repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · iv ABSTRAK . Anwar...

86
PERINGANAN HUKUM BAGI JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : Anwar Ibrahim Aji Nim : 1113045000058 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · iv ABSTRAK . Anwar...

PERINGANAN HUKUM BAGI JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Anwar Ibrahim Aji

Nim : 1113045000058

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

iv

ABSTRAK

Anwar Ibrahim Aji. 1113045000058. Peringanan Hukum Bagi Justice

Collabolator dalam Tindak Pidana Korupsi. Prodi Hukum Pidana Islam. Fakultas

Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai

kasus serius dan terorganisir, seperti tindak pidana korupsi menyebabkan dampak luar

biasa dalam kerugian negara, keuangan negara, dan perekonomian negara.

Permasalahan tersebut mebutuhkan suatu solusi yang luar biasa pula untuk pencegahan

dan pemberantasannya, yaitu dengan bekerjasama dengan Justice Colabolator. Namun

keadaan saat ini menunjukan bahwa perlindungan hukum serta bentuk peringanan

dalam peraturan terhadap Justice Collaborator belum maksimal. Oleh karenanya

penulis akan mengkaji peringanan hukum bagi Justice Collabolator dalam tindak

pidana korupsi . Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Justice

Collaborator dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia dan untuk

mengetahui bentuk peringanan peraturan Justice Collaborator dalam hukum positif

dan hukum Islam. Penulis menggunakan metode penelitian normatif, dengan

pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan persepsional. Data-data yang

diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif dan

komparatif dalam mengelaborasi pengaturan serta praktek perlindungan dan

peringanan Justice Collaborator di negara lain sebagai bahan perbandingan dan

pembelajaran bagi Indonesia. Peringanan hukum terhadap Justice Collaborator belum

maksimal, dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Juga melihat dari sudut

pandang pidana Islam dalam memahami bentuk peringanan Justice Collabolator yang

tersirat pada fiqh jinayah.

Kata kunci : Justice Collaborator, Hukum Positif, Hukum Islam.

Pembimbing : Dr. Alfitra, S.H., M.H.,

v

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Swt yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan

salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah

Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang

baik bagi kita semua. Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi

ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga

dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul

“PERINGANAN HUKUM BAGI JUSTICE COLLABOLATOR DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI”, tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Seperti juga perjalanan studi yang

penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam

kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada lingkaran lain yang memberikan

semangat, motivasi bimbingan serta doa. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis

ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, S.H, M.H selaku dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Muhamad Nurul Irfan, M.Ag, dan Bapak Nurohim Yunus. LL.M.

selaku ketua dan sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Alfitra S.H., M.H selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar

membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis

sehingga penulisan skripsi ini selesai.

4. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama

UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu dalam

vi

mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi

ini.

5. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum

Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis

sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat

kepada penulis.

6. Ayahanda tercinta Sadar, dan Ibunda tercinta Puji Wati, terima kasih atas

segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik moril maupun materil,

sujud abdiku kepada Ibunda atas doa dan pengorbanannya selama ini

“Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira”.

Kepada adik-adikku tercinta Ario Dwi legowo, dan Yunita Setiawati kalian

adalah motivasi dan inspirasiku.

7. Teman-teman seperjuangan jurusan Hukum Pidana Islam (A) angkatan 2013,

terimakasih atas kebersamaannya selama empat tahun kita saling mengenal dan

menjalin persahabatan bahkan persaudaraan. sehingga dapat terselesaikannya

penulisan skripsi ini.

Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis

hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah Swt semoga kebaikan yang telah

diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah Swt. Akhirnya penulis berharap

semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya,

memperoleh ridha Allah Swt, dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk bisa

mengembangkan keilmuan dalam bidang hukum pada masa-masa berikutnya, di

tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era globalisasi

ini.

Jakarta, 15 November 2017

Penulis

vii

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 7

C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 8

D. Rumusan Masalah ................................................................................. 8

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................................. 8

F. Metode Penelitian .................................................................................. 9

G. Studi Terdahulu ................................................................................... 10

H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 11

BAB II: TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA KORUPSI, DAN JUSTICE

COLLABOLATOR DALAM PENDEKATAN RESTROAKTIF

A. Pengertian Whitsle Blower dan Justice Collabolator .......................... 13

B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Korupsi ........................... 17

1. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia ......................... 19

2. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi ................................ 22

C. Tinjauan Umum Tindak Pidana dan Pendekatan Restroaktif.............. 23

1. Tinjauan Tindak Pidana .......................................................... 23

2. Penyertaan dalam Tindak Pidana ........................................... 25

3. Teori Restorative Justice ......................................................... 28

BAB III : PERINGANAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM JUSTICE

COLLABOLATOR DALAM PERATURAN DAN PERUNDANG-

UNDANGAN

A. Peraturan Justice Collabolator dalam Pidana Nasional ...................... 32

B. Perlindungan Hukum dan Penghargaan bagi Justice Collabolator .... 36

viii

BAB IV : KAJIAN TERHADAP PERAN DAN BENTUK PERINGANAN

HUKUM JUSTICE COLLABORATOR PADA TINDAK PIDANA

KORUPSI

A. Peran Justice Collabolator dalam Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia ............................................................................................. 44

1. Praktik Perlindungan dan Peringanan Juctice Collabolator ....... 46

2. Korupsi dan Justice Collabolator dalam Pidana Islam ................ 48

B. Bentuk Peringanan Hukum Justice Collabolator dalam Pidana Positif

dan Pidana Islam ................................................................................ 58

1. Bentuk Peringanan Hukum dalam Pidana Positif ........................ 58

2. Bentuk Peringanan Hukum dalam Pidana Islam .......................... 61

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 71

B. Saran .................................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 73

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi merupakan problem kompleks yang telah merambah ke segala aspek

kehidupan dan terjadi secara sistemis tanpa mengenal kelas sehingga merusak

segala tatanan serta menganggu jalannya pembangunan. Bahkan, korupsi yang

terjadi di negeri ini, telah melembaga di seluruh tatanan pemerintahan, bahkan

hingga ke lembaga pemasyarakatan sekalipun korupsi masih terjadi.1 Di samping

itu, korupsi merupakan jenis kejahatan yang penegakkannya memerlukan

ketegasan dan kejelasan kebijakan politik, Untuk menangani korupsi yang telah

sedemikian kronis tersebut tentunya memerlukan extra ordinary treatment,

keuletan dan juga peran serta berbagai pihak guna memutus mata rantai korupsi

dan beberapa extra ordinary crime yang lain.

Paling tidak ada empat sifat dan karakteristik kejahatan korupsi sebagai extra

ordinary crime, Pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang

dilakukan secara sistematis, Kedua, korupsi biasanya dilakukan dengan modus

operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya, Ketiga, korupsi

selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keempat, korupsi adalah kejahatan yang

berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat

dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.2 Dikaji

dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar

biasa (extra ordinary crimes) seperti dikemukakan oleh Romli Atmasasmita,

bahwa dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi

kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam,

maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan

1Emerson Yuntho, Negeri Di Kepung Koruptor, (Surabaya: Intrans Publishing, 2011), cet. 1, h. 59

2Edward O.S Hiariej, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi : Pidato

Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta : Universitas

Gajah Mada, 2012), h.3.

2

merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan

kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes).

Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat

merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru

sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak

ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.3 Penanganan tindak pidana korupsi tidak

dapat dilakukan secara biasa. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang

dilakukan secara biasa atau kovensional selama ini terbukti tidak efektif karena

mengalami banyak kendala. Hal tersebut disebabkan karena korupsi tidak saja

menyerang badan eksekutif dan legislatif, melainkan juga menyeruak pada

kalangan yudikatif yang dilakukan oleh hakim, kejaksaan dan kepolisian sebagai

institusi penegak hukum, oleh karena itu dibutuhkan sebuah metode penegakan

hukum secara luar biasa untuk memberantas korupsi.4

Peran Justice Collaborator yaitu seseorang sebagai tersangka namun bukan

pelaku utama dan dapat membongkar orang yang terlibat di atasnya. Dalam hal

ini, sekalipun ia telah korupsi namun ia juga mendapat keringanan karena telah

membantu dalam suatu proses pembongkaran fakta dan keadilan. Dalam skripsi

ini penulis akan membahas peran serta tindakan yang dilakukan Justice

Collaborator yang dapat membantu Penyidik serta alasan-alasan lainnya yang

dapat meringankan dia. Konsep Justice Collaborator pada hakikatnya ini sama

dengan konsep delik penyertaan dalam ketentuan pasal 55 dan 56 KUHP, dimana

keterlibatan seseorang dalam suatu kasus korupsi dan dia sendiri melaporkan kasus

tersebut kepada aparat penegak hukum terjadi dalam beberapa kemungkinan

seperti, sebagai orang yang turut serta dengan orang lain melakukan korupsi, orang

3Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, (Jakarta

: Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002), h. 25. 4Febriansyah, et all, Laporan Penelitian : Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui Fungsi

Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (Jakarta : Indonesia Corruption

Watch-Kerjasama dengan Eropa Union (EU) dan UNODC (United Nations Office on Drugs and

Crime), 2011, h. 8

3

yang melakukan korupsi atas anjuran orang dan orang yang membantu orang lain

melakukan korupsi.

Seorang Justice Collaborator dan Wistleblower yang melaporkan kasus korupsi

merupakan Orang yang memilki keberanian dan mental yang kuat. Sebab, orang

tersebut pada dasarnya sudah mengetahui hal-hal buruk yang menimpa mereka

karena laporan tersebut, seperti diancam, diintimidasi, dianiaya, diberhentikan

secara tidak terhormat dari jabatannya atau bahkan dibunuh.5 Peraturan tentang

keberadaan Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dalam dunia

pembuktian hukum di Indonesia merupakan sesuatu hal yang baru, istilah Justice

Collaborator merupakan hasil upaya revolusioner dalam praktik penegakan

hukum pidana yang merupakan dampak bagi modus kejahatan di Indonesia.

Di mana keberadaannya kemudian dan selanjutnya mulai diatur dalam hukum

positif. Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi,

sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi sebagai suatu virus yang dengan

mudahnya menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan dan cenderung mengalami

peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun baik secara kualitas maupun

kuantitasnya sehingga menjadi salah satu permasalahan krusial nasional.

Perkembangan korupsi yang demikian mempunyai relevansi dengan kekuasaan

karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya

untuk kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan kroninya. Perlunya

penanganan secara luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi

disebabkan karena tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang

memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime) dan dilakukan dalam suatu

jaringan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) dan terstruktur sedemikan

tertutupnya dengan berbagai macam modus operandi sehingga menimbulkan

kesulitan oleh aparat penegak hukum dalam hal pemberantasannya.

5Supriadi Widodo Eddyono, “Prospek perlindungan Justice Collaborator di Indonesia,

perbandingannya dengan di Amerika dan Eropa”, (jurnal perlindungan vol 1 no. 1, 2011,) h.586.

4

Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh aparat penegak hukum adalah

dengan bantuan dari orang dalam yang juga terlibat dalam jaringan kejahatan

tersebut. Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap Justice

Collaborator memang beralasan karena dalam sistem hukum di Indonesia belum

mengenal apa yang dinamakan Justice Collaborator. Sampai sekarang belum ada

peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai Justice

Collaborator di Indonesia. Pengaturannya secara implisit termaktub dalam UU

No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan Peraturan lainnya

adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan

terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja

Sama (Justice Collaborator).6

Tujuan dari SEMA ini adalah agar semua kejahatan yang terorganisir yang

selama ini sangat tertutup rapih dapat diungkap secara menyeluruh jika ada yang

memberikan informasi dari dalam dan dapat dibongkar oleh para penegak hukum

dan dibawa ke pengadilan untuk diadili.7 Penggunaan Justice Collaborator dalam

peradilan pidana merupakan salah satu bentuk upaya luar biasa yang dapat

digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang melibatkan pelaku

tindak pidana itu sendiri, di mana pelaku itu bersedia bekerjasama dengan aparat

penegak hukum.

Peranan saksi sebagai Justice Collaborator sangat penting diperlukan dalam

rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi, karena Justice Collaborator

itu sendiri tidak lain adalah orang terlibat di dalam kejahatan tersebut atau

pelaku minor dalam jaringan tindak pidana tersebut yang digunakan untuk

mengungkap otak pelaku yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas dan

tidak berhenti hanya pada pelaku yang berperan minim dalam tindak pidana

6Abdul Haris Semendawai , Memahami Whistleblower. Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK) hal. X Desember 2011. 7Pidato Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional 2011 di

(Jakarta, Varia Peradilan No.311 Oktober 2011), h.11

5

korupsi tersebut. Penghargaan bagi menjadi cara yang efektif untuk membongkar

kejahatan terorganisasi, terutama korupsi, dan mencegah kejahatan serius. Di

Indonesia beberapa orang saksi pelaku telah memperoleh penghargaan dari negara

berupa keringanan hukuman. Juru bicara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

( LPSK), Maharani Siti Shopia, mengatakan, bahwa pada awal tahun 2013,

penghargaan pertama berupa keringanan hukuman bagi seorang Justice

Collaborator kasus korupsi diberikan kepada Kosasih Abbas dalam kasus dugaan

korupsi solar home system di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selanjutnya penghargaan berupa pembebasan bersyarat terhadap Justice

Collaborator kasus penggelapan pajak, diperoleh Vincentius Amin Sutanto.

Demikian siaran pers yang disampaikan juru bicara Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban ( LPSK), Maharani Siti Shopia.

Penghargaan berupa pemberian remisi tambahan dan pembebasan bersyarat

diberikan kepada Mindo Rosalina Manulang, Agus Chondro, Sukotjo Bambang.

Sedangkan penghargaan berupa perlindungan hukum diberikan kepada Tony

Wong. Deretan kasus ini dan kasus lainnya yang tidak muncul di permukaan

menegaskan bahwa saksi pelaku yang bersedia bekerja sama untuk membongkar

kasus kejahatan akan mendapatkan keringanan hukuman, bahkan pembebasan.

Hal ini menunjukkan implementasi kebijakan tentang Whistleblower dan Justice

Collaborator meskipun lambat, tetapi pasti dan membaik.

Penerapan ketentuan ini didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) No. 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana atau

Whistleblower dan saksi pelaku yang bekerjasama atau Justice Collaborator dalam

perkara tindak pidana tertentu dan Peraturan Bersama Kementerian Hukum dan

HAM, KPK, POLRI, Kejaksaan Agung RI dan LPSK Tentang Perlindungan Bagi

Pelapor, Saksi pelapor dan Saksi Pelaku yang bekerjasama. Keputusan itu

memberikan kepastian hukum tentang penghargaan negara terhadap Justice

Collaborator yang berani mengungkap jaringan kejahatan terorganisir.

6

Meski dari segi kuantitas penerapannya masih minim dan masih ditingkat

pusat, setidaknya sejumlah terobosan yang dilakukan aparat penegak hukum ini

perlu dijadikan panutan dan praktik terbaik implementasi pemberian perlindungan

dan penghargaan terhadap sang Justice Collaborator. Sehingga sudah sepantasnya

seorang Justice Collaborator menerima penghargaan dari negara, sebagaimana

ketentuan dalam The United Nations Convention against Corruption (UNCAC)

dan Konvensi international lainnya dalam melawan kejahatan serius selama ini.

Untuk itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK) menilai, penerapan

ketentuan ini merupakan salah satu metode dan alat jitu bagi percepatan

pemberantasan kejahatan terorganisir di Indonesia. Dengan penerapan

penghargaan itu upaya pemberantasan kejahatan terorganisir akan makin efektif

dan kejahatan serius tidak berkembang di Indonesia.8

Dalam khazanah hukum Islam, perilaku korupsi berbicara tentang kejahatan

memakan harta benda manusia secara tidak benar (akl amwa>l al-nas} bi al-bati}l)

seperti yang diharamkan dalam Al-Qur’an, tetapi apabila merujuk kepada kata asal

dari korupsi, maka dapat berarti merusak (dalam bentuk kecurangan) atau

menyuap. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan

tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘ada>lah), akuntabilitas (al-

ama>nah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang

menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat

dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang juga amat

dikutuk Allah SWT.

Pada dasarnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara setiap masyarakat

mempunyai kewajiban untuk membantu jalanya program-program pemerintahan

yang dilakukan oleh seorang Ãmir (pemimpin) guna terwujudnya kemaslahatan.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, maka setiap warga negara memiliki

kewajiban untuk membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian

8 http://lpsk.go.id/berita/berita_detail/1099#sthash.XGFTWteP.dpuf

7

dari aparatur pemerintahan yang menangani masalah yudikasi.Peran serta

masyarakat tersebut menjadi semakin penting guna menanggulangi kejahatan yang

bisa saja tidak diketahui oleh aparat. Hal ini masyarakat selaku warga negara

mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam meminimalisir praktik korupsi.9 Di

sisi lain, jika di analisis dan ditinjau dari konsep maqâsid asy-syarî’ah, pemerintah

sebagai pemangku kekuasaan juga mempunyai kewajiban untuk memberikan dan

mewujudkan perlindungan hak-hak asasi setiap rakyat dalam konteks ini seorang

Justice Collaborator seperti hak milik, hak hidup, hak mengemukakan pendapat

dengan baik dan benar, dan hak-hak yang lain.10

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan penelitian yang penulis ajukan ini dapat diidentifikasi

permasalahannya sebagai berikut:

1. Hal apa saja yang dapat dijadikan dalam penaggulangan tindak pidana korupsi.

2. Bagaimana cara membuktikan modus operandi dalam tindak pidana korpusi.

3. Bagaimana peran Justice Collabolator dalam tindak pidana korupsi di

Indonesia.

