ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI DAN IBNU KASTIR … · 2013. 5. 13. · Skripsi berjudul...
Embed Size (px)
Transcript of ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI DAN IBNU KASTIR … · 2013. 5. 13. · Skripsi berjudul...

ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI
DAN IBNU KASTIR
(Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap
Penyusupan Israiliyyat Dalam Tafsirnya)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta
Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Theologi Islam (S.TH.I)
Oleh:
Nur Alfiah
(106034003549)
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2010 M

ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI DAN
IBNU KATSIR; Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan
Israiliyyat Dalam Tafsirnya telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Desember 2010. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam
(S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis.
Jakarta, 20 Desember
2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si. Muslim, S. Th.I.NIP: 19651129 199403 1 002
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. M. Suryadinata, MA. Dra. Hermawati, MA. NIP: 19600908 198903 1 005 NIP: 19541226 198603 2 002
Pembimbing,
Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA.NIP: 19550725 20001 2 001

iii
KATA PENGANTAR
‚.Alhamdulillah, tiada kata yang pantas terucap selain pujian dan rasa
syukur kehadirat Allah SWT. Atas izin, rahmat, hidayah serta karunian-Nya,
sehingga penulis diberikan jalan kemudahan dan kemampuan untuk
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam, semoga senantiasa tercurah
kepada Nabi Muhammad Saw, seorang Nabi pembawa perubahan, Sang
revolusioner dalam segala aspek kehidupan dan rahmat sekalian alam dan seorang
teladan yang sempurna hingga akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Ibnu
Katsîr (sikap Ath-Thabarî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan Israiliyyat
Dalam Tafsirnya)”. Skripsi ini merupakan perjalanan akhir Penulis setelah sekian
tahun menuntut ilmu di bangku perkuliahan guna memenuhi persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin pada Jurusan
Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak menemukan kesulitan yang
dirasakan menghambat penyelesaian skripsi ini. Namun, berkat do’a, dorongan
dan bantuan dari berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

iv
Oleh karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati kepada pihak-
pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini, maka
penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Zainun
Kamal, M.A, beserta para Pembantu Dekan
2. Dr. Bustamin, M.Si Ketua Jurusan Tafsir–Hadis, Dr. Ummi Kaltsum,
M.A, Sekretaris jurusan Tafsir-Hadis.
3. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, sebagai pembimbing penulis, yang telah
banyak membantu penulis dalam penyelesain skripsi ini.
4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen Tafsir-Hadis
yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah
penulis mendapat setetes dari samudra Ilmu yang sangat bermanfaat.
5. Kepada keluarga besar H. Zaini dan H. Ahmad, terutama ayahandaku,
ibundaku, nenekku serta adik-adikku tersayang (Umar Zein dan Abdullah
Zein), yang telah banyak memberikan semangat dan mendo’akan penulis
dalam penyeselasian skripsi ini.
6. Kepada sahabat-sahabatku tercinta, Ahmad Fauzan, Monaya Fattiyyah,
Suryadi, Gilang, M.Yusuf, Mele dan khususnya Agung Satya, yang telah
memberikan semangat penuh dalam pembuatan skripsi ini.
7. Teman-teman penulis yang terkasih Riry, Kokom, Nur, Lia, Dayah, bang
Juri, mereka banyak memberika inspirasi untuk penulis. Untuk Rahmi,
Ziah, Zaenal, Tomi, Soimmuddin, Rahmat, Rizki, Syafiq, Mukhtar, Sule’,
seluruh mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007, khususnya TH B

v
satu dari ku untuk kalian semua ingat, kebersamaan kita begitu indah dan
tak akan bisa terlupakan. Thank you all for being such amazing friends of
me and support me for this journey. You are everything in my live.
Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang
masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan
penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis telah berupaya
menyelesaikan skripsi ini semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis
sebagai manusia biasa. Oleh karena itu, penulis meminta saran dan kritik yang
membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis
berharap semoga Allah Swt, memberikan balasan yang lebih baik dari semua
pihak pada umumnya.
Dengan segala kerendahan hati yang penulis miliki, penulis ingin
menyampaikan harapan yang begitu besar semoga skripsi ini bermanfaat buat
segenap pembaca, semoga juga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis
mendapat imbalan dari Allah Swt, karena hanya pada Allah jugalah penulis
memohon, semoga jasa baik yang kalian sumbangkan menjadi amal shaleh dan
mendapat balasan yang lebih baik dari Allah Swt. Amin ya Rabb..
Jakarta, Desember 2010
Penulis

vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................... 9
C. Ruang Lingkup Masalah ............................................................ 10
D. Kajian Pustaka............................................................................ 11
E. Metodologi Penelitian ................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 13
BAB II: SEKILAS TENTANG IBNU JARIR ATH-THABARI DAN
IBNU KATSIR
A. Ibnu Jarir Ath-Thabari................................................................ 15
1. Riwayat Hidup ath-Thabari.................................................. 15
2. Karya-Karya Ath-Thabari .................................................... 19
3. Metode Penulisan Tafsir Jami Al-Bayan ............................. 24
B. Ibnu Katsir.................................................................................. 29
1. Riwayat Hidup Ibnu Katsir .................................................. 29
2. Karya-Karya Ibnu Katsir...................................................... 30
3. Metode Penulisan Tafsir Al-Quran Al-Adzim..................... 33
BAB III: SEKILAS TENTANG ISRAILIYYAT
A. Pengertian Israiliyyat ................................................................. 39
B. Masuknya Israiliyyat ke Dalam Tafsir ....................................... 44
C. Klasifikasi Israiliyyat ................................................................. 47
D. Hukum Meriwayatkan Kisah-Kisah Israiliyyat ......................... 51
E. Perawi Riwayat Israiliyyat ......................................................... 54
1. Perawi Dari Kalangan Sahabat ............................................ 55
2. Perawi Dari Kalangan Tabi’in ............................................. 56

vii
3. Prawi Dari Kalangan Pengikut Tabi’in ................................ 58
F. Pandangan Ulama Terhadap Riwayat Israiiliyyat...................... 59
BAB IV: PERBANDINGAN ANALISA SIKAP ATH-THABARI DAN
IBNU KATSIR TERHADAP ISRAILIYYAT
A. Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Israiliyyat Dalam
Tafsirnya .................................................................................... 62
1. Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun...... 62
a. Q.S. Al-Maidah[5] : 20-26 ............................................. 62
b. Ringkasan Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat
puluh Tahun ................................................................... 64
c. Komentar Ibnu jarir dan Ibnu Katsir.............................. 67
2. Kisah Harut dan Marut........................................................ 69
a. Q.S. Al-Baqarah[2] : 101-103........................................ 69
b. Ringkasan Kisah Harut dan Marut................................. 71
c. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir ............................. 73
3. Dzulqarnain .......................................................................... 80
a. Q.S. Al-Kahfi[18] : 83 ................................................... 80
b. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir ............................. 80
4 . Kisah Sapi Betina Bani Israel. ............................................. 85
a. Q.S. Al-Baqarah[2] : 67-74............................................ 85
b. Ringkasan Kisah Sapi Betina Bani Israel....................... 87
c. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu katsir .............................. 88
B. Analisa Perbandingan Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir
Terhadap Penyusupan Israiliyyat ............................................... 91
C. Pandangan Ulama Dalam Menyikapi Israiliyyat .......................101
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................106
B. Saran-Saran ................................................................................107
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................108

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI1
KonsonanHuruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
B be
T te
Ts te dan es
J Je
H h dengan garis bawah
Kh ka dan ha
D da
Dz De dan zet
R Er
Z Zet
S Es
Sy es dan ye
S es dengan garis bawah
D de dengan garis bawah
T te dengan garis bawah
Z zet dengan garis bawah
‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
Gh ge dan ha
F Ef
Q Ki
K Ka
L El
M Em
N En
W We
هـ H Ha
‘ Apostrof
Y Ye
1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan FilsafatUIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105

ix
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
___َ___ a fathah
____ِ__ i kasrah
___ُ___ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
_َ___ي ai a dan i
و__ َ__ au a dan u
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـَـا â a dengan topi di atas
ــي î i dengan topi di atas
ـــو û u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

x
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No Kata Arab Alih aksara
1 طريقة tarîqah
2 al-jâmî ah al-islâmiyyah
3 wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-
Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah kalam Allah yang tiada tandingannya, diturunkan
kepada nabi Muhammad Saw, penutup para Nabi dan Rasûl dengan perantara
malaikat Jibril alahis salam, dimulai dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri
dengan surat an-Nâs.2 Al-Quran merupakan suatu kitab yang ayat-ayatnya
disusun dengan rapi serta dijelaskan dengan terperinci.
Sebagaimana Allah berfirman dalam sûrah Hûd ayat 1 :
“Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapiserta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang MahaBijaksana lagi Maha tahu.”
Al-Quran adalah satu-satunya pesan samawi yang mampu menjaga
orisinalitasnya sepanjang sejarah. Al-Quran telah mengarungi jalan panjang
sejarah dengan selamat, selalu sesuai dengan zaman. Kitab ini terjaga dari
segala bentuk manipulasi dan kerusakan zaman. Hal ini sebagaimana firman-
Nya dalam surat al-Hijr ayat 9:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kamibenar-benar memeliharanya.”
2 Prof.Dr.Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu al-Quran, (Bandung: CV PustakaSetia), Cet I, h. 15

2
Redaksi ayat di atas mengandung penekanan (ta’kid) bila dilihat dari
beberapa segi yang diketahui oleh para pengkaji sastra Arab, diantarannya:
penggunaan redaksi ilmiah (redaksi yang menggunakan kata kerja), serta
memperkuatnya dengan huruf “Inna’’ dan masuknya ”Lam Muakkidah”
terhadap kabar ”La Hâfidzun”.3 Redaksi ayat-ayat al-Quran, sebagaimana
setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat diijangkau maksudnya
secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian
menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab yang mengandung banyak
kemungkinan arti, dari khas dan ‘am, muthlak dan muqayyad, mantuq dan
mafhum.4 Semua itu ada yang dipahami dari isyarat dan ada yang dipahami
dengan ibarat. Kemampuan manusia dalam memahami berbeda-beda. Ada
yang memahami makna secara zahir, ada yang mampu memahami makna-
makna yang dalam, dan ada yang mampu memahami bukan makna
sebenarnya. Kemudian al-Quran juga diturunkan berkenaan sesuatu sebab dan
kejadian, jika hal itu diketahui akan menambah pemahaman dan membantu
memahami al-Quran dengan benar.5
3 Yusuf Qardawi, Berinteraksi Dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press), Cet I, h.39
4 Khas: Lafaz yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya.‘Am: Lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya.Muthlaq: Lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu pembatas.Muqayyadd: Lafaz yang menunjukkan suatu hakikat dengan batasan.Manthuq: Makna yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan
makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.Mafhum: Makna yang ditunjukkan oleh lafaz tdak berdasarkan pada bunyi ucapan.5 Yusuf Qardawi, Berinteraksi Dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press), Cet I, h.
286

3
Penafsiran al-Quran tidak dapat dipisahkan dengan upaya
memahaminya dalam rangka mengambil hidayah-Nya, karena upaya ke arah
itu merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, terlebih Allah
sendiri menyuruh hamba-hambanya terutama orang Islam untuk menerangkan
kandungan-kandungan al-Quran.
Terdapat berbagai macam sumber yang dijadikan sandaran oleh para
ulama dan ahli tafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran. Mereka berusaha
untuk mengetahui pemahaman secara detail dan bisa diungkapkan dengan
kata-kata yang sesuai. Hal ini diupayakan agar pemahaman terhadap al-Quran
bisa dicapai oleh setiap manusia yang senang dengan al-Quran, agar manusia
bisa membaca, memahami dan mengamalkan isi kandungan ayat-ayat al-
Quran yang mengajak kepada kebaikan dunia dan akhirat.
Di antara sumber referensi yang dijadikan pegangan oleh para ahli
tafsir dalam menafsirkan al-Quran antara lain riwayat dari Rasulullah saw
tentang penafsiran ayat-ayat al-Quran yang global secara penjelasan-
penjelasan beliau tentang makna-makna ungkapan al-Quran secara terperinci.
Sebagai contoh, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw
pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang maksud dari kata al Muqtasimîn
dalam surat al-Hijr ayat 90, Rasulullah menjawab bahwa yag dimaksud dalam
ayat tersebut adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Lalu laki-laki itu bertanya lagi
tentang apa maksud dari ‘’idhin’’ pada ayat selanjutnya (al-Hijr ayat 91),

4
Rasulullah menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata itu adalah mereka
yang beriman dengan sebagian ayat dan kafir dengan sebagian yang lain.6
Pada periode abad ke 8 – 12M, tepatnya ketika Islam berada di bawah
pemerintahan dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan
dan kemajuan luar biasa. Dalam bidang ilmu agama, perkembangan dan
kemajuannya ditandai oleh kemunculan ulama-ulama besar dengan karya-
karyanya dalam bidang ilmu tafsir, hadis, qiraat, ilmu kalam, dan sejarah. Hal
serupa terjadi juga pada bidang sains dan filsafat, serta ilmu-ilmu seperti
kedokteran, optik, kimia dan matematika7.
Khusus dalam bidang ilmu tafsir, pengkajian dan pengembangannya
telah mencapai bentuk sistematis, meskipun tentu saja tanpa menafikan
kegiatan penafsiran yang sudah dimulai semenjak zaman Nabi. Para ulama
tafsir telah sepakat bahwa kegiatan penafsiran al-Quran dimulai oleh Nabi
sendiri. Kegiatan penafsiran pasca zaman Nabi kemudian dilanjutkan oleh
para sahabat dan penggantinya dalam bentuk riwayat8.
Ibnu al-Nadhim mencatat bahwa al-Farra (W.207 H) telah berhasil
menyusun kitab tafsir yang berjudul Ma’ani al-Quran sebanyak empat jilid.
Sejumlah ulama tafsir besar lainnya yang hampir semasa dengan al-Farra
adalah Syu’bah bin al-Hajjâj (w. 160 H), Waqi’ Hamzah bin al-Jarrah (w. 197
H ), Syufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah (w. 205), dan Abd ar-
6 Prof.Dr. Mani ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Jakarta; PT. Raja GrafindoPersada, 2006
7Ahmad Amin, Dhuhha Al-Islam, Jilid II, Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, Kairo,1939, hlm.13.
8 Ali Haan Al-Ridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV RajawaliPress, Jakarta, 1992, hlm.22-23.

5
Razâq (w. 211 H), juga menghasilkan karya-karya besar, tetapi sangat
disesalkan karya-karya mereka tidak dapat ditemukan lagi9.
Pengaruh keterbukaan Islam pada masa dinasti Abbasiyah terhadap
berbagai kebudayaan luar, terutama kebudayaan Yunani yang memicu
kelahiran mazhab rasional dalam Islam, yakni dipercayanya perkembangan
tafsir dengan kemunculan orientasi penafsiran ittijah bi ar-ra’yi yang
dipertantangkan dengan corak penafsiran bi al-matsur, yakni penafsiran al-
Quran dengan menggunakan penjelasan-penjelasan al-Quran, sunnah Nabi,
dan riwayat-riwayat yang berasal dari para sahabat dan tabiin. Para ulama
umumnya melihat orientasi penafsiran kedua lebih baik dari pada yang
pertama. Al-Qahthan umpamanya, memutuskan untuk mengikuti dan
mengambil orientasi pertama karena merupakan cara penafsiran yang paling
shahih dan paling aman dari kesalahan dan penyimpangan10. Penilaian itu ada
benarnya jika yang dimaksud adalah tafsir bi al-matsur yang berisi riwayat-
riwayat al-Quran sendiri. Akan tetapi, masalah lain ketika sesuai dengan
definisinya dalam jenis tafsir ini juga termasuk riwayat-riwayat yang
dinisbatkan dari Nabi, sahabat, dan tabi’in, yang kemungkinan besar terdapat
penyimpang-penyimpangan generasi sesudahnya karena ambisi tertentu.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bi-masur menempuh dua periode.
Periode pertama, terjadi pada masa Nabi dan para sahabatnya yang
berlangsung sekitar abad ke-1 dan ke-2 H. sedangkan periode kedua, adalah
masa pengkodifikasian tafsir. Pada periode ini dibukukan semua hadis yang
9 Ibnu An-Nazhim, Al-Fihrits, Kairo, 1348 H., hlm. 99.10 Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis,
Mesir, t.t., hlm. 25.

6
diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya, baik yang terjadi pada permulaan
tahun 100 dan 200 H11. Penanggalan sanad-sanad periwayatan pada periode
kedua menyebabkan banyak tersebar riwayat-riwayat yang kualitasnya tidak
diseleksi ketat oleh sebagian ilmu tafsir. Kondisi ini akhirnya memberi
peluang bagi hadis-hadis dan riwayat-riwayat palsu masuk kedalam tafsir yang
telah terkondifikasikan itu12.
Dengan demikian orientasi pemikiran bi al-matsur bukan tanpa
kelemahan. Yang dimaksud dengan kelemahan di sini adalah, telah disebutkan
oleh adz-Dzahabi, Pertama, masuknya unsur-unsur musuh Islam. Kedua,
bercampurnya antara riwayat yang shahih dan bathil13. Masuknya Israiliyyat
ke dalam Islam memang merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari
pembauran masyarakat muslim dengan komunitas Ahli Kitab disekitar jazirah
Arab. Tafsir dan hadis, keduanya dipengaruhi oleh kebudayaan Ahli Kitab
yang berisikan cerita-cerita palsu dan bohong. Israiliyyat juga dianggap
mempunyai pengaruh yang buruk. Israiliyyat dituliskan pula oleh sebagian
cendikiawan dengan mudah, sehingga kadangkala sampai pada keadaan
diterima walaupun jelas lemah dan terang bohongnya. Padahal itu semua
merupakan hal yang merusak akidah sebagian besar kaum muslimin, serta
11 Ali Haan Al-Ridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV RajawaliPress, Jakarta, 1992, hlm.22-23.
12 Ali Haan Al-Ridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV RajawaliPress, Jakarta, 1992, hlm.47.
13 Az-Zarqany, Manahil Al-Irfan, Juz II, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t., hlm.23-24.

7
menjadikan Islam dalam pandangan musuh-musuhnya sebagai agama yang
penuh khurafat dan hal-hal yang tidak masuk akal.14
Pengutipan Israiliyyat oleh sebagian mufassir sebagai salah satu
sumber penafsiran al-Quran, selama empat abad ini, yaitu semenjak
pengkodifikasian tafsir sampai sekarang, memperkaya khazanah perpustakaan
umat Islam dengan kitab-kitab tafsir yang memuat riwayat-riwayat Israiliyyat
dengan intensitas yang cukup beragam, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Persoalan Israiliyyat menjadi isu penting bagi mufassir modern.
Sebab Israiliyyat tidak hanya berkaitan dengan aspek teologis Islam yang
mengklaim sebagai agama yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi merujuk
pada ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani, juga pernyataan al-Quran yang
menyatakan kedua kelompok itu telah melakukan penyimpangan terhadap
kitab suci mereka, tetapi juga Israiliyyat pada umumnya berisi khurafat-
khurafat yang merusak akidah umat Islam. Sebagaimana dalam surat al-
Maidah[5] ayat 41,
“Wahai Rasul (Muhammad) ! Janganlah engkau disedihkan karena merekaberlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang munafik yangmengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hatimereka belum beriman; dan juga orang-orang Yahudi yang sangat sukamndengar berita-berita bohong dan sangat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka merubahkata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, “Jika iniyang diberikan kepadamu (yang sudah dirubah) terimalah, dan jika kamudiberi bukan ini, maka hati-hatilah.” Barang siapa dikehendaki Allah untukdibiarkan sesat, sedikit pun dari Allah untuk menolongnya. Mereka itu adalahorang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hatimereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapatazab yang besar.”
14 Muhammad Husaini Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis, (Bogor: PT. PustakaLitera Antar Nusa, 1993), Cet. 1, h.14

8
Menyadari akan bahayanya, Muhammad Abduh sangat gencar
mengkritik ulama tafsir yang menggunakan Israiliyyat sebagai penafsiran al-
Quran. Dalam nada yang lebih keras, Syaltut menuduh bahwa Israiliyyat telah
menghalangi umat Islam menemukan petunjuk-petunjuk al-Quran15.
Orientasi tafsir al-Quran yang menjadi objek kritikan para mufassir
modern dalam pengutipan riwayat Israiliyyat, adalah tafsir yang menggunakan
orientasi penafsiran bi al-matsur. Dalam hal ini, tafsir Jami’ al-Bayân fî Tafsîr
al-Qurân (selanjutnya disebut tafsir ath-Thabârî) karya Ibnu Jarîr al-Thabârî
dan Tafsîr al-Qurân al-Azîm (selanjutnya disebut tafsir Ibnu Katsîr) diduga
sebagai kitab tafsir yang banyak memuat Israiliyyat.
Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka penulis mencoba untuk
mengangkat tentang permasalahan ini, dengan menganalisa perbandingan
keberadaan riwayat Israiliyyat dalam kedua tafsir tersebut dikomentari atau
tidak, yaitu dengan tema: Isrâiliyyât Dalam Tafsir Ath-Thabârî dan Ibnu
Kastîr (Sikap Ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan
Isrâiliyyât Dalam Tafsirnya)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam sejarah penafsiran al-Quran, keberadaan Israiliyyat dalam kitab
tafsir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam16. Pertama,
15 Muhammad Syaltut, Fatwa-Fatwa, terj. Bustamin A. Gani, Bulan Bintang, Jakarta,1977, Juz I, hlm.95.
16 Kategori ini diungkapkan oleh Adz-Dzahabi dalam ‘’al-Tafsir wa al-Mufassirun”,menjadi enam kategori keberadaan riwayat Israiliyyat dan keenam kategori itu secara garis besar

9
Israiliyyat dikomentari oleh penulisnya. Komentar yang dimaksud adalah
menyangkut analisis terhadap kualitas sanad dan matan. Kategori ini
dipandang sebagai cara yang benar dalam mengemukakan Israiliyyat. Kedua,
riwayat Israiliyyat yang keberadaannya tanpa dikomentari apa-apa, yakni
tanpa penyebutan sanadnya, analisis terhadap kualitas sanadnya, analisis
terhadap isi Israiliyyat, dan penafsiran yang benar terhadap ayat yang
ditafsirkan dengan Israiliyyat. Poin-poin ini merujuk kepada studi kritis
terhadap riwayat hadis. Dalam studi kritik al-Hadis, hal yang ditinjau adalah
aspek sanad dan matan. Kategori yang kedualah yang kerap kali menjadi
objek kritikan para ulama tafsir.
Berkaitan dengan itu, penulisan skripsi ini membatasi dan memusatkan
perhatian kepada penyusupan riwayat Israiliyyat dalam tafsir Jâmi’ al-Bayân
fî Tafsîr al-Qurân (selanjutnya disebut tafsir ath-Thabârî) karya Ibnu Jarîr al-
Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azîm (selanjutnya disebut tafsir Ibnu Katsîr)
dengan penekanan pada analisis apakah keberadaannya dikomentari atau
tidak. Dengan kata lain, apakah ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr bersikap kritis
atau tidak, dan penulis juga merumuskan “Apa itu sebenarnya kisah-kisah
Israiliyyat dan Bagaimana kisah-kisah Israiliyyat tersebut dapat menyusup
kedalam kitab tafsir Jâmi’ al-Bayân karya ath-Thabârî dan tafsir al-Qurân al-
Azîm karya Ibnu Katsîr yang keduanya merupakan kitab yang banyak
dijadikan rujukan para pembaca”.
dapat dibagi ke dalam dua bagian. Lihat Adz-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 1., hlm. 95-98

10
C. Ruang Lingkup Masalah
Para ulama pada umumnya mengklasifikasikan Israiliyyat dalam tiga
bagian, yaitu:
1. Israiliyyat yang sejalan dengan Islam
2. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam
3. Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua
Pengklasifikasian itu dirumuskan dengan mengacu pada keterangan-
keterangan Nabi. Nabi sendiri tidak langsung membuat klasifikasi tersebut,
melainkan pemahaman para ulama terhadap keterangan-keterangan Nabi
tersebut yang memunculkan klasifikasi itu. Umpamanya, ada keterangan Nabi
yang membolehkan dan melarang meriwayatkan Israiliyyat, kemudian para
ulama mengklasifikasikan Israiliyyat pada yang sejalan dengan Islam dan
yang tidak sejalan dengannya. Namun, ada pula keterangan Nabi yang
menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan
Ahli Kitab, kemudian para ulama pun membuat klasifikasi Israiliyyat yang
tidak masuk bagian pertama dan kedua.
Berkaitan dengan itu, penulisan skripsi ini memusatkan perhatian
kepada:
1. Keberadaan riwayat Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam.
dalam tafsir Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr al-
Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr .
Diantaranya: Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh
Tahun, Kisah Harut Marut, dan Dzulqarnain.

