Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

27
Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489 Keterwakilan Etnis di Politik Nasional: Kasus Etnis Sunda di Republik Indonesia Penulis: Iwan Gardono Sujatmiko Sumber: MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi , Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 1-26 Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected]; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012 Untuk mengutip artikel ini: Sujatmiko, Iwan Gardono. 2014. “Keterwakilan Etnis di Politik Nasional: Kasus Etnis Sunda di Republik Indonesia.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 1-26.

Transcript of Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

Page 1: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489

Keterwakilan Etnis di Politik Nasional: Kasus Etnis Sunda di Republik Indonesia

Penulis: Iwan Gardono Sujatmiko

Sumber: MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi , Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 1-26

Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI

MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected]; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm

SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012

Untuk mengutip artikel ini: Sujatmiko, Iwan Gardono. 2014. “Keterwakilan Etnis di Politik Nasional: Kasus Etnis Sunda di Republik Indonesia.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 1-26.

Page 2: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

Keterwakilan Etnis di Politik Nasional: Kasus Etnis Sunda di Republik Indonesia1

I w a n G a r d o n o S u j a t m i k o Departemen Sosiologi Universitas Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk membuat sebuah model analisis untuk menjelaskan mengapa kehadiran tokoh politik Sunda di tingkat nasional relatif rendah walaupun mereka merupakan kelompok mayoritas terbesar kedua di Indonesia. Model analisis ini difokuskan pada faktor sejarah, jaringan sosial, budaya, dan peran Pemda serta masyarakat. Faktor sejarah berguna untuk mengetahui sejauh mana pentingnya posisi orang Sunda dan Bandung sebagai pusatnya dalam hubungan sosial politiknya dengan Jakarta. Faktor jaringan sosial dapat menganalisis keterkaitan antara jaringan Sunda dengan jaringan nasional. Sementara itu faktor budaya berguna untuk melihat pengaruh nilai dan perilaku orang Sunda dalam berpolitik. Model ini juga mencakup peran Pemda dan masyarakat Sunda dalam mendukung orang Sunda untuk meningkatkan kehadiran tokoh politik mereka ditingkat nasional.

Abstract

The article aims to construct an analytical model to explain why the presence of Sundanese political leaders at the national level is relatively low despite that they are the second largest majority group in Indonesia. The model focuses on historical factor, social network, culture, as well as the role of local government and society. The historical factor is crucial as to describe the importance of Sundanese’s position with Bandung as its core in its sociopolitical relation with Jakarta. The social network explores the connectivity between Sundanese with the national network, while the cultural factor is essential in analyzing the effect of values and behaviour of Sundanese in politics. The model will also include the roles of local government and Sundanese society in supporting the Sundanese to increase the presence of their political leaders at the national level.

Keywords: ethnic representation, social network, cultural identity, Sundanese

1Penulis mengucapkan terima kasih kepada (almarhum) M. Iqbal Djajadi, Kusharianingsih, Ganda Upaya, dan Adrianus Jebatu atas masukannya untuk makalah ini. Penulis juga berterima kasih pada mereka yang karyanya dikutip dalam artikel ini. Segala kesalahan yang masih ada menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Page 3: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

2 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

PE N DA H U LUA N

Negara Republik Indonesia—yang beragam secara etnis—telah terjadi kerjasama, percampuran, maupun konflik antar etnis serta separatisme. Selain itu, terdapat pula kompetisi antar etnis dalam politik dan hasilnya terlihat antara lain dalam keterwakilan pimpinan nasional seperti jabatan presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Kompetisi politik nasional tidak dilakukan oleh organisasi berbasis etnis melainkan oleh partai politik dan organisasi sosial. Jika dilihat dalam konteks keterwakilan etnis, maka keterwakilan orang Sunda sebagai pimpinan nasional Indonesia relatif terbatas walaupun jumlah orang Sunda cukup banyak karena merupakan etnis yang terbesar setelah Jawa. Apalagi arena kompetisi politik nasional tersebut berada di daerah Sunda sehingga mempermudah orang Sunda untuk berkompetisi politik dan mencapai puncak sebagai pimpinan nasional.

Dari tujuh presiden tidak ada seorang pun yang berasal dari Sunda. Demikian juga dari sepuluh wakil presiden hanya satu orang dari Sunda yakni Jenderal TNI (Purn.) Umar Wirahadikusumah dan dia dianggap dipilih lebih karena identitas kemiliterannya, bukan kesundaannya. Selain itu, jabatan tinggi lainnya, seperti perdana menteri, dijabat oleh satu orang Sunda yakni Juanda Kartawijaya, sementara 10 orang lainnya adalah non Sunda (4 dari Sumatera Barat, 4 dari Jawa Tengah, dan 2 dari Sumatera Utara). Demikian juga jumlah orang Sunda relatif sedikit yang menjadi pahlawan nasional, yakni 10 dari 159 orang (7%); anggota BPUPKI sebanyak 8 dari 76 orang (11%); anggota PPKI sebanyak 3 dari 27 orang (11%); dan Ketua MPR sebanyak 1 dari 14 orang (7%).2

Dilihat dari segi jumlahnya orang Sunda merupakan kelompok kedua terbesar dengan jumlah 36.701.670 orang (15.5%) setelah orang Jawa (Tengah dan Timur) sebanyak 95.217.022 orang atau 40.2% (lihat BPS 2011:8). Dilihat dari teori etno simbolik yang dikemukakan Smith (1986, 1998) Sunda merupakan etnis terbesar kedua–setelah Jawa–yang merupakan core-ethnie dalam pembentukan negara bangsa Indonesia. Orang Sunda berada di propinsi Jawa Barat dan bahasa Sunda yang murni dan halus ada di wilayah Priangan,

2 Ketua MPR yang orang Sunda adalah Jenderal Amir Machmud dan diangkat menjadi Ketua MPR lebih karena ia seorang TNI, bukan orang Sunda. Untuk sumber data perdana menteri, pahlawan nasional, ketua MPR, dan anggota BPUPKI, PPKI, dapat dilihat di id.wikipedia.org, lihat daftar pustaka artikel ini.

Page 4: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 3

yakni Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi, dan Cianjur (Harsoyo 1999:307). Komposisi masyarakat Sunda sen-diri sebenarnya kompleks, di mana terdapat komunitas yang lebih sekuler dan kosmopolitan, seperti Bandung. Selain itu, terdapat pula komunitas adat (misalnya di Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi) sebagai minoritas (indigenous people) dan kaum minoritas lainnya, terutama kelompok keturunan Cina.

Kasus Sunda merupakan gejala yang menarik karena mereka bu-kanlah kelompok etnis minoritas, melainkan kelompok etnis terbesar kedua di Indonesia. Keadaan ini membuat mereka tidak memperoleh keistimewaan seperti kelompok jender di mana mereka diminta untuk diberi jatah 30% di daftar calon pemilu. Demikian juga etnis Sunda berbeda dengan etnis Aceh yang mendapat keistimewaan dalam penerapan Syariah Islam atau Papua dimana Gubernur harus warga asli Papua. Dalam sejarah Indonesia, golongan kecil (minoritas) etnis Tionghoa, Eropa, dan Arab mendapat jatah sebagai anggota DPR sebanyak dengan jumlah masing-masing sebanyak 9 orang, 6 orang, dan 3 orang di Konstitusi RIS 1949 (pasal 100 ayat 1) dan UUD Sementara RI (pasal 58 ayat 1).

Keadaan diatas merupakan respon negara yang melaksanakan politik inklusi dari “atas”, seperti quota (jatah kursi parlemen), reservation (insentif ), dan party list (quota di kartu suara pemilu) (Htun 2004). Di lain pihak, upaya keterwakilan dari “bawah” dilakukan oleh kelompok etnis melalui mobilitas sosial sehingga dapat masuk ke sistem politik pusat. Dalam kasus etnis Sunda, tiadanya proteksi dan keistimewaan dari “atas” akan memerlukan inklusi dari “bawah” agar mereka mempunyai keterwakilan politik yang lebih besar. Dalam hal ini, organisasi dan jaringan Sunda menjadi jembatan dan “eskalator” bagi orang Sunda untuk masuk dan berperan di jaringan politik nasional. Selain itu, peran budaya Sunda menjadi penting untuk saling mendukung dengan jaringan sosial sehingga dapat meningkatkan kesempatan politik yang terbatas dan tanpa proteksi untuk masuk ke jaringan nasional.

Pembahasan di atas menunjukkan bahwa keterwakilan politik orang Sunda di nasional-Jakarta relatif rendah. Saat ini terdapat beberapa analisis yang telah memberikan pemahaman umum mengenai masyarakat dan budaya Sunda (Ekadjati 1995, Lubis 1998, Rosidi 2000, Alwasilah 2006, Mariana dan Paskarina 2009). Selain itu, terdapat beberapa pendapat dari masyarakat Sunda sendiri

Page 5: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

4 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

mengenai rendahnya keterwakilan orang Sunda dalam pimpinan nasional. Orang Sunda dianggap enggan masuk ke ranah politik, berkarakter individualis, tidak memiliki ambisi politik, kurang solid dan kompak, kurang baik dalam berorganisasi, dan kegagalan regenerasi (Pikiran Rakyat, 19 September 2012). Namun, analisis mengenai keterwakilan orang Sunda dalam tingkat nasional belum dibahas secara teoretik yang disertai dengan rekomendasi.

