Isi Makalah

45
KATA PENGANTAR Penyakit pes menempati posisi yang penting dalam sederetan penyakit yang cukup mematikan di masa lampau. Banyak catatan sejarah menunjukkan betapa mengerikannya gambaran yang dihadirkan oleh penyakit ini di masyarakat kala itu. Bahkan sampai sekarang, kita mengenal penyakit ini sebagai bagian dari serangkaian masalah kesehatan yang perlu terus dipantau perkembangannya. Demikianlah penyakit ini masih menjadi bagian dari topik-topik yang diperbincangkan dalam ranah epidemiologi penyakit zoonosis. Tujuan dari penulisan makalah ini terutama adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Zoonosis yang telah diberikan. Selain itu, makalah ini juga menyediakan informasi yang berguna terkait epidemi pes dan pencegahannya. Secara khusus kami memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena telah mengizinkan kami menyelesaikan penulisan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberi kami kepercayaan untuk mengerjakan makalah ini. Kepada orangtua yang telah memberi semangat dan dukungan doa, kami juga mengucapkan terima kasih. i

description

tugas epidzoo pes

Transcript of Isi Makalah

KATA PENGANTAR

Penyakit pes menempati posisi yang penting dalam sederetan penyakit

yang cukup mematikan di masa lampau. Banyak catatan sejarah menunjukkan

betapa mengerikannya gambaran yang dihadirkan oleh penyakit ini di masyarakat

kala itu. Bahkan sampai sekarang, kita mengenal penyakit ini sebagai bagian dari

serangkaian masalah kesehatan yang perlu terus dipantau perkembangannya.

Demikianlah penyakit ini masih menjadi bagian dari topik-topik yang

diperbincangkan dalam ranah epidemiologi penyakit zoonosis.

Tujuan dari penulisan makalah ini terutama adalah untuk memenuhi tugas

mata kuliah Epidemiologi Zoonosis yang telah diberikan. Selain itu, makalah ini

juga menyediakan informasi yang berguna terkait epidemi pes dan

pencegahannya.

Secara khusus kami memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang

Maha Kuasa, karena telah mengizinkan kami menyelesaikan penulisan makalah

ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah

memberi kami kepercayaan untuk mengerjakan makalah ini. Kepada orangtua

yang telah memberi semangat dan dukungan doa, kami juga mengucapkan terima

kasih.

Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa kendala yang harus kami

hadapi, terutama terkait pencarian sumber terpercaya yang dapat digunakan.

Namun, semua itu telah kami lewati sehingga makalah ini dapat tersusun

sebagaimana adanya.

Akhirnya, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca

untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit pes dalam bahasan

epidemiologi, selain juga terpenuhinya tugas mata kuliah yang telah diberikan.

Medan, Oktober 2015

Penulis

i

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................i

Daftar Isi................................................................................................................ii

Bab I: Pendahuluan

1.1 Latar Belakang, Masalah, dan Tujuan.......................................................31.1.1 Latar Belakang...............................................................................3

Bab II: Pembahasan2.1 Sejarah Pes.................................................................................................5

2.2 Etiologi Pes................................................................................................10

2.3Klasifikasi dan Gejala Klinis Pes...............................................................14

2.4 Patogenesis Pes..........................................................................................16

2.5 Epidemiologi Pes.......................................................................................17

2.6 Mekanisme Penularan Pes.........................................................................20

2.7 Pencegahan dan Pengobatan Pes...............................................................23

2.7.1 Pencegahan Primer...........................................................................23

2.7.2 Pengobatan Pes (Pencegahan Sekunder)..........................................24

2.8 Pengawasan dan Pengendalian Pes...........................................................25

Bab III: Penutup

3.1 Kesimpulan dan Saran.............................................................................26

3.1.1 Kesimpulan....................................................................................26

3.1.2 Saran..............................................................................................27

Daftar Pustaka.................................................................................................28

ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyakit pes umumnya merupakan sebuah penyakit pada kelompok hewan

rodensia dan kutu-kutunya, yang dapat menginfeksi manusia. Penyakit ini

biasanya ditularkan di antara sesama rodensia melalui kutunya, dan bisa

ditransmisikan ke manusia ketika terinfeksi oleh gigitan kutu tersebut.

Sebagaimana layaknya banyak penyakit zoonotik lainnya, pes memiliki tingkat

keparahan yang tinggi pada manusia, dengan CFR 50-60% jika tidak ditangani.

(WHO, 2000).

Penyakit pes berperan penting pada merebaknya pandemi yang luas

dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Istilah ‘Kematian Hitam’ atau Black Death

pada abad ke-14 cukup terkenal dalam berbagai literatur. Wabah Black Death

sudah menyebabkan sekitar 50 juta kematian, sekitar setengahnya berasal dari

benua Asia dan Afrika dan setengahnya lagi di Eropa, dimana seperempat dari

populasi di sana meninggal (WHO, 2000).

Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa epidemi penyakit pes di dunia

terjadi pada abad ke-13, khususnya tahun 1347. Kasus ini terjadi di negara Cina

dan India. Sejak epidemi penyakit pes berlangsung saat itu sudah tercatat kasus

13.000.000 orang meninggal. Pada abad yang sama, juga dilaporkan terjadinya

wabah pes di negara Mesir dan Palestina.

Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya

pada tahun 1910. Penyakit tersebut dibawa ke Indonesia oleh tikus yang

ditubuhnya ada pinjal dari pelabuhan Rangoon. Tikus - tikus berada di dalam

kapal yang mengangkut beras kebutuhan buruh perkebunan milik Belanda dan

berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pada tahun 1910 – 1960 terdapat

245.375 orang meninggal dunia yang disebabkan oleh penyakit Pes, dari total

kasus tersebut 17,6% terjadi di Jawa Timur; 51,5% di Jawa Tengah dan 30,9% di

Jawa Barat. Angka kematian yang tertinggi terjadi pada tahun 1934 yakni 23.275

orang meninggal dunia (Depkes RI, 1998).

3

Kemudian di tahun 1916, pes ditemukan di Pelabuhan Tanjung Mas

Semarang. Selanjutnya penyakit pes menyebar melalui pelabuhan-pelabuhan di

Cirebon pada tahun 1923 dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927.

Menurut Raharjo, 2012, yang mengutip BTKL Yogyakarta, penyakit ini

merupakan penyakit yang terdaftar dalam Karantina Internasional, termasuk

dalam UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan termaktub di

dalam peraturan Menkes RI No.560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang Penyakit Yang

Menimbulkan Wabah, yang diatur dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal

PP&PL No.4511/PD.03.04/IF/1999.

