Isi Makalah
-
Upload
siti-hardianti-mahlan -
Category
Documents
-
view
30 -
download
4
Transcript of Isi Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu kedokteran gigi anak, salah satu yang dipelajari adalah tentang suatu
metode pencegahan terhadap terjadinya karies pada gigi anak. Berbagai tindakan
pencegahan terjadinya karies telah diupayakan melalui fluoridasi air minum,
topikal aplikasi fluor pada fase perkembangan enamel, dan program kontrol plak
bagi masing-masing individu. Hal ini tidak terbukti efektif mengurangi insiden
karies pada pit dan fisura yang merupakan bagian yang rentan karies, karena
bentukan anatomisnya yang menyempit (Robert G.Craig: 1979: 28).
Pemberian fluor secara topikal dan sistemik, tidak banyak berpengaruh
terhadap insidensi pada karies pit dan fisura. Hal ini karena pit dan fisura
merupakan daerah cekungan yang terlindung (Gambar 7). Kondisi ini mendukung
terjadinya proses karies. Fluor yang telah diberikan tidak cukup kuat untuk
mencegah karies. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah suatu cara
preventif yang ditujukan khusus untuk mencegah karies pada daerah ini melalui
teknik fissure sealant (R.J Andlaw, 1992: 58).
Fissure sealant merupakan bahan yang diletakkan pada pit dan fisura gigi
yang bertujuan untuk mencegah proses karies gigi (J.H. Nunn et al, 2000). Bentuk
pit dan fisura beragam, akan tetapi bentuk umumnya adalah sempit, melipat dan
tidak teratur. Bakteri dan sisa makanan menumpuk di daerah tersebut. Saliva dan
alat pembersih mekanis sulit menjangkaunya. Dengan diberikannya bahan
1
penutup pit dan fisura pada awal erupsi gigi, diharapkan dapat mencegah bakteri
sisa makanan berada dalam pit dan fisura (Sari Kervanto, 2009: 12).
Tujuan utama diberikannya sealant adalah agar terjadinya penetrasi bahan
ke dalam pit dan fisura serta berpolimerisai dan menutup daerah tersebut dari
bakteri dan debris (Kenneth J Anusavice, 2004: 260-261). Bahan sealant ideal
mempunyai kemampuan retensi yang tahan lama, kelarutan terhadap cairan mulut
rendah, biokompatibel dengan jaringan rongga mulut, dsn mudah diaplikasikan
(Donna Lesser, 2001).
Dua bahan sealant yang sering digunakan adalah sealant berbasis resin dan
sealant semen ionomer kaca (SIK). Bahan sealant berbasis resin dapat melakukan
polimerisasi secara autopolimerisasi dan fotopolimerisasi. Sedangkan sealant SIK
yang sering digunakan bersifat autopolimerisasi (Sari Kervanto, 2009: 20).
Sealant berbasis resin bertahan lebih lama dan kuat karena memiliki
kemampuan penetrasi yang lebih bagus. Hal ini karena adanya proses etsa pada
enamel gigi yang menghasilkan kontak yang lebih baik antara bahan resin dengan
permukaan enamel (Mahadevan Ganesh, 2007).
Etsa menghilangkan mineral enamel gigi dan menghasilkan resin tag dan
secara klinis nampak lebih putih dan pudar. Bahan sealant yang diberikan pada
area yang dietsa akan berpenetrasi ke dalam resin tag. Hal ini dapat meningkatkan
retensi mekanis bahan sealant dengan permukaan enamel gigi (Carline Paarmann,
1991:13).
Sealant ionomer kaca memiliki kemampuan mencegah karies yang hampir
sama dengan sealant berbasis resin. Manipulasi sealant semen ionomer kaca lebih
2
mudah, dan tidak diperlukan tahapan pengetsaan pada permukaan gigi
(Subramaniam, 2008).
Berbeda dengan sealant berbasis resin, bahan sealant semen ionomer kaca
melakukan interaksi khusus dengan enamel gigi dengan melepaskan kalsium,
strontium dan ion fluor yang bersifat kariostatik dan mengurangi perkembangan
karies pada daerah yang diberi sealant (Laurence J. Walsh, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang
perbandingan fissure sealant berbasis resin dengan sealant semen ionomer kaca
sebagai bahan penutup pit dan fisura pada permukaan gigi posterior.
1.2 Masalah
Bagaimanakah perbandingan kemampuan retensi sealant berbasis resin
dengan sealant semen ionomer kaca sebagai bahan penutup pit dan fisura?
1.3 Tujuan
Memberikan informasi tentang perbandingan kemampuan retensi sealant
berbasis resin dengan sealant semen ionomer kaca sebagai bahan penutup pit dan
fisura.
1.4 Manfaat
Seorang dokter gigi mampu menentukan pilihan aplikasi bahan sealant
baik berbasis resin maupun berbasis semen ionomer kaca sesuai indikasinya
sebagai bahan penutup pit dan fisura.
