J U KUASA PARA PENGUASA R N A L Y U D Yudisial/Jurnal-Agustus-2012.pdfLingkungan Hidup Kajian...

143
PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011 Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung KETEPATAN HAKIM DALAM PENERAPAN PRECAUTIONARY PRINCIPLE SEBAGAI "IUS COGEN" DALAM KASUS GUNUNG MANDALAWANGI Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004 Loura Hardjaloka, Fakultas Hukum Universitas Indonesia PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KORBAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Kajian Putusan MA Nomor. 862 K/Pid.Sus/2010 Yeni Widowaty, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM KASUS GADAI YANG TERINDIKASI "SANRA PUTTA" Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP A. Nuzul, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone WANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINYA KEWAJIBAN HUKUM YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Kajian Putusan No. 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM: UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA Kajian Putusan MA Nomor. 653/K/Pid/2011 Rena Yulia, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten KUASA PARA PENGUASA Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Hal. 117-240 Jakarta Agustus 2012 ISSN 1978-6506 ISSN 1978-6506 Vol. 5 No. 2 Agustus 2012 Vol. 5 No. 2 Agustus 2012 Hal. 117-240 JURNAL YUDISIAL Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat Telp. 021 390 5876, Fax. 021 390 6215 PO BOX 2685 email : [email protected]

Transcript of J U KUASA PARA PENGUASA R N A L Y U D Yudisial/Jurnal-Agustus-2012.pdfLingkungan Hidup Kajian...

PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAANKajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011

Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung

KETEPATAN HAKIM DALAM PENERAPAN PRECAUTIONARY PRINCIPLE

SEBAGAI "IUS COGEN" DALAM KASUS GUNUNG MANDALAWANGIKajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004

Loura Hardjaloka, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KORBAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Kajian Putusan MA Nomor. 862 K/Pid.Sus/2010Yeni Widowaty, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM KASUS GADAI YANG TERINDIKASI "SANRA PUTTA"

Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTPA. Nuzul, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone

WANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINYA KEWAJIBAN

HUKUM YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Kajian Putusan No. 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg

Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM:UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA

Kajian Putusan MA Nomor. 653/K/Pid/2011Rena Yulia, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten

KUASA PARA PENGUASA

Jurnal Yudisial

Vol. 5 No. 2 Hal. 117-240

JakartaAgustus 2012

ISSN 1978-6506

ISSN 1978-6506

Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

Vo

l. 5 N

o. 2 A

gu

stus 2

01

2 H

al. 11

7-2

40

JU

RN

AL

YU

DI

SI

AL

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta PusatTelp. 021 390 5876, Fax. 021 390 6215 PO BOX 2685

email : [email protected]

I

Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

ISSN 1978-6506

Jurnal Yudisial

Vol. 5 No. 2 Hal. 117-240

Jakarta Agustus 2012

ISSN 1978-6506

KUASA PARA PENGUASA

jurnal agustus 2012-arnis.indd 1 7/27/2012 3:11:20 PM

II

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-

putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat

Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215

Email: [email protected]

DIS

CLA

IME

R

jurnal agustus 2012-arnis.indd 2 7/27/2012 3:11:20 PM

III

MIT

RA

BE

STA

RI Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas

sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi April 2012. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Filsafat dan Pidana)

2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum. (Pakar Metodologi Hukum dan Etika)

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Hukum Pidana)

4. Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. (Pakar Hukum Pidana)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 3 7/27/2012 3:11:20 PM

IV

PE

NG

AN

TARPenanggung Jawab : Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si.

Pemimpin Redaksi : Drs. Patmoko (Bidang Studi Ekonomi dan Pembangunan)

Penyunting : 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Bidang Hukum Ekonomi/Bisnis)

2. Onni Rosleini, S.H., M.Hum., M.Si. (Bidang Hukum Pidana)

3. Heru Purnomo, S.H. (Bidang Ilmu Hukum)

4. Imran, S.H., M.H. (Bidang Ilmu Hukum Pidana)

5. Asep Rahmat Fajar, S.H., M.A. (Bidang Sosiologi Hukum)

6. Suwantoro, S.E., M.M. (Bidang Ekonomi dan Komputer)

7. Duke Arie W, S.H., M.H. (Bidang Hukum Tata Negara)

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian, S.IP.

Arnis Duwita Purnama, S.Kom.

Sekretariat : 1. Sri Djuwati

2. Yuni Yulianita, S.S.

3. Romlah Pelupessy, S.E.

4. Ahmad Baihaki, S. Kom.

5. Arif Budiman. S.Sos.

6. Drs. Adi Sukandar

7. Aran Panji Jaya, S.T.

8. Nur Agus Susanto, S.H., M.M.

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra, A.Md.

TIM

PE

NY

US

UN

jurnal agustus 2012-arnis.indd 4 7/27/2012 3:11:20 PM

V

PE

NG

AN

TAR KUASA PARA PENGUASA

Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), tidak milik pejabat pemerintah, pemangku jabatan kekuasaan kehakiman, wakil rakyat, tapi dapat dilakukan oleh pemangku kebijakan korporasi hingga para individu. Potensi abuse of power

dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja tanpa pernah mengenal kasta.

Kekuasaan bagi sebagian besar pemangku kuasa laksana anggur merah yang memabukkan. Kekuasaan seringkali melalaikan para pengampu sehingga cenderung melupakan esensi dari amanah dan pertanggungjawaban.

Jangan heran apabila realitas menunjukkan pemangku kuasa seringkali terlena dan berlomba-lomba mencecap “kenikmatan semu” singgasana kekuasaan. Mereka tanpa sadar sudah terbawa pusaran kekuasaan sehingga terjerumus ke dalam bilik-bilik penjara. Tidak berlebihan apabila banyak penguasa dan pengusaha harus tersangkut dengan persoalan hukum seperti saat ini.

Tidak berlebihan apabila Lord Acton mengatakan kalimat tersohor bahwa power tend to corrupt, kekuasaan cenderung disalahgunakan oleh para pemiliknya, penguasa. Begitu pula dengan sabda Nabi SAW, qullukum ro’in, waqullukum ro’iyaatihii, setiap hamba adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban. Mengurai sabda itu, kekuasaan dimaknai tidak hanya milik para pejabat lembaga pemerintahan, tapi juga para legislator dan pengampu kekuasaan kehakiman yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Merujuk pada pandangan dan realitas di atas, Jurnal Yudisial kali ini mengangkat tema “Kuasa Para Penguasa”. Argumentasi tema berdasarkan kajian-kajian yang sudah dituliskan oleh penulis Anton F. Susanto, Loura Hardjaloka, Yeny Widowaty, A. Nuzul, Widiada Gunakaya, dan Rena Yulia menyimpulkan bahwa hakim, pengusaha, pejabat pemerintahan hingga individu, dapat dengan mudah mengendalikan kekuasaan yang dimiliki agar sesuai dengan keinginannya. Mereka tanpa sadar “bermain mata” dengan hukum sehingga merugikan hak orang lain dan menciderai rasa keadilan. Apabila keadilan sudah tercemari kepentingan dan kekuasaan, maka makna dan harga keadilan itu sendiri telah sirna.

Untuk itulah, kajian-kajian dalam jurnal ini diharapkan mampu mendorong terwujudnya keadilan sebagai esensi keagungan lembaga peradilan. Sebagai penutup, kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua, Wakil dan para Ketua Bidang Komisi Yudisial, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial, Mitra Bestari dan semua pihak yang telah membantu dalam penerbitan Jurnal Yudisial.

Tertanda

Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

jurnal agustus 2012-arnis.indd 5 7/27/2012 3:11:20 PM

VI

UDC: 343.85

Hardjaloka L (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi

Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 134-153

Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada aparat tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya pembuktian dari para tergugat. Kasus sebagaimana dianalisis dalam artikel ini bukanlah bencana alam karena kejadiannya dapat diprediksi namun para tergugat tidak menjalankan prinsip kehati-hatian untuk mencegahnya. Para tergugat berdalih bahwa prinsip ini belum menjadi hukum positif di Indonesia, akan tetapi prinsip ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.

(Loura Hardjaloka)

Kata kunci: prinsip kehati-hatian, ius cogen, tanggung jawab mutlak.

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506 Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.

UDC: 342.228

Susanto AF (Fakultas Hukum, Universitas Pasundan, Bandung)

Problematika Nalar dan Kekuasaan

Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 117-133

Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan oleh putusan yang dibuatnya, sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Tulisan ini ingin membedah putusan yang dianggap kontroversial dan berkonotasi negatif, yaitu putusan MARI No. 36P/Hum/2011, yang dipandang tidak memenuhi aspek prosedural dan material, jauh dari nilai-nilai kepastian dan keadilan, bahkan terdapat sinyalemen adanya konflik kepentingan. Putusan memperlihatkan kekuasaan lebih dominan daripada hakikat kebenaran itu sendiri, yang memperlihatkan masih kentalnya arogansi birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas hakim perlu mendapat perhatian utama dalam peningkatan kapasitas hakim, khususnya yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial.

(Anthon F. Susanto)

Kata kunci: kode etik, profesionalisme, kebenaran, keadilan.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 6 7/27/2012 3:11:20 PM

VII

UDC: 347.243

Nuzul A (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Watampone)

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan Dalam Kasus Gadai yang Terindikasi “Sanra Putta”

Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 170-188

Pelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis: sanra tanah) di masyarakat Kab. Bone pada kenyataannya tidak mengikuti ketentuan Pasal 7 Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, di mana pemilik barang gadai tetap berkewajiban mengembalikan uang tebusan. Begitu pula perjanjian gadai atas tanah dilaksanakan hanya secara lisan (tidak ada bukti tertulis) dan tidak adanya saksi. Lazim pula pelaksanaan gadai atas tanah kemudian berubah (diteruskan) menjadi jual beli, yang dalam istilah adat kebiasaan masyarakat setempat disebut dengan sanra putta (jual putta). Jika terjadi permasalahan hukum di kemudian hari, misalnya salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji) atau mengingkari kesepakatan yang pernah mereka lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi, sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim yang menangani kasus demikian seyogianya mencermati adanya latar belakang perjanjian demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya jual beli tanah yang disebut sanra putta.

(A. Nuzul)Kata kunci: perjanjian gadai tanah, sanra tanah, sanra putta.

UDC: 343.221

Widowaty Y (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban dalam Kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Kajian Putusan MA Nomor 862K/Pid.Sus/2010

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 154-169

Pihak yang paling menderita akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan adalah para korban. Oleh karena itu setiap pihak yang melakukan kegiatan yang merugikan korban harus bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Dari kasus yang dianalisis, dapat ditunjukkan bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung masih berfokus pada pelaku kejahatan (offender) sebagai fokus utama dari sanksi pidana. Dengan hanya menjatuhkan pidana pada diri pelaku, dalam hal ini direktur PT DEI, sisi perlindungan terhadap korban belum diberikan. Pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup dikatakan ideal apabila korban tindak pidana lingkungan hidup juga mendapatkan perlindungan hukum berbentuk pemberian ganti kerugian maupun pemulihan lingkungan. Salah satu cara agar korban mendapat perlindungan hukum yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap korban, adalah dengan penerapan asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam tindak pidana lingkungan hidup dengan syarat-syarat tertentu.

(Yeni Widowaty)

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana

korporasi, tanggung jawab mutlak, tindak pidana lingkungan hidup.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 7 7/27/2012 3:11:20 PM

VIII

UDC: 347.42

Gunakaya W (Sekolah Tinggi Hukum Bandung)

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum yang Menimbulkan Kerugian Keuangan Negara

Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg.

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 189-223

Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa ini perkembangannya sudah sangat sistemik dengan tidak hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tetapi juga telah merampas hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas. Salah satu upaya pemberantasannya adalah dengan menetapkan ajaran “sifat melawan hukum material” dalam fungsinya yang positif ke dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayangnya, kaidah hukum tersebut oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang “kepastian hukum yang adil” sebagai salah satu prinsip negara hukum. Padahal dalam rangka pemberantasan korupsi, penerapan kaidah hukum dimaksud dapat dibenarkan sekaligus juga efektif. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dalam putusan No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg yang dibahas dalam artikel ini seharusnya juga menerapkan kaidah hukum tersebut, karena terdakwa tidak memenuhi kewajiban hukum yang harus dilakukan sehingga secara nyata telah menimbulkan kerugian keuangan negara. Hakim mempertimbangkan perbuatan terdakwa itu sebagai ingkar janji (wanprestasi) sehingga

tidak dapat dituntut menurut hukum pidana.

(Widiada Gunakaya)

Kata kunci: korupsi, sifat melawan hukum pidana, wanprestasi, kerugian keuangan negara.

UDC: 343.22

Yulia R (Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten)

Penerapan Keadilan Restoratif dalam Putusan Hakim: Upaya Penyelesaian Konflik Melalui Sistem Peradilan Pidana

Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 224-240

Banyak kasus-kasus sederhana yang berakhir di pengadilan dan diselesaikan dengan melanggar rasa keadilan masyarakat kecil. Sepertinya keadilan tidak pernah berpihak kepada mereka. Keadilan lebih banyak didekati dari perspektif prosedural bukan keadilan substansial. Sebagaimana ditunjukkan dalam putusan yang dianalisis di dalam artikel ini, penjatuhan putusan untuk kasus yang terbilang “sederhana” ini akan lebih tepat jika didasarkan pada filosofi pemidanaan keadilan restoratif. Penulis yakin bahwa pilihan keadilan restoratif ini sudah saatnya dipertimbangkan, dimulai dari kasus-kasus sederhana seperti ini.

(Rena Yulia)

Kata kunci: masyarakat kelas bawah, keadilan restoratif, kasus pidana sederhana.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 8 7/27/2012 3:11:21 PM

IX

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506 Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

UDC: 342.228

Susanto AF (Fakultas Hukum, Universitas Pasundan, Bandung)

The Problems of Reason and Power

An Analysis on the Supreme Court Decision Number 36P/Hum/2011 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 117-133

Court decisions are the crown of judges’ performance and regarded as one of the most obvious indicators of their quality and credibility. The prestige of this respected profession will dwindle gradually whenever majority of their decisions are considered controversial signalling negative connotation by not seriously taking truth and justice into account. One of such controversial decisions is the supreme court ruling No. 36P/Hum/2011. Not only does it fail to conform the procedural and material aspects, but also it shows the conflict of interest within the judicial power itself. The decision denotes that power is more dominant rather than truth in term of law enforcement. In addition, the decision reveals that strong arrogant atmosphere in the supreme court’s beaurocratic culture still exist. The author of this article recommends that legal reasoning, morality, and conscience are those of materials that should be added in the materials of judges’ capacity upgradings held by the Judicial Commission.

(Anthon F. Susanto)

Keywords: code of ethics, profesionalism, truth, justice.

UDC: 343.85

Hardjaloka L (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)

The Accuracy of Implementing Precautionary Principle as “Ius Cogen” in the Case of Mt. Mandalawangi

An Analysis on Decision Number 1794K/Pdt/2004 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 134-153

The absence of implementing the precautionary principle has to put forth the strict liability in the case of Mt. Mandalawangi. Such a liability will not depend on the existence of any legal proofs conveyed by the defendants. The incident of Mt. Mandalangi was not a natural disaster but could be predicted before. It happened because of the precautionalry principle disobedience. Despite admitting the violation, the defendants claim that this principle has not yet become a part of Indonesian positive law. Otherwise, the principle can be regarded as ” ius cogen” that has been accepted and recognized by international communities. Ius cogen can be modified only by a new general and basic norm of international law with the same characteristic.

(Loura Hardjaloka)

Keywords: precautionary principle, ius cogen, strict liabilitity.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 9 7/27/2012 3:11:21 PM

X

UDC: 343.221

Widowaty Y (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Criminal Corporate Liability In Favor of The Victims In The Case of Environmental Crime

An Analysis on the Supreme Court Decision Number 862K/Pid.Sus/2010 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 154-169

The people living in any poluted environments are those who are prone to be victimized. Any parties causing the troubles should be responsible for the damages. In the analysis of a case on environmental problem, the author of this article describes that criminal sanction imposed by the disctrict court, high court, and supreme court, are only targeted to the offender as happened to a director of PT DEI. In fact, the victims need some other kinds of sanction like compensation and/or environmental restoration rather than just imprisonment of the criminals. In order to protect the implicated people, it is recommended in certain conditions to apply the strict liability principle in addressing environmental crimes.

(Yeni Widowaty)

Keywords: criminal corporate liability, strict liability, environmental crimes.

UDC: 347.243

Nuzul A (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Watampone)

Land Dispute Settlement In The Case of Rice Field Mortgage Indicated as “Sanra Putta”

An Analysis on Decision Number 34/Pdt.G/2007/PN.WTP (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 170-188

Implementation of the land mortgage agreement called sanra tanah in the Bone Regency, in fact, fails to comply with Article 7 of Law in lieu No. 56 Year 1960 on the Establishment of Agricultural Land. According to this regulation, the owner remains obligated to return the pawned goods ransom. There is also common that land mortgage agreements are verbally concluded without any written evidence as well as witnesses. In practice, these initial agreements can be continued to sale and purchase agreements based on the local traditions. If there is a dispute related to the so called sanra putta agreement, the amicable settlement will be chosen as the first resort, but the choice usually does not succeed to resolve the conflict. Due to the lack of evidence, such a dispute finally will be brought to the court. As mentioned by the author of this article, any panel of judges should be aware of such a customary background. Decision No. 34/Pdt.G/2007/PN.WTP, the author indicates that the case belongs to a sanra putta agreement.

(A. Nuzul)

Keywords: land mortgage agreement, sanra tanah, sanra putta.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 10 7/27/2012 3:11:21 PM

XI

UDC: 347.42

Gunakaya W (Sekolah Tinggi Hukum Bandung)

Breach of Contract as The Qualification of Non-Compliance To Legal Obligation That Causes State Financial Loss

An Analysis on Decision Number 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg. (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 189-223

There has been a tendency in the increase of systemic corruption in Indonesia resulting a great loss of state budget and national economy. Corruption has also caused the massive deterioration of people’s socio-economic basic rights. One of attempted efforts to get rid of corruption is to install the doctrine of “The nature of criminal offence” in material sense with positive function in Law No. 31 Year 1999 juncto Law No. 20 Year 2001 on Corruption Eradication, but this legal formulation has been dismantled by the Constitutional Court by saying (stating) it is contradictory with Article 28D paragraph (1) of the 1945 Constitution regarding “the just legal certainty” as one of the principles of the rule of law. The doctrine can be regarded as a legalized and effective instrument in combating corruption. In the court decision No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg analyzed in this article, it was worth if judges used such a doctrine because the accused had been proved to result state financial loss. However, judges considered that the accused’s failure to fulfill his legal obligation as merely the breach of contract that could not meet the elements of any criminal action.

(Widiada Gunakaya)

Keywords: corruption, nature of criminal offence, breach of contract, state financial loss.

UDC: 343.22

Yulia R (Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten)

The Implementation of Restorative Justice in the Verdict: an Effort to Resolve the Conflict Through the Criminal Justice System

An Analysis on the Supreme Court Decision Number 653/K/Pid/2011 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(1), 224-240

Many trivial cases have been sent to the courts so far with some of them ended with non-populist verdicts. Such court rulings have been disturbing the common sense showing that justice never takes the side of the poor. Justice is approached only from the procedural perspective. As shown in this article, one of the trivial cases was not handled in appropriate way since the restorative philosophy of punishment had never been considered to apply. The author of this article believes that it is time to start implementing such a philosophy of punishment beginning from trivial cases as in the case under discussion.

(Rena Yulia)

Keywords: lower class society, restorative justice, trivial criminal case.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 11 7/27/2012 3:11:21 PM

XII

DA

FTA

R IS

I Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN .................................... 117Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung

KETETAPAN HAKIM DALAM PENERAPAN Precautionary PrinciPle SEBAGAI “ius cogen” DALAM KASUS GUNUNG MANDALAwANGI ...................................... 134Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004Loura Hardjaloka, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

PERTANGGUNGJAwABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KORBAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP ............................................... 154Kajian Putusan MA Nomor 862K/Pid.Sus/2010Yeni Widowaty, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAwAHAN DALAM KASUS GADAI YANG TERINDIKASI “SANRA PUTTA” ..................... 170Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTPA. Nuzul, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone

wANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINYA KEwAJIBAN HUKUM YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA .......... 189Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN. BdgWidiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM:UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA ................................................................ 224Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011Rena Yulia, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten

ISSN 1978-6505

jurnal agustus 2012-arnis.indd 12 7/27/2012 3:11:21 PM

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 117

abstract

Court decisions are the crown of judges’ performance and regarded as one of the most obvious indicators of their quality and credibility. The prestige of this respected profession will dwindle gradually whenever majority of their decisions are considered controversial signalling negative connotation by not seriously taking truth and justice into account. One of such controversial decisions is the supreme court ruling No. 36 P/Hum/2011. Not only does it fail to conform the procedural and material aspects, but also it shows the conflict of interest within the judicial power itself. The decision denotes that power is more dominant rather than truth in term of law enforcement. In addition, the decision reveals that strong arrogant atmosphere in the supreme court’s beaurocratic culture still exist. The author of this article recommends that legal reasoning, morality, and conscience are those of materials that should be added in the materials of judges’ capacity upgradings held by the Judicial Commission.

Keywords: code of ethics, profesionalism, truth, justice.

ABSTRAK

Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan oleh putusan yang dibuatnya, sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Tulisan ini ingin membedah putusan yang dianggap kontroversial dan berkonotasi negatif, yaitu putusan MARI No. 36 P/Hum/2011, yang dipandang tidak memenuhi aspek prosedural dan material, jauh dari nilai-nilai kepastian dan keadilan, bahkan terdapat sinyalemen adanya konflik kepentingan. Putusan memperlihatkan kekuasaan lebih dominan daripada hakikat kebenaran itu sendiri, yang memperlihatkan masih kentalnya arogansi birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas hakim perlu mendapat perhatian utama dalam peningkatan kapasitas hakim, khususnya yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial.

Kata kunci: kode etik, profesionalisme, kebenaran, keadilan.

PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN

Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011

THE PROBLEMS OF REASON AND POWER

Anthon F. SusantoFakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung

Email: [email protected]

An Analysis on the Supreme Court Decision Number 36P/Hum/2011

Diterima tgl 6 Juli 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012

jurnal agustus 2012-arnis.indd 117 7/27/2012 3:11:21 PM

118 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

PENDAHULUAN I.

Eksistensi penegak hukum khususnya hakim sering mendapat sorotan publik, terutama berkait dengan putusan-putusannya yang bersifat kontroversial. Dikatakan kontroversial karena pertimbangan hukum putusannya cenderung tidak dapat “diterima” oleh kalangan masyarakat luas dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum yang telah disepakati selama ini. Sekalipun demikian, arti kontroversial dalam pengertian di atas tidak selalu bermakna negatif, misalnya beberapa putusan bisa jadi tidak sesuai dengan dogma-aturan atau pendapat kebanyakan ahli hukum.

Hakim terkadang dengan (sangat) berani melakukan lompatan pemikiran untuk melampaui pakem-pakem (doktrin) yang sudah mapan, meski pada situasi yang lain ditemukan banyak hakim yang gagasannya berorientasi ke masa lalu, mempertahankan status quo dan tidak memiliki semangat pembaruan. Tidak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, apalagi secara ideal putusan harus memuat ‘idee des Recht’, yang mencakup unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit), sehingga kalaupun sebuah putusan kontroversial, hendaknya ketiga unsur tersebut dipertimbangkan, putusan dapat memenuhi harapan pencari keadilan.

Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan oleh putusan yang dibuatnya, sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Menurut pembukaan Surat Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPPH) secara tegas mencantumkan

“Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya dan pertimbangan yang melandasi atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berdasarkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat.”

Tulisan ini ingin membedah putusan yang dianggap kontroversial. Kontroversial dalam putusan itu berkonotasi negatif, karena Putusan MARI No. 36P/Hum/2011 itu dipandang (sangat) tidak memenuhi aspek prosedural dan material, dipandang jauh dari nilai-nilai kepastian dan keadilan, bahkan terdapat sinyalemen adanya konflik kepentingan, di mana kekuasaan lebih dominan dari hakekat kebenaran itu sendiri. Beberapa kalangan menyebut bahwa putusan itu memperlihatkan masih kentalnya arogansi birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas hakim perlu mendapat perhatian utama, dalam peningkatan kapasitas hakim.

Pada tanggal 9 Februari 2012 yang lalu MA-majelis hakim diketuai oleh Paulus Effendie Lotulung dan hakim anggota Ahmad Sukardja, Rehngena Purba, Takdir Rahmadi dan H. Supandi, telah mengeluarkan putusan MA Nomor 36P/HUM/2011 Tahun 2012 terkait uji materiil SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang diajukan oleh mantan hakim Agung Henry Panggabean dkk. (Mantan Hakim Agung Minta Uji Materi Kode Etik). Amar putusan majelis hakim MA tersebut sebagai berikut: Pertama, Menerima dan mengabulkan permohonan Uji Materiil Para Pemohon: (1). Dr. Henry P. Panggabean, S.H., M.S.; (2). Humala Simanjuntak, S.H.; (3). Dr. Lintong O. Siahaan, S.H., M.H.; (4). Sarmanto Tambunan, S.H. Kedua, Menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah

jurnal agustus 2012-arnis.indd 118 7/27/2012 3:11:21 PM

118 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133 Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 119

Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 34A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ketiga, Menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tanggal 8 April 2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. Keempat, Memerintahkan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk mencabut butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kelima, Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara. Dan keenam, Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Termohon yang besarnya Rp.1.000.000,- (Satu juta rupiah).

RUMUSAN MASALAH II.

Tulisan ini mengulas tentang esensi filosofis dikeluarkannya putusan MARI Nomor 36P/Hum/ 2011 yang menurut penulis terdapat problematik nalar dan kekuasaan. Problematik nalar dimaksud

yaitu adanya benturan dan tarik menarik antara konstruksi logis kasus dengan kepentingan birokrasi Mahkamah Agung. Adanya premis- premis nalar yang saling bertolak belakang dan argumen filosofis yang saling berbenturan. Putusan memperlihatkan bahwa memahami pola berpikir hakim sangat kompleks. Penulis sendiri melihat bahwa problematik nalar dan kekuasaan yang dimaksud tidak lain adalah problem kecerdasan hakim dan arogansi birokrasi.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

Mencermati putusan hakim, paling tidak terkait dengan dua hal, yaitu moralitas dan metodologis. Pertanyaan paling fundamental terkait dengan persoalan moral itu adalah kita tidak berharap bahwa hakim dalam pengambilan keputusannya membuat semacam konspirasi untuk mengorupsi moral publik dan perbuatan itu menjadi sebuah kejahatan tingkat tinggi, yang secara prinsip mencederai nilai dalam masyarakat, karena hakim memutus tidak hanya membaca undang-undang, melainkan melakukannya didasarkan kepada pilihan nilai sebagai landasannya (Rahardjo, 2003: 227). Satjitpto menjelaskan tentang sesuatu yang sangat merusak, sesuatu yang disebut dengan musuh terselubung, yaitu perbuatan korupsi kekuasaan, yaitu pelaksanaan kekuasaan publik yang berkualitas jahat, tidak jujur, lemah empati, tidak bermutu dan merusak kepercayaan publik. Ia adalah penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, ceroboh, melakukan pekerjaan asal-asalan, atau di bawah standar, tidak peduli perasaan rakyat dan sebagainya (Rahardjo, 2010: 150 – dst).

Hal itu dapat menimbulkan problem-problem kompleks, dan dalam rentang waktu

jurnal agustus 2012-arnis.indd 119 7/27/2012 3:11:21 PM

120 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

yang panjang serta berdampak pada kepercayaan publik. Seharusnya pengadilan/hakim (paling tidak) berfungsi sebagai ‘costus morum’ (Hart, 2009: 16), yaitu semacam sensor umum dan pemandu perilaku publik, dan ini pada hakekatnya adalah mengorbankan prinsip-prinsip legalitas yang selama ini justru menjadi anutan dari para hakim. Dalam posisinya sebagai sensor umum itu, maka kualitas putusan hakim menjadi sangat menentukan, memiliki pertimbangan tajam yang memihak kepentingan lebih luas, dan situasi demikian itu menempatkan dan mengharuskan hakim untuk ada di garda terdepan dalam menjamin aspek moralitas dan etika. Apabila tidak, maka sebagaimana dijelaskan JA Barnes (2005: 90-93), akan tercipta ruang persaingan kebohongan, yang samakin tertutup, sehingga semakin tinggi tingkat kebohongan dan ketidakjujurannya, “semakin luas dampak yang ditimbulkannya.”

Ruang peradilan tidak steril bahkan begitu terbuka bagi kegiatan konspirasi, ketidakjujuran, korupsi dan perilaku menyimpang lain yang terkait dengan kebohongan dan kenakalan, sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo, (2010: 90), pengadilan berubah menjadi pasar yang memperdagangkan putusan, pengadilan yang sudah sering mencoreng martabatnya sendiri, dan bersama para koruptor menjadi benalu.

Pembahasan lebih mendalam tentang relasi moral dan hukum serta realitas lain yang melingkupinya. Apakah penegakan moralitas bisa dibenarkan secara moral? Moralitas sepenuhnya (dalam masyarakat kita atau masyarakat lainnya) sepenuhnya dianggap benar dan patut untuk ditegakkan dengan sanksi hukum, sesuai dengan moralitas yang diterima masyarakat. Namun saat ini kita menemukan banyak penjelasan tentang relasi ini (penegakan moralitas secara hukum) kadang-kadang membingungkan dan tidak jelas.

bahkan pengetahuan yang terbatas tentang hal ini pada dasarnya dapat menimbulkan kemandekan, rasa sungkan dan pelencengan etika melalui berbagai alasan, misalnya. Itu merupakan bagian dari hukum? Itu merupakan prosedur hukum acara? Itu merupakan, ini merupakan?

Perlu dipikirkan bahwa penegakan etika harus memiliki kekuatan, amoralitas bagaimanapun dapat menjadi sesuatu yang membahayakan bagi masyarakat, sekalipun kita semua akan meragukan konsep yang umum seperti ini, namun perlu disadari bahwa hal ini dapat digunakan sebagai (dalam) evaluasi atau kritik institusi sosial secara luas, yang menyiratkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk menegakkan moralitas secara hukum, dan tidak dapat begitu saja direduksi oleh lembaga manapun sekalipun hal itu Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung, dan ini artinya kita harus siap menerima prinsip-prinsip moralitas kritis (Hughes, 1962: 672). Masyarakat dapat menuntut banyak hal, apabila lembaga-lembaga yang memiliki peran ini tidak berfungsi dengan baik.

Hal itu sebagaimana dikatakan HLA Hart (2009: 27), berarti merupakan titik pijak yang memperbolehkan kritik terhadap institusi manapun, mengingat prinsip-prinsip umum dan pengetahuan pada fakta. Sebagai pengingat bahwa yang dimaksud moralitas positif, adalah moralitas yang diterima secara aktual dan dibagi oleh kelompok-kelompok sosial yang disepakati dari prinsip-rinsip moral umum yang digunakan dalam kritik terhadap institusi sosial aktual. Kita dapat menyebut prinsip-prinsip umum tersebut “moralitas kritis” dan pernyataan kita adalah salah satu dari moralitas kritis tentang penegakan hukum terhadap moralitas.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 120 7/27/2012 3:11:21 PM

120 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133 Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 121

Masih terdapat kebimbangan tentang perilaku melanggar etika atau moral yang dilakukan secara terbuka atau dilakukan secara sembunyi-sembunyi; kebanyakan apabila dikatakan persoalan itu terkait dengan kasus sederhana kita dapat mengatakan bahwa “apabila suami istri melakukan hubungan seksual” itu bukan perbuatan amoral, namun apabila melakukannya di depan publik hal itu tentu dapat melanggar kesusilaan sosial (publik), namun bagaimana apabila perbuatan yang melibatkan pejabat hukum, misalnya hakim menerima uang sebagai tanda terima kasih? Atau lebih ekstrim hakim terima suap, jaksa dan pengacara meminta uang pelicin, yang kesemuanya dilakukan di belakang penglihatan publik? Atau bagaimana apabila hakim tidak cermat dan kurang hati hati dalam memutus? Hakim memihak dalam setiap pemeriksaan, atau mengabaikan fakta dan bukti yang diajukan kepadanya? Atau bagaimana ketika hakim lebih mementingkan kekuasaanya dari moralitas dan nuraninya? Etika umumnya menjelaskan dan mengatur hal itu, atau secara konkrit misalnya dalam kode etik yang umumnya memuat hal demikian itu.

Beberapa aturan hukum bahkan telah mengatur beberapa perbuatan dengan ancaman sanksi cukup berat dan diantaranya masuk ke dalam lingkup korupsi. Namun demikian sayangnya, pemahaman terhadap hal itu masih bersifat travestis (kelamin ganda/banci), sebelah menyebelah. Dalam beberapa kasus misalnya (seolah-olah) kejahatan atau melanggar undang-undang dipisahkan dengan melanggar kode etik, penegak hukum selalu mengatakan bahwa hal ini terkait dengan undang-undang dan kejahatan biarlah prosedur hukum yang melakukan penegakan, untuk sementara etika dipinggirkan. Bahwa, aturan hukum/undang-undang dan etika/

kode etik berbeda setiap orang memahami, namun bahwa penegakan hukum senantiasa melibatkan etika dan penegakan etika senantiasa melibatkan hukum, hal itu juga tidak dapat dinafikan mengingat keduanya bisa saling mengisi.

Pengaruh barat terhadap pemahaman masih terasa tentang pemisahan hukum dan moral begitu kuat, sebagaimana positivism tengah dengan serampangan melakukannya. Pandangan itu sangat jelas didukung oleh pemikiran hukum modern yang cenderung bersifat teknologis, dan menjauhkan dirinya dari wacana moral, sebagaimana pemikiran minimalis, yang menyatakan bahwa “hukum sudah dijalankan apabila peraturan sudah diterapkan sesuai dengan apa yang tercantum di situ. Oleh karena itu, terlihat adanya pengebirian hukum dari kandungan moralnya. Dalam konteks Indonesia, hendaknya dilihat lebih bijaksana, bahwa pemikiran kontemporer melihat hubungan hukum dan moral saling berkelindan. Sebagai argumentasi pendukung, dapatlah disampaikan padangan Wener Menski, tentang hal ini dalam bukunya “Comparative Law in a Global Context; The Legal system of Asia and Africa (2006: 185-188). Menski menjelaskan tentang relasi-relasi yang sangat kuat antara hukum negara, moralitas/etika/agama dan masyarakat sebagaimana tiga ragaan sebagai berikut:

jurnal agustus 2012-arnis.indd 121 7/27/2012 3:11:22 PM

122 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

Dari tiga ragaan di atas, terlihat bahwa dalam pluralisme hukum, cara kerja hukum dengan etika/moral dan agama tidak bersifat parsial, terpilah dan terkotak, tetapi bekerja bersama, bahkan dari ragaan ke-2 dan ke-3, terlihat relasi diantara bagian-bagian tersebut semakin melebar bukan semakin mengecil, dan menyentuh berbagai aspek dari hukum moral dan agama, serta masyarakat. Makna segitiga yang berubah menjadi lingkaran (pada bagian tengah) memperlihatkan batas-batas yang memudar dari relasi ketiganya, bahkan lingkaran dalam perkembangannya khususnya ragaan terakhir semakin meluas memasuki wilayah-wilayah yang telah disebutkan tadi.

Dalam kearifan Timur pemisahan antar hukum dan moral/etika adalah tidak mungkin, sebagaimana dikatakan Tamanaha, tentang hukum sebagai mirror thesis, bahwa kekuatan kekuatan masyarakat masih memperlihatkan peran penting dalam setiap penegakan hukum, (Tamanaha, 2001: 2006), hukum itu berhubungan dengan manusia dan oleh karena itu bagaimana suatu komunitas itu melihat tempat individu dalam masyarakat sangat menentukan cara bangsa-bangsa berhukum. Menurut Tamanaha (Rahardjo, 2010: 121) berhukum dengan hanya menggunakan satu standart (dalam hal ini Barat) adalah tidak benar, seharusnya mengarah kepada “plurality conscious” dan “plurality sensitive.”

Cara berhukum suatu bangsa adalah unik dan bervariasi, sesuai dengan kehidupan sosialnya. Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa “cara berhukum suatu bangsa adalah berhukum secara substansial, dan memahami masyarakat tertentu tidak dapat hanya dari sekedar melihat teks undang-undangnya, namun juga perilaku substansial dan nilai-nilai tradisinya.

Saya hanya ingin mengatakan lebih sederhana bahwa, menegakkan etika tanpa hukum sangat tidak mungkin demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain, keduanya menjadi sesuatu yang berharga untuk ditegakkan. Etika dapat menjangkau bagian dalam dari perilaku manusia, dan hukum positif dapat menjangkau bagian luarnya? Namun demikian terdapat juga bagian yang dapat dilakukan secara bersama-sama. Hukum sebagai sesuatu yang paksaan dari luar, sedangkan etika merupakan kesadaran moral pada bagian dalam. Untuk memperjelas hal di atas, disajikan beberapa ragaan sebagai berikut:

jurnal agustus 2012-arnis.indd 122 7/27/2012 3:11:22 PM

122 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133 Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 123

Hukum dan etika/moral terkait dalam banyak hal, sebagaimana dua ragaan di atas tentang pembagian yang bisa terjadi dalam penegakan hukum dan etika. Sedangkan ragaan kedua disarikan dari pemikiran Wener Menski (2006), relasi di antara sangat jelas, serta pengaruh yang ditimbulkan oleh masing-masing bagian tersebut.

Pada ragaan terakhir, terlihat bahwa penegakan undang-undang berkorelasi dengan penegakan kode etik. Relasi antara perundang-undangan dengan kode etik ada pada nilai-nilai yang mendasarinya, dan relevansi teks yang diatur oleh keduanya. Nilai-nilai yang mendasari umumnya bersifat abstrak, ideal, cita filosofis tertentu dan relevansi tekstual biasanya bersifat konkrit. Kebanyakan dari kita tidak dapat melihat peluang ini, bahkan seringkali memisahkan wilayah-wilayah yang sesungguhnya terkait, tujuannya tidak lain agar lebih tegas, lebih formal dan tentu saja lebih pasti.

Kehidupan hukum dan moral bahkan undang-undang dan kode etik biasanya saling mengintervensi. Nilai-nilai keagamaan akan masuk begitu kepentingan umat terganggu, atau nilai-nilai susila akan berbicara dan berteriak ketika penegak hukum sudah tidak mengindahkan hukum yang berlaku. Bahkan dalam sosiologi hukum, dikenal prinsip bahwa “apabila norma

sosial sangat kuat berlaku dalam masyarakat, maka hukum/negara/undang-undang pastilah tidak diperlukan keberadaannya, namun apabila norma sosial/agama melemah di masyarakat maka norma hukum/negara/undang-undang tidak akan efektif dalam berlakunya.”

Penegakan hukum tanpa mengikut-sertakan penegakan moral/ethics adalah kepalsuan dan penegakan undang-undang tanpa menyentuh aspek kode etik adalah kepura-puraan. Edgar Bodenheimer, pernah menjelaskan tentang apa yang disebut olehnya dengan ”autonomic legislation.” Bahwa “sekalipun kode etik tidak dianggap sebagai bagian dari hukum positif, namun disadari atau tidak kode etik dapat saja, secara diam-diam diadopsi menjadi salah satu jenis sumber hukum formal” (Kriekhoff, 1997- lihat pula dalam Sidharta, 2006: 109). Upaya apapun apabila itu bertujuan untuk memperlebar perbedaan atau memperjauh titik persinggungan hanya akan memunculkan problem penegakan secara kumulatif, di masa mendatang.

Kode etik umumnya berisi tentang beragam nilai, dalam kehidupan masyarakat atau profesi tertentu, namun lebih banyak lagi kode etik diisi dan didominasi oleh persoalan prosedur. Sekalipun kode etik bersifat khusus bagi kelompok/profesi atau masyarakat tertentu), namun hendaknya kode etik cukup luas dan terbuka, terhadap intervensi hukum/undang-undang ke wilayah ini, demikian pula sebaliknya. Sehingga tidak ada lagi kode etik menjadi perisai bagi profesi tertentu, atau sebagai tempat bersembunyi perilaku yang tidak patut. Sebaliknya, kode etik menjadi sarana kontrol yang kuat bagi lingkungan profesi tersebut, sekaligus sarana penopang penegakan hukum. Penegakan kode etik harus memiliki keterbukaan sosial, sehingga memiliki cukup kekuatan untuk memasuki wilayah-wilayah yang tertutup atau

jurnal agustus 2012-arnis.indd 123 7/27/2012 3:11:23 PM

124 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

wilayah yang sengaja ditutup untuk melindungi otoritas tertentu. Itu artinya bahasa langit (das sollen) dapat diwujudkan dalam realitasnya.

Perlu kiranya memperhatikan beberapa hal penting menyangkut penegakan etik dewasa ini, mengingat sebagaimana dikatakan Simon Blackburn, bahwa paling tidak terdapat 7 (tujuh) ancaman krusial saat ini yang dapat merusak moralitas dan etika yaitu: (1) Kematian Tuhan; kita meyakini bahwa etika tidak hanya terkait dengan agama, tetapi sepenuhnya dilahirkan oleh agama. Namun harus diakui bahwa saat ini kepercayaan religius telah kehilangan kekuatan dan cengkramannya digusur oleh idiologi-idiologi buatan, seperti liberalisme, kapitalisme, pragmatisme dan lainnya (di Barat maupun di Timur). Nampaknya etika turut memudar bersama pudarnya kekuatan agama tersebut, sebagaimana dikatakan Detroyevsky, “Jika Tuhan memang telah mati, benarkah segalanya diperbolehkan?” Lantas, bagaimana bisa ada hukum jika tidak ada pembuat hukum?

(2) Relativisme; dengan memudarnya kekuatan spiritualitas, maka biasanya manusia mencari pengganti otoritas supranatural, sehingga lahirlah gagasan bahwa peraturan dibuat dengan beragam cara oleh beragam orang pada beragam waktu, dengan demikian tidak ada kebenaran tunggal, yang ada hanya beragam kebenaran dari beragam komunitas. Dengan demikian kemudian muncul spectrum penilaian mengenai apa yang diharapkan dan apa yang dianggap menyimpang, namun demikian relativisme ini bergeser menjadi subjektivisme. Bukan hanya setiap kebudayaan atau masyarakat memiliki kebenarannya sendiri, setiap individupun mempunyai kebenarannya sendiri.

(3) Egoisme; manusia jelas adalah hewan egois, kebutuhan pribadi dalam banyak hal dapat

merenggut kepentingan umum dan kepentingan lainnya, sekalipun manusia dapat berdalih bahwa tidak mungkin meninggalkan kepentingan pribadi; namun demikian dalam situasi seperti ini, kita mengetahui bahwa konsumsi dan kemewahan tetap mendominasi, kekuasaan dan hasrat menjadi ungkapan riil tentang manusia adalah hewan yang jenius, serba bisa namun sekaligus serakah dan egois.

(4) Teori Evolusi; teori evolusi dalam biologi dan psikologi saat ini telah menyeret kita memahami akan pentingnya survival for the fitest, yang alih-alih memperlihatkan egoisnya manusia, namun pada kenyataannya hal itu memperlihatkan tentang hubungan untung rugi bagi manusia; tolonglah aku maka kau akan ku tolong, garuklah punggungku, nanti kalo punggungmu gatal akan ku bantu untuk menggaruk. Ungkapan demikian memperlihatkan seolah-olah manusia saling menghargai, namun pada kenyataannya tidak. Manusia sebagaimana dikatakan dalam bukunya Dawkins “The Selfish Gene,” pada dasarnya (secara genetis) sangat egois itu pada akhirnya menikmati persaingan yang kejam dengan mengalahkan gen-gen lainnya? Kekonyolan yang aneh, karena sesungguhnya gen tidak egois, namun lingkunganlah yang membentuk mereka seperti itu.

(5) Determinisme dan kesia-siaan. Pandangan ini menyatakan bahwa “semua telah tersedia dalam gen”, etika menjadi tidak berguna. Persoalan ini membuat susunan genetik yang kita miliki menyiratkan kesia-siaan etika, terutama kesia-siaan petuah moral, pendidikan atau pengalaman. Ancamannya adalah efek pelumpuh setelah menyadari bahwa kita adalah “siapa diri kita” mamalia besar yang diciptakan sesuai perintah-perintah genetik sehingga kita tidak dapat melakukan apapun. Menurut

jurnal agustus 2012-arnis.indd 124 7/27/2012 3:11:23 PM

124 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133 Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 125

pandangan ini moral mungkin tidak bermanfaat sebab berupaya mengubah alam yang sudah tetap. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila kebohongan, ketidakjujuran, perilaku manipulatif, kekerasan, koruptif merupakan kegiatan yang lazim kita dapati, dan seolah-olah memperlihatkan bahwa kita menjalani kehidupan dengan ketidakberdayaan dan kesia-siaan.

