Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia
-
Upload
siti-khanifah -
Category
Documents
-
view
244 -
download
7
description
Transcript of Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
1
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia
(Sebuah Kajian Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik Indonesia)
A. Pendahuluan
Indonesia telah mengalami masa reformasi kurang lebih 17 tahun yang lalu.
Reformasi bukan hanya tentang euphoria menurunkan sang diktator dengan menggantikan
diktator yang baru. Namun, ada sebuah “ilham” baru menggantikan “kebobrokan” suatu
rezim dengan pola kepemimpinan baru yang jauh dari kesan diktator, kolot yang hanya
mampu menggunakan bahasa indoktrinasi tanpa isi tapi melupakan pendidikan kepada
rakyatnya, khususnya kepada para kaum muda yang akan melanjutkan bangsa ini.
Pendidikan politik adalah hal yang fundamen dalam menjalankan pemerintahan
negeri ini. Hal ini karena kecerdasan seorang pemimpin , jika tidak diimbangi kecerdasan
masyarakatnya. Maka, akan dapat menimbulkan kekacauan bahkan kediktatoran sang
pemimpin.
Pada makalah kali ini sedikit akan dikaji tentang pendidikan politik secara teoritis dan
juga praktiknya. Maka pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana pendidikan politik
secara teoritis dan secara praktisnya? Penulis mencoba untuk menguraikan secara singkat
dan sederhana tentang teori pendidikan politik yang meliputi pengertian dan tujuan
pendidikan politik, instrumen pendidikan politik, praktiknya pendidikan politik.
Penelusuran ini akan dimulai dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Sehingga
diharapkan akan menemukan pola tentang pendidikan politik di Indonesia secara teoritis
dan juga secara praktisnya di Indonesia.
B. Pendidikan Politik Ranah Teoritis
a. Pengertian Pendidikan Politik
Pendidikan politik pada hakekatnya merupakan bagian dari pendidikan orang
dewasa sebagai upaya edukatif yang intensional, disengaja dan sistematis untuk
membentuk individu sadar politik dan mampu menjadi pelaku politik yang bertanggung
jawab secara etis/moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik (Kartini K, 2009: 64).
Selanjutnya Kartini K menambahkan bawa pendidikan politik merupakan aktivitas
pendidikan diri (mendidik dengan sengaja diri sendiri) yang terus menerus berproses
di dalam person, sehingga orang yang bersangkutan lebih mampu memahami dirinya
sendiri dan situasi-kondisi lingkungan sekitarnya (2009: 65).
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
2
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
Dapat diartikan bahwa pada dasarnya pendidikan politik memiliki tujuan
mendidik dan mengatur diri sendiri untuk dapat berproses menjadi manusia dewasa
dalam mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan-tujuan
politik dan telah memikirkan resiko yang akan didapat dari apa yang telah dilakukan.
Affandi (1996: 25-27) menyatakan bahwa pendidikan politik dianggap penting
oleh hampir semua masyarakat dan menentukan perilaku politik seseorang. Pendidikan
politik digunakan sebagai alat untuk mempertahankan sikap dan norma politik, dan
meneruskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, baik melalui akulturasi
informal maupun melalui pendidikan politik yang direncanakan untuk menunjang
stabilitas sistem politik. Pendidikan politik sering kali menggunakan berbagai
peristilahan lain seperti “political socialization” dan “citizenship training”.
Brownhill dan Smart (1989), menarik sebuah proposisi bahwa pendidikan politik
adalah proses pendidikan untuk membina siswa agar mampu memahami, menilai, dan
mengambil keputusan tentang berbagai permasalahan dengan cara-cara yang tepat dan
rasional, termasuk dalam menghadapi masalah yang bias maupun isu yang kontroversial.
Pengetahuan politik akan membawa orang pada tingkat partisipasi tertentu.