3
KONSEP PIT AND FISSURE SEALANTS
Tindakan preventive
Primer Sekunder Tersier
Pencegahan karies Perlindungan khusus
DHE Aplikasi fluor
Aplikasi bahan
Indikasi dan kontraindikasi
Gigi permanen muda
Aplikasi tindakan preventive
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pit dan Fisura
Pit adalah titik terdalam berada pada pertemuan antar beberapa groove
atau akhir dari groove. Istilah pit sering berkaitan dengan fisura. Fisura adalah
garis berupa celah yang dalam pada permukaan gigi (Russel C.Wheeler,
1974). Macam pit dan fisura bervariasi bentuk dan kedalamannya, dapat
berupa tipe U (terbuka cukup lebar); tipe V (terbuka, namun sempit); tipe I
(bentuk seperti leher botol).
Bentuk pit dan fisura bentuk U cenderung dangkal, lebar sehingga
mudah dibersihkan dan lebih tahan karies. Sedangkan bentuk pit dan fisura
bentuk V atau I cenderung dalam, sempit dan berkelok sehingga lebih rentan
karies. Bentukan ini mengakibatkan penumpukan plak, mikroorganisme dan
debris.
Morfologi permukaan oklusal gigi bervariasi berbagai individu. Pada
umumnya bentuk oklusal pada premolar nampak dengan tiga atau empat pit.
Pada molar biasanya terdapat sepuluh pit terpisah dengan fisura tambahan (M.
John hick dalam J.R Pinkham, 1994: 454).
II.2 Histopatologi Karies pada Pit dan Fisura
Permukaan oklusal gigi posterior merupakan daerah yang paling rawan
untuk terjadinya karies. Bentuk anatiomis gigi ini yang memungkinkan
5
terjadinya retensi dan maturasi plak. Aktivitas bakteri dalam plak berakibat
terjadinya fluktuasi pH. Kondisi naiknya pH memberikan keuntungan
terjadinya penambahan mineral (remineralisasi) gigi, sedangkan turunnya pH
akan berakibat hilangnya mineral gigi. Kehilangan mineral ini merupakan
suatu proses demineralisasi jaringan keras yang menjadi tanda dan gejala
sebuah penyakit (Sari Kervanto, 2009: 9).
Gejala dini suatu karies enamel yang terlihat secra makroskopik adalah
berupa bercak putih. Bercak ini memiliki warna yang tampak sangat berbeda
dengan enamel sekitarnya yang masih sehat. Kadang-kadang lesi akan tampak
berwarna coklat disebabkan oleh materi di sekelilingnya yang terserap ke
dalam pori-porinya. Baik bercak putih maupun bercak coklat bisa bertahan
tahunan lamanya (Edwina A.M. Kidd, 1992:19).
Istilah karies fisura menggambarkan adanya karies pada pit dan fisura.
Karies berawal dari dinding-dinding fisura. Karies ini membesar ukurannya
dan menyatu pada dasar fisura. Karies enamel akan melebar kearah dentin
dibawahnya sesuai dengan arah prisma enamelnya. Arah perkembangan karies
ke lateral sehingga terbentuk karies yang menggaung (Edwina A.M. Kidd,
1992:25).
Awal pembentukan karies dimulai dari fisura, yaitu bagian terdalam
dan bagian paling dasar dari permukaan gigi. Kemudian karies berlanjut ke
arah lateral dinding fisura dan lereng cusp (M. John hick dalam J.R Pinkham,
1994: 454).
6
Enamel pada dasar fisura merupakan daerah yang terkena karies
paling awal, karies akan menyebar sepanjang enamel, kemudian karies
berlanjut hingga dentinoenamel junction. Bila dentin terkena karies, maka
perkembangan karies menjadi lebih cepat dibandingkan saat enamel terkena
lesi. Pada kavitas fisura terjadi kehilangan mineral dan struktur pendukung
dari enamel dan dentin, sehingga secara klinis nampak karies (M. John Hick
dalam J.R Pinkham, 1994: 455).
Karies secara histologi dibagi dalam zona-zona berdasarkan
pemeriksaan dengan mikroskop cahaya,
Zone 1: Zona Translusen
Zona ini tidak terlihat disemua lesi, tetapi jika ada akan terletak pada
bagian depan dan merupakan daerah perubahan awal dari gambaran
normal. Zona ini tampak tidak berstruktur, translusen berbatasan
dengan zona gelap di daerah permukaan dan enamel normal di
bawahnya. Dibandingkan dengan enamel normal, zone ini lebih porus
dikarenakan proses demineralisasi.
Zona 2: Zona Gelap
Zona gelap merupakan daerah kedua dari perubahan email normal
berada tepat di atas zona translusen. Zona gelap lebih porus daripada
zona translusen. Pada zona gelap ini terdapat pori-pori kecil. Pori-pori
ini merupakan daerah penyembuhan temapat mineral telah
didepositkan kembali.
7
Zona 3: Badan Lesi
Zona ini merupakan daerah yang terbesar. Zona ini terletak di atas zona
gelap dan di bagian dalam permukaan karies. Daerah ini berwarna lebih
gelap karena adanya molekul air yang memasuki pori-pori jaringan
dimana indeks refraksi air berbeda dengan enamel. Volume pori-pori area
ini sekitar 5% di pinggir dan makin membesar ke pusatnya hingga 25%.