Penyakit ini juga masih merupakan masalah kesehatan yang dapat

menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah, sehingga penyakit pes di

Indonesia termasuk penyakit yang dicantumkan dalam Undang-undang Karantina

dan Epidemi (Undang-undang RI. No. 2 Tahun 1962) karena dapat menimbulkan

wabah yang berbahaya (Depkes RI, 1998). Sampai saat ini di Indonesia,

khususnya di Pulau Jawa, masih terdapat 3 daerah yang masih aktif pes, yaitu di

Kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah; di Kecamatan Tosari dan

Nongkojajar, Pasuruan, Jawa Timur dan di Kecamatan Cangkringan, Sleman.

Dari kenyataan yang ada tersebut, penulis akan mengkaji penyakit zoonotik ini

lebih jauh lagi.

4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Pes

Pes (sampar / pasteurellosis / yersinosis / plague / la peste / black death /

peste / pest / pestilence) adalah penyakit zoonotik infeksius akut yang disebabkan

oleh enterobakteria bervirulensi tinggi Yersinia pestis (dinamai menurut nama

bakteriolog Perancis A.J.E. Yersin) atau Pasteurella pestis. Penyakit ini adalah

penyakit yang sangat fatal dengan gejala bakteriemia, demam yang tinggi, shock,

penurunan tekanan darah, nadi cepat dan tidak teratur, gangguan mental,

kelemahan, kegelisahan dan koma (Yudhastuti, 2011).

Penyakit ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut Pusat

Kesehatan Satwa Liar Nasional (NWHC) Amerika Serikat dan WHO, meskipun

agen penyebabnya baru diketahui setelah 1894, jauh di waktu yang lampau,

penyakit ini sudah diceritakan dalam Kitab Suci (Bible). Dalam teks 1 Samuel 4

dan 5 tercatat bahwa pes atau sampar sudah mewabah di daerah orang Filistin

tahun 1320 SM. Wabah tersebut ditandai oleh banyaknya tikus mati dan sejumlah

besar kematian warga yang menderita pembengkakan di sela paha dan daerah

paha itu sendiri (Zietz dan Dunkelberg, 2004).

Dalam buku Biology of Plagues: Evidence from Historical Populations,

Susan Scott dan Christopher Duncan membagi masa historik pes ke dalam 4

periode sebagai berikut: (Scott dan Duncan, 2001)

1. Pes di Athena, 430-427 SM

Epidemi yang menyerang Athena tahun 430 SM masih banyak dibahas

oleh para ahli, namun deskripsi yang gamblang pertama kali diberikan oleh

Thucydides, seorang penderita pes yang berhasil selamat dari wabah (lih. Page,

1953). Sehingga kadang muncul istilah sindrom Thucydides untuk mengenang

Thucydides dan narasinya.

Pes ini diyakini berasal dari Etiopia dan menyebar melalui Mesir dan

Mediterania Timur sebelum mencapai Athena. Wabah melanda ke seluruh

Athena, membunuh beberapa tenaga medis saat itu, juga pasien yang datang

berobat. Penyakit ini menurun pada 429 SM dan kembali menyerang lagi pada

5

musim panas 428 SM. Penyakit ini kemudian berkurang, bahkan sempat

menghilang sejak musim dingin 428 SM sampai musim panas 427 SM, lalu

mewabah kembali di musim gugur dan awal musim dingin 427 SM. Epidemi ini

berlangsung tidak kurang dari setahun, tapi kemudian tidak ada penjelasan

berikutnya mengenai kelanjutannya. Total warga yang meninggal tidak tercatat

namun setelah periode 3 tahun, 4400 dari 13.000 tentara meninggal (rate mortality

33%).

2. Pes Justinian

Procopius, sejarawan Yunani, meyakini bahwa wabah ini (seperti yang

terjadi di Athena) berasal dari dekat Etiopia. Pandemi mulai terjadi di Mesir pada

541 SM dan bergerak ke Asia Kecil, Afrika, dan Eropa, hingga ke Konstantinopel,

ibukota Kekaisaran Bizantium, di akhir musim semi dan musim panas 542 SM.

Wabah ini menyerang Konstantinopel selama 4 bulan dengan korban meningkat

dari 5.000 ke 10.000 per hari dan bahkan lebih tinggi lagi selama tiga bulan.

Kaisar Bizantium saat itu, Justinian, jatuh sakit dan sembuh, namun 300.000

orang dikatakan meninggal di Konstantinopel sendiri pada tahun pertama, meski

Russel (1968) dan Twigg (1984) meyakini jumlah ini terlalu dibesar-besarkan.

Procopius mencatat bahwa orang-orang saat itu sangat ketakutan akan

kemungkinan terserang wabah tanpa peringatan. Hasil penelusuran berikutnya

menunjukkan bahwa pes di masa ini sebenarnya adalah pandemi bubonic plague

(Kohn, 1995). Pes Justinian di abad ke-6 SM ini menyebabkan 100 juta kematian.

3. Periode Terbesar Pes: Black Death dan masa berikutnya

Wabah Kematian Hitam meletus di Sisilia tahun 1347 dan pandemi

kemudian menyebar melalui Eropa selama 3 tahun berikutnya, mencapai

Norwegia (yang mana dua pertiga populasinya meninggal; Carmichael, 1997) dan

Sweden dan melewati Inggris dan ke Irlandia (Biraben, 1975), dan mungkin ke

Islandia dan Greenland (Kohn, 1995). Kedatangannya di Eropa membawa

epidemi yang terus menerus selama 300 tahun berikutnya sebelum menghilang

sekitar tahun 1670. Jumlah kematian yang besar karena Black Death memiliki

dampak yang sangat besar bagi demografi di Eropa, dan populasi di Inggris

sendiri tidak bisa pulih total selama 150 tahun.

6

Selama pertengahan kedua abad ke-14, epidemi di Inggris dan benua

Eropa menjadi kurang virulen namun infeksi kemudian mencapai keganasannya

secara bertahap, dan mencapai puncak sekitar tahun 1630 di Perancis dan 1665-66

di Inggris. Pandemi besar ini secara perlahan lenyap di Eropa tahun 1720. Banyak

alasan dikemukakan, beberapa di antaranya sebagai berikut: (Thomas W.

McGovern, M.D., FAAD dan Arthur M. Friedlander, M.D)

Pinjal tikus yang sesungguhnya, Xenopsylla cheopis, vektor utama dari

basilus pes, tidak ada lagi ketika tiba iklim dingin di Eropa.

Tikus hitam, Rattus rattus, digantikan oleh tikus coklat, Rattus

norvegicus, yang kurang dapat hidup dekat dengan manusia.

