroki St. Matius Bintaro, menggarisbawahi pendapat Frans Sudarmanto tentang peran Romo Yus terhadap OMK. “Romo Yus sangat

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 73

penting dalam sejarah perkembangan OMK Matius. Beliau adalah seorang Romo yang sangat mendukung program dari Keuskupan ini dengan nyata pergi ke lingkungan-lingkungan untuk mensosialisasikan pro-gram ini sehingga sekarang OMK basis di Matius menjadi bertumbuh subur dan men-jadi contoh bagi paroki-paroki lain.” “Saya juga sependapat bahwa khotbah-khotbahnya yang dipersiapkan dengan baik sungguh bisa dengan mudah ditangkap umat,” kata Yustinus Haris, mewakili umat St. Matius.

Sehat Rohani, Bugar Jasmani ATAS semangat kebersamaan pulalah, Romo Yus lantas gemar menggerakkan meng-galakkan bidang olah raga—cocok dengan kesenangannya. Yang ingin dicapai dengan bergiat di olahraga ini selain kebugaran ju-ga kebersamaan. Menang kalah barangkali menjadi urusan nomor buncit. Dengan olah-raga, orang bisa saling bertemu, berkumpul,

bercanda, dan menggalang persahabatan. Orang juga bisa mengungkapkan iman melalui kebersamaan dalam olahraga. Sewaktu di Cijantung misalnya, bersama umat dan beberapa romo ia bermain bulutangkis. Ketika di Kelapa Gading umat yang berpartisipasi makin banyak, apalagi banyak kelompok bulutangkis di sana. Yang unik dari kegiatan ini adalah para penon-tonnya ikut aktif dalam kegiatan ini. Salah satu kegiatan yang menarik adalah per-tandingan sambil ziarah. Contohnya, “Kita bertanding ke Malang. Yang bertanding pa-ling 15 orang tetapi rombongannya banyak karena mereka tertarik ikut ziarah sesudah pertandingan. Pesertanya juga tidak hanya para keluarga pemain tetapi juga para pe-nonton.” Dari pengalaman bersama umat di Kelapa Gading, ada beberapa umat yang merasa bertumbuh imannya dalam kebersamaan dalam permainan bulutangkis ini, karena mereka saling membantu, saling menguat-kan dan saling menghibur.

74 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

Bermain bulutangkis adalah salah satu kegemaran Romo Yus (dokumentasi pribadi)

“Di paroki kami ada aula 3 lantai. Lantai 3 aula adalah ruangan serba guna untuk rapat dan lain-lain. Sejak Romo Yus menjadi pastor di paroki kami, ruangan tersebut menjadi multi fungsi dimanfaatkan pula sebagai lapangan bulutangkis. Itulah monumen peninggalan Romo Yus di Paroki Cijantung. Jadi, beliau menciptakan keakraban umat melalui bulutangkis,” cerita Budi Pratiknyo.

Di Paroki Santa Maria Regina, ia sangat giat menggerakkan tenis meja dan bulutangkis—sambil terus merintis menggerakkan olah-raga bersepeda. Ada cerita menarik tentang

bersepeda ini, kejadiannya sewaktu dirinya masih bertugas di Paroki St. Matius. Di sana hanya ada satu sepeda milik pastoran dan sepeda itu sering dipinjamnya untuk ber-olahraga. Melihat itu, Romo Laurenzi SX menawari untuk membeli sepeda lagi, tetapi Romo Yus tidak mau. Sampailah saat Romo Petrus SX datang—yang ternyata juga senang bersepeda sehingga sepeda itu pun dipakai secara bergantian. Sekali lagi, Romo Laurenzi SX menawari untuk membeli satu sepeda lagi untuk Romo Petrus SX. Namun, begitu sepeda baru dibeli, tak lama kemudian Romo Yus Noron dipindahtugaskan ke Paroki Santa Maria Regina. Jadilah di Paroki St. Matius sekarang ada dua sepeda, tetapi penggemar-nya berkurang satu. Mengapa Romo Yus seolah getol sekali bersepeda? Hal ini terkait dengan kam-buhnya cedera kaki yang pernah dialaminya saat bermain bulutangkis. Alan Budi Kusuma, pebulutangkis nasional yang juga menjadi umatnya semasa di Kelapa Gading, menya-rankan agar Romo Yus banyak bersepeda untuk memulihkan kondisi kakinya. Hobi bersepeda ini lantas dikukuhkannya secara serius di Paroki Santa Maria Regina, Bintaro,

