IV.1.2. Kondisi Geologi - digilib.itb.ac.id · Faktor yang mendorong berubahnya fungsi lahan...
-
Upload
phunghuong -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of IV.1.2. Kondisi Geologi - digilib.itb.ac.id · Faktor yang mendorong berubahnya fungsi lahan...
66
IV.1.2. Kondisi Geologi
IV.1.2.1. Geomorfologi dan Fisiografi
Berdasarkan pembagian fisiografi daerah Jawa Barat oleh Van Bemmellen (1949),
daerah selatan kaki lereng Gunung Tangkuban Perahu merupakan bagian dari
endapan erupsi vulkanik yang berasal dari braksi tufaan, lava, batu pasir,
konglomerat, tufa pasir, tufa berbatu apung. Keadaan morfologinya merupakan
lereng pegunungan vulkanik yang dibatasi bagian utara oleh Patahan lembang,
yang memanajang dari Panyadakan hingga Pulasari, di bagian selatan berbatasan
dengan landai lereng vulkanik Gunung Tangkuban Perahu antara Leuwi Gajah
hingga Cicaheum.
Lereng ini merupakan bagian dari lereng selatan kaki Gunung Tangkuban Perahu.
Lereng pegunungan Tangkuban Perahu bagian selatan ini mempunyai ketinggian
pada elevasi antara +700 mdpl hingga kira-kira +1200 mdpl. Pada lereng vulkanik
ini mengalir Sungai Cipujung, Sungai Cijugur, dan Sungai Cikapundung yang
semuanya mengalir ke Sungai Citarum. Sedangkan Sungai Cikondang, Sungai
Cipaneungah, dan Cikawari yang merupakan anak Sungai Cikapundung alirannya
dipengaruhi langsung oleh struktur sesar Lembang.
Daerah sekitar Rancabentang merupakan areal persawahan dan lahan kosong,
dengan tanaman padi, sebagian ditanami sayuran atau palawija. Daerah studi
merupakan bagian selatan dari lereng kaki Gunung Tangkuban Perahu, dengan
kemiringan lereng agak landai berkisar antara 50 - 70.
Sungai Cikapundung yang mengalir di tempat ini bermata air di muara Maribaya,
mengalir ke selatan untuk kemudian bermuara di Sungai Citarum di sekitar daerah
Dayeuh Kolot. Kemiringan lereng lembah sungai landai, berkisar antara 100 - 200,
sebagian memperlihatkan permukaan lereng termal dengan kemiringan lereng
antara 450 - 700, bagian yang mempunyai lereng terjal ada di tikungan sungai
bagian luar. Bentuk morfologi daerah studi aliran Sungai Cikapundung ini
memperlihatkan perkembangan sungai dewasa, kekuatan erosi vertical mulai
berkurang dan erosi horizontal meningkat agak besar, sehingga lereng dan
lembahnya membentuk huruf U. perbedaan tinggi antara bagian daratan yang
paling tinggi dengan lembah sungai yang paling dalam kira-kira 20 meter. Elevasi
67
bagian yang paling tinggi dan yang paling rendah kira-kira antara +780 mdpl
hingga +760 mdpl.
IV.1.2.2. Sejarah dan Stratigrafi
Pada jaman Plestosen, 2 juta tahun yang lalu, kegiatan vulkanik di daerah utara
Bandung membentuk gunung api berukuran besar, dengan ukuran dasarnya
sebesar 20 Km dan ketinggiannya mencapai 3.000 meter. Kemudian mengalami
keruntuhan membentuk kaldera Gunung Sunda yang berukuran cukup besar,
berdiameter hingga kira-kira 7,5 kilometer dan terjadinya sesar lembang. Pada
Holosen, 11.000 tahun yang lalu, terjadi letusan pertama disebut sebagai Erupsi
Fasa A, lahir Gunung Tangkuban Perahu dan pengisian depresi Lembang. Pada
6.000 tahun letusan kedua disebut sebagai Erupsi Fasa B penyebarannya sampai
ke Ciumbeuleuit dan menyumbat aliran Sungai Citarum di Cimeta, sehingga
terbentuk Danau Bandung yang besar. Pada jaman tersebut, Danau Bandung ini
disebut Situ Hiang. Pada letusan ketiga, hampir seluruh daerah Bandung Purba
tertutup oleh abu vulkanik, terjadi penyayatan di Sanghyang Tikoro dan berakhir
di Situ Hiang, dengan sesar kedua di Gunung Burangrang dan sebelah utara
Tangkuban Perahu. Kemudian pada letusan ketiga yang disebut sebagai Erupsi
Fasa C terjadi aliran lava ke selatan melalui Cikapundung dan aliran lava ke utara
dalam jumlah yang massif. Kemudian diikuti sesar ketiga terjadi letusan berganti-
ganti arah barat dan timur, membentuk Kawah Pengguyangan Badak, Kawah
Ratu, Kawah Upas, dan Kawah Domas.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Direktorat Geologi, 2003), Daerah
Dago dan Sekitarnya mempunyai urutan stratigrafi sebagai berikut:
Tufa berbatu apung (Qyt), pasirtufaan, lapili, bom, lava berongga dan
kepingan andesit-basal padat bersudut dengan banyak bongkah-bongkah dan
pecahan-pecahan batu apung berasal dari Gunung Tangkuban Perahu dan
Gunung Tampomas.