Spesies baru dan kurang virulen dari Y. pestis, atau spesies spesies

Yersinia terkait, telah berkembang, menyebabkan kekebalan alami pada

tikus yang terinfeksi dan juga manusia.

Populasi di Eropa umumnya mengalami defisiensi zat besi, dan zat besi

merupakan faktor yang esensial bagi virulensi bakteri.

Kerapatan pinjal pada manusia menurun seiring dengan penggunaan

sabun yang makin tersebar.

4. Bubonic Plague di abad ke 20

Sejak dimulai di Cina di tahun 1894, wabah pes menyebar ke seluruh

dunia dan menyebabkan kira-kira 12 juta kematian tahun 1930. Tahun 1894 juga

adalah masa ketika Alexandre J.E. Yersin menemukan bahwa Y.pestis memenuhi

postulat Koch untuk pes bubonik. Reservoir pes pada pinjal marmut Siberia

agaknya bertanggungjawab dalam epidemi pes pneumonik Manchurian tahun

1910-1911 yang menyebabkan 50.000 kematian. Pandemi modern mencapai

Bombay tahun 1898, dan selama 50 tahun berikutnya, lebih dari 13 juta warga

India meninggal karena pes.

Penyakit ini secara resmi memasuki AS pada Maret 1900, ketika mayat

dari pekerja Cina ditemukan di basement hotel di San Fransisco, California.

Penyakit itu kemudian muncul di New York dan Washington di tahun yang sama.

New Orleans, Lusiana, diserang wabah ini tahun 1924 dan 1926. Wabah baru

dapat dikendalikan setelah ada perbaikan standar hygiene dan kontrol tikus yang

baik.

7

Selama tahun 2001-2006 wabah pes muncul kembali setiap tahun di

beberapa negara seperti Zambia, India, Vietnam, Algeria, Kongo dengan jumlah

kasus 2793 dan kematian 233 orang (CFR = 8,34 %). Penyakit ini masih endemis

di beberapa negara Afrika seperti Congo, Madagaskar, Malawi, Mozambique,

Namibia, Tanzania, Uganda, Zambia, Zimbabwe, dan negara-negara Amerika

Latin antara lain Bolivia, Brazil, Ekuador, Peru, dan di Asia seperti Vietnam dan

India (WHO, 2007).

Di Indonesia sendiri, pes pertama kali menyerang pulau Jawa. Memasuki

awal abad ke-20 pemberitaan mengenai penyakit pes di Hindia Belanda hampir

tidak pernah ada. Pada tahun 1905 diberitakan bahwa di Pantai Timur Sumatra

(Sumatra Oostkust) terjadi beberapa kasus pes, tetapi tidak cukup lama kemudian

menghilang begitu saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa penyakit tersebut akan

datang kembali. Pada tahun itu juga penyakit pes tidak sampai mewabah ke Pulau

Jawa.

Pada tahun 1910-1911 pada saat pemerintah Hindia Belanda mengimpor

beras dari Rangoon, ternyata di dalam beras-beras tersebut sudah ada tikus yang

terinfeksi oleh pinjal. Mengimpor beras merupakan salah satu kebijakan dari

pemerintah Hindia Belanda untuk menyelamatkan penduduk dari krisis pangan

yang terjadi di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya. Khususnya di wilayah

Residen Surabaya yang pada saat itu mengalami gagal panen karena serangan

hama mentek, telah merusak tanaman pangan di wilayah tersebut.

Proses pengiriman beras dari Rangoon ke wilayah Jawa Timur dikirim

lewat laut melalui pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Tepat pada tanggal 3

November 1910 kiriman beras tiba di pelabuhan Tanjung Perak, kemudian beras-

beras itu disalurkan ke daerah-daerah yang mengalami krisis kekurangan pangan

menggunakan jasa kereta api yang berpusat dari Surabaya. Pada akhir tahun 1910

tepatnya di bulan November beras yang mulai disalurkan melalui jasa kereta api

ternyata mengalami masalah, jalur kereta api antara jurusan Malang dan Wlingi

terputus akibat bencana banjir. Pada saat itulah kereta yang harusnya mengirim

beras dari Surabaya ke Wlingi terpaksa berhenti di Malang, dan beras-beras

kiriman itu kemudian disimpan sementara di gudang penyimpanan yang berada di

dekat stasiun Malang. Besar kemungkinan bahwa beras-beras yang dibawa dari

8

Surabaya tadi terdapat tikus-tikus yang telah terinfeksi pinjal. Dapat disimpulkan

pula bahwa penyakit pes yang masuk ke pulau Jawa berawal dari wilayah di Jawa

Timur di Distrik Turen tepatnya yaitu di daerah Dampit, dan mulai menyebar ke

beberapa daerah yang terdapat gudang penyimpanan beras. Beberapa daerah di

Malang tepatnya di Distrik Turen banyak ditemui beberapa daerah yang memiliki

gudang penyimpanan beras, seperti di Dampit, Singosari, Blimbing, Kepanjen,

Batu, dan Gondang Legi.

Setelah beberapa waktu kemudian banyak korban berjatuhan akibat sakit

yang belum diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Kasus pertama terjadi pada

bulan November 1910 ditemukan sebanyak 17 orang meninggal dunia dan

kemudian korban yang berjatuhan semakin banyak. Pada waktu itu kecurigaan

terhadap tikus-tikus belum ada, karena tidak ditemukan tikus yang mati dalam

jumlah yang besar di dalam gudang penyimpanan beras. Barulah pada saat banyak

pemberitaan mengenai wabah penyakit pes di luar Hindia Belanda pada waktu itu

dan sekitar bulan Maret 1911 pemerintah kolonial mulai melakukan tindakan

preventif untuk melindungi Hindia Belanda dari epidemi penyakit pes tersebut.

Kebijakan ini dilakukan dengan mengubah peraturan tentang pes, yaitu dengan

mempertegas pestordonantie. Salah satu tindakan tegas dari kebijakan

pestordonantie adalah dengan lebih memperketat pengawasan terhadap kapal-

kapal dagang dan penumpang yang keluar maupun yang masuk di wilayah Hindia

Belanda. Jika terdapat kapal-kapal yang telah terjangkit penyakit pes akan masuk

ke wilayah Hindia Belanda, maka kapal-kapal tersebut tidak diizinkan sama sekali

untuk mendekati daratan Hindia Belanda. Kapal tersebut harus bertahan di lautan

selama tujuh hingga sepuluh hari. Kapal baru akan diizinkan berlabuh di daratan

Hindia Belanda setelah dokter yang memeriksa memastikan bahwa orang-orang

yang ada di kapal dinyatakan telah sehat dan tidak terdapat tikus yang terinfeksi

penyakit pes.

Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial kepada Hindia

Belanda ternyata tidak dapat sepenuhnya berjalan sesuai dengan rencana, karena

mengingat kondisi ekonomi Hindia Belanda yang pada masa itu sedang dilanda

krisis pangan menyebabkan kebijakan tersebut terpaksa tidak dilanjutkan. Jika

harus menahan kapal dari luar sampai tujuh hingga sepuluh hari di lautan akan

9

memberatkan pihak pemerintah dan masyarakat, karena tingginya kebutuhan akan

beras impor tersebut. Hingga pada akhirnya kapal-kapal yang membawa beras

dari luar masuk ke Hindia Belanda terpaksa tidak di karantina terlebih dahulu

selama di lautan.

Dari sinilah awal masuknya wabah penyakit pes ke pulau Jawa. Pada

tahun 1910 – 1960 terdapat 245.375 orang meninggal dunia yang disebabkan oleh

penyakit Pes, dari total kasus tersebut 17,6% terjadi di Jawa Timur; 51,5% di

Jawa Tengah dan 30,9% di Jawa Barat. Angka kematian yang tertinggi terjadi

pada tahun 1934 yakni 23.275 orang meninggal dunia (Depkes RI, 1998).

Kemudian di tahun 1916, pes ditemukan di Pelabuhan Tanjung Mas

Semarang. Selanjutnya penyakit pes menyebar melalui pelabuhan-pelabuhan di

Cirebon pada tahun 1923 dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927.

Pemerintah Indonesia maupun dunia sudah menetapkan juga bahwa

penyakit pes menjadi salah satu penyakit karatina dan tercatat dalam Internasional

Health Regulation. Penyakit ini juga termasuk dalam Public Health Emergency of

International Concern (PHEIC) atau Kedaruratan Kesehatan yang Meresahkan

Dunia.

2.2. Etiologi Pes

Pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis (Pasteurella pestis), sebuah

basil Gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae. Y. pestis dapat dibagi ke

dalam 3 biovariasi/subspesies: Antiqua, Medievalis, dan Orientalis (Devignat,

1951). Kemudian diusulkan lagi biovar keempat, Microtus (Zhou, dkk, 2004).

Namun biovar keempat ini ditemukan ternyata tidak virulen pada mamalia yang

besar dan manusia. Lebih jauh lagi diusulkan biovar kelima, Pestoides, yang jauh

menyimpang secara biokimia dari keempat biovar lainnya (Anisimov, dkk, 2004).

Strain Antiqua lebih beragam daripada Medievalis dan Orientalis.

Ada pula yang mengklasifikasikan Y.pestis dengan melihat keragaman

hubungannya dengan host, yaitu: ratti (bila muncul pada tikus), marmotae (bila

muncul pada marmut), dan citelli (bila muncul pada susliks/tupai tanah Eurasia).

Bakteri ini pertama kali diidentifikasi oleh Alexandre J.E Yersin dan

Shibasaburo Kitasato secara terpisah tahun 1894 sebagai coccobasilus Gram

10

negatif. Yersin lah yang kemudian diakui sebagai penemu bakteri yang awalnya

dinamai Bacterium pestis itu. Y.pestis sendiri adalah bakteri yang tidak tahan

asam, tidak motil, tidak membentuk spora, berbentuk kokobasil bipolar berukuran

0.5–0.8 x 1.5–2.0 μm. Bakteri ini menduduki Genus XI dari famili

Enterobacteriaceae. Awalnya bakteri ini diklasifikasikan ke dalam famili

Pasteurellaceae, namun berdasarkan kemiripannya dengan E.coli yang ditentukan

dengan studi informasi herediter pada DNA, bakteri ini kemudian masuk ke dalam

famili Enterobacteriaceae. Meskipun genus Yersinia memiliki 11 spesies, hanya 3

yang patogen pada manusia: Y.pestis, Y.pseudotuberculosis, dan Y.enterocolitica.

Tidak seperti spesies lainnya yang ditularkan ketika termakan makanan atau

minuman yang terkontaminasi feses (oral-fecal), Y.pestis telah mengembangkan

kemampuan transmisi melalui artropoda, dan juga kemampuan infeksi pada darah

dan jaringan limfoid. Berikut adalah tabel taksonomi bakteri ini.

Kingdom Eubacteria

Phylum Proteobacteria

Class Gammaproteobacteria

Order Enterobacteriales

Family Enterobacteriaceae

Genus Yersinia

Species pestis, enterocolitica,

pseudotuberculosis,

frederiksenii, kristensenii,

ruckeri, mollaretii,

bercovieri, rohdei,

aldovae, intermedia

Bakteri ini tumbuh optimal pada suhu 28 derajat Celcius, memproduksi

koloni kecil setelah 48 jam pada agar darah atau agar MacConkey. Secara

biokimia, bakteri pes ini tidak memproduksi hemolysin, bersifat positif untuk

katalase, dan negatif untuk hydrogen sulfide, oxidase, urease, dan fermentasi

laktosa, sukrosa, rhamnosa, and melibiosa. Bakteri ini tumbuh sebagai anaerob

fakultatif pada banyak perbenihan bakteriologi. Semua Pasteurella pestis

memiliki lipopolisakarida dengan aktivitas endotoksik bila dilepaskan. Organisme

11

ini menghasilkan banyak antigen dan toksin yang bertindak sebagai faktor

virulensi.

Gbr 1. Pewarnaan Yersinia pestis

Reservoar utama dari penyakit pes adalah hewan rodensia, misalnya tikus,

kelinci, bahkan dalam kasus tertentu melibatkan kucing sebagai sumber penularan

ke manusia. Bakteri ditularkan dari tikus ke manusia melalui gigitan pinjal yang

merupakan vektor dari penyakit ini. Jenis pinjal yang dikenal sebagai vektor pes

antara lain Xenopsylla cheopis, Pulex irritans, Neopsylla sundaica, Stivallus

cognatus (Yudhastuti, 2011).

Gbr 2. Xenopsylla cheopis jantan yang baru saja mengisap darah

Menurut tempat hidupnya tikus dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu tikus

rumah (Rattus diardi, Mus musculus, Suncus murinus), tikus ladang (Rattus

12

exulans), tikus kebun (Rattus timanicus), tikus sawah (Rattus argentiventer), dan

tikus bukit (Niviventer) (Sub Direktorat Zoonosis, 2008:31). Tikus-tikus ini

merupakan jenis tikus yang dapat membawa penyakit pes.

