j3

8
Jurnal Ilmiah WIDYA 121 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013 RE-INVENSI BATIK DAN IDENTITAS INDONESIA DALAM ARENA PASAR GLOBAL Ananda Feria Moersid Fakultas Seni Rupa – Institut Kesenian Jakarta E-mail: [email protected] Abstrak: Re-Invensi Batik dan identitas Indonesia merupakan suatu fenomena yang penting untuk dapat mengangkat kualitas komoditas di arena pasar global. Re-invensi adalah sebuah upaya yang secara sadar mengkonstruksi identitas baru yang berangkat dari tradisi yang berfungsi sebagai pembentuk ikatan sosial dan secara politis serta dibutuhkan sebagai bentuk legitimasi status dan otoritas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Bagaimana seni visual tradisional dalam hal ini batik Indonesia harus diposisikan pada pasar global. (2) Bagaimana kualitas batik Indonesia dapat menjadi komoditas yang mampu bersaing dalam pasar global. Metoda yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa: (1) Batik sebagai tradisi ‘otentik’ selalu dapat dikonstruksi atau dire-konstruksi, demi kepentingan politis ataupun pariwisata (2) Kapital ekonomi saja tidaklah cukup, berbagai upaya harus dilakukan untuk meraih kapital budaya dan secara terus menerus menambah pengetahuan budaya, kompetensi dan keunggulan. Hanya dengan kemampuan untuk berubah, mencari bentuk baru dan mengkondisikan batik sebagai sebuah produk budaya, maka re-invensi tradisi dapat menjadi sumber kreativitas dan penegasan identitas Indonesia pada pasar global. Kata Kunci: re-invensi, konstruksi sosial, identitas global Abstract: Batik re-invention and Indonesian identity is an important phenomenon in order to build the quality of the commodity, especially in global market. Re-invention is a conscious effort to construct a new identity based on tradition as a builder of social ties and politically legitimize status and authority. The objective of this study is to find out: (1) How the position of the traditional visual arts, in this case batik within the global market. (2) How to render the qualities of Indonesian Batik into marketable commodity, fit for competition on the global market? The method used library research with the descriptive and explorative approaches. It can be concluded that: (1) Batik as the so called ‘authentic’ tradition can also be constructed or re-reconstructed for the sake of political or tourism. (2) Economic capital is not enough; efforts must be made to attain cultural capital, a constant cultural knowledge, competence and superiority in one’s field. Only by the ability to change, to form new style and put the condition of batik as a cultural production, so that the re-invention of tradition becomes the source of creativity and to confirm Batik identity in the global market. Key words: re-invention, socially constructed, global identity PENDAHULUAN Latar belakang studi ini adalah bahwa produksi batik sebagai salah satu identitas budaya di tengah masyarakat, khususnya di Indonesia sedang berubah secara dinamis. Produksi batik yang esensinya adalah menghias permukaan kain dengan tehnik wax-resist, rintang warna menggunakan lilin malam, suatu tehnik warisan pre-moderen hingga kini masih mampu mengatasi kondisi-kondisi yang menguntungkan maupun menyulitkan yang dipaksakan oleh modernitas, dan hadir sebagai sebuah tradisi kontemporer. Desain pola batik dan keberagaman penggunaannya menggambarkan keberagaman wajah masyarakat di Jawa yang terus menerus berubah-ubah sepanjang masa. Jejak-jejak agama Hindu, Buddha dan Islam dapat ditemui selain keberagaman etnis dan adat- istiadat yang mewarnainya. Sepanjang sejarahnya, para pendatang, petualang maupun penjajah ikut menyumbangkan jejak mereka pada tanah Jawa dan salah satu produk keseniannya yang utama yaitu batik. (McCabe Elliott, 2004: 22). Saat ini orientasi budaya tidak hanya bersifat regional dan nasional tetapi meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru dan di saat lokalitas-lokalitas berupaya me’redefinisi’ diri dan dalam upaya melihat bagaimana identitas kebudayaan mereposisi diri. Sesuatu yang disebut sebagai ‘tradisi’ ternyata selalu mengalami perubahan, baik disadari maupun tidak. Identitas dan Tradisi menurut pemikiran Eric Hobsbawm (1987) yang melihat re-invensi tradisi sebagai bentuk–bentuk upaya yang secara sadar mengkonstruksikan identitas baru yang berangkat dari tradisi itu. Fungsinya selain sebagai pembentukan ikatan sosial, juga secara politis diperlukan ISSN-L 2338-3321 ISSN 2337-6686

description

Rani

Transcript of j3

  • Jurnal Ilmiah WIDYA 121 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013

    RE-INVENSI BATIK DANIDENTITAS INDONESIA DALAM ARENA PASAR GLOBAL

    Ananda Feria MoersidFakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta

    E-mail: [email protected]