(6) Tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal; tentang hal ini kita dapat membahasnya paling tidak dari dua hal. Pertama, misalnya mari kita lihat moralitas yang berpusat pada sekumpulan aturan yang sederhana namun abstrak “janganlah berdusta”, renungkanlah, maka kita cenderung untuk menyetujuinya. Namun kedua, bagaimana dengan “dusta putih” yaitu dosa yang diterima dan diampuni secara sosial, semacam dusta keputusasaan yang diucapkan karena jika kebenaran disampaikan akan mengakibatkan bencana; semisal berbohong kepada seorang pembunuh gila bahwa anak kita sedang tidak ada di rumah. Atau misalnya ketika pramugari dan pilot mengatakan kepada penumpang (untuk membuatnya tenang dan tidak panik), bahwa pesawat hanya mengalami guncangan kecil, sekalipun kondisinya pesawat itu sebentar lagi jatuh. Atau seorang suster dan dokter atau seorang istri yang berkata kepada suaminya bahwa kankernya bukan kanker yang ganas padahal dapat membunuhnya; Oleh karena itu penting bagi moralitas bahwa hendaknya etika memuat apa saja yang kita tuntut harus masuk akal satu sama lain. Artinya kita ingin merespon tuntunan-tuntunan yang masuk akal, karena kita tidak dapat menyelesaikan seluruh persoalan dunia, tetapi penting bagi kita untuk melakukan langkah terbaik guna mengatasi persoalan-persoalan yang sanggup kita selesaikan. Sepertinya optimis namun itu sangat mengganggu.

(7) Kesadaran palsu. Pada tataran ini kita menemukan banyak argumen tentang etika yang berfunngsi lain, misalnya bagi seorang feminis, etika dalam banyak hal adalah instrumen penindasan, terutama melihat perspektif laki-laki yang memperlakukan wanita sebagai makhluk lemah yang harus dilindungi adalah upaya pelemahan wanita itu sendiri; atau dalam perspektif Marxis, dikatakan bahwa etika sebagai sebuah alat perlindungan kelas, khususnya kelas yang berkuasa, bahkan dalam banyak kasus etika merupakan sarana yang ampuh untuk menahan intervensi hukum terhadap profesi tertentu. Sekalipun terdapat kebenaran di dalamnya namun kita menyadari bahwa hal itu adalah aspek minor atau lokal dari persoalan yang tengah kita bahas sesungguhnya.

Analisis

Putusan No. 36P/Hum/2011 memperlihatkan sesuatu yang menarik untuk dikaji karena secara substantif, putusan itu tidak saja memperlihatkan cara bernalar yang keliru, namun lebih dari itu memperlihatkan suasana batin dua kelembagaan tinggi negara yang ada di wilayah yudikatif, dengan kewenangan yang berbeda berselisih paham yaitu Komisi Yudisial dan MARI. Sekalipun di permukaan persoalan itu tidak mencuat, namun hampir dapat dipastikan kedua lembaga masih belum berjalan harmonis dalam upaya pengembangan hakim di Indonesia.

Komisi Yudisial, paling tidak memiliki tujuan Pertama; melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat; Kedua; meningkatkan efisiensi dan efektifitas kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut rekrutmen hakim agung maupun monitoring

jurnal agustus 2012-arnis.indd 125 7/27/2012 3:11:23 PM

126 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

perilaku hakim. Ketiga; menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Keempat; menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman.

Di samping tujuan sebagaimana Komisi Yudisial dibentuk, terdapat beberapa tugas utama mulai sebagai berikut: (1) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, yang mencakup (a) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; (b) melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; (c) menetapkan calon Hakim Agung; dan; (d) mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. (2) menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim, dengan cakupan tugas: (a) menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim, (b) melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan (c) membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Komisi Yudisial tidak sendiri dalam melaksanakan tugasnya, ada dua lembaga formal lain yang terkait, yaitu Mahkamah Agung (sudah lebih dulu menjalankan fungsi pengawasan perilaku hakim) dan Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga legislatif yang berperan sebagai sarana kontrol untuk merekrut para hakim. Di samping kelembagaan formal sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat unsur lain yang sangat penting yaitu masyarakat dan media yang tidak hanya berfungsi sebagai pengontrol, namun juga sekaligus penekan yang dapat mempengaruhi relasi keseluruhan tugas-tugas Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan DPR.

Ada kemungkinan (sangat terbuka), muncul persoalan dalam ruang lingkup tugas antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung, karena keduanya menjalankan fungsi yang sama dalam penegakan etika, sebagaimana yang terjadi di dalam substansi putusan Nomor 36P/ Hum/2011. Permohonan yang dilakukan mantan Hakim Agung (menjadi pengacara) terhadap substansi/materi kode etik yang disepakati oleh Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung baru-baru ini tidak dapat dilihat hanya merupakan perselisihan substansi kode etik.

Majelis hakim dalam memutus perkara itu berpendapat bahwa SKB (yang dibuat antara MARI dan KY) dianggap/dipandang bertentangan dengan Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Alasan yang dikemukakan oleh majelis hakim (dalam logika majelis hakim) bahwa SKB, tidak memuat norma etik, namun norma hukum, yang dalam prakteknya (diduga) dapat mengintervensi kebebasan hakim dalam memutus perkara (penjelasan dapat dilihat hal. 48-dst Putusan MA Nomor 36P/HUM/2011).

Majelis hakim menyatakan bahwa wilayah SKB khususnya pasal yang diuji ternyata sudah masuk soal pengetahuan dan pemahaman yang masuk ke wilayah kognitif bukan masalah perilaku (lihat secara panjang lebar dalam hal. 49-dst putusan tersebut).

Majelis hakim juga berpendapat bahwa frasa-frasa yang ada dalam SKB dapat menimbulkan persoalan yang mengarah kepada persoalan teknis hukum yang bukan kewenangan Komisi Yudisial (lihat hal. 51-dst).

jurnal agustus 2012-arnis.indd 126 7/27/2012 3:11:23 PM

126 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133 Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 127

Benarkah norma etik bertentangan dengan norma hukum? Terdapat relasi kuat di antara nilai dengan norma hukum dan norma etika yang tidak bersifat saling berlawanan (meskipun dapat muncul konflik norma) mengingat sumber kedua norma itu tidak lain adalah nilai-nilai. Kode etik dapat bersumber dari norma-norma hukum, di samping berasal dari norma-norma yang lainnya. Demikian pula sebaliknya, penetapan apakah sebuah norma termasuk ke dalam norma hukum atau norma etika, tidaklah didasarkan kepada “redaksi norma itu” namun mencakup berbagai aspek seperti, dilihat dari bentuknya, daya berlakunya, penetapannya dan lain lain.

Terhadap hal demikian dapat dijelaskan sebagai berikut: Norm berasal dari bahasa latin “norma” dimaknai secara eksklusif “suatu ketertiban, preskripsi atau perintah di samping juga memberikan kewenangan, mengizinkan dan penderogasian dan lain-lain.” Norm tidak harus selalu tertulis, dan hakekatnya adalah kristalisasi/konkretisasi dari nilai-nilai; Tidak hanya mengandung satu nilai, namun dipastikan bahwa tidak ada norma yang tidak mengandung nilai. Norma -preskripsi- perintah- ekspresi verbalnya adalah sebuah pernyataan keharusan (ought-statement); Makna dari suatu tindakan kemauan, yakni sebuah tindakan yang ditujukan pada tingkah laku yang maknanya adalah seharusnya bertingkah laku dengan cara tertentu.

Norma etika atau norma hukum, memiliki sumber yang sama yaitu nilai-nilai (khusus- profesi atau umum). Kode etik tidak lain adalah norma -moralitas positif; sedangkan aturan adalah norma- hukum positif yang keduanya dalam banyak hal saling meneguhkan dan menguatkan karena dasar-dasarnya. Dalam realitasnya hukum (sebagai sistem sosial), bersama dengan budaya, teknologi, politik, dll, dapat menjadi fondasi atau

dasar pembentukan kode etik.

Kode etik menurut E. Bodenheimer dapat dikelompokkan sebagai jenis aturan yang disebut dengan autonomic legislation artinya bukan merupakan bagian dari hukum positif, namun disadari atau tidak secara diam-diam diadopsi menjadi salah satu sumber hukum formal sebagai contoh dalam Pasal 17 UU No. 8 Tahun 1999- tentang perlindungan konsumen “melarang pelaku usaha periklanan memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau UU”.

Mencermati putusan MARI Nomor 36P/Hum/2011, terdapat kekeliruan pertimbangan majelis hakim dalam menilai norma etik dan norma hukum yang dikatakan bertentangan?

a. Dalam pertimbangannya hakim memandang bahwa ada pertentangan antara Norma Hukum yang diatur dalam UU dengan SKB, tentang Kode Etik; Bertentangan artinya adanya kontradiksi norma atau konflik norma yang mungkin terjadi.

b. Secara filosofis konflik antara dua norma terjadi jika dalam mematuhi atau menerapkan norma yang satu niscaya norma yang lainnya mungkin terlanggar. Artinya konflik dapat bersifat bilateral atau unilateral. Ia adalah bilateral jika dalam mematuhi atau menerapkan masing-masing dari kedua norma itu, konflik itu adalah unilateral jika kepatuhan atau aplikasi dari hanya satu dari kedua norma itu melanggar yang lainnya.

c. Konflik adalah total jika suatu norma memerintahkan tingkah laku tertentu yang dilarang oleh orang yang lainnya. Konflik itu adalah parsial jika isi dari salah satu norma hanya secara parsial berbeda dari isi norma yang lainnya.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 127 7/27/2012 3:11:23 PM

128 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

d. Melihat argumen hakim dalam putusan Nomor 36P/Hum/2011 tidak jelas maksudnya dengan pertentangan antara norma etika dan norma hukum (SKB dan UU). Secara tekstual (rumusan pasal) tidak ada frasa yang dimaksudkan sebagai pertentangan norma/konflik norma; yang nampak adalah Norma SKB menguatkan norma yang ada dalam undang-undang, demikian sebaliknya.

e. Namun yang dimaksud oleh Majelis Hakim sebuah pertentangan adalah sesuatu “yang dikhawatirkan bertentangan”, ini jelas berbeda. Alasan yang dikemukakan bahwa teks norma etik (SKB) bersifat multitafsir, sehingga dikhawatirkan bertentangan; Argumentasi ini keliru, karena semua aturan dan norma manapun selalu bersifat multitafsir. Majelis hakim tengah membuat (imajinasi) “kemungkinan pertentangan” yang diterapkan kepada kenyataannya (yang sesungguhnya harmonis). Misalnya beberapa kalimat dalam putusan menjelaskan hal itu…”mengandung frasa atau rumusan yang longgar” ….pada peristiwa inconcrito dapat membahayakan kemerdekaan hakim…” (hal. 48 putusan ) “…kalimat-kalimat yang dapat mengarah kepada hukum acara yang dapat menimbulkan konotasi…..” (hal. 36 putusan).

f. Hakim seyogianya membuktikan adanya pertentangan norma yaitu menguji berdasarkan salah satu model konflik norma sebagaimana telah disebutkan dan bukan mempersoalkan bentuk SKB tersebut. Artinya, hakim dalam penalarannya “hanya memperhatikan baju tanpa memperhatikan substansi”, namun

menarik kesimpulan dengan mengatakan “bahwa substansi bertentangan karena bajunya”? Sebagaimana dalam kalimat “…dengan demikian butir-butir dalam SKB a quo pada hakekatnya bertentangan dengan UU…” (hal. 52 putusan).

g. Terlihat bahwa pertimbangan hukum ini jelas mengada-ada, semacam pengelabuan pikiran atau logika, bersifat mengawang-awang dan tanpa dasar (Grundlos).

h. Karena pertimbangan hakim mengukur konflik norma bukan dengan norma-norma lain (sederajat atau lebih tinggi) tetapi mengujinya dengan “kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa diprediksi” atau kekhawatiran-kehawatiran yang masih belum tentu terjadi”. Hakim mengalami sebuah sindrome paranoid, ketakutan yang berlebihan di dalam mengukur relasi antara norma hukum dan etik.

Putusan MARI Nomor 36P/Hum/2011 juga telah keliru menafsirkan makna perilaku dengan makna kognitif dengan hakekat kemandirian:

a. Perilaku dalam konsep keilmuan mencakup aspek-aspek yang sangat luas dalam pengertian manusia yang utuh, yaitu biologis, psikologis, kultural, sosial dan lain-lain. Perilaku mencakup aspek fisik dan juga psikis termasuk di dalamnya kecerdasan dan pemahaman, kesadaran dan pengetahuan, keyakinan dan lain-lain.

b. Dalam kegiatan riset-riset ilmiah mengenai perilaku, maka kecerdasan, pemahaman, kesadaran dan juga pengetahuan merupakan pintu masuk dalam upaya memahami perilaku tersebut.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 128 7/27/2012 3:11:23 PM

128 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133 Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 129

c. Memahamkan perilaku manusia tanpa melibatkan aspek kesadaran, pemahaman, pengetahuan atau aspek-aspek kognitif lainnya, jelas adalah penggambaran perilaku manusia otomat atau manusia yang dianggap robot/sempit dan mengkerdilkan hakekat manusia itu sendiri (yang sama sekali tidak ada dalam kehidupan nyata).

d. Dengan demikian jelas bahwa aspek kognitif dengan perilaku itu merupakan satu kesatuan bukan sesuatu yang terpisah pisah.

e. Pendapat majelis hakim dalam perkara ini membedakan antara perilaku dengan aspek kognitif sebagaimana dijelaskan dalam pertimbangan hukum “Rumusan ini tidak memuat sebuah cakupan perilaku tetapi soal pengetahuan atau pemahaman yang masuk ke wilayah kognitif….” (hal. 50).

f. Majelis hakim juga berpendapat bahwa rumusan sebagaimana di atas dianggap tidak jelas dan merasa (merasa khawatir) “kemungkinan dapat membahayakan kemandirian hakim”. Hal ini menurut penulis “terlalu berlebihan”, karena sesungguhnya penggunaan frasa yang dijelaskan di atas, adalah frasa yang umum dimuat dalam kode etik (seharusnya hakim memperhatikan rumusan ragam kode etik sebagai pembanding) sebagai wujud dari nilai-nilai profesi yang diemban: Misalnya dalam kode etik hakim kita menemukan ungkapan “..hakim memutus berdasarkan keyakinan dan hati nurani…….”, atau “hakim harus bertindak menurut garis-garis yang ditetapkan dalam hukum acara…” dalam kode etik Notaris, “melakukan perbuatan-perbuatan secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati yang tidak

terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam UU Nomor 30 Tahun 2004…dst”.

g. Apabila memperhatikan nilai-nilai kode etik dalam sebuah profesi hukum, khususnya hakim, bahwa pasal-pasal yang dimuat dalam SKB, khususnya pasal yang diuji materiil-kan memuat nilai-nilai dasar dari profesi, misalnya saja dalam Pasal 8.1. termuat nilai-nilai profesi yang mencakup “bersikap adil”, “bertanggungjawab” dan nilai “metodologis” atau Pasal 10.4. mengandung nilai “tanggung jawab”, “amanah”, “cakap” dan “cermat”.

Lantas mungkinkah nilai-nilai dasar profesi yang dimuat dalam SKB itu bertentangan dengan ‘kemandirian hakim”? Penulis berpendapat bahwa pertimbangan hakim dalam bagian ini lebih banyak bertujuan melindungi kepentingan hakim MA sebagai lembaga yudisial yang akan terkena secara langsung oleh SKB tersebut. Hal di atas atau argumentasi di atas sangat nyata ketika di dalam beberapa uraian pertimbangan majelis hakim dalam putusan 36P/Hum/2011, terlihat dituangkan beberapa kalimat yang menjadi dasar keberatan seperti “..memanggil dan memeriksa hakim, mempersoalkan proses persidangan, memeriksa putusan, terkait dengan teknis peradilan adalah tidak tepat”.. dan seterusnya.. (hal. 51 putusan ), seolah-olah posisi hakim atau kekuasaan hakim menjadi rusak oleh rumusan rumusan kode etik yang dipersoalkan tersebut.

Pertimbangan putusan ini juga memperlihatkan keberatan dari institusi MA tentang kinerja para hakimnya karena kekhawatiran bahwa SKB dapat mengintervensi cara bernalar hakim dan juga perilaku hakim. “Perilaku menyimpang” dari hakim bukan sebuah peristiwa kasat mata, namun sebuah

jurnal agustus 2012-arnis.indd 129 7/27/2012 3:11:23 PM

130 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

fungsi laten dari hukum kebanyakan hakim -hasil penelitian- menggunakan putusan sebagai tempat untuk bersembunyi dari perilaku-perilaku tidak etis dan perilaku lainnya. Pertimbangan hukum majelis hakim yang menghendaki ada unsur “kesengajaan” (hal. 51) terhadap ketentuan yang diuji materiilkan, sangat tidak tepat, karena unsur etik tidak berbicara semata-mata aspek tersebut.

Putusan hakim sesungguhnya hanya sebagai medium untuk melihat sebagian nilai-nilai dasar profesi hakim, misalnya, apakah dirinya cermat, cerdas, teliti, adil, amanah dan lain-lain. Putusan hakim adalah cerminan perilaku hakim. Tugas hakim menurut Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr., bahwa memutus bukan semata-mata proses silogisme matematis dan mekanis, namun sebuah makna yang sangat luas “…the life of the law has not been logic; it is has been experience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institution of public policy avowed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow…” Holmes juga mengatakan, “The law embodies the story of a nation’s development through many centuries, and it can not be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics”.

Dengan demikian putusan hakim merupakan cermin dari sikap, moralitas, penalaran dan banyak hal lainnya yang digambarkan oleh Holmes sebagai pengalaman. Hal itu mengisyaratkan bahwa putusan hakim akan sangat berwatak relativisme cultural, atau dengan mengambil pandangan Brianz Tamanaha tentang “mirror thesis” maka putusan merefleksikan seperti cermin dari si pemutusnya” (Holmes, The Common Law (Boston; Little Brown, 1963). Beberapa cacatan yang hampir sama dapat ditemukan pula dalam buku: Julius J. Marke, The Holmes Reader (New

York: Oceana’s Docket Books, 1955), hal. 65-70), Brian Z. Tamanaha, A general Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, 2006), hal. 1-3, dan Werner Menski dalam, Comparative Law In Global Context: The Legal system of Asia and Africa, Cambridge University Press, 2006, hal. 3-dst.

Sekalipun tugas hakim sangat berat, hakim tetaplah seorang manusia biasa yaitu makhluk biologis, yang memiliki juga hak psikologis yaitu untuk menjadi takut, berani, jujur, khilaf, salah, dan lainnya. Hakim juga sesungguhnya terkait dengan orang-orang terdekatnya, keluarganya lingkungan dan pendidikannya dengan demikian perlu disadari bahwa tidak ada model yang sama dari hakim. Apabila secara yuridis dapat mengatakan bahwa seluruh Indonesia hanya ada satu model hakim saja, sebagaimana tertera dalam peraturan hukum, namun secara sosiologi hukum, ada lebih dari satu hakim atau ada lebih dari satu macam hakim di Indonesia.

Pada titik ini kita dapat melihat hakim tidak hanya sebagai seorang birokrat hukum semata, (Lihat dalam Abraham S. Blumberg, Criminal justice (Burns and MacEachem Ltd., 1970), hal. 1-5). Namun juga sebagai manusia, yang terdiri dari berbagai variabel yang dapat melekat pada seorang hakim, seperti usia, latar belakang sosial, rasa atau etnis, agama, pendidikan, pengalaman, dan lain-lain yang keseluruhannya memiliki peluang untuk turut menentukan bagaimana kecenderungan seorang hakim untuk memutus dan dengan demikian melahirkan berbagai tipe hakim, dan dengan menyitir pendapat Satjipto Rahardjo, maka kita dapat mengatakan paling tidak ada dua tipe hakim. Pertama, hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati-nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal

jurnal agustus 2012-arnis.indd 130 7/27/2012 3:11:24 PM

130 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133 Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 131

dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut. Kedua, hakim yang apabila memutus terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap putusan perutnya (Rahardjo, Kompas, 2003: 225).

Hakim seyogianya bertugas untuk kepentingan rakyat dan bukan sebaliknya, dalam hubungan ini pekerjaan hakim menjadi semakin kompleks. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subjektif, tetapi juga dengan ”telinga sosial”. Seorang hakim bukan hanya teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk sosial, karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia karena itu bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya. Hakim demikian itu, menjadikan dirinya bagian dari masyarakat dan akan selalu menanyakan ”apakah peran yang bisa saya berikan bagi masyarakat? Pendek kata hakim model ini akan senantiasa meletakkan telinganya ke degup jantung rakyatnya.

Berdasarkan uraian sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dijelaskan argumen akhir sebagai berikut:

a. Putusan ini apabila dikaji secara filosofis/filsafat hukum sama sekali tidak memiliki dasar (Grundlos), Majelis Hakim tidak mampu menguji pertentangan Norma (Hukum dengan Kode Etik) dan tidak mampu membuktikan adanya konflik norma di dalamnya, baik secara hirarkhis (relasi horizontal maupun vertikal dalam relasi norma), juga secara faktual dalam realitas atau kenyataannya:

b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 36P/Hum Tahun 2011 juga memperlihatkan relasi kuasa dan arogansi kelembagaan

daripada sebuah upaya perbaikan bagi kehidupan hakim dan peradilan sehingga memperlihatkan atau merupakan gambaran realitas bahwa putusan hakim seringkali menjadi tempat bersembunyi bagi perilaku-perilaku tidak etis. Putusan ini mendekonstruksi dirinya melalui petitum dan pertimbangannya.

c. Semangat untuk melakukan perbaikan terhadap kualitas hakim dan sistem peradilan juga tidak tercermin dalam putusan itu, tetapi malah sebaliknya, menciptakan situasi ketidakmenentuan, kecemasan dan juga suasana yang semakin semerawut (upaya pembiaran terjadinya kevakuman kode etik). Sementara di satu sisi hakim terus mengalami kemerosotan moral sangat tajam.

SIMPULAN IV.

Sebagai uraian akhir dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut: Peradaban modern sebagaimana dikatakan Ali Harb (2003: 210), bertumpu pada kekuasaan nalar, namun ia melahirkan kegilaan dan kesia-siaan. Peradaban modern berusaha keras untuk membebaskan pemikiran dari otoritas spiritual dan metafisik, dan peradaban ini menciptakan Tuhan baru. Peradaban ini bertumpu pada manusia, akan tetapi ia membiarkannya menjadi mangsa hawa nafsu dan permainannya. Peradaban modern juga ingin membebaskan kehendak, tetapi mengakibatkan bertambah terbelenggu, dan mengantarkan kita pada era kekerasan dan keseimbangan rasa takut, dengan menyitir Roger Garaudy, saya dapat mengatakan bahwa hakim hidup di tengah peradaban yang bertambah namun semakin tak terkendali sehingga dapat dikatakan bahwa

jurnal agustus 2012-arnis.indd 131 7/27/2012 3:11:24 PM

132 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

penegakan hukum dan etika adalah semacam merentangkan benang basah, yang tidak mungkin terentang dengan sendirinya, dan tidak mungkin dapat dilakukan oleh satu lembaga saja.

Benang basah hanya dapat ditarik dengan kuat oleh (minimal) dua lembaga, sehingga benang basah akan terentang. Ini tidaklah berkait dengan kompromi kelembagaan, namun menyangkut komitmen yang kuat dari lembaga yudisial untuk merentangkannya. Artinya masing-masing memegang ujung talinya dengan sangat kuat, bahwa masing-masing saling percaya dan memiliki visi untuk memperbaiki, sehingga egoisme kekuasaan dapat dikekang. Apabila itu dapat dilakukan maka diharapkan penegakan hukum dan etika menjadi lebih mudah, dan efek-efek yang muncul dapat diminimalisir.

Penegak hukum yaitu para hakim harus mampu menjalankan fungsi yang lebih baik ketika harus memilih kepentingan pribadi atau orang lain, memilih kejujuran atau kekuasaan, etika dan moralitas atau gemerincing emas? Hakim jenis ini apabila memutus, terlebih dahulu akan berkonsultasi dengan nuraninya dan kemudian mencari hukum untuk menopang nuraninya tersebut, hakim tipe ini merupakan hakim progresif. Situasi saat ini memperlihatkan bahwa masyarakat, pengadilan atau hakim kita mengalami problem filosofis? Atau lebih khusus dikatakan problem moralitas? Problem etika di lingkungan penegak hukum? Kita menyadari sepenuhnya bahwa hidup dalam situasi saat itu dapat menyeret pemahaman dan pengetahuan kita kepada kondisi ketidak menentuan -kondisi ketidakstabilan, dan dalam situasi itu penting diperhatikan berbagai ancaman yang saat ini berlangsung yang dapat menghancurkan, merusak moralitas dan etika kehidupan kita.

DAFTAR PUSTAKA

Rich On lies, Adrienne Cecile. 1980. secrets, and silence; selected prose 1966-1978. London: Virago.

Marxisme, Alan Hunt. 1987. Analisa Hukum; dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis terhadap Hukum. Jakarta: Bina Aksara.

Ali Harb. 2003. Hermeneutika Kebenaran. Jogyakarta: LKiS.

Kurnianingsih, Ambarwati. 2008. Simulacra Bali; Ambiguitas Tradisionalisasi orang Bali. Insist.

Tamanaha, Brian Z. 2001. General Jurisprudence of Law and Society. Oxford: UK Oxford University Press

Hughes. Graham. 1962. Morals and the Criminal Law. 71 Yale Journal.

Hart, HLA Law. 2009. Liberty and Morality; Hukum, Kebebasan, dan Moralitas. Jogyakarta: Genta Publishing.

A Pack of Lies, JA Barnes. 2005. Sosiologi Kebohongan dan Psikologi Akal Bulus. Jogyakarta: Qalam.

Baudrillard, Jean. 1983. Simulation, Semiotextce, New York (terj) Paul Foss, Paul Patton, dan Philip Beichman.

Ekman, Paul. 2009. Mendeteksi kebohongan dalam hubungan bisnis, politik dan pernikahan. Jogyakarta: Penerbit BACA.

Tallis, Raymond. 1988. Not Saussure; a Critique of Post-Saussurean literary theory. Basingstoke: Macmillan.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 132 7/27/2012 3:11:24 PM

132 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133 Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto) | 133

Gultom, Samuel. 2003. Mengadili Korban; Praktek pembenaran terhadap kekerasan Negara. Jakarta: Elsam.

Rahardjo, Satjipto. 2010. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

_______________. 2009. Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

_______________. 2003. Sosiologi Hukum, dalam Sisi sisi lain hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas.

Siegel. 1986. Solo in the New Order; Languange and Hierarchy in an Indonesian City. Princenton University Press.

Sidharta. 2006. Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung: Refika Aditama,

Kriekhoff, Valerine. JL. 1997. Autonomic Legislation sebagai Sumber Hukum Formal dalam Penelitian Hukum, pidato pengukuhan guru besar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Menski, Wener. 2006. “Comparative Law in a Global Context; The Legal system of Asia and Africa. Cambridge University Press.

Bankowski, Z. dan Munghams, G. 1976. Images of Law. Routledge and Kegan Paul, London.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 133 7/27/2012 3:11:24 PM

134 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

KETEPATAN HAKIM DALAM PENERAPANPrecautionary PrinciPle SEBAgAI “ius cogen”

DALAM KASUS gUNUNg MANDALAWANgIKajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004

THE AccURAcy OF IMPLEMENTINg PREcAUTIONARy PRINcIPLE AS “IUS cOgEN” IN THE cASE OF

MT. MANDALAWANgI

Loura HardjalokaFakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok

Email: [email protected]; [email protected]

An Analysis on Decision Number 1794K/Pdt/2004

Diterima tgl 28 Mei 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012

ABSTRAK

Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada parat tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya pembuktian dari para tergugat. Kasus sebagaimana dianalisis dalam artikel ini bukanlah bencana alam karena kejadiannya dapat diprediksi namun para tergugat tidak menjalankan prinsip kehati-hatian untuk mencegahnya. Para tergugat berdalih bahwa prinsip ini belum menjadi hukum positif di Indonesia, akan tetapi prinsip ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.

Kata kunci: prinsip kehati-hatian, ius cogen, tanggung jawab mutlak.

abstract

The absence of implementing the precautionary principle has to put forth the strict liability in the case of Mt. Mandalawangi. Such a liability will not depend on the existence of any legal proofs conveyed by the defendants. The incident of Mt. Mandalangi was not a natural disaster but could be predicted before. It happened because of the precautionalry principle disobedience. Despite admitting the violation, the defendants claim that this principle has not yet become a part of Indonesian positive law. Otherwise, the principle can be regarded as ”ius cogen” that has been accepted and recognized by international communities. Ius cogen can be modified only by a new general and basic norm of international law with the same characteristic.

Keywords: precautionary principle, ius cogen, strict liabilitity.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 134 7/27/2012 3:11:24 PM

134 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 135

PENDAHULUANI.

Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Meskipun demikian, melihat pada kondisi lingkungan hidup sekarang sungguhlah sangat memprihatinkan.

Berdasarkan faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: kerusakan lingkungan hidup akibat peristiwa alam dan kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia. Salah satu contoh kejadian yang dianggap merupakan kerusakan lingkungan hidup adalah kasus Mandalawangi. Kasus yang terjadi pada tahun 2003 ini, dianggap terjadi karena adanya faktor kelalaian manusia.

Dalam kasus ini, dalih Para Tergugat bahwasanya longsor terjadi karena faktor bencana alam akan tetapi hal ini terasa janggal mengingat tidak terpenuhinya persyaratan untuk suatu kejadian lingkungan merupakan bencana alam. Tidak terpenuhinya dalih bencana alam salah satunya dikarenakan tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian (Precautionary Principle) oleh Para Tergugat. Melihat hal tersebut maka perlu diketahui pula apa yang akan diterapkan untuk menghukum Para Tergugat, apakah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau Strict Liability. Hal-hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengkaji kasus berdasarkan putusan ini secara mendalam.

Kasus Posisi

Dalam perkara Gunung Mandalawangi, Para Penggugat (warga Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat) mengajukan gugatan yang berdasarkan pada Strict Liability (kemudian menjadi Termohon Kasasi) terhadap Direksi Perum Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Tergugat I/Pemohon Kasasi I), Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI (Tergugat II/Pemohon Kasasi II), Pemerintah Daerah Tk. I Provinsi Jawa Barat Cq Gubernur Provinsi Jawa Barat (Tergugat III/Pemohon Kasasi III), Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI Cq Menteri Kehutanan RI (Tergugat IV/Pemohon Kasasi IV), dan Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Cq Bupati Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Tergugat V/Pemohon Kasasi V). Alasan pengajuan gugatan adalah sebagai berikut:

Tergugat I diberikan hak untuk mengelola • kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Jawa Barat, in casu kawasan Gunung Mandalawangi, Garut berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 1978 jo Kepmen Pertanian Nomor 43/KPTS/HUM/1978 dan PP Nomor 53 Tahun 1999. Tergugat I sebagai pengelola hutan berkewajiban menyelenggarakan kegiatan perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan, dan pemasaran serta perlindungan dan pengamanan hutan dengan mengacu pada maksud dan tujuan perusahaan, yaitu melestarikan dan meningkatkan mutu sumber daya hutan dan mutu lingkungan hidup. Akan tetapi Tergugat I malah mengabaikan peraturan dan/atau menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan, yang diduga

jurnal agustus 2012-arnis.indd 135 7/27/2012 3:11:24 PM

136 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

menyebabkan berkurangnya luas hutan di Jawa Barat tinggal 8%, termasuk hutan Mandalawangi, Garut.

Tergugat III mengeluarkan SK Menhut • Nomor 419/KPTS.II/1999 yang amarnya mengubah status hutan lindung Mandalawangi kepada Tergugat I, dianggap memberikan ‘peluang’ terhadap pelanggaran yang disebabkan Tergugat I dengan tidak memberikan pembinaan maupun tidak melakukan reboisasi setelah penebangan dan/atau mengubah hutan primair menjadi hutan sekunder.

Tergugat I juga menciptakan lahan kosong • dan lahan garapan pertanian yang kemudian dimanfaatkan penduduk di sekitar area hutan Mandalawangi yang mana Tergugat telah mengubah fisik dan/atau fungsi hutan yang dapat dikualifikasikan sebagai perusakan hutan (vide Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999).

Akibat perbuatan Tergugat I tersebut, terjadi • longsor di area hutan Mandalawangi dan menghancurkan area pemukiman penduduk. Berdasarkan hasil penyelidikan Direktorat Vulkanologi, faktor-faktor penyebab longsornya Gunung Mandalawangi adalah:

a. ketebalan pelapukan tanah (3 meter);b. sarang (mudah meloloskan air);c. batuan vulkanik yang belum padu;d. kecuraman lereng 20-50 derajat dan

bagian bawah relatif landai;e. adanya perubahan tata guna lahan

bagian alas bukit dari tanaman keras/hutan ke tanaman musiman.

Ternyata sebelum terjadi longsor, Tergugat I sudah mengakui sejak 6 bulan silam

terdapat tiga titik rawan longsor di petak V dan empat titik di petak VI, tetapi Tergugat I tidak menanganinya secara khusus dan tidak mengumumkan kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait, termasuk Pemda Kabupaten Garut.

Tindakan Tergugat I juga dianggap sebagai • kelalaian dari Tergugat II, IV, dan V dalam melaksanakan kewajibannya melakukan pengurusan hutan.

Peristiwa longsor ini telah mengakibatkan • kerugian berupa terputusnya lalu lintas Bandung-Garut lewat Japati serta adanya korban jiwa dan harta benda; sehingga para Tergugat seharusnya bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) dengan melakukan relokasi dan membayar kompensasi yang sesuai.

Adapun putusan hakim ialah sebagai berikut:

Pendapat Mahkamah Agung

Mengenai alasan dalam pokok perkara butir e yang menyatakan bahwa, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum sehingga Pemohon Kasasi berkewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat termasuk yang mengalami kerugian sehingga Pemohon Kasasi tidak dapat bersandar pada kebijaksanaan dikarenakan akibat dari kebijakan hukum yang merugikan masyarakat tidak dapat ditolerir.

RUMUSAN MASALAH II.

Berdasarkan kasus di atas, pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

jurnal agustus 2012-arnis.indd 136 7/27/2012 3:11:24 PM

136 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 137

1. Bagaimana penerapan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) vs strict liability dalam kasus perdata yang kemudian dikaitkan dengan Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004?

2. Bagaimana penerapan dalih bencana alam (act of God) dalam kasus perdata yang kemudian dikaitkan dengan Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004?

3. Bagaimana penerapan Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian) dalam kasus perdata yang kemudian dikaitkan dengan Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

1. PMH vs. strict liability

Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Penggugat harus dapat membuktikan unsur untuk membenarkan dalil terjadinya perbuatan melawan hukum oleh Tergugat, antara lain:

a. perbuatan Melawan Hukum/Kesalahan;

b. kerugian; danc. kausalitas antara Perbuatan Melawan

Hukum/Kesalahan dan Kerugian.

Dalam hukum positif di Indonesia, ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum (PMH) diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal tersebut berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Ketentuan ini mensyaratkan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dengan demikian, untuk memperoleh ganti rugi melalui gugatan yang berdasar pada PMH, syarat yang harus dipenuhi adalah sesuai dengan doktrin yang telah dijelaskan di atas, yakni adanya perbuatan melawan hukum/ kesalahan, kerugian, dan ‘karena’, yaitu kausalitas antara kesalahan dan kerugian (Subekti, 1979: 56).

Ketika membicarakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam konteks hukum lingkungan secara lebih luas, maka terdapat istilah Fault Based Liability. Fault-Based Liability bisa diartikan juga sebagai Perbuatan Melawan Hukum karena mendasarkan pertanggungjawabannya berdasarkan terpenuhinya salah satu unsurnya yang merupakan unsur kesalahan. Dalam hukum modern, pertanggungjawaban terhadap aktivitas yang disinyalir termasuk akitivitas berbahaya ditentukan sesuai dengan kerangka umum dari sistem pertanggungjawaban yang berdasarkan adanya delik. Hal ini berarti terdapat suatu keharusan untuk menunjukkan benar-benar terdapatnya unsur kesalahan dalam aktivitas tersebut (Reid, 1999: 748).

Sedangkan, apabila membahas persoalan PMH menurut hukum lingkungan nasional, maka kita harus merujuk pada dua instrumen hukum utama di bidang hukum lingkungan, yakni UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), sekaligus dapat membandingkan perbedaan di antara keduanya. Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PMH disebutkan dalam Pasal 34. Ketentuan pasal tersebut mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau

jurnal agustus 2012-arnis.indd 137 7/27/2012 3:11:24 PM

138 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

perusakan lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Hakim juga dapat menetapkan pembayaran uang paksa (dwangsom) atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut (Pasal 34 ayat (2) UUPLH). Ketentuan yang serupa tercantum dalam UUPPLH tepatnya pada Pasal 87.

Sedikit berbeda dari itu, dikenal asas yang disebut res ipsa loquitur. Asas ini disebut juga the presumption of fault. Dalam res ipsa loquitur, dianut prinsip bahwa fakta sudah membuktikan dengan sendirinya sehingga tidak perlu lagi dibuktikan. Dengan demikian res ipsa loquitur mengasumsikan kesalahan sudah pasti ada; sementara PMH mewajibkan Penggugat membuktikan adanya kesalahan. Asumsi atas Kesalahan atau The Presumption of Fault tidak menguntungkan Penggugat lebih jauh dari The Presumption of Liability yang dianut di Perancis (Ibid, 749). Asumsi atas Tanggung jawab di Perancis diatur dalam ketentuan Article 1384.1 dari Code Civil yang berbunyi, “One is responsible not only for the harm which one causes by one’s own action, but also for that which is caused by the action of persons for whom one is answerable, or by things which one has in one’s keeping.” Maka, terdapat perluasan makna pertanggungjawaban seseorang, yang tidak lagi terbatas pada perbuatannya sendiri saja, melainkan juga bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatan orang lain yang disebabkan oleh seseorang (pertama) tadi, serta atas kerugian yang timbul akibat kebendaan yang dikuasai seseorang (pertama) tersebut.

Sementara pada The Presumption of Fault, ketidaktahuan akan sebab munculnya suatu kerugian tidak serta-merta menimbulkan

tanggung jawab pada seseorang; melainkan hanya mengasumsikan kesalahan semata pada seseorang tersebut. Sehingga masih harus dibuktikan dua unsur lainnya, yaitu kerugian dan kausalitasnya. Hal ini bisa dilihat pada yurisprudensi kasus antara McQueen v. The Glasgow Garden Festival (1988), di mana Penggugat cidera akibat letusan petasan yang meletus tiba-tiba. Negligence tidak terbukti dan gugatan McQueen ditolak (Ibid, 750).

strict liability

Strict Liability mengacu pada kegiatan tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan (Lummert, 1980: 239-240) dan pembuktian oleh pihak yang mempunyai kemampuan untuk memberikan bukti bahwa ia tidak bersalah atas perbuatan tersebut tetapi ia tetap bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Perlu dibedakan antara Strict Liability dan pembuktian terbalik karena sering sekali kedua hal ini dipersamakan. Pada pembuktian terbalik, pihak yang lebih kuat kedudukannya dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa akibat hukum dari suatu perbuatan bukanlah kesalahannya tetapi pada Strict Liability, ada atau tidak adanya pembuktian dari pihak tergugat, ia tetap bertanggung jawab atas akibat hukum dari suatu peristiwa yang terjadi dengan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah dipenuhi (Kasim, 2007: 40) .

Munir Fuady mendefinisikan Strict Liability sebagai suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia

jurnal agustus 2012-arnis.indd 138 7/27/2012 3:11:24 PM

138 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 139

tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan. Jadi, menurut Munir Fuady, Strict Liability adalah tanggung jawab secara hukum pada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa mempedulikan unsur kesalahan, bahkan tanpa unsur kesengajaan, kelalaian, kekuranghati-hatian atau ketidakpatutan sekalipun.

Sedikit berbeda dari pendapat tersebut, Strict Liability juga didefinisikan dalam Restatement (Second) of Torts Article 519 (1) yang berbunyi, “One who carries on an abnormally dangerous activity is subject to liability for harm to the person, land or chattels of another resulting from the activity, although he has excercised the utmost care to prevent the harm.” Jadi, pelaku kegiatan yang berbahaya secara abnormal (abnormally dangerous activity) bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari kegiatan tersebut, meskipun ia telah melakukan usaha paling maksimal untuk mencegah timbulnya kerugian (excercised the utmost care to prevent the harm).

Kesimpulan dari definisi tersebut adalah bahwa ada tiga hal yang harus dibuktikan oleh Penggugat untuk memperoleh kebenaran atas gugatannya yang berdasar pada Strict Liability, yakni (Siahaan, 2009: 67):

1. Membuktikan terjadinya Abnormally Dangerous Activity yang disebabkan oleh Tergugat Article 520 Restatement (Second) of Torts menentukan enam parameter kegiatan yang tergolong sebagai Abnormally Dangerous Activity, yaitu:

1. Existence of a high degree of risk;2. Likelihood that the harm that results

from it will be great;3. Inability to eliminate the risk;

4. Extent to which the activity is not a matter of common usage;

5. Inappropriateness of the activity to the place where it is carried on; and

6. Extent to which its value to the community is outweighed by its dangerous attributes.

2. Membuktikan adanya Kerugian.

3. Membuktikan adanya Kausalitas antara kegiatan seseorang dengan kerugian yang ditimbulkannya.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ketentuan mengenai Strict Liability termuat dalam Pasal 35. Sebelum memasuki substansi ketentuan pasal tersebut, ada baiknya terlebih dahulu mengomentari judul paragraf dari pasal tersebut yaitu Tanggung Jawab Mutlak. Terjemahan Strict Liability menjadi Tanggung Jawab Mutlak agak riskan, sebab terdapat satu istilah lagi yang berbeda maknanya dengan Strict Liability, yaitu Absolute Liability. Pada Absolut Liability, bahkan kerugian pun tidak perlu dibuktikan. Jadi, hanya dengan melakukan suatu perbuatan yang tergolong dalam ketentuan Absolute Liability tersebut, maka pelaku sudah harus bertanggung jawab, sehingga hal yang harus dibuktikan oleh Penggugat terhadap perbuatan Tergugat hanya satu, yaitu membuktikan bahwa Tergugat memang melakukan sesuatu hal yang dilarang tersebut. Tentu pengertian Absolute Liability berbeda dengan Strict Liability, sehingga perlu diperhatikan bahwa Tanggung Jawab Mutlak yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 maupun UU Nomor 32 Tahun 2009 adalah Strict Liability, bukan Absolute Liability. Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 menentukan bahwa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

jurnal agustus 2012-arnis.indd 139 7/27/2012 3:11:24 PM

140 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

dapat dibebankan tanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, bila usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yaitu yang: a. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun; dan/atau; b. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Kewajiban membayar ganti rugi timbul bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang ditentukan di atas yakni secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Namun, Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1997 memuat ketentuan bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk dapat dibebaskan dari kewajiban ganti rugi tersebut yakni bila dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh:

a. Bencana alam atau peperangan; ataub. Keadaan terpaksa di luar kemampuan

manusia; atauc. Tindakan pihak ketiga yang

menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

UU Nomor 32 Tahun 2009 juga memuat ketentuan mengenai Strict Liability dalam Pasal 88 yang menentukan bahwa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Jadi, ada empat hal yang dapat menerbitkan Strict Liability, yaitu dalam hal seseorang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya:

a. Menggunakan B3;b. Menghasilkan limbah B3;c. Mengelola limbah B3;d. Menimbulkan ancaman serius

terhadap lingkungan hidup.

Kedua instrumen hukum tersebut menunjukkan bahwa Strict Liability dianut dalam hukum lingkungan nasional, yakni dalam hal tertentu yang spesifik seperti telah ternyata di atas. Dalam perkara Gunung Mandalawangi, gugatan antara lain dikarenakan Tergugat I melakukan perbuatan yang mengabaikan peraturan dan/atau menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan karena mengakibatkan luas hutan di Jawa Barat tinggal 8% serta menimbulkan longsor yang terjadi pada tanggal 28 Januari 2003 dan menimbulkan kerugian besar. Pada posita angka 26 Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat bertanggung jawab mutlak (Strict Liability) sehingga Penggugat tidak perlu membuktikan unsur kesalahan. Dasar hukum dari dalil ini adalah Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 1997 yang sedang berlaku ketika itu. Akan tetapi, dalam poin 2 petitumnya Penggugat meminta “Menyatakan menurut hukum bahwa PARA TERGUGAT telah melakukan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya patutlah dihukum untuk membayar ganti kerugian.”