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 75

dengan membentuk Komunitas Sepeda SanMaRe (KSM). Selain untuk menjaga ke-bugaran tubuh, Romo Yus memakai hobi-nya ini sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada umat, berkeliling mengunjungi wilayah-wilayah Paroki SanMaRe, transit di salah satu rumah umat sambil berdialog dalam suasana santai dan akrab. Ada lagi kegemaran Romo Yus: bermain te-nis meja. Setidaknya, kegemaran itulah yang menjadi cikal bakal komunitas tenis meja SanMaRe: Persatuan Tenis Meja SanMaRe (PTMS), pada 31 Desember 2012. Di sini Romo Yus duduk sebagai pembina, dengan penasihat Iwan Tanjung dan Joko Galungan sebagai Ketua. Komunitas yang kini ber-anggotakan 40 orang ini—termasuk anak-anak dan remaja—hingga akhir Desember 2012 telah memiliki delapan meja dan dua robot pelempar bola otomatis—berasal dari dana swadaya dan sumbangan donatur. Bermula dari kebiasaan Romo Yus berlatih tenis meja dengan karyawan gereja di sam-ping aula setiap pagi, membuat sejumlah umat tertarik bergabung. Hingga pada suatu hari muncul ide menyelenggarakan pertan-

dingan bagi para pencinta tenis meja pada Desember 2011. Dari pertandingan perdana itu, komunitas tenis meja SanMaRe beberapa kali menghelat pertandingan, antara lain melawan SMKN5 Tangerang, Paroki Santa Monika BSD, Paroki Matias Rasul Kosambi, Paroki St. Nikodemus Ciputat, dan PTM Anggrek dari Cimanggis. Meski sudah ada jadwal resmi untuk berlatih, para “dedengkot” PTMS hampir setiap hari bermain. “Kalau aula kosong, ada empat orang saja sudah cukup untuk bermain gan-da,” ujar Iwan Tanjung. Bahkan, sebelum sa-kit Romo Yus hampir setiap hari bergabung. “Kebiasaan Romo itu sering memberikan bola enak, panjang, dan jauh untuk dipukul lawannya. Beliau mau bermain dengan siapa saja yang ingin ‘menantang’ Romo,” kata Leonardus, Sekretaris PTMS. Di arena, anggota PTMS bermain tanpa memandang status. Begitu pula Romo Yus. Bercanda, saling cela, atau berusaha keras mematikan langkah lawan dilakukan tanpa rasa sungkan. “Walaupun begitu, enggak semua bisa mengimbangi Romo. Bola enak yang diberikan Romo, bila di-smash lawan,

76 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h

Romo Yus getol bermain tenis meja. Hampir setiap hari ia berlatih bersama para pehobi lain dari PTMS di Aula Sanmare

akan ditahan lagi oleh Romo,” timpal Iwan. Sebagai bentuk pengembangan anggota, PTMS menyediakan dua pelatih, untuk kategori anak dan remaja serta untuk de-wasa. Semua aset dan biaya operasional didanai secara mandiri oleh anggota, tanpa bergantung pada paroki. “Sistemnya urunan saja, yang merasa mampu menyumbangkan dana lebih, yang tidak pun tetap bisa ber-gabung dan bermain,” tandas Iwan. Selain kebugaran tubuh, para anggota merasa memperoleh banyak manfaat dengan bergabung dalam PTMS. “Di PTM saya bisa kenal warga SanMaRe dari wilayah lain. Kami punya motto Semakin BerMain, Semakin Ber-Saudara dan Semakin BerBelarasa. Contohnya karena sering berlatih dan bercanda, hubungan di antara kami semakin erat. Sering lebih mudah mengajak teman-teman di PTMS untuk tugas di gereja dibandingkan teman di lingkungan atau wilayah,” kata Leo. Di samping mempererat persaudaraan

umat SanMaRe sendiri, PTMS punya misi menjadi sarana dialog lintas agama. Iwan menjelaskan, “Romo Yus sangat mendu-kung tujuan ini. Pelatih kami muslim, dan kami beberapa kali mengadakan pertan-dingan dengan PTM non Katolik.” Bahkan, lanjut Iwan, “Keseriusan PTMS membina anggotanya telah menjadi inspirasi beberapa paroki lain untuk menyelenggarakan kegi-atan serupa. Sekarang Paroki Nikodemus Ciputat dan Paroki Kristus Raja Pejompongan katanya mulai bikin komunitas tenis meja

B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h | 77

dengan pelatih khusus setelah mereka me-lihat kegiatan kami di sini.” Satu hal yang cukup membanggakan adalah bahwa ternyata kualitas dan kelengkapan aset PTMS yang barangkali nilainya su- dah mencapai seratus juga, dinilai telah melebihi Pelatnas. Setidaknya, itu yang pernah dikatakan oleh salah seorang mantan pemain nasional yang sempat bermain di

SanMaRe, “Pelatnas saja mejanya cuma empat. Kalah jauh dengan PTMS yang punya delapan!” Leo, mewakili pengurus PTMS tak menyang-kal bahwa semuanya ini tidak akan mungkin terjadi kalau dulu Romo Yus tidak mengizin-kan mereka pindah bermain ke dalam aula. Di situlah peran penting Romo Yus Noron. Sehat rohani, bugar pula jasmani.

78 | B i j i S e s a w i d a r i K a m p u n g S a w a h