ISTIDRA

95
1 ISTIDRA<J DALAM TAFSIR AL-MUNI<R KARYA WAHBAH AL-ZUH{AILI< SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Dalam Prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir OLEH: SUPRIADI NIM 141 642 3275 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR JURUSAN USHULUDDIN FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU TAHUN 2019 M/1440 H

Transcript of ISTIDRA

Page 1: ISTIDRA

1

1

ISTIDRA<J DALAM TAFSIR AL-MUNI<R

KARYA WAHBAH AL-ZUH{AILI<

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Dalam Prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

OLEH:

SUPRIADI

NIM 141 642 3275

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

JURUSAN USHULUDDIN

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU

TAHUN 2019 M/1440 H

Page 2: ISTIDRA

2

2

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang ditulis oleh Supriadi, NIM: 141 642 3275 dengan judul

“ISTIDRA<J DALAM TAFSIR AL-MUNIR KARYA WAHBAH AL-

ZUHAILI". Program Studi Ilmu al-Qur‟a>n dan Tafsi>r Jurusan Ushu>luddi>n

Fakultas Ushu>luddi>n Adab dan Dakwah, telah diperbaiki sesuai dengan saran

pembimbing I dan Pembimbing II. Oleh karena itu, skripsi ini disetujui untuk

diujikan dalam sidang Munaqasyah skripsi Fakultas Ushuluddin Adab Dan

Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu.

Bengkulu, Januari 2019

Pembimbing I

Dra. Agustini, M. Ag NIP. 197707172005012010

Pembimbing II

H. Syukraini Ahmad, M A

NIP. 197809062009121002

Kepala Jurusan Ushuluddin

Dr. Ismail, M.Ag

NIP. 197206112005011002

ii

Page 3: ISTIDRA

3

3

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi berjudul ISTIDRA>J DALAM TAFSIR AL-MUNI<R KARYA

WAHBAH AL-ZUH{AILI< telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas

Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Bengkulu. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi

Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir.

Bengkulu, Januari 2019

Sidang munaqasyah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Aaaa aaa

NIP. NIP.

Penguji I Penguji II

Aaaa aaaa

NIP. NIP.

Kepala Jurusan Ushuluddin

Aaaa

NIP.

iii

Page 4: ISTIDRA

4

4

MOTTO

Pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,

Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

(Asy-Syu’ara [26] 88)

“Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus

menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-

menerus melakukan maksiat kepada-Nya”.

(Ali bin Abi Thalib, Mutiara Nahjul Balaghah)

iv

Page 5: ISTIDRA

5

5

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Keluarga tersayang :

Ayahanda tercinta Legino

Ibunda tercinta Sri Rahayu (almh)

Ayunda tercinta Susiati binti Legino dan Suami

Ayunda tercinta Sumiarni binti Legino dan Suami

Adinda tercinta Jumiani binti Legino dan Suami

Adinda tercinta Riotho bin Legino

Adinda tercinta Novita Maya Sari binti Legino dan Suami

Keluarga di Bengkulu :

Bapak Emron Nurdin

Ibu Rita Ennolis

Ayuk Sari dan Suami

Abang Andi dan Istri

Abang Yuniko Fitryan dan Istri

Sahabat-sahabatku, terimakasih kalian telah menjadi warna dan saksi

sejarah hidupku selama di rantau, (Siratal Mustakim, Alan Budi

Kusuma, Herdang Talkin, Rayendra Agustian, Febri Hernando).

Teman-teman seperjuangan, tawa canda kalian selalu menjadi butiran

semangatku, (Restu Prayogi, Trisno, Siti Suroh, Dessy Nurjannah

Firdaus, Vina Riamuslihatin, Devi Pratiwi, Jumrohtul Wahdah, Ulin

Nafi‟atul Ma‟rifah, Eva Darna).

Seluruh pecinta almamater IAIN Bengklulu dan ilmu al-Qur‟an

v

Page 6: ISTIDRA

6

6

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi dengan judul “Istidra>j dalam tafsir al-Muni>r karya Wahbah Al-

Zuh}aili>”. Adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar

akademik, baik di IAIN Bengkulu maupun di Perguruan Tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini murni gagasan, pemikiran, dan rumusan saya sendiri tanpa

bantuan yang tidak sah dari pihak lain kecuali arahan dari tim pembimbing.

3. Di dalam skripsi ini tidak terdapat hasil karya atau pendapat yang ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali kutipan secara tertulis dengan jelas dan

dicantumkan sebagai acuan di dalam naskah saya dengan disebutkan nama

pengarangnya dan dicantumkan pada daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan apabila dikemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran pernyataan ini, saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar sarjana, serta sanksi

lainnya sesuai dengan norma dan ketentuan yang berlaku.

Bengkulu, Januari 2019

Supriadi

NIM: 1416423275

vi

Page 7: ISTIDRA

7

7

ABSTRAK

Supriadi, NIM 141 642 3275. “Istidra>j dalam tafsir al-Muni>r karya

Wahbah Al-Zuh}aili>”. Skripsi, Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Jurusan

Ushuluddin Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, IAIN Bengkulu.

Pembimbing I Dra. Agustini, M. Ag dan Pembimbing II H. Syukraini Ahmad,

MA

Adapun masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana

penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili> tentang makna istidra>j dalam tafsir al-Muni>r

dan apa yang menjadi penyebab seseorang tertimpa istidra>j. Sedangkan tujuan

penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili>

tentang makna istidra>j dan untuk menjelaskan penyebab seseorang tertimpa

istidra>j.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (library research), yang

dalam metode pengumpulan data menggunakan cara menelusuri dan menelaah

bahan-bahan pustaka terutama tafsir al-Muni>r sebagai data primernya, dan

literatur-literatur lain yang dianggap relevan. Analisis data dilakukan secara

deskriptif analitis yaitu mendeskripsikan objek kajian dari data yang berhasil

dikumpulkan untuk kemudian ditarik kesimpulan.

Hasil penelitian ini adalah; Pertama, istidra>j adalah sebuah hukuman dari

Allah SWT sewaktu di dunia, berupa kesenangan dan kenikmatan yang diawali

dengan kedustaan, kekufuran atas nikmat dan kemaksiatan yang dilakukan

seseorang terhadap Allah SWT untuk menjadikan mereka lalai dan terlena,

kemudian Allah beri tangguh beberapa waktu, lalu secara perlahan Allah giring

mereka kepada kebinasaan. Kedua, penyebab seseorang tertimpa istidra>j antara

lain adalah mendustakan Allah SWT, kufur atas nikmat yang telah diterima dan

melakukan kemaksiatan kepada Allah SWT.

Kata Kunci: Istidra>j, Wahbah Al-Zuh}aili>, Tafsir al-Muni>r

vii

Page 8: ISTIDRA

8

8

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ISTIDRA<J DALAM

TAFSIR AL-MUNI<R KARYA WAHBAH AL-ZUH{AILI<”.

Shalawat dan salam untuk Nabi besar Muhammad SAW, yang telah berjuang

untuk menyampaikan ajaran Islam sehingga umat Islam mendapat petunjuk ke jalan yang

lurus baik di dunia maupun akhirat.

Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat guna untuk

memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

(IQT) Jurusan Ushuluddin, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Bengkulu. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan

dari berbagai pihak. Dengan demikian penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Sirajuddin M, M. Ag, M.H selaku Rektor IAIN Bengkulu.

2. Bapak Dr. Suhirman, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab Dan Dakwah

IAIN Bengkulu.

3. Bapak Dr. Ismail M. Ag Selaku Ketua Jurusan Ushuluddin, Fakultas Ushuluddin,

Adab Dan Dakwah IAIN Bengkulu.

4. Bapak H. Syukraini Ahmad, MA selaku ketua Prodi Ilmu Al-Qur‟an Dan Tafsir,

Sekaligus sebagai pembimbing II

5. Ibu Dra. Agustini, M. Ag sebagai pembimbing I

6. Segenap Bapak/Ibu Dosen dan karyawan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah

Institut Agama Islam Negeri Bengkulu

7. Bapak Ibu dan keluarga tercinta yang selalu mendoakan.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari akan banyak kelemahan dan

kekurangan dari berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran

yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini ke depan.

Bengkulu, Januari 2019

Penulis ,

Supriadi

NIM. 141 642 3275

viii

Page 9: ISTIDRA

9

9

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

HALAMAN PENGESAHAN

MOTTO..................................................................................................................... i

HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................ iii

ABSTRAKSI............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v

DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii

TRANSLITERASI ARAB LATIN .......................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 10

C. Batasan Masalah ................................................................................... 10

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.......................................................... 10

E. Kajian Pustaka ...................................................................................... 11

F. Metde Penelitian ................................................................................... 13

G. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 15

BAB II KERANGKA TEORI

A. Pengertian Istidraj Menurut Al-Qur‟an dan Hadis ............................... 17

B. Term-term Yang Semakna dengan Istidraj .......................................... 22

1. Al-Makr ......................................................................................... 22

2. Al-Khid‟ah .................................................................................... 24

3. Al-Kaid .......................................................................................... 26

4. Al-Imla‟ ......................................................................................... 28

C. Pendapat Para Mufassir tentang Istidraj ............................................... 29

BAB III BIOGRAFI WAHBAH AL-ZUHAILI

A. Riwayat Hidup...................................................................................... 34

B. Guru dan Murid .................................................................................... 36

C. Karya-karya .......................................................................................... 37

D. Tafsir Al-Munir .................................................................................... 40

1. Latar Belakang Penulisan .............................................................. 40

2. Metode dan Sistematika Penulisan Tafsir Al-Muni>r .................. 41

3. Pendekatan dan Corak Penafsiran Tafsir Al-Muni>r .................... 45

4. Sumber-Sumber Penafsiran Tafsir Al-Muni>r ............................. 48

BAB IV PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUHAILI

A. Identifikasi Ayat-Ayat Istidraj ............................................................. 50

B. Penafsiran Wahbah Al-Zuhaili Tentang Istidraj .................................. 52

C. Penyebab Datangnya Istidraj ................................................................ 61

ix

Page 10: ISTIDRA

10

10

1. Kafir .............................................................................................. 61

2. Tidak bersyukur ............................................................................ 62

3. Maksiat .......................................................................................... 64

D. Tabel Penafsiran Wahbah Al-Zuhaili ................................................... 65

E. Analisa .................................................................................................. 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................... 70

B. Saran ..................................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

x

Page 11: ISTIDRA

11

11

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam Skripsi/Tesis/Disertasi ini

menggunakan pedoman transliterasi berdasarkan keputusan bersama Menteri

Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 tahun 1987

dan Nomor 0543 b/U/1987 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا

- Ba>„ B ة

- Ta>‟ T د

S|a> S| S (dengan titik di atas) س

- Ji>m J ج

H{a>„ H{ H (dengan titik di bawah) ح

- Kha>>' Kh ر

- Da>l D د

Z|a>l Z| Z (dengan titik di atas) ذ

- Ra>„ R ز

- Zai Z ش

- Si>n S ض

- Syi>n Sy ش

S{a>d S{ S (dengan titik di bawah) ص

D{a>d D{ D (dengan titik di bawah) ض

T{a>'> T{ T (dengan titik di bawah) ط

Z{a>' Z{ Z (dengan titik di bawah) ظ

Ain „ Koma terbalik di atas„ ع

- Gain G غ

Fa>„ F ف

Qa>f Q ق

Ka>f K ك

La>m L ل

Mi>m M و

Nu>n N

xi

Page 12: ISTIDRA

12

12

Wa>wu W و

Ha>‟ H هـ

‟ Hamzah ء

Apostrof (tetapi tidak

dilambangkan apabila ter-

letak di awal kata)

Ya>' Y -

2. Vokal

Vokal bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Pendek

Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau

harakat yang transliterasinya dapat diuraikan sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

- Fath}ah A A

- Kasrah I I

- D{ammah U U

Contoh:

ت ز ك : Kataba ت ه ر ي : Yaz\habu

Z\ukira : س ك ذ Su‟ila م ئ س :

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan

antara harkat dan huruf, transliterasinya sebagai berikut:

xii

Page 13: ISTIDRA

13

13

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fath}ah A A ي

Kasrah I I و

Contoh:

ف ي ك : Kaifa ل ى د - : Haula

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan

huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda:

Tanda Nama Huruf Latin Ditulis

ي ا Fath}ah dan Alif a> a dengan garis di atas

Kasrah dan Ya i> i dengan garis di atas ي

و D{amma dan wawu u> u dengan garis di atas

Contoh:

بل ق : Qa>la م ي ق : Qi>la

ل ى ق ي <Rama : ي ز : Yaqu>lu

4. Ta’ Marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta‟ marbu>t}ah ada dua:

a. Ta‟ Marbu>t}ah hidup

Ta‟ Marbu>t}ah yang hidup atau yang mendapat harkat fath}ah,

kasrah dan d}ammah, transliterasinya adalah (t).

b. Ta‟ Marbu>t}ah mati

xiii

Page 14: ISTIDRA

14

14

Ta‟ Marbu>t}ah yang mati atau mendapat harkat sukun,

transliterasinya adalah (h)

Contoh : طهذخ- T{alh}ah

c. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta‟ marbu>t}ah diikuti oleh kata

yang menggunakan kata sandang “al” serta bacaan kedua kata itu

terpisah, maka ta‟marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan h}a /h/

Contoh : زوضخ انجخ - Raud}ah al-Jannah

5. Syaddah (Tasydi>d)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda syaddah, dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut

dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda

syaddah itu.

Contoh: زثب - Rabbana> عى - Nu‟imma

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu “ال”. Dalam transliterasi ini kata sandang tersebut tidak

dibedakan atas dasar kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah dan

kata sandang yang diikuti oleh qomariyyah.

xiv

Page 15: ISTIDRA

15

15

a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah semuanya

ditransliterasikan dengan bunyi “al” sebagaimana yang dilakukan pada

kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah.

Cotoh : انسجم : al-Rajulu حانسيد : al-Sayyidatu

b. Kata sandang yang dikuti oleh huruf qomariyyah.

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyyah

ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan

sesuai pula dengan bunyinya. Bila diikuti oleh huruf syamsiyyah

mupun huruf qomariyyah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yag

mengikutinya dan dihubungkan dengan tanda sambung (-)

Contoh : انقهى : al-Qalamu انجلال : al-Jala>lu

al-Badi>‟u : انجديع

7. Hamzah

Sebagaimana dinyatakan di depan, hamzah ditransliterasikan dengan

apostrof. Namun itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan

di akhir kata.Bila terletak di awal kata, hamzah tidak dilambangkan, karena

dalam tulisan Arab berupa alif.

Contoh :

Umirtu : أيسد Syai‟un : شيئ

Ta‟khuz\u>na : رأخرو An-nau‟u : انىء

xv

Page 16: ISTIDRA

16

16

8. Penulisan Kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fi‟il (kata kerja), isim atau huruf,

ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf

Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain, karena ada huruf Arab

atau harkat yang dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan kata

tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.

Contoh:

وإ الله نهى خيس انساشقي : Wa innalla>ha lahuwa khair ar-ra>ziqi>n atau

Wa innalla>ha lahuwa khairur- ra>ziqi>n

Fa „aufu> al-kaila wa al-mi>za>na atau : فأوفىا انكيم وانيصا

Fa „aufu>l – kaila wal – mi>za>na

9. Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital

seperti yang berlaku dalam EYD, di antaranya = huruf kapital digunakan

untuk menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama

diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital

tetap harus awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

Contoh :

د إلا زسىل ويبيذ : Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l

أول ثيذ وضع نهبض Inna awwala baitin wud}i‟a linna>si : إ

xvi

Page 17: ISTIDRA

17

17

Penggunaan huruf kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam

tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu

disatukan dengan kata lain sehingga ada kata lain sehingga ada huruf atau

harkat yang dihilangkan, maka huruf kapital tidak dipergunakan.

Contoh :

Nas}run minalla>hi wa fath}un qori>b : صس ي الله وفزخ قسيت

Lilla>hi al-amru jami>‟an : لله الأيسجيعب

10. Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman

transliterasi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ilmu

tajwid.

xvii

Page 18: ISTIDRA

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur‟an merupakan anugrah terbesar yang dibawa Nabi Muhammad

saw. sebagai petunjuk bagi setiap manusia umumnya dan bagi orang-orang

beriman khususnya. Al-Qur‟an sebagai pedoman hidup memuat ajaran-ajaran

yang universal, mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia sejak Al-Qur‟an itu

diturunkan hingga akhir zaman. Tujuan pokok diturunkannya Al-Qur‟an adalah

berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai pembeda antara yang hak

dan yang bathil sebagaimana firman Allah:

Artinya:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di

dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan

yang bathil)”.1

Hal ini tentu saja sangat penting artinya bagi manusia karena tujuan utama

diturunkannya kitab suci tersebut adalah untuk menuntun kehidupan

1Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 27.

Page 19: ISTIDRA

17

manusia kejalan yang benar yang berujung pada tercapainya kebahagiaan di dunia

dan akhirat.2

Oleh karena itu, sebagai bentuk tunduk dan taat terhadap hukum-hukum

yang terkandung dalam Al-Qur‟an hendaknya manusia mengedepankan sikap

hati-hati dalam bertindak, selalu menjaga ucapan dan menjunjung tinggi moral,

dan yang tak kalah pentingnya menjaga hubungan antara sesama manusia dan

antara manusia dengan sang khaliq. Yang demikian itu agar manusia dapat

mencapai kehidupan yang baik dan patut diberi gelar sebaik-baik umat.

Melihat aturan dan tuntunan ajaran Islam, maka seyogyanya umat Islam

bisa menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya, sebagai wujud

usaha dalam menjaga kesucian hati dan membersihkan diri dari kekeliruan yang

berdampak negatif baik di dunia maupun akhirat. Selain berusaha memperoleh

kesucian hati seorang mukmin juga meminta perlindungan agar dijauhkan dari

menjadi orang yang dimurkai oleh Allah dan meminta untuk tidak dijadikan orang

yang sesat.

