ISTIDRA
Transcript of ISTIDRA
1
1
ISTIDRA<J DALAM TAFSIR AL-MUNI<R
KARYA WAHBAH AL-ZUH{AILI<
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Dalam Prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
OLEH:
SUPRIADI
NIM 141 642 3275
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
TAHUN 2019 M/1440 H
2
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi yang ditulis oleh Supriadi, NIM: 141 642 3275 dengan judul
“ISTIDRA<J DALAM TAFSIR AL-MUNIR KARYA WAHBAH AL-
ZUHAILI". Program Studi Ilmu al-Qur‟a>n dan Tafsi>r Jurusan Ushu>luddi>n
Fakultas Ushu>luddi>n Adab dan Dakwah, telah diperbaiki sesuai dengan saran
pembimbing I dan Pembimbing II. Oleh karena itu, skripsi ini disetujui untuk
diujikan dalam sidang Munaqasyah skripsi Fakultas Ushuluddin Adab Dan
Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu.
Bengkulu, Januari 2019
Pembimbing I
Dra. Agustini, M. Ag NIP. 197707172005012010
Pembimbing II
H. Syukraini Ahmad, M A
NIP. 197809062009121002
Kepala Jurusan Ushuluddin
Dr. Ismail, M.Ag
NIP. 197206112005011002
ii
3
3
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi berjudul ISTIDRA>J DALAM TAFSIR AL-MUNI<R KARYA
WAHBAH AL-ZUH{AILI< telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas
Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Bengkulu. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi
Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir.
Bengkulu, Januari 2019
Sidang munaqasyah
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Aaaa aaa
NIP. NIP.
Penguji I Penguji II
Aaaa aaaa
NIP. NIP.
Kepala Jurusan Ushuluddin
Aaaa
NIP.
iii
4
4
MOTTO
Pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
(Asy-Syu’ara [26] 88)
“Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus
menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-
menerus melakukan maksiat kepada-Nya”.
(Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah)
iv
5
5
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Keluarga tersayang :
Ayahanda tercinta Legino
Ibunda tercinta Sri Rahayu (almh)
Ayunda tercinta Susiati binti Legino dan Suami
Ayunda tercinta Sumiarni binti Legino dan Suami
Adinda tercinta Jumiani binti Legino dan Suami
Adinda tercinta Riotho bin Legino
Adinda tercinta Novita Maya Sari binti Legino dan Suami
Keluarga di Bengkulu :
Bapak Emron Nurdin
Ibu Rita Ennolis
Ayuk Sari dan Suami
Abang Andi dan Istri
Abang Yuniko Fitryan dan Istri
Sahabat-sahabatku, terimakasih kalian telah menjadi warna dan saksi
sejarah hidupku selama di rantau, (Siratal Mustakim, Alan Budi
Kusuma, Herdang Talkin, Rayendra Agustian, Febri Hernando).
Teman-teman seperjuangan, tawa canda kalian selalu menjadi butiran
semangatku, (Restu Prayogi, Trisno, Siti Suroh, Dessy Nurjannah
Firdaus, Vina Riamuslihatin, Devi Pratiwi, Jumrohtul Wahdah, Ulin
Nafi‟atul Ma‟rifah, Eva Darna).
Seluruh pecinta almamater IAIN Bengklulu dan ilmu al-Qur‟an
v
6
6
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan:
1. Skripsi dengan judul “Istidra>j dalam tafsir al-Muni>r karya Wahbah Al-
Zuh}aili>”. Adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar
akademik, baik di IAIN Bengkulu maupun di Perguruan Tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, pemikiran, dan rumusan saya sendiri tanpa
bantuan yang tidak sah dari pihak lain kecuali arahan dari tim pembimbing.
3. Di dalam skripsi ini tidak terdapat hasil karya atau pendapat yang ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali kutipan secara tertulis dengan jelas dan
dicantumkan sebagai acuan di dalam naskah saya dengan disebutkan nama
pengarangnya dan dicantumkan pada daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran pernyataan ini, saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar sarjana, serta sanksi
lainnya sesuai dengan norma dan ketentuan yang berlaku.
Bengkulu, Januari 2019
Supriadi
NIM: 1416423275
vi
7
7
ABSTRAK
Supriadi, NIM 141 642 3275. “Istidra>j dalam tafsir al-Muni>r karya
Wahbah Al-Zuh}aili>”. Skripsi, Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Jurusan
Ushuluddin Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, IAIN Bengkulu.
Pembimbing I Dra. Agustini, M. Ag dan Pembimbing II H. Syukraini Ahmad,
MA
Adapun masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana
penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili> tentang makna istidra>j dalam tafsir al-Muni>r
dan apa yang menjadi penyebab seseorang tertimpa istidra>j. Sedangkan tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili>
tentang makna istidra>j dan untuk menjelaskan penyebab seseorang tertimpa
istidra>j.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (library research), yang
dalam metode pengumpulan data menggunakan cara menelusuri dan menelaah
bahan-bahan pustaka terutama tafsir al-Muni>r sebagai data primernya, dan
literatur-literatur lain yang dianggap relevan. Analisis data dilakukan secara
deskriptif analitis yaitu mendeskripsikan objek kajian dari data yang berhasil
dikumpulkan untuk kemudian ditarik kesimpulan.
Hasil penelitian ini adalah; Pertama, istidra>j adalah sebuah hukuman dari
Allah SWT sewaktu di dunia, berupa kesenangan dan kenikmatan yang diawali
dengan kedustaan, kekufuran atas nikmat dan kemaksiatan yang dilakukan
seseorang terhadap Allah SWT untuk menjadikan mereka lalai dan terlena,
kemudian Allah beri tangguh beberapa waktu, lalu secara perlahan Allah giring
mereka kepada kebinasaan. Kedua, penyebab seseorang tertimpa istidra>j antara
lain adalah mendustakan Allah SWT, kufur atas nikmat yang telah diterima dan
melakukan kemaksiatan kepada Allah SWT.
Kata Kunci: Istidra>j, Wahbah Al-Zuh}aili>, Tafsir al-Muni>r
vii
8
8
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ISTIDRA<J DALAM
TAFSIR AL-MUNI<R KARYA WAHBAH AL-ZUH{AILI<”.
Shalawat dan salam untuk Nabi besar Muhammad SAW, yang telah berjuang
untuk menyampaikan ajaran Islam sehingga umat Islam mendapat petunjuk ke jalan yang
lurus baik di dunia maupun akhirat.
Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat guna untuk
memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
(IQT) Jurusan Ushuluddin, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Bengkulu. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan
dari berbagai pihak. Dengan demikian penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sirajuddin M, M. Ag, M.H selaku Rektor IAIN Bengkulu.
2. Bapak Dr. Suhirman, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab Dan Dakwah
IAIN Bengkulu.
3. Bapak Dr. Ismail M. Ag Selaku Ketua Jurusan Ushuluddin, Fakultas Ushuluddin,
Adab Dan Dakwah IAIN Bengkulu.
4. Bapak H. Syukraini Ahmad, MA selaku ketua Prodi Ilmu Al-Qur‟an Dan Tafsir,
Sekaligus sebagai pembimbing II
5. Ibu Dra. Agustini, M. Ag sebagai pembimbing I
6. Segenap Bapak/Ibu Dosen dan karyawan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri Bengkulu
7. Bapak Ibu dan keluarga tercinta yang selalu mendoakan.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari akan banyak kelemahan dan
kekurangan dari berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini ke depan.
Bengkulu, Januari 2019
Penulis ,
Supriadi
NIM. 141 642 3275
viii
9
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
HALAMAN PENGESAHAN
MOTTO..................................................................................................................... i
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAKSI............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii
TRANSLITERASI ARAB LATIN .......................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 10
C. Batasan Masalah ................................................................................... 10
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.......................................................... 10
E. Kajian Pustaka ...................................................................................... 11
F. Metde Penelitian ................................................................................... 13
G. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 15
BAB II KERANGKA TEORI
A. Pengertian Istidraj Menurut Al-Qur‟an dan Hadis ............................... 17
B. Term-term Yang Semakna dengan Istidraj .......................................... 22
1. Al-Makr ......................................................................................... 22
2. Al-Khid‟ah .................................................................................... 24
3. Al-Kaid .......................................................................................... 26
4. Al-Imla‟ ......................................................................................... 28
C. Pendapat Para Mufassir tentang Istidraj ............................................... 29
BAB III BIOGRAFI WAHBAH AL-ZUHAILI
A. Riwayat Hidup...................................................................................... 34
B. Guru dan Murid .................................................................................... 36
C. Karya-karya .......................................................................................... 37
D. Tafsir Al-Munir .................................................................................... 40
1. Latar Belakang Penulisan .............................................................. 40
2. Metode dan Sistematika Penulisan Tafsir Al-Muni>r .................. 41
3. Pendekatan dan Corak Penafsiran Tafsir Al-Muni>r .................... 45
4. Sumber-Sumber Penafsiran Tafsir Al-Muni>r ............................. 48
BAB IV PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUHAILI
A. Identifikasi Ayat-Ayat Istidraj ............................................................. 50
B. Penafsiran Wahbah Al-Zuhaili Tentang Istidraj .................................. 52
C. Penyebab Datangnya Istidraj ................................................................ 61
ix
10
10
1. Kafir .............................................................................................. 61
2. Tidak bersyukur ............................................................................ 62
3. Maksiat .......................................................................................... 64
D. Tabel Penafsiran Wahbah Al-Zuhaili ................................................... 65
E. Analisa .................................................................................................. 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 70
B. Saran ..................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
11
11
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam Skripsi/Tesis/Disertasi ini
menggunakan pedoman transliterasi berdasarkan keputusan bersama Menteri
Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 tahun 1987
dan Nomor 0543 b/U/1987 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا
- Ba>„ B ة
- Ta>‟ T د
S|a> S| S (dengan titik di atas) س
- Ji>m J ج
H{a>„ H{ H (dengan titik di bawah) ح
- Kha>>' Kh ر
- Da>l D د
Z|a>l Z| Z (dengan titik di atas) ذ
- Ra>„ R ز
- Zai Z ش
- Si>n S ض
- Syi>n Sy ش
S{a>d S{ S (dengan titik di bawah) ص
D{a>d D{ D (dengan titik di bawah) ض
T{a>'> T{ T (dengan titik di bawah) ط
Z{a>' Z{ Z (dengan titik di bawah) ظ
Ain „ Koma terbalik di atas„ ع
- Gain G غ
Fa>„ F ف
Qa>f Q ق
Ka>f K ك
La>m L ل
Mi>m M و
Nu>n N
xi
12
12
Wa>wu W و
Ha>‟ H هـ
‟ Hamzah ء
Apostrof (tetapi tidak
dilambangkan apabila ter-
letak di awal kata)
Ya>' Y -
2. Vokal
Vokal bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Pendek
Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau
harakat yang transliterasinya dapat diuraikan sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
- Fath}ah A A
- Kasrah I I
- D{ammah U U
Contoh:
ت ز ك : Kataba ت ه ر ي : Yaz\habu
Z\ukira : س ك ذ Su‟ila م ئ س :
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan
antara harkat dan huruf, transliterasinya sebagai berikut:
xii
13
13
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fath}ah A A ي
Kasrah I I و
Contoh:
ف ي ك : Kaifa ل ى د - : Haula
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan
huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda:
Tanda Nama Huruf Latin Ditulis
ي ا Fath}ah dan Alif a> a dengan garis di atas
Kasrah dan Ya i> i dengan garis di atas ي
و D{amma dan wawu u> u dengan garis di atas
Contoh:
بل ق : Qa>la م ي ق : Qi>la
ل ى ق ي <Rama : ي ز : Yaqu>lu
4. Ta’ Marbu>t}ah
Transliterasi untuk ta‟ marbu>t}ah ada dua:
a. Ta‟ Marbu>t}ah hidup
Ta‟ Marbu>t}ah yang hidup atau yang mendapat harkat fath}ah,
kasrah dan d}ammah, transliterasinya adalah (t).
b. Ta‟ Marbu>t}ah mati
xiii
14
14
Ta‟ Marbu>t}ah yang mati atau mendapat harkat sukun,
transliterasinya adalah (h)
Contoh : طهذخ- T{alh}ah
c. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta‟ marbu>t}ah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang “al” serta bacaan kedua kata itu
terpisah, maka ta‟marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan h}a /h/
Contoh : زوضخ انجخ - Raud}ah al-Jannah
5. Syaddah (Tasydi>d)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda syaddah, dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut
dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda
syaddah itu.
Contoh: زثب - Rabbana> عى - Nu‟imma
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu “ال”. Dalam transliterasi ini kata sandang tersebut tidak
dibedakan atas dasar kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah dan
kata sandang yang diikuti oleh qomariyyah.
xiv
15
15
a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah semuanya
ditransliterasikan dengan bunyi “al” sebagaimana yang dilakukan pada
kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah.
Cotoh : انسجم : al-Rajulu حانسيد : al-Sayyidatu
b. Kata sandang yang dikuti oleh huruf qomariyyah.
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyyah
ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan
sesuai pula dengan bunyinya. Bila diikuti oleh huruf syamsiyyah
mupun huruf qomariyyah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yag
mengikutinya dan dihubungkan dengan tanda sambung (-)
Contoh : انقهى : al-Qalamu انجلال : al-Jala>lu
al-Badi>‟u : انجديع
7. Hamzah
Sebagaimana dinyatakan di depan, hamzah ditransliterasikan dengan
apostrof. Namun itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan
di akhir kata.Bila terletak di awal kata, hamzah tidak dilambangkan, karena
dalam tulisan Arab berupa alif.
Contoh :
Umirtu : أيسد Syai‟un : شيئ
Ta‟khuz\u>na : رأخرو An-nau‟u : انىء
xv
16
16
8. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi‟il (kata kerja), isim atau huruf,
ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf
Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain, karena ada huruf Arab
atau harkat yang dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan kata
tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh:
وإ الله نهى خيس انساشقي : Wa innalla>ha lahuwa khair ar-ra>ziqi>n atau
Wa innalla>ha lahuwa khairur- ra>ziqi>n
Fa „aufu> al-kaila wa al-mi>za>na atau : فأوفىا انكيم وانيصا
Fa „aufu>l – kaila wal – mi>za>na
9. Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital
seperti yang berlaku dalam EYD, di antaranya = huruf kapital digunakan
untuk menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama
diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
tetap harus awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Contoh :
د إلا زسىل ويبيذ : Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l
أول ثيذ وضع نهبض Inna awwala baitin wud}i‟a linna>si : إ
xvi
17
17
Penggunaan huruf kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam
tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu
disatukan dengan kata lain sehingga ada kata lain sehingga ada huruf atau
harkat yang dihilangkan, maka huruf kapital tidak dipergunakan.
Contoh :
Nas}run minalla>hi wa fath}un qori>b : صس ي الله وفزخ قسيت
Lilla>hi al-amru jami>‟an : لله الأيسجيعب
10. Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman
transliterasi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ilmu
tajwid.
xvii
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an merupakan anugrah terbesar yang dibawa Nabi Muhammad
saw. sebagai petunjuk bagi setiap manusia umumnya dan bagi orang-orang
beriman khususnya. Al-Qur‟an sebagai pedoman hidup memuat ajaran-ajaran
yang universal, mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia sejak Al-Qur‟an itu
diturunkan hingga akhir zaman. Tujuan pokok diturunkannya Al-Qur‟an adalah
berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai pembeda antara yang hak
dan yang bathil sebagaimana firman Allah:
Artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)”.1
Hal ini tentu saja sangat penting artinya bagi manusia karena tujuan utama
diturunkannya kitab suci tersebut adalah untuk menuntun kehidupan
1Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 27.
17
manusia kejalan yang benar yang berujung pada tercapainya kebahagiaan di dunia
dan akhirat.2
Oleh karena itu, sebagai bentuk tunduk dan taat terhadap hukum-hukum
yang terkandung dalam Al-Qur‟an hendaknya manusia mengedepankan sikap
hati-hati dalam bertindak, selalu menjaga ucapan dan menjunjung tinggi moral,
dan yang tak kalah pentingnya menjaga hubungan antara sesama manusia dan
antara manusia dengan sang khaliq. Yang demikian itu agar manusia dapat
mencapai kehidupan yang baik dan patut diberi gelar sebaik-baik umat.
Melihat aturan dan tuntunan ajaran Islam, maka seyogyanya umat Islam
bisa menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya, sebagai wujud
usaha dalam menjaga kesucian hati dan membersihkan diri dari kekeliruan yang
berdampak negatif baik di dunia maupun akhirat. Selain berusaha memperoleh
kesucian hati seorang mukmin juga meminta perlindungan agar dijauhkan dari
menjadi orang yang dimurkai oleh Allah dan meminta untuk tidak dijadikan orang
yang sesat.