    Abstrak: Re-Invensi Batik dan identitas Indonesia merupakan suatu fenomena yang penting untuk dapat mengangkat kualitas komoditasdi arena pasar global. Re-invensi adalah sebuah upaya yang secara sadar mengkonstruksi identitas baru yang berangkat dari tradisi yangberfungsi sebagai pembentuk ikatan sosial dan secara politis serta dibutuhkan sebagai bentuk legitimasi status dan otoritas. Tujuan penelitianini adalah untuk mengetahui: (1) Bagaimana seni visual tradisional dalam hal ini batik Indonesia harus diposisikan pada pasar global. (2)Bagaimana kualitas batik Indonesia dapat menjadi komoditas yang mampu bersaing dalam pasar global. Metoda yang digunakan adalahstudi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa: (1) Batik sebagai tradisi otentik selalu dapatdikonstruksi atau dire-konstruksi, demi kepentingan politis ataupun pariwisata (2) Kapital ekonomi saja tidaklah cukup, berbagai upayaharus dilakukan untuk meraih kapital budaya dan secara terus menerus menambah pengetahuan budaya, kompetensi dan keunggulan. Hanyadengan kemampuan untuk berubah, mencari bentuk baru dan mengkondisikan batik sebagai sebuah produk budaya, maka re-invensi tradisidapat menjadi sumber kreativitas dan penegasan identitas Indonesia pada pasar global.

    Kata Kunci: re-invensi, konstruksi sosial, identitas global

    Abstract: Batik re-invention and Indonesian identity is an important phenomenon in order to build the quality of the commodity, especiallyin global market. Re-invention is a conscious effort to construct a new identity based on tradition as a builder of social ties and politicallylegitimize status and authority. The objective of this study is to find out: (1) How the position of the traditional visual arts, in this case batikwithin the global market. (2) How to render the qualities of Indonesian Batik into marketable commodity, fit for competition on the globalmarket? The method used library research with the descriptive and explorative approaches. It can be concluded that: (1) Batik as the socalled authentic tradition can also be constructed or re-reconstructed for the sake of political or tourism. (2) Economic capital is notenough; efforts must be made to attain cultural capital, a constant cultural knowledge, competence and superiority in ones field. Only bythe ability to change, to form new style and put the condition of batik as a cultural production, so that the re-invention of tradition becomesthe source of creativity and to confirm Batik identity in the global market.

    Key words: re-invention, socially constructed, global identity

    PENDAHULUAN Latar belakang studi ini adalah bahwa produksi batiksebagai salah satu identitas budaya di tengah masyarakat,khususnya di Indonesia sedang berubah secara dinamis.Produksi batik yang esensinya adalah menghias permukaankain dengan tehnik wax-resist, rintang warna menggunakanlilin malam, suatu tehnik warisan pre-moderen hinggakini masih mampu mengatasi kondisi-kondisi yangmenguntungkan maupun menyulitkan yang dipaksakanoleh modernitas, dan hadir sebagai sebuah tradisikontemporer. Desain pola batik dan keberagamanpenggunaannya menggambarkan keberagaman wajahmasyarakat di Jawa yang terus menerus berubah-ubahsepanjang masa. Jejak-jejak agama Hindu, Buddha danIslam dapat ditemui selain keberagaman etnis dan adat-istiadat yang mewarnainya. Sepanjang sejarahnya, para

    pendatang, petualang maupun penjajah ikutmenyumbangkan jejak mereka pada tanah Jawa dan salahsatu produk keseniannya yang utama yaitu batik. (McCabeElliott, 2004: 22). Saat ini orientasi budaya tidak hanya bersifat regionaldan nasional tetapi meluas ke global dengan serangkaiannilai dan norma baru dan di saat lokalitas-lokalitasberupaya meredefinisi diri dan dalam upaya melihatbagaimana identitas kebudayaan mereposisi diri. Sesuatuyang disebut sebagai tradisi ternyata selalu mengalamiperubahan, baik disadari maupun tidak. Identitas danTradisi menurut pemikiran Eric Hobsbawm (1987) yangmelihat re-invensi tradisi sebagai bentukbentuk upayayang secara sadar mengkonstruksikan identitas baru yangberangkat dari tradisi itu. Fungsinya selain sebagaipembentukan ikatan sosial, juga secara politis diperlukan

    ISSN-L 2338-3321ISSN 2337-6686

  • untuk pelegitimasian status dan otoritas. Batik bukanlah sekedar warisan barang berhargayang memiliki nilai jual tinggi, tetapi adalah juga simbolkultural, melaluinyalah Indonesia menunjukkanidentitasnya. Ditengah gempuran perebutan identitasbatik milik siapa, meskipun telah berhasil mendapatlegitimasi menyusul wayang dan keris yang telah lebihdahulu mendapat pengakuan sebagai Masterpieces of TheOral and Intangible Heritages dari UNESCO pada tahun2009, masalah yang dihadapi adalah status tersebut dapatsaja dicabut kembali bila Indonesia tidak mampumerepresentasikannya ke dunia sebagai identitas yangmemang layak untuk diakui dan berhak untuk terus hidup,recognized and revitalized, seperti tujuan dari proklamasiUNESCO yang antara lain mengutamakan warisanbudaya sebagai a living cultural expression, ekspresibudaya yang hidup dan bukan seperti benda mati yangdipajang di museum. Apabila apa yang disebut sebagai tradisi otentikituselalu dapat dikonstruksi atau dire-konstruksi, demikepentingan politis ataupun pariwisata, maka bagaimanaharus memposisikan seni visual tradisional, dalam hal inibatik di pasar global. Rumusan permasalahan studi iniantara lain: (1) apa yang menjadi referensi padamasyarakat yang yang sedang berubah kini, (2) bilaorientasi tak hanya bersifat regional atau nasional tapimeluas ke global dengan serangkaian nilai-nilai baru,bagaimana pengaruhnya pada proses penciptaan batik?(3) Di saat lokalitas-lokalitas saling berupaya untukmeredefinisikan dan menentukan bentuk-bentukkebudayaan baru, bagaimana bentuk reposisi batik sebagaibagian dari identitas kebudayaan?

