Islam Di India

31
1 ISLAM DI INDIA Oleh: Muhammad Gazali Rahman A. Pendahuluan Islam dalam fenomena sejarah dan kebudayaannya juga telah mengalami fase-fase pertumbuhan, kemajuan, dan juga kehancuran, baik dalam skala global maupun lokalitasnya. Melihat fenomena ini dalam pendekatan sosio-historisnya, ternyata dinamika perjalanan panjang sejarah dan kebudayaan Islam tidak lepas dari pengaruh sistem kebijakan dari para penguasa yang memegang tampuk kepemimpinan di masa konstruk sejarah itu terjadi. Salah satu unsur yang signifikan mempengaruhi sejarah kebudayaan Islam misalnya adalah politik arabisasi. Pengaruh arabisasi ini tidak terbatas pada agama saja, tetapi juga mencakup beberapa unsur kebudayaan seperti sastra, seni, ilmu pengetahuan, filsafat, dan juga kemiliteran. Oleh karena itu, pola-pola sejarah Islam secara potensial merupakan distribusi interest kultural dan implikasi kebijakan politik serta berbagai pertimbangan lain berdasarkan aspek esensial yang merujuk pada nilai-nilai kemanusiaan dan aksi sosial. Melalui sikap dan perspektif yang lebih komprehensif, dapat dimungkinkan untuk mengenali faktor-faktor dasar struktural mengenai kecenderungan sejarah Islam untuk lebih membedakannya dari proses yang bersifat aksidental. Kebangkitan Islam muncul sebagai akibat dari kemunduran dan keterbelakangan yang dialami umat Islam. Keadaan ini menggugah kesadaran para pemikir Islam untuk mencari solusi atasi masalah ini. Dimulai dengan gerakan Wahabiyah yang dipimpin Muhammad Ibn Abdul Wahab pada abad 18 di Jazirah Arab. Pengaruh Wahabiyah

Transcript of Islam Di India

Page 1: Islam Di India

1

ISLAM DI INDIAOleh:

Muhammad Gazali Rahman

A. PendahuluanIslam dalam fenomena sejarah dan kebudayaannya juga

telah mengalami fase-fase pertumbuhan, kemajuan, dan juga kehancuran, baik dalam skala global maupun lokalitasnya. Melihat fenomena ini dalam pendekatan sosio-historisnya, ternyata dinamika perjalanan panjang sejarah dan kebudayaan Islam tidak lepas dari pengaruh sistem kebijakan dari para penguasa yang memegang tampuk kepemimpinan di masa konstruk sejarah itu terjadi. Salah satu unsur yang signifikan mempengaruhi sejarah kebudayaan Islam misalnya adalah politik arabisasi. Pengaruh arabisasi ini tidak terbatas pada agama saja, tetapi juga mencakup beberapa unsur kebudayaan seperti sastra, seni, ilmu pengetahuan, filsafat, dan juga kemiliteran.

Oleh karena itu, pola-pola sejarah Islam secara potensial merupakan distribusi interest kultural dan implikasi kebijakan politik serta berbagai pertimbangan lain berdasarkan aspek esensial yang merujuk pada nilai-nilai kemanusiaan dan aksi sosial. Melalui sikap dan perspektif yang lebih komprehensif, dapat dimungkinkan untuk mengenali faktor-faktor dasar struktural mengenai kecenderungan sejarah Islam untuk lebih membedakannya dari proses yang bersifat aksidental.

Kebangkitan Islam muncul sebagai akibat dari kemunduran dan keterbelakangan yang dialami umat Islam. Keadaan ini menggugah kesadaran para pemikir Islam untuk mencari solusi atasi masalah ini. Dimulai dengan gerakan Wahabiyah yang dipimpin Muhammad Ibn Abdul Wahab pada abad 18 di Jazirah Arab. Pengaruh Wahabiyah menyebar dengan cepat dari Timur Tengah, Afrika, Asia Tenggara dan anak benua India. Ketika itu pula pergerakan intelektual lain ikut lahir, selama pertengahan terakhir abad ke-19 dan awal abad ke-29 di daerah-daerah yang

Page 2: Islam Di India

2

berada di bawah dampak kultural dan intelektual Barat.1 India merupakan salah satu dari pusat pergerakan ini. Di belahan dunia ini, terjadi perbenturan antara peradaban Barat dan Timur, sistem pendidikan nasional dan modern, pandangan hidup dunia lama dan baru, serta Islam dengan Kristen telah mencapai puncaknya.2

Wajah peradaban Islam di India pasca kemerdekaan dapat dikatakan sebagai suatu potret antitesa dari wajah peradaban Islam di Indonesia. Meskipun demikian, akar progresivitas keislaman kedua perwajahan ini memiliki titik temu pada representasi Islam sebagai ideologi yang mampu menjadi senjata ampuh dalam membangun kesadaran anti imperialis dan kolonialis. Respon dalam bentuk perlawanan politik, semangat militansi ataupun kesadaran kultural dengan gerakan revivalis, selalu diinspirasikan oleh Islam sebagai senjata ideologis.

Dominasi bangsa Eropa di seluruh wilayah muslim merupakan hegemoni bagi pemaksaan institusi dan pola kultural mereka terhadap bangsa-bangsa non Eropa. Lebih dari itu, intervensi politik dengan kontrol yang berlebihan, mengantarkan pada konstruksi negara-negara teritorial birokratik yang memusat. Sampai hari ini, dengan tameng demokratisasi dunia, wajah baru imperialis Eropa -Amerika Serikat sebagai kekuatan adi daya- dalam bentuk intervensi dan aneksasi setiap kebijakan politik negara-negara muslim lebih mendeskripsikan sebuah demokrasi yang dipaksakan.

1Menurut Fazlurrahman, semua gerakan kebangkitan Islam memperlihatkan ciri-ciri umum berikut: 1) suatu reaksi terhadap kemerosotan sosial masyarakat Muslim; 2) suatu gerakan untuk kembali ke Islam orisinal dengan menanggalkan tahyul-tahyul yang ditanamkan dalam bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional, dan berusaha melakukan ijtihad; 3) suatu anjuran untuk melaksanakan pembaharuan ini melalui kekuatan bersenjata (jihad) bila perlu. Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: Chicago University Press, 1985), h. 20.

2H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam, diterjemahkan oleh Machnun Husein dalam judul Aliran-aliran Modern dalam Islam (Cet. V; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 87-89.

Page 3: Islam Di India

3

Secara umum, hegemoni kaum imperialis tidak semata melakukan panetrasi ekonomi, tetapi juga panetrasi politik dan kultural. Terlebih lagi, pengaruh hegomoni tersebut terhadap masyarakat muslim dimediasi oleh kolaborasi dan perlawanan elit lokal. Dengan demikian, transformasi yang terjadi di masyarakat muslim berlangsung dalam bentuk interes, persepsi, dan respon elit internal terhadap tekanan dan dorongan yang dimunculkan oleh kekuatan imperialis. Di sisi lain, respon elit internal itu juga dimotivasi oleh keinginan mereka mengeksploitasi pengaruh imperialis dalam perjuangan perebutan pengaruh di dalam masyarakat mereka sendiri.3

Tentu akan sangat prematur untuk menilai kegagalan Islam di India sebagai historical accident ataupun historical absolute. Sebab, putaran roda sejarah dan peradaban manusia akan terus bergulir dan melakukan seleksi alam terhadap sensitifitas sosial-politik. Hal ini merupakan suatu tantangan terhadap politik, ekonomi, moral, dan kebudayaan Islam. Lebih dari itu, kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun mengancam sejarah dan identitas politik dan religio-kultural peradaban manusia masa depan.

