ISSN 2655-3473 VOLUME 02 | NOMOR 2 | NOVEMBER 2019 …

89
INTAN jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan ISSN 2655-3473 VOLUME 02 | NOMOR 2 | NOVEMBER 2019 147 | Analisis Kestabilan Lereng Penambangan Nikel Pada PT. Gag Nikel Dengan Menggunakan Metode Bishop Diterbitkan oleh : Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua Manokwari 91 | Pencucian Batubara Menggunakan Chance Cone Dengan Media Pasir Besi 97 | Penggunaan Metode Rapid Visual Screening Dalam Menentukan Kerentanan Bangunan Akibat Gempa Bumi 106 | Perkembangan Regulasi Peningkatan Nilai Tambah Nikel di Indonesia 118 | Potensi Sumberdaya Mineral Distrik Windesi Kabupetan Teluk Wondama 125 | Studi Kasus Desain Matrix Acidizing Dengan Memperhatikan Mekanisme Pembentukan Wormhole Pada Reservoir Karbonat 129 | Pengelolaan Kawasan Konservasi Hutan Mangrove dan Bekantan (Nasalis Larvatus) (KKMB) di Kota Tarakan 133 | Evaluasi Produksi Staggered Crew di Tambang Bawah Tanah Deep Ore Zone PT. Freeport Indonesia 143 | Evaluasi Kinerja Alat Pengolahan Sirtu PT. Bintang Timur Lestari Kota Sorong Provinsi Papua Barat 155 | Analisis Pengaruh Kemiringan Jalan Angkut Terhadap Konsumsi Bahan Bakar Dump Truck Hino 500 FG 235 JJ 80 | Rancangan Pabrik Peremuk di PT. X Daerah Istimewa Yogyakarta

Transcript of ISSN 2655-3473 VOLUME 02 | NOMOR 2 | NOVEMBER 2019 …

INTAN

jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan

ISSN 2655-3473 VOLUME 02 | NOMOR 2 | NOVEMBER 2019

147 | Analisis Kestabilan Lereng Penambangan

Nikel Pada PT. Gag Nikel Dengan Menggunakan Metode Bishop

Diterbitkan oleh :

Jurusan Teknik Pertambangan

Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Universitas Papua

Manokwari

91 | Pencucian Batubara Menggunakan

Chance Cone Dengan Media Pasir Besi

97 | Penggunaan Metode Rapid Visual

Screening Dalam Menentukan

Kerentanan Bangunan

Akibat Gempa Bumi

106 | Perkembangan Regulasi

Peningkatan Nilai Tambah

Nikel di Indonesia

118 | Potensi Sumberdaya Mineral

Distrik Windesi

Kabupetan Teluk Wondama

125 | Studi Kasus Desain Matrix

Acidizing Dengan Memperhatikan

Mekanisme Pembentukan Wormhole

Pada Reservoir Karbonat

129 | Pengelolaan Kawasan Konservasi

Hutan Mangrove dan

Bekantan (Nasalis Larvatus)

(KKMB) di Kota Tarakan

133 | Evaluasi Produksi Staggered

Crew di Tambang Bawah Tanah

Deep Ore Zone PT. Freeport Indonesia

143 | Evaluasi Kinerja Alat Pengolahan

Sirtu PT. Bintang Timur Lestari

Kota Sorong Provinsi Papua Barat

155 | Analisis Pengaruh Kemiringan

Jalan Angkut Terhadap Konsumsi

Bahan Bakar Dump Truck

Hino 500 FG 235 JJ

80 | Rancangan Pabrik Peremuk di PT. X

Daerah Istimewa Yogyakarta

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

ISSN 2655-3473

Volume 2 Nomor 2, November 2019 Halaman 80-160

INTAN Jurnal Penelitian Tambang diterbitkan oleh Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik

Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua di Manokwari sebagai media untuk menyalurkan

pemahaman tentang aspek-aspek sains, teknologi, ekonomi, sosial dan lingkungan dari dunia pertambangan

berupa hasil penelitian lapangan atau laboratorium maupun studi pustaka. Jurnal ini diterbitkan dua kali

dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan November.

Redaksi menerima naskah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain dari dosen, peneliti, mahasiswa

maupun praktisi dengan ketentuan penulisan seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk

penulisan). Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata

cara lainnya

Penanggung jawab

Juanita R. Horman, S.T., M.T.

Tim Editor

Jance Murdjani Supit, S.T., M.Eng.

Agustinus Denny Unggul Raharjo, S.T., MOGE.

Marcus R. Maspaitella , S.P., M.AgriCom.

Sekretariat

Djusman Bin Aziz, S.T.

Desain Grafis

Ido Krostanto, A.Md.

Mitra Bestari

Ir. Hasywir Thaib Siri, M.Sc. (UPN “Veteran” Yogyakarta)

Dr. Tedy Agung Cahyadi, S.T., M.T., IPM. (UPN “Veteran” Yogyakarta)

Dr. Zubair Saing, S.T., M.T. (Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)

ALAMAT SEKRETARIAT INTAN JURNAL PENELITIAN TAMBANG: Jurusan Teknik

Pertambangan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTPP) Universitas Papua, Gedung

Teknik, Jalan Gunung Salju, Amban, Manokwari, Papua Barat. Telepon: 085244058187

Website: jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan

INTAN Jurnal Penel i t ian Tambang

jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan

ISSN 2655-3473 VOLUME 02 | NOMOR 2 | NOVEMBER 2019

DAFTAR ISI

80 - 90 | Rancangan Pabrik Peremuk di PT. X Daerah Istimewa Yogyakarta

Muhammad Arifin Nur, Indah Setyowati, Tedy Agung Cahyadi,

Sudaryanto, Indun Titisariwati

91 - 96 | Pencucian Batubara Menggunakan Chance Cone Dengan Media Pasir Besi

Hendri Prananta Perangin-angin

97 - 105 | Penggunaan Metode Rapid Visual Screening Dalam

Menentukan Kerentanan Bangunan Akibat Gempa Bumi

Indra Birawaputra, Yoga C. V. Tethool

106 - 117 | Perkembangan Regulasi Peningkatan Nilai Tambah Nikel di Indonesia

Arif Setiawan, Juanita R. Horman

118 - 124 | Potensi Sumberdaya Mineral Distrik Windesi Kabupetan Teluk Wondama

Hermina Haluk

125 - 128 | Studi Kasus Desain Matrix Acidizing Dengan Memperhatikan Mekanisme

Pembentukan Wormhole Pada Reservoir Karbonat

Praditya Nugraha, Leonardo Davinci Massolo, Nur Wahyuni

129 - 132 | Pengelolaan Kawasan Konservasi Hutan Mangrove dan

Bekantan (Nasalis Larvatus) (KKMB) di Kota Tarakan

Supardi

133 - 142 | Evaluasi Produksi Staggered Crew di Tambang Bawah Tanah

Deep Ore Zone PT. Freeport Indonesia

Gianfranco Enrico Pocerattu, Yulius Ganti Pangkung

143 – 146 | Evaluasi Kinerja Alat Pengolahan Sirtu PT. Bintang Timur Lestari

Kota Sorong Provinsi Papua Barat

Chairun Nisa, Jance Murdjani Supit

147 - 154 | Analisis Kestabilan Lereng Penambangan Nikel Pada PT. Gag Nikel

Dengan Menggunakan Metode Bishop

Papua Dorus Rumsowek, Indra Birawaputra

155 - 160 | Analisis Pengaruh Kemiringan Jalan Angkut Terhadap Konsumsi

Bahan Bakar Dump Truck Hino 500 FG 235 JJ

Rinaldi R. Wincono, Juanita R. Horman

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

80

RANCANGAN PABRIK PEREMUK DI PT. X DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA

Muhammad Arifin Nur1), Indah Setyowati2), Tedy Agung Cahyadi3),

Sudaryanto4), Indun Titisariwati5)

Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral,

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta

Jl. Padjajaran, Condongcatur, Yogyakarta 55238 Indonesia Email: [email protected]

Abstract

PT. X is one of the companies engaged on andesite mining and crushing. Currently the PT X crusher

factory produces 233.3 tons/day of andesite with 2 crusher units, with the demand of 200 - 300 tons/day.

The production is expected to be 468.8 tons/day if the third crusher has been built. However, market

demand increased to 1100 tons/day. Therefore PT X plans to build a new crusher plant on a new location,

because the current location is insufficient if added to any other crusher unit. In the construction of a new

crusher plant, a crusher plant design is needed to obtain what tools are needed to obtain the desired

production target, and to determine the setting of the crusher. The problem that occurs is that a new crusher

plant design is needed for production of 800 tons / day on condition that the product size of -20 + 10 mm

is the largest percentage of the whole, more than 28%. In designing a new crusher plant, some data is

needed including: material size distribution in the stockyard, effective working time, efficiency of each deck

screen, and the location of the establishment of a new crusher plant.

Keywords: crusher, hopper, screen, setting, stockyard, vibrating grizzly feeder

Abstrak

PT. X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang penambangan dan peremukan batu

andesit. Saat ini pabrik peremuk milik PT X memproduksi batu andesit sebesar 233,3 ton/hari dengan 2

unit peremuk, dan permintaannya 200 – 300 ton/hari. Produksi akan menjadi 468,8 ton/hari apabila

peremuk ketiga sudah jadi dibangun. Akan tetapi, permintaan pasar meningkat hingga 1100 ton/hari. Maka

dari itu PT X berencana akan membangun pabrik peremuk baru di lokasi yang baru, karena lokasi yang ada

sekarang ini tidak mencukupi bila ditambah unit peremuk lagi. Dalam pembangunan pabrik peremuk yang

baru, diperlukan rancangan pabrik peremuk agar diperoleh alat – alat apa saja yang dibutuhkan agar

diperoleh target produksi yang diinginkan, serta menentukan setting alat peremuk. Permasalahan yang

terjadi adalah dibutuhkan rancangan pabrik peremuk yang baru untuk produksi sebesar 800 ton/hari dengan

syarat, produk ukuran -20 + 10 mm yang dihasilkan persentasenya terbesar dari keseluruhan, lebih dari 28

%. Dalam merancang pabrik peremuk yang baru, dibutuhkan beberapa data antara lain: distribusi ukuran

batuan yang ada di stockyard, waktu kerja efektif, efisiensi tiap deck screen, dan lokasi didirikannya pabrik

peremuk yang baru.

Kata kunci: crusher, hopper, screen, setting, stockyard, vibrating grizzly feeder

Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

81

PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan zaman

kebutuhan akan permintaan bahan galian tambang

semakin meningkat secara signifikan. Salah satu

bahan galian tambang yang dibutuhkan saat ini

yakni batu andesit. Permintaan akan batu andesit

akan terus mengalami peningkatan dengan

banyaknya pembangunan infrastruktur yang

dilakukan saat ini. (Fikri, 2018). Maka dari itu, perlu

dilakukan upaya pemanfaatan bahan yang ada guna

menunjang pembangunan, salah satunya dengan

membuka tambang dan mendirikan pabrik peremuk.

jual batu yang akan di tawarkan ke pasar meningkat.

Akan tetapi, sebelum membangun pabrik peremuk

penting untuk merangcang pabrik peremuk agar

target produksi dari hasil peremukan dapat dicapai.

PT. X merupakan salah satu perusahaan yang

bergerak di bidang penambangan dan pengolahan

batu andesit PT X memiliki sebuah tempat

pengolahan batu andesit yang berada sekitar 6 km

dari lokasi tambangnya. Memiliki dua unit peremuk

yang baru berjalan pada bulan September 2018 yang

lalu, ditambah satu unit lagi sedang dibangun. PT X

memproduksi batu andesit yang diolah dengan

fraksi -50 + 30 mm, -30 + 20 mm, -20 + 10 mm, dan

-10 mm. Dari beberapa fraksi batuan tersebut, yang

memiliki permintaan paling banyak adalah fraksi

ukuran -20 + 10 mm.

Dua unit peremuk di tempat peremukan batu

andesit PT X saat ini memproduksi batu andesit

dengan kapasitas 52,5 ton/hari dan 233,3 ton/hari,

kemudian untuk unit selanjutnya direncanakan

memiliki kemampuan produksi 183 ton/hari,

sehingga kapasitas total seluruh unit peremuk yang

berada di tempat pengolahan adalah 468,8 ton/hari.

Sebelumnya dengan unit peremuk yang sudah ada

telah memenuhi permintaan para konsumen yang

sebesar 200 – 300 ton/hari. Akan tetapi, akhir – akhir

ini permintaan akan batu andesit di PT. X meningkat

hingga mencapai 1100 ton/hari. Dengan 2 unit

peremuk yang sudah ada dan 1 unit yang sedang

dibangun masih belum dapat mencapai target yang

diinginkan, ditambah lagi ruang pada lokasi

peremukan yang sudah ada tidak cukup untuk

ditambah unit peremuk yang baru, sehingga perlu

ditambah lagi satu unit peremuk pada lokasi yang

baru untuk memenuhi permintaan tersebut. Oleh

karena itu diperlukan rancangan untuk pabrik

peremuk yang baru sehingga didapat alat – alat apa

saja yang akan dibutuhkan, luasan area yang

dibutuhkan dan setting yang diperlukan sehingga

didapat hasil produksi yang maksimal pada fraksi -

20 + 10 mm yang banyak diminati.

METODE PENELITIAN

Dalam penyusunan tulisan ini, diperlukan

data antara lain: ukuran terbesar material dari

stockyard, efisiensi tiap deck pada vibrating screen

yang sudah ada, produktifitas pada alat peremuk

yang dirancang, dan produktifitas alat peremuk baru

yang diinginkan. Data – data tersebut digunakan

sebagai dasar dalam perancangan pabrik peremuk.

Tahap Preparasi

Pada tahap preparasi sebagai tahap

penyiapan material supaya ukurannya sesuai dengan

kebutuhan konsumen maupun tahap selanjutnya.

a. Kominusi

Kominusi secara umum merupakan proses

mereduksi ukuran material.

1. Jaw Crusher

Jaw crusher atau bisa disebut dengan peremuk

rahang merupakan peremuk yang terdiri dari

dua buah rahang.

Menurut Kurimoto, kapasitas jaw crusher

dapat dihitung dengan rumus:

TA= T × C × M × F × G (1)

2. Cone Crusher

Cone crusher adalah alat yang proses

peremukannya bekerja secara terus menerus

tanpa selang waktu (kontinu) karena gerakan

dari cone crusher adalah gerakan putaran.

Menurut Kurimoto, kapasitas cone crusher

dapat dihitung dengan rumus:

TA= T × C × M × G × α × β (2)

Reduction Ratio Merupakan perbandingan antara ukuran

umpan dengan produk pada operasi pemecahan

batuan. Nilai reduction ratio menentukan

keberhaasilan suatu proses peremukan.

Limiting Reduction ratio:

LRR = tF

tP =

wF

wP (3)

Screen Screening disebut juga sebagai klasifikasi

mekanik, yaitu proses pemisahan batuan berdasarkan ukuran lubang ayakan.

Dalam penentuan luas permukaan screen

menggunakan rumus dari Kurimoto pada saat tahap

perencanaan:

A = C

B.G.V.H.E.M.O.D.T.W(m

2) (4)

Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

82

Peralatan Pendukung pada Tahap Preparasi

Hopper

Volume hopper dapat dihitung berdasarkan

rumus berikut:

Vh = (Latas ×Tatas)+1

3×Tbawah×

�Latas+Lbawah+(Latas+Lbawah)1/2� (4)

Feeder

Feeder adalah alat yang digunakan sebagai

alat pengumpanan yang berfungsi untuk membantu

atau mengatur keluarnya material umpan dari

hopper ke alat peremuk.

Belt Conveyor

Untuk menentukan lebar belt dan kapasitasnya

dapat dilihat pada Tabel 1 - 4:

Tabel 1. Maximum Belt Speeds dan Maximum Size of Material (Nordberg, 1993)

Belt Width

Maximum Size of

Lumps - Inches Maximum Belt Speeds - Feet Per Minute

Equal Size

Lumps

Mixed

with

90%

Fines

Light Free Flowing

Material As Grain,

Pulverized Coal 50

Lb/Cu.Ft.

Average Material As

Sand, Gravel, Stone,

Coal, Dine Ore 100

Lb/Cu.ft

Abrasive Material As

Coal, Screened Lump

Coke 30 to

50 Lb./Cu.Ft.

(In)

(mm)

16" 406 2 4 500 400 350

18" 457 3 5 500 500 400

24" 609 5 8 600 600 450

30" 762 6 11 700 650 500

36" 914 8 15 800 650 500

42" 1066 10 18 800 650 500

48" 1219 12 21 800 650 500

54" 1371 14 24 800 650 500

60" 1524 16 28 800 650 500

Tabel 2. Kapasitas Belt Conveyor dengan Kemiringan Idler 20° (Nordberg, 1993)

TPH WITH 20° THROUGHING IDLERS (METRIC TONS)

Belt Width Load

Cross

Section Sq

Ft

Belt Speed in Feet per Minute (FPM) (Meter Per Min)

(In)

(mm)

100

(30)

150

(45)

200

(60)

250

(76)

300

(91)

350

(109)

400

(121)

450

(139)

500

(152)

550

(167)

600

(182)

650

(197)

16" 406 ,140 42

(38)

63

(57)

84

(76)

105

(95)

125

(133)

147

(133)

168

(152) - - - - -

18" 457 ,180 54

(48) 80

(72) 110 (99)

135 (122)

160 (145)

190 (172)

218 (197)

243 (220)

270 (244)

- - -

24" 609 ,333 100 (90)

150 (136)

200 (181)

250 (226)

300 (272)

350 (317)

400 9362)

450 (408)

500 (453)

550 (498)

600 (544)

-

30" 762 ,533 160

(145) 240

(217) 320

(290) 400

(362) 480

(435) 560

(507) 640

(580) 720

(653) 800

(725) 880

(798) 960

(870) 1040 (943)

36" 914 ,780 235

(213) 350

(317) 470

(426) 585

(530) 700

(634) 820

(743) 935

(848) 1050 (952)

1170 (1061)

1290 (1170)

1400 (1269)

1520 (1378)

42" 1066 1,100 330

(299)

495

(448)

660

(598)

825

(748)

980

(888)

1155

(1047)

1320

(1197)

1485

(1346)

1650

(1496)

1815

(1646)

1980

(1795)

2140

(1940)

48" 1219 1,467 440

(349) 660

(598) 880

(798) 1100 (997)

1320 (1197)

1540 (1396)

1760 (1596)

1980 (1795)

2200 (1995)

2420 (2194)

2640 (2394)

2860 (2594)

54" 1371 1,900 570

(516) 855

(775) 1140

(1033) 1420

(1287) 1710

(1550) 2000

(1814) 2280

(2067) 2560

(2321) 2850

(2584) 3130

(2838) 3420

(3101) 3700

(3355)

60" 1524 2,400 720

(653) 1080 (979)

1440 (1306)

1800 (1632)

2160 (1959)

2520 (2285)

2880 (2612)

3240 (2938)

3600 (3265)

3960 (3591)

4320 (3918)

4680 (4244)

Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

83

Tabel 3. Kapasitas Belt Conveyor dengan Kemiringan Idler 35° (Nordberg, 1993)

TPH WITH 35° THROUGHING IDLERS (METRIC TONS)

Belt Width Load

Cross

Section Sq

Ft

Belt Speed in Feet per Minute (FPM) (Meter Per Min)

(In)

(mm)

100

(30)

150

(45)

200

(60)

250

(76)

300

(91)

350

(109)

400

(121)

450

(139)

500

(152)

550

(167)

600

(182)

650

(197)

18" 457 ,225 66

(59)

100

(90)

135

(122)

170

(154)

200

(181)

235

(213)

270

(244)

305

(276)

338

(306) - - -

24"

609

,416 125

(113) 187

(169) 250

(226) 310

(281) 380

(344) 435

(394) 500

(453) 560

(507) 625

(566) 685

(621) 750

(680) -

30"

762

,666 200

(181) 300

(272) 400

(362) 500

(453) 600

(544) 700

(634) 800

(725) 900

(816) 1000

(907) 1100

(997) 1200

(1088) 1300

(1179)

36"

914

1,000 300

(272) 450

(408) 600

(544) 750

(680) 900

(816) 1050

(952) 1200

(1088) 1350

(1224) 1500

(1360) 1650

(1496) 1800

(1632) 1950

(1768)

42"

1066

1,410 420

(380) 635

(575) 845

(766) 1060

(961) 1270

(1151) 1480

(1342) 1690

(1532) 1900

(1723) 2120

(1922) 2320

(2140) 2540

(2303) 2750

(2494)

48"

1219

1,875 560

(507) 845

(766) 1125

(1020) 1400

(1269) 1690

(1532) 1970

(1786) 2250

(2040) 2530

(2294) 2810

(2548) 2420

(2194) 2640

(2394) 2860

(2594)

54"

1371

2,470 740

(671) 1110

(1006) 1480

(1342) 1850

(1677) 2220

(2013) 2600

(2358) 2960

(2684) 3340

(3029) 3700

(3355) 4080

(3700) 4450

(4036) 4820

(4371)

60"

1524

3,120 935

(848) 1400

(1269) 1870

(1696) 2340

(2122) 2800

(2539) 3280

(2974) 3740

(3392) 4200

(3809) 4680

(4244) 5150

(4671) 5610

(5088) 6100

(5532)

Tabel 4. Kapasitas Belt Conveyor dengan Kemiringan Idler 45° (Nordberg, 1993)

TPH WITH 45° THROUGHING IDLERS (METRIC TONS)

Belt Width Load

Cross

Section Sq

Ft

Belt Speed in Feet per Minute (FPM) (Meter Per Min)

(In)

(mm)

100

(30)

150

(45)

200

(60)

250

(76)

300

(91)

350

(109)

400

(121)

450

(139)

500

(152)

550

(167)

600

(182)

650

(197)

24" 609 ,483 145

(131)

217

(196)

290

(263)

360

(326)

435

(394)

508

(460)

580

(526)

650

(589)

625

(566)

795

(721)

870

(789) -

30"

762

,773 232

(210) 348

(315) 465

(421) 580

(526) 695

(630) 810

(734) 930

(843) 1040

(943) 1000

(907) 1270

(1151) 1390

(1260) 1500

(1360)

36"

914

1,130 335

(303) 510

(462) 680

(616) 850

(770) 1020

(925) 1190

(1079) 1360

(1233) 1530

(1387) 1500

(1360) 1860

(1687) 2040

(1850) 2200

(1995)

42"

1066

1,595 478

(433) 720

(653) 960

(870) 1200

(1088) 1440

(1306) 2680

(2523) 1910

(1732) 2150

(1950) 2120

(1922) 2630

(2385) 2870

(2603) 3110

(2820)

48"

1219

2,127 640

(580) 955

(866) 1275

(1156) 1600

(1451) 1910

(1732) 2230

(2022) 2550

(2312) 2870

(2603) 2810

(2548) 3500

(3174) 3820

(3464) 4150

(3764)

54"

1371

2,760 830

(752) 1240

(1124) 1655

(1501) 2070

(1877) 2480

(2249) 2900

(2630) 3310

(3002) 3720

(3374) 3700

(3355) 4550

(4126) 4960

(4498) 5380

(4879)

60"

1524

3,480 1040

(943) 1570

(1432) 2090

(1895) 2610

(2367) 3130

(2838) 3660

(3319) 4180

(3791) 4700

(4262) 5220

(4734) 5740

(5206) 6260

(5677) 6800

(6167)

Efektifitas

Suatu peralatan memiliki kemampuan kerja

yang nantinya menjadi salah satu faktor dalam

pemilihan peralatan. Dapat dirumuskan:

A = Kapasitas Nyata

Kapasitas Desain×100% (6)

HASIL PENELITIAN Pemilihan Alat

Peralatan yang digunakan pada rancangan

pabrik peremuk batu andesit dipilih sesuai dengan

kondisi material yang diremuk dan kapasitas yang

direncanakan. Pembahasan alat peremuk batu

andesit ini akan menjelaskan alasan dan

pertimbangan pemilihan alat yang digunakan pada

proses peremukan.

Stockyard

Lokasi pabrik peremuk baru akan berada di

daerah yang relatif datar. Hal itu sangat

menguntungkan sekali untuk penentuan lokasi

Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

84

stockyard, karena salah satu syarat menentukan

lokasi stockyard adalah daerah yang relatif datar.

Selain itu juga, lokasi stockyard tidak boleh

ditempatkan di area hasil timbunan.

Bentuk dari stockyard adalah limas

terpancung, seperti yang dapat dilihat pada

Lampiran D, memiliki tinggi 1,5 m. Hal ini karena

dump truck hanya menumpahkan material dari di

atas permukaan tanah, tidak bisa menumpahkan dari

atas timbunan stockyard.

Jarak stockyard ke hopper yang

direncanakan sejauh 90 m.

Hopper

Awal proses reduksi batu andesit dimulai

dengan penumpahan material batu andesit ke

hopper. Hopper dibuat dengan bentuk limas

terpancung ke bawah dengan sudut kemiringan ≥

45o, sehingga θ = 67,38o dan α = 45,97o (lihat

lampiranB). Bentuk limas terpancung diaplikasikan

karena dimensi sisi atas disesuaikan dengan lebar

bucket wheel loader, sedangkan sisi bawah

menyesuaikan dengan lebar dan panjang feeder,

yang mana lebar bucket wheel loader dominan lebih

besar dari pada lebar feeder.

Volume hopper dirancang untuk dapat

memenuhi 9 kali penumpahan dari bucket wheel

laoder, yaitu dengan volume 17,87 m3, alasannya:

1) Saat penumpahan awal sebelum unit

peremuk dinyalakan, wheel loader dapat

mengumpankan material terlebih dahulu ke

hopper sampai 9 kali atau lebih pengumpanan.

Sehingga saat unit peremuk dinyalakan,

proses pengumpanan ke alat peremuk dapat

berjalan secara continue saat wheel loader

sedang mangambil material di stockyard.

2) Mengurangi beban kerja wheel loader saat

megumpankan material ke hopper, sehingga

dapat mengerjakan pekerjaan lain, seperti

merapihkan material di stockyard.

Vibrating Grizzly Feeder

Feeder dipasang pada bagian bawah hopper.

Feeder yang dipilih merk LIMING, tipe vibrating

grizzly feeder, model FH-1245 dan kapasitas 600

ton/jam dengan ukuran umpan yang dapat masuk

maksimal 700 mm. Feeder memiliki space bar 100

mm dengan efisiensi 100%, sehingga fraksi ukuran

-100 mm akan lolos seluruhnya. Vibrating grizzly

feeder berfungsi untuk:

1) Mengatur kecepatan pengumpanan ke

primary crusher agar tidak terjadi

penumpukan material pada mulut crusher,

sehingga tidak terjadi penyumbatan.

2) Memperbesar kapasitas unit peremuk.

Dengan adanya screen bar, tidak seluruhnya

material masuk ke dalam jaw crusher karena

ada yang lolos di screen bar, sehingga

kapasitas unit peremuk bertambah.

3) Memisahkan fraksi batuan yang berukuran

-100 mm dengan -600 + 100 mm. Hal itu

karena umpan yang masuk ke hopper untuk

fraksi -100 mm memiliki persentase 50,3%,

pemisahan, dalam arti tidak mengalami

peremukan di jaw crusher.

Primary Crusher (Jaw Crusher)

Pada tahap peremukan pertama (primary

crushing), material berukuran +100mm akan

direduksi ukurannya menggunakan jaw crusher.

Jumlah material yang masuk ke jaw crusher

sebanyak 56,59 ton/jam. Jaw crusher yang dipilih

yaitu merek LIMING model PE900x1200

(Lampiran B), dengan ukuran umpan terbesar yang

dapat masuk 750mm dan setting 100 mm. Dengan

setting tersebut didapat kapasitas teoritis 160

ton/jam (Lampiran D).

Alasan pemilihannya adalah:

1) Jaw crusher merupakan alat untuk primary

crushing dan cocok untuk batuan yang bersifat

keras, brittle, dan tidak lengket.

Contoh: batuan beku dan bijih.

2) Batu andesit yang diremuk kondisinya:

a) Berkarakteristik medium-hard stone,

sehingga factor for properties of stone

(Faktor C) = 1

b) Kandungan airnya < 5%, sehingga factor

for moisture content of material in relation

to crusher opening size (Faktor M) = 0,95

c) Material yang masuk ke jaw crusher

adalah material yang telah diayak,

sehingga material yang masuk seluruhnya

berukuran ≥ ukuran setting jaw crusher,

sehingga factor for grain size distribution

of material (Faktor F) = 0,8

d) Memiliki bulk density 1,6 ton/m3, sehingga

factor for bulk density (Faktor G) = 1

Dengan kondisi material yang ada, kapasitas

terpasang jaw crusher adalah 121,6 ton/jam

> jumlah umpan yang masuk (56,59 ton/jam).

3) Maksimum ukuran umpan yang dapat masuk

adalah 750 mm, lebih besar dari ukuran

terbesar umpan yang bersasal dari

penambangan, yaitu 600 mm.

Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

85

Double Deck Vibrating Screen (DDVS)

Umpan DDVS berasal dari produk undersize

dari vibrating grizzly feeder dan produk hasil

peremukan primary crusher. Umpan yang masuk

sejumlah 114,7ton/jam. DDVS yang dipilih yaitu

merk KURIMOTO tipe KI-H dengan luas

penampang 900 x 1800 mm. Ukuran lubang bukaan

tiap decknya adalah 80 mm dan 30 mm. Deck 80 mm

akan menghasilkan produk oversize (-147 +80 mm)

dan undersize (-80 mm). Kemudian untuk produk

undersize deck 80 mm akan diayak lagi di deck

30 mm. Deck 30 mm akan menghasilkan produk

oversize (-80 +30mm) dan undersize (-30 mm).

Untuk produk -147 +80 mm dan -80 +30 mm akan

dibawa belt conveyor menuju ke peremukan kedua

(secondary crushing), sedangkan untuk produk

-30mm akan dibawa belt conveyor menuju ke Triple

Deck Vibrating Screen (TDVS).

Alasan pemilihannya adalah: 1) Tipe KI-H digunakan karena cocok untuk

material hasil peremukan yang masih

berukuran relatif besar.

2) Ukuran screen yang digunakan adalah 900 x

1800 mm karena dari hasil perhitungan

rekomendasi luas permukaan tiap decknya,

didapatkan hasil terluasnya pada deck 1 yaitu

1,44 m2. Faktor – faktor yang berpengaruh

dalam perhitungan dapat dilihat pada tabel 5:

Tabel 5. Faktor Perhitungan Luas Penampang Double Deck Vibrating Screen

Faktor Deck 1 Deck 2

C 114,7 ton/jam 56.24

B 91 ton/jam.m2 55 ton/jam.m2

G 1 1

V 1.3 1.25

H 0.94 0.76

E 1.276 1.471

M 1 1

O 0.84 1.19

T 1 1

W 1 1

D 1 0.9

F1 1.2 1.2

F2 1.25 1.25

3) Deck berjumlah 2 bertujuan untuk:

a) Deck 1 (80 mm), untuk menahan material

dengan ukuran +80 agar tidak langsung

diayak di deck 30 mm, sehingga tidak

merusak deck 30 mm.

b) Deck 2 (30 mm), untuk memisahkan

produk yang akan diayak lagi pada ayakan

selanjutnya dengan produk yang masih

perlu direduksi ukurannya.

Efisiensi deck 80 mm adalah 82,5%,

sedangkan deck 30 mm adalah 78,3%. Alasan

efisiensi pada deck seperti yang tersebut:

1) Efisiensi 82,5% pada deck 80 mm didapat

dari asumsi. Asumsi dibuat dengan dasar data

penelitian pada deck 50 mm dan 30 mm dari

vibrating screen yang sudah ada, didapat

efisiensinya 79,8% dan 78,3%, sehingga

efisiensi deck 80mm diasumsikan lebih besar

dari 79,8%, yaitu 82,5%.

2) Sedangkan untuk efisiensi 78,3% di deck 30

mm didapat dari penelitian pada deck 30 mm di

vibrating screen yang sudah ada.

Cone Crusher

Material oversize deck 1 dan 2 dari DDVS

selanjutnya akan dilakukan peremukan lagi pada

secondary crushing. Umpan yang masuk sejumlah

90,51ton/jam. Secondary crusher yang dipilih

adalah cone crusher dengan merek LIMING tipe

HST160/H1 (Lampiran B), dengan ukuran umpan

maksimum yang dapat masuk 215 mm, setting yang

digunakan 25 mm, dan kapasitas teoritis 192,9

ton/jam (Lampiran D).

Alasan pemilihannya adalah:

1) Cone crusher dipilih karena cocok

digunakan untuk peremukan batu andesit hasil

dari primary crusher yang masih banyak

jumlah batunya yang berukuran +50 mm.

2) Batu andesit yang diremuk kondisinya:

a) Berkarakteristik medium-hard stone,

sehingga factor for properties of stone

(Faktor C) = 1

b) Kandungan airnya < 5%, sehingga factor

for moisture content of material in relation

to crusher opening size (Faktor M) = 0,95

c) Material yang masuk ke jaw crusher

adalah material yang telah diayak, sehingga

material yang masuk seluruhnya berukuran

≥ ukuran setting jaw crusher, sehingga

factor for grain size distribution of material

(Faktor F) = 0,8

d) Memiliki bulk density 1,6 ton/m3, sehingga

factor for bulk density (Faktor G) = 1

e) Pengumpanannya secara continues (β= 1)

Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

86

Dengan kondisi material yang ada, ditambah

wear factor (0,8), maka kapasitas terpasang cone

crusher adalah 117,28 ton/jam > jumlah umpan yang

masuk (56,59 ton/jam).

3) Cocok untuk batuan yang bersifat keras,

brittle, dan tidak lengket. Contoh: batuan beku

dan bijih.

Triple Deck Vibrating Screen (TDVS)

Umpan TDVS berasal dari produk undersize

deck 1 DDVS dan produk hasil peremukan

secondary crusher. Umpan yang masuk sejumlah

114,7 ton/jam. TDVS yang dipilih yaitu merk

KURIMOTO tipe KI dengan ukuran lubang bukaan

tiap decknya adalah 30 mm, 20 mm, dan 10 mm.

Produk-produk hasil pengayakan di setiap

deck tersebut kemudian dibawa belt conveyor

menuju ke stockpile masing-masing.

Alasan pemilihannya adalah:

1) Tipe KI digunakan karena cocok untuk

material berukuran sedang dan kecil.

2) Ukuran screen yang digunakan adalah 900 x

2400 mm karena dari hasil perhitungan tiap

decknya, didapatkan hasil terluasnya pada

deck 3 yaitu 1,92 m2 dengan kondisi umpan

dan ayakan dapat dilihat pada tabel 6:

Tabel 6. Faktor Perhitungan Luas Penampang Triple Deck Vibrating Screen

Faktor Deck 1 Deck 2 Deck 3

C 114,7

ton/jam

84,35

ton/jam

61,24

ton/jam

B 55

ton/jam.m2 45

ton/jam.m2 31,3

ton/jam.m2

G 1 1 1

V 1.6 1.6 1.3

H 1.21 1.06 0.82

E 1.471 1.54 1.6

M 1 1 1

O 1.19 1.19 1.12

T 1 1 1

W 1 1 1

D 1 0.9 0.8

F1 1.2 1.2 1.2

F2 1.25 1.25 1.25

3) Deck berjumlah 3 bertujuan untuk:

a) Deck 1 (30 mm), untuk mendapatkan

produk 1 dengan fraksi -50 + 30mm pada

produk oversizenya, sedangkan produk

undersizenya akan diayak kembali di deck

di bawahnya.

b) Deck 2 (20 mm), untuk mendapatkan

produk 2 dengan fraksi -30 + 20mm pada

produk oversizenya, sedangkan produk

undersizenya akan diayak kembali di deck

di bawahnya.

c) Deck 3 (10 mm), untuk mendapatkan

produk 3 dengan fraksi -20 + 10mm pada

produk oversizenya, sedangkan produk

undersizenya akan menjadi produk 4

dengan fraksi -10 mm.

Efisiensi deck 30 mm adalah 78,3%, deck 20

mm adalah 76,8%, dan deck 10mm adalah 75,1%.

Alasan efisiensi pada deck seperti yang tersebut:

a) Efisiensi 78,3% di deck 30 mm didapat dari

penelitian pada deck 30 mm di vibrating

screen yang sudah ada.

b) Efisiensi 76,8% pada deck 20 mm dan

efisiensi 75,1% pada deck 10 mm didapat

dari asumsi. Asumsi dibuat dengan dasar

semakin kecil ukuran lubang ayakan, maka

efisiensi semakin kecil.