Tuntunan agama selain memiliki orientasi juga memiliki konsekuensi yang
sangat perlu diperhatikan, yaitu bila tuntunan itu dilaksanakan dengan baik maka
akan memperoleh balasan yang baik. Bila tuntunan itu diingkari maka akan
memperoleh balasan berupa siksa dalam kehidupannya. Baik siksaan itu
ditimpakan di dunia maupun di akhirat. Hal ini akan menjadi keniscayaan jika
2Abu Anwar, Ulu>mul Qur‟a>n Sebuah Pengantar, (AMZAH, 2012), hlm, 1.
18
terus dibiarkan dan tidak diperhatikan. Ancaman azab dan siksa bisa saja
ditimpakan kepada pelaku yang mengingkarinya.3
Salah satu akibat dari membangkang terhadap ajaran Islam yang dimulai
sejak didunia adalah istidra>j. Istidra>j adalah makar Allah terhadap orang-orang
yang tidak patuh kepada-Nya dan mengabaikan ajaran-Nya. Dalam kamus besar
bahasa indonesia (KBBI) istidra>j adalah hal atau keadaan luar biasa yang
diberikan Allah SWT. kepada orang kafir sebagai ujian sehingga mereka takabbur
dan lupa diri kepada Tuhan, seperti Firaun dan Karun.4 Seseorang yang ditimpa
hukuman istidra>j akan dikabulkan keinginannya, dibukakan pintu-pintu
kesenangan yang sesungguhnya akan berakhir dengan azab dan hukuman baik di
dunia maupun akhirat. Hal ini dijelaskan dalam QS. al-A‟raf [7] 182:
Artinya:
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang
tidak mereka ketahui”.5
Ayat tersebut merupakan salah satu dari ayat Al-Qur‟an yang
menyebutkan lafaz istidra>j. Ayat diatas menjelaskan bahwa orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Allah akan ditimpa istidra>j, yaitu akan ditimpakan
kepadanya siksaan secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka
3Ahmad Mukhorror, Istidraj Perspektif Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami‟ Li Ahkami Al-
Qur‟an, (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2016), hlm, 3. 4Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet ke-4, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2012), hlm, 551. 5Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174.
19
ketahui sehingga mereka tidak sadar. Selain itu Nabi Muhammad juga
menggambarkan istidra>j dalam hadis sebagai berikut:
, عن حر -44111 اج المهري ث نا رشدين, ي عني ابن سعد أبو الحج ث نا يحيى بن غيلن قال: حد حد م
, عن عقب م, عن عقب بن عمران التجيبي ي ابن ع بن مس ى الله ع م قال: إذا رأيت مر, عن النبي ص و و س
, فإنما ىو استدراج ثم تل رسول الله ى معاصيو ما يحب ن يا ع يو و الله ي عطي العبد من الد ى الله ع ص
م : يهم س روا بو ف تحنا ع ا نسوا ما ذك م أب واب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوت وا أخذناىم ب غت فإذا )ف
سون( 6ىم مب
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Gailan dia berkata, telah
menceritakan kepada kami Risydin yakni, Ibnu Sa‟d Abul Hajjaj al-Mahari dari
Harmalah bin Imran at-Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin Amir dari
Nabi saw. beliau bersabda: „Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada
seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya
itu hanyalah istidra>j.‟ Kemudia Rasulullah saw. membacakan ayat: „(Maka
tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberika kepada mereka, kami
siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam
berputus asa)‟”. (QS. Al-An‟am: 44).
Dengan adanya hadis tentang istidra>j diatas, bisa memperjelas adanya
istidra>j. Ayat tersebut menjelaskan orang kafir tumpul dan tidak ingin mengenal
Allah karena hati mereka membeku dan rayuan setanpun mereka ikuti, sehingga
memandang amaliah mereka indah. Tatkala mereka mengabaikan apa yang
diperingatkan kepada mereka, pada saat itulah akan dibukakan pintu-pintu
kabiakan duniawi, baik yang berkaitan dengan kesenangan kemewahan dunia.
Hadiah tersebut sebagai bentuk penghargaan yang sejatinya untuk membuat
mereka semakin bertambah sesat dan hina. Apabila mereka melampaui batas,
6Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Bait al-Afkar al-Dauliyah,
1998), hlm, 1248.
20
serta angkuh dengan aneka nikmat dan kesenangan yang telah diberikan oleh
Allah swt, mereka tidak butuh kepada siapapun, dirinya sendiri yang mereka
andalkan dan harapkan. Saat itulah siksa ditimpakan kepada mereka. Dengan
demikian tidak ada lagi kesempatan taubat bagi mereka dan begitu pula tidak ada
kesempatan berdoa. Siksaan yang datang pada saat mereka bergelimang dosa itu
menjadikan penyesalan yang amat dalam bagi mereka. Dan mereka hanya terdiam
dan tidak bisa berkutik dalam menjalani siksaan tersebut, tinggal hanya keputus-
asaan yang sudah tidak tertolong lagi. Istilah mebuka pintu-pintu ini sebuah
kalimat kiasan dari limpahan nikmat yang tidak terhingga dan beranekaragam.
Itulah sebabnya ayat tersebut menggunakan kata jamak dari kata pintu, untuk
menggambarkan banyaknya perolehan mereka dalam urusan duniawi.7
Berdasarkan paparan diatas penulis tertarik untuk membahas istidra>j.
Ketertarikan ini semakin beralasan ketika melihat realitas masyarakat. Masyarakat
modern semakin maju dan semakin jauh dari agama. Perhatian masyarakat tertuju
pada perolehan duniawi yang berlimpah, sehingga keberadaan duniawi menjadi
setandarisasi kesuksesan hidup bagi mereka. Tidak berhenti dalam anggapan itu,
bahkan semakin berlimpahnya kehidupan dunia dirasa sudah tidak perlu lagi
mengindahkan tuntunan agama. Cara pandang ini, menumbuhkembangkan ambisi
yang berlebihan dalam memburu duniawi, sampai menghalalkan segala cara.
Adapun puncak dari ambisi mereka yaitu, berada dalam kemewahan hidup dan
tercapainya urusan-urusan duniawi. Dari keadaan tersebut muncul suatu
7Ahmad Mukhorror, Istidraj Perspektif Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami‟ Li Ahkami Al-
Qur‟an, (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2016), hlm, 6.
21
permasalahan yang perlu dianalisa bahwa kondisi masyarakat modern jauh dari
agama dan mengalami krisis moral, tak segan-segan melakukan kejahatan seperti
korupsi, suap, perampokan dan lain sebagainya.
Di samping itu juga perlu dicermati, meskipun masyarakat modern ini jauh
dari agama dan sering berkelakuan buruk, akan tetapi mereka memiliki kehidupan
materi yang mapan dan mendapat kesempatan untuk menikmati berbagai macam
kesenangan, sementara yang beribadah tekun belum tentu mendapatkan seperti
yang mereka dapatkan. Kenyataan semacam ini tidak jarang ditemukan di
masyarakat, ada diantara mereka yang tidak taat dan jauh dari agama, namun
kehidupannya mapan. Dan sebaliknya ada diantara mereka yang taat dan
konsekuen menjalankan ajaran agama, namun hidupnya penuh dengan
kekurangan. Padahal dalam QS. Al-Nahl [16] 97 disebutkan:
Artinya:
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”.8
Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang beriman dan beramal shalih
yang layak untuk diberi kehidupan yang baik. Tapi ternyata realitas keadaan
masarakat modern banyak yang keluar dari salah satu dua syarat tersebut, yaitu
banyak yang tidak beriman atau tidak beramal shalih, namun mereka mempunyai
8Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 278.
22
kehidupan ekonomi yang baik, harta yang melimpah bahkan memiliki anak-anak
yang sehat dan berpendidikan di sekolahan-sekolah unggulan. Keadaan inilah
yang akan dibahas penulis secara komprehensif, sehingga memperoleh
pengetahuan yang memperjelas baik buruknya suatu materi.
Di dalam Al-Qur‟an ditemukan beberapa ayat yang mengandung
pembahasan istidra>j. Dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz} al-Qur‟a>n
al-Kari>m dapat ditemukan beberapa ayat tentang istidra>j.9 Ada yang tertulis
secara langsung dalam bentuk kata istidra>j dan ada yang tersirat secara makna
saja. Diantara ayat yang ditemukakan tentang istidra>j antara lain: Pertama,
langsung tertulis kalimat istidra>j dalam bentuk fi‟il mud}ari„ ada dua tempat
yaitu di dalam surah al-A‟raf ayat 182, dan surah al-Qalam ayat 44. Kedua, dalam
ayat-ayat yang tersirat makna istidra>j. Dalam hal ini, penulis menemukan ayat-
ayat tersebut dalam surah Ali Imran ayat 178, surah al-An‟am ayat 44, surah al-
Mu‟minun ayat 55.
Hampir setiap mufassir memaparkan pandangannya tentang istidra>j,
seperti Quraish Shihab misalnya, ia mengemukakan bahwa makna istidra>j
adalah memindahkan dari satu tahap ke tahap yang lain guna mencapai satu
tujuan. Menurutnya kata tersebut populer dalam arti perlakuan yang secara
lahiriah baik, tetapi bertujuan memberi sanksi terhadap yang melanggar.
Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai puncaknya dengan
9M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim, (Cet Ke-10;
Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 2015), hlm, 255.
23
jatuhnya siksa.10
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa makna istidra>j
adalah pemanjaan agar lebih terjerumus kepada kehinaan. Begitu juga ia
memaknai istidra>j dengan mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur,
setapak demi setapak dan didekatkan dengan adzab, dan mereka tidak
menyadarinya.11
Wahbah Al-Zuh}aili> menyatakan dalam tafsirnya, sesungguhnya nikmat,
kebaikan, rezeki bukanlah tanda kesalehan seseorang karena ia bisa saja bersifat
istidra>j (nikmat yang berujung pada petaka dan siksaan) sebagaimana umpan
untuk musuh agar ia sampai ke sebuah tempat lalu dihabisi di sana.12
Wahbah Al-Zuh}aili> menjelaskan, makna lafaz (sanastadrijuhum) ialah
Kami menindak mereka secara bertahap atau sedikit demi sedikit. Mendekatkan
mereka secara bertahap kepada azab dengan bentuk pengabaian, selalu diberikan
kesehatan dan menambah kenikmatan, di mana mereka tidak mengetahui bahwa
itu adalah istidra>j, yakni pemberian nikmat kepada mereka, karena itu mereka
mengira bahwa hal itu adalah kelebihan bagi mereka atas orang-orang beriman.13
Penjelasan para mufassir mengenai istidra>j hampir sama, yaitu
10
Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh, (Cet ke-4, jilid 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm,
264. 11
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsīr Al-Qur‟an Al-Majīd Al-Nūr, (Jilid 5,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm, 4319. 12
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 5; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 193. 13
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 15),...hlm, 77.
24
pemberian nikmat untuk manusia dan menjadikan mereka lalai dan celaka.14
Mengambil atau menarik mereka secara bertahap atau berangsur-angsur kepada
azab. Namun penjelasan Wahbah Al-Zuh}aili> mengenai istidra>j lebih luas dan
kompleks. Inilah yang akan dibahas penulis dalam penelitian ini.
Tafsir Al-Muni>r karya Wahbah Al-Zuh}aili> adalah gabungan dari bi al-
ma‟s\u>r dan bi al-ma‟qu>l (bi al-ra‟yi>). Bi al-ma‟s\ur yang didasarkan pada
hadis Nabi dan perkataan salaf s}a>lih} dan bi al-Ma‟qu>l yang didasarkan pada
kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku.15
Sedangkan metode yang dipakai adalah
metode tah}lili>. Wahbah Al-Zuh}aili> sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah
model Al-Qur‟an yang didasarkan pada Al-Qur‟an sendiri dan hadis-hadis
sah}ih}, mengungkapkan asbab al-nuzu>l, dan takhrij al-hadis\, menghindari
isra>i>liyya>t, riwayat yang buruk dan polemik yang berlarut-larut.16
Menurut penulis al-Muni>r merupakan sebuah karya tafsir yang istimewa,
karena tafsir ini mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟an secara komprehensif mencakup
aspek-aspek yang dibutuhkan bagi pembaca dan dilengkapi dengan pembahasan
rinci, mulai dari penamaan surah, muna>sabah dengan surah sebelumnya,
kandungan dan keutamaan surah, qira>‟at, i‟ra>b, balaghah, mufrada>t
lughowiyyah, asbab nuzu>l, muna>sabah ayat, tafsir dan penjelasan serta fikih
kehidupan dan hukum-hukumnya. Wahbah Al-Zuh}aili> berpendapat bahwa
tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang
14
Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang Istidraj),
(Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), hlm, 33. 15
Wahbah Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet ke-
10), juz 1...hlm, 6. 16
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Kaukaba Dipantara: Yogyakarta, 2013), hlm, 140.
25
konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa adanya penyimpangan
interpretasi. Tafsir al-Mui>r adalah paduan orisinalitas tafsir klasik dan keindahan
tafsir kontemporer.17
Paduan tafsir klasik dan kontemporer serta keahlian dan
ketelitian Wahbah Al-Zuh}aili> dalam menulis tafsirnya sebagaimana keterangan
diatas, menarik perhatian penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang penafsiran
ayat-ayat istidra>j dalam kitab tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan tersebut diatas rumusan masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana penafsiran istidra>j menurut Wahbah Al-Zuh}aili>?
2. Apa saja yang menjadi penyebab datangnya istidra>j menurut Wahbah Al-
Zuh}aili>?
C. Batasan Masalah
Supaya pembahasan ini tadak melebar, maka tulisan ini hanya akan
membahas ayat-ayat yang secara langsung menyebutkan lafaz istidra>j, yang
mana dalam hal ini hanya terdapat pada surah al-A‟raf ayat 182 dan surah al-
Qalam ayat 44, serta ayat-ayat yang tersirat makna istidra>j. Dalam hal ini,
penulis menemukan ayat-ayat tersebut terdapat dalam surah Ali Imran ayat 178,
surah al-An‟am ayat 44, surah al-Mu‟minun ayat 55.
17
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Kaukaba Dipantara: Yogyakarta, 2013), hlm, 138.
26
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan masalah
yang diteliti secara spesifik, dan juga suatu indikasi kearah mana atau data
(informasi) apa yang akan dicari melalui penelitian itu. Untuk mencapai
tujuan penelitian yang dilakukan sesuai dengan rumusan di atas maka tujuan
dari penelitian ini adalah: Untuk mendeskripsikan penafsiran istidra>j
menurut Wahbah Al-Zuh}aili> dan mengetahui apa saja yang menjadi
penyebab datangnya istidra>j.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
a. Secara akademis, penelitian ini berfungsi sebagai syarat dalam rangka
menyelesaikan studi strata (S1) program studi ilmu Al-Qur‟an dan tafsir,
jurusan Ushuluddin. Dan semoga dapat menjadi bahan informasi
pendahuluan yang penting bagi penelitian-penelitian serupa yang akan
dilakukan dikemudian hari, atau dapat menjadi informasi pembanding
bagi penelitian serupa yang telah dahulu namun literatur bagi
perpustakaan IAIN Bengkulu yang berkenaan dengan kajian ilmu tafsir.
b. Secara teoritis, untuk menambah wawasan bagi perkembangan khazanah
keilmuan keIslaman dan keilmuan penulis, terutama tentang penafsiran
istidra>j dalam Al-Qur‟an sehingga dapat lebih meningkatkan kesadaran
27
dan keimanan dengan mencapai kecerdasan hati, kecerdasan spiritual dan
meraih kecerdasan akal.
c. Secara praktis, hasil penelitian ini nantinya diharapkan, bisa memberikan
kontribusi terkait dengan pemahaman yang sesungguhnya dari hakikat
istidra>j.
E. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini
dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan
atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan
penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan
kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada. Berdasarkan hasil
penelusuran, penulis menemukan ada beberapa karya yang membahas
permasalahan ini sebagai berikut:
1. Skripsi oleh Ahmad Muhkarror dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
“Istidra>j Perspektif Al-Qurt}ubi dalam Tafsir Al-Ja>mi‟ Li Ahka>mi Al-
Qur‟a>n”.18
Skripsi tersebut membahas tentang tahapan-tahapan istidra>j,
menjelaskan cerita akhir dari seseorang yang terkena istidra>j dan juga pesan
untuk orang yang melihat istidra>j.
18
Ahmad Mukhorror, Istidra>j Perspektif Al-Qurt}ubi dalam Tafsi>r Al-Ja>mi‟ Li
Ahka>m Al-Qur‟an, (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2016)
28
2. Skripsi oleh Nur Hasanah Azizah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
“Istidra>j dalam Al-Qur‟a>n (Analisis Ayat-ayat tentang Istidra>j)”.19
Skripsi ini membahas istidra>j secara umum dalam Al-Qur‟an melalui
peninjauan pada beberapa tafsir yang membahas istidra>j dan menjelaskan
penyebab orang tertimpa istidra>j secara global.
3. Jurnal substantia Vol. 12, No. 2 edisi Oktober 2010 yang ditulis oleh
Damanhuri dengan judul, “Istidra>j dalam Mawa>‟iz al-Badi>‟ah”.20
Dalam penelitiannya menjelaskan tentang isi dan kandungan kitab Mawa>‟iz
al-Badi>‟ah karya Syi‟ah Kuala dengan fokus pembahasan tentang istidra>j
yaitu memaparkan kandungan dari kitab tersebut.