B. Pembahasan

Jika Baghdad sampai hari ini dikenal sebagai negeri “1001 Malam”, maka India dengan “Bollywood”nya adalah negeri “Seribu Warna”. Bagaikan pelangi raksasa, negara yang membentang di dataran seluas 3.287.590 kilometer persegi4 ini

3Fenomena responsibilatas seperti itu lazim ditemukan pada setiap wilayah yang dieksploitasi oleh kekuatan asing. Analisa yang lebih tajam mengenai hal ini dapat dilihat pada Ira M. Lapidus, A. History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dalam judul Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian Ketiga (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 3-30.

4India merdeka pada tanggal 15 Agustus 1957 sehari setelah Pakistan merdeka. Nama India terambil dari nama sungai Sindi, satu di antara sungai-sungai yang besar di benua India. Sejarah awal Islam mengenal wilayah ini dengan nama Sind. Saat ini, pemerintah di sana berusaha hendak

Page 4: Islam Di India

4

memiliki begitu banyak warna. Berbatasan dengan Bangladesh, Bhutan, Myanmar, Cina, Nepal, Pakistan, negara ini kerap terlibat sengketa wilayah. Setelah mengalami pergiliran penguasa (Hindu Kuno, Islam, dan Inggris), kemerdekaan India akhirnya diumumkan pada tanggal 15 Agustus 1947. Bukan hanya luas, India juga memiliki keragaman etnis yang mengagumkan. Bahasa resminya saja, di luar Hindi dan Inggris, terdapat 15 lagi bahasa resmi lain: Bengali, Telugu, Marathi, Tamil, Urdu, Gujarati, Malayalam, Kannada, Oriya, Punjabi, Assamese, Kasjmiri, Sindhi, dan Sanskrit. Di luar itu, masih ada lebih dari seribu bahasa lokal. Sensus terakhir (2001) mencatat adanya 1.652 bahasa ibu di India. Etnik dominan adalah Indo-Aryan (72%), kemudian Dravida (25%), sisanya Mongoloid dan lain-lain. Muslim di India merupakan mayoritas ke dua setelah setelah Hindu (82,64%), tercatat jumlah Muslim sekitar 11,35% atau sekitar 138 jiwa berdasarkan sensus terakhir. Selebihnya adalah Kristen (2,43%), Sikh (1,96%), Budha (0,71%), Jain (0,48), dan agama-agama kecil lainnya yang dianut 0,42% penduduk sisanya. Dengan demikian, India tercatat muslim terbesar ke-3 di dunia setelah Indonesia dan Pakistan. Dengan wajah multikulturalis dan lebih dari 100 partai politik, India dalam kacamata Barat merupakan negara demokrasi terbesar di dunia.5

Data terakhir yang bersumber dari situs Islamic Word6 yang terbit pada tanggal 5 Agustus 2010 menyebutkan adanya perkembangan jumlah India yang semakin membesar. Menurut analisa data jumlah pemeluk agama-agama yang ada di India; Hindu, Budha, Kristen, Sikh dan Islam, maka di antara agama tersebut agama Islam adalah agama yang paling pesat pertumbuhannya. The Hind Newspaper, KM Yusuf, seorang hakim mengembalikannya kepada namanya yang asli, yaitu Bharat. Peter Coleridge, Disability, Liberation, and Development (Cet. I; London: Oxfam UK, 1993), h. 201.

5Peter Coleridge, Disability, Liberation, and Development, h. 202-203. 6www.islamicword., diunduh pada tanggal 3 Januari 2013.

Page 5: Islam Di India

5

dari pengadilan tinggi Calcutta, mengatakan jumlah sebenarnya dari persentase umat Islam di India adalah sampai 20%. Bahkan Hindutva Groups yang mengklaim bahwa Populasi Muslim sudah mencapai 30%. Data statistik ini menunjukan di antara tahun 1991 sampai tahun 2001 jumlah pemeluk Hindu menurun drastis, berbeda dibandingkan data tahun 1981 dan 1991 jumlah umat Islam masih sedikit, itu pun termasuk di wilayah Jammu dan Kashmir. Umat Islam dalam satu dekade terakhir ini menunjukkan pertumbuhan yang pesat sekali sehingga membuat media media di India memperingatkan pemerintah untuk menyetop pertumbuhan umat Islam yang laju ini. Jika tidak, diperkirakan tahun 2040 mayoritas penduduk India adalah Muslim. Sebab, saat ini di rumah-rumah Muslim mempunyai banyak anak, satu keluarga muslim diperkirakan rata-rata mempunyai lebih dari tiga anak. Sedangkan keluarga Hindu rata rata kurang dari tiga anak.

Fakta kedua yang menjadikan penyebab bertambahnya umat Islam adalah banyak orang Hindu atau dari agama lain yang masuk Islam. Sementara tidak pernah ditemui laporan seorang Muslim yang murtad di wilayah negara tersebut. Hal ini disebabkan kuatnya usaha dakwah di India dan banyaknya rombongan dakwah yang bergerak di seluruh India. Sehingga orang Islam yang tinggal di pedalaman pun tetap terjaga agamanya dan suasana agama tetap hidup di pedalaman sehingga tidak ada orang Islam yang murtad.

Informasi menarik yang perlu disimak dalam kaitan ini adalah penjelasan al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ajid Thohir bahwa realitas empiris masyarakat India saat Islam memasuki wilayah ini menunjukkan suatu indikasi yang sangat menyulitkan bagi proses islamisasi. Kesimpulan al-Biruni dilandaskan pada lima hal yang menjadi titik perhatiannya sekaligus yang menjadi ciri khas masyarakat India saat itu, yakni bahasa, agama, tradisi,

Page 6: Islam Di India

6

kebencian terhadap orang asing, fanatisme dan keangkuhan budaya.7

Orang-orang India memiliki bahasa yang jauh berbeda dengan bahasa yang umumnya dimiliki kaum muslimin saat itu, yaitu Arab dan Persia. Mereka memiliki bahasa Sansekerta yang terbentuk oleh pengalaman sejarah yang sangat panjang dan memiliki berbagai nuansa psikologis dan filosofis yang sangat dalam dan rumit. Mereka seringkali menamai suatu benda yang sama dengan nama orang yang berbeda. Orang-orang Hindu sangat membanggakan kebiasaan dan kebesaran ini. Bahasa mereka juga terbagi pada berbagai bahasa kelompok kasta, dan yang tetap terpelihara hanyalah di sekitar kelompok terdidik dan terlatih. Bagi orang-orang Arab dan Persia sulit membedakan kata-kata yang mereka ucapkan sehingga pernyataan-pernyataannya hampir tidak mungkin untuk dinyatakan dalam tulisan.8

Mereka berbeda secara mutlak dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Sekalipun di antara mereka sendiri ada perselisihan dalam persoalan pokok ketuhanan, namun hanya sebatas berperang melalui kata-kata saja. Mereka tidak pernah berkorban harta atau jiwa dalam pertentangan agama. Namun sebaliknya, semua kefanatikan agama diarahkan untuk melawan orang-orang asing yang mereka anggap najis. Mereka dilarang untuk berhubungan dengannya, baik dalam perkawinan, duduk bersama atau minum dan sebagainya. Bagi mereka yang tersentuh orang asing akan sama najisnya, sekalipun tersentuh air dan api yang dipakai orang asing (yang saat itu adalah bangsa Arab dan Persia). Bahkan bagi orang asing yang hendak memeluk agama mereka (Hindu) harus dicurigai. Jelasnya, orang-orang

7Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam (Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 197-198; Al-Biruni, India, dalam Ainslie T. Embree (Ed.) (London: Cambridge University Press, 1971), h. 3-8.

8Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban, h. 197; Al-Biruni, India, h. 17-32;

Page 7: Islam Di India

7

Hindu di India sulit diajak hidup bersama karena pandangan dan tradisi agamanya yang sangat arogan.9

Di kalangan mereka ada sikap yang sangat radikal yang selalu diwariskan pada setiap generasinya seperti menakut-nakuti anak mereka pada setiap pendatang dengan mengatakan kepada anak-anak bahwa pakaian dan adat-istiadat kehidupan pendatang adalah keturunan setan. Begitupun orang-orang Budha juga menaruh kebencian yang dalam pada setiap pendatang khususnya negara-negara sebelah Barat. Hal itu karena pengalaman sebelumnya agama Budha terusir dari Balkh, Khurasan, Irak, dan Persia, dan pengikut-pengikutnya meninggalkan tempat itu saat Zarasuthra mendominasi negara-negara belahan Barat.10

Kesombongan orang-orang Hindu disebabkan adanya anggapan dari mereka bahwa hanya mereka saja yang terbaik. Mereka percaya tidak ada negara seperti milik mereka, tidak ada bangsa seperti mereka. Kesombongan itu telah sedemikian rupa sehingga jika ada penduduknya yang berkata “ada pakar di Khurasan atau Persia”, maka segera tokoh-tokoh mereka akan mengatakan “orang-orang yang berkata begitu adalah bodoh dan penipu”. Menurut Ajid Thohir, gambaran al-Biruni tentang masyarakat India ini membenarkan adanya teori “resistensi kaum Hindu” terhadap Islam.11

Jika kembali kepada sejarah masuknya Islam di India, catatan sejarah menyebutkan bahwa Islam telah sampai di wilayah ini

9Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban, h. 197. 10Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban, h. 198. 11Sayid S. Alvi menilai deskrpsi al-Biruni ini sangat tendensius dan patut

dicurigai, namun deskripsi ini menjadi penting untuk diangkat oleh karena al-Biruni adalah tokoh zaman yang hidup pada situasi islamisasi di India. Terdapat dua pendapat terkait teori konversi dan penaklukan Islam di India, yaitu: a) penaklukan konversi yang seluruhnya atau sebagian besar melalui pedang; b) penaklukan dan konversi seluruhnya melalui jalan damai. Derryl N., Religion and Society in Arab Sind (London: Mac Lean, 1989), h. 22-23; Sayid S. Alvi, The Moslem Almanak; Islam in South Asia (New Delhi: Gale Research, t.th.), h. 55; Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban, h. 198.

Page 8: Islam Di India

8

sejak abad ke-7 di masa Rasulullah saw. masih hidup. Pedagang-pedagan Arab yang sudah memeluk Islam sudah berhubungan erat dengan dunia Timur melalui pelabuhan-pelabuhan India, sehingga mereka berdagang sekaligus berdakwah. Pada masa ini, raja Cheraman Perumal, raja Kadangalur dari pantai Malabar telah memeluk Islam dan menemui nabi saw., namanya kemudian diganti menjadi Tajudin. Pada masa Uma>r bin Khat}t}a>b, pada tahun 643-644 M, panglima Mugira menyerang Sind, tetapi gagal. Pada tahun itu pula ‘Abdulla>h ibn Amar Rabbi sampai di wilayah Mekran untuk menyiarkan Islam dan memperluas daerah kekuasaan Islam. Pada masa Usman bin Affa>n dan Ali bin Abi T{a>lib, dikirim utusan ke India untuk menyelidiki adat-istiadat dan jalan-jalan menuju India. Inilah awal mula Islam menyebar ke India melalui jalan darat.12

Awal kekuasaan Islam di India terjadi pada masa khalifah al-Walid, dari dinasit Bani Umayyah pada tahun ke-8 M. Penaklukan wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad bin Qasim. Kemudian muncullah dinasti Ghaznawi mengembangkan kekuasaannya di India di bawah pimpinan sultan Mahmud, dan pada tahun 1020 M, ia berhasil menaklukkan hampir semua kerajaan Hindu di wilayah ini, sekaligus mengislamkan sebagian besar masyarakatnya. Setelah dinasti Ghaznawi hancur, muncullah dinasti-dinasti kecil seperti Mamluk (1206-1290 M), Khalji (1296-1316 M), Thuglug (1320-1413 M), dan dinasti-dinasti kecil lainnya Babur datang pada permulaan abad ke-16 dan membentuk dinasti Mughal di India.

Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibukota didirikan Zahiruddin Babur (1482-1530 M), salah satu cucu Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana.13

Setelah kerajaan Mughal berdiri, raja-raja Hindu di India 12Dudung Abdurrahman (et.al), Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik

hingga Modern, Siti Maryam (ed.) (Cet. II; Yogyakarta: Kurnia Islam Semesta, 2002), h. 166-167.

Page 9: Islam Di India

9

menyusun angkatan perang yang besar untuk menyerang Babur. Pasukan Hindu ini dapat dikalahkan Babur. Babur meninggal pada tahun 1530 M dan digantikan oleh putra sulungnya, Humayun. Sepanjang masa pemerintahannya selama 9 tahun (1530-1539 M), negara tidak pernah aman. Humayun kemudian digantikan oleh anaknya, Akbar. Pada masa Akbar inilah kerajaan Mughal mencapai masa kejayaannya. Kejayaan Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1658-1707 M). Setelah itu, kemajuan-kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan.14

Satu setengah abad setelah dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibangun oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politik mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh di belahan utara, dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris semakin kuat kedudukannya.15

Seperti halnya latar kelahiran modernisme yang diungkapkan oleh Fazlurrahman, dalam konstruksi yang tidak jauh berbeda, H. A. Mukti Ali membagi sejarah perkembangan modern di India dalam dua fase. Pertama, gerakan kelompok puritan yang hampir sama dengan gerakan Wahabi di Arabia. Gerakan ini diwujudkan dalam bentuk protes dan serangan terhadap kerusakan agama serta penolakan terhadap tambahan dan penyimpangan dari Islam yang murni, dengan keinginan kembali kepada kesederhanaan iman dan masyarakat pada zaman nabi

13Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Ed. I (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 145-147.

14Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 148-149. 15Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, h. 159.