Tuntunan agama selain memiliki orientasi juga memiliki konsekuensi yang

sangat perlu diperhatikan, yaitu bila tuntunan itu dilaksanakan dengan baik maka

akan memperoleh balasan yang baik. Bila tuntunan itu diingkari maka akan

memperoleh balasan berupa siksa dalam kehidupannya. Baik siksaan itu

ditimpakan di dunia maupun di akhirat. Hal ini akan menjadi keniscayaan jika

2Abu Anwar, Ulu>mul Qur‟a>n Sebuah Pengantar, (AMZAH, 2012), hlm, 1.

Page 20: ISTIDRA

18

terus dibiarkan dan tidak diperhatikan. Ancaman azab dan siksa bisa saja

ditimpakan kepada pelaku yang mengingkarinya.3

Salah satu akibat dari membangkang terhadap ajaran Islam yang dimulai

sejak didunia adalah istidra>j. Istidra>j adalah makar Allah terhadap orang-orang

yang tidak patuh kepada-Nya dan mengabaikan ajaran-Nya. Dalam kamus besar

bahasa indonesia (KBBI) istidra>j adalah hal atau keadaan luar biasa yang

diberikan Allah SWT. kepada orang kafir sebagai ujian sehingga mereka takabbur

dan lupa diri kepada Tuhan, seperti Firaun dan Karun.4 Seseorang yang ditimpa

hukuman istidra>j akan dikabulkan keinginannya, dibukakan pintu-pintu

kesenangan yang sesungguhnya akan berakhir dengan azab dan hukuman baik di

dunia maupun akhirat. Hal ini dijelaskan dalam QS. al-A‟raf [7] 182:

Artinya:

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan

menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang

tidak mereka ketahui”.5

Ayat tersebut merupakan salah satu dari ayat Al-Qur‟an yang

menyebutkan lafaz istidra>j. Ayat diatas menjelaskan bahwa orang-orang yang

mendustakan ayat-ayat Allah akan ditimpa istidra>j, yaitu akan ditimpakan

kepadanya siksaan secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka

3Ahmad Mukhorror, Istidraj Perspektif Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami‟ Li Ahkami Al-

Qur‟an, (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

2016), hlm, 3. 4Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet ke-4, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2012), hlm, 551. 5Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174.

Page 21: ISTIDRA

19

ketahui sehingga mereka tidak sadar. Selain itu Nabi Muhammad juga

menggambarkan istidra>j dalam hadis sebagai berikut:

, عن حر -44111 اج المهري ث نا رشدين, ي عني ابن سعد أبو الحج ث نا يحيى بن غيلن قال: حد حد م

, عن عقب م, عن عقب بن عمران التجيبي ي ابن ع بن مس ى الله ع م قال: إذا رأيت مر, عن النبي ص و و س

, فإنما ىو استدراج ثم تل رسول الله ى معاصيو ما يحب ن يا ع يو و الله ي عطي العبد من الد ى الله ع ص

م : يهم س روا بو ف تحنا ع ا نسوا ما ذك م أب واب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوت وا أخذناىم ب غت فإذا )ف

سون( 6ىم مب

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Gailan dia berkata, telah

menceritakan kepada kami Risydin yakni, Ibnu Sa‟d Abul Hajjaj al-Mahari dari

Harmalah bin Imran at-Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin Amir dari

Nabi saw. beliau bersabda: „Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada

seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya

itu hanyalah istidra>j.‟ Kemudia Rasulullah saw. membacakan ayat: „(Maka

tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,

kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga

apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberika kepada mereka, kami

siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam

berputus asa)‟”. (QS. Al-An‟am: 44).

Dengan adanya hadis tentang istidra>j diatas, bisa memperjelas adanya

istidra>j. Ayat tersebut menjelaskan orang kafir tumpul dan tidak ingin mengenal

Allah karena hati mereka membeku dan rayuan setanpun mereka ikuti, sehingga

memandang amaliah mereka indah. Tatkala mereka mengabaikan apa yang

diperingatkan kepada mereka, pada saat itulah akan dibukakan pintu-pintu

kabiakan duniawi, baik yang berkaitan dengan kesenangan kemewahan dunia.

Hadiah tersebut sebagai bentuk penghargaan yang sejatinya untuk membuat

mereka semakin bertambah sesat dan hina. Apabila mereka melampaui batas,

6Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Bait al-Afkar al-Dauliyah,

1998), hlm, 1248.

Page 22: ISTIDRA

20

serta angkuh dengan aneka nikmat dan kesenangan yang telah diberikan oleh

Allah swt, mereka tidak butuh kepada siapapun, dirinya sendiri yang mereka

andalkan dan harapkan. Saat itulah siksa ditimpakan kepada mereka. Dengan

demikian tidak ada lagi kesempatan taubat bagi mereka dan begitu pula tidak ada

kesempatan berdoa. Siksaan yang datang pada saat mereka bergelimang dosa itu

menjadikan penyesalan yang amat dalam bagi mereka. Dan mereka hanya terdiam

dan tidak bisa berkutik dalam menjalani siksaan tersebut, tinggal hanya keputus-

asaan yang sudah tidak tertolong lagi. Istilah mebuka pintu-pintu ini sebuah

kalimat kiasan dari limpahan nikmat yang tidak terhingga dan beranekaragam.

Itulah sebabnya ayat tersebut menggunakan kata jamak dari kata pintu, untuk

menggambarkan banyaknya perolehan mereka dalam urusan duniawi.7

Berdasarkan paparan diatas penulis tertarik untuk membahas istidra>j.

Ketertarikan ini semakin beralasan ketika melihat realitas masyarakat. Masyarakat

modern semakin maju dan semakin jauh dari agama. Perhatian masyarakat tertuju

pada perolehan duniawi yang berlimpah, sehingga keberadaan duniawi menjadi

setandarisasi kesuksesan hidup bagi mereka. Tidak berhenti dalam anggapan itu,

bahkan semakin berlimpahnya kehidupan dunia dirasa sudah tidak perlu lagi

mengindahkan tuntunan agama. Cara pandang ini, menumbuhkembangkan ambisi

yang berlebihan dalam memburu duniawi, sampai menghalalkan segala cara.

Adapun puncak dari ambisi mereka yaitu, berada dalam kemewahan hidup dan

tercapainya urusan-urusan duniawi. Dari keadaan tersebut muncul suatu

7Ahmad Mukhorror, Istidraj Perspektif Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami‟ Li Ahkami Al-

Qur‟an, (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,

2016), hlm, 6.

Page 23: ISTIDRA

21

permasalahan yang perlu dianalisa bahwa kondisi masyarakat modern jauh dari

agama dan mengalami krisis moral, tak segan-segan melakukan kejahatan seperti

korupsi, suap, perampokan dan lain sebagainya.

Di samping itu juga perlu dicermati, meskipun masyarakat modern ini jauh

dari agama dan sering berkelakuan buruk, akan tetapi mereka memiliki kehidupan

materi yang mapan dan mendapat kesempatan untuk menikmati berbagai macam

kesenangan, sementara yang beribadah tekun belum tentu mendapatkan seperti

yang mereka dapatkan. Kenyataan semacam ini tidak jarang ditemukan di

masyarakat, ada diantara mereka yang tidak taat dan jauh dari agama, namun

kehidupannya mapan. Dan sebaliknya ada diantara mereka yang taat dan

konsekuen menjalankan ajaran agama, namun hidupnya penuh dengan

kekurangan. Padahal dalam QS. Al-Nahl [16] 97 disebutkan:

Artinya:

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun

perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan

kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan

kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka

kerjakan”.8

Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang beriman dan beramal shalih

yang layak untuk diberi kehidupan yang baik. Tapi ternyata realitas keadaan

masarakat modern banyak yang keluar dari salah satu dua syarat tersebut, yaitu

banyak yang tidak beriman atau tidak beramal shalih, namun mereka mempunyai

8Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 278.

Page 24: ISTIDRA

22

kehidupan ekonomi yang baik, harta yang melimpah bahkan memiliki anak-anak

yang sehat dan berpendidikan di sekolahan-sekolah unggulan. Keadaan inilah

yang akan dibahas penulis secara komprehensif, sehingga memperoleh

pengetahuan yang memperjelas baik buruknya suatu materi.

Di dalam Al-Qur‟an ditemukan beberapa ayat yang mengandung

pembahasan istidra>j. Dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz} al-Qur‟a>n

al-Kari>m dapat ditemukan beberapa ayat tentang istidra>j.9 Ada yang tertulis

secara langsung dalam bentuk kata istidra>j dan ada yang tersirat secara makna

saja. Diantara ayat yang ditemukakan tentang istidra>j antara lain: Pertama,

langsung tertulis kalimat istidra>j dalam bentuk fi‟il mud}ari„ ada dua tempat

yaitu di dalam surah al-A‟raf ayat 182, dan surah al-Qalam ayat 44. Kedua, dalam

ayat-ayat yang tersirat makna istidra>j. Dalam hal ini, penulis menemukan ayat-

ayat tersebut dalam surah Ali Imran ayat 178, surah al-An‟am ayat 44, surah al-

Mu‟minun ayat 55.

Hampir setiap mufassir memaparkan pandangannya tentang istidra>j,

seperti Quraish Shihab misalnya, ia mengemukakan bahwa makna istidra>j

adalah memindahkan dari satu tahap ke tahap yang lain guna mencapai satu

tujuan. Menurutnya kata tersebut populer dalam arti perlakuan yang secara

lahiriah baik, tetapi bertujuan memberi sanksi terhadap yang melanggar.

Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai puncaknya dengan

9M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim, (Cet Ke-10;

Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 2015), hlm, 255.

Page 25: ISTIDRA

23

jatuhnya siksa.10

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa makna istidra>j

adalah pemanjaan agar lebih terjerumus kepada kehinaan. Begitu juga ia

memaknai istidra>j dengan mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur,

setapak demi setapak dan didekatkan dengan adzab, dan mereka tidak

menyadarinya.11

Wahbah Al-Zuh}aili> menyatakan dalam tafsirnya, sesungguhnya nikmat,

kebaikan, rezeki bukanlah tanda kesalehan seseorang karena ia bisa saja bersifat

istidra>j (nikmat yang berujung pada petaka dan siksaan) sebagaimana umpan

untuk musuh agar ia sampai ke sebuah tempat lalu dihabisi di sana.12

Wahbah Al-Zuh}aili> menjelaskan, makna lafaz (sanastadrijuhum) ialah

Kami menindak mereka secara bertahap atau sedikit demi sedikit. Mendekatkan

mereka secara bertahap kepada azab dengan bentuk pengabaian, selalu diberikan

kesehatan dan menambah kenikmatan, di mana mereka tidak mengetahui bahwa

itu adalah istidra>j, yakni pemberian nikmat kepada mereka, karena itu mereka

mengira bahwa hal itu adalah kelebihan bagi mereka atas orang-orang beriman.13

Penjelasan para mufassir mengenai istidra>j hampir sama, yaitu

10

Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh, (Cet ke-4, jilid 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm,

264. 11

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsīr Al-Qur‟an Al-Majīd Al-Nūr, (Jilid 5,

Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm, 4319. 12

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 5; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 193. 13

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 15),...hlm, 77.

Page 26: ISTIDRA

24

pemberian nikmat untuk manusia dan menjadikan mereka lalai dan celaka.14

Mengambil atau menarik mereka secara bertahap atau berangsur-angsur kepada

azab. Namun penjelasan Wahbah Al-Zuh}aili> mengenai istidra>j lebih luas dan

kompleks. Inilah yang akan dibahas penulis dalam penelitian ini.

Tafsir Al-Muni>r karya Wahbah Al-Zuh}aili> adalah gabungan dari bi al-

ma‟s\u>r dan bi al-ma‟qu>l (bi al-ra‟yi>). Bi al-ma‟s\ur yang didasarkan pada

hadis Nabi dan perkataan salaf s}a>lih} dan bi al-Ma‟qu>l yang didasarkan pada

kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku.15

Sedangkan metode yang dipakai adalah

metode tah}lili>. Wahbah Al-Zuh}aili> sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah

model Al-Qur‟an yang didasarkan pada Al-Qur‟an sendiri dan hadis-hadis

sah}ih}, mengungkapkan asbab al-nuzu>l, dan takhrij al-hadis\, menghindari

isra>i>liyya>t, riwayat yang buruk dan polemik yang berlarut-larut.16

Menurut penulis al-Muni>r merupakan sebuah karya tafsir yang istimewa,

karena tafsir ini mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟an secara komprehensif mencakup

aspek-aspek yang dibutuhkan bagi pembaca dan dilengkapi dengan pembahasan

rinci, mulai dari penamaan surah, muna>sabah dengan surah sebelumnya,

kandungan dan keutamaan surah, qira>‟at, i‟ra>b, balaghah, mufrada>t

lughowiyyah, asbab nuzu>l, muna>sabah ayat, tafsir dan penjelasan serta fikih

kehidupan dan hukum-hukumnya. Wahbah Al-Zuh}aili> berpendapat bahwa

tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang

14

Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang Istidraj),

(Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), hlm, 33. 15

Wahbah Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet ke-

10), juz 1...hlm, 6. 16

Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga Kontemporer,

(Kaukaba Dipantara: Yogyakarta, 2013), hlm, 140.

Page 27: ISTIDRA

25

konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa adanya penyimpangan

interpretasi. Tafsir al-Mui>r adalah paduan orisinalitas tafsir klasik dan keindahan

tafsir kontemporer.17

Paduan tafsir klasik dan kontemporer serta keahlian dan

ketelitian Wahbah Al-Zuh}aili> dalam menulis tafsirnya sebagaimana keterangan

diatas, menarik perhatian penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang penafsiran

ayat-ayat istidra>j dalam kitab tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan tersebut diatas rumusan masalah yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penafsiran istidra>j menurut Wahbah Al-Zuh}aili>?

2. Apa saja yang menjadi penyebab datangnya istidra>j menurut Wahbah Al-

Zuh}aili>?

C. Batasan Masalah

Supaya pembahasan ini tadak melebar, maka tulisan ini hanya akan

membahas ayat-ayat yang secara langsung menyebutkan lafaz istidra>j, yang

mana dalam hal ini hanya terdapat pada surah al-A‟raf ayat 182 dan surah al-

Qalam ayat 44, serta ayat-ayat yang tersirat makna istidra>j. Dalam hal ini,

penulis menemukan ayat-ayat tersebut terdapat dalam surah Ali Imran ayat 178,

surah al-An‟am ayat 44, surah al-Mu‟minun ayat 55.

17

Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga Kontemporer,

(Kaukaba Dipantara: Yogyakarta, 2013), hlm, 138.

Page 28: ISTIDRA

26

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan

Tujuan dari penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan masalah

yang diteliti secara spesifik, dan juga suatu indikasi kearah mana atau data

(informasi) apa yang akan dicari melalui penelitian itu. Untuk mencapai

tujuan penelitian yang dilakukan sesuai dengan rumusan di atas maka tujuan

dari penelitian ini adalah: Untuk mendeskripsikan penafsiran istidra>j

menurut Wahbah Al-Zuh}aili> dan mengetahui apa saja yang menjadi

penyebab datangnya istidra>j.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

a. Secara akademis, penelitian ini berfungsi sebagai syarat dalam rangka

menyelesaikan studi strata (S1) program studi ilmu Al-Qur‟an dan tafsir,

jurusan Ushuluddin. Dan semoga dapat menjadi bahan informasi

pendahuluan yang penting bagi penelitian-penelitian serupa yang akan

dilakukan dikemudian hari, atau dapat menjadi informasi pembanding

bagi penelitian serupa yang telah dahulu namun literatur bagi

perpustakaan IAIN Bengkulu yang berkenaan dengan kajian ilmu tafsir.

b. Secara teoritis, untuk menambah wawasan bagi perkembangan khazanah

keilmuan keIslaman dan keilmuan penulis, terutama tentang penafsiran

istidra>j dalam Al-Qur‟an sehingga dapat lebih meningkatkan kesadaran

Page 29: ISTIDRA

27

dan keimanan dengan mencapai kecerdasan hati, kecerdasan spiritual dan

meraih kecerdasan akal.

c. Secara praktis, hasil penelitian ini nantinya diharapkan, bisa memberikan

kontribusi terkait dengan pemahaman yang sesungguhnya dari hakikat

istidra>j.

E. Kajian Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini

dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan

atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan

penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan

kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada. Berdasarkan hasil

penelusuran, penulis menemukan ada beberapa karya yang membahas

permasalahan ini sebagai berikut:

1. Skripsi oleh Ahmad Muhkarror dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

“Istidra>j Perspektif Al-Qurt}ubi dalam Tafsir Al-Ja>mi‟ Li Ahka>mi Al-

Qur‟a>n”.18

Skripsi tersebut membahas tentang tahapan-tahapan istidra>j,

menjelaskan cerita akhir dari seseorang yang terkena istidra>j dan juga pesan

untuk orang yang melihat istidra>j.

18

Ahmad Mukhorror, Istidra>j Perspektif Al-Qurt}ubi dalam Tafsi>r Al-Ja>mi‟ Li

Ahka>m Al-Qur‟an, (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2016)

Page 30: ISTIDRA

28

2. Skripsi oleh Nur Hasanah Azizah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

“Istidra>j dalam Al-Qur‟a>n (Analisis Ayat-ayat tentang Istidra>j)”.19

Skripsi ini membahas istidra>j secara umum dalam Al-Qur‟an melalui

peninjauan pada beberapa tafsir yang membahas istidra>j dan menjelaskan

penyebab orang tertimpa istidra>j secara global.

