JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

49

Transcript of JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Page 1: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP
Page 2: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

ISSN : 1978-0370

MITRA HUTAN TANAMAN Vol. 5 No. 2, Agustus 2010

Mitra Hutan Tanaman adalah media resmi publikasi ilmiah semi populer dalam bidang hutan tanaman dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman,

dengan frekuensi terbit tiga kali setahun

Penanggung Jawab Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman

Dewan Redaksi

Ketua Merangkap Anggota

Drs. Riskan Effendi, M.Sc

Anggota Ir. A. Syaffari Kosasih, MM

Ir. Harbagung Dra. Illa Anggraeni

Sekretariat Redaksi

Ketua Merangkap Anggota

Kepala Bidang Pelayanan dan Evaluasi Penelitian P3HT

Anggota Kepala Sub Bidang Pelayanan Penelitian

Kristina Yuniati, S. Hut Rohmah Pari, S. Hut

Diterbitkan oleh:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan

Alamat

Kampus Balitbang Kehutanan Jl. Gunung Batu Nomor 5, Bogor, Po. Box 331

Telp. (0251) 8631238 Fax. (0251) 7520005 E-mail: [email protected] Website: www.forplan.or.id

Page 3: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

ISSN : 1978-0370

MITRA HUTAN TANAMAN

Vol. 5 No. 2, Agustus 2010

DAFTAR ISI 1. KERAGAMAN DAN STRATEGI KONSERVASI GENETIK

JENIS MERBAU (Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze) DI PAPUA The Diversity and Genetic Conservation Strategies of Merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze) in Papua Faisal D. Tuheteru _____________________________________ 39-50

2. TINJAUAN KERAGAMAN GENETIK DAN IMPLIKASI

KONSERVASI PULAI (Alstonia scholaris (L). R. Br.) Review of Genetic Variety and the Implication on the Conservation of Pulai (Alstonia scholaris (L).R.Br.) Agung Yudhi Nugroho _________________________________ 51-55

3. MEMAHAMI SIFAT-SIFAT TANAH GAMBUT UNTUK

OPTIMASI PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT Understanding the Characteristics of Peat Soil towards the Optimization of Peat Land’s Utilization Enny Widyati dan/and Tati Rostiwati _____________________ 57-68

4. POTENSI JENIS KAYU UNGGUL BAHAN BAKU

KERAJINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR Potency of Superior Wood Species as Material for Wood-Craft in East Nusa Tenggara Slamet Edi Sumanto ___________________________________ 69-79

5. TEKNIK PENANAMAN LANGSUNG DAN

PENGGUNAANNYA DALAM RANGKA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Direct Seeding Method and Its Application for Forest and Land Rehabilitation Hani Sitti Nuroniah dan/and A. Syaffari Kosasih ____________ 81-86

Page 4: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

39

KERAGAMAN DAN STRATEGI KONSERVASI GENETIK JENIS MERBAU (Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze)

DI PAPUA

The Diversity and Genetic Conservation Strategies of Merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze) in Papua

Faisal Danu Tuheteru

Staf Pengajar Jurusan Kehutanan, Universitas Haluoleo, Kendari Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari Telp. 0401-3199108/Fax : 0401-391692

email: [email protected]

I. PENDAHULUAN

Merbau (Intsia bijuga O. Kuntze) merupakan salah satu jenis tumbuhan

hutan pantai dan hutan hujan tropika dataran rendah di Indonesia. Jenis tersebut dapat menghasilkan kayu komersial dengan nilai ekonomi tinggi (Rimbawanto et al., 2006b).

Didasarkan pada sifat kuat dan awet, kayu merbau saat ini dianggap sebagai jenis kayu paling berharga di daerah Asia Tenggara, dan biasanya dimanfaatkan untuk bahan bangunan rumah, jembatan, perkapalan, perabot rumah, veneer, jendela, pintu, dan lain-lain. Secara tradisional jenis kayu ini banyak digunakan oleh masyarakat lokal untuk bahan ukiran, perahu, dan bahan bangunan rumah tradisional (Martawijaya et al., 2005). Harga kayu merbau berkisar ±US$ 200 tiap meter kubik kayu bulat dan US$ 450-600 tiap meter kubik kayu gergajian. Penghasil kayu merbau terbesar di dunia saat ini adalah Indonesia (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) dan Papua New Guinea (Telapak dan EIA, 2005). Secara resmi Indonesia mengekspor kayu bulat merbau pada tahun 1998 sebesar 50.000 m3 dan dalam kurun waktu kurang dari 4 tahun (tahun 2001) meningkat sepuluh kali lipat menjadi 660.000 m3

Dampak dari eksploitasi merbau yang berlebihan tersebut di atas berakibat status konservasi merbau di Indonesia telah masuk dalam Red List IUCN sebagai jenis yang beresiko punah karena eksploitasi komersial, sedangkan menurut the Convention on the Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) merbau diklasifikasikan sebagai jenis yang vulnerable (CITES Appendix III). Demikian pula menurut the World Conservation

. Pemanfaatan merbau secara berlebihan dengan penerapan sistem

silvikultur yang mensyaratkan penebangan pohon hanya dilakukan terhadap pohon-pohon besar (diameter 50 cm atau lebih) dan dalam praktek lapangan penebang selalu memilih pohon berphenotif baik, akan meninggalkan formasi hutan yang berisi pohon-pohon dewasa jelek. Kondisi formasi hutan yang demikian cenderung akan menimbulkan erosi genetik akibat meningkatnya kawin kerabat (Young and Boyle, 2000; Finkeldey and Hattemer, 2007) serta dapat memusnahkan sumber plasma nutfah/genetika yang baik (Manan, 1997) sehingga akibatnya populasi merbau di alam terus berkurang serta menyisakan tegakan dengan mutu rendah.

Page 5: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 39 - 50

40

Monitoring Centre (WCMC) jenis ini tergolong jenis yang terancam (threatened) (Telapak dan EIA, 2005). Akhir-akhir ini berbagai organisasi konservasi mengusulkan agar merbau dapat masuk ke dalam CITES Appendix II (ER: endangered). Apabila usul ini terealisasi dan penebangan merbau dilarang maka akan sangat merugikan bagi pendapatan daerah Papua. Oleh karena itu, langkah antisipasi untuk menjawab kampanye negatif tersebut perlu segera dilakukan.

Berdasarkan uraian di muka maka perlu dilakukan upaya penyelamatan dan perlindungan merbau untuk menghindari jenis tersebut dimasukkan ke dalam CITES Appendix II. Upaya-upaya konservasi sumberdaya genetik serta rehabilitasi hutan merbau di daerah penyebaran alaminya perlu segera direalisasikan. Diharapkan dengan upaya tersebut jenis merbau dapat dikonservasi, mendapatkan benih berkualitas untuk pembangunan hutan tanaman, serta menyediakan IPTEK di bidang konservasi genetik, perbanyakan, dan silvikultur.

II. KARAKTERISTIK MERBAU 1. Taksonomi dan Morfologi

Intsia bijuga O. Kuntze tergolong dalam famili Fabaceae, subfamili Caesalpinoideae. Dalam perdagangan kayu, jenis ini dikenal dengan sebutan merbau, namun secara lokal di beberapa daerah di Indonesia memiliki nama berbeda. Di Maluku dan Papua lebih banyak dikenal dengan sebutan kayu besi karena kayunya yang keras, di Sumatera disebut merbau, di Kalimantan disebut maharan, di Buton disebut bayam, serta di Muna dinamai ogifi. Sebutan merbau ataupun kayu besi mencakup juga kerabat dekatnya Intsia palembanica Miq. (Soerianegara and Lemmens 1994; Martawijaya et al., 2005) .

Pohon I. bijuga dapat mencapai tinggi 50 m dengan diameter batang 160-250 cm; tinggi batang bebas cabang 25 m. Biasanya berbanir dengan rata-rata mencapai lebar 2 m dan tebal 10 cm. Kulit batang mengandung banyak hijau daun (Martawijaya et al., 2005; Hendromono et al., 2006).

Tajuk agak rapat dan berwarna tua. Daun majemuk bersirip genap, berselang (Martawijaya et al., 2005; Hendromono et al., 2006).

Bunga mekar pada bulan November-Januari, dan buah tua dijumpai pada bulan Mei-Agustus. Bunga majemuk bentuk malai, tangkai utama 5-18 cm dan panjang tajuk bunga 1,5-2,5 cm. Buah merbau memiliki panjang 8,5-23 cm dengan lebar 4-8 cm, satu buah berisi 1-8 biji. Biji berbentuk polong, keras, pipih dan tanpa salut biji (Martawijaya et al., 2005; Hendromono et al., 2006).

Page 6: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Keragaman dan Strategi Konservasi Genetik Jenis Merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze) di Papua Faisal Danu Tuheteru

41

Gambar 1. a. Biji/benih (Foto: Danu), b. Kecambah (Foto: Danu) dan c.

Tegakan merbau di Manokwari (Foto: Mahfudz) 2. Habitat dan Sebaran

Intsia bijuga sering ditemukan di daerah pantai dengan curah hujan lebih dari 2.000 mm/tahun. Tumbuh dominan di hutan hujan tropis dataran rendah. Di Papua, baik di hutan alam primer maupun hutan alam sekunder, pada umumnya jenis ini tumbuh berasosiasi dengan jenis-jenis lain seperti Intsia palembanica Miq., Pometia pinnata Forst., Calopyllum inophyllum L., dan Palaquium amboinensis Burck. I. bijuga tumbuh baik pada berbagai tipe tanah, tetapi tidak pada gambut dengan iklim A-D (Martawijaya et al., 2005; Mahfudz et al., 2006).

Sebaran alami I. bijuga meliputi Australia, Burma, Kamboja, India, Malaysia, Madagaskar, Papua New Guinea, Philipina, Tanzania, Thailand, Vietnam, Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua) dan pulau-pulau Pasifik. Di Papua, merbau dijumpai di seluruh dataran rendah yang mencakup 9 kabupaten, seperti di daerah kepala burung yaitu Kabupaten Manokwari (Sidei, Oransbari, Wandoswaar, Prafi, Bintuni, Bobo, Wariki, dan Boustiga) dan Kabupaten Sorong (Teminambuan, Ayamaru, Pulau Batanta dan Pulau Salawati), di pantai utara yaitu di Kabupaten Jayapura (Demta, Sarmi, Sentani, Skou, Tannusa, Borowai, Bahongko dan Kemtuk), Kabupaten Biak Numfor (Pulau Biak dan Pulau Numfor), Kabupaten Serui (Pulau Serui dan Waropen), Kabupaten Nabire dan kabupaten lainnya (Merauke sebelah utara, Fakfak di Kabupaten Jayawijaya) (Martawijaya et al., 2005; Mahfudz et al., 2006).

3. Sifat dan Struktur Kayu

Ciri umum kayu merbau (Mandang dan Pandit, 1997; Martawijaya et al.,

2005): Warna : - kayu teras berwarna sangat bervariasi dari kelabu coklat dan

kuning coklat sampai coklat merah cerah atau hampir hitam, - kayu gubal berwarna kuning pucat sampai kuning muda, tebal

5-7,5 cm dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu teras.

a b c

Page 7: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 39 - 50

42

Tekstur : - kasar merata. Serat : - panjang serat 1,181μ dengan diameter 21,6 μ. - arah serat kebanyakan lurus, kadang tidak teratur dan berpadu. Kesan raba : - permukaan kayu licin. Kilap : - permukaan kayu mengkilap indah. Berat jenis : - berkisar 0,63-1,04 dengan rata-rata 0,84. Elastisitas : - modulus elastisitasnya sebesar 158. Pori : - susunan pori tersebar, soliter dan bergabung 2-3 arah radial,

jarang sekali berkelompok, - pori berbentuk lonjong, diameter 150-200 μ, frekuensi 1-2 tiap

mm2, - pori jarang sekali berisi tilosis, tetapi sering berisi endapan

berwarna kuning. Parenkim : - termasuk tipe paratrakeal, berbentuk selubung lengkap dan

tebal sampai berbentuk aliform dan sedikit konfluen, - terdapat juga parenkim apotrakeal berbentuk pita, - jari-jari homoseluler, uniserat dan multiserat, lebar 50-125 μ,

tinggi 300-400 μ, frekuensi 4-6 tiap mm. Kandungan : - selulosa 46,9%, lignin 22,6%, pentosan 17,1%, abu 0,9%, dan

silika 0,2%. 4. Potensi dan Produksi Kayu Merbau

Beberapa kalangan menilai bahwa potensi kayu merbau di Papua sebenarnya rendah. Latumahina (2003) dalam

No.

Malik et al. (2005) menyebutkan bahwa potensi kayu merbau layak tebang dalam hutan produksi Papua adalah 10-11 pohon/ha. Hal ini juga dipertegas oleh aktivis Conservation International (CI) dan World Wild Foundation (WWF) yang menyatakan bahwa potensi kayu merbau di Papua rendah. Seiring dengan eksploitasi yang terus menerus, maka dalam beberapa tahun terakhir produksi kayu merbau cenderung terus menurun (lihat Tabel 2).