Page 10: Islam Di India

10

Muhammmad saw. Namun tidak lama kemudian gerakan tersebut lalu bersifat politis dan sosial, yaitu berubah melawan penguasa-penguasa “kafir” di berbagai wilayah negara bagian, dan disertai dengan pemberontakan para petani melawan tuan tanah tanpa membedakan kafir ataupun muslim. Di India Utara, gerakan ini disertai dengan serangan terhadap mesin-mesin baru dan pemilik-pemilikinya, karena mesin-mesin tersebut menyebabkan pengangguran. Oleh karena gerakan tersebut dimotori oleh buruh dan petani, maka gerakan itu ditumpas dengan kekerasan pula.16

Fase kedua adalah perkembangan Islam liberal yang sejalan dengan kebudayaan Barat abad ke-19, sesuai dengan pandangannya secara umum, dan terutama serasi dengan sains Barat, metode pergaulannya, dan humanitarianisemenya. Hal ini dilakukan dengan memisahkan prinsip-prinsip dari nas hukum. Mimisahkan agama dari manifestasi-manifestasi feodal dan kerusakan-kerusakan kemunduran masyarakat Islam; menolak tambahan-tambahan atau interpretasi yang salah, dan menekankan ajaran-ajaran pokok semua agama, terutama Islam dan Kristen. Selain itu terdapat pula perubahan sikap, yaitu bersedia menggarap dunia, dan menggunakan pendekatan secara dinamis.17

Sejak tahun 1818 M Inggris menjadi kekuatan terkemuka di sebagian besar wilayah India, terutama daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Bengal, dataran sungai Gangga, dan daerah sekitar lembah sungai Indus. Puncak kekuasaan Inggris diraih pada tahun 1857 ketika kerajaan Mughal benar-benar jatuh dan rajanya yang terakhir, Bahadur Syah diusir ke Rangoon (1858 M). Inggris juga berusaha menguasai Afganistan (1879 M), dan kekuasaan muslim Buluchistan juga

16H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan (Cet. IV; Bandung; Mizan, 1998), h. 14-15.

17H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern, h. 14-15.

Page 11: Islam Di India

11

ditaklukkan (1899 M). Dengan demikian, imperialisme Inggris telah merata di seluruh anak benua India.

Kehadiran Inggris mendapat reaksi yang beragam dari umat Islam. Ada tiga kelompok yang berbeda strategi dalam merespon imperialisme Inggris. Pertama, kelompok yang non kooperatif yang dipelopori ulama tradisional Deoband; Kedua, bekerjasama diwakili oleh Sayyid Ahmad Khan; dan Ketiga, menjaga jarak dengan Inggris yang dipelopori oleh gerakan Aligarh yang merupakan pengikut Ahmad Khan. Kelompok Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa loyalitas terhadap pemerintah Inggris merupakan suatu keharusan untuk mensejahterakan umat Islam. Sikap bermusuhan akan menghilangkan kesempatan untuk meraih posisi dalam pemerintahan. Usaha Khan yang lain adalah membentuk lembaga pendidikan untuk mencerdaskan umat Islam. Tahun 1859 M, ia mendirikan The Translation Society of Moradabad, untuk menerjemahkan buku seni dan sains. Untuk meningkatkan moral dan aktivitas dibentuk majalah Tahz\i>b al-Akhla>k tahun 1870 M. Ahmad Khan juga membangun perguruan tinggi Mohammadan Anglo-Oriental College pada tahun 1876 M yang kemudian berubah menjadi Universitas Aligarh pada tahun 1920 dengan menggunakan kurikulum Barat.18 Bahkan, dalam beberapa tulisannya, Ahmad Khan menolak kewajiban memakai purdah bagi perempuan, mewajibkan perempuan untuk belajar. Berbagai pikiran yang ia tuangkan dalam tulisannya, pada prinsipnya adalah usaha untuk membebaskan Islam dan umatnya dari masyarakat tradisional yang sedang runtuh.19

Tidak hanya membantah pandangan dan pendapat klasik pada umumnya, tulisan-tulisan Ahmad Khan yang termuat pada bukunya Essays on the Life of Mohammed juga banyak penulis-penulis Barat yang memuji nabi Muhammad, serta bantahan

18Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, h. 276. 19H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 19.

Page 12: Islam Di India

12

terhadap kritik Barat terhadap Islam. Buku yang juga diterbitkan dalam bahasa Inggris tersebut memperlihatkan bagaimana Ahmad Khan berusaha menyerap jiwa kebudayaan Barat, terutama rasionalismenya. Pikirannya tidak mau terbelenggu oleh otoritas hadis dan fikih. Semua diukur dengan kritik rasional. Implikasi dari itu, ia menolak semua hal yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya mau mengambil Alquran sebagai rujukan utama dalam Islam, sedangkan yang lainnya hanyalah argumen penguat dan kurang dipentingkan. Ahmad Khan juga menolak hadis yang berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam abad pertama atau kedua sewaktu hadis itu dihimpun, dan hukum fikih yang berisi perkembangan moralitas itu pada masyarakat berikutnya hingga masa timbulnya mazhab empat.20

Kelompok penentang mengadakan perlawanan melalui gerakan anti Inggris. Puncaknya adalah meletusnya Revolusi Mutiny pada tahun 1957. Banyak perwira dan pejabat Inggris dibunuh. Namun gerakan ini dapat dipadamkan karena tidak didukung kekuatan yang memadai. Revolusi ini dipicu oleh sikap Inggris yang tidak bersahabat dengan rakyat India. Orang-orang India baik Hindu maupun yang Islam tidak diikutsertakan di parlemen. Di samping itu Inggris juga mengintervensi masalah keagamaan. Dampak dari revolusi ini justru merugikan umat Islam yang dianggap sebagai pemicunya. Pemerintah Inggris mulai merangkul orang-orang Hindu dan mengucilkan orang Islam. Keadaan ini menjadikan posisi umat Islam lemah karena dari segi kuantitas tergolong minoritas.

Sejak jatuhnya Mughal dan kekalahan dalam pemberontakan Mutiny, umat Islam India sadar bahwa kedudukannya terancam karena minoritas. Pencarian masa depan yang cerah bagi umat Islam merupakan usaha untuk menemukan

20H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 20.

Page 13: Islam Di India

13

kepribadian, ideologi yang mengesahkan suatu tatanan sosial baru berdasarkan cita-cita dan nilai-nilai Islam. Gerakan Islam memiliki akar sejarah dalam fundamentalis pra modern, seperti gerakan Syah Waliyullah dari Delhi, dan gerakan Mujahidin Sayyid Ahmad Syahid dari Bareilly. Pada abad 19 dan 20 dilanjutkan oleh nasionalis modernis seperti Sayyid Ahmad Khan, Syed Amir Ali, dan Muhammad Iqbal. Dukungan lain berasal dari gerakan kebangkitan agama seperti Jamaah Tabligh dari Maulana Muhammad Ilyas, gerakan Sufi Reformasi Maulana Asyraf Ali Thanavi, Jamaat Islami Maulana Abu A’la Maududi, gerakan Khilafat Maulana Muhammad Ali Jauhar, dan gerakan Khaksar dari Allamah Inayatullah Ali Masyriqi, dan gerakan Ahmadiyah oleh Mirza Ghulam Ahmad. Gerakan-gerakan inilah yang menjadi penggerak utama bagi terwujudnya pembaruan dan modernisme di kalangan umat Islam di India.21

Kesadaran umat Islam untuk mencari solusi atas keterbelakangannya dalam segala bidang, termasuk dalam agama, telah muncul pada pertengahan abad ke-18 yang dimotori oleh Syah Waliyullah. Sebagai orang pertama yang memunculkan ide-ide pembaruan untuk kemajuan Islam di India, Syah Waliyullah menganjurkan agar masyarakat Islam menjadi dinamis dan agar para ulama berani berijtihad. Syah Waliyullah menyodorkan beberapa hal fundamental yang harus mendapatkan pembaruan. Pertama, perubahan sistem pemerintahan dari sistem kerajaan ke sistem kekhalifahan. Syah Waliyullah berpendapat bahwa sistem khalifah yang pernah dirintis di zaman al-Khulafa>’ al-Ra>syidu>n harus digelar kembali. Dengan kata lain, sistem pemerintahan absolut harus diganti dengan sistem pemerintahan yang berwatak demokratis. Kedua, perpecahan umat Islam dikarenakan perbedaan aliran dan mazhab, serta pertentangan antara golongan Syi’ah dan Sunni.

21Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, h. 189-192.

Page 14: Islam Di India

14

Syah Waliyullah ingin mempertemukan beberapa perbedaan di antara kelompok-kelompok keagamaan Islam, dalam sebuah sistem hukum yang berwatak dinamis dan moderat.22

Ide-ide pembaharuan Islam di India dilanjutkan oleh Syah Abdul Aziz (1239 H/1824 M) putra Syah Waliyullah. Tahun 1803 Syah Abdul Aziz mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa India merupakan da>r al-harb (negeri permusuhan). Dalam fatwanya, Syah Abdul Aziz menganggap penguasa Mughal sebagai imam dalam komunitas muslim, dan menuduh komunitas Inggris ketika merobohkan mesjid sebagai tindakan yang menekan kebebasan muslim dan kaum zimmi. Inggris tidak berhak mengintervensi praktek keberagamaan umat Islam, seperti salat Jumat, ‘Id (hari raya), atau urusan hukum keluarga tentang pernikahan. Oleh karena itu, ia kemudian mendeklarasikan India pada saat itu sebagai da>r al-harb dan masyarakat muslim India harus bangkit melancarkan gerakan perang suci (jihad).23

Sayyid Ahmad Barelwi, salah seorang murid Syah Abdul Aziz kemudian memimpin perjuangan jihad tersebut dengan tujuan mengembalikan kemurnian Islam dan membersihkan praktik mistik dan ritual masyarakat awam India, bahkan sempat mendirikan negara Khilafah pada daerah yang dikuasainya meskipun pada akhirnya perjuangan tersebut juga gagal.24

Dengan hancurnya gerakan Mujahidin, sikap keberagamaan yang berkembang di India adalah respon terhadap imperialis Inggris dan sikap taklid di kalangan umat Islam kepada mazhab yang diikuti, terutama kepada mazhab Hanafi.25

Gerakan Aligarh kemudian didirikan oleh Sayyid Ahmad Khan pada tahun 1875 M. Mengambil pengalaman dan sejarah

22Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2005), h. 54.

23Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, h. 189-192. 24Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam, h. 189-192. 25Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, h. 272.

Page 15: Islam Di India

15

umat Islam di India serta hasil studi dan analisis yang dilakukan Sayyid Ahmad Khan, khususnya pengalaman kegagalan pada pemberontakan Mutiny, maka muncullah ide-ide pembaruannya, antara lain:26

a) Kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam tidak sesuai dengan perkembangan zaman;

b) Sumber kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kemampuan akal, kebebasan manusia berkehendak, dan hukum alam.

c) Menentang taklid dan membuka pintu ijtihad untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

d) Umat Islam yang minoritas lebih baik bekerjasama dengan Inggris untuk memperoleh kemajuan di bidang politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Upaya reformasi kultural dan pendidikan kemudian dimulai dengan mendirikan National Muhammadan Association pada tahun 1856 M, Mohammadan Literary Society, dan Husting Calcutta Madrasah pada tahun 1863 M. Langkah ini diikuti dengan mendirikan Anjuman-i Islam di Bombay dan pendirian beberapa madrasah baru di Dacca dan Chitagong. Sayyid Ahmad Khan sendiri mensponsori penerjemahan literatur ilmiah berbahasa Inggris ke dalam bahasa Urdu, mendirikan Ghazipur Scientific Society pada tahun 1864 M, kemudian menerbitkan majalah Tahz\i>b al-Akhla>k untuk mendidik muslim India dengan cara-cara modern. Puncak dari upayanya adalah dengan mendirikan Mohammadan Anglo-Oriental College di Aligarh pada tahun 1875 yang menjadi basis intelektual muslim India.27

Gerakan kultural yang dimotori oleh Nawab Abdul Latif ini secara politis menampakkan keberpihakannya kepada Inggris. Jika gerakan Wahabi menganjurkan jihad dan mengutuk orang-

26Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 56. 27Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, h. 276; H. A. Mukti Ali, Alam

Pikiran, h. 18.

Page 16: Islam Di India

16

orang yang tidak ikut jihad sebagai pengkhianat terhadap Islam, maka sebaliknya, Muhammadan Literari Society menyatakan bahwa keadaan di India tidak mengharuskan masyarakat untuk berjihad. Bahkan dalam pernyataannya, Nawal Abdul Latif menyatakan: “Apabila ada bahasa di India ini yang bisa membawa orang yang belajar kepada kemajuan

Perjuangan terhadap imperialis dan upaya modernisasi lainnya juga dapat dilihat pada upaya yang dilakukan oleh Abdul Kalam Azad melalui konsep nasionalisme yang dibawanya. Nation (bangsa) yang dikembangkan oleh Azad adalah suatu kesadaran eksistensi individu dalam sikap sosial yang membangkitkan rasa cinta, asosiasi simpatik terhadap tanah air, dan ketergantungan timbal balik antar individu yang berbeda.28 Satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari imperialis Inggris menurut Azad adalah menyatukan Hindu dan Islam di India, yakni konstruk nasionalisme yang terbangun atas dasar kesadaran kesatuan dan kesamaan budaya, meskipun sintesa kultural antara mayoritas Hindu dengan minoritas Islam sebagai dua potensi besar nasionalisme India masih perlu ditinjau lebih jauh.

Pada sisi lain, faktor lain yang juga cukup esensial dan masih menjadi perdebatan kontemporer adalah terelaborasinya ideologi Islam ke dalam nasionalisme. Hal ini akan cukup membingungkan karena adanya polarisasi antara Muslim Nasionalis dan Nasionalis Muslim. Dalam posisi ini, Azad pernah memerankan kedua bentuk ini dalam dua fase yang berbeda. Pada fase awal, Azad adalah seorang Muslim Nasionalis yang pernah ikut mendukung Pan-Islamisme yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani.29 Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh

28Zeenath Kausar, Islam and Nationalism; An Analysis of The Views of Azad, Iqbal and Maududi (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1994), h. 36.

29Zeenath Kausar, Islam and Nationalism, h. 110. Bandingkan dengan beberapa entri poin Pan-Islamisme dalam John L. Espsosito, The Islamic Threat; Myth or Reality? diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman dan MISSI dengan judul Ancaman Islam; Mitos atau Realitas? (Cet. I; Bandung: Mizan, 1994), h. 201.