Artikel ini mengkonstruksi model analisis untuk menjelaskan rendahnya keterwakilan etnis Sunda dalam politik nasional dengan memfokuskan pada sejarah, jaringan sosial, budaya dan peran Pemda, serta masyarakat Sunda. Berdasarkan pada studi kepustakaan diidentifikasi faktor-faktor tersebut dan perannya dalam proses keterwakilan politik. Selain itu, rekomendasi kebijakan dirumuskan untuk meningkatkan keterwakilan politik orang Sunda di tingkat nasional. Model analisis ini diharapkan dapat digunakan untuk studi lanjutan guna lebih memperdalam faktor-faktor yang memengaruhi keterwakilan politik serta rekomendasi kebijakannya.

M E TODE PE N E L I T I A N

Analisis mengenai jaringan sosial dan identitas budaya dalam keterwakilan politik ini merupakan studi kepustakaan yang dilakukan pada berbagai sumber, seperti jurnal, buku, majalah, dan koran. Analisis didasarkan pada data kuantitatif keterwakilan politik orang Sunda yang rendah seperti persentase mereka yang menjadi pahlawan nasional, presiden, wakil presiden, perdana menteri, anggota BPUPKI dan PPKI, serta ketua MPR. Setelah itu dilakukan analisis sejarah masyarakat Sunda dalam konteks globalisasi dan pembentukan Republik Indonesia. Data sejarah ini dianalisis guna menunjukkan bagaimana masyarakat Sunda telah menjadi bagian dari pusat (sub-core), khususnya di era Republik Indonesia. Tahap selanjutnya adalah analisis tentang jaringan Sunda dalam kaitannya dengan jaringan nasional/pusat, khususnya Jakarta. Demikian juga dianalisis sejauh mana peran budaya Sunda apakah terbuka atau tertutup dalam interaksinya dengan budaya luar. Data yang tersedia ini diinterpretasi dan penjelasan teoretik, khususnya eksklusi sosial, jaringan sosial, dan identitas budaya. Selain itu, analisis akan dilengkapi dengan masukan untuk rekomendasi kebijakan oleh pemerintah daerah maupun

Page 6: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 5

organisasi masyarakat dan keluarga Sunda untuk lebih memperluas jaringan sosial dan meningkatkan identitas budaya.

K E R A NGK A A NA L ISIS

Kondisi politik etnis di Indonesia pada era pemerintahan Sukarno dan Suharto masalah suku bangsa seringkali muncul terkait dengan konflik kedaerahan, seperti di Aceh dan di Papua. Setelah reformasi 1998, politik etnis melemah karena adanya desentralisasi serta politik lokal yang mengharuskan koalisi untuk pemilu, persatuan nasional, patronisme, pragmatisme, dan oportunisme (Aspinal 2011). Rendahnya keterwakilan orang Sunda dalam politik nasional merupakan masalah eksklusi etnis. Namun, eksklusi etnis ini bukan bersifat vertikal yang dialami oleh kelas sosial di lapisan bawah seperti dalam stratifikasi dan mobilitas sosial (lihat Grusky 2008). Hal itu juga bukan eksklusi horizontal seperti yang terjadi antar etnis atau agama, bukan juga eksklusi kuat (strong exclusion) karena tindakan kelompok lain atau negara (Veit-Wilson dalam Bryne 2005:5) seperti yang terjadi pada kelompok migran, miskin, atau minoritas. Kasus Sunda bukan eksklusi yang bersifat lemah (weak exclusion) di mana suatu kelompok tidak mampu untuk masuk dan menjadi bagian dari suatu masyarakat.

Kasus etnis Sunda merupakan masalah eksklusi spasial atau regional antara jaringan politik nasional, yakni daerah Jakarta yang multi etnis, dan jaringan regional, yakni daerah Sunda. Orang Sunda yang lebih senang berada di jaringan Sunda membuat interseksi antara jaringan Sunda dan jaringan nasional menjadi terbatas. Jaringan politik ini berisi individu dan organisasi politik dan sosial yang berpusat di pusat kekuasaan dan terkait dengan jaringan regional. Jaringan ini menjadi tempat hubungan sosial yakni bekerjasama, berkompetisi, dan berkonflik dalam perebutan sumber daya politik dan ekonomi serta arena ekspresi identitas budaya (lihat Denis and Kalekin-Fishman 2009). Keadaan ini dapat dijelaskan dengan teori jaringan sosial, di mana lemahnya jaringan Sunda ke jaringan nasional menyebabkan orang Sunda tidak dapat mengambil manfaat dari jaringan teresebut. Menurut Portes (1998:6): “...social capital stands for the ability of actors to secure benefits by virtue of membership in social networks.” Dalam hal ini jaringan Sunda yang berada di daerah mempunyai linking network (lihat Woolcock and Sweetser 2002) dengan jaringan nasional

Page 7: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

6 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

di mana terdapat kekuasaan politik nasional. Mereka yang masuk ke jaringan nasional ini akan mendapatkan modal sosial yang dapat diubah menjadi modal politik (lihat Birner dan Wittmer 2000). Dengan kata lain, potensi posisi jaringan Sunda yang dekat dengan pusat (Jakarta) atau modal geografis tidak optimal karena faktor sosial budaya.

Rendahnya keterwakilan orang Sunda ini dapat dilihat dari perspektif budaya yakni “... concerned with the meaning and significance of human activities and relations” (Parekh 2000:146). Faktor budaya dalam pembahasan ini dapat mendukung atau menghambat kelompok untuk berhubungan atau masuk ke jaringan sosial tertentu. Budaya yang terbuka dan multikultur akan mempermudah kegiatan manusia dengan kelompok lain atau multi jaringan. Demikian juga keadaan sebaliknya terjadi pada budaya monokultur yang lebih bersifat menutup diri. Budaya multikultur ini akan mempermudah pembentukan “manusia modular” (Gellner 1996:97-108), di mana orang dapat memilih dan menambah identitasnya tanpa mengganggu identitas utamanya. Selain itu, ekspresi identitas dan simbol budaya yang kuat dan hadir di masyarakat akan menghasilkan identitas budaya positif dan menambah rasa bangga dan percaya diri orang Sunda dalam memasuki jaringan nasional (lihat Brooker Woodhead 2008:18).

SU N DA DA L A M L I N TA S A N SEJA R A H

Sejarah Sunda menunjukkan bahwa mereka berada dalam globalisasi dan dipengaruhi peradaban India (Hindu-Budhis); Cina; Arab (Islam); dan Barat (terutama Belanda) (lihat Lombard 2000a; 2000b; 2000c). Pada awalnya orang Sunda mengalami pengorganisa-sian suprakomunitas dengan munculnya berbagai kerajaan, seperti Ta-ruma Negara, Sunda, Galuh, dan Pakuan Pajajaran. Masyarakat dan kerajaan Sunda dalam dinamika sejarahnya pernah menjadi daerah bebas dan setara dengan berbagai kerajaan lainnya. Namun, daerah tersebut–terutama pesisirnya–pernah berada di bawah pengaruh Sriwi-jaya pada abad 7 sampai 13 (Munoz 2009:284). Keadaan ini berlanjut dengan dikalahkannya Sunda oleh Banten dan Cirebon serta gagalnya Sumedanglarang menjadi pewaris dari kerajaan Sunda-Pajajaran (Lu-bis 1998:29). Pada masa berikutnya Sumedanglarang dikuasai–secara

Page 8: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 7

longgar–oleh Kerajaan Mataram dan dijadikan “kordinator” (Bupati Wedana) Mataram. Pada periode ini terjadi proses Islamisasi oleh Banten dan Cirebon yang disertai dengan Jawanisasi oleh Mataram. Pengaruh Islam ini menghasilkan orang Sunda yang menganut agama Islam namun masih menggunakan budaya Sunda (bahasa, upacara dan makanan). Dilain pihak, terjadi Jawanisasi Sunda seperti yang terlihat pada semakin kuatnya hirarki berdasarkan stratifikasi sosial dalam bahasa bahasa Sunda (Lubis 1998:176).

Kedatangan orang Inggris, Portugis, dan Belanda (VOC dan Pe-merintah Hindia Belanda) semakin membuat masyarakat dan buda-ya Sunda menjadi lebih kompleks, namun dalam perkembangannya pengaruh Belanda paling dominan. Pada saat itu Hindia Belanda merupakan periphery, sementara Belanda menjadi core. Di periphe-ry tersebut terdapat core, yakni Batavia, sementara Bandung menjadi subcore Batavia. Pada periode ini, daerah dan masyarakat Sunda men-jadi berkembang termasuk dengan adanya perkebunan. Keadaan ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi walaupun hasil yang lebih besar dinikmati oleh Belanda.