Crick percaya bahwa pendekatan konsep pada semua jenjang pendidikan, baik di
dalam maupun luar sekolah dibuat untuk meningkatkan pemahaman akan bahasa dan
meningkatkan kemampuan kita untuk menggunakannya untuk menyelesaikan atau
mengatur hubungan-hubungan eksternal atau kejadian-kejadian, untuk memperpanjang
skala berbagai pilihan di dalam diri mereka, dan mempengaruhinya (Crick, 1974: 13-24)
Sedangkan Alfian dalam Sumantri (2003: 3) menyatakan, “Pendidikan politik
diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik
masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang
terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Pendidikan
politik juga dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses
sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-
nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun”.
b. Beberapa Teori Pendidikan Politik
Sunarso dalam tulisannya berjudul Pendidikan Politik dan Politik Pendidikan Urgensinya
Bagi Sebuah Bangsa, menuliskan tentang beberapa teori pendidikan politik yaitu:
1. Teori sistem
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
3
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
Sosialisasi politik dianggap memainkan peran utama dalam menjaga kestabilan politik,
sehingga memungkinkan sistem politik yang sama berlaku terus menerus sehingga
mencapai kondisi mapan dan mantap. Menurut teori ini pendidikan politik diarahkan
untuk memelihara sistem politik yang dianggap ideal. Di Indonesia sistem politik ideal
adalah sistem politik demokrasi Pancasila.
2. Teori hegemoni
Teori memandang bahwa pendidikan politik diarahkan untuk mendukung kepentingan
penguasa (kelompok yang dominan). Pendidikan politik dilakukan untuk kepentingan
kelompok kekuatan tertentu yaitu rezim yang berkuasa, meskipu terkadang jauhdari
sistem ideal.
3. Teori psikodinamik
Teori ini menganggap pengalaman pribadi yang dialami manusia pada awal anak-anak
akan sangat menentukan orientasi politik seseorang. Dengan demikian faktor internal
sangat mempengaruhi sikap politik seseorang.
4. Teori belajar sosial
Menurut teori ini faktor eksternal yaitu lingkungan dimana seseorang hidup, bergaul,
bermasyarakat, sangat menentukan sikap politik dari seseorang. Stimulus dari
lingkungan seperti keluarga, sekolah, dan pergaulan sangat menentukan sikap politik
seseorang.
c. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Politik
Jika melihat maksud pendidikan politik di atas, tidaklah salah apabila pendidikan
politik diberikan kepada generasi muda sebagai bagian dari pembinaan generasi muda
Indonesia untuk menciptakan kehidupan yang demokratis di masa yang akan datang.
Selain itu, diharapkan para generasi muda mampu berperan dalam kehidupan bansa
dan bernegara secara tangguh dan penuh tanggung jawab berdasarkan Pancasila dan
UUD Tahun 1945. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang
Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang menyebutkan tujuan pendidikan politik yaitu
untuk menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk
membangun manusia Indonesia yang seutuhnya yang perwujudannya akan terlihat
dalam perilaku hidup bermasyarakat sebagai berikut:
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
4
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
a. Sadar akan hak dan kewajibannya serta tanggung jawab sebagai warga negara terhadap
kepentingan bangsa dan negara.
b. Sadar dan taat pada hukum dan semua peraturan perundangan yang berlaku.
c. Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan
yang disesuaikan dengan kemampuan objektif bangsa saat ini.
d. Memiliki disiplin pribadi, sosial, dan nasional.
e. Mendukung sistem kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan UUD 1945
dan Pancasila.
f. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan bangsa dan bernegara
khususnya dalam usaha pembangunan nasional.
g. Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan
keanekaragaman bangsa.
h. Sadar akan perlunya pemeliharan lingkungan hidup dan alam sekitar secara selaras,
serasi, dan seimbang.
i. Mampu melakukan penilaian terhadap gagasan, nilai, serta ancaman yang
bersumber dari ideologi lain di luar Pancasila dan UUD 1945 atas dasar pola pikir dan
penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945.
Dalam hal ini, pendidikan politik di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan dan
mengembangkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan falsafah
Pancasila dan UUD 1945. Peningkatan pemahaman akan kesadaran kehidupan berbangsa
dan bernegara diharapkan mampu meningkatkan partisipasi secara aktif untuk membangun
bangsa sesuai dengan arah dan cita-cita bangsa. Pandangan di atas, sejalan dengan
Sumantri dan Affandi (1996:126), yang menyatakan bahwa “Maksud diselenggarakan
pendidikan politik pada dasarnya adalah untuk memberikan pedoman bagi generasi muda
Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sejalan
dengan arah dan cita-cita bangsa Indonesia”.
Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan isi dan arah serta pengertian kepada
proses penghayatan nilai-nilai yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa pendidikan
politik menekankan kepada usaha pemahaman tentang nilai-nilai yang etis normatif,
yaitu dengan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan landasan dan
motivasi bangsa Indonsesia serta dasar untuk membina dan mengembangkan diri guna
ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan pembangunan bangsa dan negara. Hal ini
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
5
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
berarti melalui kegiatan pendidikan politik diharapkan terbentuk warga negara yang
berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus juga berkesadaran yang tinggi sebagai
warga negara yang baik, sadar akan hak dan kewajiban serta memiliki rasa tanggung
jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. (Sumantri, 2003: 3).
Brownhill dalam Crick (2005) menyatakan bahwa proses pencapaian tujuan
pendidikan politik tersebut tidak dapat dilihat secara langsung namun memerlukan
waktu yang cukup lama, hal ini disebabkan karena pendidikan politik berhubungan dengan
aspek sikap dan perilaku seseorang. Dalam meninjau kerangka kerja suatu eksistensi
pelaku politik, kita tidak harus mengikuti perkembangan negara idaman yang tak dapat
dicapai, melainkan kita harus merumuskan suatu versi ideal yang
sesuangguhnya melalui cara yang lebih abstrak. Pendidikan politik terbatas untuk
memberikan tinjauan yang berkelanjutan mengenai institusi dan kehidupan sehari-hari.
Meninjau kependidikan itu sendiri mengingatkan atas apa yang kita harapkan untuk
tercapai, yang juga menekankan pada pendekatan moral.
d. Instrumen Pendidikan Politik
1. Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan menurut tim ICCE UIN, adalah suatu proses yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap, dan
perilaku perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge,
awareness, attitude, political efficacy, dan political participation serta kemampuan
mengambil keputusan politik secara rasional.
Di sekolah, anak banyak belajar pengetahuan, nilai, sikap, dan perilaku politik
secara eksplisit, terutama melalui mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn). Melalui mata pelajaran PPKn, anak diajarkan mengenai
hak dan kewajiban sebagai warga negara, sistem politik, otonomi daerah, partai
politik, budaya politik, dsb.
Berdasarkan Lampiran Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006, maka tujuan
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah:
a) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
b) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
6
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
c) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-
bangsa lainnya.
d) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung
atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
2. Partai Politik
Carl J. Friedrich (Miriam Budiarjo, 2008: 404) menuliskan:
Partai politik adalah sekolompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan
tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta marteriil.
Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik pada saat ini yang
demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk
mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan
jalan kompromi bagi pendapat yang bersaing, serta menyediakan sarana suksesi
kepemimpinan politik secara absah dan damai. Karena itu partai politik dalam
pengertian modern dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok yang mengajukan
calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol
atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah (Poerwantana, 1994: 25).
3. Media atau Pers
Menurut Hikmat dan Purnama yang dikutip Arif Nurpratomo (2013: 12) Kata
pers (media massa) berasal dari bahasa Belanda pers yang artinya menekan atau
mengepres. Kata pers merupakan padanan dari kata press dalam bahasa Inggris yang
juga berarti menekan. Jadi secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian
komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Tetapi, sekarang kata
pers digunakan untuk merujuk pada semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang
berhubungan dengan menghimpun berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun
wartawan media.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,
menyebutkan bahwa “media massa adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi
massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
7
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia”.
Politik sangat erat hubungannya dengan media, karena salah satu tujuan media
yakni untuk membentuk pendapat umum mengenai berbagai hal, terutama hal politik.
Media massa dengan fungsi persuasif yang mampu membentuk pendapat umum dan
mampu mempengaruhi opini masyarakat terhadap isu-isu politik yang sedang
berkembang. Pengemasan media dalam membawakan berita terhadap permasalahan
politk, tokoh politik dapat membuat opini publik dan akan berpengaruh terhadap sikap
masyarakat dalam memandang masalah politik, aktor politik, dll. Sehingga media
sangat berperan dalam pendidikan politik
4. Non Government Organization
Walzer dalam Bahnmueller (1999) mengatakan bahwa potensi sosial sinergis
dengan masyarakat sipil, yang keduanya berperan dalam pengembangan potensi sosial
di antara anggota organisasi masyarakat sipil. Salah satu bentuk dari organisasi
masyarakat yaitu non government organization atau LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat).