11
2. Keberadaan riwayat Israiliyyat yang tidak termasuk keduanya
(tidak sejalan dan sejalan dengan Islam) dalam tafsir Jâmi’ al-
Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr
al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr. Yaitu, Kisah Sapi Betina
Bani Israel
Kesemuanya itu berdasarkan apakah keberadaan riwayat Israiliyyat
dikomentari atau tidak. Dengan kata lain, apakah ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr
bersikap kritis atau tidak terhadap riwayat Israiliyyat dalam kitabnya masing-
masing.
D. Kajian Pustaka
Diakui, bahwa kajian mengenai Israiliyyat bukanlah penelitian yang
baru. Sudah ada beberapa penelitian yang membahasnya. Diantaranya, dalam
bentuk buku, salah satunya adalah, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis karangan
Muhammad Husaini Zahabi. Dalam bentuk skripsi, adalah, “Israiliyyat Dalam
Kitab Tafsir Jâmi’ al-Bayân fî al-Tafsîr Karya ath-Thabârî” oleh Ali Akbar
dan “Studi Analitis Pandangan Israiliyyat Rasyid Ridho Dalam Tafsir al-
Manar” oleh Ahmad Zaki Mubarok.
Disini, penulisa berusaha menggabungkan antara dua penafsir yang
mengemukakan tentang Israiliyyat dalam tafsirnya. Yang lebih membedakan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah membandingkan antara
ath-Thabari dalam tafsir Jami al-Bayaan dengan Ibnu Katsir dalam tafsir al-
Quran al-Azhim dalam mengemukakan Israiliyyat, sehingga diharapkan

12
peneliti ini dapat memberi solusi yang baik terhadap beberapa pembahasan
serupa.
E. Metodologi Penelitian
Dalam proposal ini ada dua aspek metodologi penelitian yang digunakan:
1. Metode Pengumpulan Data
Kajian proposal ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan
(library Research), suatu metode dengan cara mengumpulkan data dan
informasi, baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel yang kemudian
diidentifikasi secara sistematis dan analisis, dengan bantuan berbagai
macam-macam material yang terdapat di ruang pustaka.
Sedangkan data-data yang diperlukan dan dicari itu dari sumber-
sumber kepustakaan yang bersifat primer, yaitu data yang berlangsung dan
diperoleh dari sumber data pertama, disebut dengan sumber utama. Dalam
hal ini yang menjadi sumber utamanya adalah kitab tafsir Jâmi’ al-Bayân
fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-
Azim karya Ibnu Katsîr. Dan sekunder, yaitu data yang lebih dahulu
diikumpulkan dan dilaporkan dari sumber-sumber yang lain. Disebut
dengan data pendukung.
2. Metode Pembahasan
Dalam metode pembahasan, penulis menggunakan metode
deskriftif analisis:
a. Metode deskriftif, yaitu suatu pembahasan yang bermaksud untuk
membuat gambaran mengenai data-data dalam rangka menguji

13
hipotesa atau menjawab pertanyaan, yang menyangkut keadaan pada
waktu sedang berjalan dari pokok masalah.
b. Metode analisis, yaitu suatu bahasan dengan cara memberikan
penafsiran-penafsiran terhadap data yang telah terkumpul dan tersusun.
Jadi metode deskriftif analisis adalah suatu pembahasan yang
bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah
tersusun dan terkumpul dengan cara memberikan tafsiran terhadap data
tersebut.
3. Teknik Penulisan
Secara Teknik penulisan skripsi ini disandarkan pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi IAIN Syarief
Hidayatullah Jakarta (2000)”.
F. Sistematika Penulisan
Penulis dalam menyusun skripsi ini, terdiri dari lima bab dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan dengan mengetengahkan sekitar latar belakang
masalah, identifikasi, batasan dan perumusan masalah, ruang lingkup masalah,
tinjauan pustaka, metodologi penelitian juga sistematika penulisan.
Bab II, Sekilas tentang Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr dengan
mencari tahu seputar riwayat hidupnya, karya-karya ilmiah dan murid-murid
beliau, serta metode dalam penulisan kitabnya.

14
Bab III, Membahas sekilas tentang Israiliyyat, masuknya israiliyyat ke
dalam tafsir, klasifikasi Israiliyyat itu sendiri, para perawi Israiliyyat, serta
pandangan ulama terhadap Israiliyyat itu sendiri.
Bab IV, Menganalisa dan membandingkan sikap ath-Thabârî dan Ibnu
Katsîr terhadap Israiliyyat yang terdapat dalam kitab Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr
al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya
Ibnu Katsîr. Dengan disertai contoh-contoh, pandangan mereka terhadap
Israiliyyat, serta pandangan ulama dalam menyikapi Israiliyyat.
Bab V, penutup berisikan tentang beberapa kesimpulan dari penulis
proposal ini disertai dengan saran-saran.
Daftar Pustaka

15
BAB II
SEKILAS TENTANG IBNU JARÎR ATH-THABÂRÎ DAN IBNU KATSÎR
A. Ibnu Jarîr Ath-Thabârî
1. Riwayat Hidup Ath-Thabârî
Pada penghujung abad ke-9 M/3H hingga pertengahan pertama
abad ke-10, dunia masih menyaksikan kemajuan-kemajuan keilmuan
dikalangan umat Islam. Hilangnya mazhab rasional Mu’tazilah17 setelah
al-Mutawakkil menghapusnya sebagai aliran resmi Negara, tidak membuat
Islam berhenti melakukan inovasi-inovasi keilmuan. Perubahan yang
terlihat setelah peristiwa ini barangkali hanya menyangkut intensitas
penggunaan nalar oleh umat Islam dalam rangka pengembangan keilmuan.
Bila dikalangan para penganut Mu’tazilah, peranan akal begitu dominan,
penekanan itu tidak begitu terlihat setelah aliran Mu’tazilah dihapus oleh
al-Mutawakkil.18
Studi atas naskah al-Quran mengalami banyak kemajuan pada awal
abad ke-10 H/632M karena adanya pengakuan resmi atas tujuh bacaan
sebagai satu-satunya yang sah, tindakan itu dilakukan oleh Ibnu Mujahid
17 Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah ataumemisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Mu’tazilah muncul di kotaBashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahankhalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalahseorang penduduk Bashrah murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Didalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang pemimpin Qadariyyahkota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkaritaqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, SiyarA’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).
18 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 55.

16
(w. 935 M / 313 H) untuk mengatasi ketidak mungkinan mengadakan
kesepakatan panuh atas perbedaan cara membaca al-Quran yang muncul
menjelang abad ke-9 M. Meskipun tujuh bacaan dari Ibnu Mujahid itu
tidak segera diterima oleh para ulama, sebelum Ibnu Mujahid wafat,
sebuah pengadilan mendukung pandangannya dengan mencela seorang
ulama yang membolehkan membaca teks konsonan sesukanya asal sesuai
dengan tata bahasa dan maknanya dapat diterima secara luas, sebagai
puncak generasi ulama tekstual pada fase perkembangannya.19
Pada saat itu, tafsir sudah merupakan suatu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri setelah sebelumnya merupakan bagian dari kitab-kitab
hadis. Sebagaimana disiplin ilmu lainnya, pada masa dinasti Bani Abbas,
tafsir dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan
tafsir ditandai oleh munculnya dua madrasah aliran tafsir bi al-matsur20
dan aliran tafsir bi al-rayî.21 Disamping itu, orientasi kajian tafsir sudah
memasuki berbagai disiplin ilmu seperti fiqih, kalam, sejarah, dan filsafat.
19 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 57.
20 Metode tafsir bil ma’tsur atau bir riwayah adalah metode menafsirkan Al-Qur’andengan merujuk pada pemahaman yang langsung diberikan oleh Rasulullah kepada para sahabat,lalu turun menurun kepada tabi’in; tabi’it tabi’in, dan seterusnya hingga masa sekarang. Metodeini mendasarkan tafsir pada kutipan-kutipan yang sahih sesuai urutan-urutan persyaratan bagi paramufasir. Yaitu: Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, Menafsirkan al-Quran dengan sunnah atauhadis, Menafsirkan pendapat para sahabat;para tabi’in.
21 Tafsir bil-ra’yî adalah metodologi penafsiran al-Quran berdasarkan rasionalitas pikiran(ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris (ad-Dirayah). Tafsir ini mengandalkan “ijtihad” seorangmufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat. Disamping aspek itu,kemamppuan tata bahasa, retrorika, etimologi, pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan denganwahyu, dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para mufassir.
Kata “ar-ra’yu” berarti “kebebasan pemikiran”, cenderung berkonotasi pada rasionalitasijtihad terhadap penafsiran al-Quran. Ini berarti al-Quran dianggap sebagai teks “fleksibel” yangsesuai dengan “kepentingannya”. Sehingga perlu adanya syarat-syarat tertentu yang membatasipengertian tafsir bi ar-rayî terutama dalam aplikasinya. Itihad yang dimaksud disini adalahberdasarkan dasar-dasar yangbenar dan kaidah-kaidah yang lurus. Jadi jelaslah bahwa tafsir birayȋ bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar gagasan yangterlintas dalam fikiran seseorang.

17
Di sisi lain tafsir bi al-matsur menghadapi persoalan yang sangat
serius, yaitu, pembauran antara riwayat-riwayat yang sahih dan yang
palsu. Seiring dengan masuknya unsur luar ke dalam Islam, tafsir ini pun
sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur luar itu.
Pada waktu yang sama perkembngan ilmu agama juga tampak pada
bidang hadis, fiqih, dan tasawuf. Diantaranya adalah periode konsolidasi
hadis berupa kegiatan kritik terhadap ribuan hadis dari tahun 850 M
sampai dengan tahun 945 M dan berhasil membuat enam kitab hadis yang
dikenal Kutub al-Sittah, yaitu, Sahih Bukhârî, Sahih Muslîm, Sunan at-
Tirmizî, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abû Dâud dan Sunan an-Nasâî. Dalam
bidang hukum Islam, pada periode 850 M sampai dengan tahun 945 M
tidak ada lagi usaha untuk membentuk mazhab baru. Sementara itu,
tasawuf telah mencapai bantuknya yang sempurna. Itulah sebabnya Abû
al-A’la Afifi menjelaskan bahwa pada abad ke-3 H / 624 M dan ke-4 H /
625 M merupakan zaman keemasan taswuf.22
Ditengah kondisi demikianlah, ath-Thabârî yang memiliki nama
lengkap Abû Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr Ibnu Yazid Ibnu Khalid ath-
Thabarî, beliau dilahirkan di Amul, ibu kota dari propinsi Tabaristan pada
tahun 224 H.23
Menurut para ahli sejarah, daerah ini dinamakan dengan Tabaristan
karena daerah tersebut merupakan daerah pegunungan, dan juga
22 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 57.
23 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Quran,(Bairut Dâr al-Fiqr), Jilid I, h.3.

18
penduduknya merupakan ahli dalam peperangan, dan alat yang digunakan
dalam berperang adalah: Tabar (dalam bahasa Indonesia sejenis
kampak).24
Beliau mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu dan kota
pertama yang beliau tuju adalah Ray dan daerah sekitarnya. Di sana ia
mempelajari hadis dari Muhammad bin Humaid ar-Razî. Selanjutnya, ia
menuju Baghdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal, tetapi ketika ia
sampai di sana, Ahmad bin Hanbal sudah wafat (pada tahun 241 H).25 Di
Kuffah, ia mengambil Qiraah dari Sulaiman al-Tulhi dan hadis dari
sekelompok jamaah yang diperoleh dari Ibrâhîm Abî Kuraib Muhammad
bin al-Ala al-Hamdani, salah seorang ulama besar hadis26. Pada tahun
253, ia sampai di Mesir dan pada tahun tersebut untuk beberapa saat ia
tinggal di Fustat kemudian mengunjungi Syam dan kembali ke Mesir pada
tahun 256 H. Pada saat di Mesir beliau belajar pada pemuka-pemuka
mazhab Syafi’I, diantaranya: ar-Rabi bin Sulaiman al-Muradi dan Ismail
bin Ibrâhîm al-Muzani dan lain-lainnya. Dari sana kemudian ia kembali ke
Baghdad, dan kembali ke Tabaristan, dan kembali ke Baghdad untuk
belajar dalam sisa umurnya, sampai ia meninggal dunia pada tahun
310H27. Demikianlah di setiap tempat yang dikunjungi ia berjumpa dengan
24 Musthafa as-Shawi al-Juwainy, Manahij fî at-Tafsîr, (Mesir: Nas’atu al-Ma’arif,Iskandariyah), h. 301.
25 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân,(Bairut Dar al-Fiqr), Jilid I, h. 3.
26 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 59
27 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân,(Bairut Dar al-Fiqr), Jilid I, h. 4.

19
ulama-ulama besar. Ia mengambil ilmu dari mereka tidak saja terbatas
pada bidang tertentu, tetapi semua disiplin ilmu yang memungkinkannya
digelari seorang ilmuan ensiklopedik.
2. Karya-Karya Ath-Thabârî
Seperti penulis telah sampaikan di atas, bahwa ath-Thabârî semasa
hidupnya merupakan seorang penuntut ilmu yang sangat giat sehingga
setiap perjalanannya selalu menuntut ilmu, beraneka ragam ilmu yang
digelutinya sehingga keahliannya tidak hanya terbatas pada bidng tafsir,
sejarah, fiqih, dan hadis, tetapi juga dalam bidang-bidang sastra,
leksikrografi, tata bahasa, logika, matematika, dan kedokteran.
Keluasan ilmu yang dimiliki ath-Thabârî diakui oleh para ulama.
Berikut komentar sebagian ulama terhadap ath-Thabârî :
1. Al-Khâtib al-Baghdadi, “ath-Thabârî adalah seorang pemuka ulama
yang ucapannya ditanggapi, pendapatnya dirujuk karena keluasan
ilmunya. Ia mendalami berbagai disiplin ilmu yang tidak dapat
dilakukan oleh siapapun pada masanya. Ia hafal al-Quran, mengetahui
berbagai ragam bacaan al-Quran, mengetahui makna-makna al-Quran,
dan faham hukum-hukumnya. Mengetahui hadis dan seluk beluknya,
mengetahui berbagai pendapat sahabat, tabi’in, dan orang-orang
sesudahnya. Mengetahui persoalan-persoalan halal dan haram, dan
mengetahui perjalanan sejarah umat. Ia menulis kitab monumental,
Tarrikh al-Umam wa al-Mulk dan kitab tafsir yang belum pernah

20
ditulis oleh siapapun. Ia pun menulis kitab Tahzib al-Atsar yang isinya
tidak ada bandingnya. Disamping itu, ia banyak menulis dibidang ilmu
ushul fiqh dan cabang-cabangnya. Ia memilih pendapat-pendapat ahli
fiqh”.28
2. Adz-Zahabi, “ath-Thabârî adalah seorang terpercaya, sadiq, hafiz,
bapak tafsir, imam dalam bidang fiqih, banyak mengetahui sejarah dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat manusia, mengetahui
qira’at, bahasa, dan sebagainya”.29
Mengenai karya-karya ath-Thabârî, tidak diperoleh informasi yang
pasti berapa banyak buku yang pernah ditulisnya. Namun ada beberapa
riwayat yang menunjukkan bahwa ia aktif menulis. Khâtib al-Baghdadi
mendengar dari Ali bin Ubaidillah al-Lughawi as-Samsi bahwa ia aktif
menulis selama 40 tahun dengan perkiraan setiap harinya menulis 40
lembar. Dengan demikian, selama 40 tahun diperkirakan ia menulis
sebanyak 1.768.000 lembar. Suatu kesaksian lainnya pernah diturunkan
oleh Abdullah al-Farqhani, ia menyebutkan bahwa sebagian murid ath-
Thabârî memperhitungkan bila jumlah kertas yang pernah ditulisnya
dibagi oleh usianya semenjak baligh sampai wafatnya, maka setiap hari, ia
menulis 14 lembar.30
Karya-karya ath-Thabârî tidak semuanya sampai ke tangan kita
sekarang. Diperkirakan banyak karyanya tentang hukum lenyap bersamaan
28 Al-Khatib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t., Juz II, h. 163.29 Abi al-Falah Abd al-Havy bin al-Imad al-Hanbali, Syadzarat Adz-Dzahabi fî Akbar
Man zahab, Juz III, Dar al-Fikr, Bairut, h. 332.30 Mustafa Ash-Shawi al-Juwaini, Manhaj fî at-Tafsîr, Mansya’ah al-Ma’arif,
Iskandariah, t.t., h. 304.

21
dengan lenyapnya mazhab jarîriyah. Di bawah ini adalah karya-karyanya
yang sampai ke tangan kita31:
a. Tafsir
Jami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân,32 Kitab tafsir ini merupakan
kitab tafsir yang paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting
bagi para mufassir bi al-matsur. Ibnu Jarîr memaparkan tafsir dengan
menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Ia juga
mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagian atas
yang lain. Para ulama berkompeten sependapat bahwa belum pernah
disusun kitab tafsirpun yang dapat menyamainya.33
b. Qira’at
Kitab al-Qiraat wa at-Tanzîl al-Qurân. Di dalam kitab ini
disebutkan perbedaan pendapat para qari tentang huruf-huruf al-Quran.
Di dalamnya pun diklasifikasikan nama-nama ahli qiraat Madinah,
Mekah, Kuffah, Syam, dan Basrah dengan disertai penjelas qira’atnya
masing-masing.
c. Hadis
Tahzîb al-Atsar wa Tafsil ats-Tsabit an Rasûlillah min al-
Akhbar. Kitab ini belum selesai ditulis ath-Thabârî dan tidak ada
seorang pun yang mampu menyempurnakannya. Kitab ini mula-mula
berbicara tentang hadis-hadis shahih yang datang dari Abû Bakar,
31Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan TafsirIbnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 62-64.
32 Nama ini berdasarkan percetakan yang berlaku saat ini. Ath-Thabari sendirimenamainya dengan Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayy al-Quran. Lihat ath-Thabari, Tarikh al-Umamwa al-Mulk, Juz I, Matba’ah al-Husainiyah, Mesir, t.t., h. 45
33 Manna Khali al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Litera Antar Nusa, 1996), Cet ke-3, h. 527.

22
kemudian, ia berbicara tentang setiap hadis beserta kecacatannya dan
jalan periwayatannya.
d. Fiqih
- Ikhtilaf ‘Ulûm al-Amsar fî Ahkâm Syara’I al-Islâm, di dalam kitab
ini disebutkan berbagai pendapat ulama yang berkaitan dengan
hukum-hukum syari’at.
- Latif al-Qaul fî Ahkâm Syara’I al-Islam, kitab ini memaparkan
mazhab fiqih ath-Thabârȋ sendiri.
- Al-Khafi fî Ahkâm Syar’I al-Islâm, kitab ini merupakan ringkasan
kitab di atas.
- Mukhtasar Manasik al-Hajj.
- Mukhtasar al-Faraidh.
- Kitâb fî ar-Radd ala ibn Abd al-hukm ala Malik.
- Kitâb Basit al-Qaul fî Ahkâm Syara’I al-Islâm
- Kitâb Adab al-Qaudah.
e. Usûluddin
- al-Basariah fî ma’alim Ad-din.
- Risalah al-Musammah bi Sarih as-Sunnah.
- Kitâb al-Mujaz fî al-Usul.
- Kitâb adab An-nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq An-nafisah.
f. Sejarah
- Tarikh al-Umam wa al-Mulk, kitab ini dipandang sebagai puncak
prestasi ilmiah ath-Thabari dalam menulis sejarah. Riwayat-

23
riwayat yang terkandung di dalamnya tidak dipandang oleh para
sejarawan sebagai asatir (dongeng-dongeng) dan kisah-kisah sebab
penulisannya didasarkan atas fakta riwayat dan musyafahah (oral)
yang merujuk pada sumber-sumber Arab. Bagian pertama kitab ini
berisi sejarah sebelum Islam yang menyangkut awal penciptaan,
kisah-kisah para Nabi, umat Persia, Romawi, Arab, dan Yahudi.
Adapun bagian kedua berisi sejarah Islam yang menyangkut
sejarah Rasulullah, sejarah Khulafa ar-Rasyidin, penakluk-
penakluk mereka, dan sejarah muslim pada masa dinasti
Amawiyah dan dinasti Abbasiah. Kitab ini tuntas ditulis pada tahun
302 H.
- Kitâb Zail al-Munzil, kitab ini terdiri dari seratus halaman, selesai
ditulis oleh ath-Thabari pada tahun 300 H. kitab ini berisikan
sejarah sahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka sampai ath-
Thabari. Di dalamnya pun disebutkan sejrah sahabat yang terbunuh
dan semasa Rasulullah.
- Kitâb Fadha’il Ali bin Abî Tâlib, bagian awal kitab ini
mengemukakan berita-berita yang shahih di sekitar peristiwa Gadir
Khum. Setelah itu diikuti dengan uraian keutamaan-keutamaan Ali.
- Kitâb Fadha’il Abi Bakr wa Umar.
- Kitâb Fadha’il al-Abbasi.

24
3. Metode Penulisan Tafsir Jami’ al-Bayân
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kitab Jami’ al-Bayân
karya Ibnu Jarîr merupakan salah satu kitab tafsir bi al-matsur.
Adapun metode yang dipakai oleh Ibnu Jarîr dalam penulisan kitab
tafsirnya adalah sebagai berikut:
1. Cara penyajiannya yang teliti dalam merangkai riwayat, dan beliau
sangat teliti dalam menyebutkan sanad, dan dalam pencantuman
riwayat, maka tafsir tersebut menjadi sangat istimewa dalam
pemikirannya.
Contoh: Dalam menjelaskan tentang diturunkannya Adam dan Hawa
ke bumi, beliau mencantumkan para periwayatnya, seperti dari Mûsa
bin Harun, berkata: dari Amru bin Humad, dari Asbath, dari Suddiyi,
dari Abi Malik, dari Abi Shalih, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari
Ibnu Mas’ud, dan setelah itu dilanjutkan kepada periwayatan. Dan
beliau lebih sering memakai kata “Haddatsana”, sebagai bentuk
bahwa sang perawi langsung mendengar dari yang meriwayatkan.34
2. Beliau menjauhkan dari penafsiran yang menggunakan orientasi bi al-
ra’yî. Dalam beberapa riwayat beliau melarang tafsir dengan orientasi
bi al-ra’yî, karena menurut baliau bahwa dalam penafsiran kitab Allah
tidak dapat diketahui ilmunya kecuali dengan keterangan Rasulullah
Saw.
34 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân,(Bairut: Dâr al-Fiqr), Jilid I, h. 229.