Zona 4: Zona Permukaan
Zona ini terlihat paling jelas. Volume pori-pori zona permukaan ini
berkisar 1% tapi jika karies terus berkembang maka area ini akhirnya akan
hancur dan terbentuklah kavitas. Lapisan permukaan yang relatif tidak
terserang ini berhubungan dengan sifat-sifat enamel yang mempunyai
derajat remineralisasi tinggi, kandungan fluor yang banyak, dan
kemungkinan jumlah protein yang tidak larut lebih besar disbanding
dengan lapisan di bawahnya (Edwina A.M. Kidd, 1992:21-4).
Setelah enamel terkena karies, diperlukan waktu sekitar 3-4 tahun karies
berkembang hingga mencapai dentin. Perkembangan karies secara klinis
terdeteksi tergantung hilangnya ketebalan enamel dan bentukan
morfologis pit dan fisura (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 456).
II.3 Perawatan Pit dan Fisura
Menurut M. John Hick (dalam J.R Pinkham, 1994: 456), sejumlah
pilihan perawatan bagi para dokter gigi dalam merawat pit dan fisura,
meliputi:
8
a. Melalui pengamatan (observasi), menjaga oral higiene, dan pemberian
fluor
b. Pemberian sealant
Upaya pencegahan terjadinya karies permukaan gigi telah dilakukan
melalui fluoridasi air minum, aplikasi topikal fluor selama perkembangan
enamel, dan program plak kontrol. Namun tindakan ini tidak sepenuhnya
efektif menurunkan insiden karies pada pit dan fisura, dikarenakan adanya sisi
anatomi gigi yang sempit (Robert G.Craig:1979: 29).
Pemberian fluor secara topikal dan sistemik, tidak banyak
berpengaruh terhadap insidensi karies pit dan fisura. Hal ini karena pit dan
fisura merupakan daerah cekungan yang dalam dan sempit. Fluor yang telah
diberikan tidak cukup kuat untuk mencegah karies. (R.J Andlaw, 1992: 58).
Pemberian fluor ini terbukti efektif bila diberikan pada permukaan gigi yang
halus, dengan pit dan fisura minimal (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994:
455).
Upaya lain dalam pencegahan karies pit dan fisura telah dilakukan
pada ujicoba klinis pada tahun 1965 melalui penggunaan sealant pada pit dan
fisura. Tujuan sealant pada pit dan fisura adalah agar sealant berpenetrasi dan
menutup semua celah, pit dan fisura pada permukaan oklusal baik gigi sulung
maupun permanent. Area tersebut diduga menjadi tempat awal terjadinya
karies dan sulit dilakukan pembersihan secara mekanis (Robert G.Craig :1979:
29).
Indikasi pemberian sealant pada pit dan fisura adalah sebagai berikut:
9
a. Dalam, pit dan fisura retentif
b. Pit dan fisura dengan dekalsifikasi minimal
c. Karies pada pit dan fisura atau restorasi pada gigi sulung atau permanen
lainnya
d. Tidak adanya karies interproximal
e. Memungkinkan isolasi adekuat terhadap kontaminasi saliva
f. Umur gigi erupsi kurang dari 4 tahun.
Sedangkan kontraindikasi pemberian sealant pada pit dan fisura adalah
a. Self cleansing yang baik pada pit dan fisura
b. Terdapat tanda klinis maupun radiografis adanya karies interproximal
yang memerlukan perawatan
c. Banyaknya karies interproximal dan restorasi
d. Gigi erupsi hanya sebagian dan tidak memungkinkan isolasi dari
kontaminasi saliva
e. Umur erupsi gigi lebih dari 4 tahun.
(M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 459-61)
Pertimbangan lain dalam pemberian sealant juga sebaiknya diperhatikan.
Umur anak berkaitan dengan waktu awal erupsi gigi-gigi tersebut. Umur 3-4
tahun merupakan waktu yang berharga untuk pemberian sealant pada geligi susu;
umur 6-7 tahun merupakan saat erupsi gigi permanen molar pertama; umur 11-13
tahun merupakan saatnya molar kedua dan premolar erupsi. Sealant segera dapat
diletakkan pada gigi tersebut secepatnya. Sealant juga seharusnya diberikan pada
10
gigi dewasa bila terbukti banyak konsumsi gula berlebih atau karena efek obat dan
radiasi yang mengakibatkan xerostomia (Norman O. Harris, 1999: 245-6).
II.4 Etsa Asam
Sejak tahun 1950-an sejumlah laboratorium dan klinik mempelajari tipe
asam, konsentrasi asam, dan lama pengetsaan yang bisa memberikan perlekatan
optimal bahan bonding dengan kehilangan minimal pada permukaan enamel.
Asam fosfor dengan konsentrasi 35-40% dengan aplikasi selama 15-20 detik
untuk gigi permanen dan gigi sulung telah memberikan perlekatan yang bagus,
dengan kehilangan minimal pada permukaan enamel.
Etsa asam pada permukaan enamel menghasilkan sejumlah porositas.
Dengan adanya porositas ini, maka bahan sealant masuk ke dalam porositas yang
telah dibuat. Dengan demikian terjadi retensi mekanis antara enamel yang dietsa
dengan bahan sealant (M. John hick dalam J.R Pinkham, 1994: 470).