Keterlibatan dari warga negara dengan institusi dan pelaksanaan komunitas mereka
dan pemerintahan adalah karakteristik utama dari demokrasi yang sehat. Kekuatan
tradisional demokrasi di Amerika Serikat misalnya memiliki daya hidup masyarakat
sipil yang terdiri dari asosiasi sukarela yang terbentuk dengan bebas tanpa institusi dari
pemerintah. Melalui partisipasi sukarela dalam masyarakat sipil yang bebas (terkadang
disebut dengan organisasi non pemerintahan atau NGO) (John J. Patrick,1999: 49) .
Maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam asosiasi sukarela
atau NGO atau LSM merupakan salah satu ciri demokrasi yang sehat. NGO atau LSM
di sini memiliki peran kuat untuk pengembangan masyarakat, melindungi, serta
melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat.
Negara dan NGO meskipun entitas yang berbeda, namun satu sama lain saling
melengkapi. Dalam konteks demokratisasi gelombang ketiga, NGO memiliki peran
penting dalam proses demokratisasi yaitu melalui proses penguatan masyarakat sipil
(Suharko, 2003: 208)
C. Penelusuran Pengembangan Pendidikan Politik Ranah Praktis di Indonesia
Ditinjau dari nilai praktis, Rusadi Kantaprawira (2006: 54) memandang pendidikan
politik sebagai salah satu fungsi struktur politik dengan tujuan untuk meningkatkan
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
8
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam
sistem politiknya. Dalam perspektif ini, pendidikan politik merupakan metode untuk
melibatkan rakyat dalam sistem politik melalui partisipasinya dalam menyalurkan tuntutan
dan dukungannya.
Pendidikan politik jelas berbeda dengan indoktrinasi politik, yang merupakan
belajar politik yang bersifat monolog bukan dialog, lebih mengutamakan pembangkitan
emosi, dan lebih merupakan pengarahan politik untuk dukungan kekuatan politik
(mobilisasi politik) dari pada meningkatkan partisipasi politik. Indoktrinasi politik ini
pada umumnya dilakukan oleh rezim otoriter atau totaliter untuk mempertahankan status-
quo, partai politik juga pada umumnya lebih banyak menggunakan indoktrinasi
politik dari pada pendidikan politik (Cholisin, 2000: 6).
Dalam politik, seseorang tidak hanya dituntut mengembangkan pengetahuan
juga harus mengembangkan aspek sikap dan keterampilan. Perpaduan ketiga aspek
tersebut menurut Crick & Porter dalam Affandi (1996: 27), disebut melek politik “political
literacy”.
Keberhasilan pendidikan politik tentunya akan melahirkan masyarakat yang
melek politik dan masyarakat yang melek politik akan mampu berpartisipasi secara
berkualitas. Pendidikan politik disini bukan harus dimaknai oleh pembelajaran di
persekolahan saja, melainkan juga dapat dilakukan melalui proses sosialisasi politik.
Sosialisasi politik haruslah dilakukan secara lebih luas yaitu melibatkan lebih banyak
orang dan dilaksanakan secara dialogis-interaktif bukan indoktrinatif.
Crick dalam bukunya, Essay on Citizenship (2005) mengungkapkan bahwa literasi
politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Ia juga
menegaskan bahwa literasi politik lebih luas dari sekedar pengetahuan politik, melainkan
merupakan cara untuk membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik dan
dorongan untuk menjadi aktif serta partisipasif dalam melaksanakan hak dan kewajiban
baik dalam keadaan resmi maupun area public yang sifatnya sukarela.
Literasi politik selalu menyatakan secara tidak langsung akan perlunya penerapan
konsep secara jelas dan pantas. Konsep disini tidak berarti memecahkan masalah dan
menggunakannya secara benar, namun lebih pada pemahaman dan mencoba memberikan
pengaruh. Jadi pendekatan konsep pada pendidikan politik bukan berarti mengetahui atau
menerapkan filsafat politik namun lebih pada kemampuan berkomunikasi, sebagai
permulaan (Crick, 2005: 77-78).
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
9
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
Tiga jenis keterampilan partisipatif yakni berinteraksi, pemantauan dan
mempengaruhi, berinteraksi diajukan Popper terkait dengan keterampilan komunikasi dan
kerjasama dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan. Pemantauan melibatkan
keterampilan yang dibutuhkan untuk melacak karya leadrs politik dan lembaga
pemerintahan. Dan mempengaruhi mengacu pada keterampilan yang digunakan untuk
mempengaruhi hasil dalam kehidupan politik dan sipil, seperti resolusi isu-isu publik.