Pada dalil poin 16 eksepsi oleh Tergugat I dikatakan bahwa dalil Penggugat yang menyatakan Tergugat I melakukan kesalahan dalam pengelolaan kawasan hutan adalah tidak benar (karena Tergugat I telah melaksanakan pengelolaan hutan) sehingga secara hukum Tergugat I tidak harus bertanggung jawab. Mengenai hal ini, menurut Penulis tidak esensial sebab dasar gugatan adalah Strict Liability yang tidak mensyaratkan pembuktian unsur kesalahan. Dengan demikian, sekalipun benar dalil Tergugat I bahwa ia telah melaksanakan pengelolaan

jurnal agustus 2012-arnis.indd 140 7/27/2012 3:11:25 PM

140 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 141

hutan sehingga kesalahan tidak terbukti, tidak membebaskan Tergugat I dari tanggung jawab atas dasar Strict Liability.

Pada dalil poin 19 dan 20 eksepsi oleh Tergugat I, kerugian yang diderita oleh korban bencana tersebut adalah akibat bencana alam. Jika benar dalil ini maka berdasarkan hukum positif mengenai Strict Liability di Indonesia, Tergugat I dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1997. Akan tetapi, ternyata peristiwa longsor di Desa Mandalawangi ini bukanlah suatu bencana alam, sehingga Tergugat I tidak dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian (penjelasan mengenai bahwa peristiwa longsor di Desa Mandalawangi bukanlah suatu bencana alam diuraikan dalam bagian analisis terkait bencana alam/act of God yang ada di sub selanjutnya). Dalam dalil poin II 2 Eksepsi oleh Tergugat IV, posita Penggugat adalah obscuur libel karena kasus longsor yang terjadi bukanlah akibat dari kegiatan atau usaha yang menggunakan B3 maupun menghasilkan limbah B3 sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997. Seluruh eksepsi tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri Bandung, sebab majelis hakim berpendapat bahwa Tergugat I, III, IV dan V bertanggung jawab secara Strict Liability atas kerugian yang timbul. Begitu pula dengan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan Mahkamah Agung. Pendapat hakim adalah bahwa kejadian longsor disebabkan antara lain kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan karena pemanfaatan tanah tidak sesuai fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung. Fakta ini berhubungan seara kausalitas dengan kerugian (yang timbul akibat longsor), sehingga terpenuhi unsur Strict Liability dan para Tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya.

Secara umum pendapat tersebut muncul karena adanya asas Precautionary Principle dalam hukum lingkungan positif di Indonesia, sehingga penyimpangan peruntukan kawasan hutan dianggap sebagai sebab (causa) yang menyalahi aturan Precautionary Principle sehingga para Tergugat adalah bertanggung jawab dalam kasus ini.

Keputusan hakim untuk menerapkan Precautionary Principle sebagai bentuk adopsi dari ketentuan hukum internasional dalam kasus ini dinilai tepat. Hal ini dikarenakan penegakkan hukum lingkungan hidup disebabkan dengan standar hukum Internasional. Hal ini berarti suatu ketentuan hukum internasional dapat digunakan oleh hakim nasional apabila memang ketentuan tersebut telah dipandang sebagai “ius cogen” (O’Riordan dan J. Cameron, 1996: 347).

Apabila kemudian merujuk pada sumber-sumber hukum internasional yang termuat dalam Statute of The International Court of Justice Article 38 (1), adalah (Jones, 1992: 1705):

a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;

b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law;

c. The general principles of law recognized by civilized nations;

d. Judicial decisions ande. The teachings of the most highly

qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.

Prinsip Ius Cogen sendiri bisa dikategorikan sebagai suatu international customary law, yang berarti merupakan suatu bagian dari sumber

jurnal agustus 2012-arnis.indd 141 7/27/2012 3:11:25 PM

142 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

hukum internasional yang tergolong kepada international custom, as evidence of a general practice accepted as law (Raffensperger dan J. Tickner, 1999: 567).

Hal yang menarik untuk dikaji adalah seputar Abnormally Dangerous Activity sebagai salah satu unsur Strict Liability yang harus dibuktikan oleh Penggugat. Dalam kasus ini, Abnormally Dangerous Activity yang terjadi dan disebabkan oleh para Tergugat adalah:

a. Existence of a high degree of risk

Dalam perkara ini, pada perbuatan Tergugat I terdapat resiko yang berskala besar, yaitu dapat terjadi longsor. Perbuatan Tergugat I yang dimaksud adalah mengelola hutan sampai dengan terjadi pengurangan areal hutan secara masif sehingga hutan sekunder di Gunung Mandalawangi tersebut tidak mampu lagi menahan curah hujan. Ketidakmampuan hutan menahan curah hujan dapat mengakibatkan banjir. Namun, disertai dengan struktur kemiringan lereng 40 derajat, maka bahaya longsor pun mungkin terjadi. Apabila terjadi longsor, maka secara logika teori gravitasi pemukiman penduduk akan tertimbun tanah. Dengan demikian jelas bahwa terdapat resiko skala besar dari perbuatan Tergugat I.

b. Likelihood that the harm that results from it will be great

Kegiatan berbahaya yang abnormal dari Tergugat I juga memenuhi unsur ini, bahwa kerugian yang akan muncul dari kegiatan tersebut akan sangat besar. Hal ini terbukti dengan munculnya korban jiwa 21 orang meninggal (dalam posita 20 orang meninggal dan 1 tidak ditemukan), 15 orang korban luka-luka dan dirawat inap, 165 unit rumah hancur, 67 unit rumah rusak berat, 44 unit rumah rusak ringan dan 104 rumah

terancam, 70 Ha sawah padi dan 35 Ha ladang jagung hancur (dalam petitum ditambah 35 Ha ladang kacang merah), 150 ekor domba dan 5.000 ekor ayam dan itik musnah, rusak/ robohnya jalan setapak 4,5 km, jembatan 3 m, drainase 6 km, pipa air bersih 7 km, madrasah 2 unit dan masjid 3 unit, serta hancurnya perlengkapan sekolah mengakibatkan kerugian dalam bersekolah serta hilangnya kesempatan mencari nafkah bagi 376 KK yang mengungsi. Posita dalam gugatan menunjukkan kerugian materiil sejumlah Rp.30.417.200.000,00 dan kerugian immateriil sebesar Rp.20.000.000.000,00.

c. Inability to eliminate the risk

Dalam positanya Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat I telah mengetahui 7 titik rawan longsor namun tidak menanganinya secara khusus dan tidak mengumumkan penemuan tersebut kepada masyarakat dan Pemda Kabupaten Garut, sehingga kemudian muncul kerugian yang sangat besar. Dengan demikian unsur ini pun terpenuhi.

d. Extent to which the activity is not a matter of common usage

Kegiatan Tergugat I dalam pemanfaatan hutan tidak sesuai fungsi dan peruntukannya sebagai hutan lindung, sehingga unsur bahwa kegiatan tidak sesuai penggunaan/pemakaian/ pemanfaatan secara umum juga terpenuhi. Hal ini dikarenakan pemanfaatan hutan secara umum seharusnya sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, namun yang terjadi adalah eksploitasi hutan sehingga tidak mampu menampung curah hujan.

Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut maka terbukti pula unsur Abnormally Dangerous Activity, di samping Kerugian dan Kausalitas di antara keduanya, sehingga Tergugat sepantasnya

jurnal agustus 2012-arnis.indd 142 7/27/2012 3:11:25 PM

142 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 143

bertanggung jawab secara Strict Liability. Apabila dicermati lebih jauh lagi, sebenarnya hakim juga bisa mendasari pertimbangan hukumnya dalam menjatuhkan putusan soal Strict Liability kepada tergugat, berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 jo Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 jo Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999. Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan: “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.

Kegiatan yang disebabkan oleh Tergugat dalam hal ini memang menimbulkan dampak yang cukup besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Sehingga, penanggung jawab kegiatan dalam hal ini adalah tergugat bisa dikenakan suatu bentuk pertanggungjawaban mutlak, kepadanya dikenakan juga kewajiban pembayaran ganti rugi kepada korban-korban atau pihak-pihak yang dirugikan akibat dari tindakannya tersebut.

Masih terkait dengan ketentuan di atas, apabila kemudian suatu kegiatan dikategorikan sebagai suatu kegiatan yang memiliki dampak besar dan penting terhadap lingkungan, maka kegiatan tersebut wajib memiliki AMDAL. Hal ini termuat jelas pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997: “setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki

analisis mengenai dampak lingkungan hidup.”

Masih berkorelasi dengan apa yang diungkapkan di atas, ketentuan menyangkut soal AMDAL ini kembali ditegaskan dalam PP Nomor 27 Tahun 1999. Hal ini merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999: Usaha dan/atau kegiatan yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup adalah poin a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, poin c, Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam, dalam pemanfaatannya dan, poin e, Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya

Merujuk pada beberapa dalil-dalil gugatan yang dikemukakan penggugat, sebenarnya sudah bisa memenuhi ketentuan huruf a, c, dan e dari pasal di atas. Beberapa di antaranya adalah dalil penggugat yang menyatakan bahwa:

a. Tergugat I dalam mengelola hutan telah mengabaikan peraturan dan/atau telah menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan, di mana hal ini telah mengakibatkan luas hutan di Jawa Barat tinggal 8% (termasuk hutan Mandalawangi Garut) dari keadaan 53 juta Ha (20%) sebelum dikelola oleh Tergugat I.

b. Tergugat III dengan mengeluarkan SK Menhut No. 419/KPTS II/1999 yang amarnya merubah status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi terbatas.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 143 7/27/2012 3:11:25 PM

144 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

Apabila memang kemudian bisa dibantah oleh Para Tergugat dalam jawaban dalam pokok perkaranya, sehingga kegiatan tersebut sebenarnya menurut pendapat tergugat tidak memenuhi unsur-unsur kegiatan yang wajib AMDAL, maka kembali pada ketentuan di mana kegiatan yang wajib AMDAL pasti bisa dikenakan ketentuan strict liability, tapi di sisi lain tidak berarti juga bahwa kegiatan yang tidak wajib AMDAL pasti tidak akan terkena strict liability. Dari uraian beberapa ketentuan di atas, bisa disimpulkan bahwa memang benar ketentuan soal Strict Liability bisa dikenakan kepada Para Tergugat dalam kasus ini dengan menggunakan beberapa dasar hukum.

2. Bencana Alam (act of god)

Gambaran Umum act of god

Istilah ‘force majeur’ seringkali dikemukakan untuk mengurangi atau menghilangkan tanggung jawab seseorang ketika ia tidak dapat melakukan kewajibannya karena sebab-sebab di luar kendalinya, seperti kuasa Tuhan (act of God).

Act of God didefinisikan oleh Congress (badan legislatif di Amerika Serikat) sebagai suatu hal yang yang disebabkan oleh bencana alam yang serius (grave natural disaster). Akan tidak semua bencana alam dapat dikategorikan sebagai act of God. Yang dapat dikategorikan adalah bencana yang tidak biasa (unusual) dan luar biasa (extraordinary) secara alamiah, serta tidak dapat diantisipasi atau diprediksi dalam keadaan normal. Jadi apabila suatu bencana alam merupakan sesuatu yang lumrah terjadi di di daerah tersebut, peristiwa tersebut bukanlah grave natural disaster dan bukanlah akibat dari act of God. Act of God juga didefinisikan sebagai

tindakan yang diakibatkan oleh alam tanpa adanya campur tangan dari manusia (Fraley, 2010: 669-678). Bila ada intervensi dari manusia sekecil apapun yang menyebabkan timbulnya bencana, maka biasanya pengadilan akan menolak defense act of God yang dikemukakan oleh pihak tersebut (Ibid, 690).

Syarat lain suatu kejadian dikatakan sebagai tindakan Tuhan yaitu kejadian tersebut terjadi secara langsung (direct), cepat (immediate), disebabkan oleh alam itu sendiri, tidak terkontrol dan tidak dipengaruhi oleh tindakan manusia, serta tidak ada campur tangan manusia. Kejadian itu harus tidak dapat dihindari, diprediksi, maupun ditangani dengan amat hati-hati (Fasoyiro, 2009: 20).

Pihak yang secara potensial harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan (Potentially Responsible Parties/PRPs) biasanya menggunakan act of God sebagai alasan untuk mengurangi tanggung jawab. Akan tetapi tidak cukup hanya dengan mengemukakan alasan tersebut lantas ia dapat lepas dari tanggung jawab; ia juga harus menyertakan bukti-bukti yang cukup dan mendukung bahwa peristiwa tersebut tidak mungkin diprediksi atau dihindari dan act of God adalah satu-satunya penyebabnya (sole cause).

Kesimpulannya, supaya para pihak dapat menggunakan dalih act of God sebagai penyebab suatu peristiwa, ia harus membuktikan 4 unsur berikut di hadapan pengadilan : (1) act of God itu tidak dapat diantisipasi; (2) act of God haruslah bencana alam yang serius (grave) atau fenomena alam lainnya yang luar biasa (exceptional), tidak terhindarkan (inevitable), dan tidak tertahankan (irresistible); (3) act of God haruslah merupakan satu-satunya penyebab (sole cause); (4) kerusakan

jurnal agustus 2012-arnis.indd 144 7/27/2012 3:11:25 PM

144 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 145

yang disebabkan act of God tersebut tidak dapat dihindari meskipun sudah ada tindakan pencegahan (due care) atau prediksi masa depan (Kristl, 2006: 325-362).

Implementasi Elemen-Elemen Dari Defense act of god dalam Statuta Terkait Lingkungan Hidup Tingkat Federal Amerika Serikat dan Texas Terhadap Kasus Mandalawangi

a. Suatu act of God harus tidak dapat diantisipasi

Dalam kasus ini, seharusnya peristiwa longsor ini dapat diantisipasi. Tergugat sendiri mengakui bahwa ia telah mengetahui keadaan tanah di Gunung Mandalawangi, yang mana bagian atas Gunung Mandalawangi terdiri atas tanah regosol, sehingga ketika terkena air dalam debit atau curah yang besar tanah regosol yang bertekstur kasar dan parous dengan kemampuan menahan air yang rendah menyebabkan longsor. Hal ini seharusnya dapat diantisipasi dengan mencegah atau menjaga agar pepohonan yang besar-besar (tanaman keras) tetap ada di sana guna menahan aliran air dan menyerap air dalam tanah. Terlebih lagi banjir bandang tersebut merupakan siklus lima puluh tahun sekali yang sudah diketahui oleh masyarakat luas, sehingga seharusnya bisa diantisipasi dengan baik yang oleh karena itu seharusnya dalih act of God gugur.

b. Suatu act of God haruslah bencana alam yang serius (grave natural disaster)

Tiga elemen yang harus dibuktikan bahwa suatu kejadian adalah fenomena alam yang luar biasa, yaitu: kejadian tersebut harus luar biasa (exceptional), tak terelakkan (inevitable), dan tak tertahankan (irresistible). Memang dari segi

kuantitas curah hujan sangat luar biasa (sampai 14 kali dari curah hujan normal) dan tidak ada yang bisa mengatur kapan terjadi hujan karena itu merupakan fenomena alamiah sehingga seakan-akan terlihat seperti bencana alam, tetapi untuk dapat diklasifikasikan sebagai grave natural disaster harus memenuhi syarat ‘tidak dapat diantisipasi bentuknya, lokasinya, ataupun peralatan yang menunjang terjadinya bencana alam tersebut, baik karena alasan historis, geografis, maupun iklim’. Secara historis, iklim, dan geografis, peristiwa hujan besar banjir bandang di kawasan Gunung Mandalawangi sudah pernah terjadi, bahkan jangka waktu siklusnya sudah diketahui dengan baik oleh khalayak luas; sehingga sudah bisa disebabkan tindakan antisipasi. Jadi tidak termasuk act of God. Hal ini dikuatkan dalam kasus Stringfellow, ARCO, serta yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat, memang biasanya hujan tidak dikategorikan sebagai act of God.

c. Suatu act of God harus menjadi satu-satunya penyebab (sole cause) dari bencana

Suatu act of God harus menjadi satu-satunya penyebab (sole cause) dari bencana untuk dapat dinyatakan sebagai bencana alam si penanggung jawab usaha atau kegiatan harus menyatakan act of God sebagai satu-satunya penyebab (sole cause), sehingga tidak boleh ada sedikitpun campur tangan dari pihak manusia; bila ada maka dalih act of God akan gugur seketika. Dalam kasus ini Tergugat I dalam eksepsinya di pengadilan tingkat pertama mengatakan bahwa peristiwa longsor tersebut murni bencana alam. Akan tetapi, di pengadilan tingkat kasasi terbukti lewat hasil penelitian bahwa pencemaran lingkungan tersebut tidak hanya karena hujan (banjir bandang), tetapi ada pula faktor-faktor lain

jurnal agustus 2012-arnis.indd 145 7/27/2012 3:11:25 PM

146 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

yang turut mempengaruhi seperti pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung. Hal ini mempunyai hubungan kausalitas dengan longsornya tanah yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda, sehingga dalam hal ini Tergugat I gagal membuktikan poin ini sehingga seharusnya dalih act of God-nya tidak dapat diterima.

d. Lack of negligence (ketiadaan kelalaian) tidak cukup membuktikan dalil act of God

Meskipun salah satu pihak membuktikan bahwa tidak ada unsur kelalaian pada tindakannya (seperti sudah melakukan tindakan pencegahan), akan tetapi tidak secara otomotis dalil act of God terpenuhi dan ia dapat membebaskan diri dari tanggung jawab. Dalam jawaban Tergugat I pada pengadilan tingkat pertama, ia menyatakan telah berhati-hati dalam menyusun perencanaan pengelolaan hutan (selalu dengan persetujuan dari Menteri Kehutanan), melakukan reboisasi dan tidak mengubah hutan primer menjadi hutan sekunder, tidak ada pengubahan status hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas, mengetahui adanya titik-titik rawan longsor sebelum peristiwa tersebut terjadi, maupun perubahan tata guna lahan bagian atas bukit dari tanaman keras ke tanaman musiman. Singkatnya, Tergugat I merasa tidak melakukan sedikitpun kelalaian yang menyebabkan terjadinya bencana longsor. Terlepas dari benar atau tidaknya, ketika Tergugat I telah memaparkan fakta-fakta ketiadaan kelalaian pada dirinya tersebut tidak lantas membuat dalil act of God terbukti dan ia otomatis bebas dari pertanggungjawaban. Hal ini disebabkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 dan tiga statuta terkait lingkungan hidup yang kita rujuk di sini tidak menganut prinsip fault-

based, sehingga soal unsur ‘kesalahan’ (dalam hal ini culpa atau kelalaian) yang tidak ditemukan pada Tergugat I tidak dipertimbangkan. Menurut penulis, hal ini adalah tindakan dari Tergugat yang sudah sepatutnya mengetahui kondisi Gunung Mandalawangi dan hujan besar yang terjadi secara berulang-ulang, tetapi kurang melakukan sosialisasi bahaya dan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam membuat keputusan administratif yang berpengaruh terhadap keseimbangan ekologi di daerah tersebut.

e. Bencana tidak dapat dicegah meskipun sudah ada tindakan pencegahan atau prediksi sebelumnya

Dalam menangani kasus-kasus lingkungan terkait act of God, pengadilan federal menghasilkan satu prinsip penting, yaitu apabila Tergugat telah mendapat peringatan yang cukup dan alat yang memadai untuk melakukan usaha perlindungan, pencegahan, maupun mitigasi dampak atas act of God tetapi gagal melakukannya, maka ia tetap bertanggung jawab. Sebaliknya bila Tergugat tidak mendapat peringatan yang cukup serta tidak ada alat yang memadai, maka ia tidak bertanggung jawab. Contohnya ada pada kasus Apex di mana kapten kapalnya tidak menghiraukan peringatan dalam usaha menghindarkan kapalnya dari tabrakan, sehingga ia dianggap tetap bertanggung jawab.

Dalam kasus Mandalawangi ini, Tergugat V telah melakukan beberapa hal seperti mengeluarkan surat Nomor 322.377/Kec./tahun 2000 yang isinya berupa usulan keberatan pada KPH yang pada pokoknya isi surat tersebut menyarankan ada penyuluhan di lapangan sehubungan kawasan Gunung Mandalawangi telah dibuka dan akan ditanami tanaman tumpang sari oleh masyarakat; surat nomor 520/44/IV/

jurnal agustus 2012-arnis.indd 146 7/27/2012 3:11:25 PM

146 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 147

Kec./2001 tentang permohonan pengelolaan lahan Gunung Mandalawangi kiranya dapat lebih diarahkan sehingga tidak selalu mengakibatkan bencana apabila turun hujan. Sudah ada peringatan yang cukup dari Tergugat V untuk melakukan kehati-hatian secara tertulis, namun ternyata usaha perlindungan, pencegahan, maupun mitigasi dampak atas act of God tersebut tidak berhasil mencegah longsor yang mungkin timbul. Melihat akibat yang ditimbulkan ini seharusnya Tergugat tetap bertanggungjawab.

f. Liability is strict (Tanggung Jawab Ketat)

Statuta-statuta lingkungan pemerintah federal menerapkan prinsip tanggung jawab ketat (strict liability), sehingga seseorang tetap bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, kecuali ia dapat membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi karena salah satu pengecualian dari tanggung jawabnya itu, yang salah satunya termasuk act of God. Akan tetapi meskipun ia sudah berhasil membuktikan kelima poin yang disebutkan di atas, pada dasarnya seseorang harus tetap bertanggung jawab karena tanggung jawab act of God adalah berdasarkan atas akibat (causation-based), bukan berdasarkan kesalahan (fault-based). Ketika sudah ada akibat yang ditimbulkan dari act of God, dalam kasus ini berarti peristiwa longsor, para Tergugat prima facie memang pada dasarnya bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan akibat keluarnya SK yang amarnya berisi perubahan fungsi hutan lindung serta tindakan-tindakan yang mengarah pada perubahan fungsi dan kerusakan hutan. Dalam jurnal Invoking the Act of God Defense karya Laurencia Fasoyiro, dalam hal ini diberikan suatu contoh bahwa tidak semua hujan dapat dikategorikan sebagai act of God. Suatu hujan yang sifatnya normal, biasa bagi daerah tersebut, dan pernah terjadi selama masih terekam dalam

memori manusia yang hidup (within the memory of men then living), tidak dapat dikategorikan sebagai act of God karena sifatnya seperti siklus yang berulang-ulang.

Menganalisis keterangan ahli Dr. Chay Asdak yang mengatakan hujan ini merupakan ”peristiwa alam siklus 50 tahunan (hal tersebut juga diketahui oleh masyarakat yang bersangkutan) yang pada waktu kejadian terjadi intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu 12 mm/hari atau 14 kali rata-rata normal di mana ada atau tidak ada hutan tidak berpengaruh secara signifikan menahan banjir dan tanah longsor” (Faure & Niessen, 2006: 191). Ketika suatu masyarakat telah mengetahui dengan jelas suatu fenomena yang sifatnya berulang, maka peristiwa atau bencana alam tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai act of God karena sudah bisa diperkirakan terjadinya. Ahli dari Pemohon Kasasi III sendiri yang mengatakan demikian, jadi dengan demikian pernyataan yang bersangkutan menjadi bumerang bagi Pemohon Kasasi III dan menggugurkan dalih act of God yang ia kemukakan!

Hampir mirip dengan peraturan pemerintah federal, untuk menyatakan dalil bahwa suatu peristiwa kerusakan lingkungan terjadi karena adanya act of God di negara bagian Texas seseorang harus membuktikan bahwa:

a. Kejadian tidak dapat diantisipasi;b. Kejadian belum pernah terjadi

sebelumnya (unprecedented);c. Act of God adalah satu-satunya

penyebab (sole cause) dari fenomena alam tersebut; dan

d. Telah melakukan tindakan pencegahan (due care) ataupun prediksi sebelumnya (foresight).

jurnal agustus 2012-arnis.indd 147 7/27/2012 3:11:25 PM

148 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

Dari hasil analisis dalih yang dikemukakan oleh para Tergugat dan ahli serta pertimbangan hakim pada tingkat kasasi, dapat disimpulkan sebenarnya peristiwa ini bukan merupakan bencana alam (sebab-sebab act of God) karena ketujuh poin di atas tidak dapat dibuktikan oleh para Tergugat, oleh karena itu Tergugat seharusnya tetap bertanggung jawab secara mutlak (strict liability). Dapat ditarik suatu kesimpulan memang untuk membuktikan dalil act of God di hadapan pengadilan sangat sulit mengingat banyaknya poin-poin persyaratannya. Jadi, apakah ada gunanya kita mendalilkan act of God sebagai alasan untuk kita mengelak diri dari tanggung jawab? Sepertinya tidak ada manfaatnya, kecuali ada perubahan terhadap undang-undangnya yang bisa memberikan ‘celah’ bagi si penanggung jawab usaha atau kegiatan.

3. Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian)

Prinsip kehati-hatian yang dikembangkan dalam hukum lingkungan internasional adalah konsep yang prospektif. Hal ini dapat digunakan untuk memutuskan apa yang seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di masa depan. Pertanyaan yang dibahas dalam uraian ini adalah apakah dalam hukum domestik prinsip kehati-hatian harus diterapkan secara retrospektif (Hey, 1992: 303-318). Haruskah sikap kehati-hatian digunakan sebagai standar untuk diterapkan dalam tindakan masa lalu pihak swasta, sehingga dapat menilai apakah pihak swasta tersebut telah bertindak secara legal? Dalam ranah perdata, jawabannya adalah ya. Menerapkan prinsip kehati-hatian dalam kasus perdata menghilangkan persyaratan ‘kemampuan melihat apa yang akan terjadi di masa depan’ dan mengubah tanggung

jawab berdasarkan kesalahan menjadi tanggung jawab mutlak. Di ranah pidana, penerapan retrospektif dari prinsip kehati-hatian tidak sesuai. Dengan mengharuskan tindakan kehati-hatian pada seorang pelaku dalam penuntutan lingkungan akan mengubah tanggung jawab mutlak (strict liability) menjadi tanggung jawab mutlak (absolute liability) dan menciptakan potensi hukuman pidana tanpa adanya kesalahan (M’Gonigle, 1994: 99-169). Bruce Pardy berpendapat bahwa di ranah perdata prinsip kehati-hatian seharusnya digunakan untuk mengevaluasi tindakan-tindakan masa lalu dari pelaku dalam kasus perdata. Hal tersebut saat ini tidak diterapkan oleh pengadilan. Di ranah pidana, justru kebalikannya. Bruce Pardy berpendapat bahwa prinsip kehati-hatian tidak seharusnya diterapkan dalam penuntutan atas pelanggaran lingkungan. Namun begitu, setidaknya satu pengadilan telah mengambil langkah yang setara dan jika ada kecenderungan, itu akan mengarah ke hal yang di atas (Pardy, 2002: 70-75).

Dalil Gugatan Penggugat

Para Penggugat yang menyatakan bahwa menurut hasil penyelidikan Direktorat Vulkanologi, faktor-faktor penyebab longsornya Gunung Mandalawangi, yaitu:

a. ketebalan pelapukan tanah (3 meter);b. sarang (mudah meloloskan air);c. batuan vulkanik yang belum padu;d. kecuraman lereng 20-50 derajat dan bagian

bawah relative landai; dane. adanya perubahan tata guna lahan

bagian alas bukit dari tanaman keras/hutan ke tanaman musiman. Hal tersebut menegaskan manejemen pengelolaan hutan yang disebabkan oleh Tergugat I

jurnal agustus 2012-arnis.indd 148 7/27/2012 3:11:25 PM

148 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 149

hanya mengejar keuntungan semata tanpa menghiraukan kelestarian lingkungan dan ekosistem serta tata guna lahan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 PP No. 53 Tahun 1999. Kemudian di paragraf berikutnya, dinyatakan bahwa Tergugat I telah mengetahui dan mengakui adanya 3 titik rawan longsor di Petak V dan 4 titik rawan longsor di Petak VI, namun Tergugat I tidak menanganinya secara khusus dan tidak mengumumkan penemuan itu kepada masyarakat dan pihak terkait, sehingga Tergugat I telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda.

Berdasarkan dalil gugatan tersebut, kami menyimpulkan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang disebutkan di atas dapat dikatakan sebagai suatu bukti ilmiah. Seperti diketahui bersama, dalam Precautionary Principle, ketiadaan bukti ilmiah tidak dapat menjadi alasan untuk menunda-nunda upaya pencegahan selama ada ancaman kerugian yang tidak dapat dipulihkan, sedangkan dalam kasus ini sudah jelas terdapat 3 titik rawan longsor di Petak V dan 4 titik rawan longsor di Petak VI, tetapi Tergugat I tidak menanganinya secara khusus dan tidak mengumumkan penemuan itu kepada masyarakat dan pihak terkait.

Hal tersebut tentu menyimpang dari penerapan Precautionary Principle. Dengan adanya pengetahuan akan titik-titik rawan longsor, sudah seharusnya Tergugat I sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengelola melakukan upaya-upaya pencegahan agar tidak terjadi longsor. Ketiadaan bukti ilmiah saja tidak dapat menjadi alasan untuk menunda-nunda upaya pencegahan, apalagi ini yang sudah jelas-jelas ditemukan adanya titik-titik rawan longsor.

Putusan PN Bandung (Putusan Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG)

Amar putusan dalam pokok perkara (dalam konpensi) menyatakan bahwa Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor kawasan hutan Gunung Mandalawangi serta menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi

Amar putusan tersebut menggambarkan bahwa karena tidak disebabkannya upaya pencegahan, maka timbullah peristiwa tanah longsor, yang kemudian didalilkan oleh para Tergugat dalam eksepsi bahwa tanah longsor ini merupakan bencana alam berupa banjir bandang disertai tanah longsor di areal hutan Gunung Mandalawangi. Jadi, di sini menurut hakim, para Tergugat harus bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) untuk menanggulangi dampak yang terjadi. Dengan digunakannya strict liability sebagai sistem hukum, maka hambatan yang dialami para korban dapat diterobos, beban pembuktian tidak hanya dibebankan pada Penggugat lagi (korban yang dirugikan) sebagaimana yang selama ini lazim dianut karena dalam ketentuan Strict Liability kesalahan tidak perlu dibuktikan, namun kerugian dan kausalitas antara tindakan Tergugat dengan kerugian yang diderita para korban tetap harus dibuktikan oleh para korban.

Putusan tersebut sesuai dengan penganutan Precautionary Principle. Karena sebagaimana dijelaskan oleh Bruce Pardy dalam jurnalnya yang berjudul Applying the Precautionary Principle to Private Persons: Should it Affect Civil and Criminal Liability? Penerapan precautionary

jurnal agustus 2012-arnis.indd 149 7/27/2012 3:11:26 PM

150 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

principle yang prospektif dalam ranah perdata akan konsisten dengan aturan dari tort liability sebagaimana yang ada sekarang. Tort liability tidak mengutamakan untuk menghukum pelaku, tetapi pada kompensasi atas kerugian yang dialami korban. Dengan demikian, konsekuensi dari penerapan Precautionary Principle dalam kasus ini berkonsekuensi pada diterapkannya strict liability di mana faktor yang menentukan adalah unsur kausalitas antara tindakan tergugat dengan kerugian yang ditimbulkan, bukan kesalahan. (Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada bagian analisis terkait strict liability).

Memori Kasasi dan Pendapat MA (Termohon Kasasi Tidak Mengirimkan Kontra Memori Kasasi)

Dalam memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I, Pemohon Kasasi mendalilkan bahwa karena Precautionary Principle belum menjadi hukum positif Indonesia, maka Judex Facti dinilai telah salah dalam menerapkan hukum dan melakukan kelalaian yang dapat mengakibatkan dibatalkannya putusan yang telah dikeluarkan.

Berdasarkan alasan tersebut MA berpendapat bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional apabila telah dipandang sebagai ”ius cogen” sehingga hakim tidak salah dalam menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Pada butir selanjutnya, Pemohon kasasi mendalilkan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dilandasi oleh prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang diterapkan oleh Judex Facti tidak tepat. Tidak ada kekosongan hukum dalam praktek. Jika tidak dapat diterapkan prinsip tanggung

jawab mutlak (strict liability) berdasarkan Pasal 35 UUPLH, terhadap tiap tuntutan ganti kerugian dapat diterapkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, berdasarkan pendapat ahli hukum lingkungan Profesor Doktor Koesnadi Hardjasoemantri dalam buku “Hukum Tata Lingkungan”.

Akan tetapi, hakim dalam pertimbangannya memberikan alasan bahwa alasan para Pemohon Kasasi yang berpendapat bahwa Pasal 1365 KUHPerdata dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan. Namun, alasan lebih lanjut tidak dapat dibenarkannya itu tidak dijelaskan oleh hakim. Hakim hanya menyampaikan bahwa perbuatan Hakim pada pengadilan tingkat Pertama dalam mengadopsi hukum Internasional tidak salah dalam menerapkan hukum.

Berdasarkan alasan yang sama pula yakni penerapan Precautionary Principle dalam pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama yang berpedoman pada prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konverensi Rio tanggal 12 Juni 1992, dinilai tidak memiliki dasar hukum karena belum menjadi hukum positif di Indonesia, dan bukanlah suatu alasan untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktek karena sudah ada hukum positif yang mengatur masalah lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu UUPLH pada Pasal 3, 6, 14, 15, 34 dan 35 dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 43, 45, 48, 60 dan 68. Akan tetapi, hakim dalam pertimbangannya memberikan alasan bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional apabila telah dipandang sebagai ”ius cogen” sehingga hakim tidak salah dalam menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 150 7/27/2012 3:11:26 PM

150 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 151

Menurut penulis, pertimbangan hakim sudahlah benar, di mana memang Precautionary Principle dapat diterapkan dalam kasus ini. Memang pada UU Nomor 23 Tahun 1997 belum dianut Precautionary Principle sebagaimana telah dianut UU Nomor 32 Tahun 2009. Namun, hukum lingkungan pada umumnya memang banyak mendasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional. Lagipula sebagaimana dikatakan oleh hakim Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ”ius cogen”, yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama (Deville, 1997: 567). Dengan demikian, hakim tepat dalam menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional, yaitu Precautionary Principle.

SIMPULANIV.

1. Pembedaan Perbuatan Melawan Hukum dengan Strict Liability terkait kasus Mandalawangi, putusan hakim untuk menjatuhkan vonis dikenakannya tanggung jawab mutlak kepada tergugat adalah tepat. Hal ini berdasarkan kepada:

a. Konsekuensi dari penerapan Precautionary Principle, mendasarkan pada suatu keadaan di mana suatu akibat dari suatu perbuatan telah diperkirakan sebelumnya walaupun tidak ada bukti ilmiah. Perum Perhutani telah mengetahui keadaan dari hutan yang berpotensi terjadi longsor, tetapi tetap menggunakannya sebagai hutan

produksi. Prinsip kehati-hatian telah dilanggar, pelanggaran terhadap prinsip tersebut akan melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada Para Tergugat karena mereka telah mengetahui risiko yang akan terjadi sehingga ada atau tidaknya pembuktian dari Para Tergugat, maka mereka tetap harus bertanggung jawab.

b. Penafsiran gramatikal dari Pasal 35 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997, yang mana seharusnya unsur-unsur dalam pasal tersebut berdiri sendiri. Pada faktanya ketentuan yang terdapat dalam pasal ini mengenai kegiatan-kegiatan yang bisa dikenakan kewajiban tanggung jawab mutlak adalah bersifat tanggung jawab mutlak, di mana unsur satu dan lainnya saling berkaitan dan harus terpenuhi semua. Pendapat penulis, seharusnya unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini bersifat alternatif, bukan kumulatif, sehingga dengan terpenuhinya salah satu jenis kegiatan dalam pasal ini saja sudah bisa dikenakan sebagai suatu tanggung jawab mutlak.

2. Dalih bencana alam yang dapat digunakan dalam hal The Act of God Defence (force majeur) adalah bencana alam berat dalam arti bencana tersebut harus tidak dapat dihindari, tidak dapat diprediksi dan luar biasa. Jika di suatu tempat, suatu bencana alam terjadi namun bencana alam tersebut merupakan hal yang biasa terjadi di sana, dalam hal bukan yang terjadi untuk pertama kali dan dapat diprediksi terjadinya, maka hal tersebut tidaklah termasuk kualifikasi

jurnal agustus 2012-arnis.indd 151 7/27/2012 3:11:26 PM

152 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

bencana alam Act of God. Dalam kasus ini, banjir bandang dan longsor yang terjadi bukanlah bencana alam karena telah dapat diprediksi, berdasarkan keterangan ahli Dr. Chay Asdak, narasumber tim 11 yang merupakan peristiwa alam siklus tahunan dan adanya faktor campur tangan dari manusia sehingga menjadi faktor pendorong terjadinya bencana tersebut.

3. Terkait Precautionary Principle, Tergugat I tidak menerapkan prinsip tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa titik rawan longsor, namun Tergugat I tidak menanganinya secara khusus sehingga terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.

SARAN

1. Terkait strict liability, sebaiknya Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 1997 maupun Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009, diberi judul Strict Liability bukan tanggung jawab mutlak karena berarti tanggung jawab mutlak dapat diartikan Absolute Liability,

sedangkan maksud dari ketentuan dalam pasal di atas adalah strict liability yang bersifat tidak absolute karena adanya pengecualian untuk bertanggung jawab dan adanya batasan besaran ganti rugi.

2. Dalam hal ini, dalil bencana alam itu sangat penting untuk dibuktikan karena itu merupakan defense yang dapat menyebabkan tergugat tidak dibebani tanggung jawab. Sehingga hakim seharusnya dalam putusannya menyatakan dengan jelas pertimbangan serta keputusan apakah menolak atau menerima dalih tersebut.

3. Terkait Precautionary Principle, maka sebaiknya harus dipahami bahwa prinsip tersebut berbeda dengan prinsip pencegahan karena berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009, Precautionary Principle telah dianut sebagai asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, bukan prinsip pencegahan karena untuk lingkungan hidup, tidak dapat disebabkan penundaan untuk mencegah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup hanya dikarenakan tidak adanya bukti atau bukti yang ada kurang lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

Deville, A and R. Harding. 1997. Applying the Precautionary Principle. Annandale: The Federation Press.

Fasoyiro, Laurencia. 2009. ”Invoking the Act of God Defense”. Environmental and Energy Law and Policy Journal. Vol.3(2), hal. 1-33.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 152 7/27/2012 3:11:26 PM

152 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153 Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka) | 153

Faure, Michael dan Nicole Niessen. 2006. Environment Law in Development: Lessons from the Indonesian Experience. UK: Edward Elgar Publishing Limited.

Fraley, Jill M. 2010. Re-examining Acts of God. Pace Environmental Law Review, Vol. 27.

Hey, E. 1992. The precautionary principle in environmental law and policy: Institutionalizing Precaution. Georgetown International Law Review, Vol. 4.

Jones, William K. 1992.” Strict Liabililty for Hazardous Enterprise”. Columbia Law Review. Vol. 92.

Kasim, Adil. 2007. ”Perbandingan Perbuatan Melanggar Hukum, Onrechtmatige Daad”. Dalam Sistem Eropa Kontinental dan Law of Torts dalam Sistem Anglo Saxon”. Majalah Varia Peradilan, Tahun ke XXII, Nomor 259.

Kristl, Kenneth T. 2006. Diminishing The Divine: Climate Change and The Act of God Defense. Widener Law Review, Vol. 15.

M’Gonigle, R.M., et. al. 1994. Taking Uncertainty Seriously: From Permissive Regulation to Preventive Design in Environmental Decision making. Osgoode Hall Law Journal Vol. 32.

O’Riordan, T. and J. Cameron. 1996. Interpreting the Precautionary Principle. London: Earthscan Publishers.

Pardy, Bruce. 2002. ”Applying the Precautionary Principle to Private Persons: Should it Affect Civil and Criminal Liability?”. Les Cahiers de Droit. Vol.43.

Raffensperger, C. and J. Tickner, eds. 1999. Protecting Public Health and the Environment: Implementing the Precautionary Principle. Washington, DC: Island Press.

Reid, Elspeth. 1999. “Liability for Dangerous Activities: A Comparative Analysis”. The International and Comparative Law Quarterly. Vol. 48 (4).

Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam Jakarta.

Subekti. 1979. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Undang-undang

Indonesia. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. LN Nomor 68 Tahun 1997. TLN Nomor 3699.

Indonesia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. LN Nomor 140 Tahun 2009. TLN Nomor 5059.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 153 7/27/2012 3:11:26 PM

154 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

ABSTRAK

Pihak yang paling menderita akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan adalah para korban. Oleh karena itu setiap pihak yang melakukan kegiatan yang merugikan korban harus bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Dari kasus yang dianalisis, dapat ditunjukkan bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung masih berfokus pada pelaku kejahatan (offender) sebagai fokus utama dari sanksi pidana. Dengan hanya menjatuhkan pidana pada diri pelaku, dalam hal ini direktur PT DEI, sisi perlindungan terhadap korban belum diberikan. Pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup dikatakan ideal apabila korban tindak pidana lingkungan hidup juga mendapatkan perlindungan hukum berbentuk pemberian ganti kerugian maupun pemulihan lingkungan. Salah satu cara agar korban mendapat perlindungan hukum yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap korban, adalah dengan penerapan asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam tindak pidana

lingkungan hidup dengan syarat-syarat tertentu.

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana korporasi, tanggung jawab mutlak, tindak pidana lingkungan hidup.

abstract

The people living in any poluted environments are those who are prone to be victimized. Any parties causing the troubles should be responsible for the damages. In the analysis of a case on environmental problem, the author of this article describes that criminal sanction imposed by the disctrict court, high court, and supreme court, are only targeted to the offender as happened to a director of PT DEI. In fact, the victims need some other kinds of sanction like compensation and/or environmental restoration rather than just imprisonment of the criminals. In order to protect the implicated people, it is recommended in certain conditions to apply the strict liability principle in addressing environmental crimes.

Keywords: criminal corporate liability, strict liability, environmental crimes.

PERTANggUNgJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KORBAN DALAM

KASUS TINDAK PIDANA LINgKUNgAN HIDUP

Diterima tgl 6 Juli 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012

Kajian Putusan MA Nomor 862K/Pid.Sus/2010

cRIMINAL cORPORATE LIABILITy IN FAVOR OF THE VIcTIMS IN THE cASE OF ENVIRONMENTAL cRIME

Yeni widowatyFakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Jl. Lingkar Barat Tamantirto Kasihan Bantul, DIYEmail: [email protected]

An Analysis on the Supreme Court Decision Number 862K/Pid.Sus/2010

jurnal agustus 2012-arnis.indd 154 7/27/2012 3:11:26 PM

154 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 155

PENDAHULUANI.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan industri yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau badan hukum di samping membawa pengaruh positif, juga dapat membawa pengaruh negatif. Sebagaimana dikemukakan oleh Wisnu Arya Wardana (2004: 24-25) bahwa kegiatan industri dan teknologi dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung. Dikatakan dampak langsung apabila kegiatan industri tersebut dapat langsung dirasakan oleh manusia. Dampak langsung yang bersifat positif memang diharapkan, akan tetapi dampak langsung yang bersifat negatif, yang mengurangi kualitas hidup manusia harus dihindari atau dikurangi. Adapun dampak langsung yang bersifat negatif dapat dilihat dari terjadinya masalah-masalah: (1). pencemaran udara, (2). pencemaran air dan (3). pencemaran daratan. Ketiga macam pencemaran tersebut di atas akan mengurangi daya dukung alam. Pencemaran udara, air dan daratan perlu dihindari sebagai bagian usaha menjaga kelestarian lingkungan, seperti pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.

Pendapat senada dikemukakan oleh Sonny Keraf bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang, baik lingkungan hidup global maupun lingkungan nasional, sebagian besar bersumber dari manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan seperti di laut, hutan, air, tanah dan seterusnya bersumber dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab (Keraf, 2006: viii).

Akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut yang paling merasakan adalah korban. Korban juga yang paling menderita kerugian, baik kerugian materiil maupun immateriil bahkan juga berakibat korban cacat

seumur hidup. Penderitaan juga akan dialami oleh keluarga korban, oleh karena itu wajar jika korban harus mendapat perlindungan. Kerugian yang diderita korban sebagai akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, telah menimbulkan korban yang secara langsung diderita oleh masyarakat, baik kerugian harta benda, kesehatan baik fisik maupun psikis bahkan nyawa (Amrullah, 2008: 8).

Bertolak dari alasan tersebut, penulis menganggap setiap pihak yang melakukan kegiatan yang merugikan korban harus bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya, dalam hal ini termasuk lingkungan yang rusak.

Salah satu putusan Pengadilan Negeri yang belum berpihak pada korban adalah Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 460/Pid.B/2008/PN Bks. tentang kasus PT DEI . Kasus ini bermula pada bulan Oktober 2005 sampai dengan hari Minggu tanggal 11 Juni 2006 sekitar jam 13 warga masyarakat yang tinggal di sekitar Kampung Sempu Desa Pasirgombong Kecamatan Cikarang Utara mencium bau asam yang pahit dan menyengat akibat dari pembuangan limbah PT DEI.