Lava (Qyl), aliran lava muda, terutama dari Gunung tangkuban Perahu dan
Gunung Tampomas. Umumnya bersifat basal dan mengandung banyak
lubang-lubang gas.
68
Tufa pasiran (Qyd) dan tufa berasal dari Gunung Dano dan Gunung
Tangkuban Perahu (erupsi C), tufa pasir coklat mengandung cristal-kristal
horblende yang kasar, lahar lapuk kemerahan, lapisan lapili dan breksi.
Breksi tufaan, lava, batu pasir, konglomerat, breksi bersifat andesit, basal,
lava, batu pasir tufaan dan konglomerat.
IV.1.2.3 Struktur Geologi
Struktur geologi di daerah ini adalah struktur sesar yang dikenal dengan nama
Sesar Lembang, memanjang dari barat (Panyadakan) ke timur menyambung
menyatu dengan kaldera Gunung Pulasari sepanjang kira-kira 25 kilometer,
memotong endapan lahar, lava, tufa. Sesar Lembang ini adalah jenis sesar normal
dengan bagian utara yang relatif turun. Menurut Koesmadinata sesar tersebut telah
tiga kali bergerak, yaitu pada jaman plestosen, dan holosen dua kali, yaitu 6.000
tahun yang lalu. Dan sesar tersebut bergerak sebanyak 2mm/tahun. Bulan Juni dan
Oktober 2003 Sesar Lembang tersebut mampu menimbulakan gempa bumi
dengan pusat gempa pada kedalaman 10 kilometer dan menimbulakan kerusakan
rumah penduduk di daerah Cihideung, Lembang.
IV.1.3. Topografi
Data topografi wilayah studi diambil dari Peta Rupa Bumi Sungai Cikapundung.
Wilayah DAS Ciapundung memiliki topografi yang beragam, bervariasi dari
datar, bergelombang, brbukit dan pegunungan yang berkisar pada ketinggian 650
meter sampai 2.076 meter di atas permukaan laut. Dan kemiringan lahannya pun
beragam dari datar sampai curam brkisar pada nilai kemiringan + 46% dari area
yang ada memiliki kmiringan kurang dari 15%.
IV.1.4. Tata Guna Lahan
Tata guna lahan pada DAS Cikapundung dapat dikatakan beragam dari daerah
permukiman, tegalan, hutan, perkebunanm, sawah, lahan kosong, dan lain-lain.
Sedangkan kondisi vegetasi penutup lahan pada DAS Cikapundung dapat
dibedakan menjadi vegetasi yang terdapat di dalam kawasan hutan dan yang
berada di luar hutan. Vegetasi penutup lahan di kawasan hutan di dominasi oleh
jenis pohon besar yang rata-rata telah berumur di atas 25 tahun dengan tumbuhan
69
bawah yang cukup baik. Wilayah ini berada di kawasan Bandung Utara dengan
kemiringan lahan 25% sampai dengan 45%. Vegetasi penutup lahan di luar
kawasan hutan pada umumnya di dominasi oleh tanaman palawija dan sayuran.
Jenis tanaman seperti ini pada umumya memberikan perlindungan yang kecil
terhadap lahan. Kawasan seperti ini terdapat di Bandung Utara khususnya
kawasan Lembang dan Cisarua.