Berikut penelusuran pengembangan pendidikan politik di Indonesia dalam ranah
praktis dengan melihat dari instrumen pendidikan politik yaitu Pendidikan
Kewarganegaraan, Partai Politik, Media, dan Non Government Organization. Penulis akan
membagi kajian pengembangan pendidikan politik dalam ranah praktis di Indonesia dalam
tiga era yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Refromasi.
a. Orde Lama
Pendidikan politik pada Orde Lama, jika dikaji dari Pendidikan Kewarganegaraan
sebai instrumen pendidikan politik, maka dapat dilihat bahwa pada masa ini memiliki
keunikan selain karena Indonesia baru merdeka dan masih mencari “jati diri” dalam
menjalankan pemerintah, juga ada faktor eksternal yang turt mempengaruhi.
Menurut Numan Sumantri sebagaimana yang dikutip oleh Iyep Candra Hermawan
(2013:11-12) menyebutkan bahwa pendidikan politik pada awal kemerdekaan adalah
patriotic political education, sehingga lebih menekankan pada nation dan character
building. Pendidikan politik yang idealnya memberikan pengarahan dan pemahaman
politik kepada masyarakat berubah menjadi indoktrinatif. Iyep (2013:12) menambahkan
bahwa pengangkatan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup merupakan bentuk
penodaan terhadap pendidikan politik itu sendiri.
Media massa atau pers merupakan pilar keempar demokrasi selain lembaga
eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif. Oleh karena itu pers memiliki peran yang sangat
penting dalam menjaga keseimbangan dalam kehidupan berbngsa dan bernegara.
Pada Masa Orde Lama, tahun 60-an pers belum menjalankan fungsi dan perannya
sebagai instrumen pendidikan politik kepada masyarakat luas. Akan tetapi, pers
diwajibkan mendukung dan membela Manifesto Politik RI, Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Demokrasi Terpimpin, serta kebijakan-kebijkana lain yang ditetapkan pemerintah.
Keluarnya UU Pokok Pers tahun 1966, terdapat sebuah kemajuan dalam hal kebebasan
pers berupa ditiadakannya sensor dan pembredelan. Namun, ketentuan ini “dimandulkan”
dengan adanya pasal dalam undang-undang yang sama yang menyatakan masih
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
10
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
diperlukannya Surat Izin Terbit atau SIT. Pada 26 Maret 1965, pemerintah mewajibkan
lembaga pers untuk berafiliasi pada partai politik, sehingga seiring berjalannya waktu,
lembaga pers yang berafiliasi pada partai politik yang kuat, menjadi kuat pula dari segi
bisnis.
Media yang dekat dengan partai politik, maka pada saat yang sama partai politik
menggunakan media untuk menyebarkan ide gagasan tentang kehidupan berbangsa dan
bernegara. Orde Baru adalah Orde dengan “pertarungan” gagasan komunisme, sosialis,
dan juga Islam. Sehingga pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik lebih pada
indoktrinasi gagasan partai politik kepada kader partai serta kepada simpatisan.
Pada sisis lain Non Government Organization masa ini masih dalm pertumbuhan.
LSM pertama yang ada yaitu PKBI (Persatuan Keluarga Berencana Indonesia). Lembaga
yang pada akhirnya pemerintah menjadikannya mitra dalam pembinaan keluarga yang
sehat sebagai fokus kegiatannya (Miriam Budiarjo, 2008: 388).
Pada tahun 1960 –an, mulai lahir LSM- LSM baru dengan sudut pandang yang
berbeda dengan LSM sebelumnya. Sebagaimana Miriam Budiarjo menuliskan (2008:388-
389) “pada masa ini muncul kesadaran bahwa kemiskinan dan masalah yang berkaitan
dengan itu tak hanya dapat diatasi dengan menyediaka obat-obatan, bahan pangan, dan
sejenisnya. Sebaliknya, perbaikan masyarakat miskin dapat dilakukan dengan
meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi masalah. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pada masa Orde Lama, LSM belum memiliki peran yang optimal dalam pendidikan
politik.
b. Orde Baru
Orde Baru adalah pemerintahan terlama yang pernah ada di Indonesia, penelususran
dinamika politik tidak banyak terjadi pada masa ini. Demikian halnya dengan pendidikan
politik melalui keempat instrumen pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Instrumen
pendidikan politik tidak banyak melakukan “manuver”, bahkan cenderung “membeku”.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai instrumen pendidikan politik pada lingkungan
sekolah yang berperan dalam mencerdaskan masyarakat muda Indonesia lebih kepada
indoktrinasi dari pada pendidikan politik. Hal ini dapat dilihat dari materi pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan pada masa itu yang lebih menekankan pada pengamalan P-4
yang merupakan bentuk ejawantah dari Pancasila.