Bahwa akibat dari bau asam pembuangan limbah tersebut masyarakat di sekitar Kampung Sempu Desa Pasirgombong Kecamatan Cikarang Utara mengalami kepala pusing, tenggorokan kering, dada sesak, perut mual dan muntah-muntah dan sebagian masyarakat mengalami pingsan atau tidak sadarkan diri. Selanjutnya masyarakat yang mengalami sakit dibawa ke RS Medika Cikarang di mana hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa penyebab sakitnya warga Kampung Sempu Desa Pasirgombong Kecamatan Cikarang Utara adalah karena mencium bahan gas Ammonia (NH3), Hydrogen Sulphide (H2SO) dan Methane.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 155 7/27/2012 3:11:26 PM

156 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

Putusan Pengadilan Negeri: (1). Menyatakan terdakwa PT DEI (DEI) yang dalam hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Dengan sengaja dan melawan hukum menyuruh orang melakukan pencemaran lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 41 (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan primair. (2). Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.325.000.000,- (tiga ratus dua puluh lima juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. (3). Perampasan keuntungan dari tindak pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang dijual kepada saksi AW dan Penutupan PT DEI.

Putusan Pengadilan Negeri ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung No. 465/Pid/2009/PT.Bdg tanggal 3 Desember 2009. Oleh karena Terdakwa belum puas atas putusan Pengadilan Tinggi maka kemudian mengajukan kasasi. Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung No. 862K/Pid.Sus/2010 mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa KYW dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi, sehingga putusan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa PT DEI yang dalam hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencemaran lingkungan hidup secara berlanjut sebagaimana dalam dakwaan primair”.

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa denngan pidana denda Rp.650.000,- dan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan

pidana kurungan selama enam bulan.3. Perampasan yang diperolah dari tindak

pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang dijual kepada saksi AW cs dan Penutupan PT DEI.

Walaupun Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri namun ternyata dalam putusan tidak jauh berbeda bahkan denda lebih tinggi.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah yang diajukan adalah:

1. Apakah pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup sudah terwujud dalam putusan Mahkamah Agung No. 862K/Pid.Sus/2010?

2. Bagaimanakah idealnya bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Pertanggungjawaban pidana merupakan salah satu dari persoalan dasar dalam hukum pidana, sehingga pertanggungjawaban pidana merupakan unsur penting dalam penjatuhan pidana. Dengan kata lain, pertanggungjawaban pidana merupakan bagian dari asas hukum pidana yang keberadaannya sangat diperlukan.

Keberadaan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam kebijakan pembaruan hukum pidana membawa konsekuensi pada asas hukum pidana, yakni korporasi dapat dipertanggungjawabkan

jurnal agustus 2012-arnis.indd 156 7/27/2012 3:11:26 PM

156 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 157

sama dengan orang pribadi (natural person).

Tidak mudah untuk menentukan kapan pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan kepada pengurus badan hukum atau kepada pengurus beserta badan hukum, sehingga hal ini menjadi permasalahan sendiri dalam praktek.(Smith dan Hogan, 1982). Hal ini dikarenakan dalam kasus lingkungan hidup ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan perilaku/ perbuatan yang secara konkrit dilakukan.

Terhadap sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai pembuat dan dapat dipertanggungjawabkan, Muladi memberikan komentar bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, di samping manusia alamiah (natuurlijk persoon). Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan universitas delinquere non potest sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap) (Muladi, 1989: 5).

Menurut Oemar Seno Adji, yang mendukung korporasi sebagai subjek hukum pidana mengatakan bahwa”.......kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan didasarkan tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilities, melainkan pula atas dasar-dasar teoritis dibenarkan (Adji, 1984: 160).

Berdasarkan teori dalam hukum pidana terdapat dua kriteria untuk menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, yaitu Kriteria Rolling dan Kriteria Kawat Duri (Iron Wire) (Husin, 2009: 46). Berdasarkan kriteria Rolling korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan yang dilarang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas korporasi atau untuk mencapai tujuan korporasi. Berdasarkan

kriteria kawat duri, korporasi dapat dijatuhkan hukuman pidana apabila dipenuhi dua syarat:

1. Korporasi memiliki kekuasaan (power) baik secara de yure maupun de facto untuk mencegah atau menghentikan pelaku untuk melakukan kegiatan yang dilarang oleh undang-undang.

2. Korporasi menerima tindakan pelaku (acceptance) sebagai bagian dari kebijakan korporasi.

Menurut Sutan Remy Sjahdeni, suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila sekalipun perbuatan korporasi dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan kepengurusan atau kegiatan korporasi, namun perbuatan itu dilakukan dengan maksud memberikan manfaat, terutama berupa keuntungan finansial atau pun menghindarkan/mengurangi kerugian finansial bagi korporasi yang bersangkutan. Untuk menentukan seseorang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, maka tidak cukup jika orang yang bersangkutan melakukan tindak pidana, tetapi harus ada kesalahan (schuld) (Sjahdeni, 2006: 57).

Pada prinsipnya orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) jika tidak melakukan tindak pidana, akan tetapi meskipun melakukan tindak pidana tidak selalu dapat dipidana. Dapat juga dikatakan bahwa dipidananya si pembuat tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Untuk dapat dipidananya si pembuat maka harus ada kesalahan. Asas yang dikenal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld atau No punishment without guilt) ini merupakan asas pokok dalam pertanggungajawaban pembuat terhadap tindak

jurnal agustus 2012-arnis.indd 157 7/27/2012 3:11:26 PM

158 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

pidana yang dilakukan. Asas hukum tidak tertulis ini dianut hukum pidana Indonesia saat ini. Asas tiada pidana tanpa kesalahan ini disimpangi oleh Strict liability dan vicarious liability.

Dalam Strict liability pembuat tindak pidana sudah dapat dipidana hanya karena sudah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tanpa melihat apakah pembuat bersalah atau tidak. Tidak semua tindak pidana dapat diterapkan asas pertanggungjawaban mutlak ini, namun hanya tindak pidana tertentu yaitu: apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan profesinya, yang mengandung elemen keahlian yang memadai (expertise), tanggung jawab sosial (social responsibility) dan kesejawatan (corporateness) yang didukung oleh suatu kode etik. Sedangkan pada vicariuos liability, tanggung jawab pidana seseorang diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.

Doctrine of strict liability

Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) dalam kepustakaan sering disebut dengan “absolute liability” atau “strict liability”. Menurut doktrin atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada pelakunya. Menurut doktrin strict liability, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat strict liability diartikan sebagai “liability without fault’ (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan)

(Muladi dan Priyatna, 1991: 88).

Dengan demikian, jika dalam hukum pidana berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” atau “geen straft zonder schuld”, maka dalam perkembangannya dapat pula dalam suatu tindak pidana kepada pelaku dibebankan pertanggungjawaban meskipun tidak ada kesalahan. Hal itu cukup dibuktikan bahwa pelaku telah melakukan suatu perbuatan pidana.

Menurut L.B Curson, (Muladi dan Priyatna, 1991: 88) doktrin strict liability didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

1. adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial;

2. pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu;

3. tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.

Argumentasi yang hampir sama dikemukakan pula dalam bukunya Ted Honderich, yang mengemukakan alasan untuk strict liability adalah:

a. sulitnya untuk membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu;

b. sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk menghindari adanya bahaya-bahaya yang sangat luas;

c. pidana yang dijatuhkan sebagai akibat strict liability adalah ringan.

Negara Inggris (Kementerian Negara

jurnal agustus 2012-arnis.indd 158 7/27/2012 3:11:26 PM

158 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 159

Lingkungan Hidup dan ICEL, 1995/1996) penggunaan asas tanggung jawab mutlak mulai berkembang dalam kasus Rylands vs Fletcher, pada tahun 1868. House of Lord, Pengadilan Tingkat Kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non-natural atau di luar kelaziman atau tidak seperti biasanya. Sebelumnya, Pengadilan Tingkat Pertama (The Court of Exhequer) memenangkan pihak tergugat atau pemilik waduk. Pertimbangan yang diberikan adalah, bahwa pada diri penggugat tidak terdapat unsur kelalaian.

Hal ini tidak memuaskan penggugat yang kemudian mengajukan banding ke Court of Court of Exchequer Chamber. Di pengadilan tingkat banding, gugatan penggugat diterima dan tergugat dinyatakan bersalah. Pengadilan berpendapat bahwa setiap orang demi kepentingannya membawa, mengumpulkan dan menyimpan segala sesuatu di atas tanahnya yang dapat merugikan pihak lain, wajib memelihara benda itu.

Jika ia tidak mampu melakukannya, maka ia dapat bertanggung jawab atas akibat-akibat yang ditimbulkannya. Ia dapat bebas, terkecuali jika ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul adalah akibat dari kesalahan penggugat sendiri atau akibat bencana alam. Menyusul keputusan inilah, kemudian tergugat mengajukan kasasi ke House of Lord, namun justru House of Lord mengukuhkan putusan yang telah dibuat oleh pengadilan di tingkat banding.

Doktrin Vicarious liability

Menurut doktrin vicarious liability, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatan dan kesalahan orang lain (Arief, 2002: 151). Dengan demikian dalam vicarious liability ada pembebanan pertanggungjawaban seseorang dari tindak pidana yang dilakukan orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan yaitu atasan dan bawahan atau majikan dan buruh atau ada hubungan pekerjaan. Disebut juga dengan pertanggungjawaban pengganti (Ali, 2008: 63). Jadi walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan, tetapi dapat dipertanggungjawabkan.

Tidak semua delik dapat dilakukan secara vicarious. Pengadilan telah mengembangkan prinsip-prinsip mengenai hal ini salah satunya adalah ”employment principle”. Menurut doktrin ini, majikan (employer) penanggung jawab utama dari perbuatan-perbuatan para buruh/karyawan yang melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup tugas/pekerjaannya (Arief, 2002: 152).

Di Inggris Vicarious liability ini hanya berlaku terhadap: (1). Delik-delik yang mensyaratkan kualitas. (2). Delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan (Muladi dan Priyatna, 2010: 110).

Doktrin yang memperkuat adanya pertanggungjawaban perusahaan dapat dibebankan pada direktur adalah doktrin Fiduciary Duty. Menurut prinsip Fiduciary Duty tugas utama dari direksi suatu perseroan adalah (Fuady, 2002: 32):

1. Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin perusahaan.

2. Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan.

Dengan demikian doktrin fiduciary duty ini berlaku bagi direksi dalam menjalankan tugasnya

jurnal agustus 2012-arnis.indd 159 7/27/2012 3:11:27 PM

160 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

baik sebagai manajemen maupun sebagai representasi dari perseroan.

Bagian penting dalam sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakkan berlakunya norma. Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Apa yang menjadi tujuan pemidanaan tidak lepas dari tujuan hukum pada umumnya yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat materiil dan spirituil, dan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian masyarakat (Dewantara, 1988: 11).

Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat (Muladi dan Arief, 1992: 22).

Dalam penulisan ini yang dimaksud tindak pidana lingkungan hidup adalah suatu perbuatan pidana yang dilarang dan diancam pidana menurut ketentuan undang-undang lingkungan hidup yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. Dikemukakannya dua undang-undang tersebut karena pemeriksaan terhadap kasus PT DEI menggunakan UULH yang lama yaitu UU No. 23 Tahun 1997, padahal undang-undang tersebut sudah dicabut dan diganti UU No. 32 Tahun 2009 sehingga dalam mengkaji dan menganalisis kasus kedua undang-undang tersebut akan disandingkan.

Adapun yang dimaksud dengan korban dalam penulisan ini adalah mereka yang secara

fakta (factual victim) menderita kerugian secara materiil akibat suatu tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh korporasi dalam melakukan kegiatan usahanya. Mereka dalam kajian ini adalah orang perorangan, masyarakat dan/atau lingkungan.

B. Analisis

1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam Putusan Mahkamah Agung No. 862K/Pid.Sus/2010 tentang Kasus PT DEI

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang ataupun korporasi telah dinyatakan melakukan tindak pidana. Dalam arti luas pertanggungjawaban meliputi 3 (tiga) persoalan pokok dalam hukum pidana. Hal yang sangat mendasar sebagai 3 (tiga) persoalan pokok dalam hukum pidana menurut Sauer, yaitu sifat melawan hukum (unrecht), kesalahan (schuld), dan pidana (straf) (Sauer, 1921: 8). Herbert L. Packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan punishment (Packer, 1968: 54).

Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, pengaturan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dilangsungkan melalui tiga sistem pertanggungjawaban korporasi, yaitu (1) pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab; (2) korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab, dan (3) korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab (Setiyono, 2005: 2).

Mengkaji kasus PT DEI , ditinjau dari subjek yang dipertanggungjawabkan sudah sesuai aturan yang berlaku yaitu korporasi

jurnal agustus 2012-arnis.indd 160 7/27/2012 3:11:27 PM

160 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 161

dalam hal ini diwakili oleh Presiden Direktur Kim Young Woo. Doktrin yang memperkuat adanya pertanggungjawaban perusahaan dapat dibebankan pada direktur adalah doktrin Fiduciary Duty. Menurut prinsip Fiduciary Duty tugas utama dari direksi suatu perseroan adalah fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin perusahaan dan fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan (Fuady, 2002: 32).

Menurut ketentuan Pasal 98 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas: “Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan”. Dengan demikian maka jika korporasi dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya akan diwakili oleh Direktur.

Mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam UULH juga sudah mengaturnya. Menurut UULH yang lama yaitu pada saat kasus ini berlangsung dan diperiksa ketentuan mengenai hal ini diatur Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal 46

1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.

4. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi juga diatur dalam undang-undang lingkungan hidup yang baru Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 116 menyatakan:

jurnal agustus 2012-arnis.indd 161 7/27/2012 3:11:27 PM

162 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

1. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk

melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

2. Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung pada kasus PT DEI ini putusan pidana dijatuhkan terhadap korporasi yang diwakili oleh direkturnya yaitu KYW.

Dijatuhkannya putusan pidana karena berdasarkan pemeriksaan pengadilan dan didukung bukti-bukti yang kuat terdakwa memang bersalah. Bukti-bukti tersebut di antaranya berupa Visum et Repertum yang ditandatangani dr. Ridwan Juansyah menyimpulkan sebagai berikut:

1. YT dengan nomor Rekam Medis (RM) 053859 dengan hasil diagnosis gangguan atas pernapasan dan nyeri ulu hati.

2. WN nomor RM. 053852 dengan hasil diagnosis gangguan pencernaan dan gangguan ringan pernafasan atas.

3. AG nomor RM 053841 menderita nyeri ulu hati.

4. KS nomor RM 053837 dengan hasil dianosis gangguan pernafasan atas dan nyeri ulu hati.

5. HR nomor RM 053845 dengan hasil menderita nyeri ulu hati.

6. YA nomor RM 053842 menderita nyeri ulu hati.

7. AT nomor RM 053836 dengan hasil diagnosis nyeri ulu hati.

8. GN nomor RM 053839 dengan hasil menderita nyeri ulu hati.

9. ST nomor RM 053851 dengan hasil nyeri ulu hati.

10. JM nomor RM 053904 dengan hasil diagnosis nyeri ulu hati.

11. BS nomor RM 053905 dengan hasil menderita nyeri ulu hati.

12. KM nomor RM 053900 dengan hasil gangguan pernapasan dan nyeri ulu hati.

Di samping itu berdasarkan pemeriksaan laboratoris kriminalistik TKP No. Lab: 3267/KTF/2006 pada hari Senin 26 Juni 2006 disimpulkan:

Limbah yang terdapat di TKP Kabupaten • Bekasi serta limbah dari TKP PT DEI merupakan limbah B3.

Limbah yang terdapat di TKP merupakan • penyebab gejala keracunan yang dialami oleh penduduk yang terpapar oleh bau (gas) yang keluar dari limbah tersebut.

Penampakan fisik dan komponen kimiawi • limbah yang terdapat di TKP sama dengan limbah yang terdapat di PT DEI yang merupakan limbah B3.

PT DEI seharusnya membuang limbah cair

jurnal agustus 2012-arnis.indd 162 7/27/2012 3:11:27 PM

162 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 163

B3 dikirim ke PPLI di Bogor untuk diproses lebih lanjut, maka PT DEI mendapatkan keuntungan karena jumlah sludge (filter press cake) sejak berdiri hingga bulan Mei 2006 sebanyak 468,4 ton dan baru dikirim ke PPLI 58,2 ton sehingga terdapat selisih sebanyak 410,2 ton. Dengan demikian PT DEI mendapat keuntungan sekitar $31175,2. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 45 jo Pasal 47 UU No. 23 Tahun 1997 jo Pasal 64 KUHP.

Bukti lainnya adalah: bahwa berdasarkan keterangan masyarakat diketahui bahwa PT DEI telah membuang limbah ke tanah lapang yang terletak di Cikarang pada hari Sabtu 10 Juni 2006 dan Minggu tanggal 11 Juni 2006 mulai pukul 9.00 Wib sampai dengan 15.30 Wib sebanyak 3 rit untuk tanggal 10 Juni 2006 dan 4 rit untuk tanggal 11 Juni 2006 yang masing-masing terdiri dari 3 plastik container (PC) ukuran 1000 liter.

Dalam kenyataannya walaupun Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, namun tidak ada putusan yang mewujudkan pertanggungjawaban pelaku kepada korban.

Adapun jenis putusan yang dijatuhkan adalah sebagai berikut:

Putusan Pengadilan Negeri:

1. Menyatakan terdakwa PT DEI yang dalam hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Dengan sengaja dan melawan hukum menyuruh orang melakukan pencemaran lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 41 (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 (1) KUHP sebagaimana dakwaan primair.

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.325.000.000,- (tiga ratus dua puluh lima juta rupiah) subsidair enam bulan kurungan.

3. Perampasan keuntungan dari tindak pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang dijual kepada saksi AW dan Penutupan PT DEI.

4. Menetapkan barang bukti satu unit mobil mitshubisi FE 334 DSL No. Pol B 9148 SY dikembalikan kepada PT IF, sedangkan limbah serta beberapa peralatan dimusnahkan.

5. Menghukum terdakwa membayar biaya perkara sebesar seribu rupiah.

Tidak terima atas putusan Pengadilan Negeri Terdakwa kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Dalam putusannya ternyata Pengadilan Tinggi Bandung No. 465/Pid/2009/PT.Bdg tanggal 3 Desember 2009 menguatkan Putusan Pengadilan Negeri yaitu:

1. Menerima permohonan banding dari kuasa hukum terdakwa.

2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 22 Juni 2009 No. 458/Pid.B/2008/PN.Bks.

3. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam dua tingkat peradilan, sedangkan dalam tingkat Banding sebesar Rp.5.000,-

Terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut Terdakwa belum puas sehingga mengajukan kasasi. Selanjutnya dalam tingkat kasasi putusan Mahkamah Agung No. 862K/Pid.Sus/2010

jurnal agustus 2012-arnis.indd 163 7/27/2012 3:11:27 PM

164 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa KYW dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi, sehingga putusan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa PT DEI yang dalam hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencemaran lingkungan hidup secara berlanjut sebagaimana dalam dakwaan primair”.

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana denda Rp.650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta rupiah) dan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.

3. Perampasan yang diperolah dari tindak pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang dijual kepada saksi AW cs dan Penutupan PT DEI.

4. Menetapkan barang bukti satu unit mobil mitshubisi FE 334 DSL No. Pol B 9148 SY dikembalikan kepada PT IF. Sedangkan limbah serta beberapa peralatan dimusnahkan.

5. Membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,-

Mengkaji putusan-putusan tersebut di atas, baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung, Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pada dakwaan primair. Sebetulnya dakwaan primair nya adalah perbuatan yang diatur dan diancam Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 45 jo Pasal 47 UU No. 23 Tahun 1997 jo Pasal 64 KUHP, namun ternyata Pasal

47 yang terkait dengan korban tidak digunakan. Padahal hanya di dalam Pasal 47 itulah terdapat unsur di mana ada tindakan tata tertib yang dijatuhkan kepada pelaku terkait dengan korban.

Selengkapnya Pasal 47 UU No. 23 Tahun 1997 adalah:

“Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau

b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau

c. Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

e. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

f. Menempatkan perusahaan di bawah pengampunan paling lama 3 (tiga) tahun.

Ketentuan serupa juga diatur dalam undang-undang lingkungan hidup yang baru yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Pasal 119. Selanjutnya Pasal 119 menentukan bahwa:

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b. penutupan seluruh atau sebagian

jurnal agustus 2012-arnis.indd 164 7/27/2012 3:11:27 PM

164 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 165

tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. kewajiban mengerjakan apa yang

dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah

pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan perbaikan akibat tindak pidana, karena dalam penjelasan undang-undang hanya dinyatakan “cukup jelas”.

Menurut Penulis sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik pada tingkat PN, PT maupun MA masih berfokus pada offender. Jika selama ini orientasi hukum pidana Indonesia lebih bersifat offender oriented, yaitu pelaku kejahatan merupakan fokus utama dari hukum pidana, maka benarlah adanya. Padahal penjatuhan sanksi kepada pelaku belumlah cukup tanpa memikirkan kondisi korban.

Apabila mengacu pada konsep hukum sebagai “pengayom” bahwa hukum harus mengayomi semua orang baik sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana (pelanggar) maupun korbannya, maka pelanggar hukum pidana, dalam statusnya sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana sudah memperoleh perlindungan dalam KUHAP, sedangkan korban kejahatan baik statusnya sebagai pelapor, saksi dan pihak yang dirugikan belum memperoleh perlindungan hukum (Mudzakir, 2001: 295).

Jika demikian maka yang dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban adalah subjek pelaku tindak pidana itu sendiri. Pelaku tindak pidana itu sendiri bisa orang-perorangan maupun korporasi.

2. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang Ideal

Penulis membuat batasan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap korban dikatakan ideal apabila korban tindak pidana lingkungan hidup mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan itu dapat diberikan dalam bentuk pemberian ganti kerugian maupun pemulihan lingkungan. Dengan demikian dalam putusan pemidanaan tidaklah cukup hanya dengan dipidananya pelaku.

Salah satu cara agar korban mendapat perlindungan hukum yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap korban maka dapat diterapkan doktrin strict liability (tanggung jawab mutlak) dalam tindak pidana lingkungan hidup.

James E. Krier mengemukakan bahwa doktrin tanggung jawab mutlak dapat merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya, untuk mana dapat diberlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan (Hardjasoemantri, 2000: 387).

Asas tanggung jawab mutlak telah berlaku di Indonesia sejak adanya kasus pencemaran laut oleh tumpahan minyak dari kapal yang diatur dalam “International Convention on Civil Liability for oil Pollution Damage 1969 (CLC 1969). Ratifikasi ini dilaksanakan oleh Indonesia dengan keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 (Hardjasoemantri, 2000: 388).

jurnal agustus 2012-arnis.indd 165 7/27/2012 3:11:27 PM

166 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

Menurut Daud Silalahi jenis-jenis kegiatan yang dapat diberlakukan asas tanggung jawab mutlak yaitu, kegiatan yang dapat menimbulkan bahaya besar yang akibatnya tidak dapat diatasi dengan upaya yang lazim dilakukan (abnormally dangerous activities). Adapun ukuran untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang dikategorikan sebagai dapat menimbulkan bahaya atau akibat besar (the standard of abnormality) didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut (Hardjasoemantri, 2000: 394-395):

a. tingkat risiko (the degree of risk), dalam hal ini resiko dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang lazim, menurut kemampuan teknologi yang telah ada.

b. Tingkat bahaya (the gravity of harm), dalam hal ini bahaya dianggap sangat sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya;

c. Tingkat kelayakan upaya pencegahan, dalam hal ini si penanggung jawab harus menunjukkan upaya maksimal untuk mencegah terjadinya akibat yang menimbulkan kerugian pada pihak lain

Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatan (value of activity), dalam hal ini pertimbangan risiko dan manfaat kegiatan telah dilakukan secara memadai sehingga dapat diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar jika dibandingkan dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencegah timbulnya bahaya.

Jika mengacu pada asas fundamental UUDNRI 1945 pengaturan mengenai lingkungan hidup diatur Pasal 28H ayat (1) menentukan bahwa: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan. Penjabaran lebih lanjut terdapat dalam konsideran UUPPLH 2009 yang menyatakan: bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. dengan demikian sangatlah tepat jika prinsip tanggung jawab mutlak tersebut diterapkan dalam tindak pidana lingkungan hidup.

Dalam konsep KUHP asas ini sudah diatur secara eksplisit dalam Buku I Bagian 2 Paragraph 2 mengenai Kesalahan. Asas kesalahan ini merupakan asas fundamental yang sangat penting maka dalam konsep KUHP ditegaskan secara eksplisist Pasal 37 ayat (1) konsep 2008. Pasal 37 ayat (1) menentukan bahwa: ”tidak seorangpun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan”. Jadi walaupun prinsipnya bertolak dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault), namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan adanya “pertanggungjawaban yang ketat” (Strict liability) dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang diatur Pasal 38 (Konsep 2008).

Pasal 38

1. Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 166 7/27/2012 3:11:27 PM

166 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 167

Di samping itu berdasarkan pasal ini, dapat dikatakan bahwa RKUHP menganut ajaran strict liability dan vicarious liability yang erat kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama Pasal 49 dan 51 RKUHP. Pasal 38 ayat (1) sebenarnya menjawab banyak perdebatan mengenai pertanggungjawaban pidana. Perdebatan tersebut terkait dengan asas actus non facit reum, nisi mens sit rea atau tiada pidana tanpa kesalahan. Berkaitan dengan itu, korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena tidak ada unsur kesalahan di dalamnya, karena korporasi itu tidak bisa berbuat apa-apa. Yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana adalah manusia, yang punya kemampuan untuk berbuat dan melakukan kesalahan.

Selama ini undang-undang lingkungan yang berlaku baik undang-undang lama UU No. 23 Tahun 1997 maupun undang-undang lingkungan hidup yang sekarang berlaku UU No. 32 Tahun 2009 asas pertanggungjawaban mutlak hanya berlaku dalam hukum perdata. Walaupun tidak secara eksplisit menyebutnya demikian namun letak Pasal 88 yang ada di luar bab tentang ketentuan pidana bisa dimaknakan seperti itu. Selengkapnya Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 adalah: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Jadi pertanggungjawaban mutlak hanya berlaku terhadap kegiatan yang terkait dengan limbah B3.

Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 mengenai asas pertanggungjawaban mutlak ini terdapat dalam Pasal 35 yang menentukan:

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:

1. Adanya bencana alam atau peperangan; atau

2. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

3. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

4. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Bertolak dari beberapa hal-hal tersebut di atas maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup sebetulnya diperlukan prinsip strict liability secara pidana agar korban selaku pihak yang dirugikan oleh pelaku mendapat perlindungan. Tidak semua tindak pidana lingkungan hidup diberlakukan asas ini, namun di peruntukkan pada TPLH dengan syarat-syarat:

1. Tindak pidana lingkungan hidup yang menimbulkan banyak korban manusia

jurnal agustus 2012-arnis.indd 167 7/27/2012 3:11:27 PM

168 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

baik secara fisik (luka berat dan meninggal dunia) maupun psikis.

2. TPLH menimbulkan korban lingkungan sehingga kelestarian alam terganggu dan generasi yang akan datang akan mewarisi lingkungan yang rusak.

3. Tindak pidana lingkungan hidup menimbulkan kerugian secara materiil bagi masyarakat maupun negara.

Jika TPLH yang dilakukan oleh PT DEI korban yang secara fisik yang dialami berdasarkan Visum et repertum ada 12 orang maka idealnya putusan pengadilan juga harus memikirkan kerugian yang diderita korban.

SIMPULANIV.

Dari analisis kasus PT DEI terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pelaku terhadap korban belum terwujud karena putusan masih bersifat offender oriented. Hal tersebut dikarenakan baik putusan Pengadilan Negeri Nomor 460/Pid.B/2008/PN Bks., Pengadilan Tinggi Bandung No 465/Pid/2009/PT dan Mahkamah Agung No. 862K/Pid.Sus/2010 walaupun semua menetapkan Terdakwa bersalah namun dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku, tidak termasuk pertanggungjawaban pelaku terhadap korban.

2. Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi yang ideal adalah apabila korban tindak pidana lingkungan hidup mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan itu dapat diberikan dalam

bentuk pemberian ganti kerugian maupun pemulihan lingkungan. Untuk mewujudkan itu maka jika terjadi tindak pidana lingkungan hidup idealnya diterapkan asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dengan syarat-syarat tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus. 2008. Kejahatan Korporasi. Jogjakarta: Arti Bumi Intaran.

Atmasasmita, Romli. 1989. Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju.

Arief, Barda Nawawi. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Fuady, Munir. 2002. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 2000. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (Indonesian Center for Environmental Law/ICEL), Asas Tanggung jawab Mutlak Dalam Peraturan Perundang-undangan di Bidang Lingkungan Hidup, Proyek Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup Tahun Anggaran 1995/1996

jurnal agustus 2012-arnis.indd 168 7/27/2012 3:11:28 PM

168 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty) | 169

Mudzakir. 2001. Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta.

Muladi dan Priyatno, Dwidja. 1991. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung.

-----------------------. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana.

Packer, Herbert L. 1968. The Limit of the Criminal Sanction. California: Stanford University Press.

Priyatno, Dwidja. 2009. Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia. Bandung: Cv Utomo.

Sauer, Wilhem. 1921. Grundlangen des Strafrecht, Leipzig.

Setiyono, H. 2005. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia. Malang: Bayumedia.

Syahrin, Alvi. 2008. Hukum Lingkungan Kepidanaan Korporasi, disampaikn pada “Diklat Penegakan Hukum Lingkungan” pada tanggal 24 s/d 28 Nopember 2008, Kantor Pusdiklat Kementerian Lingkungan Hidup, Kawasan Pusptek Serpong-Tangerang.

Smith dan Hogan. 1982. Criminal Law. London: Butterworths.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti pers.

Widowaty, Yeni. 2011. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh Korporasi, Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 169 7/27/2012 3:11:28 PM

170 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

ABSTRAK

Pelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis: sanra tanah) di masyarakat Kab. Bone pada kenyataannya tidak mengikuti ketentuan Pasal 7 Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, di mana pemilik barang gadai tetap berkewajiban mengembalikan uang tebusan. Begitu pula perjanjian gadai atas tanah dilaksanakan hanya secara lisan (tidak ada bukti tertulis) dan tidak adanya saksi. Lazim pula pelaksanaan gadai atas tanah kemudian berubah (diteruskan) menjadi jual beli, yang dalam istilah adat kebiasaan masyarakat setempat disebut dengan sanra putta (jual putta). Jika terjadi permasalahan hukum di kemudian hari, misalnya salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji) atau mengingkari kesepakatan yang pernah mereka lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi, sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim yang menangani kasus demikian seyogianya mencermati adanya latar belakang perjanjian demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya jual beli tanah yang disebut sanra putta.

Kata kunci: perjanjian gadai tanah, sanra tanah, sanra putta.

abstract

Implementation of the land mortgage agreement called sanra tanah in the Bone Regency, in fact, fails to comply with Article 7 of Law in lieu No. 56 Year 1960 on the Establishment of Agricultural Land. According to this regulation, the owner remains obligated to return the pawned goods ransom. There is also common that land mortgage agreements are verbally concluded without any written evidence as well as witnesses. In practice, these initial agreements can be continued to sale and purchase agreements based on the local traditions. If there is a dispute related to the so called sanra putta agreement, the amicable settlement will be chosen as the first resort, but the choice usually does not succeed to resolve the conflict. Due to the lack of evidence, such a dispute finally will be brought to the court. As mentioned by the author of this article, any panel of judges should be aware of such a customary background. Decision No. 34/Pdt.G/2007/PN.WTP, the author indicates that the case belongs to a sanra putta agreement.

Keywords: land mortgage agreement, sanra tanah, sanra putta.

PENyELESAIAN SENgKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM KASUS gADAI yANg TERINDIKASI “SANRA PUTTA”

Diterima tgl 28 April 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012

Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP

LAND DISPUTE SETTLEMENT IN THE cASE OF RIcE FIELD MORTgAgE INDIcATED AS “SANRA PUTTA”

A. NuzulSekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone

Jl. Hos. Cokroaminoto Kab. Bone, Sul-Sel Email: [email protected]

An Analysis on Decision Number 34/Pdt.G/2007/PN.WTP

jurnal agustus 2012-arnis.indd 170 7/27/2012 3:11:28 PM

170 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 171

PENDAHULUANI.

Menurut hukum adat bugis gadai disebut dengan sanra, jadi jika disebut sanra galung berarti, tanah persawahan yang digadaikan (gadai tanah persawahan). Lazimnya perjanjian gadai tanah oleh masyarakat dilaksanakan hanya secara lisan, tanpa bukti tertulis, tidak mengharuskan adanya saksi baik dari pemilik gadai maupun pemegang gadai. Kalau pun ada pihak yang mendengar atau melihat peristiwa gadai tersebut, bukan karena sengaja dipanggil menjadi saksi, melainkan hanya kebetulan, akibatnya seringkali ada pihak tertentu atau salah satu pihak memanfaatkan kekurangan tersebut secara melawan hukum, misalnya ingkar janji (wanprestasi), dan penyelesaian hukumnya baik secara kekeluargaan maupun melalui pengadilan menjadi tidak mudah.

Gadai tanah atau sanra tanah, pemilik gadai tetap berkewajiban membayar kembali (mengembalikan) uang tebusan gadai (harga gadai) meskipun pelaksanaan gadai sudah melewati 7 tahun, dan tidak mengikuti ketentuan Pasal 7 Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Sangat lazim dalam praktik, jika pemilik tanah tidak mampu menebus atau mengembalikan pembayaran uang tebusan gadai, ataukah ketika pemegang gadai berkeinginan mengembalikan tanah gadai ke pemiliknya, akan tetapi pemilik gadai belum mampu menebusnya, ataukah pemilik tanah sendiri memerlukan uang tunai untuk suatu keperluan, maka pemilik gadai dengan pemegang gadai biasanya melanjutkan menjadi transaksi jual-beli dengan istilah jual putta atau sanra Putta. Istilah jual putta atau sanra putta hanya terjadi pada barang atau tanah yang didahului dengan perbuatan hukum berupa perjanjian gadai.

Penyelesaian perjanjian gadai (sanra) atau pun jual putta diharapkan ditempuh secara kekeluargaan tanpa harus ke pengadilan. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan (Emirzon, 2001: 14) cara penyelesaian sengketa/perselisihan hukum tanah di masyarakat, cukup lazim melalui jalur di luar pengadilan dengan dipandu oleh Kepala Desa atau Pemuka Adat atas dasar musyawarah untuk mufakat. Akan tetapi pada faktanya juga, dewasa ini, penyelesaian sengketa gadai tanah di masyarakat, juga mulai ditempuh penyelesaian melalui pengadilan dengan berbagai pertimbangan, terutama jika penyelesaian secara kekeluargaan tidak berhasil.

Jika penyelesaian sengketa gadai tanah mengharuskan sampai ke pengadilan (PN), maka masyarakat pencari keadilan (justiabelen) berharap agar hakim atau pengadilan bertindak adil, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa, peradilan diselenggarakan guna menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Dalam tema kajian ini, akan dianalisis putusan Pengadilan Negeri Watampone Nomor 34/Pdt.G/PN.Wtp mengenai penyelesaian sengketa gadai atas tanah persawahan yang terindikasi jual putta, yang dalam putusan majelis hakim menolak eksepsi Tergugat dan memenangkan Penggugat.

Kasus bermula dari perempuan MBA, pekerjaan URT, bertempat tinggal di Kabupaten Bone, melalui kuasa hukumnya menggugat perempuan CBN, pekerjaan URT, bertempat tinggal Kabupaten Bone (Tergugat I), dan LL, di Kabupaten Bone (Tergugat II).

Melalui kuasanya, Penggugat mengakui

jurnal agustus 2012-arnis.indd 171 7/27/2012 3:11:28 PM

172 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

bahwa, lokasi tanah persawahan yang menjadi objek sengketa, bergelar Lompo Kalamesu, luas kurang lebih 43 (empat pulih tiga) are, Kohir nomor 427 C1 yang terletak di Kabupaten Bone dengan batas-batas yang tertera dalam gugatan Penggugat adalah milik Penggugat yang diperoleh sebagai bagian warisan dari almarhum ayahnya. Pengakuan Penggugat atas kepemilikan tanah yang menjadi objek sengketa ini, didukung dengan keterangan saksi (MA dan MP) serta alat bukti surat.

Menurut Penggugat, klaim para Tergugat atas kepemilikan tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah tidak benar dan melawan hukum. Menurut Penggugat pengakuan para Tergugat atas kepemilikan tanah yang menjadi objek sengketa ini, bermula ketika Penggugat merantau ke Sumatera sekitar tahun 1980-an, dan tanah persawahan tersebut dititipkan kepada keluarga SN. Beberapa tahun kemudian atas persetujuan Penggugat, SN yang memiliki nama lain AL alias DEN alias MND menggadaikan tanah tersebut kepada Tergugat I (Perempuan CBN). Kemudian setelah dari perantauan pada Bulan Maret 2007, Penggugat bermaksud ingin menebus tanahnya yang telah digadaikan oleh SN kepada para Tergugat atas persetujuan Penggugat, namun para Tergugat tidak bersedia dan menolak untuk mengembalikan tanah tersebut serta terus menguasainya secara melawan hukum.

Atas gugatan Penggugat, maka kemudian para Tergugat membantah dengan mengajukan eksepsi bahwa, tanah persawahan tersebut benar adalah miliknya yang dibeli dari SN dengan persetujuan isterinya yang bernama SA. Menurut para Tergugat, tanah persawahan tersebut semula adalah milik SN kemudian selanjutnya menjadi mahar (bugis: Sompa) bagi isterinya. Pengakuan para Tergugat atas kepemilikan tanah yang

menjadi objek sengketa ini, didukung dengan keterangan saksi (MP dan SB) serta alat bukti surat. Kecuali itu, terdapat pula keterangan saksi I (TH) dari para Tergugat bahwa, penguasaan para Tergugat atas tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah, hasil pembelian jual putta atau sanra putta para Tergugat dari SN, dan keterangan mana dari saksi ini tidak pernah dibantah di dalam persidangan baik oleh Penggugat maupun para saksi-saksinya.

Di samping itu, pengakuan yang sama baik dari Penggugat, para Tergugat, dan keterangan para saksi bahwa, penguasaan tanah persawahan yang menjadi objek sengketa oleh para Tergugat adalah melalui SN yang baik keterangan atau pengakuan yang menyebut hanya sebagai gadai, maupun yang mengatakan sebagai jual beli atau sanra putta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, SN adalah saksi kunci, paling mengetahui status hukum tanah persawahan tersebut. Akan tetapi sampai kasus ini diputus oleh majelis hakim, SN tidak pernah dimintai keterangan, hakim tidak pernah memerintah kepada Penggugat maupun kepada para Tergugat untuk membawa SN atau keluarga (isteri) SN menjadi saksi dalam kasus ini.

RUMUSAN MASALAHII.

1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang diajukan Penggugat dan para Tergugat atas penyelesaian sengketa gadai atas tanah persawahan sesuai putusan pengadilan di atas?

2. Bagaimanakah kekuatan yuridis keterangan Saksi I (TH) dari para Tergugat yang mengatakan, penguasaan para Tergugat atas tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah hasil jual-beli dengan istilah jual putta atau sanra putta dari SN,

jurnal agustus 2012-arnis.indd 172 7/27/2012 3:11:28 PM

172 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 173

dan keterangan mana tersebut tidak dibantah oleh Penggugat serta saksi-saksinya, tetapi diabaikan dalam pertimbangan majelis hakim?

3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim yang tidak memerintahkan kepada Penggugat atau kepada para Tergugat memanggil SN menjadi saksi pada hal bersangkutan mengetahui dan mengalami peristiwanya?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Hukum Gadai

Hukum gadai di Indonesia terus mengalami perkembangan, selain diatur dalam hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia, juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1150 KUHPdt). Bahkan dewasa ini, seiring perkembangan dunia usaha muncul satu jenis perjanjian gadai baru yang diatur dalam PP Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian. Dalam PP tersebut disebutkan, Perum Pegadaian sebagai BUMN mempunyai usaha antara lain, menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai dan berdasarkan jaminan fidusia (Meliala, 2008: 45).

Sejatinya barang atau benda yang digadaikan berada di tangan pemberi pinjaman (kreditur) atau pemegang gadai, bahkan dalam Pasal 1152 ayat (2) KUHPdt ditegaskan bahwa, perjanjian gadai tidak sah jika benda gadai tetap berada di bawah kekuasaan pemilik gadai (debitur) sendiri, melainkan harus di tangan si penerima gadai atau di tangan pihak ke-3 yang disetujui oleh kedua belah pihak. Akan tetapi ketentuan seperti di atas, tampaknya berbeda dengan praktik yang dilakukan oleh sebagian

masyarakat, di mana benda gadai tetap dikuasai oleh pemiliknya, sehingga timbul praktik baru yang disebut jaminan fidusia (Meliala, 2008: 44). Pada jaminan fidusia, benda jaminan yang berupa benda atau barang tetap dalam penguasaan penerima jaminan atau debitur.

Perjanjian gadai dalam hukum adat merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, berbeda dengan perjanjian gadai yang diatur dalam hukum Eropa sebagai perjanjian asesoir, artinya hanya perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokok, yaitu dari perjanjian pinjam meminjam (Subekti, 1980: 79). Sebagai perjanjian tambahan dari perjanjian pokok, bertujuan untuk menjaga kalau-kalau peminjam (debitur) lalai memenuhi kewajibannya berupa pembayaran kembali uang pinjaman atau bunganya (Meliana, 2008: 44). Pemegang gadai atau si berpiutang menurut KUHPdt, memiliki hak prevelege (hak istimewa) dan harus didahulukan dalam memperoleh pelunasan utang dari si berhutang (Pasal 1150 KUHPdt).

Objek gadai dalam hukum adat, meliputi benda bergerak maupun benda tidak bergerak, berbeda dalam KUHPdt, benda gadai hanya pada barang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud atau dari benda yang dapat dipindahtangankan (benda bergerak), sebab eksekusi gadai menurut KUHPdt merupakan pemindahtanganan benda jaminan dari pemilik kepada pemegang gadai.

Dalam hukum adat Indonesia, istilah gadai berbeda-beda di beberapa tempat, misalnya selain disebut sanra yang umum digunakan oleh masyarakat bugis pada perjanjian gadai tanah, maka ada juga yang menggunakan gadai dengan sebutan “Batu Ta’gala” sebagai pengertian gadai secara umum di Sulawesi Selatan. Di Jawa

jurnal agustus 2012-arnis.indd 173 7/27/2012 3:11:28 PM

174 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

Barat dikenal dengan istilah “Adol Sende”, di Minangkabau disebut “Menggadai”, di Gorontalo disebut “Monohuloo” (Ray Pratama : http://raypratama.blogspot.com).

Dalam hukum adat, gadai tanah adalah lembaga yang telah lama hidup dalam masyarakat Indonesia, seperti yang dikemukakan Ter Haar BZN (Ibid) bahwa, gadai tanah sawah adalah perjanjian yang menyebabkan tanah bersangkutan diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang dengan permufakatan bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah uang yang sama.

Demikian pula pendapat Soerjono Soekanto, Hilman Hadikusuma, dan S. A. Hakim, (http://www.pn-banjarbaru.go.id) bahwa, gadai mengandung arti penyerahan tanah untuk dikuasai oleh orang lain dengan menerima pembayaran tunai, di mana si pemberi gadai, atau pemilik tanah tetap berhak menebus kembali tanah tersebut dari pemegang gadai (penerima gadai, atau penguasa tanah gadai. Dengan demikian berarti uang gadai kembali setelah perjanjian gadai diakhiri, seperti pada masyarakat adat Minangkabau dengan pepatah adatnya, “Gadai batabuih – Suarang babagi” artinya gadai itu selalu dapat ditebus dan Harta suarang dibagi (http://asaad36.blogspot.com/2010/10). Begitu pula di daerah Sulawesi Selatan (Yuliana, Andi 5 Juli, PustakaNet.Wordpress.Com), bahwa setiap gadai tanah atau sanra tanah uang gadai selalu dikembalikan karena dasar pelaksanaannya adalah saling menolong, maka oleh karena itu tidak diperlukan alat bukti berupa keterangan tertulis atau saksi.

Perjanjian gadai tanah dalam hukum adat juga tidak mengenal daluwarsa, sehingga bisa

berlangsung sampai kapan pun. Oleh pembuat undang menilai bahwa bentuk gadai tanah yang dipraktikkan masyarakat seperti demikian itu, mengandung unsur pemerasan, maka salah satu pertimbangan untuk mengatasinya, maka ditetapkanlah UU No. 56 Prp Tahun 1960 guna untuk menghapus unsur pemerasan yang dimaksud dengan cara membatasi waktu berlangsungnya gadai tanah serta cara penebusannya (Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960).

Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa, sangat lazim dalam praktik, ketika pemilik tanah gadai tidak mampu menebus atau mengembalikan uang tebusan gadai, ataukah ketika pemegang gadai berkeinginan mengembalikan tanah gadai ke pemiliknya namun pemilik tanah gadai belum mampu menebusnya, ataukah pemilik tanah sendiri memerlukan uang tunai untuk suatu keperluan, maka pemilik tanah gadai biasanya menawarkan kepada pemegang gadai untuk membelinya yang dalam adat kebiasaan masyarakat bugis disebut dengan jual putta atau sanra Putta yaitu, praktik transaksi jual beli, yang diawali dengan perjanjian gadai sebelumnya. Jadi awalnya perjanjian gadai, namun karena sesuatu hal oleh pemilik tanah menawarkan tanah gadai tersebut kepada pemegang gadai untuk dibelinya. Jika pemegang gadai setuju maka kedua belah pihak melanjutkan transaksinya (jual beli) atas tanah yang tadinya berstatus gadai.

Perjanjian gadai (Meliala, 2008: 44) menurut hukum adat mempunyai ciri-ciri antara lain, (1) Hak menebus tidak mungkin daluwarsa; (2) Benda gadai ada di tangan pemegang gadai; (3) Penerima gadai dapat mengulanggadaikan benda gadai; (4) Benda gadai tidak dapat secara otomatis menjadi milik si pemegang gadai; dan (5) Sama dengan gadai dalam KUHPdt, apabila gadai tidak ditebus maka untuk dapat memilikinya

jurnal agustus 2012-arnis.indd 174 7/27/2012 3:11:28 PM

174 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 175

diperlukan suatu transaksi yang baru, seperti yang ditunjuk dalam Pasal 1154 KUHPdt.

Perjanjian gadai tanah berdasarkan Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 sedikit berbeda dengan perjanjian gadai menurut hukum adat. Menurut hukum adat, gadai tanah tidak pernah daluwarsa (lewat waktu) untuk menebus dan uang gadai selalu kembali. Ketentuan seperti demikian ini tidak berlaku dalam Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 sebab, setiap hak gadai yang telah berlangsung tujuh tahun dinyatakan hapus dan pemberi gadai atau pemilik dapat mengambil tanahnya kembali tanpa mengembalikan uang gadai (Pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960). Di samping terdapat perbedaan, juga keduanya memiliki persamaannya yaitu, baik UU No. 56 Prp Tahun 1960 maupun hukum adat, tidak diperkenankan pemilik barang gadai untuk memiliki kembali barang/benda atau tanahnya selama belum memenuhi kewajiban-kewajibannya.

B. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah

Praktik perjanjian gadai tanah atau sanra tanah oleh masyarakat lazimnya dilaksanakan secara lisan, tanpa bukti tertulis, serta tidak ada saksi baik dari pemilik gadai maupun pemegang gadai, akibatnya seringkali salah satu pihak memanfaatkan kekurangan tersebut secara melawan hukum, misalnya ingkar janji (wanprestasi) yang mengakibatkan penyelesaiannya secara kekeluargaan maupun melalui pengadilan tidak mudah.

Setiap penyelesaian sengketa gadai tanah harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana bunyi Pasal 54 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009. Pengejawantahan nilai-nilai dimaksud ini, bisa melalui pengadilan

dengan cara, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Begitu pula bisa melalui jalur di luar pengadilan dengan cara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009). Dengan demikian, sengketa gadai tanah sebagai sengketa keperdataan dapat diselesaikan dengan cara melalui proses hukum pengadilan dan atau di luar pengadilan.

Jika penyelesaiannya melalui jalur pengadilan maka seluruh proses hukumnya tunduk pada ketentuan hukum formal yakni hukum acara perdata, seperti menerapkan asas hukum audie et alteram partem (Mertokusumo, 1988: 80), artinya para pihak antara Penggugat dan Tergugat harus didengarkan keterangannya oleh hakim. Begitu pula penerapan asas kedudukan prosesuil yang sama bagi para pihak (Mertokusumo, 1988: 113), artinya memberi beban pembuktian yang sama berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Kedua asas hukum ini sangat fundamental dan menentukan penyelesaian kasus yang ditanganinya secara adil, dan dengan berpegang pada asas-asas hukum ini akan membawa akibat pada kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama.

Penyelesaian kasus perdata melalui pengadilan, ditentukan berdasarkan penentuan kebenaran formil, dan hakim bersifat preponderence of evidence (Mertokusumo, 1988: 107), artinya hakim dalam memutuskan kasusnya tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara, atau melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas hal/perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari yang diminta oleh yang berperkara. Jadi hakim bersifat pasif, namun bukan berarti dalam hukum acara perdata

jurnal agustus 2012-arnis.indd 175 7/27/2012 3:11:28 PM

176 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

hakim mencari kebenaran yang setengah-tengah atau palsu.

Jika penyelesaiannya di luar pengadilan negara, yakni melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi, mediasi dan arbitrase itu sendiri yang didasarkan pada itikad baik (Pasal 59 s/d Pasal 60 UU No. 48 Tahun 2009 jo Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Semua cara penyelesaian dimaksud di atas (jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan) adalah untuk kepentingan penyelesaian substansial setiap kasus hingga sampai pada akar masalahnya. Jadi cara menyelesaikan kasusnya sampai akar masalahnya atau sistem problem denken atau problem orientik (Mertokusumo, 1999: 44), yang tidak sama antara satu kasus hukum dengan kasus hukum yang lain. Selain itu, juga memperhatikan keadaan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat yakni, hukum adat, oleh karena menurut Carl von Savigny (Nuzul, 2009: 218) hukum itu tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht, est und wird mit dem volke). Teori Savigny ini dianut Soepomo dengan menjadikan hukum adat sebagai living law, hukum yang di dalamnya terkandung jiwa bangsa atau Volksgeist.

Inti dari cara-cara penyelesaian pada setiap kasus gadai tanah seperti dikemukakan di atas, sejatinya untuk mewujudkan tujuan hukum untuk kepentingan masyarakat yang menurut Gustav Radbruch meliputi keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), serta kepastian hukum atau rechtssicherkeit (Ali, 1996: 95). Ketiga tujuan hukum idealnya terlaksana secara seimbang, namun sekiranya tidak bisa maka

menurut Gustav Radbruch perlu ditempuh secara prioritas dengan memulai dari prioritas keadilan, baru kemudian kemanfaatan, dan selanjutnya kepastian hukum.

C. Kekuatan Pembuktian Terhadap Alat Bukti Penggugat

Paton mengatakan bahwa, secara umum alat bukti menurut hukum dikelompokkan ke dalam 3 jenis , yaitu (a). alat bukti bersifat oral (keterangan saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli, pengakuan (penggugat dan tergugat), sumpah); (b), alat bukti bersifat dokumentary (surat, bukti petunjuk, bukti tulisan); serta; (c). alat bukti material (barang bukti selain dokumentary). (Sudikno, 1988: 115).

Dalam hukum acara perdata, jenis-jenis alat bukti disebutkan pada Pasal 1866 KUHPdt jo Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 Rbg, yaitu alat bukti tertulis, pembuktian saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan dan sumpah. Pada kajian sengketa gadai tanah ini, hanya akan dikemukakan alat bukti yang digunakan oleh Penggugat dan para Tergugat, yang terdiri atas bukti surat (tertulis) dan keterangan saksi, kemudian dianalisis guna mendapatkan jawaban atas rumusan permasalahan yang diajukan.

1. Bukti Tertulis/Surat

Alat bukti tertulis atau bukti surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Mertokusumo, 1988: 116). Alat bukti tertulis atau bukti surat terbagi menjadi bukti surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri terbagi ke

jurnal agustus 2012-arnis.indd 176 7/27/2012 3:11:28 PM

176 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 177

dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.

Kekuatan pembuktian akta otentik bersifat sempurna, dan berlaku sebagai bukti sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya, dan bahkan yang terdapat dalam akta sebagai penuturan belaka, sepanjang yang dituturkan itu ada hubungannya yang langsung dengan pokok akta (Mertokusumo, 1988: 123). Sebagai alat bukti yang sempurna, akta otentik mengandung kekuatan pembuktian lahir, pembuktian formil, dan pembuktian materiil. Berbeda dengan akta di bawa tangan maupun surat-surat lain yang bukan akta, seperti buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 127), kekuatan pembuktian dari surat-surat yang bukan akta diserahkan penilaiannya kepada pertimbangan hakim.

Dalam akta otentik mengandung asas acta publica probant sese ipsa (Mertokusumo, 1988: 127), yaitu akta atau surat yang tampaknya lahir sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang ditentukan, dan kekuatan pembuktiannya sempurna sebagai akat otentik sampai terbukti sebaliknya. Beban pembuktian pada akta otentik dibebankan kepada siapa yang mempersoalkan otentik tidaknya alat bukti itu (Pasal 138 HIR dan Pasal 164 Rbg). Berbeda dengan akat di bawah tangan atau bukti surat-surat lain yang bukan akta, pembuktiannya dibebankan kepada siapa yang mengakui atau yang bertanda tangan di atas akta di bawah tangan tersebut.

Bukti surat yang diajukan Penggugat untuk membuktikan kepemilikannya atas tanah persawahan yang menjadi objek sengketa, berupa fotocopy Surat Keterangan Tanah bertanggal 12 Januari 1987 No. Tap/WPJ.09/KI.1113/1987

yang telah dicocokkan dan sesuai aslinya. Di dalam bukti surat ini (P-1) diterangkan Klasiran/Pencatatan tahun 1939 s/d 1940 tanah tersebut telah menjadi objek IPEDA sampai Hari Senin, tanggal 12 Januari 1987 atas nama Wajib Pajak AC (Orang tua Penggugat), Kohir no. 427 C.1, tercatat dalam buku C Kampung Desa Pattiro, Desa Pattiro, Kec. Mare, Kab. Bone, bergelar Lompo Kalimaesu, luas: 043 Ha. Pada Tanggal 10 Maret 1986 dimutasi ke CBN (Tergugat I) dengan keterangan Gadai.

Menurut hukum acara perdata, alat butki surat seperti di atas disamakan dengan catatan-catatan mengenai tanah dalam buku letter C atau semisal kekitir atau semisal tanda wajib pajak. Alat bukti demikian menurut hukum acara tidak menjamin bahwa orang yang namanya tercantum di dalamnya adalah pemiliknya (Mertokusumo, 1988: 127). Alat bukti surat seperti di atas tidak menunjuk pada kepemilikan Penggugat atas tanah yang menjadi objek sengketa. Dengan demikian, kekuatan hukumnya atau kekuatan pembuktiannya tidak sempurna sehingga untuk menguatkan bukti surat ini masih diperlukan alat bukti lain berupa keterangan saksi dari Penggugat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bukti surat (P-1) yang diajukan oleh Penggugat di atas tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna serta belum menunjuk kepemilikan Penggugat menurut hukum, maka dari itu majelis hakim yang memeriksa sengketa gadai tanah persawahan pada kasus ini harus mencocokkan keterkaitan (hubungan) dengan keterangan-keterangan saksi yang diajukan Penggugat. Dalam menilai bukti surat yang diajukan Penggugat pada kasus ini, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1881 ayat (2e) KUHPdt jo Pasal ayat (2) 294 Rbg, diserahkan kepada pertimbangan hakim.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 177 7/27/2012 3:11:28 PM

178 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

2. Keterangan Saksi

Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang berupa saksi di atur dalam Pasal 1895 dan 1902, 1904-1912 BW jo Pasal 139-152, Pasal 168-172 HIR (Pasal 165-179 Rbg. Tiap-tiap kesaksian yang diberikan harus mengenai perbuatan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, serta dengan tegas diberitahukan sebab-sebabnya hal itu diketahui (Pasal 301 RGB). Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 128) saksi atau kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.

Hakim dalam menilai kebenaran secara hukum atas pengakuan kepemilikan Penggugat atas tanah yang menjadi objek sengketa, maka keterangan saksi-saksi di bawah ini sangat penting sekaligus untuk memberi keyakinan kepada hakim bahwa dialah pemiliknya.

a). Saksi I Made Ali.

- Saksi mengetahui yang menjadi pokok persengketaan kedua pihak adalah tanah persawahan yang terletak di Pattiro Sumali, Desa Pattiro, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone, terdiri atas 6 (Enam) petak dengan berbatasan antara:

Sebelah Utara : Sawah BU Sebelah Timur : Sawah YA Sebelah Selatan : Sawah YASebelah Barat : Sawah MU

Bahwa tanah tersebut sekarang • dikuasai oleh Lakarang (Tergugat II),

Suami dari Tergugat I (CBN),

Penguasaan tersebut sudah • berlangsung lebih kurang 10 tahun.

Sebelum dikuasai oleh Tergugat, • tanah persawahan yang menjadi objek sengketa dikuasai oleh A yaitu ayah Penggugat (MBA).

Penguasaan tanah persawahan • yang menjadi objek sengketa oleh Tergugat diperoleh dari paman Penggugat yang bernama SN, yaitu pada waktu Penggugat akan merantau ke Sumatera, ia menitipkan tanah persawahan yang menjadi objek sengketa kepada SN. Kemudian SN menggadaikan tanah persawahan tersebut kepada Tergugat dengan uang gadai sebesar Rp.600.000,- (Enam ratus ribu rupiah).

Tanah tersebut milik ayahnya • Penggugat yang bernama AC.

Tanah tersebut ada surat-suratnya • berupa rincik atas nama AC, kemudian karena gadai maka sekarang dirubah menjadi CBN (Tergugat I), dan tidak pernah ada perubahan rincik atas nama orang lain.

Sewaktu SN menggadaikan sawah • tersebut kepada Lakarang (Tergugat 2) hanya dilakukan secara lisan, tidak ada surat-suratnya.

Penggugat pernah ingin menebus • tanah persawahan tersebut yang menjadi sengketa kepada Tergugat, tapi Tergugat tidak mau.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 178 7/27/2012 3:11:29 PM

178 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 179

Saksi kenal dengan BA yaitu nenek • sepupu dari CA (Tergugat 1) dan MN (Penggugat).

b). Saksi II MA

- Bahwa Saksi II mengetahui yang menjadi pokok persengketaan kedua pihak adalah tanah persawahan yang terletak di Desa Pattiro, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone, terdiri atas 6 (enam) petak dengan berbatasan antara:

Sebelah Utara : Sawah BU Sebelah Timur : Sawah YA Sebelah Selatan : Sawah YU Sebelah Barat : Sawah MU

Bahwa saksi tidak tahu bahwa tanah • persawahan yang menjadi sengketa ada surat-suratnya atau tidak.

Tanah persawahan yang menjadi • sengketa adalah milik AC, namun sekarang dikuasai oleh para Tergugat.

Penguasaan Tergugat atas tanah • persawahan yang menjadi sengketa bermula ketika AC merantau ke Sumatera. Kemudian tanah persawahan yang menjadi sengketa itu dikerjakan oleh BO, atau suami Penggugat. Kemudian Penggugat merantau ke Sumatera dan tanah persawahan tersebut dititipkan kepada SN, yaitu adik AC atau paman dari Penggugat. Tetapi setelah saksi pindah alamat, entah bagaimana tanah persawahan yang menjadi sengketa tersebut (saksi tidak tahu) dikerjakan oleh Tergugat II (Suami Tergugat I).

Berdasarkan keterangan dari kedua • saksi yang diajukan Penggugat di atas dapat disimpulkan bahwa, tanah persawahan yang menjadi objek sengketa merupakan bagian harta warisan dari orang tuanya. Keterangan kedua saksi di atas meskipun saling menguatkan dan mendukung pengakuan Penggugat akan tetapi keterangan kedua saksi yang diajukan Penggugat tetap tidak menunjukkan hubungan yang kuat secara hukum dengan bukti surat yang diajukan Penggugat yang hanya menunjuk pada kepemilikan orang tua Penggugat atas tanah yang menjadi objek sengketa, atau bukti surat itu tidak menunjuk pada kepemilikan Penggugat.

Lemahnya alat bukti (bukti surat • dan keterangan saksi) yang diajukan Penggugat, maka untuk menentukan kebenaran secara hukum atas kepemilikannya pada tanah persawahan yang berstatus sengketa gadai ini, maka majelis hakim bisa menggunakan teori hukum publik (Mertokusumo, 1988: 113), yang memberi wewenang yang lebih bebas pada hakim di dalam mencari kebenaran hukumnya, namun dengan tetap berpegang teguh pada asas hukum perdata formil yakni, preponderen of evidence, sebab kasus gadai tanah ini merupakan kasus perdata dengan kebenaran formil sebagai sandaran utamanya.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 179 7/27/2012 3:11:29 PM

180 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

D. Kekuatan Pembuktian terhadap Alat Bukti Para Tergugat

1). Bukti Tertulis/ Surat

Para Tergugat telah mengajukan alat bukti surat ( T-1), berupa fotocopy surat nikah (tidak ada aslinya namun bermaterai cukup) atas nama suami isteri AL atau SN dan SA. Dalam T-1 tersebut tercantum mas kawin berupa sawah enam petak, terletak di Lompo Diawang Labullu.

Dalam hukum acara perdata dijelaskan bahwa, jika alat bukti surat harus berupa surat yang asli. Dalam Pasal 1888 KUHPdt jo Pasal 301 Rgb dijelaskan bahwa, kekuatan pembuktian dari surat atau alat bukti tertulis terletak pada aslinya. Jadi jika ada alat bukti surat atau alat bukti tertulis yang berupa fotocopy saja tanpa ada aslinya, maka tidak bisa dijadikan alat bukti yang sempurna, oleh karenanya hakim selalu meminta kepada berperkara untuk menunjukkan aslinya. Hakim selalu berwenang untuk memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengajukan akta aslinya di muka sidang (Mertokusumo, 1988: 128). Jika akta aslinya sudah tidak ada lagi, maka kekuatan pembuktiannya diserahkan penilaiannya kepada hakim, dengan memperhatikan persyaratan yang diatur dalam Pasal 1889 KUPdt jo Pasal 302 RGB.

Alat bukti berupa fotocopy, dapat diterima sebagai alat bukti apabila fotocopy disertai dengan keterangan atau dengan jalan apapun secara sah dari mana ternyata bahwa fotocopy tersebut sama dengan aslinya (Mertokusumo, 1988: 128; Putusan MA, 1 April 1976 No. 701 K/Sip). Alat bukti surat yang diajukan para Tergugat berupa fotocopy surat nikah antara suami isteri SN dengan SA (T-1) di persidangan, kekuatan pembuktiannya sangat lemah, dan kurang relevan dengan kasus dengan keberadaan tanah persawahan yang

menjadi sengketa antara Penggugat dengan para Tergugat. Meskipun demikian majelis hakim sebagai pihak yang memiliki kewajiban dan kewenangan menyelesaikan sengketa gadai ini, maka penilaian dan pertimbangan atas alat bukti tertulis yang diajukan para Tergugat di atas, diserahkan kepada majelis hakim.

Sekurang-kurangnya bukti-bukti tertulis yang diajukan para Tergugat di atas, dapat dinilai sebagai permulaan pembuktian, dan selanjutnya diperlukan bukti-bukti lain yang mendukung dan menguatkan. Dalam Pasal 1902 ayat (2) KUHPdt dikatakan bahwa, permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis, yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan diajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, serta untuk memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan seseorang. Untuk kasus hukum ini, bukti-bukti lain yang diajukan para Tergugat selain bukti surat di atas hanyalah keterangan para saksi.

2). Keterangan Saksi

a). Saksi I TA

Saksi• tahu yang menjadi pokok persengketaan kedua pihak adalah tanah persawahan yang terletak di Kabupaten Bone, terdiri atas 6 (enam) petak dengan berbatasan antara:

Sebelah Utara : Sawah BU Sebelah Timur : Sawah YA Sebelah Selatan : Sawah YA Sebelah Barat : Sawah MU

Bahwa sebelum dikuasai LA • (Tergugat 2) tanah sengketa dikuasai PR.

Bahwa dulunya tanah tersebut •

jurnal agustus 2012-arnis.indd 180 7/27/2012 3:11:29 PM

180 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 181

pemiliknya adalah SN yang diperoleh dari neneknya, kemudian oleh SN, tanah tersebut dijual kepada LA yaitu menantu dari SN sendiri.

Bahwa pembelian tanah tersebut • oleh para Tergugat terjadi pada tahun 1983, waktu itu saksi melihat sendiri sewaktu terjadi jual beli, juga disaksikan oleh MS, BA dan isteri SN yang bernama SA.

Bahwa pembelian tanah tersebut • terjadi di rumah SN.

Bahwa benar tanah tersebut semula • digadaikan oleh SN kepada LA (Tergugat), tetapi selanjutnya dijual putta (istilah adat Sulawesi Selatan yang artinya putus atau terus) dengan harga Rp.2.500.000,- dari SN dengan terlebih dahulu dipegang gadai.

Tanah tersebut dipegang gadai oleh • Tergugat selama kurang lebih tiga tahun.

Pengetahuan Saksi (TA) tentang gadai • atas tanah yang menjadi sengketa, diberitahu oleh SN oleh karena saksi dan SN masih ada hubungan keluarga.

Saksi pernah melihat rincik tanah • gadai tersebut di Kantor Desa atas nama Sabe yaitu nenek sepupu dari Tergugat I (CBN) dan Penggugat (MBA).

Bahwa saksi juga pernah mendengar • sawah tersebut pernah dijadikan mahar (sompa) oleh SN.

Bahwa saksi tidak pernah melihat AC • (ayah Penggugat) mengerjakan tanah sawah tersebut.

2). Saksi II MP

Saksi• tahu yang menjadi pokok persengketaan kedua pihak adalah tanah persawahan yang terletak, Kabupaten Bone, terdiri atas enam petak dengan berbatasan antara:

Sebelah Utara : Sawah BU Sebelah Timur : Sawah YASebelah Selatan : Sawah LA

Sebelah Barat : Dulu sawah YA, sekarang tidak tahu.

Tanah persawahan yang menjadi • objek sengketa, sekarang dikerjakan Tergugat, diperoleh melalui pembelian dari SN.

Tanah persawahan yang menjadi • sengketa pernah diolah/dikerjakan saksi sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 1983.

Saksi mengerjakan/menggarap sawah • karena orang tua Saksi yang bernama PA disuruh oleh SN untuk mengerjakan sawah tersebut.

Setelah saksi, maka kemudian sawah • diambil alih oleh Sanusi bin Supu.

Orang tua saksi, PA, bersahabat dekat • dengan SN.

Bahwa sewaktu tanah tersebut digarap • oleh saksi, pajak tanah tersebut dibayar oleh ayahnya yang bernama PA.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 181 7/27/2012 3:11:29 PM

182 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

3). Saksi III SA

Mengetahui yang menjadi pokok • persengketaan kedua pihak adalah tanah persawahan yang terletak Kabupaten Bone, terdiri atas enam petak yang terletak di Kabupaten Bone dengan berbatasan antara:

Sebelah Utara : Sawah BU.Sebelah Timur : Sawah YA Sebelah Selatan : Sawah PU

Sebelah Barat : Dulu sawah YA, sekarang tidak tahu.

Bahwa tanah sawah tersebut sekarang • dikuasai oleh CA dan suaminya (Tergugat I dan Tergugat II) sejak tahun 1987.

Bahwa Sebelum dikuasai Tergugat • CA, sawah tersebut dikerjakan oleh PA.

Bahwa CA memperoleh tanah • tersebut karena membeli dari SN dengan seharga Rp.2.600.000,- (dua juta enam ratus ribu rupiah).

Saksi mengetahui karena saksi ada • pada saat terjadi jual beli, tetapi saksi tidak tidak melihat pada saat terjadinya pembayaran.

Bahwa tanah tersebut ada rinciknya, • tetapi saksi tidak tahu atas nama siap.

Saksi tidak kenal dengan AC (ayah • Penggugat).

Bahwa saksi tidak pernah melihat PA • mengerjakan tanah tersebut.

Mencermati keterangan para saksi yang diajukan para Tergugat, terdapat perbedaan antara keterangan saksi 1 dengan saksi 2 dan saksi 3 mengenai status tanah persawahan yang menjadi objek sengketa. Saksi 2 dan saksi 3 mengatakan bahwa, tanah persawahan tersebut adalah hasil pembelian para Tergugat kepada pemiliknya yang bernama SN dan disetujui oleh isterinya yang bernama SA, sedangkan saksi 1 mengatakan bahwa, tanah persawahan tersebut awalnya sebagai perjanjian gadai, namun beberapa tahun kemudian beralih menjadi jual-beli dengan istilah jual putta atau sanra putta.

Keterangan saksi 2 dan saksi 3 saling berhubungan sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, berbeda dengan keterangan saksi 1 yang berdiri sendiri, dengan keterangan kedua saksi sebelumnya. Meskipun berbeda, namun rasa-rasanya kedua keterangan saksi para Tergugat ini tidak berlawanan, sebab pada intinya keterangan para saksi dari Tergugat semua menunjuk pada kesamaan maksud yaitu kepemilikan para Tergugat atas tanah persawahan yang menjadi objek sengketa.

Keterangan saksi 1 tidak bisa dengan serta merta diabaikan oleh majelis hakim, sebab kebiasaan di dalam masyarakat bugis, praktik jual puttaii adalah sesuatu yang lazim dilakukan, secara turun temurun sudah menjadi kebiasaan yang tumbuh dan dipraktikkan di masyarakat sebagai living law. Di sisi lain, keterangan saksi 1 tersebut tidak pernah ada yang membantahnya baik oleh penggugat maupun para saksi yang diajukan oleh para pihak. Atas dasar itu, majelis hakim patut tetap mempertimbangkannya dan menilainya guna mencari kebenaran formil pada penyelesaian kasus tanah persawahan yang menjadi objek sengketa.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 182 7/27/2012 3:11:29 PM

182 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 183

Keterangan saksi 1 dari para Tergugat yang mengatakan bahwa tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah hasil jual putta atau sanra puta melalui SN dengan terlebih dahulu dipegang gadai, tidak ada yang membatahnya. Atas fakta hukum ini, diajukan pertanyaan, mengapa keterangan saksi 1 diabaikan oleh majelis hakim dalam putusannya?

Menjawab pertanyaan di atas adalah, kemungkinannya majelis hakim mengacu pada ketentuan Pasal 1905 KUHPdt Jo Pasal 169 HIR dan Pasal 306 Rbg yang pada intinya bahwa, keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain yang mendukungnya dapat saja diabaikan, akan tetapi pada faktanya majelis hakim sepanjang uraiannya tidak pernah menggunakan Pasal 1905 KUHPdt jo Pasal 169 HIR, dan Pasal 306 RGB untuk melumpuhkan keterangan saksi 1 dari para Tergugat.

E. Posisi SN yang Terabaikan

Dijelaskan dalam hukum acara perdata formil bahwa, keterangan saksi diperlukan jika perkara yang sedang diproses di pengadilan sudah memiliki bukti surat atau alat bukti tertulis. Dalam Pasal 1902 KUHPdt disebutkan:

Dalam segala hal di mana oleh undang-undang diperintahkan suatu pembuktian dengan tulisan-tulisan itu. Jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan diperkenankanlah pembuktian-pembuktian dengan saksi-saksi, kecuali apabila tiap pembuktian lain dikecualikan, selain dengan tulisan.

Keterangan seorang saksi di muka persidangan bertujuan untuk memberikan tambahan keterangan, untuk menjelaskan hubungannya dengan peristiwa hukum yang ada.

Berbeda dengan keterangan antara saksi dengan ahli yang dipanggil untuk memberikan keterangan di persidangan. Saksi ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya, dan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir (melalui keterangan dari ahli) tidak merupakan kesaksian (Mertokusumo, 1988: 129). Kalau keterangan saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri.

Seorang menjadi saksi, tidak cukup kalau hanya menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya, tetapi saksi harus pula menerangkan bagaimana sampai mengetahui peristiwanya, jadi saksi dapat menerangkan sebab musababnya sampai ia mengetahui peristiwanya. Dalam Pasal 1907 KUHPdt disebutkan bahwa, tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan. Penegasan yang sama juga dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 308 ayat (1) Rbg, sehingga menurut Sudikno Mertokusumo, (1988, 130):

Dapat tidaknya seorang saksi dipercaya, maka hakim harus memperhatikan kesesuaian antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang dipersengketakan; pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan kesaksiannya, cara hidup, adat istiadat serta martabat para saksi dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya dipercaya seorang saksi.

Untuk berpegang secara kuat pada penjelasan di atas, tentu sangatlah sulit bagi seorang hakim yang sedang menangani kasus yang alat buktinya kurang, bahkan tidak relevan untuk saling menguatkan antara alat bukti yang satu dengan alat bukti lainnya, akan tetapi pertimbangan

jurnal agustus 2012-arnis.indd 183 7/27/2012 3:11:29 PM

184 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

hakim mutlak harus ada, karena hakimlah yang memiliki kewenangan dalam menilai keterangan (kesaksian) dari seorang saksi.

Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 129), yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga, dan bukan salah satu pihak yang berperkara. Merujuk atas ketentuan dan pernyataan Sudikno di atas, maka SN sangat patut untuk didudukkan sebagai saksi oleh yang berperkara. Sangat kuat fakta hukum di persidangan yang menunjuk bahwa, perbuatan SN yang mengalihkan (menggadaikan) tanah persawahan yang kini menjadi sengketa kepada para Tergugat sekitar tahun 1980-an. Dengan demikian, posisi SN pada kasus gadai tanah yang terindikasi jual putta ini sangat penting dalam rangka penilaian kebenaran secara formil posisi kasus ini sekaligus untuk menentukan siapa yang paling berhak atas tanah persawahan yang menjadi sengketa antara Penggugat dengan para Tergugat.

Semua pengakuan dari Penggugat dan para Tergugat serta keterangan para saksi yang berkembang dalam persidangan selalu mengaitkan peristiwa peralihan hak atas tanah persawahan yang menjadi objek sengketa ini dengan SN. Fakta hukum tersebut bisa disimpulkan bahwa, SN adalah pihak yang sangat mengetahui status hukum tanah sengketa tersebut, akan tetapi selama proses hukum berlangsung, SN tidak pernah diminta memberi keterangan atas kasus gadai atas tanah persawahan yang menjadi objek sengketa.

Sekiranya SN dijadikan saksi dalam kasus ini, maka keterangan saksi maupun pengakuan Penggugat dan para Tergugat yang saling berbantahan, bisa ditentukan mana yang sah dan mana yang tidak sah menurut hukum dengan jalan mendengar keterangan SN.

Untuk menentukan status tanah persawahan yang dipersengketakan oleh Penggugat dan para Tergugat, sepatutnya keterangan SN patut didengar untuk selanjutnya dikonfrontir dengan pengakuan para pihak serta keterangan para saksi. Upaya untuk melakukan konfrontir keterangan antar saksi dimungkinkan dalam hukum acara perdata (lihat: alinia terakhir Penjelasan Pasal 82 ayat (1) RIB/HIR).

Sepatutnya SN dijadikan saksi kunci, karena SN saksi maka akan sangat membantu kekuatan analisis serta pertimbangan majelis hakim untuk selanjutnya mengkonstitusi atau memberi putusan atas sengketa ini dalam hal, apakah peralihan hak tersebut kepada Tergugat hanya sebagai gadai ataukah merupakan jual putta atau sanra putta yang didahului dengan perjanjian gadai.

Keterangan yang diberikan saksi harus menyangkut tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, dan ketentuan demikian sesuai dengan posisi SN yang mengetahui dan mengalami sendiri peristiwanya. Jadi sekiranya SN sebagai saksi oleh Penggugat ataukah oleh para Tergugat, maka hakim akan lebih leluasa bisa menggali kebenaran keterangan para saksi lainnya dan kemudian menemukan hukumnya atas status yang sebenarnya pada tanah persawahan yang menjadi objek sengketa. Sebaliknya dengan tidak melibatkan SN dalam penyelesaian sengketa ini sebagai saksi, terkesan bahwa hakim kurang cermat atau lalai tidak mempertimbangkan seluruh fakta-fakta hukum yang muncul dalam persidangan yang relevan dengan sengketa persawahan ini yakni, perbuatan SN yang mengalihkan tanah persawahan tersebut kepada para Tergugat.

Apalagi jika dicermati bahwa seluruh pengakuan dan keterangan yang berkembang

jurnal agustus 2012-arnis.indd 184 7/27/2012 3:11:29 PM

184 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 185

dalam persidangan cukup beragam, begitu pula alat bukti tertulis (bukti surat) yang diajukan para pihak (Penggugat dan Tergugat) tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga dengan demikian keterangan SN akan sangat berguna bagi majelis hakim untuk menentukan penilaiannya antara kebenaran pengakuan Penggugat dengan kebenaran pengakuan para Tergugat serta kebenaran dari keterangan-keterangan masing-masing para saksi yang diajukan di persidangan.

Berdasarkan berbagai pengakuan dan keterangan sebagaimana yang diuraikan di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga) fakta hukum yang saling berbeda terhadap status tanah persawahan yang menjadi objek sengketa, yaitu:

1. Pengakuan Penggugat bahwa tanah persawahan yang menjadi objek sengketa antara Penggugat dengan para Tergugat statusnya sebagai gadai melalui SN (lihat keterangan Penggugat pada poin tiga tentang duduk perkaranya) atas persetujuan Penggugat (tahun 1980-an). Pengakuan Penggugat tersebut kurang lebih sama dengan keterangan para saksi yang diajukan Penggugat (lihat keterangan saksi I pada garis-[garis datar] ke-5, dan keterangan saksi II pada garis-[garis datar] keenam.

2. Pengakuan para Tergugat bahwa tanah persawahan yang menjadi objek sengketa statusnya hak milik (milik para Tergugat) yang pada mulanya dibeli dari pemiliknya bernama SN atas persetujuan isterinya bernama SA karena tanah persawahan yang menjadi sengketa tersebut pernah dijadikan mahar (bugis: Sompa) kepada isterinya yang bernama SA (keterangan para Tergugat poin 3 dalam pokok perkara). Pengakuan

para Tergugat kurang lebih sama dengan keterangan Saksi II (MP) -- pada garis datar 2--, dan keterangan saksi III -pada garis datar 4-.

3. Keterangan saksi I, TA, yang diajukan para Tergugat (lihat pada garis – [garis datar] ke-7, bahwa status tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah jual putta (istilah adat Sulawesi Selatan atas jual beli barang/tanah yang awalnya perjanjian gadai).

Adanya pengakuan serta keterangan yang berbeda-beda tersebut di atas, maka agaknya sulit bagi hakim menemukan kebenaran fakta hukum yang sesungguhnya, sehingga yang diperlukan selanjutnya dari hakim adalah kemampuan analisisnya untuk menilai kebenaran dalil atau bukti yang diajukan masing-masing pihak.

Sudikno Mertokusumo (1996: 74) mengatakan, setiap kasus (konflik) yang diproses di persidangan pengadilan, majelis hakim harus melakukan langkah-langkah penemuan hukum agar tidak salah dalam menerapkan hukumnya. Terkait dengan penyelesaian sengketa gadai tanah persawahan yang terindikasi jual putta, maka ada tiga langkah yang patut bagi hakim yaitu:

1. Mengkostatasi sengketa gadai atas tanah persawahan ini sebagai peristiwa konkrit yang berarti merumuskan sengketa gadai yang terjadi antara Penggugat dengan para Tergugat sebagai peristiwa hukum. Jadi masuk pada kegiatan legal problem identifications;

2. Mengkualifikasi sengketa gadai atas tanah persawahan ini sebagai peristiwa konkrit berarti, untuk kemudian dicarikanlah penyelesaian hukumnya (legal problem solving) dengan menerapkan dalil-dalil

jurnal agustus 2012-arnis.indd 185 7/27/2012 3:11:29 PM

186 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

atau ketentuan hukumnya yang relevan;

3. Kemudian pada tahapan ketiga adalah, mengkonstitusi atau memberi putusan atau memutuskan hukumnya atas sengketa gadai tanah persawahan yang terindikasi jual putta, jadi masuk pada tahapan decision making.

Atas sengketa gadai atas tanah persawahan ini, majelis hakim memenangkan Penggugat dengan nomor putusan 34/Pdt.G/2007/PN.Wtp dengan putusan sengketa gadai bukan sengketa jual putta atau sanra putta.

Beberapa catatan penting atas praktik jual Putta atau Sanra Putta yang didahului dengan perjanjian gadai dan penyelesaian hukumnya yaitu:

1. Praktik jual putta sangat lazim di masyarakat bugis dan merupakan transaksi yang lumrah, tidak selamanya diikuti dengan alat bukti berupa dokumen tertulis serta saksi-saksi, akibatnya sering menimbulkan persoalan hukum yang sebenarnya bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan.

2. Kewajiban memeriksa dan penyelesaikan perkara, hakim perlu kemandirian dan tidak cukup jika hanya berpegang pada yurisprudensi belaka. Begitu pula hakim tidak cukup berpegang pada apa yang disebut normgerechtigkeit (keadilan menurut undang-undang) melainkan berupaya melakukan apa yang disebut einzelfallgerechtigkeit atau menemukan keadilan menurut keyakinan hakim yang tertuang dalam putusannya.

3. Sama artinya penjelasan di atas, hakim tidak semata hanya berpikir menurut sistemnya

(sistem oriented atau sistem denken), melainkan patut berpikir dengan mengacu kepada masalahnya atau problemnya atau disebut dengan problem oriented atau system oriented (Mertokusumo, 1996: 44). Penjelasan ini mengandung makna bahwa kemandirian seorang hakim sangat utama, sejalan dengan sistem peradilan Indonesia bersifat the persuasive force of precedent, bukan the binding force of precedent atau stare decisis et quita non movere seperti dalam protype sistem peradilan Anglo Saxon.

4. Selaras dengan kemandirian dimaksud di atas, hakim yang menangani sengketa yang alat buktinya amat terbatas atau kurang seperti pada kasus sengketa gadai tanah persawahan ini, maka pegangan lain yang diperlukan bagi hakim adalah, kode etik atau pedoman perilaku hakim. Untuk kepentingan dimaksud, telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 047/KMA/SKB/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kandungan atau isi dari SKB ini antara lain bahwa, seorang hakim harus berperilaku adil; berperilaku jujur, bersikap mandiri; berintegritas tinggi; berdisiplin tinggi; dan bersikap profesional dalam menangani setiap perkara.

SIMPULANIV.

1. Alat bukti surat dari Penggugat maupun alat bukti surat dari para Tergugat memiliki kekuatan pembuktian yang tidak sempurna, sehingga penilaian atas alat bukti tersebut

jurnal agustus 2012-arnis.indd 186 7/27/2012 3:11:29 PM

186 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul) | 187

sangat bergantung dari pertimbangan majelis hakim. Adapun keterangan para saksi dari Penggugat cukup berkesesuaian antara satu saksi dengan saksi lainnya dan kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna. Sebaliknya keterangan para saksi dari Tergugat, ada yang sama serta ada pula yang berbeda. Keterangan yang sama diperoleh dari keterangan saksi 2 dan saksi 3, sedangkan yang berbeda berasal dari keterangan saksi 1, sehingga dengan demikian kekuatan pembuktian keterangan saksi dari para Tergugat tidak sempurna, untuk itu penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hukum majelis hakim.

2. Keterangan saksi 1 yang diajukan para Tergugat yang mengatakan bahwa, tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah awalnya gadai melalui SN dengan persetujuan Penggugat, kemudian beralih menjadi jual-beli dengan istilah jual putta atau sanra putta. Kekuatan pembuktiannya lemah karena tidak didukung dengan alat bukti lain, meskipun demikian, majelis hakim sepatutnya tetap mempertimbangkan sebab keterangan mana dari saksi I tersebut sama sekali tidak pernah dibantah oleh Penggugat maupun semua saksi dalam persidangan. Juga praktik jual putta atau sanra putta lazim terjadi di masyarakat bugis sejak dulu, dan menjadi hukum yang hidup.

3. Majelis hakim dinilai kurang cermat dalam pertimbangan hukumnya karena tidak memerintahkan Penggugat atau para Tergugat untuk memanggil SN menjadi saksi dalam persidangan. Pada hal baik dari Penggugat maupun para Tergugat

serta semua saksi mengakui bahwa, SN yang mengalihkan penguasaan tanah persawahan yang menjadi objek sengketa kepada para Tergugat. Dengan demikian, SN patut menjadi saksi kunci yang keterangannya sangat diperlukan, termasuk diperlukan untuk mengkonfrontasi pengakuan Penggugat dan para Tergugat serta keterangan semua saksi. Kedudukan SN pada kasus ini berbeda dengan saksi-saksi yang diajukan Penggugat maupun para Tergugat yang hanya mengetahui saja, tetapi tidak mengalami peristiwanya sebagaimana yang dialami dan diketahui oleh SN.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologisi). Cet. I. Jakarta: Pen: Chandra Pratama.

Emirzon, Joni. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase). Cet. I. Jakarta: Pen: Gramedia Pustaka Utama.

Mertokudumo, Sudikno. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. I. Yogyakarta: Pen: Liberty.

_________________. 1996. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Cet. I. Yogyakarta: Pen: Liberty.

Meliala, S. Djaja. 2008. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan. Cet. II. Bandung: Pen: Nuansa Aulia.

Nuzul, A. 2009. Pembentukan Hukum Kewarisan

jurnal agustus 2012-arnis.indd 187 7/27/2012 3:11:29 PM

188 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

Nasional Berdasarkan Sistem Bilateral (Relevansi Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut KUHpdt, Menurut Hukum Islam, dan Menurut Hukum Adat), Disestasi, FH. UGM, Yogyakarta.

Subekti, R. 1980. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. XV. Jakarta: Pen: Intermasa.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Cet. XXVIII. Jakarta: Pen: PT. Pradnya Paramita.

Soesilo, R. 1980. RIB/HIR, Dengan Penjelasannya, Bandung: Pen: Karya Nusantara.

Undang-Undang/Putusan

Keputusan Bersama (SKB) antara Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/2009 Dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP pada Pengadilan Kelas 1 B Watampone.

Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, beserta Penjelasannya.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pustaka Online:

Gadai Tanah Adat Selalu Dapat Ditebus: Kasus Harta Pusaka Tinggi Minangkabau -Onta Berkokok- http://asaad36.blogspot.com/2010/10/gadai-tanah-adat-selalu-

dapat-ditebus.html (Diakses, 29 Juni 2012).

Jaminan Kepastian Dan Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Gadai Tanah Menurut Hukum Adat (Dimuat oleh Admin PN.Bjb/ 21-07-2009: ttp://www.pn-banjarbaru.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=13 (Diakses 2 9 Juni 2012).

Pengertian Gadai Tanah Menurut Hukum Adat dan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria.

Diposkan oleh Ray Pratama Siadari (owner Sekolah TInggi Ilmu Hukum Pratama) di 02:55: http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-gadai-tanah-menurut-hukum.html. (Diakses, Ahad, 12 Februari 2012).

Yuliana, Andi 5 Juli 2008 “Konflik dan Penyelesaian Dalam Perjanjian Gadai Tanah pada Masyarakat Adat Bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng”,PustakaNet.Wordpress.Com, (Diakses, Ahad, 29 April 2012).

jurnal agustus 2012-arnis.indd 188 7/27/2012 3:11:29 PM

188 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 189

ABSTRAK

Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa ini perkembangannya sudah sangat sistemik dengan tidak hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tetapi juga telah merampas hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas. Salah satu upaya pemberantasannya adalah dengan menetapkan ajaran “sifat melawan hukum material” dalam fungsinya yang positif ke dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayangnya, kaidah hukum tersebut oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang “kepastian hukum yang adil” sebagai salah satu prinsip negara hukum. Padahal dalam rangka pemberantasan korupsi, penerapan kaidah hukum dimaksud dapat dibenarkan sekaligus juga efektif. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dalam putusan No. 1247/Pid/ B/2009/PN.Bdg yang dibahas dalam artikel ini seharusnya juga menerapkan kaidah hukum tersebut, karena terdakwa tidak memenuhi kewajiban hukum yang harus dilakukan sehingga secara nyata telah

WANPRESTASI SEBAgAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINyA KEWAJIBAN HUKUM yANg MENIMBULKAN

KERUgIAN KEUANgAN NEgARA

widiada GunakayaSekolah Tinggi Hukum Bandung, Jl. Cihampelas No. 8 Bandung 40116

Email: [email protected]

Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg

BREAcH OF cONTRAcT AS THE QUALIFIcATION OF NON-cOMPLIANcE TO LEgAL OBLIgATION THAT cAUSES STATE

FINANcIAL LOSS

Diterima tgl 4 Juli 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012

An Analysis on Decision Number 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg

menimbulkan kerugian keuangan negara. Hakim mempertimbangkan perbuatan terdakwa itu sebagai ingkar janji (wanprestasi) sehingga tidak dapat dituntut menurut hukum pidana.

Kata kunci: korupsi, sifat melawan hukum pidana, wanprestasi, kerugian keuangan negara.

abstract

There has been a tendency in the increase of systemic corruption in Indonesia resulting a great loss of state budget and national economy. Corruption has also caused the massive deterioration of people’s socio-economic basic rights. One of attempted efforts to get rid of corruption is to install the doctrine of “the nature of criminal offence” in material sense with positive function in Law No. 31 Year 1999 juncto Law No. 20 Year 2001 on Corruption Eradication, but this legal formulation has been dismantled by the Constitutional Court by saying (stating) it is contradictory with Article 28D paragraph (1) of the 1945 Constitution regarding “the just legal certainty” as one of the principles of the rule of law. The doctrine can be regarded as a legalized and effective instrument in combating corruption. In the court decision No. 1247/Pid/

jurnal agustus 2012-arnis.indd 189 7/27/2012 3:11:30 PM

190 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

PENDAHULUANI.