Belt Conveyor

Belt conveyor yang digunakan untuk

mengangkut material pada rencana proses

peremukan ini berjumlah 8. Adapun alasan

pemilihannya sebagai berikut:

1) Belt Conveyor 1 (VGF dan JC ke DDVS)

Densitas material yang dibawa belt conveyor

adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material

terbesarnya 147 mm, maka:

Lebar belt = 609 mm

Kecepatan maks = 600 ft/menit

Kapasitas = 750 ton/jam

2) Belt Conveyor 2 (DDVS ke CC)

Densitas material yang dibawa belt conveyor

adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material

terbesarnya 147 mm, maka:

Lebar belt = 609 mm

Kecepatan maks = 600 ft/menit

Kapasitas = 750 ton/jam

3) Belt Conveyor 3 (DDVS ke TDVS)

Densitas material yang dibawa belt conveyor

adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material

terbesarnya 30 mm, maka:

Lebar belt = 406 mm

Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

87

Kecepatan maks = 400 ft/menit

Kapasitas = 168 ton/jam

4) Belt Conveyor 4 (CC ke BELT 3)

Densitas material yang dibawa belt conveyor

adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material

terbesarnya 40 mm, maka:

Lebar belt = 406 mm

Kecepatan maks = 400 ft/menit

Kapasitas = 168 ton/jam

5) Belt Conveyor 5 (TDVS ke SP 1)

Densitas material yang dibawa belt conveyor

adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material

terbesarnya 10 mm, maka:

Lebar belt = 406 mm

Kecepatan maks = 400 ft/menit

Kapasitas = 168 ton/jam

6) Belt Conveyor 6 (TDVS ke SP 2)

Densitas material yang dibawa belt conveyor

adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material

terbesarnya 20 mm, maka:

Lebar belt = 406 mm

Kecepatan maks = 400 ft/menit

Kapasitas = 168 ton/jam

7) Belt Conveyor 7 (TDVS ke SP 3)

Densitas material yang dibawa belt conveyor

adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material

terbesarnya 30 mm, maka:

Lebar belt = 406 mm

Kecepatan maks = 400 ft/menit

Kapasitas = 168 ton/jam

8) Belt Conveyor 8 (TDVS ke SP 4)

Densitas material yang dibawa belt conveyor

adalah 1,6 ton/m3, dengan ukuran material

terbesarnya 40 mm, maka:

Lebar belt = 406 mm

Kecepatan maks = 400 ft/menit

Kapasitas = 168 ton/jam

Menentukan Setting Unit Peremuk Agar

Didapat Persentase Terbesar Pada Produk

dengan Fraksi -20 + 10 mm

Dalam menentukan setting unit peremuk

untuk jaw crusher (primary crusher) dan cone

crusher (secondary crusher) terlebih dahulu perlu

diketahui ukuran terbesar umpan yang akan masuk

ke peremuk, produk terbesar yang diinginkan,

reduction ratio peremuk, dan setting terkecil-

terbesar yang dimiliki peremuk.

Reduction Ratio Total diperoleh berdasarkan

ukuran umpan terbesar dari stockyard dibagi

dengan ukuran produk terbesar yang diinginkan.

Reduction Ratio Total pada rancangan pabrik

peremuk ini sebesar 12, maka dilakukan dua kali

peremukan.

RR = Umpan Terbesar

Produk Terbesar

RR = 600 mm

50 mm

= 12

Jaw Crusher

Jaw crusher yang dipilih adalah model

PE900x1200, dapat menerima umpan dengan

ukuran maksimum 750 mm, tetapi umpan

sebenarnya yang diterima berukuran 600 mm.

Produk yang dihasilkan memiliki ukuran terbesar

147 mm, sehingga reduction rationya adalah 4,1.

Kemampuan setting alat 100 – 200 mm, sedangkan

yang digunakan adalah 100 mm, dengan kapasitas

terpasang jaw crusher adalah 121,6 ton/jam.

Alasan menggunakan setting 100 mm, yaitu

Jaw crusher yang digunakan dapat menerima

ukuran umpan sebesar 600 mm, sehingga model

PE900x1200 dipilih, akan tetapi setting yang

dimiliki sebesar 100 – 200 mm. Sehingga, setting

100 mm digunakan karena merupakan setting

terkecilnya.

Cone Crusher

Cone crusher yang dipilih adalah model

HST160 dengan H1 dengan kapasitas terpasang

cone crusher adalah 117,28 ton/jam. Dapat

menerima umpan dengan ukuran maksimum 215

mm, tetapi umpan sebenarnya yang diterima

berukuran 147 mm. Produk yang dihasilkan

memiliki ukuran terbesar 40 mm, sehingga

reduction rationya adalah 3,7. Kemampuan setting

alat 16 – 44 mm, sedangkan yang digunakan adalah

25 mm.

Alasan menggunakan setting 25 mm:

1) Produk terbesar yang diinginkan adalah 50

mm, sedangkan setting yang dapat

menghasilkan produk dengan ukuran -50 mm

adalah 31 mm - 16 mm (pada alat yang

dipilih).

2) Apabila menggunakan setting 31 mm, maka

produk terbesarnya adalah 50mm (sesuai

dengan yang diharapkan). Akan tetapi

hasilnya, tidak didapat jumlah produk dengan

persentase terbanyak pada fraksi -20 +10 mm.

Maka dari itu dipilih setting 25 mm supaya

fraksi -20 +10 mm menghasilkan jumlah

produk dengan persentase terbanyak dibanding

fraksi lainnya.

Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

88

Menghitung Banyak Produk yang Dihasilkan

Per Jam Setiap Fraksinya

Produk akhir pada rancangan pabrik peremuk

ini seluruhnya dihasilkan dari proses pengayakan

pada Triple Deck Vibrating Screen (TDVS).

Umpan yang diterima TDVS berasal dari undersize

deck 2 (30 mm) Double Deck Vibrating Screen dan

produk Cone Crusher, dengan distribusi sebagai

berikut:

Gambar 1. Grafik Distribusi Produk Undersize

Deck 2 DDVS

Gambar 2. Grafik Distribusi Produk Secondary

Crusher

Sehingga, distribusi yang menjadi umpan

TDVS:

Gambar 3. Grafik Distribusi Umpan TDVS

Pada TDVS terdapat 3 deck ayakan yang

digunakan untuk mengayak, sehingga akan

didapatkan 4 jenis produk. Ukuran lubang bukaan

tiap deck dan efisiensinya sebagai berikut:

Deck 1 = 30 mm dengan efisiensi (78,3%)

Deck 2 = 20 mm dengan efisiensi (76,8%)

Deck 3 = 10 mm dengan efisiensi (75,1%)

Deck 1

Opening = 30 mm

Gambar 4. Grafik Distribusi Umpan Deck 1

Opening 30 mm

Produk yang lolos (-30 mm) = 84,35 ton/jam

Produk yang tertahan (+30 mm) = 30,35 ton/jam

Produk yang tertahan di deck 1 (30 mm) akan

menjadi produk 1 (-50 +30mm) sebanyak 30,35

ton/jam yang selanjutnya akan dibawa belt

conveyor menuju stockpile 1, sedangkan yang lolos

akan diayak kembali menuju ke deck dibawahnya.

Deck 2

Opening = 20 mm

Gambar 5. Grafik Distribusi Umpan Deck 2

Opening 20 mm

Produk yang lolos (-20 mm) = 61,24 ton/jam

Produk yang tertahan (+20 mm) = 23,11 ton/jam

Nur, Setyowati, Cahyadi, Sudaryanto dan Titisariwati INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

89

Produk yang tertahan di deck 2 (20 mm) akan

menjadi produk 2 (-30 +20mm) sebanyak 23,11

ton/jam yang selanjutnya akan dibawa belt

conveyor menuju stockpile 2, sedangkan yang lolos

akan diayak kembali menuju ke deck dibawahnya.

Deck 3

Opening = 10 mm

Gambar 6. Grafik Distribusi Umpan Deck 3

Opening 10 mm

Produk yang lolos (-10 mm) = 27,58 ton/jam

Produk yang tertahan (+10 mm) = 33,67 ton/jam

Produk yang tertahan di deck 3 (10 mm) akan

menjadi produk 3 (-20 +10mm) sebanyak 33,67

ton/jam yang selanjutnya akan dibawa belt

conveyor menuju stockpile 3, sedangkan yang lolos

akan menjadi produk 4 (-10 mm) sebanyak 27,58

ton/jam yang selanjutnya akan dibawa belt

conveyor menuju stockpile 4.

Jadi, produk hasil peremukannya:

-50 + 30 mm = 30,35 ton/jam

-30 + 20 mm = 23,11 ton/jam

-20 + 10 mm = 33,67 ton/jam

-10 mm = 27,58 ton/jam

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil adalah

sebagai berikut:

1. Untuk memenuhi target produksi sebesar 114,7

ton/jam, dengan umpan terbesar dari stockyard

600 mm, dan jam kerja efektif 6,98 jam/hari

maka alat-alat yang digunakan pada rancangan

ini adalah:

1) Hopper: 4,5 m x 3,5 m x 1,7 m

2) Feeder: LIMING, model FH1245

3) Primary Jaw Crusher: LIMING, model

PE900 x 1200

4) Double Deck Vibrating Screen:

KURIMOTO, model KI – H

5) Secondary Cone Crusher: LIMING, model

HST250/H1

6) Triple Deck Vibrating Screen: KURIMOTO,

model KI

7) Belt Conveyor 1 dan 2: LIMING, belt width

650 mm

8) Belt Conveyor 3-8: LIMING, belt width 500

mm

2. Setting unit peremuk agar didapat persentase

terbesar pada produk dengan fraksi -20 + 10 mm

sebagai berikut:

1) Jaw crusher, setting yang digunakan 100mm

2) Cone crusher, setting yang digunakan 25mm

3. Dengan triple deck vibrating screen diperoleh

distribusi produk yang diinginkan sebagai

berikut:

-50 + 30 mm = 30,35 tpj

-30 + 20 mm = 23,11 tpj

-20 + 10 mm = 33,67 tpj

-10 mm = 27,58 tpj

DAFTAR PUSTAKA

Ajie, M. Winanto, dkk. 2001. Pengolahan Bahan

Galian. Jurusan Teknik Pertambangan,

FTM, UPN “Veteran” Yogyakarta.

Ajie, M. Winanto. 2001. KURIMOTO CRUSHING

& GRINDING FIRST EDITION. Kurimoto

ltd.

Currie J. M. 1973. Unit Operation in Mineral

Processing. CSM Press. New York.

Gaudin A.M. 1939. Principles of Mineral

Dressing, Mc Graw Hill Book Company,

Inc., New York.

Nordberg. 1993. Reference Manual Fourth

Edition. Nordberg, Inc.U.S.A.

Partanto, Prodjosumarto. 1995. Pemindahan

Tanah Mekanis. Diktat Kuliah, Jurusan

Teknik Pertambangan ITB.

Wills, B. A dan Tim Napier-Munn. 2006. Mineral

Processing Technology 7th edition. Elsevier

Science and Technology Books, Queenslan

Awandoi dan Birawaputra INTAN Volume 1, Nomor 1, 2018

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

90

Gam

bar

7.

Ran

cangan

Pab

rik P

erem

uk d

an S

ayat

an d

i P

T.

X

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

91

PENCUCIAN BATUBARA MENGGUNAKAN CHANCE CONE

DENGAN MEDIA PASIR BESI

Hendri Prananta Perangin-angin

Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Universitas Papua

Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: [email protected]

Abstract

Study of coal washing was conducted by designing and creating chance cone equipment which was

then continued by process performance test using iron sand as a separator medium. The variable used for

this experiment was feed coal with the size of -12.5 +5 mm; -5mm +1.68 mm ; and -1.68 mm +0.85 mm, a

mixer with a spinning speed of 44, 53, 72, 96, and 120 rpm, and a media relative density ( suspension of

water and iron sand ) of 1.3 and 1.4 . From the result of sink – float test, the initial coal ash level of 7.91%,

5.73%, and 6.76% each was obtained. From the result of equipment performance test, the highest efficiency

was obtained at 1.4 media relative density of 69.18% at mixer speed of 120rpm with bait size of -1,68 +0,85

mm and ash content of 6,39%.

Keywords: Result, ash, mixer spin, density, feed size and efficiency

Abstrak

Studi pencucian batubara ini dilakukan dengan merancang dan membuat alat chance cone ,yang

kemudian dilanjutkan dengan uji kinerja proses menggunakan pasir besi sebagai media pemisah. Variabel

yang digunakan untuk percobaan ini adalah batubara umpan berukuran -12,5 + 5 mm ; -5 + 1,68 mm ; dan

-1,68 mm + 0,85 mm, pengaduk dengan kecepatan putaran 44, 53, 72, 96, dan 120 rpm, serta densitas

relative media ( suspensi air dan pasir besi ), 1,3 dan 1,4. Dari hasil uji endap-apung umpan didapatkan

kadar abu awal batubara umpan masing-masing 7,91 %, 5,73 %, dan 6,76 %. Dari percobaan uji kinerja

alat, efisiensi tertinggi diperoleh pada densitas relatif media 1,4 sebesar 69,18 % pada putaran pengaduk

120 rpm dengan ukuran umpan -1,68 mm + 0,85 mm, dan kandungan abu 6,39 %.

Kata kunci: Perolehan, abu, putaran pengaduk, densitas, ukuran umpan dan efisiensi

Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

92

PENDAHULUAN

Tersedianya cadangan batubara yang cukup

melimpah menjadikan bahan bakar fosil ini

menjadi energi alternatif sebagai pengganti bahan

bakar minyak bumi. Selain cadangan, teknologi

pemanfaatan juga cukup tersedia, sehingga

dampak yang mengotori lingkungan juga bisa

dihindari. Pembatubaraan terjadi karena adanya

tekanan dan temperatur yang tinggi dan

berlangsung dalam selang waktu yang sangat

lama. Perbedaan sifat batubara disebabkan adanya

perbedaan sumber material lingkungan

pengendapan, keadaan dan kondisi serta derajat

perubahan dalam macam, jumlah serta distribusi

pengotornya.

Dari segi pemanfaatannya, batubara

digunakan dalam berbagai macam industri dan

rumah tangga. Untuk memanfaatkan batubara

haruslah sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh

penggunanya. Sebagian batubara yang berasal dari

tambang, secara umum belum memenuhi

persyaratan lingkungan dalam pemanfaatannya.

Pencucian batubara merupakan kegiatan untuk

memenuhi persyarataan lingkungan pada

pemanfatanya.

Arti Strategis Batubara

Cadangan tertambang (mineable) batubara

Indonesia sebesar 12 milyar ton (ESDM - 2015)

dan ini merupakan cadangan energi yang paling

besar jika dibanding dengan minyak bumi yang

besarnya 5 milyar SBM dan gas 90 TSCF (15,30

milyar SBM). Meskipun saat ini pemanfaatan

batubara Indonesia sebagai sumber energi masih

relatif kecil namun batubara Indonesia memiliki

arti penting sebagai sumber energi primer

dibeberapa pembangkit listrik dan bahan bakar

industri. Berdasarkan RPJMN tahun 2015 -2019

Rencana Produksi di Tahun 2015 sebesar 425 Juta

Ton. Persentase Domestik terhadap Produksi

Batubara Nasional Tahun 2015 sebesar 24% dan

meningkat menjadi 60% di Tahun 2019 Dari total

produksi batubara Indonesia tahun 2015 sebesar

335 juta ton sekitar 70% diantaranya diekspor dan

sisanya sebesar 30% digunakan didalam negeri.

Kedepan diharapkan pemanfaatan batubara

Indonesia mampu menunjukan angka yang

signifikan dalam hal penyedia energi nasional

sebagai pengganti minyak bumi dan pemanfaatan

kayu bakar yang berpotensi menurunkan kualitas

hutan kita. Peran strategis batubara dikarenakan

batubara dapat memberikan efek ganda terhadap

ekonomi nasional dan daerah, seperti penyerapan

tenaga kerja, motor perkembangan ekonomi

didaerah terpencil, pengembangan wilayah dan

masyarakat dan peningkatan pendapat berupa

pajak, royalti, devisa kepada pemerintah pusat dan

daerah.

Chance Cone

Chance Cone merupakan alat pemisah

media berat komersial pertama dan media

padatnya adalah pasir besi. Suspensi pasir besi

dapat tertahan di dalam cone karena adanya

pengadukan dan arus air dari bawah ke atas,

pentingnya hubungan antara pengaduk dan arus

air tergantung pada densitas yang diinginkan pada

pemisahan. Batubara bersih tertampung di

permukaan media sementara batubara kotor

(reject) tenggelam masuk ke dasar cone. Putaran

pengaduk juga menyebabkan gerakan air berputar

melingkar, membawa fraksi batubara bersih

terapung sekitar tiga perempat keliling didalam

bak sebelum akhirnya mengalir mengikuti aliran

discharge. Media dipisahkan dengan cara

penyemprotan. Didasar bak terdapat sebuah ruang

yang berfungsi untuk mengeluarkan reject, yang

dilengkapi dengan katup yang dapat terbuka dan

tertutup secara penumatik.

Lajuendap (settling velocity) partikel dalam

bak mediaberat sebanding dengan volume

partikel:

Lajuendap ≈ (mg - mg) - R (1)

Atau,

Lajuendap ≈ g × v (δ - ρ) (2)

Bila v berkurang (partikel semakin kecil),

gaya yang dinyatakan oleh g v (δ - p) akan menurun

dan nilainya sama dengan R sehingga laju endap

akan menjadi nol atau sangat kecil. Jika R lebih

besar dari nilai g v (δ - p) laju endap akan menjadi

negative sehingga partikel akan terapung. Laju

endap berbanding lurus dengan gaya yang

menggerakan partikel. Ukuran batubara umpan

yang digunakan pada percobaan ini adalah: - 12,5

mm + 5 mm, -5 mm + 1,68 mm, -1,68 mm + 0,85

mm.

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan besarnya Yield dan kandungan abu

teoritis batubara umpan,

2. Mempelajari pengaruh variable proses yaitu

ukuran umpan, kecepatan pengadukan dan

densitas relatif media terhadap Yield batubara

tercuci dan kandungan abunya,

3. Menentukan efisiensi kinerja alat.

Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

93

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan melalui dua

tahapan yaitu tahap perancangan alat dan uji

kinerja alat. Tahap perancangan alat dilakukan

dengan dua pendekatan yaitu mempelajari fungsi

dan struktur dari setiap alat. Tahap uji kinerja alat

meliputi tahap persiapan media, persiapan umpan

dan uji endap-apung, pengambilan data, analisis

kadar abu dan analisa sebahagian nilai calorific

value dari data tertentu saja.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan lebih lanjut

mengenai tahapan-tahapan penelitian seperti

peralatan, bahan dan prosedur kerja. Penelitian ini

dilakukan di laboratorium Pengolahan Bahan

Galian dan Laboratorium Analisis Batubara

Departemen Pertambangan Institut Teknologi

Bandung.

Metode Pengambilan Data

Metode yang dilakukan dalam pengambilan data

meliputi:

1. Perancangan alat yaitu dengan mempelajari

fungsi dan struktur dari setiap bagian alat,

2. Preparasi media dan umpan,

3. Uji endap-apung umpan dan analisis kandungan

abu awal,

4. Uji kinerja proses untuk setiap variable proses

yang telah ditentukan,

5. Analisis terhadap data yang diperoleh dari

percobaan untuk melihat variable proses

terhadap perolehan batubara tercuci dan

penurunan kandungan abunya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ditinjau dari pencucian batubara yang telah

dilakukan dengan alat chance cone dan mengambil

perbedaan variabel ukuran batubara umpan,

densitas relatif media, dan kecepatan putaran

pengadukan diperoleh hasil untuk dilakukan

pembahasan terhadap penurunan kandungan abu

dari hasil pencucian yang telah dilakukan.

Uji Endap-Apung

Uji endap-apung dilakukan untuk setiap

fraksi dengan ukuran batubara umpan yaitu - 12,5

+ 5 mm, -5 + 1,68 mm dan -1,68 + 0,85 mm.

Pengujian dilakukan dalam larutan dengan densitas

relatif mulai dari densitas 1,3 sampai dengan

densitas 1,8. sehingga diperoleh tujuh fraksi untuk

masing-masing ukuran batubara umpan. Hasil uji

endap apung kemudian sehingga diperoleh hasil

seperti pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 diperlihatkan bahwa kandungan

abu batubara umpan berdasarkan ukuran -12,5 + 5

mm adalah 7,91%; ukuran -5 + 1,68 mm adalah

5,73%; dan ukuran -1,68 + 0,85 adalah 6,76%.

Tetapi bila dicuci dengan menggunakan densitas

relatif pemisah 1,3 akan diperoleh batubara tercuci

(Yield) sebesar 87,61% dengan kadar abu 4,43 %

untuk ukuran -12,5 + 5 mm ; 86,35%, dengan kadar

abu 2,37 untuk ukuran -5 + 1,68 mm ; dan 58,36%

dengan kadar abu 2,67 % untuk ukuran -1,68 + 0,85

mm. Sedangkan apabila pencucian menggunakan

densitas relatif 1,4 akan diperoleh batubara tercuci

(Yield) dan kadar abunya berturut-turut sebagai

berikut : ukuran -12,5 + 5 mm Yield sebesar 92,62

% dan kadar abunya 4,91%; ukuran - 5 + 1,68 mm

Yield sebesar 93,46% dan kadar abunya 2,84%;

sedangkan ukuran - 1,68 + 0,85 mm Yield sebesar

92,84 % dan kadar abunya 3,51 %.

Tabel 1. Hasil Uji Endap-Apung Batubara Umpan.

Ukuran

umpan (mm) Densitas relatif

Individu Kumulatif

Berat % Abu % Berat % Abu %

-12.5+5

% Berat

49.54

-1.3

1.3-1.4

1.4-1.5

1.5-1.6

1.6-1.7

1.7-1.8

+1.8

87.61

5.01

2.35

0.42

2.00

0.88

1.73

100

4.43

13.27

25.41

33.40

42.23

56.80

74.21

87.61

92.62

94.97

95.39

97.40

98.27

100.00

4.43

4.91

5.42

5.54

6.30

6.75

7.91

Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

94

Ukuran

umpan (mm) Densitas relatif

Individu Kumulatif

Berat % Abu % Berat % Abu %

-5+ 1.68

% Berat

32.11

-1.3

1.3-1.4

1.4-1.5

1.5-1.6

1.6-1.7

1-7-1.8

+1.8

86.35

7.11

1.90

0.81

0.98

0.75

2.10

100

2.37

8.57

24.69

33.49

43.36

50.53

72.78

86.35

93.46

95.36

96.17

97.16

97.90

100.00

2.37

2.84

3.28

3.53

3.93

4.29

5.73

- 1.68+

0.85

% Berat

7.34

-1.3

1.3-1.4

1.4-1.5

1.5-1.6

1.6-1.7

1.7-1.8

+1.8

58.36

34.48

1.49

1.06

1.06

0.90

2.65

100

2.67

4.95

22.95

32.76

41.78

49.35

72.36

58.36

92.84

94.32

95.38

96.45

97.35

100.00

2.67

3.51

3.82

4.14

4.56

4.97

6.76

Dengan dilakukannya uji endap apung

diketahui perkiraan Yield batubara tercuci dan

kadar abu di dalam fraksi reject berikut dengan

fraksi beratnya, kadar abu terbesar pada batubara

bersih dan sulit tidaknya pemisahan diantara

densitas relatif pemisah 1,3; 1,4;1,5;1,6;1,7; dan

1,8.

Pengaruh Putaran Pengaduk Dan Ukuran

Batubara Umpan Terhadap Persen Batubara

Tercuci (Yield), Effisiensi dan Persen Abu.

Dengan menggunakan beberapa variabel

berubah seperti ukuran batubara umpan, kecepatan

pengadukan dan densitas relatif media, maka

dilakukan uji kinerja proses dan diperoleh hasil

seperti pada Tabel 2 dan 3

Untuk kedua densitas relatif media

pemisahan yaitu 1,3 dan 1,4 ada kecendrungan

peningkatkan Yield batubara tercuci seiring dengan

bertambahnya kecepatan pengadukan, tetapi bukan

berarti dengan tingginya kecepatan putaran

pengadukan, Yield juga akan tinggi, ketentuan ini

dibatasi untuk kecepatan pengadukan kisaran dari

44 - 120 putaran per menit. Kecendrungan semakin

besamya Yield pada saat putaraan semakin cepat

dikarenakan suspensi pasir besi dan air (media)

semakin setabil berada di dalam cone dan densitas

yang dihasilkan mendekati densitas relatif 1,3 dan

1,4.

Tabel 2. Hasil percobaan untuk Densitas Relatif Media 1,3

Fraksi

Ukuran BB

(mm)

Putaran

Pengaduk

(rpm)

Batubara tercuci Cum. %

Float

dari grafik

Effisiensi

Berat % Abu %

-12.5+5

% berat:

49.54

44

53

72

96

120

6 .45

11.70

15.80

27.10

38 25

1.31

1.78

1.80

1.84

1.89

55.20

61.63

61.89

62.41

63.06

11.69

18.98

25.53

43.42

60.65

-5+1.68

% berat:

32.11

44

53

72

96

120

7.40

14.80

23.05

31.10

41.20

1 80

1.96

2.00

2.56

2.86

88.84

89.66

89.88

92.44

93 67

8.33

16.51

25.64

33.64

43.98

Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

95

Fraksi

Ukuran BB

(mm)

Putaran

Pengaduk

(rpm)

Batubara tercuci Cum. %

Float

dari grafik

Effisiensi

Berat % Abu %

-1.68+0.85

% berat:

7.34

44

53

72

96

120

17.20

I 22.60

34.20

47.20

49.90

2 25

2.85

3.18

3.95

4.68

87.40

90.28

91.71

94.60

96.78

19.68

25.03

37.29

49.89

51.56

Composite

-12.5+0.85

44

53

72

96

120

7.68

13.72

19.93

30.20

40.28

1.56

1.93

1.99

2.27

2.47

69.99

74.11

74.45

75.9

76.89

11.14

18.59

26.54

40.43

53.89

Bila dibandingkan dengan Yield hasil uji

endap-apung untuk semua variabel kecepatan

pengadukan dan ukuran batubara umpan, Yield

batubara tercuci hasil percobaan masih berada

dibawah Yield seharusnya seperti hasil Yield yang

dihasilkan pada uji endap apung.

Berdasarkan kadar abu batubara tercuci,

pengaruh kecepatan pengadukan dan ukuran

batubara umpan untuk densitas relatif media 1,3

dan 1,4 terlihat bahwa dengan bertambalmya

kecepatan putaran pengadukan kadungan abu

batubara tercuci juga semakin bertambah, begitu

juga dengan ukuran batubara umpan berpengaruh

terhadap Yield.

Semakin halus ukuran umpan maka semakin

tinggi Yield. Berdasarkan hasil percobaan uji endap

apung justru sebaliknya. Apabila dalam keadaan

ideal, misalnya digunakan densitas relatif media

1,3 maka material yang berdesintas kurang dari 1,3

akan terapung sebagai batubara tercuci, sedangkan

semua partikel berdensitas relatif lebih dari 1,3

akan tenggelam. Tetapi pada operasi pencucian

chance cone secara kontinyu, tidak dapat

beroperasi sempurna seperti pada uji endap apung,

sehingga menyebabkan hasil pencucian selalu

kurang baik bila dibandingkan dengan hasil uji

endap apung, maka hal inilah yang terjadi pada

percobaan ini.

Tabel 3. Hasil Percobaan untuk Densitas Relatif Media 1,4

Fraksi

Ukuran BB

(mm)

Putaran

Pengaduk

(rpm)

Batubara tercuci Cum. %

Float

dari grafik

Effisiensi Berat % Abu %

-12.5+5

% berat:

49.54

44

53

72

96

120

9.20

23.24

31.00

41.70

52.50

1.37

1.85

2.44

2.60

4.70

56.00

62.51

69.80

71.64

90.37

16.42

37.17

44.40

58.20

58.10

-5+1.68

% berat:

32.11

44

53

72

96

120

14.70

24.60

36.10

46.80

59.45

2.08

2.24

2.73

3.49

4.84

90.26

91.02

93.16

95.91

99.08

16.29

27.03

38.75

48.80

60.00

-1.68+0.85

% berat:

7.34

44

53

72

96

120

36.60

41.40

57.40

61.20

69.00

2.43

2.56

3.15

4.88

6.39

88.27

88.91

91-57

97.28

99.73

41.45

46.55

62.67

62.91

69.18

Perangin-angin INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

96

Fraksi

Ukuran BB

(mm)

Putaran

Pengaduk

(rpm)

Batubara tercuci Cum. %

Float

dari grafik

Effisiensi Berat % Abu %

Composite

-12.5+0.85

44

53

72

96

120

13.44

2523

35.02

21.93

56.37

1.71

2.05

2.60

3.11

4.89

71.03

74.98

80.02

82.51

94.29

18.44

34.28

43.87

55.20

59.70

KESIMPULAN

Dilihat dari hasil percobaan uji kinerja alat

dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Kadar abu batubara umpan berdasarkan uji

endap-apung pada ukuran - 12,5 + 5 mm , -5 +

1,68 mm dan -1,68 + 0,85 mm adalah 7,91 %,

5,73 % dan 6,76 %.

2. Pengaruh variabel percobaan terhadap Yield

batubara tercuci dan abu adalah semakin besar

kecepatan putaran pengaduk (44 - 120 rpm),

maka Yield dan kadar abu batubara tercuci juga

semakin besar.

3. Efisiensi tertinggi untuk densitas relatif media

1,3 diperoleh pada ukuran - 12,5 + 5 mm,

putaran pengaduk 120 rpm sebesar 60,65 % dan

untuk densitas relatif 1,4 diperoleh pada ukuran

umpan - 1,68 + 0,85 mm, kecepatan putaran

pengaduk 120 rpm adalah 69,18 %

UCAPAN TRIMA KASIH

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Soemarno, Ms

2. Dr. Bagyo Yanuwiadi

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Arief S. S. Sudarsono,M.Sc

4. Bapak Prof. Ir. Djamhur Sule, M.Sc

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, W, “Tesis Magister”, Studi Pencucian

Batubara Menggunakan Chance Cone

Dengan Media Hematite, 2006.

Betekhtin, A., “A Course of Mineralogy”, Peace

Publisher, Moscow.

Brown, G.G., “Unit Operation”, 14th Printing,

Modem Asia Edition, Japan, 2008.

Burt, R.O., (assisted by Chris Mills), “Gravity

Concentration Technology”, Elsevier, 2004.

Kim H.T, “Dasar-Dasar Kimia Tanah”, Gajah

Mada University Press, Yogyakarta, 1991.

Leonard, J. W, & Mitchell, D.R., “Coal

Preparation”, 3rd Ed., The American

Institute of Mining, Metallurgical, and

Petroleum Engineers, Inc, New York, 1968.

McCabe, W.L., Smith, J.C, Harriot, P, “Unit

Operation of Chemical Engineering”,

McGraw-Hill, 2002.

Osborne, D.G., “Coal Preparation Technology”,

Vol. l & 2, Graham Trotman Limited a

Member of Kluwer Academic Publisher

Group, 1988. 9.

Pryor, E.J., “Mineral Processing”, Elsevier

Publishing Co. Ltd. Essex, England, 1965.

Rusnadi, L., “Tesis Magister”, Studi Pencucian

Batubara Menggunakan Chance Cone

Dengan Media Pasir Kuarsa, 2006.

Sudarsono, A.S., “Pengantar Preparasi dan

Pencucian Batubara”, Departemen Teknik

Pertambangan, Institut Teknologi Bandung,

Bandung, 2003.

Sule, D., “Materi Kuliah Perancangan Pabrik

Pencucian Batubara”, Program

Pascasarjana, Rekayasa Pertambangan ITB,

2004..

Sule, D, “Seminar Batubara Nasional”,

Departemen Energi dan Sumber Daya

Mineral, Jakarta.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

97

PENGGUNAAN METODE RAPID VISUAL SCREENING DALAM

MENENTUKAN KERENTANAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA

BUMI

Indra Birawaputra 1), Yoga C. V. Tethool 2)

1) 2)Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Papua 1) 2) Jl. Gunung Salju Amban Manokwari

Email: 1) [email protected]

Abstract

Sorong is a city located at the junction of three tectonic plates. Thus, makes the city vulnerable to

earthquake hazards. Evaluation on building vulnerability is needed to determine the damage mitigation

due to an earthquake. As a populous area, Moyo residential area requires building vulnerability evaluation

of earthquake hazard. Rapid Visual Screening according to FEMA P-154 2015 is used to evaluate the

building vulnerability. This method requires input data such as seismic location, building occupancy, soil

type, building typology, number of story, vertical irregularities, plan irregularities and code. The analysis

result showed that the level of vulnerability for building typologies W1, RM1 and C3 were 0.09%, 1.01%

and 32.62%.

Keywords: building vulnerability, earthquake, rapid visual screening

Abstrak

Kota Sorong terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik. Hal ini menyebabkan Kota Sorong

rentan terhadap bahaya gempa bumi. Evaluasi kerentanan bangunan di Kota Sorong diperlukan untuk

mengetahui kemungkinan kerusakan yang akan terjadi akibat gempa bumi. Sebagai kawasan padat

penduduk, Perumahan Moyo di Kota Sorong memerlukan evaluasi kerentanan bangunan. Evaluasi

kerentanan bangunan akibat gempa bumi dilakukan dengan menggunakan metode Rapid Visual Screening

(RVS) sesuai FEMA P-154 tahun 2015. Metode ini membutuhkan data masukan yang berupa: lokasi

seismik, tingkat hunian, tipe tanah, tipologi bangunan, jumlah lantai, ketidakberaturan bangunan dalam

arah vertikal, ketidakberaturan denah bangunan dan peraturan yang digunakan saat membangun. Hasil

analisis menunjukan bahwa tingkat kerentanan untuk tipologi bangunan W1, RM1 dan C3 masing-masing

adalah 0,09%, 1,01% dan 32,62%.

Kata Kunci: kerentanan bangunan, gempa bumi, rapid visual screening

Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

98

PENDAHULUAN

Gempa bumi tektonik terjadi akibat adanya

energi yang dilepaskan saat terjadinya patah

lempeng bumi. Enegi yang dilepaskan dirambatkan

oleh pusat gempa berupa gelombang getaran ke

permukaan tanah (Hasmar, 2013). Sebagai daerah

yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik

besar dunia, menyebabkan Indonesia akan sering

diguncang gempa tektonik. Wilayah utara Pulau

Papua berada pada jalur patahan lempeng tektonik

Pasifik. Hal ini menyebabkan gempa bumi sering

dirasakan oleh masyarakat di utara Pulau Papua,

salah satunya di Kota Sorong.

Setiap peristiwa alam, termasuk gempa

bumi, memiliki akibat entah baik atau buruk.

Dampak buruk yang terjadi antara lain apabila ada

korban jiwa. Pada dasarnya, gempa bumi tidak

bersifat membunuh, tetapi pengaruh dari gempa

bumi itulah yang akan membuat jatuhnya korban

jiwa. Pengaruh dari gempa bumi yang dimaksud

seperti: kegagalan kontruksi bangunan/ keruntuhan

gedung, tanah longsor, tsunami dan lainnya.

Beberapa penelitian terdahulu

menyimpulkan bahwa perilaku suatu bangunan

saat terjadi gempa sangat dipengaruhi oleh

konfigurasi bangunan tersebut. Bangunan yang

memiliki konfigurasi kurang baik seperti adanya

soft storey, bad mass distribution, set back dan lain

sebagainya cenderung memiliki perilaku yang

kurang memuaskan saat terjadi gempa bumi

(Widodo, 2007). Selain itu, penggunaan material

berkualitas rendah pada perumahan masyarakat

mengakibatkan kekuatan dari elemen bangunan

tersebut menjadi sangat rendah dan rentan

mengalami kegagalan konstruksi saat terjadi

gempat bumi (Satyarno, 2011).

Kota Sorong sebagai salah satu kota besar di

Provinsi Papua Barat mengalami kemajuan pesat

dalam bidang pembangunan. Namun keberadaaan

bangunan-bangunan tersebut perlu dievaluasi

kerentanannya ketika gempa bumi terjadi, terutama

pada kawasan padat penduduk. Dengan

mengetahui tingkat kerentanan suatu bangunan

terhadap gempa bumi, maka dapat diambil

langkah-langkah mitigasi ketika terjadi bencana

gempa bumi. Hal ini merupakan salah satu bentuk

kesiapan dalam menghadapi bencana gempa bumi

yang dapat terjadi di masa datang (Perdana, 2017).

Rapid visual screening (RVS) dapat

digunakan sebagai langkah awal untuk

mengevaluasi kerentanan bangunan akibat gempa

bumi secara cepat dan tanpa menggunakan

perangkat lunak khusus. Hasil RVS akan

memberikan gambaran terkait bangunan mana saja

yang memiliki tingkat risiko tinggi akibat gempa

bumi dan memerlukan evaluasi lanjutan yang lebih

detail (Kurniawandy, 2015).

Oleh sebab itu, pelaksanaan penelitian ini

penting dilakukan untuk mengetahui tingkat

kerentanan bangunan di Kota Sorong. Lokasi

penelitian berada pada Komplek Perumahan Moyo

Kelurahan Klamana yang termasuk kawasan

pemukiman padat penduduk. Metode RVS

digunakan pada penelitian ini dan bertujuan untuk

mengetahui tingkat kerentanan bangunan pada

Perumahan Moyo akibat ancaman bencana gempa

bumi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode berupa

survei yang menggunakan data primer meliputi

kegiatan pengamatan, pencatatan dan pengambilan

titik sampel, serta menggunakan data sekunder

sebagai informasi lokasi kejadian bencana gempa

bumi.

Gambar 1. Formulir Rapid Visual Screening

(FEMA 154, 2015)

Evaluasi tingkat kerentanan bangunan

akbibat gempa bumi dilakukan menurut metode

rapid visual screening (RVS), sesuai FEMA P-154

tahun 2015. Data masukan yang dibutuhkan dalam

metode RVS ini berupa; tipologi bangunan,

ketidakberaturan bangunan dalam arah vertikal,

Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

99

ketidakberaturan bangunan dalam arah horisontal

dan jenis tanah. Kemudian data tersebut dimasukan

kedalam formulir khusus yang disediakan menurut

FEMA P-154 tahun 2015. Formulir yang

digunakan ditampikan pada Gambar 1. Hasil

perhitungan akhir menggunakan metode RVS akan

menunjukan probabilitas keruntuhan bangunan

akibat gempa bumi.