Tabel 1. Potensi kayu merbau di Papua menurut kabupaten

Kabupaten Luas

hutan

Potensi tegakan *)

(ha)

Diameter 20-49 cm Diameter ≥ 50 cm N Volume

(m**)

(phn/ha) 3N

/ha) Volume (m

**) (phn/ha) 3/ha)

1 Jayapura 1.674.869 30,3 25,8 9,3 33,9 2 Serui/Yapen Waropen 1.315.190 39,2 36,8 9,4 23,7 3 Sorong 1.352.550 41,2 18,5 10,2 37,9 4 Manokwari 1.524.700 19,2 27,9 12,9 46,4 5 Kaimana/Mimika 834.500 29,4 21,7 8,4 31,5 6 Fak-fak 1.475.310 42,9 29,3 10,2 27,4 7 Nabire 390.510 32,4 29,5 9,2 32,2 Jumlah 8.567.679 234,6 189,5 69,6 233,0 Rata-rata 33,5 27,1 9,9 33,3

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Papua (2003) dalam Malik et al. (2005) Keterangan: *) Luas hutan berdasarkan jumlah luas Hak Pengusahaan Hutan **) N adalah jumlah pohon

Page 8: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Keragaman dan Strategi Konservasi Genetik Jenis Merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze) di Papua Faisal Danu Tuheteru

43

Tabel 2. Jumlah produksi kayu bulat di Papua dalam tahun 1994-2003

No. Tahun Produksi kayu bulat (m3 Produksi kayu bulat merbau (m) 3)

1 704.882,79 2 1995/1996 1.640.662,70 492.198,81 3 1996/1997 1.889.614,10 569.884,23 4 1997/1998 2.180.655,82 654.196,74 5 1998/1999 1.506.755,71 452.026,71 6 1999/2000 762.325,33 228.697,60 7 2001 828.041,30 248.412,39 8 2002 484.292,57 251.816,41 9 2003 170.722,23 65.588,93*) *)

Sumber: Dinas Kehutanan Papua (2003) dalam Malik et al. (2005) Keterangan: *) Data sampai Agustus 2003 dan banyak perusahaan yang belum

melaporkan produksi kayunya terutama dari perusahaan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA)

5. Aspek Silvikultur

Biji merbau termasuk dalam golongan benih orthodoks yang masa dormansinya cukup lama dengan dormansi tergolong dalam dormansi fisik. Untuk mematahkan dormansi tersebut dapat dilakukan skarifikasi. Teknik skarifikasi yang efisien adalah dengan mengikir atau mengampelas sedikit bagian strophile benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pengikiran dan direndam air dingin 24 jam memberikan keberhasilan perkecambahan 93,33%, sedangkan perendaman dengan menggunakan H2SO4 selama 30 menit bisa menghasilkan persen kecambah 100%.

Perbanyakan vegetatif merbau dapat dilakukan dengan teknik stek pucuk dan stump. Teknik stek pucuk dengan menggunakan hormon NAA konsentrasi 100 ppm bisa memberikan hasil persen tumbuh 71%. Apabila menggunakan teknik stump, bahan stump yang baik adalah anakan (seedling) yang diameter leher akar antara 0,5-1,0 cm, dan stump dibuat dengan panjang bagian batang 10 cm dan panjang bagian akar 15 cm. Persen tumbuh stump yang langsung ditanam (tanpa penyimpanan) bisa mencapai 70%, sedangkan yang terlebih dahulu melalui penyimpanan secara berturut-turut adalah 56,7% apabila disimpan 1 minggu, 43,3% apabila disimpan 2 minggu, dan 30% apabila penyimpanan mencapai 4 minggu (Suripatty, 2001 dalam Mahfudz et al., 2006; dan Mahfudz et al., 2006).

III. KERAGAMAN GENETIK MERBAU

Keanekaragaman genetik merupakan variasi genetik dalam spesies yang meliputi populasi, yang perbedaannya jelas di dalam jenis yang sama (UNEP, 1992 dalam Tokede, 2004), sedangkan Finkeldey and Hattemer (2007) menjelaskan variasi genetik menunjuk kepada frekuensi (struktur alelik dan genotipik) serta tipe genetik dalam populasi.

Page 9: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 39 - 50

44

Diversitas genetik sangat penting karena merupakan faktor utama yang memungkinkan populasi beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, evolusi jangka panjang, serta menjadi fondasi untuk pemuliaan gehetik (Lande and Shannon, 1996 dalam Rimbawanto dan Widyatmoko, 2006).

Keragaman genetik jenis merbau telah diteliti oleh Rimbawanto dan Widyatmoko (2006). Penelitian mengambil contoh daun dari semai di bawah pohon induk merbau yang berasal dari 4 populasi, yakni Hutan Penelitian Carita (Banten), Ternate (Maluku Utara), Manokwari dan Nabire (Papua) dengan jarak antar pohon induk minimal 100 m pada populasi hutan alam. Analisis dilakukan dengan penanda molekuler DNA yaitu Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) yang menggunakan 15 primer menghasilkan 77 loci (locus) polimorfik.

Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata keragaman genetik di dalam populasi adalah 0,296 (rata-rata nilai diagonal lihat dalam Tabel 3) yang mengindikasikan bahwa keragaman genetik ke empat populasi masih cukup tinggi. Angka ini lebih besar dari rata-rata keragaman genetik kelompok jenis tropis maupun jenis konifer, yaitu 0,211 dan 0,207 (Hamrichk, 1989 dalam Rimbawanto dan Widyatmoko, 2006). Rata-rata jarak genetik antar populasi adalah 0,141; artinya 86% dari keragaman genetik berada di dalam populasi. Angka ini jauh lebih besar daripada Intsia palembanica Miq. sebesar 0,04 (Lee et al., 2004, dalam

Populasi

Rimbawanto dan Widyatmoko, 2006), Shorea leprosula Miq. sebesar 0,04 (Rimbawanto dan Suharyanto, 2005), dan Santalum album L. sebesar 0,038 (Rimbawanto et al., 2006a); tetapi lebih kecil dari Eusideroxylon zwageri T et B. sebesar 0,182 (Sulistyawati et al., 2005) dan Araucaria cunninghamii D. Don. sebesar 0,194 (Widyatmoko et al., 2005).

Tabel 3. Nilai keragaman genetik dalam populasi (diagonal) dan antar populasi

(bawah diagonal) merbau berdasarkan Nei’s gene diversity, 1973 dan Nei’s original measures of genetic distance, 1972

Carita Manokwari Ternate Nabire

Carita 0,317 Manokwari 0,039 0,315 Ternate 0,216 0,212 0,257 Nabire 0,176 0,168 0,032 0,294

Sumber : Rimbawanto dan Widyatmoko (2006)

IV. STRATEGI KONSERVASI GENETIK MERBAU

Konservasi menurut Spellerberg (1996) dalam Siran (2007) adalah upaya untuk menjamin keberlangsungan keberadaan jenis, habitat dan komunitas biologis dan interaksi antar jenis dan jenis dengan ekosistem. Salah satu bentuk konservasi adalah konservasi Sumberdaya Genetik Hutan (SDGH). Konservasi ini hanya dapat dicapai melalui proteksi populasi di habitat alaminya (biasa disebut konservasi in-situ) atau preservasi dasar sampel dalam gene banks (biasa disebut konservasi ex-situ). Kedua bentuk konservasi tersebut saling melengkapi

Page 10: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Keragaman dan Strategi Konservasi Genetik Jenis Merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze) di Papua Faisal Danu Tuheteru

45

(Cochen et al., 1991, dalam Soekotjo, 2004). Salah satu jenis pohon tropis di Indonesia yang diprioritaskan (jenis target) untuk dikonservasi genetik dan pemuliaannya adalah merbau (Rimbawanto et al., 2006b).

Soekotjo (2004) menjelaskan bahwa konservasi SDGH sangat bergantung pada tujuan yang ingin dicapai, yakni: 1) bagi pemulia pohon, konservasi sumberdaya genetik (SDG) bertujuan agar SDG telah tersedia dengan mudah pada saat pemulia akan menggunakan SDG tersebut, 2) bagi ahli biologi evolusioner, konservasi SDG bertujuan untuk menjamin dan memelihara kemampuan adaptasi, evolusi dan seleksi dari jenis dalam populasinya agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang akan terjadi khususnya dari persyaratan ekologi, ekonomi, serta viabilitas yang mendukung ekosistem, 3) bagi ahli kehutanan, konservasi bertujuan agar jenis-jenis target dan habitatnya lestari, dan 4) pendapat awam, konservasi bertujuan agar keanekaragaman hayati terjamin.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa upaya konservasi dan pemuliaan merbau masih sangat terbatas dan belum banyak dilakukan (Mahfudz, 2006; Rimbawanto dan Widyatmoko, 2006; Rimbawanto et al., 2006b). Secara umum, konservasi genetik merbau dapat dilakukan dengan strategi konservasi in-situ dan ex-situ.

1. Konservasi Genetik Merbau Cara Ex-Situ

Menurut Finkeldey and Hattemer (2007), konservasi ex-situ dapat didekati dengan 2 pendekatan sekaligus, yakni dinamis dan statis. Koservasi genetik ex-situ dinamis adalah preservasi populasi di dalam hutan buatan yang terdiri dari tanaman hasil perbanyakan seksual di luar habitat alaminya untuk tujuan pemuliaan dan pembangunan hutan tanaman. Pada jenis merbau, sampai saat ini konservasi genetik ex-situ dinamis belum dilakukan. Oleh karena itu pengumpulan materi genetik (baik generatif maupun vegetatif) yang unggul harus segera dilakukan untuk mendukung program pemuliaan seperti uji species, uji provenans, uji keturunan, serta pembangunan kebun benih unggul (lihat Gambar 2). Selain untuk kepentingan konservasi genetik, hal ini juga dimaksudkan untuk mendukung pembangunan hutan tanaman merbau, ketersediaan tanaman pengayaan, reforestasi dan rehabilitasi lahan.

Pendekatan statis mengandung makna preservasi jenis flora dengan pembangunan kebun raya atau kebun biologi atau arboretum untuk tujuan penyelamatan dan pendidikan.

Page 11: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 39 - 50

46

Gambar 2. Bagan alur kegiatan konservasi ex-situ (program pemuliaan) merbau (dimodifikasi dari Prastyono et al., 2003)

Berdasarkan penelitian Rimbawanto dan Widyatmoko (2006), teknik

ex-situ menjadi fokus pendekatan konservasi jenis merbau. Untuk konservasi ex-situ, informasi keragaman genetik sangat diperlukan untuk menentukan jumlah populasi maupun jumlah individu di dalam populasi yang perlu dikoleksi agar dapat tetap mempertahankan dasar keragaman genetik yang dimiliki. Dari kegiatan eksplorasi untuk tujuan pemuliaan dan konservasi ex-situ, maka ditentukan untuk satu wilayah perlu dikoleksi jumlah individu yang cukup banyak dalam satu populasi, dengan jumlah populasi yang sedikit. Berdasarkan hasil analisis variasi genetik dan dendrogram kekerabatan populasi, maka disimpulkan bahwa keragaman genetik merbau di wilayah Papua dapat diwakili populasi Manokwari dan Nabire. Untuk kepentingan konservasi genetik merbau dari wilayah Papua, perlu dikumpulkan minimum 30 pohon tiap populasi.

Hutan Alam - Nilai jual tinggi/komersial - Kebutuhan masyarakat tinggi - Tingkat eksploitasi tinggi - Mengalami ancaman kepunahan dan erosi

genetik - Proses regenerasi alami lambat - Kegiatan konservasi belum dilakukan

Spesies Target

Pohon Induk

Benih/bibit

Kebun Uji Ketrunan

Bank Klon

Uji Provenans

Kebun Benih & Kebun Pangkas

Benih/Bibit Unggul

- Hutan Tanaman - Tanaman Pengayaan - Reforestasi/rehabilitasi - Reboisasi

- Identifikasi/eksplorasi potensi dan daerah sebaran - Melakukan sampling terhadap populasi yang mewakili seluruh daerah

sebaran dan keanekaragaman genetik - Menentukan kandidat pohon induk yang memeiliki keunggulan

fenotip (untuk tujuan pemulian pohon)

Page 12: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Keragaman dan Strategi Konservasi Genetik Jenis Merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze) di Papua Faisal Danu Tuheteru

47

Rimbawanto et al. (2006b) menyebutkan bahwa ada beberapa lokasi yang dijadikan sebagai tempat konservasi ex-situ merbau, diantaranya hutan-hutan penelitian Sumber Waringin (Bondowoso, Jawa Timur), Pasir Awi, Dramaga, Yanlapa, Haurbentes (Bogor, Jawa Barat), Carita (Banten), Pasir Hantap (Sukabumi, Jawa Barat), dan Cikampek (Jawa Barat).

2. Konservasi Genetik Merbau Cara In-Situ

Konservasi in-situ adalah konservasi genetik suatu jenis atau kelompok jenis di daerah sebaran alaminya (range and pattern of natural distribution). Secara teori konservasi ini paling cocok untuk konservasi genetik jangka panjang (long-term genetic conservation) pada sebagian besar jenis, terutama jenis yang sudah mulai langka dan terancam punah. Karena dilakukan pada ekosistemnya, maka interaksi genetik dengan lingkungan serta adaptasi dan evolusi yang ada tetap dapat dipertahankan secara lestari (Prastyono et al., 2003; Saparjadi, 2005). Menurut International Tropical Timber Organization (IITO) dan Regional Consultation Forum Meeting (RCFM) (2000) dalam Prastyono et al. (2003), tujuan konservasi in-situ adalah: 1) untuk memelihara dan mengabadikan keragaman genetik yang terancam erosi genetik, 2) mengintegrasikan pengelolaan genetik ke dalam keberadaan dan keberlanjutan tujuan dan rencana pengelolaan hutan, 3) memanfaatkan asal-usul sumber populasi untuk kepentingan reboisasi dan pengayaan tanaman, 4) memanfaatkan asal-usul sumber populasi sebagai sumber genetik potensial untuk seleksi dan pemuliaan.

