JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA
Transcript of JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA
1
JAJAK PENDAPAT DAN
PEMILU DI INDONESIA
Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal
Hasil Pemilu 1999 dan 2004
LEMBAGA SURVEY INDONESIA (LSI)
2004
2
JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA :
Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal
Hasil Pemilu 1999 dan 2004
Daftar Isi
Halaman
Pendahuluan
I Memprediksi Hasil Pemilu
II Pengalaman Gallup Poll dan Social Weather Stations
III Jajak Pendapat dan Ramalan Pemilu 1999
IV Jajak Pendapat dan Ramalan Pemilu 2004
V Kesulitan dan Tantangan Jajak Pendapat di Indonesia
VI Exit Poll dan Quick count
VII Jajak Pendapat Non Ilmiah
VIII Penutup
Daftar Pustaka
3
PENDAHULUAN
Pemilihan umum bukan hanya hari penentuan bagi partai politik tetapi juga bagi
lembaga jajak pendapat. Kami di Lembaga Survei Indonesia (LSI) kerap berkelakar,
Pemilu akan menjadi ajang apakah LSI akan lolos electoral treshold ataukah tidak.
Istilah ini kami pakai sekedar kelakar apakah ramalan jajak pendapat LSI mendekati
atau tidak dengan hasil aktual Pemilu 5 April lalu. Jika ramalan LSI gagal atau tidak
sesuai dengan kenyataan aktual Pemilu, tentu kredibilitas kami sebagai lembaga
jajak pendapat akan berkurang.
LSI sendiri melakukan jajak pendapat (survei) nasional tiap tiga bulan sekali untuk
merekam opini publik yang berkembang saat itu.Menghadapi Pemilu, selain survei
bulan Agustus dan November 2003, kami membuat survei nasional di bulan Maret
2004. Data lapangan dikumpulkan dari tanggal 8-20 Maret 2004. Tentu ada alasan
pokok kenapa kami melakukan wawancara lapangan mendekati hari Pemilu. Kami
ingin merekam pendapat publik sampai masa akhir menjelang hari pencoblosan.
Kami juga ingin mengetahui efek kampanye di kalangan pemilih. Wawancara
lapangan itu, dengan bantuan dan dedikasi pewawancara lapangan sebanyak 350
orang, bisa diselesaikan tepat waktu. Sekarang tinggal publikasi hasil jajak
pendapat itu.
Ketika memutuskan mempublikasikan hasil survei, kami diliputi perasaan was-was.
Sejumlah kolega menyarankan agar hasil survei itu disimpan dulu di laci meja,
menunggu hari Pemilihan. Publikasi hasil jajak pendapat menjelang hari pemilihan
rawan terhadap tuduhan mempengaruhi pemilih.1 Hasil jajak pendapat itu baru
dikeluarkan setelah pencobloan dan dipakai sekedar menjelaskan preferensi pemilih.
Sejumlah orang juga menyarakan agar menunda publikasi hasil, tetapi dengan
alasan menjada kredibilitas LSI. Sebagai lembaga yang baru berdiri ( pertengahan
tahun 2003), LSI sebaiknya tidak ikut meramalkan atau memprediksi hasil Pemilu.
Sebab jika gagal, orang tidak akan mempercayai lagi hasil jajak pendapat LSI.
1 Efek ini kerap disebut sebagai bandwagon effect. Secara sederhana efek ini dapat digambarkan sebagai berikut. Hasil jajak pendapat dapat mempengaruhi pilihan pemilih, karena orang cenderung mengikuti penapat mayoritas. Jika partai A disebut oleh lembaga jajak pendapat memenangkan Pemilu, pemilih akan cenderung memilih partai A. Ini karena hasil jajak pendapat akan mengesankan pertama kalai kalau partai A populer, dan popularitas partai itu akan mendorong pemilih untuk menjatuhkan pilihan pada partai populer----ini terutama terjadi pada pemilih yang sampai menjelang hari pemilihan masih bimbang akan memilih partai mana.
4
Profesi pollster sendiri kerap disamakan dengan dokter. Kredibilitas seorang dokter
diukur dari apakah dokter bisa mendiagnosa dengan tepat penyakit seorang pasien.
Diagnosa yang baik akan menentukan obat dan jenis tindakan yang akan dilakukan
untuk penyembuhan. Pollster, lewat riset dan metode yang dipakai juga berusaha
untuk mendiagnosa ( merumuskan) pendapat masyarakat. Kredibilitas pollster dan
lembaga jajak pendapat akhirnya dikur dari apakah hasilnya sama taau tidak dengan
hasil Pemilu. Berbeda dengan survei pemasaran, survei politik bisa dengan mudah
hasilnya dikonfirmasi dengan hasil aktual Pemilu. Jika dalam jajak pendapat partai A
memenangkan Pemilu, publik dengan mudah akan menilai apakah hasil aktual
Pemilu juga menghasilan partai A sebagai pemenang.
Rasa was-was itu juga dipicu oleh perkembangan politik yang dinamis dan sukar
diprediksikan menjelang hari pencoblosan 5 April. Survei yang kami lakukan pada
bulan Agustus dan November 2003 secara konsisten menempatkan Golkar sebagai
pemenang Pemilu menggeser PDI Perjuangan. Survei sejenis sampai akhir tahun
2003 ( seperti yang dilakukan oleh CESDA-LP3ES, IRI, IFES, Balitbang PDIP) juga
menempatkan Golkar sebagai pemenang dengan angka cukup signifikan
meninggalkan PDIP. Tetapi menjelang kampanye bulan Maret 2004, partai Golkar
yang semula muncul dengan ide inovatif berupa konvensi, tampil kurang menggigit.
Sebaliknya, PDIP memanfaatkan kampanye Pemilu untuk memperbaiki citra dengan
konsolidasi besar-besar dan penayangan iklan yang masih di media massa.
Menjelang kampanye, politik Indonesia juga ditandai dengan kemunculan Partai
Demokrat, partai yang semula kurang diperhitungkan. Setelah pendiri Partai
Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono keluar dari kabinet, popularitas partai ini
tampak naik yang ditandai dengan kampanye Partai Demokrat yang selalu dihadiri
banyak simpatisan. Peristiwa politik yang dinamis itu membuat prediksi pemenang
Pemilu makin sulit dilakukan dibandingkan dnegan masa sebelum kampanye.
Kami akhirnya memutuskan mempublikasikan hasil jajak pendapat itu lewat sebuah
konferensi pers tanggal 2 April di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta.2 Publikasi itu tentu
bukan dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilih. Kami memilih tanggal itu sebagai
bentuk pertanggungjawaban akademis kepada publik. Konferensi pers itu dimuat
oleh sejumlah suratkabar keesokan harinya, dan menjadi bahan laporan utama
2 Lihat materi konferensi pers 2 April 2004, Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui Pemilu 2004.
5
sebuah majalah berita. Lewat publikasi yang dekat dengan hari pencoblosan 5 April
itu, orang akan dengan mudah membandingkan hasil survei LSI itu dengan hasil
aktual Pemilu. Orang bisa menilai secara terbuka apakah ramalan LSI mendekati
atau tidak dengan kenyataan aktual Pemilu. Tentu ada perbedaan mendasar antara
ramalan yang dibuat oleh lembaga jajak pendapat dengan ramalan seorang
paranormal. Ramalan dari paranormal bersumber dari intuisi dan perasaan,
sementara lembaga jajak pendapat mendasarkan ramalannya pada riset dan data
lapangan.
Sama seperti politisi yang menunggu dengan perasaan berdebar apakah namanya
lolos atau tidak sebagai anggota DPR, kami juga menunggu hasil Pemilu itu dengan
perasaan berdebar. Hasil Pemilu yang diumumkan 5 Mei menunjukkan ramalan LSI
tepat. Ketepatan itu bukan hanya pada pemenang Pemilu dan komposisi pemenang
tetapijug prediksi perolehan suara yang tidak jauh berbeda dengan angka aktual
yang bisa dicapai partai politik. Ini bukan hanya keberhasilan LSI. Ini adalah
keberhasilan lembaga jajak pendapat di Indonesia.
Buku ini mendokumentasikan kinerja lembaga jajak pendapat dalam meramal hasil
Pemilu. Argumen yang diusung oleh buku ini, jika jajak pendapat dilakukan dengan
metode yang benar maka hasilnya bisa dengan tepat bisa memprediksi pemenang
Pemilu. Jajak pendapat di Indonesia bisa mengikuti jejak lembaga jajak pendapat di
negara-negara Barat yang telah menempati posisi penting karena terbukti tepat
dalam merekam opini publik. Buku ini disusun tentu saja tidak dimaksudkan sebagai
media gagah-gagahan. Buku ini hanya memberi ilustrasi dan gambaran bahwa jajak
pendapat bisa menjadi alat ukur yang terpercaya.
Jajak pendapat harus diakui masih barang baru di Indonesia. Tidak semua orang
percaya dengan jajak pendapat. Argumen yang sering dilontarkan mereka yang tidak
percaya dengan jajak pendapat adalah, metode ini hanya cocok di negara Barat dan
mustahil diterapkan di Indonesia. 3 Sejumlah orang bahkan acapkali melontarkan
penilaian miring terhadap lembaga jajak pendapat, seperti lembaga jajakpendapat
dibayar oleh partai A dengan sengaja untuk mendongkrak suara partai itu. Lembaga
jajak pendapat, kami tentu saja tidak bisa menghalangi penilaian seperti itu.
3 Politisi juga tidak mendasarkan kegiatan dan kebijakan berdasarkan hasil jajak pendapat. Dukungan terhadap partai atau tokoh politik tertentu misalnya masih dilihat dari cara yang tradisional, seperti berapa banyak pawai atau kampanye terbuka dihadiri oleh simpatisan.
6
Lembaga jajak pendapat justru harus membuktikan dirinya kepada publik, bahwa
hasil riset yang dilakukan bisa dengan tepat merekam opini publik. Buku ini hadir
diantaranya sebagai bukti bahwa jika dilakukan dengan benar, jajak pendapat bisa
dengan tepat merekam pendapat masyarakat. Buku ini pertama kali akan
menguaraikan pengalaman jajak pendapat dan Pemilu di negara lain, dalam hal ini
Amerika dan Filipina. Bagaimana di dua negara itu jajak pendapat telah menjadi alat
yang terpercaya untuk merekam pilihan masyarakat saat Pemilu. Dilanjutkan dengan
tinjauan jajak pendapat Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
7
I.MEMPREDIKSI HASIL PEMILU
Pemilu adalah pertaruhan bagi lembaga jajak pendapat. Lewat Pemilu, publik bisa
menilai apakah ramalan lembaga jajak pendapat benar atau tidak. Pertanyaan
penting untuk diajukan adalah, apakah jajak pendapat perolehan suara Pemilu di
Indonesia bisa diandalkan? Apakah hasil jajak pendapat itu bisa memprediksikan
dengan tepat hasil Pemilu yang sesungguhnya?
JAJAK PENDAPAT PEMILU MASA ORDE BARU
Jajak pendapat terutama mengenai Pemilu adalah barang baru. Selama puluhan
tahun masa Orde Baru kegiatan ini bisa dikatakan mati. Memang ada beberapa
lembaga jajak pendapat yang mengadakan survei tentang berbagai hal. Tetapi tidak
ada yang berbicara tentang Pemilu. Sekurang-kurangnya ada dua alasan kenapa
kegiatan jajak pendapat mengenai Pemilu tidak berkembang semasa Orde Baru.
Pertama, kegiatan mengukur opini publik terutama yang berhubungan dengan
masalah politik masih tabu dilakukan, kalau tidak seseorang bisa dituduh
menggulingkan pemerintahan atau subversif. Pengalaman SUBURI. Jajak pendapat
mengenai politik adalah barang baru di Indonesia. Usaha untuk mengetahui
poendapat umum yang berkembang akan selalu dihalang-halangi.
Titik balik dari kemunduran jajak pendapat politik adalah peristiwa survei PT SUBURI
di tahun 1972. 4Lembaga survei ini didirikan tahun 1967. Sejarahnya, saat itu Sjarif
Thajib, Duta Besar Indonesia di Amerika, menyatakan perlunya lembaga riset di
Indonesia. Thajib tampaknya terpesona dengan suburnya lembaga penjaringan opini
publik ini di Amerika. Kesempatan itu datang ketika Asia Research Organization yang
berpusat di Manila menawarkan diri masuk dan menjalankan bisnis riset di
Indonesia. Masuknya SUBURI ke Indonesia juga dibantu oleh Panitia Penanaman
Modal Asing ( saat itu diketuai oleh Prof Sadli dari Universitas Indonesia ) yang
merasa di Indonesia perlu adanya biro riset. Meski baru berdiri, SUBURI mendapat
banyak proyek penelitian terutama dari lembaga dan departemen pemerintah serta
kedutaan asing. 5SUBURI misalnya mendapat kontrak penelitian dengan pemerintah
4 Tinjauan menarik mengenai kasus survei SUBURI dan survei lain sepanjang Orde Baru, lihat Daniel Dhakidae,”Social Will, Political Demand and Public Opinion,” Makalah pada seminar Opini Publik dan Demokrasi yang diadakan oleh LP3ES, 23 Juni 1993 5 Mengenai sejarah PT SUBURI, lihat Tempo 17 Juni 1972
8
Jakarta tentang perbaikan kampung dan departemen penerangan mengenai TVRI.
Lembaga riset ini juga pernah membuat penelitian mengenai pendidikan dan
keluarga berencana dari pemerintah. Dinas Penerangan AS (USIS) telahd ua kali
memakai jasa PT SUBURI. Yang pertama soal pendapat pendengar radio Suara
Amerika dan kedua soal bacaan berbahasa Inggris yang dikeluarkan oleh USIS. 6
Lembaga ini mati untuk selamanya, setelah membuat survei mengenai politik di
tahun 1972. Survei politik sebenarnya bukan hal baru bari SUBURI. Sebelumnya, di
tahun 1969 lembaga ini pernah membuat Pre Election Survey (PES) dengan dana
dari BAKIN. Survei tahun 1972 yang menghebohkan itu ingin mengukur pendapat
masyarakat mengenai persoalan ekonomi dan sosial. Survei dilakukan di Jawa
Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jakarta. Ada 53 buah pertanyaan yang
diajukan, tetapi yang akhirnya menyulut kontroversi adalah pertanyaan nomor 38.
Pertanyaan itu berbunyi: “ Sekarang kami mohon sudilah Bapak memberi penilaian
pada beberap orang yang terhormat sebagai berikut tentang sifat-sifatnya dalam
menjalnkan kepemimpinan mereka, menilai pejabat tinggi tersebut dari 1 sampai 10.
Dengan catatan 1 terendah dan 10 tertinggi”. Nama-nama itu adalah 1. Gubernur
Jawa Bart Solihin, 2. Menteri Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono, 3. Presiden
Soeharto, 4. Jenderal Nasuition, 5. Gubernur Jakarta Ali Sadikin, 6. Menteri Luar
Negeri Adam Malik, 7. Direktur Utam Pertamina Ibnu Sutowo, 8. Menteri
Perdagangan Soemitro. Menurut pengakuan pengelola SUBURI, Soeharto
dicantumkan dalam urutan tiga karena dalam metodologi penelitian pertanyaan
harus oibyektif dan tidak memberi sugesti kepada responden. Karena itu tokoh yang
dianggap penting selalu ditempatkan pada tempat yang tidak mencolok. 7
Pertanyaan SUBURI itu tidak ada yang aneh dan tidak ada yang salah secara
metodologi. Tetapi ketika dinilai secara politik, pertanyaan itu dicurigai macam-
macam. Survei itu pertamakali dipersoalkan ketika tenaga peneliti lapangan yang
mewawancari penduduk di Semarang. Satuan Tugas Intelejen Kodam VII
menangkap tenaga pewawancara lapangan. Kodam VII di Semarang mencurigai
kegiatan survei itu sebagai spionase. 8 Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud
6 Tempo, 1 Juli 1972 7 Tempo, 1 Juli 1972 8 Pejabat militer di Kodam VII mengatakan ada tiga macam bentuk kegiatan intelejen: intelejen perang, intelejen teknis dan intelejen strategis. Apa yang dilakukan oleh PT SUBURI oleh Kodam VII dikategorikan sebagai bentuk intelejen strategis. Kodam VII menuduh PT
9
menuduh SUBRI melakukan tindakan subversi yang bisa mengganggu ketertiban dan
kemanan masyarakat. 9 Tidak begitu jelas, siapa yang membiayai penelitian ini.
Majalah Tempo yang mewawancari sejumlah sumber menegarai partai Golkar yang
menyewa PT SUBURI untuk melakukan penelitian tersebut. Karena riset ini, lembaga
ini ditutup dan dicabut ijinnya. Direkturnya, John M. Digregorio diminta angkat kaki
dari Indonesia. 10 Peristiwa survei SUBURI ini bukan hanya menutup perusahaan
riset tertua ini, tetapi juga menjadi sinyal matinya survei opini publik di Indonesia.
Penelitian mengenai masalah sosial dan politik menjadi sulit untuk dilakukan.
Kalaupun dilakukan, tidak menyentuh soal partai, Pemilu atau presiden kalau tidak
ingin dicap melakukan kegiatan subversi. Ijin melakukan survei juga diperketat.
Setelah kasus SUBURI, dan berlaku hingga masa Orde Baru, setiap penelitian harus
seizin Gubernur dan Laksus Kopkamtibda. Sebelum ijin keluar, Laksus Kopkamtibda
akan meneliti terlebih dahulu kegiatan penelitian dan instrumen yang dipakai. 11
Pasca jajak pendapat SUBURI, sangat sedikit survei atau jajak pendapat mengenai
politik di Indonesia. Sebagaian besar penelitian itu dilakukan untuk keperluan studi
di perguruan tinggi. Selain karena birokrasi penelitian, minimnya pengukuran opini
publik mengenai politik ini diperparah oleh sikap pemerintah dan pejabat yang tidak
senang kalau hasil kinerjanya dinilai. Apalagi kalau penelitian itu hasilnya buruk bagi
pemerintah. Kegiatan penelitian karena itu tidak dianggap sebagai cermin untuk
mengetahui kelemahan dan antisipasi langkah masa depan. Penelitian sebaliknya
acap dipandang menyebarluaskan keburukan kepada masyarakat. Selain survei
mengenai Pemilu, survei soal korupsi atau kemiskinan misalnya bisa dengan mudah
dituduh oleh pejabat pemerintah menyebarluaskan kebohongan kepada
masyarakat.12 Karena berbagai kendala itu, tidak mengherankan jikalau riset yang
SUBURI menjual hasil survei kepada negara blok Barat atau blok Timur. Tujuannya adalah memata-matai Indonesia. Lihat Tempo, 17 Juni 1972 9 Tempo, 1 Juli 1972; Tempo, 24 Juni 1972 10 Tempo, 30 September 1972; Tempo, 14 Oktober 1972 11 Tempo, 8 Juli 1972 12 Peristiwa unik mengenai ini adalah penelitian mengenai peta kemiskinan yang dibuat oleh Bappenas tahun 1993. Peta itu mengkategorikan 1.236 kecamatan di Indonesia ( atau 34 persen) sebagai miskin atau sangat miskin. Peta itu dibuat dari data di tingkat desa. Ukuran yang dipakai ada tujuh indikator, yang salah satunya adalah tingkat pendapatan desa per kapita. Data itu diambil dan dikalkulasikan Kantor Bangdes di kabupaten, terus dinaikkan ke tingkat provinsi. Peta itu menjadi ramai dan digugat bukan karena hasilnya, tetapi karenanya datanya dianggap memalukukan oleh sejumlah kepala daerah. Sejumlah gubernur dan bupati protes karena peta itu membuat malu daerah, dan merak ramai-ramai menolakj peta yang dibuat oleh Bappenas. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana penelitian dengan indikator dan ukuran tertentu dinilai bukan dari kadar penelitiannya, tetapi dari aspek di luar penelitian itu
10
banyak berkembang semasa Orde Baru adalah survei non politik, seperti survei
pemasaran yang tumbuh sejak tahun 1970-an.
Alasan kedua kenapa jajak pendapat mengenai politik ( lebih spesifik Pemilu) lama
absen dikarenakan sifat Pemilu di Indonesia sendiri. Sepanjang Orde Baru, Golkar
muncul sebagai kekuatan mayoritas dengan suara di atas 70%. Karena itu, meramal
siapa pemenang Pemilu menjadi kegiatan yang sia-sia karena hasil Pemilu memang
sudah diketahui jauh sebelum Pemilu dilakukan. Pemilu masa Orde Baru juga
ditandai dengan mobilisasi besar-besaran untuk mendukung dan memenangkan
Golkar. Mobilisasi itu bisa formal (dengan mengerahkan dukungan birokrasi dan
dana) juga informal. Pemilu masa Orde Baru itu sendiri tidaklah benar-benar
merupakan Pemilu dalam arti sesungguhnya, karena memang sejak awal sudah
didesain untuk memenangkan Golkar. Pemilu itu juga diwarnai banyak kecurangan
dan pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti. Melakukan jajak pendapat tentang
pemilu sama sekali tidak berguna, karena hasil jajak pendapat pasti tidak bisa
dibandingkan dengan hasil Pemilu.
JAJAK PENDAPAT PEMILU PASCA ORDE BARU
Kegiatan jajak pendapat mengenai Pemilu itu baru berkembang setelah Pemilu yang
demokratis tahun 1999. Jajak pendapat mengenai Pemilu makin marak pada Pemilu
2004. Kalau soal Pemilu relatif baru, kegiatan jajak pendapat untuk tema lain
sebenarnya sudah marak sejak tahun 1990-an. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sejak tahun 1992 aktif melakukan jajak
pendapat dengan berbagai tema. Sejumlah peneliti LP3ES mempelajari metode
jajak pendapat ini di beberapa lembaga jajak pendapat di Amerika dan Filipina. Topik
yang diangkat LP3ES pada tahap awal belum menyentuh politik, tetapi soal sosial
seperti kebebasan pers, komitmen nasional dan sebagainya. LP3ES juga
bekerjasama dengan beberapa media ( seperti majalah Tajuk ) membuat jajak
pendapat secara rutin dari berbagai isu aktual yang berkembang saat itu. Selain
LP3ES, Litbang Kompas juga lembaga yang bisa dicatat aktif melakukan jajak
pendapat sejak tahun 1990-an. Litbang Kompas mengangkat berbagai jajak
pendapat lewat telepon mengenai isu-isu kebijakan publik.
sendiri---seperti menghina atau memalukan daerah. Lihat mengenai kasus peta kemiskinan ini dalam Tempo, 8 Mei 1993; Tempo, 15 Mei 1993.
11
LP3ES membuat jajak pendapat mengenai Pemilu sejak tahun 1997. Hasil jajak
pendapat itu memperoleh angka presisi yang baik. Dua tahun kemudian, LP3ES
membuat jajak pendapat dengan populasi wilayah Jawa.13 Di tahun 1999 ini, selain
LP3ES tercatat ada 3 lembaga jajak pendapat lain yang menyelenggarakan survei
mengenai Pemilu, yakni RPC (Resource Productivity Center), IFES (International
Foundation for Election Systems), Litbang Kompas dan Komite Pemberdayaan
Pemilih (KPP)-Lab Politik Fisip UI. RPC adalah lembaga yang bergerak dalam bidang
survei dan penelitian. Selain soal politik, RPC melakukan sejumlah jajak pendapat
lain dengan beragam tema. RPC juga menyelenggarakan riset pemasaran dan survei
khalayak di sejumlah media. IFES adalah lembaga nirlaba asal Amerika Serikat yang
mengkhususkan diri pada reformasi sistem Pemilu di banyak negara. Jajak pendapat
adalah salah satu lini kegiatan IFES selain kegiatan lain seperti diskusi rancangan
undang-undang Pemilu, pendidikan pemilih dan sebagainya.
Pada Pemilu 2004, lebih banyak lagi lembaga yang membuat jajak pendapat
mengenai Pemilu. Selama satu tahun (April 2003-Maret 2004) paling tidak ada 7
lembaga yang membuat jajak pendapat soal Pemilu. Selain LP3ES dan IFES, ada 5
lembaga baru yang membuat jajak pendapat yakni Badan Penelitian dan
Pengembangan PDIP Perjuangan (Balitbang PDIP), DRI (Danareksa Research
Institute), IRI (International Republican Institute), Lembaga Survey Indonesia (LSI),
dan Soegeng Sarjadi Syndicated. Balitbang PDIP adalah organ resmi dari PDIP yang
bertanggungjawab dalam melakukan kajian dan masukan kepada Dewan Pimpinan
Pusat PDIP. IRI adalah lembaga nirlaba yang menginduk pada partai Republik
Amerika. Sama seperti IFES, kegiatan survei adalah salah satu dari sejumlah
kegiatan IRI selain pendidikan politik, pemberdayaan pemilih.