Pada masa Hindia Belanda, daerah Sunda relatif tenang dan per-lawanan pada Belanda dilakukan oleh tokoh Islam dan pesantren, misalnya Haji Hasan Arif di Garut dan Kyai Mustofa di Tasikma-laya melawan Belanda dan Jepang (1941-1942). Para bupati (Menak Priangan) di Sunda lebih kooperatif dengan Belanda karena diberi otonomi dan insentif dalam hubungannya dengan warga di kabu-patennya. Namun ketegangan Belanda dengan seorang bupati per-nah terjadi di Sumedang ketika Pangeran Kornel (Kusumadinata IX) memprotes karena beratnya penderitaan orang Sumedang dalam membangun jalan Raya Pos Anyer Penarukan. Akhirnya Belanda melakukan kompromi dengan mendinamit bukit yang menghalangi jalan raya pos tersebut. Sementara itu pemberontakan lebih sering terjadi di Banten dan Cirebon, misalnya Kyai Tapa di Banten (1750), Ki Bagus Rangin (1802-1818) di Cirebon (meluas ke Sumedang dan Subang), dan Ki Wasid dan Ki Tubagus Ismail di Banten (1888). Selain itu terjadi pula pemberontakan PKI di Banten yang bekerja sama dengan K.H. Achmad Chatib dan kelompok buruh pada tahun 1926. Para kyai dan pesantren lebih asertif dan berani konflik dengan Hindia Belanda dibanding dengan para bangsawan Sunda.

Setelah kemerdekaan tahun 1945, masyarakat Sunda semakin menjadi kompleks dengan munculnya Republik Indonesia sebagai

Page 9: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

8 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

pengganti Belanda–dan Jepang–yang disertai dengan mesin birokra-sinya yang diisi oleh orang dari seluruh Indonesia dibawah bendera nasionalisme. Pada perubahan kekuasaan ini kelompok DI/TII me-neruskan perlawanan pada Republik Indonesia (Jackson 1980). Pada awal kemerdekaan ini terdapat Negara Pasundan bentukan Belanda, namun Belanda tidak dapat menguasai sepenuhnya daerah tersebut (Kahin 2003:369). Konflik dengan kekerasan antara Sunda dengan pusat tidak dibahas karena memang menjadi semacam junior partner dari pusat (Jakarta atau Jawa). Pada tahun 1950-an terdapat konflik bersenjata yang didasarkan pada faktor kedaerahan, yakni daerah Jawa dan Luar Jawa (Geertz 1973:280-283), seperti kasus Permesta dan PRRI. Selain itu konflik di Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan, yakni DI/TII, merupakan gabungan konflik pusat daerah dan keagamaan. Hal ini tercermin dari peran Divisi Siliwangi sebagai bagian dari pemerintah pusat dalam menjaga integritas dan negara Kesatuan Indonesia dari konflik di daerah-daerah sehingga mereka memperoleh Sam Karya Nugraha.

Keberadaan Jakarta sebagai pusat Indonesia ini seperti “kapal besar” yang menghasilkan “ombak” bagi lingkungannya dan men-ghasilkan “koloni-koloni” yang lebih berorientasi ke pusat, terutama birokrasi militer, polisi, dan pemerintah daerah. Di daerah Sunda, tepatnya di Bandung, terdapat Sesko TNI dan Seskoad. Di Lembang terdapat Sespim Polri dan Seskoau. Sementara, di Sumedang terda-pat STPDN/IPDN yang merupakan bagian dari pemerintah pusat. Selain itu, ekspansi pemerintah pusat terlihat pula dalam pembentuk-an Kodam Jakarta yang bernama Jayakarta pada tahun 1960 yang mengurangi daerah Kodam Siliwangi (Lowry 1996:48). Munculnya Kodam Jayakarta ini seperti mengulangi perubahan Sunda Kalapa (pelabuhan Pajajaran) menjadi Jayakarta pada tahun 1527. Namun nama raja Sunda dalam Kodam Siliwangi masih membawahi dae-rah/kesultanan Cirebon (Korem Sunan Gunung Jati) dan Banten (Korem Maulana Yusuf). Demikian pula dengan adanya otonomi daerah, maka Propinsi Jawa Barat yang didominasi oleh etnis Sunda mengalami ”separatisme” dengan berdirinya Banten sebagai propinsi sendiri. Selain itu, terdapat pula upaya untuk membentuk propinsi baru, yakni Cirebon.

Pembahasan dinamika masyarakat Sunda menunjukkan bagai-mana mereka pada masa lalu telah mampu menjadi negara (tradisio-nal) namun pada masa selanjutnya menjadi bagian dari negara lain.

Page 10: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 9

Breuilly (1993) menekankan peran negara “dari atas” dalam pemben-tukan suatu negara bangsa dapat menjelaskan dinamika masyarakat Sunda. Pada perkembangannya terlihat bahwa berbagai pihak telah mempengaruhi Sunda, seperti Belanda (VOC-Belanda, 1610), Mata-ram (1620), Jepang (1942-1945), dan RI (1945-sekarang). Keadaan ini menghambat berkembangnya Sunda menjadi suatu negara-bangsa karena mereka berada di bawah kekuasaan negara lain. Keberadaan VOC-Belanda menghasilkan masyarakat Sunda yang terpecah sesuai dengan daerah atau kabupaten yang terkonsolidasi pada masa ko-lonial Belanda. Ibaratnya, mereka merupakan negara federal tanpa pusat (budaya) walaupun Sumedang Larang pernah dianggap sebagai penerus Pajajaran. Akhirnya, masyarakat Sunda gagal menjadi suatu negara-bangsa dan hanya menjadi sub bangsa dan memperoleh sub negara atau negara dalam tingkat propinsi, yakni Jawa Barat, yang terbatas kewenangannya. Kegagalan kerajaan (negara tradisional) menjadi negara modern ini terjadi di Sunda, Banten dan Cirebon. Namun, di Cirebon warisan budaya ini masih utuh secara budaya dengan adanya bangunan gedung (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebo-nan, Kaprabonan) berserta para sultan dan keturunannya serta kerabat keratonnya. Sementara itu, di Banten, terdapat Masjid Agung Banten dan sisa sisa istana kesultanan (Surosowan) tanpa kesultanannya.

Selain teori modernisasi, terdapat pula teori etnosimbolisme yang menunjukkan pentingnya peran (“dari bawah”) etnis dominan (core-ethnie) atau kumpulan etnis (polyethnies) yang menjadi basis suatu negara bangsa (Smith 1986, 1998). Keberadaan negara Sunda pada jaman kerajaan hingga Pajajaran sampai tahap tertentu telah meng-kristalkan masyarakat Sunda dengan adanya sejarah dan bahasa Sunda. Kebersamaan masyarakat yang berada di daerah Sunda se-benarnya berpotensi menjadi suatu bangsa, misalnya dengan adanya mitos Kerajaan Pajajaran. Namun, keberadaan kelompok ini tidak dapat mengatasi kuatnya peran negara, seperti Mataram, Belanda, dan Indonesia. Teori Smith juga dapat menjelaskan bagaimana di era Otonomi Daerah peran kelompok etnis seperti Banten telah berhasil menjadi basis dan membentuk suatu negara pada tingkat propinsi. Kasus ini menunjukkan bahwa peran kelompok sosial etnis tetap penting selain negara.

Pembahasan tersebut menunjukkan bahwa jaringan Sunda menghasilkan suatu zona damai dan nyaman bagi orang Sunda, khususnya para elitnya. Jaringan ini terbentuk karena proses sejarah

Page 11: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

10 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

di mana Bandung menjadi semacam sub-core dari Batavia (Hindia Belanda) dan Jakarta (Republik Indonesia) bukan termasuk core, semi-periphery, atau periphery (lihat Wallerstein 1974). Keadaan ini menghasilkan spread effects (lihat Myrdal 1957) dari pusat (Batavia, Jakarta) ke Bandung dan jaringan Sunda. Pada perkembangannya jaringan Sunda ini sedikit sekali berinterseksi dengan jaringan nasional dan menghasilkan pimpinan nasonal. Padahal dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia, Sunda bukan hanya satu ethnie dari polyethnies (lihat Smith 1986, 1998), melainkan merupakan second core-ethnie, setelah Jawa sebagai first/leading core-ethnie.