3. Jurnal substantia Vol. 12, No. 2 edisi Oktober 2010 yang ditulis oleh

Damanhuri dengan judul, “Istidra>j dalam Mawa>‟iz al-Badi>‟ah”.20

Dalam penelitiannya menjelaskan tentang isi dan kandungan kitab Mawa>‟iz

al-Badi>‟ah karya Syi‟ah Kuala dengan fokus pembahasan tentang istidra>j

yaitu memaparkan kandungan dari kitab tersebut.

Dari tinjauan di atas, dapat dinyatakan bahwa pembahasan skripsi ini

berbeda dengan karya-karya di atas, karna penulis membahas istidra>j

berdasarkan perspektif Wahbah Al-Zuh}aili> dalam tafsir Al-Muni>r.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.21

Agar penelitian ini

mendapatkan hasil yang standar dan bisa dipertanggung jawabkan secara

Akademik, maka diperlukan metode yang sesuai dengan objek yang dikaji, karena

19

Nur Hasanah Azizah, Istidra>j dalam al-Qur‟a>n (Analisis Ayat-ayat tentang

Istidra>j), (Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017). 20

Damanhuri, Istidra>j dalam Mawa>‟iz al-Badi>‟ah, Substantia, Vol. 12 No. 2.

(Oktober 2010). 21

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: ALVABETA,

2011).hlm.2.

Page 31: ISTIDRA

29

metode merupakan sebuah langkah yang berfungsi sebagai cara untuk

mengerjakan suatu penelitian atau sebuah pengetahuan. Semua hal tersebut dalam

rangka mendapatkan hasil yang memuaskan sesuai dengan tujuan yang

mengandung keilmuan yang objektif, dan juga sebagai cara yang mengoprasikan

sebuah penelitian secara terarah dan efektif, sehingga mampu dicapai suatu hasil

yang maksimal secara hazanah keilmuan.

1. Jenis penelitian

Adapun metode penelitian ini, penulis menggunakan penelitian library

research atau penelitian kepustakaan, yakni dengan mengumpulkan materi-materi

yang terkait dengan tema yang diteliti, dalam hal ini yaitu penafsiran istidra>j

dalam sebuah karya ilmiah tentunya memiliki banyak ragam atau jenis penelitian,

pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif.

2. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan proses mengidentifikasi dan mengoleksi

informasi yang dilakukan oleh peneliti, sesuai dengan tujuan penelitian.22

Dalam

teknik pengumpulan data disini, penulis berusaha mengeksplorasi sumber-sumber

pustaka yang berupa kitab-kitab tafsir, kamus-kamus dan juga buku terkait yang

membahas tema istidra>j, dengan sumber data ini penulis membagi sumber data

menjadi dua, yakni :

a. Sumber data primer

22

Winarno, Metodologi Penelitian Dalam Pendidikan Jasmani, (Cet Ke-2; Malang: UM

PRESS, 2013), hlm, 143.

Page 32: ISTIDRA

30

Dalam penelitian ini, sumber data primer merujuk pada data yang

memberikan keterangan langsung dari tangan pertama, yaitu kitab tafsir

al-Muni>r karya Wahbah Al-Zuh}aili>.

b. Sumber data sekunder

Dalam hal ini penulis merujuk pada al-Qur‟an terjemah, kitab-

kitab tafsir, juga mengacu pada karya-karya ilmiah, jurnal, majalah dan

juga internet, buku-buku, artikel dan karya-karya lain yang bisa

dipertanggungjawabkan untuk membantu penelitian ini.

3. Tehnik pengelolaan data

Setelah data-data diperoleh dan dikumpulkan maka akan diolah dan

diproses dengan cara sebagai berikut:

a. Deskripsi, yaitu mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang membahas

istidra>j, dan merujuk pada kitab-kitab tafsir kemudian menguraikan

makna–makna kata tersebut.

b. Analisis, yaitu menganalisa bentuk-bentuk kata yang berhubungan

dengan istidra>j, dan juga mengaitkan kata-kata lain yang bisa

membantu menganilsis ruang lingkup pembahasan dari makna istidra>j

ini.

Page 33: ISTIDRA

31

G. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian ini, sistematika penulisan sangat dibutuhkan agar

penelitian tidak keluar dari pembahasan dan fokus pada permasalahan yang akan

diteliti, oleh karena itu penulis menyusun sistematika pembahasan sebagai

berikut:

Bab pertama, berisikan pendahuluan, bab ini mencakup deskripsi topik

yang dibahas, latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah,

pemaparan tentang tujuan, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua, berisikan kerangka teori, akan membahas pengertian istidra>j

menurut Al-Qur‟an dan Hadits, term yang semakna dengan istidra>j dan makna

istidra>j menurut pandangan para mufassir.

Bab ketiga, membahas tentang histori riwayat hidup Wahbah Al-Zuh}aili>

meliputi, biografi penulis kitab tafsir al-Muni>r, guru-guru dan muridnya, karya-

karya Wahbah Al-Zuh}aili>, kredibelitas dan juga sekilas pengenalan kitab al-

Muni>r, dengan menjelaskan sistematika kitab tersebut, metode dan juga corak

tafsir Al-Muni>r.

Bab keempat, identifikasi ayat-ayat istidra>j, penafsiran Wahbah Al-

Zuh}aili> tentang istidra>j dan penyebab datangnya istidra>j serta analisa

penulis tentang penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili>.

Bab kelima, penutup, akan memaparkan kesimpulan dan saran.

Page 34: ISTIDRA

32

BAB II

KERANGKA TEORI

H. Pengertian Istidra>j menurut al-Qur’an dan Hadis

Untuk dapat memahami makna dari suatu kalimat maka harus melihat akar

kata dari kalimat tersebut terlebih dahulu, agar pembahasan ini memadai untuk

pemahamannya maka penulis akan terlebih dahulu menguraikan kajian teori

tentang istidra>j tersebut.

Dalam al-Qur‟an kata istidra>j diulang sebanyak dua kali23

, salah satuya

adalah QS. al-A‟ra>f [7] 182:

Artinya:

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan

menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang

tidak mereka ketahui”.24

Secara etimologi istidra>j berasal dari kata ( درج ) yang artinya berjalan,

( استدرج ) ,naik, maju, meningkat ( تدرج ) ,yang artinya melipat, menaikkan (درج)

memperdayakan, mendekatkan secara berangsur-angsur.25

23

M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfa>zh al-Qur‟a>n al-Kari>m, (Cet

Ke-10; Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 2015), hlm, 255. 24

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174. 25

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Cet ke-

14, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm, 395

Page 35: ISTIDRA

34

Ibnu Manz}ur dalam Lisa>n al-Arab mengatakan istidra>j bermakna

mendekatkan secara berangsur-angsur, merendahkan secara bertahap. Sebagian

ulama mengatakan, makna sanastadrijuhum ialah akan Kami tarik mereka sedikit

demi sedikit, bukan secara tiba-tiba. Ada yang mengatakan akan Kami tarik

mereka dari arah yang tidak mereka sangka, begitulah Allah SWT membuka

untuk mereka kenikmatan yang akan membuat mereka merasa senang dan

menjadikan mereka condong kepadanya sehingga mereka lupa akan kematian,

lalu Allah tarik mereka dalam keadaan lalai.26

Sedangkan menurut Al-Ra>ghib

Al-As}fa>hani> ketika menjelaskan makna istidra>j beliau dalam Mu‟jam

Mufrada>t alfaz> al-Qur‟a>n mengatakan, istidra>j berasal dari kata ( الدرج )

yang semakna dengan المنزل yang artinya tempat, derajat atau tingkat. Sedangkan (

dalam ayat tersebut beliau mengatakan maknanya adalah kami akan ( سنستدرجهم

melipat mereka seperti halnya melipat kitab, menyiksa mereka setingkat demi

setingkat, merendahkan mereka sedikit demi sedikit seperti orang yang naik turun

dalam anak tangga.27

Menurut Hasanain M. Makhluf istidra>j ialah, kami akan

mendekatkan mereka kepada kehancuran dengan memberikan nikmat dan

tangguh.28

Dalam Al-Mu‟jam Al-Mufas}s}al fi> Tafsi>r Ghari>b Al-Qur‟a>n Al-

Kari>m Muhammad Al-Tawinji menyebutkan makna (سنستدرجهم), kami akan beri

mereka tempat yang aman, atau akan kami lipat mereka seperti melipat kitab,

26

Ibnu Manz}ur, Lisa>n al-Arab, (Cet ke-6, jilid 2, Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), hlm, 268. 27

Al-Raghib Al-Asfahani, Mu‟jam Mufradat alfaz al-Qur‟an, (Cet ke-4, Lebanon: Dar Al-

Kutub Al-Ilmiyah, 2013), hlm, 188. 28

Hasanain Muhammad Makhluf, Kalimatul Qur‟an – Tafsir wa Bayan, ter, Hery Noer

Aly, (Cet-ke 11, Gema Risalah Press: Bandung, 1996), hlm, 91.

Page 36: ISTIDRA

35

sebagai ungkapan dari kelalaian mereka. Atau akan kami siksa mereka berangsur-

angsur.29

Pendapat lain, menurut Qurash Shihab ( سنستدرجهم ) akan Kami tarik

mereka terambil dari kata ( الدرج ) ad-darajah yakni tangga, juga dalam arti anak-

anak tangga. Huruf sin dan ta‟ pada kata itu dalam arti meminta, sehingga kata

tersebut bermakna meminta mereka untuk naik/turun melalui anak-anak tangga

sehingga ia mencapai suatu tingkat yang tidak dapat dicapainya kecuali dengan

menggunakan anak tangga itu.30

Menurutnya lagi kata ( سنستدرجهم ) diambil dari

kata ( الدرج ) ad-darj yang pada mulanya berarti tingkat. Kemudian kata ( تدرج)

tadarruj bermakna berpindah dari satu tingkat atau tahap ke tingkat atau tahap

lain. ( الاستدراج ) al-istidra>j adalah memindahkan dari satu tahap ketahap yang lain

guna mencapai satu tujuan.31

Al-Qa>simi> dalam tafsirnya Maha>sin Al-Takwi>l menyebutkan,

istidra>j berasal dari kata ( الدرج ) yang artinya melipat, menurutnya lagi istidra>j

itu ialah menaikkan kepada sesuatu sedikit demi sedikit, seperti orang yang

mendaki setingkat demi setingkat hingga berhenti pada ketinggian yang

29

Muhammad Al-Tawinji, Al-Mu‟jam Al-Mufassal fi Tafsir Gharib Al-Qur‟an Al-Karim,

(Cet ke-2, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), hlm, 171. 30

Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh, (Cet ke-4, jilid 4, Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm,

391-392. 31

Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh (Cet ke-4, jilid 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm,

264.

Page 37: ISTIDRA

36

tertinggi.32

Al-Qurt}ubi menyebutkan istidra>j berasal dari kata ( الدرج ) yakni

melipat sesuatu, memasukkan dan menaikkan, seperti dalam ucapan, mayit itu

dilipat pada kain kafannya. Juga dari kata ( الدرج ) yakni merendahkan secara

bertahap sampai kepada tujuan tertentu.33

Sedangkan secara terminologi, seperti yang dikatakan Al-Qurt}ubi

istidra>j adalah merendahkan secara bertahap sampai kepada tujuan tertentu.

Menurut Qurais Shihab istidra>j adalah memindahkan dari satu tahap ketahap

yang lain guna mencapai satu tujuan. Menurut Al-Qa>simi> istidra>j itu ialah

menaikkan kepada sesuatu sedikit demi sedikit, seperti orang yang mendaki

setingkat demi setingkat hingga berhenti pada ketinggian yang tertinggi. Dalam

tafsirnya Al-Qurt}ubi mengutip perkataan Al-Dhahhak:

ما جددوا لنا معصي جددنا لهم نعم قال الضحاك: ك

Dhahak berkata: “Setiap kali mereka melakukan kemaksiatan yang baru,

kami pun berikan mereka nikmat yang baru pula”.34

Istidra>j adalah perkara-perkara yang luar biasa/ganjil yang diberikan

Allah kepada orang-orang kafir. Bertujuan agar mereka lupa diri sebagai makhluk

Tuhan, karena takabbur dan ingin masyhur namanya. Misalnya Raja Fir‟aun yang

mengaku dirinya Tuhan, dan Raja Namrud yang sombong karena kekayaannya

yang melimpah. Tujuan diberikannya istidra>j kepada orang-orang kafir untuk

32

Al-Qasimi, Mahasin Al-Takwil, (Cet ke-2, jilid 9, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,

2003), hlm, 230. 33

Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an, (Cet ke-2, jilid 4, Lebanon: Dar Al-Kutub

Al-Ilmiyah, 2005), hlm, 209. 34

Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an,...hlm, 209.

Page 38: ISTIDRA

37

dijadikan contoh bahwa mereka yang takabbur dan kufur kepada Tuhan (Allah)

akhirnya binasa.35

Selain dalam al-Qur‟an, Nabi Muhammad saw juga menjelaskan istidra>j

dalam hadisnya, diriwayatkan oleh Imam Ah}mad bin Hanbal dalam Musnadnya,

dari Uqbah bin „A<mir, Nabi saw bersabda:

, عن حر -44111 اج المهري ث نا رشدين, ي عني ابن سعد أبو الحج ث نا يحيى بن غيلن قال: حد حد م

, عن عقب م, بن عمران التجيبي م قال: إذا رأيت ان عقب بن ع ع بن مس يو و س ى الله ع مر, عن النبي ص

, فإنما ىو استدراج ثم تل رسول الله ى معاصيو ما يحب ن يا ع يو و الله ي عطي العبد من الد ى الله ع ص

م يهم أب واب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوت وا أخذ : س روا بو ف تحنا ع ا نسوا ما ذك م ناىم ب غت فإذا )ف

سون( 36ىم مب

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Gailan dia berkata, telah

menceritakan kepada kami Risydin yakni, Ibnu Sa‟d Abul Hajjaj al-Mahari dari

Harmalah bin Imran at-Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin Amir dari

Nabi saw. beliau bersabda: „Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada

seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya

itu hanyalah istidra>j.‟ Kemudia Rasulullah saw. membacakan ayat: „(Maka

tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,

kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga

apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberika kepada mereka, kami

siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam

berputus asa)‟”. (QS. Al-An‟am: 44).

Jika melihat hadis diatas, istidra>j adalah ketika Allah memberikan

nikmatnya kepada seorang hamba sekalipun ia kerap sekali melakukan maksiat

dengan sesuatu yang ia sukai, Allah tetap mencurahkan berbagai kemudahan dan

35

M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994), hlm, 126. 36

Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Bait al-Afkar al-Dauliyah,

1998), hlm, 1248.

Page 39: ISTIDRA

38

kesenangan dalam hidupnya didunia, lalu dengan nikmat itu ia akan berangsur-

angsur digiring kapada apa yang akan membinasakannya.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa

istidra>j secara bahasa adalah naik atau meningkat dari satu tahap ketahap

berikutnya seperti orang yang berjalan pada anak tangga. Sedangkan secara istilah

istidra>j adalah pemberian nikmat Allah kepada hamba-Nya yang gemar

bermaksiat, dengan memberinya berbagai nikmat dan kemudahan didunia seperti

kesehatan, kemudahan, harta dan anak yang dengannya akan secara bertahap

membawanya pada kebinasaan.

I. Term yang Semakna Dengan Istidra>j

Berangkat dari pengertian istidra>j dalam al-Qur‟an, ditemukan bahwa

terdapat beberapa lafaz yang semakna dengan kata tersebut, baik secara langsung

ataupun tidak langsung. Namun demikian, setiap kata yang dianggap semakna

dengan kata lain dalam al-Qur‟an itu ternyata masing-masing memiliki kekhasan

tersendiri yang tidak dapat ditukar. Terdapat beberapa ungkapan yang semakna

dengan istidra>j sebagai berikut:

1. Al-Makr

Ayat tentang makar banyak tertuang didalam al-Qur‟an, diantaranya QS.

Ali Imra>n [3] 54:

Page 40: ISTIDRA

39

Artinya:

“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya

mereka itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya.”37

Kata makar dalam al-Qur‟an terulang sebanyak 43 kali yang berada di 14

surah 23 ayat. Rinciannya sebagai berikut : Ali Imran (3): 54; Al-Ra‟d (13):

42,33; Al-Nahl (16): 26,45,127; Al-A‟raf (7): 123,99; Al-Naml (27): 50,70,51;

Ibrahīm (14): 46; Ghafir (40): 45; Nuh ( 71): 22; Yunūs ( 10): 21; Al-Anfāl ( 8):

30; Al-An‟am ( 6): 123, 124; Yusūf ( 12): 102,31; Fatir ( 35): 10,43; Saba‟ ( 34):

33.38

Makar secara bahasa berasal dari bahasa arab ( مكرا-يمكر-مكر ) artinya

menipu/memperdaya.39

Dalam kitab Mu‟jam Maqa>yis Al-Lughah, al-Makr

memiliki dua makna pokok , yakni “الإحتياء و الخداع” (memperdaya dan tipu

muslihat) dan "خدال الساق" (betis berotot).40

Secara istilah menurut Abdul Rahim

dalam tulisannya bahwa makar adalah salah satu bentuk perbuatan yang

memperdaya, menipu atau mengelabui orang lain dengan berbagai macam cara

dan bentuk yang rahasia, sehingga orang yang menjadi objek dari perbuatan

makar tersebut meleset dari tujuan yang sebenarnya.41

Dalam istilah Islam, makar ialah suatu tipudaya yang dilakukan oleh

orang-orang kafir atau kelompok tertentu untuk menghancurkan kebenaran.