25
3. Dibantu dengan ilmu tata bahasa, ia mendefinisikan arti kalimat
terhadap kalimat yang lain.
Contohnya dalam menafsirkan kata “al-Basmaallah” beliau
mengatakan bahwa makna basmallah adalah memulai dengan
menyebut nama Allah, dan menyebut-Nya sebelum mengerjakan
sesuatu, atau dengan kata lain, beliau menyatakan makna lain dari
basmallah adalah saya membaca dengan nama Allah, saya berdiri dan
duduk karena Allah.35
4. Menyajikan dengan syair, dan dalam menjelaskan maksud kalimat
beliau benyak berlandaskan syair, terkadang disebutkan nama
pengarangnya dan terkadang cukup hanya dengan syairnya.
Contoh: Dalam menjelaskan kata”Faridhah” beliau menggunakan
syair sebagai berikut :
قريضةكماقريضةكانتSesungguhnya kewajiban harus kamu kerjakan sebagaimana zina wajibdikenakan Rajam36
5. Beliau pun menampilkan qira’at, karena beliau seorang ahli dalam hal
tersebut.
Contoh: Dalam menjelaskan ayat ” مالك “Abi ja’far berkata:
para ahli qira’at berbeda-beda dalam membacanya. Diantaranya ada
yang membaca ( ) dengan memendekkan pada ”mim”, dan
diantaranya ada yang membaca ( لِكِ ) dengan memanjangkan
35 Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir:Dâr al-Manar, 1991), h. 73.
36 Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir:Dâr al-Manar, 1991), h. 93.

26
pada “mim”, dan ada pula yang membaca ( ) dengan
menasabkan pada huruf “kaf”’.37
Kitab tafsir ini terdiri atas tiga puluh jilid dan menjadi referensi
utama serta pokok bahasan bagi tafsir-tafsir berikutnya. Kitab ini telah
dicetak dua kali di Mesir.38 Ibnu as-Subukhi menyatakan bahwa
bentuknya yang sekarang adalah ringkasan dari kitabnya yang asli.
Pada mulanya kitab ini dianggap hilang tetapi secara tiba-tiba dan
dalam waktu yang tidak lama, ditemukan sebagai milik pribadi Amir
Hamad Ibnu Amir Abd al-Rasyd, salah soerang Amir Najeed. Dalam
versi yang disampaikan Goldziher, manuskrip kitab ini ditemukan
pada masa kebangkitan percetakan pada awal abad ke-20-an. Namun
dalam versi Mahmud Syakir (yang mentashih Tafsir ath-Thabârî
sekarang) naskah kitabnya yang asli belum ditemukan.39
Tafsir ath-Thabârî mempunyai gaya bahasa tersendiri yang
memerlukan kesungguhan dan ketelitian ekstra untuk memahami
kandungannya.
Dalam hal ini Mahmud Syakir berkomentar:
“Banyaknya pasal-pasal dalam tafsir ath-Thabârî menyulitkansaya untuk memahami kitab ini. Untuk memahami maknanya,saya harus membaca dua sampai ttiga kali. Hal ini terjadi sebabmetode penulisan saya berbeda dengan metode yang digunakanath-Thabari. Akan tetapi, tanda baca dalam kitab itu sedikitmenolong memperjelas setiap ungkapan-ungkapannya.”
37 Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir:Dâr al-Manar, 1991), h. 102.
38 Thameem Ushama,Metodologi Tafsir al-Quran Kajian Kritis Objektif danKomprehensif, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000), Cet. I, h. 68.
39 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 65.

27
Disamping menggunakan gaya bahasa tertentu, ath-Thabârî pun
menggunakan metode dan orientasi tertentu. Tafsir ini menggunakan
metode tahlili40 karena menafsirkan ayat berdasarkan susunan mushafi,
sedangkan orientasi yang dignakannya adalah orientasi gabungan
karena tafsir ini menggabungkan orientasi penafsiran bi al-matsur dan
orientasi penafsiran bi al-ra’yî.41 Karena banyaknya jumlah hadis yang
dimasukkan didalamnya, tafsir ini hampir dinilai secara particular
menjadi contoh penting tafsir bi al-matsur. Namun Jami’ al-Bayân
lebih dari sekedar koleksi dan kompilasi materi tafsir yang luas.
Struktur karya yang sangat hati-hati menunjukkan dengan jelas
pandangan dan penilaian yang sungguh-sungguh. Ath-Thabârî sangat
jelas memahami isu-isu metodologi dari halaman-halaman pertamanya.
Ia mengawali karyanya dengan bab pengantar yang hampir mendekti
sejumlah pemikiran hermeneutik. Selain perhatiannya terhadap bahasa
dan leksikal, ath-Thabârî mendiskusikan status problematika tafsir bi
al-rayî (interpretasi dengan opini pribadi), keberatan orang-orang yang
menentang semua kegiatan penafsiran tersebut, dan reputasi penafsir-
penafsir sebelumnya, apakah mereka yang dihormati atau ditolak
dimasa yang lalu. Persoalan yang menjadi perhatian disini adalah bab
40Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud al-tafsir al-tahlili ialah metode penafsiran ayat-ayat al-Quran yang dilakukan dengan cara mendeskripsikanuraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran dengan mengikuti tertib susunanatau urutan-urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Quran itu sendiri dengan sedikit banyak melakukananalisis di dalamnya. Lihat Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran 2, Jakarta: PenerbitPustaka Firdaus, 2001, h. 110.
41 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 66.

28
dimana ath-Thabârî berusaha mendiskusikan berbagai macam cara
agar seorang individu sampai pada pengetahuan interpretasi (di sini ia
menggunakan istilah ta’wil42) al-Quran.43
Penggunaan kata ta’wil pada saat mengungkapkan pendapatnya
sendiri tentang penafsiran ayat-ayat tertentu merupakan kekhususan
kitab tafsir ini yang tidak dimiliki oleh kitab tafsir lainnya.
Nampaknya, ath-Thabari menggunakan kata itu dalam pengertian
“tafsir” sebagaimana umumnya digunakan para mufassir lainnya.
Dalam hal ini, as-Suyuti berkomentar bahwa motivasi ath-Thabârî
menamai kitabnya dengan Jami’ at-Ta’wil an al-Qurân adalah untuk
memperlihatkan bahwa kitab ini tidak hanya menyingkapkan makna
lafaz-lafaz al-Quran, tetapi juga disertai analisis struktur kalimatnya,
makna yang tersurat di dalamnya,, analisis bahasa, dan lain-lain.44
Berdasarkan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki tafsir ath-
Thabârî di atas, maka kitab ini kemudian mempunyai nilai tinggi. Di
dalam Lisan al-Mizan, disebutkan bahwa Ibnu Huzaimah pernah
meminjam kitab tersebut dan baru selesai dibacanya setelah dua tahun dan
42Secara bahasa, ta’wil berasal dari kata al-awl berarti ‘kembali’; atau dari kata al-ma’alberarti tempat kembali. Muhammad Husain Zahabi mengemukakan bahwa dalam pandanganulama salaf, ta’wil memiliki dua macam pengertian, Pertama, menafsirkan teks dan menerangkanmaknanya tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yangtersurat atau tidak. Kedua, ta’wil adalah substasi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itusendiri. Lihat Lihat Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran 2, Jakarta: Penerbit PustakaFirdaus, 2001, h. 19-20.
43 Research for Quranic studies (RQIS), Hermeneutik al-Quran: Pandangan ath-Thabaridan Ibnu Katsir, (Bandung: Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Gunung Jati, 2002), Vol. I, h.6
44Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 67.

29
menilai bahwa tidak ada mufassir yang lebih pandai dari pada ath-
Thabârî.45
B. Ibnu Katsîr
1. Riwayat Hidup Ibnu Katsîr
Dalam khazanah disiplin ilmu-ilmu al-Quran, dikenal dua tokoh
dengan nama Ibnu Katsîr. Pertama, Ibnu Katsîr dengan nama lengkap Abû
Muhammad Abdullah bin Katsîr ad-Dary al-Makky yang lahir di Mekkah
pada tahun 45 H/665M. Ia adalah seorang ulama dari generasi tabi’in yang
dikenal sebagai salah seorang imam tujuh dalam qira’ah sab’ah (bacaan
yang tujuh.46). Kedua, Ibnu Katsîr yang kitab tafsirnya menjadi objek
penulisan buku ini, yakni Ibnu Katsîr yang muncul lebih kurang enam
abad setelah kelahiran Ibnu Katsîr yang pertama. Nama lengkapnya adalah
Imâd ad-Din Abû al-Fidâ’ Ismâil bin al-Khatib Syihab ad-Din Abî Hafsah
Umar bin Katsîr al-Quraisy asy-Syafi’i.47 Ia lahir di Mijdal dalam wilayah
Basrah pada tahun 700 H/1300 M. Predikat al-Busrawy sering
dicantumkan di belakang namanya karena ia lahir di Basrah. Demikian
pula predikat ad-Dimasyqi sering menyertai namanya. Hal ini berkaitan
dengan kedudukan kota Basrah yang menjadi bagian kawasan Damaskus,
atau mungkin disebabkan kepindahannya semenjak kanak-kanak ke sana.
Pendapat lain mengatakan bahwa predikat al-Busry berkaitan dengan
45 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 68.
46 Subhi Shahih, Mabahits fî ‘Ulûm, Beirut: Dâr al-Qalâm, 1998) h. 248; KamaluddinMarzuki, ‘Ulûm al-Quran (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 104.
47 Muhammmad Basuni Faudah, Tafsir al-Quran: Perkenalan Dengan Metodologi Tafsir,terj.Mochtar Zaeni (Bandung: Pustaka, 1987), h.58.

30
pertumbuhan dan pendidikannya. Dan predikat Asy-Syafi’I berkaitan
dengan mazhabnya.48 Ia meninggal pada tahun 774 H/1374 M. Pada usia
sekitar tujuh tahun, pendapat lain mengatakan tiga tahun, Ibnu Katsîr telah
ditinggal wafat oleh ayahnya sehingga ia tidak sempat menerima didikan
langsung dari ayahnya. Ditangan kakaknyalah, Kamâl ad-Dîn Abd.
Wahhab, Ibnu Katsîr pertma kalinya meniti tangga keilmuan menyusul
kepindahannya ke Damaskus pada tahun 707 H. Kegiatan mencari ilmu
kemudian dijalaninya dengan lebih serius di bawah bimbingan para ulama
semasanya. Diantaranya adalah Baha ad-Dîn al-Qasimy bin Asakir (w.
723H), Ishaq bin Yahya al-Amidî (w. 728 H), Taqy ad-Dîn Ahmad bin
Taimiyyah (w. 728 H). Bahkan Ibnu Katsîr menjadi murid Ibnu Taimiyyah
yang terbesar.
2. Karya-Karya Ibnu Katsir
Berbagai cabang ilmu keislaman dipelajari secara mendalam oleh
Ibnu Katsîr, terutama hadis, fiqih, sejarah, dan tafsir. Dalam keempat
bidang ini dapat dijumpai karya-karya tulisnya sehingga wajar apabila
gelar a-Hadist, al-Muhaddits, al-Faqih dan al-Mu’arrikh melekat di depan
namanya49. Namun, popularitas karya-karyanya di bidang sejarah dan
tafsirlah yang memberi andil terbesar dan mengangkat namanya menjadi
tokoh ilmuwan yang dikenal di dunia Islam.
48Muhammad Nusaib ar-Rifa’I, Tafsir al-Ali al-Qadir li Ikhtishar Tafasir Ibnu Katsir (t.t.,Juz I), h. xi
49 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.

31
Karya tulis sejarah yang dimaksud adalah kitab al-Bidayah wa an-
Nihayah terdiri atas 14 jilid besar yang memaparkan berbagai peristiwa
yang terjadi semenjak awal penciptaan alam sampai dengan peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H atau enam tahun sebelum
wafatnya. Sedang karya tafsirnya yang dimaksud adalah Tafsîr al-Qurân
al-Adzîm atau sering disebut dengan nama Tafsir Ibnu Katsîr.50
Di bawah ini akan disebutkan beberapa karya Ibnu Katsir:
A. Dalam bidang Tafsir51:
- Tafsir al-Quran al-Adzîm, atau lebih dikenal dengan nama Tafsir
Ibnu Katsîr, diterbitkan pertama kali di kairo pada tahun 1342
H/1923 M.
- Fudhail al-Quran, kitab ini berisikan ringkasan sejarah al-Quran,
diterbitkan pada halaman akhir Tafsir Ibnu Katsîr sebagai
penyempurna.52
Di dalamnya banyak dipengaruhi kitab al-Siyasah al-Syar’iah
karya Ibnu Taimiyyah.
B. Dalam bidang Hadis53:
- Kitab Jami’ al-Masanid wa as-Sunah (Kitab penghimpun musnad
dan as-Sunah), yaitu kumpulan hadis-hadis yang terdapat di dalam
musnad Ibnu Hambal, kutûb al-sittah, dan sumber-sumber lainnya,
50 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.
51 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.
52 Abd al-Hayy al-Farawi, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Suryan A. Jamrah,(Jakarta: Rajawali Pers, 1994), h, 87-88
53 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.

32
berdasarkan nama para sahabat yang meriwayatkannya secara
alfabetis.
- Takhrij al-Hadis Adillah al-Tanbih li ‘Ulum al-Hadîs, dikenal
dengan al-Bait al-Hadîs, merupakan takhrij terhadap hadis-hadis
yang digunakan dalil oleh asy-Syiraji dalam kitabnya al-Tanbih.
- Al-Takmilah fî Ma’rifat as-Sighat wa al-Dhu’afa wa al Mujahil,
merupakan perpaduan dari kitab Tahzib al-Kamâl karya al-Mizzi
dan Mizan al-I’tidal karya Zahabi, kitab ini berisi riwayat perawi-
perawi hadis.
- Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîs, merupakan ringkasan dari kitab
Muqaddimah Ibnu Shalah (w. 642 H/1246 M), karya ini keudian
disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakir dengan judul al-Baits al-
Hadis fî Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîs.
- Syarah Sahih al-Bukhâri, merupakan kitab penjelasan terhadap
hadis-hadis Bukhâri tetapi tidak selesai dan kemudian dilanjutkan
oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (952 H/1449 M).
C. Dalam bidang Sejarah:
- Al-Bidayah wa al-Nihayah, kitab ini merupakan rujukan terpenting
bagi sejarawan yang memaparkan berbagai peristiwa sejak awal
penciptan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768
H. sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar:
Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat
penciptaan sampai kenabian Muhammad Saw., dan kedua, yaitu
sejarah Islam mulai dari periode Nabi Saw. di Mekkah sampai

33
pertengahan abad 8 H. kejadian-kejadian setelah hijrah disusun
berdasarkan tahun kejadian.
- Al-Kawaktib al-Darari, cuplikan dari al-Bidayah wa al-Nihayah.
- Al-Manaqib al-Imam as-Syafi’i.
- Thabaqah as-Syafi’iyah.
- Al-Fushul fi Shirat al-Rasul atau al-Sirah al-Nabawiyyah.
D. Dalam bidang Fiqih:
- Al-Jihad fî Talab al-Jihad, ditulis tahun 1368-1369 M, untuk
menggerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai
Lebanon (Syiria) dari serbuan raja Franks dari Cyprus, karya ini
banyyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibnu Timiyyah: al-
Siyasah al-Syariyyah.
- Kitab Ahkam, kitab fiqih yang didasarkan pada al-Quran dan hadis.
- Al-Ahkam ‘ala Abwab al-Tanbih, kitab ini merupakan komentar
dari kitab al-Tanbih karya asy-Syiraji.
3. Metode Penulisan Tafsir al-Quran al-Adzim
Metode penafsiran tafsir Ibnu Katsîr bila diteliti termasuk dalam
kategori tafsir tahlili yang bercorak bil-matsur54. Pada awal mukaddimah
tafsirnya beliau memberi keterangan:
54 Tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan aspek yangterkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta meneragkan makna-makna yang tercakupdi dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayattersebut. Sedangkan corak bil-ma’tsur yaitu menfsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Qurandengan as-Sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, al-Quran dengan perkataanpara sahabat, karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau apa yang dikatakan, ataudengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in, karena pada umumnya merekamenerimanya dari para sahabat. Lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran,diterjemahkan oleh Mudzakir, AS (Jakarta: PT: Pustaka Litera Antar Nusa 2000) Cet. V, h. 482-483.

34
“Cara penafsiran yang paling baik adalah menafsirkan al-Qurandengan al-Quran. Sebab sesuatu yang dikemukakan secara globalpada suatu ayat akan dijumpai penjelasannya pada ayat lain. Jikaternyata pada ayat lain tidak dijumpai pula penjelasannya akandijumpai dengan sunnah. Nabi Saw sebagai penjelas al-Quran.….Jika di sana pun tidak dijumpainya, kembalilah kepadaperkataan sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui seluk beluk dansebab-sebab turunnya al-Quran disamping pemahamannya yangsempurna serta ilmu shahih yang dimilikinya. ….Jika di sana puntidak juga dijumpainya, kembalilah kepada perkataan-perkataantabi’in55
Namun, perlu diperhatikan bahwa dimasukkannya kitab tafsir
dalam kategori yang bercorak bi al-ma’tsur tidak berarti menutup
kemungkinan bagi penulisnya untuk memasukkan juga unsur-unsur non-
riwayat, seperti kupasan ijtihad. Corak bi al-Ma’tsur yang digunakan kitab
tafsir di atas terbukti ketika terlihat bahwa Ibnu Katsîr tidak hanya
pengumpuul riwayat saja, tetapi juga sebagai kritikus yang mampu
mentarjih sebagian riwayat bahkan pada saat-saat tertentu menolaknya,
baik dengan alasan karena riwayat-riwayatnya itu fantastic, tidak dapat
dicerna oleh akal sehat maupun alasan-alasan lainnya.56
Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci dan sistematika tentang
penafsiran Ibnu Katsîr:
1. Penjelasan sekitar sûrah dan ayat al-Quran
Dalam mengemukakan tentang penjelasan sekitar surat al-Quran,
Ibnu Katsîr mengawalinya dengan menyebutkan nama-nama surat itu
sendiri disertai dengan hadis-hadis yang menerangkan kepada hal
tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran, sebelumnya beliau
55 Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terjemahan H. Salim Bahreisy dan H.Said Bahreisy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), cet, ke-2, h. 133.
56 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 72.

35
menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan
redaksi yang mudah disertai dengan hadis-hadi yang menerangkan
kepada hal tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran,
sebelumnya beliau menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat
tersebut dengan redaksi yang mudah serta ringan serta menyertainya
dengan dalil dari ayat yang lain, lalu membandingkan ayat-ayat
tersebut sehingga maksud dan artinya jelas57.
2. Menyebutkan hadis sampai kepada perawinya
Para ahli tafsir mengatakan Ibnu Katsîr merupakan tafsir bi al-
Matsur yang terbaik dan berada setingkat di bawah tafsir Ibnu Jarîr
ath-Thabârî, bahkan ada juga yang mengatakan lebih tinggi dengan
tafsir ath-Thabârî dalam beberapa masalah58. Kelebihan-kelebihan
tertentu yang dimiliki tafsir Ibnu Katsîr tersebut terlihat dari cara yang
dilakukan Ibnu Katsîr menafsirkan al-Quran dengan hadis, yaitu beliau
menulis matan hadis dengan lengkap serta merangkaikan urutan-urutan
sanadnya sampai kepada rawi terakhir. Kemudian beliau meneliti dan
mengomentari hadis tersebut apakah sahih atau tidak59. Hal ini
dilakukan karena kenyataan sejarah dimana kaum Yahudi dan kaum
Zindik yang sengaja menyalah gunakan ajaran-ajaran Islam,
diantaranya adalah membuat hadis-hadis palsu. Disadari atau tidak
57Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr,1976), h. 254.
58 Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr,1976), h 75.
59 Muhammad husain adz-Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadis, terjemahan DidinHafidhuddin, (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1989), Cet. Ke-1, h. 133.

36
kemudian sejumlah mufassir banyak sekali yang mengutip kisah-kisah
Israiliyyat dalam menjelaskan ayat-ayat al-Quran.
3. Menjelaskan munasabah ayat
Cara ini dipandangnya dapat memperjelas penafsiran ayat,
disamping mempermudah pembaca dalam mengumpulkan ayat-ayat
sejenis, sehingga masing-masing ayat bisa menafsirkan ayat-ayat
sejenis lainnya. Juga agar pengertian satu ayat dengan ayat lainnya
yang mengandung tema serupa tidak terputus-putus, untuk hal ini Ibnu
Katsîr meletakkannya di tempat penafsiran perkalimat atau perkata
sebagai penguat penafsiran tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari contoh
berikut:
Ketika penafsirkan surat al-Fâtihah ayat 4: ( Beliau (مالك
hubungkan kata (ملك) pada surat an-Nâs ayat 2 ( lalu (ملك
dikaitkan dengan surat al-Hasyr ayat 23:
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yangMaha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang MahaMemelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memilikisegala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang merekapersekutukan.
4. Menerangkan sebab-sebab turunnya ayat
Dalam hal ini yang dijadikan Ibnu Katsîr untuk menerangkan
sebab-sebab turunnya ayat adalah hadis-hadis nabi Muhammad Saw,

37
pembahasan asbab an-nuzul untuk masing-masing ayat biasanya
dicantumkan di depan sebelum pembahasan ayat dimulai. Begitu juga
dengan asbab an-nuzul surat-surat dicantumkan di depan sebelum
pembahasan tafsir tersebut dilakukan60.
5. Memperluas masalah hukum
Membaca riwayat hidup ibnu Katsîr, para ulama sepakat
menegaskan bahwa beliau adalah seorang ahli hadis yang handal juga
seorang ulama fiqh yang mashur dan mahir dalam mengutarakan
permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Kemahiran berfatwanya
turut mempengaruhi jalan pemikirannya dalam menafsirkan ayat-ayat
hukum. Hal ini terbukti ketika beliau membahas satu masalah ayat
hukum ia buatkan suatu pembahasan khusus dengan menafsirkan
secara panjang lebar, dengan bersandarkan kepada hadis Nabi Saw dan
pendapat para ulama, untuk mengisi kandungan ayat tersebut61.
Sebagian ulama berpendapat bahwa pemikiran beliau dalam
masalah fiqih banyak dipengaruhi oleh jalan pemikiran gurunya Ibnu
Taimiyyah. Namun demikian, meskipun Ibnu Katsîr dikenal sebagai
murid besar Ibnu Taimiyyah – yang mana beliau dikenal dengan sosok
kontroversial - selama ini belum terdengar nada-nada negatif yang
diarahkan kepadanya. Pendapat di bawah ini merupakan bukti bagi
kebesaran Ibnu Katsîr dan kitab tafsirnya:
60 Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr,1976), h. 256
61 Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr,1976), h. 256.

38
a. As-Suyuti berkata: “Tafsir Ibnu katsîr merupakan karya tafsir yang
tidak ada duanya. Belum pernah ditemukan kitab tafsir yang
sistematik dan karakteristiknya menyamai kitab tafsir ini”62.
b. Muqni Abdul Halim Mahmud berkata: “Tafsir Ibnu Katsîr
merupakan karya tafsir yang terbaik. Oleh karena itu, tafsir ini
menjadi rujukan ulama sesudahnya”.
Demikian kiranya sosok Ibnu katsîr yang piawai, cerdas, dan diterima
oleh masyarakat Islam di seluruh dunia. Semoga Allah Swt mengampuni
dosa-dosanya dan menerima segala kebaikannya, amien.
62 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 74.