Page 17: Islam Di India

17

hilangnya kekhalifahan Islam di Turki oleh sekularisme yang dikembangkan oleh Kemal Attaturk. Umat Islam pada masa itu menilai kekhalifahan sebagai institusi yang sangat signifikan bagi kesatuan Islam sebagai ideologi. Keruntuhan kekhalifahan ini menjadikan muslim India harus memilih antara dua tujuan, Swaraj (pemerintahan sendiri) bagi India atau Khilafah.30

Pada fase kedua, Azad adalah seorang Nasionalis Muslim yang melihat nasionalisme sebagai suatu alat efektif menuju keberhasilan kemerdekaan India.31 Bagi Azad, Islam adalah agama yang sangat fleksibel dan memiliki solidaritas yang tinggi terhadap perbedaan-perbedaan paham dalam keagamaan. Nasionalisme yang dilontarkan Azad pada fase ini berupaya menyatukan antara umat Islam dengan umat Hindu dalam menghadapi bangsa asing.32 Olehnya itu, perpaduan kultur Hindu dan Muslim dinilai akan menjadi kekuatan potensial dan suatu unsur esensial bagi nasionalisme India.

Namun pada perkembangannya, kendala utama bagi nasionalisme India adalah tidak adanya solusi bagi komunitas yang berbeda tersebut menuju kebersamaan entitas kultural India. Perpecahan yang terjadi selalu diwarnai oleh kecurigaan satu sama lain atas otoritas politik apabila kemerdekaan telah tercapai.33 Upaya menjembatani pertikaian komunal antara Hindu dan Islam tidak sepenuhnya tercapai, bahkan perkembangan selanjutnya malah telah menimbulkan dua kubu besar yang tidak bisa disatukan lagi, yaitu dengan berdirinya negara Islam Pakistan yang terpisah dari India.34

30H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 42.31Zeenath Kausar, Islam and Nationalism, h. 110.32Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam

Islam (Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 157-158.33Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, h.306.34Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran, h. 159.

Page 18: Islam Di India

18

Ditemukannya dualisme dalam polarisasi fase perjuangan nasionalisme Azad tentunya bukan berarti suatu bentuk hipokrit dari golongan-golongan oportunis. Sebagaimana telah diungkapkan bahwa aspek esensial dalam diskursus elit internal India –bahkan menjadi diskursus global- adalah upaya integralisasi ideologi Islam ke dalam nasionalisme. Pengkajian tentang nasionalisme disepakati bukan dari ortodoksi keislaman, karena hal itu dinilai bersumber dari ide sekularisasi Barat dengan berbagai tendensi yang perlu dikaji lebih jauh.

Salah satu analisa tentang hal tersebut adalah adanya kecenderungan kuat nasionalisme untuk menghidupkan kembali as}abi>yah-qawmi>yah al-Ja>hili>yah dan membangkitkan paganisme.35 Nasionalisme bahkan akan menjadikan seseorang lebih mengutamakan bangsa dan negara di atas kepentingan agama berdasarkan prinsip wat}ani>yah. Lebih dari itu, nasionalisme -yang diciptakan oleh Barat- berhasil mengkonstruk semangat baru bagi mayoritas negeri Islam untuk melawan imperialisme Barat, tetapi tidak didasari oleh spirit jihad membela Islam, namun karena sikap fanatik kepada bangsanya.36 Dalam pengertian lain, nasionalisme adalah bentuk baru dari politik pecah belah yang mengeksploitasi isu-isu agama ke dalam sekat-sekat geografis-teritorial.

Membandingkan hal tersebut dengan fenomena kompleksitas yang membingkai masyarakat India, maka Azad tidak melihat kepentingan politik Islam dan Hindu secara dikotomis, tetapi melihatnya dalam konteks kepentingan nasional. Hal yang signifikan menurut Azad adalah bagaimana perjuangan politik tersebut menghasilkan kemerdekaan India. Adapun kepentingan politik Islam bisa dirundingkan kemudian setelah

35M. Amien Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (Cet. III; Bandung: Mizan, 1991), h. 194.

36Taqiyuddin al-Nabhani, Nizham al-Islam (Cet. VI; Beirut: al-Quds, 2001), h. 22-23.

Page 19: Islam Di India

19

India memperoleh kemerdekaan. Meskipun pada akhirnya Azad juga tidak berhasil menghapus kekhawatiran umat Islam terhadap masyarakat Hindu.37

Hipotesa pertama yang dapat dirumuskan oleh Zeenath Kausar terhadap ide nasionalisme Azad adalah kecenderungannya untuk mengkompromikan antara nasionalisme dengan ideologi Islam, meskipun hal itu dinilai sebagai bentuk apologi yang hanya mengadopsi sekularisme di Turki dan menerapkannya secara kaku dalam situasi politik di India.38 Upaya ini tidak jauh berbeda dengan as}abi>yah yang dipahami oleh Ibnu Khaldu>n dalam teori sosialnya. Bagi Ibnu Khaldu>n, prinsip as}abi>yah merupakan investasi besar bagi terpeliharanya agama, dan agama tanpa as}abi>yah tidaklah sempurna.39 Sisi lain dari hal itu adalah anggapan Azad bahwa umat Islam tidak mempunyai kekuatan untuk membebaskan diri secara langsung dari kekuatan politik imperialis tanpa menjadikan kelompok Hindu sebagai partner perjuangan dan melepaskan sekat-sekat ideologis.

Lanjut dari itu adalah adanya tarik ulur gagasan nasionalisme Azad yang mau tidak mau harus mengambil jalan tengah antara perbenturan ideologi yang tidak saja terjadi antara Hindu-Islam, tetapi juga terhadap ideologi-ideologi Barat. Kecenderungan politik Barat yang utama adalah upaya membangun kontroversi ideologis dengan tawaran-tawaran sekularisme, nasionalisme, dan demokratisasi serta beberapa doktrin lain berdasar pada materialisme. Namun hal itu tidaklah signifikan bagi Azad jika umat Islam bisa memahami bahwa

37Zeenath Kausar, Islam and Nationalism, h. 110.38Zeenath Kausar, Islam and Nationalism, h. 106, 110. 39Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun and Islamic Thought Style A Sosial

Perspective, diterjemahkan oleh Mansuruddin dan Ahmadie Thaha dalam judul Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 48-49.

Page 20: Islam Di India

20

bangunan politik Islam dapat disesuaikan dengan kondisi waktu dan tempat di tengah keniscayaan kemerdekaan India.

Ide pembaharuan Azad tampak lebih moderat meskipun tidak ditemukan hal baru yang lebih spektakuler dalam setiap gagasannya. Sepak terjang Azad dalam nasionalismenya menjadikan ia lebih sebagai seorang politikus daripada seorang pemikir. Hal ini tampak pada upaya politik unifikasi kultural yang diharapkannya dapat mengintegralisasikan Hindu-Islam sebagai kekuatan ideologis bagi kemenangan cita-cita nasionalismenya.