37

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 57. 38

M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim,... hlm, 671. 39

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap,...hlm,

1352. 40

Abu Al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakaria, Mu‟jam Maqayis al-Lughah, jilid 5

(Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm, 345. 41

Abdul Rahim Nur, Mark dalam Perspektif Al-Qur‟an (Kajian Tahlili Terhadap QS

Ibrahim/14:46, (Skripsi Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin, Makasar, 2016),

hlm, 42.

Page 41: ISTIDRA

40

tipudaya ini bisa dilakukan dengan cara menyebarkan isu-isu, fitnah, dan dengan

melakukan kekacauan. Arti makar yang disebutkan ini hanya dipakai oleh orang-

orang yang berbuat makar yang bermaksud buruk. Sedangkan makar yang

dihubungkan dengan Allah adalah untuk menimpakan balasan atau azab kepada

orang-orang yang berbuat makar.42

Seperti yang dikatakan dalam QS. an-Naml

[27] 50:

Artinya:

“Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan

Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari.”43

Setelah melihat penjelasan diatas tampak bahwa yang dimaksud makar

disini adalah Allah membalas makar hamba-Nya yang membuat makar, Allah

membalas makar itu secara diam-diam dan tidak mereka sadari, sama halnya

ketika Allah menimpakan istidra>j kepada hamba-Nya.

2. Al-Khid‟ah

Dalam al-Qur‟an, kata ini tidak terlalu banyak Allah sebutkan, yakni hanya

dibeberapa surah, diantaranya terdapat pada QS. al-Baqarah [2] 9:

Artinya:

42

Siti Aminah, Makna Makar dalam Al-Qur‟an (Studi Komperatif antara Tafsir Ibnu

Katsir, Al-Maraghi dan Al-Azhar, (Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Suska, Riau, 2015), hlm, 35. 43

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 381.

Page 42: ISTIDRA

41

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal

mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”44

Kata al-Khid‟ah dan derivasinya dalam al-Qur‟an diulang sebanyak 5 kali

dalam 3 surah 3 ayat, yaitu dalam surah al-Anfal (8) : 62, al-Baqarah (2) : 9, dan

an-Nisa (4) : 42.45

Al-Khid‟ah berasal dari akar kata خدع yang berarti menipu atau

memperdayakan.46

Menurut Nur Hasanah dalam tulisannya al-Khid‟ah secara

istilah adalah menempatkan orang lain pada posisi yang dikatakan, yang

sebenarnya berbeda dengan maksud yang disembunyikan.47

Kata al-Khid‟ah dalam al-Qur‟an mamiliki makna yang tidak berbeda jauh

dengan makna makar, hanya saja al-Khid‟ah merupakan aktifitas yang lebih

tersembunyi dibanding dengan kata makar, karena pelakunya berusaha menutupi

perbuatannya dengan menampakkan kebaikan dari yang disembunyikan, sehingga

pelaku al-Khid‟ah susah dipastikan, apakah dia teman atau musuh.48

Al-Khid‟ah sama halnya dengan makar dan istidra>j yang merupakan

balasan tipudaya Allah terhadap orang-orang kafir dan munafik. Mereka ingin

melakukan tipudaya terhadap Allah dan orang-orang beriman, namun mereka

tidak menyadari bahwa Allah membalas tipudaya mereka dan mereka tidak

mengetahui, hal ini seperti yang digambarkan pada ayat diatas.

44

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 3. 45

M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim,... hlm, 227. 46

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap,... hlm,

326. 47

Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang

Istidraj,...hlm, 24. 48

Abdul Rahim Nur, Mark dalam Perspektif Al-Qur‟an (Kajian Tahlili Terhadap QS

Ibrahim/14:46,... hlm, 18.

Page 43: ISTIDRA

42

3. Al-Kaid

Dalam al-Qur‟an kata al-Kaid cukup banyak diulang, diantaranya QS. al-

Al-T}u>r [52] 42:

Artinya:

“Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Maka orang-orang yang

kafir itu merekalah yang kena tipu daya.”49

Term al-Kaid dan derivasinya dalam al-Qur‟an diulang sebanyak 28 kali

yang tersebar dalam 16 surah 28 ayat, yakni dalam surah Yusuf (12): 76, 5, 52,

28, 33, 50; al-Ṭariq ( 86): 16, 15; Al-Anbiya (21): 57,70; Al-A‟raf (7): 195, 183;

al-Mursalat (77): 39; Hud (11): 55; Al-Nisa (4): 76; Al-Anfal ( 8): 18; Thaha (20):

69,64,60; Ghafir ( 40): 25, 37; Al-Shaffat ( 37): 98; Al-Tur ( 52): 42,46; Al-Haj (

22): 15; Ali Imran ( 3): 120; Al-fil (105): 2; Al-Qalam ( 68): 45.50

Al-Kaid secara bahasa dalam kamus al-Munawwir sama maknanya dengan

al-Khid‟ah, yaitu menipu/memperdayakan.51

Menurut Al-Ra>ghib Al-

As}fa>hani> dalam kitab Mufrada>t Alfaz} Al-Qur‟a>n menjelaskan, al-Kaid

salah satu bentuk dari tipudaya yang kadang bermakna buruk dan kadang

bermakna baik, akan tetapi lebih banyak digunakan dalam hal yang buruk, seperti

49

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 525. 50

M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim,... hlm, 642. 51

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap,... hlm,

1242.

Page 44: ISTIDRA

43

halnya istidra>j dan makar,52

dan kadang bermakna baik seperti dalam firman

Allah QS. Yusuf [12] 76:

Artinya:

“Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf.”53

QS. al-A‟ra>f [7] 183:

Artinya:

“Dan aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku

Amat teguh.”54

Namun sebagian ulama ketika menjelaskan ayat ini mengatakan bahwa

yang dimaksud al-Kaid adalah azab, ketika Allah menyatakan akan melakukan

tipudaya, maka itu pertanda balasan atau azab terhadap orang-orang yang

membangkang kepada Allah, sebagai balasan sebagaimana halnya istidra>j,

seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata: “ كيد الله العذاب والنقم “

(tipudaya Allah adalah azab dan murka). Rasyid Ridho juga mengatakan, kata al-

Kaid maknanya sama dengan al-Makr. Dia melanjutkan, bahwa tipudaya itu lebih

banyak digunakan untuk hal yang buruk, namun adakalanya digunakan dalam hal

yang baik, seperti tipuan Yusuf untuk mengambil saudara kandungnya

(Benyamin) dari saudara-saudaranya atas rido mereka. Jumhur menyatakan bahwa

52

Al-Raghib Al-Asfahani, Mu‟jam Mufradat alfaz al-Qur‟an,... hlm, 728. 53

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 244. 54

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174.

Page 45: ISTIDRA

44

penyandaran kata al-Kaid dan al-Makr kepada Allah dalam al-Qur‟an maknanya

hukuman dan balasan.55

4. Al-Imla‟

Allah swt ketika ingin menghukum hamba-Nya karena suatu pelanggaran

atau dosa, tidak pernah serta-merta menurunkan azab tersebut melainkan memberi

penangguhan terlebih dahulu, ini menunjukkankan bahwa Allah sebagai rabb

semesta alam mempunyai sifat rahma>n dan rahi>m56

kepada hamba-Nya.

Panangguhan adakalanya bertujuan agar hamba tersebut kembali kepada Allah,

atau jika tidak, justru agar menambah azab tersebut. Kata al-Imla‟ dalam al-

Qur‟an yang disandarkan kepada Allah konteksnya adalah memberi penangguhan

terhadap orang-orang kafir dan durhaka yang kemudian disusul dengan azab.

Seperti dalam QS. Ali Imra>n [3] 178:

Artinya:

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa

pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka.

Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya

bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”57

55

M Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar, (Jilid 9; Beirut Lebanon: Dar al-Fikri, 2007), hlm,

331. 56

Ar-Rahman merupakan salah satu dari nama Allah, yang memberi pengertian, bahwa

Allah melimpahkan karunia-Nya kepada seluruh makhluk-Nya baik yang mukmin maupun yang

kafir. Sedang Ar-Rahim memberi pengertian, bahwa Allah senantiasa bersifat rahmat yang

menyebabkan Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya yang mukmin. 57

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 73.

Page 46: ISTIDRA

45

Di dalam al-Qur‟an kata al-Imla dan derivasinya terulang 9 kali, yaitu

terurai dalam 8 surah dan 9 ayat. Diantaranya terdapat dalam surah: Muhammad

(25): 25; Al-Ra‟du ( 13): 32; al-Haj ( 22): 44,48; Al-A‟raf ( 7): 183: al-Qalam

(68): 45; Ali Imran ( 3): 178; al-Furqan ( 25): 5; Maryam ( 19): 46.58

Jika melihat penjelasan diatas, maka al-Imla‟ adalah penangguhan

hukuman yang merupakan bagian dari istidra>j yang akan ditimpakan kepada

orang-orang yang durhaka kepada Allah. Allah memberi isyarat kepada mereka

berupa penangguhan agar mereka mengambil pelajaran, jika mereka dapat

mengambil pelajaran maka Allah akan selamatkan mereka, tapi jika mereka lupa

kepada Allah, maka berlakulah bagi mereka azab yang menghinakan.

J. Pandangan Mufassir Tentang Istidra>j

Pada bagian ini penulis akan memaparkan pandangan para ulama

mengenai istidra>j. Menurut Al-T{abari istidra>j adalah tipuan halus kepada

orang yang diberi tenggang waktu sehingga ia merasa bahwa yang memberikan

tenggang waktu itu, berbuat baik kepadanya sehingga pada akhirnya ia terjerumus

kedalam hal yang tidak disenangi. Kemudian ia menambahkan tentang orang yang

tertimpa istidra>j yaitu Allah Swt akan memberi tangguh kepada mereka dan

menghiasai perbuatan jeleknya, sehingga ia menyangka bahwa perbuatannya

58

M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim,... hlm,772.

Page 47: ISTIDRA

46

adalah perbuatan baik, hingga tercapai tujuan apa yang Allah tetapkan baginya

berupa hukuman.59

Al-Ra>zi mengatakan istidra>j diambil dari kata الدرج yang maknanya

mendaki atau menurun setingkat demi setingkat, mendekatkan mereka kepada apa

yang membinasakan mereka, melipat gandakan siksa mereka dari arah yang tidak

mereka ketahui, yang demikian itu karena setiap mereka melakukan dosa, Allah

bukakan bagi mereka pintu-pintu nikmat, kebaikan dunia sehingga mereka

bertambah angkuh dan sombong, senantiasa berbuat kerusakan dan melampaui

batas, kemudian Allah menyiksa mereka dengan tidak disangka-sangka.

Berkenaan dengan ini, Umar bin Khatab sewaktu diberi harta kekayaan simpanan

raja Persia dia berdo‟a:

.سنستدرجهم من حيث لا يعمون :ي سمعتك تقولي أعوذ بك أن أكون مستدرجا فإن إن هم ال

“Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu, janganlah kiranya aku ditarik

sedikit demi sedikit ke arah kebinasaan. Sesungguhnya aku mendengar Engkau

berfirman: “Nanti akan Kami tarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah

kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”60

Ibnu Kas\i>r menjelaskan istidra>j dalam al-A‟raf 182 maksudnya, akan

dibukakan bagi mereka aneka pintu rezeki dan berbagai jalan penghidupan

didunia sehingga mereka tertipu oleh apa yang diperolehnya lalu berkeyakinan

bahwa dirinya berada dalam kebaikan. Ayat ini senada dengan QS. al-An‟a>m [6]

44-45:

59

Ibnu Jarir Al-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Takwil Al-Qur‟an, (jilid 6, Mesir: Dar Al-

Taufiqiyah), hlm, 165. 60

Al-Razi, Al-Tafsir Al-Kabir au Mafatih Al-Ghaib, (Cet ke-2, jilid 8, Lebanon: Dar Al-

Kutub Al-Ilmiyah, 2004), hlm, 61.

Page 48: ISTIDRA

47

Artinya:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada

mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;

sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada

mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka

terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke

akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.61

Oleh karena itu, Allah berfirman dan Aku akan beri tangguh kepada

mereka, yakni Aku akan memperpanjang mereka. Sesungguhnya muslihat-Ku

amat kuat.62

Ibnu Kas\i>r al-Dimasyqi> menjelaskan, istidra>j ialah Allah

membukakan bagi mereka pintu-pintu rezeki dan segala wajah penghidupan

didunia sehingga mereka tertipu dengan nikmat yang ada pada mereka dan

meyakini bahwa mereka berada dalam suatu kebaikan.63

Syaikh Nawani al-Jawi> dalam tafsirnya Marah} Labi>d juga memaknai

istidra>j yaitu, akan Kami dekatkan mereka kepada apa yang akan membinasakan

mereka dan melipat gandakan siksa bagi mereka, yang demikian itu karena setiap

mereka melakukan dosa Allah membukakan pintu kenikmatan dan kebaikan

61

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 133.

62M. Nasib Ar-Rifa‟i, Taisiru Al-„Aliyyul Qadi>r li Ikhtis}ari Tafsi>r Ibnu Kat}ir, terj.

Syihabuddin, (Cet ke-8, Jakarta: GEMA INSANI, 2007), hlm, 462. 63

Ibnu Katsir Al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, (Jilid 2; Dar al-Fikr: Beirut,

2006), hlm, 778.

Page 49: ISTIDRA

48

dunia, maka bertambahlah keangkuhan dan mereka senantiasa membuat

kerusakan dan maksiat, lalu Allah menghukum mereka secara tiba-tiba atas

kelalaian itu.64

Menurut Sayyid Qut}b penangguhan siksaan (istidra>j) adalah sesuatu

kekuatan yang tidak diperhitungkan dengan semestinya dan yang dilupakan oleh

orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt. Dan begitu juga

penangguhan tersebut ditimpakan kepada mereka tanpa diketahuinya. Begitulah

sunnah Allah terhadap orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya.

Dibentangkannya cakrawala untuk mereka, diberinya mereka keluasan dan

kesempatan untuk melakukan pelanggaran dan kezaliman, untuk menyeret mereka

sedikit demi sedikit kepada kebinasaan, dan untuk menjebak mereka dalam

tipudaya dan rencana.65

Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan makna istidra>j,

Kami akan menjatuhkan mereka ke dalam siksa sederajat demi sederajat, dengan

cara memberikan tempo dan mengekalkan kesehatan serta menambah nikmat

kepada mereka, tanpa sepengetahuan mereka bahwa yang demikian itu adalah

istidra>j. Bahkan, mereka menyangka bahwa yang demikian itu adalah kelebihan

dan keunggulan mereka atas orang-orang yang beriman, padahal yang demikian

adalah penyebab kebinasaan mereka pada akhirnya.66

Quraish Shihab

mengemukakan bahwa makna istidra>j adalah memindahkan dari satu tahap ke

64

M. Ibn Umar Nawawi al-Jawi>, Marah} Labi>d Likasyfi Ma‟na al-Qur‟a>n al-Maji>d,

(Jilid 1, Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1997), hlm, 409. 65

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur‟an; Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, terj, As‟ad

Yasin dkk, (Cet ke-3, jilid 5,Jakarta: GEMA INSANI, 2008), hlm, 66. 66

Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r Al-Maraghi, (jilid 29, Semarang: Tohaputra,

1987), hlm, 74.

Page 50: ISTIDRA

49

tahap yang lain guna mencapai satu tujuan. Menurutnya kata tersebut populer

dalam arti perlakuan yang secara lahiriah baik, tetapi bertujuan memberi sanksi

terhadap yang melanggar. Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai

puncaknya dengan jatuhnya siksa.67

Menurut penjelasan diatas, para ulama tidak jauh berbeda pandangan

mengenai istidra>j. Menurut Al-T{abari dan Sayyid Qut}b, istidra>j adalah

berupa penangguhan azab terhadap yang diberi tangguh dengan sangkaan bahwa

hal itu perbuatan baik kepada mereka, lalu Allah akan tiba-tiba mencelakakan

mereka. Menurut al-Ra>zi, Quraish Shihab, Ibnu Kas\ir dan Ibnu Kas\ir al-

Dimasyqi, istidra>j adalah pemberian nikmat berupa pintu-pintu kebaikan dan

kemudahan didunia untuk menipu mereka, yang secara bertahap akan

membinasakan mereka.

Maka dari itu penulis menyimpulkan bahwa istidra>j adalah perlakuan

baik Allah berupa pemberian nikmat dan kesenangan hidup kepada hamba-Nya

sewaktu didunia serta penangguhan terhadap mereka yang sesungguhnya

merupakan jebakan yang justru akan membinasakan mereka pada akhirnya.

67

Quraish Shihab, Tafsȋr al-Misbāh, (Cet ke-4, jilid 4, Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm,

264.

Page 51: ISTIDRA

50

BAB III

BIOGRAFI WAHBAH Al-ZUH{>AILI<

A. Biografi Wahbah Al-Zuh}aili>

Wahbah Al-Zuh}aili> merupakan salah satu tokoh yang cukup signifikan

dalam jajaran tokoh-tokoh ulama pakar hukum Islam.68

Ia lahir pada 6 Maret 1932

M/1351 H, bertempat di Dair „At}iyyah di kecamatan Faiha, Provinsi Damaskus,

Syiria. Ia putra Syeikh Mus}t}afa> al-Zuh}aili>,seorang petani sederhana nan

alim, hafal al-Qur‟an, rajin menjalankan ibadah dan gemar berpuasa.