Sementara DRI adalah badan di bawah Danareksa. Survei ini adalah bagian dari
survei lain yang dilakukan oleh DRI mengenai ekonomi. Meski sejak lama
menjalankan riset, survei mengenai politik baru dilakukan oleh DRI menjelang
Pemilu 2004. Lembaga baru lain adalah Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS). Lembaga
ini didirikan tahun 1998 dan sejak 1999 melakukan jajak pendapat atas sejumlah isu
diantaranya soal etnis Tionghoa, Soeharto dan sebagainya. SSS pada awalnya
banyak bekerjasama dengan Laboratorium Ilmu Politik UI dalam menyelenggarakan
jajak pendapat. Pada Pemilu 2004, SSS melakukan seri jajak pendapat
13 Wawancara E.Shobirin Nadj, dari CESDA-LP3ES, 5 Mei 2004.
12
untukmengukur sentimen publk. Total ada 8 jajak pendapat yang dilakukaan SSS
dari Mei 2002 hingga April 2004.14 Lembaga jajak pendapat lain yang baru adalah
LSI (Lembaga Survey Indonesia). LSI adalah lembaga yang mengkhususkan diri
pada survei opini publik di Indonesia. Lembaga ini baru didirikan pada pertengahan
tahun 2003, dan mulai melakukan survei nasional sejak Agustus 2003. Secara rutin,
LSI melakukan survei tiap tiga bulan sekali untuk merekam sentimen publik.
URGENSI RAMALAN PEMILU
Soal maramal hasil Pemilu adalah sesuatu yang krusial bagi lembaga jajak pendapat.
Kenapa? Kita bisa tengok pendapat tokoh jajak pendapat, George Gallup. Menurut
Gallup, jajak pendapat adalah upaya untuk mengetahui opini publik tetapi tidak
dilakukan dengan menanyakan kepada semua orang ( seperti halnya Pemilu atau
referendum). Opini publik itu diketahui lewat sejumlah orang yang dikenal sebagai
sampel. Teknik ilmiah dan metode statistik yang modern menurut Gallup bisa
menjamin bahwa sampel yang diambil representasi dengan suara semua anggota
masyarakat. Lembaga jajak pendapat tidak perlu bertanya kepada semua anggota
masyarakat, cukup mengambil sampel ( dengan dasar dan metode ilmiah), dan
hasilnya bisa mencerminkan suara seluruh masyarakat. Dengan sampel, menurut
Gallup, jajak pendapat bisa dilakukan tiap hari dengan biaya yang murah. Kita bisa
tahu suara publik dari hari ke hari. Pemerintah bisa mendapatkan informasi apa saja
masalah yang dikeluhkan oleh publik dengan data yang lebih akurat.15
Logika pemakaian sampel itu justru letak pangkal soalnya. Bagaimana kita yakin
bahwa sampel mewakili populasi? Bagaimana kita bisa yakin bahwa pendapat dari
2.000 orang responden sama dengan pendapat 147 juta pemilih Indonesia? Pemilu
adalah satu-satunya jalan bagi lembaga jajak pendapat untuk menguji akurasi dari
suatu sampel. Lewat Pemilu, lembaga jajak pendapat bisa membuktikan, bahwa
dengan metode penarikan sampel yang benar dan ketat, suara dari 2.000 orang
sama dengan suar 147 juta pemilih. Jika Pemilu adalah populasi (masyarakat yang
telah aktual menggunakan hak pilihnya), maka jajak pendapat adalah sampel (orang
yang dipilih sebagai sampel). Kalau prinsip acak (random) bekerja, kalau teknik
14 Wawancara Sukardi Rinakit, direktur eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicated, 4 Mei 2004. 15 Lebih lanjur lihat George Gallup, “ Opinion Polling in a Democracy,” dalam Judith M.Tanur (ed), Statistics: A Guide to the Unknown, Second Edition, California,Wadsworth & Brooks Inc,1985.
13
penarikan sampel dilakukan secara ketat, seharusnya hasil sampel secara statistik
tidak berbeda jauh dengan populasi.
PEMILU JAJAK PENDAPAT POPULASI SAMPEL
147 pemilih 1000-5000 responden
Di negara Barat, seperti Amerika, jajak pendapat Pemilu dipakai untuk membuktikan
kepada publik bahwa teknik penarikan sampel yang mereka pakai bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buktinya, hasil survei mereka sama persis
dengan hasil Pemilu aktual. Di Indonesia, sampai saat ini masih banyak suara
sumbang mengenai akurasi lembaga jajak pendapat. Pemilu adalah kesempatan bagi
lembaga jajak pendapat untuk belajar sekaligus membuktikan kepada publik
Indonesia bahwa apa yang telah mereka kerjakan bisa dipertanggungjawabkan.
Caranya sederhana, bandingkan antar hasil jajak pendapat dengan hasil Pemilu.
Kalau hasilnya sama, maka metode yang yang dipakai oleh lembaga jajak pendapat
tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Meski sederhana, cara itu mengandung resiko
yang berat. Lembaga yang gagal memprediksi pemenang Pemilu, bisa kehilangan
kredibilitasnya. Di Amerika bahkan kesalahan yang dibuat oleh lembaga jajak
pendapat sering berujung pada penghentian kegiatan jajak pendapat oleh lembaga.
Pertanyaan kemudian adalah, ukuran apa yang dipakai untuk menilai jajak pendapat
berhasil dan gagal? Kriteria apa yang bisa dipakai untuk memvonis apakah lembaga
jajak pendapat benar atau salah? Menurut Daniel Dhakidae, ada dua kriteria yang
bisa dipakai untuk menilai kualitas dari lembaga jajak pendapat yang memprediksi
hasil Pemilu. 16Pertama, akurasi, yakni sejauh mana lembaga jajak pendapat secara
benar memprediksi partai pemenang Pemilu dan komposisi peringkat pemenang
Pemilu. Akurasi berkaitan dengan benar tidaknya ramalan lembaga jajak pendapat
(correctness). Jika lembaga jajak pendapat memprediksi partai A yang
memenangkan Pemilu, maka ramalan itu baru bisa dianggap presisi jika hasil Pemilu
memang memposisikan partai A sebagai pemenang. Akurasi yang lebih baik jika
lembaga jajak pendapat bukan hanya bisa memprediksi partai A sebagai pemenang 16 Lihat Daniel Dhakidae,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Kompas,14 Agustus 1999.
14
tetapi juga bisa memprediksi urutan pemenang, dari partai A sampai E misalnya
masing-masing dengan urutan 1 sampai sekian.
Kedua, presisi. Jika akurasi berkaitan dengan correctness, maka presisi berkaitan
dengan ketepatan (exactness). Lembaga jajak pendapat dituntut bukan hanya tepat
dalam memprediksi pemenang Pemilu, tetapi juga memprediksi perolehan suara
masing-masing partai. Makin dekat ramalan perolehan partai dengan hasil perolehan
partai yang sebenarnya di Pemilu, maka makin bagus pula kinerja dari lembaga jajak
pendapat.
AKURASI
PRESISI
Sejauh mana lembaga jajak pendapat bisa dengan tepat memprediksi pemenang Pemilu dan struktur (posisi) peringkat partai pemenang Pemilu
Sejauh mana lembaga jajak pendapat bisa memprediksi perolehan suara masing-masing partai
15
II. PENGALAMAN GALLUP POLL DAN
SOCIAL WEATHER STATIONS
Di Indonesia, masih banyak orang yang tidak percaya dengan jajak pendapat.
Pertanyaan yang kerap muncul adalah apakah suara dari sampel yang hanya 2.000
orang bisa menggambarkan suara pemilih di Indonesia yang mencapai 147 juta
orang? Apakah mungkin suara pemilih sebanyak itu bisa tergambar lewat sampel
yang hanya berjumlah ribuan saja. Kegiatan jajak pendapat lalu dipandang sebagai
usaha sia-sia, kalau tidak sebagai usaha buang-buang waktu. Jajak pendapat di
Indonesia belum dianggap sebagai alat ukur yang terpercaya untuk mengetahui
pendapat umum. Celakanya, ketidakpercayaan pada jajak pendapat ini bukan hanya
melanda masyarakat awam, tetapi juga akademisi atau politisi. Banyak diantara
mereka yang pernah mengecap pendidikan di luar negeri. Debat mengenai
jajakpendapat di Indonesia, acapkali bahkan diwarnai dengan perdebatan yang tidak
bermutu seperti siapa orang di belakang lembaga jajak pnedapat atau agenda apa
yang dibawa oleh lembaga jajak pendapat.
Jika di Indonesia orang masih berdebat apakah jajak pendapat bisa dipercaya atau
tidak, atau apakah sampel menggambarkan populasi atau tidak, di negeri Barat
perdebatan ini sudah usai sebelum perang Dunia II. Tidak pernah terdengar
pernyataan politisi atau akademisi yang meragukan atau tidak mempercayai jajak
pendapat. Bahkan karena percaya bahwa jajakpendapat adalah alat yang terpercaya
untuk mengukur pendapat umum, di Amerika jajakpendapat dianggap sebagai pilar
kelima demokrasi----setelah yudikatif, eksekutif, legislatif, dan pers. Kepercayaan
pada jajak pendapat ini memang tidak timbul satu malam. Kunci kepercayaan itu
adalah lembaga jajak pendapat sendiri yang berhasil membuktikan diri bahwa
metode dan alat yang mereka pakai akurat dan tepat. Di Indonesia masih banyak
orang mempertanyakan kebenaran jajakpendapat, mungkin karena belum banyak
bukti keberhasilan jajak pendapat dalam menggambarkan opini yang berkembang di
masyarakat.
GALLUP POLL
Gallup Poll acapkali dijadikan sebagai ukuran lembaga jajak pendapat yang berhasil.
Lembaga ini bukan hanya bisa akurat memprediksi presiden terpilih tetapi juga
16
secara presisi memproyeksikan perolehan suara presiden. Dari tahun 1936 hingga
2000, rata-rata selisih prediksi Gallup hanya berada pada kisaran angka 1.5 %. 17Artinya, jika Gallup memprediksikan kandidat A mendapat 40% suara, angka
sebenarnya ( hasil Pemilu) tidak lebih besar atau lebih kecil dari angka itu. Pada
tahun-tahun tertentu (seperti tahun 1972), selisih antara angka prediksi dan hasil
aktual hanya 0.2%. 18 Keberhasilan ini tidak terjadi pada satu malam. Setelah
melewati proses jatuh bangun, Gallup Poll bisa membangun suatu sistem yang
terpercaya dan bisa mengukur dengan valid opini publik yang berkembang di
Amerika.
Gallup Poll berdiri tahun 1930-an. 19Saat itu lembaga ini terbilang kecil bahkan tidak
dikenal. Lembaga jajak pendapat yang dikenal saat itu adalah majalah Literary
Digest. Majalah ini hanyakah salah satu dari sekian puluh media yang menjamur
dengan kegiatan jajak pendapat. Media yang melakukan jajak pendapat bisa
terangkat gengsinya, apalagi kalau berhasil meramal dengan benar siapa presiden
Amerika. Tetapi prinsip statistik modern dengan pemakaian sampel probabilitas
belum dikenal luas saat itu. Lembaga jajak pendapat di tahun-tahun itu berpikir
linear, semakin banyak orang yang diwawancarai maka semakin baik. Lembaga jajak
pendapat lalu berlomba membuat jajak pendapat dengan jumlah sampel puluhan
juta orang. Gengsi lembaga jajak pendapat bahkan diukur dari berapa banyak orang
yang berhasil diwawancarai atau memasukkan jawabannya. Karena banyaknya suara
yang masuk itu, jajak pendapat ini sering dikenal sebagai pemilihan tidak resmi
(straw vote).
Majalah Literary Digest sendiri adalah lembaga yang paling menonjol era ini karena
dikenal mampu menghimpun suara puluhan juta. Lembaga ini memulai jajak
pendapat dari tahun 1916. Pada tahun 1920, Literary Digest memakai 11 juta suara.
17 Lihat Herbert F Weisberg, John A. Krosnick and Bruce D. Bowen, An Introduction to Survey Research, Polling and Data Analysis, Third Edition, Thousand Oaks, California, Sage Publication, 1996, hal. 151 18 Memang Gallup Poll pernah membuat kesalahan prediksi, tetapi kesalahan itu masih bisa dimaafkan. Yang paling terkenal adalah pemilihan tahun 2000 lalu. Gallup memprediksi Gore yang menang, padahal yang menang adalah George W. Bush. Tetapi kesalahan ini dimaafkan karena basis jajak pendapat Gallup adalah popular vote, bulan electoral vote. Dan memang kalau dilihat perolehan suara nasional (popular vote), Gore mendapat suara lebih besar dari Bush. 19 Profil dan sejarah Gallup ( dan sejumlah organisasi jajak pendapat besar di Amerika) lihat David W.Moore, The Superpollster:How They Measure and Manipulate Public Opinion in America, Second Edition,New York,Four Walls Eight Windows,1995.
17
Angka ini bertambah di tahun 1920 dengan 16.5 juta suara. Sampai tahun 1932,
Literary Digest selalu akurat memprediksi siapa pemenang Pemilu di Amerika.
Ramalan yang benar ini bukan hanya membuat citra Literary Digest makin bagus
tetapi juga mendorong Digest untuk menambah jumlah suara yang ikut menjawab
presiden pilihan. Tetapi sebuah musibah menimpa Literary Digest pada tahun
1936.20 Digest salah memprediksi kemenangan presiden yang membuat majalah ini
menghentikan kegiatan jajak pendapat untuk selamanya. Saat itu ada dua calon
yakni Alfred M.Landon ( Republik) dan Franklin D.Roosevelt (Demokrat). Literary
Digest memprediksi Alfred M.Landon yang memenangkan Pemilu. Pemilu
sesungguhnya justru Roosevelt yang menang. Kenapa Digest bisa mengalami
kesalahan prediksi padahal sampel yang dipakai mencapai 10 juta orang? Kesalahan
utama Literary Digest adalah pada teknik pengambilan sampel. Sampel Digest
diambil dari buku telepon dan pendaftaran mobil---semacam STNK.Tahun 1936 di
Amerika ditandai dengan masa malaise, dengan pengangguran yang tinggi.Lebih
banyak orang yang yang tidak makmur dibandingkan dengan warga yang
berkecukupan. Mereka ini diabaikan dalam jajak pendapat Literary Digest.
Akibatnya, suara publik yang miskin yang lebih condong memilih Roosevelt tidak
bisa diprediksikan oleh Digest.
Kesalahan Digest ini membawa efek sampingan. Ahli jajak pendapat mulai
memikirkan teknik statistik yang bisa dipakai untuk meramalkan suara pemilih.
Kegagalan Digest itu juga membuat publik Amerika mulai terbiasa dengan satu
nama, Gallup Poll. Lembaga dengan pendiri George Gallup ini, sama sekali
tenggelam di bawah kebesaran nama Literary Digest. Di tahun 1936 itu, ketika
Digest salah memprediksi, Gallup justru berhasil memprediksi kemenangan
Roosevelt. Yang dilakukan Gallup saat itu adalah membuat sampel yang menjamin
tercapainya reporesentasi dengan memperhitungkna terlebih dahulu proporsi untuk
partai Demokrat dan Republik. Keberhasilan Gallup ini membuat publik Amerika
mulai menoleh kepada lembaga-lembaga baru. Selain Gallup, nama lain yang
muncul saat itu adalah Ropper dan Crosley. Pemilihan presiden Amerika tahun 1940
dan 1944 juga berhasil diprediksikan oleh Gallup dan lembaga jajak pendapat baru
ini.
20 Analisis lebih terperinci mengenai peristiswa tahun 1936 ini lihat Mervin D.Field,”Political Opinion in The United States of America,” dalam Robert M.Worcester (ed), Political Opinion Polling:An International Review, New York, St. Martin Press, 1983, hal.198-208.
18
Tabel : Ramalan Gallup dan Hasil Pemilu Aktual di AS 1972-2000
TAHUN
Kandidat
Survei Gallup
Hasil Aktual Pemilu
Selisih
Rata-Rata Kesalahan
Bush 48 47.9 0.1 Gore 46 48.4 -2.4
2000 Nader 4 2.7 1.3
1.3
Clinton 52 50.1 1.9 Dole 41 41.4 -0.4
1996 Perot 7 8.5 -1.5
1.3
Clinton 49 43.3 5.7 Bush 37 37.7 -0.7
1992 Perot 14 19 -5
3.8
Bush 56 53 2.1 1988 Dukakis 44 46.1 -2.1
2.1
Reagan 59 59.2 -0.2 1984 Mondale 41 40.8 0.2
0.2
Reagan 47 50.8 -3.8 Carter 44 41 3 Anderson 8 6.6 1.4
1980 Other 1 1.6 -0.6
2.2
Carter 48 50.1 -2.1 Ford 49 48.1 0.9 McCarthy 2 0.9 1.1
1976 Other 1 0.9 0.1
1.1
Nixon 62 61.8 0.2 1972 McGovern 38 38.2 -0.2
0.2
Nixon 43 43.5 -0.5 Humphrey 42 42.9 -0.9
1968 Wallace 15 13.6 1.4
0.9
Johnson 64 61.3 2.7 1964 Goldwater 36 38.7 -2.7
2.7
Kennedy 51 50.1 0.9 1960 Nixon 49 49.9 -0.9
0.9
Rata-rata kesalahan Gallup Poll 1960-2000 = 1.5
Tetapi lembaga jajak pendapat ini mengalami ujian berat, ketika tahun 1948 kembali
mengalami kegagalan seperti halnya yang terjadi di tahun 1936. Saat itu dua
kandidat yang bertarung memperebutkan kursi presiden adalah Harry S. Truman
(Demokrat) dan Thomas E. Dewey (Republik). Semua lembaga jajak pendapat
(Gallup, Ropper dan Crosley) memprediksi Thomas E. Dewey yang akan
memenangkan pemilihan. Kenyataannya, Truman menang atas Dewey dengan
selisih suara 5 persen. Kesalahan itu sangat memalukan karena suratkabar yang
terbit di hari pemilihan memuat analisis dan prediksi lembaga jajak pendapat yang
menempatkan Dewey sebagai pemenang. Lembaga jajak pendapat mengalami krisis
19
kedua setelah tahun 1936. Kepercayaan publik makin turun terhadap jajak
pendapat.
Untungnya, kejadian tahun 1948 itu tidak diikuti dengan pembubaran secara massal
lembaga jajak pendapat seperti terjadi di tahun 1936. Lembaga jajak pendapat
seperti Gallup mulai menerapkan prionsip probabilitas dalam pengambilan sampel.
Dengan prinsip probabilitas ini, sampel yang diambil lebih terjamin derajat
representasinya. Lewat pengambilan sampel yang ketat, lembaga jajak pendapat
tidak perlu mewawancarai puluhan atau ratusan ribu orang. Cukup dengan sampel
sebanyak 2.000 hingga 5.000 orang asal diambil secara acak (random) dan dengan
prinsip pengambilan sampel benar, hasilnya bisa menggambarkan suara pemilih.
Sejak 1948 itu, kesalahan prediksi lembaga jajak pendapat menjadi lebih kecil.
Lembaga jajak pendapat bukan hanya berhasil memprediksikan siapa yang akan
memenangkan Pemilu tetapi juga memprediksi dengan tepat berapa perolehan suara
masing-masing kandidat. Sehingga muncul adagium, presiden di Amerika sudah
diketahui sebelum rakyat Amerika datangke biliksuara dan menentukanpresiden
pilihan mereka.
SOCIAL WEATHER STATIONS
Tidak benar kalau dikatakan jajak pendapat ini hanya cocok di negara maju. Jajak
pendapat asal dilakukan dengan hati-hati bisa memprediksi hasil Pemilu seperti
halnya di Amerika. Kita bisa mengacu kepada jajak pendapat yang dilakukan oleh
lembaga Social Weather Stations (SWS) di Filipina.
Perlu dicatat, kegiatan jajak pendapat dan prediksi pemenang Pemilu mempunyai
tradisi yang panjang di Filipina. Sejak tahun 1946, kegiatan ramal meramal siapa
pemenang Pemilu lewat jajak pendapat ini sudah dikenal oleh publik Filipina. Tetapi
baiknya, Ferdinand Marcos di tahun 1972 membuat kegiatan jajakpendapat ini
praktis terhenti. Filipina mengalami era baru sistem otoriterisme dimana segala hal
yang berbau politik dan berurusan dengan negara dilarang. Tumbangnya Marcos di
tahun 1983, membuat kegiatan jajak pendapat yang pernah tenggelam kembali
muncul ke permukaan. Social Weather Stations lahir pada era ini. Lembaga ini
berdiri tahun 1985 sebagai organisasi non profit dan non partisan. Kegiatan
utamanya adalah membuat survei dengan metode statistik modern isu-isu nasional
termasuk Pemilu. SWS membuat laporean secara berkala indikator kepercayaan
20
publik atas kondisi sosial, ekonomi dan politik. Sejak tahun 1992, lembaga ini
membuat jajak pendapat pemilihan presiden, dan secara tepat memprediksi
pemenang Pemilu. 21
Pemilihan presiden di Filipina sendiri mempunyai sistem yang unik. Presiden dan
wakil presiden dipilih secara langsung tiap enam tahun sekali. Berbeda dengan di
Indonesia dimana presiden dan wakil presiden merupakan pasangan satu paket, di
Filipina presien dan wakil presiden dipilih secara terpisah. Bisa terjadi kemungkinan,
presiden dan wakil presiden berasal dari partai yang berbeda. Selain Pemilu untuk
memilih presiden dan wakil presiden, Pemilu juga dilakukan untuk memilih 24
anggota senat (senator). Berbeda dengan di Indonesia atau Amerika dimana
senator berasal dari daerah pemilihan tertentu, di Filipina tidak dikenal daerah
pemilihan atau senator dari negara bagian tertentu. Calon anggota senat bersaing
secara nasional memperebutkan 24 kursi. Karena itu jajak pendapat untuk
meramalkan siapa anggota senat yang lolos relatif sulit. Meski demikian, SWS
terbukti berhasil meramal dengan tepat pemenang Pemilu di Filipina semenjak tahun
1992. Di tahun 1992 lembaga ini juga bisa memprediksi Fidel Ramos sebagai
presiden dan tahun 1998 dengan presiden Joseph Estrada. Pemilihan anggota senat
di tahun 1987, 1992, 1995, 1998 dan 2001 juga telah dapat diprediksi oleh SWS
satu minggu sebelum hari pemungutan suara. 22
Dalam setiap surveinya, SWS memakai sampel sebesar 1.000 responden. Jumlah
sampel sebesar ini cukup untuk memprediksi suara pemilih Filipina yang berjumlah
sekitar 23 juta suara. Medan yang dihadapi oleh SWS hampir mirip dengan di
Indonesia, dimana lembaga jajak pendapat dihadapkan pada populasi yang
heterogen dengan suku bangsa yang beraneka, dan jenjang sosial pendidikan yang
berlainan pula. Prediksi SWS bukan hanya akurat tetapi juga presisi. Rata-rata
kesalahan prediksi SWS hanya berkisar pada angka 2.5%. Kebenaran prediksi SWS
21 Mengenai SWS dan sejarah jajak pendapat di Filipina, lihat tulisan Linda Luz Guerrero and Mahar Mangahas, Opinion Polling in the Philippines:An Encyclopedia Article,Occasional Paper, SWS 2002. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph. 22 Tinjauan umum mengenai survei SWS dan Pemilu di Filipina lihat Mahar Mangahas, Linda Guerrero and Geraldo Sandoval, Opinion Polling and National Elections in The Philippines,1992-2001, Occasional Paper, 2001. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.
21
ini turut membuat bukan hanya pamor SWS naik tetapi juga kepercayaan publik
terhadap jajak pendapat. 23
Tabel:Prediksi SWS dan Hasil Aktual Pemilu di Filipina Tahun 1992-1998
Hasil Survei (26 April-4 Mei)
Aktual Pemilu Selisih PRESIDEN 1992
% Rank % Rank % Ramos 26.8 1 23.6 1 3.3 Santiago 25 2 19.7 2 5.3 Cojuanco 16.2 3 18.2 3 -2 Mitra 14.1 4 14.6 4 -0.6 Marcos 6.5 5 10.3 5 -3.7 Salonga 8 6 10.2 6 -2.3 Laurel 3.3 7 3.4 7 -0.1 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.4
Hasil Survei (26 April-4 Mei)
Aktual Pemilu Selisih WAKIL PRESIDEN
1992 % Rank % Rank %
Estrada 30.6 1 33 1 -2.4 Fernan 21.3 2 21.7 2 -0.4 Osmena 18.9 3 16.5 3 2.5 R. Magsaysay 15.1 4 14.2 4 0.9 Pimentel 9 5 9.9 5 -0.9 V. Magsaysay 3.1 6 3.4 6 -0.3 Kalaw 2 7 1.3 7 0.7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 1.2
Hasil Survei (2-4 Mei)
Aktual Pemilu Selisih PRESIDEN 1998
% Rank % Rank % Estrada 33 1 39.9 1 -6.9 De Venecia 15 2 15.9 2 -0.9 Roco 11 3 13.8 3 -2.8 Osmena 11 4 12.4 4 -1.4 Lim 10 5 8.7 5 1.3 De Villa 6 6 4.9 6 1.1 Santiago 2 8 3 7 -1 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.2
23 Sebuah survei yang pernah dilakukan oleh SWS membuktikan kepercayaan publik Filipina atas jajak pendapat. Lima dari enam warga Filipina percaya bahwa prediksi pemenang Pemilu yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat selalu benar.Lebih dari itu publik di Filipina juga percaya bahwa sampel 1.000orang yang diambil secara tepat dapat merefleksikan seluruh populasi.Lihat Linda Luz Guerrero and Mahar Mangahas,”Polling About Polls in the Philippines,”Social Weather Bulletin, No.9-10,Mei 1997. Artikel ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.