    Tujuan studi ini ingin mengetahui: (1) Bagaimanaseni visual tradisional dalam hal ini batik Indonesia harusdiposisikan pada pasar global. (2) Bagaimana kualitasbatik Indonesia dapat menjadi komoditas yang mampubersaing dalam pasar global. Studi ini menggunakan kajian kepustakaan denganpendekatan deskriptif dan eksploratif. Termasuk kerangka

    Jurnal Ilmiah WIDYA 122 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013

    Ananda Feria Moersid, 121 - 128

    pemikiran Arjun Appadurai dalam Modernity atLarge(2000) dan Disjuncture and Difference in TheGlobal Cultureal Economy dalam The Anthology ofGlobalization (2002) dan landasan pemikiran EricHobsbawm dalam The Invention of Tradition (1987)

    PEMBAHASANBatik Kain batik adalah satu bentuk tekstil dengan tehnikragam hias permukaan yang permukaannya dihias dengantehnik wax-resist yaitu rintang-warna menggunakan lilindan paling luas penggunaannya di Asia Tenggara. Kainpanjang batik dan sarung yang hingga kini masihdigunakan oleh wanita maupun pria terutama di pedesaandan telah berabad-abad lamanya menjadi bagian pentingdalam khazanah busana Melayu (van Roojen, 2001:9).Di luar kegunaannya yang fungsional, kain-kain batik takdapat lepas dari nilai simboliknya, baik dari ragam hiasnyamaupun ekspresi warnanya, begitu pula pilihanmaterialnya. Kain dengan pola ragam hias tertentu dapatmenunjukkan status dan kekuasaan seseorang ataupenggunanya, juga nilai-nilai temporal simbolik yaituwaktu misalnya waktu apa batik tersebut boleh digunakan.Batik begitu berakar dalam kehidupan, terutama di Jawa,dari sejak digunakan sebagai alas, selimut dan alatpenggendong bayi, sarung petani hingga kampuh, kainpanjang seremonial seorang raja, dari kain pengantinhingga penutup jenazah (Hardjonagoro, 1999:65) Teruo Sekimoto (2003:111) melihat batik tidak hanyasebagai komoditi melainkan juga sebagai obyek kultural.Sebagai suatu komoditi, batik digunakan sehari-hari dihampir seluruh negeri di Indonesia, namun batik jugadapat dilihat sebagai sebuah simbol kultural, karenamelalui batik tak hanya orang Jawa, tapi bangsa Indonesiajuga mengekspresikan kebanggaan mereka. McCabeElliott (2004:22) menegaskan bahwa tehnikrintang-warna menggunakan material-material alamiseperti lilin, beras dan umbi-umbian yang dilumatkan,bahkan lumpur yang dibubuhkan pada selembar kain

    Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

  • simultan di mana-mana, sejak sebelum Masehi di Mesir,pada masa dinasti Tang abad ke 8 di Cina, bahkan diAfrika, India juga Jepang hingga saat ini; namun tak dapatdipungkiri bahwa hanya di Jawa dan Madura lah batikmuncul sebagai satu bentuk seni menghias permukaankain yang menonjol di Asia baik dari segi teknik maupunperbendaharaan motif ragam hiasnya.

    Gambar 1: Proses Batik Klasik Tradisional.Dok :McCabe Elliott

    Gaya Batik KlasikPepin van Roojen (2001) mencatat bahwa apa yang

    disebut sebagai gaya batik klasik bersumber pada arusbudaya yang mendasarinya, yaitu kerajaan Mataram II(1575-1755) di Jawa. Istilah klasik merujuk pada ragamhias yang berasal dari masa pra-Hindu, masa Hindu-JawaMajapahit dan pengaruh Islam pada masa kesultananDemak dan Pajang. Batik dengan gaya klasik tersebutmeski mengalami perubahan-perubahan namun masihselalu dalam pakem, konvensi yang mengikat dandiwariskan turun-temurun di bawah patronase parapenguasa di keraton Surakarta dan Yogyakarta, sebagaipewaris dari kebudayaan Mataram. Hingga kini batik-batik tradisional tersebut masih dibuat dengan standarketrampilan yang tinggi, hingga dianggap sebagai batikyang paling murni (Roojen, 2001:41) Pada catatan-catatan tertulis tentang kehadiran batiksebagai karya berharga yang diekspor dari pulau Jawaditemui di Malabar, pada tahun 1516, disusul dengancatatan tahun 1518, tentang kain-kain diwarna indahyang disebut sebagai tulis, yang bermakna sama dalambahasa Indonesia, istilah yang hingga kini masihdigunakan untuk kain batik halus buatan tangan, batiksebenarnya sudah merupakan tradisi yang berumur