Di bawah bimbingan orang tuanya, Wahbah al-Zuh}aili> mengeyam

pendidikan dasar-dasar agama Islam. Setelah itu, ia bersekolah di madrasah

ibtida>‟iyyah di kampungnya, hingga jenjang pendidikan formal berikutnya. Gelar

sarjana diraihnya pada tahun 1953 M di Fakultas Syariah Universitas Damsyik,

dan juga pendidikan Islam di Universiti al-Azhar, di mana ia sekali lagi

menamatkannya dengan cemerlang pada tahun 1956 M69

. Ketika itu Wahbah

memperoleh tiga ijazah antara lain:

1. Ijazab B.A dari Fakultas Syari‟ah Universitas Al-Azhar pada tahun 1956

2. Ijazah takhasus pandidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-

Azhar pada tahun 1956

3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari‟ah Universitas Ain Syam pada tahun 1957

68

Faridatus Syuhadak, dan Badrun, “Pemikiran Wahbah Al-Zuh}aili> Tentang Ahka>m

Al-Usra‟, Syariah dan Hukum, Vol. 4 No 2, (Desember 2012), hlm, 160. 69

Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga Kontemporer,

(Kaukaba Dipantara: Yogyakarta, 2013), hlm, 137.

Page 52: ISTIDRA

50

Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian

diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama

dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira‟i fi> as-

Siyasah as-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Isla>mi>”. Beliau belum merasa puas

dengan pendidikannya, kemudian melanjutkan ke program doktoral yang

diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “As\ar al-Harb fi> al-

Fiqh al-Isla>mi>” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.70

Setelah memperoleh ijazah Doktor, pekerjaan pertama beliau adalah staf

pengajar pada fakultas Syariah, Universitas Damaskus pada tahun 1963,

kemudian menjadi asisten dosen pada tahun 1969, dan menjadi profesor pada

tahun 1975. Sebagai guru besar, beliau menjadi dosen tamu di sejumlah

Universitas di negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum,

serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi Libya. Pada Univeresitas

Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada

di Sudan.71

Wahbah al-Zuh}aili> yang terkenal ahli dalam bidang Fiqh dan Tafsir,

serta berbagai disiplin ilmu lainnya, merupakan salah satu tokoh paling terkemuka

di abad ke 20 M. Ia adalah ulama yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti

T}a>hir Ibn Asyu>r, Sa‟i>d H}awwa>, Sayyid Qut}b, Muhammad Abu> Zahrah,

70

Shikhkhatul Af‟idah, “Metode dan Corak Tafsi>r Al-Wasit} Karya Wahbah Al-

Zuh}aili>”, (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo, Semarang, 2017), hlm,

67. 71

Nila Sari Nasution, “Hak Atas Air Irigasi Menurut Wahbah Al-Zuh}aili> (Studi Kasus

Di Desa Panyabungan TongaKec. Panyabungan), (Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN

Sumatra Utara, 2017), hlm,31

Page 53: ISTIDRA

51

Mah}mu>d Syaltu>t, Ali Muhammad al-Khafif, Abdul Ghani, Abdul Khaliq dan

Muhammad Salam Madkur.72

Adapun kepribadian beliau adalah sangat terpuji di kalangan masyarakat

Syiria baik itu dalam amal-amal ibadahnya maupun ketawad}u‟annya, disamping

juga memiliki pembawaan yang sederhana. Meskipun memilki maz\hab Hanafi,

namun dalam pengembangan dakwahnya beliau tidak mengedepankan maz\hab

atau aliran yang dianutnya. Tetap bersikap netral dan proposional. Ia

menghembuskan nafas terakhir pada malam Sabtu, 8 Agustus 2015. Dunia Islam

berdukacita karena kehilangan seorang ulama kontemporer panutan dunia.

Wahbah al-Zuh}aili> berpulang ke rah}matulla>h pada usia 83 tahun.73

B. Guru dan Murid

Sebagai seorang ulama terkenal, guru dan murid merupakan hal

keniscayaan yang tidak bisa dilepaskan. Di antara guru-guru Wahbah al-Zuh}aili>

dalam bidang fiqh adalah; „Abd al-Razza>q al-Hamasi> (w. 1969 M), dan

Muhammad Ha>syim al-Khat}i>b as-Sya>fi‟i>, (w. 1958 M). Dalam bidang Ilmu

Hadis, ia belajar dari Mah}mu>d Yasin (w. 1948 M), dalam bidang Tafsir dan

Ilmu Tafsir, ia berguru dengan Syaikh H}asan Jankah dan Syaikh S}a>diq

72

Yahya Ihsanul A‟laa, “Makna Al-Ghad}ab dan Relevansinya Bagi Pengendalian Diri

dalam Al-Qur‟a>n (Study Analisis Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-Zuh}aili>),” (Skripsi

Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus, Kudus, 2016), hlm, 44. 73

Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-

Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda

Agama”,...hlm, 130.

Page 54: ISTIDRA

52

Jankahal-Maida>ni>. Ilmu Bahasa Arab didapatkannya dari Muhammad S}a>lih}

Farfu>r (w. 1986 M).

Sedangkan ketika di Mesir, ia berguru kepada Mah}mu>d Syaltu>t (w.

1963 M), „Abdul Rah}ma>n Ta>j, dan „Isa> Manu>n yang merupakan gurunya di

bidang Ilmu Fiqh Muqa>ran (perbandingan). Dalam bidang Ushul Fiqh, ia

berguru dengan Must}afa> „Abdul Kha>liq beserta anaknya „Abdul Ghani, serta

masih banyak lagi guru-guru lainnya yang tidak disebutkan. 74

Perhatian beliau diberbagai ilmu pengetahuan tidak hanya menjadikan

beliau aktif dalam menimba ilmu, akan tetapi menjadikan beliau juga sebagai

tempat merujuk bagi generasi-generasi setelahnya, dengan berbagai metode dan

kesempatan yang beliau lakukan, yakni melalui berbagai pertemuan majlis ilmu

seperti perkuliahan, majlis ta‟lim, diskusi, ceramah, dan melalui media massa.

Hal ini menjadikan beliau banyak memiliki murid-muridnya, di antaranya

adalah: Muhammad Fa>ru>q H}amdan, Muhammad Na‟i>m Yasin, „Abdul al-

Sata>r Abu> Gha>dah, „Abd al-Lat}i>f Farfu>r, Muhammad Abu> Lail, dan

termasuk putranya sendiri, Muhammad al-Zuh}aili>, serta masih banyak lagi

murid-muridnya ketika ia mengajar sebagai dosen di Fakultas Syari‟ah dan

perguruan tinggi lainnya.75

74

Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-

Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda

Agama”,...hlm, 130. 75

Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-

Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda

Agama”,...hlm, 131.

Page 55: ISTIDRA

53

C. Karya-karya

Kecerdasan dan kefaqihan Wahbah Al-Zuh}aili> telah dibuktikan dengan

kesuksesan akademisnya, hingga banyak lembaga-lembaga pendidikan dan

lembaga sosial yang dipimpinnya. Selain keterlibatannya pada sektor

kelembagaan baik pendidikan maupun sosial beliau juga memiliki perhatian besar

terhadap berbagai displin keilmuan, hal ini dibuktikan dengan keaktifan beliau

dan produktif dalam mengahasilkan karya-karyanya, meskipun karyanya banyak

dalam bidang tafsir dan fiqh akan tetapi dalam penyampaiannya memiliki

referensi terhadap paradigma masyarakat dan perkembangan sains.

Wahbah al-Zuh}aili> aktif dalam belajar dan mengajarkan berbagai

disiplin ilmu, baik dalam perkuliahan, ceramah di pengajian, diskusi, termasuk

juga melalui media massa. Sebagai hasil aktivitas akademisnya yang produktif,

tidak kurang dari 48 buku dan karya ensiklopedi (mausu>‟ah) dalam berbagai

disipilin ilmu Islam telah ditulisnya.76

Dr. Badi Al-Sayyid Al-Lahham dalam biografi Syaikh Wahbah al-Zuh}aili

yang ditulisnya dalam buku yang berjudul, Wahbah al-Zuh}aili al-Ali>m, al-

Fa>qih, al-Mufassir menyebutkan 199 karya tulis Syaikh Wahbah al-Zuh}aili

selain jurnal.77

Mayoritas karyanya mencakup bidang fiqh dan tafsir. Di antara karya-

karyanya tersebut sebagai berikut:

76

Muhsin Mahfudz , “Konstruksi Tafsi>r Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsi>r al-Muni>r

Karya Wahbah al-Zuh}aili>)”, al-Fikr, Vol. 14, No. 1, (2010), hlm, 34. 77

Eka Hayatunnisa dan Anwar Hafidzi, “Kriteria Poligami serta Dampaknya melalui

Pendekatan Alla> Tuqsit}u Fi> al-Yata>ma> dalam Kitab Fikih Islam Wa Adillatuhu”, Ilmu

Hukum dan Pemikiran, Vol. 17 No 1, (Juni 2017), hlm, 67.

Page 56: ISTIDRA

54

1. Al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, (1997) dalam 9 jilid tebal. Ini adalah karya

fiqhnya yang sangat terkenal.

2. Usu>l al-Fiqh al-Isla>mi>, dalam 2 jilid besar.

3. Al-Wasi>t fi> Us}u>l al-Fiqh, Universitas Damaskus, 1966.

4. Al-Fiqh al-Islāmi fi> Uslu>b al-Jadi>d, Maktabah al-H}adi>tsah, Damaskus,

1967.

5. Fiqh al-Mawāris fi> al-Syari‟āt al-Islāmiyyah. Da>r al-Fikr, Damaskus,

1987.

6. Al-Qur‟ān al-Kari>m; Bunyātuhu al-Tasyri>‟iyyah au Khas}ā‟is}uhu al-

Hasāriyah, Da>r al-Fikr, Damaskus, 1993.

7. Al-Asa>s wa al-Mas}a>dir al-Ijtihād al-Musytarikah Bayna al-Sunnah wa al-

Syi‟ah, Da>r al-Maktabi, Damaskus, 1996.

8. Tafsi>r al-Muni>r fi> al-„Aqi>dat wa al-Syari>‟at wa al-Manhaj, terdiri dari

16 jilid. Da>r al-Fikr, Damaskus, 1991.

9. Tafsi>r al-Waji>z merupakan ringkasan dari Tafsi>r al-Muni>r.

10. Tafsi>r al-Wasi>t} dalam 3 jilid tebal, dan karya-karya lainnya.

Ketiga karya tafsir terakhir ini, yaitu Tafsi>r al-Muni>r, Tafsīr al-Waji>z,

dan Tafsi>r al-Wasi>t}, masing-masing memiliki ciri dan karakterestik tersendiri.

Ketiganya menggunakan metode penafsiran yang berbeda dan latar belakang yang

berbeda pula. Tafsi>r al-Muni>r yang mencakup aspek Akidah dan Syariah (16

jilid), diperuntukkan bagi para ahli atau kalangan atas. Sedangkan Tafsi>r al-

Waji>z, diperuntukan bagi kebanyakan orang dan khalayak umum. Adapun

Tafsi>r al-Wasi>t}, diperuntukan bagi orang yang tingkat pengetahuan menengah.

Page 57: ISTIDRA

55

Sedangkan persamaannya adalah bahwa ketiganya sama-sama berupaya untuk

menjelaskan dan mengungkapkan makna-makna al-Qur‟an agar mudah dipahami

dan kemudian dapat di realisasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat

dengan lapisan yang berbeda.78

D. Tafsir Al-Muni>r

1. Latar Belakang Penulisan

Kata al-Muni>r yang merupakan isim fa‟il dari kata ana>ra (dari kata

nu>r; cahaya) yang berarti yang menerangi atau yang menyinari. Sesuai

namanya, mungkin Wahbah al-Zuh}aili bermaksud menamai kitab tafsir ini

dengan nama Tafsi>r al-Muni>r adalah ia berkeinginan supaya kitab tafsirnya

ini dapat menyinari orang yang mempelajarinya, dapat menerangi orang yang

membacanya, dan dapat memberikan pencerahan bagi siapa saja yang ingin

mendapatkan pencerahan dalam memahami makna kandungan ayat-ayat al-

Qur‟an dalam kitab tafsirnya ini.

Tafsi>r al-Muni>r bisa dibilang sebagai karya monumental ia dalam

bidang tafsir. Tafsir ini ditulis kurang lebih selama 16 tahun (mulai dari tahun

1975 sampai tahun 1991 M). Tafsir ini menjelaskan seluruh ayat al-Qur‟an,

mulai dari surah al-Fa>tih}ah sampai surah al-Na>s, yang terdiri dari 16

jilid, masing-masing jilid memuat 2 juz (bagian) dan seluruhnya terdiri dari

78

Wahbah al-Zuh}aili>, Tafsi>r al-Wasi>t}; Muqaddimah Tafsīr al-Wasi>t} (Damaskus:

Da>r al-Fikr, 2006), hlm, 5.

Page 58: ISTIDRA

56

32 juz, dan dua juz terakhir berisi al-fihris al-sya>mil, semacam indeks yang

disusun secara alfabetis.79

Kitab Tafsi>r al-Munīr ini ditulis setelah pengarangnya

menyelesaikan penulisan dua kitab yang komprehensif dalam temanya

masing-masing, yaitu Us}ūl Fiqh al-Islāmi (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islāmi> wa

Adillatuhu (11 Jilid). Ketika itu, ia telah menjalani masa mangajar di

perguruan tinggi selama lebih dari 30 tahun dan melakukan riset dalam

berbagai disiplin ilmu, termasuk fiqih dan hadis. Ketia itu, ia telah

menghasilkan buku dan artikel yang berjumlah lebih dari tiga puluh buah.

Setelah itu, ia mulai menulis kitab Tafsīr al-Munīr, yang pertama kalinya

diterbitkan oleh Dār al-Fikr Beirut Libanon dan Dār al-Fikr Damaskus,

Syiria yang berjumlah 16 jilid bertepatan pada tahun 1991 M/1411 H. Dengan

demikian, tafsir ini ditulis ketika ia telah mencapai puncak karir

intelektualnya. Kitab ini telah diterjemahkan di berbagai negara, di antaranya

Turki, Malaysia, dan Indonesia.80

Tafsir ini ditulis berdasar atas keprihatinan Wahbah Al-Zuh}ail>i atas

sejumlah pandangan kalangan yang menyudutkan tafsir klasik sebab tidak

mampu menawarkan sulusi atas problematika kontemporer, sedangkan para

mufasir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap

79

Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-

Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda

Agama”,...hlm, 134. 80

Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-

Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda

Agama”,...hlm, 135.

Page 59: ISTIDRA

57

ayat al-Qur‟an dengan dalih pembaharuan. Karena itulah, Wahbah Al-

Zuh}aili> berpendapat bahwa tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa

kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan

modern tanpa ada penyimpangan interpretasi. Lalu lahirlah tafsir al-Muni>r

yang memaduka orosinalitas tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer.81

2. Metode dan Sistematika penulisan Tafsir Al-Muni>r

Perkembangan tafsir sendiri melahirkan beberapa metode penafsiran

yang masyhur digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir). Diantara metode

penafsiran tersebut adalah metode ijma>li>, tah}li>li>, muqa>ran dan

maud}u>i>. Pertama, ijma>li>, yang dimaksud dengan metode ijma>li>

adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an secara ringkas tapi mencakup,

dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika

penulisannya menuruti susunan ayat-ayat dalam mushaf. Disamping itu,

penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur‟an sehingga

pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur‟an

padahal yang ia dengar itu adalah tafsirnya.82

Kedua, tah}li>li>, yang

dimaksud dengan metode tah}li>li> ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an

dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang

ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya

sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-

81Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga Kontemporer,

(Kaukaba Dipantara: Yogyakarta, 2013), hlm, 139. 82

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1998), hlm 13.

Page 60: ISTIDRA

58

ayat tersebut. Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang

dikandung oleh al-Qur‟an, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan

urutannya dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang

dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi

kalimatnya, latar belakang turun ayat, muna>sabah ayat dan tidak

ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan

tafsiran ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi‟in,

maupun ahli tafsir lainnya.83

Ketiga, muqa>ran, para ahli tidak berbeda pendapat mengenai

definisi metode ini. Dari berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa

yang dimaksud dengan metode muqa>ran ialah:

1. Membandingkan teks ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki persamaan atau

kemiripan redaksi dalam dua kasus atau kebih, atau memiliki redaksi

yang berbeda bagi satu kasus yang sama.

2. Membandingkan ayat al-Qur‟an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat

bertentangan.

3. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-

Qur‟an.

Dari definisi itu terlihat jelas bahwa tafsir al-Qur‟an dengan

menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak hanya

83

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an,...hlm 31.

Page 61: ISTIDRA

59

membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga membandingkan ayat

dengan hadis serta membandingkan pendapat para mufassir.84

Keempat, maud}u>i, yang dimaksud metode maud}u>i adalah

membahas ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan tema atau judul yang telah

ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun. Kemudian dikaji secara

mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti

asbab nuzu>l, kosakata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan

tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-

Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.85

Wahbah al-Zuh}aili> dalam kitab Tafsi>r al-Muni>r ini,

menggunakan metode tafsir tah}li>li>, dalam menafsirkan ayat-ayat al-

Qur‟an dalam kitab tafsirnya. Meski demikian, sebagian kecil di beberapa

tempat terkadang ia menggunakan metode tafsir tematik (maud}u>‟i>).

Metode tahlili lebih dominan, karena metode inilah yang hampir semua

digunakannya dalam kitab tafsirnya.

Adapun kerangka pembahasan atau sistematika pembahasan dalam

tafsirnya ini, Wahbah al-Zuh}aili> menjelaskan dalam pengantarnya, sebagai

berikut:

1. Mengklasifikasikan ayat al-Quran ke dalam satu topik pembahasan dan

memberikan judul yang cocok.

84

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an,...hlm, 65. 85

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an,...hlm, 151.

Page 62: ISTIDRA

60

2. Menjelaskan kandungan setiap surah secara global.

3. Menjelaskan aspek kebahasaan

4. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat dalam riwayat yang paling sahih

dan mengesampingkan riwayat yang lemah jika ada, serta menjelaskan

kisah-kisah sahih yang berkaitan dengan ayat yang hendak ditafsirkan.

5. Menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan rinci.

6. Mengeluarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan ayat yang sudah

ditafsirkan.