39
BAB III
SEKILAS TENTANG ISRÂÎLIYYÂT
A. Pengertian Israiliyyat
Ditinjau dari segi etimologis, kata “Isrâîliyât” adalah bentuk jamak
dari kata Israiliyyah ( ِ ) . Yakni bentuk kata yang dinisbatkan pada
kata isrâîl yang berasal dari bahasa Ibrani, Isra yang berarti hamba dan il yang
bermakna Tuhan.63 Dari segi historis, Isrâîl berkaitan dengan Nabi Ya’qub bin
Ishaq bin Ibrâhîm a.s., di mana keturunan beliau yang berjumlah dua belas
yang disebut dengan Banî Isrâil.64 Terkadang Isrâîliyât identik dengan Yahudi,
kendati sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk pada garis keturunan
bangsa, sedangkan Yahudi merujuk pada pola pikir, termasuk di dalamnya
agama dan dogma. Menrut Adz-Zahabi, perbedaan Yahudi dan Nasrani,
bahwa yang terakhir disebut ini ditujukan pada mereka yang beriman kepada
risalah Isa a.s.65 Dua kelompok masyarakat ini, menurut Quraisy Shihab yang
disepakati pula oleh seluruh ulama dinamakan Ahl Kitab.66 Setelah mereka
kembali ke negeri asal mereka membawa bermacam-macam berita keagamaan
yang mereka temui dari negara-negara yang mereka jumpai.67
63Zainul Hasan Rifa’I, “Kisah Israiliyyat dalam penafsiran”, dalam Sukardi K.D (ed),Belajar Mudah ‘Ulum al-Quran;Studi Khazanah al-Quran, Jakarta: Lentera, 2002, h. 277.
64 Muhammad Chirzin,al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta: Penerbit Dana BaktiPrima Yasa, 1998), h. 78.
65Supiana dan M.Karman, ‘Ulûmul Qur’an dan Pengenalan Dasar Metodologi,(Bandung: Pustaka Islamika) h. 197.
66M.Quraisy Shihab, Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, 1996, Cet. I, h. 147-148.Namun perlu dicatat di sini bahwa Abduh dan Rasyid Ridha memasukkan Majusi, Sabi’in, Hindu,Budha, Konfusius, Shinto dan agama lainnya sebagai Ahl Kitab. Untuk jelasnya lihat al-Manâr,Jilid XI, Beirut: Dâr al-Fikr, h. 200.
67M.Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1993, h. 46.

40
Sehubung dengan definisi Israiliyyat secara istilah, para ulama berbeda
pendapat tentang definisi Israiliyyat yang mereka kemukakan :
1. Husein Adz-Zahabi dalam kitabnya At-Tafsir wa Al-Mufassirun
mengatakan :
.Walaupun makna lahiriah dari Israilliyyat berarti pengaruh-
pengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran al-Quran, kamimendefinisikannya lebih luas dari itu, yaitu pengaruh kebudayaan Yahudidan Nasrani terhadap Tafsir.
Definisi lain Israiliyyat yang diemukakan Adz-Zahabi adalah
Israiliyyat mengandung dua pengertian :
a. Kisah dan dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadis yang
asal periwayatannya kembali kepada sumbernya, yaitu: Yahudi,
Nasrani atau lainnya.
b. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke
dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam
sumber-sumber lama.68
2. Muhammad Khalifah dalam kitabnya Dirasat fi Manahij Al-Mufassirin,
mengatakan69 :
68Muhammad Husein Adz-Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadis, (Bogor: PTPustaka Litera Antar Nusa, 1993), h. 9

41
) ( .....
.Israiliyyat yang kami maksud adalah sesuatu yang berasal dari keduagolongan itu (Yahudi dan Nasrani) karena yang dikutip oleh kitab-kitabtafsir tidak selamanya berupa Israiliyyat yang secara bersamaan dimilikiNasrani (dari kitab perjanjian lama), seperti tentang nasab Maryam, tempatkelahiran nabi Isa a.s. dan lain-lain, walaupun jumlah riwayat Israiliyyatyang berasal dari kalangan Yahudi lebih banyak dari pada yang berasaldari kalangan Nasrani.
3. Amin al-Khuli berpendapat bahwa Israiliyyat merupakan pembauran
kisah-kisah dari agama dan kepercayaan bukan Islam, yang meresap
masuk jazirah Arab Islam. Kisah-kisah tersebut dibawa oleh orang-orang
Yahudi yang sejak dulu berkelana kearah timur Babilonia dan sekitarnya,
sedangkan ke arah Barat menuju Mesir. Setelah mereka kembali kenegara
asal, mereka membawa bermacam-macam berita keagamaan yang mereka
jumpai dari negara-negara yang mereka singgahi.70
4. Ahmad Sharbasi dalam kitabnya, Qishshat at-Tafsir, Dar Al-Ilm Li Al-
Malaya, mengatakan71:
69Ibrâhîm Abd.Rahman Muhammad Khalifah, Dirâsat fî Manahaj Al-Mufassirîn, Kairo:Maktabah Al-Azhariyyah, 1974, h. 220.
70 Muhammad Chirzin,al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta: Penerbit Dana BaktiPrima Yasa, 1998), h. 78.
71Ahmad Sharbasi, Qissat At-Tafsîr, Beirut: Dâr Al-Qalâm, 1962, h. 113.

42
.Israiliyyat adalah kisah-kisah dan berita-berita yang berhasildiselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dankebohongan mereka kemudian diserap oleh umat Islam. Selain dariYahudi, mereka pun menyerap dari yang lainnya.
Di samping berbeda dari segi redaksi, definisi-definisi di atas
berbeda pula dari segi isi. Perbedaan itu terutama dalam hal materi dan
sumber israiliyyat. Para ulama di atas sepakat bahwa Israiliyyat berisi
unsur-unsur luar yang masuk ke dalam Islam, tetapi mereka berbeda
pendapat tentang jenis materinya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa materi
Israiliyyat bersifat netral, yaitu dapat berupa kisah-kisah atau yang lainnya,
serta dapat sejalan dan dapat pula tidak sejalan dengan Islam. Namun,
perlu diingat bahwa pada umumnya Israiliyyat berisi cerita-cerita dan
dongeng-dongeng buatan non-muslim yang masuk ke dalam islam.72
Kalaupun ada materi Israiliyyat yang sejalan dengan Islam, disamping
jumlahnya sangat sedikit, hal itu tidak dibutuhkan sebagai rujukan.73 Dari
segi lain, nampaknya ulama-ulama di atas sepakat bahwa yang menjadi
sumber74 israiliyyat adalah Yahudi dan Nasrani, dengan penekanan bahwa
72Ahmad Sharbasi, Qissat At-Tafsîr, Beirut: Dâr Al-Qalâm, 1962, Juz I, h. 14; Al-Qasimi, Mahasin At-Ta’wil, Juz I, Beirut: Dâr al-Ma’rif, h. 41.
73Ahmad Muhammad Syakir, Umdah Al-Tafsîr, Juz I, Mesir: Dâr Al-Ma’rif, 1956, h. 15.74Sumber yang dimaksud di sini adalah sumber primer (orang Yahudi dan Nasrani
sendiri, baik yang belum atau sudah masuk Islam). Sebab, dalam proses penyebarannya, orang-orang non-Ahli Kitab seperti kalangan sebagian kecil sahabat dan tabi’in juga berperan sebagaisumber sekunder.

43
Yahudilah sumber utamanya sebagaimana tercermin dari kata Israiliyyat
sendiri.75 Ditulis oleh Abû Syuhbah bahwa pengaruh Nasrani ke dalam
tafsir sangat kecil. Lagi pula, pengaruh mereka tidak begitu
membahayakan akidah umat Islam karena umuumnya hanya menyangkut
persoalan akhlak, nasihat, dan pembersihan jiwa.76 Disinyalir oleh adz-
Zahabi di atas bahwa Israiliyyat juga bisa berasal dari selain Yahudi dan
Nasrani,77 tetapi selain bertentangan dengan pendapatnya sendiri pada
buku yang lain,78 pendapat itu tidak diterima oleh para ulama lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sumber
Israiliyyat adalah Yahudi dan Nasrani.79
Definisi-definisi di atas sekaligus dapat memungkinkan untuk
melihat ciri-ciri Israiliyyat yang membedakannya dengan riwayat lain.
Ciri-ciri itu dapat dilihat pada table berikut ini80 :
75Manna Al-Qattan, Mahabits Fî ‘Ulûm Al-Qurân, Mesir: Mansyurat Al-Ashr La-Hadis,1973.
76 Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyyat wa Al-Maudhu’at fi Kutubat-Tafsir, Maktabah Al-Sunnah, Kairo, 407H., h. 13.
77Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktab al-Hadis, 1976) Cet II, h. 165.
78 Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktabal-Hadis, 1976) Cet II, h. 165.
79Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama berkenaan dengan siapa yangdimaksud dengan Yahudi dan Nasrani itu. Hal itu perlu dijelaskan mengingat kedua kelompok itumasih hidup sampai sekarang. Dengan demikian, diperlukan penelitian tersendiri untuk itu. Akantetapi, sekedar landasan teori, penelitian ini bertolak dari pendapat Syuhbah yang mengatakanbahwa yang dimaksud adalah Nasrani dan Yahudi yang hidup semasa Nabi. Lihat Muhammad binMuhammad Abu Syuhbah, Al-Israiliyyat wa Al-Maudhu’at fi Kutub at-Tafsir, Maktabah Al-Sunnah, Kairo, 407H., h. 14.
80Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan TafsirIbnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 29.

44
No. SANAD MATAN
1. Awal sanadnya berupa rawi yangberasal dari ahli kitab (sumberprimer).
Berupa kisah-kisah yang anehdan asing.
2. Atau awal sanadnya berupa rawisahabat/tabi’in/tabi’tabi’in yangterkenal sering menerima riwayatdari Ahli kitab (sumber sekunder).
Berupa kisah-kisah masalampau.
3. Sanadnya tidak sampai kepadaNabi
Umumnya berupa kisah-kisahyang panjang
B. Masuknya Israiliyyat ke Dalam Tafsir
Seperti yang telah diuraikan tentang pengertian Israiliyyat di atas
bahwa sesungguhnya cerita-cerita Israiliyyat itu bersumber dari informasi
yang berasal dari orang Yahudi dan Nasrani yang telah menyusup ke dalam
masyarakat Islam setelah kebanyakan orang-orang Yahudi dan Nasrani
memeluk agama Islam.
Menurut penelitian adz-Zahabi masuknya Israiliyyat ke dalam tafsir
sudah dimulai semenjak zaman sahabat. Tercatat beberapa sahabat terlibat
dalam proses itu, seperti Ibnu Abbas, Abû Hurairah, Ibnu Mas’ud, dan Umar
bin Ash.81 Namun perlu diberi catatan bahwa keterlibatan mereka dalam
proses itu masih berada dalam batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan.
Mereka tidak bertanya kepada Ahli Kitab tentang segala sesuatu. Yang mereka
tanyakan hanyalah sebatas penjelas kisah-kisah al-Quran dan itu pun tidak
81 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Isrâiliyyât Fî At-Tafsîr Wa Al-Hadist, Kairo:Maktabah Wahbah, 1990, h. 13-14.

45
disertai sikap memberi penilaian benar atau salah. Bahkan sering pula mereka
menolak materi riwayat Israiliyyat itu. Contohnya:
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abû Hurairah bahwa Rasûlullah
menyifati hari jumat, sebagai berikut
Artinya :
)(
“Di dalamnya terdapat suatu waktu yang apabila seseorang kebetulansedang melakukan shalat dan minta sesuatu kepada-Nya, pasti Allahmengabulkannya.”82
Kemudian Rasûlullah memberikan isyarat dengan tangannya yang
menunjukkan sedikitnya waktu tersebut.83 Para ulama salaf berbeda pendapat
dalam menentukan waktu tersebut, yaitu apakah masih tetap berlaku ataukah
sudah dihilangkan. Jika masih berlaku, apakah satu jum’at dalam satu tahun
ataukah setiap jum’at. Abû Hurairah bertanya kepada Ka’ab al-Akhbar, ia
menjawab, bahwa waktu itu terdapat dalam satu jum’at satu kali dalam
setahun. Akan tetapi, Abû Hurairah menolak pendapat tersebut dan
menyatakan bahwa waktu tersebut terdapat dalam setiap jum’at. Lalu Ka’ab
melihat masalah tersebut di dalam kitab Taurat dan mendapatkan kesimpulan
bahwa pendapat Abû Hurairahlah yang benar.84
82Al-Bukhârî, Sahih Al-Bukhârî, “Kitab Al-Jumu’ah”, bab “Al-Sa’ah Allatî Fî Yaumi Al-Jum’ah”, Juz II, h. 13.
83 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Isrâiliyyât Fî At-Tafsîr Wa Al-Hadist, Kairo:Maktabah Wahbah, 1990, h. 56.
84 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Isrâiliyyât Fî At-Tafsîr Wa Al-Hadist, Kairo:Maktabah Wahbah, 1990, h. 57.

46
Dari contoh itulah tampak bahwa para sahabat sangat berhati-hati
dalam menerima Israiliyyat. Dengan demikian tuduhan Goldziher85 dan
Ahmad Amin86 yang menyatakan bahwa para sahabat terlalu mudah dalam
menerima Israiliyyat, khususnya Ibnu Abbas, perlu ditinjau kembali. Dalam
hal ini adz-Zahabi berpendapat bahwa tuduhan kedua orang tersebut tidak
mempunyai dasar sama sekali.
Sikap kehati-hatian para sahabat dalam menerima Israiliyyat ternyata
tidak diikuti oleh generasi sesudahnya. Terdapat indikasi yang menunjukkan
bahwa mereka menafsirkan al-Quran dengan Israiliyyat tanpa terlebih dahulu
meneliti kualitasnya. Kondisi seperti itu semakin bahaya ketika mereka
membuang sanadnya sehingga menyulitkan generasi berikutnya untuk
membedakan mana yang sahih dan mana yang tidak sahih. Semakin parah
lagi ketika riwayat itu dikodifikasikan dalam tafsir al-Quran. Dampak drai
semua itu adalah munculnya berbagai kitab tafsir memuat Israiliyyat yang
85 Diberitahukan bahwa Ibnu Abbas sering melemparkan persoalan kepada orang-orangYahudi yang telah masuk Islam. Ia menerima pendapat mereka selama tidak bertentangan denganal-Quran. Dalam hal ini, Goldziher menyangka bahwa Ibnu Abbas terlalu mudah dalammengambil berita dari Ahli Kitab dengan alasan bahwa mereka orang-orang yang mampu dalammemahami al-Quran. Menurutnya Ibnu abbas banyak dipengaruhi oleh Ka’ab al-Akhbar dan‘Abdullah bin Salam dalam bidang tafsir. Lihat Goldziher, Madzahib al-Tafsîr al-Islâmi, terj. A.H.al-Najjar, Kairo: Maktabah Kanji, 1955, h. 85. Kenyataannya bahwa Ibnu Abbas berperan sebagaisumber sekunder Israiliyyat dapat diterima karena beberapa sumber mengetakan demikian, tetapipernyataan Goldziher bahwa ia terlalu mudah dalam menerima Israiliyyat kurang dapat diterimamengingat Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat yang sangat hati-hati dalam menafsirkan al-Quran. Oleh karena itu, pendapat Goldziher di atas kemudian mendapat bantahan keras dari Adz-Zahabi. Lihat Muhammad Husein Adz-Zahabi, At-Tafsîr Wa Al-Mufassirûn, Kairo: MaktabahWahbah, 1990, h. 174.
86 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Lajnah At-Ta’lif wa At-Tarjamah Wa An-Nasyr, h. 248.

47
sulit lagi dibedakan kualitasnya. Tafsir Muqatil bin Sulaiman dalam hal ini
dapat dijadikan bukti representatif. 87
C. Klasifikasi Israiliyyat
Para ulama pada umumnya mengklasifikasikan Israiliyyat dalam tiga
bagian, yaitu:
1. Israiliyyat yang sejalan dengan Islam
2. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam
3. Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua.88
Pengklasifikasian itu dirumuskan dengan mengacu pada keterangan-
keterangan Nabi.89 Nabi sendiri tidak langsung membuat klasifikasi tersebut
melainkan pemahaman para ulama terhadap keterangan-keterangan Nabi
tersebut yang memunculkan klasifikasi itu. Itulah sebabnya pengklasifikasian
di atas hanyalah bersifat ijtihad sehingga tidak bersifat mengikat. Ini tentunya
tidak menutup kemungkinan untuk merumuskan klasifikasi Israiliyyat yang
lain.
Studi kritis terhadap pengklasifikasian Israiliyyat di atas
memperlihatkan bahwa kenyataannya, tidak setiap berita yang bersesuaian
87Uraian terperinci tentang kaitan tafsir ini dengan Israiliyyat dapat dilihat dalamMuhammad Husein Adz-Zahabi, Al-Isrâiliyyât Fî At-Tafsîr Wa Al-Hadist, Kairo: MaktabahWahbah, 1990, h 115-123.
88 Abu Al-Fida Ismail Ibnu Kastîr, Tafsir Ibnu Katsir, (Bairut: Dâr Al-Fiqr), h. 4; IbnuTimiyyah, Muqadimah Fî Usul At-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qalâm), 1971, h. 18-20; MuhammadJamal Ad-Din Al-Qasimy, Mahasin At-Ta’wil, Jilid I, (Beirut: Dâr Al-Fikr), 1914, h. 44.
89Umpamanya, ada keterangan Nabi yang membolehkan dan melarang meriwayatkanIsrailiyyat. bertolak dari hadis itu, kemudian para ulama mengklasifikasikan Israiliyyat pada yangsejalan dengan Islam dan yang tidak sejalan dengannya. Namun, ada pula keterangan Nabi yangmenyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan Ahli Kitab. Bertolakdari hadis ini, kemudian para ulama pun membuat klasifikasi Israiliyyat yang tidak masuk kepadabagian pertama dan kedua.

48
dengan syari’at Islam berarti bersanadkan sahih. Survei terhadap pemalsuan
hadis pun membuktikan bahwa diantara hadis-hadis yang dipalsukan oleh
kelompok-kelompok tertentu, banyak juga yang isinya sesuai dengan syari’at
Islam. Misalnya, hadis-hadis yang berisi motivasi untuk banyak melakukan
ibadah. Hal itu tidak menutup kemungkinan terjadi pada riwayat Israiliyyat,
sebab Ahli Kitab yang menjadi sumber Israiliyyat itu dapat saja merekayasa
isi Israiliyyat sedemikian rupa agar sesuai dengan syari’at Islam, padahal
Israiliyyat itu sama sekali tidak terdapat dalam Injil dan Taurat. Konsekuensi
satu berita memang mengimplikasikan berbagai kemungkinan.
Dalam hal ini, adz-Zahabi mengklasifikasikan israiliyyat pada tiga
sudut pandang, yaitu90:
1. Sudut Pandang Kualitas Sanad
Sudut pandang ini memperlihatkan dua bagian, yaitu Israiliyyat
yang sahih dan Israiliyyat yang dha’if.
a. Israiliyyat yang shahih, contoh: riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu
katsîr dalam tafsirnya dari Ibnu Jarîr Ath-Thabarî, dari al-Mutsanna,
dari Utsman bin Umar, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, dari Ata bin Abî
Rabbah. Ata berkata:
: . : :
: بِهِ
90Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan TafsirIbnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 33.

49
. . . بِهِ. .
“Aku bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Ash dan bertanya,‘’Ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasulullah SAW, yangditerangkan dalam Taurat.’’ Ia menjawab, ‘’tentu, demi Allah, yangditerangkan dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam al-Quran.’’ ‘’Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagaisaksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan dan pemeliharaUmmi; Engkau adalah hamba-Ku; Namamu dikagumi; Engkau tidakkasar dan tidak pula keras. Allah tidak akan mencabu nyawamusebelum agama Islam tegak lurus, yaitu setelah diucapkan ‘tiada Tuhanyang patut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah, denganperantara engkau pula Allah akan membuka hati yang tertutup,membuka telinga yang tuli dan membuka mata yang buta.91
b. Israiliyyat yang dhaif, contoh: Israiliyyat tentang lafaz Qaf pada sûrah
Qaf ayat 1, yang disampaikan oleh Ibnu Hatim dari ayahnya, dari
Muhammad bin ismail, dari Laits bin Abî Salim, dari Mujahid, dari
Ibnu Abbas, yang menyebutkan sebagai berikut:
مِ.
“Dibalik bumi ini, Allah menciptakan sebuah lautan yangmelingkupinya. Di dasar laut, Allah telah menciptakan pula sebuahgunung yang bernama Qaf. Langit dan bumi ditegakkan di atasnya. Dibawahnya Allah menciptakan langit yang mirip seperti bumi ini yangjumlahnya tujuh lapis. Kemudian, di bawahnya lagi, Allahmenciptakan sebuah gunung yang bernama Qaf. Langit kedua iniditegakkan di atasnya. Sehingga jumlah semuanya: tujuh lapis bumi,tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis langit.”92
91 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Jilid II, h. 25392 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Jilid IV, h. 221.

50
2. Sudut Pandang Kaitannya dengan Islam
Sudut pandang ini memperlihatkan dua bagian, yaitu:
a. Israiliyyat yang sejalan dengan Islam, contoh: Israiliyyat yang
menjelaskan bahwa sifat-sifat Nabi itu adalah tidak kasar, tidak keras,
dan pemurah.93
b. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam, contoh: Israiliyyat yang
disampaikan oleh Ibnu Jarir dari Basyir, dari Yazid, dari Sa’id, dan
dari Qatadah yang berkenan dengan kisah nabi Sulaiman a.s.
Israiliyyat itu menggambarkan perbuatan yang tidak layak dilakukan
oleh seorang Nabi, seperti minum arak.94
c. Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua, contoh:
Israiliyyat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dari Ka’ab al-Akhbar
dan Qatadah dari Wahhab bin Munabbih tentang orang yang pertama
kali membangun Ka’bah, yaitu Nabi Syits a.s.95
3. Sudut Pandang Materi
Sudut pandang ini memperlihatkan tiga bagian, yaitu:
a. Israiliyyat yang berhubungan dengan akidah, contoh: Israiliyyat yang
menjelaskan firman Allah dalam surat Azumar ayat 67:
“Dan mereka tidak mengagungkan allah dengan pengagungan yangsemestinya. Padahal bumi dan seisinya berada dalam genggaman-Nya
93 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Jilid II, h. 253.94 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Juz IV, h. 35.95 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Juz I, h. 71.

