Jabatan Tinggi

6
Jabatan Tinggi, EQ Rendah TIDAK semua mereka yang memiliki jabatan dan titel kesarjanaan tinggi memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Istilah kecerdasan emosional adakalanya disebut EI (emotional intelligence), EQ (emotional quotient), dan kecerdasan sosial. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan. Mantan Presiden Soeharto dan Akbar Tandjung adalah contoh orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu mengendalikan emosinya dalam berkomunikasi. Ketika membaca berita mengenai kekisruhan dalam rapat antara DPR dan Kejaksaan Agung belum lama ini, pikiran saya terdorong mengingat kembali teori Daniel Goleman seputar EQ untuk menganalisa perilaku pejabat tinggi dan politisi di pentas publik. Berdasar riset panjang, Goleman menyimpulkan, kecerdasan intelektual bukan faktor dominan dalam keberhasilan seseorang, terutama dalam dunia bisnis maupun sosial. Menurut Goleman, banyak sarjana yang cerdas dan saat kuliah selalu menjadi bintang kelas, namun ketika masuk dunia kerja menjadi anak buah teman sekelasnya yang prestasi akademiknya pas-pasan. Lalu, apa kunci keberhasilan hidup? Menurut dia, lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, yaitu aspek-aspek yang berkait dengan kepribadian, yang di dalamnya setidaknya ada empat unsur pokok. Pertama, kemampuan seseorang memahami dan memotivasi potensi

description

buku

Transcript of Jabatan Tinggi

Page 1: Jabatan Tinggi

Jabatan Tinggi, EQ Rendah

 

TIDAK semua mereka yang memiliki jabatan dan titel kesarjanaan tinggi memilikikecerdasan emosional yang tinggi. Istilah kecerdasan emosional adakalanyadisebut EI (emotional intelligence), EQ (emotional quotient), dan kecerdasansosial.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saatmenghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan. Mantan PresidenSoeharto dan Akbar Tandjung adalah contoh orang yang memiliki kecerdasanemosional tinggi, mampu mengendalikan emosinya dalam berkomunikasi.

Ketika membaca berita mengenai kekisruhan dalam rapat antara DPR dan KejaksaanAgung belum lama ini, pikiran saya terdorong mengingat kembali teori DanielGoleman seputar EQ untuk menganalisa perilaku pejabat tinggi dan politisi dipentas publik. Berdasar riset panjang, Goleman menyimpulkan, kecerdasanintelektual bukan faktor dominan dalam keberhasilan seseorang, terutama dalamdunia bisnis maupun sosial. Menurut Goleman, banyak sarjana yang cerdas dan saatkuliah selalu menjadi bintang kelas, namun ketika masuk dunia kerja menjadi anakbuah teman sekelasnya yang prestasi akademiknya pas-pasan.

Lalu, apa kunci keberhasilan hidup?

Menurut dia, lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, yaituaspek-aspek yang berkait dengan kepribadian, yang di dalamnya setidaknya adaempat unsur pokok. Pertama, kemampuan seseorang memahami dan memotivasi potensidirinya. Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain. Ketiga,senang bahkan mendorong melihat anak buah sukses, tanpa dirinya merasa terancam.Keempat, asertif, yaitu terampil menyampaikan pikiran dan perasaan dengan baik,lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lain tersinggung.

Untuk mengukur apakah seorang pimpinan memiliki kecerdasan emosional tinggi,jangan diukur dengan titel kesarjanaan dan kepangkatannya, tetapi tanyakan padamereka yang selalu berhubungan dengannya, entah itu sopir, satpam, pembanturumah tangga, anak buah, keluarga, maupun teman. Dari merekalah akan terpantulcitra kepribadian seorang pemimpin, terutama di saat-saat seseorangterkondisikan untuk marah.

Seberapa tinggi EQ seseorang mudah terlihat saat kritis, ketika suasananya tidakmenguntungkan, bahkan dalam posisi terancam. Dengan tolok ukur ini kita mendapatkesan banyak pejabat tinggi yang EQ-nya rendah meski titel akademisnya tinggi,termasuk dalam penguasaan ilmu agama. Cirinya, pertama, jika bicara cenderungmenyakiti dan menyalahkan pihak lain sehingga persoalan pokok tergeser olehpertengkaran ego pribadi. Yang terjadi kemudian persoalan tidak selesai, bahkanbertambah.

Kedua, rendahnya motivasi kinerja anak buah untuk meraih prestasi karena tidakmendapat dorongan dan apresiasi dari atasan. Pimpinan dengan EQ tinggi akanmampu memotivasi diri, lalu beresonansi pada orang-orang di sekelilingnya,terutama anak buahnya. Berdasarkan pengalaman memberi pelatihan di lingkunganbirokrasi pemerintahan maupun BUMN, ditemukan indikator kuat, hanya sedikit

Page 2: Jabatan Tinggi

pemimpin yang mampu memberi motivasi kerja pada anak buahnya. Banyak pemimpinmenjadi sasaran caci maki anak buah sehingga potensi dan dedikasi anak buahtidak optimal untuk memajukan perusahaan.