    Jurnal Ilmiah WIDYA 123 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013

    Ananda Feria Moersid, 121 - 128

    panjang.Tradisi dan Identitas Di samping masalah teknik pembuatan dan estetikabatik, terdapat pesan-pesan sosial yang dikandung didalamnya, termasuk juga penegasan tentang identitassiapa penggarap dan penggunanya, lingkup kehidupan,dan yang terpenting world viewatau pandangan hidupyang mendasari proses kreatifnya. Franz Magnis-Soeseno(1984) menandai bahwa dalam pandangan dunia Jawatersebut, realitas tak dibagi-bagi dalam bidang-bidangyang terpisah, tanpa hubungan satu sama lain, melainkanrealitas dilihat sebagai suatu kesatuan yang menyeluruhdan merupakan suatu kesatuan pengalaman. Budayawan Umar Kayam (1990) melihat bahwakonsep tentang keindahan yang dianut oleh penguasaJawa adalah refinement, penghalusan untuk mempertegasidentitas aristokrasi. Kebudayaan feodal-aristokratis Jawamenganggap konsep alus sebagai soko-guru pentingdalam menjaga peradaban, maka di rumah-rumah parabangsawan, para priyayi birokrat elit Jawa, unsur seni-tari, bahasa serta pemahaman kesusateraan, termasuk jugaseni membatik merupakan dasar-dasar pendidikan yangpenting. Membatik di rumah bukanlah sebagai pengisimasa senggang namun juga penghalusan budi. Sebenarnya, apa yang dapat dianggap dan disebutsebagai tradisi itu yang tampil atau dinyatakan sebagaitua seringkali memiliki asal atau awal yang baru, bahkanmerupakan re-invensi baru. Pada tahun-tahun pertamasetelah kemerdekaan dan pemulihan kedaulatan bangsaIndonesia, ada upaya dari presiden Soekarno untukmemiliki suatu gaya nasional dengan mengangkat kebayadan kain batik sebagai busana bagi perempuan yangdiangankan sebagai suatu semangat pan-Indonesianyaitu berlaku untuk seluruh Negara. Semangat pencarianidentitas kemudian semakin dipertegas saat GubernurJakarta Ali Sadikin pada tahun 1972 mencanangkankebaya batik sebagai busana untuk acara-acara resmipengganti jas. Batik sejak itu memang bukan hanya obyekkomoditi, tetapi juga secara resmi menjadi simbol budayadalam pencarian identitas bangsa.

    Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

  • Gambar 2: Identitas Betawi Baru.Dok : Dinas Kebudayaan DKI

    Proses perubahan dari apa yang diyakini sebagaitradisi pun sebenarnya masih relatif muda usianya sepertipada saat Ali Sadikin sebagai gubernur DKI mencanangkanidentitas Betawi, dibutuhkan figur-figur pendampinggubernur dalam melakukan tugas-tugas seremonialnya.Maka diadakan ajang kontes Abang dan None Jakartasebagai penampilan identitas Betawi yang Islami selainyang banyak mendapat pengaruh Cina hingga lahirlahkebaya yang tak hanya turunan dari kebaya encim tapijuga panjang dan berkerudung bagi None dan baju demangbersongkok kepala selain baju koko dan celana komprangbatik bagi Abang Jakarta ( Shahab, 2004). SementaraBenedict Anderson (1993) melihat bahwa konsep tradisidapat selalu berubah-ubah tergantung pada kepentinganpolitis dan karenanya merupakan sebuah konstruksi sosial,khususnya demi identitas tertentu yang ingin dibangun,baik oleh kolonialisme penjajahan atau negara-negarayang baru merdeka. Pada perkembangan pencarian identitas nasionaldi era Suharto, ada semangat penyeragamanseperti yangterjadi pada anjuran penggunaan seragam Korpri bagipegawai negeri sipil dan seragam batik untuk siswa-siswaSD,SLTP dan SLTA Negeri pada setiap tanggal 17, tanggal20 Mei dan anjuran tidak formal untuk mengenakan bajubatik lengan panjang setiap hari Jumat. Melalui seragambermotif batik penguasa menegaskan kekuasaan birokratisdan politis hingga dapat disebut sebagai ritual penegasankekuasaan birokratis. Konvensi penggunaan kemeja batiksebagai busana untuk acara-acara resmi pengganti jas .Pada perkembangannya kini sudah menjadi dress code -protokol busana yang tercantum pada undangan yang

    Jurnal Ilmiah WIDYA 124 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013

    Ananda Feria Moersid, 121 - 128

    diterima masyarakat, dan sebagai identitas nasional. Kinidiproduksi pola-pola baru batik dengan corak Papua,Toraja dan seterusnya hingga dapat dikatakan bahwaterjadi nasionalisasi penggunaan batik yang semulahanya busana bagi beberapa local tertentu di Jawa saja. Pada Asia Pacific Economic Conference (APEC) diistana Bogor tahun 1994, batik sebagai identitas nasionalmendapat perhatian dunia saat 18 pemimpin dunia sepertipresiden Amerika Serikat Bill Clinton, Perdana MenteriJepang, Canada dan lainnya berfoto bersama mengenakankemeja batik sutera yang didesain oleh Iwan Tirta denganpola batik tradisional yang digabung dengan lambangkenegaraan yang terpampang di bendera masing-masingnegara. Dapat dikatakan bahwa selain nasionalisasi jugaterjadi internasionalisasi batik, mendunia sekaligusmempertahankan ciri lokalnya.