Kritik terhadap PKn pada Orde Baru yaitu proses pembelajaran tidak banyak
melahirkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis terhadap sistem politik pemerintahnya
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
11
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
Hal ini disebabkan karena "(1) materi-materi yang diajarkan cenderung verbalistik atas
nilai-nilai moral Pancasila sebagai civic virtues yang dijabarkan dari P41" dan (2) model
pembelajarannyacenderung berbentuk hafalan kognitif, seperti hapalan butir-butir tafsir
Pancasilad alamP 4." Pengakuan terhadap kesan bahwa mata pelajaran PPKn (uga PMP)
merupakan mata pelajaran yang cenderung bersifat hafalan kognitif (Samsuri, 2011: 38).
Selain itu, terjadi penyusutan terhadap jumlah partai politik yang ada di Indonesia
yaitu PPP (Islam), PDI (nasionalis), Golkar (nasionalis). Jika pada Orde Lama terjadi
“pertarungan” gagasan melalui partai-partai politik sebagai salah satu bentuk pendidikan
politik. Ketidakstabilan politik yang pernah dialami oleh Orde Lama coba untuk dihalau
pada masa Soeharto, salah satunya yaitu penguatan eksekutif dengan Golkar sebagai
pemerintah yang mendapat dukungan dari TNI. Pada titik, partai politik mengalami
“kemandegan” sebatas sebagai peserta Pemilu. Namun, kehilangan esensinya sebagai
partai politik seperti melakukan komunikasi politik, sosialisasi politik dan pendidikan
politik.
Peran media dalam masa Orde Baru dipakai sebagai sarana propaganda pemerintah
untuk menggerakan pembangunan nasional. Media pers dari perspektif sejarah sangat
dominan dipengaruhi oleh pengawasan dari penguasa sehingga realitas media berisi
informasi dengan bahasa sebagai realitas simbolis dalam kehidupan pers pada praktiknya
banyak digunakan sebagai ruang penggelaran kekuasaan oleh struktur dominan.
Pemerintah Orde baru telah menggunakan bahasa dalam dunia media massa sebagai
wahana kooptasi, subordinasi, dominasi, dan imperialism kesadaran medan semantik
masyarakat (Subiakto, 1997: 96)
Indonesia, pada masa otorianesme Orde Baru Eldridge dan Riker (Suharko, 2003:
212) menunjukan peran penting dari NGO. Pada jurnal tersebut dijelaskan bahwa
meskipun NGO di Indonesia melakukan pendekatan yang berbeda-beda terhadap negara,
pada area tertentu mereka mencapai titik temu dalam hal orientasi penguatan kelompok
masyarakat sebagai basis untuk masyarakat yang sehat dan sebagai kekuatan tandingan
bagi kekuasaan pemerintah, pencarian kreatif strategi baru untuk menghadai perubahan
kebutuhan sosial. Pada derajat tertentu NGO memperbesar kemampuan diri diantara
golongan yang kurang beruntung, mendukung mereka untuk menghadapi pemerintah atau
kekuatan lain yang lebih kuat, pada saat tersebut LSM-LSM tengah berfungsi memperkuat
masyarakat sipil vis a vis negara.
c. Reformasi
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
12
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
Era reformasi mengantarkan Pendidikan Kewarganegaraan tidak lagi mata pelajaran
berisi budi pekerti yang verbal. Pengalaman jatuhnya Soeharto dan “kegagapan” PKn
menjadikannya mata pelajaran yang membentuk warga negara yang kritis dan
berpartisipasi aktif terhadap isu-isu kewarganegaraan. Pada saat ini Pendidikan
Kewarganegaraan memiliki peran penting sebagai instrumen pendidikan politik di
lingkungan sekolah pada khususnya dan lingkungan masyarakat pada umumnya. Materi
atau konten dalam Pendidikan Kewarganegaraan setelah reformasi jauh berbeda dengan
sebelum reformasi. Pemenuhan ini dilakukan karena adanya pengalaman di era
sebelumnya.