JA R I NG A N SOSI A L

Jaringan nasional dapat menjadi jembatan bagi pemimpin nasio-nal dan di dalammya terdapat berbagai “kendaraan” atau organisasi, seperti partai politik, birokrasi, militer, Kadin, universitas, dan organisasi Islam (NU, Muhamaddiyah, HMI-KAHMI). Jaringan tersebut berisi juga orang-orang yang bukan anggota organisasi namun memiliki hubungan dengan anggota organisasi tersebut. Interaksi dalam jaringan ini dapat didasarkan pada solidaritas organisasi maupun berpola patron-klien. Untuk masuk ke jaringan nasional ini dapat bersifat formal, yakni menjadi anggota organisasi tersebut, atau informal di mana orang yang non anggota organisasi mempunyai hubungan dengan anggota organisasi di jaringan tersebut. Organisasi Islam, seperti NU dan Muhamaddiyah, sebenarnya juga mempunyai cabang dan anggota di daerah Sunda. Namun, jumlah anggota dari Sunda relatif lebih sedikit yang masuk ke jaringan nasional, karena NU berbasis di Jawa Timur dan Muhammadiyah di Jawa Tengah. Selain itu, organisasi Sunda, seperti Paguyuban Pasundan, tidak mempunyai kaitan ke jaringan nasional dan lebih berperan di jaringan provinsi (Jawa Barat). Jaringan nasional ini didukung oleh alumni universitas negeri, universitas swasta, universitas di luar negeri, lembaga tinggi keagamaan (pesantren), dan lembaga tinggi kedinasan militer, Polri, maupun Kemendagri. Lembaga pendidikan tinggi tersebut tidak harus berada di Jakarta–misalnya IPB, ITB dan UGM–karena yang terpenting adalah para alumni mereka masuk kejaringan nasional yang berpusat di Jakarta. Sejarah pendidikan di Sunda menunjukkan bahwa kehadiran universitas relatif baru dan mayoritas terletak di Bandung (Rosidi 2000:286, 291, 680-683). Hal

Page 12: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 11

ini disebabkan karena pemberontakaan DI/TII selama tahun 1950-an turut membantu terhambatnya pengembangan pendidikan tinggi.

Pada masa sebelum dan awal kemerdekaan, tokoh Sunda dalam jaringan dan panggung nasional cukup berperan sebagai role model yang dapat memengaruhi orang Sunda. Sebagai contoh, terdapat Iwa Kusumasumantri, salah seorang pendiri organisasi Sunda “Sekar Rukun” (didirikan pada tahun 1919), dan aktif di Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional Indonesia. Ada pula Gatot Mangkoepradja yang aktif dalam pergerakan nasional dan mengusulkan dibentuknya PETA. Selain itu, ada Oto Iskandardinata yang aktif di PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) di mana dia mengusulkan pada PPKI–dan disetujui–agar Sukarno dan Hatta dipilih secara aklamasi mejadi Presiden dan Wakil Presiden. Demikian pula tokoh Dewi Sartika dengan upaya pengembangan pendidikannya bagi kelompok perempuan. Setelah kemerdekaan, ter-dapat Ir. Djuanda Kartawidjaya yang pernah menjadi Perdana Menteri dan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja dengan “Wawasan Nusantara”-nya yang telah berperan dalam forum nasional bahkan internasional. Ada pula orang Sunda yang berperan dalam pengembangan identitas nasional, seperti Ali Sadikin yang mempelopori agar batik menjadi pakaian resmi nasional. Di sini terlihat bahwa orang-orang Sunda tersebut sukses bukan hanya karena kapasitas pribadi mereka, tetapi juga karena mereka berada di jaringan nasional seperti partai politik, organisasi sosial, universitas, dan militer. Selain itu, kehadiran orang Sunda di media nasional dan internasional, misalnya sebagai tokoh budaya dan seniman, akan menjadi role model dan memberi rasa bangga dan percaya diri bagi orang Sunda. Hal ini dapat mendorong lebih banyak orang Sunda untuk masuk dan bersaing dalam jaringan nasional.

Salah satu cara untuk sosialisasi role model adalah dengan penerbi-tan biografi orang yang sukses seperti yang dieditori oleh Ajip Rosidi, yakni Apa Siapa Orang Sunda. Buku tersebut lebih banyak menam-pilkan tokoh pendidikan, seni, agama, pemerintahan, dan politik. Na-mun, buku tersebut masih kurang banyak menampilkan tokoh yang sukses sebagai pengusaha, manajer, dan wiraswasta. Selama ini citra role model orang Sunda melalui tokoh “Kabayan” dan “Cepot” diang-gap tidak serius dan mengundang tawa (Alwasilah 2006:41). Citra “Kabayan” dalam hal ini perlu diubah menjadi “Kabayan Baru” seba-gai seorang role model untuk membentuk “manusia Sunda Baru” yang

Page 13: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

12 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

kompetitif, inovatif, dan kontributif pada lingkungannya. Tentu saja upaya ini perlu didukung oleh media lokal dan nasional yang sangat berperan membantu dengan menyiarkan cerita sukses dan role model orang Sunda yang dapat berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan mendorong mobilitas orang sunda ke panggung nasional bahkan internasional.3 Para tokoh sukses ini perlu mendapat penghargaan dan muncul di media massa dan elektronik serta berdialog dengan para murid dan mahasiswa.

M E M PE R LUA S JA R I NG A N SOSI A L

Berikut ini dibahas berbagai strategi bagi mobilitas vertikal manusia Sunda yang merupakan tautan (linking) ke jaringan nasional (maupun internasional) yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah, ormas, parpol, media, universitas, dan keluarga Sunda. Pertama, ke-harusan orang Sunda untuk masuk dan berkompetisi dalam jaringan nasional seperti universitas/akademi militer/sekolah tingkat nasional serta partai politik/DPP, birokrasi nasional, perusahaan nasional, ormas nasional (NU, Muhamaddiyah, HMI-KAHMI), LSM nasio-nal, olah raga nasional, komunitas seni nasional dan media nasional. Dengan kata lain, orang Sunda yang mempunyai potensi sebagai pe-mimpin nasional harus masuk ke jaringan nasional tidak terus berada pada jaringan propinsi atau kabupaten. Bahkan akses ke jaringan nasional ini perlu dikaitkan dengan jaringan global sehingga dapat meningkatkan posisi mereka dalam forum nasional. Keberadaan orang Sunda di luar negeri yang selalu membantu memajukan budaya Sunda merupakan suatu aset yang sangat berharga. Selain itu, dengan ada-nya pasar bersama dan komunitas ekonomi ASEAN pada tahun 2015, hendaknya dilihat bukan hanya akan banyaknya warga ASEAN yang masuk dan bekerja di Indonesia atau Jawa Barat, namun juga dili-hat sebagai kesempatan warga Sunda masuk ke ASEAN. Singkatnya, perlu upaya untuk memperluas interseksi jaringan Sunda ke jaringan nasional dan internasional.

3 Salah satu cara untuk mensosialisasikan para teladan role model adalah dengan memberi penghargaan pada mereka yang berprestasi. Sebagai contoh Hadiah Hardjapamekas untuk guru (SD, SMP, SMA) bahasa Sunda yang diberikan oleh Yayasan Rancage dengan Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) merupakan upaya yang positif. Hardjapamekas sendiri merupakan tokoh pendidikan Jawa Barat, lihat Kompas, 9 Januari 2008, halaman. 12.

Page 14: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 13

Kedua, memperbanyak kontak dan kerjasama dengan negara lain, misalnya melalui program sister-cities bagi setiap kota Sunda dengan kota-kota di ASEAN-Asia, Eropa, Australia, dan Amerika4. Jakarta, dalam hal ini, dapat dilewatkan sebagai pusat pengembangan. Kerja-sama ini perlu dikembangkan jaringan kerjasama antar pemikir dan pekerja budaya. Kerjasama dapat diperluas dengan sister-organizations, misalnya antar ormas keagamaan dan organisasi komunitas. Melaku-kan dan memperbanyak program internasionalisasi pendidikan, se-perti university twinning dan pertukaran pelajar/mahasiswa dan guru/dosen serta magang, dengan sekolah, universitas, dan perusahaan di luar negeri. Peran alumni warga Sunda yang pernah sekolah di luar negeri dalam hal ini dapat banyak menyumbang5. Selain itu, alumni Sunda yang berasal dari universitas terkemuka di luar negeri dapat meningkatkan kesempatan mereka untuk masuk ke jaringan nasional.

Ketiga, mengadakan dan meningkatkan pengajaran bahasa asing (Inggris, Cina, Jepang, Perancis) secara tepat sejak dini. Kemahiran berbahasa asing ini akan meningkatkan posisi orang Sunda dalam jaringan dan forum internasional, misalnya, para tenaga kerja (TKI), dan hal ini akan memperbaiki tingkat kehidupan mereka. Dalam hal ini perlu dukungan media lokal yang memberi tempat yang memadai bagi pengembangan bahasa asing bagi publik. Selain itu, perlu pula peningkatan keterampilan diri.

Keempat, mengadakan dan memperbanyak akses informasi (misal-nya, internet, kursus gratis, dan hotspot gratis) sehingga dapat mem-perbesar jaringan, baik dalam bisnis (kasus bisnis sukses dari perusa-haan) maupun pendidikan (materi dari sekolah dan universitas lain yang maju). Dalam era informasi masyarakat lebih bersifat jaringan, individu dan komunitas lokal dapat mengambil keuntungan dari berbagai jaringan global (lihat Castells 1996). Peran kota Bandung sebagai pusat ekonomi kreatif yang mempunyai jaringan internasional merupakan contoh bagi kota kota lainnya.