    Gambar 3: Internasionalisasi Identitas Batik.Dok : Iwan Tirta

    Analisis Dialektik Kehidupan PraksisHabitus , Kapital, Arena , Praksis Dalam upaya mencari relasi antara struktur obyektifyaitu kebudayaan dan agen (individu), Bourdieumemproposisikan sebuah teori bagi analisis dialektikkehidupan praksis. Dua alat konseptual yang digunakanoleh Bourdieu adalah habitus dan ranah atau arena yangditopang oleh konsep tentang kekuatan simbolik, strategidan perjuangan untuk mencapai kekuasaan simbolik danmaterial, berikut beragam kapital yaitu ekonomi, kulturaldan simbolik. Sebuah formula yang menurut Bourdieunon-linier menggantikan relasi yang sederhana antaraindividu dan struktur dengan relasi-relasi yangdikonstruksikan antara habitus dan arena hingga tercapai:

    Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

  • (Habitus X Kapital) + Arena = Praksis Habitus terdiri dari selain pengetahuan individualjuga bagaimana ia memahami dunianya, menyumbangpada realita dunianya. Habitus adalah mindset seseorangyang disesuaikan dengan kondisi-kondisi tertentu yangdihadapinya. Pengetahuan individual memiliki kekuatankonstitutif (membangun yang esensial) dan bukan sekedarrefleksi dari dunia nyata. Oleh karenanya habitus takpernah fixed atau statis, baik menurut waktu bagiindividual maupun dari satu generasi ke generasiberikutnya. Bila posisi dalam arena berubah, begitu puladisposisi yang membentuk habitus. (Bourdieu, 1984: 467) Kapital dapat memiliki cakupan yang luas, dariyang material dan memiliki nilai simbolik, hingga yangtak tersentuh namun secara budaya dianggap memilikiatribut-atribut signifikan seperti prestise, status danotoritas dapat dianggap sebagai kapital simbolik, sedangkapital budaya didefinisikan sebagai pola-pola yangdilandasi selera dan konsumsi budaya. Oleh karena itu,kapital merupakan relasi atau hubungan sosial dalam satusistem pertukaran, dan ini berlaku untuk semua benda,material maupun simbolik, tanpa perbedaan, yangmerepresentasikan diri sebagai sesuatu yang langka danlayak untuk dicari, dikejar dalam satu bentuk formasisosial tertentu, antara lain kehormatan dan distingsi ataukeberbedaan yang menonjol (Bourdieu, 1977:178) Untuk memasuki arena dan mampu bermain dalampertarungan kekuatan di dalamnya, seseorang harusmemiliki habitus yang mengarahkannya untuk dapatberjaga-jaga atau beradaptasi sebelum memasuki arenatersebut dan bukan yang lainnya. Berarti ia harus berupayamenggunakan seluruh pengetahuan, ketrampilan dantalentanya dengan cara yang semenguntungkan mungkin.Untuk berhasil, ia harus menginvestasikan seluruh kapitalyang dimilikinya agar bisa memperoleh manfaat yangpaling besar atau keuntungan dari upayanya berpartisipasidalam arena (Bourdieu, 1977:179-183). Kapital karenanyaharus berada di dalam arena untuk memaknainya dan paraagen tidak bergerak dalam kehampaan, namun dalamsituasi-situasi sosial nyata yang ditata dan dikuasai olehrelasi-relasi sosial obyektif. Untuk menjelaskannya,

    Jurnal Ilmiah WIDYA 125 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013

    Ananda Feria Moersid, 121 - 128

    Bourdieu mengembangkan konsep arena yang merupakanmetafora untuk menggambarkan field of forces yaituarena kekuatan-kekuatan yang dinamis tempat beragampotensi dimungkinkan hadir di dalamnya.

    Dalam perspektif Bourdieu, potensiinterplay, saling jalin-menjalin hubungan timbal-balikantara agen, si pelaku dan struktur objektif ataukebudayaan sangat dinamis dan tidak sederhana. Perananhabitus sebagai kognisi yang memandu seseorang untukmelakukan sesuatu tidaklah linier, bergantung pada kapitalyang dimiliki atau dikejar dan arena tempat dia beradaatau yang dituju. Di sinilah strategi lapangan atau praksisberfungsi. Bourdieu (1984) mengajak orang melihat sebuahdunia kebudayaan yang selalu lahir akibat dari transisidan sirkulasi pemikiran-pemikiran baru yang semulahanya beredar di kalangan terbatas pada kaum intelektual,di bidang seni dan para akademisi yang disebutnya sebagaiprodusen simbol-simbol, kepada para produsen di tahapke dua yaitu media yang menghasilkan budaya konsumendan kebudayaan popular. Melalui para agen perubahanitulah batas-batas area kebudayaan yang semula tertutupdapat diakses dan menjadi milik publik.Analisis Re-invensi Batik

    Bila pada masa lalu batik seakan tak dapat lepasdari identitasnya sebagai produk budaya tanah Jawa, makakini pada saat batas-batas fisik dan geografis yang semulategas membingkai identitas tersebut kini menjadi kaburseiring dengan penyebaran dan mobilitas orang Jawayang semakin meluas dan intensif. Apa yang dulu denganmudah diberi bingkai kebudayaan agraris Jawa punmulai dipertanyakan oleh kekuatan yang berada di luardirinya. Ciri-ciri lokal pun mulai bergeser dengan mulaimelebarnya batas-batas interaksi. Masuknya kekuatanpasarpun memperluas jaringan dan orientasi masyarakathingga masyarakat Jawa yang semula merupakan suatubounded system dengan batas-batas yang jelas, kini karenamekanisme pasar, integrasi dan ekspansi pasar beralihmenjadi suatu borderless society. Orientasi kini tak hanyaregional tetapi meluas ke global dengan serangkaian nilaidan norma baru (Abdullah,1999: 13).

    Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

  • Saat ini, kecenderungannya adalah hanya produkbudaya yang mampu menterjemahkan kualitas miliknyamenjadi komoditas dan acara budaya yang hanya dapatdipasarkan yang akan mampu bersaing, bertahan danterglobalisasi dengan baik (Picard dan Wood,1997).Sekarang, Indonesia harus berupaya memposisikan produkseni rupa tradisional, dalam hal ini batik di dalam pasarglobal, sehingga kualitas batik Indonesia dapat menjadikomoditas yang mampu bersaing dalam pasar global.Global-Lokal dan Glokalisasi Shinji Yamashita (2003:4)) membahas proseskebudayaan yang sedang berlangsung dan relasinya denganglobalisasi ekonomi maupun politik. Pada kasus-kasus diAsia Tenggara, komunitas nasional, etnik atau sub-regionalmenyumbang banyak sebagai agen-agen produksi budaya.Namun mereka bukanlah entitas-entitas yang sama sepertisebelumnya, pada saat batasan wilayah dari komunitas-komunitas menjadi semakin cair dalam proses globalisasi,maka homogenitas kebudayaan dalam setiap komunitaskini dipertanyakan. Identitas kebudayaan saat ini terusmenerus terkontestasi, tertantang pada saat usaha-usahainternasional, negara dan pemerintah, kelas-kelas sosialberbeda, dan kelompok-kelompok berbasis gender, etnisitasdan lokalitas saling berupaya untuk meredefinisikandan menentukan bentuk-bentuk kebudayaan baru.Hasilnya, suara-suara yang kita dengar kini menjadisemakin beragam. Penggunaan istilahglokalisasi, pertamakali olehRoland Robertson (1995) sebagai perkawinan dariglobalisasi dan lokalisasi yang diambil dari konsepdochakuka, prinsip agrikultural Jepang yaitu adaptasiteknik petanian untuk kebutuhan lokal yang diadopsi olehdunia bisnis Jepang yang bermakna adaptasi cara pandangglobal ke dalam kondisi lokal. Oleh karenanyaglokalisasi bukanlah pertentangan antara globalisasi danlokalisasi, tapi keduanya berjalan bersama-sama. Dalamperspektif ini, globalisasi bukanlah proses homogenisasiyang tak terarah, namun proses hibridisasi dualistik dimana lokalisasi adalah sebuah proses yang dihasilkanoleh globalisasi (Yamashita, 2003: 6) Proses glokalisasi telah berlangsung cukup lama

    Jurnal Ilmiah WIDYA 126 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013

    Ananda Feria Moersid, 121 - 128

    di Indonesia yang terlihat tidak hanya pada contoh masakini seperti dalam musik dangdut yang merupakan hibridamusik Melayu, India dan pop Barat, tapi juga dapat dilihatjauh ke belakang misalnya pada desain ragam hias batik,seperti ragam hias batik dari Cirebon yaitu Paksi NagaLiman yang mengggabungkan pengaruh dari Hindu, Cina,dan Islam. Demikian pula motif Megamendung yang kuatpengaruh bentuk maupun warna dari Cina namun hanyadapat ditemui di Cirebon dan bukan di negeri asal pengaruhitu datang. Saat ini topik dalam masyarakt tentang bagaimanamempertahankan atau meningkatkan daya juang dandaya tahan tradisional atau lokal dalam menghadapiserbuan kapitalisme global. Namun menurut PrimadiTabrani, (2003:18) bahwa sesungguhnya Indonesia sudahmemiliki ketahanan tersebut, bahkan sejak pra-sejarah,di negeri ini sebagai kawasan lintasan antar benua, apapunbentuk seni yang datang dari luar selalu diolah hinggatinggi muatan lokalnya, dan identitas lokal selalu bertahan.Oleh karena itu, globalisasi bukanlah suatu hal yangmenakutkan dan harus dihindari, karena masalah dariinteraksi global adalah akan selalu terjadi adaptasi daricara pandang global ke dalam kondisi lokalRe-Invensi Tradisi dan Peran Agen Perubahan Saat ini seperti dikatakan oleh Picard dan Wood(1997:33) bahwa :kecenderungan saat ini adalah hanyakebudayaan-kebudayaan baik itu etnik, nasional, regionaldan lainnya yang mampu menterjemahkan kualitasmiliknya menjadi komoditas yang dapat dipasarkansecara global. Hanya yang memiliki pasar yang akanmampu bersaing, bertahan dan terglobalisasi dengan baik.

    Untuk berhasil dalam satu arena produksi budaya,yaitu tempat produksi dan reproduksi, antara lain jugaseni tradisi, seseorang harus berupaya menggunakanseluruh pengetahuan, ketrampilan dan talentanya dengancara yang semenguntungkan mungkin. Untuk berhasil,seorang pengrajin, perancang, dan tak hanya pengusahaharus menginvestasikan seluruh kapital yang dimilikinyaagar bisa memperoleh manfaat yang paling besar ataukeuntungan dari upayanya berpartisipasi dalam arenaproduksi (Bourdieu 1993).

    Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

  • Sebagai contoh dalam studi ini, sumbangan besar

    dari Maestro Batik, Iwan Tirta (alm) pada industri batik

    modern di Indonesia dalam mengemas dan rekacipta

    tradisi. Dengan menguasai pakem tradisi yang diperoleh

    melalui riset dan dokumentasi yang mendalam, ia mampu

    melakukan pembaharuan material, dimensi, dan desain

    batik keratonan maupun batik pesisiran hingga produk

    yang semula milik lokalitas-lokalitas terbatas dapat

    diangkat meluas ke nasional, regional bahkan global.

    Gambar 4: Teknologi Komputer sebagai Strategi Re-invensi TradisiDesain BatikDok : Ananda Moersid, Iwan Tirta

    Banyak temuan Iwan Tirta selama hampir empatdekade dari tahun 1970 an hingga awal 2000 an di bidangbatik, namun sumbangan terbesarnya adalahmentransformasikan kain batik tradisional yang semulahanya dikenakan sebagai jarik, kain panjang tradisionalJawa ukuran tertentu yang dililitkan di tubuh, menjadibusana gaya Barat yang mampu mengikuti selera zaman.Dengan mem blow out (memperbesar) ragam hias batikdan menyesuaikan posisi pola letak batik dari semulahanya terbatas vertikal pada jarik menjadi horizontalsesuai dengan pola busana Barat, maka sekaligus terciptadimensi baru batik yang dapat direproduksi dalam dimensidan volume yang tak terbatas jumlahnya. Perluasan material batik dicapai Iwan Tirta denganmemproduksi teknik batik di atas material-material barudan mewah seperti sutera, organza, rayon juga wol danmelakukan eksperimen pola maupun pewarnaan yangsesuai dengan material-material baru tersebut. Melaluiriset dan pendokumentasian pola batik denganmenggunakan teknologi komputer, maka pola-pola lama

    Jurnal Ilmiah WIDYA 127 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013

    Ananda Feria Moersid, 121 - 128

    dapat angkat dan digunakan kembali menjadi baru, atausama sekali baru, dan hasilnya adalah sebuah rekonstruksitanpa batas. Penguasaan pakem batik yang didukung olehteknologi baru tersebut menjadi dasar penyeberanganIwan Tirta ke medium-medium baru seperti penggunaanragam hias batik untuk perangkat makan perak dankeramik porselen, misalnya. Maka dapat dikatakan bahwabagi seorang agen perubahan harus selalu mampu kreatifdalam pasar yang berubah-ubah dinamis dituntut jugapraksis strategi yang dinamis baik di bidang desain maupunteknologi. Melalui re-invensi yaitu penemuan baru dan re-kreasi yang diambil dari tradisi dan dengan mengendalikan promosi dan pengkondisian selera, maka kekayaan budayayang semula adalah kapital sosial-budaya bagi lokalitasterbatas kini dapat menjadi kapital sosial-ekonomi, dandiproduksi secara luas, atau dalam bahasa dagang disebutlayak jual. Regenerasi agen-agen perubahan amat dibutuhkansetelah kepergian sang Maestro Batik Iwan Tirta yangberjasa membuka habitus batik yang semula merupakanidentitas the ruling class yaitu para penguasa di dalamlingkup keraton-keraton di Jawa dengan dikemas lagidengan dikendalikan lewat promosi dan pengkondisianselera hingga nilainya naik masih terus dibutuhkan agar batikyang semula merupakan Kapital Sosial-Budayabagi lokalitas terbatas, pada ujungnya menjadi KapitalMaterial-Ekonomi dalam arena yang lebih luas yaituarena negara (nation-state) Indonesia bahkan menduniadalam diplomasi Batik is Indonesia. Bila diihat bahwa proses glokalisasi adalah sebuahnegosiasi antara budaya lokal dalam menghadapi budayaglobal maka Re-Invensi Tradisiyang dilakukan para agenperubahan pada hakekatnya adalah sebuah dialog dannegosiasi yang terus menerus. Dialog dan Negosiasi itudiharapkan bisa menjadi sumber kreativitas kita sekaligusstrategi bagi para pelaku atau agen produksi budaya dalammenghadapi kapitalisme dan pasar global. Pada saatbersamaan terjadi perluasan arena produksi budaya, dariarena lokal ke arena regional, bahkan mendunia, dengansekaligus tetap menegaskan identitas lokal, yaitu BatikIndonesia.

    Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global

  • PENUTUPKesimpulan1. Konstruksi teori estetika yang selama ini terbatas padapenjelasan tentang konsep seni dan berkesenian ataubagaimana mengapresiasi seni kini dapat diperluas denganmemasukan unsur para agen perubahan sebagai penentudalam perubahan struktur obyektif yaitu kebudayaan.2. Dalam kaitannya antara Identitas dan Tradisi makaRe-invensi Tradisi adalah bentukbentuk upaya yangsecara sadar mengkonstruksikan Identitas baru yangberawal dari Tradisi itu berfungsi selain sebagaipembentukan ikatan sosial, juga secara politis diperlukanuntuk pelegitimasian status dan otoritas pendukung budayatertentu.3. Konsep estetika batik saat ini tidak lagi sekedaridentifikasinya saja namun dengan memberi tekanan padaidentitas batik, terjadi perluasan orientasi yang tak lagihanya regional atau nasional tapi sudah meluas ke globaldengan meredefinisi dan mereposisi diri. Di satu sisiteknik, media dan desain tradisional dipertahankan, disisi lain inovasi, promosi dan perluasan pasar dilakukanhingga arena produksi budaya diperluas dengan terusmenerus melakukan praksis negosiasi dan dialog global-lokal sebagai sumber kreativitas.Saran-saran1. Studi lebih lanjut tentang re-invensi dan re-kreasi batikdari seni tradisi menjadi seni kontemporer akanmenghasilkan tentang proses penciptaan dan transformasiidentitas juga bagaimana mengkonstruksikan identitasbaru yang berangkat dari tradisi.2. Studi lebih lanjut tentang fenomena produk batik sebagaibagian dari identitas lokal yang baru di luar pulau Jawaseperti Batik Papua, Batik Kalimantan dan seterusnyaakan memperkaya khazanah Batik (Baru) di Indonesia.Dibutuhkan studi perlindungan hukum berupa hak ciptaintelektual Batik Indonesia dari teknik hingga disainragam hias dan pola.

    DAFTAR PUSTAKAAbdullah, Irwan. Dari Bounded System ke Borderless Society:

    Krisis Metode Antropologi dalam Memahami Masyarakat MasaKini, Antropologi Indonesia, (XXIII) 60:11-18. 1999.

    Jurnal Ilmiah WIDYA 128 Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013

    Ananda Feria Moersid, 121 - 128

    Anderson, Benedict R. OG. Imagined Communities: Reflection onthe Origin and Spread of Nationalism (Revised Edition), London:Verso.1993.

    Appadurai, Arjun. Modernity at Large: Cultural Dimensions ofGlobalization, Minneapolis: University of Minnesota Press.2000Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy,The Anthropology of Globalization, A Reader, Jonathan XavierInda and Renato Rosaldo, eds.2002

    Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice, translated byRichard Nice, Cambridge: University Press.1977 Distinction:A Social Critique of the Judgement of Taste, translated byRichard Nice, Cambridge: Harvard University Press.1984 TheLogic of Practice, Stanford: Stanford University Press.1990The Field of Cultural Production, Essays on Art and Literature,edited and translated by Randall Johnson, Cambridge: PolityPress.1993

    Hardjonagoro, KRTH. Motifs and Meanings in Batik: Spirit ofIndonesia, Judi Achjadi, ed, Jawa Barat: Yayasan BatikIndonesia.1999.

    Hobsbawm, Eric. Inventing Traditions inThe Invention of Tradition,Eric Hobsbawm; Terence Ranger, eds. Cambridge: CambridgeUniversity Press.1987.

    Kayam, Umar. Ngayogyakarta dalam Sekaring JagadNgayogyakarta Hadiningrat, Mary J. Edleson, SoedarmadjiJ.H. Damais,eds. Jakarta: Himpunan Wastraprema.1990.

    Kearney, M. The Local and The Global: The Anthropology ofGlobalization and Transnationalism in Annual Review ofAnthropology, vol. 24 .1995

    Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.1994.Magnis-Suseno SJ, Franz. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi

    tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.1984.McCabe Elliott, Inger. Batik, Fabled Cloth of Java. Singapore:

    Periplus Editions.2004.Moersid, Ananda. Agen Perubahan Dalam Arena Produksi Budaya

    Batik Keratonan Yogyakarta Disertasi Doktoral. Jakarta: ProgramStudi Pasca Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial danPolitik, Universitas Indonesia.2007.

    Picard, Michel and Robert E. Wood. Tourism, Ethnicity, and theState in Asian and Pacific Societies. Honolulu: Hawaii UniversityPress.1997.

    Sekimoto, Teruo. Batik as a Commodity and a Cultural Object inGlobalization in Southeast Asia: Local, National andTransnational Perspectives, Shinji Yamashita; J. S. Eades, eds. New York: Berghan Books .2003.

    Shahab, Yasmin Zaki. The Creation of Ethnic Tradition: Betawi ofJakarta, Dissertation. School of Oriental and African Studies,University of London.1994.

    Tabrani, Primadi. Indonesian Visual Art: A Never Ending Processof Interpellation, Curatorial Introduction in CP Open Biennale2003. Jakarta: CP Foundation.2003.

    Tirta, Iwan. Batik: A Play of Light and Shades. Jakarta: Gaya FavoritPress .1996.

    Batik in Fashion in Batik, Spirit of Indonesia. Cibudur: YayasanBatik Indonesia.1999.

    Roojen van, Pepin. Batik Design. Singapore: The Pepin Press. 2001.

    Yamashita, Shinji; J.S. Eades. (eds). Globalization in Southeast Asia:Local, National and Transnational. 2003.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Iwan_Tirta/22 Oktober 2012 jam 23.15WIBhttp://dannyreviews.com/h/Batik.html/Rabu, 18Desember 2012 1:59:32

    AM

    Re-Invensi Batik dan Identitas Indonesia dalam Arena Pasar Global