Pengetahuan tentang informasi keragaman genetik dan hubungan kekerabatan populasi sangat diperlukan dalam konservasi in-situ, yaitu untuk menentukan jumlah lokasi yang harus ditetapkan (sebagai areal konservasi) serta luas areal dan jumlah individu di dalamnya (Rimbawanto dan Widyatmoko, 2006). Pertimbangan utama konservasi in-situ adalah minimal 1 (satu) populasi untuk masing-masing zona wilayah serta populasi yang dipilih harus memiliki keragaman genetik yang tinggi (Widyatmoko, 2007). Bawa (1994) dalam

Strategi konservasi genetik in-situ merbau sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah (Kementerian Kehutanan) dengan mewajibkan kepada setiap Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu hutan alam (IUPHHK-HA) untuk membangun Areal Sumberdaya Genetik (ASDG) dalam areal kerjanya dengan 2 kategori, yaitu 1) tegakan benih di hutan produksi tetap (HP) seluas 100 hektar dalam setiap areal Rencana Kerja Lima Tahunan (RKLT) dan 2) kawasan plasma nutfah seluas 100-300 hektar dalam areal kerja. Salah satu tujuan pembangunan tegakan benih tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan materi genetik bagi kegiatan pengayaan (Juliaty et al., 1999). Menurut Tokede (2004), meskipun program-program konservasi in-situ melalui kegiatan

Prastyono et al. (2003) menyatakan bahwa secara umum luas hutan alam yang diperkirakan cukup sebagai ukuran populasi untuk keperluan konservasi in-situ adalah 100 hektar. Dengan luasan 100 hektar tersebut diperkirakan inbreeding dan genetic drift dapat tercegah.

Mengingat kondisi populasi I. bijuga di Papua masih baik (keragaman genetik masih tinggi), maka untuk menjaga populasi-populasi tersebut perlu secepatnya dilakukan konservasi in-situ di beberapa wilayah sebaran alaminya. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi dan penetapan kawasan konservasi.

Page 13: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 39 - 50

48

IUPHHK di Papua telah dilakukan, namun belum dilakukan evaluasi, bahkan pengamatan dan pelaporannya tidak terdokumentasi dengan baik.

V. PENUTUP

Sumberdaya genetik tanaman hutan (SDGTH) adalah bagian integral dari keanekaragaman hayati yang merupakan salah satu penyangga kehidupan manusia. Merbau (Intsia bijuga O. Kuntze) merupakan salah satu sumberdaya genetik hutan Indonesia, namun populasinya terus menurun dari tahun ke tahun akibat penebangan hutan alam yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan kayu baik di tingkat lokal maupun internasional, tanpa diimbangi dengan usaha penanaman yang memadai. Oleh karena itu merbau perlu dikonservasi untuk menyelamatkan jenis ini dari ancaman kepunahan. Konservasi jenis merbau dapat dilakukan melalui metode konservasi in-situ maupun konservasi ex-situ.

Eksplorasi bahan genetik merbau dari hutan alam untuk konservasi ex-situ dan kegiatan pemuliaan serta menjaga populasi yang memiliki keragaman genetik yang tinggi di habitat alaminya merupakan agenda mendesak yang harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) seperti pemerintah (daerah dan pusat), dunia usaha perkayuan, lembaga penelitian, Perguruan Tinggi, dan masyarakat Papua secara khusus.

DAFTAR PUSTAKA Finkeldey R and H.H Hattemer. 2007. Tropical Forest Genetics. Springer.

Gottingen. Hendromono, N. Mindawati, S. Bustomi, A.S. Kosasih, Mahfudz, A.

Nirsatmanto, T. Rostiwati, I. Anggraini, R. Bogidarmanti, dan B. Rustaman. 2006. Informasi kesesuaian jenis pohon untuk hutan tanaman di Sumatera dan Kalimantan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Juliaty, N., W. Rusmantoro, dan D. Leppe. 1999. Areal sumberdaya genetik (ASDG) sumber benih berkualitas dan jangka panjang. Prosiding hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. 30 Maret 1999. Samarinda.

Mahfudz. 2006. Kondisi habitat merbau di hutan Gunung Meja Manokwari. Mitra Hutan Tanaman Vol. I No. 1 Agustus 2006: 23-28

Mahfudz, S. Pudjiono, T. Pamungkas, P.M. Utomo, dan A.S. Basteba. 2006. Merbau (Instia spp.) dan upaya konservasinya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Yogyakarta.

Malik, J., O. Rachman, J. Balfas, dan A. Supriadi. 2005. Kajian efisiensi pemanfaatan kayu merbau dan relokasi industri pengolahannya. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol: 2 No: 1 Maret 2005:59-76

Manan, S. 1997. Hutan, Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press. Bogor. Mandang, Y.I. dan I.K.N. Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di

Lapangan. Prosea. Bogor.

Page 14: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Keragaman dan Strategi Konservasi Genetik Jenis Merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze) di Papua Faisal Danu Tuheteru

49

Martawijaya, A., I. Kartasudjana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Prastyono, H.T.W. Teguh, dan B. Ismail. 2003. Ramin (Gonistylus spp.): primadona yang rentan kepunahan. Sylvatropika. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

Rimbawanto, A., A.Y.P.B.C. Widyatmoko, dan P. Sulistyawati. 2006a. Distribusi keragaman genetik populasi Santalum album berdasarkan penanda RAPD. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol: 3 No: 3 Juni 2006: 175-181.

Rimbawanto, A. dan A.Y.P.B.C. Widyatmoko. 2006. Keragaman genetik empat populasi Intsia bijuga berdasarkan penanda RAPD dan implikasinya bagi program konservasi genetik. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol: 3 No: 3 Juni 2006: 149-154.

Rimbawanto, A., dan Suharyanto. 2005. Keragaman genetik populasi Shorea leprosula Miq. dan implikasinya untuk program konservasi genetik. Prosiding Nasional Peningkatan Produktifitas Hutan – Peran konservasi sumberdaya genetik, pemuliaan dan silvikultur dalam mendukung rehabilitasi hutan. Hardiayanto, E.B. (Editor). Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan ITTO. Yogyakarta. Hal: 373-382

Rimbawanto, A., T. Pamungkas, L. Hakim, Prastyono, dan D. Eko. 2006b. Database jenis-jenis prioritas untuk konservasi genetik dan pemuliaan. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Yogyakarta.

Saparjadi, K. 2005. Kebijakan dan strategi konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Prosiding Nasional Peningkatan Produktifitas Hutan – Peran konservasi sumberdaya genetik, pemuliaan dan silvikultur dalam mendukung rehabilitasi hutan. Hardiyanto, E.B. (Editor). Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan ITTO. Yogyakarta. Hal: 315-321

Siran, S.A. 2007. Status Riset Pengelolaan Dipterokarpa di Indonesia. Balai Penelitian Kehutanan Kalimantan. Samarinda.

Soekotjo. 2004. Status riset konservasi genetik tanaman hutan indigenous species di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Yogyakarta, 8 November 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dan Japan International Cooperation Agency. Hal: 81-86

Soerianegara, I and R.H.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South-East Asia 5.(1) Timber Trees : Major Commercial Timbers. Prosea. Bogor.

Sulistyawati, P., A.Y.P.B.C. Widyatmoko, dan A. Rimbawanto. 2005. Keragaman genetik empat populasi Eusideroxylon zwageri asal Kalimantan berdasarkan penanda RAPD. Prosiding Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan – Peran konservasi sumberdaya genetik, pemuliaan dan silvikultur dalam mendukung rehabilitasi hutan. Hardiyanto, E.B. (Editor). Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan ITTO. Yogyakarta. Hal:383-395

Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA). 2005. The Last Frontier: Illegal Logging in Papua and China’s Massive Timber Theft.

Page 15: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 39 - 50

50

Emerson Press. Diunduh dari: http://www.illegal-logging.info/document.php. (19 Mei 2008).

Tokede, M.J. 2004. Status riset tentang sumberdaya genetik di Indonesia Timur (Papua). Prosiding Workshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan dan Pengelolaan sumberdaya genetik tanaman hutan. Yogyakarta, 8 November 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dan Japan International Cooperation Agency. Hal : 63-74

Widyatmoko, A.Y.P.B.C. 2007. Pemuliaan dan Aplikasinya. Materi kuliah umum program studi manajemen hutan. Universitas Haluoleo. Kendari.

Widyatmoko, A.Y.P.B.C., A. Rimbawanto, dan Suharyanto. 2005. Keragaman genetik Araucaria cunninghamii menggunakan penanda RAPD. Prosiding Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan – Peran konservasi sumberdaya genetik, pemuliaan dan silvikultur dalam mendukung rehabilitasi hutan. Hardiyanto, E.B. (Editor). Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan ITTO. Yogyakarta. Hal: 397-408

Young, A.G. and T.J. Boyle. 2000. Forest Fragmentation. Dalam Young, A., D. Boshler, and T. Boyle: Forest conservation genetics principles and practice. CSIRO Publishing. Australia.

Page 16: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

51

TINJAUAN KERAGAMAN GENETIK DAN IMPLIKASI KONSERVASI PULAI (Alstonia scholaris (L).R.B)

Review of Genetic Variety and the Implication on the Conservation of

Pulai (Alstonia scholaris (L).R.Br.)

Agung Yudhi Nugroho

Mahasiswa Pascasarjana Mayor Silvikultur Tropika Fakultas Kehutanan IPB Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Kampus Dalam, Jl. Raya Darmaga Bogor

I. PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai hutan yang sangat luas, sehingga keragaman

jenisnya sangat banyak. Keanekaragaman jenis tumbuhan hutan di Indonesia meliputi 27.500 jenis tumbuhan berbunga (10% dari seluruh jenis tumbuhan di dunia didominasi oleh hutan tropis basah) (Suhartrislakhdi, 2007). Agar keanekaragaman jenis yang ada tetap stabil harus diimbangi dengan pengelolaan hutan yang lestari.

Alstonia scholaris merupakan salah satu spesies yang ada di hutan Indonesia. A. scholaris mempunyai manfaat yang sangat penting bagi kehidupan manusia, sebab hampir seluruh bagian pohon dapat dimanfaatkan. A. scholaris dapat digunakan untuk konstruksi ringan, bahan-bahan kerajinan. Kulit batang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Sutomo dan Dyan (2005), dalam masyarakat Hindu Bali kayu A. scholaris digunakan untuk upacara Pitra Yadnya. Selain itu A. scholaris merupakan salah satu spesies yang direkomendasikan untuk hutan tanaman, karena sifatnya yang cepat tumbuh dan kayunya yang lurus.

Pemanfaatan A. scholaris harus dilakukan secara lestari agar jenis ini tidak terancam punah, untuk menjaga kepunahan perlu adanya konservasi genetik. Sebagai langkah awal konservasi genetik perlu adanya pengetahuan keragaman genetik A. scholaris yang ada di Indonesia.

Berdasarkan data-data dan hasil laporan yang dikompilasikan dari berbagai sumber, penulis berharap agar tulisan ini dapat menambah wawasan akan pentingnya kergaman genetik A. scholaris.

II. DESKRIPSI Alstonia scholaris (L).R.B

A. Bioekologi

Alstonia scholaris termasuk dalam famili Apocynaceae. A.scholaris disebut juga Echites scholaris L., E. pala Ham., Tabernaemontana alternifolia Burm. Nama lokal dari A.scholaris adalah pulai. Habitus A. scholaris berupa pohon dengan tinggi > 10 m (Valkenberg dan Bunyapraphatsara, 2002). A. scholaris toleran terhadap berbagai macam tanah dan habitat. A. scholaris

Page 17: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 51 - 55

52

banyak dijumpai di dataran rendah/pesisir dengan curah hujan tahunan 1000-3800 mm. A. scholaris juga dijumpai pada ketinggian di atas 1000 m dpl. dan dapat tumbuh di atas tanah dangkal, tetapi tidak dapat tumbuh pada daerah yang suhunya kurang dari 8o

B. Kegunaan

C. A.scholaris tersebar luas di Asia Pasifik mulai India dan Sri Lanka sampai daratan Asia Tenggara dan China Selatan, seluruh Maleisia hingga Australia Utara dan Kepulauan Solomon (Direktorat Perbenihan dan Tanaman Hutan, 2001). Menurut Sutomo dan Dyan (2005) penyebaran A. scholaris di Indonesia meliputi wilayah Jawa, Dompu, Sumbawa, Sumba Barat NTT, Gorontalo dan Sulawesi Utara.

Pohon A. scholaris mempunyai manfaat yang sangat penting, biasanya

untuk obat tradisional sampai bahan bangunan dan industri pulp dan kertas. Bagian A. scholaris yang dimanfaatkan mulai dari kulit batang sampai pada kayunya. Kayu A.scholaris mempunyai struktur yang tidak awet, sehingga hanya dimanfaatkan untuk konstruksi di dalam ruangan dan untuk industri pulp dan paper. Kayunya juga dipakai untuk papan tulis. A. scholaris di Amerika Utara digunakan sebagai tanaman hias (Direktorat Perbenihan dan Tanaman Hutan, 2001). Kulit A. scolaris dapat dimanfaatkan untuk obat malaria, penghilang nyeri pada gigi, gigitan ular dan rematik. Getah A. scholaris biasanya dimanfaatkan untuk obat batuk, sakit tenggorokan dan demam (Sutomo dan Mukaromah, 2006). Menurut Valkenberg dan Bunyapraphatsara (2002) kandungan kimia yang terdapat pada A. scholaris diantaranya adalah ekitamina dan alstonamina.

C. Regenerasi

Alstonia scholaris mempunyai bunga terminalis dengan panjang tangkai

perbungaan 7-13 cm. Bunga berbilang lima, panjang bunga lebih dari 1 cm, berwarna putih, krem atau hijau (Soerianegara dan Lemmens, 1993 dalam Tjitrosoepomo, 2002). Buah A. scholaris berbentuk bumbung bercuping dua dan ada lapisan kayunya. Panjang buah berkisar 15-32 cm, berisi banyak benih. Pada kondisi kering buah A. scholaris merekah. Benih panjang 4-5 mm, berwarna coklat, dan mempunyai bentuk pipih memanjang. Penyebaran benih dapat disebar oleh angin. Jumlah benih 37.000-87.000 butir/kg (Direktorat Perbenihan dan Tanaman Hutan, 2001).