4 Sebenarnya sudah lebih dari 40 tahun Bandung menjalin persahabatan dengan kota Braunschweig, Jerman Barat, yang salah satu perintisnya adalah Harjapamekas, lihat hal ini dalam biografi Harjapamekas (Rosidi 2003:171). Kerjasama ini perlu diperdalam dan dikembangkan sehingga semakin banyak kota atau daerah (kabupaten) di Jawa Barat.5 Namun perlu juga kota-kota Sunda membangun sister cities dan organizations dengan berbagai kota di daerah (misalnya Aceh dan Papua) sehingga dapat meningkatkan integrasi nasional dan nasionalisme yang berbasis pada kohesi dan solidaritas komunitas, bukan hanya tergantung pada peran pemerintah.

Page 15: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

14 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

Keempat, upaya akselerasi sosial di atas perlu dirancang secara rinci dengan melibatkan pemerintah daerah dan publik sehingga dapat dilakukan program aksi secara terjadwal dan terukur. Kondisi ini per-lu memperhatikan dan melaksanakan mobilitas sosial vertikal intrage-nerasi dan antargenerasi bagi kelompok masyarakat yang kurang atau tidak mampu yang berada di lapisan bawah.6 Berbagai upaya seperti subsidi silang atau quota/tindakan afirmatif bagi kelompok tersebut akan mencegah persaingan tidak adil. Jika tidak diatasi, maka akan terjadi proses eksklusi oleh elit Sunda terhadap warga Sunda yang berada di lapisan bawah. Jika keadaan seperti ini, maka keterwakilan orang Sunda sebagai pimpinan nasional hanya dimonopoli oleh warga dari stratifikasi atas dan menengah atas saja.

Akselerasi sosial ini akan mudah jika didirikan berbagai pusat studi dan forum sosial budaya yang tidak hanya melihat pada masa lalu, namun juga berorientasi pada masa depan dan global. Pada kon-disi ini perlu grand design Sunda, misalnya Visi Jawa Barat 2030, menyongsong globalisasi dan otonomi daerah yang perlu dituangkan dalam rencana bersama antara masyarakat, pemda, dan komunitas bisnis. Rencana ini harus melibatkan partisipasi masyarakat disertai dengan analisis potensial, rencana aksi/kerja serta indikator keberhasilan, sehingga pelaksanaan grand design tersebut dapat terpantau, terukur, dan responsif terhadap dinamika masyarakat.

BU DAYA

Budaya yang terbuka dan multikultur akan mempermudah pembentukan manusia modular yang siap menghadapi dinamika sosial pada tingkat nasional maupun global. Selain itu, perlu pula meningkatkan kehadiran simbol Sunda yang dapat meningkatkan identitas budaya positif, seperti rasa bangga dan percaya diri di jaringan nasional dan internasional. Hal ini dapat didukung oleh kekuatan seni budaya karena Bandung–selain Jogjakarta dan Bali–merupakan pusat komunitas industri kreatif yang didukung oleh perguruan tinggi seni terkemuka.

Di satu pihak, rendahnya keterwakilan orang Sunda di tingkat nasional dapat saja dikaitkan dengan faktor budaya negatif yang

6 Untuk pembahasan mobilitas vertikal dengan kasus Jakarta lihat Sujatmiko (1996: 81-95).

Page 16: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 15

kurang mendukung daya saing orang Sunda. Selama ini terdapat pandangan adanya budaya negatif di Sunda, seperti pemikiran santai atau rendah hati berlebihan, menghasilkan sikap rendah diri dalam persaingan dengan etnis lain. Menurut Dasim Budimansyah pada orang Sunda ada ”budaya santai” (soft culture), non prestasi, budaya mumpung, enggan bersaing, dan ...”Empat D”, yaitu dulur, deukeut, duit, dukun” (Alwasilah 2006:18, 41). Salah satu penyebab kelemahan bersaing ini dapat dilihat karena manusia Sunda yang di Jawa Barat bukan merupakan pengembara yang biasanya atau terpaksa mempu-nyai sikap mental kompetitif. Hardjapamekas menyatakan ada anggap-an bahwa orang Sunda cenderung daék éléh, sungkan meunang (berse-dia kalah, sungkan menang), Sunda sadaya-daya (Sunda penurut) (Su-marsono 2003:146). Pendapat serupa disampaikan Avi Taufik Hidayat yang menyatakan adanya peribahasa soemah hade ka semah (ramah dan baik ke tamu) dan istilah mangga ti payun (silakan duluan) yang dapat merugikan orang Sunda (Pikiran Rakyat, 22 Desember 2012). Selain itu, terdapat pendapat bahwa terlalu lamanya masa penjajahan oleh Mataram dan bangsa asing mengakibatkan timbulnya inferior kompleks orang Sunda dalam berpolitik. Demikian juga paradigma moderat yang kompromistis dan mendahulukan kepentingan orang lain telah memperlemah orang Sunda di forum nasional.7

Sebagian elite Sunda merasa bahwa masyarakat Sunda lebih ba-nyak ruginya atau kurang terlibat dalam “mewarnai” Indonesia. Ke-beradaan pusat atau Jakarta dan dominasi Jawa ini pernah ditanggapi dan diprotes oleh pengurus Kongres Pemuda Sunda tahun 1956 yang mengusulkan agar ibukota Republik Indonesia dipindahkan kembali ke Yogyakarta. Mereka mengusulkan agar bentuk Republik Indonesia diubah menjadi negara federal (Rosidi 2000: 358-359). Selain itu, mereka juga mengusulkan agar Jawa Barat diubah menjadi Sunda, Jawa Tengah menjadi Jawa Barat dan pulau Jawa menjadi Nusa Sela-tan (lihat Ekadjati 1995:12). Terdapat pula pandangan bahwa nama Pasundan lebih dianggap tepat dibandingkan Jawa Barat (Ekadjati 1995:1-14). Bahkan setelah kemerdekaan terdapat pula pandangan atau sindiran bahwa konflik tahun 1949-1962 antara dua orang Jawa yakni ”Karno” (Presiden Sukarno dari Blitar/Jawa Timur) dengan ”Karto” (Kartosuwiryo/DI/TII dari Cepu/Jawa Tengah) membawa korban orang Sunda yakni para Karna dan Karta (Rosidi 1985:6).

7 Pendapat ini dikemukakan oleh Nina Herlina Lubis, ahli sejarah Sunda, lihat Kompas, 13 Maret 2007.

Page 17: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

16 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

Gerakan masyarakat Sunda ini dapat dilihat sebagai realisasi identitas Sunda, namun mereka dapat pula dilihat dalam kerangka mobilisasi yakni penggunaan isu etnis dalam persaingan kekuasaan, utamanya bagi para elitnya (lihat teori Brass 1993:111).

Selain itu, orang Sunda masih mengingat konflik dengan orang Jawa (Timur) dalam kasus Perang Bubat tahun 1357. Pada saat itu Prabu Linggabuana (bertahta pada tahun 1350-1357) menolak meny-erahkan putrinya, yaitu Diah Pytaloka, sebagai upeti dan terjadilah perang di mana dia gugur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit.8 Peristiwa Bubat ini dilestarikan dengan adanya permusu-han simbolik dan dendam sejarah terutama di sebagian masyarakat Sunda. Berdasarkan kasus ini Gajah Mada dianggap tokoh yang nega-tif dan namanya tidak digunakan sebagai nama jalan di Jawa Barat.9 Demikian pula pada masa lalu terdapat kepercayaan bagi orang Sunda di mana kerabat keraton Sunda dilarang menikah dengan kerabat keraton Majapahit dan semua puteri Majapahit menjadi isteri larangan (Rosidi 2000:294). Selain itu tercatat bahwa 50 dari 160 permainan anak-anak Sunda–yang berperan dalam sosialisasi–berisi olok-olok terhadap anak Jawa (Gatra 16 April, 2008:86). Saat ini pun sebagian media dan masyarakat masih menggunakan istilah “Perang Bubat” jika terjadi pertandingan bola antara Persib dengan Persebaya.