Aplikasi asam fosfor selama satu menit menghilangkan kira-kira 10
milimikron email permukaan dan etsa permukaan dibawahnya sampai kedalaman
20 milimikron. Etsa menghasilkan kedalaman 20 milimikron. Etsa menghasilkan
lapisan porus sehingga resin dapat mengalir masuk; porositas ini memberikan
permukaan retensi mekanis yang sangat baik (R.J Andlaw, 1992: 58).
Menurut Carline Paarmann (1991), pemberian etsa asam fosfor selama
satu menit dapat menghilangkan mineral permukaan gigi dengan kedalaman 15-25
milimikron. Dan secara klinis warna nampak pudar, putih seperti kapur atau
11
seperti warna es. Hasil etsa berupa resin tag yang berperan penting dalam retensi
dan keberhasilan aplikasi sealant.
Tahapan penting dalam aplikasi sealant adalah pada saat pengetsaan
dilakukan. Bila saliva dibiarkan kontak dengan bahan etsa, maka proses etsa akan
terhambat. Karena adanya kontak dengan saliva, proses remineralisasi gigi segera
terjadi. Bila kontak saliva terjadi, maka etsa ulang dilakukan selama 20-30 detik.
Bahan etsa yang digunakan adalah asam fosfor dengan konsentrasi 35-37% dan
dilakukan aplikasi selama 30-60 detik.
Dentin kondisioner merupakan bahan yang digunakan untuk
meningkatkan perlekatan bahan glass ionomer dan dentin, dengan cara
menghilangkan smear layer dentin. Bahan yang biasanya digunakan adalah asam
poliakrilat 10 % yang diaplikasikan selama 20 detik (Carline Paarmann, 1991:14).
Bahan material sealant tidak hanya secara sederhana melekat di atas
permukaan enamel, tetapi melalui penetrasi bahan ke dalam mikroporositas yang
terbentuk selama proses pengetsaan. Infiltrasi etsa pada enamel menghasilkan
bentukan resin tag dimana menyediakan retensi mekanis bahan sealant. Resin tag
yang terbentuk selama pengetsaan memiliki kedalaman 25-50 mikrometer.
Resin tag mempunyai sejumlah fungsi. Resin tag menyediakan retensi
mekanis bagi bahan sealant. Bis-GMA adalah bahan material sealant yang tidak
larut asam dan menyediakan proteksi terhadap adanya pembentukan karies selama
adanya ikatan resin dan enamel. Ikatan resin dan enamel merupakan barier
terhadap kolonisasi bakteri, menutupi fisura dan menghalangi terjebaknya sisa
makanan ke dalam fisura (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 471-2).
12
II.5 Bahan Penutup Pit dan Fisura
Terdapat beberapa bentukan pit dan fisura, seperti telah dijelaskan
sebelumnya. Bahan sealant yang ada diaplikasikan untuk menutupi bentukan
anatomi tersebut, guna mencegah masuknya bakteri, food debris ke dalam pit
dan fisura (Carline Paarmann, 1991:10).
Pencegahan karies pada permukaan gigi terutama, pit dan fisura perlu
perhatian khusus. Hal ini dikarenakan bagian ini merupakan daerah yang
paling rentan karies. Prevalensi karies oklusal pada anak-anak terbanyak
ditemukan pada permukaan pit dan fisura. Area ini sering tidak terjangkau
oleh bulu sikat gigi. Molar pertama merupakan gigi permanen yang memiliki
waktu terlama berada dalam rongga mulut.
Sealant diaplikasikan pada pit dan fisura guna menutup dan
melindungi dari karies. Bahan sealant dibedakan menurut bahan dasar yang
digunakan, metode polimerisasi, dan ada tidaknya kandungan fluoride.
Meskipun kebanyakan sealant di pasaran, bahan sealant berbahan dasar dan
memiliki komposisi kimia sama, namun hal ini penting guna mengetahui
keefektifan dan kemampuan retensi masing-masing bahan tersebut.
Kemampuan sealant untuk melepaskan fluoride, pada permukaan pit
dan fisura akan memberikan keuntungan tersendiri pada bahan sealant semen
ionomer. Semen ionomer disarankan sebagai bahan ideal untuk menutup pit
dan fisura karena memiliki kemampuan melepas fluoride dan melekat pada
enamel (Subramaniam, 2008).
13
II.6 Bahan Sealant Berbasis Resin
a. Bahan matriks resin
Bahan matriksnya adalah bisfenol A-glisidil metakrilat (bis-GMA),
suatu resin dimetakrilat. Karena bis-GMA memiliki berat molekul yang
lebih tinggi dari metal metakrilat, kepadatan gugus metakrilat berikatan
ganda adalah lebih rendah dalam monomer bis-GMA, suatu faktor yang
mengurangi pengerutan polimerisasi. Penggunaan dimetakrilat juga
menyebabkan bertambahnya ikatan silang dan perbaikan sifat polimer
(Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Bis-GMA, urethane dimetrakilat (UEDMA), dan trietil glikol
dimetakrilat (TEGDMA) adalah dimetakrilat yang umum digunakan
dalam komposit gigi. Monomer dengan berat molekul tinggi, khususnya
bis-GMA amatlah kental pada temperature ruang. Penggunaan monomer
pengental penting untuk memperoleh tingkat pengisi yang tinggi dan
menghasilkan konsistensi pasta yang dapat digunakan secara klinis.