RAPID VISUAL SCREENING (RVS)

Metode Rapid Visual Screening (RVS)

adalah sebuah metode pengamatan secara cepat

yang dikembangkan oleh FEMA untuk

mengidentifikasi, menginventarisir suatu bangunan

secara tampak yang berpotensi berbahaya secara

seismik (Zulfiar, 2018). Beberapa data masukan

yang dibutuhkan untuk menghitung nilai akhir

tingkat kerentanan bangunan dijelaskan sebagai

berikut.

Tingkat Hunian

Metode RVS membedakan tingkat hunian

bangunan menjadi 9 kategori yaitu: bangunan

umum, bangunan komersial, bangunan pelayanan

darurat, bangunan industri, bangunan pemukiman,

bangunan pendidikan, bangunan utilitas dan

bangunan gudang (FEMA 154, 2015).

Tipe Tanah

Tipe tanah dibedakan menjadi 6 bagian: A

(Hard Rock), B (Avg. Rock), C (Dense Soil), D

(Stiff Soil), E (Soft Soil), F (Poor Soil). Apabila

dalam proses evaluasi tipe tanah tidak dapat

diklasifikasikan, maka dapat diasumsikan sebagai

tipe tanah D (FEMA 154, 2015).

Tipologi Bangunan

Berdasarkan FEMA 154 (2015), tipologi

bangunan diklasifikasi menjadi 17 tipe bangunan.

Masing-masing tipologi bangunan tersebut

diklasifikasikan berdasarkan pada sistem struktur

yang digunakan.

Jumlah lantai

Jumlah lantai diukur dari bagian bangunan paling

bawah yang menyentuh tanah hingga atap (Zulfiar,

2018).

Lokasi Seismik

Lokasi seismik terbagi menjadi lima

tingkatan yaitu rendah, sedang, agak tinggi, tinggi

dan amat tinggi yang ditampilkan pada Tabel 1

(FEMA 154, 2015). Untuk menentukannya,

diperlukan nilai akselerasi respon spektrum Ss dan

S1 pada lokasi yang ditinjau.

Tabel 1. Pembagian Lokasi Seismik

Lokasi

Seismik

Akselerasi Respon

Spektrum, Ss

(periode pendek,

0.2 detik)

Akselerasi Respon

Spektrum, S1

(periode panjang,

0.2 detik)

Rendah Ss < 0,25g S1 < 0,10g

Sedang 0,25g ≤ Ss < 0,50g 0,10g ≤ S1 < 0,20g

Agak

tinggi

0,50g ≤ Ss < 1,00g 0,20g ≤ S1 < 0,60g

Tinggi 1,00g ≤ Ss < 1,50g 0,40g ≤ S1 < 0,60g

Amat

tinggi

Ss ≥ 1,50g S1 > 0,60g

(Sumber: FEMA 154, 2015)

Vertical irregularity

Vertical Irregularity adalah penampakan

bangunan secara vertikal yang tidak beraturan.

Beberapa hal yang tergolong vertical irregularity

(Zulfiar, 2018) antara lain:

- Sloping Site, bangunan yang berada diatas bukit

yang curam;

- Soft story, kondisi dimana sebuah lantai

bangunan memiliki kekuatan yang lebih kecil

daripada lantai diatas atau dibawahnya;

- Out of plane seatback, suatu lantai tidak selaras

secara vertikal dengan sistem penahan gaya

seismik di atas atau di bawahnya;

- In plane seatback, gaya seismik di tingkat atas

diimbangi dengan elemen-elemen dari sistem

penahan gaya seismik pada tingkat yang lebih

rendah;

- Short coloumn, bila beberapa kolom lebih

pendek daridapa kolom pada umumnya;

- Splif level, kondisi terjadi dimana lantai atap

atap di salah satu bagain bangunan.

Plan irregularity

Plan Irregularity yaitu ketidakberaturan bentuk

denah (tidak simetris). Contoh plan irregularity

ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh plan irregularity (FEMA 154,

2015)

Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

100

Peraturan yang digunakan saat membangun

Code (peraturan) bisa diketahui dengan

melihat tahun ketika bangunan tersebut didirikan.

Menurut Zulfiar (2018), untuk peraturan yang

berlaku di Indonesia, disebut pre-code apabila

dibangun sebelum tahun 1971 (PBI 1971), dan

disebut Post-Benchmark apabila dibangun setelah

tahun 1992 (SNI 1992).

Skor akhir

Skor akhir (S) dari sebuah bangunan dapat

diperoleh dengan cara menjumlahkan setiap angka

dari kriteria-kriteria yang disebutkan sebelumnya

pada formulir RVS yang tersedia. Apabila nilai S ≤

2, maka bangunan yang dievaluasi tersebut

memiliki resiko yang tinggi akibat gempa bumi

sehingga diperlukan evaluasi yang lebih detail

(FEMA 154, 2015).

Tabel 2. Penjelasan Tipologi Bangunan

No Tipologi

Bangunan Gambar

Uraian

Singkat Karakteristik

1 W1

Struktur

berbahan

kayu,

bertingkat

satu atau

banyak

Berbahan dinding kayu.

Bangunan-bangunan jenis ini berkinerja

sangat baik ketika terjadi gempa karena

ringan.

Akibat gempa, kerusakan dapat terjadi

pada plesteran, tetapi dikalisifikasi sebagai

kerusakan non-struktural.

Kerusakan struktural yang paling sering

terjadi akibat sambungan yang kurang

baik pada struktur atas dan struktur bawah

(pondasi).

2 C3

Struktur

Rangka

Beton

Pemikul

Momen

dengan

dinding bata

tanpa

perkuatan

Kolom dan balok beton dapat memiliki

ketebalan setebal dinding dan atau dapat

diekspos untuk dilihat pada samping dan

belakang bangunan.

Dinding pengisi cenderung melengkung

dan jatuh keluar dari bidang ketika

mengalami gaya lateral luar bidang yang

kuat.

Hubungan pasangan bata di sekitar kolom

atau balok biasanya kurang baik dan

mudah lepas.

3 RM1

Bangunan

bata dengan

perkuatan

Berbahan dinding bata.

Ketebalan dinding biasanya 10cm hingga

20cm.

Rangka atap kayu atau baja ringan.

Praktek konstruksi yang buruk dapat

menghasilkan dinding yang tidak

diperkuat, akan mengalami kegagalan

dengan mudah.

(Sumber: Hasil Penelitian, 2018)

Hasil RVS terhadap 60 (enam puluh) sampel

bangunan yang berada di Kompleks Perumahan

Moyo Kelurahan Klamana di Kota Sorong

disajikan pada Tabel 3. Sebagai contoh, untuk

tipologi banguna RMI1-3 (no.7) pada Tabel 3,

diketahui basic score tipologi bangunan ini sebesar

1,1. Kriteria penilaian yang termasuk pada

bangunan yang ditinjau antara lain : plan

irregularity bernilai -0.4 karena denah bangunan

menunjukan ketidakberaturan, post-benchmark

bernilai 1,6 karena bangunan dibangun setelah

tahun 1992 dan soil type bernilai -0.2 karena jenis

Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

101

tanah pada lokasi bangunan termasuk tanah lunak.

Nilai-nilai ini merupakan ketetapan yang diambil

berdasarkan pada formulir isian RVS seperti

ditunjukan pada Gambar 1. Selanjutnya,

perhitungan final sore diperoleh dengan cara

menjumlahkan basic score dan angka pada masing-

masing kriteria penilaian tersebut:

FS = 1.1 + (-0.4) + 1.6 + (-0.2) = 2.1

Apabila nilai final score (S) kurang atau sama

dengan 2, maka bangunan tersebut tergolong

berisiko terhadap ancaman gempa bumi dan perlu

dilakukan evaluasi yang lebih detail (Zulfiar,

2018). Prosedur ini dilakukan untuk semua

bangunan yang akan dievaluasi tingkat

kerentanannya. Hasil perhitungan final score

ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Akhir dengan RVS

No

Tip

olo

gi

Ba

ng

un

an

Ba

sic

sco

re

Kriteria Penilaian

Min

imu

n s

core

Fin

al

sco

re (

S)

Sev

ere

ver

tica

l

irre

gu

lari

ty

Mo

der

ate

ver

tica

l

irre

gu

lari

ty

Pla

n

irre

gu

lari

ty

Pre

- c

od

e

Po

st -

ben

chm

ark

So

il T

yp

e A

or

B

So

il T

yp

e E

(1-3

sto

ries

)

So

il T

yp

e E

(>3

sto

ries

)

1 W1 1 2.1 -0.7 1.9 0 0.7 3.3

2 W1 2 2.1 -0.7 1.9 0 0.7 3.3

3 W1 3 2.1 -0.7 1.9 0 0.7 3.3

4 W1 4 2.1 -0.6 -0.7 1.9 0 0.7 2.7

5 RM1 1 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

6 RM1 2 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

7 RM1 3 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

8 RM1 4 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

9 RM1 5 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

10 RM1 6 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

11 RM1 7 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

12 RM1 8 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

13 RM1 9 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

14 RM1 10 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

15 RM1 11 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

16 RM1 12 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

17 RM1 13 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

18 RM1 14 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

19 RM1 15 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

20 RM1 16 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

21 RM1 17 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

22 RM1 18 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

23 RM1 19 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

24 RM1 20 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

25 RM1 21 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

26 RM1 22 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

27 RM1 23 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

102

No

Tip

olo

gi

Ba

ng

un

an

Ba

sic

sco

re

Kriteria Penilaian

Min

imu

n s

core

Fin

al

sco

re (

S)

Sev

ere

ver

tica

l

irre

gu

lari

ty

Mo

der

ate

ver

tica

l

irre

gu

lari

ty

Pla

n

irre

gu

lari

ty

Pre

- c

od

e

Po

st -

ben

chm

ark

So

il T

yp

e A

or

B

So

il T

yp

e E

(1-3

sto

ries

)

So

il T

yp

e E

(>3

sto

ries

)

28 RM1 24 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

29 RM1 25 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

30 RM1 26 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

31 RM1 27 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

32 RM1 28 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

33 RM1 29 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

34 RM1 30 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

35 RM1 31 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

36 RM1 32 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

37 RM1 33 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

38 RM1 34 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

39 RM1 35 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

40 RM1 36 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

41 RM1 37 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

42 RM1 38 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

43 RM1 39 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

44 RM1 40 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

45 RM1 41 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

46 RM1 42 1.1 -0.4 1.6 -0.2 0.3 2.1

47 RM1 43 1.1 1.6 -0.2 0.3 2.5

48 RM1 44 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

49 RM1 45 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

50 RM1 46 1.1 -0.4 -0.4 1.6 -0.2 0.3 1.7

51 C3 1 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6

52 C3 2 0.9 -0.3 -0.3 NA 0 0.3 0.3

53 C3 3 0.9 -0.3 -0.3 NA 0 0.3 0.3

54 C3 4 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6

55 C3 5 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6

56 C3 6 0.9 -0.3 -0.3 NA 0 0.3 0.3

57 C3 7 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6

58 C3 8 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6

59 C3 9 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6

60 C3 10 0.9 -0.3 NA 0 0.3 0.6

(Sumber: Hasil Penelitian, 2018)

Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

103

Tabel 4. Perhitungan Probabilitas Keruntuhan Bangunan

No

Tip

olo

gi

Ba

ng

un

an

Fin

al

sco

re (

S)

Ra

ta-r

ata

Fin

al

sco

re (

S) Probabilitas Keruntuhan

Ra

ta -

ra

ta

Pro

ba

bil

ita

s

Ker

un

tuh

an

Des

ima

l

Per

sen

tase

1 W1 1 3.3

3.15

0.00050 0.05%

0.09% 2 W1 2 3.3 0.00050 0.05%

3 W1 3 3.3 0.00050 0.05%

4 W1 4 2.7 0.00200 0.20%

5 RM1 1 2.1

2.13

0.00794 0.79%

1.01%

6 RM1 2 2.1 0.00794 0.79%

7 RM1 3 2.1 0.00794 0.79%

8 RM1 4 2.1 0.00794 0.79%

9 RM1 5 2.5 0.00316 0.32%

10 RM1 6 2.5 0.00316 0.32%

11 RM1 7 2.5 0.00316 0.32%

12 RM1 8 2.1 0.00794 0.79%

13 RM1 9 2.5 0.00316 0.32%

14 RM1 10 2.5 0.00316 0.32%

15 RM1 11 1.7 0.01995 2.00%

16 RM1 12 1.7 0.01995 2.00%

17 RM1 13 2.5 0.00316 0.32%

18 RM1 14 2.5 0.00316 0.32%

19 RM1 15 2.5 0.00316 0.32%

20 RM1 16 1.7 0.01995 2.00%

21 RM1 17 2.5 0.00316 0.32%

22 RM1 18 2.5 0.00316 0.32%

23 RM1 19 1.7 0.01995 2.00%

24 RM1 20 1.7 0.01995 2.00%

25 RM1 21 2.1 0.00794 0.79%

26 RM1 22 2.5 0.00316 0.32%

27 RM1 23 1.7 0.01995 2.00%

28 RM1 24 1.7 0.01995 2.00%

29 RM1 25 2.5 0.00316 0.32%

30 RM1 26 1.7 0.01995 2.00%

31 RM1 27 2.5 0.00316 0.32%

32 RM1 28 1.7 0.01995 2.00%

33 RM1 29 2.5 0.00316 0.32%

34 RM1 30 2.5 0.00316 0.32%

35 RM1 31 2.1 0.00794 0.79%

Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

104

No

Tip

olo

gi

Ba

ng

un

an

Fin

al

sco

re (

S)

Ra

ta-r

ata

Fin

al

sco

re (

S) Probabilitas Keruntuhan

Ra

ta -

ra

ta

Pro

ba

bil

ita

s

Ker

un

tuh

an

Des

ima

l

Per

sen

tase

36 RM1 32 2.1 0.00794 0.79%

37 RM1 33 2.5 0.00316 0.32%

38 RM1 34 1.7 0.01995 2.00%

39 RM1 35 2.5 0.00316 0.32%

40 RM1 36 2.5 0.00316 0.32%

41 RM1 37 2.1 0.00794 0.79%

42 RM1 38 1.7 0.01995 2.00%

43 RM1 39 2.1 0.00794 0.79%

44 RM1 40 1.7 0.01995 2.00%

45 RM1 41 1.7 0.01995 2.00%

46 RM1 42 2.1 0.00794 0.79%

47 RM1 43 2.5 0.00316 0.32%

48 RM1 44 1.7 0.01995 2.00%

49 RM1 45 1.7 0.01995 2.00%

50 RM1 46 1.7 0.01995 2.00%

51 C3 1 0.6

0.51

0.25119 25.12%

32.62%

52 C3 2 0.3 0.50119 50.12%

53 C3 3 0.3 0.50119 50.12%

54 C3 4 0.6 0.25119 25.12%

55 C3 5 0.6 0.25119 25.12%

56 C3 6 0.3 0.50119 50.12%

57 C3 7 0.6 0.25119 25.12%

58 C3 8 0.6 0.25119 25.12%

59 C3 9 0.6 0.25119 25.12%

60 C3 10 0.6 0.25119 25.12%

(Sumber: Hasil Penelitian, 2018)

Dari Tabel 3 diketahui bahwa untuk tipologi

bangunan W1 final score tertinggi dan terendah

masing-masing adalah 3,3 dan 2,7, untuk tipologi

RM1 adalah 2,5 dan 2,1, sedangkan untuk tipologi

C3 adalah 0,6 dan 0,3.

Selanjutnya untuk mengetahui

kemungkinan/ probabilitas suatu bangunan untuk

mengalami kegagalan/ keruntuhan adalah dengan

Persamaan 1 (FEMA 154, 2015).

Probabilitas keruntuhan = 1 10�� (1)

dimana: S = final score

Sebagai contoh, bila hasil perhitungan final

score sebesar 2, maka probabilitas keruntuhuan

bangunan tersebut adalah 1/ 102 atau sebesar 0.01.

Artinya saat terjadi gempa bumi, maka

kemungkinan 1 bangunan rentan atau berpotensi

roboh dari 100 bangunan yang ada. Perhitungan

probabilitas keruntuhan saat terjadi gempa bumi

besar untuk masing-masing-bangunan dan tipe

bangunan disajikan pada Tabel 4.

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4

menunjukan bahwa, untuk tipologi bangunan W1

memiliki rata-rata nilai akhir (S) 3,15 dan rata-rata

probabilitas keruntuhan bangunan tipe ini adalah

Birawaputra dan Tethool INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

105

0,09%. Tipologi bangunan RM1 memiliki rata-rata

nilai akhir (S) sebesar 2,13 dan rata-rata

probabilitas keruntuhan bangunan tipe ini adalah

1,01%, sedangkan untuk tipologi bangunan C3

diperoleh rata-rata nilai akhir (S) sebesar 0,51 dan

rata-rata probabilitas keruntuhan bangunan tipe ini

adalah 32,62%.

Dari ketiga tipologi bangunan yang ditinjau,

maka tipe C3 memiliki tingkat kerentanan yang

paling tinggi bila terjadi gempa bumi. Hal ini

disebabkan karena basic score tipe C3 adalah yang

paling kecil diantara ketiganya. Selain itu

bangunan-bangunan tipe C3 memiliki beberapa

kriteria penilaian yang memberikan nilai negatif

terhadap basic score. Kriteria penilaian seperti:

vertical irregularity, plan irregularity, dan tipe

tanah merupakan parameter yang sangat

menentukan dalam mengevaluasi menggunakan

FEMA 154 karena komponen tersebut sebagai

faktor nilai pengurang (Kurniawandy, 2015). Dari

pengamatan dilapangan beberapa bangunan tipe C3

memiliki ketidakberaturan arah vertikal disebabkan

letak rumah yang berada pada kondisi tanah lereng,

selain itu juga terdapat beberapa bangunan yang

memiliki ketidakberaturan denah disebabkan

bentuk denah bangunan tidak simetris.

Selanjutnya apabila hasil evaluasi tahap awal

dengan menggunakan metode RVS suatu bangunan

dinyatakan rentan atau berisiko terhadap ancaman

gempa bumi, maka perlu dilakukan evaluasi

lanjutan yang lebih detail. Evaluasi lanjutan

tersebut perlu melibatkan evaluator yang handal

yang tentunya berkonsekuensi terhadap

pembiayaan. Sehingga kesadaran dari para pemilik

bangunan untuk melakukan evaluasi lanjutan

sangat dibutuhkan demi keselamatan pengguna

bangunan maupun orang-orang yang berada

disekitarnya (Amir, 2012).

KESIMPULAN

Ketidakberaturan arah vertikal dan bentuk

denah bangunan yang tidak simetris dapat

menyebabkan kerentanan bangunan akibat gempa

bumi menjadi meningkat.

Saat gempa bumi terjadi, tipologi bangunan

W1 dan RM1 masih tergolong aman sedangkan

tipologi C3 memiliki tingkat kerentanaan yang

tinggi.

Perlu dilakukan kajian yang lebih detail

terhadap tipologi bangunan C3 karena hasil analisis

skor akhir kurang dari 2.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Fatmawati. (2012). Evaluation of Building

Vulnerability From Earthquake by Rapid

Visual Screening Based On FEMA 154.

Jurnal Infrastruktur, Vol 2, 9-15.

ATC Project. 2015. FEMA P-154 – Rapid Visual

Screening of Buildings for Potential Seismic

Hazards: A Handbook. Washington DC:

Federal Emergency Management Agency.

Badan Standarisasi Nasional. (2012). Tata Cara

Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk

Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

(SNI 03-1726-2012). Bandung: BSN

Hasmar, H. A. Halim. (2013). Dinamika Tanah &

Rekayasa Kegempaan. Yogyakarta: UII

Press.

Kurniawandy, Alex, Andy H, Rahmatul F. (2015).

Evaluasi Kerentanan Bangunan Gedung

Terhadap Gempa Bumi Dengan Rapid

Visual Screening (RVS) Berdasarkan FEMA

154. Prosiding Annual Civil Engineering

Seminar 2015, Pekanbaru.

Perdana, Intan Putra. (2017). Evaluasi Kerentanan

Bangunan Rumah Masyarakat Terhadap

Gempabumi di Desa Wisata Bugisan

Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten.

Thesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada.

Satyarno, Iman. (2011). Vulnerability of

Indonesian Community Houses to

Earthquake Disaster. Prosiding The Ninth

International Symposium on Mitigation of

Geo-disasters in Asia, Yogyakarta.

Widodo. (2007). Kerusakan Bangunan Pada

Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 : Akibat

Kebelumjelasan Code, Sosialisasi Atau

Pelaksanaan. Prosiding Seminar HAKI

2007, Surabaya.

Zulfiar, M. H., Jayady, A., Saputra, N. R. J.

(2018). Kerentanan Bangunan Rumah

Cagar Budaya Terhadap Gempa di

Yogyakarta. Jurnal Karkasa, Vol 4, 1-7.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

106

PERKEMBANGAN REGULASI PENINGKATAN NILAI

TAMBAH NIKEL DI INDONESIA

Arif Setiawan1), Juanita R. Horman 2)

1) Mahasiswa Pasca Sarjana Rekayasa Pertambangan ITB 2) Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Papua

Email: 1) [email protected], 2) [email protected]

Abstract

One of mining industry characteristics is non renewable, therefore its management should be

optimal, efficient and environmentally oriented. Indonesian government has established the mining law as

a main regulation in carrying out mineral and coal mining activities. The regulation related to mining

industry was Act No. 11/1967, which then replaced by Act No. 04/2009. Implementing rule of the Act No.

04/2009 is regulated through a Government Regulation (PP). In order to implement this government

regulation, a Minister Regulation is then need to be issued. The main objective of this research is to know

the development of the downstream mining industry related to increasing value added, especially nickel.

The method used in this study is a descriptive method that describes secondary data in the form of

documentation obtained from various sources. The results shows that the implementation of Act No.

04/2009 has ogbligated the maning companies to built their smelters to run mineral processing and metal

refining in five years, in which it can increase value added of minerals, including nickel. Therefore,

according to the act, in 2014 raw ore exports should be banned. This condition results in a decrease of raw

ore export. The construction of a smelter is used to process and purify nickel with levels above 2%.

However, in Indonesia there is still nickel ore with levels below that level. Therefore, Ministerial Regulation

No. 05/2017 was issued to overcome this problem, which is currently being replaced by ministerial

regulation No. 25/2018.

Keywords: Increased added value, legislation

Abstrak

Salah satu karakteristik industri pertambangan adalah bersifat tidak dapat diperbarui, sehingga

pengelolaannya harus optimal, efisien berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pemerintah Indonesia

menentapkan Undang-Undang (UU) pertambangan sebagai regulasi dalam melaksanakan kegiatan

pertambangan mineral dan batubara. UU pertambangan tersebut adalah UU No. 11 Tahun 1967 dan

digantikan oleh UU No. 04 Tahun 2009. Peraturan pelaksana dari UU No. 04 Tahun 2009 adalah Peraturan

Pemerintah (PP) dan untuk melaksanakan PP tersebut maka dikeluarkannya Peraturan Menteri. Tujuan

utama dari penelitian ini adalah mengetahui perkembangan dari hilirisasi industri pertambangan terkait

Peningkatan Nilai Tambah (PNT) khususnya nikel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode distriptif yang menjelaskan data sekunder berupa dokumentasi yang diperoleh dari berbagai

sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dengan adanya UU No. 04 Tahun 2009, maka setiap

perusahaan tambang diharuskan membangun smelter untuk pengolahan dan pemurnian dalam waktu lima

tahun, sehingga memungkinkan terjadinya PNT mineral, termasuk nikel. Berdasarkan jangka waktu

tersebut, pada tahun 2014 pelarangan ekspor bijih mentah diberlakukan hingga saat ini. Hal ini berpengaruh

pada penurunan ekspor bijih nikel di Indonesia. Di Indonesia pembangunan smelter digunakan untuk

mengolah dan memurnikan nikel dengan kadar diatas 2%, tetapi di Indonesia sendiri masih terdapat bijih

nikel dengan kadar di bawah kadar tersebut. Olehnya ditetapkanlah Permen No. 05 Tahun 2017 untuk

mengatasi masalah tersebut, yang mana saat ini telah diganti dengan Permen No. 25 Tahun 2018.

Kata Kunci: Peningkatan nilai tambah, peraturan perundang-undangan.

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

107

PENDAHULUAN

Pertambangan merupakan industri yang

penting karena berperan sebagai salah satu

penopang perekonomian Indonesia. Selain itu

pertambangan memiliki beberapa karakteristik,

salah satu diantaranya adalah non renewable (tidak

dapat diperbarui). Oleh karena itu pengelolaannya

harus optimal, efisien berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan (Thendry, 2016). Hal

tersebut seuai dengan amanat Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) pasal 33 ayat 3

yang berbunyi:

“Bumi dan air serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”.

Untuk menjalankan amanat tersebut,

dibuatlah kebijakan yang diatur dalam perundang-

undangan, salah satunya adalah undang-undang

pertambangan. Di Indonesia UU pertambangan

tersebut adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun

1967 (UU No. 11/1967) dan Undang-Undang

Nomor 04 Tahun 2009 (UU No. 04/2009). Sejak

dikeluarkannya UU No. 04/2009 menggantikan

UU No. 11/1967, ada beberapa perubahan yang

terjadi, salah satuya adanya terkait Peningkatan

Nilai Tambah (PNT) mineral.

UU No. 04/2009 mengamanatkan untuk

melakukan PNT dalam beberapa pasal yaitu:

1. Pasal 95 C untuk meningkatkan nilai tambah

sumber daya mineral dan/atau batubara.

2. Pasal 102 yaitu pemegang IUP dan IUPK wajib

meningkatkan nilai tambah sumber daya

mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan

penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta

pemanfaatan mineral dan batubara.

3. Pasal 103 yaitu Pemegang IUP dan IUPK

Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan

dan pemurnian hasil penambangan di dalam

negeri atau mengolah dan memurnikan hasil

penambangan dari pemegang IUP dan IUPK

lainnya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan

nilai tambah sebagaimana dimaksud diatur

dengan peraturan pemerintah.

4. Pasal 104 yaitu untuk pengolahan dan

pemurnian, pemegang IUP Operasi Produksi

dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan

kerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau

perseorangan yang telah mendapatkan IUP atau

IUPK yang dikeluarkan oleh menteri, gubernur,

bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya

dan pelarangan melakukan pengolahan dan

pemurnian dari hasil penambangan yang tidak

memiliki IUP, IPR, atau IUPK.

5. Pasal 170 yaitu pemegang KK yang sudah

berproduksi wajib melakukan pemurnian

selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU ini

diundangkan.

Untuk melaksanakan UU tersebut,

dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23

Tahun 2010 (Tanggal 1 Februari 2010) yang

mengisyaratkan bahwa pemegang Izin Usaha

Pertambangan (IUP) operasi produksi dan Izin

Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi

produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral

dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri

(Kementrian Perdagangan, 2013).

PP ini mengalami perubahan sampai pada

tahun 2018, yang di dalamnya terdapat beberapa

pasal mengenai kebijakan peningkatan nilai

tambah. Mengingat sampai pada tahun 2010

Indonesia pernah menjadi negara yang

memproduksi dan mengekspor bahan galian keluar

negeri seperti nikel, timah, tembaga dan bauksit

(Herjuna, 2011).

Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih

dari penjualan komoditas bahan galian tersebut,

perlu melakukan PNT agar nilai jual lebih tinggi.

Hal ini dimaksudkan agar dapat memberikan

pemasukan/pendapatan yang besar bagi pemerintah

serta dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan

masyarakat Indonesia sesuai amanat dari UUD

1945 Pasal 33.

Oleh karena itu penelitian ini membahas

mengenai perkembangan perundang-undangan

atau peraturan yang terkait dengan PNT serta

beberapa perusahaan yang melakukan kebijakan

tersebut.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang

perkembangan dari kebijakan PNT sejak

dikeluarkannya UU No. 04/2009 sampai saat ini

yaitu tahun 2018 berupa peraturan pelaksana dan

perkembangan dari hilirisasi pertambangan mineral

dan batubara khususnya nikel.

METODE

Data yang digunakan dalam peneltian ini

merupakan data sekunder yang diperoleh dari

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dan

dari website resmi salah satu perusahaan

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

108

pertambangan yang melaksanakan peraturan

tersebut.

Analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif

yang menggambarkan perkembangan dari

peraturan perundang-undangan tersebut mulai dari

diberlakukannya UU No. 04/2009, PP serta Permen

dan salah satu perkembangan PNT pada

pertambangan Nikel sampai pada tahun 2018.

TINJAUAN PUSTAKA

Istilah

Istilah peraturan peruandang-undangan yang

digunakan dalam penelitian ini menurut UU No. 12

Tahun 2011 (Pemerintah Indonesia, 2011) adalah:

1. Undang-Undang (UU) adalah Undang-Undang

adalah Peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

dengan persetujuan bersama Presiden.

2. Peraturan Pemerintah (PP) adalah peraturan

Perundang-undangan yang ditetapkan oleh

Presiden untuk menjalankan Undang-Undang

sebagaimana mestinya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), arti dari Peraturan adalah tatanan

(petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk

mengatur. Dan Menteri adalah kepala suatu

departemen (anggota kabinet), merupakan

pembantu kepala negara dalam melaksanakan

urusan (pekerjaan) negara. Jadi Peraturan Menteri

(Permen) adalah tatanan (petunjuk, kaidah,

ketentuan) yang dibuat kepala departemen dalam

membantu kepala negara (presiden).

PNT menurut Permen No. 05 Tahun 2017

adalah upaya untuk meningkatkan nilai mineral

melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian.

PNT komoditas tambang mineral yang

terdiri dari mineral logam, mineral bukan logam

dan batuan dapat dilaksanakan melalui kegiatan:

1. Pengolahan dan pemurnian untuk komoditas

tambang mineral logam

2. Pengolahan untuk komoditas tambang mineral

bukan logam dan batuan

Pengolahan mineral merupakan upaya untuk

meningkatkan nilai mineral yang menghasilkan

produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak

berubah dari mineral asal.

Pemurnian adalah upaya untuk

meningkatkan nilai mineral logam melalui proses

ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih

lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat

fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Peraturan PNT

Berikut ini adalah urutan dari perkembangan

ditetapkannya UU dan PP serta Permen terkait

peningkatan nilai tambah.

Tahun 1960

Di tahun ini UU Pertambangan pertama kali

dibentuk dan dikeluarkan. UU tersebut adalah UU

No. 37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan dan

UU No. 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan

Minyak dan Gas Bumi, untuk menggantikan

Indische Mijnwet Tahun 1899 yang dikeluarkan

oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pada UU No 37 Prp Tahun 1960 (Pemerintah

Republik Indonesia, 1960) dijelaskan secara jelas

mengenai kegiatan PNT pada pasal 10 tentang

usaha pertambangan yang meliputi:

1) Penyelidikan umum

2) Eksplorasi

3) Eksploitasi

4) Pemurnian dan pengolahan

5) Pengangkutan

6) Penjualan

Hal tersebut termuat pula pada UU No 44

Prp Tahun 1960 Pasal 4 terkait usaha

pertambangan minyak dan gas bumi. Dapat dilihat

bahwa pada pasal tersebut dari kedua UU yang ada,

kegiatan pengolahan dan pemurnian merupakan

salah satu dari usaha pertambangan, dan arti dari

pengolahan dan pemurnian dijelaskan secara jelas

pada pasal 1. Hal tersebut menandakan bahwa

kegiatan PNT telah ada.

Tahun 1967

Pada tahun 1967 tepatnya pada tanggal 2

desember tahun 1967 dikeluarkan UU No. 11

Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok

pertambangan (Pemerintah Republik Indonesia,

1967), menggantikan UU No. 37 Prp Tahun 1960.

Hal mengenai PNT dijelaskan sama seperti UU No

37 Prp dan UU No. 44 Prp Tahun 1960. Dalam UU

No 11 yang menjelaskan mengenai PNT, terdapat

pada Bab 4 pasal 14 terkait Usaha Pertambangan

yang meliputi:

1) Penyelidikan umum

2) Eksplorasi

3) Eksploitasi

4) Pengolahan dan pemurnian

5) Pengangkutan

6) Penjualan.

Tahun 1969

Pada tahun ini ditebitkannya PP No 32

Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU No. 11 Tahun

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

109

1969 (Pemerintah Republik Indonesia, 1969). Pada

PP ini terkait PNT dijelaskan pada Pasal 7 dan

Pasal 11 tentang kuasa pertambangan yang terdiri

dari kuasa pertambangan untuk kegiatan usaha

pertambangan yaitu:

1) Kuasa pertambangan penyelidikan umum

2) Kuasa pertambangan Eksplorasi

3) Kuasa pertambangan Eksploitasi

4) Kuasa pertambangan Pengolahan dan

pemurnian

5) Kuasa pertambangan Pengangkutan

6) Kuasa pertambangan Penjualan.

Tahun 1986

Pada tahun ini dikeluarkan PP No. 17 Tahun

1986 tentang kewenangan pengaturan, pembinaan,

pengembangan industri. Hal tersebut dijelaskan

pada pasal 2 terkait industri (Pemerintah Republik

Indonesia , 1986) yaitu:

1) Penyulingan minyak bumi.

2) Pencairan gas alam

3) Pengolahan bahan galian bukan logam tertentu

4) Pengolahan bijih timah sebagai ingot timah

5) Pengolahan bauksit menjadi alumina

6) Pengolahan bijih logam mulia menjadi logam

muha.

7) Pengolahan bijih tembaga menjadi ingot

tembaga

8) Pengolahan bahan galian logam mulia menjadi

ingot logam

9) Pengolahan bijih nikel menjadi ingot nikel

Tahun 2009

Pada tahun ini tepatnya tanggal 12 Januari

ditetapkan UU No. 04 Tahun 2009 tentang

pertambangan mineral dan batubara. Pertimbangan

untuk menetapkan UU ini (Pemerintah Indonesia,

2009) adalah:

1. Mineral dan batubara yang terkandung dalam

wilayah hukum pertambangan Indonesia

merupakan kekayaan alam tak terbarukan

sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

mempunyai peranan penting dalam memenuhi

hajat hidup orang banyak, karena itu

pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara

untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi

perekonomian nasional dalam usaha mencapai

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara

berkeadilan.

2. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan

batubara yang merupakan kegiatan usaha

pertambangan di luar panas bumi, minyak dan

gas bumi serta air tanah mempunyai peranan

penting dalam memberikan nilai tambah secara

nyata kepada pertumbuhan ekonomi

nasional dan pembangunan daerah secara

berkelanjutan.

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak

sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan

peraturan perundang-undangan di bidang

pertambangan mineral dan batubara yang dapat

mengelola dan mengusahakan potensi mineral

dan batubara secara mandiri, andal, transparan,

berdaya saing, efisien, dan berwawasan

lingkungan, guna menjamin pernbangunan

nasional secara berkelanjutan

Tahun 2010

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan

beberapa pasal pada Undang-Undang No. 4 Tahun

2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan

Mineral dan Batubara yaitu:

1. Pasal 5 ayat (5),

2. Pasal 34 ayat (3),

3. Pasal 49,

4. Pasal 63,

5. Pasal 65 ayat (2),

6. Pasal 71 ayat (2),

7. Pasal 76 ayat (3),

8. Pasal 84,

9. Pasal 86 ayat (2),

10. Pasal 103 ayat (3),

11. Pasal 109,

12. Pasal 111 ayat (2),

13. Pasal 112,

14. Pasal 116, dan

15. Pasal 156.

Maka pada tanggal 1 februari 2010

ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun

2010 (PP No. 23 /2010) tentang pelaksanaan

kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara

(Pemerintah Indonesia, 2010).

PP ini ditetapkan dan mencabut beberapa

peraturan sebelumnya (Kementrian Energi dan

Sumber Daya MIneral, 2018) yaitu:

1. PP No. 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan UU

No. 11 Tahun 1967.

2. PP No. 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan

Bahan-Bahan Galian.

3. PP No. 37 Tahun 1986 tentang penyerahan

sebagian urusan pemerintahan di bidang

pertambangan kepada pemerintah daerah

tingkat I

Tahun 2012

Untuk melaksanakan ketentuan pada pasal

96 dan pasal 111 (PP No 23 Tahun 2010)

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

110

diperlukan Peraturan menteri tentang PNT mineral,

sehingga pada Tanggal 6 Februari Tahun 2012

ditetapkan Permen No. 7 Tahun 2012 Tentang PNT

mineral melalui kegiatan pengolahan dan

pemurnian mineral (Pemerintah Indonesia, 2012).

Pada bulan yang sama yaitu bulan Februari,

setelah ditetapkannya Permen No. 7 Tahun 2012,

dan ditetapkan pula PP No. 24 Tahun 2012 tentang

perubahan atas peraturan pemerintah No. 23 Tahun

2010 (Pemerintah Indonesia, 2012). Peraturan ini

di tetapkan dengan sebagai pertimbangan atas:

1. Menunjang pembangunan industri dalam negeri

perlu penataan kembali perhberian izin usaha

pertambangan untuk mineral bukan logam dan

batuan.