Sebenarnya telah pernah terjadi semacam rekonsiliasi dan kerja-sama antara Divisi Siliwangi (Pajajaran), Jawa Barat, dengan Divisi Brawijaya (Majapahit), Jawa Timur, ketika mereka melawan pembe-rontakan Muso dan PKI/FDR tahun 1948. Selanjutnya, Siliwangi dan Brawijaya bekerjasama dalam menghadapi agresi Belanda setelah

8 Lihat Muljana (2005:256-262). Dalam buku ini dibahas perbedaan cerita Perang Bubat menurut versi Pararaton (1613) dengan Kidung Sundayana (1853). Dalam Sundayana, Gajah Mada dihukum dan meninggalkan istana dan moksa. Sementara menurut Pararaton, Gajah Mada pergi meninggalkan istana tahun 1357 namun menjabat lagi tahun 1359 dan wafat tahun 1364. Sebuah versi lain menunjukkan bahwa Gajah Mada terpaksa memerangi Raja Sunda karena pengaruh Patih Sunda, Anepaken, dan para menak yang tidak setuju agar putri Sunda dipersembahkan pada Raja Hayamwuruk, walaupun pada awalnya Raja Sunda menyetujuinya. Lihat Masmada (2003: 96-97).9 Nama Gajah Mada terkenal secara positif dalam bidang pendidikan (Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) yang membantu integrasi warga di Indonesia. Selain itu terdapat Satelit “Palapa” (1976) untuk integrasi angkasa Indonesia dan “Palapa Ring” berupa 35.280 km kabel fiber optik bawah laut dan 21.870 km bawah tanah yang membantu mengintegrasikan Indonesia melalui tanah dan lautan, lihat The Jakarta Post. Saturday March 1, 2008. Rencananya ”Palapa Ring” ini selesai pada tahun 2016.

Page 18: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 17

pemberontakan FDR/PKI tersebut. Selain itu, terdapat pula usaha rekonsiliasi oleh seorang seniman asal Budakeling, Karangasem, Bali, yang mempertemukan gong Pajajaran dengan gong Majapahit pada tanggal 20 Mei 2008 yang merupakan satu abad Kebangkitan Nasio-nal sekaligus tujuh abad Bhinneka Tunggal Ika karya Mpu Tantular di Trowulan.10 Rekonsiliasi yang lebih komprehensif dapat dilakukan dengan melalui pola sosialisasi dialogis yang dapat dilakukan mela-lui keluarga, lembaga pendidikan, komunitas, dengan bantuan media massa, seni11, dan sastra12.

Budaya negatif di atas sebenarnya saling memengaruhi dan ber-perang dengan budaya positif yang hidup dalam masyarakat Sunda. Ketika menghadapi pengaruh berbagai kebudayaan, masyarakat Sun-da dapat menerapkan prinsip budaya multikultur yang terbuka dan menghasilkan manusia modular di mana penambahan suatu unsur akan memperkaya sistem tersebut, bukan memiskinkannya.13 Hal ini ditunjukkan dalam kasus bangunan “rumah tumbuh” yang dapat diperluas tanpa merusak fungsi dan estetika rumah tersebut. Dengan kata lain, prinsip modular ini mendukung kebhinekaan atau budaya multikultur. Sebagai contoh, seorang Sunda dapat menambah iden-titasnya sebagai seorang Muslim dan orang Indonesia dan menyu-kai makanan Padang dan mengagumi Tari Bali. Lawan dari prinsip modular ini adalah prinsip yang menolak kebhinekaan dan bersifat monokultur di mana unsur awal dicoba untuk tidak diganggu. Keaslian dianggap penting bahkan sakral sehingga terdapat upaya menutup diri terhadap dinamika budaya dari luar. Pola ini terlihat dalam masyarakat Badui/Kanekes yang mempertahankan agama dan adat Sunda asli dan mencoba tidak terpengaruh oleh budaya Islam, Indonesia, dan Global. Sementara komunitas Kampung Naga di Tasikmalaya masih mengkombinasikan adat Sunda asli dengan Islam (Rosidi 2000:322).

10 Lihat “Bhinneka Tunggal Ika Lewat Tembang” (Suara Pembaruan 4 Maret, 2008). 11 Wagub Jabar (Dede Yusuf ) dan Wagub Jatim (Saifullah Yusuf ) merencanakan membuat film ”Pajajaran-Majapahit” sebagai upaya rekonsiliasi (www.gp-ansor.org, Juni 20, 2009).12 Sebuah novel fiksi menceritakan sebenarnya ada hubungan cinta antara Putri Diah Pytaloka (Pajajaran) dengan Gajah Mada sebelum ia menjadi Patih Majapahit (Permana, 2009). 13 Istilah modular didasarkan pada konsep manusia modular yang dibahas oleh Gellner (1994: 97-108).

Page 19: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

18 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

Islamisasi dalam kehidupan beragama ini telah mengalami pening-katan dengan semakin banyak dan ramainya tempat ibadah, terma-suk di kantor pemerintah dan militer. Selain itu, peran agama Islam semakin meningkat dalam pendidikan dasar dan menengah maupun universitas, seni, penerbitan, serta perkembangan ekonomi syariah yang menjadi alternatif dalam kegiatan ekonomi. Namun, Islamisasi dalam politik, terutama peran parpol Islam, tidaklah menonjol, di mana terdapat kecenderungan para pemilih lebih berorientasi pada pihak yang berkuasa atau moderat seperti yang dikemukakan oleh Kusnaka (Kompas 14 Maret 2009). Pada masa Orde baru Golkar menjadi partai dominan, pada pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 pemenangnya bergantian yakni PDIP, Golkar, Partai Demokrat, dan PDI-P.

Pada perkembangannya, peran agama Islam sebagai sumber budaya yang penting semakin mengisi ranah keagamaan masyarakat Sunda. Bahkan hal ini juga mencakup ranah ekonomi dengan ekonomi syariah dan ranah pendidikan yang juga mengembangkan paradigma yang Islami. Namun, pada berbagai bidang, budaya Sunda masih mempunyai peran bagi orang Sunda atau keturunan Sunda, misalnya dalam upacara sunatan dan pernikahan. Pada situasi ini seringkali budaya Sunda dicampur dengan upacara keagamaan atau kenegaraan, misalnya upacara militer bagi tentara yang nikah. Secara lebih kongkret prinsip budaya modular dan multikultur ini dapat dilihat pada penggunaan multi bahasa seseorang. Misalnya, seorang Sunda yang menguasai bahasa Sunda, Arab, Indonesia, dan Inggris merasa memiliki suatu kekayaan budaya, bukan suatu perasaan ka-lahnya bahasa dan budaya Sunda. Pada seni musik pola modular ini terjadi pada grup Bimbo yang dalam periode 1967-1974 memproduksi lagu Pop Indonesia, lagu Sunda pada tahun 1974, dan tahun 1975 memproduksi lagu religius-Islami Kasidah.

R E V I TA L IS A SI DA N PROMOSI BU DAYA

Pengembangan budaya Sunda dapat dilakukan dengan dua cara yakni revitalisasi dan promosi. Revitalisasi lebih bersifat terbatas dan berkaitan dengan produksi dan inovasi budaya Sunda. Sementara pro-mosi lebih bersifat pemasaran dan ditujukan pada pihak non Sunda maupun warga Sunda sendiri. Revitalisasi budaya Sunda yang da-pat dilakukan dengan memodifikasi produk budaya oleh masyarakat

Page 20: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 19

maupun pemerintah daerah sehingga menjadi lebih sesuai dengan perubahan masyarakat. Namun, salah satu kesulitan dalam revitalisasi adalah kurangnya proteksi terhadap budaya Sunda di mana terdapat 398 karya seni yang belum mendapat paten (Media Indonesia, 30 Agustus, 2009). Selain itu, semakin berkurangnya makna dan fungsi dari unsur-unsur yang diwariskan tersebut baik secara sakral maupun secara fungsional-instrumental. Sebagai contoh, mantra kuno Sunda telah tergantikan dengan doa-doa agama (Islam). Berkaitan dengan hal ini memang diperlukan inovasi oleh pemikir budaya dan wiras-wasta budaya sehingga produk budaya tersebut dapat bersaing dan menang di pasar seni sehingga warga–termasuk orang Sunda–akan dengan sendirinya menghargainya. Untuk menyuburkan pemikir dan wiraswasta budaya ini dibutuhkan forum-forum rutin, seperti kongres dan perlombaan, dan insentif bagi pengembangan budaya tersebut. Upaya revitalisasi semacam itu telah dilakukan, misalnya (Alwasilah 2006:58-61) penerbitan berbagai Perda tentang pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah, kesenian dan kepurbakalaan; pembangu-nan pusat kajian dan pusat budaya Sunda; diadakannya Kongres In-ternasional Budaya Sunda (KIBS); pendirian penerbitan Sunda; dan penerbitan Ensiklopedi Sunda pada tahun 2000. Selain itu, terdapat peran Ajip Rosidi dengan Yayasan Rancage yang memberikan Anu-gerah Sastra14 dan Yayasan Daya Budaya yang memberikan Anugerah Seni; Majalah Sunda Mangle; dan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda.