Alstonia scholaris termasuk jenis pohon yang selalu hijau/tidak gugur daun, musim berbunga dan berbuah setiap daerah berbeda-beda. Di Australia berbunga pada Oktober-Desember. Di Sri Lanka, berbunga dua periode setiap tahun yaitu April-Juni dan Oktober-Nopember. Musim panen di Sri Lanka Pebruari. Di Laos berbunga pada akhir musim hujan dan benihnya dikumpulkan Pebruari-Maret. Di Vietnam, berbunga Agustus-September,dan berbuah Januari-Pebruari (Direktorat Perbenihan dan Tanaman Hutan, 2001). Periode pembungaan A. scholaris di Indonesia belum dikatahui secara pasti, tetapi ada pendapat bahwa A. scholaris berbunga pada pada akhir musim hujan dan awal musim kemarau (Sutomo dan Dyan, 2005).

Page 18: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Tinjauan Keragaman Genetik dan Implikasi Konservasi Pulai (Alstonia scholaris (L).R.Br.) Agung Yudhi Nugroho

53

III. STATUS KONSERVASI Pemanfaatan Alstonia scholaris semakin meningkat, tanpa diimbangi

dengan pengelolaan yang lestari menyebabkan spesies ini berkurang di alam sehingga menyebabkan hampir terencam punah. A. scholaris dilindungi dengan Peraturan Pemerintah No. 7/1999, Keputusan Menteri Kehutanan No. 54/Kpts/UM/2/1972, Keputusan Menteri Kehutanan No .261/Kpts IV/1990. Pada tahun 1998 Alstonia scholaris oleh IUCN dimasukkan ke dalam redlist species pada kategori Lower risk dan Lower concern ver 2.3 atas dasar assesment World Conservation Monitoring Center (IUCN, 2010).

IV. KERAGAMAN GENETIK

Keragaman genetik A. scholaris yang ada di Indonesia berdasarkan Hartati et al. (2007) bernilai dari 0.1370 – 0.2254. Keragaman genetik terbesar terdapat pada populasi Lubuk Linggau yaitu 0.2254, keragaman tersebut melebihi nilai rata-rata keragaman genetik baik untuk kelompok jenis tropis maupun jenis konifer, yaitu 0.211 dan 0.207 (Hamrick,1989 dalam

V. IMPLIKASI DAN STRATEGI KONSERVASI SUMBERDAYA GENETIK

Hertati et al, 2007). Nilai keragaman terendah terdapat pada populasi Makassar yaitu sebesar 0.1370. Analisis keragaman genetik dilakukan dengan penanda RAPD dengan sampel 18 provenan dan setiap provenan diwakili oleh 6 pohon. Delapan belas provenan tersebut yaitu provenan Agam, Solok, Perawang, Lubuk Linggau, Pendopo, Benakat, Banten, Bantul, Gunung Kidul, Bali, Mataram, Sumbawa, Kupang, Timor Tengah Selatan, Gowa, Makassar, dan Kendari.

Analisis kelompok dari 18 provenan A. scholaris yang ada di Indonesia dilakukan dengan menggunakan UPGMA, hingga diperoleh 2 kelompok besar. Kelompok pertama terdiri dari 3 provenan yaitu Lubuk Linggau, Banten, dan Pendopo. Kelompok pertama terbagi menjadi 2 kelompok kecil (sub kelompok) yaitu populasi dari Lubuk Linggau dan Banten, serta Pendopo. Kelompok kedua terdiri dari 15 provenan lainnya yaitu Benakat, Perawang, Agam, Solok, Bali, Kendari, Bantul, Purworejo, Gunung Kidul, Mataram, Sumbawa, Gowa, Makassar, Kupang, dan Timor Tengah Selatan. Kelompok kedua terbagi menjadi 5 sub kelompok. Sub kelompok pertama terdiri dari populasi Benakat, Perawang, Agam, Solok; sub kelompok kedua terdiri dari populasi Bali dan Kendari; sub kelompok ketiga terdiri dari populasi Bantul dan Purworejo; sub kelompok keempat terdiri dari populasi Gunungkidul, Mataram, Sumbawa, Gowa, Makassar; sub kelompok kelima terdiri dari populasi Kupang dan Timor Tengah Selatan.

Strategi konservasi merupakan suatu langkah yang digunakan untuk

menyelamatkan sumberdaya genetik suatu spesies dari kepunahan. Tujuan konservasi A. scholaris dapat dilakukan berdasarkan konservasi penampilan karakter (fenotipe) sebab A. scholaris mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sebab banyak dimanfaatkan untuk industri kehutanan. Menurut Na’iem (2001) dalam Prihaningtyas (2008) konservasi A. scholaris mempunyai prioritas

Page 19: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 51 - 55

54

yang tinggi, strategi konservasi yang dapat digunakan untuk spesies A. scholaris yaitu konservasi ex-situ dan in-situ. Konservasi in-situ untuk tanaman A. scholaris telah dilakukan di Taman Nasional (TN) Bukit Tiga Puluh di Riau, TN Meru Betiri di Jawa Timur, TN Manupea-Tana Daru di Sumba Barat, TN Laiwanggi-Wanggameti di Sumba Timur, TN Gunung Palung di Kalimantan Barat, TN Kayan Mentarang di Kalimantan Timur. Konservasi ex-situ untuk tanaman A. scholaris telah dilakukan di Plot Konservasi di Yogyakarta (P3HT) (Suhartrislakhadi, 2007 dalam

Gambar 1. Strategi dan implikasi konservasi genetik A. scholaris.

Prihaningtyas, 2008). Seleksi sumberdaya genetik dari 18 provenen dilakukan berdasarkan

jumlah informasi genetik (diversity). Keragaman genetik dari 18 provenan di Indonesia provenan Lubuk Linggau mempunyai keragaman genetik yang paling tinggi diantara yaitu sebesar 0.2254. Keragaman genetik yang tinggi pada provenan Lubuk Linggau perlu dilakukan konservasi genetik, sebab dengan keragaman genetik yang tinggi telah mewakili keragaman genetik dari provenan yang lainnya, selain itu dengan menggunakan keragaman genetik yang paling tinggi akan lebih efisien dan ekonomis.

Strategi konservasi A. scholaris dapat diterapkan dengan metode konservasi ex-situ dinamis. Metode konservasi ex-situ dinamis direkomendasikan sebab jika dilihat dari analisis gerombol menurut UPGMA dari 18 provenan A. scholaris yang ada di Indonesia pengelompokan yang terbentuk tidak berdasarkan letak geografis tertentu, sehingga konservasi dapat dilakukan diluar habitatnya.

Sumber Daya Genetik

Assesment Keragaman Genetik

Keragaman Rendah

Keragaman Tinggi

Konservasi

Konservasi In situ

Konservasi Ex situ

Ex situ Statis

Ex situ

Dinamis

Adaptasi Tinggi

Page 20: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Tinjauan Keragaman Genetik dan Implikasi Konservasi Pulai (Alstonia scholaris (L).R.Br.) Agung Yudhi Nugroho

55

VI. KESIMPULAN

1. Nilai keragaman genetik A. scholaris dari 18 provenan yang ada di Indonesia 0.1370 – 0.2254. Keragaman genetik tertinggi terdapat pada populasi Lubuk Linggau yaitu 0,2254, dan nilai keragaman terendah terdapat pada populasi Makassar yaitu sebesar 0,1370 .

2. Analisis gerombol dari 18 provenan A. scholaris yang ada di Indonesia menggunakan UPGMA terdapat 2 kelompok besar. Kelompok pertama terdiri dari 3 provenan yang terbagi menjadi 2 sub kelompok yaitu Lubuk Linggau, Banten, dan Pendopo. Kelompok kedua terdiri dari 15 provenan lainnya, yang terbagi menjadi 5 sub kelompok.

3. Provenan Lubuk Linggau perlu dilakukan konservasi genetik sebab mempunyai keragaman yang paling tinggi. Metode konservasi yang dapat dilakukan dengan metode konservasi ex-situ dinamis. Metode konservasi ex-situ dinamis direkomendasikan sebab dari hasil analisis pengelompokan tidak berdasarkan letak geografis tertentu, sehingga konservasi dapat dilakukan di luar habitatnya. Selain itu, A. scholaris mudah tumbuh dimana saja bahkan di tanah yang marjinal.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Perbenihan dan Tanaman Hutan. 2001. Informasi Singkat Benih Alstonia scholaris (L) R. Br. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Hartati, D., Anto Rimbawanto, Taryono, Endang Sulistyaningsih dan AYPBC Widyatmoko. 2007. Pendugaan Keragaman Genetik Di Dalam Dan ntar Provenan Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br. ) Menggunakan Penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 1 no. 2, September 2007 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

IUCN. Redlist. 2010. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/32295/0 . [29.04.2010].

Prihaningtyas, E. 2008. Perlunya Konservasi Genetik untuk Jenis Pulai (Alstonia scholaris (L) R. Br.). Mitra Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Suhartrislakhadi, D. 2007. Konservasi Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi II tahun 2007. Jakarta.

Sutomo dan Dyan M.S.P. 2005. Alstonia scholaris (L.) R. Br. Koleksi Kebun Raya “Eka Karya”. UPT Balai Konservasi Tumbuhan LIPI. Bali.

Sutomo dan L. Mukaromah. 2006. Marga Alstonia dan Potensinya. Koleksi Kebun Raya “Eka Karya”. UPT Balai Konservasi Tumbuhan LIPI. Bali.

Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan ke-7 Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Valkenberg, van J.L.C.H and Bunyapraphatsara (editor). 2002. Plant Resources of South East Asia 12 (2); Medical and Poisonous Plants 2. PROSEA Foundation. Bogor. Indonesia.

Page 21: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

57

MEMAHAMI SIFAT-SIFAT TANAH GAMBUT UNTUK OPTIMASI PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT

Understanding the Characteristics of Peat Soil towards the Optimization

of Peat Land’s Utilization

Enny Widyati1) dan/and Tati Rostiwati2)

1) Peneliti Biologi Tanah dan Kesuburan Lahan pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Telp. (0251) 8633234 Fax. (0251) 8633111

2)

I. PENDAHULUAN

Peneliti Silvikultur pada Pusat Litbang Hutan Tanaman Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 331

Telp. (0251) 8631238 Fax. (0251) 7520005

Dalam komunitas ilmiah baik di tingkat akademisi maupun peneliti

terdapat beberapa definisi mengenai lahan gambut. Agus dan Subiksa (2008) mendefinisikan lahan gambut sebagai lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Sedangkan menurut Depnakertrans (2008), lahan gambut adalah lahan yang memiliki ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Menurut BBP2SLP (2008), definisi lahan rawa gambut adalah lahan rawa yang didominasi oleh tanah gambut. Menurut Murdiyarso et al. (2004) lahan gambut (lahan rawa gambut) merupakan ekosistem lahan basah (wetlands) yang dicirikan dengan tingginya akumulasi bahan organik dengan laju dekomposisi yang sangat rendah.

Demikian juga dengan definisi tanah gambut. Menurut Balai Besar P2

Gambut terbentuk dari serasah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dengan laju dekomposisi jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju penambahan bahan organiknya (Chotimah, 2002). Oleh karena itu, dalam sistem klasifikasi taksonomi tanah, tanah gambut disebut Histosols (histos, tissue: jaringan) atau sebelumnya bernama Organosols (tanah tersusun dari bahan organik) (BBP

SLP (2008), yang dimaksud dengan tanah gambut adalah tanah-tanah yang jenuh air, tersusun dari bahan tanah organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang telah melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Menurut Chotimah (2002), tanah gambut ditujukan pada tanah yang mengandung gambut lebih dari 30%. Adapun menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2009, gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65% (enam puluh lima persen) yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah.

2SLP, 2008). Menurut BBP2SLP (2008), tanah gambut selalu terbentuk pada tempat yang kondisinya jenuh air atau tergenang, seperti pada cekungan-cekungan daerah pelembahan, rawa bekas danau, atau daerah depresi/basin pada dataran pantai di antara dua sungai besar, dengan bahan organik dalam jumlah banyak yang dihasilkan tumbuhan alami yang telah

Page 22: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 51 - 68

58

beradaptasi dengan lingkungan jenuh air. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa, 2008). Penumpukan bahan organik secara terus menerus menyebabkan lahan gambut membentuk kubah (peat dome).

Sampai saat ini, terdapat data yang berbeda-beda mengenai luas lahan gambut di Indonesia. Menurut Setiadi (1995) dalam Chotimah (2002), luas lahan gambut di dunia diperkirakan seluas 38 juta ha, sekitar 26 juta ha (70%) berada di Indonesia. Sedangkan menurut Murdiyarso et al. (2004) menunjukkan bahwa luas lahan gambut dunia sekitar 40 juta ha dimana 50%-nya berada di Indonesia. Dari luasan tersebut, Pulau Sumatera memiliki sekitar 8,9 juta ha, Kalimantan 6,3 juta ha dan Irian Jaya sekitar 10,3 ha (Depnakertrans, 2008). Departemen Kehutanan yang sekarang berubah menjadi Kementerian Kehutanan, sebagai pemegang mandat pengelolaan hutan (termasuk hutan rawa gambut) di Indonesia ironisnya tidak dimiliki data luas lahan gambut. Sedangkan data yang dikeluarkan oleh BBP2SLP (2008), luas lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 20,6 juta ha atau setara dengan 10,8% dari luas daratan Indonesia. Dari luas tersebut tersebar di Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3%, dan Papua 30%.

II. PEMBENTUKAN GAMBUT

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai pada ekosistem tersebut. Menurut Hardjowigeno (1986), pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi. Hal ini berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).