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi di Indonesia, dapat dinobatkan sebagai “biang kemudaratan”, yang dapat meluluhlantakkan hampir semua bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, hukum (mafia hukum/peradilan), sosial, budaya, kesehatan, pertanian, dan hankam, bahkan kehidupan beragama yang selama ini dianggap sebuah zona sakral dan sarat dengan nuansa moral dan agamis, ternyata bersarang pula perilaku “amoral”. Dampaknya, sangat besar dan meluas, mulai dari kerugian yang diderita oleh negara sampai pada fenomena meluasnya kemiskinan secara struktural di dalam masyarakat. Akibatnya, korupsi melahirkan berbagai tragedi alami, kemasyarakatan dan juga kemanusiaan.

Berbagai upaya pemberantasan yang diharapkan mampu memberantas tuntas akar korupsi, baik yang dilakukan melalui penciptaan piranti hukum maupun dengan aplikasi hukum in concreto, ternyata hasilnya terjadi aplikasi hukum “tebang-pilih” (discriminative justice). De facto, terjadi penegakan hukum diskriminatif dan kontra produktivitas. Tidak heran jika banyak kasus

B/2009/PN.Bdg analyzed in this article, it was worth if judges used such a doctrine because the accused had been proved to result state financial loss. However, judges considered that the accused’s failure to fulfill his legal obligation as merely the breach of contract that could not meet the elements of any criminal action.

Keywords: corruption, nature of criminal offence, breach of contract, state financial loss.

tidak di “mejahijaukan”, dengan dalih belum terkumpulnya atau tidak terpenuhinya cukup bukti. Padahal jika dicermati, di balik semua itu terdapat kekuatan politik yang maha dahsyat yang dapat melibas semua kekuatan hukum. Jika toch ada yang dimejahijaukan, itu pun sekadar rekayasa agar partai berkuasa terkesan bersih. Namun dampaknya sama sekali tidak diperhitungkan, karena orang yang dikorbankan untuk menjadi terdakwa justru semakin keras dan lantang “bernyanyi” mengumandangkan “lagu korupsi” yang banyak dilakukan oleh kader-kader partainya atau oleh rekan sekerjanya di pemerintah maupun di lembaga legislatif. Bila terdakwa sampai dipidana, diberikan berbagai legalisasi alasan oleh penguasa supaya yang bersangkutan tidak sampai menjalankan pidananya atau diberikan grasi. Belakangan ini dengan banyak terjadinya kasus suap yang melanda aparat penegak hukum, menandakan sistem yudisial pidana kita telah pula terindikasi koruptif. Satu-satunya harapan yang masih tersisa di negeri ini adalah KPK, namun dengan telah terjadinya intervensi terhadap lembaga super body ini, masih bisa dan kuatkah KPK menghadapi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi?

Meluasnya fenomena korupsi di Indonesia, bila dicermati, sesungguhnya lebih banyak berbentuk penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan politik maupun ekonomi oleh upper power class dan upper economic class. Dengan mempelajari “kelemahan” hukum, mereka melakukan konspirasi untuk tujuan kepentingan ekonomi tertentu yang pada akhirnya menimbulkan korupsi. Kasus BLBI dan Bank Century misalnya, dengan profesionalitas yang dimiliki oleh pelakunya, perbuatan koruptif yang terjadi sangat sulit dideteksi oleh aparat hukum,

jurnal agustus 2012-arnis.indd 190 7/27/2012 3:11:30 PM

190 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 191

sehingga kejahatan tersebut sering dikatakan offences beyond the reach of the law.

Penguasaan sumber daya politik yang melekat pada posisi jabatan strategis tertentu dalam ruang lingkup kekuasaan kelembagaan negara, merupakan potensi besar untuk mengalokasikan sumber dan fasilitas ekonomi, sesuai dengan kepentingan bisnis pihak penjalin hubungan patronase dengan pemegang kekuasaan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan seperti ini semakin menjadi, karena terjadi ketidakefektivitasan pengawasan oleh lembaga-lembaga pengawasan resmi, maupun oleh pranata-pranata demokrasi yang bergerak terbatas karena dikendalikan negara. Akibatnya, ruang gerak korupsi menjadi semakin meluas dan “menggila”. Hal ini diperparah lagi dengan adanya gejala kolusi dan nepotisme yang semakin ‘sistemik’ antara pebisnis dengan pemegang kebijakan dan penentu operasional di bidang pengelolaan keuangan negara.

Pada tataran praksis dalam peradilan pidana, mengenai masalah “keuangan negara” kerap kali menimbulkan kebingungan bagi aparat pidana. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak hukum positif yang mengatur “keuangan negara”, dan secara horizontal menimbulkan disharmonisasi hukum, karena masing-masing hukum positif tersebut bertentangan satu dengan yang lain. Di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) tidak satupun kaidah hukumnya mengatur masalah “keuangan negara”. Padahal salah satu kepentingan hukum yang harus dilindungi sehingga dijadikan bestandelen delict dalam UU ini adalah “merugikan keuangan negara”. Maknawi dari “keuangan negara” hanya ditempatkan dalam Penjelasan Umum dari UU dimaksud. Pertanyaannya, “apakah Penjelasan

Umum dari UU Anti Korupsi tersebut merupakan kaidah hukum, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menetapkan perbuatan terdakwa sebagai perbuatan yang merugikan “keuangan negara”? UU yang secara khusus mengatur “keuangan negara” adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU lainnya yang juga dalam kaidah hukumnya ikut mengatur tentang “keuangan negara” adalah UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelola dan Tanggungjawab Keuangan Negara.

Korupsi juga terjadi di berbagai pemerintah daerah di Indonesia, baik yang dilakukan oleh pejabat legislatif, eksekutif, yudikatif, dan konglomerasi. Melalui konspirasi politik antara Kepala Daerah dan DPRD yang di”balut” dengan kebijakan legislasi daerah, para pejabat ini sepakat untuk menetapkan suatu anggaran dengan alasan pembangunan daerah atau kesejahteraan rakyat atau kesehatan anggota DPRD atau dengan alasan yang dibuat serasional mungkin, padahal tujuannya adalah untuk memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi. Dana yang sengaja anggarannya ditetapkan di dalam APBD itu bahkan digelembungkan sehingga menimbulkan kerugian negara (daerah) yang sangat besar, karena harus dibayarkan setiap bulan. Anggaran yang sengaja digelembungkan itu pada akhirnya dibagi-bagi dan masuk ke kantong masing-masing pejabat. Dengan demikian, legalitas APBD hanya dijadikan sarana di dalam upaya memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Tegasnya, korupsi dilakukan dengan cara berlindung di

jurnal agustus 2012-arnis.indd 191 7/27/2012 3:11:30 PM

192 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

balik legalitas produk legislasi daerah.

Pada akhirnya, prognosis korupsi sudah semakin meluas bahkan hampir menjurus pada “pembusukan” bangsa, sehingga ada yang memeberi predikat sebagai extra ordinary crime. Memang, situasi korupsi di Indonesia pada saat ini, sudah tidak bisa lagi dikategorikan sebagai situasi normal, melainkan sudah melebihi ambang batas toleransi (“abnormal”). Itulah sebabnya, dalam rangka pelaksanaan kebijakan (politik) kriminal dengan menggunakan sarana penal, pembentuk UU telah melakukan perubahan kebijakan (politik) hukum pidana, dari yang “normal” (biasa) menuju kepada yang luar biasa atau secara extra ordinary measures untuk memberantas korupsi. Perubahan kebijakan legislasi dimaksud ditempuh dengan menetapkan ajaran sifat melawan hukum (SMH) materiil, bahkan dalam fungsinya yang positif dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana korupsi, yaitu:

“… meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.

Premis mayor di atas sama sekali tidak dideduksikan dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. yang menyatakan, bahwa dengan tidak dipenuhinya kewajiban hukum dalam isi perjanjian oleh terdakwa, maka prosedur yang harus ditempuh adalah melalui penagihan kepada terdakwa agar sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, dan perbuatan terdakwa tersebut dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan wanprestasi. Dengan demikian, kerugian yang

timbul sebagai akibat adanya wanprestasi adalah bukan perbuatan melawan hukum menurut hukum pidana. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan majelis hakim berpendapat, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa IS, sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair, telah terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana melainkan termasuk ruang lingkup hukum perdata.

Apakah yang menjadi rasionalisasi pertimbangan dan putusan hakim seperti demikian, di bawah ini terlebih dahulu dideskripsikan secara singkat kronologis perkara tindak pidana korupsi yang diperiksa dan diadili kemudian diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA No. 1247/Pid/B/ 2009/ PN.Bdg. sebagaimana dipaparkan dalam kasus posisi berikut ini.

B. Kasus Posisi

Pada tanggal 3 Desember 2004, Terdakwa IS selaku Direktur CV. UM dan PW yang menjabat Kepala Bagian di salah satu dinas Kota Bandung diangkat berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Bandung No. 821/Kep.849-Peg/2004 tanggal 24 Nopember 2004 (dilakukan penuntutan terhadap masing-masing secara terpisah), beserta ED yang menjabat Kasubag di salah satu Pemerintah Kota bandung telah ditetapkan selaku Pimpinan Pelaksanaan Kegiatan berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Bandung No. 821.2/Kep-272-Peg/2004 tanggal 7 April 2004.

Sekitar bulan Desember 2004 sampai dengan bulan Mei 2005, di Kantor Pemerintah Kota Bandung atau di suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kls. IA Bandung terdakwa ”melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

jurnal agustus 2012-arnis.indd 192 7/27/2012 3:11:30 PM

192 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 193

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Modus operandi terdakwa melakukan perbuatannya, pada intinya dikemukakan di bawah ini.

Pada tanggal 10 Desember 2004, Terdakwa oleh ED selaku Pimpinan Pelaksana Kegiatan Koordinasi Penyelenggara Perekonomian, berdasarkan SK. No.002/Keg/KPP/XII/2004 telah menetapkan terdakwa berdasarkan penunjukan langsung sebagai pelaksana relokasi dan pengelolaan pedagang kaki lima di tujuh titik di gedung eks Toko Ria di Bandung. Terdakwa ditunjuk sebagai pelaksana relokasi dan pengelolaan pedagang kaki lima di tujuh titik di kota Bandung adalah berdasarkan rekomendasi dari Tim Penilai yang diketuai oleh PW berdasarkan surat No. 003/TIM/PKL/XII/2004 tanggal 3 Desember 2004 dalam rangka pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung dapat berjalan dengan nyaman dan lancar.

Pada tanggal 14 Desember 2004 dibuat surat perjanjian No. 511.23/500-Ek tertanggal 14 Desember 2004 untuk pelaksanaan relokasi dan pengelolaan pedagang kaki lima tujuh titik tersebut, yang ditandatangani bersama oleh ED selaku Ketua Pimpinan Pelaksana Kegiatan Koordinasi Penyelenggara Perekonomian sebagai pihak I mewakili Pemerintah Kota Bandung dan CV. UM sebagai pihak kedua yang diwakili oleh terdakwa IS selaku direktur, serta pihak ketiga FS selaku pemilik gedung eks Toko Ria. Dalam perjanjian tersebut telah diatur hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Setelah ditandatanganinya surat perjanjian dimaksud, terdakwa menerima pembayaran sejumlah Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah) untuk pembayaran sewa gedung

eks Toko Ria yang diterima FS selaku pemilik gedung eks Toko Ria. Perjanjian sebagaimana dimaksud di antaranya menyebutkan bahwa terdakwa berkewajiban mengembalikan dana talangan sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah) dalam 2 (dua) tahap, yaitu pada bulan April sebesar Rp.1.250.000.000,- (satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) dan pada bulan September sebesar Rp.1.250.000.000,- (satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah). Sedangkan jangka waktu perjanjian sewa menyewanya adalah selama 5 (lima) bulan terhitung mulai 23 Januari 2005 sampai dengan 23 Mei 2005.

Dalam rencana pelaksanaan relokasi dan pengelolaan pedagang kaki lima, semula menargetkan sebanyak 1930 (seribu sembilan ratus tiga puluh) pedagang kali lima (PKL), namun pada kenyataannya terdakwa sebagai pelaksana relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh titik itu, hanya mampu merealisasikan sebanyak 635 (enam ratus tiga puluh lima) PKL saja. Itupun sebagian besar hanya mau mengisi tempat di eks Toko Ria di Jalan OI saja, sedangkan gedung eks Toko Ria di Jalan BS Bandung tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Penyediaan lapak atau kios bagi para PKL ternyata dilakukan oleh terdakwa dengan cara meminjam uang sebesar Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) kepada FS selaku pemilik gedung eks Toko Ria. Untuk kegiatan operasional pengelolaan PKL antara lain untuk gaji, pemeliharaan dan biaya partisi, terdakwa mengajukan permohonan bantuan keuangan kepada Pemerintah Kota Bandung sejumlah Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) namun disetujui oleh Pemerintah Kota Bandung hanya sejumlah Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).

jurnal agustus 2012-arnis.indd 193 7/27/2012 3:11:30 PM

194 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

Pelaksanaan relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh titik di gedung eks Toko Ria, terdakwa dalam pengelolaan gedung beserta fasilitasnya melakukan penarikan uang sewa lapak atau kios yang disewakan kepada para PKL seharga Rp.250.000,- sampai Rp.300.000,- setiap bulannya. Dari hasil sewa lapak tersebut, uang yang berhasil dikumpulkan adalah:

1. Bulan Januari sekitar Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah).

2. Bulan Februari sekitar Rp.60.000.000,-(enam puluh juta rupiah).

3. Bulan Maret sekitar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

4. Bulan selanjutnya sampai dengan relokasi dan pengelolaan PKL tidak berjalan sekitar akhir tahun 2005, dan tidak pernah tercatat serta sama sekali hasilnya tidak pernah dilaporkan ke Pemerintah Kota Bandung.

Sedangkan hasil berupa uang yang diperoleh terdakwa juga tidak pernah dilaporkan kemajuannya, dan tidak pernah disetorkan kepada Pemerintah Kota Bandung, karena digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa sendiri, di antaranya terdakwa memberikan modal usaha catering sebesar Rp.40.000.000,- kepada IC yang dituangkan dalam surat perjanjian kerja sama pada tanggal 1 Februari 2004.

Selain itu, terdapat pula penyalahgunaan pemanfaatan ruang sisa bangunan yang dimanfaatkan terdakwa untuk usaha bilyard sekitar bulan Februari 2005 melalui perjanjian kerjasama antara terdakwa dengan KMW tanggal 28 Februari 2004. Dalam perjanjian tersebut terdakwa berhak atas 45% (empat puluh lima persen) dari laba bersih.

Berdasarkan audit BPK telah terjadi penyimpangan dana dalam pelaksanaan kegiatan relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh titik di gedung eks Toko Ria di Jalan OI dan Jalan BS Bandung. BPK menyatakan, bahwa Pemerintah Kota Bandung menderita kerugian sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung Kerugian Negara.

C. Dasar Hukum Putusan Hakim

Dasar hukum yang digunakan oleh hakim adalah Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipenjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 194 7/27/2012 3:11:30 PM

194 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 195

2. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999:

”Setiap orang yang dengan tujuan mementingkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00. (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

3. Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999:

Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

(Dalam putusan hakim tidak ditegaskan, ketentuan yang mana yang dimaksud dalam pasal ini, apakah ketentuan yang ada dalam huruf a, b, c, atau d atau keseluruhan dari Pasal 1 ayat (1) ini).

4. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP:

”Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:

Ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.

Dalam perkara ini dakwaan JPU disusun dalam bentuk Surat Dakwaan subsidiaritas yang pada intinya sebagai berikut:

Primer

Bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan negara/daerah mengalami kerugian sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung Kerugian Negara.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo

jurnal agustus 2012-arnis.indd 195 7/27/2012 3:11:30 PM

196 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsider

Bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan negara/Daerah mengalami kerugian sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung Kerugian Negara.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Berdasarkan surat dakwaan tersebut di atas, Tim Penasihat Hukum terdakwa telah mengajukan nota keberatan atau eksepsi tertanggal 5 Oktober 2009. Atas keberatan atau eksepsi tersebut di atas, Penuntut Umum telah mengajukan tanggapannya tertanggal 19 Oktober 2009.

Majelis Hakim atas eksepsi Tim Penasihat Hukum terdakwa telah menjatuhkan putusan sela terhadap perkara No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. tertanggal 19 Oktober 2009 yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

1. Menolak keberatan/eksepsi Tim Penasihat

Hukum terdakwa IS untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Surat Dakwaan JPU No. Reg.PDS: 02/Bdg/07/2009 tanggal 9 September 2009 sah menurut hukum;

3. Memerintahkan pemeriksaan perkara pidana No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. atas nama trdakwa IS untuk dilanjutkan;

4. Menangguhkan biaya perkara hingga putusan akhir.

Sedangkan Nota Pembelaan yang diajukan oleh Terdakwa dan Tim Penasihat Hukum Terdakwa adalah:

1. Nota Pembelaan Terdakwa tertanggal 22 Januari 2010:

”Menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga, istri dan anak-anaknya serta organisasi Masyarakat APPKL serta HP2B karena terdakwa tidak bisa menjalankan kewajibannya karena ditahan di Rutan Kebon Waru Bandung.

2. Nota Pembelaan Tim Penasehat Hukum Terdakwa tertanggal 22 Januari 2010 pada pokoknya memohon kepada majelis hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:

a. Menyatakan terdakwa IS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud di dalam dakwaan primer dan subsidair.

b. Membebaskan terdakwa IS dari segala dakwaan sesuai Pasal 191 ayat (1) KUHAP atau setidak-tidaknya melepaskan dari segala tuntutan hukum sesuai dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 196 7/27/2012 3:11:30 PM

196 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 197

c. Memulihkan segala hak terdakwa IS dalam kemampuan dan kedudukan, nama baik serta harkat dan martabat.

d. Membebaskan biaya perkara pada negara.

D. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan

Garis-garis besar pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim untuk mendukung amar putusannya adalah sebagai berikut:

1. Pertimbangan Hukum

Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum bersifat subsidiaritas, maka terlebih dahulu majelis akan mempertimbangkan Dakwaan Primair sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur setiap orang;

a. Unsur melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

b. Unsur dengan turut serta/bersama-sama.

Dalam putusan hakim telah dipertimbangkan pembuktian unsur-unsur tindak pidana di atas, dan pada akhirnya berkesimpulan pada

pertimbangan berikut ini:

a. Menimbang, bahwa berdasarkan p e r t i m b a n g a n - p e r t i m b a n g a n tersebut di atas majelis berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa IS, sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair, telah terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana melainkan termasuk ruang lingkup hukum perdata;

b. Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan primer tersebut bukan merupakan tindak pidana maka terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Dengan demikian, dakwaan subsider tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.

c. Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum, maka nama baik terdakwa harus diberikan rehabilitasi dengan memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

d. Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim terjadi perbedaaan pendapat (dissenting opinion) yang diajukan oleh salah satu hakim yakni Hj. Nur Aslam Bustaman, S.H, M.H., yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatannya yang dikualifikasikan memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi serta patut dijatuhi pidana yang setimpal

jurnal agustus 2012-arnis.indd 197 7/27/2012 3:11:30 PM

198 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

demi mempertanggungjawabkan perbuatannya.

e. Menimbang, bahwa walaupun terjadi perbedaaan pendapat (dissenting opinion) dalam musyawarah majelis hakim, pada akhirnya melalui musyawarah dan mufakat majelis hakim menyetujui amar putusan sebagaimana tersebut di bawah ini.

2. Amar Putusan:

a. Menyatakan terdakwa IS terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud di dalam dakwaan primer dan subsider akan tetapi bukan merupakan perbuatan pidana.

b. Menyatakan terdakwa IS dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

c. Menyatakan memulihkan terdakwa dalam kemampuan dan kedudukan, nama baik serta harkat dan martabat.

d. Memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari Rumah Tahanan Negara.

e. Menetapkan barang bukti berupa “barang-barang bukti yang tercantum dalam tuntutan pidana dari Penuntut Umum” (barang bukti 1 s/d 85 terlampir dalam putusan hakim) dipergunakan dalam perkara lain.

f. Membebankan biaya perkara kepada negara.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan amar putusan hakim di

atas, yang pada pokoknya menyatakan, bahwa terdakwa IS terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud di dalam dakwaan primer dan subsidair akan tetapi bukan merupakan perbuatan pidana, sehingga terdakwa IS dilepaskan dari segala tuntutan hukum, maka pokok permasalannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

Apakah terdakwa dalam melakukan perbuatannya terdapat unsur ”melawan hukum” dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Bersesuaian dengan pokok permasalahan yang diteliti dalam tulisan ini, maka studi pustaka yang dielaborasi adalah hukum pidana materiil. Hukum inilah yang diaplikasikan sebagai landasan normatif oleh Majelis Hakim untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa. Hukum pidana materiil oleh Sudarto dimaknawikan sebagai berikut:

“Hukum pidana memuat dua hal, ialah syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidana. Apabila hal yang pertama itu diperinci lebih lanjut, maka dapat dikatakan bahwa dalam hukum pidana ada tiga pokok persoalan:

1. tentang perbuatan yang dilarang,2. tentang orang yang melanggar

larangan itu,3. tentang pidana yang diancamkan

kepada si pelanggar itu”.

(Sudarto, 1981: 158).

jurnal agustus 2012-arnis.indd 198 7/27/2012 3:11:30 PM

198 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 199

Ekstensi hukum pidana materiil yang dikemukakan Sudarto tersebut yang dikaji hanya menyangkut ketiga hal yang telah disebutkan di atas tadi. Ekstensi dari hukum pidana demikian itu, sesuai dengan pendapat Barda Nawawi Arief, sebagai berikut:

“Dilihat dari sudut dogmatis-normatif, memang materi/substansi atau masalah pokok dari hukum pidana (maksudnya hukum pidana materiil) terletak pada masalah mengenai:

1. Perbuatan apa yang sepatutnya dipidana;

2. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk mempersalahkan atau mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu;

3. Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang itu.

Ketiga materi/masalah pokok itu biasa disebut dengan istilah: 1. masalah ”tindak pidana”; 2. masalah ”kesalahan”; dan 3. masalah ”pidana”.

(Barda Nawawi Arief, 1998: 16).

Sehubungan dengan masalah-masalah (unsur-unsur) pokok yang bersifat substansial dari hukum pidana materiil (ius poenale) sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya yang perlu diferifikasi adalah: ’apakah di dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. unsur yang menyangkut tentang: perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yang berkaitan erat dengan sifat melawan hukum (SMH), sudah diaplikasikan dengan benar menurut sistem hukum pidana Indonesia, mengingat di dalam putusan tersebut perbuatan terdakwa dinyatakan terbukti, tetapi bukan merupakan perbuatan pidana, sehingga

terdakwa diputus lepas.

Secara teoritikal, ketiga permasalahan pokok dari Hukum Pidana Materiil dimaksud dapat dibuatkan rumusnya sebagai berikut: Pidana (P) = tindak pidana (TP) + pertanggungjawaban pidana. Terkait dengan TP, ”suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai TP jika perbuatan tersebut berrsifat melawan hukum, dan suatu perbuatan tidak lagi merupakan TP jika terdapat alasan pembenar”. Terkait dengan PJP, ”seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya jika dalam diri orang itu terdapat kesalahan, dan seseorang tidak lagi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika terdapat alasan pemaaf”. Dengan demikian, TP terkait dengan SMH dan alasan pembenar. Sedangkan PJP terkait dengan kesalahan dan alasan pemaaf (fait d’ excuse).

Kedua alasan tersebut dapat dijadikan dasar atau alasan untuk menghapuskan atau meniadakan pidana, yang dikenal dengan istilah strafuitslutingsgronden. Oleh karena itu dikatakan, bahwa:

“… alasan pembenar dan alasan pemaaf cocok dengan pemisahan antara sifat melawan hukum dan kesalahan sebagai unsur yang dianggap harus ada dalam tiap-tiap perbuatan pidana. Apabila dalam suatu keadaan tertentu satu unsurnya hilang, maka sifat dapat dipidananya perbuatan itu juga hilang. Penghapusan pidana adalah akibat penghapusan sifat melawan hukum dan/atau penghapusan kesalahan”.(Schaffmeister et.al., 2007: 143).

Alasan pembenar yang merupakan alasan penghapus perbuatan yang ber-SMH, dan alasan pemaaf sebagai penghapus K. Di dalam

jurnal agustus 2012-arnis.indd 199 7/27/2012 3:11:31 PM

200 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

aplikasinya, meminjam istilah Roeslan Saleh, dalam bukunya Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, pembuktiannya harus dilakukan sendiri-sendiri. Istilah Moeljatno dalam bukunya ”Azas-azas Hukum Pidana” tidak boleh ”dicampuradukan”.

Moeljatno mengatakan: “... yang penting dalam hukum pidana bukan

saja hal memidana si terdakwa, akan tetapi sebelum sampai kepada itu terlebih dahulu harus ditetapkan, apakah terdakwa benar melakukan perbuatan pidana atau tidak. Dan aspek atau segi dari hukum pidana itu, yaitu menentukan apakah perbuatan seseorang merupakan perbuatan pidana atau bukan, dan kemudian menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan (dipersalahkan) karena perbuatan tersebut atau tidak, hal ini jangan dicampuradukkan; sebab masing-masing ini sifatnya berlainan. Adanya perbuatan pidana didasarkan atas asas: Tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan sebagai demikian oleh suatu ketentuan UU; dalam bahasa Latin: Nullum delictum, nula poena sine praevia lege. Sedangkan pertanggungjawaban dalam hukum pidana berdasarkan atas asas: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Yang pertama untuk sebagian besar adanya dalam alam lahir (alam Sein) sedangkan yang kedua sesudah ada perbuatan pidana, adanya dalam batin, alam Sollen” (Kursif, Pen.).(Moeljatno, 1983: 9-10)

Pada bagian lain lebih ditegaskan: “... untuk pertanggungjawaban pidana tidak

cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu

harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis: “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (Geen straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe)”. (Moeljatno, 1983: 57).

Sudarto juga, mengatakan: “Dipidananya seseorang tidaklah cukup

apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam UU dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”. (Kursif, Pen.). (Sudarto, 1987/1988: 85).

Hal selanjutnya yang perlu dideskripsikan secara teoritikal terkait dengan pokok permasalahan yang pertama dari penelitian ini adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum (SMH).

Di dalam kepustakaan hukum pidana, SMH merupakan salah satu pengertian dasar yang harus dicermati baik oleh para akademisi maupun oleh para praktisi hukum, terutama dan yang utama oleh pembentuk UU. Pembentuk UU harus benar-benar mengerti makna dan hakikat dari melawan hukum, mengingat perbuatan

jurnal agustus 2012-arnis.indd 200 7/27/2012 3:11:31 PM

200 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 201

yang nantinya diformulasikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) akan ditetapkan sebagai suatu TP, karena, wujud dari TP sesungguhnya adalah PMH.

Oleh karena itu, sangat perlu dipahami dan disadari, ‘bagaimana mewujudkan suatu perbuatan yang dikualifikasikan sebagai PMH’? Apakah perbuatan dimaksud harus bersifat anti sosial karena dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial, dan akan dipandang merugikan masyarakat (negara), atau karena perbuatan itu dirasakan dan dinilai tidak adil, bersifat amoral, dan adharma karena bertentangan dengan ajaran-ajaran agama, sehingga siapapun melakukan perbuatan-perbuatan demikian akan mendapat celaan dari masyarakat. Jadi intinya, suatu perbuatan adalah SMH jika perbuatan tersebut haruslah tercela.

Pembicaraan di atas, sesungguhnya sudah memasuki ranah disiplin ilmu di luar hukum pidana, yakni kriminologi. Ilmu inilah yang sangat “concern” mengkaji masalah perbuatan-perbuatan yang mempunyai sifat “negatif” seperti dikatakan di atas, yang pada hakikatnya tidak pantas dilakukan, karena secara kriminologis perbuatan-perbuatan seperti itu sesungguhnya merupakan suatu kejahatan. Sedangkan hukum pidana, secara yuridikal tugasnya hanyalah sekadar memberi “bingkai” hukum terhadap perbuatan-perbuatan demikian, sehingga disebut TP dan mengancamnya dengan sanksi berupa pidana tertentu bagi “barangsiapa” atau “setiap orang” yang melakukan perbuatan tersebut.

Apakah sesungguhnya dimaksud dengan “melawan hukum” “wederrechtelijk”? Di dalam kepustakaan hukum pidana, istilah ini oleh para ahli hukum pidana telah diberi arti berbeda-beda, sehingga van Hamel telah membuat dua macam

kelompok pendapat. Kelompok pertama adalah paham positif, seperti pendapat Simon yang mengartikan “wederrechtelijk” sebagai ”in strijd met het recht” (bertentangan dengan hukum). Noyon mengatakan sebagai “met krenking van eens anders recht” (dengan melanggar hak orang lain). Kelompok kedua adalah paham negatif, seperti pendapat Hoge Raad yang mengartikan “wederrechtelijk” itu sebagai “niet steunend op het recht” (tidak berdasarkan hukum), atau sebagai “zonder bevoegheid” (tanpa hak).

Menurut van Hamel: “Sebenarnya terdapat cukup alasan hanya

memberikan satu pengertian pada perkataan “wederrechtelijk” yang dapat berlaku umum dalam KUHP, kecuali pengertian yang ada di dalam Pasal 522 KUHP, oleh karena perkataan “wederrechtelijk” dalam pasal tersebut hanya mempunyai arti sebagai “zonder geldige reden” (tanpa alasan yang sah). Jadi, penggunaan kata “wederrechtelijk” itu sudah tepat dan mempunyai arti positif, bahkan lebih baik daripada penggunaan kata “onrechtmatig”, karena perkataan tersebut hanya cocok digunakan sebagai “epiTahuneton” atau kata keterangan bagi tindakan-tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman, di samping ditujukan untuk mengancam atau menyerang kepentingan-kepentingan hukum, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Oleh karena itu, penggunaan istilah “wederrechtelijk” telah mempunyai dasar yang kuat, baik menurut tata bahasa maupun secara logis. Selanjutnya, memang benar terhadap beberapa kejahatan tertentu, tindakan seseorang itu bersifat ”in strijd met het recht” (bertentangan dengan hukum)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 201 7/27/2012 3:11:31 PM

202 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

yang mempunyai arti yang sama dengan “met krenking van eens anders recht” (dengan melanggar hak orang lain), akan tetapi tidak ada alasan untuk mengartikan “wederrechtelijk” sedemikian sempit”.

Simon menolak pendapat van Hamel yang mengatakan “wederrechtelijk” itu mempunyai arti positif. Sebagai alasan, dikemukakan istilah “wederrechtelijk” dalam Pasal 378 KUHP yang bermakna berbeda-beda, dan akan memberikan hasil yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, istilah “wederrechtelijk” tidak hanya berarti “bertentangan dengan hukum’ saja, tetapi juga “bertentangan dengan hak seseorang”.

Sedangkan Pompe mengatakan: “Adalah sulit untuk memberikan jawaban atas

pertanyaan apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “wederrechtelijk”, karena masih terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu. Misalnya, kapan “wederrechtelijk” itu diartikan sebagai “bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum”, dan apakah perkataan “recht” itu sendiri harus diartikan sebagai “gesgreven recht” (hukum tertulis) saja, ataukah termasuk juga dalam “ongesgreven recht”. “Wederrechtelijk” itu berarti “bertentangan dengan hukum” yang mempunyai pengertian lebih luas dari pada sekedar “bertentangan dengan UU”. Termasuk juga ke dalam pengertiannya, bukan hanya peraturan-peraturan menurut UU melainkan juga peraturan-peraturan yang tidak tertulis”.

Demikian pula menurut van Hattum: “Ditinjau dari sejarah pembentukan UU

tidak diperoleh petunjuk lain, bahwa pengetian “wederrechtelijk” itu harus

dibatasi hanya sebagai “in strijd met het gesgreven recht” atau “bertentangan dengan hukum yang tertulis” saja. Misalnya arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara perdata antara Lindenbaum dan Cohen, telah merumuskan pengertian “onrechtmatig” yang diatur dalam Pasal 1365 BW dengan rumusan yang baru sama sekali, yaitu bahwa “onrecht” itu tidak lagi hanya berarti “wat in breuik maakt op eens anders recht of in strijd is met des daders rechsplicht” (apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku), melainkan juga “wat indruist betzij tegen de goede zeden, betzij tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt t.a.v. eens anders persoon of goed” (apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat, yakni yang berkenaan dengan perhatian yang harus diberikan kepada orang lain ataupun kepada harta benda orang lain)”.(Disarikan dari Lamintang, 1984: 333-337)

Sehubungan hal di atas, menurut Munir Fuady (2002: 6), sejak tahun 1912 di negeri Belanda, demikian juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum (maksudnya dalam pengertian hukum perdata, pen.) telah diartikan secara luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut:

1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.

3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 202 7/27/2012 3:11:31 PM

202 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 203

4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.

Jadi secara singkat dapat dikatakan, pengertian “onrechmatig” itu bukan hanya meliputi apa saja yang bertentangan dengan UU, melainkan juga bertentangan dengan ‘kesusilaan’ atau ‘kepatutan yang baik’ (de goede zeden of betamelijkheid). Ini berarti pengertian “wederrechtelijk”, menurut Pompe dan van Hattum harus pula meliputi pengertian terakhir ini. Ini berarti pula, dalam perkembangan pengertian “melawan hukum” sudah menyatu antara pengertian “melawan hukum” dalam arti “wederrechtelijk” dalam hukum pidana, maupun dalam arti “onrechmatig” dalam hukum perdata. Namun hal ini tidak menjadi persoalan, karena sesungguhnya kedua istilah tersebut walaupun memiliki nama berbeda, akan tetapi memiliki satu makna. Heijder mengatakan kedua istilah itu tidak menyebabkan perbedaan arti, baik menurut sejarah perundang-undangan maupun secara sistematis (Sapardjaja, 2002: 90).

Menurut van Bemmelen, (disitasi dari Lamintang, 1984: 337), mengatakan: “rumusan Hoge Raad mengenai

“onrechmatigheid” bukan hanya penting untuk hukum perdata saja, melainkan juga untuk hukum pidana, yakni untuk menentukan pengertian perkataan “wederrechtelik”. Dikatakan juga (Sapardjaja, 2002: 33) “Tidak ada bedanya arti melawan hukum perdata, seperti termuat dalam Pasal 1401 BW (1365 KUH Perdata). Perkembangan dalam bidang hukum perdata sangat besar pengaruhnya bagi hukum pidana”.

Ditinjau dari sejarah pembentukan BW.

Pada tahun 1824 pada mulanya memang digunakan istilah “wederrechtelijk” dalam redaksi Pasal 1401, namun karena di negeri Belanda terus terjadi perdebatan yang berkepanjangan mengenai pengertian “wederrechtelijk” dan pada saat dibahasnya perumusan pasal tadi perbedaan pendapat belum juga berakhir, maka akhirnya digunakanlah istilah “onrechmatig”.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat kiranya diidentifikasi, bahwa pengertian perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) berkisar pada pengertian:

1. Bertentangan dengan UU (instrijd met de wet).

2. Tidak berdasarkan hak (niet steunend op het recht).

3. Tanpa hak (zonder bevoegheid).

4. Tanpa alasan yang sah (zonder geldige reden).

5. Melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht).

6. Bertentangan dengan hukum (instrijd met het recht).

7. Bertentangan dengan hukum/ peraturan-peraturan tidak tertulis (ongesgreven recht) dalam hal ini bertentangan dengan:

1. kesusilaan atau

2. kepatutan yang baik (de goede zeden of betamelijkheid).

Di dalam Konsep KUHP “Baru” (R-KUHP 2005) secara eksplisit tidak memberikan pengertian terhadap istilah “melawan hukum”. Namun demikian, untuk menyatakan suatu

jurnal agustus 2012-arnis.indd 203 7/27/2012 3:11:31 PM

204 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

perbuatan TP, selain dikatakan perbuatan tersebut dilarang dan diancam oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat (vide Pasal 11 ayat (2) R-KUHP 2007). Jadi, untuk menyatakan suatu perbuatan adalah TP digunakan istilah “melawan hukum” atau istilah “bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat”. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan yang “bertentangan dengan hukum” adalah “perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan”. Perlu diketahui, digunakannya istilah “bertentangan dengan hukum” oleh Tim penyusun rancangan KUHP, adalah selain mengikuti pendapat dari Moeljatno, dan Sudarto, juga dari Roeslan Saleh yang menyatakan: “saya lebih condong pada pendapat bahwa bersifat melawan hukum harus diartikan bertentangan dengan hukum”.

Secara etimologikal SMH di samping maknanya “bertentangan dengan hukum”, juga merupakan unsur mutlak (esensial) dari TP yang berarti “tanpa adanya SMH dari sesuatu perbuatan, maka tidak ada pula TP (perbuatan pidana).

Roeslan Saleh mengatakan: “Perbuatan pidana itu tidak boleh dilakukan,

karena bertentangan dengan atau akan menghambat tercapainya tata pergaulan di dalam masyarakat yang dicita-citakan. Penafsiran seperti ini lebih luas daripada “bertentangan dengan hak subyektif orang lain” ataupun “tanpa hak sendiri”. Penafsiran “bersifat melawan hukum” adalah “bertentangan dengan hukum”, batas lingkungannya atau wilayahnya adalah lebih luas daripada penafsiran-penafsiran yang lain, karena tidak hanya

berpusat pada individu-individu (hak subyektif orang lain dan hak sendiri menunjuk kepada individu) melainkan pada masyarakat yang di dalamnya sudah tercakup individu-individu. Di samping itu, pendapat “bersifat melawan hukum” adalah “bertentangan dengan hukum” ini lebih sesuai dengan sifat dari hukum kita, yaitu tidak individualistis-liberalistis, melainkan lebih bersifat collectivistis”. (Saleh, 1983: 66-67).

Bertitik tolak pada pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa TP pada hakikatnya adalah suatu perbuatan yang selalu ber-SMH, sehingga disebut ‘PMH’. Oleh karena itu, membicarakan ‘PMH’ pada hakikinya membicarakan masalah TP. Jadi, dicantumkannya unsur melawan hukum dalam suatu rumusan delik, pada hakikatnya untuk menyatakan, bahwa perbuatan itu secara yuridis adalah perbuatan yang dapat dipidana.

Persoalannya: ‘apakah suatu perbuatan karena hanya telah mencocoki rumusan delik yang ada di dalam UU, lalu perbuatan itu sudah dapat dinyatakan sebagai TP’? Sesungguhnya, suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai TP, apabila perbuatan tersebut di samping telah memenuhi unsur formal juga telah memenuhi unsur materiil. Dengan perkataan lain perbuatan dimaksud, pertama: harus telah mecocoki rumusan delik yang ditetapkan dalam UU, dan kedua: perbuatan itu oleh masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan tercela.

Jadi, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai: “apakah perbuatan tersebut oleh masyarakat benar-benar dirasakan sebagai suatu perbuatan tercela, sehingga tidak patut dan tidak boleh dilakukan. Jika jawabannya “perbuatan tersebut adalah tidak tercela”, maka sekalipun

jurnal agustus 2012-arnis.indd 204 7/27/2012 3:11:31 PM

204 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 205

perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik yang ditetapkan dalam UU, perbuatan itu bukanlah merupakan TP.

Itulah sebabnya Moeljatno mengatakan:

“Syarat mutlak untuk adanya perbuatan pidana, di samping mencocoki syarat-syarat formil yaitu perumusan UU, juga harus mencocoki syarat-syarat materiil yaitu sifat melawan hukum, bahwa perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan”. (Moeljatno, 1955: 16).

Ini artinya, suatu perbuatan adalah perbuatan pidana, apabila perbuatan itu bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum. Roeslan Saleh (1983: 49) mengatakan:

“Sifat melawan hukum ini adalah unsur mutlak dari perbuatan pidana, yang berarti bahwa tanpa adanya sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, maka tidak pula ada perbuatan pidana”.

Demikian pula Curzon (1979: 10), mengemukakan: “No actus reus, no crime. Proof of actus

reus is essential; if Tahunis is imposible, Tahunen no crime has been commited by Tahune accused person”.

Berdasarkan penjelasan Moeljatno di atas, dikatakan lebih lanjut: “Unsur-unsur “perbuatan pidana”

tidak termasuk di dalamnya unsur pertanggungjawaban pidana yang terkait dengan kesalahan, tetapi terdiri dari unsur-unsur lahir yaitu suatu kejadian dalam alam lahir. Unsur-unsur perbuatan pidana adalah:

1. Kelakuan dan akibat (= perbuatan).2. Hal ikhwal atau keadaan yang

menyertai perbuatan.3. Keadaaan tambahan yang

memberatkan pidana.4. Unsur melawan hukum yang

obyektif.5. Unsur melawan hukum yang

subyektif”.

Khusus mengenai unsur melawan hukum, pada intinya Moeljatno mengatakan:

“Biasanya dengan adanya perbuatan tertentu sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dengan wajar. Sifat yang demikian ini, ialah sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri. Contohnya dalam merumuskan pemberontakan yang menurut Pasal 108 antara lain adalah melawan pemerintah dengan senjata, tidak perlu diadakan unsur tersendiri yaitu kata-kata yang menunjukkan bahwa perbuatan adalah bertentangan dengan hukum. Tanpa ditambah kata-kata lagi perbuatan tersebut sudah pantang dilakukan. Pasal 277 ayat (1) KUHP menentukan, bahwa dengan salah satu perbuatan sengaja membikin gelap asal-usul orang diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut sudah jelas, tidak perlu ditambah apa-apa lagi. Dalam Pasal 285 tentang perkosaan, ditentukan bahwa memaksa seseorang wanita dengan kekerasan untuk bersetubuh di luar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Dari rumusan tersebut telah ternyata sifat

jurnal agustus 2012-arnis.indd 205 7/27/2012 3:11:31 PM

206 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

melawan hukumnya perbuatan. Akan tetapi, ada kalanya kepantangan perbuatan belum cukup jelas dinyatakan dengan adanya unsur-unsur di atas. Perlu ditambah dengan kata-kata tersendiri untuk menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan. Pasal 167 KUHP melarang untuk memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum. Rumusan memaksa masuk ke dalam rumah yang dipakai orang lain itu saja dipandang belum cukup untuk menyatakan kepantangannya perbuatan. Harus ditambah dengan unsur: secara melawan hukum. Begitu pula dalam Pasal 335 KUHP di mana rumusan: memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan cara-cara yang tertentu dianggap belum cukup untuk menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan, sehingga perlu diadakan elemen melawan hukum tersendiri yaitu dengan kata-kata secara melawan hukum, memaksa dan seterusnya. Demikian juga halnya dalam Pasal 406 KUHP”.

Lebih lanjut dikatakan: ”Unsur melawan hukum dalam rumusan

delik yang ternyata pada contoh-contoh di atas, menunjuk kepada keadaan lahir atau obyektif yang menyertai perbuatan. Misalnya dalam Pasal 167, bahwa terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk memaksa masuk, karena bukan pejabat kepolisian atau kejaksaan. Dalam Pasal 335, bahwa terdakwa tidak ada wewenang untuk berbuat begitu, sebab terdakwa tidak utang kepadanya serta tidak melakukan perbuatan apa-apa yang mengakibatkan pemaksaan

dilakukan. Dalam Pasal 406, mengenai menghancurkan atau merusak barang, sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata dari hal bahwa barang bukan miliknya dan tak dapat izin dari pemiliknya untuk berbuat demikian. Di samping itu, ada kalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan obyektif, tetapi pada keadaan subyektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa. Misalnya Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tapi digantungkan pada niat orang yang mengambil barang tadi. Kalau niat hatinya baik, misalnya barang diambil untuk diberikan kepada pemiliknya, maka perbuatan itu tidak dilarang karena bukan pencurian. Sebaliknya kalau niat hatinya itu jelek, yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan tak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian. Sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung dari bagaimana sikap batinnya terdakwa. Jadi merupakan unsur yang subyektif. Dalam teori unsur melawan hukum demikian dinamakan “subjektief Onrechtselemen” yaitu unsur melawan hukum yang subyektif”.

Sebelum menutup uraiannya tentang unsur-unsur atau elemen-elemen perbuatan pidana, Moeljatno kembali menekankan lagi dengan mengatakan sebagai berikut: “Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun

dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira

jurnal agustus 2012-arnis.indd 206 7/27/2012 3:11:31 PM

206 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 207

bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas, perbuatan itu sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tak perlu untuk dinyatakan tersendiri”.