22
Hasil Survei (2-4 Mei)
Aktual Pemilu Selisih WAKIL PRESIDEN
1998 % Rank % Rank %
Arroyo 42 1 49.6 1 -7.6 Angara 18 2 22.1 2 -4.1 Orbos 10 4 13 3 -3 Osmena 11 3 9.2 4 1.8 Tatad 2 5 2.9 5 -0.9 Sueno 2 6 2.1 6 -0.1 Santiago 2 7 0.9 7 1.1 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.6
23
III. JAJAK PENDAPAT
DAN RAMALAN PEMILU 1999
Pemilu 1999 adalah tantangan pertama bagi lembaga jajak pendapat di Indonesia.
Inilah untuk pertama kalinya, sejak tahun 1955 diadakan Pemilihan Umum secara
terbuka dan demokratis. Jika disebut tantangan, paling tidak karena dua alasan
berikut. Pertama, pada Pemilu tahun 1999 itu sebanyak 48 partai politik bersaing
secara terbuka memperebutkan pemilih. Dengan jumlah partai sebanyak itu, peta
politik menjadi sangat terfragmentasi (tersebar). Lembaga jajak pendapat
dihadapkan pada pilihan untuk meramal partai pemenang Pemilu dari partai
sebanyak itu. Ini ditambah dengan tidak adanya peta awal kekuatan politik yang
ada. Hasil Pemilu sebelum 1999 sama sekali tidak bisa dijadikan dasar dan patokan
untuk meramal hasil Pemilu. Kedua, lembaga jajak pendapat bukan hanya
dihadapkan pada kelangkaan peta partai politik, tetapi juga kelangkaan dalam
standar survei di Indonesia. Seperti telah disinggung di muka, kegiatan jajak
pendapat selama Orde Baru terutama mengenai Pemilu bisa dikatakan mati.
Lembaga jajak pendapat tidak punya data pembanding bagaimana melakukan jajak
pendapat di wilayah yang sedemikian luas sedemikian terbagi dalam struktur
sosiologis yang berbeda pula.
Fakta menunjukkan, lembaga jajak pendapat di Indonesia bisa melewati dua
hambatan tersebut. Meskipun kegiatan jajak pendapat relatif baru, hasil dari
lembaga jajak pendapat itu sangat menggembirakan dan mengangumkan. Lembaga
jajak pendapat berhasil memprediksi dengan benar pemenang Pemilu tahun 1999.
Saat Pemilu tahun 1999 itu, paling tidak ada lima lembaga yang mengadakan jajak
pendapat mengenai Pemilu---masing-masing RPC (Resource Productivity Center),
IFES (International Foundation for Election Systems), LP3ES (Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Litbang Kompas dan Komite
Pemberdayaan Pemilih (KPP)-Lab Politik Fisip UI.
RPC melakukan survei bulan Desember 1998-Januari 1999. Lembaga ini melakukan
kerjasama dengan harian The Jakarta Post dan mempublikasikan hasil survei di
suratkabar berbahasa Inggris tersebut. Survei RPC tidak secara langsung
menanyakan pilihan partai. Survei itu lebih dimaksudkan untuk mengetahui
pandangan publik mengenai berbagai hal mengenai Pemilu dan isu penting lain
24
seperti dwi fungsi ABRI. Hasil survei RPC itu dimuat (secara ekskusif) di harian The
Jakarta Post edisi 23 Januari 1999. IFES melakukan survei bulan Desember 1998-
Februari 1999. Survei yang dilakukan oleh IFES juga tidak secara spesifik
sebenarnya ingin mengetahui perolehan suara masing-masing partai. Survei itu ingin
menggali pandangan publik mengenai situasi nasional saat ini, arti dan pengetahuan
publik mengenai Pemilu serta penilaian atas kinerja lembaga negara dan lembaga
penyelenggara Pemilu. Di luar itu, IFES menanyakan pengetahuan mengenai partai
peserta Pemilu dan penilaian atas partai.
Jika RPC dan IFES tidak secara spesifik menanyakan partai pilihan, sebaliknya
Litbang Kompas, LP3ES dan KPP-Lab Politik UI melakukan survei untuk mengetahui
popularitas dan kekuatan partai. Survei Litbang Kompas dilakukan pada 17-27 April.
Hasil survei itu dimuat di harian Kompas tanggal 12 Mei 1999. Survei ini adalah
bagian dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas menjelang Pemilu
1999. Sejak pertengahan 1998, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat lewat
telepon mengenai berbagai hal soal Pemilu seperti persiapan Pemilu, pengetahuan
mengenai Pemilu, isu penundaan Pemilu dan sebagainya. Khusus mengenai prediksi
Pemilu ini, Litbang Kompas tidak melakukan lewat telepon tetapi melakukan
wawancara secara langsung ( face to face) di lima kota. LP3ES juga melakukan
survei untuk memprediksi kekuatan partai politik menjalang Pemilu 1999. Hasil
survei LP3ES itu dimuat hampir semua suratkabar nasional di bulan Mei 1999. KPP-
Lab Politik UI juga secara spesifik membuat jajak pendapat mengenai partai dan
calon presiden populer tahun 1999. Hasil jajak pendapat KPP-Lab Politik UI ini
dimuat di sejumlah media bulan April 1999.
Lembaga Periode Pengambilan Data Publikasi RPC Desember-Januari Jakarta Post edisi 23 Januari 1999 IFES Desember 1998-Februari 1999 Pres release dan upload di internet
Maret 1999 ( www.ifes.og) LP3ES Mei 1999 Pres release Mei 1999 Litbang Kompas
17-27 April 1999 Kompas, 12 Mei 1999
KPP-Lab Politik UI
April 1999 Pres release April 1999 dan berita media bulan April 1999
Penilaian atas prediksi lembaga jajak pendapat ini didasarkan pada prediksi atas 7
partai politik dengan suara terbesar ( PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN dan PK).
Sementara prediksi atas 35 partai lain tidak diikutsertakan. Hal ini karena
keterbatasan data publikasi hasil jajak pendapat. Semua lembaga jajak pendapat
25
(RPC, IFES, LP3ES, Litbang Kompas dan KPP-Lab Politik UI) tidak ada satu pun yang
melakukan prediksi perolehan suara dari 48 partai. Publikasi umumnya hanya 5 atau
7 partai dengan suara terbesar. Partai lain hanya dilaporkan dengan kategori partai
lainnya. Demi alasan keseragaman, supaya data bisa diperbandingkan, analisis
hanya dibatasi pada prediksi lembaga jajak pendapat atas 7 partai saja.
PREDIKSI LEMBAGA JAJAK PENDAPAT
Lima lembaga jajak pendapat tersebut berani membuat survei dengan berbagai
keterbatasannya. Bagaimana hasil jajak pendapat itu harus dinilai? Daniel Dhakidae,
ketua Litbang Kompas membuat ulasan yang bagus dan lengkap lembaga jajak
pendapat ini. 24 Bab ini hanya melengkapi tulisan Daniel Dhakidae tersebut dan
mengulas apa yang belum dipaparkan oleh Daniel Dhakidae dalam tulisannya
tersebut. Kriteria yang dipakai untuk menilai kualitas jajak pendapat adalah akurasi
dan presisi.
Di negara yang mempunyai tradisi panjang jajak pendapat (seperti Amerika atau
Eropa), lembaga jajak pendapat bukan lagi berkutat pada akurasi tetapi presisi.
Berbagai lembaga jajak pendapat umumnya bisa dengan tepat memprediksi siapa
partai atau presiden yang akan memenangkan Pemilu. Gengsi antar lembaga jajak
pendapat karenanya bukan diukur dari akurasi, tetapi seberapa kecil selisih antara
prediksi perolehan suara partai atau kandidat presiden dengan perolehan aktual
dalam Pemilu. Tetapi di negara dengan tradisi jajak pendapat yang pendek, seperti
Indonesia, masalah akurasi ini masih tetap menghantui lembaga jajak pendapat.
Tabel menyajikan data mengenai prediksi lembaga survei dan hasil aktual Pemilu
1999. Dari sudut presisi, kelima lembaga jajak pendapat itu telah benar memprediksi
PDIP sebagai pemenang Pemilu 1999. Di luar berbagai kesulitan, lembaga jajak
pendapat berhasil membuktikan bahwa jajak pendapat adalah alat yang terpercaya
untuk mengukur opini publik. Selain berhasil memprediksi PDIP sebagai pemenang
Pemilu, lembaga jajak pendapat ini juga secara keseluruhan menemukan adanya 5
partai besar dari 48 partai yang ikut dalam Pemilu---masing-masing PDIP, Golkar,
PKB, PPP dan PAN. Tetapi jika dilihat lebih ke dalam dari aspek akurasi ini, sebagian
besar lembaga jajak pendapat tidak berhasil meramalkan komposisi urutan
24 Lihat Daniel Dhakidae,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Kompas,14 Agustus 1999.
26
pemenang Pemilu. Dari lima lembaga jajak pendapat itu, hanya IFES yang berhasil
dengan akurat memprediksi 7 partai dengan urutan masing-masing dari partai
dengan perolehan suara besar ke kecil: PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB dan PK.
Sementara lembaga jajak pendapat lain gagal secara tepat memprediksi komposisi
pemenang ini. Survei RPC memprediksi PAN di urutan dua, disusul oleh PKB, Golkar,
PBB dan PK. KPP-Lap Politik UI juga menemukan komposisi Pemanang Pemilu yang
mirip dengan RPC, yakni PAN di urutan 2 partai dengan perolehan suara terbanyak.
Kesamaan dari dua survei ini adalah suara PAN yang besar, sementara suara PKB
dan Golkar lebih kecil. Sebaliknya, survei LP3ES menemukan suara PKB yang lebih
besar dari Golkar. LP3ES secara akurat berhasil memotret perolehan suara PPP dan
PAN yang lebih kecil dari PKB dan Golkar. Sementara survei Litbang Kompas, justru
menemukan suara PPP yang besar, lebih besar dari Golkar dan PKB. Tetapi survei ini
berhasil memprediksikan perolehan suara PBB dan PK yang tidak besar.
Selain komposisi pemenang Pemilu, lembaga jajak pendapat tahun 1999 ini juga
kurang berhasil dalam memotret perolehan suara masing-masing partai. Tabel itu
juga menyajikan skor kesalahan prediksi dari masing-masing lembaga jajak
pendapat dari tabel terlihat, hanya IFES dan L3ES yang mempunyai skor kesalahan
rata-rata prediksi di bawah 5 %. Skor kesalahan terbesar dicapai oleh KPP-Lab
Politik UI dengan kesalahan prediksi sebesar 9.31%. Jika dibandingkan dengan
Social Weather Stations di Filipina, maka kesalahan prediksi ini masing terbilang
tinggi. Apalagi jika dibandingkan dengan lembaga jajak pendapat seperti Gallup yang
rata-rata kesalahan prediksi di bawah 2%.
Hasil Survei
Aktual Pemilu Selisih (Aktual Pemilu-Hasil Survei) RPC
% Rank % Rank % PDIP 30.7 1 33.7 1 3 Golkar 16.7 4-5 22.4 2 5.7 PKB 19.2 3 12.6 3 -6.6 PPP 16 4-5 10.7 4 -5.3 PAN 22.6 2 7.1 5 -15.5 PBB 7.6 1.9 6 -5.7 PK 7.7
6-7 1.4 7 -6.3
Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei RPC = 6.87
Hasil Survei
Aktual Pemilu Selisih IFES
% Posisi % Posisi %
27
PDIP 29 1 33.7 1 4.7 Golkar 23 2 22.4 2 -0.6 PKB 20 3 12.6 3 -7.4 PPP 17 10.7 4 -6.3 PAN 16
4-5 7.1 5 -8.9
PBB 3 1.9 6 -1.1 PK 2
6-7 1.4 7 -0.6
Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei IFES= 4.23
Hasil Survei
Aktual Pemilu Selisih LP3ES
% Posisi % Posisi % PDIP 27.8 1 33.7 1 5.9 Golkar 23.6 3 22.4 2 -1.2 PKB 25 2 12.6 3 -12.4 PPP 8.3 10.7 4 2.4 PAN 8.3
4-5 7.1 5 -1.2
PBB - - 1.9 6 - PK - - 1.4 7 - Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei LP3ES = 4.62
Keterangan: Dalam publikasi di media, perolehan suara PBB dan PK digabung menjadi satu bersama dengan partai lain ( dengan label : partai lainnya). Jadi tidak diketahui secara persis perolehan suara untuk PBB dan PK. Kesalahan absolut rata-rata dihitung hanya dari 5 partai ( minus PBB dan PK).
Hasil Survei
Aktual Pemilu Selisih LITBANG KOMPAS
% Posisi % Posisi % PDIP 24.1 1 33.7 1 9.6 Golkar 14.3 3-4 22.4 2 8.1 PKB 4.6 5 12.6 3 8 PPP 16.7 2 10.7 4 -6 PAN 12.8 3-4 7.1 5 -5.7 PBB - - 1.9 6 - PK - - 1.4 7 - Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei Litbang Kompas = 7.48
Keterangan: Perolehan suara PBB dan PK digabung oleh Litbang Kompas bersama partai lain dengan lebel: partai lainnya. Jadi tidak diketahui secara persis perolehan suara untuk PBB dan PK. Kealahan absolut rata-rata karenanya dihitung hanya dari 5 partai (minus PBB dan PK).
Hasil Survei
Aktual Pemilu Selisih KPP-LAB POLITIK
FISIP UI % Posisi % Posisi %
PDIP 19.5 1 33.7 1 14.2 Golkar 9.3 3 22.4 2 13.1
28
PKB 1.8 5-7 12.6 3 10.8 PPP 4 4 10.7 4 6.7 PAN 15.8 2 7.1 5 -8.7 PBB 2 1.9 6 -0.1 PK 3
5-7 1.4 7 -1.6
Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei KPP-Lab Politik UI = 9.31
Meski tidak secara presisi memprediksi perolehan suara partai, apa yang sudah
dikerjakan oleh lembaga jajak pendapat tahun 1999, layak mendapat apresiasi.
Salah satu alasannya, di tengah aneka macam kesulitan dan keterbatasan ( baik
dana, uang maupun tenaga), lembaga jajak pendapat itutelah berhasil secara kurat
memprediksi partai Pemenang Pemilu. Usaha yang tidak mudah karena lembaga
jajak pendapat harus menemukan satu partai di tengah 48 partai yang ikut berlaga
dalam Pemilu 1999. Tetapi perlu penjelasan, kenapa lembaga jajak pendapat
berhasil secara akurat memprediksi pemenang Pemilu tetapi gagal dalam
memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Faktor apa juga yang menyebabkan
lembaga jajak pendapat belum berhasil secara presisi menebak perolehan suara
masing-masing partai.
AKURASI
Lembaga jajak pendapat memang berhasil meramal PDIP sebagai pemenang Pemilu,
tetapi sebagian besar lembaga jajak pendapat ( kecuali IFES) salah dalam
memprediksi Golkar, PKB dan PAN. Ada dua kesalahan yang umum yang ditemukan
dalam hal prediksi komposisi pemenang Pemilu ini. Pertama, sejumlah lembaga jajak
pendapat yang memprediksi PAN akan menempati posisi atas dalam Pemilu 1999.
Padahal kenyataannya, PAN hanya menempati posisi 5 dari urutan partai pemenang
Pemilu. RPC dan KPP-Lab Politik UI misalnya memprediksi PAN akan menempati
posisi 2 di bawah PDIP. Yang menarik, jika RPC dan KPP-Lab Politik UI gagal
memprediksi posisi PAN, LP3ES dan Litbang Kompas berhasil memprediksi posisi
PAN, yang berada di kisaran posisi 4-5. Kedua, sejumlah lembaga jajak pendapat
juga gagal dalam meramal posisi Golkar. Di luar IFES, Golkar diprediksikan oleh
lembaga jajak pendapat itu berada di urutan 3 ke atas. Bahkan dalam survei RPC,
Golkar menempati pososi nomor 4. Bagaimana menjelaskan kesalahan ini?
Faktor penjelas yang paling mungkin diberikan adalah populasi dari masing-masing
lembaga jajak pendapat. Lembaga jajak pendapat di Indonesia menghadapi medan
geografis yang luas. Ini ditambah dengan kekuatan partai politik yang tidak merata
29
di semua wilayah Indonesia. Ada partai yang sangat kuat di Jawa ( seperti PDIP dan
PKB).Tetapi ada partai yang justru sangat kuat di luar Jawa ( seperti Golkar dan
PPP). Dengan kondisi populasi yang luas itu, makin besar populasi dari lembaga
jajak pendapat, makin akurat pula lembaga jajak pendapat itu dalam memprediksi
komposisi pemenang Pemilu. Tidak mengherankan jikalau dalam prediksi Pemilu
1999 ini hanya IFES yang secara tepat memprediksi komposisi pemenang Pemilu.
IFES adalah satu-satunya lembaga jajak pendapat yang saat itu melakukan survei
secara nasional. Dari 27 provinsi yang ada saat itu, semua disurvei kecuali 5 provinsi
dengan alasan keamanan ( Timor Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah)
serta alasan akses yang sulit ( Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur). Dengan
populasi tersebut, sampel IFES mencakup hampir 92% suara nasional. Dengan
populasi yang luas tersebut, tidak mengherankan jikalau IFES dengan akurat
memprediksi posisi Golkar yang masih berada di urutan dua di bawah PDIP.
Sejatinya, meski banyak digugat Golkar masih merupakan kekuatan yang signifikan
terutama di luar Jawa. Dengan populasi yang luas di luar pulau Jawa, IFES bisa
menangkap fenomena tersebut.
Hasil survei LP3ES juga memperkuat argumen bagaimana populasi yang diambil oleh
masing-masing lembaga jajak pendapat turut menentukan akurasi hasil jajak
pendapat. LP3ES hanya melakukan survei di Pulau Jawa. Jika dilihat data populasi
BPS, Pulau Jawa menyumbang 59% populasi, sementara wilayah luar Jawa 41%.
Lembaga jajak pendapat yang melakukan survei hanya di Pulau Jawa, mengabaikan
suara dari 41% populasi tersebut. Akibatnya suara Golkar yang besar justru diluar
Jawa juga tidak bisa diprediksikan oleh LP3ES. Sebaliknya, dengan populasi Jawa,
survei ini menemukan suara untuk PKB yang besar, berada diposisi 2 di bawah PDIP.
Hasil ini juga tidak terlampau mengherankan jikalau diingat partai dengan tokoh
Abdurrahman Wahid ini sangat kuat di pulau Jawa, utamanya Jawa Timur.
KOMPOSISI PARTAI PEMENANG PEMILU MENURUT RAMALAN LEMBAGA JAJAK PENDAPAT
PARTAI
RPC IFES LP3ES Litbang Kompas
KPP-Lab Politik UI
PDIP 1 1 1 1 1 Golkar 4-5 2 3 3-4 3 PKB 3 3 2 5 5-7 PPP 4-5 2 4 PAN 2
4-5
4-5 3-4 2
PBB 6-7 6-7 - - 5-7
30
PK - -
Selain cakupan Jawa Luar Jawa, aspek penting dari populasi jajak pendapat adalah,
apakah mereka memasukkan masyarakat desa kota ataukah hanya masyarakat kota
saja. Jika kita menengok data populasi yang dikuarkan oleh BPS tahun 2000,
populasi masyarakat desa mencapai 58%, sedangkan masyarakat kota berjumlah
42% dari total populasi. Proporsi masyarakat desa dan kota ini memang banyak
mengalami pergeseran jika dibandingkan dengan data sensus BPS tahun 1990. Pada
tahun 1990, komposisi penduduk desa kota ini baru berjumlah 64% untuk
masyarakat desa dan 36% masyarakat kota. Kendati banyak mengalami perubahan
komposisi penduduk, fakta yang tidak bisa ditampik adalah masih banyaknya
penduduk Indonesia yang berada di desa. Lembaga jajak pendapat yang tidak
menyertakan masyarakat desa sebagai populasi, mengabaikan suara dari 58%
populasi. Dari lembaga jajak pendapat tahun 1999 ini, hanya IFES dan LP3ES saja
yang menyertakan masyarakat desa dan kota dalam kerangka populasinya.
Sementara Litbang Kompas, RPC dan KPP-Lab Politik UI hanya menyertakan
masyarakat kota saja.
Akibatnya akan terasa dalam ramalan berbagai lembaga jajak pendapat itu ketika
harus memprediksikan komposisi pemenang Pemilu. IFES dan LP3ES berhasil
memetakan fenomena Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai kota. Partai ini
sangat kuat di masyarakat terpelajar di kota. Setelah kejatuhan Soeharto,
popularitas PAN dan Amien Rais memang meroket. Tetapi gegap gempita berita
mengenai Amien Rais hanya dirasakan oleh masyarakat perkotaan yang relatif
mudah dalam akses informasi. Sementara di kalangan masyarakat desa, dinamika
politik ini tidak berhasil diikuti. Tidaklah mengherankan jikalau survei RPC dan KPP-
Lab Politik UI menempatkan PAN di posisi 2 di bawah PDIP. Dalam jajak pendapat
KPP-Lab Politik UI, perolehan suara PAN bahkan terpaut beberapa angka saja dari
PDIP. Ketidakakuratan dalam memprediksi fenomana PAN sebagai partai kota, juga
diikuti dengan ketidakakuratan dalam memprediksi PKB sebagai partai desa. Karena
tidak menyertakan masyarakat desa yang menjadi basis suara PKB, dua lembaga
survei ini juga gagal meramal posisi PKB. Dalam jajak pendapat KPP-Lab Politik UI,
perolehan suara PKB bahkan diprediksi lebih kecil dari pada PBB dan PK. Sebaliknya,
LP3ES berhasil memprediksi fenomena PAN dan PKB karena menyertakan populasi
dari desa dan kota.
31
LEMBAGA POPULASI CAKUPAN WILAYAH
PSU
RPC 5 kota besar (Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Medan)
Hanya menyertakan kota besar
Desa /kelurahan
IFES Nasional, memasukkan 22 provinsi. Provinsi yang tidak disertakan dengan alasan teknis dan keamanan adalah Timor Timur, Irian Jaya, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur.
Menyertakan desa dan kota
Desa /kelurahan
LP3ES Seluruh Jawa Menyertakan desa dan kota
Desa /kelurahan
Litbang Kompas
5 kota besar ( Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, dan Ujungpandang)
Hanya menyertakan kota besar
Desa /kelurahan
KPP-Lab Politik UI
6 kota ( Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Banda Aceh, Medan dan Ujung Pandang)
Hanya menyertakan kota besar
Pemilik telepon
PRESISI
Lembaga jajak pendapat di Indonesia dihadapkan pada populasi yang sedemikian
luas dan heterogen. Mengabaikan populasi yang heterogen itu akan berakibat pada
ramalan yang tidak akurat. Kenyataan ini bukan tidak disadari oleh lembaga jajak
pendapat. Tetapi mereka harus berkompromi dengan dana, waktu, dan tenaga.
Kalau populasi yang luas harus dicover, dibutuhkan banyak dana , tenaga dan
waktu. Pilihan yang kemudian diambil oleh sejumlah lembaga jajak pendapat itu
adalah mengambil sejumlah wilayah dengan pertimbangan metodologis tertentu.
Pilihan ini terbukti berhasil dalam memprediksi pemenang Pemilu (PDIP),
tetapikurang tepat dalam memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Di luar
masalah populasi itu adalah soal jumlah sampel yang akan diambil. Aspek ini juga
sekali lagi bersinggungan dengan waktu, dana dan tenaga. Makin banyak sampel
yang diambil, maka makin banyak tenaga pewawancara, makin lama proses
pengumpulan data dan makin banyak uang harus dikeluarkan.
Secara teoritis, jumlah sampel berkaitan dengan presisi. Jumlah sampelmenentukan
berapa kesalahan yang terjadi karena pengambilan sampel ( sampling error). Hasil
suatu survei yang berdasarkan data sampel, harus selalu dibaca dengan
memperhitungkan besar kecilnya sampling error. Taruhlah misalnya atau survei
menemukan partai A mendapat 25 % suara, dimana sampling error survei itu
sebesar 2%. Maka hasil sesungguhnya dari perolehan suara partai A tersebut harus
32
dibaca berada di interval ± 4 %. Atau berada di antara 21% -29%. Jika lembaga
jajak pendapat ingin agar hasilnya lebih mendekati kenyataan, maka angka sampling
error harus diperkecil. Misalnya dengan memakai sampling error 2%. Jika angka ini
yang dipakai, prediksi perolehan suara partai A berada di kisaran interval 23%-27%.