Dari tinjauan di atas, dapat dinyatakan bahwa pembahasan skripsi ini
berbeda dengan karya-karya di atas, karna penulis membahas istidra>j
berdasarkan perspektif Wahbah Al-Zuh}aili> dalam tafsir Al-Muni>r.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.21
Agar penelitian ini
mendapatkan hasil yang standar dan bisa dipertanggung jawabkan secara
Akademik, maka diperlukan metode yang sesuai dengan objek yang dikaji, karena
19
Nur Hasanah Azizah, Istidra>j dalam al-Qur‟a>n (Analisis Ayat-ayat tentang
Istidra>j), (Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017). 20
Damanhuri, Istidra>j dalam Mawa>‟iz al-Badi>‟ah, Substantia, Vol. 12 No. 2.
(Oktober 2010). 21
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: ALVABETA,
2011).hlm.2.
29
metode merupakan sebuah langkah yang berfungsi sebagai cara untuk
mengerjakan suatu penelitian atau sebuah pengetahuan. Semua hal tersebut dalam
rangka mendapatkan hasil yang memuaskan sesuai dengan tujuan yang
mengandung keilmuan yang objektif, dan juga sebagai cara yang mengoprasikan
sebuah penelitian secara terarah dan efektif, sehingga mampu dicapai suatu hasil
yang maksimal secara hazanah keilmuan.
1. Jenis penelitian
Adapun metode penelitian ini, penulis menggunakan penelitian library
research atau penelitian kepustakaan, yakni dengan mengumpulkan materi-materi
yang terkait dengan tema yang diteliti, dalam hal ini yaitu penafsiran istidra>j
dalam sebuah karya ilmiah tentunya memiliki banyak ragam atau jenis penelitian,
pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif.
2. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan proses mengidentifikasi dan mengoleksi
informasi yang dilakukan oleh peneliti, sesuai dengan tujuan penelitian.22
Dalam
teknik pengumpulan data disini, penulis berusaha mengeksplorasi sumber-sumber
pustaka yang berupa kitab-kitab tafsir, kamus-kamus dan juga buku terkait yang
membahas tema istidra>j, dengan sumber data ini penulis membagi sumber data
menjadi dua, yakni :
a. Sumber data primer
22
Winarno, Metodologi Penelitian Dalam Pendidikan Jasmani, (Cet Ke-2; Malang: UM
PRESS, 2013), hlm, 143.
30
Dalam penelitian ini, sumber data primer merujuk pada data yang
memberikan keterangan langsung dari tangan pertama, yaitu kitab tafsir
al-Muni>r karya Wahbah Al-Zuh}aili>.
b. Sumber data sekunder
Dalam hal ini penulis merujuk pada al-Qur‟an terjemah, kitab-
kitab tafsir, juga mengacu pada karya-karya ilmiah, jurnal, majalah dan
juga internet, buku-buku, artikel dan karya-karya lain yang bisa
dipertanggungjawabkan untuk membantu penelitian ini.
3. Tehnik pengelolaan data
Setelah data-data diperoleh dan dikumpulkan maka akan diolah dan
diproses dengan cara sebagai berikut:
a. Deskripsi, yaitu mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang membahas
istidra>j, dan merujuk pada kitab-kitab tafsir kemudian menguraikan
makna–makna kata tersebut.
b. Analisis, yaitu menganalisa bentuk-bentuk kata yang berhubungan
dengan istidra>j, dan juga mengaitkan kata-kata lain yang bisa
membantu menganilsis ruang lingkup pembahasan dari makna istidra>j
ini.
31
G. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini, sistematika penulisan sangat dibutuhkan agar
penelitian tidak keluar dari pembahasan dan fokus pada permasalahan yang akan
diteliti, oleh karena itu penulis menyusun sistematika pembahasan sebagai
berikut:
Bab pertama, berisikan pendahuluan, bab ini mencakup deskripsi topik
yang dibahas, latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah,
pemaparan tentang tujuan, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, berisikan kerangka teori, akan membahas pengertian istidra>j
menurut Al-Qur‟an dan Hadits, term yang semakna dengan istidra>j dan makna
istidra>j menurut pandangan para mufassir.
Bab ketiga, membahas tentang histori riwayat hidup Wahbah Al-Zuh}aili>
meliputi, biografi penulis kitab tafsir al-Muni>r, guru-guru dan muridnya, karya-
karya Wahbah Al-Zuh}aili>, kredibelitas dan juga sekilas pengenalan kitab al-
Muni>r, dengan menjelaskan sistematika kitab tersebut, metode dan juga corak
tafsir Al-Muni>r.
Bab keempat, identifikasi ayat-ayat istidra>j, penafsiran Wahbah Al-
Zuh}aili> tentang istidra>j dan penyebab datangnya istidra>j serta analisa
penulis tentang penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili>.
Bab kelima, penutup, akan memaparkan kesimpulan dan saran.
32
BAB II
KERANGKA TEORI
H. Pengertian Istidra>j menurut al-Qur’an dan Hadis
Untuk dapat memahami makna dari suatu kalimat maka harus melihat akar
kata dari kalimat tersebut terlebih dahulu, agar pembahasan ini memadai untuk
pemahamannya maka penulis akan terlebih dahulu menguraikan kajian teori
tentang istidra>j tersebut.
Dalam al-Qur‟an kata istidra>j diulang sebanyak dua kali23
, salah satuya
adalah QS. al-A‟ra>f [7] 182:
Artinya:
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang
tidak mereka ketahui”.24
Secara etimologi istidra>j berasal dari kata ( درج ) yang artinya berjalan,
( استدرج ) ,naik, maju, meningkat ( تدرج ) ,yang artinya melipat, menaikkan (درج)
memperdayakan, mendekatkan secara berangsur-angsur.25
23
M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfa>zh al-Qur‟a>n al-Kari>m, (Cet
Ke-10; Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 2015), hlm, 255. 24
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174. 25
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Cet ke-
14, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm, 395
34
Ibnu Manz}ur dalam Lisa>n al-Arab mengatakan istidra>j bermakna
mendekatkan secara berangsur-angsur, merendahkan secara bertahap. Sebagian
ulama mengatakan, makna sanastadrijuhum ialah akan Kami tarik mereka sedikit
demi sedikit, bukan secara tiba-tiba. Ada yang mengatakan akan Kami tarik
mereka dari arah yang tidak mereka sangka, begitulah Allah SWT membuka
untuk mereka kenikmatan yang akan membuat mereka merasa senang dan
menjadikan mereka condong kepadanya sehingga mereka lupa akan kematian,
lalu Allah tarik mereka dalam keadaan lalai.26
Sedangkan menurut Al-Ra>ghib
Al-As}fa>hani> ketika menjelaskan makna istidra>j beliau dalam Mu‟jam
Mufrada>t alfaz> al-Qur‟a>n mengatakan, istidra>j berasal dari kata ( الدرج )
yang semakna dengan المنزل yang artinya tempat, derajat atau tingkat. Sedangkan (
dalam ayat tersebut beliau mengatakan maknanya adalah kami akan ( سنستدرجهم
melipat mereka seperti halnya melipat kitab, menyiksa mereka setingkat demi
setingkat, merendahkan mereka sedikit demi sedikit seperti orang yang naik turun
dalam anak tangga.27
Menurut Hasanain M. Makhluf istidra>j ialah, kami akan
mendekatkan mereka kepada kehancuran dengan memberikan nikmat dan
tangguh.28
Dalam Al-Mu‟jam Al-Mufas}s}al fi> Tafsi>r Ghari>b Al-Qur‟a>n Al-
Kari>m Muhammad Al-Tawinji menyebutkan makna (سنستدرجهم), kami akan beri
mereka tempat yang aman, atau akan kami lipat mereka seperti melipat kitab,
26
Ibnu Manz}ur, Lisa>n al-Arab, (Cet ke-6, jilid 2, Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), hlm, 268. 27
Al-Raghib Al-Asfahani, Mu‟jam Mufradat alfaz al-Qur‟an, (Cet ke-4, Lebanon: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 2013), hlm, 188. 28
Hasanain Muhammad Makhluf, Kalimatul Qur‟an – Tafsir wa Bayan, ter, Hery Noer
Aly, (Cet-ke 11, Gema Risalah Press: Bandung, 1996), hlm, 91.
35
sebagai ungkapan dari kelalaian mereka. Atau akan kami siksa mereka berangsur-
angsur.29
Pendapat lain, menurut Qurash Shihab ( سنستدرجهم ) akan Kami tarik
mereka terambil dari kata ( الدرج ) ad-darajah yakni tangga, juga dalam arti anak-
anak tangga. Huruf sin dan ta‟ pada kata itu dalam arti meminta, sehingga kata
tersebut bermakna meminta mereka untuk naik/turun melalui anak-anak tangga
sehingga ia mencapai suatu tingkat yang tidak dapat dicapainya kecuali dengan
menggunakan anak tangga itu.30
Menurutnya lagi kata ( سنستدرجهم ) diambil dari
kata ( الدرج ) ad-darj yang pada mulanya berarti tingkat. Kemudian kata ( تدرج)
tadarruj bermakna berpindah dari satu tingkat atau tahap ke tingkat atau tahap
lain. ( الاستدراج ) al-istidra>j adalah memindahkan dari satu tahap ketahap yang lain
guna mencapai satu tujuan.31
Al-Qa>simi> dalam tafsirnya Maha>sin Al-Takwi>l menyebutkan,
istidra>j berasal dari kata ( الدرج ) yang artinya melipat, menurutnya lagi istidra>j
itu ialah menaikkan kepada sesuatu sedikit demi sedikit, seperti orang yang
mendaki setingkat demi setingkat hingga berhenti pada ketinggian yang
29
Muhammad Al-Tawinji, Al-Mu‟jam Al-Mufassal fi Tafsir Gharib Al-Qur‟an Al-Karim,
(Cet ke-2, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm, 171. 30
Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh, (Cet ke-4, jilid 4, Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm,
391-392. 31
Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh (Cet ke-4, jilid 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm,
264.
36
tertinggi.32
Al-Qurt}ubi menyebutkan istidra>j berasal dari kata ( الدرج ) yakni
melipat sesuatu, memasukkan dan menaikkan, seperti dalam ucapan, mayit itu
dilipat pada kain kafannya. Juga dari kata ( الدرج ) yakni merendahkan secara
bertahap sampai kepada tujuan tertentu.33
Sedangkan secara terminologi, seperti yang dikatakan Al-Qurt}ubi
istidra>j adalah merendahkan secara bertahap sampai kepada tujuan tertentu.
Menurut Qurais Shihab istidra>j adalah memindahkan dari satu tahap ketahap
yang lain guna mencapai satu tujuan. Menurut Al-Qa>simi> istidra>j itu ialah
menaikkan kepada sesuatu sedikit demi sedikit, seperti orang yang mendaki
setingkat demi setingkat hingga berhenti pada ketinggian yang tertinggi. Dalam
tafsirnya Al-Qurt}ubi mengutip perkataan Al-Dhahhak:
ما جددوا لنا معصي جددنا لهم نعم قال الضحاك: ك
Dhahak berkata: “Setiap kali mereka melakukan kemaksiatan yang baru,
kami pun berikan mereka nikmat yang baru pula”.34
Istidra>j adalah perkara-perkara yang luar biasa/ganjil yang diberikan
Allah kepada orang-orang kafir. Bertujuan agar mereka lupa diri sebagai makhluk
Tuhan, karena takabbur dan ingin masyhur namanya. Misalnya Raja Fir‟aun yang
mengaku dirinya Tuhan, dan Raja Namrud yang sombong karena kekayaannya
yang melimpah. Tujuan diberikannya istidra>j kepada orang-orang kafir untuk
32
Al-Qasimi, Mahasin Al-Takwil, (Cet ke-2, jilid 9, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
2003), hlm, 230. 33
Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an, (Cet ke-2, jilid 4, Lebanon: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2005), hlm, 209. 34
Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an,...hlm, 209.
37
dijadikan contoh bahwa mereka yang takabbur dan kufur kepada Tuhan (Allah)
akhirnya binasa.35
Selain dalam al-Qur‟an, Nabi Muhammad saw juga menjelaskan istidra>j
dalam hadisnya, diriwayatkan oleh Imam Ah}mad bin Hanbal dalam Musnadnya,
dari Uqbah bin „A<mir, Nabi saw bersabda:
, عن حر -44111 اج المهري ث نا رشدين, ي عني ابن سعد أبو الحج ث نا يحيى بن غيلن قال: حد حد م
, عن عقب م, بن عمران التجيبي م قال: إذا رأيت ان عقب بن ع ع بن مس يو و س ى الله ع مر, عن النبي ص
, فإنما ىو استدراج ثم تل رسول الله ى معاصيو ما يحب ن يا ع يو و الله ي عطي العبد من الد ى الله ع ص
م يهم أب واب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوت وا أخذ : س روا بو ف تحنا ع ا نسوا ما ذك م ناىم ب غت فإذا )ف
سون( 36ىم مب
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Gailan dia berkata, telah
menceritakan kepada kami Risydin yakni, Ibnu Sa‟d Abul Hajjaj al-Mahari dari
Harmalah bin Imran at-Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin Amir dari
Nabi saw. beliau bersabda: „Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada
seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya
itu hanyalah istidra>j.‟ Kemudia Rasulullah saw. membacakan ayat: „(Maka
tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberika kepada mereka, kami
siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam
berputus asa)‟”. (QS. Al-An‟am: 44).
Jika melihat hadis diatas, istidra>j adalah ketika Allah memberikan
nikmatnya kepada seorang hamba sekalipun ia kerap sekali melakukan maksiat
dengan sesuatu yang ia sukai, Allah tetap mencurahkan berbagai kemudahan dan
35
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994), hlm, 126. 36
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Bait al-Afkar al-Dauliyah,
1998), hlm, 1248.
38
kesenangan dalam hidupnya didunia, lalu dengan nikmat itu ia akan berangsur-
angsur digiring kapada apa yang akan membinasakannya.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
istidra>j secara bahasa adalah naik atau meningkat dari satu tahap ketahap
berikutnya seperti orang yang berjalan pada anak tangga. Sedangkan secara istilah
istidra>j adalah pemberian nikmat Allah kepada hamba-Nya yang gemar
bermaksiat, dengan memberinya berbagai nikmat dan kemudahan didunia seperti
kesehatan, kemudahan, harta dan anak yang dengannya akan secara bertahap
membawanya pada kebinasaan.
I. Term yang Semakna Dengan Istidra>j
Berangkat dari pengertian istidra>j dalam al-Qur‟an, ditemukan bahwa
terdapat beberapa lafaz yang semakna dengan kata tersebut, baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Namun demikian, setiap kata yang dianggap semakna
dengan kata lain dalam al-Qur‟an itu ternyata masing-masing memiliki kekhasan
tersendiri yang tidak dapat ditukar. Terdapat beberapa ungkapan yang semakna
dengan istidra>j sebagai berikut:
1. Al-Makr
Ayat tentang makar banyak tertuang didalam al-Qur‟an, diantaranya QS.
Ali Imra>n [3] 54:
39
Artinya:
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya
mereka itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.”37
Kata makar dalam al-Qur‟an terulang sebanyak 43 kali yang berada di 14
surah 23 ayat. Rinciannya sebagai berikut : Ali Imran (3): 54; Al-Ra‟d (13):
42,33; Al-Nahl (16): 26,45,127; Al-A‟raf (7): 123,99; Al-Naml (27): 50,70,51;
Ibrahīm (14): 46; Ghafir (40): 45; Nuh ( 71): 22; Yunūs ( 10): 21; Al-Anfāl ( 8):
30; Al-An‟am ( 6): 123, 124; Yusūf ( 12): 102,31; Fatir ( 35): 10,43; Saba‟ ( 34):
33.38
Makar secara bahasa berasal dari bahasa arab ( مكرا-يمكر-مكر ) artinya
menipu/memperdaya.39
Dalam kitab Mu‟jam Maqa>yis Al-Lughah, al-Makr
memiliki dua makna pokok , yakni “الإحتياء و الخداع” (memperdaya dan tipu
muslihat) dan "خدال الساق" (betis berotot).40
Secara istilah menurut Abdul Rahim
dalam tulisannya bahwa makar adalah salah satu bentuk perbuatan yang
memperdaya, menipu atau mengelabui orang lain dengan berbagai macam cara
dan bentuk yang rahasia, sehingga orang yang menjadi objek dari perbuatan
makar tersebut meleset dari tujuan yang sebenarnya.41
Dalam istilah Islam, makar ialah suatu tipudaya yang dilakukan oleh
orang-orang kafir atau kelompok tertentu untuk menghancurkan kebenaran.
37
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 57. 38
M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim,... hlm, 671. 39
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap,...hlm,
1352. 40
Abu Al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakaria, Mu‟jam Maqayis al-Lughah, jilid 5
(Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm, 345. 41
Abdul Rahim Nur, Mark dalam Perspektif Al-Qur‟an (Kajian Tahlili Terhadap QS
Ibrahim/14:46, (Skripsi Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin, Makasar, 2016),
hlm, 42.