2. Memberi kesempatan lebih besar kepada

peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi

dalam kegiatan usaha pertambangan mineral

dan batubara, perlu mewajibkan modal asing

untuk mengalihkan sebagian sahamnya kepada

peserta Indonesia.

3. Memberikan kepastian hukum bagi pemegang

Kontrak Karya dan Perjanjian Karya

Pengusahaan Pertambangan Batubara yang

bermaksud untuk melakukan perpanjangan

dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan, perlu

diatur mengenai tata cara permohonan lzin

Usaha Pertambangan dimaksud

Pada Tanggal 16 Mei Tahun 2012 terjadi

perubahan pada Peraturan Menteri No. 7 Tahun

2012 yaitu Permen No. 11 Tahun 2012 tentang

perubahan atas peraturan menteri energi dan

sumber daya mineral No. 07 Tahun 2012 tentang

PNT mineral melalui kegiatan pengolahan dan

pemurnian mineral. Dengan alasan atas

pertimbangan dalam rangka meningkatkan

efektifitas pelaksaaan pengendalian penjualan

mineral ke luar negeri (Pemerintah Indonesia,

2012)

Tahun 2013

Pada Tahun 2013 terjadi perubahan kedua

atas Permen No. 7 Tahun 2012 dalam rangka

menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan

pengendalian penjualan mineral ke luar negeri serta

untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Agung

No. 10 P/HUM/12 Tanggal 12 September 2012,

perlu dilakukan perubahan kembali pengaturan atas

PNT mineral melalui kegiatan pengolahan dan

pemurnian mineral, maka pada Tanggal 1 Oktober

2013 ditetapkan Permen No. 20 Tahun 2013

tentang perubahan kedua atas peraturan menteri

energi dan sumber daya mineral No. 07 Tahun

2012 (Pemerintah Indonesia, 2013)

Tahun 2014

Pada Tanggal 11 Januari Tahun 2014 ditetapkan

dua peraturan perundang-undangan yaitu:

1. PP No. 1 Tahun 2014 tentang perubahan kedua

atas peraturan pemerintah No. 23 Tahun 2010.

Peraturan ini ditetapkan atas pertimbangan

untuk meningkatkan manfaat mineral bagi

rakyat dan kepentingan pembangunan daerah,

maka perlu peningkatan nilai tambah mineral

melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian

sumber daya mineral di dalam negeri sesuai

Pasal 103 dan Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

(Pemerintah Indonesia , 2014).

2. Permen No. 1 Tahun 2014 tentang peningkatan

nilai tambah mineral melalui kegiatan

pengolahan dan pemurnian mineral di dalam

negeri. Peraturan ini ditetapkan untuk

melaksanakan ketentuan PasaI 96 dan Pasal 112

C angka 5 dari PP No. 23 Tahun 2010 yang telah

dua kali diubah terakhir dengan PP No. 1 Tahun

2014 (Pemerintah Indonesia, 2014).

Tahun 2015

Pada Tanggal 4 Maret Tahun 2015

ditetapkan Permen No. 8 Tahun 2015 tentang

perubahan atas peraturan menteri energi dan

sumber daya mineral nomor 1 Tahun 2014

(Pemerintah Indonesia , 2015).

Peraturan Menteri ini ditetapkan dengan

mempertimbangkan berbagai hal (Pemerintah

Indonesia , 2015) yaitu:

1. Dalam rangka mendorong, melaksanakan, dan

memfasilitasi pelaksanaan penelitian dan

pengembangan mineral yang diatur UU No. 4

Tahun 2009 pasal 146, sehingga perlu diaturnya

pengiriman conto mineral ke luar negeri dalam

rangka kerja sama penelitian dan

pengembangan mineral untuk menunjang

pengembangan kegiatan pengolahan dan

pemurnian mineral di dalam negeri.

2. Meningkatkan efektifitas dan menjamin

kepastian hukum pelaksanaan peningkatan nilai

tambah mineral melalui kegiatan pengolahan

dan pemurnian mineral di dalam negeri,

sehingga perlu mengatur kembali batasan

minimum pengolahan dan pemurnian mineral

termasuk penetapan jenis komoditas tambang

mineral serta mineral ikutannnya yang belum

ditetapkan batasan minimum pengolahan dan

pemurniaanya.

Tahun 2017

Pada tanggal 11 Januari ditetapkan tiga

peraturan perundang-undangan yaitu:

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

111

1. PP No. 1 Tahun 2017 tentang perubahan

keempat atas peraturan pemerintah No. 23

Tahun 2010. Pertimbangan ditetapkannya

peraturan ini (Pemerintah Indonesia, 2017)

adalah:

1) Pemerintah berupaya mendorong

terwujudnya pembangunan fasilitas

pemurnian di dalam negeri dalam rangka

pelaksanaan peningkatan nilai tambah

mineral logam melalui kegiatan pengolahan

dan pemurnian mineral logam dalam UU

No. 4 Tahun 2009.

2) Memberikan manfaat yang optimal bagi

negara serta memberikan kepastian hukum

dan kepastian berusaha bagi pemegang lUP

Operasi Produksi, lUPK Operasi Produksi,

Kontrak Karya, dan Peijanjian Karya

Pengusahaan Pertambangan Batubara,

perlunya untuk mengatur kembali ketentuan

mengenai divestasi saham.

2. Permen No. 5 Tahun 2017 tentang peningkatan

nilai tambah mineral melalui kegiatan

pengolahan dan pemurnian mineral di dalam

negeri. Pertimbangan dalam menetapkan

peraturan Menteri ini adalah untuk

melaksanakan PP No. 23 Tahun 2010 yang telah

mengalami perubahan sampai perubahan yang

keempat yaitu PP No. 1 Tahun 2017 yaitu pasal

96, pasal 112C angka 5. (Pemerintah Indonesia,

2017).

3. Permen No. 06 Tahun 2017 tentang tata cara

dan persyaratan pemberian rekomendasi

pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri

hasil pengolahan dan pemurnian. Pertimbangan

atas penetapan peraturan ini adalah pelaksanaan

penjualan mineral ke luar negeri hasil

pengolahan dan pemurnian (Pemerintah

Indonesia, 2017)

Pada tanggal 30 maret ditetapkan Permen No

28 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan

menteri energi dan sumber daya mineral No. 05

Tahun 2017. Peraturan ini ditetapkan berdasarkan

beberapa pertimbangan (Pemerintah Indonesia,

2017) yaitu:

1. Untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi

Negara,

2. memberikan kepastian hukum dan kepastian

berusaha,

3. serta mendorong terlaksananya peningkatan

nilai tambah mineral melalui terwujudnya

pembangunan fasilitas pemurnian mineral di

dalam negeri oleh pemegang kontrak karya

yang melakukan perubahan bentuk

pengusahaan pertambangan dari kontrak karya

menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus

Operasi Produksi, dan

4. perlunya mengatur kembali ketentuan mengenai

perubahan bentuk pertambangan dari kontrak

karya menjadi Izin Usaha Pertambangan

Khusus Operasi Produksi.

Pada tanggal 15 Mei 2017 ditetapkan

Permen No. 35 Tahun 2017 tentang perubahan atas

peraturan menteri energi dan sumber daya mineral

No. 06 Tahun 2017 tentang tata cara dan

persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan

penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan

dan pemurnian. Dengan pertimbangan bahwa

dalam rangka pelaksanaan penjualan mineral

keluar negeri hasil pegolahan dan pemurnian, perlu

dilakukan verifikasi rencana pembangunan fasilitas

pemurnian dan verifikasi kemajuan fisik

pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri

(Pemerintah Indonesia, 2017)

Tahun 2018

Pada tanggal 7 Maret ditetapkan PP No. 08

Tahun 2018 tentang Perubahan Kelima Atas PP

No. 23 Tahun 2010 (Pemerintah Indonesia, 2018).

Dan Pada tanggal 30 April ditetapkannya Permen

No. 25 tentang pengusahaan pertambangan mineral

dan batubara (Pemerintah Indonesia, 2018).

Permen ini mempertimbangkan pasal 96 dari PP

No 23 tentang peningkatan nilai tambah (yang telah

mengalami perubahan sampai pada PP No. 08

Tahun 2018).

Pada Permen No. 25 Tahun 2018,

Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan/atau

batubara tertuang pada pasal 16 yaitu pemegang

IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan

peningkatan nilai tambah mineral dan batubara

melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian.

Kegiatan PNT dapat dilakukan dalam bentuk

kerja sama dengan pemegang IUP atau IUPK

operasi produksi yang membangun fasilitas

pengolahan dan pemurnian. Untuk pengolahan

batubara dalam rangka Peningkatan Nilai Tambah

dapat dilakukan jika telah tersedia teknologi dan

layak secara ekonomis.

Dalam Permen No. 25 terdapat beberapa

pasal yang mengatur tentang peningkatan nilai

tambah yaitu:

1. Pada pasal 17 Tahun 2018, dalam penjualan

mineral hasil pengolahan dan/atau pemurnian

ke luar negeri wajib terlebih dahulu melakukan

peningkatan nilai tambah melalui kegiatan

pengolahan dan/atau pemurnian sesuai batasan

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

112

minimum pengolahan dan/atau pemurnian

tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, dan

Lampiran III yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Permen ini. Jika komoditas

tambang yang tidak tercantum dalam lampiran

I, II, dan III, maka hanya dapat dijual keluar

negeri setelah batasan minimum pengolahan

dan pemurnian ditetapkan oleh Menteri

2. Pada Pasal 18, produk samping atau sisa hasil

pemurnian untuk beberapa mineral yaitu:

1) Tembaga berupa lumur anoda wajib

melakukan peningkatan pemurnian lebih

lanjut di dalam negeri sesuai dengan

Batasan minimum pemurnian lanjut produk

samping yang tercantum pada lampiran IV

dari Permen ini.

2) Untuk produk samping dari pemurnian

tembaga berupa logam tanah jarang wajib

dilakukan pemurnian di dalam negeri sesuai

dengan batasan minimum pemurnian

komoditas tambang yang tercantum dalam

Lampiran I

3) Untuk produk samping timbal dan seng

berupa emas dan perak wajib melakukan

Pemurnian di dalam negeri sesuai dengan

batasan minimum Pemurnian komoditas

tambang Mineral logam tercantum dalam

Lampiran I.

4) Produk Samping hasil Pengolahan timah

berupa konsentrat zirkon, ilmenit, rutil,

monasit, dan senotim wajib dilakukan

Pengolahan dan/atau Pemurnian di dalam

negeri sesuai dengan batasan minimum

yang tercantum dalam Lampiran I dan

Lampiran II.

5) Produk Samping hasil Pemurnian

Konsentrat timah berupa Terak wajib

dilakukan peningkatan kemurnian lebih

lanjut di dalam negeri sesuai dengan

batasan minimum yang tercantum dalam

Lampiran IV.

6) Untuk point 4 dan 5 yang belum memenuhi

batasan minimum Pengolahan dan/atau

pemurnian dan batasan minimum

pemurnian lanjut Produk Samping, wajib

diamankan dan dikelola sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan

(Sumber: data diolah)

Gambar 1. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan terkait PNT dari tahun 2009 – 2018.

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

113

3. Pasal 19 yaitu pemegang IUP operasi produksi,

IUPK operasi produksi, IUP operasi produksi

khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian,

dan IUP operasi produksi khusus untuk

pengangkutan dan penjualan, serta pihak lain

dapat melakukan penjualan ke luar negeri

dengan syarat:

1) Mineral logam yang telah memenuhi

batasan minimum pemurnian

2) Mineral bukan logam atau Batuan yang

telah memenuhi batasan minimum

Pengolahan

Dengan menggunakan pos tarif/hs

(harmonized system) sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Kewajiban pemenuhan batasan minimum

Pengolahan dan/atau Pemurnian tidak berlaku bagi

Mineral yang digunakan untuk kepentingan dalam

negeri atau penelitian dan pengembangan Mineral

melalui pengiriman conto mineral ke luar negeri.

Perkembangan Hilirisasi Pertambangan Nikel

Sejak dikeluarkannya Permen ESDM No. 07

Tahun 2012 dalam rangka melaksanakan amanat

UU No. 04/2009, khususnya terkait dengan

kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di

dalam negeri paling lambat tanggal 12 Januari 2014

yaitu 5 tahun terhitung dari tanggal yang sama

sejak di tetapkannya UU No. 04 yang termuat pada

pasal 170 (Kementrian Perdagangan, 2013).

Pada Permen No. 11 Tahun 2012 (tanggal 16

Mei 2012) yaitu perubahan atas Permen No. 07

Tahun 2012, menjelaskan bahwa perusahaan

pertambangan dapat melakukan ekspor bijih atau

ore mineral (dalam hal ini nikel) ke luar negeri

sebelum tahun 2014 jika telah mendapatkan

rekomendasi dari Menteri ESDM dengan syarat

sebagai berikut (Kementrian Perdagangan, 2013):

1) Status IUP Operasi Produksi dan IPR Clear and

Clean (c&c).

2) Perusahaan pertambangan harus melunasi

kewajiban pembayaran keuangan kepada

negara.

3) Wajib menyampaikan rencana kerja dan atau

kerja sama dalam pengelolaan dan atau

pemurnian mineral di dalam negeri.

4) Wajib menandatangani pakta integritas.

Jadi UU No. 4/2009 dapat berlaku secara

efektif pada Januari 2014 untuk komoditas

tambang mineral logam, mineral bukan logam dan

batuan dalam bentuk bahan mentah (raw

material/ores). Menurut BPS dari tahun 2009

sampai tahun 2013 jumlah ekspor nikel mengalami

peningkatan dan menurun di tahun 2014 sejak

diberlakukannya Permen No. 01 Tahun 2014

seperti yang terlihat pada gambar 2.

Sumber: (Badan Pusat Statistik, 2018) Data diolah

Gambar 2. Perkembangan nilai ekspor nikel Indonesia tahun 2009-2014

Pada PP No. 01 Tahun 2014 tentang

perubahan PP No. 23 Tahun 2010 yang berisi

pelarangan ekspor mineral mentah yang dimulai

tanggal 12 Januari tahun 2014, akan tetapi untuk

nikel berkadar rendah masih sulit dimurnikan di

dalam negeri dikarenakan smelter di Indonesia

dibangun bukan untuk spesifikasi bijih berkadar

1 2 3 4 5 6

Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Ekspor Nikel 10.437.126,50 17.566.047,40 40.792.164,80 48.449.392,10 64.802.857,10 4.160.120,70

0

10

20

30

40

50

60

70

Mil

lio

ns T

on

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

114

rendah dan hanya bisa menyerap bijih kadar 2% ke

atas. (Kementrian Perindustrian).

Pada tahun 2017 ditetapkannya Permen

untuk pemanfaatan mineral logam dengan kriteria

tertentu yaitu Permen No. 05 Tahun 2017 yang

mana pada pasal 9 ayat 2 bahwa pengolahan dan

pemurnian untuk mineral logam dengan kriteria

tertentu seperti nikel berkadar kurang dari 1,7%.

Maksudnya adalah pada pasal ini diwajibkan untuk

mengolah dan memurnikan nikel dengan kadar di

bawah 1,7%, sehingga tidak terbuang percuma (tak

bernilai). Alasannya adalah smelter di dalam negeri

kebanyakan hanya mengolah nikel berkadar di atas

1,7%. (Agustinus, 2017).

Izin ekspor bijih nikel kadar rendah hanya

diberikan kepada perusahaan yang telah

membangun smelter dan dievaluasi terus selama

enam bulan. Apabila program pembangunan tidak

berjalan maka izin ekspor langsung dicabut.

Jumlah bijih nikel yang boleh diekspor dibatasi

sesuai dengan kapasitas smelter yang dibangun dan

jumlah wilayah pertambangan (Agustinus, 2017).

Perubahan kebijakan dilakukan agar industri

hilirisasi mineral dapat diteruskan serta perlu

tambahan waktu untuk pembangunan smelter,

dikarenakan jika ekspor mineral mentah dan

konsentrat ditutup 100% akan berakibat buruk dan

smelter pun tetap tak akan terbangun (Agustinus,

2017).

Kebijakan PNT mineral juga telah

mendorong investasi pada sektor Industri

Pengolahan dan Pemurnian Logam, tercatat sampai

dengan Bulan Oktober 2017 investasi yang telah

selesai ditanamkan untuk pembangunan fasilitas

pemurnian Nikel di dalam Negeri adalah mencapai

±5,03 milyar USD (±Rp 68 triliun). Investasi

tersebut telah berhasil membangun sejumlah 13

fasilitas pemurnian Nikel dengan berbagai macam

produk yang dihasilkan yaitu NPI, FeNi dan

NiHidroxide dan telah mampu memurnikan bijih

Nikel di dalam Negeri sebesar 34 juta ton bijih

Nikel (Kementrian Energi dan Sumber Daya

Mineral, 2017)

Pasca terbitnya PP 1 Tahun 2017 beserta

turunannya Permen ESDM No 5/2017 dan Permen

ESDM No. 6/2017 yang memberikan insentif bagi

pelaku usaha yang membangun fasilitas pemurnian

untuk dapat menjual bijih nikel kadar rendah

mampu mendorong minat pelaku usaha untuk

dengan sungguh-sungguh membangun fasilitas

pemurnian baru atau bahkan mendorong existing

smelter meningkatkan kapasitas fasilitas

pemurnian yang telah ada, tercatat ada 11

perusahaan yang berinvestasi baru dan dua

perusahaan melakukan ekspansi dengan total

investasi yang akan ditanamkan sebesar 4,3 milyar

USD (Rp 56 triliun) dengan kapasitas input sebesar

28 juta ton bijih Nikel (Kementrian Energi dan

Sumber Daya Mineral, 2017).

Rekomendasi ekspor yang telah dikeluarkan oleh

KESDM sampai dengan 30 November 2017 untuk

komoditas Nikel sejumlah 14 Perusahaan dengan

jumlah ekspor sebesar 22,9 juta ton, namun sampai

dengan 30 November 2017 realisasi ekspor bijih

nikel kadar rendah baru mencapai 3 juta ton.

Menurut kementrian perindustriaan,

permintaan stainless steel sampai tahun 2025

diperkirakan sebesar 410 Ribu Ton, dengan

produksi ferronickel dalam negeri sebesar 180 Ribu

Ton pada tahun 2013 maka dibutuhkan minimal

720 Ribu Ton tambahan produksi dalam jangka

waktu 12 tahun. Untuk memenuhi demand yang

ada pada tahun 2025 ditargetkan sudah

membangun tambahan smelter dengan tambahan

kapasitas 1,68 juta ton, dengan rincian:

1) Pada tahun 2014, terdapat tambahan kapasitas

poduksi ferronickel PT. Feni Haltim sebesar

300 Ribu Ton dan PT. Bumi Selaras sebesar 600

Ribu Ton.

2) Pada tahun 2015, terdapat tambahan kapasitas

poduksi ferronickel PT. Weda Bay Nickel

sebesar 600 Ribu Ton.

3) Ditargetkan hingga tahun 2025, terdapat

penambahan investasi pada industri ferronickel

300 Ribu Ton diantaranya dari perluasan

kapasitas produksi PT. Antam Unit Pomalaa

sebesar 100.000 Ton, investasi baru PT. Multi

Baja sebesar 100 Ribu Ton dan investor lainnya

sebesar 190 Ribu Ton.

4) Direncanakan PT. Antam akan membangun

pabrik stainless steel pada tahun 2020 dengan

kapasitas produksi sebesar 600 Ribu Ton.

Guna memenuhi kebutuhan energi atas

pembangunan smelter ferronickel dan pabrik

stainless steel pada tahun 2025 maka dibutuhkan

kepastian supply energi setara energi listrik sebesar

1.020 MW. Untuk memenuhi kebutuhan demand

produk Stainless Steel dari tahun 2013 sampai

dengan tahun 2025 dengan mengoptimalkan bahan

baku dari dalam negeri, diperkirakan setidaknya

harus membutuhkan bahan baku bijih nikel sebesar

80 Juta Ton. Proyeksi konsumsi pada tahun 2025

dalam bentuk stainless steel sebesar 1,5 kg

perkapita, meningkat hampir tiga kali lipat

dibandingkan konsumsi saat ini 0,6 kg perkapita.

Faktor penggerak cabang industri pengolah nikel

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

115

adalah sektor transportasi, alat rumah tangga, alat

kesehatan, dan konstruksi. Tahun 2013 produksi

nikel dalam ferronickel sebesar 18 ribu ton,

sehingga dengan target konsumsi stainless steel 1,5

kg per kapita kebutuhan stainless steel akan

mencapai 400 ribu ton. Hal ini sesuai dengan

rencana PT Antam yang akan membangun pabrik

stainless steel pada tahun 2020 dengan kapasitas

600 ribu ton. Adapun rencana investasi yang akan

membangun smelter ferronickel adalah PT. Bumi

Makmur Selaras, PT. Feni Haltim, PT. Antam, PT.

Weda Bay Nickel dan PT.Multi Baja Selaras

dengan kapasitas total sebesar 1,3 juta ton dan

diproyeksikan akan terdapat investasi lain sebesar

200 ribu ton sampai tahun 2025. Sehingga sampai

tahun 2025 memerlukan bijih nikel sebesar 80 juta

ton, dengan tambahan energi sebesar 900 MW dan

investasi sebesar Rp. 72 trilliun (Kementrian

Perindustrian, 2016).

Sumber: (Kementrian Perindustrian, 2016)

Gambar 3. Kebutuhan dan pasokan stainless steel

Sumber: (Kementrian Perindustrian, 2016)

Gambar 4. Pohon Industri Nikel

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

116

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Sejak ditetapkannya UU No. 04 Tahun 2009

terutama dalam hal PNT mineral dan batubara.

UU ini memberikan jangka waktu perusahaan

tambang untuk melakukan pembangunan

smelter selama lima tahun sejak dikeluarkanya

UU tersebut dan menetapkan peraturan

pemerintah yaitu PP No. 23 Tahun 2010 dan

mengalami perubahan sebanyak 4 kali dan PP

ini dicabut oleh PP No. 08 Tahun 2018. Untuk

menjalankan PP maka ditetapkan Permen yaitu:

1) Permen No. 07 tahun 2012

2) Permen No. 11 tahun 2012

3) Permen No. 20 tahun 2013

4) Permen No. 01 tahun 2014

5) Permen No. 08 tahun 2015

6) Permen No. 07 tahun 2017

7) Permen No. 25 tahun 2018, Permen No. 25

tahun 2018 merupakan regulasi yang

digunakan saat ini.

2. Untuk hilirisasi pertambangan nikel,

pemerintah mengeluarkan Permen No. 01

Tahun 2014 yang menyatakan bahwa mineral

tertentu seperti nikel dapat diolah dan

dimurnikan di dalam negeri dengan kadar

minimum kurang dari 1,7% nikel. Dikarenakan

smelter di dalam negeri hanya mampu

mengolah dan memurnikan nikel kadar di atas

2%. Nilai ekspor nikel meningkat pesat dari

tahun 2009 sampai 2013 dan di tahun 2014

ekspor nikel menurun dikarenakan PP No. 01

Tahun 2014 mengenai pelarangan ekspor

mineral mentah diberlakukan. Tetapi bagi

perusahaan yang masih dalam tahap

pembangunan smelter, mendapatkan

rekomendari dari pemerintah untuk melakukan

ekspor.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih yang diberikan kepada bapak

Prof. Dr. Ir. Rudy Sayoga Gautama yang telah

membimbing terkait penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agustinus, M. (2017, Januari 21). Ekspor Tambang

Mentah Tak Langgar UU Minerba.

Retrieved from

https://finance.detik.com/energi/d-

3402153/esdm-ekspor-tambang-mentah-

tak-langgar-uu-minerba

Badan Pusat Statistik. (2018). Ekspor Bijih Nikel

Menurut Negara Tujuan Utama, 2002-2015.

Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Herjuna, S. (2011). Mineral dan Batubara dalam

Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta:

Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.

(2017, Desember 27). Investasi dan

Keberlangsungan Operasi Fasilitas

Pemurnian Pasca Peraturan Pemerintah

Nomor 1 Tahun 2017. Retrieved

fromhttps://drive.esdm.go.id/wl/?id=CeOjI

HoFqkGGXVWhHexx61uV8w2ESHJm

Kementrian Energi dan Sumber Daya MIneral.

(2018, November 8). Status Peraturan.

Retrieved from

http://jdih.esdm.go.id/view/status.php?bentu

k=Peraturan%20Menteri%20Energi%20dan

%20Sumber%20Daya%20Mineral&no=07

&tahun=2012&id=41

Kementrian Perdagangan. (2013). Analisis

Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw

Material Tambang dan MineraL. Jakarta:

Kementrian Perdagangan.

Kementrian Perindustrian. (2016). Hilirisasi

Pembangunan Industri Berbasis Mineral

Tambang. Jakarta: Kementrian Perindustrian

Republik Indonesia.

Kementrian Perindustrian. (n.d.). Pemerintah Buka

Keran Ekspor Nikel & Bauksit. Retrieved

from

http://kemenperin.go.id/artikel/16245/Peme

rintah-Buka-Keran-Ekspor-Nikel-&-Bauksit

Pemerintah Indonesia . (2014). Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

2010. Lembaran Negara RI Tahun 2014 No.

1. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia . (2015). Peraturan Menteri

ESDM No. 08 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM

No. 01 Tahun 2014. Berita Negara RI Tahun

2015 No. 349. Jakarta : Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2009). Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009

Tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara. Lembaran Negara RI Tahun 2009

No. 4. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2010). Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan

Usaha Pertambangan Mineral dan

Setiawan dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

117

Batubara. Lembaran Negara RI Tahun 2010

No. 29. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2011). Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan. Lembaran Negara RI Tahun

2011 No. 82. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2012). Peraturan Menteri

Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor

07 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai

Tambah Mineral Melalui Kegiatan

Pengolahan Dan Pemurnian Mineral. Berita

Negara RI Tahun 2012 No. 165. Jakarta:

Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2012). Peraturan Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11

Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral Nomor 07 tahun 2012. Berita

Negara RI Tahun 2012 No. 534. Jakarta:

Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2012). Peraturan

Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2012

Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010.

Lembaran Negara RI Tahun 2012 No. 45 .

Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2013). Peraturan Menteri

Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor

20 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua

Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber

Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012. Berita

Negara RI Tahun 2013 No. 993 . Jakarta:

Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2014). Peraturan Menteri

Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai

Tambah Mineral Melalui Kegiatan

Pengolahan Dan Pemurnian Mineral Di

Dalam Negeri. Berita Negara Ri Tahun 2014

No. 35. Jakarta: sekretariat negara.

Pemerintah Indonesia. (2017). Peraturan Menteri

Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor

28 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Energi Dan Sumber

Daya Mineral Nomor 05 Tahun 2017. Berita

Negara RI Tahun 2017 No. 515 . Jakarta:

Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2017). Peraturan Menteri

ESDM No. 05 Tahun 2017 Tentang

Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui

Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Di

Dalam Negeri. Berita Negara RI Tahun

2017 No. 98. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2017). Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2017 Tentang Perubahan Keempat

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23

Tahun 2010. Lembaran Negara RI Tahun

2017 No. 4. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2017). Permen ESDM

Nomor 06 Tahun 2017 Tentang Tata Cara

Dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi

Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar

Negeri Hasil Pengolahan Dan Pemurnian.

Berita Negara RI Tahun 2017 No. 99.

Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2017). Permen ESDM

Nomor 35 Tahun 2017 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber

Daya Mineral Nomor 06 Tahun 2017.Berita

Negara RI Tahun 2017 No.687. Jakarta:

Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2018). Peraturan Menteri

Nomor 25 tahun 2018 tentang pengusahaan

pertambangan mineral dan batubara. Berita

Negara RI Tahun 2018 No. 595. Jakarta:

Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2018). Peraturan

Pemerintah Nomor 08 Tahun 2018 Tentang

Perubahan Kelima Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010.

Lembaran Negara . Jakarta: Sekretariat

Negara.

Thendry, S. (2016). Desentralisasi Kewenangan

Dalam Pengaturan Usaha Pertambangan Di

Era Otonomi Daerah. Lex et Societatis,

Vol.IV/No.4, 45-53.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

118

POTENSI SUMBERDAYA MINERAL DISTRIK WINDESI

KABUPETAN TELUK WONDAMA

Hermina Haluk

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Universitas Papua

Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: [email protected]

Abstract

Geologically the Windesi area is composed of sedimentary rocks from the Kembelangan Group,

which are in the Middle Jura to the Middle Miocene. The Kembelangan group suppressed in harmony with

Imskin limestone (KTi) which is in the Upper Cretaceous to the Middle Miocene. Thus, it has quite a variety

of mineral potential. Potential Mineral Resources in the Windesi District are classified as Non-Metallic

Minerals consisting of limestone, sandstone, shale and assorted gravels. Possible occurrence of limestone

in Windesi District found in Wamesa Tengah village, Windesi village, Sombokaro village, Yopmios village

and Sandey village with an estimated reserve area of 3,093,325 Ha. Sandstones found in Sandey village

and partly in Wamesa Tengah village, as well as in Windesi village. The possible occurence of sandstone

in the Windesi District area is quite large with an estimated reserve area of 156,290.51 Ha. Shale scattered

in the middle of Sandey village and in the northern part of Windesi village and partly in Yopmios village

with a reserve area of approximately 414,845.19 Ha. Assorted gravels potential found in Sandey village in

the west and along the coast of Tanjung Ronsore in the north to northeast with a reserve area of

approximately 2,973.17 Ha.

Keywords: Geology, Windesi, Potency, Mineral Resources.

Abstrak

Secara geologi daerah Windesi tersusun oleh batuan sedimen dari Kelompok Kembelangan yang

berumur Jura Tengah sampai Miosen Tengah. Kelompok Kembelangan tertindih selaras oleh batugamping

Imskin (KTi) yang berumur Kapur Atas hingga Miosen Tengah sehingga memiliki potensi sumberdaya

mineral yang cukup bervariasi pula. Potensi Sumberdaya Mineral di Distrik Windesi tergolong Mineral

Non Logam yang terdiri dari batugamping, batupasir, serpih dan sirtu. Potensi batugamping di Distrik

Windesi dijumpai di kampung Wamesa Tengah, kampung Windesi, kampung Sombokaro, kampung

Yopmios dan kampung Sandey dengan perkiraan luas cadangan 3.093.325 Ha; Batupasir dijumpai di

kampung Sandey dan sebagian di kampung Wamesa Tengah, kampung Windesi. Potensi batupasir di

daerah Distrik Windesi cukup besar dengan perkiraan luas cadangan 156.290, 51 Ha; Serpih tersebar di

bagian tengah kampung Sandey dan di bagian utara kampung Windesi serta sebagian di kampung Yopmios

dengan luas cadangan lebih kurang 414.845,19 Ha. Potensi sirtu terdapat di kampung Sandey di bagian

barat dan sepanjang pesisir pantai tanjung Ronsore di sebelah utara sampai timur laut dengan luas cadangan

lebih kurang 2.973,17 Ha.

Kata Kunci: Geologi, Windesi, Potensi, Sumberdaya Mineral.

Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

119

PENDAHULUAN

Distrik Windesi merupakan wilayah yang

sangat luas dan memiliki potensi sumber daya alam

berupa potensi geologi yang sangat beragam, baik

yang berupa sumberdaya yang dapat dimanfaatkan

untuk kesejahteraan masyarakat seperti

sumberdaya mineral, energi (migas, panasbumi),

air, maupun sumberdaya (potensi) kebencanaan,

seperti banjir, tanah longsor, gempa, dan lain-lain.

Semua potensi tersebut harus dapat dikelola dengan

baik dan benar untuk dapat meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta

menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah

daerah dalam rangka pembangunan kawasannya.

Penelitian potensi mineral yang dilakukan di

daerah Windesi dimaksudkan untuk

mengumpulkan data primer potensi mineral non

logam. Data primer yang dikumpulkan yaitu

keanekaragaman jenis mineral, lokasi, luas sebaran

dan perkiraan cadangan potensi sumberdaya

mineral. Hasil penelitian ini diharapkan akan

menjadi masukan yang sangat berharga bagi

pemerintah daerah untuk menggali dan

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari

sektor pertambangan umum serta lebih

memberdayakan lagi perekonomian masyarakat di

daerah.

Lokasi Daerah Penelitian

Gambar 1. Lembar Daerah Penelitian

Secara administratif, Daerah Windesi

termasuk wilayah kabupaten Teluk Wondama

dengan koordinat 134º06’00” - 134º24’00” BT dan

2º16’00” - 2º41’00” LS, dengan batas wilayah

sebagai berikut: di sebelah barat berbatasan dengan

Distrik Nikiwar dan Kabupaten Kaimana, sebelah

utara dengan Distrik Saukgwapu dan Distrik

Nikiwar, sebelah timur dengan Distrik Wasior dan

di selatan dengan Distrik Kuri Wamesa. (Gambar

2). Dari Manokwari, daerah penyelidikan dapat

ditempuh melalui laut dengan kapal penumpang

selama 12 jam menuju Wasior atau 6 jam

menggunakan kapal expres, dari Wasior menuju

Windesi dilanjutkan dengan longboat selama 3

jam.

Gambar 2. Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN

Penelitian potensi mineral yang dilakukan di

Daerah Windesi menggunakan metode penelitian

lapaangan dan laboratorium. Penelitian lapangan

dilakukan dengan melakukan pemetaan geologi

permukaan berupa pengamatan geomorfologi,

pengamatan batuan dan struktur geologi serta

pengambilan sampel dan dokumentasi. Sedangkan

penelitian laboratorium merupakan tahap analisis

petrografi dan analisis kimia untuk sampel batuan

yang representatif dari setiap jenis batuan. Hasil

penelitian lapangan dan laboratorium kemudian

disajikan dalam bentuk peta potensi sumber daya

mineral.

KONDISI GEOLOGI DISTRIK WINDESI

Berdasarkan pengamatan lapangan dan

analisis peta geomorfologi distrik Windesi

Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

120

didominasi oleh topografi dataran hingga

perbukitan dan sebagian besar topografi perbukitan

tersayat kuat dengan kemiringan lereng berkisar

antara 2 – 35%, dengan elevasi 30 - 200 meter

diatas permukaan laut. Daerah ini umumnya

disusun oleh batupasir, serpih, batugamping dan

sirtu (pasir dan batu). Daerah Windesi dibagi

menjadi dua satuan geomorfologi, yaitu Satuan

geomorfologi datarana Fluvial Satuan

Geomorfologi Lereng dan Perbukitan

Denudasional (Gambar 3). Sungai-sungai yang ada

di Distrik Windesi adalah sungai Masasopi, sungai

Wamesa, sungai Windesi, sungai Kario, sungai

Borios dan sungai Wariowi dengan pola aliran

sungai yang mengontrol wilayah ini adalah pola

aliran paralel dan sub-dendritik. Sungai-sungai

yang mengalir pada daerah penelitian mempunyai

ciri-ciri penampang melintang membentuk huruf V

di bagian utara dan barat dan huruf U di bagian

selatan dengan ciri dinding lembah terjal,

dibeberapa lokasi dijumpai air terjun dan timur

daerah penelitian dengan lembah menyerupai

bentuk U, ada dataran banjir, ada terbentuk

meander, dijumpai erosi alur dan erosi parit dengan

ciri ini maka sungai-sungai yang mengalir di

daerah penelitian dapat dikategorikan sebagai

sungai berstadia muda menuju dewasa.

Batuan di distrik Windesi terdiri dari

Batupasir Kelompok Kembelengan (JKk), yang

berumur Jura Tengah – atas, Batupasir Formasi

Woniwogi (JKw) berumur Kapur Bawah, Serpih

Formasi Piniya, Batupasir Formasi Ekmai (Kue),

Batugamping Formasi Imskin (Kti), Batugamping

Koral (Qc) dan endapan alluvium (Qa). Struktur

geologi yang berkembang di daerah Windesi

adalah kekar, sesar dan lipatan yang berkembang

pada batupasir dan serpih. Batupasir yang

mengalami lipatan kemudian tersesarkan pada

bagian antiklin dengan arah umum baratlaut-

tenggara. Antiklin yang berkembang berupa

antiklin asimetris dengan sayap utara yang miring

kurang dari 10 sedangkan sayap selatan miring

sebesar 20 dan setempat ada yang mencapai 35.

Peta geologi distrik Windesi dapat dilihat pada

Gambar 4.

Gambar 3. Peta Geomorfologi Distrik Windesi

Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

121

Gambar 4. Peta Geologi Distrik Windesi

HASIL PENELITIAN

Potensi Sumberdaya Mineral yang terdapat

di Distrik Windesi tergolong Mineral Non Logam

yaitu batugamping, batupasir, serpih dan sirtu. Peta

potensi sumber daya mineral di distrik Windesi

dapat dilihat pada gambar 5 dibawah ini:

Gambar 5. Peta Potensi Sumberdaya Mineral Distrik Windesi

Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

122

Batugamping

Batugamping di Distrik Windesi terdapat

pada Formasi Imskin. Batugamping Formasi

Imskin berumur Kapur Atas - Miosen Tengah,

merupakan batugamping kristalin, padat, keras, dan

berongga, sedangkan batugamping yang ditemukan

di pulau Yop merupakan batugamping terumbu

(reef limestone). Batugamping adalah jenis batuan

sedimen klastik atau non klastik yang disusun oleh

hampir 90% karbonat, dan sering disebut juga

batuan karbonat. Di daerah ini terdapat

batugamping kristalin yang padat, keras.