Tetapi memperkecil sampling error secara otomatis akan menambah jumlah sampel.
Besar kecilnya sampling error ini bisa ditentukan sebelum survei dikerjakan. Yang
perlu dicatat, persoalan jumlah sampel dan sampling error ini hanyalah satu soal
saja dari kesalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan survei. Masalah yang
cukup pelik justru pada soal kesalahan di luar pengambilan sampel (non sampling
error),misalnya apakah wawancara telah dilakukan dengan benar,apakah pertanyaan
telah dibacakan cukup akurat, dan sebagainya.
Persoalan jumlah sampel dan akurasi ini akan terlihat ketika lembaga jajak pendapat
berusaha memprediksikan perolehan suara dari masing-masing partai. Lembaga
jajak pendapat bisa memprediksi PDIP, tetapi kesulitan ketika memprediksi suara
perolehan partai tengah ( PKB, PAN dan PPP). Hasil aktual Pemilu menunjukkan
selisih di antara ketiga partai itu tidak lebih dari 5%. Dengan selisih yang kecil
tersebut, lembaga jajak pendapat tidak cukup aman untuk menentukan mana yang
tertinggi perolehan suaranya di antara ketiga partai tersebut. Kesulitan ini terlihat
misalnya dalam survei RPC ketika harus memprediksi suara PK dan PBN karena
perbedaan suara yang relatif kecil. Atau dalam survei Litbang Kompas yang sukar
membedakan posisi antara PKB dan PAN. Yang menarik dari semua survei ini adalah
IFES. Lembaga survei ini (hanya) memakai sampel sebanyak 1.507. Meski jumlah
sampel ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan lembaga jajak pendapat lain,
IFES ternyata berhasil memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Ini membuktikan
sebetulnya jumlah sampel adalah soal sekunder dalam survei di Indonesia. Yang
menjadi soal primer adalah populasi yang luas dan teknik penarikan sampel yang
tepat. Jika hal ini bisa dikerjakan dengan benar, hasil dari sampel sejumlah 1.500
responden sudah cukup dalam memprediksi hasil Pemilu.
LEMBAGA TEKNIK PENARIKAN SAMPEL JUMLAH SAMPEL
TEKNIK WAWANCARA
RPC Stratified random sampling. Sampel ditarik secara random dari 5 kota yang dipilih.
1.250 Wawancara langsung
IFES Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan
1.507 Wawancara langsung
33
jenis kelamin. LP3ES Multistage Random Sampling (MRS).
Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin.
2.970 Wawancara langsung
Litbang Kompas
Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random menyertakan 52 kelurahan, 104 RW dan 208 RT.
1.500 Wawancara langsung
KPP-Lab Politik UI
Sampel diambil secara random dari Buku Petunjuk Telepon
2.000 Wawancara telepon
Sekarang kita akan meninjau lebih detil soal presisi dari lembaga jajak pendapat ini
dalam meramal hasil Pemilu 1999. Yang menarik dari ramalan perolehan suaraini
adalah lembaga jajak pendapat berhasil meramal dengan tepat perolehan suara dari
partai kecil ( di luar PDIP, PKB, PPP,Golkar dan PAN). Suara dari partai PBB dan PKS
bisa diramal dengan baik. Rata-rata kesalahan peramalan dari lima lembaga ini di
bawah 3%. PDIP dan Golkar juga bisa diramal dengan baik meski rata-rata
kesalahan masih di atas 5%. Lembaga IFES, LP3ES dan RPC berhasil meramal
perolehan suara partai Golkar dengan selisih di bawah 6%. Demikian juga dengan
perolehan suara PDIP yang berhasil diramal dengan baik oleh RPC, IFES, LP3ES dan
Litbang Kompas. Hanya KPP-Lab Politik UI yang gagal meramal dengan baik
perolehan suara PDIP dan Golkar. Ini ditandai dengan kesalahan absolut yang besar
( di atas 12%).
SELISIH KESALAHAN ( DEVIASI) LEMBAGA JAJAK PENDAPAT DALAM MERAMAL PEROLEHAN PARTAI
PARTAI RPC IFES LP3ES Litbang
Kompas KPP-Lab Politik UI
Rata-Rata Selisih
PDIP 3 4.7 5.9 9.6 14.2 7.48 Golkar 5.7 -0.6 -1.2 8.1 13.1 5.02 PKB -6.6 -7.4 -12.4 8 10.8 -1.52 PPP -5.3 -6.3 2.4 -6 6.7 -1.7 PAN -15.5 -8.9 -1.2 -5.7 -8.7 -8 PBB -5.7 -1.1 - - -0.1 -2.3 PK -6.3 -0.6 - - -1.6 -2.83 Keterangan: Rata-rata deviasi dihitung dari selisih rata-rata dari 5 lembaga dalam memprediksi perolehan masing-masing partai. Selisih positif (+)atau negatif (-) diabaikan.
Kalau PDIP dan Golkar relatif bisa diramal dengan selisih tidak begitu besar, tidak
demikian halnya dengan PKB, PPP dan PAN. Rata-rata kesalahan lima lembaga ini
dalam meramal suara ketiga partai di atas 7%. Perolehan suara PKB yang paling
34
sulit diramalkan. Lembaga RPC, IFES dan LP3ES meramalkan perolehan suara PKB
lebih besar dari yang aktual didapat saat Pemilu. Sebaliknya Litbang Kompas dan
KPP-Lab Politik UI meramalkan perolehan suara PKB di bawah dari yang berhasil
didapatkan PKB dalam Pemilu. Kesalahan paling besar dalam meramal PKB
dilakukan oleh LP3ES dengan selisih suara 12.4%. Yang menarik, kalau LP3ES gagal
dalam meramal perolehan suara PKB, lembaga ini justru sangat berhasil dalam
meramal perolehan suara PPP dan PAN. Tingkat kesalahan LP3ES dalam meramal
perolehan suara dua partai ini paling kecil dibandingkan dengan empat lembaga
jajak pendapat lain.
Alasan yang bisa diberikan untuk menjelaskan kesalahan dalam meramalkan
perolehan suara ini adalah soal sampel yang didapatkan masing-masing lembaga
jajak pendapat. Indonesia bukan hanya negeri dengan penduduk yang tersebar dari
ribuan pulau, tetapi juga berbeda dalam karakteristik sosial. Ada perbedaan yang
besar antara masyarakat yang berpendidikan tinggi dengan masyarakat
berpendidikan rendah. Ada jurang lebar antara masyarakat berpenghasilan tinggi
dengan rendah. Celakanya, karakteristik yang beragam itu menentukan pilihan
partai. Karena itu sampel yang didapatkan tidak hanya harus merepresentasikan
keragaman wilayah ( Jawa-Luar Jawa dan desa kota) tetapi juga harus merefleksikan
keragaman karakteristik sosial seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat
penghasilan dan sebagainya. Cara paling mudah untuk mengecek apakah
sampeldari lembaga jajak pendapat representatif atau tidak adalah dengan
membandingkan apakah ciri-ciri karakter dari sampel (seperti pendidikan,
penghasilan, suku bangsa, pekerjaan dan sebagainya) identik atau tidak dengan
data populasi. Representasi ini penting karena ada partai yang kuat di satu kelompok
tertentu tetapi ada juga partai yang tidak kuat di kelompok masyarakat lain.
Berbagai survei ( diantaranya oleh IRI dan LSI) menunjukkan hanya PDIP dan Golkar
saja yang bisa disebut sebagai partai mirip miniatur Indonesia. Basis pendukung dari
dua partai ini kuat di segala segmen lapisan masyarakat (dari lapisan tinggi,
menengah atau rendah). Sementara partai lain ada yang sangat kuat di lapisan
menengah dan tinggi (seperti PAN), tetapi ada juga yang berakar dari lapisan
masyarakat bawag (seperti PKB). Karakter pemilih seperti itu mengakibatkan
lembaga survei harus mendapatkan sampel yang seakurat dan sedekat mungkin
dengan gambaran populasi. Jika sampel yang didapat lebih banyak dari kalangan
35
masyarakat berpenghasilan dan berpendidikan tinggi misalnya, maka hasilnya akan
bias kepada partai dengan basis massa dari kelompok itu. Demikian juga sebaliknya.
LEMBAGA KARAKTER POPULASI (BPS Tahun 2000-Tingkat Pendidikan)
KARAKTER SAMPEL (%)
DEVIASI (Karakter Populasi- Sampel (%)
Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -
RPC
Lulus S1 / di atasnya: 4% - - Lulus SMP/dibawah: 79 % 58 21 Lulus SLTA: 18 30 -12
IFES
Lulus Akademi / di atasnya: 4% 12 -8 Lulus SMP/dibawah: 79 % 39 40 Lulus SLTA: 18 42 -24
Litbang Kompas
Lulus S1 / di atasnya: 4% 19 -15 Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -
LP3ES
Lulus S1 / di atasnya: 4% - - Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -
KPP-Lab Politik UI
Lulus S1 / di atasnya: 4% - - Keterangan: Survei RPC, KPP dan LP3ES seperti dpublikasikan di media tidak menyertakan profil pendidikan responden. Karena keterbatasan data, tidak bisa dinilai deviasi antara karakter populasi dan sampel.
Karakter pemilih semacam itu bisa menjelaskan kesalahan lembaga jajak pendapat
dalam meramalkan perolehan suara masing-masing partai. Golkar dan PDIP bisa
diramalkan dengan seleisuh tidak besar karena secara karakter pemilih kedua partai
ini memang terseber secara merata. Sampel yang bias ke kelompok masyarakat
tertentu misalnya tidak berakibat jauh kepada perolehan suara dari masing-masing
partai. Tetapi akan sangat terasa ketika lembaga jajak pendapat meramal terutama
PKB dan PAN. Kedua partai ini berbeda secara diametral. PKB didirikan oleh sejumlah
ulama Nahdatul Ulama dan didukung oleh massa NU yang tersebar di desa-desa
terutama Jawa. Sebaliknya PAN didirikan oleh sejumlah intelektual dan akademisi.
Basis massa PAN adalah warga perkotaan.
IFES dan Litbang Kompas meramal perolehan suara PKB lebih kecil dari yang
sebenarnya didapatkan PKB dengan selisih di atas 7%. Jika dilihat karakter sampel
kedua lembaga ini, memang agak bias kekelompok berpendidikan menengah.
Jumlah mereka yang berpendidikan rendah (lulus SD dan SMP atau di bawahnya)
lebih kecil dari populasi. Jika kita mengacu kepada data BPS tahun 2000, jumlah
36
mereka yang berpendidikan SMP atau di bawahnya ini adalah mayoritas, mencapai
79%. Sementara sampel Litbang Kompas, hanya 39%. Dengan jumlah sampel
berpendidikan rendah lebih sedikit, tidak mengherankan jikalau suara PKB mengecil
alam temuan lembaga jajak pendapat tersebut. Penjelasan karakter sampel ini
hanya salah satu penjelas. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentu saja perlu
tinjauan dan penelitian lebih mendalam. Karena penjelas ini juga tidak cukup
memuaskan untuk menjelaskan berbagai fenomena lain. Seperti suara PKB di survei
IFES. Meskipun karakter sampel berpendidikan rendah di IFES tidak proporsional
(hanya 58%), ternyata suara PKB cukup besar dalam prediksi IFES.
37
IV. JAJAK PENDAPAT
DAN RAMALAN PEMILU 2004
Setiap masa punya tantangan yang berbeda. Pada Pemilu 1999, lembaga jajak
pendapat ditantang menghasilkan temuan yang akurat. Lembaga jajak pendapat
berhasil menjawab tantangan itu dengan menemukan hasil pemenang Pemilu yang
sama dengan hasil aktual Pemilu, yakni PDIP. Pada Pemilu 2004, tantangan lembaga
jajak pendapat tidak hanya berhenti sampai di situ. Lembaga jajak pendapat dituntut
bukan hanya akurat tetapi juga presisi---sesuatu yang belum bisa dicapai oleh
lembaga jajak pendapat tahun 1999. Tantangan besar dari lembaga tahun 2004 ini
bukan hanya bisa meramalkan siapa pemenang Pemilu, tetapi juga secara presisi
meramalkan perolehan suara masing-masing partai.
Pada Pemilu 2004 ini, kegiatan jajak pendapat marak dilakukan. Suratkabar,
dotcom dan televisi membuat aneka jajak pendapat baik lewat telepon maupun SMS.
Meski banyak sekali jajak pendapat, hanya beberapa jajak pendapat saja yang bisa
kita pertimbangkan. Ada sejumlah kriteria untuk menyaring jajak pendapat. Jajak
pendapat itu haruslah dilakukan dengan metode ilmiah yang ketat dan dengan
prinsip pengambilan sampel yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu, jajak
pendapat lewat in call atau lewat SMS tidak disertakan dalam analisis di bab ini.
Jajak pendapat tersebut tidak berpretensi ilmiah. Karena tidak berpretensi ilmiah,
hasilnya tentu saja tidak bisa dipakai untuk melakukan generalisasi suara pemilih.
Aneka jajak pendapat itu hanya bisa dilihat semata sebagi hiburan, karena hasilnya
sama sekali tidak bisa dipakai untuk menggambarkan populasi masyarakat pemilih
Indonesia.
Dalam konteks Pemilu di Indonesia, jajak pendapat itu harus dilakukan secara
langsung, lewat wawancara langsung (face to face). Berbagai jajak pendapat lewat
telepon atau internet tidak dimasukkan karena bisa yang besar antara sampel
dengan populasi. Telepon dan internet masih dimiliki oleh segelintir orang, selain
sampel yang dimabil dari telepon atau internet relatif hanya memasukkan responden
kota. Padahal, berbicara Pemilu adalah berbicara tentang kota dan desa. Ketiga,
jajak pendapat itu dimaksudkan untuk menggambarkan suara nasional. Dari tiga
syarat tersebut paling tidak ada 7 survei yang bisa ditinjau dan diperbandingkan:
LP3ES ( Lembaga Penelitian Penerbitan Ekonomi dan Sosial), Badan Penelitian dan
38
Pengembangan PDIP Perjuangan (Balitbang PDIP), DRI (Danareksa Research
Institute), IFES (International Foundation for Election Systems), IRI (International
Republican Institute), Lembaga Survey Indonesia (LSI), dan Soegeng Sarjadi
Syndicated. Ketujuh survei tersebut dilakukan satu tahun terakhir. Jika ada lembaga
jajak pendapat yang dalam satu tahun terakhir membuat jajak pendapat lebih dari
sekali ( LSI, IFES dan IRI), maka yang dianalisis adalah hasil jajak pendapat yang
paling dekat dengan hari pencoblosan tanggal 5 April. 25
Ada dua catatan bagaimana penilaian atas hasil jajak pendapat ini dilakukan.
Pertama, akurasi maupun presisi lembaga jajak pendapat hanya didasarkan pada
ramalan atas 7 partai politik dengan suara terbesar (Golkar, PDIP, PKB, PPP, PD, PKS
dan PAN). Kesalahan absolut rata-rata karenanya juga dihitung dari 7 partai
tersebut. Idealnya kinerja lembaga jajak pendapat itu dilihat dari prediksi mereka
atas 24 partai yang ikut berlaga dalam Pemilu 2004. Tetapi karena keterbatasan
data, perhitungan hanya bisa dilakukan atas prediksi 7 partai itu. 26Kedua, lembaga
jajak pendapat bisa jadi tidak mendesain survei yang mereka lakukan untuk tujuan
prediksi Pemilu. Dalam analisis ini, tujuan jajak pendapat dikesampingkan. Yang
menjadi perhatian adalah apakah dalam jajak pendapat itu ada pertanyan mengenai
pilihan partai atau tidak. 27
25 Khusus untuk LP3ES, selain survei bulan Mei 2003, lembaga ini juga membuat jajak pendapat di bulan Maret 2004. Hanya saja, jajak pendapat terakhir ini dilakukan lewat telepon. Meski dua jajak pendapat itu dilakukan secara serius dan dengan metode yang ketat, kerangka sampel diambil dari Buku Telepon. Jadi yang dipakai adalah jajak pendapat di bulan Mei 2003. 26 Keterbatasan data itu meliputi dua hal. Pertama, sejumlah survei dilakukan sebelum bulan Desember 2003 ( LP3ES, IRI, Balitbang PDIP, dan DRI). Padahal, partai peserta Pemilu baru ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum tanggal 7 Desember 2003. Pada tanggal itu, KPU mengumumkan partai mana saja yang lolos verifikasi dan berhak menjadi peserta Pemilu 2004. Sebelum tanggal 7 Desember, hanya ada 6 partai yang sudah diketahui sebagai peserta Pemilu karena lolos electoral treshold yaitu Golkar, PDIP, PKB, PPP, PAN dan PBB. Itu artinya, jajak pendapat yang dilakukan sebelum 7 Desember 2003 tidak bisa mengukur popularitas atau pilihan kepada partai baru---seperti Partai Pelopor, Partai Bintang Reformasi, Partai Karya Peduli Bangsa dan sebagainya. Hanya jajak pendapat LSI, IFES dan SSS yang dilakukan setelah Desember 2003 dan karenanya ada data lengkap pilihan atas 24 partai. Kedua, dalam publikasi resmi lembaga jajak pendapat ( baik dalam konferensi pers atau laporan penelitian), prediksi perolehan suara dari 24 partai jarang ditampilkan. Lembaga jajak pendapat umumnya hanya menampikkan 5 atau 7 partai dengan perolehan suara terbesar. Partai lain dilaporkan dalam satu ketegori: partai lainnya. Supaya seragam dan bisa diperbandingkan antara satu lembaga jajak pendapat dengan lembaga jajak pendapat lain, dipilih prediksi atas 7 partai saja. 27 Survei IFES (International Foundation for Election Systems) misalnya. Survei berkala yang dilakukan oleh IFES tidak dimaksudkan untuk mengukur kekuatan partai. Survei terutama ditujukan untuk pendidikan pemilih seperti pengetahuan mengenai sistem Pemilu dan lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu. Tetapi karena dalam survei itu ada pertanyaan mengenai partai dan presiden, dimasukkan dalam analisis.
39
Dari 7 lembaga jajak pendapat, mereka menemukan struktur partai pemenang
Pemilu yang mirip, yakni peralihan kekuasaan dari PDIP ke Golkar. Lembaga jajak
pendapat tersebut juga menemukan naiknya suara secara signifikan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Bersama dengan Partai Demokrat, PKS diprediksikan akan lolos
electoral treshold dan masuk dalam partai papan tengah. Jajak pendapat juga
menemukan turunnya perolehan suara Partai Bulan Bintang. Sampai hari ini kita
belum bisa mengecek apakah ramalan lembaga jajak pendapat tersebut benar atau
salah. Perhitungan yang lebih cermat untuk mengetahui apakah lembaga jajak
pendapat itu akurat atau tidak dalam memprediksi hasil Pemilu bisa kita lakukan
tanggal 5 Mei 2004 ----saat perhitungan resmi berakhir. Sebagian besar lembaga
jajak pendapat berhasil memprediksi 3 besar pemenang Pemilu---Golkar. PDIP dan
PKB. Hasil ini menunjukkan, meski lembaga jajak pendapat itu menggunakan sampel
kecil antar 1.250-5000 orang responden dengan tepat bisa memprediksi suara
Pemilih yang mencapai 146 juta orang.
Survei LP3ES (Mei 2003)
Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu
2004 % Posisi % Posisi % Golkar 18 1 21.58 1 3.58 PDIP 7 2 18.53 2 11.53 PKB 2 10.57 3 8.57 PPP 5
3-5 8.15 4 3.15
PD - - 7.45 5 - PKS - - 7.34 6 - PAN 4 3-5 6.44 7 2.44 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei LP3ES= 5.85
Keterangan: pilihan partai untuk PKS dijadikan satu oleh LP3ES dengan partai lain dalam label: partai lainnya. Jadi, tidak bisa diperoleh angka pasti perolehan suara PKS. Sementara untuk Partai Demokrat, saat survei dijalankan belum terbentuk. Kesalahan absolut rata-rata dihitung dari 5 partai.
Survei Balitbang PDIP (Juni 2003)
Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu
2004 % Posisi % Posisi % Golkar 28.7 1 21.58 1 -7.12 PDIP 21.2 2 18.53 2 -2.67 PKB 11.2 10.57 3 -0.63 PPP 12.5 3- 4 8.15 4 -4.35 PD - - 7.45 5 - PKS - - 7.34 6 - PAN 9 5 6.44 7 -2.56
40
Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei Balitbang PDIP= 3.47 Keterangan: pilihan partai untuk PKS dijadikan satu oleh Balitbang PDIP dengan partai lain dalam label: partai lainnya. Jadi, tidak bisa diperoleh angka pasti perolehan suara PKS. Sementara untuk Partai Demokrat, saat survei dijalankan belum terbentuk. Kesalahan absolut rata-rata dihitung dari 5 partai.
Survei IRI (Desember 2003)
Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu
2004 % Posisi % Posisi % Golkar 24 1 21.58 1 -2.42 PDIP 19 2 18.53 2 -0.47 PKB 10 3 10.57 3 0.57 PPP 7 4 8.15 4 1.15 PD - - 7.45 5 - PKS 3 6 7.34 6 4.34 PAN 5 5 6.44 7 1.44 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei IRI= 1.73
Keterangan: Saat survei dilakukan, Partai Demokrat belum terbentuk ( belum diverifikasi oleh KPU). Kesalahan absolut rata-rata survei dihitung dari 6 partai.
Survei DRI (Oktober 2003)
Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu
2004 % Posisi % Posisi % Golkar 21.9 1 21.58 1 -0.32 PDIP 9.6 2 18.53 2 8.93 PKB 6.6 10.57 3 3.97 PPP 5.7
3-4 8.15 4 2.45
PD - - 7.45 5 - PKS 2 6-7 7.34 6 5.34 PAN 5.2 5 6.44 7 1.24 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei DRI = 3.71
Keterangan: Saat survei dilakukan, Partai Demokrat belum terbentuk ( belum diverifikasi oleh KPU). Kesalahan absolut rata-rata survei dihitung dari 6 partai.
Survei LSI (Maret 2004 )
Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu
2004 % Posisi % Posisi % Golkar 23.2 1 21.58 1 -1.62 PDIP 17.5 2 18.53 2 1.03 PKB 9.5 3 10.57 3 1.07 PPP 5.7 8.15 4 2.45 PD 4.9 7.45 5 2.55 PKS 5.5
5-7 7.34 6 1.84
PAN 7.4 4 6.44 7 -0.96 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei LSI= 1.64
41
Survei IFES (Maret 2004 )
Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu
2004 % Posisi % Posisi % Golkar 22.2 1 21.58 1 -0.62 PDIP 11.5 2 18.53 2 7.03 PKB 6.6 3 10.57 3 3.97 PPP 5 8.15 4 3.15 PD 4.1 7.45 5 3.35 PKS 3.6
5-7 7.34 6 3.74
PAN 6.4 4 6.44 7 0.04 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei IFES = 3.13
Survei SSS (Februari-Maret 2004 )
Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu
2004 % Posisi % Posisi % Golkar 15.8 2 21.58 1 5.78 PDIP 20.7 1 18.53 2 -2.17 PKB 12.4 3-4 10.57 3 -1.83 PPP 5.7 6 8.15 4 2.45 PD 3.2 7-8 7.45 5 4.25 PKS 10.6 5 7.34 6 -3.26 PAN 13.5 3-4 6.44 7 -7.06 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SSS= 3.83
AKURASI
Membandingkan hasil antara jajak pendapat satu dengan jajak pendapat lain
memang terkesan tidak adil. Karena jajak pendapat satu mempunyai instrumen,
sampel, dan rumusan pertanyaan yang berbeda. Tetapi disini sesungguhnya
masalahnya. Jajak pendapat pada dasarnya tergantung kepada bagaimana
pengambilan sampel, rumusan pertanyaan, tujuan, dan metode wawancara. Populasi
dan teknik penarikan sampel yang berbeda, metode wawancara yang berbeda dan
rumusan pertanyaan yang berbeda akan menghasilkan “temuan” yang berbeda pula.
Dari 7 jajak pendapat Pemilu 2004 yang dianalisis dan diperbandingkan dalam bab
ini perlu diberi catatan khusus. Jajak pendapat LP3ES, Balitbang PDIP dan
Danareksa Institute karena dilakukan jauh sebelum Pemilu ( lebih dari enam bulan)
berbeda dengan jajak pendapat IFES, IRI, LSI dan SSS. Jajak pendapat yang
pertama dilakukan ketika orang (mungkin) belum punya pilihan. Sementara jajak
pendapat kedua dilakukan menjelang pemilihan, dan orang kemungkinan sudah
mempunyai pilihan partai. Tidak mengherankan jikalau jajak pendapat yang kedua,
lebih mendekati kenyataan hasil aktual Pemilu dibandingkan dengan jajak pendapat
42
yang pertama. Selain itu, jajak pendapat pertama karena dilakukan jauh sebelum
Pemilu, peristiwa-peristiwa penting menjelang Pemilu, atau perubahan opini sebelum
Pemilu tidak bisa diakomodasi dalam jajak pendapat.