Gbr 3. Penampakan patologis dari tikus yang terinfeksi

(Department of Public Health NSW, 1900)

Untuk mengidentifikasi ada tidaknya bakteri Yersinia pestis pada tikus

yang masih hidup, dapat diambil sampel darah dari jantung atau dari daerah

sekitar mata, sedangkan pada tikus yang sudah mati dapat diambil dari jantung

apabila darah masih ada, jika darah sudah habis bisa diambil dari sumsum tulang

panjang seperti femur.

Untuk mengidentifikasi sampel bakteri Yersinia pestis dapat dilakukan

dengan metode tes immunofluorescence langsung, aglutinasi, tes enzyme-linked

munosorbent, atau dengan mengisolasi organisme dalam kultur murni. Dari

semua metode ini, metode paling efektif yaitu tes immunofluorescence langsung.

Tes ini dapat diketahui dalam waktu 2 jam (Kenneth L.Gage, 2010:143).

Berbeda dengan identifikasi Yersinia pestis pada tikus, identifikasi

Yersinia pestis pada pinjal memerlukan waktu yang lama. Identifikasi Yersinia

pestis pada pinjal dilakukan dengan menanam hasil gerusan pinjal pada hewan

percobaan selama 25 hari. Apabila selama 25 hari tikus mati, maka perlu

dilakukan pemeriksaan lanjut. Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil darah

13

pada tikus dan kemudian dideteksi dengan teknik imunologi dan PCR (Kenneth

L.Gage, 2010:156).

Untuk penjelasan lebih lanjut, berikut diberikan tabel klasifikasi reservoar

dan vektor pes.

Reservoar Vektor

Dunia : Animalia

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Subklas : Theria

Ordo : Rodentia

Sub ordo : Myomorpha

Famili : Muridae

Sub famili : Murinae

Genus : Bandicota, Rattus

dan Mus

(Swastiko Priyambodo,

2003:5)

Kingdom :Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta

Order : Siphonaptera

Family : Pulicoidea

Genus : Xenopsylla

Species : Cheopis

(Departemen

Parasitologi FKUI

2008:249).

2.3. Klasifikasi dan Gejala Klinis Pes

Pada umumnya, pes terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Pes Bubonik (Bubonic plague)

Yaitu pes pada tahap awal, ketika kuman Y.pestis masuk ke dalam tubuh,

namun belum masuk ke dalam paru-paru. Masa inkubasi 2-7 hari. Bubo

mempunyai onset gejala regular mirip flu, demam, pusing, menggigil, lemah,

yang kemudian diikuti nausea dan muntah-muntah. Gejala yang hadir mencakup

malaise parah (75%), sakit kepala (20%-85%), muntah (25%-49%), menggigil

(40%), batuk (25%), sakit perut (18%) dan sakit dada (13%). Enam sampai

delapan jam setelah onset gejala, bubo, yang didahului dengan nyeri yang parah,

terjadi di sela paha (90%, femoral lebih sering daripada inguinal), bengkak pada

nodul limpa, tergantung di bagian mana bakteri berkumpul. Bubo akan terlihat

dalam 24 jam, dan terasa sangat sakit. Manifestasi lainnya berupa kekenduran

14

kandung kemih, apatis, kebingungan, ketakutan, kegelisahan, oliguria, dan anuria.

Takikardia, hipotensi, leukositosis, dan demam kadang-kadang dialami. Bila

dibiarkan tanpa perawatan, akan muncul septikemia dalam 2-6 hari. Sekitar 5%

sampai 15% pasien pes bubonik akan mengembangkan pes pneumonik sekunder,

dan sebagai hasilnya, semakin berpotensi menularkan ke orang lain. Pada

dasarnya, bubonic plague jarang menular pada orang lain. Bila tidak dirawat, tipe

bubonik akan menghasilkan mortality rate 50-60%.

Gbr 4. Bubo femoral

2. Pes Septikemik (Septicaemic plague)

Gejalanya demam, menggigil, pusing, lemah, sakit pada perut, shock,

pendarahan di bawah kulit atau organ-organ tubuh lainnya, pembekuan darah

pada saluran darah, tekanan darah rendah, mual, muntah, organ tubuh tidak

bekerja dengan baik. Tidak terdapat benjolan pada penderita. Septicemic plague

jarang menular pada orang lain. Septicemic plague dapat juga disebabkan Bubonic

plague dan Pneumonic plague yang tidak diobati dengan benar. Fase septikemik

ini yang menunjukkan ciri-ciri Black Death. Bila tidak dirawat, tipe septikemik

akan menghasilkan mortality rate hingga 100%.

Gbr 5. Pes Septikemik

3. Pes Pneumonik (Pneumonic plague)

Masa inkubasi 1-3 hari. Gejalanya pneumonia (radang paru-paru), napas

pendek, sesak napas, batuk, sakit pada dada. Ini adalah penyakit plague yang

paling berbahaya dibandingkan jenis lainnya. Pneumonic plague menular lewat

udara, bisa juga merupakan infeksi sekunder akibat Bubonic plague dan

15

Septicemic plague yang tidak diobati dengan benar. Sekitar 12% kasus tipe

bubonik dan septikemik primer akan berlanjut menjadi tipe pneumonik sekunder,

dan tipe pneumonik sekunder akan berlanjut menjadi tipe pneumonik primer.

2.4. Patogenesis Pes

Hanya dibutuhkan sedikit saja Y.pestis untuk dapat menginfeksi hewan

rodensia dan primata via jalur oral, intradermal, subkutan, dan intravena.

Perkiraan infektivitas jika melalui jalur pernapasan pada primata yang bukan

manusia beragam mulai dari 100 sampai 20.000 Y.pestis.

Setelah dibawa kepada host mamalia oleh gigitan pinjal, pada temperatur

ambien, seharusnya bakteri pes ini dapat difagositosis dan dibunuh oleh neutrofil.

Namun demikian, beberapa bakteri dapat tumbuh dan berkembangbiak dalam

jaringan makrofag. Sedangkan dalam host berupa manusia, lingkungan tubuh

manusia (misalnya suhu tubuh, kontak dengan sel eukariotik, dan lain-lain) yang

merupakan hal baru bagi bakteri akan membuat bakteri itu mengembangkan

mekanisme pertahanan untuk menjaga dia tetap virulen, berupa serangkaian

proses biokimia. Bakteri pada tahap ini nantinya akan resisten terhadap fagositosis

dan dapat berkembangbiak di luar sel tanpa terganggu.

