Isi Makalah Anemia Gizi

32
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan. Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan latar belakang (underlying factor), yang mana bersifat medik maupun non medik. Di antara faktor non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga, pendidikan ibu, lingkungan hidup,perilaku,danlain-lain. Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat diturunkan secara tidak langsung dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek terhadap salah satu dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku reproduksi, status kesehatan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Ketiga hal tersebut akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam model yaitu kehamilan, timbulnya komplikasi kehamilan/persalinan dan kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine tersebut dapat dilihat bahwa setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung harus selalu melalui faktor penyeÂbab yang langsung. 1

Transcript of Isi Makalah Anemia Gizi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan

masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan

derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan

masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu

adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan. Penyebab kematian

langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan latar

belakang (underlying factor), yang mana bersifat medik maupun non medik. Di

antara faktor non medik dapat disebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga,

pendidikan ibu, lingkungan hidup,perilaku,danlain-lain.

Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine

menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat diturunkan secara tidak langsung

dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek terhadap salah

satu dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku reproduksi,

status kesehatan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Ketiga hal tersebut

akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam model yaitu kehamilan, timbulnya

komplikasi kehamilan/persalinan dan kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine

tersebut dapat dilihat bahwa setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung

harus selalu melalui faktor penyeÂbab yang langsung.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2005, bahwa

setiap tahunnya wanita yang bersalin meninggal dunia mencapai lebih dari 500.000

orang. (Winkjosastro, 2005). Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia

(SDKI) pada tahun 2005 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu 262/100.000

Kelahiran Hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 32/1000 Kelahiran

Hidup. (DinKes Jabar, 2006). Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang

terjadi selama kehamilan sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan,

tanpa melihat lama dan tempat terjadinya kehamilan, yang disebabkan oleh

kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan karena kecelakaan. Penyakit atau gizi

yang buruk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan ibu. Rao

(1975) melaporkan bahwa salah satu sebab kematian obstetrik tidak langsung pada

kasus kemaÂtian ibu adalah anemia.3,4 Grant menyatakan bahwa anemia

1

merupakan salah satu sebab kematian ibu, demikian juga WHO menyatakan bahwa

anemia merupakan sebab penting dari kematian ibu. Penelitian Chi, dkk

menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia

dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung

atau tidak langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga

berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu. Pada wanita hamil, anemia

meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian

maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian

perinatal meningkat. Di samping itu,perdarahan antepartum dan postpartum lebih

sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab

wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.Soeprono.

menyebutkan bahwa dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang

sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus

imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama,

perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan

terhadap infeksi dan stres kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin

(abortus,dismaturitas,mikrosomi,BBLR,kematian perinatal,dan lain-lain).

Prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia berkisar 20-80%, tetapi

pada umumnya banyak penelitian yang menunjukkan prevalensi anemia pada

wanita hamil yang lebih besar dari 50%. Juga banyak dilaporkan bahwa prevalensi

anemia pada trimester III berkisar 50-79%. Affandi menyebutkan bahwa anemia

kehamilan di Indonesia berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 1990

adalah 60%. Penelitian selama tahun 1978-1980 di rumah sakit pendidikan/rujukan

di Indonesia menunjukkan prevalensi wanita hamil dengan anemia yang melahirkan

di RS pendidikan /rujukan adalah 30,86%.

Prevalensi tersebut meningkat dengan bertambahnya paritas. Hal yang sama

diperoleh dari hasil SKRT 1986 dimana prevalensi anemia ringan dan berat akan

makin tinggi dengan bertambahnya paritas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan secara global 55% dimana

secara bermakna tinggi pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester

pertama dan kedua kehamilan.

Anemia karena defisiensi zat besi merupakan penyebab utama anemia pada

ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi lain. Oleh karena itu anemia gizi

2

pada masa kehamilan sering diidentikkan dengan anemia gizi besi Hal ini juga

diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992 bahwa sekitar 70 % ibu hamil di

Indonesia menderita anemia  gizi.Indonesia, prevalensi anemia tahun l970“an 

adalah  46,5-70%. Pada SKRT tahun 1992  dengan angka anemia ibu hamil sebesar

63,5% sedangkan data SKRT tahun 1995 turun menjadi 50,9%. Pada tahun 1999

didapatkan  anemia gizi pada ibu hamil sebesar 39,5%. Propinsi Sulawesi Selatan 

berdasarkan SKRT pada tahun 1992 prevalensi anemia gizi khususnya pada ibu

hamil berkisar 45,5 71,2% dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 76,17%  14,3 %

di Kabupaten Pinrang dan 28,7% di Kabupaten Soppeng dan tertinggi adalah di

Kabupaten Bone 68,6% (1996) dan Kabupaten Bulukumba sebesar 67,3%

(1997). Sedangkan Kabupaten Maros khususnya anemia ibu hamil pada tahun 1999

sebesar 31,73%, pada tahun 2000 meningkat menjadi 76,74% dan pada tahun 2001

sebesar 68,65%.

1.2.Rumusan Masalah

1. Faktor-Faktor apa yang mempengaruhi anemia gizi?

2. Bagaimanakah gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi zat besi

diIndonesia khususnya di kota Makassar?

3. Program apakah yang diterapkan dalam menanggulangi masalah anemia

defisiensi zat besi di Indonesia khususnya kota Makassar?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran epidemiologi, program penanggulangan,

dan isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi di Indonesia khususnya kota

Makassar

1.3.2.      Tujuan khusus

a.       Untuk mengetahui gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi

zat besi di Indonesia, khususnya kota Makassar

b.       Untuk mengetahui program yang diterapkan dalam menanggulangi

masalah anemia defisiensi zat besi di Indonesia khususnya kota

Makasssar.

c.       Untuk mengetahui isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi.

3

.   1.4 Manfaat penulisan

1.      Manfaat praktis

Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi lembaga

terkait dalam merumuskan program penanggulangan masalah anemia

defisiensi zat besi di Indonesia.

2.      Manfaat keilmuan

Makalah ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu

pengetahuan serta menjadi salah satu bacaan yang bermanfaat.

3.      Manfaat bagi penulis

Memperluas wawasan dan pengetahuan tentang kesehatan masyarakat

khususnya masalah anemia defisiensi zat besi.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan umum tentang Anemia GIzi dan Anemia defisiensi besi

Anemia gizi sangat umum dijumpai di Indonesia. Prevalensinya masih

tinggi terutama pada wanita hamil, anak balita, anak sekolah, dan pekerja

berpenghasilan rendah. Prevalensi anemia gizi pada balita di Propinsi Kalimantan

Barat pada tahun 1995 adalah 40,5 % dan meningkat menjadi 48,1 % pada tahun

2001 (Depkes RI, 2003). Prevalensi anemia gizi yang tinggi ini dapat membawa

akibat negative seperti :

1) Rendahnya kemampuan kerja jasmani dan produktivitas kerja,

2) Rendahnya kemampuan intelektual, dan

3) Rendahnya kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan tingginya angka

kesakitan.

Dengan demikian konsekwensi fungsional dari anemia gizi menyebabkan

turunnya kualitas sumber daya manusia (Husaini, 1989).Anemia didefinisikan

sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) didalam darah lehih rendah daripada

nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan. Kelompok ditentukan

menurut umur dan jenis kelamin, seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Batas Normal Kadar Hemoglobin

Kelompok Umur

Hemoglobin

(g/100 ml)

Anak 6 bulan s/d 6 tahun

6 tahun s/d 14 tahun

11

12

Dewasa Laki-laki

Wanita

Wanita hamil

13

12

11

Sumber : WHO, 1972.

5

Kebanyakan orang-orang mempunyai Hb sedikit lebih rendah daripada batas

tersebut diatas, belum menunjukkan gejala-gejala anemia dan masih kelihatan

berada dalam keadaan kesehatan yang baik. Untuk menggolongkan anemia lebih

lanjut menjadi anemia ringan, anemia sedang dan anemia berat, belum ada

keseragaman mengenai batasan-batasannya. Hal ini disebabkan oleh antara lain

perbedaan kelompok umur, kondisi penderita, komplikasi dengan penyakit lain,

keadaan umum gizi penderita, lamanya menderita anemia, dan lain-lain yang sulit

dikelompokkan. Tetapi yang adalah bahwa semakin rendah kadar Hb, makin berat

anemia yang diderita (Husaini, 1989).

B. Anemia defisiensi besi pada ibu kehamilan

Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan

yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan

kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi

ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% serta semakin

meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan. Menurut WHO 40% kematian

ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan

kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan

perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi.

1. Patofisiologi anemia pada kehamilan.

Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena

perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan

payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester ke II

kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000

ml, menurun sedikit menjelang aterem serta kembali normal 3 bulan setelah partus.

Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang

menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron.

2. Etiologi

Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan, yaitu :

a.       Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.

b.      Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.

6

c.       Kurangnya zat besi dalam makanan.

d.      Kebutuhan zat besi meningkat.

e.       Gangguan pencernaan dan absorbsi.

3.       Gejala klinis

Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi

sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit

dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama

dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing,

palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem

neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran kelenjar limpa. Pada

umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-

gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.4Nilai ambang batas yang digunakan

untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan pada criteria WHO tahun

1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-

11 g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan

darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28 mg/dl,

kadar hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl.

  4.       Dampak anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil

Anemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko. Menurut penelitian, tingginya

angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan

rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat

pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi

pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas,

berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping

itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang

anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat

mentolerir kehilangan darah.  Soeprono menyebutkan bahwa dampak anemia pada

kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan

kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur), gangguan proses

7

persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa

nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan stress kurang, produksi

ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR,

kematian perinatal, dan lain-lain).

8

BAB III

PEMBAHASAN

A. Anemia Gizi Beserta Faktor-Faktor yang berpengaruh dengan Anemia

Gizi Besi

Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin,

hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih

sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di

bawah nilai normal. Penyebabnya bisa karena kurangnya zat gizi untuk

pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi yang

sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.Anemia defisiensi besi

adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga

kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan

gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron =

SI) dan jenuh transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding

Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta ditempat

yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali.4Banyak faktor yang dapat

menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat

besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi diusus, perdarahan

akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti pada wanita

hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit.

Ada tiga faktor terpenting yang menyebabkan orang menjadi anemia, yaitu :

1. Kehilangan darah karena pendarahan.

2. Pengrusakan sel darah merah.

3. Produksi sel darah merah tidak cukup banyak.

Diantara ketiga macam faktor penyebab anemia tersebut, maka anemia yang

merupakan masalah kesehatan masyarakat adalah anemia yang disebabkan oleh

faktor terakhir yaitu anemia gizi. (Husaini, 1989)

Anemia gizi yang paling umum ditemukan di masyarakat adalah anemia

karena kekurangan zat besi yang disebut anemia kurang besi. Pada wanita hamil

dan bayi premature, kekurangan asam folat merupakan salah satu faktor kontribusi

terhadap terjadinya anemia gizi. Pada orang yang sering mengalami malabsorpsi,

kekurangan vitamin B12 merupakan salah satu penyebab anemia gizi. Dipandang

dari segi kesehatan praktis, anemia gizi selalu diasosiasikan sebagai anemia

9

kurang besi, karena kekurangan asam folat dan vitamin B12 yang jarang

ditemukan pada masyarakat biasa.

.

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Anemia Gizi Besi

1. Asupan zat besi dalam makanan

Macam bahan makanan yang banyak mengandung zat besi dapat

dilihat pada Tabel 2. Hati adalah bahan makanan yang paling banyak

mengandung zat besi. Daging juga banyak mengandung zat besi. Dari

bahan makanan yang berasak dari tumbuh-tumbuhan, maka kacang-

kacangan seperti kedelai, kacang tanah, kacang panjang koro, buncis

serta sayuran hijau daun mengandung banyak zat besi.

Selain dari pada banyaknya zat besi yang tersedia didalam makanan,

juga perlu diperhatikan Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi zat

besi, antara lain macam-macam bahan makanan itu sendiri. Zat besi yang

berasal dari tumbuh-tumbuhan, jumlah yang dapat diabsorpsi hanya

sekitar 1-6 %, sedangkan zat besi yang berasal dari hewani 7-22 %.

Didalam campuran susunan makanan, adanya bahan makanan hewani

dapat meninggikan absorpsi zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Faktor ini mempunyai arti penting dalam menghitung jumlah zat besi yang

dikonsumsi oleh masyarakat yang tak mampu, yang jarang mengkonsumsi

bahan makanan hewani. (Husaini, 1989)

Tabel 2. Zat Besi Dalam Bahan Makanan

No. Bahan Makanan Zat Besi (mg/100 g)

1.

2.

3.

4.

Hati

Dafing Sapi

Ikan

Telur Ayam

6,0 sampai 14,0

2,0 sampai 4,3

0,5 sampai 1,0

2,0 sampai 3,0

10

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Kacang-kacangan

Tepung Gandung

Sayuran Hijau Daun

Umbi-umbian

Buah-buahan

Beras

Susu Sapi

1,9 sampai 14,0

1,5 sampai 7,0

0,4 sampai 18,0

0,3 sampai 2,0

0,2 Sampai 4,0

0,5 sampai 0,8

0,1 sampai 0,4

Sumber : Davidson, dkk, 1973 dalam Husaini, 1989

Zat besi didalam bahan makanan dapat berbentuk hem yaitu berikatan

dengan protein atau dalam bentuk nonhem yaitu senyawa besi organic yang

kompleks. Ketersediaan zat besi untuk tubuh kita dapat dibedakan antara

hem dan nonhem ini. Zat besi hem berasal dari hemoglobin dan mioglobin

yang hanya terdapat dalam bahan makanan hewani, yang dapat diabsorpsi

secara langsung dalam bentuk kompleks zar besi phorphyrin (“iron

phorphyrin kompleks”). Jumlah zat besi hem yang diabsorpsi lebih tinggi

daripada nonhem. Untuk seseorang yang cadangan zat besi dalam tubuhnya

rendah, zat besi hem ini dapat diabsorpsi lebih dari 35 %, sedangkan buat

orang yang simpanan zat besinya cukup banyak (lebih dari 500 gram) maka

absorpsi zat besi hem ini hanya kurang lebih 25 %. Dari hasil analisa bahan

makanan didapatkan bahwa sebanyak 30 – 40 % zat besi didalam hati dan

ikan, serta 50-60 % zat besi dalam daging sapi, kambing, dan ayam adalah

dalam bentuk hem. (Cook, dkk dalam Husaini, 1989).

Zat besi nonhem pada umumnya terdapat didalam bahan makanan

yang umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti sayur-sayuran, biji-

bijian, kacang-kacangan, buah-buahan dan serealia, dan dalam jumlah yang

sedikit daging, ikan dan telur. Zat besi nonhem didalam bentuk kompleks

inorganic Fe3+ dipecah pada waktu percernaan berlangsung dan sebagian

11

dirubah dari Fe3+ menjadi Fe2+ yang lebih siap diabsorpsi. Konversi Fe3+

menjadi Fe2+ dipermudah oleh adanya faktor endogenus seperti HCl dalam

cairan sekresi gastric, komponen zat gizi yang berasal dari makanan seperti

vitamin C, atau daging, atau ikan.

Zat gizi yang telah dikenal luas dan sangat berperanan dalam

meningkatkan absorpsi zat besi adalah vitamin C. Vitamin C dapat

meningkatkan absorpsi zat besi nonhem sampai empat kali lipat.Vitamin C

dengan zat besi mempunyai senyawa ascorbat besi kompleks yang larut dan

mudah diabsorpsi, karena itu sayur-sayuran segar dan buah-buahan yang

mengandung banyak vitamin C baik dimakan untuk mencegah anemia .

Selain faktor yang meningkatkan absorpsi zat besi seperti yang telah

disebutkan, ada pula faktor yang menghambat absorpsi zat besi. Faktor-faktor

yang menghambat itu adalah tannin dalam the, phosvitin dalam kuning telur,

protein kedelai, phytat, fosfat, kalsium, dan serat dalam bahan makanan

(Monsen and Cook dalam Husaini, 1989). Zat-zat gizi ini dengan zat besi

membentuk senyawa yang tak larut dalam air, sehingga lebih sulit diabsorpsi.

Seseorang yang banyak makan nasi, tetapi kurang makan sayur-sayuran

serta buah-buahan dan lauk-pauk, akan dapat menjadi anemia walaupun zat

besi yang dikonsumsi dari makanan sehari-hari cukup banyak. Kecukupan

konsumsi zat besi Nasional yang dianjurkan untuk anak balita berumur 1-3

tahun adalah 8 mg, sedangkan untuk anak balita berumur 4-6 tahun adalah 9

mg (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi,

2. Pengetahuan

Tan (1979) mengatakan bahwa pola konsumsi pangan sangat

dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, termasuk didalamnya pengetahuan

mengenai pangan, sikap terhadap pangan dan kebiasaan makan. Semakin

sering suatu bahan pangan dikonsumsi dan semakin berat pangan tersebut

dimakan, maka semakin besar peluang pangan tersebut tergolong dalam pola

konsumsi pangan individu atau masyarakat.

Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap perilaku

dalam memilih makanan yang akan berdampak pada asupan gizinya. Hal ini

menunjukkan bahwa pengetahuan sangat penting peranannya dalam

12

menentukan asupan makanan. Dengan adanya pengetahuan tentang gizi,

masyarakat akan tahun bagaimana menyimpan dan menggunakan pangan.

Memperbaiki konsumsi pangan merupakan salah satu bantuan terpenting

yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu penghidupan (Suhardjo,

1986).

3. Pendidikan

Menurut Hidayat (1980), tingkat pendidikan akan mempengaruhi

konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan makanan. Orang yang

berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam

kuantitas dan kualitas dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan lebih

rendah. Makin tinggi pendidikan orang tua, makin baik status gizi anaknya

(Soekirman, 1985). Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar belakang

pendidikan yang lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh

lebih baik. Hal ini disebabkan karena keterbukaan mereka untuk menerima

perubahan atau hal-hal yang baru untuk pemeriksaan kesehatan anaknya

(Emelia, 1985 dalam Ginting, M, 1997 ).

Faktor pendidikan mengakibatkan perubahan perilaku dan mempunyai

pengaruh terhadap penerimaan inovasi baru, dalam hal ini perilaku makan

yang sesuai dengan anjuran gizi (Pranadji, 1988)

3. Pendapatan

Peningkatan pendapatan rumah tangga terutama bagi kelompok

rumah tangga miskin dapat meningkatkan status gizi, karena peningkatan

pendapatan tersebut memungkinkan mereka mampu membeli pangan

berkualitas dan berkuantitas yang lebih baik. Keadaan ekonomi merupakan

factor yang penting dalam menentukan jumlah dan macam barang atau

pangan yang tersedia dalam rumah tangga. Bagi Negara berkembang

pendapatan adalah factor penentu yang penting terhadap status gizi.

Menurut Mosley dan Lincoln (1985), pendapatan rumah tangga akan

mempengaruhi sikap keluarga dalam memilih barang-barang konsumsi.

Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain.

Semakin tinggi pendapatan maka cendrung pengeluaran total dan

pengeluaran pangan semakin tinggi (Hardinsyah & Suhardjo, 1987).

13

Rendahnya pendapatan (keadaan miskin) merupakan salah satu sebab

rendahnya konsumsi pangan dan gizi serta buruknya status gizi. Kurang gizi

akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit, menurunkan produktivitas

kerja dan pendapatan. Akhirnya masalah pendapatan rendah, kurang konsumsi,

kurang gizi dan rendahnya mutu hidup membentuk siklus yang berbahaya

(Hardinsyah & Suhardjo, 1987)

5. Frekuensi Makan

Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat,

namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan

pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor,

oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai

sector yang terkait.

Pola asuh merupakan suatu sistem atau tata cara seorang ibu dalam

memenuhi kebutuhan terutama memberi makan dan merawat anak dengan baik.

Menurut Nasedul dalam Sudarmiati (2006) semua orang tua harus memberikan

hak untuk bertumbuh. Semua anak harus memperoleh yang terbaik agar dapat

tumbuh secara penuh, tumbuh sesuai dengan apa yang mungkin dicapainya,

bertumbuh sesuai dengan kemampuan tubuhnya.

Salah satu factor yang paling penting untuk meningkatkan status gizi adalah

konsumsi makanan. Semakin baik konsumsi atau asupan zat gizi maka semakin

besar kemungkinan terhindar dari status gizi yang kurang atau buruk, baik dari

segi jumlah maupun dari segi frekuensi makanan yang dikonsumsi.

Frekuensi makan pada keluarga di Indonesia umumnya adalah tiga kali

dalam sehari. Hal ini terkait dengan masalah fisiologis, artinya hampir semua zat

gizi itu di metabolisme dalam tubuh selama kurang lebih dari 4 jam. Untuk itu

maka dianjurkan frekuensi makan yang baik adalah berpatokan dengan limit

waktu metabolisme itu.

14

6. Jenis Bahan Makanan

Menurut Daftar Komposisi Bahan Makanan yang dikeluarkan oleh Direktorat

Gizi Departemen Kesehatan RI, ada 11 golongan bahan makanan. Berdasarkan

penggolongan ini kemudian dapat dianalisa konsumsi zat gizi yang diasup oleh

seseorang.

Setiap bahan makanan mempunyai susunan kimia yang berbeda-beda dan

mengandung zat gizi yang bervariasi pula baik jenis maupun jumlahnya. Baik

secara sadar maupun tidak sadar manusia mengkonsumsi makanan untuk

kelangsungan hidupnya. Dengan demikian jelas bahwa tubuh manusia

memerlukan zat gizi atau zat makanan, untuk memperoleh energi guna

melakukan kegiatan fisik sehari-hari, untuk memelihara proses tubuh dan untuk

tumbuh dan berkembang khususnya bagi yang masih dalam pertumbuhan

(Suhardjo, 1992).

Berbagai zat gizi yang diperlukan tubuh dapat digolongkan kedalam enam

macam yaitu (1) karbohidrat, (2) protein, (3) lemak, (4) vitamin, (5) mineral dan

(6) air. Sementara itu energi yang diperlukan tubuh dapat diperoleh dari hasil

pembakaran karbohidrat, protein dan lemak di dalam tubuh. Di alam ini terdapat

berbagai jenis bahan makanan baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang

disebut pangan nabati maupun yang berasal dari hewan yang dikenal sebagai

pangan hewani (Suhardjo, 1992).

Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beraneka ragam, maka

timbul ketidakseimbangan antara masukan zat-zat gizi yang diperlukan untuk

hidup sehat dan produktif. Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang

beraneka ragam, kekurangan zat gizi jenis makanan lain diperoleh sehungga

masukan zat-zat gizi menjadi seimbang. Jadi, untuk mencapai masukan zat-zat

gizi yang seimbang tidak mungkin dipenuhi hanya oleh satu jenis bahan

makanan, melainkan harus terdiri dari aneka ragam bahan makanan (Khumaidi,

1994).

7. Umur

umur juga merupakan factor yang sangat berpengaruh, karena umur

reproduksi yang sehat dan aman adlah umur 20-35 tahun. Kehamilan di usia 20

tahun dan diatas 35 tahun dapat menyebabkan anemia Karen pada kehamilan

15

diusia>20 tahun secara biologis belum optimal emosinya cenderung labil,

mentalnya belum matng sehingga mudah mengalami keguncangan yang

mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan zat- zat gizi selama

kehamilan.sedangkan pada usia < 35 tahun terkait dengan daya tahan tubuh

serta berbgai penyakit yang sering menimpa di usia ini.

B.     Epidemiologi anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di Indonesia

dan di Makssar

1. Frekuensi

survei nasional (Survei Kesehatan Rumah Tangga/SKRT) tahun 1995

dan 2001 hanya dapat menunjukkan kecenderungan prevalensi anemia pada

balita, perempuan usia 15-44 tahun dan ibu hamil (Figure 13). Prevalensi

anemi pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001); pada

wanita usia subur 15-44 tahun dari 39.5% (1995) menjadi 27.9% (2001).

SKRT 2001 juga mengkaji prevalensi anemia pada balita dengan kelompok

umur: < 6 bulan, 6-11 bulan, 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-

59 bulan. Figure 14 menunjukkan bahwa pada bayi <6 bulan (61.3%), bayi 6-

11 bulan (64.8%), dan anak usia 12-23 bulan (58%). Selanjutnya prevalensi

menurun untuk anak usia 2 sampai 5 tahun.

Prevalensi Anemia menurut SKRT 1995 dan 2001

0-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun

15-44 tahun

45-44 tahun

55-64 tahun

65+ tahun Ibu hamil Ibu menyusui

L-1995

35.7 46.4 45.8 58.3 53.7 62.5 70 NaN NaN

P-1995

45.2 48 57.1 39.5 39.5 40.5 45.8 50.9 45.1

L+P 2001

48.1 NaN NaN NaN NaN NaN NaN NaN NaN

P-2001

NaN NaN NaN 27.9 NaN NaN NaN 40.1 NaN

10

30

50

70

90

Pe

rse

n

16

Prevalensi anemia pada anak balita, SKRT 2001

< 6 bln 6-11 bln 12-23 bln 24-35 bln 36-47 bln 48-59 bln

% Anemia 61.3 64.8 58 45.1 38.6 32.1

10.0

30.0

50.0

70.0

90.0P

ers

en

Informasi lain adalah dari hasil survei NSS- HKI tahun 1999 dan 2000 pada

beberapa provinsi di Indonesia yang melakukan analisis prevalensi anemia pada

WUS dan balita (tabel 6). Pada balita prevalensi anemia masih cukup tinggi dan

berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%.

Tabel . Prevalensi anemia pada WUS dan balita (NSS-HKI)

Tahun 1999 dan 2000

Lokasi WanitaUsia

Subur

Anak balita

  1999 2000 1999 2000

Sumbar 29.2 34.0 46.9 53.9

Lombok 32.3 25.3 65.8 66.1

Lampung 24.1   56.8

Makassar 27.9 37.1 58.6 63.5

Sulsel 27.8   53.6

Surabaya 34.0 27.1 65.5 58.8

Jatim 28.7 26.5 62.6 68.1

Jabar 28.9 26.5 64.6 57.9

Semarang 21.9 27.5 44.7 51.0

Jateng 23.4 25.8 54.7 51.8

Jakarta 42.5 33.3 71.9 63.5

17

Indonesia masih belum secara komprehensif menanggulangi masalah anemia

gizi ini. Pemetaan secara nasional untuk masalah anemia menurut provinsi

maupun kabupaten masih belum dilaksanakan. Hasil pemetaan yang dilakukan

provinsi Jawa Barat tahun 1997, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil

62,2%, dan pemetaan yang dilakukan di Jawa Tengah tahun 1999 menunjukkan

prevalensi anemia pada ibu hamil 58,1%. Intervensi anemia secara nasional

masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya

masih sulit dipantau.

2.Distribusi

a. Distribusi Menurut Orang

Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,

mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan

kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami

pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. Wintrobe (1987)

menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu

semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya.

Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat

kecendrungan semakin tua umur ibu hamil maka presentasi anemia semakin

besar.

Tabel 1

Distribusi Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Berdasarkan Umur Ibu

2010

Umur

ibu

(thn)

Anemia Total OR

(Lower/Upper

Limit)

Ya Tidak

< 20,

>35

20 (74,1%) 7 (25,9%) 27 2,801

20-35 51 (50,5%) 50 (49,5%) 101 (1,089/7,207)

Total 71 (55,5%) 57(44,5%) 128  

18

Sumber : Berdasarkan Tabel 1, ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan

lebih dari 35 tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-35

tahun.

Tabel 2

Distribusi kejadian Anemia Pada ibu hamil data di Kota Makassar

Tahun 2010

Bulan Anemia gizi (bumil)

Januari 137

Februari 173

Maret 144

april 171

Mei 171

Juni 162

Juli 177

Agustus

September

211

213

Oktober 205

November 205

Desember 174

Jumlah 2143

Tahun 2011

Bulan Jumlah Penderita Anemia

Januari 117 orang

Februari 101 orang

Maret 264 orang

April 126 0rang

sumber: Dinas Kesehatan Kota Makassar Tahun 2011. Berdasarkan table

1,menunjukan bahwa terjadi peningkatan penderita Anemia Gizi pada ibu hamil dari

bulan januari sampai Maret 2011 sebanyak 264 orang ,kemudian menurun pada

Bulan April sebanyak 126 orang.

19

b.      Distribusi Menurut Tempat

Tabel 2

Prevalensi Anemia Gizi Besi Pada Ibu Hamil (Bumil) di 27 Propinsi

di Indonesia Tahun 1992

No. Propinsi Prevalensi (%)

1 DI Aceh 56,5

2 Sumatera Utara 77,9

3 Sumatera Barat 82,6

4 Riau 65,6

5 Jambi 74,2

6 Sumatera Selatan 58,3

7 Bengkulu 46,8

8 Lampung 60,7

9 DKI Jakarta 67,6

10 Jawa Barat 71,5

11 Jawa Tengah 62,3

12 DI Yogyakarta 73,9

13 Jawa Timur 57,8

14 Bali 71,1

15 N T B 71,3

16 N T T 59,7

17 Kalimantan Barat 55,2

18 Kalimantan Tengah 73,9

19 Kalimantan Selatan 64,9

20 Kalimantan Timur 70

21 Sulawesi Utara 48,7

22 Sulawesi Tengah 45,5

23 Sulawesi Selatan 50,5

24 Sulawesi Tenggara 71,2

25 M a l u k u 69,8

26 Irian Jaya 71,4

27 Timor Timur 48

20

  Sumber : SKRT Tahun 1992

Indonesia

63,5

sumber: SKRT 1992.  Berdasarkan Tabel 2, provinsi dengan

prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat (82,6%), dan yang

terendah adalah Sulawesi Tengah.

C. Kebijakan pemerintah kota Makassar

Upaya yang mingkin dapat dilakukan

1. Pemerintah mewjudkan hak paling utama dari rakyat tentang kesehatan

yakni, memberi akses informasi dan pengetahuan agar rakyat dapat

hidup sehat dan anemia gizi dapat dituntaskan

2. Pemerintah memaksimalkan sumber daya dan sumber dana yang dimilikii

untuk menuntaskan anemia gizi di Indonesia

3. Pemerintah kembali merajut kearifan local sebagai nilai luhur bangsa

berupa “kesetiakawanan social, kesehatan, dan gizi” yang

mengedepankan prinsip tolong menolong.

4. Pemerintah menggerakkan peran serta masyarakat seperti posyandu, dsa

wisma, NGO, pers, dan lelompok potensial lain dengan pemberian yablet

besi (fe )/ Tablet Tambah darah (TTD), untuk bersama bergerak dalam

upaya penanggulngan anemia gizi di Indonesia.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih sering disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di bawah nilai normal. Penyebabnya bisa karena kurangnya zat gizi untuk pembentukan darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi yang sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup,

Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negative berupa

gangguan dan hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel

21

otak dan kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen

yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Pada ibu hamil dapat

mengakibatkan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang

dilahirkan. Studi di Kualalumpur memperlihatkan terjadinya 20 % kelahiran

prematur bagi ibu yang tingkat kadar hemoglobinnya di bawah 6,5gr/dl.

Studi lain menunjukkan bahwa risiko kejadian BBLR, kelahiran prematur

dan kematian perinatal meningkat pada wanita hamil dengan kadar

hemoglobin kurang dari 10,4 gr/dl. Pada usia kehamilan sebelum 24

minggu dibandingkan kontrol mengemukakan bahwa anemia merupakan

salah satu faktor kehamilan dengan risiko tinggi.

Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada

ibu hamil. Seperti yang diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi

anemia pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001).

Penanggulangan anemia untuk yang akan datang diharapkan tidak saja

untuk ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka

menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja.

Angka prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%.

Diproyeksikan angka ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi

penurunan hanya sekitar 30% sampai dengan 2015, karena sampai

dengan tahun 2002, intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih

belum intensif. secara umum kesimpulan khususnya yaitu :

1.   Secara umum di Indonesia, anemia merupakan penyakit ke-4 yang

prevalensinya terbanyak dengan prevalensi sebesar 20% (Studi

morbiditas Susenas 2001, Badan Litbangkes; publikasi hasil

Surkesnas 2001). Sebanyak 40,1% diantaranya adalah ibu hamil

dengan jenis anemia yang dominan adalah anemia karena

kekurangan zat besi (SKRT 1995 dan 2001).

2.   Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35

tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-

35 tahun (Ridwan Amiruddin, 2004).

3. Provinsi dengan prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat

(82,6%), dan yang terendah adalah Sulawesi Tengah (SKRT 1992).

22

4. Di Kota Makassar pada tahun 2010 jumlah penderita anemia gizi

yang lebih terkhusus pada ibu hamil sebanyak 2143 orang, dan

Pada tahun 2011, prevalensi tertinggi terdapat pada bulan Maret 2011 sebanyak 264 orang.(Dinkes Kota Makassar,2011). Keterkaitan jumlah banyak penderita anemia gizi di kota Makassar karena beberapa faktor yaitu ; Asupan zat besi dalam makanan, pengetahuan, pendidikan, pendapatan, frekuensi makanan,dan jenis bahan makanan, umur, serta demografi kota Makssar yang mempengaruhi frekuensi bertambah dan berkurangnya penderita anemia gizi dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun di kota Makassar.

B. Saran1. Diperlukan upaya yang lebih baik lagi oleh pemerintah dalam hal

menekan angka penderita anemia defisiensi zat besi di Indonesia.

2. Perlu adanya penyuluhan yang lebih responsible tentang

pentingnya suplemen zat besi dan bahaya anemia bagi ibu hamil.

3. Perlu adanya pendistribusian tablet besi yang lebih merata di

seluruh pelosok tanah air.

23