4. Bagaimana bentuk perlindungan dan peringanan Justice Collabolator dalam

peraturan perundang-undangan.

5. Bagaimana kajian hukum pidana Islam dalam memahami Justice Collabolator.

9Soejono, Kejahatan dan Penegakkan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), h.

3-6 10Abu Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulţãniyyah Wa al-Wilayat ad-Dîniyyyah, (Mesir:

Muastaahfa al-Asabil Halabi, tt), h. 5

8

C. Pembatasan Masalah

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bentuk peringanan hukum

dalam peratuan perundang-undangan dan peran Justice Collaborator dalam

penanggulangan tindak pidana korupsi, Agar permasalahan dalam penelitian

skripsi ini tidak melebar dan meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan

dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penulisan ini, penulis memfokuskan dan

membatasi pembahasan hanya pada peran Justice Collabolator dalam tindak

pidana korupsi di Indonesia dan kajian dalam hukum pidana Islam.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan yang

diterjemahkan menjadi satu pertanyaan umum, yaitu:

1. Bagaimana peran Justice Collaborator dalam penanggulangan tindak

pidana korupsi di Indonesia?

2. Bagaimana bentuk peringanan hukum pidana bagi Justice Collaborator

dalam hukum positif dan hukum Islam?

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat dijadikan tujuan penelitian yaitu:

1. Untuk mengetahui peran Justice Collaborator dalam penanggulangan

tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bentuk peringanan peraturan Justice Collaborator

dalam hukum positif dan hukum Islam.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktisi

maupun akademisi, antara lain:

1. Bagi penulis, penelitian ini untuk menggali pengetahuan yang sudah

didapat melalui pembelajaran yang sudah diajarkan baik dalam kuliah

umum maupun di luar kuliah dalam lingkup universitas dan sebagai bahan

untuk masukan bagi institusi hukum maupun masyarakat.

9

2. Bagi pihak akademisi, semoga hasil penelitian ini untuk bahan rujukan /

referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya

3. Bagi pihak universitas, semoga dijadikan karya yang bermanfaat dan

menjadi referensi untuk mahasiswanya

4. Bagi pihak institusi hukum/praktisi, semoga informasi ini dapat dievaluasi

dan dapat dijadikan pertimbangan untuk perbaikan di masyarakat.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Library Research,

yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan bahan berupa

buku, jurnal, ensiklopedi, majalah, media online dan sumber sumber

pustaka lain yang berkaitan dengan tema yang penulis teliti.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yakni sebuah penelitian yang

memberikan pemaparan terkait data yang berkaitan dengan pokok

permasalahan kemudian menganalisa, menginterpretasi dan

menguraikanya sesuai tujuan dengan cara yang tepat.11 Dalam hal ini,

penilaian terpusat pada mengenai peran Justice Collaborator dan aspek

Peringanan hukum terhadapnya

3. Pendekatan Penelitian.

Dalam penelitian ini penulis mengunakan pendekatan normatif yuridis,

yaitu membahas suatu permasalahan dengan terlebih dahulu memberikan

gambaran kemudian meninjau dengan pendekatan-pendekatan hukum,

baik dari hukum Islam maupun hukum positif sehingga diperoleh

11Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatis, cet. ke-13 (Bandung: Remaja Rosda Karya,

2000), h. 6.

10

kesimpulan-kesimpulan yang tepat sesuai dengan ketentuan syara’ dan

undang-undang yang berlaku.

4. Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi data-data (literature)baik

primer maupun sekunder berupa buku, artikel, jurnal, kitab tafsir dan lain

sebagainya yang memiliki korelasi dengan tema yang penulis bahas. Data-

data tersebut kemudian dipilah sesuai dengan tema pokok yang akan

diteliti, sehingga bisa dihasilkan suatu data yang akurat dari sumber

pustaka.

5. Analisa Data

Dalam menaganalisa data yang didapatkan, penulis menggunakan metode

deduktif, yaitu mendekati suatu permasalahan dari kebenaran yang sifatnya

umum mengenai suatu fenomena atau teori kemudian menggeneralisasikan

kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang memiliki

ciri yang sama dengan tema yang bersangkutan.

G. Studi Terdahulu

Sebagai landasan keabsahan, penulis menelusuri beberapa karya skripsi

terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan judul skripsi yang diangkat peneliti.

Diantara beberapa skripsi tersebut adalah:

1. Karya dari Aditya Wisnu Mulyadi Program Paskahsarjana Universitas

Udayana Denpasar, Tesis (Perlindungan Hukum Terhadap Whitsleblower

dan Justice Collabolator Dalam Tindak Pidana Korupsi). 2015,

Adapun permasalahan yang dikaji dalam tesis tersebut diatas

dikhususkan pada masalah utama, yaitu subyek yang menjadi pembahasan

dalam pengaturan perlindungan hukum dalam tindak pidana korupsi di

Indonesia, penelitian tesis tersebut bertumpu pada peraturan perlindungan

dan kebijakan dalam perlindungan Justice Collaborator dan juga

Whistleblower

11

2. Karya dari Uuf Rouf Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Program

Studi Doble Degree Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Skripsi (Kebijakan Legislatif

Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

Pelaku yang Bekerja Sama). 2014,

Adapun permasalahan yang dikaji dalam skripsi tersebut diatas

dikhususkan pada permasalahan dari sisi kebijakan legislatif dalam

perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku

yang bekerja sama.

3. Karya dari Fatkul Luqman, Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Skripsi (Islam dan

Keadilan Hukum Studi Atas Justice Collabolator Dalam Peradilan di

Indonesia). 2014.

Adapun pokok permasalahan dari skripsi diatas tersebut terfokus pada

pandangan hukum Islam tehadap Justice Collabolator untuk meneggakan

keadilan.

Dari ketiga studi terdahulu diatas maka penelitian skripsi ini, penulis hanya

memfokuskan pada peringanan hukuman bagi Justice Collabolator dalam tindak

pidana korupsi dan bagaimana pandangannya dalam hukum pidana positi maupun

pidana Islam.

H. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk memahami konsep Justice

Collaborator dan peringanan hukuman terhadap seorang Justice Collaborator

dengan memakai pisau analisa studi keislaman. Penelitian tersebut dimaksudkan

untuk dapat menemukan paradigma baru dalam memahami konsep-konsep ilmu

keislaman berkaitan dengan realita kehidupan yang secara tidak langsung sudah

diatur dalam kitab-Nya. Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai

12

keseluruhan isi penelitian tentang kebijakan legislatif perlindungan hukum

Whistleblower dan Justice Collaborator, maka penulis memberikan sistematika

penulisan yang secara garis besar berguna untuk pembaca. Sistematika penulisan

ini dibagi menjadi lima bab, disusun sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menguraikan mengenai latar belakang

masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metodologi penelitian, studi terdahulu dan

sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi, Whitsleblower dan Justice

Collabolator dalam Pendekatan Restoaktif. Bab ini menjelaskan

mengenai pemidanaan, pengertian Tindak pidana korupsi dan

pengertian dari Whitsleblower dan Justice Collabolator. Menjelaskan

pengertian dan teori dalam peraturan perundang-undangan menurut

para ahli.

Bab III Peringanan dan Perlindungan Hukum Justice Collabolator dalam

Peraturan dan Perundang-Undangan dalam bab ini menguraikan

tentang perlindungan dan peringanan hukum pelapor tindak pidana

dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam peraturan perundang

undangan yang ada, dan praktiknya di Indonesia

Bab IV Kajian Fiqh Jinayah Terhadap Peran dan Peringanan Hukum Justice

Collabolator pada Tindak Pidana Korupsi. Pada bab ini menjelaskan

peran Justice Collabolator dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi sekaligus membahas mengenai peringanan hukuman bagi

Justice Collabolator dalam kajian pidana Islam.

Bab V Penutup, Bab ini menguraikan mengenai hasil penelitian berupa

kesimpulan dan saran.

13

BAB II

TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA KORUPSI, WHITSLEBLOWER DAN

JUSTICE COLLABOLATOR DALAM PENDEKATAN RESTROAKTIF

A. Pengertian WhitsleBlower dan Justice Collabolator

Menurut sejarahnya, munculnya istilah Whistleblower berasal dari praktek

petugas Inggris yang akan meniup peluit ketika mereka melihat kejahatan, peluit

juga akan memberitahu aparat penegak hukum lainnya dan masyarakat umum dari

bahaya.12 Sehingga dengan demikian selanjutnya Whistleblower dikonotasikan

sebagai “peniup peluit”. Apabila dikontekstualisasikan di Indonesia, bisa

dianalogikan sebagai “pemukul kentongan”, dimana pemukulan kentongan aparat

pengamanan tradisional (patroli keliling) memberikan tanda pemberitahuan bahwa

telah terjadi suatu peristiwa baik berupa kejahatan (pencurian, perampokan, dan

lain-lain) maupun bencana (kebakaran, banjir, dan lain-lain).

Oleh karena itu berdasarkan kedua konotasi (peniup peluit atau pemukul

kentongan) tersebut dapat dikatakan bahwa Whistleblower identik dengan

pengungkap fakta atau pembocor rahasia dari suatu peristiwa kejahatan. Dalam

perkembangan berikutnya Whistleblower dan Justice Collaborator ada juga

menyebutnya sebagai “saksi pelapor”, “pengadu”, “pembocor rahasia”, “saksi

pelaku yang bekerja sama”, “cooperative whistleblower”, “participant

whistleblower”, “collaborator with justice”, “pentiti” atau bahkan “pengungkap

fakta”. Mulyana Wirakusumah,13 menyebutkan whistleblower sebenarnya bukan

hanya dikenal dalam sistem peradilan pidana, akan tetapi juga dalam lingkungan

lain, seperti perusahaan sebagai upaya mewujudkan good corporate governance.

Para Whistleblower bukan sekadar “tukang mengadu” akan tetapi saksi suatu

kejahatan. Beberapa lembaga seperti KPK sudah mengembangkan sistem online

12 Imam Thurmudhi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower..., Op. Cit., h. 30 13 Buletin Kesaksian, Edisi 2 Tahun 2012, h. 23

14

pelaporan whistleblower, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah) juga mengembangkan whistleblower system. Whistleblower

merupakan orang dalam Kementerian/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau lembaga

lain yang memiliki akses informasi dan mengadukan perbuatan terindikasi

penyimpangan.

Quentin Dempster,14 berpendapat bahwa yang dimaksud dengan whistleblower

adalah peniup peluit, disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan

sepak bola atau olah raga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan

fakta terjadinya pelanggaran, atau polisi lalu lintas yang hendak menilang seseorang

di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau seperti pengintai dalam

peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul,

berceloteh, membocorkan atau mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau

pelanggaran. Dan Quentin Dempster15 menyebut Whistleblower sebagai orang yang

mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik,

atau korupsi.

Sementara itu, Mardjono Reksodiputro menyebut Whistleblower sebagai

pembocor rahasia atau pengadu. Adapun yang dimaksud pembocor rahasia atau

pengadu tersebut adalah seorang yang membocorkan informasi sebenarnya bersifat

rahasia dikalangan dimana informasi itu berada. Tempat dimana informasi itu

berada maupun jenis informasi itu bermacam-macam. Sementara itu di Indonesia

informasi yang diharapkan dibocorkan adalah informasi tentang kegiatan-kegiatan

yang tidak sah, melawan hukum ataupun bertentangan dengan moral yang baik. Si

pembocor sendiri adalah “orang dalam” diorganisasi tersebut, dia dapat terlibat

14 Quentin Dempster, Whistleblower (Para Pengungkap Fakta), ( Jakarta, Elsam 2006), h. 1

15 Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Colloborator Dalam Perspektif Hukum, (Jakarta,

Penaku, 2012), h.7

15

ataupun tidak dalam kegiatan dibocorkan. Karena dia adalah “orang dalam” maka

dia menempuh resiko dengan perbuatannya.16

Imam Thurmudhi,17berpendapat seseorang dapat dikatakan sebagai

Whistleblower pada dasarnya adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri

atau mengalami sendiri suatu tindak pidana atau pelanggaran, sehingga dengan

itikad baik mengungkapkan kepada publik atau melaporkan kepada pejabat yang

berwenang. Namun demikian penilaian itikad baik yang dimaksudkan disini

memiliki nilai yang sangat subyektif, bisa saja ada niat atau kepentingan tertentu

yang mendasari pengungkapan fakta yang dilakukan oleh Whistleblower, dengan

perhitungan untung rugi dari pengungkapan tersebut bisa saja seseorang terdorong

untuk menjadi Whistleblower.

Adapun mengenai saksi mahkota (kroon geituige) yang terjadi karena inisiatif

pemisahan perkara (splitsing) yang dilakukan jaksa penuntut umum terhadap

beberapa pelaku yang diduga melakukan beberapa tindak pidana, sehingga salah

satu pelaku dapat menjadi saksi bagi pelaku yang lainnya dalam pemeriksaan

perkara yang berbeda.

Mardjono Reksodiputro membedakan definisi dari saksi mahkota,

Whistleblowers, dan Justice Collaborators. Saksi mahkota adalah saksi utama dari

jaksa, Whistleblowers adalah orang yang membocorkan rahasia/pengadu. Baik saksi

mahkota maupun Whistleblowers adalah Justice colaborator yaitu orang yang

bekerjasama dengan penegak hukum.18 Selain definisi berdasarkan pendapat dari

para sarjana tersebut di atas, pada dasarnya pengertian Whistleblower dalam

16Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia (Whistleblower) dan Penyadapan Rahasia

(Wrietapping, Electronic Interception) dalam menanggulangi Kejahatan di Indonesia, disampaikan

dalam Seminar Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy dan Research (CLEAR) di Hotel Le

Meredian, 3 Agustus 2010, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Juli 2010, h. 13. Lihat

dalam: Sigit Artantojati, Perlindungan Hukum terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice

Collaborators) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Tesis, Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2012, h. 55-56 17 Imam Thurmudhi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower..., Op Cit, h. 33 18 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku..., h.56

16

peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak memberikan pengertian secara

tegas sebagai pengungkap fakta, namun secara tersirat dapat dimaknai sebagai

Whistleblower. Misalnya PP Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan

peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dan pemberantasan tindak

pidana korupsi menyebut orang yang memberikan suatu informasi kepada penegak

hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi.19 Sementara

itu SEMA Nomor: 4 Tahun 2011 pengertian Whistleblower dengan Justice

Collaborator yang dimaknai oleh SEMA ini adalah berbeda. Whistleblower

diartikan sebagai Pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan

bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporannya.

Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum mendefinisikan Justice

Collaborator sebagai pelaku yang bekerja sama yaitu (baik dalam status saksi,

pelapor, atau informan) yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam

bentuk, misalnya pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau

keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkapkan suatu tindak

pidana dimana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkannya

tersebut (atau bahkan suatu tindak pidana lainnya)20 Di Indonesia, praktik

perlindungan Whistleblower dan Justice collabolator dilakukan terhadap Vincentius

Amin Sutanto, Agus Condro Prayitno, Yohanes Waworuntu dan Endin Wahyudin.21

Oleh karena itu perlindungan yang diberikan kepada Whistleblower maupun

Justice Collaborator harus komprehesif, tidak saja sebatas perlindungan hukum dan

perlindungan khusus yang berlaku selama proses peradilan pidana saja, namun juga

19 Imam Thurmudhi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower..., Op Cit, hlm. 30 20 Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama

(Justice Collaborators), Usulan Dalam Rangka Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta,

2011, h.3 21Vincentius Amin Sutanto mantan financial controller di Asina Agri Group melakukan pembobolan

uang Asian Agri dengan membuat dua aplikasi transfer fiktif dari PT Asian Agri Oils and Fats Ltd ke

Bank Fortis, Singapura dengan memalsukan tanda tangan dan kemudian memberi keterangan tentang

penggelapan yang dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Kemudian Agus Condro Prayitno

dalam kasus dugaan suap BI kepada Hamka Yandu, Yohanes Waworuntu mengenai masalah

Sisminbankum dan Endin Wahyudin tentang kasus yang melibatkan suap terhadap tiga hakim agung

17

perlu diberlakukan saat setelah proses peradilan. Hal ini dapat dijadikan contoh di

negara Indonesia dan apabila diterapkan dengan baik maka besar harapan tindak

pidana korupsi dapat diberantas secara optimal melalui kondisi yang kondusif bagi

pertumbuhan dan perkembangan para pengungkap fakta Whistleblower maupun

Justice Collaborator.

Singkatnya dari paparan sarjana hukum ditas dapat dibedakan apa itu Saksi

Mahkota, Whistleblower, dan Justice Collabolator. Saksi mahkota yaitu saksi bagi

pelaku yang lainnya dalam pemeriksaan perkara yang berbeda. Whitsleblower yaitu

orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya

atau korupsi. Dan Justice Collabolator yaitu saksi yang berstatus sebagai pelaku

yang mengakui kesalahanya dan mau bekerjasama dengan penyidik dalam tindak

pidana tertentu.

B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Korupsi

Mengenai pengertian korupsi haruslah dilihat terlebih dahulu dari pada asal

katanya, yaitu dari kata Latin “corruption” yang berarti “perbuatan melawan buruk,

tidak jujur, tidak bermoral, atau dapat disuap”. Dalam Kamus Umum Besar Bahasa

Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta , pengertian korupsi adalah perbuatan

yang buruk seperti penggelapan uang, seperti penerimaan uang sogokan dan

sebagainya. Oleh karena itu ruang lingkupnya sangat luas maka pengertian korupsi

lebih disederhanakan yang secara umum merupakan perbuatan buruk dan dapat

disuap.22 Dalam kamus hukum yang populer di Amerika Serikat, Black’s law

Dictionary, yang disusun oleh Henry Cambell Black merumuskan tentang

pengertian korupsi sebagai berikut.