Pengencer bisa berupa monomer metakrilat dan monomer dimetakrilat
(Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Kebanyakan bahan resin saat ini menggunakan molekul bis-GMA,
yang merupakan monomer dimetakrilat yang disintesis oleh reaksi antara
bisfenol-A dan glisidil metakrilat. Reaksi ini dikatalisasi melalui sistem
amine-peroksida (Lloyd Baum, 1997: 254).
14
b. Partikel bahan pengisi
Dimasukkannya partikel bahan pengisi ke dalam suatu matriks secara
nyata meningkatkan sifat bahan matriks bila partikel pengisi benar-benar
berikatan dengan matriks. Penyerapan air dan koefisiensi termal dari komposit
juga lebih kecil dibandingkan dengan resin tanpa bahan pengisi. Sifat mekanis
seperti kekuatan kompresi, kekuatan tarik, dan modulus elastis membaik,
begitu juga ketahanan aus. Semua perbaikan ini terjadi dengan peningkatan
volume fraksi bahan pengisi (Kenneth J Anusavice, 2004: 230-1).
Bis-GMA saat ini merupakan matriks resin pilihan sebagai bahan
sealant. Bisa dengan atau tanpa bahan pengisi. Penambahan bahan pengisi
meliputi serpih kaca mikroskopis, partikel quartz dan bahan pengisi lainnya.
Bahan ini membuat sealant lebih tahan terhadap abrasi (Norman O. Harris,
1999: 246).
Bahan yang digunakan bahan pengisi makro adalah partikel-partikel
halus dari komponen silika, cristalin quartz, atau silikat glass boron. Quartz
telah digunakan secara luas sebagai bahan pengisi. Quartz memiliki
keunggulan sebagai bahan kimia yang kuat. Sementara sifat radiopak bahan
pengisi disebabkan oleh sejumlah kaca dan porselen yang mengandung logam
berat seperti barium, strontium dan zirconium. Penambahan bahan pengisi
mengurangi pengerutan pada saat polimerisasi dan menambah kekerasan
(Lloyd Baum, 1997: 254).
15
c. Bahan coupling
Bahan pengisi sangatlah penting berikatan dengan matriks resin. Hal ini
memungkinkan matriks polimer lebih fleksibel dalam meneruskan tekanan ke
partikel yang lebih kaku. Ikatan antara 2 fase komposit diperoleh dengan bahan
coupling. Aplikasi bahan coupling yang tepat dapat meningkatan sifat mekanis
dan fisik serta memberikan kestabilan hidrolitik dengan mencegah air
menembus sepanjang antar bahan pengisi dan resin. γ-
metakriloksipropiltrimetoksi silane adalah bahan yang sering digunakan
sebagai bahan coupling (Kenneth J Anusavice, 2004: 230-1).
d. Penghambat
Untuk mencegah polimerisasi spontan dari monomer, bahan
penghambat ditambahkan pada sistem resin. Penghambat ini mempunyai
potensi reaksi kuat dengan radikal bebas. Bila radikal bebas telah terbentuk,
bahan penghambat akan bereaksi dengan radikal bebas kemudian menghambat
perpanjangan rantai dengan mengakhiri kemampuan radikal bebas untuk
mengawali proses polimerisasi. Bahan penghambat yang umum digunakan
adalah butylated hydroxytoluene (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
e. Sifat bahan resin
Secara umum resin memiliki sifat mekanis yang baik, kelarutan bahan
resin sangat rendah. Sifat termis bahan resin sebagai isolator termis yang baik.
Bahan resin memiliki koefisien termal yang tinggi. Kebanyakan resin bersifat
radiopaque (E.C Combe, 1992: 176-7).
16
Resin memiliki karakteristik warna yang dapat disesuaikan dengan
kebutuhan perawatan. Sifat mekanis yang baik sehingga dapat digunakan pada
gigi dengan beban kunyah besar. Terjadinya pengerutan selama proses
polimerisasi yang tinggi menyebabkan kelemahan klinis dan sering
menyebabkan kegagalan. Kebocoran tepi akibat pengerutan dalam proses
polimerisasi dapat menyebabkan karies sekunder. Pemolesan bahan harus
bagus karena kekasaran pada permukaan komposit dapat dijadikan tempat
menempelnya plak (Kenneth J Anusavice, 2004: 247).
f. Indikasi fisure sealant berbasis resin
Penggunaan sealant berbasis resin digukanan pada hal berikut:
a. Digunakan pada geligi permanen
b. Kekuatan kunyah besar
c. Insidensi karies relatif rendah
d. Gigi sudah erupsi sempurna
e. Area bebas kontaminasi atau mudah dikontrol
f. Pasien kooperatif, karena banyaknya tahapan yang membutuhkan waktu
lebih lama.
2.7 Pengerasan Sealant Berbasis Resin
Terdapat dua tipe bis-GMA yaitu yang mengalami polimerisasi setelah
pencampuran komponen katalis dan yang mengalami polimerisasi hanya
setelah sumber sinar yang sesuai. Sampai sekarang sinar ultraviolet
17
(panjang gelombang 365 nm) telah digunakan, tetapi telah banyak
digantikan oleh sinar tampak (biru) dengan panjang gelombang 430-490
nm (R.J Andlaw, 1992: 58).