Menurut Andriesse (1994), pembentukan gambut diperkirakan terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu. Berdasarkan hasil pengukuran dengan teknologi carbon dating (penelusuran umur gambut menggunakan teknik radio isotop) umur gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi yaitu 6.230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 m (Siefermann et al.,1988 dalam

Dari gambaran tersebut di atas dapat dipahami bahwa pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm per tahun. Di Barambai Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm dalam satu tahun, sedangkan

Agus, 2008). Dari salah satu lokasi di Kalimantan Tengah, Page et al. (2002) menampilkan sebaran umur gambut sekitar 140 tahun pada kedalaman 0-100 cm, 500-5.400 tahun pada kedalaman 100-200 cm, 5.400-7.900 tahun pada kedalaman 200-300 cm, 7.900-9.400 tahun pada kedalaman 300-400 cm, 9.400-13.000 tahun pada kedalaman 400-800 cm dan 13.000-26.000 tahun pada kedalaman 800-1.000 cm.

Page 23: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Memahami Sifat-Sifat Tanah Gambut untuk Optimasi Pemanfaatan Lahan Gambut Enny Widyati dan Tati Rostiwati

59

di Pontianak sekitar 0,13 mm per tahun. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat yaitu sekitar 0,22 –0,48 mm per tahun (Agus dan Subiksa, 2008).

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah (Agus dan Subiksa, 2008). Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan sub stratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1).

Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral (Agus dan Subiksa, 2008).

(a)

(b)

Page 24: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 51 - 68

60

(c) Gambar 1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a.

Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c. pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen dikutip dari Agus dan Subiksa (2008)

Hasil pelapukan gambut topogen membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah gambut yang permukaannya cembung (Gambar 2). Menurut CCFPI (2009) pada tempat terbentuknya kubah gambut, tepi kubah yang mempunyai ketebalan gambut relatif lebih tipis biasanya terdapat hutan dengan kayu-kayu yang besar dan vegetasi bawah yang lebat. Makin ke tengah bagian kubah vegetasi menjadi makin jarang karena ketebalan gambutnya makin tebal dan karena tidak lagi mendapat pasokan hara dari limpasan sungai (Gambar 2).

Gambar 2. Proses pembentukan kubah gambut (dikutip dari CCFPI, 2009)

Page 25: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Memahami Sifat-Sifat Tanah Gambut untuk Optimasi Pemanfaatan Lahan Gambut Enny Widyati dan Tati Rostiwati

61

II. SIFAT-SIFAT TANAH GAMBUT

Sifat-sifat tanah (kimia, fisik dan biologi) sangat menentukan tingkat kesuburan tanah. Memahami sifat-sifat tanah ini penting untuk optimasi produksi maupun untuk menunjang suksesnya reforestasi lahan terdegradasi. Demikian juga halnya dengan tanah gambut. Pada makalah ini akan dibahas sifat-sifat kimia dan fisik tanah gambut, sebagai berikut:

A. Sifat-sifat Kimia Tanah Gambut

Sifat-Sifat-sifat kimia tanah gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada sub stratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik yang terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya (Agus dan Subiksa, 2008). Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut. Selain meracuni tanaman, asam-asam organik juga mengakibatkan pH gambut sangat rendah. Tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3,0 - 4,5). Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0 - 5,1) daripada gambut dalam (pH 3,1 - 3,9) (Handayani, 2008).

Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, tetapi kejenuhan basa (KB) sangat rendah. Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan, atau sebaliknya. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Gambut di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Agus dan Subiksa, 2008). KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun karena KB sangat rendah maka kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation tersebut akan mudah tercuci (Agus dan Subiksa, 2008). Demikian juga halnya dengan unsur hara yang ditambahkan melalui pemupukan menjadi tidak efektif. Untuk efisiensi pemupukan sebaiknya dosis pupuk yang sama dibagi menjadi beberapa kali pemberian pupuk dalam satu rotasi tanaman.

Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah (khususnya Cu, Bo dan Zn) dan diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak dapat diserap tanaman (Agus dan Subiksa, 2008). Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah.

Page 26: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 51 - 68

62

Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi. Kadar abu merupakan petunjuk yang tepat untuk mengetahui tingkat kesuburan alami gambut (Handayani, 2008). Pada umumnya gambut dangkal (<1 m) yang terdapat di bagian tepi kubah mempunyai kadar abu sekitar 15%, bagian lereng dengan kedalaman 1 - 3 m berkadar sekitar 10%, sedangkan di pusat kubah yang lebih dari 3 m berkadar <10% bahkan <5% (Handayani, 2008).

Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohonan (Driessen dan Suhardjo, 1976). Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968) dalam (Agus dan Subiksa, 2008).

Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Agus dan Subiksa, 2008). Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat, p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat (Agus dan Subiksa, 2008).

Berdasarkan sifat-sifat kimia gambut tersebut mengakibatkan bercocok tanam pada lahan gambut, baik untuk pertanian maupun HTI akan memerlukan biaya yang sangat besar. Biaya tersebut diperlukan untuk memberikan input seperti bahan untuk meningkatkan pH, meningkatkan kejenuhan basa, meningkatkan ketersediaan unsur hara makro dan mikro serta untuk menetralkan racun akibat dekomposisi lanjut lignin.

B. Sifat-sifat Fisik Tanah Gambut

Sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting untuk dipertimbangkan baik

dalam pemanfaatannya untuk pertanian maupun kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).

Gambut mempunyai daya ikat air (water holding capacity) 15 – 30 kali berat keringnya (Ambak dan Melling, 2000 dalam

Namun demikian, kadar air yang tinggi menyebabkan BD gambut menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g/cm

Chotimah, 2002). Data yang agak berbeda disampaikan oleh Agus dan Subiksa (2008), kadar air gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya. Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Oleh karena itu keberadaan gambut yang baik sangat penting peranannya sebagai pengatur tata air.

3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g/cm3 (Tie dan Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral. Sejalan dengan

Page 27: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Memahami Sifat-Sifat Tanah Gambut untuk Optimasi Pemanfaatan Lahan Gambut Enny Widyati dan Tati Rostiwati

63

pendapat di atas, menurut laporan Rina et al. (2008), BD gambut berkisar antara 0,05 - 0,30 g/cm3.

Tanah gambut dengan kandungan bahan organik (> 65% C-organik) mempunyai BD bervariasi sesuai dengan tingkat kematangan dekomposisinya. Untuk gambut fibrik 0,11-0,12 g/cm3, untuk hemik 0,14-0,16 g/cm3, dan untuk saprik 0,18-0,21 g/cm3. Bila kandungan bahan organik antara 30-60%, kerapatan lindak untuk hemik adalah 0,21-0,29 g/cm3 dan saprik 0,30-0,37 g/cm3

Gambar 3. Pohon Akasia yang dikembangkan di HTI lahan gambut banyak yang

tumbang (Foto: Enny, 2009; lokasi: HTI PT. Arara Abadi, Riau)

Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang lembek. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Hal ini karena akar tunjang tanaman tidak bisa mencengkeram tanah. Akibatnya tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa, atau tanaman kehutanan misalnya Acasia crassicarpa atau Eucalyptus pellita, seringkali doyong atau bahkan roboh (Gambar 3).

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang yang terbakar, sehingga ketika terbakar sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan dan bisa meluas tidak terkendali.

. Nilai BD sangat ditentukan oleh tingkat pelapukan/dekomposisi bahan organik dan kandungan mineral. Porositas gambut yang dihitung berdasarkan BD dan bobot jenis berkisar antara 75 - 95% (Rina et al., 2008).

Jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase maka gambut akan ’kempes’ atau mengalami subsidence sehingga terjadi penurunan permukaan tanah. Bila tanah gambut mengalami pengeringan yang berlebihan, koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying). Gambut tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air,

Page 28: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 51 - 68

64

sehingga pertumbuhan tanaman dan vegetasi menjadi kerdil dan merana (Rina et al., 2008).

III. PERANAN EKOSISTEM LAHAN GAMBUT TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Seperti halnya hutan pada umumnya, hutan yang terbentuk pada ekosistem rawa gambut mempunyai peranan yang sangat penting, baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Lahan gambut mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup lainnya sehingga harus dilindungi dan dilestarikan (BBP2SLP, 2008). Secara ekonomi ekosistem rawa gambut merupakan tempat konservasi sumber plasma nutfah yang spesifik secara lokal, merupakan habitat ikan dan biota air lainnya, penghasil kayu, dan sumber daya lainnya.

Berdasarkan fungsinya, lahan rawa gambut dibedakan ke dalam kawasan lindung, kawasan pengawetan, dan kawasan reklamasi (pemanfaatan lestari). Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan preservasi atau non-budi daya, sedangkan kawasan reklamasi sebagai kawasan budidaya. Lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 m termasuk dalam kawasan non-budi daya, dan sebaiknya tidak dibuka untuk pengembangan pertanian (BBP2

Keberadaan gambut yang tidak terganggu dapat menjamin air tetap mengalir secara konsisten dan dapat mencegah banjir dan kekeringan (

SLP, 2008).

Anonimus, 2008a). Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut, terutama gambut sangat dalam (lebih dari 4 m), sangat penting untuk dipertahankan sebagai daerah konservasi air, terlebih bila pada bagian hilirnya terdapat kota-kota pantai seperti Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, dan Samarinda (BBP2SLP, 2008).

Penurunan permukaan gambut akibat subsiden, baik yang disebabkan oleh drainase maupun dekomposisi, akan menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menahan air (Agus dan Subiksa, 2008). Apabila kubah gambut sudah mengalami penciutan setebal satu meter, maka lahan gambut tersebut akan kehilangan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekivalen dengan 9.000 m3/ha (Agus dan Subiksa, 2008). Dengan kata lain lahan disekitarnya akan menerima 9.000 m3

Menurut Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990, kawasan lahan rawa gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih yang terdapat pada bagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut, dan ditujukan untuk

air lebih banyak bila terjadi hujan deras atau akan meningkatkan terjadinya bencana banjir. Sebaliknya karena sedikitnya cadangan air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya akan rentan kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Kejadian meningkatnya bencana banjir dan kebakaran akhir-akhir ini meningkat tajam. Melalui berita di media massa diketahui bahwa Kalimantan Tengah dan Riau mengalami bencana banjir besar pada tahun akhir 2009 dan awal 2010. Dapat diprediksi pada musim kemarau kedua daerah tersebut rawan bencana kebakaran. Hal ini karena telah terjadi kerusakan gambut yang sudah mengkhawatirkan pada kedua daerah tersebut.

Page 29: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Memahami Sifat-Sifat Tanah Gambut untuk Optimasi Pemanfaatan Lahan Gambut Enny Widyati dan Tati Rostiwati

65

mengendalikan hidrologi wilayah, sebagai penambat air dan pencegah banjir. Lahan gambut sangat dangkal (<50 cm) dapat digunakan untuk sawah, gambut dangkal <200 cm untuk tanaman palawija dan hortikultura, serta gambut sedang (2-<3 m) untuk perkebunan seperti kelapa sawit, karet dan sagu, dengan perencanaan dan penerapan teknologi yang sesuai (BBP2SLP, 2008).

Lahan gambut, terutama gambut sangat dalam di sekitar suatu hutan suaka alam mendapat prioritas untuk dijadikan kawasan preservasi. Demi pengamanan kawasan preservasi ditetapkan antara dua sungai dengan batas-batas alami yang jelas, walau di dalamnya terdapat juga lahan non-gambut dan ketebalan gambut kurang dari 3 m. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1991 bertujuan mengatur ekosistem lahan rawa gambut sebagai kawasan tampung hujan dan sumber air. Sebagai sumber air, rawa (gambut) pedalaman sangat menentukan keadaan air daerah pinggiran atau hilirnya. Oleh karena itu, rawa di hulu sungai rawa atau rawa pedalaman perlu dipertahankan sebagai kawasan non-budidaya, yang berfungsi sebagai kawasan penampung hujan dan merupakan “danau” sumber air bagi daerah pertanian di sekitarnya. Kawasan lahan gambut sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan penampung hujan (BBP2

Gambar 4. Beberapa jenis Kantong Semar asli ekosistem lahan gambut (Foto

koleksi: Ignatius Adi, dapat diakses di Facebook)

Di samping peranan ekologi lahan gambut juga memainkan peranan

penting dalam bidang ekonomi. Lahan gambut memiliki keanekaragam hayati yang unik yang hanya terdapat di ekosistem rawa gambut sehingga menjadi sumber plasma nutfah. Sudah diketahui bahwa hutan rawa gambut yang masih utuh mempunyai keanekaragaman hayati flora fauna yang khas tetapi ekosistem rawa gambut bersifat fragile karena sangat rentan terhadap gangguan. Artinya ketika ekosistem lahan gambut terganggu akan sangat sulit untuk pulih kembali ke keadaan awalnya. Hutan rawa gambut merupakan habitat Rasau (Pandanus helicopus), Jelutung rawa (Dyera lowii), Ramin (Gonistilus bancanus), Kempas (Kompassia malaccensis), Rengas burung (Mellanorhoea wallichii), Punak (Testamerista glabra), Perepat (Combretocarpus rotundatus), Terentang (Camnosperma spp.), Bintangur (Callophylum spp.), Nyatoh (Palaqium spp.), Meranti rawa (Shorea pauciflora), Shorea balangeran, Pulai rawa (Alstonia pneumatophora) yang hanya tumbuh baik pada lahan gambut dan sangat sulit untuk dibudidayakan di lahan tanah mineral (CCPFI, 2009). Dari ekosistem lahan gambut dapat dijumpai berbagai varietas Kantong Semar (Nephenthes spp.) yang banyak diminati sebagai tanaman hias (Gambar 4).

SLP, 2008).