An act done with intent to give som advantage inconsistent with official duty and

the rights of others. The act official or fuduciary person who unlawfully and

22 Andi Hamzah,Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 1994). h.7

18

wrongfully uses in station or character to procure ome benefit fo himself or for

another person, contrary to duty and the rights of others.

(Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak sesuai dangan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak

lain. Perbuatan dari pejabat atau orang kepercayaan yang menggunakan hukum yang

secara salah menggunakan jabatanya atau karakternya untuk mendapatkan suatu

keuntungan untuk dirinya atau untuk orang lain, berlawanan dengan kewajiban dan

hak-hak dari pihak lain). Berdasarkan dokumen yang dikeluarkan oleh

Transparansy Internasional yang bermarkas di Berlin, Jerman merumuskan

pengertian korupsi sebagai berikut

Coruption involves behavior on the part of official in the public sector, whether

politicians or civil servants, in wich they improperty and unlawfully enrich

themselves, or those close to them, by the public power entrusted them.

(Korupsi mencangkup perilaku dari pejabat-pejabat di sektor publik apakah

politikus atau pegawai negeri, dimana mereka secara tidak benar melanggar hukum

dan memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka,dengan cara

menyalahgunakan kewenangan pubik yang dipercayakan kepada mereka).23

Pengertian korupsi menurut hukum Indonesia, tidak dijelaskan pada pasal

pertama UU Korupsi seperti undang-undang lainnya. Maka dari itu untuk

mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi, harus dilihat dalam rumusan pasal-

pasal UU Korupsi, yaitu sekitar 13 pasal yang mengaturnya serta terdapat tiga puluh

jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. Undang-Undang Korupsi

Tahun 31 Tahun 1999 menggantikan berlakunya UU Korupsi tahun 1971 dan

disahkan berlakunya pada tanggal 16 Agustus 1999, perumusan delik (tindak

pidana) korupsi dalam “aturan khusus” hanya merupakan bagian dari keseluruhan

sistem hukum pidana (sistem pemidanaan). Perumusan delik (baik unsur-unsurnya,

23Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cet.1(Bogor: Ghalia indonesia, 2014), h.7-

10

19

jenis deliknya, maupun jenis pidana/sanksi dan lamanya pidana) bukan merupakan

sistem yang berdiri sendiri.

Oleh karena itu perumusan delik itu masih harus ditunjang oleh bagian-bagian

sistem lainnya, yaitu bagian aturan/pedoman dan asas-asas pemidanaan yang ada

diaturan umum KUHP atau aturan khusus dalam UU khusus yang bersangkutan.

1. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Secara singkat dipaparkan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia. Pada

tahun 1960 diberlakukan Undang undang Nomor 24 Peraturan pemerintah 1960.

Beberapa upaya untuk memberantas korupsi berdasarkan Undang-undang

tersebut dilakukan antara lain:24

a. Operasi Budhi;

b. Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden

Nomor 228 Tahun 1967, yang dipimpin Jaksa Agung.

c. Adanya perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan/perekonomian

Negara yang merupakan perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan

dipidana

d. Pelaku tindak pidana korupsi hanya ditujukan kepada pegawai negeri sedang

kenyataannya, orang-orang yang bukan pegawai negeri pun juga melakukan

perbuatan tercela seperti yang dilakukan pegawai negeri;

e. Perlu diadakan ketentuan kententuan yang mempermudah pembuktian dan

mepercepat proses dari hukum acara yang berlaku tanpa memperhatikan hak

asasi tersangka/terdakwa.

Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak

peraturan perundang-undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana

korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang-

Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak

24 Ibid h.12

20

Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002. Secara substansi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah

mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi

tindak pidana korupsi yang semakin rumit.

Dalam Undang-Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai

tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi

tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi,

sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti

yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tahun 1999 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan

pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim

yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah

diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang-

undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta

masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat

dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui

kerja sama dengan dunia Internasioanal.

Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti

korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor

yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia

akan diuntungkan dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting

dalam konvensi inia adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan

dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.25 Berdasarkan ketentuan

Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. dibentuklah Pengadilan Tindak

25 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, (Jakarta: Penerbit Penaku bekerjasama

dengan Maharini Press, 2008), h. 49-50.

21

Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang bertugas dan berwenang memeriksa dan

memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi. Pengadilan TIPIKOR dikualifikasikan sebagai

pengadilan khusus dalam lingkup Peradilan Umum dibawah Kekuasaan

Kehakiman. Keberadaan Pengadilan TIPIKOR diguncang dengan diajukan uji

materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian pada tanggal

19 Desember 2006 MK dalam pertimbangan hukumnya pada pokoknya menilai

bahwa Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK melanggar konstitusi dan

harus dibatalkan karena tidak sesuai Pasal 24c UUD 1945.

Kemudian dari putusan MK tersebut dapat disimpulkan bahwa jika tidak

dibentuk UU Peradilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 3 Tahun,

maka perkara korupsi menjadi kewenangan Pengadilan Umum. Hadirnya

Peradilan khusus Tindak Pidana Korupsi tersebut memberikan dua alternatif

untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi, yaitu disidangkan melalui

Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) atau melalui Pengadilan Khusus Tindak

Pidana Korupsi. Upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan dengan melalui

legislasi, semua bentuk perbuatan korupsi dipertegas dengan diformulasikan

dalam perUndang-Undangan. Masyarakat ingin agar Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dirasakan menjadi sarana yang

efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Masalahnya sekarang

keadilan yang semacam apa yang akan dikenakan kepada orang yang telah

melakukan tindak pidana korupsi. Keadilan yang diberikan tersebut bukanlah

hanya untuk koruptor saja, akan tetapi keadilan tersebut juga harus dirasakan

atau diterima oleh masyarakat luas. Masyarakat kita selalu menghubungkan

keadilan dengan moral dan keadilan sosial, sedangkan hakim melihat "keadilan"

berdasarkan Undang-Undang.

22

2. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi

Untuk memberantas tindak pidana korupsi secara optimal, untuk itu perlu

dilihat dari berbagai modus dan tipu muslihat yang semakin hari semakin

canggih. Korupsi dipersiapkan dengan sangat rapih mulai dari tahap penyusunan

konsep penganggaran pembangunan, korupsi bisa dilangsungkan dengan lancar,

rapi dan susah dibuktikan oleh penegak hukum. Oleh karena itu perlu dilihat dari

tahap ke tahap modus operandi korupsi. Hal ini seperti dikemukakan oleh Alfitra

dalam modus operandi pidana khusus di luar KUHP dari paparannya sebagai

berikut:

a) Tahap formulasi anggaran negara

Bagi-bagi kapling proyek eksekutif dan legislatif. Hal ini muncul ketika

posisi tawar Legislatif yang kuat dan berhadapan dengan eksekutif.

Seharusnya posisi ini agar ada kontrol terhadap kebijakan eksekutif, justru

menggunakan posisinya untuk berkolusi dengan eksekutif demi mengeruk

keuntungan dari uang negara. Modus lainnya seperti kolusi penguasa dan

pengusaha, proyek bagi keluarga, dana bantuan atau proyek fiktif dan masih

banyak modus lainnya.

b) Tahap Perencanaaan operasional Anggaran

Selain dari tahap formulasi, korupsi juga sudah dipersiapkan pada taraf

perencanaan operasional anggaran seperti modus Mark-up anggaran dan

volume proyek, pembelanjaan anggaran belanja legilatif, pelanggaran

terhadap PP No.109 Tahun 2000, tumpang tindih anggaran, pengalokasian

anggaran yang tidak realistik.

c) Tahap Implementasi Anggaran

Sebagai buah dari berbagai manipulasi pada tahap formulasi dan

perencanaan, korupsi berlangsung pada tahap implementasi. Dalam

realitasnya menunjukan terjadinya praktik penjarahan uang rakyat, baik dalam

23

proses pengumpulan pendapatan negara maupun pada relisasi atau

pelaksanaan anggaran pengeluaran negara. 26

Dari apa yang dikemukakan diatas diperlukan upaya pencegahan dan

pemberantasan korupsi di dalam pemerintahan guna mewujudkan clean and

goverment (pemerintahan yang bersih) dari praktik-praktik tindak pidana korupsi.

C. Tinjauan Umum Tindak Pidana dan Pendekatan Restroaktif

Sebelum membahas mengenai tindak pidana korupsi maka perlu dijelaskan

lebih dahulu apa itu pengertian dari tindak pidana serta apa saja hal-hal yang

terkait. Berikut ini penulis akan memaparkan apa itu tindak pidana dan bagaimana

pendekatan restroaktif dalam pemidanaan yaitu:

1. Tinjauan Tindak Pidana

Hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik

perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah

tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban. Prof. Sudarto

berpendapat bahwa pembentuk undang-undang sudah tetap dalam pemakaian

istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana

seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pendapat Sudarto

diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang sekarang selalu

menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah

mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat27. Suatu perbuatan akan

menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan itu:

a. Melawan hukum,

b. Merugikan masyarakat,

c. Dilarang oleh aturan pidana,

26 Alfitra. Modus Operandi Pidana Khusus diluar KUHP, (Jakarta: Penebar Swadaya Grup

,2014). h. 11-20 27 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, h. 49

24

d. Pelakunya diancam dengan pidana.28

Syarat-syarat pokok dari sesuatu delik itu adalah:

1. Dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan

delik;

2. Dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya;

3. Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja ataupun

tidak dengan sengaja, dan

4. Pelaku tersebut dapat di hukum. Sedangkan syarat-syarat penyerta seperti

dimaksud di atas merupakan syarat yang harus terpenuhi setelah tindakan

seseorang itu memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan delik.29

Oleh karena itu, setelah mengkaji definisi diatas, maka bahwasanya tindak

pidana merupakan perbuatan yang aturan hukum positif mengandung perintah dan

larangan yang disertai dengan sanksi, dimana dalam memaknai perbuatan ini

disamping perbuatan yang bersifat aktif, juga perbuatan yang bersifat pasif.

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak

pidana itu sendiri, maka perlu diketahui bahwa didalam tindak pidana tersebut

terdapat unsur-unsur tindak pidana. Mengenai masalah unsur tindak pidana ini

menurut Lamintang secara umum dibedakan atas unsur subyektif dan unsur

objektif. Unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

berhubungan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang

terkandung didalam hatinya.Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang

ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan

dimana tindakan si pelaku itu harus dilakukan.

a. Unsur-unsur subyektif dari tindak pidana meliputi :

28 Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, (Bandung:Remadja Kayra CV, 1986), h. 2. 29P.A.F Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti,

1997), h. 18

25

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1)

KUHP.

3) Macam-macam maksud terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian,

penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP,

yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

b. Unsur-unsur obyektif tindak pidana meliputi :

1) Sifat melanggar (melawan.) hukum.

2) Kualitas dari si pelaku, seperti tercantum dalam Pasal 415 KUHP.

c. Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab

dengan kenyataan sebagai akibat.30Selain berbagai teori yang telah

dikemukakan diatas yang pada umumnya membagi unsur tindak pidana ke

dalam unsur objektif dan unsur subjektif.

2. Penyertaan dalam Tindak Pidana

Hampir semua tindak pidana melibatkan lebih dari seseorang, terutama

dalam tindak pidana korupsi. Artinya dalam melakukan tindak pidana terdapat

orang lain yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sehingga

pertanggungjawabannya pun harus dibagi diantara peserta karena mereka

mengambil atau memberi sumbangan dalam bentuk perbuatan kepada peserta

lain sehingga tindak pidana itu terlaksana. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa penyertaan dalam suatu tindak pidana tersangkut beberapa orang atau

lebih. Hubungan antara peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut

dapat bermacam-macam.

Bersama-sama melakukan suatu kejahatan. Seseorang mempunyai

kehendak dan merencanakan sesuatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan

orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang

30 Ibid.Hlm. 193. Ibid. h. 47.

26

melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan

tindak pidana tersebut. Sehubungan dengan itu, E. Utrecht mengatakan bahwa

pelajaran umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut

pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan

peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua

anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan pembuat, dalam artian

(perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana), masih

juga mereka (turut) bertanggungjawab atau dapat dituntut

pertanggungjawaban mereka atas dilakukannya peristiwa pidana itu, karena

tanpa turut sertanya mereka sudah sudah tentu peristiwa pidana itu tidak

pernah terjadi.Inilah rasio Pasal 55 KUHP.31Dalam KUHP berkaitan dengan

dengan masalah deelneming atau penyertaan ini dibedakan:

a. Pelaku (dader) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP.

Ketentuan Pasal 55 KUHP secara eksplisit menentukan siapa yang

disebut sebagai pelaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP

dibedakanmenjadi 4 macam pelaku, yaitu:

Pasal 55 ayat 1:

1) Orang yang melakukan (dader) sendiri. Yang dimaksud disini adalah

orang yang melakukan sendiri suatu tindak pidana. Sedangkan

pelakunya adalah tunggal. Dalam tindak pidana yang pelakunya

tunggal orang yang melakukan adalah setiap orang yang memenuhi

semua unsur dari yang terdapat dalam perumusan delik.

2) Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) atau middellijk

daderschap. Istilah doenplegen dimaksudkan adalah seseorang yang

berkehendak melakukan suatu tindak pidana, tetapi ia tidak

melakukannya sendiri dengan menyuruh orang lain melakukannya.

Konstitusi yuridis menurut J.E Sahetapy adalah “orang yang

31 E. Utrecht,.Hukum Pidana II.(Surabaya: Pustaka Tinta Mas,1994), h. 9

27

menyuruh melakukan” tersebut harus memenuhi syarat bahwa yang

disuruh itu harus orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

menurut KUHP. Dengan kata lain dapat dikatakan, orang yang

“menyuruh melek” itu mempergunakan orang lain “sebagai alat tak

berkehendak”.

3) Orang yang turut melakukan (medeplegen) atau mededaderschap.

Bentuk deelneming ini terjadi apabila beberapa orang

bersamasama melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.

Apabila beberapa orang melakukan suatu perbuatan pidana secara

bersama-sama. Jadi dengan kekuatan dader sendiri. Antara (beberapa)

orang yang secara bersama-sama melakukan perbuatan pidana itu

harus ada kesadaran bahwa mereka bekerjasama.

Kesadaran antara peserta tindak pidana itu pada umumnya

dianggap ada/timbul apabila beberapa peserta itu sebelum melakukan

suatu tindak pidana melakukan perundingan/pemufakatan untuk

melakukan tindak pidana. Namun adanya perundingan/ pemufakatan

tersebut bukanlah syarat mutlak medepleger sudah dianggap ada

apabila antara peserta tindak pidana itu dengan sadar bekerjasama pada

waktu melakukan tindak pidana itu.

4) Orang yang membujuk/menggunakan orang lain (vitlokhing)

Yang dikatakan sebagai pembujuk/orang yang menggerakkan

orang lain adalah mereka yang dengan memberi atau menjanjikan

sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,

kesempatan sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain

supaya melakukan perbuatan (pidana).32

b. Dalam Pasal 56 KUHP disebutkan bahwa seseorang akan dipidana

sebagai pembantu sesuatu kejahatan karena:

32 A. Fuad Usfa. Pengantar Hukum Pidana. (Malang: UMM Press, 2006). h. 113-114

28

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan.

2. Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan atau keterangan untuk melakukan kejahatan.33

3. Teori Restorative Justice

Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan

masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri

yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa.

Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang

tujuan pemidanaan, yaitu teori pendekatan keadilan restoratif (restorative

justice approach) Menurut terminologis, pengertian restorative justice banyak

para pakar yang menyatakannya, dalam kamus “Black’s Law Dictionary”

misalnya diartikan sebagai berikut :

An alternative delinquency sanction focused on repairing the harm

done, meeting the victim’s need, and holding the offender responsible for his or

her actions. Restorative justice sanctions use a balance approach, producing

the least restrictive dis position while stressing the offender’s accountability

and providing relief to the victim. The offender may be ordered to make

restitution, to perform community service, or to make amends in some other

way that the court order.34

Intinya adalah restorative justice merupakan sanksi alternatif bagi pelaku

kejahatan yang berfokus pada perbaikan kerusakan yang dilakukan, memenuhi

kebutuhan korban, dan menuntut pertanggungjawaban pelaku atas

perbuatannya. Sanksi keadilan restoratif menggunakan pendekatan yang

seimbang, menghasilkan disposisi yang paling ketat sementara tidak

mengabaikan pertanggungjawaban pelaku, dan memberikan bantuan kepada

33 ibid, h, 115 34 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Amerika: West Pblishing Co, 2009), h. 1428

29

korban kejahatan. Pelaku dapat dituntut untuk mengganti kerugian (ganti rugi),

kerja sosial, atau menebus kesalahan tersebut dengan cara lain atas keputusan

pengadilan

Menurut Muladi bahwa harus diakui perkembangan konsep restorative

justice tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban

kejahatan (victimology), yang dipelopori oleh Von Hentig seorang ahli

kriminologi pada tahun 1941 dan Mandelsohn pada tahun 1949. Perkembangan

ini melalui beberapa tahap, pertama tahap penal victimology interactionist

victimolgy, tahap kedua general victimolgy, tahap ketiga berkembang pada

tahun 1970-an menandai viktimolgi sebagai suatu disiplin penelitian, dan tahap

keempat dipelopori oleh Separovic pada tahun 1987 yang memperluas

jangkauan definisi viktimologi sehingga mencakup korban pelanggaran HAM

sebagai isu sentral viktimologi dan mengeluarkan dari definisi, korban bencana

alam dan kecelakaan karena dipandang terlalu luas dari sisi ilmiah.35 Oleh

karena itu, proses penyelesaian konflik dalam pendekatan restorative justice

bukan hanya ditujukan untuk pemulihan saja tetapi juga bertujuan untuk

mengurangi tindak pidana dan mencari sebab-sebab yang mendasari timbulnya

tindak pidana dimaksud sehingga dengan demikian masyarakat atau pribadi

lainnya dapat mencegah terulangnya kembali tindak pidana dimaksud.

pendekatan ini menjadi alat alternatif dalam sistem pemidanaan terutama

dalam perlindungan Whitsleblower dan Justice Collabolator hal ini, sama

dengan yang dikemukakan dalam Konsep dan Model Ideal Perlindungan

Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator, oleh Lilik Mulyadi dikatakan

sebagai berikut:36Bahwa dalam hal penanganan perlindungan hukum terhadap

whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized

35 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan

Restoratif Suatu Terobosan Hukum,2007, h. 122 36 Lilik Mulyadi, Menggagas Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Terhadap

Whitsleblower dan Justice Collabolator Dalam Upaya Penaggulangan Organized Crime mendatang,

(Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014), h. 106

30

crime relatif tidak dapat diterapkan asas equality before the law dan asas non-

impunity karena tindak pidana yang bersifat organized crime terlalu kompleks,

multi dimensional dan melintasi batas negara dimana untuk pengungkapannya

mutlak memerlukan adanya whistleblower dan justice collaborator sehingga

konsekuensi logisnya tidak semua orang harus diperlakuan sama karena ada

aspek tertentu yang membedakan orang tersebut dengan orang lain sehingga

perbedaan itu membuka ruang dan dimensi seseorang dapat saja tidak dijatuhi

pidana asal bertanggung jawab atas perbuatannya dengan melakukan

pemulihan keseimbangan seperti keadaan semula (restitutio in integrum) akibat

perbuatan yang telah dilakukannya.

Tegasnya, dalam hal ini diterapkan asas kesamaan hukum yang adil

(equality before the justice) Konsep pendekatan restorative justice

berlandaskan pada asas ketidaksamaan sebagai keadilan. Kontribusi yang

diberikan oleh justice collaborator dalam mengungkap kasus korupsi ini

dijadikan dasar yang membedakannya dengan koruptor biasa. Sehingga,

kontribusinya ini menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan

Konsep pendekatan restorative justice di satu sisi dengan perlindungan

hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya

penanggulangan organized crime di sisi lainnya, kemudian adanya reward dan

sekaligus melekat tanggung jawab bagi Whistleblower dan Justice

Collaborator diharapkan dapat mengungkapkan secara signifikan terhadap

perkara yang berdimensi organized crime.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka konsep restorative justice yang

bertujuan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh korban ini sangat

tepat untuk diterapkan terhadap Justice Collaborator, sebab :

1. Justice Collaborator telah membantu mengungkap kasus korupsi yang

dilakukannya. Laporannya tersebut merupakan kontribusi yang sangat

besar dalam membantu upaya pemberantasan korupsi.

31

2. Penghapusan tuntutan atas Justice Collaborator akan menyebabkan

para pihak mengungkapkan kasus korupsi yang dilakukannya.

Sehingga, kasus korupsi akan terbongkar secara masif dan signifikan.

Dalam hal ini tanggung jawab yang dimiliki oleh Justice Collaborator

terdiri atas tanggung jawab untuk mengembalikan uang negara yang

dikorupsi dan membongkar kasus korupsi yang dilaporkannya hingga

ke akar-akarnya.

Konsep ini merupakan upaya pemulihan kerugian yang diderita oleh negara

akibat korupsi. Tanggung jawab Justice Collaborator dalam hal merestorasi

kerugian negara inilah yang menggantikan pemidanaan bagi Justice

Collaborator. Dalam berbagai jenis kejahatan yang terjadi seringkali orang-

orang yang terlibat di dalamnya atau keluarga mereka melakukan berbagai upaya

agar diringankan dalam penghukuman, termasuk juga dengan penghalangan

dalam sidang pengadilan. Sesungguhnya Unsur terpenting dalam perkara tindak

pidana korupsi adalah saksi pelaku karena ia merupakan orang yang terlibat dan

tau mengenai asal-usul uang yang dikorupsi dan kemana alirannya. Karena

korupsi merupakan kejahatan yang sangat sulit pembuktiannya maka dari itu

seorang saksi pelaku atau Justice Collaborator harus dipersenjatai dengan

berbagai macam perlindungan karena ialah orang yang mengantongi berbagai

bukti penting sehingga proses peradilan dapat berjalan dengan baik dan benar.

32

BAB III

PERINGANAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI JUSTICE

COLLABOLATOR DALAM PERATURAN DAN PERUNDANG-

UNDANGAN

A. Peraturan Justice Collabolator dalam Hukum Pidana Nasional

Dikaji dari perspektif terminologis, Justice Collaborator diartikan sebagai “saksi

pelapor”, “pengadu”, “pembocor rahasia”, “saksi pelaku yang bekerja sama”,

“pemukul kentongan”, atau bahkan “pengungkap fakta”. Pada perkembangan

terakhir, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4

Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan

Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak

Pidana Tertentu disebutkan sebagai pelapor tindak pidana adalah orang yang

mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku

kejahatan yang dilaporkannya, sehingga seorang pelaku yang bekerjasama (justice

collaborator) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui

kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta

memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.37

Perkembangan ide justice collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan

Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun

2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang

Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dimana ditegaskan bahwa,

“Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate

cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial

cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in

accordance with this Convention”.

(Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam

kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan

37Indriyanto Seno Adji, Urgensi Perlindungan Saksi, 9 Desember 2005, www.antikorupsi.

Org.

33

kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan

yang ditetapkan dalam konvensi ini). Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC

dikemukakan bahwa,

“Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with

fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution

to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution

of an offence established in accordance with this Convention”,

(setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan

prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari

penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam

penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan

konvensi ini).

Selanjutnya, dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan

Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah

Agung maka justice collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan

pelaku, namun mau bekerja sama dengan penegak hukum dalam rangka

membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi

apabila aset itu ada pada dirinya. Untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku

yang bekerjasama (justice collaborator) sesuai SEMA Nomor 04 Tahun 2011 poin

9 yaitu :

1) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu

sebagaimana dimaksud dalam SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya,

bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan

sebagai saksi di dalam proses peradilan

2) Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah

memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga Penyidik

dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara

efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar

dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.

3) Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang bekerjasama

sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan

dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana berupa

menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana

34

berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang

terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Dalam ketentuan hukum positif Indonesia, justice collaborator selintas diatur

dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 jo UU Nomor 31 Tahun 2014, United Nations

Convention Against Corruption (UNCAC), UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU.

Nomor 20 Tahun 2001, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Kapolri Nopol 3 Tahun

2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan

Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik

Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia

Nomor: M.HH11.HM..03.02.th.2011, Nomor: PER045/A/JA/12/2011, Nomor: 1

Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/0155/12/2011 Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang

Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama,

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor: 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan

Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama

(Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu dan lain

sebagainya. 38

Pengaturan nota kesepahaman antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor: SPJ-

12/01/08/2010, Nomor: KEP066/1.6/LPSK/08/2010 tanggal 09 Agustus 2010

tentang Kerjasama Dalam Pelaksanaan Perlindungan Saksi atau Pelapor. Adapun

tujuan nota kesepahaman ini adalah agar para pihak (KPK dan LPSK) dapat

38Lilik Mulyadi,dkk, Perlindungan hukum terhadap whistleblower dan Justice Collabolator

dalam penanggulanggan organized crime. Pusat penelitian dan pengembangan Mahkamah

Agung RI, 2013. h.43-44

35

bekerjasama dan berkoordinasi dalam memberikan perlindungan terhadap saksi atau

pelapor sebagai kewenangan yang ditentukan kewenangan UU. Adapun ruang

lingkup nota kesepahaman tersebut adalah kerjasama operasional yang meliputi:39

a) Perlindungan oleh salah satu pihak Pelindungan ini dilakukan dalam hal KPK

dapat menyerahkan saksi untuk dilakukan perlindungan oleh LPSK dan LPSK

dapat menyerahkan calon Pelapor/Pelapor kepada KPK. Penyerahan saksi

dinyatakan dalam suatu Berita Acara yang ditandatangani para pihak (KPK dan

LPSK) serta disetujui oleh saksi, sejak ditandatangani Berita Acara, maka

kewajiban tanggung jawab pemberian perlindungan saksi beralih kepada LPSK

dan akan menentukan bentuk perlindungan berdasarkan hasil analisis dan

verifikasi yang telah ditentukan LPSK. Kemudian terhadap kerjasama

operasional calon pelapor/pelapor maka LPSK dapat didampingi orang yang

akan melaporkan suatu tindak pidana korupsi kepada KPK. LPSK berkewajiban

untuk menyerahkan seluruh dokumen yang terkait dengan laporan pelapor

kepada KPK yang akan menindaklanjuti sesuai prosedur yang berlaku.

b) Perlindungan secara bersama-sama Kerjasama operasional berupa

perlindungan secara bersamasama dapat dilakukan dalam hal KPK

menyerahkan saksi kepada LPSK untuk dilakukan perlindungan. Apabila

LPSK memerlukan bantuan dalam pelaksanaan perlindungan ini maka LPSK

mengirimkan permintaan bantuan secara tertulis kepada KPK.

c) Pemeriksaan saksi yang dilindungi Kerjasama operasional ini meliputi dalam

hal KPK akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang berada dalam

perlindungan LPSK, maka KPK memberitahukan secara tertulis kepada LPSK

yang berkewajiban untuk memberi dukungan kelancaran pemeriksaan saksi

sesuai ketentuan hukum acara

39 Ibid, h.82-83

36

B. Perlindungan Hukum dan Penghargaan bagi Justice Collabolator

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai setiap bentuk perlindungan yang

diatur dan didasarkan oleh peraturan perundang-undangan berdasarkan kepastian

hukum. Secara umum makna atau pengertian perlindungan dalam beberapa

peraturan perundang-undangan diatur secara berbeda, diantaranya: menurut Pasal 1

PP Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa

“perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh

aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik

fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan

kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

“ Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan

bahwa “perlindungan adalah jaminan rasa aman yang diberikan oleh negara kepada

Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dari kekerasan dan/atau ancaman

kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme.”

Perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan justice collaborator secara

komprehensif seharusnya berlaku baik pada semua tahap peradilan (mulai dari tahap

pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan)

maupun setelah proses peradilan selesai. Hal ini disebabkan terkadang dalam

kondisi tertentu pada suatu tindak pidana tertentu, ancaman dan teror bagi setiap

Whistleblower dan Justice collaborator akan tetap mengikuti setelah proses

peradilan pidana selesai. Munculnya dendam terdakwa atau terpidana yang telah

dilaporkan tindak pidananya, relatif dimungkinkan membuat ketidaknyamanan dan

membuat bahaya bagi kehidupan Whistleblower dan Justice Collaborator yang

terkait. Selain itu perlindungan hukum juga perlu diberikan tidak hanya bagi

Whistleblower dan Justice Collaborator saja tetapi akan lebih baik juga meliputi

keluarganya, karena keamanan dan kenyamanan terhadap keluarga mereka akan

berpengaruh langsung bagi ketenangan dan kenyamanan dalam menjalankan

fungsinya sebagai pengungkap fakta. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka

secara umum terdapat empat bentuk perlindungan terhadap Whistleblower atau

37

Justice Collaborator diantaranya perlindungan terhadap fisik dan psikis,

penanganan khusus, perlindungan hukum dan penghargaan. Secara rinci dapat

diuraikan sebagai berikut:

1) Perlindungan Terhadap fisik dan psikis

Sebagai seorang Whistleblower dan/atau Justice Collaborator akan

menghadapi berbagai ancaman, teror bahkan kekerasan terhadap diri, jiwa,

psikis dan harta serta keluarganya. Keputusan untuk menjadi seorang

Whistleblower dan/atau Justice Collaborator merupakan keputusan tersulit

bagi hidup mereka, karena segala kenyamanan dan keamanan diri dan

keluarganya akan menjadi terganggu. Apalagi jika tindak pidana yang

diungkapnya adalah tindak pidana korupsi, yang notabene para aktor utama dan

intelektualnya adalah orang yang berpengaruh dan memiliki massa atau

pengikut yang besar serta memiliki kedudukan atau jabatan yang strategis

dipemerintahan, maka sudah tentu intimidasi tidak hanya berasal dari pelaku

saja tetapi juga berasal dari keluarga pelaku maupun orang-orang yang tidak

terima akan tindakan pengungkapan fakta oleh para Whistleblower dan/atau

Justice collaborator.

Oleh karena itu merupakan sebuah konsekuensi logis bahwa pengorbanan

para whistleblower dan/atau justice collaborator harus diapresiasi oleh hukum

melalui kebijakan formulasi perlindungan terhadap rasa aman bagi mereka.

Selain itu mengingat pembongkaran fakta tentang tindak pidana yang

dilaporkan mereka akan menjadi sarana efektif bagi penegak hukum untuk

menangani tindak pidana korupsi. Dengan demikian komitmen penegak hukum

dalam memberikan perlindungan terhadap rasa aman bagi para Whistleblower

dan/atau Justice Collaborator akan berdampak bagi efektifitas dan efisiennya

proses penyelesaian perkara pidana.

Perlindungan terhadap rasa aman yang dapat diberikan kepada

Whistleblower dan/atau Justice collaborator dapat berupa perlindungan

terhadap fisik dan psikis mereka. Perlindungan fisik dan psikis tersebut tidak

38

hanya diberlakukan untuk keamanan pribadi berupa perlindungan dari segala

macam ancaman, teror, kekerasan, tekanan, gangguan terhadap diri, jiwa dan

harta mereka dari pihak manapun, namun juga harus meliputi jaminan

perlindungan fisik dan psikis bagi keluarga mereka. Tegasnya, Whistleblower

dan/atau Justice Collaborator dapat lebih aman, tenang dan nyaman serta tanpa

beban/tekanan selama proses penyampaian laporan, informasi kesaksian pada

semua tahapan pemeriksaan peradilan. Dalam konteks perlindungan terhadap

rasa aman maka secara teknis dibutuhkan perlindungan fisik dan psikis

Whistleblower dan/atau Justice Collaborator serta keluarganya sedapat

mungkin dapat disesuaikan dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 atas perubahan

UU Nomor 13 Tahun 2006 pasal 5 Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban menegaskan bahwa seorang Saksi berhak:

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

4. Mendapat penerjemah;

5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

9. Mendapat identitas baru;

10. Mendapatkan tempat kediaman baru;

11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

12. Mendapat nasihat hukum; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup

sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

13. Mendapatkan pendampingan dalam penyidikan sampai dengan

pemeriksaan di pengadilan;

14. Mendapatkan tempat kediaman sementara dan/atauTidak dapat dituntut

secara hukum baik pidana, administrasi maupun perdata atas kesaksian,

informasi lain yang akan, sedang atau telah diberikannya.

Secara teknis. mekanisme koordinasi perlindungan fisik dan psikis dalam

perkembangannya diatur dalam Peraturan Bersama. Dimensi peraturan

bersama ini mengatur mekanisme koordinasi berkaitan permohonan

39

perlindungan fisik dan psikis bagi pelapor atau saksi pelapor diajukan oleh

Pelapor atau saksi pelapor kepada LPSK, atau kepada aparat penegak hukum

sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum atau hakim) untuk

diteruskan kepada LPSK, atau dilaksanakan sesuai dengan peraturan

perundangundangan yang berlaku.

Dalam permohonan perlindungan diterima oleh LPSK, maka LPSK wajib

memberikan perlindungan yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan aparat

penegak hukum. Dalam hal permohonan perlindungan diterima oleh penegak

hukum, maka aparat penegak hukum wajib berkoordinasi dengan LPSK.

Sedangkan mekanisme perlindungan fisik dan psikis bagi justice collaborator

diajukan oleh aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik,

penuntut umum atau hakim) kepada LPSK. Perlindungan fisik dan psikis bagi

saksi pelaku yang bekerjasama diputuskan oleh LPSK berdasarkan

rekomendasi dari aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya

(penyidik, penuntut umum atau hakim).40

2) Penanganan Khusus

Selain diberikan fasilitas perlindungan terhadap fisik dan psikis sebagaimana

dijelaskan di atas maka untuk mendukung upaya pemberian perlindungan rasa

aman terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator yang memberikan

kesaksian di persidangan maka dimungkinkan diberikan penanganan khusus

dalam ketentuan pasal 6 ayat (3) Peraturan Bersama Menteri Hukum dan

HAM, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK. berupa :

1. Dipisahnya tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka,

terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam

hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan;

2. Pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan secara terpisah dengan

tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara yang dilaporkan atau

diungkap;

3. Memperoleh penundaan penuntutan atas dirinya;

40 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku...., Op. Cit, h. 96

40

4. Memperoleh penundaan proses hukum seperti penyidikan dan penuntutan

yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang

diberikannya; dan

5. Dapat memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan

wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya.

3) Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum yang dimaksud dalam sub bab ini adalah perlindungan

terhadap “status hukum”, sebagaimana yang dimaksud dalam PP Nomor 71

Tahun 2000. Adapun bentuk perlindungan terhadap status hukum ini secara

teknis diantaranya adalah tidak dilanjutkannya terlebih dahulu laporan

pencemaran nama baik oleh tersangka tindak pidana korupsi terhadap saksi

pelapor sebelum ada proses hukum terhadap kasus korupsi itu selesai terlebih

dahulu. Tegasnya, dengan lain perkataan proses hukum kasus korupsi harus

didahulukan daripada tuntutan pencemaran nama baik oleh tersangka terhadap

saksi pelapor tindak pidana korupsi.

Namun perlindungan terhadap “status hukum” tersebut dibatalkan apabila

dari hasil penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti cukup yang memperkuat

keterlibatan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan dan

disaksikannya tersebut. Maka dalam hal ini terhadap saksi pelapor yang

demikian hanya diberikan perlindungan terhadap rasa aman selama proses

pemeriksaan peradilan pidana korupsi.41 Pengaturan perlindungan terhadap

status hukum yang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 selaras dengan

pengaturan yang ada dalam pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2014, yang

menyebutkan bahwa:

(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara

hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang

akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan

tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi

Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan,

41 Lilik Mulyadi,dkk, Perlindungan hukum terhadap whistleblower dan Justice Collabolator

dalam penanggulanggan organized crime.....Op.Cit, h. 98-99

41

sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda

hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh

pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Sementara itu untuk Justice Collaborator, ketentuan pasal 10A ayat (3) UU

Nomor 31 Tahun 2014 menjadi payung hukum untuk mendapatkan

penghargaan berupa keringanan hukuman. Untuk Justice Collaborator yang

notabenenya Whistleblower yang juga sebagai pelaku tindak pidana diduga kuat

telah melakukan kesalahan dan karenanya sangat mudah untuk

membuktikannya di pengadilan.

Yang memungkinkan baginya adalah lepas dari segala tuntutan hukum

sebagaimana terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan

bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepadanya terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,

maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Hanya saja untuk

lepas dari segala tuntutan hukum juga sulit karena whistleblower yang juga

sebagai pelaku tindak pidana yang diduga kuat telah melakukan kesalahan,

tindakannya tidak termasuk dalam kerangka dasar penghapusan pidana.42 untuk

memberikan pedoman bagi perlindungan “status hukum” dan pelaksanaan

ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 atas perubahan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban, maka Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung

Nomor 4 Tahun 2011. Langkah progresif dari Mahkamah Agung ini sangat

tepat mengingat ketentuan pasal 10 tersebut masih perlu pedoman lebih lanjut

didalam penerapannya. Mahkamah Agung dalam SEMA ini meminta kepada

para hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat

dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama

dapat diberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya.

42 Imam Thurmudhi, Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower..., h. 64

42

Secara teknis, untuk saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator),

SEMA ini memberikan kriteria yang bersangkutan yaitu bukan pelaku utama

dalam kejahatan tersebut dan dia mengakui kejahatan yang dilakukannya serta

memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Selain itu juga

dipersyaratkan bahwa diperlukan adanya pernyataan dari jaksa penuntut umum

bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang

sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat

mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-

pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan/atau mengembalikan

aset-aset/hasil suatu tindak pidana. Atas bantuannya tersebut maka justice

collaborator tersebut dapat mempertimbangkan penjatuhan pidana dengan

pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana penjara yang

lebih ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah.

Namun dalam hal pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan

pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Selain

itu Ketua Pengadilan dihimbau untuk mendistribusikan perkara yang terkait

dengan perkara-perkara yang diungkap oleh saksi pelaku yang bekerjasama

kepada majelis hakim yang sama sejauh memungkinkan dan mendahulukan

perkara-perkara lain yang diungkap oleh saksi pelaku yang bekerjasama.

4) Penghargaan

Perlindungan dan peringanan dalam bentuk penghargaan bagi para

Whistleblower dan Justice Collaborator sangat penting keberadaannya bagi

upaya menciptakan iklim kondusif bagi pengungkapan organized crime dalam

konteks pelibatan masyarakat. Penghargaan layak diberikan sebagai penegasan

bahwa yang bersangkutan telah berjasa bagi upaya penegakan hukum,

implikasinya bilamana terdapat penghargaan terhadap mereka masyarakat yang

lain dapat berani juga mengungkapkan suatu tindak pidana kepada penegak

hukum. Bagi Whistleblower yang tidak tersangkut sebagai pelaku, penghargaan

43

terhadap mereka telah diatur dalam peraturan perundangan. Salah satu

diantaranya adalah PP Nomor 71 Tahun 2000.

Sementara itu perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi justice

collaborator dapat berupa keringanan hukuman, termasuk menuntut hukuman

percobaan, serta pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain

sesuai perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang

bekerjasama adalah seorang narapidana. Secara teknis perlindungan dalam

bentuk penghargaan bagi Justice Collaborator dilakukan sesuai ketentuan

dalam Peraturan Bersama sebagai berikut: Permohonan diajukan oleh pelaku

sendiri kepada Jaksa Agung atau pimpinan KPK; LPSK dapat mengajukan

rekomendasi terhadap saksi pelaku yang bekerjasama untuk kemudian

dipertimbangkan oleh Jaksa Agung atau Pimpindan KPK; Permohonan memuat

identitas saksi pelaku yang bekerjasama, alas an dan bentuk penghargaan yang

diharapkan; Jaksa Agung atau pimpinan KPK memutuskan untuk memberikan

atau menolak penghargaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.43

Selanjutnya dalam hal Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan

permohonan penghargaan, Penuntut Umum wajib menyatakan dalam

tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh justice collaborator dalam

membantu proses penegakan hukum agar dapat menjadi pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan. Kemudian dalam hal penghargaan berupa remisi

dan/atau pembebasan bersyarat maka permohonan diajukan oleh saksi pelaku

yang bekerjasama, Jaksa Agung, Pimpinan KPK dan/atau LPSK kepada

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk kemudian diproses sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

43 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku..., Op Cit, h. 97

44

BAB IV

KAJIAN TERHADAP PERAN DAN BENTUK PERINGANAN HUKUM

JUSTICE COLLABORATOR PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Peran Justice Collabolator dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Penanganan tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan secara biasa.

Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara biasa atau kovensional

selama ini terbukti tidak efektif karena mengalami banyak kendala. Hal tersebut

disebabkan karena korupsi tidak saja menyerang badan eksekutif dan legislatif,

melainkan juga menyeruak pada kalangan yudikatif yang dilakukan oleh hakim,

kejaksaan dan kepolisian sebagai institusi penegak hukum, oleh karena itu

dibutuhkan sebuah metode penegakan hukum secara luar biasa untuk memberantas

korupsi.44

Peran Justice Collaborator yaitu seseorang sebagai tersangka namun bukan

pelaku utama dan dapat membongkar orang yang terlibat di atasnya. Dalam hal ini,

sekalipun ia telah korupsi namun ia juga mendapat keringanan karena telah

membantu dalam suatu proses pembongkaran fakta dan keadilan. Konsep Justice

Collaborator pada hakikatnya ini sama dengan konsep delik penyertaan dalam

ketentuan pasal 55 dan 56 KUHP, dimana keterlibatan seseorang dalam suatu kasus

korupsi dan dia sendiri melaporkan kasus tersebut kepada aparat penegak hukum

terjadi dalam beberapa kemungkinan seperti, sebagai orang yang turut serta dengan

orang lain melakukan korupsi, orang yang melakukan korupsi atas anjuran orang

dan orang yang membantu orang lain melakukan korupsi.

Seorang Justice Collaborator dan Wistleblower yang melaporkan kasus korupsi

merupakan Orang yang memilki keberanian dan mental yang kuat. Sebab, orang

44Febriansyah, et all, Laporan Penelitian : Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui Fungsi

Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), (Jakarta : Indonesia Corruption

Watch-Kerjasama dengan Eropa Union (EU) dan UNODC (United Nations Office on Drugs and

Crime), 2011, h. 8

45

tersebut pada dasarnya sudah mengetahui hal-hal buruk yang menimpa mereka

karena laporan tersebut, seperti diancam, diintimidasi, dianiaya, diberhentikan

secara tidak terhormat dari jabatannya atau bahkan dibunuh.45 Peraturan tentang

keberadaan Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dalam dunia

pembuktian hukum di Indonesia merupakan sesuatu hal yang baru, istilah Justice

Collaborator merupakan hasil upaya revolusioner dalam praktik penegakan hukum

pidana yang merupakan dampak bagi modus kejahatan di Indonesia.

Di mana keberadaannya kemudian dan selanjutnya mulai diatur dalam hukum

positif. Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi,

sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi sebagai suatu virus yang dengan mudahnya

menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan dan cenderung mengalami peningkatan

yang signifikan dari tahun ke tahun baik secara kualitas maupun kuantitasnya

sehingga menjadi salah satu permasalahan krusial nasional. Perkembangan korupsi

yang demikian mempunyai relevansi dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan

itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi,

keluarga, kelompok dan kroninya.

Perlunya penanganan secara luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi disebabkan karena tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang

memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime) dan dilakukan dalam suatu

jaringan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) dan terstruktur sedemikan

tertutupnya dengan berbagai macam modus operandi sehingga menimbulkan

kesulitan oleh aparat penegak hukum dalam hal pemberantasannya. Penghargaan

menjadi cara yang efektif untuk membongkar kejahatan terorganisasi, terutama

korupsi, dan mencegah kejahatan serius. Di Indonesia beberapa orang saksi pelaku

telah memperoleh penghargaan dari negara berupa keringanan hukuman.

45Supriadi Widodo Eddyono, “Prospek perlindungan Justice Collaborator di Indonesia,

perbandingannya dengan di Amerika dan Eropa”, (jurnal perlindungan vol 1 no. 1, 2011,) h.586.

46

1. Praktik Perlindungan dan Peringanan Juctice Collabolator

Salah satu fungsi LPSK adalah memberikan perlindungan bagi saksi baik

berstatus sebagai Whistleblower/saksi pelapor maupun sebagai Justice

Collaborators. Menurut Maharani Siti Shopia,46 dari 124 permohonan yang

diterima oleh LPSK pada tahun 2011, yang dapat dikategorikan sebagai justice

collaborator yakni saksi yang juga pelaku suatu tindak pidana yang bersedia

membantu penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dengan

memberikan informasi kepada penegak hukum serta memberikan kesaksian di

dalam proses peradilan hanya dalam 1 (satu) perkara yaitu perkara Agus Condro

kasus suap cek pelawat pemilihan. Deputi Gubernur BI, satu perkara lain dapat

dikategorikan sebagai Whistleblower/saksi pelaporan. Ir.Stanli Erling yang

melaporkan Rektor Universitas Manado dalam kasus dugaan korupsi pembangunan

Laboratorium Microteaching Universitas Manado.

Berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada Agus Condro, Ir. Stanli Erling

justru mendapatkan vonis kurungan lima bulan penjara oleh majelis hakim

Pengadilan Negeri Tondano sedangkan perkara yang dilaporkan oleh Ir. Stanli

Erling oleh Kejaksaan Negeri Tondano telah dikeluarkan Surat Perintah

Penghentian Penyidikan (SP3) untuk kasus dugaan korupsi tersebut. Agus Condro

adalah pelapor sekaligus pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum

dalam pengungkapan tindak pidana korupsi penerimaan travel chaque oleh anggota

komisi IX DPR RI periode tahun 1999-2004. Berdasarkan kerjasamanya dalam

melaporkan dan mengungkap perkara korupsi penerimaan travel chaque oleh

anggota komisi IX DPR RI periode tahun 1999-2004 tersebut maka oleh majelis

hakim dijadikan sebagai hal yang meringankan hukumannya menjadi 1 (satu) tahun

dan 3 (tiga) bulan. Hukuman ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum

yaitu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Setidaknya terdapat empat alasan Agus Condro

layak ditetapkan sebagai Justice Collaborator diantaranya:

46 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku..., h. 87-88

47

Pertama, dia pelaku korupsi yang bekerja sama memberikan informasi faktual,

bukan fitnah. Terbukti, oleh Pengadilan Tipikor, keterangannya digunakan sebagai

bukti yang dapat menjerat pelaku korupsi lainnya dalam kasus yang sama. Kedua,

dia kooperatif dalam menjalani seluruh proses penegakan hukum kasusnya,

termasuk tidak pernah buron. Ketiga, dia mengakui dengan tegas telah melakukan

korupsi, bahkan mengembalikan uang korupsi yang diterimanya. Keempat,

statusnya sebagai pelaku korupsi yang bekerja sama, dan karenanya patut

dilindungi, secara resmi diakui eksistensinya LPSK. Empat hal itulah yang

setidaknya harus dimiliki oleh siapa pun pelaku korupsi yang ingin mendapatkan

status dan fasilitas keringanan hukuman sebagai Justice Collaborator.47Menurut

Mahrani Siti Shopia,48

LPSK telah melakukan pendampingan kepada Agus Condro dalam proses

persidangan sebanyak lebih dari 13 kali, mengajukan permohonan keringanan

hukuman kepada majelis hakim, mengajukan permohonan pemindahan rumah

tahanan ke Menteri Hukum dan HAM, perlindungan fisik berupa tindakan

pengamanan dan pengawalan dengan berkoordinasi dengan KPK dan Kepolisian

serta mengajukan permohonan remisi dan pembebasan bersyarat sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu Agus Condro mendapatkan penanganan

khusus dan penghargaan dari perannya sebagai Justice Collaborator berupa:

1. Diberikan untuk memilih tempat dilaksanakannya pidana yaitu mendekatkan

bersangkutan kepada keluarganya, dengan cara pemindahan dari Rutan

Polda Metro Jaya ke LP Alas Roban, Jawa Tengah, pemindahan tersebut

berdasarkan permintaan Agus Condro yang disetujui Menteri Hukum dan

HAM saat itu Patrialis Akbar.

2. Diberikan ruang khusus kepada bersangkutan selama menjalani pidana.

Pemberian ruang khusus ini juga sebagai bentuk pemberian perlindungan

47 Denny Indrayana, Ayo Jadi Justice Collaborator!, Harian Seputar Indonesia, 8 Mei 2012 48 Sigit Artantojati, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku..., Op. Cit, hlm. 88-89

48

kepada bersangkutan terhadap kemungkinan adanya ancaman atau tindakan

yang membahayakan keselamatan bersangkutan.

3. Diberikan keringanan tuntutan hukuman, Agus Condro mendapatkan vonis

1 tahun 3 bulan denda senilai Rp. 50 juta subsider 3 bulan penjara dari

tuntutan penuntut umum 1 tahun 6 bulan denda senilai Rp.50 juta subsider 3

bulan penjara, lebih ringan dari para terdakwa lain dalam satu berkas yaitu

Rusman Lumbatoruan dan Max Moein yang mendapatkan vonis 1 tahun 8

bulan denda senilai 50 juta subsider 3 bulan penjara dari tuntutan 2,5 tahun

penjara dengan membayar denda sebilai Rp.50 juta subsider 3 bulan penjara,

dan terdakwa Willem Max Tutuarima yang divonis 1 tahun 6 bulan penjara

denda senilai Rp.50 juta subsider 3 bulan penjara

4. Diberikan percepatan dalam proses pemberian hak-haknya, seperti hak

mendapatkan pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti

bersyarat (CB), ataupun remisi. Terhitung setelah mulai penahanannya pada

28 Januari 2011 sebanyak 1 bulan 15 hari dan telah menjalani 2/3 masa

pidana, oleh karenanya berhak untuk menjalani pembebasan bersyarat

5. Diberikan perlindungan baik terbuka maupun tertutup bekerjasama dengan

lembaga terkait (seperti LPSK) selama menjalani pidana di Lembaga

Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara.

2. Korupsi dan Justice Collabolator dalam Pidana Islam

A. Korupsi dalam Pidana Islam

Istilah korupsi dalam hukum Islam memangnlah belum secara tertulis ada

dalam Al-Quran dan As-Sunnah tetapi Bahasa hukum Islam tentang Korupsi bisa

ditelusuri lewat istilah risywah (suap), Sariqah (pencurian), al gasysy (penipuan)

dan khianat (penghianatan). Secara teoritis korupsi berkedudukan sebagai tindakan

kriminal (jinayah atau jarimah) asas legalitas hukum Islam tentang korupsi sangat

49

jelas sebagai suatu delik pencurian, pelaku korupsi memang harus dihukum.49 Hal

ini korupsi dipandang sebagai suatu bentuk penipuan, penyalahgunaan kewenangan

kekuasaan, dan pemerasan dalam berbagai bentuknya, telah menjadi musuh

masyarakat. Korupsi juga disebut lambang ketidak percayaan kepada penguasa yang

akan menentukan cepat lambatnya kejatuhan dan kehancuran kekuasaan. Islam

datang mengubah pandangan masyarakat yang dahulu jahilyah menjadi masyarakat

yang bermoraldan beretika sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum Islam dapat

diklasifikasikan kepada kategori khiya>nah atau ghulūl (pengkhianatan), al-ghasy

(penipuan), dan risywah (suap).

1. Khiyānah (pengkhianatan)

Khiyānah secara etimologis bermakna perubahan hal seseorang menjadi

jahat (syar). Menurut al-Raghib al-Isfahānī, seorang pakar bahasa Arab,

khiyānah adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang

dipercayakan kepadanya. Ungkapan khiyānah juga digunakan bagi seseorang

yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dalam bentuk pembatalan

sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu‘amalah.50

Jarīmah khiyānah terhadap amanah adalah berlaku untuk setiap harta bergerak

baik jenis maupun harganya sedikit maupun banyak. Orang-orang yang

beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya mereka

dikhianati, Rasulullah melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan

pula. Hal ini sebagaimana disinggung dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad

dan Abū Dawud.