Selain revitalisasi, perlu promosi internal melalui sastra dan bahasa dapat dilakukan melalui sekolah, media, dan keluarga. Dalam era ma-syarakat informasi, promosi berkaitan dengan masalah eksistensi dan pengakuan atau We present ourselves therefore We are–dan sekarang sudah mulai I tweet therefore I am. Namun, perlu diperhatikan agar tidak menjadi indoktrinasi budaya di mana generasi baru Sunda ha-nya sekedar dipaksa untuk menghargainya. Akibatnya, mereka hanya sekedar terpaksa mengenal tetapi tidak sayang. Untuk pelaksanaan hal ini, perlu alasan yang logis bagi mereka karena mereka akan memban-dingkan budaya ini dengan alternatif lainnya. Mereka perlu didorong untuk kritis dan kreatif serta melakukan dialog budaya Sunda dengan budaya alternatif tersebut. Sosialisasi ini dapat dikaitkan dengan pe-

14 Yayasan ini memberi anugerah sastra untuk karya sastra bermutu yang menggunakan bahasa Sunda, Jawa dan Bali dan sejak tahun 2008 mencakup karya sastra dalam bahasa Lampung. Lihat ”Karya Sastra Lampung dapat ’Rancage”, Suara Pembaruan, 1 Februari 2008

Page 21: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

20 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

mahaman kesejarahan sehingga dapat membangkitkan emosi-apresiasi generasi muda pada budaya Sunda.

Sementara itu, promosi budaya Sunda pada warga non-Sunda da-pat dilakukan melalui panggung media nasional dengan orang (pre-senter dan selebriti) dalam bidang ilmu dan agama, serta pertunjuk-kan seni Sunda, seperti “Asep Show” (wayang golek), “Saur Sepuh,” atau Sule (pelawak). Demikian juga Cepot telah dipromosikan oleh Wawan Gunawan seorang dalang wayang ajen yang merupakan krea-tifitas kaum muda ke luar negeri, antara lain: Spanyol (2000), Thai-land (2002), Perancis (2004), Ceko (2007), Yunani (2008), Siprus, dan Vietnam (Kompas, 9 Januari 2009). Hal serupa terjadi dengan pelestarian Mamaos Cianjuran (wejangan kebajikan kehidupan disertai kecapi dalam upacara pernikahan, pertemuan dan rapat warga) yang dilakukan oleh Aki Dadan (Kompas, 5 September 2009). Selain itu, ”diplomasi kebudayaan” yang dipelopori oleh Mochtar Kusumahat-maja yang berisi berbagai kebudayaan di Indonesia menjadi kesempa-tan bagi warga Sunda untuk mempromosikan kebudayaannya ke luar negeri. Demikian pula promosi Sunda melalui restoran Sunda yang semakin banyak jumlahnya di berbagai kota merupakan salah satu upaya promosi yang efektif.

Promosi budaya Sunda telah dilakukan dengan penambahan aksa-ra Sunda dalam nama jalan dan dapat berbentuk karya arsitektur dan patung pahlawan Sunda dari berbagai jaman. Upaya pembuatan kota Bumi Parahiyangan (Padalarang) dengan istilah Sunda seperti Tatar Wangsakerta dan Tatar Pitaloka menarik untuk dilihat dampaknya bagi pengembangan budaya Sunda.15 Selain itu, terdapat Kampung Sindangbarang, Bogor, yang berguna bagi promosi budaya Sunda. Saat ini terdapat kegiatan arkeologis di Gunung Padang, Cianjur, yang mempunyai potensi untuk menunjukkan keberadaan peradaban Sunda pada masa lalu dan hal ini dapat meningkatkan kebanggaan masyarakat Sunda.

Pengembangan masyarakat dan budaya Sunda mempunyai harapan dan potensi selama masih adanya kelompok inovatif dan masyara-kat yang mendukungnya. Selain itu, terlihat bahwa arus eksternal, seperti nasionalisme dan globalisasi, yang dapat memaksa orang Sunda menjadi lebih kompetitif dan inovatif. Globalisasi hendaknya dilihat dan ditanggapi sebagai tantangan dan kesempatan, bukan

15 Lihat iklan mengenai Kota Mandiri “Parahiyangan” di Kompas 14 Agustus 2001.

Page 22: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 21

ancaman. Untuk menghadapi ini, diperlukan kesediaan untuk melakukan dialog budaya serta menghilangkan “kecurigaan budaya”, “kecemburuan budaya,” atau “keangkuhan budaya” terhadap budaya global, budaya Indonesia atau suku-bangsa lainnya.16 Sebenarnya, pola pikir dan pola tindak seperti Silih Asuh, Silih Asih, dan Silih Asah (saling menyayangi, saling menyayangi, dan saling mendidik) dapat meningkatkan kohesi sosial yang membantu persaingan.

K E SI M PU L A N

Pembahasan mengenai rendahnya keterwakilan orang Sunda di politik nasional menunjukkan beberapa hal. Pertama, pentingnya jaringan sosial nasional (sekolah, pekerjaan, organisasi) sebagai jembatan dan tangga bagi orang Sunda untuk berperan di politik nasional. Kedua, faktor budaya multi kultur yang terbuka memberikan kesempatan bagi orang Sunda untuk mengekspresikan identitas positif budayanya sehingga menambah percaya diri orang Sunda untuk masuk ke jaringan nasional. Ketiga, dukungan masyarakat dan Pemda diperlukan agar orang Sunda lebih banyak masuk ke jaringan nasional yang merupakan pusat kekuasaan.

Model analisis untuk keterwakilan politik ini dapat dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 1. Model Analisis Keterwakilan Politik

15

budaya” terhadap budaya global, budaya Indonesia atau suku-bangsa lainnya.15

Sebenarnya, pola pikir dan pola tindak seperti Silih Asuh, Silih Asih, dan Silih Asah(saling menyayangi, saling menyayangi, dan saling mendidik) dapat meningkatkan kohesi sosial yang membantu persaingan.

KESIMPULANPembahasan mengenai rendahnya keterwakilan orang Sunda di politik nasional

menunjukkan beberapa hal. Pertama, pentingnya jaringan sosial nasional (sekolah,pekerjaan, organisasi) sebagai jembatan dan tangga bagi orang Sunda untuk berperan di politik nasional. Kedua, faktor budaya multi kultur yang terbuka memberikan kesempatan bagi orang Sunda untuk mengekspresikan identitas positif budayanya sehingga menambah percaya diri orang Sunda untuk masuk ke jaringan nasional.Ketiga, dukungan masyarakat dan Pemda diperlukan agar orang Sunda lebih banyak masuk ke jaringan nasional yang merupakan pusat kekuasaan.

Model analisis untuk Keterwakilan politik ini dapat dilihat dalam gambarberikut:

Gambar 1. Model Analisis Keterwakilan Politik

Dalam gambar diatas terlihat bahwa proses untuk meningkatkan keterwakilan orang Sunda ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung ke jaringan nasional. Terlihat pula bahwa orang Sunda tidak mendapat proteksi (quota) dari “atas” oleh pemerintah pusat. Strategi untuk meningkatkan orang Sunda perlu dilakukan dari bawah dengan melalui perluasan jaringan sosial dan peningkatan ekspresi identitas budaya. Kombinasi kuat dan lemahnya faktor budaya dan jaringan sosial dapat dilihat dalam tabel berikut:

15 Istilah “dialog budaya” dan “kecemburuan budaya” dibahas oleh Umar Kayam. dalam Sarjono (1999: 71-83).

DukunganPemda

DukunganMasyarakat

OrangSunda

Identitas Budaya

JaringanNasional

KeterwakilanPolitik

Proteksi Pusat

JaringanSunda

16 Istilah “dialog budaya” dan “kecemburuan budaya” dibahas oleh Umar Kayam. dalam Sarjono (1999: 71-83).

Page 23: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

22 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

Dalam gambar diatas terlihat bahwa proses untuk meningkatkan keterwakilan orang Sunda ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung ke jaringan nasional. Terlihat pula bahwa orang Sunda tidak mendapat proteksi (quota) dari “atas” oleh pemerintah pusat. Strategi untuk meningkatkan orang Sunda perlu dilakukan dari bawah dengan melalui perluasan jaringan sosial dan peningkatan ekspresi identitas budaya. Kombinasi kuat dan lemahnya faktor budaya dan jaringan sosial dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1. Tipologi Budaya dan Jaringan Sosial

BUDAYA TERTUTUP BUDAYA TERBUKA

JARINGAN TERBATAS 1 2JARINGAN LUAS 3 4

Sumber: Penulis

Berdasarkan tabel diatas terdapat empat kemungkinan kombinasi apakah suatu kelompok mempunyai budaya tertutup atau terbuka dan jaringan yang luas atau terbatas. Tipe ke-4 yakni kombinasi budaya terbuka dan jaringan luas atau multijaringan mempunyai potensi yang lebih besar untuk melakukan perubahan sosial yang menghasilkan kemajuan. Saat ini masyarakat Sunda masih berada di tipe ke-2 (jaringan terbatas dan budaya terbuka) dan perlu mengarah ke tipe-4 (jaringan luas dan budaya terbuka).

Kasus etnis Sunda dapat menjadi pelajaran bagi kelompok sosial dan suku bangsa lain tentang pentingnya peran jaringan sosial dan identitas budaya bagi keterwakilan pimpinan politik di tingkat nasional. Untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan di kota atau kabupaten di Jawa Barat, misalnya kota Bandung, kabupaten Sumedang, kabupaten Ciamis dan kabupaten Sukabumi. Data ini berguna untuk menganalisis jumlah dan alasan orang Sunda yang masuk maupun tidak masuk kejaringan nasional. Selain itu, dapat pula dianalisis peran Pemda (propinsi dan kabupaten) dan masyarakat Sunda dalam mendukung orang Sunda masuk ke jaringan nasional.