Kawasan Sub-DAS Cikapundung Hulu, yang terdiri dari kecamatan Lembang,
Cimenyan, Cidadpa, dan Cilengkrang penggunaan lahannya telah banyak beralih
fungsi dari lahan pertanian dan hutan menjadi lahan permukiman (BPLHD, 2001).
Hal ini mendorong terjadinya erosi dan penurunan kualitas air permukaan. Selain
kegiatan pengembangan permukiman, kegiatan pembukaan hutan yang tidak
terkendali akan mengakibatkan berkembangnya lahan-lahan kritis serta
mengurangi resapan air tanah sehingga menyebabkan terjadinya banjir dan
longsoran pada musim hujan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Darsiharjo
(2004) sebagian besar (64,98%) penggunaan lahan sekarang di daerah hulu
Sungai Cikapundung tidak sesuai dengan tingkat kesesuaian lahannya.
Pemanfaatan tersebut menyebabkan terganggunya interaksi antara subsistem dan
manusia, yang akhirnya berdampak pada manusia terutama masyarakat yang
bermukim di bagian hilir sungai.
Faktor yang mendorong berubahnya fungsi lahan tersebut diantaranya adalah
adanya tekanan laju penduduk yang diiringi meningkatnya kebutuhan hidup
masyarakat. Sub DAS Cikapundung apabila dibandingkan dengan Sub DAS
lainnya yang ada di dalam DAS Citarum Hulu mempunyai jumlah penduduk yang
paling banyak sebesar 46% dari jumlah total penduduk di DAS Citarum Hulu
Tahun 2001. Pada Gambar IV.2. dapat dilihat perubahan pola pemanfaatan lahan
di DAS Cikapundung Hulu lima tahunan dari tahun 1990 sampai dengan tahun
2005.
70
Gambar IV.2. Pola pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu pada tahun
1990, 1995, 2000 dan 2005 (diolah dari sumber data Dinas
Tarkim Prov. Jawa Barat)
IV.1.5. Kondisi Hidroklimatologi
Sungai Utama yang mengalir pada DAS Cikapundung adalah Sungai Cikapundug
yang merupakan anak Sungai Citarum Hulu. Sungai Cikapundung ini
membentang dari pegunungan sekitar Gunung Sanggera Desa Cibodas hingga
bermuara ke Sungai Citarum di Desa Andir, Kecamatan Dayeuh Kolot. Sumber
air utama Sungai Cikapundung berasal dari suplai air anak-anak sungai yang
berada di daerah Cigulung dan Maribaya, Mata Air Seke Gede, serta air terjun
Curug Dago. Panjang total Sungai Cikapundung + 39,07 km, dengan panjang
sungai yang melewati Kota Bandung + 15,5 km dan sepanjang 10,57 km
merupakan daerah permukiman padat.
71
Kondisi iklim pada DAS Cikapundung sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim
pegunungan yang lembab dan sejuk. Kondisi tempratur di daerah ini tidak banyak
berubah setiap tahunnya. Untuk keperluan studi ini data hidroklimatologi
diperoleh pada stasiun pengamatan metorologi dan geofisika Bandung
menggunakan data pada tahun 2006. Data tersebut disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel IV.1. Kondisi hidroklimatologi DAS Cikapundung Hulu
No. Kondisi Hidroklimatologi Pengamatan
1. Temperatur rata-rata tahunan 19,5 o C
2. Temperatur minimum 15 o C
3. Temperatur maksimum 27 o C
4. Kelembaban udara rata-rata 82,5 %
5. Curah hujan 137,5 mm
6. Hari Hujan 13,8 hari
7. Penguapan (evapotranspirasi) 3,9 mm
8. Tekanan udara 875,7 mb
Sumber : BMG
IV4.1.6. Sistem Sungai Cikapundung
Sungai Cikapundung merupakan bagian dari sistem sungai daerah pengaliran
Sungai Citarum bagian hulu, yang mengalir dari utara ke selatan melalui Kota
Bandung dan bermuara di Sungai Citarum. Sungai Cikapundung memiliki
beberapa anak sungai, yaitu Sungai Cikukang, Sungai Cigulung, Cikawari, dan
Cikapundung Kolot, selain dua anak sungai kecil yaitu Sungai Cipaganti dan
Cipalasari, kedua anak sungai tersebut berfungsi sebagai saluran pembuang
(drainase kota).
Analisa neraca air adalah studi mengenai kesetimbangan antara kebutuhan air
dengan ketersediaan dalam periode waktu tertentu. Berdasarkan besarnya supply
air serta besarnya kebutuhan air yang ada dapat ditentukan besarnya
kesetimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Secara umum, pemanfaatan
72
Suplesi S. Cipalasari
523 L/det
PAM Dago 600
930
PAM Dago
60 L/det
PLTA Dago Bengkok 3.440 L/det
DI Dago Pojok 760 L/det
Kolam
2.240 L/det
PLTA Dago Pojok
3.000 L/det
DI Bengkok Tangulan
440 L/det
Suplesi S. Cikapundung Kolot 500 L/det
Cikapundung Maribaya
S. Citarum
PAM Badak 180
740
Suplesi S. Cikapayang 1.500 L/det
Pabrik ES 500
WILAYAH STUDI
air sungai Cikapundung adalah untuk keperluan air minum (PDAM Pakar Dago
dan PDAM Badak Singa), PLTA (Pakar dan Cibengkok), irigasi dan
penggelontoran. Konfigurasi penggunaan air secara skematik di sepanjang Sungai
Cikapundung dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar IV. 3. Neraca pemanfaatan aliran Sungai Cikapundung
Perhitungan yang telah dilakukan oleh Niken dan Arwin (2008) berdasarkan
catatan historisnya, telah terjadi penurunan kapasitas aliran (debit rata-rata
maupun debit minimum) Sungai Cikapundung yang cukup signifikan yang terjadi
sejak tahun 1916 – 2006 seperti digambarkan dalam Gambar 1.1 memperlihatkan
bahwa aliran rata – rata tahunan di hulu Sungai Cikapundung mengalami
penurunan, dimana pada tahun 1916 rata-rata debit tahunan masih berkisar 3.500
73
liter/detik, sedangkan dalam 10 tahun terakhir debit rata-rata tahunan menurun
sampai 500 – 2.000 liter/detik.
Gambar IV.4. Grafik penurunan aliran rata-rata tahunan Sungai Cikapundung
(pos pengukuran Maribaya) tahun 1916–2006 (sumber : Niken dan Arwin, 2008)
Gambar IV.5. Grafik penurunan aliran minimum tahunan Sungai Cikapundung
(pos pengukuran Maribaya) tahun 1916–2006 (sumber : Niken dan Arwin, 2008)
Sedangan di dalam Gambar 1.2 diberlihatkan penurunan debit minimum tahunan
dimana pada tahun 1916 debit minimum yang tersedia di Sungai Cikapundung
masih mampu mencapai 2.800 liter/detik, sedangkan pada dekade terakhir debit
minimum sangat kering pada bulan Agustus – Oktober hanya mencapai 400
liter/detik.
Deb
it r
ata-
rata
min
imum
(m
3/dt
) D
ebit
rat
a-ra
ta ta
huna
n (m
3/dt
)
74
Kondisi tersebut di atas merupakan permasalahan terhadap keandalan penyediaan
air baku mengingat bila dilihat dari suplai (input) sistem di dalam daerah aliran
Sungai Cikapundung yang berupa curah hujan, intensitasnya relatif tetap seperti
diperlihatkan dalam data historis sebagaimana Gambar 1.3 berikut ini
Gambar IV.6. Grafik hujan wilayah tahunan DAS Cikapundung
tahun 1916 – 2006 (sumber : Niken dan Arwin, 2008)
Jika jumlah hujan yang jatuh di DAS Cikapundung Hulu tidak banyak mangalami
perubahan (dalam hal ini penurunan), maka dapat dikatakan bahwa input ke dalam
sistem DAS Cikapundung tersebut adalah tetap, dan apabila yang terjadi adalah
berkurangnya aliran air pada Sungai Cikapundung maka dapat diindikasikan telah
terjadi perubahan (pergeseran) kesetimbangan (neraca) air pada sistem DAS
Cikapundung Hulu. Hal tersebut diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa debit
maksimum Sungai Cikapundung Hulu yang semakin membesar dari tahun 1916 –
2006 sebagaimana digambarkan di dalam Gambar 1.4.
Aliran debit maksimum yang membesar dengan input (berupa curah hujan) yang
relatif tetap menandakan telah terjadinya pergeseran pada unsur-unsur di dalam
sistem DAS Cikapundung Hulu, yang dalam hal ini diindikasikan adanya
peningkatan jumlah limpasan air hujan (surface runoff) sebagai akibat terjadinya
perubahan/alih fungsi lahan yang tidak terkendali terutama di daerah tangkapan
air (catchment area) DAS Cikapundung Hulu, dan penurunan infiltrasi air hujan
ke dalam tanah (subsurface runoff). Tingginya surface runoff tersebut
menimbulkan ancaman erosi, tanah longsor, sedimentasi ke dalam badan-badan
air dan juga bahaya banjir, sedangkan menurunnya subsurface runoff
75
menimbulkan berkurangnya aliran dasar (base flow) yang sangat diandalkan
menjadi sumber aliran sungai.
Gambar IV.7. Grafik aliran maksimum Sungai Cikapundung tahun 1916 – 2006
(sumber : Niken dan Arwin, 2008)
IV.2. Kondisi Kependudukan DAS Cikapundung Hulu
DAS Cikapundung Hulu merupakan wilayah yang meskipun didominasi oleh
kawasan hutan dan perdesaan namun karena posisinya yang merupakan bagian
dari salah satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional yaitu kawasan Cekungan
Bandung, maka perkembangan sosial yang dalam hal ini adalah kependudukan,
serta perkembangan ekonomi di wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh pola
perkebangan sosial dan ekonomi yang menjadi ciri kawasan perkotaan. Terlebih
pada dua dekade terakhir ini dimana Kawasan Cikapundung Hulu yang
merupakan kawasan dataran tinggi menjadi salah satu pilihan utama dalam
pengembangan kawasan permukiman untuk memenuhi kebutuhan penduduk
Kawasan Cekungan Bandung. Hal tersebut karena di wilayah DAS Cikapundung
Hulu kualitas udaranya masih sangat baik, air tanah yang cukup tersedia dari sis
kualitas maupun kuantitas, serta memberikan nilai lebih pada pemandangan (view)
yang indah sehingga memberikan daya tarik yang sangat tinggi sebagai kawasan
permukiman. Oleh karena itu di dalam penelitian ini pembahasan masalah
kependudukan da ekonomi di wilayah DAS Cikapundung Hulu tidak dapat
Deb
it m
aksi
mum
(m
3/dt
)
76
dilepaskan dari kondisi keperndudukan dan ekonomi Kawasan Cekungan
Bandung.
Jumlah penduduk di Cekungan Bandung menunjukkan kecenderungan
peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980, jumlah penduduk di Cekungan
Bandung mencapai 4,1 juta jiwa sementara dalam dekade 1980 - 1990, jumlah
penduduk bertambah lebih dari seperempatnya menjadi 5,3 juta jiwa. Pada
periode 1990 - 2000 pertambahan penduduk mencapai sekitar 10 % menjadi 6,3
juta jiwa. Perkembangan penduduk Cekungan Bandung dalam dua dekade
terakhir diperlihatkan pada Tabel 4.1.
Tabel IV.2. Perkembangan penduduk di Cekungan Bandung
Tahun Jumlah Penduduk Laju pertumbuhan (jiwa) (%/tahun)
1980 4,130,607 1)
1990 5,258,247 1) 2.7%
1995 5,739,353 2) 1.8%
2000 6,294,346 3) 1.9%
2005 7,073,527 4) 2.5%
catatan :
1) Berdasarkan sensus penduduk 2) Berdasarkan Supas '95 3) Berdasarkan sensus penduduk 4) Berdasarkan Suseda 2005
Faktor migrasi dipandang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap
pertumbuhan penduduk perkotaan. Sampai tahun 2000, sekitar 10.6 % dari jumlah
penduduk di Cekungan Bandung terdiri dari penduduk migran. Proses migrasi
berkaitan dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan jasa, yang
pada gilirannya menarik tenaga kerja dari luar wilayah. Berdasarkan lapangan
pekerjaan, penduduk migran tersebut terkonsentrasi di sektor industri,
perdagangan dan jasa. Penyerapan tenaga kerja migran pada ketiga lapangan
pekerjaan tersebut adalah 20% di sektor industri, 30% di sektor jasa dan
perdagangan.
77
Sedangkan untuk penduduk di DAS Cikapundung Hulu karena merupakan bagian
dari Cekungan Bandung maka dinamika penduduknya pun sangat dipengaruhi
oleh dinamika penduduk Cekungan Bandung bahkan jauh lebih cepat. Pada tahun
1990, jumlah penduduk di DAS Cikapundung Hulu 204.172 jiwa, sementara
hanya dalam jangka waktu 15 tahun (tahun 2005) jumlah penduduk telah
bertambah lebih dari setengahnya (59%) atau menjadi 324.869 jiwa..
Perkembangan penduduk DAS Cikapundung Hulu dalam 15 tahun terakhir
diperlihatkan pada Tabel 4.2.
Tabel IV.3. Perkembangan penduduk di DAS Cikapundung Hulu
Tahun Jumlah Penduduk Laju pertumbuhan (jiwa) (% /tahun)
1990 204.172
1995 231.691 2,7 %
2000 294.535 5,4 %
2005 324.869 2.1 %
Sumber BPS
Pada Gambar IV.8 dan Gambar IV.9 diperlihatkan grafik pertumbuhan penduduk
yang terjadi pada Kawasan Cekungan Bandung dan DAS Cikapundung Hulu
selama kurun waktu 15 tahun dari tahn 1990 sampai dengan 2005.
Gambar IV.8. Pertumbuhan penduduk Kawasan Cekungan Bandung tahun
1990 - 2005 (diolah dari sumber data BPS Prov. Jawa Barat)
78
Gambar IV.9. Pertumbuhan penduduk DAS Cikapundung Hulu tahun 1990 -
2005 (diolah dari sumber data BPS Prov. Jawa Barat)
IV.3. Perkembangan Output Produksi Regional
Dalam perjalanannya, kondisi ekonomi regional di Cekungan Bandung, termasuk
di dalamnya Kawasan DAS Cikapundung Hulu, mengalami perkembangan yang
dinamis. Terdapat masa-masa dimana ekonomi mengalami pertumbuhan positif
dan masa resesi. Sampai dengan tahun 1996, perekonomian wilayah mengalami
pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. Namun pada saat krisis ekonomi tahun
1996 mulai berlangsung, ekonomi wilayah mengalami kontraksi dengan
pertumbuhan negatif sampai dengan -18%. Selama krisis berlangsung, investasi
baik pada sektor industri, perdagangan maupun jasa pada umumnya mengalami
penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.
Pasca krisis ekonomi, perkembangan output produksi perekonomian di Cekungan
Bandung pulih dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004,
output produksi PDRB (berdasarkan harga konstan) tercatat Rp. 18,26 triliun,
meningkat menjadi Rp. 20,55 triliun pada tahun 2005. Aktivitas sektor industri,
jasa dan perdagangan memegang peranan yang cukup dominan dalam kegiatan
perekomian di Cekungan Bandung. Dibandingkan dengan sektor perekonomian
lainnya, kontribusi sektor industri, jasa dan perdagangan masih mendominasi
output produksi yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi, yaitu mencapai 90 % dari
total PDRB sektor produksi atau sebesar 17,6 triliun rupiah pada tahun 2005.
79
Pertumbuhan ekonomi di Cekungan Bandung didorong oleh investasi kapital yang
berperan di dalam mengakumulasi stok kapital dan tenaga kerja. Sektor industri
masih menjadi tujuan utama investasi. Pada tahun 2004, investasi di sektor
industri mencapai 43% dari keseluruhan investasi, sementara sektor yang lain
hanya menyerap investasi sebesar 4,3%.
Investasi kapital ke dalam sektor-sektor produksi membangkitkan penyerapan
tenaga kerja. Investasi pada tiap-tiap sektor produksi memiliki bangkitan
penyerapan tenaga kerja yang berbeda satu dan lainnya. Untuk sektor industri,
setiap nilai investasi Rp. 1 triliun membangkitkan penyerapan tenaga kerja 15.000
orang. Sedangkan untuk sektor jasa dan perdagangan, setiap nilai investasi Rp. 1
triliun membangkitkan penyerapan tenaga kerja 26.500 orang.