7. Membahas bala>ghah (retorika) dan i„ra>b (sintaksis) ayat-ayat yang

hendak ditafsirkan.86

Metode dan sistematika di atas jelas memperlihatkan kompleksitas

bidang kajian yang disajikan pengarangnya. Dalam banyak hal, ia juga

memperlihatkan sebuah sistematika yang menjadi trend sejak munculnya

paradigm tafsir adabi> ijtima>‟i>. Salah satunya adalah perhatian khusus

terhadap aspek linguistik dalam penafsiran, sebagaimana terlihat dalam point

ketiga dan ketujuh. Sistematika tafsir global dan tematik juga menunjukkan

keterpengaruhan dengan trend terkini, sebagaimana ditunjukkan al-

Farma>wi>. Aspek keenam terkait hukum-hukum yang dideduksi dari sebuah

86

Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-

Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda

Agama”,...hlm, 137.

Page 63: ISTIDRA

61

ayat merupakan sebuah bentuk kontekstualisasi yang dilakukan Wahbab al-

Zuh}aili> dalam bidang yang ditekuninya.87

3. Pendekatan dan Corak penafsiran Tafsir Al-Muni>r

Pendekatan penafsiran yang digunakan Wahbah Al-Zuh}aili> dalam

tafsir Al-Muni>r adalah:

a. Pendekatan linguistik

Pendekatan linguistik, yakni Wahbah Al-Zuh}aili> menguraikan

gramatikal dan balaghahnya. Contoh dalam QS. Ali Imran [3] 42:

Artinya:

“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam,

Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan

melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan

kamu).”88

Adapun aspek Balagah dari ayat ini, misalnya: ( وإذ قالت الملئك)

yang dimaksud dengan kata الملئك adalah malaikat Jibril, tetapi ayat ini

menggunakan maja>z al-Mursa>l sebagai ungkapan umum tetapi yang

dimaksud adalah khusus atau sebagian, yakni Jibril. Kemudian ( اصطفىك و

87

Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-

Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda

Agama”,...hlm, 137. 88

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, `55.

Page 64: ISTIDRA

62

Wahbah al-Zuh}aili> menjelaskan bahwa pengulangan ,(طهرك واصطفىك

kata اصطفىك dalam ayat merupakan bentuk al-Itnab.89

b. Pendekatan Hukum

Pendekatan Hukum, yakni Wahbah al-Zuh}aili> menggunakan

analisis hukum dalam arti luas (bukan fikih) sebagai domain

pendekatannya. Hal ini merupakan kewajaran jika melihat latar belakang

pendidikannya sebagai guru besar di bidang Hukum Islam. Dalam tafsir

Al-Muni>r, setiap kali membahas suatu ayat atau beberapa ayat, ia selalu

menguraikan fiqh al-h}a>yah wa al-Ah}ka>m (fikih kehidupan dan

hukum). Sepertinya, yang dimaksud dengan kalimat ini adalah norma-

norma kehidupan dan hukum-hukum yang diistimbatkan dari ayat.

c. Pendekatan sosiologis

Pendekatan Sosiologis, yakni Wahbah al-Zuh}aili> selalu

mendekatkan pemahaman ayat kepada realitas kehidupan sosial,

sebagaimana tujuan yang diusungnya dalam penulisan tafsir ini. Istilah

fiqh al-haya>h yang selalu ia gunakan ketika membahas satu atau

kelompok ayat secara konsisten sebagai isyarat bahwa ia akan

mengaitkan ayat dengan kehidupan sosial. Karena itu, sepertinya

pendekatan ini juga termasuk domain pendekatannya. Contoh QS. al-

Baqarah [2] 258:

89

Muhsin Mahfudz, “Konstruksi Tafsi>r Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsi>r al-Muni>r

Karya Wahbah al-Zuh}aili>)”, Al-Fikr, Vol. 14, No. 1, (2010), hlm, 35.

Page 65: ISTIDRA

63

Artinya:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat

Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan

kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan:

"Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata:

"Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata:

"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka

terbitkanlah Dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah

tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”90

Ketika membincang istilah الملك dalam ayat di atas, Wahbah al-

Zuh}aili> menguraikan antara makna Qur‟ani dengan makna yang lazim

dipahami oleh masyarakat sepanjang sejarah. Dan akhirnya, Wahbah

berkesimpulan bahwa pengunaan istilah tersebut bagi seorang “Raja

Kafir” tidak melanggar hukum dan aqidah Islam.91

Dengan melihat dari penafsiran yang digunakan oleh Wahbah al-

Zuh}aili> dalam kitab tafsirnya ini, bisa dikatakan bahwa corak tafsir

yang digunakan adalah corak kesastraan (adabi>) dan sosial

kemasyarakatan (al-Ijtimā‟i) serta adanya nuansa yurisprudensial (fiqh).

Hal ini terutama ditunjukan dengan adanya penjelaskan fiqh kehidupan

(fiqh al-h}aya>t) atau hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Hal

90

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 43. 91

Muhsin Mahfudz, “Konstruksi Tafsi>r Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsi>r al-Muni>r

Karya Wahbah al-Zuh}aili>)”, Al-Fikr, Vol. 14, No. 1, (2010), hlm, 36.

Page 66: ISTIDRA

64

ini dapat dilihat karena memang Wahbah al-Zuh}aili> sendiri sangat

terkenal keahliannya dalam bidang fiqh dengan karya monumentalnya al-

Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu>. Sehingga, bisa dikatakan corak

penafsiran Tafsi>r al-Muni>r adalah keselarasan antara Adabi> Ijtima‟i>

dan nuansa fiqhnya atau penekanan Ijtima>‟i-nya lebih ke nuansa fiqh.92

4. Sumber-sumber Penafsiran Tafsir Al-Muni>r

Dalam pembahasan kitab ini, Wahbah al-Zuh}aili> menggunakan

kompromi antara sumber-sumber Tafsi>r bi al-Ma‟tsu>r dengan Tafsi>r bi al-

Ra‟yi, serta menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya

bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab

itu, ia membagi ayat-ayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan

penjelasan di dalamnya.

Di antara sumber-sumber referensi yang digunakan al-Zuh}aili> dalam

Tafsi>r al-Muni>r adalah sebagai berikut. Terkait bidang akidah, akhlak, dan

penjelasan keagungan Allah di alam semesta, merujuk kepada: Tafsi>r al-Kabi>r

karya Fakhruddi>n al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muhi>t} karya Abu>

H}ayya>n al-Andalu>si>, Ru>h al-Ma‟a>ni> karya al-Alu>si>. Dalam penjelasan

kisah-kisah al-Qur‟an dan sejarah, ia merujuk Tafsi>r al-Kha>zin dan al-

Baghawi>. Tafsir terkait penjelasan hukum-hukum fiqh, ia merujuk kepada

beberapa literature seperti al-Ja>mi‟ fi> Ah}ka>m al-Qur‟a>n, karya al-

Qurt}ubi>, Ah}ka>m al-Qur‟a>n karya Ibn al-„Arabi>, Ah}ka>m al-Qur‟a>n,

92

Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-

Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda

Agama”,...hlm, 138.

Page 67: ISTIDRA

65

karya al-Jas}s}a>s, Tafsi>r al-Qur‟an al-„Az}i>m, karya Ibnu Kas\i>r, dalam

bidang kebahasaan, al-Kassya>f karya al-Zamakhsya>ri>. Materi qira>‟at,

dirujuk dari Tafsi>r al-Nasafi>, sedangkan dalam bidang sains dan teori-teori

ilmu alam, ia menyadur dari al-Jawa>hir karya T}ant}a>wi> Jauhari>, dan masih

banyak lagi yang lainnya.93

93

Baihaki, “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-

Zuh}aili> Dan Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda

Agama”,...hlm, 139.

Page 68: ISTIDRA

66

BAB IV

PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUH}AILI<> TENTANG ISTIDRA<J

A. Identifikasi Ayat-ayat Istidra>j

Penyebutan kata istidra>j secara langsung dalam Al-Qur‟an hanya

terdapat dua ayat dalam bentuk fi‟il mud}ari„.94

Keduanya diawali dengan huruf

sin (سنستدرجهم) yang menunjukkan makna (akan) dalam waktu dekat ( lil qari>b ),

yakni QS. al-A‟ra>f [7] 182:

Artinya:

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan

menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang

tidak mereka ketahui.”95

Dan QS. al-Qalam [68] 44:

Artinya:

“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang

yang mendustakan Perkataan ini (Al-Quran). nanti Kami akan menarik mereka

dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka

ketahui,”96

Sedangkan secara tersirat terdapat ayat-ayat lain yang juga menyebutkan

istidra>j secara maknawi, hal ini dapat diketahui dari penjelasan para mufassir

94

M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur‟an al-Karim, (Cet Ke-

10; Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 2015), hlm, 255. 95

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174. 96

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 566.

Page 69: ISTIDRA

72

pada penafsiran ayat-ayat tersebut. Diantaranya terdapat pada QS. Ali Imra>n [3]

178:

Artinya:

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa

pemberian tangguh Kami kepada mereka97

adalah lebih baik bagi mereka.

Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya

bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”98

QS. al-An‟a>m [6] 44:

Artinya:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada

mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;

sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada

mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka

terdiam berputus asa.”99

Dan QS. al-Mu‟minu>n [23] 55-56:

Artinya:

97

Yakni: dengan memperpanjang umur mereka dan membiarkan mereka berbuat dosa

sesuka hatinya. 98

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 73. 99

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 132.

Page 70: ISTIDRA

73

Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan

kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-

kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.100

Karena banyaknya ayat-ayat lain yang juga menyebutkan istidra>j secara

maknawi, maka untuk memperkaya pembahasan penulis mengambil tiga ayat

terakhir dan merupakan ayat-ayat yang menjadi batasan masalah penulis dalam

pembahasan ini. Pemilihan ayat-ayat tersebut berdasarkan analisa penulis setelah

membaca penjelasannya dalam tafsir al-Muni>r karya Wahbah Al-Zuh}aili>.

B. Penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili> Tentang Istidra>j

1. QS. al-A‟ra>f [7] 182:

Artinya:

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami

akan menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan

cara yang tidak mereka ketahui.”101

Wahbah Al-Zuh}aili> ketika menafsirkan ayat ini tidak melepaskan

dengan ayat sebelumnya, bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah

golongan kedua dari dua golongan umat Nabi Muhammad yang dimaksud

ayat tersebut. Golongan pertama adalah orang-orang yang mendapat

petunjuk, konsisten pada kebenaran dalam perkataan dan perbuatan. Mereka

akan senantiasa menunjukkan manusia dan mengajak mereka pada kebenaran

dan mengaplikasikan kebenaran dalam keseharian, menghukum dengan adil

100

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 345. 101

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 174.

Page 71: ISTIDRA

74

tanpa berpihak dan aniaya.102

Itulah golongan pertama dari umat Nabi

Muhammad. Setelah itu Allah SWT menyebutkan golongan kedua yaitu

orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah sebagaimana dalam surat al-

A‟ra>f 182 tersebut.

Menafsirkan ayat ini Wahbah Al-Zuh}aili> mengatakan, mereka

adalah penduduk Mekah, akan Kami biarkan mereka dalam kesesatan, dan

akan Kami tarik secara berangsur-angsur kepada azab tanpa mereka sadari

apa yang sedang direncanakan untuk mereka. Kemudian, Kami dekatkan

mereka kepada sesuatu yang akan membinasakan mereka dengan cara

memberi mereka nikmat, membuka pintu-pintu rezeki, dan memudahkan

sarana-sarana kehidupan setiap kali mereka berbuat dosa atau kesalahan,

sehingga mereka akan semakin sombong, terjerumus dalam kerusakan, selalu

dalam kesesatan, dan terbenam dalam kemaksiatan karena terbawa oleh

berbagai nikmat dan kesenangan tersebut, sebagaimana Allah SWT

berfirman:103

Artinya:

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami

berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan

kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”104

102

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 5; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 192. 103

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj,...

hlm, 193. 104

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 345.

Page 72: ISTIDRA

75

Ayat ini dapat dipahami bahwa pemberian harta dan anak itu bukan

merupakan ukuran atau pertanda baiknya seseorang, sebagaimana Wahbah

Al-Zuh}aili> memberi kesimpulan, bahwa sesungguhnya nikmat, kebaikan,

dan rezeki bukanlah tanda kesalehan seseorang karena ia bisa saja bersifat

istidra>j sebagaimana umpan untuk musuh agar ia sampai ke sebuah tempat

lalu dihabisi disana. Jadi, seorang yang zalim jika ia belum segera mendapat

siksaan, ia akan tertipu akan hal tersebut karena boleh jadi ia dibiarkan untuk

diketahui kezaliman dan kedurhakaannya yang lain.

2. QS. al-Qalam [68] 44:

Artinya:

“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang

yang mendustakan Perkataan ini (Al-Qur‟an). nanti Kami akan menarik

mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak

mereka ketahui,”105

Munasabah ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah pada ayat

sebelumnya Allah menakut-nakuti orang-orang kafir dengan azab dunia

dalam firman-Nya ( يعمونولعذاب الأخرة أكبر لو كانو ) “Dan sesungguhnya azab

akhirat lebih besar jika mereka mengetahui”, Allah menyebutkan keadaan

orang-orang yang bahagia, menjelaskan bahwa orang-orang yang bertakwa

mendapatkan surga kenikmatan. Kemudian, Dia menyanggah orang-orang

kafir yang menyangka ada persamaan di akhirat antara mereka dan orang-

orang yang Muslim padahal mereka tidak mendapatkan kitab dari Tuhan,

105

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 566.

Page 73: ISTIDRA

76

tidak pula ada perjanjian yang diberikan yang dikuatkan dengan sumpah-

sumpah, tidak pula ada penjamin-penjamin pada hari yang sangat genting,

hisab yang sangat sulit, baik untuk urusan shalat dan lainnya. Setelah Allah

menakut-nakuti orang-orang kafir dengan kegentingan dan sengitnya hari

kiamat, Allah menakuti dan mengancam mereka dengan keperkasaan dan

kekuasaan-Nya.

Menafsirkan ayat ini Wahbah Al-Zuh}aili> mengatakan, biarkan Aku

bersama mereka, biarkan Aku dan mereka, tinggalkan urusan mereka, orang-

orang yang mendustakan al-Qur‟an, cukuplah Aku menangani urusan mereka

tanpa kamu. Allah maha mengetahui bagaimana Aku membalas mereka.

Kami akan menggiring mereka setingkat demi setingkat sampai Kami

menjatuhkan azab pada mereka ketika mereka tidak mengetahui bahwa itu

adalah istidra>j sebab mereka menyangka itu pemberian nikmat. Mereka

tidak memikirkan akibatnya dan apa yang akan mereka peroleh pada

akhirnya. Ini adalah intimidasi yang keras, hiburan bagi Nabi Muhammad

SAW.106

Mereka tidak mengetahui bahwa pemberian nikmat itu adalah

istidra>j. Mereka justru meyakini bahwa itu dari Allah sebagai bentuk

kemuliaan.

Hakikat istidra>j itu adalah tidak langsung memberi siksa atau

hukuman, seperti yang dikatakan Wahbah Al-Zuh}aili>, Allah menunda dan

106

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 15; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 78.

Page 74: ISTIDRA

77

memberikan waktu yang lama pada orang-orang zalim dan orang-orang kafir,

kemudian menghukum mereka.107

Disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dari Rasulullah SAW., beliau

bersabda:

حدثنا صدق بن الفضل أخبرنا أبو معاوي حدثنا بريد بن أبي بردة عن أبي - 1144بردة عن أبي موسى رضي الله عنو قال : قال رسول الله صى الله عيو و سم ) إن الله

ذا أخذه لم يفتو ( . قال ثم قرأ: وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى ليمي لظالم حتى إ 108.وىي ظالم إن أخذه أليم شديد

“Menceritakan kepada kami S{adaqah bin al-Fad}l, menceritakan

kepada kami Abu Muawiyah, menceritakan kepada kami Yazi>d bin Bardah,

dari Abu Bardah dari Abu Musa ra. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah membiarkan orang zalim, sampai ketika Dia telah

mengambilnya, maka Dia tidak akan melepasnya. Kemudian Nabi

Muhammad membaca „Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa

(penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh siksa-Nya sangat

pedih, sangat berat”.

Melihat keterangan di atas orang yang tertimpa istidra>j diawali

dengan diberi nikmat dan kesenangan dunia dan tidak langsung mendapat

siksa, melainkan Allah beri tangguh dalam waktu yang lama sebagai tahapan

bagi mereka sampai tiba waktunya, ironisnya mereka malah menganggap

bahwa nikmat itu sebagai bentuk kemuliaan bagi mereka.

107

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 15; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 83. 108

Page 75: ISTIDRA

78

3. QS. Ali Imra>n [3] 178:

Artinya:

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa

pemberian tangguh Kami kepada mereka109

adalah lebih baik bagi mereka.

Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya

bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang

menghinakan.”110

Allah menjelaskan tentang masalah pemberian tanggguh beberapa

waktu untuk orang-orang kafir, janganlah orang-orang kafir itu mengira

bahwa penangguhan dan umur panjang yang Kami berikan itu lebih baik bagi

mereka. Dikarenakan mereka tidak memanfaatkan umur mereka untuk

kebajikan, akan tetapi sebaliknya, mereka hanya memanfaatkan umur mereka

untuk kejelekan. Sehingga konsekuensinya dosa mereka semakin bertambah

dan menumpuk, semakin tenggelam dalam kebatilan dan kesesatan.