40
tipudaya ini bisa dilakukan dengan cara menyebarkan isu-isu, fitnah, dan dengan
melakukan kekacauan. Arti makar yang disebutkan ini hanya dipakai oleh orang-
orang yang berbuat makar yang bermaksud buruk. Sedangkan makar yang
dihubungkan dengan Allah adalah untuk menimpakan balasan atau azab kepada
orang-orang yang berbuat makar.42
Seperti yang dikatakan dalam QS. an-Naml
[27] 50:
Artinya:
“Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan
Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.”43
Setelah melihat penjelasan diatas tampak bahwa yang dimaksud makar
disini adalah Allah membalas makar hamba-Nya yang membuat makar, Allah
membalas makar itu secara diam-diam dan tidak mereka sadari, sama halnya
ketika Allah menimpakan istidra>j kepada hamba-Nya.
2. Al-Khid‟ah
Dalam al-Qur‟an, kata ini tidak terlalu banyak Allah sebutkan, yakni hanya
dibeberapa surah, diantaranya terdapat pada QS. al-Baqarah [2] 9:
Artinya:
42
Siti Aminah, Makna Makar dalam Al-Qur‟an (Studi Komperatif antara Tafsir Ibnu
Katsir, Al-Maraghi dan Al-Azhar, (Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Suska, Riau, 2015), hlm, 35. 43
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 381.
41
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal
mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”44
Kata al-Khid‟ah dan derivasinya dalam al-Qur‟an diulang sebanyak 5 kali
dalam 3 surah 3 ayat, yaitu dalam surah al-Anfal (8) : 62, al-Baqarah (2) : 9, dan
an-Nisa (4) : 42.45
Al-Khid‟ah berasal dari akar kata خدع yang berarti menipu atau
memperdayakan.46
Menurut Nur Hasanah dalam tulisannya al-Khid‟ah secara
istilah adalah menempatkan orang lain pada posisi yang dikatakan, yang
sebenarnya berbeda dengan maksud yang disembunyikan.47
Kata al-Khid‟ah dalam al-Qur‟an mamiliki makna yang tidak berbeda jauh
dengan makna makar, hanya saja al-Khid‟ah merupakan aktifitas yang lebih
tersembunyi dibanding dengan kata makar, karena pelakunya berusaha menutupi
perbuatannya dengan menampakkan kebaikan dari yang disembunyikan, sehingga
pelaku al-Khid‟ah susah dipastikan, apakah dia teman atau musuh.48
Al-Khid‟ah sama halnya dengan makar dan istidra>j yang merupakan
balasan tipudaya Allah terhadap orang-orang kafir dan munafik. Mereka ingin
melakukan tipudaya terhadap Allah dan orang-orang beriman, namun mereka
tidak menyadari bahwa Allah membalas tipudaya mereka dan mereka tidak
mengetahui, hal ini seperti yang digambarkan pada ayat diatas.
44
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 3. 45
M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim,... hlm, 227. 46
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap,... hlm,
326. 47
Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang
Istidraj,...hlm, 24. 48
Abdul Rahim Nur, Mark dalam Perspektif Al-Qur‟an (Kajian Tahlili Terhadap QS
Ibrahim/14:46,... hlm, 18.
42
3. Al-Kaid
Dalam al-Qur‟an kata al-Kaid cukup banyak diulang, diantaranya QS. al-
Al-T}u>r [52] 42:
Artinya:
“Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Maka orang-orang yang
kafir itu merekalah yang kena tipu daya.”49
Term al-Kaid dan derivasinya dalam al-Qur‟an diulang sebanyak 28 kali
yang tersebar dalam 16 surah 28 ayat, yakni dalam surah Yusuf (12): 76, 5, 52,
28, 33, 50; al-Ṭariq ( 86): 16, 15; Al-Anbiya (21): 57,70; Al-A‟raf (7): 195, 183;
al-Mursalat (77): 39; Hud (11): 55; Al-Nisa (4): 76; Al-Anfal ( 8): 18; Thaha (20):
69,64,60; Ghafir ( 40): 25, 37; Al-Shaffat ( 37): 98; Al-Tur ( 52): 42,46; Al-Haj (
22): 15; Ali Imran ( 3): 120; Al-fil (105): 2; Al-Qalam ( 68): 45.50
Al-Kaid secara bahasa dalam kamus al-Munawwir sama maknanya dengan
al-Khid‟ah, yaitu menipu/memperdayakan.51
Menurut Al-Ra>ghib Al-
As}fa>hani> dalam kitab Mufrada>t Alfaz} Al-Qur‟a>n menjelaskan, al-Kaid
salah satu bentuk dari tipudaya yang kadang bermakna buruk dan kadang
bermakna baik, akan tetapi lebih banyak digunakan dalam hal yang buruk, seperti
49
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 525. 50
M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim,... hlm, 642. 51
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap,... hlm,
1242.
43
halnya istidra>j dan makar,52
dan kadang bermakna baik seperti dalam firman
Allah QS. Yusuf [12] 76:
Artinya:
“Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf.”53
QS. al-A‟ra>f [7] 183:
Artinya:
“Dan aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku
Amat teguh.”54
Namun sebagian ulama ketika menjelaskan ayat ini mengatakan bahwa
yang dimaksud al-Kaid adalah azab, ketika Allah menyatakan akan melakukan
tipudaya, maka itu pertanda balasan atau azab terhadap orang-orang yang
membangkang kepada Allah, sebagai balasan sebagaimana halnya istidra>j,
seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata: “ كيد الله العذاب والنقم “
(tipudaya Allah adalah azab dan murka). Rasyid Ridho juga mengatakan, kata al-
Kaid maknanya sama dengan al-Makr. Dia melanjutkan, bahwa tipudaya itu lebih
banyak digunakan untuk hal yang buruk, namun adakalanya digunakan dalam hal
yang baik, seperti tipuan Yusuf untuk mengambil saudara kandungnya
(Benyamin) dari saudara-saudaranya atas rido mereka. Jumhur menyatakan bahwa
52
Al-Raghib Al-Asfahani, Mu‟jam Mufradat alfaz al-Qur‟an,... hlm, 728. 53
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 244. 54
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174.
44
penyandaran kata al-Kaid dan al-Makr kepada Allah dalam al-Qur‟an maknanya
hukuman dan balasan.55
4. Al-Imla‟
Allah swt ketika ingin menghukum hamba-Nya karena suatu pelanggaran
atau dosa, tidak pernah serta-merta menurunkan azab tersebut melainkan memberi
penangguhan terlebih dahulu, ini menunjukkankan bahwa Allah sebagai rabb
semesta alam mempunyai sifat rahma>n dan rahi>m56
kepada hamba-Nya.
Panangguhan adakalanya bertujuan agar hamba tersebut kembali kepada Allah,
atau jika tidak, justru agar menambah azab tersebut. Kata al-Imla‟ dalam al-
Qur‟an yang disandarkan kepada Allah konteksnya adalah memberi penangguhan
terhadap orang-orang kafir dan durhaka yang kemudian disusul dengan azab.
Seperti dalam QS. Ali Imra>n [3] 178:
Artinya:
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa
pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka.
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”57
55
M Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar, (Jilid 9; Beirut Lebanon: Dar al-Fikri, 2007), hlm,
331. 56
Ar-Rahman merupakan salah satu dari nama Allah, yang memberi pengertian, bahwa
Allah melimpahkan karunia-Nya kepada seluruh makhluk-Nya baik yang mukmin maupun yang
kafir. Sedang Ar-Rahim memberi pengertian, bahwa Allah senantiasa bersifat rahmat yang
menyebabkan Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya yang mukmin. 57
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 73.
45
Di dalam al-Qur‟an kata al-Imla dan derivasinya terulang 9 kali, yaitu
terurai dalam 8 surah dan 9 ayat. Diantaranya terdapat dalam surah: Muhammad
(25): 25; Al-Ra‟du ( 13): 32; al-Haj ( 22): 44,48; Al-A‟raf ( 7): 183: al-Qalam
(68): 45; Ali Imran ( 3): 178; al-Furqan ( 25): 5; Maryam ( 19): 46.58
Jika melihat penjelasan diatas, maka al-Imla‟ adalah penangguhan
hukuman yang merupakan bagian dari istidra>j yang akan ditimpakan kepada
orang-orang yang durhaka kepada Allah. Allah memberi isyarat kepada mereka
berupa penangguhan agar mereka mengambil pelajaran, jika mereka dapat
mengambil pelajaran maka Allah akan selamatkan mereka, tapi jika mereka lupa
kepada Allah, maka berlakulah bagi mereka azab yang menghinakan.
J. Pandangan Mufassir Tentang Istidra>j
Pada bagian ini penulis akan memaparkan pandangan para ulama
mengenai istidra>j. Menurut Al-T{abari istidra>j adalah tipuan halus kepada
orang yang diberi tenggang waktu sehingga ia merasa bahwa yang memberikan
tenggang waktu itu, berbuat baik kepadanya sehingga pada akhirnya ia terjerumus
kedalam hal yang tidak disenangi. Kemudian ia menambahkan tentang orang yang
tertimpa istidra>j yaitu Allah Swt akan memberi tangguh kepada mereka dan
menghiasai perbuatan jeleknya, sehingga ia menyangka bahwa perbuatannya
58
M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim,... hlm,772.
46
adalah perbuatan baik, hingga tercapai tujuan apa yang Allah tetapkan baginya
berupa hukuman.59
Al-Ra>zi mengatakan istidra>j diambil dari kata الدرج yang maknanya
mendaki atau menurun setingkat demi setingkat, mendekatkan mereka kepada apa
yang membinasakan mereka, melipat gandakan siksa mereka dari arah yang tidak
mereka ketahui, yang demikian itu karena setiap mereka melakukan dosa, Allah
bukakan bagi mereka pintu-pintu nikmat, kebaikan dunia sehingga mereka
bertambah angkuh dan sombong, senantiasa berbuat kerusakan dan melampaui
batas, kemudian Allah menyiksa mereka dengan tidak disangka-sangka.
Berkenaan dengan ini, Umar bin Khatab sewaktu diberi harta kekayaan simpanan
raja Persia dia berdo‟a:
.سنستدرجهم من حيث لا يعمون :ي سمعتك تقولي أعوذ بك أن أكون مستدرجا فإن إن هم ال
“Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu, janganlah kiranya aku ditarik
sedikit demi sedikit ke arah kebinasaan. Sesungguhnya aku mendengar Engkau
berfirman: “Nanti akan Kami tarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah
kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”60
Ibnu Kas\i>r menjelaskan istidra>j dalam al-A‟raf 182 maksudnya, akan
dibukakan bagi mereka aneka pintu rezeki dan berbagai jalan penghidupan
didunia sehingga mereka tertipu oleh apa yang diperolehnya lalu berkeyakinan
bahwa dirinya berada dalam kebaikan. Ayat ini senada dengan QS. al-An‟a>m [6]
44-45:
59
Ibnu Jarir Al-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Takwil Al-Qur‟an, (jilid 6, Mesir: Dar Al-
Taufiqiyah), hlm, 165. 60
Al-Razi, Al-Tafsir Al-Kabir au Mafatih Al-Ghaib, (Cet ke-2, jilid 8, Lebanon: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 2004), hlm, 61.
47
Artinya:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;
sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka
terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke
akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.61
Oleh karena itu, Allah berfirman dan Aku akan beri tangguh kepada
mereka, yakni Aku akan memperpanjang mereka. Sesungguhnya muslihat-Ku
amat kuat.62
Ibnu Kas\i>r al-Dimasyqi> menjelaskan, istidra>j ialah Allah
membukakan bagi mereka pintu-pintu rezeki dan segala wajah penghidupan
didunia sehingga mereka tertipu dengan nikmat yang ada pada mereka dan
meyakini bahwa mereka berada dalam suatu kebaikan.63
Syaikh Nawani al-Jawi> dalam tafsirnya Marah} Labi>d juga memaknai
istidra>j yaitu, akan Kami dekatkan mereka kepada apa yang akan membinasakan
mereka dan melipat gandakan siksa bagi mereka, yang demikian itu karena setiap
mereka melakukan dosa Allah membukakan pintu kenikmatan dan kebaikan
61
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 133.
62M. Nasib Ar-Rifa‟i, Taisiru Al-„Aliyyul Qadi>r li Ikhtis}ari Tafsi>r Ibnu Kat}ir, terj.
Syihabuddin, (Cet ke-8, Jakarta: GEMA INSANI, 2007), hlm, 462. 63
Ibnu Katsir Al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, (Jilid 2; Dar al-Fikr: Beirut,
2006), hlm, 778.
48
dunia, maka bertambahlah keangkuhan dan mereka senantiasa membuat
kerusakan dan maksiat, lalu Allah menghukum mereka secara tiba-tiba atas
kelalaian itu.64
Menurut Sayyid Qut}b penangguhan siksaan (istidra>j) adalah sesuatu
kekuatan yang tidak diperhitungkan dengan semestinya dan yang dilupakan oleh
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt. Dan begitu juga
penangguhan tersebut ditimpakan kepada mereka tanpa diketahuinya. Begitulah
sunnah Allah terhadap orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya.
Dibentangkannya cakrawala untuk mereka, diberinya mereka keluasan dan
kesempatan untuk melakukan pelanggaran dan kezaliman, untuk menyeret mereka
sedikit demi sedikit kepada kebinasaan, dan untuk menjebak mereka dalam
tipudaya dan rencana.65
Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan makna istidra>j,
Kami akan menjatuhkan mereka ke dalam siksa sederajat demi sederajat, dengan
cara memberikan tempo dan mengekalkan kesehatan serta menambah nikmat
kepada mereka, tanpa sepengetahuan mereka bahwa yang demikian itu adalah
istidra>j. Bahkan, mereka menyangka bahwa yang demikian itu adalah kelebihan
dan keunggulan mereka atas orang-orang yang beriman, padahal yang demikian
adalah penyebab kebinasaan mereka pada akhirnya.66
Quraish Shihab
mengemukakan bahwa makna istidra>j adalah memindahkan dari satu tahap ke
64
M. Ibn Umar Nawawi al-Jawi>, Marah} Labi>d Likasyfi Ma‟na al-Qur‟a>n al-Maji>d,
(Jilid 1, Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1997), hlm, 409. 65
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur‟an; Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, terj, As‟ad
Yasin dkk, (Cet ke-3, jilid 5,Jakarta: GEMA INSANI, 2008), hlm, 66. 66
Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r Al-Maraghi, (jilid 29, Semarang: Tohaputra,
1987), hlm, 74.
49
tahap yang lain guna mencapai satu tujuan. Menurutnya kata tersebut populer
dalam arti perlakuan yang secara lahiriah baik, tetapi bertujuan memberi sanksi
terhadap yang melanggar. Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai
puncaknya dengan jatuhnya siksa.67
Menurut penjelasan diatas, para ulama tidak jauh berbeda pandangan
mengenai istidra>j. Menurut Al-T{abari dan Sayyid Qut}b, istidra>j adalah
berupa penangguhan azab terhadap yang diberi tangguh dengan sangkaan bahwa
hal itu perbuatan baik kepada mereka, lalu Allah akan tiba-tiba mencelakakan
mereka. Menurut al-Ra>zi, Quraish Shihab, Ibnu Kas\ir dan Ibnu Kas\ir al-
Dimasyqi, istidra>j adalah pemberian nikmat berupa pintu-pintu kebaikan dan
kemudahan didunia untuk menipu mereka, yang secara bertahap akan
membinasakan mereka.
Maka dari itu penulis menyimpulkan bahwa istidra>j adalah perlakuan
baik Allah berupa pemberian nikmat dan kesenangan hidup kepada hamba-Nya
sewaktu didunia serta penangguhan terhadap mereka yang sesungguhnya
merupakan jebakan yang justru akan membinasakan mereka pada akhirnya.
67
Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh, (Cet ke-4, jilid 4, Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm,
264.
50
BAB III
BIOGRAFI WAHBAH Al-ZUH{>AILI<
A. Biografi Wahbah Al-Zuh}aili>
Wahbah Al-Zuh}aili> merupakan salah satu tokoh yang cukup signifikan
dalam jajaran tokoh-tokoh ulama pakar hukum Islam.68
Ia lahir pada 6 Maret 1932
M/1351 H, bertempat di Dair „At}iyyah di kecamatan Faiha, Provinsi Damaskus,
Syiria. Ia putra Syeikh Mus}t}afa> al-Zuh}aili>,seorang petani sederhana nan
alim, hafal al-Qur‟an, rajin menjalankan ibadah dan gemar berpuasa.