51
pada hari kiamat. Dan langit digulung dengan tangan karena-Nya.Maha Suci Tuhan dengan Maha Tinggi Dia dari apa yang merekapersekutukan.”
Israiliyyat itu menjelaskan bahwa seorang ulama Yahudi
datang menemui Nabi dan mengatakan bahwa langit diciptakan di atas
jari.96
b. Israiliyyat yang berhubungan dengan hukum, contoh: Israiliyyat
berasal dari Abdullah bin Umar yang berbicara tentang hukum rajam
dalam Taurat.97
c. Israiliyyat yang berhubungan dengan kisah-kisah.
D. Hukum Meriwayatkan Kisah-Kisah Israiliyyat
Sebagaimana telah dituturkan sebeumnya, pendapat para ulama
terhadap periwayatan Israiliyyat secara garis besar dapat dikategorikan dalam
dua bagian: melarang dan membolehkan. Di bawah ini akan diuraikan
argumentasi-argumentasi yang mereka kemukakan. Ulama-ulama yang
melarang untuk meriwayatkannya didasari pada keterangan Nabi sebagai
berikut:
1. Hadis riwayat Imam Bukhârî dari Abû Hurairah:
:.
“Ahli Kitab membacakan kitab Taurat dengan mempergunakanbahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk konsumsi
96 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Juz IV, h. 6297 Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-Azîm, Jilid I, h.382

52
orang Arab. Mendengar hal itu, Nabi bersabda, “Janganlah kalianmembenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapikatakanlah Kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang telah diturunkankepada kami.”98
2. Hadis riwayat Imam Ahmad, Ibnu Abî Syihab, dan Bazzar dari Jabîr Ibnu
Abdillah:
:
.
“Sesungguhnya Umar bin Al-Khattab datang kepada Nabi denganmembawa surat yang ditulis Ahli Kitab, lalu membacakannya. KemudianNabi marah dan bersabda, “Apakah engkau bimbang dan ragu tentangsurat ini? Demi Allah, aku telah mendatangkan surat itu dalam keadaanputih bersih. Janganlah kamu bertanya kepada mereka tentang sesuatu, lalumereka menceritakannya kepada kamu sekalian dengan sebenar-benarnya,tetapi kamu sekalian mendustakannya; atau mereka menceritakan beritabohong, tetapi kamu sekalian membenarkannya. Demi Zat yangkekuasaan-Nya berada di tanganku, seandainya nabi Musa masih hidup,tidaklah ia memberikan kebebasan, kecuali menyuruh mangikutijejakku.”99
4. Riwayat Imam Bukhârî dari Abdullah bin Abbas:
. :
.
98 Imam Bukhâri, Sahih Al-Bukharî, Jilid IV, Beirut: Dâr Al-Fikr, h.270.99 Ahmad bin Hambal, Musnad, Jilid IV, Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilm Wasar Sadir, h.
1987

53
“Wahai kaum muslimin! Bagaimana kamu sekalian brtanyakepada Ahli kitab padahal kitab kamu sekalian yang diturunkan nabiMuhammad telah menceritakan berbagai macam berita yang bersumberdari Allah dan tidak pernah berubah. Allah telah menceritakan kepadakamu sekalian bahwa Ahli Kitab telah mengganti apa-apa yang telahditetapkan Allah. Akan tetapi, mereka menyatakan bahwa apa yang telahdiubahnya itu berasal dari Allah gar dapat ditukar dengan harga yangsangat rendah. Apakah wahyu yang datang kepada kalian tidak melarangbertanya kepada mereka? Demi Allah, aku tidak melihat seorang pun darimereka bertanya kepada kamu tentang kitab yang diturunkan kepadakalian.”100
Sedangkan para ulama yang memperbolehkan periwayatan Israiliyyat
juga mendasarkannya pada keterangan-keterangan berikut ini:
Riwayat Imam Bukhârî dari Abdullah bin Amr bin Ash:
.
“Sampaikanlah olehmu apa yang kalian dapatkan dariku, walaupunsatu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada dosa di dalamnya.Siapa berbohong padaku, maka bersiaplah untuk mengambil tempat di dalamneraka.”101
Keterangan-keterangan di atas sebenarnya tidak saling bertentangan
bila ditempatkan pada konteksnya masing-masing. Larangan nabi untuk
meriwayatkan Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam.102 Adapun
kebolehan untuk meriwatkannya yang dipahami oleh kelompok kedua
berkaitan dengan Israiliyyat yang sejalan dengan Islam.
Dengan demikian, hukum meriwayatkan Israiliyyat sangat bergantung
pada jenisnya. Bila yang dimaksud adalah Israiliyyat yang sejalan dengan
100 Imam Bukhârî, Sahih Al-Bukhârî, Jilid III, Beirut: Dâr Al-Fikr, h. 181.101 Imam Bukhârî, Sahih Al-Bukhârî, Jilid III, Beirut: Dâr Al-Fikr, h. 181.102Rasyid Ridho, Tafsîr Al-Manâr, Beirut: Dâr Al-Ma’rifah, Jilid IV, h.33-38.

54
Islam, periwayatannya jelas tidak dilarang. Bila yang dimaksud adalah
Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam, periwayatannya jelas dilarang.
Bila yang dimaksud adalah yang belum diketahui kualitasnya, sikap yang
harus diambil adalah tidak membenarkan dan dan tidak pula mendustakannya
sebelum ada dalil yang memperlihatkan kebenaran dan kedustaannya.
E. Perawi Riwayat Israiliyyat
Seperti yang telah penulis utarakan di atas, bahwa para sahabat seperti
dikisahkan tidak mengambil sesuatu dari Ahlu al-Kitab ketika mereka
memusatkan perhatian kepada tafsir al-Quran, kecuali kepada hal-hal tertentu
saja itupun sangat kecil. Pada masa tabi’in, pemeluk Islam semakin bertambah
dikalangan Ahli Kitab dan diriwayatkan bahwa para tabi’in banyak
mengambil informasi dari mereka. Para mufassir yang datang setelah periode
para tabi’in juga lebih giat dan rajin mengadopsi informasi yang berasal dari
orang Yahudi.103
Pada periwayatan, telah termasyhur adanya golongan dari kalangan
sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in yang meriwayatkan cerita-cerita
Israiliyyat. Kita melihat terlebih dahulu orang yang termasyhur di dalam
meriwayatkan cerita Israiliyyat dari kalangan sahabat, kemudian yang
termasyhur dikalangan para tabi’in, dan kemudian yang termasyhur dari
kalangan pengikut tabi’in.104
103 Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Quran, Kajian Kriis, Objektif danKomprehensif, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta), h. 65
104 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Quran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 65

55
1. Perawi Dari Kalangan Sahabat
Tidak dapat diragukan lagi, bahwasannya segolongan diantara
mereka mengembalikan persoalan kepada sebagian orang yang telah
memeluk Islam dan kalangan Ahli Kitab, mereka mengambil dari orang-
orang tersebut cerita-cerita yang dikemukakan di dalam kitabnya dengan
terperinci, sementara di dalam al-Quran dikemukakan secara singkat dan
global. Hanya saja para sahabat Rasul itu, di dalam mengembalikan
persoalan kepada Ahli Kitab, senantiasa mempergunakan cara yang benar
dan tepat, sejalan dengan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah.105 Diantara
sahabat yang dikenal dalam periwayatan cerita Israiliyyat adalah:
a. Tamim ad-Dari
Beliau merupakan perawi yang berasal dari Nasrani,
mengetahui banyak ilmu Nasraniah dan berita-beritanya. Disamping
mengetahui ilmu Nasraniah, ia mengetahui pula ilmu-ilmu lainnya,
seperti kejadian-kejadian, peperangan-peperangan dann berita-berita
umat terdahulu.
Tamim ad-Dari adalah orang pertama yang mengisahkan cerita
Israiliyyat dan ia meminta izin kepada Umar bin al-Khattab, lalu Umar
mengizinkannya. Yang jadi pertanyaan adalah, mengapa Umar yang
sangat hati-hati dalam menerima riwayat akan mengizinkan Tamim
105 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Quran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 65

56
untuk mengisahkan cerita yang penuh dengan kebbohongan kepada
orang.106
b. Abdullah bin Salam
Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Abdullah bin Salam
bin Haris al-Israilly al-Anshari, beliau merupakan anak dari Yusuf bin
Ya’qub, dan beliau menyatakan keislamannya ketika Rasulullah tiba di
kota Madinah. Ia pun salah seorang sahabat yang dikabarkan masuk
surge. Dalam perjuangan menegakkan Islam, ia termasuk pejuang
dalam perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait al-Maqdis
ketangan umat Islam. Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh kedua
putranya: Yusuf Muhammad, Auf bin Malik, Abu Hurairah, dan lain-
lain. Imam Bukhari pun memasukkan beberapa riwayat darinya.107
2. Perawi Dari Kalangan Tabi’in
Sebagaimana penulis utarakan di atas, bahwasannya tabi’in banyak
mengambil cerita dari Ahli Kitab. Pada zaman itu banyak sekali cerita
tersebut di dalam tafsir dan hadis. Hal itu karena banyaknya Ahli Kitab
yang memeluk agama Islam, dan ada kecenderungan orang-orang untuk
mendengarkan cerita yang bersifat global di dalam al-Quran, yang
diuraikan dengan cerita-cerita Yahudi, Nasrani mupun lainnya.108
106 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Quran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 87
107 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 37
108 Muhammad Husein Adz-Zahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Quran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 91

57
Diantara mereka yang dituduh meriwayatkan Israiliyyat, adalah
Ka’ab al-Akhbar dan Wahab bin Munabbih, yang kedua ulama Yahudi dan
keduanya masuk Islam setelah mengetahui kebenaran Islam.
a. Ka’ab al-Akhbar
Nama lengkap beliau adalah Abu Ishaq Ka’ab bin Mani al-
Humairi, ia dikenal dengan sebutan Ka’ab al-Akhbar. Ia berasal dari
Yahudi di Yaman dan menurut Ibnu Hajar, ia masuk Islam pada
kekhalifahan Umar bin Khattab. Dalam perjuangannya menegakkan
Islam, ia ikut menyerbu Syam bersama kaum muslim lainnya.
Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh Muawiyyah, Abu Hurairah,
Ibnu Abbas, Malik bin Amir dan lain-lain. Menurut Abu Rayah, ia
adalah seorang yang menunjukkan keislamannya dengan tujuan
menipu, hatinya menyembunyikan sifat-sifat keyahudiannya, dan
dengan kecerdikannya, ia berusaha memanfaatkan keluguan Abu
Hurairah agar tertarik kepadanya sehingga beliau dengan mudah
menceritakan khurafat-khurafat kepadanya.109
b. Wahab bin Munabbih
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Ibnu Munabbih
Ibnu Sij Ibnu Zi Kinaj al-Yamani Abu Abdillah al-Abnawi. Ia msuk
Islam pada masa Rasulullah. Riwayat-riwayatnya diterima Abdullah,
Abdul Rahman, Abdus Samad, ‘Uqail, dan lain-lain. Menurut Ibnu
Hajar, ia adalah tabi’in miskin yang mendapat kepercayaan dari
109 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 37

58
jumhur ulama.110 Beliaupun merupakan seorang yang memiliiki
pengetahuan yang luas, dan banyak membaca kitab-kitab terdahulu,
serta menguasai banyak tentang kisah-kisah yang berhubungan
permulaan alam ini.111
3. Perawi Dari Kalangan Pengikut Tabi’in
a. Abdullah Malik bin Abdul Aziz bin Juraij
Nama lengkap beliau adalah Abu Khalid Abu al-Walid Abdul
Malik bin Abdul Aziz al-Juraij, beliau adalah seorang bangsa Rum dan
beragama Nasrani, dan beliau pulalah orang yang pertama mengarang
buku di daerah Hijaz.112 Dia memeluk agama Islam, akan tetapi
mengetahui prinsip-prinsip ajaran masehi dari cerita-cerita Israiliyyat.
Ibnu Jarir di dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan
keadaan Nasrani, banyak meriwayatkan masehiat dari padanya.113
Riwayat-riwayatnya diterima oleh sebagian kalangan sahabat dan
generasi sesudahnya seperti Ibnu Abbas, Amr bin Ash, Muhammad
bin Sa’id al-Kalbi, Muqatil bin Sulaiman, dan Muhammad bin Marwan
as-Su’udi. Mereka disebut sebagai sumber sekunder Israiliyyat.114
110 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 37.
111 Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktabal-Hadis, 1976) Cet II, h. 165
112 Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktabal-Hadis, 1976) Cet II, h. 198
113 Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktabal-Hadis, 1976) Cet II, h. 108
114 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 38

59
b. Muqatil bin Sulaiman
Muqatil bin Sulaiman masyhur dalam bidang tafsir al-Quran,
dan beliau dianggap cacat, karena ia deketahui termasuk mazhab yang
ditolak, sehingga berakibat orang-orang secara umum lari dari
ilmunya, dan secara khusus lari dari tafsirnya. Tidak jelas pula bahwa
tafsir Muqatil mencakup cerita-cerita Israiliyyat, Khurafat dan
kesesatan musybihah dan mujassimah yang diingkari oleh syara’ dan
tidak deterima oleh akal.115
F. Pandangan Ulama Terhadap Riwayat Israiliyyat
Hubungan yang begitu erat antara umat Islam, Yahudi maupun
Nasrani, mengakibatkan terjadinya akulturasi budaya diantara keduanya, maka
tidak dapat dielakkan juga terjadinya penyerapan ajaran-ajaran mereka
ataupun umat Yahudi dan Nasrani seperti yang telah penulis ungkapkan di
atas.
Untuk hal tersebut ulama menyikapinya dengan berbeda-beda
pendapat, agar mempermudah pembahasan, peta pemikiran dan pendapat para
ulama tentang Israiliyyat, maka penulis akan menggambarkan beberapa
pendapat ulama tentang Israiliyyat.
Dalam memandang Israiliyyat, Ibnu Taimiyah bertolak kepada tiga
bagian, yaitu: Israiliyyat yang masuk dalam bagian yang sejalan dengan Islam
perlu dibenarkan dan boleh diriwayatkan, sedangkan yang masuk dalam
115 Muhammad Husain Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Maktabal-Hadis, 1976) Cet II, h. 111

60
bagian yang tidak sejalan dengannya harus ditolak dan tidak boleh
diriwayatkan. Sementara itu, Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan
kedua tidak perlu dibenarkan dan didustakan, tetapi boleh diriwayatkan.116
Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengomentari hal ini dalam
bukunya Umdah at-Tafsir, “Boleh mengambil berita dari mereka (yang tidak
adil atas kebenaran dan dustanya pada kita) adalah satu hal, sedangkan
mengutip hal itu dalam tafsir al-Quran dan menjadikannya sebagai suatu
pendapat atau riwayat dalam memahami makna ayat-ayat al-Quran, atau
menentukan sesuatu yang tidak ditentukan di dalamnya, adalah hal lain. Ini
karena dengan mengutip hal seperti itu disamping kalam Allah Swt dapat
memberi kesan bahwa berita yang tidak tahu kebenaran dan dustanya itu
adalah penjelas makna firman Allah Swt dan menjadi pemerinci apa yang
disebut global di dalamnya.117
Begitu pula Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya menyatakan
diperbolehkannya merujuk kepada Ahli Kitab. Keterangannya tersebut
diungkapkan dengan redaksi sebgai berikut, “Tafsir itu terbagi menjadi dua
macam. (salah satunya adalah tafsir naqli yang disandarkan kepada riwayat-
riwayat yang dinukil dari kaum salaf). Berita-berita yang dinukil dari kaum
salaf biasanya yang berupa pengetahuan tentang nasikh. Mansukh, asbab an-
nuzul, maksud beberapa ayat, dan segala sesuatu yang tidak bisa diketahui
116 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 42
117 Yusuf Qardawi,Berinteraksi Dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.497

61
kecuali melalui riwayat dari generasi sahabat dan tabi’in. Sebenarnya generasi
awal umat ini sudah memiliki perhatian yang sangat besar terhadap riwayat-
riwayat naqli ini. Hanya saja kitab dan hasil nukilan mereka masih banyak
mengandung unsure yang baik dan buruk atau maqbul dan mardud.118
Sementara itu Muhammad Abduh termasuk ulama yang paling gencar
mengkritik kebiasaan ulama tafsir generasi pertama yang banyak
menggunakan Israiliyyat sebagai penafsir al-Quran. Bahkan, salah satu
motivasi penulisan tafsirnya adalah untuk menghindari kebiasaan ulama tafsir
itu. Abduh menolak validitas ulama tafsir generasi pertama yang
menghubungkan al-Quran dengan Israiliyyat. Menurutnya, cara itu telah
mendistorsi pemahaman terhadap Islam. Sikap keras serupa diperlihatkan pula
oleh muridnya, Rasyid Ridha, ia mengatakan bahwa riwayat Israiliyyat yang
secara ekstrim diriwayatkan oleh para ulama sebenarnya telah keluar dari
konteks al-Quran.119 Dalam tafsirnya Musthafa al-Maraghi yang juga
merupakan murid Abduh, memandang bahwa kitab-kitab tafsir telah dikotori
oleh Israiliyyat yang tidak jelas kualitasnya. Israiliyyat merupakan sesuatu
yang ditransfer Ahli Kitab untuk menipu orang-orang Arab. Demikian juga
Ibnu Mas’ud, berkata: “Jangan tanyakan kepada Ahli Kitab tentang tafsir,
karena mereka tidak dapat membimbing kearah yang benar dan mereka sendiri
berada dalam kesalahan.”120
118 Muhammad Abdurrahim Muhammad, Tafsir Nabawi, (Jak-Sel: Ppustaka Azzam,2001), h. 102
119 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 43
120 Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Quran, Kajian Kriis, Objektif danKomprehensif, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta), h 38

62
BAB IV
PERBANDINGAN ANALISA SIKAP ATH-THABÂRÎ
DAN IBNU KATSÎR TERHADAP ISRÂÎLIYYÂT
A. Sikap Ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr Terhadap Isrâîliyyât Dalam
Tafsirnya
1. Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun
a. Q.S al-Mâidah[5] : 20-26

63
“Dan (Ingatlah) ketika Mûsa Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku,ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabidiantaramu, dan mengangkat kamu menjadi raja-raja121, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepadaseorangpun diantara umat-umat yang lain". Hai kaumku, masuklah ketanah Suci yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamulari ke belakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadiorang-orang yang merugi. Mereka berkata: "Hai Mûsa, Sesungguhnyadalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, Sesungguhnyakami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luardaripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akanmemasukinya". Berkatalah dua orang122 diantara orang-orang yangtakut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya:"Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bilakamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepadaAllah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orangyang beriman". Mereka berkata: "Hai Mûsa, kami sekali sekali tidakakan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya,Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamuberdua, Sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja". BerkataMûsa: "Ya Tuhanku, Aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dansaudaraku. sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yangfasik itu". Allah berfirman: "(Jika demikian), Maka Sesungguhnyanegeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selamaitu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (tih)123 itu. Makajanganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yangfasik 124itu"
121Menegnai pengertian raja di atas, Ibnu Jarîr berkata, Abdullah bin Amr bin al-Ash,ketika ditanya: “Tidakkah kami termasuk orang miskin dari kaum Muhajirin?” Abdullah balikbertanya:”Apakah kamu punya istri?” “ya”, jawab orang itu. “Apakah kamu punya rumahsendiri?” “Ya” “Jika demikian anda terasuk raja,” kata Abdullah. Alhasan Alhashariberkata:”Yang disebut raja itu hanya karena mempunyai kendaraan, pelayan dan rumah tempattinggal”. Lihat Muhammad nasib ar-Rifa’I, Tafsîru al-Aliyyul Qadîr Lî Iktisâri Tafsîr Ibnu Katsîr,terj. Drs. Syihabbuddin, Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989, Jilid III, h.64.
122Dua orang tersebut bernama Yusya’ atau Yasyuk dan Khalib. Lihat Mahmud Yunus,Tafsir Quran Karim, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 2006, h. 151.
123Tih itu sendiri berarti terlunta-lunta, telantar, tersesat jalan. Dr.Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Quran Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Jakarta: Gema InsaniPress, 2000, Jilid III, h. 227.
124 Al-fisqu ‘kefasikan’ adalah keluar dari perintah-perintah Allah. Fasiqin ‘orang-orangyang fasik’ adalah mereka yang keluar dari batas-batas yang ditentukan Allah, membangkangperintah-perintah-Nya. Lihat, Dr.Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Quran Pelajarandari Orang-orang Terdahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Jilid III, h. 229.

64
b. Ringkasan Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun.125
Allah telah menyelamatkan Bani Israel dari Fir’aun dan
mengeluarkan mereka dari gurun Sinai di bawah pimpinan Mûsa a.s.,
dan memberikan kepada mereka nikmat yang besar di gurun Sinai,
yaitu memencarnya dua belas mata air dari batu untuk mereka sebagai
nikmat dari Allah. Dan Allah pun menaungi mereka dengan awan
putih, dan menjadikan makanan mereka manna (tumbuhan sejenis
herba atau cendawan) dan salwa (makanan manis sejenis madu).
Musa meminta mereka untuk memasuki tanah suci126 dan
mengatakan kepada mereka bahwa Allah akan memberikan
pertolongan dalam menghadapi musuh, yaitu orang-orang kafir yang
juga berada di negeri tersebut, dan mereka tidak lain harus berjihad
(berjuang) di jalan Allah. Akan tetapi, orang-orang Yahudi berwatak
penakut dan hina diri, dan tidak mengetahui kiat untuk berani dan
perwira menghadapi musuh. Karena itu, mereka manolak perintah
Mûsa a.s. dan berkata, “Sesungguhnya terdapat di negeri itu
sekelompok orang besar dan perkasa yang sadis;kasar, yang kami tidak
kuasa memerangi mereka itu, maka kami tidak akan memasukinya
sebelum mereka keluar darinya.”
Serta merta tampillah dari kalangan orang-orang Yahudi tersebut
dua orang laki-laki yang telah Allah anugerahi keberanian dan
125Kisah ini diambil dari Dr.Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-QuranPelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Jilid III, h. 205.
126Ibnu Abbas mengartikan ‘Tanah suci’ ialah Tur Sina dan sekitarnya, yaitu BaitulMaqdis dan sekitarnya. Lihat, Muhammad nasib ar-Rifa’I, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir,terj. Drs. Syihabbuddin, Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1989, Jilid III, h. 65.

65
kekuatan, dan kedua orang itu heran terhadap sikap kaumnya yang
pengecut itu. Kedua orang pemberani itu lalu menyusun taktik dan
strategi perang dan kemenangan kepada mereka, yaitu dengan
mengatakan kepada mereka, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang
itu, dan mulailah kalian menyerang mereka, dan peluang kemenangan
besar bagi pihak yang menyerang dan memulai serbuan perang. Jika
kamu sekalian melakukan yang demikian itu pastilah kamu akan
menang, kemudian sesungguhnya Allah telah menjamin kemenangan
bagi kalian. Karena itu bertawakallah kepada-Nya dan mintalah
pertolongan dan kemenangan dari-Nya.”
Orang-orang Yahudi itu merasa bahwa dua orang laki-laki
tersebut telah membuat mereka terdiam tidak dapat membantah, dan
mereka berdua berhasil mematahkan alasan mereka untuk takut
berperang, tetapi orang-orang Yahudi itu tetap tidak menghiraukannya
dan menyatakan pembangkangan seraya mengatakan kepada Mûsa
a.s., “Hai Mûsa, kami sekali-kali tidak akan memasuki negeri itu
selama-lamanya selagi mereka sekali-kali tidak akan memasuki negeri
itu selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu,
pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah kamu berdua;
sesungguhnya kami hanya duduk berpangku tangan menanti disini
saja.”
Menghadaplah Mûsa kepada Tuhannya seraya berkata, “Wahai
Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku.

66
Sebab itu, pisahkanlah aku dari orang-orang fasik itu (kaum Yahudi
karena membangkang).”
Allah lalu menjatuhkan hukuman kepada para pengecut dari suku
Yahudi itu, yaitu dengan mengharamkan mereka dari kemuliaan,
nikmat, kemenangan, dan kebahagiaan memasuki tanah suci. Setelah
itu, Allah menakdirkan bagi mereka berupa pengalaman pahit untuk
berputar-putar kebingungan di gurun Sinai selama empat uluh tahun,
yang merupakan jangaka waktu yang cukup lama untuk mematikan
generasi yang hina dan pengecut itu, dan lahir sebuah generasi baru
sebagai pengganti mereka setelah itu, yang tumbuh dalam kepribadian
keras, bercita-cita tinggi, dan ulet di iklim padang pasir dimana mereka
mampu memerangi orang-orang kafir, dan Allah menggariskan
kemenangan bagi mereka. Allah berfirman, “….maka sesungguhnya
negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama
itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang tih) itu.
Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang
yang fasik itu.’’127
Sebagian ulama tafsir dan ahli sejarah menyebutkan beberapa
riwayat dan uraian tentang sebagian perincian kisah yang mereka
ambil dari riwayat Israiliyyat. Di antara riwayat ini terdapat cerita yang
mungkar, mitos, dan legenda belaka tanpa didasari data dan dalil yang
akurat.
127 Q.S. al-Maidah [5] ayat 26.