Ketika istidra>j menimpa seseorang Allah tidak langsung menyiksa

seketika, namun memberi penangguhan yang mana penangguhan itu

sebenarnya bisa jadi bentuk kasih sayang kepada manusia, yakni agar mereka

kembali pada keimanan dan ketaatan. Sebagaimana Wahbah Al-Zuh}aili>

menjelaskan, janganlah orang-orang kafir itu mengira bahwa penangguhan

Kami terhadap mereka itu bertujuan agar mereka terus-menerus di dalam

kebatilan, semakin tenggelam di dalam kesesatan dan menumpuk-numpuk

109

Yakni: dengan memperpanjang umur mereka dan membiarkan mereka berbuat dosa

sesuka hatinya. 110

Al-Qu‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 73.

Page 76: ISTIDRA

79

dosa seperti yang mereka lakukan selama ini, bukan, akan tetapi mereka

diberi tangguh dan umur panjang sebenarnya bertujuan agar mereka sadar,

bertobat dan masuk ke dalam keimanan, bukan untuk menambah dosa dan

siksa. Seandainya mereka menyadari hal ini, maka penangguhan dan umur

panjang yang diberikan kepada mereka ini memang lebih baik bagi mereka.111

4. QS. al-An‟a>m [6] 44:

Artinya:

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan

kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk

mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah

diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong,

Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”112

Menurut Wahbah Al-Zuh}aili> orang-orang yang terus berada dalam

kekafiran dan kedurhakaan, lalu Allah SWT membukakan pintu-pintu rezeki

dengan berbagai macam kemakmuran hidup, kesehatan, keamanan, dan lain

sebagainya sesuai yang diinginkan mereka, ini adalah istidra>j dan

pembiaran dari Allah SWT kepada mereka, sehingga tatkala mereka bersuka

ria dengan apa yang telah mereka terima berupa rezeki, anak-anak, dan harta

benda, Allah menjadikan mereka lalai dan menimpakan siksa yang tak

111

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 2; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 508. 112

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 132.

Page 77: ISTIDRA

80

terduga kepada mereka sehingga mereka putus asa dari keselamatan dan

kebajikan.113

Imam Ahmad meriwayatkan dari Uqbah bin A<mir dari Nabi SAW,

bersanda:

, عن -44111 اج المهري ث نا رشدين, ي عني ابن سعد أبو الحج ث نا يحيى بن غيلن قال: حد حد

م, عن عقب بن عامر, عن النبي ص , عن عقب بن مس بن عمران التجيبي م حرم يو و س ى الله ع

, فإنما ىو استدراج ثم ى معاصيو ما يحب ن يا ع تل رسول الله قال: إذا رأيت الله ي عطي العبد من الد

روا بو ف ت ا نسوا ما ذك م م : )ف يو و س ى الله ع يهم أب واب كل شيء حتى إذا فرحوا بما ص حنا ع

سون( 114أوت وا أخذناىم ب غت فإذا ىم مب

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Gailan dia berkata, telah

menceritakan kepada kami Risydin yakni, Ibnu Sa‟d Abul H{ajjaj al-Mahari

dari H{armalah bin Imra>n at-Tujibi dari Uqbah bin Muslim dari Uqbah bin

A<mir dari Nabi SAW. beliau bersabda: „Jika kalian melihat Allah

memberikan dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu

yang ia sukai, maka sesungguhnya itu hanyalah istidra>j.‟ Kemudia

Rasulullah SAW. membacakan ayat: „(Maka tatkala mereka melupakan

peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan

semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka

bergembira dengan apa yang telah diberika kepada mereka, kami siksa

mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam

berputus asa)‟”. (QS. Al-An‟a>m: 44).

Sebagaimana Wahbah Al-Zuh}aili> menjelaskan, kenikmatan yang

diberikan kepada seorang hamba bukan berarti hal itu menunjukkan

keridhaan Allah apabila kenikmatan itu dibarengi dengan kemaksiatan, hal

113

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 4; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 209. 114

Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Bait al-Afkar al-Dauliyah,

1998), hlm, 1248.

Page 78: ISTIDRA

81

tersebut merupakan istidra>j dari Allah SWT.115

\ Cukup banyak manusia

yang lalai terhadp istidra>j, padahal istidra>j sendiri dapat saja muncul dan

hadir pada setiap keadaan. Karena melupakan istidra>j itulah manusia lantas

melakukan dosa. Di antara istidra>j itu adalah Allah SWT memberikan

kepada manusia nikmat, lalu mereka lupa akan minta ampun kepada-Nya,

seterusnya mereka bertambah jahat dan takabbur, selanjutnya masuk ia dalam

perbuatan maksiat lainnya.116

5. QS. al-Mu‟minun [23] 55-56:

Artinya:

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami

berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan

kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”117

Mengenai ayat ini Wahbah Al-Zuh}aili> mengatakan para hartawan

dan pemilik kekayaan pada masa jahiliyah dan masa yang lainnya benar-

benar telah keliru ketika mereka mengira bahwa pelimpahan harta dan anak

kepada mereka adalah tanda keridhaan Allah SWT kepada mereka.

Sebaliknya hal itu sejatinya tidak lain adalah bentuk istidra>j menuju jurang-

jurang nereka. Kesimpulannya adalah dilimpahkannya harta kekayaan dan

anak kepada orang-orang kafir tidak lain itu adalah istidra>j bagi mereka

115

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 4; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 211. 116

Damanhuri, Istidraj dalam Mawa‟iz al-Badi‟ah, Substantia, Vol. 12 No. 2. (Oktober

2010), hlm, 448. 117

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 345.

Page 79: ISTIDRA

82

menuju kemaksiatan-kemaksiatan dan membiarkan mereka semakin

bertambah dosa-dosanya. Mereka mengira bahwa itu adalah kesegeraan

berbuat kebaikan untuk mereka sebagai penghormatan dan pemuliaan serta

menyegerakan pahala sebelum waktunya.118

C. Penyebab Datangnya Istidra>j Menurut Wahbah Al-Zuh}aili>

Setelah membahas makna istidra>j, maka pada pembahasan ini penulis

akan menguraikan hal-hal yang menjadi penyebab seseorang tertimpa istidra>j.

Karena ketika Allah menimpakan istidra>j kepada manusia tidak lain tentu ada

penyebabnya, oleh karena itu dalam pembahasan ini penulis akan mengemukakan

beberapa hal yang menjadi penyebab seseorang ditimpa istidra>j menurut

Wahbah Al-Zuh}aili> dalam tafsirnya al-Muni>r:

1. Kafir119

Penyebab pertama dan utama adalah kekafiran, seperti disebutkan

dalam surat al-A‟ra>f [7] 182 dan al-Qalam [68] 44. Sebagaimana Wahbah

Al-Zuh}aili> mengatakan bahwa para pendusta al-Qur‟an adalah penduduk

kafir Mekah. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa istidra>j sudah terbukti

pada kaum kafir Quraisy yang dikalahkan pada Perang Badar, Khandaq,

pembebasan kota Mekah, dan peperangan-peperangan lainnya yang Allah

118

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 9; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 387. 119

Kufur adalah perbuatan dusta, berdusta dalam hal keesaan Allah, syari‟at atau kenabian

yang membuat pelakunya menjadi kafir dan inilah kekufuran yang paling besar. Lihat, Mufradat

Alfaz al-Qur‟an, hlm, 714.

Page 80: ISTIDRA

83

memenangkan Rasul-Nya.120

Allah akan menimpakan hukuman berupa

istidra>j kepada para pendusta al-Qur‟an, ketika mereka telah mendustkan

ayat-ayat Allah berarti mereka telah kafir. Maka ketika Allah melimpahkan

sebagian harta duniawi kepada hamba-Nya tidak serta merta itu menjadi

istidra>j kecuali jika ia memang kafir. Maka salah satu penyebab istidra>j

adalah penolakan terhadap keimanan yaitu kekafiran. Oleh karena itu harta

yang diperoleh orang kafir jelas merupakan istidra>j. Karena dengan harta

itu orang kafir akan berbangga dengan kekuatan yang ada dalam diri mereka

dan saling tolong menolong dalam kekafiran.

Akan tetapi walaupun mereka mendustakan peringatan yang telah

disampaikan oleh utusan-Nya, tetap saja Allah SWT tidak langusng

memberikan azab kepada mereka, dalam arti menundanya. Begitu juga Allah

SWT tetap memberikan nikmatnya kepada mereka hingga mereka lupa diri,

bahwa nikmat yang Allah SWT berikan adalah sebuah peringatan yang

menjadikan mereka sebagai orang yang tertimpa istidrāj, padahal telah

dijadikan sebagai pelajaran kaum terdahulu yang juga mendustakan Rasul

yang diutus kepada mereka, akibat dari perbuatannya mereka mendapatkan

malapetaka.121

Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ali Imra>n [3] 137,

sebagai berikut:

120

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 5; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 93. 121

Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang Istidraj),

(Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), hlm, 58.

Page 81: ISTIDRA

84

Artinya:

Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah,122

karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana

akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).123

2. Tidak Bersyukur

Mengingkari nikmat Allah SWT menurut Badri Yatim adalah

menyalahgunakan nikmat-nikmat Allah SWT atau tidak menggunakannya

pada hal-hal yang diridhai-Nya, begitu juga tidak berterimakasih atas nikmat

yang dia terima.124

Sebagian orang ditimpa istidra>j karena mereka lupa

kacang dengan kulitnya dan lupa bersyukur kepada Allah setelah Allah

kabulkan doa mereka dan Allah limpahkan apa yang mereka inginkan. Hal ini

sebagaimana digambarkan pada ayat berikut ini:

Artinya:

Dan apabila manusia ditimpa bahaya Dia berdoa kepada Kami dalam

Keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya

itu daripadanya, Dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah Dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah

122

Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah yang

berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul. 123

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 67. 124

Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang Istidraj),

(Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), hlm, 59.

Page 82: ISTIDRA

85

menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang

baik apa yang selalu mereka kerjakan.125

Ali bin Abi T{a>lib pernah berkata mengenai ciri-ciri orang yang

tidak bersyukur yaitu : “Ia tidak mampu mensyukuri apa yang dikaruniakan

kepadanya dan selalu menghendaki tambahan dari apa yang ada pada dirinya.

Bila jatuh sakit ia menyesali dirinya tapi bila telah kembali sehat ia merasa

aman berbuat sia-sia.126

Sebagaimana Wahbah Al-Zuh}aili> ketika menafsirkan QS. Ibra>him

ayat 7 ( ولئن كفرتم ) yakni, dan sungguh jika kalian mengingkari nikmat-nikmat,

dan menutupinya serta tidak memenuhi haknya untuk disyukuri (ان عذاب لشديد)

yakni, sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih dan sangat kuat penaruhnya, baik

sewaktu didunia dengan mencabut rizki itu maupun siksa diakhirat atas

kekufuran mereka.127

Dari keterangan tersebut nampaklah bahwa salah satu

penyebab manusia tertimpa istidra>j karena tidak bersyukur atas nikmat

Allah SWT, mereka memperoleh berbagai nikmat seperti harta, jabatan,

pekerjaan hingga hidayah dan keimanan, akan tetapi mereka tidak

mensyukurinya hingga mereka lalai dan termasuk golongan yang tertimpa

istidra>j.

3. Maksiat

125

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI 2009, hlm, 209. 126

Muhammad al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali

r.a., (Cet ke-6, Bandung: Mizan, 2003), hlm 37. 127

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 7; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 228.

Page 83: ISTIDRA

86

Nur Hasanah Azizah dalam tulisannya mengutip pendapat H{usni

Muba>roq bahwa pengertian maksiat adalah perbuatan yang melanggar

perintah Allah SWT, juga melanggar norma-norma agama. Maksudnya

melanggar atas apa yang Allah SWT perintahkan dan yang telah ditetapkan

ataupun keluar dari syariat.128

Setiap orang tidak boleh terburu-buru merasa

senang ketika dilimpahi kenikmatan berupa harta, jabatan, kesenangan,

kesuksesan dan lainnya, sementara hidupnya tidak pernah diisi dengan ibadah

apalagi malah diisi dengan kemaksiatan, baik itu maksiat kepada Allah

ataupun kepada sesama makhluk, karena bisa jadi itu merupakan istidra>j

dari Allah, yaitu sengaja Allah limpahi kesenangan dan dibukakan dunia agar

semakain terjerumus. Sebagaimana Wahbah Al-Zuhaili mengutip hadis Nabi

SAW, dari Uqbah bin Amir: ى معاصيو ما ي ن يا ع , فإنما ىو )إذا رأيت الله ي عطي العبد من الد حب

Jika kalian melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba“ استدراج(

pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka sesungguhnya itu

hanyalah istidra>j.”129

Ali bin Abi T{a>lib berkata : “Hai anak Adam ingat dan waspadalah

bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu

sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepada-Nya".130

Jadi,

keputusan Allah memberikan istidra>j disebabkan oleh perbuatan dan sikap

128

Nur Hasanah Azizah, Istidraj dalam al-Qur‟an (Analisis Ayat-ayat tentang Istidraj),

(Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017), hlm, 64. 129

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 4; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 210. 130

Muhammad al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali

r.a., (Cet ke-6, Bandung: Mizan, 2003), hlm, 121.

Page 84: ISTIDRA

87

diantaranya adalah kemaksiatan. Demikianlah tanda istidrāj jika menimpa

seseorang, walaupun dia tidak mendustakan al-Qur‟an akan tetapi dia

melakukan maksiat terhadap Allah SWT.

D. Tabel Penafsiran Wahbah Al-Zuh}aili>

No Nama Surat Ayat Tafsir

1 QS. Al-

A‟ra>f [7]

182

Akan Kami biarkan mereka dalam

kesesatan, dan akan Kami tarik

secara berangsur-angsur kepada

azab tanpa mereka sadari apa yang

sedang direncanakan untuk

mereka. Kemudian, Kami dekatkan

mereka kepada sesuatu yang akan

membinasakan mereka dengan

cara memberi mereka nikmat,

membuka pintu-pintu rezeki, dan

memudahkan sarana-sarana

kehidupan setiap kali mereka

berbuat dosa atau kesalahan,

sehingga mereka akan semakin

sombong, terjerumus dalam

kerusakan, selalu dalam kesesatan,

dan terbenam dalam kemaksiatan

karena terbawa oleh berbagai

nikmat dan kesenangan tersebut.

2 QS. Al-Qalam

[68] 44

Biarkan Aku bersama mereka,

biarkan Aku dan mereka,

tinggalkan urusan mereka, orang-

orang yang mendustakan al-

Qur‟an, cukuplah Aku menangani

urusan mereka tanpa kamu. Allah

maha mengetahui bagaimana Aku

membalas mereka. Kami akan

menggiring mereka setingkat demi

setingkat sampai Kami

menjatuhkan azab pada mereka

ketika mereka tidak mengetahui

Page 85: ISTIDRA

88

bahwa itu adalah istidra>j sebab

mereka menyangka itu pemberian

nikmat. Mereka tidak memikirkan

akibatnya dan apa yang akan

mereka peroleh pada akhirnya. Ini

adalah intimidasi yang keras,

hiburan bagi Nabi Muhammad

SAW. Mereka tidak mengetahui

bahwa pemberian nikmat itu

adalah istidra>j.

3 QS. Ali Imran

[3] 178

Janganlah orang-orang kafir itu

mengira bahwa penangguhan Kami

terhadap mereka itu bertujuan agar

mereka terus-menerus di dalam

kebatilan, semakin tenggelam di

dalam kesesatan dan menumpuk-

numpuk dosa seperti yang mereka

lakukan selama ini, bukan, akan

tetapi mereka diberi tangguh dan

umur panjang sebenarnya

bertujuan agar mereka sadar,

bertobat dan masuk ke dalam

keimanan, bukan untuk menambah

dosa dan siksa. Seandainya mereka

menyadari hal ini, maka

penangguhan dan umur panjang

yang diberikan kepada mereka ini

memang lebih baik bagi mereka.

4 QS. Al-

An‟am [6] 44

Mereka terus berada dalam

kekafiran dan kedurhakaan, lalu

Allah SWT membukakan pintu-

pintu rezeki dengan berbagai

macam kemakmuran hidup,

kesehatan, keamanan, dan lain

sebagainya sesuai yang diinginkan

mereka, ini adalah istidra>j dan

pembiaran dari Allah SWT kepada

mereka, sehingga tatkala mereka

bersuka ria dengan apa yang telah

mereka terima berupa rezeki, anak-

anak, dan harta benda, Allah

menjadikan mereka lalai dan

menimpakan siksa yang tak

terduga kepada mereka sehingga

Page 86: ISTIDRA

89

mereka putus asa dari keselamatan

dan kebajikan.

5 QS. Al-

Mu‟minun

[23] 55-56

Para hartawan dan pemilik

kekayaan pada masa jahiliyah dan

masa yang lainnya benar-benar

telah keliru ketika mereka mengira

bahwa pelimpahan harta dan anak kepada mereka adalah tanda

keridhaan Allah SWT kepada

mereka. Sebaliknya hal itu

sejatinya tidak lain adalah bentuk

istidra>j menuju jurang-jurang

nereka. Kesimpulannya adalah

dilimpahkannya harta kekayaan

dan anak kepada orang-orang kafir

tidak lain itu adalah istidra>j bagi

mereka menuju kemaksiatan-

kemaksiatan dan membiarkan

mereka semakin bertambah dosa-

dosanya. Mereka mengira bahwa

itu adalah kesegeraan berbuat

kebaikan untuk mereka sebagai

penghormatan dan pemuliaan serta

menyegerakan pahala sebelum

waktunya.

E. Analisa

Menurut Wahbah Al-Zuh}aili> istidra>j adalah menarik secara berangsur-

angsur atau sedikit demi sedikit. Yakni mendekatkan seseorang secara bertahap

kepada azab, dengan memberikan penangguhan waktu, memberikan kesehatan

dan menambah nikmat dari arah yang tidak ia ketahui, karena itu orang-orang

kafir mengira bahwa hal itu adalah kelebihan bagi mereka atas orang-orang

beriman. Menarik sedikit demi sedikit seseorang yang bersalah kepada hal-hal

yang akan membinasakan dan melipatgandakan siksa mereka.