2. Al-ghasy (penipuan)

49 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. (Jakarta: Zikru’l Hakim, 1997)

h,87 50Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. VI, Jil. 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van

Hoeve, 2003), h. 913.

50

Penipuan adalah tindak pidana yang tidak ada ketentuan hadnya, karena nas

belum menerangkan bentuk sanksi kepadanya secara kongkrit, baik dalam Al-

Qur’an maupun dalam hadis. Oleh karena itu penentuan sanksi hukumannya

kembali kepada jarimah ta‘zīr, yang membutuhkan ijtihād hakim dalam

memutuskan hukum terhadap pelakunya. Istilah al-ghasy dalam bisnis adalah

menyembunyikan cacat barang dan mencampur dengan barang-barang baik

dengan yang jelek.51 Al-Qur’an sangat tidak setuju dengan penipuan dalam

bentuk apapun. Penipuan digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai karakter utama

kemunafikan, dimana Al-Qur’an telah menyediakan siksa yang pedih bagi

tindakan ini, di dalam neraka. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-

Qur’an Surat An-Nissa ’(4): 145.

Islam menuntut pemeluknya untuk menjadi orang yang jujur dan amanah.

Orang yang melakukan penipuan dan kelicikan tidak dianggap sebagai umat

Islam yang sesungguhnya, meskipun dari lisannya keluar pernyataan

bahwasanya dirinya adalah seorang muslim. Berdasarkan uraian tentang al-

ghasy di atas, maka jelaslah di setiap tindak pidana korupsi yang terjadi dalam

berbagai macam bentuknya mesti ada unsur penipuan. Dalam tindak pidana

korupsi, penipuan merupakan bagian yang tidak terpisah darinya, manipulasi

data, buku, daftar, dan sebagainya termasuk tindak pidana penipuan.

3. Al-risywah (suap)

Secara harfiah, suap (risywah) berarti “batu bulat” yang jika dibungkamkan

ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun.52 Jadi suap bisa

membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut Ibrahīm al-Nakha’ī, suap

adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan

kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran. Syaikh ‘Abd al-‘Azīz bin

‘Abd Allāh bin Baz mendefinisikan suap dengan memberikan harta kepada

51 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003), h.

136-137. 52 Muhammad al-Azhari, Tah d ib al-Lughah (Kairo: Dār al-Qawmiyyah, 1964), h. 1.

51

seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan maslahat (tugas/kewajiban) yang

tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip.53

Sedangkan menurut terminologi fiqh, suap adalah segala sesuatu yang

diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia

memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan)nya atau agar ia mengikuti

kemauannya.54Al-Sayyid Abū Bakr mendefinisikan risywah dengan

“memberikan sesuatu agar hukum diputuskan secara tidak benar/tidak adil, atau

untuk mencegah putusan yang benar/adil.55 ”Definisi yang lebih kurang sama

diberikan oleh al-Jurjāni.56 Dasar hukum pelanggaran suap adalah firman Allah

dalam Surat Al-Ma’idah (5): 42. Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah

terpenuhi. Unsur-unsur suap meliputi, pertama yang disuap (al-murtasyī),

kedua, penyuap (al-rasyī), dan ketiga, suap (al-risywah). Suap dilarang dan

sangat dibenci dalam Islam karena sebenarnya perbuatan tersebut (suap)

termasuk perbuatan yang batil. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-

Baqarah (2): 188. Selain itu baik yang menyuap maupun yang disuap dua-

duanya dilaknat oleh Rasulullah SAW, sebagai bentuk ketidaksukaan beliau

terhadap perbuatan keduanya.57 Suap dengan segala bentuknya haram

hukumnya. Di antara bentuk suap adalah hadiah. Seorang pejabat haram

hukumnya menerima hadiah. Bahkan termasuk hadiah yang diharamkan bagi

seorang pejabat yang meski tidak sedang terkait perkara atau urusan, karena

kalau ada kebiasaan memberi hadiah sebelum menjadi pejabat, setelah

53 Abū Abdul Halim Ahmad. S., Suap Dampak dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet. I

(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), h. 20-21 54Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al Mikhtar ‘alā al-Dār al-Mukhtar Hasyiyat Ibn

‘Abidin, Juz. VII (Beirut: Dār al-Ihyā’, 1987), h. 5. 55 Al-Sayyid Abū Bakr,I‘ānah alT ālibīn, Jil. 4 (Beirut: Dār al-Fikr, t. th.), h. 232. 56 ‘Ali al-Jurjānī, al-Ta‘rīfāt, al-Maktabah al-Syāmilah, http://alwarraq.com, al-Isdār al-Thānī.

h.111. 57CD-ROM Mawsu’ah alH adīth al-Syar i f, Edisi 1 dan 2, Syarikah Shakhr Libarmij al

Hasib, 1991. Lihat juga, Abū Hatim Muhammad Ibn Hibban Ibn Ahmad al-Tamimī, Sahīh Ibn Hibban

(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1414 H/1993 M.), h. 457. Abū al-Qāsim Sulayman Ibn Ahmad

alTabrānī, al-Mu‘jam al-Kabīr, (ed.) Hamdi ‘Abd al-Majīd al-Salafī (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turath

al‘Arabī, 1985),h. 354

52

menduduki jabatan terjadi peningkatan volume kebiasaan pemberian hadiah

tersebut.58

Seorang pejabat juga haram menerima hadiah dari seseorang yang jika bukan

karena jabatannya, niscaya orang tersebut tidak akan memberikannya. ‘Umar

bin ‘Abd al-‘Azīz suatu ketika diberi hadiah oleh seseorang tapi ditolaknya

karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Orang yang memberi

hadiah kemudian berkata, “Rasulullah pernah menerima hadiah”. Lalu ‘Umar

menjawab, “Hal itu bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi bagi kita itu adalah

risywah (suap).59 Jadi, setiap hadiah yang diberikan kepada pejabat karena

posisinya sebagai seorang pejabat tidak boleh diterima dan haram hukumnya

karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang menjabat dan hanya tinggal di

rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang memberinya hadiah. Pada

umumnya, risywah terjadi dalam kasus peradilan, sehingga para fuqahā’ sering

membahasnya dalam konteks peradilan.

Namun dalam salah satu hadis yang dikutip oleh al-Sayyid Abū Bakr

ternyata ia juga diharamkan dalam konteks penguasa negara. Ia mengatakan:

“Sesungguhnya hadis tentang pengharaman memberi hadiah kepada penguasa

sahih, sebagiannya adalah sabda Rasulullah SAW memberi hadiah kepada

“penguasa”, dalam satu riwayat disebutkan “umara”, adalah perbuatan

khianat.” Selanjutnya ia menambahkan bahwa yang dimaksudkan dalam hadis

tersebut adalah pemberian dari seseorang kepada imam (pemimpin) dan

diterimanya, maka ini adalah perbuatan khianat terhadap kaum muslimin.

Karena seorang pemimpin tidak diperlakukan khusus dibandingkan kaum

muslimin umumnya. Kekhususan boleh menerima hadiah hanya berlaku bagi

Rasulullah, karena beliau bersifat ma‘sūm (terpelihara).60

58 Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al Mikhtar…, h.34 59 Muhammad Yūsuf al-Qardāwī, alH alāl wa alH arām fī al-Islām (Beirut: al-Maktab

alIslāmī, 1994),h. 230. 60 Al-Sayyid Abū Bakr, I‘ānah…,h. 229

53

Oleh karena itu, bagi seorang imam (pemimpin), pejabat, dan petugas haram

menerima suap dari siapapun, karena hal ini bisa melemahkan kredibilitas

seorang pemimpin yang idealnya berperan sebagai pihak yang netral terhadap

seluruh rakyatnya. Dengan menerima hadiah, ia akan bersikap lunak dalam

setiap kebijakannya. Apalagi pelaku memberikan suap jelas-jelas untuk suatu

maksud yang dapat menghilangkan atau mengurangi hak orang lain.

4. Al-h{ira>bah (Perampasan)

Dalam Surat al-Ma’idah (5): 33 dan 38 disebutkan secara khusus tentang

h{iraba>h61 dan sariqah. Ayat pertama adalah pengambilan harta orang lain

dengan terang-terangan yang bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara

melakukan pengrusakan di muka bumi. Sedangkan ayat kedua adalah

pengambilan harta orang lain atau pencurian dengan diam-diam.62‘Abdul-

Qadir‘Awdah mendefinisikan h{ira>bah sebagai perampokan atau pencurian

besar. Lebih lanjut beliau mengatakan pencurian (sariqah) memang tidak sama

persis dengan h{ira>bah. H{ira>bah mempunyai dampak lebih besar karena

dilakukan dengan berlebihan.63 Hal ini karena hirabah kadang disertai dengan

pembunuhan dan pengambilan harta atau kadang pembunuhan saja tanpa

pengambilan harta. Secara khusus korupsi adalah identik dengan pencurian

(sariqah), akan tetapi pelaksanaan korupsi disertai dengan berbagai macam

dalih yang lebih membutuhkan penelitian dan pembuktian. Korupsi

memberikan dampak negatif yang sangat besar di masyarakat, apalagi dengan

kasus-kasus yang saat ini terjadi di Indonesia. Korupsi tidak hanya merugikan

satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi ancaman bagi kestabilan

keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat.

61 ‘Abd al-Qadir ‘Awdah menyebut h{ira>bah ini sebagai sirqah kubr (pencurian besar) didalam

bukunya al-Tasyr{ i ’ al-Jina’i, h.623 62Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawa’ib al-Bayan Tafsir Ayat Ahkam, Jilid (Beirut: Dar al-Fikr,

tt.),h. 551-551 63‘Abd al-Qādir ‘Awdah, al-Tasyrī‘ al-Jina’ī al-Islāmī (Beirut: Dār al-Kutub, 1963), h. 638-

639

54

Oleh karena itu menurut penulis korupsi berdasarkan hal ini secara ‘illat

korupsi lebih dekat kepada hirabah. Dalam hukuman bagi pelaku sariqah dan

h{ira>bah juga berbeda. Menurut penulis pemberlakuan hukuman mati bagi

koruptor bisa mengambil landasan dari ayat h{ira>bah ini. Karena seorang

koruptor yang melakukan tindakan dengan disertai pemberatan dan penghalalan

segala cara maka bisa dimasukkan ke dalam delik h{ira>bah. Berbeda dengan

pasal pencurian yang hanya dengan potong tangan. Pencurian relatif lebih kecil

dibandingan dengan h{ira>bah. Demikian juga apabila dibandingkan dengan

korupsi. Pencurian biasa yang dilakukan oleh seorang kriminal murni mungkin

relatif lebih kecil dampaknya jika dibandingkan dengan korupsi yang akan

membahayakan banyak orang dan bahkan negara.

5. Al-ghas{ab (Penggunaan hak orang lain tanpa izin)

Termasuk dalam kategori korupsi adalah ghas{ab. QS. al-Kahfi (18): 79

menceritakan seorang raja yang dhalim yang akan mengambil kapal dari orang-

orang miskin dengan jalan ghas{ab. Seorang raja dhalim yang dikisahkan dalam

ayat ini lantas menenggelamkan kapal agar supaya tidak bisa dimanfaatkan

dengan tidak halal (ghas{ab) oleh raja yang zalim tersebut.64

Pengertian ghas{ab adalah menguasai harta orang lain dengan

pemaksaandengan jalan yang tidak benar, lebih lanjut dijelaskan bahwa ghas{ab

dilakukan dengan terang-terangan sedangkan ketika dilakukan dengan

sembunyi-sembunyi maka dinamakan pencurian.65 Hanya ghas{ab ini kadang

berupa pemanfaatan barang tanpa izin yang kadang dikembalikan kepada

pemiliknya.66 Ghas{ab sebagai salah satu bentuk korupsi dengan alasan bahwa

ayat di atas menceritakan bagaimana seorang raja yang semena-mena dapat

64Ibn al-‘Arabī, Ahkam Al-Qur’ān, Jil. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988),h. 242.

Lihat juga, al-Tabari, Tafs ir alTa bar i , Jil. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999),h. 264. 65Taqiyuddin, Kifayat alAkhyar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), h. 384. Lihat juga,

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah…, h. 236. 66 Al-Qurtubi, al-K afifi Fiqh Ahl al-Mad i nah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), h. 428.

55

dengan seenaknya menggunakan hak milik rakyatnya yang miskin dengan

memanfaatkan kapal yang dimiliki oleh rakyat untuk kepentingan pribadinya.

Pada kasus ini ada unsur memperkaya diri atau pribadinya dengan

menggunakan hak rakyatnya dengan jalan yang tidak benar.

Bentuk-bentuk pelanggaran hukum korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum

Islam adalah bisa berupa ghulu>l (pengkhianatan), al-ghasy (penipuan), dan risywah

(suap), alh{ira>bah (perampasan), dan al-ghas{ab (penggunaan hak orang lain tanpa

izin). Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam perspektif Hukum Pidana

Islam adalah adanya nas yang melarangnya, kemudian telah melakukan perbuatan

yang telah menyalahi nas -nas , misalnya berbuat khiya>nah/ghulu>l, al-ghasy

(penipuan), risywah (suap), al-h{ira>bah (perampasan), al-ghas{ab (penggunaan hak

orang lain tanpa izin), dan yang terakhir pelakunya adalah orang sudah dapat

dibebankan hukum.

B. Justice Collabolator dalam Pidana Islam

Pembuktian adalah salah satu tahapan dalam proses peradilan yang memiliki

peranan penting. Pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana, dapat

dipahami sebagai ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha

mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum,

terdakwa maupun penasihat hukum, semuanya terikat pada ketentuan dan tatacara,

serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.67 Keberadaan alat

bukti sangatlah penting, karena kelengkapanya merupakan syarat utama yang

menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara untuk dilimpahkan ke pengadilan.

SEMA Nomor 4 Tahun 2011 telah mengatur salah satu alat bukti yakni alat bukti

saksi. Dimana penyebutan saksi dalam SEMA ini adalah saksi pelaku yang

bekerjasama. Definisi Justice Collaborators atau saksi pelaku yang bekerja sama

dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak

Pidana ( Whistleblower ) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice

67 Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian dalam Praktik Peradilan Pidana ,h. 27

56

collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, ialah yang bersangkutan

merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam

SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam

kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses

peradilan. Seorang Justice Collaborators bersaksi atas suatu tindak pidana yang

merupakan tindak pidana tertentu yang mana berbeda dengan saksi pada umumnya.

Maka dari itu perlakuan pada saksi Justice Collabolator dengan saksi biasa

dibedakan dalam Undang-Undang No.31 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

pada hal ini dijelaskan pada Bab III sebelumnya mengenai ketentuan perlindungan

khusus. Namum sebagai alat bukti yang sah hal tersebut, mempunyai kedudukan

yang sama kuat dalam pembuktian di dalam persidangan. Yaitu Justice

Collabolator mempunyai kedudukan yang sama dalam hal alat bukti yang sah.

Dalam fiqh Jina>yah , keberadaan saksi sebagai alat bukti suatu jarimah sangat

penting. Hal ini merujuk pada Al-Qur’an yang secara eksplisit mewajibkan adanya

keberadaan saksi, yaitu surat Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi :

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di

antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua

orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa,

seorang lagi mengingatkan. (QS. Al-Baqarah: 282).

Disini menunjukan arti pentingnya keberadaan saksi baik dalam hal yang

berhubungan dengan muamalah, jarimah maupun lainnya. Hal ini diharapkan dapat

terungkapnya kebenaran-kebenaran dari kehadiran saksi tersebut. Justice

Collaborator atau yang merupakan saksi pelaku yang bekerjasama pada dasarnya

keberadaanya sama seperti peranan saksi pada umumnya. Yaitu memberikan

keterangan dalam proses peradilan untuk mencari kebenaran dalam suatu tindak

pidana. Secara umum, terdapat syarat persaksian seseorang yang dapat diterima

yaitu Islam, baliqh , berakal, merdeka, adil, dan dapat berbicara. Dalam prinsipnya

agama merupakan hal yang krusial, dimana seorang saksi dalam persidangan dapat

57

memberikan persaksiannya apabila ia telah disumpah menurut agamanya, apabila

seorang saksi tidak disumpah maka keterangan saksi tersebut bukan merupakan alat

bukti. Ketentuan yang perlu dicermati kemudian adalah syarat adil dalam diri

seorang Justice Collaborators , dimana seorang saksi disyaratkan untuk adil, hal ini

didasarkan pada firman Allah dalam surat at-Thalaaq ayat 2 yaitu:

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil (QS. At-Thalaaq: 2)

Akan tetapi bagi Justice Collaborators yang dalam hal ini sudah melakukan

perbuatan dosa tersebut, maka diharuskan untuk bertaubat dan tidak mengulangi

lagi perbuatannya tersebut. Para fuqaha tidak berselisih pendapat, bahwa kesaksian

orang fasik itu dapat diterima, apabila telah diketahui taubatnya dan taubatnya

diterima. Akan tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kesaksiannya tidak

dapat diterima meski sudah bertaubat.68 Terkait predikat saksi pelaku yang

didapatnya, Maka apabila masih terdapat persangkaan buruk dalam diri Justice

Collaborators. Hakim wajib untuk menghentikan pemeriksaan perkara tersebut

sampai ia mendapat kejelasan mengenai kebenaran saksi. Karena al-bayyinah}

adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang haq (benar) di

depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi dan berbagai indikasi yang

dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak kepada

pemiliknya”.69 Untuk menentukan apakah saksi merupakan seorang yang adil dan

keterangannya dapat dipercaya, Malikiyah, dan Hanabilah serta Imam Abu Yusuf

dan Imam Muhammad dari pengikut mazhab Hanafi, berpendapat bahwa “untuk

menyatakan adilnya seseorang tergantung kepada penilaian hakim. Apabila menurut

penilaian hakim, saksi adalah orang yang memenuhi sifat-sifat adil maka dia bisa

diterima persaksiannya.”70

Singkatnya jika ditinjau dari perspektif fiqh jinayah, seseorang dapat dijadikan

sebagai saksi apabila telah memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya yakni

68 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Kifayatul Akhyar Terjemah Fiqih Islam Lengkap, h. 685. 69 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam , h. 207. 70 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam , h. 46-47.