Hal mencolok dalam bidang politik yang berkembangnya partai politik, “pekerdilan”
partai politk yang terjadi saat Orde Baru berubah menjadi bermunculannya partai-partai
baru dalam Pemilu 1999. Puluhan partai politik beradu untuk mendapat kepercayaan
rakyat di tengah euphoria demokrasi. Seiring berjalannya waktu partai politik memiliki
tugas yang idealnya tidak dilaksanakan hanya pada masa pemilu yaitu pendidikan politik.
Partai politik memberikan kursus kader, ceramah, penataran atau hal lainnya sehingga
anggota parpol menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga
negara dan menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan sendiri maupun partai.
Meskipun pada saat ini, tidak disangkal bahwa adakalanya partai mengutamakan
kepentingan partai di atas kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan adalah loyalitas
partai yang melebihi loyalitas kepada negara. Partai politik mendidik pengikutnya untuk
melihat dalam konteks yang sempit dan akan mengakibatkan pengkotakan dan tidak
membantu proses integrasi (Miriam Budiarjo, 2008: 408).
Pada era reformasi perbaikan di segala bidang dilakukan termasuk dalam hal pers
atau media massa. Keluarnya Undang-Undang Pokok Pers baru yang menggantikan
regulasi setingkat UU yang sebelumnya berlaku. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999
Tentang Pers (selanjutnya disebut UU Pokok Pers tahun 1999) menggantikan Undang-
Undang Nomor 21 tahun 1982 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967. Pada saat inilah media massa atau pers mengambil
perannya dalam pendidikan politik.
Jatuhnya Soeharto yang memerintah kurang lebih 32 tahun juga tidak kurang karena
peran pers dalam melakukan transformasi pengetahuan kepada masyarakat luas sehingga
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
13
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
menjadi sebuah gerakan sosial untuk menurunkan Soeharto. Selain itu, pers juga
diharapkan mampu memerankan perannya sebagai salah satu pilar demokrasi.
Selain itu LSM dan keormasan mengalami keadaan yang lebih kondusif pada masa
reformasi sebgai penguat masyarakat sipil. Berdasarkan orientasinya, salah satu LSM ada
yang memiliki paradigma reformasi yang berkeyakian bahwa sumber dari maslah adalah
pendidikan, korupsi, mismanajemen, dan inefisiensi. Pandangan yang lain adalah
paradigma liberasi, NGO jenis berpandangan bahwa penyebab segala keterbelakangan
termasuk kemiskinan adalah penindasan, pengisapan, atau eksploitasi, dan pembodohan
rakyat. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan politik populer, pencetakan
kader gerakan, mobilisasi aksi, ataupun kampanye opini publik. Sedangkan, pandangan
lain dari NGO adalah paradigma transformasi yang beranggapan bahwa sumber
keterbelakangan dan kemiskinan adalah ketidakadailan tatanan sosial, ekonomi, dan
politik. Oleh karena itu NGO ini kegiatannya adalah penyadaran politik, pengorganisasian
rakyat, mobilisasi aksi, dan membangun jaringan advokasi (Miriam Budiarjo, 2008: 391).
D. Jalan Panjang Pendidikan Politik Indonesia
Sejak 17 Agustus 1945 hingga saat ini, meskipun Indonesia sudah merdeka. Akan
tetapi tidak pernah berhenti berbenah. Sebagai negara demokrasi Pancasila dengan
segenap ciri dan ideologinya, pendidikan politik senantiasa diberikan kepada masyarakat
Indonesia. Hal ini dilakukan agar masyarakat Indonesia “melek politik” atau political
literacy . meskipun hal ini bukan hal yang mudah sebagaimana kita menginginkan
idealitas.
Belum optimalnya peran dari instrumen pendidikan politik di Indonesia menjadi
“Pekerjaan Rumah” yang harus segera dituntaskan. Pendidikan politik yang diinkludkan
dalam Pendidikan Kewarganegaraan haruslah sesuai dengan tujuan mata pelajaran
tersebut. Meskipun, tidak jarang penulis secara subyektif memandang bahwa PKn sering
dijadikan “alat” pembenar dari penguasa rezim.
Seperti halnya dengan Pkn sebagai instrumen pendidikan politik, Partai Politik
idealnya bukan hanya berperan ketikan Pemilu (Pemilihan Umum). Akan tetapi, berperan
aktif dan massif dalam melakukan pendidikan politik pada masyarakat luas, pada kader
partai (khususnya). Sehingga, kader yang merupakan perwajahan partai politik dan
menjadi wakil rakyat bukan sekedar kader ala kadarnya. Namun, kader dengan kapasitah
high quality kader.