2.7.1 Pengerasan Sealant Berbasis Resin secara Otomatis
Proses ini kadang disebut dengan cold curing, chemical curing,
atau self curing. Bahan yang dipasok dalam 2 pasta, satu mengandung
inisiator benzoil peroksida dan lainnya mengandung amin tersier. Bila
kedua pasta diaduk, amin bereaksi dengan benzoil peroksida untuk
membentuk radikal bebas dan polimerisasi tambahan dimulai (Kenneth J.
Anusavice, 2004: 232).
Sealant bis-GMA dipolimerisasi oleh bahan amina organik
akselerator yang terdiri atas dua sistem komponen. Komponen pertama
berisi bis-GMA tipe monomer dan inisiator benzoil peroksida, dan
komponen kedua berisi tipe monomer bis-GMA dengan akselerator 5%
amina organik. Monomer bis-GMA dilarutkan dengan monomer metal
metakrilat. Sebuah bahan sealant komersil berisi pigmen putih, dimana
mengandung 40% bahan partikel quartz dengan diameter rata-rata 2
mikrometer. Kedua komponen tadi bercampur sebelum diaplikasikan ke
gigi dan berpolimerisasi ikatan silang sebagai reaksi sederhana (Norman
O.Harris, 1979: 30)
Pada bahan ini operator tidak memiliki kemampuan
mengendalikan waktu kerja setelah bahan diaduk. Jadi pembentukan
18
kontur restorasi harus diselesaikan begitu tahap inisiasi selesai. Jadi proses
polimerisasi terus-menerus terganggu sampai operator telah
menyelesaikan proses pembentukan kontur restorasi (Kenneth J.
Anusavice, 2004: 235).
II.7.2 Pengerasan Sealant Berbasis Resin dengan Sinar
Radikal bebas pemula reaksi polimerisasi terdiri atas foto-inisiator
dan activator amin terdapat dalam satu pasta. Bila tidak terkena sinar,
maka kedua komponen tersebut tidak bereaksi. Pemaparan terhadap sinar
dengan panjang gelombang yang tepat (468 nm) merangsang fotoinisiator
berinteraksi dengan amin untuk membentuk radikal bebas yang mengawali
polimerisasi tambahan.
Foto-inisiator yang digunakan adalah camphoroquinone. Sumber
sinar modern biasanya berasal dari bohlam tungsten halogen melalui suatu
filter sinar ultra merah dan spectrum sinar tampak dengan panjang
gelombang 500 nm (Gambar10). Waktu polimerisasi sekitar 20-60 detik.
Untuk mengimbangi penurunan intensitas sinar, waktu pemaparan harus
diperpanjang 2 atau 3 kali (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232-5).
Saat ini telah tersedia bahan fissure sealant berbasis resin dalam
syringe yang akan berpolimerisasi setelah diaktivasi dengan sinar (Gambar
9). Sealant bis-GMA berpolimerisasi dengan sinar ultraviolet (340-400
nm) adalah satu sistem tanpa diperlukan adanya pencampuran. Tiga bahan
kental monomer bis-GMA dilarutkan dengan 1 bagian monomer metil
19
metakrilat. Dengan aktivator berupa 2% benzoin metil eter (Robert G.
Craig, 1979: 30).
II.8 Teknik Aplikasi Fissure Sealant Berbasis Resin
II.8.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure
sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1) Syarat pumis yang
digunakan dalam perawatan gigi:
a. Memiliki kemampuan abrasif ringan
b. Tanpa ada pencampur bahan perasa
c. Tidak mengandung minyak
d. Tidak mengandung Fluor
e. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f. Memiliki kemampuan poles yang bagus
II.8.2 Pembilasan dengan air
Syarat air:
a. Air bersih
b. Air tidak mengandung mineral
c. Air tidak mengandung bahan kontaminan
II.8.3 Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
2.8.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
20
Syarat udara :
a. Udara harus kering
b. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c. Udara tidak mengandung minyak
d. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan
langsung ke permukaan gigi.
II.8.4 Lakukan pengetsaan pada permukaan gigi
a. Lama etsa tergantung petunjuk pabrik
b. Jika jenis etsa yang digunakan adalah gel, maka etsa bentuk gel tersebut
harus dipertahankan pada permukaan gigi yang dietsa hingga waktu etsa
telah cukup.
c. Jika jenis etsa yang digunakan adalah berbentuk cair, maka etsa bentuk
cair tersebut harus terus-menerus diberikan pada permukaan gigi yang
dietsa hingga waktu etsa telah cukup.
II.8.5 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.
II.8.6 Pengeringan dengan udara setelah pengetsaan permukaan pit dan fisura
a. Syarat udara sama dengan point 3.
b. Cek keberhasilan pengetsaan dengan mengeringkannya dengan udara,
permukaan yang teretsa akan tampak lebih putih
c. Jika tidak berhasil, ulangi proses etsa
d. Letakkan cotton roll baru, dan keringkan
e. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
21
II.8.7 Aplikasi bahan sealant
a. Self curing: campurkan kedua bagian komponen bahan, polimerisasi akan
terjadi selama 60-90 detik.
b. Light curing: aplikasi dengan alat pabrikan (semacam syringe), aplikasi
penyinaran pada bahan, polimerisasi akan terjadi dalam 20-30 detik.