Singkapan batupasir dapat dilihat pada Gambar 6.

Berdasarkan analisis petrografi, batugamping yang

ada di daerah ini merupakan batugamping

wackstone dan batugamping packstone. Sedangkan

berdasarkan analisisi kimia, batugamping distrik

Windesi dapat dimanfaatkan untuk industri semen

karena mempunyai kualitas cukup baik memenuhi

syarat untuk bahan baku semen jenis portland

dengan kisaran kadar CaO (51,86%-55,93%),

MgO (0,22%-0,31%), Fe2O3 (0,23%-1,49%) dan

Al2O3 (0,17%-0,93%). Selain itu batugamping

juga dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan

karena pada umumnya tidak memiliki cadangan

batuan keras seperti batuan beku andesit atau basal.

Abrasif pada batugamping cukup baik untuk

penstabil jalan di daerah rawa-rawa dengan

campuran kapur padam sekitar 1-6% dan kadar

sulfurnya harus rendah; sehingga akan berfungsi

sebagai tras.

Gambar 6. Batugamping yang terdapat di distrik Windesi:

batugamping kristalin (kiri); batugamping terumbu (kanan)

Batugamping dijumpai berbentuk bukit atau

pegunungan memanjang di jalur Lipatan Lengguru

menempati hampir 60% daerah telitian. Batuan ini

bersentuhan langsung dengan Batulumpur Formasi

Piniya (Kp) dan Batupasir dari Formasi Woniwogi

(Jkw). Batugamping ini tersingkap di sepanjang

pantai dan jalan Windesi memanjang baratlaut-

tenggara searah dengan Lipatan Lengguru. Potensi

batugamping di Distrik Windesi dijumpai di

kampung Wamesa Tengah, kampung Windesi,

kampung Sombokaro, kampung Yopmios dan

kampung Sandey. Potensi batugamping di daerah

Distrik Windesi cukup besar dengan perkiraan luas

cadangan 3.093.325 Ha.

Batupasir

Ciri-ciri Batupasir yang dijumpai di Distrik

Windesi adalah batuan berwarna abu-abu

kecoklatan dan kekuningan, berukuran butir

menengah-kasar, terpilah baik, membundar sampai

membundar tanggung, dan berlapis baik dengan

struktur laminasi sejajar dan silang siur di beberapa

tempat dijumpai juga batupasir dengan butiran

halus-menengah, agak lepas dan mudah diremas.

Singkapan batupasir dapat dilihat pada Gambar 7.

Batupasir ini pada umumnya didominasi oleh

kuarsa, pirit, glaukonit, ortokuarsit dan mika

termasuk dalam Formasi Batupasir Woniwogi dan

Batupasir Ekmai. Ketebalan batupasir yang di

jumpai di lapangan memiliki ketebalan kurang

lebih 1m – 20m. Dibeberapa lokasi penelitian juga

di indikasikan adanya lapisan grafit dengan ciri-ciri

berwarna hitam, kekerasan 1-2, sebagai sisipan

dalam batupasir. Berdasarkan hasil analisisi kimia,

batupasir distrik Windesi menunjukkan kandungan

SiO2 (83,10 - 85,45%) Al2O3 (6,55-7,28 %), dan

Fe2O3 (1,97%), MgO (1,98 – 2,31%), Na2O

(0,01-0,05%) dan CaO (0,76-2,68%). Prospek

pemanfaatan batupasir dapat digunakan sebagai

bahan bangunan, bahan dasar pembuat kaca

(batupasir kuarsa), pencampur semen beton dan

kalau kandungan lempungnya tinggi bisa juga

sebagai bahan pencampur genteng, batubata

ataupun batuhias.

Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

123

Gambar 7. Singkapan batupasir di distrik Windesi

Batupasir Distrik Windesi bersentuhan

langsung dengan Batugamping Formasi Imskin

(Kti) dan Batulumpur Formasi Piniya (Kp).

Batupasir ini dijumpai di kampung Sandey dan

sebagian di kampung Wamesa Tengah, kampung

Windesi. Potensi batupasir di daerah Distrik

Windesi cukup besar dengan perkiraan luas

cadangan 156.290, 51 Ha.

Serpih

Serpih berwarna abu-abu tua sampai hitam,

tekstur klastik, ukuran partikel-partikel

penyusunnya berdiameter <1/16 mm berupa

kuarsa, feldspar, dan mineral opak, dengan ukuran

butir 0,05-0,2mm, bentuk butir menyudut

tanggung-membulat tanggung, butiran

mengambang dalam matrik lempung. Serpih yang

ada di daerah Windesi sudah terubah menjadi

batuan metamorf berupa Sabak (slate) dengan ciri-

ciri berwarna abu-abu-kehitaman-kecoklatan,

foliated texture (slaty cleavage), dengan ukuran

mineral: 0,05 mm – 0,15 mm, komposisi tersusun

atas mineral kuarsa, muscovit, grafit, dan mineral

lempung. Singkapan serpih dapat dilihat pada

Gambar 8.

Serpih tersebar di bagian tengah kampung

Sandey dan di bagian utara kampung Windesi serta

sebagian di kampung Yopmios. Serpih yang ada

termasuk dalam Formasi Batulumpur Piniya ((Kp)

dan Kelompok Kembelangan (Jkk). Serpih di

daerah ini bersentuhan langsung dengan

Batugamping Imskin (Kti), Batupasir Woniwogi

(Jkw) dan Terumbu Koral (Qc). Berdasarkan hasil

analisis kimia serpih yang diambil di daerah ini

menunjukkan kandungan Al2O3 (15,53%), SiO2

(23,39%) dan Fe2O3 (5,66%), dan CaO (24-27%).

Serpih tersebut cukup baik untuk bahan baku

industri keramik, atap genteng dan batubata merah

dan sebagai campuran bahan baku semen jenis

portland. Hasil perhitungan sementara sumberdaya

serpih untuk daerah Distrik Windesi dengan luas

cadangan lebih kurang 414.845,19 Ha.

Gambar 8. Singkapan serpih di daerah Windesi

Pasir dan Batu (Sirtu)

Sirtu di kabupaten Teluk Wondama distrik

Windesi terdiri dari sirtu sungai dan pasir pantai. Di

daerah Windesi dan sekitarnya memiliki sirtu

sungai yang cukup prospek dan sumber dayanya

cukup banyak terdiri dari pasir, kerikil, kerakal, dan

bongkah, kebanyakan sirtu yang ada didaerah ini

dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk

membangun tempat tinggal.

Pasir pantai yang dijumpai di Distrik

Windesi berdasarkan warnanya dapat dibagi

menjadi dua jenis yaitu pasir putih dan pasir hitam.

Pasir putih berwarna putih – putih kecoklatan,

halus sampai sedang, umumnya membulat

tanggung, komposisi mineral penyusun kuarsa,

feldspar, mineral hitam dan pecahan – pecahan

fosil. Endapan pasir putih terutama bersumber dari

batuan Formasi Woniwogi dan Formasi Imskin.

Pasir hitam berwarna hitam – abu-abu kehitaman,

terhampar disepanjang pantai windesi kearah

selatan dari tanjung Ronsore. Komposisi mineral-

mineral berwarna hitam seperti biotit, grafit;

kuarsa, feldspar, klorit dan pecahan – pecahan fosil.

Endapannya terutama berasal dari Formasi Piniya

dan Formasi Ekmai.

Potensi sirtu terdapat di kampung Sandey di

bagian barat dan sepanjang pesisir pantai tanjung

Ronsore di sebelah utara sampai timurlaut.

Berdasarkan analisis kimia sampel pasir dari

daerah ini menunjukkan kandungan unsur-unsur

sebagai berikut : SiO2 (70,39 – 87,70%), Al2O3

(6,04-15,53 %), dan Fe2O3 (1,54-5,66%), MgO

(1,61 – 2,71%), Na2O (0,02%) dan CaO (1,31-

1,42%). Prospek pemanfaatan sirtu dapat

Haluk INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

124

digunakan sebagai bahan bangunan dan pembuatan

pondasi jalan raya, jembatan dan bandara. Hasil

perhitungan sementara sumberdaya sirtu untuk

daerah Distrik Windesi dengan luas cadangan lebih

kurang 2.973,17 Ha.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian lapangan (pemetaan geologi)

dan penelitian laboratorium (analisis petrografi dan

analisis kimia batuan), dapat disimpulkan bahwa:

1. Distrik Windesi terdiri dari dua satuan

geomorfologi, yaitu Satuan geomorfologi

datarana Fluvial Satuan Geomorfologi Lereng

dan Perbukitan Denudasional. Batuan yang

tersingkap terdiri dari Batupasir Kelompok

Kembelengan (JKk), yang berumur Jura Tengah

– atas, Batupasir Formasi Woniwogi (JKw)

berumur Kapur Bawah, Serpih Formasi Piniya,

Batupasir Formasi Ekmai (Kue), Batugamping

Formasi Imskin (Kti), Batugamping Koral (Qc)

dan endapan alluvium (Qa). Struktur geologi

yang berkembang di distrik Windesi adalah

kekar, sesar dan lipatan yang berkembang pada

batupasir dan serpih.

2. Sumberdaya Mineral Non Logam di Distrik

Windesi terdiri dari batugamping, batupasir,

serpih dan sirtu. Potensi batugamping di Distrik

Windesi dijumpai di kampung Wamesa Tengah,

kampung Windesi, kampung Sombokaro,

kampung Yopmios dan kampung Sandey

dengan perkiraan luas cadangan 3.093.325 Ha;

Batupasir dijumpai di kampung Sandey dan

sebagian di kampung Wamesa Tengah,

kampung Windesi. Potensi batupasir di daerah

Distrik Windesi cukup besar dengan perkiraan

luas cadangan 156.290, 51 Ha; Serpih tersebar

di bagian tengah kampung Sandey dan di bagian

utara kampung Windesi serta sebagian di

kampung Yopmios dengan luas cadangan lebih

kurang 414.845,19 Ha. Potensi sirtu terdapat di

kampung Sandey di bagian barat dan sepanjang

pesisir pantai tanjung Ronsore di sebelah utara

sampai timurlaut dengan luas cadangan lebih

kurang 2.973,17 Ha.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

(Bappeda) Kabupaten Teluk Wondama yang sudah

memfasilitasi kami untuk melakukan Kegiatan

Inventarisasi Sumberdaya Alam Mineral di

Kabupaten Teluk Wondama.

DAFTAR PUSTAKA

G.P. Robinson, Ryburn, R.J, Harahap, B.H.,

Tobing, S.I, Achdan,A., Bladon, G.M,

Pieters, P.E, 1990, Peta Geologi Lembar

Steenkool, Irian Jaya, Skala 1: 250.000,

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Geologi, Bandung.

Sanusi Halim, Wastoni, Adrian Zenith, Sarino,

2006, Inventarisasi dan Evaluasi Mineral

Non Logam di Kabupaten Teluk Wondama

dan Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat,

Proceeding Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan

Lapangan dan Non Lapangan, Pusat Sumber

Daya Geologi, Bandung.

Suhada, Dede I; Hidayat, Rahmat; Rukhimat,

Sandy; Suryana, Asep; 2015, Penyelidikan

Bitumen Padat Daerah Windesi dan

Sekitarnya, Kabupaten Teluk Wondama,

Provinsi Papua Barat, Proceeding

Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan Lapangan

dan Non Lapangan, Pusat Sumber Daya

Geologi, Bandung.

Suhala, S. dan Arifin, M., 1997, Bahan Galian

Industri, PPTM, Bandung

Sukandarrumidi, 2005, Bahan Galian Industri,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

125

STUDI KASUS DESAIN MATRIX ACIDIZING DENGAN

MEMPERHATIKAN MEKANISME PEMBENTUKAN

WORMHOLE PADA RESERVOIR KARBONAT

Praditya Nugraha1), Leonardo Davinci Massolo2), Nur Wahyuni3)

1) 2) 3)Jurusan Teknik Perminyakan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua

Jl. Gunung Salju Amban Manokwari

Email: 1)[email protected], 2)[email protected], 3)[email protected]

Abstract

This paper discusses the comparison of acid calculation required on carbonate matrix acidizing

between volumetric method and by considering the wormhole formation mechanism. Normally the standard

estimation of the required acid volume in carbonate rocks is based on volumetric method where the acid

will be distributed evenly to all direction in the targeted formation. However the real acid mechanism at

carbonate rock is affected by the creation of wormhole. This case study compares the amount of acid volume

to both scenarios. The result shows more optimistic result for volumetric method compared to the wormhole

influences.

Keyword: Matrix Acidizing, carbonate acidizing, volumetric method, wormhole

Abstrak

Paper ini membahas perbandingan perhitungan kebutuhan asam pada sebuah operasi acidizing

formasi karbonat secara volumetrik dan dengan mempertimbangkan mekanisme pembentukan wormhole.

Selama ini standar perhitungan kebutuhan volume acid pada batuan karbonat masih berdasarkan metode

volumetrik seperti normalnya pada batuan pasir. Dimana pada asumsi metode volumetrik rembesan asam

akan merata kesegala arah pada formasi target. Lain halnya pada karbonat, mekanisme rembesan asam

terdapat pembentukan wormhole. Studi kasus ini membandingkan jumlah volume asam terhadap kedua

skenario tersebut. Didapatkan, skenario volumetrik menghasilkan volume asam yang lebih optimis

dibandingkan pada pengaruh wormhole.

Kata kunci: Matrix acidizing, karbonat acidizing, metode volumetrik, wormhole

Nugraha, Massolo dan Wahyuni INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

126

PENDAHULUAN

Matrix acidizing adalah injeksi larutan asam

ke dalam formasi dengan tekanan injeksi di bawah

tekanan rekah formasi. Matrix acidizing bertujuan

untuk memperbaiki permeabilitas formasi di

daerah sekitar sumur. Pada reservoir batupasir

(sandstone), injeksi asam dilakukan untuk

melarutkan mineral-mineral dekat lubang sumur

sehingga permeabilitas yang rendah (skin) dapat

diperbaiki.

Operasi Acidizing pada reservoir karbonat

memiliki mekanisme yang berbeda dengan

acidizing pada reservoir batupasir. Pada acidizing

di reservoir karbonat terjadi reaksi kimia pada

matrix batuan yang membuat porositas dan

permeabilitas batuan meningkat dengan

terbentuknya wormhole. Wormhole adalah saluran

menyerupai rekahan yang konduktif untuk dilalui

fluida reservoir sebagai akibat reaksi asam dengan

batuan karbonat yang melampaui daerah formasi

yang mengalami kerusakan (penurunan

permeabilitas).

Desain operasi acidizing pada reservoir

karbonat seringkali hanya dengan menghitung

kebutuhan volumetrik asam berdasarkan besaran

volume reservoir yang akan distimulasi . Walaupun

pada operasi tersebut didapati kenaikan produksi

akibat perbaikan nilai skin, mekanisme

pembentukan wormhole perlu diperhatikan untuk

mendapatkan kebutuhan volume asam optimum

dan tekanan injeksi optimum yang dapat

meningkatkan efisiensi operasi acidizing di

reservoir karbonat.

Sebuah studi kasus dengan data lapangan

dan data sekunder dari literatur akan diolah untuk

melihat perbandingan kebutuhan volume asam

secara volumetrik dan dengan metode yang

memperhitungkan pembentukan wormhole.

METODE PENULISAN

Model Pembentukan Wormhole

Wormhole terbentuk akibat proses pelarutan

matrix karbonat yang efisien. Pada laju injeksi

optimum, pori-pori yang lebih besar akan meluas

lebih cepat dibandingkan pori-pori yang lebih

kecil. Pori-pori yang lebih besar mendapat bagian

asam lebih banyak pada proses acidizing, sehingga

panjang dan volumenya meningkat membentuk

wormhole. Wormhole akan terbentuk ketika reaksi

dibatasi oleh perpindahan massa, atau bila laju

perpindahan massa dan laju reaksi pada permukaan

bernilai sama. Kondisi tersebut disebut juga mixed

kinetics. Proses pembentukan wormhole

dipengaruhi oleh laju injeksi dan sifat fluida

dengan mineral yang meliputi kinetika reaksi, laju

perpindahan massa, geometri aliran, dan

kehilangan cairan (fluid loss). Terdapat beberapa

jenis struktur pelarutan pada pembentukan

wormhole yaitu pelarutan merata (face dissolution),

wormhole kerucut (conical wormhole), wormhole

dominan (dominant wormhole), wormhole

bercabang (ramified wormhole), dan pelarutan

seragam (uniform dissolution). Al-Harty dkk,

(2009) memperlihatkan bahwa struktur pelarutan

dipengaruhi oleh laju injeksi dan pore volume yang

ditembus wormhole.

Gambar 1. Pola Struktur Pembentukan Wormhole

Kondisi wormhole yang diinginkan adalah

wormhole dominan dimana pada kondisi ini laju

injeksi optimum memungkinkan asam disalurkan

ke ujung rekahan hingga panjang rekahan yang

diinginkan.

Akanni dan Nasr-El-Din (2015), telah

mengulas berbagai model pembentukan wormhole

untuk menentukan laju injeksi optimum. Mereka

merekomendasikan laju injeksi asam optimum

adalah pada kondisi maksimal yang

memungkinkan dilakukan di lapangan. Kondisi

maksimal yang memungkinkan di lapangan adalah

pada tekanan di bawah tekanan rekah formasi.

Maksimal laju injeksi pada sumur vertikal

(Economides dkk., 1994) :

Q��� = kh( − �)141.2� ��ln 0.472���� � + ��

(1)

Schecter dkk (2000), mengembangkan

persamaan untuk menghitung panjang penetrasi

wormhole dengan memperhatikan pengaruh

kehilangan fluida serta asumsi bahwa wormhole

sebagai fraktal. Untuk aliran radial :

Nugraha, Massolo dan Wahyuni INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

127

� !" − ��

!" = #$ % &2(1 − ')(ℎ *+�

�, -. (2)

Di mana NPe merupakan Peclet number yang

dihitung dari :

*+� = /0 ℎ (3)

Laju injeksi optimum, volume asam yang

dibutuhkan, dan panjang penetrasi akan

dibandingkan dengan hasil perhitungan volume

asam secara volumetrik zona skin yang dhitung

dengan persamaan :

%�123 = (4567 − 5�78'ℎ (4)

Studi Kasus

Operasi acidizing akan dilakukan pada

sebuah sumur vertikal dangkal dengan reservoir

karbonat limestone. Data-data sumur dapat dilihat

pada Tabel 1 sedangkan data-data operasi acidizing

terdapat pada Tabel 2. Aliran pada sumur ini

diasumsikan aliran radial seperti diilustrasikan

pada Gambar 2.

Tabel 1. Data Sumur

Data Sumur Simbol Nilai

Gradien Rekah pf 226.4 psi

Tekanan Reservoir

Permeabilitas

Porositas

Interval perforasi

Radius sumur

Radius pengurasan

Radius penetrasi

Viskositas minyak

p-

k

ϕ

h

rw

re

rd

µ

130.7 psi

7 md

0.2

12.73 ft

0.265 ft

250 ft

2.2 ft

3.1 cp

Tabel 2. Data Operasi Acidizing

Data Simbol Nilai

Jenis Asam - HCl 15%

Dissolving Power

Diffusivitas Asam

X

DA

0.082

7 x 10-9 m2/s

Gambar 2. Skema Aliran Radial dan Skin

Pertama-tama perlu dilakukan perhitungan

besarnya perbaikan skin yang diharapkan

berdasarkan panjang radius penetrasi wormhole

(sebagai radius skin yang ingin diperbaiki) dengan

asumsi permeabilitas pada zona stimulasi tidak

terbatas (Economides dan Nolte, 2000) :

� = − ln 9��1��

: (5)

Diperoleh skin perbaikan sebesar -2.11.

Harga skin 2.11 akan digunakan untuk menghitung

laju injeksi dengan persamaan (1). Qmax dari

perhitungan persamaan (1) divariasikan dengan

lamanya waktu injeksi dengan menggunakan

persamaan (2) dan (3) hingga diperoleh radius

penetrasi yang diharapkan (2.2 ft). Dari laju injeksi

dan waktu injeksi maka didapat volume asam yang

dibutuhkan. Volume asam ini merupakan volume

asam yang diperoleh dengan memperhatikan

pembentukan wormhole.

Hasil tersebut akan dibandingkan dengan

perhitungan volume asam konvensional di mana

volume asam yang diperlukan diasumsikan sebesar

volume zona skin yang akan diinjeksi asam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju Alir Optimum

Laju alir optimum diperoleh berdasarkan

laju alir maksimum sebelum mencapai tekanan

rekah formasi. Dari persamaan (1) :

Q��� = (7)(12.73)(226.4 − 130.7)141.2(3.1) =9ln 0.472(250)

(0.265) : + (2.11)?

Q��� = 2.37 bbld = 4.36 × 10�D E-/G

Nugraha, Massolo dan Wahyuni INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

128

Laju alir max sebagai laju alir optimum

digunakan untuk menghitung Peclet number pada

persamaan (3).

*+� = 4.36 × 10�D(7 × 10�D)(3.88) = 1.61 × 107

Parameter VA (volume asam) pada

persamaan (2) merupakan hasil kali laju alir dengan

lama waktu injeksi (VA = Q x t). Disini lama waktu

injeksi akan divariasikan hingga mendapat radius

penetrasi sebesar 2.2 ft (rA). Nilai nf dan b masing-

masing sebesar 1.67 dan 1.7 x 104 diperoleh dari

dimensi fractal dan percobaan pada berbagai laju

alir (Daccord, dkk., )

� ,.IJ − 0.8,.IJ =

(1.67)(1.7 × 10K) L(4.36 × 10�D)(M)N2(1 − 0.2)((3.88) (1.61 × 107)�,

-

Hasil perhitungan persamaan (2)

ditabulasikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Persamaan (2)

Parameter Simbol Nilai

Radius penetrasi rA 2.2 ft

Lama waktu injeksi

Volume Asam

t

VA

1.44 jam

0.14 bbl

Perhitungan Volume Asam Volumetrik

Dengan memasukkan data pada persamaan

(4) diperoleh :

%�123 = ((2.27 − 0.2657)(0.2)(12.73)= 8.71 $$O

Pembahasan

Perhitungan volume asam yang diperlukan

pada operasi acidizing tanpa memperhatikan

pembentukan wormhole akan mendapatkan hasil

yang jauh optimistis. Hal ini menyebabkan

penggunaan volume yang lebih banyak

dibandingkan volume asam yang optimum. Akan

tetapi, dengan tingginya ketidakpastian pada

reservoir karbonat terutama pada permeabilitas

yang dapat bervariasi seperti adanya vug atau

rekahan alami, maka perhitungan kebutuhan

volume asam berdasarkan volumetrik dapat

dilakukan dengan tingkat keberhasilan yang baik.

Laju injeksi asam berperan penting dalam

pembentukan struktur wormhole yang akan

terbentuk. Struktur wormhole dominan terbentuk

pada kondisi laju injeksi optimum. Walaupun pada

operasi di lapangan dibuat lebih tinggi daripada

laju injeksi optimum berdasarkan percobaan

coreflooding pada beberapa referensi. Sehingga

batasan tekanan rekah formasi dapat menjadi

parameter yang menentukan laju injeksi optimum

pada operasi acidizing di lapangan.

KESIMPULAN

Perhitungan kebutuhan volume asam secara

volumetrik akan menghasilkan volume asam yang

lebih optimis dibandingkan dengan metode yang

memperhatikan pembentukan wormhole.

Untuk operasi matrix acidizing di reservoir

karbonat direkomendasikan menggunakan laju

injeksi maksimal yang dapat dilakukan (dengan

memperhitungkan tekanan rekah formasi) untuk

mendapatkan struktur pembentukan wormhole

yang optimal yaitu wormhole dominan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Harty, S., Bustos, O.A., Samuel, M. et at.,

(2009), Option for High-Temperature Well

Stimulation. Oilfield Review, 20(4), pp. 52-

62

Akanni, O.O., and Nasr-El-Din, H.A., (2015), The

Accuracy of Carbonate Matrix-Acidizing

Models in Predicting Optimum Injection and

Wormhole Propagation Rates, SPE Middle

East Oil & Gas Show and Conference, SPE-

172575-MS.

Daccord, G. dkk. (1989). Carbonate Acidizing :

Toward a Quantitative Model of the

Wormholing Phenomenon. SPE Production

Engineering. pp. 63-68.

Economides, M.J., and Nolte, K.G., (2000),

Reservoir Stimulation, 3rd , John Wiley &

Sons Ltd, England.

Economides, M.J., Hill, A.D., Ehlig-Economides,

C. et al., (1994), Petroleum Production

System.

Schecter, S.R. (1992). Oil Well Stimulation.

Prentice-Hall, Inc. A Simon & Schuster

Company Englewood Cliffs. New Jersey.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

129

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI HUTAN

MANGROVE DAN BEKANTAN (NASALIS LARVATUS)

(KKMB) DI KOTA TARAKAN

Supardi

Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Universitas Papua

Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: [email protected]

Abstract

Mangrove and Bekantan (Nasalis larvatus) conservation areas (KKMB) in Tarakan City is a mangrove

city forest area that in the development stage sepecially for Bekantan population and mangrove ecosystem at

large. With an area of about 22 hectares and at least 11 protected animal species includes Bekantan, the KKMB

has become iconic tourism attraction. This not only of the rarity of the attraction but also because of this kind

of venue is the only one in the world. This research aimed to find out the management, the uniqueness and the

obstacles faced in managing KKMB. The methods used are interview, observation and literature study. The data

obtained are compiled, processed, and analyzed with descriptive qualitative analysis methods, by providing an

overview of the situation or events and phenomena in the field. From the study, we could understand that the

KKMB is manage by the Tarakan City Tourism Office. The retribution came from KKMB are deposited to the

Tarakan City Revenue Service. Furthermore, the uniqueness of KKMB that attracts tourists to visit due to its

strategic location in the middle of the urban area adjacent to the shopping centers, settlements, fishponds,

companies, and access roads / ports. Two main attraction of the KKMB are bekantan (proboscis mongkey)

endemic to Borneo and The red mangrove (Rhizophoraa Apiculata). Last, the problem faced by the management

of KKMB are no clear organizational structre and waste management that come from tides, domestic waste, and

visitors. Also in KKMB there is no clear organizational structure.

Keywords: KKMB, management, proboscis monkey and mangrove

Abstrak

Kawasan konservasi hutan mangrove dan Bekantan (Nasalis larvatus) (KKMB) di Kota Tarakan

merupakan kawasan hutan kota bakau yang masih dalam tahap pengembangan khususnya untuk populasi

Bekantan dan ekosistem mangrove secara keseluruhan. Dengan luas sekitar 22 hektar dan 11 spesies satwa

dilindungi, terutama Bekantan, KKMB ini menjadi ikon bagi pelancong mancanegara. KKMB merupakan hal

yang patut di diperbincangkan dan dilestarikan mengingat kawasan tersebut menjadi satu-satunya tempat di Kota

Tarakan yang letaknya dekat dengan pusat kota dan juga satu-satunya di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengelolaan, Keunikan KKMB dan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan KKMB. Metode yang

digunakan adalah wawancara, observasi dan studi pustaka. Data yang diperoleh disusun, diolah, dan dianalisis

dengan metode analisis deskriptif kualitatif, dengan memberikan gambaran mengenai situasi atau kejadian dan

fenomena-fenomena di lapangan. Pengelola dan penanggung jawab KKMB adalah Dinas Pariwisata Kota

Tarakan. Hasil restribusi pengunjung KKMB disetorkan seluruhnya ke Dinas Pendapatan Kota Tarakan.

Keunikan KKMB yang menjadi daya tarik masyarakat lokal dan wisatawan untuk berkunjung ke KKMB yaitu

letaknya yang sangat strategis karena berada di tengah kota berbatasan langsung dengan keramaian yakni: pusat

perbelanjaan, pemukiman, pertambakan, perusahaan, dan akses jalan/ pelabuhan. Selain itu di KKMB banyak

satwa yang dilindungi dan endemik, seperti bekantan (Nasalis larvatus) yang mempunyai hidung besar panjang

yang merupakan hewan endemik Kalimantan. Kemudian flora yang unik yang jarang ada di daerah lain seperti

mangrove bakau merah (Rhizophoraa Apiculata). Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan KKMB adalah

masalah kebersihan (sampah), terutama sampah yang berasal dari pasang surut air laut, pemukiman dan

pengunjung. Di KKMB juga belum ada struktur organisasi yang jelas.

Kata kunci: KKMB, pengelolaan, bekantan dan bakau

Supardi INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

130

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove

yang keragaman jenis yang tinggi. Terdapat sekitar

47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove.

Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau

vegetasi mangrove yang merupakan komunitas

pantai tropis.

Kawasan konservasi hutan mangrove dan

Bekantan (Nasalis larvatus) (KKMB) di Kota

Tarakan merupakan kawasan hutan kota bakau

yang masih dalam tahap pengembangan untuk

organisme yang masih bertahan hidup baik vegetasi

dan hewan yang jumlahnya telah jarang atau sedikit

ditemukan di daerah lain. Dengan luas sekitar 22

hektar, mampu menjadikan daya tarik tersendiri

bagi pengunjungnya. Kawasan konservasi hutan

mangrove dan bekantan (Nasalis larvatus)

(KKMB) merupakan hal yang patut di

diperbincangkan dan dilestarikan mengingat

kawasan tersebut menjadi satu-satunya tempat di

Kota Tarakan yang letaknya dekat dengan pusat

kota dan juga satu-satunya di dunia.

Keberadaan Hutan Mangrove /KKMB

memang tidak bisa dipandang sebelah mata .

Terasa sangat indah, nyaman dan asri. Bahkan,

hutan kota seluas 22 hektar itu sudah menjadi icon

Tarakan di mata pelancong mancanegara.

Pasalnya, di kawasan ini terdapat sedikitnya 11

spesies satwa dilindungi, terutama Bekantan

(Nasalis larvatus).

Penelitian ini bertujuan untuk Mengkaji

pengelolaan, Keunikan dan kendala yang dihadapi

di kawasan konservasi hutan mangrove dan

bekantan (Nasalis larvatus) (KKMB) di Kota

Tarakan.

METODE PENELITIAN

Metode yang dilakukan dalam beberapa

tahap:

Orentasi Lapangan

Dimaksudkan untuk melihat gambaran yang

jelas tentang situasi dan kondisi areal penelitian,

sehingga mempermudah pelaksanaan

pengumpulan data.

Membuat dan Menyusun Panduan Pertanyaan

Materi pertanyaan disusun berdasarkan situasi

lapangan dan kebutuhan sesuai dengan tujuan

penelitian.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara

wawancara langsung dengan para pihak yang

berkompeten dan pihak yang memiliki informasi

yang cukup tentang materi penelitian, antara lain

pihak dinas pariwisata Kota Tarakan dan pengelola

lapangan KKMB Kota Tarakan.

Pengolahan dan Analisis Data

Seluruh data yang terkumpul dirapikan, diperiksa,

dan diverivikasi sehingga data-data yang

terkumpul tidak kurang atau terlupakan untuk

kemudian dilakukan analisis.

Penyusunan Laporan

Seluruh data yang diperoleh dari lapangan diolah

dan dianalisis selanjutnya penelitian disusun

menjadi Karya Ilmiah dengan bimbingan Dosen

pembimbing.

Kemudian seluruh data yang diperoleh

disusun, diolah, dan dianalisis dengan metode

analisis deskriptif kualitatif, dengan memberikan

gambaran mengenai situasi atau kejadian dan

fenomena-fenomena di lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kota Tarakan merupakan Kota

Persinggahan/transit, Kota Jasa, dan Kota

perdagangan di Kalimantan Utara. Di Kota

Tarakan terdapat Pelabuhan laut, kapal fery, dan

bandara internasional. Sebagai kota dengan kondisi

strategis seperti itu Kota Tarakan perlu

meningkatkan dan mengembangkan potensi-

potensi wisata yang ada. Usaha pemerintah untuk

mendirikan kawasan hutan mangrove dan bekantan

(Nasalis larvatus) (KKMB) merupakan ide yang

baik, karena dapat memanjakan masyarakat yang

singgah di Kota Tarakan.

Kawasan hutan mangrove yang terdapat

dipinggir laut tepat di jantung/pusat Kota Tarakan,

merupakan salah satu potensi wisata yang dapat

diunggulkan. Pemerintah Kota Tarakan melalui

Dinas Pariwisata Kota Tarakan mengembangkan

Kawasan hutan mangrove tersebut dengan

diterbitkannya keputusan walikota Tarakan No.

591/HK-V/257/2001 tentang pemanfaatan hutan

mangrove Kota Tarakan dan Perda No. 04 tahun

2002 tentang larangan dan pengawasan hutan

mangrove di Kota Tarakan.

Tujuan didirikanya KKMB tersebut adalah

melestarikan hutan mangrove yang berfungsi

sebagai pelindung pantai, abrasi, gelombang tinggi

dan angin kencang. Selain itu KKMB juga

melestarikan fauna langka bekantan (Nasalis

larvatus) yang jumlahnya dari tahun ke tahun

semakin bertambah, KKMB juga berkembang

menjadi kawasan ekowisata dengan berbagai

macam kegiatan dan kegunaan. Saat ini KKMB

menjadi salah satu objek wisata unggulan dan

menjadi icon ekowisata Kota Tarakan.

Supardi INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

131

Guna menunjang optimalisasi fungsi dan

pelayanan kepada pengunjung KKMB, ditata

sedemikian rupa dan fasilitas-fasilitas penunjang

keamanan dan kenyamanan pengunjung dilengkapi

beberapa fasilitas tersebut yaitu :

1. Gazebo, sebagai tempat santai sambil

menikmati keindahan dan kesejukan KKMB.

Namun dari jumlah yang tersedia, dirasa masih

kurang sehingga perlu ditambah lagi karena

banyak pengunjung yang datang ke KKMB,

terutama pada hari-hari libur dimana

pengunjung yang datang dengan kerabat, teman,

dan keluarga membawa makanan dan minuman.

2. Taman bacaan, ditaman bacaan ini tersedia

buku-buku bacaan terutama yang berhubungan

dengan ekowisata, KKMB, dan Kota Tarakan.

Namun jumlah buku-buku yang tersedia masih

terbatas, padahal taman bacaan ini menjadi

salah satu tempat favorit mahasiswa dan peneliti

untuk mecari referensi dan informasi terutama

yang terkait dengan hutan dan ekowisata.

3. Toilet umum, keberadaan toilet umum di

KKMB sudah cukup memadai dan berada pada

posisi yang mudah diakses pengunjung.

4. Jembatan kayu ulin, pembangunan jembatan

kayu ulin dimaksudkan sebagai jalan bagi

pengunjung menjejahi KKMB. Jembatan

dengan ukuran panjang 2.400 meter dan lebar 2

meter ini semakin mempercantik KKMB.

5. Kursi pengunjung, sudah cukup banyak tersedia

dan posisinya cukup menyebar di KKMB.

Keberadaan kursi-kursi untuk bersantai ini

semakin memanjakan pengunjung.

6. Kantin, letaknya berada didekat pintu masuk

dan belakang KKMB, kantin ini menjual

berbagai makanan dan minuman ringan.

7. Karantina pemeriksaan hewan, dengan adanya

tempat ini, satwa yang ada dapat terpelihara

dengan baik.

8. Tower, disediakan untuk pengunjung yang

ingin melihat dan menikmati keindahan

KKMB, pesisir laut, berbagai sudut kota tarakan

dari atas ketinggian.

9. Tempat sampah, sudah cukup banyak dan

posisinya baik.

Dinas pariwisata sebagai pengelola dan

penangung jawab KKMB, menarik retribusi bagi

pengunjung. Tarif yang diberlakukan bagi

pengunjung lokal dan turis berbeda, dimana untuk

turis dikenakan biaya sebesar Rp 5000/org,

pengunjung lokal dewasa 3000/org, dan anak-anak

2000/org. Hasil restribusi pengunjung KKMB

disetorkan 100% ke Dinas Pendapatan Kota

Tarakan. Kemudian dana tersebut digunakan lagi

untuk mengelola KKMB. Jumlah rata-rata

pengunjung pada hari kerja 30 orang/hari dan hari

libur 250 orang/hari.

Jumlah petugas yang ada saat ini 19 orang,

terbagi atas koordinator lapangan, petugas

kebersihan, petugas keamanan. Petugas kebersihan

dan petugas keamanan jumlahnya masih sangat

kurang mengingat KKMB yang cukup luas.

Petugas kebersihan perlu di tempatkan lebih

banyak di daerah pasang surut air laut/ pinggir laut.

Karena sampah seperti plastik yang merupakan

sampah domestik yang dibuang ke laut banyak

yang masuk melalui laut ke kawasan KKMB, selain

itu petugas kebersihan perlu memasang dan

mengontrol jaring pencegah masuknya sampah.

Jumlah petugas keamanan yang hanya terdiri

dari 4 orang harus menjadi perhatian pihak

pengelola, jumlah ini masih sangat kurang.

Mengingat luasnya KKMB dan banyaknya

pengunjung terutama pada hari libur. Pos-pos

keamanan sebaiknya dibangun dan ditempatkan

pada tempat-tempat strategis dan rawan di dalam

KKMB, untuk keamanan pengunjung terutama

terhadap antisipasi serangan hewan bekantan

(Nasalis larvatus), monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis), dan tindak kejahatan lain di dalam

KKMB. Di KKMB juga belum ada struktur

organisasi yang jelas, sehingga tugas masing-

masing tidak teratur atau manajemennya tidak baik

maka dari itu Di KKMB perlu pembentukan

sruktur organisasi sehingga pengelolaan dapat

berjalan dengan baik.