Page 87: ISTIDRA

90

Esensi istidra>j adalah menarik atau menyiksa seseorang untuk dibawa

kepada kebinasaan secara pelan-pelan. Sebagaimana makna istidra>j secara

bahasa dalam berbagai literatur, misalnya dalam kamus al-Munawwir dan Lisan

al-Arab arti istidra>j adalah mendekatkan secara berangsur-angsur.

Sebagaimana Syaikh Nawani dalam tafsirnya Marah} Labi>d juga

memaknai istidraj yaitu, akan Kami dekatkan mereka kepada apa yang akan

membinasakan mereka dan melipat gandakan siksa bagi mereka, yang demikian

itu karena setiap mereka melakukan dosa Allah membukakan pintu kenikmatan

dan kebaikan dunia, maka bertambahlah keangkuhan dan mereka senantiasa

membuat kerusakan dan maksiat, lalu Allah menghukum mereka secara tiba-tiba

atas kelalaian itu.131

Ibnu Kas\i>r al-Dimasyqi> menjelaskan, istidra>j ialah Allah

membukakan bagi mereka pintu-pintu rezeki dan segala wajah penghidupan

didunia sehingga mereka tertipu dengan nikmat yang ada pada mereka dan

meyakini bahwa mereka berada dalam suatu kebaikan.132

Adapun orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan al-Qur‟an

yang diturunkan-Nya (kepada masyarakat Mekah), Allah SWT menyampaikan

bahwa Dia akan menjebak mereka dengan mendekatkan mereka kepada sesuatu

yang akan membinasakan tanpa mereka sadari apa yang sedang direncanakan

melalui nikmat-nikmat, kebaikan, dan rezeki yang diturunkan kepada mereka

setiap kali mereka melakukan sebuah dosa atau kesalahan.

131

M. Ibn Umar Nawawi al-Jawi>, Marah} Labi>d Likasyfi Ma‟na al-Qur‟a>n al-

Maji>d, (Jilid 1, Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1997), hlm, 409. 132

Ibnu Katsir Al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, (Jilid 2; Dar al-Fikr: Beirut,

2006), hlm, 778.

Page 88: ISTIDRA

91

Allah SWT akan membiarkan mereka dan memberi mereka waktu ketika

mereka tetap dalam kekafiran dan Allah tidak menyegerakan siksaan, tetapi

menundanya untuk memberi mereka kesempatan kembali kepada kebenaran,

menjawab seruan iman dan mempercayai Nabi Muhammad SAW. Dalam masa

tempo tersebut Allah tetap memperingatkan mereka bahwa jika mereka tetap

dalam kemaksiatan dan kekafiran, sungguh tipu daya Allah sangat dahsyat dan

terencana.133

Allah SWT telah memperingatkan hamba-Nya melalui berbagai ayat-ayat-

Nya dalam al-Qur‟an dan Nabi SAW dalam hadisnya juga mengingatkan umatnya

agar berhati-hati dari bahaya istidra>j, sebagaimana Nabi bersabda: ذا رأيت الله ي عطي إ

, فإنما ىو استدراج ى معاصيو ما يحب ن يا ع Jika kalian melihat Allah memberikan) العبد من الد

dunia kepada seorang hamba pelaku maksiat dengan sesuatu yang ia sukai, maka

sesungguhnya itu hanyalah istidra>j). Hadis ini mengingatkan bahwa istidra>j

tidak hanya menimpa orang-orang kafir, tetapi juga orang mukmin jika senantiasa

bermaksiat kepada Allah. Jadi, orang yang tertimpa istidra>j cenderung gampang

tertipu dengan apa-apa yang diperolehnya, ia tidak menyadari bahwa setiap

kenikmatan yang mereka dapat merupakan jebakan bagi mereka yang akan

membawa kepada kehancuran, apalagi istidra>j akan memanjakan orang tersebut

dan menghabisi secara perlahan yang akan membuat mereka semakin tidak sadar.

Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan makna istidra>j,

Kami akan menjatuhkan mereka ke dalam siksa sederajat demi sederajat, dengan

133

Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir fi al-„Aqidat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (Cet

ke-10, juz 5; Damaskus: Dar Al-Fikr, 2009), hlm, 196.

Page 89: ISTIDRA

92

cara memberikan tempo dan mengekalkan kesehatan serta menambah nikmat

kepada mereka, tanpa sepengetahuan mereka bahwa yang demikian itu adalah

istidra>j. Bahkan, mereka menyangka bahwa yang demikian itu adalah kelebihan

dan keunggulan mereka atas orang-orang yang beriman, padahal yang demikian

adalah penyebab kebinasaan mereka pada akhirnya.134

Istidra>j merupakan tipuan yang membuat pelakunya terbuai, bagaimana

tidak, setiap kali seseorang melakukan kesalahan dan dosa Allah akan semakin

menambah nikmat itu, Sebagaimana al-Qurt}ubi> mengutip dalam tafsirnya,

Dhahhak berkata: ما جددوا لنا معصي جددنا لهم نعم Setiap kali mereka melakukan) ك

kemaksiatan yang baru, kami pun berikan mereka nikmat yang baru pula).135

Tetapi jika mereka menyadari, Allah sudah cukup baik memberi tangguh beberapa

waktu untuk mereka, karena pemberian tangguh juga bisa menjadi sarana bagi

mereka untuk kembali pada keimanan, namun memang, jika mereka tetap lalai

dan terlena maka azab benar-benar akan mengakhiri semua kesenangan itu.

134

Ahmad Mus}t}afa al-Maraghi, Tafsi>r Al-Maraghi, (jilid 29, Semarang: Tohaputra,

1987), hlm, 74. 135

Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an, (Cet ke-2, jilid 4, Lebanon: Dar Al-Kutub

Al-Ilmiyah, 2005), hlm, 209.

Page 90: ISTIDRA

93

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa penulis mengenai penafsiran Wahbah Al-Zuhaili

tentang makna istidra>j yang terdapat pada QS. al-A‟ra>f [7] 182, QS. Al-Qalam

[68] 44, QS. Ali Imra>n [3] 178, QS. Al-An‟a>m [6] 44, dan QS. Al-Mu‟minu>n

[23] 55-56, setidaknya penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa yang

dimaksud dengan istidra>j adalah sebuah hukuman dari Allah SWT sewaktu di

dunia, berupa kesenangan dan kenikmatan yang diawali dengan kedustaan,

kekufuran atas nikmat dan kemaksiatan yang dilakukan seseorang terhadap Allah

SWT, untuk menjadikan mereka lalai dan terlena, kemudian Allah beri tangguh

beberapa waktu, lalu secara perlahan Allah giring mereka pada kebinasaan.

Secara garis besar istidra>j merupakan rangkaian nikmat, penangguhan

dan azab. Istidra>j selalu diawali dengan nikmat dan kesenangan yang sejatinya

kesenangan itulah yang akan membawa mereka pada kebinasaan. Jadi hakikatnya,

istidra>j adalah hukuman, bukan sebuah nikmat meskipun secara penerimaan

berupa nikmat dan kesenangan.

Kemudian, yang menyebabkan seseorang tertimpa istidra>j menurut

Wahbah Al-Zuh}aili> adalah:

Page 91: ISTIDRA

2

1. Kedustaan terhadap Allah SWT baik dalam hal ketuhanan, kenabian maupun

syariat yang menjadikan seseorang telah kafir, sementara orang kafir otomatis

semua kesenangan yang diperolehnya dihukumi sebagai istidra>j.

2. Tidak pandai bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, berupa rezeki harta,

anak, jabatan, kesehatan dan lain sebagainya. Karena, orang yang bersyukur

akan ditambah nikmatnya, sedangkan orang yang kufur akan mendapat siksa.

3. Melakukan maksiat atau melanggar syariat Allah SWT, misalnya

meninggalkan kewajiban seperti, salat, puasa, zakat dan tidak pernah berdoa

kepada Allah SWT. Atau melakukan apa saja yang dilarang oleh Allah SWT

seperti membunuh, mabuk, berzina, zalim terhadap makhluk, menipu orang,

curang dalam pekerjaan dll.

Oleh karena itu, supaya terhindar dari istidra>j seseorang harus memohon

kepada Allah SWT serta melaksanakan perintah-Nya dan menjauhkan diri dari

segala yang bisa mendatangkan murka-Nya. Dan bersyukur atas setiap nikmat

yang Allah curahkan serta senantiasa menjaga keimanan agar terhindar dari

istidra>j.

B. Saran

Penelitian ini hanya membahas tentang istidra>j menurut pandangan

Wahbah Al-Zuhaili melalui ayat-ayat istidra>j. Dengan melihat penafsiran beliau

kita dapat memperoleh informasi yang cukup jelas mengenai apa itu istidra>j,

meskipun dalam penyajian dan analisa penulis masih terdapat banyak kekurangan.

Page 92: ISTIDRA

3

Oleh karena itu, diharapkan akan ada penelitian selanjutnya yang membahas

istidra>j lebih masif lagi agar wawasan yang deperoleh juga samakin luas.

Istidra>j merupakan salah satu hukuman yang Allah segerakan di dunia.

oleh karena itu penulis menyarankan diri pribadi dan kepada para pembaca untuk

memahami apa itu istidra>j, dengan membaca ayat-ayat tentang istidra>j,

mencari keterangan para ulama tafsir tentang istidra>j dan apapun yang bisa

memberikan informasi mengenai istidra>j. Penulis menyadari masih banyak

kekurangan dalam penelitian ini, namun kiranya sudah dapat dijadikan referensi

bagi para pembaca yang ingin memahami apa itu istidra>j.

Akhirnya setelah melakukan penelitian ini, penulis sadar ini hanyalah

bentuk usaha manusia yang jauh dari sempurna. Kekurangan pasti akan

ditemukan dan kesalahan mungkin akan didapatkan. Akan tetapi penulis

memastikan bahwa kesalahan yang sifatnya sengaja tidak akan ditemukan dalam

penulisan ini. Dan penulis akan tetap berharap penelitian ini bermanfaat,

khususnya bagi penulis secara pribadi dan juga akademis serta umat muslim pada

umumnya.

Page 93: ISTIDRA

4

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟a>n dan Terjemahnya. 2009. Departemen Agama RI.

Af‟idah, Shikhkhatul. 2017. “Metode dan Corak Tafsi>r Al-Wasit} Karya

Wahbah Al-Zuh}aili>.” UIN Walisongo Semarang: Skripsi, Fakultas

Ushuluddin dan Humaniora.

Ahmad bin Hanbal. 1995. Musna>d Ima>m Ah}mad bin H}anbal. Mesir: Da>r

Al-Hadis.

A‟laa, Yahya Ihsanul. 2016. “Makna Al-Ghad}ab dan Relevansinya Bagi

Pengendalian Diri dalam Al-Qur‟a>n (Study Analisis Tafsi>r Al-Muni>r

Karya Wahbah Al-Zuh}aili>).” STAIN Kudus: Skripsi, Jurusan

Ushuluddin.

Al-As}fahani, Al-Raghi>b. 2013. Mu‟jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur‟a>n.

Lebanon: Da>r Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Al-Baqir, Muhammad. 2003. Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat

Imam Ali r.a. Bandung: Mizan.

Al-Dimasyqi, Ibnu Kat}ir. 2006. Tafsi>r Al-Qur‟a>n al-„Az}im. Beirut: Da>r al-

Fikr.

Al-Jawi>, M. Ibn Umar Nawawi. 1997. Marah} Labi>d Likasyfi Ma‟na al-

Qur‟a>n al-Maji>d. Beirut: Dar Kutub Ilmiyah.

Al-Maraghi, Ahmad Mus}t}afa. 1987. Tafsi>r Al-Maraghi. Semarang: Tohaputra

Al-Qa>simi. 2003. Maha>sin Al-Takwi>l. Lebanon: Da>r Al-Kutub Al-

Ilmiyyah.

Al-Qurt}ubi. 2005. Al-Ja>mi‟ li Ahka>m Al-Qur‟a>n. Lebanon: Da>r Al-Kutub

Al-Ilmiyyah.

Al-Ra>zi. 2004. Al-Tafsi>r Al-Kabi>r au Mafa>tih Al-Ghaib. Lebanon: Da>r Al-

Kutub Al-Ilmiyyah.

Al-Rifa>‟i, M. Nas}ib. 2007. Taisiru Al-„Aliyyul Qadi>r li Ikhtis}ari Tafsi>r Ibnu

Kat}ir. terj. Syihabuddin. Jakarta: GEMA INSANI.

Al-T}abari, Ibnu Jari>r. Ja>mi‟ Al-Baya>n fi> Takwi>l Al-Qur‟a>n. Mesir:

Da>r Al-Taufiqiyah.

Al-Tawinji, Muh}ammad. 2011. Al-Mu‟jam Al-Mufas}s}al fi> Tafsi>r Ghari>b

Al-Qur‟a>n Al-Kari>m. Lebanon: Da>r Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Al-Zuh}aili>, Wahbah. 2006. Tafsi>r al-Wasi>t}; Muqaddimah Tafsīr al-

Wasi>t}. Damaskus: Da>r al-Fikr.

Al-Zuh}aili>, Wahbah. 2009. Al-Tafsi>r al-Muni>r fi Al-„Aqi>dat wa al-

Syari>‟at wa al-Manhaj. Damaskus: Da>r Al-Fikr.

Page 94: ISTIDRA

5

Aminah, Siti. 2015. “Makna Makar dalam Al-Qur‟a>n (Studi Komperatif antara

Tafsi>r Ibnu Kat}ir, Al-Maraghi dan Al-Az}ar.” UIN Suska: Skripsi,

Fakultas Ushuluddin.

Anwar , Abu. 2012. Ulu>mul Qur‟a>n Sebuah Pengantar. AMZAH.

Ash-Shiddieqy, Muh}ammad Hasbi. 2000. Tafsīr Al-Qur‟a>n Al-Maji>d Al-

Nu>r. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Azizah, Nur Hasanah. 2017. Istidra>j dalam al-Qur‟a>n (Analisis Ayat-ayat

tentang Istidra>j. UIN Syarif Hidayatullah: Skripsi, Fakultas Ushuluddin.

Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur‟a>n. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Baihaki. “Studi Kitab Tafsi>r Al-Muni>r Karya Wahbah Al-Zuh}aili> Dan

Contoh Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama”, Analisis,

XVI (Juni, 2016)

Damanhuri. “Istidra>j dalam Mawa>‟iz} Al-Badi>‟ah”, Substantia,” XII

(Oktober, 2010)

Depdiknas. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Fua>d Abdul Ba>qi>, Muh}ammad. 2015. Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz} al-

Qur‟a>n al-Kari>m. Beirut: Da>r al-Ma‟rifah.

Ghofur, Saiful Amin. 2013. Mozaik Mufasir al-Qur‟an dari Klasik Hingga

Kontemporer, Kaukaba Dipantara: Yogyakarta.

Hayatunnisa, Eka dan Anwar Hafidzi. “Kriteria Poligami serta Dampaknya

melalui Pendekatan Alla> Tuqsit}u Fi> al-Yata>ma> dalam Kitab Fikih

Islam Wa Adillatuhu”, Ilmu Hukum dan Pemikiran, XVII (Juni 2017)

Mahfudz, Muhsin, “Konstruksi Tafsi>r Abad 20 M/14 H; Kasus Tafsi>r al-

Muni>r Karya Wahbah al-Zuh}aili>)”, Al-Fikr, XIV (2010)

Makhluf, Hasanain Muhammad. 1996. Kalimatul Qur‟a>n – Tafsi>r wa Baya>n.

Ter. Hery Noer Aly. Bandung: Gema Risalah Press.

Manz}ur, Ibnu. 1997. Lisa>n al-Arab. Beirut: Da>r al-Fikr.

Mujieb, M. Abdul, et.al. 1994. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Mukhorror Ahmad. 2016. Istidra>j Perspektif Al-Qurt}ubi dalam Tafsi>r Al-

Ja>mi‟ Li Ahka>mi Al-Qur‟a>n. UIN Sunan Kalijaga, Skripsi, Fakultas

Ushuluddin dan Pemikiran Islam.

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia

Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif

Nasution, Nila Sari. 2017. “Hak Atas Air Irigasi Menurut Wahbah Al-Zuh}aili>

(Studi Kasus Di Desa Panyabungan TongaKec. Panyabungan). UIN

Sumatra Utara: Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum.

Page 95: ISTIDRA

6

Nur, Abdul Rahim. 2016. Mark dalam Perspektif Al-Qur‟a>n (Kajian Tahli>li>

Terhadap QS Ibra>him/14:46). UIN Alauddin: Skripsi, Fakultas

Ushuluddin, Filsafat dan Politik.

Qut}b, Sayyid. 2008. Tafsi>r Fi> Z}ila>l Al-Qur‟a>n; Di Bawah Naungan Al-

Qur‟an, terj, As‟ad Yasin dkk. Jakarta: GEMA INSANI.

Ridho, M Rasyid. 2007. Tafsi>r Al-Mana>r. Beirut Lebanon: Da>r al-Fikr.

Shihab, Quraish. 2002. Tafsi>r al-Mis}bah. Jakarta: Lentera Hati.

Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

ALVABETA.

Syuhadak, Faridatus dan Badrun. “Pemikiran Wahbah Al-Zuh}aili> Tentang

Ahka>m Al-Usra‟, Syariah dan Hukum, IV (Desember 2012)

Winarno. 2013. Metodologi Penelitian Dalam Pendidikan Jasmani. Malang: UM

PRESS.

Zakaria, Abu Al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn. 1979. Mu‟jam Maqa>yis al-

Lughah. Beirut: Da>r al-Fikr.