Di bawah bimbingan orang tuanya, Wahbah al-Zuh}aili> mengeyam
pendidikan dasar-dasar agama Islam. Setelah itu, ia bersekolah di madrasah
ibtida>‟iyyah di kampungnya, hingga jenjang pendidikan formal berikutnya. Gelar
sarjana diraihnya pada tahun 1953 M di Fakultas Syariah Universitas Damsyik,
dan juga pendidikan Islam di Universiti al-Azhar, di mana ia sekali lagi
menamatkannya dengan cemerlang pada tahun 1956 M69
. Ketika itu Wahbah
memperoleh tiga ijazah antara lain:
1. Ijazab B.A dari Fakultas Syari‟ah Universitas Al-Azhar pada tahun 1956
2. Ijazah takhasus pandidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-
Azhar pada tahun 1956
3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari‟ah Universitas Ain Syam pada tahun 1957
68
Faridatus Syuhadak, dan Badrun, “Pemikiran Wahbah Al-Zuh}aili> Tentang Ahka>m
Al-Usra‟, Syariah dan Hukum, Vol. 4 No 2, (Desember 2012), hlm, 160. 69
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Kaukaba Dipantara: Yogyakarta, 2013), hlm, 137.
50
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian
diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama
dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira‟i fi> as-
Siyasah as-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Isla>mi>”. Beliau belum merasa puas
dengan pendidikannya, kemudian melanjutkan ke program doktoral yang
diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “As\ar al-Harb fi> al-
Fiqh al-Isla>mi>” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.70
Setelah memperoleh ijazah Doktor, pekerjaan pertama beliau adalah staf
pengajar pada fakultas Syariah, Universitas Damaskus pada tahun 1963,
kemudian menjadi asisten dosen pada tahun 1969, dan menjadi profesor pada
tahun 1975. Sebagai guru besar, beliau menjadi dosen tamu di sejumlah
Universitas di negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum,
serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi Libya. Pada Univeresitas
Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada
di Sudan.71
Wahbah al-Zuh}aili> yang terkenal ahli dalam bidang Fiqh dan Tafsir,
serta berbagai disiplin ilmu lainnya, merupakan salah satu tokoh paling terkemuka
di abad ke 20 M. Ia adalah ulama yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti
T}a>hir Ibn Asyu>r, Sa‟i>d H}awwa>, Sayyid Qut}b, Muhammad Abu> Zahrah,
70
Shikhkhatul Af‟idah, “Metode dan Corak Tafsi>r Al-Wasit} Karya Wahbah Al-
Zuh}aili>”, (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo, Semarang, 2017), hlm,
67. 71
Nila Sari Nasution, “Hak Atas Air Irigasi Menurut Wahbah Al-Zuh}aili> (Studi Kasus
Di Desa Panyabungan TongaKec. Panyabungan), (Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN
Sumatra Utara, 2017), hlm,31
51
Mah}mu>d Syaltu>t, Ali Muhammad al-Khafif, Abdul Ghani, Abdul Khaliq dan
Muhammad Salam Madkur.72
Adapun kepribadian beliau adalah sangat terpuji di kalangan masyarakat
Syiria baik itu dalam amal-amal ibadahnya maupun ketawad}u‟annya, disamping
juga memiliki pembawaan yang sederhana. Meskipun memilki maz\hab Hanafi,
namun dalam pengembangan dakwahnya beliau tidak mengedepankan maz\hab
atau aliran yang dianutnya. Tetap bersikap netral dan proposional. Ia
menghembuskan nafas terakhir pada malam Sabtu, 8 Agustus 2015. Dunia Islam
berdukacita karena kehilangan seorang ulama kontemporer panutan dunia.
Wahbah al-Zuh}aili> berpulang ke rah}matulla>h pada usia 83 tahun.73
B. Guru dan Murid
Sebagai seorang ulama terkenal, guru dan murid merupakan hal
keniscayaan yang tidak bisa dilepaskan. Di antara guru-guru Wahbah al-Zuh}aili>
dalam bidang fiqh adalah; „Abd al-Razza>q al-Hamasi> (w. 1969 M), dan
Muhammad Ha>syim al-Khat}i>b as-Sya>fi‟i>, (w. 1958 M). Dalam bidang Ilmu
Hadis, ia belajar dari Mah}mu>d Yasin (w. 1948 M), dalam bidang Tafsir dan
Ilmu Tafsir, ia berguru dengan Syaikh H}asan Jankah dan Syaikh S}a>diq
72
Yahya Ihsanul A‟laa, “Makna Al-Ghad}ab dan Relevansinya Bagi Pengendalian Diri
dalam Al-Qur‟a>n (Study Analisis Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-Zuh}aili>),” (Skripsi
Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus, Kudus, 2016), hlm, 44. 73
Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-
Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda
Agama”,...hlm, 130.
52
Jankahal-Maida>ni>. Ilmu Bahasa Arab didapatkannya dari Muhammad S}a>lih}
Farfu>r (w. 1986 M).
Sedangkan ketika di Mesir, ia berguru kepada Mah}mu>d Syaltu>t (w.
1963 M), „Abdul Rah}ma>n Ta>j, dan „Isa> Manu>n yang merupakan gurunya di
bidang Ilmu Fiqh Muqa>ran (perbandingan). Dalam bidang Ushul Fiqh, ia
berguru dengan Must}afa> „Abdul Kha>liq beserta anaknya „Abdul Ghani, serta
masih banyak lagi guru-guru lainnya yang tidak disebutkan. 74
Perhatian beliau diberbagai ilmu pengetahuan tidak hanya menjadikan
beliau aktif dalam menimba ilmu, akan tetapi menjadikan beliau juga sebagai
tempat merujuk bagi generasi-generasi setelahnya, dengan berbagai metode dan
kesempatan yang beliau lakukan, yakni melalui berbagai pertemuan majlis ilmu
seperti perkuliahan, majlis ta‟lim, diskusi, ceramah, dan melalui media massa.
Hal ini menjadikan beliau banyak memiliki murid-muridnya, di antaranya
adalah: Muhammad Fa>ru>q H}amdan, Muhammad Na‟i>m Yasin, „Abdul al-
Sata>r Abu> Gha>dah, „Abd al-Lat}i>f Farfu>r, Muhammad Abu> Lail, dan
termasuk putranya sendiri, Muhammad al-Zuh}aili>, serta masih banyak lagi
murid-muridnya ketika ia mengajar sebagai dosen di Fakultas Syari‟ah dan
perguruan tinggi lainnya.75
74
Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-
Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda
Agama”,...hlm, 130. 75
Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-
Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda
Agama”,...hlm, 131.
53
C. Karya-karya
Kecerdasan dan kefaqihan Wahbah Al-Zuh}aili> telah dibuktikan dengan
kesuksesan akademisnya, hingga banyak lembaga-lembaga pendidikan dan
lembaga sosial yang dipimpinnya. Selain keterlibatannya pada sektor
kelembagaan baik pendidikan maupun sosial beliau juga memiliki perhatian besar
terhadap berbagai displin keilmuan, hal ini dibuktikan dengan keaktifan beliau
dan produktif dalam mengahasilkan karya-karyanya, meskipun karyanya banyak
dalam bidang tafsir dan fiqh akan tetapi dalam penyampaiannya memiliki
referensi terhadap paradigma masyarakat dan perkembangan sains.
Wahbah al-Zuh}aili> aktif dalam belajar dan mengajarkan berbagai
disiplin ilmu, baik dalam perkuliahan, ceramah di pengajian, diskusi, termasuk
juga melalui media massa. Sebagai hasil aktivitas akademisnya yang produktif,
tidak kurang dari 48 buku dan karya ensiklopedi (mausu>‟ah) dalam berbagai
disipilin ilmu Islam telah ditulisnya.76
Dr. Badi Al-Sayyid Al-Lahham dalam biografi Syaikh Wahbah al-Zuh}aili
yang ditulisnya dalam buku yang berjudul, Wahbah al-Zuh}aili al-Ali>m, al-
Fa>qih, al-Mufassir menyebutkan 199 karya tulis Syaikh Wahbah al-Zuh}aili
selain jurnal.77
Mayoritas karyanya mencakup bidang fiqh dan tafsir. Di antara karya-
karyanya tersebut sebagai berikut:
76
Muhsin Mahfudz , “Konstruksi Tafsi>r Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsi>r al-Muni>r
Karya Wahbah al-Zuh}aili>)”, al-Fikr, Vol. 14, No. 1, (2010), hlm, 34. 77
Eka Hayatunnisa dan Anwar Hafidzi, “Kriteria Poligami serta Dampaknya melalui
Pendekatan Alla> Tuqsit}u Fi> al-Yata>ma> dalam Kitab Fikih Islam Wa Adillatuhu”, Ilmu
Hukum dan Pemikiran, Vol. 17 No 1, (Juni 2017), hlm, 67.
54
1. Al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, (1997) dalam 9 jilid tebal. Ini adalah karya
fiqhnya yang sangat terkenal.
2. Usu>l al-Fiqh al-Isla>mi>, dalam 2 jilid besar.
3. Al-Wasi>t fi> Us}u>l al-Fiqh, Universitas Damaskus, 1966.
4. Al-Fiqh al-Islāmi fi> Uslu>b al-Jadi>d, Maktabah al-H}adi>tsah, Damaskus,
1967.
5. Fiqh al-Mawāris fi> al-Syari‟āt al-Islāmiyyah. Da>r al-Fikr, Damaskus,
1987.
6. Al-Qur‟ān al-Kari>m; Bunyātuhu al-Tasyri>‟iyyah au Khas}ā‟is}uhu al-
Hasāriyah, Da>r al-Fikr, Damaskus, 1993.
7. Al-Asa>s wa al-Mas}a>dir al-Ijtihād al-Musytarikah Bayna al-Sunnah wa al-
Syi‟ah, Da>r al-Maktabi, Damaskus, 1996.
8. Tafsi>r al-Muni>r fi> al-„Aqi>dat wa al-Syari>‟at wa al-Manhaj, terdiri dari
16 jilid. Da>r al-Fikr, Damaskus, 1991.
9. Tafsi>r al-Waji>z merupakan ringkasan dari Tafsi>r al-Muni>r.
10. Tafsi>r al-Wasi>t} dalam 3 jilid tebal, dan karya-karya lainnya.
Ketiga karya tafsir terakhir ini, yaitu Tafsi>r al-Muni>r, Tafsīr al-Waji>z,
dan Tafsi>r al-Wasi>t}, masing-masing memiliki ciri dan karakterestik tersendiri.
Ketiganya menggunakan metode penafsiran yang berbeda dan latar belakang yang
berbeda pula. Tafsi>r al-Muni>r yang mencakup aspek Akidah dan Syariah (16
jilid), diperuntukkan bagi para ahli atau kalangan atas. Sedangkan Tafsi>r al-
Waji>z, diperuntukan bagi kebanyakan orang dan khalayak umum. Adapun
Tafsi>r al-Wasi>t}, diperuntukan bagi orang yang tingkat pengetahuan menengah.
55
Sedangkan persamaannya adalah bahwa ketiganya sama-sama berupaya untuk
menjelaskan dan mengungkapkan makna-makna al-Qur‟an agar mudah dipahami
dan kemudian dapat di realisasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat
dengan lapisan yang berbeda.78
D. Tafsir Al-Muni>r
1. Latar Belakang Penulisan
Kata al-Muni>r yang merupakan isim fa‟il dari kata ana>ra (dari kata
nu>r; cahaya) yang berarti yang menerangi atau yang menyinari. Sesuai
namanya, mungkin Wahbah al-Zuh}aili bermaksud menamai kitab tafsir ini
dengan nama Tafsi>r al-Muni>r adalah ia berkeinginan supaya kitab tafsirnya
ini dapat menyinari orang yang mempelajarinya, dapat menerangi orang yang
membacanya, dan dapat memberikan pencerahan bagi siapa saja yang ingin
mendapatkan pencerahan dalam memahami makna kandungan ayat-ayat al-
Qur‟an dalam kitab tafsirnya ini.
Tafsi>r al-Muni>r bisa dibilang sebagai karya monumental ia dalam
bidang tafsir. Tafsir ini ditulis kurang lebih selama 16 tahun (mulai dari tahun
1975 sampai tahun 1991 M). Tafsir ini menjelaskan seluruh ayat al-Qur‟an,
mulai dari surah al-Fa>tih}ah sampai surah al-Na>s, yang terdiri dari 16
jilid, masing-masing jilid memuat 2 juz (bagian) dan seluruhnya terdiri dari
78
Wahbah al-Zuh}aili>, Tafsi>r al-Wasi>t}; Muqaddimah Tafsīr al-Wasi>t} (Damaskus:
Da>r al-Fikr, 2006), hlm, 5.
56
32 juz, dan dua juz terakhir berisi al-fihris al-sya>mil, semacam indeks yang
disusun secara alfabetis.79
Kitab Tafsi>r al-Munīr ini ditulis setelah pengarangnya
menyelesaikan penulisan dua kitab yang komprehensif dalam temanya
masing-masing, yaitu Us}ūl Fiqh al-Islāmi (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islāmi> wa
Adillatuhu (11 Jilid). Ketika itu, ia telah menjalani masa mangajar di
perguruan tinggi selama lebih dari 30 tahun dan melakukan riset dalam
berbagai disiplin ilmu, termasuk fiqih dan hadis. Ketia itu, ia telah
menghasilkan buku dan artikel yang berjumlah lebih dari tiga puluh buah.
Setelah itu, ia mulai menulis kitab Tafsīr al-Munīr, yang pertama kalinya
diterbitkan oleh Dār al-Fikr Beirut Libanon dan Dār al-Fikr Damaskus,
Syiria yang berjumlah 16 jilid bertepatan pada tahun 1991 M/1411 H. Dengan
demikian, tafsir ini ditulis ketika ia telah mencapai puncak karir
intelektualnya. Kitab ini telah diterjemahkan di berbagai negara, di antaranya
Turki, Malaysia, dan Indonesia.80
Tafsir ini ditulis berdasar atas keprihatinan Wahbah Al-Zuh}ail>i atas
sejumlah pandangan kalangan yang menyudutkan tafsir klasik sebab tidak
mampu menawarkan sulusi atas problematika kontemporer, sedangkan para
mufasir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap
79
Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-
Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda
Agama”,...hlm, 134. 80
Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-
Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda
Agama”,...hlm, 135.
57
ayat al-Qur‟an dengan dalih pembaharuan. Karena itulah, Wahbah Al-
Zuh}aili> berpendapat bahwa tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa
kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan
modern tanpa ada penyimpangan interpretasi. Lalu lahirlah tafsir al-Muni>r
yang memaduka orosinalitas tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer.81
2. Metode dan Sistematika penulisan Tafsir Al-Muni>r
Perkembangan tafsir sendiri melahirkan beberapa metode penafsiran
yang masyhur digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir). Diantara metode
penafsiran tersebut adalah metode ijma>li>, tah}li>li>, muqa>ran dan
maud}u>i>. Pertama, ijma>li>, yang dimaksud dengan metode ijma>li>
adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an secara ringkas tapi mencakup,
dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika
penulisannya menuruti susunan ayat-ayat dalam mushaf. Disamping itu,
penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur‟an sehingga
pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur‟an
padahal yang ia dengar itu adalah tafsirnya.82
Kedua, tah}li>li>, yang
dimaksud dengan metode tah}li>li> ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-
81Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga Kontemporer,
(Kaukaba Dipantara: Yogyakarta, 2013), hlm, 139. 82
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), hlm 13.
58
ayat tersebut. Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang
dikandung oleh al-Qur‟an, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan
urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang
dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi
kalimatnya, latar belakang turun ayat, muna>sabah ayat dan tidak
ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan
tafsiran ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi‟in,
maupun ahli tafsir lainnya.83
Ketiga, muqa>ran, para ahli tidak berbeda pendapat mengenai
definisi metode ini. Dari berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa
yang dimaksud dengan metode muqa>ran ialah:
1. Membandingkan teks ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki persamaan atau
kemiripan redaksi dalam dua kasus atau kebih, atau memiliki redaksi
yang berbeda bagi satu kasus yang sama.
2. Membandingkan ayat al-Qur‟an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat
bertentangan.
3. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-
Qur‟an.
Dari definisi itu terlihat jelas bahwa tafsir al-Qur‟an dengan
menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak hanya
83
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an,...hlm 31.
59
membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga membandingkan ayat
dengan hadis serta membandingkan pendapat para mufassir.84
Keempat, maud}u>i, yang dimaksud metode maud}u>i adalah
membahas ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun. Kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti
asbab nuzu>l, kosakata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-
Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.85
Wahbah al-Zuh}aili> dalam kitab Tafsi>r al-Muni>r ini,
menggunakan metode tafsir tah}li>li>, dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟an dalam kitab tafsirnya. Meski demikian, sebagian kecil di beberapa
tempat terkadang ia menggunakan metode tafsir tematik (maud}u>‟i>).
Metode tahlili lebih dominan, karena metode inilah yang hampir semua
digunakannya dalam kitab tafsirnya.
Adapun kerangka pembahasan atau sistematika pembahasan dalam
tafsirnya ini, Wahbah al-Zuh}aili> menjelaskan dalam pengantarnya, sebagai
berikut:
1. Mengklasifikasikan ayat al-Quran ke dalam satu topik pembahasan dan
memberikan judul yang cocok.
84
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an,...hlm, 65. 85
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an,...hlm, 151.
60
2. Menjelaskan kandungan setiap surah secara global.
3. Menjelaskan aspek kebahasaan
4. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat dalam riwayat yang paling sahih
dan mengesampingkan riwayat yang lemah jika ada, serta menjelaskan
kisah-kisah sahih yang berkaitan dengan ayat yang hendak ditafsirkan.
5. Menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan rinci.
6. Mengeluarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan ayat yang sudah
ditafsirkan.
7. Membahas bala>ghah (retorika) dan i„ra>b (sintaksis) ayat-ayat yang
hendak ditafsirkan.86
Metode dan sistematika di atas jelas memperlihatkan kompleksitas
bidang kajian yang disajikan pengarangnya. Dalam banyak hal, ia juga
memperlihatkan sebuah sistematika yang menjadi trend sejak munculnya
paradigm tafsir adabi> ijtima>‟i>. Salah satunya adalah perhatian khusus
terhadap aspek linguistik dalam penafsiran, sebagaimana terlihat dalam point
ketiga dan ketujuh. Sistematika tafsir global dan tematik juga menunjukkan
keterpengaruhan dengan trend terkini, sebagaimana ditunjukkan al-
Farma>wi>. Aspek keenam terkait hukum-hukum yang dideduksi dari sebuah
86
Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-
Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda
Agama”,...hlm, 137.
61
ayat merupakan sebuah bentuk kontekstualisasi yang dilakukan Wahbab al-
Zuh}aili> dalam bidang yang ditekuninya.87
3. Pendekatan dan Corak penafsiran Tafsir Al-Muni>r
Pendekatan penafsiran yang digunakan Wahbah Al-Zuh}aili> dalam
tafsir Al-Muni>r adalah:
a. Pendekatan linguistik
Pendekatan linguistik, yakni Wahbah Al-Zuh}aili> menguraikan
gramatikal dan balaghahnya. Contoh dalam QS. Ali Imran [3] 42:
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam,
Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan
melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan
kamu).”88
Adapun aspek Balagah dari ayat ini, misalnya: ( وإذ قالت الملئك)
yang dimaksud dengan kata الملئك adalah malaikat Jibril, tetapi ayat ini
menggunakan maja>z al-Mursa>l sebagai ungkapan umum tetapi yang
dimaksud adalah khusus atau sebagian, yakni Jibril. Kemudian ( اصطفىك و
87
Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-
Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda
Agama”,...hlm, 137. 88
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, `55.
62
Wahbah al-Zuh}aili> menjelaskan bahwa pengulangan ,(طهرك واصطفىك
kata اصطفىك dalam ayat merupakan bentuk al-Itnab.89
b. Pendekatan Hukum
Pendekatan Hukum, yakni Wahbah al-Zuh}aili> menggunakan
analisis hukum dalam arti luas (bukan fikih) sebagai domain
pendekatannya. Hal ini merupakan kewajaran jika melihat latar belakang
pendidikannya sebagai guru besar di bidang Hukum Islam. Dalam tafsir
Al-Muni>r, setiap kali membahas suatu ayat atau beberapa ayat, ia selalu
menguraikan fiqh al-h}a>yah wa al-Ah}ka>m (fikih kehidupan dan
hukum). Sepertinya, yang dimaksud dengan kalimat ini adalah norma-
norma kehidupan dan hukum-hukum yang diistimbatkan dari ayat.
c. Pendekatan sosiologis
Pendekatan Sosiologis, yakni Wahbah al-Zuh}aili> selalu
mendekatkan pemahaman ayat kepada realitas kehidupan sosial,
sebagaimana tujuan yang diusungnya dalam penulisan tafsir ini. Istilah
fiqh al-haya>h yang selalu ia gunakan ketika membahas satu atau
kelompok ayat secara konsisten sebagai isyarat bahwa ia akan
mengaitkan ayat dengan kehidupan sosial. Karena itu, sepertinya
pendekatan ini juga termasuk domain pendekatannya. Contoh QS. al-
Baqarah [2] 258:
89
Muhsin Mahfudz, “Konstruksi Tafsi>r Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsi>r al-Muni>r
Karya Wahbah al-Zuh}aili>)”, Al-Fikr, Vol. 14, No. 1, (2010), hlm, 35.
63
Artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat
Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan
kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan:
"Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata:
"Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata:
"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka
terbitkanlah Dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”90
Ketika membincang istilah الملك dalam ayat di atas, Wahbah al-
Zuh}aili> menguraikan antara makna Qur‟ani dengan makna yang lazim
dipahami oleh masyarakat sepanjang sejarah. Dan akhirnya, Wahbah
berkesimpulan bahwa pengunaan istilah tersebut bagi seorang “Raja
Kafir” tidak melanggar hukum dan aqidah Islam.91
Dengan melihat dari penafsiran yang digunakan oleh Wahbah al-
Zuh}aili> dalam kitab tafsirnya ini, bisa dikatakan bahwa corak tafsir
yang digunakan adalah corak kesastraan (adabi>) dan sosial
kemasyarakatan (al-Ijtimā‟i) serta adanya nuansa yurisprudensial (fiqh).
Hal ini terutama ditunjukan dengan adanya penjelaskan fiqh kehidupan
(fiqh al-h}aya>t) atau hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Hal
90
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 43. 91
Muhsin Mahfudz, “Konstruksi Tafsi>r Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsi>r al-Muni>r
Karya Wahbah al-Zuh}aili>)”, Al-Fikr, Vol. 14, No. 1, (2010), hlm, 36.
64
ini dapat dilihat karena memang Wahbah al-Zuh}aili> sendiri sangat
terkenal keahliannya dalam bidang fiqh dengan karya monumentalnya al-
Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu>. Sehingga, bisa dikatakan corak
penafsiran Tafsi>r al-Muni>r adalah keselarasan antara Adabi> Ijtima‟i>
dan nuansa fiqhnya atau penekanan Ijtima>‟i-nya lebih ke nuansa fiqh.92
4. Sumber-sumber Penafsiran Tafsir Al-Muni>r
Dalam pembahasan kitab ini, Wahbah al-Zuh}aili> menggunakan
kompromi antara sumber-sumber Tafsi>r bi al-Ma‟tsu>r dengan Tafsi>r bi al-
Ra‟yi, serta menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya
bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab
itu, ia membagi ayat-ayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan
penjelasan di dalamnya.
Di antara sumber-sumber referensi yang digunakan al-Zuh}aili> dalam
Tafsi>r al-Muni>r adalah sebagai berikut. Terkait bidang akidah, akhlak, dan
penjelasan keagungan Allah di alam semesta, merujuk kepada: Tafsi>r al-Kabi>r
karya Fakhruddi>n al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muhi>t} karya Abu>
H}ayya>n al-Andalu>si>, Ru>h al-Ma‟a>ni> karya al-Alu>si>. Dalam penjelasan
kisah-kisah al-Qur‟an dan sejarah, ia merujuk Tafsi>r al-Kha>zin dan al-
Baghawi>. Tafsir terkait penjelasan hukum-hukum fiqh, ia merujuk kepada
beberapa literature seperti al-Ja>mi‟ fi> Ah}ka>m al-Qur‟a>n, karya al-
Qurt}ubi>, Ah}ka>m al-Qur‟a>n karya Ibn al-„Arabi>, Ah}ka>m al-Qur‟a>n,
92
Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-
Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda
Agama”,...hlm, 138.
65
karya al-Jas}s}a>s, Tafsi>r al-Qur‟an al-„Az}i>m, karya Ibnu Kas\i>r, dalam
bidang kebahasaan, al-Kassya>f karya al-Zamakhsya>ri>. Materi qira>‟at,
dirujuk dari Tafsi>r al-Nasafi>, sedangkan dalam bidang sains dan teori-teori
ilmu alam, ia menyadur dari al-Jawa>hir karya T}ant}a>wi> Jauhari>, dan masih
banyak lagi yang lainnya.93
93
Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-
Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda
Agama”,...hlm, 139.
66
BAB IV
PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUH}AILI<> TENTANG ISTIDRA<J
A. Identifikasi Ayat-ayat Istidra>j
Penyebutan kata istidra>j secara langsung dalam Al-Qur‟an hanya
terdapat dua ayat dalam bentuk fi‟il mud}ari„.94
Keduanya diawali dengan huruf
sin (سنستدرجهم) yang menunjukkan makna (akan) dalam waktu dekat ( lil qari>b ),
yakni QS. al-A‟ra>f [7] 182:
Artinya:
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang
tidak mereka ketahui.”95
Dan QS. al-Qalam [68] 44:
Artinya:
“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang
yang mendustakan Perkataan ini (Al-Quran). nanti Kami akan menarik mereka
dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka
ketahui,”96
Sedangkan secara tersirat terdapat ayat-ayat lain yang juga menyebutkan
istidra>j secara maknawi, hal ini dapat diketahui dari penjelasan para mufassir
94
M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim, (Cet Ke-
10; Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 2015), hlm, 255. 95
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174. 96
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 566.
72
pada penafsiran ayat-ayat tersebut. Diantaranya terdapat pada QS. Ali Imra>n [3]
178:
Artinya:
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa
pemberian tangguh Kami kepada mereka97
adalah lebih baik bagi mereka.
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”98
QS. al-An‟a>m [6] 44:
Artinya:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;
sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka
terdiam berputus asa.”99
Dan QS. al-Mu‟minu>n [23] 55-56:
Artinya:
97
Yakni: dengan memperpanjang umur mereka dan membiarkan mereka berbuat dosa
sesuka hatinya. 98
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 73. 99
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 132.
73
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan
kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-
kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.100
Karena banyaknya ayat-ayat lain yang juga menyebutkan istidra>j secara
maknawi, maka untuk memperkaya pembahasan penulis mengambil tiga ayat
terakhir dan merupakan ayat-ayat yang menjadi batasan masalah penulis dalam
pembahasan ini. Pemilihan ayat-ayat tersebut berdasarkan analisa penulis setelah
membaca penjelasannya dalam tafsir al-Muni>r karya Wahbah Al-Zuh}aili>.
B. Penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili> Tentang Istidra>j
1. QS. al-A‟ra>f [7] 182:
Artinya:
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami
akan menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan
cara yang tidak mereka ketahui.”101
Wahbah Al-Zuh}aili> ketika menafsirkan ayat ini tidak melepaskan
dengan ayat sebelumnya, bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah
golongan kedua dari dua golongan umat Nabi Muhammad yang dimaksud
ayat tersebut. Golongan pertama adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk, konsisten pada kebenaran dalam perkataan dan perbuatan. Mereka
akan senantiasa menunjukkan manusia dan mengajak mereka pada kebenaran
dan mengaplikasikan kebenaran dalam keseharian, menghukum dengan adil
100
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 345. 101
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174.
74
tanpa berpihak dan aniaya.102
Itulah golongan pertama dari umat Nabi
Muhammad. Setelah itu Allah SWT menyebutkan golongan kedua yaitu
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah sebagaimana dalam surat al-
A‟ra>f 182 tersebut.
Menafsirkan ayat ini Wahbah Al-Zuh}aili> mengatakan, mereka
adalah penduduk Mekah, akan Kami biarkan mereka dalam kesesatan, dan
akan Kami tarik secara berangsur-angsur kepada azab tanpa mereka sadari
apa yang sedang direncanakan untuk mereka. Kemudian, Kami dekatkan
mereka kepada sesuatu yang akan membinasakan mereka dengan cara
memberi mereka nikmat, membuka pintu-pintu rezeki, dan memudahkan
sarana-sarana kehidupan setiap kali mereka berbuat dosa atau kesalahan,
sehingga mereka akan semakin sombong, terjerumus dalam kerusakan, selalu
dalam kesesatan, dan terbenam dalam kemaksiatan karena terbawa oleh
berbagai nikmat dan kesenangan tersebut, sebagaimana Allah SWT
berfirman:103
Artinya:
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami
berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan
kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”104
102
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 5; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 192. 103
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj,...
hlm, 193. 104
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 345.
75
Ayat ini dapat dipahami bahwa pemberian harta dan anak itu bukan
merupakan ukuran atau pertanda baiknya seseorang, sebagaimana Wahbah
Al-Zuh}aili> memberi kesimpulan, bahwa sesungguhnya nikmat, kebaikan,
dan rezeki bukanlah tanda kesalehan seseorang karena ia bisa saja bersifat
istidra>j sebagaimana umpan untuk musuh agar ia sampai ke sebuah tempat
lalu dihabisi disana. Jadi, seorang yang zalim jika ia belum segera mendapat
siksaan, ia akan tertipu akan hal tersebut karena boleh jadi ia dibiarkan untuk
diketahui kezaliman dan kedurhakaannya yang lain.
2. QS. al-Qalam [68] 44:
Artinya:
“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang
yang mendustakan Perkataan ini (Al-Qur‟an). nanti Kami akan menarik
mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak
mereka ketahui,”105
Munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah pada ayat
sebelumnya Allah menakut-nakuti orang-orang kafir dengan azab dunia
dalam firman-Nya ( يعمونولعذاب الأخرة أكبر لو كانو ) “Dan sesungguhnya azab
akhirat lebih besar jika mereka mengetahui”, Allah menyebutkan keadaan
orang-orang yang bahagia, menjelaskan bahwa orang-orang yang bertakwa
mendapatkan surga kenikmatan. Kemudian, Dia menyanggah orang-orang
kafir yang menyangka ada persamaan di akhirat antara mereka dan orang-
orang yang Muslim padahal mereka tidak mendapatkan kitab dari Tuhan,
105
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 566.
76
tidak pula ada perjanjian yang diberikan yang dikuatkan dengan sumpah-
sumpah, tidak pula ada penjamin-penjamin pada hari yang sangat genting,
hisab yang sangat sulit, baik untuk urusan shalat dan lainnya. Setelah Allah
menakut-nakuti orang-orang kafir dengan kegentingan dan sengitnya hari
kiamat, Allah menakuti dan mengancam mereka dengan keperkasaan dan
kekuasaan-Nya.
Menafsirkan ayat ini Wahbah Al-Zuh}aili> mengatakan, biarkan Aku
bersama mereka, biarkan Aku dan mereka, tinggalkan urusan mereka, orang-
orang yang mendustakan al-Qur‟an, cukuplah Aku menangani urusan mereka
tanpa kamu. Allah maha mengetahui bagaimana Aku membalas mereka.
Kami akan menggiring mereka setingkat demi setingkat sampai Kami
menjatuhkan azab pada mereka ketika mereka tidak mengetahui bahwa itu
adalah istidra>j sebab mereka menyangka itu pemberian nikmat. Mereka
tidak memikirkan akibatnya dan apa yang akan mereka peroleh pada
akhirnya. Ini adalah intimidasi yang keras, hiburan bagi Nabi Muhammad
SAW.106
Mereka tidak mengetahui bahwa pemberian nikmat itu adalah
istidra>j. Mereka justru meyakini bahwa itu dari Allah sebagai bentuk
kemuliaan.
Hakikat istidra>j itu adalah tidak langsung memberi siksa atau
hukuman, seperti yang dikatakan Wahbah Al-Zuh}aili>, Allah menunda dan
106
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 15; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 78.
77
memberikan waktu yang lama pada orang-orang zalim dan orang-orang kafir,
kemudian menghukum mereka.107
Disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dari Rasulullah SAW., beliau
bersabda:
حدثنا صدق بن الفضل أخبرنا أبو معاوي حدثنا بريد بن أبي بردة عن أبي - 1144بردة عن أبي موسى رضي الله عنو قال : قال رسول الله صى الله عيو و سم ) إن الله
ذا أخذه لم يفتو ( . قال ثم قرأ: وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى ليمي لظالم حتى إ 108.وىي ظالم إن أخذه أليم شديد
“Menceritakan kepada kami S{adaqah bin al-Fad}l, menceritakan
kepada kami Abu Muawiyah, menceritakan kepada kami Yazi>d bin Bardah,
dari Abu Bardah dari Abu Musa ra. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah membiarkan orang zalim, sampai ketika Dia telah
mengambilnya, maka Dia tidak akan melepasnya. Kemudian Nabi
Muhammad membaca „Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa
(penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh siksa-Nya sangat
pedih, sangat berat”.
Melihat keterangan di atas orang yang tertimpa istidra>j diawali
dengan diberi nikmat dan kesenangan dunia dan tidak langsung mendapat
siksa, melainkan Allah beri tangguh dalam waktu yang lama sebagai tahapan
bagi mereka sampai tiba waktunya, ironisnya mereka malah menganggap
bahwa nikmat itu sebagai bentuk kemuliaan bagi mereka.
107
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 15; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 83. 108
78
3. QS. Ali Imra>n [3] 178:
Artinya:
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa
pemberian tangguh Kami kepada mereka109
adalah lebih baik bagi mereka.
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang
menghinakan.”110
Allah menjelaskan tentang masalah pemberian tanggguh beberapa
waktu untuk orang-orang kafir, janganlah orang-orang kafir itu mengira
bahwa penangguhan dan umur panjang yang Kami berikan itu lebih baik bagi
mereka. Dikarenakan mereka tidak memanfaatkan umur mereka untuk
kebajikan, akan tetapi sebaliknya, mereka hanya memanfaatkan umur mereka
untuk kejelekan. Sehingga konsekuensinya dosa mereka semakin bertambah
dan menumpuk, semakin tenggelam dalam kebatilan dan kesesatan.