Page 30: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 51 - 68

66

Walaupun kondisi kimia lahan gambut banyak memiliki keterbatasan, lahan tersebut mampu mendukung fungsi ekonomi melalui budidaya pertanian, perkebunan dan HTI. Dengan ameliorasi yang tepat budidaya tersebut masih layak dilakukan. Namun demikian, karena sifat-sifat fisik tanah gambut yang sangat rentan terhadap gangguan (sekali terganggu sulit untuk dapat terpulihkan kembali), maka perubahan penggunaan lahan harus betul-betul direncanakan dengan matang dengan mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi. Upaya pemanfaatan lahan gambut yang paling menonjol saat ini adalah alih fungsi lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit. Hal ini karena adanya program pemerintah untuk mencari energi alternatif minyak kelapa sawit sebagai biofuel. Untuk mencegah kerusakan lahan gambut Menteri Pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit. Dalam Peraturan Menteri tersebut diatur bahwa pengusahaan budidaya kelapa sawit dapat dilakukan di lahan gambut dengan memenuhi kriteria yang dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut, yaitu: (a) diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan kawasan budidaya, (b) ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter, (c) substratum tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; (d) tingkat kematangan gambut saprik (matang) atau hemik (setengah matang); dan (e) tingkat kesuburan tanah gambut eutropik.

IV. PENUTUP

Ekosistem lahan gambut memegang peranan yang sangat penting baik secara ekologi maupun ekonomi ketika berada dalam kondisi tidak terganggu. Namun karena ekosistem ini mempunyai sifat-sifat yang rapuh maka ketika terjadi gangguan sampai pada tingkat terlampauinya daya lenting maka akan sangat sulit untuk melakukan rehabilitasi lahan gambut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ekosistem ini merupakan sumber daya alam yang tidak terbarui. Karena proses pembentukan ekosistem lahan gambut memerlukan waktu yang sangat lama.

Agar dapat dicapai pemanfaatan lahan gambut secara lestari harus mempertimbangkan sifat-sifat lahan gambut. Untuk lahan gambut dalam yang berperan dalam mendukung kebutuhan ekologis, pemanfaatan yang paling sesuai adalah sebagai kawasan konservasi. Pada lahan-lahan yang telah terdegradasi rehabilitasi lahan harus dilakukan. Sedangkan untuk lahan yang mampu mendukung kebutuhan ekonomi, walaupun termasuk lahan marginal ternyata lahan gambut dapat dijadikan sebagai lahan HTI, pertanian dan perkebunan. Namun karena sifat-sifat kimia dan fisik tanah gambut yang kurang baik, maka untuk pemanfaatan lahan tersebut untuk mendukung budidaya diperlukan banyak masukan dan teknologi yang tepat.

Berdasarkan sifat-sifat gambut di atas, salah satu kunci keberhasilan dalam mempertahankan ekosistem lahan gambut adalah mempertahankan kandungan air. Teknologi sederhana yang dapat diterapkan saat ini adalah metode penabatan pada kanal-kanal untuk mencegah hilangnya air. Adapun untuk mengoptimasi kesuburan dan memperbaiki sifat kimia tanah gambut supaya mampu mendukung produktivitas optimum pada budidaya pertanian dan HTI adalah ameliorasi dengan bahan-bahan yang mampu memperbaiki properti

Page 31: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Memahami Sifat-Sifat Tanah Gambut untuk Optimasi Pemanfaatan Lahan Gambut Enny Widyati dan Tati Rostiwati

67

tanah gambut. Umumnya HTI pulp memanfaatkan campuran kompos dan abu terbang (10 kg/pohon) dan pemupukan NPK 650 kg/ha/tahun untuk optimasi pertumbuhan tanaman di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA Agus, F. 2008. Panduan metode pengukuran karbon tersimpan di lahan gambut.

Panduan untuk bahan berdiskusi. Tersedia di internet Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan

aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia

Andriesse, J.P. 1994. Constrainsts and opportunities for alternative use options of tropical peat land. In B.Y. Aminuddin (Ed.). Tropical Peat; Proceedings of International Symposium on Tropical Peatland, 6-10 May 1991, Kuching, Sarawak, Malaysia.

Anonimus. 2008a. Membuka lahan gambut sama artinya dengan membuat polusi asap. Burning Issues. www.asiaforests.org Mei 2003 [dikunjungi 19 Februari 2008]

Anonimus. 2008b. Lahan Gambut Indonesia, Salah satu kunci perubahan iklim dunia. Berita 26 Februari 2007. Tersedia di web. www.antara.co.id [dikunjungi 19 Februari 2008].

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Pemanfaatan dan konservasi ekosistem lahan rawa gambut di Kalimantan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: 149-156

Chotimah, H.E.N.C. 2002. Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman pertanian. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB. Bogor (Tidak diterbitkan)

Climate Change on Forest and Peatlands in Indonesia Project, 2009. Keanekaragaman tumbuhan di hutan rawa gambut. (tersedia di internet).

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2008. Pemanfaatan lahan gambut untuk transmigrasi. www.depnakertrans.go.id. [dikunjungi 19 Februari 2008]

Driessen, P.M., dan H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor.

Handayani, I.P. 2008. Studi pemanfaatan gambut asal Sumatera: Tinjauan fungsi gambut sebagai bahan ekstraktif, media budidaya dan peranannya dalam retensi karbon. tersedia di: www,wetlandsinternational.org. [diunduh: 10 Desember 2009].

Murdiyarso, D., U. Rosalina., K. Hairiah., L. Muslihat., I.N.N. Suryadiputra dan A. Jaya. 2004. Petunjuk lapangan: Pendugaan cadangan karbon pada lahan gambut. Proyek Climate Change Forest and Peatland in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Page, S.E., F. Siegert, J.O. Rieley., H-D.V. Boehm., A. Jaya., S.H. Limin. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997, Nature, 420, 61-65.

Page 32: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 51 - 68

68

Peraturan Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit. Dapat diakses di: www.ditjenbun.deptan.go.id.

Rina, Y., Noorginayuwati dan M. Noor. 2008. Persepsi petani tentang lahan gambut dan pengelolaannya. Tersedia di: balittra.litbang.deptan.go.id lokalKearipan-8%20Yanti.pdf [diunduh: 5 Desember 2009]

Tie, Y.L. and J.S. Lim. 1991. Characteristics and classification of organic soils in Malaysia. Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991, Kuching, Serawak, Malaysia.

Widjaja-Adhi, I P.G. 1988. Physical and chemical characteristic of peat soil of Indonesia. Ind. Agric. Res. Dev. J. 10:59-64.

Page 33: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

69

POTENSI JENIS KAYU UNGGUL BAHAN BAKU KERAJINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR

Potency of Superior Wood Species as Material for Wood-Craft in East

Nusa Tenggara

Slamet Edi Sumanto

Balai Penelitian Kehutanan Kupang Jl. Untung Surapati No. 07 (B) Po Box 67 Kupang 85115,

Telp. (0380) 823357 Fax. (0380) 831068 Email : [email protected]

I. PENDAHULUAN Pengetahuan jenis kayu kurang dikenal yang memiliki nilai ekonomi tinggi di kalangan ilmuwan kehutanan sampai saat ini masih terbatas baik dalam hal jumlah ilmuwan yang berkutat di dalamnya maupun jumlah jenis kayunya. Jenis-jenis kayu sebagai bahan baku industri kerajinan misalnya, masih didominasi oleh jenis yang selama ini sudah dikenal seperti cendana (Santalum album L.), panggal buaya dan klicung (Diospyros malabarica Der Kostel). Salah satu industri kerajinan yang memiliki sedikit konsumen, bersifat ekslusif dan secara tradisional telah turun temurun adalah industri kerajinan keris terutama di Jawa, Madura, Bali dan Lombok (Bima). Pada dasarnya industri kerajinan ini memerlukan bahan baku kayu jenis unggul yang mampu menambah daya tarik dari bilah besi hasil tempaan tersebut. Jenis-jenis kayu unggul tersebut selama ini lebih dikenal di kalangan para pecinta benda seni itu daripada di kalangan masyarakat umum termasuk peneliti. Hal mendasar yang seringkali menjadi persoalan adalah kebutuhan kayu yang digunakan untuk keperluan membuat kerajinan warangka (sarung) dan deder (gagang) keris, masih mengandalkan hasil alam bukan hasil pengembangan hutan tanaman. Di sisi lain, disamping karena rata-rata faktor eksotisme bentuk pohon dan tempat tumbuh yang spesifik, informasi tentang sebaran dan teknik perkembangbiakan jenis-jenis tersebut belum banyak diketahui.

II. JENIS KAYU UNGGUL DOMINAN PENGHASIL BAHAN BAKU KERAJINAN

Berdasarkan hasil survei bahan baku kerajinan keris/tombak di kabupaten Bantul Yogyakarta tahun 2005 dan didukung literatur serta beberapa kali survei di Pulau Timor, dapat dipaparkan jenis-jenis kayu unggul sebagai bahan baku industri kerajinan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan antara lain sebagai berikut :

Page 34: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan TanamanVol.5 No 2, Agustus 2010, 69 - 79

70

1. Cendana (Santalum album L.); Fam. Santalaceaea. Informasi botanis

Rudjiman (1987) dalam Surata (2006) menerangkan bahwa secara morfologis tanaman cendana memiliki ciri-ciri sebagai berikut : pohon kecil sampai sedang, menggugurkan daun, dapat mencapai tinggi 20 m dan diameter 40 cm, tajuk ramping atau melebar, batang bulat agak berlekuk-lekuk, akar tanpa banir, daun tunggal, berhadapan, agak bersilangan, bertangkai daun, gundul, bentuk elips, tepi rata, ujung runcing tetapi kadang-kadang tumpul atau bulat, perbungaan terminal atau eksiler, recimus articulatus, bunga pedicel 3-5 cm, gundul, tabung perigonium berbentuk campanulatus, panjang 3 mm dan diameter 2 mm, memiliki 4 cuping perigonium, bentuk segi tiga, tumpul pada bagian ujung dan kedua permukaan gundul. Memiliki buah batu dan bulat, waktu masak daging kulit buah berwarna hitam, lapisan eksocarp, mesocarp berdaging endocarp keras dengan garis dari ujung ke pangkal.

Perbedaan yang cukup menyolok dalam hal penampilan fisik tanaman di lapangan antara cendana (Santalum album L.) dengan papi (Exocarpus latifolia) adalah bentuk daun. Ketebalan daun kayu papi lebih tebal, berwarna hijau gelap, sementara daun cendana lebih terang. Perbedaan kedua adalah tekstur kayu. Tekstur kayu cendana berwarna lebih terang, kandungan air lebih sedikit/sedikit berminyak pada permukaannya jika dikupas, sedikit lebih kasar. Sementara tekstur kayu papi lebih halus, berwarna lebih gelap (coklat tua), banyak mengandung air/berminyak.

Gambar 1. Penampilan fisik pohon dan kayu cendana

Sumber gambar: Balai Penelitian Kehutanan Kupang (2009) dan Museum Cendana,Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (2009)

Page 35: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Potensi Jenis Kayu Unggul Bahan Baku Kerajinan di Nusa Tenggara Timur Slamet Edi Sumanto

71

b. Sebaran dan status tanaman Hampir seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur terdapat tanaman jenis ini dan merupakan salah satu jenis endemik di wilayah ini. Status tanaman saat ini untuk produksi kayu sudah kritis walaupun sebaran anakan di daerah tertentu masih cukup tinggi.

c. Pemanfaatan bagi industri kerajinan Jenis kayu cendana dalam industri kerajinan keris dikenal ada dua yakni jenis cendana Jawa (kayu Papi- E. latifolia R.BR.) dan cendana Sumbawa/Timor (sebenarnya Sumba bukan Sumbawa, S. album L.). Keris berangka kayu cendana merupakan keris yang memiliki keistimewaan bagi pemiliknya, oleh karena itu bilah keris biasanya juga terbuat dari besi nomor satu dengan hiasan dan ornamen yang istimewa. Biasanya keris model ini dipakai oleh para bangsawan dalam acara-acara resmi kerajaan. Sebagai perbandingan, untuk rangka keris dari kayu cendana asli (Timor) berharga antara Rp. 500.000,- sampai lebih dari satu juta rupiah. Ukuran kayu yang dipakai biasanya mengikuti bentuk rangka, memerlukan antara 15-20 cm untuk model gayam-an, dan antara 25-30 cm untuk model ladrang-an. Ketebalan rata-rata antara 6-8 cm. Sementara untuk jenis rangka maupun gagang keris yang berasal dari cendana Jawa (Papi, E. latifolia R.BR.) di pasaran berharga antara Rp. 100.000,- sampai Rp. 300.000,-. Industri kerajinan lain yang menggunakan bahan baku kayu cendana dan papi adalah kerajinan tasbih, patung, kipas, dupa dan minyak cendana. Pengrajin biasanya mencampur sebagian kayu cendana bahan kerajinan dengan kayu gubal atau kayu papi karena alasan kesulitan mendapatkan kayu teras cendana.

Gambar 2. Rangka keris kayu cendana Gambar 3. Rangka keris kayu papi

Sumber gambar : Tjokrosuharto (2008)

2. Timoho/Kinar-ambon, Anjangi-timor (Kleinhovia hospita), Fam.

Sterculiaceae a. Informasi botanis

Kayu Timoho dikenal sebagai anjangi di Timor atau kinar di Ambon. Merupakan kayu kelas ke tiga setelah cendana dan trembalo sebagai bahan rangka atau gagang keris. Informasi yang diperoleh dari

Page 36: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan TanamanVol.5 No 2, Agustus 2010, 69 - 79

72

responden yang berasal dari daerah Ambon, jenis kayu ini sering dijadikan sebagai kayu bakar oleh penduduk Ambon.