Selama fase inkubasi, bakteri ini umumnya menyebar ke wilayah nodul

limpa, dimana akan mudah terjadi pernanahan karena radang pada limpa, yang

berlanjut kepada ciri-ciri bubo. Infeksi akan berkembang terus jika tidak segera

ditolong; septikemia akan muncul dan infeksi akan menyebar ke organ lainnya.

Endotoksin bakteri mungkin berperan dalam terjadinya syok septik, juga dalam

mengembangkan resistensi bakteri terhadap aktivitas bakterisidal dari serum.

Nekrosis dan sianosis yang luas, yang terlihat dalam beberapa kasus septikemik

mungkin terkait dengan aktivitas koagulase aktivator plasminogen, yang terjadi

pada suhu di bawah 37 derajat Celsius.

Jaringan yang umumnya diserang termasuk limpa, hati, paru, kulit, dan

membran mukosa. Infeksi berikutnya pada selaput otak juga terjadi, khususnya

jika terapi antibiotik yang belum optimal diberikan.

Pes pneumonik primer, tahap paling parah dari penyakit ini, meningkat

jika terhirup udara yang tercemar bakteri ini. Tahap ini jauh lebih fatal daripada

16

pneumonik sekunder, karena droplet yang terhirup sudah berisi bakteri yang

resisten terhadap fagositosis.

Pes septikemik primer bisa terjadi dari suntikan langsung basil pes ke

dalam aliran darah, yang berlanjut pada multiplikasi bakteri pada nodul limpa.

2.5. Epidemiologi Pes

Sepanjang sejarah, pinjal Xenopsylla cheopis bertanggungjawab dalam

penyebaran pes bubonik. Setelah pinjal mencerna darah pada hewan yang

terinfeksi bakteri, basili pes dapat bermultiplikasi dan bahkan membentuk agregat

dalam usus depan pinjal. Ketika pinjal yang ususnya dipenuhi agregat ini

mencoba untuk mengisap darah lagi, maka darah dari usus beserta bakteri akan

keluar dan bergerak menuju ke aliran darah korban berikutnya. Pinjal akan

mengering bila berada pada suhu dan cuaca yang panas dan jauh dari host, namun

tumbuh subur pada kelembapan di atas 65% dan suhu antara 20-26 derajat Celcius

serta dapat bertahan tanpa makan selama 6 bulan.

Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya

pada tahun 1910, kemudian di tahun 1916 ditemukan di Pelabuhan Tanjung Mas

Semarang. Selanjutnya penyakit pes menyebar melalui pelabuhan pelabuhan di

Cirebon pada tahun 1923 dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927. Sejak tahun

1910 pes pertama kali masuk ke Indonesia hingga tahun 1960 sudah tercatat

korban meninggal akibat penyakit pes sebanyak 245.375 orang. Distribusi

penyebaran 245.375 orang kasus pes yang meninggal di Jawa Barat 30,9%, di

Jawa Tengah 51,5%, dan di Jawa Timur 17,6% (Dinkes Boyolali, 2014a).

Indonesia khususnya di Pulau Jawa terdapat tiga daerah fokus pes yang masih

aktif, yaitu di Kecamatan Selo dan Cepogo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, di

Kecamatan Tosari dan Nongkojajar Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, dan di

Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

(Dinkes Boyolali, 2014a).

Kabupaten Boyolali pertama kali ditemukannya kasus pes pada tahun

1986. Kasus ini terjadi di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Selo dan Cepogo.

Jumlah penderita yang ditemukan pada saat itu sebanyak 101 orang, 42 orang di

antaranya meninggal dunia. Case Fatality Rate (CFR) pada tahun tersebut,

17

CFR=43%. Kemudian pada tahun 1970 ditemukan kembali kasus pes di Boyolali

dengan penderita sebanyak 11 orang, dan tiga diantaranya meninggal dunia.

Sehingga angka CFR yang didapatkan yaitu, CFR=27,3%. Adanya kasus

meninggal dunia karena penyakit pes tersebut, sehingga pada tahun 1986 sampai

sekarang Kabupaten Boyolali ditetapkan sebagai daerah endemis pes (Dinkes

Boyolali, 2014a). Data surveilan pes penangkapan tikus yang dilakukan oleh

Dinkes Boyolali di tahun 2010-2013, lebih dari 1500 tikus yang tertangkap dan

ditemukan 15 pinjal yang positif mengandung bakteri Yersinia pestis penyebab

penyakit pes.

1. Distribusi Berdasarkan Orang

Orang yang biasanya terkena oleh penyakit pes adalah:

- Para biolog yang sedang mengadakan penelitian di hutan. Para biolog yang

sedang meneliti tikus memiliki luka dan luka tersebut terkena darah atau organ

tikus yang mengandung penyakit pes.

- Orang-orang yang camping atau rekreasi ke hutan

- Orang yang berada dirumah. Penularan penyakit pes pada orang rumah

ditularkan melalui pinjal yang menggigit manusia yang ada di rumah

Resiko terkena penyakit biasanya meningkat seiring dengan bertambahnya

kepadatan penduduk di daerah yang kurang saniter.

2. Distribusi Berdasarkan Tempat

Tempat yang biasanya memiliki resiko penularan yang tinggi adalah:

- Tempat-tempat yang kotor dimana kemungkinan tikus dapat hidup

- Di hutan dimana terdapat banyak tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis

- Di daerah pelabuhan

3. Distribusi Berdasarkan Waktu

Saat musim penghujan, reservoir dari penyakit ini berkembang dengan

baik sehingga kemungkinan tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia lebih tinggi

daripada musim kemarau.

18

Gbr 6. Global distribution and natural foci of plague. Natural foci of plague have become

established in local rodent and flea populations on all inhabited continents except Australia.

Sylvatic plague can act as a source of infection for humans. Since 1954, plague in humans has

been reported from more than 35 countries.

(From http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/plague/resources/plagueFactSheet.pdf)

19

Gbr 7. Areas in the United States where plague is found in animals, fleas, and humans. In the

United States, most counties with plague-positive animal or flea samples (1970–2009; shaded

areas) are located west of the 100th meridian, where the infection is enzootic. Cases of plague in

humans (1970–2007; dots) are most prevalent in the southwest and Pacific regions.

(Map based on information from Ken Gage, CDC)

Gbr 8. Human cases of plague, by region, 1954–2010. In the 1970s, most human cases of plague

were reported from countries in Asia, particularly Vietnam. More recently, most cases are in

African countries, especially Madagascar. War and political turmoil in Asian and African

countries disrupted sanitation and medical services, contributing to the increased risk of

transmission of Y. pestis from rodents to humans.

(Data from World Health Organization, 2010; World Health Organization, 2000; World Health

Organization, www.who.ing/whosis/whostat/2011/en/index.html)

2.6. Mekanisme Penularan Pes

Menurut Gratz, dalam modul Pelatihan Teknis Pengendalian Penyakit Pes

tahun 2012, di Indonesia dikenal ada 4 spesies pinjal yang mampu menjadi vektor

perantara dan reservoir sementara penyakit pes. Spesies tersebut adalah

Xenopsylla cheopis, Pulex iritans, Neopsylla sondaica dan Stivalius cognatus.

Pinjal S. Cognatus dan N. Sondaica adalah pinjal tikus liar dataran tinggi

(pegunungan), sedang Xenopsylla cheopis merupakan pinjal tikus rumah.

Pinjal menjadi infektif apabila mengisap darah dari inang yang telah

terinfeksi Y.pestis. Pinjal jantan dan betina keduanya mengisap darah inang dan

menyebarkan bakteri pes. Rata-rata kapasitas Xenopsylla cheopis untuk

20

menghisap darah kurang lebih 0,5 mm3, dan di dalamnya mampu mengandung

5.000 bakteri pes dari tikus yang terinfeksi. Di masa epidemi atau musim kering,

persentase pinjal infektif lebih tinggi. Interval antara saat menghisap darah dengan

masa infektif terjadi setelah 21 hari (5-31 hari) untuk Xenopsylla cheopis dan rata-

rata masa infektif berlangsung selama 17 hari atau maksimal sampai 44 hari

(Kemenkes,2012).

Penularan penyakit pes dapat terjadi dengan berbagai cara seperti :

a. Penularan pes dari tikus hutan ke tikus domestik melalui gigitan pinjal. Pinjal

infektif kemudian menggigit manusia.

b. Terjadinya kontak rodent dan pinjalnya dengan sumber pes didaerah sylvatic

yang dapat menimbulkan enzootik dan endemik pada manusia

c. Penularan pes secara eksidental dapat terjadi pada orang-orang yang bila

digigit oleh pinjal tikus hutan yang infektif. Ini dapat terjadi pada pekerja-

pekerja dihutan atau pada orang yang mengadakan rekreasi/camping dihutan

termasuk seorang biolog yang sedang mengadakan penelitian dihutan dimana

lukanya terkena darah atau organ tikus yang terinfeksi.

d. Penularan dari orang ke orang dapat pula terjadi melalui gigitan pinjal manusia

Pulex irritans (human flea)

e. Penularan dapat terjadi pada hewan peliharaan seperti anjing dan kucing

khususnya pada masa epizootic. Dimana risiko terjadinya penularan saat pinjal

yang berasal dari hewan mati berpindah pada hewan peliharaan. Biasanya

kucing akan sakit karena pes dan dapat menularkan secara langsung pada

manusia melalui percikan air liur (droplet) keudaran saat kucing tersebut batuk.

f. Penularan Pes dari orang yang menderita pes paru-paru (pneumonie plaque)

kepada orang lain melalui percikan ludah atau pernapasan.

g. Penularan melalui kontak langsung dengan nanah penderita bubo.

21

Gbr 9. Siklus Penularan Sederhana

Gbr 10. Siklus Penularan yang lebih kompleks

22

Gbr 11. Siklus penularan pes

2.7. Pencegahan dan Pengobatan Pes

2.7.1. Pencegahan Primer

Vaksinasi

Ada dua jenis vaksin yang tersedia: satu yang terbuat dari bakteri halus

yang masih hidup namun avirulen dan yang lain terbuat dari kultur yang tidak

aktif dari bakteri pes, yang bisa mereduksi tingkat kematian pada saat terjadi

epidemi.

Untuk mencegah penyakit pes biasanya akan diberikan vaksinasi otten

yang diberikan setahun sekali.

Tindakan Pencegahan

Berikut beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk

mencegah terjadinya penularan penyakit pes.

1. Penyuluhan pada masyarakat tentang bahaya penyakit pes dan cara

penularannya

23

2. Penempatan kandang ternak diluar rumah

3. Perbaikan konstruksi rumah dan gedung-gedung (rat proof)

4. Menyimpan bahan makanan dan makanan pada tempat yang tidak terbuka

5. Melaporkan kepada petugas puskesmas apabila ada tikus mati karna sebab

yang tidak jelas (rat fall)

6. Tinggi tempat tidur lebih 20 cm dari tanah

7. Manusia penderita pes harus diisolasi dan segera diberikan pengobatan

8. Orang yang diduga pernah kontak dengan penderita segera dikarantina dan

diawasi

9. Orang yang pernah kontak dengan penderita pes harus diberi terapi pencegahan

dengan tetrasiklin atau sulfonamid

10. Binatang pengerat yang menjadi sumber penularan diberantas dengan

rodentisida sedangkan pinjal diberantas dengan menggunakan insektisida.

2.7.2. Pengobatan Pes (Pencegahan Sekunder)

Imunogenisiti

Penyakit pes merupakan penyakit yang sangat serius. Penyakit pes dapat

menyerang semua golongan umur tetapi pada umumnya dapat diobati dengan

antibiotik. Semakin cepat pasien diobati maka semakin besar kesempatan untuk

dapat sembuh dengan sempurna.

Diagnostic Test

Pada dasarnya diagnosis tetap berdasarkan pada dua hal: adanya tanda dan

gejala; serta hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis presumtif dapat dilakukan

dengan mengidentifikasi karakteristik organisme dalam sputum, usapan

bronkial/trakeal, darah, bubo, cairan serebrospinal atau sample jaringan

postmortem; bakteri pes adalah bakteri Gram negatif, kokobasilus intraseluler

fakultatif, atau basilus dengan pewarnaaan bipolar. Dapat digunakan bantuan

immunofluorescen untuk sampel klinis.

Pes dapat juga didiagnosis dengan mengisolasi Y. pestis. Bakteri ini

biasanya ada di darah selama fase septikemik.

24

Test serologi juga kadang-kadang dapat membantu. Tes ini mencakup

enzyme-linked immunosorbent assays (ELISAs), hemaglutinasi pasif,

hemaglutinasi-inhibisi, aglutinasi latex dan fiksasi komplemen.

Penatalaksanaan Pengobatan

Dilakukan terapi dengan pemberian Streptomycine 3 gr/hari/2 hari atau 2

gr/hari/5 hr, setelah panas hilang diberikan Tetracycline 4-6 gr/hari/2hr atau

2gr/hari/5hari.

Pemberian Chloramphenicol 6-8 gr/hr/2 hari. Dari tindakan profilaksis

atau pencegahan pada anggota keluarga yang kontak serumah dengan penderita

Pes Bubo dan terhadap seluruh warga desa jika ada penderita pes paru.