Lembaga Periode Pengambilan Data
Publikasi
LP3ES 1-12 Mei 2003 Laporan penelitian, konferensi pers bulan Mei, berita media bulan Mei 2003 dan website LP3ES (www.lp3es.or.id)
Balitbang PDIP
Mei-Juni 2003 Laporan penelitian, dan berita media bulan Juni 2003
DRI Oktober 2003 Newsletter Danareksa edisi bulan Oktober 2003
IFES 21-24 Maret 2004 Berita suratkabar bulan Maret 2004, website ifes (www.ifes.org)
IRI 7-22 Desember 2003 Konferensi pers Januari 2004 dan website IRI ( www.iri-indonesia.org)
LSI 18-24 Maret 2004 Konferensi pers 2 April 2004, berita media edisi 3 April 2004 dan website LSI (www.lsi.or.id)
SSS Februari-Maret 2004 Laporan penelitian, berita suratkabar edisi bulan Maret 2004 dan website SSS (www.sss-csp.or.id)
Dari 7 jajak pendapat tersebut, ternyata menghasilkan temuan yang hampir mirip
satu sama lain. Tabel memperlihatkan hasil jajak pendapat berbagai lembaga soal
partai pilihan. Jajak pendapat menghasilkan Golkar sebagai pemenang Pemilu dan
PDIP tergeser di urutan kedua. Yang agak berbeda dari 7 jajak pendapat tersebut
hanyalah Soegeng Sarjadi Syndicated saja yang gagal meramalkan Golkar sebagai
pemenang Pemilu. Perhatian sekarang kita arahkan kepada empat jajak pendapat (
DRI, LSI, IRI, IFES). Meskipun angka prosentasenya berbeda, keempat lembaga itu
menghasilkan urutan pilihan partai yang akan dicoblos oleh responden tiga besar
adalah: Golkar, PDIP, dan PKB. Posisi 4 hingga delapan agak berbeda antara
lembaga jajak pendapat. Pada jajak pendapat IFES urutan 4 hingga 8 masing-
masing: PAN, PPP, PD, PKS dan PBB. Di LSI, berturut-turut PAN, PPP, PKS, PD, dan
PBB. Sementara dalam jajak pendapat di IRI, urutan 4-8 masing-masing: PPP, PAN,
PKS dan PBB. Meski urutan posisi 4 hingga 8 berbeda antara masing-masing
lembaga jajak pendapat, tetapi perbedaan itu masih bisa ditolerir secara statistik.
Karena selisih partai dengan posisi 4 hingga 8 sangat tipis, masih berada di bawah
margin of error dari masing-masing lembaga jajak pendapat yang berkisar di angka
1 hingga 2.5%.
43
Hasil jajak pendapat ini yang mirip ini menunjukkan jika jajak pendapat dilakukan
dengan metode yang sama maka hasilnya juga sama. Dari 7 lembaga jajak pendapat
tersebut, IRI, IFES dan LSI memakai metode penarikan sampel yang sama
(multistage random sampling). Dan seperti terlihat dalam tabel, metode yang sama
ini menghasilkan temuan yang mirip. Yang agak berbeda adalah Soegeng Sarjadi
Syndicated. Tetapi diantara lembaga survei yang lain, metode penarikan sampel SSS
ini yang berbeda. Sehingga hasilnya berbeda dengan lembaga jajak pendapat yang
lain.
KOMPOSISI PARTAI PEMENANG PEMILU MENURUT RAMALAN LEMBAGA JAJAK PENDAPAT
PARTAI
LP3ES Balitbang PDIP
IRI DRI LSI IFES SSS
Komposisi Aktual Hasil Pemilu
Golkar 1 1 1 1 1 1 2 1 PDIP 2 2 2 2 2 2 1 2 PKB 3 3 3 3-4 3 PPP
3-5 3- 4 4
3-4 6 4
PD - - - - 7-8 5 PKS - - 6 6-7
5-7
5-7 5 6
PAN 3-5 5 5 5 4 4 3-4 7
Jika dibandingkan dengan prediksi lembaga jajak pendapat Pemilu 1999, maka
prediksi yang dibuat oleh lembaga jajak pendapat Pemilu 2004 ini lebih baik. Mereka
bukan hanya berhasil meramalkan pemenang Pemilu, tetapi juga tiga sampai lima
besar partai dengan perolehan suara terbanyak. Dari 7 lembaga jajak pendapat, tiga
lembaga ( IFES, IRI dan LSI) yang menghasilkan temuan mirip dengan struktur
kemenangan partai. Sementara lembaga yang lain, hanya urutan 1-3 yang sama
sementara urutan ke bawahnya agak berbeda dengan hasil aktual Pemilu.
Salah satu penjelas kenapa tiga lembaga tersebut yang bisa memprediksi dengan
mirip komposisi pemenang Pemiliu, karena tiga lembaga itu menjangkau populasi
paling luas. Dengan populasi yang luas, derajat keragaman masyarakat Indonesia
bisa diakomodasi dalam survei. IFES dan LSI yang menyertakan semua provinsi di
Indonesia (100 % dari populasi). Meskipun tidak menyertakan semua wilayah
provinsi di Indonesia, IRI juga melakukukan jajak pendapat nasional, tetapi populasi
yang diambil 94% dari populasi. Ada 9 provinsi yang tidak diikutsertakan dalam
survei IRI, dengan berbagai alasan ( alasan keamanan, akses dan sedikitnya
populasi) yakni Aceh, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Gorontalo,
44
Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat. Berbeda dengan keempat lembaga
tersebut adalah DRI dan Soegeng Sarjadi Syndicated. Mengingat keragaman
masyarakat Indonesia, makin banyak provinsi yang dimasukkan makin bagus. Dalam
konteks Pemilu, ada satu faktor kunci kenapa keragaman provinsi ini penting. Partai-
partai politik umumnya mempunyai basis wilayah masing-masing. Di tempat lain
bisa jadi partai politik kalah, tetapi di wilayah basis massa-nya, partai politik itu
mendapat dukungan luas. Golkar secara tradisi sangat kuat di wilayah Sulawesi
Selatan, PKB kuat (sekali) di Jawa Timur, PAN di Sumatera Barat, PDIP di Bali.
Partai-partai dengan basis massa penganut Kristen yang di Jawa tidak mendapat
tempat, di wilayah Maluku atau Nusa Tenggara justru bisa berjaya.
Yang perlu mendapat catatan adalah Danareksa Research Institute (DRI). Jajak
pendapat DRI hanya didasarkan pada 5 wilayah terpilih yakni Jakarta, Jawa Timur,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara----wilayah-wilayah
ini umum diambil sebagai sampel dalam survei-survei pemasaran dan ekonomi. Hasil
survei DRI selama ini memang tidak terlampu berbeda dibandingkan dengan survei
nasional yang dilakukan berbagai lembaga. Tetapi kelamahan DRI adalah cakupan
wilayah yang terbatas. Satu wilayah dihilangkan misalnya akan mengubah struktur
hasil secara keseluruhan. 28
Teknik Penarikan Sampel Jajak Pendapat Berbagai Lembaga
Lembaga Populasi PSU Teknik Penarikan Sampel
Jumlah Sampel
LP3ES 13 provinsi di Indonesia yang diambil secara random (Jabotabek, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, jawa Barat, jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali,
Desa Multistage random sampling. Sampel ditarik secara random dari 13 provinsi, dengan proporsi jenis kelamin (laki-laki perempuan) seimbang, 50%.
3.000
28 Taruhlan pilihan partai politik. Prosentase Golkar yang besar sangat besar disumbang oleh responden yang berasal dari Sukawesi Selatan. Dalam survei Dri bulan Juli lalu misalnya, 34 persen responden di Sulawesi Selatan memilih Golkar . Bandingkan dengan pilihan responden atas partai lain yang hanya berkisar di bawah 5%. Jika Sulawesi Selatan dihilangkan (misalnya), akan mengubah proporsi angka-angka ini secara keseluruhan. Atau kandidat presiden Yusuf Kalla. Di Sulawesi Selatan, ia didukung oleh 22% responden. Padahal di wilayah lain, paling besar hanya 4%. Fenomena yang sama untuk partai PKB di Jawa Timur. Dengan kata lain, dengan cakupan wilayah yang terbatas, DRI mendapatkan wilayah yang sangat Golkar, atau wilayah yang sangat PDI dan sangat PKB.
45
dan Nusa Tenggara Timur)
Balitbang PDIP
18 provinsi yang diambil secara random (Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua )
Desa Multistage random sampling. Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin.
2.500
DRI 5 provinsi di Indonesia (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan)
Desa Stratified random sampling. Sampel ditarik dari 5 provinsi berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan dan tingkat sosial ekonomi.
1.700
IFES 32 provinsi (termasuk Aceh, Maluku dan Papua)
Desa Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin.
1.250
IRI 23 provinsi. 9 provinsi yang tidak diikutsertakan adalah Aceh, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat
Kecamatan Probability Proportional to Size (PPS). Sampel diambil secara random dan proporsional sesuai dengan populasi provinsi
2.540
LSI 32 provinsi (termasuk Aceh, Maluku dan Papua)
Desa Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin.
2.760
SSS 15 Provinsi ( terdiri atas 19 kota dan 14 kabupaten)
Kabupaten/ kotamadya
Stratified random sampling.
5.000
46
PRESISI
Ukuran kedua yang bisa dipakai untuk menilai lembaga jajak pendapat adalah
presisi, apakah lembaga jajak pendapat bisa meramalkan dengan benar perolehan
suara partai. Yang menarik, dari 7 lembaga yang ditinjau, bisa memprediksi
perolehan suara dengan selisih tidak besar. Rata-rata kesalahan absolut lembaga
jajak pendapat dalam memprediksi suara 7 partai di bawah 6%. Kesalahan absolut
survei berturut-turut dari besar ke kecil adalah sebagai berikut: LP3ES (5.85%),
Balitbang PDIP (3.47%), SSS (3.83%), DRI (3.71%), IFES (3.13%), IRI (1.73%)
dan LSI (1.64%).
Yang perlu dicatat dari prediksi perolehan suara partai ini adalah waktu
penyelenggaraan jajak pendapat. Survei yang dilakukan enam bulan sebelum Pemilu
lebih besar tingkat kesalahan prediksi suara dibandingkan dengan survei yang
dilakukan menjelang Pemilu. Pada survei yang dilakukan hampir setahun sebelum
Pemilu ( LP3ES atau Balitbang PDIP), bisa dipastikan suara pemilih belum
mengkristal. Orang masih menimbang-nimbang partai apa yang akan dipilih.
Besarnya orang yang masih menimbang-nimbang dan belum menentukan partai
pilihan ini pada gilirannya akan berimbas pada perolehan suara partai yang
ditemukan oleh lembaga jajak pendapat. Jajak pendapat LP3ES, Balitbang PDIP dan
DRI karena dilakukan jauh sebelum Pemilu ditandai dengan selisih yang masih besar
dengan perolehan riil partai. Masalah itu tidak banyak dialami oleh jajak pendapat
yang dilakukan menjelang hari pencoblosan. Pemilih secara teoritis sudah punya
partai pilihan. Jumlah pemilih yang belum memutuskan atau masih menimbang-
nimbang partai pilihan, makin berkurang. Pada gilirannya, prediksi suara lebih
mendekati kenyataan.
Lebih dalam kita bisa menilai bagaimana capaian yang berhasil didapat oleh
lembaga jajak pendapat dalam memprediksi suara masing-masing partai. Tabel itu
menunjukkan berapa selisih ( deviasi) perbedaan antara hasil survei dengan hasil
aktual Pemilu. Angka plus minus bisa dikesampingkan. Makin kecil angka selisih,
makin dekat prediksi dengan hasil aktual. Ada beberapa temuan yang menarik dari
data ini. Pertama, lembaga jajak pendapat berhasil memprediksi dengan selisih
suara kecil partai pemenang Pemilu ( Golkar). Total dari 7 lembaga jajak pendapat
bila di rata-rata, hanya 3.1%. Yang paling mendekati adalah DRI dengan selisih
0.32%, IFES dengan selisih 0.62%, dan LSI dengan selisih 1.62%.
47
Jika perolehan suara partai Golkar bisa diprediksi dengan selisih kecil, sebaliknya
PDIP angka selisihnya masih besar. Rata-rata dari 7 lembaga jajak pendapat ini,
selisih prediksi suara PDIP mencapai 4.8%. Lembaga yang paling dekat dalam
memprediksi perolehan suara PDIP adalah IRI dengan selisih 0.47% dan LSI dengan
selisih 1.03%. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Balitbang PDIP dan Soegeng
Sarjadi Syndicated juga berhasil memprediksikan perolehan suara partai PDIP
dengan selisih masing-masing 2.67% dan 2.17%. Yang menggembirakan adalah dari
7 partai dengan perolehan suara terbesar, bisa diprediksikan dengan baik oleh
lembaga jajak pendapat. Semuanya bisa diprediksi dengan kesalahan di bawah 5%.
Dari 8 partai itu, yang paling besar derajat perbedaan adalah prediksi atas Partai
Demokrat (PD). Kesalahan dalam memprediksi suara PDI ini bisa terjadi karena
besarnya suara yang pindah menjelang pemilihan. Lembaga jajak pendapat yang
tidak mengamati perpindahan suara itu sampai kampanye Pemilu, tidak akan
berhasil dengan cermat memprediksi munculnya Partai Demokrat (PD).
SELISIH KESALAHAN ( DEVIASI) LEMBAGA JAJAK PENDAPAT DALAM MERAMAL PEROLEHAN PARTAI
PARTAI
LP3ES Balitbang PDIP
IRI DRI LSI IFES SSS
Rata-Rata Selisih
Golkar 3.58 -7.12 -2.42 -0.32 -1.62 -0.62 5.78 3.1
PDIP 11.53 -2.67 -0.47 8.93 1.03 7.03 -2.17 4.8
PKB 8.57 -0.63 0.57 3.97 1.07 3.97 -1.83 2.9
PPP 3.15 -4.35 1.15 2.45 2.45 3.15 2.45 2.7 PD - - - - 2.55 3.35 4.25 3.4
PKS - - 4.34 5.34 1.84 3.74 -3.26 3.7
PAN 2.44 -2.56 1.44 1.24 -0.96 0.04 -7.06 2.2
Keterangan: Rata-rata selisih (deviasi) dihitung dari selisih rata-rata dari 7 lembaga dalam memprediksi perolehan masing-masing partai. Selisih positif (+) atau negatif (-) diabaikan. Khusus untuk Partai Demokrat, selisih dihitung dari 3 lembaga, dan PKS dari 5 lembaga.
Dekatnya prediksi antar lembaga jajak pendapat juga menguatkan harapn, bila jajak
pendapat dilakukan dengan benar, dengan teknik pengambilan sampel yang standar
maka hasilnya akan mendekati kenyataan. Hampir semua lembaga survei memakai
teknik stratified random sampling atau multistage random sampling. Sampel diambil
dengan memperhatikan proporsi jenis kelamin dan proporsi desa kota. Apapun
48
metode penarikan sampel yang dipakai, tujuan akhirnya adalah menghasilkan
sampel yang representasi terhadap populasi. Salah satu cara paling mudah untuk
menilai apakah sampel representatif atau tidak adalah dengan membandingkan
karakter sampel dengan karakter populasi. Karakteristik sampel seperti desa kota,
pekerjaan, pendidikan, penghasilan, agama, atau suku bangsa bisa dibandingkan
secara langsung antara sampel dengan populasi ( yang umum dipakai adalah data
demografi BPS). Makin mirip karakter sampel dengan populasi maka makin bagus
sampel yang diperoleh.
Sebagian besar lembaga survei pendapat umum mengambil 1.000-5.000 responden.
Jumlah sampel ini seringkali krusial karena berhubungan dengan biaya penelitian.
Makin banyak sampel makin banyak biaya yang harus dikeluarkan. Beberapa
lembaga survei menekan jumlah sampel untuk menekan biaya penelitian ini. Tetapi
jumlah sampel (yang berhubungan dengan tingkat kesalahan yang bisa ditoleransi—
sampling error) hanyalah satu soal. Yang lebih penting dan krusial adalah bagaimana
responden. Berbagai penelitian membuktikan jumlah sampel memang penting tetapi
tidak pernah ada survei yang salah hanya karena kurang sampel. Kesalahan banyak
survei justru terjaadi karena sampel yang diambil tidak representatif. 29
Di luar perdebatan soal jumlah sampel dan sampling error, persoalan survei di
Indonesia justru terletak pada masalah di luar teknis pengambilan sampel (non
sampling error). Apakah pertanyaan dipahami oleh responden, apakah wawancara
dilakukan dengan orang yang benar, apakah responden menjawab secara jujur
pertanyaan pewawancara, bagaimana logat, bahasa mempengaruhi wawancara dan
sebagainya. Kesulitan lain, bagaimana mengontrol pewawancara, bagaimana spot
chek dilakukan dengan benar agar hasil benar-benar mencerminkan pendapat yang
sebenarnya. Persoalan ini jauh lebih memusingkan lembaga survei dibandingkan
persoalan jumlah sampel. Sayang, berbagai publikasi jajak pendapat, tidak
menyertakan response rate jajak pendapat. Padahal dari sini bisa diketahui,
seberapa besar responden asli dan seberapa banyak responden pengganti yang
dipakai. Berapa banyak orang yang tidak bersedia diwawancarai. Publikasi yang
menyertakan angka response rate ini adalah jajak pendapat IRI. Dari publikasi IRI
bisa diketahui, responden asli yang berhasil diwawancarai sebesar 65,7%. Sisanya
29 Lihat David S. Moore, Statistics: Concept and Controversies, Second Edition, New York, WH Freeman, 1985, hal. 12-16
49
adalah pengganti. Di bebarap wilayah seperti Riau dan Banten angka response rate
di bawah 50 persen. Tantangan jajak pendapat di Indonesia yang tidak bisa
dianggap sepele adalah kepastian bahwa wawancara telah dilakukan secara benar,
dan pertanyaan dalam kuesioner telah dibuat dan diajukan dengan benar pula.
Karakter Sampel Jajak Pendapat Berbagai Lembaga
LEMBAGA KARAKTER POPULASI (BPS Tahun 2000-Tingkat Pendidikan)
KARAKTER SAMPEL (%)
DEVIASI (Karakter Populasi- Sampel (%)
Lulus SMP/dibawah: 79 % 60.7 -18.3 Lulus SLTA: 18 29 11
LP3ES
Lulus S1 / di atasnya: 4% 9 5 Lulus SMP/dibawah: 79 % 64 -15 Lulus SLTA: 18 24 6
Balitbang PDIP
Lulus Akademi / di atasnya: 4% 8 4 Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -
DRI
Lulus S1 / di atasnya: 4% - - Lulus SMP/dibawah: 79 % - - Lulus SLTA: 18 - -
IFES
Lulus Akademi / di atasnya: 4% 7.6 3.6 Lulus SMP/dibawah: 79 % 65 -14 Lulus SLTA: 18 28 10
IRI
Lulus S1 / di atasnya: 4% 7 3 Lulus SMP/dibawah: 79 % 70.2 -8.8 Lulus SLTA: 18 20.3 2.3
LSI
Lulus S1 / di atasnya: 4% 9.5 5.5 Lulus SMP/dibawah: 79 % 59.48 -19.52 Lulus SLTA: 18 31.2 13.2
SSS
Lulus S1 / di atasnya: 4% 9.3 5.3 Keterangan: DRI dalam publikasinya tidak menyertakan profil responden. Dalam publikasi IFES, kategori lulus SMP dan SMA digabung, jadi tidak bisa dibandingkan. Ada beberapa ukuran karakter populasi yang biasa dipakai untuk mengukur derajat representasi sampel ( seperti proporsi desa kota, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, pekerjaan dsb). Tetapi untuk keperluan tulisan ini, hanya dipakai satu ukuran yakni tingkat pendidikan.
Masing-masing lembaga jajak pendapat mengajukan pertanyaan mengenai partai
pilihan dengan cara yang berbeda. LSI menanyakan secara langsung apa partai
pilihan pemilih. Sementara IFES tidak menanyakan secara langsung apa partai
pilihan pemilih, tetapi partai apa yang dianggap paling menyuarakan aspirasi
pemilih. Meski tidak secara langsung menunjuk partai pilihan, pertanyaan ini sama
saja dengan bertanya soal partai pilihan. Dugaan saya ( bisa salah) rumusan
50
pertanyaan ini dipakai oleh IFES untuk mengurangi kemungkinan jawaban
responden yang tidak sebenarnya karena takut, malu, atau sungkan dengan
kehadiran pewawancara. Perlu penelitian lebih mendalam apakah rumusan
pertanyaan yang berbeda ini menghasilkan efek yang berbeda ketika diterima oleh
responden. Rumusan pertanyaan mana yang lebih bisa diterima oleh responden dan
secara potensial lebih bisa menghasilkan jawaban yang benar dari responden.
Rumusan Pertanyaan Jajak Pendapat Berbagai Lembaga
Lembaga Rumusan Pertanyaan LP3ES Pertanyaan tentang pilihan partai, rumusan pertanyaan
CESDA adalah: “Seandainya Pemilu dilaksanakan besok, partai manakah yang akan Anda pilih?
Balitbang PDIP Balitbang PDIP menanyakan jika Pemilu diadakan hari ini partai apa yang dipilih.
DRI (Danareksa Research Institute)
Tiap putaran jajak pendapat, DRI selalu menanyakan pertanyaan (yang sama). Jika hari ini Pemilu, partai apa yang dipilih responden.
IFES (International Foundation for Election Systems)
IFES tidak menanyakan secara langsung partai pilihan. Pertanyaan yang diajukan oleh IFES adalah: Partai apa yang paling mewakili aspirasi?
IRI (International Republican Institute)
IRI menanyakan kepada responden, jika Pemilu diadakan hari ini partai apa yang dipilih. IRI membuat dua pertanyaan, partai pilihan pertama yang akan dipilih, partai pilihan kedua yang akan dipilih.
Lembaga Survey Indonesia (LSI)
LSI menanyakan kepada responden, “ Jika Ikut Pemilu, sebutkan nama partai Ibu/Bapak pilih?”. Kepada responden yang tidak mau menjawab, LSI menanyakan partai apa yang paling pantas didukung.
Soegeng Sarjadi Syndicated
Pertanyaan tentang sikap (penilaian). Untuk partai politik, Soegeng Sarjadi Syndicated menanyakan,” Menurut Anda, partai Mana Yang Layak Memimpin Pemerintahan?”.
Yang perlu dicatat adalah, basis dari semua jajak pendapat itu adalah popular vote
(suara nasional), sementara penghitungan anggota legislatif berdasarkan electoral
vote ( bilangan pembagi di masing-masing wilayah). Bisa jadi partai A yang
diprediksikan nomor 2, tetapi jumlah kursinya menduduki peringkat pertama. Kalau
ini yang terjadi, bukan kesalahan dari ramalan jajak pendapat . Karena sekali lagi
basis perhitungannya adalah suara nasional.
51
V. KESULITAN
JAJAK PENDAPAT DI INDONESIA
Dari bab terdahulu terlihat, di usia yang relatif muda lembaga jajak pendapat bisa
meramal dengan baik hasil Pemilu. Di luar soal ramalan Pemilu tersebut, ada
berbagai kesulitan yang dialami oleh lembaga jajak pendapat. Kesulitan ini berujung
pada sulitnya lembaga jajak pendapat ini untuk membuat prediksi pemenang Pemilu
dengan benar dan tepat.
KERANGKA SAMPEL
Pertama, buruknya mutu kerangka sampel ( sampling frame) di Indonesia. Kerangka
sampel adalah jantung bagi sebuah penelitian survei. Kerangka sampel
mengidentifikasi anggota dari populasi. Dengan kerangka sampel yang baik,
lembaga jajak pendapat bisa mengidentifikasi dengan benar sampel yang akan
diambil. Sampel yang buruk kerap kali bukan diakibatkan oleh metode penarikan
sampel yang jelek, tetapi juga kerangka sampel yang tidak baik.
Untuk penelitian yang memakai telepon, ada kerangka sampel yang bagus yakni
Buku Petunjuk Telepon yang memuat daftar nama-nama pemilik telepon. Kerangka
sampel ini diperbaharui setiap tahun dan mencerminkan populasi pemilik telepon
yang sesungguhnya. Sementara untuk penelitian dengan wawancara langsung ( face
to face ), kerangka samel yang biasa dipaki dan diandalkan oleh lembaga jajak
pendapat adalah Daftar Desa yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS).