Ciri fisik pohon adalah sebagai berikut; tinggi dapat mencapai 25 m, warna kulit putih tanpa alur, dengan banyak benjolan (kulit tumbuh) di sepanjang batang, biasanya tumbuh di daerah yang memiliki kondisi yang cukup air, batang pohon sering bengkok, cabang tidak beraturan, sekilas mirip pohon waru (Hibiscus tiliaceus) atau Gmelina arborea.Ciri yang paling menonjol adalah buahnya yang bergerombol dan menempel di batang pohon.

Gambar 4. Bentuk daun, bunga, dan buah Timoho (K. hospita) berdasarkan gambar fisiologi dari P. Verheij-Hayes (1997) dalam Hanum dan van der Maesen (1997)

Keterangan : 1. Bentuk daun bangun jantung2. Rangkaian bunga3. Bentuk kelopak bunga4. Putik bunga5. Tangkai bunga6. Buah

Page 37: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Potensi Jenis Kayu Unggul Bahan Baku Kerajinan di Nusa Tenggara Timur Slamet Edi Sumanto

73

Gambar 5. Penampilan fisik pohon Timoho/Kinar (K. hospita)

Sumber gambar : Ardiasto, 2008

b. Sebaran dan status tanaman Di daerah Timor, keberadaan jenis kayu ini belum tercium oleh kalangan pengrajin, padahal di beberapa tempat seperti di sekitar Amarasi dan Amanuban banyak terdapat tanaman ini. Jenis ini biasanya berada di pinggir pekarangan rumah warga atau di sekitar pinggir hutan. Status tanaman ini di beberapa daerah di NTT masih tergolong cukup banyak, sebagaimana di daerah Maluku. Namun karena belum banyak dikenal dan diketahui sebagai bahan baku industri kerajinan, maka keberadaan di alam masih cukup aman.

c. Pemanfaatan bagi industri kerajinan Keistimewaan dari kayu jenis ini terletak pada ada tidaknya bercak hitam/coklat (pelet) pada permukaan kayu yang hendak dibuat rangka atau gagang. Warna dasar kayu ini adalah putih bersih kadang semu kuning. Semakin terang dan memiliki jalinan pelet artistik yang sempurna, nilai rangka atau gagang keris menjadi lebih tinggi, dari ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Berdasarkan informasi dari perajin rangka, bercak hitam/coklat pada warna dasar kayu, dapat direkayasa melalui teknik perlukaan pada permukaan kulit kayu sebelum ditebang selama beberapa tahun.

Page 38: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 69 - 79

74

Bahan pelet

Pelet

Gambar 6. Bentuk ornamen (potongan memanjang), potongan melintang, model rangka ladrang dan gayaman dari kayu Timoho/Kinar (K. hospita)

Sumber gambar : Ardiasto (2008) dan Tjokrosuharto (2008)

3. Stigi/Santigi-timor (Phempis acidula), Fam. Lythraceae

a. Informasi botanis Karakteristik khas pohon stigi adalah tempat tumbuhnya yang berada di daerah yang berkarang pinggir pantai. Batang berwarna coklat keputihan, dengan alur-alur kecil. Menyesuaikan dengan tempat tumbuh, jarang batang tanaman yang lurus, diameter biasanya di bawah 15 cm, tinggi dapat mencapai 12 m, daun bulat kecil, warna kayu coklat tua dengan tekstur yang lembut.

b. Sebaran dan status tanaman Tumbuh hampir di sepanjang pinggir pantai di Indonesia. Di daerah Nusa Tenggara Timur dapat ditemui di Kupang, Lembata dan Flores Timur. Tumbuh di daerah pinggir pantai atau pada kondisi karang-karang pinggir pantai sehingga jarang ditemukan memiliki diameter yang besar. Status tanaman ini di daerah Kupang sudah cukup kritis akibat eksploitasi oleh sebagian warga sebagai tanaman hias yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Page 39: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Potensi Jenis Kayu Unggul Bahan Baku Kerajinan di Nusa Tenggara Timur Slamet Edi Sumanto

75

c. Pemanfaatan bagi industri kerajinan Kayu santigi/stigi memiliki karakteristik kayu : tekstur lembut, warna coklat tua, serta jarang memiliki diameter yang besar. Kayu stigi biasanya digunakan untuk bahan baku rangka keris juga gagang keris atau tombak. Tanaman santigi/stigi di beberapa daerah dijadikan bahan bonsai tanaman. Karakteristik tanaman yang eksotis semakin menambah daya jual di pasaran. Jenis bonsai tanaman ini dapat mencapai harga puluhan juta rupiah. Di samping sebagai bahan baku industri keris dan bonsai, kayu stigi juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kerajinan tasbih atau tongkat hias.

Gambar 7. Bonsai stigi/santigi

Sumber gambar:

III. JENIS UNGGUL LAINNYA

Bonsai.bci.com

1. Trembalu/Trembalo, Keolnasa-Timor (Dysoxylum acutangulum Miq.), Fam.

Meliaceae Trembalo merupakan jenis kayu lapis kedua setelah kayu cendana sebagai bahan rangka maupun gagang keris. Jenis kayu ini disukai para pecinta keris karena memiliki tekstur yang lembut, berwarna coklat kehitaman, mengkilat dengan sedikit garis/alur yang tegas. Kayu trembalo dijadikan bahan baku industri kerajinan didatangkan oleh para pengrajin dari Aceh, Sumatera Utara, Maluku dan Sulawesi. Jenis kayu ini walaupun terbatas dapat ditemui di daerah Nusa Tenggara Timur, biasanya terdapat di kawasan hutan dengan vegetasi yang rapat. Sebaran dan status tanaman ini di NTT masih belum banyak diidentifikasi secara jelas, hanya berdasarkan pengamatan di beberapa daerah yang memiliki vegetasi cukup lebat (Sumba Barat, Timor bagian Selatan dan

Page 40: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 69 - 79

76

Manggarai), jenis tanaman ini dapat dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak. Biasanya tumbuh di pinggir sungai atau dekat dengan mata air dan di pinggir kawasan hutan.

Gambar 8. Percabangan, daun, bunga dan buah pohon trembalo

Sumber gambar : www.sinhhocvietnam.com

Gambar 9. Model rangka keris dari kayu Trembalo

Sumber gambar : Tjokrosuharto, 2008

2. Tayuman (Cassia laevigata Willd.), Fam. Leguminosae Kayu tayuman biasanya hanya dipakai untuk bahan baku gagang keris. Berwarna coklat tua mengkilat serta memiliki tekstur kayu yang lembut. Secara fisik di lapangan jenis ini sekilas mirip pohon bidara (Zyzyphus sp.), tetapi memiliki bunga yang lebih besar dan bunga berwarna ungu, bergerombol dan menjuntai. Sebaran dan status di NTT belum banyak dikenal.

3. Walikukun/Mbuhung-Timor, Kukun-Flores (Schoutenia ovata Korth.) Kayu walikukun biasanya lebih sering dipakai sebagai gagang tombak. Sifat kayunya yang lentur dan ulet, sangat cocok dengan jenis bilah tombak. Sebaran dan status di NTT terdapat di beberapa wilayah dan belum banyak dikenal oleh masyarakat.

Page 41: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Potensi Jenis Kayu Unggul Bahan Baku Kerajinan di Nusa Tenggara Timur Slamet Edi Sumanto

77

4. Kemuning/Kamuning, Kahabar-Sumba; Sukik-Rote (Murraya paniculata Jack.), Fam. Rutaceae Jenis kayu kemuning lebih disukai sebagai gagang keris. Tekstur kayu yang lembut dan warna kayu yang kuning cemerlang semakin menambah daya seni keris yang dipakai. Biasanya digunakan sebagai tanaman pagar atau tanaman hias. Bentuk pohon dan bunga yang harum membuat tanaman ini cukup digemari sebagai tanaman hias. Pertumbuhan riap batang tanaman lambat sehingga cukup sulit untuk menemukan tanaman yang berdiameter batang yang besar.

Gambar 10. Penampilan fisik tanaman dan bunga kemuning

Sumber gambar : www.TopTropicals.com (2008)

Gambar 11. Model rangka keris dari kayu kemuning

Sumber gambar : Tjokrosuharto (2008)

Page 42: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 69 - 79

78

IV. KENDALA PENGEMBANGAN Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa selain cendana, jenis-jenis kayu di atas belum banyak dikenal luas oleh masyarakat maupun kalangan peneliti tanaman kehutanan sehingga tanaman jenis-jenis tersebut belum banyak dikembangkan. Beberapa kendala yang dihadapi dalam penelitian dan pengembangan jenis-jenis tersebut antara lain : a. Pengetahuan tentang silvikultur jenis-jenis tersebut masih sangat minim (di

luar cendana) sehingga menyebabkan minat dan kompetensi di bidang penelitian dan pengembangan masih sangat terbatas.

b. Pemanfaatan jenis-jenis tersebut masih terbatas pada industri kerajinan yang bersifat eksklusif dan masih memerlukan bahan baku yang terbatas pula. Walaupun untuk ketersediaan di alam masih dapat mencukupi, tetapi pada jenis-jenis tertentu seperti cendana dan stigi sudah mencapai tingkat ancaman kepunahan.

c. Beberapa tanaman memerlukan tempat tumbuh yang spesifik (cendana, stigi) sehingga kemungkinan keberhasilan penanaman jenis-jenis tersebut masih sangat kecil sementara potensi dan persediaan di alam sudah cukup kritis.

V. PENUTUP

Potensi jenis-jenis kayu penghasil bahan baku industri kerajinan bernilai tinggi pada beberapa kawasan sudah mencapai tahap yang kritis (cendana di Pulau Timor dan Sumba, serta eksploitasi besar-besaran tanaman santigi untuk bahan bonsai di Kupang). Pasokan bahan baku industri kerajinan tersebut biasanya berasal dari penebangan kayu alam dengan tingkat regenerasi alam yang rendah. Sementara untuk jenis-jenis unggul lainnya saat ini belum banyak dieksplorasi baik keberadaannya, ekologi serta manfaatnya dalam kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Oleh karena itu, kegiatan penelitian dan pengembangan sudah seyogyanya dapat mengambil peran penting sebagai basis pencegahan dari kepunahan jenis-jenis eksotis dan bernilai ekonomi tinggi tersebut sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Rare plants for home and garden. www.TopTropicals.com. Diakses tanggal 23 September 2008.

-----------. 2008. Gambar pohon Trembalo. www.sinhhocvietnam.com. Diakses tanggal 12 Oktober 2008

-----------. 2008. Gambar bonsai stigi. www.bonsai.bci.com. Diakses tanggal 12 Oktober 2008.

Ardiasto. 2008. Kiriman foto pribadi. Yang bersangkutan merupakan penggemar dan kolektor benda-benda pusaka termasuk Keris dan Tombak. Kiriman via email diterima tanggal 12 Agustus 2008.

Page 43: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Potensi Jenis Kayu Unggul Bahan Baku Kerajinan di Nusa Tenggara Timur Slamet Edi Sumanto

79

Hanum, I. F. dan L.J.G. van der Maesen, (editors). 1997. Plant Resources of South-East Asia II; Auxiliary Plants. PROSEA. Bogor.

Harsrinuksmo. B. 2004. Ensiklopedia Keris, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Terjemahan oleh Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.

Tjokrosuharto. 2008. Keris and Tosan Aji Introduction. www/tjokrosuharto.arts and craft. Diakses tanggal 27 Maret 2008.

Surata, I.K. 2006. Teknik Budidaya Cendana, Aisuli, Buletin Balai Penelitian Kehutanan Kupang.

Page 44: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

81

TEKNIK PENANAMAN LANGSUNG DAN PENGGUNAANNYA DALAM RANGKA REHABILITASI

HUTAN DAN LAHAN

Direct Seeding Method and Its Application for Forest and Land Rehabilitation

Hani Sitti Nuroniah dan/and A. Syaffari Kosasih

Pusat Litbang Hutan Tanaman

Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunung Batu No. 5, PO Box 331, Bogor Telp. (0251) 8631238; Fax. (0251) 7520005

I. PENDAHULUAN

a. Biaya menjadi lebih murah karena:

Dalam rangka percepatan upaya rehabilitasi hutan dan lahan diperlukan upaya penanaman hutan secara buatan. Buatan berarti bahwa benih atau bibit dibawa ke lokasi rehabilitasi tersebut untuk ditanam dengan bantuan manusia, jadi tidak didistribusikan secara alami dari pohon induk yang berada di sekitar daerah tersebut.

Dalam kegiatan penanaman, salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan adalah penyediaan benih. Benih berupa biji dapat disemaikan dahulu di persemaian atau ditanam langsung di lapangan. Secara umum kelebihan penanaman langsung dengan benih (direct seeding) dibandingkan dengan penyiapan bibit di persemaian adalah (Birkedal, 2010; Ezell, 2009; Purnell and Higgins, 1999):

b. Tanaman akan tumbuh lebih kuat karena sistem perakaran yang dalam, dimana pertumbuhan akar tidak mengalami gangguan akibat tidak adanya transplantasi.

(1) benih lebih murah daripada bibit, (2) biaya untuk tenaga kerja berkurang, dan (3) persiapan lahan lebih mudah dan murah. Namun biaya bisa menjadi lebih mahal jika penaburan menggunakan hydroseeder atau pesawat/helikopter.

c.

Sistem perakaran pohon yang berkembang dari penanaman langsung dianggap alami; berbeda dengan bibit yang ditanam dimana sistem akar mungkin terdistorsi atau berakhir dalam bentuk "L" atau "J" jika lubang tanam tidak cukup dalam. Sistem akar yang terdistorsi dan penanaman dangkal dapat mengurangi tingkat kelangsungan hidup pohon.

d.

Lebih mudah untuk digunakan di daerah terpencil atau yang tidak dapat diakses, yaitu lokasi di mana sulit untuk memindahkan peralatan, perlengkapan bahkan tenaga kerja. Penanaman langsung dengan cara penaburan biji dapat mencakup daerah yang luas dengan cepat, terutama jika penaburan dilakukan dari udara.