II.8.8 Evaluasi permukaan oklusal
a. Cek oklusi dengan articulating paper
b. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Donna Lesser, 2001)
II.7 Bahan Sealant Semen Ionomer Kaca
Semen ionomer kaca adalah nama generik dari sekelompok bahan
yang menggunakan bubuk kaca silikat dan larutan asam poliakrilat. Bahan ini
mendapatkan namanya dari formulanya yaitu suatu bubuk kaca dan asam
ionomer yang mengandung gugus karboksil. Juga disebut sebagai semen
polialkenoat. Bahan dalam semen ionomer kaca terdiri atas bubuk dan cairan.
a. Bubuk semen ionomer kaca
Bubuk adalah kaca kalsium fluoroaluminosilikat yang larut dalam asam.
Komposisi dari bubuk semen ionomer kaca adalah silica, alumina,
aluminium fluoride, calsium fluoride, sodium fluoride, dan aluminium
phosphate. Bahan-bahan mentah digabung sehingga membentuk kaca
yang seragam dengan memanaskannya samapi temperature 1100-1500 ºC.
22
Lanthanum, strontium, barium, atau oksida seng ditambahkan untuk
menimbulkan sifat radiopak (Kenneth J. Anusavice, 2004: 449).
b. Cairan semen ionomer kaca
Cairan yang digunakan untuk semen ini adalah larutan asam poliakrilat
dengan konsentrasi 50%. Cairannya cukup kental dan cenderung membentuk
gel setelah beberapa waktu. Pada sebagian besar semen, asam poliakrilat dalam
cairan adalah dalam bentuk kopolimer dengan asam itikonik, maleik atau
trikarbalik. Asam-asam ini cenderung menambah reaktivitas dari cairan,
mengurangi kekentalan, dan mengurangi kecenderungan membentuk gel.
Selain itu, memperbaiki karakteristik manipulasi dan meningkatkan waktu
kerja dan memperpendek waktu pengerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).
c. Pengerasan
Ketika bubuk dan cairan dicampur untuk membentuk suatu pasta (gambar
2), permukan partikel kaca akan terpajan asam. Ion-ion kalsium, aluminium,
natrium dan fluorin dilepaskan ke dalam media yang bersifat cair. Rantai asam
poliakrilat akan berikatan silang dengan ion-ion kalsium dan membentuk masa
yang padat.
Selama 24 jam berikutnya, terbentuk fase baru dimana ion-ion
aluminium menjadi terikat dalam campuran semen. Ini membuat semen
menjadi lebih kaku. Ion natrium dan fluorin tidak berperan serta di dalam
ikatan silang dari semen. Beberapa ion natrium dapat menngantikan ion-ion
hidrogen dari gugus karboksil, sementara sisanya bergabung dengan ion-ion
23
fluorin membentuk natrium fluoride yang menyebar merata di dalam semen
yang mengeras (Kenneth J. Anusavice, 2004: 451).
Mekanisme pengikatan ionomer kaca dengan struktur gigi belum dapat
diterangkan dengan jelas. Meskipun demikian, perekatan ini diduga terutama
melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di
kristal apatit pada enamel dan dentin. Ikatan antara semen dengan enamel selalu
lebih besar daripada ikatannya dengan dentin, mungkin karena kandungan
anorganiknya enamel yang lebih banyak dan homogenitasnya lebih besar
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 452).
d. Sifat semen ionomer kaca
Semen ini memiliki sifat kekerasan yang baik, namun jauh inferior
dibanding kekerasan bahan resin. Kemampuan adhesi melibatkan proses kelasi
dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit enamel dan
dentin. Semen ini memiliki sifat anti karies karena kemampuannya melepaskan
fluor. Dalam proses pengerasan harus dihindarkan dari saliva karena mudah larut
dalam cairan dan menurunkan kemampuan adhesi. Ikatan fisiko kimiawi antara
bahan dan permukaan gigi sangat baik sehingga mengurangi kebocoran tepi
tumpatan (Kenneth J. Anusavice, 2004: 453).
e. Indikasi fisure sealant semen ionomer kaca
Indikasi penggunaan Fissure sealant dengan semen ionomer kaca sebagai
berikut:
a. Digunakan pada geligi sulung
b. Kekuatan kunyah relatif tidak besar
24
c. Pada insidensi karies tinggi
d. Gigi yang belum erupsi sempurna
e. Area yang kontaminasi sulit dihindari
f. Pasien kurang kooperatif
II.10 Teknik Aplikasi Fissure Sealant dengan Sealant Semen Ionomer Kaca
II.10.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure
sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a. Memiliki kemampuan abrasif ringan
b. Tanpa ada pencampur bahan perasa
c. Tidak mengandung minyak
d. Tidak mengandung Fluor
e. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f. Memiliki kemampuan poles yang bagus
II.10.2 Pembilasan dengan air
Syarat air:
a.Air bersih
b. Air tidak mengandung mineral
c.Air tidak mengandung bahan kontaminan
25
II.10.3 Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
II .10.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :
a. Udara harus kering
b. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c. Udara tidak mengandung minyak
d. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan
langsung ke permukaan gigi.