58

syarat adil yang harus ada dalam diri seseorang. Ketentuan adil ini adalah tidak

berbuat dosa besar dan tidak membiasakan dosa kecil atau fasiq . Akan tetapi

keberadaan Justice Collaborators sangat diperlukan dikarenakan kebutuhan

d}aru>riyat melihat dampak serius yang diakibatkan dari kejahatan serius dan

terorganisir ini. Oleh karena itu, keberadaannya diperbolehkan selama dapat

dibuktikan kebenaran tentang persaksiannya baik kebenaran pribadi saksi maupun

kebenaran dari keterangannya.

B. Bentuk Peringanan Hukum Justice Collabolator dalam Pidana Positif dan

Pidana Islam

1. Bentuk Peringanan Hukum dalam Pidana Positif

Beberapa konsep peringanan yang dapat diberikan dalam konteks hukum di

Indonesia, antara lain:

A. Tuntutan dan Penjatuhan Hukuman Percobaan

Sebagaimana diatur dalam pasal 14a s/d 14f KUHP yang menjadikan dasar

atas tuntutan dan hukuman percobaan sebagai pilihan dalam memberikan

penghargaan kepada Saksi Pelaku yang Bekerjasama tidak perlu menjalani

hukuman kecuali jika dalam masa percobaan yang ditetapkan hakim terhadap

Saksi Pelaku yang Bekerjasama tersebut melakukan tindak pidana. Pemberian

hukuman percobaan ini dapat diberikan atas inisiatif/kebijakan hakim maupun

JPU dalam tuntutannya. Hambatan :

1. Ketentuan hukuman percobaan dalam KUHP hanya dapat diberikan terhadap

tindak pidana dimana hakim akan menjatuhkan hukuman paling tinggi 1 tahun

2. Adanya ancaman minimum yang besarannya diatas 1 tahun penjara tidak

memungkinkan dilakukannya penerapan pasal 14 KUHP

3. Belum adanya pengaturan khusus mengenai penghargaan kepada Saksi

Pelaku yang Bekerjasama

59

B. Perubahan/Pengalihan Bentuk Hukuman

Pengalihan dari suatu bentuk hukuman ke bentuk hukuman lainnya yang lebih

ringan. Terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam tindak pidana korupsi,

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, ancaman hukuman

bersifat kumulatif alternatif antara pidana penjara dan/atau denda, dan hakim

dapat menjatuhkan hukuman baik pidana dan denda sekaligus atau hanya salah

satu diantaranya.

C. Pengurangan Tuntutan dan Hukuman

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10A ayat (3) UU No.31 tahun 2014, namun

dalam pelaksanaannya pengaturan ini belum memadai karena sifat fakultatifnya

dan tidak adanya jaminan atau tidak dapat diprediksi apakah peringanan ini dapat

diperoleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Implementasi dari penghargaan ini

lebih bersifat politik hukum yang berada di tangan eksekutif dan tidak mengikat

sepenuhnya kepada yudikatif. Karena dalam implementasinya harus dimulai

dengan adanya pengajuan tuntutan yang lebih ringan oleh JPU terhadap Saksi

Pelaku yang Bekerjasama. Respon positif atas implementasi penghargaan ini

datang dari Mahkamah Agung melalui SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana. Ditegaskan bahwa dalam menjatuhkan

pidana bagi Saksi Pelaku yang Bekerjasama hakim dapat mempertimbangkan

sanksi berupa pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau pidana yang paling

ringan dibandingkan dengan terdakwa lain dalam kasus tersebut.

D. Remisi /Grasi

1) Tindakan narapidana yang membantu mengungkap tindak pidana dapat masuk

dalam kriteria penerima remisi yang diatur dalam PP No. 99 Tahun 2012 Pasal

34A, dan dengan memperhatikan terpenuhinya syarat-syarat umum lainnya

tentunya terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama juga dapat memperoleh

hak-hak narapidana pada umumnya.

2) Dalam konteks Grasi, penerapan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2002

tentang Grasi, dapat dijadikan salah satu bentuk lain dari penghargaan bagi

60

Saksi Pelaku yang Bekerjasama yang dijatuhi hukuman diatas 2 tahun, dengan

mempertimbangkan adanya batasan-batasan sebagaimana diatur dalam UU

tersebut.

Perlu juga diatur dalam pembatalan penghargaan sehingga pelaku dapat

dibatalkan status Justice Collabotor nya. Sebagai berikut dalam penjelasan

mengenai syarat Pembatalan penghargaan sebagai berikut71:

a) Apabila terbukti informasi yang diberikan Justice Collabolator dibuat

secara palsu/bohong, maka perlu juga diatur bahwa perlindungan harus

dibatalkan.

b) Perlu dilakukan proses hukum lanjutan untuk “mengembalikan kepada

keadaan semula” maupun menghukum tindakan kebohongan/pemberian

keterangan palsu tersebut.

c) Jika bentuk penghargaan yang diberikan adalah pengurangan/peringanan

tuntutan atau hukuman, JPU perlu mengajukan PK kepada MA dengan

berdasarkan novum yang ada.

d) Pemberian keterangan, laporan atau kesaksian palsu yang dilakukan

Justice Collaborator harus diproses sesuai dengan ketentuan pidana yang

ada.

e) Tidak terbuktinya tindak pidana yang dilaporkan dan/atau dibantu oleh

Justice Collaborator tidak sama dengan pemberian informasi/keterangan

palsu.

f) Dalam hal informasi yang diberikan Justice Collaborator diyakini benar

namun tidak dapat secara maksimal digunakan sebagai dasar untuk

membuktikan tindak pidana yang dilaporkan/dibantunya, maka hal tersebut

tidak dapat membatalkan penghargaan yang diberikan kepadanya.

71 Disampaikan Dalam Kegiatan Stadium General Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta, 17 April 2013

61

2. Bentuk Peringanan Hukum dalam Pidana Islam

Hukum Islam adalah Syari’at Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-

Sunah yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam menurut

kondisi dan situasi masyarakat. Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para

fuqaoha dalam menetapkan Syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Setiap penegakan syar’i dalam Islam berkaitan dengan maqas>}id syar’i<ah , yang

berarti adalah tujuan daripada ditegakkannya Syar’i dalam Islam. Maka tidak

salah jika dalam penegakan Syari’ah, Allah SWT merumuskan hukum-hukum

Islam. Tujuan tersebut dapat ditelsuri dalam ayat Al-Qur’an dan Sunnah

Rasulullah. Dalam pandangan asy-Syatibi, kemaslahatan dibagi menjadi dua

bagian yaitu maqa>i}dal-mukallaf yaitu kembali kepada tujuan Allah dan

maqa>si}dal-mukallaf yaitu kembali kepada tujuan mukallaf, adapun yang

dimaksud kembali tujuan Allah adalah sebagai berikut:

a) Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan

akhirat

b) Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami

c) Syariat sebagai sesuatu hukum taklif yang harus dilakukan dan

d) Tujuan Syariat adalah membawa manusia kebawah naungan hukum.72

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas maqa>s}idasy-syar’i<yah sebagai

tujuan untuk menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan

kemaslahatan bagi umat manusia secara umum, umat Islam pada khususnya,

maka dalam hal ini lima unsur yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta yang

harus dilindungi dan dilestarikan. Untuk itu pembagian terhadap kebutuhan yang

harus dilindungi dalam penegakan syari’at Islam terdapat dalam prioritas yaitu

d}aru>riyat , h}ajiyyat , tah}siniyat , kebutuhan tersebut untuk kemaslahatan umat

manusia.73 Pada dasarnya, para ulama sependapat bahwa tujuan ditetapkanya

72 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqa>s}id Syar’i<ah Menurut Al-Syatibi, Cet ke-1 (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996), h. 70 73 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh ,Cet ke-3 (Jakarta: Kencana, 2009), h. 233.

62

syariat (maqãşid as-syarĩ’ah) secara global adalah untuk terciptanya

kemaslahatan hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat.74

Hal ini dapat dilihat dari kandungan ayat-ayat Al-Qur’an yang

mengindikasikan adanya aspek maslahat.75 Indikasi tersebut dapat dicontohkan

dalam pesan tersurat dari ayat berikut:

فور غ يز ال ز ع و ال ه لا و م ن ع س ح م أ ك ي م أ ك و ل ب ي اة ل ي ح ال ت و و م ق ال ل ي خ ذ 76ال

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara

kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha

Pengampun”

Ayat tersebut memberikan gambaran mengenai adanya nilai maslahah dari

asy-syari’dalam menciptakan kematian dan kehidupan, yaitu guna membentuk

pribadi-pribadi yang mempunyai amal baik. Dalam perkembangangan tindak

pidana korupsi, ini sebagai kejahatan yang luar biasa maka perlu juga dalam

pengaturan untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, perlu semakin

ditingkatkan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia juga kepentingan

masyarakat. Terkait pasal 2 ayat (1) dan pasal No. 31 Tahun 1999 UU Tindak

Pidana Korupsi tersebut, sejauh manakah paparan teori maslahat kaitannya

dengan korupsi. Menurut Asmawi dalam pandangan hukum Islam, kualifikasi

tindak pidana korupsi bila dikaji pada pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut dapat

diidentifikasi merujuk pada masalah al-gulul>>>>> >>>>>>>> dan akh al-suht yang dikecam dan

dilarang keras baik Al-Qur’an maupun Hadis. Dalam kaitan ini dapat dirujuk

pada Q.S Ali Imran/3:161 dan Q.S. al Ma’idah/5:62. Mengandung pesan al-

ghulu>l dan akl al-suht haram hukumnya dan termasuk bentuk al-ma’siyyah.

Dalam perspektif hukum pidana Islam, secara doktriner setiap bentuk al-

74 IsmailMuhammad Syah, Filsafat Hukum Islam,cet. ke-3 (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999),

hlm. 65. Lihat juga Hamka Haq, al-Syatibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab

Muwafaqat,(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 78. 75Asafari Jaya Bakri, Konsep Mashlahat Menurut al-Syatibi, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1996). h. 66. 76QS. Al-Mulk (67) : 2

63

ma’siyyah terbuka untuk dikriminalisas, ditetapkan sebagai tindak pidana. Dan

secara doktriner al-gulu#l dan akl al-suht itu tidak termasuk dalam jarimah hudud

namun dalam domain qisash diyat. Jika demikian maka al-gulu>l dan akl al-suht

merupakan jarimah tak’zir.77

Dengan demikian pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 dalam

perspektif hukum Islam merupakan domain tak’zir. Dalam kaitannya dengan

jarimah tak’zir , pemberatan sanksi pidana bagi suatu tindak pidana merupakan

bagian dari diskresi hakim atau pemerintah dan juga, dalam hal peringanan

perlindungan hukuman bagi para pelapor dan saksi pelaku yang bekerja sama

dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi. ia bisa diberikan pemberatan

pidana berdasarkan alasan-alasan tertentu sejalan dengan maslahat.

Juga dalam Pemberian peringanan hukuman bagi saksi pelaku yang bekerja

sama merupakan hal yang pantas didapatkan hal ini sejalan dengan upaya

pemberantasan korupsi dan permohonan pengampunan. Hukum Islam mengenal

adanya konsep pertaubatan, konsep ini memberikan ruang dalam peringanan

hukuman terhadap para pelaku yang mendapatkan maaf dari para korban, yang

dimaksud korban disini yaitu person (orang)/ lembaga dan pemimpin/Negara.

Dalam kasus korupsi yang terdapat pada UU No.31 Tahun 1999 dijelaskan

bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara juga merugikan

perekonomian Negara. Hal ini dimaknai bahwa negara sebagai korban berhak

meminta pelaku mengembalikan kerugian negara.78 Maka dari itu pelaku yang

bekerja sama layak mendapakan maaf dari Negara. Sehingga pelaku yang bekerja

sama dapat diberikan hukuman pengganti sesuai peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Dan apakah pelaku yang bekerja sama mendapakan remisi dari

pemerintah? tentu saja hal ini juga disampaikan pada peraturan perundang-

undangan salah satunya terkait pada pemberian remisi pada pelaku tindak pidana

77Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-udangan...,(Jakarta: Badan

Litbang dan Diklat kementerian Agama RI ), 2010. h,114. 78 Ibid h,118

64

korupsi. Hal ini diatur pada Peraturan Pemerintah No.99 tahun 2012 dalam pasal

34A ayat (1) bahwa syarat untuk mendapatkan remisi bagi pelaku kasus korupsi

yang dimasud sebagai berikut:

1) Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu

membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

2) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan

pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak

pidana korupsi.

Peran saksi pelaku yang bekerja sama merupakan upaya pemberantasan korupsi

adalah upaya revolusioner untuk menekan tindak pidana korupsi. Kaitan hal ini

sejalan dengan konsep maqãşid al-syarĩah, Pada dasarnya, secara implisit dalam

konsep fiqh jinayah mendukung peran yang dilakukan oleh pelaku yang bekerja

sama. Hal tersebut tersirat dari adanya perintah kepada umat Islam untuk

menegakkan amar ma’rũf nahi munkar sebagai salah satu bagian utama

pelaksanaan pemberantasan kriminal dalam hukum pidana Islam. Dalam fiqh

jinayah ada 3 sanksi pelaku korupsi sekaligus pemberian peringanan hukum bagi

Justice Collabolator sebagai berikut:79

a. Takzir sebagai sanksi alternatif

Secara etimologis takzir adalah mencegah dan menolak. Takzir adalah

ta’di^b, pengajaran tidak masuk dalam kelompok had. Takzir memang bukan

dalam hukum hudud. Namun bukan, berarti tidak boleh keras dari hudud,

bahkan sangat dimungkinkan diantara sekian banyak dan bentuk takzir berupa

hukuman mati. Tak’zir juga bisa memberikan pengampunan dan peringanan

seperti didalam hukum Islam masalah pengampunan, di sebut dengan istilah

al-afwu (لعفو) dan alsyafaat, (الشفاعة) baik pengampunan tersebut diberikan

oleh pihak korban atau yang diberikan oleh penguasa kepada pelaku dari

tindak kejahatan. Kata menurut istilah al-afwu (لعفو) adalah setiap pembuat

dosa (pelaku kejahatan) yang seharusnya menjalani hukuman menjadi

79 Nurul Irfan. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta:Amzah,2012). h, 78

65

terhapuskan sebab telah mendapatkan pengampunan. Sementara itu kata

alsyafaat, (الشفاعة) dalam kamus bahasa Arab merupakan lawan kata dari al-

witru (الوتر) atau - ganjil - yang mengandung arti genap, sepasang, sejodoh,

perantaraan, pertolongan dan bantuan.80Sebagaimana perantaraan atau

pertolongan dari seseorang dalam menyampaikan kebaikan atau menolak

kejahatan. Adapun kata al-syafa’at (الشفاعة) sendiri berasal dari kata syafa’at

yang juga berarti menghimpun, mengumpulkan atau menggandakan (شفع)

sesuatu dengan sejenisnya. Dalam hal permasalahan istilah ini diterangkan

pada QS. al-Baqarah: 178, Q.S. al-Araf: 199, Q.S. an-Nissa: 85 serta hadis

yang yang diriwayatakan oleh Abu Daud.

Di dalam dunia Islam mengatur kewenangan dalam pemberian maaf atau

syafa’at itu bisa dilakukan oleh Ahlul Bait Hal ini kiranya bisa kita temukan

landasan hukum yang mendasari kenapa ahlul baid atau keluarga menjadi

objek pemberi maaf sebagai peniadaan hukum hal ini terlihat pada QS. Al-

Baqarah: 178 Pada ayat ini Allah telah memberikan wewenang kepada ahli

waris terbunuh, tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan

pembalasan darah tersebut. Yang dimaksud wewenang di sini adalah

justifikasi sebagai ahli waris korban untuk menuntut qishash atau

memberikan pengampunan terhadap pelaku pembunuhan tersebut, dari

sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan di

mana pelaku pembalas (penuntut) bukanlah negara melainkan ahli waris

dari yang terbunuh. Oleh karena itu, negara sendiri tidak berhak untuk

memberikan ampunan.

b. Sanksi moral, sanksi sosial, dan sanksi akhirat

Ketiga jenis sanksi ini bisa ditemukan dalam rumusan pasal pada UU No.

31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. hal ini bisa

80 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997), h. 729

66

dimengerti karena bahasa hukum berbeda dengan bahasa hukum atau akhlak.

Bahasa hukum lebih pada teknis dalam menerapkan sanksi, baik pidana

kurungan, penjara maupun seumur hidup. Tidak ada jenis sanksi yang

dihubungkan dengan persoalan moral atau akhlak. Sanksi moral pernah

diberikan Rasulullah SAW kepada seorang pejabat bernama Ibnu al-

Lutbiyyah, seorang pejabat yang bertugas memungut zakat. Ia pernah

mengaku di hadapan Nabi telah menerima hadiah dalam tugasnya. Kemudian

ia melaporkan kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, ini adalah harta

hasil dari pungutan zakat untukmu (negara), tetapi yang ini dihadiahkan untuk

ku.