Banyak keunikan KKMB yang menjadi daya

tarik masyarakat lokal dan wisatawan untuk

berkunjung ke KKMB. Letaknya yang sangat

strategis karena berada di tengah kota berbatasan

langsung dengan keramaian yakni: pusat

perbelanjaan, pemukiman, pertambakan,

perusahaan, dan akses jalan/ pelabuhan. Akses ke

KKMB juga sangat dekat bila dari bandara hanya

menempuh perjalanan 15 menit menggunakan taxi.

Di KKMB banyak satwa yang dilindungi dan

endemik, misalnya bekantan yang mempunyai

hidung besar panjang yang merupakan hewan

endemik Kalimantan dan flora yang unik yang

tidak ada di daerah lain.

Hutan mangrove yang terhampar di KKMB

juga memiliki fungsi yang sangat penting baik

secara ekologi maupun sosial ekonomi bagi

masyarakat Kota Tarakan, yaitu:

Supardi INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

132

1. Pelindung pantai dari abrasi, angin topan, badai,

gempuran gelombang dan perembesan air laut

di sekitarnya.

2. Mempercepat perluasan pantai karena

terjadinya pengendapan lumpur dan perangkap

sedimen.

3. Daerah pembesaran, mencari makan yang

berasal dari serasah mangrove, dan daerah

pemijahan untuk berbagai jenis ikan, udang, dan

biota laut lainnya.

4. Tempat berlindung dan berkembang berbagai

jenis fauna seperti burung, mamalia, bekantan,

kera ekor panjang, serangga, dan lain-lain.

5. Pengatur suhu, penghasil oksigen, dan lain

sebagainya.

6. Sebagai tempat penelitian dan pendidikan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian pengelolaan

kawasan konservasi hutan mangrove dan bekantan

(Nasalis larvatus) (KKMB) di Kota Tarakan dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengelola dan penanggung jawab KKMB

adalah Dinas Pariwisata Kota Tarakan. Hasil

restribusi pengunjung KKMB disetorkan

seluruhnya ke dinas pendapatan Kota Tarakan.

2. Fasilitas-fasilitas penunjang yang ada di KKMB

antara lain: gazebo, taman bacaan, jembatan

kayu ulin, toilet, kursi pengunjung, kantin,

tower, dan tempat sampah.

3. Keunikan KKMB yang menjadi daya tarik

masyarakat lokal dan wisatawan untuk

berkunjung ke KKMB adalah Letaknya yang

sangat strategis karena berada di tengah kota

berbatasan langsung dengan keramaian yakni:

pusat perbelanjaan, pemukiman, pertambakan,

perusahaan, dan akses jalan/ pelabuhan. Selain

itu Di KKMB banyak satwa yang dilindungi dan

endemik, misalnya bekantan (Nasalis larvatus)

yang mempunyai hidung besar panjang yang

merupakan hewan endemik Kalimantan.

Kemudian flora yang unik yang tidak ada di

daerah lain.

4. Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan

KKMB adalah masalah kebersihan (sampah),

terutama sampah yang berasal dari pasang surut

air laut, pemukiman dan pengunjung. Di KKMB

juga belum ada struktur organisasi yang jelas

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Perkembangan Luas Hutan

Mangrove Kota Tarakan Pemetaan Tahun

2001.

Dahlan, E. N. 2002. Hutan Kota: Untuk

Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas

Lingkungan Hidup. Departemen Kehutanan

Republik Indonesia. http://www.w3.org/

TR/REC-html40.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tarakan. 2009.

Perkembangan Luas Hutan Mangrove Kota

Tarakan.

Dinas Lingkungan Hidup & SDA Kota Tarakan.

2007. Pesona KKMB di Tarakan,

Kalimantan timur

Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan

Keanekaragaman Hayati, Badan

Pengendalian Dampak Lingkungan, 2010.

Fandeli C. Mukhlison, 2000. Pengusahaan

Ekowisata. Fakultas Kehutanan Univ.

Gadjah Mada Yogyakarta.

Hamdan. 2012. Kawasan Konservasi Hutan

Mangrove dan Bekantan.

Kusmana, C. 2002. Rencana Rehabilitasi Hutan

Mangrove dan Hutan Pantai Pasca Tsunami

di NAD dan Nias. Makalah dalam Lokakarya

Hutan Mangrove Pasca sunami, Medan,

April 2005.

Napitu JP. 2007. Pengelolaan Kawasan

Konservasi.

Noor, Y.R. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove

di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.

Nybakken, j.w. 1992. Biologi Laut Suatu

Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa oleh D.G.

Bengen. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta, Indoneisa.

.Sibarani, J. P. 2003. Potensi Kampus Universitas

Sumatera Utara Sebagai Salah Satu Hutan

Kota di Kota Medan. Fakultas Pertanian

Program Studi Budidaya Hutan, Universitas

Sumatera Utara.

Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2002.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota.

Jakarta : Dephut RI. Pasal 1, ayat 1. Pasal 3.

Perda RTRW Kota Tarakan No. 03 Tahun 2006.

Perkembangan Luas Hutan Mangrove Kota

Tarakan

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

133

EVALUASI PRODUKSI STAGGERED CREW

DI TAMBANG BAWAH TANAH DEEP ORE ZONE

PT. FREEPORT INDONESIA

Gianfranco Enrico Pocerattu1), Yulius Ganti Pangkung2)

Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Universitas Papua

Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: [email protected]

Abstract

To increased the production, the Deep Ore Zone (DOZ) mining department has a concept of

implementing a staggered crew. Staggered crew is a crew formed specifically to support production

activities. To assess the performance of the application of the staggered crew, an evaluation of the factors

that influence production activities is carried out. Factors that subject to evaluation are working time,

number of operators and production capability. The results of evaluating work time (optimum efficiency)

for crew I, II, and III showed as follow 29%, 30%, and 28% respectedly. Very low efficiency is due to time

constraints in operation, which are affected by delay time, idle time and maintenance time. Average

productive work time (work) is 3.26 hours/day, delay time is 3.26 hours/day, idle time is 4.03 hours/day

and maintenance time is 0.53 hours/day. Idle time is the highest time of these four parameters. The results

also showed that there were differences in the number of distribution operators, namely crew I numbered

16 people, crew II numbered 12 people and crew III numbered 15 people. But the number of operators on

each crew is still sufficient to support production activities. The average production is 62.14 tons/hour and

4,784.78 tons/day. So with a production of 62.14 tons/hour and working time of 11 hours/day, it takes a

minimum of 8 dump truck operators to reach a value of 5,468.32 tons/day.

Keywords: Production, Staggered Crew, Working Time.

Abstrak

Dalam peningkatan produksi, departemen tambang Deep Ore Zone (DOZ) mempunyai konsep

dengan mengimplementasikan staggered crew. Staggered crew merupakan kru yang dibentuk khusus untuk

menunjang kegiatan produksi. Untuk menilai kinerja dari penerapan staggered crew, maka dilakukan

evaluasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan produksi. Faktor-faktor yang menjadi

bahan evaluasi adalah waktu kerja, jumlah operator dan kemampuan produksi. Hasil evaluasi waktu kerja

(efisiensi optimum) untuk crew I adalah 29%, crew II adalah 30% dan crew III adalah 28%. Efisiensi yang

sangat rendah disebabkan karena adanya waktu hambatan dalam operasi, yang dipengaruhi oleh waktu

tunda, waktu terhenti dan waktu perawatan. Waktu kerja produktif rata-rata (work) adalah sebesar 3,26

jam/hari, waktu delay sebesar 3,26 jam/hari, waktu idle sebesar 4,03 jam/hari dan waktu maintenance

sebesar 0,53 jam/hari. Waktu idle merupakan waktu tertinggi dari keempat parameter ini. Hasil juga

menunjukan bahwa adanya perbedaan jumlah distribusi operator, yaitu crew I berjumlah 16 orang, crew II

berjumlah 12 orang dan crew III berjumlah 15 orang. Namun jumlah operator pada tiap crew masih cukup

untuk menunjang kegiatan produksi. Produksi rata-rata adalah sebesar 62,14 ton/jam dan 4.784,78 ton/hari.

Sehingga dengan produksi 62,14 ton/jam dan waktu kerja 11 jam/hari, dibutuhkan minimal 8 orang operator

dump truck untuk mencapai nilai 5.468,32 ton/hari.

Kata Kunci: Produksi, Staggered Crew, Waktu Kerja.

Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

134

PENDAHULUAN

Area tambang DOZ saat ini merupakan area

tambang yang aktif dalam melakukan kegiatan

produksi. Kegiatan produksi dilakukan dengan

sistem kerja menjadi dua shift kerja per hari.

Namun pada prakteknya, semua waktu dari shift

kerja tidak dipakai sepenuhnya untuk kegiatan

produksi. Hal ini disebabkan karena sebagian

waktu tersebut dipakai untuk persiapan menjelang

produksi (awal shift) dan persiapan menjelang

akhir produksi (akhir shift). Kegiatan menjelang

produksi berupa persiapan para karyawan dari

tempat tinggal menuju ke area tambang, pengisian

absensi, pembagian tugas (line-up) dan safety

meeting. Penggunaan waktu selain untuk kegiatan

produksi adalah pada saat waktu pergantian shift

(shift change) dan waktu makan serta istirahat

(meal & break). Pada pergantian shift terdapat jeda

waktu operasional, dimana operator reguler yang

telah selesai bekerja akan digantikan oleh operator

pada shift berikutnya. Begitu juga pada saat makan

dan istirahat, terdapat jeda waktu dikarenakan tidak

ada operator yang melakukan kegiatan produksi.

Bertolak dari kondisi ini, departemen tambang

DOZ melihat adanya kesempatan (opportunity)

untuk tetap melakukan kegiatan produksi secara

kontinu dengan cara implementasi staggered crew.

Staggered crew adalah kru yang dibentuk khusus

dengan penempatan waktu kerja berbeda namun

memiliki jumlah waktu kerja yang sama dengan

waktu kerja kru regular dengan tujuan untuk

meningkatkan waktu kerja efektif, menunjang

kegiatan produksi (production support) dan

melakukan proyek lainnya (special project).

Departemen tambang bawah tanah DOZ

telah mengimplementasikan staggered crew sejak

bulan September 2018. Dalam pengoperasian

staggered crew, bukan hal yang pasti proses

produksinya akan berjalan dengan lancar. Ada

faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap

kegiatan produksi yang dilakukan. Berdasarkan

latar belakang pemikiran inilah sehingga perlu

dilakukan evaluasi tentang implementasi

pengoperasian staggered crew pada area tambang

DOZ di PT. Freeport Indonesia.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode

deskriptif adalah metode yang digunakan untuk

mencari unsur-unsur, ciri-ciri, sifat-sifat suatu

fenomena. Jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian kuantitatif. Menurut Kasiram

(2008:149), penelitian kuantitatif adalah suatu

proses menemukan pengetahuan yang

menggunakan data berupa angka sebagai alat

menganalisis keterangan mengenai hal yang ingin

diketahui.

Penelitian dilakukan berlangsung selama ± 6

bulan, yaitu pada bulan Januari sampai Juni 2019.

Sedangkan waktu pengambilan data dilakukan

selama ± 1 bulan, yaitu pada bulan Januari 2019.

Lokasi tempat penelitian adalah level truck haulage

pada area tambang Deep Ore Zone PT. Freeport

Indonesia yang berlokasi di dataran tinggi

Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan

tiga variabel yaitu jarak angkut sebagai variabel

bebas, cycle time dump truck sebagai variabel

terikat dan waktu kerja dan jumlah operator sebagai

variabel dinamis.

DASAR TEORI

Waktu Siklus (Cycle Time)

Waktu siklus (cycle time) merupakan waktu

yang digunakan oleh alat untuk melakukan satu

siklus atau kegiatan inti dalam kegiatan operasi

produksi yang dilakukan. Pada penelitian ini

menulis mengamati waktu siklus dari alat angkut

yaitu dump truck.

Adapun waktu siklus dari dump truck adalah

waktu memuat material (loading time), waktu

angkut bermuatan (tramming full), waktu manuver

I (mengambil posisi untuk menumpah material),

waktu dumping (dumping time atau penumpahan

material), waktu kembali kosong (tramming

empty) dan waktu manuver II (mengambil posisi

untuk dimuati). Cycle time ideal alat dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan berikut:

CT = TL + TTF + TD + TTE + TM (1)

Dimana CT adalah cycle time alat, TL adalah

waktu pemuatan (time of loading), TTF adalah

waktu angkut bermuatan (time of tramming full),

TD adalah waktu untuk menumpahkan material

(time of dumping), TTE adalah waktu kembali

kosong (time of tramming empty) dan TM adalah

waktu manuver.

Efisiensi Kerja

Efisiensi kerja adalah perbandingan antara

waktu produktif dengan waktu kerja yang tersedia.

Hal ini merujuk kepada seberapa efisien waktu

yang digunakan dari waktu yang tersedia untuk

melakukan kegiatan operasional.

Untuk melakukan penelitian terhadap

efisiensi dan keadaan alat mekanis, perlu dilakukan

kajian terhadap masing-masing komponen berikut:

Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

135

1. Effectiveness

E = W

O×100% (2)

2. Physical/Mechanical Availability

PA = A

S×100% (3)

3. Utility

U = O

A×100% (4)

4. Optimum Efficiency

EO = W

S×100% (5)

Effectiveness merupakan waktu kerja efektif

yang digunakan alat untuk beroperasi (kinerja

operator). Physical Availability merupakan ukuran

keadaan fisik dari alat yang digunakan (baik

tidaknya alat untuk beroperasi). Utility menunjukan

persentase waktu yang dipergunakan oleh suatu

alat untuk beroperasi pada saat alat tersebut

digunakan (available) atau seberapa efektif alat

dimanfaatkan dalam keadaan tidak rusak.

Optimum Efficiency menunjukan persentase dari

seluruh waktu kerja yang tersedia dapat

dipergunakan untuk kerja produktif (efisiensi

kerja).

Estimasi Produksi Alat

Pada penelitian yang hendak dilakukan ini

penulis menghitung kemampuan produksi dari alat

mekanis dump truck yang merupakan objek

penelitian dengan menggunakan formula berikut

(Andi Tenrisukki Tenriajeng, 2003):

P = C x 60 x FK

CT (6)

Dimana produksi (P) adalah kemampuan alat

(ton/jam), C adalah kapasitas vessel (m3 atau ton)

bila menggunakan payload = ton, maka harus

dikalikan dengan densitas material (ton/m3), FK

adalah faktor koreksi yang dipengaruhi oleh

efisiensi operator, ketersediaan mesin dan efisiensi

operasi, CT (cycle time) adalah waktu siklus dari

alat dalam satu siklus (menit), 60 adalah faktor

konversi waktu ke jam dan digunakan sebagai

pembagi waktu untuk mengetahui jumlah trip dump

truck per jam.

Regresi Linear

Regresi linier adalah metode statistika yang

digunakan untuk membentuk model hubungan

antara variabel terikat (dependen; respon; Y)

dengan satu atau lebih variabel bebas (independen,

prediktor, X).

Analisis regresi setidak-tidaknya memiliki 3

kegunaan, yaitu untuk tujuan deskripsi dari

fenomena data atau kasus yang sedang diteliti,

untuk tujuan kontrol, serta untuk tujuan prediksi.

Persamaan regresi linier dari Y terhadap X

dirumuskan sebagai berikut:

Y = a + bX (7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Waktu Kerja Staggered Crew

Pengambilan data kerja dilakukan untuk

mlihat kesesuaian antara waktu kerja aktual

dilapangan dengan waktu kerja yang telah

ditetapkan oleh perusahaan. Data waktu kerja yang

diambil ada dua, yaitu data primer berupa data kerja

aktual staggered crew 1, 2 dan 3. Data sekunder

berupa data waktu kerja dalam rencana

implementasi staggered crew.

Tabel 1. Waktu Kerja Rencana Staggered Crew

Aktivitas Durasi (Menit/Hari)

Safety Meeting + Line

Up/Preparation 20

Makan dan Istirahat 60

Waktu Kerja 540

Persiapan dan Check Out 20

Total 640

Tabel 2. Waktu Kerja Aktual Staggered Crew

Aktivitas

Durasi (Menit/Hari)

Crew

I

Crew

II

Crew

III

Safety Meeting +

Line Up/Preparation 45 45 45

Makan dan Istirahat 60 90 120

Waktu Kerja 540 510 480

Persiapan dan

Check Out 20 20 20

Total 665 665 665

Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

136

Waktu kerja aktual dari staggered crew

adalah 665 menit/hari (11,08 jam/hari => 11

jam/hari).

Tabel 3. Parameter Waktu Aktual

Tanggal

Durasi (Jam/Hari)

Delay

(D)

Idle

(I)

Work

(W)

Maintenance

(M)

05/10/2019 2,98 4,12 3,65 0,33

06/10/2019 2,00 5,20 3,11 0,77

07/10/2019 3,16 4,65 2,71 0,57

08/10/2019 5,93 3,43 1,72 0,00

09/10/2019 2,71 4,15 3,79 0,43

10/10/2019 2,80 3,32 4,44 0,53

11/10/2019 2,70 4,65 3,73 0,00

12/10/2019 1,40 4,03 2,52 3,13

13/10/2019 3,59 4,67 2,27 0,55

14/10/2019 4,70 3,37 3,02 0,00

15/10/2019 3,65 3,27 4,17 0,00

17/10/2019 3,55 3,52 3,95 0,07

Rata-Rata 3,26 4,03 3,26 0,53

Jumlah Operator dan Pembagian Line-Up

Pengambilan data ini dilakukan untuk

melihat rencana perusahaan dalam penugasan

operator (man power) dan penugasan operator pada

keadaan aktual. Pengamatan dilakukan dengan

mengamati jumlah operator dump truck yang

bertugas pada tiap staggered crew.

Tabel 4. Rencana Penugasan Staggered Crew Truck

Operator

Chutte Puller

(LP)

Additional

Tons/Day

4 2 2.000

5 3 3.500

6 4 5.000

8 5 7.500 Assumption Truck Productivity = 200 tons/hour

Target utama dalam penerapan staggered crew

adalah pencapaian produksi 5.000 ton/hari, dengan

menugaskan 6 orang operator truck dan 4 orang operator

LP.

Tabel 5. Pembagian Line-Up Aktual

Tanggal Crew Operator Dump Truck

(Orang)

03 Januari 2019

III

7

04 Januari 2019 7

05 Januari 2019 7

06 Januari 2019 7

07 Januari 2019 7

08 Januari 2019

I

7

09 Januari 2019 7

10 Januari 2019 6

Tanggal Crew Operator Dump Truck

(Orang)

11 Januari 2019 7

12 Januari 2019 7

13 Januari 2019

II

8

14 Januari 2019 8

15 Januari 2019 7

16 Januari 2019 8

17 Januari 2019 7

Rata-Rata 7,2 = 7

Estimasi Produksi

Perhitungan produksi dilakukan setelah

parameter dalam perhitungan terpenuhi. Parameter

tersebut adalah cycle time, faktor koreksi dan

payload faktor. Perhitungan produksi dilakukan

dengan nilai perkiraan. Artinya, satu nilai waktu

siklus yang telah dihitung, akan diasumsikan

berlaku untuk kegiatan di tiap loading point (LP).

Kemudian dari hasil perhitungan akan dicari nilai

produksi rata-rata.

Sebelum melakukan estimasi produksi ada

beberapa tahap yang dilakukan yaitu:

1. Pengukuran Jarak Angkut Pada Peta

2. Estimasi Waktu Loading, Dumping, Manuver I

dan II

3. Plot Data Jarak Angkut dan Tramming Time

Pada Scatter Diagram

4. Estimasi Cycle Time (CT) Rata-Rata

5. Estimasi Faktor Koreksi

6. Estimasi Produksi

Pengukuran Jarak Angkut Pada Peta

Pengukuran jarak angkut tidak dilakukan

langsung pada area penelitian namun dilakukan

pada level truck haulage dengan menggunakan

software Autocad 2016. Jarak angkut diukur

berdasarkan dua rute pengangkutan, yaitu menuju

crusher 1 dan 2.

Tabel 6. Jarak Angkut dari Tiap LP ke Crusher

No. Loading

Point

Jarak Angkut (meter)

Crusher 1 Crusher 2

1 LP07 2.158 2.153

2 LP06 2.136 2.132

3 LP05 2.130 2.125

4 LP04 2.111 2.105

5 LP03 2.122 2.117

6 LP02 2.123 2.118

7 LP01 2.119 2.114

8 LP1A 2.125 2.120

9 LP1B 2.136 2.130

10 LP1C 2.140 2.134

11 LP1D 2.132 2.127

12 LP1E 2.129 2.123

13 LP1F 2.124 2.119

Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

137

No. Loading

Point

Jarak Angkut (meter)

Crusher 1 Crusher 2

14 LP1G 2.124 2.119

15 LP1H 2.122 2.117

16 LP1I 2.118 2.113

17 LP1J 2.122 2.117

18 LP1K 2.130 2.125

19 LP05S 1.765 1.684

20 LP04S 1.759 1.677

21 LP03S 1.772 1.690

22 LP02S 1.760 1.678

23 LP01S 1.757 1.675

24 LP1AS 1.755 1.673

25 LP1BS 1.756 1.675

26 LP1CS 1.760 1.678

27 LP1DS 1.759 1.677

28 LP1ES 1.758 1.677

29 LP1FS 1.762 1.670

30 LP1GS 1.761 1.680

31 LP1HS 1.750 1.669

32 LP1IS 1.756 1.674

33 LP1JS 1.765 1.682

Estimasi Waktu Loading, Dumping dan Manuver

Estimasi waktu ini dilakukan dengan

mencari nilai rata-rata masing-masing waktu dalam

siklus dari data aktual hasil pengukuran. Waktu

rata-rata akan dipakai untuk mewakili setiap

kegiatan loading, dumping dan manuver disetiap

LP.

Tabel 7. Waktu Loading, Dumping dan Manuver

No. Siklus Waktu

(Detik) (Menit)

1 Loading 54,489 0,908

2 Dumping 37,095 0,618

3 Manuver I 14,674 0,245

4 Manuver II 48,953 0,816

Plot Data Jarak Angkut dan Tramming Time Pada

Scatter Diagram

Plot data jarak angkut dan tramming time

(waktu angkut) dilakukan dengan menggunakan

metode statistika regresi linear. Penggunaan

metode ini bertujuan untuk mencari nilai rata-rata

dari tramming time tiap LP ke crusher. Pengolahan

data dilakukan dengan menggunakan software

IBM SPSS Statistics 23. Hasil pengolahan data

akan muncul dalam bentuk scatter diagram. Data

yang digunakan adalah jarak angkut (sumbu X) dan

tramming time (sumbu Y). Berikut adalah scatter

diagram hasil sebaran data tramming time aktual

dengan jarak angkut pada tiap LP menuju ke

crusher. Pada persamaan didapatkan nilai a

(intersept) = 1,27 dan b (slope) = 0,0046.

Gambar 1. Scatter Diagram Model Jarak Angkut

dan Tramming Time

Setelah mendapat persamaan regresi dari

scatter diagram, kemudian dihitung nilai CT rata-

rata dari tiap LP. Perhitungan CT dilakukan dengan

cara mendistribusikan kembali data jarak angkut

dan tramming time dari data aktual pada persamaan

(7).

Tabel 8. Tramming Time Pada Crusher 1

LP Crusher

Jarak

(m)

X

a b

Y = a + bX

Tramming

(Menit)

LP07 1 2.158 1,27 0,0046 11,198

LP06 1 2.136 1,27 0,0046 11,096

LP05 1 2.130 1,27 0,0046 11,070

LP04 1 2.111 1,27 0,0046 10,979

LP03 1 2.122 1,27 0,0046 11,033

LP02 1 2.123 1,27 0,0046 11,035

LP01 1 2.119 1,27 0,0046 11,018

LP1A 1 2.125 1,27 0,0046 11,047

LP1B 1 2.136 1,27 0,0046 11,094

LP1C 1 2.140 1,27 0,0046 11,112

LP1D 1 2.132 1,27 0,0046 11,077

LP1E 1 2.129 1,27 0,0046 11,062

LP1F 1 2.124 1,27 0,0046 11,040

LP1G 1 2.124 1,27 0,0046 11,042

LP1H 1 2.122 1,27 0,0046 11,033

LP1I 1 2.118 1,27 0,0046 11,012

LP1J 1 2.122 1,27 0,0046 11,031

LP1K 1 2.130 1,27 0,0046 11,067

LP05S 1 1.765 1,27 0,0046 9,391

LP04S 1 1.759 1,27 0,0046 9,360

LP03S 1 1.772 1,27 0,0046 9,419

LP02S 1 1.760 1,27 0,0046 9,365

LP01S 1 1.757 1,27 0,0046 9,352

Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

138

LP Crusher

Jarak

(m)

X

a b

Y = a + bX

Tramming

(Menit)

LP1AS 1 1.755 1,27 0,0046 9,341

LP1BS 1 1.756 1,27 0,0046 9,350

LP1CS 1 1.760 1,27 0,0046 9,364

LP1DS 1 1.759 1,27 0,0046 9,360

LP1ES 1 1.758 1,27 0,0046 9,355

LP1FS 1 1.762 1,27 0,0046 9,375

LP1GS 1 1.761 1,27 0,0046 9,372

LP1HS 1 1.750 1,27 0,0046 9,322

LP1IS 1 1.756 1,27 0,0046 9,348

LP1JS 1 1.765 1,27 0,0046 9,387

Tabel 9. Tramming Time Pada Crusher 2

LP Crusher

Jarak

(m)

X

a b

Y = a + bX

Tramming

(Menit)

LP07 2 2.153 1,27 0,0046 11,174

LP06 2 2.132 1,27 0,0046 11,077

LP05 2 2.125 1,27 0,0046 11,045

LP04 2 2.105 1,27 0,0046 10,954

LP03 2 2.117 1,27 0,0046 11,009

LP02 2 2.118 1,27 0,0046 11,011

LP01 2 2.114 1,27 0,0046 10,993

LP1A 2 2.120 1,27 0,0046 11,024

LP1B 2 2.130 1,27 0,0046 11,070

LP1C 2 2.134 1,27 0,0046 11,087

LP1D 2 2.127 1,27 0,0046 11,052

LP1E 2 2.123 1,27 0,0046 11,037

LP1F 2 2.119 1,27 0,0046 11,016

LP1G 2 2.119 1,27 0,0046 11,017

LP1H 2 2.117 1,27 0,0046 11,009

LP1I 2 2.113 1,27 0,0046 10,988

LP1J 2 2.117 1,27 0,0046 11,007

LP1K 2 2.125 1,27 0,0046 11,043

LP05S 2 1.684 1,27 0,0046 9,015

LP04S 2 1.677 1,27 0,0046 8,985

LP03S 2 1.690 1,27 0,0046 9,045

LP02S 2 1.678 1,27 0,0046 8,991

LP01S 2 1.675 1,27 0,0046 8,977

LP1AS 2 1.673 1,27 0,0046 8,967

LP1BS 2 1.675 1,27 0,0046 8,975

LP1CS 2 1.678 1,27 0,0046 8,989

LP1DS 2 1.677 1,27 0,0046 8,984

LP1ES 2 1.677 1,27 0,0046 8,983

LP1FS 2 1.670 1,27 0,0046 8,951

LP1GS 2 1.680 1,27 0,0046 8,998

LP1HS 2 1.669 1,27 0,0046 8,947

LP1IS 2 1.674 1,27 0,0046 8,973

LP1JS 2 1.682 1,27 0,0046 9,007

Estimasi Cycle Time (CT) Rata-Rata

Perhitungan CT rata-rata dilakukan dengan

mengakumulasikan nilai waktu loading, tramming,

manuver I, dumping dan manuver II untuk setiap

loading point menuju ke crusher 1 dan 2.

Kemudian dihitung nilai CT rata-rata akumulasi

crusher 1 dan 2.

Tabel 10. Cycle Time Tiap LP ke Crusher 1

LP Loading

(menit)

Tramming

(menit)

Manuver

I

(menit)

Dumping

(menit)

Manuver

II

(menit)

Total

CT

LP07 0,908 11,198 0,245 0,618 0,816 13,785

LP06 0,908 11,096 0,245 0,618 0,816 13,683

LP05 0,908 11,070 0,245 0,618 0,816 13,657

LP04 0,908 10,979 0,245 0,618 0,816 13,566

LP03 0,908 11,033 0,245 0,618 0,816 13,620

LP02 0,908 11,035 0,245 0,618 0,816 13,622

LP01 0,908 11,018 0,245 0,618 0,816 13,605

LP1A 0,908 11,047 0,245 0,618 0,816 13,634

LP1B 0,908 11,094 0,245 0,618 0,816 13,681

LP1C 0,908 11,112 0,245 0,618 0,816 13,699

LP1D 0,908 11,077 0,245 0,618 0,816 13,664

LP1E 0,908 11,062 0,245 0,618 0,816 13,649

LP1F 0,908 11,040 0,245 0,618 0,816 13,627

LP1G 0,908 11,042 0,245 0,618 0,816 13,629

LP1H 0,908 11,033 0,245 0,618 0,816 13,620

LP1I 0,908 11,012 0,245 0,618 0,816 13,599

LP1J 0,908 11,031 0,245 0,618 0,816 13,618

LP1K 0,908 11,067 0,245 0,618 0,816 13,654

LP05S 0,908 9,391 0,245 0,618 0,816 11,978

LP04S 0,908 9,360 0,245 0,618 0,816 11,947

LP03S 0,908 9,419 0,245 0,618 0,816 12,006

LP02S 0,908 9,365 0,245 0,618 0,816 11,952

LP01S 0,908 9,352 0,245 0,618 0,816 11,939

LP1AS 0,908 9,341 0,245 0,618 0,816 11,928

LP1BS 0,908 9,350 0,245 0,618 0,816 11,937

LP1CS 0,908 9,364 0,245 0,618 0,816 11,951

LP1DS 0,908 9,360 0,245 0,618 0,816 11,947

LP1ES 0,908 9,355 0,245 0,618 0,816 11,942

LP1FS 0,908 9,375 0,245 0,618 0,816 11,962

LP1GS 0,908 9,372 0,245 0,618 0,816 11,959

LP1HS 0,908 9,322 0,245 0,618 0,816 11,909

LP1IS 0,908 9,348 0,245 0,618 0,816 11,935

LP1JS 0,908 9,387 0,245 0,618 0,816 11,974

Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

139

Tabel 11. Cycle Time Tiap LP ke Crusher 2

LP Loading

(menit)

Tramming

(menit)

Manuver

I

(menit)

Dumping

(menit)

Manuver

II

(menit)

Total

CT

LP07 0,908 11,174 0,245 0,618 0,816 13,761

LP06 0,908 11,077 0,245 0,618 0,816 13,664

LP05 0,908 11,045 0,245 0,618 0,816 13,632

LP04 0,908 10,954 0,245 0,618 0,816 13,541

LP03 0,908 11,009 0,245 0,618 0,816 13,596

LP02 0,908 11,011 0,245 0,618 0,816 13,598

LP01 0,908 10,993 0,245 0,618 0,816 13,580

LP1A 0,908 11,024 0,245 0,618 0,816 13,611

LP1B 0,908 11,070 0,245 0,618 0,816 13,657

LP1C 0,908 11,087 0,245 0,618 0,816 13,674

LP1D 0,908 11,052 0,245 0,618 0,816 13,639

LP1E 0,908 11,037 0,245 0,618 0,816 13,624

LP1F 0,908 11,016 0,245 0,618 0,816 13,603

LP1G 0,908 11,017 0,245 0,618 0,816 13,604

LP1H 0,908 11,009 0,245 0,618 0,816 13,596

LP1I 0,908 10,988 0,245 0,618 0,816 13,575

LP1J 0,908 11,007 0,245 0,618 0,816 13,594

LP1K 0,908 11,043 0,245 0,618 0,816 13,630

LP05S 0,908 9,015 0,245 0,618 0,816 11,602

LP04S 0,908 8,985 0,245 0,618 0,816 11,572

LP03S 0,908 9,045 0,245 0,618 0,816 11,632

LP02S 0,908 8,991 0,245 0,618 0,816 11,578

LP01S 0,908 8,977 0,245 0,618 0,816 11,564

LP1AS 0,908 8,967 0,245 0,618 0,816 11,554

LP1BS 0,908 8,975 0,245 0,618 0,816 11,562

LP1CS 0,908 8,989 0,245 0,618 0,816 11,576

LP1DS 0,908 8,984 0,245 0,618 0,816 11,571

LP1ES 0,908 8,983 0,245 0,618 0,816 11,570

LP1FS 0,908 8,951 0,245 0,618 0,816 11,538

LP1GS 0,908 8,998 0,245 0,618 0,816 11,585

LP1HS 0,908 8,947 0,245 0,618 0,816 11,534

LP1IS 0,908 8,973 0,245 0,618 0,816 11,560

LP1JS 0,908 9,007 0,245 0,618 0,816 11,594

Tabel 12. Cycle Time Rata-Rata

LP

CT

Crusher

1

(menit)

CT

Crusher

2

(menit)

CT

Rata-

Rata

(menit)

CT

Rata-

Rata

(menit)

LP07 13,785 13,761 13,773 14

LP06 13,683 13,664 13,673 14

LP

CT

Crusher

1

(menit)

CT

Crusher

2

(menit)

CT

Rata-

Rata

(menit)

CT

Rata-

Rata

(menit)

LP05 13,657 13,632 13,644 14

LP04 13,566 13,541 13,554 14

LP03 13,620 13,596 13,608 14

LP02 13,622 13,598 13,610 14

LP01 13,605 13,580 13,593 14

LP1A 13,634 13,611 13,623 14

LP1B 13,681 13,657 13,669 14

LP1C 13,699 13,674 13,687 14

LP1D 13,664 13,639 13,652 14

LP1E 13,649 13,624 13,637 14

LP1F 13,627 13,603 13,615 14

LP1G 13,629 13,604 13,616 14

LP1H 13,620 13,596 13,608 14

LP1I 13,599 13,575 13,587 14

LP1J 13,618 13,594 13,606 14

LP1K 13,654 13,630 13,642 14

LP05S 11,978 11,602 11,790 12

LP04S 11,947 11,572 11,760 12

LP03S 12,006 11,632 11,819 12

LP02S 11,952 11,578 11,765 12

LP01S 11,939 11,564 11,751 12

LP1AS 11,928 11,554 11,741 12

LP1BS 11,937 11,562 11,749 12

LP1CS 11,951 11,576 11,763 12

LP1DS 11,947 11,571 11,759 12

LP1ES 11,942 11,570 11,756 12

LP1FS 11,962 11,538 11,750 12

LP1GS 11,959 11,585 11,772 12

LP1HS 11,909 11,534 11,721 12

LP1IS 11,935 11,560 11,747 12

LP1JS 11,974 11,594 11,784 12

Nilai CT minimum adalah 12 menit dan

maksimum adalah 14 menit. Pada estimasi

produksi yang akan dipakai adalah nilai CT

maksimum.

Estimasi Faktor Koreksi

Perhitungan dilakukan dengan mengamati

beberapa parameter seperti waktu kerja (W), waktu

tunda (D), waktu operasi (O), waktu terhenti (I),

waktu tersedia (A), waktu perawatan (M) dan

waktu terjadwal (S). Kemudian akan dihitung nilai

efisiensi optimum (persamaan 5) dan nilai ini akan

digunakan untuk estimasi produksi. Nilai efisiensi

optimum = faktor koreksi.

Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

140

Tabel 13. Parameter Efisiensi Kerja Aktual

Waktu Kerja

(Work)

Kerja Lancar (Waktu

Siklus)

Waktu Tunda

(Delay)

Tunggu LP Aktif

Running Cari LP

Antri di LP

Tunggu Lip Chutte Terbuka

Antri di Crusher

Crusher Red Light

Tramming Parking

Waktu Tunda Lain-Lain

Waktu Terhenti

(Idle)

Makan & Istirahat

Ganti Truck

Cuci Truck

Mundur Kerja Cepat

Check Out & Preparation

Mengisi BBM

dll.

Waktu Perawatan

(Maintenance)

Check List & Warming

Truck

Tabel ini merangkum kegiatan aktual di

lapangan yang menyebabkan adanya hambatan

dalam produksi.