Adapun kelemahan dari penanaman langsung dibandingkan dengan pembibitan terlebih dahulu adalah

a.

(Birkedal, 2010; Ezell, 2009; Purnell and Higgins, 1999):

Penanaman langsung hanya terbatas pada species yang dapat tumbuh dengan mudah dari biji dan dalam waktu yang relatif cepat.

Page 45: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 81 - 86

82

b.

c.

Benih diperlukan dalam jumlah besar. Jika benih yang tersedia hanya ada dalam jumlah sedikit, maka lebih baik untuk melakukan pembibitan di persemaian.

d.

Salah satu masalah utama adalah predator. Semakin besar biji, semakin besar kemungkinan dimakan predator.

e.

Tanaman yang berkecambah langsung di lapangan sangat rentan terhadap keadaan alam seperti kekeringan atau banjir. Selama bulan pertama setelah perkecambahan, sistem akar pada kecambah masih dekat permukaan tanah. Jika tanah mengering berlebihan, bibit kecil bisa mati. Jarak tanam sulit dikontrol, sehingga mempengaruhi kualitas kayu. Jarak tanam yang tidak sama menyebabkan kegiatan budidaya tidak mudah.

f.

Hal ini dapat diatasi jika digunakan metode hand direct seeding dengan cara tugal (membuat lubang tanam), sehingga penaburan biji dilakukan pada lubang tanam yang sudah ditentukan. Jumlah benih yang ditaburkan didasarkan pada asumsi. Banyaknya biji yang ditabur bisa jadi terlalu banyak atau bahkan terlalu sedikit.

Karena tanaman sangat rentan dalam tahap awal pertumbuhan, maka penanaman langsung memerlukan perencanaan yang baik. Beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelum penanaman langsung adalah: seleksi jenis dan ketersediaan benih, pengujian daya kecambah, persiapan biji (penambahan insektisida, fungisida, repellent, pemberat, pupuk), persiapan lahan serta

II. TEKNIK PENYEMAIAN LANGSUNG (DIRECT SEEDING)

pengendalian gulma sebelum dan sesudah penaburan. Adapun pemilihan jenis ditentukan oleh: tujuan kepemilikan, lokasi geografis, potensi bahaya, dan ketersediaan benih.

Teknik penanaman langsung dapat dikategorikan dalam 3 jenis yaitu: (1).

Hand direct seeding, (2) Hydro seeding dan (3) Aerial seeding yang selanjutnya akan diuraikan dibawah ini. Metode yang dipilih tergantung pada: ketersediaan peralatan; ukuran wilayah dan kerapatan tanaman yang diinginkan; akses menuju lokasi, jenis tanah, kerentanan terhadap erosi atau banjir dan paparan angin.

2.1 Hand direct seeding

Hand direct seeding dilakukan dengan tangan baik secara ditabur

langsung atau sistem tugal tergantung jenis biji yang dipakai. Cara ini dapat dilakukan jika luas areal penanaman tidak terlalu besar dan lokasi tidak sulit untuk dijangkau. Dengan cara tugal, lubang tanam dibuat sedalam 2-3 kali ukuran benih, kemudian benih dimasukkan ke dalam lubang tanam dan ditutup dengan top soil.

Hand direct seeding telah banyak dilakukan dalam praktek penanaman. Contohnya dalam pembuatan hutan tanaman jati, meranti dan mahoni. Dalam satu lubang umumnya diisi tiga benih. Direct seeding dipilih karena: persediaan bibit melimpah, ukuran biji mudah ditangani (sebesar kelereng), perlakuan pendahuluan cukup dengan perendaman di air ditambah fungisida dan memiliki persen tumbuh yang tinggi (Kosasih, 1981).

Page 46: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Teknik Penanaman Langsung dan Penggunaannya dalam rangka Rehabilitasi Hutan dan Lahan Hani Sitti Nuroniah dan A. Syaffari Kosasih

83

2.2 Hydro seeding

Hydro seeding adalah suatu proses dimana benih, air, pupuk, mulsa serat, dicampur bersama dalam sebuah tangki dan ditaburkan ke areal penanaman melalui penyemprotan. Hydro seeding adalah sarana populer untuk menanam rumput karena relatif mudah diterapkan dan efektif.

Secara umum kelebihan dari hydro seeding adalah: (1) Jika area penanaman relatif besar, hydro seeding dapat menyelesaikan proses penaburan biji dalam waktu yang sangat singkat. (2) Hydro seeding dapat sangat efektif untuk lokasi perbukitan dalam membantu mengendalikan erosi dan penanaman cepat.

Kekurangan dari hydro seeding adalah benih yang lunak akan menjadi rusak, karena tidak tahan akan gesekan dari tenaga kinetis air yang disemprotkan. Keping biji akan patah atau terlepas satu sama lain, akibatnya bakal tanaman /embrio akhirnya rusak atau mati.

Teknik hydro seeding pernah diujicobakan di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngargoyoso, Karang Anyar, Jawa Tengah pada bulan April 2009 sebagai kegiatan kerjasama antara Puslitbang Hutan Tanaman, Dirjen RLPS dan BPK Solo (P3HT, 2009). Lokasi memiliki tingkat kelerengan curam (30o-40o). Jenis tanaman yang dipakai adalah surian, agathis, kaliandra dan lemo. Lokasi penanaman berupa rumput dan semak belukar dengan densitas rendah dari tanaman Pinus merkusii tua.

Sebelum ditabur, biji diberi perlakuan pendahuluan untuk menghilangkan masa dormansi (jika ada). Ke dalam larutan air dicampurkan pupuk NPK, insektisida dan perekat (Duratax, dosis 380 gram/petak).

Alat hydro seeding memiliki kapasitas 500 galon atau 2000 liter. Penyemprotan satu tangki memerlukan waktu sekitar satu jam. Kemampuan daya semprot (30-50 m) tergantung pada: daya semprot alat, panjang dan ukuran selang air serta bentuk dan ukuran nozzle.

• Dari ujicoba ini disimpulkan bahwa dalam pemilihan species sebaiknya:

• Benih memiliki berat yang cukup agar biji tidak mengapung di air.

Benih cukup keras agar tidak mudah hancur akibat proses pengadukan dalam hydro seeder.

• Benih tidak menyumbat nozzle (biji lebar agathis menyumbat nozzle).

Benih berbentuk bulat, karena lebih mudah menembus rumput dan mencapai tanah.

2.3 Aerial seeding

Aerial seeding adalah teknik menabur benih dari udara menggunakan pesawat terbang atau helikopter. Aerial seeding adalah pilihan terbaik jika lokasi penanaman merupakan remote area, tidak dapat diakses atau lokasi tersebar yang menyebabkan penanaman langsung sulit dilaksanakan. Jika kondisi dan jenis yang dipilih tepat disertai dengan suplai benih yang memadai, aerial seeding berpotensi sebagai teknik penting dalam reboisasi areal yang sangat luas.

Menurut Mergen et al. (1981) metode ini umum diterapkan untuk meningkatkan penutupan vegetasi pada lokasi luas yang mengalami kebakaran. Jenis yang ditabur umumnya biji rumput-rumputan atau legum yang dapat

Page 47: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 81 - 86

84

tumbuh dengan cepat. Rumput yang tumbuh dapat menghambat pertumbuhan gulma di lokasi kebakaran.

Dengan pertimbangan faktor alam (kecepatan angin, cuaca buruk), salah sasaran (jatuh di lokasi lain), biji tersangkut (daun, ranting, atau hanyut) dan persen tumbuh benih, maka benih yang ditabur harus tersedia dalam jumlah besar. Benih yang ditaburpun sebaiknya memiliki massa yang relatif berat agar tidak terbawa angin. Biji yang ringan dapat diberi pupuk, insektisida, bahan perekat dan bahan pemberat untuk menambah massa.

Penggunaan pesawat terbang atau helikopter merupakan bagian yang termahal dari teknik ini. Biaya sewa pesawat untuk 12 jam sebesar USD 17.050 (BPDAS Citarum-Ciliwung, 2009). Sebelum penaburan harus dilakukan dahulu observasi dengan survei udara dan peta lokasi untuk mendapatkan data kondisi hutan dan kontur medan.

Teknik penaburan biji dari udara telah dilakukan beberapa kali, antara lain sebagai berikut: • Tahun 1973 di Balapulang (Jawa Tengah) pada areal seluas 370 hektar

(Sumarna dan Sudiono, 1974a). Biji yang disebar adalah Sesbania grandiflora (turi), Leucaena leucocephala (lamtorogung), Caliandra calothyrsus (kaliandra), Acacia auriculiformis (akasia) dan Dalbergia sp. (sonokeling). Berdasarkan pengamatan permudaan setelah satu tahun penaburan biji yang terbukti tumbuh baik adalah lamtorogung dan kaliandra.

• Tahun 1973 di Lawu, Jawa Timur (Sumarna dan Sudiono, 1974b). Lokasi memiliki kemiringan lahan hingga 35o

• Tahun 1988/1989 di Sumba Timur, NTT seluas 400 hektar menggunakan jenis lamtoro. Saat monitoring, tanaman banyak ditemukan di lembah dan tepi kali, dan sangat sedikit sekali ditemukan di punggung bukit dan padang terbuka.

. Pada areal seluas 65 hektar ditaburkan 53.000 biji/hektar biji akasia dan kaliandra.

• Tahun 2006 dan 2008 di Nganjuk Jawa Timur (Sugiharto, 2009). Lokasi berada di kawasan hutan lindung RPH Gedang Klutuk, BKPH Pace, KPH Kediri pada lokasi seluas 2.069 ha. Lokasi penaburan memiliki ketinggian 1300-1800 m dpl dan merupakan daerah berbukit /bergunung dengan kemiringan lereng rata rata diatas 60o

. Jenis yang ditabur adalah sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) dan trembesi (Samanea saman). Dari hasil evaluasi ditemukan bahwa benih sengon buto tanpa perlakuan pendahuluan cukup berhasil tumbuh di lokasi, sedangkan trembesi kurang baik karena lokasi terlalu tinggi.

Page 48: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Teknik Penanaman Langsung dan Penggunaannya dalam rangka Rehabilitasi Hutan dan Lahan Hani Sitti Nuroniah dan A. Syaffari Kosasih

85

Gambar Uji coba aerial seeding yang dilaksanakan di Sentul Jawa Barat bulan

Juni 2010. Gambar kiri: Helikopter pengangkut biji, gambar kanan: biji yang akan disebarkan dari udara dibungkus dalam tanah liat dan tanah merah

III. PENUTUP

Penanaman benih langsung (direct seeding) memiliki potensi untuk penanaman hutan lindung karena lebih cepat, lebih alami dan dapat lebih murah. Selain mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dari hand direct seeding, hydro seeding dan aerial seeding dari segi teknis, hal lain yang perlu ditelaah adalah pertimbangan ekonomis dan sosial. Penilaian dari segi ekonomis dibutuhkan karena pemakaian peralatan tertentu seperti pesawat/helikopter memerlukan biaya sewa yang sangat besar. Adapun masalah sosial perlu dipikirkan berkaitan dengan ada/tidaknya tenaga kerja serta kesempatan kerja yang bisa didapat masyarakat sekitar hutan berkaitan adanya kegiatan penanaman di wilayah hutan. Bagaimanapun keberhasilan dari proses rehabilitasi ditentukan pula dengan adanya partisipasi dari masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Birkedal, M. 2010. Reforestation by direct seeding of beech and oak: Influence of granovorous rodents and site preparation. Doctoral Thesis. Swedish University of Agricultural Science. Swedia.

BPDAS Citarum-Ciliwung. 2009. Rancangan Teknis Aerial Seeding Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tahun Anggaran 2010 (tidak dipublikasikan). Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum- Ciliwung. Bogor.

Ezell, A.W. 2009. Seeding a forest regeneration alternative. URL: http://msucares.com/pubs/publications/p1588.htm. Diakses tanggal 2 Juni 2010.

Page 49: JABON (Anthocephalus cadamba Miq) SEBAGAI BAHAN BAKU PULP

Mitra Hutan Tanaman Vol.5 No 2, Agustus 2010, 81 - 86

86

Kosasih, A.S. 1981. Percobaan penanaman meranti langsung dengan biji (Direct seeding) di Wanariset Samboja Kalimantan Timur. Skripsi. Universitas Mulawarman.

Mergen, F., H.G. Abbott, W.F. Mann Jr, A.R. Moulds, A.H. Nordmeyer, J.D.. Scott and N.D. Vietmeyer. 1981. Sowing Forest from the Air. National Academy Press. Washington DC.61pp.

P3HT. 2009. Laporan aplikasi ujicoba penanaman dengan metode hydro seeding di Tahura Ngargoyoso, Karang Anyar, Jawa Tengah (tidak dipublikasikan). Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor.

Purnell, K. and I. Higgins. 1999. What is Direct Seeding. Landcare Notes LCO108, November 1999. Department of Natural Resources and Environment. Victoria. Australia.

Sugiharto. 2009. Rehabilitasi Hutan Meniru Alam. Dalam: Agroindonesia 24 Maret 2009. http://agroindonesia.co.id/2009/03/24/rehabilitasi-hutan-meniru -alam/. Diakses tanggal 2 Juni 2010.

Sumarna, K. dan Y. Sudiono. 1974a. Sampling permudaan pada areal penaburan biji dari udara di komplek Malahayu, KPH Balapulang Jawa Tengah. Laporan no 188. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor.

Sumarna, K. dan Y. Sudiono. 1974b. Sampling permudaan pada areal penaburan biji dari udara di komplek Gn. Bangunsari, KPH Lawu Ds., Jawa Timur. Laporan No. 180. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor.