Isi Referat Pjb Asianotik

74
BAB I PENDAHULUAN Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Ada 2 golongan besar PJB, yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik (biru) yang masing-masing memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda. (1) Angka kejadian PJB dilaporkan sekitar 8–10 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30 % diantaranya telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan pertama kehidupan. Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam masa bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara berkembang banyak yang baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat diperlukan pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta tindakan bedah yang diperlukan. (1) Menurut PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia), penyakit jantung bawaan menempati peringkat pertama diantara penyakit-penyakit lain yang 1

description

referat pjb asianotik

Transcript of Isi Referat Pjb Asianotik

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Ada 2 golongan besar PJB, yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik (biru) yang masing-masing memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda.(1)Angka kejadian PJB dilaporkan sekitar 810 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30 % diantaranya telah memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan pertama kehidupan. Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam masa bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara berkembang banyak yang baru terdeteksi setelah anak lebih besar, sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat mungkin telah meninggal sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat diperlukan pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan serta tindakan bedah yang diperlukan.(1)Menurut PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia), penyakit jantung bawaan menempati peringkat pertama diantara penyakit-penyakit lain yang menyerang bayi. Angka kejadian PJB di indonesia cukup tinggi, namun penanganannya amat kurang. Dalam The 2nd Internasional Pediatric Cardiology Meeting di Cairo, Egypt, 2008 dr.Sukman Tulus Putra lebih lanjut mengungkapkan 45.000 bayi Indonesia terlahir dengan PJB tiap tahun. Dari 220 juta penduduk indonesia, diperhitungkan bayi yang lahir mencapai 6.600.000 dan 48.800 diantaranya adalah penyandang PJB.(5) PJB asianotik merupakan kelompok penyakit terbayak, yakni sekitar 75% dari semua PJB. Sisanya merupakan kelompok PJB sianotik (25%).(2)BAB IITINAJUAN PUSTAKA

2.1.Embriologi JantungSeluruh sistem kardiovaskular jantung, pembuluh darah, dan sel-sel darah berasal dari lapisan germinativum mesoderm. Meskipun pada awalnya berpasangan, pada hari ke-22 perkembangan kedua tabung jantung membentuk satu tabung jantung yang sedikit bengkok (melalui proses pembentukan lengkung jantung) yang terdiri dari tabung endokardium di sebelah dalam dikelilingi oleh selubung miokardium. Selama minggu ke-4 sampai ke-7 jantung terbagi menjadi struktur beruang empat yang khas.(3)

Gambar 1. Pembentukan Lengkung Jantung

Gambar 2. Potongan Frontal Jantung pada Mudigah 30 HariPembentukan septum di jantung sebagian terjadi melalui pembentukan jaringan bentalan endokardium di kanalis atrioventrikularis (bantalan atrioventrikel) dan di regio konotrunkal (penebalan konotrunkal). Karena lokasi jaringan bantalan sangat strategis, banyak malformasi jantung berkaitan dengan kelainan morfogenesis bantalan tersebut.(3)PEMBENTUKAN SEPTUM ATRIUM

Septum primum merupakan suatu krista berbentuk sabit yang turun dari atap atrium, mulai membagi atrium menjadi dua tetapi meninggalkan sebuah lubang yaitu ostium primum untuk menghubungkan kedia bagian atrium tersebut. Kemudian saat septum primum mengalami obliterasi akibat penyatuan septum primum dengan bantalan endokardium, terbentuk ostium sekundum akibat kematian sel yang menciptakan lubang di septum primum. Akhirnya terbentuk septum sekundum, tetapi suatu lubang antar atrium (foramen ovale) menetap. Hanya pada saat lahir, ketika tekanan di atrium kiri meningkat, kedua septum saling menekan dan menutup hubungan antar keduanya.(3)Terdapat empat bantalan endokardium yang mengelilingi kanalis atrioventrikularis. Penyatuan bantalan superior dan inferior yang saling berhadapan membagi ostium mengadi kanalis atrioventrikularis kanan dan kiri. Jaringan bantalan ini kemudian menjadi fibrosa dan membentuk katup mitral (bikuspid) di kiri dan katup trikuspid di kanan. Menetapnya kanalis atrioventrikularis komunis dan kelainan pembagian kanalis adalah cacat yang paling sering ditemukan.(3)

Gambar 3. Septum Atrium dalam Berbagai Tahap Perkembangan

PEMBENTUKAN SEPTUM VENTRIKEL

Septum interventrikulare terdiri dari pars muskularis yang tebal dan pars membranesea yang tipit yang dibentuk oleh bantalan atrioventrikel endokardium inferior, penebalan konus kanan, dan penebalan konus kiri. Pada banyak kasus, ketiga komponen ini gagal menyatu, menyebabkan terbuakanya foramen interventrikulare. Meskipun mengkin berdiri sendiri, kelainan ini biasanya disertai dengan cacat kompensatorik lainnya.(3)

Bulbus dibagi menjadi trunkus (trunkus pulmonalis dan aorta), konus (saluran aliran keluar aorta dan trunkus pulmonalis), dan bagian bertrabekula dari ventrikel kanan. Regio trunkus dibagi oleh septum atriokopulmonale berbentuk spiral menjadi dua arteri utama. Penebalan konus membagi saluran aliran keluar pembuluh pulmonal dan aorta dan dengan jaringan dari bantalan endokardium inferior yang menutup foramen interventrikulare. Banyak kelainan vaskular, misalnya transposisi pembuluh darah besar dan atresia katup pulmonal, terjadi akibat kelainan pembagian regio konotrunkal; kelainan tersebut mungkin melibatkan sel krista neuralis yang ikut membentuk septum di regio konotrunkal.(3)

Gambar 4. Pembentukan Bubungan Konotrunkal

SIRKULASI SEBELUM DAN SETELAH LAHIR

Sebelum lahir, darah dari plasenta yang jenuh oksigen sekitar 80% kembali ke janin melalui vena umbilikalis. Saat mendekati hati, sebagian besar dari darah ini mengalir melalui duktus venosus langsung ke vena kava inferior, mlintasi hati. Sejumlah kecil darah masuk ke sinusoid hati dan bercampur dengan darah dari sirkulasi porta. Mekanisme sfingter di duktus venosus yang menutup pintu masuk vena umbilikalis, mengatur aliran darah tali pusat melalui sinusoid hati. Sfingter ini menutup saat kontraksi uterus menyebabkan aliran balik vena terlalu deras sehingga dapat mencegah pembebanan berlebihan mendadak pada jantung.(3)Darah plasenta, setelah berjalan singkat di vena kava inferior tempat darah ini bercampur dengan darah terdeoksigenisasi yang kembali dari ekstremitas bawah, masuk ke atrium kanan. Di sini darah diarahkan ke foramen ovale oleh katup vena kava inferior, dan sebagian besar darah berjalan langsung ke dalam atrium kiri. Sejumlah kecil darah tidak dapat mengikuti jalan tersebut karena terhambat oleh tepi bawah septum sekundum, krista dividens, dan tetap berada di atrium kanan. Di sini, darah tersebut bercampur dengan darah terdesaturasi yang kembali dari kepala dan lengan melalui vena kava superior.(3)Dari atrium kiri, tempatnya bercampur dengan sedikit darah terdesaturasi yang kembali dari paru, darah masuk ke ventrikel kiri dan aorta asenden. Karena arteri koronaria dan arteri karotis adalah cabang-cabang pertama dari aorta asenden, otot jantung dan otak mendapat darah yang banyak mengandung oksigen. Darah terdesaturasi dari vena kava superior mengalir melalui ventrikel kanan ke trunkus pulmonalis. Sewaktu kehidupan janin, resistensi pembuluh darah paru tinggi sehingga sebagian besar darah mengalir langsung melalui duktus arteriosus ke aorta desenden, tempat darah ini bercampur dengan darah dari aorta proksimal. Setelah berjalan melalui aorta desenden, darah mengalir ke plasenta melalui dua arteri umbilikalis. Saturasi oksigen di arteri umbilikalis adalah sekitar 58%.(3)Selama perjalanannya dari plasenta ke organ-organ janin, darah di vena umbilikalis secara bertahap kehilangan kendungan oksigennya yang tinggi karena bercampur dengan darah terdesaturasi. Secara teoritis, pencampuran dapat terjadi di hati (bercampur dengan sejumlah kecil darah yang kembali dari sistem porta), vena kava inferior (yang menyalurkan darah terdeoksigenisasi yang kembali dari ekstremitas bawah, panggul, dan ginjal), atrium kanan (bercampur dengan darah yang kembali dari kepala dan ekstremitas), atrium kiri (bercampur dengan darah yang kembali dari paru, dan muara duktus arteriosus ke dalam aorta desenden.(3)Perubahan sistem vaskular saat lahir disebabkan oleh terhentinya aliran darah plasenta dan dimulainya pernapasan. Karena duktus arteriosus menutup akibat kontraksi otot di dindingnya, jumlah darah yang mengalir melalui pembuluh darah paru meningkat pesat. Hal ini selanjutnya akan meningkatkan tekanan di atrium kiri. Secara bersamaan, tekanan di atrium kanan menurun akibat terhentinya aliran darah plasenta. Septum primum kemudian melekat ke septum sekundum, dengan demikian foramen ovale menutup secara fungsional.(3)Penutupan arteri umbilikalis akibat kontraksi otot polos di dindingnya mungkin disebabkan oleh rangsangan suhu dan mekanis serta perubahan tegangan oksigen. Secara fungsional, kedua arteri menutup beberapa menit setelah lahir, meskipun obliterasi lumen sesungguhnya oleh proliferasi fibrosa yang mungkin memerlukan waktu 2-3 bulan. Bagian distal arteri umbilikalis membentuk ligamentum umbilikale medianum dan di bagian proksimal tetap terbuka sebagai arteri vesikalis superior.(3)Penutupan vena umbilikalis dan duktus venosus terjadi segera setelah penutupan arteri umbilikalis. Karena itu, darah dari plasenta masih dapat masuk ke tubuh bayi selama beberapa saat setelah lahir. Setelah obliterasi, vena umbilikalis membentuk ligamentum teres hepatis di batas bawah ligamentum falsiforme. Duktus venosus yang berjalan dari ligamentum teres hepatis ke vena kava inferior juga mengalami obliterasi dan membentuk ligamentum venosum.(3)Penutupan duktus arteriosus oleh kontraksi otot di dindingnya terjadi hampir sesaat setelah lahir. Penutupan ini diperantarai oleh bradikinin, suatu zat yang dibebaskan dari paru selama masa permulaan pengembangan paru. Obliterasi anatomis sempurna akibat proliferasi tunika intima diduga memerlukan waktu 1-3 bulan. Pada orang dewasa, duktus arteriosus yang mengalami obliterasi ini membentuk ligamentum arteriosum.(3)Penutupan foramen ovale disebabkan oleh peningkatan tekanan di atrium kiri, disertai penurunan tekanan di sisi kanan. Tarikan napas pertama menekan septum primum ke septum sekundum. Namun setelah beberapa hari pertama kehidupan, penutupan ini bersifat reversibel. Tangisan bayi menciptakan pirau dari kanan ke kiri, yang menjadi penyebab serangan-serangan sianosis pada bayi baru lahir. Penempelan yang terus menerus secara perlahan menyebabkan kedua septum menyatu sekitar 1 tahun. Namun pada 20% orang, foramen tersebut tidak pernah tertutup sempurna secara anatomis (patent foramen ovale).(3)

2.2.Penyakit Jantung Bawaan

2.2.1.Definisi Penyakit jantung bawaan (PJB) atau penyakit jantung kongenital dapat didefinisikan sebagai sekelompok kelainan struktural dan fungsional jantung yang muncul selama masa embriogenesis jantung.(4) Atau dapat juga didefinisikan sebagai penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin.(1)2.2.2.EpidemiologiPJB pada bayi dan anak cukup banyak ditemukan di Indonesia. Laporan dari berbagai penelitian di luar negri menunjukkan 6-10 dari 1000 bayi lahir hidup menyandang PJB.(2) Menurut PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia), penyakit jantung bawaan menempati peringkat pertama diantara penyakit-penyakit lain yang menyerang bayi. Angka kejadian PJB di indonesia cukup tinggi, namun penanganannya amat kurang. Dalam The 2nd Internasional Pediatric Cardiology Meeting di Cairo, Egypt, 2008 dr.Sukman Tulus Putra lebih lanjut mengungkapkan 45.000 bayi Indonesia terlahir dengan PJB tiap tahun. Dari 220 juta penduduk indonesia, diperhitungkan bayi yang lahir mencapai 6.600.000 dan 48.800 diantaranya adalah penyandang PJB.(5)Secara garis besar PJB dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) PJB asianotik dan (2) PJB sianotik. PJB asianotik merupakan kelompok penyakit terbayak, yakni sekitar 75% dari semua PJB. Sisanya merupakan kelompok PJB sianotik (25%).(2). Walaupun lebih sedikit, PJB sianotik menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada PJB asianotik.(5)2.2.3.EtiologiPenyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang didapat sejak lahir dan sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung janin sudah lengkap, sehingga kelainan pembentukan jantung terjadi pada trimester awal kehamilan.(6) Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. Pelbagai jenis obat, penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit infeksi virus seperti rubeladan toksoplasma yang diderita ibu pada awal kehamilan juga dapat menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen terdapat pula faktor endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Pelbagai jenis penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB seperti kelainan kromosom trisomi 13 (sindrom Patau), trisomi 18 (sindrom Edwards), dan trisomi 21 (sindrom Down).(7, 8) Faktor Genetik Mutasi gen tunggal (sutosom dominan atau resesif yang berkaitan dengan kormosom x biasanya menyebabkan PJB sebagai bagian dari kompleks abnormalitas. Abnormalitas yang paling sering ditemukan yaitu sindrom Noonan, dengan stenosis pulmonal dan kardiomiopati hipertrofik sebagai kelainan jantung terseringnya, sindrom lain dengan kelainan jantungnya antaralain sindrom Apert (defek septum ventrikel, koartasio aorta), sindrom Holt-Oram (defek septum atrium dan ventrikel), dan sindrom Ellis-van Creveld (atrium tunggal).(9) Abnormalitas kromosom juga menyebabkan PJB sebagai bagian dari suatu kompleks abnormalitas. Beberapa sindrom ini memiliki insidensi tinggi terhadap terjadinya PJB, antara lain sindrom cri-du-chat (20%), sindrom XO (Turner ) (50%), sindrom trisomi 21 (Down) (50%), sindrom trisomi 13 (90%), dan trisomi 18 (99%). Defek septum ventrikel merupakan kelainan jantung tersering yang ditemukan pada sindrom-sindrom ini kecuali pada sindrom Turner, dimana dominannya terjadi valvula aorta bikuspid dan koartasio aorta.(9) Faktor gen multifaktorial juga dipercaya sebagai dasar terjadinya duktus arteriosus paten. Hal ini juga dianggap sebagai dasar terjadinya PJB lainnya, teteapi beberapa bukti sampai sekarang juga menemukan faktor-faktor lain yang ikut berperan, seperti defek gen tunggal yang disebabkan oleh peristiwa yang tidak diketahui.(9) Faktor Lingkungan

Lingkungan janin

Ibu yang mengkonsumsi garam litium selama kehamilan memiliki resiko melahirkan anak dengan PJB, dengan insidensi yang paling sering yaitu lesi pada valvula mitral dan trikuspid, terutama sindrom Ebstein. Ibu diabetes yang menkonsumsi progesteron selama kehamilan juga memiliki resiko tinggi melanhirkan anak dengan PJB. Sekitar setengah populasi anak dari ibu alkoholik mengalami PJB (biasanya berupa pirau dari kiri ke kanan). Asam retinoid yang digunakan untuk mengobati jerawat dapat juga menyebabkan beberapa tipe PJB.(9) Infeksi virus

Embriopati rubella sering berkaitan dengan stenosis pulmonal dan duktus arteriosus paten. Virus lain, misalnya virus coxsackie juga diduga meneyabkan tejadinya PJB karena adanya titer serum virus ini ditemukan pada ibu yang melahirkan anak dengan PJB.(9)2.2.4.Klasifikasi Ada dua golongan besar PJB seperti yang sempat dipaparkan sebelumnya, yaitu PJB asianotik dan PJB sianotik, masing-masing memberikan gejala dan tanda klinis yang berbeda serta memerlukan tatalaksana yang berbeda pula.(8)PJB asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang tidak ditandai dengan sianosis. Yang temasuk dalam kelompok PJB asianotik adalah: (8) Defek dengan pirau dari kiri ke kanan, antara lain: Defek septum atrium (atrial septal defect; ASD)

Defek septum ventrikel (ventricular septal defect; VSD)

Duktur arteriosus paten (patent ductus arteriosus; PDA)

Defek septum atrium dan ventrikel (atrioventricular septal defect; AVSD)

Kelainan pada katup atrioventrikular, antara lain:

Stenosis mitral (mitral stenosis; MS)

Regurgitasi trikuspid (tricuspid regurgitation; TR)

Obstruksi pada alur keluar ventrikel, antara lain:

Stenosis pulmoner (pulmonary stenosis; PS) Koartasio aorta (coarctacio aorta; AO)

Sedangkan penyakit jantung bawaan sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat adanya pirau kanan ke kiri.(7) Pada PJB biru didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung yang sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang mengandung rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik. Bisa juga kelainan struktur yang memungkinkan aliran pirau dari kanan ke kiri atau adanya pencampuran darah balik vena sistemik dan vena pulmonalis. Secara garis besar terdapat dua golongan PJB sianotik, yaitu: (8) Dengan gejala aliran ke paru yang berkurang, antara lain:

Tetralogi Fallot (ToF)

Atresia pulmoner (pulmonary atresia; PA)

Double outlet right ventricle (DORV) dengan VSD dan PS

Dengan gejala aliran ke paru yang bertambah, antara lain:

Transposisi arteri besar (transposition of the great arteries; TGA)

Common mixing (misal: total anomalous pulmonary venous drainage, truncus arteriosus, aorto-pulmonary window, DORV dengan VSD dan univentrikular heart)

2.2.5.DiagnosisEvaluasi awal untuk menegakkan diagnosis PJB meliputi 4 tahap, yaitu: (2)1. Evaluasi klinis yang meliputi riwayat penyakit atau anamnesis dan pemeriksaan fisik;2. Pemeriksaan penunjang sederhana termasuk EKG dan foto thorax;

3. Ekokardiografi yang terdiri dari M mode, 2 dimensi, dan Doppler atau color flow mapping;

4. Kateterisasi jantung yang meliputi penghitungan hemodinamik dan angiografi. Tetapi, saat ini dengan makin berkembangnya teknologi, kateterisasi hanya dilakukan apabila dengan ekokardiografi kelainan anatomis masih belum pasti.Tahap 1Evaluasi Klinis

Riwayat penyakit / anamnesis

Pemeriksaan fisik

Tahap 2Investigasi dengan pemeriksaan sederhana

Darah tepi

EKG

Foto thorax

Tahap 3Ekokardiografi

2 dimensi (cross sectional)

M mode

Doppler

Color flow mapping

Tahap 4Kateterisasi jantung

Penghitungan hemodinamik

Kardioangiografi

Tabel 1. Tahapan Diagnosis PJB2.3.Defek Septum Atrium (Atrial Septal Defect; ASD)2.3.1.Definisi

ASD merupakan kelainan dimana terdapat defek atau lubang pada septum atrium selain dari foramen ovale yang menyebabkan terjadinya pirau antar kedua atrium.(8, 10)2.3.2.Epidemiologi

ASD mencakup lebih kurang 5-10% penyakit jantung bawaan. ASD tipe sekundum merupakan bentuk kelainan terbanyak (50-70%) dari seluruh ASD dan 5-10% dari seluruh PJB, pada 10% kasus disertai dengan anomali drainase vena pulmonalis (anomaly pulmonary veins drainage; APVD). Kemudian diikuti tipe primum sebanyak 15%, tetapi apabila AVSD diikutsertakan bisa mencapai 30% dari seluruh ASD. Dan yang terakhir adalah tipe sinus venosus (10%).(8, 11)2.3.3.Klasifikasi

Secara anatomis, terdapat tiga tipe ASD, yaitu defek sekundum, defek primum, dan defek tipe sinus venosus.(11) Klasifikasi ini berhubungan dengan fossa ovslis. Bila defek tersebut berada di area fosa ovalis, maka disebut dengan defek sekundum, bila berada di anterior dan inferior disebut dengan defek primum, dan bila berada di superior dan posterior disebut defek sinus venosus. Sedangkan pada foramen ovale paten (patent foramen ovale; PFO) lazimnya tidak menimbulkan aliran pirau intrakardiak.(8)

Gambar 5. Tipe-Tipe ASD

Selain itu ASD sapat juga diklasifikasikan berdasarkan ukuran defek yang ada. Defek kecil berukuran > 3 mm sampai < 6 mm, defek sedang berukuran 6 mm sampai < 12 mm, dan defek besar berukuran 12 mm.(12)2.3.4.Patofisiologi Derajat pirau kiri ke kanan tergantung pada ukuran defek, pemenuhan relatif ventrikel kiri dan kanan, dan resistensi vaskular relatif pada sirkulasi pulmoner dan sistemik. Pada defek yang besar, terjadi aliran pirau darah yang mengandung oksigen dari atrium kiri ke atrium kanan. Darah ini ditambahkan ke aliran darah balik vena ke atrium kanan yang kemudian dipompa oleh ventrikel kanan ke paru-paru. Pada defek yang besar biasanya rasio antara aliran darah pulmoner berbanding sistemik (Qp : Qs) antara 2:1 sampai 4:1.(13)Kurangnya gejala pada bayi dengan ASD berhubungan dengan struktur ventrikel kanan pada awal kehidupan ketika dinding otot jantung tebal dan kurang elastis, sehingga membatasi pirau dari kiri ke kanan. Seiring dengan bertambahanya usia dan berkurangan resistensi vaskular paru-paru, dinding ventrikel kanan menjadi lebih tipis dan pirau dari kiri ke kanan juga meningkat. Aliran darah yang besar, yang melalui bagian kanan jantung menyebabkan beban volum pada jantung kanan yang mengakibatkan terjadinya pembesaran atrium dan ventrikel kanan. Anulus katup trikuspid dan arteri pulmoner beserta anulus katupnya akan melebar sehingga menyebabkan regurgitasi trikuspid dan pulmonal. Pembesaran ventrikel kanan ini dapat menyebabkan septum ventikel terdorong ke arah ventrikel kiri sehingga fungsinya terganggu. Deformitas ventrikel kiri ini juga dapat menyebabkan prolaps katup mitral yang kadang disertai regurgitasi. Atrium kiri dapat ikut membesar, sedangkan ventrikel kiri dan aorta tetap dalam ukuran normal.(8, 13)

Gambar 6. Pirau ASD

Mesikupun terjadi aliran darah pulmoner yang besar, biasanya tekanan arteri pulmoner normal karena tidak adanya hubungan tekanan tinggi antara sirkulasi pulmoner dan sistemik. Tekanan pulmoner tetap rendah pada mas anak-anak dan dapat mulai meningkat ketika mulai remaja sehingga akhiran menyebabkan pirau balik dari kanan ke kiri yang menyebabkan terjadinya sianosis.(13) Kelebihan volume yang berlangsung lama ke sirkulasi puulmoner ini akan mengakibatkan dilatasi jaringan vaskular pulmoner. Secara mikroskopik terlihat penebalan pada bagian medial muskular dari arteri dan vena pulmoner, terjadi juga muskularisasi dari arteriuol. Pada beberapa pasien, hali ini dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmoner berat dan penyakit vaskular pulmoner yang ireversibel.(8)2.3.5.Manifestasi KlinisSebagian besar penderita ASD asimtomatis, terutama pada mas bayi dan anak-anak. Bila pirau cukup besar maka pasien akan mengalami sesak nafas dan sering mengalami infeksi paru. Gagal jantung pada masa bayi pernah dilaporkan, namun sangat jarang. Tumbuh kembang biasanya normal, tetapi jika pirau besar, maka berat badan anak sedikit berkurang. Hanya kurang dari 10% kasus yang memperlihatkan gejala aliran darah pulmoner berlebih seperti kesulitan menyusu, sering batuk panas, dan pertumbuhan badan kurang pada usia bayi.(2, 8)Pada pemeriksaan fisik jantung umumnya normal datau hanya sedikit membesar dengan pulsasi ventrikel kanan teraba.komponen aorta dan pulmonal BJ II terbelah lebar (wide split) yang tidak berubah pada saat inspirasi maupun ekspirasi (fixed split). Split yang lebar ini disebabkan oleh beban volume di ventrikel kanan sehingga waktu ejeksi ventrikel kanan bertambah lama, sedangkan spilt yang tidak bervariasi dengan pernafasan terjadi karena pirau kiri ke kanan bervariasi sesuai dengan berubahnya aliran balik ke atrium kanan.(2) Biasanya, durasi ejeksi ventrikel kanan bervariasi saat respirasi, inspirasi akan meningkatkan volume ventrikel kanan dan menunda penutupan katup pulmonal. Pada ASD, volume diastolik ventrikel kanan terus meningkat dan waktu ejeksi berkepanjangan di semua fase respirasi.(13)Selain itu dapat pula terdengar bising sistolik tipe ejeksi derajat 2-3/6 di batas sternum kiri atas (akibat besarnya aliran darah dari ventrikel kanan menuju ke arteri pulmonalis; stenosis pulmonal relatif atau fungsional) dan bising diastolik rumble (tricuspid diastolic flow murmur) di batas sternum kiri bawah (akibat peningkatan volume aliran darah yang melalui katup trikuspid pada fase pengisian cepat ventrikel kanan), terdengar pada pirau kiri ke kanan yang besar (Qp : Qs minimal 2:1).(2, 8, 13)

Gambar 7. Bising Sistolik pada ASD2.3.6.Pemeriksaan Penunjang Elektrokardiografi (EKG)Gambaran AKG yang tipikal untuk ASD adalah deviasi sumbu QRS ke kana (right axis deviation) +90o hingga +180o dan hipertrofi ventrikel kanan atau right bundle branch block (RBBB) dengan gambaran rsR di V1. Pada sekitar 50% kasus defek sinus venosus mempunyai gelombang P axis 24 bulan dengan Qp : Qs > 2:1.Pasien denganVSD suprakrista juga biasanya disarankan untuk dilakukannya pembedahan karena beresiko tinggi terjadi regurgitasi aorta. Penyakit vaskular pulmoner yang berat merupakan kontraindikasi untuk dilakukannya penutupan VSD.(13)Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada hampir semua jenis VSD. Tanpa pembedahan, yang paling banyak digunakan belakangan adalah AMVO (Amplatzer VSD Occluder), biasanya digunakan pada VSD jenis muskular dan perimembranous. Pada vSD yang lokasinya dekan dengan katup AV (atrioventrikular) suit dilakukan, sebaliknya pada VSD tipe muskular kecul yang letaknya jauh di apex, tindakan ini menjadi pilihan yang baik dibandingkan dengan pembedahan.(11)

Gambar 13. Algoritma Manajemen VSD2.4.9.Prognosis Penutupan spontan terjadi pada 30-40% kasus VSD, paling sering pada tipe VSD muskular kecil dan lebih sering pada defek kecil dibandingkan defek besar; pada tahun pertama kehidupan dibandingkan setelahnya. VSD tipe inlet, infundibular, dan subarterial doubly commited tidak dapat mengecil ataupun menutup spontan.(11)Hasil perbaikan bedah primer sangat memuaskan dan komplikasi yang menyebabkan masalah jangka panjang (pirau ventrikel residual yang membutuhkan operasi ulang atau blok jantung yang memerlukan alat pacu jantung) juga jarang terjadi.(13)Resiko operasi lebih tinggi terjadi pada defek yang terjadi di septum bagian muskular, terutama defek di apikal dan multipel (Swiss cheese). Setelah dilakukannyatindakan bedah untuk menghentikan pirau kiri ke kanan, keadaan hiperdinamik jantung mrnjadi lebih tenang, ukuran jantung mengarah ke normal, thrill dan bising menghilang, sertea hipertensi arteri pulmonalis juga berkurang. Status klinis pasien membaik secara nyata. Sebagian besar bayi mulai berkembang dan obat-obatan jantung tidak diperlukan. Perbaikan pertumbuhan ke arah normal terjadi pada sebagian besar pasien dalam 1-2 tahun selanjutnya. Pada beberapa kasus, setelah operasi berhasil, bising ejeksi sistolik dapat bertahaun selama berbulan-bulan. Prognosis jangka panjang setelah operasi sangat baik. Pasien dengan VSD kecil dan orang-orang yang telah mengalami penutupan bedarh tanpa residu dianggap beresiko standar untuk asuransi kesehaan dan kehidupan.(13)2.5.Duktus Arteriosus Paten (Patent Ductus Arteriosus; PDA)

2.5.1.Definisi PDA adalah persistensi duktu arteriosus, yaitu pembuluh darah normal pada kehidupan janin, yang menghubungkan arteri pulmoner kiri dengan aorta desenden tepat di sebelah distal arteri subklavia kiri, bila arkus aorta di kanan, duktus menghubungkan arteri pulmoner kanan dengan aorta desenden tepat di sebelah distal dari arteri subklavia kanan, jarang terjadi duktus arteriosus bilateral.(8)

Gambar 14. Patent Ductus ArteriosusPada umumnya duktus arteriosus menghilang dengan adanya kontraksi otot halus pada dinding duktus, penutupan terjadi dalam 10-15 jam setelah bayi dilahirkan. Duktus arteriosus menutupbsecara strukturan dalam jangka waktu 1- 3 hari awa l kehidupan. Tetapi, penutupan ini dapat lebih lambat dan inkomplit sampai usia 3 minggu postnatal. Bila defek ini tidak menutup sampai usal > 12 maka dianggap abnormal. Karena resistensi vaskular pulmoner berkurang seiring dengan berkembangnya paru, pada 10-15 jam awal ketika duktus masih terbuka, pirau dari kiri ke kanan yang melalui duktus dapat terjadi, dan bising dapat terdengar.(9)2.5.2.Etiologi Sekitar 30-40% kasus PDA terjadi pada bayi prematur dengan berat lahir < 1750 gram. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap terjadinya PDA pada bayi yang imatur tidak mampu berespon terhadap peningkatan tekanan oksigen dan perubahan konsentrasi prostaglandin. Insidensi PDA pada bayi cukup bulan lebih tinggi pada bayi yang dilahirkan di daerah laut, mungkin disebabkan oleh tekanan atmosfer oksigen yang lebih rendah.(9)PDA persisten pada bayi cukup bulan dan kurang bulan pada ketinggian rendah secara umum berkaitan dengan abnormalitas struktural dari duktus srteriosus. Hal ini belum terbukti sepenuhnya pada sebagian besar pasien, tetapi dasar genetik terlibat karena lesi yang ditemukan cocok dengan turunan poligenik. Rubella maternal pada trimester pertama kehamilan juga berkaitan dengan insidensi tinggi terjadinya PDA persisten dan virus rubella telah dikultur dari jaringan duktus arteriosus.(9)2.5.3.Epidemiologi PDA ditemukan kira-kira 5-10% dari seluruh PJB, dengan rasio perempuan lebih banyak dari laki-laki (3:1).(2, 11) Insidensi terjadinya PDA semakin bertambah dengan berkurangnya masa gestasi.(11) Secara klinis terlihat pada 49% bayi yang berat badan lahirnya amat sangat rendah (BBLASR) dengan berat 501-750 gram dan 38% pada bayi dengan berat 751-1000 gram.(18)Kelainan ini sering dijumpai pada bayi prematur dengan insidens 8 per 1000 kelahiran sedangkan insidens pada bayi aterm lebih kecil yaitu 1 per 2000 kelahiran.3 Deselina B dkk4 pada tahun 2004 melaporkan insidens PDA pada bayi prematur di Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) 14%.(19)2.5.4.Patofisiologi

Kegagalan penutupan duktus pada bayi cukup bulan terjadi akibat kelainan struktur ototo polos duktus, sedangkan pada bayi prematur akibat menurunnya responsivitas duktus terhadap oksigen dan peran relaksasi aktif dari prostaglandin E2 (PGE2) serta prostasiklin (PGI2).(11)Sebagai akibat dari peningkatan tekanan aorta, aliran pirau terjadi dari kiri ke kanan melalui duktus, dari aorta ke arteri pulmoner. Besarnya aliran pirau bergantung dari besarnya ukuran duktus dan rasio resistensi pulmoner terhadap resistensi perifer. Pada kasus yang ekstrim, 70% aliran darah dari ventrikel kiri dapat mengalir keluar melalui duktus ke sirkulasi pulmoner. Apabila PDA berukuran kecil, tekanan pada arteri pulomner, ventrikel kanan, an atrium kanan normal. Tetapi, apabila PDA berukuran besar, tekanan arteri pulmoner dapat meningkat seperti tekanan sistemik baik selama sistol maupun diastol. Pasien dengan PDA yang besar sangat beresiko tinggi terjadi penyakit vaskular pulmoner apabila tidak dioperasi. Tekanan nadi besar karena tidakadanya aliran darah ke arteri pulmoner selama diastol.(13)2.5.5.Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan fisik PDA tampak peningkatan aktifitas prekordium, tekanan nadi melebar dengan tekanan diastolik yang rendah dan bounding pada pulsasi perifer. Bunyi jantung pada umumnya normal, kadang-kadang komponen pulmonal dan bunyi jantung II terdengar agak mengeras. Pada PDA besar dapat terdengar bunyi jantu III akibat pengisian cepat ventrikel pada saat diastolik dan dapat terdengar di daerah apex.(2)Pada bayi prematur terdengar bising sistolik pada tepi kiri sternum sela iga 2-3, dapat terdengar pada usia 24-72 jam. Bising kontinyu yang biasanya terdengar pada anak biasanya tidak terdengar.(2)Pada bayi aterm yang baru lahir dengan PDA biasanya tidak terdengar bising. Kemudian timbul bising sistolik yang secara progresif berubah menjadi bising kontinyu yang khas yaitu aksentuasi pada akhir sistolik dan kontinyu melewati bunyi jantung II menuju fase diastolik. Bising terdengar segera setelah bunyi jantung I mencapai puncak pada saat bunyi jantung II berakhir pada akhir bunyi jantung III pada fase diastolik.(2)Pada bayi-bayi prematur yang menderita PDA terjadi gangguan distribusi aliran darah sistemik sehingga terjadi penurunan aliran darah sistemik, akibatnya organ-organ tubuh lain juga mengalami penurunan aliran darah, seperti aliran darah ke otak atau perubahan cerebral blood flow velocity yang akan menimbulkan perdarahan intraventrikular. Penurunan aliran darah ke salurn cerna dapat menimbulkan necrotizing enterocolitis.(2)2.5.6.Pemeriksaan Penunjang ElektrokardigrafiApabila pirau dari kiri ke kanan kecil, elektrokardiogram normal, tetapi apabila ukuran duktus besar, maka dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri maupun biventrikular. Diagnosis PDA nonkomplikata mudah ditegakkan bila ditemukan hipertrofi ventrikel kanan.(13) Rontgen thoraxStudi radiografi pada pasien dengan PDA besar menunjukkan arteri pulmoner yang prominen dengan peningkatan icorakan bronkovaskular. Ukuran jantung tergantung derajat pirau kiri ke kanan, dapat normel atau membesar dalam derataj sedang. Ruang jantung yang terlibat antara lain atrium dan ventrikel kiri.(13) EkokardiografiUkuran ruang jantung normal apabila duktus yang ada berukuran kecil. Dengan aliran pirau yang besar, atrium dan ventrikel kiri eningkat. Ukuran atrium kiri biasanya dinalai bersdasarkan ukuran akar aorta, dikenal sebagai rasio LA : Ao. Penilaian dari arah suprasternal memberikan visualisasi langsung ke duktus. Pemeriksaan menggunakan Doppler menunjukkan turbulensi retrograd pada arteri pulmoner selama fase sistolik dan disatolik, sedangkan pada aorta selama fase diastolik.(10, 13)

Gambar 15. Ekokardiografi PDA

2.5.8.Tatalaksana

MEDIKAMENTOSAPDA pada bayi prematur amat responsif terhadap pemberian indometasin (yang bersifat anti-prostaglandin), sedangkan respons pada bayi cukup bulan buruk. Berbeda halnya dengan bayi prematur, penutupan spontan PDA pada bayi cukup bulan relatif jarang terjadi. Telah diketahui bahwa patensi duktus arteriosus selama masa fetus dipertahankan oleh beberapa faktor antara lain prostaglandin dan tekanan oksigen (pO2) yang rendah sehingga penggunaan penghambat prostaglandin memiliki tempat pada tata laksana kelainan ini. Senyawa penghambat siklooksigenase (cox inhibitor) merupakan sediaan yang dipakai untuk tujuan ini melalui efeknya dalam menghambat konversi asam arakidonat menjadi bermacam prostaglandin. Di dalam tubuh terdapat 3 macam isoenzim yaitu cox 1, cox 2 dan cox 3. Indometasin merupakan salah satu penghambat cox yang telah dipakai sebagai terapi standar yang efektif untuk memicu penutupan duktus pada bayi prematur dengan PDA.(19)Pada neonatus prematu diberikan indometasin atau ibuprofen oral atau IV dengan dosis dan cara pemberian sebagai berikut: (11) Cara pertama adalah dengan pemberian indometasin secara oral atau IV 0,2 mg/kgBB sebagai dosis awal. Pada bayi 7 hari dosis kedua dan ketiga adalah 0,25 mg/kgBB. Cara lain adalah dengan pemberian indometasin 0,1 mg/kgBB sehari sekali ampai 5-7 hari. Pemberian 5-7 hari dianjurkan untuk mencegah pembukaan kembali duktus menutup.

Efek maksimal dapat diharapkan bila pemberian dilakukan sebelum bayi berusia 10 hari. Pada bayi cukup bulan efek indometasin minimal. Belakangan ini banyak digunakan ibuprofen 10 mg/kgBB, hari kedua dan ketiga masing-masing 5 mg/kg/hari dosis tunggal. Indometasin atau ibuprofen tidak efektif pada bayi aterm dengan PDA, sehingga perlu tindakan medis seperti intervensi atau ligasi.(11)Pada PDA sedang atau besar yang disertai gagal jantung diberikan digitalis atau inotropik yang sesua, dan diuretik seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya pada sub bab ASD. Pada PDA yang belum dikoreksi, profilaksis terhadap endokarditis bakterial subakut diberikan bila ada indikasi. Prosedur-prosedur yang memerlukan tindakan profilaksis adalah: (11) Prosedur pengobatan gigi (termasuk manipulasi jaringan gusi)

Insisi atau biopsi mukosa saluran napa, contohnya tonsilektomi.

Prosedur gastrointestinal atau traktus urinarius jika terdapat infeksi pada saluran tersebut. Profilaksis tidak diperlukan untuk prosedur gastroesofagoduodenoskopi atau kolonoskopi

Prosedur yang melibatkan kulit, struktur kulit, atau jaringan muskuloskeletal yang terinfeksi.

Untuk profilaksis, sebelum tindakan tersebut diberikan antibiotik 30-60 menit sebelumnya. Obat yang dianjurkan adalah amoksisilin 50mg/kgBB oral dosis tunggal atau ampisilin/cefazolin/ceftriakson 50 mg/kgBB IV/IM jika pasien tidak dapat minum obat oral. Pasien yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan sefaleksin 50 mg/kgBB, klindamisin 20 mg/kgBB, azithromisin/klaritromisin 15mg/kgBB oral atau sefazolin, klindamisin, seftriakson IM/IV.(11)PENUTUPAN PDA

Bila duktus tidak tertutup dengan terapi medikamentosa (pada bayi prematur) atau pada bayi aterm setelah usia 3 bulan, penutupan dapat dilakukan dengan pemasangan device (coil atau Amplatzer Ductal Occluder) secara transkateter. Anjuran saat ini adalah PDA kecil (6 mg, sedangkan coil dapat dilakukan jika BB >4 kg.(11)Pada pasien PDA kecil, alasan penutupan adalah pencegahan enarteritis bakterial atau komplikasi lainnya. Pada pasien PDA sedang sampai besar, penutupan ini dilakukan untuk mengatasi gagal jantung atau mencegah perkembangan penyakit baskular pulmoner, atau keduanya, stelah diagnosis PDA sedang sampai besar dibuat, pengobatan tidak boleh ditunda setelah terapi medis yang memadai untuk gagal jantung telah diberikan.(13)Penutupan PDA secara transkateter secara rutin dilakukan di laboratorium kateterisasi jantung. PDA kecil umumnya ditutup dengan coil intravaskular. Sedangkan untuk PDA besar dapat ditutup dengan kantung indroduser kateter dimana nantinya akan dilepaskan beberapa coil seperti bentuk payung.(13)Pada neonatus (prematur atau cukup bulan) dengan gagal jantung, penutupan PDA dengan pembedahan harus dilakukan secepatnya. Pada bayi tanpa gagal jantung, intervensi dapat ditunda sampai mencapai BB ideal (>6 kg). Tindakan dapat dilakukan kapan saja, tetapi jika bayi mengalami gagal jantung hipertensi pulmonal atau pneumonia berulang, operasi harus dilakukan sesegera mungkin. Intervensi bedah perlu dilakukan apabila bentuk anatomis PDA tidak memungkinkan untuk dilakukan pemasangan device.(11)Penutupan PDA dengan pembedahan dapat dilakukan dengan torakotomi benggunakan teknik torakoskopi. Karena tingkat kefatalan dengan intervensi bedah