Tabel 14. Efisiensi Kerja Aktual Crew III

Tanggal E PA U EO

05 Jan 2019 55% 97% 62% 33%

06 Jan 2019 61% 93% 50% 28%

07 Jan 2019 46% 95% 56% 24%

Rata-Rata 54% 95% 56% 28%

Tabel 15. Efisiensi Kerja Aktual Crew I

Tanggal E PA U EO

08 Jan 2019 22% 100% 69% 16%

09 Jan 2019 58% 96% 61% 34%

10 Jan 2019 61% 95% 69% 40%

11 Jan 2019 58% 100% 58% 34%

12 Jan 2019 64% 72% 49% 23%

Rata-Rata 53% 93% 61% 29%

Tabel 16. Efisiensi Kerja Aktual Crew II

Tanggal E PA U EO

13 Jan 2019 39% 95% 49% 20%

14 Jan 2019 40% 100% 68% 27%

15 Jan 2019 53% 100% 70% 38%

17 Jan 2019 53% 99% 68% 36%

Rata-Rata 46% 99% 64% 30%

Hasil perhitungan efisiensi operator untuk

crew I adalah 53%, crew II adalah 46% dan crew

III adalah 54%. Hasil ini menunjukan bahwa dari

waktu operasi yang ada, kurang lebih setengah dari

waktu operasi digunakan untuk kerja produktif atau

melakukan siklus. Hasil perhitungan dari keadaan

fisik alat (PA) untuk crew I adalah 93%, crew II

adalah 99% dan crew III adalah 95%. Persentase ini

menunjukan bahwa alat yang digunakan berada

dalam keadaan yang baik dengan waktu perbaikan

yang rendah, artinya keadaan fisik alat sangat

bagus. Hasil perhitungan keefektifan penggunaan

alat (utility) untuk crew I adalah 61%, crew II

adalah 64% dan crew III adalah 56%. Hasil ini

menunjukan bahwa penggunaan waktu dalam

pengoperasian alat adalah setengah dari waktu

yang tersedia.

Dari hasil perhitungan didapatkan nilai

efisiensi optimum yang sangat rendah, yaitu tidak

lebih dari 30%. Dari tabel tersebut nilai efisiensi

optimum untuk masing-masing crew adalah crew I

adalah 29%, crew II adalah 30% dan crew III

adalah 28%. Efisiensi yang sangat rendah

disebabkan karena adanya waktu hambatan dalam

operasi, yang dipengaruhi oleh waktu tunda, waktu

terhenti dan waktu perbaikan.

Pada hasil perhitungan tentang nilai rata-rata

dari empat parameter waktu (tabel 3), didapatkan

untuk waktu kerja (work) sebesar 3,26 jam, waktu

tunda (delay) sebesar 3,26 jam, waktu terhenti

(idle) sebesar 4,03 jam dan waktu perawatan

(maintenance) sebesar 0,53 jam/hari. Hasil ini

menunjukan bahwa waktu idle memiliki jumlah

yang lebih besar dibandingkan tiga parameter

lainnya. Namun disisi lain, waktu delay pun cukup

besar, sehingga akan berpengaruh terhadap waktu

kerja produktif.

Ada banyak hambatan yang terjadi dalam

proses produksi (tabel 13). Hambatan tersebut

seperti penggunaan waktu istirahat yang

berlebihan, cuci truck, perbaikan alat, antri di

crusher, mundur kerja terlalu cepat dan lain

sebagainya. Hambatan lain yang terjadi adalah

menunggu LP aktif, running cari LP dan antri di

LP. Menunggu LP aktif adalah suatu kondisi

dimana semua LP untuk sementara tidak beroperasi

dengan kode lampu LP berwarna merah. Running

cari LP adalah kondisi dimana ketika operator

dump truck akan berputar mencari LP yang aktif

(kode lampu LP hijau) untuk melakukan kegiatan

pemuatan. Antri di LP adalah kondisi dimana

ketika beberapa truck antri pada beberapa LP aktif

saja yang sedang beroperasi.

Hal ini dapat terjadi karena ada saat dimana

ketika regular dan staggered crew beroperasi

dalam waktu yang sama sehingga terjadi overlap.

Material yang ditumpahkan dari level extraction ke

LP akan dimuat dan diangkut habis dengan sangat

Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

141

cepat oleh dump truck. Kondisi ini akan berakibat

pada adanya waktu tunda yang berpengaruh

terhadap efisiensi optimum.

Estimasi Produksi

Berikut adalah perhitungan kemampuan

produksi dari staggered crew:

a. Estimasi Produksi Staggered Crew I

Diketahui:

C = 50 ton (payload capacity)

FK = 0,29 atau 29% (FK = EO)

CT = 14 menit

Maka estimasi produksi adalah:

P =50 ton x 60 menit/jam x 0,29

14 menit

P = 62,14 ton/jam

= 62,14 ton/jam x 11 jam/hari

= 683,54 ton/hari

= 559,26 ton/hari x 7 operator

= 4.784,78 ton/hari

b. Estimasi Produksi Staggered Crew II

Diketahui:

C = 50 ton (payload capacity)

FK = 0,30 atau 30% (FK = EO)

CT = 14 menit

Maka estimasi produksi adalah:

P =50 ton x 60 menit/jam x 0,30

14 menit

P = 64,28 ton/jam

= 64,28 ton/jam x 11 jam/hari

= 707,08 ton/hari

P = 707,08 ton/hari x 7 operator

= 4.949,56 ton/hari

c. Estimasi Produksi Staggered Crew III

Diketahui:

C = 50 ton (payload capacity)

FK = 0,28 atau 28% (FK = EO)

CT = 14 menit

Maka estimasi produksi adalah:

P =50 ton x 60 menit/jam x 0,28

14 menit

P = 60 ton/jam

= 60 ton/jam x 11 jam/hari

= 660 ton/hari

= 660 ton/hari x 7 operator

= 4.620 ton/hari

Tabel 17. Estimasi Produksi Staggered Crew

Crew Produksi

(Ton/Jam)

Produksi

(Ton/Hari)

I 62,14 4.784,78

II 64,28 4.949,56

III 60 4.620

Rata-Rata 62,14 4.784,78

Setelah melakukan estimasi produksi, hasil

menunjukan bahwa target produksi tidak tercapai

dengan rencana awal implementasi staggered crew

(tabel 4). Oleh karena itu rekomendasi yang dapat

diberikan yaitu dengan penambahan jumlah

penugasan operator dump truck. Rekomendasi

dapat dilihat pada tabel 18.

Tabel 18. Rekomendasi (Penugasan Operator

Dump Truck)

Jumlah

Operator

& Alat

Produksi

(ton/jam)

Jam

Kerja

(jam/hari)

Produksi

(ton/hari)

7 62,14 11 4.784,78

8 62,14 11 5.468,32

9 62,14 11 6.151,86

10 62,14 11 6.835,4

KESIMPULAN

Dari hasil evaluasi tentang implementasi

staggered crew di level truck haulage area tambang

DOZ, ada beberapa hal yang dapat dismpulkan

yaitu sebagai berikut:

1. Waktu kerja yang dipenuhi oleh masing-masing

crew berbeda-beda dikarenakan pekerjaan yang

dilakukan tidak sesuai dengan jadwal yang telah

ditetapkan. Waktu kerja dari staggered crew I

adalah sebesar 540 menit, crew II adalah 510

menit dan crew III adalah 410 menit. Waktu

kerja yang sesuai dengan jadwal hanya

dilakukan oleh crew I. Waktu kerja produktif

rata-rata (work) adalah sebesar 3,26 jam/hari.

Waktu delay sebesar 3,26 jam/hari, waktu idle

sebesar 4,03 jam/hari dan waktu maintenance

sebesar 0,53 jam. Waktu idle merupakan waktu

tertinggi dari keempat parameter ini.

2. Kemampuan produksi yang dapat dipenuhi oleh

staggered crew adalah berbeda tiap crew.

Kemampuan produksi dari crew I adalah

sebesar 62,14 ton/jam dan 4.784,78 ton/hari.

Kemampuan produksi dari crew II adalah

sebesar 64,28 ton/jam dan 4.949,56 ton/hari.

Kemampuan produksi dari crew III adalah

sebesar 60 ton/jam dan 4.620 ton/hari.

3. Proses evaluasi tentang implementasi staggered

crew dilakukan dengan melihat 3 parameter

Pocerattu dan Pangkung INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

142

yaitu waktu kerja, jumlah operator dan

kemampuan produksi. Waktu kerja aktual yang

dipergunakan staggered crew adalah sebesar

665 menit (± 11 jam). Peningkatan produksi

dalam pencapaian target dapat dilakukan

dengan menugaskan 8 orang operator dump

truck dengan produksi perkiraan yang akan

dihasilkan sebesar 62,14 ton/jam dan 5.468,32

ton/hari.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Tenrisukki Tenriajeng. 2003. Pemindahan

Tanah Mekanis. Gunadarma. Jakarta.

Awang Suwandi. Parameter Pengukuran Efisiensi

Kerja Dalam Horman J.R. 2014. Penuntun

Praktikum Pemindahan Tanah Mekanis.

Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas

Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Universitas Papua.

Deny Kurniawan. 2008. Regresi Linier. R

Foundation for Statistical Computing.

Vienna. Austria

Effendi Kadir. 2008. Pemindahan Tanah Mekanis.

Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya.

Kasiram, Moh. 2008. Metodologi Penelitian. UIN

Maliki Press. Malang.

Suryana. 2010. Metodologi Penelitian. Universitas

Pendidikan Indonesia.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

143

EVALUASI KINERJA ALAT PENGOLAHAN SIRTU

PT. BINTANG TIMUR LESTARI KOTA SORONG

PROVINSI PAPUA BARAT

Chairun Nisa 1), Jance Murdjani Supit 2)

Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Universitas Papua

Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: 1)[email protected], 2)[email protected]

Abstract

The processing of base course must be able to meet consumer demand. Thus, evaluating the works of the

crushing plant as well as adjusting the final products by washing the sand. The problems state in this study are

how much the pebble produce from the crushing plant, how much the pebble produce from the sand wash, what

kind of obstacles during the process, and how to achieved better production. Further more the study aim to

calculate the plant yield production; the diffraction yield is 3075,004 m3 / month with the distribution in each

fraction of 3/8 (pebble) fraction of 381,175 m3 / month fraction 1 / 2 (gravel) of 853,121 m3 / month, fraction

2/3 (pebble) of 1164,484 m3 / month, and abubatu fraction of 676,424 m3 / month. The calculation results have

not yet reached the company standard; fractions 3/8 (pebble) = 10%, fractions 1/2 (pebble) = 21%, and fractions

2/3 (gravel) = 29%, and rock ash fractions ( very fine sand) = 17%, with the desired presentation the company

is a fraction 3/8 (pebble) = 5 - 10%, fraction 1/2 (pebble) = 20 - 25%, fraction 2/3 (gravel) = 30 - 35%, and

rock ash fraction (very fine sand) = 20 - 25%. Hence, the results of the presentation are deficiencies in fractions

2/3 (gravel) and stone ash (very fine sand). Whereas for sand washing, the number of buckets is 1339 times per

month, with the amount of volume entering 3385.97 m³ / month, and the total volume coming out is 3361 m³ /

month. Constraints that occur in the processing process in this case during production such as improper working

time, rain, repair of tools, and chunks larger than 35 cm.

Keywords: Production, Crusher, Sand Washing.

Abstrak

Proses pengolahan yang dilakukan harus dapat memenuhi permintaan konsumen dengan upaya

mengevaluasi cara kerja crushing plant dan pencucian pasir dalam menyesuaikan hasil produksi. Dengan

permasalahan berapa besar produksi dari crushing plant dan pencucian pasir dan juga apa saja yang menjadi

kendala dalam proses pengolahan pada unit crushing plant serta pencucian pasir serta usaha-usaha yang dapat

dilakukan untuk mencapai produksi. Dengan tujuan menghitung produksi crushing plant dan mendapatkan

kendala - kendala yang terjadi pada unit crushing plant, dengan hasil produksi perfraksi sebesar 3075.004

m3/bulan dengan penyebaran pada tiap-tiap fraksi sebesar untuk fraksi 3/8 (kerikil) sebesar 381.175 m3/bulan

fraksi 1/2 (kerakal) sebesar 853.121 m3/bulan, fraksi 2/3 (kerakal) sebesar 1164.484 m3/bulan, dan fraksi abubatu

sebesar 676.424 m3/bulan. Hasil perhitungan dilapangan belum mencapai hasil persentasi yang diinginkan

perusahaan yaitu fraksi 3/8 (kerikil) = 10 %, fraksi 1/2 (kerakal) = 21 %, dan fraksi 2/3 (kerakal) = 29 %, dan

fraksi abu batu (pasir sangat halus) = 17 %, dengan presentasi yang inginkan perusahaan adalah fraksi 3/8

(kerikil) = 5 – 10 %, fraksi 1/2 (kerakal) = 20 – 25 %, fraksi 2/3 (kerakal) = 30 – 35 %, dan fraksi abu batu

(pasir sangat halus) = 20 – 25 %. Jadi dari hasil presentasi kekurangan pada fraksi 2/3 (kerakal) dan abu batu

(pasir sangat halus). Sedangkan untuk pencucian pasir jumlah bucket 1339 kali per bulan, dengan jumlah volume

yang masuk 3385.97 m³/bulan, dan jumlah volume yang keluar 3361 m³/bulan. Kendala-kendala yang terjadi

pada proses pengolahan dalam hal ini pada saat produksi seperti waktu kerja yang tidak sesuai, hujan, perbaikan

alat, dan bongkahan yang lebih besar dari 35 cm..

Kata Kunci: Produksi, Crusher, Pencucian Pasir

Nisa dan Supit INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

144

PENDAHULUAN

Sirtu adalah singkatan dari pasir batu. Sirtu

terjadi karena akumulasi pasir dan batuan yang

terendapkan di daerah-daerah relatif rendah atau

lembah. Sirtu biasanya merupakan bahan yang

belum terpadukan dan biasanya tersebar di daerah

aliran sungai. Sirtu juga bisa diambil dari satuan

konglomerat atau breksi yang tersebar di daerah

daratan (daerah yang tinggi). Sirtu berasal dari dua

bagian yang yang berukuran besar merupakan

material dari batuan beku, metamorf dan sedimen.

Sedangkan berukuran halus terdiri pasir dan

lempung. Seluruh material tersebut tererosi dari

batuan induknya bercampur menjadi satu dengan

material halus. Kuatnya proses ubahan atau

pelapukan batuan dan jauhnya transportasi

sehingga material batuan berbentuk elip atau bulat

dengan ukuran mulai kerikil sampai bongkah.

PT. Bintang Timur Lestari merupakan

perusahaan yang bergerak di bidang penambangan

dengan bahan galian berupa pasir batu (sirtu) yang

di manfaatkan sebagai bahan baku kontruksi.

Bahan galian tersebut di proses melalui kegiatan

pengolahan dengan menggunakan mesin peremuk

(crusher) dan alat pencucian pasir. Secara umum,

penambangan mencakup kegiatan penggalian

terhadap bahan tambang yang kemudian untuk

dilakukan pengolahan dan pemasaran. Pada tahap

penambangan itu sendiri terdiri dari penggalian,

pembongkaran, dan pengangkutan ke fasilitas

pengolahan maupun langsung dipasarkan apabila

tidak dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Proses

pengolahan dilakukan untuk dapat memenuhi

target produksi yang telah ditentukan yaitu 4000

m³/bulan. Maka upaya yang di lakukan yaitu

dengan mengevaluasi kemampuan produksi dari

alat crushing plant dan pencucian pasir.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah

metode deskriptif kuantitatif. Metode penelitian ini

bertujuan untuk memberikan analisis terhadap

suatu masalah setelah semua data yang berupa

angka terkumpul. Teknik pengumpulan data yang

dilakukan adalah observasi lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Crushing Plant

Untuk mendapatkan hasil produksi maka

dapat dihitung volume dengan rumus kerucut

terpancung yaitu sebagai berikut :

Volume Kerucut Terpancung :

V = 1

3 .π.t ( R2 + Rr + r2 ) (1)

Misalkan perhitungan pada hari pertama

untuk Fraksi 3/8, diketahui :

π = 3,14

t = 3 m

R = 2,452 m

r = 0,437 m

Jadi,

V = 1/3 x 3,14 x 3 x ((2,4522 + (2,452 x 0,437)

+ 0,4372))

= 22.843 m3

Untuk mendapatkan volume total maka

volume yang ada dijumlahkan dengan volume yang

dipindahkan kemudian dikurangi dengan volume

yang tersedia dihari sebelumnya, maka dapat

dilihat seperti dibawah ini:

Vtotal = (22.843 m3 + 0) – 0 m3

= 22.843 m3 + (0 m3)

= 22.863 m3

Nilai 0 m3 didapat dari sisa volume pada hari

pertama yang masih tersisa di hari berikutnya.

Karena pada hari kedua ada perbaikan pada screen

dan Belt Conveyor sehingga mengakibatkan tidak

ada produksi pada hari kedua. Begitu juga pada

fraksi (1/2), fraksi (2/3), dan fraksi abu-batu.

Berikut ini adalah hasil total perhitungan

produksi perhari dan pada setiap fraksi.

Gambar 1 Grafik Hasil Volume Perfraksi

0

200

400

600

800

1000

1200

Fraksi

3/8

(Kerikil)

Fraksi

1/2

(Kerakal)

Fraksi

2/3

(Kerakal)

Fraksi

abu batu

(Pasir

sangat

halus)

381,175

853,121

1164,484

676,424

Nisa dan Supit INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

145

Gambar 2. Grafik Presentasi Hasil Volume

Perfraksi

Nilai persentasi yang diinginkan perusahaan

dan persentasi berdasarkan perhitungan ada pada

tabel berikut ini:

Tabel 1. Prensentasi Yang Diinginkan

Perusahaan Dan Prensentasi Berdasarkan

Hasil Perhitungan

Perbandingan Produksi Crushing Plant dengan

kapasitas produksi crusher merek Shanbao tipe

PE 400 x 600

Perbandingan antara hasil produksi crushing

plant dengan kapasitas produksi alat crusher merek

shanbao tipe PE 400 x 600 yang digunakan, dapat

dihitung dengan cara volume total pada hari itu

dibagi dengan jam kerja perusahaan yaitu 9 jam.

Sebagai berikut adalah grafik perbandingan

Volume Crusher Per hari dan Per jam.

Gambar 3. Perbandingan Volume Crusher Per hari

dan Per jam

Menghitung Produksi Pencucian Pasir

Pada kegiatan pencucian pasir ini

menggunakan alat gali yaitu backhoe , pencucian

pasir dilakukan dengan berapa kali jumlah bucket

yang digunakan. Dapat dilihat pada gambar 4

Volume Masuk dan Keluardalam Pencucian Pasir:

Gambar 4. Volume Masuk dan Keluar dalam

Pencucian Pasir

Permasalahan yang Terjadi Pada Proses

Pengolahan

Faktor atau permasalahan-permasalahan

yang dihadapi pada proses pengolahan akan

menyebabkan kegiatan pengolahan berjalan kurang

produksi dan efisien sehingga untuk mendapatkan

hasil produksi yang diinginkan tidak dapat

terpenuhi. Ada beberapa faktor yang sering terjadi

pada proses pengolahan adalah sebagai berikut :

- Material

- Sering terjadi kemacetan pada alat peremuk

- Belt conveyor

- Curah hujan

- Screen

Pembahasan

Berdasarkan grafik 1 dapat dinyatakan

bahwa perolehan hasil volume dari setiap fraksi

bahwa diketahui ada beberapa hari yang tidak ada

10%

21%

29%

17%

23%

Fraksi 3/8

(Kerikil)

Fraksi 1/2

(Kerakal)

Fraksi 2/3

(Kerakal)

Fraksi abu batu

(Pasir sangat

halus)

Target yang tidak

terpenuhi

Presentasi yang diinginkan

oleh PT. Bintang Timur

Lestari

Presentasi

Beradasarkan Hasil

Perhitungan

Fraksi 1 (3/8) 5-10 % Fraksi 1 (3/8) 10%

Fraksi 2 (1/2) 25-30 % Fraksi 2 (1/2) 21%

Fraksi 3 (2/3) 30-35 % Fraksi 3 (2/3) 29%

Fraksi 4 (Abu

batu) 20-25 %

Fraksi 4 (Abu

batu) 17%

Target yang

tidak terpenuhi 0%

Target yang tidak

terpenuhi 23%

Nisa dan Supit INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

146

produksi karena ada beberapa kendala seperti

pergantian belt pada belt balik panjang, pergantian

ring spring pada screen dan ada penambalan pada

screen ukuran 3/8 yang pada saat itu mengalami

kebocoran.

Pada grafik 2 tertera prensentasi yang

diinginkan perusahan dan hasil yang dihitung ada

nilai pada fraksi 2/3 dan abubatu yang masih belum

mencapai persentasi yang diinginkan karena pada

saat penelitian di lapangan screen pada fraksi 2/3

dan 3/8 mengalami kebocoran sehingga material

abubatu sebagian masuk ke screen fraksi 3/8 yang

menyebabkan presentasi pada fraksi abubatu

berkurang dan fraksi 2/3 pun berkurang.

Pada grafik 3 perbandingan volume hasil

produksi per jam perhari dengan kapasitas produksi

crusher. Ada beberapa hasil yang tidak mencapai

kapasitas crusher yang digunakan yaitu kurang dari

10 m3/jam. Hal ini disebabkan karena ukuran

material yang masuk pada crusher lebih besar dari

setingan bukaan crusher yang digunakan atau yang

bisa masuk pada crusher ini adalah material yang

berdiameter kurang dari 35 cm dengan kemampuan

crusher 10 -34 m3/jam.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil diatas maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Total hasil produksi perfraksi sebesar 3075.004

m3/bulan dengan penyebaran pada tiap-tiap

fraksi sebesar untuk fraksi 3/8 ( Kerikil) sebesar

381.175 m³/bulan, fraksi 1/2 (Kerakal) sebesar

853.121 m3/bulan, fraksi 2/3 (Kerakal) sebesar

1164.484 m3/bulan, dan fraksi abubatu (Pasir

sangat halus) sebesar 676.424 m3/bulan.

Dengan hasil perhitungan yang belum mencapai

hasil persentasi yang diinginkan perusahaan

yaitu fraksi 3/8 (Kerikil) = 10%, fraksi 1/2

(Kerakal) = 21%, dan fraksi 2/3 (Kerakal) =

29%, dan fraksi abu batu (Pasir sangat halus) =

17%, sedangkan presentasi yang diinginkan

perusahaan adalah fraksi 3/8 (Kerikil) = 5 –

10%, fraksi 1/2 (Kerakal) = 25 – 30%, fraksi 2/3

(Kerakal) = 30 – 35%, dan fraksi abu batu (Pasir

sangat halus) = 20 – 25%. Jadi kekurangan

presentasi pada fraksi 2/3 (Kerakal) dan abu

batu (Pasir sangat halus).

2. Pada kegiatan pencucian pasir jumlah dari

bucket dalam pencucian = 1339 kali bucket

dalam perbulan, dimana rata – rata bucket yaitu

= 47.821. Sedangkan volume yang masuk

berjumlah 3385.97 m³/bulan dengan jumlah rata

– rata berkisar = 120.928 m³ , dan volume yang

keluar = 3361 m³ dengan jumlah rata – rata =

120.036 m³.

3. Kendala-kendala yang terjadi pada proses

pengolahan dalam hal ini pada saat produksi

seperti waktu kerja yang tidak sesuai, hujan,

perbaikan alat, bongkahan yang lebih besar dari

35 cm.

DAFTAR PUSTAKA

CV. Surya Baskara Jaya, 2016, Laporan

Eksplorasi, Sorong Papua Barat (tidak

dipublikasikan)

Keley Kamaria Siti, 2017, Evaluasi Kerja Crushing

Plant Terhadap Pencapaian Produksi Pada

PT. Bintang Timur Lestari Kota Sorong

Provinsi Papua Barat, Skripsi S1 Teknik

Pertambangan, Universitas Papua

Manokwari (tidak dipublikasikan)

Minarni, 1995. Unit Pemecah Crushing Jaw

Crusher, Direktorat Jenderal Pertambangan

Umum Pusat Pengembangan Tenaga

Pertambangan. Bandung

Sudarsono Arif, 2003. Pengolahan Bahan Galian.

Universitas Gajah Mada

Sari Shintya Avellyn, 2015, Analisis Kinerja

Crushing Plant Pada Tambang Andesit

untuk Mencapai Target Produksi 23000

Ton/Bulan di PT. Panghegar Mitra Abadi

Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat,

Skripsi S1 Teknik Pertambangan.

Universitas Islam Bandung

Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif dan

Kualitatif dan R & D. Alfabetha Bandung

Sukandarrumidi, 1998, Bahan Galian Industri.

Universitas Gajah Mada

Sholeh, 2015, Metode Perhitungan Volume

Timbunan. UPN “Veteran” Jawa Timur

Tobing S.IR, 1995, Pengolahan Bahan Galian,

Direktorat Jenderal Pertambangan Umum

Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan.

Bandung

Waum A.Karolina, 2012, Evaluasi Penggunaan

Jaw Crusher di PT. Pro Intertech Indonesia

Kelurahan Saoka Distrik Sorong Barat

Kotamadya Sorong Provinsi Papua Barat,

Tugas Akhir D3 Teknik Pertambangan.

Universitas Papua Manokwari (tidak

dipublikasikan)

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

147

ANALISIS KESTABILAN LERENG PENAMBANGAN NIKEL

PADA PT. GAG NIKEL DENGAN MENGGUNAKAN

METODE BISHOP

Papua Dorus Rumsowek1), Indra Birawaputra2)

1)Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua 2)Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Papua

Jl. Gunung Salju Amban Manokwari

Email : 1) [email protected], 2)[email protected]

Abstract

It is important to understand the condition of the slopes formed and the FK values obtained from the

results of slope analysis in order to provide a safe FK value based on standard requirements for nickel

mining slopes. The problems found in the study are, what variables are used in calculating FK values as

well as the presence of safe FK values and level geometries that are ideal for mining activities. Thus, the

results of one of the main variables used to calculate the slope balance are Bishop method, and get FK

values from one different methods, namely 1.144 by looking at the characteristics of the soil and rocks.

Keywords: Slope Stability, Safety Factors

Abstrak

Penting untuk mengetahui kondisi lereng yang dibentuk dan nilai FK yang didapatkan dari

hasil analisis lereng agar dapat memberikan nilai FK yang aman berdasarkan standar ketentuan bagi

lereng penambangan nikel. Masalah yang terdapat pada penelitian yaitu, variabel apa saja yang

digunakan dalam menghitung nilai FK, serta adanya nilai FK yang aman dan geometri jenjang yang sangat

ideal untuk kegiatan penambangan. Sehingga didapatkan hasil satu variabel utama yang digunakan

untuk menghitung kestabilang lereng yaitu metode Bishop, serta mendapatkan nilai FK dari satu metode

yaitu 1,144 dengan melihat kondisi karateristik tanah dan batuan.

Kata Kunci: Kestabilan Lereng, Faktor Keamanan

Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

148

PENDAHULUAN Masalah kestabilan lereng timbul akibat dari

suatu pekerjaan kegiatan penggalian maupun

kegiatan penimbunan. Hal ini merupakan

permasalahan yang penting karena menyangkut

masalah keselamatan pekerja dan peralatan beserta

bagunan yang berada disekitar lereng tersebut.

Pekerjaan penambangan dengan tambang terbuka

sering ditemukan lereng yang tidak stabil dan dapat

menggangu kelancaran produksi yang berakibat

tidak tercapainya target produksi yang

direncanakan. Sehingga perlu ada analisis yang

tepat sebelum menentukan rekomendasi geometri

lereng untuk pembentukan lereng dalam kegiatan

penambangan Nikel laterit.

Pada PT Gag Nikel sistem penambangan

yang dilakukan adalah tambang terbuka dengan

metode open cesh, dimana untuk mendapatkan ore

dilakukan pengupasan lapisan penutup terlebih

dahulu. Pengupasan lapisan tanah penutup yang

dilakukan untuk mendapatkan ore diikuti dengan

pembentukan geometri lereng mengakibatkan

terbentuknya lereng-lereng dengan kemiringan dan

ketinggian yang berbeda dimana akan

menimbulkan distribusi tegangan yang baru karena

mengganggu distribusi tegangan pada lereng

alamiah yang sudah ada. Salah satu akibat dari

distribusi tegangan baru ini, berupa kelongsoran

jenjang sebagai salah satu sifat alamiah lereng

untuk mencari kesetimbangan baru dengan cara

pengurangan beban yang ditanggungnya.

Oleh karena itu diperlukan suatu kajian

terhadap kestabilan lereng untuk menghasilkan

ketinggian dan kemiringan lereng yang aman

sebagai salah satu saran bagi operasi

penambangan yang akan melakukan pekerjaan.

Analisis keamanan dilakukan pada lereng tunggal

dengan memperhatikan faktor-faktor yang

berpengaruh pada lereng dimana operasi

penambangan akan dilakukan. Metode

perhitungan yang digunakan pada analisis

kestabilan lereng untuk mencari nilai faktor

keamanan (FK) dapat menggunakan dua metode

yaitu adalah metode Bishop, analisis kestabilan

lereng dengan metode Bishop merupakan analisis

kestabilan yang dilakukan dengan mengunakan

cara komputasi dengan bantuan software

Slide 6.0 untuk menghitung nilai FK yang

di analisis, dan juga mengunakan pendekan

dengan analisis scenline pada front

penambangan.

METODE PENELTIAN Metode penelitian pada dasarnya

merupaka cara ilmia untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode

penelitian yang akan digunakan pada penelitian

ini adalah metode kuantitatif. Penelitian ini

termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan

metode kuantitatif menekankan analisisnya pada

data-data numeric (angka) yang diolah dengan

metoda statistika. Pada dasarnya, pendekatan

kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial

(dalam rangka analisis hubungan antar variabel

dengan pengujian hipotesis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Mencari kesetimbangan baru dengan cara

pengurangan beban yang ditanggungnya. Oleh

karena itu diperlukan suatu kajian terhadap

kestabilan lereng untuk menhasilkan ketinggian

dan kemeiringan lereng yang aman sebagai salah

satu saran bagi operator yang akan melakukan

pekerjaan.

Geometri Jenjang Pada Front Arafa

Suatu jenjang yang dibuat harus mampu

menampung dan mempermudah pergerakan

alatalat mekanis pada saat aktivitas pengupasan

tanah penutup dan pengambilan bijih.

Gambar 1. Geometri Lereng Tunggal dan Lereng

Keseluruhan

Tabel 1. Geometri Jenjang Tunggal Lereng Arafa

No

Crest-Toe Toe-Crest

Slope

(°) Ket Tinggi

Lereng(m)

Lebar

Lereng(m)

1 5,85 17,48 65° C1-T1

2 8,22 17,49 73° C2-T2

3 7,84 16,87 74° C3-T3

Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

149

Tabel 2. Geometri Lereng Keseluruhan Front Arafa

Kemiringan Jenjang Lereng

C1-T3 = arc tan �Tinggi lereng C3-T1

Lebar Jenjang C3-T1�

= arc tan 28, 21 meter

61, 12 meter

= 24.7757°

Analisis Scanline Sampling

Scanline dipakai dengan pendekatan parameter

RMR yang dihitung menggunkan lima parameter

utama yang di jumlahkan untuk mendapatkan nilai

RMR yaitu :

Uniaxial Compressive Strength of rock material

(UCS)

Kekuatan batuan utuh yang didapatkan pada lokasi

penelitian dengan menggunakan pengujian secara

langsung yaitu pengujian Uniaxial Compressive

Strengh (UCS).

Gambar 2. Pengujian Kekuatan Batuan Utuh

Pada Lokasi Penelitian

Rock Quality Designation (RQD)

Nilai ini dihitung menggunakan pendekatan

scanline dengan terlebih dahulu menghitung

besar frekunsi kekear persatuan panjang dan

didapatkan frekuensi keker pada lereng adalah

untuk LA I 1,533, LA II 1,2 dan untuk LA III

0,818, Nilai RQD dapat dilihat di tabel 3 nilai

rating RQD.

Tabel 3. Nilai RQD

No Kode

Lokasi

Range of

values

Nilai

RQD Rating Rock Quality

1 LA01 90%-100% 98,9% 20 Very Good

2 LA02 90%-100% 99,2% 20 Very Good

3 LA03 90-100% 99,6% 20 Very Good

Spasi Kekar

Kekar pada 3 jenis lereng yang diamati terdapat

jumlah kekar yang berbeda-beda dengan kondisi

lereng yang dipengarui oleh kondisi geologi,

unutk melihat nilai spasi kekar dapat di lihat pada

(Tabel 4).

Tabel 4. Nilai Rating spacing of discontinuity

(Bienawski, 1989)

Condition of Discontinuity (Kondisi

Diskontinuitas)

Kondisi diskontinuitas dipengaruhi adanya

kemenerusan diskontinuitas (persistence), bukaan

(aperture), kekasaran permukaan (roughness),

pengisi (infillings), dan tingkat pelapukan

(weathering) nilai kondisi diskontinuitas dapat

dilihat pada (Tabel 5).

Tabel 5. Condition of Discontinuity (Kondisi

Diskontinuitas)

Groundwater Condition (Kondisi Airtanah)

Kondisi airtanah massa batuan pada lokasi

penelitian didasarkan pada kondisi air yang

muncul atau kelembaban permukaan lereng.

Secara umum, lereng pada daerah penelitian

memiliki kondisi yang kering hingga basa.

Tabel 6. Kondisi air tanah pada lokasi penelitian

(Bienawski, 1989)

No

Jarak Lapangan(m)

Slope (°) Ket Crest-Toe Toe-Crest

Tinggi

Lereng(m)

Lebar

Lereng(m)

1 28,21 61.12 24.7757° C1-T3

No Kode

Lokasi

Range of

values

Nilai Rata-

rata spacing Rating Description

1 LA01 0.6-2 m 0,65 m 15 Moderate

2 LA02 0.6-2 m 0,83 m 15 Moderate

3 LA03 0.6-2 m 1,22 m 15 Moderate

Ko

de L

ok

asi

Pers

iste

nce

Apert

ure

Ro

ug

hn

ess

Infi

llin

gs

Wea

theri

ng

Rati

ng

LA01 1-3 m

4

0,1-1.0 m

4

Smooth

1

soft

clay

<5mm 2

Moderately

weathered

3

14

LA02 1-3 m 4

0,1-1.0 m 4

Rough 5

Slightly weathered

5

20

LA03 1-3 m

4

0,1-1.0 m

4

Rough

5

Slightly

weathered 5

20

Kode Lokasi Groundwater

Condition Rating

LA01 Damp 10

LA02 Completely dry 15

LA03 Completely dry 15

Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

150

Rekapitulasi Pembobotan Rock Mass Rating

(RMR)

Nilai bobot Rock Mass Rating (RMR)

dari lima parameter yang didapatkan, maka total

nilai RMR yang diperoleh pada lokasi penelitian

dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 7. Total nilai dan klasifikasi RMR

Analisis Kinematika

Analisis kinematik dilakukan untuk

mengetahui persebaran set diskontinuitas pada

setiap lereng sehingga dapat diketahui tipe

keruntuhan yang berpotensi terjadi. Persebaran

set diskontinuitas diperoleh dari contour plot data

orientasi seluruh diskontinuitas pada perangkat

lunak Dips 6.0. Metode stereografis digunakan

untuk membantu mengidentifikasi jenis

keruntuhan/longsoran yang mungkin terjadi pada

suatu lereng batuan.

Scenline I Lereng Arafa

Berdasarkan pola-pola diskontinuitas dan

kedudukan lereng menunjukan adanya model

keruntuhan/longsoran baji (Wedge Failure) yang

dibentuk oleh dua set diskontinuitas yaitu JS1

dan JS2 dengan banyaknya set diskontinuitas

yang memotong satu lereng yaitu 23 dengan

panjang scenline 15 m.

Gambar 3. Kondisi Scenline Pada lereng Arafa I

Scenline I Lereng Arafa Berdasarkan pola-

pola diskontinuitas dan kedudukan lereng

menunjukan adanya model keruntuhan/longsoran

baji (wedge failure) yang dibentuk oleh dua set

diskontinuitas yaitu JS1 dan JS2, memiliki sudut

penunjan yang dibentuk oleh perpotongan kedua

set diskontinuits tersebut (plunge intersection) (Ψi)

sebesar 34° dengan sudut geser dalam (Φ) sebesar

25° sudut geser dalam ditentukan berdasarkan

kelas masa batuan, dan kemiringan lereng (Ψf)

sebesar 70°.

Gambar 4. Analisis Kinematika Pada Scenline

Lereng Arafa 1

Scenline II Lereng Arafa

Berdasarkan pola-pola diskontinuitas dan

kedudukan lereng dengan arah N50°E

menunjukan adanya model keruntuhan/longsoran

bidang (toppling failure) yang dibentuk dengan

12 set diskontinuitas yang terdiri dari Fault

dengan panjnag scenline 10 m, dan plot

diskontinuitas tersebut menghasilkan satu JS1.

Gambar 5. Kondisi Scenline Pada lereng Arafa II

Berdasarkan syarat kinematik untuk tipe

longsoran bidang yang ditetapkan, maka dapat

dikatakan bahwa longsoran bidang pada

scenline Lereng II Kemunkinan berpotensi karena

memenuhi syarat tersebut (Gambar 5).

Gambar 6. Analisis Kinematika Pada Scenline

Lereng Arafa 2

Kode

Lokasi Nilai RMR Kelas Deskripsi

LA01 66% III Cukup

LA02 77% II Baik

LA03 77% II Baik

Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

151

Scenline III Lereng Arafa

Berdasarkan pola-pola diskontinuitas dan

kedudukan lereng dengan arah N26°E

menunjukan adanya model keruntuhan/longsoran

bidang (toppling failure) yang dibentuk dengan 9

set diskontinuitas yang terdiri dari Fault dengan

panjnag scenline 11 m, dan plot diskontinuitas

tersebut menghasilkan satu JS1, (ɑp) yang

hampir paralel dengan arah kemiringan muka

lereng (ɑf), atau dengan kata lain arah kemiringan

JS1 N 58° E berada dalam zona kritis (antara

ɑf + 160° dan ɑf - 200°).