Senada dengan para pendahulunya, Azad juga melihat kemunduran umat Islam lebih disebabkan oleh dogmatisme dan sikap taklid terhadap pemikiran-pemikiran abad pertengahan. Selain itu, juga karena umat Islam tidak lagi seluruhnya menjalankan ajaran-ajaran Islam. Ia menganjurkan kembali kepada Alquran dan untuk itu ia menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Urdu dengan memberi tafsiran yang terlepas dari pengaruh pemikiran ahli hukum, sufi, teolog, filosof dan sebagainya.40 Sementara itu, fenomena umat Islam India dapat dikatakan masih hidup dengan tradisi kebesaran dan kemegahan masa lalu. Meskipun sebagian mampu bangkit dengan gagasan revivalis, namun pada akhirnya hanya berupa visi yang campur aduk antara kebesaran masa lalu yang telah hilang dan impian kebesaran yang akan datang.

Selain pada upaya penterjemahan Alquran, Azad juga banyak melakukan terobosan pemikiran dalam bidang pendidikan. Salah satu ide yang ia ejawantahkan ketika menjabat sebagai Menteri di bidang pendidikan adalah perbaikan kurikulum dengan melakukan elaborasi kurikulum Barat dan Islam. Dalam hal ini Azad menitikberatkan pada signifikansi Bahasa Inggris

40Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 203.

Page 21: Islam Di India

21

sebagai langkah awal transformasi sains dan teknologi yang saat itu -hingga kini- masih didominasi oleh Barat.41

Pemikiran Azad di bidang pendidikan ternyata juga dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan sosial Ibnu Khaldu>n yang menilai bahwa tingkat pertumbuhan dan kemunduran intelektual suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan atau kurikulum yang mereka gunakan. Pendidikan dalam perspektif sosial ini menghendaki tumbuhnya suatu dedikasi dan orientasi hidup yang jelas bagi seseorang untuk membawa arah sejarah bangsanya. Oleh karena itu, melalui ide pendidikannya, Azad mencoba menumbuhkan kesadaran kultural bangsa India -Hindu dan Islam- sebagai bangsa yang mampu berdiri dalam nasionalisme yang utuh.42

Menurut H. A. Mukti Ali, pandangan pemikiran dinamis sebenarnya sudah mulai tumbuh di India sejak diperkenalkannya ide tentang evolusi. Hal itu tampak pada tulisan-tulisan Amir Ali. Prinsip ini dan juga kritisisme sejarah, dapat digunakan sebagai alat yang ampuh untuk memahami beberapa masalah. Misalnya masalah poligami, hal itu dianggap baik pada zaman nabi Muhammad, sekalipun saat ini dianggap tidak baik. Pada umumnya kaum modernis berpendapat, apabila suatu agama atau suatu kepercayaan menolak menyesuaikan diri dengan perubahan situasi dan kondisi pada suatu lingkungan, maka praktis agama itu menolak kemajuan.43

Ketika India memperoleh kemerdekaannya, kompleksitas, problematika, dan kondisi multikultural India menjadikan para pendiri negara tersebut tidak melihat adanya pilihan lain bagi konstitusi mereka selain mengambil sekularisme sebagai haluan negara untuk tidak terjebak pada kedaerahan dan keagamaan yang selama ini dianggap menjadi sumbu pemicu konflik internal.

41Zeenath Kausar, Islam and Nationalism, h. 8-9.42Zeenath Kausar, Islam and Nationalism, h. 10.43H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran, h. 30.

Page 22: Islam Di India

22

Masyarakat muslim pada waktu itu juga tidak berkeberatan menerima gagasan terbentuknya negara sekuler di samping karena kekhawatiran mereka terhadap terbentuknya negara Hindu.

Pasca kemerdekaan tahun 1947, muslim India tampak terpecah dalam tiga ketegori bebas yang sering asing satu sama lain. Pertama, muslim yang membentuk lapisan tipis kemapanan. Di permukaan tidak ada yang dapat membedakan mereka dari warga sukses India yang lain. Mereka banyak dijumpai di pesta-pesta koktail atau makan malam, memegang segelas wiski, bersama istri yang non muslim, sering membuat lelucon-lelucon jahat tentang buta huruf, keterbelakangan, dan sikap keras kepala dari masyarakat mereka sendiri. Di antara kelompok ini adalah muslim yang ingin di-kremasi dan tidak diperlakukan seperti muslim lain yang meninggal, yaitu dikubur. Mereka pun menamai putra-putri mereka dengan nama-nama Hindu. Mereka secara sadar membuat jarak dari sahabat-sahabat muslim lainnya. Mereka yang berharap dapat selamat sebagai individu dan tidak ingin terlepas dalam komunitas. Golongan kedua, yang jumlahnya relatif sedikit, terdiri atas mereka yang siap berbicara bagi komunitasnya dan sering dicap sebagai komunitas oleh media. Mereka termasuk orang-orang seperti imam Bukha>ri, imam masjid Juma di di Delhi, dan Sayyid S|aha>buddi>n, seorang anggota parlemen masa itu. Mereka bersemangat dalam upaya untuk menghadapi kesombongan-kesombongan para pemimpin dan mewakili masyarakat mereka. Kelompok ketiga, terdiri atas berjuta-juta orang yang tidak pasti dan tak terhitung, yang kebingungan, orang-orang tanpa wajah yang tersebar di seluruh India.44

Kisah muslim di India secara umum menurut Ira M. Lapidus tak lebih dari “masyarakat pencari takdir”. Posisi muslim yang bertahan sebagai warga India, di bawah kepemimpinan Azad dan Jami’at al-Ulama-Hindi, tampak mengalami dan menerima nasionalis ganda; identitas sebagai warga muslim sekaligus

44K.H. Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 209-210, dikutip dari Akbar S. Ahmed, Living Islam, diterjemahkan oleh Pangestuningsih (Bandung: Mizan, 1997), h. 283-284.

Page 23: Islam Di India

23

sebagai warga India, namun tetap mempermasalahkan kedudukan mereka di India. Mereka tetap memandang diri mereka sebagai pihak monoritas yang dimusuhi.45 Muslim India berada pada kondisi defensif, terasing dan depresi. Mereka tertinggal dalam pendidikan dan pekerjaan yang layak, serta terjebak dalam suatu lingkaran yang kejam yang tengah berkembang. Dipandang sebagai kelompok yang terbelakang, buta huruf, dan tidak mau berusaha keras. Sebagian mayoritas Hindu sama sekali tidak peduli kepada mereke karena kemiskinan mereka dan jumlah populasinya yang besar. Sampai Bharatia Janata Party yang lebih dari 200 anggota parlemen, secara aktif membenci dan memandang muslim sebagai sumber segala kesalahan dalam India Hindu yang murni, hingga terlontar ungkapan, “jika mereka bersedia meninggalkan Islam dan kembali menjadi Hindu, mereka akan dimaafkan”.46

Ironisnya, muslim India memandang semua tekanan itu sebagai ujian keimanan mereka, yang kemudian akan melahirkan keyakinan baru. Dalam kemiskinan dan keterasingan, mereka juga yakin bahwa keimanan merekalah yang membuat mereka bertahan melampaui saat-saat berat: “kami lebih baik daripada saudara-saudara muslim di Pakistan. Keimanan kami lebih murni karena lebih sering menghadapi ujian”.47

Persoalan tentang kemerdekaan dan nasionalisme melewati dua fase penting di India dan wilayah Asia Selatan secara umum. Pada mulanya orang-orang Hindu dan Islam dalam Partai Kongres Nasional India telah bekerjasama dalam perjuangan kemerdekaan. Namun demikian, ternyata masih banyak orang-orang Islam yang takut kehilangan hak-haknya sebagai minoritas dalam pergulatan politik internal di India yang didominasi Hindu.

45Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, h. 747. 46Akbar S. Ahmed, Living Islam, h. 287; K.H. Abdul Hamid dan Yaya,

Pemikiran Modern, h. 211. 47K.H. Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern, h. 211.

Page 24: Islam Di India

24

Pada akhirnya, -ibarat buah simalakama- umat Islam lebih memilih suatu bentuk negara nasional-teritorial daripada harus menjadi negara sekuler. Pada medan lain, India juga diperhadapkan pada politik imperialis yang secara destruktif telah mereduksi tatanan sosio kultural Hindu-Muslim. Sehingga nasionalisme seolah menjadi alternatif terakhir meskipun sebagian muslim berpendapat bahwa nasionalisme dalam bantuk apapun bertentangan dengan Islam, sebab masyarakat Islam atau ummah adalah masyarakat yang tidak ada sangkut pautnya dengan segala macam ikatan etnis, suku, daerah ataupun perbedaan-perbedaan ras.

C. Penutup

Modernisasi adalah memurnikan Islam dari unsur-unsur jahiliah, lalu berusaha memelihara kelangsungan ajarannya yang murni. Pembaruan menginginkan terjadinya aktualisasi Islam pada berbagai aspek kehidupan sosial kultural. Gerakan pembaruan Islam menolak taklidisme. Paham kepengikutan terhadap mazhab tanpa kritis. Kaum modernis membangkitkan semangat berfikir di kalangan umat Islam agar terlepas dari belenggu kebekuan dan kejumudan berfikir. Modernisasi gerakan pembaruan pemikiran untuk mencari pemecahan atas berbagai problematika yang dihadapi dengan merujuk Alquran dan sunah sebagai landasan yang sekaligus mencoba melepaskan diri dari keterjebakan pendapat klasik. Di sisi lain, sinkretisme, mistisisme, dan kolonialisme menjadi latar belakang kemunculan gerakan pembaruan yang bercorak puritanisme dengan ijtihadiyah.

Modernisme Islam adalah respon terhadap kelemahan internal yang tak kunjung hilang maupun respon terhadap ancaman politik dan religio-kultural eksternal dari kolonialisme. Respon-respon kaum reformis Islam modern pada berbagai wilayah termasuk India pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terhadap dampak kolonialisme Barat atas masyarakat muslim

Page 25: Islam Di India

25

berujung pada upaya-upaya mendasar untuk menafsirkan Islam kembali agar sesuai dengan situasi dan kondisi kehidupan muslim yang berubah. Reformasi hukum, pendidikan, dan sosial, semuanya ditujukan untuk menyelamatkan umat Islam dari spiral kemerosotan mereka serta menunjukkan kesesuaian Islam dengan pemikiran dan nilai-nilai modern. Modernisasi tersebut menjadi menarik karena mencangkokkan pandangan atau sikap tentang masa lalu sekaligus masa depan. Kebanggaan pada warisan Islam dan prestasi-prestasi sejarah dan peradaban Islam akan memberikan rasa identitas dan tujuan yang terus diperbarui kepada umat Islam. Pada saat yang sama, penekanan pada karakter Islam yang dinamis, progresif, dan rasional memungkinkan generasi-generasi muslim yang baru untuk lebih percaya diri menerima peradaban modern, untuk menganggap perubahan sebagai kesempatan, dan bukannya ancaman.

Berangkat dari itu, pembaruan ataupun perubahan secara gradual disadari tidaklah bisa diatasi dengan sendirian. Ia memerlukan gerakan-gerakan kolektif yang mungkin saja dalam konteks ini adalah gerakan yang berskala nasional. Sehingga bagaimanapun tetap disadari perlunya membangun kesadaran kolektif yang berbentuk kesadaran politik, sosial, dan budaya. Asumsi ini lebih menyadarkan lagi pada aksioma yang menegaskan bahwa hanya dengan kesadaran kolektiflah maka perubahan dapat berlangsung.

Sementara itu akan juga mencul pergerakan yang lebih mondial ketika generasi hari ini akan semakin menemukan jati diri dan potensinya untuk menjadi subyek sejarah. Paling tidak, muslim India dan para tokoh modernisnya dalam studi pemikiran dan modernitas bukanlah “hidden generation” karena telah menampilkan kapasitas mereka sebagai “social of historical change” yang selalu menginvestasikan progresivitas dan rasa melawan, meskipun belum jelas apakah tindakan itu terkait dengan soal militansi, terobosan kultural, atau juga semacam bentuk ketegaran untuk bersikap demokratis dan egaliter. Satu

Page 26: Islam Di India

26

hal yang jelas, kondisi realistik zaman ketika itu menuntut suatu ijtihad politik bagi para modernis India sebagai counter terhadap politik imperialis sekaligus sebagai kontribusi efektif bagi suatu perubahan yang semoga ada benarnya.

DAFTAR PUSTAKAAbdurrahman, Dudung (et.al.) Sejarah Peradaban Islam: dari

Masa Klasik hingga Modern, Siti Maryam. (ed.) Cet. II; Yogyakarta: Kurnia Islam Semesta, 2002.

Ahmed, Akbar S. Living Islam, diterjemahkan oleh Pangestuningsih. Bandung: Mizan, 1997.

Ali, H.A. Mukti. Alam Pikiran Islam Moder di India dan Pakistan. Cet. IV; Bandung; Mizan, 1998.

Alvi, Sayid S. The Moslem Almanak; Islam in South Asia. New Delhi: Gale Research, t.th.

Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun and Islamic Thought Style A Sosial Perspective, diterjemahkan oleh Mansuruddin dan Ahmadie Thaha dalam judul Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.

Al-Biruni. India, dalam Ainslie T. Embree. Ed.). London: Cambridge University Press, 1971.

Coleridge, Peter. Disability, Liberation, and Development. Cet. I; London: Oxfam UK, 1993.

Espsosito, John L. The Islamic Threat; Myth or Reality? diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman dan MISSI dengan judul Ancaman Islam; Mitos atau Realitas? Cet. I; Bandung: Mizan, 1994.

Gibb, H.A.R. Modern Trends in Islam, diterjemahkan oleh Machnun Husein dalam judul Aliran-aliran Modern dalam Islam. Cet. V; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

Hamid, K.H. Abdul dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Kausar, Zeenath. Islam and Nationalism; An Analysis of The Views of Azad, Iqbal and Maududi. Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1994.

Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dalam judul Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian Ketiga. Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. h. 3-30.

Page 27: Islam Di India

27

N. Derryl. Religion and Society in Arab Sind. London: Mac Lean, 1989.

Al-Nabhani, Taqiyuddin. Nizham al-Islam. Cet. VI; Beirut: al-Quds, 2001.

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Rahman, Fazlur. Islam and Modernity. Chicago: Chicago University Press, 1985.

Rais, M. Amien. Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta. Cet. III; Bandung: Mizan, 1991.

Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

www.islamicword., diunduh pada tanggal 3 Januari 2013. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Ed. I. Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2006. Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia.

Yogyakarta: LkiS, 2005.