67
Diantara riwayat Israiliyyat itu adalah penentuan nama kota yang
telah diperintahkan Mûsa a.s. untuk memasuki, yaitu (menurut
Israiliyyat) Aryha yang terletak di daerah pedalaman kawasan tengah
palestina.
Contoh lain adalah penentuan ukuran postur orang-orang gagah
perkasa penghuni kota tersebut. Dalam versi Israiliyyat disebutkan
bahwa tinggi orang-orang tersebut adalah 3.333 1/3 hasta, dan ketika
lapar, ia mengulurkan tangannya dengan mudah sampai ke dasar laut,
mengambil ikan, dan mengangkat tangannya kearah matahari, lalu
dengan mudahnya ia memanggang ikan yang ditangannya itu. Dengan
demikian, ia dapat mematangkan ikan itu di bawah sengatan panas
sinar matahari yang terik.
c. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr
Untuk merinci kisah di atas, ath-Thabârî mengemukakan
Israiliyyat yang diterimanya dari Ibnu Abbas bahwa nabi Mûsa
diperintahkan Allah untuk memasuki Negara kaum Jabbarîn, yakni
kaum yang gagah perkasa seperti yang telah diungkap di atas.
Berangkatlah Mûsa disertai oleh kaumnya. Sebelum memasukinya, ia
mengutus dua belas kepala suku untuk menyelidiki keadaan di dalam
negara itu. Di sana mereka melihat postur tubuh kaum Jabbarin sangat
tinggi dan besar. Mereka kemudian memasuki ladang perkebunan,
tetapi keberadaan mereka diketahui oleh pemilik kebun. Salah seorang
dari mereka kemudian ditangkap dan diletakkan di lengan baju pemilik
kebun tersebut bersama buah-buahan yang dibawanya. Di hadapan
sang raja negara itu, mereka diletakkan di telapak tangannya. Setelah

68
terjadi dialog, para kepala suku yang tertangkap disuruh kembali untuk
menyampaikan apa yang telah disaksikannya kepada Mûsa dan teman-
temannya. Mûsa memerintahkannya agar merahasiakan berita itu
kepada teman-temannya, tetapi akhirnya berita itu pun bocor. Riwayat
yang berasal dari Mujahid mengatakan bahwa buah anggur mereka
dapat ditumpangi oleh lima orang pengikut Mûsa.128
Ath-Thabârî pun mengemukakan riwayat dari as-Suda bahwa
ketika berada di negara kaum Jabbarîn, kedua belas kepala suku yang
diutus Mûsa itu bertemu dengan salah seorang Jabbarin yang bernama
Auj bin Ataq. Setelah tertangkap, ia meletakkan mereka di lubang tali
celananya, sedangkan di atas kepalanya terletak kayu bakar.
Sesampainya di hadapan istrinya, ia berkata sambil meletakkan mereka
di atas telapak tangannya, “Lihatlah mereka yang hendak memerangi
kita. Apakah ku injak saja mereka dengan kakiku?” “Jangan !”, tandas
istrinya, “Lepaskan mereka untuk mengabarkan keadaan kita kepada
rekan-rekannya.”129
Materi riwayat di atas ternyata tidak dikomentari oleh ath-
Thabârî, padahal di dalamnya terdapat sesuatu yang bertentangan
dengan akal. Gambaran tentang postur tubuh mereka sangat sulit untuk
diterima akal. Ibnu Katsîr berkomentar bahwa banyak ulama tafsir
yang mengemukakan riwayat Israiliyyat yang berkaitan dengan kaum
128 Ibnu Jarîr Ath-Thabârî, Jami’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qurân, Jilid IV, Juz VI, h. 174-175
129 Ibnu Jarîr Ath-Thabârî, Jami’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qurân, Jilid IV, Juz VI, h. 174-175

69
Jabbarin. Salah satu dari mereka adalah Iwaj yang tingginya mencapai
3330 hasta. Berita ini sangat memalukan karena bertentangan dengan
sabda nabi130 :
”Sesungguhnya Allah menciptakan adam setinggi 60 hasta. Setelah
nabi Adam, maka tinggi manusia terus berkurang sampai sekarang.”
Rasyid Ridha menyatakan bahwa riwayat tentang Jabbarin
merupakan khurafat yang disebarkan oleh orang Yahudi ke tengah-
tengah umat Islam. Sehubungan dengan persoalan ini, al-Alusi pun
mengatakan bahwa cerita tentang Iwaj merupakan cerita rekaan Ahli
Kitab yang tidak terdapat dalam kitab suci mereka. Dengan mengutip
pendapat Ibnu Qayyim, ia pun mengatakan bahwa riwayat tentang hal
itu palsu (maudhu’) dan merupakan hasil perbuatan orang kafir zindik
yang bermaksud mengolok-olok dan mempermainkan para Rasul yang
mulia. Cerita ini dipandangnya sebagai khurafat yang tidaak memiliki
sumber.131
2. Kisah Harut Marut
a. Q.S. al-Baqarah[2] : 101-103
130 Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h. 37-38131 Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani fî TAfsîr Al-Qurân Al-Azim wa As-Sab’I Al-Matsani, Cetakan
Muniriyyah, Juz VI, h. 86-87

70
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yangmembenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dariorang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah kebelakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui(bahwa itu adalah Kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yangdibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan merekamengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir132), padahalSulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitanlah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepadamanusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeriBabil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan(sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnyakami Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Makamereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu,
132Sihir mengandung beberapa arti, Pertama,menipu mata orang dan menghayalkansesuatu yang bukan sebenarnya, seperti yang diperbuat oleh pemain sulap. Jika sihr itu tidakmerusak orang, maka hukumnya tidak haram. Kedua,sihir bermakna perkataan yang indah, manis,menarik hati pendengarnya sehingga mereka dengan terpesona mengikuti perkataan itu. Kalautujuan perkataan itu unuk menerima suatu kebenaran, maka hukumnya halal, tetapi kalautujuannya untuk fitnah,mengadu domba supaya bercerai, maka hukumnya haram. Ketiga, mintapertolongan kepada syeitan dan mengabdi kepadanya dengan memuja maka sihir seperti ini haramhukumnya, bahkan mengkafirkan karena mempersekutukan Allah dengan syeithan. MahmudYunus, Tafsir Quran Karim, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 2006, h. 151.

71
mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya.dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnyakepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan merekamempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dantidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakinibahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu,tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatanmereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui.Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya merekaakan mendapat pahala), dan Sesungguhnya pahala dari sisi Allahadalah lebih baik, kalau mereka Mengetahui.”
b. Ringkasan Kisah Harut Marut
Banyak ilmuan yang meriwayatkan kisah Harut dan Marut
dalam versi Israiliyyat. para mufassir mengambil riwayat itu sebagai
nara sumber dan menjadikan referensi dalam tafsir-tafsir mereka,
bahkan mereka menafsirkan kalam Allah dengannya.133
Berikut adalah ringkasan cerita Harut dan Marut dalam versi
Israiliyyat.134
Para malaikat menghalang-halangi dipilihnya manusia untuk
menjadi khalifah di muka bumi dan mengutamakan manusia yang
beriman di atas derajat malaikat. Allah menerangkan kepada mereka
bahwa manusia yang beriman lebih utama karena pada dirinya ada
syahwat dan kecendrungan untuk berbuat maksiat, tapi dia
bersungguh-sungguh mengendalikan hawa nafsunya dan menahannya
hingga dia dapat beristiqamah dalam ketaatan kepada Allah.
133 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 18.
134 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 19-20.

72
Maka mereka (malaikat-malaikat) berkata, “Jika Engkau
jadikan syahwat dalam diri kami maka kami tidak akan berbuat
maksiat.”
Maka dipilihlah dua malaikat di antara untuk menjalani ujian
itu, yaitu Harut dan Marut. Allah menjadikan Syahwat dalam diri
mereka lalu mereka diturunkan ke bumi. Allah melarang mereka
berbuat keji dan maksiat.
Akhirnya, turunlah keduanya di kota Babil dan mereka
beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah.
Hingga suatu hari, mereka melihat seorang wanita yang sangat cantik
di kota itu, bahkan mungkin dialah wanita tercantik. Maka terbesitlah
dalam hati keduanya hasrat dan keinginan terhadap wanita itu.
Mereka merayu wanita itu yang belum menjawab saat pertama
kalinya, tetapi wanita itu memberikan pilihan kepada mereka antara
menyembah berhala, membunuh anak kecil, atau meminum khamar
sebelum mereka memiliki wanita itu.
Maka berkatalah mereka, “Menyembah berhala adalah
perbuatan kufur, membunuh anak kecil termasuk dosa besar,
sedangkan minum khamar hanyalah dosa yang kecil.” Maka mereka
memilih meminum khamar. Setelah meminum khamar itu, mereka pun
mabuk, akibatnya mereka lalu membunuh anak kecil dan menyembah
berhala. Kemudian terjerumuslah mereka dalam kekejian bersama
wanita itu.

73
Maka dicabutlah ismul a’zam (sifat kemalaikatan) dari mereka
yang dulunya dengan asma itu mereka dapat naik dan terbang ke
langit.
Kemudian Allah mengubah wanita itu menjadi bintang yang
terang di langit, dikenal dengan nama az-Zahra, sebuah bintang yang
beredar yang merupakan salah satu dari kumpulan bintang-bintang di
sekitar matahari.
Adapun Harut dan Marut, Allah murka kepada mereka. Karena
mereka terjerumus ke dalam dosa, lalu memberikan pilihan antara azab
di dunia dan azab di akhirat. Maka mereka memilih azab di dunia
karena azab di dunia hanyalah sementara dan mereka bisa selamat
pada hari kiamat nanti. Kemudian digantunglah mereka di angkasa
Babil, yaitu antara langit dan bumi. Mereka tergantung di sana sejak
saat itu sampai hari kiamat.
Di Babilonia, masih saja mereka mengajarkan sihir kepada
manusia walaupun mereka tengah diazab dan digantung di langit.
Setiap orang yang ingin mempelajari sihir dan memperdalaminya akan
menemui mereka di kota itu dan belajar dari kedua malaikat itu.
c. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr
Ulama-ulama peneliti menolak kisah itu dan menganggapnya
batil dari segi sanad dan maknanya.135 Setelah menolak riwayat itu,
Ibnu Katsîr berkata, “Kisah Harut dan Marut ini telah diriwayatkan
135 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 20.

74
oleh banyak orang dari kalangan tabi’in, seperti mujahid as-Sudai,
Hasan al-Bashri, Qatadah, Ubay al-Aliyah, az-Zuhri, ar-Rabi bi Anas,
dan Muqatil bin Hayyan serta yang lainnya, juga sekelompok imam
dari kalangan mufasirin yang terdahulu dan kotemporer ikut
menceitakannya. Dan hasilnya, ternyata perincian kisah ini bersumber
dari berita-berita keturunan Yahudi, di mana tidak ada satu pun di
dalamnya hadis yang marfu’ dan sahih yang bersambung sanadnya
kepada Rasûlullah Saw. (beliau yang benar dan membenarkan wahyu
serta terjaga dari perbuatan maksiat yang tidak berkata menurut hawa
nafsunya). Yang dapat kita lihat dari susunan cerita di dalam al-Quran
adalah cerita umum tanpa keterangan lebih lanjut dan tanpa
hiperbolisme cerita maka kita beriman dengan apa yang diturunkan
dalam al-Quran, dengan apa yang diinginkan Allah Ta’ala, dan hanya
Allah-lah yang mengetahui hakikat keadaannya.”136
Dalam kitab tarikh karangannya, al-Bidayah wan Nihayah,
Ibnu Katsir menulis ringkasan cerita Harut dan Marut dengan versi
Israiliyyat ini, kemudian mengkaitkannya dengan perkataannya,
“Sedangkan apa yang banyak disebutkan oleh para mufasirin dalam
kisah Harut dan Marut, bahwa az-Zahra adalah seorang wanita yang
dirayu dua malaikat itu dan dia menolak kecuali jika mereka mau
mengajarkannya ismul a’zam hingga kemudian mengajarkannya, lalu
diucapkannya, dan dia dinaikkan ke langit menjadi bintang. Semua ini
saya perhatikan hanyalah karangan orang-orang Yahudi. Kalaupun
136 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Jilid I, h. 141

75
Ka’ab Ibnul Ahbar menuliskannya (dalam beberapa bukunya) dan
beberapa kelompok salaf lainnya belajar dari dia tentang hal ini, tetapi
mereka mengemukakannya dengan cara menghikayatkan saja dan
mengatakan bahwa cerita itu bersumber dari Bani Israel.”137
Setelah itu, beliau berkata, “Dan jika berbaik sangka, mungkin
kita mengatakan bahwa ini adalah sebagian dari kabar Bani Israel
seperti riwayat Ibnu Umar dari Ka’ab Ibnul Ahbar terdahulu dan
mungkin dari khurafat mereka yang tidak mereka percayai.”138
Imam Ahmad Muhammad Syakir mengamati tentang versi
Israil itu pada tiga hal, yaitu139:
1. Dalam penegasannya terhadap banyaknya riwayat yang
dikemukakan ath-Thabâri di mana beliau berkata, “Berita-berita
dalam kisah Harut dan Marut dan cerita bahwa sesungguhnya ada
seorang wanita lalu diubah rupanya menjadi bintang adalah berita-
berita yang diilatkan oleh ahli ilmu dengan hadis.”
2. Dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsîr yang dinamakan Umdatut-
Tafsir ‘anil Hafiz Ibnu Katsîr, dia mengaitkan sanad riwayat-
riwayat yang dikemukakan Ibnu Katsîr dengan apa yang termaktub
dalam kisah itu.
Dalam hal itu, beliau mengaitkan sanad riwayat yang
disebutkan oleh Ibnu Katsîr dengan nukilan (kutipan) dari Ibnu Abî
137 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 20.
138 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 20.
139 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 21

76
Hatîm dalam komentarnya sebagai berikut, “Isnad yang dikutip
Ibnu Katsîr-sedangkan kami menghapusnya-adalah benar. Isnad ini
berhenti pada perkataan Ibnu Abbas. Kami pun berhenti sampai di
situ dan tidak mengatakan apa pun. Ibnu Katsîr telah
memperpanjang penyalinan kabar-kabar seperti ini, semoga Allah
merahmati dan juga diri kami dan mengampuni kami semua.”
Syakir juga menunjukkan sebab-sebab pengutipannya
terhadap versi Yahudi yang batil tersebut dalam bukunya,
Umdatut-Tafsir, sebagai berikut, “Saya pernah berkeinginan
membuang hadis ini juga dari kitab Umdatut-Tafsir seperti apa
yang telah saya syaratkan dalam mukadimah, tetapi saya melihat
bahwa makna hadis tersebut telah berimbas dalam cerita-cerita
banyak orang dan dalam apa yang mereka tulis, dan semua itu
harus diterangkan maka saya mengerjakan apa yang terbaik,
kemudian saya tidak menggunakan apa-apa yang telah
diperpanjang oleh Ibnu Katsir walaupun tidak memperpendek
keterangan tentang cacatnya. Semoga Allah merahmatinya.”
3. Dalam penjelasan dan pengamatannya terhadap musnad Imam
Ahmad bin Hambal, dalam sanadnya sebuah hadis marfu’ dari Ibnu
Umar r.a., dan itulah yang menyebabkan sebagian dari mereka
(ulama) mengenggapnya benar.
Ahmad Syakir mengakhiri komentarnya dengan ungkapan,
“Semua ini menguatkan apa yang telah dikuatkan oleh Ibnu Kasir,

77
‘Sesungguhnya hadis ini bersumber dari cerita-cerita Yahudi yang
disampaikan Ka’abul Ahbar. Sebenarnya itu bukanlah hadis marfu’
dari Nabi Saw. Barangsiapa yang merafa’kannya maka dia telah
berbuat salah dan lalai. Orang-orang yang meriwayatkannya dari
kisah-kisah Ka’abul Ahbar dengan lebih menjaganya dan
mempercayainya lebih dari orang yang meriwayatkan secara
marfu’ maka dia lebih parah dari Imam yang hafidz dan jalil.”140
Para ahli tafsir berusaha memahami firman Allah, “Dan
apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil,
yaitu Harut dan Marut” (al-baqarah: 102), mereka telah sepakat
bahwa huruf wawu pada kalimat ‘Wa ma unzila’ adalah ‘aatifah
dan kalimat ini ma’thuf kepada kalimat sebelumnya. Tetapi
mereka berbeda pendapat dalam kalimat yang di-‘athaf-kan
kepadanya. Ini karena perbedaan mereka tentang huruf maa,
apakah itu huruf nafi yang bermakna lam ‘tidak’ atau ism maushul
yang berarti ‘yang’. Ibnu Abbas mengatakan maa di sini berarti
mengingkari dan menafikan. Ia adalah huruf nafi yang berarti lam
‘tidak’.141
Ath-Thabârî menjelaskan pendapat ini, “Maka takwil ayat
ini berdasarkan arti ini,adalah, ‘Dan mereka mengikuti sihir yang
dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman
140 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 22
141 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.

78
sedangkan Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), dan
Allah tidak menurunkan sihir kepada dua malaikat itu, tetapi setan-
setan itulh yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia di
negeri Babil, yaitu Harut dan Marut.’ Dengan demikian kalimat
“Di kota Babil Harut dan Marut” adalah kalimat yang diakhirkan,
tetapi maknanya didahulukan.142
Dengan pendapat ini maka yang dimaksud dengan ‘dua
malaikat’ itu adalah Jibril dan Mikail. Sedangkan Harut dan Marut
adalah nama dua orang laki-laki dari golongan setan dan keduanya
mengajarkan sihir kepada manusia di kota Babil.
Dengan pendapat ini pula maka kalimat itu ma’thuf kepada
kalimat ‘maa kufru Sulaiman’ berarti bahwa al-Quran membantah
kafirnya Sulaiman dan turunnya sihir kepada dua malaikat di kota
Babil. Akan tetapi, setan-setan itu berdusta dan menuduhkan sihir
dan kekafiran itu atas diri Sulaiman a.s., dan menuduh turunnya
sihir kepada dua malaikat di kota Babil.143
Pendapat ath-Thabârî mengatakan bahwa maa adalah ism
mausul yang berarti alladzi (yang). Pendapat ini dinisbahkan ath-
Thabari kepada Abdullah bin Mas’ud, Qatadah, az-Zuhri, as-Suddi
dan yang lainnya.144
142 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.
143 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.
144 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.

79
Ath-Thabari berkata dalam penjelasannya tentang pendapat
ini, “Maka makna ayat berdasarkan pendapat ini adalah, ‘Dan
kaum Yahudi mengikuti yang dibaca setan-setan itu pada masa
kerajaan Sulaiman dan mengikuti yang diturunkan kepada dua
malaikat di kota Babil, yaitu Harut dan Marut.’ Ath-Thabari
cendrung pada pendapaat ini. Tetapi, Ibnu Katsir mengkritik
gurunya, yakni ath-Thabari dan menyanggah pendapatnya serta
mengaitkan kepadanya suatu pendapat, kemudian Ath-Thabari
mengajukan sanggahan atas pendapat ini bahwasannya maa berarti
alladzi dan beliau memperpanjang pendapatnya dalam hal itu dan
mengatakan bahwa Harut dan Marut itu adalah dua malaikat yang
diturunkan Allah ke bumi. Dia mengizinkan keduanya
mengajarkan sihir sebagai cobaan dan ujian bagi hamba-hamba-
Nya, setelah menerangkan kepada hamba-hamba-Nya bahwa itu
adalah termasuk dalam larangan-Nya atas lisan para Rasul. Beliau
juga menganggap bahwa Harut dan Marut taat pada ketentuan itu
karena keduanya menaati apa yang diperintahkan-Nya.145
Akan tetapi, Ahmad Syakir mengaitkan pendapat Ibnu
Katsîr dangan pendapatnya, “Bukannya aku mengingkari apa yang
dikatakan Abû Ja’far seperti halnya Ibnu Katsîr, jika Anda meneliti
pendapat Abu Ja’far, Anda akan mendapatkan hujah yang jelas
tentang kebenaran pendapat yang dianutnya, ketelitiannya dalam
145 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 32.

80
menjelaskan makna dan mengatur lafal-lafalnya dan Anda hampir
tidak menemuinya selain dalam tafsir yang mlia dan agung ini.”146
3. Dzulqalnain
a. Q.S. al-Kahfi[18] : 83
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain.Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya".
b. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr
Para mufasir dan sejarawan senang meneliti kisah Dzulqarnain
dan banyak diantara mereka yang berusaha untuk menjelaskan hal-hal
yang tidak disebutkan dan mendapatkan rincian kisahnya yang benar
secara historis. Mereka banyak mengeluarkan pendapat, yang sebagian
besar diambil berdasarkan kisah Israiliyyat dan cerita-cerita dari Ahli
Kitab, yang mengandung khurafat, kebohongan, dan kebatilan. Dari
sana muncullah berbagai penelitian tentang rincian kisah itu, juga
pernedaan pendapat yang tajam antara ahli sejarah dan mufasir.
Sebagian penulis membuat buku kisah Dzulqarnain hanya
menulis tentang rincian kisah itu;tempat, waktu, dan peristiwa-
peristiwa yang dialami oleh tokoh kisah itu. Diantara buku-buku
tersebut adalah sebagai berikut147:
146 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 32
147 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 214

81
1. Dzulqarnain wa Saddus-Shin oleh Muhammad Raghib ath-
Tabbakh, seorang professor sejarah dan hadist pada fakultas
syariah di Aleppo, 1949 M.
2. Yas’alûnaka ‘an Dzilqarnain oleh Abdul Kalam Azad, mentri
pendidikan India yang pertama setelah merdeka. Ada sebuah
pembukaan yang paling lebar ditulis oleh Syekh Ahmad Hasan al-
Bâquri, diterbitkan oleh Darus Sya’ab, Kairo, 1972 M.
3. Mafahim Jughrafiyah fil-Qashash al-Qurani: Qishshatu
Dzilqarnain oleh Dr. Abdul Alim Abdurrahman Khindir.
Diterbitkan oleh Daarusy Syuruq, 1981 M.
4. Dzulqarnain: al-Qa’id al-Faatih wal-Haakim ash-Shalih oleh
Muhammad Khair Ramadhan Yusuf. Diterbitkan oleh Daarul
Kalam tahun 1986 M/1406 H. Inilah buku yang paling baru, paling
lengkap, dan kritis.
Disebutkan dalam muqadimah Dzulqarnain: al-Qa’id al-Fâtih
wal-Hâkim ash-Salih oleh Muhammad Khair Ramadhan Yusuf, bahwa
tatkala membahas kisah Dzulqarnain, ia meminta petunjuk kepada
seorang ilmuwan yang terpecaya dengan mengatakan, “Bagaimana
pendapatmu jika aku menulis buku tentang Dzulqarnain, wahai
guruku?” kemudian gurunya menjawab, “Jangan kamu lakukan hal
itu.” Ia merasa heran kemudian bertanya, “Mengapa?” Gurunya
menjawab, “Karena kamu tak akan mendapatkan manfaat.” Akan
tetapi ia bersikeras melakukan hal itu: mengumpulkan data,

82
menganalisis, dan mendiskusikannya. Akhirnya ia berhasil menulis
sebuah buku yang bagus. Tetapi ia tidak dapat menemukan secara pasti
hakikat Dzulqarnain yang merupakan inti pembahasan seolah-olah ia
tidak mendapatkan hasil yang dapat diterima sesuai dengan penelitian
ilmiah yang sistematis dan objektif.148
Abdul Kalam Azad149 dan Dr. Abdul Alim Abdurrahman
Khidir menegaskan bahwa Kursy al-Farisi (seorang raja dari Persia)
adalah Dzulqarnain yang diceritakan dalam al-Quran dan dinding yang
didirikan di celah Daryal150 adalah yang diceritakan al-Quran. Kedua
ilmuawan ini berpendapat bahwa sifat-sifat Kursy sesuai dengan sifat
Dzulqarnain yang diceritakan al-Quran, bahkan sifat yang diceritakan
al-Quran terdapat dalam diri Kursy.151
148 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 215
149 Abdul Kalam Azad adalah seorang pemimpin muslim India. Ia mengajak kaummuslimin India memberontak terhadap penjajahan Inggris. Ia mengadakan penelitian tentangDzulqarnain dan pergi ke Iran, mencari lokasi bendungan Ya’juj dan Ma’juj. Kemudian ia menuliskesimpulan perjalanan dan peneliiannya dimajalah Tarjamaanul Qur’an. Kemudian ia menulissebuah buku yang diterbitkan oleh Daarus Sab’ah, Mesir,berjudul Yas’aluunaka ‘an Dzularnain.Tulisan Abul Kalam Azad dalam buku tersebut benar-benar berharga dan bagus karena iamengemukakan berbagai bukti untuk menguatkan pendapatnya dan mengumpulkan bermacam-macam bukti dengan mengutip dari sejarah, geografi, dan temuan-temuan arkeologi. Dr. ShalahAbdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid II,terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 229.
150 Dinding yang dibangun oleh Dzulqarnain “Kursy” terletak di celah Daryal di tengah-tengah pegunungan Kaukasus. pegunungan Kaukasus membentuk rangkaian panjang yangbersambung, puncaknya banyak, sulit didaki, tidak ada jalan masuk kecuali melalui celah Daryalditengah mengalir salah satu cabang sungai Turk yang paling tinggi. Pegunungan ini terbentanghampir sama dengan Laut Qazwin di Timur dan laut Hitam di Barat. Panjang keseluruhannyamencapai 1.200 km, merupakan pegunungan tertinggi di Eropa, dan tidak mungkin didaki kecualimelalui celah Daryal. Dikutip dari Khindir, Mafahim Jughrafiyah, h. 296. Dr. Shalah Abdul Fattahal-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid II, terj. SetiawanBudi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 234.
151 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid II, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 236.

83
Menurut Abdul Kalam Azad, Kursy dijuluki Dzulqarnain
karena ia menyatukan dua kerajaan, yaitu, Midya dan Persia, menjadi
satu kerajaan, masing-masing kerajaan disebut “qarn”. Oleh karena itu,
setelah menyatukan kedua kerajaan itu, ia dijuluki Dzulqarnain yang
berarti ‘memiliki dua kerajaan’.152
Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya, bahwa
Dzulqarnain adalah seorang hamba Allah yang dikaruniai kerajaan
yang luas dan kekuasaan yang besar. Kekuasaannya meliputi seluruh
jagad dan semua umat dari berbagai bengsa dan keturunan tunduk di
bawah hukum kerajaannya, dia menguasai banyak bahasa sehingga
tiap kaum atau negeri yang ditundukkannya dapat dipahami olehnya
bahasa kaum dan penduduk negeri yang dikuasainya itu. Demikian
pula Allah telah mengaruniainya pengetahuan mengenai peta bumi di
antara sarana-sarana lain yang dapat memudahkan ia melebarkan sayap
kekuasaannya ke segala penjuru dunia dari barat sampai ke timur.153
Untuk menjelaskan ayat di atas, ath-Thabari mengemukakan
Israiliyyat dari Wahab bin Munabbih yang mengatakan bahwa
Dzulqarnain berasal dari Romawi. Nama aslinya adalah al-Iskandar. Ia
dijuluki Dzu al-Qarnain karena dua belah wajahnya ditutupi oleh
tembaga. Ketika ia menjelang dewasa dan menjadi hamba yang shaleh,
Allah mengutusnya untuk memimpn penghuni dunia yang mempunyai
ragam bahasa yang berbeda-beda. Di antara mereka adalah dua umat
152 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu”,jilid II, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 226.
153 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h. 169.

84
yang antara keduanya dipisahkan oleh jarak sepanjang bumi; dan di
antaranya pula dua umat yang antara keduanya dipisahkan oleh jarak
selebar bumi. Ia pun memimpin umat seperti jin, manusia, ya’juj dan
ma’juj. Riwayat itu kemudian menuturkan ilmu dan hikmah yang telah
diberikan Allah kepadanya, kondisi kaum-kaum yang ditemuinya, apa-
apa yang diucapkan mereka kepadanya. Di tengah-tengah rakyat itu,
ath-Thabari mengemukakan berita-berita yang sangat sulit diterima
akal dan naqli. Dan untuk menuturkan riwayat-riwayat itu, ia
mneghabiskan lebih kurang empat lembar.154
Riwayat lain yang dikemuukakan ath-Thabâri, diantaranya,
diterima dari Abi Hatim dan Ibnu Ishaq; serta riwayat yang diduga
berasal dari nabi karena pada ujung sanadnya tertera nabi Muhammad.
Riwayat pertama berbicara tentang sebab penamaan Dzulqarnain,
sedangkan riwayat kedua mengatakan bahwa Dzulqarnain adalah
pemuda dari Romawi yang membangun Negara Iskandariah. Setelah
pembangunan itu selesai, ia diangkat oleh malaikat ke langit.
Sesampainya disana, Dzulqarnain ditanya, “Apa yang kau lihat?” “Aku
melihat kotaku dan beberapa kota lainnya.” Setelah naik ke langit
berikutnya, ia pun ditanya, “Apa yang kau lihat?” “Aku melihat bumi.”
Suatu saat ia sampai di sebuah benteng. Di sana ia melihat sekelompok
menusia yang bentuk wajahnya mirip seperti anjing.155
154 Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h. 192.155Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h. 192 .

85
Ath-Thabari tidak mengomentari riwayat itu walaupun terdapat
beberapa kegabjilan di dalmnya. Umpamanya, betulkah sebagian
riwayat itu berasal dari Nabi. Untuk riwayat yang berasal dari nabi
Ibrahim, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kualitasnya asing dan sanad-
sanadnya pun tidak sahih.156 Ath-Thabâri pun tidak berupaya
melakukan studi kritis terhadap keganjilan-keganjilan matannya.
4. Kisah Sapi Betina Bani Israel
a. Q.S. al-Baqarah[2] : 67-74
156 Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h 100.

86
“Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya:"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapibetina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buahejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidakmenjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". Merekamenjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar diamenerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab:"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapibetina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Makakerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". Mereka berkata:"Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkankepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allahberfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yangkuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yangmemandangnya." Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmuuntuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapibetina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami danSesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untukmemperoleh sapi itu)." Mûsa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirmanbahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakaiuntuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidakbercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulahkamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudianmereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakanperintah itu. Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusialalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendakmenyingkapkan apa yang selama Ini kamu sembunyikan. Lalu kamiberfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betinaitu it Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yangTelah mati, Dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaannyaagar kamu mengerti. Kemudian setelah itu hatimu menjadi kerasseperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itusungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dandiantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena

87
takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yangkamu kerjakan.”
b. Ringkasan Kisah Sapi Betina Bani Israel157
Pada masa nabi Mûsa a.s. terjadi pembunuhan di kalangan Bani
Israel yang tidak diketahui siapa pembunuhnya. Lalu di antara
merekapun terjadi kesalahpahaman, kericuhan, dan saling mendorong
serta saling menuduh melakukan pembunuhan. Masing-masing
menuduh yang lain sebagai pembunuhnya, lalu mereka mengajukan
perkara itu kepada Mûsa a.s. untuk disidangkan di antara mereka.
Allah ingin menyingkap misteri pembunuhan itu dan
mengungkap pembunuhnya melalui prosesi mukjizat fisik materi.
Allah mewahyukaan kepada musa agar memerintahkan mereka untuk
menyembelih sapi betina, yaitu sapi betina apa saja, tanpa ketentuan
criteria dan spesifikasinya. Kalaulah mereka mengambil sapi betina
apa saja serta menyembelihnya niscaya mereka telah melaksanakan
perintah Allah dan menunaikan kewajiban. Akan tetapi, karena watak
orang-orang Yahudi menyukai perdebatan dan memperlambat diri
untuk menjalankan tugas membuat mereka mengabaikan perintah itu
dengan berulah dan banyak bertanya.
Mereka menanyakan kepada Mûsa a.s. tentang usia sapi betina
itu, lalu Musa menjawab bahwa sapi itu tidak terlalu tua dan juga tidak
terlalu muda, melainkan berusia sedang. Kemudian mereka bertanya
157 Kisah ini diambil dari Dr.Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-QuranPelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Jilid III, h. 235.

88
tentang warnanya. Musa menjawab, warna sapi betina itu kuning tua
yang menyenangkan siapa pun yang memandangnya.
Setelah itu, mereka bertanya pula tenttang tabiat kerja sapi itu,
lalu dijawab bahwasannya sapi itu sangat berharga bagi pemiliknya,
tidak begitu jinak, tidak dipakai untuk membajak dan juga tidak untuk
mengairi tanaman.
Pada akhirnya, mereka pun menyembelihnya, dan ini hampir
saja idak mereka lakukan karena disibukkan oleh pertanyaan-
pertanyaan.
Setelah itu, Mûsa a.s. memerintahkan mereka untuk
memukulkan sebagian anggota badan sapi betina yang telah dipotong
itu ke tubuh mayat korban pembunuhan, lalu mereka pun
melaksanakannya. Tiba-tiba Allah memasukkan roh ka dalam raganya
dan menghidupkan kembali mayat korban pembunuhan tersebut, lalu
ia menceritakan siapa yang membunuhnya, “Si fulan yang telah
membunuh saya.”
Mayat hidup itu pun akhirnya mati kembali di tengah suasana
yang mencengangkan dan mencekam bagi orang-orang Bani Israil, dan
mereka pun terpana dan heran atas kejadian yang baru saja mereka
saksikan.
c. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr
Dalam tafsir Ibnu Katsîr disebutkan riwayat dari Ibnu Abî
Hatîm, dengan sanad yang bersambung hingga Muhammad bin Sirin,

89
dari Ubadah as-Silmani, dia berkata, “Ada seorang laki-laki Bani Israel
yang mandul, sedangkan dia mempunyai harta yang banyak dan anak
saudaranya merupakan pewarisnya. Maka dia membunuhnya. Pada
malam hari dia membawa mayatnya lalu diletakkan di depan pintu
salah seorang Bani Israel. Ketika pagi hari tiba, maka pihak korban
menuduh si pemilik rumah dan warganya sehingga mereka pun
mengangkat senjata dan saling menyerang. Salah seorang yang
berpikiran lebih bijak berkata, ‘ Mengapa kalian saling membunuh,
padahal kita punya Rasul !’. Maka mereka pun menemui Musa a.s. dan
menceritakan kejadian tersebut. Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah
menyuruhmu untuk menyembelih seekor sapi betina’. Mereka berkata,
‘apakah kamu hendak menjadikan kami sebagai bahan ejekan?’ Musa
menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah sekiranya aku termasuk
orang-orang yang bodoh.’158
Ubaidillah berkata, “Seandainya mereka tidak mencela, niscaya
memadailah sapi yang sederhana sekalipun. Namun mereka
mempersulit, maka Allah pun mempersulitnya sebelum mereka
menemukan sapi yang diperintahkan untuk disembelih. Mereka
mendapatkannya dari seseorang yang tidak memiliki sapi lain kecuali
sapi betina itu. Si pemilik berkata, ‘’Demi Allah, harga sapi ini tak
boleh kurang dari uang emas sepenuh kulitnya”. Lalu mereka
menyembelihnya, dan mereka memukul mayat dengan bagian tunuh
158 Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I, Muktabah Ma’arif, 1819, h. 148-149.

90
sapi itu. Kemudian mereka bertanya, “Siapa yang membunuhmu?”
mayat itu berkata, “Orang ini,” sambil menunjuk kepada anak
saudaranya. Kemudian mayat pun terkulai dan mati kembali. Maka si
pembunuh tidak diberi harta warisan sedikit pun. Sejak itulah seorang
pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan.159
Mengomentari kisah di atas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa
kisah tersebut dikutip dari buku-buku Bani Israel, dan kisah ini
termasuk yang boleh dikutip, namun tidak boleh dibenarkan atau
didustakan. Oleh karena itu, kisah tadi tidak dapat dijadikan pegangan
kecuali dalam hal-hal yang sejalan dengan kebenaran menurut
Islam.160
Pada ayat 73 menerangkan perintah nabi Musa kepada Bani
Israel untuk menyembelih sapi yang salah satu bagian badannya
dipukulkan kepada orang yang terbunuh agar hidup kembali. Ayat ini
merupakan rangkaian dari beberapa ayat yang berbicara tentang kisah
penyembelihan sapi. Tidak dijelaskan bagian badab sapi mana yang
digunakan untuk memukul mayat itu. Kisah itu, lebih lanjut
menjelaskan bahwa setelah dipukul, mayat itu hidup kembali.
Meskipun persoalan itu tidak penting, sebagian ulama tafsir
menjelaskannya dengan merujuk pada riwayat Israiliyyat. Dalam hal
ini, ath-Thabari mengemukakan beberapa riwayat yang berbeda-beda.
159 Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I, Muktabah Ma’arif, 1819, h. 149.
160 Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I, Muktabah Ma’arif, 1819, h. 152-153.

91
Satu riwayat mengatakan bahwa yang digunakan untuk memukul
mayat itu adalah bagian paha sapi, riwayat lain mengatakan bagian
pundaknya, dan riwayat lainnya lagi mengatakan bagian tulangnya.161
Mengomentari riwayat-riwayat di atas, ath-Thabari
berpendapat bahwa selama Allah mengglobalkan kisah ini dan Rasul
pun tidak merincinya, kita tidak diperkenankan menjabarkannya.
Namun, di akhir pembicaraannya, ia berpendapat bahwa riwayat yang
peling benar adalah mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada
mereka untuk memukul bagian tubuh orang yang terbunuh dengan
potongan daging sapi agar hidup kembali. Tidak ada satu keterangan
pun yang menjelaskan tentang potongan daging mana yang digunakan.
Boleh jadi bagian ekornya, atau boleh jadi pula bagian lehernya.162
B. Analisa Perbandingan Sikap Ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr Terhadap
Penyusupan Isrâîliyyât
Sejauh ini para pengamat tafsir menempatkan ath-Thabari dan Ibnu
Katsir pada posisi yang sama, yaitu mufassir yang menggunakan corak bi al-
ma’tsur dalam kitab tafsirnya masing-masing. Namun, ternyata kedua
mufassir itu tidak selamanya memiliki kesamaan dalam menafsirkan al-Quran.
Perbedaan metode penafsiran antara kedua mufassir itu secara umum,
dintaranya, telah disajikan secara cermat dan kritis oleh seorang orientalis
161 Ibnu Jarir Ath-Thabri, Jami al-Bayaan fi Tafsir Al-Quran, Juz II, h. 356-360162 Ibnu Jarir Ath-Thabri, Jami al-Bayaan fi Tafsir Al-Quran, Juz II, h. 285-286

92
yang bernama J.D. Dammen Mc.Auliffe.163 perbedaan itu sebenarnya
merupakan sesuatu yang wajar dan alami.
Berdasarkan keterangan sebelumnya, dapat diketahui materi Israiliyyat
yang terdapat pada kitab tafsir Jami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya ath-
Thabârî terkadang dikomentari oleh beliau dan terkadang tidak
dikomentarinya. Sehingga menimbulkan pro dan kontra dari beberapa ulama
dalam menyikapi kisah-kisah Israiliyyat yang terdapat pada kitab tafsir ath-
Thabârî.
Berikut ini pandangan ulama terhadap kisah-kisah Israiliyyat yang
terdapat pada kitab beliau. Ulama yang membela ath-Thabârî diantaranya
ialah Abû al-Fadi Ibrâhîm yang menyatakan bahwa sikap ath-Thabârî sejalan
dengan langkah yang ditempuh oleh kalangan ahli hadis pada umumnya, yaitu
cukup mengemukakan jalan-jalan periwayatan sampai kepada pembawa berita
(rawi) pertama. Dalam hal ini pun, ia hanya mengemukakan jalan-jalan
periwayatan (silsilah al-riwayah) Israiliyyat kepada pembawanya yang
pertama. Untuk menilai kualitasnya, ia serahkan sepenuhnya kepada para
pembaca. Dengan cara ini, ath-Thabari sudah memenuhi tugas keilmuannya
dan tidak bertanggung jawab terhadap isi yang dibawanya.164
Pendapat Ibrahim di atas tampaknya tidak sepenuhnya dapat diterima
sebab Tafsir ath-Thabari tidak selamanya berada ditangan orang-orang yang
mempu menilaikualitas riwayat Israiliyyat. untuk mengkritik sebuah riwayat,
163Janne damman Mc Auliffe, “Qur’anic Heurmenetic: The Views of Ath-Thabâri andIbnu Katsîr” dalam Andrew Rippin (Ed.), Approaches to the History of the Interpretation of theQur’an, Clarendon Press, Oxpord, 1988, h. 46-62.
164 Muhammad Abu Fadl Ibrahim, “Tarikh Ath-Thabari” , dalam Ath-Thabari, Tarikh Ar-Rusul wa al-Mulk, Juz I, Dar Al-Ma’rif, Mesir, 1960, hlm.22-23.

93
seseorang diharuskan menguasai ilmu kritik hadis (Takhrij Hadis), sebuah
ilmu yang sulit untuk dikuasai selain orang-orang yang memang bergelut di
dalamnya secara khusus. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa
“orang yang mengemukakan sanad riwayat, tidak bertanggung jawab atas isi
Israiliyyat” itu sangan sulit untuk diterima. Bagaimana seandainya Israiliyyat
itu kemudian dipakai seseorang untuk memahami kandungan al-Quran atau
menerangkan hukum syara’.165
Berlainan dengan pendapat diatas, dibawah ini akan dikemukakan
diantara pendapat yang bernada negatif terhadap kisah Israiliyyat yang
terdapat pada kitab tafsir th-Thabari, yaitu, al-Hufi yang menyayangkan sikap
ath-Thabari yang tidak melakukan studi kritis terhadap Israiliyyat padahal ia
tergolong dalam ulama ulama hadis. Menurutnya, mungkin saja ath-Thabari
membedakan antara hadis dan Israiliyyat. hadis berfungsi sebagai hukum yang
dapat membangun hukum-hukum, sedangkan Israiliyyat tidak memiliki fungsi
itu sehingga tidak perlu melakukan studi kritis terhadapnya. Namun, sebagai
ahli sejarah, ia tidak cukup menyampaikan sanad riwayat saja sebab terkadang
rawinya terpecaya, tetapi lemah dalam menerima atau menyampaikannya.166
Menanggapi hal tersebut, ath-Thabari mengemukakan penjelasan di
salah satu kitabnya, yakni,
“ Hendaknya setiap peneliti kitabku memahami apa yang dikemukakandi dalmnya dan saya sendiri yang menulisnya dengan bersandarkan padaperiwayatan yang aku sebutkan dan susunan perawinya yang di dalamnya punaku dilibatkan, bukan berdasarkan atas hasil olah pikiran. Karena untuk
165 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî danTafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 115.
166 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 116

94
mengetahui berita-berita masa lampau dan kejadian-kejadian di dalamnya,tidak mungkin diperoleh secara langsung dari orang-orang yang terlibat ataumenyaksikan langsung peristiwa-peristiwa itu, malainkan hanya dapatdiperoleh melalui kabar berita yang sampai kepada kita, bukan dengan carahasil olah pikir. Jika ternyata dalam kitabku ini terdapat suatu riwayat yangtidak enak didengar karena tidak jelas kevalidan dan hakikatnya, makapenjelasan tentang itu belum pernah aku dapatkan dari orang-orangsebelumku. Itulah sebabnya, aku hanya menulis apa saja yang sampai ketanganku.”167
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan pada tiga poin, yakni;
Pertama, ia berpendapat bahwa para sejarawan tidak boleh bertolak dari
logika, analogi dan istimbat dalam memperoleh data sejarah. Oleh karena itu,
ia mendokumentasikan data sejarah atas dasar berita dari perawi saja. Ia pun
tidak hanya menggumpulkan data sejarah yang relevan dengan pemikirannya.
Kedua, untuk memperoleh data sejarah, hanya dapat dilakukan dengan satu
cara, yaitu melalui berita-berita yang sampai kepada kita. Ketiga, ath-Thabârî
menyatakan bahwa orang-orang sebelum dirinya belum pernah melakukan
studi kritis terhadap riwayat yang diterimanya.168
Atas dasar pernyataan di atas, ada beberapa kritikan untuk ath-Thabari,
yaitu poin pertama dan kedua tampaknya bertentangan dengan prinsip sejarah
yang sebenarnya. Sejarawan memang tidak boleh merekayasa data sejarah,
tetapi bukan berarti pertimbangan rasio tidak berguna dalam mengumpulkan
data sejarah.169 Berkenaan dengan ini, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa untuk
menerima riwayat sejarah diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu
167 Ath-Thabari,Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Jilid 1, h. 7-8168 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan
Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 117.169 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan
Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 117.

95
yang tidak cukup bersandarkan kepada sanadnya saja. Menurutnya, banyak
ahli sejarah dan ahli tafsir yang tergelincir ke dalam kesalahan karena adanya
berpegang kepada pemindahan riwayat saja tanpa melakukan pemikiran
mendalam terhadap isi riwayat itu.170 Demikian pula poin ketiga pun
mengandung sisi kelemahan karena bertentangan dengan data sejarah.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan di atas, Tafsir ath-Thabârî
memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu dari sisi lain. Dari sisi sanad, di
antaranya, kitab ini mengemukakan Israiliyyat dengan disertai penyebutan
sanadnya secara lengkap dan teliti. Untuk setiap Israiliyyat yang ia
kemukakan, disertakan sanadnya sampai kepada pemiliknya dengan cara
menggunakan langkah-langkah periwayatan ulama hadis.171
Bila lupa nama salah seorang dari silsilah rawi, ath-Thabârî
menjelaskan langsung seperti ini, “Telah menceritakan kepada kami Abî
Kuraib yang mengatakan bahwa Yahya bin Adam telah menceritakan kepada
saya.” Ia berkata, telah menceritakan kepada kami Isra’il dari Abu ishaq, dan
170 Ibnu Khaldun, Muqadimah, Lajnah al-Bayan al-Arabi, h. 219171 Diantara para rawi yang periwayatannya didengar oleh ath-Thabari dan temannya,
sehingga ia menggunakan kata haasana, adalah Khalid bin Aslam, Abu Kuraib, Muhammad binHammad ar-Razi, Sa’id bin Yahya bin Sa’id al-Amawi, Ubaidillah bin Muhammad al-Gurbani,Ismail bin Musa as-Suda, Ibnu al-Barq, Rabi bin Sulaiman, Muhammad in Marzuq, Muhammadbin al-Musanna, Muhammad bin al-A’la al-San’ani, Umar bin Usman al-Usmani, Yahya binDawud al-wasiti, Ahamad bin Abd Ad-Dabbi, Sa’id bin ar-Rabi, dan Muhammad bin Basyir.Adapun para rawi yang didengar oleh ath-Thabari saja, sehingga ia menggunakan kata haasaniadalah Ubaidillah bin Asbat, Yunus bin Abd al-A’la, Ahmad bin al-Mansyur, Muhammad bin AbiMukhallad al-Wasiti, ar-Rabi bin Sulaiman, Abu al-Sa’ib Salim bin Janadah as-Sawa’I,Muhammad bin Hammid ar-Razi, Ya’qub bin Ibrahim, dan Sa’id ar-Rabi. Lihat al-Hufi, ath-Thabari, al-Majelis al-A’la li Asy-Syu’un al-Islamiyyah, Kairo, 1987.

96
fulan seorang hamba ath-Thabari berkata, “Aku lupa namanya, dari Sulaiman
bin Sarud, dari Abi Ka’ab. Ia berkata, “….”172
Dalam meruntut para rawi, ath-Thabari umumnya menggunakan sighat
tahdis (haddasana atau haddasani), suatu lafaz periwayatan yang lebih
menyakinkan kepada kita bahwa rawi-rawinya mendengar langsung dari guru
yang pernah memberitakannya.173
Lain halnya dengan Ibnu Katsîr, sebagaimana telah diterangkan dalam
pembahasan biografi, disamping sebagai ahli tafsir, ia juga sebagai sejarawan.
Dalam menafsirkan al-Quran, biasanya seorang sejarawan lebih menonjolkan
aspek sejarah daripada tafsirnya itu sendiri atau tidak melakukan penelitian
terhadap data sejarah yang dikumpulkannya. Ibnu Katsir ternyata tidak
termasuk ke dalam kategori ini. Sebab, disamping sebagai sejarawan, ia pun
sebagai ahli hadis yang mengetahui kelemahan dan kekuatan sebuah riwayat.
Kedalaman ilmunya sebagai ahli hadis dapat mengendalikannya untuk tidak
sekedar mengemukakan sebuah data sejarah, tetapi juga menyertakan
informasi kualitasnya. Prinsip itu secara konsisiten diterapkannya dalam
mengemukakan Israiliyyat.
Ketika mengemukakan Israiliyyat, Ibnu Katsîr memandang dari tiga
sudut pandang yang berbeda, yakni:
172 Lihat Ath-Thabari, , Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Quran, (Bairut Dar al-Fiqr), Jilid I,h.3
173 Dalam ilmu hadis dikenal dua kelompok lafaz bagi para rawi untuk meriwayatkanhadis. Pertama, lafaz yang menunjukkan bahwa para perawinya mendengar langsung darigurunya, seperti sami’tu sami’na, haasani, dan haasana. Kedua, lafaz yang menunjukkan bahwapara perawinya mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri dari gurunya, sepertiruwiya, hukiya, an dan anna. Lihat Fathurrahman, Ikhtisar Musthalahu’l Hadis, PT Al-Ma’arif,Bandung, 1987, h. 220-222

97
1. Sudut pandang sanad.
Ketika mengemukakan Israiliyyat, ia kerapkali menggunakan
istilah nakara (munkar), mukhtakif li an-nash (bertentangan dengan nash),
dha’if jiddan (sangat lemah), dan la ashla lah (tidak memiliki sumber)
untuk menunjukkan kedha’ifannya.Ia mengemukakan berbagai kelemahan
Israiliyyat berdasarkan penelitiannya. Ia mengkritik perawi-perawi yang
dianggap memiliki kelemahan-kelemahan tertentu serta memperlihatkan
riwayat yang palsu dan lemah. Karena itu ia sering menggunakan istilah
nakara (munkar), mukhtakif li an-nash (bertentangan dengan nash), dhaif
jiddan (sangat lemah), dan la ashla lah (tidak memiliki sumber) untuk
menunjukkan kedha’ifannya.
Contohnya ketika menafsirkan sûrah al-A’raf[7] ayat 157 :
“(yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasûl, Nabi ummy yang (namanya)mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang berada disisi mereka. Nabimenyuruh mereka mengerjakan perbuatan ma’ruf dan melarang perbuatanmunkar serta menghalalkan bagi mereka segala yang baik.”

98
Ketika menafsirkan ayat itu, Ibnu Katsîr mengutip Israiliyyat yang
disampaikan oleh ath-Thabârî, dari al-Mutsanna, dari Usman bin Umar,
dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, dari Atha bin Yassar, ia berkata:
“Aku bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Ash dan bertanyakepadanya, “Ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasûlullah Sawyang diterangkan dalam Taurat.” Ia menjawab, “Tentu, demi Allah, yangditerangkan dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam al-Quran:Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberikabar gembira, pemberi peringatan, dan pemelihara yang Ummi. Engkauadalah hamba-Ku; namamu dikagumi; Engkau tidak kasar dan tidak keras.Allah tidak akan mencabut nyawamu sebelum agama Islam tegak lurus,yaitu setelah diucapkan tiada Tuhan yang oatut disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Allah. Dengan perantaraan engkau pula Allah akanmembuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli, dan membukamata yang buta.”174
Ibnu Katsîr mengaitkan Israiliiyyat itu dengan pernyataan bahwa
Imam Bukhari telah meriwayatkannya dalam kitab Shahih-nya yang
diterima dari Muhammad bin Sinan, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali dengan
tambahan redaksi yang berbunyi, “Dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar,
Nabi tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, tetapi ia
senantiasa mempunyai sifat pemaaf.”175 Keberadaan Israiliyyat itu dalam
Sahih al-Bukharî cukup membuktikan bahwa kualitas sanadnya sahih.
2. Sudut pandang persesuaian dengan syari’at Islam.
Contoh Israiliyyat dalam tafsir Ibnu Katsîr yang sesuai dengan
syariat Islam adalah menjelaskan sifat-sifat Nabi yang pemurah, tidak
kasar dan tidak keras.176 Israiliyyat ini sesuai dengan syariat Islam
174 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid II, h. 253.175 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid II, h. 253.176 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid II, h. 253.

99
sebagaimana terdapat pada: Q.S. al-Maidah[5] : 21, Q.S. al-Araf[7] : 187,
Q.S. al-Baqarah[2]: 119, dan Q.S. Yusuf[12]: 28.
Adapun Israiliyyat dalam tafsir Ibnu Katsîr yang bertentangan
dengan syariat Islam dapat dilihat pada contoh berikut:
Israiliyyat yang disampaikan oleh Ath-Thabrani, dari Basyîr, dari Yazîd,
dari Sa’id, dari Qatadah berkaitan dengan kisah Nabi Sulaiman a.s. yang
terdapat pada sûrah Sad ayat 34:
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia)tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit)kemudian ia bertobat.”
Israiliyyat itu menjelaskan bahwa ada seseorang berkata kepada
nabi Sulaiman a.s. bahwa di dasar laut terdapat setan yang bernama Syahr
al-Maridhah (batu durhaka). Nabi Sulaiman lalu mencarinya dan di sisi
laut ternyata ada sebuah sumber mata yang memancar satu kali dalam
seminggu. Pancarannya sangat jauh dan sebagiannya berubah menjadi
arak. Ia berkata, “Sesungguhnya engkau (arak) adalah minuman yang
sangat nikmat hanya saja menyebabkan orang sabar mendapat musibah
dan orang bodoh bertambah kebodohannya.” Ia kemudian pulang, tetapi
dalam perjalanannya ia merasakan dahaga yang sangat dan kembali ke
sumber mata air. Ia meminum air arak hingga hilanglah kesadarannya.
Dalam kondisi seperti itu, ia melihat cincinnya dan merasa terhina
karenanya. Lalu dilemparlah cincin itu ke laut dan dimakan seekor ikan
sehingga hilanglah seluruh kerajaannya karena kekuasaannya terdapat

100
cincinnya itu. Setan lalu datang menyerupainya dan duduk di atas
singgasana nabi Sulaiman.177
Israiliyyat itu jelas merupakan cerita palsu yang dibuat-buat.
Karena sangat mustahil apabila nabi Sulaiman minum arak yang jelas akan
merusak kesehatan dan kesadarannya. Atas kepalsuan itu, Ibnu Katsîr
berkomentar demikian, “Pada dasarnya, Israiliyyat ini berasal dari Ibnu
Abbas yang diperolehnya dari Ahli Kitab, sedangkan di antara mereka ada
yang tidak mempercayai kenabian Sulaiman. Israiliyyat ini jelas munkar.
Apalagi Israiliyyat yang menjelaskan tentang istri-istri nabi Sulaiman yang
digauli setan. Israiliyyat ini secara panjang lebar telah dipaparkan oleh
sekelompok ulama salaf. Seperti Sa’id bin al-Musayyab, Zaid bin Aslam,
dan lain-lain. keseluruhannya berasal dari Ahli Kitab.178
3. Sudut pandang materi.
Contohnya Israiliyyat yang berhubungan dengan hukum dapat
dilihat ketika Ibnu Katsîr menjelaskan sûrah al-Mâidah[5] ayat 13,
“Mereka suka mengubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya.”
Untuk menjelaskan ayat di atas, Ibnu Katsîr mengutip Israiliyyat
yang berasal dari Malik, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan
bahwa orang-orang Yahudi datang kepada Nabi dengan membawa dua
orang laki-laki dan seorang wanita yang telah berbuat zina. Nabi bertanya,
“Bagaimana tindakan kalian terhadap orang yang telah berbuat zina?”
177 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid IV, h. 34.178 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid IV, h. 36

101
mereka menjawab, “Kami pukuli dan siram kepalanya dengan air panas.”
Nabi bertanya lagi, “Apakah kalian tidak menemukan aturannya dalam
Taurat?” mereka menjawab, “Kami tidak menemukannya.” Abdullah bin
Salam kemudian membantahnya, “Kalian telah berdusta. Ambil dan
bacalah kitab itu jika kalian termasuk orang-orang yang benar.” Ketika
membaca ayat tentang rajam, ia berhasil membaca aturan itu. Ia kemudian
bertanya kepada mereka, “Ayat tentang apakah ini?” ketika melihatnya,
mereka katakana bahwa ayat itu bicara tentang rajam. Nabi
memerintahkan keduanya untuk dirajam.179
Uraian di atas telah memperlihatkan sisi perbedaan antara kedua
mufassir dalam mengemukakan riwayat Israiliyyat. Namun, keduanya
memiliki kesamaan menyangkut tema-tema Israiliyyat yang dikutip mereka.
Sebagai tafsir yang sama-sama menggunakan corak bi al-ma’tsur, tidak
menutup kemungkinan sebagian besar riwayat Israiliyyat dalam Tafsir Ibnu
Katsir diambil dari Tafsir Ath-Thabari, Karena ia (Ibnu Katsîr) ingin
menjelaskan israiliyyat yang lalu dari tafsir Ath-Thabari. Oleh karena itu,
tidak jarang ditemukan bahwa rangkaian sanad-sanad Israiliyyat dalam Tafsir
Ath-Thabari merupakan salah satu rangkaian sanad-sanad riwayat Israiliyyat
yang terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir.
C. Pandangan Ulama Dalam Menyikapi Israiliyyat
Kata “al-Kitab” dalam al-Quran tidak selamanya berarti al-Quran.
Fazlur Rahman menerangkan bahwa kata itu sering digunakan al-Quran bukan
179 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983.

102
untuk menyatakan kitab suci tertentu, tetapi juga untuk menyatakan
keseluruhan kitab suci yang telah diturunkan Allah.180 Namun, ketika kata itu
berada dalam ungkapan “Ahli Kitab”, dalam konteks al-Quran dan hadis,
berarti Yahudi dan Nasrani. Definisi seperti inilah yang baku pada masa
Nabi.181
Dalam kaitan ini, Israiliyyat yang bersumber dari Ahli Kitab
seharusnya diperlakukan sebagaimana inti ajaran yang datang dari kitab Allah
karena kitab Taurat dan Injil yang menjadi pedoman komunitas agama itu juga
merupakan kitab Allah. Namun, keharusan itu menjadi hilang ketika banyak
keterangan yang menyatakan bahwa kedua kitab itu telah disimpangkan oleh
para pengikutnya.182Oleh karena itu, umat Islam berhadapan dengan dua
keadaan yang berlawanan. Pada satu sisi mereka dituntut untuk mengimani
setiap sesuatu yang berasal dari kitab Allah, tetapi pada sisi yang lain
merekapun harus berhati-hati ketika berhadapan dengan Israiliyyat yang
berasal dari Ahli Kitab sebab sumber mereka (Taurat dan Injil) yang disinyalir
telah mengalami penyimpangan-penyimpangan.
Sikap yang tegas terhadap persoalan Israiliyyat diperlihatkan oleh Nabi
sendiri, “Janganlah kalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula
mendustakannya.”183 Menurut Manna al-Qaththan, sikap tidak membenarkan
180 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran, terj. Anas Wahyuddin, Pustaka, Bandung,1980, h.201
181 Lihat uraian Ali Yafie, “Intinya sama: Menentang Islam”, dalam majalah al-Muslimin,nomor 261, tahun XXII, Desember 1991, h. 110-111
182 Keterangan al-Quran tentang perbuatan-perbuatan orang Yahudi yang mengubah kitabsucinya digambarkan secara tegas dalam surat al-Baqarah ayat 75: “……padahal segolonganmereka mendengar firman Allah lalu mengubahnya….”
183 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid IV, h. 270

103
dan mendustakan Ahli Kitab yang diisyaratkan Nabi di atas berhubungan
dengan berita-berita yang memberi kemungkinan benar dan salah.184 Perintah
nabi Muhammad Saw untuk tidak membenarkan berita-berita Ahli Kitab
sebab dimungkinkan termasuk ajaran Allah yang disimpangkan. Nabi
melarang pula mendustakannya sebab dimungkinkan datang dari Allah dan
termasuk ajaran Allah yang tidak disimpangkan. Konsekuensinya, bila
terdapat keterangan-keterangan yang membenarkan atau mendustakannya,
sikap tersebut di atas tidak diperlukan lagi.
Penggunaan riwayat Israiliyyat dalam menafsirkan al-Quran perlu
dijelaskan tujuannya. Dalam hal ini, Asy-Syarbashi menjelaskan, “Kisah-kisah
dalam al-Quran tidak dimaksudkan sebagai uraian sejarah lengkap tentang
kehidupan bangsa-bangsa atau pribadi-pribadi tertentu, tetapi sebagai bahan
pelajaran umat manusia.”185
Sehubung dengan penggunaan Israiliyyat dalam penafsiran al-Quran,
Muhammad Munir Ad-Dimasyqi menetapkan dua standar pokok, yaitu:
1. Tidak boleh menggunakannya untuk menjelaskan bagian-bagian al-Quran
yang global apabila terdapat keterangan nabi yang menjelaskan
keglobalannya.
2. Bila Israiliyyat tetap akan digunakan, hendaknya bertujuan sebagai
pelengkap ( isytisyhad ) atas kebenaran semata.186
184 Manna al-Qaththan, Mabahits fi’Ulum al-Quran, Mansyurat al-Ashr al-Hadis, Mesir,t.t., h. 354
185 Ahmad Asy-Syarbashi, Qishshat at-Tafsir, Dar al-Qalam, Kairo, h. 55186 Muhammad Munir Ad-Dimasyqi, Irsyad Ar-Ragib fi Al-Kasyf Ayy Al-Quran Al-
Mubin, Idarah At-Tiba’ah Al-Muniriyyah, Damaskus, t.t., h. 35.

104
Hal senada pun dikemukakan Adz-Zahabi, menurutnya, dalam
mensikapi Israiliyyat, para mufassir harus melakukan hal-hal berikut ini187:
1. Bersikap kritis terhadap Israiliyyat.
2. Dalam kondisi apapun, para mufassir tidak diperbolehkan mengambil
riwayat Israiliyyat jika sunnah Nabi telah menjelaskan keglobalan al-
Quran atau kemubhamannya.
3. Para mufassir harus memelihara kaidah yang mengatakan bahwa darurat
itu harus disesuaikan dengan kadar kebutuhan. Janganlah ia
mengemukakan sesuatu pun dari riwayat-riwayat Israiliyyat, dalam kitab
tafsirnya meskipun dapat dipercaya kebenarannya, kecuali sekedar
kebutuhan untuk menjelaskan keglobalan kisah.
Sikap itu sebenarnya telah diisyaratkan oleh al-Quran surat al-Kahfi
ayat 22:
”Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang,yang keempatnya adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan bahwajumlah mereka adalah lima orang, yang keenamnya adalah anjingnya, sebagaiterkaan terhadap sesuatu yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan bahwa(jumlah mereka tujuh orang, yang kedelapannya adalah anjingnya.Katakanlah, “Tuhanku lebih mengetahui berapa jumlah mereka, tidak adaorang yang mengetahui , (bilangan) mereka kecuali sedikit. Karena itu,janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka kecualipertengkaran lahir saja dan jangan kamu menyatakan tentang mereka(pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun diantara mereka.”
187 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî danTafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 155.

105
Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Taimiyyah memberikan keterangan
bahwa Allah memberi kabar tiga pendapat tentang jumlah Ashhabul Kahfi.
Dua pendapat pertama dilemahkan, sedangkan pendapat ketiga didiamkan
yang berarti menunjukkan akan kebenaran. Jika yang terakhir pun keliru, pasti
akan dilemahkan sebagaimana dilakukanNya terhadap dua pendapat pertama.
Ia kemudian memberikan syarat bahwa mempermasalahkan jumlah mereka
termasuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Ia katakan, “Katakanlah bahwa
Tuhanku yang paling mengetahui jumlah sebenarnya”. Sebab, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali sedikit orang saja yang memang mendapat petunjuk
dari-Nya. Itu sebabnya pula, Ia berfirman, “ Karena itu, janganlah kamu
(Muhammad) bertengkar tentang hal mereka kecuali pertengkaran lahir
saja.” Yakni janganlah engkau menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak
ada manfaatnya. Janganlah bertanya tentangnya karena tidak ada yang
mengetahuinya kecuali sedikit orang.188
188 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 158

106
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang penulis paparkan di atas yang terdiri dari beberapa
bab terdahulu, dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Israiliyyat merupakan kisah-kisah yang berasal dari Ahli Kitab yang
menjelaskan nas-nas al-Quran dan Hadis. Israiliyyat dapat berupa kisah-
kisah atau yang lainnya, serta dapat sejalan dan dapat pula tidak sejalan
dengan Islam. Namun perlu diingat pada umumnya Israiliyyat berisi
cerita-cerita dan dongeng-dongeng buatan non muslim yang masuk ke
dalam Islam. Dan ulama-ulama sepakat bahwa sumber utama Israiliyyat
adalah ajaran Yahudi dan Nasrani, sebagaimana tercermin dari kata
Israiliyyat itu sendiri.
2. Sejauh ini para pengamat tafsir menempatkan ath-Thabari dan Ibnu Katsir
pada posisi yang sama, yaitu mufassir yang menggunakan corak bil ma’tur
dalam kitab tafsirnya masing-masing. Namun, ternyata kedua mufassir itu
tidak selamanya memiliki kesamaan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Keduanya memiliki perbedaan jelas ketika mengemukakan Israiliyyat.
3. Perbedaan mengemukakan Israiliyyat antara ath-Thabari dan Ibnu Katsir
secara umum terkait dengan motivasi keduanya dalam mengemukakan
Israiliyyat. Tujuan ath-Thabari dalam mengemukakan Israiliyyat bukan
untuk mengkritik kualitasnya, tetapi hanya untuk mengoleksi data-data

107
sejarah walaupun ia juga melakukan kritikan dalam beberapa riwayat.
Sedangkan studi kritisnya terhadap kualitasnya sepenuhnya dipercayakan
kepada para pembaca. Lain halnya dengan Ibnu Katsir, pengutipan
Israiliyyat dalam kitab tafsirnya tidak sekedar mengumpulkan data sejarah,
tetapi lebih jauh ia bertujuan mengkritik kualitasnya meskipun tidak setiap
riwayat itu dikritiknya.
B. Saran-Saran
1. Kisah Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam bila tidak dikomentari
atau dikritik merupakan bahaya besar bagi kemurnian ajaran Islam
khususnya al-Quran dan hadis. Karena ketidaktahuan masyarakat akan hal
ini, akan timbul anggapan bahwa kisah Israiliyyat tersebut sebenarnya
merupakan ajaran Islam. Padahal al-Quran terkenal karena kemurniannya
dan Allah pun menjaga keasliannya.
2. Tafsir Al-Quran Al-Adzim dan Tafsir Jami’ Al-Bhayaan merupakan kitab
tafsir bi al-mastur yang dihinggapi kisah-kisah Israiliyyat. Ini merupakan
bukti bahwa kitab tafsir dengan orientasi bi al-matsur, yang menyandarkan
periwayatannya kepada perkataan Nabi, sahabat, tabi’in, bukan merupakan
jaminan bahwa kitab ini terhindar dari kisah-kisah Israiliyyat sehingga
dibutuhkan kritik terhadap semua riwayat yang terkandung di dalamnya.

108
DAFTAR PUSTAKA
Abd Halim Mahmud, Mani, Prof., Dr., Metodologi Tafsir, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Adz-Zahabi, Muhammad Husein, Penyimpangan-Penyimpangan DalamMenafsirkan Al-Quran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
___________, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn, Beirut: Syirkah Dâr al-Arqam bin Abûal-Arqam.
___________, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis, Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1993, Cet. 1.
Ali Ash-Shaabuuniy, Muhammad, Prof., Dr., Studi Ilmu Al-Quran, Bandung: CVPustaka Setia, Cet I.
Anwar, Rasihan, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir al-Thabari danTafsir Ibnu Katsir, Bandung: CV. Pustaka, 1999, Cet. I.
Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsîru Al-Aliyyul Qadîr Lî Ikhtisari Tafsîr IbnuKatsîr, Muktabah Ma’rif, 1819.
Ath-Thabari, Ibnu Jarir, Jâmi’ Al-Bayân Fî Tafsîr Al-Qurân, Beirut: Dâr Al-Fikr,1988.
Bukhari, Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâ’il bin Ibrâhîm bin al-Mughirah binbardizbah, Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Al-Fikr.
Chirzin, Muhammad, Al-Quran dan Ulûmul Qurân, Yogyakarta: Penerbit DanaBakti Prima Yasa, 1998.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru VanHoeve, 1999, Cet. I.
Hasan Rifa’I, Zainul, “Kisah Israiliyyat dalam penafsiran”, dalam Sukardi K.D(ed), Belajar Mudah ‘Ulum al-Quran;Studi Khazanah al-Quran, Jakarta:Lentera, 2002.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof., Dr., T.M., Ilmu-Ilmu al-Quran Media-Media PokokDalam Menafsirkan al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Hanafi, A., Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Quran, Jakarta: PustakaAl-Husna, 1984.

109
Hanbal, Ahmad bin, Musnad, Jilid IV, Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilm Wasar Sadir.
Hufi, Ahmad Muhammad Al-, Ath-Thabarî, Kairo: Al-Majlis Al-A’la Lî Asy-Syu’un Al-Islamiyyah, 1987.
Ibrahim, Muhammmad Abu Fadl, Tarîkh Ath-Thabarî, dalam Ath-Thabrî, TarîkhAr-Rushul Wa Al-Mulk, Mesir: Dâr Al-Ma’arif, 1960.
Ismail, Muhammad Bakr, Ibnu Jarîr Ath-Thabarî Wa Manhajuh Fî At-Tafsîr,Kairo: Dâr al-Manâr, 1991.
Karman, M dan Supiana, ‘Ulûmul Qur’an dan Pengenalan Dasar Metodologi,Bandung: Pustaka Islamika.
Katsir, Muhammad Ismail Ibn, Tafsîr al-Qurân Al-Azhîm, [t.k.], [t.p.], [t.t.].
____________, Qişaş Al-Anbiya, Beirut: Dâr Al-Fikr.
Katsir, Ibnu, Al-Bidâyah Wa Al-Nihâyah, Beirut: Maktabah al-Ma’Arif, 1966,Cet. I.
Khalidi, Shalah Al, Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu,Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 1999.
Khalifah, Ibrâhîm Abd.Rahman Muhammad, Dirâsat fî Manahaj Al-Mufassirîn,Kairo: Maktabah Al-Azhariyyah, 1974.
Ma’rifat, M.Hadi, Sejarah Al-Quran, Jakarta: Al-Huda, Cet I.
Majdid, Nurcholits, Pengaruh Israiliyyat dan Orientalisme Terhadap Islam,dalam Abdurrahman Wahid, et. El., (Ed.), Kontroversi Pemikiran Islam diIndonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990.
Muhammad, Muhammad Abdurrahim, Tafsir Nabawi, Jakarta: Pustaka Azzam,2001.
Nurdin, H.M. Amin dan Afifi Fauzi Abbas (ed.), Sejarah Pemikiran Dalam Islam,Jakarta: pustaka Antara, 1996.
Qardawi, Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Quran, Jakarta: Gema Insani Press, Cet.I.
Qattan, Manna Al, Mahabits Fî ‘Ulûm Al-Qurân, Mesir: Mansyurat Al-Ashr La-Hadis, 1973.
Ridho, Rasyid, Tafsîr Al-Manâr, Beirut: Dâr Al-Ma’rifah.

110
Shâlih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996,Cet. I
Sharbasi, Ahmad, Qissat At-Tafsîr, Beirut: Dâr Al-Qalâm, 1962.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu DalamKehidupan Masyrakat, Bandung: Mizan, 1992, Cet. I.
Suma, Muhammad Amin, Prof., Dr., MA., SH., H., Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (I),Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Syakir, Ahmad Muhammad, Umdah Al-Tafsîr, Juz I, Mesir: Dâr Al-Ma’rif, 1956
Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu, Al-Israiliyyat Wa Al-Maudhu’at FîKutub At-Tafsir, Kairo: Maktabah al-Sunnah, 407H.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DepartemenPendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Kamus Besar BahasaIndonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Cet. I
Ushama, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Quran, Kajian Kritis, Objektif danKomprehensif, Jakarta: Penerbit Riora Cipta.
Warson, Munawwir Ahmad, Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif,1997, Cet. 14.
Zamakhsari, Al-Kasysyaf, Beirut: Dâr Al-Fikr.