BEGITU rendahnya EQ sebagian pejabat tinggi kita, tidak mengherankan jikaproduktivitas rendah, bahkan banyak terjadi kebocoran anggaran. Menjelang akhirtahun, yang menjadi agenda utama adalah bagaimana menghabiskan anggaran danmembuat laporan keuangan agar tampak mulus meski hasil kinerjanya minus. Situasiini dipertegas hasil penelitian TII yang menyatakan perilaku korupsi birokrasidan bisnis di Jakarta sudah amat parah. Orang bukannya dipacu untuk meraihprestasi kerja, tetapi dibuat pusing dan sibuk mengenal serta memberi servispada orang-orang yang dekat dengan pengambil keputusan.

Banyak mahasiswa dan sarjana terkesan idealis saat di kampus, tetapi terhanyutbegitu menjadi birokrat. Rasanya perlu dipikirkan adanya pekan orientasi sarjanasebelum wisuda. Isinya, memberi peringatan disertai data akurat bahwa setelahwisuda mereka akan memasuki dunia baru yang penuh ranjau dan lingkungan kerjaserta sosial yang telah terkontaminasi virus korupsi dan manipulasi. Inimerupakan tugas akhir almamater, memberi peringatan dan tanggung jawab moralpada putra-putrinya agar memiliki komitmen untuk hidup terhormat, mengejarkarier dengan panduan skill dan suara hati.

PARA psikolog mengatakan, rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorangbisa menggabungkan setidaknya tiga kecerdasan, yaitu intelektual, emosional, danspiritual.

Kecerdasan intelektual (IQ) berkait dengan keterampilan seseorang menghadapipersoalan teknikal dan intelektual. Jika pendidikan kita mengabaikan aspekkeunggulan IQ, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dalam bidang sains danteknologi pada persaingan global.

Kini kita sudah merasakan betapa tertinggalnya kita dalam pendidikan sains.Pemerintah pun kurang melakukan penjaringan siswa berbakat untuk difasilitasiagar nanti menjadi ilmuwan tangguh.

EQ yang tinggi akan membantu seseorang dalam membangun relasi sosial dalamlingkungan keluarga, kantor, bisnis, maupun sosial. Bagi seorang manajer,kecerdasan emosional merupakan syarat mutlak. Lagi-lagi amat disayangkan,pendidikan kita miskin konsep dalam membantu mengembangkan EQ, bagi siswa maupunmahasiswa. Pelatihan EQ ini amat penting guna menumbuhkan iklim dialogis,demokratis, dan partisipatif karena semua menuntut adanya kedewasaan emosionaldalam memahami dan menerima perbedaan. Pluralitas etnis, agama, dan budaya akanmenjadi sumber konflik laten jika tidak disertai tumbuhnya budaya dialogis dansikap empati.

Tidak kalah penting, kecerdasan spiritual (SQ) yang berkait dengan masalahmakna, motivasi, dan tujuan hidup sendiri. Jika IQ berperan memberi solusiintelektual-teknikal, EQ meratakan jalan membangun relasi sosial, SQmempertanyakan apakah makna, tujuan, dan filsafat hidup seseorang.

Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, penulis buku SQ, The UltimateIntelligence, tanpa disertai kedalaman spiritual, kepandaian (IQ) danpopularitas (EQ) seseorang tidak akan memberi ketenangan dan kebahagiaan hidup.

Page 3: Jabatan Tinggi

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, berbagai pakar psikologi dan manajemendi Barat mulai menyadari betapa vitalnya aspek spiritualitas dalam karierseseorang, meski dalam menyampaikannya terkesan hati-hati. Yang fenomenal, takkurang dari Stephen R Covey meluncurkan buku The 8th Habit (2004), padahalselama ini dia sudah menjadi ikon dari teori manajemen kelas dunia The SevenHabits. Rupanya Covey sampai pada kesimpulan, kecerdasan intelektualitas danemosionalitas tanpa bersumber spiritualitas akan kehabisan energi dan berbelokarah.

Di Indonesia, krisis kepercayaan terhadap intelektualitas kian menguat saatbangsa yang secara ekonomi amat kaya ini dikenal sebagai sarang koruptor danmiskin, padahal hampir semua yang menjadi menteri maupun birokrat memiliki latarbelakang pendidikan tinggi. Asumsi bahwa kesarjanaan dan intelektualitas akanmengantar masyarakat yang damai dan bermoral digugat Donald B Caine dalam buku:Batas Nalar, Rasionalitas dan Perilaku Manusia yang sedang dibicarakan banyakorang. Mengapa bangsa Jerman yang dikenal paling maju pendidikannya danmelahirkan banyak pemikir kelas dunia pernah dan bisa berbuat amat kejam?Pertanyaan serupa bisa dialamatkan kepada Inggris, Amerika Serikat, dan Israel

KEMBALI pada soal EQ. Teori ini valid untuk melihat perilaku dan gayakepemimpinan seseorang dalam kelompok terbatas. Dalam wilayah sosial danpolitik, terlalu banyak variabel yang tidak cukup dianalisis dengan teori EQ.

Namun satu hal pasti, kita mengharapkan negeri ini diurus oleh mereka yangcerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Yaitu mereka yang kualitasakademisnya baik, mampu berkomunikasi sosial secara simpatik, inspiring danmotivating, serta memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai spiritual sebagaipanduan hidup. Jika ketiga kualitas ini tidak terpenuhi, sebaiknya minggir sajaatau bangsa ini akan kian hancur oleh perilaku pemimpinnya sendiri.*

Oleh Komaruddin Hidayat Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta/PembinaSekolah Madania