Ketika istidra>j menimpa seseorang Allah tidak langsung menyiksa
seketika, namun memberi penangguhan yang mana penangguhan itu
sebenarnya bisa jadi bentuk kasih sayang kepada manusia, yakni agar mereka
kembali pada keimanan dan ketaatan. Sebagaimana Wahbah Al-Zuh}aili>
menjelaskan, janganlah orang-orang kafir itu mengira bahwa penangguhan
Kami terhadap mereka itu bertujuan agar mereka terus-menerus di dalam
kebatilan, semakin tenggelam di dalam kesesatan dan menumpuk-numpuk
109
Yakni: dengan memperpanjang umur mereka dan membiarkan mereka berbuat dosa
sesuka hatinya. 110
Al-Qu‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 73.
79
dosa seperti yang mereka lakukan selama ini, bukan, akan tetapi mereka
diberi tangguh dan umur panjang sebenarnya bertujuan agar mereka sadar,
bertobat dan masuk ke dalam keimanan, bukan untuk menambah dosa dan
siksa. Seandainya mereka menyadari hal ini, maka penangguhan dan umur
panjang yang diberikan kepada mereka ini memang lebih baik bagi mereka.111
4. QS. al-An‟a>m [6] 44:
Artinya:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan
kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk
mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah
diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong,
Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”112
Menurut Wahbah Al-Zuh}aili> orang-orang yang terus berada dalam
kekafiran dan kedurhakaan, lalu Allah SWT membukakan pintu-pintu rezeki
dengan berbagai macam kemakmuran hidup, kesehatan, keamanan, dan lain
sebagainya sesuai yang diinginkan mereka, ini adalah istidra>j dan
pembiaran dari Allah SWT kepada mereka, sehingga tatkala mereka bersuka
ria dengan apa yang telah mereka terima berupa rezeki, anak-anak, dan harta
benda, Allah menjadikan mereka lalai dan menimpakan siksa yang tak
111
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 2; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 508. 112
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 132.
80
terduga kepada mereka sehingga mereka putus asa dari keselamatan dan
kebajikan.113
Imam Ahmad meriwayatkan dari Uqbah bin A<mir dari Nabi SAW,
bersanda:
, عن -44111 اج المهري ث نا رشدين, ي عني ابن سعد أبو الحج ث نا يحيى بن غيلن قال: حد حد
م, عن عقب بن عامر, عن النبي ص , عن عقب بن مس بن عمران التجيبي م حرم يو و س ى الله ع
, فإنما ىو استدراج ثم ى معاصيو ما يحب ن يا ع تل رسول الله قال: إذا رأيت الله ي عطي العبد من الد
روا بو ف ت ا نسوا ما ذك م م : )ف يو و س ى الله ع يهم أب واب كل شيء حتى إذا فرحوا بما ص حنا ع
سون( 114أوت وا أخذناىم ب غت فإذا ىم مب
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Gailan dia berkata, telah
menceritakan kepada kami Risydin yakni, Ibnu Sa‟d Abul H{ajjaj al-Mahari
dari H{armalah bin Imra>n at-Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin
A<mir dari Nabi SAW. beliau bersabda: „Jika kalian melihat Allah
memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu
yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah istidra>j.‟ Kemudia
Rasulullah SAW. membacakan ayat: „(Maka tatkala mereka melupakan
peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan
semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberika kepada mereka, kami siksa
mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam
berputus asa)‟”. (QS. Al-An‟a>m: 44).
Sebagaimana Wahbah Al-Zuh}aili> menjelaskan, kenikmatan yang
diberikan kepada seorang hamba bukan berarti hal itu menunjukkan
keridhaan Allah apabila kenikmatan itu dibarengi dengan kemaksiatan, hal
113
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 4; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 209. 114
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Bait al-Afkar al-Dauliyah,
1998), hlm, 1248.
81
tersebut merupakan istidra>j dari Allah SWT.115
\ Cukup banyak manusia
yang lalai terhadp istidra>j, padahal istidra>j sendiri dapat saja muncul dan
hadir pada setiap keadaan. Karena melupakan istidra>j itulah manusia lantas
melakukan dosa. Di antara istidra>j itu adalah Allah SWT memberikan
kepada manusia nikmat, lalu mereka lupa akan minta ampun kepada-Nya,
seterusnya mereka bertambah jahat dan takabbur, selanjutnya masuk ia dalam
perbuatan maksiat lainnya.116
5. QS. al-Mu‟minun [23] 55-56:
Artinya:
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami
berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan
kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”117
Mengenai ayat ini Wahbah Al-Zuh}aili> mengatakan para hartawan
dan pemilik kekayaan pada masa jahiliyah dan masa yang lainnya benar-
benar telah keliru ketika mereka mengira bahwa pelimpahan harta dan anak
kepada mereka adalah tanda keridhaan Allah SWT kepada mereka.
Sebaliknya hal itu sejatinya tidak lain adalah bentuk istidra>j menuju jurang-
jurang nereka. Kesimpulannya adalah dilimpahkannya harta kekayaan dan
anak kepada orang-orang kafir tidak lain itu adalah istidra>j bagi mereka
115
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 4; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 211. 116
Damanhuri, Istidraj dalam Mawa‟iz al-Badi‟ah, Substantia, Vol. 12 No. 2. (Oktober
2010), hlm, 448. 117
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 345.
82
menuju kemaksiatan-kemaksiatan dan membiarkan mereka semakin
bertambah dosa-dosanya. Mereka mengira bahwa itu adalah kesegeraan
berbuat kebaikan untuk mereka sebagai penghormatan dan pemuliaan serta
menyegerakan pahala sebelum waktunya.118
C. Penyebab Datangnya Istidra>j Menurut Wahbah Al-Zuh}aili>
Setelah membahas makna istidra>j, maka pada pembahasan ini penulis
akan menguraikan hal-hal yang menjadi penyebab seseorang tertimpa istidra>j.
Karena ketika Allah menimpakan istidra>j kepada manusia tidak lain tentu ada
penyebabnya, oleh karena itu dalam pembahasan ini penulis akan mengemukakan
beberapa hal yang menjadi penyebab seseorang ditimpa istidra>j menurut
Wahbah Al-Zuh}aili> dalam tafsirnya al-Muni>r:
1. Kafir119
Penyebab pertama dan utama adalah kekafiran, seperti disebutkan
dalam surat al-A‟ra>f [7] 182 dan al-Qalam [68] 44. Sebagaimana Wahbah
Al-Zuh}aili> mengatakan bahwa para pendusta al-Qur‟an adalah penduduk
kafir Mekah. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa istidra>j sudah terbukti
pada kaum kafir Quraisy yang dikalahkan pada Perang Badar, Khandaq,
pembebasan kota Mekah, dan peperangan-peperangan lainnya yang Allah
118
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 9; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 387. 119
Kufur adalah perbuatan dusta, berdusta dalam hal keesaan Allah, syari‟at atau kenabian
yang membuat pelakunya menjadi kafir dan inilah kekufuran yang paling besar. Lihat, Mufradat
Alfaz al-Qur‟an, hlm, 714.
83
memenangkan Rasul-Nya.120
Allah akan menimpakan hukuman berupa
istidra>j kepada para pendusta al-Qur‟an, ketika mereka telah mendustkan
ayat-ayat Allah berarti mereka telah kafir. Maka ketika Allah melimpahkan
sebagian harta duniawi kepada hamba-Nya tidak serta merta itu menjadi
istidra>j kecuali jika ia memang kafir. Maka salah satu penyebab istidra>j
adalah penolakan terhadap keimanan yaitu kekafiran. Oleh karena itu harta
yang diperoleh orang kafir jelas merupakan istidra>j. Karena dengan harta
itu orang kafir akan berbangga dengan kekuatan yang ada dalam diri mereka
dan saling tolong menolong dalam kekafiran.
Akan tetapi walaupun mereka mendustakan peringatan yang telah
disampaikan oleh utusan-Nya, tetap saja Allah SWT tidak langusng
memberikan azab kepada mereka, dalam arti menundanya. Begitu juga Allah
SWT tetap memberikan nikmatnya kepada mereka hingga mereka lupa diri,
bahwa nikmat yang Allah SWT berikan adalah sebuah peringatan yang
menjadikan mereka sebagai orang yang tertimpa istidrāj, padahal telah
dijadikan sebagai pelajaran kaum terdahulu yang juga mendustakan Rasul
yang diutus kepada mereka, akibat dari perbuatannya mereka mendapatkan
malapetaka.121
Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ali Imra>n [3] 137,
sebagai berikut:
120
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 5; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 93. 121
Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang Istidraj),
(Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), hlm, 58.
84
Artinya:
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah,122
karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).123
2. Tidak Bersyukur
Mengingkari nikmat Allah SWT menurut Badri Yatim adalah
menyalahgunakan nikmat-nikmat Allah SWT atau tidak menggunakannya
pada hal-hal yang diridhai-Nya, begitu juga tidak berterimakasih atas nikmat
yang dia terima.124
Sebagian orang ditimpa istidra>j karena mereka lupa
kacang dengan kulitnya dan lupa bersyukur kepada Allah setelah Allah
kabulkan doa mereka dan Allah limpahkan apa yang mereka inginkan. Hal ini
sebagaimana digambarkan pada ayat berikut ini:
Artinya:
Dan apabila manusia ditimpa bahaya Dia berdoa kepada Kami dalam
Keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya
itu daripadanya, Dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah Dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah
122
Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah yang
berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul. 123
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 67. 124
Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang Istidraj),
(Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), hlm, 59.
85
menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang
baik apa yang selalu mereka kerjakan.125
Ali bin Abi T{a>lib pernah berkata mengenai ciri-ciri orang yang
tidak bersyukur yaitu : “Ia tidak mampu mensyukuri apa yang dikaruniakan
kepadanya dan selalu menghendaki tambahan dari apa yang ada pada dirinya.
Bila jatuh sakit ia menyesali dirinya tapi bila telah kembali sehat ia merasa
aman berbuat sia-sia.126
Sebagaimana Wahbah Al-Zuh}aili> ketika menafsirkan QS. Ibra>him
ayat 7 ( ولئن كفرتم ) yakni, dan sungguh jika kalian mengingkari nikmat-nikmat,
dan menutupinya serta tidak memenuhi haknya untuk disyukuri (ان عذاب لشديد)
yakni, sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih dan sangat kuat penaruhnya, baik
sewaktu didunia dengan mencabut rizki itu maupun siksa diakhirat atas
kekufuran mereka.127
Dari keterangan tersebut nampaklah bahwa salah satu
penyebab manusia tertimpa istidra>j karena tidak bersyukur atas nikmat
Allah SWT, mereka memperoleh berbagai nikmat seperti harta, jabatan,
pekerjaan hingga hidayah dan keimanan, akan tetapi mereka tidak
mensyukurinya hingga mereka lalai dan termasuk golongan yang tertimpa
istidra>j.
3. Maksiat
125
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 209. 126
Muhammad al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali
r.a., (Cet ke-6, Bandung: Mizan, 2003), hlm 37. 127
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 7; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 228.
86
Nur Hasanah Azizah dalam tulisannya mengutip pendapat H{usni
Muba>roq bahwa pengertian maksiat adalah perbuatan yang melanggar
perintah Allah SWT, juga melanggar norma-norma agama. Maksudnya
melanggar atas apa yang Allah SWT perintahkan dan yang telah ditetapkan
ataupun keluar dari syariat.128
Setiap orang tidak boleh terburu-buru merasa
senang ketika dilimpahi kenikmatan berupa harta, jabatan, kesenangan,
kesuksesan dan lainnya, sementara hidupnya tidak pernah diisi dengan ibadah
apalagi malah diisi dengan kemaksiatan, baik itu maksiat kepada Allah
ataupun kepada sesama makhluk, karena bisa jadi itu merupakan istidra>j
dari Allah, yaitu sengaja Allah limpahi kesenangan dan dibukakan dunia agar
semakain terjerumus. Sebagaimana Wahbah Al-Zuhaili mengutip hadis Nabi
SAW, dari Uqbah bin Amir: ى معاصيو ما ي ن يا ع , فإنما ىو )إذا رأيت الله ي عطي العبد من الد حب
Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba“ استدراج(
pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu
hanyalah istidra>j.”129
Ali bin Abi T{a>lib berkata : “Hai anak Adam ingat dan waspadalah
bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu
sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepada-Nya".130
Jadi,
keputusan Allah memberikan istidra>j disebabkan oleh perbuatan dan sikap
128
Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang Istidraj),
(Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), hlm, 64. 129
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 4; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 210. 130
Muhammad al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali
r.a., (Cet ke-6, Bandung: Mizan, 2003), hlm, 121.
87
diantaranya adalah kemaksiatan. Demikianlah tanda istidrāj jika menimpa
seseorang, walaupun dia tidak mendustakan al-Qur‟an akan tetapi dia
melakukan maksiat terhadap Allah SWT.
D. Tabel Penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili>
No Nama Surat Ayat Tafsir
1 QS. Al-
A‟ra>f [7]
182
Akan Kami biarkan mereka dalam
kesesatan, dan akan Kami tarik
secara berangsur-angsur kepada
azab tanpa mereka sadari apa yang
sedang direncanakan untuk
mereka. Kemudian, Kami dekatkan
mereka kepada sesuatu yang akan
membinasakan mereka dengan
cara memberi mereka nikmat,
membuka pintu-pintu rezeki, dan
memudahkan sarana-sarana
kehidupan setiap kali mereka
berbuat dosa atau kesalahan,
sehingga mereka akan semakin
sombong, terjerumus dalam
kerusakan, selalu dalam kesesatan,
dan terbenam dalam kemaksiatan
karena terbawa oleh berbagai
nikmat dan kesenangan tersebut.
2 QS. Al-Qalam
[68] 44
Biarkan Aku bersama mereka,
biarkan Aku dan mereka,
tinggalkan urusan mereka, orang-
orang yang mendustakan al-
Qur‟an, cukuplah Aku menangani
urusan mereka tanpa kamu. Allah
maha mengetahui bagaimana Aku
membalas mereka. Kami akan
menggiring mereka setingkat demi
setingkat sampai Kami
menjatuhkan azab pada mereka
ketika mereka tidak mengetahui
88
bahwa itu adalah istidra>j sebab
mereka menyangka itu pemberian
nikmat. Mereka tidak memikirkan
akibatnya dan apa yang akan
mereka peroleh pada akhirnya. Ini
adalah intimidasi yang keras,
hiburan bagi Nabi Muhammad
SAW. Mereka tidak mengetahui
bahwa pemberian nikmat itu
adalah istidra>j.
3 QS. Ali Imran
[3] 178
Janganlah orang-orang kafir itu
mengira bahwa penangguhan Kami
terhadap mereka itu bertujuan agar
mereka terus-menerus di dalam
kebatilan, semakin tenggelam di
dalam kesesatan dan menumpuk-
numpuk dosa seperti yang mereka
lakukan selama ini, bukan, akan
tetapi mereka diberi tangguh dan
umur panjang sebenarnya
bertujuan agar mereka sadar,
bertobat dan masuk ke dalam
keimanan, bukan untuk menambah
dosa dan siksa. Seandainya mereka
menyadari hal ini, maka
penangguhan dan umur panjang
yang diberikan kepada mereka ini
memang lebih baik bagi mereka.
4 QS. Al-
An‟am [6] 44
Mereka terus berada dalam
kekafiran dan kedurhakaan, lalu
Allah SWT membukakan pintu-
pintu rezeki dengan berbagai
macam kemakmuran hidup,
kesehatan, keamanan, dan lain
sebagainya sesuai yang diinginkan
mereka, ini adalah istidra>j dan
pembiaran dari Allah SWT kepada
mereka, sehingga tatkala mereka
bersuka ria dengan apa yang telah
mereka terima berupa rezeki, anak-
anak, dan harta benda, Allah
menjadikan mereka lalai dan
menimpakan siksa yang tak
terduga kepada mereka sehingga
89
mereka putus asa dari keselamatan
dan kebajikan.
5 QS. Al-
Mu‟minun
[23] 55-56
Para hartawan dan pemilik
kekayaan pada masa jahiliyah dan
masa yang lainnya benar-benar
telah keliru ketika mereka mengira
bahwa pelimpahan harta dan anak kepada mereka adalah tanda
keridhaan Allah SWT kepada
mereka. Sebaliknya hal itu
sejatinya tidak lain adalah bentuk
istidra>j menuju jurang-jurang
nereka. Kesimpulannya adalah
dilimpahkannya harta kekayaan
dan anak kepada orang-orang kafir
tidak lain itu adalah istidra>j bagi
mereka menuju kemaksiatan-
kemaksiatan dan membiarkan
mereka semakin bertambah dosa-
dosanya. Mereka mengira bahwa
itu adalah kesegeraan berbuat
kebaikan untuk mereka sebagai
penghormatan dan pemuliaan serta
menyegerakan pahala sebelum
waktunya.