Lebih lanjut ditekankan lagi: “Meskipun perbuatan pidana pada

umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin, yaitu sifat melawan hukum yang subyektif”. Moeljatno (1983: 62-63)

Mengkaji masalah SMH, perlu pula dikemukakan, bahan di dalam pustaka hukum pidana berkembang dua ajaran SMH, yakni ajaran SMH formal dan ajaran SMH materiil. Kedua ajaran dimaksud berturut-turut dideskripsikan di bawah ini.

Ajaran SMH formal pada intinya mengajarkan, bahwa suatu perbuatan adalah TP apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur yang ditetapkan dalam rumusan delik yang disebutkan dalam UU. Singkatnya, melawan hukum berarti bertentangan dengan UU. Bila demikian, maka tidak perlu lagi meyelidiki apakah perbuatan itu melawan hukum atau tidak. Jika ada alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond), maka alasan tersebut harus juga ditetapkan dan disebutkan secara tegas dalam UU.

Simons, sebagai penganut fanatik ajaran SMH formal mengatakan: “Untuk dapat dipidana, suatu perbuatan

harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam UU. Jika sudah demikian, tidak perlu lagi untuk menyelidiki, apakah itu melawan hukum atau tidak”. (Disitasi dari Roeslan Saleh, 1983: 54).

Namun permasalahannya adalah, belum tentu semua perbuatan yang memenuhi semua rumusan delik yang ada di dalam perumusan UU itu ber-SMH. Mengenai masalah ini Simons mengatakan: “Meskipun betul harus diakui bahwa tidak

selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar dalam hukum positif sendiri”.(Disitasi dari Adji, 1984: 47).

Sehubungan dengan pendapatnya tersebut, Simons (disitasi dari Lamintang, 1984: 347) menolak paham materiil dari SMH dikatakan bahwa: “Dunia peradilan kita lebih baik

menganut paham “formiele wederrechtelijkheid” daripada paham “materiele wederrechtelijkheid” yang dapat menggoyahkan asas dasar dari hukum positif kita. Menerima paham “materiele wederrechtelijkheid” itu akan menempatkan putusan dari pembentuk UU yang telah dituangkan di dalam hukum positif menjadi berada di bawah “persoonlijke rechtsovertuiging” atau menjadi berada di bawah keyakinan hukum yang bersifat pribadi dari hakim, oleh karena permasalahan mengenai: tujuan bagaimana yang harus dipandang sebagaimana tujuan yang semestinya, sarana mana yang harus digunakan sebagai sarana yang seharusnya untuk mencapai tujuan tersebut, norma kebudayaan mana yang harus diperhatikan dan sampai di mana kebudayaan itu tersangkut, apakah hal-hal tersebut memang benar telah dianuti oleh pembentuk UU.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 207 7/27/2012 3:11:31 PM

208 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

Semua permasalahan tersebut jawabannya akan menjadi tergantung pada pandangan-pandangan yang bersifat pribadi dari hakim, karena pemberian jawaban yang didasarkan pada peraturan-peraturan yang tidak tertulis itu akan menggoyahkan sama sekali asas-asas dasar dari hukum positif”.

Mengenai ajaran SMH formal ini L.C. Hofman mengatakan: “Melawan hukum menurut pandangan ini

adalah bertentangan dengan UU. Suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan UU, walaupun juga dapat bertentangan dengan moral atau bertentangan dengan sesuatu yang menurut pergaulan masyarakat adalah tidak patut, tidak merupakan perbuatan melawan hukum”. ( D i s i t a s i dari Sapardjaja, 2002: 36).

Sehubungan dengan ajaran ini, perlu kiranya dikemukakan pendapat dari beberapa penulis Belanda, yakni Schaffmeister, Nico Keizer dan E. PH. Sutorius, (1995: 40) dikatakan: “Sifat melawan hukum formal berarti:

telah dipenuhi semua bagian yang tertulis dari rumusan delik (semua syarat tertulis untuk dapat dipidana). Namun demikian, dipenuhinya sifat melawan hukum formal (dipenuhinya rumusan delik) tidak begitu saja dapat disimpulkan dari dipenuhinya bunyi rumusan delik. Kerapkali diperlukan penafsiran terhadap bagian-bagian dari rumusan delik itu dengan mengingat norma sosial atau kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat UU dengan rumusan delik itu. Dengan demikian, penafsiran sifat melawan hukum formal mendekati sifat melawan hukum materiil. Pada delik materiil, pengertian sifat melawan hukum formal dan materiil menyatu”.

Menurut Barda Nawawi Arief (2005: 27), jika yang dilihat/dinilai adalah sumber hukumnya, SMH Formal adalah: “Identik dengan melawan/bertentangan

dengan UU atau kepentingan hukum (perbuatan maupun akibat) yang disebut dalam UU (hukum tertulis atau sumber hukum formal). Jadi “hukum” diartikan sama dengan UU (“wet”). Oleh karena itu, SMH Formal identik dengan “onwetmatige daad”.

Sumber hukum atau dasar hukum yang digunakan untuk menetapkan dasar patut dipidananya suatu perbuatan, adalah UU (sumber hukum tertulis). Ini berarti, ajaran SMH formal sangat terikat dan berorientasi pada asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) yang bertolak dari paham “legisme” dan nilai dasar “kepastian hukum”. Dengan demikian, secara formal suatu perbuatan adalah melawan hukum, bila perbuatan si pelaku telah memenuhi atau mencocoki rumusan delik seperti yang ditetapkan di dalam UU. Oleh karena itu hilangnya SMH dari suatu perbuatan baru ada, jika ditentukan demikian di dalam UU.

Sedangkan ajaran SMH materiil pada intinya mengajarkan, bahwa perbuatan ber-SMH bukan saja bertentangan dengan UU, tetapi juga harus bertentangan dengan asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis. Jadi, ukurannya bukan didasarkan atas ada atau tidak adanya ketentuan dalam suatu perundang-undangan, akan tetapi ditinjau dari nilai yang hidup di dalam masyarakat. Apabila masyarakat menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan tercela, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai PMH. Moeljatno (1955: 18) dengan mensitasi pendapat Vost, sebagai penganut pandangan materiil, memformulasi: “perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang oleh masyarakat

jurnal agustus 2012-arnis.indd 208 7/27/2012 3:11:31 PM

208 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 209

tidak boleh dilakukan”. Lebih lanjut dikatakan: “… ajaran yang materiil berpendapat,

bahwa belum tentu suatu perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu adalah bersifat melawan hukum, sebab perbuatan itu selain mencocoki perumusan delik juga perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan”.

Sedangkan, Komariah Emong Sapardjaja, (2002: 25) berpendapat:

“Di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar UU. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis”.

Sehubungan dengan hal di atas, ternyata dalam kepustakaan hukum pidana terdapat pula perbedaan pendapat dalam memahami konsepsi SMH materiil. Barangkali hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengertian atau pendapat atau pemahaman atau pemikiran seseorang, mengenai apa yang dimaksud dengan SMH materiil itu. Menurut Barda Nawawi Arief di dalam kepustakaan hukum pidana dapat diidentifikasikan atau dikategorisasikan 2 (dua) pandangan mengenai makna materiel dari ajaran sifat melawan hukum (SMH) Materiel, yaitu:

1. Pandangan pertama mengaitkan atau melihat makna “materiel” dari sifat/hakikat perbuatan terlarang dalam UU (perumusan delik tertentu). Jadi yang dilihat/dinilai secara materiel adalah “perbuatan”-nya.

2. Pandangan kedua, mengaitkan atau melihat makna “materiel” dari sudut sumber hukum. Jadi yang dilihat atau yang dinilai secara materiel adalah sumber hukumnya. Menurut pandangan kedua ini, makna atau pengertian SMH Materiel identik dengan melawan atau bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/living law), bertentangan dengan asas-asas kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kehidupan sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat). Jadi singkatnya, “hukum” tidak dimaknai secara formal sebagai “wet”, tetapi dimaknai secara materiel sebagai “recht”. Oleh karena itu sifat melawan hokum materiel identik dengan “onrechtmatige daad”.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief menjelaskan:1. “Kriteria materiel dalam pandangan pertama

identik atau bersinggungan erat dengan pandangan kedua, hanya saja menurut:

a. Pandangan pertama, kriteria materiel itu digunakan:

1. untuk menilai atau memberikan penafsiran materiel terhadap “perbuatan” atau “kepentingan hukum” yang hendak dilindungi oleh UU dalam perumusan delik tertentu; dan

2. untuk menghapuskan/meniadakan sifat melawan hukum formal yang telah ditetapkan dalam UU; Jadi SMH Materiil hanya digunakan dalam fungsinya yang “negatif”, sebagai alasan pembenar.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 209 7/27/2012 3:11:32 PM

210 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

b. Pandangan kedua:

1) kriteria materiel tidak hanya dapat digunakan untuk menilai perbuatan yang telah ditetapkan/dirumuskan sebagai delik dalam UU, tetapi juga terhadap perbuatan tercela lainnya di luar UU (hukum tertulis); dan

2) dimungkinkan SMH Materiel dalam fungsinya yang negatif maupun positif.

Pandangan pertama seperti diidentifikasikan di atas, nampaknya masih dilatarbelakangi oleh keterkaitan atau orientasi pada asas legalitas formal dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang bertolak dari paham”legisme” dan nilai/ide dasar “kepastian hukum”.

Sedangkan pandangan kedua, nampaknya sudah dipengaruhi oleh pandangan asas legalitas materiel atau asas keseimbangan monodualistik (antara kriteria/patokan formal dan materiel, atau antara nilai kepastian hukum dan keadilan/kelenturan), walaupun masih terbagi dalam beberapa pendapat, yaitu:

a. Hanya menganut SMH Materiel terbatas, (yaitu hanya dalam fungsinya yang negatif), karena masih terikat pada asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

b. Menganut SMH Materiel yang luas, baik dalam fungsinya yang negatif maupun yang positif.

c. Menganut SMH Materiel yang luas tetapi terbatas, yaitu dalam fungsinya yang negatif dan positif, tetapi yang positif dibatasi untuk perbuatan-

perbuatan (kasus/kondisi) tertentu. (Barda Nawawi Arief (2004: 27-

28)).

Mengenai ajaran SMH materiil dalam fungsinya yang negatif Moeljatno mengatakan:

“Kiranya perlu ditegaskan, peraturan-peraturan hukum pidana kita sebagian besar telah dimuat dalam KUHP dan lain-lain perundang-undangan, maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil di atas, hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan UU, toh tidak merupakan perbuatan pidana. Biasanya ini dinamakan fungsi yang negatif dari sifat melawan hukum yang materiil”.(Kursif, pen).

Sedangkan mengenai ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, Moeljatno mengatakan sebagai berikut:

“Adapun fungsinya yang positif, yaitu perbuatan tidak dilarang oleh UU, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru, berhubungan dengan adanya asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dalam hukum pidana lalu tidak mungkin. Lain halnya di dalam hukum perdata, dengan adanya Pasal 1365 BW (barang siapa dengan perbuatan melawan hukum menimbulkan kerugian pada orang lain harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh yang menderita kerugian tadi) fungsi positif itu penting juga. Di sini bagaimanapun macamnya perbuatan tidak ditentukan, sehingga tiap-tiap perbuatan melawan hukum termasuk di situ”. Moeljatno (1983: 133). (Kursif, pen.).

jurnal agustus 2012-arnis.indd 210 7/27/2012 3:11:32 PM

210 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 211

B. Analisis

Pada sub B ini yang dianalisis adalah pokok permasalahan: ‘apakah terdakwa dalam melakukan perbuatannya terdapat unsur ”melawan hukum” dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’? Analisis terhadap pokok permasalahan ini sekaligus pula ingin diketahui, apakah putusan hakim telah dapat membuktikan unsur TP secara lengkap? Substansi pembahasannya dipaparkan berikut ini.

Di dalam putusan hakim, pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana semua telah dinyatakan terpenuhi (terbukti). Namun demikian, perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang kebenarannya secara hukum seperti dianotasikan di bawah ini, khususnya mengenai unsur ”setiap orang” dan ”unsur melawan hukum”

1. Unsur setiap orang.

Pertimbangan hakim dalam membuktikan unsur ini adalah sebagai berikut:

a. Menimbang, bahwa yang dimaksud setiap orang menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 adalah perorangan atau termasuk korporasi, dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan unsur setiap orang adalah subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan yang telah dilakukannya”.

Anotasi: Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No.

31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sama sekali tidak memformulasikan tentang pengertian ”SETIAP ORANG”. Akan tetapi, memformulasikan tentang pengertian Korporasi. Sedangkan mengenai pengertian ”SETIAP ORANG”, rumusannya ditetapkan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

b. Menimbang, bahwa berdasarkan hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan lagi sebagaimana datur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP, bahwa terdakwa telah dinyatakan identitasnya pada awal persidangan ia mengaku bernama IS dengan demikian terdakwa terpenuhi sebagai orang perorang (natuurlijke persoon) dan selama proses pemeriksaan atas diri terdakwa ternyata pada dirinya telah ditemukan suatu bukti ketidakcakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum, sehingga terdakwa dianggap sebagai orang yang cakap dan dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum. Maka unsur setiap orang telah terpenuhi atas diri terdakwa; Namun demikian, apakah perbuatan terdakwa dapat dinyatakan bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, maka hal ini perlu dibuktikan dengan unsur-unsur yang lainnya dari dakwaan primair ini. (Kursif pen).

jurnal agustus 2012-arnis.indd 211 7/27/2012 3:11:32 PM

212 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

Anotasi: Pertimbangan hakim di atas, teramat

sangat tidak dapat dimengerti. Di satu sisi dikatakan, “...ternyata pada dirinya telah ditemukan suatu bukti ketidakcakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum,...”. Pertimbangan demikian ini menandaskan, bahwa dalam diri terdakwa telah ditemukan suatu fakta (data) yang benar-benar mengindikasikan adanya ketidakmampuan” terdakwa secara hukum untuk melakukan suatu “perbuatan hukum”. Di dalam hukum pidana, jika hal demikian ini secara sah dan meyakinkan memang benar-benar terbukti, maka terdakwa sudah dapat dimasukkan dalam kualifikasi “tidak bisa dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana” atas perbuatan yang dilakukannya. Ini berarti pula terdakwa tidak dapat dipidana, karena dalam diri terdakwa terdapat alasan penghapus kesalahan (schuld uitslutinggronden) berupa alasan pemaaf. Akan tetapi di satu sisi yang lainnya, dengan dikatakan “..., sehingga terdakwa dianggap sebagai orang yang cakap dan dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum”, berarti terdakwa memang benar-benar mampu dan “cakap hukum” dalam melakukan “perbuatan hukum”. Apabila terdakwa dalam melakukan perbuatan hukum itu, karena sesuatu hal menimbulkan “akibat-akibat hukum”, maka ia dengan sendirinya juga dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum. Hanya dalam ranah hukum pidana, pertanggungjawaban pidananya itu harus dibuktikan kemudian setelah terlebih dahulu membuktikan unsur SMH perbuatan. Pertanggungjawaban pidana dibuktikan adalah dalam rangka menemukan unsur kesalahan dalam diri terdakwa. Jika terdapat unsur kesalahan, maka dengan sendirinya terdakwa dapat dipidana. Apabila unsur kesalahan ini tidak ditemukan, berarti menurut hukum pidana terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipidana.

Kembali pada pokok permasalahan, substansi pertimbangan hakim yang redaksionalnya diformulasikan seperti disitasi di atas, tentu melanggar asas kepastian hukum, karena prinsip “LEX CERTA” tidak dipenuhi. Dengan demikian, tentu pula akan dapat menimbulkan konsekuensi yuridis, berupa “tidak terpenuhinya unsur ‘setiap orang’ jika putusan ini diperiksa dan diadili pada tingkat banding. Seharusnya di dalam putusan hakim, dalam menyusun pertimbangan hukumnya harus tetap menerapkan prinsip kehati-hatian.

2. Unsur melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pertama-tama yang dipertimbangkan oleh hakim adalah:

’ Apakah perbuatan terdakwa tersebut terdapat unsur ”melawan hukum” dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

jurnal agustus 2012-arnis.indd 212 7/27/2012 3:11:32 PM

212 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 213

korporasi, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’ ?

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 unsur ini memiliki pengertiannya dalam arti formal dan materiil. Mengingat putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006 yang pada pokoknya menyatakan, bahwa ”penjelasan pasal ini sepanjang yang terkait dengan pengertian sifat melawan hukum secara materiil dinyatakan ”tidak mengikat secara hukum”, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945”. Dengan demikian, yang diakui oleh hakim hanyalah ”SMH dalam pengertiannya yang formal”.

Berdasarkan pertimbangannya yang demikian, hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur sifat melawan hukum dalam pengertiannya formal. Namun demikian, perbuatan terdakwa bukan termasuk dalam pengertian melawan hukum menurut hukum pidana, tetapi hukum perdata. Mengapa pertimbangan hakim demikian, karena hakim berpendapat bahwa sejak semula landasan hukumnya adalah suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak. Surat perjanjian yang dimaksud adalah No. 511.23/500-Ek tertanggal 14 Desember 2004 antara Pemerintah Kota Bandung dengan CV UM dan FS selaku Pemilik Gedung eks Toko Ria sebagai pihak ketiga. Di dalam surat perjanjian dimaksud telah disepakati hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Menurut hakim, jika terjadi adanya kerugian bagi Pemerintah Kota Bandung karena tidak dipenuhinya isi perjanjian tersebut oleh

salah satu pihak, maka prosedur yang harus ditempuh adalah melalui penagihan kepada pengelola, yaitu terdakwa agar memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang mereka telah sepakati, dan bilamana tidak memenuhi janjinya, dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan wanprestasi. Maka dengan demikian, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi adalah bukan perbuatan melawan hukum (pidana).

Anotasi: Mengingat dalam hukum pidana yang

dicari adalah kebenaran materiil, perlu dipersoalkan ’apakah sudah benar pertimbangan hakim yang menyatakan perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan oleh terdakwa termasuk dalam ranah hukum perdata’, karena alasan tidak dipenuhinya suatu ”kewajiban hukum” yang telah disepakati dalam surat perjanjian tersebut oleh pihak kedua, dalam hal ini terdakwa IS? Apakah di dalam hukum pidana tidak dikenal “kewajiban hukum” seperti itu?

Di dalam hukum pidana, secara dogmatis terdapat aturan hukum pidana yang menyatakan keharusan untuk menjalankan “kewajiban hukum” tertentu. Apabila “kewajiban hukum” yang diharuskan itu tidak dilaksanakan oleh si pengemban kewajiban, maka yang bersangkutan dikatakan telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (delik). Di dalam doktrin hukum pidana, perbuatan demikian disebut dengan omimssie delict (delicta ommissionis), sebagai lawan dari commissie delict (delicta commisionis) yakni delik berupa pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 213 7/27/2012 3:11:32 PM

214 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

Di dalam putusan hakim, omimssie delict ini sebenarnya dapat saja diaplikasikan jika hakim masih mau menerapkan ajaran SMH materiil. Namun karena hakim sudah merasa terikat dengan putusan MK di atas, pada akhirnya menutup diri terhadap ajaran SMH materiil yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. Akan tetapi harus diingat, bahwa yang dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh MK adalah sepanjang penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, tidak termasuk keberadaan dan substansi dari Pasal 2 ayat (1). Ini artinya SMH Materiil yang substansinya dirumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud masih berlaku. Sebenarnya MK sendiri tidak berwenang secara hukum mencabut suatu pasal atau beberapa pasal yang terdapat dalam suatu kebijakan legislatif, DPR sebagai lembaga legislatif menurut Hukum Tata Negara mempunyai wewenang untuk itu.

Sehubungan dengan hal di atas, di dalam praktik kerapkali dijumpai permasalahan hukum pidana terkait dengan SMH Formal ini. Bagaimana jika suatu perbuatan sudah dinilai koruptif, tetapi perbuatan tersebut tidak diatur dalam UU dan atau perbuatan itu tidak mencocoki rumusan delik dalam UU?

Berkait dengan kewajiban hukum di atas, dikemukakan pedoman berikut ini: “Suatu perbuatan melawan hukum secara

materiil telah terjadi, jika perbuatan terdakwa yang tidak ber-SMH secara formal yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat atau negara itu, dilakukan tidak dalam kerangka memenuhi “kewajiban hukum”, dan tidak dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena keadaan memaksa, tetapi semata-mata untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.

Pedoman ini ditetapkan agar hakim dalam memutus perkara korupsi yang dihadapi, terutama dalam hal terjadinya penyalahgunaan wewenang, untuk tidak ragu-ragu menerapkan fungsi positif dari SMH materiil, bila perbuatan terdakwa dapat menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara. Kendatipun perbuatan terdakwa tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pidana, atau perbuatannya secara formal tidak melawan hukum, tetapi asalkan perbuatan terdakwa dilakukan tidak dalam kerangka memenuhi “kewajiban hukum”, dan tidak dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena “keadaan memaksa”, tetapi semata-mata untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.

Mengenai pedoman ini, pertama-tama yang perlu dipahami adalah mengenai “kewajiban hukum”, kedua mengenai “tidak dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena “keadaan memaksa”, tetapi semata-mata untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.

Mengenai hal yang pertama, yang harus dipahami terlebih dahulu adalah ‘apakah yang dimaksud dengan kewajiban hukum’?

Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta (2000: 91) mengatakan: “Kewajiban pada dasarnya adalah keharusan

(yang diperintahkan atau ditetapkan oleh hukum untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan akibat hukum tertentu bagi pengemban kewajiban tersebut”.

Mengacu pada pengertian demikian, sudah sangat jelas, bahwa suatu perbuatan yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban hukum,

jurnal agustus 2012-arnis.indd 214 7/27/2012 3:11:32 PM

214 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 215

berarti perbuatan tersebut secara sadar dilakukan untuk memungkiri atau menafikan sesuatu ‘keharusan’ atau sesuatu yang diharuskan. Ini berarti pula, melanggar sesuatu perintah atau yang diperintahkan oleh hukum. Perbuatan demikian sudah sangat jelas melawan dan bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, sudah sepatutnya perbuatan demikian ditetapkan akibat hukumnya.

Perbuatan koruptif di atas itu, seringkali tidak ditetapkan sebagai suatu PMH secara formal, sehingga tidak dapat dituntut menurut hukum pidana. Akan tetapi, perbuatan demikian itu sesungguhnya secara materiil adalah perbuatan yang dinilai tercela oleh masyarakat (strafwaardig), sehingga perlu pula dilakukan penuntutan secara pidana sebagai akibat hukumnya.

Selanjutnya mengenai hal yang kedua, “tidak dipenuhinya ‘kewajiban hukum’ bukan karena keadaan memaksa, tetapi semata-mata untuk kepentingan pelaku (terdakwa) sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.

Klausula ini adalah untuk lebih meyakinkan hakim dalam menerapkan fungsi positif dari ajaran SMH materiil. Sejak semula sudah harus dipahami, jika terdakwa tidak memenuhi “kewajiban hukum” itu karena adanya sesuatu keadaan yang memaksa (overmacht), maka sejak semula pula terdakwa sudah harus “dilepaskan dari segala tuntutan hukum”, karena perbuatannya itu tidak ber-SMH secara materiil. Namun demikian, kerapkali hakim masih kesulitan juga untuk menetapkan suatu perbuatan ber-SMH. Kesulitan ini disadari juga oleh Roeslan Saleh (1983: 72) yang mengatakan: “Memang sukar menentukan apakah

sesuatu perbuatan yang ditinjau dari segi

formil adalah terlarang, jika ditinjau dari segi materiil dirasakan betul-betul oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau sebaliknya pula adalah patut. Sungguh-sungguh diperlukan suatu pedoman”.

Apakah perbuatan itu tidak patut atau sebaliknya, Roeslan Saleh juga menggunakan pedoman yang digunakan oleh Moeljatno yang mengatakan: bahwa hal tersebut adalah dalam konteks “daya paksa” (overmacht). Namun, menurut Roeslan Saleh, pendapat Moeljatno ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk meninjau ‘apakah perbuatan ber-SMH dari segi materiil’. Roeslan Saleh (1983: 72) lebih lanjut mengatakan: “Selalu harus diselidiki terlebih dahulu

apakah terdakwa tidak perlu dipidana, disebabkan karena dalam kejadian tersebut sifat melawan hukum dari suatu perbuatan itu tidak ada, dan karenanya peraturan UU yang rumusan deliknya cocok dengan perbuatan itu lalu tidak diberlakukan. Kalau ternyata, bahwa sifat melawan hukumnya tidak ada, maka kita tidak perlu lagi menyelidiki, apakah terdakwa itu telah berbuat karena terdorong oleh “daya paksa” atau “tidak”.

Masih tetap mensitasi pendapat Moeljatno, oleh Roeslan Saleh (1983: 72) dikatakan selanjutnya:

“Sebagai pedoman untuk menentukan apakah perbuatan itu adalah tidak bersifat melawan hukum, harus diperhatikan:

1. Kapan ada dua kewajiban hukum yang bertentangan, sedangkan salah satu daripadanya telah dipenuhi;

jurnal agustus 2012-arnis.indd 215 7/27/2012 3:11:32 PM

216 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

2. Jika kewajiban hukum tidak dapat dipenuhi karena terpaksa oleh keadaan.

Dua pedoman ini pun dapat dijadikan pedoman dalam tinjauan dari segi materiil, yang saya maksudkan di atas”.

Hal berikutnya yang perlu dianalisis (diberikan anotasi), adalah sikap hakim dalam putusan ini sehubungan dengan dijadikannya Putusan MK sebagai landasan hukum untuk memeriksa dan mengadili perkara korupsi yang dilakukan oleh terdakwa IS. Putusan MK yang menyatakan “tidak mengikat secara hukum” terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 sepanjang mengenai penjelasan SMH Materiil, selengkapnya amar putusan MK menyangkut hal tersebut dikemukakan berikut ini.

Amar putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 itu sendiri berbunyi sebagai berikut:

“Kata “dapat” dalam frasa “yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, beserta penjelasan-penjelasannya dan kalimat, “…maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Jadi, oleh MK Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ini yang menetapkan SMH Materiil dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana korupsi (TPK) dinilai telah melanggar HAM karena dianggap tidak menjamin “kepastian hukum yang berkeadilan” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. (Kursif, pen.).

Sehubungan dengan pertimbangan hakim yang menggunakan putusan MK sebagai landasan hukum untuk tidak menetapkan perbuatan terdakwa bertentangan dengan SMH Materiil, perlu dikaji hal-hal sebagai berikut:

a. “Apakah penjelasan umum dari UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang PTPK juga ikut dinyatakan tidak mengikat secara hukum? Bukankah putusan MK itu hanya ditujukan terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 beserta penjelasan-penjelasannya saja?

Di dalam UU No. 31 Tahun 1999 ditetapkannya ajaran SMH materiil, adalah sebagaimana dirumuskan di dalam perihal “Menimbang” pada huruf a dan Penjelasan Umum dari UU dimaksud, yaitu:

“Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 216 7/27/2012 3:11:32 PM

216 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 217

Di dalam Penjelasan Umum ditetapkan sebagai berikut:

“Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi “secara melawan hukum” dalam pengertian formil atau materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan yang tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana”.

b. Sehubungan dengan hal di atas, sejauhmana hakim memperhatikan dasar rasionalitas ditetapkannya ajaran SMH materiil dalam UU No. 31 Tahun 1999 yakni:

1. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa, karena tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

2. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

3. Untuk dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.

4. Dalam pandangan masyarakat, TPK dipandang sebagai perbuatan tercela

dan bertentangan dengan keadilan sosial.

c. Bagaimanakah dengan keberadaan SMH materiil dalam fungsinya yang negatif (negative functie der wederrechtelijkheid)? Bukankah putusan MK itu hanya menyatakan SMH materiil dalam fungsinya yang positif (positive functie der wederrechtelijkheid) saja yang dinyatakan tidak mengikat secara hukum, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Perhatikan kalimat:

“…maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945”.

d. Apakah putusan MK itu mengikat pula terhadap yurisprudensi? Karena yurisprudensi MA No. 42/K/Kr/1965 tertanggal 8 Januari 1966 yang telah menjadi yurisprudensi tetap (land mark decision) juga mengakui dan menganut SMH materiil, dan telah diikuti oleh putusan-putusan hakim di bawahnya?

e. Apakah hakim tidak lagi menggunakan Sistem Hukum Pidana Indonesia yang tidak hanya mengakui dan menganut SMH formal juga mengakui dan menganut ajaran SMH materiil?

f. SMH materiil tidak hanya dianut dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, tetapi juga Belanda, Jerman sebagai wakil dari Civil

jurnal agustus 2012-arnis.indd 217 7/27/2012 3:11:32 PM

218 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

Law System, apalagi Inggris dan Amerika sebagai wakil Anglo Saxon, juga Jepang, dan Korea Selatan sebagai wakil dari sistem hukum Timur jauh. Bahkan Pasal 15 ayat (2) ICCPR juga tidak mengharamkan suatu Negara mengantu SMH materiil.

g. Yurisprudensi MA menganut pula SMH metriil dalam fungsinya yang negatif (di antaranya adalah putusan MA tanggal 8 Januari 1966 No. 42/K/Kr/1965 dalam perkara Marchoes Efendi, putusan MA tanggal 30 Maret 1977 No. 81/Kr/1973 dalam perkara Ir. Otjo Danaatmadja, putusan MA tanggal 15 Desember 1983 No. 275/K/Pid/1982. MA tanggal 29 Desember 1983 dalam putusan No. 275/K/Pid/1983 dalam perkara R.S Natalegawa), maupun dalam fungsinya yang positif (di antaranya adalah: putusan MA No. 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Maret 1977, putusan MA No. 25/K/Pid/1983, putusan MA No. 24/K/Pid/1984 tanggal 6 Juni 1985, putusan MA No. 241/K/Pid/1987 tanggal 21 Januari 1989, putusan MA No. 572//K/Pid/2003 dalam perkara Ir. Akbar Tanjung. Berikutnya adalah putusan MA No. 593 K/PID/2005 tanggal 2 Agustus 2005, yang cukup banyak mendapatkan perhatian dari khalayak, karena para terdakwanya hampir seluruh dari anggota DPRD Provinsi Sumatera telah terbukti melakukan TPK). Apakah yurisprudensi MA termasuk lingkup yurisdiksi MK?

Sehubungan dengan premis huruf ”e)” di atas, perlu diinsyafi, bahwa sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia tidak hanya memastikan ‘apakah suatu perbuatan itu secara formal telah memenuhi semua unsur delik yang ditetapkan oleh UU’, tetapi juga ‘apakah perbuatan dimaksud tercela secara materiil, karena dinilai

bertentangan dengan norma-norma sosial yang hidup di dalam masyarakat’. Itulah sebabnya, mengapa doktrin-doktrin hukum pidana yang berkembang di Indonesia mengisyaratkan untuk menganut ajaran materiil dari SMH ini. Moeljatno (1983: 133) secara tegas mengatakan:

“Bagaimanakah pendirian kita terhadap soal ini? Kiranya tidak mungkin selain mengikuti ajaran yang materiil. Bagi orang Indonesia belum pernah hukum dan UU dipandang sama. Pikiran bahwa hukum adalah UU belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum tidak tertulis”.

Di dalam tulisannya yang lain juga ditegaskan:

“…apabila sampai saat ini untuk menetapkan adanya suatu tindak pidana adalah: tinjauan dari segi formal, ini perlu berhubung dengan adanya asas legalitas, dan tinjauan dari segi materiil sebaliknya juga diperlukan, oleh karena baru dengan adanya ini, aturan-aturan hukum mempunyai isi, dan bukan suatu pengertian dalam lisan atau tulisan belaka. Yang kami maksudkan dengan ini, adalah segi pergaulan masyarakat dengan mana, atau untuk siapa aturan-aturan hukum itu berlaku”. Moeljatno (1955: 18).

Roeslan Saleh (1987: 20) juga mengatakan:

“…terlebih-lebih lagi karena hukum pidana kita menganut ajaran sifat melawan hukum materiel, dan kiranya dapat menjadi pendapat hukum Indonesia pula. Menurut pikiran bangsa Indonesia hukum dan UU tidak sama. Bahkan sebagian besar dari hukum kita terdiri dari aturan-aturan tidak tertulis”.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 218 7/27/2012 3:11:32 PM

218 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 219

Di dalam tulisannya yang lain Roeslan Saleh (1983: 56) juga mengatakan:

“bahwa untuk mengetahui adanya perbuatan pidana, pertama-tama harus diperhatikan apakah ada larangan atas dilakukannya perbuatan itu, (maksudnya: apakah secara formal UU melarang perbuatan itu, pen.), dan kedua apakah perbuatan tersebut betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau keliru, maka kiranya jelas … mengenai sifat melawan hukum ini, saya mengikuti pandangan yang materiil”.

Demikian pula Bambang Poernomo (1981: 113) juga mengemukakan:

“Kiranya tidak ada alasan untuk menolak diterimanya pandangan materieele wederrechtelijkheid dalam pengertian, bahwa perbuatan melawan hukum adalah yang bertentangan dengan UU, asas-asas umum, dan norma-norma hukum tidak tertulis”.

Seharusnya yang terpenting dipahami adalah, ”apakah SMH materiil itu bertentangan dengan UUD 1945”?

SMH materii juga mendapat jaminan secara konstitusional, terutama dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua ditetapkan sebagai berikut:

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Anotasi berikutnya yang sangat penting disadari oleh hakim (juga para hakim lainnya), adalah ketentuan mengenai UU Kehakiman itu sendiri. Dikatakan demikian, karena kendatipun telah dikemukakan doktrin dan dasar konstitusionalitasnya seperti dikatakan di atas, namun dalam ranah hukum pidana seringkali mengalami resistensi sehubungan dengan keterikatannya pada asas legalitas formal. Dengan keterikatannya pada asas legalitas formal tersebut, akibatnya jaksa atau hakim wajiib menuntut atau mengadili suatu perkara pidana berdasarkan ketentuan-ketentuan (pasal-pasal) yang mengatur perbuatan terdakwa tersebut. Padahal UU No. 4 Tahun 2004 jo UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menetapkan, bahwa:

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili” (vide Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009) (Kursif. Pen.).

Hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara pidana demikian itu, dengan menggunakan sumber hukum tidak tertulis. Itulah sebabnya, dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo Pasal 5 UU No. 48 Tahun. ini, mengimperasikan, bahwa: ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Sinergi dengan ketentuan di atas, itu pula sebabnya mengapa Mardjono Reksodiputro (1995: 108) mengatakan:

“Sumber hukum pidana Indonesia, dapat dicari dalam hukum adat. Hakim harus menjaga bahwa seseorang yang bersalah

jurnal agustus 2012-arnis.indd 219 7/27/2012 3:11:33 PM

220 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

melakukan perbuatan yang dicela oleh masyarakat dan patut dipidana memang haruslah mendapatkan pidananya. Ukuran perbuatan apa yang “tercela” dan “patut dipidana” dapat ditentukan oleh pembuat UU, tetapi dapat pula didasarkan pada hukum (adat) yang hidup dalam masyarakat…”.

Muladi (1990) menambahkan: “Di samping dapat menjadi sumber

hukum yang bersifat positif, nilai-nilai yang bersumber pada hukum adat dan hukum yang hidup di dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang bersifat negatif, dalam arti bahwa, nilai-nilai tersebut dapat dijadikan alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, atau dapat berfungsi sebagai alasan-alasan yang memperingan pemidanaan (minimasing circumtance), dan sebaliknya justru dapat dijadikan alasan yang memperberat pemidanaan (aggravating circumtance)”.

Berdasarkan pertimbangan hakim terhadap pembuktian unsur tindak pidana korupsi, oleh hakim telah dinyatakan semua unsur terbukti sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, melainkan termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata. Namun demikian, menurut analisis peneliti justru hakim belum dapat membuktikan unsur tindak pidana secara lengkap, karena masih terdapat hal-hal kontroversial terhadap pembuktian unsur ”setiap orang” dan unsur ”melawan hukum” yang secara hukum masih harus dielaborasi lebih lanjut.

SIMPULAN IV.

Hal-hal yang dapat disimpulkan dari analisis terhadap pokok permasalahan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Pertimbangan hakim dalam membentuk argumentasi hukumnya telah didasarkan atas logika silogisme sebagai berikut:

Sebagai premis mayor: hakim berlandaskan pada surat perjanjian No. 511.23/500-Ek tertanggal 14 Desember 2004 antara Pemerintah Kota Bandung dengan CV. UM dan FS selaku Pemilik Gedung eks Toko Ria sebagai pihak ketiga, dan di dalam surat perjanjian tersebut telah disepakati hak-dan kewajiban masing-masing pihak.

Sebagai premis minor: jika terjadi kerugian bagi Pemerintah Kota Bandung karena tidak dipenuhinya isi perjanjian tersebut oleh salah satu pihak, maka prosedur yang harus ditempuh adalah melalui penagihan kepada pengelola, yaitu terdakwa agar memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang mereka telah sepakati, dan bilamana tidak memenuhi janjinya, dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan wanprestasi. Sebagai simpulan maka dengan demikian, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi adalah bukan perbuatan melawan hukum (pidana).

2. Namun hakim dalam membangun argumentasi hukumnya telah terjadi falsifikasi logika berpikir dalam memahami lingkup cakupan substansi yang terdapat dalam proposisi premis mayor. Hakim hanya mendasarkan pemahaman dan lingkup cakupan substansi dari premis mayor tersebut dari hukum perdata. Pemahaman

jurnal agustus 2012-arnis.indd 220 7/27/2012 3:11:33 PM

220 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 221

terhadap “kewajiban hukum” harus pula dimaknai dari optik hukum pidana, karena secara dogmatis terdapat aturan hukum pidana yang menyatakan keharusan untuk menjalankan “kewajiban hukum” tertentu. Apabila “kewajiban hukum” yang diharuskan itu tidak dilaksanakan oleh si pengemban kewajiban, maka yang bersangkutan dikatakan telah melakukan suatu PMH (TP/delik). Di dalam doktrin hukum pidana, perbuatan demikian disebut dengan omimssie delict (delicta ommissionis).

3. Hakim dalam pertimbangannya yang menyatakan, bahwa “perbuatan terdakwa secara formal tidak mencocoki rumusan delik menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, sehingga perbuatan terdakwa tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana”, sama sekali tidak dikaitkan dengan fakta hukum yang terdapat dalam salah satu diktum dari surat perjanjian tersebut yang menyatakan, bahwa “pihak kedua (dalam hal ini terdakwa) berkewajiban mengembalikan dana talangan yang diterimanya sebesar Rp.2.500.000.000,- dalam 2 tahap, yaitu pada bulan April sebesar Rp.1.250.000.000,- dan pada bulan September Rp.1.250.000.000,- kepada Pemerintah Kota Bandung”. Ternyata surat perjanjian yang dibuat pada tanggal 14 Desember 2004 sampai dengan diadilinya perkara ini, terdakwa belum memenuhi kewajibannya tersebut. Akibat hukum apa yang dapat dikenakan terhadap terdakwa ternyata tidak diatur pula dalam surat perjanjian tersebut, sementara kerugian keuangan negara sebesar disebutkan di atas itu telah nyata-nyata terjadi. Dalam

situasi dan kondisi seperti ini hakim harus menerapkan ajaran SMH Materiil sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999.

Mengingat yang dinyatakan tidak mengikat secara hukum adalah penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, tidak termasuk keberadaan dan substansi dari Pasal 2 ayat (1), maka SMH Materiil yang substansinya dirumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud masih tetap berlaku. Ini berarti, PMH yang telah benar-benar terjadi sebagaimana dibuktikan oleh hakim dalam putusannya bukanlah PMH dalam lingkup cakupan Hukum Perdata, sebenarnya termasuk dalam lingkup cakupan hukum pidana.

Sehubungan dengan hal di atas, maka oleh hakim proposisi yang dibentuk dalam bangunan premis minor substansinya secara imperatif seharusnya menyatakan: “menimbang, bahwa oleh karena terdakwa sebagai pihak kedua telah tidak memenuhi kewajiban hukumnya sebagaimana yang diharuskan dalam surat perjanjian tersebut, maka perbuatan terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dituntut secara pidana”.

Premis minor dimaksud dibentuk adalah atas dasar alasan yuridis yang dapat dibenarkan menurut norma-norma hukum pidana, yakni suatu perbuatan melawan hukum secara materiil telah terjadi, jika perbuatan terdakwa yang tidak bersifat melawan hukum secara formal yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat atau negara itu, dilakukan tidak dalam kerangka memenuhi “kewajiban hukum”, dan tidak dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena keadaan memaksa, tetapi semata-mata untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 221 7/27/2012 3:11:33 PM

222 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

Berdasarkan premis minor demikian itu, maka simpulan yang seharusnya diambil oleh hakim adalah: “Perbuatan terdakwa yang menimbulkan kerugian negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Bandung, merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dituntut secara pidana”.

Mengingat putusan pengadilan merupakan babak akhir dari suatu penegakan dan penerapan hukum, maka secara normatif di samping harus mengimperasikan kebenaran materiil, merefleksikan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, sudah sepatutnya tidak boleh melupakan prinsip kecermatan serta kehati-hatian, terutama dalam memformulasikan proposisi hukum dalam amar putusan hakim.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno. 2004. Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korupsi Perbankan. Bandung: Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

Arief, Barda Nawawi. 1998. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya.

--------. 2004. “Konsepsi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana” Makalah pada Seminar Nasional Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama Kejaksaan Agung RI dengan FH. UNDIP, Semarang.

---------. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Emong Sapardjaja, Komariah. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung: Alumni.

Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum. Pendekatan Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Kusumaatmadjam, Mochtar, dan Sidharta, B. Arief. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.

L.B., Curzon. 1979. Jurisprudence, Estover, PlymouTahun: Macdonald & Evans.

Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan-jawab Pidana dalam Hukum Pidana, Pidato Dies Natalis VI Universitas Gajah Mada tgl. 19 Desember 1955.

_________. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina aksara.

Muladi. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang. Pidato Pengukuhan Guru Besar, dalam Ilmu Hukum Pidana, pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990.

Poernomo, Bambang. 1981. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Reksodiputro, Mardjono. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana. Buku Keempat. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 222 7/27/2012 3:11:33 PM

222 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223 Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya) | 223

Universitas Indonesia.

Sahetapy, JE. (Editor). 1995. Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana , Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keiijzer dan Mr. E. PH. Sutorius. Yogyakarta: Liberty.

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru.

_________. 1987. Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

_________. 1998. Hukum Pidana 1. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 223 7/27/2012 3:11:33 PM

224 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

abstract

Many trivial cases have been sent to the courts so far with some of them ended with non-populist verdicts. Such court rulings have been disturbing the common sense showing that justice never takes the side of the poor. Justice is approached only from the procedural perspective. As shown in this article, one of the trivial cases was not handled in appropriate way since the restorative philosophy of punishment had never been considered to apply. The author of this article believes that it is time to start implementing such a philosophy of punishment beginning from trivial cases as in the case under discussion.

Keywords: lower class society, restorative justice, trivial criminal case.

ABSTRAK

Banyak kasus-kasus sederhana yang berakhir di pengadilan dan diselesaikan dengan melanggar rasa keadilan masyarakat kecil. Sepertinya keadilan tidak pernah berpihak kepada mereka. Keadilan lebih banyak didekati dari perspektif prosedural bukan keadilan substansial. Sebagaimana ditunjukkan dalam putusan yang dianalisis di dalam artikel ini, penjatuhan putusan untuk kasus yang terbilang “sederhana” ini akan lebih tepat jika didasarkan pada filosofi pemidanaan keadilan restoratif. Penulis yakin bahwa pilihan keadilan restoratif ini sudah saatnya dipertimbangkan, dimulai dari kasus-kasus sederhana seperti ini.

Kata kunci: masyarakat kelas bawah, keadilan restoratif, kasus pidana sederhana.

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM:UPAyA PENyELESAIAN KONFLIK MELALUI

SISTEM PERADILAN PIDANA

Rena YuliaFakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,

Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan Serang BantenEmail: [email protected]

Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011

THE IMPLEMENTATION OF RESTORATIVE JUSTIcE IN THE VERDIcT: AN EFFORT TO RESOLVE THE cONFLIcT THROUgH

THE cRIMINAL JUSTIcE SySTEM

Diterima tgl 7 Mei 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012

An Analysis on the Supreme Court Decision Number 653/K/Pid/2011

jurnal agustus 2012-arnis.indd 224 7/27/2012 3:11:33 PM

224 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240 Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 225

PENDAHULUAN I.

Masyarakat telah disajikan dengan berbagai peristiwa hukum dalam penegakannya dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat. Misalnya saja, peristiwa pencurian tiga buah kakao, pencurian buah semangka, pencurian setandan pisang, pencurian sendal jepit dan yang paling baru adalah pencurian piring dan buntut sapi yang dilakukan oleh “R“ yang telah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung. Putusan hakim pada peristiwa-peristiwa hukum di atas, dianggap tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Putusan tersebut dianggap terlalu mudah dijatuhkan pada rakyat miskin di tengah putusan kasus korupsi yang seolah-olah lamban dan tersendat-sendat penegakannya.