Kerangka sampel berupa daftar desa ini acap dikeluhkan oleh lembaga jajak
pendapat. Ini karena data desa hanya diperbaharui tiap 10 tahun sekali. Padahal
proses pemekaran mengakibatkan perubahan yang cepat. Satu desa atau kelurahan
yang semula anggota dari kecamatan A sudah berganti ke kecamatan B. Dan
seterusnya. Kerangka sampel itu juga tidak bisa mengakomodasi perubahan status
desa. Di beberapa wilayah misalnya Jawa dan Kalimantan terjadi perubahan status
desa, dari yang semual desa menjadi kelurahan. Perubahan ini tidak cepat bisa
diakomodasi dalam kerangka sampel karena baru diperbaharui tiap 10 tahun sekali.
Padahal, status desa atau kelurahan ini punya dampak yang signifikan dalam
konteks Pemilu. Selama ini muncul hipotesis partai yang kuat di desa dan partai
yang kuat di kota. Perubahan status desa atau kelurahan ini bisa berdampak pada
perubahan perilaku politik anggota masyarakat.
52
Di luar soal update data yang lamban, kerangka sampel yang tersedia juga tidak
lengkap. Kerangka sampel itu hanya memuat daftar nama desa, tetapi tidak
diketahui secara pasti karakter dari masing-masing desa. Data semacam ini paling
jauh hanya sampai tingkat kecamatan. Sejumlah lembaga jajak pendapat berusaha
mengatasi keterbatasan kerang sampel BPS. IRI misalnya memetakan terlebih
dahulu populasi dari provinsi hingga kecamatan. Jika data jumlah populasi yang
tersedia dari BPS adalah tahun lalu, IRI melakukan estimasi besar populasi saat
jajak pendapat dikerjakan. Atas dasar itu proporsi bisa dibuat. 30Primary Sampling
Unit (PSU), yang diambil oleh IRI adalah kecamatan. Karena baru pada level
kecamatan tersedia data karakter populasi, seperti jenis kelamin, pendidikan,
penghasilan, pekerjaan dan sebagainya.
Soal keterbatasan kerangka sampel ini akan makin terlihat jika kita menuntut ada
peta kekuatan partai politik di masing-masing wilayah. Dalam konteks jajak
pendapat mengenai Pemilu, data semacam itu penting supaya sampel yang didapat
mencerminkan kekuatan yang ada dalam masyarakat. 31Data dari Komisi Pemilihan
Umum (KPU) tahun 1999 misalnya hanya sebatas sampai tingkat Kabupaten. Litbang
Kompas telah menerbitkan buku mengenai peta kekuatan partai politik tahun 1999. 32Buku itu sangat berguna untuk melengkapi data KPU, sehingga kita bisa lebih
mengetahui peta politik sampai tingkat kecamatan. Tetapi data itu belummasuk
sampai ke tingkat desa.
TINGGINYA ANGKA UNDECIDED VOTERS
Dalam konteks Pemilu, lembaga jajak pendapat mengalami kesulitan meramal hasil
Pemilu akibat masih tingginya angka pemilih yang belum memutuskan (undecided
voters). Survei IRI, IFES dan DRI menemukan lebih dari 25% responden yang tidak
mau menyebut partai pilihan dengan berbagai alasan----bisa rahasia, takut dan
sebagainya. Survei LP3ES yang dilakukan satu tahun sebelum Pemilu, bahkan
menemukan sebesar 55% responden yang belum mau menyebutkan partai pilihan.
Tingginya angka responden yang belum memutuskan partai pilihan ini menyulitkan
30 Wawancara Yanti Sugarda, direktur Polling Center, 7 Mei 2004. Polling Center adalah lembaga yang mengerjakan penelitian lapangan dari IRI ( misalnya jajak pendapat IRI bulan Maret 2003). 31 Wawancara E.Shobirin Nadj, dari CESDA-LP3ES, 5 Mei 2004. 32 Litbang Kompas, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004
53
bagi lembaga jajak pendapat untuk membuat prediksi. Angka sebesar itu lebih besar
dari perolehan suara pemenang Pemilu tahun 2004 ini.
Tingkat undecided voters yang relatif kecil (di bawah 20%) ada dalam survei LSI dan
SSS. Angka undecided voters dalam survei LSI sebesar 17.2%, sementara SSS
sebesar 4.8%. Tingkat undecided voters dalam jajak pendapat LSI relaif kecil karena
LSI menanyakan lebih lanjut responden yang menjawab tidak tahu. 33Sementara
untuk jajak pendapat SSS kemungkinan karena responden survei ini yang mayoritas
warga kota.
Tingginya undecided voters ini adalah penyakit lama. Selama puluhan tahun di masa
Orde Baru, dengan kebijakan massa mengambang, masyarakat diasingkan dari
pembicaraan politik. Survei perihal partai politik selama puluhan tahun juga absen.
Tidaklah mengherankan jikalau banyak warga yang masih malu, atau takut
menjawab partai pilihan ketika ditanya oleh pewawancara. Perasaan takut atau tidak
mau menjawab partai pilihan ini ternyata masih tetap tinggi meski Pemilu tinggal
beberapa hari lagi. Tabel menggambarkan angka undecided voters yang dilaporkan
oleh sejumlah lembaga jajak pendapat pada Pemilu 1999 dan 2004. Apa yang
terlihat dalam tabel tersebut adalah, tidak ada perubahan yang signifikan dari
kondisi tahun 1999 dan 2004. Rata-rata angka undecided voters dari survei tahun
1999 dan 2004 masih di kisaran angka 25%.
PEMILU 1999 PEMILU 2004 Lembaga Angka Undecided
Voters Lembaga Angka Undecided
Voters RPC 10.9 IRI 27 Litbang Kompas 18.3 DRI 35.6 IFES 32 IFES 30.3 LP3ES - LSI 17.2 KPP-Lab Politik UI 28.8 SSS 4.8 Balitbang PDIP 18.2 LP3ES 55 Rata-Rata = 22.5 Rata-Rata = 26.87
33 LSI memberi dua pertanyaan soal partai pilihan. Pertanyaan pertama partai pilihan responden. Untuk responden yang tidakmenjawab atau mengatakan rahasia atau belum menentukan partai pilihan, LSI menanyakan pertanyaan lanjutan partai apa yang dianggap pantas. Gabungan antara partai pilihan dan partai yang dianggap pantas ini yang dipresentasikan sebagai suara perolehan partai.
54
Dibandingkan dengan negara lain seperti Filipina, angka undecided voters di
Indonesia ini sangat besar. Berbagai survei Social Weather Stations (SWS) di Filipina
misalnya, menemukan angka undecided voters ini di bawah 5%. Apalagi di negara
dengan tradisi demokrasi yang panjang seperti Amerika, lembaga jajak pendapat
tidak pernah menghadapi kesulitan akibat responden tidak mau menjawab partai ap
yang akan dipilih. Tingginya angka undecided voters ini menyulitkan lembaga
terutama dalam membuat prediksi perolehan suar. Karena masih ada 25% orang
yang belum atau tidak mau menjawab partai pilihan, maka perolahan suara partai
yang diprediksikan oleh lembaga tersebut punya potensi selisih yang besar.
POPULASI HETEROGEN
Persoalan besar yang dihadapi oleh lembaga jajak pendapat di Indoensia berkaitan
dengan populasi yang heterogen. Wilayah Indonesia tersebar dengan masyarakat
yang sangat heterogen baik dari pendidikan, pendapatan ataupun pekerjaan. Ini
masih ditambah dengan dukungan partai politik yang terfragmentasi. Partai politik
mempunyai basis dukungan di tiap-tiap wilayah. Kecuali Partai Golkar dan PDIP,
tidak ada partai politik dengan kekuatan yang merata di semua wilayah Indonesia.
PKB sangat kuat di Jawa Timur tetapi lemah di luar Jawa. PBR kuat di Jakarta dan
Jawa Barat teapi lemah di wilayah lain. PAN kuat di Jawa Tengah, Yogyakarta dan
Sumatera tetapi lemah juga di wilayah lain. Atau PDS yang kuat di Sulawesi Utara,
Nusa Tenggara dan Papua, tetapi relatif tidak bersinar di wilayah dengan mayoritas
penduduk Islam. Apa artinya? Kekuatan yang terfragmentasi ini mengharuskan
lembaga jajak pendapat untuk mengambil populasi Indonesia secara keseluruhan.
Jika Jawa Timur tidak diikutsertakan sebagai populasi misalnya, suara PKB dipastikan
akan jeblok dan lembaga jajak pendapat tidak akan bisa akurat memprediksi
perolehan suara PKB.
Hal ini bisa dilihat misalnya dalam hasil survei Soegeng Sajadi Syndicated. Dalam
survei SSS 28 Februari-3 Maret 2004, PKB mendapatkan 12.4% sedangkan PAN
13.5%. Jika kita mengacu kepada hasil perhitungan suara sementara KPU dan hasil
berbagai lembaga jajak pendapat, suara PAN tidak lebih besar daripada PKB. Lebih
besarnya suara PAN daripada PKB ini bisa dimengerti jikalau kita melihat populasi
yang diambil. Dari 19 kota dan 14 kabupaten yang diambil oleh SSS, hanya ada 2
yang daerah Jawa Timur yang secara tradisional menjadi basis suara PKB----yakni
Surabaya dan Gresik. Suara PKB kemungkinan disumbang oleh responden yang
55
berasal dari wilayah ini. Sementara wilayah dengan basis tradisional PAN mendapat
sampel wilayah lebih banyak----tercatat kota Yogyakata, kota Padang, Kabupaten
Padang Pariaman, Kabupaten Bantul. Dengan komposisi populasi seperti itu tidak
mengherankan jikalau survei SSS menghasilkan suara PAN relatif besar. Atau contoh
yang lain adalah survei Danareksi Research Institute (DRI). Yang menarik dari survei
DRI ini adalah meskipun populasi dari jajak pendapat hanya 5 provinsi, hasilnya
tidak jauh berbeda dengan lembaga jajak pendapat yang mengambil populasi
seluruh wilayah Indonesia. Tetapi kelemahan dari DRI adalah tidak bisa
menggambarkan dinamika partai-partai kecil yang memang kuat di sejumlah wilayah
yang tidak menjadi populasi survei.
Populasi yang heterogen ini menuntut lembaga jajak pendapat untuk menyusun
metode penarikan sampel yang tepat. Yakni metode penarikan sampel yang bisa
mencakup populasi yang beragam tersebut sehingga sampel yang didapat benar-
benar representatif. Persoalannya bukan terletak pada mampu tidaknya lembaga itu
dalam menyusun desain penarikan sampel. Persoalan itu acapkali timbul justru di
luar masalah teknis metodologis, yakni persoalan waktu, dana dan tenaga. Dengan
kata lain, lembaga jajak pendapat harus memutar otak untuk menyusun desain
penarikan sampel yang bukan saja benar secara metodologis tetapi juga efesien dan
feasibel secara ekonomis dan tenaga yang tersedia. Di bawah ini akan diuraikan
metode penarikan sampel yang dipakai oleh LSI, LP3ES dan IRI.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) memakai metode multistage random sampling.
Multistage random sampling pada dasarnya adalah gabungan antara sampel
stratifikasi (stratified random sampling) dengan sampel klaster (cluster sampling).
Stratifikasi diperlukan supaya heterogenitas dari populasi masyarakat Indonesia bisa
tercermin dalam sampel. Karakteristik dasar dari populasi yang dipakai dalam survei
ini adalah: proporsi penyebaran daerah (provinsi), proporsi perbedaan antara
wilayah (kota desa), dan proporsi perbedaan gender ( laki-laki-perempuan). 34
Meskipun mencerminkan populasi, stratifikasi menaikan budget survei karena
dengan stratifikasi tersebut, sampel yang ditarik akan sangat menyebar. Untuk
34 Dengan stratifikasi, terlebih dahulu diklasifikasikan ke dalam karakteristik dasar dari populasi---populasi seperti jenis kelamin, wilayah, dan sebagainya. Sehingga sampel yang dihasilkan proporsional dengan populasinya. Pembatasan karakteristik tersebut disesuaikan dengan informasi awal yang tersedia, dan ketiga karakteristik itu sudah lazim digunakan dalam kerangka sampel profesional selama ini di Indonesia. Tiga karakteristik tersebut (provinsi, desa/kelurahan, dan gender) dijadikan dasar untuk membuat stratifikasi.
56
kasus survei ini, sampel akan menyebar dari Sabang di Timur, ke Merauke di Barat.
Karena itu ongkosnya akan menjadi mahal. Untuk menaggulangi masalah budget
yang meningkat karena stratifikasi tersebut, maka stratifikasi tersebut dikombinasi
dengan klaster. Lewat klaster sampel tidak menyebar sehingga ongkos untuk
menjangkaunya mengecil---meskipun klaster membuat sampel menjadi kurang
mencerminkan karakteristik populasi. Komponen klaster yang dipakai dalam survei
ini adalah desa-kelurahan, RT, dan Kartu Keluarga.
Dari provinsi yang ada di seluruh Indonesia, semua diambil sebagai populasi LSI.
Dalam survei LSI, desa ditempatkan sebagai unit utama pengambilam sampel (PSU/
Primary Sampling Unit). Karena jumlah penduduk masing-masing provinsi berbeda
maka jumlah desa yang disertakan disesuaikan dengan proporsi besarnya jumlah
penduduk per provinsi. Provinsi dengan jumlah penduduk besar, akan mendapatkan
desa terpilih lebih banyak dibandingkan dengan provinsi dengan jumlah penduduk
sedikit. Cara menentukan desa dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun
kerangka sampel daftar nama desa di seluruh Indonesia. 35Sebelum ditarik, daftar
desa tersebet diklasifikasikan lagi menurut desa dan kota dan ditentukan
proporsinya. Artinya, besarnya desa yang diambil disesuaikan dengan proporsi
antara desa dan kota tersebut di masing-masing provinsi. Secara nasional
perbandingan proporsi desa dan kota adalah 58:42. Sampel PSU desa yang diambil,
juga mencerminkan proporsi tersebut. Daftar nama desa yang telah disusun
berdasarkan provinsi dan wilayah (desa-kota) diambil secara acak sistematis.
35 Kerangka sampel yang dipakai adalah data desa Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000. Data desa itu sudah terklasifikasikan menurut provinsi.
57
PROVINSI1
PROVINSIN
PROVINSI2
PSU (DESA /KELURAHAN)
1
PSU (DESA /KELURAHAN)
2
PSU (DESA /KELURAHAN)
N
RUKUNTETANGGA (RT)
1
RUKUNTETANGGA (RT)
2
RUKUNTETANGGA (RT)
N
KELUARGA (KK)N
KELUARGA (KK)2
KELUARGA (KK)1
INDONESIA
RESPONDEN
STRATIFIKASI 1:PROVINSI
STRATIFIKASI 2:DESA - KOTA
STRATIFIKASI 3:GENDER
KLASTER 1:DESA/
KELURAHAN
KLASTER 2:RT
KLASTER 3:KK
Jumlah PSU (desa/kelurahan) dalam survei LSI bulan Maret ( wawancara lapangan
18-24 Maret 2004) sejumlah 345 desa, meliputi 200 desa dan 145 kelurahan. Di
masing-masing desa/kelurahan terpilih didaftar nama-nama Rukun Tetangga (RT),
dan kemudian dipilih 4 RT secara random. Di masing-masing RT terpilih kemudian
didaftar Kartu Keluarga (KK), dan dipilih 2 KK secara random. Di masing-masing KK
terpilih, didaftar anggota KK yang memiliki hak pilih dalam pemilu, yakni yang
berumur 17 tahun atau lebih, atau yang telah menikah. Bila dalam KK pertama
ditetapkan responden perempuan, maka pada KK sisanya di RT yang sama laki-laki
yang didaftar. Setelah mendaftar anggota KK yang laki-laki atau yang perempuan,
maka dengan bantuan Kish Grid, dipilih secara random satu orang untuk
58
diwawancarai secara tatap muka langsung. Sehingga, total sampel survei ini sebesar
2760 responden.36
Hampir mirip dengan metode penarikan sampel LSI adalah IFES. Pemilihan sampel
responden yang diwawancarai menggunakan metode multistage random sampling.
Pertama, ukuran sampel level provinsi ditentukan sesuai dengan proporsi masing-
masing propinsi dari populasi nasional. Teknik acak sederhana ( simple random
sampling) kemudian digunakan pada setiap tahap selanjutnya. Pemilihan
kabupaten/kotamadya dilakukan terhadap setiap provinsi, dimana jumlah sampel
disesuaikan dengan proporsi masing-masing populasi kabupaten terhadap populasi
masing-masing provinsi. Pada tahap ketiga, sejumlah kecamatan dipilih dari setiap
kabupaten/kotamadya, dimana jumlah sampel juga disesuaikan dengan proporsi
masing-masing populasi kecamatan terhadap populasi masing-masing kabupaten.
Tahap keempat, dari setiap kecamatan terpilih diambil secara acak satu kelurahan /
desa dengan mempertimbangkan status desa atau kota ( berdasarkan Peta Indeks
Kelurahan/ Desa BPS tahun 2001).
Dari setiap kelurahan/desa terpilih, diambil satu Rukun Warga (RW) secara ack, dan
dari masing-masing RW terpilih kemudian dipilih 2 Rukun Tetangga (RT) juga secara
cak. Semua tahap ini menggunakan teknik acak sederhana ( simple random
sampling). Sepuluh rumah tangga kemudian dipilih dari masing-masing RT dengan
menggunakan random walking method. Masing-masing responden dari setiap rumah
terpilih kemudian ditentukan dengan menggunakan metode kish grid. Anggota
keluarga yang yang berhak terpilih sebagai responden dalam survei ini harus sudah
menikah atau berusia 17 tahun atau lebih pada Pemilu 5 April 2004. Semua
responden diwawancarai secara tatap muka. Ukuran sampel pada survei IFES Tahun
2003 menggunakan 3.000 responden dari seluruh Indonesia.37
Sementara penarikan sampel yang dipakai LP3ES adalah modifikasi dan gabungan
antara sampel stratifikasi dengan klaster. Klaster pertama kali diterapkan oleh LP3ES
untuk memilih provinsi. Dari 32 provinsi yang ada di Indonesia, dibagi ke dalam
empat kelompok ( klaster) oleh LP3ES, yakni National Capital Region ( DKI Jakarta
36 Metode penarikan sampel LSI, dikutip dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). , Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui Pemilu 2004, Materi Konferensi Pers, 2 April 2004. 37 Metode penarikan sampel IFES ini dikutip seluruhnya dari IFES, Indonesia 2003 National Survey, Mei 2003, bagian Metodologi.
59
dan Sekitarnya), wilayah Barat , tengah dan timur. Wilayah Barat meliputi provinsi
Jawa Barat Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Bangka
Belitung. Wilayah Tengah meliputi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Bali. Sementara wilayah Timur meliputi
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Karena alasan posisi yang strategis, wilayah NCR dipilih secara purposif. Sementara
provinsi dari wilayah Barat, Tengah dan Timur diambil secara random.Banyaknya
provinsi yang diambil proporsional dengan besarnya populasi dari masing-masing
wilayah. Dari proses ini didapatkan 13 provinsi yang mencerminkan suara nasional.
Dari 13 provinsi terpilih ( wilayah Barat, Tengah dan Timur) , diambil lagi kabupaten
secara random. Dari kabupaten terpilih baru diambil desa. Pewawancara datang ke
desa yang terpilih.Pewawancara mendata nama Rukun Tetangga ( RT) di masing-
masing desa, dan dilakukan proses random kembali. Dari Rukun Tetangga terpilih,
pewawancara mendata kembali nama KK yang ada di dalam RT terpilih. Setelah
daftar tersusun, diambil KK terpilih lewat proses random. Dari KK terpilih, barulah
pewawancara mendatangi mereka. Kerangka sampel untuk menyusun nama anggota
keluarga adalah Kartu Keluarga. Dari daftar nama dalam KK itu, responden diambil
dengan menggunakan kish grid. Proporsi responden yang diambil memperhatikan
sebaran merata antara laki-laki dan perempuan dimana proporsi perempuan (50%)
dan laki-laki (50%).38
Pada penarikan sampel LP3ES klaster diterapkan pertama kali pada tingkat provinsi
bukan pada tingkat desa. Teknik penarikan sampel ini mempunyai kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Kelebihan metode penarikan sampel dengan klaster
pertama pada tingkat desa, populasi lebih menyebar dan lebih mencerminkan
derajat heterogenitas populasi. Tetapi kelemahannya, wilayah yang menyebar ini
menjadi kesulitan utama pada proses wawancara. Dengan metode itu, wilayah desa
tersebar dari ujung Timur ke ujung Barat, dari Sabang hingga Merauke. Sementara
pada survei LP3ES, karena klaster pertama diterapkan pada tingkat provinsi, wilayah
lebih menyempit. Dana bisa dihemat, proses wawancara juga bisa lebih dikontrol
38 Metode penarikan sampel LP3ES ini dikutip dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) , Laporan Survei Tentang Popularitas Partai Menjelang Pemilu 2004, Juni 2003, bagian Metodologi.
60
karena lembaga jajak pendapat berhadapan dengan wilayah yang tidak sangat
menyebar. Dalam hal ini sampel LP3ES terkumpul di 13 provinsi di Indonesia.
NCR( National Capital
Region)
BARAT( Meliputi : Jawa Barat Banten,JawaTengah, Yogyakarta, Jawa Timur,Sumatera Utara, Sumatera Barat,Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung, dan BangkaBelitung)
TENGAH( Meliputi : Kalimantan Barat,Kalimantan Tengah, KalimantanSelatan Kalimantan Timur, SulawesiUtara, Sulawesi Tengah, SulawesiSelatan, Sulawesi Tenggara,Gorontalo, dan Bali)
TIMUR
( Meliputi: Nusa Tenggara Barat,Nusa Tenggara Timur)
KECAMATANSUMUT, BENGKULU,
JAMBI, JABAR, JATENG,JATIM
KALTENG,KALSEL,SULUT,SULSEL, BALI
NTT
KABUPATEN
KELURAHAN DESA
INDONESIAAceh,
Maluku,Papua
PURPOSIVE
RANDOM
RANDOM RANDOM RANDOM
RANDOM
RANDOM RANDOM RANDOM RANDOM
CLUSTERINGCLUSTERINGCLUSTERING
Bagaimana dengan metode penarikan sampel survei International Republican
Institute (IRI)? Responden merupakan pemilih yang memenuhi syarat, termasuk
mereka yang lahir sebelum Mei 1987 atau telah menikah, jika lebih muda. Dalam
survei IRI, tidak semua propinsi diikut sertakan. Ada 9 propinsi yang tidak diikut
sertakan. Aceh tidak dimasukkan karena dalam situasi darurat militer. Papua juga
tidak dimasukkan karena faktor sulitnya akses kesana. Propinsi lain tidak diikut
sertakan karena hanya mewakili sebagian kecil kursi dan karakteristiknya telah
diwakili propinsi lain. Teknik penarikan sampel memakai Probability Proportional to
Size (PPS) untuk menyeleksi sampel yang mewakili 23 propinsi. Jumlah sampel akhir
61
adalah 2540. Primary sampling unit (PSU) adalah Kecamatan. 39Prosedur penarikan
sampel dapat digambarkan sebagai berikut:
L A N G K A H 1
D a fta r se lu ru h p ro p in s i, k a b u p a te n , d a nke ca m a ta n d e n g a n se n su s p o p u la s i d a n
ju m la h d e sa (B P S 2 0 0 0 )
L A N G K A H 3
lM e n g h itu n g p o p u la s i k u m u la t if d ise lu ru h k e ca m a ta n
L A N G K A H 2
M e n g h itu n g in te rv a l sa m p e l
L A N G K A H 4
lD im u la i d e n g a n n o m e r a ca k d a n p ilihk e c a m a ta n
z
L A N G K A H 5
lK e lu ra h a n (d e sa ) d ip il ih s e ca ra a ca kd a r i s e t ia p k e ca m a ta n y a n g te rp ilih
T o ta l p o pu la s i / Ju m la hke lo m p o k
K e lu a rg a d ip ilih se ca rara n d o m w a lk d a n K ish
G r id
IN D O N ES IAS e m u a p ro v in s i k e cu a li : A c e h , R ia u ,
B a n g ka B e litu n g , B e n g ku lu , G o ro n ta lo ,M a lu ku , M a lu k u U ta ra , P a p u a , I r ia n
Ja y a B a ra t
Metode pengambilan data yang digunakan adalah wawancara langsung. Setiap
keluarga dipilih dengan menggunakan prosedur random walk. Sesudah
mewawancarai di satu keluarga, empat rumah setelahnya dilewati sebelum memulai
lagi. Kish Grid digunakan untuk memilih anggota keluarga dengan usia yang sesuai
secara acak. Jika orang tersebut tidak ada, pewawancara akan mengunjungi kembali
39 Teknik penariksan sampel Iri dikutip seluruhnya dari The International Republican Institute (IRI), Analisa dan Penjangkauan Pemilh, Presentasi Hasil Polling Nasional, Desember 2003, bagian Metodologi
62
(hingga 3 kali kunjungan). Di dalam melaksanakan polling ini, pewawancara
diberikan pelatihan khusus karena hal-hal sensitif mengenai masalah politik yang
dibahas disurvei. Pewawancara yang terlibat dalam partai politik tidak diperkenankan
berpartisipasi dalam jajak pendapat ini.