II.10.5 Aplikasi bahan dentin kondisioner selama 10-20 detik (tergantung
instruksi pabrik). Hal ini akan menghilangkan plak dan pelikel dan
mempersiapkan semen beradaptasi dengan baik dengan permukaan gigi dan
memberikan perlekatan yang bagus (Gambar 3).
II.10.6 Pembilasan dengan air selama 60 detik Syarat air sama dengan point 2.
II.10.7 Pengeringan dengan udara setelah aplikasi dentin kondisioner permukaan
pit dan fisura dilakukan pembilasan
a.Syarat udara sama dengan point 3.
b. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
II.10.8 Aplikasikan bahan SIK pada pit dan fisura (Gambar 4).
26
II.10.9 Segera aplikasi bahan varnish setelah aplikasi fissure sealant dilakukan
(Gambar 5).
II.10.10 Evaluasi permukaan oklusal
a. Cek oklusi dengan articulating paper
b. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot
grinding)
27
TAHAPAN APLIKASI FISSURE SEALANT BERBASIS SEMEN IONOMER KACA (Gambar 1-6)
(Dr J. Lucas dalam www. gcasia.info, 2008)Gambar 1. Gigi molar yang baru erupsi
setelah dilakukan penyikatan guna
menghilangkan plak dan debris.
Gambar 2. Pencampuran bahan fissure
sealant hingga merata.
Gambar 3. Pemberian kondisioner setelah
gigi dibersihkan dan dikeringkan.
Gambar 4. Aplikasi bahan pada pit dan
fisura.
Gambar 5. Aplikasi bahan varnish segera
setelah aplikasi bahan selesai.
Gambar 6. gigi molar yang telah dilakukan
fissure sealant.
28
TAHAPAN APLIKASI FISSURE SEALANT BERBASIS RESIN (Gambar 7-12)
(Dr. Crist Bryant dalam Donna Lesser, RDH, BS. 2001)Gambar 7. Pit dan fisura pada gigi.
Gambar 8. Gigi molar yang telah dilakukan fissure
sealant dengan fissure sealant berbasis resin.
Gambar 9. Bahan fissure sealant berbasis resin
(light cure).
Gambar 10. Aplikasi sinar tampak untuk
membantu proses polimerisasi fissure sealant
berbasis resin
Gambar 11. Gigi-gigi yang telah dilakukan fissure
sealant berbasis resin berwarna pink sebelum
polimerisasi.
Gambar 12. Gigi-gigi yang telah dilakukan fissure
sealant berbasis resin sewarna gigi setelah
polimerisasi.
29
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
a. Pit fissure selan merupakan suatu rencana perawatan berupa pencegahan
karies pada M1 pemanen
b. Bahan sealant berbasis resin digunakan pada gigi dengan beban kunyah
besar, dan mahkota gigi telah erupsi sempurna.
c. Bahan sealant semen ionomer kaca digunakan pada gigi dengan beban
kunyah ringan, dan mahkota gigi belum erupsi sempurna
4.2 Saran
a. Pada gigi permanen sebaiknya digunakan bahan sealant berbasis resin
karena mampu nenahan beban kunyah yang besar pada gigi pemanen.
Aplikasi bahan ini membutuhkan waktu yang lama sehingga sebaiknya
dilakukan pada pasien yang kooperatif.
a. Pada anak-anak dengan kemampuan memelihara oral hygiene rendah
sebaiknya digunakan bahan sealant semen ionomer kaca. Bahan ini
memiliki kemampuan melepaskan fluor sehingga memiliki sifat anti
karies.
30
DAFTAR PUSTAKA
Andlaw, RJ and Rock. 1992. Perawatan Gigi Anak. Alih bahasa: Agus Djaya dari
A Manual of Pedodontics. Jakarta: EGC
Anusavice, Kenneth J. 1994. Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Baum, Lloyd. 1997. Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi. Alih bahasa oleh Prof. Dr.
drg Rasinta Tarigan. Jakarta: EGC
Combe, E.C. 1992. Sari Dental Material. Diterjemahkan drg. Slamet Tarigan, MS,
PhD. Jakarta: Balai Pustaka
Craig, Robert G. 1979. Dental Materials. London: Mosby Company
Departement of Health North Sidney. 2008. Pit and Fissure Sealants: Use of in
Oral Health Service NSW. Diakses dari
http://www.health.nsw.gov.au/policies/pd/2008/pdf/PD2008_028.pdf
pada 8 Juni 2009
Ganesh, Mahadevan MDS, et al. 2007. Comparative Evaluation of The Marginal
Sealing Ability of Fuji VII and Concise as Pit and Fissure Sealants. The
Journal Contemporary Dental Practice, diakses dari
http://www.thejcdp.com/issue033/ganesh/ganesh.pdf pada 8 Juni 2009.
Harris, O Norman. 1999. Primary Preventive Dentistry Fifth Edition. USA:
Appleton & Lange
31
32