Kasus R, seorang pembantu rumah tangga yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah majikannya SA di Tangerang, Banten. Kasus R berawal dari kejadian pada sekitar tahun 2007, di rumah majikannya yang beralamat di Perumahan GP Sawah Lama kecamatan Ciputat Tangerang Selatan telah terjadi banjir, dan pada saat itulah R dituduh telah mengambil barang-barang milik majikannya berupa satu kantong plastik daging buntut sapi, satu buah gelas, satu botol Hair Tonic Hadi Suwarno dan shampo, satu lembar baju muslim, sapu tangan, satu botol Listerin, satu kaleng racun nyamuk Force Magic, satu buah tempat tisu, satu buah piring keramik merek Anchor Hocking, 1 (satu) buah piring Geshen Kartikel, dua buah piring merek Royal Province dan satu buah piring merek Taichi.

Majikan tersebut melaporkan R ke kepolisian, dan selanjutnya jaksa penuntut umum menuntut R telah melakukan tindak pidana pencurian. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 775/Pid.B/2010/PN.TNG. Tanggal 22

Desember 2010 memutuskan nasib R sebagai berikut:

Menyatakan Terdakwa R binti RA tidak • terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa;

Membebaskan oleh karena itu terhadap • Terdakwa R binti RA tersebut di atas dari dakwaan tersebut;

Memulihkan hak Terdakwa dalam • kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;

Memerintahkan terhadap barang bukti • berupa:

Satu kantong plastik daging buntut sapi, satu buah gelas, satu botol Hair Tonic Hadi Suwarno dan shampo, satu lembar baju muslim, sapu tangan, satu botol Listerin, satu kaleng racun nyamuk Force Magic, satu buah tempat tisu, satu buah piring keramik merek Anchor Hocking, 1 (satu) buah piring Geshen Kartikel, dua buah piring merek Royal Province dan satu buah piring merek Taichi, dikembalikan kepada Terdakwa R binti RA serta satu buah mangkok dan tiga buah piring kecil/cawan dikembalikan kepada saksi SM melalui Terdakwa;

Membebankan biaya perkara kepada • negara.

Terhadap putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum tidak puas sehingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung inilah yang kemudian menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, amar putusan tersebut berbalik arah bagi terdakwa R.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 225 7/27/2012 3:11:33 PM

226 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

Mahkamah Agung terdakwa diputus melalui Putusan No. 653/K/Pid/2011 yang amarnya pokoknya sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa R binti RA, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian“;

2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari;

3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada saksi SA;

5. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa.

Putusan Mahkamah Agung tersebut tentu saja mengundang kontroversial masyarakat. Secara yuridis formal, R sudah diputus tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Dia bebas dari segala tuduhan jaksa. Hakim menimbang kasus yang diduga dilakukan oleh R juga merupakan kasus yang nilai kerugiannya kecil dan sifat perbuatannya masih bisa diperbaiki jika melihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri, yaitu perbaikan bukan saja penghukuman.

Perkara seperti yang terjadi pada kasus R justru menghabiskan dana yang lebih besar dibandingkan kerugian saksi. Apalagi dengan putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang memvonis tidak bersalah dan terdakwa diharuskan mengembalikan sejumlah barang yang telah diambil, toh kerugian korban sudah dipulihkan. Tentu hal itu sudah memberikan rasa keadilan bagi korban, pelaku dan juga masyarakat.

Dalam putusannya hakim sudah menerapkan keadilan restoratif. Dengan berbagai pertimbangan, terdakwa divonis tidak bersalah melakukan pencurian. Semua barang yang menjadi milik terdakwa dikembalikan, hal itu sudah merupakan pemulihan kerugian bagi korban. Dengan kata lain, perbaikan atas kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan yang terjadi sudah dilakukan.

Pelaku tidak diberikan pembalasan dengan berupa hukuman, tetapi kerugian korban dipulihkan dengan mengembalikan semua barang milik korban. Hal ini sesuai dengan teori pemidanaan yaitu teori tujuan. Inilah keadilan yang diagung-agungkan orang pada zaman sekarang, ya, keadilan restoratif yang “digadangkan” bisa memberikan keadilan kepada semua pihak. Baik itu keadilan bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.

Putusan kasus R, Mahkamah Agung memutuskan keadilan yang berbeda yaitu menggunakan pendekaran keadilan prosedural bagi pelanggar tanpa memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Putusan Mahkamah Agung masih menggunakan keadilan retributif dengan teori pemidanaan berupa teori pembalasan sehingga lebih mengedepankan pembalasan bagi pelaku walaupun kerugian korban sudah dipulihkan.

Menerapkan keadilan restoratif dalam putusan hakim diharapkan dapat memberikan keadilan yang membahagiakan bagi para pihak yang berkonflik, yaitu pelaku dan korban, bahkan keadilan tersebut bisa dirasakan oleh masyarakat. Tulisan ini ingin mengkaji penerapan keadilan restoratif dalam tataran putusan hakim. Mengingat walau bagaimanapun putusan hakim merupakan jawaban untuk menyelesaikan konflik pidana yang terjadi antara pelanggar dengan korban.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 226 7/27/2012 3:11:33 PM

226 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240 Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 227

RUMUSAN MASALAHII.

Bagaimana penerapan keadilan restoratif pada putusan hakim dalam menyelesaikan konflik pidana melalui sistem peradilan pidana.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

A. Tujuan Pemidanaan bagi Pelanggar Hukum

Berbicara mengenai sanksi yang diberikan bagi pelanggar hukum atau pelaku tindak pidana, maka tidak akan lepas berbicara mengenai tujuan daripada pemberian sanksi tersebut atau disebut tujuan pemidanaan.

Sebelum sampai pada tujuan pemidanaan, maka perlu disampaikan terlebih dahulu tujuan hukum pidana itu sendiri, yaitu untuk melindungi kepentingan orang perorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak. Akan tetapi mengenai persoalan dan perwujudan tujuan hukum pidana tersebut dalam sejarahnya telah mengalami proses yang lama dan lamban (Sianturi, 1996: 54).

Pada zaman sebelum Revolusi Perancis misalnya, ketika hukum pidana pada umumnya belum tertulis, dalam banyak hal, baik/buruknya atau dapat tidaknya di pidana suatu tindakan, tergantung kepada kebijaksanaan hakim sebagai alat dari raja. Dalam banyak peristiwa, terjadi kesewenang-wenangan dari penguasa mengenai penentuan sesuatu tindakan yang dapat dipidana, maupun mengenai jenis dan beratnya pidana, demikian juga mengenai pengayunannya. Bahkan kesewenang-wenangan itu sering menjelma

menjadi kekejaman atau kebuasan (Sianturi, 1996: 54).

Di daerah-daerah di Indonesia sebelum kedatangan penjajah Belanda, pada umumnya hukum adat tidak tertulis. Hukum adat tidak mengenal sistem “praeextintente”. Seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat, keselamatan golongan, keluarga, dan sebagainya dapat merupakan pelanggaran hukum. Sedang reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran hukum adat di berbagai lingkungan hukum antara lain adalah: mengganti kerugian imaterial, pembayaran uang adat, selamatan, permintaan maaf, pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati, pengasingan dari masyarakat. Sekalipun tidak dikenal pembedaan hukum perdata dan hukum pidana dalam hukum adat, namun dapat tergambarkan bahwa tujuan hukum (pidana) adalah untuk menjamin keselamatan orang dan masyarakat (Sianturi, 1996: 54).

Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut pemasyarakatan (Waluyo, 2004: 3).

Pada dasarnya kepada seseorang pelaku suatu tindak pidana harus dikenakan suatu akibat hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa hukuman pidana. Ditinjau dari sudut kerugian

jurnal agustus 2012-arnis.indd 227 7/27/2012 3:11:33 PM

228 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

terpidana, (hukuman) pidana dapat mengenai (Sianturi, 1996: 54):

a. jiwa pelaku: pidana mati.

b. badan pelaku: pencambukan dengan rotan sekian kali, pemotongan bagian badan (misalnya jari tangan), dicap-bara (brandmerk) dan lain sebagainya.

c. Kemerdekaan pelaku: pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan, pembuangan (verbanning), pengasingan (deportatie), pengusiran, penginterniran, penawanan dan sebagainya.

d. Kehormatan pelaku: pencabutan hak-hak (tertentu), pencabutan surat izin mengemudi, pengumuman putusan hakim, tegoran dan lain sebagainya.

e. Harta benda/kekayaan: pidana denda, perampasan barang (tertentu), membayar harga suatu barang yang tidak/belum dirampas sesuai taksiran dan lain sebagainya.

Akan tetapi adakalanya dikenakan suatu hukuman yang sebenarnya tidak merupakan pidana, melainkan suatu tindakan tertentu atau suatu kewajiban yang mirip dengan hukuman perdata. Suatu tindakan tertentu atau yang mirip dengan hukuman perdata antara lain ialah:

a. Mewajibkan ganti rugi.

b. Tindakan tata-tertib seperti menempatkan perusahaan pelaku di bawah pengampunan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan, melakukan jasa-jasa, pembubaran suatu organisasi dan lain sebagainya.

c. Perintah hakim untuk memasukkan

seseorang yang sakit atau cacat jiwanya ke rumah sakit jiwa.

d. Perintah hakim untuk pengobatan paksa (narkotik, psychopath).

e. Perintah hakim untuk pendidikan paksa (anak di bawah umur).

Bahkan dalam hal tertentu, tidak dikenakan suatu hukuman.

Definisi pidana itu sendiri adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindakan pidana (Sastrawidjaja, 1995: 25). Rumusan lain menyebutkan pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik (Waluyo, 2004: 9).

Melihat itu, maka seringkali wujud sanksi pidana itu memang memberikan penderitaan bagi orang tersebut. Betapa tidak, narapidana atau warga binaan dirampas hak-hak kemerdekaannya sehingga harus terpenjara di balik jeruji besi. Itu belum dihitung dengan efek stigmatisasi setelah keluar dari penjara.

Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut asas praduga tak bersalah (presumption of ennocence), pidana sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan. Apabila tidak terbukti bersalah maka tersangka harus dibebaskan (Waluyo, 2004: 9).

Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat

jurnal agustus 2012-arnis.indd 228 7/27/2012 3:11:33 PM

228 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240 Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 229

dan negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak (Sianturi, 1996: 54).

Tujuan penjatuhan pidana adalah pembalasan, penghapusan dosa, menjerakan, perlindungan terhadap umum dan memperbaiki si penjahat (Wahid dan Irfan, 2001: 98-99). Tujuan hukum pidana, menurut aliran klasik melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Sedangkan menurut aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan (Poernomo, 1994: 23-34). Oleh karena itu, ketika dalam memutuskan vonis kepada terdakwa, tentu hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan yang mana yang akan dicapai melalui vonis tersebut.

Secara teori, ada tiga teori pemidanaan yaitu golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan golongan teori gabungan (Sianturi, 1996: 58).

a. Teori Pembalasan Teori pembalasan membenarkan

pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu, masa yang akan datang yang bermaksud untuk memperbaiki pelaku tidak dipersoalkan.

b. Teori Tujuan Teori tujuan membenarkan pemidanaan

berdasarkan tujuan pemidanaan yaitu

perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Ancaman pidana dan dijatuhkannya suatu pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat, menjamin ketertiban hukum atau prevensi umum. Teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepada kepentingan masyarakat dan untuk masa mendatang. Teori tujuan lebih humanis. Selain memikirkan efek jera kepada penjahat atau pun calon penjahat. Juga mempertimbangkan akibat dari pemidanaan ini untuk pelaku tindak pidana atau pun kepentingan masyarakat di masa yang akan datang. Dalam kenyataannya sedikit sekali putusan yang menyiratkan hal yang demikian.

c. Teori Gabungan Teori gabungan mendasarkan pemidanaan

kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan yang tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti yang terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri di samping kepada masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan.

Seyogianya teori inilah yang dipakai oleh para hakim dalam menentukan pemidanaan bagi pelaku kejahatan. Dalam putusannya, haruslah mencerminkan penjeraan bagi pelaku atau pun

jurnal agustus 2012-arnis.indd 229 7/27/2012 3:11:33 PM

230 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

calon pelaku tetapi juga mempertimbangkan akibat yang akan terjadi baik itu pada pelaku, korban maupun masyarakat.

Kini, pergeseran paradigma pemidanaan itu sudah beralih pada rasa keadilan yang harus diperoleh semua pihak. Konsep ini hakim tidak hanya terpuaskan untuk memidana pelaku, atau korban yang merasa puas terhadap vonis hakim, melainkan juga pelaku memperoleh kesempatan untuk memperbaiki diri dan masyarakat terpuaskan dengan putusan hakim. Artinya seluruh pihak yang terlibat dalam konflik pidana merasa memperoleh keadilan yang (mungkin) setara.

Apabila dikaitkan dengan sistem pemasyarakatan seyogianya setiap masyarakat yang melakukan kejahatan atau tindak pidana, tentunya setiap pemberian sanksi pidana harus memperhatikan unsur-unsur yang bersifat:

1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat martabat seseorang;

2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan;

3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil, baik oleh terhukum oleh korban ataupun masyarakat (Ravena, 2009: 2).

Begitu pula setiap penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan haruslah berhati-hati, karena masalah pemberian pidana apapun bentuknya berkaitan erat dengan karakter dan

sifat orang yang dijatuhi sanksi pidana. Sanksi pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan tetapi bahwa pidana harus bersifat prospektif dan berorintasi ke depan. Oleh karena itu, antara pemberian sanksi pidana dengan pelaku tindak pidana harus terdapat kesesuaian, sehingga (antara) tujuan diberikannya sanksi pidana tersebut dapat tercapai, maka hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana harus mempertahankan sifat-sifat atau karakter dari si pelaku tindak pidana (Ravena, 2009: 2-3).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana sebagaimana telah diutarakan di atas, yaitu: (RUU KUHP, 2008: Pasal 55)

1. Kesalahan pembuat tindak pidana;

2. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

3. Sikap batin pembuat tindak pidana;

4. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;

5. Cara melakukan tindak pidana;

6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

7. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;

8. Pengaruh pidana terhadap korban dan/atau keluarganya dan/atau

9. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Selain hal-hal di atas, dalam ayat (2)-nya disebutkan bahwa ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak

jurnal agustus 2012-arnis.indd 230 7/27/2012 3:11:34 PM

230 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240 Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 231

menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Walaupun RUU KUHP ini belum disahkan, tetapi tidak ada salahnya hakim berpedoman pada hal-hal yang telah disebutkan di atas sebagai acuan dalam menjatuhkan vonis terhadap pelaku tindak pidana.

Begitu pula sistem peradilan pidana berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, yang mempunyai sarana perlindungan masyarakat, resosialisasi, serta penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi terpidana (Ravena, 2009: 3).

Tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP tahun 2008 disebutkan sebagai berikut:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Selain itu dalam ayat 2 disebutkan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk

menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Jika hakim dalam memutuskan vonis mempertimbangkan tujuan daripada pemidanaan, maka kasus-kasus seperti kasus R ini tentu mendapatkan porsi layak sehingga keadilan yang diberikan tidak hanya berupa keadilan prosedural melainkan juga keadilan substansial yang dapat mewujudkan tujuan pemidanaan itu sendiri.

Berbeda dengan pertimbangan hakim majelis di tingkat Mahkamah Agung yang lebih banyak mempertimbangkan aspek formil atau pun yurisdis dari pada mengedepankan tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Alasan kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum lebih menonjol dibanding dengan alasan pemidanaan bagi R. Jika alasan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah Agung, maka itu tentu tidak akan berpengaruh langsung terhadap vonis bagi terdakwa. Hal itu dikarenakan vonis terdakwa terkait dengan tujuan pemidanaan, yaitu, yang paling penting adalah menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, banyak hal yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan putusan, di antaranya pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Perhatian dalam hal ini bukan berarti tidak independen dan harus mengikuti opini publik, melainkan putusan tersebut harus peduli dan tidak mencederai rasa keadilan masyarakat.

B. Penerapan Keadilan Restoratif dalam Menyelesaikan Konflik Pidana Oleh Hakim

Keadilan restoratif diterima sebagai salah satu konsep penyelesaian kasus pidana oleh PBB pada tahun 2000. Setelah pengakuan itu, semakin

jurnal agustus 2012-arnis.indd 231 7/27/2012 3:11:34 PM

232 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

banyak negara yang menerapkannya dalam menangani perkara pidana. Keadilan restoratif adalah model penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip utama keadilan restoratif adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai sukarelawan mediator atau fasilitator penyelesaian kasus (Buletin Komisi Yudisial, 2012: 18).

Untuk memaknai keadilan restoratif, berikut ini diberikan beberapa pendapat ahli tentang keadilan restoratif. Agustinus Pohan, misalnya, mengemukakan keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang kita kenal saat ini dalam Sistem Hukum Pidana Indone sia yang bersifat retributif, keadilan restoratif (restorative justice) adalah sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.

Keadilan restoratif dibangun atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas yang po sitif dan sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak asasi manusia. Prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah, mem buat pelaku bertanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan karena kejahatannya, memberikan ke sempatan pada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, o rang tua, keluarga, sekolah atau teman bermainnya, membuat forum kerjasama, juga dalam masalah yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya (Melani, 2005: 225).

Selanjutnya W. Van Ness menyatakan bahwa keadilan restoratif hendak mencapai beberapa nilai melalui penyelenggaraan peradilan pidana, yaitu; pertama, penyelesaian konflik (conflict

resolution) yang mengandung muatan pemberian ganti kerugian (recompense) dan pemulihan nama baik (vindication); dan, kedua, rasa aman (safety) yang mengandung muatan perdamaian (peace) dan ketertiban (order) (Mudzakkir, 2005: 26).

Charles K.B. Barton (2003: 4) membagi restorative justice ke dalam restorative justice meeting dan restorative justice conference. A restorative justice meeting is a face-to-face encounter between the principal stakeholders. A restorative justice conference, for example, brings together the victim, the offender, and their respective communities of support (family member, friends, coleagues, neighbours, teachers, coach, etc) to discuss the wrongful, or offending behaviour in question. The focus is to address the causes and consequences and to find a satisfactory resolution to the incident in question through consensus decision making.

Keadilan restoratif yang dikemukakan di atas merupakan sebuah proses mempertemukan para pihak. Para pihak tersebut duduk bersama untuk membicarakan kesalahan ataupun perilaku yang telah ditimbulkan. Namun fokus daripada pertemuan itu adalah untuk menemukan solusi yang nantinya akan diambil menjadi keputusan.

Selanjutnya Charles (2003: 4) juga menyebutkan bahwa “in contexs unrelated to criminal justice, restorative justice processes can be used as an effective conflict resolution and problem solving tool. The principles, facilitation techniques and the democratic nature of these processes can be easily transferred to other areas with appropriate modification.

Kelompok kerja Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memberikan pengertian keadilan restoratif sebagai suatu proses yang melibatkan

jurnal agustus 2012-arnis.indd 232 7/27/2012 3:11:34 PM

232 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240 Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 233

semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan memikirkan bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang (Melani, 2005: 223).

Sebagai rasa tanggung jawab dari pelaku terhadap korban, pelaku didorong untuk memiliki rasa pertanggungjawaban dengan menunjukkan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian. Sebagai akibat dari perilaku menyakitkan pelaku bukan pada masa lalu pelaku. Sehingga stigma dapat dihilangkan melalui tindakan yang tepat yang didukung oleh penyesalan pelaku dan pemaafan dari korban. Proses penyelesaian bergantung pada keterlibatan langsung orang-orang yang terpengaruh oleh kejadian sehingga dimungkinkan prosesnya menjadi emosional (Yulia, 2009: 247).

Keadilan restoratif berbeda dengan keadilan retributif yang dianut sistem peradilan pidana sekarang. Perbedaan itu antara lain terdapat dalam beberapa hal, yaitu: pertama, melihat tindakan kriminal secara komprehensif. Tidak saja mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran hukum semata, namun juga memahami bahwa pelaku merugikan korban, masyarakat dan bahkan dirinya sendiri. Kedua, melibatkan banyak pihak dalam merespon kejahatan, tidak hanya sebatas urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, namun juga korban dan masyarakat. Ketiga, mengukur kesuksesan dengan cara yang berbeda, tidak hanya dari seberapa besar hukuman dijatuhkan, namun juga mengukur seberapa kerugian dapat dipulihkan atau dicegah (Hidayat, 2005: 26).

Keadilan restoratif lebih menekankan kepada keterlibatan langsung pihak-pihak dan menuntut usaha kerja sama dengan masyarakat serta pemerintah untuk menciptakan suatu

lingkungan yang harmonis sehingga korban dan pelaku dapat merekonsiliasi konflik mereka dan menyelesaikan kerugian mereka dan dalam waktu yang bersamaan menimbulkan rasa aman dalam masyarakat (Mudzakkir, 2005: 26).

Melalui pendekatan keadilan restoratif diharapkan pemulihan bagi korban dapat terealisasi, tujuan pemidanaan bagi pelaku akan berhasil dan ketertiban masyarakat pun dapat tercapai. Keadilan restoratif merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan tujuan hukum. Keadilan yang akan diperoleh semua pihak, baik pelaku, korban maupun masyarakat (Yulia, 2009: 248).

Beberapa teori tentang tujuan hukum: Pertama, Teori Etis: tujuan hukum adalah keadilan. Kedua, Teori Utilitas: tujuan hukum adalah kebahagiaan. Ketiga, Teori Campuran: tujuan hukum adalah ketertiban. Pendapat lain, misalnya Mochtar Kusumaatmadja: tujuan hukum adalah keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat pada zamannya. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto: tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi (Warassih, 2005: 24-25).

Konsep kejahatan menurut konsep restorative justice diberi pengertian yang lebih nyata, bahwa kejahatan adalah konflik antar orang perseorangan. Kejahatan dipahami sebagai pelanggaran, pertama dan terutama melanggar hak perseorangan dan juga melanggar hak masyarakat (kepentingan publik), kepentingan negara, dan juga sesungguhnya secara tidak langsung melanggar kepentingan pelanggar itu sendiri (Mudzakkir, 2001: 210).

jurnal agustus 2012-arnis.indd 233 7/27/2012 3:11:34 PM

234 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

Bila disimak karakteristik keadilan restoratif di atas dapat ditegaskan kembali bahwa pandangannya lebih dipengaruhi paham Abolisionis yang menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara realistis harus diubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut (Sholehuddin, 2004: 66).

Oleh karena itu, dalam perkara pidana, keadilan restoratif akan lebih efektif sebagai alat untuk penyelesaian konflik. Dalam penegakan hukum pidana, keadilan itu harus diperoleh melalui tahapan sistem peradilan pidana sehingga itu tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan keadilan restoratif dalam semua tahapan sistem peradilan pidana.

Pelaku direstorasi melalui sistem peradilan pidana sehingga mendorong terjadinya perdamaian antara korban dan pelaku. Perdamaian itu dilakukan melalui mediasi, pertemuan, program perbaikan ekonomi dan pendidikan kejujuran (Braithwaite, 2002: 54).

Dengan demikian, sistem peradilan pidana diharapkan dapat mewujudkan keinginan masyarakat untuk memperoleh keadilan. Akan tetapi pada kenyataannya banyak masyarakat yang kecewa dengan hasil bekerjanya sistem peradilan pidana. Hal itu berkaitan dengan terlalu bergantungnya sistem peradilan terhadap kekuasaan dan penguasa, sehingga seolah-olah hukum hanya milik penguasa bukan milik masyarakat. Dengan kondisi demikian, semakin menjustifikasi kelemahan rakyat kecil di hadapan penguasa sehingga sistem peradilan pidana berpihak pada penguasa.

C. de Rover mengatakan bahwa para penegak hukum tidak boleh hanya mengetahui kekuasaan dan kewenangan yang diberikan

kepada mereka oleh hukum, tetapi mereka juga harus memahami potensi akibat berbahaya (akibat merusak) dari kekuasaan dan kewenangan tersebut (Susanto, 2002: 27). Para penegak hukum harus mengembangkan sikap dan perilaku personal pada tingkat yang akan memungkinkan mereka untuk melaksanakan tugas dengan cara yang benar. Para petugas penegak hukum tidak hanya harus memiliki karakteristik tersebut secara perorangan, tetapi juga mereka harus bekerja secara kolektif untuk memperkuat dan memelihara citra organisasi penegak hukum sehingga menanamkan kepercayaan dan keyakinan ke dalam masyarakat yang mereka layani dan lindungi (Susanto, 2002: 27).

Keadilan restoratif adalah respon yang sistematis atas tindak penyimpangan yang ditekankan pada pemulihan atas kerugian yang dialami korban dan atau masyarakat sebagai akibat dari perbuatan kriminal. Keadilan restoratif lebih menekankan pada upaya pemulihan dan bukan untuk menghukum. Dalam pelaksanaannya, keadilan restoratif akan merespon tindak pidana dengan ciri-ciri sebagai berikut (Mansyur, 2010: 121):

a. Melakukan identifikasi dan mengambil langkah untuk memperbaiki kerugian yang diciptakan;

b. Melibatkan seluruh pihak yang terkait (stake holder);

c. Adanya upaya untuk melakukan transformasi hubungan yang ada selama ini antara masyarakat dengan pemerintah dalam merespon tindak pidana.

Tujuan utama dari keadilan restoratif itu sendiri adalah pencapaian keadilan yang seadil-adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat

jurnal agustus 2012-arnis.indd 234 7/27/2012 3:11:34 PM

234 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240 Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 235

di dalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan penghukuman. Keadilan yang saat ini dianut, yang oleh kaum abolisionis disebut keadilan retributif, sangat berbeda dengan keadilan restoratif. menurut keadilan restributif, kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap negara, sedangkan menurut keadilan restoratif kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain. Selain itu, keadilan retributif berpandangan bahwa pertanggungjawaban si pelaku tindak pidana dirumuskan dalam rangka pemidanaan, sedangkan keadilan restoratif berpandangan bahwa pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik. Dilihat dari sisi penerapannya, keadilan retributif lebih cenderung menerapkan penderitaan penjeraan dan pencegahan, sedangkan keadilan restoratif menerapkan restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama (Mansyur, 2010 : 124).

Jika hal tersebut diterapkan dalam putusan hakim, maka hakim akan memberikan putusannya dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut. Tidak hanya mengendepankan keadilan prosedural, melainkan efek dari putusan itu terhadap perbaikan diri terdakwa atau pun terhadap masyarakat.

Pelaksanaan keadilan restoratif memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai berikut (Mansyur, 2010: 125):

a. Keadilan yang dituntut adalah adanya upaya pemulihan bagi pihak yang dirugikan.

b. Siapapun yang terlibat dan terkena dampak dari tindak pidana harus mendapat kesempatan untuk berpartisipasi penuh menindaklanjutinya.

c. Pemerintah berperan dalam menciptakan ketertiban umum, sementara masyarakat membangun dan memelihara perdamaian.

Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut di atas, terdapat empat nilai utama, yaitu (Mansyur, 2010: 125):

a. Encounter (bertemu satu sama lain), yaitu menciptakan kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat dan memliki niat dalam melakukan pertemuan untuk membahas masalah yang telah terjadi dan pasca kejadian.

b. Amends (perbaikan), di mana sangat diperlukan pelaku mengambil langkah dalam memperbaiki kerugian yang terjadi akibat perbuatannya.

c. Reintegration (bergabung kembali dalam masyarakat), yaitu mencari langkah pemulihan para pihak secara keseluruhan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat.

d. Inclusion (terbuka), di mana memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terkait untuk berpartisipasi dalam penanganannya.

Proses keadilan restoratif dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang mengkombinasikan satu mekanisme dengan yang lain. Adapun beberapa mekanisme yang umum diterapkan dalam keadilan restoratif adalah sebagai berikut (Mansyur, 2010: 126):

a. Victim offender mediation (mediasi antara korban dan pelaku);

b. Conferencing (pertemuan atau diskusi);

jurnal agustus 2012-arnis.indd 235 7/27/2012 3:11:34 PM

236 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

c. Circles (bernegosiasi);

d. Victim assistance (pendampingan korban);

f. Ex-offender assistance (pendampingan mantan pelaku);

g. Restitution (ganti rugi);

h. Community service (layanan masyarakat).

Menurut Adrianus Meliala, model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan sekaang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach). Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya, pada model keadilan restoratif yang ditekankan adalah resolusi konflik. Pemidanaan restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Di samping itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan perbuatannya (Mansyur, 2010: 126).

Konsep keadilan restoratif yang didasarkan pada tujuan hukum sebagai upaya menyelesaikan konflik dan mendamaikan antara pelaku dan korban kejahatan. Pidana penjara bukanlah satu-satunya pidana yang dapat diberikan pada pelaku, melainkan pemulihan kerugian, penderitaan yang dialami korban lah yang utama. Kewajiban merestorasi kejahatan dalam bentuk restitusi dan

kompensasi serta rekonsiliasi dan penyatuan sosial merupakan bentuk pidana dalam konsep keadilan restoratif (Yulia, 2010: 167).

Prinsip-prinsip keadilan restoratif sebagaimana telah dijelaskan di atas, tentu dapat diterapkan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Terutama dalam kasus yang dianggap ringan ataupun kerugiannya dapat dipulihkan secara segera tanpa harus melibatkan pihak lain.

Dalam Putusan MA No. 653K/Pid/2011 hakim mempertimbangkan sedikitnya 3 hal dalam menjatuhkan amarnya. Pertama, alasan Jaksa untuk mengajukan kasasi. Jaksa dianggap dapat membuktikan bahwa putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tangerang adalah bukan bebas murni sehingga dapat diajukan kasasi. Pengajuan kasasi tersebut sudah sesuai dengan cara dan tenggat waktu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut pertimbangan Mahkamah Agung, jaksa penuntut umum dalam kasasinya dapat membuktikan bahwa putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan negeri adalah bebas tidak murni, sehingga masih bisa diajukan upaya hukum kasasi.

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa bebas dari segala dakwaan. Hal ini lah yang dijadikan alasan bahwa terdakwa diputus bebas tidak murni secara sempit. Alasan lain adalah penafsiran pasal-pasal yang terkait dengan pasal pembuktian (harus ada saksi ketika terdakwa mengambil barang) dan unsur mengambil barang milik orang lain tidak terbukti secara melawan hukum. Alasan pengajuan kasasi adalah kesalahan hakim dalam menafsirkan pasal-pasal tersebut di atas. Sehingga Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi

jurnal agustus 2012-arnis.indd 236 7/27/2012 3:11:34 PM

236 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240 Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 237

jaksa penuntut umum harus dikabulkan.

Alasan pengajuan kasasi dengan menyatakan bahwa putusan kasus terdakwa R adalah putusan bebas tidak murni merupakan alasan dapat diterimanya kasasi. Akan tetapi dalam menjatuhkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta harus juga mengabulkan permohonan kasasinya. Ada hal-hal yang harus masuk dalam pertimbangan juga.

Kedua, alasan pertimbangan hakim terhadap unsur “mengambil barang” sesuai dengan Pasal 362 KUHP. Dalam putusan pengadilan negeri unsur mengambil barang tidak terbukti karena tidak ada saksi yang melihat pada saat pengambilan barang tersebut. Barang yang ada di tempat terdakwa tidak semuanya diambil tanpa izin melainkan ada beberapa barang yang diberikan oleh korban. Tidak ada saksi yang melihat pada saat mengambil barang sehingga perbuatan melawan hukum tidak terbukti.

Ketiga, adanya kesalahan penafsiran dari hakim. Kesalahan dalam melakukan penafsiran tentang pasal pembuktian dan pencurian menurut jaksa penuntut umum harus ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Untuk menemukan kebenaran materiil yang memberikan keadilan bagi semua pihak tentu selain melakukan penafsiran secara tekstual bunyi undang-undang, juga harus melakukan penafsiran kontekstual pada saat itu dilakukan dan pada saat sekarang terjadi perbuatannya.

Dalam menjatuhkan putusan tidak hanya unsur yuridis yang dipertimbangkan tetapi unsur sosiologis juga menjadi bagian penting dalam sebuah putusan. Mengingat hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Keadilan restoratif menawarkan sebuah

mekanisme kerja yang diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pihak yang berkonflik. Dengan menggunakan prinsip-prinsip dalam restorative justice, hakim dalam putusannya dapat mengedepankan kepentingan para pihak. Hakim memberikan sebuah solusi yang semua pihak bisa menerima. Dalam kasus R misalnya, korban sudah dipulihkan kerugiannya dengan dikembalikannya barang-barang yang dianggap dicuri (dalam putusan pengadilan negeri tidak terbukti unsur mengambil barang).

Melihat jumlah kerugian yang diderita dan kerugian sudah dipulihkan, maka pembalasan bagi pelaku juga sudah tidak diperlukan lagi. Apalagi pembalasan dengan berupa hukuman ini akan mengakibatkan terganggunya rasa keadilan masyarakat.

Dalam proses mengadili terdakwa, tentu hakim dapat mempertimbangkan segala aspek dan setiap hal yang berkaitan dengan terdakwa. Baik itu yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa. Selain itu hakim juga harus memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan secara sosilogis harus melihat rasa keadilan yang dicari oleh masyarakat. Walaupun ini tidak berarti hakim harus terpengaruh oleh opini publik yang sudah terbangun dalam suatu kasus tertentu.

Ketika menjatuhkan putusan, tidak semata-mata keadilan prosedural yang sudah terpenuhi. Tidak hanya melulu mengedepankan formalitas hukum atau pun kepastian hukum berdasarkan teks undang-undang, tetapi juga harus memaknakan keadilan bagi seluruh masyarakat. Keadilan restoratif lebih mengusung keadilan substansial yang harus diperoleh semua pihak, baik itu korban, pelaku atau pun masyarakat. Jika hakim menggunakan keadilan restoratif dalam

jurnal agustus 2012-arnis.indd 237 7/27/2012 3:11:34 PM

238 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

memutuskan suatu perkara pidana, maka rasa ketidakpuasan terhadap putusan yang dijatuhkan akan dapat diminimalisasi. Hal itu terkait dengan cara bekerjanya keadilan restoratif dalam menyelesaikan konflik pidana. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa konsep keadilan restoratif ini menghadirkan semua pihak dalam mencari solusi terbaik dengan difasilitasi oleh masyarakat (dalam konteks ini hakim dapat berfungsi sebagai mediator).

Berbagai hal yang terkait dengan tujuan pemidanaan, kepentingan pelaku kejahatan, kepentingan korban dan kepentingan masyarakat harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pertimbangan putusan hakim. Hakim harus mampu mencerna dampak yang ditimbulkan kepada pelaku kejahatan atas pidana yang dijatuhkan. Melalui putusannya itu pula hakim harus dapat memulihkan kerugian ataupun penderitaan korban, dan tidak kalah penting adalah, rasa keadilan masyarakat harus juga terakomodasi karena itu merupakan kontrol sosial dari penegakan hukum.

Keadilan restoratif diharapkan dapat memberikan rasa tanggung jawab sosial pada pelaku dan mencegah stigmatisasi pelaku di masa yang akan datang. Dengan demikian konsep keadilan restoratif ini diharapkan paling tidak, bisa membatasi perkara yang menumpuk di pengadilan (walaupun belum bisa diselesaikan melalui out of court settlement) dan bisa dijadikan solusi dalam pencegahan kejahatan (Yulia, 2010: 167).

Terkait dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 653K/Pid/2011, seyogianya spirit keadilan restoratif dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk memutus terdakwa sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Seperti dapat dilihat dalam pertimbangan putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang memutus R tidak bersalah tetapi harus mengembalikan semua barang bukti kepada saksi pelapor. Mengingat situasi dan kondisi yang menyertai perbuatan itu sehingga dengan pengembalian sejumlah barang yang dilaporkan dicuri dianggap dapat memulihkan kerugian yang diderita oleh korban.

Dalam hal ini, majelis hakim telah menerapkan keadilan restoratif. Konflik pidana yang terjadi diselesaikan dengan cara pemulihan kerugian yang diderita oleh korban. Yaitu pengembalian sejumlah barang yang dianggap telah dicuri oleh pelanggar dan pelanggar tidak dihukum pidana dengan berbagai pertimbangan.

Berbeda jika melihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 653K/Pid/2011. Dalam Amar putusan tersebut menyatakan terdakwa R telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dan dijatuhkan vonis empat bulan sepuluh hari. Tentu saja putusan tersebut menimbulkan kegelisahan di mata hukum dan masyarakat.

Secara yuridis formal, R sudah diputus tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Dia bebas dari segala tuduhan jaksa. Kasus yang diduga dilakukan olehnya juga merupakan kasus yang nilai kerugiannya kecil dan sifat perbuatannya masih bisa diperbaiki. Jika melihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri maka yang harus dilakukan adalah perbaikan bukan penghukuman.

Pada sisi yang berbeda, pihak banyak perkara-perkara yang dianggap besar misalnya korupsi malahan penegakannnya lamban dan putusannya tidak memuaskan masyarakat.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 238 7/27/2012 3:11:34 PM

238 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240 Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia) | 239

Beberapa terdakwa kasus korupsi bisa melenggang kangkung begitu saja selepas divonis bebas oleh hakim.

Perkara yang terjadi pada kasus R ini, mungkin proses penyelesaiannya menghabiskan berkali-kali lipat biaya daripada kerugian saksi. Terlebih, putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang memvonis tidak bersalah dan terdakwa diharuskan mengembalikan sejumlah barang yang telah diambil, kerugian korban sudah dipulihkan. Dalam hal itu sudah memberikan rasa keadilan bagi korban, pelaku dan juga masyarakat. Sekali lagi, dengan kata lain, perbaikan atas kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan yang terjadi sudah dilakukan.

SIMPULANIV.

Penerapan keadilan restoratif oleh hakim dalam menjatuhkan putusan dapat mulai dilaksanakan pada perkara-perkara yang dianggap dengan sifat kerugian kecil. Seperti kasus-kasus yang dicontohkan dalam tulisan ini oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Sebaliknya, Mahkamah Agung justru menggunakan prinsip hukum pemidanaan sehingga dua putusan itu berbeda.

Hal ini merupakan terobosan hukum yang dianggap dapat lebih memberikan keadilan bagi para pihak, baik itu pelanggar, korban, maupun masyarakat. Hakim sebagai pemutus akhir suatu perkara, tentu dapat menggunakan konsep-konsep keadilan restoratif dalam mempertimbangkan berbagai hal di balik vonis yang dijatuhkan. Hal itu semata-mata untuk mewujudkan tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Barton, Charles K..B. 2003. Restorative Justice (The Empowerment Model). Australia: Hawkins Press.

Mansyur, Ridwan. 2010. Mediasi Penal Terhadap perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia.

Nawawi Arief, Barda. 2008. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan. Semarang: Pustaka Magister.

Poernomo, Bambang. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia.

Sastrawidjaja, Sofjan. 1995. Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana). Bandung: Armico.

Sianturi, S.R. 1996. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem.

Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Double Track System dan Implementasinya). Jakarta: Rajawali Pers.

Yulia, Rena. 2010. Viktimologi (Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan). Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: Refika Aditama.

Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 239 7/27/2012 3:11:34 PM

240 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: PT Suryandaru Utama.

Makalah/jurnal:

Buletin Komisi Yudisial, Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif, Vol. VI No 4, Januari-Pebruari 2012.

Susanto, Anthon F. Membangun Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Volume 3 Nomor 1 Januari-Juni 2002.

Melani, “Membangun Sistem Hukum Pidana dari Retributif ke Restoratif”, Litigasi, Volume 6 Nomor 3 Oktober 2005.

Mudzakir, Viktimologi Studi Kasus Di Indonesia, Penataran Nasional Hukum Pidana Dan Kriminologi XI, Surabaya 14-16 Maret 2005.

Taufik Hidayat, “Restoratif Justice Sebuah Alternatif”, Restorasi, Edisi IV/Vol 1 2005.

Ravena, Dey, Implementasi Kebijakan Berwawasan Restorative Justice Pembinaan Narapidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Volume 10 Nomor 1 Februari 2009.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 240 7/27/2012 3:11:34 PM

240 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

BIODATA PENULIS

Anthon F. Susanto, lahir di Bandung pada 17 Mei 1969. Sarjana Hukum dari Universitas Pasundan (1994), S2 Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP Semarang (2001), S3 Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP. Beliau adalah dosen Program S1 dan Program Pascasarjana FH UNPAS Bandung. Aktif sebagai peneliti dan penulis, baik artikel untuk jurnal maupun buku, di antaranya Wajah Hukum di Era Reformasi dalam rangka menyambut 70 tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, dan Menyikapi dan Memaknai Syari’at Islam Secara Global dan Nasional (Refika Aditama, 2004).

Laoura Hardjaloka, lahir di Jakarta, 21 Februari 1992, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum Perdata khususnya Hukum Ekonomi dan Perburuhan. Pernah menjadi staf peneliti Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan melakukan penelitian tentang Hambatan dan Kelemahan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, dan menulis di E-Voting: Kebutuhan Vs. Kesiapan (Menyongsong) E-Demokrasi yang diterbitkan di Jurnal Konstitusi Volume 8, No. 3 Tahun 2011. HP: 021 90325013.

]Yeni widowati, lahir di Gunung Kidul, 17 Juni 1961. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, S2 di Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, dan memperoleh gelar doktor di Universitas Diponegoro pada tahun 2011. Tercatat sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan pangkat Pembina/IVa sejak 1 April 2006. HP: 081328119161.

widiada Gunakaya, lahir di Singaraja, Bali 30 Agustus 1958. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala. Sarjana Hukum (S1) STHB (1977) lulus 1982, Magister Ilmu Hukum (S2) KPK UI-UNDIP (1991) lulus 1993, Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) 2005 lulus tahun 2008.

Andi Nuzul, lahir di Panyula, Kabupaten Bone Tahun 1963. Menyelesaikan pendidikan tingkat Sekolah Dasar pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Panyula (1975), Pendidikan Guru Agama Negeri 4 tahun (PGAN 4 Th) tahun 1979, serta PGAN Watampone (1981). Pada jenjang pendidikan tinggi, menyelesaikan Sarjana Muda (BA) tahun 1985 di IAIN (Fak. Syariah) Alauddin di Watampone; Sarjana lengkap (S1) (1987) di perguruan tinggi yang sama Jurusan Pidana dan Perdata Islam, serta memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada FH. Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar pada program studi keperdataan (1995). Kemudian pada tahun 1999 melanjutkan pendidikan di pascasarjana (S2) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan selesai tahun 2002 dalam bidang hukum keperdataan. September tahun 2006, kembali melanjutkan pendidikan doktornya (S3) di almamaternya (FH UGM) dalam program studi yang sama, dan selesai pada Desember tahun

jurnal agustus 2012-arnis.indd 241 7/27/2012 3:11:35 PM

2009. Sejak tahun 1991 sampai tahun 1997, menjadi dosen tetap dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Syariah IAIN Walauddin Watampone yang kini beralih status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone. Pada tahun 1997 sampai sekarang menjadi dosen tetap dalam mata kuliah yang sama pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone. Saat ini penulis pada jabatan Lektor Kepala (IV/b) dalam Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum di STAIN Watampone. Pernah menjadi Ketua Prodi Muamalah pada Jurusan Syariah STAIN Watampone (1997-1999), serta Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan STAIN Watampone periode tahun 2002-2006.

Selain sebagai dosen tetap dalam mata kuliah Ilmu Hukum di STAIN Watampone, juga memberi kuliah dalam bidang hukum, kewarganegaraan, dan Pancasila pada beberapa perguruan tinggi swasta yang ada di Kabupaten Bone, antara lain Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pengayoman Watampone, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Puangrimaggalatung (STIA PRIMA) Bone, serta Sekolah Tinggi Agama Islam al-Gazali (STIA al-Gazali) Bone.

Rena Yulia, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Menyelesaikan S1 Ilmu Hukum di Universitas Islam Bandung dan Magister Ilmu Hukum di almamater yang sama. Saat ini sedang menempuh Program S3 Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung. Penulis buku Viktimologi dan Hukum Pidana Ekonomi. Aktif menulis di jurnal ilmiah dan beberapa artikel hukumnya dimuat di surat kabar di Jawa Barat. HP: 0817226339.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 242 7/27/2012 3:11:35 PM

PEDOMAN PENULISAN

Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.

FORMAT NASKAH

Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH

I. JUDUL NASKAH

Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT

DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

A. Nama dan identitas penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad Tarigan

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,

email [email protected].

jurnal agustus 2012-arnis.indd 243 7/27/2012 3:11:35 PM

B. Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

II. PENDAHULUAN

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

III. RUMUSAN MASALAH

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

IV. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

V. SIMPULAN

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...

Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);

Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

jurnal agustus 2012-arnis.indd 244 7/27/2012 3:11:35 PM

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:

[email protected]

dengan tembusan ke:

[email protected] dan [email protected].

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):

Nur Agus Susanto (085286793322);

Dinal Fedrian (085220562292); atau

Arnis (08121368480).

Alamat redaksi:

Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 245 7/27/2012 3:11:35 PM

jurnal agustus 2012-arnis.indd 246 7/27/2012 3:11:35 PM