Semua metode penarikan sampel itu mencerminkan suara nasional. Meski metode
penarikan sampel telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan keterbatasan dana dan
tenaga, tetap saja jajak pendapat itu berbiaya besar. Sekali survei, lembaga jajak
pendapat menyertakan lebih dari 250 orang tenaga pewawancara dengan biaya di
atas Rp.300 juta. Biaya itu akan lebih besar jika wilayah-wilayah dengan geografis
sulit ( seperti Papua, Nusa Tenggara, Maluku atau Aceh) diikutsertakan sebagai
populasi. Karena itu sejumlah lembaga jajak pendapat membatasi populasi
penelitian. Lembaga jajak pendapat secara purposif memilih sejumlah wilayah yang
mencerminkan karakter populasi. Survei DRI misalnya hanya menyertakan provinsi
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi
Selatan. Lima provinsi itu diambil secara purposif oleh DRI, karena mencerminkan
keragaman populasi. Penarikan sampel responden dari 5 wilayah itu tetap dilakukan
secara random. Survei Soegang Sarjadi Syndicated juga secara purposif memilih 19
kota dan 14 kabupaten ( tidak random). Dari wilayah itu, baru sampel responden
diambil secara random. 40Dengan populasi yang terbatas survei bisa dikerjakan
dengan biaya hemat dan waktu yang singkat. Tetapi kelamahan penarikan sampel ini
adalah kurang bisa mencerminkan keragaman populasi.
PERSOALAN TEKNIS
Populasi yang heterogen ( yang mengharuskan lembaga jajak pendapat mengambil
populasi luas) juga berhubungan dengan persoalan teknis: waktu, tenaga dan biaya.
Untuk melakukan sekali jajak pendapat nasional, paling tidak dibutuhkan 250-an
tenaga pewawancara, alokasi waktu 2 minggu dan dengan biaya sekitar Rp. 500
juta. Kesulitan teknis itu berakibat sulitnya mengukur opini publik menjelang hari
pemilihan. Pergerakan sentimen publik atas partai tidak bisa diikuti dari minggu ke
40 Wilayah yang diambil dalam survei SSS didasarkan pada arti penting dan dinamika dari kota tersebut. Kota yang dipilih adalah kota-kota yang dinamik, dan unsur kedinamikan itu diprediksi punya pengaruh politik ke lingkungannya. Sehingga kota yang dipilih merefleksikan kesadaran politik masyarakat kota. Untuk mengkontraskan dengan desa, diambil satu kabupaten. Atas dasar itu diambil 19 kota dan 14 kabupaten. Wawancara dengan Sukardi Rinakit, direktur eksekutif Soegang Sarjadi Syndicated, 4 November 2004.
63
minggu. Yang menarik dari pengalaman Pemilu 2004 ini adalah munculnya kekuatan
baru yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD). Fenomena
naiknya suara partai di hari menjelang pemilihan ini adalah fenomena Pemilu 2004.
Pada Pemilu 1999, tidak ada perubahan yang berarti dari pilihan publik. Orang sudah
memutuskan memilih salah satu partai meskipun Pemilihan Umum masih beberap
bulan lagi. Ini bisa menjelaskan mengapa pada tahun 1999, meskipun lembaga jajak
pendapat mengadakan survei enam bulan sebelum Pemilu bulan Juni, tetap bisa
memprediksi PDIP sebagai pemenang Pemilu. Pilihan atas partai sudah ditentukan
jauh sebelum hiruk pikuk kampanye berlangsung. Kondisi ini sangat berbeda dengan
tahun 2004. Ada banyak peristiwa yang mempengaruhi sentimen publik.
Untuk PKS memang diprediksikan suaranya akan membesar, tidak demikian dengan
PD. Jika kita mengikuti hasil jajak pendapat dari awal tahun, dukungan terhadap PD
ini semula mengecil. Lonjakan pemilih PD baru menguat dibulan Maret, ketika Susilo
Bambang Yudhoyono mundur dari kabinet Megawati karena merasa tidak dilibatkan
lagi dalam urusan kenegaraan yang penting. Mungkin publik simpati kepada Susilo
Bambang Yudhoyono yang sekaligus mengatrol perolehan suara partai ini. Lembaga
jajak pendapat yang tidak melakukan survei di bulan Maret atau April tidak akan bisa
menangkap dinamika ini. Dalam survei DRI bulan Oktober 2003 misalnya, fenomena
mencuatnya suara PD dan PKS tidak tergambar dalam hasil survei. Dalam survei
DRI, PKS masih diprediksikan mendapat suara di kisaran 1%.
64
Contoh yang lain adalah survei International Republican Institute (IRI). Jajak
pendapat lembaga ini memang berhasil memotret trend kenaikan suara PKS. Tetapi
karena dilakukan di bulan Desember, fenomena PD tidak terekam dalam jajak
pendapat ini. Partai Demokrat adalah partai baru, dan secara resmi menjadi partai
peserta Pemilu 2004 sejak 7 Desember 2003. Ini agak berbeda dengan PKS. Meski
nama baru, partai ini adalh partai lama dengan nama baru ( semula Partai Keadilan).
Publik yang disurvei oleh IRI sudah tahu PKS tetapi tidak tahu soal PD.
Suara Partai Survei Danareksa Research Institute (DRI) Oktober 2002-Oktober 2003
9.6
13.9
15.8
18
21.9
18.417.8
14.7
6.67.8 8.1
5.96
10.3
8.3
5.75.76.3
4.53.6
2.1 1.9 1.711 1.3
21
0
5
10
15
20
25
Oktober 2002 Februari 2003 Juni 2003 Oktober 2003
Per
sen
Golkar PDIP PPP PKB PAN PBB PKS
65
Lembaga yang bisa menangkap fenomena naiknya suara PKS dan munculnya
kekuatan PD adalah IFES dan LSI. Tidak mengherankan karena kedua lembaga ini
melakukan survei di bulan Maret saat masa kampanye. LSI melakukan survei dari
tanggal 8 hingga 18 Maret, sementara IFES dari tanggal 21-28 Maret. Kedua
lembaga ini menghasilkan temuan suara PD di atas 4%. Angka ini bisa jadi tidak
presisi, tetapi paling tidak bisa menangkap kebangkitan kedua partai. Terutama PD
yang sebelum bulan Maret diprediksikan akan menjadi partai dengan suara nol koma
( suara di bawah 1%). Perhatian orang di awal tahun ini banyak mengarah kepada
kehadiran Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Mbak Tutut sebagai kandidat
presiden dari PKPB. Lembaga yang melakukan survei di bulan Maret bisa sedikit
banyak menangkap fenomena Partai Demokrat.
Suara Partai Survei International Republican Institute (IRI) Maret 2003-Desember 2003
19
16
7
10
3
1 1
24
19
7
10
5
23
0
5
10
15
20
25
30
Golkar PDIP PPP PKB PAN PBB PKS
Per
sen Maret 2003
Desember 2003
66
Pilihan Partai Survei IFES Desember 2003-Maret 2004
19.9
27.1
21.1
19.3
22.2
13 13.112.2 12 11.5
7.2
9.88.9 9.2
6.45.8 5.67.1 7.5
55.5 5.15.9 6.5 6.6
2.43.1
4.12.9
1.32.2
3.6 4.1 4.43.6
0.81.7 1.1 1.6
4.1
0
5
10
15
20
25
30
Des 2003 Jan 2004 26 Jan-6 Feb 15 Feb-10 Maret 21-28 Maret
Per
sen
Golkar PDIP PAN PPP PKB PBB PKS PD
67
Suara Partai Hasil Survei LSI Agustus 2003-Maret 2004
21.3
26.5
23.2
14.4
16.817.5
6.87.6
5.7
7.5
9.2 9.5
3.5
8.17.4
1.9 2.51.5
2.3 1.9
5.5
1.2
4.9
0
5
10
15
20
25
30
Agustus 2003 November 2003 Maret 2004
Per
sen
Golkar PDIP PPP PKB PAN PBB PKS PD
68
VI. EXIT POLL DAN
QUICK COUNT
Dalam konteks Pemilu, ada satu jenis jajak pendapat yang perlu mendapat perhatian
yakni, exit poll dan quick count. Jenis survei ini berbeda dibandingkan dengan survei
yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya. Jajak pendapat yang sudah dibahas
dalam bab terdahulu, proses wawancara (pengumpulan data ) dilakukukan sebelum
Pemilu. Exit poll dan quick count sebaliknya dilakukan setelah Pemilu.
Exit poll adalah metode mengetahui opini publik yang dilakukan sesaat setelah
seseorang keluar dari bilik suara. Pewawancara datang ke Tempat Pemungutan
Suara (TPS) yang telah terpilih, dan menanyakan kepada responden apa partai
pilihan mereka. Sesuai dengan namanya, exit poll ini dilakukan kepada pemilih
sesaat setelah pencoblosan. Umumnya wawancara dilakukan di tempat TPS.
Pertanyaan dalam exit poll umumnya juga sedikit ( kurang dari 10 pertanyaan).
Peneliti misalnya menanyakan partai apa yang yang baru saja dicoblos, apa partai
pilihan Pemilu 1999, kenapa memilih partai itu, dan informasi lain. Karena
wawancara dilakukan setelah pencoblosan, peneliti bisa mengetahui partai pilihan
sampai hari pencoblosan. Ini berbeda dengan jajak pendapat dimana wawancara
dilakukan sebelum seseorang pergi ke tempat pencoblosan.
Sementara quick count adalah proses perhitungan cepat yang dilakukan
berdasarkan data TPS terpilih. Peneliti mengambil secara random TPS, dan dari TPS
terpilih itu dicatat perolehan suara masing-masing TPS. Hasilnya ditabulasi dan
menggambarkan perolehan suara masing-masing partai. 41Quick count dilakukan
setelah proses perhitungan suara di masing-masing TPS selesai dilakukan.
Perbedaan mendasar antara exit poll dan quick count adalah sebagai berikut. Exit
poll seperti halnya survei pada umumnya, dimana pengumpulan data dilakukan
lewat wawancara dengan responden terpilih. Sebaliknya, pada quick count
pengumpulan data tidak dilakukan lewat wawancara tapi hasil akhir perhitungan di
TPS. Jadi dari TPS terpilih, petugas lapangan akan mengirim hasil akhir perhitungan
suara. Karena TPS diambil secara random, hasil akhir dari quick count ini secara
teoritis mirip dengan hasil Pemilu aktual. Karena sifatnya itu, informasi yang
41 Quick count sering juga disebut sebagai Parallel Vote Tabulation (PVT).
69
diperoleh lewat quick count hanya perolehan suara. Sementara pada exit poll,
peneliti bisa menggali informasi lain lewat wawancara.
Quick count berguna dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia. Metode ini
tidak cocok dipakai di negara maju, dimana dalam satu hari pemilihan sudah bisa
diketahui hasil akhir Pemilu. Di negara berkembang, letak geografis dan teknologi
perhitungan suara yang lamban, menyebabkan hasil akhir Pemilu baru bisa diketahui
hasilnya 3 minggu sampai satu bulan. Quick count membantu mengatasi kesulitan
itu. Lewat quick count, hasil akhir perhitungan suara sudah bisa dibuat satu atau dua
hari setelah pencoblosan. Metode ini jika dilakukan secara benar, bisa menjadi data
pembanding dari perolehan suara resmi. Lewat quick count akan bisa diketahui
apakah ada kemungkinan proses kecurangan Pemilu, terutama pada tahap
perhitungan suara.
Proses penelitian juga berbeda antara exit poll dan quick count. Pada exit poll,
peneliti berada di luar TPS. Wawancara juga dilakukan di luar TPS. Sementara pada
quick count peneliti ( pemantau) berada di dalam TPS. Peneliti selain mencatat
dengan cermat perolehan suara di TPS, juga memantau aspek lain seputar
pelaksanaan Pemilu di TPS tersebut----misalnya apakah TPS di buka dan ditutup
tepat waktu, apakah ada saksi, apakah perlengkapan Pemilu tersedia lengkap dan
sebagainya. Hasil perhitungan suara di tiap TPS itu lalu dikirim ke pusat data ( lewat
telepon atau fax). Petugas di pusat data akan mentabulasi secara cepat hasil
perhitungan suara tersebut. 42 Pengalaman quick count di sejumlah negara, metode
ini sangat andal dalam menggambarkan perolehan suara partai dengan derajat
selisih yang kecil. 43
Baik exit poll maupun quick count adalah alat yang berguna untuk mengukur
pendapat publik saat Pemilu. Di Indonesia, lembaga yang berpengalaman dalam
42 Karena didasarkan pada perolehan suara partai di TPS, hasil quick count lebih presisi dalam menggambarkan perolehan suara dibandingkan dengan exit poll. Kelebihan utama dari quick count, data perolehan suara didasarkan pada data aktual. Tetapi kelemahan utama dari quick count, tidak ada informasi lain yang bisa digali untuk menjelaskan pilihan partai. Karena hasil hanya berupa perolehan suara, tidak bisa dijelaskan kenapa partai A yang menang, apa alasan orang memilih partai A, atau dari kelompok mana pemilih partai A dan sebagainya. 43 Mengenai quick count, metode dan praktek di sejumlah negara, lihat National Democratic Institute ( NDI), The Quick Count and Election Observation, 2003. Manual ini tersedia di website NDI ( http: //www.ndi.org) dalam format pdf.
70
melakukan exit poll dan quick count adalah LP3ES ( Lembaga Penelitian, Pendidikan
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Sejak tahun 1997, LP3ES melakukan exit poll.
Exit Poll Pemilu 1999 dilakukan oleh LP3ES di seluruh wilayah Jawa. LP3ES
mengambil secara acak ( random) 28 Daerah Tingkat II, 168 desa, dan 672 RT di
seluruh Jawa. Exit poll itu dilakukan beberapa jam setelah pemungutan suara
berlangsung pada 7 Juni 1999. Exit poll melibatkan 4.331 responden. Perbandingan
hasil exit poll dan hasil aktual Pemilu disajikan dalam tabel berikut. Dari tabel
terlihat, exit poll LP3ES secara tepat bisa memprediksi peringkat 1-3 pemenang
Pemilu 1999 di Jawa ( Golkar, PDIP dan PKB). Exit poll itu hanya kurang tepat dalam
meramal posisi PAN dan PPP. Secara keseluruhan, rata-rata kesalahan exit poll
dalam memprediksi suara perolehan partai di Jawa adalah 3.6%. Tetapi ketika di
bawa ke suara nasional, kesalahan rata-rata makin besar, yakni 6.34%. Yang perlu
dicatat, exit poll itu hanya dilakukan di Jawa. Karena itu exit poll itu hanya
mencerminkan suara pemilih yang ada di Jawa.
Exit Poll LP3ES ( Jawa)
Hasil Pemilu di Jawa
Hasil Pemilu Nasional
Partai Pemilu 2004 % Posisi % Posisi % Posisi
Selisih Jawa
Selisih Nasional
PDIP 38 1 36.1 1 33.7 1 -1.9 -4.3 Golkar 14 3 16.5 3 22.4 2 2.5 8.4 PKB 23 2 18 2 12.6 3 -5 -10.4 PPP 6 5 11 4 10.7 4 5 4.7 PAN 11 4 7.4 5 7.1 5 -3.6 -3.9 Kesalahan Absolut Rata-Rata Prediksi dari 5 Partai 3.6 6.34
Pada Pemilu 2004, LP3ES kembali membuat exit poll, dan sekaligus mengadakan
perhitungan suara cepat ( quick count). Dalam perhitungan cepat ini, LP3ES
bekerjasama dengan NDI, lembaga internasional dari Amerika yang sudah terbiasa
dengan perhitungan model quick count. Quick count itu menghitung langsung dari
Tampat Pemungutan Suara yang diambil secara acak (random). Karena quick qount
itu dihitung dari suara aktual di TPS hasilnya secara teoritis akan mendekati
kenyataan yang sebenarnya. LP3ES-NDI melakukan penghitungan berdasarkan data
di 1.416 TPS dengan 289.052 suara sah. Tabel menyajikan hasil akhir quick count
dan perbandingan dengan hasil aktual Pemilu. Dari aspek akurasi, quick count itu
secara akurat berhasil memprediksi pemenang Pemilu dan komposisi pemenang
Pemilu dari urutan 1- 24. Tidak ada satu pun kesalahan dalam prediksi LP3ES-NDI.
71
Quick count itu bisa memprediksi posisi partai Golkar di urutan atas hingga Partai
Buruh Sosial Demokrat di urutan terakhir.
Keberhasilan terbesar dari quick count ini adalah memprediksi perolehan suara
masing-masing partai. Semua partai bisa diprediksikan perolehan suaranya dengan
selisih masing-masing tidak lebih dari 1.5%. PDIP misalnya diprediksi mendapatkan
18.4%, sementara hasil aktual perolehan suara PDIP adalah 18.54%. Atau kesalahan
hanya 1%. Total dari 24 partai politik, jika diambil rata-rata kesalahan prediksi
hanya sebesar 0.18%. Quick count terbukti sebagai metode yang terpercaya yang
bisa menghitung secara cepat perolehan suara di TPS di Indonesia.
Proses perhitungan suara di KPU, meskipun memakai sistem teknologi informasi
yang canggih dan berbiaya mahal, ternyata sangat lamban. Hasil kasar perhitungan
suara baru diketahui dua minggu setelah perhitungan suara. Sementara perhitungan
resmi baru bisa dilakukan satu bulan setelah pemungutan suara. Quick count LP3ES-
NDI sudah bisa meramalkan perolehan suara partai ini satu hari setelah
pencoblosan. Hasilnya terus menerus diperbaharui. Pada hari keempat, total semua
suara sudah bisa ditabulasi. Perhitungan cepat ini sangat berguna terutama bagi
partai politik untuk mengambil ancang-ancang melakukan koalisi dalam rangka
pemilihan presiden.
Quick count LP3ES-NDI
Hasil Aktual Pemilu
Selisih
Partai Pemilu 2004 % Posisi % Posisi % Golkar 22.9 1 21.58 1 -1.32 PDIP 18.4 2 18.53 2 0.13 PKB 10.6 3 10.57 3 -0.03 PAN 8.1 4 8.15 4 0.05 PD 7 7.45 5 0.45 PKS 6.9 7.34 6 0.44 PAN 6.4
5-7 6.44 7 0.04
PBB 2.6 2.62 8 0.02 PKPB 2.2 2.11 11 -0.09 PBR 2.1 2.44 9 0.34 PDS 1.8
8-11
2.13 10 0.33 PKPI 1.3 1.26 12 -0.04 PNBK 1.1 1.08 14 -0.02 PPDK 1.1 1.16 13 0.06 PNI Marhaenisme 0.9 0.81 16 -0.09 Merdeka 0.9 0.74 20 -0.16 Pelopor 0.9
0.77 18 -0.13
72
PP 0.8 0.95 15 0.15 PNUI 0.8 0.79 17 -0.01 PPDI 0.8 0.75 19 -0.05 PPD 0.7 0.58 22 -0.12 PSI 0.6 0.6 21 0 PBSD 0.6 0.56 24 -0.04 PIB 0.5
12-24
0.59 23 0.09 Kesalahan Absolut Rata-Rata Predikasi dari 7 partai terbesar = 0.35
Kesalahan Absolut Rata-Rata Predikasi dari 24 Partai = 0.18
73
VII. JAJAK PENDAPAT
NON ILMIAH
Jajak pendapat yang dibahas dalam bab sebelumnya (baik untuk kasus Pemilu
1999 maupun 2004) ditambah exit poll dilakukan dnegan menggunakan prinsip
ilmiah. Jajak pendapat tersebut berpretensi untuk menggambarkan suara populasi,
partai pilihan publik Indonesia. Semua jajak pendapat tersebut, menggunakan
metode yang standar. Prinsip ilmiah yang paling dasar adalah pada pengambilan
sampel. Prinsip ilmiah mengharuskan sampel diambil secara random (acak). Prinsip
ini secara sederhana dapat digambarkan, semua anggota populasi mempunyai
kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Kalau populasi pemilih
Indonesia berjumlah 147 juta orang, prinsip random mengharuskan setiap pemilih
punya kesempatan dipilih sebagai sampel (atau kesempatan per orang adalah 1/147
juta).
Dalam konteks Indonesia, prinsip ini mengandung dua konsekuensi sekaligus.
Pertama, wawancara harus dilakukan secara langsung dan menyertakan semua
wilayah Indonesia. Wawancara lewat telepon atau short message services (SMS)
tidak bisa diterapkan karena tidak bisa menyertakan semua pemilih di Indonesia.
Kepemilikan telepon atau hand phone (HP) di Indonesia masih sangat terbatas,
sekitar 5% dari total pemilih di Indonesia. Karena itu, jajak pendapat yang
mengandalkan wawancara lewat telepon atau pengiriman jawaban lewat sms
mengabaikan suara sekitar 9% pemilih yang tidak punya telepon dan HP. Pemilik
telepon dan HP hanya terbatas di lingkungan masyarakat kota, mereka utamanya
berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Kedua, proses pemilihan responden harus
benar-benar acak. Seseorang terpilih sebagai sampel bukan karena unsur
subyektifitas peneliti tetapi karena prinsip random. Hanya dengan prinsip random
ini, representasi sampel bisa diperoleh. Metode ilmiah yang standar memberi
panduan berbagai aneka teknik penarikan sampel---dari sampel sistematis, sampel
klaster, sampel bertingkat sampai sampel stratifikasi. Semua teknik tersebut
menjamin bahwa sampel yang didapatkan identik dengan karakter populasi.
Selain penarikan sampel, peneliti juga berhadapan dengan jumlah sampel. Kalau
teknik penarikan sampel berhubungan dengan bagaimana agar orang yang diambil
74
representatif, jumlah sampel berkaitan dengan sejauh mana hasil sampel dekat
dengan populasi. Dalam dunia penelitian, jumlah sampel ini berkaitan dengan
kesalahan dalam penarikan sampel (sampling error atau sering juga disebut sebagai
margin of error). Demi ketepatan, peneliti membutuhkan sampling error yang kecil.
Tetapi sampling error yang kecil ini konsekuensinya adalah pada jumlah sampel yang
besar. Semakin besar jumlah sampel, semakin kecil pula sampling error. Angka
sampling error ini berkaitan dengan bagaimana peneliti memprediksi hasil jajak
pendapat dengan populasi.
Misalnya, jajak pendapat mengambil sampel sebesar 1.000 orang. Dengan jumlah
sampel sebesar ini, angka sampling error adalah 3%. Hasil sampel, karena itu harus
ditafsirkan pada batas-batas sebesar ± 3%. Jika misalnya dalam jajak pendapat itu
partai A mendapat suara dukungan 20%, maka angka sesungguhnya yang didapat
oleh partai A adalah ± 20% (atau berada di kisaran 17%-23%). Dengan interval
yang jauh itu, peneliti akan kesulitan menyimpulkan perolehan suara partai,
terutama kalau perolehan suara antar partai sangat ketat. Taruhlah, partai B dalam
jajak pendapat itu mendapat 21% suara, yang berarti angka sesungguhnya yang
didapat oleh partai B adalah ± 21% (atau berada di kisaran 18%-24%). Kalau
peneliti menghadapi situasi ini, akan kesulitan menyimpulkan apakah partai A atau B
yang lebih besar suaranya. Supaya peneliti bisa lebih yakin dengan kesimpulan
partai mana yang menang, angka sampling error harus diperkecil. Dengan sampling
error yang kecil, derajat perbedaan perolehan suara antar partai politik bisa
diprediksikan dengan lebih baik. Pengalaman Pemilu 1999 dan 2004 menunjukkan
keberhasilan lembaga jajak pendapat untuk memprediksikan peringkat partai 1-3,
karena perolehan suara partai tiga besar ini relatif jauh dengan di bawahnya. Tetapi
lembaga jajak pendapat kesulitan ketika memprediksi urutan dan perolehan suara
partai di papan tengah ( posisi 4-8 besar).
Tetapi yang perlu diingat, teknik penarikan sampel juah lebih penting. Kalau terjadi
kesalahan, umumnya bukan karena terlalu sedikit orang yang diwawancarai tetapi
karena teknik pengambilan sampel yang tidak tepat. Jika metode penarikan sampel
dilakukan dengan benar, tidak dibutuhkan jumlah sampel yang besar untuk
menghasilkan jajak pendapat yang baik. Di Amerika, rata-rata lembaga jajak
pendapat dilakukan dengan 1.500 orang responden. Filipina, negeri dengan jumlah
pemilih sebesar 25 juta orang, bisa diwakili oleh jajak pendapat dengan sampel
75
sebesar 1.000 orang. Untuk Indonesia, pengalaman 1999 dan 2004 menunjukkan
lembaga jajak pendapat bisa menghasilkan temuan yang baik dengan jumlah sampel
sebesar 2.000-an orang. Asal sampel diambil secara random, jumlah sebesar itu
cukup bisa mewakili suara 147 juta pemilih.