2.8. Pengawasan dan Pengendalian Pes

Beberapa hal yang terkait dengan pengawasan dan pengendalian untuk pes

adalah:

1. Keharusan melaporkan terjadinya penyakit pes oleh para dokter supaya

tindakan pencegahan dan pemberantasan penyakit dapat dijalankan. (UU

Wabah 1962).

2. Keharusan melaporkan adanya kematian sebelum mayat dikubur. Pada

mayat itu dilakukan tes paru, limfa dan septichaemia. Jika telah

dinyatakan diagnosa pes adalah penderita pes paru harus diisolasi dan

dirawat di rumah sakit.

3. Pengawasan pada kegiatan surveilans terhadap rodent dan pinjal, manusia

dan hewan lain didaerah fokus pes,terancam pes dan bekas daerah fokus.

Yang dimaksud dengan daerah fokus per merupakan daerah yang diamati

sepanjang tahun yaitu sebulan sekali selama lima hari berturut-turut dan

daerah terancam merupakan daerah yang diamati secara periodik yakni

empat kali dalam satu tahun dengan kurun waktu tiga bulan sekali selama

lima hari berturut-turut sedangkan daerah bekas fokus merupakan daerah

yang diamati selama satu tahun sekali atau dua tahun sekali selama lima

hari berturut-turut (Sub Direktorat Zoonosis, 2008:8).

25

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pes (sampar / pasteurellosis / yersinosis / plague / la peste / black death /

peste / pest / pestilence) adalah penyakit zoonotik infeksius akut yang

disebabkan oleh enterobakteria bervirulensi tinggi Yersinia pestis atau

Pasteurella pestis. Dalam buku Biology of Plagues: Evidence from Historical

Populations, Susan Scott dan Christopher Duncan membagi masa historik pes

ke dalam 4 periode sebagai berikut: Pes di Athena, Pes Justinian, Black Death,

dan Bubonic Plague di abad ke-20. Di Indonesia sendiri, pes pertama kali

menyerang pulau Jawa.

2. Pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis (Pasteurella pestis), sebuah basil

Gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae. Reservoar utama dari penyakit

pes adalah hewan rodensia, misalnya tikus, kelinci, bahkan dalam kasus

tertentu melibatkan kucing sebagai sumber penularan ke manusia. Bakteri

ditularkan dari tikus ke manusia melalui gigitan pinjal yang merupakan vektor

dari penyakit ini.

3. Pes dapat diklasifikasikan menjadi pes bubonik, septikemik, dan pneumonik.

4. Selama fase inkubasi, bakteri ini umumnya menyebar ke wilayah nodul limpa,

dimana akan mudah terjadi pernanahan karena radang pada limpa, yang

berlanjut kepada ciri-ciri bubo. Infeksi akan berkembang terus jika tidak segera

ditolong.

5. Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada

tahun 1910, kemudian di tahun 1916 ditemukan di Pelabuhan Tanjung Mas

Semarang. Selanjutnya penyakit pes menyebar melalui pelabuhan pelabuhan di

Cirebon pada tahun 1923 dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927. Sejak tahun

1910 pes pertama kali masuk ke Indonesia hingga tahun 1960 sudah tercatat

korban meninggal akibat penyakit pes sebanyak 245.375 orang.

6. Pinjal menjadi infektif apabila mengisap darah dari inang yang telah terinfeksi

Y.pestis. Pinjal jantan dan betina keduanya mengisap darah inang dan

menyebarkan bakteri pes.

26

7. Pencegahan primer mencakup vaksinasi dan tindakan pencegahan. Sedangkan

pengobatan perlu didahului oleh diagnosis yang tepat, dan umumnya

digunakan antibiotik.

8. Tindakan pengawasan dan pengendalian berupa pelaporan yang baik dan

pengawasan pada kegiatan surveilans pes.

3.2. Saran

1. Sebaiknya dilakukan peninjauan kembali mengenai tindakan pencegahan dan

pengendalian pes yang sudah dilakukan selama ini dari segi efektivitas dan

efisiensinya.

2. Sebaiknya kegiatan surveilans tetap dijaga kontinuitasnya agar tidak sempat

terjadi epidemi.

27

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Internet

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Plague

http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/plague/index.htm

Medical Microbiology

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7627/

The Merck Veterinary Manual

http://www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp

United States Geological Survey. National Wildlife Health Center. Sylvatic

Plague

http://www.nwhc.usgs.gov/disease_information/sylvatic_plague/index.jsp

University of Alberta. Some Potential Microbiological Hazards for Field Workers

http://www.biology.ualberta.ca/facilities/safety/?Page=700

World Health Organization (WHO). Plague

http://www.who.int/csr/disease/plague/en/

Literatur

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2006. Plague [Website]. CDC.

Collins FM. 1996 Pasteurella, Yersinia, and Francisella. In: Baron S., editor.

Medical microbiology. 4th ed. New York: Churchill Livingstone.

Drancourt M, Houhamdi L, Raoult D. 2006. Yersinia pestis as a telluric, human

ectoparasite-borne organism. Lancet Infect Dis.

Edmunds DR, Williams ES, O'Toole D, Mills KW, Boerger-Fields AM, Jaeger

PT, Bildfell RJ, Dearing P, Cornish TE. 2008. Ocular plague (Yersinia

pestis) in mule deer (Odocoileus hemionus) from Wyoming and Oregon. J

Wildl Dis.

Eisen RJ, Gage KL. 2009. Adaptive strategies of Yersinia pestis to persist during

inter-epizootic and epizootic periods. Vet Res.

Eisen RJ, Petersen JM, Higgins CL, Wong D, Levy CE, Mead PS, Schriefer ME,

Griffith KS, Gage KL, Beard CB. 2008. Persistence of Yersinia pestis in

soil under natural conditions. Emerg Infect Dis.

28

Lilienfeld, A.M. 1976. Foundations of epidemiology. Oxford University Press:

New York.

Plague in Vietnam. Lancet. 1968;13 Apr:799–800.

29

Pertanyaan Diskusi 8 Oktober 2015:

1. 131000649

Bagaimana keadaan tikus yang terjangkit pes dan berapa lama tikus tersebut

dapat bertahan hidup?

2. 131000265

Apakah penderita pes harus mengalami kedua fase pes baru kemudian

meninggal? Bila tidak, mengapa?

3. 131000556

Bagaimana program pemerintah terkait pemberantasan pes?

4. 131000712

Kapan penyakit pes terjadi berulang?

5. 131000567

Bagaimana keterkaitan antara ketiga fase/tipe penyakit pes tersebut?

30