E. Analisa
Menurut Wahbah Al-Zuh}aili> istidra>j adalah menarik secara berangsur-
angsur atau sedikit demi sedikit. Yakni mendekatkan seseorang secara bertahap
kepada azab, dengan memberikan penangguhan waktu, memberikan kesehatan
dan menambah nikmat dari arah yang tidak ia ketahui, karena itu orang-orang
kafir mengira bahwa hal itu adalah kelebihan bagi mereka atas orang-orang
beriman. Menarik sedikit demi sedikit seseorang yang bersalah kepada hal-hal
yang akan membinasakan dan melipatgandakan siksa mereka.
90
Esensi istidra>j adalah menarik atau menyiksa seseorang untuk dibawa
kepada kebinasaan secara pelan-pelan. Sebagaimana makna istidra>j secara
bahasa dalam berbagai literatur, misalnya dalam kamus al-Munawwir dan Lisan
al-Arab arti istidra>j adalah mendekatkan secara berangsur-angsur.
Sebagaimana Syaikh Nawani dalam tafsirnya Marah} Labi>d juga
memaknai istidraj yaitu, akan Kami dekatkan mereka kepada apa yang akan
membinasakan mereka dan melipat gandakan siksa bagi mereka, yang demikian
itu karena setiap mereka melakukan dosa Allah membukakan pintu kenikmatan
dan kebaikan dunia, maka bertambahlah keangkuhan dan mereka senantiasa
membuat kerusakan dan maksiat, lalu Allah menghukum mereka secara tiba-tiba
atas kelalaian itu.131
Ibnu Kas\i>r al-Dimasyqi> menjelaskan, istidra>j ialah Allah
membukakan bagi mereka pintu-pintu rezeki dan segala wajah penghidupan
didunia sehingga mereka tertipu dengan nikmat yang ada pada mereka dan
meyakini bahwa mereka berada dalam suatu kebaikan.132
Adapun orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan al-Qur‟an
yang diturunkan-Nya (kepada masyarakat Mekah), Allah SWT menyampaikan
bahwa Dia akan menjebak mereka dengan mendekatkan mereka kepada sesuatu
yang akan membinasakan tanpa mereka sadari apa yang sedang direncanakan
melalui nikmat-nikmat, kebaikan, dan rezeki yang diturunkan kepada mereka
setiap kali mereka melakukan sebuah dosa atau kesalahan.
131
M. Ibn Umar Nawawi al-Jawi>, Marah} Labi>d Likasyfi Ma‟na al-Qur‟a>n al-
Maji>d, (Jilid 1, Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1997), hlm, 409. 132
Ibnu Katsir Al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, (Jilid 2; Dar al-Fikr: Beirut,
2006), hlm, 778.
91
Allah SWT akan membiarkan mereka dan memberi mereka waktu ketika
mereka tetap dalam kekafiran dan Allah tidak menyegerakan siksaan, tetapi
menundanya untuk memberi mereka kesempatan kembali kepada kebenaran,
menjawab seruan iman dan mempercayai Nabi Muhammad SAW. Dalam masa
tempo tersebut Allah tetap memperingatkan mereka bahwa jika mereka tetap
dalam kemaksiatan dan kekafiran, sungguh tipu daya Allah sangat dahsyat dan
terencana.133
Allah SWT telah memperingatkan hamba-Nya melalui berbagai ayat-ayat-
Nya dalam al-Qur‟an dan Nabi SAW dalam hadisnya juga mengingatkan umatnya
agar berhati-hati dari bahaya istidra>j, sebagaimana Nabi bersabda: ذا رأيت الله ي عطي إ
, فإنما ىو استدراج ى معاصيو ما يحب ن يا ع Jika kalian melihat Allah memberikan) العبد من الد
dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka
sesungguhnya itu hanyalah istidra>j). Hadis ini mengingatkan bahwa istidra>j
tidak hanya menimpa orang-orang kafir, tetapi juga orang mukmin jika senantiasa
bermaksiat kepada Allah. Jadi, orang yang tertimpa istidra>j cenderung gampang
tertipu dengan apa-apa yang diperolehnya, ia tidak menyadari bahwa setiap
kenikmatan yang mereka dapat merupakan jebakan bagi mereka yang akan
membawa kepada kehancuran, apalagi istidra>j akan memanjakan orang tersebut
dan menghabisi secara perlahan yang akan membuat mereka semakin tidak sadar.
Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan makna istidra>j,
Kami akan menjatuhkan mereka ke dalam siksa sederajat demi sederajat, dengan
133
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet
ke-10, juz 5; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 196.
92
cara memberikan tempo dan mengekalkan kesehatan serta menambah nikmat
kepada mereka, tanpa sepengetahuan mereka bahwa yang demikian itu adalah
istidra>j. Bahkan, mereka menyangka bahwa yang demikian itu adalah kelebihan
dan keunggulan mereka atas orang-orang yang beriman, padahal yang demikian
adalah penyebab kebinasaan mereka pada akhirnya.134
Istidra>j merupakan tipuan yang membuat pelakunya terbuai, bagaimana
tidak, setiap kali seseorang melakukan kesalahan dan dosa Allah akan semakin
menambah nikmat itu, Sebagaimana al-Qurt}ubi> mengutip dalam tafsirnya,
Dhahhak berkata: ما جددوا لنا معصي جددنا لهم نعم Setiap kali mereka melakukan) ك
kemaksiatan yang baru, kami pun berikan mereka nikmat yang baru pula).135
Tetapi jika mereka menyadari, Allah sudah cukup baik memberi tangguh beberapa
waktu untuk mereka, karena pemberian tangguh juga bisa menjadi sarana bagi
mereka untuk kembali pada keimanan, namun memang, jika mereka tetap lalai
dan terlena maka azab benar-benar akan mengakhiri semua kesenangan itu.
134
Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r Al-Maraghi, (jilid 29, Semarang: Tohaputra,
1987), hlm, 74. 135
Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an, (Cet ke-2, jilid 4, Lebanon: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2005), hlm, 209.
93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa penulis mengenai penafsiran Wahbah Al-Zuhaili
tentang makna istidra>j yang terdapat pada QS. al-A‟ra>f [7] 182, QS. Al-Qalam
[68] 44, QS. Ali Imra>n [3] 178, QS. Al-An‟a>m [6] 44, dan QS. Al-Mu‟minu>n
[23] 55-56, setidaknya penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan istidra>j adalah sebuah hukuman dari Allah SWT sewaktu di
dunia, berupa kesenangan dan kenikmatan yang diawali dengan kedustaan,
kekufuran atas nikmat dan kemaksiatan yang dilakukan seseorang terhadap Allah
SWT, untuk menjadikan mereka lalai dan terlena, kemudian Allah beri tangguh
beberapa waktu, lalu secara perlahan Allah giring mereka pada kebinasaan.
Secara garis besar istidra>j merupakan rangkaian nikmat, penangguhan
dan azab. Istidra>j selalu diawali dengan nikmat dan kesenangan yang sejatinya
kesenangan itulah yang akan membawa mereka pada kebinasaan. Jadi hakikatnya,
istidra>j adalah hukuman, bukan sebuah nikmat meskipun secara penerimaan
berupa nikmat dan kesenangan.
Kemudian, yang menyebabkan seseorang tertimpa istidra>j menurut
Wahbah Al-Zuh}aili> adalah:
2
1. Kedustaan terhadap Allah SWT baik dalam hal ketuhanan, kenabian maupun
syariat yang menjadikan seseorang telah kafir, sementara orang kafir otomatis
semua kesenangan yang diperolehnya dihukumi sebagai istidra>j.
2. Tidak pandai bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, berupa rezeki harta,
anak, jabatan, kesehatan dan lain sebagainya. Karena, orang yang bersyukur
akan ditambah nikmatnya, sedangkan orang yang kufur akan mendapat siksa.
3. Melakukan maksiat atau melanggar syariat Allah SWT, misalnya
meninggalkan kewajiban seperti, salat, puasa, zakat dan tidak pernah berdoa
kepada Allah SWT. Atau melakukan apa saja yang dilarang oleh Allah SWT
seperti membunuh, mabuk, berzina, zalim terhadap makhluk, menipu orang,
curang dalam pekerjaan dll.
Oleh karena itu, supaya terhindar dari istidra>j seseorang harus memohon
kepada Allah SWT serta melaksanakan perintah-Nya dan menjauhkan diri dari
segala yang bisa mendatangkan murka-Nya. Dan bersyukur atas setiap nikmat
yang Allah curahkan serta senantiasa menjaga keimanan agar terhindar dari
istidra>j.
B. Saran
Penelitian ini hanya membahas tentang istidra>j menurut pandangan
Wahbah Al-Zuhaili melalui ayat-ayat istidra>j. Dengan melihat penafsiran beliau
kita dapat memperoleh informasi yang cukup jelas mengenai apa itu istidra>j,
meskipun dalam penyajian dan analisa penulis masih terdapat banyak kekurangan.
3
Oleh karena itu, diharapkan akan ada penelitian selanjutnya yang membahas
istidra>j lebih masif lagi agar wawasan yang deperoleh juga samakin luas.
Istidra>j merupakan salah satu hukuman yang Allah segerakan di dunia.
oleh karena itu penulis menyarankan diri pribadi dan kepada para pembaca untuk
memahami apa itu istidra>j, dengan membaca ayat-ayat tentang istidra>j,
mencari keterangan para ulama tafsir tentang istidra>j dan apapun yang bisa
memberikan informasi mengenai istidra>j. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penelitian ini, namun kiranya sudah dapat dijadikan referensi
bagi para pembaca yang ingin memahami apa itu istidra>j.
Akhirnya setelah melakukan penelitian ini, penulis sadar ini hanyalah
bentuk usaha manusia yang jauh dari sempurna. Kekurangan pasti akan
ditemukan dan kesalahan mungkin akan didapatkan. Akan tetapi penulis
memastikan bahwa kesalahan yang sifatnya sengaja tidak akan ditemukan dalam
penulisan ini. Dan penulis akan tetap berharap penelitian ini bermanfaat,
khususnya bagi penulis secara pribadi dan juga akademis serta umat muslim pada
umumnya.
4
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟a>n dan Terjemahnya. 2009. Departemen Agama RI.
Af‟idah, Shikhkhatul. 2017. “Metode dan Corak Tafsi>r Al-Wasit} Karya
Wahbah Al-Zuh}aili>.” UIN Walisongo Semarang: Skripsi, Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora.
Ahmad bin Hanbal. 1995. Musna>d Ima>m Ah}mad bin H}anbal. Mesir: Da>r
Al-Hadis.
A‟laa, Yahya Ihsanul. 2016. “Makna Al-Ghad}ab dan Relevansinya Bagi
Pengendalian Diri dalam Al-Qur‟a>n (Study Analisis Tafsi>r Al-Muni>r
Karya Wahbah Al-Zuh}aili>).” STAIN Kudus: Skripsi, Jurusan
Ushuluddin.
Al-As}fahani, Al-Raghi>b. 2013. Mu‟jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur‟a>n.
Lebanon: Da>r Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Al-Baqir, Muhammad. 2003. Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat
Imam Ali r.a. Bandung: Mizan.
Al-Dimasyqi, Ibnu Kat}ir. 2006. Tafsi>r Al-Qur‟a>n al-„Az}im. Beirut: Da>r al-
Fikr.
Al-Jawi>, M. Ibn Umar Nawawi. 1997. Marah} Labi>d Likasyfi Ma‟na al-
Qur‟a>n al-Maji>d. Beirut: Dar Kutub Ilmiyah.
Al-Maraghi, Ahmad Mus}t}afa. 1987. Tafsi>r Al-Maraghi. Semarang: Tohaputra
Al-Qa>simi. 2003. Maha>sin Al-Takwi>l. Lebanon: Da>r Al-Kutub Al-
Ilmiyyah.
Al-Qurt}ubi. 2005. Al-Ja>mi‟ li Ahka>m Al-Qur‟a>n. Lebanon: Da>r Al-Kutub
Al-Ilmiyyah.
Al-Ra>zi. 2004. Al-Tafsi>r Al-Kabi>r au Mafa>tih Al-Ghaib. Lebanon: Da>r Al-
Kutub Al-Ilmiyyah.
Al-Rifa>‟i, M. Nas}ib. 2007. Taisiru Al-„Aliyyul Qadi>r li Ikhtis}ari Tafsi>r Ibnu
Kat}ir. terj. Syihabuddin. Jakarta: GEMA INSANI.
Al-T}abari, Ibnu Jari>r. Ja>mi‟ Al-Baya>n fi> Takwi>l Al-Qur‟a>n. Mesir:
Da>r Al-Taufiqiyah.
Al-Tawinji, Muh}ammad. 2011. Al-Mu‟jam Al-Mufas}s}al fi> Tafsi>r Ghari>b
Al-Qur‟a>n Al-Kari>m. Lebanon: Da>r Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Al-Zuh}aili>, Wahbah. 2006. Tafsi>r al-Wasi>t}; Muqaddimah Tafsīr al-
Wasi>t}. Damaskus: Da>r al-Fikr.
Al-Zuh}aili>, Wahbah. 2009. Al-Tafsi>r al-Muni>r fi Al-„Aqi>dat wa al-
Syari>‟at wa al-Manhaj. Damaskus: Da>r Al-Fikr.
5
Aminah, Siti. 2015. “Makna Makar dalam Al-Qur‟a>n (Studi Komperatif antara
Tafsi>r Ibnu Kat}ir, Al-Maraghi dan Al-Az}ar.” UIN Suska: Skripsi,
Fakultas Ushuluddin.
Anwar , Abu. 2012. Ulu>mul Qur‟a>n Sebuah Pengantar. AMZAH.
Ash-Shiddieqy, Muh}ammad Hasbi. 2000. Tafsīr Al-Qur‟a>n Al-Maji>d Al-
Nu>r. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Azizah, Nur Hasanah. 2017. Istidra>j dalam al-Qur‟a>n (Analisis Ayat-ayat
tentang Istidra>j. UIN Syarif Hidayatullah: Skripsi, Fakultas Ushuluddin.
Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur‟a>n. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Baihaki. “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-Zuh}aili> Dan
Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama”, Analisis,
XVI (Juni, 2016)
Damanhuri. “Istidra>j dalam Mawa>‟iz} Al-Badi>‟ah”, Substantia,” XII
(Oktober, 2010)
Depdiknas. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Fua>d Abdul Ba>qi>, Muh}ammad. 2015. Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz} al-
Qur‟a>n al-Kari>m. Beirut: Da>r al-Ma‟rifah.
Ghofur, Saiful Amin. 2013. Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga
Kontemporer, Kaukaba Dipantara: Yogyakarta.
Hayatunnisa, Eka dan Anwar Hafidzi. “Kriteria Poligami serta Dampaknya
melalui Pendekatan Alla> Tuqsit}u Fi> al-Yata>ma> dalam Kitab Fikih
Islam Wa Adillatuhu”, Ilmu Hukum dan Pemikiran, XVII (Juni 2017)
Mahfudz, Muhsin, “Konstruksi Tafsi>r Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsi>r al-
Muni>r Karya Wahbah al-Zuh}aili>)”, Al-Fikr, XIV (2010)
Makhluf, Hasanain Muhammad. 1996. Kalimatul Qur‟a>n – Tafsi>r wa Baya>n.
Ter. Hery Noer Aly. Bandung: Gema Risalah Press.
Manz}ur, Ibnu. 1997. Lisa>n al-Arab. Beirut: Da>r al-Fikr.
Mujieb, M. Abdul, et.al. 1994. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mukhorror Ahmad. 2016. Istidra>j Perspektif Al-Qurt}ubi dalam Tafsi>r Al-
Ja>mi‟ Li Ahka>mi Al-Qur‟a>n. UIN Sunan Kalijaga, Skripsi, Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif
Nasution, Nila Sari. 2017. “Hak Atas Air Irigasi Menurut Wahbah Al-Zuh}aili>
(Studi Kasus Di Desa Panyabungan TongaKec. Panyabungan). UIN
Sumatra Utara: Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum.
6
Nur, Abdul Rahim. 2016. Mark dalam Perspektif Al-Qur‟a>n (Kajian Tahli>li>
Terhadap QS Ibra>him/14:46). UIN Alauddin: Skripsi, Fakultas
Ushuluddin, Filsafat dan Politik.
Qut}b, Sayyid. 2008. Tafsi>r Fi> Z}ila>l Al-Qur‟a>n; Di Bawah Naungan Al-
Qur‟an, terj, As‟ad Yasin dkk. Jakarta: GEMA INSANI.
Ridho, M Rasyid. 2007. Tafsi>r Al-Mana>r. Beirut Lebanon: Da>r al-Fikr.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsi>r al-Mis}bah. Jakarta: Lentera Hati.
Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
ALVABETA.
Syuhadak, Faridatus dan Badrun. “Pemikiran Wahbah Al-Zuh}aili> Tentang
Ahka>m Al-Usra‟, Syariah dan Hukum, IV (Desember 2012)
Winarno. 2013. Metodologi Penelitian Dalam Pendidikan Jasmani. Malang: UM
PRESS.
Zakaria, Abu Al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn. 1979. Mu‟jam Maqa>yis al-
Lughah. Beirut: Da>r al-Fikr.