Selain jajak pendapat ilmiah, ada jajak pendapat tidak ilmiah. Disebut jajak
pendapat tidak ilmiah karena jajak pendapat itu tidak dilakukan lewat prinsip ilmiah.
Sampel tidak diambil dengan menggunakan prinsip random (acak), sehingga
hasilnya tidak bisa dipakai untuk menggambarkan suara populasi. Meski jajak
pendapat ini umumnya memakai ratusan ribu sampel, karena tidak diambil secara
random, sampel yang dihasilkan sama sekali tidak mencerminkan populasi. Ada
banyak jajak pendapat yang tidak ilmiah, dibandingkan yang ilmiah. Jajak pendapat
yang banyak dilakukan oleh televisi, media dotcom lewat telepon atau sms yang
menjamur pada Pemilu 2004, adalah contoh jajak pendapat yang tidak ilmiah. Jika
dibandingkan jumlah jajak pendapat ilmiah dan jajak pendapat tidak ilmiah, lebih
banyak jajak pendapat yang tidak ilmiah. Masalahnya adalah, publik umumnya tidak
tahu dan tidak bisa membedakan mana jajak pendapat ilmiah dan mana jajak
pendapat yang tidak ilmiah. Kerancuan ini kerap timbul, disamping keterbatasan
pengetahuan masyarakat mengenai jajak pendapat, juga diakibatkan olehg
ketidakjujuran lembaga jajak pendapat. Lembaga itu tidak menginformasikan
kepada publik bahwa jajak pendapat yang dilakukan itu tidak ilmiah, dan karenanya
sama sekali tidak mencerminkan opini publik.
Bab ini akan menjelaskan, jajak pendapat yang tidak dilakukan dengan
menggunakan metode ilmiah yang benar, hasilnya akan sangat berbeda dengan
kenyataan. Dari banyak jajak pendapat tidak ilmiah ini, diambil tiga jajak pendapat
yang paling besar dan berpengaruh: jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-
Detik.com. Ketiga jajak pendapat itu yang paling banyak dikutip dan dibicarakan
baik oleh politisi maupun masyarakat awam. SCTV menyelenggarakan jajak
pendapat mengenai partai menjelang pemilihan 5 April. Hasil jajak pendapat SCTV
ini ditayangkan pada program berita di SCTV ( Liputan 6 Siang, Liputan 6 Pagi dan
Liputan 6 Petang). Sementara jajak pendapat Detik.com-Media Indonesia
dipublikasikan secara berkala dan real time lewat situs Detik.com.
Lembaga Metode Periode Jumlah Sampel SCTV SCTV tidak menarik sampel.
Pemirsa secara aktif Maret 2004 195.432 dengan
jumlah responden
76
mengirimkan partai pilihan ke SCTV. Pemirsa SCTV mengirimkan SMS ke nomor 6666. Setiap partai mempunyai kode yang bisa dikirim sesuai dengan partai pilihan pemirsa.
global sebesar 240.799 orang.
Media Indonesia-Detik.com
Masyarakat mengirim SMS partai yang dipilih ke nomor yang disediakan Media Indonesia-Detik.com.
Maret-April 14.125
Persamaan dari ketiga jajak pendapat itu adalah, menggunakan sampel yang besar.
Tetapi seperti yang diuraikan di depan, jumlah sampel tidak bukanlah ukuran jikalau
metode pengambilan sampel tidak dilakukan dengan benar. Jumlah sampel ratusan
ribu atau bahkan puluhan juta orang sekalipun, bukanlah jaminan bawa hasil akan
representasi dengan populasi. Jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com
memakai metode yang hampir sama, yaitu call-in. Penyelenggara polling membuat
pengumuman, dan meminta masyarakat untuk memilih lewat SMS partai yang
dipilih. Hasil dari pilihan partai ini diajikan tiap saat oleh SCTV dan Media Indonesia-
Detik.com.44 Sementara telesurvei MARS meskipun memakai sistem acak, tetapi
karena dilakukan lewat telepon hasilnya juga tidak akan menggambarkan populasi
masyarakat Indonesia yang sebagian besar tidak mempunyai telepon.
Tabel menunjukkan perolehan suara 8 partai dalam jajak pendapat SCTV dan Media
Indonesia-Detik.com. Di sisi paling kanan disajikan data mengenai selisih antara
prediksi lembaga jajak pendapat dengan hasil aktual Pemilu.
Jajak pendapat via SMS SCTV
Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu
2004 % Posisi % Posisi % Golkar 5.8 5 21.58 1 15.78 PDIP 4.8 6 18.53 2 13.73 PKB 3.1 7 10.57 3 7.47 PPP 1.7 13 8.15 4 6.45 PD 9.2 3 7.45 5 -1.75
44 Metode ini disebut tidak ilmiah karena dua alasan berikut. Pertama, metode call-in dimana seseorang memilih dirinya sebagai sampel tidak dikenal dalam dunia ilmiah. Responden bersifat pasif, sementara dalam kedua jajak pendapat itu responden secara aktif menentukan dirinya sebagai sampel. Kedua, prinsip penting dari pengambilan sampel adalah seseorang terpilih sebagai sampel karena prinsip mekanisme acak. Dalam kedua jajak pendapat ini, mereka memilih dirinya sendiri sebagai sampel.
77
PKS 41.2 1 7.34 6 -33.86 PAN 16.5 2 6.44 7 -10.06 Kesalahan Absolut Rata-Rata Jajak Pendapat SMS SCTV = 12.73
Keterangan: Jajak pendapat SCTV adalah hasil 30 Maret 2004, pukul 01.00 ( sumber: http://www.liputan6.com/parpol2004.php). Pada jajak pendapat ini, posisi 4 ditempati oleh Partai Damai Sejahtera (PDS). Karena jajak pendapat terus berlangsung secara real time, perolehan angka partai bisa terus berubah.
Jajak pendapat via SMS Media Indonesia-Detik.com
Hasil Aktual Pemilu Selisih
Partai Pemilu 2004 % Posisi % Posisi % Golkar 4.4 6 21.58 1 17.18 PDIP 3.1 7 18.53 2 15.43 PKB 1.4 9 10.57 3 9.17 PPP 28.3 1 8.15 4 -20.15 PD 6.5 5 7.45 5 0.95 PKS 27.4 2 7.34 6 -20.06 PAN 11.4 3 6.44 7 -4.96 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei Jajak Pendapat Media Indonesia-Detik.com = 12.56
Keterangan: Jajak pendapat Media Indonesia-Detik.com yang ditampilkan disini adalah hasil 19 April 2004 ( sumber: http:// mobile.detik.com / smspolling/index.php). Pada jajak pendapat ini, posisi 4 ditempati oleh Partai Damai Sejahtera (PDS). Karena jajak pendapat terus berlangsung secara real time, perolehan angka partai bisa terus berubah.
AKURASI
Kita bisa menilai kualitas dari jajak pendapat itu dari sudut akurasi, apakah hasil
jajak pendapat bisa akurat dalam meramalkan pemenang Pemilu dan komposisi
peringkat partai. Baik jajak pendapat SCTV maupun Detik.com-Media Indonesia
sama-sama tidak akurat dalam memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Jajak
pendapat SCTV menghasilkan PKS sebagai pemenang Pemilu, sementara jajak
pendapat Detik.com-Media Indonesia menemukan PPP sebagai partai yang banyak
dipilih.
Ada satu kesamaan utama dari komposisi pemenang Pemilu ini. Yakni suara partai
kota yang besar ( PK, PD dan PAN). Sementara partai yang selama ini punya basis
massa kuat di desa ( seperti Golkar, PDIP, PKB ) mempunyai posisi rendah dalam
hasil lembaga jajak pendapat tersebut. Hasil ini tidaklah mengejutkan. Karena
pemilih telepon dan hand phone sebagian besar tinggal di kota. Selain lokasi tinggal
78
responden, status ekonomi responden juga menentukan. Pada jajak pendapat Media
Indonesia-Detik.com dan SCTV, PKS dan PAN menempati posisi 1 dan 2. Ini tidak
mengherankan. Karena sistem jajak pendapat itu adalah call–in ( responden
menentukan dirinya sendiri sebagai sampel), maka yang berpeluang menjadi sampel
bukan hanya mereka yang punya telepon dan hand phone tetapi mereka yang mau
dan rela dan menyediakan waktu dan uang untuk mengirim SMS. Meraka yang mau
dan bersedia meluangkan waktu dan uang ini utamanya adalah partai dengan
tingkat mobilisasi yang tinggi. PKS dan juga PDS ( Partai Damai Sejahtera) selalu
menempati posisi atas karena kedua partai ini adalah partai kader dengan massa
yang militan.
Dari aspek akurasi, terlihat jajak pendapat sangat tidak akurat dalam
menggambarkan partai pemenang Pemilu dan komposisi pemenang Pemilu. Ini
sekaligus membuktikan, kalau jajak pendapat tidak dilakukan dengan mekanisme
dan prinsip ilmiah yang benar, hasilnya tidak akan representatif dan sama sekali
tidak menggambarkan opini publik.
KOMPOSISI PARTAI PEMENANG PEMILU MENURUT RAMALAN LEMBAGA JAJAK PENDAPAT PARTAI
SCTV ( via SMS) Media Indonesia-Detik.com ( via SMS)
Rata-Rata Deviasi
Golkar 5 6 1 PDIP 6 7 2 PKB 7 9 3 PPP 13 1 4 PD 3 5 5 PKS 1 2 6 PAN 2 3 7 PRESISI
Selain tidak akurat, jajak pendapat itu juga sama sekali tidak presisi. Jika
dibandingkan hasil prediksi dengan hasil aktual Pemilu, terdapat perbedaan yang
sangat tajam. Tingkat kesalahan jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-
Detik.com di atas 10%. Tabel menyajikan selisih rata-rata prediksi SCTV dan Media
Indonesia-Detik.com dengan hasil aktual Pemilu. Yang menarik dari tabel ini, selisih
terbesar dialami ketika memprediksi suara PKS. Baik SCTV maupun Media Indoensia-
Detik.com menghasilkan angka untuk PKS yang sangat besar, jauh lebih besar dari
pada angka sebenarnya yang diperoleh oleh PKS dalam Pemilu. Sebaliknya, hasil
kedua jajak pendapat itu lebih kecil ketika memprediksi perolehan suara Partai
79
Golkar. Selisih rata-rata kedua lembaga jajak pendapat dalam meramal suara Golkar
adalah 16.48%.
Deviasi yang besar ini juga dijelaskan dengan melihat metode yang dipakai. Sampel
dalam kedua jajak pendapat tidak dipilih secara acak ( random). Seseorang terpilih
sebagai sampel bukan karena prinsip dan hukum probabilitas. Sebaliknya, seseorang
yang (secara sukarela) menentukan dirinya sendiri sebagai sampel responden.
Karena itu hasil jajak pendapat hanya mencerminkan suara orang yang dengan
sukarela menentukan pilihan sebagai sampel. Karena tidak dipilih secara acak, jajak
pendapat SCTV atau Media Indonesia-Detik.com tidak mencerminkan populasi
pemilih Indonesia. Jajak pendapat bahkan tidak mencerminkan suara pemilik telepon
atau hand phone. Prinsip random mensyaratkan semua anggota populasi
mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Karena metode
jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com bersifat in call ( seseorang
menentukan dirinya sendiri sebagai sampel) maka jajak pendapat itu hanya
menyertakan mereka yang kebetulan mengirim SMS. Jajak pendapat mengabaikan
pemilik HP atau telepon yang kebetulan tidak tahu adanya jajak pendapat atau tidak
ingin mengirim SMS ke SCTV.
Menarik membandingkan jajak pendapat SCTV dengan MARS. Jajak pendapat MARS
dilakukan lewat telepon, tetapi metode penarikan sampel dilakukan secara acak
(random). Jajak pendapat MARS lebih mencerminkan suara pemilik telepon. Tabel
menyajikan perbandingan hasil jajak pendapat SCTV dan MARS. Dari tabel terlihat,
deviasi (selisih kesalahan) jajak pendapat MARS lebih kecil dibandingkan dengan
SCTV. Meskipun diambil secara random, jajak pendapat MARS tidak menunjukkan
representasi suara masyarakat Indonesia. Ia hanya mengakomodasi suara pemilik
telepon yang kebetulan berada di kota. Tidak terlampau mengherankan jikalau suara
untuk PKB dalam jajak pendapat itu sangat kecil.
Jajak pendapat SCTV ( via SMS)
Telesurvei MARS ( via telepon) Partai Pemilu
2004 % Posisi % Posisi Golkar 5.8 5 18.3 1 PDIP 4.8 6 16.8 3 PKB 3.1 7 4.3 6 PPP 1.7 13 3.8 7 PD 9.2 3 17.4 2 PKS 41.2 1 13.2 5
80
PAN 16.5 2 16.2 4 Skor Kesalahan
12.73
5.89
Keterangan: Telesurvei MARS dilakukan di enam kota besar: Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makasar, dan Palembang. MARS menanyakan partai politik mana yang dipilih pada Pemilu 5 April lewat telepon. Jumlah sampel diwawancarai MARS sebanyak 30.228.Telesurvei MARS diambil dari hasil tanggal 30 Maret 2004, pukul 24.00 ( sumber: http://www.liputan6.com /parpol_mars2004.php). Dalam jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com, hasilnya bias karena
hanya menyertakan pemilih HP yang aktif. Tidak terlampau mengherankan jikalau
suara sangat tinggi berasal dari pemilih PKS dan PDS. Pemilih partai ini bukan hanya
berasal dari kalangan terdidik di kota, tetapi juga terbiasa dengan informasi dan
teknologi. Mereka juga kelompok yang aktif dan terorganisir---yang bisa dengan
mudah dilihat dari keaktifan mereka dalam mengorganisir demonstrasi ratrusan ribu
orang ketika memprotes sejumlah isu. Tidaklah mengherankan jikalau suara dari
PKS ini sangat tinggi dibandingkan dengan partai lain.
SELISIH KESALAHAN ( DEVIASI) LEMBAGA JAJAK PENDAPAT DALAM MERAMAL PEROLEHAN PARTAI PARTAI
SCTV ( via SMS) Media Indonesia-Detik.com ( via SMS)
Rata-Rata Selisih
Golkar 15.78 17.18 16.48 PDIP 13.73 15.43 14.58 PKB 7.47 9.17 8.32 PPP 6.45 -20.15 13.3 PD -1.75 0.95 1.35 PKS -33.86 -20.06 26.96 PAN -10.06 -4.96 7.51 Keterangan: Rata-rata deviasi dihitung dari selisih rata-rata dari 3 lembaga dalam memprediksi perolehan masing-masing partai. Selisih positif (+) atau negatif (-) diabaikan.
81
VIII. PENUTUP
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari ramalan lembaga jajak pendapat Pemilu 1999
dan 2004? Dari Pemilu 1999 dan 2004, lembaga jajak pendapat bisa
memprediksikan dengan benar pemenang Pemilu. Hasil Pemilu telah diketahui
sebelum publik berbondong-bondong ke bilik-bilik suara. Tetapi meramalkan
pemenang Pemilu saja tidak cukup. Kita membutuhkan lembaga jajak pendapat
yang bisa meramalkan dengan presisi perolehan suara masing-masing partai. Tabel
menunjukkan perbandingan kinerja lembaga jajak pendapat Pemilu 1999 dan 2004
dalam meramalkan suara partai. Jika dilihat dalam tabel tersebut, ada kemajuan
dalam lembaga jajak pendapat. Jika ditotal semua lembaga jajak pendapat yang
membuat survei Pemilu, rata-rata skor kesalahan lembaga jajak pendapat dalam
meprediksi suara partai sebesar 6.5%. Angka ini berkurang secara signifikan pada
tahun 2004 menjadi 3.34%. Bahkan, Lembaga Survei Indonesia (LSI) berhasil
memprediksi suara perolehan partai dengan selisih hanya 1.64%.
Skor kesalahan 3.34% memang bukan angka yang rendah. Di Amerika, tingkat
kesalahan rata-rata lembaga jajak pendapat dalam puluhan tahun di bawah 1.5%. Di
negara berkembang seperti Filipina, skor kesalahan rata-rata berkisar di angka 2%.
Tetapi untuk negeri dengan wilayah demografi yang luas dan baru menerapkan
metode jajak pendapat, pencapaian ini sudah lebih dari lumayan. Tantangan
terbesar lembaga jajak pendapat di masa datang adalah menghasilkan temuan yang
bukan hanya akurat tetapi juga presisi. Hanya dengan itu, publik bisa percaya bahwa
jajak pendapat adalah alat yang terpercaya untuk mengukur pendapat umum.
Pengalaman Amerika dan Filipina, kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap
jajak pendapat karena lembaga jajak pendapat bisa meyakinkan masyarakat bahwa
prediksi mereka benar.
PEMILU 1999 PEMILU 2004 Lembaga Kesalahan
Absolut Rata-Rata
Lembaga Kesalahan Absolut Rata-Rata
IFES 4.23 LSI 1.64 LP3ES 4.62 IRI 1.73 Litbang Kompas 7.48 IFES 3.13 RPC 6.87 DRI 3.71 KPP-Lab Politik UI 9.31 Balitbang PDIP 3.47 SSS 3.83
82
LP3ES 5.85 Rata-Rata = 6.50 Rata-Rata = 3.34 Keterangan: Kesalahan absolut rata-rata prediksi Pemilu 1999 dan 2004 didasarkan pada selisih prediksi suara atas 7 partai terbesar.
Semakin banyak survei, semakin banyak hasil jajak pendapat yang dipublikasikan
akan semakin bagus. Bukan hanya agar khalayak mendapatkan lebih banyak
informasi soal pendapat publik, tetapi juga demi kepentingan pengembangan
penelitian pendapat umum di Indonesia. Banyaknya penelitian di bidang ini akan
semakin membuka hutan rimbun yang belum dijamah itu. Dari jajak pendapat yang
telah dilakukan akan bisa diperbandingkan, pengaruh sampel terhadap hasil,
bagaimana seharusnya pertanyaan dirumuskan untuk konteks Indonesia, berapa
jumlah responden ideal agar bisa mencakup keragaman masyarakat Indonesia dan
seterusnya. Tantangan bagi lembaga jajak pendapat di masa datang adalah
mendesain survei yang cepat, efesien, murah tetapi sekaligus akurat.
Pengetahuan yang mendalam mengenai soal ini akan sangat berguna bukan hanya
bagi lembaga jajak pendapat tetapi juga kepentingan ilmu sosial di Indonesia secara
keseluruhan. Desain sampel yang baik, rumusan pertanyaan yang akurat hanya bisa
diperoleh lewat penelitian terus menerus. Jangan dilupakan, penelitian sosial selalu
berkaitan dengan situasi sosial. Pengetahuan mengenai bagaimana melakukan
wawancara, bagaimana merumuskan pertanyaan yang dianggap tabu, bagaimana
mendekati responden, adalah aspek praktis yang bisa diambil manfaatnya dari
kegiatan jajak pendapat •
83
DAFTAR PUSTAKA
BUKU, MAKALAH DAN JURNAL
Dhakidae, Daniel,”Social Will, Political Demand and Public Opinion,” Makalah pada Seminar Opini Publik dan Demokrasi yang diadakan oleh LP3ES, 23 Juni 1993
-------------------,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Kompas,14
Agustus 1999. -------------------,” Medan Riset dan Jajak Pendapat di Indonesia,” Kompas,14
Agustus 1999. Field, Mervin D,”Political Opinion in The United States of America,” dalam Robert
M.Worcester (ed), Political Opinion Polling:An International Review, New York, St. Martin Press, 1983.
Gallup, George, “Opinion Polling in a Democracy,” dalam Judith M.Tanur (ed),
Statistics: A Guide to the Unknown, Second Edition, California, Wadsworth & Brooks Inc, 1985.
Guerrero, Linda Luz and Mahar Mangahas, Opinion Polling in the Philippines:An
Encyclopedia Article,Occasional Paper, SWS 2002. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.
----------------------,and Mahar Mangahas,”Polling About Polls in the
Philippines,”Social Weather Bulletin, No.9-10,Mei 1997. Artikel ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.
Litbang Kompas, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, Jakarta, Penerbit Buku
Kompas, 2004. Mangahas, Mahar, Linda Guerrero and Geraldo Sandoval, Opinion Polling and
National Elections in The Philippines,1992-2001, Occasional Paper, 2001. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.
Moore, David S, Statistics: Concept and Controversies, Second Edition, New York,
WH Freeman, 1985. Moore, David W. The Superpollster:How They Measureand Manipulate Public Opinion
in America, Second Edition, New York, Four Walls Eight Windows,1995. National Democratic Institute ( NDI), The Quick Count and Election Observation,
2003. Manual ini tersedia di website NDI ( http: //www.ndi.org). Weisberg, Herbert F, John A. Krosnick and Bruce D. Bowen, An Introduction to
Survey Research, Polling and Data Analysis, Third Edition, Thousand Oaks, California, Sage Publication, 1996.
84
LAPORAN, MAKALAH, MATERI KONFERENSI PERS JAJAK PENDAPAT Danareksa Research Institute (DRI), Sign of Golkar Resurrection, Special Report,
Maret 2003 --------------------, Popularity of Military Figures Is On the Rise But Megawati
Remains the Leading Contender, Special Report, Juli 2003 Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ,
Laporan Survei Tentang Popularitas Partai Menjelang Pemilu 2004, Juni 2003 --------------------, Laporan Survei Kandidat Presiden Menjelang Pemilu 2004, Juli
2003 --------------------, Rakyat dan Pemilu 2004 : Laporan Survai tentang Persepsi
Masyarakat terhadap Pemilu 2004, Maret 2004 --------------------, Survei Nasional Kecenderungan Pemilih Pada Pemilu 2004,
diambil dari www.lp3es.or.id --------------------, Rakyat, Partai Politik dan Pemilu I, Materi Konferensi Pers 18
Mei 1999 --------------------, Rakyat, Partai Politik dan Pemilu II, Materi Konferensi Pers 3 Juni
1999 Lembaga Survei Indonesia (LSI), Gagalnya Partai-Partai Politik yang Membawa
Simbol Reformasi, Materi Konferensi Pers 26 September 2003 --------------------, Tiga Calon Presiden erkuat 2004, Materi Konferensi Pers 24
September 2003 --------------------, Perilaku Pemilih Islam, Materi Konferensi Pers 18 November 2003 --------------------, Kecenderungan Pemilih Yang Mengkhawatirkan Menjelang Pemilu
2004, Materi Konferensi Pers 21 Januari 2004 --------------------, Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui
Pemilu 2004, Materi Konferensi Pers 2 April 2004 --------------------, Akankah Pemilu 2004 Berujung Pada Presiden Baru? Materi
Konferensi Pers 13 April 2004 Litbang Kompas, “Pemilih, Siapa Mereka?” Kompas, 17 Mei 1999. -------------------, “Jajak Pendapat Litbang Kompas di Lima Kota: PDI Perjuangan
Paling Populer,” Kompas, 15 Mei 1999. -------------------,”Hasil Dua Jajak Pendapat Litbang Kompas: PDI Perjuangan Di
Urutan Pertama,” Kompas, 15 Februari 1999.
85
--------------------, “Masyarakat Pemilih, Bingung Atau Makin Kritis?” Kompas, 12 April 1999.
Resource Productivity Center, “Hope for Change Lies With Students not Politicians,”
The Jakarta Post, 23 Januari 1999 --------------------,”Nation in Transition Poised for Elections,” The Jakarta Post, 23
Januari 1999 Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Indonesian Presidency in the Making, Juli 2002 --------------------, Aproaching 2004 Indoensian Presidency in the Making: Who is
The All-Round Best, September 2002. --------------------, The Ultimate Duets for the 2004 Presidential Race, Maret 2003 --------------------, General Election 2004 The Real Fight: The Incumbent VS The
Hopeful, Mei 2003 --------------------, The 2004 General Election : The Incumbent’s Contenders, Juli
2003 --------------------, Pemilu 2004: Mengukur Kekuatan Politik Nasionalis VS Islam,
November 2003 -------------------, The Puzzle Goes On : Male or Female President 2004, Maret 2004 --------------------, The Presidential Race : The People Decide, April 2004 The International Foundation for Election Systems (IFES), Summary of Public
Opinion Preceding the Parliamentary Elections in Indonesia –1999. -------------------, Survey of the Indonesian Electorate Following the June 1999
Elections, September 1999 -------------------, 2000 Indonesia Nationwide Survey, Mei 2000 -------------------, National Public Opinion Survey 2002 Republic of Indonesia, Mei
2002 -------------------, Indonesia 2003 National Survey, Mei 2003 -------------------, Indonesia 2004 Tracking Survey, Januari- April 2004 The International Republican Institute (IRI), Analisa dan Penjangkauan Pemilh,
Laporan Jajak Pendapat Nasional, Desember 2003 -------------------, Analisa dan Penjangkauan Pemilh, Laporan Jajak Pendapat
Nasional, Maret 2003
86