Gambar 7. Kondisi Scanline Pada Lereng Arafa III

Berdasarkan syarat kinematik untuk tipe

longsoran bidang yang ditetapkan, maka dapat

dikatakan bahwa longsoran bidang pada scenline

III Lereng Kamunkinang berpotensi karena

memenuhi syarat tersebut (Gambar 7).

Gambar 8. Analisis Kinematika Pada Scenline

Lereng Arafa 3

Slope Mass Rating (SMR)

Berdasarkan karakterisasi massa batuan

dan analisis kinematik yang telah dilakukan

dapat diketahui kondisi kestabilan lereng dari

analisis SMR. Nilai SMR merupakan gabungan

antara nilai RMR dengan hubungan kedudukan

set diskontinuitas terhadap kedudukan lereng

berdasarkan tipe keruntuhan dari analisis

kinematik. Hasil karakterisasi massa batuan

menunjukkan nilai RMR sebesar 66%-77%

(kelas III dan II) dengan kualitas fair rock-good

rock. Hasil analisis kinematik menunjukkan

potensi keruntuhan berupa keruntuhan bidang

(toppling failure) dan keruntuhan baji (wedge

failure) serta orientasi set diskontinuitas yang

menyebabkan potensi keruntuhan tersebut.

Tabel 8. Data tipe keruntuhan, orientasi lereng,

dan orientasi set diskontinuitas

berdasarkan analisis kinematik.

Kode Tipe

Longsoran αs βs αj/αi βj/βi

C1-T1 Baji 95° 70° 188° 71°

C2-T2 Bidang 50° 47° 65° 40°

C3-T3 Bidang 26° 58° 39° 20°

Pengolahan seluruh data variabel RMR,

F1, F2, F3, dan F4 dengan rumus SMR

menghasilkan nilai SMR (Tabel 8) yang dapat

dikategorikan menjadi kelaskelas kestabilan

lereng.

Tabel 9. Total Nilai Dan Klasifikasi SMR

Ko

de

RM

R

F1

F2

F3

F4

Nila

i SM

R

Kela

s

Desk

ripsi

C1-T1 66% 0,70 0,15 -60 0 59,7 III Sedang

C2-T2 77% 1,00 0,70 -60 0 35 IV Buruk

C3-T3 77% 0,70 0,70 -60 0 47,6 III Sedang

Analisis Kestabilan Lereng Menggunakan

Metode Bishop

Metode analisis kestabilan lereng yang

digunakan dalam penelitian adalah metode

bishop. Harga perbandingan ini adalah faktor

keamanan atau Safety factor. Data geometri

lereng aktual yang dihasilkan dan data material

properties dimasukkan pada software Slide V.6.0

dari Rocscience maka diperoleh faktor keamanan

lereng. Geometri lereng merupakan kenampakan

visual lereng di lapangan. Pengukuran Geometri

lereng dilakukan dengan menggunakan

pengukuran data lapangan untuk mengetahui

tinggi lereng, jarak datar dan sudut kemiringan

Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

152

lereng. Untuk data analisis lereng dapat dilihat

pada tabel 5.12 berikut ini:

Tabel 10 . Geometri Lereng

Kode Jarak Datar

(m) Tinggi (m) Slope (°)

LA01 17,48 m 5,85 65

LA02 17,49 m 8,22 73

LA03 16,84 m 7,84 74

Metode Bishop bekerja berdasarkan

prinsip keseimbangan batas yaitu menghitung

kekuatan geser yang akan mempertahankan

kemantapan, dibandingkan dengan besarnya

tegangan geser yang bekerja. Untuk melihat data

cohesi, sudut geser yang didapatkan dari hasil

perhitungan RMR untuk mengetahui kualitas

masa batuan pada lereng tersebut (tabel 3.9), dan

beban yang bekerja pada lereng dapat dilihat pada

tabel 5.13 berikut ini:

Tabel 11. Data Analisis Lereng Metode Bishop

(Bieniawski, 1989)

Kode Cohesi

(Kpa)

Sudut Geser

Dalam (°)

Beban

(kN/m2)

LA01 200 25 6610

LA02 300 35 6610

LA03 300 35 6610

Gambar 9. Analisis Lereng Penambangan Front Arafa 1

Gambar 10. Analisis Lereng Penambangan Front Arafa 2

Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

153

Gambar 11. Analisis Lereng Penambangan Front Arafa 3

Hasil analisis kestabilan lereng yang

dianalisis dengan menggunakan metode bishop

dengan bantuan software slide untuk mencari nilai

FK pada tiga lereng yang diamati dengan hasil

nilai FK yang didapatkan dapat dilihat pada tabel

12 berikut ini:

Tabel 12. Hasil nilai faktor kemanan dengan

menggunakan software Slide 6

Kode Kohesi

(Kpa)

Sudut

Geser

dalam (°)

Beban

pada

lereng

(kN/m2)

Nilai FK Kondisi

Lereng

LA01 200 25 6610 1,144 Jenuh

LA02 300 35 6610 1,914 Kering

LA03 300 35 6610 1,876 Kering

Dari hasil analisis yang didapakan dengan

mengunakan metode bishop yang bekerja

berdasarka prinsip kesetimbangan batas, dengan

data yang diperoleh dari hasil perhitungan

klasifikasi masa batuan (RMR) yang dilakukan

untuk mengetahui kondisi lereng tersebut dengan

beberapa parameter yang digunakan untuk

memperoleh data yang dibutuhkan antara lain

cohesi dengan nilai 200-300 Kpa dan untuk sudut

geser dalam 25°-35°(Tabe 5.13), yang ditentukan

berdasarkan klasifikasi masa batuan. Faktor

keamanan yang digunakan berdasarkan

hasianalisis metode Bishop untuk nilai FK yang

digunakan dengan kondisi yang dilihat yaitu

kondisi jenuh air pada lokasi penelitian dengan

memiliki nilai FK 1,144 dengan kondisi jenuh air

pada lereng arafa.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian kemantapan

lereng pada PT. Gag Nikel, Distrik Waigeo

Barat kepulauan, Kabupaten Raja Ampat,

Provinsi Papua Barat, dapat disimpulkan:

1. Faktor keamanan lereng individu adalah

untuk Lereng individu berdasarkan

karateristik massa batuan menggunakan

metode bishop, nilai FK yang dikatakan aman

dengan kondisi lereng kering yang didapatkan

pada lereng C2-T2 dan C3-T3 dengan nilai

FK 1,914 dan 1,879 sedangkan untuk kondisi

lereng jenuh air yaitu C1-T1 memiliki nilai FK

1,144 dikatakan kondisi tersebut dalam kondisi

tidak aman.

2. Pada kondisi ini nilai FK yang digunakan

yaitu 1,144 dengan kondisi jenuh air pada lereng

C1-T1, kondisi ini digunakan agar melihat

kondisi yang paling buruk atau paling kritis

pada lereng tersebutpada front penambangan

arafa.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

berbagai pihak yang telat membantu dalam

proses penelitian ini khususnya kepada

Bapak/Ibu Dosenjurusan teknik pertambangan,

Unipa yang telah membantu penulis dalam

menulis skripsi dan menyusunya dan juga

kepada PT. Gag Nikel, yang telah memberikan

ijin untuk melakukan penelitian skripsi.

Rumsowek dan Birawaputra INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

154

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Atlas Sumberdaya Wilayah

Pesisir Kabupaten Raja Ampat, Propinsi

Irian Jaya Barat. Waigeo: Konsorsium Atlas

Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat.

Bienawski, 1989. Metode Klasifikasi Massa

Batuan Rock Mass Rating (RMR).

Clearesta Elsura Jannah.2013. Analisis

Kestabilan Lereng Massa Batuan Pada

Ruas Jalan Tawaeli-Toboli Km 34-39,

Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi

Tengah.

Golightly and Elias, 1981-1998, Definis Nikel

Laterit.

Romana. 1985. Klasifikasi Massa Batuan

Terhadap Lereng Batuan.

Supriatna dkk.1995. Kondisi Geologi Pulau Gag,

Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua

Barat.

Sukandarrumidi. 2006. Metode Penelitian

Deskriptif dan Kuantitatif.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

155

ANALISIS PENGARUH KEMIRINGAN JALAN ANGKUT

TERHADAP KONSUMSI BAHAN BAKAR DUMP TRUCK HINO

500 FG 235 JJ

Rinaldi R. Wincono1), Juanita R. Horman2)

Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan

Universitas Papua

Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Email: 1) [email protected], 2) [email protected]

Abstract

Dump truck is one of the mechanical equipment that become the main conveyance in mining activity

especially in open pit. In its use dump trucks require a variety of operational needs, one of them the need

for fuel oil (diesel). Transportation Activities conducted by PT. Sumber Anugrah Buana using Hino 500

FG 235 JJ type hauling equipment. Transportation distance from the mining front to the stockyard of 120

meters is divided into two segments, segment A-B and B`-C with each slope of 10% -20%. The average

fuel consumption of Hino 500 FG 235 JJ is 7.11 liter / hour. Based on the results of the analysis is known

that the slope of the haul road greatly affect the large consumption of diesel fuel. Fuel consumption is most

needed when traversing an uphill road with a 30% (+) road slope. On the uphill road there are several

forces as a vehicle inhibitor.

Keywords: gradient hauling road, fuel consumption

Abstrak

Dump truck merupakan salah satu alat mekanis yang menjadi alat angkut utama pada kegiatan

penambangan khususnya pada tambang terbuka. Dalam penggunaannya dump truck membutuhkan

berbagai kebutuhan operasional, salah satunya kebutuhan akan bahan bakar minyak (solar). Kegiatan

Pengangkutan yang dilakukan PT. Sumber Anugrah Buana menggunakan alat angkut tipe Hino 500 FG

235 JJ. Jarak pengangkutan dari front penambangan ke stockyard yaitu 120 meter terbagi menjadi dua

segmen yaitu segmen A-B dan B-C dengan masing-masing memiliki kemiringan 10%-20%. Rata-rata

konsumsi bahan bakar Hino 500 FG 235 JJ yaitu 7,11 liter/jam. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa

kemiringan jalan angkut sangat mempengaruhi besar konsumsi bahan bakar solar. Konsumsi bahan bakar

paling banyak dibutuhkan saat melintasi jalan yang menanjak dengan kemiringan jalan (+) 30%. Pada jalan

yang menanjak terdapat beberapa gaya-gaya sebagai penghambat kendaraan.

Kata Kunci: kemiringan jalan angkut, konsumsi bahan bakar.

Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

156

PENDAHULUAN

Latar Belakang

PT. Sumber Anugrah Buana merupakan salah

satu perusahaan kontraktor yang bergerak dibidang

pertambangan batu pecah (bancuh tak terpisahkan)

yang terletak di Distrik Makbon Kabupaten Sorong

Provinsi Papua Barat. Operasi kegiatan

penambangan dilakukan menggunakan sistem

tambang terbuka dengan metode quarry.

Bahan bakar merupakan bahan material yang

dikonsumsi untuk menghasilkan energi. Pada sektor

pertambangan penggunaan bahan bakar didasarkan

pada jenis peralatan dari setiap kegiatan

penambangan. Salah satu bahan bakar yang umum

digunakan yaitu bahan bakar cair (solar), digunakan

pada peralatan mekanis untuk melakukan aktivitas

dasar penambangan yaitu pembongkaran,

pemuatan, dan pengangkutan, serta kegiatan

penunjang yaitu pengolahan.

Dalam industri pertambangan, alat angkut

dipakai untuk mengangkut material sepanjang

puluhan kilometer hingga ratusan kilometer setiap

tahun sehingga bahan bakar menjadi komponen

utama yang berkontribusi besar pada biaya operasi

penambangan.

Besar kecilnya konsumsi bahan bakar

kendaraan tidak hanya tergantung pada karakteristik

mesin saja, tetapi juga dipengaruhi oleh gaya gerak

kendaraan, kondisi jalan angkut, kecepatan dan

tenaga. Variabel utama dalam gaya gerak kendaraan

adalah tahanan gulir dan tahanan kemiringan,

kondisi jalan angkut adalah kondisi permukaan

jalan dan kemiringan jalan.

Berdasarkan KEPMEN Energi dan Sumber

Daya Mineral RI No. 1827 K/30/MEM/2018

tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik

Pertambangan Yang Baik, kemiringan jalan

tambang tidak boleh lebih dari 12 %. Jalan angkut

di PT. Sumber Anugrah Buana memiliki

kemiringan yang tidak sesuai, di mana kemiringan

jalan maksimal sebesar 20%. Semakin besar

kemiringan jalan semakin besar konsumsi bahan

bakar, sehingga kemiringan jalan menjadi salah satu

faktor utama terhadap konsumsi bahan bakar. Oleh

karena itu dilakukan suatu analisis pengaruh

kemiringan jalan angkut terhadap konsumsi bahan

bakar

METODOLOGI PENELITIAN

Pada penelitian ini menggunakan penelitian

eksplanatori yaitu suatu penelitian yang berusaha

untuk menguji hipotesis yang menyatakan

hubungan sebab-akibat antara dua variabel atau

lebih. Pengumpulan data dilakukan dengan cara

melakukan pengamatan dan pengambilan data

secara langsung dilapangan. Data yang diambil

meliputi data primer dan data sekunder. Data primer

yang diambil meliputi jarak pengangkutan, waktu

tempuh dan kemiringan jalan tiap segmen.

Sedangkan data sekunder yang diambil meliputi

berat jenis material, spesifikasi alat angkut, dan

densitas solar.

Data primer dan sekunder yang diperoleh

akan digunakan untuk perhitungan konsumsi bahan

bakar, kecepatan alat angkut, tahanan kemiringan,

tahanan gulir dan tenaga yang diperlukan.

DASAR TEORI

Tahanan Yang Mempengaruhi Gaya Gerak

Kendaraan

Tahanan Gulir

Nilai dari suatu tahanan gulir dipengaruhi

oleh berat, semakin besar berat yang diterima oleh

ban akan menyebabkan semakin besar nilai dari

tahanan gulir, hal ini berhubungan dengan gaya

tarik yang diperlukan untuk mendorong kendaraan.

Secara praktik tahanan gulir dapat dihitung

dengan menggunakan rumus:

RR = Wr x Crr (1)

Dimana Wr merupakan berat kendaraan (kg)

dan Crr merupakan koefesien tahanan gulir.

Koefesien tahanan gulir dapat dilihat pada tabel 1

Tabel 1 Koefesien Tahanan Gulir

No Kondisi Permukaan Jalan

Nilai

Koefesien

(%)

1 Jalan Terpelihara dan ban tidak

terbenam 2

2 Jalan terpelihara dan ban agak

terbenam 3.5

3 Ban terbenam, sedikit basah 5

4 Keadaan jalan jelek 8

5 Jalan berpasir gembur, jalan

kerikil 10

6 Keadaan jalan jelek 15-20

Sumber: Tenriajeng, 2003

Tahanan Kemiringan

Tahanan kemiringan adalah gaya berat yang

melawan atau membantu gerak kendaraan karena

kemiringan jalur jalan yang dilaluinya. Tahanan

kemiringan dapat dihitung dengan rumus:

GR= Wk x Kemiringan Jalan (%) (2)

Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

157

Dimana Wk merupakan berat kendaraan dan

GR adalah tahanan kemiringan (Kg).

Kondisi Jalan Angkut

Kemiringan Jalan (Grade)

Pada umumnya kemiringan jalan

berhubungan langsung dengan kemampuan alat

angkut. Kemiringan jalan angkut biasanya

dinyatakan dalam satuan (%). Kemiringan jalan

secara keseluruhan dapat dihitung dengan rumus:

Grade = Δh

Δx x 100 % (3)

Dimana Δh merupakan beda tinggi (meter)

dan Δx merupakan jarak datar (meter).

Perkerasan Jalan

Berdasarkan sifat dasarnya, material

perkerasan diklasifikasikan menjadi empat kategori,

yaitu :

- Material berbutir

- Material terikat

- Aspal

- Beton semen

Tenaga (Power)

Power atau tenaga adalah banyaknya usaha

yang harus dilakukan per satuan waktu. Sedangkan

usaha adalah gaya yang diperlukan untuk

memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat

lain dimana gaya ini dapat berupa dorongan, tarikan

atau mengangkat.

Pada alat mekanis satuan tenaga yang lebih

sering digunakan adalah horsepower atau tenaga

kuda. Untuk mengetahui nilai horsepower pada

mesin dapat digunakan rumus:

HP = Tenaga tarik � v

375 x eff. mesin (4)

Dimana v merupakan kecepatan (mil/jam),

HP merupakan tenaga dan 375 merupakan nilai

konversi (1 HP = 550 ft lb/sec).

Minimum Fuel Consumption Rate

Minimum konsumsi bahan bakar perlu

diketahui dalam perhitungan konsumsi bahan bakar.

Biasanya nilai ini didapat dari kurva performa

mesin. Kurva performa mesin terdiri dari beberapa

parameter yaitu torsi mesin, horsepower engine,

rasio konsumsi bahan bakar dan kecepatan putar

mesin (rpm).

Perhitungan Konsumsi Bahan Bakar

Untuk menentukan besarnya konsumsi bahan

bakar dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

m = ma + mk (5)

Dimana m merupakan masa konsumsi bahan

bakar (gram/jam), ma adalah masa konsumsi bahan

bakar dari loading point ke dumping point, dan mk

adalah masa konsumsi bahan bakar dari dumping

point ke loading poin.

Untuk memperoleh nilai ma dan mk dapat

menggunakan rumus:

ma+mk = (Pa x Bfa) + (Pk x Bfk) (6)

Dimana Pa adalah tenaga dump truck untuk

mengangkut material dari loading point ke dumping

point (PS), Pk adalah tenaga yang dibutuhkan dump

truck untuk kembali dari dumping point ke loading

point (PS), Bfa adalah brake specific fuel

consumption dari loading point ke dumping point

(gr/PS/h) dan Bfk adalah brake specific fuel

consumption dari dumping point ke loading point

(gr/PS/h).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Peralatan Yang Digunakan

Gambar 1. Dumptruck Hino 500 FG 235 JJ

Peralatan yang digunakan dalam kegiatan

pengangkutan yaitu dumptruck Hino 500 FG 235 JJ.

Alat angkut yang digunakan sebanyak satu unit.

Segmen Jalan

Gambar 2. Penampang melintang jalan angkut

Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

158

Jarak jalan angkut dari front penambangan ke

stockyard di PT. Sumber Anugrah Buana yaitu 120

meter terdiri dari dua segmen yaitu segmen A-B dan

B-C dengan jarak antar segmen yaitu 60 meter.

Pengamatan dilakukan pada jalur angkut dimana

setiap jalur angkut memiliki kemiringan jalan yang

berbeda.

Gambar 3. Kemiringan Jalan Segmen B-A

Gambar 4. Kemiringan Jalan Segmen A-B

Gambar 5. Kemiringan Jalan Segmen B-C

Tabel 2. Kemiringan jalan tiap segmen pada jarak

angkut 120 meter

No Segmen Grade

(%) (ᴼ)

1 A-B (-) 20 (-) 11,4

2 B-C (-) 10 (-) 5,7

3 C-B (+) 10 (+) 5,7

4 B-A (+) 20 (+) 11,4 Sumber: Data yang diolah

Keterangan:

(-) : Kondisi jalan menurun

(+) : Kondisi jalan menanjak

Kecepatan Pengangkutan

Berdasarkan hasil pengukuran dilapangan

jarak angkut dari front penambangan ke stockyard

yaitu 120 meter. Waktu tempuh rata-rata saat

mengangkut muatan yaitu 0,015 jam. Waktu

tempuh rata-rata saat kembali kosong yaitu 0,016

jam.

Berdasarkan data di atas dapat diketahui

kecepatan rata-rata saat mengangkut muatan yaitu

7,95 km/jam atau 4,93 mil/jam dan kecepatan rata-

rata saat kembali yaitu 7,46 km/jam atau 4,63

mil/jam.

Tenaga tarik

Pada penelitian ini satuan tahanan gulir dan

tahanan kemiringan menggunakan satuan British

yaitu lb (pound). Diketahui nilai tahanan gulir saat

mengangkut muatan yaitu 1.112,26 lb dan saat

kembali kosong 353,78 lb. Sedangkan nilai tahanan

kemiringan saat mengangkut muatan yaitu 31.779

lb dan saat kembali kosong yaitu 10.108 lb.

Tabel 3. Total tahanan No Segmen Total Tahanan (Lb)

1 A-B (-) 8421,44

2 B-C (+) 3386.18

Sumber: Data yang diolah

Tenaga (Power)

Pada penelitian ini satuan tenaga

menggunakan satuan PS (pferdestarke) sesuai

dengan satuan yang ada di spesifikasi Hino 500 FG

235 JJ.

Tabel 4. Tenaga yang diperlukan No Segmen Tenaga (PS)

1 A-B 0

2 B-C 53,31

Sumber: Data yang diolah

Saat diposisi turunan tenaga tarik bernilai

negatif karena tahanan kemiringan lebih besar dari

tahanan gulir. Artinya dump truck bergerak dengan

memanfaatkan gaya tarik gravitasi bumi akibat

kemiringan jalan. Sehingga dalam perhitungan

tenaga, tenaga yang dihasilkan minus (-) dan

dianggap nol.

Konsumsi Bahan Bakar

Tabel 5. Konsumsi bahan bakar

No Segmen

Jalan

Tenaga

Tarik

Lb

Tenaga

PS

Bahan

Bakar

liter/jam

1 A-B -8421,44 0 0

2 B-C 3386,18 53,31 7,11

Sumber: Data yang diolah

Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

159

Penentuan BSFC pada penelitian ini diperoleh

melalui kurva performance mesin berdasarkan

penggunaan putaran mesin. Putaran mesin yang

dihasilkan dump truck Hino 500 FG 235 JJ yaitu

2.500 rpm.

Berdasarkan tabel 4.4 konsumsi bahan bakar

dump truck terdapat perbedaan antara jalan yang

dilalui menurun dan menanjak. Hal ini disebabkan

karena pada saat posisi turunan tenaga yang

dihasilkan yaitu negatif, sehingga dalam

perhitungan masa konsumsi bahan bakar dianggap

nol.

Gambar 6. Kurva Performance Mesin

Pembahasan

Konsumsi Bahan Bakar Dump Truck Hino 500 FG

235 JJ

PT. Sumber Anugrah Buana melakukan

kegiatan pengangkutan dengan menggunakan

dumptruck tipe Hino 500 FG 235 JJ sebanyak 1 unit.

Kegiatan pengangkutan dilakukan dari front

penambangan ke stockyard dengan jarak 120 meter.

Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui rata-

rata konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan yaitu

7,11 liter/jam.

Pengaruh Kemiringan Jalan Terhadap Konsumsi

Bahan Bakar

Terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi konsumsi bahan bakar. Kemiringan

jalan angkut menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi besar atau kecilnya konsumsi bahan

bakar. Kemiringan jalan angkut dapat

mempengaruhi tenaga tarik, kecepatan dan tenaga.

Gambar 7. Kurva Pengaruh Tahanan Kemiringan

Jalan Terhadap Bahan Bakar

Pada jalan yang menanjak kemiringan jalan

yang semakin tinggi menyebabkan kecepatan mesin

berkurang, oleh sebab itu dibutuhkan tenaga yang

cukup untuk menarik kendaraan dan muatan yang

diangkut.

Lintasan jalan angkut yang dilalui dump truck

Hino 500 FG 235 JJ pada saat bermuatan yaitu

menurun dengan kecepatan rata-rata 4,93 mil/jam

sedangkan pada saat kosong lintasan yang dilalui

adalah menanjak. Lintasan jalan angkut terbagi

menjadi dua segmen yaitu segmen A-B dan B-C.

Kemiringan jalan pada dua segmen yaitu 10-20%.

Berdasarkan tabel data konsumsi bahan bakar

pada tabel 4.4 terdapat perbedaan konsumsi bahan

bakar saat melintasi jalan yang menurun dan

menanjak. Konsumsi bahan bakar saat melintasi

jalan yang menanjak lebih besar dibanding saat

melintasi jalan yang menurun. Perbedaan ini terjadi

karena saat melintasi jalan yang menurun dengan

kemiringan jalan (-) 20% gravitasi bumi akan

mempercepat laju dump truck, sehingga dump truck

menggunakan exhaust breake untuk mengontrol

laju. Exhaust breake merupakan rem bantuan yang

diaplikasikan pada beberapa kendaraan diesel

medium. Exhaust breake dapat mempengaruhi

konsumsi bahan bakar, karena rem ini bekerja

dengan menahan gas buang dengan otomatis

menahan mesin untuk bekerja dan mencegah mesin

untuk melakukan pembakaran bahan bakar. Pada

saat menanjak gaya-gaya yang melawan adalah

gravitasi, tahanan gulir dan gesekan internal.

Sehingga pada saat melintasi jalan yang menurun

ada torsi negatif, artinya tidak diperlukan gaya

pendorong atau gaya yang bekerja pada roda = 0.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang

telah dilakukan di PT.Sumber Anugrah Buana,

dapat disimpulkan rata-rata konsumsi bahan bakar

alat angkut Hino 500 FG 235 JJ adalah 7,11

liter/jam.

Wincono dan Horman INTAN Volume 2, Nomor 2, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

160

DAFTAR PUSTAKA

Wong, J. Y. 2010. Theory Of Ground Vehicles Third

Edition, Journal of applied Minning

Willey-IEEE.

Sukandarrumidi. 2012. Metodologi Penelitian.

Gadjah Mada University Press.

Merlin, Nabella. dkk. 2016. Analisis Pengaruh

Kemiringan Jalan dan Jarak Angkut

Terhadap Konsumsi Bahan Bakar dan Fuel

Ratio Pada Kegiatan Penambangan

Batuan Andesit Di PT. Gunung Sampurna

Makmur, Desa Rengasjajar Kecamatan

Cigedug, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Jurnal Prosiding Teknik Pertambangan.

Vol.2 No1.Tahun.2016

Tenriajeng, Andi, 2003. Pemindahan Tanah

Mekanis.

Prodjosumarto, Partanto. 1996. Pemindahan Tanah

Mekanis. Jurusan Teknik Pertambangan.

Institut Teknologi Bandung.Bandung.

Indonesianto, Yanto. 2001. Pemindahan Tanah

Mekanis. Jurusan Teknik Pertambangan.

Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran”. Yogyakarta.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Volume 2, Nomor 1, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

PETUNJUK PENULISAN INTAN JURNAL PENELITIAN

TAMBANG

(CENTER, TIMES NEW ROMAN 16, BOLD)

Penulis 11), Penulis 22), Penulis 33)

1) 3)Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Universitas Papua

Jl. Gunung Salju Amban Manokwari 2)Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Papua

Jl. Gunung Salju Amban Manokwari

Email: 1)[email protected], 2)[email protected], 3)[email protected]

Abstract

Abstract title is written with Times News Roman style (10 pt and bold) and centered format. The

distance between abstract with Author address is 2 spaces (10 pt). the body text of abstract was written

italic style (10 pt) amounts 150-200 words, with left margin and right margin 35 mm and 30 mm from edge.

Key words written under the abstract text arranged in alphabetical order and separated by a semicolon.

Title keywords written with regular format with 11 pt bold font while the key words in italics (italic).

Abstract was written in English and Indonesian, if article was written in Indonesian. If article was written

in English, abstract was written in English. The titles article was written before the contents of the abstract

format Bold UPPER CASE.

Keyword: abstract, keyword, title, writing guidelines

Abstrak

Judul abstrak ditulis dengan huruf Times New Roman rata tengah dengan format 10 pt bold. Jarak

antara judul abstrak dengan nama lembaga adalah 2 spasi (10 pt). Jarak antara teks abstrak dengan judul

abstrak adalah 1 spasi (10 pt). Abstrak ditulis dengan huruf miring (Italic) sepanjang 150-200 kata, dengan

margin kiri 35 mm dan margin kanan 30 mm. Abstrak ditulis dengan format satu kolom. Kata kunci ditulis

di bawah teks abstrak, disusun urut abjad dan dipisahkan oleh tanda titik koma. Judul kata kunci ditulis

dengan format regular dengan font 11 pt bold sedangkan kata kuncinya ditulis dengan huruf miring (italic).

Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, jika artikel berbahasa Indonesia. Jika artikel

berbahasa inggris maka abstrak cukup ditulis dengan bahasa Inggris saja. Judul dalam abstrak ditulis

sebelum isi abstrak dengan format UPPER CASE Bold.

Kata kunci: abstrak, kata kunci, judul, petunjuk penulisan

Penulis INTAN Volume 2, Nomor 1, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

PENDAHULUAN

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

diterbitkan sejak 2018 dengan frekuensi 2 (dua)

kali setahun setiap bulan Mei dan November.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang dicetak dari

artikel-artikel yang dikirim ke Redaksi INTAN

Jurnal Penelitian Tambang setelah melalui proses

review oleh Dewan Redaksi dan/atau Mitra

Bebestari. Setiap artikel yang dikirimkan harus

terbebas dari unsur plagiarsm maupu

autoplagiarsm.

INTAN Jurnal Penelitian Tambang sebagai

jurnal nasional dikembangkan dengan sistem

pengelolaan secara online. Proses submitted

/pendaftaran artikel dan proses telaah artikel

dikerjakan secara online.

Artikel dapat ditulis dalam bahasa Inggris

atau bahasa Indonesia yang baik dan benar. Artikel

dapat berupa hasil-hasil penelitian, kajian pustaka,

maupun analisis serta pemecahan permasalahan

yang relevan dengan bidang ilmu teknik

pertambangan, yang belum pernah dipublikasikan

dalam media publikasi lainnya.

METODE PENULISAN

Petunjuk Umum

Artikel harus ditulis pada kertas HVS ukuran

A4 (210 x 297 mm). Artikel ditulis tanpa nomor

halaman dan disusun dengan urut-urutan topik

bahasan: Pendahuluan, Metode Penelitian Hasil

dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima

Kasih (kalau ada), Daftar Notasi (jika ada) dan

Daftar Pustaka. Abstrak dan Judul ditulis dalam 2

(dua) bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa

Inggris.

Petunjuk Penulisan

Artikel diawali dengan judul artikel dengan

font 16 pt bold format UPPER CASE. Nama

penulis ditulis di bawah judul dengan format Title

Case font 12 pt bold. Nama penulis ditulis lengkap

tanpa gelar akademik. Nama lembaga (institusi

asal, alamat, nomor telepon, nomor faksimil dan e-

mail) ditulis di bawah nama penulis dengan huruf

Times New Roman dengan format Title Case, 11

pt. Jika penulis lebih dari satu, hendaknya ditulis

email untuk penulis korespondensi (corresponding

author). Judul artikel, nama penulis dan nama

lembaga ditulis rata tengah. Jarak antara judul

dengan nama penulis adalah 2 spasi (10 pt) dan

jarak antara nama penulis dengan nama lembaga

adalah 1 spasi (10 pt).

Isi artikel ditulis dengan format margin kiri

25 mm, margin kanan 20 mm, margin bawah 20

mm dan margin atas 30 mm. Jarak header dari tepi

kertas adalah 20 mm, dan jarak footer dari tepi

kertas (edge) adalah 13 mm. Artikel diketik dalam

program MS Word dengan jenis huruf Times New

Roman dengan font 11 pt, 1 spasi dan dalam format

dua kolom. Setiap artikel terdiri atas maksimum 15

halaman (termasuk gambar dan tabel) dan ditulis

justified. Penulisan paragraf di tepi kiri baris

dengan jarak peralihan paragraf baru 10 pt (awal

paragraf menjorok ke dalam).

Sub judul ditulis dengan huruf tebal dengan

format UPPER CASE dan disusun rata kiri tanpa

nomor dan garis bawah. Sub sub judul ditulis

dengan huruf tebal dengan format Title Case dan

disusun rata kiri tanpa nomor dan garis bawah. Sub

sub sub judul ditulis dengan huruf tebal dengan

format Sentence case dan disusun rata kiri tanpa

nomor dan garis bawah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar dan Tabel

Gambar dan Tabel diletakkan di dalam

kelompok teks dan diberi keterangan. Gambar dan

tabel diikuti dengan judul gambar yang diletakkan

di bawah gambar yang bersangkutan dan judul

tabel yang diletakkan di atas tabel yang

bersangkutan. Judul gambar dan judul tabel diberi

nomor urut. Gambar dijamin dapat tercetak dengan

jelas walaupun diperkecil sampai 50%. Gambar

atau diagram/skema sebaiknya diletakkan di antara

kelompok teks. Gambar tidak dibingkai. Untuk

gambar atau grafik yang berwarna, mohon

dikirimkan softfile bersamaan dengan file tulisan

jika ingin dicetak berwarna. Tabel yang

ditampilkan tanpa garis vertikal, sedangkan garis

horisontal hanya ditampilkan 3 garis horisontal

utama yaitu 2 garis horisontal untuk item judul

kolom dan garis penutup dari baris paling bawah.

Gambar 1. Yield glukosa dengan suhu yang

berbeda untuk powder biomassa yang

tetap 5 g/L, pada konsentrasi enzim

30% dan pH 4,5

Penulis INTAN Volume 2, Nomor 1, 2019

INTAN Jurnal Penelitian Tambang

Tabel 1. Komposisi mikroalga spesies Tetraselmis

chuii

Komponen Komposisi

(%w/w)

α-sellulosa 47,2 %

Hemisellulosa 35,5%

HWS 17%

Persamaan

Persamaan ditulis rata tengah dan diberi

nomor yang ditulis di dalam kurung. Nomor

tersebut ditempatkan di akhir margin kanan dari

kolomnya.

D = ������ ��

+ B���������

���

(1)

Penulisan Kutipan/Cuplikan

Sistem penulisan kutipan/cuplikan suatu

naskah atau literatur menggunakan sistem Harvard.

Sumber pustaka dituliskan di dalam uraian hanya

terdiri dari nama penulis dan tahun penerbitannya.

Contoh: Usaha-usaha untuk mencari sistem

penyimpanan panas yang lebih baik telah banyak

dilakukan, diantaranya adalah menggunakan panas

laten peleburan dari PCM (Yanadoro dan Matsuda,

2006 untuk satu atau dua penulis ; Sutrisno dkk.,

2011; Smith et al., 2011 untuk penulis lebih dari

dua). Menurut Sanyono (2010), ………dst.

KESIMPULAN Artikel dikirimkan/didaftarkan secara online

dengan cara mengakses website dari INTAN Jurnal

Peneltian Tambang dengan alamat sebagai berikut;

http://jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan/index.

Setiap Penulis harus mempunyai user name

dan kata kunci/Password untuk bisa mendaftarkan

artikelnya. Data pada bagian Metadata harus diisi

secara lengkap dari semua Penulis. Setiap

mendaftarkan artikelnya dapat dilengkapi dengan

Surat Peryataan yang menyatakan bahwa artikel

terbebas dari konflik dan plagiarism. Bagi calon

Penulis yang belum bisa submitted secara online

dapat menghubungi Redaksi melalui jalur E-mail

dengan alamat [email protected] atau

[email protected]

Setiap artikel yang masuk akan dilakukan

telaah oleh Dewan Redaksi dan/atau Mitra

Bebestari. Korespondensi akan ditujukan kepada

penulis pertama. Penulis harus segera memperbaiki

artikel sesuai petunjuk reviewer. Jika artikel telah

dinyatakan diterima baik Major Revision maupun

Minor Revision, maka Penulis harus memperbaiki

artikel paling lama 0,5 bulan setelah

pemberitahuan. Jika penulis tidak segera

memperbaiki artikelnya, maka pada saat

mengirimkan artikel akan dianggap sebagai

pendaftaran baru (New Submission).

Redaksi berhak menolak artikel yang dikirim

apabila tidak relevan dengan bidang teknik

pertambangan, tidak up to date atau sudah pernah

dipublikasikan dalam majalah ilmiah lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka disusun menurut abjad tanpa

penomoran dan jarak antara daftar pustaka adalah

½ spasi (5 pt). Aturan penulisan yang digunakan

adalah sebagai berikut :

Pustaka yang berupa majalah/jurnal

ilmiah/prosiding:

Sumin, L., Youguang, M.A., Chunying, Z.,

Shuhua, S., and Qing, H.E., (2009), The

Effect of Hydrophobic Modification of

Zeolites on CO2 Absorption Enhancement,

Chinese Journal of Chemical Engineering,

17(1), pp. 36-41.

Pustaka yang berupa judul buku :

Fogler, H.S., (2006), Elements of Chemical

Reaction Engineering, 4th, Prentice Hall

International, Upper Sadle River, New

Jersey, pp. 47-93

Pustaka yang berupa disertasi/thesis/skripsi :

Djaeni, M., (2008), Energy Efficient Multistage

Zeolite Drying for Heat Sensitive Products,

PhD Thesis, Wageningen University, The

Netherlands.

Pustaka yang berupa paten:

van Reis, R.D., (2006), Charged Filtration

Membranes and Uses Therefore, US Patent

7,001,550.

Pustaka yang berupa HandBook :

Knothe, G., van Gerpen, J., and Krahl, J., (2005),

The Biodiesel Hanbook, AOCS Press,

Campaign, Illionis, USA, pp. 70-84

INTAN Jurnal Penel i t ian Tambang

Jurusan Teknik Pertambangan

Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTPP)

Universitas Papua, Gedung Teknik, Jalan Gunung Salju, Amban,

Manokwari, Papua Barat

Telepon : 085244058187

Website : jurnal.unipa.ac.id/index.php/intan

ISSN 2655-3473