Dalam sejarahnya, masyarakat Sunda telah terkena ”gelombang besar” karena kedatangan “kapal kapal besar,” (Jawa, Belanda, Re-publik Indonesia/Jakarta). Keadaan ini menuntut masyarakat Sunda sebagai second core-ethnie agar menjadi lebih kompetitif sehingga dapat menjadi pemimpin dan “mewarnai” “kapal besar” Republik Indonesia

Page 24: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 23

yang telah didukung masyarakat Sunda dalam proses pembentukan dan keberlanjutannya.

DA F TA R PUS TA K A

Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pokoknya Sunda: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Aspinall, Edward. 2011. “Democratization and Ethnic Politics in Indonesia: Nine Theses.” Journal of East Asian Studies 11:289-319.

Badan Pusat Statistik. 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Birner, R. dan H. Wittmer. 2000. “Converting Social Capital into Political Capital: How Do Local Communities Gain Political Influence? A Theoretical Approach and Empirical Evidence from Thailand and Colombia.” Presented at “Constituting the Commons: Crafting Sustainable Commons in the New Millennium,” the Eighth Conference of the International Association for the Study of Common Property, Bloomington, IN.

Brass, P. 1993. “Elite competition and the origin of ethnic nationalism.” J.G. Beramendi, R. Maiz dan X. Nunez (eds). Nationalism in Europe: Past and Presence. Santiago de Compostela: University of Santiago de Compostela.

Breuilly, J. 1993. Nationalism and the State. Manchester: Manchester University Press.

Brooker, Liz dan Woodhead, Martin eds. 2008. Developing Positive Identities: Diversity and Young Children. Early Childhood in Focus (3). Milton Keynes: Open University.

Castells, Manuel. 1996. The Information Age: Economy, Society and Culture. Volume I: The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell Publishers.

Daftar anggota BPUPKI-PPKI. id.wWikipedia.org. http://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_anggota_BPUPKI-PPKI (diakses 18 Oktober 2013).

Daftar Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. id. wikipedia.org. http:// id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Ketua_Majelis_Permusyawaratan_Rakyat (diakses 18 Oktober 2013).

Daftar Pahlawan Nasional Indonesia. id. wikipedia.org. http://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_Pahlawan_Nasional_Indonesia (diakses 8 November 2013).

Page 25: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014: 1-26

24 | I W A N G A R D O N O S U J A T M I K O

Daftar Perdana Menteri Indonesia. id.wikipedia.org. http://id.wikipedia.org/wiki /Daftar_Perdana_Menteri_Indonesia (diakses 8 November 2013).

Denis, Ann and Kalekin-Fishman, Devorah. 2009. The ISA Handbook in Contemporary Sociology: Conflict, Competititon, Cooperation. Sage Publications.

“Duo Yusuf Berencana Bikin Film Padjajaran-Majapahit.” 20 Juni 2009. http://www.gp-ansor.org/berita/duo-yusuf-berencana-bikin-film-padjajaran-majapahit.html, diakses 10-8-2009.

Ekadjati Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya.

Gatra. 2008, 16 April. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic

Books.Gellner, Ernest. 1994. Conditions of Liberty: Civil Society and Its Rivals.

London: Penguin Books.Grusky, David B. (Editor. In collaboration with Manwai C. Ku and

Szonja Szelenji). 2008. Sosial Stratification. Class, Race, and Gender in Sociological Perspective. Ulder: Westview Press.

Harsoyo. 1999. “Kebudayaan Sunda” dalam Koentjaraningrat (Ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Jambatan.

Htun, Mala. 2004. “Is gender like ethnicity? The Political representation of identity groups.” Perspective on Politics. Vol 2/ No 3.

Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.

Jackson, Karl D. 1980. Traditional Authority, Islam and Rebellion: A Study of Indonesian Political Behavior. Berkeley: University of California Press.

The Jakarta Post. 2008. Saturday, March 1.Kahin, George McTurnan. 2003. Nationalism and Revolution in

Indonesia. Ithaca, New York: Southeast Asia program Publications. Souteast Asia Program. Cornell University.

Kayam, Umar. 1999.”Pembebasan budaya-budaya kita.” dalam Agus R.Sarjono (Editor). Pembebasan Budaya Kita. Jakarta: Gramedia.

Kompas. 2001, 14 Agustus.Kompas. 2007, 13 Maret.Kompas. 2008, 9 Januari.Kompas. 2009, 9 Januari.Kompas. 2009, 14 Maret.

Page 26: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:1-26

K E T E R W A K I L A N E T N I S D I P O L I T I K N A S I O N A L | 25

Kompas. 2009, 5 September.Lombard, Denys. 2000a. Nusa Jawa:Silang Budaya. Kajian Sejarah

Terpadu. Bagian I: Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lombard, Denys. 2000b. Nusa Jawa:Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lombard, Denys. 2000c. Nusa Jawa:Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bagian III:Warisan Kerajaan-Kerajan Konsentris..Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lowry, Lowry. 1996. The Armed Forces of Indonesia. St Leonards: Allen & Unwin, NSW.

Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Budaya Sunda.

Mariana, D. Dan Paskarina, C. 2009. “Kebangkitan Lokal Menjawab Tantangan Globalisasi: Revitalisasi Nilai-nilai Budaya Sunda Bagi Penciptaan Local Good Governance Di Jawa Barat.”

Masmada. Renny. 2003. Gajah Mada: Sang Pemersatu Bangsa: gaga-san tentang Amukti Palapa dan Refleksi Kondisi Indonesia Saat ini. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Media Indonesia, 30 Agustus, 2009.Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan

Majapahit. LKIS, Yogyakarta.Muljana, Slamet. 2006 [1979]. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama.

Yogyakarta: LKISMunoz, Michel Paul. 2009. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan In-

donesia dan Semenanjung Malaysia. Yogyakarta: Mitra Abadi. (Diterjemahkan dari Paul Michel Munoz. 2006. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet).

Myrdal, Gunnar. 1957. Rich Lands and Poor: The Road to World Prosperity. New York: Harper and Row.

Pararaton: Legenda Ken Arok dan Ken Dedes. 2008. (Ditulis ulang oleh Gamal Komandoko). Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Parekh, Bhikhu. 2000. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge: Harvard University Press.

Portes, Alejandro. 1998. Social Capital: “Its Origins and Applications in Modern Sociology.” Annual Review of Sociology 24:1 -24.

Permana, Aan Merdeka. Perang Bubat: Tragedi di Balik Kisah Cinta Gajah Mada dan Dyah Pitaloka. Bandung, Qanita, 2009.

Page 27: Iwan Gardono Sujatmiko - Universitas Indonesia

Pikiran Rakyat. 2012. 19 September.Pikiran Rakyat. 2012. 22 Desember.Rosidi, Ayip. (editor). 2003. Apa Siapa Orang Sunda. Bandung, Kiblat

Buku Utama.Rosidi, Ajip. (Pemimpin Redaksi). 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam,

Manusia, dan Budaya. Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rosidi, Ajip. 1985. Manusia Sunda: Sebuah Esai tentang Tokoh-Tokoh Sastra dan Sejarah. Jakarta: Inti Idayu Press.

Smith, Anthony D. 1986. The Ethnic Origins of Nations. Oxford: Blackwell.

Smith, Anthony D. 1998. Nationalism and Modernism. London, Routledge.

Sumarsono, Tatang. 2003. Berkerja demi Bangsa: R.S. Hardjapamekas 90 Tahun. (sebagaimana dituturkan pada Tatang Sumarsono). Jakarta: Pustaka Jaya.

Suara Pembaruan. 2008. 1 Februari. Suara Pembaruan. 2008. 4 Maret.Sujatmiko, Iwan Gardono. 1996. “Stratifikasi dan Mobilitas Sosial:

Suatu Studi Awal Masyarakat Jakarta.” Jurnal Sosiologi Indonesia 1:81-95.

Tempo. 2008. Edisi Khusus, 28 Desember.Thrift, Nigel. 1995. A Shrinking World dari Nigel Thrift, “A

Hyperactive World” dalam Geographies of Global Change. R.J. Johnston, P.J. Taylor, and M.J. Watts (Eds), Blackwell dikutip dalam Globalization: The Reader. John Beynon and David Dunkerley (Eds.) London: The Athlone Press, 2000

Veit-Wilson, J. 1998. Setting Adequacy Standards. Bristol Policy Press dikutip dalam Bryne, David. 2005. Social Exclusion. Second Edition. Maidenhead: Open University Press.

Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World-System, vol. I: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. New York/London: Academic Press.

Woolcock, M. and A. T. Sweetser. 2002. “Bright Ideas: Social Capital—The Bonds That Connect.” ADB Review 34 (2).