Mendengar hal itu Rasulullah secara tegas bersabdah kepada Ibnu al-

Lutbiyyah, mengapa kamu tidak duduk-duduk saja dirumah bapak dan ibu

kamu sehingga hadiah itu datang sendiri untuk kamu, kalau kamu memang

benar demikian? Kemudian Rasulullah langsung naik mimbar untuk

menyampaikan kepada publik tentang ketidakbenaran sikap dan tindakan

seorang petugas yang menerima hadiah ketika menjalankan tugasnya. Kasus

ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Sanksi moral dan sanksi sosial

ini diberikan kepada Ibnu al-lutbiyyah ketika disampaikan pidato mengenai

ketidakbenaran perilaku yang menerima hadiah dalam bertugas.

c. Konsep taubat dan pengembalian harta hasil korupsi81

Taubat adalah sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah satu

jahat) dan berniat akan memmperbaiki tinkah laku dan perbuatan. Para ulama

sepakat bahwa taubat dari setiap dosa yang pernah dilakukannya termasuk

korupsi hukumnya wajib.

Seperti firman Allah dalam Surah al-Tahrim (66) ayat8:

توبة نصوحا عسى ربكم أن يكف ر عنكم سي اتكم ويدخلكم يأيها الذين امنوا توبوا إلى الله

81Ibid h, 146-160

67

يسعى جنت تجري من تحتها النهار يوم ل يخزى الله النبي والذين امنوا معه نورهم

نهم يقولون ربنا أتمم لنا نورنا واغفر لنا إنك على كل شيء قدير بين أيديهم وبأيما

“Wahai orang orang yang beriman. Bertaubatlah kepada Allah dengan

taubat yang semurni murninya, mudah mudahan Tuhan kamu akan

menghapus kesalahan kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga

surga yang mengalir di bawah sungai sungai, pada hari ketika Allah tidak

mengecewakan Nabi dan orang orang yang beriman bersama dengannya;

sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan sebelah kanan mereka,

sambil mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami

cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala

sesuatu."(QS: At Tharim (66) ayat 8).

dalam berbagai hadis juga Rasulullah SAW menyampaikan agar manusia

melakukan taubat . diantaranya sabda beiau,

wahai manusia bertaubatlah kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-

Nya. Sesungguhnya saya setiap hari bertaubat (membaca Istigfar) sebanyak

seratus kali).82

Adapun pendapat ulama Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim

mengemukakan bahwa jika dosa/maksiat berkaitan dengan hak indivdu

selain ia harus meminta maaf, menyesali perbuatan, dan menarik diri dari

kemaksiatan maka ia harus mengembalikan kerugian yang telah ia rampas

dari orang yang dizalimi. Selain dalam penegakan Syari’at Islam melihat

dari konteks maqas>}id asy-syar’i<yah pastinya dalam penegakan hukum

pidana Islam juga harus melihat koridor dari tujuan pemidanaan, hal ini

setidaknya akan mengetahui apakah Justice Collaborator, dalam pandangan

Islam dapat memberikan efek jera terhadap pelaku, karena setiap

pemidanaan yang ditujukan oleh pelaku tidak pidana memiliki tujuan yaitu

82 Mengenai hadis lihat al-Nawawi, Syarh S>>>ahih Muslim, h. 1592

68

keadilan dan kebenaran. Maka setidaknya pemidanaan tersebut sepadan dan

sesuai dengan asas keadilan, sedangkan menurut Octoberrisyah menjelaskan

tentang tujuan pemidanaan tersebut sebagai berikut:

1. Pembalasan ( al-Jaza> )

Konsep ini secara umum memberikan arti bahwa pelaku tindak pidana

perlu dikenakan pembalasan yang setimpal sesuai dengan apa yang

dilakukan tanpa melihat apa hukuman itu berfaedah untuk dirinya atau

masyarakat.83

2. Pencegahan ( az-Zajr )

Pencegahan atau deterrence ini dimaksudkan untuk mencegah sesuatu

tindakan pidana agar tidak terulang lagi, pencegahan yang menjadi tujuan

dari hukuman-hukuman ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pencegahan

umum dan khusus. Pencegahan umum ditujukan terhadap masyarakat

secara keseluruhan, dengan harapan mereka tidak melakukan tindak

pidana karena takut hukuman. Sementara, pencegahan khusus bertujuan

pula untuk mencegah pelaku tindak pidana itu sendiri dari mengulangi

perbuatannya yang salah itu.84

3. Pemulihan/ Pebaikan ( al-Is}lah )

Dalam maslahat ini tujuan pemidanaan menurut hukum Islam tersebut

adalah memulihkan pelaku tindak pidana dari keinginan untuk melakukan

tindak pidana. Malahan menurut sebagian para fuqaha, tujuan inilah yang

merupakan tujuan paling asas dalam sistem pemidanaan dalam Islam.85

4. Restorasi ( al-Isti’a>dah )

Restorasi ini adalah langkah untuk perbaikan yang ditujukan terhadap

korban (Individu atau masyarakat). Tujuan ini lebih mengutamakan

83 Octoberrinsyah: Tinjauan Pemidanaan dalam Islam, dalam Jurnal In Right, Vol I. No I,

2011, h. 23. 84 Ibid, h, 26. 85 Ibid, h. 29

69

mengembalikan suasana seperti semula dengan merekonsuliasi antara

korban dan pelaku.

5. Penebusan Dosa ( at-Takfir )

Salah satu hal yang membedakan hukum pidana Islam dan hukum

pidana Sekuler adalah adanya dimensi-dimensi ukhrawi dalam hukum

pidana Islam. Ketika manusia melakukan suatu kejahatan tidak hanya

dibebani dengan pertanggungjawaban hukuman dunia tetapi

pertangungjawaban di akhirat.

Penjatuhan hukuman di dunia ini menurut sebagian fuqaha, salah satu

fungsinya adalah untuk menggugurkan dosa dosa yang telah

dilakukan.86Berkaitan dengan hukum dan keadilan, dalam Islam seorang

hakim memiliki kewenangan yang luas dalam melaksanakan keputusan

hukum dan bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan

prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Putusan hakim harus

mencerminkan rasa keadilan hukum dengan tidak memandang kepada

siapa hukum itu diterapkan. Dalam Al-Quran Surat An-Nissa (4) 58

disebut:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila

menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan

adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya

kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha

Melihat”87

Keadilan dalam Islam, sebagaimana Makhrus mengatakan, adalah kebenaran.

Kebenaran merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber kebenaran yang

dalam Al-Qur’an disebut al-H}aq. Ia adalah keadilan yang tepat, jauh dari rasa

86 Ibid, h. 32. 87 QS: An-Nissa(4) 58

70

kebencian dan menghormati segala proporsi. Prinsip keadilan ini sangat

ditekankan yang mana dalam Islam merupakan motivasi keagamaan yang paling

esensi.88Lebih lanjut, Hasby ash-Shiddiqy seperti dikutip Makhrus Munajat

mengatakan bahwa lahirnya hukum dituntut adanya rasa keadilan, terwujudnya

keadilan melahirkan teori keadilan, teori keadilan perlu diwujudkan dalam

hukum, dan hukum harus melahirkan keputusan hukum yang mencerminkan rasa

keadilan. Islam merupakan sendi yang fundamental dalam rangka penegakan

supremasi hukum, oleh sebab itu, dalam tatanan masyarakat harus ada lembaga

peradilan yang mampu menciptakan rasa dan nilai keadilan. Lembaga peradilan

inilah yang merupakan tempat berputarnya roda keadilan guna menjaga

keseimbangan hidup manusia.

88 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 219-220.

71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka peneliti menyimpulkan dari uraian

tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Peran Justice Collabolator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia masih

minim pemanfaatannya dalam mengembalikan kerugian negara terutama pada

kasus besar, seperti dalam praktiknya selama ini. Peringanan pidana dapat

dijadikan alternatif dalam mengungkap tindak pidana korupsi di Indonesia

didasari adanya peringanan pidana sebagai penghargaan (reward) dalam

mengungkap tindak pidana korupsi dapat menjadi salah satu dorongan

seseorang pelaku tindak pidana yang bukan merupakan pelaku utama (Justice

Collaborator) untuk memberikan keterangan yang dapat membantu secara

efektif dalam pengungkapan tindak pidana, dimana keterangan saksi pelaku

yang bekerjasama (Justice Collaborator) berkedudukan sebagai alat bukti

dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Telah diatur dan dipraktekkan di

berbagai negara (nasional) juga untuk Peradilan Pidana Internasional, baik yang

temporer maupun permanen. Dalam konsep restorative justice tidak mengenal

metode pembalasan akan tetapi lebih menekankan pada pemulihan.

2. Bentuk peringanan pidana dalam hukum positif dan hukum Islam tidak begitu

berbeda, pemberian peringanan Justice Collabolator tetap diberikan, atas dasar

membatu dalam mengungkap pelaku-pelaku utama. Pemberian peringanan

seperti 1). Grasi/remisi, 2). Hukuman percobaan, 3). Sanksi moral. Begitu pula

keberadaan Justice Collaborator dalam perspektif hukum Islam tidak menjadi

pertentangan. Hal ini dapat dibenarkan selama memang menjunjung tinggi

nilai-nilai kemaslahatan dalam tujuan pemidanaan yakni al-Is}lah (pemulihan).

Keberadaan Justice Collaborator juga memberikan gambaran bahwa di

72

dalamnya terdapat tujuan pemidanaan sebagaimana dalam hukum Islam yakni

restorasi (al-Isti’adah) atau langkah perbaikan yang ditujukan terhadap korban

(Individu atau masyarakat). Sesuai dengan teori dari salah satu aspek maqas>}id

asy-syar’ i<yah yakni aspek d}aru>riat , Oleh sebab itu, mengenai pemberian

status dan perlakuan hukum bagi seorang Justice Collaborator, negara

mempunyai wewenang dalam memperlakukannya sebagai saksi kunci untuk

mengungkap kejahatan. Atas kedudukannya yang penting tersebut, Justice

Collaborator menjadi relevan jika berhak mendapatkan jaminan atas penjagaan

terhadap hak-haknya dengan tujuan hukum Islam itu sendiri ( maqa>si}d asy-

syar’i<yah ).

B. Saran

1. Demi terbongkarnya suatu perkara kejahatan korupsi yang terorganisir sudah

sepatutnya negara mengapresiasi dan menghargai jasa seorang Justice

Collaborator dengan memberikannya pengurangan masa tahanan dan

pemisahan dengan narapidana lain dalam perkara sejenis. Meskipun dari segi

kuantitas penerapan mekanisme proses hukum bagi Justice Collaborator masih

minim dan masih ditingkat pusat, setidaknya sejumlah terobosan yang

dilakukan aparat penegak hukum ini perlu dijadikan contoh yang baik dalam

implementasi pemberian perlindungan dan penghargaan terhadap Justice

Collaborator dikarenakan perannya dalam mengungkap suatu kejahatan

terorganisir sangat besar.

2. Bentuk-bentuk pemberian reward juga harus diatur dalam peraturan

perundang-undangan supaya timbul kepastian hukum, Bagi Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban, agar memperluas kewenangan dan penguatan

kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi

pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama untuk itu lembaga

terkait seperti KPK, POLRI, dan Kejaksaan bersinergi dengan membuat Nota

kesepahaman antar lembaga, terkait dengan perlindungan Justice Collabolator.

73

DAFTAR PUSTAKA

A. Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM Press.2006

Abd al-Qādir ‘Awdah, al-Tasyrī‘ al-Jina’ī al-Islāmī, Beirut: Dār al-Kutub, 1963

Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. VI, Jil. 3, Jakarta: Ichtiar

Baru van Hoeve, 2003

Abdul Haris Semendawai, Ferry Santoso, Wahyu Wagiman, Betty Itha Omas,

Susilaningtias, Syahrial Martanto Wiryawan, Memahami Whistleblower,

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta, 2011

-------------------, Eksistensi Justice Collaborator Dalam Perkara Korupsi Catatan

Tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis Atas Penetapannya Pada Proses

Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam kegiatan Stadium General

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, 17 April 2013

Abū Abdul Halim Ahmad. S., Suap Dampak dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet. I

Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996

Abu Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulţãniyyah Wa al-Wilayat ad-Dîniyyyah,

Mesir: Muastaahfa al-Asabil Halabi, tt

Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus diluar KUHP, Jakarta: Penebar Swadaya

Grup, 2014.

Ali al-Jurjānī, al-Ta‘rīfāt, al-Maktabah al-Syāmilah, http://alwarraq.com, al-Isdār al-

Thānī.

Ali Mahrus, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia cetakan ke 2, Jakarta: Sinar

Grafika, 2012

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana. Yokyakarta: Rangkang Education Yogyakarta.

2012

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqa>s}id Syar’i<ah Menurut Al-Syatibi, Cet ke-1 Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1996

74

Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana

Khusus di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat kementerian Agama

RI , 2010

Bassar Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, Bandung: Remadja Kayra CV, 1986.

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Amerika: West Pblishing Co, 2009

E. Utrecht, Hukum Pidana II.Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1994

Emerson Yuntho, Negeri Di Kepung Koruptor, Surabaya: Intrans Publishing, 2011

Febriansyah, et all, Laporan Penelitian : Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui

Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), Jakarta : Indonesia Corruption Watch-Kerjasama dengan Eropa Union

(EU) dan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), 2011

Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta: Penerbit Penaku

bekerjasama dengan Maharini Press, 2008

Hamka Haq, al-Syatibi: Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab Muwafaqat,

Jakarta: Erlangga, 2007

J. Hudson dan Galaway, Restitution in Criminal Justice, Lexington, Massachusset,

USA, 1977

Leden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,

2005

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatis, cet. ke-13 Bandung: Remaja

Rosda Karya, 2000

Lilik Mulyadi, Menggagas Konsep dan Model Ideal Perlindungan Hukum Terhadap

Whitsleblower dan Justice Collabolator Dalam Upaya Penaggulangan

Organized Crime mendatang, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor

2 Juli 2014

----------------, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan

Masalahnya, Bandung: PT Alumni, 2007

75

-----------------, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus Indonesia Dalam

Teori dan Praktek, Bandung: PT Alumni, 2013

Maharani Siti Shopia, LPSK Puji Keberanian Hakim Agung Vonis Ringan Justice

Collaborator, artikel diakses pada 19 Nopember 2013

Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2009

Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Wistleblowers dan Penyadapan

(Wiretapping, Electronic Interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan Di

Indonesia, Wacana Goverminyboard

Marwan Mas. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cet 1, Bogor: Ghalia Indonesia,

2014

Muhammad al-Azhari, Tah d ib al-Lughah, Kairo: Dār al-Qawmiyyah, 1964

Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al Mikhtar ‘alā al-Dār al-Mukhtar Hasyiyat Ibn

‘Abidin, Juz. VII Beirut: Dār al-Ihyā’, 1987

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, PT

Alumni, Bandung, 1992

Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Jakarta: Zikru’l Hakim,

1997

Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003

Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, edisi kedua, Jakarta: Amzah, 2012

Octoberrinsyah, Tinjauan Pemidanaan dalam Islam, dalam Jurnal In Right, Vol I. No

I, 2011

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti,1997

Quentin Dempster, Whistleblower (Para Pengungkap Fakta), Elsam, Jakarta, 2006

Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di

Indonesia, Jakarta : Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman dan HAM RI, 2002

Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh ,Cet ke-3, Jakarta: Kencana, 2009

76

Sigit Artantojati, Perlindungan Hukum terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama

(Justice Collaborators) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),

Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012

Soejono, Kejahatan dan Penegakkan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta,

1996

Supriyadi Widodo Eddyono, Tantangan Perlindungan Justice Collaborator dalam UU

Nomor 13 Tahun 2006,Jakarta: Koalisi Perlindungan Saksi, 2008

-------------------------, Masa Depan Perlindungan Whistleblower dan Peran LPSK,

Koalisi Perlindungan Saksi, 2008

-------------------------, Prospek Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia:

Perbandingan di Amerika dan Eropa, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban,

Volume 1 Nomor 1 tahun 2011

-------------------------, Prosedur Perlindungan Saksi di Amerika Serikat,

www.perlindungansaksi.worldpress.com, 2005 di upload pada tanggal 1

Agustus 2013

--------------------------, Saksi, Sosok Yang Terlupakan Dari Sistem Peradilan Pidana,

Beberapa Catatan Kritis Terhadap RUU Perlindungan Saksi dan Korban,

Elsam dan Koalisi Perlindungan Saksi, 2006

Yutiarsa Yunus, Rekomendasi Kebijkan Perlindungan Hukum Justice collaborator:

Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi Indonesia, Konferensi

Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional 2013

Zenitha Dina, Mengenal Perlindungan Saksi di Jerman, Indonesia Corruption Watch,

Jakarta, 2006

PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

77

Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention

Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi),

2003

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,

Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor

Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di dalam Perkara Tindak

Pidana Tertentu

WEBSITE dan Lain-Lain

Buletin Kesaksian, Edisi 2 Tahun 2012

Http://katadata.co.id/berita/2017/07/20/dua-terdakwa-korupsi-e-ktp-divonis-sesuai-

tuntutan-jaksa-kpk

Http://lpsk.go.id/berita/berita_detail/1099#sthash.XGFTWteP.dpuf

hhtp://lpsk.go.id/page/51c1ad91b45e8

Majalah Kesaksian, Apresiasi Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator Minim,

Jakarta: LPSK, 2012, edisi II