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
14
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
Selain itu, pers juga perlu kembali kepada jalur yang benar, kembali kepada
“khitah”. Meski dapat dikatakan UU Pokok Pers tahun 1999 telah melindungi pers
Indonesia dari tekanan pemerintah, rupanya regulasi ini gagal menangkal tekanan lain
yang dalam banyak kasus di berbagai negara telah terjadi, yaitu tekanan pasar. Era
kebebasan pers kemudian seperti disalahgunakan oleh beberapa pihak yang menjadikan
industri media sebagai ajang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Saat ini marak
kongmelerasi press, penyalahgunaan press yang hanya digunakan untuk mengeruk
keuntungan mengikuti pesanan pasar, mengabaikan pemberitaan yang jujur, kritis,
obyektif. Akan tetapi, memiliki kecenderungan untuk menampilkan apa yang sudah
dipesan, hal ini akan berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat.
Non Government Organization atau LSM tidak lepas dari sorotan, sebagai lembaga
independen LSM saat ini banyak disoroti oleh masyarakat karena munculnya LSM yang
tidak lagi membela kepentingan masyarakat kecil, tidak lagi melakukan pendidikan
politik. Namun, LSM bayaran yang muncul untuk mendukung rezim tertentu.
Jika saat ini masih merasakan bahwa pendidikan politik masih mengalami masa
kelabu karena belum optimalnya instrumen pendidikan politik dan masih terjadi gap yang
jauh antara das sein dan das solen. Maka, pada saat yang sama akan muncul tekad dan
keyakinan bahwa jalan panjang pendidikan politik di Indonesia akan terus berlanjut
mengikuti perkembangan zaman dan perkembangan perpolitikan di Indonesia.
Oleh: Panji Purnomo, Ismanik, Siti Khanifah dipresentasikan dalam Kuliah Pendidikan Politik 12 November 2015 PPS PPKN UNY 2015
15
Pengembangan Teoritis dan Praktis Pendidikan Politik
DAFTAR PUSTAKA
Bahmueller, Charles F.,Ed,; Patrick, John J.,Ed. 1999. Principles and Practices of
Educational for Democratic Citizenship: International Perspectives and Project.
Washington: Office of Education Research and Improvement
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Brownhill, Robert & Smart, Patricia. 1989. Political Education. London: Routledge
Crick, Bernard. 1974. Basic Political Concept and Curriculum Development, Teaching
Politics
Crick, Bernard. 2005. Essays on Citizenship, Continuum: London
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung:
Sinar Baru Algensindo
Kartini, Kartono. 2009. Pendidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa.
Bandung: CV. Mandar Maju
Poerwantana, P.K, Drs. 1994. Partai Politik di Indonesia. Jakarta: P.T. Rineka Cipta
Subiakto, Henry; Basis Susilo (ed).. 1997. Dominasi Negara dan Wacana Pemberitaan Pers
dalam Masyarakat dan Negara. Surabaya: Airlangga University Press
Sumantri, Endang. 2003. Diktat Pendidikan Generasi Muda. Jurusan Pendidikan
Kewarganegaraan. FPIPS. Tidak diterbitkan.
Tim ICCE UIN Jakarta. 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM,
dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media
Jurnal
Hermawan, Iyep C. 2013. Revitalisasi Pendidikan Politik dalam Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia. Atikan: Jurnal Kajian Pendidikan
Samsuri. 2011. Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun
Kompetensi Warga Negara. Jurnal Civicus
Suharko. 2003. NGO, Civil Society dan Demokrasi: Kritik Atas Pandangan Liberal. Jurnal
Ilmu Sosial dan Politik
Sunarso. Pendidikan Politik dan Politik Pendidikan Urgensinya Bagi Sebuah Bangsa (di
unduh 10 November 2015)
Tidak Diterbitkan
Affandi, Idrus 1996. Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan
Politik. Disertasi Pascasarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Nurpratomo, Arif. 2013. Peranan Harian Tribun Jogja dalam Pendidikan Politik Pemilih di
Kota Yogyakarta. Skripsi S1 FIS UNY. Tidak diterbitkan
Peraturan Perundangan
UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Permendikan No. 22 Tahun 2006
Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda