UJI EFEK INFUSA DAUN SENDOK (Plantago major L.) TERHADAP ...
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi...
Transcript of IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi...
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak Geografis dan Topografi Desa Penelitian
Desa Batur merupakan salah satu desa yang sebagian besar penduduknya
bertani. Di Desa Batur terdapat 2 golongan petani yaitu petani organik dan petani
non organik. Jumlah penduduk Desa Batur sampai tahun 2014 adalah sebanyak
6.878 jiwa yang terdiri dari 3.633 laki-laki dan 3.235 perempuan, dengan jumlah
kepala keluarga 4.848 KK. Desa Batur secara administrasi termasuk dalam
wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Desa
Batur memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Desa Sumogawe
b. Sebelah Selatan : Gunung Merbabu
c. Sebelah Barat : Desa Kopeng
d. Sebelah Timur : Desa Tajuk
Secara geografis, Desa Batur memiliki data orbitrasi (jarak dari pusat
pemerintahan) sebagai berikut:
a. Jarak dari Pusat Kecamatan Getasan : 3km
b. Jarak dari Pusat Kabupaten Semarang : 30km
c. Jarak dari Pusat Provinsi Jawa Tengah : 35km
d. Jarak dari Pusat Ibu Kota Jakarta : 200km
Berdasarkan data monografi tahun 2014, luas Desa Batur adalah
1.081,750Ha yang terbagi menjadi 19 dusun yang terdiri dari 19 RW, dan 55 RT.
Luas tanah tersebut digunakan untuk berbagai keperluan baik jalan, ladang,
pemukiman, bangunan umum, pemakaman, dan peternakan. Desa Batur
mempunyai keadaan tanah yang masuk dalam golongan dataran tinggi dengan
ketinggian 1.200m2 diatas permukaan laut, sedangkan suhu rata-rata yang dimiliki
adalah 17oC dengan curah hujan sebesar 2.500mm/th.
20
4.1.2. Keadaan Tanah dan Luas Lahan
Luas keseluruhan Desa Batur adalah 1.081,750Ha. Penggunaan lahan Desa
Batur dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Luas dan Penggunaan Lahan Desa Batur
Bentuk penggunaan lahan Luas (Ha) Persentase (%)
Pemukiman, bangunan umum 380 35,13
Jalan, makam 173 15,99
Tegalan 321 29,67
Tanah kritis, tanah bengkok 102 9,43
Tanah Negara 105,750 9,78
Jumlah 1.081,750 100 Sumber: Data Monografi Desa Batur, 2014
Dari Tabel 4.1. diketahui bahwa lahan di Desa Batur pada tahun 2014 masih
banyak yang belum digunakan, masih milik Negara. Namun pada tahun 2016 ini
tanah Negara tersebut sudah banyak dimiliki oleh Penduduk Desa Batur dan
digunakan untuk bercocok tanam menanam sayuran. Penggunaan lahan paling
banyak digunakan untuk tempat pemukiman dan bagunan umum yaitu sebesar
389ha atau 35,13%, sedangkan untuk sarana bercocok tanam terbilang masih luas
yaitu menempati urutan kedua setelah pemukiman umum sebesar 321ha atau
29,67%. Hal ini terbukti, dikarenakan mayoritas mata pencaharian penduduk
didaerah Desa Batur adalah sebagai petani sayuran.
4.1.3. Keadaan Pertanian
Lokasi penelitian yaitu Desa Batur, jenis tanaman yang diusahakan petani
adalah tanaman sayuran seperti sawi sendok, selada hujau, selada merah, brokoli,
seledri, daun bawang, dan masih banyak lagi jenis sayuran lainnya. Para petani di
Desa Batur menggunakan pola tanam tumpangsari agar dapat menghasilkan hasil
panen yang berlimpah, meskipun memiliki lahan yang tidak begitu luas. Menurut
Paimin (1991), menyatakan bahwa bagi petani yang menanam sayuran sebagai
penghasilan keluarga, pola tanam menggunakan sistem tumpangsari memang
menguntungkan. Dengan melakukan tumpangsari bersama tanaman lain yang
dapat memberikan penghasilan bagi petani selama menunggu hasil sayuran
lainnya. Pertanian di Desa Batur memiliki pola pergiliran usahatani yang
cenderung tetap setiap tahunnya.
21
4.2. Gambaran Umum Usahatani Brokoli dan Selada Hijau
4.2.1. Tahapan Budidaya Brokoli dan Selada Hijau
Berikut ini adalah tahapan dalam budidaya brokoli dan selada hijau. Proses
budidaya dimulai dari persiapan media persemaian sampai dengan panen. Di
tempat penelitian, semua tahapan dalam proses budidaya dilakukan, tetapi hanya
proses pembibitan yang tidak semua petani lakukan. Alasan dari proses
pembibitan tidak dilakukan oleh petani karena ketersediaan waktu untuk
melakukan proses pembibitan tersebut. Untuk tahapan proses budidaya yang
lainnya semua petani melakukannya sesuai dengan prosedur yang sudah
ditetapkan oleh Kelompok Tani Bangkit Merbabu.
Gambar 2. tahapan proses budidaya
Gambar 4.1. Tahapan budidaya brokoli dan selada hijau
Rata-rata bedengan yang digunakan petani adalah 10 m x 1m. dalam 1
bedengan terdapat 2 jenis tanaman yang diusahakan. Tanaman yang diusahakan
adalah brokoli dan selada hijau. Jarak tanam untuk brokoli adalah 40cm x 40cm,
sedangkan untuk selada adalah 20cm x 20cm. Pengaturan tanamannya yaitu
selada hijau berada di antara brokoli. Bentuk pola tanam usahatani brokoli dan
selada hijau berbentuk segitiga. Gambaran petak lahan usahatani brokoli dan
selada hijau dapat dilihat pada Gambar 4.2.
22
Gambar 4.2. Petak Lahan Brokoli dan Selada Hijau
4.2.2. Penggunaan Sarana Produksi
Penggunaan pupuk kandang dalam proses budidaya selada hijau adalah 50%
dan untuk budidaya brokoli adalah sebesar 50% dari total pupuk yang digunakan
oleh petani dalam sekali musim tanam. Karena setiap kali menanam selada selalu
dilakukan penambahan pupuk kandang, sehingga pupuk kandang yang digunakan
sama. Selada bisa ditanam 2 kali dalam setiap 1 musim tanam brokoli, dan pupuk
yang digunakan untuk budidaya selada hijau yang ke 2 dilakukan penambahan.
Maka dari itu, biaya pupuk yang dikeluarkan untuk brokoli dan selada hijau tidah
berbeda jauh. Bibit yang digunakan dalam proses budidaya brokoli dan selada
hijau didapat dari tempat pembibitan. Ada beberapa petani yang membibitkan
sendiri. Alasan petani membeli bibit ditempat pembibitan karena tidak ada waktu
untuk melakukan proses pembibitan.
Penggunaan mulsa yang dilakukan petani dalam budidaya brokoli dan
selada hijau adalah bersamaan, tetapi untuk biaya mulsa tidak semuanya masuk
dalam biaya penggunaan saprodi untuk brokoli, melainkan 25% dari total biaya
mulsa masuk kedalam biaya selada hijau. Alasannya yaitu karena 25% dari total
luasan lahan yang dimiliki petani digunakan untuk budidaya selada hijau dan 75%
digunakan untuk budidaya brokoli.
Penggunaan tenaga kerja, untuk brokoli ada 6 orang dan untuk selada hijau
ada 4 orang. Tenaga kerja yang digunakan dalam proses budidaya adalah tenaga
kerja dalam keluarga. Tenaga kerja yang digunaan pada proses mencangkul lahan
untuk brokoli dan selada hijau dilakukan secara bersama-sama, sehingga akan
meminimalkan tenaga kerja yang digunakan dalam proses tersebut. Begitu pula
dengan proses pemeliharaan yang dilakukan bersama-sama.
23
4.2.3. Gambaran Pola Tanam
Semua petani menerapkan pola tanam tumpangsari dalam budidaya sayuran
organik. Pola tanam tumpangsari ini bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan
tiap bedengan agar lebih efektif, untuk memutus siklus hama, dan menghindari
terjadinya kompetisi hara. Selain itu petani memilih pola tanam tumpangsari, agar
dapat dilakukan pemanenan secara berkala dalam satu luasan lahan dan
mendapatkan pendapatan usahatani secara lebih rutin.
Petani memilih menanam brokoli dan selada hijau karena brokoli memiliki
harga jual tinggi meskipun masa tanam yang cukup panjang yaitu kurang lebih
selama 3 bulan, sedangkan selada hijau dipilih karena komoditi ini memiliki umur
tanam yang pendek yaitu kurang lebih 2 bulan, dan juga komoditi ini bisa tumbuh
berdampingan dengan brokoli tanpa petani harus mengusahakan tambahan pupuk
dan yang lainnya dalam jumlah yang relatif banyak untuk menanam komoditi ini.
Gambaran pola tanam usahatani sayuran organik dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Gambaran Pola Tanam Usahatani Sayuran Organik
komoditas Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Brokoli V - V V V - V V V - V V
Selada Hijau V V V - V V V - V V V V
Keterangan: (V) = tanam, (-) = bero
4.3. Karakteristik Responden
4.3.1. Umur
Umur merupakan usia petani sejak dilahirkan hingga saat penelitian
dilakukan. Berdasarkan pada data hasil penelitian yang telah dilakukan,
diketahui bahwa distribusi responden berdasarkan usia memiliki keragaman
yang cukup tinggi dimana mayoritas responden memiliki usia rata-rata dibawah
45-54 tahun dengan persentase mencapai 43,33% (13 orang) dari total 30 orang
responden yang ada. Sementara persentase terkecil responden ialah pada kisaran
usia ≥65 tahun dengan persentase sebesar 6,67% (2 orang) dari jumlah total
responden. Gambaran keseluruhan distribusi responden berdasarkan usia
responden dapat dilihat pada Tabel 4.3.
24
Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Umur (tahun) Jumlah Sampel
Frekuensi (orang) Persentase (%)
35-44 9 30
45-54 13 43.33
55-64 6 20
≥65 2 6.67
Total 30 100
Rata-rata usia 47
Sumber: Analisis Data Primer, 2016
4.3.2. Jenis Kelamin
Gambaran keseluruhan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin Jumlah sampel
Frekuensi (orang) Persentase (%)
Laki-laki 21 70
Perempuan 9 30
Total 30 100
Sumber: Analisis data primer, 2016
Berdasarkan Tabel 4.4, dapat diambil kesimpulan bahwa dari total 30
orang responden yang ada, sebagian besar dari responden adalah berjenis kelamin
laki-laki dengan persentase se3besar 70% (21 orang), sementara sisanya yaitu
30% (9 orang) adalah responden dengan jenis kelamin perempuan.
4.3.3. Pendidikan
Pendidikan merupakan pendidikan formal petani terakhir yang pernah
ditempuh.
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan Jumlah Sampel
Frekuensi (orang) Persentase (%)
SD 15 50
SMP 8 26,67
SMA 7 23,33
Total 30 100
Rata-rata Pendidikan SD
Sumber: analisis data primer, 2016
25
Berdasarkan Tabel 4.5, responden dengan tingkat pendidikan SD paling
mendominasi yaitu sebanyak 15 orang (50%). Responden dengan tingkat
pendidikan SMP sebanyak 8 orang (26,67%), dan SMA yaitu 7 orang (23,33%).
Sedangkan responden yang tidak menempuh pendidikan formal yaitu 0 orang
(0%). Wahyuniarti (2011) dalam penelitiannya mendapatkan responden dengan
lama pendidikan 6 tahun mendominasi dari seluruh responden. Hal ini dapat
diartikan kebanyakan responden menempuh jenjang pendidikan hanya sampai
jenjang Sekolah Dasar (SD).
4.3.4. Luas Lahan Usahatani
Luas usahatani merupakan luas penguasaan lahan usahatani baik milik
sendiri atau kontrak lahan.
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Usahatani
Luas Usahatani (ha) Jumlah Sampel
Frekuensi (orang) Persentase (%)
<0,1 3 10,00
0,1-0,14 15 50,00
0,15-0,2 11 36,67
>0,2 1 3,33
Jumlah 30 100,00
Rata-rata 0,123
Sumber: analisis data primer, 2016
Tabel 4.6, menunjukkan mayoritas respoden memiliki luas usahatani dengan
luas 0,1-0,14ha sebanyak 15 orang (50%). Responden dengan luas lahan usahatani
0,15-0,2ha sebanyak 11 orang (36,67%), responden yang memiliki luas lahan
usahatani <0,1ha adalah 3 orang (10%), sedangkan responden dengan luas
usahatani dengan luas lahan >0,2ha ada 1 orang (3,33%). Lahan yang dimaksud
meliputi lahan sewa maupun kepemilikan sendiri yang ditanami sayuran organik.
4.4. Analisis Usahatani
Menurut Rukmana (2000), analisis usahatani dapat memberikan gambaran
mengenai besarnya biaya yang diperlukan dan besarnya pemasukkan serta
keuntungan yang diperoleh dalam usahatani sayuran organik. Pada bagian ini,
diuraikan mengenai analisis usahatani brokoli dan selada hijau organik dalam
satuan rupiah per hektar yang dapat dilihat pada Tabel 4.7.
26
Tabel 4.7. Analisis Biaya Usahatani Brokoli dan Selada Hijau
Jenis Usahatani Brokoli Usahatani Selada Hijau
Produktivitas (Kg/Ha/Th) 15.691,05 40.799,46
Harga Jual (Rp/Kg) 10.000 8.000
Penerimaan (Rp/Ha/Th) 156.910.500 326.395.680
Biaya (Rp/Ha/Th)
Pupuk kandang 12.441.920 12.411.924
Bibit 9.087.263 86.487.805
Mulsa 6.141.373 6.240.741
Total biaya 27.640.560 105.140.470
Pendapatan (Rp/Ha/Th) 129.269.940 221.225.210
Sumber: analisis data primer, 2016
Pada Tabel 4.7, biaya usahatani selada hijau lebih tinggi dibandingkan biaya
usahatani brokoli. Selada hijau memiliki biaya yang cukup tinggi dibandingkan
dengan brokoli dikarenakan, selada hijau dapat ditanam 10 kali dalam satu tahun
sedangkan brokoli hanya 3 kali dalam satu tahun, sehingga biayanya akan lebih
tinggi. Menurut Paimin (1991), mengatakan besarnya penerimaan diperoleh dari
hasil kali produktivitas dengan harga. Berdasarkan hasil perhitungan dari Tabel
4.7 diketahui rata-rata penerimaan usahatani brokoli Rp156.910.500/ha/th dan
selada hijau Rp326.395.680/ha/th. Hal ini disebabkan pada harga jual brokoli
Rp10.000/kg lebih tinggi dibandingkan harga jual selada hijau Rp8.000. Menurut
Mandaka dan Hutagaol (2005) pendapatan merupakan selisih antara penerimaan
dengan biaya selama kurun waktu tertentu. Berdasarkan Tabel 4.7 usahatani
brokoli memiliki pendapatan Rp129.269.940/ha/th dan pendapatan usahatani
selada hijau adalah Rp221.225.210/ha/th. Hal ini dikarenakan penerimaan
usahatani brokoli lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan usahatani selada
hijau. Menurut Wijaya, dkk (2012) pendapatan brokoli adalah
Rp104.476.608,9/ha/th. Pendapatan brokoli ditempat penelitian lebih tinggi
karena harga brokoli di tempat penelitian lebih tinggi dari pada harga brokoli
menurut Wijaya. Menurut Anonim (2016c) pendapatan selada hijau adalah
Rp150.500.550/ha/th. Pendapatan selada hijau ditempat penelitian lebih tinggi
daripada Rp150.500.550/ha/th karena produksi dan harga ditempat penelitian
lebih tinggi dan biayanya juga lebih rendah.
Menurut Anonim (2016c), produktivitas tanaman selada secara monokultur
dapat mencapai 15-20 ton per hektar per musim. Pada kenyataannya produktivitas
selada hijau di Dusun Kaliduren adalah 53.799,46kg/ha/th (53,799ton/ha/th).
27
Tanaman Selada ini biasanya ditanam oleh petani di Dusun kaliduren sebanyak 10
kali dalam 1 tahun, sehingga produktivitas selada hijau sebesar 5.977,72kg/ha/th
(5,977ton/musim). Produktivitas selada yang ada tidak sesuai dengan referansi
yang ada, produktivitas yang didapat oleh petani hanya 0,33 (1/3) dari
produktivitas menurut Anonim (2016c). Hal tersebut bisa terjadi karena tanaman
selada hijau ditanam secara tumpangsari, sehingga produksinya tidak maksimal
dan populasi tanamannya tidak sebanyak yang ditanam secara monokultur.
Produktivitas brokoli di Dusun Kaliduren adalah sebesar 21.691,05kg/ha/th
(21,691ton/ha/th). Tanaman brokoli biasanya ditanam 3 kali dalam 1 tahun,
sehingga produktivitas brokoli dalan 1 kali musim tanam adalah
7.230,35kg/ha/musim (7,230ton/ha/musim). Produktivitas brokoli tersebut tidak
sesuai dengan pendapat dari Salsacahyani (2014) yang menyebutkan bahwa secara
umum, produktivitas brokoli per hektar per musim adalah 15-40 ton, tetapi
produksi brokoli sangat bergantung pada varietas tanaman dan populasi tanaman
per satuan luas lahan. Hal ini terjadi karena tanaman brokoli ditanam secara
tumpangsari, sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal. Produktivitas brokoli
yang ada di Dusun Kaliduren hanya mencapai kurang lebih 0,5 (1/2) dari hasil
yang seharusnya diperoleh sesuai dengan pendapat Salsacahyani (2014). Referensi
produktivitas brokoli tersebut adalah produktivitas brokoli secara monokultur.
4.5. Analisis Risiko Produksi
Risiko merupakan kemungkinan kejadian yang akan menimbulkan dampak
kerugian. Dalam menjalankan suatu bisnis, setiap keputusan selalu mengandung
risiko. Oleh karena itu perlu adanya suatu kegitan yang harus dilakukan untuk
meminimalkan sebuah risiko. Adanya risiko produksi dapat mempengaruhi
produktivitas sayuran menjadi rendah dan berakibat pada pendapatan petani yang
akan semakin kecil, jika hal ini tidak ditangani maka dapat berakibat fatal bagi
petani. Pada penelitian ini risiko produksi yang akan dibahas adalah risiko
produksi brokoli dan selada hijau.
Pada dasarnya dari hasil wawancara yang dilakukan, risiko yang sering
dihadapi petani adalah kondisi cuaca yang tidak menentu, serangan hama dan
penyakit, sehingga menyebabkan pendapatan para anggota kelompok tani menjadi
28
menurun. Kelompok Tani Bangkit Merbabu dalam menjalankan kegiatan
usahanya menghadapi beberapa risiko, salah satu risiko yang dihadapi adalah
risiko produksi. Risiko produksi ini menyebabkan fluktuasi produksi sayuran
organik, sehingga akan mempengaruhi penerimaan kelompok. Dimana, semakin
tinggi risiko produksi yang dihadapi kelompok maka tingkat penerimaan akan
semakin kecil. Risiko produksi yang dibahas dalam penelitian ini adalah risiko
produksi pada tanaman brokoli dan selada hijau.
4.5.1. Perhitungan Produktivitas dan Pendapatan Tertinggi, Normal, dan
Terendah
Tabel 4.8 menunjukkan perhitungan produktivitas dan pendapatan tertinggi,
normal dan terendah untuk menghitung peluang. Peluang tertinggi, normal dan
terendah diukur dari proporsi frekuensi atau berapa kali kelompok pernah
mencapai produktivitas tertinggi, terendah atau normal selama periode siklus
produksi berlangsung. Pada tahap awal ditentukan nilai pada tingkat normal
berdasarkan nilai rata-rata produktivitas dan pendapatan dari 30 sampel petani,
dan selanjutnya nilai diatas nilai rata-rata dikategorikan sebagai nilai tinggi dan
nilai yang berada di bawah rata-rata dikatakan rendah. Dengan adanya
produktivitas dan pendapatan yang berubah-ubah maka peluang perusahaan
memperoleh produktivitas dan pendapatan tertinggi, normal dan terendah dapat
diamati dengan mempertimbangkan periode waktu selama proses produksi
berlangsung.
Tabel 4.8. Produktivitas dan Pendapatan Tertinggi, Normal, dan Rendah Pada
Usahatani Brokoli dan Selada Hijau
Komoditas Produktivitas (kg/ha/Th) Pendapatan (Rp/ha/Th)
Kategori Jumlah % Kategori Jumlah %
Brokoli Tinggi > 1957,77 18 0,60 Tinggi >201.325.167 18 0,60
Normal = 1957,77 0 0,00 Normal =201.325.167 0 0,00
Rendah < 1957,77 12 0,40 Rendah <201.325.167 12 0,40
Selada hijau Tinggi > 5317 16 0,53 Tinggi >348.427.500 16 0,53
Normal = 5317 0 0,00 Normal =348.427.500 0 0,00
Rendah < 5317 14 0,47 Rendah <348.427.500 14 0,47
Sumber: Analisis Data Primer, 2016
Pada Tabel 4.8 menjelaskan tentang peluang tinggi, rendah dan normal yang
terjadi pada komoditas brokoli dan selada hijau. Pada tabel tersebut juga dapat
29
dilihat produktivitas dan pendapatan tertinggi, normal dan terendah, berdasarkan
jumlah, dan presentase dari setiap komoditas masing-masing. Tarigan (2009)
menyebutkan bahwa peluang produktivitas dan pendapatan tertinggi dilihat dari
tingkat peluang produktivitas dan pendapatan yang paling tinggi, normal dilihat
dari peluang produktivitas dan pendapatan yang sering terjadi selama berusahatani
sedangkan terendah dilihat dari peluang produktivitas dan pendapatan yang paling
rendah. Tabel 4.8 menunjukan presentase peluang paling tinggi adalah peluang
dengan kategori tinggi, dan berdasarkan perhitungan data yang diperoleh melalui
wawancara dengan petani untuk brokoli, nilai produktivitas paling tinggi sebesar
2.779,17kg/ha, normal sebesar 2.223,33kg/ha dan terendah sebesar 741,11kg/ha,
sedangkan untuk pendapatan tertinggi sebesar Rp293.125.000, normal sebesar
Rp148.366.667, dan terendah sebesar Rp71.766.667. Untuk selada hijau nilai
produktivitas tertinggi sebesar 8.000kg/ha, normal sebesar 4.444 kg/ha dan rendah
sebesar 2.222kg/ha, sedangkan dari segi pendapatan nilai tertinggi sebesar
Rp440.533.333, normal sebesar Rp198.000.000 dan terendah sebesar
Rp103.833.333.
4.5.2. Penilaian Risiko Produksi Berdasarkan Produktivitas menggunakan
Analisis Spesialisasi
Penilaian risiko spesialisasi adalah penilaian risiko pada masing-masing
komodias, dilihat berdasarkan produktivitas dan pendapatan kotor brokoli dan
selada hijau. Penilaian risiko produksi dan pendapatan dapat dihitung
menggunakan variance, standard deviation, dan coeffisient variation. Variance
dan standard deviation merupakan ukuran absolut dan tidak mempertimbangkan
risiko dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan (Expected return).
Untuk mempertimbangkan aset dengan return yang diharapkan berbeda, petani
dapat menggunakan coeffisien variation. Coefficient variation merupakan ukuran
yang sangat tepat bagi pengambilan keputusan khususnya dalam memilih salah
satu alternatif dari berbagai kegiatan usahatani dengan mempertimbangkan risiko
yang dihadapi dari setiap kegiatan usahatani untuk setiap return yang diperoleh.
Pada Tabel 4.9 dapat dilihat mengenai risiko usahatani brokoli dan selada
hijau yang diperoleh berdasarkan produktivitas pada tahun 2015.
30
Tabel 4.9. Penilaian Risiko Produksi Berdasarkan Produktivitas pada Analisis
Spesialisasi Brokoli dan Selada Hijau
Komoditas Produktivitas
Expected return Variance St. Deviation CV
Brokoli 1.061,02 179.876,38 424,12 0,40
Selada hijau 2.471,98 835.226,63 913,91 0,37
Sumber: Analisis Data Primer, 2016
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4.9 diatas dapat diketahui bahwa
penilaian risiko produksi diperoleh nilai variance berbanding lurus dengan
standard deviation yaitu jika nilai variance tinggi maka nilai standard deviation
juga akan tinggi. Hal ini dapat dilihat pada nilai variance dan standard deviation
tertinggi dari dua komoditi yang dikaji terdapat pada usahatani selada hijau yaitu
835.226,63 dan 913,91. Nilai variance dan standard deviation usahatani brokoli
yaitu 179.876,38 dan 424,12.
Sembiring (2010) mengatakan bahwa, pada dasarnya pengukuran risiko bisa
dilakukan menggunakan standard deviation dan variance namun pengukuran ini
tidak bisa menghasilkan pengukuran yang tepat dan akurat karena pengukuran ini
hanyalah pengukuran absolut dan tidak mempertimbangkan risiko dalam
hubungannya dengan hasil yang diharapkan. Coefficient variation adalah ukuran
yang sangat tepat dalam pengambilan keputusan khususnya dalam memilih
alternatif dari berbagai kegiatan usaha dengan mempertimbangkan risiko yang
dihadapi dari setiap kegitan usahatani untuk setiap produksi dan pendapatan yang
diperoleh. Semakin besar nilai coefficient variation maka semakin besar pula
risiko yang dihadapi oleh petani dalam mengusahakan usahatani yang dilakukan.
Pada Tabel 4.9 dapat dilihat nilai coefficient variation komoditi brokoli lebih
tinggi yaitu 40% yang artinya jika petani menghasilkan tanaman brokoli sebesar
1kg maka risiko yang dihadapi sebesar 40%. Jadi, hasil yang dapat diperoleh
adalah 60% brokoli. Sedangkan coefficient variation selada hijau adalah 37%
yang artinya jika perusahaan menghasilkan selada hijau 1kg maka risiko yang
dihadapi sebesar 37%. Jadi, hasil yang didapat adalah 63% selada hijau. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Sembiring (2010) yang menyatakan coefficient
variation brokoli paling tinggi dibandingkan komoditas dari caisin, sawi putih,
dan tomat. Dan berbeda dengan penelitian Taringan (2009) yang menyatakan
31
bahwa coefficient variation brokoli lebih rendah dibandingkan dengan coefficient
variation bayam hijau.
Informasi di lapangan menunjukkan bahwa tanaman brokoli sangat rentan
terhadap cuaca serta hama penyakit. Hal ini disebabkan karena kondisi cuaca yang
tidak pasti, sehingga mengakibatkan produktivitas tanaman brokoli mengalami
risiko yang tinggi. Salah satu penyakit yang sering menyerang brokoli adalah ulat
hijau, hama ini akan menyebabkan penurunan produksi atau gagal panen.
Semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin tinggi tingkat risiko yang
dihadapi oleh perusahaan dalam mengusahakan sayuran tersebut.
4.5.3. Penilaian Risiko Berdasarkan Pendapatan menngunakan Analisis
Spesialisasi
Penilaian risiko spesialisasi dapat juga diukur berdasarkan pendapatan yang
diperoleh dari setiap produksi yang dihasilkan selama proses produksi
berlangsung. Pendapatan adalah selisih dari penerimaan usahatani dengan
pengeluaran, penerimaan tersebut berasal dari penjualan sayuran organik
sedangkan pengeluaran merupakan biaya total yang digunakan selama proses
produksi. Penilaian risiko produksi berdasarkan pendapatan dapat dilihat pada
Tabel 4.10.
Tabel 4.10. Penilaian Risiko Produksi Berdasarkan Pendapatan Pada Analisis
Spesialisasi Brokoli dan Selada Hijau
Komoditas Pendapatan
Expected Return Variance St. Deviasi CV
Brokoli 113.713.841 1.936.812.397.379.040 44.009.231 0,39
Selada hijau 180.498.778 5.608.459.186.747.540 74.889.647 0,41
Sumber: Analisis Data Primer Tahun 2016
Pada Tabel 4.10 dapat dilihat coefficient variation berdasarkan pendapatan
dari sayuran brokoli dan selada hijau dimana, nilai coefficient variation tertinggi
berdasarkan pendapatan terdapat pada komoditas selada hijau yaitu sebesar 41%
yang artinya dalam satu kali penen setiap satu rupiah yang diterima akan
menghasilkan risiko sebesar 41%, sehingga pendapatan yang diterima sebesar
59% pendapatan yang dihasilkan untuk komoditas selada hijau. Sedangkan
32
coefficient variation yang diperoleh komoditas brokoli yaitu sebesar 39% yang
artinya dalam satu kali penen setiap satu rupiah yang diterima akan menghasilkan
risiko sebesar 39%, sehingga pendapatan yang diterima sebesar 61% pendapatan
yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Sembiring (2010) yang
menyatakan bahwa coefficient variation brokoli memiliki nilai tertinggi
dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Semakin besar nilai coefficient
variation maka akan semakin tinggi risiko yang dihadapi. Selain itu juga hasil
perhitungan ini sesuai dengan penelitian Taringan (2009) yang menyatakan bahwa
nilai coefficient variation brokoli paling rendah dibandingkan dengan nilai
coefficient variation komoditas lainnya.
4.5.4. Penilaian Risiko Produksi Berdasarkan Produktivitas menggunakan
Analisis Diversifikasi
Diversifikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan
mengkombinasikan minimal dua aset yang bertujuan untuk mengurangi risiko.
Dengan melakukan diversifikasi maka risiko produksi yang dihadapi petani
dinamakan risiko portofolio dimana menurut Weston dan Capeland (1992), teori
portofolio merupakan teori modern mengenai pengambilan keputusan dalam
situasi ketidakpastian, tujuannnya adalah untuk memilih kombinasi yang optimal
dari usaha-usaha yang dimiliki, dalam arti memberikan hasil tertinggi yang
mungkin diharapkan bagi setiap tingkat risiko, atau tingkat risiko terendah bagi
setiap hasil yang diharapkan. Pada penilaian risiko diversifikasi digunakan
beberapa ukuran risiko diantaranya variance, standard deviation dan juga
coefficient variation (Elton dan Gruber,1995). Pada penelitian ini diversifikasi
dilakukan pada dua komoditas sayuran organik yaitu brokoli dan selada hijau.
Berikut adalah perbandingan diversifikasi produksi pada kedua komoditas yang
diteliti.
Pada kegiatan diversifikasi akan dilakukan penggabungan beberapa
komodias yang nantinya akan digunakan untuk perbandingan dalam menentukan
diversifikasi yang paling tepat untuk usahatani yang dilakukan oleh petani.
33
Tabel 4.11. Perbandingan Risiko Produksi Berdasarkan Produktivitas pada
Brokoli, Selada Hijau dan Diversifikasi Brokoli-Selada Hijau
Ukuran Brokoli Selada hijau Diversifikasi
Expected Return 1.061,02 2.471,98 1.413,76
Variance 179.876,38 835.226,63 118.139.275.751,00
STDV 424,12 913,91 546,57
CV 0,40 0,37 0,39
Sumber: Analisis Data Primer Tahun 2016
Pada Tabel 4.11. dapat dilihat perbandingan risiko produksi bedasarkan
produktivitas yang dihadapi petani jika mengusahakan brokoli, selada hijau, dan
diversifikasinya. Dari nilai coefficient variation nya menunjukan bahwa risiko
brokoli-selada hijau sebesar 39%, hal ini berarti dalam satu kali penen setiap satu
kg yang dihasilkan dalam usahatani brokoli-selada hijau akan menghasilkan risiko
sebesar 39%, sehingga hasil yang diperoleh petani sebesar 61%. Jika dilihat
perbandingan antara risiko spesialisasi brokoli dan selada hijau, risiko terendah
adalah risiko selada hijau, sehingga diversifikasi brokoli-selada hijau bisa
digunakan dalam usahatani sayuran organik, namun hal ini tidak dapat
menghilangkan keseluruhan risiko, karena diversifikasi memang dapat
mengurangi risiko tetapi tidak dapat menghilangkan risiko seluruhnya menjadi
nol.
4.5.5. Penilaian Risiko Produksi Berdasarkan Pendapatan menggunakan
Analisis Diversifikasi
Pada kegiatan diversifikasi akan dilakukan penggabungan beberapa
komodias yang nantinya akan digunakan untuk perbandingan dalam menentukan
diversifikasi yang paling tepat untuk Kelompok Tani Bangkit Merbabu. Risiko
produksi berdasarkan pendapatan pada kegiatan diversifikasi dapat dilihat pada
Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Perbandingan Risiko Produksi Berdasarkan Pendapatan pada Brokoli,
Selada Hijau dan diversifikasi Brokoli-Selada Hijau Ukuran Brokoli Selada hijau Portofolio
Expected Return 113.713.841 180.498.778 130.410.075
Variance 1.936.812.397.379.040 5.608.459.186.747.540 17.006.787.661.505.600
STDV 44.009.231 74.889.647 51.729.335
CV 0,39 0,41 0,40
Sumber: Analisis Data Primer Tahun 2016
34
Pada Tabel 4.12, dapat diketahui bahwa perbandingan risiko produksi
berdasarkan pendapatan yang diperoleh petani jika mengusahakan brokoli dan
selada hijau serta diversifikasinya. Dari nilai coefficient variation menunjukan
bahwa risiko diversifikasi brokoli-selada hijau sebesar 40%, hal ini berarti dalam
satu kali penen setiap satu rupiah yang dihasilkan dalam usahatani brokoli-selada
hijau akan menghasilkan risiko sebesar 40%, sehingga hasil yang diperoleh petani
sebesar 60%. Dari nilai coefficient variation juga dapat diketahui untuk setiap
nilai pendapatan yang diperoleh petani, risiko diversifikasi brokoli-selada hijau
lebih tinggi dari risiko spesialisasi brokoli dan lebih rendah dari risiko spesialisasi
selada hijau.
4.6. Risiko Produksi Berdasarkan Produktivitas dan Pendapatan pada
Analisis Spesialisasi dan Diversifikasi
Tabel 4.13 menjelaskan nilai risiko pada analisis spesialisassi dan diversifikasi.
Tabel 4.13. Risiko Produksi Berdasarkan Produktivitas dan Pendapatan pada
Analisis Spesialisasi dan Diversifikasi
Usahatani Produktivitas Pendapatan
Brokoli 0,40 0,39
Selada Hijau 0,37 0,41
Brokoli + Selada Hijau 0,39 0,40
Sumber: Analisis Data Primer, 2016
Dilihat dari Tabel 4.13, dapat dikatakan bahwa risiko produksi berdasarkan
produktivitas adalah risiko produksi selada hijau paling rendah dibandingkan
dengan risiko produksi brokoli dan diversifikasinya. Hal tersebut terjadi karena
brokoli memiliki waktu yang lama dalam produksinya dibandingkan dengan
selada hijau. Sedangkan jika dilihat berdasarkan pendapatan, risiko produksi
brokoli paling rendah dibandingkan dengan risiko produksi selada hijau dan
diversifikasinya. Hal tersebut terjadi karena harga jual brokoli lebih tinggi
dibandingkan dengan harga jual selada hijau. Diversifikasi tersebut tidak bisa
menghilangkan risiko produksi seluruhnya.
Menurut Sembiring (2010), risiko produksi brokoli secara monokultur
berdasarkan produktivitas adalah 54%, sedangkan risiko produksi brokoli
berdasarkan pendapatan adalah 80%. Risiko produksi yang dihadapi petani di
tempat penelitian tidak terlalu besar, karena risiko produksinya lebih kecil dari
35
risiko produksi yang diperoleh dari referensi yaitu sebesar 40%<54%, dan
39%<80%. Menurut Putri (2011), risiko produksi brokoli secara monokultur
berdasarkan produktivitas adalah 56%; dan berdasarkan pendapatan adalah 74%.
Risiko produksi tersebut lebih tinggi dari risiko produksi yang dihadapi oleh
petani di tempat penelitian karena produktivitas brokoli yang diterima dan harga
dari komoditas brokoli lebih tinggi dibandingkan pada penelitiannya Putri (2011).
4.7. Faktor-Faktor Penyebab Risiko Produksi dan Alternatif untuk
Mengatasi Risiko Produksi
4.7.1. Faktor Penyebab Risiko Produksi
Faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya risiko pada budidaya
sayuran organik komoditas brokoli dan selada hijau, sebagai berikut:
Gambar 4.3. Faktor-Faktor Penyebab Risiko Produksi
a. Ulat
Ulat merupakan salah satu hama yang paling banyak menyerang sayuran
yang diusahakan oleh petani. Ulat tersebut menyerang semua jenis tanaman.
Semua petani mengalami serangan hama ulat yang menyerang tanaman sayuran
yang mereka usahakan. Menurut Sukamto (2014) serangan hama penyakit
merupakan salah satu faktor yang dihadapi oleh perusahaan dalam
membudidayakan sayuran organik, hal ini disebabkan karena karakteristik
sayuran organik yang rentan terhadap hama penyakit dan akan berdampak
terhadap produksi yang dihasilkan. Hama yang sering menyerang sayuran
organik adalah ulat tritip (Plutella maculipennis) sedangkan penyakit yang sering
meyerang sayuran adalah bercak daun dan busuk daun.
36
b. Air
Air merupakan salah satu faktor penyebab risiko produksi. Sebagian petani
mengalami kendala dalam memenuhi kebutuhan air bersih dalam proses budidaya
sayuran organik. Petani mengalami kesulitan air bersih saat musim kemarau
berlangsung, padahal air bersih merupakan salah satu faktor pendukung dalam
proses budidaya sayuran organik. Kekurangan air menyebabkan produksinya
akan menurun. Ketersediaan air berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup
tanaman. Sukamto (2014) menyebukan air dibutuhkan mulai dari proses
penanaman hingga produksi dalam budidaya sayuran.
c. Bibit/Benih
Ada beberapa petani yang sulit mendapatkan bibit sayuran. Karena tidak
semua bibit sayuran yang dijual bisa ditanam dilahan yang sudah disiapkan. Bibit
yang dibutuhkan adalah bibit yang unggul. Salah satu cirri bibit yang unggul
adalah tahan terhadap hama dan penyakit, serta cuaca.
Beberapa petani menggunakan benih dari toko pertanian. Benih yang dibeli
merupakan benih yang mengandung bahan-bahan kimia, tetapi petani disana
melakukan perlakuan khusus untuk menghilangkan bahan-bahan kimia yang ada
didalam benih tersebut.
Minimnya benih organik disebabkan karena institusi penghasil benih
(kelompok tani atau perusahaan benih) belum memproduksi benih organik. Oleh
karena itu benih yang digunakan oleh petani organik, saat ini pada umumnya
masih berupa benih konvensional (Anonim, 2016b).
d. Cuaca
Cuaca merupakan faktor yang paling mempengaruhi budidaya sayuran
organik. jika pada musim kemarau sayuran yang dihasilkan akan menjadi jelek
dan hasil produksi tidak sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh
kelompok. Sehingga petani akan mengalami kerugian karena harganya menjadi
rendah.
Kondisi cuaca sulit diprediksi, sedangkan cuaca sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan sayuran hingga produksi. Curah hujan yang sesuai untuk sayuran
organik adalah curah hujan yang rendah, dikarenakan tanaman pada curah hujan
yang rendah tidak rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Sedangkan curah
37
hujan yang tinggi akan menyebabkan produktivitas sayuran menurun dikarenakan
tanaman rentan terhadap penyakit. Sehingga akan berdampak kepada hasil
produksi yang tidak optimal (Sukamto, 2014).
4.7.2. Alternatif Untuk Menangani Risiko Produksi
Gambar 4.4. Alternatif Penanganan Risiko Produksi
Alternatif penanganan risiko produksi yang dilakukan oleh petani adalah
dengan melakukan diversivikasi tanaman dan penggunaan greenhouse.
a. Peningkatan penggunaan pestisida organic/nabati
Penggunaan pestisida nabati meripakan salah satu alternatif yang dilakukan
oleh petani sayur organik. pestisida nabati tersebut digunakan untuk
menanggulangi risiko produksi yang disebabkan oleh hama dan penyakit atau
ulat. Pestisida yang digunakan adalah pestisida yang dibuat sendiri oleh
petani yang berbahan dasar rempah-rempah. Ada beberapa petani yang tidak
menggunakan pestisida nabati. Petani yang tidak menggunakan pestisida
nabati, menangani hama ulat dengan cara manual, yaitu mengambil satu per
satu ulat yang ada ditanaman. Hal tersebut tidak efisien, sehingga perlu
ditingkatkan lagi dalam penggunaan pestisida nabatinya.
b. Penggunaan greenhouse
Penggunaan greenhouse merupakan salah satu alternatif dalam menangani
risiko produksi yang dilakukan oleh petani. Petani yang menggunakan
greenhouse ada 25 dan yang tidak menggunakan ada 5 petani. Bahan yang
24
15
30
0
5
10
15
20
25
30
35
peningkatan penggunaanpestisida nabati
Greenhouse mempertahankandiversifikasi
38
digunakan untuk greenhouse adalah banbu dan plastik. Tujuan penggunaan
greenhouse adalah untuk mengurangi serangan hama dan penyakit,
melindungi tanaman dari cuaca yang tidak menenti, serta membuat tanaman
tidak kekurangan air disaat musim kemarau. Dengan penggunaan greenhouse
pada saat musim kemarau membuat petani tidak berkali-kali dalam menyiram
tanaman. Hal tersebut bisa mengurangi penggunaan tenaga kerja dalam
proses pemeliharaan. Greenhouse merupakan bangunan utama dalam
kegiatan produksi beberapa komoditas yang diusahakan oleh anggota
Kelompok Tani Bangkit Merbabu.
Greenhouse memiliki fungsi yang berperan dalam keberhasilan produksi
sayuran organik. Fungi greenhouse adalah untuk menstabilkan pengaruh
cuaca, angin, hujan dan serangan hama penyakit yang berasal dari
lingkungan eksternal. Begitu green house mengalami kerusakan maka
fungsinya untuk mengisolasi lingkungan yang kondusif didalam greenhouse
tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, dalam meminimalisir risiko
terhadap curah hujan yang tinggi, dengan membangun greenhouse sehingga
persentase keberhasilan sayuran dapat dicapai secara optimal (Sukamto,
2014).
c. Mempertahankan Diversifikasi Tanaman
Diversifikasi tanaman yang dilakukan oleh petani yaitu dengan cara
melakukan tumpangsari. Salah satu kegiatan tumpangsari yang dilakukan
oleh petani adalah tumpangsari komoditas brokoli dan selada hijau. Tujuan
petani melakukan tumpangsari atau diversifikasi tanaman adalah untuk
mengurasi risiko produksi yang dialami oleh petani. Petani akan tetap
melakukan diversifikasi tanaman dan tidak akan menerapkan monokultur
dalam budidaya sayuran organiknya sebagai upaya dalam mengurangi risiko
produksi.